PERHIMPUNAN RUMAH SAKIT INDONESIA Jakarta-2009 KATA PENGANTAR PENYUSUN Dengan disahkannya undang-undang rumah sakit yang baru di Indonesia, keselamatan pasien telah menjadi issue sentral. Salah satu upaya menuju keselamatan pasien tersebut adalah dengan mencegah terjadinya kecelakaan medis akibat inkompetensi ternaga medis rumah skit. Penjelasan pasal 29 ayat (1) butir r. undang-undang Republik Indonesia tentang Rumah Sakit tahun 2009 menetapkan bahwa dalam status rumah sakit (medical staff bylaws) diatus tentang kewenangan klinis (clinical privilege) setiap tenaga medis di rumah sakit. Perhimpunan Rumah Sakit seluruh Indonesia (PERSI) berinisiatif mendorong dilaksanakannya proses kredensial dengan baik di rumah sakit. Selama ini proses kredensial dengan baik di rumah sakit.selama ini proses kredensial hanya ditujukan untuk penerimaan pegawai saja tanpa melakukan pengaturan tentang kewenangan klinis secara terinci (delineation of clinical privilege). Untuk itu PERSI menyusun buku” PEDOMAN KREDENTIAL DAN KEWENANGAN KLINIS (CLINICAL PRIVILEGE) DI RUMAH SAKIT”. Semoga buku pedoman ini dapat digunakan untuk membantu rumah sakit dalam melaksanakan kredensial tenaga medis dengan baik.
Jakarta , Oktober 2009
Herkutanto Ketua Tim penyusun
KATA SAMBUTAN KETUA PERSI
Kredensial sesungguhnya merupakan kegiatan dan fungsi Komite Medik Rumah Sakit yang sangat menentukan mutu pelayanan medic di rumah sakit tersebut. Selama ini kegiatan tersebut sudah selalu dilakukan oleh Komite Medik rumah Sakit dengan membentuk Panitia Kredensial. Sayangnya hasil dari tugas Panitia Kredensial ini sampai saat ini belum seperti yang diharapkan. Panitian Kredensial diberi tugas melakukan”seleksi” terhadap ternaga medis yang akan bekerja di satu rumah sakit. Hasil dari seleksi tersebut berupa usulan atau rekomendasi kepada impinan rumah sakit apakah tenaga medis tersebut diterima atau tidak. Jadi dalam hal ini fungsi Komite Medik tidak lebih hanya sebagai penyeleksi sebagaimana yang dilakukan oleh personil pengelola sumber daya manusia (HRD). Sesungguhnya tugas komite Medik jauh lebih mulia lagi karena akan menetukan pemberian asuhan medis yang berorientasi kepada keselamatan pasien. Oleh karena itu sesungguhnya rekomendasi Komite Medik sebagai hasil kerja Panitia Kredensial adalah berupa usulan atau rekomendasi tentang pemberian kewenangan klinis( clinical privileges) bagi para dokter yang akan bertugas di suatu rumah sakit. Dengan adanya kewenangan klinis ini ( disertai delineasinya) diyakini pasien akan mendapatkan asuhan medis dari seorang professional yang tepat. Sayangnya di Indonesia sangat jarang bahkan mungkin belum ada rumah sakit yang melakukan “credentialing” dengan benar, sesuai yang seharusnya dilakukan. Menanggapi masalah ini, PERSI berprakarsa membentuk Tim Penyusun Pedoman Kredensial yang dipimpin oleh Prof. DR. Dr. Herkutanto, SpF (K), SH, LLM, dengan tugas menyusun pedoman kredensial dan kewenangan klinis. Buku “ PEDOMAN KREDENSIAL DAN KEWENANGAN KLINIS (CLINICAL PRIVILEGE) DI RUMAH SAKIT “ ini diharapkan dapat dijadikan acuan dasar dalam kegiatan kredensial oleh rumah sakit di Indonesia. Sudah tentu masih diperlukan pedoman pelaksanaan teknis yang lebih detil lagi. Oleh karena itu buku pedoman ini bersifat dinamis yang akan selalu di review dan diperlukan masukan dari berbagai pihak guna penyempurnaanya. Akhirnya saya ucapkan selamat dan terimakasih atas karya dari tim penyusun ini, mudah-mudahan niat baik kita bersama mendapat ridho dan bimbingan dari Tuhan YME dalam rangka pengabdian kita kepada Negara dan bangsa.
