HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
BUKU AJAR ILMU PENYAKIT DALAM Edisi Kelima Jilid I1
Aru W. Sudoyo
Marcellus Simadibrata K.
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Gastroenterologi Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, Jakarta
Bambang Setiyohadi
Siti Setiati
Konsdtan Reumatologi Divisi Reurnatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, Jakarta
I h s Alwi Konsultan Kardiologi Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalarn Diponegoro 7 1 Jakarta Pusat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Editor: Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati
Editor Topik: Ari Fahrial Syam, Arif Mansjoer, Arina Widya Murni, C. Rinaldi Lesmana, Ceva W. Pitoyo, Dante Saksono Harbuwono, Dyah Purnamasari, Erni J. Nelwan, Esthika Dewiasty, Hamzah Shatri, Ika Prasetya Wijaya, Ikhwan Rinaldi, Imam Effendi, M. Begawan Bestari, Nafrialdi, PN. Haryanto, Parlindungan Siregar, Purwita W. Laksmi, Rudy Hidayat, Ryan Ranitya, Sally A.Nasution, Teguh Harjono Karjadi, Tri Juli Edy Tarigan
Redaktur Pelaksana: Setting dan Layout: Design Cover:
Nia Kurniasih Edy Supardi, Nia Kurniasih, Sudiariandini S., Harry Haryanto, Zikri Anwar, Sandi Saputra Harry Sugianto
210mmx275 mm 30 + 928 halaman ISBN : 978-979-9Y55-95-b(Ji1id L e n g k a p ) ISBN : 97B-979-9455-97-O(Ji1id 1 1 )
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Sanksi Pelanggaran Pasal44 Undang -undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas undang-undang Nomor 6 Tahun 1987 Tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Nomor 7 Tahun 1987. 1.
2.
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000.00,(seratus juta rupiah) barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (I),dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000.00,- (lima puluh juta rupiah)
Diterbitkan pertama kali oleh: InternaPublishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam J1. Diponegoro 71 Jakarta Pusat 10430 Telp. : 021-3193775 Faks. : 021-31903776 Email :
[email protected] Cetakan Pertama November 2009 Cetakan Kedua Agustus 2010
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan, sehingga kami dapat menerbitkan revisi Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi ke-V. Buku ini merupakan penyempunaan buku edisi sebelumnya. Revisi selalu kami upayakan karena kami meyadari begitu cepatnya perkembangan tatalaksana di bidang ilmu Penyakit Dalam. Hal inilah yang membuat kami beke rja keras agar dapat menerbitkan buku yang dapat dijadikan andalan. Kami berhararap buku ini dapat dijadikan pintu masuk untuk mengembangkan diri menelusuri sumber-sumber ilmu pengetahuan kedokteran lebih lanjut. Buku ajar edisi ini mengalami perubahan hampir di semua bab. Perkembangan terbaru dalam 4 tahun terakhir telah menjadi bagian dalam buku ini. Pada proses revisi, dari 450 naskah terdapat 81 naskah yang direvisi. Seperti buku sebelumnya, buku ini juga berisi bab dasar-dasar ilmu penyakit dalam serta pendekatan holistiknya, ditambah pula kedokteran kegawatdaruratan (emergency medicine), genetika, biologi molekular, dan ilmu kedokteran adolesen dan kami menambahkan satu bab baru khusus untuk penatalaksanaan Nutrisi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Kami tim editor amat sadar karena keterbatasan yang kami miliki saat buku ini terbit, pasti telah terjadi penambahan informasi maupun pengetahuan yang tidak sempat dimuat. Untuk itu, para pembaca dipersilakan menelusuri kepustakaan yang telah dicantumkan sebagai bacaan anjuran di akhir setiap topik, dengan memegang asas medicine is a life-long study. Tim editor mengucapkan terima kasih kepada Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia (PB. PAPDI) yang tetap percaya memberikan tugas terhormat hi, Juga kepada tim editor buku ajar sebelumnya yang telah bekerja keras merevisi buku ajar ini sehingga kita dapat memiliki Buku Ajar yang menjadi acuan di bidang ilmu kedokteran di seluruh Indonesia. Tim editor juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, para penulis dari seluruh negeri, sekretariat Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Jakarta, tim editor dan semua pihak yang telah rela meluangkan waktu menulis dan mengedit buku ini Kami sangat menyadari buku ini pasti tidak luput dari kesalahan-kesalahan, baik itu berupa salah ketik, kesalahan dalam bahasa maupun tata letak. Pada kesempatan ini tim editor memohon maaf kepada para penulis maupun pembaca. Masukan, kritik dan saran akan kami jadikan cambuk supaya kami dapat menerbitkan buku ajar ini kearah yang lebih baik. Insya Allah.. ... Sebagai kata akhir, perkenankan kami juga mengucapkan penghargaan kami kepada semua mahasiswa fakultas kedokteran di Indonesia yang dengan kepercayaan merupakan motivator serta pendorong semangat bagi kami untuk menyelesaikan buku ajar ini sebaik mungkin. Tanpa kalian, mahasiswa di seluruh Indonesia, buku ini tidak akan menjadi seperti sekarang ini. Semoga persembahan para anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia bagi masyarakat kedokteran dapat lebih menerangi dunia ilmu kedokteran di negara ini untuk Indonesia yang lebih maju lagi.
Jakarta, Nopember 2009 Tim Editor
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Assalamu'alaikum wr. wb. Sejawat Yang Terhormat. Kita bersama mengucapkan syukur pada Tuhan YME bahwa Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ini telah mencapai cetakan yang kelima, sehingga buku yang telah banyak dibaca ini senantiasa diremajakan dan tetap populer. Ada beberapa makna dari keberadaan buku ini yang saya ingin garis bawahi', yaitu 1)Ilmu Penyakit Dalam masih tetap utuh dengan semua subdisiplin yang bernaung di bawahnya, yaitu Alergi dan Imunologi, Gastroenterologi, Geriatri, Ginjal dan Hipertensi, Hematologi dan Onkologi, Hepatobilier, Kardiologi, Metabolik dan Endokrin, Pulmonologi, Psikosomatik, Reumatologi dan Penyakit Tropik dan Infeksi. Pendekatan holistik yang menjadi falsafah dasar cabang utama dan tertua Ilmu Kedokteran ini menjadi landasan bagi semua cabang-caban g ilmu kedokteran lainnya, dan untuk Indonesia ha1 ini menjadi lebih penting karena luasnya wilayah serta besarnya populasi yang harus dijangkau. Hal lain adalah 2) keterlibatan dan partisipasi begitu banyaknya anggota Perhimpunan Dokter Spersialis Penyakit Dalam (PAPDI) dalam penulisan buku ini, sesuatu yang membahagiakan bagi setiap pengurusnya, karena menunjukkan tidak hanya kebersamaan tetapi juga suatu tekad besar untuk berjalan bersama.
Para penulis Buku Ajar Penyakit Dalam ini adalah para anggota PAPDI dari seluruh Indonesia yang ditunjuk tim editor dan telah meluangkan waktunya di samping kesibukan masing-masing. Tidaklah mudah untuk menyusun suatu makalah yang akan digunakan sebagai referensi oleh calon-calon dokter dan spesialis, dan tidak ringan bagi para editor untuk mengirim kritik serta saran dalam perjalanan merealsisasikan buku ajar ini. Untuk itu saya sebagai Ketua Umum menyampaikan apresiasi serta terima kasih yang sebesar-besarnya. Saya yakin buku ini dapat menjadi referensi yang baik bagi para dokter, baik mahasiswa kedokteran, dokter umum, calon Dokter Spesialis Penyakit Dalam maupun dokter dari keahlian lainnya. Dengan membaca buku ajar ini diharapkan kemampuan sejawat meningkat baik dalam teori maupun keterampilan sehingga pelayanan pada pasien pun akan meningkat kualitasnya. Sekali lagi saya mengucapkan selamat atas terbitnya buku ajar cetakan kelima ini, semoga Allah SWT meberikan rahmatNya pada kita semua. Amin.
Jakarta, Nopember 2009 Ketua DR. dr. Aru W Sudoyo, SpPD-KHOM, FACP
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Prof. DR. Dr. A Harryanto Reksodiputro, Sp.PD
Dr. Agus S.Waspodo, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Dr. A. Madjid, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Subbagian Ginjal Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RS. Wahidin Sudirohusodo, Makassar.
Konsultan Kardiovaskular, Bagian Fisiologi, FK. USU/RSUP. Dr. Pringadi Medan
Prof. Dr. Agus Tessy, Sp.PD
Dr. A. Muin Rachman, Sp.PD
Konsultan Kardivaskular Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. H. Ahmad A Asdie, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSU Dr. Sardjito, Yogyakarta
Dr. A. Sanusi Tarnbunan, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Ahmad Fauzi, Sp.PD
Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. H. A.Aziz Rani, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi Hepatologi Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Ahrnad Rasyid, Sp.PD
Konsultan Pulmonologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSUP, Dr. Moh. Hoesin, Palembang Dr. Aida Lydia, Sp.PD
Dr. A. Nurman, Ph.D, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSAL Mintoharjo, Jakarta
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilrnu Penyakit Dalarn FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. H. Akmal Sya'roni, Sp.PD
Prof. Dr. A.R.Nasution, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang
Prof. Dr. Abdulmuthalib, Sp.PD
Dr. Ali Djurnhana, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RSUP. Hasan Sadikin, Bandung
Dr. Adiwiyono, Sp.PD
Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RS Dr. Moh.Hoesin Palembang
.
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Dr. Agus P. Sarnbo, Sp.PD
Bagian Penyakit Dalam, FK Univ. Hasmuddin/ RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar
Prof. Dr. Ali Ghani, Sp.PD
Prof. Dr. H. AIi Sulaiman, Ph.D, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dr. Alwi Shihab, Sp.PD
Prof. DR. Dr. Askandar Tjokroprawiro, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
Dr. Alwinsyah, Sp.PD
Prof. Dr. Asrnan Manaf,Sp.PD
Divisi Pulmonologi dan Alergi-Imunologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAND/RS Dr. M. qamil, Padang
Dr. Arnaylia Oehadian, Sp.PD
Dr. Asril Bahar, Sp.PD
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Konsultan Pulmonologi-Konsultan Geriatri Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Dr. AMC Karena-Kaparang, Sp.PD
Dr. Asrul Harsal, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Sam Ratulangi/RSU Malalayang, Manado
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Arni Ashariati,Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Lab. Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Andi Fachruddin Benyarnin,Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RS Wahidin Sudirohusodo, Makassar
Prof. Dr. Azhar Tandjung, Sp.PD
Konsultan Alergi Imunologi-Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi dan Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUD Dr. Pringadi-RSUP.H.Adam Malik, Medan Prof. Dr. B. Fanani Lubis, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RS Dr. Pringadi
Dr. Andri Sanityoso, Sp.PD
Dr. B.J. Waleleng, Sp.PD
Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/RSUP Malalayang, Manado
Dr. Ari Baskoro, Sp.PD
Divisi Alergi Imunologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD. Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Ari Fahrial Syarn, Sp.PD, MMB
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Arif Mansjoer, Sp.PD, KIC
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Arnadi Taslirn, Sp.PD
RS. Krakatau Steel Cilegon, Jawa Barat DR. Dr. Aru W. Sudoyo, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi hledik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. B. P. Putra Suryana, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Seksi Reumatologi, Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RS Dr. Saiful Anwar, Malang Dr. Barnbang lrawan M, Sp.PD
SMF Penyakit Dalam FK. UGM/RSUP. Dr. Sardjito, Yogyakarta Dr. Barnbang Karsono, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Barnbang Setiyohadi, Sp.PD
Konsultan Reumatologi, Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Boedhi Darrnojo, Sp.PD
Dr. Arya Govinda, Sp.PD
Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Dr. Aryanto Suwondo, Sp.PD
Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalani FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang Dr. Barnbang Sigit Riyanto, Sp.PD
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Prof. Dr. Barwani Hisyam, Sp.PD
Dr. Chairul Effendi, Sp.PD
Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP. Dr. Sardjito, Yogyakarta
Konsultan Alergi Imunologi Subbagian Alergi Imunologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalarn FK UNAIR/RSUD. Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Candra Wibowo, Sp.PD
Dr. Blondina Marpaung, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUD. Dr. kingadi-SUF. H. Adam Malik, Medan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Sam Ratulangi/RSU Malalayang
Prof. DR. Dr. Asman Boedisantoso R, Sp.PD
Konsultan Penyakit ~ r o ~ dan i k Infeksi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNMUL/RSUD A. Wahab Sjahranie, Samarinda
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Boediwarsono, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Lab. Ilmu Penyakit Dalam FK. UNAIR/RS. Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Budi Darmawan Machsoos, Sp.PD
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang Dr. Budi Muljono, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RS Dr. Moh. Hoesin, Palembang Dr. Budi Setiawan, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalarn FKUI/RSUPN-CM, Jakarta DR. Dr. Budiman, Sp.PD
Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Budiono, Sp.PD
Divisi Pulmonologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
ana ado
Dr. Carts A. Gunawan,Sp.PD
Dr. Chudahman Manan, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta DR. Dr. Cleopas Martin Rumende, Sp.PD
Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Cosphiadi Irawan, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta DR. Dr. Czeresna Heriawan Soejono, Sp.PD, MEpid
Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Dadang Makmun, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. DR. Dr. Daldiyono Hardjodisastro, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Dr. Dante Saksono Harbuwono, PhD, SpPD
Dr. C. Singgih Wahono,Sp.PD
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang
Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Catharina Suharti, Sp.PD
Prof. Dr. Dasnan Ismail, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang
Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Ceva Wicaksono Pitoyo, Sp.PD
Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Daulat Manurung, Sp.PD
Dr. Chairul Bahri, Sp.PD
Dr. Dewa Putu, Sp.PD
Bagian Ilmu Penyakit Dalam , FK USU/RS Dr. Pringadi, Medan
Subbagian Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dr. Dharrneizar, Sp.PD
Dr. Edy Mart Salim, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Alergi Imunologi, Subbagian Alergi Imunologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSMH, Palembang
Dr. Dharrnika Djojoningrat, Sp.PD
Divisi Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi, Departemen I h u Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Prof. DR. Dr. Dina Jani Mahdi, Sp.PD
Konsultan Alergi Imunologi Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Djoko Wahono, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang
Dr. Eko Budiono, Sp.PD
Dr. Elias Pardjono, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta Prof. DR. Dr. Endang Susalit, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Djoko Widodo, Sp.PD
Prof. Dr. Enday Sukandar, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Lnfeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Ginjal Hipertensi Subbagian Ginjal Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RSUP. Hasan Sadikin, Bandung
Dr. Djoni Djunaedi, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang Dr. Dody Ranuhardy, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Erwanto Budi W., Sp.PD
Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta DR. Dr. Evy Yunihastuti, Sp.PD
Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. F. Surnanto Padrnornartono, Sp.PD
Dr. Dono Antono, Sp.PD
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Doni Priarnbodo Witjaksono, Sp.PD
Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta Prof. Dr. Dwi Sutanegara, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP. Sanglah Denpasar, Bali Dr. E.N. Keliat, Sp.PD
Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUD.Dr. Pringadi-RSUP.H.Adam Malik, Medan Prof. Dr. Eddy Soewandojo Soewondo, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Lab. Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr.Sutomo, Surabaya Prof. Dr. Edu Tehupeiory, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Subbagian Reumatologi, Bagian llmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RSUP. Dr. Wahidin S. Makassar
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang Dr. Faridin, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Subbagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Hasanuddin, Makasar Dr. Gatoet Isrnanoe, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RS Dr. Sjaiful Anwar Malang Dr. Gatot Soegianto, Sp.PD
Subbagian Alergi Imunologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUP Dr. Soetomo. Surabaya Dr. Ginova Nainggolan, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Prof. DR. Dr. Guntur Hermawan, Sp.PD
Prof. Dr. Hanafi B. Trisnohadi, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Subbagian Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Surakarta/RSUD Dr. Moewardi, Solo
Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. H. Soemarsono, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Bagian Patologi Klinik, Bagian Penyakit Dalam FK Univ. Brawaijaya, Malang
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Meksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof.Dr. H.A. Fuad Bakry F, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang Prof. Dr. H.A.M.AkiI, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RSUP Dr. Wahidin S. Makassar Dr. H.E. Mudjaddid, Sp.PD
Konsultan Psikosomatik Divisi Psikosomatik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. H. Hanum Nasution, Sp.PD
Kansultan Psikosomatik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSU Dr. Pringadi, Medan Prof. Dr. H.M.S. Markum, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Hadi Halim, Sp.PD
Konsultan Pulmonologi SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RS Dr. Moh. Hoesin, Palembang Dr. Hadi Martono, Sp.PD
Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi Sernarang
Prof. Dr. Handono Kalim, Sp.PD
Dr. Hans Salonder, Sp.PD
Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Sam Ratulangi/RSU Malalayang, Manado Prof. Dr. Hariono Achmad, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RSUD. Dr. Sjaiful Anwar, Malang Dr. Harlinda Haroen, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/ RSUP Malalayang, Manado Prof. DR. Dr. Harry Isbagio, Sp.PD
Konsultan Reumatologi-Konsultan Geriatri Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSU Dr. Pringadi, Medan Prof. DR. Dr. Hendromartono, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya Prof. Dr. Herdiman T. Pohan, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Hermasyah, Sp.PD
Dr. Hadi Yusuf, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Subbagian Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS. Hasan Sadikin, Bandung
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSU Dr. Moh. Hoesin, Palembang
Prof. DR. Dr. Abdul Halim Mubin, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/ RSUP Dr. Soetomo, Surabaya
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RSUP Dr.Wahidin S, Makassar
Prof. Dr. Hernomo Kusumobroto, Sp.PD
Dr. HamzahShatri, Sp.PD, MEpid
Prof. DR. Dr. Heru Sundaru, Sp.PD
Konsultan Psikosomatik Divisi Psikosomatik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Alergi Imunologi Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dr. Hilman Tadjoedin, Sp.PD
Prof. Dr. lman Supandiman, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/ RS Hasan Sadikin, Bandung
Dr. Hirlan, Sp.PD
DR. Dr. Iris Rengganis, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUD Dr. Kariadi, Semarang
Konsultan Alergi Imunologi, Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. IGde RakaWidiana, Sp.PD
Dr. lrsan Hasan; Sp.PD
Divisi Ginjal Hipertensi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah, Bali
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUIJN-CM, Jakarta
Dr. IKetut Suega, Sp.PD
Divisi Hematologi-Onkologi Medik Bagian/ SMF Penyakit Dalam FK UDAYANA/RS Sanglah ~en~asar3ali
Dr. l n a Wahid,Sp.PD
Subagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAND/RS Dr. M. Djamil, Padang
Prof. DR. Dr. IMade Bakta, Sp.PD
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK uNUD/RSL.JP Sanglah Denpasar, Bali Dr. Ian Effendi N. Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Ddam FK UNSRI/RS. Moh. Hoesin, Palembang
Prof. Dr. lskandar Zulkamaen, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. lswan A. Nusi, Sp.PD
Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalarn FK UNAIR/EL.JP Dr. Soetomo, Surabaya
Dr. lbnu Punvanto, Sp.PD
Subbagian Hematologi-OnkoIog Medik SMF IImu Penyakit Dalam FK UGM/RSL.JP Dr. Sardjito, Yogyakarta DR. Dr. ldrus Alwi, Sp.PD
Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. lwang Gurniwang, Sp.PD
Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Jodi Sidharta Loekman, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali
Dr. Ika PrasetyaWijaya, Sp.PD
Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Dr. lkhwan Rinaldi, Sp.PD
Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departernen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta DR. Dr. lmam Effendi, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
DR. Dr. Johan Kurnianda, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/ RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta Prof. DR. Dr. Johan S. Masjhur, SpPD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/ RS Hasan Sadikin, Bandung Dr. Johanes Purwoto,Sp.PD
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Dr. lmam Subekti, Sp.PD
Prof. Dr. John M.F. Adam, *PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Divisi Endokrin dan Metabolik Bagian Penyakit Dalam FK Univ. Hasanuddin/RS Dr. Wahidin S, Makasar
ONLY SCANNED FORxii dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI DR. Dr. Joewono Soeroso, MSc, Sp.PD
Dr. Kuntjoro Harimurti, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Lab. UPF Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr. Sutomo, Surabaya
Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Jose Roesma, PhD, Sp.PD
Konsultan Patologi Klinik Bagian Patologi Klinik FK Univ. Brawijaya, Malang
DR. Dr. Kusworini Handono, Sp.PK
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Laurentius A. Lesmana, PhD, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Yuliasih, Sp.PD
Konsultan Reumatologi, Subbagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
Dr. Leonard Nainggolan, Sp.PD
Konsultan Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Julius, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Andalas/RSL.JPDr. M. Djamil, Padang
Dr. Lestariningsih, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Subbagian Ginjal Hipertensi Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang
DR. Dr. Karel Pandelaki, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/RSUP, Manado
Dr. Linda K. Wijaya, Sp.PD
Konsultan Reumatologi RS. Pantai Indah Kapuk -Jakarta
Prof. DR. Dr. Karmel L. Tambunan, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Linda W.A. Rotty, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/RSUP Malalayang, Manado
Prof. DR. Dr. Karnen G. Bratawijaya, Sp.PD
Konsultan Alergi Imunologi, Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Lucky Aziza Bawazier, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Kartika Widayati, Sp.PD
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
DR. Dr. Lugyanti Sukrisman, Sp.PD
Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Ketut Suega, Sp.PD
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali
Prof. Dr. Lukman Hakim Makmun, Sp.PD
Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. DR. Dr. Ketut Suwitra, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali
Dr. Lukman Hakim Zain, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUP H. Adam Malik, Medan
Dr. Khie Chen, Sp.PD
Konsultan Tropik Infeksi, Divisi Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Dr. M. Tantoro Harmono, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/RSUD Dr. Muwardi, Surakarta
Dr. Kris Pranarka, Sp.PD
Dr. M. Darwin Prenggono, Sp.PD
Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP. Dr. Kariadi, Semarang
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNLAM/RSUD. Ulin, Banjarmasin
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
xiii
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Dr. Muhammad Diah, Sp.PD
Dr. Nafrialdi, Ph.D,Sp.PD
Divisi Kardiologi, Bagian Penyakit Dalam FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang
Departemen Farmakologi FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. M.Yusuf Nasution, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Padang
Dr. Najirman, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Instalasi Hemodialisa SMF Penyakit Dalam FK USU/RSUP H. Adam Malik, Medan
Dr. Nanang Sukmana, Sp.PD
Konsultan Alergi Imunologi, Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Made Putra Sedana, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Lab. Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya
Dr. Nasronudin,Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Subbagian Tropik Infeksi Bagian Penyakit Dalam FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya
Dr. Marcellus Simadibrata K, Ph.D, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Nasrul Jubir, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. Qarnil, Padang
Dr. Marulam M. Panggabean, Sp.PD
Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Nelly Tendean Wenas, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi ~ a ~ i Ilmu a * Penyakit ~ a l a k FK UNSRAT/RSUP Malalayang, Manado
Dr. Meddy Setiawan, Sp.PD
Bagian Penyakit Dalam, FK Univ. Brawijaya, Malang Dr. Mediarty Syahrir, Sp.PD
Dr. Nina Kemala Sari, Sp.PD
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RS Dr. Moh. Hoesin, Palembang
Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Niniek Burhan, Sp.PD
Prof. Dr. Mochammad Sja'bani, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang
Konsultan Ginjal Hipertensi, Divisi Ginjal Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
Prof. Dr. Nizam Oesman, Sp.PD
Dr. Moefrodi Wirjoatmodjo, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Lab. Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta
DR. Dr. Noorwati Sutandyo, Sp.PD
Prof. DR. Dr. Mohammad Yogiantoro, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Ginjal Hipertensi, Divisi Ginjal Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Airlangga/RS Dr. Sutomo Surabaya Dr. Muhamad Yamin, Sp.JP
Dr. Nugroho Prayogo, Sp.PD
Konsultan Kardiovaskular, Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
DR. Dr. Murdani Abdullah, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Nurhay Abdurachman, Sp.PD
Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Nurul Akbar, Sp.PD
Dr. H. Murnizal Dahlan, Sp.B
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Bedah Vaskular, Divisi Bedah Vaskular Departemen Bedah FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
xiv
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Prof. Dr. Nuzirwan Acang, Sp.PD
Dr. PN. Harryanto, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Padang
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi RSU Bethesda, Tomohon, Sulawesi Utara
Dr. Nyoman Astika, Sp.PD
Instalasi Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah Denpasar - Bali Drs. Nyoman Gde Suryadhana
Dr. Poernomo Budi Setiawan, Sp.PD
Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Pradana Soewondo, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit DalamFKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Bagian Gigi Mulut, FKG Univ. Indonesia, Jakarta Dr. Nyoman Kertia, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta Prof. Dr. OK Moehad Syah, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK USU/RSUP H. Adam Malik, Medan Prof. Dr. PangarapenTarigan, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUP H. Adam Malik, Medan Dr. Pangestu Adi, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Panji lrani Fianza, Sp.PD
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Penyakit Dalam FK Univ. Padjadjaran/RS Dr. Hasan Sadikin Bandung DR. Dr. Parlindungan Siregar, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi, Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Pasiyan Rahmatullah, Sp.PD
Konsultan Pulmonologi, Divisi Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang Prof. DR. Dr. Paulus Wiyono, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
Dr. Pranawa, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal HipertensiLab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Probosuseno, Sp.PD
Subbagian Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/ RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta Dr. F.X. Pridady, Sp.PD
Unit Penyakit Dalam, RSAB. Harapan Kita, Jakarta Dr. Primal Sudjana, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Subbagian Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung Dr. Putut Banyupurnama, Sp.PD
Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalarn FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta Dr. R.A. Tuty Kuswardhani, Sp.PD
Konsultan Geriatri Instalasi Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS. Sanglah Denpasar - Bali Prof. DR. Dr. RR. Djokomoeljanto, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang Dr. R. Soertadi, Sp.PD Prof. Dr. R.H.H. Nelwan, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalarn FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. DR. Dr. Rachmat Soelaeman, Sp.PD
Dr. Pernodjo Dahlan, Sp.PD
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSU Dr. Sardjito, Yogyakarta Prof. DR. Dr. PG Konthen, Sp.PD
Konsultan Alergi Imunologi Subbagian Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo,Surabaya
Konsultan Ginjal Hipertensi Unit Penelitian Kesehatan FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung Dr. H. Rahmat Sumantri, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dr. Rawan Broto, Sp.PD
Prof. Dr. S.A. Abdurachman, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam F K UNPAD/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Dr. Rejeki Andayani Rahayu, Sp.PD
Prof. Dr. Saharman Leman, Sp.PD
Konsultan Geriatri Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang
Konsultan Kardiovaskular SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Pandang Dr. Sally Aman Nasution, Sp.PD
Dr. Restu Pasaribu, Sp.PD
Divisi Ginjal Hipertansi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RS Moh. Hoesin, Palembang
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Riardy Pramudyo, Sp.PD
Prof. DR. Dr. Samsuridjal Djauzi, Sp.PD
Konsulatan Reumatologi Sub Unit Reumatologi Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Konsultan Alergi Imunologi, Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. DR. Dr. Rifai Amirudin, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RSUP Dr. Wahidin S, Makasar
Prof. DR. Dr. Sarwono Waspadji, Sp.PD
Dr. Shofa Chasani, Sp.PD
Dr. Rino A.Gani, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Ginjal Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RS Dr. Kariadi, Semarang Dr. Shufrie Effendy, Sp.PD
Dr. Ririn H, Sp.Gk
Instalasi Gizi RS. Kanker Dharmais, Jakarta Dr. Rizasyah Daud, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Rizka Humardewayanti Asdie, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta Dr. Ronald A. Hukom, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Rudi Putranto, Sp.PD
Divisi Psikosomatik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Dr. Rully M.A. Roesli, PhD, Sp.PD
Konsultan Ginial Hivertensi Bagian Ilmu pbnyakit Dalam FK UNPAD/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung Dr. Rose Dinda, SpPD
SMF Ilmu Penyakit Dalam, FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. pamil, Pandang
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. DR. Dr. Sidartawan Soegondo, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Dr. Siti Nurdjanah, Sp.PD, M.Kes.
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta DR. Dr. Siti Setiati, MEpid, Sp.PD
Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Sjaharuddin Harun, Sp.PD
Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Slamet Suyono, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Divisi Metabolik ~ n d o k ; i n Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
ONLY SCANNED FOR xvidr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dr. Soebagyo Loehoeri, Sp.PD
Dr. Sumardi, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta
Divisi Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
Prof. Dr. Soebandiri, Sp.PD
Dr. Sumariyono, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. DR. Dr. Soeharyo Hadisaputro, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik DiabetesKonsultan Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Supartondo,Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RS Dr. Kariadi Semarang Prof. Dr. Soenarto, Sp.PD
Dr. Suradi Maryono, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/RSUD Dr. Muwardi, Surakarta
Prof. DR. Dr. Soewignjo Soemohardjo, Sp.PD
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RS. Dr. Kariadi, Semarang
Dr. Suyono, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam, RSU. Mataram Dr. Stephanus Gunawan, Sp.PD
Dr. Syadra Bardiman Rasyad, Sp.PD
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSU. Mataram
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang
Dr. Sugianto, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya
Dr. Syafii Piliang, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RS Dr. Pringadi, Medan
Dr. Sugiyono Somoastro, Sp.PD
Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Syafril Syahbuddin, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAND/RSUP Dr. M. Djamil, Padang
Dr. Suhardi Darmo A. Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Subbagian Ginjal Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta
DR. Dr. Syakib Bakri, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RSU Dr. Wahidin S, Makasar
Prof. DR. Dr. Suhardjono, Sp.PD Prof. DR. Dr. T.Santoso, Sp.PD, FACC, FESC
Konsultan Ginjal Hipertensi, Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Kardiovaskular,Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
DR. Dr. Suhendro, Sp.PD
Dr. Taufik Indrajaya, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Sub Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang
Prof. DR. Dr. Sujono Hadi, Sp.PD
Dr. Teguh H. Karjadi, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Konsultan Alergi Imunologi Divisi Alergi Imunologi Dept. Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Sukamto, Sp.PD
Dr. Tjokorda Gde Dharmayuda, Sp.PD
Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
xvii
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dr. Tjokorda Rakaputra, Sp.PD
Prof. Dr. Wiguno Prodjosudjadi, PhD, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Trinugroho Heri Fadjari, Sp.PD
Sub Bagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Dr. Yenny DianAndayani, Sp.PD
Divisi Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalarn FK UNSRI/RSU Dr. Moh.Hoesien Palembang
Dr. Triwibowo, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta
Dr. Yoga I.Kasjmir, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
DR. Dr. Tuti Parwati Merati, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali
Dr. Yosia Ginting, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSU H.Adam Malik, Medan
Dr. UjainahZaini Nasir, Sp.PD
Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Umar Zain, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSU H.Adam Malik, Medan Dr. Unggul Budihusodo, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Usman Hadi, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Subbagian Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya. Dr. Purwita W. Laksrni, Sp.PD
Dr. Zakifman Jack, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Prof. DR. Dr. Zubairi Djoerban, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta DR. Dr.Zul Dahlan, Sp.PD
Konsultan Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung Prof. DR. Dr. Zuljasri Albar, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Zulkarnain Arsyad, Sp.PD
Prof. Dr. Wasilah Rochmah, Sp.PD
Konsultan Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Padang
Konsultan Geriatri Subbagian Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta Dr. Widayat Djoko S., Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
DR. Dr. Zulkifli Amin, Sp.PD
Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENGANTAR TIM EDITOR
iii
SAMBUTAN KETUA UMUM PB. PAPDI KONTRIBUTOR
v vii
11. Pemeriksaan Fisis Jantung
JILID I
Lukrnan H. Makrnun, Nurhay Abddurachrnan
12. Pemeriksaan Abdomen, Urogenital dan Anorektal
DASAR-DASAR ILMU PENYAKIT DALAM 1. Pengembangan Ilmu dan Profesi Penyakit Dalam
13. Catatan Medik Berdasarkan Masalah (CMBM)
77
Lukrnan H. Makrnun
1
Sarnsuridjal Djauzi
14. Psikoneuro Imunoendokrinologi
80
E.Mudjaddid, Hamzah Shatri, R. Putranto
2. Perkembangan Ilmu Penyakit Dalam sebagai Suatu Disiplin Ilmu
4
Nurhay Abdurachrnan
15. Masalah Kesehatan Akibat Alkohol dan Merokok
83
Budirnan
3. Pendekatan Holistik di Bidang Ilmu Penyakit Dalam
7
H.M.S.Markurn. E.Mudiaddid
4. Empati dalam Komunikasi Dokter-Pasien
10
Sarnsuridjal Supartondo . Diauzi, .
5. Praktik Ilmu Penyakit Dalam Rantai Kokoh Cost-effectiveness
16. Kesehatan Remaja Barnbang Setiyohadi
17. Kesehatan Perempuan Siti Setiati, Purwita W. Laksrni
18. Kesehatan Keluarga 12
6. Masa Depan Ilmu Penyakit Dalam dan Spesialis Penyakit Dalam
113
Barnbang Setiyohadi
19. Dasar-dasar Penyakit Akibat Kerja
Supartondo
130
Teguh H. Karjadi, Sarnsuridjal Djauzi
14
Slarnet Suyono
20. Dasar-dasar Farmakologi Klinik
133
Nafrialdi
21
7. Evidence Based Medicine
21. Genetika Medik dan Biologi Molekular Barnbang Setiyohadi, Nyornan Gde Suryadhana
Zubairi Djoerban
8. Anamnesis
25
Supartondo, Barnbang Setiyohadi
9. Pemeriksaan Fisis urnurn
29
KEGAWATDARURATAN MEDIK
54
22. Terapi Oksigen
Barnbang Setiyohadi, Imam Subekti
10. Pemeriksaan Fisis Dada dan Paru Cleopas Martin Rurnende
69
Marcellus Sirnadibrata K.
Anna Uyainah Z. N
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
140
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 23. Dukungan Ventilator Mekanik
166
Ceva W. Pitoyo, Zulkifli Arnin
44. Penatalaksanaan Perdarahan Varises Esofagus 297 Hernorno Kusurnobroto
24. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
175
45 Ileus Paralitik
Parlindungan Siregar
46 Trombosis Arterial Tungkai Akut
25 Gangguan Keseimbangan Asarn Basa Metabolii 190 Parlindungan Siregar
26. Rehidrasi
197
Rizka Humardewayanti Asdie, Doni Priambodo Witjaksono, Soebagjo Loehoeri
27. Penatalaksanaan Umum Koma
307
Ali Djumhana, Ari F. Syam
309
Murnizal Dahlan
47 Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom Lisis Tumor
311
Zakifman Jack
205
Budiman
48. Kegawatan Onkologi dan Sindrom Paraneoplastik
313
Aru W. Sudoyo, Sugiyono Somoastro
28. Sinkop
210
Kasim Rasjidi, Sally Aman Nasution
29. Gaga1 Napas Akut
218
Zulkifli Amin, Johanes Purwoto
30. Resusitasi Jantung Paru
227
Arif Mansjoer
NUTRISI 49. Dasar-dasar Nutrisi Klinik pada Proses Penyembuhan Penyakit Daldiyono, Ari Fahrial Syarn
31. Acute Respirato y Distress Syndrome (ARDS) 234 Zulkifli Amin
50. Nutrisi Enteral Marcellus Sirnadibrata
32. Syok Hipovolemik
242
Ika Prasetya Wijaya
33. Syok Kardiogenik
245
ldrus Alwi, Sally Aman Nasution
34. Penatalaksanaan Syok Septik
252
Arif Mansjoer, Marcellus Simadibrata K
53. Terapi Nutrisi pada Pasien Kanker
257
lris Rengganis, Heru Sundaru, Nanang Sukmana, Dina Mahdi
36. Kegagalan Multi Organ (Disfungsi Organ Multipel)
Imam Subekti
52. Dukungan Nutrisi pada Penyakit Kritis
Khie Chen, Herdiman T. Pohan
35. Renjatan Anafilaktik
51. Nutrisi Parenteral: Cara Pemillihan Kapan dan Bagaimana
Noorwati Sutandyo
54. Gangguan Nutrisi pada Usia Lanjut Nina Kernala Sari
55. Malnutrisi
262
Aryanto Suwondo
Ari Fahrial Syam
56 Malnutrisi di Rumah Sakit
37. Sindrom Termal dan Sengatan Listrik
270
Siti Setiati, Rose Dinda
Budiman
38. Sengatan Serangga
275
Budiman
ALERGI IMUNOLOGI KLINIK
39. Penatalaksanaan Keracunan Bisa Kalaj engking
278
Djoni Djunaedi
280
Djoni Djunaedi
58. Prosedur Diagnostik Penyakit Alergi
377
Azhar Tanjung, Evy Yunihastuti
41. Intoksikasi Narkotika (Opiat)
284
Nanang Sukmana
59. Alergi Makanan
382
Iris Rengganis, Evy Yunihastuti
42. Keracunan Bahan Kimia, Obat dan Makanan
60. Alergi Obat
289
Widayat Djoko, Djoko Widodo
Ceva W. Pitoyo
367
Karnen Garna Baratawidjaja, Iris Rengganis
40. Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbisa
43. Hemoptisis
57. Imunologi Dasar
294
387
Samsuridjal Djauzi, Heru Sundaru, Dina Mahdi, Nanang Sukmana
61. Rinosinusitis Alergi Heru Sundaru, Erwanto Budi Winulyo
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
392
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 62. Urtikaria dan Angiodema
395
63. Asma Bronkial
81. Tukak Gaster Pengarapen Tarigan
Ari Baskoro, Gatot Soegiarto, Chairul Effendi, P.G.Konthen
82. Tukak Doudenum 404
Heru Sundaru, Sukarnto
H.A.M. Akil
83. Dispepsia Fungsional
64. Penyakit kompleks Imun
415
Edy Mart Salirn, Nanang Sukrnana
65. Respons Imun Infeksi HIV
84. Pendekatan Diagnostik Diare Kronik 421
Tuti Parwati Merati, Sarnsuridjal Djauzi
66. Imunisasi Dewasa
Marcellus Sirnad~brataK.
85. Diare Akut 429
Erwanto Budi, Samsuridjal Djauzi
67. Vaskulitis
Dharrnika Djojoningrat
Marcellus Sirnadibrata K., Daldiyono
86. Polip Kolon
435
Nanang Sukrnana
557
H.A. Fuad Bakry F
87. Kolitis Infeksi
560
Nizarn Oesman
88. Tumor Kolorektal
GASTROENTEROLOGI
Murdani Abdullah
68. Pendekatan Klirris Penyakit Gastrointestinal 441 Dharrnika Djojoningrat
69. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Baeian Atas "
Julius
90. Kolitis Radiasi 447
Dadang Makrnun
91. Irritable Bowel Syndrome (IBS)
Pangestu Adi
70. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah (Hematokezia) dan Perdarahan Samar (Occult)
92. Hemoroid 453
7l. Gangguan Motilitas Saluran Cerna Bsgian 460
Bawah
583
Chudahrnan Manan, Ary Fahrial Syarn
Murdani Abdullah
587
Marcellus Sirnadibrata K.
93. Inflammato y Bowel Disease Alur Diagnosis dan Pengobatannya di Indonesia"
591
Dharrnika Djojoningrat
Marcellus Sirnadibrata K.
72. Pemeriksaan Endoskopi Saluran Cerna
467
94. Pankreatitis Kronik Marcellus Sirnadibrata K
Marcellus Sirnadibrata K.
73. Nyeri Abdomen Akut
474
74. Malabsorpsi
95. Penyakit Divertikular H.A.M.Akil
Daldiyono, Ari Fahrial Syarn
477
96. Penyakit Vaskular Mesentrika Syadra Bardirnan Rasyad
Ari Fahrial Syarn
75. Penyakit Refluks Gastrmofageal
480
97. Penyakit Tropik Infeksi GasYroimZestinal
621
Marcellus Sirnadibrata K., Ahrnad Fauzi
Dadang Makrnun
76. Akalasia
488
HA. Fuad Bakry F.
77. Striktur/Stenosis Esofagus
493
Marcellus Simadibrata K.
HEPATOBILIEIR: 98. Fisiologi dan Biokimia Hati
78. Tumor Esofagus
497
A. Abdurachman
Rifai Amirudin
99. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus
79. Infeksi Helico6acter Pybri d'an Penyakit Gastro-Duodenal A.Azir Rani, Achmad Falwj
801 Gastritis Hirlan
89. Tumor Gaster
634
Ali Sulairnan
501
100. Kelainan Enzim pada Penyakit Hati Nurul Akbar
509
101. Hepatitis Viral Akut Andri Sanityoso
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
640
102. Hepatitis B Kronik
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 653
Soewignjo Soernohardjo, Stephanus Gunawan
103. Hepatitis C
Czeresna Heriawan Soejono
662
124. Pedoman Memberi Obat Pada Pasien Geriatri Serta Mengatasi Masalah Polifarmasi
668
Supartondo, Arya Govinda Roosheroe
Rino A.Gani
104. 'Sirosis Hati
674
125. Pelayanan Kesehatan Sosial dan Kesejahteraan Usia Lanjut
677
126. Regulasi Suhu pada Usia Lanjut
Siti Nurdjanah
105. 'Asites Hirlan
106. 'Koma Hepatik Nasrul Jubir
107. 'Sindrom Hepatorenal
123. Pengkajian Paripurna Pada Pasien Geriatri 768
681
Purnorno Budi Setiawan, Hernorno Kusurnobroto
685
779
Hadi Martono, I Dewa Putu Prarnantana S.
789
Siti Setiati, Nina Kernala Sari
127. Dehidrasi dan Gangguan Elektrolit
797
R A.Tuty Kuswardhani, Nina Kernala Sari
128. Gangguan Tidur pada Usia Lanjut
108. Karsinoma Hati
776
802
Rejeki Andayani
129. Gangguan Keseimbangan Jatuh dan Fraktur 812
Unggul Budihusodo
109. Abses Hati Piogenik
692
130. Dizzines pada Lanjut Usia
Nelly Tendean V!enas, B.J. Waleleng
110. Perlemakan Hati Non Alkoholik
695
lrsan Hasan
111. Penyakit Hati pada Kehamilan
702
Hariono Achrnad
112. Hepatotoksisitas Imbas Obat
Siti Setiati, Purwita W. Laksrni
708
Putut Bayupurnarna
113. Hiperbilirubinemia Non Hemolitik Familial 714 A. Fuad Bakry F.
826
Probosuseno, Niko Adhi Husni, Wasilah Rochrnah
131. Demensia
837
Wasilah Rochrnah, Kuntjoro Hari Murti
132. Depresi pada pasien Usia Lanjut
845
Czeresna H. Soejono, Probosuseno, Nina Kernala Sari
133. Penyakit Parkinson
851
Rejeki Andayani Rahayu
114. Kolesistitis
718
F.X. Pridady
134. Imobilisasi pada Usia Lanjut
859
Siti Setiati, Arya Govinda Roosheroe
115. Penyakit Batu Empedu
721
Laurentius A. Lesrnana
116. Tuberkulosis Peritoneal
727
Lukrnan Hakirn Zain
135. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hiperaktif 136. Konstipasi dan Inkontinensia Alvi
117. Pankreatitis Akut
731
A. Nurrnan
118. Tumor Pankreas
739
F. Soernanto Padrnornartono
865
Siti Setiati, I Dewa Putu Prarnantara
876
Kris Pranarka, Rejeki Andayani
137. Penatalaksanaan Infeksi pada Usia Lanjut Secara Menyeluruh
884
Rejeki Andayani Rahayu, Asril Bahar
119. Tindakan Intervensi pada Penyakit Hati
747
Agus Sudiro Waspodo
138. Strok dan Penatalaksanaannya oleh Internis
892
Hadi Martono, R.A.Tuty Kuswardhani
120. Biopsi Hati
750
139. Hipertensi pada Usia lanjut
899
Suhardjono
Agus Sudiro Waspodo
121. Transplantasi Hati
753
140. Kegawatdaruratan pada Pasien Geriatri
904
Lukrnan Hakirn Makrnun
lswan A. Nusi
141. Sindrom Delirium (Acute Confusional State) 907 Czeresna H.Soejono, Dewa Putu P.
142. Iatrogenesis
GERIATRI
913
R.A.Tuty Kuswardhani, Nyornan Astika
122. Proses Menua dan Implikasi Klinis Siti Setiati, Kuntjoro Hari Murti, Arya Govinda R
757
143. Asuhan pada Kondisi Terminal Supartondo
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
916
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 144. Elderly mistreatment (Salah Perlakuan Terhadap Orang Tua)
163. Penyakit Ginjal Kronik
919
Ketut Suwitra
Supartondo, Nina Kemala Sari
145. Gerontologi dan Geriatri di Indonesia
164. Gangguan Ginjal Akut
924
H.M.S. Markum
R. Boedhi Darmojo
165. Hemodialisis
1050
J. Pudji Rahardjo, Endang Susalit, Suhardjono
166. Dialisis Peritoneal
JILID I1
1053
lmam Parsudi, Parlindungan Siregar, Rully M.A Roesli
167. Terapi Pengganti Ginjal Berkesinambungan (CRRT)
GINJAL HIPERTENSI 146. Pemeriksaaan Penunjang pada Penyakit Ginjal
R U I I ~M.A. Roesli
168. Transplantasi Ginjal Endang Susalit
935
169. Hipertensi Esensial
lmam Effendi, H.M.S. Markum
147. Edema Patofisiologi dan Penanganan
Mohammad Yogiantoro
946
170. Hipertensi pada Penyakit Ginjal
Ian Effendi, Restu Pasaribu
Agus Tessy
952
148. Hematuria
171. Hipertensi Renovaskular
Lestariningsih
Syakib Bakri
956
149. Proteinuria
172. Hiperaldosteronisme Primer
Lucky Aziza Bawazier
Ginova Nainggolan
962
150. Sindrom Poliuria
173. Feokromositoma
Shofa Chasani
lmam Effendi
969
151. Glomerulonefritis
174. Hipertensi pada Kehamilan
Wiguno Prodjosudjadi
Suhardjono
975
152. Amiloidosis Ginjal
175. Krisis Hipertensi
M. Rachmat Soelaeman
153. Penyakit Ginjal Diabetik
Jose Roesma
979
Harun Rasyid Lubis
154. Nefritis Lupus
983
HEMATOLOGI
~ u c k yAziza Bawazier, Dharmeizar, H.M.S. Markum
155. Nefropati IgA Idiopatik
992
176. Hemopoiesis
1105
177. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia
1109
Soebandiri
Enday Sukandar, Parlindungan Siregar
997
156. Nefritis Herediter
I Made Bhakta
Jodi Sidharta Loekman
178. Anemia Aplastik
999
157. Sindrom Nefrotik Wiguno Prodjosudjadi
158. Vaskulitis Renal
loo4
Aida Lydia
159. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa
179. Anemia Defisiensi Besi I Made Bakta, Ketut Suega, Tjokorda Gde Dharmayuda
1008
Enday Sukandar
180. Anemia pada Penyakit Kronis
160. Penyakit TubulointerstisiaI
1116
Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder
1016
1138
lman Supandiman, Heri Fadjari,
I Gde Raka Widiana
Lugyanti Sukrisman
161. Batu Saluran Kemih
1025
181. Anemia Megaloblastik
Mochammad Sja'bani
Soenarto
162. Penyakit Ginjal dan Kehamilan
1033
182. Anemia Hemolitik Autoimun
Jose Roesma
1152
Elias Parjono, Kartika Widayati Taroeno Hariadi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
xxiii
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
183. Anemia Hemolitik Non lmun
1157
184. Purpura Trombositopenia Imun
204 Dasar-dasar Hemostasis
1293
C Suharti
lkhwan Rinaldi, Aru W. Sudoyo
1165
205. Patogenesis Trombosis
1301
Karmel L. Tambunan
lbnu Purwanto
185. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH)
206. Hemofilia A dan B 1174
Made Putra Sedana
207. Penyakit Von Willebrand
186. Kelainan Hematologi pada Lupus Eritematosus Sistemik
1307
Linda W.A. Rotty
1313
Sug~anto
1177
Zubairi Djoerban
208. Koagulasi Intravaskular Diseminata
1319
Lugyanti Sukrisman
187. Hipersplenisme
1183
Bud1 Muljono
209. Fibrinolisis Primer
1323
Boediwarsono
188. Dasar-Dasar Transfusi Darah
1185
Zubair~Djoerban
210. Gangguan Hemostasis pada Sirosis Hati
1327
Karmel L. Tambunan
189. Darah dan Komponen: Komposisi, Indikasi dan Cara Pemberian Harlinda Haroen
1190
211. Gangguan Hemostasis pada Diabetes Melitus 1334 Andi Fachruddin Benyamin
212. Kondisi Hiperkoagulabilitas
190. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi Transfusi Darah M. Tantoro Harmono
191. Aferesis Donor dan Terapeutik Ronald A. Hukom
1336
Hilman Tadjoedin
213. Sindrom Antibodi Antifosfolipid: Aspek Hematologik dan Penatalaksanaan 1345 Shufrie Effendy
214, Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru 1354
192. Leukemia Granulositik Kronis Heri Fadjari, Lugyanti Sukrisman
193. Polisitemia Vera M. Darwin Prenggono
Lugyanti Sukrisman
215. Pemakaian dan Pemantauan Obat-obatan Antitrombosis Nusirwan Acang
194. Trombositosis Esensial
216. Trombositopenia pada Wanita Hamil
lrza Wahid'
1364
Yenny Dian Andayani
195. Mielofibrosis
217. Trombosis pada Kanker
Suradi Maryono
1369
Cosphiadi lrawan
196. Leukemia Mieloblastik Akut Johan Kurnianda
218. Sitogenetika
1374
Aru W. Sudoyo
197. Sindrom Dismielopoetik
219. Dasar-dasar Talasemia: Salah Satu Jenis Hemoglobinopati
Ami Ashariati
198. Dasar-dasar Biologis Limfoproliferatif Amaylia Oehadian, Trinugroho Heri Fadjari
199. Limfoma Non Hodgkin (LNH)
1379
Djumhana Atmakusuma, lswari Setyaningsih
220. Thalassemia: Manifestasi Klinis, Pendekatan Diagnosis, dan Thalassemia Intermedia 1387 Djumhana Atmakusuma, lswari Setyaningsih
A Harryanto Reksodiputro, Cosphiadi lrawan
221. Transplantasi Sel Puncabnduk Darah
1394
A. Harryanto Reksodiputro
200. Penyakit Hodgkin Rachmat Sumantri
222. Sel Punca (Stem Cell) dan Potensi Klinisnya
201. Leukemia Limfoblastik Akut
1401
Cosphiadi lrawan
Panji lrani Fianza
202. Leukemia Limfositik Kronik
ONKOLOGI MEDIK
Linda W. A. Rotty
203. Mieloma Multipel dan Penyakit Gamopati Lain Mediarty Syahrir
223. Pendekatan Diagnostik Tumor Padat Budi Darmawan Machsoos
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1407
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 224. Aspek Selular dan Molekular Kanker
1413
243. Pengantar Diagnosis Ekokardiografi Ali Ghanie
Bambang Karsono
225. Teknik-teknik Biologi Molekular dan Selular pada Kanker
244. Ekokardiografi Trans Esofageal (ETE)
1417
Bambang Karsono
Lukman H. Makmun
245. Pemeriksaan Kardiologi Nuklir
226. Penanda Tumor dan Aplikasi Klinik
1422
Ketut Suega, I Made Bakta
227. Penggunaan Obat-obatan Antikoagulan Antitrombotik, Trombolitik dan Fibrinolitik 1434 Soenarto
Ika Prasetya Wijaya
246. Penyadapan Jantung (Cardiac Catheterization) Hanafi B.Trisnohadi
247. Intervensi Koroner Perkutan
228. Peran Flow Cytometric Immunophenotyping di Bidang Keganasan Hematologi dan Onkologi 1440 Cosphiadi Irawan, Zubairi Djoerban
T. Santoso
248. Gagal Jantung Marulam M. Panggabean
249. Gagal Jantung Akut
229. Prinsip Dasar Terapi Sistemik pada Kanker 1446 Abdulmuthalib
Daulat Manurung
250. Gagal Jantung Kronik
230. Teknik-teknik Pemberian Kemoterapi
1454
Adiwijono
231. Terapi Hormonal Pada Kanker
1471
Noorwati Sutandyo
232. Terapi Biologi pada Kanker
1478
Johan Kurnianda
233. Pengobatan Suportif pada Pasien Kanker 1482 A. Harryanto Reksodiputro
234. Neutropeni Febril pada Kanker
1498
Dody Ranuhardy
235. Penatalaksanaan MetastasisKanker ke Tulang
251. Mekanisme dan Klasifikasi Aritmia A. Muin Rachman
252. Gangguan Irama Jantung yang Spesifik Hanafi B. Trisnohadi
253. Fibrilasi Atrial Sally Arnan Nasution, Ryan Ranitya
254. Aritmia Supra Ventrikular Lukman H. Makrnun
255. Aritmia Ventrikel M. Yamin, Sjaharuddin Harun
1506
Nugroho Prayogo
236. Penanggulangan Nyeri pada Kanker
Ali Ghanie
1512
Asrul Harsal
256. Bradikardia M. Yamin, A. Muin Rachman
257. Kardioversi M. Yamin, A. Muin Rachman
2378. Sindrom Paraneoplastik
1516
Sugiyono Somoastro, Abdulmuthalib
258. Pacu Jantung Sementara A. Muin Rachman
238. Penatalaksanaan Pasien Kanker Terminal 1519 dan Perawatan di Rumah Hospis Asrul Harsal
259. Elektrofisiologi M. Yarnin, Sjaharuddin Harun, Lukman H. Makmun
260. Pacu Jantung Menetap (Permanen)
KARDIOLOGI
M. Yamin
239. Elektrokardiografi
1523
Sunoto Pratanu, M. Yamin, Sjaharuddin Harun
240. Radiologi Jantung
261. Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik Saharman Leman
1539
ldrus Alwi
262. Stenosis Mitral Taufik Indrajaya, Ali Ghanie
241. Elektrokardiografi Pada Uji Latih Jantung 1544 Ika Prasetya Wijaya
263. Regurgitasi Mitral Daulat Manurung
242. Pemantauan Irama Jantung (Holter Monitoring) M. Yamin, Daulat Manurung
1548
264. Stenosis Aorta Marulam M. Panggabean
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 265. Regurgitasi Aorta
1689
Saharman Lernan
287. Kor Pulmonal Kronik
1842
Sjaharuddin Harun, Ika Prasetya Wijaya
266. Kelainan Katup Pulmonal
1693
Barnbang lrawan M
288. Hipertensi Pulmonar Primer
1845
Muhammad Diah, Ali Ghanie
267. Penyakit Katup Trikuspid
1698
Ali Ghanie
289. Penyakit Jantung dan Operasi non Jantung 1853 Sjaharuddin Harun, Abdul Majid
268. Endokarditis
1702
ldrus Alwi
JILID I11
269. Miokarditis ldrus Alwi, Lukrnan H. Makrnun
270. Kardiomiopati
1720
Sally Arnan Nasution
271. Perikarditis
1725
Marularn M. Panggabean
METABOLIK ENDOKRIN 290. Sindrom Metabolik
1865
Sidartawan Soegondo, Dyah Purnarnasari
272. Angina Pektronis Tak Stabil
1728
Hanafi B.Trisnohadi
291. Diabetes Melitus di Indonesia
1877
Slarnet Suyono
273. Angina Pektoris Stabil
1735
292 Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Dyah Purnamasari 1880
1741
293. Farmakoterapi pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2
A. Muin Rachrnan
274. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST ldrus Alwi
275. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST
1757
Sjaharuddin Harun, ldrus Alwi
276. Antitrombotik dan Trombolitik pada Penyakit Jantung Koroner
294. Terapi Non Farmakologi pada Diabetes Melitus
1767
lwang Gurniwang, Ika Prasetya W, Dasnan lsrnail
277. Edema Paru Akut
1772
1891
M. Yunir, Suharko Soebardi
295. Insulin: Mekanisme Sekresi dan Aspek Metabolisme
1896
Asrnan Manaf
Sjaharuddin Harun, Sally Arnan Nasution
278. Penyakit Jantung Hipertknsi
1884
Sidartawan Soegondo
1777
296. Hipoglikemia Iatrogenik
1900
Djoko Wahono Soernadji
Marularn M. Panggabean
279. Penyakit Jantung Kongenital pada Dewasa 1779 Ali Ghanie
297. Ketoasidosis Diabetik Pradana Soewondo
280. Penyakit Jantung pada Usia Lanjut
1790
298. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik
non Ketotik
Lukrnan H. Makrnun
281. Manifestasi Klinis Jantung pada Penyakit Sistemik 1792
1912
Pradana Soewondo
299. Asidosis Laktat Pradana Soewondo, Hari Hendarto
ldrus Alwi
282. Penyakit Jantung Tiroid
1798
Dono Antono, Yahya Kisvanto
283. Penyakit Jantung pada Penyakit Jaringan Ikat '
1804
ldrus Alwi
300. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya, Diagnosis dan Strategi Pengelolaan Sarwono Waspadji
301. Retinopati Diabetik Karel Pandelaki
284. Tumor Jantung
1818
ldrus Alwi
285. Kehamilan pada Penyakit Jantung
1822
Sally Arnan Nasution, Ryan Ranitya
286. Penyakit Arteri Perifer
1831
302. Komplikasi Kronik DM: Penyakit Jantung Koroner 1947 Alwi Shahab
303 Nefropati Diabetik Hendrornartono
Dono Antono, Dasnan lsrnail
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1943
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 304. Neuropati Diabetik
PSIKOSOMATIK
Imam Subekti
305. Diabetes Melitus Gestasional John MF Adam
306. Diabetes Melitus dalam Pembedahan Supartondo
325. Kedokteran Psikosomatik: Pandangan dari Sudut Ilmu Penyakit Dalam 326. Gangguan Psikomatik : Gambaran Umum dan Patofisiologi
307. Kaki Diabetes
2089
S.Budihalim, E. Mudjaddid
2093
E.Mudjaddid, Harnzah Shatri
Sarwono Waspadji
308. Diabetes Melitus pada Usia Lanjut
327. Ketidakseimbangan Vegetatif
2098
S. Budihalim, D. Sukatman, E.Mudjaddid
Wasilah Rochrnah
328. Psikofarmaka dan Psikosomatik
309. Obesitas
2102
E.Mudjaddid, S.Budihalim, D. Sukatman
Sidartawan Sugondo
310. Dislipidemia John MF Adam
311. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme R. Djoko Moeljanto
329. Pemahaman dan Penanganan Psikosomatik Gangguan Ansietas dan Depresi: di Bidang 2105 Ilmu Penyakit Dalam E.Mudjaddid
330. Dispepsia Fungsional
2109
E.Mudjaddid
312. Gangguan Akibat Kurang Iodium R. Djoko Moeljanto
313. Tiroiditis
331. Psikosomatik pada Saluran Cerna Bagian Bawah 2111 Sujono Hadi
Paulus Wiyono
332. Sindrom Kolon Iritabel
314. Nodul Tiroid
E.Mudjaddid
Johan S. Masjhur
333. Aspek Psikosomatik Hipertensi
315. Karsinoma Tiroid
2119
S. Budihalirn, D. Sukatman, Hamzah Shatri
Imam Subekti
334. Gangguan Jantung Fungsional
316. Tumor Hipofisis
2122
Hamzah Shatri
Pradana Soewondo
335. Aspek psikosomatik pada Gangguan Irama Jantung
317. Gangguan Pertumbuhan Syafril Syahbuddin
2127
S. Budihalirn, D.Sukatman, Harnzah Shatri
318. Diabetes Insipidus
336. Sindrom Hiperventilasi
Asman Boedi Santoso Ranakusuma, Imam Subekti
2130
E. Mudjaddid, Rudi Putranto, Hamzah Shatri
337. Aspek Psikosomatik pada Asma Bronkial 2133
319. Hormon Steroid
E.Mudjaddid
Sjafii Piliang, Chairul Bahri
338. Gangguan Psikosomatik pada Penyakit Reumatik dan Sistem Muskuloskeletal
320. Hiperkortisolisme Sjafii Piliang, Chairul Bahri
321. Penyakit Korteks Adrenal Lainnya
339. Fibromialgia
Sjafii Piliang
2136
D. Sukatman, S. Budihalim, Rudi Putranto, Hamzah Shatri
2140
E.Mudjaddid
322. Metabolisme Kalsium Agus P. Sambo, John MF Adam
323. Menopause, Andropause, dan Somatopause Perubahan Hormonal pada Proses Menua
340. Nyeri Psikogenik
2143
Harnzah Shatri, Bambang Setiyohadi
341. Sindrom Lelah Kronik
2148
Hamzah Shatri, E.Mudjaddid
Pradana Soewondo
342. Migren dan Sakit Kepala
324. Pre Diabetes Dante Saksono Harbuwono
Ahmad H. Asdie, Pernodjo Dahlan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI xxvii
2152
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 343. Psikosomatik Pada Kelainan Tiroid
2156
R. Djokornoeljanto
363. Fibrosis Kistik (Cystic Fibrosis) Alwinsyah A., E.N.Keliat, Azhar Tandjung
344. Aspek Psikosomatik Pasien Diabetes Melitus 2159 E. Mudjaddid, Rudi Putranto
345. Gangguan Psikosomatik Obesitas Harnzah Shatri, Rudi Putranto, Z. Arsyad, S. Syahbuddin
346. Gangguan Makan Pasien Psikosomatik
2163 .
Pasiyan Rahrnatullah
2167 2171
368. Abses Paru
2177
Hadi Halirn
370. Hipertensi Pulmonal Primer (HPP)
2182
Sarnsuridjal Djauzi, Rudi Putranto, E. Mudjaddid
351. Masalah Psikosomatik Pasien Kanker
Ahrnad Rasyid
369. Penyakit-penyakit Pleura
2180
S. Budihalirn, D. Sukatrnan, E. Mudjaddid
350. Aspek Psikososial AIDS
367. Penyakit Paru Interstisial Ceva Wicaksono Pitoyo
Hanum Nasution, H.E.Mudjaddid
349. Gangguan Psikosomatik Saluran Kemih
366. Tromboemboli Paru Pasiyan Rahmatullah
R. Sutadi, Rudi Putranto, Hamzah Shatri, E. Mudjaddid
348. Gangguan Tidur Pasien Psikosomatik
Pasiyan Rahmatullah
365. Bronkiektasis
Harnzah Shatri, Hanurn Nasution
347. Gangguan Seksual Psikosomatik
364. Pneumonitis dan Penyakit Paru Lingkungan
Zulkarnain Arsyad
371. Pneumotoraks Spontan
2184
Barrnawi Hisyarn, Eko Budiono
Zoebairi Djoerban, Harnzah Shatri
372. Sleep Apnea (Gangguan Bernapas Saat Tidur) Sumardi, Barwani Hisjam, Barnbang Sigit Ryanto, Eko Budiono
PULMONOLOGI 352. Manifestasi Klinik dan Pendekatan pada Pasien dengan Kelainan Sistem Pernapasan 2189 Zulkifli Amin
353. Pneumonia
2196
Zul Dahlan
354. Pneumonia Bentuk Khusus
2207
Zul Dahlan
REUMATOLOGI 373. Introduksi Reumatologi A.R.Nasution, Surnariyono
374. Penerapan Evidence Based Medicine Dalam Bidang Reumatologi
2360
Joewono Soeroso
355. Transplantasi Paru
2211
Zulkifli Amin
375. Metrologi Dalam Bidang Reumatologi
2365
Rizasyah Daud
356. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut
2216
376. Struktur Sendi, Otot, Saraf dan Endotel Vaskular
Barnbang Sigit Riyanto, Barwani Hisyam
357. Tuberkulosis Paru
2230
Zulkifli Arnin, Asril Bahar
377. Strukhu dan Biokimia Tulang Rawan Sendi
358. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir
2240
378. Struktur dan Metabolisme Tulang
2249
Zulkifli Arnin
2254
2385
Barnbang Setiyohadi
379. Inflamasi
360. Kanker Paru
2382
Harry lsbagio
Zulkifli Arnin, Asril Bahar
359. Penyakit Mediastinum
2370
Surnariyono, Linda K. Wijaya
2402
Soenarto
Zulkifli Arnin
380. Apoptosis
361. Penyakit Paru karena Mikobakterium Atipik
Linda Kurniaty Wijaya
2263
Azhar Tandjung, E.N. Keliat
362. Penyakit Paru karena Jamur
2267
381. Peran Protease, Derivat Asam Arakidonat dan Oksida Nitrit pada Patogenesis Penyakit Reumatik 2422 B.P. Putra Suryana
Azhar Tandjung, E.N. Keliat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
xxviii
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ILL
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PENYAKIT GINJAL Imam Effendi, H.M.S. Markum
PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibicarakan tentang urinalisis, pemeriksaan fungsi ginjal, pemeriksaan serologis, pemeriksaan radiologis ginjal dan biopsi ginjal. Tujuan dari pemeriksaan ini untuk mendapatkan diagnosis yang akurat sehingga dapat diberikan terapi yang tepat.
