PENGKAJIAN DAN PEMERIKSAAN FISIK SISTEM INDERA
DISUSUN OLEH: Kelompok 2 Cyntia Deah Karina Saputri Eka Hariza Agustina Julie Puspita Sari Lisa Rahmatul Husna Nadya Liza Kasinger Ririn Safitri Rizky Amelia Tingkat : II A Dosen Pengampu : Ns. Lukman,S.Kep.,M.Kep
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG TAHUN AJARAN 2015-201
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada dosen pengampu Ns.Lukman,S.Kep.,M.Kep yang telah banyak membimbing kami hingga makalah ini selesai dan tak lupa juga kami ucapkan terima kasih untuk teman-teman tingkat 2A yang juga turut membantu. Saran dan kritik yang membangun diperlukan dalam perbaikan makalah ini.
Palembang,
Maret 2016
Penyusun
ii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii DAFTAR ISI .......................................................................................................iii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................1 1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................2 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Sistem Indera .................................................................................... 3 2.3 Pengkajian dan Pemeriksaan Fisik Sistem Indera ......................................... 5 2.2.1 Mata ..................................................................................................... 5 2.2.2 Telinga ................................................................................................ 14 2.2.3 Hidung ................................................................................................... 19 2.2.4 Lidah ..................................................................................................... 22 2.2.5 Kulit ..................................................................................................... 23 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 27 3.2 Saran .............................................................................................................. 27 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 28
iii
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Gangguan persepsi sensori merupakan permasalahan yang sering
ditemukan seiring dengan perubahan lingkungan yang terjadi secara cepat dan tidak terduga. Pertambahan usia, variasi penyakit, dan perubahan gaya hidup menjadi faktor penentu dalam penurunan sistem sensori. Seringkali gangguan sensori dikaitkan dengan gangguan persepsi karena persepsi merupakan hasil dari respon stimulus (sensori) yang diterima. Persepsi merupakan respon dari reseptor sensoris terhadap stimulus eksternal,
juga
pengenalan
dan
pemahaman
terhadap
sensoris
yang
diinterpretasikan oleh stimulus yang diterima (Nasution, 2003). Persepsi juga melibatkan kognitif dan emosional terhadap interpretasi objek yang diterima organ sensori (indra). Adanya gangguan persepsi mengindikasikan adanya gangguan proses sensori pada organ sensori, yaitu penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan pengecapan. Untuk itu, perlu adanya pemeriksaan fisik sistem sensori untuk mengukur derajat gangguan sistem sensori tersebut. Adanya makalah ini diharapkan pembaca bisa sedikit mengetahui berbagai macam dan teknik pemeriksaan sistem sensori. Dengan mengetahui pemeriksaan fisik sistem sensori diharapkan permasalahan yang muncul dari hasil pemeriksaan tersebut dapat teridentifikasi secara akurat sehingga dapat menentukan asuhan keperawatan yang berkualitas.
1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang diatas diperoleh beberapa rumusan masalah, yaitu: 1. Apakah definisi dari sistem indera? 2. Bagaimana pengkajian dan pemeriksaan fisik sistem indera?
1
1.3 Tujuan Dari rumusan masalah diatas diperoleh beberapa tujuan penulisan, yaitu: 1. Untuk mengetahui definisi sistem indera 2. Untuk mengetahui pengkajian dan pemeriksaan fisik sistem indera
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Definisi Sensori merupakan stimulus, baik secara internal maupun eksternal yang
masuk melalui organ sensori berupa indra. Sistem sensori berperan penting dalam hantaran informasi ke sistem saraf pusat mengenai lingkungan sekitarnya (Wilson & Hartwig, 2002 dalam Price & Wilson, 2002). Sistem sensori lebih kompleks dari sistem motorik karena modal dari sensori memiliki perbedaan traktus, lokasi yang berbeda pada medulla spinalis (Smeltzer & Brenda, 1996) sehingga pengkajiannya dilakukan secara subyektif dan penguji dituntut untuk mengenali penyebaran saraf perifer dari medulla spinalis. Pengkajian sistem sensori difokuskan pada bentuk subyektif dikarenakan sistem sensori memiliki hubungan erat dengan persepsi. Persepsi merupakan kemampuan mengidentifikasi sesuatu melalui proses mengamati, mengetahui, dan mengartikan stimulus yang diterima melalui indra. Untuk itu, data subyektif yang diterima berdasarkan persepsi individu dapat menentukan kenormalan dari sistem sensori tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi sensori adalah sebagai berikut. 1. Usia a) Bayi memiliki jalur saraf yang belum matang sehingga tidak bisa membedakan stimulus sensori. b)
Lansia mengalami perubahan degeneratif pada organ sensori dan fungsi
persyarafan sehingga mengalami penurunan fungsi pada organ sensori, yaitu penurunan penglihatan, pendengaran, kesulitan persepsi, penurunan diskriminatif rasa dan sensitivitas bau, perubahan taktil, gangguan keseimbangan, dan disorientasi tempat dan waktu. 2. Medikasi
3
a) Beberapa antibiotik seperti streptomisin, gentamisin dapat merusak syaraf pendengaran. b) Kloramfenikol mengiritasi syaraf optik. c) Obat analgesik, narkotik, sedatif dan antidepresan dapat mengubah persepsi stimulus. 3. Lingkungan a)
Stimulus lingkungan yang terlalu ramai dan bising dapat membuat
kebingungan, disorientasi dan tidak mampu mebuat keputusan. b) Stimulus lingkungan yang terisolasimengarah pada deprivasi sensori. c) Kualitas lingkungan yang buruk dapat memperparah kerusakan sensori. 4. Tingkat kenyamanan Nyeri dan kelelahan dapat merubah persepsi seseorang dan bagaimana dia bereaksi terhadap stimulus. 5. Penyakit yang diderita a) Katarak menurunkan fungsi penglihatan. b) Infeksi telinga menurunkan fungsi pendengaran. c) Penyakit vascular perifer menyebabkan penurunan sensasi pada ekstrimitas dan kerusakan kognisi d) Penyakit diabetes kronik menurunkan penglihatan, kebutaan, maupun neuropati perifer e) Penyakit stroke menimbulkan penurunan kemampuan verbal, kerusakan fungsi motorik, dan penerimaan sensori. 6. Merokok Penggunaan tembakau mengakibatkan atrofi pada saraf pengecap sehingga menurunkan persepsi rasa. 7. Tindakan medis Intubasi endotrakea menyebabkan kehilangan berbicara sementara.