Jakarta, Oktober 2009 KETUA UMUM PERSI
Dr. Adib A Yahya, MARS.
TIM PENYUSUN
Penasehat
: dr.Samsi Jacobalis, SpB dr. Adib a.Yahya (Ketua PERSI) dr.A.H.sanoesi Tambunan, SpPD (Ketua Makersi)
Ketua Tim
: Dr.dr.Herkutanto, SpF(K),SH,LLM (ketua kompartemen Hukum dan PEmbelaan anggota)
Anggota Tim
: dr.Nico a.Lumenta, MM (ketua KKP-RS) dr. Supriyantoro, Sp.P,MARS (ketua komp.Mutu & Akreditasi) dr. Sri Rachamni, M.kes (Ketua Komp.Pelkesmas) dr.Johan T.Saleh,Msc (Ketua Komp.Komunikasi organisasi)
Definisi 1. Brevet. Pengakuan tentang keahlian seorang dokter oleh kolegium suatu cabang ilmu kedokteran tertentu. 2. Proses kredensial (credentialing): proses evaluasi oleh suatu rumah sakit terhadap seseorang untuk menentukan apakah yang bersangkutan layak diberi kewenangan klinis (kwenangan klinik (clinical privilege)) menjalankan tindakan medis tertentu dalam lingkungan rumah sakit tersebut untuk suatu periode tertentu. 3. Proses Re-Kredensial ( Re-Credentialing): proses re-evaluasi oleh suatu rumah sakit terhadap dokter yang telat bekerja dan memiliki kewenangan klinik (kewenangan klinis( clinal privilege)) di rumah sakit tersebut untuk menentukan apakah yang bersangkutan masih layak diberi kewenangan klinis tersebut untuk suatu periode tertentu. 4. Kewenangan klinis ( clinical privilege): kewenangan klinis untuk melakukan tindakan medis tertentu dalam lingkungan sebuah rumah sakit tertentu berdasarkan penugasan yang diberikan Kepala Rumah Sakit. 5. Surat Penugasan ( clinical Appointment): surat yang diterbitkan oleh Kepala Rumah Sakit kepada seorang Dokter gigi untuk melakukan tindakan medis dirumah sakit tersebut berdasarkan daftar kewenangan klinis yang ditetapkan baginya.
6. Dusty of Due Care: kewajiban untuk memperhatikan dan peduli akan keselamatan pihak lain. 7. Mitra Bestari (Peer-group): sekelompok orang dengan reputasi tinggi yang memiliki kesamaan profesi kredensial, dan atau dianggap dapat menilai kompetensi untuk melakukan tindakan medis tertentu. 8. Tenaga medis: dokter dan dokter gigi termasuk dokter spesialis dan dokter gigi spesialis. 1. LATAR BELAKANG Undang-undang tentang Rumah Sakit yang baru ditetapkan menuntut rumah sakit untuk melindungi keselamatan pasien, antara lain dengan melaksanakan clinical governance bagi para klinisnya. Setiap dokter di rumah sakit harus bekerja dalam koridor kewenangan klinis (clinical privilege) yang ditetapkan oleh kepala rumah sakit. Walaupun frekuensi kecelakaan yang berkaitan dengan tindakan medis dokter di rumah sakit belum diketahui dengan pasti jumlahnya di Indonesia, namun diduga jumlah tersebut tidak kecil. Jumlah klaim terhadap tindakan medis dokter mengakibatkan ganti rugi di JABOTABEK selama tahun 2007 tercatat 37 kasus, dan pada bulan Januari 2008 mencapai 12 kasus. Salah satu factor krusial dalam keselamatan pasien adalah kewenangan dokter untuk melakukan tindakan medis yang saat ini tidak dikendalikan dengan adekuat oleh komite medis rumah sakit. Dalam hal seorang dokter kurang kompeten dalam melakukan tindakan medis tertentu karena sebab apapun, belum ada mekanisme yang mencegah dokter untuk melakukan tindakan medis tersebut di rumah sakit. Pada gilirannya kondisi ini dapat menimbulkan kecelakaan pada pasien. Demi menjaga keselamatan pasien dari tindakan medis yang dilakukan oleh dokter yang kurang kompeten rumah sakit perlu mengambil langkah-langkah pengamanan dengan cara pemberian kewenangan klinis melalui mekanisme kredensial