Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu Patofisiologi pembentukan batu empedu atau disebut kolelitiasis pada umumnya merupakan satu proses yang bersifat multifaktorial.10 Kolelitiasis Kolelitiasis merupakan istilah dasar yang merangkum tiga proses litogenesis empedu utama berdasarkan lokasi batu terkait: 1.
Kolesistolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di kantung empedu)
2.
Koledokolitiasis (litogenesis p’bentukan batu yang terlokalisir di duktus koledokus)
3. Hepatolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di saluran saluran empedu dari awal awal percabangan duktus hepatikus kanan dan kiri) Dari segi patofisiologi, pembentukan batu empedu tipe kolesterol dan tipe berpigmen pada dasarnya melibatkan dua proses patogenesis dan mekanisme yang berbeda sehingga patofisiologi batu empedu turut terbagi atas: 1.
Patofisiologi batu kolesterol
2.
Patofisiologi batu berpigmen A. Patofisiologi Batu Kolesterol
Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek utama yang dapat terjadi secara berurutan atau bersamaan: a. Supersaturasi kolesterol empedu b. Hipomotilitas kantung empedu. c. Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol. d. Hipersekresi mukus di kantung empedu 1. Supersaturasi Kolesterol Empedu Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol. Pada metabolisme kolesterol yang normal, kolesterol yang disekresi ke dalam empedu akan terlarut oleh komponen empedu yang memiliki aktivitas detergenik seperti garam empedu dan fosfolipid (khususnya lesitin). Konformasi kolesterol dalam empedu dapat berbentuk misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal. Umumnya pada keadaan normal dengan saturasi kolesterol yang rendah, kolesterol wujud dalam bentuk misel yaitu agregasi lipid dengan komponen berpolar lipid seperti senyawa fosfat dan hidroksil terarah keluar dari inti misel d an tersusun berbatasan dengan fase berair sementara komponen rantaian hidrofobik bertumpuk di bagian dalam misel. Semakin meningkat saturasi kolesterol, maka bentuk komposisi kolesterol yang akan ditemukan terdiri atas campuran dua fase yaitu misel dan vesikel. Vesikel kolesterol dianggarkan sekitar 10 kali lipat lebih besar daripada misel dan memiliki fosfolipid dwilapisan tanpa mengand ung garam empedu. Seperti misel, komponen berpolar vesikel turut diatur mengarah ke luar vesikel d an berbatasan dengan fase berair ekstenal sementara rantaian hidrokarbon yang hidrofobik membentuk bagian dalam dari lipid dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier diangkut dalam bentuk misel, yang mana selebihnya berada dalam bentuk vesikel. Umumnya, konformasi
vesikel berpredisposisi terhadap pembentukan batu empedu karena lebih cenderung untuk beragregasi dan bernukleasi untuk membentuk konformasi kristal. Small dkk (1968) menggambarkan batas solubilitas kolesterol empedu sebagai faktor yang terkait dengan kadar fosfolipid dan garam empedu dalam bentuk diagram segitiga keseimbangan fase (Diagram 5). Berdasarkan diagram 5, titik P mewakili empedu dengan komposisi 80% garam empedu, 5% kolesterol dan 15% lesitin. Garis ABC mewakili solubilitas maksimal kolesterol dalam berbagai campuran komposisi garam empedu dan lesitin. Oleh karena titik P berada di bawah garis ABC serta berada dalam zona yang terdiri atas fase tunggal cairan misel maka empedu disifatkan sebagai tidak tersaturasi dengan kolesterol. Empedu dengan campuran komposisi yang berada atas garis ABC akan mengandung konsentrasi kolesterol yang melampau dalam sehingga empedu disebut sebagai mengalami supersaturasi kolesterol. Empedu yang tersupersaturasi dengan kolesterol akan wujud dalam keadaan lebih daripada satu fase yaitu dapat dalam bentuk campuran fase misel, vesikel maupun kristal dan c enderung mengalami presipitasi membentuk kristal yang selanjutnya akan berkembang menjadi batu empedu. Dalam arti kata lain, diagram keseimbangan fase turut memudahkan prediksi komposisi kolesterol dalam empedu (fase misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal).