4
8. Tingkat kebisingan Paparan kostan pada tingkat kebisingan tinggi mengakibatkan penurunan pendengaran. Pemeriksaan fisik pada sistem sensori berfokus pada fungsi neurologisnya klasifikasi dari pemeriksaan fisik sistem sensori didasarkan pada organ sensori berupa sistem indra. Sistem indra yang dikenal berupa pancaindra, yaitu: 1. Indra penglihatan (visual) 2. Indra pendengaran (auditori) 3. Indra perabaan (taktil) 4. Indra penciuman (olfaktori) 5. Indra pengecap (gustatory) Adanya pemeriksaan fisik sistem sensori bertujuan sebagai berikut. 1. Menentukan derajat gangguan sensori dalam hubungannya dengan gangguan gerak 2. Sebagai acuan untuk re-edukasi sensori 3. Mencegah terjadinya komplikasi sekunder 4. Menyusun sasaran dan rencana terapi (Pudjiastuti & Utomo, 2002)
2.2
Pengkajian & Pemeriksaan Fisik Sistem Indera
2.2.1
Mata A. 1.
Pengkajian Sistem Indera Pengelihatan Riwayat kesehatan
Sebelum melakukan pengkajian fisik mata, perawat harus mendapatkan riwayat oftalmik, medis, dan terapi klien, dimana semuanya berperan dalam 5
kondisi oftalmik sekarang. Informasi yang harus diperoleh meliputi informasi mengenai penurunan tajam penglihatan, upaya keamanan, dan semua hal yang terkait pada alasan melakukan pemeriksaan oftalmik. a) Riwayat penyakit saat ini Klien ditanya tentang keluhan yang menyebabkan klien meminta pertolongan pada tim kesehatan. Apakah ada riwayat kecelakaan atau kerja Apakah ada riwayat oftalmik seperti fotofobia, nyeri kepala, pusing, nyeri okuler atau dahi, mata gatal. Bila ada keluhan nyeri, dikaji sehubungan dengan lokasi, awitan, durasi, penurunan
ketajaman
penglihatan,
keadaan
saat
nyeri
timbul,
upaya
menguranginya dan beratnya. Identifikasi penurunan gangguan tajam penglihatan atau kehilangan medan penglihatan, apakah kondisi tersebut unilateral atau bilateral. Tanyakan klien apakh pernah menjalani koreksi refraksi dan pengukuran ketajaman penglihatan. Apakah menggunakan lensa koreksi untuk penglihatan dekat atau jauh. Asuhan yang pernah diberikan oleh spesialis mata dan frekuensinya. b) Riwayat penyakit dahulu Tanyakan adanya riwayat pembedahan atau adanya pukulan/ benturan pada masa lalu yang menyebabkan keluhan saat ini. Tanyakan tentang adanya kondisi seperti diabetes mellitus, hipertensi, PMS, anemia sel sabit, AIDS, sklerosis multiple yang dapat mengenai mata.
Tanaykan pada klien tentang penggunaan obat mata yang dijiaul bebas
ataupun dengan resep yang dipakai. c) Riwayat psikososial Pengkajian psikososial terutama penting bagi perawat untuk menanyakan pertanyaan mengenai riwayat klien, kita harus memperhitungkan efek keadaan oftalmik terhadap aktivitas klien pada kehidupan sehari – hari dan terhadap pekerjaan. Hal – hal yang perlu dikaji oleh perawat antara lain : 6
Evaluasi gaya hidup klien, jenis pekerjaan, aktivitas hiburan, dan olahraga. Tanaykan apakah masalah oftalmik yang dilaporkan mengganggu fungsi yang biasa dilakukan. Kaji bagaimana klien menghadapi masalah tersebut. Tanyakan perasaan klien yang berhubungan dengan gangguan visual untuk mengkaji keefektifan teknik koping klien. Kaji pengetahuan klien tentang penyakitnya untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan klien tentang masalahnya untuk pemenuhan edukasi. Gangguan pada mata dapat disebabkan oleh: 1. Gangguan di depan retina (gangguan pada media refrakta) Media refrakta adalah bagian yang dipakai untuk membentuk bayangan yang jelas pada retina. Media refrakta terdiri atas: a. Kornea Jika terdapat gangguan pada kornea, misal: keratitis (radang pada kornea yang dapat menyebabkan kekeruhan pada kornea) maka dapat mengganggu penglihatan. b. Humor aquos Jika pada humor aquos terdapat darah, maka cahaya tidak dapat dihantarkan dengan baik. c. Lensa kristalina Kekeruhan pada lensa dapat mengganggu penglihatan d. Corpus vitreum Kekeruhan pada corpus vitreum dapat mengganggu penglihatan 2. Gangguan pada retina Misal: o Retinitis o Kornea lepas dari dindingnya 7
A. Gangguan pada lintasan penglihatan Yaitu gangguan hantaran dari reseptor hantaran ke otak B. Gangguan pada otak/pusat penglihatan Misal, terdapat tumor pada hipofisis. B.
Pemeriksaan Fisik Mata
1. Pemeriksaan mata untuk penglihatan jauh (visus) Pemeriksaan tajam penglihatan :
lakukan uji penglihatan dalam ruangan yang cukup tenang, tetapi anda
dapat mengendalikan jumlah cahaya. gantungkan kartu snellen atau kartu e yang sejajar mata responden dengan
jarak 6 meter pemeriksaan dimulai dengan mata kanan. mata kiri responden ditutup dengan penutup mata atau telapak tangan
tanpa menekan bola mata. responden disarankan membaca huruf dari kiri ke kanan setiap baris kartu snellen atau memperagakan posisi huruf e pada kartu e dimulai baris teratas atau huruf yang paling besar sampai huruf terkecil (baris yang
tertera angka 20/20). penglihatan normal bila responden dapat membaca sampai huruf terkecil
20/20 (tulis 020/020). bila dalam baris tersebut responden dapat membaca atau memperagakan posisi huruf e kurang dari setengah baris maka yang dicatat ialah baris
yang tertera angka di atasnya. bila dalam baris tersebut responden dapat membaca atau memperagakan posisi huruf e lebih dari setengah baris maka yang dicatat ialah baris yang tertera angka tersebut.