yang dilaksanakan oleh komite medis. Beberapa pihak yang terkait dengan upaya ini adalah Kolegium Kedokteran Indonesia dan komite medis rumah sakit. Kolegium Kedokteran Indonesia dapat menjadi acuan untuk menentukan lingkup dan jenisjenis kewenangan klinis bagi setiap cabang ilmu kedokteran. Komite medis akan menentukan jenisjenis kewenangan klinis bagi setiap dokter yang bekerja di rumah sakit berdasarkan kompetensinya melalui mekanisme kredensial. Dengan terkendalinya tindakan medis disetiap rumah sakit maka pasien lebih terlindungi dari tindakan medis yang dilakukan oleh dokter yang tidak kompeten. Pedoman ini disusun oleh Tim Penyususn Pedoman Mekanisme Kredensial Dokter di Rumah Sakit berdasarkan SK Pengurus Pusat PERSI No. 41/SK/PP.PERSI/II/2008 dengan mengacu pada
kelaziman praktik perumah sakitan yang baik di negara maju, antara lain JCAHO. Pedoman ini dimaksudkan agar menjadi panduan bagi rumah sakit di Indonesia untuk melakukan kredensial para tenaga medis dengan baik, benar, dan dapat dipertanggungjawabkan. 2. TUJUAN 1. Tujuan Umum Pedoman ini diterbitkan dengan tujuan utama untuk melindungi keselamatan pasien melalui mekanisme kredensial dokter di rumah sakit. 2. Tujuan Khusus 1. Memberikan panduan mekanisme kredensial dan re-kredensial bagi para dokter di rumah sakit. 2. Memberikan panduan bagi komite medis untuk menyusun jenis-jenis kewenangan klinis (clivical privilege) bagi setiap dokter yang melakukan tindakan medis di rumah sakit sesuai dengan cabang ilmu kedokteran yang diterapkan oleh Kolegium Kedokteran Indonesia. 3. Memberikan panduan bagi kepala rumah sakit untuk menerbitkan kewenangan klinis (clinical privilege) bagi setiap dokter untuk melakukan tindakan medis di rumah sakit. 4. Meningkatkan profesionalitas dan akuntabilitas tenaga medis di rumah sakit. 5. Meningkatkan reputasi dan kredebilitas para dokter dan institusi rumah sakit dihadapan pasien, penyandang dana, dan stake holder rumah sakit lainnya. 3. KONSEP DASAR KREDENSIAL DOKTER DI RUMAH SAKIT Salah satu upaya rumah sakit dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya untuk menjaga keselamatan pasiennya adalah dengan menjaga standar profesi dan kompetensi para dokter yang melakukan tindakan medis terhadap pasien di rumah sakit. Upaya ini dilakukan dengan cara mengatur agar setiap tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien hanya dilkaukan oleh tenaga medis yang benar-benar kompeten. Persyaratan kompetensi ini meliputi dua komponen, (1) komponen kompetensi keprofesian medis yang terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan perilaku professional; dan, (2) komponen kesehatan yang meliputi kesehatan fisik dan mental. Walaupun seorang dokter telah mendapatkan brevet spesialisasi dari kolegium ilmu kedokteran yang bersangkutan, namun rumah sakit wajib melakukan verifikasi kembali kompetensi seseorang untuk melakukan tindakan medis dalam lingkup spesialisasi tersebut, hal
