33
PENGEMBANGAN KETERAMPILAN SOSIAL
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Afeksi SD
dengan dosen pengampu Yulia Aryzia, Ph D.
Disusun oleh:
Miftahul Istirahah (14712251034)
Monika Handayani (14712251037)
PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN DASAR
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan anak usia sekolah dasar saat ini menjadi fokus penting bagi para pengamat di bidang pendidikan. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi pengembangan dan perwujudan diri individu dengan menyediakan lingkungan yang memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan potensi dan bakatnya secara optimal. Pada tahap perkembangan tertentu anak dituntut untuk mampu menguasai keterampilan sosial yang berguna untuk pengembangan dirinya. Manusia sebagai makhluk sosial dituntut untuk mampu menguasai keterampilan sosial dari tingkat perkembangan awal hingga dewasa. Pada saat ini, sistem pendidikan di Indonesia sedang digerakkan untuk mengembangkan keterampilan sosial pada siswa, sehingga penilaian yang dilakukan di sekolah tidak hanya menilai prestasi belajar yang merupakan kemampuan kognitif saja tapi juga pada afeksi dan psikomotornya. Pentingnya penguasaan dan pengembangan keterampilan sosial pada anak menjadi kunci penting keberhasilan anak tersebut di kehidupan yang akan datang.
Keterampilan sosial merupakan pra syarat untuk dapat berkembang secara efektif pada penyesuaiannya di lingkungan sosial. Dengan memiliki keterampilan sosial, anak akan mampu berinteraksi dengan baik dengan teman sebaya, keluarga dan lingkungan sosialnya. Keterampilan sosial juga berhubungan perkembangan kognitif anak, karena keluaran atau hasil dari kognitif anak kaitannya dengan keterampilan sosial akan terlihat dari perilaku yang dilakukan anak di lingkungan sosial. Pada makalah ini akan disajikan pembahasan tentang keterampilan sosial yang sangat bermanfaat bagi para praktisi pendidikan. Pembahasan tentang keterampilan sosial sendiri meliputi beberapa faktor, kriteria dalam pemilihan keterampilan sosial dan pembelajaran atau hasil keluaran dari keterampilan sosial yang dapat diamati.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini meliputi sebagai berikut.
Apa definisi dari keterampilan sosial?
Apa saja faktor dalam pemilihan keterampilan sosial?
Bagaimana inventori keterampilan sosial pada siswa?
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan diatas maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
Untuk mengetahui definisi keterampilan sosial
Untuk mengetahui faktor dalam pemilihan keterampilan sosial
Untuk mengetahui inventori keterampilan sosial pada siswa
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial adalah istilah dari para ahli psikologi yang merujuk pada penguasaan keterampilan berperilaku tertentu pada anak sesuai tingkat perkembangannya. Keterampilan sosial berasal dari kata terampil dan sosial. Kata keterampilan berasal dari 'terampil' digunakan di sini karena di dalamnya terkandung suatu proses belajar, dari tidak terampil menjadi terampil. Kata sosial digunakan karena pelatihan ini bertujuan untuk mengajarkan satu kemampuan berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian pelatihan ketrampilan sosial maksudnya adalah pelatihan yang bertujuan untuk mengajarkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain kepada individu-individu yang tidak trampil menjadi trampil berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, baik dalam hubungan formal maupun informal.
Sejumlah penelitian telah ditawarkan untuk memberikan definisi secara umum tentang keterampilan sosial. Seperti yang dikemukakan oleh Libert dan Lewinsohn pada tahun 1977 yang menjelaskan keterampilan sosial sebagai kemampuan kompleks baik yang digunakan untuk menghasilkan dan memperkuat perilaku positif atau untuk mengeluarkan dan mematikan perilaku negatif dengan hukuman. Definisi lainnya dikemukakan oleh Combs dan Slaby (1977) yang menjelaskan jika keterampilan sosial adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan sesama dalam konteks sosial dalam suatu cara tertentu yang saling menguntungkan satu sama lain. Hersen dan Bellack (1977) menambahkan jika keterampilan sosial adalah keefektifan perilaku dalam interaksi sosial yang bergantung pada konteks dan parameter situasi. Keterampilan perilaku adalah kemampuan individu untuk mempresepsikan secara sadar pada serangkaian kondisi perilaku tertentu yang akan berdampak positif.
Trower (1977) membagi keterampilan sosial ke dalam perilaku dan dimensi kognitif (komponen keterampilan dan keterampilan proses). Komponen keterampilan adalah elemen tunggal, yang dapat terlihat seperti anggukan atau urutan perilaku yang digunakan dalam interaksi sosial seperti salam pembuka atau salam perpisahan. Sementara untuk proses sosial dapat diartikan dengan kemampuan individu untuk menggenerasikan keterampilan perilakunya menurut peraturan dan tujuan dalam memonitor feedback sosial. Eisler dan Frederiksen (1980) juga menjelaskan jika keterampilan sosial mempunyai aspek yang dapat diamati dan unsur kognitif yang tidak dapat diamati. Unsur kognitif tersebut seperti dugaan, pemikiran dan keputusan tentang apa yang seharusnya dikatakan atau dilakukan selama atau setelah proses interaksi berlangsung. Kemampuan lainnya seperti mempresepsikan secara akurat tentang harapan, niat atau wawasan orang lain dimana respon atau tanggapan tersebut yang akan paling mungkin untuk mempengaruhi pendapat dari temannya.
Morgan (1980) menunjukkan bahwa keterampilan sosial tidak hanya melakukan sesuatu seperti kemampuan untuk memulai dan mempertahankan interaksi positif dengan orang lain, tetapi juga mampu mencapai kemampuan tertentu dari hasil interaksinya dengan orang lain. Tingkatan frekuensi interaksi dapat dijadikan pedoman untuk menilai seberapa baik seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Gresham dan Elliot (1984) memberikan definisi yang lebih valid tentang keterampilan sosial, sebagai berikut:
Keterampilan sosial adalah perilaku yang mampu memprediksi hasil keluaran sosial yang penting dalam situasi tertentu seperti (a) penerimaan teman sebaya atau popularitas, (b) penilaian perilaku penting lainnya, atau (c) perilaku sosial lainnya yang dikenal untuk mengkolerasikan secara konsisten dengan penerimaan teman sebaya atau penilaian perilaku penting lainnya.
Diskusi keterampilan sosial dari beberapa pendapat ahli tersebut sebagian besar berfokus pada perilaku sosial yang melibatkan interaksi antara anak dan kelompoknya atau orang dewasa dimana tujuan utamanya adalah pencapaian tujuan hubungan timbal balik antara anak dan orang dewasa secara positif. Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial adalah kemampuan kompleks (meliputi berinteraksi, mempertahankan, atau menghilangkan perilaku sosial) yang memiliki dimensi kognitif dengan hasil keluaran sosial yang penting dalam situasi tertentu. Keterampilan sosial juga sebuah alat yang terdiri dari kemampuan berinteraksi, berkomunikasi secara efektif baik secara verbal maupun nonverbal, kemampuan untuk dapat menunjukkan perilaku yang baik, serta kemampuan menjalin hubungan baik dengan orang lain digunakan seseorang untuk dapat berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh sosial.
Perbedaan keterampilan sosial dan kompetensi sosial
Keterampilan sosial seringkali dianggap sama dan digunakan secara bergantian dengan kompetensi sosial, namun sebenarnya keterampilan sosial memiliki perbedaan yang signifikan dengan kompetensi sosial. Hops (1983) membuat perbedaan antara dua konsep ini supaya menjadi jelas, yaitu
Kompetensi adalah sebuah istilah kata untuk mereflesikan penilaian sosial tentang kualitas umum dari penilaian seorang individu pada situasi tertentu. Konsep keterampilan sosial dari perspektif perilaku didasarkan pada asumsi bahwa identifikasi perilaku dilandasi dari kompetensi perilaku sosial.
Dari pendapat perbedaan konsep antara kompetensi dan keterampilan sosial terletak pada penilaian dan identifiakasi perilakunya. Cavell (1990) menawarkan sebuah model yang menggambarkan kompetensi sosial sebagai suatu konstruk multi level yang terdiri dari penyesuaian sosial, kinerja sosial, dan keterampilan sosial. Keterampilan dan kinerja sosial dari dalam diri anak sendiri diperlukan tapi juga harus dilihat dari kaitannya dengan penyesuaian diri anak tersebut. Hal itu menjadi tujuan-tujuan pencapaian yang penting dalam proses perkembangan.