2. Pemeriksaan uji penglihatan dengan hitung jari :
8
bila responden belum dapat melihat huruf teratas atau terbesar dari kartu snellen atau kartu e maka mulai hitung jari pada jarak 3 meter (tulis
03/060). hitung jari 3 meter belum bisa terlihat maka maju 2 meter (tulis 02/060), bila belum terlihat maju 1 meter (tulis 01/060). Bila belum juga terlihat
maka lakukan goyangan tangan pada jarak 1 meter (tulis 01/300). goyangan tangan belum terlihat maka senter mata responden dan tanyakan
apakah responden dapat melihat sinar senter (jika ya tulis 01/888). bila tidak dapat melihat sinar senter disebut buta total (tulis 00/000)
Selanjutnya, uji fungsi visual, termasuk ketajaman penglihatan jarak dekat dan jarak jauh, persepsi warna dan penglihatan perifer. 1
Uji penglihatan jarak jauh Untuk menguji penglihatan jarak jauh pada klien yang dapat membaca bahasa inggris, gunakan grafik alfabet snellen yang berisi berbagai ukuran huruf. Untuk klien yang buta huruf atau tidak dapat berbicara bahasa inggris, gunakan grafik snellen e, yang menunjukkan huruf-huruf dalam berbagai ukuran dan posisi. Klien menunjukkan posisi huruf e dengan menirukan posisi tersebut dengan jari tangannya.
uji setiap mata secara terpisah dengan terlebih dahulu menutup satu mata dan kemudian mata yang lain dengan kartu buram berukuran 3 x 5 atau penutup mata. Setelah itu, uji penglihatan binokular klien dengan meminta klien membaca gambar dengan kedua mata terbuka. Klien yang normalnya memakai lensa korektif untuk penglihatan jarak
jauh harus memakainya untuk uji tersebut. mulai dengan baris yang bertanda 20/20. Jika klien salah membaca lebih dari dua huruf, pindahlah ke baris berikutnya 20/25. Lanjutkan sampai klien dapat membaca baris tersebut dengan benar dengan kesalahan yang tidak lebih dari dua. Baris tersebut menunjukkan ketajaman penglihatan jarak jauh klien.
2
Uji penglihatan jarak dekat
9
Uji penglihatan jarak dekat klien dengan memegang grafik snellen atau kartu dengan kertas koran berukuran 30,5 sampai 35,5 cm di depan mata klien, klien yang normalnya memakai kacamata baca harus memakainya untuk uji ini. Seperti pada penglihatan jarak jauh, uji setiap mata secara terpisah dan kemudian bersamaan. 3
Uji persepsi warna Minta klien untuk mengidentifikasi pola bulatan-bulatan warna pada plat berwarna. Klien yang tidak dapat membedakan warna tidak akan mendapatkan polanya.
4
Uji fungsi otot ekstraokuler Untuk mengkaji fungsi otot ekstraokuler klien, perawat harus melakukan tiga tes : enam posisi kardinal tes penglihatan, tes terbuka-tertutup, dan tes refleks cahaya korneal.
Enam posisi kardinal tes penglihatan - duduk langsung di depan klien, dan pegang objek silindris, seperti pensil, tepat di depan hidung klien, dan menjauh sekitar 46 cm dari -
hidung klien. minta klien untuk memperhatikan objek tersebut pada saat dan menggerakkannya searah jarum jam melewati enam posisi kardinalmedal superior, lateral superior, lateral, lateral inferior, dan medial-
-
kembalikan objek ke titik tengah setelah setiap gerakan. melalui tes ini, mata klien akan tetap paralel pada saat bergerak. Perhatikan adanya temuan abnormal, seperti nistagmus, atau deviasi
salah satu mata yang menjauh dari objek. Tes tertutup-terbuka - minta klien menatap suatu objek pada dinding yang jauh yang berhadapan. Tutupi mata kiri klien dengan kartu buram dan observasi -
mata kanan yang tidak ditutp akan adanya gerakan atau berputar-putar. kemudian, lepas kertas dari mata kiri. Mata harus tetap diam dan berfokus pada objek, tanpa bergerak atau berputar-putar. Ulangi proses tersebut dengan mata kanan. 10
Tes refleks cahaya korneal - minta klien untuk melihat lurus ke depan sementara anda mengarahkan sinar senter ke batang hidung klien dari jarak 30,5 sampai 38 cm. Periksa untuk memastikan apakah kornea memantulkan cahaya di tempat yang tepat sama di kedua mata. Refleks yang tidak simetris menunjukkan ketidakseimbangan otot yang menyebabkan mata menyimpang dari titik yang benar.
5
Uji penglihatan perifer - duduk berhadapan dengan klien, dengan jarak 60 cm, dengan mata -
anda sejajar dengan mata klien. Minta klien menatap lurus ke depan. tutupi satu mata anda dengan kertas buram atau tangan anda dan minta kien untuk menutup matanya yang tepat bersebrangan dengan mata
-
anda yang ditutup kemudian, ambil sebuah objek, misalnya pensil dari bidang superior perifer ke arah lapang pandang tengah. Objek tersebut harus berada
-
pada jarak yang sama di antara anda dan klien. minta klien untuk mengatakan pada anda saat objek tersebut terlihat. Jika penglihatan perifer anda utuh, anda dan klien akan melihat objek
-
tersebut pada waktu yang bersamaan. ulangi prosedur searah jarum jam pada sudut 45 derajat, periksa lapang pandang superior, inferior, temporal, dan nasal. Ketika menguji lapang pandang temporal, anak akan mengalami kesulitan menggerakkan objek sampai cukup jauh sehingga anda dan klien tidak dapat melihatnya. Jadi lakukan uji lapang pandang temporal ini dengan meletakkan pensil sedemikian rupa di belakang klien dan di luar lapang pandang klien. Bawa pensil tersebut berkeliling secara perlahan sampai klien dapat melihatnya.
6
Reflek pupil - pasien disuruh melihat jauh - setelah itu pemeriksa mata pasien di senter / diberi cahaya dan lihat apakah ada reaksi pada pupil. Normal akan mengecil
11
7
-
perhatikan pupil mata yang satunya lagi, apakah ikut mengecil karena
-
penyinaran pupil mata tadi disebut dengan reaksi cahaya tak langsung cegah reflek akomodasi dengan pasien disuruh tetap melihat jauh
Pemeriksaan sensibilitas kornea
Tujuan : untuk mengetahui apakah sensasi kornea normal, atau menurun Cara pemeriksaan Alat : kapas steril Caranya :
bentuk ujung kapas dengan pinset steril agar runcing dan halus fiksasi mata pasien keatas agar bulu mata tidak tersentuh saat kornea
disentuh fiksasi jari pemeriksa pada pipi pasien dan ujung kapas yang halus dan runcing disentuhkan dengan hati-hati pada kornea, mulai pada mata yang tidak sakit.
Hasil
Pada tingkat sentuhan tertentu reflek mengedip akan terjadi. Penilaian dengan membandingkan sensibilitas kedua mata pada pasien tersebut.