Selain itu, diagram keseimbangan turut menfasilitasi penentuan indeks saturasi kolesterol (CSI) sebagai indikator tingkat saturasi kolesterol dalam empedu. CS I didefinisikan sebagai rasio konsentrasi sebenar kolesterol bilier dibanding konsentrasi maksimal yang wujud dalam bentuk terlarut pada fase keseimbangan pada model empedu. Pada CSI >1.0, empedu dianggap tersupersaturasi dengan kolesterol yaitu keadaan di mana peningkatan konsentrasi kolesterol bebas yang melampaui kapasitas solubilitas empedu.
Pada keadaan supersaturasi, molekul kolesterol cenderung berada dalam bentuk vesikel unilamelar yang secara perlahan-lahan akan mengalami fusi dan agregasi hingga membentuk vesikel multilamelar (kristal cairan) yang bersifat metastabil. Agregasi dan fusi yang berlanjutan akan menghasilkan kristal kolesterol monohidrat menerusi proses nukleasi. Teori terbaru pada saat ini mengusulkan bahwa keseimbangan fase fisikokimia pada fase vesikel merupakan faktor utama yang menentukan kecenderungan kristal cairan untuk membentuk batu empedu. Tingkat supersaturasi kolesterol disebut sebagai faktor paling utama yang menentukan litogenisitas empedu. Berdasarkan diagram fase, faktor-faktor yang men dukung supersaturasi kolesterol empedu termasuk: a. Hipersekresi kolesterol.
b.Hiposintesis garam empedu/perubahan komposisi relatif cadangan
asam empedu.
c. Defek sekresi atau hiposintesis fosfolipid
a. Hipersekresi kolesterol.
Hipersekresi kolesterol merupakan penyebab paling utama supe rsaturasi kolesterol empedu. Hipersekresi kolesterol dapat disebabkan oleh:
i.
peningkatan uptake kolesterol hepatik
ii.
peningkatan sintesis kolesterol
iii.
penurunan sintesis garam empedu hepatik
iv. penurunan sintesis ester kolestril hepatik
Penelitian mendapatkan penderita batu empedu umumnya memiliki aktivitas koenzim A reduktase 3-hidroksi-3-metilglutarat (HMG-CoA) yang lebih tinggi dibanding kontrol. Aktivitas HMG-CoA yang tinggi akan memacu biosintesis kolesterol hepatik yang menyebabkan hipersekresi kolesterol empedu. Konsentrasi kolesterol yang tinggi dalam empedu → supersaturasi kolesterol → pembentukan kristal k olesterol.
b. Hiposintesis garam empedu / perubahan komposisi relatif cadangan asam empedu.
Garam empedu dapat mempengaruhi litogenisitas empedu sesuai dengan perannya sebagai pelarut kolesterol empedu. Hiposintesis garam empedu misalnya pada keadaan mutasi pada molekul protein transpor yang terlibat dalam sekresi asam empedu ke dalam kanalikulus (disebut protein ABCB11) akan menfasilitasi supersaturasi kolesterol yang berlanjut dengan litogenesis empedu. Komposisi dasar garam empedu merupakan asam empedu di mana terdapat tiga kelompok asam empedu utama yakni:
i. Asam empedu primer yang terdiri atas asam kolik dan asam kenodeoksikolik.
ii. Asam empedu sekunder yang terdiri atas asam deoksikolik dan asam litokolik.
iii. Asam empedu tertier yang terdiri atas asam ursodeoksikolik.