Parameter Fisik Urin Warna. Normal pucat-kuning tua dan amber tergantung kadar urokrom. Keadaan patologis, obat dan makanan dapat mengubah warna. Urin merah disebabkan Hb, miogobin, atau pengaruh obat rifampisin. Warna hijau dapat karena zat klinis eksogen (biru metilen) atau infeksi Pseudomonas; warna oranyetjingga menandakan pigmen empedu. Bila urin keruh dapat karena fosfat (biasanya normal) atau leukosituria dan bakteri (abnormal). Turbiditas. Normal transparan, urin keruh karena hematuria, infeksi dan kontaminasi Bau. Beberapa penyakit mempunyai bau urin yang khas, misal bau keton, maple syrup disease, isojloric acidemia, dsb. Densitas relatif. Metode pemeriksaan ada beberapa macam: 1. Berat jenis: diukur memakai urinometer, mudah dilakukan, butuh urin 25 cc, BJ dipengaruhi oleh suhu urin, protein, glukosa dan kontras media. BJ mencerminkan konsentrasi yang larut dalam urin dan nilai normal 1010-1030.Pada orangtua BJ bisa di bawah atau di atas normal karena kehilangan daya
mengencerkan atau memekatkan urin. 2. Refraktometri: mudah dilakukan dan hanya butuh 1 cc urin, faktor yang mempengaruhi BJ, juga akan mempengaruhi pengukuran ini. 3. Osmolalitas: berbeda dengan BJ, temperatur dan protein tidak mempengaruhi, tetapi kadar glukosa meningkatkan osmolalitas.Osmolalitas urin, normal 501200 mOsmL walau penting menandakan konsentrasi urin, tetapi tidak rutin diperiksa. Pada kasus batu ginjal atau kelainan elektrolit (hipo atau hipernateremia) perlu diperiksa untuk diagnosis. 4. Dipstik: memakai indikator perubahan warna pada dipstik dan sudah luas dipakai. Parameter Kimia pH: tes memakai dipstik, pada pH <5,5 atau >7,5 akurasinya kurang, dan harus memakai pH meter. pH hasilnya dipengaruhi oleh asam-basa sistemik Hb: dalam kondisi normal tidak dijumpai dalam urin. Bila positif hams dicurigai hemolisis atau mioglobinuria Glukosa: dengan dipstik untuk menilai reabsorbsi glukosa dan bahan lain. Tes ini sangat sensitif dan dapat dilanjutkan dengan kadar glukosa urin secara kuantitatif dengan metode enzirnatik. Protein: normal proteinuria tidak lebih dari 150 mglhari untuk dewasa. Pada kondisi patologis proteinuria dapat dibedakan: 1. Proteinuria glomerulus: ini terjadi pada penyakit glomerulus karena gangguan permeabilitas protein (misal: albumin, globulin) 2. Proteinuria tubular: ini terjadi pada penyakit tubulus dan interstisium dan disebabkan gangguan reabsorbsi protein berat molekul (BM) ringan (a. 1. mikroglobulin,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI b2 mikroglobulin, retinol binding protein) 3. Proteinuria overload: ini disebabkan peningkatan protein BM rendah melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus (Bence-Jones protein, lisosom, mioglobin) 4. Proteinuria benigna: protein ini termasuk proteinuria karena demam, ortostatik atau kerja fisik. Proteinuria biasanya dites memakai dipstik, dan cukup sensitif terhadap albumin. Untuk protein Bence Jones hams memakai metode lain yaitu teknik presipitasi dengan asam sulfa salisil, asam triklorasetik atau dengan pemanasan dan bufer acetic acid sodium acetat. Metode Dipstik adalah semikuantitatif dengan nilai O4 (+). Untuk lebih teliti menilai protein kuantitatif digunakan metode lain seperti turbidimetri. Jumlah protein kuantitatif 24 jam diekspresikan sebagai g/L atau gl24jam per 1,73 m2. akan tetapi perhitungan dengan urin 24 jam ini memakan waktu, sering keliru clan tidak praktis. Cara lain yaitu dengan menghitung rasio protein kreatinin. Dengan cara ini dipakai urin random dan single. Sebagai contoh: Urin sesaat mengandung protein 100 mg% dan kreatin urin 50 mg%. Jadi jumlah protein dalam urin 100150 = 2 gramharill ,73 m2. Harus diingat bahwa ekskresi protein mempunyai sirkadian (tertinggi pada siang dan terendah pada malam hari) sedangkan ekskresi kreatinin relatif stabil24jam oleh karena itu contoh urin hams diambil pada saat yang sama. Analisis kualitatif proteinuria dilakukan secara elektroforesa asetat selulos atau agarose atau memakai SDS-PAGE (sodium dodecyl sulfate-polyacrylamide). Dengan metode elektroforesa ini dapat diketahui selektifitas proteinuria, karena dapat membedakan jenis protein: P2 mikroglobulin, albumin, IgG dsb. Kadangkadang selektifitas dapat mengetahui beratnya lesi dan dapat mengetahui respons terapi dan prognosis.
Metode dipsti k Samar = 10-30 mg% I + = 30 mg% 2+=1M)mg% 3+ = 500 mg% 4+= > 2000mg%
Metode asam sulfosalisil Samar: = 20 mg% (slight tuhidm) I+ = 50 mg% (print visble through specs) 2+ = 200 mg% (print invisible) 3+ = 500 mg% (flocculation) 4 + = > 1000 mg% (denseprecipitate)
Dipstik lebih sensitif untuk albumin, sedangkan tes asam sulfosalisil untuk semua jenis protein. Imunoglobulin rantai ringan dapat dideteksi dengan asam sulfosalisil, tetapi tidak untuk dipstik. Jadi multipel mieloma hanya dapat diketahui dengan tes asam sulfosalisil. False positif pada dipstik urin yang sangat basa atau terlalu encer False positif asam sulfosalisil didapatkan akibat radio kontras dan obat-obat tolbutamid, penisilin, sefalosporin. Leukosit Esterase. Tes dipstik ini berdasarkan aktivitas
enzim esterase indoksil yang dihasilkan oleh neutrofil, granulosit dan makrofag dan akan memberi nilai positif bila ada paling sedikit 4 (empat) 1eukositILPB. Nitrit. Dasar tes ini adalah adanya bakteri yang dapat mengubah nitrat menjadi nitrit melalui enzim reduktase nitrat. Enzim ini banyak pada bakteri gram negatif dan tidak ada pada bakteri jenis Pseudomonas, Staphylococcus albus dan Enterococcus. Tes ini membutuhkan persiapan dengan diet kaya nitrat (sayuran) dan membutuhkan waktu reaksi yang cukup di kandung kencing. Tes ini mempunyai sensitivitas rendah (20-80%) dan spesifisitas + 90%. Keton. Tes dengan metode dipstik menunjukkan adanya asam asetoasetat dan aseton. Positif di urin pada penyakit asidosis diabetik, puasa, muntah ataupun olahraga yang berlebihan. Tes ini berdasarkan reaksi keton dengan nitroprusid. Mikroskopik Urin Pemeriksaan mikroskopik ini akan melengkapi pemeriksaan win secara kimiawi. Metode. Urin pertama atau kedua pada pagi hari, dan untuk cegah kerusakan sel harus segera diperiksa. Setelah disentrifugasi memakai alat hitung khusus, urin diperiksa dengan mikroskop biasa atau fase kontras. Sel Sel pada sedimen urin dapat berasal dari sirkulasi (eritrosit dan lekosit) dan dari traktus urinarius (sel tubulus, epitel). Eritrosit. Eritrosit dalam urin ada 2 macam, yaitu: isomorfik, dismorfik. Eritrosit isomorfik berasal dari traktus urinarius. Sedangkan dismorfik berasal dari glomerulus. Bila eritrosit dominan dismorfik (>go%) dari total eritrosit disebut hematuria glomerulus. Beberapa ahli mengatakan bila terjadi "hematuria campuran" 50% isomorfik dan 50% dismorfik, sudah dapat dikategorikan hematuria glomerulus. Selain itu bila paling sedikit 5% terjadi akantositosis juga dapat disebut hematuria glomerulus. Bagaimana terbentuknya dismorfik, rnasih terus diselidiki, namun disebutkan bahwa adanya injuri 2 tempat, yaitu waktu eritrosit melewati membran basalis dan efek fisikokimia selama melewati tubulus. Dalam kondisi normal eritrosit dapat dijumpai <12.000 eritrosiucc. Leukosit. Neutrofil adalah leukosit yang paling sering dijumpai pada urin, mudah diidentifikasidengan sitoplasma granular dan inti berlobus. Pada urin normal, lekosit dapat ditemukan 2-3LPB. Bilajurnlahnya melebihi, kemungkinan infeksi atau inflamasi. Pada perempuan, lekosit urin dapat karena kontaminasi dari genitalia eksterna. Netrofil akan meningkat dalam urin pada penyakit proliferatif glomerulopati dan nefritis interstitialis. Eosinofiluria, dapat mudah dilihat dengan pewarnaan Wright atau Hansel, yang terjadi pada nefritis interstitialis
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PENYAKIT GINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI alergika, glomerulonefiitis,prostatitis, pielonefi-itiskronik, skistosomiasis. Limfosituria dapat sebagai tanda dini rejeksi akut pada pasien transplantasi. Adanya lekosituria, dengan biakan bakteri yang negatif hams dipertimbangkan TBC ginjal, batu saluran kencing, papiler nekrosis, atau uretritis kronik. Sel tubulus ginjal. Walaupun tidak diperiksa pada urinalisis rutin, sel sel besar ini dengan inti yang sangat jelas sering terlihat pada nekrosis tubular akut (NTA), glomerulonefritis atau pielonefritis. Pada proteinuria masif, degenerasi sel epitel dapat dijumpai sebagai ovalfat bodies. Lipid. Lipid pada urin terlihat sferis, translusen, dan benvarna kuning dalam macam-macam bentuk. Mereka dapat bebas (isolate4 atau berada dalam sitoplasma sel epitel tubulus atau makrofag, disebut Oval Fat Bodies. Bila dengan silinder, lipid membentuk silinder lemak. Lipid dapat terlihat sebagai kristal kolesterol. Lipid drops mengandung esterkolesterol dan kolesterol bebas, dan di bawah sinar polarisasi akan terlihat Maltase Croses Lipid dalam urin disebabkan beberapa penyakit antara lain sindrom nefrotik, atau spingolipidosis (Penyakit Fabry). Silinder (Cast).Silinder terbentuk di dalam tubulus distal atau bagian awal tubulus kontortus karena pengendapan masa selular dan elemen non selular di dalam matrik protein Tamm-Horsfall. Dengan ditemukan silinder menunjukkan kelainan ginjal. Ada bermacam-macam jenis silinder tergantung partikel apa yang terjebak di dalamnya dan masing-masing mempunyai arti klinik sendiri, antara lain: I. Silinder Hialin. Tidak benvarna dan indeks refiaksi rendah. Mudah dilihat dengan mikroskop fase kontras, tapi dapat terabaikan dengan mikroskop biasa. Silinder hialin dapat ditemukan pada orang normal dan juga penyakit ginjal bila bersama-sama denganjenis silinder lain. 2. Silinder Granular. Silinder ini berisi granul halus dan khas untuk pasien dengan kelainan ginjal. 3. Silinder Lemak. Silinder yang berisi lemak ini spesifik untuk penyakit ginjal glomerulus dengan tipe nefrotik. 4. Silinder Eritrosit. Silinder eritrosit dapat mengandung beberapa eritrosit, tetapi dapat sangat banyak sehingga matriks tidak terlihat. Silinder eritrosit ini erat hubungannya dengan hematuria dan menandakan hematuria yang berasal dari glomerulus. Pada glomerulonefritis yang ditandai hematuria dapat ditemukansilindereritrositsampai 80%. Selain itq silinder eritrosit adalah petanda glomerulonfritistipe proliferatif, terutama dengan lesi ekstrakapilerlnecrotising. 5. Silinder Hemoglobin. Seperti namanya, ia benvarna kecoklatan dan sering ada granul karena eritrosit yang mengalami kerusakan. Silinderhemoglobin mempunyai arti yang sarna dengan silinder eritrosit. Selain itu, dapat disebabkan Hb yang bebas akibat hemolisis intravaskular.
6. Silinder Lekosit. Silinder ini dapat mengandung bermacarn-macamjenis sel damh putih. Bila positif dalam urin bisa dikaitkan dengan pielonefritis akut, nefritis interstitialis, glomerulonefritis proliferatif, terutama pasca infeksi dan pada lupus nefritis. 7. Silinder Epitel. Silinder ini mengandung sel tubulus yang lepas dan mudah diidentifikasi karena nukleusnya sangat mencolok. Silinder ini dapat ditemukan pada nekrosis tubular akut, nefritis interstitialis, kelainan glomerulus dan pada sindrom nefiotik. 8. Silinder Mioglobin. Silinder ini berisi mioglobin dan identik dengan silinder hemoglobin. Perbedaannya dihubungkan dengan tanda klinis. Silinder ini dapat ditemukan pada gagal ginjal akut yang mengalami rabdomiolisis. Kristal Macam-macam kristal dapat ditemukan dalam urin: 1. Kristal asam urat dan urat amorf 2. Kristal kalsium oksalat 3. Kristal kalsium fosfat 4. Kristal tripe1 fosfat 5. Kristal kolesterol 6. Kristal sistin 7. Kristal karena obat Tidak semua kristal dapat dihubungkan dengan penyakit batu ginjal, karena pembentukan kristal sangat tergantung dari hidrasi, diet, pH urin, infeksi dan gangguan metabolisme. Namun demikin beberapa kristal dapat dihubungkan dengan kondisi patologi seperti kalsium oksalat, atau asam urat, bila ditemukan berulang dapat menandakan hiperkalsiuria, hiperoksalouria, atau hiperwikosuri. Kristal asam urat yang banyak dapat ditemukan pada gagal ginjal akut karena nefropati asam urat, sementara itu kristal monohidrat kalsium oksalat sering pada keracunan etilen glikol. Ada beberapa kristal yang selalu patologis yaitu kristal kolesterol yang ditemukan dengan proteinuria masif. Selain itu kristal sistin, ditemukan pada sistinuria. Kristal karena obat dapat ditemukan pada gagal ginjal akut karena vitamin C, sulfadiazin, indinavir, naftidrofuril oksalat, karena pembentukan kristal oksalat. Organisme Bakteri kadang-kadang dapat dilihat dalam urin, karena kontaminasi ataupemeriksaan yang ditunda-tunda. Bakteri positif belum tentu infeksi karena belum tentu patogen, dan baru dicurigai adanya infeksi bila ditemukan bersama leukosit yang penuh. Telur parasit schistosoma hematobium dapat ditemukan dalam urin dan sering disertai hematuria dan leukosituria.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI PEMERIKSAAN FUNGSI GINJAL Ginjal mempunyai fimgsi bermacam-macam termasuk filtraci glomerulus, reabsorbsi dan sekresi dari tubulus, pengenceran dan pemekatan urin, pengasaman win, serta memproduksi dan memetabolisme hormon. Dari semua fungsi itu parameter untuk mengetahui f k g s i dan progresi penyakit adalah laju filtrasi glomerulus dan kemampuan ekskresi.
Fungsi Filtrasi Glomerulus dan Konsep Klirens Ginjal Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) adalah mengukur berapa banyak filtrat yang dapat dihasilkan oleh glomerulus. Ini adalah pengukuran yang paling baik dalam menilai fungsi ekskresi. Untuk setiap nefron, filtrasi dipengaruhi oleh aliran plasma, perbedaan tekanan, luas permukaan kapiler dan permeabilitas kapiler. Jadi LFG merupakanjumlah dari hasil semuanefron(rata-rata 1juta tiap ginjal). Homer Smith adalah peneliti yang memberi nama renal clearance sebagai istilah untuk menilai LFG. Rumus baku untuk menilai klirens: UxV
c=-
P C = klirens U = konsentrasi zat marker dalam urin V = volume urin P = konsentrasi zat marker dalam plasma
Pemeriksaan Konsentrasi Ureum Plasma Nilai normal konsentrasi ureum plasma 20-40 mg%. Ureum merupakan produk nitrogen terbesar yang dikeluarkan melalui ginjal yang berasal dari diet dan protein endogen yang telah difiltrasi oleh glomerulus dan sebagian direabsorbsi oleh tubulus. Ureum akan lebih banyak lagi direabsorbsi pada keadaan di mana urin lambatlterganggu (dehidrasi). Pengaruh yang penting dari diet dan reabsorbsi tubulus menjadikan pemeriksaan bersihan ureum menjadi tidak tepat, sama seperti pengukuran LFG. Namun demikian pemeriksaan kadar ureum plasma tetap penting dan diperlukan pada pasien-pasien penyakit ginjal terutama untuk mengevaluasi pengaruh diet restriksi protein. Pada pasien gagal ginjal, kadar ureum lebih memberikan gambaran gejala-gejala yang terjadi dibandingkan kreatinin. Hal ini diduga ada beberapa zat toksik yang dihasilkan berasal dari sumber yang sama dengan ureum. Dengan demikian pada kadar ureum 20-25 mgldl akan memperlihatkan gejala-gejala muntah, dan pada kadar 5060 mgldl akan meningkat menjadi lebih berat. Oleh karena itu kadar ureum merupakan tanda yang paling baik untuk timbulnya uremik toksik. Gejala toksik ureum juga dapat dihilangkan dengan menurunkan kadar ureum denganjalan pengaturan diet rendah protein untuk pasien gagal ginjal
berat. Normal perbandingan ureum-kreatinin berkisar 6080. Peningkatan perbandingan ureum-kreatinin ini menunjukkan adanya faktor-faktor lain di luar gagal ginjal tersebut yang meningkatkan kadar ureum.
Pemeriksaan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) Kreatinin Plasma dan Bersihan Kreatinin Manfaat klinis pemeriksaan LFG adalah: Deteksi dini kerusakan ginjal Pemantauan progresifitas penyakit Pemantauan kecukupan terapi ginjal pengganti Membantu mengoptimalkan terapi dengan obat tertentu Penetapan LFG dapat memakai petanda eksogen (inulin, iotalamat, iosotalamat,( W r EDTA, 99TcDTPA) atau marker endogen P2 mikroglobulin, a,mikroglobulin,retinoV binding protein, sistatin C). Zat eksogen untuk tes ini hams mempunyai syarat: bebas difiltrasi di glomerulus tidak diabsorpsi oleh tubulus tidak disekresi oleh tubulus mempunyai kadar stabil dalam darah tanpa ekskresi di luar ginjal, mudah, akurat dalam pengukuran, dan tidak toksik. Zat yang terutarna berasal dari metabolisme organ ini hanya mengalami proses filtrasi glomerulus, sedangkan sekresi tubulus sangat minimal sehingga dapat diabaikan. Oleh karena itu kreatinin sangat berguna untuk menilai f k g s i glomerulus dan kadar plasma kreatinin lebih baik dibandingkan kadar plasma ureum. Kenaikan plasma kreatinin 1-2 mgIdL dari normal menandakan penurunan LFG =k 50%.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PEMERIKSAAN PENUNJANC PADA PENYAKIT ClNJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Ada beberapa faktor yang mempengaruhi plasma kreatinin, antara lain:
Tes
Metode
Komentar
Meningkat diet tinggi kreatinin dari daging atau suplemen kaya kreatinin menurunnya sekresi kreatinin akibat kompetisi dengan asam keton, anion organik (pada uremia), atau obat (sirnetidin, sulfa)
Kreatinin plasma
darah sewaktu
sederhana kurang akurat menurun bila otot kecil meningkat dengan konsumsi daging dipengaruhi beberapa obat dipengaruhi oleh pengukuran
Menurun asupan kreatinin menurun atau berkurangnya massa otot karena kurus, tua atau diet rendah protein.
Bersihan kreatinin
urin 24 jam dan contoh darah
Variasi Standarisasi atau kalibrasi yang tidak seragam. Untuk menilai LFG: memakai Formula Cockcroft- Gault: Untuk perempuan: LFG = nilai pada priax 0.85 Untuk pria:
Formula CockcroftGault
contoh darah sewaktu
Radioisotop
Ikali suntik
koleksi urin 2 jam kurang dipercaya over estimate dipengaruhi obat tanpa koleksi urin lebih akurat dibanding kreatinin plasma over estimate pada obes over estimate pada diet rendah protein nilai akurat tinggi invasif sering untuk riset
(140-umur) x (BBIkg) LFG =
72 x kreatinin serum (mg%) Namun demikian perhitungan yang terbaik untuk LFG adalah dengan menentukan bersihan kreatinin yaitu: Nilai normal untuk bersihan kreatinin: Laki-laki =97-137 mLlmenit/l,73m2atau =0,93- 1,32mLldetik/ m' Perempuan= 88-128 mLlmenit/l,73m2atau= 0,85-1,23 mL/ detik/m2. Pengumpulan urin yang tidak tepat akan menghasilkan bersihan kreatinin yang kurang akurat. Untuk laki-laki urinnya mengandung 15-20mg kreatinin/kgBB/hari, sedang pada perempuan 10-15mg kreatininlkgBB/hari.Nilai ini akan menurun dengan bertambahnya urnur. -
Metode Sistatin C serum Beberapa laporan menunjukkan bahwa sistatin C dalam serum merupakan petanda LFG yang akurat, lebih baik daripada kreatinin. Sistatin C diproduksi oleh seluruh sel berinti secara konstan dan tidak dipengaruhi inflamasi, keganasan, perubahan masa tubuh, nutrisi, demam atau jenis kelamin. Sistatin C difiltrasi sempurna oleh glomerulus, lalu mengalami reabsorbsi dan dikatabolisme di tubulus proksimal. Metode pemeriksaan sistatin C dapat secara particle-enhanced nephelometric immunoassay (PENIA) dan particle enhanced turbidity immunoassay (PETIA). Penentuan LFG dengan formula sistatin:
kreatinin urin (mgldl x volume urin) (m1124 jam)
Bersihan kreatinin
=
kreatinin serum (mgldl) x 1440 menit
Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) mengeluarkan rumus untuk mengukur LFG dan lebih akurat dibandingkanklirens kreatinin.Rumus ini belum baku untuk anak-anak, orang tua, perempuan hamil dan bila nilai albumin serum sangat ekstrim. Rumus ini tidak praktis untuk dipakai sehari-hari dibandingkan rumus CockcroftGault dan nomogram. LFG = 170x Pcr (mg/dl) -0,999 x usia -09176x SUN -0,170 x alb
Catatan: Untuk perempuan hasil x 0,762 dan kulit hitam (Negro) x 1,18 Pcr: Plasma Kreatinin; SUN: Urea Nitrogen Serum; Alb: Albumin.
Nilai Normal dari variasi Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) Laju filtrasi glomerulus (LFG) dipengaruhi usia, kelamin, luas permukaan badan. Secara klasik, LFG diukur per 1,73m2. Luas permukaan badan dapat diukur dengan nomogram dari tinggi dan berat badan. LFG pada orang dewasa rata-rata 130 cc/min/1,73 m2 untuk pria dan 120 mV menit/1,73 m2untuk perempuan dengan koefisien variasi 14-18%. Umur akan mempengaruhi LFG h 10 cc/minl1,73 m2 per dekade setelah usia 40 tahun. Jadi nilai LFG pada usia 80 tahun adalah h 50% dari LFG dewasa muda. LFG pada kehamilan meningkat 50% pada trimester pertama dan kembali normal segera setelahmelahirkan. LFG mempunyai ritme sirkadian; ia naik 10% pada sore hari dibandingkan tengah malam. Makanan tinggi protein atau infus asam amino akan meningkatkan LFG LFG dan aliran plasma ginjal
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
meningkat dalam waktu 1 jam setelah makan, dan LFG menurun sementara selama olahraga.
MENGUKUR ALIRAN PLASMA GINJAL Metode ini memakai p-Aminohipurat (PAH) karena zat ini hampir 100% diekskresi oleh ginjal pada saat pertama kali lewat ginjal. Dengan cara ini aliran darah ke ginjal dapat dihitung dengan membagi aliran plasma ginjal dengan (1-hematokrit). Karena metode PAH membutuhkan infus yang kontinyu, saat ini ada metode baru dengan lkali suntik zat radioaktif seperti I-Hipuran atau MAG3.
Petanda Kerusakan Tubulus Walaupun ada petanda kerusakan tubulus seperti protein BM ringan (P-2 mikroglobulin, a-1 makroglobulin) dan enzim tubulus (N-asetil P glukosaminidase) akan meningkat akan tetapi belum rutin dipakai. Selain metodenya rumit, hasilnya belum konsisten, sehingga tes ini hanya dipakai untuk riset. Pengukuran Fungsi Tubulus Fungsi tubulus proksimal dan tubulus distal dapat dinilai dengan beberapa cara antara lain mempelajari transpor natrium, transpor kaliurn, pengasaman urin dan kemampuan memekatkan atau mengencerkan urin. Masalah ini dibicarakan dalam bab-bab selanjutnya.
PEMERIKSAAN SEROLOGI Dengan kemajuan bioteknologi yang pesat para peneliti selalu mencari petanda yang akurat dan noninvasif untuk diagnosis dan evaluasi penyakit glomeruluslvaskular. Pemeriksaan serologi, merupakan pemeriksaan penunjang yang tidak kalah penting dari patologi anatomik. Pada tabel di bawah ini terdapat pemeriksaan serologi yang sering dipakai untuk evaluasi dan diagnosis penyakit ginjal.
PEMERIKSAAN RADlOLOGl GINJAL Pemeriksaan radiologi dalarn bidang nefiologi maju dengan pesat. Pada bab ini akan dibahas secara singkat. Pemeriksaan-pemeriksaan ini sangat bermanfaat untuk menentukan diagnosis. Persiapan sebelum tindakan yang baik akan memberi hasil yang baik. Harus diperhatikan bahwa pemakaian bahan kontras radiologi terutama yang non-ionik dapat menimbulkan penurunan fungsi ginjal akibat iskemia, toksik maupun toksisitas vaskular.
Faktor-faktor yang diperhatikan untuk pemeriksaan radiologi: 1). Informasi yang akan diperoleh untuk manajemen selanjutnya; 2). Akurasi dan ketepatan diagnostik; 3). Invasiflnon invasif dan pertimbangkan risiko; 4). Biaya pemeriksaan
Ultrasonografi 1. Klasik 2. Kontras USG Resolusi USG berkisar 1-2 cm dapat dipergunakan untuk memeriksa korteks, medula, piramid ginjal dan pelebaran sistem kolekting ureter. Ukuran ginjal berbeda 1,5 cm antara kedua ginjal menandakan adanya kelainan pada ginjal tersebut. Bila panjang <9 cm, dianggap mengecillmelisut. Indikasi pemeriksaan USG ginjal: 1. mengukur ginjal (panjang dan lebar) 2. skrining hidronefiosis 3. memastikan massa di ginjal 4. abses atau hematoma 5. skrining kista ginjal 6. melihat lokasi ginjal untuk tindakan invasif 7. mengukur volumelsisa urin kandung kemih 8. menilai trombosis vena renalis (Doppler) 9. menilai aliran darah ginjal (Doppler) USG klasik (tanpa kontras). USG klasik (tanpa kontras), relatif murah, tak tergantung fungsi ginjal, dan sangat mudah dilakukan dan dapat menentukan lokasi, bentuk dan ukuran. Saat ini USG portabel sudah tersedia untuk saat darurat. Masa kistik atau solid, obstruksi atau regresi hidronefiosis dapat segera diketahui. Doppler benvarna dapat menilai vaskularisasi dan perfusi ginjal. Selain itu biopsi ginjal menjadi lebih mudah apabila dipandu dengan USG Kelebihan USG Ginjal: 1. sensitif mendeteksi penimbunan cairan dilatasi pelviokalises dan kista 2. dapat membedakan kortek dan medula 3. dapat membedakan kista dan massa padat 4, dapat melihat bentuk seluruh ginjal dan ruangan sekitar ginjal 5. secara doppler dapat melihat aliran darah ginjal 6. mudah dibawa 7. tidak memakai kontras dan radiasi Kelemahan: 1. tidak dapat menunjukkan pelviokalises secara teliti 2, tidak dapat melihat ureter normal 3. tidak dapat melihat retroperitoniumjelas 4. batu kecil dan batu ureter tak dapat dideteksi 5. bergantung kepada operator
USG Kontras. Tindakan ini memerlukan gasperJuoroocty2 bromide. Metode ini masih dalam riset dan belum dikomersilkan untuk pemakaian klinis.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PENYAKIT GINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Tak jelas sebab Hernaturi NS Hipertensi, fungsi normal Hipertensi, fungsi turun Ras ISK Hydronefrosis
Fibrosis retroperitoneal Nekrosis Papila Nekrosis Kortek Trombus V. renalis lnfark ginjal Nefrokalsinosis
USG IVP atau USG USG CT angiografi MRA MRA CT USG IVP TC DTPA renografi CT IVP CT kontras CT kontras CT kontras CT non kontras
Foto Polos Abdomen Walaupun akhir-akhir ini sudah bermunculan berbagai macam teknik imaging yang cukup canggih, pemeriksaan foto polos ginjal, ureter, dan kandung kemih tetap merupakan pemeriksaan yang sangat penting. Pasien diletakkan pada posisi telentang dengan sinar X terarah ke tubuh pasien terutama ginjal dan kandung kemih. Pada pasien yang sangat gemuk diperlukan pengambilan 2 kali (2 film) untuk masing-masing saluran kemih bagian atas dan kandung kemih secara terpisah. Bentuk ginjal. Ukuran ginjal dapat diketahui dan ini bervariasi bergantung tinggi badan, berat badan dan jenis kelamin pasien. Pada keadaan dimana terjadi pembesaran massa ginjal dapat ditandai dengan pergeseran lemak perinefiik. Gambaran ureter. Pada pemeriksaan foto polos tidak dapat dilihat, akan tetapi posisinya dapat diperhitungkan mulai dari hilus renal melalui daerah prosesus transversus vertebra lumbalis menyilang daerah persambungan sakroiliaka menuju ke bawah melewati pelvis lateral sebelum memasuki kandung kemih. Gambaran kandung kemih. Dibentuk oleh lapisan lemak berbatasan ke arah lateral dekat usus kecil yang berisi gas dan berbentuk kubah. Ukuran panjang kandung kemih di atas simfisis pubis sangat berkaitan erat dengan volume kandung kemih yang dapat dipakai untuk mengukur dengan sempurna kosongnya kandung kemih pada pemeriksaan kandung kemih sesudah buang air kecil. Gambaran kalsifikasi. Pada daerah lokasi ginjal, ureter, dan kandung kemih hams diteliti kemungkinan kalsifikasi. Pada keadaan dijumpai batu pada saluran kemih, kalsifikasi sering ditemukan. Pada daerah vesika seminalis dan juga pada prostat, yang terdapat pada dasar kandung kemih, adanya batu dapat diragukan atau menjadi tersamar oleh adanya kalsifikasi vaskular terutama pada daerah splenik dan arteri iliaka, dari saluran kencing.
Pielografi lntravena (PIV) Berbeda dengan foto polos abdomen, PIV memakai kontras, oleh karena itu PIV lebih mempunyai risiko yaitu alergi terhadap kontras ataupun toksik pada pasien dengan fungsi ginjal yang telah menurun. PIV bertujuan untukmelihat ginjal, ureter dan kandung kencing. Untuk melihat kelainan di ginjal perut hams diberi tekanan. Film pertama diambil pada detik 30 setelah penyuntikan kontras. Film kedua, biasanya 5 menit, diambil dengan posisi telentang dan miring untuk menilai ekskresi kontras dan ureter. Posisi telentang kadangkadang sulit untuk menilai ureter distal, dan hams posisi telungkup. Untuk menilai kandung kencing diperlukan foto dari samping atau tampak dari atas, dan ini akan membantu bila ada prolap kandung kencing. Film pasca void dipakai untuk menilai pengosongan kandung kemih dan penting untuk menilai evaluasi ureter distal, yang mungkin kurang jelas bila kontras mengisi penuh kandung kemih. Serial foto yang diambil setelah kontras: 30 detik :menilai ginjal 5 menit : proses eksresi sistem pelviokalises >5menit : ureter Kontraindikasi relatif untuk pemeriksaan BNO-IVP 1. Riwayat alergi terhadap kontras media 2. Adanya: - Gangguan fungsi ginjal - Diabetes - Mieloma multipel - Dehidrasi 3. Penyakit jantung terutama aritmia Pielografi Retrograde (PRG) PRG dilakukan bila ureter sulit terlihat dengan pemeriksaan radiologi lain atau bila sampel urin diperlukan untuk sitologi atau pembiakan kuman. Pasien yang alergi terhadap kontras atau penyakit ginjal kronik ringan dapat dievaluasi memakai cara ini. Tindakan ini invasif karena memasang kateter dari orifisium ureter dengan alat sistoskopi dan didorong sampai ke pelvis renalis memakai fluoroskopi kateter ditarik perlahan sambil menyemprotkan kontras. Pielografi Antegrad (PAG) PAG dilakukan dengan cara memasang alat menembus kulit langsung ke pelvis renalis. PAG dilakukan bila metode PRG tidak dapat dilakukan. Dengan metode ini tekanan ureter dapat diukur, hidronefrosis dapat dievaluasi dan lesi ureter dapat diidentifikasi. PAG sering dilakukan mendahului nefrostomi. PRG dan PAG adalah tindakan invasif, jadi hanya dilakukan bila tindakan lain gagal. Sistografi Sistografi bertujuan untuk mempelajari kandung kencing
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pembuluh darah yaitu angioplasti transluminal perkutan,
lebih rinci, misalnya menentukan refluks ureter, fungsi dan anatomi kandung kencing. Pada kasus trauma, sistografi dapat dilakukan untuk evaluasi perforasi kandung kencing, yang sulit didiagnosis dengan cara lain. Kateter Foley dipasang dan kencing dikeluarkan. Dengan bantuan fluoroskopikontras disemprot melalui kateter. Film pertama diambil dari depan dan samping segera kontras masuk kandung kencing dan ini sangat baik untuk mendeteksi ureterokel. Ketika kandung kencing tidak penuh, film diarnbil dari macam-macam sudut dan refluks dapat diidentifikasi dengan metode ini. Film-film kandung kemih pada saat pengosongan kontras juga penting untuk diagnosis divertikel, jumlah urin sisa, dan pola mukosa kandung kencing. Angiografi Renalis dan Venografi Renalis Dewasa ini angiografi paling sering dilakukan untuk riset penyakit vaskular, mencari penyebab hipertensi dan renal insufisiensi. Bermacam-macam penyakit terkait dengan arteri renalis seperti aterosklerosis, penyakit fibrosis, aneurism, emboli, fistula AV, vaskulitis, trombosis dan nefrosklerosis. Pada trauma, angiografi bermanfaat untuk menilai patensi a.renalis atau perdarahan traktus urinarius. Selain itu angiografi dapat dipakai untuk mendiagnosis massa ginjal seperti karsinoma, angiomiolipoma, onkositoma, kista atau abses. Juga untuk persiapan transplantasi ginjal, angiografi sangat berguna untuk menilai kondisi pembuluh darah ginjal, dan bila ada dugaan s t r i h anastomosis atau oklusi. Venografi renalis terutama untuk mendiagnosis trombosis vena atau tumor yang melibatkan vena renalis. Indikasi angiografi ginjal: 1). Evaluasi hipertensi renovaskular; 2). Angiografi intervensi: memakai kateter spesial untuk embolisasi, angioplastik balon; 3). Evaluasi preoperatif ginjal donor; 4). Evaluasi ginjal transplan untuk kemungkinan oklusi atau stenosis; 5). Diagnosis trombosis vena renalis; 6). Massa ginjal atau kista ginjal atau trauma ginjal Kontraindikasi relatif untuk pemeriksaan angiografi ini tentu berkaitan dengan pemakaian kontras dan karena tindakan ini invasif, kelainan hemostasis. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan nefropati kontras adalah: insufisiensi renal, dehidrasi, diabetes, mieloma multipel, lansia. Banyak cara untuk mengurangi komplikasi nefropati kontras misalnya dengan profilaksis steroid, memberi cairan NaClIkoreksi dehidrasi, memakai kontras yang mempunyai osmolalitas rendah dan non ionik, serta pemakaian asetilsistein (NAC) pre-kontras. Bermacammacam teknik angiografi renalis, tergantung dari tujuannya antara lain: Aortografi abdomen, arteriografi renal selektif, cavografi vena inferior, venografi renal selektif. Sampling renin vena renalis, DSA-intraarteri, DSA-intravena. Selain segi diagnostik, angiografi dapat dipakai untuk terapi
embolisasi transkateter, sten a.renalis. Tomografi Komputer (CT) Pemeriksaan CT berguna untuk memeriksa lebih lanjut kelainan yang terdapat pada USG atau PIV. CT dipakai untuk evaluasi massa ginjal, melokasi ginjal ektopik, meneliti batu, mencari massa retroperitoneal.Kemajuan CT makin nyata setelah ditemukan scan-helical yang lebih canggih. CT dapat dilakukan dengan atau tanpa kontras intravena. CT tanpa kontras dipakai untuk deposisi kalsium dan perdarahan, dan merupakan pilihan pasien kolik ginjal dan kemungkinan batu. CT tanpa kontras dilanjutkan dengan kontras sangat berguna untuk infeksi ginjal, karena bukan saja untuk mengidentifikasi kemungkinan obstruksi batu tetapi luasnya kerusakan parenkim dan daerah perinephric. Dengan scan helical ginjal dapat dipelajari setelah pemberian kontras dan dapat dipelajari kemampuan ekskresi, bila terlambat dapat disebabkan obstruksi, atau kelainan parenkim seperti nekrosis tubular akut. Angiografi CT Salah satu kecanggihan scan helical adalah kemampuan angiografi CT, dapat memberi gambaran serupa angiografi konvensional akan tetapi kurang invasif. Dengan metode ini dapat dievaluasi suplai darah ke ginjal pada pasien cangkok. Angiografi CT dapat untuk skrining stenosis arteri renalis dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas 99%. Keterbatasan CT. Pada pasien obesitas, selain sulit mendapat akses vaskular dan sering banyak artefak karena kelebihan berat, dan terutama untuk diagnosis daerah abdomen dan retroperitoneal CT juga sangat sensitif terhadap logam. CT Scan dapat lebih superior dari USG dalam keadaan: 1). Evaluasi neoplasma ganas, CT scan dapat mengetahui luasnya penyebaran dan keterlibatan kelenjar getah bening sehingga dapat menentukan staging; 2). Evaluasi ruang perirenal dan pararenal serta fasia gerota; 3). Trauma ginjal; 4). CT dan MRI sangat baik untuk menilai struktur retroperitoneal. Pemeriksaan Radionuklir untuk Ginjal Metode pemeriksaan ini memberi informasi baik kualitatif maupun kuantitatif tentang ginjal secara non invansif. Dengan memakai kamera sinar gamma akan menangkap proton dari radiotracer dari badan dan membentuk garnbarlimage, dapat seluruh tubuh atau bagian dari tubuh. Ada 3 kategori "radio tracer" yang dipakai pada pemeriksaan ginjal: filtrasi glomerulus, sekresi tubulus, retensi agen oleh tubulus Indikasi radionuklir untuk ginjal: 1). Menentukan LFG dan aliran plasma efektif ginjal bahkan pada gangguan fungsi; 2). Mengukur fungsi ginjal masing-masing; 3). Mendiagnosis hipertensi renovaskular; 4). Evaluasi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PENYAKIT GINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI transplan ginjal: aliran anastomosis, obstruksi, ekstravasasi urin; 5). Membedakan hidronefrosis obstruktif dari nonobstruktif dengan renogram furosemid, dimana pada tipe obstruksi terjadi kelambatan ekskresi. Laju filtrasi glomerulus. Agen akan melewati glomerulus sehingga LFG dapat dihitung. Agen sekresi tubulus. Agen yang disekresi oleh tubulus dipakai untuk menilai aliran plasma ginjal efektif karena mempunyai ekstraksi dan kliren yang lebih tinggi. I 3 l I-OIH dan 99Tc-MAG3disekresi oleh tubulus proksimal Retensi agen oleh tubulus. Agen DMSA dan glukoheptonat (GH) yang dilabel sangat baik untuk menilai korteks. Dapat mengevaluasi scarring ginjal dan klarifikasi pseudotumor ginjal. Pilihan agen untuk renal antar lain: 1. LFG: 99 Tc-DTPA 2. LFG dg gangguan fungsi: - 99T~-DTPA-MAG3 - 13'I-OM 3. Aliran plasma ginjal efektif: - 99T~-MAG3 - '311-OM 4. "Scarring" ginjal: - 99T~-DMSA - 99T~-GH 5. Pseudotumor: DMSA 6. Obstruksi: 99Tc-DTPA 7. Obstruksi dengan gangguan fungsi: 99Tc-MAG3.
pelengkap. Hilangnya batas medula korteks memberi gambaran yang nonspesifik pada MRI. Kista ginjal mudah terlihat dengan MRI, akan tetapi kurang akurat menentukan fokus kalsifikasi, dan lebih jelas dengan CT. Untuk staging lesi renal yang padat, MRI lebih superior dibandingkan CT karena dapat mendeteksi trombus tumor pada pembuluh darah besar dan dapat membedakan hilus kolateral pembuluh dari nodul limfa. Beberapa neoplasma ginjal terlihat homogen dengan sekeliling parenkim normal sehingga dapat terabaikan dengan MRI tanpa kontras. MRI dapat membantu membedakan massa adrenal pada feokromositoma; juga MRI sangat bermanfaat mendiagnosistrombosis vena renalis. Angiografi MRI, bila dikerjakan bersama-sama dengan kontras intravena, sangat bermanfaat untuk evaluasi stenosis pada a.renalis, di mana hasilnya lebih baik dibandingkan Digital Substraction Angiography (DSA) dan lebih tidak invasif dibandingkan angiografi konvensional. Kesimpulan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan radiologi dapat menjadi alat bantu diagnostik yang sangat berguna, tetapi biasanya mahal dan dapat memberikan reaksi yang tidak diinginkan. Dengan persiapan dan seleksi pasien yang cerqlat dapat meningkatkan nilai daya guna dan menurunkan toksisitas. Walau beberapa tahun ini dipakai kontras dengan osmolar yang rendah, masih saja dapat menimbulkan gaga1 ginjal akut dan trombosis vaskular.
Renogram Metode ini akan memberi informasi aliran darah, uptake ginjal, dan ekskresi, dengan memakai DTPA, MAG3 dan OM. Rekaman diambil setiap beberapa detik pada menit pertama. Komponen selanjutnya menilai fungsi ginjal dengan menghitung ambilan radio tracer dan eksresi oleh ginjal. Secara normal, puncak konsentrasi antara menit 3-5 setelah suntikan agen. Transit yang melambat akan mengubah kurva renogram. Renogram kaptopril. Metode ini untuk mendeteksi stenosis Arenalis atas dasar kaptopril menghambat pembentukan A2 dan menghambat vasokontriksi. Setelah periode wash out dibuat renograrn basal memakai DTPA atau MAG3. Setelah pemberian kaptopril, bila terbukti ada stenosis a.rena1maka akan ada kelambatan mencapai puncak, adanya retensi isotop dan penurunan LFG pada ipsilateral. Sensitivitasrenogram kaptopril ini menurun dengan adanya gangguan fbngsi ginjal.
BlOPSl GINJAL
MAGNETIC RESONANCE IMAGING ( M R I )
MRI sangat jarang menjadi pemeriksaan pertama untuk evaluasi ginjal, namun MRI dapat menjadi pemeriksaan
Biopsi ginjal dapat memberikan gambaran dasar klasifikasi dan pengertian penyakit ginjal baik primer maupun sekunder. Tindakan ini cukup aman bila dilakukan secara tepat apalagi memakai panduan agar lebih terarah misal dengan USG CT. Juga disainjarum TRUCUT dan memakai alat semi otomatis. Manfaat biopsi ginjal 1. Menegakkan diagnosis baik kelainan primer atau sistemik 2. Menentukan prognosis 3. Menentukan opsi pengobatan 4. Mengetahui patofisiologi penyakit ginjal Kontraindikasi biopsi 1. Gangguan koagulasi dan trombositopenia 2. Disfungsi trombosit (kontraindikasirelatif) dapat diatasi dengan dialisis atau desmopresin yang akan merangsang koagulasi trombosis 3. Hipertensi (kontraindikasi relatif) 4. Pielonefkitis, dapat mengakibatkan abses 5. Kelainan anatomis: ginjal soliter Hasil yang adekuat: biopsi korteks ginjal dan mengandung 6-8 glomerulus. Dibutuhkan 2 sediaan untuk
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI mikroskop cahaya, mikroskop elektron dan imunofluoresen. Indikasi. Risiko biopsi ginjal selalu hams dipertimbangkan, demikian juga keuntungan pada tiap pasien. Biopsi ginjal berguna untuk diagnosis dan perencanaan pengobatan, termasuk sebagai pegangan untuk menghentikan pengobatan dan prognosis penyakit. Ada 4 kelompok yang merupakan indikasi utama biopsi: sindrom nefrotik, penyakit ginjal akibat penyakit sistemik, gagal ginjal akut dan transplantasi ginjal. Indikasi lain adalah: proteinuria ringan, hematuria, penyakit ginjal kronik. Sindrom nefrotik. Walaupun sindrom nefrotik (proteinuria >3,5 ghari) merupakan indikasi, namun ada pengecualian: 1. Anak usia 1 tahun-pubertas. Biasanya jenis perubahan minimal dan responsif terhadap steroid. Dilakukan biopsi bila: tidak ada respons terapi, C, rendah, hematuria, gangguan fungsi. Perubahan minimal sangat jarang pada usia kurang dari 1 tahun dan biopsi perlu dilakukan untuk diagnosis sindrom nefrotik kongenital. 2. Diabetes: Bila dianggap SN karena diabetes yaitu dengan riwayat lama mengidap diabetes, retinopati dan sedimen urin inactive dengan USG yang masih normal.
Penyakit sistemik dengan proteinuria atau insufisiensi renal. Beberapa penyakit sistemik seperti amiloid, reaksi obat, mieloma, sarkoidosis hanya dapat didiagnosis dengan biopsi ginjal. Pada SLE, biopsi dapat untuk menentukan aktivitas penyakit, menilai terapi dan rencana pengobatan. Gangguan ginjal akut. Diagnosis gagal ginjal akut berdasarkan anamnesis dan laboratorium. Bila penyebabnya tidak jelas dan tidak responsif dengan terapi suportif, hams dilakukan biopsi. Hematuria dan proteinuria dengan silinder eritrosit, menandakan vaskulitis sistemik, dan perlu segera biopsi untuk konfirmasi diagnosis dan menilai beratnya reaksi inflamasi dan luasnya fibrosis. Bila ANCA positif dan terapi ditujukan untuk manifestasi vaskulitis ekstrarenal, manfaat biopsi masih diperdebatkan. ANCA positif dapat terjadi juga pada kondisi lain seperti endokarditis, maka uiltuk membedakannya hanya dengan biopsi ginjal. Biopsi pada GGA kadang diperlukan setelah pengobatan pertama selesai untuk menilai beratnya dan reversibilitas; serta perlu tidaknya dilanjutkan dengan terapi imunosuportif. Proteinuria non nefrotik. Nilai biopsi ginjal pada proteinuria <3,5 ghari memang kurang berarti dibandingkan sindrom nefrotik. Studi REIN menunjukkan kemunduran fungsi ginjal dengan meningkatnya proteinuria. Proteinuria < 1,5 ghari setara dengan penurunan LFG 0,12 cclminl bulan, dan pada kondisi ini penghambat ACE kurang bermanfaat. Bila proteinuria 13-3 ghari LFG menurun 0,4 cc/mm/bulan dan pada kelompok ini penghambat ACE ternyata bermanfaat. Oleh karena itu sangat penting memastikan diagnosis bila protein > 1,5 gihari. Indikasi lain
pada artritis rematoid dimana hasil biopsi dapat mempengaruhi manajemen. Pada kondisi ini, bila diternukan amiloidAA, terapi hams intensif, untuk mengurangi ke kadar normal. Bila artritis rematoid memberi gambaran nefropati membranosa, terapi dengan emas atau penisilamin tidak dianjurkan. Proteinuria ringan dengan hematuria. Nefropati IgA sering mempunyai gambaran klinis protein kurang dari 1,5 glhari dengan hematuria mikroskopik. Pada pasien ini perlu terapi jangka panjang. Sebaliknya pasien dengan GN pasca infeksi mempunyai manifestasi klinis yang sama, tetapi prognosis lebih baik. Oleh karena itu perlu menunda biopsi 6 bulan, dan biopsi mutlak dilakukan bila kelainan urin menetap 6 bulan, walau hngsi ginjal normal. Bila kelainan urin disebabkan penyakit sistemik, seperti pada vaskulitis atau lupus, biopsi mempunyai nilai yang tinggi untuk mengetahui luasnya kerusakan glomerulus dan rencana terapi. Hematuria terisolasi. Karena hematuria dapat disebabkan oleh banyak hal, biopsi ginjal pada hematuria kadang diperdebatkan. Biopsi pada hematuria dilakukan bila hematuria menetap, apalagi bila ada hipertensi, proteinuria dan hematuria glomerulus (dismorfik). Pada hematuria terisolasi, tanpa gejala lain, tindakan biopsi masih diperdebatkan, dan para nefrologis lebih menyukai mengikutilfollow up selama beberapa tahun. Penyakit ginjal kronik dengan sebab tdak jelas. Biopsi sangat bermanfaat pada gangguan fungsi yang tidak jelas sebabnya, dimana USG menunjukkan ukuran yang normal. Bila ginjal melisut (<9,5 cm, dewasa), pada biopsi ginjal biasanya menunjukkan glomerulosklerosis dan fibrosis interstitialis yang luas. Pada keadaan demikian biopsi memang tidak membantu untuk memperbaiki kerusakan, akan tetapi dapat membantu prognosis dan rencana terapi. Gambaran ekogenitas pada USG dan hilangnya batas korteks dan medula, adalah suatu tanda penyakit parenkim ginjal yang lanjut, namun bukan indikasi untuk biopsi. Disfungsi ginjal cangkok. Biopsi ginjal pada keadaan ini sangat berguna untuk membedakan antara rejeksi dan nekrosis tubular akut pada periode awal cangkok. Pada periode lanjutjuga penting untuk membedakan rejeksi akut dari rejeksi kronik, yang tidak memerlukan terapi, atau membedakan nefrotoksisitas karena obat anti rejeksi. Karena tidak sulit melakukan biopsi pada ginjal cangkok, maka sering dilakukan biopsi berulang bila diperlukan.
Persiapan untuk biopsi 1. USG ginjal: keduanyanormal, tanpa sikatrik dan tanpa tanda obstruksi 2. Tekanan diastolik <95 mmHg 3. Kultur urin: steril 4. Status hematologi: - AspirinIOAINS (NSAID) dihentikan 5 hari sebelurn biopsi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PENYAKIT GINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
- Hitung trombosit >100.000 - PT <1,2 x kontrol - APTT <1,2 x kontrol (bila memanjang singkirkan antikoagulan lupus)
- Waktu perdarahan: <10 menit Prosedur biopsi ginjal: 1. peralatan USG sebagai penuntun 2. anestesi: anestesi lokal 3. jarum: pistol biopsi 4. tempat: pool bawah ginjal, lebih disukai ginjal kiri 5. jaringan yang diperoleh dibagi dua: - untuk pemeriksaan mikroskop cahaya - untuk pemeriksaan imunofluoresen 6. pasca biopsi: - tidur tengkurap +jam - minurn banyak - monitor: tekanan darah, urin lengkap 7. pasien dipulangkan bila tidak ada hematuria Modifikasi tindakan biopsi: 1. Walaupun pasien biasanya dirawat untuk biopsi, pada pasien dengan risiko rendah one day care. Pagi biopsi sore pulang, misalnya tensi, fungsi ginjal normal dan kelainan urin tak bergejala. Metode ini kadang dikaitkan dengan masalah asuransi kesehatan. 2. Alat biopsi. Bila "pistol biopsi" tidak ada, jarum dapat memakai model TRUCUT atau VIM SILVERMAN Bantuan radiologi. Untuk menentukan lokasi ginjal USG lebih baik dibandingkan urografi intravena. Alternatif adalah fluoroskopi dengan kontras atau CT pada kasus tertentu. Posisi. Pada beberapa keadaaan: sesak napas atau nyeri bila telungkup, biopsi dapat dilakukan secara duduk. Biopsi terbuka. Biopsi ginjal secara terbuka dapat dilakukan pada risiko tinggi, misalnya ginjal tunggal, dengan tendensi perdarahan, atau bila dengan biopsi tertutup gagal. Ini tentu menarnbah biaya, tidak nyaman, dan dewasa ini jarang dilakukan.
Biopsi ginjal cangkok. Letak ginjal cangkok di bawah dinding kulit abdomen, tidak bergerak karena respirasi, membuat biopsi lebih simpel dan sering dilakukan berulang-ulang.
Komplikasi 1. Komplikasi biopsi ginjal antara lain hematoma, hematuria makroskopik, fistula arteriovena, infeksi dan pembedahan. 2. Perdarahan. Hematoma perirenal ditandai dengan penurunan Hb. Hematuria makroskopik dengan hematoma perirenal terjadi 2%, dan hanya 1% membutuhkan transfusi darah. Hematuria yang berat dapat menyebabkan kolik. Bila hematuria berlanjut perlu angiografi untuk tindak lanjut embolisasi. 3. Fistula arteriovena. Sering tidak ada keluhan dan ditemukan secara radiologi. Frekuensi sekitar 10% bila diperiksa secara arteriografi atau Doppler benvarna. Kebanyakan kasus akan sembuh spontan. Fistula arteriovena yang menetap, dapat menyebabkan hematuria, hipertensi dan gangguan fungsi ginjal. Dalam situasi demikian embolisasi perlu dilakukan. 4. Komplikasi lain. Walaupun sangatjarang, biopsi ginjal dapat menyebabkan fistula peritoneallkalises, hematotorak, perforasi kolon ataupage kidnq di mana terjadi tamponade ginjal. 5. Kematian karena biopsi sangat jarang dan biasanya disebabkan perdarahan pada kasus risiko tinggi terutama pada gagal ginjal akut.
Brenner MB. The kidney. 7th edition. In: Brenner & Rector, editors. Philadelphia: WB Saunders; 2000. p. 353-412. Johnson RJ, Feehally J. Comprehensive clinical nephrology. 2nd edition. Mosby; 2000. p. 27-70. Simonson MS, Banz MB. Nephrology secret. p. 4-1 1. Wilcos CX, Tisher CC. Handbook of nephrology and hypertension. 5 th edition. Lippincott Williams & Wilkins; 1999. p. 20-2.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
EDEMA PATOFISIOLOGI DAN PENANGANAN Ian Effendi, Restu Pasaribu
DlSTRlBUSl NORMAL CAIRAN TUBUH Komponen terbesar dari tubuh adalah air. Air adalah pelarut bagi semua zat terlarut dalam tubuh baik dalam bentuk suspensi maupun larutan.Air tubuh total adalah persentase dari berat air dibandingkan dengan berat badan total, nilainya bervariasi menurut jenis kelamin, umur dan kandungan lemak tubuh. Distribusi normal cairan tubuh dapat dilihat pada Gambar 1.
menyebabkan retensi natrium dan air, penyakit ginjal serta berpindahnya air dari intravaskular ke interstitium. Volume cairan interstitial dipertahankan oleh hukum Starling. Menurut hukum Starling, kecepatan dan arah perpindahan air dan zat terlarut termasuk protein antara kapiler dan jaringan sangat dipengaruhi oleh perbedaan tekanan hidrostatik dan osmotik masing-masing kompartemen.Tekanan osmotik adalah tekanan yang dihasilkan molekul protein plasma yang tidak permeabel melalui membran kapiler. Proses perpindahan ini melalui proses difusi, ultrafiltrasi dan reabsorbsi. Faktor yang terlibat adalah perbedaan tekanan hidrostatik intravaskular dengan ekstravaskular (AP), perbedaan tekanan osmotik (An) dan permeabilitas kapiler (Kf). Kecepatan perpindahan cairan (Fm) yang membentuk edema diformulasikan sebagai berikut:
Fm = Kf (AP - Arc) Pengaruh faktor-faktor di atas dalam proses terjadinya edema dapat dilihat pada Tabel 1.
PATOFISIOLOGI EDEMA
Garnbar 1. Distribusi normal cairan tubuh
Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel tubuh atau di dalam berbagai rongga tubuh, keadaan ini swing dijumpai pads praktik klinik s&ari-hari yang terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan faktorfaktor yang mengontrol perpindahan cairan tubuh, antara lain gangguan hemodinamik sistem kapiler yang
Edema terjadi pada kondisi di mana terjadi peningkatan tekanan hidrostatik kapiler, peningkatan permeabilitas kapiler atau peningkatan tekanan osmotik interstisial, atau penurunan tekanan osmotik plasma. Ginjal mempunyai peran sentral dalam mempertahankan homeostasis cairan tubuh dengan kontrol volume cairan ekstraselular melalui pengaturan ekskresi natrium dan air. Hormon antidiuretik disekresikan sebagai respons terhadap perubahan dalam volume darah, toni sit as dan tekanan darah untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh. Konsep Volume Darah Arteri Efektif O A E ) merupakan ha1 penting dalam memahami mengapa ginjal menahan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
EDEMA PATOFlSlOLOGlDAN PENANGANAN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Klinis --
Faktor yang berpengaruh
Mekanisme
-
Edema lokal lnflamasi Trombosis vena dalam Edema generalisata Sindrom nefrotik
Peningkatan Kf Peningkatan AP
Diperantarai sitokin Obtruksi vena Obstruksi limfe
Peningkatan Kf Peningkatan AP Penurunan AX
Diperantarai sitokin Pelepasan aldosteron Penurunan kadar albumin Peningkatan volume darah Penurunan curah jantung Diperantarai oleh: renin, angiotensin, aldosteron Hipertensi portal Diperantarai oleh aldosteron Penurunan kadar albumin Diperantarai oleh: prostaglandin, NO Penurunan kadar albumin Diperantarai oleh : renin, angiotensin, aldosteron
GGA oliguria
Peningkatan AP
Gagal jantung kongestif
Peningkatan AP
Sirosis hepatis
Peningkatan AP Penurunan Ax Peningkatan Kf
Kwashiorkor
Penurunan An
Edema idiopatik
Peningkatan AP
natrium dan air. VDAE didefinisikan sebagai volume darah arteri yang adekuat untuk mengisi keseluruhan kapasitas pembuluh darah arteri. VDAE yang normal terjadi pada kondisi di mana rasio curah jantung terhadap resistensi pembuluh darah perifer seimbang. VDAE dapat berkurang pada kondisi terjadi pengurangan volume darah arteri (perdarahan, dehidrasi), penurunan curah jantung (gaga1 jantung) atau peningkatan capacitance pembuluh darah arteri (sepsis, sirosis hepatis) sehingga VDAE dapat berkurang dalam keadaan volume darah aktual yang rendah, normal atau tinggi. Pada orang normal, pembebanan natrium akan meningkatkan volume ekstraseluler dan VDAE yang secara cepat merangsang natriuresis untuk memulihkan volume tubuh normal. Jika VDAE berkurang maka ginjal akan memicu retensi natrium dan air. Mekanisme ini melibatkan:
PENURUNAN ALlRAN DARAH GINJAL Penurunan VDAE akan mengaktifasi reseptor volume pada pembuluh darah besar, termasuk low-pressure baroreceptors, intrarenal receptors sehingga terjadi peningkatan tonus simpatis yang akan menurunkan aliran darah pada ginjal. Jika aliran darah ke ginjal berkurang akan dikompensasi oleh ginjal dengan menahan natriurn dan air melalui mekanisme sebagai berikut:
Peningkatan reabsorbsi garam dan air di tubulus proksimalis. Penurunan aliran darah ke ginjal dipersepsikan oleh ginjal sebagai penurunan tekanan darah sehingga terjadi kompensasi peningkatan sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus. Renin akan meningkatkan pembentukan angiotensi 11, angiotensin I1 ini akan menyebabkan kontriksi arteriol eferen sehingga terjadi peningkatan fraksi filtrasi (rasio laju filtrasi glomerulus terhadap aliran darah ginjal) dan peningkatan tekanan osmotik kapiler glomerulus. Peningkatan tekanan osmotik ini akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi air pada tubulus proksimalis. Peningkatan reabsorbsi natrium dan air tubulus distalis. Angiotensin I1 akan merangsang kelenjar adrenal melepaskan aldosteron, aldosteron ini akan menyebabkan retensi natrium pada tubulus kontortus distalis.
SEKRESI HORMON ANTlDlURETlK (ADH) Penurunan VDAE akan merangsang reseptor volume pada pembuluh arteri besar dan hipotalamus aktivasr reseptor ini akan merangsang pelepasan ADH yang kemudian mengakibatkan ginjal menahan air. Pada kondisi gangguan ginjal, komposisi cairan tubuh pada beberapa kompartemen tubuh akan terganggu dan menyebabkan edema. Penyebab umum edema: 1. Penuman tekanan osmotik - Sindrom nefrotik - Sirosis hepatis - Malnutrisi 2. Peningkatan permeabilitas vaskular terhadap protein - Angioneurotik edema 3. Peningkatan tekanan hidrostatik - Gagal jantung kongestif - Sirosis hepatis 4. Obstruksi aliran limfe - Gagal jantung kongestif 5. Retensi air dan natrium - Gagal ginjal - Sindrom nefrotik
Pembentukan Edema pada Sindrom Nefrotik Sindrom nefrotik adalah kelainan glomerulus dengan karakteristik proteinuria (kehilangan protein melalui urin >3,5g/hari), hipoproteinemia, edema dan hiperlipidemia. Pasien sindrom nefrotik juga mengalami volume plasma yang meningkat sehubungan dengan defek intrinsik ekskresi natrium dan air. Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik berhubungan dengan kehilangan protein sehingga terjadi penurunan tekanan osmotik menyebabkan perpindahan cairan intravaskular ke interstitium dan memperberat pembentukan edema. Pada kondisi tertentu,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
kehilangan protein dan hipoalbumin dapat sangat berat sehingga volume plasma menjadi berkurang yang menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang juga merangsang retensi natrium dan air. (Gambar 2)
Defek intrinsik ekskresi natrium
Penurunan LFG
\
I
air
\
+
Mekanisme overfilling. Pada beberapa pasien sindrom nefrotik terdapat kelainan yang bersifat primer yang mengganggu ekskresi natrium pada tubulus distalis, sebagai akibatnya terjadi peningkatan volume darah, penekanan sistem renin-angiotensin dan vasopresin. Kondisi volume darah yang meningkat (overfilling) yang disertai dengan rendahnya tekanan osmosis plasma mengakibatkan transudasi cairan dari kapiler ke interstitial sehingga terjadi edema.
Proteinuria I
Hipoalbuminemia
I
1
Defek tubulus yang primer
C
L
Penurunan VDAE
t
J
Retensi natrium dan air oleh ginjal
-,
Volume plasma 9
Gambar 2. Mekanisme retensi natrium dan air
1 ANP
Ada 2 mekanisme yang menyebabkan terjadinya edema pada sindrom nefrotik: Mekanisme underJilling. Pada mekanisme underfilling, terjadinya edema disebabkan rendahnya kadar albumin serum yang mengakibatkan rendahnya tekanan osmotik plasma, kemudian akan diikuti peningkatan transudasi cairan dari kapiler ke ruang interstitial sesuai dengan h u h Starling, akibatnya volume darah yang beredar akan berkurang (underfilling) yang selanjutnya mengakibatkan perangsangan sekunder sistem renin-angiotensinaldosteron yang meretensi natrium dan air pada tubulus distalis. Hipotesis ini menempatkan albumin dan volume plasma berperan penting pada proses terjadinya edema. Proteinuria I
i
Hipoalbuminemia
Tekanan osmotik plasma
4
+I
Volume plasma &
1 Sistem renin angiotensin
I
1 I
I ANP N I . ~
RETENSI AIR
I L
m!MA
Gambar 3. Skema hipotesis undetfill
RETENSI
1 I
Tubulus Resisten terhadap ANP
1
11
Garnbar 4. Skema hipotesis overfill
Pembentukan Edema pada Gagal Jantung Kongestif Gagal jantung kongestif ditandai kegagalan pompa jantung, saat jantung mulai gagal memompa darah, darah akan terbendung pada sistem vena dan saat yang bersamaan volume darah pada arteri mulai berkurang. Pengurangan pengisian arteri ini (direfleksikan pada VDAE) akan direspons oleh reseptor volume pada pembuluh darah arteri yang memicu aktivasi sistem saraf simpatis yang mengakibatkan vasokontriksi sebagai usaha untuk mempertahankan curah jantung yang memadai. Akibat vasokontriksi maka suplai darah akan diutamakan ke pembuluh darah otak,jantung dan paru, sementara ginjal dan organ lain akan mengalami penurunan aliran darah. Akibatnya VDAE akan berkurang dan ginjal ~ k a menahan n natrium dan air. Kondisi gagal jantung yang sangat berat, juga akan terjadi hiponatremia, ini terjadi karena ginjal lebih banyak menahan air dibanding dengan natrium. Pada keadaan ini ADH akan meningkat dengan cepat dan akan terjadi pemekatan urin. Keadaan ini diperberat oleh tubulus proksimal yang juga menahan air dan natrium secara berlebihan sehingga produksi urin akan sangat berkurang.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
EDEMA PATOFISIOLOCI DAN PENANGANAN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Pelepasrfn vasopresln
+ t--Sistem saraf simpatis%
Ren~n-anglotensin-'f aldosteron
perbedaan berat badan yang dipengaruhi oleh posisi tubuh. Pada posisi berdiri terjadi retensi natrium dan air sehingga terjadi peningkatan berat badan, ini diduga karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler pada posisi berdiri. Pada kondisi tertentu dapat disertai penurunan volume plasma yang kemudian mengaktivasi sistem reninangiotensin-aldosteron sehingga edema akan memberat. Edema idiopatik ini hams dibedakan dengan edema yang bersamaan dengan siklus menstruasi, karena edema pada siklus menstruasi terjadi akibat retensi natrium dan air karena stimulasi estrogen yang berlebihan.