8
Eversi kelopak mata
Pemeriksaan untuk menilai konyungtiva tarsalis Cara pemeriksaan :
cuci tangan hingga bersih pasien duduk didepan slit lamp sebaiknya mata kanan pasien diperiksa dengan tangan kanan
pemeriksa. ibu jari memegang margo, telunjuk memegang kelopak bagian atas dan
meraba tarsus, lalu balikkan. setelah pemeriksaan selesai kembalikan posisi kelopak mata. Biasakan memeriksa kedua mata.
9
Pemeriksaan dengan oftalmoskop 12
untuk melakukan pemeriksaan dengan oftalmoskop, tempatkan klien di ruang yang digelapkan atau setengah gelap, anda dan klien tidak boleh memakai kacamata kecuali jika anda sangan miop atau astigmatis.
Lensa kontak boleh dipakai oleh anda atau klien. duduk atau berdiri di depan klien dengan kepala anda berada sekitar 45 cm di depan dan sekitar 15 derajat ke arah kanan garis penglihatan mata kanan klien. Pegang oftalmoskop dengan tangan kanan anda dengan apertura penglihat sedekat mungkin dengan mata kanan anda. Letakkan ibu jari kiri anda di mata kanan klien untuk mencegah memukul klien dengan oftalmoskop pada saat anda bergerak mendekat. Jaga agar telunjuk kanan anda tetap berada di selektor lensa
untuk menyesuaikan lensa seperlunya seperti yang ditunjukkan di sini. instruksikan klien untuk melihat lurus pada titik sejajar mata yang sudah ditentukan di dinding. Instruksikan juga pada klien, bahwa meskipun berkedip selama pemeriksaan diperbolehkan, mata harus tetap diam. Kemudian, mendekat dari sudut oblik sekitar 38 cm dan dengan diopter pada angka 0, berfokuslah pada lingkaran kecil cahaya pada pupil. Cari cahaya oranye kemerahan dari refleks merah, yang harus tajam dan jelas melewati pupil. Refleks merah menunjukkan
bahwa lensa bebas dari opasitas dan kabut. bergerak mendekat pada klien, ubah lensa dengan jari telunjuk untuk
menjaga agar struktur retinal tetap dalam fokus. ubah diopter positif untuk melihat viterous humor, mengobservasi
adanya opasitas. kemudian, lihat retina, menggunakan lensa negatif yang kuat. Cari pembuluh darah retina dan ikuti pembuluh darah tersebut ke arah hidung klien, rotasi selektor lensa untuk menjaga agar pembuluh darah tetap dalam fokus. Karena fokus tergantung pada anda dan status refraktif klien maka diopter lensa berbeda-beda untuk sebagian besar klien. Periksa dengan cermat seluruh struktur retina, termasuk pembuluh darah retina, diskus optikus, latar belakang retina, makula
dan fovea. periksa pembuluh darah dan struktur retina untuk warna, perbandingan ukuran arteri dan vena, refleks cahaya arteriol, dan persilangan 13
arteriovenosa. Mangkuk fisiologis normalnya berwarna kuning-putih
dan dapat terlihat. periksa makula pada bagian akhir karena sangat sensitis terhadap cahaya.
10 Pemeriksaan fisik mata pada anak goyangkan kepala bayi secara perlahan-lahan supaya mata bayi
terbuka. periksa jumlah, posisi atau letak mata periksa adanya strabismus yaitu koordinasi mata yang belum sempurna periksa adanya glaukoma kongenital, mulanya akan tampak sebagai
pembesaran kemudian sebagai kekeruhan pada kornea. katarak kongenital akan mudah terlihat yaitu pupil berwarna putih.
Pupil harus tampak bulat. terkadang ditemukan bentuk seperti lubang kunci (kolobama) yang
dapat mengindikasikan adanya defek retina. periksa adanya trauma seperti palpebra, perdarahan konjungtiva atau
retina. periksa adanya sekret pada mata, konjungtivitis oleh kuman
gonokokus dapat menjadi panoftalmia dan menyebabkan kebutaan. apabila ditemukan epichantus melebar kemungkinan bayi mengalami sindrom down.
2.2.2
Telinga A. Pengkajian Sistem Indera Pendengaran
- Memulai pengkajian dengan menanyakan beberapa hal berikut: Bagaimanakah kondisi pendengaran Bapak/Ibu/Saudara/i? Apakah ada gangguan pada pendengaran yang saat ini dirasakan? - Apabila pasien mengalami gangguan, tanyakan: Apakah gangguan yang dialami hanya terjadi pada 1 sisi pendengaran atau keduanya Apakah gangguan terjadi secara tiba-tiba atau bertahap? Gejala apakah yang dirasakan? - Bedakan jenis gangguan apakah gangguan konduksi atau sensori neural: 14
o Pada individu dengan gangguan konduksi maka kondisi lingkungan yang berisik akan membantu proses pendengaran. o Individu yang dengan gangguan sensorineural akan mengalami kesulitan memahami pembicaraan orang lain (orang lain dianggap bergumam). Kondisi lingkungan yang berisik akan memperparah gangguan pendengaran tersebut. Apakah ada kesulitan memahami percakapan orang lain yang dialami? Apakah ada perbedaan kondisi yang dialami dengan adanya perubahan lingkungan? - Kaji tanda dan gejala yang berhubungan dengan gangguan pendengaran: Nyeri pada telinga Tinnitus o Merupakan suara yang secara kontinyu terdengar tanpa adanya stimulus dari luar. Gangguan ini dapat dihubungkan dengan adanya gangguan fungsi pendengaran dan belum dapat dijelaskan secara detil penyebabnya. Vertigo o Merupakan
persepsi
pasien
dimana
dirinya
atau
lingkungan
disekitarnya seperti berputar. Gangguan ini dapat disebabkan karena adanya gangguan pada telinga dalam, lesi N. VIII atau adanya gangguan pada jalur persarafan dari telinga ke SSP. Discharge dari telinga o Dapat berbentuk cairan kental yang merupakan debris dari proses inflamasi yang terjadi di kanal auditorius (pada telinga luar) atau sebagai akibat adanya perforasi pada membran tymphani. - Kaji penyakit lain yang dapat menimbulkan nyeri pada telinga o Gangguan pada mulut, tenggorokan, hidung atau saluran nafas bagian atas yang berisiko menimbulkan gangguan fungsi pendengaran - Kaji penggunaan obat yang dapat menimbulkan risiko gangguan pendengaran - Kaji riwayat operasi dan alergi
15
B. Pemeriksaan Fisik Telinga - Pemeriksaan Daun Telinga & bagian-bagiannya: Lakukan inspeksi pada setiap daun telinga (kanan dan kiri) dan bagian bagiannya, apakah terdapat deformitas, benjolan atau lesi kulit o Deformitas dapat ditemukan apabila terdapat trauma. Benjolan yang dijumpai pada saat inspeksi dapat berupa kelloid, kista, basal cell carcinoma, tophi. Lihat kesimetrisan kedua daun telinga Lihat apakah ada Battle’s Sign pada bagian belakang telinga o
Battle’s Sign merupakan suatu kondisi dimana terdapat echymosis pada tulang mastoid dan merupakan indikator adanya fraktur pada basis cranii.