Ketiga kelompok ini membentuk cadangan asam empedu tubuh (bile acid pool) dan masingmasing mempunyai sifat hidrofobisitas yang berbeda. Sifat hidrofobisitas yang berbeda ini akan mempengaruhi litogenisitas empedu. Semakin hidrofobik asam empedu, semakin besar kemampuannya untuk menginduksi sekresi kolesterol dan mensupresi sintesis asam empedu. Konsentrasi relatif tiap asam empedu yang membentuk cadangan asam empedu tubuh akan mempengaruhi CSI karena memiliki sifat hidrofobisitas yang berbeda. Asam e mpedu primer dan tertier bersifat hidrofilik sementara asam empedu sekunder bersifat hidrofobik. Penderita batu empedu umumnya mempunyai cadangan asam kolik yang kecil dan cadangan asam deoksikolik yang lebih besar. Asam deoksikolik bersifat hidrofobik dan mampu meningkatkan CSI dengan meninggikan sekresi kolesterol dan mengurangi waktu nukleasi. Sebaliknya, asam ursodeoksikolik dan kenodeoksikolik merupakan asam empedu hidrofilik yang berperan mencegah pembentukan batu kolesterol dengan mengurangi sintesis dan sekresi kolesterol. Asam ursodeoksikolik turut menurunkan CSI dan memperpanjang waktu nukleasi, diduga dengan cara melemahkan aktivitas protein pronukleasi dalam empedu.
c. Defek sekresi dan hiposinstesis fosfolipid
95% daripada fosfolipid empedu terdiri atas lesitin. Sebagai kompo nen utama fosfolipid empedu, lesitin berperan penting dalam membantu solubilisasi kolesterol. Mutasi pada molekul protein transpor fosfolipid (disebut protein ABCB4) yang berperan dalam sekresi molekul fosfolipid (termasuk lesitin) ke dalam empedu terkait dengan perkembangan kolelitiasis pada golongan dewasa muda.
2. Hipomotilitas kantung empedu
Motilitas kantung empedu merupakan satu proses fisiologik yang menc egah litogenesis dengan memastikan evakuasi empedu dari kantung empedu ke dalam usus sebelum terjadinya proses litogenik. Hipomotilitas kantung empedu memperlambat evakuasi empedu ke dalam usus à proses absorpsi air dari empedu oleh dinding mukosa lebih cepat dari evakuasi empedu à peningkatan konsentrasi empedu à proses litogenesis empedu.
Hipomotilitas kantung empedu dapat terjadi akibat.
a. Kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi:
Perubahan tingkat hormon seperti menurunnya kol esistokinin (CCK), meningkatnya somatostatin dan estrogen. Perubahan kontrol neural (tonus vagus). b. Kontraksi sfingter melampau hingga menghambat evakuasi empedu normal.
Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas kantung empedu pad a batu empedu masih belum dapat dipastikan. Namun begitu, diduga hipomotilitas kantung empedu merupakan akibat efek toksik kolesterol berlebihan yang menumpuk di sel otot polos dinding kantung yang menganggu transduksi sinyal yang dimediasi oleh protein G. Kesannya, terjadi pengerasan membran sarkolema sel otot tersebut. Secara klinis, penderita batu empedu dengan defek pada motilitas kantung empedu cenderung bermanifestasi sebagai gangguan pola makan terutamanya penurunan selera makan serta sering ditemukan volume residual kantung empedu yang lebih besar. Selain itu, hipomotilitas kantung empedu dapat menyebabkan stasis kantung empedu. Stasis merupakan faktor resiko pembentukan batu empedu karena gel musn akan terakumulasi sesuai dengan perpanjangan waktu penyimpanan empedu. Stasis menyebabkan gangguan aliran empedu ke dalam usus dan ini berlanjut dengan gangguan pada sirkulasi enterohepatik. Akibatnya, output garam empedu dan fosfolipid berkurang dan ini memudahkan kejadian supersaturasi. Stasis yang berlangsung lama menginduksi pembentukan lumpu r bilier (biliary sludge) terutamanya pada penderita dengan kecederaan medula spinalis, pemberian TPN untuk periode lama, terapi oktreotida yang lama, kehamilan dan pada keadaan penurunan berat badan mendadak. Lumpur bilier yang turut dikenal dengan nama mikrolitiasis atau pseudolitiasis ini terjadi akibat presipitasi empedu yang terdiri atas kristal kolesterol monohidrat, granul kalsium bilirubinat dan mukus. Patofisiologi lumpur bilier persis proses yang mendasari pembentukan batu empedu. Kristal kolesterol dalam lumpur bilier akan mengalami aglomerasi berterusan untuk membentuk batu makroskopik hingga dikatakan lumpur bilier merupakan prekursor dalam litogenesis batu empedu.