Gambar 5. Mekanisme edema pada gagal jantung
TERAPI EDEMA
Di lain pihak, ADH juga merangsang pusat rasa haus, menyebabkan peningkatan masukan air. Pembentukan Edema pada Sirosis Hepatis Sirosis hepatis ditandai oleh fibrosis jaringan hati yang luas dengan pembentukan nodul. Pada sirosis hepatis, fibrosis hati yang luas yang disertai distorsi struktur parenkim hati menyebabkan peningkatan tahanan sistem porta diikuti dengan terbentuknya pintas portosistemik baik intra maupun ekstra hati. Apabila perubahan struktur parenkim semakin berlanjut, pembentukan pintas juga semakin berlanjut, vasodilatasi semakin berat menyebabkan tahanan perifer semakin menurun. Tubuh akan menafsirkan seolah-olah terjadi penurunan VDAE. Reaksi yang dikeluarkan untuk melawan keadaan itu adalah meningkatkan tonus saraf simpatis adrenergik. Hasil akhirnya adalah aktivasi sistem vasokonstriktor dan anti diuresis yakni sistem renin-angiotensin-aldosteron, saraf simpatis dan ADH. Peningkatan kadar ADH akan menyebabkan retensi air, aldosteron akan menyebabkan retensi garam sedangkan sistem saraf simpatis dan angiotensin akan menyebabkan penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dan meningkatkan reabsorbsi garam pada tubulus proksimalis. Pembentukan Edema Karena Obat Beberapa obat yang sering dipakai dalam praktik seharihari juga dapat menyebabkan edema (Tabel 2). Mekanisme penyebab edema karena obat di antaranya terjadinya vasokontriksi arteri renalis (OATNS, cyclosporine), dilatasi arteri sistemik (vasodilator), meningkatkan reabsorbsi natrium di ginjal (hormon steroid) dan merusak struktur kapiler (interleukin 2). Edema ldiopatik Keadaan ini biasanya terjadi pada perempuan yang ditandai dengan episode edema periodik yang tidak berhubungan dengan siklus menstruasi dan biasanya disertai distensi abdomen. Pada edema idiopatik ini terdapat
Terapi edema harus mencakup penyebab yang mendasarinya yang reversibel Cjika memungkinkan), pengurangan asupan sodium harus dilakukan untuk meminimalisasi retensi air. Tidak semua pasien edema memerlukan terapi farmakologis; pada beberapa pasien terapi non farmakologis sangat efektif seperti pengurangan asupan natrium (yakni kurang dari jumlah yang diekskresikanoleh ginjal) dan menaikkan kaki di atas level dari atrium kiri. Pada kondisi tertentu diuretik harus diberikan bersamaan dengan terapi non farmakologis. Pemilihan obat, rute pemberian, dan dosis akan sangat tergantung pada penyakit yang mendasarinya, beratringannya penyakit dan urgensi penyakitnya. Efek diuretik berbeda berdasarkan tempat kerjanya pada ginjal. Klasifikasi diuretik berdasarkan tempat kerja: 1. Diuretik yang bekerja pada tubulus proksimalis Carbonic anhydrase inhibitor: asetazolamid (Diamoks) Phosphodiesterase inhibitor: teofilin (diduga diperantarai cyclic adenosine monophosphate) 2. Diuretik yang bekerja pada loop of henle Sodium-potassium chloride inhibitors: bumetanid (Bumeks), ethacrynic acid (Edecrin), furosemid
o.asl4 3. Diuretik yang bekerja pada tubulus kontortus distal Sodium chloride inhibitors: klortalidon (Higroton), hidroklorotiazid (Esidriks), metolazon (Diulo) 4. Diuretik yang bekerja pada cortical collecting tubule Antagonis aldosteron: spirono lakton (Aldakton) Sodium channel blokers: amilorid (Midamor), triamterene (Direniurn) Pada pemberian firrosemid oral,jumlah yang diabsorbsi berkisar 10-80% (rata-rata 50%), sementara bumetanid d m torsemid diabsorbsi hampir sempurna yaitu berkisar 80100%. Diuretik golongan tiazid dan hidroklorotiazid diekskresikan keurin dalam bentuk tidak berubah. Pemberian diuretikjugahams mempertimbangkan waktu paruh diuretik tersebut. Golongan tiazid memiliki waktu paruh yang panjang sehingga dapat diberikan satu kali atau dua kali
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
950
CINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS) Vasodilatasi splanik (Faktor utama)
Hipertensi portal
1
Penulwnan allran darah glnlal dan
Hipoalbuminemia
Minoksidil Hidralazin Klonidin Metildopa Guanetidin Calcium channel antagonists Antagonis alfa andrenergik Hormon steroid Glukokortikoid Anabolik steroid Estrogen Progestin Siklosporin Growth hormone lmunoterapi Interleukin 2 OKT 3 antibodi monoklonal
I
I
4
Asites
Antihipertensi Vasodilator:
I
St,mulasl vasopresln
St~mulas~ sfstern saraf slmpatls
LFG
Akt~vas~ slstern renlnanglotenslnaldosteron
I
I
I RETENSI NATRIUM DAN AIR
Gambar 6. Mekanisme edema pada sirosis hepatitis
sehari, sementara loop diuretic seperti bumetanid memvunvai waktu varuh satu iam, torsemid 3-4 iam sehingga pemberiannya harus lebih sering. Efek loop diuretic dapat menghilang dengan segera, kemudian ginjal mulai mereabsorbsi natrium dan meniadakan efek diuretik. Proses ini disebut post diuretic sodium chloride retention,sehingga restriksi natrium sangat penting bagi pasien yang mendapat loop diuretic.
. -
<
,
I
Mengurangi asupan natrium dan air, baik dari diet maupun intravena
RESlSTENSl TERHADAP DlURETlK Resistensi terhadap diuretik adalah kegagalan tubuh membuat kondisi keseimbangan natrium yang negatif meskipun telah menggunakan diuretik dosis tinggi (misalnya furosemid mencapai 240 mghari). Kondisi ini
Jenis Diuretik Carbonic anhidrase inhibitor Acetazolamide Loop diuretic Furosemid Etacrynic acid Tiazid Klorotiazid Hidroklorotiazid Metolazon Potassium Sparring ~riamteren Amilorid Spironolakton
Tempat kerja Tubulus Proksimalis
Loop of henle Tubulus Distalis
Duktus Kontortus
Potensi
Efek Primer
Na'IH'
Ill
Meningkatkan pengeluaran natrium dan air a. Diuretik: Hanya sebagai terapi paliatif bukan kuratif b. Tirah baring, local pressure
I"
Hindari faktor yang memperburuk penyakit dasar: diuresis yang berlebihan menyebabkan pengurangan volume plasma, hipotensi, perfusi yang inadekuat, sehingga diuretik harus diberikan dengan hati-hati
harus dipikirkan pada pasien dengan edema yang menetap meskipun telah diberi diuretik yang maksimal serta pengurangan aktivitas fisik dan asupan natrium yakni kurang dari 2 gram per hari. Pemahaman akan
Pertukaran +
Penanganan penyakit yang mendasari
&
Efek Sekunder Ekskresi K
Dosis mglhari
1'
Komplikasi Hipokalemia
Ekskresi ~ ~ 0 3 . 1 '250-500
Hiperkloremia Asidosis
+++
Absorbsi Na+/K+12CI.$
Ekskresi K 1' E~~~~~~~ H+1'
40-600 50-400
Hipokalemia Alkalosis
++
Absorbsi
Ekskresi K
++
++
Na'&
5001000 50-100 2,5-10
Hipokalemia Alkalosis
+
Absorbsi ~a'&
100-300 5-10 100-400
Hiperkalemia Asidosis
+++
+
Ekskresi H'
1'
Ekskresi K & Ekskresi H' &
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
951
EDEMA PATOFISIOLOGIDAN PENANGANAN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI farmakokinetik suatu diuretik sangat perlu untuk menentukan ada tidaknya resistensi diuretik. Efek pemberian furosemid peroral sulit diprediksi karena absorbsinya sangat tidak menentu. Penambahan diuretik lain dengan tempat kerja yang berbeda dapat membantu mengatasi adaptasi tubulus distal karena pemberian diuretik yang berlangsung lama. Penyebab potensial terjadinya resistensi terhadap diuretik dapat dilihat pada Tabel 5.
Noncompliance Tidak patuh pada regimen yang diberi Tidak patuh pada pengurangan asupan natrium Resisten Gangguan absorbsi loop diuretic Penurunan aliran darah ginjal: Penurunan volume plasma Penggunaan &at lain seperti OAINS, Penyekat ACE Akibat farrnakologis : berhubungan dengan waktu paruh diuretik Pengurangan sekresi tubuler: karena kelainan ginjal, volume darah yang h r a n g dan obat Toleran terhadap obat: karena penggunaan &at yang berlangsung lama.
Penyebab potensial kegagalan terapi diuretik adalah terjadinya toleransi. Short term tolerance hams dipikirkan jika terjadi penurunan respons pada pemberian pertama suatu diuretik. Hal ini sering disebabkan oleh penurunan volume intravaskular sebagai kompensasi tubuh untuk mencegah kehilangan cairan tubuh secara berlebihan. Long term tolerance dapat terjadi pada penggunaan diuretik jangka panjang. Hal ini diperantarai hipertrofi nefron segmen distal dan reabsorbsi natrium yang berlebihan. Penambahan dosis diuretik pada kondisi ini tidak dapat memperbaiki diuresis tetapi penambahan diuretik golongan lain dapat dipertimbangkan.
REFERENSI Braunwald E. Edema In: Braunwald, Fauci, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, editors. Harrison's principles of internal medicine. 16Ih edition. New York: Mc Graw-Hill companies; 2004. p. 21722. Brater DC. Diuretic therapy. N Engl J Med. 1998;339:387-95. Chototh DK, Andreoli TE. Disorder of extracellular volume. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. I" edition. New York: Mosby publisher; 2000. p. 3,8,111. De Bruyne LK. Mechanisms and management of diuretic resistance in congestive heart failure. Postgrad Med J. 2003;79:268-71. Deschenes G, Feraille, Doucet A. Mechanism of edema in nephrotic syndrome: old theories and new ideas. Nephrol Dial Transplant. 2003; 18:454-6. Eknoyan G. A history of edema and its management. Kidney Int Suppl. 1997;59:S 1 18-26. Ellison DH. Diuretic drugs and the treatment of edema: from clinic to bench and back again. Am J Kidney Dis. 1994;23:623-43. Hamm LL, Batuman V. Edema in nephrotic syndrome: new aspect of an old enigma. J AmSoc Nephrol. 2003;14:3288-9. Moller S, Bentsen F, Henriksen JH. Effect of volume expansion on systemic hemodynamics and central arterial blood volume in cirrhosis.Gastroenterology. 1995;109:1917-25. O'Brien JG, Chennubhotla SA. Treatment of edema. Am Farn Physician. 2005;71:2111-7. Wilson LM. Gangguan pada volume cairan, osmolalitas dan elektrolit. In: Price SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 4th edition. Volume I. Jakarta: Penerbit buku kedokteran; 1995. p.302-26.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
HEMATURIA Lestariningsih
PENDAHULUAN
Darah yang ditemukan dalam urin, baik hematuria makroskopis ataupun mikroskopis, mempakan tanda yang cukup serius terhadap kelainan pada saluran kemih. Kadang-kadang kita mendapatkan pasien dengan hematuria mikroskopik asimtomatik. Keluhan serta gejala klinis pasien dapat memberikan arahan untuk menegakkan diagnosis.
Hematuria adalah keadaan abnormal dengan ditemukannya sel darah merah dalam urin. Ada dua macam hematuria, yaitu hematuria mikroskopis dan hematuria makroskopis (gross hematuria). Hematuria makroskopis dapat terjadi bila sedikitnya l c c darah per liter urin sedangkan hematuria mikroskopis sering kita temukan pada pemeriksaan laboratorium urinalisis pada pasien dengan berbagai keluhan, atau pada saat pemeriksaan kesehatan (check up). Dikatakan hematuria bila pada pemeriksaan mikroskop ditemukan sel darah merah 3 atau lebih per lapang pandang besar urin yang disentrifugasi, dari evaluasi sedimen urin dua dari tiga contoh urin yang diperiksa.
HEMATURIA TRANSIEN ATAU PERSISTEN
Ditemukannya sedimen urin seperti sel darah merah, leukosit, silinder merupakan tanda penyakitlkelainan glomerulus, tubulointerstisial, dan urologi. Bila ditemukan hematuria tentu dokter ingin mengetahui apakah hematuria itu menetaplpersisten atau sementaral transien. Untuk menentukan ha1 ini diperlukan evaluasi
pemeriksaan urin beberapa hari. Hematuria tidak berbahaya sepanjang tidak menyebabkan perdarahan hebat, tetapi etiologi hematuria hams ditegakkan untuk penanganan lebih lanjut. Bila ditemukan hematuria, dilakukan evaluasi etiologi dan penyakit yang mendasari terjadinya hematuria.
PATOFISIOLOGI
Berdasarkan lokasi yang mengalami kelainan atau trauma, dibedakan glomerulus dan ekstra glomerulus untuk memisahkan bidang nefiologi dan urologi. Darah yang berasal dari nefion disebut hematuria glomerulus. Pada keadaan normal, sel darah merah jarang ditemukan pada urin. Adanya eritrosit pada urin dapat terjadi pada kelainan herediter atau perubahan struktur glomerulus dan integritas kapiler yang abnormal. Eritrosit bila berikatan dengan protein TaamHorsfall akan membentuk silinder eritrosit. Ini merupakan petunjuk penyakitkelainan glomerulus yang merupakan penanda penyakit ginjal kronik. Pada penyakit nefrodglomerulus biasanya hanya ditemukan sel darah merah saja tanpa silinder. Proteinuria merupakan tanda lesi nefron'glomerulus. Evaluasi pemeriksaan mikroskopis bila ditemukan hematuri, yaitu ditemukan eritrosit dalam urin 3 per lapang pandang besar. Hematuria mikroskopik: bila ditemukan eritrosit 3 atau lebihllapang pandang besar. Bila hematuria disertai proteinuria positif 1 dengan menggunakan dipstick dilanjutkan dengan pemeriksaan kuantitatif ekskresi proteid24 jam. Bila ekskresi protein lebih dari 1 g124 jam segera konsultasi nefrologi untuk evaluasi. Pada ekskresi protein lebih dari 500mgl24jam yang makin meningkat atau persisten diperkirakan suatu kelainan parenkim ginjal. Perlu diperhatikan dalam pengambilan contoh urin: pada perempuan hams disingkirkan penyebab hematuria
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pasien baru dengan hematuria mikroskopik asimtomatik I
Dlsingkirkan penyebab hematuria antara lain: menstruasi, olahraga yang belebihan , aktlvitas seksual, infeksi virus, infeksi bakteri, trauma
.t
I
Bila ditemukan 1 atau lebih dari : Hematuria mikroskopik + proteinuria** Eritrosit dismorfik , silinder eritrosit Peningkatan kreatinin serum dari normal
I
+
-
ada riwayat sebagai berikut : Merokok pekejaan berhubungandengan bahan kimia (amin aromatik) riwayat gross hernatur~a Usia > 40 tahun
w
Evaluasi penyakit ginjal primer
gangguan pengosongan kandung kemih (iritatif) lnfeksi saluran kemih berulang
1
pzEGq Gambar 1. Evaluasi pemeriksaan hematuria mikroskopik
lain misalnya menstruasi, adanya laserasi pada organ genitalia, sedangkan pada laki-laki apakah disirkumsisi atau tidak.
Vaskular Gangguan koagulasi Kelebihan obat anti koagulan Trombosis atau emboli arterial Malformasi arteri-vena Fistula a r t e r i - v e n a Nutcracker syndrome Trombosis vena renalis Glomerular Nefropati IgA Alport sindrom Glomerulonefritis primer dan s e k ~ lnterstisial lnterstisial nefritis alergi Nefropati analgesik Penyakit ginjal polikistik Pielonefritis akut Tuberkulosis Rejeksi ginjal alograf Uroepitelium Keganasan ginjal dan saluran k e ~ Latihan yang berlebihan Trauma Nekrosis papillaris Sistitis/uretritis/prostatitis (biasan Penyakit parasit (misalnya skisto: Nefrolitiasis atau batu vesika urin Penyebab Lainnya Hiperkalsiuria Hiperurikosuria Sickle cell diseasdpenyakit sel s;
Bila pada urinalisis ditemukan eritrosit, leukosit dan silinder eritrosit, merupakan tanda sugestif penyakit ginjal akut atau penyakit ginjal kronik, perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut. Diagnosis banding hematuria persisten antara lain glomerulonefritis, nefritis tubulointerstisial atau kelainan urologi. Adanya silinder leukosit, leukosituria menandakan nefritis tubulointerstisial. Bila disertai hematuria juga merupakan variasi dari glomerulonefiitis. Pada kelompok faktor risiko penyakit ginjal kronik harus dilakukan evaluasi pemeriksaan sedimen urin untuk deteksi dini. Pemeriksaan sitologi urin dilakukan pada risiko tinggi untuk mendeteksi karsinoma sel transisional, kemudian dilanjutkan pemeriksaan sistoskopi. Kelainan urologi yang lain seperti karsinoma sel transisional pada ginjal, sistem pelviokaliks, ureter dapat dideteksi dengan pemeriksaan ultrasonografi, I W , CT scan atau MRI.
Apabila ditemukan proteinuria yang bermakna, hematuria, silinder eritrosit, insufisiensi ginjal atau ditemukan sel darah merah yang predominan adalah bentuk dismorfik, segera dilakukan evaluasi kelainan parenkim g i n j a l l penyakit ginjal primer. Eritrosit
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Predominant urinalysis abnormality RBC
RBC casts*
WBC
WBC Casts
Tubular Cells
Cellular Casts
Granular Casts
Total Protein to Creatinin
Fat**
Associated kidney disease
Ratio'
200-1.000 mglg < 200 mglg
'1'000 mglg
+
200-1.000 mglg
Proliferative glomerulonephritis or hereditary nephritis Hereditary nephritis, or disease of small vessels (microangiopathy) Cystic kidney disease, kidney neoplasms or urinary tract leddions other than kidney disease Tubulointerstitial nephritis Urinary tract lesions other than kidney disease May be present in all types of kidney disease, but most abundant in acute tubular necrosis (the most common kidney disease causing acute kidney failure) Diabetic kidney disease and noninflammatory glomerular disease Non-inflammatory glomerular disease, non-inflammatory tubulonterstitial disease, or disease affecting medium-sized arteries
Modified with permissions (KDOQI CKD guideline, 2002) Detection of red blood cell casts requires careful preparation and thorough and repeated examination of sediment from freshly obtained urine specimens. Even under ideal conditions, red blood cell casts may not always be detected in patients with proliferative glomerulonephritis. ** Oval fat bodies, fatty casts, free fat + Cut-off values are not precise Abbreviations and symbols: RBC, red blood cells, WBC, white blood cells: +, abnormality present: -, abnormality not present; abnormality may or may not be present
+,
Evaluasl urologl paslen dengan hernaturla asirnptornatlk Paslen tldak dltemukanadanya tanda-tanda sugestlf penyaklt glnjal plmer
+ +
I
+
I Pasten dengan ns~korendah
Paslen dengan rls~kot~nggl I
Ueln4Otahun Tldak ada nwayat ~Masi lidak ada riwayat gmss hemeluria Tldak jelas adanya gangguan umlogl Pemer~ksaanIVU I urografi lntravenous )
I
I Pemenksaan lerlgkap IVU. sltologl
F==EEiT
r-
* L
urlnallsls tekanan darah, s~tolog~ ulang pada 6 12.24 36 bulan
1a
ta
+
I
I
,nfeks,
h p" , ;ut ;eH Prote,nur,a Hlpertens, 'Gross' hematuna. sltolog~. abnormal lrltasl kandung kemlh dan glomerulus Evaluasl en aklt Injal pnmer
lidak ada Evaluasl urolog~
Gambar 2. Evaluasi urologi pada hematuria asimtomatik mikroskopik
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
evaluasl lenokao
1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Coe FL. Proteinuria, hematuri, azotemia and oliguria. HarrisonWs principles of internal medicine. 10th edition. New York: McGraw Hill; 1983. p. 21 1-8. Fegazzi GB. Urinalysis. In: Comprehensive clinical nephrology. 2nd edition.Mosby.p.35-40. Grossfeld GD. Asymptomatic microscopic hematuri in adult. Am Fam Physi. 2001. KIDOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease. evaluation, classification, and stratification. Part 5. Evaluation of laboratory measurement for clinical assement of kidney disease, 2002. Silkensen JR, Kasiske BL. Laboratory assessment of renal disease: clearance, urinalysis, and renal biopsy. The kidney. 2nd edition.2004.p. 1107-12. Sukandar E. Masalah umum glomerulopati. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 2. 3"' edition. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. p. 325.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PROTEINURIA Lucky Aziza Bawazier
PENDAHULUAN Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin manusia yang melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m2. Dalam keadaan normal, protein di dalam urin sampai sejumlah tertentu masih dianggap fungsional. Ada kepustakaan yang menuliskan bahwa protein urin masih dianggap fisiologis jika jumlahnya kurang dari 150 mglhari pada dewasa (pada anak-anak 140 mg/m2), tetapi ada juga yang menuliskan, jumlahnya tidak lebih 200 mghari. Sejumlah protein ditemukan pada pemeriksaan urin rutin, baik tanpa gejala, ataupun dapat menjadi gejala awal dan munglun suatu bukti adanya penyakit ginjal yang serius. Walaupun penyakit ginjal yang penting jarang tanpa adanya proteinuria, kebanyakan kasus proteinuria biasanya bersifat sementara, tidak penting atau merupakan penyakit ginjal yang tidak prowif. -pula protein dikeluarkan urindalarnjumlah yang bervariasi sedikit dan secara langsung bertanggung jawab untuk metabolisme yang serius. Adanya protein di dalam urin sangatlah penting, dan memerlukan penelitian lebii lanjut untuk menentukan penyebablpenyakit dasarnya. Adapun prevalensi proteinuria yang ditemukan saat pemeriksaan penyaring rutin pada orang sehat sekitar 3,5%. Jadi proteinuria tidak selalu merupakan manifestasi kelainan ginjal. Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila kadarnya di atas 200 mglhari pada beberapa kali pemeriksaan dalam waktu yang berbeda. Ada yang mengatakan proteinuria persisten jika protein urin telah menetap selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnya biasanya hanya sedikit di atas nilai normal. Dikatakan proteinuria masif bila terdapat protein di urin melebihi 3500 mglhari dan biasanya mayoritas terdiri atas albumin. Dalam keadaan normal, walaupun terdapat sejumlah protein yang cukup besar atau beberapa gram protein
plasma yang melalui nefron setiap hari, hanya sedikit yang muncul di dalam urin. Ini disebabkan 2 faktor utama yang berperan yaitu: 1. Filtrasi glomerulus 2. Reabsorbsi protein tubulus PATOFlSlOLOGl PROTEINURIA Proteinuria dapat meningkat melalui salah satu cara dari ke-4 jalan di bawah ini: 1. Perubahan permeabilitas glomerulus yang mengikuti peningkatan filtrasi dari protein plasma normal terutama albumin. 2. Kegagalan tubulus mereabsorbsi sejumlah kecil protein yang normal difiltrasi. 3. Filtrasi glomerulus dari sirkulasi abnormal, Low Molecular Weight Protein (LMWP) dalam jumlah melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus. 4. Sekresi yang meningkat dari makuloprotein uroepitel dan sekresi IgA (ImunoglobulinA) dalam respons untuk inflamasi. Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin tergantung mekanisme jejas pada ginjal yang berakibat hilangnya protein. Sejumlah besar protein secara normal melewati kapiler glomerulus tetapi tidak memasuki urin. Muatan dan selektivitas dinding glomerulus mencegah transportasi albumin, globulin dan protein dengan berat molekul besar lainnya untuk menembus dinding glomerulus. Jika sawar ini rusak, terdapat kebocoran protein plasma ke dalam urin (proteinuria glomerulus). Protein yang lebih kecil (<20 kDal) secara bebas disaring tetapi diabsorbsi kembali oleh tubulus proksimal. Pada individu normal ekskresi kurang dari 150 mghari dari protein total dan albumin hanya sekitar 30 mghari; sisa protein pada urin akan diekskresi oleh tubulus (Tamm Horsfall,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PROTEINURIA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Imunoglobulin A dan Urokinase) atau sejumlah kecil P-2 mikroglobulin, apoprotein, enzim dan hormon peptida. Dalam keadaan normal glomemll~sendotel membentuk barier yang menghalangi sel maupun partikel lain menembus dindingnya. Membran basalis glomerulus menangkap protein besar (>I00 kDal) sementara foot processes dari epitellpodosit akan memungkinkan lewatnya air dan zat terlarut kecil untuk transpor melalui saluran yang sempit. Saluran ini ditutupi oleh anion glikoprotein yang kaya akan glutamat, aspartat, dan asarn silat yang bermuatan negatif pada pH fisiologis. Muatan negatif akan menghalangi transpor molekul anion seperti albumin. Beberapa penyakit glomerulus seperti penyakit minimal change menyebabkan bersatunya foot processes glomerulus sehingga terjadi kehilangan albumin selektif. Fusi foot processes meningkatkan tekanan sepanjang membran basalis kapiler yang berakibat terbentuknya pori yang lebih besar sehingga terjadi proteinuria non selektif atau proteinuria bermakna. Mekanisme lain dari timbulnya proteinuria ketika produksi berlebihan dari proteinuria abnormal yang melebihi kapasitas reabsorsi tubulus. Ini biasanya sering dijumpai pada diskrasia sel plasma (mieloma multipel dan limfoma) yang dihubungkan dengan produksi monoklonal imunoglobulin rantai pendek. Diskrasia sel plasma (mieloma multipel) dapat dihubungkan dengan sejumlah besar ekskresi rantai pendek di urin, yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan dipstik. Rantai pendek ini dihasilkan dari kelainan yang disaring oleh glomerulus dan direabsorbsi kapasitasnya pada tubulus proksimal. Bila ekskresi protein urin total melebihi 3,5 gram sehari, sering dihubungkan dengan hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (sindrom nefrotik). Ekskresi yang melebihi 3,5 gram dapat timbul tanpa gambaran atau gejala lain dari sindrom nefrotik pada beberapa penyakit ginjal yang lain. PROTEINURIA FlSlOLOGlS Proteinuria sebenarnya tidaklah selalu menunjukkan kelainadpenyakit ginjal. Beberapa keadaan fisiologis pada individu sehat dapat menyebabkan proteinuria. Pada keadaan fisiologis sering ditemukan proteinuria ringan yang jumlahnya kurang dari 200 mglhari dan bersifat sementara. Misalnya: pada keadaan demam tinggi, gaga1 jantung, latihan fisik yang kuat terutama lari maraton dapat mencapai lebih dari 1 gramlhari), pasien dalam keadaan transfusi darahtplasma atau pasien yang kedinginan, pasien hematuria yang ditemukan proteinuria masif, yang sebabnya bukan karena kebocoran protein dari glomerulus tetapi karena banyaknya protein dari eritrosit yang pecah dalam urin akibat hematuri tersebut (positif palsu proteinuria masif). Proteinuria fisiologis dapat pula terjadi pada masa remaja dan juga pada pasien yang lordotik (ortostatik proteinuria).
PROTEINURIA PATOLOGIS Sebaliknya, tidak semua penyakit ginjal menunjukkan proteinuria, misalnya pada penyakit ginjal polikistik, penyakit ginjal obstruksi, penyakit ginjal akibat obat-obat analgesik dan kelainan kongenital kista dan sebagainya, sering tidak ditemukan proteinuria.Walaupun demikian, proteinuria adalah manifestasi besar penyakit ginjal dan merupakan indikator perburukan fungsi ginjal. Baik pada penyakit ginjal diabetes maupun penyakit ginjal non diabetes, sejak dahulu protenuria dianggap sebagai faktor prognostik yang bermakna dan paling akurat. Risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular juga meningkat secara bermakna dengan adanya proteinuria. Di dalam kepustakaan, banyak definisi diberikan untuk menyatakan berapa jumlah protein sebenarnya dalam urin yang dianggap patologis. Ada kepustakaan yang menyatakan, protein di dalam urin tidak boleh melebihi 150 mgl24 jam, tetapi ada pula yang menyebutkan protein urin di bawah 200 mghari. Proteinuria yang berat, sering kali disebut masif, temtama pada keadaan nefrotik, yaitu protein di dalam urin yang mengandung lebih dari 3 gram124 jam pada dewasa atau 40 mglm21jampada anak-anak, biasanya berhubungan secara bermakna dengan lesilkebocoran glomerulus. Sering pula dikatakan bila protein di dalam urin melebihi 3,5 grand24jam. Penyebab proteinuria masif sangat banyak, yang pasti keadaan diabetes melitus yang cukup lama dengan retinopati, dan penyakit-glomerulus. Terdapat 3 jenis proteinuria patologis: 1). Proteinuria glomerulus, misalnya: mikroalbuminuria, proteinuria klinis; 2). Proteinuria tubular; 3). Overflow proteinuria. PROTElNURlA GLOMERULUS Bentuk proteinuria ini tampak pada hampir semua penyakit ginjal di mana albumin adalah jenis protein yang paling dominan (60-90%) pada urin, sedangkan sisanya protein dengan berat molekul rendah ditemukan hanya sejumlah kecil saja. Dua faktor utama yang menyebabkan filtrasi glomerulus protein plasma meningkat: 1). Ketika barier filtrasi diubah oleh penyakit yang mempengaruhi glomerulus. Protein plasma, terutama albumin, dapat melalui glomerulus. Pada penyakit glomerulus dikenal penyakit perubahan minimal, albuminuria disebabkan kegagalan selularitas yang berubah. Pada penyakit ginjal yang lain sebagaimana GN proliferatif dan nefropati membranosa, terjadi defek pada ukuran; 2). Faktor-faktor hemodinamik seperti peningkatan tekanan kapiler glomerulus/fraksi filtrasi mungkin juga menyebabkan proteinuria glomerulus oleh tekanan difus yang me~iingkat tanpa perubahan apapun pada permeabilitas intrinsik
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dinding kapiler glomerulus. Mekanisme ini mungkin terdapat pada proteinuria ringan, transien yang kadangkadang terlihat pada pasien hipertensi dan gagal jantung kongestif. Pemeriksaan ditentukan dengan pemeriksaan semi kuantitatif misalnya: dengan uji Esbach dan Biuret. Proteinuria klinis dapat ditemukan > lglhari.
PROTElNURlA TUBULAR Jenis proteinuria ini mempunyai berat molekul yang rendah antara 100-150 mg perhari, terdiri atas P-2 mikroglobulin dengan berat molekul 14000 dalton. Penyakit yang biasanya menimbulkan proteinuria tubular adalah: renal tubular acidosis (RTA), sarkoidosis, sindrom Fankoni, pielonefritis kronis, dan akibat cangkok ginjal.
OVERFLOW PROTElNURlA Diskrasia sel plasma (pada mieloma multipel ) berhubungan dengan sejumlah besar ekskresi rantai pendeklprotein berat molekul rendah (kurang dari 40000 dalton) berupa Light Chain Imunoglobulin, yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan dipstiklyang umumnya mendeteksi albuminlpemeriksaan rutin biasa, tetapi harus pemeriksaan khusus. Protein jenis ini disebut protein Bence Jones. Penyakit lain yang sering menimbulkan protein Bence Jones adalah amiloidosis dan makroglobulinemia. Protein berat molekul rendahlrantai ringan ini dihasilkan dari kelainan yang disaring oleh glomerulus dan kemampuan reabsorbsi tubulus proksimal. Presipitat asam sulfosalisilat tidaklah terdeteksi dengan dipstik, hanya memperkirakan rantai terang (protein Bence Jones) dan rantai pendek yang secara tipikal dalam bentuk presipitat, karena protein Bence Jones mengendap pada suhu 45" dan larut kembali pada suhu 95- 100". Gaga1 ginjal dari kelainan ini timbul melalui berbagai mekanisme obstruksi tubulus (nefropati silinder) dan deposit rantai pendek.
Pada keadaan normal albumin win tidak melebihi 30 mgl hari. Bila albumin di urin 30-300 mglhari atau 30-350 rngl hari disebut mikroalbuminuria. Biasanya terdapat pada pasien DM dan hipertensi esensial dan beberapa penyakit glomerulonefritis (misal, glomerulonefritis proliferatif mesangial difus). Mikroalbuminuria merupakan marker (pertanda) untuk proteinuria klinis yang disertai penurunan faal ginjal LFG (laju filtrasi glomerulus) dan penyakit kardiovaskular sistemik.Albuminuria tidak hanya pertanda risiko penyakit kardiovaskular dan penyakit ginjal, tetapi
juga berguna sebagai target keberhasilan pengobatan. Monitor albuminuria sebaiknya dilakukan dalam praktek sehari-hari pada pasien dengan risiko penyakit kardiovaskular dan ginjal. Albumin dapat menjadi target untuk memperoleh proteksilperlindungan kardiovaskular dan diharapkan pedomannya dibuat untuk membantu dokter dalam memutuskan bagaimana mengukur albumin urin, berapa angka normalnya, kadar abnormalnya, dan berapa. kadar terendah yang hams dicapai. Peningkatan ekskresi albumin urin dapat menjadi prediktor kerusakan fungsi ginjal pada populasi umum. Albuminuria dapat dipakai sebagai "alat yang berharga" untuk menentukan risiko perkembangan lebih lanjut gagal ginjal, tanpa dipengaruhi faktor-faktor risiko lain kardiovaskular. Peranan albuminuria pada diagnosis awal dan pencegahan penyakit ginjal dan kardiovaskular sangat penting ditinjau dari sudut demografi dan epidemiologi di negara sedang berkembang. Pada pasien diabetes melitus tipe-I dan 11, kontrol ketat gula darah, tekanan darah dan mikroalbuminuria sangat penting. Hipotesis mengapa mikroalbuminuria dihubungkan dengan risiko penyakit kardiovaskular adalah karena disfungsi endotel yang luas. Belum jelas apakah mikroalbuminuria secara spesifik berhubungan dengan kegagalan sintesis nitrit oksid pada individu dengan atau tanpa diabetes melitus tipe-11. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan peranan kegagalan sintesis nitrit oksid pada sel endotel yang berhubungan antara mikroalbuminuria dengan risiko penyakit kardiovaskular.
PROTElNURlA TERlSOLASl Proteinuria terisolasi adalah sejumlah protein yang ditemukan dalam urin tanpa gejala pada pasien sehat yang tidak mengalami gangguan fungsi ginjal atau penyakit sistemik. Proteinuria ini hampir selalu ditemukan secara kebetulan dapat menetaplpersisten, dapat pula hanya sementara, yang mungkin saja timbul karena posisi lordotik tubuh pasien. Biasanya sedimen urin normal. Dengan pemeriksaan pencitraan ginjal tidak ditemukan gangguan abnormal ginjal atau saluran kemih dan tidak ada riwayat gangguan ginjal sebelumnya. Biasanya total ekskresi protein urin kurang dari 2 glhari. Data insidens dan prevalensi terisolasi isolated proteinuria ini pada grup usia berapa dan populasi yang mana, belum ada.Yangjelas pada berbagai populasi prevalensinya bervariasi antara 0,610,7%. Proteinuria terisolasi dibagi dalam 2 kategori: 1). Jinak, termasuk yang fungsional, idiopatik, transienltidak menetap, ortostatik, dan intermiten; 2). Yang lebih serius lagi adalah yang mungkin tidak ortostatik dan timbul secara persisten.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PROTEINURIA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PROTEINURIA TERlSOLASl JlNAK
Proteinuria Fungsional Ini adalah bentuk umum proteinuria yang sering terlihat pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena berbagai penyakit. Biasanya berhubungan dengan demam tinggi, latihan sternosus, terpapar dengan dinginlkedinginan, stres emosi, gagal jantung kongestif, sindrom obstruksi sleep apnea, dan penyakit akut lainnya. Sebagai contoh: ekskresi protein meningkat 23 kali setelah latihan sternosus tetapi hilang kembali setelah istirahat. Sebenarnya, kunci keadaan ini proteinuria tidak tampak dengan segera. Proteinuria tersebut adalah jenisltipe glomerulus yang diyakini disebabkan oleh perubahan hemodinamik ginjal yang meningkatkan filtrasi glomerulus protein plasma. Penyakit ginjal yang progresif tidak timbul pada pasien ini. Proteinuria Transien ldiopatik Merupakan kategori proteinuria yang umum pada anakanak dan dewasa muda, yang ditandai oleh proteinuria yang timbul selama pemeriksaan urin rutin orang sehat tetapi hilang kembali setelah pemeriksaan urin dilakukan kembali. Pasien tidak mempunyai gejala, proteinuria selalu ditemukan secara insidentil pada penapisan urin rutin, atau selama pemeriksaan kesehatan terhadap pekerja dan pemeriksaan rutin dari asuransi yang biasanya merupakan fenomena fisiologis pada orang muda. Sebenarnya, jika contoh urin diperiksa cukup sering, banyak orang sehat muda kadang-kadang akan menimbulkan hasil proteinuria kualitatif positif. Proteinuria tidak dihubungkan dengan keadaan yang buruk sehingga tidak diperlukan evaluasi lebih lanjut. Proteinuria lntermiten Terdapat pada lebih dari separuh contoh urin pasien yang tidak mempunyai bukti penyebab proteinuria. Berbagai studi menunjukkan variasi luas dari bentuk abnormalitas ginjal yang berhubungan dengan keadaan ini. Pada beberapa kasus dengan berbagai lesi minor pada glomerulus/interstitium, tidak ditemukan kelainan pada biopsi ginjal. Prognosis pada kebanyakan pasien adalah baik dan proteinuria kadang-kadang menghilang setelah beberapa tahun. Kadang-kadang, walaupun jarang, terdapat insufisiensi ginjal progresif dan risiko untuk gagal ginjal terminal tidak lebih besar daripada populasi umum. Keadaan ini biasanya tidak berbahaya pada pasien lebih muda dari 30 tahun, sedangkan pada pasien yang lebih tua, lebih jarang, biasanya harus dimonitor tekanan darahnya, gambaran urinalisis, dan fungsi ginjalnya.
Proteinuria Ortostatik (Postural) Pada semua pasien dengan ekskresi protein masif, proteinuria meningkat pada posisi tegak dibandingkan posisi berbaring. Perubahan ortostatik pada ekskresi protein tampaknya tidak mempunyai kepentingan diagnostik dan prognostik Dengan perkataan lain, pertimbangan prognostik yang bermakna dapat dilakukan pada situasi proteinuria yang ditemukan hanya ketika pasien dengan posisi tegak dan hilang pada waktu pasien berbaring. Ini merujuk pada posisi tegawortostatik proteinuria. Ekskresi protein per hari hampir selalu di bawah 2 gram (walaupun lebih dari 2 gram kadang-kadang dilaporkan). Proteinuria ortostatik sering pada usia dewasa muda, dengan prevalensi secara umum 2-5%, jarang terdapat pada usia di atas usia 30 tahun. Walaupun dapat timbul selama fase penyembuhan dari berbagai penyakit glomerulus, kurang lebih 90% dewasa muda dengan proteinuria ortostatik menunjukkan kondisi yang baik. Pada 80% kasus, kondisi transien disebut proteinuria ortostatik transien. Hasil biopsi pada pasien ini menunjukkan perubahan lesi minimal glomerulus dan tidak adanya deposit imunoglobulin. Kondisi ini mempunyai prognosis sangat bagus sebagai proteinuria transien non ortostatik dan tekanan darah yang masih normal. Pada 20% pasien, proteinuria ortostatik dikatakan menetap dan berproduksi kembali, akan tetapi follow up studi lebih dari 20 tahun menunjukkan proteinuria hilang secara perlahan-lahan pada kebanyakan kasus. Kurang lebih 15% kasus, hilang selama 5 tahun, pada 50% kasus hilang 10 tahun dan lebih dari 80% hilang dalam 20 tahun. Walaupun proteinuria menetap secara persisten untuk 20 tahun, insufisiensi ginjal tidak dapat diobservasi dan tekanan darah tidak ditemukan lebih tinggi daripada populasi umurn. Studi kecil melaporkan tidak adanya bukti dari insufisiensi ginjal atau proteinuria 40 tahun setelah diagnosis dari proteinuria ortostatik yang pertama dibuat. Evaluasi secara rinci tidak mempunyai bukti nyata ditemukannya penyakit ginjal dan biopsi ginjal menunjukkan hasil histologi yang normal, penebalan dinding kapiler yang minimal sampai dengan moderat atau hiperselular mesangial fokal. Hasil mikroskop elektron menunjukkan tingkat perubahan segmental dan fokal dengan matriks mesangial yang meningkat dan penggabungan foot process dan pewarnaan imunodifusi untuk komplemen dan imunoglobulin memberikan hasil yang bervariasi. Patofisiologi proteinuria ortostatik tidaklah diketahui. Diduga bahwa pengumpulan darah pada lengan dapat menyebabkan perubahan hemodinamik glomerulus yang mempengaruhi filtrasi protein. Walaupun biasanya prognosis proteinuria ortostatik baik, persisten (non ortostatik) proteinuria berkembang pada segelintir orang. Kemaknaannya tidaklah dekat dan mungkin tidaklah penting. Namun, bila proteinuria masih menetap, maka pada
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
pasien secara teratur (tiap 1-2 tahun), dilakukan monitor tekanan darah dan pemeriksaan urin. Jika proteinuria berubah ke bentuk yang persisten, evaluasi ginjal sangat diperlukan dan biopsi harus dilakukan untuk menyingkirkan penyakit ginjal serius.
PROTElNURlA TERlSOLASl YANG MENETAPI PERSISTEN Anamnesis secara lengkap (termasuk riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit keluarga) dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mencari penyakit ginjallpenyakit sistemik yang menjadi penyebabnya. a Jika ditemukantanda-tandalgejala, lakukan pemeriksaan darah, pencitraan, dan atau biopsi ginjal untuk mencari kausa. b Jika tidak ditemukan bukti, ulangi tes kualitatif untuk proteinuria dualtiga kali, 1. Jika tidak ada proteinuria dalam spesimen urin berarti kondisi ini hanya transien atau fungsional. Nilai kembali dan tidak perlu melakukan tes ulang. 2. Jika proteinuria ditemukan tiap saat, periksa Blood Urea Nitrogen (BUN), kreatinin clan klirens kreatinin, ukur ekskresi protein urin 24 jam, USG ginjal dan tes protein ortostatik/postural. Jika fungsi ginjal I hasil USG tidak normal, kembali ke Ia. Jika fungsi ginjal dan hasil USG normal dan proteinuria adalah tipe postural, tidak diperlukan tes berikutnya. Follow up pasien tiap 1-2 tahun, kecuali: a. Proteinuria menjadi persisten: ikuti pedoman Ipenuntun proteinuria (IV B) b. Proteinuria membaik atau menjadi intermiten: ikuti follow up berikutnya. Jika fungsi ginjal dan USG normal dan proteinuria non postural, ulang pemeriksaan protein urin 24 jam 2-3x untuk menyingkirkan proteinuria intermiten. a. Jika proteinuria intermiten. Pasien dewasa muda urnur kurang dari 30 tahun, harus di-follow up tiap 1-2 tahun dan pasien dewasa yang berusia lebih tua (>30 tahun) di-follow up tiap 6 bulan. b. Jika proteinuria persisten, evaluasi lebih lanjut tergantung pada tingkat proteinuria. 1. Jika proteinuria <3 gram124 jam, perlu dikonfirmasi dengan imaging ginjal yang cukup untuk menyingkirkan obstruksi ginjal atau abnormalitas anatomi ginjal dan penyakit ginjal polikistik. Juga pada pasien >45 tahun, pemeriksaan elektroforesis urin diperlukan untuk menyingkirkan multipel mieloma. Jika semua hasil negatif, periksa ulang pasien tiap 6 bulan. 2. Jika proteinuria lebih dari 3 gram124jam, lanjutkan ke-I A.
Cara Mengukur Protein di Dalam Urin Metode yang dipakai untuk mengrrkur proteinuria saat ini sangat bervariasi dan bermakna. Metode dipstik mendeteksi sebagian besar albumin dan memberikan hasil positif palsu bila pH >7.0 dan bila urin sangat pekat atau terkontaminasi darah. Urin yang sangat encer menutupi proteinuria pada pemeriksaan dipstik. Jika proteinuria yang tidak mengandung albumin dalam jumlah cukup banyak akan menjadi negatif palsu. Ini terutama sangat penting untuk menentukan protein Bence Jones pada urin pasien dengan multipel mieloma. Tes untuk mengukur konsentrasi urin total secara benar seperti pada presipitasi dengan asam sulfosalisilat atau asam triklorasetat. Sekarang ini, dipstik yang sangat sensitif tersedia di pasaran dengan kemampuan mengukur mikroalbuminuria (30-300 mg/ hari) dan merupakan petanda awal dari penyakit glomerulus yang terlihat untuk memprediksi jejas glomerulus pada nefropati diabetik dini.
p G z q (Deteks~dengan d~pstlck)
dan m~kroskoplsurln
+
Bukt~penyak~tg~n]aI/s~stem~k
& TlDAK ADA I
+ Fungs~glnjal dan USG Normal
Protelnurla ortostat~klpostural
1
Test latn (-) Follow up tlap 1-2 thn
Fungs~glnjal dan USG abnormal
Protelnurla non ortostat~k
Gambar 1. Cara pemeriksaan proteinuria
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1
Ulang urln kwantltatlf 2-3x
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Keterangan gambar: Pendekatanpasien dengan proteinuria. Pemeriksaan proteinuria sering diawali dengan pemeriksaan dipstik yang positif pada pemeriksaan urinalisis rutin. Dipstik konvensional mendeteksi mayoritas albumin dan tidak dapat mendeteksi kadar albumin urin antara 30-300 mglhari. Pemeriksaan lebih pasti dari proteinuria sebaiknya memeriksa protein urin 24 jam atau rasio protein pagilkreatinin (mglg). Bentuk proteinuria pada elektroforesis protein urin dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari glomerulus, tubular, atau abnormal tergantung asal protein urin. Protein glomerulus disebabkan oleh permeabilitas glomerulus yang abnormal. Proteinuria tubular seperti Tamm-Horsfall secara normal dihasilkan tubulus ginjal. Protein sirkulasi yang abnormal seperti rantai ringanlpendek kappallambda telah siap disaring karena ukurannya yang kecil. FSGS
: Fokal Segmental Glomerulosklerosis
MPGN
: Membrano proliferatif Glomerulonefritis
Gambar 2. Skema evaluasi proteinuria
REFERENSI Anavekar NS, Pfeffer MA. Cardiovascular risk in chronic kidney disease. Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int. 2004:66 (suppl. 92):Sll-S5. Becker GJ. Which albumin should we measure? Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int. 2004:66 (supp1.92):S16-S7. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, et al. Harrison's principles of internal medicine.15th edition. New York: The McGraw-Hill; 2001. p. 266-8. Brenner BM. The kidney. 5th edition. Boston: WB. Saunders Co; 1996, 1981, 2003, 1864. De Zeeuw D. Albuminuria, not only a cardiovascularlrenal risk marker, but also a target for treatment? Kidney Int. 2004:66:suppl 92:S2-S6. Hoy W,McDonald SP. Albuminuria: marker or target in indigenous populations. Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int. 2004:66:(supp1.92):S25-S31. Jacobson HR, Striker GE, Klahr Saulo. The principles and practice of nephrology. USA: Mosby; 1995. p. 114-1056. Johnson RJ, Feehally J.Comprehensive clinical nephrology. London: Mosby; 2000. Mitch WE, Shahinfar S, Dickson TZ. Detecting and managihg patients with type 2 diabetic kidney disease: proteinuria and cardiovascular disease. Kidney Int. 2004:66:(supp1.92):S97-S8.
Nijad KZ, Eddy AA, Glassock. Which is proteinuria an ominous biomarker of progressive kidney disease? Kidney Int. 2004:66 (supp1.92): S76-S89. Remuzzi G, Chiurchiu C, Ruggenenti P. Proteinuria predicting outcome in renal disease: nod diabetic nephropathies (REIN). Kidney Int. 2004:66 (supp1,92):S90-S6. Rotter RC, Naicker S, Katz IV. Demographic and epidemiologic transition in the developing world: role of albuminuria in the early diagnosis and prevention of renal and cardiovascular disease. Kidrley Int. 2004: 66(supp1.92):S32-S7. Russo LM, Comper WD, Osicka TM. Mechanism of albuminuria associated with cardiovascular disease and kidney disease. Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int. 2004:66:(suppl.92):S67-S78. Sukandar E. Nefrologi klinik. 2nd ed. Bandung: Penerbit ITB; 1997. Verhave JC, Gansevoort RT. An elevated urinary albumin excretion predicts de novo development of renal function impairment in the general population. Kidney Int. 2004:66:(supp1,92):Sl8S21. Warnock D G Inclusion of albumin as a target in therapy guidelines: guidelines for chronic kidney disease. Kidney Int. 2004:66:(supp1.92): S 1214 3 .
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
SINDROM POLIURIA Shofa Chasani
PENDAHULUAN
REGULASI CAIRAN TUBUH
Poliuria adalah suatu keadaan di mana volume air kemih dalam 24jam meningkat melebihi batas normal disebabkan gangguan fungsi ginjal dalam mengkonsentrasi air kemih. Definisi lain adalah volume air kemih lebih dari 3 liter/ hari, biasanya menunjukkan gejala klinik bila jumlah air kemih antara 4-6 literlhari. Poliuri biasanya disertai dengan gejala lain akibat kegagalan ginjal dalam memekatkan air kemih antara lain rasa haus, dehidrasi dan lain-lain. Menurut Brenner poliuri dibagi 2 macam: 1. Poliuria non fisiologis: pada orang dewasa, poliuri didapatkan bila air kemih lebih dari 3 literlhari. 2. Poliuria fisiologis: volume air kemih dibandingkan dengan volume air kemih yang diharapkan karena rangsangan yang sama, dikatakan poliuri bila volume air kemih lebih besar dari volum yang diharapkan. Poliuri terdapat pada berbagai keadaan, meskipun diabetes insipidus merupakan penyebab yang sering terjadi. Adapun penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah diabetes melitus yang tidak terkontrol, polidipsi psikosis, hiperkalsemia, hipokalemi dll.
Kehilangan air tubuh dapat melalui. berbagai jalan yaitu melalui paru (respirasi), melalui kulit (perspirasi), melalui gastrointestinal (feses) dan melalui ginjal. Ginjal merupakan jalan yang terpenting, regulasi pengeluaran air diatur dengan mempertahankan osmolalitas cairan tubuh. Osmolalitas serum normal dipertahankan pada rentang yang sempit yaitu 285-295 mOsm /kg. Rentang osmolalitas urin antara 100-200 mOsm/kg, tergantung adanya kebutuhan mempertahankan atau mengeluarkan air bebas. Bila kemampuan ginjal untuk memekatkan air kemih terganggu maka terjadi peningkatan jumlah air kemih yang bisa disebabkan oleh beberapa keadaan, antara lain: 1. Ketidak mampuan sekresi ADH oleh hipofisis posterior 2. Kerusakan mekanisme arus balik. Hiperosmotik intestisium medula dibutuhkan untuk memekatkan air kemih yang maksimal, tidak peduli berapa banyak ADH yang tersedia dalam tubuh; 3. Ketidak mampuan tubulus distal dan tubulus koligentes untuk merespons ADH. Ada dua reseptor ADH yaitu vasopressin 1 (VI) memiliki aktivitas vasokontriksi dan prostaglandin dan vasopressin 2 (V2) memiliki aktivitas antidiuretik, vasodilator dan mediator faktor koagulasi. Bila reseptor V2 yang aktif maka akan terjadi peningkatan permeabilitas terhadap air sehingga air kemih berkurang, sebaliknya bila respetor VI yang aktif maka permeabilitas turun dan akibatnya jumlah air kemih meningkat. Mekanisme umpan balik osmoreseptor ADH dapat dilihat pada Gambar 1.
Tujuan 1. Mampu menerangkan definisi poliuria 2. Marnpu menerangkantentang regulasi cairan tubuh oleh ginjal dan pengaruh hormon ADH terhadap tubulus ginjal. 3. Mampu menerangkan mekanisme terjadinya poliuri baik karena faktor osmotik maupun faktor hormonal. 4. Mampu menerangkan penyebab poliuria, gambaran klinik serta diagnosis banding dan gejala ikutannya. 5. Mampu menerangkan mekanisme penanganan poliuria.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
963
SINDROM POL~URIA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI DIABETES INSIPIDUS
BOsmolalitas ekstraselular
BSekresi ADH oleh hipofisis Posterior
E4ADH plasma
BPerrneabilitas H20 Tubulus distal dan tubulus koligenitas
Gambar 1. Mekanisme umpan balik osmoreseptor ADH
Cortex
Diabetes insipidus merupakan penyakit yang jarang terjadi, kurang lebih 3 per 100 000 orang. Pasien tampil dengan poliuri yang nyata dan polidipsi dengan osmolalitas serum yang tinggi (lebih dari 295) dan tidak sesuai dengan osmolalitas air kemih yang rendah. Diabetes insipidus disebabkan adanya insufisiensi atau tidak adanya hormon anti diuretik (ADWAVP) atau tidak pekanya tubulus ginjal terhadap rangsangan AVP. Biasanya pasien tidak sanggup untuk mempertahankan air bila mendapatkan tambahan cairan. Kekurangan AVP (Arginin Vasopressin) atau efek AVP dihubungkan dengan ketidak adekuatan mengkonsentrasikan urin akan meningkatkan pengeluaran urin (Poliuria) dan biasanya akan disertai rasa haus (polidipsi) sebagai kompensai bila mekanisme haus masih baik. Bila mekanisme haus mengalami gangguan maka akan terjadi kenaikan osmolalitas dengan kenaikan natrium plasma (hipernatremia). Sehingga kekurangan AVP atau disebut diabetes insipidus akan mempunyai sindroma klinik seperti kenaikan pengeluaran urin, yang hipotonik dan ha1 ini berbeda dengan diabetes mellitus yang bersifat hipertonik. Beberapa perbedaan patofisiologi terjadinya poliuri hipotonik ini menjadikan poliuria hipotonik dibagi menjadi: 1. CDl (diabetes insipidus sentral) 2. Disfungsi osmoreseptor (sebagai variasi dari CDI) 3. Gestasional diabetes insipidus 4. NDI (diabetes insipidus nefrogenik) 5. Polidipsi primer (diabetes insipidus dipsogenikl psychgenic polydipsi)
ETlOLOGl CDI Outer 400 medula
400 -b
600 Inner medula 800
I
800
Water reabsotptw, (Passive)
+
1. Kongenital (Congenital malformations, Autosomal dominant,AVP-Neurophysin gene mutation. 2. drug/toxin -induce (ethanol, diphenylhydantion, snake venom) 3. Granulomatous (histiositosis, sarkoidosis) 4. Neoplastik (craniopharyngioma, germinoma,lymfoma, leukemia, meningioma, tumor pituitari, metastasis). 5. infeksi (meningitis, tuberkulosis, encephalitis) 6. Trauma (neurosurge.ry, deceleration injury) 7. Vaskular (cerebral hemorrhage or infarction, brain death)
ETlOLOGl OSMORECEPTOR DYSFUNCTION Pepilla
I
Gambar 2. Mekanisme pemekatan dan pengencaran air kemih (Brenner 2007)
1. Granulomatous (histiositosis, sarkoidosis) 2. Neoplastik (kraniofaringioma, pinealoma, meningioma, metastasis) 3. Vaskular (anterior communicating artery aneurysm/ ligation, intrahypothulamic hemorrhage)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 4. Other (hydrocephalus, ventricular/supersellar cyst, trauma, degenerative deseases). 5. Idiofatik
ETIOLOGI "INCREASED AVP METABOLISM"
2. Diabetes insipidus didapat: karena kelainan intra kranial (trauma, pembedahan, tumor di kepala, infeksi (tuberkulosis, ensefalitis, meningitis) . Istilah lain dari keadaan dimana ADH meningkat di luar batas fisiologis karena sebab yang bermacam-macam disebut SIADH (Syndrome of Inappropriate Secretion of ADH).
PREGNANCY PATOFlSlOLOGl OSMORECEPTORDYSFUNCTION ETIOLOGI NEPHROGENIC DIABETES INSIPIDUS Congenital (X-linked recessive, AVP V2Receptor gene mutations, autosomal recessive or dominant, aquaporin2 water channel gene mutations). Drugs induced (demeclocycline, lithium, cisplatin, mrthoxyflurane) Hypercalcemia. Hypokalemia. Infiltrating lesions (sarcoidosis, amyloidosis). Vascular (sickle cell anemia). Mechanical (polycystic kidney disease, bilateral ureteral obstruction) Solute dieresis (glucose, mannitol, sodium, radiocontrast dyes) Idiophatic.
ETIOLOGI PRIMARY POLYDIPSIA Psychogenic (schizophrenia, obsessive-compulsive behaviors) Dipsogenic (downward restting of thirst threshold, idiophatic or similar lesions as with central diabetes insipidus).
PATOFlSlOLOGl CDI Pada umumnya basal AVP hams turun h a n g dari 10 -20% dari normal sebelum oamolality urine basal turun kurang dari 300mOsmlkg H 2 0 dan aliran urin naik ke level simptomatik (>50 ml/KgBW/day).Hasil dari hilangnya air akan menaikkan osmolalitas plasma dan akan merangsang rasa haus, sehingga terjadi polidipsi. Kemampuan kompensasi dari polidipsi terbatas, pada keadaan mencapai ambang batas maka perlu bantuan suplementasiAVP. Karena konservasi ginjal terhadap natrium tidak terganggu maka adanya kekurangan AVP ini tidak disertai kekurangan natrium. Pada kasus dimana AVP sama sekali tidak disekresi (complete Dl) pasien akan tergantung seluruhnya pada intake air untuk keseimbangan air dalam tubuh. Diabetes Insipidus Sentral ada 2 macam yaitu: 1. Diabetes insipidus idiopatik (autosomal dominan familial) diduga karena autoimun.
Defek utama pada pasien dengan gangguan ini adalah tidak adanya osmoreseptor yang meregulasi rasa haus. Dengan perkecualian (walau jarang) osmoregulator AVP juga terganggu, walau respons hormonal terhadap rangsangan nonosmotik tetap utuh, ada 4 macam disfungsi osmoreseptor yang khas dengan defek rasa haus dan 1 atau respon sekresi AVP : Upward resetting osmostat untuk rasa haus dan latau respons sekresi AVP Destruksi osmoresceptor partial (respons sekresi AVP yang kurang dan rasa haus) Destruksi osmoreseptor total (tidak ada sekresi AVP dan rasa haus) Disfungsi selektif dari osmoregulasi haus dengan sekresi AVP yang utuh) Berbeda dengan CDI dimana polidipsi mempertahankan osmolalitas dengan batas normal, pasien dengan disfungsi osmoreseptor secara khas mempunyai osmolalitas antara 300 - 340 mOsm/Kg H20.
GESTATIONAL DIABETES INSIPIDUS Defisiensi relative plasma AVP, dapat juga karena kenaikan kecepatan metabolism AVP, kondisi ini hanya ada pada pasien hamil , oleh karenanya pada umumnya disebut Gestational Dl. Hal ini dapat juga karena aktivitas enzyme "cystine aminopeptidase" (oxytocinaseatau vasopressinase) yang secara normal dihasilkan plasenta yang berguna untuk mengurangi oxytosin dalam sirkulasi dan mencegah kontraksi uterus prematur. Pada pasien ini umunya kadarnya meningkat, biasanya berhubunganm dengan pasien preeklampsia, acut fatty liver dan coagulopathy. Patofisiologinya sama dengan CDI, bedanya bahwa poliuria biasanya tidak dapat dikoreksi dengan pemberian AVP, sebab secara cepat akan didegradasi. DGI dapat dikontrol dengan DDAVP, AVP V2 receptor agonist karena resisten terhadap degradasi oleh oxytosinase atau vasopressinase.
NEPHROGENIC DIABETES INSIPIDUS (NDI) NDI terjadi karena adanya resistensi anti diuretika AVP. Pertama kali dikenal th 1945 pada pasien dengan kelainan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
SINDROM POLIURIA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI genetik yaitu (sex-linked). Poliuria didapati sejak lahir sedangkan level plasma AVP normal atau meningkat, resitensi efek antidiuretik AVP bisa parsial maupun komplit, biasanya paling banyak pada laki-laki, walaupun tidak selalu pada wanita biasanya ringan atau tidak ada karier pada wanita, 90% kasus kongenital NDI disebabkan mutasi reseptorAVPV2. Kongenital NDI dapat juga diebabkan mutasi gene autosomal yang mengkode AQP2 yaitu protein yang membentuk kana1 air di tubulus kolektivus di medulla dan penyebab lain adalah (lihat etiologi NDI). NDI merupakan ketidakmampuan ginjal (tubulus distal dan koligentes) untuk berespon dengan ADH. Banyak jenis penyakit ginjal yang dapat mengganggu mekanisme pemekatan air kemih terutama yang mengenai medula ginjal. Juga kerusakan ansa henle seperti yang terjadi pada diuretika yang menghambat reabsorbsi elektrolit oleh segmen ini. Obat-obat tertentu seperti litium (anti manikodepresi pada kelainan jiwa) dan tetrasiklin dapat merusak kemampuan segmen tubulus distalis untuk berespons terhadap ADH. Diabetes insipidus nefrogenik dibagi menjadi 2 macam: 1. IdiopatiWfamiliallgenetik:ada 2 macam gen yaitu AVP V2 (arginin vasopresin reseptor)-(x linked) dan AQP2 (autosomal resesif dan autosomal dominant). NDI yang paling sering diturunkan secara x-linked (90%). NDI yang diturunkan secara autosomal resesif (9%) dan autosomal dominan (1%). 2. Didapat: Akibat obat (litium, demeklosiklin, metoksifluran), Metabolik (hipokalemia, hiperkalsiuria biasanya dengan hiperkalemia). Penyakit ginjal (polikistik ginjal, obstruktif uropati, pielonefiitis kronis, nefropati sickle cell, sarkoid, gaga1ginjal kro& mielomamultipel, penyakit sjogren, nefropati analgetik).
Seperti halnya CDI, sensitivitas ginjal terhadap efek antidiuretika AVP juga menghasilkan kenaikan ekskresi "dilute"urin, penurunan air dalam tubuh dan kenaikan osmolalitas plasma, ha1 ini akan merangsang rasa haus untuk mengkompensasi meningkatkan intake air. Besarnya poliuri maupun polidipsi tergantung sensitivitas ginjal terhadap AVP, setiap individa berbeda "setpoint"nya, sensitivitas rasa haus dan sekresi AVP.
encer (dilutes urine). Besar kecilnya poliuria dan polidipsi bervariasi tergantung intensitas rangsangan untuk minum. Pada pasien dengan abnormalitas rasa haus, polidipsi dan poliuri relatif konstan dari hari ke hari tetapi pada psychogenic polydipsi intake air dan output urine cenderung fluktuatif, kadang bisa sangat besar. Kadang dengan intake air yang tinggi maka akan terjadi "dilutional hyponatremia".
DIAGNOSIS KLlNlK Manifestasi Klinik Diabetes lnsipidus Pada umumnya manifestasi klinik diabetes insipidus sentralis (CDI) maupun NDI adalah berupa poliuri dan polidipsi. Dibandingkan NDI, poliuri pada CDI bisa lebih dari 15 literhari Secara mum NDI mempunyai gejala klinis sering haus akan air dingin,,nokturia, osmolaritas serum mendekati 300 mOsm1Kg dan berat jenis urin <1.005 dengan osmolaritas air kemih <200. Biasanya mulainya bertahap, sejak bayi sering muntah, rasa tercekik, tidak suka makan, konstipasi ataupun kadang diare, gangguan pertumbuhan, panas yang tidak diketahui penyebabnya, letargi dan iritabilitas. Mayoritas didiagnosis pada tahun pertama kehidupannya. Pada CDI gejala timbul secara tiba-tiba, apakah karena tumor maupun idiopatik biasanya pria: perempuan adalah 3 :2 dengan rerata pemunculan gejala pada umur 16 tahun. 5- 10% pasien CDI biasanya berjalan dengan 3 fase yaitu: awalnya poliurilfase hipotonik, diikuti peningkatan kerusakan sel hipofisis dan akhirnya terjadi diabetes insipidus permanen. Tes Pemekatan Air Kemih Adanya peningkatan serum natrium (>143meq/l) Berat jenis air kemih yang rendah Tidak ada pemasukan natrium yang berlebihan dan kadar vasopresin yangtinggi. Bila ketiga keadaan di atas terjadi maka diagonis NDI bisa ditegakkan. Hasil tes ini mungkin sulit untuk menginterpretasi seseorang dengan dibetes insipidus parsial yaitu bila produksi vasopresin sub normal (diabetes insipidus neurogenik parsial) atau respons sebagian ginjal terhadap konsentrasi vasopresin yang normal (NDI parsial).