ini dikenal dengan istilah credentialing. Proses credentialing ini dilakukan dengan dua alasan utama. Alasan pertama, banyak faktor yang mempengaruhi kompetensi setelah seseorang mendapatkan brevet spesialisasi dari kolegium. Perkembangan ilmu dibidang kedokteran untuk suatu tindakan medis tertentu sangat pesat, sehingga kompetensi yang diperoleh saat menerima brevet bisa kadaluarsa, bahkan dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak aman bagi pasien. Selain itu, lingkup suatu cabang ilmu kedokteran tertentu senantiasa berkembang dari waktu kewaktu sehingga suatu tindakan yang semula tidak diajarkan pada penerima brevet pada periode tertentu, dapat saja belakangan diajarkan pada periode selanjutnya, bahkan dianggap merupakan suatu kemampuan yang standar. Hal ini mengakibatkan bahwa sekelompok dokter yang menyandang brevet tertentu dapat saja memiliki lingkup kompetensi yang berbeda-beda. Alasan kedua, keadaan kesehatan seseorang dapat saja menurun akibat penyakit tertentu atau bertambahnya usia sehingga mengurangi keamanan tindakan medis yang dilakukannya. Kompetensi fisik dan mental dinilai melalui uji kelaikan kesehatan baik fisik maupun mental. Tindakan verifikasi kompetensi profesi medis tersebut oleh rumah sakit disebut sebagai mekanisme credentialing, dan hal ini dilakukan demi keselamatan pasien. Tindakan verifikasi kompetensi ini juga dilakukan pada profesi lain untuk kemanan kliennya. Misalnya kompetensi profesi penerbang (pilot) yang senantiasa diperiksa secara teratur dalam periode tertentu oleh perusahaan penerbangan. Setelah seorang dokter dinyatakan kompeten melalui suatu proses kredensial, rumah sakit menerbitkan suatu ijin bagi yang bersangkutan untuk melakukan serangkaian tindakan-tindakan medis tertentu di rumah sakit tersebut, hal ini dikenal sebagai kewenangan klinis (klinis privilege). Tanpa adanya kewenangan klinis (clinical privilege) tersebut seorang dokter tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan medis di rumah sakit tersebut. Luasnya lingkup kewenangan klinis (clinical privilege) seorang dokter spesialis dapat saja berbeda dengan koleganya dalam spesialisasi yang sama, tergantung pada ketetapan komite medis tentang kompetensi untuk melakukan tiap tindakan medis oleh yang bersangkutan berdasarkan hasil
proses kredensial. Dalam hal tindakan medis seorang dokter membahayakan pasien maka kewenangan klinis (clinical privilege) seorang dokter dapat saja dicabut sehingga tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan medis tertentu dilingkungan rumah sakit tersebut. Pencabutan kewenangan klinis (clinical privilege) tersebut dilakukan melalui prosedur tertentu yang melibatkan komite medis. Kewajiban rumah sakit untuk menetapkan kewenangan klinis (clinical privilege) tersebut telah diatur dengan tegas dalam Undang-undang tentang Rumah sakit. Dalam Undang-undang Rumah Sakit pasal 29 ayat (1) butir r. telah ditetapkan bahwa setiap rumah sakit wajib menyusun dan melaksanakan hospital bylaws, yang dalam penjelasan undang-undang tersebut ditetapkan bahwa setiap rumah sakit wajib melaksanakan tata kelola klinis yang baik (good clinical governance). Hal ini dirumuskan oleh setiap rumah sakit dalam peraturan staf medis Rumah Sakit (medical staff bylaw) antara lain diatur kewenangan klinis (clinical privilege). Kelemahan rumah sakit dalam menjalankan fungsi kredensial akan menimbulkan tanggung jawab hokum bagi rumah sakit dalam hal terjadi kecelakaan tindakan medis. Setiap rumah sakit wajib melindungi pasiennya dari segala tindakan medis yang dilakukan oleh setiap dokter di rumah sakit tersebut, hal ini dikenal sebagai the duty of due care. Tanggung jawab rumah sakit tersebut berlaku tidak hanya terhadap tindakan yang dilakukan oleh dokter pegawai rumah sakit saja, tetapi juga setiap dokter yang bukan berstatus pegawai (dokter tamu). Rumah sakit wajib mengetahui dan menjaga keamanan setiap tindakan medis yang dilakukan dalam lingkungannya demi keselamatan semua pasien yang dilayaninya sebagai bagian dari the duty of due care. 4. PERANAN KOMITE MEDIS DAN STATUTA STAF MEDIS (MEDICAL STAFF BYLAWS) DALAM MEKANISME KREDENSIAL Komite medis memiliki peran sentral dalam mekanisme kredensial para doter karena tugas utamanya menjaga profesionalisme tenaga medis dan melindungi pasien rumah sakit untuk hal-hal yang berkaitan dengan tindakan medis. Disebuah rumah sakit, komite medis dianalogkan