Schloss, Schlos, Wood, and Kiehl (1986) memberikan batasan dari definisi secara umum bahwa keterampilan sosial beragam jenisnya menurut kronologis usia dan perkembangan tingkatannya, dan beberapa macam definisi yang berorientasi pada hasil yang luas termasuk respon maladaptif atau antisosial serta perilaku yang diinginkan. Keterampilan sosial bisa didefinisikan sebagai perilaku spesifik yang dapat dijelaskan dalam cara yang memungkinkan observasi yang handal dan memperhatikan umur subjek dalam konteks sosial spesifik untuk menjadi bahan pertimbangan.
Dari beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara keterampilan sosial dan kompetensi sosial diantaranya terletak pada.
Penilaian dan identifikasi perilaku
Kompetensi sosial lebih menekankan pada penilaian perilaku anak pada level perkembangan tertentu sehingga anak harus mampu mencapai kompetensi sosial pada level perkembangannya. Sementara untuk keterampilan sosial lebih menekankan pada identifikasi perilaku anak yang menyesuaikan pada tahap perkembangannya. Misalnya pada tahap perkembangan ke berapa anak sudah mampu melakukan perilaku tertentu
Konstruk multi level dan perilaku yang spesifik
Kompetensi sosial merupakan konstruk multi level yang terdiri dari penyesuaian sosial, kinerja sosial, dan keterampilan sosial jadi keterampilan sosial berada dalam kompetensi sosial. Sementara keterampilan sosial adalah ciri-ciri perilaku tertentu yang dapat dijelaskan dengan mengamati anak menurut kronologis usia dan perkembangan tingkatannya.
Faktor dalam Pemilihan Keterampilan Sosial
Dalam menentukan keterampilan sosial apa yang harus diajarkan pada anak, sangat mungkin untuk menerapkan sekumpulan norma-norma umum yang telah ditetapkan oleh berbagai ahli seperti kompetensi perilaku apa yang diperlukan sebagai seorang anak dalam budaya kita, dan kriteria khusus yang dibutuhkan oleh seorang anak dianggap telah berkompeten. Variabel-variabel yang terlibat dalam pemilihan sasaran perilaku yaitu
Karakteristik individu peserta didik meliputi kurang keterampilan (skill deficit), jenis kelamin, umur dan tingkat perkembangan siswa.
Faktor sosial meliputi sosial dan budaya lingkungan dimana keterampilan digunakan, validitas sosial- keabsahan, pandangan peserta didik, dari kelompoknya, orang dewasa yang berperan, dalam keterampilan yang diajarkan, tujuan dan hasil yang diinginkan dari petunjuk dan perilaku penting yang diajarkan untuk memperoleh hasil yang diinginkan.
Berikut ini penjelasan dari variabel-variabel yang menjadi pemilihan sasaran perilaku keterampilan sosial.
Karakteristik Peserta Didik
Peserta didik memiliki kedudukan sebagai seorang individu yang memiliki karakteristik yang membedakannya dengan individu lainnya. Ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik seorang individu ini dapat berupa karakteristik bawaan dari bayi dan dapat pula karakteristik dari hasil yang diperolehnya dilingkungan. Pembicaraan mengenai karakteristik individu peserta didik tiga hal yang perlu diperhatikan menurut Desmita (2012: 57), yaitu:
Karakteristik yang berkenaan dengan kemampuan awal atau prerequisite skill, seperti kemampuan intelektual, kemampuan berpikir, dan hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikomotor
Karakteristik yang berhubungan dengan latar belakang dan status sosio-kultural
Karakteristik yang berkenaan dengan perbedaan-perbedaan kepribadian seperti sikap, perasaan, minat dan lain-lain.
Karakteristik peserta didik perlu diketahui untuk mendukung penyesuaian diri peserta didik dengan lingkungannya dalam rangka menunjang keterampilan sosial. Menurut Baum (Desmita, 2012: 193) tingkah laku penyesuaian diri diawali dengan stress, yaitu suatu keadaan dimana lingkungan mengancam atau membahayakan keberadaan atau kesejahteraan atau kenyamanan diri seseorang. Ada banyak petunjuk keterampilan sosial dalam pendidikan dan pengaturan klinis yang dimulai sebagai sarana remediating masalah dalam penyesuaian diri sosial. Sebuah kasus nantinya akan dibuat untuk mengajarkan bagaimana mengatasi keterampilan interpersonal untuk semua anak sebagai sarana untuk mencegah masalah dalam penyesuaian diri (Durlack, 1985; Ellias & Branden-Muller, & Sayette, 1991; Kendall, Lerner, & Craighead, 1984). Terlepas dari petunjuk keterampilan sosial dilakukan sebagai pencegahan primer, atau pencegahan sekunder yang digunakan untuk membantu anak mengatasi permasalahan yang ada. Tugas pertama para praktisi adalah menilai karakteristik peserta didik dan lingkungan mereka guna menyesuaikan intruksi dengan kebutuhannya. Karakteristik peserta didik ini meliputi tahap perkembangan siswa, gender, dan defisit perilaku dan kognitif.
Tahap perkembangan
Tahap perkembangan adalah seperangkat karakteristik peserta didik yang digunakan untuk mengidentifikasi keterampilan sosial yang akan diajarkan. Dua teori perkembangan menekankan pada kontribusi faktor psikologis terhadap sosialisasi seperti teori Erikson (1963) dan Freud (1961). Kedua model ini menyajikan sistem perkembangan sosialisasi yang sama dari bayi hingga dewasa, dengan serangkaian tahap yang harus dikuasai pada setiap tahap perkembangan, terutama melalui pengembangan hasil interaksi dari perilaku sosial dengan sosok yang signifikan dalam lingkungannya. Dalam kedua teori tersebut, sosialisasi awal berpusat di sekitar ibu atau pengasuh utama (keluarga) kemudian meluas secara bertahap dengan orang lain yang berada di rumah atau di lingkungan sekitarnya. Seperti yang dikutip dari Rita (2008: 23) yang menyatakan peran pengasuhan dan lingkungan menjadi hal yang sangat penting dalam menentukan perkembangan psikososial individu. Peranan ini dimulai dari aturan atau budaya masyarakat sampai pola asuh orang tua. Perilaku sosial seperti kemampuan anak untuk mengambil, memberi, dan mendapat kepedulian orang lain terhadap kebutuhannya, telah diajarkan oleh orang tua dan pengasuhnya melalui respon mereka dan contoh dari tanggapan yang mereka berikan.
Respon sosial perkembangan anak dipelajari lebih awal sehingga menjadi mudah diekspresikan dan dimodifikasi melalui interaksi dengan saudara, teman sebaya dan orang dewasa lainnya. Pengalaman-pengalaman bersosialisasi ini membantu anak dalam mengembangkan identitas personal dan penguasaan perasaannya terhadap lingkungan dengan perasaan yang dihasilkan dari self-esteem-nya sehingga pada ada akhirnya anak mampu menjadi mandiri.
Perkembangan teori moral Piaget dan Kohlberg juga relevan dengan keterampilan sosial. Piaget menspesifikasikan tahap perkembangan motorik pertama terutama pada permainan motorik dan sikap individualistiknya, diikuti dengan tahap perkembangan egosentrisnya (sekitar usia 2-5 tahun) dimana anak menerapkan peraturan untuk setiap aktivitas hariannya berdasarkan kontrol eksternal dari orang dewasa atau anak yang usianya lebih tua darinya. Tahap berikutnya, anak akan mulai bekerja sama dengan anak lainnya dimana anak mulai menetapkan peraturan sesuai dengan keadaan sosial tertentu, dengan memperhatikan kepentingan orang lain. Tahap terakhir, pada usia sekitar 11-12 tahun, meliputi tahap pengenalan terhadap prinsip moral, pentingnya menyadari hak-hak orang lain, pentingnya peraturan fungsional dalam tatanan sosial sebagai mekanisme untuk melindungi hak-hak individu. Piaget mempertimbangkan unsur-unsur yang ada dalam setiap tahap perkembangan, perbedaannya hanya pada pola perilaku tertentu yang ditemukan dalam masing-masing tahap perkembangan.
Kohlberg (1969) berpendapat dari 6 tahap teori perkembangan yang ditunjukkan, moralitas berkembang pada awal tahap pertimbangan egoistik (tahap 1 dan 2), minat dalam menjaga ketertiban/perintah dan stabilitas (tahap 3 dan 4), pada level tertinggi individu (tahap 5-6) yakni mampu berpegang pada prinsip batin, yaitu individu tersebut mampu menentukan perilakunya sesuai dengan keyakinan dan hati nuraninya bukan sekadar oleh ketetapan aturan atau hukum. Dengan model Kohlberg, anak-anak nakal berada di tingkat egoistik rendah, dimana penekanannya berada pada keuntungan pribadi dan penghindaran hukuman. Berdasarkan hal itu kerangka kerja untuk penggunaan model pembelajaran langsung secara bertahap melalui tahap perkembangan sangat direkomendasikan untuk meningkatkan perilaku sosial.