3 Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol
Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cen derung untuk mengalami proses nukleasi. Nukleasi merupakan proses kondensasi atau agregasi yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat mikroskopik atau partikel kolesterol amorfus daripada empedu supersaturasi.
Nukleasi kolesterol merupakan proses yang dipengaruhi oleh keseimbangan unsur antinukleasi dan pronukleasi yang merupakan senyawa protein tertentu yang dikandung oleh empedu, faktor pronukleasi berinteraksi dengan vesikel kolesterol sementara faktor antinukleasi berinteraksi dengan kristal solid kolesterol. Antara faktor pronukleasi yang paling pentin g termasuk glikoprotein musin, yaitu satu-satunya komponen empedu yang terbukti menginduksi pembentukan batu pada keadaan in vivo. Inti dari glikoprotein musin terdiri atas daerah hidrofobik yang mampu mengikat kolesterol, fosfolipid dan bilirubin. Pengikatan vesikel yang kaya dengan kolesterol kepada regio hidrofilik glikoprotein musin ini diduga memacu proses nukleasi. Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model sistem empe du termasuk imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N, haptoglobin dan glikoprotein asam α-1. Penelitian terbaru menganjurkan peran infeksi intestinal distal oleh spesies Helicobacter (kecuali H. pylori) menfasilitasi nukleasi kolesterol empedu. Proses nukleasi turut dapat diinduksi oleh adanya mikropresipitat garam kalsium inorganik maupun o rganik. Faktor antinukleasi termasuk protein seperti imunoglobulin A (IgA), apoA-I dan apoA – II. Mekanisme fisiologik yang mendasari efek untuk sebagian besar daripada faktor-faktor ini masih belum dapat dipastikan. Nukleasi yang berlangsung lama selanjutnya akan menyebabkan terjadinya proses kristalisasi yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat. Waktu nukleasi pada empedu penderita batu empedu telah terbukti lebih pendek dibanding empedu kontrol pada orang normal. Waktu nukleasi yang pendek mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi proses litogenesis empedu.
4 Hipersekresi mukus di kantung empedu
Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian prekursor yang universal pada beberapa penelitian menggunakan model empedu h ewan. Mukus yang eksesif menfasilitasi pembentukan konkresi kolesterol makroskopik karena mukus dalam kuantitas melampau ini berperan dalam memerangkap kristal kolesterol dengan memperpanjang waktu evakuasi empedu dari kantung empedu. Komponen glikoprotein musin dalam mukus ditunjuk sebagai faktor utama yang bertindak sebagai agen perekat yang menfasilitasi aglomerasi kristal dalam patofisiologi batu empedu. Saat ini, stimulus yang menyebabkan hipersekresi mukus belum dapat dipastikan namun prostaglandin diduga mempunyai peran penting dalam hal ini.
B. Patofisiologi batu berpigmen
Patofisiologi batu berpigmen untuk kedua tipe yakni batu berpigmen hitam dan batu berpigmen coklat melibatkan dua proses yang berbeda.
1. Patofisiologi batu berpigmen hitam
Pembentukan batu berpigmen hitam diawali oleh hipersekresi blilirubin terkonjugat (khususnya monoglukuronida) ke dalam empedu. Pada keadaan hemolisis terjadi hipersekresi bilirubin terkonjugat hingga mencapai 10 kali lipat dibanding kadar sekresi normal. Bilirubin terkonjugat selanjutnya dihidrolisis oleh glukuronidase-β endogenik membentuk bilirubin tak terkonjugat. Pada waktu yang sama, defek pada mekanisme asidifikasi empedu akibat daripada radang dinding mukosa kantung empedu atau menurunnya kapasitas “buffering” asam sialik dan komponen sulfat dari gel musin akan menfasilitasi supersaturasi kalsium karbonat dan fosfat yang umumnya tidak akan terjadi pada keadaan empedu dengan ph yang lebih rendah. Supersaturasi berlanjut dengan pemendakan atau presipitasi kalsium karbonat, fosfat dan bilirubin tak terkonjugat. Polimerisasi yang terjadi kemudian akan menghasilkan kristal dan berakhir dengan pembentukan batu berpigmen hitam.