dengan konsil kedokteran atau “medical board” suatu negara untuk melindungi masyarakat dari tenaga medis yang tidak kompeten. Tiga tugas utama komite medis adalah (1) menapis tenaga medis yang akan diperbolehkan melakukan tindakan medis di rumah sakit tersebut; (2) memelihara kompetensi dan memantau kualitas kinerja profesi tenaga medis, dan (3) merekomendasikan untuk melarang tenaga medis yang dianggap tidak aman bagi pasien untuk tidak melakukan tindakan medis tertentu di rumah sakit tersebut. Oleh karenanya, struktur komite medis paling sedikit mencakup tiga komponen fungsi diatas, yaitu subkomite kredensial, subkomite mutu profesi medis, dan subkomite disiplin profesi. Mekanisme kredensial dan re-kredensial di rumah sakit adalah tanggung jawab komite medis yang dilaksanakan oleh subkomite kredensial. Pada akhir proses kredensial, komite medis menerbitkan rekomendasi kepada kepala rumah sakit tentang lingkup kewenangan klinis seorang tenaga medis secara rinci (delineation of clinical privilege). Untuk itu subkomite kredensial melakukan serangkaian kegiatan berupa pemanggilan calon, menyusun tim mitra bestari, dan melakukan penilaian kompetensi seorang tenaga medis yang meminta kewenangan klinis tertentu. Selain itu subkomite kredensial juga menyeapkan berbagai instrument kredensial dan pemberian kewenangan klinis untuk disahkan kepala rumah sakit. Instrumen tersebut paling sedikit meliputi (1) perangkat kebijakan rumah sakit tentang kredensial dan kewenangan klinis; (2) boring-borang (formulir) yang diperlukan, dan (3) pedoman penilaian kompetensi klinis yang diperlukan untuk memberikan kewenangan klinis tertentu oleh mitra bestari. Tugas, fungsi, dan wewenang komite medis dalam melaksanakan kredensial diatur dalam status staf medis ( medical staff bylaws). Status staf medis adalah landasan utama untuk melakukan kredensial dan re-kredensial para dokter disebuah rumah sakit. Disebuah rumah sakit, status staff medis dianalogkan dengan undang-undang praktik kedokteran (medical practice act) suatu negara yang mengaturkeberadaan konsil kedokteran dan perangkatnya.status staf medis ini ditetapkan oleh kepala rumah sakit ( untuk rumah sakit pemerintah) atau badan pengampu (governing board) rumah sakit ( untuk
rumah sakit non-pemerintah). Secara umum, status staf medis mengatur keberadaan dan mekanisme kerja komite medis. Pelaksanaan kredensial merupakan salah satu hal penting yang diatur dalam status staf medis. Dalam status rekam medis ini diatur mekanisme pemberian kewenangan klini stermasuk syarat yang harus dipenuhi oleh seorang tenaga medis untuk memperoleh kewenangan klinis tersebut. Selain ini, diatur pula tata cara penentuan mitra bestari untuk melakukan proses kredensial dan tata cara pengambilan putusan dalam menentukan kewenangan klinis seorang tenaga medis. Status staf medis digunakan sebagai pedoman, norma, dan acuan untuk menyelesaikan berbagai masalah yang timbul sebelum, selama, dan sesudah proses kredensial dan re-kredensial dilakukan.