POLlDlPSl PRIMER
Tes Genetik Gen-gen yang ditemukan sampai sekarang adalah AVPV2 dan AQP2. AVPV2 merupakan satu-satunya gen yang berhubungan dengan x linked NDI. AQP2 merupakan satusatunya gen yang berhubungan dengan NDI autosomal resesif dan autosomal dominan.
Patofisiologi polidipsi primer berbeda dengan CDI, intake air yang berlebihan menyebabkan cairan tubuh sedikit encer (Slight dilutes), menekan sekresi AVP dan urine menjadi
Tes Penunjang Tes ini berguna untuk menentukan penyebab DI antara lain laboratorium klinik dan pemeriksaan radiologi.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI TERAPI Untuk semua jenis diabetes insipidus secara umum adalah: 1. Koreksi setiap defisit air. 2. Mengurangi kehilangan air yang berlebihan lewat urin. Terapi spesifik tergantung jenis poliurinya dan tergantung keadaan klinik dari masing-masing diabetes insipidus.
MACAM CARA TERAPI DIABETES INSIPIDUS 1. Air: TBW = 0,6 xpremorbid weight x (I -140/Na ) 2. Antidiuretic agents: Arginin vasopressin (Pitressin) I -Deamino-8-D-argininvasopressin(Desmopressin, DDAVP) 3. Antidiuresis-enhancing agents: Chlorpropamide Prostaglandin Synthese inhibitors (indomethacin, ibuprofen, tolmetin) 4. Natreuretic agents: Thiazide diuretic Amiloride. 5. OAINS (obat anti inflammasi non steroid). Koreksi Air Untuk mengurangi kerusakan susunan syaraf pusat dari pemaparan hiperosmolality pada kebanyakan kasus DI maka secepatnya osmolality plasma harus diturunkan dalam 24 jam pertarna ,hingga 320-330 mOsm/Kg H 2 0 atau mendekati 50%. Arginin Vasopressin (Pitressin) Merupakan sintetis dari AVP manusia, kemasan 20 Unitlml aqua. Mempunyai short-halflife relative (2-4 jam lamanya efek antidiuretik) dianjurkan tidak diberikan bolus intra vena kecuali dalam keadan akut mis: postoperative DI, dilakukan titrasi dosis sampai efek diuresisnya terkontrol. Efek samping: meningkatkan tekanan darah. Desmopressin DDAVP adalah agonist reptor AVPV2, banyak dikembangkan untuk terapi DI karena mempunyai half life yang panjang (8-20 jam efek lamanya antidiuretik) dan tanpa adanya aktivasi AVP V1. Merupakan obat pilihan baik untuk akut maupun kronis CDI. Kemasan dalam bentuk intranasal 100 mglml aqua, nasal spray 10 mg dalam 0,l ml. atau dosis oral 0,l atau 0,2 mg. Dalam keadaan emergensi bisa diberikan intavena atau
intramuskularlsubkutan dengan kemasan 4 mglml. Pemberian parenteraljauh lebih baik 5- 10 kali dibandingkan intranasal dengan dosis rekomendasi 1-2 mg tiap 8-12 jam. Chlorpropamid (Diabenese) Merupakan obat anti oral diabetes dari golongan sulfoniurea yang memiliki efek osmotic dari AVP di ginjal. Dikatakan bahwa chlorpropamid mengurangi polyuria hingga 25-75% pada pasien dengan CDI. Titik kerjanya sebagian besar di tubulus ginjal yang berpotensiasi dengan hidroosmotik dari AVP dalam sirkulasi, disamping terbukti meningkatkan sekresi AVP di pitutari. Dosisnya antara 250-500 mglhari dengan efek antidiuretika 1-2 hari dan maksimum 4 hari. Sebaiknya tidak diberikan pada penderita hamil dan anak-anak, serta bukan untuk kasus akut. Prostaglandin Synthese Inhibitors Mempunyai efek baik pada otak maupun ginjal, efeknya masih kurang diketahui. Di otak mempunyai efek merangsang sekresi AVP sedangkan di ginjal merangsang efek AVP, dengan demikian bisa digunakan untuk CDI dan NDI. Natriuretic Agents Tiazid merupakan diuretik yang mempunyai efek paradox antidiuretik pada pasien dengan CDI walaupun terapi utamanya untuk NDI. Dosis 50-lOOmgIhari, biasanya dapat mengurangi diuresis hingga 50% kombinasi dengan DDAVP sering digunakan pada penderita NDI. OAINS Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS) seperti endometasin dapat memacu pemekatan air kemih dan mengurangi pengeluaran air kemih. Obat ini dapat dipakai sendiri ataupun kombinasi dengan diuretik tiazid. Penggunaan OAINS perlu perhatian karena nefrotoksik maupun kelainan sekresi asam lambung. Mengingat efek samping indometasin (penghambat siklooksigenase- l1Cox-I), maka penggunaan penghambat Cox-2 diharapkan bisa sebagai penggantinya walaupun belum ada penelitiannya. PENGOBATAN PADA KEADAAN TERTENTU 1. Pengobatan darurat pada dehidrasi. 2. Pengobatan pada keadaan khusus sewaktu tindakan bedah. 3. Penanganan kelainan ginjal misal hidronefrosis, hidroureter dan megakistik.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
2. Gangguan reabsorbsi natrium di tubulus sehinga terjadi kehilangan natrium dalam jumlah banyak dalarn urin. 3. Gangguan sel tubulus distalis terhadap efek ADH. 4. Hidrasi berlebihan selama fase oliguri. 5. Pembersihan solute di dalam medulla, ha1 ini diperlukan kerja tubulus ginjal untuk mempertahankan gradient hipertonik didalam interstitial ginjal. Selama fase poliuria akan banyak kehilangan natrium dan air, sehingga bila penanganan tidak baik, yaitu hidrasi yang cukup maka akan terjadi dehidrasi dan berakibat terjadinya gangguan ginjal lagi. Untuk ini diperlukan penanganan dan pengawasan yang ketat.
4. Penanganan sewaktu masa pertumbuhan 5. Penanganan perkembangan psikomotor.
PENDEKATAN KLlNlK PADA PASIEN POLlURl Diagram alur ini menggambarkan cara pendekatan klinik terhadap pasien dengan poliuri. Sebelah kiri menunjukkan gambaran diuresis air dan sebelah kanan menunjukkan diuresis osmotik. (Gambar 3)
POLlURlA PADA GANGGUAN GINJAL AKUT (GGGAIAKI = ACUTE KIDNEY INJURY) POLlURlA PADA HlPOKALEMl
Poliuria merupakan fase setelah oliguri pada penderita GgGA, pada fase ini penderita mengeluarkan banyak urin sehingga disebut fase keluaran tinggi (high outputphase) atau fase diuresis. Pada fase ini filtrate glomelulus memasuki tubulus yang belum sepenuhnya berfungsi normal, sehingga belum ada fungsi reabsorbsi dan fungsi sekresi solute sehingga hanya berupa cairan saja. Beberapa penyebab terjadinya poliuria pada GgGA antara lain : 1. Filtrat solute yang tadinya tertahan sewaktu terjadi oliguri misalnya ureum yang merupakan zat aktif secara osmotik.
Pasien dengan hipokalemi akan menyebakan pemekatan urine oleh ginjal akan terganggu, mekanisme secara pasti belum sepenuhnya diketahui. studi awal menunjukkan bahwa hipokalemi yang menginduce poliuria tidak dapat dikoreksi dengan pemberian ADH. Beberapa mekanisme terjadinya poliuria karena hipokalemi antara lain : Adanya produksi prostaglandin yang berlebihan. Menghambat respons ADH. Polidipsi primer. Merubah pelepasan ADH. Metabolism oksidati dimedulla yang abnormal. Mengurangi medullary solute
--
POLlURlA
I Uosm<250 mOsmlL Diuresis air Langkah 2b: Cukupkah osmoles yang disaring?
Langkah 2a: Apakah Pnaz140 mmollL
I
I
I
1
YA DIABETES INSIPIDUS
TlDAK -1POLIDIPSI
YA
TlDAK
I
Langkah 3b. Penksa osmoles di urln dan tentukan sumbernya
Langkah 3a: Respon terhadap Vasopresin?
- Diuresis air intermiten - Defek ginjal mengkonsentrasikan
DIABETES INSIPIDUS SENTRAL
I I
Langkah 4:
I-,.:I*,.., .,.I, , .
DIABETES INSIPIDUS I
I OSMOLES ORGANIK I I Glukosa Urea Monitol
Gambar 3. Algoritme poliuri
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
, I
ELEKTROLIT
I
REFERENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Edoute,Y, Davids,M.R, Johnston,C. Halperin,M.L. An integrative physiological approach to polyuria and hypematremia: a dobletake' on diagnosis and therapy in a patient with schizophrenia. Q J Med.2003. 96: 531-40. Guyton A.C and Hall J,E, Textbook of Medical Physiology, Ninth Ed, WB Saunders Company, 1996, 349 - 65. Halperin,M,L. Davids M,R, and Kamel,K,S. Interpretation of urin electrolyte and Acid-Base Parameter in Branner,B,M & Rector's, The Kidney, Seventt Edit, Vol 2. Chapter 25. WB Saunders.2004: 1151- 81. Johnson ,T,M, Miller,M, Pillon D,J, and Ouslander,J,G, Arginine vasopressin ang nocturnal polyuria in older adults with frequent night-time voiding. The Journal of Urology, copyright 2003: vol. 170: 480 - 4. Knoers, N. Nephrogenic Diabetes Insipidus, Gene Reviews, www.genetes.org. January. 2005 . 1-19.
Koeppen BM, Stanton BA. Renal Physiology, Mosby Year Book. Copy right. 1992. 70 - 90. Lazorick S. Polyuria and Diabetes Insipidus. httpllwww.med.unc.edu/ medicine/web/diabetesinsipidus.htm.February. 2005. 1-5. Quaedackers JS, RoelfsemaV, Hunter CJ, Heineman E, Gunn AJ, Bennet L. Polyuria and impaired renal blood flow after asphyxia in preterm fetal sheep, Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 286. 2004: R576-R583. Hassane AML, Krane AL, Chen Q, Solaimani M. Early polyuria and urinary concentrating defect in potassium deprivation. Am J Physiol Renal Physiol. 279: F655-663. 2000. Brenner BM. Brenner and Rector in. The Kidney. Eight Edit. 2007. Dagher PC, Rosenthal SH, Ruehm SG, et al. Newley developed techniques to study and diagnose acut renal failure. J Am Soc Nephrol; 14;2003;2188-98.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
GLOMERULONEFRITIS Wiguno Prodjosudjadi
PENDAHULUAN Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit yang sering dijumpai dalam praktik klinik sehari-hari dan merupakan penyebab penting penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, GN dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan GN sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis. Di Indonesia GN masih merupakan penyebab utama PGTA yang menjalani terapi pengganti dialisis walaupun data US Renal Data System menunjukkan bahwa diabetes merupakan penyebab PGTA yang tersering. Manifestasi klinik GN sangat bervariasi mulai dari kelainan urin seperti proteinuria atau hematuri saja sampai dengan GN progresif cepat.
Glomerulonefiitisadalah penyakit akibat respon imunologik dan hanya jenis tertentu saja yang secara pasti telah diketahui etiologinya. Proses imunologik diatur oleh berbagai faktor imunogenetik yang menentukan bagaimana individu merespons suatu kejadian. Secara garis besar dua mekanisme terjadinya GN yaitu circulating immune complex dan terbentuknya deposit kompleks imun secara in-situ. Antigen (Ag) yang berperan pada pembentukan deposit in-situ dapat berasal dari komponen membran basal glomerulus (MBG) sendiri @xed-antigen) atau substansi dari luar yang terjebak pada glomerulus (planted-antigen). Mekanisme pertama apabila Ag dari luar memicu terbentuknya antibodi (Ab) spesifik, kemudian membentuk kompleks imun Ag-Ab yang ikut dalam sirkulasi. Kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemenyang kemudian
berikatan dengan kompleks Ag-Ab. Kompleks imun yang mengalir dalam sirkulasi akan terjebak pada glomerulus dan mengendap di sub-endotel dan mesangium. Aktivasi sistem komplemen akan terus berjalan setelah terjadi pengendapan kompleks imun. Mekanisme kedua apabila Ab secara langsung berikatan dengan Ag yang merupakan komponen glomerulus. Alternatif lain apabila Ag nonglomerulus yang bersifat kation terjebak pada bagian anionik glomerulus, diikuti pengendapan Ab dan aktivasi komplemen secara lokal. Selain kedua mekanisme tersebut GN dapat dimediasi oleh imunitas selular (cell-mediated immunity). Studi eksperimental membuktikan bahwa sel T dapat berperan langsung terhadap timbulnya proteinuria dan terbentuknya kresen pada GN kresentik. KERUSAKAN GLOMERULUS PADA GN Kerusakan glomerulus tidak langsung disebabkan oleh endapan kompleks imun. Berbagai faktor seperti proses inflamasi, sel inflamasi, mediator inflamasi, dan komplemen berperan pada kerusakan glomerulus. Kerusakan glomerulus dapat terjadi dengan melibatkan sistem komplemen dan sel inflamasi, melibatkan sistem komplemen tanpa keterlibatan sel inflamasi, dan melibatkan sel inflamasi tanpa sistem komplemen. Kerusakan glomerulus dapat pula terjadi sebagai implikasi langsung akibat imunitas selular melalui sel T yang tersensitisasi (sensitized-T cells). Pada sebagian GN, endapan kompleks imun akan memicu proses inflamasi dalam glomerulus dan menyebabkan proliferasi sel. Pada GN non-proliferatif dan tipe sklerosing seperti GN membranosa (GNMN) atau glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) tidak melibatkan sel inflamasi. Faktor lain seperti proses imunologik yang mendasari terbentuknya Ag-Ab, lokasi endapan, komposisi dan jumlah endapan sertajenis Ab berpengaruh terhadap kerusakan glomerulus.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PROSES INFLAMASI PADA KERUSAKAN GLOMERULUS
Kerusakan awal pada glomerulus disebabkan oleh proses inflamasi yang dipicu oleh endapan kompleks imun. Proses inflamasi akan melibatkan sel inflamasi, molekul adesi dan kemokin yaitu sitokin yang mempunyai efek kemotaktik. Proses inflamasi diawali dengan melekat dan bergulirnya sel inflamasi pada permukaan sel endotel (tethering and rolling;).Proses ini dimediasi oleh molekul adesi selektin L, E, dan P yang secara berturut turut terdapat pada permukaan leukosit, endotel dan trombosit. Molekul CD3 1 atau PECAM- 1 (platelet-endothelial cell adhesion molecule-1) yang dilepaskan oleh sel endotel akan merangsang aktivasi sel inflamasi. Reaksi ini menyebabkan ekspresi molekul adesi integrin pada permukaan sel inflamasi meningkat dan perlekatan sel inflamasi dengan sel endotel semakin kuat. Perlekatan ini dimediasi oleh VLA-4 (very-late antigen 4) pada permukaan sel inflamasi dan VCAM-1 (vascular cell adhesion molecule-I) pada sel endotel yang teraktivasi. Ikatan antara LFA-1 (lymphocyte function-associated antigen-1) pada permukaan sel inflamasi dan ICAM- 1 (intracellular adhesion molecule-1) pada sel endotel akan lebih mempererat perlekatan tersebut. Proses selanjutnya adalah migrasi sel inflamasi melalui celah antar sel endotel (transendothelial migration). Pada Tabel 1 disebutkan berbagai molekul adhesi yang berperan pada proses inflamasi termasuk pada GN.
Selectins E-selectin L- selectin P- selectin lntegrins P I-integrins VLA-4 P2-integrins LFA-1 Mac-I ~150.95
19-like family ICAM-1 ICAM-2 VCAM-1
SEL INFLAMASI PADA KERUSAKANGLOMERULUS
Sel inflamasi yang banyak dikaitkan dengan kerusakan glomerulus pada GN adalah leukosit polimormonuklear (PMN) dan monosit/makrofag. Trombosit dan produk koagulasinya juga ikut berperan pada proses inflamasi tersebut. Peran leukosit PMN dibuktikan pada GN akut pasca infeksi streptokokus. Infiltrasi makrofag pada glomerulus pertama kali ditunjukkan pada pasien GN kresentik. Belakangan dilaporkanbahwa infiltrasi makrofag pada glomerulus dijumpai pada berbagai GN dan berkaitan dengan beratnya proteinuria. Interaksi antara makrofag dengan sel glomerulus seperti sel mesangial, sel epitel atau sel endotel glomerulus akan menyebabkan sel tersebut teraktivasi dan melepaskan berbagai mediator inflamasi seperti sitokin pro-inflamasi dan kemokin yang akan menambah proses inflamasi dan kerusakan jaringan. Trombosit yang lebih banyak berperan pada sistem koagulasi akan menyebabkan oklusi kapiler, proliferasi sel endotel dan sel mesangial pada GN. Trombosit dapat diaktivasi oleh kompleks imun atau Ab melalui ikatan dengan reseptor Fc yang terdapat pada permukaan sel. Interaksi ini menyebabkan agregasi trombosit yang akhirnya akan menyebabkan koagulasi intrakapiler glomerulus.
a subfamily ENA-78 GCP-2 IL-8 (NAP-1) ylP-10 NAP-2, NAP-4 PF-4 SDF-I a, SDF-1P
p subfamily MCP-1 (MCAF) MCP-2, MCP-3 MIP-la, MIP-1P RANTES
ENA:epithelial~derivedneutrophil activating factor; GCP: granulocyte chemotactic protein; IL-8 :interleukin-8; NAP:neutrophil activating protein-7; PF-4: platelet factor-4; SDF:stromal cell-derived factor; MCP :monocyte chemoattractant protein ;MIP :macrophage inflammatory protein; RANTES: regulated, on activation, normal T expressed and secreted
VLA-4: very late antigen-4; LFA-1: lymphocyte-function associated antigen- I ICAM-I: intercellular adhesion molecule-1; ICAM-2; VCAM1:vascular cell adhesion molecule-I
Kemokin mempunyai efek kemotaktik yaitu kemampuan menarik sel inflamasi keluar dari dalam pembuluh darah menuju jaringan. Secara garis besar dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kemokin-P dan kemokin-a, yang berturutturut mempunyai efek kemotaktik terhadap leukosit dan monosit atau limfosit seperti terlihat pada Tabel 2. Dengan pengaruh kemokin akan semakin banyak sel inflamasi yang bermigrasi ke jaringan sehingga proses inflamasi menjadi lebih berat.
KOMPLEMENPADA KERUSAKANGLOMERULUS Keterlibatan komplemen terbukti dengan ditemukannya endapan pada pemeriksaan mikroskop imunofluoresen (IF) biopsi ginjal pasien GN. Kadar serum komplemen yang rendah pada nefritis lupus dan GN pasca infeksi streptococcz~sakut memperkuat kaitan antara komplemen dan GN. Dalam keadaan normal komplemen berperan sebagai mekanisme pertahanan humoral. Pada GN komplemen berfungsi mencegah masuknya Ag, tetapi dapat pula menginduksi reaksi inflamasi. Dua jalur aktivasi sistem komplemen yaitu klasik dan alternatif.Kompleks imun yang
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
mengandung IgG atau IgM akan mengaktivasijalur klasik sedangkan aktivasi jalur altematif dipicu oleh kompleks imun yang mengandung IgA atau IgM seperti terlihat pada Gambar 1.
radikal yang berpengaruh pada kerusakan MBG. Makrofag juga mampu melepaskan mediator inflamasi seperti sitokin proinflamasi, PDGF (platelet-derived growth factors), TGF-P (transforminggrowth factor-P) yang berperan pada patogenesis dan progresi GN. EVALUASI KLlNlSDAN DIAGNOSIS GN
Jalur AlternsUr
Proses terbenluknye Komponen terminal
C9
+
Poly Cg Membrane Channels
Gambar 1. Aktivasi sistem komplemen jalur klasik dan alternatif
Kerusakan glomerulus terjadi aki-bat terbentuknya fragmen komplemen aktif yang berasal dari aktivasi sistem komplemen. Fragmen komplemen C3a, C4a, C5a bersifat anafilatoksin sedangkan C5a mempunyai efek kemotaktik terhadap leukosit. Endapan kompleks imun sub-epitel akan mengaktivasi jalur klasik dan menghasilkan MAC (membrane attack complex). Dalam jumlah besar MAC akan menyebabkan lisis sel epitel glomerulus seperti pada GNMN. Sebaliknya bila tidak menimbulkan lisis akan mengaktivasi sel epitel glomerulus dan membentuk kolagen serta produk metabolisme asam arakhidonat yang bersifat protektif. Endapan C3b pada MBG menyebabkan terjadinya perlekatan sel inflamasi dengan C3b melalui reseptor komplemen CR1 yang terdapat pada permukaan sel dan akan dilepaskan berbagai protease yang dapat menyebabkan kerusakan glomerulus.
MEDIATOR INFLAMASI PADA KERUSAKAN GLOMERULUS
Mediator inflamasi yang diproduksi oleh sel inflamasi atau sel glomerulus yang teraktivasi seperti sitokin proinflamasi, protease dan oksigen radikal, serta produk ekosaenoid berperan pada kerusakan glomerulus. Aktivasi leukosit menyebabkan dilepaskannya granul azurofilic yang mengandung enzim lisosom dan protease yang dapat menyebabkan kerusakan MBG. Granul spesifik yang mengandung laktoferin merangsang pembentukan oksigen
Gejala klinik GN merupakan konsekuensi langsung akibat kelainan struktur dan fungsi glomerulus. Glomerulonefritis ditandai dengan proteinuria, hematuri, penurunan fungsi ginjal, dan perubahan ekskresi gararn dengan akibat edema, kongesti aliran darah, dan hipertensi. Manifestasi klinik GN merupakan kumpulan gejala atau sindrom klinik yang terdiri dari kelainan urin asimtomatik, sindrom nefrotik, GN progresif cepat, sindrom nefrotik, dan GN kronik. Klasifikasi ini sederhana dan mudah diaplikasikan walaupun setiap gambaran klinik dapat diasosiasikan dengan berbagai jenis GN baik penyebab maupun kelainan histopatologinya. Pada sindrom kelainan urin asimtomatik ditemukan proteinuria subnefrotik dan atau hematuri mikroskopik tanpa edema, hipertensi dan gangguan fungsi ginjal. Pada sindrom nefritik ditemukan hematuri dan proteinuria, gangguan fungsi ginjal, retensi air dan garam serta hipertensi. Glomerulonefritisprogresif cepat ditandai dengan penurunan fungsi ginj a1 yang terj adi dalam beberapa hari atau minggu, gambaran nefritik, dan pada biopsi ginjal menunjukkan gambaran spesifik. Sindrom nefrotik ditandai proteinuria masif (>3,5 g/1,73 m2/hari), edema anasarka, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia. Glomerulonefritis kronik ditandai dengan proteinuria persisten dengan atau tanpa hematuria disertai penurunan fungsi ginjal progresif lambat. Sumber pustaka lain membagi sindrom klinik GN menjadi nefritik fokal, nefritik difus, sindrom nefrotik dan GN pola non spesifik. Sindrom klinik nefritik fokal ditandai dengan hematuri, red cell cast, dan proteinuria <1.5 g/24 jam. Pada sindrom nefritik difus proteinuria lebih berat tetapi belum mencapai stadium nefrotik, edema, hipertensi dan gangguan fungsi ginjal. Sindrom nefrotik (SN) ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif, hiperlipidemia, hipoalbuminemia dan pada pemeriksaan urin menunjukkan lipiduria dan red cell cast. Gambaran GN yang tidak khas misalnya pada nefritis lupus, infeksi virus hepatitis B atau C dikelompokkan sebagai sindrom klinik pola non-spesifik. Data GN yang dikumpulkan dari 5 rumah sakit selama 5 tahun oleh Sidabutar dan kawan-kawan dari 459 kasus rawat inap, 177 kasus lengkap dengan biopsi ginjal. Dari 177kasus yang dilakukan biopsi ginjal35,6% menunjukkan manifestasi klinik sindrom nefrotik, 19,2% sindrom nefritik akut, 3,9% GN progresif cepat, 15,3% dengan hematuria, 19,3% proteinuria, dan 6,8% hipertensi. Informasi riwayat GN dalam keluarga, penggunaan obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas organik, heroin,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kapiler glomerulus terjadi pada segmen glomerulus dan
imunosupresif seperti siklosporin atau takrolimus, dan riwayat infeksi streptococcus, endokarditis atau virus diperlukan untuk menelusuri penyebab GN. Keganasan paru, payudara, gastrointestinal, ginjal, penyakit Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin, serta penyakit multisistem seperti diabetes melitus, amiloidosis, lupus dan vaskulitis juga diasosiasikan dengan GN. Edema tungkai dan kelopak mata merupakan gejala klinik GN. Pemeriksaan urin, gula darah, serum albumin, profil lemak, dan fungsi ginjal diperlukan untuk membantu diagnosis GN. Pemeriksaan serologi seperti ASTO, C3, C4, ANA dan anti-dsDNA, antibodi anti-GBM (glomerulus basement membrane), ANCA diperlukan untuk menegakkan diagnosis GN dan membedakan GN primer dan sekunder. Apabila ada kecurigaan, pemeriksaan untuk menegakkan infeksi bakteri, virus HIV, hepatitis B dan C juga diperlukan. Ultrasonografi ginjal diperlukan untuk menilai ukuran ginjal dan menyingkirkan kelainan lain seperti obstruksi sistem pelviokalises. Biopsi ginjal diperlukan untuk menegakkan diagnosis secara histopatologi dan dapat digunakan sebagai pedoman pengobatan. Biopsi ginjal terbuka dilakukan dengan operasi dan memerlukan anestesi umum sedangkan biopsi jarum perkutan cukup dengan anestesi lokal. Biopsi ginjal tidak dilakukan apabila ukuran ginjal kurang dari 9 cm yang menggambarkan proses kronik.
GAMBARAN HISTOPATOLOGIS Klasifikasi GN primer secara histopatologik sangat bervariasi tetapi secara umurn dapat dibagi menjadi GN proliferatif dan non-proliferatif. Termasuk GN nonproliferatif adalah GN lesi minimal, glomerulosklerosis fokal dan segmental, serta GN membranosa.
GLOMERULONEFRITIS LESl MINIMAL (GNLM) Glomerulonefritislesi minimal merupakan salah satu jenis yang dikaitkan dengan sindrom nefrotik dan disebut pula sebagai nefrosis lupoid. Pemeriksaan dengan mikroskop cahaya dan IF menunjukkan gambaran glomerulus yang normal. Pada pemeriksaan mikroskop elektron menujukkan hilangnyafoot processes. sel epitel viseral glomerulus.
GLOMERULOSKLEROSISFOKAL DAN SEGMENTAL (GSFS) Secara klinis memberikan gambaran sindrom nefrotik dengan gejala proteinuria masif, hipertensi, hematuri, dan sering disertai gangguan fungsi ginjal. Pemeriksaan mikroskop cahaya menunjukkan sklerosis glomerulus yang mengenai bagian atau segmen tertentu. Obliterasi
dinding kapiler mengalami kolaps. Kelainan ini disebut hialinosis yang terdiri dari IgM dan komponen C3. Glomerulus yang lain dapat normal atau membesar dan pada sebagian kasus ditemukan penambahan sel.
GLOMERULONEFRITIS MEMBRANOSA (GNMN) Glomerulonefiitis membranosa atau nefropati membranosa sering merupakan penyebab sindrom nefrotik. Pada sebagian besar kasus penyebabnya tidak diketahui sedangkan yang lain dikaitkan dengan LES, infeksi hepatitis virus B atau C, t m o r ganas, atau akibat obat misalnya preparat emas, penisilinamin, obat anti inflamasi non-steroid. Pemeriksaan mikroskop cahaya tidak menunjukkan kelainan berarti sedangkan pada pemeriksaan mikroskop IF ditemukan deposit IgG dan komplemen C3 berbentuk granular pada dinding kapiler glomerulus. Dengan pewarnaan khusus tampak konfigurasi spike-like pada MBG. Gambaran histopatologi pada mikroskop cahaya, IF dan mikroskop elektron sangat tergantung pada stadium penyakitnya.
GLOMERULONEFRITIS PROLIFERATIF Tergantung lokasi keterlibatan dan gambaran histopatologi dapat dibedakan menjadi GN membranoproliferatif (GNMP), GN mesangioproliferatif (GNMsP), dan GN kresentik. Nefropati IgA dan nefropati IgM juga dikelompokkan dalam GN proliferatif. Pemeriksaan mikroskop cahaya GNMP memperlihatkan proliferasi sel mesangial dan infiltrasi leukosit serta akumulasi matrik ekstraselular. Infiltrasi makrofag ditemukan pada glomerulus dan terjadi penebalan MBG serta double contour. Pada mikroskop IF ditemukan endapan IgG, IgM, dan C3 pada dinding kapiler yang berbentuk granular.
PENGOBATAN Pengobatan spesifik pada GN ditujukan terhadap penyebab sedangkan non-spesifik untuk menghambat progresivitas penyakit. Pemantauan klinik yang reguler, kontrol tekanan darah dan proteinuria dengan penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors, ACE-i) atau antagonis reseptor angiotensin I1 (angiotensin I1 receptor antagonists, AIIRA) terbukti bermanfaat. Pengaturan asupan protein dan kontrol kadar lemak darah dapat membantu menghambat progresivitas GN. Efektivitas penggunaan obat imunosupresif GN masih belum seragam. Diagnosis GN, faktor pasien, efek samping dan faktor prognostik merupakan pertimbangan terapi imunosupresif. Kortikosteroid efektif pada beberapa tipe
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI GN karena dapat menghambat sitokin proinflamasi seperti IL-la atau TNF-a dan aktivitas transkripsi NFkB yang berperan pada patogenesis GN. Siklofosfarnid,klorambusil, dan azatioprin mempunyai efek antiproliferasi dan dapat menekan inflamasi glomerulus. Siklosporin walaupun sudah lebih dari 20 tahun digunakan pada transplantasi ginjal tetapi belum ditetapkan secara penuh untuk pengobatan GN. Imunosupresif lain seperti mofetil mikofenolat, takrolimus, dan sirolimusjuga belum diindikasikan secara penuh untuk pengobatan GN. Pengobatan imunosupresif terbukti memberikan keuntungan pada GN kresentik, GSFS, GNLM, GNMN, dan pada nefropati IgA. Pada GNLM prednison dosis 0,5-1 mg/kg berat badanl hari selama 6-8 minggu kemudian diturunkan secara bertahap dapat digunakan untuk pengobatan pertama. Pada GSFS kortikosteroid dapat diberikan dengan dosis yang sama sampai 6 bulan dan dosis diturunkan setelah 3 bulan pengobatan. Prednisolon diturunkan setengah dosis satu minggu setelah remisi untuk 4-6 minggu kemudian dosis diturunkan bertahap selama 4-6 minggu agar pengobatan steroid mencapai 4 bulan. Pada GN yang resisten terhadap steroid atau relaps berulang, siklofosfarnid atau siklosporin merupakan pilihan terapi. Mofetil mikofenolat dapat digunakan sebagai alternatif terapi pada GN resisten steroid atau relaps berulang. Pada GNMN monoterapi kortikosteroid tidak efektif dan kombinasi dengan siklofosfamid atau klorambusil mencapai remisi 50%. Kortikosteroid masih efektifuntuk pengobatan GNMP anak tetapi tidak pada pasien dewasa. Pada nefropati IgA prednison efektif menghambat progresivitas penyakit tetapi kombinasi ACE-i dan AIIRA merupakan pilihan pertama.
PENGOBATAN GN MASA DEPAN Kerusakan glomerulus pada GN terjadi akibat interaksi faktor penyerang dan unsur pertahanan. Oleh karena itu pengobatan GN dilakukan untuk mengontrol proses dan mediator inflamasi sebagai faktor penyerang dan meningkatkan efek anti-inflamasi sebagai unsur pertahanan. Molekul adhesi dan kemokin berperan penting pada inflamasi glomerulus sehingga penelitian difokuskan untuk mempengaruhi kedua molekul tersebut. Pada studi eksperimental terbukti pemberian anti-MIP2, anti-MCP- I, anti-VLA-4, anti LFA- 1 atau anti-ICAM- 1 dapat mengurangi infiltrasi sel inflamasi dan terjadinya proteinuria. Pemberian soluble IL-1 receptor, IL- Ira (IL-1 receptor antagonist), dan sTNFR (soluble TNF receptor) dapat mempengaruhi efek mediator inflamasi sedangkan anti-TGF-P dapat mengurangi akumulasi matrik ekstraseluler dan progresivitas GN. Berbagai sitokin seperti IL-4, IL- 10, IL- 13 dikenal mempunyai efek anti-inflamasi. Pemberian IL-4 dapat mencegah produksi sitokin proinflamasi dan meningkatkan sintesis anti-inflamasi IL-
Ira dan sTNF-a. Produksi oksigen radikal, IL- l a dan ILI p, IL-8, TNF-a oleh makrofag dapat pula dihambat dengan pemberian IL- 13. Terapi genetik merupakan salah satu upaya pengobatan GN dan penyakit ginjal lain masa depan. Dengan melakukan transfer genetik ke dalam sel somatik diharapkan dapat memperbaiki kelainan genetik. Sel glomerulus merupakan target utama transfer gen untuk memodifikasi proses inflamasi. Transfer gen in vivo ke dalam glomerulus dapat dilakukan dengan perantaraan virus atau liposom. Pada model GN anti-Thy. 1, transfer ODN antisens dapat mencegah efek prosklerotik TGF-P dan terjadinya glomerulosklerosis. Transfer gen pada tubulus lebih sulit karena setiap segmen tubulus mempunyai fungsi dan jenis sel yang berbeda.
REFERENSI Arend WP. Interleukin-1 receptor antagonist. A new member of interleukin-1 family. J Clin Invest. 1991;88: 1445-51. Bargman JM. Management of minimal lesion glomerulonephritis: evidence-based recommendations. Kidney Int. 1999;55(suppl 7O):S3-S6. Bockenstedt LK, Goetzl EJ. Constituents of human neutrophils that mediate enhanced adherence to surfaces. J Clin Invest. 1980;65: 1372-80. Burgess E. Management of focal segmental glomerulosclerosis: evidence-based recommendations. Kidney Int. 1999;55(suppI 7O):S26-S32. Chadban SJ, Atkins RC. Glomerulonephritis. Lancet. 2005;365:1797806. Couser WG, Baker PJ, Adler S. Editorial Review. Complement and the direct mediation of immune glomerulus injury: A new perspective. Kidney Int. 1985;28:879-90. Couser WG, Shankland SJ. Membranous nephropathy. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2"d edition. Edinburg: Mosby; 2003. p. 295. Feehally J, Johnson RJ. Introduction to glomerulus disease: clinical presentations. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2"dedition. Edinburg: Mosby; 2003. p. 255. Ferrario F, Castiglione A, Colasanti G, Di Belgioso GB, Berroli S, D'Amico G. The detection of monocytes in human glomerulonephritis. Kidney Int. 1985;28:513-9. Glassock RJ, QAdler SG, Ward HJ, Cohen AH. Primary glomerulus disease. In: Brenner BM, Rector FC, editors. The kidney. 2nd edition. Philadelphia: WB Saunders Co.; 1991. p. 1 182. Hebert LA, Cosio FG, Birmingham DJ. Complement and complement regulatory protein in renal disease. In: Neilson EG, Couser WG, editors. Immunologic renal diseases. lstedition. Philadelphia: Lippincott-Raven; 1997. p. 377. Heber! MJ, Brady HR. Leukocyte adhesion. In: Neilson EC, Couser WG, editors. Immunological renal diseases. Is' edition. Philadelphia: Lippincott-Raven; 1997. p. 51 9. Holdworth SR. Macrophage-induced glomerulus fibrin deposition in experimental glomerulonephritis in rabbit. J Clin Invest. 1985;76:1367-74. Hricik DE, Chung-Park M, Sedor JR. Glomerulonephritis. N Engl J
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
974
GINJAL HIPERTENS1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Med. 1998;339:888-99. Imai E, Isaka Y. Strategies of gene transfer to the kidney. Perspective in basic science. Kidney Int. 1998;53:264-72. Johnson RJ, Lovett D, Lehrer RI, Couser WG, Klebanoff SJ. Role of oxidants and proteases in glomerulus injury. Kidney Int. 1994;45:352-9. Johnson RJ, Rennke H, Feehally J. Introduction to glomerulus disease. Pathogenesis and classifications. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2" edition. Edinburgh: Mosby; 2003. p. 243. Khlar S, Levey AS, Beck GJ, et al. The efffects of dietary protein restriction and blood pressure control on the progression of chronic renal disease: Modification of diet in renal disease study group. N Engl J Med. 1994;330:877-84. Kluth DC, Rees A. New approaches to modify glomerulus inflammation. J Nephrol. 1999;12:66-75. Muirhead N. Management of idiopathic membranous nephropathy: evidence-based recommendations. Kidney Int. 1999;55(suppl 7O):S47-S55. Nakao N, Yoshimura A, Morita H, et al. Combination treatment of angiotensin-I1 receptor blocker and angiotensin converting enzyme inhibitor in non-diabetic renal (COORPORATE): a randomized controlled trial. Lancet. 2003;361:117-24. Phil Mason. Minimal change disease and primary focal segemental glomerulosclerosis. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2ndedition. Edinburg: Mosby; 2003. p. 271.
Prodjosudjadi W. Monocyte chemoattractant protein-1 in glomerulus disease and renal transplantation, [Thesis]. Leyden University, ISBN 90-9009404-0, 1996. Rose BD. Differential diagnosis of glomerulus disease. 2005 UpToDate. Available from URL: www.uptodate.com.(800)9986374.(781)237-4788 Rydel JJ, Kobert SM, Borok RZ, Schwartz MM. Focal segmental glomerulus sclerosis in adults: presentation, course and response to therapy. Am J Kidney Dis. 1995;25:534-42. Schena FP, Johnson RJ, Alpers CE. Membranoproliferative glomerulonephritis and cryoglubulinemic glomerulonephritis. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2"* edition. Edinburg: Mosby; 2003. p. 309. Schlondorff D, Nelson PJ, Luckow B, Banas B. Chemokine and renal disease. Kidney Int. 1997;s 1:610-21. Sidabutar RP, Nico A Lumenta, Suhardjono, et al. Glomerulonephritis in Indonesia. One day course on Renal Immunology, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Jakarta, August 20, 1987. Wheeler DC. Does lipid-lowering therapy slow progression of chronic kidney disease? Am J Kidney Dis. 2004;44:9 17-20. Wilson CB. Renal response to immunologic glomerulus injury. In: Brenner BM, Rector FC, editors. The kidney. 5Ih edition. Philadelphia: WB Saunders; 1996. p. 1253.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
AMILOIDOSIS GINJAL M. Rachmat Soelaeman
PENDAHULUAN Amiloidosis dan kelompok disproteinemi terdiri dari spektrum beberapa penyakit dan secara patogenesis berhubungan dengan penimbunan material derivat imunoglobulin dalam ginjal. Amiloidosis adalah suatu penyakit penimbunan hasil metabolisme yang unik, dan yang ditimbun merupakan protein fibriler yang tidak larut di dalam jaringan tubuh.
Amiloidosis ginjal adalah penyakit dengan karakteristik penimbunan polimer protein di ekstraselular dan gambaran dapat diketahui dengan histokimia dan gambaran ultrashuktur yang khas. Polimer protein merupakan shuktur tersier dan mempunyai ciri khas dalam perwamaan serta stabil dalam kedaan patologis. Penimbunan interstisial yang progresif akan menyebabkan disfungsi organ dan menimbulkan gejala.
sekarang adalah berdasarkan kimia material. Terdapat 2 tipe sistemik yang paling banyak yaitu AL (amiloidosisprimer atau mieloma terkait amiloidosis) dan AA (sekunder atau amiloidosis reaktif). Pendapat dahulu, adanya deposit N terminal dari fragmen kappa atau lamda rantai pendek imunoglobulindan pendapat sekarang adalah berhubungan dengan fase akut reaktan serum reaktan amiloid A (SAA) sebagai prekursor protein amiloidogenik. Klasifikasi amiloidosis terdapat pada Tabel 1. Struktur amiloid dapat dipelajari dengan melihat atau mempelajari morfologi. Setelah pengecatan congo-red temyata amiloid mempunyai struktur polaroid dan terlihat khas bentuk dikelilingi seperti ape1 hijau. Terlihat secara teratur morfologi deposit amiloid dalam mesangium glomerulus. Gambaran ini sering terdapat pada semua tipe amiloid dan pada preparat fibril murni. Radiologi kristalogrofiakan terlihat fibril terdiri dari rantai polipeptida tegak lurus sepanjang aksis fibril
ETlOLOGl DAN INSIDENS
Virchow adalah peneliti pertama yang memberi nama amiloidosis untuk reaksi warna material yang khas, setelah pewarnaan iodium dan sulfur. Interpretasi seperti ini mengundang kontroversi untuk mempelajari lebih lanjut mengenai komposisi proteinnya.
Berdasarkan data suatu RS di AS, amiloidosis terdapat hanya 0,7% dari 11.586 atopsi pada 1961 sampai 1970. Etiologi amiloidosis berhubungan dengan klinis: multipel miel~ma,'~en~akit inflamasi menahun, tetapi kebanyakan tipe primer. Insidens amiloidosis berhubungan pula dengan plasma cell dyscrasias,tetapi etiologi amiloidosis sekunder bergeser dari infeksi supuratif menahun ke penyakit rematik.
Amiloidosis dibagi berdasarkan manifestasi klinis dan tempat penimbunan material, tetapi pembagian yang
Perbedaan mekanisme patogenesis berdasarkan perubahan protein amiloidogenik dan konfirmasi patologis
SEJARAH
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
I
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 1-erdapat beberapa macam .-"-. .. .."... . ."."... .-....-"., . .-..".""., -.-.....-.
I
Deposit Am Wold. dan Penyakit Dasar Klasifikasi
P
~
Distnbusi: sisternik ~ (S). ~ Penyakit ~ dasar ~ lokal (L)
lmu noglobulin ra ntai ringan
S ,L
Amiloid serum A
S
Amiloidosis AA sekunder; infeksi kronik (malaria, TB) atau inflamasi (AR. spond ilitis ankilosin g); keganasan (limfoma Hodgkin dan gastrointestinal, karsinoma, GU)
MikroglobulinP2.
S, L
Hemodialisis: deposit primer di sendi.
Transtiretin
Apr P
r
Mreloma mu ltipel. diskrasia plasma sel plasma, amiloidosis. AL primer.
L
Penyakit Alzhermer sporad is, pen uaan s~ndrom Down
S
FAP (tipe Portugrs) Ami loidosis kardiovaskular sen il
.
CJD sporadls
Protein P rion L
(iatrogen~k) CJD famil~al,FFI
AApo Al
Apo lrpoprote~n Al
S L
Am1 lordos~ss~stem~k A rte r~os kleros~s
AApo Al I
Apo llpop roteln All
S
Amr loldosrs glnjal hered~ter
S
FAP (t~peFlnnlsh), Lattrce corneal dystrophy
S
Ami loidosis visera l familial (ginjal, hati. limpa) Ami lo~dosisfamilial (tipe Icelandic)
Agel
Alys
Lisozim
S
Afib, or Aa
Fibrinogen rantai a
Al APP
Pol rpept~da amrlo~d pankreas
AANF
Peptida natri uretik atrial Prolaktin
S
L
Am1 loldosls srstem~k heredrter
Fibri lasi atrial
L
Pituitari
L
Iatroge nik Kornea
A (tbn ) Ata u
Protein Tau
L
Ains Aker
Gambar 1. Endapan amrlord pada kaprler menyumbat glomerulus dan menyebabkan mesangrum menebal
langerh ans pankreas
Insulin Keratoep ite lin tbn
A pro
mekanisme: 1 ), protein dengan tendensi melipat secara tidak normal sesuai umur (transtiretin pada sistemik amiloidosis senilis) atau konsentrasi dalam serum tinggi disebabkan ekspresi yang berlebihan (AA amiloidosis) atau berkurangnya penjerni han dari sirkulasi ( P , - t i ~ i kroglobuliri pada hemodialisis). 2). mutasi sehinggapenggantian asam anlino tunggal pada protein prekursor, sehingga keadaan tidak stabil (herediter). 3). preteolitih parsial dari protein prekursor sehingga tidak terdapat protein fibriler (prekursor protein b-amiloid (APP) pada penyakit Alzheimer). 4). kehilangan mekanistne penghilangan peptida amiloidogenik dengall konsentrasi lokal yang tinggi. Peranan Faktor perangsang anliloid (AEP) belum dimengerti secara baik dalam proses pembentukan fibril. Komponen serum a~niloidP (SAP) dan komponen metnbrana basalis, diantaranya glukosaminoglikan sulfat, laminin, fibronektin, dan tipe IV kolagen terdapat pada kondisi yang berhubungan dengan fibril AA amilod. Secara pasti setnua ha1 tersebut masih metnerlukan penelitian lebih lanjut. Mekanisme dan tempat penimbunan: 1. Penurunan fi~ngsiorgan disebabkan selain oleh perubahan tisis, arsitektur, dan fungsi karena adanya fibril amiloid; juga oleh secara pengaruh lokal toksin fibril. 2. Dapat pula disebabkan oleh oxidative .\ti.e~.sdan aktifasi apoptosis, seperti terjadi pada amiloidosis AL.
L
L
Tumor-tumo r Pindborg Otak Gambar 2. Amrlord dengan pengecatan congo red terlrhat am~lord tersebar dalam glomerulus
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Garnbar 3. Membran basal~sdan kapller glomerulus rnenebal aklbat penumpukan amilo~d
12-15 bulan atau kurang bila ada mieloma. bila amioloid mengenai liver (9 %) prognosis lebih baik. Amiloidosis AA (sekunder) terdapat pada penyakit inflamasi menahun atau infeksi; penyakit yang sering menyertai adalah artritis rematoid, arteritis rematoid juvenilis, dan ankilosis spondilitis. Malaria, lepra, dan tuberkulosis merupakan infeksi menahun dan sering menyertai amiloidosis AA. Amiloidosis AA dapat disertai pula penyakit Hodgkin, keganasan dalam saluran makanan dan saluran kemih. Prognosis amiloidosis AA, 50% selama 5 tahun dan 25% selama 15 tahun.
DIAGNOSIS
Gambar 4. Endapatatau depos~tamllord pada korteks glnjal sepert~ Illin abu
3. Sampai 25% kelainan hanya pads satu organ. Deposit mungkin spesifik organ, seperti pada amiloidosis P2 mi~roglobulin terdapat pads sendi, Aa ( A fib) amiloid pada parenkim ginjal.
MANIFESTAS1 KLlNlS Amiloidosis sistemik pada umumnya progresif dan fatal, tetapi perjalanan penyakitnya masih tetap belum diketahui pasti, sebab pengenalan klinis sangat kurang sampai fase terakhir. Amioloidosis dapat mengenai semua umur dan jenis kelarnin. Presentasi atau manifestasi klinis tergantung dari distribusi dan jumlah timbunan amiloid, dan ge.jalanya tidak spesifik. Gejala dan tanda jang sudah diketahui pada arniloidosis sisteniik adalah makroplosisa. sindrom neikotik, gaga1 ginjal, sindrorn carpal tunnel, neuropati sensorik dan tnotorik. gaga1 jant~mgatau aritmia, hepatosplenomegali, diare, nialabsorpsi, ulkus, limpadenopati, gangguan pembekuan darah, fragilitas kapiler. dan gangguan agregasi trombosit. Gejala amiloidosis AL yang paling sering terdapat pada diskrasin set plasma atau sel B. atau gamopati monoklonal; amiloidosis sering bersamaan dengan mieloma 15% tidak disertai penyakit lain. Pada amiloidosis AL yang mengenai gastrointestinal (7%) sering disertai perdarahan hebat sehingga mengancam jiwanya. Prognosis amiolodosis AL,
Diagnosis klinis amiloidosis merupakan salah satu tantangan dalam kedokteran. Langkah pertama adalah kecurigaan secara klinis, selanjutnya dilakukan pendekatan oleh beberapa disiplin ilmu dan termasuk dalarn pendekatan ini adalah riwayat keluarga, pemeriksaan klinis. dan mempelajari jaringan. Teknik biokimia dan molekular merupakan pilihan pemeriksaan diagnostik dan bila imunohistokimia gagal menemukan deposit protein ha1 yang mendukung pada organ yang terkena. Teknik ini penting pula untuk pemeriksaan keluarga yang mempunyai kemungkinan amiloidosis familier. Lebih dari 100 mutan amiloidogenik telah dapat teridentifikasi sebgai amiloidosis sistemik herediter, dan bentuk herediter ini sering salah diagnosis sebagai amiloidosis AL karena penampilan klinis yang hampir sama. Efektivitas pengobatan dan prognosis akan dipengaruhi oleh diagnosis lebih awal, penemuan tipe fibril protein endapan (deposit), dan konseiing genetik. Analisis DNA dengan mempergunakan PCR perlu pula dilakukan untuk mengetahui terjadi mutasi. Teknik yang lebih akurat adalah pemeriksaan dengan ~kinfigrafiuntuk mendeteksi deposit pads organ dan pemeriksaan ini noninv~~.sive.
TERAPI Sampai saat ini tidak ada pengobatan yang diprediksi efektif untuk pencegahan fibrilogenesis atau memobilisasi deposit yang sudah stabil, tetapi beberapa pasien pernah dilaporkan mengalami regresi deposit. Tindakan primer adalah memperbaiki kondisi yang mendasarinya untuk mencegah produksi yang berlebihan dari protein prekursor atau mengurangi deposit atau pembentukan fibril. Penggunaan melt'alan, deksametason, kolkisin, atau kombinasinya dapat digunakan unti~kamiloidosis AL dan ternyata dapat memperbaiki fungsi organ yang terkena. Dosis tinggi kemoterapi diikuti oleh transplantasi sumsum
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI tulang atau stem cell mungkin akan meningkatkan survival rates. Telah dilaporkan pula penurunan progresif fungsi hati, kemudian dilakukan transplantasi hati, kemudian diikuti transplantasi stem cell. Pada amiloidosis AA diberikan yang agresif untuk penyakit dasarnya, umpanya pada rematoid artritis diebrikan imunosupresif. Kolkisin dapat mencegah terjadi arniloid, demam mediteranian, dan memperbaiki fungsi organ. Transplantasi ginjal akan memperbaiki P2 mikroglobulin, prekursor amiloidosis AH dan high-j7wc hemodialysis mungkin mencegah HD-related amyloidosis.
REFERENSI Appel GB, Radhakrishnan J, and D'Agati WD. Secondary glomerulus disease. In: BM Brenner, editor. The kidney. 7th edition. Library of congress cataloging Publication; 2004. p. 1418-23. Basi S, Schulman G, and Fogo AB. Multiple complications in multiple pyeloma. 2005;45(3):619-23. Brunt EM, Tiniakos DG. Metabolic storage disease: amyloidosis. Clin Liver Dis. 2004; 8(4):915-30. Murphy CL. Renal apolipoprotein A-I associated with a novel mutant leu 64 Pro. Am J Kidney Dis. 2004;44(6):1103-9. Schwartz MM, Korbet SM. Amyloidosis and the dysproteinemias. Immunologic renal disease. New York: Lippincot-Raven; 1997. p. 1147-60. Yazaki M. A patient with severe renal associated with an immunglobulin g-heavy chain fragment. Am J Kidney Dis. 2004;43(5):619-23.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
NJAL DIABETIK , PENDAHULUAN World Health Organization (WHO) telah mengumumkan bahwa prevalensi diabetes melitus (DM) akan meningkat di seluruh dunia pada milenium ketiga ini, termasuk negara di Asia Tenggara, di antaranya di Indonesia. Sebagian besar dari penyakit ini adalah DM tipe 2. Sekitar 40% dari pasien DM terdapat keterlibatan ginjal, sehingga dapat dipahami bahwa masalah penyakit ginjal diabetik (PGD) juga akan mengalami peningkatan di era awal abad 2 1 ini. Pada dekade ini juga, di banyak negara maju PGD tercatat sebagai komponen terbanyak dari pasien baru yang menjalani terapi pengganti ginjal. Keadaan yang sama sudah mulai juga kelihatan di Indonesia. Pada pasien DM, berbagai gangguan pada ginjal dapat terjadi, seperti terjadinya batu saluran kemih, infeksi saluran kemih, pielonefiitis akut maupun kronik, dan juga berbagai bentuk glomerulonefritis, yang selalu disebut sebagai penyakit ginjal non diabetik pada pasien diabetes. Akan tetapi yang terbanyak dan terkait secara patogenesis dengan diabetesnya adalah PGD, yang secara klasik patologinya diuraikan oleh Kimmelstiehl-Wilson pada tahun 1936,berupa glomerulosklerosisyang noduler dan difus.
PATOGENESIS
.
.
Kelebihan gula darah memasuki sel glomerulus melalui fasilitasi glucose transporter (GLUT), terutama GLUT 1, yang mengakibatkan aktivasi beberapa mekanisme seperti poloy pathway, hexoamine pathway, Protein Kinase C (PKC) pathway, dan penumpukan zat yang disebut sebagai advanced glycation end-products (AGES). Beberapa zat biologis aktif ternyata dapat dijumpai pada berbagai percobaan, baik in vitro maupun in vivo, yang
dapat berperan penting dalam p e r t ~ m b u h a nsel, ~ diferensiasi sel, dan sintesis bahan matriks ekstraselular. Diantara zat ini addah mitogen activatedpratein kinases (MAPKs), PKC-b isoform dan extracellular regulated protein kinase (ERIC). Ditemukannya zat yang mampu menghambat aktivitas zat zat tersebut telah terhukti mengurangi akibat yang timbul, seperti, mencegah peningkatan derajat albuminuria dan derajat kerusakan struktural berupa penumpukan matriks mesangial. Kemungkinan k s a r perubahan ini diakib8tkan penuwan ekspresi transforming growth factor-@ (-TGF-,fi), dan penmanextrucellda~matrix (ECM). PamTCSF-P dalam perkemba~gannefropati diabetik ini telah ditwnjWan pula oleh berbagai peneliti, bahwa kadar zat ini meningkatpada ginjal pasien diabetes. Berbagai proses di atas .dipercaya bukan saja berperan dalam terbentuknya nefropati pada pasien DM akan tetapi juga dalam progresifitasnya menuju tahap lanjutan. Penelitian dengan menggunakan micro-pupcture menunjukkan bahwa tekanan intra glomerulus rnemgkat pada pasien DM bahkan sebelum tekanan darah sistemik meningkat. Perubahan hemodinarnik ginjal ini diduga terkait dengan aktivitas berbagai hormon ~vastraktif,seperti angiotensin-I1 (A-11) dan endotelin. Apakah ,peningkatari jalur hormonal ini terkait dengan hiperglikemia Mum jehs; akan tetapi pada binatang percobaan pemberian penghambat ACE ataupun angiotensin receptor blocker telah ditunjukkan rnengurangi tekanan intraglomerulus, Oleh karena penghambatACE bukan hanya mempengaruhi jalur terkait angiotensin-I1 tetapi juga rnempengaruhi degradasi bradikinin, suatu vasodilator, maka sebenarnya belum dapat disimpulkan pengaruh baik tersebut adalah diberikan oleh antagonis te~hadapA-11. Begitugwr berbagai laporan telah juga menunjukkan bahwa pengaruh utama dari penghambat ACE terhadap terjadinya albuminuria jangka panjang serta perubahan struktural
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
glomerulus adalah melalui kemampuannya menghambat A-11. Pasien dengan nefropati diabetikjuga mempunyai risiko tertinggi untuk mendapat penyulit penyakit kardiovaskular, sebagaimana juga retinopati dan neuropati. Penyakit kardiovaskular berhubungan erat dengan disfungsi endotel (DE), yang pada diabetes juga meningkat. DE merupakan penyulit banyak faktor risiko dan dianggap. berperan penting, baik dalam memicu terjadinya maupun dalam progresivitas aterosklerosis. Pada berbagai faktor risiko tersebut, seperti LDL-kolesterol yang oksidatif, merokok, dan hipertensi, A-I1 dan diabetes memicu aterosklerosismelalui &ivasi endotel. ~eselun;han'f&tor risiko ini membuat ketersediaan nitric oxide (NO) berkurang baik karena produksi yang menurun ataupun degradasi yang meningkat, kesemuanya menambah lagi aktivasi endotel. Pada DM tipe 1 keadaan ini terlihat mendahului terjadinya mikroangiopati diabetik dan mungkin juga sebagai penyebabnya. Ada pandangan bahwa hiperglikemia memudahkan terjadinya DE, selanjutnya faktor lain berperan untuk menentukan pasien mana yang akan mengalami nefropati diabetik dan angiopati yang agresif dan pasien mana pula yang tidak. Faktor itu adalah genetik dan lingkungan. Pada pasien DM tipe 2, DE sudah muncul sejak awal ditemukannya diabetes dan merupakan petanda buruk. Tidak jelas apakah DE pada diabetes ini disebabkan hiperglikemi atau faktor lain. Faktor penentu lain yang paling penting adalah peningkatan inflamasi. Ada yang berpendapat bahwa DE pada DM adalah primer, dengan kata lain DE adalah penyebab dan bukan disebabkan DM. Genetik adalah faktor penentu lain yang erat kaitannya dengan terjadinya nefropati diabetik. Hanya sekitar 40% pasien DM tipe 1 maupun DM tipe 2 yang jatuh kedalam nefropati diabetik. Lainnya terbebas dari penyulit diabetes ini. Telah banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa terjadinya nefropati diabetik terkumpul pada kelompok keluarga tertentu. Salah satu yang selalu diselidiki orang adalah polimorfisme pada renin angiotensin system (RAS), ada 2 jenis yang sudah dikenali yaitu genotip M235T dari angiotensinogen dan insersi/delesi (VD)dari genotip ACE. Selalu dikemukakan bahwa genotip DD mempunyai kaitan dengan terjadinya makroangiopati pada pasien DM tipe 2 dari ras Cina, akan tetapi tidak pada ras lain. Masih menjadi pertanyaan besar apakah nefropati diabetik diturunkan bersamaan dengan DM? Apakah timbulnya nefropati diabetik semata mata karena penyulit seperti hipertensi, ataupun resistensi insulin? Pertanyaan ini belum punya jawaban yang jelas.
DIAGNOSIS DAN PERJALANAN KLlNlS Diagnosis PGD dimulai dari dikenalinya albuminuriapada pasien DM, baik tipe 1 maupun t i p 2. Bila jumlah protein/
albumin di dalam urin masih sangat rendah sehingga sulit dideteksi dengan metode pameriksaan urin yang biasa, akan tetapi sudah >30 mg/24 jam ataupun >20 uglmenit, disebutjuga sebagai mikroalbuminuria. Ini sudah dianggap sebagai nefropati insipien. Derajat albuminuria/proteinuria ini dapat juga ditentukan dengan rationya terhadap kreatinin dalam urin yang diambil sewaktu, disebut sebagai albuminlkreatinin ratio (ACR). Tingginya ekskresi albuminlprotein dalam urin selanjutnya akan menjadi petunjuk tingkatan kerusakan ginjal seperti terlihat dalam Tabel 1.
Kategori
Kumpulan urin 24 jam (mg124hr)
Kumpulan urin sewaktu (~glrnin)
Urin sewaktu (pglrng creat)
<30 30-299 ->300
-=20 20-199 ->200
<30 30-299 >300
Normal Mikroalbuminuria Albuminuria klinis
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan 2-3 spesimen urin dalam 36 bulan. Hati-hati terhadap proteinuria yang timbul pada latihan fisik dalam 24 jam terakhir, infeksi, demam, payah jantung, hiperglikemia yang berat, tekanan darah yang sangat tinggi, piuria dan hematuria. (Dikutip dari ADA, 2004)
Secara tradisional Penyakit Ginjal Diabetik selalu dibagi dalam tahapan sebagai berikut: Tahap I. Pada tahap ini LFG meningkat sampai 40% di atas normal yang disertai pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih reversibel dan berlangsung 0-5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe I ditegakkan. Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat biasanya kelainan h g s i maupun struktur ginjal akan normal kembali. Tahap 11. Terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis diabetes tegak, saat perubahan struktur ginjal berlanjut dan LFG masih tetap meningkat. Alburninuriahanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan stres, atau kendali metabolik yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung lama. Hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresifitas biasanya terkait dengan memburuknya kendali metabolik. Tahap ini disebut sebagai tahap sepi (silent stage). , ... : Tahap 111. Ini adalah tahap awal nefropati (incipientdiabetic nephropathy), saat mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi setelah 10-15 tahun diagnosis diabetes tegak. Secara histopatologis juga telah jelas penebalan membrana basalis glomerulus. LFG masih tetap tinggi dan tekanan darah sudah ada yang mulai meningkat. Keadaan ini dapat bertahan bertahun tahun dan progresivitas masih munglun dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan darab yang ketat.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
A
I
7
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Tahap IV.Ini merupakan tahapan saat nefropati diabetik bermanifestasi secara klinis dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa, tekanan darah sering meningkat serta LFG yang sudah menurun di bawah normal. Ini terjadi setelah 15-20 tahun diabetes tegak. Penyulit diabetes lain sudah pula dapat dijumpai seperti retinopati, neuropati, gangguan profil lemak, dan gangguan vaskular umum. Progresivitas ke arah gagal ginjal hanya dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah, dan tekanan darah. Tahap V. Ini adalah tahap gagal ginjal, saat LFG sudah sedemikian rendah sehingga pasien menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis maupun cangkok ginjal. Pada DM tipe 2 saat diagnosis ditegakkan, sudah banyak pasien yang mangalami mikro- dan makroalbuminuria, karena sebenarnya DM telah berlangsung bertahun-tahun sebelumnya. Lagipula keberadaan albuminuria kurang spesifik untuk adanya nefropati diabetik. Tanpa penanganan khusus 20-40% dari pasien ini akan melanjut pada nefropati nyata. Setelah terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus maka laju penurunan akan bervariasi secara individual, akan tetapi 20 tahun setelah keadaan ini, hanya sekitar 20% dari pada mereka yang berlanjut menjadi (penyakit ginjal tahap akhir) PGTA. Pada tahap ini tidak ada lagi perbedaan antara DM tipe 1 dan tipe 2. Begitupun karena usia pasien dengan DM tipe 2 lebih tua, maka banyak pula pasien yang diiringi penyakit jantung koroner, yang sering membuat pasien tak sampai mencapai PGTA. Tetapi karena penanggulangan PJK dewasa ini telah lebih baik maka banyak pula pasien DM yang hidupnya cukup lama untuk sampai mengalami gagal ginjal.
TERAPI DAN PENCEGAHAN Tanda klinik bagi setiap tahap terutama adalah hiperglikemia, hipertensi, dan selalu dijumpai hiperlipidemia. Keseluruhan tanda klinik ini sekaligus merupakan faktor risiko untuk progresivitas ke tahap berikutnya sampai ke tahap akhir. Faktor risiko lainnya adalah konsumsi rokok. Dengan demikian maka terapi di tiap tahapan pada umumnya sama dan adalah juga merupakan tindakan pencegahan untuk memperlambat progresivitas dimaksud. Terapi dasar adalah kendali kadar gula darah, kendali tekanan darah dan kendali lemak darah. Di samping itu perlu pula dilakukan upaya mengubah gaya hidup seperti pengaturan diet, menurunkan berat badan bila berlebih, latihan fisik, menghentikan kebiasaan merokok, dll, juga tindakan preventif terhadap penyakit kardiovaskular.