Implikasi dari penerimaan susunan tahap perkembangan dari Piaget dan Kohlberg, yaitu pada pemilihan keterampilan sosial, contohnya seperti perilaku berbagi dan bermain secara kooperatif akan lebih mudah diajarkan setelah anak berusia dua tahun dan juga penerimaan otoritas kemampuan diri dalam memahami konsekuensi serta mengikuti petunjuk dapat diajarkan lebih awal sebelum tahap perilaku yang melibatkan pengambilan keputusan secara mandiri. Selain itu, implikasi dari tahap perkembangan tersebut pada keterampilan sosial yang melibatkan pemahaman pendapat/pandangan orang lain paling mudah diajarkan pada tahap selanjutnya, dan pemahaman prinsip berdasarkan prinsip batin paling baik dibangun setelah anak telah mampu menerima pentingnya perintah dan regulasi.
Ada kecenderungan peningkatan terhadap keterampilan sosial dan kompetensi sosial dalam konteks perkembangan. Waters dan Sroufe (1983) menganggap kompetensi sosial sebagai sebuah "konstruksi perkembangan", bahwa tidak hanya pada kondisi keterampilan khusus dan usia namun kompetensi tertentu dalam satu periode perkembangan…. Yang seharusnya berdampak pada perkembangan selanjutnya. " (p.80). Eisenberg and Harris (1984) menyatakan bahwa diantara kemampuan penting untuk kompetensi sosial seorang anak berubah seiring bertambahnya usia seperti kemampuan anak untuk mempresepsikan perasaan orang lain, konseptualisasi persahabatan, kemampuan problem solving dan keterampilan berkomunikasi.
Pemikiran perkembangan memiliki relevansi tidak hanya pada pemilihan keterampilan sosial, tetapi juga untuk pendekatan dalam pengajaran yang akan digunakan. Langkah awal yang dilakukan adalah merancang petunjuk keterampilan sosial yang akan diterapkan pada anak, dengan melihat kesesuaian anak dengan usia perkembangannya dan mengidentifikasi perkembangan yang diinginkan serta kinerja yang diperlukan. Untuk merespon pelatihan keterampilan sosial, pertama kali anak mungkin perlu belajar untuk memperhatikan dan mengidentifikasi stimulus yang relevan. Setiap rangkaian keterampilan sosial memiliki pra syarat, Brooks-Gunn and Luciano (1985) memberikan contoh bahwa sampai anak memperoleh konsep diri, maka hubungan timbal balik tidak mungkin terjadi contohnya perilaku emosi sosial yang kompleks seperti empati yang mengharuskan anak terlebih dahulu memilki konsep diri dan mampu mengambil peran lain atau terpengaruh jika orang lain seperti saya. Penggunaan bahasa dibutuhkan dalam keterampilan sosial sehingga akan lebih mudah diajarkan pada anak-anak yang lebih tua yang lebih sering meggunakan penjelasan verbal dalam interaksi sosial dibandingkan dengan anak-anak usia muda (Selman, Schorin, Stone, & Phelps, 1983)
Dalam tahap perkembangan, ada usia yang patut mendapat perhatian. Pelatih keterampilan sosial perlu menyadari perbedaan secara kualitatif antara norma perilaku anak dan dewasa. Weist dan Ollendick (1991) memberikan contoh seperti perbedaan dengan analisis detail dari perilaku asertif yang ditunjukkan oleh anak laki-laki telah diidentifikasi sebagai tanda perkembangan interpersonal yang sukses. Mereka menemukan bahwa secara tradisional kedewasaan perilaku pada umumnya dikaitkan dengan sikap asertif seorang anak (contohnya kontak mata, kemampuan untuk memuji, lamanya berbicara, dan penolakan terhadap permintaan yang tidak mungkin) meskipun hal tersebut tidak dijadikan patokan secara signifikan terhadap perilaku asertif pada usia muda. Senyuman dan pembicaraan yang hidup juga dapat menjadi perilaku yang signifikan untuk diidentifikasi melalui orientasi gerak tubuh, kesalahan yang lebih rendah dalam berbicara, tingkat kemampuan yang lebih tinggi untuk menerima akibat dari suatu kondisi dalam konteks perilaku yang sesuai.
Gender
Selain usia dan perbedaan tingkat perkembangan, ada perbedaan gender yang jelas membedakan bagaimana anak-anak menangani hubungan interpersonal. Istilah jenis kelamin dan gender sering dipertukarkan dan dianggap sama padahal terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara jenis kelamin dan gender. Sugihartono (2007: 35) menjelaskan perbedaan antara jenis kelamin dan gender, yaitu jenis kelamin menunjuk pada perbedaan biologis dari laki-laki dan perempuan sementara gender merupakan aspek psikososial dari laki-laki dan perempuan yang dibangun secara sosial budaya. Perbedaan gender ini, termasuk dalam hal peran, tingkah laku, kecenderungan, sifat, dan atribut lain yang menjelaskan arti menjadi seorang laki-laki atau perempuan dalam kebudayaan yang ada.
Temuan yang diperoleh oleh Shung dan Asher (1992) yang menemukan bahwa pada kelas empat, lima dan enam, anak laki-laki cenderung lebih banyak bermusuhan dan menggunakan strategi pemaksaan dalam situasi konflik, sementara anak perempuan menggunakan strategi prososial dan pasif dalam keadaan yang sama. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh Miller, Danaher, dan Forbes (1986) dengan anak berusia lima dan tujuh tahun dan juga penelitian oleh Fabes dan Eisenberg (1992) yang menemukan bahwa anak laki-laki usia pra sekolah akan mengekspresikan kemarahannya secara langsung atau inflamasi, sedangkan anak perempuan cenderung menggunakan cara yang akan mengurangi atau menyelesaikan konflik. Penemuan ini, tentu saja mengarahkan pada pemberian instruksi khususnya pada anak laki-laki sebagai alternatif lain untuk mengurangi kekerasan pada situasi konflik. Sementara dalam tingkat perbedaan kemampuan perkembangan secara spesifik dapat dilihat dari kecenderungan perempuan yang lebih baik dalam kemampuan verbal (tapi bukan analogi), perhitungan matematika, serta tugas-tugas yang memerlukan koordinasi motorik halus dan persepsi sedangkan laki-laki cenderung lebih baik dalam kemampuan keruangan dan matematika abstrak dan penalaran sains (Halpern dalam Papalia Ods, 2013: 387)
Penemuan lain dari Crombie (1980) menunjukkan bahwa ada perbedaan ukuran atau jumlah kelompok pada anak perempuan dan anak laki-laki pada tahap pra sekolah dan masa pertengahan, anak perempuan cenderung memilih kelompok-kelompok kecil dengan persahabatan yang eksklusif. Sementara untuk anak laki-laki penguasaan keterampilan mungkin lebih penting sebagai kategori untuk masuk ke dalam kelompok. Seperti halnya ketika anak laki-laki lebih sering bermain dalam tim keolahragaan dengan kompetisi langsung yang lebih kompetitif daripada yang cenderung dilakukan oleh anak perempuan. Implikasi tertentu adalah kebutuhan tentang "pembelajaran untuk menangani perilaku dominan"….yang mampu membedakan antara perilaku agresif seperti perkelahian karena cemoohan dengan perilaku agresif dalam permainan kompetitif. Selain itu, belajar mengontrol diri dan depersonalizing terhadap celaan (p.119). Pada anak laki-laki pengaruh teman sebaya lebih penting daripada pengaruh orang lain disekitarnya, sedangkan pada anak perempuan cenderung lebih penurut karena orientasinya lebih menjadi dewasa dan guru di sekolah. Crombie menyatakan bahwa keterampilan sosial adalah komponen yang lebih penting dari peran gender feminim secara tradisional karena wanita cenderung menempatkan lebih menekankan pada hubungan interpersonal. Meskipun perbedaan gender telah dijelaskan secara nyata, namun mungkin tidak bisa diterima secara luas sebagai sesuatu yang sah.
Perbedaan gender dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti norma-norma budaya dan tingkat sosial ekonomi, serta perubahan yang terus berkembang antara peran laki-laki dan perempuan. Selain itu pengaruh dari keluarga, teman sebaya dan budaya yang mendorong penipean gender seorang anak berdasarkan sosialisasinya sehingga para praktisi perlu menghindari generalisasi yang berlebihan dalam membuat keputusan tentang pemilihan keterampilan sosial berdasarkan pertimbangan gender.