5. KEWENANGAN KLINIS BAGI TENAGA MEDIS DI RUMAH SAKIT Proses utama kredensial ditujukan untuk mengedalikan kewenangan melakukan tindakan medis yang terinci ( delination clinical privilege) bagi setiap dokter yang bertumpu pada tiap tahap. Pertama, praktisi medis melakukan permohonan untuk memperoleh kewenangan klinis dengan metode self assessment. Kedua , mitra bestari mengkaji dan memberikan rekomendasi tindakan medis yang diajukan oleh pemohon. Ketiga, kepala rumah sakit menerbitkan surat penugasan (clinical appointment) berdasarkan rekomendasi dari mitra bestari yang berlaku untuk periode tertentu. Secara periodik. Dokter akan melalui proses rsaat masa berlaku surat penugasannya berakhir, dimana tiga proses inti tersebut akan berulang. Tahap pertama: permohonan untuk memperoleh kewenangan klinis Setiap tenanga medis mengajukan permohonan kepala rumah sakit untuk melakukan tindakan medis. Tenaga medis tersebut mengisi beberapa formulir yang disediakan rumah sakit, antara lain daftar tindakan medis yang ingin dilakukannya sesuai dengan bidang keahliannya. Tenaga medis tersebut memilih tindakan medis yang tertera dalam formulir daftar tindakan medis
yang tertera alam formulir daftar tindakan medis tersebut dengan cara mencontreng, dan menyerangkan copy semua dokumen yang di persyaratkan kepada rumah sakit menyerahkannya kepada komite medis untuk ditindak lanjuti. Tahap kedua : kajian mitra bestari Komite medis menugaskan subkomite kredensial untuk memproses permohonan tersebut. Subkomite kredensial menyiapkam mitra bestari yang berjumlah sekitar 4 hingga 6 orang sesuai dengan bidang keahlian yang akan dinilai. Mitra bestari tersebut tidak harus anggota sublomite kredensial, bahkan dapat dari luar rumah sakit bila di perlukan. Para mitra bestari yang bertugas tersbut dapat terdiri dari beberapa spesialisi sesuai dengan kwewnangan klinis yang diminta. Misalnya, bila seorang dokter mengajukan permohona untuk melakukan tiroidektomi, maka mitra bestari yang dipilih dapat terdiri darin para spesialis bedah umum, bedah tumor, dan spesialis THT-KL. Dengan demikian kelompok mitra bestari tersebut dapat berbeda untuk setiap tenaga medis yang mengajukan permohonan kewenangan klinis. Mitra bestari mengkaji setiap tindakan medis yang diajukan oleh pemohon. Pengkajian setiap tindakan medis yang diajukan oleh pemohon tersebut dilakukan secara objektif didasarkan pada suatu buku putih ( white paper ). Sebuah buku putih untuk tindakan medis tertentu yang memuat syarat – syarat kapan seorang dokter dianggap kompeten melakukan tirodektomi, seorang dokter harus menjalani pendidikan bedah dasar, pelatihan – pelatihan tertentu, dan telah menangani sejumlah kasus tertentu dalam kurun waktu tertentu. Berdasarkan buku putih ( white paper ) tersebut mitra bestari dapat merekomendasikan atau menolak permohonan tindakan medis yang diajukan. Selain menilai kompetensi, mitra bestari juga menilai kemampuan pemohon berdasarkan kesehatan fisik dan mental untuk setiap tindakan medis yang diajukan. Rumah sakit mempersiapkan sarana dan prasarana dan panel dokter untuk melakukan uji kesehatan fisik dan mental tersebut. Pada akhir proses kredensial, mitra bestari merekomendasikan sekelompok tindakan medis tertentu yang boleh dilakukan oleh pemohon di rumah sakit tersebut. Selanjutnya komite medis