Apabila terdapat nyeri pada telinga, adanya discharge atau proses inflamasi maka lakukan pemeriksaan dengan cara menggerakkan daun telinga secara lembut ke atas dan ke bawah (= tug test) serta berikan tekan lembut pada bagian belakang telinga dari atas ke bawah. o Saat dilakukan tug test akan dijumpai adanya rasa nyeri pada kondisi Acute Otitis Externa (inflamasi pada kanal auditorius) namun tidak pada kondisi Otitis Media. - Pemeriksaan Kanal Auditorius & Membran Tymphani: Lakukan pemeriksaan dengan menggunakan otoscope o Pada kondisi Acute Otitis Externa dapat dijumpai tanda inflamasi pada kanal auditorius berupa adanya pembengkakan, penyempitan, lembab dan tampak pucat atau bahkan kemerahan. Pada kondisi 16
Chronic Otitis Externa permukaan kulit pada kanal auditorius tampak menebal, merah dan terasa gatal. Periksa ada tidaknya serumen (catat warna dan konsistensinya), benda asing, discharge, kemerahan dan atau edema Inspeksi membran tymphani, perhatikan dan catat warna dan konturnya (ada tidaknya perforasi, sklerosis) o Warna normal pada mebran tymphani adalah merah muda keabuabuan. Pada Otitis Media Akut Purulenta dapat dijumpai warna merah membesar pada membran tymphani yang disertai adanya pengeluaran cairan. Pada kondisi sklerosis maka akan dijumpai area pada membran tymphani yang berwarna keputihan dengan batas yang tidak rata. Tes Pendengaran - Tes sederhana/klasik: tes arloji, tes berbisik, tes garpu tala Semi kuantitatif Berfungsi menentukan derajat ketulian secara kasar Pastikan melakukan pemeriksaan ini dalam kondisi ruangan yang betulbetul tenang, Pemeriksaan dilakukan dari jarak (1-2 feet = 30,5-61 cm = 0,3-0,6 m) Pada tes berbisik: o Lakukan pemeriksaan dari samping o Tutup telinga lain yang belum diperiksa dengan jari dan pastikan pasien tidak membaca gerakan bibir pemeriksa o Gunakan angka atau kata yang terdiri dari 2 suku kata yang beraksen sama: “tigalima”; “bola-bata”, dst o Minta pasien untuk mengulangi kata atau angka yang telah disebutkan o Penilaian (menurut Feldmann):
Normal: 6-8 m
Tuli ringan: 4 - <6m 17
Tuli sedang: 1 - <4 m
Tuli berat: 25 cm - <1 m
Tuli total: <25 cm
Tes garpu tala: o Semi kualitatif o Menggunakan garpu tala yg memiliki frekuensi 512 Hz o Jenis-jenisnya : tes Rinne, tes Weber, tes Schwabach Tes Rinne: membandingkan hantaran tulang (BC) dengan hantaran udara (AC) pada telinga yang diperiksa
Gambar 4 Tes Rinne (Schwatrz, n.d) - Hasil tes Rinne: o
Positif: bila masih terdengar
o
Negatif: bila tidak terdengar
- Interpretasi Hasil: o
Positif (AC = 2 kali lebih lama daripada): Normal
o
Positif (AC>BC): Tuli sensorineural
o
Negatif (AC
Tes Weber: membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan telinga kanan
18
Gambar 5 Tes Weber (Schwatrz, n.d) - Hasil tes Weber: o
Bila terdengar lebih keras ke salah satu telinga: lateralisasi ke telinga tersebut
o
Bila tdk dapat dibedakan ke arah mana yang lebih keras: tidak ada lateralisasi
- Interpretasi Hasil: o
Normal: tidak ada lateralisasi
o
Tuli konduktif: lateralisasi ke telinga yang sakit
o
Tuli sensorineural: lateralisasi ke telinga yang sehat
Tes Schwabach: membandingkan hantaran tulang telinga orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal - Hasil tes Schwabach dan interpretasinya: o
Sama: normal
o
Memanjang: Tuli konduktif
o
Memendek: Tuli sensorineural
- Pemeriksaan pendengaran subjektif: audiometri Tes pengukuran fungsi pendengaran secara kuantitatif dan kualitatif dengan melakukan penilaian pada: o berapa besar gangguan pendengaran (derajat gangguan dengar) dan lokalisasi gangguan dengar o menggunakan alat audiometer Hasil pemeriksaan dicatat dalam audiogram - Pemeriksaan pendengaran objektif: BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry) 19
Bersifat objektif dan non-invasif. Prinsip pemeriksaan BERA adalah menilai potensial listrik di otak setelah pemberian rangsang sensoris berupa bunyi. Pemeriksaan BERA dpt dilakukan pada: bayi, anak dengan gangguan sifat dan tingkah laku, retardasi mental, cacat ganda dan kesadaran menurun. Pada orang dewasa dapat digunakan untuk memeriksa orang yang berpurapura tuli atau ada kecurigaan tuli saraf retrocochlea.