Pengendalian Kadar Gula Darah Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun), dengan melibatkan ribuan pasien telah menunjukkan bahwa pengendalian kadar gula darah secara intensif akan mencegah progresivitas dm mencegah timbulnya penyulit kardiovaskular, baik pada pasien DM Tipe 1 maupun DM Tipe 2. Oleh karena itu perlu sekali diupayakan agar terapi ini dilaksanakan sesegera mungkin. Yang dimaksud dengan pengendalian secara intensif adalah pencapaian kadar HbA 1c <7%, kadar gula darah preprandial 90- 130 mgldl, post-prandial <180 mgldl. Pengendalian Tekanan Darah Pengendalian tekanan darah juga telah ditunjukkan memberi efek perlindungan yang besar, baik terhadap ginjal, renoproteksi, maupun terhadap organ kardiovaskular. Makin rendah tekanan darah yang dicapai makin baik pula renoproteksi. Banyak panduan yang menetapkan target yang seharusnya dicapai dalam pengendalian tekanan darah pada pasien diabetes. Pada umumnya target adalah tekanan darah
lgr/24 jam maka target perlu lebih rendah, yaitu 425175 rnrnHg. Hams diingat bahwa mencapai target ini tidak mudah. Sering harus memakai kombinasi berbagai jenis obat, dengan berbagai efek samping, dan harga obat yang kadang sulit dijangkau pasien. Hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah tercapainya tekanan darah yang ditargetkan, apapun jenis obat yang dipakai. Tetapi karena Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-I) dan angiotensin receptor blocker (ARB) dikenal mempunyai efek antiproteinurik maupun renoproteksi yang baik, maka obat-obatan ini sebagai awal pengobatan hipertensi pada pasien DM. Pengaturan Diet Pengaturan diet terutama dalam kerangka manajemen DM tidak diterangkan dalamjudul ini. Dalam upaya mengurangi progresivitas nefropati maka pemberian diet rendah protein sangat penting. Dalam suatu penelitian klinik selama 4 tahun pada pasien DM tipe 1 yang diberi diet mengandung protein 0,9 gram/kgBB/hari selama 4 tahun menurunkan risiko terjadinya penyakit ginjal tahap akhir (PGTA=ESRD) sebanyak 76%. Umumnya dewasa ini disepakati pemberian diet mengandung protein sebanyak 0,8 gram/kgBB/hari, atau sekitar 10% kebutuhan kalori, pada pasien dengan Neji-opatiovert, tetapi bila LFG telah mulai menurun maka pembatasan protein dalam diet menjadi 0,6 gram/kgBB/hari mungkin bermanfaat untuk memperlambat penurunan LFG selanjutnya. Begitupun hams diantisipasi terjadinya kekurangan nutrisi. Jenis protein juga berperan dalam terjadinya dislipidemia. Mengganti daging merah dengan daging ayam pada pasien DM tipe 2 menurunkan ekskresi albumin dalam urin sebanyak 46% dengan disertai
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
penurunan kolesterol total, LDL kdesterol, dan apolipoprotein B. Ini mungkin karena komposisi lemak jenuldtak jenuh pada kedua jenis bahan makanan berbeda. Pasien DM sendiri cenderung mangalami keadaan dislipidemia. Keadaan ini perlu diatasi dengan diet dan obat. Bila diperlukan dislipidemia diatasi dengan statin dengan target LDL kolesterol <100 mgldl pada psien DM dan c70 mg/dl bila sudah ada kelainan kardiovaskular.
Penhnganan Multifaktorial Suatu penelitian klinik dari Steno Diabetes Centre di Copenhagen mendapatkan bahwa penanganan intensif secara multifaktorial >pads ,pasiea DM tipe 2 detrgan miki-oalbuminuiiamenunjukkan pengurangan faktor risiko yang jauh melebihi pananganan sesuai panduan m u m penanggulangan diabetes 'nasional mereka. Juga ditunjukkan bahwa terjadi penurunan yang sangat bermakna pada kejadian kardiovaskular, termasuk strok yang fatal dan non-fatal. Demikian pula kejadian spesifik seperti nefropati, retinopati, dan neuropati autonomik lebih rendah. Yang dimaksud dengan intensif adalah krapi yang dititrasi sampai mencapai target, baik t e h a n darah, kadar gula darah, lemak dzrrah, dan miroalbuminuria serta juga disertai peneegahan penyakit kardiovaskular dengan pernberian aspirin. Dalam kenyataamya pasien dengan terapi intensif lebih banyak rnendapat obat golongan ACEI dan ARB, Dernikiatljuga dengan obat hipoglikemik oral dan insulin. Untuk pengendalian lemak darah lebih banyak mendapat statin. Bagi pasien yang sudah berada pada tahap 5, gagal ginjal, terapi yang khusus untuk gagal ginjal perlu dijalankan, seperti pemberian diet rendah protein, pembtrian, obat pengikat fosfat dalam makanan, pencegahan dan pengobatan anemia den eritropoietin, dan lain-lain.
REf ERENSl
American Diabetes Association. Hypertension management in adults with diabetes. Diabetes Care. 2004;27(S):S65-57. American Diabetes Association. Nephropathy in diabetes. Diabetes Care. 2004;27(S):S79-S83. Bakris GL, Williams M, Dworkin L, et al. Preserving renal function in adults with hypertension and diabetes: NKF hypertension and diabetes. Executive committee Working Group. Am T Kidney Dis. 2000;36:646-61. Cooper ME. Seminar: Pathogenesis, prevention and treatment of. diabetic nephropathy. Lancet. 1998;352:213-9. Gaede P, Vedel P, Larsen N, Jensen GVH, Parving HH and Pedersen 0.Multifactorial intervention and cardiovascular disease in patients with type 2 diabetes. New Engl J Med. 2003;348:38393. Gross JL, de Azevedo MJ, Silvero SP, Canani LH, Caramori ML, Zelmanovitz T. Diabetic nephropathy: diagnosis, prevention and treatment. Diabetes Care. 2005;28: 176-88. Kikkawa R Koya D, Haneda M. Progression of diabetic nephropathy. Am J Kidney Dis. 2003;41 (S I):S19-S21. King H, Rewers M. Global estimates for prevalence of diabetes mellitus and impaired glucose tolerance in adults. WHO ad hoc diabetes reporting group. Diabetes care. 1993; 16:157-77. Merta M, Reiterova J, Rysava R, Kmentova D and Tesaf V. Genetics of diabetic nephropathy. Nephrol Dial Transplant. 2003;18(Suppl 5):24-5. Roesli R, Susalit E, Djafar J. Nefropati diabetik. Buku ajar ilmu penyakit dalam. ~ d i s ke-3. i Dalam': Suvono S. dkk. editor. Jakarta: ~ a i a Penerbit i FKUI; 2b01. p. 356-65. Satko SG, Langefeld CD, Daelhagh P, Bowdert DW, Rich SS and Freedman B1. Mephrapathy id siblings of African Amerkans with overt type 2 diabetic nephsopilthy. Am J Kidney Dis. 2002;40:489-94. , , Stehouwer CDA. Endothelial dysfunction in diabetic nephropathy: state of the art and potential significance for non diabetic renal disease. Nephrol Dial Transplant. 2004;16:?78-81. Sharma K, Ziyadeb FS, Alzahabi B, et al. Increased renal production of transforming growth factor T P I in patients with type I1 diabetes. Diabetes. 1997;46:854-9. USRDS. Incidence and prevalence of ESRD. Am J Kidney Dis. 2004;45(S):S57-S74. Ziyadeh FN, Isono M, Chen S. Iavolvement of the transforming growth factor- P system in the pathogenesis of diabetic nephropathy. Clin Exp Nephrol. 2002;6:125-9.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
-
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
154 NEFRITIS LUPUS Lucky Aziza Bawazier, Dl~armeizar,H.M.S. Markum I
PENDAHULUAN
rr
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit jaringan ikat, etiologinya tidakjelas diketahui dan termasuk soluble immune complexes disease, di mana gambaran klinisnya cukup luas dapat melibatkan banyak organ tubuh, serta perjalanan penyakitnya ditandai dengan remisi dan eksaserbasi. Walaupun etiologinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi diduga mempunyai hubungan dengan beberapa faktor perdisposisi seperti kelainan genetika, infeksi virus, maupun kelainan hormonal. LES merupakan soluble immune complexes disease, ditandai lesi autoimun disertai pembentukan antibodi ganda terhadap berbagai jaringan organ seperti sendi, paru, otot, dan ginjal. Keterlibatan ginjal sebagai salah satu manifestasi LES telah diketahui sejak lebih dari 54 abad yang lalu. Sedangkan gambaran lengkap keteriibatan komplikasi ginjal tersebut baru sejak 2 dekade yang lalu. Kriteria klasifikasi pasien dengan LES berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium, pertama kali tahun 1971 oleh American Rheumatisms Association (ARA) yang kemudian direvisi tahun 1982. Menurut kriteria ini bila terdapat 4 dari 11 manifestasi tersebut, sudah dapat di katagorikan sebagai LES. Sebelas kriteria ARA yang telah direvisi tersebut adalah: 1). Ma2ar rdsh, 2). Discoid rash, 3). Photosensitivify, 4). Oral ulcers (ulserasi mulut), 5). Arthritis non erosif, 6). Serositis (pleuritislperikatditis), 7). Gangguan ginjai (prdteinuria ,500 mghari atau silinder sellcellztlar cast; 8). ~ a k g u a nneurologis (kejang atau psikosis) kelainan gangguan saraf pusat, 9). Gangguan hematologi (seperti anemi hemolitik, lekopeni, limfositopeni atau trombositopeni), 10). Kelainan imt~nologis(hasil tes sel lupus eriternatosus, terdapat antibodi anti DNA, antibodi anti sel lupus atau hasil test serologi false positif untuk sifilis,antibodi anti fosfolipid), 11). Hasil tes positif antibodi
anti nulclear (ANA (+)). Walaupun kriteria di atas sensitivitasnya 96% dan spesifisitasnya96%, ferapi kriteria tersebut didesainmtuk klasifikasi, tidak untuk tujuan diagnostik. Jelasnya, banyak pasien masih sulitJgaga1untuk diagnostik klinis pasti untuk 1 , , memenuhi kriteria tersebut di atas. - , Prevalensi keterlibat~giqialdM LES zang diuam&n nefritis lupus, qangat-,bervariasi dan:berbeda;heda, bervariasi antara 31-6$% (rata-rata,40%) pada awgl,LES, Sedangkan komplikasi lebih lanjut pada LES dewasa terhadap ginjal rata-rata 60% kadang-kadang pada 3-6% pasien, manifes kelainan ginjal merup&qela%%i fie&$ma yang 85iemukari sebelum gejaIa klinis LES lain nluncul. Walaupun perempuan yang terkena Illpus lebih bhnyak dengan perbandingan 5: 1 dibandingkan pria, tetapi pada pria dengan LE'$ insid& terjadinyd hefritis lupus lebih tinggi walaupun tidak berbeda bkrmakna dengan perempuan. Orang Asia dan kulit hitam lebih sefing mengalami nefritis lupus dibandingkan dengan ras iainnya. Peningkatan risiko nefiitis lupus dihdbungkan derlgan HLA-DR2, HLA-DR3, HLA-DR~dirh HLA DQ-beta, difisiensi komplemen seperti Clq, C2, dan C4, serta ptoduksi tumor n$crdsis'jhctor (TNF)' yang rendah. r - b ,
"
1
)
I
*
,
z
ETIOLOGI Etiologi LES seperti telah diutarakan di atas, beium diketahui dengari pasti. Beberapa faktor infeksi seperti infeksi virus konkorna, genetik hormonal diduga'sebagai faktor predisposisi. lnfeksi Virus Percobaan binatang dengan strain tikus New Zealand infeksi virus concorna (intra uterin) dapat menyebabkan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
984
CINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
perubahan-perubahan limfosit sel-p yang menyerupai limfosit sel-p yang terdapat pada LES aktif manusia.
Faktor HerediterlFaktor Genetik Sebagaimana kelainanlgangguan autoimun, bukti telah menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada perkembangan LES maupun nefiitis lupus. Berbagai jenis gen yang banyak belum teridentifika~i memediasi faktor predisposisi genetik ini. Faktor-faktsr lingkungan mungkin memicu perkembangan penyakit ini. Studi epidemiologi klinis telah menemukm hubungan faktor herediter dengan LES antara lain: 1. Kembar (identical twin), terutama pada kembar monozigot daripada kembar dizigot: tetapi peran lingkungan juga besar. 2. HLA-P haplotipe 3. Antigen DRW2 dan DRW5 4. Defisiensi C2 inborn. 5. HLA DR2 dan HLA-DR3 berhubungan dengan LES 6. HLA-DR4 dihubungkandengan prevalensi yang rendah dari LES dan tampaknya sebagai pelindung dari serangan LES. Faktor Hormonal Studi epidemiologiklinis menemukan bahwa kejadian LES lebih sering pada perempuan muda, diduga mempunyai hubungan dengan hormon androgen dan estrogen. Gen Komplemen 1. DefisiensiC 1Q, C 1Rdan C 1S dihubungkan dengan LES, NL dan produksi dari anti-dsDNA (anti-doublestranded DNA) 2. Defisiensi C2 dan C4 dihubungkan &ngan LES atau sindrom yang mirip dengan lupus (lupus like syndrome). 3. Hilangnya C4A dan kemungkinan C4B dihubungkan dengan LES 4. FCgR gen: mediasi ini mengikatZgG danI@ yang terdapat kompleks imun pada sel-sel seperti makrofag dan fagosit mononuklear yang lain. 5. ~ u ~ aF C ~ G danIRIIIa ~ yang mengikat IgG2 dan IgGl secara berturutan, dimana R13 1 dihubungkan dengan nefritis lupus dalam populasi kulit hitam. 6. Gen sitokin: gen IL 10 dan kemunglunan IL 1 RN,$an TNF-a dihubungkan dengan LES. 7, ,, G e n a p ~ p t ~ s@e@osis,ge$:,Dd~k is d~ibeberap,a gen apoptosis ,dihubungkan dengan lupus like syndrome pada tikus danjarang pada LES manusia termasuk CD95 danCD178.
,;!
'
3 :
.
$ 2
aksi antara
faktor predisposisi genetik dengan faktor lingkungan, faktor hormon seks, dan faktor sistem neuroendokrin. Interaksi faktor-faktor ini akan mempengaruhi dan mengakibatkan terjadinya respons imun yang menimbulkan peningkatan aktivitas sel-T dan sel-B, sehingga terjadi peningkatan auto-antibodi (DNA-anti-DNA). Sebagian dari auto-antibodi ini akan membentuk kompleks imun bersama dengan nukleosom (DNA-histon), kromatin, C,q, laminin, Ro (SS-A), ubikuitin, clan ribosom; yang kemudian akan membuat deposit (endapan) sehingga terjadi kerusakanjaringan. Pada sebagian kecil NL tidak ditemukan deposit k6mpiek imun dengan sediaan imunofluoresen atau mikroskop elektron. Kelompok ini disebut sebagai Pauci immune necrotizing glomerulonephritis. .
Gambar 1. Patofisiologi nefritis lupus
Gambar 2.
Gambaran klinik kerusakan glomerulus dihubungkan dengan letak lokasi terbentuknya deposit komplek imun. Deposit pada mesangium dan subendotel terletak proksimal terhadap membran basalis glomerulus sehingga mempunyai akses ke pembuluh darah. Deposit pada daerah ini akan mengaktifkan komplemen, yang kemudian membentuk kemoatraktan C,a dan C,a. Selanjutnya terjadi influks sel netrofil dan sel mononuklear. Deposit pada me,sangium dan subendotel secara histopatologis memberikan gambaran mesangial, proliferatif fokal, dan proliferatif difus; secara klinis memberikan gambaran
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
NEFRlTIS LUPUS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
sedimen urin yang aktif (ditemukan eritrosit, lekosit, silinder sel dan granula), proteinuria, dan sering disertai p e n m a n fungsi ginjal. Sedangkan deposit pada subepitel tidak mempunyai hubungan dengan pembuluh darah karena dipisahkan oleh membran basalis glomerulus sehingga tidak terjadi influks netrofil dan sel mononuklear. Secara histopatologis memberikan gambaran nefropati membranosa dan secara klinis hanya memberikan gejala proteinuria. Pengaruh MAC dari komplemen (C5b-9) pada glomerulus, yaitu: 1).Aktivitas komplemen oleh kompleks imun dan terbentuk C5b6. C5b6 ini terikat dengan komponen C7, C8 dan C9 untuk merangsang podosit, 2). Memproduksi kolagen, 3). Alternatif lain merangsang sel-sel mesangial dengan dilepaskan oksigen radikal bebas, PGE dan IL-1. Radikal oksigen bebas mempunyai fimgsi biologis terutama merangsang trombosit dan nekrosis jaringan, 4). IL-1 merangsang podosit untuk sintesis kolagen, 5). Merangsang pembentukan PGE, TNF dan proliferasi sel mesangial.
Pemeriksaan histopatologi menggambarkan secara pasti kelainan ginjal. Klasifikasi WHO pada tahun 2003 membagi NL dalam 6 kelas. Skema ini berdasarkan hasil biopsi spesimen yang didapat dari mikroskop cahaya, imunofluoresen,dan mikroskop elektron. International Society Nephrology/Renal Pathology Society (ISNIRPS)membuat klasifikasi baru NL. Klasifikasi baru ini juga terutama berdasarkan pada perubahan glomerulus serta kelas 111 dan IV lebih rinci perubahan morfologisnya. Dengan pemeriksaan imunofluoresendapat ditemukan deposit imun pada semua kompartemen ginjal (glomerulus, tubulus, interstisium dan pembuluh darah). Biasanya ditemukan'lebih dari8atu kelas imunoglobulin. Terbanyak ditemukan deposit IgG dengan ko-deposit IgM dan IgA pada sebagian besar sediaan. Juga bisa di identifikasi komplemen C3 dan Clq. Pewarnaan untuk fibrin-fibrinogen dikerjakan bila didapatkan lesi crescent dan lesi nekrotik segmental. Sebagai tambaha.ntnlidasifikasi patologis, aktivitas dan kronisitasnya secara patologis dan secara prediksi untuk penentuan prognosis ginjalnya (progresi dari penyakit ginjd). Id& aktivitas merefleksikankeadaan di inflamasi yang aktif yang diperoleh dari biospi, yang reversible dengan terapi obat. Indeks kronisitas merefleksikan banyaknya fibrosis dan jaringan parutlnekrosisyang tidak berespons terhadap tertapii: GckC. @jat b g m :indekd aktivitas yang tinggi lebih merupakan respon terapi yang agresif dimana lesi ginjal yang kronisitasnya tinggi tidak respon. Tabel 1, 2, dan 3 sebagai estimasi untuk prognosis chn pedoman umwn terapi, Pengobatan yang agresif akan
.
Kelas f#stsgorl WHO)
Gambaran Mlkroskop Cahaya
Gambaran Mikroskop Elektron (DepR Elektron)
Gambaran Mlroskopis Imunofluonucence (Deposit lglC
Normal (I)
Nmal
Glomerulonefri tis mesangial proliperatif (11) Glomerulonefri tis fokal segmental proliferatif (111)
Normal atau pelebaran mesangial difus dan hiperselular Hiperselular mesangial difus dengan fokal dan segmental, segmental nekmsis dan trombin hial~n Hiperselular difus, interposisi mesangial, deposit subendotel, nekrosis segmental. trombus hialin, badan hematoksilin.
Mes : ++ SE :+ Epi :O
Mes : ++ CW :+ SE Epi : 0
Mes : +++ SE : + Epi : 0
cw
;nesangial nngan deposit ep~membran a, tonjolantonjolan Fokal
SE Epi
Glomerulonefri tis difus proliferatif (IV)
tis membran lupus (V)
Glomemlonefri tis sklerosis lanjut
Nefritis interstisial
superimpose
d dan segmental atau skleros~s pada kategori I V N Tubulointerstisi al akut dan kronis
Mes : +++ SE : +++ Epi : +++
:2 +++
'
Mes : + CW : + Membran tubulus basement
++ Variabel glomerulus deposit
:+
Mes : ++ :+ SE : + Epi : 0
Mes CW SE Epi
: +++ : ++ : +++ : ++++ deposit tubulointerstisial ekstraglomerular
+
CW : SE : 2
Mes : ++++ CW : Membran tubulus basement
+
++ Variabel glomerulus deposit
memberikan gejala-gejala yang merupakan perubahan histopatologi aktif. Tanda-tanda kronisitas menunjukkan tidak reversibelnya pengobatan atau terapi agresif yang kurang berhasil. Index aktivitas dan kronisitas dievlluasi pada lesi ginjal yang mungkin mentransfotasi dari 1 kelas ke kelas yang lain secara spontanlpengobatan u
GEJALA KLlNlS
Kelainan ginjal ditemukan pada 50-60% dari semua pasien LES, dan ;id& jarang merupakan gambaran klinis pertarna dan satu-satunya yang akan mengikuti periode remisi dan eksarsebasi sesuai dengttn LESnya. Manifestasinya kliniS NL bervariasi mulai dari kelainan urinalisis tanpa keluhan dan ditemukan pada pemeriksaan rutin maupun dalam
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kelas
Deskripsi
I
Glomerulus normaL (dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, imunofluoresen, m~kroskopelektron) Perubahan pada mesangial a. Normal dengan mikroskop cahaya, deposit pada mesangial dengan imunofluoresendan atau mikroskop elektron. b. Hiperseluleritasmesangial dan terdapat deposit pada imunofluoresendan atau mikroskop elektron. Focal segmental glomerulonephritis a. Lesi nekrotik aktif b. Lesi sklerotik aktif c. Lesi sklerotik Glomerulonefritisdifus (proliferasi luas pada mesangial, endokapiler atau mesangiokapilerdan atau deposit luas sub endotel) a. Tanpa lesi segmental b. Dengan lesi nekrotik aktif c. Dengan lesi aktif dan sklerotik d. Dengan lesi sklerotik Glomerulonefritis membranosa difus: a. Glomerulonefritismembhnosa murnl b. Berhubungan dengan lesi kelas II (a atau b) Glomerulonefritissklerotik lanjut.
II
Ill
IV
V
VI
lndeks aktivitasllesi aktif Glomerulus
-
Tubulo interstitial
Proliferasi endokapiler lnfiltrasi lekosit Depos~thialin subendotel Nekrosis fibrinoidl karioreksis
lnflamasi interstitial
lndeks kronisitasl lesi kronis
-
-
Sklerosis glomerulus (glomerulosclerosis) Bentuk crescent fibrosis (fibrosis crescent)
Fibrosis interstitialisdan tubulus atrofi
keadaan sindrom nefrotik atau keadaan darurat medis (sindrom nefritik akut dan syndrome rapidly progressive glomerulonephritis). Gejala NL biasanya berkorelasi baik dengan tingkat keterlibatan glomerulusnya.
GAMBARAN KLlNlS NL
Glomerulopati/nefropati asimplomatik. Kelainan urinalisis: proteinuria didapatkan pada semua pasien, hematuri mikroskopis pada 80% pasien, sedimen urin (silinder eritrosit, silinder lekosit). Sindrom nefritik akut (SNA). SNA pada lupus sulit dibedakan dengan GN pasca infeksi streptokokus, gangguan tubular pada 60-80% pasien. Sindrom RPGN (Rapidlyprogressiveglomerulonephritis). Ini sulit dibedakan dengan sindrom nefritik akut, gejalagejala khusus RPGN:
1. Onsetnya cepat 2. Penurunan LFG progresif dalam beberapa minggd bulan lalu mencapai gagal ginjal terminal 3. Hipertensi sistemik yang cukup mencolok 4. Proteinuria 1-3 gram perhari disertai kelainan sedimen aktif.
Sindrom glomerulus progresif dan kronis, ditandai dengan kelainan berikut: 1. Proteinuria bervariasi antara 1-3 gramlhari disertai kelainan sedimen aktif 2. Penurunan faal ginjal LFG progresif lambat sehingga dalam beberapa bulan sampai dengan beberapa tahun gagal ginjal. Sindrom nefrotik. Merupakan gambaran klinis paling sering dijumpai pada NL biasanya berkisar antara 45-63% pasien tetapi tidak disertai dengan hiperkolesterolemi. Hipertensi pada 15-50% pasien. Penurunan fungsi ginjal pada 40-80% pasien, dimana penurunan yang mencolok mencapai 30% pasien. Perjalanan klinik nefiritis lupus sangat bervariasi dan hasil pengobatannya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, kecepatan menegakkan diagnosis, kelainan histopatologi yang didapat dari hasil biopsi ginjal saat mulai pengobatan dan jenis regimen yang dipakai. Diagnosis klinis nefritis lupus ditegakkan bila pasien LES terdapat proteinuria 21 gram124 jam denganlatau hematuri (>8 eritrositJLPB) dengadatau penurunan fungsi ginjal sampai 30%. Sedangkan diagnosis pasti nefritis lupus diteg&kan dengan biopsi ginjal dan berdasarkan klasifikisi morfologi dari WHO (1982) nefntis lupus dibagi dalam 6 kela's. Gamb~ranklinis yang ringan dapat berubah menjadi bentuk yang berat dalam perjalanan penyakitnya. Beberapa prediktor yang dihubungkan dengan perburukan fungsi ginjal pada saat pasien diketahui menderita NL antara lain: 1. Ras kulit hitam 2. Hematokrit <26% 3. Kreatinin serum >2.4 mg/dL 4. Kadar C3 <76 mg/dL Hubungan Klasifikasi Histopatologi WHO dan Manifestasi Klinis NL Hubungan ini sangat penting untuk program terapi awal dalam menghadapi keadaan darurat dan untuk keperluan prognosis dan indikasi biopsi ginjal. PENDEKATAN DlAGNOSTlK NL dapat merupakan salah satu gambaran klinis dari LES dan tidak jarang merupakan satu-satunya gambaran klinis dari LES maka untuk menghadapi kedua masalah tersebut, diperlukan pemeriksaan penunjang diagnostik pasti yaitu:
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
NEFRITIS LUPUS
987
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Gejala klinis
Kelas NL kelas I NL kelas Ila NL kelas Ilb
NL kelas Ill
NL kelas IV
NL kelas V
NL kelas VI
Klasifikasi
Protein urin
NL kelas I NL kelas lia NL kelas lib NL kelas Ill NL kelas IV NL kelas V NL kelas VI
+
+ +
++ ++
++ +
Hematuria
Hipertensi
+
++
+++ + f
Gambaran klinis Tanpa gambaran klinis atau hanya terdapat proteinuria tanpa adanya kelainan pada sedimen urin Terdapat proteinuria persisten tanpa adanya kelainan pada sedimen urin. Terdapat hematuria mikroskopik dan bisa terdapat silinder lekositferitrosit danlprotenuria tanpa hipertensi dan tidak pernah terjadi sindrom nefrotik atau gangguan fungsi ginjal. Hematuri dan protenuria ditemukan pada seluruh pasien, sedangkan pada sebagian pasien ditemukan hipertensi, sindrom nefrotik dan penurunan fungsi ginjal Hematuria dan protenuria ditemukan pada seluruh pasien (sindrom nefrotik akut) sedangkan sindrom nefrotik, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal diternukan pada hampir seluruh pasien. Sindrom nefrotik ditemukan pada seluruh pasien sebagian dengan hematuri atau hipertensi akan tetapi fungsi ginjal masih normal atau sedikit menurun. Biasanya menimbulkan penurunan fungsi ginjal yang larnbat dengan kelainan urin yang relatif normal.
1. Pemeriksaan penunjang diagnosis Urinalisis rutin (urin yang diambil hams segar) Faal ginjal LFG dengan cara mengukur klirens kreatinin tes 24 jam Elektroporesis protein Profil lipid Darah rutin (Hb, lekosit, LED, trombosit) 2. Pemeriksaan serologis ANA-fluorescent Anti dsDNA Antibodi SmNA (Nuclear Antigen) Profil komplemen (C3, C4) Circulating immune complexes (CICX) Imunoglobulin serum Pemeriksaan serologik penting untuk menentukan diagnosis NL karena menunjukkan adanya produksi auto
Sindrom nefrotik
+ ++
+ ++
f f
++
Fungsi ginjal N N N N atau 1
1 N atau 1 lambat
f
.-,LES -
-
Penyakiljaringan ikat campuran iainnya Sindmm reumatologi yang lain Reaksiobat Keganasan Endokarditis baklerial sub-akut Usia lanjut
Titer ANA > 1 : 320
4 -
-
LES Kemungklnan
4
1
'
Penyakiljaringan ikat campuran Sindmm reumatologi yang lain
4
Test anti-RoISS-A Anti-WSSD
Test anti dsDNA
Wasd :a Berhubungan dng s~ndrom-stndmm
Menunjukkan akttvllas penyak11LES
4
Test anti Sm anti RNP
1
+
4
Anh-Sm ( + ) I ant1 RNP rendah I
Anti-Sm rendah alau ant1 RNP (+)
Mungkin LES jaringan ikat campuran
Gambar 3.
antibodi yang abnormal tetapi kurang tepat untuk menentukan adanya kelainan ginjal, menilai prognosis maupun tindak lanjut selama terapi. Tes ANA sangat sensitif untuk LES, tapi tidak spesifik. ANA juga ditemukan pada artritis reumatoid, skeloderma, sindrom S.jogren, polimiositis, dan infeksi HIV. Titer ANA tidak mempunyai korelasi yang baik dengan beratnya kelainan ginjal pada LES. Pada umumnya ANA kurang mempunyai hubungan dengan derajat kerusakan lesi ginjal dan tidak membantu untuk memantau respons terapi dan prognosis. Tes antids DNA (anti double-stranded DNA) lebih spesifik tapi kurang sensitif untuk LES. Tes ini positif pada kira-kira 75% pasien LES aktif yang belum diobati. Dapat diperiksa dengan teknik radioimmunoassay Farr atau teknik ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay). Tes anti-ds DNA mempunyai korelasi yang baik dengan adanya kelainan ginjal.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pemeriksaan lain adalah antibodi anti-ribonuklear, seperti anti-Sm dan anti-nRNP. Antibodi anti-Sm meskipun sangat spesifik untuk LES, tapi hanya ditemukan pada 25% pasien lupus. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa antibodi anti-Sm mempunyai hubungan dengan peningkatan insidens penyakit ginjal dan susunan saraf pusat serta prognosis yang buruk. Antibodi anti-nRNP ditemukan pada 35% pasien LES, juga pada penyakitpenyakit rematologik terutama penyakit jaringan ikat. Aktivasi sistem komplemen sering dipantau pada NL. Kosentrasi komplemen C3 dan C4 serum biasanya rendah pada fase aktif. Kosentrasi komplemen serum ini tidak mempunyai hubungan dengan derajat penyakitnya. Kadar C3 dan C4 sering sudah di bawah normal sebelum gejala lupus bermanifestasi. Konsentrasi C3 dan C4 menurun bila terdapat eksarsebasi akut dari lupus tetapi normalisasi kadar komplemen dihubungkan dengan perbaikan NL. Defisiensi komplemen lain seperti c 1r, C 1s, C2, C5 dan C8 juga didapatkan pada LES dan kadar komplemen total kemungkinan tetap di bawah normal meskipun penyakit dalam keadaan in aktif.
Circulating Immune Complex (Kompleks lmun dalam Sirkulasi) Sering ditemukan meningkat pada pasien yang masih aktif tetapi tidak dapat dipakai untuk menentukan derajat penyakit maupun panduan terapi dan prognosis karena juga dapat dideteksi pada berbagai penyakit autoimun lain. Kompleks imun ini dapat diukur dengan pengukuran C 1q fase solid dan tes sel raji. Banyak pemeriksaan antibodi anti nukleus pada NL walaupun spesifitasnya masih terbatas. Diagnosis NL Kriteria diagnosis NL 4 dari 1 1 kriteria ARA ditambah dengan: 1. Proteinuriapersisten, hematuri disertai kelainan sedimen aktif 2. Kenaikan titer anti nukleus dan DNA-binding antibody atau keduanya. PENGOBATAN Sebaiknya pengobatan diberikan setelah didapatkan hasil histopatologi dan biopsi ginjal. Pilihan rejimen pengobatan berdasarkan gambaran patologi anatomi. Tetapi biasanya pasien datang sudah mendapat kortikosteroid dari tempat praktek RS yang berbeda, karena tidak adanya fasilitas biopsi ginjal atau karena sudah mendapat pengobatan untuk LESnya sendiri tanpa gejala NL. Prinsip dasar pengobatan adalah untuk memperbaiki hngsi ginjal atau setidaknya mempertahankan h g s i ginjal agar tidak bertambah buruk tetapi perlu juga diperhatikan
efek samping obat yang timbul, karena pengobatan NL memerlukan waktu yang relatif lama, dimana efek samping obat tadi akan mempengaruhi kualitas hidup pasien. 1. NL kelas I tidak memerlukan pengobatan spesifik. P,engobatan lebih ditujukan pada gejala-gejala ekstra renal 2. NL kelas I1 ajika tidak disertai proteinuri yang bermakna (>1 gramlhari) dan sedimen urin yang aktif tidak memerlukan pengobatan 3. NL kelas I1 b yang disertai proteinuri > 1 gramhari, antids DNA yang tinggi, hematuri, dan Ci rendah diberikan pengobatan; prednison 0.5- 1 mglhari selama 6- 12 minggu, kemudian diturunkan perlahan-lahan (5- 10 mg) tiap 1-3 minggu, dan dilakukan penyesuaian dosis sesuai aktivitas klinik 4. Pada NL kelas I11 dan IV pengobatan lebih ditujukan untuk kelainan ginjalnya. Rejimen yang paling banyak dipakai saat ini adalah kombinasi steroid dosis rendah yaitu prednison 0.5 mgkglhari selama 4 minggu yang kemudian diturunkan perlahan-lahan sampai dosis minimal untuk mengendalikan kelainan diluar ginjal, dan siklofosfamid 750 mg/m2 tiap bulan selama 6 bulan, kemudian setiap 2 bulan dengan dosis yang sama sampai 6 kali pemberian, dosis selanjutnya tiap bulan 3 juga 6 kali pemberian (total pengobatan 3 tahun). Dengan rejimen ini kira-kira 80% pasien akan mengalami remisi yang ditandai dengan tidak terdapatnya sedimen urin yang aktif, proteinuri < 1 gramhari, dan klirens kreatinin tetap stabil atau membaik sedikitnya 30%. Beberapa obat lainnya yang dapat pula digunakan pada NL kelas 111dan IV ialah: 1. Azatioprin dengan dosis 2 mglkg, dikombinasikan dengan prednison. Pemakaian Azatioprin bertujuan untuk menghindari efek samping p-ada pemakaian siklofosfamid. Obat ini juga relatif aman pada perempuan hamil. 2. Siklosporin dapat pula dipakai bersama dengan prednison. Dosis awal 5 mglkglhari, yang kemudian diturunkan menjadi 2,5 mglkghari setelah 6 bulan. 3. Mycoplzenolate Mofetil (MMF) dengan dosis 0,5-2 gramlhari, khususnya bila pengobatan dengan siklofosfamid tak berhasil. Diberikan bersama dengan Prednison (dosis 0,5 mglkglhari) yang kemudian diturunkan perlahan. Lama pengobatan bisa mencapai 24 bulan. 4. Beberapa obat lainnya yang dipakai dalam pengobatan NL dan masih dalam taraf penelitian misalnya antibodi monoklonal (anti-c,, anti CD 40 legand), imunoglobulin IV, kladribin, dan LJP394. 5. NL kelas V: diberikan prednison dengan dosis 1 mgkgi hari selama 6-12 minggu. Bila tak ada respon klinik, prednison dihentikan sedangkan bila terdapat respons, prednison dipertahankan selama 1-2 tahun dengan dosis 10 mghari. Juga dapat pula diberikan siklosporin
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
NEFRlTlS LUPUS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pada NL kelas V ini. 6. NL kelas VI: pengobatan lebih difokuskan pada manifestasi ekstra renal. Untuk memperlambat penurunan fungsi ginjal dilakukan terapi suportif seperti restriksi protein, pengobatan hipertensi, pengikat fosfor oral. dan vitamin D.
- Klas Ill(berat) + lV - SN - Menurunfungs~g~njal - Hlpertensl - Gangguansusunan saraf pusat (SSP) Ikesadaran menurun Ilupus serebral
- Klas 11, Ill dan V (nngan)
- Protelnuna - Fungs~glnjal normal
Pembenan met11predlsolone1V 500 rng 3 her1beflurut-turut (dlulang b ~ l a dlperlukan, yattu blla gejala-gelaja yang mengancamjlwa maslhjelas)
Pred~sonmulal 1-1112 mglkg BBlhan
Dilanjutkandengan prednisonoral 1 - 1.5 rnglkg BBlhati
Jika terdapat penuruan fungsi ginjal : Azatiopnn diberikan 2.5 mglkgBBlhari
Ella respons terap18-12mlnggu tldak mencapa lotal rem st + prednlsondqturunkan 0 5 mg-lrkgrB81narls a 0 05 mg/kgBB/handalam fase pemellharaan Dan Slklofosfamld 500-750 ~ ~ ~ ' L P B I(1-3 I V rngLgBB nulan1lV) selama 6 bulan I
i
Gambar 4. Pada fase akut: Pengobatan induksi dengan kortikosteroid
Pengobatan imunologis dilakukan dengan pemberian imunosupresan. Sasaran pengobatan ini ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan tanda-tanda klinik lupus (baik renal maupun ekstra renal) serta petada serologi lupus. Tanda-tanda klinik tersebut berupa proteinuria, hematuri, silinder eritrosit, kreatinin serum, ekskresi kemokin dan sitokin dalam urin, kadar anti C 1q dalam darah, komplemen C3-C4, anti dsDNA, kelainan hematologi, dan kelainan ekstra renal. Pengobatan non imunologis dilakukan dengan pemberian obat anti hipertensi (ACEI, AIIRB dan pemberian statin yang tujuannya untuk menurunkan tekanan darah, proteinuria dan kolesterol secara agresif Sesuai gejala klinis dan gambaran histopatologi terdapat 2 masalah terapi utama yang hams dilakukan: yaitu induksi pengobatan dari NL yang berat, yang mengancam jiwa sering mempengaruhi banyak sistem organ dan onset penyakitnya pendek. Ini sangat berbahaya bagian survival pasien. Pengobatan selanjutnya adalah pengobatan pemeliharaan dan pengobatan kronis jangka panjang dan tujuan pengobatan ini untuk menghindari efek jangka panjang penyakit sehingga efek samping pengobatan juga penting untuk diawasi. Lalu dilanjutkan dalam dosis yang sama 3 bulanlkali, selama 2 tahun (24 bulan) (Rejimen ini diberikan pdaa NL kelas 111, IV campuran kelas 111dengan V, campuran kelas IV dengan V). Bila terdapat gangguan fungsi ginjal: dosis
siklofosfamiddikurangi. Bila pada pemberian siklofosfamid dalam 12 minggu tidak terdapat perubahaan maka siklofosfamid dapat diganti dengan azatioprin 2 mg/kgBB/ hari. Pada fase pemeliharaan ada juga yang memberikan siklofosfamid IV setiap 3 bulan selama 1 tahun pemeliharaan. Rerata lama pengobatan adalah 4,5 tahun memberi keberhasilan yang sama dengan rejimen siklofosfamid. Jika terdapat vaskulitis yang nyata: dapat dilakukan plasma exchange 3-4 literlhari untuk 7 hari. Pada fase induksi, imunosupresan yang sering digunakan adalah siklosporin, siklofosfamid atau mikofenolat mofetil. Pada fase pemeliharaan yang sering digunakan bila pasien mampu dari sudut finansial adalah mikofenolat mofetil(1-2 gramlhari) atau azatioprin (2 mg/kgBB/hari) maksimal 150-200 mg perhari diberikan selama 1 tahun. Azatioprin diberikan dengan dosis 2.5 mg/kgBB pada pasien NL kelas IV. Mekofenolat mofetil (MMF) diberikan dengan dosis 1 gram 2 x sehari (total 2 gram) selama 6 bulan, lalu dosis ditumnkan jadi 500 mg 2xlhari (total 1 gram) selama 6 bulan lagi. Rejimen ini diberikan pada NL kelas I11 berat, IV, campuran kelas I11 dan V, campuran kelas IV dan V. Siklosporin diberikan dengan dosis <5 mg/kgBB selama 1 tahun, pada NL kelas IV dan kelas V. Pengobatan Non-lmunologis Pengobatan non- imunologis dilakukan untuk menurunkan tekanan darah dan proteinuria dengan penghambat ACE dan penghambat reseptor angiotensin. Sedangkan untuk menumnkan kolesterol dipakai golongan statin. Tujuan pengobatan ini adalah untuk mengurangi progresivitas kearah perburukan fungsi ginjal sesuai dengan penanganan kasus penyakit ginjal kronik, sasaran tekanan darah adalah serendah mungkin dimana pasien masih merasa nyaman yaitu 120175 mmHg, proteinuria kurang dari 0,5 gram124jam dan kolesterol LDL 4 0 0 mg/dL. Untuk masa yang akan datang agaknya terapi secara genetik akan memberikan harapan walaupun masih dalam tahap percobaan awal. Monitoring Respons Pengobatan Terapi yang efektif dihubungkan dengan berkurangnya manifestasi inflamasi, berkurangnya gejala ekstrarenal, membaiknya kadar C3, C4, dan titer anti dsDNA. Untuk kelainan ginjalnya sendiri akan didapatkan aktivitas sedimen urin yang menurun, membaiknya kreatinin plasma, dan menurunnya atau berkurangnya proteinuria. RESISTEN TERHADAP PENGOBATAN
Sampai saat ini masih belum ada keseragaman terhadap
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
definisi remisi pada nefritis lupus. Salah satu pegangan, tercapainya normalisasi fungsi ginjal serta ketahanan hidup yang lebih panjang. Prediktor klinik yang dapat dipegang adalah, sedimen urin menjadi tidak aktif, kadar kreatinin = 1,4 mg1dL dan ekskresi protein = 330 mg1dL. Disebut resisten bila selama pengobatan induksi tidak ada respon menuju remisi. Pasien yang awalnya memakai siklosfamid, bila terjadi resisten pengobatan dapat ditukar dengan mikofenolat mofetil atau sebaliknya, dengan memakai dosis obat yang biasa dipakai pada kedua jenis regimen tersebut. Obat-obat lain yang dapat dipakai antara lain, imunoglobulin intravena, terapi antibodi monoklonal, imunadsorption, pentoksifilin atau rituksimba, tetapi hasil yang memuaskan belum diperoleh dengan pasti masih perlu percobaan klinis yang lebih banyak.
RELAPS (KAMBUH) Disebut relaps bila aktivitas penyakit timbul kembali setelah beberapa saat mengalami remisi. Prediktor yang paling dini dan akurat adalah ditemukannya kembali sedimen eritrosit atau leukosit yang kemudian diikuti oleh proteinuria.
PROGNOSIS
Prognosis NL sulit dirarnalkan karena pedoman terapi yang baku belum ada, selain itu perjalanan penyakit NL sulit diprediksi. Hampir semua peneliti sependapatbiopsi ginjal mempunyai peranan penting untuk menentukan prognosis dan respons terapi. Pada nefritis lupus kelas I dan I1 hampir tidak terjadi penurunan fungsi ginjal yang bermakna sehingga secara nefrologis kelompok ini memiliki prognosis yang baik. Nefritis lupus kelas I11 dan IV hampir seluruhnya akan menimbulkan penurunan fungsi ginjal. Pada nefritis lupus kelas 111 yang keterlibatan glomerulus <50% akan memberikan prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang keterlibatan glomerulusnya >50%, dimana prognosis kelompok ini menyerupai prognosis nefritis lupus kelas IV yaitu buruk. Nefritis lupus kelas V memiliki prognosis yang cukup baik sama dengan nefropati membranosa primer, sebagian kecil saja akan menimbulkan sindrom nefrotik yang berat. Nefropati membranous primer yang ringan biasanya mempunyai perjalanan penyakit lambat dan prognosis yang baik. Kelompok pasien NL dengan gambaran klinis glomerulopati asimtomatik dengan lesi histopatologis hanya mengenai mesangium atau proliferasi fokal derajat sedang, prognosisnya cukup mengkhawatirkan,bila tanpa pengobatan medikamentosa.
KEHAMILAN REFERENSI Kehamilan dapat menimbulkan eksaserbasi nefritis lupus sebesar 50% kasus pada selama masa kehamilan terutama trimester ke-3 atau awal masa nifas (tetapi bervariasi 10-75%) tetapi sekarang eksaserbasi lebih rendah karena mungkin berhubungan dengan penggunaan yang lebih bebas dari kortikosteroid dan obat sitotoksik selama kehamilan. Kekambuhanlrelapsl kematian janin timbul lebih jarang ketika timbul selama periode remisi. Dari 64 kehamilan 41 pasien: 37% lahir cukup bulan, 30% bayi prematur dan 33% abortus (29% abortus spontan dan 4% abortus non alasan medis. Pasien dengan antikoagulan yang bersirkulasi lebih sering kehilangan janinnya daripada ibu yang tidak mempunyai antikoagulan lupus yang bersirkulasi. Azotemia dari kadar kreatinin serum >1,5 mg1dL dan hipertensi selama kehamilan, keduanya dihubungkan dengan peningkatan kematian janin, di mana sindrom nefrotik sendiri tidak. Selama kehamilan 44% pasien berkembang menjadi hipertensi, fungsi ginjal menurun pada 19% dan sembuh 17% pasca partum. Serum komplemen yang rendah berguna untuk membedakan relapsnya NL dari kehamilannya tidak berkomplikasil pra-eklampsi pada pasien dengan LES.
Austin I11 HA, Boumpas DT, Vaughan EM, Balow JE. Predicting renal outcomes in severe lupus nephritis: contributions of clinical and histology data. Kidney Int. 1994;45:544-50. Austin HA, Klippel OH, Balow JE et al. Therapy of lupus nephritis: controlled trioal of prednisone and cytotatic drugs. N Engl J Med. 1986; 3 14:614-9. Boumpas DT, Austin HA 3d, Vaughn EM, Klippel JH, Steinberg AD, Yarboro CH, Balow JE. Controlled trial of pulse methylprednisolone versus two regimens of pulse cyclophosphamide in severe lupus nephritis. Lancet. 1992; 26:340(8822):741-5. Cameron JS. Lupus nephritis. J Am Soc Nephrol. 1999;10:413-24. Chan TM, Li FK, Tang CS, Wong RW, Fang GX, Ji YL, Lau CS, Wong AK, Tong MK, Chan KW, Lai KN. Efficacy of mycophenolate mofetil in patients with diffuse proliferative lupus nephritis. Hong Kong-Guangzhou Nephrology Study Group. N Engl J Med. 2000;343(16):1156-62. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL Jr, Jones DW, Materson BJ, Oparil S, Wright JT Jr, Roccella EJ. The seventh report of the Joint National Committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure: the JNC 7 report. JAMA. 2003;21;289(19):2560-72. Cortes-Hemandes J, Ordi-Ros J, labrador M, et al. Antihisto and antidouble standed deoxyribonucleic acid antibodies are associated with renal disease in SLE. Am J Med. 2004;116:165-70. Davieska, Wallport MJ. Immune complex handling in systemic lupus erythematosus. Immunology of renal disease pusey CD.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
NEFRITIS LUPUS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dodrecht/Boston/London: kluwer Academic Publ.; 1991. p. 59-73. Gabriel R. Postgradiute nephrology. 3rd edition. LondonIBostonl Durban/Singapore/Toronto/Wellington:Buttterworths; 1985. p. 100-4. Galindo-Rodriguez 4 Bustamante R, Esquivel-Nava 4 Salazar-Exaire D, Vela-Ojeda J, Vadillo-Buenfil M, Avina-Zubieta JA. Pentoxifylline in the treatment of refractory nephrotic syndrome secondary to lupus nephritis. J Rheumatol. 2003;30(11):2382-4. Glicklich D, Acharya A. Mycophenolate mofetil therapy for lupus nephritis refractory to intravenous cyclophosphamide. Am J Kidney Dis. 1998;32(2):3 18-22. Glassock RJ. Current therapy treatment recommendation for lupus nephritis. Controlled trial of prednisone and cytostatic drugs. N Engl J Med. 1986;3 14:614-9. Haylet JP, Kashgarian. Nephropathy of systemic lupus erythematosus. Disease of the kidney. In: Schrier RW, Gotschalk CW, editors. 5th edition. BostonlTorontolLondon: Litt Br & Co.; 1993. p. 2019-37. Hebert LA, Dillon JJ, Middendorf DF, Lewis EJ, Peter JB. Relationship Between appearance of urinary red blood celllwhite blood cell casts and the onset of renal relapse in systemic lupus erythematosus. Am J Kidney Dis. 1995;26(3):432-8. Korbet SM, Lewis EJ, Schwartz MM, Reichlin M, Evans J, Rohde RD. Factors predictive of outcome in severe lupus nephritis. Lupus Nephritis Collaborative Study Group. Am J Kidney Dis. 2000;35(5):904-14. Llach F. Papper's clinical nephrology. 3" edition. Boston/Toronto/ London: Litt Br & Co,; 1993. p. 165-73. Nossent HC, Koldingsnes W. Long-term efficacy of azathioprine
treatment for proliferative lupus nephritis. Rheumatology (Oxford). 2000;39(9):969-74. Ponticelli C. Current therapy in nephrology and hypertension. 3'd edition. BC DeckerlMosby-Year Book; 1992. p. 158-62. Remuzzi G, Ruggenenti P, Perico N. Chronic renal diseases: renoprotective benefits of renin-angiotensin system inhibition. Ann Intern Med. 2002; 16;136(8):604-15. Rose BD and Jacobs JB. Nephrotic syndrome and glomerulonephritis. Pathophysiology of renal disease. In: Rose BD, editors. 2nd edition. New York: McGraw-Hill int Ed; 1987. p. 237-52. Rose BD, Rennke HG. Renal pathophysiology the essential. BaltimorelPhiladelphialSidney1Tokyo:Williams and Wilkins; 1994. p. 211-43. Rose BD, Schur PH, Falk RJ,Appel GB. Treatment of lupus nephritis. UpToDate. 2005; 13-1. CD-ROM. Schur PH. Epidemiology and pathogenesis o f systemic lupus erythematosus. UpToDate. 2005;13-1. CD-ROM. Schur PH. Antibodies to DNA, Sm, and RNP. Up to Date. 2005;13:1. Tam LS, Li EK, Leung CB, Wong KC, Lai FM, Wang A, Szeto CC, Lui SF. Long-term treatment of lupus nephritis with cyclosporin A. QJM. 1998; 91(8):573-80. Wallase DJ, Hann BH, Klippel JH. Lupus nephritis. In: Daniel JW, Bevra HH, editors. Dubois lupus erythematosis. 5Ih edition. William&Willkin; 1996. p. 1053-65. Weeining JJ, D'agati VD, Schwartz MM, et al. The classification of glomerulonephritis in systemic lupus erythematosus revisited. Kidney Int. 2004;65:52 1-30. Wilmer WA, Rovin BH, Hebert CJ, Rao SV, Kumor K, Hebert LA. Management of glomerulus proteinuria: a commentary. J Am Soc Nephrol. 2003;14(12):3217-32.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
NEFROPATI IgA IDIOPATIK Enday Sukandar, Parlindungan Siregar
PENDAHULUAN
Glomerulonefitis (glomerulopati) dengan presentasi klinis hanya kelainan urinalisis rutin (hematuria dengan atau tanpa proteinuria) sering 1010s dari pendekatan diagnosis. Dahulu penyakit ini dikenal sebagai hematuria esensial karena etiologinya tidak diketahui. J Berger di Paris 1968 pertama kali melaporkan studi imunopatologi yaitu perubahan proliferasi sel mesangial disertai deposit IgA dan C,. Terdapat beberapa istilah untuk penyakit ini seperti nefropati IgA, nefropati IgA mesangiall glomerulonefritis, penyakit mesangial IgA, dan penyakit Berger (penemu). Penyakit ini banyak menarik perhatian para pakar karena tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia. Etiologi dan patogenesisnya masih belum jelas, dan manifestasi klinisnya bervariasi. Pasien mungkin datang dengan kelainan urinalisis tanpa keluhan, hipertensi, sindrom nefritik akut, atau gaga1 ginjal kronik terminal.
ETlOLOGl DAN KLASlFlKASl
Deposit IgA disertai komponen-komponen komplemen seperti C,, C, atau Clq ternyata ditemukan pada beberapa penyakit lain seperti HSP (Henoch-Schonlein purpura), SLE, dan penyakit sirosis hati. Apakah HSP dimasukkan pada kategori Nefropati IgA primer atau idiopati masih kontroversial. Etiologi nefropati IgA idiopatik (primer atau isolated) tidak diketahui. Presentasi klinis hematuria mikroskopik/ atau makroskopik berulang sering mengikuti infeksi saluran napas bagian atas (faringitis atau tonsilitis). Hematuria yang mengikuti episode faringitis dinamakan syndrome pharyngitic hematuria.
A.
6.
Primer (Idiopatik) 1. Nefropati IgA primer (idiopatik) atau isolated 2. Berhubungan dengan HSP (Henoch-Schonlein purpura) Sekunder 1. Penyakit hati alkoholik 2. lgA monoklonal garnopati 3. Mikosis fungoides 4. Lepra 5. Dermatitis herpetiforrnis 6. Hemosiderosis paru 7. Spondilosis ankilosing 8. Shunt sistem portal
*woo KT dkk 1986
PATOGENESIS NEFROPATI IGA IDIOPATIK
Etiologi Nefropatik IgA tidak diketahui sehingga mekanisme patogenesis kerusakan glomerulus sulit dipahami. Hasil studi imunologi menemukan perubahan proliferasi sel mesangial disertai deposit IgA dan C,. Diduga penyakit ini termasuk penyakit kompleks imun. Faktor genetik: 1. DR, 2. DO 3. Kromosom 6 dengan komplemen G,a dan G,, Faktor luar: a). Sirosis hati dan penyakit hati berat lainnya b). Granulomatosis Wegener c). Hlv d). Antigen virus, antara lain: rotavirus, parainfluenza, rinovirus, adenovirus, respiratoty syncytial virus e) Antigen bakteri, antara lain: Stafilokokus aureus, E. coli, pneumokokus, streptokok salivarius, streptokokus mutan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
993
NEFROPATI lgA IDIOPATIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
f) Antigen makanan (dietary), antara lain: BSA (bovine
serum albumin), protein kacang kedelai, gluten, alkohol. g) Vaksin, seperti: vaksin influenza/parotitis/polio
Gambar 1. Patogenesis nefropati IgA
Produksi lgA Beberapa faktor yang mempengaruhi mekanisme kenaikan produksi IgA (IgA responder) seperti: a). Gangguan aktivitas spesifik supresor-lgA sel T; b). Kenaikan aktivitas spesifik sel T helper-lgA dan sel T,; c). Hiperaktivitas spesifik-lgA sel B; d). Rangsangan stimulasi (stimuli) makrofag diikuti kenaikan produksi IgA. Kompleks imun (Immune Complexes- IC): a). Kompleks imun IgA polimerik; b). Kompleks imun IgA monomerik; c). Kompleks imun IgA multimerik; d). Kompleks imun IgG. Pada penelitian percobaan binatang maupun pada manusia ternyata IgA polimerik mempunyai peran terhadap patogenesis kerusakan glomerulus. IgA polimerik ini berhubungan dengan infeksi mukosa saluran napas bagian atas Cfaring dan tonsil).
PERUBAHAN HISTOPATOLOGI GINJAL
Mikroskop Cahaya Klasifikasi mikroskop cahaya Nefropati IgA berdasarkan rekomendasi KOMISI WHO (1982): I. Lesi minimal. Pemeriksaan dengan mikroskop cahaya masih terlihat normal. 11. Lesi minor. Pelebaran mesangium disertai penambahan sel-sel mesangium (hiperselularitas). minimal ditemukan 3 sel per daerah (area) pada glomeruli tepi (perifer). 111. Glomerulonefiitisfokal dan segmental - Minimal 50% glomeruli memperlihatkan tanda-tanda sklerosis yang bersifat fokal dan segmental - Penambahan sel-sel mesangium (hiperselularitas) - Tidak jarang ditemukan nekrosis - Sisa glomeruli memperlihatkan perubahan minor n! Derajat ini dibagi menjadi beberapa tingkatan: 1. Proliferasi sel-sel mesangium difus 2. Dibagi dalam 2 kategori - Proliferasi sel mesangium disertai sklerosis - Proliferasi sel mesangium difus disertai sklerosis dan pembentukan kresen (bulan sabit) V Glomerulonefritis sklerosis dihs. Hampir 80% glomeruli mengalami perubahan histopatologi. Mikroskop Elektron Lokasi deposit. Deposit IgA dan komponen (C) dikenal sebagai electron-dense deposit terlihat pada daerah mesangium dan kapiler glomerulus (subendotelium, subepitelium atau keduanya). Pada nefropati IgA selalu ditemukan deposit masif di daerah mesangium. Jumlah deposit bervariasi setiap daerah dalam glomerulus dan antar glomeruli. Deposit juga ditemukan pada dinding kapiler glomerulus pada sebagian kecil pasien. Perubahan mesangial. Beberapa perubahan yang hams diidentifikasi yaitu: a). Penambahan matriks; b). Hiperselularitas sel; c). Tanda-tanda lisis (mesangiolisis) yang disebabkan deposit imunoprotein dalam matriks; d). Serat kolagen sering ditemukan pada daerah matriks. Perubahan dinding kapiler glomerulus. Perubahan kapiler perifer pada nefropati IgA: a). Subendothelium jluffi, granules lamination; b). Lisis membran basal glomerulus; c). Aneurisms; d). Penebalan membran basal glomerulus; e). Dense deposits; f). Reduplikasi membran basal glomerulus; g). Nekrosis lumen; h). PMN dalam lumen; i). Partikel tubuloretikular.
MANIFESTAS1 KLlNlS NEFROPATI IGA Nefropati IgA tidak mempunyai gejala subyektif atau obyektif khusus (spesifik). Pada umumnya manifestasi klinis Nefropati IgA: 1). Hematuria makroskopik.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
CINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Hematuria makroskopik (gross) rekuren yang mengikuti infeksi saluran napas bagian atas. Hematuria berlangsung beberapa hari sampai 1 minggu; 2). Proteinuria dengan sindrom nefritik; 3). Hipertensi berat disertai penurunan faal ginjal (gaga1 ginjal kronik) Manifestasi klinis 358 pasien Nefropati IgA terlihat pada Tabel 2.
Histopatologi ginial
1. 2. 3.
Hematuria dan proteinuria Hematuria (gross) Sindrom nefrotik Sindrom nefritik Gagal ginjal kronik Hipertensi Jumlah total Umur rata-rata (tahun)
231 (65%) 52 (15%) 30 (8%) 3 (1%) 21 (53%) 21 (55%) 358 (1 00%) 26+8
4.
5.
6.
Woo KT, dkk 1986 7.
Sebagian besar pasien dengan kelainan urinalisis tanpa keluhan (asimtomatik); diperlukan pendekatan diagnosis sistematik dan terarah.
GBM patah-patah dan pembentukan bulan sabit (crescent) GBM bergerigi dan iregular Perubahan GBM dan podosit glomerular tuft kolaps dan sklerotik GMB mengalami perubahan difus dan sklerotik glomerulus, ekspansi difus podosit (lesi minimal). Deposit epimembranosa jarang Nekrosis tubular akut dan tubulus tersumbat sel eritrosit. Glomerulus kresentik Perubahan vaskular hipertensif dan sklerotik. Sklerotik glomerulus Sklerotik glomerulus dan perubahan vaskular hipertensif. Pembentukanjaringan ikat tubulo interstisial. Atrofi tubulus dan glomerulus kresentik
Sindrom nefrotik
Gagal ginjal akut (sindrom nefritik akut) Hipertensi Gagal ginjal kronik
Ginjal. Clarkosn AR, Woodroffe AJ, Aarons, 1993
KORELASI MANlFESTASl KUNlS DAN PERUBAHAN HISTOPATOLOGI GINJAL Di klinik masalah ini sangat bermanfaat untuk tujuan intervensi farmakologis sebagai terapi simtomatis dan ramalan prognosis.
Manifestasi klinis
Hematuria makroskopik (gross) Hematuria mikroskopik Proteinuria
Hematurla
+
~roteynurla
1 Anamnesls (umur) Pemerrksaanflsls diagnostlk (Hlpertensi)
1 PENDEKATAN DIAGNOSIS NEFROPA TI IGA IDIOPATIK Pendekatan diagnosis Nefropati IgA Idiopatik tergantung manifestasi klinis. Kelainan urinalisis rutin (hematuria dengan atau tanpa proteinuria) yang merupakan salah satu manifestasi klinis, sering 1010s dari pengamatan. Algoritma pendekatan diagnosis hematuria dengan atau tanpa proteinuria (Gambar 2).
Anamnesis Identifikasi urnur, biasanya anakldewasa muda Keluhan infeksi saluran napas atas (faringitis atau tonsilitis) sebelum episode hematuria (gross atau mikroskopik), periode laten kurang dari 7 hari. Episode hematuria berulang (rekuren) dan hilang setelah beberapa hari (1 minggu) Pemeriksaan Fisis Diagnostik Keadaan orofaring Hipertensi
Urinalisls, EsbachlB~uret Mlkroblologlurln Serum BUN & kreatlnln
1
Ekskresr urogram USG Renogram
1 GLOMERULOPATI
4
Glnjal pollklst~k TBC, saluran kemih dan glnjal
RP Gn
NEFROPATI IgA
1 Biopsr Glnjal Pemeriksaan imunodiagnostrk
1 TERAPl SlMTOMATlK
Gambar 2. Algoritme pendekatan diagnosis nefropati IgA (HSP = Henoch-SchonleinPurpura, SLE = systemic lupus erytomatosus, RP Gn = resoMng poslinfectious glomerulonephritis)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
NEFROPATI I d IDIOPATIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Uji Saring Laboratorium Pemeriksaan sedimen urin untuk identifikasi silinder eritrosit Albuminuria semikuantitatif atau kuantitatif Faal ginjal ureum dan kreatinin Mikrobiologi urin terutama CFUImL urin Uji Saring Pencitraan (imaging) Tujuan: Untuk mencari etiologi hematuria: Ginjal polikistik TBC ginjal dan saluran kemih Khusus kasus urologi Uji saring pencitraan: Ekskresi urogram dan ultrasonografi (USG) Diagnosis Banding Nefropati IgA 1. Henoch -Schonleinpurpura (HSP) 2. Systemic lupus erythematosus (RPGN) Diagnosis Nefropati IgA 1. Identifikasi faktor predisposisi. Nefropati IgA lebih sering pada pasien dengan BW,, dan DR, MHC 2. Pemeriksaan imunodiagnostik - Glomeruli memperlihatkan proliferasi sel-sel mesangial difus dan mungkin disertai gambaran proliferasi fokal dan segmental. - Imunofluoresensi memperlihatkan deposit granular IgA dan C3 pada semua glomeruli. Pada beberapa glomeruli pasien mungkin mengandung deposit IgG dan IgM. - IgA dan C, dapat ditemukan pada dinding kapiler di daerah perbatasan dermal dan epidermal (dermalepidermal junction). - Electron-dense deposit sering ditemukan pada subendotelium dan matriks mesangial. - Pada sebagian besar pasien ditemukan CICx yang mengandung IgA. Konsentrasi komponenkomponen komplemen biasanya normal.
2. Manipulasi diet dan asupan antigen: Sodium chromoglycate 3. Mengurangi pembentukan IgA: Fenitoin 4. Immune-complex-mediated renal injury:Kortiko steroid, siklosporin 5. Obat antiproteinuria: Proteinuria diduga sebagai marka untuk progresivitas kerusakan ginjal (glomerulosklerosis) - Pembatasan asupan protein hewani - Penghambat ACE dan Angiotensin Receptor Blocker. 6. Hipertensi: a). Penghambat ACE; b). Angiotensin Receptor Blocker; c). Antagonis kalsium 7. Perubahan (kelainan) hemoreologi: a). Antikoagulan; b). Obat antiplatelet (dipiridamol); c). Omega 3.
lntervensi Terhadap Perjalanan Penyakit (Komplikasi) 1. Sindrom nefritik akut (SNA) 2. Sindrom nefrotik 3. Sindrom gagal ginjal kronik / terminal
PROGNOSIS
Prognosis Nefropati IgA tergantung dari manifestasi klinis. 1. Hematuria makroskopik (gross) asimtomatik - Pada anak biasanya mempunyai prognosis baik, faal ginjal normal, dan hipertensi mudah dikendalikan - Pada dewasa mempunyai prognosis lebih buruk, hampir 5 - 10% terjadi gagal ginjal kronik. 2. Nefrotik IgA idiopatik mempunyai prognosis buruk bila manifestasi klinis berupa sindrom nefrotik disertai hipertensi. 3. Nefropati IgA dengan manifestasi klinis gagal ginjal kronik/terminal hams menjalani program dialisis dan transplantasi ginjal. Rekurensi Nefropati IgA pada ginjal cangkok (graft kidney) setelah kira-kira 10 tahun.