Defisit perilaku dan kognitif
Ketika program keterampilan sosial dilakukan karena masalah yang terjadi dalam hubungan sosial, aspek penting dari pemilihan sasaran perilaku adalah mengidentifikasi defisit perilaku tertentu yang akan direhabilitasi (Maag, 1989). Weist et al (1991) juga berpendapat perlunya mengidentifikasi pemilihan sasaran perilaku deficit untuk melakukan terapi pada anak. Mereka menyarankan untuk menilai perilaku defisit tersebut, seperti apakah perilaku defisit terjadi dalam keterampilan kognitif anak yang melibatkan ketidakmampuan anak untuk melakukan perilaku yang diinginkan atau hasil dari suatu keadaan emosi seperti kecemasan yang akan mengganggu kinerja anak. Banyak literatur yang menjelaskan defisit keterampilan sosial pada anak dengan berbagai macam disabilitas. Rubin dan Krasnor (1986) menguji problem solving pada perilaku sosial anak menurut status sosial pada teman sebaya dan menemukan perbedaan sosial yang jelas antara anak-anak yang menarik diri secara sosial atau terisolasi dari lingkungan sosial dan anak-anak yang ditolak dalam lingkungan sosial karena kemampuan mereka dalam memecahkan masalah dalam lingkungan sosial. Anak-anak yang ditolak secara sosial cenderung berperilaku lebih agresif, impulsif, dan kurang fleksibel. anak-anak yang menarik diri secara secara sosial atau terisolasi dari lingkungan sosial tidak menunjukkan defisit dalam sosial kognitifnya, tapi lebih kepada kurang percaya diri dalam lingkungan sosial dan mempunyai kemampuan cenderung lebih asertif (tegas). Pelatihan masalah sosial disarankan dilakukan untuk anak yang ditolak dari lingkungan sosial dan pengalaman dengan teman sebaya untuk meningkatkan kepercayaan diri untuk anak yang terisolasi. Akhtar dan Bradley (1991) menemukan bahwa anak agresif cenderung kurang dalam penguasaan sejumlah kemampuan yang diperlukan dalam interaksi sosial yang positif. Diantara defisit ini salah satunya adalah ketidakmampuan untuk mengkodekan isyarat lingkungan yang relevan dan untuk menghasilkan solusi dan tindakan pada situasi yang bermasalah. Sebagai tambahan, anak agresif cenderung "menetapkan niat bermusuhan dengan pola sosial" dan mengikuti tujuan sosial yang tidak pantas. Dari permasalahan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendekatan perawatan (terapi) untuk anak-anak agresif harus menyertakan pelatihan pemrosesan informasi sebaik mungkin.
Kriteria Sosial dalam Pemilihan Keterampilan
Ada beberapa kriteria sosial dalam pemilihan keterampilan meliputi konteks budaya, hubungan teman sebaya, dan validitas sosial. Berikut ini penjelasannya.
Konteks Budaya
Sasaran pemilihan keterampilan sosial pada anak atau sekelompok anak tertentu, memiliki sejumlah kriteria sosial yang perlu dipertimbangkan disamping faktor-faktor yang diuraikan tersebut. Kriteria sosial yang perlu mendapat perhatian adalah tentang budaya Sebagai contoh sekarang ini anak diajarkan untuk bertindak asertif, selain itu anak juga diharapkan untuk mengetahui bagaimana merespon dalam hubungan interpersonal yang baik dengan orang dewasa atau dengan teman sebayanya. Perilaku sosial dalam konteks budaya menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan keterampilan sosial yang akan diajarkan. Seperti yang diungkapkan oleh Argyle (1986) bahwa
….keterampilan sosial secara optimal sangat bervariasi dengan latar belakang budaya. Sikap asertif mungkin bisa sukses diterapkan di Amerika, namun hal itu tidak berlaku di Jepang atau Indonesia. Keterampilan pengawasan demokratis persuasive juga tidak bekerja di India dan Jepang. Perbedaan yang sama ditemukan antara kelas sosial, kelompok etnik, dan kelompok umur didalam satu budaya tertentu, hal ini adalah masalah utama untuk para pelatih keterampilan sosial.
Ada beragam contoh lain akibat dari perbedaan budaya. Seperti yang telah dijelaskan pada teori psikososial Erikson jika budaya mempunyai pengaruh terhadap pola perilaku anak. Yang pertama walaupun tiap individu mampu melewati tahapan perkembangan sosial yang sama, namun setiap budaya mempunyai cara sendiri untuk menguatkan dan mengarahkan perilaku individu (Rita, 2008: 24) Sebagai contoh ada budaya tertentu menerapkan berdiri dalam perbedaan jarak tertentu antara satu orang yang berbeda budayanya dengan orang dari budaya lainnya, atau anak dalam beberapa keluarga atau sub kultur diajarkan untuk memukul punggung daripada terlibat dalam tindakan agresif. Yang kedua, budaya dapat berubah seiring dengan waktu, adanya kemajuan teknologi, pendidikan, urbanisasi, dan perkembangan lain yang membuat budaya harus berubah dan beradaptasi sesuai dengan lingkungan masyarakat dan kebutuhannya (Rita, 2008:24). Contohnya dahulu anak dalam beberapa kelompok budaya diajarkan untuk tidak melihat secara langsung kepada orang yang lebih tua atau disegani namun saat ini jika seorang anak berbicara tanpa melihat lawan bicaranya anak tersebut cenderung dikatakan pemalu atau bahkan tidak sopan. Perbedaan dari sub kultur budaya tersebutlah yang dapat dijadikan beberapa alternatif untuk mengatasi tindakan agresif.
Situasi Khusus
Seiring dengan pertimbangan budaya, situasi khusus adalah sebuah konsep yang relevan dalam mengidentifikasi keterampilan untuk mengajar. Keterampilan sosial dipertimbangkan sesuai dengan suatu keadaan yang mungkin berbeda dengan yang lain. Kendall et all (1984) menjelaskan kompetensi anak sebagai salah satu keleluasan berperilaku, dan kemampuan untuk mengevaluasi konteks kebutuhan dan perubahan perilaku tertentu agar sesuai dengan kebutuhan lingkungan. Penyediaan kesadaran pada situasi yang berbeda membutuhkan perilaku yang berbeda pula hal itu mungkin menjadi pra syarat yang diperlukan untuk mengajarkan keterampilan tertentu. Achenbach, McClaskey, dan Feldman (1985) menganjurkan bahwa "anak dengan keterampilan sosial adalah yang paling cepat dalam merespon situasi atau tugas"(p.351) dan juga menyarankan penilaian seharusnya mengidentifikasi konteks sosial tertentu, tugas, atau situasi dimana masalah perilaku terjadi. Contohnya anak agresif cenderung tergantung pada respon maladaptif saat mereka diprovokasi oleh teman sebayanya (e.g. diejek, dipukul atau menghina) atau ketika mereka membutuhkan respon harapan sosial dari guru.
Hubungan Teman Sebaya
Hubungan dengan teman sebaya adalah salah satu unsur yang paling penting dalam kehidupan seorang anak dan berkontribusi dalam berbagai cara bagi pembelajaran sosial anak. Seperti yang dijelaskan oleh Peterson (2014: 254) dalam kelompok teman sebaya, anak-anak yang berusia relatif sama dengan tidak adanya ikatan kekerabatan terhadap mereka akan membuat anak menentukan sendiri keinginan, ketidak sejutuan dan ketidaksukaannya pada persetujuan sosial. Selain itu, penolakan teman sebaya pada masa kanak-kanak telah terbukti secara jelas menjadi faktor dalam masalah penyesuaian diri anak dikemudian hari seperti putus sekolah, kriminalitas, dan psikopatologi (Parker & Asher, 1987). Dalam ulasan sebelumnya oleh Hartup (1970) mengidentifikasi hubungan antara penerimaan teman sebaya. Hal ini meliputi seperti keramahan, kemampuan bersosialisasi, outgoingness, seringnya berbagi, partisipasi sosial, kebaikan, suka menolong, dan menjadi teman yang baik atau bersemangat dalam kelompok." Dygdon, Conger, Conger, Wallanda, dan Keane (1980) menemukan bahwa karakteristik yang disukai anak dijabarkan dengan menggunakan perhitungan sosio metrik, yang mengukur partisipasi anak dalam kegiatan bermain dan altruism (sikap mementingkan orang lain), daya anak menghibur, kosa kata, kuantitas bicara, kecakapan motorik dan efisiensi akademik.