2. Patofisiologi batu berpigmen coklat
Batu berpigmen coklat terbentuk hasil infeksi anaerobik pada empedu, sesuai dengan penemuaan sitorangka bakteri pada pemeriksaan mikroskopik batu. Infeksi traktus bilier oleh bakteri Escherichia coli, Salmonella typhii dan spesies Streptococcus atau parasit cacing seperti Ascaris lumbricoides dan Opisthorchis sinensis serta Clonorchis sinensis mendukung pembentukan batu berpigmen.
Sebagaimana yang ditampilkan pada diagram 7, patofisiologi batu diawali oleh infeksi bakteri/parasit di empedu. Mikroorganisma enterik ini selanjutnya menghasilkan enzim glukuronidase-β, fosfolipase A dan hidrolase asam empedu terkonjugat. Peran ketiga-tiga enzim tersebut didapatkan seperti berikut:
i. Glukuronidase menghidrolisis bilirubin terkonjugat hingga menyebabkan pembentukan bilirubin tak terkonjugat.
ii. Fosfolipase A menghasilkan asam lemak bebas (terutamanya asam stearik dan asam palmitik).
iii.
Hidrolase asam empedu menghasilkan asam empedu tak terkonjugat.
Hasil produk enzimatik ini selanjutnya dapat berkompleks dengan senyawa kalsium dan membentuk garam kalsium. Garam kalsium dapat termendak lalu berkristalisasi sehingga terbentuk batu empedu. Proses litogenesis ini didukung oleh keadaan stasis empedu dan konsentrasi kalsium yang tinggi dalam empedu. Bakteri mati dan glikoprotein bakteri diduga dapat berperan sebagai agen perekat, yaitu sebagai nidus yang menfasilitasi pembentukan batu, seperti fungsi pada musin endogenik.
Patofisiologi Batu Intra Hepatal ( Hepatolithiasis ):
Terbentuk batu empedu dalam saluran empedu intrahepatal Perubahan empedu karena infeksi Hidrolisis bil.glukoronidase oleh aktivitas ß-dekloronidaseàbilirubin bebas Dekonyugasi bilirubin dan kalsium → Ca. bilirubinat à insoluble à mikrokalculi Infeksi berulang → mikrokalkuli → nidus → kristalisasi → batu empedu Penanganan Intrahepatal Stone :
Evakuasi batu dengan scoop atau forcep melalui ductus choledokus dan dilanjutkan irigrasi laruran NaCl
koledokotomi luas dan dilakukan irigasi dengan NaCl dan pasang T-Tube
Reseksi hepar
Kombinasi litotomi transhepatik dan koledokotomi
Transhepatik litotomi
EPIDEMIOLOGI
Female →
≥ wanita : pria dengan perbandingan 2 : 1.
Fat
→
Lebih sering pada orang banyak yang gemuk.
Forty
→
Bertambah dengan tambahnya usia.
Fertile → Food
→
Flatulen →
Lebih banyak pada multipara. orang dengan diet tinggi kalori dan obat-obatan tertentu. Sering memberi gejala-gejala saluran cerna.