TERAPI NEFROPATI IGA IDIOPATIK
Terapi semata-mata bersifat simtomatik tergantung manifestasi klinis, tanpa keluhan atau keluhan ringan atau keadaan darurat medis seperti sindrom nefritik akut (SNA). Prinsip terapi simtomatik yaitu intervensi terhadap patogenesis dan patofisiologi, perjalanan penyakit, atau komplikasi. l n t e r v e n s i Terhadap Patogenesis d a n Patofisiologi 1. Mengurangi kontak dengan antigen: a). Antibiotik bila berhubungan dengan infeksi bakteri; b). Tonsilektomi
Churg J. In: Collaboration with Sobin LH and pathologist and nephrologist in 14 countries. Renal Disease: Classification and Atlas of Glomerular Diseases. Tokyo: Igaku -Shoin; 1982. Clarkson AR. IgA Nephropathy: History, classification and geographic distribution. In: Clarkson AR (ed). IgA. Nephropathy, Martinus Nijhoff Publ; 1987.1-8. Clarkson AR, Woodroffe AJ, Aarons. IgA nephropathy and HenochSchonlein purpura. In: Schrier RW & Gottshalk CW (eds). 41hed. Diseases of the Kidney. Lit Br. & Co; 1993, p. 1839-64. Engido J. The role of polymeric IgA in the pathogenesis of IgA nephropathy. In: Clarkson AR (ed). IgA Nephropathy. Martinus Nijhoff Publ; 1987. p. 157-75. Gabriel R (ed). IgA nephropathy. In: Postgraduate Nephr0logy.3'~ ed. Butterworth; 1985. p. 92-4.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
996
GINJAL HIPERTENS1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Maschio G, Cagnoli L, Claroni F et al. ACE inhibition reduces proteinuria in normotensive patients with IgA nephropathy: A multicentre, randomized, placebo controlled study. Nephrol Dial Transplant 1994;9:265-9. Rekola S, Bergstrand A, Bucht H. Development of hypertension in IgA nephropathy as a marker of poor prognosis. Am J.NephroI1990;10:290-5. Sinniah R. IgA Nephropathy. In: Sulaeman AB & Morad Z (eds). Proceedings of the VI* Asian Coil in Nephrology. Exp. Med Kuala Lumpur; 1985. p. 61-8. Sinniah R. IgA mesangial nephropathy: Berger's disease. (editorial review). Am J NephroI1985;5:73-83.
Sinniah R. The pathology of IgA nephropathy. In : Clarkson AR (ed). IgA Nephropathy. Martinus Nijhoff Publ; 1986. p. 66-96. Tomino V. Pathogenesis (Antigenic heterogenety). In: Woo KT, Wu AYT, Lim CH (eds). Proceedings of the 3rd Asian-Pacific Congress of Nephrology. Singapore; 1986. p. 114-8. Woo KT, Edmonson RPS, Wu AYT et al. Clinical and prognostic indices of IgA nephritis. In: Woo KT, Wu AYT, Lim CH (eds). Proceedings of the 3rd Asian-Pacific Congress of Nephrology. Singapore; 1986. p. 119-29. van der Hem GK, Beukhof JR. IgA nephropathy. In- van der Hem Gk (ed), Nephrology, Excerta Medica; 1982. p. 393-404.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
NEFRITIS HEREDITER Jodi Sidharta Loekman
PENDAHULUAN Nefritis herediter biasa disebut sebagai sindrom Alport merupakan penyakit glomerulus yang progresif terutama pada laki-laki dan sering disertai gangguan saraf pendengaran dan penglihatan. Sindrom ini dipublikasikan dalam British Medical Journal tahun 1927 oleh Cecil Alport. Prevalensi penyakit ini diperkirakan 1 dari 50.000 kelahiran hidup. Sejak tahun 1980 telah dapat dibuktikan bahwa kelainan sindrom Alport terletak pada membran basalis glomerulus (MBG) akibat mutasi genetik pada collagen protein family tipe IV. Secara genetik merupakan penyakit heterogenik dengan x-linked inheritance, baik autosomal recessive maupun autosomal dominant variants. Pada 80% pasien, penyakit ini diturunkan melalui x-linked trait berasal dari mutasi gen COL4A5 pada kromosom x sehingga dapat dijumpai keadaan yang spesifik yaitu tidak akan terjadi penurunan dari seorang bapak ke anak laki-laki karena sifat genetik laki-laki hanya melalui kromosom y, tetapi dapat memberikan kromosom x abnormal kepada anak perempuannya. Perempuan dengan x-linked SindromAlport merupakan karier heterogenik dari penyakit mutasi genetik ini dan dapat menurunkannya kepada anak laki-laki maupun perempuan. Pada autosomal recessive sindrom Alport, mutasi berasal dari gen COL4A3, COL4A4 ataupun COL4A6.
MBG awalnya normal lalu mengalami perubahan menjadi bilaminer lalu multilaminer dan akhirnya mendesak lengkung kapiler glomerulus,glomerulusmenjadi sklerotik, tubulus mengalami atrofi, interstisium mengalami fibrosis. Dengan pemeriksaan antibodi monoklonal dapat diketahui bahwa COL4A3, 4 dan 5 terdistribusi secara
normal pada MBG, kapsul Bowman dan juga pada membran basalis distal collecting tubule, serta pada membranmembran di koklea dan mata, dengan demikian kerusakan yang terjadi pada organ tersebut mempunyai persamaan proses.
PERUBAHAN HISTOLOGIS Perubahan awal berupa penebalan MBG lalu terjadi longitudinal splitting dan memberikan gambaran berlapis (multi-laminated) akibat proses injury and repair, kemudian berlanjut dengan perubahan glomerulus melalui proses glomerulosklerosis.
Biasanya manifestasi klinis berupa hematuri asimtomatik, jarang terjadi gross hematuri, terjadi pada usia muda, mikrohematuri persisten sering terjadi terutama pada anak laki-laki. Pada tahap awal biasanya kreatinin serum dan tekanan darah tidak mengalami perubahan, tetapi dengan berjalannya waktu fungsi ginjal mengalami penurunan secara progresif yang ditandai proteinuria yang semakin persisten dan menjadi gaga1 ginjal tahap akhir pada usia 16 sampai 35 tahun. Variasi gambaran klinis ditentukan oleh besarnya mutasi genetik. Gangguan ekstrarenal yang paling sering didapati adalah hilangnya pendengaran, dimulai dengan hilangnya kemampuan mendengarkan nada-nada tinggi dan akhirnya hilang kemampuan mendengar percakapan normal. Pada mata dijumpai gangguan berupa kurangnya kemampuan lengkung lensa mata (anterior lenticonus), bintik putih atau kuning di daerah perimakular retina, kelainan kornea berupa distrofi polimorfis posterior dan erosi kornea, dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HlPERTENSl
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
berakhir dengan mundurnya ketajaman penglihatan. Megatrombositopenia dapat ditemukan pada tipe autosomal dominant.
pelatihan keterampilan berkomunikasi dengan isyarat, gangguan pada lensa mata dapat diatasi dengan penggantian lensa mata atau penggantian kornea. Dialisis dilakukan pada penyakit ginjal kronik tahap akhir.
DIAGNOSIS Adanya riwayat penyakit ginjal disertai gangguan pendengaran pada anggota keluarga merupakan tuntunan untuk mencurigai sindrom Alport. Hal ini dihubungkan dengan adanya hematuri glomerulus persisten. Pada biopsi ginjal ditemukan adanya kelainan MBG. Perkembangan klinis menuju pada progresivitas penyakit ginjal kronis serta bila mungkin tes genetika adanya mutasi gen COLAAS, COL4A3, COL4A4.
~ r a n s ~ l a n t aGinjal si Dilakukan pada pasien yang sudah pada tahap akhir penyakit ginjal kronik. Dilaporkan bahwa 3 sarnpai 4% dari pasien transplantasi ginjal tersebut mengalami anti-GBM antibody disease dan umumny a terjadi pada tahun pertama pasca transplantasi, terjadi glomerulonefritis kresentik dan berakhir dengan graft loss. Bila terjadi ha1 tersebut maka plasmaferesis dan pemberian Siklofosfamid merupakan pilihan pengobatan. Berulangnya sindrom Alport pasca transplantasi tidak pernah dijumpai sampai saat ini.
DIAGNOSIS BANDING
PENCEGAHAN
1. Penyakit Fabry (Angiokeratoma corporis diffusum universale) 2. Sindrom Nail-patella (Osteo-onychodysplasia) 3. Sindrom nefrotik kongenital. Kelainan ini tanpa disertai gangguan pendengaran.
Pencegahan dapat dilakukan dengan menjalani konsultasi pra-nikah pada seseorang dengan riwayat penyakit ginjal dan ketulian dalam keluarganya. Keadaan tersebut potensial mempunyai risiko terhadap sindrom Alport. Konsultasi dilakukan oleh ahli genetika.
REFERENSI Saat ini belum ada terapi spesifik, terapi lebih banyak ditujukan pada pengendalian keadaan sekunder akibat gangguan fungsi ginjal seperti pengendalian hipertensi dengan menggunakan angiotensin-converting enzyme inhibitors. Obat ini dapat menurunkan tekanan intraglomerulus dan terbukti dapat menurunkan laju progresivitas penurunan fungsi ginjal. Untuk pencegahan terhadap meluasnya ekspansi mesangial dapat diberikan Siklosporin A terutama pada pasien dengan proteinuria berat, sedangkan untuk pengendalian fosfat digunakan pengikat fosfat, serta pengendalian dislipidemia menggunakan statin. Gangguan fungsi pendengaran biasanya permanen sehingga pasien dapat diberikan
Adler, Cohen, Glassock. Secondary glomerulus disease. The kidney. Philadelphia: WB Saunders; 1996. p. 1555-61. Chen D, Jefferson B, Harvey SJ, Zheng K. Cyclosporine A slows the progressive renal disease of alport syndrome (X-linked hereditary nephritis): result from a canine model. J Am Soc Nephro1.2003;14:690-8. Chugh KS, Agarwal VSA, Jha V. Hereditary nephritis (Alport's syndrome)-clinical profile and inheritance in 28 kindreds. Ruminska EZ, Szymczak WS, Moszynski B. Chronic hereditary nephritis with hearing loss (Alport's syndrome). Otolaryngol Pol. 1989;43:401-8. Kahstan CE. Hereditary nephritis (Alport syndrome). Australian Kidney Foundation. Hereditary nephritis (Alport syndrome). Available from: http:!!www.kidney.org.au!.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
SINDROM NEFROTIK Wiguno Prodjosudjadi
PENDAHULUAN Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif >3,5g/hari, hipoalbuminemia <3,5 gldl, hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut hams ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalburninemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respons yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik.
Sindom nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik seperti tercanturn pada Tabel 1. Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam kelompok GN primer, GN lesi minimal (GNLM), glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS), GN membranosa (GNMN), dan GN membranoproliferatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering ditemukan.Dari 387 biopsi ginjal pasien SN dewasa yang dikumpulkan di Jakarta antara
Glornerulonefritis primer: - GN lesi minimal (GNLM) - Glornerulosklerosis fokal (GSF) GN mernbranosa (GNMN) GN mernbranoproliferatif (GNMP) - GN proliferatif lain Glornerulonefritis sekunder akibat: lnfeksi - HIV, hepatitis virus B dan C - Sifilis, malaria, skistosorna Tuberkulosis, lepra Keganasan Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin, rnielorna rnultipel, dan karsinorna ginjal Penyakit jaringan penghubung Lupus eritematosus sisternik, artritis reurnatoid, MCTD (mixed connective tissue disease) Efek obat dan toksin Obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas, penisilinarnin, probenesid, air raksa, kaptopril, heroin Lain-lain : Diabetes rnelitus, arniloidosis, preeklarnsia, rejeksi alograf kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah
-
-
1990- 1999 dan representatif untuk dilaporkan, GNLM didapatkanpada 44,7%, GNMsP (GN mesangioproliferatif) pada 14,2%, GSFS pada 11,6%, GNMP pada 8,0% dan GNMN pada 6,5%. Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya pada GN pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat antiinflamasi non-steroid atau preparat emas organik, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada lupus eritematosus sistemik dan diabetes melitus.
Berdasarkan pemikiran bahwa penyebab SN sangat luas
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
CINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
maka anamnesis dan pemeriksaan fisis serta pemeriksaan urin, termasuk pemeriksaan sedimen, perlu dilakukan dengan cermat. Pemeriksaan kadar albumin dalam serum, kolesterol, dan trigliserid juga membantu penilaian terhadap SN. Anamnesis penggunaan obat, kemungkinan berbagai infeksi, dan riwayat penyakit sistemik lain perlu diperhatikan. Pemeriksaan serologik dan biopsi ginjal sering diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan penyebab GN sekunder. Pemeriksaan serologik sering tidak banyak memberikan informasi dan biayanya mahal. Karena itu sebaiknya pemeriksaan serologik hanya dilakukan berdasarkan indikasi yang kuat.
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (chargebarrier).Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan 1010s tidaknya protein melalui MBG. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan nonselektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG. Pada SN yang disebabkan oleh GNLM ditemukan proteinuria selektif. Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan fusi foot processus sel epitel viseral glomerulus dan terlepasnya sel dari sruktur MBG. Berkurangnya kandungan heparan sulfat proteoglikan pada GNLM menyebabkan muatan negatif MBG menurun dan albumin dapat 1010s ke dalam win. Pada GSFS, peningkatan permeabilitas MBG disebabkan oleh suatu faktor yang ikut dalam sirkulasi. Faktor tersebut menyebabkan sel epitel viseral glomerulus terlepas dari MBG sehingga permeabilitasnya meningkat. Pada GNMN kerusakan struktur MBG terjadi akibat endapan komplek imun di s ub-epitel. Komplek C5b-9 yang terbentuk pada GNMN akan meningkatkan permeabilitas MBG, walaupun mekanisme yang pasti belum diketahui.
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan
protein, sintesis albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemiamerupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut. Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien SN. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan. Mekanisme terjadinya edema pada SN dapat dilihat pada Gambar 1.
KOMPLIUASI PADA Shl Keseimbangan Nitrogen Proteinuria masif pada SN akan menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi negatif. Penurunan massa otot sering ditemukan tetapi gejala ihi tertutup oleh gejala edema anasarka dan baru tampak setelah edema menghilang. Kehilangan massa otot sebesar 1020% dari massa tubuh (lean body mass) tidak jarang dijumpai pada SN.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gambar 1. Mekanisme edema pada sindrom nefrotik
Hiperlipidemia dan Lipiduria Hiperlipidemiamerupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal sampai sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density lipoprotein). Selain itu ditemukan pula peningkatan IDL (intermediate-density lipoprotein) dan lipoprotein (Lp)a, sedangkan HDL (high density lipoprotein) cenderung normal atau rendah. Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Semula diduga hiperlipidemia merupakan hasil stimulasi nonspesifik terhadap sintesis protein oleh hati. Karena sintesis protein tidak berkorelasi dengan hiperlipidemia disimpulkan bahwa hiperlipidemia tidak langsung diakibatkan oleh hipoalbuminemia. Hiperlipidemia dapat ditemukan pada SN dengan kadar albumin mendekati normal dan sebaliknya pada pasien dengan hipoalbuminemia kadar kolesterol dapat normal. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN.
Menurunnya aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoproteinhati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Penurunan kadar HDL pada SN diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterol acyltransferase) yang berfungsi katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktifitas ensim tersebut diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada SN. Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (ovalfat bodies)danfa@ cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria daripada dengan hiperlipidemia.
Hiperkoagulasi Komplikasi tromboemboli sering ditemukanpada SN akibat peningkatan koagulasi intravaskular. Pada SN akibat GNMN kecenderungan terjadinya trombosis vena renalis cukup tinggi sedangkan SN pada GNLM dan GNMP frekuensinyakecil. Emboli paru dan trombosis vena dalam (deep vein thrombosis)sering dijumpai pada SN. Kelainan tersebut disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktivitas berbagai faktor koagulasi intrinsik dan ekstrinsik.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup komplek meliputi peningkatan fibrinogen, hiperagregasi trombosit dan penurunan fibrinolisis. Gangguan koagulasi yang terjadi disebabkan peningkatan sintesis protein oleh hati dan kehilangan protein melalui win.
Metabolisme Kalsium dan Tulang Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolisme kalsium dan tulang pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui urin sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25 (OH),D plasma juga ikut menurun sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan. Karena fungsi ginjal pada SN umumnya normal maka osteomalasi atau hiperparatiroidisme yang tak terkontrol jarang dijumpai. Pada SN juga terjadi kehilangan hormon tiroid yang terikat protein (thyroid-bindingprotein) melalui urin dan penurunan kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas dan hormon yang menstimulasi tiroksin (thyroxinestimulating hormone) tetap normal sehingga secara klinis tidak menimbulkan gangguan. lnfeksi Sebelum era antibiotik, infeksi sering merupakan penyebab kematian pada SN terutama oleh organisme berkapsul (encapsulated organisms). Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, selular, dan gangguan sistem komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas selular. Hal ini dikaitkan dengan keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi dengan normal. Gangguan Fungsi Ginjal Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering menyebabkan timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal. Sindrom nefrotik dapat progresif dan berkembang menjadi PGTA. Proteinuriamerupakan faktor risiko penentu terhadap progresivitas SN. Progresivitas kerusakan glomerulus, perkembangan glomerulosklerosis, dan kerusakan tubulointerstisium dikaitkan dengan proteinuria. Hiperlipidemia juga dihubungkan dengan mekanisme terjadinya glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstisium pada SN, walaupun peran terhadap progresivitas penyakitnya belum diketahui dengan pasti.
Komplikasi Lain pada SN Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa terutama apabila disertai proteinuria masif, asupan oral yang kurang, dan proses katabolisme yang tinggi. Kemungkinan efek toksik obat yang terikat protein akan meningkat karena hipoalbuminemia menyebabkan kadar obat bebas dalam plasma lebih tinggi. Hipertensi tidak jarang ditemukan sebagai komplikasi SN terutarna dikaitkan dengan retensi natrium dan air.
PENGOBATAN Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan nonspesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema, dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid, metalazon, dan atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0,8-1,O glkg berat badanlhari dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin I1 (angiotensin 11receptor antagonists) dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria. Risiko tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan. Walaupun pemberian antikoagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu studi terbukti memberikan keuntungan. Dislipidemia pada SN belum secara meyakinkan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, tetapi bukti klinik dalam populasi menyokong pendapat perlunya mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserid, dan meningkatkan kolesterol HDL.
REFERENSI Agarwal A, Nath KA. Effect proteinuria on interstitium. Effect of products of nitrogen metabolism. Am J Nephrol. 1993;13:37684. Anderson S, Kennefick TM, Brenner BM. Renal and systemic. Manifestation of glomerulus disease. In: Brenner BM, Rector FC, editors. The kidney. 51h edition. Philadelphia: WB Saunders; 1996. p. 1981. Appel G. Lipid abnormalities in renal disease. Kidney Int. 1991;39:169-83. Brenner BM, Hostetter TH, Humes HD. Molecular basis of proteinuria of glomerulus origin. N Engl J Med. 1978;298:826-33. Brenner BM, Meyer TW, Hosteter TH. Dietary protein intake and the progressive nature of kidney disease: the role of
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1003
SINDROMNEFRO~K
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI hemodynamically glomerulus injury in the pathogenesis of glomerulus sclerosis in aging, renal ablation and intrinsic renal disease. N Engl J Med. 1982;307:652-9. Donckenvolcke RA, Walle JGV. Pathogenesis of edem formation in the nephrotic syndrome. Kidney Int. 1997;51(suppl 58):S72S4. Feehally J, Johnson RJ. Introduction to glomerulus disease: clinical presentations. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comphrensive clinical nephrology. 2"* edition. Edinburg: Mosby; 2003. p. 255. Glassock RJ, Brenner BM. The major glomerulopathies. In: Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL, editors. Harrison's principles of internal medicine. 13rdedition. New York: McGraw-Hill; 1994. p. 1295. Haas M, Meehan SM, Karrison TG, Spargo BH. Changing etiologies of unexplained adult nephritic syndrome: a comparison of renal biopsy findings from 1976-1979 and 1995-1997. Am J Kidney Dis. 1997;30: 621-31. Himawan S. Pathological features of glomerulonephritis in Jakarta. Supplement of Abstract and Proceeding of 131h Asian Colloquium in Nephrology. Bali, November 23-25, 2000. Howard AD, Moore J, Gouge SF. Routine serologic tests in differential diagnosis of adult nephritic syndrome. Am J Kidney Dis. 1990;15:24-30. Hricik DE, Chung-Park M, Sedor JR. Glomerulonephritis. N Engl J Med. 1998;339: 888-99. Humprey MH. Mechanisms and management of nephrotic syndrome. Kidney Int. 1994;45:266-81. Jennette JC, Falk RJ. Adult minimal change glomerulopathy with acute renal failure. Am J Kidney Dis. 1990;16:432-7. Jensen H, Rossing N, Anderson SB. Albumin metabolism in the nephritic syndrome in adults. Clin Sci. 1967;33:445-57. Kanwar YS, Liu ZZ, Kashihara N, Wallner El. Current status of the structural and functional basis of glomerulus filtration and proteinuria. Sem Nephrol. 1991;11:390-413. Kaysen G, Gambertoglio J, Felts J, Hutchison F. Albumin synthesis, albuminuria and hyperlipidemia in nephritic syndrome. Kidney Int. 1987;31:1368-76. Koenig KG, Bolton WK. Clinical evaluation and management of hematuri and proteinuria. In: Neilson EG, Couser WG, editors.
Immunologic renal diseases. 1" edition. Philladelphia: Lippincott-Raven. 1997. p. 805. Uhn K, Haas-Wohrle A, Lutz-Vorderbrugge A, Felten H. Treatment of severe nephrotic syndrome. Kidney Int. 1998;53:(suppl 64):S50-S3. Lowenstein J, Schacht RG, Baldwin DS. Renal failure in minimal nephrotic syndrome. Am J Med. 1981;70:227-30. Moorehead JF, Chan EK, El-Nahas M, Varghese Z. Hypothesis lipid nephrotoxicity in chronic progressive glomerulus and tubulointerstitial disease. Lancet. 1982;2:1309-11. Nakao N, Yoshimura A, Morita H. Combination treatment of angiotensin I1 receptor blocker with angiotensin converting enzyme inhibitors in non-diabetic renal disease [COOPERATE]: a randomized controlled trial. Lancet. 2003;361:117-34. Oberbauer R, Haas M, Regele H, Barnas U, Schmidt A, Mayer G. Glomerulus permselectivity in proteinuric patients after kidney transplantation. J Clin Invest. 1995;96:22-9. Sarasin FP, Schifferli JA. Prophylactic oral anticoagulant in nephritic patient with idiopathic membranous nephropathy. Kidney Int. 1994;45:578-85. Savin VJ, Sharma R, Sharma M. Circulating factor associated with increased glomerulus permeability to albumin in recurrent focal segmental glomerulosclerosis. N Engl J Med. 1996;334:87883. Schena FP, Gesualdo L, Grandaliano G, Montinarno V. Progression of renal damage in human glomerulonephritides: Is there sleight of hand in winning the game? Kidney Int. 1997;52:1439-57. Smith JD, Hayslett JP. Reversible renal failure in the nephritic syndrome. Am J Kidney Dis. 1992;19:201-13. Vernier RL, Klein DJ, Sisson SP, Mahan JD, Oegema TR, Brown DM. Heparan sulfate-rich anionic site in the human glomerulus basement membrane. Decreased concentration in congenital nephrotic syndrome. N Engl J Med. 1983;17: 1001-9. Wanner C, Rader D, Bartens W. Elevated plasma lipoprotein (a) in patients with the nephrotic syndrome. Ann Intern Med. 1993;119:263-9. Warwick GL, Packard CJ. Pathogenesis of lipid abnormalities in patients with nephrotic syndromelproteinuria: clinical implication. Miner Electrolyte Metab. 1993;19:115-26.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
VASKULITIS RENAL Aida Lydia
PENDAHULUAN Vaskulitis ditandai oleh inflamasi dan nekrosis pembuluh darah yang dapat menyebabkan iskemia pada jaringan terkait. Umumnya vaskulitis dapat mengenai pembuluh darah dengan berbagai ukuran pada berbagai organ tubuh. Kategori vaskulitis dibuat berdasarkan ukuran pembuluh darah yang terkena, yaitu vaskulitis pembuluh darah besar (large vessel vasculitis), vaskulitis pembuluh darah sedang (medium-sized vessel vasculitis) dan vaskulitis pembuluh darah kecil (small vessel vasculitis). Pembuluh darah ginjal seringkali merupakan target dari berbagai macam penyakit vaskulitis sistemik, terutama yang mengenai pembuluh darah kecil (small vessel vasculitis). Vaskulitis pembuluh darah besar (large vessel vasculitis): Mengenai terutama pernbuluh darah aorta beserta cabang utamanya. Bila ada keterlibatan ginjal biasanya mengenai arteri renalis dengan menifestasi hipertensi renovaskular. Vaskulitis pembuluh darah sedang (medium-sized vessel vasculitis): Terutama mengenai pembuluh darah viseral dan dapat pula mengenai berbagai pembuluh darah ginjal seperti arteri renalis, arteri arkuata dan arteri interlobularis. Inflamasi dan nekrosis pada arteri ini dapat menyebabkan trombosis atau ruptur yang dapat menyebabkan infark dan perdarahan ginjal. Vaskulitis pembuluh darah kecil (small vessel vasculitis):Vaskulitsjenis ini terutama mengenai pembuluh darah yang lebih kecil dari arteri seperti kapiler, venula dan arteriol. Target utama vaskulitisjenis ini pada ginjal adalah glomerulus, oleh karena itu manifestasi utama penyakit ini adalah glomerulonefritis. Vaskulitis pembuluh darah kecilpauce-immune (small vesselpauce-immune vasculitis). Penyakit Granulomatosis Wegener, Churg-Strauss syndrome dan Poliangiitis
mikroskopiktermasuk kelompok ini dan sulit dibedakan satu sama lain. Keterlibatan kapiler glomerulus menyebabkan glomerulonefritis, bila mengenai kapiler alveolus paru menyebabkan perdarahan paru (pulmonary hemorrhage) dan pada keterlibatan venula kulit menyebabkan purpura. Walaupun kompleks imun sirkulasi (circulating immune complex) mempunyai peran dalam patogenesis, namun pada pemeriksaan biopsi tidak dijumpai adanya deposit kompleks imun pada pembuluh darah. Keadaan ini dikenal dengan istilah Pauce-Immune. Diagnosis vaskulitis pembuluh darah kecil Pauce-Immune ditegakkan berdasarkan sindrom yang menyertai penyakit: Granulomatosis Wegener berhubungan dengan inflamasi granulomatosa nekrotik (necrotizing granulomatous injlammation) yang seringkali disertai keterlibatan saluran napas. Churg-Strausssyndrome adalah vaskulitis yang timbul berhubungan dengan asma, eosinofilia dan inflamasi granulomatosa nekrotik (necrotizing granulomatous inflammation). Poliangiitis mikroskopik ditegakkan bila vaskulitis tidak disertai dengan bukti adanya Granulomatosis Wegener atau Churg-Strauss syndrome, misalnya tidak ditemukan asma, eosinofilia, dan bukti inflamasi granulomatosa nekrotik. Penyakit Granulomatosis Wegener, Churg-Strausssyndrome, dan Poliangiitis mikroskopik menunjukkan adanya vaskulitis pada kapiler glomerulus. Pemeriksaan histopatologi pada glomerulonefritiskelompok ini ditandai adanya nekrosis dan pembentukan crescent, disertainya absennya deposit imunoglobulin, sering disebut dengan istilah Pauci-immune crescentic glomerulonephritis. Bila Pauci-immune crescentic glomerulonephritis yang timbul tidak disertai gejala vaskulitis sistemik sering disebut sebagai vaskul it is renal atau idiopathic rapidly progressive glomerulontphritis ('PGN).
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
VASKULITIS RENAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Granulomatosis Wegener, Churg-Strauss syndrome, Poliangiitis mikroskopik, serta Glomerulonefiitiskresentik terisolasi, semuanya berhubungan dengan adanya autoantibodi terhadap komponen sitoplasma neutrofil, yaitu circulating antineutrophil cytoplasmic autoantibody (ANCA). Antigen spesifik terhadap ANCA yang ditemukan pada kasus glomerulonefritis dan vaskulitis adalah terhadap proteinase 3 dan mieloperoksidase (MPO). Hal ini kemudian menyebabkan timbul hipotesis bahwa ANCA mempunyai peranan dalarn patogenesis vaskulitis. Berbagai bukti klinis menunjukkan bahwa ANCA berhubungan dengan aktivitas penyakit, tetapi hubungan ini tidak begitu kuat. Dari observasi in vitro untuk mengetahui bagaimana mekanisme ANCA dapat menimbulkan kerusakan vaskular, diduga bahwa awalnya terjadi stimulasi neutrofil oleh sitokin (cytokine-primed neutrophil) yang dapat timbul akibat infeksi virus, menyebabkan neutrofil mengekspresikan antigen pada permukaan yang mempunyai akses untuk berinteraksi dengan ANCA. Cytokine-primed neutrophil yang terpapar dengan ANCA akan melepaskan Imunoglobulin G (IgG) dari granulnya, yang menghasilkan metabolik oksigen toksik dan membunuh sel endotel pada kultur sel. Kompleks ANCA-Ag diadsorpsi ke dalam sel endotel, kemudian akan terbentuk kompleks imun in situ. Walaupun masih kontroversial, ada pendapat bahwa sel endotel dapat mesintesis PR3 yang dapat pula berperan dalam pembentukan kompleks imun in situ. Netrofil yang diaktivasi oleh ANCA (ANCA activation of netrophils) dimediasi oleh Fab'2 yang terikat pada netrofil dan reseptor Fc. Bila peristiwa ini terjadi invivo akan menyebabkan terjadinya vaskulitis sebagai akibat dari netofil yang menempel, melakukan penetrasi dan kemudian merusak dinding vaskular.
Granulomatosis Wegener, Churg-Strauss syndrome dan Poliangiitis mikroskopik dapat mengenai berbagai usia, namun penyakit ini paling sering timbul pada usia dekade ke 5,6 atau 7. Laki-laki sedikit lebih banyak dari perempuan dan lebih banyak mengenai kulit putih dibanding kulit hitam. Insidensi pertahun di Amerika Utara dan Eropa diperkirakan 1-2 per 100.000 populasi.
Manifestasi klinis Granulomatosis Wegener, ChurgStrauss syndrome, dan Poliangiitis mikroskopik sangat bervariasi, tergantung bagian tubuh yang terlibat, aktivitas, dan perjalanan penyakit akut atau kronik. Ketiga penyakit
ini mempunyai manifestasi yang kurang lebih sama, yaitu gejala vaskulitis pembuluh darah kecil. Pasien dengan Granulomatosis Wegener dan ChurgStrauss syndrome mempunyai tambahan gejala sesuai dengan sindromnya masing-masing. Keterlibatan ginjal sering terjadi pada Granulomatosis Wegener dan Poliangiitis mikroskopik, namun jarang dijumpai pada Churg-Strauss syndrome. Manifestasi renal yang sering dijumpai merupakan gejala keterlibatan glomerulus seperti hematuria, proteinuria, disertai gaga1 ginjal. Gagal ginjal biasanya memberikan gambaran karakteristik seperti rapidly progressive glomerulonephritis (RPGN) pada Granulomatosis Wegener dan Poliangiitis mikroskopik, namun lebih ringan pada Churg-Strauss syndrome. Granulomatosis Wegener dan Poliangiitis mikroskopik dapat juga bermanifestasi sebagai nefritis akut yang indolen atau nefritis kronik. Gejala lain dapat dijumpai manifestasi inflamasi sistemik yang tidak spesifik seperti demam, malaise, anoreksia, penurunan berat badan, mialgia, dan artralgia. Kadang awalnya dirasakan seperti gejala influenza (flu-like illness). Sering ditemukan keterlibatan kulit, misalnya pada Granulomatosis Wegener, Churg-Strauss syndrome maupun Poliangiitis mikroskopik didapatkan lesi purpura yang menunjukkan adanya venulitis dermal. Purpura ini lebih banyak mengenai ekstremitas bawah, sering disertai ulserasi halus setempat (Gambar 1). Lesi nodular pada kulit dapat ditemukan pada Granulomatosis Wegener dan Churg-Strauss syndrome, tetapi sangat jarang pada Poliangiitis mikroskopik. Nodul ini dapat terjadi karena arteritis dermal atau subkutaneus, dan akibat inflamasi granulomatosa nekrotik. Keterlibatan saluran napas atas dan bawah lebih sering terjadi pada Granulomatosis Wegener dan Churg-Strauss syndrome, dan walaupun jarang dapat pula terjadi pada Poliangiitis mikroskopik dengan manifestasi perdarahan paru (pulmonary hemorrhage) akibat kapilaritis hemoragik. Perdarahan paru lebih dominan pada Granulomatosis Wegener, sedangkan pada Churg-Strauss syndrome terutama disertai a s ~ a bronkial. Pada Granulomatosis Wegener dan ChurgStrauss syndrome terjadi kerusakan pan1 yang disebabkan inflamasi granulomatosa nekrotik, pada pemeriksaan radiologi terdeteksi sebagai lesi nodular atau kavitas yang lokasinya dapat berpindah. Pada Poliangiitis mikroskopik tidak dijumpai lesi paru granulomatik. Manifestasi keterlibatan saluran napas atas termasuk rinitis, sinusitis, otitis media, dan inflamasi okular. Gejala ini lebih sering pada Granulomatosis Wegener, namun dapat pula dijumpai pada Churg-Strausssyndrome dan Poliangiitis mikroskopik. Terutama pada GranulomatosisWegener dapat ditemukan gejala destruksi tulang hidung dengan manifestasi perforasi septa1 dan deformitas bentuk hidung. Gejala neurologi berupa neuropati perifer, umumnya mononeuritis kompleks dijumpai terutama pada Churg-Strauss
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
syndrome. Keterlibatan gastrointestinal menimbulkan gejala nyeri abdominal, iskemia mesenterika, perforasi intestinal (jarang), dan pada pemeriksaan feses dapat dijumpai adanya darah. Tabel 1menunjukkan persentase keterlibatan organ pada ketiga penyakit tersebut.
Organ sirtern
Pollanglltls Mlkroskoplk
Granulomatosls Wegner
S1ndrom Churg Streurr
90 40 50 35 60 30 50
80 40 90 90 60 50 50
45 60 70 50 50 70 50
Ginjal Kulit Paru
THT Muskuloskeletal Neurologi Gastrointestinal
SEROLOGI ANCA Pemeriksaan serologi ANCA sangat berguna pada pauci-immune crescentic glomerulonephritis namun harus diinterpretasi dalam konteks sesuai dengan karakteristik pasien. Sensitifitas diagnostik mencapai 8090%, tetapi spesifisitastergantung populasi pasien. Sekitar seperempat pasien dengan anti-GBM crescentic glomerulonephritis dan idiopathic immune-complex crescentic glomerulonephritis memberikan ANCA positif (Tabel 2).
Proteinase 3 Mieloperoksidase (PR31cANCA) (MPOlpANCA) Granulornatosis Wegener Poliangiitis Mikoskopik Churg-Strauss Syndrome Pauci-immune Gkmerulonephritis
Negatif
70
25
5
40
50
10
10
60
30
70
10
Titer ANCA biasanya menurun setelah terapi dan meningkat bila penyakit kambuh. Namun peningkatan titer saja tidak bisa dipakai sebagai dasar untuk perubahan terapi, harus disertai adanya peningkatan aktivitas penyakit secara klinis. ANCA dapat pula positif pada penyakit inflamasi lain seperti kolitis inflamasi, rematoid, penyakit inflamasi liver kronik, endokarditis, dan fibrosis kistik. Pada keadaan ini ANCA tidak spesifik terhadap PR3 atau MPO, tetapi spesifik terhadap Antigen netrofil yang lain misalnya seperti laktoferin, katepsin G.
Lesi glomerular berupa glomerulonefritis nekrotik (necrotizing glomerulonephritis), sering disertai dengan crescent. Pada lesi permulaan yang ringan dijumpai nekrosis fibrinoid segmental dengan atau tanpa crescent. Pada lesi akut yang berat dapat terjadi nekrosis global dengan pembentukan crescent yang luas. Berbeda dengan crescent yang dimediasi oleh penyakit imun kompleks, pada penyakit ini segmen yang non-nekrotik pada glomerulus yang mengalami injuri segmental tampak normal atau mengalami sedikit sekali perubahan. Hal ini berbeda dengan crescent yang dimediasi oleh penyakit imun kompleks (nefritis lupus, nefropati IgA, glomerulonefritis membranoproliferatif) yang secara spesifik ditemukan hiperselularitas endokapiler dan penebalan dinding kapiler pada segmen non-nekrotik. Tambahan pula pada pauci-immune vasculitis bisa dijumpai arteritis renal, terutama pada arteri interlobularis dan angiitis medularis yang mengenai vasa recta. Infiltrat mononuklear terutama eosinofil dapat dijumpai bila lesi glomerulus dan arteri berat.
PERJALANAN ALAMIAH PENYAKIT Sebelum tersedia obat imunosupresan prognosis penyakit ini buruk, kebanyakan pasien meninggal dalam waktu kurang dari 1 tahun. Dengan pengobatan imunosupresan yang adekuat masa harapan hidup pasien dan survival ginjal dalam 1 tahun mencapai 70-80%. Keberhasilandalam pemeliharaan fungsi ginjal dalam jangka waktu panjang berbanding terbalik dengan kadar kreatinin serum pada waktu awal diagnosis.
PENGOBATAN Glomerulonefritis yang cukup berat, yang sampai terjadi gangguan fungsi ginjal memerlukan pengobatan imunosupresan. Pengobatan meliputi 3 fase yaitu fase induksi, fase pemeliharaan, dan fase relaps. Pada fase induksi diberikan kortikosteroid dan obat sitotoksik seperti siklofosfamid. Dengan kombinasi obat ini biasanya terjadi remisi sekitar 75 %. Dosis terapi induksi meliputi Metilprednisolon7 mgKgBB, diberikan intra vena tiga hari berturut-turut dilanjutkan dengan Prednison oral 60 mghari yang di turunkan menjadi 10 mghari dalam waktu 3 bulan. Obat ini dikombinasi dengan Siklofosfamid oral 2 mg/KgBB/hari atau siklofosfamid intravena atau 0,s1 g/m2/bulan.Terapiplasma exchange bermanfaat terutama pada penyakit yang berat, gaga1 ginjal yang tergantung dialisis, atau ada keadaan yang mengancam jiwa seperti pulmonary hemorrhage.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
VASKULITIS RENAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pengobatan pada fase pemeliharaan terdiri dari Siklofosfamid yang dapat diteruskan sampai 6-12 bulan untuk mempertahankan remisi. Sebagai obat altematif pada fase ini dapat digunakan Azatioprin, sebagai contoh Siklofosfamid diberikan sampai 3 bulan kemudian dilanjutkan dengan Azatioprin 2 mg/KgBB/hari untuk mempertahankan keadaan remisi. Kira-kira 25-50% pasien dengan penyakit ini akan mengalami kekambuhan. Pengobatan yang terbaik pada kasus relaps ini belurn diketahui dengan baik. Biasanya digunakan obat seperti halnya pada fase induksi, narnun lebih kurang intensif apalagi bila keadaan rileps dapat dideteksi lebih dini.
REFERENSI Booth AD, Pusey CD, Jayne DR. Renal vasculitis. Nephrol Dial Transplant. 2004;19: 1964-8. Jennette JC. Rapidly progressive crescentic glomerulonephritis. Kidney Int. 2003;63:1164-77. Jennette JC, Falk RJ. Renal and systemic vasculitis. In: Johnson RJ, Feehaly J, editors. Comprehensive clinical nephrology. London: Mosby; 2000. p. 28.1-28.14. Jennette JC, Falk RJ. The pathology of vasculitis involving the kidney. Am J Kidney Dis. 1994;24:130-41. Kallenberg CGM, Brouwer E, Weening JJ, Cohen TJW. Anti neutrophyl cytoplasmic antibodies: current diagnostic and pathophysiologic potential. Kidney Int. 1994;46:1-15. Savage COS. ANCA associated renal vasculitis. Kidney Int. 2001;60:1614-27.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
INFEKSI SALURAN KEMIH PASIEN DEWASA Enday Sukmdar
menyebabkan negatif palsu pada pasien dengan presentasi klinis ISK.
PENDAHULUAN Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering ditemukan di praktik umum, walaupun . bermacam-macam antibiotika sudah tersedia luas di pasaran. Data penelitian epidemiologi klinik melaporkan hampir 25-35% semua perempuan dewasa pernah mengalami ISK selama hidupnya. Infeksi saluran kemih (ISK) tipe sederhana (uncomplicated type) jarang dilaporkan menyebabkan insufisiensi ginjal kronik (IGK) walaupun sering mengalami ISK berulang. Sebaliknya ISK berkomplikasi (complicated type) terutarna terkait refluks vesikoureter sejak lahir sering menyebabkan insufisiensi ginjal kronik (IGK) yang berakhir dengan gaga1 ginjal terminal (GGT). Penggunaan prosedur pencitraan ginjal seperti ultrasonografi (USG) yang tersebar luas di masyarakat termasuk praktik dokter umurn hams berdasarkan indikasi medis yang kuat dan benar. -
lnfeksi Saluran Kemih (ISK) ISK adalah istilah umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme (MO) dalarn win. Bakteriuria bermakna (signifi:cant bacteriuria): Bakteriuria bermakna menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme (MO) murni lebih dari lo5colonyforming units (cfulml) pada biakan urin. Bakteriuria bermakna mungkin tanpa disertai presentasi klinis ISK dinamakan bakteriuria asimtomatik (covert bacteriuria). Sebaliknya bakteriuria bermakna disertai presentasi klinis ISK dinamakan bakteriuria bermakna simtomatik. Pada beberapa keadaan pasien dengan presentasi klinis ISK tanpa bakteriuria bermakna. Banyak faktor yang
Pas~en tela h mendapat terap~a nbm~kroba Terap~dl uret~ka Mtnum banyak Waktu pengamb~lansarnpel tldak tepat Pera nan ba kter~ofag PIurla bermakna (sgnificant pyuna), b~lad temukan netrofll > 10 per lapang pandang
lnfeksi Saluran Kemih (ISK) Bawah Presentasi klinis ISK bawah tergantung dari gender: 1. Perempuan - Sistitis. Sistitis adalah presentasi klinis infeksi kandung kemih disertai bakteriuria bermakna - Sindrom uretra akut (SUA). Sindrom uretra akut adalah presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistitis bakterialis. Penelitian terkini SUA disebabkan MO anaerobik. 2. Laki-laki Presentasi klinis ISK bawah pada laki-laki mungkin sistitis, prostatitis, epidimidis dan uretritis. lnfeksi Saluran Kemih (ISK) Atas 1. Pielonefitis akut (PNA). Pielonefitis akut adalah proses inflamasi parenkim ginjal yang disebabkan infeksi bakteri 2. Pielonefritis kronis (PNK). Pielonefitis kronis munglun akibat lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran kemih dan refluks vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1009
INFEKSI SALURAN KEMIH PASIEN DEWASA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kronik sering diikuti pembentukanjaringan ikat parenkim ginjal yang ditandai pielonefritis kronik yang spesifik. Bakteriuria asimtomatikkronik pada orang dewasa tanpa faktor predisposisi tidak pernah menyebabkan pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal. Data epidemiologi klinik tidak pernah melaporkan hubungan antara bakteriuria asimptomatik dengan pielonefritis kronik.
Infeksi saluran kemih [ISIS) tergantung banyak faktar; seperti usia, gender, prevalensi bakteriuria, d m faktor predisposisi yang rnenyebabkan pe~ubahanstruktur saluran kemih termasuk ginjal. Selama periode usia beberapa bulan dan lebih dari 65 tahun perempuan cenderung menderita ISK dibandingkan laki-laki. ISK befulang pa& l&i-laki jarang dilaporkm, kecuali disertai f&or predispasisi (pencetush Prevalensi bakteriuri asimtomarik lebih sering ditemtlkan pada perempuan. Prevalensi selama periode sekolah (school girls) 1% meningkat menjadi 5% selama periode aktif secara seksual. Prevalensi mfeksi aimtornatik meningkai mencapai 30%, baik laki-laki maupun perempuan bila disertai falctor predispmsisi seperti terlihat pada Tabel 2. rabel2. Faktor Predisposisi (Pencetus) ISK
MIKROORGANISME SALURAN KEMIH Pola mikroorganisme(MO) bakteriuria seperti terlihat pada Tabel 3. Pada umumnya ISK disebabkan mikro-organisme (MO) tunggal: Escherichia coli merupakan MO yang paling sering diisolasi dari pasien dengan infeksi simtomatik maupun asimtomatik Mikroorganisme lainnya yang sering ditemukan seperti Proteus spp (33% ISK anak laki-laki berusia 5 tahun), Klebsiella spp, dan Stafilokokus dengan koagulase negatif Infeksi yang disebabkan Pseudomonas spp dan MO lainnya seperti Stafilokokusjarang dijumpai, kecuali pasca kateterisasi.
Patogenesis Urinary Pathogens Patogenesis bakteriuri asimtomatik menjadi bakteriuri simtomatik dengan presentasi klinis ISK tergantung dari patogenitas bakteri dan status pasien sendiri (host). 1. Peranan Patogenisitas Bakteri. Sejumlah flora saluran cerna termasuk Escherichia coli diduga terkait dengan etiologi ISK. Penelitian melaporkan lebih dari 170 serotipe 0 (antigen) E coli yang patogen. Patogenisitas E. Coli terkait dengan bagian permukaan sel polisakarida dari lipopolisakarin (LPS) seperti terlihat pada Gambar 2.
L~tias~s Obstruks~saluran kem~h Penyakit ginjal polikistik Nekrosis papilar Diabetes mellitus pasca transplantasi glnjal Nefropati analgesik Penyakit Sikle-cell Senggama Kehamilan dan peserta KB dengan tablet progesteron Kateterisasi
Gamhr 2. Wrmukaan Escheri~hiamti
Usia (tahun)
Gsmber 1. Prevalensi babriurla asimtomat'i dengsln usla
HanyaIG serotipe dari 170serotipe OIE. coli yang berhasil diisolasi rutin dari pasien ISK klinis, diduga strain E.coli ini mempunyai patogenisitas khusus. Penelitian intensif berhasil menentukan faktor virulensi E.coli dikenal sebagai virulence determinalis, seperti terlihat pada Tabel 4.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Gram negatif Famili
Genus
Enterobacteriaceae
Escherichia Klebsiella Proteus
Gram positif Spesies coli pneumoniae oxytosa mirabilis vulgaris
Famili
Genus
Spesies
Micrococcaceae
Staphylococcus
aureus
Streptococceae
Streptococcus
fecalis enteroCOCCUS
Enterobacter Providencia Morganella Citrobacter
cloacae aerogenes rettgeri stuartii morganii freundii diversus
Serratia Pseudomonadaceae
Penentu virulensi
Pseudomonas
Alur
Fimbriae
Adhesi Pernbentuk jaringan ikat (scarring)
Kapsul antigen K
Resistensi terhadap pertahanan tubuh Perlengketan (attachment) Resistensi terhadap fagositosis
Lipopolysaccharide side chains (0 antigen) Lipid A (endotoksin) Mernbran protein lainnya
lnhibisi peristalsis ureter Pro-inflarnmatori Kelasi besi Antibiotika Resisten Kernungkinan perlengketan lnhibisi fungsi fagosit Sekuestrasi besi
Bakteri patogen dari urin (urinary pathogens) dapat menyebabkan presentasi klinis ISK tergantung juga dari faktor lainnya seperti perlengketan mukosa oleh bakteri, faktor virulensi, dan variasi fase faktor virulensi. Peranan Bakterial attachment of mucosa. Penelitian membuktikan bahwa fimbriae (proteinaceous hair-like projectionPom the bacterial surface) seperti terlihat pada Gambar 2, merupakan salah satu pelengkap patogenesitas yang mempunyai kemampuan untuk melekat pada permukaan mukosa saluran kemih. Pada umumnya P jimbriae akan terikat pada P blood group antigen yang terdapat pada sel epitel saluran kemih atas dan bawah. Fimbriae dari strain E. coli ini dapat diisolasi hanya dari urin segar. Peranan faktor virulensi lainnya. Kemampuan untuk melekat (adhesion) mikroorganisme (MO) atau bakteri
tergantung dari organ pili atau fimbriae maupun non-jimbriae. Pada saat ini dikenal beberapa adhesion sepertifimbriae (tipe 1, P dan S), non fembrial adhesions (DR haemaglutinin atau DFA component of DR blood group), fimbrial adhesions (AFA-1 dan AFA-III), M-adhesions, G-adhesions dan curli adhesions (2). Sifat patogenisitas lain dari E.coli berhubungan dengan toksin. Dikenal beberapa toksin seperti a-haemolisin, cytotoxic necrotizing factor-1 (CNF- l), dan iron uptake system (aerobactin dan enterobactin). Hampir 95% a-hemolisin terikat pada kromosom dan berhubungan denganpathogenicity islands (PAIS) dan hanya 5% terikat pada gen plasmio. Resistensi uropatogenik E.coli terhadap serum manusia dengan perantara (mediator) beberapa faktor terutama aktivasi sistem komplemen termasuk membrane attack complex (MAC). Mekanisme pertahanan tubuh berhubungan dengan pembentukan kolisin (Col V), K- 1, Tra T proteins dan outer membrane protein (OHPA). Menurut beberapa peneliti uropatogenik MO ditandai dengan ekspresi faktor virulensi ganda. Beberapa sifat uropatogen MO; seperti resistensi serum, sekuestrasi besi, pembentukan hidroksat dan antigen K yang muncul mendahului manifestasi klinis ISK. Gen virulensi dikendalikan faktor luar seperti suhu, ion besi, osmolaritas, pH, dan tekanan oksigen. Laporan penelitian Johnson mengungkapkan virulensi E.coli sebagai penyebab ISK terdiri atasfimbriae type 1 (58%), P-fimbriae (24%), aero bactin (38%), haemolysin (20%), antigen K (22%), resistensi serum (25%), dan antigen 0 (28%). Faktor virulensi variasi fase. Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan untuk mengalami perubahan bergantung pada dari respon faktor luar. Konsep variasi fase MO ini menunjukkan peranan beberapa penentu
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
INFEKSI SALURAN KEMIH PASIEN DEWASA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI virulensi bewariasi di antara individu dan lokasi saluran kemih. Oleh karena itu, ketahanan hidup bakteri berbeda dalam kandung kemih dan ginjal. 2. Peranan Faktor Tuan Rumah (host) Faktor Predisposisi Pencetus ISK. Penelitian epidemiologi klinik mendukung hipotesis peranan status saluran kemih merupakan faktor risiko atau pencetus ISK. Jadi faktor bakteri dan status saluran kemih pasien mempunyai peranan penting untuk kolonisasi bakteri pada saluran kemih. Kolonisasi bakteria sering mengalami kambuh (eksaserbasi) bila sudah terdapat kelainan struktur anatomi saluran kemih. Dilatasi saluran kemih termasuk pelvis ginjal tanpa obstruksi saluran kemih dapat menyebabkan gangguan proses klirens normal dan sangat peka terhadap infeksi. Gambar 3 memperlihatkan dilatasi ureter dan kalises pelvis ginjal pada perempuan hamil.
Genetik
Perilaku
Biologis
Lainnya
Status nonsekretorik
Kelainan kongenital
Senggama
Operasi urogenital
Antigen golongan darah ABO
Urinary tract obs truction Riwayat infeksi saluran kemih sebelumnya Diabetes lnkontinensi
Penggunaan diafragma, kondom. spemisida, penggunaan antibiotik terkini
Terapi estrogen
Kepekaan terhadap ISK rekuren dari kelompok pasien dengan saluran kemih normal (ISK tipe sederhana) lebih besar pada kelompok antigen darah non-sekretorik dibandingkan kelompok sekretorik. Penelitan lain melaporkan sekresi IgA urin meningkat dan diduga mempunyai peranan penting untuk kepekaan terhadap ISK rekuren.
PATOFlSlOLOGl ISK
Gambar 3. Dilatasi kalises pelvis ginjal dan ureter pada kehamilan
Zat makanan dari bakteri akan meningkat dari normal, diikuti refluks MO dari kandung kemih ke ginjal. Endotoksin (lipid A) dapat menghambat peristaltik ureter. Refluks vesikoureter ini sifatnya sementara dan hilang sendiri bila mendapat terapi antibiotika. Proses pembentukan jaringan parenkim ginjal sangat berat bila refluks vesikoureter terjadi sejak anak-anak. Pada usia dewasa muda tidak jarang dijumpai di klinik gaga1 ginjal terminal (GGT) tipe kering, artinya tanpa edema denganltanpa hipertensi. Status imunologi pasien (host). Penelitian laboratorium mengungkapkan bahwa golongan darah dan status sekretor mempunyai kontribusi untuk kepekaan terhadap ISK. Pada Tabel 5 dapat dilihat beberapa faktor yang dapat meningkatkan hubungan antara berbagai ISK (ISK rekuren) dan status sekretor (sekresi antigen darah yang larut dalam air dan beberapa kelas imunoglobulin) sudah lama diketahui. Prevalensi ISK juga meningkat terkait dengan golongan darah AB, B dan PI (antigen terhadap tipe fimbriae bakteri) dan dengan fenotipe golongan darah Lewis.
Pada individu normal, biasanya laki-laki maupun perempuan urin selalu steril karena dipertahankanjumlah dan frekuensi kencing. Uretro distal merupakan tempat kolonisasi mikroorganisme nonpathogenicfastidious Gram-positive dan gram negatif. Hampir semua ISK disebabkan invasi mikroorganisme asending dari uretra ke dalam kandung kemih. Pada beberapa pasien tertentu invasi mikroorganisme dapat mencapai ginjal. Proses ini dipermudah refluks vesikoureter. Proses invasi mikroorganisme hematogen sangat jarang ditemukan di klinik, mungkin akibat lanjut dari bakteriemia. Ginjal diduga merupakan lokasi infeksi sebagai akibat lanjut septikemi atau endokarditis akibat Stafilokokus aureus. Kelainan ginjal yang terkait dengan endokarditis (Stafilokokus aureus) dikenal Nephritis Lohlein. Beberapa peneliti melaporkan pielonefiitis akut (PNA) sebagai akibat lanjut invasi hematogen dari infeksi sistemik gram negatif.
PRESENTASI KLlNlS ISK Setiap pasien dengan ISK pada laki dan ISK rekuren pada perempuan harus dilakukan investigasi faktor predisposisi atau pencetus (Tabel 2). Presentasi klinis ISK atas dan bawah pada pasien dewasa seperti terungkap pada Gambar 4. Pielonefritis akut (PNA). Presentasi klinis PNA seperti panas tinggi (39.5-40S°C), disertai menggigil dan sakit pinggang. Presentasi klinis PNA ini sering didahului gejala ISK bawah (sistitis).
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1012
CINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI rabel6. Klasiflkasi ISK Rekuren d a n Mlkroorganisme M01 Klasifikasi ISK
Patogenesis
-
- -
Sekali-sekali ISK Sering ISK
1
I
Abses perinefnk Ureteritis-
I
ISK setelah terapi Tidak adekuat (relapsing)
+
Nyed supapubik Diuria
Gambar 4. Hubungan antara IoKasi infeks~dengan gejala klin~s
ISK bawah (sistitis). Presentasi klinis sistitis seperti sakit suprapubik, polakisuria, nokturia, diswia, dan stranguria Sindrom uretra akut (SUA). Presentasi klinis SUA sulit dibedakan dengan sistitis. SUA sering ditemukan pada perempuan usia antara 20-50 tahun. Presentasi klinis SUA sangat miskin (hanya disuri dan. sering kencing) disertai cfulml urin 6 minggu dengan mikroorganisme ( M O ) yang berlainan. b). Relapsing infection. Setiap kali infeksi disebabkan mikroorganisme yang sama, disebabkan sumber infeksi tidak mendapat terapi yang adekuat.
KOMPLlKASl ISK
'
Komplikasi 1SK tergantung dari tipe yaitu ISK tipe
Mikroorganisme
Reinfeksi
Berla~nan
Sering episode ISK ISK persisten
Berlainan
Terapi tidak sesuai Terapi inefektif setelah reinfeksi lnfeksi persisten Reinfeksi cepat Fistula enterovesikal
Sarna
Sarna
Sarna Sarna Sarnalberlainan Berlainan
Gender -
-
Laki-laki atau wanita Wanita Wanita atau laki-laki Wanita atau laki-laki Wanita atau laki-laki Wanita atau lakl-taki Wanita atau laki-laki Wanrta atau laki-laki
sederhana (uncomplicated) dan tipe berkornplikasi (cotnplicuted). 1. ISK sederhana (uncomnplic~~ted). ISK akut tipe sederhana (sistitis) yaitu non-obstruksi dan bukan perempuan hamil menipakan penyakit ringan (se/flimiteddisr~~.\c.) dan tidak menyebabkan akibat lanjut jangka lama 2. ISK tipe berkomplikasi (complicated) ISK selama kehamilan. ISK selama kehamilan dari umur kehamilan; seperti terlihat Tabel 7. ISK pada diabetes melitus. Penelitian epidemiologi klinik melaporkan bakteriuria dan ISK lebih sering ditemukan pada DM dibandingkan perempuan tanpa DM.
Kondisi BAS* tidak diobati
ISK trirnesker Ill
Risiko potensial Pielonefritis Bayi prernatur Anemla Pregnancy-induced hypertension Bayi rnengalarni retardas1 mental Perturnbuhan bayi lambat Cerebral palsy Fetal death
* BAS: Basiluria Asimtomatik
Basiluria asimtolnatik (BAS) merupakan risiko untuk pielonefritisdiikuti penurunan.laju filtrasi glomerulus (LFG). Komplikasi et?i/~h):~emutousqvstiti.~,pielonefritis yang terkait spesies kandida dan infeksi Gram-negatif lainnya dapat dijumpai pada DM. Pielonefritis emfisematosa disebabkan MO pembentuk gas seperti E. roli, Cundida spp dan Klostridium tidak jarang dijumpai pada DM. Pembentukan gas sangat intensif pada parenkim ginjal dan jaringan nekrosis disertai hematom yang luas. Pielonefritis emtisematosa sering disertai syok septik dan nefropati akut vasomotor (AVH).
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
INFEKSI SALURAN KEMIH PASIEN DEWASA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Abses perinefrik merupakan komplikasi ISK pada pasien dengan DM (47%), nefiolitiasis (41%) dan obstruksi ureter (20%).
PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSIS ISK Analisa urin rutin, pemeriksaan mikroskop urin segar tanpa putar, kultur urin, serta jumlah kumanlml urin merupakan protokol standar untuk pendekatan diagnosis ISK. Pengambilan dan koleksi urin, suhu, dan teknik transportasi sampel urin hams sesuai dengan protokol yang dianjurkan. Investigasi lanjutan terutama renal imaging procedures tidak boleh rutin, hams berdasarkan indikasi klinis yang kuat (Tabel 8). Renal imaging procedures untuk investigasi faktor predisposisi ISK: Ultrasonogram(USG) Radiografi - Foto polos perut - PielografiIV - Micturating cystogram Isotop scanning
ISK kambuh (relapsing infection) Pasien laki Gejala urologik: kolik ginjal, piuria, hematuria Hematuria persisten Mikroorganisrne (MO) jarang: Pseudomonas spp dan Proteus spp ISK berulang dengan interval 16 minggu
MANAJEMEN ISK lnfeksi Saluran Kemih (ISK) Bawah Prinsip manajemen ISK bawah meliputi intake cairan yang banyak, antibiotika yang adekuat, dan kalau perlu terapi simtomatikuntuk alkalinisasi urin: Hampir 80% pasien akan memberikan respon setelah 48 jam dengan antibiotikatunggal; seperti ampisilin 3 gram, trimetoprim 200 mg Bila infeksi menetap disertai kelainan urinalisis (lekosuria)diperlukan terapi konvensional selama 5- 10 hari Pemeriksaan mikroskopik urin dan biakan urin tidak diperlukan bila semua gejala hilang dan tanpa lekosiuria. Reinfeksi berulang (frequent re-infection) Disertai faktor predisposisi. Terapi antimikroba yang intensif diikuti koreksi faktor risiko Tanpa faktor predisposisi - Asupan cairan banyak
- Cuci setelah melakukan senggama diikuti terapi antimikroba takaran tunggal (misal trimetoprim 200 mg) Terapi antimikroba jangka lama sampai 6 bulan. Sindrom uretra akut (SUA). Pasien dengan sindrom uretra akut dengan hitung kurnan 103-1O5 memerlukan antibiotika yang adekuat. Infeksi klarnidia memberikan hasil yang baik dengan tetrasiklin. Infeksi disebabkan MO anaerobik diperlukan antirnikroba yang serasi, misal golongan kuinolon. lnfeksi Saluran Kemih (ISK) Atas Pielonefrits akut. Pada umumnya pasien dengan pielonefiitis akut memerlukan rawat inap untuk memelihara satus hidrasi dan terapi antibiotika parenteral paling sedikit 48 jam. Indikasi rawat inap pielonefritis akut seperti terungkap pada Tabel 9. The Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga alternatif terapi antibiotik IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam sebelum diketahui MO sebagai penyebabnya: Fluorokuinolon Amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin Sefalosporin dengan spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida.
Kegagalan mernpertahankan hidrasi normal atau toleransi terhadap antibiotika oral Pasien sakit berat atau debilitasi Terapi antibiotik oral selama rawat jalan mengalami kegagalan Diperlukan investigasi lanjutan Faktor predisposisi untuk ISK tipe berkomplikasi Komorbiditas seperti kehamilan, diabetes melitus, usia lanjut
PENCEGAHAN Data epidemiologi klinik mengungkapkan uji saring bakteriuria asimtomatik bersifat selektif dengan tujuan utama untuk mencegah menjadi bakteriuria disertai presentasi klinik ISK. Uji saring bakteriuria asimtomatik hams rutin dengan jadual tertentu untuk kelompok pasien perempuan hamil, pasien DM terutama perempuan, dan pasca transplantasi ginjal perempuan dan laki-laki, dan kateterisasi laki-laki dan perempuan. Bakteriuria Asimtomatik pada Kehamilan Penelitian epidemiologi klinik melaporkan prevalensi bakteriuria asimtomatik pada kehamilan bervariasi antara 2- 10%; dan tergantung dari status sosio-ekonomi. Bila mikroorganisme lain seperti Ureaplasma urealyticum dan Gardnella vaginalis berhasil diisolasi,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENS1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Status
lnsiden
Basiluri asimtomatik - Riwayat ISK sejak anak tanpa pembentukanjaringan ikat - Riwayat ISK sejak anak disertai pembentukanjaringan ikat Sistitis Pielonefritis
4-10% 7% 7% 4% 1-2%
prevalensi bakteriuria asimtomatikmeningkat lebih dari 25%. Tetapi peranan kedua MO tersebut masih belum jelas. Pada kelompok perempuan tidak hamil ditemukan basiluria asimtomatik dua kali berturut-turut MO yang sama mempunyai sensitivitas 95% dan spesivitas 95% untuk cenderung mengalami episode presentasi klinik ISK. Pada kelompok perempuan ini tidak diperlukan terapi antimikroba, cukup irigasi MO dengan asupan cairan yang banyak. Setiap perempuan hamil dengan basiluri asimtomatik harus mendapat terapi antimikroba untuk mencegah presentasi klinis pielonefritis dan komplikasi kehamilannya; seperti terungkap pada Tabel 7. Pada Tabel 10 diperlihatkan insidens ISK selama kehamilan.
Bakteriuria Asimtomatik pada Diabetes Melitus Prevalensi bakteriuri asimtomatikpada perempuan disertai diabetes melitus lebih banyak dibandingkan dengan perempuan tanpa diabetes melitus. Patogenesis kepekaan terhadap ISK diantara pasien diabetes melitus tidak diketahui pasti. Penelitian epidemiologi klinik gaga1 mencari hubungan antara prevalensi bakteriuria asimtomatik dengan kualitas pengendalian hiperglikemia (dengan parameter gula darah puasa dan HbA 1C dan faal ginjal. Peneliti lain Balasoiu D menemukan hubungan faktor risiko gangguan faal kandung kemih (Bladder sfu unction) dengan peningkatan kepekaan terhadap ISK pada diabetes melitus. Disfungsi kandung kemih ini diduga akibat disfungsi saraf autonom dan gangguan fungsi leukosit PMN (opsonisasi, kemotaksis dan fagositosis). Perubahan susunan kimiawi dan konsentrasi protein Tamm-Horsfaal diduga mempengaruhi perubahan bacterial adhesion terhadap sel epitel yang dapat mencetuskan infeksi saluran kemih (ISK). Menurut beberapa peneliti basiluri asimtomatik pada diabetes melitus merupakan faktor predisposisi pielonefritis akut disertai mikrosis papiler dan insufisiensi renal. Basiluria asimtomatik dengan mikroorganisme pembentukan; seperti E.coli, Candida spp dan klostridium dapat menyebabkan pielonefritis emfisematosa disertai syok septik dan vasomotor akut nefropati. Beberapa peneliti lebih cenderung memberikan terapi antimikroba pada basiluria asimtomatik pada pasien dengan diabetes melitus.