Strain, et al (1984) menunjukkan pentingnya hubungan teman sebaya terhadap sasaran pemilihan perilaku untuk anak seharusnya melibatkan orang-orang yang dekat dengannya saat berhubungan dengan teman sebaya di luar lingkungan instruksional dan menghasilkan hasil yang positif. Beberapa perilaku yang disarankan seperti inisiasi sosial, imitasi, berbagi, dan kasih sayang. Kohler dan Fowler (1985) menunjukkan bahwa perilaku sosial seperti mengajak berbagi, mempunyai fungsi penguatan alami dan dapat mengakibatkan serangkaian pertukaran yang positif. Selain itu, ketika anak membentuk dan mempertahankan persahabatannya dengan teman sebaya, anak secara tidak langsung diharuskan untuk menampilkan setidaknya dasar tingkat pemahaman dan keterampilan sosial yang cukup dalam menyelesaikan konflik dan mempertahankan interaksi yang menyenangkan untuk membuat (Peterson, 2014: 256)
Pentingnya perilaku bermain anak yang berulangkali muncul digunakan untuk membedakan kompetensi anak dari yang berkompeten dan tidak berkompeten. Hal tersebut diidentifikasi sebagai pra syarat kunci keterampilan pada anak untuk melakukan interaksi lebih lanjut. Dodge, Schlundt, Schocken, dan Delugach (1983) menyajikan suatu model kompetensi sosial pada kelompok teman sebaya yang melibatkan serangkaian taktik untuk dapat masuk ke dalam keterampilan tersebut. Keberhasilan taktik ini seperti menghindari kegiatan yang dapat mengganggu kegiatan untuk memasuki kelompok dengan memperhatikan dan memungkinkan anak untuk mampu terintegrasi ke dalam kegiatan kelompok. Keberhasilan taktik tertentu meliputi menunggu dan mengamati kelompok teman sebaya, bergerak semakin dekat, meniru aktivitas dalam kelompok sebaya, diikuti dengan membuat pernyataan tentang kelompok teman sebaya. (See Putallaz dan Wasseman, 1990, untuk review penelitian tentang kemampuan awal anak-anak).
Ada data yang menunjukkan bahwa anak-anak dianggap berkompeten secara sosial, memiliki strategi untuk dapat menangani rasa marah dengan cara menghindari bersikap agresif (Fabes & Eisenberg, 1992). Pada masa pra sekolah terdapat dua tipe agresif yang dilakukan anak, yaitu agresif instrumental dan agresif berseteru (Berk, 2008:387). Yang paling umum adalah agresif instrumental (instrumental aggression) dimana anak menginginkan sebuah objek, privilege, atau ruang untuk mendapatkannya, seperti mendorong, meneriaki, bahkan menyerang orang lain yang menghalanginya. Sementara untuk agresif berseteru (hostile aggression) dimaksudkan melukai orang lain, tipe agresif ini meliputi agresif secara fisik, agresif secara verbal, dan agresif hubungan. Brochin dan Wasik (1992) juga menemukan bahwa tanggapan terhadap masalah dalam manajemen konflik secara signifikan dibedakan pada usia kanak-kanak yang popular dan tidak popular. Dalam penelitiannya terhadap anak pada usia pra sekolah, dengan kategori perilaku penyebab tindakan agresif Fabes dan Eisenberg mendeskripsikannya sebagai berikut.
Penyebab fisik-kemarahan yang dilampiaskan secara fisik pada anak (contoh memukul, menendang, mendorong, dll);
Verbal-kemarahan yang berimbas dengan mengatakan hal yang tidak pantas kepada anak lain (seperti mengejek, memanggil sebutan nama lain, dll),
penolakan-kemarahan yang diprovokasi karena dihiraukan atau tidak diikut sertakan untuk bermain dengan yang lain;
material-kemarahan yang terjadi karena seseorang merusak atau menghancurkan properti atau kepemilikan dan ruang gerak anak lain;
kepatuhan-kemarahan yang diprovokasi ditanya atau dipaksa melakukan sesuatu (contoh permintaan guru) (p.119)
Perilaku agresif juga cenderung tumbuh pada masa kanak-kanak awal dikarenakan kombinasi atsmosfer rumah yang membuat stress dan tidak menstuimulasi, disiplin yang keras, kurangnya kehangatan ibu dan dukungan sosial, eksposur terhadap orang dewasa yang agresif dan kekerasan di lingkungan, teman sepermainan yang berubah-ubah, sehingga tidak memungkinkannya membangun hubungan yang stabil. (Papalia, 2013: 415). Anak merespon dari berbagai tanggapan yang berbeda pada sumber penyebab kemarahan yang berbeda pula, konflik atas kepemilikan menjadi penyebab paling umum dari kemarahan dan kekerasan fisik. Keterampilan memanajemen konflik, mengontol kemarahan, dan tanggapan konstruktif untuk memprovokasi semua perilaku yang tampak penting bagi instruksi keterampilan sosial.
Meskipun, perilaku positif cenderung berhubungan dengan penerimaan teman sebaya dan perilaku negatif cenderung dikaitkan dengan penolakan, hubungan ini sebenarnya tidak jelas. Foster, Delawyer, dan Guevremont (1986), contohnya seperti ketika perilaku negatif ditemukan melebihi perilaku positif. Dalam penelitian tentang hubungan perilaku penerimaan teman sebaya diantara usia sekolah dasar yang dilakukan oleh Cartledge, Frew, dan Zaharias (1985) menemukan bahwa meskipun perilaku positif yang dilakukan oleh anak LD seperti menjadi baik dan berkata baik namun anak LD cenderung jarang dipilih menjadi teman dekat dalam interaksi sosial.
Banyak anak yang menunjukkan masalah keterampilan secara nyata dapat diterima oleh teman sebayanya, literatur penelitian secara konsisten mengasosiasi penolakan teman sebaya dengan tindakan agresif dan kelakuan menyimpang serta pengabaian teman sebaya dengan internalisasi perilaku dan gangguan kecemasan. (Asamow, 1988; Gresham & Little, 1993; Strauss. Lahey, Frick, Frame, & Hynd, 1988). Milich dan Landau (1984) menyarankan bahwa anak yang agresif dibagi menjadi subgroup yaitu agresif dan agresif-penyendiri. Mereka menemukan bahwa beberapa anak laki-laki yang agresif cenderung ditolak oleh teman sebayanya, tapi banyak pula yang melihat hal ini secara positif. Disisi lain, anak agresif dan anak penyendiri, mempunyai tingkat interaksi yang rendah dan tingkat penolakan secara signifikan lebih tinggi sehingga dianggap beresiko paling besar pada masalah kondisi penyesuaian. Hymel, Wagner, dan Butler (1990) menunjukkan bahwa hubungan teman sebaya dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti persepsi sosial, reputasi dan popularitas.
Para ahli psikologi telah lama mempelajari pembentukan kelompok teman sebaya dan statusnya dalam kelompok untuk mengetahui anak-anak yang cenderung menjadi populer. Untuk mengidentifikasi status seorang anak dalam kelompok teman sebayanya para ahli psikologi telah menggunakan suatu teknik yang disebut sosiometri. Dari hasil sosio metri tersebut peneliti dapat mengelompok status anak dalam kelompok teman sebayanya. Para ahli perkembangan telah membedakan 5 status dalam hubungan teman sebaya (Wentzel & Asher dalam Santrock, 2014: 430) sebagai berikut.
Anak populer (popular children) adalah yang sering dipilih sebagai dinominasi teman terbaik dan jarang sekali dibenci oleh teman sebayanya
Anak biasa (average children) adalah anak yang mendapat nominasi jumlah angka yang sama baik itu positif dan negative dari teman sebayanya
Anak yang diabaikan (neglected children) adalah anak yang tidak sering dipilih sebagai nominasi teman terbaik tapi juga bukan anak yang dibenci oleh teman sebayanya.
Anak yang ditolak (rejected children) adalah anak-anak yang tidak sering dipilih sebagai nominasi teman terbaik dan secara aktif dibenci oleh teman sebayanya.
Anak kontroversial (controversial children) adalah anak-anak sering dipilih sebagai nominasi teman terbaik tapi juga secara aktif dibenci oleh teman sebayanya.
Perilaku yang bisa diterima secara sempurna oleh teman sebaya diberlakukan oleh anak-anak popular entah bagaimana kurang dapat diterima dan kurang berkesan ketika diberlakukan pada anak-anak yang tidak popular. Hal itu tampaknya seperti standar ganda dalam hubungan pada teman sebaya yang meyakinkan bahwa anak popular akan terus melihat standar perilaku tersebut sebagai sesuatu yang positif dan begitu pula dengan anak yang tidak popular akan melihatnya secara negartif seterusnya, bagaimanapun juga hal itu disebut perilaku.