2.2.3
Hidung
A. Pengkajian & Pemeriksaan Fisik Sistem Indera Penciuman Indra penciuman merupakan penentu dalam identifikasi aroma dan cita rasa makanan-minuman yang dihubungkan oleh saraf trigeminus sebagai pemantau zat kimia yang terhirup. Indra penciuman dianggap salah satu sistem kemosensorik karena sebagian besar zat kimia menghasilkan persepsi olfaktorius, trigeminus, dan pengecapan. Hal ini dikarenakan sensasi kualitatif penciuman ditangkap neuroepitelium olfaktorius sehingga menimbulkan sensibilitas somatic berupa rasa dingin, hangat, dan iritasi melalui serabut saraf aferen trigeminus, glosofaringeus, dan vagus dalam hidung, kavum oris, lidah, faring, dan laring. Adanya gangguan penciuman (osmia) dapat diakibatkan oleh proses patologis
sepanjang olfaktorius yang hampir serupa dengan gangguan
pendengaran berupa defek konduktif maupun defek sensorineural. Defek konduktif (transport) terjadi akibat adanya gangguan transisi stimulus bau menuju neuroepitel, sedangkan defek sensorineural cenderung melibatkan struktur saraf yang lebih sentral. Namun penyebab utama dari gangguan penciuman, yaitu penyakit rongga hidung maupun sinus, sebelum terjadi infeksi saluran nafas atas, dan trauma kepala (Kris, 2006). Gangguan penciuman (osmia) memiliki sifat total (seluruh bau), parsial (sejumlah bau), atau spesifik (satu atau sejumlah kecil bau). Jenis-jenis gangguan penciuman, yaitu: 1. Anosmia merupakan ketidak-mampuan mendeteksi bau 20
2. Hiposmia merupakan penurunan kemampuan mendeteksi bau 3. Disosmia merupakan distorsi identifikasi bau (tidak bisa membedakan bau) 4. Parosmia merupakan perubahan persepsi pembauan 5. Phantosmia merupakan persepsi bau tanpa adanya sumber bau 6. Agnosia merupakan ketidakmampuan menyebutkan maupun membedakan bau, meski pasien dapat mendeteksi bau. Etiologi dari gangguan penciuman adalah sebagai berikut. 1. Defek konduktif
Proses inflamasi
Proses inflamasi dapat menyebabkan gangguan pembauan akibat rintitis dan sinus kronik. Rintitis dan sinus kronik mengakibatkan inflamasi mukosa nasal sehingga terjadi abnormalitas sekresi mucus. Sekreai mucus yang berlebihan mengakibatkan silia olfaktorius tertutup mucus sehingga sensitivitas olfaktorius menurun/menghilang. 2. Massa/tumor Adanya massa pada rongga hidung mengakibatkan perubahan structural dalam kavum nasi berupa polip, neoplasma, maupun deviasi septum nasi sehingga dapat menghalangi aliran odoran (zat yang menimbulkan bau) ke epitel olfaktorius. 3. Abnormalitas developmental Amnormalitas developmental dapat berupa ensefalokel maupun kista dermoid yang mengakibatkan obstruksi pada roingga hidung sehingga menghalangi aliran odoran ke epitel olfaktori. 4. Defek sensorineural
Proses inflamasi
Proses inflamasi dapat diakibatkan infeksi virus yang merusak neuroepitel, sarkoidosis yang mempengaruhi struktur saraf, maupun sklerosis multiple. Inflamasi ini berakibat pada destruksi neuroepitelium olfaktorius yang dapat mengganggu transmisi sinyal (stimulus odoran) ke epitel olfaktorius. 5. Penyebab congenital
21
Congenital dapat menjadi faktor penentu gangguan penciuman. Hal ini dikarenakan kelainan yang bersifat congenital berakibat pada hilangnya struktur saraf. Misalnya, Kallman syndrome mengakibatkan anosmia akibat gagalnya ontogenesis struktur olfaktorius dan hipogonadisme hipogonadotropik. 6. Gangguan endokrin Gangguan
endokrin
seperti
diabetes
mellitus,
hipotiroidisme,
maupun
hipoadrenalisme dapat mempengaruhi fungsi pembauan berupa gangguan persepsi bau. 7. Trauma kepala Trauma kepala pada basis fossa kranii anterior atau lamina kribiformis maupun akibat proses pembedahan kepala atau saraf dapat menyebabkan regangan, kerusakan, maupun terputusnya fila olfaktori halus sehingga menyebabkan anosmia. 8. Toksisitas obat sistemik Obat-obatan yang dapat mengubah sensitivitas bau yaitu obat neurotoksik (etanol, amfetamin, kokain tropical, aminoglikosida, tetrasiklin, asap rokok). 9. Defisiensi gizi Defisiensi gizi berupa vitamin A, thiamin, maupun zink terbukti dapat mempengaruhi fungsi pembauan. 10. Penurunan jumlah serabut bulbus olfaktorius Penurunan serabut bulbus olfaktorius sebesar 1% per tahun akibat penurunan selsel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi kognitif di susunan saraf pusat. 11. Proses degenerative. Proses degenerative pada sistem saraf pusat berupa penyakit Parkinson, Alzheimer, dan proses penuaan normal dapat mengakibatkan hiposmia. Pada Alzheimer, hilangnya fungsi pembauan merupakan gejala pertama proses penyakitnya. Sedangkan proses penuaan, terjadi penurunan penciuman yang lebih pesat daripada pengecapan dan penurunan paling pesat terjadi pada usia 70an. Untuk
mengidentifikasi
adanya
gangguan
penciuman
diperlukan
pemeriksaan fisik untuk menentukan sensasi kualitatif dan ambang batas deteksi. 22
1. Pemeriksaan fisik untuk emenentukan sensasi kualitatif Pemeriksaan fisik untuk emenentukan sensasi kualitatif yang paling sederhana dapat menggunakan bahan-bahan odoran berbeda. Contohnya kopi, vanilla, selai kacang, jeruk, limun, coklat, dan lemon. Pasien diminta untuk mengidentifikasi bau dengan mata tertutup dan kemudian mencium aroma dari bahan-bahan odoran tersebut. Sedangkan saat ini terdapat beberapa metode yang tersedia untuk pemeriksaan penciuman, yaitu: a.
Tes odor stix
Uji ini menggunakan pena penghasil bau-bauan. Penba ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci dari hidung pasien untuk mengkaji persepsi bau pasien secara kasar. b.
Tes alkhohol 12 inci
Merupakan metode pemeriksaan persepsi bau secara kasar dengan menggunakan paket alkhohol isopropil yang dipegang pada jarak 12 inci. c.
Scratch and sniff card
Metode ini menggunakan kartu yang memiliki 3 bau untuk menguji penciuman secara kasar. d.
The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT)
Merupakan metode paling baik untuk menguji penciuman dan paling direkomendasikan. Uji ini menggunakan 40 item pilihan ganda berisi bau-bauan berbentuk kapsul mikro. Orang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya memiliki skor kisaran 1-7 dari skor maksimal 40. Untuk anosmia total, skor yang dihasilkan lebih tinggi karena terdapat adanya sejumlah bau-bauan yang bereaksi terhadap rangsangan terminal. e.