Resipien Transplantasi Ginjal Prevalensi bakteriuria asimtomatik cukup tinggi mencapai 35-79% diantara resipien pada 3-4 bulan pertama pasca transplantasi ginjal; diduga terkait dengan indwelling catheter sebagai faktor risiko. Bakteriuria asimtomatik pada resipien ini merupakan risiko pielonefritis akut (graft infection), septikemia diikuti penurunan laju filtrasi glomerulus. Bakteriuria simtomatikdengan presentasi klinis yang muncul6 bulan pertama (late infection) pasca transplantasi ginjal dengan presentasi klinik ringan. Parameter hitung kumadml urin para resipien pasca transplantasi ginjal modifikasi karena diuresis pasca cold ischemic time. Menurut beberapa peneliti, kriteria bakteriuria asimtomatik dengan hitung kumadml urin. Terapi antimikroba untuk bakteriuria asimtomatik pada resipien transplantasi ginjal masih silang pendapat. Sebagian besar peneliti menganjurkan kemoterapi untuk resipien pasca transplantasi ginjal dengan bakteriuria asimtomatik disertai piuri. ISK Berhubungan dengan Kateter Pemasangan kateter jangka lama sering dilakukan pasien usia lanjut. Data penelitian melaporkan prevalensi infeksi nosokomial mencapai 40% diduga terkait pemasangan kateter urin. Bakteriuri asimtomatik dilaporkan 26% diantara kelompok pasien indwelling catheter mulai dari hari-2- 10. Hampir !4 kelompok pasien tersebut diikuti presentasi klinik ISK. Bakteriemia dengan prevalensi 3,6% diduga terkait dari sumber saluran kemih. Peneliti Tambyah dan Maki menemukan catheter-associated UTI sebagian besar asimtomatik. Bakteria patogen yang terkait dengan bakteriuri dengan kateterisasi; seperti E, coli, Enterococcus, Klebsiella, Pseudomonas, Proteus, Enterobacter, dan Candida. Pada umumnya bakteriuri terkait kateter bersifat polimikroba. Sebagianbesar peneliti tidak menganjurkan antibiotika sebagai pencegahan infeksi saluran kemih terkait kateter. Negara maju seperti USA menganjurkan penggunaan kateter urin berselaput campuran perak atau kateter oksida perak untuk mencegah infeksi saluran kemih terkait kateter.
REFERENSI Balasoiu D, Van Kissel KC, Van Kats-Renaud HJ, Collet TJ, Hoepelman AT. Granulocyte function in woman with diabetes and asymptomatic bacteriuria. Diabetic Care. 1997;20:392-5. Bass PF, Jarvis JAW and Mitchell CK. Urinary tract infections. Primary care: clinics in oftice practice. Volume 30. WB Saunders; 2005. Batalla MA, Ballodimus MC, Bradley RF. Bacteriuria in diabetes mellitus. Diabetologic. 1971;7: 297-9. Evans DA, Hennekens CH, Miao L et al. Bacteriuria and subsequent mortality in woman. Lancet. 1982; 1 :156-8.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
INFEKSI SALURAN KEMlH PASIEN DEWASA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Fowler JE. Urinary tract infection and inflammatory, year book Med. Plub Inc; 1989. p. 71-9. Johson JR. Virulence factors in Escherichia coli urinary tract infection. Clin Microbial Rev. 1991;4:80-128. Kunnin CW. Detection, prevention and management of urinary tract infection. 3rd edition. Phil1 Lie & Fabingen Inc; 1974. p. 136-46. Marsh FP. The frequency of dysuria. Urology. In: Blandy JF, editor. Gyford Blackwell Sc; 1976. p. 734-52. Melillo KF. Asymptomatic bacteriuria in oldewr adults: when is it necessary to screen and treat ? Nurse Pract. 1995;20:50-66. Ottolini MC, Sfaer CM, Rushton HG, et al. Relationship of asymptomatic bacteriuria and renal scarring with uropathic bladders who are practising clean intermittent catheterization. J Pediatr. 1995;127:368-72. Patterson TH, Andriole VT. Detection, significance and therapy of bacteriuria and therapy of bacteriuria in pregnancy. Infect Dis Clin Norhi Am. 1997;11:593-608.
Raz R, Stamm WE. A control trial of intravaginal estriol in post menopausal woman with recurrent urinary tract infections. N Engl Med. 1993;329:753-6. Schmaldienst S, Horl WH. Bacterial infection after renal transplantation. Nephrol. 1997;75:140-53. Semetkowska-Jurkiewicz E, Galinsky J, Mannitius A, et al. Results of 10-years follow-up of asymptomatic bacteriuria in diabetic patients. Nephro Dial Transplant. 1990;5:466 (abstract). Sukandar E. Tinjauan umum infeksi saluran kemih. Nefiologi klinik. In: Sukandar E, editor. 3rd edition. 1997. p. 25-43. Stein G & Funfstuck. Asymptomatic bacteriuria: what to do. Nephrol Dial Transplant. 1999;14:1618-21. Tople N & Williams JD. Urinary tract infection in adults. Medicine Int. 1991;4:3604-10. Tolkoff-Rubin RH. Urinary tract infection in the renal transplant recipient. Infectiology. 1997; 1:27-33.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT TUBULOINTERSTISIAL IGde Raka Widiana
PENDAHULUAN Jaringan tubulointerstitialterdiri dari seluruhjaringan ginjal kecuali glomerulus. Istilah nefiitis interstitialispertama kali diperkenalkan oleh Unanue dkk tahun 1966 pada kelinci percobaan yang mengalami glomerolunefritis. Inflamasi atau cedera progresif pada interstitium ginjal akan merusak jaringan ginjal secara luas yang pada akhirnya menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Inflamasi interstitial dapat dimulai dari dalam kompartemen interstitium atau sebagai akibat cedera glomeruler atau vaskuler. Walaupun berbagai cedera tubulointerstitial disebabkan oleh proses toksik, obat, atau infeksi, narnun, sebagian besar proses inflamasi bersifat imunogenik. Infiltrasi sel mononuclear yang terjadi mengakibatkan pelepasan sitokin parakrin, yang secara bersama-sama menyebabkan gangguan lingkungan mikro. Ternyata hubungan antara gangguan struktur glomerulus dan gangguan fungsi ginjal tidak begitu h a t . Sebaliknya kerusakan kompartemen tubulointrstitial berasosiasi lebih kuat dengan kinerja ginjal. Parameter fungsional ginjal seperti klirens inulin, kapasitas konsentrasi maksimal, ekskresi natrium temyata berkorelasi secara kuat dengan skor inflamasi tubulointerstitial. Hubungan antara kelainan tubulointerstitial dan fungsi ginjal skgat erat, ha1 ini dapat dijelaskan dengan beberapa mekanisme, antara lain: Pertama, secara anatomi, aliran urin terhalang dengan obstruksi tubuler akibat proses radang. Inflamasi dan da~am t e n ~ u m b a ttubulus dan meningkatkan tekanan intratubuler. Atrofi tubulus dan debris dalam tubulus menyumbat aliran filtrat glomerulus. Kedua, berkaitan dengan meningkatnya resistensi vaskular dengan cedera tubuler progresif dan fibrosis. Pada keadaan ini volume kapiler peritubuler menurun pada daerah inflamasi,edema fibrosisyang mengakiba& iskhemia
di daerah tersebut. Gangguan aliran keluar arteriola glomerulus mengakibatkan hipertensi intraglomeruler. Hipertensi intraglomeruler mengakibatkan kerusakan glomerulus dan sklerosis mesangial. Ketiga, otoregilasi berupa mekanisme feedbeck tubuloglomerularjuga mengalami giggum. Pada keadaan ini arteriola aferen tidak sensitif terhadap sinyal tubuloglomerular feedback. Mekanisme ini mungkin diperantarai oleh gangguan sistem renin-angiotensin lokal atau gangguan produksi prostaglandin lokal. Keempat, berkaitan dengan atrofi daerah intrestitium dan penipisan epitel sepanjang daerah tubulus proksimal dan thick ascending limb darin loop Henle. Akibat perubahan ini, gradien osmotik ginjal normal mengalami penurunan akibat menurunnya transpor natrium pada daerah loop Henle ini. Hal ini mengakibatkan menurunnya absorpsi air pada filtrat glomerulus yang mengakibatkan hiposteinuria dan poliuria. Meningkatnya kandungan solut dan air pada lumen tubulus akan menurunkan filtrasi glomerulus. Akibatnya, rangsangan produksi renin oleh aparatus juxtaglomerularis menurun. Akibatnya, reaksi vasokonstriksi pada vasa eferen akibat rangsang angiotensin I1 menurun dan filtrasi glomerulus juga menurun.
MEKANlSME CEDERA TUBULOINTERSTISIAL Sumber inflamasi imunogenik dapat berasal dari antigen nefritogenik yang berasal dari sel interstitial dan ekstraselulemya, atau berasal dari sirkulasi. Antigen ini dapat berupa: Antigen dari sel ginjal dan membran basal tubuler Salah satu contoh antigen ini adalah kompleks antigen
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Heyman nephritis. Contoh lain adalah protein TammHorsfall juga dijumpai pada permukaan sel tubulus dan disekresi ke dalam lumen tubulus. Protein Tamm-Horsfall atau uromodulin ini merupakan suatu glikoprotein yang dapat membentuk deposit imun sepanjang basal sel tubulus. Konyugat Hapten-obat Sejumlah golongan penisilin, sefalosporin, fenitoin merupakan antigen ekstrarenal yang membentuk deposit imun. Deposit ini terbentuk lokal in-situ atau berasal dari kompleks sirkulasi. Antigen Akibat Mimikri Molekular Beberapa antibodi streptokoki nefritogenik dapat bereaksi secara silang dengan kolagen tipe IV di daerah interstitium. Selain itu, bakteri E. coli dapat bereaksi silang dengan protein Tamrn-Horsfall.Antibodi anti-DNA dapat mengenal komponen matriks ekstraseluler seperti laminin dan heparan sulfat. Antigen Ekstra-renal Dalam Bentuk Deposit lmun Contohnya, pada nefritis lupus dengan deposit DNA, nefropati IgA, nefropati Sjogren, cryoglobulinemia. Lokasi deposit ini tergantung dari muatan listrik, struktur antigen dan dan antibodi, adanya reseptor Fc, mekanisme aliran ginjal, klirens efektif dan banyak faktor lainnya.
RESPONS IMUN PADA PENYAKITTUBULO INTERSTISIAL
Sebagian besar penyakit tubulointerstitial dimediasi oleh proses imunologik. Antigen target-nya sendiri sebenarnya tidak mampu merangsang reaksi imun. Namun, sebelumnya antigen ini harus di proses dulu oleh APC (antigen presenting cells) yang umumnya adalah sel makrofag dan sel dendritik. Kemudian antigen berupa peptida yang telah diproses ini dipresentasikan pada permukaan sel bersama antigen MHC (major histocompatibility complex) klas I dan klas 11. Secara umum sel T helper yang menginduksi produksi antibodi oleh sel B dan sel efektor mengenal antigen yang diproses dalam kaitannya dengan MHC klas 11. Kemampuan dari sel limfosit T untuk membedakan kompleks peptida-MHC ini diperkuat oleh protein CD4 atau CD8 pada permukaan sel limfosit. Kedua molekul ko-reseptor ini masing-masing dapat mengenal secara spesifik salah satu dari domain immunoglobulin-likeyang bersifat non-polimrorfik yang terdapat pada molekul MHC. Secara spesifik, CD4 berikatan dengan domain P-2 pada semua polipeptida MHC klas I1 dan CD8 berikatan dengan domain P-3 MHC klas I. Pengenalan oleh CD4 atau CD8 , akan memberikan sinyal yang kuat pada sel T. Akibatnya,
sel T CD8 umumnya mengenal peptida yang terikat pada protein MHC klas I dan dikatakan sebagai class-I restricted, sedangkan, CD4 mengenal peptida yang berikatan dengan MHC klas I1 disebut sebagai clas-N restricted. Hal ini merupakan faktor penting dalam menentukan tipe respons imun yang diinduksi oleh antigen tertentu. Antigen sitosolik (berkaitan dengan MHC klas I) urnumnya dikenal oleh sel T sitotoksik CD8, yang dapat membunuh sel-sel terinfeksi yang mempresentasikannya. Di pihak lain, peptida dari jalur endositik (berkaitan dengan MHC klas 11) utamanya dipresentasikan kepada sel T CD4 helper, membantu mengawaii respons sel B (memproduksi antibodi) dalam menyerang antigen ekstraselular. Reseptor sel limfosit T dapat mengenal kompleks MHC-peptida antigen dengan ikatan pada residu spesifif yang terdapat pada peptida dan regio yang sangat polimorfik dari molekul MHC pada dan disekitar lekukan ikatan peptida. Akibatnya, reseptor limfosit T ini dapat membedakan berbagai peptida yang berbeda dan bentukbentuk alele yang berbeda dari protein MHC. Rantai reseptor T disintesis melalui dari genom berbeda yang kemudian ditata kembali. Sel memerlukan paling sedikit dua sinyal yang teraktivasi. Sinyal pertama, dimulai dengan ikatan aloantigen atau antigen yang telah diproses dan dipresentasikan oleh MHC self kepada kompleks TCR (Tcell receptor)/CD3. Sinyal kedua, untuk aktivasi sel T terjadi akibat interaksi antara sejumlah pasangan molekul ligan tambahan (accessory) pada APC dan pada sel T, seperti yang terjadi antara molekul CD28 pada limfosit T dan ligannya B27 pada permukaan APC. Pada ikata ligan spesifik, suatu sinyal dikeluarkan yang akan bekerja secara sinergik bersama-sama sinyal yang diinduksi oleh TCR akan mengaktivasi sel T. Sinyal ganda ini akan men-triger CD4 sel T untuk mengaktivasi ekspresi gen sitokin IL-2 dan reseptor IL-2, yang mengakibatkan induksi ekspresi sitokin lain dan akan mengaktivasi kaskade sel T seluruhnya untuk berjalan, yang pada akhirnya menyebabkan pembelahan sel. Bila sel T di-triger tanpa disertai sinyal kedua, sel akan berubah menjadi anergi yang selain bersifat inaktifjuga menjadi refrakter terhadap setiap sinyal peng-aktif. Dalam beberapa menit saja sel T meninggalkan fase kuisen dalam siklus pembelahan sel (GO). Kejadian spesifik yang menyertai meliputi sintesis DNA, RNA dan protein baru pada permukaan sel. Respons imun dari individu berkaitan dengan kerentanan terhadap penyakit. Toleransi imuqologik terjadi karena kompleks antigen-MHC dari inang (host) tidak mampu merangsang secara efektif respons imun. Pengenalan peptida sendiri (selj) dan peptida asing (nonselfi membuat sistem imun secara seletif ber-reaksi terhadap protein asing (mikroorganisme atau antigen), bukan terhadap protein sendiri (selj). Timus berperan dalam seleksi sel T yang memiliki selektivitas respons terhadap
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
CINJAL HIPERTENS1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI peptida non-self. Gangguan pengenalan ini membuat tubuh bereaksi secara salah terhadap protein sendiri sehingga terjadi penyakit otoimun. Respons imun dapat diperantarai oleh kekebalan yang dimediasi oleh antibodi (antibody-mediated immunity). Antibodi anti-TBM (tubular basement membrane) sering dijumpai pada banyak kasus berupa endapan linier pada membran basal tubulus. Selain itu reaksi imun dapat diperantarai oleh sel (cell-mediated immunity). Pada kasus ini infiltrasi sel mononuclear dijumpai pada lebih dari 50% kasus. Sel-sel tersebut meliputi sel limfosit T, monosit, sel limfosit B, sel plasma, atau NK (natural killer cell). Pada sebagaian besar kasus rasio CD4lCD8 mendekati 1. Kortikosteroid dapat secara nyata menurunkan jumlah limfosit . Selain itu, dijumpai peningkatan ekspresi antigen MHC kls I1 pada sel T dan sel epitel tubulus, serta meningkatnya ekspresi molekul adesi pada sel tubulus seperti ICAM- I (intracellular adhesion molecules-I). Aktivitas sitotoksisitas dari sel T bertanggung jawab terhadap kerusakan sel tubulus yang mengakibatkan atrofi tubulus. Pada kultur sel, dijumpai sel T sitotoksik mensintesis protein dengan aktivitas esterase serin dan proteinpore-performing yang memiliki efek seperti MAC (membrane attack complex) pada kaskade komplemen. Respons imun pada penyakit tubulointerstitial dapat diperantarai oleh proses amplifikasi dan sitokin. Proses amplifikasi adalah proses yang menyertai peristiwa endapan antibodi spesifik, deposisi kompleks imun, infiltrasi sel T yang meningkatkan inflamasi dan cedera jaringan. Proses arnplifikasi ini terdiri dari aktivasi kaskade komplemen yang berakhir pada pembentukan C5b-9 (membrane attack complex), pelepasan sejumlah sitokin dan ensim protease dari sel serta atraksi dan aktivasi sel efektor non-spesifik seperti makrofag dan eosinofil. Selsel ini dikenal bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan lebih lanjut. Dari peristiwa ini diketahui ekspresi C3 pada sel tubulus meningkat. Hilangnya reseptor C5a pada binatang percobaan menurunkan secara nyata cedera interstitial. Komplemen yang teraktivasi berperan dalam patogenesis proteinuria, bersifat kemotaksis, namun, juga dapat berperan dalam klirens kompleks imun, dengan demikian berperan dalam proses penyembuhan. Sel parenkim dan sel infiltrat dapat juga mengekspresikan molekul proinflamasi seperti kemokin yang memiliki kemampuan keniotaksis, seperti IL-8 (interleukin-8), RANTES dan MCP- 1 (monocyte chemotactic peptide-I). Sintesis dan pelepasan endotelin I, suatu peptida yang memiliki sifat-sifat proliferasi dan vasokonstriksi menghasilkan aktivitas kemotaktik dan menarik sel monosit serta merangsangnya untuk menghasilkan sitoki pro-inflamasi. Pada fase lanjut proses imun menyebabkan fibrogenesis dan atrofi tubulus. Sebagian besar fibrosis interstitial disebabkan oleh inflamasi dan cedera yang dimulai dari kompartemen ginjal lainnya. Penctetus non-
spesifik fibrosis ini bisa berasal dari proteinuria glomeiuler atau akibat adanya sel-sel radang pada ruang interstitial. Kedua faktor ini menginduksi keluamya sitokin lokal, yang dapat mengubah epitel interstitial menjadi fibroblas. Fibroblas ini kemudian mengalami proliferasi dan aktivasi sehingga menyebabkan sintesis matriks danlatau mengakibatkan proteolisis, lihat Gambar 1.
Infiltrat interstisial
4 Fibrosis interstitiallatrofitubular
1
Obliterasi kapiler post-glomeruler
1
Atrofi tubplus
A
Glomeruli atubuler
Mekanisme Tubuloglorne~Iar feedback
Penurunan fungsi ginjal
J
1
Penyakit ginjal kronik Gambar 1. Skema lesi tubulointerstisial sampai penyakit ginjal kronik
NEFRlTlS INTERSTITIAL AKUT Epidemiologi Nefritis interstitial akuta (NIA) sering disebut nefritis tubulointerstitialakuta.. NIA dilaporkan bertanggungiawab thd 15% dari gagal ginjal akut.. Diperkirakan 25% gagal ginjal kronik disebabkan oleh cedera ginjal persisten akibat NIA asimtomatik. Pada populasi yang tampak sehat, yang menjalani biopsi ginjal saat mengalami hematuria atau proteinuria, 1% spesimen biopsi menunjukkan gambaran nefritis interstitial. Antara 1- 15% pasien yang mengalami manifestasi gagal ginjal menunjukkan gambaran NIA pada biopsi ginjal. Etiologi NIA paling sering disebabkan oleh obat-obatan, seperti derivat penisilin (khususnya metisilin, sefalosporin), rifampisin, sulfonamid, fenitoin, alopurinol, diuretika golongan furosemid dan tiazid, interferon-alfa, omeprazol,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dan golongan obat anti-inflamasinon-steroid (OAINS), 5aminosalicylic acid (5-ASA), propylthiouracil. Sorafenib, suatu obat kanker sel ginjal tahap lanjut dilaporkan menyebabkan insufisiensi ginjal yang berkaitan dengan NIA, setelah mendapat terapi sorafenib 200 mg dua kali sehari selamalO hari untuk kanker sel ginjal metastasis. Akhir-akhir ini obat penghambat pompa proton (proton pump inhibitor, [PPI]) banyak diresepkan oleh dokter di Amerika, digunakan pada penyakit hiperasiditas lambung. Pada satu riviu dari berbagai literatur di dunia, dilaporkan 64 kasus NIA yang terkait dengan obat PPI, yang 59 diantaranya dibuktikan dengan pemeriksaan biopsi ginjal, lihat gambar 3. Obat PPI yang dilaporkan terkait dengan NIA ini adalah omeprazole (47 kasus), pantoprazole (6 kasus), esomeprazole (3 kasus), lansoprazole (2 kasus), dan rabeprazole (2 kasus), dengan rerata lama pengobatan sebelum NIA 13 minggu (kisaran 2-52 minggu). Pemah dilaporkan pada penggunaan obat tradisional Cina untuk pelangsing dan mushroom. lnfeksi sistemik, seperti difteria, demam-skarlet, endokarditis bacterial akut, infeksi HIV dan infeksi virus Epstein-Barr dan penyakit otoimun seperti sarkoidosis, sindroma Sjogren, SLE, penyakit antimembrana basalis tubulus ginjal, tubulointerstitial nephritis-uveitis (TINU) syndrome merupakan etiologi NIA. Sebagian besar NIA tidak diketahui penyebabnya (idiopatik).Sindroma TINU ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1975. Sampai saat ini 200 kasus TINU telah dilaporkan diseluruh dunia. NIA dilaporkan sebesar 2-3% dari semua gambaran biopsi ginjal dan 10-15% gambaran biopsi ginjal dari pasien dengan acute kidney injury (AKI). lmunoetiopatogenesis Seperti halnya penyakit tubulointertitial pada umumnya, proses kekebalan humoral dan seluler berperan dalam kerusakan jaringan interstitial. Antibodi terhadap membran basalis tubulus dan sel limfosit T berperan dalam reaksi terhadap antigen yang melekat pada membrana basalis. Secara genetik toleransi imunologik menghilang sehinggaterjadi reaksi kekebalan terhadap antigen struktur jaringan badan (self). Kemungkinan imunopatogenesis lain adalah fenomena mimikri molekuler dari hapten yg berasal dari obat atau antigen kuman terhadap jaringan tubulointerstitial. Mungkin juga obat bisa berefek toksik langsung terhadap struktur interstital. Regulasi imunologik dilakukan oleh sel supresor-T, MHC (major histocompatibility complex) seperti dijelaskan di atas..Mekanisme kerusakan jaringan melibatkan efektor yang terdiri dari aktivasi komplemen, kemotaksis sel efektor. Reaksi humoral menyangkut produksi IgE mengakibatkan aktivasi eosinofil, basofil dan sel mast yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas. Mediator yang berperan dalam kerusakan jaringan meliputi ensim protease, leukotrien, superoksida dan peroksida. Tanda utama histopatologik dari NIA adalah infiltrasi sel limfosit dari subset helper-T. Sel ini
berperan dalam hipersensitivitas tipe lambat dengan pelpasan limfokin. Cell-mediated cytotoxicity, dan produksi limfokin memodulasi produksi matriks ekstraselular dan fibroblas. Sel limfosit B CD20 positif dilaporkan ikut berperan dalam inflamasijaringan intertitial ginjal.Bersama dengan sel limfosit T CD3 positif, sel limfosit B CD 20 positif ini membentuk struktur noduler yang lebih besar. Ekspresi mRNA dari kemokin CXCL13 meningkat sebanding dengan mRNA CD20 pada jaringan tubulointerstitial. Protein CXCL13 ini banyak ditemukan pada infiltrat noduler dan berkaitan dengan jumlah sel limfosit B CXCR5 positif. Diduga sel limfosit B CXCR5 positif direkrut melalui kemokin CXCL 13 untuk membentuk struktur mirip folikel intrarenal. Patologi Gambaran utama kelainan patologi adalah edema infiltrasi sel-sel radang ke dalam kopartemen interstitial dengan penjarangan glomemlus. Infiltrat sel radang terdiri dari sel limfosit T yang mengekspresi CD4, monosit, sel plasma dan eosinofil, lihat Gambar 2. Membrana basalis tubulus terputus dijumpai pada kasus yang berat. Pada pengecatan dengan imunoflurosenmunglun dijumpai endapan IgG IgM atau komplemen yang berdistribusi linier atau grander, lihat Gambar 3. Sebagian besar sel epitel tubulus mengekspresi antigen MHC klas I1 dan molekul adesi seperti ICAM-1. Pada penyakit kronik, infiltrat seluler diganti dengan fibrosis yang mengakibatkan bentuk ginjal ireguler dan kontraksi ginjal. Sel tubulus mengalami atrofi dan lumen dilatasi, glomerulus atubuler, suatu glomerulus yang terputus dengan tubulus proksimal, dijumpai pada nefropati cis-platin, nefropati lithium, rejeksi alograf. Sel tubulus yang rusak kemudian mengalami apoptosis. Peristiwa apoptosis diperantarai oleh Fas death receptor, yang mengaktivasi kaskade caspase dengan akibat pemecahan protein intraseluler dan menghilangnya sel. Nefrosklerosis dan glomerulosklerosis terjadi pada kasus lanjut. Pada stadium ini sulit menentukan patologi primernya. Bentuk lain, pembentukan granuloma, seperti pada sarkoidosis dan tuberkulosis. Dalam bentukan granuloma ini dapat ditunjukkan infiltrasi sel raksasa berinti banyak (multinucleated) dan eosinofil pada jaringan interstitium. Dalam granuloma ini sering dijurnpai kalsifikasi dengan nekrosis sentral, lihat Gambar 5. Gejala Klinik Secara klinik NIA mudah ditegakkan, berdasarkan keluhan dan tanda: 1. Perjalanan penyakit beberapa hari sampai bemingguminggu, dengan puncak proses imun sekitar 2 minggu 2. Mneingkatnyakadarkreatinin serum dengan cepat (0,30,5 mg/dl/hari) 3. Triad: febris (pada sekitar 80% kasus), ruam kulit @ada sekitar 50% kasus) dan esonofilia (sekitar 80% kasus)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI yang biasanya terjadi sekitar 10-15 hari setelah dimulai pemberian obat-obatan. 4. Gejala spesifik: pasien yang mengalami infeksi, dengan antibiotika, febris niereda, namun kemudian febris kambuh setelah beberapa hari
Gambar 1. Gambaran eksudat dan fibrosis jaringan interst~sial, atrofi tubulus, dan glomerulus maslh utuh Gambar 4. Gambaran granuloma pada biopsi ginjal dengan NIA. Gambar A, memperlihatkan kalfifikasi (tanda panah); gambar B, infiltrasi sel raksasa berinti banyak (multinucleated) pada jaringan interstitium, gambar C infiltrasi sel eosinofil pada jaringan interstitium, dan gambar D granuloma dengan nekrosis sentral.
Gambar 2. Ei7dapan kompleks irnun pada rnembrana basalis tubulus dengan m~kroskop~munfluoresan
Gambar 3. Blopsi jarum ginjal paslen NIA yang berkaitan dengan pengobatan lansoprazole. Tampak ~nflamasidengan infiltrasi eosinofil pada jaringan interst~tium
Pemeriksaan Penunjang 1. Urinalisis dijumpai proteinuria ringan atau sedang, hematuria mikroskopik, piuria steril dengan silinder leukosit, esonofiliuria (dengan pengecatan hansel, sensitif untuk NIA). Bila dijumpai silinder eritrosit hams dipikirkan penyakit glomeruler. 2. USG menunjukkan ukuran ginjal membesar (nefromegali) 3. biopsi dianjurkan bila dengan presentasi klinik tidak khas. Pada biopsy dijumpai infiltrasi mononuklear (sel plasma atau limfosit) dan kadang-kadang eosinofil, destruksi tubuler. Glomerulus umumnya masih utuh. Fibrosis interstitial dan atrofi tubulus nienunjukkan kerusakan interstitial ireversibel dengan gagal ginjal kronik. Terdapat korelasi yang baik antara derajad fibrosis dengan fungsi ginjal dan prognosis untuk pemulihan. Terapi 1. Pikirkan dan singkirkan bahan atau obat-obat yang potensial menyebabkan NIA 2. obati infeksi sistemik dengan antibiotika atau antivirus 3. periksa secara serial kadar ureum dan kreatinin serum, diharapkan kadarnya menurun dalam beberapa hari setelah faktor penyebab dihilangkan.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1020
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gambar 4. Gambaran granuloma pada biopsi ginjal dengan NIA Gambar A, memperllhatkan kalfifikasi (tanda panah), gambar B, hflltrasr sel raksasa berinti banyak (multinucleated) pada jaringan Jnterstitlum, gambar C infiltras~sel eoslnofil pada jaringan interstitrum, dan gambar D granuloma dengan nekrosis sentral
Gambar 2. Endapan kompleks imun pada membrana basalis tubulua dengan mikroskop ~munfluoresan
Gambar 3. Biopsi larum glnjal paslen NIA yang berkaitan dengan pengobatan lansop~azoke.Tampak inflamasi dengan infiltrasi essinofil pada jarmgan interstdium
Pemeriksaan Penunjang 1. Urinalisis dij~unpaiproteinuria ringan atau sedang, hemamria mikroskopik, piuria steril dengan silinder leukosit, esonofiliuria (dengan pengecatan hansel, sensitif untuk NIA). Bila dijuinpai silinder eritrosit hams dipikirkan penyakit glomeruler. 2. USG menunjukkan ukuran ginjal membesar (nefi-omegali) 3. biopsi dianjurkan bila dengan presentasi klinik tidak khas. Pada biopsy dijumpai infiltrasi mononuklear (sel plasma atau limfosit) dan kadang-kadang eosinofil, destruksi tubuler. GIomerulus umumnya masih utuh. Fibrosis interstitial dan atrofi tubulus nlenunjukkan kerusakan interstitial ireversibel dengan gaga1 ginjal kronik. Terdapat korelasi yang baik antara derajad fibrosis dengan fungsi ginjal dan prognosis untuk pemdiha~~. Terapi 1. Pikirkan dan singkirkan bahan atau obat-obat yang potensial menyebabkan NIA 2. obati infeksi sistemik dengan antibiotika atau antivirus 3, periksa secara serial kadar ureum dan kreatinin serum, diharapkan kadarnya menurun dalam beberapa hari setelah faktor penyebab dihilangkan.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 4. bila gejala klinik dan laboratorik tidak membaik setelah faktor penyebab potensial dihilangkan, dimulai pemberian kortikosteroid. Sebailcnya kortikosteroiddiberikan setelah pemeriksaan biopsi. Biopsi bertujuan untuk mengkofirmasi diagnosis dan kortikosteroid diberikan bisa hasil biopsi tidak menunjukkan fibrosis signifikan. Prednison 1 mglkg BB diberikan selama 4-6 minggu. Bila selama 1-2 minggu terapi prednison tidak ada perbaikan, diberikan kombinasi dengan siklosfosfamid 2 mglkg 88. Bila tidak terjadi perbaikan selarna 5-6 minggu, siklosfosfamid dihentikan dan kortikosteroid diturunkan dengan tapper selama beberapa minggu. Bila terjadi perbaikan fimgsi ginjal setelah terapi kombinasi, terapi ini ditemskan selama 1 tahun. Efek samping siklosfosfamid yang perlu diperhatikan adalah aktivasi infeksi virus laten, sistitis hemoragika dan toksisitas gonadal (sterilitas). Sistitis dapat dihindari dengan rehidrasi selama terapi. 5. Paparan kronik terhadap zat kimia dan obat dapat mengakibatkan gagal ginjal kronik. Bila terjadi gagal ginjal kronik, terapi yang diberikan berupa terapi suportif gagal ginjal kronik. Bila berkembang menjadi gagal ginjal terminal dialysis dan kemudian transplantasi merupakan terapi pilihan.
NEFRIT1S INTERSTITAL KRONIK Patologi Gambaran patologi nefritis interstitial kronik (NIK) bervariasi, mulai dari atrofi tubulus, penipisen sel epitel tubulus, dilatasi tubulus dan infiltrasi sel mononuklear ke dalam kompartemen interstitial diantara tubulus. Membran basalis tubulus umumnya menebal. Kadang-kadang dijurnpai silinder luminal yang terdiri dari neutrofil dan limfosit. Infiltrat seluler terdiri dari limfosit, kadang-kadmg eosinofil, sel plasma clan neutrofil. Pada kasus yang jarang dijumpai perdarahan dan edema dengan infiltrat sel yang didominasi oleh neutrofil. Gambaran imunofluorensen menunjukkan adanya endapan komplemen C3, IgG sepanjang membran basalis dengan distribusi linier. Dengan mikroskop cahaya, tarnpak glomerulus masih normal walapun telah dijumpai penurunan filtrasi glomerulus yang nyata. Bila penyakit berjalan lanjut, kelainan glomerulus seperti fibrosis peri-glomeruler dan glomerulosklerosis bahkan sklerosis global sering dijumpai. Gambaran klinik Pada kebanyakan kasus NIK terdiagnosis melalui skrining dengan dijumpainya kelainan urinalisis atau penurunan h g s i ginjal. Paling sering pasien mengalami keluhan sistemik akibat penyakit dasarnya atau keluhan non-
spesifik gagal ginjal, tergantung derajat gagal ginjal seperti lemah, mual, nokturia atau gangguan tidur. Gambaran laboratorium khas meliputi proteinuria pada kisaran nonnefrotik, hematuria mikroskopik, piuria dan glukosuria. Selain itu, dijumpai gangguan fungsi asidifikasi (pengasaman) dan pemekatan (konsentrasi) urin akibat gangguan hngsi tubulus proksimal atau distal. Kadar asam urat tidak begitu tinggi dan anemia sering dijumpai. Sekitar 50% pasien mengalami hipertensi yang tidak berkorelasi dengan derajad penurunan fungsi ginjal.
Etiologi Secara umum faktor etiologi pada NIA dengan paparan bahan toksik jangka panjang dapat menyebabkan NIK, namun terdapat beberapa gambaran khusus NIK seperti berikut: Nefropati endemik. Nefropati Balkan merupakan salah satu contoh NIK endemik yang terjadi di daerah Bulgaria, bekas Yugoslavia dan Rumania. Penyebabnya belum diketahui, diduga berkaitan denga paparan timah hitam jangka panjang, infeksi sehingga diagnosis dini sulit ditegakkan. Pasien umumnya mengeluh gejala tak spesifik, seperti meningkatnya ekskresi protein tubulus (beta2 mikroglobulin, lisosim, light chain, retinal binding protein), ensimuria (N-acethyl-PD-glucosaminidase), dan menurunnya kapasitas konsentrasi urin. Ekskresi beta-2 mikmglobulin merupakan indikator sensitifuntuk kerusakan awal.. Tidak dijumpai adanya antibodi anti-GBM atau antiTBM. Sekitar 2-47% pasien dilaporkan mengalami tumor uroepitelium. Sarkoidosis. Penyakit sarkoidosis paling sering melibatkan ginjal melalui mekanisme gangguan metablisme kalsium. Sekitar 10-15% pasien dengan sarkoidosis mengalami hiperkalsemia yang menyebabkan pemekatan darah, menurunnya laju filtrasi glomerulus atau nefrokalsinosis atau nefrolitiasis. Walaupun secara patologi, jaringan interstitial mengalami granuloma tanpa pengejuan (non-caseating), namun, tampaknya gangguan fungsi ginjal lebih disebabkan oleh hiperkalsemia,karena dengan pemberian volume cairan fungsi ginjal dapat dikoreksi. Secara epidemiologi sarkoidosis lebih banyak menyerang perempuan dari pada laki-laki. Secara patologi, penyakit ginjal sarkoidosis ditandai dengan dijumpainyagranuloma non-caseating yang terdiri dari limfosit, histiosit dan sel-sel raksasa (giant cells). Luasnya granuloma di ginjal bervariasi, pada beberapa kasus granuloma ini meluas sampai ke korteks, sehingga dapat merusak arkitektur ginjal. Infiltrasi limfosit dan fibrosis periglomeruler fokal sering dijumpai disamping granuloma. Dengan mikroskop imunofluorosen dan mikroskop elektron, tidak dijumpai adanya deposit imun. Dengan terapi kortikosteroid, penyembuhan pasien dapat terlihat dengan membaiknya laju filtrasi glomerulus secara nyata.dan menghilangnya granuloma dan infiltrat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI limfosit pada biopsi. Demikianjuga hiperkalsemia membaik setelah terapi kortikosteroid ini. Siklofosfamid dapat dipakai sebagai terapi alternatif apabila terjadi intoleransi atau refrakter terhadap kortikosteroid. Penyakit lain yang ditandai dengan adanya pembentukan granuloma adalah tuberkulosis, silikosis, histoplasmosis. Mieloma multipel (MM). Mekanisme MM dapat menyebabkan insufisiensi renal terdiri dari cast nephropathy, bersama-sama dengan kontraksi volume cairan badan, hiperkalsemia, nefrokalsinosis dan hiperurikemia. Perubahan patologi khas pada MM adalah ditemukannya silinder protein pada segmen nefron distal yang mengalami atrofi dan dilatasi yang dikelilingi oleh sel-sel raksasa (mungkin berasal dari monosit-makrofag). Silinder ini khususnya mengandung protein Tarnm-Horsfall dan protein light chain. Kelainan lainnya adalah infiltrasi sel mononuklear dan sel plasma di daerah interstitium, kalsifikasi interstitium, deposit amiloid pada penbuluh darah dan glomerulus. Dengan teknik imunofluorosesn, kadang-kadang dijumpai endapan light chain sepanjang membran basal glomerulus dan tubulus. Terapi pada cast nephropathy MM ini terdiri dari kemoterapi, alkalinisasi urin, pemberian cairan hipotonis untuk menginduksi poliuria dan hindari bahan-bahan radiokontras yang bersifat nefrotoksik. Nefritis radiasi. Nefritis radiasi sering terjadi secara akut setelah dalam setahun terapi radiasi. Bentuk kronik, terjadi bila terapi radiasi dilakukan lebih lama dari satu tahun. Namun, akhor-akhir ini dengan perubahan protokol terapi radiasi, nefritis radiasi jarang dilaporkan. Gejala dan tanda nefritis radiasi meliputi penurunan laju filtrasi glomerulus, hipertensi, dan proteinuria. Garnbaran patologi meliputi fibrosis interstitial, namun, karena hipertensi sering berkembang mulai awal penyakit, fibrosis ini sulit dibedakan dengan nefrosklerosis akibat hipertensi. Patogenesis cedera radiasi pada ginjal manusia sulit dijelaskan. Namun, pada binatang percobaan dapat diperlihatkan cedera radiasi menyebabkan pembengkakan sel endotel, kemudian berkembang oklusi vaskular dan atrofi tubulus. Awalnya terjadi peningkatan aliran darah ke ginjal, kemudian diikuti dengan penurunan aliran darah ginjal dan glomerulus dan penurunan laju filtrasi glomerulus. Perubahan-perubahan ini mungkin dimediasi oleh sistem renin-angiotensin. Nefritis radiasi merupakan penyakit yang dose dependent (tergantung dosis radiasi). Sebagian besar nefritis radiasi baru terjadi pada dosis radiasi lebih dari 2300 rad. Risiko nefritis radiasi dapat dikurangi dengan shielding (melindungi daerah ginjal) atau dosis radiasi yang terputusputus. Selama radiasi pemberian obat-obat yang potensial nefrotoksik hams dihindari. Nefropati analgesik (NA). Penggunaan analgetika dosis besar dan jangka panjang secara epidemiologik banyak dikaitkan dengan NIK dan nekrosis papilaris. NA analgesik
umumnya bersifat reversibel. Insidensi NA sangat bervariasi, perampuan lebih sering (5-7 kali) diserang daripada laki-laki. Di Skotlandia, Belgia dan Australia 1020% penyakit ginjal tahap akhir disebabkan oleh NA. Pasien dengan NA umumnya sering mengkonsumsi obat-obat analgetika untuk mengobati sakit kepala, nyeri rematik atau sakit perut. Komponen kafein dalam obat meningkatkan ketergantungan pasien pada obat, selain keluhan yang sering diderita. Satu laporan menyebutkan bahwaNA baru terjadi apabila pasien minum obat 6 tablet selama lebih dari 3 tahun. Juga dilaporkan bahwa untuk terjadinya NA, diperlukan minum obat kombinasi antara analgetikaanalgetika, misalnya diantara aspirin, asetaminofen, fenasetin, kafein atau kodein. Pemberian obat anti-inflamasi non-steroid dosis besarjangka panjang meningkatkan risiko NIK dan gaga1 ginjal. Secara patologi djumpai kelainan non-spesifik atau kelainan spesifik berupa NIK atau nekrosis papilaris, penglisutan (contracted) ginjal. Dengan mikroskop cahaya, dijumpai fibrosis interstitial dan atrofi tubulus dan kadang-kadang infiltrasi mononuklear. Kadang-kadang dijumpai bersama-sama dengan glomerulosklerosis fokal, kalsifikasi interstitial. Kalsikifikasi papiler yang diagnosis dengan non-contrast CT-scan sangat sensitif dan spesifik untuk mendignosis NA. Nefripati asam urat (NAU). Sejak dulu hiperurikemia diiaitkan dengan NIK Nefiipati akibat hiperurikemia disebut gouty nephropathy. Sekitar 11% penyakit interstitial kronik berkaitann dengan gangguan metabolisme asam urat. Harus diperhatikan pasien dengan penurunan fungsi ginjal, kadar asam urat darah biasanya di atas 10 mgldl, ha1 ini berkaitan dengan menurunnya filtrasi glomerulus atau berkaitan dengan pemakaian diuretika. Terapi hiperurikemiapenting untuk mencegah pemburukan fungsi ginjal dengan obat dan diet rendah purin. Hiperkalsemia. Kelainan metabolisme kalsium yang menyebabkan hiperkalsemia atau meningkatnya turn-over kalsium memberikan efek multiplikatif terhadap ginjal. Hiperkalsemia menurunkan laju filtrasi glomerulus melalui mekanisme vasokokstriksi ginjal, menurunnya koefisien ultrafiltrasi glomerulus, dan kontraksi volume akibat gangguan kapasitas konsentrasi ginjal yang disebabkan oleh resistensi hormon vasopresin. Gangguan metabolisme kalsium dapat menyebabkan nefrikalsinosis dengan endapan kalsium di ginjal, disekitar basal membran tubulus, khususnya disekitar tubulus distalis atau tubulus pengumpul (collecting duct). Akibatnya terjadi infiltrasi sel mononuklear dan nekrosis tubuler. Nefrokalsinosis dapat juga terjadi pada pasien normikalsemik dengan meningkatnya absorpsi kalsium (pada penyakit sarkoidosis, intoksikasi vitamin D), penyerapan tulang (neoplasma dan mieloma multipel), atau asidosis tubuler distal. Terapi hiperkalsemia ditujukan terhadap penyakit primer, menurunkan kadar kalsium
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI plasma dan koreksi kelainan asam-basa. Nefropati hipokalemik (NH). Kelainan ini jarang terjadi, disebabkan oleh hipokalemia terus-menerus. NH dapat bersifat penyakit keturunan atau penyakit yang didapat. Bentuk NH yang diturunkan secara genetik disebabkan kelainan yang berkaitan dengan HLA (human leucocyte antigen), dan ditandai dengan pengeluaran kalium oleh ginjal akibat sebab yang tidak diketahui, tekanan darah normal, meningkatnya renin dan aldosteron darah dan meningkatnya ekskresi prostaglandin urin. Secara patologik dijumpai vakuolisasi tubulus proksimal. Patogenesis NH belum jelas, namun dari buktibukti pada tikus percobaan, hipokalemia merangsang amniogenesis (karena berkaitan dengan asidosis intraseluler), yang kemudian merangsang aktivasi komplemen, menarik sel-sel radang ke dalam kompartemen interstitial. Oksalosis. Hiperoksaluria terjadi akibat kelainan bawaan, meningkatnya absorpsi oksalat di usus, atau meningkatnya beban oksalat secara masif dan akut. Ketiga faktor ini dapat mengganggu fungsi ginjal. Hiperoksaluria primer disebabkan gangguan ensim 2-oksaloglutaratglioksalat karboligase (tipe-1) atau gangguan ensim 2-gliseric dehidrogronase (tipe-2). Pasien-pasien ini umumnya mengalami gagal ginjal sebelum usia dewasa. Pasien-pasien dengan penyakit radang usus (influmatory bowel disease) arau bypass ileal-jejunal mengalami peningkatan absorpsi oksalat usus. Ovedosis vitamin C dan minurn etilin glikol menyebabkan presipitasi kristal oksalat intratubuler dan gagal ginjal akut. Nefropati abstruktif (NO). Obstroksi parsial atau total mengakibatkan menurunya laju filtrasi glomerulus dan menurunnya reabsorpsi solut oleh tubulus, gangguan ekskresi kalium dan hidrogen, gangguan kapasitas konsentrasi akibat resistensi vasopresin (diabetes insipidus nefrogenik). Kelainan patologik yang menyertai meliputi fibrosis glomeruler dan tubulus, atrofi tubulus, dan kadang-kadang sklerosis glomeruler fokal. Secara patofisiologik, terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus nefron tunggal akibat menurunnya aliran plasma ginjal dan menurunnya tekanan hidrolik, dan menurunnya jumlah nefron yang masih berfungsi. Mediator-mediator yang berperan terhadap menurunnya laju filtrasi glomerulus nefron tunggal adalah angiotensin 11, tromboksan A2, hormon anti-diuresis dan leukotrien serta nitric oxide. Secara patologik, akibat obstruksi saluran kemih secara akut dan kronik menyebabkan infiltrasi sel mononunklear terutama makrofag dan sel limfoist T CD4 disekitar sel tubulus. Sel-sel ini menghilang setelah tindakan deobstruksi. Infiltrasi sel-sel leukosit mungkin disebabkan oleh pelepasan kemoatraktan lipid oleh ginjal. Pelepasan TGF-P oleh sel-sel infiltrat berperan pada fibrosis interstitial.
Nefropati Lead (timah hitam)-NL. NL banyak terjadi pada paparanjangka panjang sumber-sumbertimah hitam seperti pipa air tipe lama, pot tempat air, cat mengandung timah hitam. Diagnosis NL dapat dibuat dengan dijumpai meningkatnya ekskrasi timah hitam (>0,6 mg124jam) setelah pemberian 1 g disodium EDTA dan dijumpainya penurunan fungsi ginjal. Sinar tembus fluorosen untuk melihat cadangan timah hitam tulang merupakan cara cepat dan non-invasif untuk menentukan adanya paparan timah hitam. Deposit timah hitam umurnnya terjadi pada bagian S3 tubulus proksimal. Adanya nuclear inclusion di daerah ini secara patologi merupakan tanda spesifik NL. Kelainan tubulus ini berkaitan dengan disfungsi tubulus proksimal (banyak dijumpai pada anak-anak) dan sindroma Fanconi. Pada orang dewasa NL ditandai dengan NIK dengan fibrosis interstitial, atrofi tubulus dan nefrosklerosis. Pasien sering mengalami artritis gout rekuren, hiperurikemia, hipertensi. EDTA dianjukan untuk terapi (terapi khelating) dan dipakai untuk kepentingan diagnostik. Nefropati Cadmium (NC). NC dapat terjadi pada individuindividu yang terpapar jangka panjang dengan cadmium, seperti yang terjadi pada pekerja-pekerja peleburan logam. Cadmium terikat dengan metallothionein dan kompleks ini akan di-pinositosis oleh sel tubulus proksimal. Ginjal dan hati adalah dua organ yang terutarna terlibat. Waktu paruh cadmium dalam tubuh lebih dari 10 tahun. Cadmium akan segera disimpan di jaringan setelah paparan akut sehingga kadarnya di dalam darah segera menurun. Eksresi cadmium di urin akan terjadi bila ambang endapan cadmium di ginjal terlampaui. Intoksikasi cadmium menyebabkan disfimgsi tubulus proksimal, hiperkalsiuria dengan nefrolitiasis dan penyakit tulang metabolik dengan manifestasi nyeri tulang. Perjalanan penyakit dan terapi NIK Terapi dasar NIK adalah terapi penyakit primernya dengan usaha mengidentifikasi bahan eksogen penyebab (obat, logam berat) atau kondisi seperti obstruksi dan infeksi dan menghilangkannya. Usaha lainnya, mengendalikan tekanan darah (dengan ACE-inhibitor), terapi kelainan elektrolit, kelainan asam basa, hipenuikemia dan gangguan metabolisme fosfat. Terapi yang lebih spesifik dengan chelating agent untuk intoksikasi timah hitam. Terapi kortikosteroid untuk sarkoidosis
REFERENSI Muller GA, Zeisberg M and Strutz F. The importance of tubulointerstitial damage in progressive renal disease. Nephrol Dial Transplant 2000; 15: S76-S77. Wolf G. Angiotensin 11 as a mediator of tubulointerstitial injury. Nephrol Dial Transplant 2000;15: S61-S63. Kelly CL and Neilson EG dalam Brenner BM (ed). Brenner's and Rector's The Kidney 7Ih ed 2004. Tubulointerstitial diseases, Philadelphia. Pp 1483-15 1 1.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Riott I, Brostoff J & Male D. Major histwompatibility complex and transplantation dalam lmmunology 6Ih ed 1996. Mosby, Edinberg 2001. Pp 426-30. Ross WD Immune system dalam Introduction to Molecular Medicine 2nd ed, 19%. Springer Vedag, New York.:Pp 116. Helderman JH and Goral S. Transplantation immunology dalam Danovitch GM (ed). Hamdbook of kidney transplantation 2nd ed 1996. p 21-23. Little brown and Co, Boston. I-Hong Hsu S and Couser WG. Chronic progression of tubulointerstitial dmage in proteinuric renal disease is mediatad by complement activation: a therapeutic role for complement inhibitor. J Am Soc Nephrol 2003 14 S186-S191. Benigni A. Tubulointerstitial disease mediators of injury: the role of endothelin. Nephrol Dial TranspJant 2000;15: 850852. De Broe M, Stdear JC, Nouwen EJ and FJsevier MM. 5-aminosalicylic acid (5-ASA) and chronic tubulointerstitial nephritis in patients with chronic infl-ammatory bowel disease: is there a link. Nephrol Dial Transplant 1997;12: 1839-1841. Nakahama H, Nakamura H, Kitada 0 pnd Sugita M. Chronic drug induced tubulointerstitial nephritis with renal failure associated with prophylthiouracil therapy. Case report. Nephrol Dial Transplant 1999;14:1263-1265. Izzedine H, Brocheriou I, Rixe 0 , Deray G. Interstitial nephritis in patients taking sorafenib. Nephrol Dial Transplant 2007;22:2411.
Sierra et al. Systematic review: Proton pump inhibitor- associated acute interstitial nephritis. Aliment Pharmacol Ther 2007;26:545. Ricketsm J, Kimel G, Spence J, Weir R. Acute allergic interstitial nephritis after use of pantoprazole. CAMJ 2009; 180(5):5358. Sinnmon KT, Courtney AE, Harron C, O'Rourke DM & Mulan RN. Tubulointerstitial nephritis and uveitis (TINU) syndrome: epidemiology, diagnosis and management. NDT Plus 2008;2:112-6. Moroyama T, Kawada N, Nagatoya K, Yorio M, Imai E and Hori M. Oxidative stress in tubulointerstitial injury: a therapeutic potential of antioxidant towards interstitial fibrosis. Nephrol Dila Transplant 2000; 15: S47-S49. Heller F, Lindenmeyer MT, Cohen CD et al. The contribution of B cells to renal interstitial inflammation. Am J Pathol 2007;170:457-468. Marcussen N. Tubulointer~titialdamage leads to atubular glomeruli: significance and possible role in progression. Nephrol Dial Trandplant 2000; 15: S74-S75. Hughes J. Apoptosis in tubulointerstitial renal disease. Nephrol Dial Tranasplant 2000;15:S55-S57. Joss N, Morris S, Young B, & Geddes C. Granulomatous Interstitial Nephritis. Clin J Am Soc Nephrol 2007;2:222-30.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
BATU SALURAN KEMIH Mochammad Sja'bani
PEAIDAHULUAN
Batu saluran kemih menurut tempatnya digolongkan menjadi batu ginjal dan batu kandung kemih. Batu ginjal merupakan keadaan tidak normal di dalam ginjal, dan mengandung komponen kristal serta matriks organik. Lokasi batu ginjal dijumpai khas di kaliks atau pelvis dan bila akan keluar dapat terhenti di ureter atau di kandung kemih. Batu ginjal sebagian besar mengandung batu kalsium. Batu oksalat, kalsium oksalat, atau kalsium fosfat, secara bersama dapat dijumpai sarnpai 65-85% dari jumlah keseluruhan batu ginjal. Sukahatya dan Muhamad Ali ( 1 975) melaporkan dari 96 batu saluran kemih ditemukan batu dengan kandungan asam urat tinggi, bentuk murni sebesar 24 (25%) dan campuran bersama kalsium oksalat/kalsium fosfat sebesar 76 (79%),sedangkan batu kalsium oksalat/kalsium fosfat sebesar 7 1 (73%). Batu ginjal merupakan penyebab terbanyak kelainan di saluran kemih. Di Negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Australia, batu saluran kemih banyak dijumpai di saluran kemih bagian atas, sedang di negara berkembang seperti India, Thailand, dan Indonesia lebih banyak dijumpai batu kandung kemih. Di daerah Semarang, sejak tahun 1979 proporsi batu ginjal dijumpai relatif meningkat dibanding proporsi batu kandung kemih. Peningkatan kejadian batu pada saluran kemih bagian atas terjadi di abad-20, khususnya di daerah bersuhu tinggi dan dari Negara yang sudah berkembang. Epidemiologi batu saluran kemih bagian atas di Negara berkembang dijumpai ada hubungan yang erat dengan perkembangan ekonomi serta dengan peningkatan pengeluaran biaya untuk kebutuhan makanan perkapita. Di beberapa m a h sakit di Indonesia dilaporkan ada perubahan proporsi batu ginjal dibandingkan batu saluran kemih bagian bawah. Hasil analisis jenis batu ginjal di
Laboratorium Patologi Winik Universitas Gadjah Mada sekitar tahun 1964 dan 1974, menunjukkan kenaikan proporsi batu ginjal dibanding proporsi batu kandung kemih. Sekitar tahun 1964- 1969 didapatkan proporsi batu ginjal sebesar 20% dan batu kandung kemih sebesar 80%, tetapi pada tahun 1970-1974 batu ginjal sebesar 70 persen ( 10 1 - 144 batu) dan batu kandung kemih 30 persen (431144 batu). Di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarangtahun 1979 telah dirawat 166 pasien batu saluran kernih atau 52110.000 pasien rawat inap. Hampir keseluruhan pasien (99%) datang dengan problem medis batu ginjal yang dilaporkan sebesar 35%. Pada tahun 198 1-1983 dilapotkan dari 634 pasien batu saluran kemih didapatkan 337 pasien batu ginjal(53%). Pada tahun 1983 di Rurnah Sakit DR. Sardjito dilaporkan 64 pasien dirawat dengan batu saluran kemih, batu ginjal 75% dan batu kandung kemih 25%. Kejadian batu saluran kemih terdapat sebesar 57110.000 pasien rawat inap. Pada tahun 1986 dilaporkan prevalensi batu saluran kemih sebesar 80/10.000 pasienrawat k i p . Batu ginjal ditemukan 79 dari 89 pasien batu saluran kemih tersebut. Tampaknya proporsi batu ginjal relatif stabil. Di rumah sakit di Amerika Serikat kejadian batu ginjal dilaporkan sekitar 7-10 pasien untuk setiap 1000 pasien rurnah sakit dan insidens dilaporkan 7-21 pasien untuk setiap 10.000 orang dalam setahun.Pengambilanbatu tanpa operasi dengan litotripsi (extra corporeal shockwave lithotripsy) atau penghancuran batu dengan gelombang kejut, telah banyak dilakukan pada beberapa pusat litotripsi.
PATOGENESIS DAN KLASlFIKABI
Pembentukan batu saluran kemih memerlukan keadaan supersaturasi dalam pembentukan batu. Inhibitor
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1026
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
pembentuk batu dijumpai dalam air kemih normal. Batu kalsium oksalat dengan inhibitor sitrat dan glikoprotein. Beberapa promoter (reaktan) dapat memacu pembentukan batu seperti asam urat, memacu batu kalsium oksalat. Aksi reaktan dan inhibitor belum dikenali sepenuhnya. Ada dugaan proses ini berperan pada pembentukan awal atau nukleasi kristal, progresi kristal atau agregatasi kristal. Misalnya penambahan sitrat dalam kompleks kalsium dapat mencegah agregatasi kristal kalsium oksalat dan mungkin dapat mengurangi risiko agregatasi kristal dalam saluran kemih. Batu ginjal dapat terbentuk bila dijumpai satu atau beberapa faktor pembentuk kristal kalsium dan menimbulkan agregasi pembentukan batu. Subyek normal dapat mengekskresikan nukleus kristal kecil. Proses pembentukan batu dimungkinkan dengan kecenderungan ekskresi agregat kristal yang lebih besar dan kemungkinan sebagai kristal kalsium oksalat dalam air kemih. proses perubahan kristal yang terbent& pada tubulus menjadi batu masih belum sejelas proses pembuangan kristal melalui aliran air kemih yang banyak. ~ i ~ ~ bahwa agregasi kristal menjadi cukup besar sehingga tertinggal dan biasanya ditimbun pada duktus kolektikus akhir. selanjutnya secara perlahan timbunan akan membesar. Pengendapan ini diperkirakan timbul pada bagian sel epitel yang mengalami lesi. Kelainan ini kemungkinan disebabkan oleh kristal sendiri.
Sekitar delapan puluh persen pasien batu ginjal merupakan batu kalsium, dan kebanyakan terdiri dari kalsium oksalat atau agak jarang sebagai kalsium fosfat. Jenis batu lainnya terdiri dari batu sistin, batu asam urat dan batu struvit.
FAKTOR RlSlKO PENYEBAB BATU Faktor risiko di bawah ini merupakan faktor utama predisposisi kejadian batu ginjal, dan menggambarkan kadar normal dalam air kemih. Lebih dari 85% batu pada laki-laki dan 70% pada perempuan mengandung kalsium, terutama kalsium oksalat. Predisposisi kejadian batu khususnya batu kalsium dapat dijelaskan sebagai berikut: Hi pe rkalsi ri a Kelainan ini dapat menyebabkan hematuri tanpa ditemukan pembentukan batu. Kejadian hematuri diduga disebabkan kerusakanjaringan lokal yang di~engaruhioleh agregasi kalsium dalam air kemih ~ kristal k i kecil. ~ Peningkatan ~ k ~ ekskresi ~ dengan atau tanpa faktor risiko lainn~a,ditemkan pads setengah dari pembentuk batu kalsium idiopatik. Kejadian hiperkalsiuria idiopatik diajukan dalam tiga bentuk: Hiperkalsiuria absortif ditandai oleh adanya kenaikan absorpsi kalsium dari lumen usus. Kejadian ini paling banyak dijumpai.
Gambar 1. Aspek umum pembentukan batu saluran kemih (dipengaruhi oleh banyak faktor)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1027
BATU SALURAN KEMIH
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Hiperkalsiuria puasa ditandai adanya kelebihan kalsium, diduga berasal dari tulang. Hiperkalsiuria ginjal yang diakibatkan kelainan reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal. Kemaknaan klinis dan patogenesis klasifikasi di atas masih belumjelas. Masalah hiperkalsiuriaidiopatik ini dapat disebabkan oleh: a). diturunkan autonom dominan dan sering dihubungkan dengan kenaikan konsentrasi kalsitriol plasma atau 1,25-dihidroksi vitamin D, ringan sampai sedang; b). masukan protein tinggi diduga meningkatkan kadar kalsitriol dan kecenderungan pembentukan batu ginjal. Faktor yang meningkatkan kadar kalsitriol belum jelas, kemungkinan faktor kebocoran fosfat dalam air kemih dianggap sebagai kelainan primer. Pentrunan kadar fosfat plasma dianggap akan memacu sistesis kalsitriol. Mekanisme ini dijumpai pada sebagian kecil pasien. Hipositraturia Suatu penurunan ekskresi inhibitor pembentukan kristal dalam air kemih, khususnya sitrat, merupakan suatu mekanisme lain untuk timbulnya batu ginjal. Masukan protein merupakan salah satu faktor utama yang dapat membatasi ekskresi sitrat. Peningkatan reabsorbsi sitrat akibat peningkatan asam di proksimal dijumpai pada asidosis metabolik kronik, diare kronik, asidosis tubulus ginjal, diversi ureter atau masukan protein tinggi. Sitrat pada lumen tubulus akan mengikat kalsium membentuk larutan kompleks yang tidak terdisosiasi. Hasilnya kalsium bebas untuk mengikat oksalat berkurang. Sitrat juga dianggap menghambat proses aglomerasi kristal. Kekurangan inhibitor pembentukan batu selain sitrat, meliputi glikoprotein yang disekresi oleh sel epitel tubulus ansa Henle asenden seperti muko-protein TemmHorsfall dan nefrokalsin. Nefrokalsin muncul untuk mengganggu pertumbuhan kristal dengan mengabsorpsi permukaan kristal dan memutus interaksi dengan larutan kristal lainnya. Produk seperti mukoprotein Tamm-Horsfall dapat berperan dalam kontribusi batu kambuh. Hiperurikosuria Hiperurikosuria merupakan suatu peningkatan asam urat air kemih yang dapat memacu pembentukan batu kalsium, minimal sebagian oleh kristal asam urat dengan membentuk nidus untuk presipitasi kalsium oksalat atau presipitasi kalsium fosfat. Pada kebanyakan pasien dengan lebih ke arah diet purin yang tinggi. Penurunan Jumlah Air Kemih Keadaan ini biasanya disebabkan masukan cairan sedikit. Selanjutnyadapat menimbulkan pembentukan batu dengan peningkatan reaktan dan pengurangan aliran air kemih. Penambahan masukan air dapat dihubungkan dengan rendahnya jumlah kejadian batu kambuh.
Jenis Cairan yang Diminum Jenis cairan yang diminum dapat memperbaiki masukan cairan yang kurang. Minuman soft drink lebih 1 liter perminggu menyebabkan pengasaman dengan asam fosfor dapat meningkatkan risiko penyakit batu. Kejadian ini tidak jelas, tetapi sedikit beban asam dapat meningkatkan ekskresi kalsium dan eksresi asam urat dalam air kemih serta mengurangi kadar sitrat air kemih. Jus ape1 dan jus anggur juga dihubungkan dengan peningkatan risiko pembentukan batu, sedangkan kopi, teh, bir, dan anggur diduga dapat mengurangi risiko kejadian batu ginjal. Hiperoksaluria Merupakan kenaikan ekskresi oksalat di atas normal. Ekskresi oksalat air kemih normal di bawah 45 mghari (0,5 mmollhari). Peningkatan kecil ekskresi oksalat menyebabkan perubahan cukup besar dan dapat memacu presipitasi kalsium oksalat dengan derajat yang lebih besar dibandingkan kenaikan absolut ekskresi kalsium. Oksalat air kemih berasal dari metabolisme glisin sebesar 40 persen, dari asam askorbat sebesar 40 persen, dari oksal~tdiet sebesar 10 persen. Kontribusi oksalat dan diet disebabkan sebagian garam kalsium oksalat tidak larut di lumen intestinal. Absorbsi oksalat intestinal dan ekskresi oksalat dalam air kemih dapat meningkat bila kekurangan kalsium pada lumen intestinal untuk mengikat oksalat. Kejadian ini dapat terjadi pada tiga keadaan: a). diet kalsium rendah, biasanya tidak dianjurkan untuk pasien batu kalsium. b). hiperkalsiuria disebabkan oleh peningkatan absorbsi kalsium intestinal. c). penyakit usus kecil atau akibat reseksi pembedahan yang mengganggu absorbsi asam lemak dan absorbsi garam empedu. Peningkatan absorbsi oksalat disebabkan oleh pengikatan kalsium bebas dengan asam lemak pada lumen intestinal dan peningkatan permeabilitas kolon terhadap oksalat. Hiperoksaluria dapat disebabkan oleh hiperoksaluria primer. Kelainan ini berbentuk kerusakan akibat kekurangan enzim dan menyebabkan kelebihan produksi oksalat dari glikoksalat. Ginjal Spongiosa Medulla Pembentukan batu kalsium meningkat pada kelainan ginjal spongiosa, medula, terutama pasien dengan predisposisi faktor metabolik hiperkalsiuria atau hiperurikosuria. Kejadian ini diperkirakan akibat adanya kelainan duktus kolektikus terminal dengan daerah statis yang memacu presipitasi kristal dan kelekatan epitel tubulus. Batu Kalsium Fosfat dan Asidosis Tubulus Ginjal Tipe 1 Faktor risiko batu kalsium fosfat pada umumnya berhubungan dengan faktor risiko yang sama sepcrti batu kalsium oksalat. Keadaan ini pada beberapa kasus
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
diakibatkan ketidakmampuan menurunkan nilai pH air kemih sarnpai normal.