Beberapa anak yang mempunyai permasalahan perilaku mungkin masih dapat diterima sebagai teman dan bahkan dipertimbangkan menjadi popular. Ditambah lagi, anak memiliki masalah perilaku juga popular dengan teman sebayanya, sebenarnya membutuhkan pelatihan keterampilan sosial yang khusus dalam usaha membantu mereka untuk menggunakn pengaruh meraka dalam teman sebaya dalam cara yang lebih konstruktif.
Dua teknik untuk mengidentifikasi orientasi sasaran perilaku teman sebaya adalah "kelompok anak populer", caranya dilakukan dengan mengamati anak-anak yang sukses untuk menentukan apa yang mereka lakukan ketika apa yang diinginkan gagal untuk dimiliki sebagai "contoh yang cocok" (Holer & Cone, 1980, 1987). Sebuah pendekatan empiris direkomendasikan oleh Weist et al.(1991) yang digunakan dalam pemilihan sasaran perilaku untuk anak yang dinilai kurang terkait dengan keterampilan sosial dalam teman sebaya. Proses selanjutnya, perilaku dari anak yang berhasil diteliti untuk menciptakan contoh perilaku yang diinginkan dalam konteks tertentu. Deskripsi perilaku dapat diperoleh baik dari informan atau dari observasi langsung. Sebuah daftar perilaku dari anak yang sukses di bandingkan dengan sasaran kesenjangan perilaku anak yang menjadi sasaran untuk pelatihan keterampilan sosial. Prosedur ini telah mempunyai keuntungan yang meliputi keadaan dari perilaku yang diinginkan. Dalam waktu yang sama Rathjen (1984) menunjukkan bahwa pendekatan ini tidak meyakinkan karena perilaku penting telah diidentifikasi dengan berhasil. Identifikasi perilaku yang sering dilakukan pada penelitian adalah pada bidang yang berhubungan dengan keterampilan sosial dan kompetensi sosial.
Validitas sosial
Sebuah dasar untuk memilih keterampilan sosial yang tersirat dalam diskusi Wolf (1978) tentang validitas sosial sebagai kriteria untuk menentukan masalah sosial apa yang signifikan dalam upaya perubahan perilaku. Validitas sosial terbaik menurut Wolf, dapat dibentuk oleh konsumen atau perwakilan dari komunitas yang relevan sesuai dengan kriteria perilaku seperti apa yang memiliki makna sosial dalam kaitannya dengan tujuan yang diinginkan oleh masyarakat, prosedur yang digunakan untuk membawa perubahan perilaku yang dapat diterima, dan efek atau hasil dari perubahan perilaku yang memuaskan kepada konsumen yang relevan. Schwartz dan Baer (1991) mengidentifikasi konsumen sebagai berikut.
langsung dalam kasus pelatihan keterampilan sosial anak, anak-anak itu sendiri
tidak langsung-teman sebaya, dan orang dewasa yang relevan, yang dapat mencakup anggota komunitas langsung; dan
keanggotaan komunitas yang luas
Terdapat resiko yang ditunjukkan apabila melakukan program perubahan perilaku tanpa persetujuan dari konsumen yang terlibat mengenai perilaku sasaran dan prosedur yang dipilih. Konsekuensi yang merugikan dapat mencakup keengganan untuk berpartisipasi, merusak dan sabotase, dan kegagalan dalam perawatan jangka panjang keterampilan.
Untuk pemilihan keterampilan validitas sosial dalam mengajar, pandangan target anak-anak itu sendiri sebagai konsumen langsung dan orang-orang dari kelompok sebaya sebagai konsumen tidak langsung tentang cara-cara yang diinginkan dalam bertindak dan merespon dalam pertimbangan situasi interpersonal yang penting. Keyakinan tersebut akan mempengaruhi motivasi peserta didik dalam memperoleh alternatif perilaku dan minat untuk melanjutkan melakukan perilaku belajar. Schwartz dan Baer (1991) menyatakan bahwa praktisi "tidak biasanya dan tidak benar dalam urusan membentuk nilai-nilai konsumen kami," (202), baik mereka dan Hawkins (1991) membahas pentingnya pendidikan konsumen sebagai bantuan untuk penerimaan tujuan pengobatan dan prosedur.
Akhtar dan Bradley (1991) menunjukkan bahwa pandangan anak-anak dapat menentukan dan juga memungkinkan tanda-tanda untuk membutuhkan pelatihan kembali. Prosedur pertama untuk mengajar anak-anak yang dinilai agresif misalnya, pelatih perlu mempertimbangkan konteks sosial budaya dan nilai keyakinan anak-anak tentang alternatif pembelajaran. Alasan yang mungkin juga perlu diberikan kepada orang dewasa (konsumen-tidak langsung seperti orang tua) jika alternatif yang dipraktekkan di masa depan dan dalam pengaturan lainnya.
Guru merupakan kelompok lain yang termasuk dalam konsumen tidak langsung, serta pelaksana pelatihan keterampilan sosial. Ada banyak data yang menghubungkan perilaku sosial yang penting untuk ditunjukkan guru pada anak. Berbeda dengan nilai perilaku anak yang telah disebutkan sebelumnya, guru lebih menekankan perilaku sosial dengan memfasilitasi tugas mengajar keterampilan akademik pada anak. Dalam sebuah studi oleh Milburn (1974), sekelompok guru diberi keterampilan yang bersangkutan seperti perilaku kooperatif, penerimaan konsekuensi, mengikuti peraturan dan petunjuk, penghindaran konflik, dan dasar perilaku self-help yang lebih penting. Dari hasil penelitian tersebut, guru dinilai kurang melibatkan keterampilan penting seperti memulai kontak dengan lainnya, ucapan dan percakapan, bersikap tegas dalam hubungan interpersonal, dan melakukan untuk lainnya.
Dalam salah satu penelitian awal tentang keterampilan sosial, Hops dan Cobb (1973) mengidentifikasi siswa sekolah dasar pada serangkaian kelas tertentu dengan "keterampilan hidup" dimana hal itu berkorelasi tinggi dengan keberhasilan akademis. Keterampilan ini meliputi kehadiran, kesukarelaan pemberian jawaban, pemenuhan permintaan guru, mengikuti petunjuk guru, dan sisanya pada pemenuhan tugas. Sebuah sekolah dengan kurikulum keterampilan hidup bagi siswa sekolah menengah (Schaeffer, Zigmond, Kerr, & Farra, 1990; Zigmond, Kerr, Schaeffer, Brown, & Farra, 1986) menekankan keterampilan yang sama: seperti menghadiri kelas secara teratur; tiba tepat waktu; membawa bahan yang diperlukan (pensil, kertas, dan buku); mengerjakan pekerjaan tepat waktu; menggunakan buku tugas; berada di-tugas, mengikuti petunjuk; menjawab dan mengajukan pertanyaan.
Fakta bahwa kaum remaja secara umum mungkin tidak menghargai keterampilan sosial yang sama seperti yang dilakukan guru tidak berarti pengajaran keterampilan yang dianggap penting dan harus ditinggalkan. Meadows et al. (1991) menyatakan bahwa "komponen utama dalam pelatihan keterampilan sosial adalah harus mengajar anak-anak.... untuk menghargai dan berinteraksi dengan orang dewasa, "dan sejauhmana para remaja dan guru setuju tentang ukuran sosialisasi terhadap nilai kedewasaan. Pada saat yang sama mereka berpendapat bahwa siswa lebih menyukai tujuan sosial yang diberikan secara langsung kepada mereka dengan jangka waktu lebih panjang, pengurangan hadiah secara langsung sehingga sekolah perlu "menyusun kembali prioritas mereka dengan memasukkan pelatihan keterampilan sosial fokusnya pada teman sebaya" (p.207).
Kazdin (1985) menunjukkan bahwa pendekatan validatas untuk memilih sasaran perilaku pada anak perlu melihat hasil jangka panjang (validitas prediktif) dan fungsinya pada kegiatan sehari-hari (validitas konkuren). Dalam menerapkan konsep validitas sosial pada keterampilan sosial anak, Gresham (1986) menunjukkan bahwa hasil sosial yag penting dari pelatihan keterampilan sosial bagi anak-anak meliputi: "(a) penerimaan teman sebaya atau popularitas, (b) penilaian orang lain yang signifikan 'keterampilan sosial (misalnya, orang tua, guru), dan atau (c) perilaku sosial lainnya yang diketahui secara konsisten berkorelasi dengan rekan penerimaan/popularitas dan penilaian orang lain yang signifikan "(hal.7), tampak jelas bahwa dalam memilih sasaran keterampilan sosial, hasil yang diinginkan akan menjadi faktor utama dalam menentukan fokus instruksional. Penekanannya bisa sangat berbeda dengan tujuan yang diinginkan misalnya, meningkatnya penerimaan teman sebaya berkebalikan dengan keberhasilan kelas atau memperbaiki hubungan keluarga.