DIAGNOSIS
Penyakit batu empedu memiliki 4 tahap:
Tahap litogenik , pada kondisi ini mulai terbentuk batu empedu. Tahap asimptomatik, pada tahap ini pasien tidak mengeluh akan sesuatu sehingga tidak memerlukan penanganan medis. Karena banyak terjadi, batu empedu biasanya muncul bersama dengan keluhan gastroitestinal lainnya. Beberapa penelitian menunjukkan batu empedu menyebabkan nyeri abdomen kronik, heartburn, distress postprandial, rasa kembung, serta adanya gas dalam abdomen, konstipasi dan diare. Dispepsia yang terjadi karena makan makanan berlemak sering salah dikaitkan dengan batu empedu, dimana irritable bowel syndrome atau refluks gastroesofageal merupakan penyebab utamanya. Tahap Kolik bilier, episode dari kolik bilier bersifat sporadik dan tidak dapat diperkirakan. Nyeri terlokalisir pada epigastrium atau kuadran kanan atas dan dirasakan sampai ke daerah ujung scapula kanan. Dari onset nyeri, nyeri akan meningkat stabil sekitar 10 menit dan cenderung meningkat selama beberapa jam sebelum mulai mereda. Nyeri bersifat konstan dan tidak berkurang dengan emesis, antasida, defekasi atau perubahan posisi. Nyeri mungkin juga bersamaan dengan mual dan muntah, muncul biasanya setelah makan ( Kolik pasca Prandial) Komplikasi kolelitiasis, terjadi ketika batu persisten masuk ke dalam duktus biliar sehingga menyebabkan kantung empedu menjadi distended dan mengalami inflamasi progresif. Sebagian besar (90-95%) kasus kolesistitis akut disertai kolelithiasis dan keadaan timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ tersebut. Respon peradangan dapat dicetuskan 3 faktor: a) Inflamasi mekanik yang dicetuskan oleh kenaikan tekanan intra lumen dan distensi menyebabkan iskemia mokusa dan dinding kandung empedu.
b) Inflamasi kimiawi akibat pelepasan lesitin dan faktor jaringan lokal lainnya.
c) Inflamasi bakteri yang memegang peran pada sebagian besar pasien dengan kolesistitis akut.
Manifestasi Klinis
Kurang lebih 10% penderita batu empedu asimtomatik. Gejala yang dapat timbul:
Nyeri (60%). Bersifat kolik, mulai daerah epigastrium atau hipokondrium kanan dan menjalar ke bahu kanan. Nyeri ini sering timbul karena makanan berlemak. Bila terjadi penyumbatan duktus sistikus atau kolesistits dijumpai nyeri tekan hipokondrium kanan, terutama p ada waktu penderita menarik napas dalam (MURPHY’S SIGN). Demam. Timbul → peradangan. Sering disertai menggigil. Ikterus. Ikterus obstruksi terjadi bila ada batu yang menyumbat saluran empedu utama (duktus hepatikus / koledokus). Trias Charcot, if ada infeksi (Demam, Nyeri didaerah hati, Ikterus. Hydrops vesica felea ( Couvousier Law ) : T eraba Vesica felea. Pruritus. Kulit Gatal-gatal. Laboratorium
Pada ikterus obstruksi terjadi:
Bilirubin direk dan total ↑, Kolesterol ↑, Alkali fosfatase↑ 2-3 kali, Gama glukuronil transferase ↑, Bilirubinuria ( Ada bilirubin dalam Urine, urine seperti teh ), Tinja akolis ( Tinja berwarna keputihan seperti dempul)
Pencitraan
Ultrasonografi Kolesistografi oral Pemeriksaan Khusus pada ikterus obatruksi : - Kolangiografi perkutan transhepatik (PTC)
- Endoscopic Retrograde Cholangio
Pancreatography (ERCP)
- Computerized tomography scanning (CT-Scan)
Penatalaksanaan.
-
Batu kantong empedu : Kolesistektemi (ICOPIM 5.511)
Disertai batu saluran empedu : kolesistektomi + koledokolitotomi (ICOPIM 5.513) + antibiotika profilaksis : ampisilin 1 g i v + aminoglikosida 60 mg i v (1x) atau sefalosporin generasi III 1 g i. v. (1x), kombinasi dengan metronodazol 0,5 gr i.v. (drip dalam 30 menit)
Disertai keradangan (kolesistitis / kolangitis) + antibiotika kombinasi terapi : tripel antibiotika
- ampisilin 3×1 g/hari i.v.
- aminoglikosida 3×6 mg/hari i.v.
-
metronidazol 3x 0,5 g i.v. (drip dlm 30 mnt) atau
-
antibiotika ganda : sefalosporin gen.III 3×1 g/hari i.v. + metronidazol 3×1
g/hari i.v