mengkaji kembali rekomendasi tersebut dan mengadakan beberapa modifikasi bila diperlukan dan selanjutnya diserahkan kepada kepala rumah sakit. Tahap ketiga : Penerbitan Surat Penugasan Kepala rumah sakit menerbitkan surat penugasan kepada tenaga medis pemohon berdasarkan rekomendasi tersebut. Kepala rumah sakit dapat saja meminta komite medis untuk mengkaji ulang rekomendasi tersbut bersama pihak manajemen rumah sakit bila diangga perlu. Surat penugasa tersebut memuat daftar sejumlah kewenangan klinis untuk melakukan tindakan medis yang bagi tenaga medis pemohon. Setiap tenaga medis dalam satu bidang spesialisasi tertentu dapat saja memiliki daftar kewenangan klinis yang berbeda dengan sejawatnya dengan bidang spesialisasi yang sama. Suatu tindakan medis tertentu dirumah sakit hanya boleh dilakukan oleh dokter yang telah memiliki surat kewenangan klinis berdasarkan surat penugasan. Daftar kewenangan klinis seorang tenaga medis dapat saja mengajukan tambahan kewenangan klinis yang tidak dimiliki dengan mengajukan permohonan kepada kepala rumah sakit. Selanjutnya komite medis akan melakukan proses kredensial khusus untuk tindakan tersebut, dan akan memberikan rekomendasinya kepada kepala rumah sakit. Namun sebaliknya, kewenangan klinis tertentu dapat saja dicabut, baik untuk sementara atau seterusny karena alas an tertentu seperti akan diuraikan pada bab berakhirnya kewenangan klinis. 6. BERAKHIRNYA KEWENANGAN KLINIS Kewenangan klinis akan berakhir bila surat penugasan (clinical appoint-ment) habis masa berlakuknya atau dicabut oleh kepala rumah sakit.surat penugasan untuk setiap tenaga medis memiliki masa berlaku untuk periode tertentu. Misalnya dua tahun. Pada akhir masa berlakuknya surat penugasan tersebut rumah sakit harus melakukan rekredensial terhadap tenaga medis yang bersangkutan. Proses rekredensial ini lebih sederhana dibandingkan dengan proses kredensial awal sebagaimana diuraikan diatas karena rumah sakit telah memiliki informasi setiap dokter yang melakukan tindakan medis dirumah sakit tersebut. Penerbitan ulang surat penugasan (reappointment). Surat penugasan dapat berakhir setiap saat bila tenaga medis tersebut dinyatakan tidak kompeten untuk melakukan tindakan medis tertentu. Walaupun seorang tenaga medis pada
awalnya telah memperoleh kewenangan klinis untuk melakukan tindakan medis tertentu, namun kewenangann itu dapat dicabut oleh rumah sakit berdasarkan pertimbangan komite medis. Pertimbangan pencabutan kewenangan klinis tertentu tersebut didasarkan pada kinerja profesi dilapangan, misalnya tenaga medis yang bersangkutan terganggu kesehatannya, baik fisik maupun mental. Selain itu, pencabutan kewenangan klinis juga dapat dilakukan bila terjadi kecelakaan medis yang diduga karena inkompetensi atau karena tindakan disiplin dari komite medis. Namun demikian, kewenangan klinis yang dicabut tersebut dapat diberikan kembali bila tenaga medis tersebut dianggap telah pulih kompetensinya. Dalam hal kewenangan klinis tertentu seorang tenaga medis diakhiri, komite medis akan meminta subkomite peningkatan mutu profesi untuk melakukan berbagai upaya pembinaan agar kompetensi yang bersangkutan pulih kembali. Komite medis dapat merekomendasikan kepada kepala rumah sakit pemberian kembali kewenangan klinis tertentu setelah melalui proses pembinaan. Pada dasarnya kredensial tetap ditujukan untuk menjaga keselamatan pasien, sambil tetap membina kompetensi seluruh tenaga medis di rumah sakit tersebut. Dengan demikian jelaslah bahwa komite medis dan statute staf medis memegang peranan penting dalam proses kredensial dan pemberian kewenangan klinis untuk setiap tenaga medis. Catatan Akhir: (End Notes) 1. Lihat Penjelasan pasal 29 ayat (1) buir r. Undang-undang Republik Indonesia tentang Rumah Sakit tahun 2009. 2. Data Klaim yang diselesaikan Asuransi Proteksi Profesi Bumi Putera Muda 2007 dan Januari 2008, Jakarta, tidak dipublikasikan. 3. Inkompetensi ini dapat disebabkan oleh hendaya (impairment) fisik & mental, maupun kurangnya training. 4. Joint Commission clarification regarding core privileges, April, 2008 5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 631/MENKES/SK/IV/2005 Tentang Pedoman Internal Rumah Staf Medis (Medical Staff Bylaws) di Rumah Sakit.