Potensi pelatih keterampilan sosial yang telah ditunjukkan pada bagian ini, dengan serangkaian variabel yang hampir tidak terbatas untuk dipertimbangkan dalam pemilihan target keterampilan sosial. Seperti usia dan tingkat perkembangan anak, jenis kelamin, kognitif dan perilaku defisit, konteks budaya dan keterampilan situasional yang akan diajarkan, dilihat dari teman sebaya dan orang dewasa yang relevan, generalisasi potensi, dalam pemeliharaan keterampilan jangka panjang menjadi pertimbangan yang juga penting. Penganjuran metode empiris dalam pemilihan sasaran perilaku seperti yang dijelaskan oleh Weist et al. (1991) jika keterbatasan tersebut berkaitan dengan waktu dan biaya maka pendekatan praktis dilakukan dengan meninjau literatur yang relevan dan membuat penilaian informal untuk mengidentifikasi perilaku anak yang berhasil berkaitan dengan keberhasilan dan kegagalan dalam suatu lingkungan tertentu. Hughes (1986) membagi perbedaan antara penelitian dan praktek klinis dalam pemilihan keterampilan sasaran, yaitu "praktisi mengevaluasi bukti penelitian atas kebenaran sosial keterampilan yang ditargetkan.... dengan menilai apakah klien/anak tertentu kurang dalam keterampilannya....dan upaya yang digunakan untuk menentukan apa karakteristik individu berkontribusi pada defisit kinerja diamati "(p.245).
Dalam memilih keterampilan sosial yang akan diajarkan, praktisi atau peneliti akan dipandu lebih awal dengan tujuan yang mendasari instruksi baik untuk pencegahan, untuk perbaikan defisit, atau untuk tujuan penelitian tertentu. Instruktur kemudian akan menilai lingkungan untuk menentukan keterampilan yang paling menonjol dan berlaku secara sosial untuk kesuksesan dalam pengaturan tersebut dan jika relevan maka penilaian sasaran keterampilan anak akan kurang dalam repertoar mereka yang perlu dikembangkan untuk keberhasilan anak.
Inventori Keterampilan Sosial
Sejumlah konstelasi empiris berasal dari keterampilan sosial telah diidentifikasi dan dikembangkan menjadi inventori keterampilan sosial, dengan instrumen kurikulum dan penilaian yang terkait. Mungkin sulit untuk menemukan persediaan keterampilan sosial yang memenuhi semua kebutuhan anak individu atau kelompok tertentu pada satu waktu karena sejumlah variabel yang terlibat banyak dalam menentukan pemilihan perilaku sosial. Kemungkinkan diperlukan menambah lebih banyak perilaku positif atau menghilangkan beberapa perilaku yang tidak relevan dengan anak atau situasi sosial. Inventori dan kurikulum yang diterbitkan dapat memberikan tempat yang berguna untuk memulai.
"Program pertumbuhan sosial Raja dan Kirschenbaum" (1992) adalah program intervensi awal yang ditujukan untuk anak-anak kelas primer. Isinya meliputi: Siapa aku? (Pengembangan pemahaman diri dan citra diri yang positif); Siapakah kita: Apa keterampilan sosial? (Arti dan pentingnya perilaku sosial yang positif); Mendengarkan secara aktif; Pijat hangat; Mengajukan pertanyaan; Berbagi perasaan; Berdiri saya; Kontrol Diri; Pemecahan masalah sosial. Fiechtl, Innocenti, dan Peraturan (1987) telah mengembangkan keterampilan untuk Sukses Sekolah yaitu kurikulum untuk membantu anak-anak prasekolah penyandang cacat dalam masa transisi ke TK. Bidang kegiatan dibagi menjadi keterampilan komponen atau tugas dengan kriteria kinerja berdasarkan kecepatan dan akurasi yang biasanya berkembang anak melakukan keterampilan (Peraturan, Fiechtl, & Immocenti, 1990) Sembilan bidang kegiatan meliputi:
Rutinitas masuk (menggantung mantel, memilih mainan, dan bermain sampai guru sinyal aktivitas berikutnya);
Urutan tugas (individual menyelesaikan serangkaian tugas mengumumkan hari);
Ikrar kesetiaan;
Kegiatan lingkaran kelompok (diskusi cuaca, dll);
Tugas Individu;
Kegiatan kelompok besar dengan menggunakan kurikulum yang tersedia secara komersial;
Tugas Workbook;
Kegiatan waktu tenang (aktivitas-anak dipandu-anak yang dipilih); dan
Kegiatan transisi (mendapatkan mantel dan bahan untuk dibawa pulang, berbaris, dan berjalan di garis melalui bangunan) (hlm. 81)
Model perkembangan pembelajaran bagi siswa penyandang cacat sosial, emosional, atau perilaku (Wood, 1975, 1986) menyajikan beberapa tujuan perilaku tertentu dan tujuan yang sesuai dengan lima tahap pengembangan, yang diidentifikasi pada usia pra sekolah sampai usia 16; tahap ini tidak melibatkan korespondensi kaku antara usia dan tingkat perkembangan. Ada empat bidang kurikulum untuk setiap tahap: perilaku, komunikasi, sosialisasi, dan (pra) akademisi. Tabel 1-1 menguraikan tujuan untuk setiap tahap.
Inventori keterampilan yang paling banyak diterbitkan ditujukan untuk anak usia sekolah. Salah satu yang paling awal adalah inventoris keterampilan sosial Stephens dan kurikulum (1978,1992) yang merupakan instrumen penilaian juga dikembangkan (Stephens, 1992: Stephens & Arnold, 1991). Perilaku dikelompokkan menjadi empat kategori utama (interpersonal, perilaku diri terkait lingkungan, dan tugas yang berhubungan), selanjutnya dianalisis dalam 30 subkategori dan 136 keterampilan khusus. Tabel 1-2 berisi judul subkategori. Tanggapan khusus telah diidentifikasi untuk setiap subkategori. Sebuah tindak kategori sampel, daftar subkategori, dan keterampilan (1992, halaman 187):
Kategori utama : PERILAKU INTERPERSONAL
Subkategori : Bermain Informal
Keterampilan : Untuk meminta siswa lain untuk bermain di tempat bermain
Untuk meminta untuk dimasukkan dalam kegiatan bermain berlangsung
Untuk berbagi mainan dan peralatan dalam situasi bermain
Menyerah pada kelompok wajar keinginan dalam situasi bermain
Untuk menunjukkan suatu kegiatan untuk kelompok di tempat bermain
TABEL 1-1 Tujuan pada Bidang Kurikulum
TUJUAN
TINGKAH LAKU
KOMUNIKASI
SOSIALISASI
(PRE) AKADEMISI
Menanggapi lingkungan dengan kesenangan
Mempercayai keterampilan tubuh
Menggunakan kata-kata untuk mendapatkan kebutuhan
Mempercayai orang dewasa cukup untuk merespon
Menanggapi lingkungan dengan proses klasifikasi, diskriminasi, bahasa reseptif dasar dan koordinasi tubuh.
Menanggapi lingkungan dengan sukses
Berhasil berpartisipasi dalam rutinitas
Menggunakan kata untuk mempengaruhi orang lain dengan cara yang konstruktif
Berpartisipasi dalam kegiatan dengan lainnya
Berpartisipasi dalam kelompok dengan bahasa ekspresif dasar, dan proses pemesanan, mengklasifikasikan, dan penomoran.
Belajar keterampilan untuk partisipasi kelompok yang sukses
Menerapkan keterampilan individu berhasil dalam kelompok proses-proses
Menggunakan kata-kata untuk mengekspresikan diri dalam kelompok
Menemukan kepuasan dalam kegiatan kelompok
Berpartisipasi dalam kelompok dengan dasar konsep bahasa ekspresif.
Investasi dalam proses kelompok
Upaya kontribusi individu untuk sukses kelompok
Menggunakan kata-kata untuk mengekspresikan kesadaran hubungan antara perasaan dan perilaku dalam diri dan orang lain yang berpartisipasi secara spontan dan berhasil sebagai anggota kelompok
Berpartisipasi secara spontan dan berhasil sebagai anggota kelompok
Berhasil menggunakan tanda-tanda dan simbol-simbol dalam pekerjaan sekolah formal dan pengalaman kelompok.