Pemeriksaan fisik untuk emenentukan ambang batas
23
Penentuan ambang deteksi bau menggunakan alkhohol feniletil yang ditetapkan dengan menggunakan rangsangan bertingkat. Masing-masing lubang hidung harus diuji sensitivitasnya melalui ambang deteksi untuk fenil-etil metil etil karbinol. 2.2.4
Lidah
A. Pengkajian & Pemeriksaan Fisik Sistem Indera Pengecapan Pada hakekatnya, lidah mempunyai hubungan erat dengan indera khusus pengecap. Zat yang memberikan impuls pengecap mencapai sel reseptor lewat pori pengecapan. Ada empat kelompok pengecap atau rasa yaitu manis, asin, asam, dan pahit. Gangguan indera pengecap biasanya disebabkan oleh keadaan yang mengganggu tastants atau zat yang memberikan impuls pengecap pada sel reseptor dalam taste bud (gangguan transportasi) yang menimbulkan cedera sel reseptor (gangguan sensorik) atau yang merusak serabut saraf aferen gustatorius serta lintasan saraf sentral gustatorius (gangguan neuron). Manifestasi klinis dari indera pengecap apabila dilihat dari sudut pandang psikofisis, gangguan pada indera pengecap dapat digolongkan menurut keluhan pasien atau menurut hasil pemeriksaan sensorik yang objektif missal sebagai berikut. 1. Ageusia total adalah ketidakmampuan untuk mengenali rasa manis, asin, pahit, dan asam. 2. Ageusia parsial adalah kemampuan mengenali sebagian rasa saja. 3. Ageusia spesifik adalah ketidakmampuan untuk mengenali kualitas rasa pada zat tertentu. 4. Hipogeusia total adalah penurunan sensitivitas terhadap semua zat pencetus rasa. 5. Hipogeusia parsial adalah penurunan sensitivitas terhadap sebagian pencetus rasa. 6. Disgeusia adalah kelainan yang menyebabkan persepsi yang salah ketika merasakan zat pencetus rasa.
24
Pasien dengan keluhan hilangnya rasa bisa dievaluasi secara psikofisis untuk fungsi gustatorik selain menilai fungsi olfaktorius. Langkah pertama melakukan tes rasa seluruh mulut untuk kualitas, intensitas, dan persepsi kenyamanan dengan sukrosa, asam sitrat, kafein, dan natrium klorida. Tes rasa listrik (elektrogustometri) digunakan secara klinis untuk mengidentifikasi defisit rasa pada kuadran spesifik dari lidah. Biopsi papilla foliate atau fungiformis untuk pemeriksaan histopatologik dari kuncup rasa masih eksperimental akan tetapi cukup menjanjikan mengetahui adanya gangguan rasa.
2.2.5
Kulit
A. Pengkajian & Pemeriksaan Fisik Sistem Indera Perabaan Pemeriksaan fisik indra perabaan didasarkan pada sensibilitas. Pemeriksaan fisik sensori indra perabaan (taktil) terbagi atas 2 jenis, yaitu basic sensory modalities dan testing higher integrative functions. Basic sensory modalities (pemeriksaan sensori primer) berupa uji sensasi nyeri dan sentuhan, uji sensasi suhu, uji sensasi taktil, uji propiosepsi (sensasi letak), uji sensasi getar (pallestesia), dan uji sensasi tekanan. Sedangkan testing higher integrative functions (uji fungsi integratif tertinggi) berupa stereognosis, diskriminasi 2 titik, persepsi figure kulit (grafitesia), ekstinksi, dan lokalisasi titik. Sensasi raba dihantarkan oleh traktus spinotalamikus ventralis. Sedangkan sensasi nyeri dan suhu dihantarkan oleh serabut saraf menuju ganglia radiks dorsalis dan kemudian serabut saraf akan menyilang garis tengah dan akan masuk menuju traktus spinotalamikus lateralis kontralateral yang akan berakhir di talamus sebelum dihantarkan ke korteks sensorik dan diinterpretasi. Adanya lesi pada traktus-traktus tersebutlah yang dapat menyebabkan gangguan sensorik tubuh. 1. Basic sensory modalities(pemeriksaan sensori primer) a.
Uji sensasi nyeri dan sentuhan
25
Uji sensasi nyeri dan sentuhan terbagi menjadi 2 macam, yaitu nyeri superficial (tajam-tumpul) dan nyeri tekan. 1)
Nyeri superficial Merupakan metode uji sensasi dengan menggunakan benda yang
memiliki 2 ujung, yaitu tajam dan tumpul. Benda tersebut dapat berupa peniti terbuka maupun jarum pada reflek hammer. Pasien dalam keadaan mata terpejam saat dilakukan uji ini dan dilakukan pengkajian respon melalui pertanyaan “apa yang anda rasakan?” dan membandingkan sensasi 2 stimulus yang diberikan. Apabila terjadi keraguan respon maupun kesulitandan ketidakmampuan dalam membedakan sensasi, maka hal ini mengindikasikan adanya deficit hemisensori berupa analgesia, hipalgesia, maupun hiperalgesia pada sensasi nyeri. Sedangkan gangguan pada sensasi sentuhan berupa anestesia dan hiperestesia. 2)
Nyeri tekan
Merupakan metode uji sensori dengan mengkaji nyeri melalui penekanan pada tendon dan titik saraf. Metode ini sering digunakan dalam uji sensori protopatik (nyeri superficial, suhu, dan raba) dan uji propioseptik (tekanan, getar, posisi, nyeri tekan). Misalnya, berdasarkan Abadie sign pada daerah dorsalis, tekanan ringan yang diberikan pada tendon Achilles normalnya adalah ‘hilang’. Dengan kata lain tidak dapat dirasakan sensasi nyeri bila diberikan tekanan ringan pada tendon Achilles. b.
Uji sensasi suhu Uji sensasi suhu pada dasarnya lebih direkomendasikan apabila pasien
terindikasi gangguan sensasi nyeri. Hal ini dikarenakan pathways dari indra nyeri dan suhu saling berbuhungan. Metode ini menggunakan gelas tabung yang berisi air panas dan dingin. Pasien diminta untuk membedakan sensasi suhu yang dirasakan tersebut. Apabila pasien tidak dapat membedakan sensasi,maka pasien dapat diindikasikan mengalami kehilangan “slove and stocking” (termasuk dalam gangguan neuropati perifer). 26
c.
Uji sensasi taktil
Uji sensasi taktil dilakukan dengan menggunakan sehelai dawai (senar) steril atau dapat juga dengan menggunakan bola kapas. Pasien yang dalam keadaan mata terpejam akan diminta menentukan area tubuh yang diberi rangsangan dengan memberikan hapusan bola kapas pada permukaan tubuh bagian proksimal dan distal. Perbandingan sensitivitas dari tubuh proksimal dan distal akan menjadi tolak ukur dalam menentukan adanya gangguan sensori. Indikasi dari gangguan sensori pada uji sensasi taktil ini berupa hyperestetis, anastetis, dan hipestetik. d.
Uji propiosepsi (sensasi letak)
Uji ini dilakukan dengan menggenggam sisi jari pada kedua tungkai yang disejajarkan dan menggerakkannya ke arah gerakan jari. Namun yang perlu diperhatikan adalah menghindari menggenggam ujung dan pangkal jari atau menyentuh jari yang berdekatan karena lokasi sensasinya mudah ditebak (memberikan isyarat sentuh). Pasien yang dalam keadaan mata terpejam diminta untuk menentukan lokasi jari yang digerakkan. Selain itu, uji ini juga dapat dilakukan dengan menguji posisi sensasi di sendi metakarpalia palangeal untuk telapak kaki besar. Orang muda normal memiliki derajat diskriminasi sebesar 1 sampai 2 derajat untuk gerakan sendi distal jari dan 3 sampai 5 derajat untuk kaki besar. e.
Uji sensasi vibrasi (pallestesia)
Uji sensasi vibrasi dilakukan menggunakan garpu tala frekuensi rendah (128 atau 256 Hertz) yang diletakkan pada bagian tulang yang menonjol pada tubuh pasien. Kemudian pasien diminta untuk merasakan sensasi yang ada dengan memberikan tanda bahwa ia dapat merasakan sensasi getaran. Apabila pasien masih tidak bisa merasakan sensasi getaran, maka perawat menaikkan frekuensi garputala sampai pasien dapat merasakan sensasi getaran tersebut. Pasien muda dapat merasakan getaran selama 15 detik di ibu jari kaki dan 25 deti di sendi distal jari. Sedangkan pasien usia 70 tahun-an merasakan sensasi getaran masing-masing selama 10 detik dan 15 detik. 27
f.
Uji sensasi tekanan
Uji sensasi tekanan menerapkan kemampuan pasien dalam membedakan tekanan dar sebuah objek pada ujung jari. Uji ini dilakukan dengan cara menekan aspek tulang sendi dan subkutan untuk mempersepsikan tekanan. Rekomendasi untuk uji tekanan ini diutamakan pada penderita diabetes dan dilakukan minimal sekali setahun.
2.
Testing higher integrative functions(uji fungsi integratif tertinggi) a.
Stereognosis
Stereognosis merupakan kemampuan untuk mengenali objek dengan perasaan. Uji ini merupakan identifikasi benda yang dikenal dan diletakkan di atas tangan pasien sehingga pasien dapat mengidentifikasi benda yang berada di tangannya. Adanya kesulitan identifikasi benda (gangguan stereognosis) mengindikasikan adanya lesi pada kolumna posterior atau korteks sensori. b.
Diskriminasi 2 titik
Diskriminasi 2 titik merupakan metode identifikasi sensasi 2 titk dari penekanan 2 titik pin yang berada pada permukaan kulit. Uji ini terus dilakukan berulang hingga pasien tidak dapat mengidentifikasi sensasi 2 titik yang terpisah. Lokasi yang sering digunakan untuk uji ini adalah ujung jari, lengan atas, paha, dan punggung. Adanya gangguan identifikasi 2 titik mengindikasikan adanya lesi pada kolumna posterior atau korteks sensori. c.
Identifikasi angka (grafitesia)
Grafitesia merupakan metode penggambaran angka di mana nantinya pasien diminta untuk mengidentifikasi angka yang tergambar pada telapak tangan. Metode grafitesia dapat menggunakan ujung tumpul pulpen sebagai media stimuli. Kesulitan pada identifikasi angka menunjukkan adanya glesi pada kolumna posterior atau korteks sensori. d.
Ekstinksi 28
Ekstinksi merupakan salah satu uji sensori yang menggunakan metode sentuhan pada kedua sisi tubuh. Uji ini dilakukan pada saat yang sama dan lokasi yang sama pada kedua sisi tubuh, misalnya lengan bawah pada kanan dan kiri lengan. Apabila pasien tidak bisa menggambarkan jumlah titik lokasi sentuhan (biasanya psien hanya merasakan satu sensasi), maka dapat dipastikan pasien teridentifikasi adanya lesi sensoris. e.
Lokalisasi titik
Lokalisasi titik merupakan metode didentifikasi letak lokasi sensasi stimulus. Metode ini dilakukan dengan cara memberikan sensasi sentuhan ringan pada permukaan kulit dan meminta pasien untuk menyebutkan atau menunjukkan letak sensasi yang dirasakan. Adanya penurunan sensasi sensori dibuktikan dengan adanya ketidak-akuratan identifikasi lokalisasi. Hal ini disebabkan adanya lesi pada korteks sensori sehingga terjadi penurunan maupun hilangnya sensasi sentuhan pada sisi tersebut.
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan
29
Sistem indera berperan penting dalam hantaran informasi ke sistem saraf pusat mengenai lingkungan sekitarnya. Pemeriksaan fisik pada sistem indera ini sangat kompleks karena harus melibatkan pemeriksaan pada kelima sistem indra tubuh yaitu penglihatan, pendengaran, pengecap, pembau, dan peraba. Gangguan pada sistem indera disebabkan oleh adanya lesi pada saraf yang mengatur sensori tubuh. Lesi-lesi tersebut dapat menghambat hantaran impuls saraf. Pemeriksaan fisik sensori dapat dilakukan pada berbagai usia dan dilakukan untuk dapat menentukan atau mengetahui apakan pasien tersebut mengalami gangguan pada saraf sensorinya.
3.2 Saran Perawat hendaknya dapat mempraktekkan dan menguasai teknik dalam pemeriksaan fisik sistem indera agar dapat menentukan tindakan asuhan keperawatan secara efektif.
DAFTAR PUSTAKA
http://kurniasariwika1.blogspot.co.id/2012/05/pengkajian-fisik-pada-sistem sensori.html (diakses tanggal 17 Maret 2016).
30
https://alvivo23.wordpress.com/2012/06/04/pemeriksaan-fisik-sistem-sensori/ (diakses tanggal 17 Maret 2016). fk.unand.ac.id/images/BLOK_3.6_update.pdf (diakses tanggal 17 Maret 2016). http://dokumen.tips/documents/pemeriksaan-fisik-sistem-indera.html (diakses tanggal 17 Maret 2016). http://ners.unair.ac.id/materikuliah/MP_PEMERIKSAAN%20FISIK %20TELINGA_NEW.pdf (diakses tanggal 17 Maret 2016). https://lyrawati.files.wordpress.com/2008/07/prinsip-dan-metode-pemeriksaanfisik-dasar.pdf (diakses tanggal 17 Maret 2016).
31