Menerapkan keterampilan individu dan kelompok berhasil dalam situasi baru
Menanggapi pengalaman hidup kritis dengan adaptif, perilaku konstruktif
Menggunakan kata-kata untuk membangun dan memperkaya hubungan
Memulai dan mempertahankan hubungan peer group yang efektif independen
Berhasil menggunakan tanda-tanda dan simbol-simbol pengalaman sekolah formal dan pengayaan pribadi
TABEL 1-2 Perilaku Kategori dan Subkategori
Cukup terkait Perilaku
Perilaku Lingkungan
konsekuensi menerima
perilaku etis
mengekspresikan perasaan
Sikap positif terhadap diri sendiri
Perilaku tugas yang berhubungan
Bertanya dan menjawab pertanyaan
perilaku hadir
diskusi kelas
menyelesaikan tugas-tugas
mengikuti arah
kegiatan kelompok
bekerja independen
Pada perilaku tugas
Pertunjukan sebelum orang lain
Kualitas kerja
Perawatan lingkungan
Berurusan dengan keadaan darurat
perilaku ruang makan
Gerakan sekitar lingkungan
Perilaku Interpersonal
menerima otoritas
Mengatasi konflik
mendapatkan perhatian
salam lain
membantu orang lain
membuat percakapan
bermain terorganisir
Sikap positif terhadap orang lain
bermain secara informal
Properti: sendiri dan
Untuk daftar lengkap keterampilan, pembaca disebut Keterampilan Sosial Daftar di Lampiran C. Sebuah daftar keterampilan sosial yang dikembangkan oleh Walker juga membentuk dasar untuk kurikulum (Walker, McConnell, Holmes, Todis, Walker, & Golden, 1983). Target populasi terdiri dari anak-anak dengan ringan sampai sedang cacat di kelas-kelas sekolah dasar. Daftar keterampilan mereka dikembangkan melalui proses validasi sosial di mana guru diberi nilai pentingnya perilaku sosial tertentu untuk sukses kelas (Milburn, 1974: Walker et al, 1983.). Berdasarkan analisis korelasi penerimaan teman sebaya di sekolah dasar (Hartup, 1970), LaGreca dan rekan (LaGreca & Mezibov, 1979; LaGreca & Santogrossi, 1980) mengidentifikasi sembilan area untuk instruksi keterampilan sosial yang berkontribusi terhadap hubungan rekan positif. Mereka juga membagi ini menjadi komponen keterampilan. Sembilan bidang antara lain:
Smilling dan tertawa dengan rekan-rekan
Ucapan lain
Bergabung kegiatan yang sedang berlangsung
Undangan Memperluas
Keterampilan Percakapan
Berbagi dan kerjasama
Memuji Verbal
Keterampilan Putar
Penampilan fisik / perawatan
TABEL Keterampilan 1-3 dari Anak Cacat
Wilayah I: Keterampilan Kelas
Mendengarkan guru (duduk diam dan melihat...)
Ketika guru meminta Anda untuk melakukan sesuatu (Anda harus melakukannya)
Melakukan pekerjaan terbaik (mengikuti petunjuk dan menulis hampir)
Mengikuti peraturan kelas
Wilayah II: Keterampilan Interaksi Dasar
Kontak mata
Menggunakan suara yang tepat
Mulai (mencari seseorang untuk diajak bicara)
Mendengarkan (lihat orang dan memperhatikan)
Menjawab (mengatakan sesuatu setelah seseorang berbicara kepada Anda)
Membuat akal (berbicara tentang hal yang sama)
Bergiliran berbicara
Mengajukan pertanyaan
Melanjutkan untuk berbicara (menjaga berbicara akan)
Wilayah III: Mendapatkan Seiring Keterampilan
Menggunakan kata-kata yang sopan (mengatakan hal-hal baik pada waktu yang tepat)
Berbagi
Aturan Mengikuti (semua orang memainkan permainan dengan cara yang sama)
Membantu orang lain (melakukan hal-hal baik untuk orang lain ketika mereka perlu membantu
Menyentuh dengan cara yang benar
Wilayah IV: Membuat Teman
Baik perawatan (mencuci tangan dan muka. Sikat gigi, memakai pakaian bersih)
Tersenyum
Memuji
Pembuatan Persahabatan (mulai, bergantian berbicara, mengundang)
Wilayah V: Keterampilan Mengatasi
Ketika seseorang mengatakan tidak (menemukan cara lain untuk bermain)
Ketika Anda mengekspresikan kemarahan
Ketika seseorang menggoda
Ketika seseorang mencoba untuk menyakiti Anda
Ketika seseorang meminta Anda untuk melakukan sesuatu yang tidak dapat Anda lakukan
Ketika sesuatu tidak berjalan tepat
Komponen keterampilan untuk "Bergabung Urutan (Joining Sequence)" meliputi:
Senyum
Lihatlah orang
Gunakan nama mereka
Berdiri dekat-oleh
Greet hem
Meminta untuk bergabung baik (misalnya, "Dapatkah saya duduk dengan Anda?")
Ajukan pertanyaan untuk memasuki pembicaraan
Kelompok keterampilan memiliki remaja agresif sebagai target populasi, tetapi berlaku untuk anak-anak muda sebagai dengan baik. Keterampilan ini merupakan dasar untuk dasar untuk kurikulum Skillstreaming yang Goldstein dan rekan-rekannya menjelaskan dan juga telah diadaptasi untuk digunakan dengan anak-anak muda (McGinnis & Goldstein, 1984). Setiap keterampilan dianalisis dalam serangkaian langkah-langkah perilaku yang dapat diterjemahkan ke dalam tujuan pengajaran tertentu. Para AKSES kurikulum Walker, Todis, Holmes, dan Horton (1983) adalah program lain yang mengajarkan keterampilan yang dirancang untuk membantu remaja dengan manajemen diri dan hubungan dengan teman sebaya dan orang dewasa.
Ada kesamaan yang cukup besar antara banyak persediaan ini dan kurikulum, bahkan mengambil populasi dimaksudkan berbeda menjadi pertimbangan. Sebagian besar multidimensional, termasuk perilaku diamati spesifik dan proses kognitif dan afektif. Beberapa perilaku tambahan yang terkait dengan dimensi kognitif atau afektif keterampilan sosial dijelaskan berikutnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Keterampilan sosial dapat berperan menjadi sebuah alat yang terdiri dari kemampuan berinteraksi, berkomunikasi secara efektif baik secara verbal maupun nonverbal, kemampuan untuk dapat menunjukkan perilaku yang baik, serta kemampuan menjalin hubungan baik dengan orang lain digunakan seseorang untuk dapat berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh sosial. Keterampilan sosial dan kompetensi sosial mempunyai perbedaan pada penilaian dan identifikasi perilakunya serta konstruk multi level dan perilaku yang spesifik. Faktor dalam pemilihan keterampilan sosial meliputi karakteristik individu (seperti kurang keterampilan (skill deficit), jenis kelamin, umur dan tingkat perkembangan siswa) dan faktor sosial (seperti keterampilan digunakan, validitas sosial- keabsahan, pandangan peserta didik, dari kelompoknya, orang dewasa yang berperan).
Dalam pengembangan keterampilan sosial dilakukan dengan inventoris keterampilan sosial, program ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan anak pada keterampilan sosialnya. Salah satu programnya adalah "Program pertumbuhan sosial Raja dan Kirschenbaum" (1992) adalah program intervensi awal yang ditujukan untuk anak-anak kelas primer. Program tersebut mencakup pengembangan pemahaman diri dan citra diri yang positif, arti dan pentingnya perilaku sosial yang positif, Mengajukan pertanyaan; Berbagi perasaan; Berdiri saya; Kontrol Diri; Pemecahan masalah sosial. Selain itu pengembangan kurikulum untuk anak pra dan usia sekolah dilakukan sebagai upaya invetoris keterampilan sosial.
Saran
Dengan melihat kondisi pembelajaran di Indonesia saat ini, maka sangat diperlukan adanya program dan kurikulum yang dapat mengembangkan keterampilan sosial anak sejak dini. Untuk itu perlunya guru supaya lebih mempelajari tentang pengembangan keterampilan sosial dan juga peran orang tua.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur Utama:
Cartledge, G. & Milburn, J.F. (1995). Teaching social skill to children and youth. Boston: Allyn and Bacon.
Literatur Pendukung :
Berk, Laura E. (2008). Infants, Children, and Adolescents 6th Edition. Boston: Pearson Education Inc.
Desmita. (2012). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Papalia D.E, Olds, dan Fieldman R.D. (2013). Human Development 10th Edition Perkembangan Manusia Edisi ke-10. Jakarta : Salemba Humanika
Peterson, Candida C. (2014). Looking Forward through The Lifespan Developmental Psychology 6th Edition. Australia : Pearson.
Rita, dkk. (2008). Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta : UNY Press.
Santrock, John W. (2011). Child Development. New York: Mc Graw- Hill International Edition.
Sugihartono. (2007). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.