Faktar Diet Faktor diet dapat berperan penting dalam mengawali pembentukan batu. Contoh: Suplementasi vitamin dapat meningkatkan absorbsi kalsium dan ekskresi kalsium Masukan kalsium tinggi dinggap tidak penting, karena hanya diabsorbsi sekitar 6 persen dari kelebihan kalsium yang bebas dari oksalat intestinal. Kenaikan kalsium air kemih ini terjadi penurunan absorbsi oksalat dan penurunan ekskresi oksalat air kemih. Faktor diet yang berperan penting pada kebanyakan pasien, dapat disebabkan oleh: Masukan natrium Morida. Masukan natrium yang tinggi dapat meningkatkan ekskresi kalsium. Hubungan ini diperkirakan disebabkan sebagian oleh reabsorbsi kalsium secara pasif mengikuti natrium dan air pada tubulus proksimal dan sepanjang lengkung Henle. Penurunan reabsorbsi natrium proksimal disebabkan oleh volume berlebih menyebabkan pengurangan transportasi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium air kemih. Peningkatan masukan natrium dari 80 ke 200 meqhari pada pembentuk batu dengan hiperkalsiuria idiopatik, dilaporkan menyebabkan kenaikan ekskresi kalsium sebesar 40 persen (dari 278 ke 384 mglharir atau 7 ke 9,5 mmolhari). Suatu penelitian melaporkan peningkatan risiko pembentukan batu pada perempuan dengan masukan natrium tinggi, namun tidak pada pria. Mekanisme penurunan ekskresi sitrat air kemih akibat masukan natrium tinggi belum jelas. Anion bersama natrium muncul menjadi determinan dari efek ekskresi kalsium. Untuk timbulnya kalsiuresis tampaknya diperlukanklorida. Hasil penelitian pada perawat dilaporkan bahwa pada perempuan dengan masukan natrium kelompok seperlima tertinggi mempunyai risiko relatif sebesar 1,3 untuk timbulnya batu dengan keluhan, dibandingkan kelompok seperlima terendah. Masukan protein. Masukan protein tinggi umumnya dihubungkan dengan peningkatan insidens penyakit batu. Hal ini disebabkan peningkatan kalsium dan asam urat, fosfat dan penurunan ekskresi sitrat. Sebagian besar protein hewani mempunyai proporsi kandungan fosfat 1015 kali dibandingkan kandungan kalsium. Namun, pada keong sawah1emas didapatkan proporsi kalsium yang lebih tinggi dibandingkan kandungan fosfat (2 12/68). Masukan protein dan metabolisme purin dan sulfur menghasilkan asam amino dan asam urat. Keadaan ini akan memacu pembentukan batu kalsium. Hal ini disebabkan peningkatan ekskresi kalsium dan asam urat dan penurunan ekskresi sitrat. Gangguan ini dapat diperberat dengan masukan natrium tinggi. Kenaikan ekskresi kalsium dalam air kemih dapat pula disebabkan oleh penglepasan kalsium dari
tulang. Penurunan pH air kemih disebabkan oleh peningkatan asam air kemih. Penurunan pH dapat menyebabkan presipitasi asam urat menjadi nidus pembentukan batu kalsium. Presipitasi kalsium oksalat berbeda dengan presipitasi asam urat karena tidak tergantung pada pH. Pembentukan batu bertambah dengan kenaikan turunan asam urat dan kenaikan ekskresi asam urat. Penurunan pH cairan tubular dapat menurunkan ekskresi sitrat disebabkan oleh peningkatan reabsorbsi sitrat di proksimal. Peningkatan ion hidrogen akan mengubah anion sitrat valensi tiga menjadi anion sitrat valensi dua, yang lebih mudah diabsorbsi kembali lewat ko-transport natrium-sitrat pada membran luminal. Penurunan pH intraselular berperan dalam peningkatan pemakaian sitrat oleh sel. Pengurangan sitrat dalam sel menyebabkan sitrat mengalir dari lumen tubular ke dalam sel. Hipositraturia akibat asidosis dapat menambah pembentukan batu pada pasien dengan diet protein tinggi, pasien dengan diare kronik atau dengan minum obat inhibitor asetazolamid. Masukan Kalsium. Masukan kalsium memiliki efek paradoks pada pembentukan batu. Untuk setiap peningkatan masukan kalsium 100 mg, pada subyek normal dilaporkan sekitar delapan persen diabsorbsi dan kemudian diekskresi dan pada pasien hiperkalsiuria sebesar 20 persen. Diet kalsium tinggi diperkirakan dapat menimbulkan penyakit batu, meskipun insidens pembentukan batu ditemukan menurun pada kelompok pria dan perempuan. Pengikatan oksalat diet dalam usus lebih dapat menjelaskan terjadinya pengurangan absorbsi dan pengurangan ekskresi oksalat air kemih. Besarnya pengurangan persentase kenaikan ekskresi kalsium, bila ekskresi oksalat lebih rendah dibandingkan ekskresi kalsium. Supersaturasi relatif air kemih terhadap kalsium oksalat ditemukan menurun. Masukan diet tinggi kalsium dihubungkan dengan kejadian batu ginjal yang rendah pada penelitian kesehatan "perawat" mengubah pandangan tentang ekskresi oksalat dalam air kemih. Risiko relatif batu dilaporkan sebesar 0,65 pada kelompok masukan kalsium tertinggi dibanding dengan kelompok masukan kalsium terendah. Sebaliknya masukan tambahan kalsium dilaporkan meningkatkan risiko relatif sebesar 1,2 dibanding kelompok tanpa masukan tambahan kalsium. Perbedaan hasil diduga karena perbedaan saat pemberian masukan kalsium. Pemberian masukan kalsium pada waktu makan akan mengikat masukan oksalat secara maksimal. Bila diberikan di luar saat makan, kalsiurn kehilangan kesempatan mengikat masukan oksalat, sehingga oksalat tetap diekskresi dan kalsium tetap bebas dalam lumen intestinal. Akhirnya akan terjadi kenaikan absorbsi kalsium dan kenaikan ekskresi kalsium dalam air kemih. Masukan kalium. Diet tinggi kalium dapat mengurangi risiko pembentukan batu dengan menurunkan ekskresi kalsium dan dengan meningkatkan ekskresi sitrat dalam air
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
BATU SALURAN KEMlH
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kemih. Dua hsrsil' penelitian medapatkan penurunan risiko pembentukan batu dengan masukan kalium. Penefitian secara acak dengan suplemen kalium sitfat menunjukkan efek protektif. Snkrosa. Telah diketahui bahwa sukrosa dan ruranan karbohidrat lainnya dapat meningksrtkan ekskresi kalsium dalam air kemih dengan mekanisme yang belurn diketahut. Dalam dua penelitian yang melibatkan perempm, masukan tinggi sukrosa berhubungan dengan peningkatan risiko pembentukan batu, namun tidak pada laki-laki. Viiamgn. Vitamin C (asam askorbat) dalam dosis besar m e ~ p a k a nsalah satu risiko pernbentukan batu kalsium oksaIat. Secara in vivo, asarn askorbat dimetaboiisirmenjadi oksalat yang diekskresikan dalam air kemih. Suatu penelitian potong Iintang berskala b e s a ~mendapatkan peningkatan tisiko pemberrtukan batu pada taki-laki dan perempuan yang mengkonsumsi suplemen vitamin C. Namun, dalam pehelitian prospektif didapztkan tidak adanya hubungan antara risiko pembentukan batu dengan masukan vitamin C meskipun dalam dosis tinggi iebih dari 1500trrgIhr. Hal ini murigkin dise'bakan oleh masukm vitamin C yang relatif tinggi pada kelompok referensi yang mengurangi tingkat ketelitian pada perbedm yang tipis, sehingga masih merupakan ha1 yang mungkin bahwa masukan vitamin C dengan dosis tinggi meningkatkanrisiko pembenmkan batu. Vitamin B6 (piridoksin) bemanfaat mengurangi ekskresi oksalat dalam air kemih pada pasien dengan hiperoksaluria idiopatik. Suatu penelitian mendapatkan penurunan risiko pembentukan batu pada perernpuan yang mengkonsurnsi v h h B6 lebih dari 40mgl Pa; n a m tidak pada laki-laki. k s a m lemak. Suatu penelitian jangka pendek menunjukkan penorunan ekskresi kalsium air kemih pada pasien hiperkalsiuria idiapatik setelah pemberian suplemen kapsul minyak ikan (eicosapentanoic acid). Pemberian suplemen kapsul minyak ikan pada 12 pembentak batu hiperkalsiuria selama 8 minggu memnmkan ekskresi kalsium air kemih sebesar 36% dan ekskresi oksalat sebesar 5 1%. Masukan air. Peningkatan volume masukan air dapat mengurangi risiko pembentukan batu sehingga sangat dianjurkan bagi para pasien batu ginjal, maupun untuk proteksi. Suatu penelitian pada insidensi pembentukan batu dan suatu studi acak terkontrol mendapatkan bahwa peningkatan masukan air menurunkan pembentukan batu. Dengan meningkatnya volume air kemih maka tingkat kejenuhan kalsium oksalat menurun sehingga mengurangi kemungkinan pembentukan kristal.
EVALUASI PASlEN BATU GINJAL Besarnya nilai faktor risiko dalam menimbulkan penyakit batu bervariasi sesuai dengan populasi yang ada.
Pengenalan ke semua faktor risiko ba?u gisrjaI diperlukan
unmk tidakan evalmsi darr tindakan pengobatan pasien dengan penyakit batu kambuh. Cara penetapan diagnosis p y e b a b batu: I. Riwayat penyakit b&u(ditaPryakanjenis kelamin, usia, pekerjaan, hubungm keadaan penyakit, infeksi dan penggunaan obat-obatan. Riwayat t m a n g keIuarga yang menderita batu saluran kemilr, perrcegahan, pengobatan yang telah dilakukan, cara pengambilan batu, analisis jenis barn, dan situasi batmya). 2. Gambaran batu saiuran kemih dilakukan pemeriksaan: a. Uhasunografi dapat menunjukkan ukuran, bentuk dan posisi batu pemeriksmn ini diperlukan pada perempuan hamil dan pasien yang afergi kontras radiologi dapat diketahui adanya batu radiolusen dan dilatasi sistem kolektikus. Keterbatasan pemeriksaan ini adalah kesulitan untuk menunjukkan batu ureter, dan tidak dapat membedakan batu kalsifikasi dan batu radiolusen. b. Pemeriksaan radiografi F d o abdomen biasa dapat menunjukkan ukuran, bentuk dan posisi membedakan batu kalsifikasi densitas tinggi: kalsium oksalat dan kalsium fosfat densitas rendah: strwife, sistin, dan campuran keduany a indikasi dilakukan uji kualitatif sistin pada pasien muda Keterbatasan pemeriksaan foto sinar tembus abdomen adalah tidak dapat untuk menentukan batu radiolusen, batu kecil dan batu yang tertutup bayangan struktur tulang. Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan batu dalarn ginjal dan batu luar ginjal. c. Urogram Deteksi batu radiolusen sebagai defek pengisian (filling) (batu asam urat, xantin, 2,8dihidroksiadenin ammonium urat) Menunjukkan lokasi batu dalam sistem kolektikus Menunjukkan kelainan anatomis d. CT-scan helikal dan kontras 3. Investigasi biokimiawi Pemeriksaan laboratorium rutin, sampel dan air kemih. Pemeriksaan pH, berat jenis air kemih, sedimen air kemih untuk menentukan hematuri, leukosituria, dan kristaluria. Pemeriksaan kultur kuman penting untuk adanya infeksi saluran kemih. Apabila batu keluar, diperlukan pencarian faktor risiko dan mekanisme timbulnya batu.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Perlu dilakukan: penampungan air kemih 24 jam (atau waktu tertentu) pengurangan pH air kemih penampungan air kemih dengan bahan pengawet 10 mL timol5% di dalam isopropanol untuk 2 L, atau 15mLHC16N pemeriksaan serum mengikuti protokol diet Cara Pengumpulan air kemih pada hari penampungan air kemih, air kemih dibuang sesudah bangun pagi dan dicatat waktu pengosongan air kemih sesudahnya, semua air kemih ditampung ke dalam botol. Diusahakanjangan ada air kemih yang hilang, tampungan disimpan dalam tempat dingin penampungan sampai dengan waktu yang sama dengan sehari sebelumnya bila pengumpulan lengkap, kemudian dibawa ke laboratorium secepatnya
PENGOBATAN Tujuan pengobatan : Mengatasi Gejala. Batu saluran kemih dapat menimbulkan keadaan darurat bila batu turun dalam sistem kolektikus dan dapat menyebabkan kelainan sebagai kolik ginjal atau infeksi di dalam sumbatan saluran kemih. Nyeri akibat batu saluran kemih yang dapat dijelaskan lewat dua mekanisme: (I) dilatasi sistem sumbatan dengan peregangan reseptor sakit dan (2) iritasi lokal dinding ureter atau dinding pelvis ginjal disertai edema dan penglepasan mediator sakit. Keluhan nyeri kolik batu saluran kemih dapat dilakukan diagnosis banding dengan keadaan seperti: a). Kolik ginjal akibat penyakit urologi yang lain, seperti aliran bekuan darah, aliran jaringan nekrotik, striktur, kompresi atau angulasi berat ureter, b). Nyeri abdomen oleh sebab lain, seperti gastrointestinal (apendisitis, kolesistitis, batu empedu, pankreatitis), vaskular (infark ginjal, infark limpa, aneurisma aorta), ginekologi (kista ovarium, adneksitis, kehamilan ektopik, endometriosis), dan lainnya (abses psoas, infark jantung, diabetes mellitus, feokromositoma). Sumbatan dalam sistem kolektikus tidak selalu dihubungkan dengan kolik ginjal. Kombinasi nyeri pinggang dan febris merupakan petanda, infeksi saluran kemih dan dilatasi sistem kolektikus yang merupakan petanda timbulnya kedaruratan untuk menghilangkan sumbatan. Pengobatan hanya dengan pemberian antibiotiksaja kurang memadai. Infeksi progresif menyebabkan sepsis urologi dan dilaporkan mortalitasnya lebih dari 50%. Tindakan emergensi ditujukan kepada pasien dengan kolik ginjal. Pasien dianjurkan untuk tirah baring dan dicari penyebab lain. Berikan spasme analgetik atau inhibitor
sintesis prostaglandin (intravena, intramuskular, atau supositoria). Pengambilan Batu. a). Batu dapat keluar spontan. Bila masalah akut dapat diatasi, gambaran radiologis yang ditemukan adalah merupakan basis penanganan selanjutnya. Berdasarkan ukuran, bentuk dan posisi batu dapat diestimasi batu akan keluar spontan atau hams diambil. Sekitar 60-70% dari batu yang turun spontan sering disertai dengan serangan kolik ulangan. Diberikan terapi atau untuk pencegahan kolik, dijaga pembuangan tinja tetap baik, diberikan terapi antiedema dan diberikan diuresis, serta aktivitas fisis. Batu tidak diharapkan keluar spontan bila batu ukuran sebesar atau melebihi 6mm, disertai dilatasi hebat pelvis, infeksi atau sumbatan sistem kolektikus dan keluhan pasien terhadap nyeri dan kerapan nyeri. Bila diperkirakan tidak memungkinkan keluar spontan dilakukan tindakan pengambilan batu dan pencegahan batu kambuh. b). Pengambilan batu: gelombang kejutan litotrips ekstrakorporeal, perkutaneous nefrolitomilcara lain, pembedahan Pencegahan (Batu Kalsium Kronik-kalsium Oksalat) a. Menurunkan konsentrasi reaktan (kalsium dan okasalat) b. Meningkatkan konsentrasi inhibitor pembentukan batu Sitrat (kalium sitrat 20 mEq tiap malam hari, minum jeruk nipis atau lemon sesudah makan malam) Batu ginjal tunggal (meningkatkan masukan cairan, mengkontrol secara berkala pembentukan batu baru) c. Pengaturan diet Meningkatkan masukan cairan Masukan cairan terutama pada malam hari akan meningkatkan aliran kemih dan menurunkan konsentrasi pembentuk batu dalam air kemih. Dari hasil uji coba didapatkan pada tahun ke-5 insidensi pembentukan batu baru pada kelompok banyak minum 12% dibanding kelompok kontrol27%. Pada kelompok pembentuk batu jumlah air kemih harian ditemukan 250-350 ml lebih sedikit dibanding kelompok kontrol. Hindari masukan minum gas (softdrinks) lebih 1 liter perminggu. Ditemukan kekambuhan batu sebesar 15 persen lebih tinggi dalam 3 tahun dibandingkan kelompok peminum cairan lain. Kurangi masukan protein (sebesar I glkg berat badanlhari). Masukan protein tinggi dapat meningkatkan ekskresi kalsium, ekskresi asam urat , dan menurunkan sitrat dalam air kemih. Protein binatang diduga mempunyai efek menurunkan pH air kemih lebih besar dibandingkan protein sayuran karena lebih banyak menghasilkan asam. Membatasi masukan natrium. Diet natrium rendah (80 sampai 100 mqlhari) dapat memperbaiki reabsorbsi kalsium proksimal, sehingga terjadi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
BATU SALURAN KEMlH
HANYA DI SCAN UNTUKKESIMPULAN dr. PRIYO PANJI
pengurangan ekskresi natrium dan ekskresi kalsium. Penurunan masukan natrium dari 200 sampai 80 meql hari dilaporkan mengurangi ekskresi kalsium sebanyak 100mg/hari (2,5 mmolhari). Masukan kalsium. Pembatasan masukan kalsium tidak dianjurkan.Penurunan kalsium intestinalbebas akan menimbulkan peningkatan absorbsi oksalat oleh pencemaan, peningkatan ekskresi oksalat dan meningkatkan saturasi kalsium oksalat air kemih. Diet kalsium rendah dapat merugikan pasien dengan hiperkalsiuria idiopatik karena keseirnbangankalsium negatif akan memacu pengambilan kalsium dari tulang dan dari ginjal. Keadaan ini akan memperburuk penurunan densitas tulang pada beberapa pasien. Pemberian Obat (untuk mencegah presipitasi batu baru kalsium oksalat, disesuaikan kelainan metabolik yang ada). a). Hiperkalsiuria idiopatik. Batasi pemasukan garam dan diberikan diuretic tiazid seperti hidroklorotiazid perhari 2550mg. Regimen ini dapat menurunkan ekskresi kalsium sebanyak 150 mglhari (3,75 mmollhari). Keduanya menurunkan insidensi batu baru sebesar 90 persen (walaupun ada perbaikan 50 sampai 65 persen pada pasien sebagai kelompok plasebo). Hindarkan terjadinya hipokalemia, bila perlu ditambahkan kalium sitrat atau kalium bikarbonat. b). Pemberian fosfat netral (ortofosfat), yang mengurangi ekskresi kalsium dan meningkatkan ekskresi inhibitor kristalisasi (seperti pirofosfat). c). Hiperurikosuria(diberikan alopurinol 100 sampai 300 mgl hari). Pembentukan batu baru menurun sampai 80 persen dengan alopurinol (hanya 60 persen dengan plasebo). d). Hipositraturia (diberikan kalium sitrat). Hasil penelitian dengan kontrol dilaporkan insidens pembentukan batu baru menurun pada pasien hipositraturia dari 1,2 jadi 0,l per tahun pasien dalam kelompok yang diberikan kalium sitrat dibandingkan kelompok plasebo yang tidak berubah. Manfaat ini dihubungkan dengan ekskresi sitrat dalam air kemih meningkat dua kali. Pemberian minuman 2 buahjeruk nipis diberikan sesudah makan malam pada pasien batu ginjal kalsium dengan hipositraturia dilaporkan dapat meningkatkan ekskresi asam sitrat dan pH air kemih di atas 6 secara bermakna. Masukan 4 ons jus lemon perhari (dicampur dengan air sebanyak 2 liter) meningkatkan ekskresi sitrat air kemih pada 11 dari 12 pasien (rata-rata peningkatan 142 sampai 346mg/hari). e). Hiperoksaluria enterik, diusahakan pengurangan absorbsi oksalat intestinal, diberikan banyak masukan cairan, kalium sitrat (kalsium sitrat untuk mengkoreksi asidosis metabolik bila ada), kalsium karbonat (kalsium karbonat oral 1 sampai 4 ghari untuk mengikat oksalat lumen intestinal). Walaupun beberapa kalsium diabsorbsi, terjadi penurunan proporsi pada ekskresi oksalat. Berikan diet rendak lemak dan diet rendah oksalat. Pertimbangan pemberian fosfor elemental sebagai fosfat netral. f). Batu kalsium fosfat. Seperti pada pasien kalsium oksalat dapat diberikan kalium sitrat.
Penanganan batu saluran kemih dilakukan dengan pengenalan sedini mungkin. Tatalaksana awal yang dilakukan adalah evaluasi faktor risiko batu saluran kemih. Terapi diberikan untuk mengatasi keluhan dan mencegah serta mengobati gangguan akibat batu saluran kemih. Pengambilan batu dapat dilakukan dengan pembedahanl litotripsi dan yang terpenting adalah pengenalan faktor risiko sehingga diharapkan dapat memberikan hasil pengobatan dan memberikan pencegahan timbulnya batu saluran kemih yang lebih baik.
Alpern RJ, Sakhaee K. Does hiperphosphaturia underline hypercalciuria? Lancet. 1997;349-5 18. Andersen DA. The nutritional significance of primary bladder stone. Br J Uro1.1962;160-77.50. Baggio B, Priante G, Brunati AM, Clari G, Bordin L. Specific modulatory effect of arachidonic acid on human red blood cell oxalate transport:clinical implications in calcium oxalate nephrolithiasis. J Am Soc Nephrol. 1999;10 Suppl 14:S381-4. Barcelo P, Wuhl 0,Sewitge E, Rousaud A, Pak. CYC. Randomized double-blind study of potassium citrate in idiophatic hypocitraturic calcium nephrolithiasis. J Urol. 1993;150:1761-4. Bataille P, Archard Jm, FournierA, Boudaillie B, westeel PF, et al. Diet, vitamin D and vertebral mineral density in hypercalciuric calcium stone formers. Kidney Int. 1991;39:1193-205. Borghi L, Meschi T, Amato F, Briganti A, Novarini A, Giannini A. Urinary volume, water and reccurences in idiophatic calcium nephrolithiasis: a 5-year randomized prospective study. J Urol. 1996;155:839-43. Breslau NA, Brinkley L, Hill KD, Pak CYC. Relathionship of animal protein-rich diet to kidney stone formation and calcium metabolism. J Clin Endocrinol Metab. 1988;66:140-6. Breslau N, Padalino N, Kok D, Yom Y, Pak C. Physicochemical effects of a new show-release potassium phosphate preparation (UroPhos-K) in absorptive hypercalciuria. J Bone Miner Res. 1995;10:394-400. Buck AC, Davis RL, Harrison T. The protective role of eicosapentaenoic acid (EPA) in the pathogenesis of nephrolithiasis. J Urol. 1991;146:188-94. Coe FL, Parks JH, Asplin JR. The pathogenesis and treatment of kidney stones. N Engl J Med. 1992;327:1141-52. Coe F, Parks J. Nephrolithiasis: pathogenesis and treatment. Chicago Year Book Medical; 1988. Coe FL, Favus MJ, Braunwald E. Nephrolithiasis. Harrison's principles of internal medicine. 1Ithedition. Tokyo: Mc Graw Hill; 1987. Curhan GG, willet WC, RimmEB, Spielgelman D, Stampfer MJ. Prospective study of beverage use and the risk of kidney stones. Am J Epidemiol. 1996;143:240-7. Curhan GC, Willet WC, Rimm EB, Stamfer MJ. A prospective study of dietary calcium and other nutrients and the risk of symptomatic kidney stones. N Engl J Med. 1993;328:833-8. Curhan GC. Diet and the prevention of kidney stones. Nephrology Rounds. 2004;2. Curhan GC, Willet WC, Rimm EB, Spielgelman D, Stamfer Mj. A
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
CINJAL HIPERTENS1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Melnick JZ, Srere PA, Eishourbagy NA. Adenosine triphophate
prospective study of dietary calcium and others nutrients and the risk of symptomatic kidney stones. N Engl J Med. 1993;328:833-8. Curhan GC, Willet WC, Rimm EB, Starnfer MJ. Intake of vitamin B6 and C and the risk of kidney stones in women. J Am Soc Nephrol. 1999;10:840-5. Curhan GC, Willet WC, Rimm EB, Stamfer MJ. A prospective study of the intake of vitamins C and B6, and the risk of kidney stones in men. J Urol. 1996;155:1947-51. Curhan GG, Willet WC, Speizer FE, Spiegelman D, Stamfer MJ. Comparison of dietary calcium with supplemental calcium and other nutrients as factors affecting the risk for kidney stones in women. Ann Intern Med. 1997;126:497. Ettinger B, Tang A, Citron JT, Livermmore B, Williams T. Randomized trial of allopurinol in prevention of calcium oxalate calculi. N Engl J Med. 1986; 315:1386-9. Ettinger B, Citron JT, Livemore B, Dolman LI. Chlorthalidone reduces calcium oxalate calculous reccurence but magnesium hydroxice does not. J Urol. 1988;139:679-84. Frangos PN, Rous SN. Incidence and economic factors in urolithiasis. In: Rous, editor. Stone disease diagnosis and management. Florida: Grune & Stratton; 1987. p. 3-10. Friedman PA, Gesek FA. Calcium transport in renal epithelial cells. Am J Physiol. 1993;264:F181-98. Gamboro G. Petrarulo M. Nardelotto A, Marangella M, Baggio B. Erythrocyte transmembrane flux and renal clearence of oxalate in idiopathic calcium nephrolithiasis. Kidney Int. 1995;48:1549-52. Gault MH, Chafe LL, Morgan JM. Parfrey PS, Harnett JD, Walsh EA, et al. Comparison of patients with idiophatic calcium phosphate and calcium oxalate stones. Medicine (baltimore). 1991;70:345-59. Hamm LL. Renal handling of citrate. Kidney Int. 1990;38:728. Hess B. Zipperle L. Jaeger P. Citrate and calcium effects on TammHorsfall glycoprotein as a modifier of calcium oxalate crystal anggregation. Am J Physiol. 1990;265:F784-91. Johnson CM, Wilson DM, O'Fallon WM, Malek RS, Kirland LT. Renal stone epidemiology:a 25-year study in Rochester, Minnesota. Kidney Int. 1979;16:624-3 1. Kok DJ, Papapoulus SE, Bijvoet OL. Crystal agglomeration is a major element in calcium oxalate urinary stone formation. Kidney Int. 1990;37:51-6. Kok DJ, Khan SR. Calcium oxalate nephrolithiasis, a free or fiexd particles disease. Kidney Int. 1994;46:847-54. Lemann J. Jr. Composition of the diet and calcium kidney stones (editional). N Engl J Med. 1993;328:880. Lemann J Jr, Piering WF, Lennon EJ. Possible role of carbohydrateinduced calciuria in calcium oxalate kidney-stone formation. N Engl J Med. 1969;280(5):232-7. Lieske JC, Toback FG. Regulation of renal epithelial cell endocytosis of calcium oxalate monohydrate crystals. Am J Physiol. 1993;264:F800-7.
citrate lyase mediates hypocitraturia in rats. J Clin Invest. 1996;98:2381. Muldowney FP, Freaney R, Barnes E. Dietary chloride and urinary calcium in stone disease. Q J Med. 1994;87:501. Muldowney FP, Freaney R, Moloney MF. Importance of dietary sodium in the hypercalciuria syndrome. Kidney Int. 1982;22:292-6. Obialo CI, Clayman RV, Matts JP, Fitch LL, Buchwald H, Gillis M, et al. Pathogenesis of nephrolithiasis post-partial ileal bypass surgery: case-control study. Kidney Int. 1991;39:1249-54. Parivar F, Low RK, Stoller ML. Influence of diet on urinary stone disese. J Urol. 1996;155:432-40. Parks JH, Coe FL. A Urinary calcium-citrate index for the evaluation of nephrolithiasis. Kidney Int. 1986;30:85-90. Pyrah LH. Renal calculus. Is'edition. New York: Spinger; 1979. Rahardjo B, Suwito A. Batu saluran kencing di Rumah Sakit Dr. Kariadi di Semarang. Symposium batu kandung kencing di Semarang, 11 Agustus, 1986. p. 38-5 1. Robertson WG. Dietary factors important in calcium stones information. In: Schwille, P.0, editors. New York: Plenum; 1985. p. 73-6. Robertson WG, Peacock M. Calcium oxalate crystalluria and inhibitors of crystallization inn recurrent renal stoneformers. Clin Sci. 1972;43:499-506. Sakhee K, Harvey JA, Pedalino PK, Whitson P, Pak CYC. The potential role of salt abuse on the risk for kidney stone formation. J Urol. 1993;150:310-2. Seltzer MA, Low RK. McDonald M, Shami GS, Stoller ML. Dietary manipulation with lemonade to treat hypocitraturic calcium nephrolithiasis. J Urol. 1996; 156:907-9. Shuster J, Jenkins A. Logan C, Barnett T. Riehle R, Zackson D, Wolfe H, Dale R, Daley M, Malik I. soft drink consumption and urinary stone recurrence: a randomized prevention trial. J Clin Epidemiol. 1992;45:911-6. Sja'bani M, Baskoro T. Batu peturasa di Yogyakarta dan sekitarnya. Kumpulan simposium IAPI 11, Bandung, Agustus. 1975. Sja'bani M. Pengaruh pemberian kalium sitrat dan diet tinggi sitrat pada pasienbatu kalsium ginjal pasca pengambilan batu. Berkala Kedokteran Inpress. 1998. Sja'bani M. Pencegahan kekambuhan batu ginjal jenis batu kalsium idiopatik. Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Gadjah Mada. 2004; 183-2 17. Smith LH. Diet and Hyperoxaluria in the syndrome of idiopathic calcium oxalate urolithiasis. Am J Kidney Dis. 1991;17:370-5. Soucie J, Coates R, McClellan W, Austin H, Thun M. Relation between geographic variability in kidney stones prevalence and risk factors for stones. Am J Epidemiol. 1996;143:487-95. Sukahatya M, Ali M. Batu ginjal, naskah lengkap Kopapdi 111, Bandung. 1975. Takasaki E. Chronological variation in the chemical composition of upper urinary tract xalxuli. J Urol. 1996;136:5-9.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT GINJAL DAN KEHAMILAN Jose Roesma
KEHAMILAN DAN GINJAL NORMAL Kehamilan normal merupakan suatu proses alamiah yang fisiologis bagi perempuan di mana semua organ mengalami penyesuaian, termasuk organ ginjal. Pada ginjal terjadi perubahan anatomi berupa pembesaran kedua ginjal dan pelebaran sistem pelviokalises di samping perubahan fisiologik berupa peningkatan aliran darah ginjal (50%) dan peningkatan laju filtrasi glomerulus.(l50%).Perubahan ini terjadi pada 24 minggu pertama dan ditandai dengan penurunan ureum dan kreatinin di bawah normal. Vasodilatasi pada kehamilan menyebabkan penurunan tekanan darah sampai 10 mm Hg dari normal dan naik kembali mendekati akhir kehamilan. Secara klinis perlu perhatian bahwa seorang perempuan hamil muda dengan kadar ureum, kreatinin, dan tekanan darah yang normal (pada perempuan tidak hamil) sebetulnya telah menderita gangguan fungsi ginjal dan prehipertensi.
KEHAMILAN DAN PENYAKIT GINJAL Kehamilan dan penyakit ginjal mempunyai dua aspek, yaitu kehamilan mempengaruhi progresi penyakit ginjal dan sebaliknya penyakit ginjal mempengaruhi proses kehamilan. Penyakit ginjal yang sering ditemui pada kehamilan di antaranya adalah: Infeksi traktus urinariuslinfeksi saluran kemih (ISK). Infeksi traktus urinarius merupakan penyakit ginjal utama pada kehamilan dan disertai dengan risiko berat bayi rendah, kematian bayi dalam kandungan dan kelahiran prematur. Infeksi traktus urinarius yang sering ditemukan pada kehamilan adalah: a). Bakteriuria asimtomatik. Bakteriuria asimtomatik adalah adanya bakteri dengan jumlah bermakna dalam urin (>100.000 kurnanfmlurin) tanpa
gejala klinik. Pada perempuan tidak hamil keadaan ini tidak diberi obat, tetapi pada kehamilan perlu diobati dengan antibiotika yang sesuai selama sekurang-kurangnya 10 hari. Hal ini disebabkan risiko timbulnya infeksi ginjall Pielonefritis meningkat sampai 30 % pada kehamilan dan dapat ditekan sampai 3 % dengan pengobatan yang tepat dan cukup. Perlu diperiksakan biakan urin dan penyesuaian jenis antibiotika dengan hasil biakan. Bila infeksi bersifat persisten perlu pengobatan supresif dengan nitrofurantoin. Sayang obat ini tidak lagi beredar di Indonesia. b). Sistitis. Sistitis adalah infeksi kandung kemih dengan gejala sering kencing, nyeri waktu kencing dan rasa terdesak kencing. Sistitis bisa disertai adanya kuman (yang perlu diberi antibiotika yang sesuai) ataupun tanpa kuman (piuria steril) dan perlu dipertimbangkan adanya sindrom uretral. c). Pielonefritis. Pielonefritis pada kehamilan disertai gejala nyeri pinggang, demam, menggigil, mual dan muntah dan terjadi pada 2% kehamilan. Keadaan ini diobati dengan antibiotika parenteral, sebaiknya di rumah sakit sampai keadaan membaik, diteruskan dengan terapi antibiotika oral, untuk menghindari komplikasi sepsis dan gangguan kehamilan. Gangguan ginjal akut. Gangguan ginjal akut (GGA) seperti juga pada perempuan tidak hamil dibagi 3 jenis, yaitu: a). Gangguan ginjal akut prerenal. Gangguan ginjal akut prerenal pada umunya disebabkan faktor hipovolemi baik akibat dehidrasi, perdarahan (abruptio placentae), dekompensasi kordis, dan sepsis. Sepsis sering ditemukan pada abortus kriminal pada kehamilan muda. b). Gangguan ginjal akut renal. Gangguan ginjal akut renal umumnya terjadi sebagai kelanjutan GGA prerenal atau iskemia ginjal dan akibat faktor toksik biasanya berupa tubular nekrosis akut (ATN). Dalam keadaan berat dapat terjadi nekrosis kortikal akut yang bersifat ireversibel. c). Gangguan ginjal akut Post Renal. Gangguan ginjal akut post renal umumnya disebabkan obstruksi. Perlu disadari bahwa sistem
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
pelviokalises pada kehamilan melebar sehingga sukar dibedakan dengan pelebaran akibat obstruksi. Gangguan ginjal kronik. Kehamilan dengan gangguan ginjal kronik saling mempengaruhi. Gangguan ginjal kronik mempengaruhi kehamilan melalui beratnya gangguan fungsi ginjal, derajat proteinuria dan tingginya tekanan darah. Pada gangguan fungsi ginjal yang ringanpun (kreatinin >1.5 mg%) komplikasi berupa BB bayi rendah, kelahiran prematur dan kematian bayi meningkat. Penderita gangguan ginjal kronik yang hamil, progresi penyakit ginjalnya sangat tergantung fungsi ginjal saat awal kehamilan. Hal ini terlihat dari studi epidemiologikl retrospektif yang telah dilakukan. Hal yang ikut berpengaruh adalah penyakit penyerta pada pasien, utamanya derajat proteinuria dan tingginya tekanan darah. Katz menemukan 16% perempuan hamil dengan gangguan fungsi ginjal ringan (kreatinin > 1.5 mg%) mengalami progresi ke tahap gagal ginjal tahap akhir (GGTAIESRD). Cunningham mendapatkan 6% perempuan hamil dengan gagal ginjal sedang (kreatinin 1,5-2,4 mg%) mengalami gagal ginjal tahap akhir sedangkan 45% perempuan hamil dengan gagal ginjal berat (kreatinin >2,5 mg%) akan mencapai gagal ginjal tahap akhir. Pada penderita dengan gangguan ginjal kronik dan kehamilan etiologi penyebab gagal ginjal tidak mempengaruhi prognosis kehamilan, kecuali pada pasien lupus nefritis dimana 50% penderita lupus nefritis akan kambuh lupusnya waktu kehamilan disertai dengan penurunan fungsi ginjal dan 50% keharnilan akan disertai kematian janin. Dengan demikian dianjurkan penderita lupus hams stabil dulu kondisi lupusnya selama 6 bulan sebelum kehamilan dimungkinkan. Adanya antikoagulan lupus serta antibodi kardiolipin menambah kemungkinan risiko komplikasi kehamilan pada lupus.
PEMBERIAN OBAT PADA WANITA HAMlL DENGAN GANGGUAN FUNGSI GINJAL
Mengatur pemberian obat dan dosisnya pada wanita hamil apalagi dengan gangguan fungsi ginjal merupakan masalah yang membutuhkan perhatian khusus. Dosis obat perlu disesuaikan dengan umur kehamilan dan derajat fungsi ginjal agar tidak berbahaya bagi ibu maupun janin. Dalam keadaan darurat, keselamatan ibu merupakan prioritas walupun pengaruh obat pada janin tetap perlu diperhatikan. Obat yang sering menjadi pertimbangan adalah jenis antibiotika, tuberkulostatika, obat imunosupresif serta antihipertensif. Setiap jenis obat dari kelompok tersebut perlu dipelajari tersendiri pengaruhnya terhadap kehamilan dan dosisnya yang perlu disesuaikan dengan derajat gangguan fungsi ginjal. Untuk ha1 tersebut tersedia berbagai petunjuk khusus (leaflet promosi obat, literatur, dsb) karena tidak ada petunjuk umum yang berlaku pada keadaan yang khusus (hamil dengan gangguan fungsi ginjal) ini.
GINJAL TRANSPLAN DAN KEHAMILAN Transplantasi memperbaiki kesuburan pada penderita dengan gagal ginjal. Kehamilan dapat terjadi pada 12% penderita transplan dengan sukses sampai 90% sehingga kehamilan dapat direncanakan pada ginjal transplan setelah 1-2 tahun post transplant dalam keadaan fingsi ginjal yang baik. Bila kreatinin < 1.4 mg% 94% kehamilan bisa sukses, dibandingkan 74% bila kadar kreatinin > 1.4 mg%. Juga progresi gangguan fungsi ginjal transplan pada kehamilan, seperti di luar kehamilan, tergantung kepada fungsi ginjal prehamil, derajat proteinuria dan tingginya tekanan darah.
DIALISIS DAN KEHAMILAN Gagal ginjal tahap akhir disertai dengan kesuburan yang menurun dengan anovulasi sehingga kehamilan jarang terjadi pada pasien dialisis, kurang dari 1%. Kehamilan pada dialisis sering disertai abortus, hanya 50% kehamilan sampai aterm, itupun disertai prematuritas (85%) dan BB bayi rendah (28%). Sebaiknya pasien dialisis yang hamil didialisis setiap hari untuk menghindari komplikasi baik bagi ibu maupun bayi.
REFERENSI Agraharkar M. Renal disease and pregnancy. Available online on http://www.emedicine.com. Epstein FH. Pregnancy and renal disease. New Engl J Med. 1996;335(4):277-8. Schricr RW. Kidney diseases in pregnancy. Diseases of the kidney. 6th edition. Lippincott Williams & Wilkins; 1997.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT GINJAL KRONIK Ketut Suwitra
MEKANISME PENYAKIT GINJAL KRONIK Batasan Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Kriteria penyakit ginjal kronik, seperti yang tertulis pada Tabel 1.
yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut: (140 - umur ) X berat badan
LFG (mVmnt/l,73m2)
*)
=
72 X kreatinin plasma (rngldl) *) pada perempuan dikalikan 0, 85
Klasifikasi tersebut tampak pada Tabel 2.
Penjelasan
LFG (mllmnll .73m2)
---
1.
Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, beru~akelainan struktural atau funnsional, dengan atau tanpa benurunan laju filtrasi (LFG), dengan rnanifestasi : - kelainan patologis terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalarn tes pencitraan (imaging tests) Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 mllmenit11,73rn2 selarna 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal
*
-
2.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik. Klasifi kasi Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua ha1
5
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau '? Kerusakan ginjal dengan LFG & ringan Kerusakan ginjal dengan LFG $ sedang Kerusakan ginjal dengan LFG $ berat Gagal ginjal
15 - 29 c 15 atau dialisis
Klasifikasi atas dasar diagnosis, tampak pada Tabel 3. Epidemiologi Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Penyakit
Tipe mayor (contoh)
Pel?;?kit ginjal diabetes
Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes
Penyakit glornerular (penyakit otoimun, infeksi sisternik,obat, neoplasia) Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, rnikroangiopati) Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat) Penyakit kistik (ginjal polikstik)
Penyakit pada transplantasi
Rejeksi kronik Keracunan obat (siklosporin/ takrolirnus) Penyakit recurrent (glornerular) Transplant crlomerulopathv
pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun. Patofisiologi Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis reninangiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotansin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforminggrowth factor /3 (TGFp). Beberapa ha1 yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibroisis glomerulus maupun tubulointerstitial. Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belurn merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hip0 atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal. Etiologi Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Tabel 4 menunjukan penyebab utama dan insiden penyakit ginal kronik di Amerika Serikat. Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti pada Tabel 5. Dikelompokkan pada sebab lain di antaranya, nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui.
Penyebab
lnsiden
Diabetes mellitus - tipe 1 (7%) - tipe 2 (37%) Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar Glomerulonefritis Nefritis interstitialis Kista dan penyakit bawaan lain Penyakit sisternik (rnisal, lupus dan vaskulitis) Neoplasma Tidak diketahui Penyakit lain
Penyebab
lnsiden
Glornerulonefritis Diabetes Melitus Obstruksi dan infeksi Hipertensi Sebab lain
46,39% 18,65% 12,85% 8,46% 13,65%
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
44 % 27% 10% 4% 3% 2% 2% 4% 4%
PENYAKIT GINJAL KRONIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI PENDEKATAN DlAGNOSTlK Gambaran Klinis Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: a). Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya,b). Sindromuremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremicfrost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. c). Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida). Gambaran Laboratoris Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: a). Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. b). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan hngsi ginjal. c). Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik. d). Kelainan urinalisis meliputi, proteiuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria. Gambaran Radiologis Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi: a). Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak. b). Pielografi intravenajarangdikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di sarnping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c). Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi. d). Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi. e). Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakanbila ada indikasi. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi
perinefrik, gangguan pembekuan darah, gaga1 napas, dan obesitas.
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi: terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition) memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular pencegahan dan terapi terhadap komplikasi terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Perencanaan tatalaksana (action plan) Penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat pada Tabel 6.
Derajat
1
LFG (m11mntl1,73m~)
> 90
Rencana tatalaksana
- terapi peyakit dasar, kondisi kornorbid, evaluasi pernburukan (progression)fungsi ginjal. rnernperkecil risiko kardiovaskular
2
60 - 89
- mengharnbat pernburukan
3
30 - 59
4
15-29
- evaluasi dan terapi kornplikasi - persiapan untuk terapi peng ganti
5
c 15
(progression)fungsi ginjal
ginjal
- terapi pengganti ginjal
Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normdl secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histdpatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepatterhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah mensampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat. Pencegahan dbn Terapi Terhadap Kondisi I Komorbid Penting sekali unruk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG padla pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat emperburuk keadaan pasien. Faktorfaktor komorbid in antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi iang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstrdksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahdn radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit Qasarnya.
1
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENS1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Skematik tentang patogenesis perburukan fungsi ginjal dapat dilihat pada Gambar 1. Kornpensasi hiperfiltrasi dan hipertrofi 4
LFG mllmenit > 60
I
Nefropati b- ,
Berkurangnya jumlah netron [Hiperlensi sistemik
+
II
-
Kebocoran protein lewat glomerulus
Gambar 1. Patogenesis perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis
Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltasi glomerulus ini adalah: Pembatasan Asupan Protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG < 60 mllmnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6 - 0,8/kg.bb/hari, yang 0,35 - 0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkallkgBBlhari, Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jurnlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah, asupan protein berlebih (protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfitration), yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia. Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertenasi, di samping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat
Asupan protein glkglhari Tidak dianjurkan
Fosfat glkglhari Tidak d~batasi 5 10 g
25 - 6 0
0.6-0,8lkglhari, termasuk 2 0.35 grlkglhr nilai biologi tinggi.
5 - 25
0,6-0,8 lkglhari, terrnasuk 2 0,35 rlkglhari protein nilai biologi tinggi atau tarnbahan 0,3 g asam amino esensial atau asam keton
5 10 g
< 60 (sindrorn nefrotik)
0,Blkglhr (+I gr protein Ig prote~nuria atau 0,3 g Ikg tambahan asam amino esensial atau asam keton
5 9g
pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Ensim Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.
Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan ha1 yang penting, karena 40-45 % kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-ha1 yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah, pengenda-lian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Beberapa di antara komplikasi tersebut akan dibicarakan pada bagian ini, sedangkan sisanya dibicarakan pada bagian lain.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1039
PENYAKIT GINJAL KRONIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI < 10 g% atau hematokrit < 30%, meliputi evaluasi terhadap Derajat
Penjelasan
1
Kemsakan ginjal dengan LFG normal Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan
2
LFG
Kornplikasi
60 - 89
- Tekanan darah mulai ?' -
3
Penumnan LFG sedang
30 - 59
4
Penumnan LFG berat
15 - 29
5
Gagal ginjal
Hiperfosfatemia Hipokalcemia Anemia Hiperparatiroid Hipertensi Hiperhomosistinemia
Malnutrisi Asidosis Metabolik - Cendmng hiperkalemia - Dislipidemia -
< 15
- Gagal jantung - Uremia
Anemia Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin. Hal-ha1lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah, defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin
status besi (kadar besi serum/ serum iron, kapasitas ikat besi totallTota1 Iron Binding Capacity, feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan ha1 yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi hams selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik hams dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 gldl.
Osteodistrofi Renal Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Patofisiologinya dapat dilihat pada Gambar 2. Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gaga1 ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.
Gambar 2. Patogenesis terjadinya osteodistrofi renal
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1040
GINJAL HIPERTENS]
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Mengatasi Hiperfosfatemia a. Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mgthari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi. b. Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah, garam kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsiurn yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaC03) dan calcium acetate. Tabel 9 memperlihatkan cara dan jenis pengikat fosfat, efikasi dan efek sampingnya. c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent).Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang minimal.
masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water loss antara 500-800 mlhari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500- 800 ml ditambahjumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) hams dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5 -5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi. Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy) Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 mllmnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.
REFERENSI CaralBahan
Efikasi
Efek Samping
Diet rendah fosfat AI(OH)3 Ca C03 Ca Acetat Mg(OH)2IMgCO3
Tidak selalu mudah Bagus Sedang Sangat bagus Sedang
Malnutrisi lntoksikasi Al Hipercalcemia Mual, muntah lntoksikasi Mg
Pemberian Kalsitriol (1.25 (OH,D,) Pemberian kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium di saluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam calcium carbonate di jaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Di samping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu, pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal. Pembatasan Cairan dan Elektrolit Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang
Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification and stratification, New York National Kidney Foundation, 2002. Mackenzie HS, Brenner BM. Chronic renal failure and its systemic manifestations. In: Brady HR, Wilcox CS, editors. Therapy in nephrology and hypertension. Philadelphia: WB Saundres; 1999. p. 463-73. Skorecki K, Jacob Green, Brenner BM. Chronic renal failure. Harrison's principles of internal medicine. In: Kasper, Braunwald, Fauci, et al, editors. 16'h edition. Vol 1. New York: McGraw-Hill: 2005. p. 1551-61. Slatopolsky E, Brown A, Dusso A, et al. Pathogenesis of secondary hyperparathyroidism. Kidney Int. 1999;73;S14-S20. Wei Wang, Chan L. Chronic renal failure: manifestation and pathogenesis, In: Schier RW, editors. Renal and electrolyte disorders. 6Ih edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2003. p. 456-97. Wish JB. Anemia associated with renal failure. In: Hricik DE, Miller RT, Sedor JR, editors. Nephrology secrets. 2" edition. Philadelphia: Henley & Belfus; 2003. p. 163-5. Yu TH. progression of chronic renal failure. Arch Intern Med. 2003;163: 1417-29. Goodman WG; Medical management of secondary hyperparathyroidism in chronic renal failure. Nephrol Dial Transplant. 2002;18:S3;32-9.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
GANGGUAN GINJAL AKUT H.M.S. Markum
PENDAHULUAN
Perubahaan lstilah Gagal Ginjal Akut (Acute Renal Failure ARF) Menjadi Gangguan Ginjal Akut (Acute Kidney Injury-A KI) Pada tahun 1951 Homer W Smith memperkenalkan istilah gagal ginjal akut - acute renal failure. Istilah ini mempunyai penekanan pada kegagalan faal ginjal yang lanjut. Istilah ARF ini bertahan sampai tahun 200 1. Dengan mortalitas yang masih tinggi dirasakan perlunya mengetahui gangguan ginjal akut yang lebih awal. Adanya pasien yang sembuh atau membaik dari penurunan hngsi ginjal yang mendadak menunjukkan terdapat derajat dari GGA dari ringan sampai berat. GGA dapat terjadi oleh bermacam sebab. Perbedaan geografis juga menentukan sebab dari GGA misalnya di negara maju GGA terjadi pada orang tua terutama pada usia lanjut sedangkan di negara berkembang lebih kerap timbul pada usia muda dan anak-anak misalnya karena malaria dan gastrointeristis akut. Laporan insidens GGA berlainan dari negara ke negara, dari klinik ke klinik, oleh karena kriteria diagnostik yang tidak seragam dan kausa yang berbedabeda. Dengan demikian diperlukan suatu cara berpikir baru yang bermanfaat bagi pengertian mekanisme timbulnya GGA, klasifikasi yang seragam dan pentahapan dari GGA yang berdampak pada pengobatan dan penelitian dari GGA.
-
Gangguan Ginjal Akut Berat (GGA -Acute Kidney Injury AKI) yang memerlukan dialisis, mempunyai mortalitas tinggi melebihi 50%. Nilai ini sangat tinggi apabila disertai kegagalan multi organ. Walaupun terdapat perbaikan yang nyata pada terapi penunjang, angka mortalitas belum banyak berkurang karena penyakit dasar yang berat seperti trauma, sepsis, usia pasien makin tua dan pasien tersebut juga menderita penyakit kronik lainnya. Dengan mortalitas yang tinggi maka diperlukan pengertian yang lebih baik mengenai GGA. GGA telah dikenal oleh William Heberden pada tahun 1802 dan diberi istilah ischuria renalis. Walaupun beberapa peneliti terkenal yaitu Bowman, Charcot dan William membuat beberapa sumbangan pemikiran untuk kondisi ini namun sindrom ini dilupakan orang. Perhatian terhadap sindrom ini berkembang kembali saat perang dunia pertama dan terutama selama perang dunia ke dua. Laporan lengkap yang pertama mengenai GGA ditulis oleh Hackradt seorang ahli patologi Jerman pada tahun 1917, yang menjelaskan keadaan seorang tentara yang mengalami luka trauma berat. Laporan ini dilupakan orang sampai terjadinya perang dunia ke-2, pada saat London mendapat serangan Jerman, didapatkan banyak pasien crush kidney syndrome, yaitu pasien-pasien dengan trauma berat akibat tertimpa bangunan kemudian meninggal akibat GGA. Tonggak yang amat penting adalah dengan dimulai tindakan hemodialisis pada awal tahun 1950-an yang amat mengurangi kematian karena korban trauma akibat peperangan. Perkembangan penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa GGA yang dapat pulih kembali ini terjadi juga pada pasien dengan transhsi darah yang tidak cocok, abortus, gangguan hemodinamik kardiovaskular, sepsis dan berbagai akibat efek zat nefrotoksik.
Perubahan istilah GGA-AKI menyebabkan : 1. Makna perubahaan nilai serum kreatinin yang sedikit meninggi dapat menyebabkan kondisi yang lebih berat. 2. Istilah gangguan (injury)lebih tepat dalam memberikan pengertian patofisiologi penyakit dari pada istilah gagal ybilure). 3. Dipahami adanya tahap-tahap dari GGA Sebagai contoh dapat dilihat daripada tabel berikut makna dari perubahan nilai kreatinin terhadap beratnya penyakit dan peningkatan biaya perawatan.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
I K r ~ f ~ ~ s ~ rMultivariable u m OR (95% CI) (mgldL)
KiiEEi
Area under ROC curve
Kriteria Kreatinin serum
Kenaikan kreatinin serum
>2.0x 5x nilai dasar atau penurunan GFR 250% Failure
Kenaikan kreatinin serum 2 3 . 0 ~5x nilai dasar atau penurunan GFR 275% or an Nilai absolut kreatinin serum > 4 mg dengan peningkatan mendadak minimal 0.5 mg
Oliguria
1
Kenaikan biaya total
Kriteria UO
(A) The Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) criteria for the definition and classification of AKI (i.e. RIFLE criteria) Risk Kenaikan kreatinin serum <0.5 mUkg1jam > I .5x nilai dasar atau for 2 61jam penurunan GFR 225% Injury
Non-ologuria
ESRD
<0.5 mUkg1jam atau 2121jam <0.3 rnUkg1jam
->24 jam
ths
1
Gambar 1. RIFLE Criteria for Diagnosis of AKI. Adapted with permission from Lameire et al.
anuria 212 jam
Kriteria UO
AKIN criteria
Kriteria Kreatinin serum
Tahap
Kriteria kreatinin serum
1
Kenaikan kreatinin serum 2 0.3 mgldl p 26.4 pmolll) atau kenaikan 2 150% to 200% (1.5- sampai 2 kali lipat) dari nilai dasar
Kurang dari 0.5 rnllkg per jam lebih dari 6 jam
2
Kenaikan kreatinin serum > 200% 300% (> 2 - 3 kali lipat) dari kenaikan nilai dasar kreatinin serum 200% - 300% (> 2 - 3 kali lipat) dari nilai dasar
Kurang dari 0.5 mllkg per jam lebih dari 12 jam
3
Kenaikan kreatinin serum > 300% (> 3 kali lipat) dari nilai dasar (or serum creatinine of more than or equal to 4.0 mgldl 354 pmolll]) with an acute increase of at least 0.5 mgldl [44 pmolll])
Kurang dari 0.3 mllkg per jam lebih dari 24 jam atau anuria 12 jam
Kriteria produksi urin
Klasifikasi ini menilai tahap GGA dari nilai kreatinin serum dan diuresis. Kemudian ada upaya dari kelompok Acute Kidney Injury Network (AKIN) untuk mempertajam kriteria RIFLE sehingga pasien GGA dapat dikenali lebih awal. Klasifikasi ini lebih sederhana dan memakai batasan waktu 48 jam. Disadari bahwa GGA merupakan kelainan yang kompleks, sehingga perlu suatu standar baku untuk penegakan diagnosis dan klasifikasinya dengan berdasarkan kriteria RIFLE. Atas sistem ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Diharapkan penelitian seperti ini dilakukan oleh kelompok perhimpunan
nephrologi dan perhimpunan kedokteran gawat darurat. Atas dasar klasifikasi dan kriteria RIFLE dapat dibuat penelitian bersama memakai kaidah -kaidah yang sama. Sehingga dapat dilakukan usaha - usaha pencegahan dan pengobatan GGA yang lebih baik. AKIN sebagai bentuk kebersamaan dalam satu sistem jaringan yang luas diharapkan dapat memfasilitasi kerjasama penelitian. Kriteria AKIN dapat meningkatkan insidens GGA tahap awal, walaupun belum cukup kuat untuk perbaikan prognosis dibandingkan dengan kriteria RIFLE.
Definisi GGA Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan kadar kreatinin serum >0.3 mg/dl(> 26.4 pmolll), presentasi kenaikan kreatinin serum >SO% (1.5 x kenaikan dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria yang tercatat < 0.5 ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam). Kriteria diatas memasukan baik nilai absolut maupun nilai persentasi dari perubahan kreatinine untuk menampung variasi yang berkaitan dengan umur, gender, indeks masa tubuh dan mengurangi kebutuhan untuk pengukuran nilai basal kreatinin serum dan hanya diperlukan 2 kali pengukuran dalam 48 jam. Produksi air seni dimasukan sebagai kriteria karena mempunyai prediktif dan mudah diukur. Kriteria diatas hams memperhatikan adanya obstruksi saluran kemih dan sebab-sebab oliguria lain yang reversible. Kriteria diatas diterapkan berkaitan dengan gejala klinik dan pasien sudah mendapat cairan yang cukup. Perjalanan GGA dapat : 1. Sembuh sempuma
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 2. Pmurunan fwl ginjal sesuai dengan tahap-tahap GGK (CKDtahap 1 - 4) 3. Eksaserbasi berupa naik turunnya progresivitas GGK / CKD tahap 1 - 4 4. Kerusakan tetap dari ginjal (GGK, CKD tahap 5) ha1 ini dapat dilihat di gambar berikut.
OambPr 2. Natural history of M I . Patients who develop AKI may exoefience ( 1 ) c o m ~ l e t erecaverv of renal function, (2) debeloprnent bipmgrissive &runic kidney disease (CKD), (3) execerbatian of the rate of prouression of preexisting CKD; or (4) irreversible koss of kine; fuwtion and evolve I ~ Z ~ E S R D .
DIAGNOSIS
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan GGA pre-renal, GGA renal dan GGA postrenal. Dalam menegakkan diagnosis gangguan ginjal akut
perlu diperiksa: 1). Anamnesis yang baik, serta p e m e r k m jasmani yang teliti ditujukan untuk mencari sebab gangguan ginjal akut seperti misalnya operasi kardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi (infeksi kulit, infeksi tenggorokan, infeksi saluran kemih), riwayat bengkak, riwayat kencing batu. 2). Membedakan gangguan ginjal akut (GGA) dengan gangguan ginjal kronik (GGK) misalnya anemia dan ukuran ginjal yang kecil menunjuRkan gaga1 ginjal kronis. 3). Untuk mendiagnosis GGA diperlukari pemeriksaan berulang h g s i ginjal yaitu kadar w e m , kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien yang dirawat selalu diperiha asupan dan keluaran cairan, berat badan untuk memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada gangguan ginjal h t yang berat dengan be-rkurangnya fbngsi ginjal ekskresi air dan garam berkwang sehingga dapat menimbulkan edema bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau edema paru. Ekskresi asam yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolik dengan kompensasi pernapasan kussumaul. Umumnya manifestasi GGA lebih di dominasi oleh faktor-faktor presipitasi atau penyakit utamanya. 4). Penilaian pasien GGA: a). Kadar kreatinin serum. Pada gangguan ginjal akut faal ginjal dinilai dengan memeriksa berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar serutn kreatinin tidak dapat mengukur secara tepat laju filtrasi glomerulus karena tergantung dari produksi (otot), distribusi dalam cairan tubuh dan ekskresi oleh ginjal. b). Kadar cystatin C serum. Walaupun belum diakui secara umum nilai serum cystatin C dapat menjadi indikator gangguan yifijal akut tahap awal yang cukup dapat dipercaya, c). Volume urin. Anuria akut atau oliguria berat tnerupakan indikator yang spesifik untuk gangguan ginjal akut, yang dapat terjadi sebelurn perubahaan nilai-nilai biokirnia darah. Walaupun demikian volume urin pada GGA bisa bermacam-macam. GOA pre-renal biasanya hampir selalu disertai oliguria (c400 mllhari), walaupun kadang-
I Tabel 4. Temuan kelainan urin pada pada GGA Etiologi Pn)reml
Sedimen Tomk hidin
Iskernla
Sel epltel, muddy-brawn cats, pigmented granular east8 Lekosit (WBC),Torak lekcsit, easinophilis, Eritrosit /REG), sel epitel Dysmorphic REGS. RBC cast Beberapa torak hialin, eritmit Kristal asam urat
Nefritis interstitial akut
Ghl Akuf P~iena! Lysis tumor Arterial Ivenous Urnambosis Ethylene glycol
Fw+ Fe-urea 41
c35 r2 350
41
Proteinuria Tidak ada ataw -mar Samar ringan
-
>1
Ringan - sedang
early
Sedang - baik
c l early
Eritrosit
Tidak ada atau s m r Tidak a& atau samar Ringan - &ang
KPistal kalsium oksalat
Samar - Ringan
a1 late
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1044
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
kadang tidak dijumpai oliguria. GGA post renal dan GGA renal dapat ditandai baik oleh anuria maupun poliuria. d). Kelainan analisis urin (Tabel 4). e). Petanda biologis (Biomarkers).Syarat petanda biologis GGA adalah mampu dideteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai dengan kemudahan teknik pemeriksaanya. Petanda biologis diperlukan untuk secepatnya mendiagnosis GGA. Berdasarkan kriteria RIFLEtAKJN maka perlu dicari petanda untuk membuat diagnosis seawal mungkin. Beberapa petanda biologis mungkin bisa dikembangkan. Gamhr berikut menunjukkan beberapa petanda biologis yang dikaitkan dengan perjalanan penyakit GGA. Petanda biologis ini adalah zat - zat yang dikeluarkan oleh hlbulus ginjal yang rusak, seperti interleukin 18, enzim tubular, N-acetyl-bglucosamidase, alanine aminopeptidase, kindey injuty molecule I. Dalam satu penelitian pada anak-anak pasea bedah jantung terbuka gelatinaseassociated Iipoccrlin (NGAL) terbukti dapat dideteksi 2 jan setelah pembedahaan, 24 jam lebih awal dari kenaikan kadar kreatinin. Dalam masa akan datang kemungkinan diperlukan kombinasi dari petanda biologis.
Prosedui
Anamnesis dan perneriksaan fisik
Mikroskopik urin
Pemeriksaan biokimia darah Pmeriksaan biokimia urin Darah ferifer lengkap USG Ginjal
Jnformasi yang dicari Tanda-tanda untuk menyebabkan gangguan ginjal akut. lndikasi beratnya gangguan metabolik. Perkiraan status volume (hidrast) Petanda inflamasi glomerulus atau tubulus. lnfeksi saluran kemih atau uropati kristal Mengukur pengurangan laju Wltrasi glomerulus dan gangguan metabolik ymg diakibatkanya Membedakan gagal ginjal pra-renal dan renal Menentukan ada tidaknya anemia, leukositosis, dan kekurangan trmb4t akibat pemakaian. Menentukan ukwan ginjal, ada tidaknya obst~ksitekstur, parenkim ginjal yang abnormal
Bila diperlukan : CT Scan abdomen Pemindaian radionuklir
Mengetahui struktur abnonnal dari ginjal dan traktus urinarus Mengetahui perfusi ginjel yang abnorml
Pielogram
Evaluasi perbaikan dari obstntksi traktus Llrinarius Msnentukan berdasarkan pemerilrsaan patdogi penyabit ginjal.
Biops~ginjal
Gambar 3. Acute kidney injury and its btomarkers
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GANGGUAN GINJAL AKUT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI GAMBARAN KLlNlS GANGGUAN GINJAL AKUT GGA dapat dibagi rnenjadi 3 bagian besar, antara lain: GGA pre-renal. Penyebab GGA pre-renal adalah hipoperfusi ginjal. Hipoperfusi dapat disebabkan oleh hipovolemia atau menurunnya volume sirkulasi yang efektif. Pada GGA pre-renal integritas jaringan ginjal masih terpelihara sehingga prognosis dapat lebih baik apabila faktor penyebab dapat dikoreksi. Apabila upaya perbaikan hipoperfusi ginjal tidak berhasil maka akan timbul GGA renal berupa Nekrosis TubularAkut (NTA) karena iskemik. Keadaan ini dapat timbul sebagai akibat bermacam-macam penyakit. Pada kondisi ini fimgsi otoregulasi ginjal akan berupaya mempertahankan tekanan perfusi, melalui mekanisme vasodilatasi intrarenal. Dalam keadaan normal, aliran darah ginjal dan LFG relatif konstan, diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. GGA pre-renal disebabkan oleh hipovolemia, penurunan volume efektif intravaskular seperti pada sepsis dan gagal jantung serta disebabkan oleh gangguan hemodinamik intra-renal seperti pada pemakaian anti inflamasi non steroid, obat yang menghambat angiotensin dan pada tekanan darah, yang akan mengaktifasi baroreseptor kardiovaskuler yang selanjutnya mengaktifasi sistem saraf simpatis, sistem renin-angiotensinserta merangsang pelepasaan vasopresin dan endothelin- 1 (ET- I), yang merupakan mekanismes tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta perfusi serebral. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferen yang dipengaruhi oleh refleks miogenik serta prostagladin dan nitric oxide (NO), serta vasokontriksi arteriol afferen yang terutarna dipengaruhi oleh angiotensinI1 (A-11) dan ET-1. Mekanisme ini bertujuan untuk mempertahankanhomeostasis intrarenal. Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta berlangsung dalam jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan terganggu, dimana arteriol afferen mengalami vasokonstriksi,terjadi kontraksi mesangial dan peningkatan reabsorbsi Na+ dan air. Keadaan ini disebut pre-renal atau GGA fungsional, dimana belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal. Penanganan terhadap penyebab hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis intra-renal menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi beberapa obat seperti ACEIARB, NSAID, terutama pada pasien-pasien berusia di atas 60 tahun dengan kadar serum kreatinin mg/dL sehingga dapat terjadi GGA pre-renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi, hipotesis, penggunaan diuretik, sirosis hati dan gagal jantung. Perlu di ingat bahwa pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaan-keadaanyang merupakan risiko GGA pre-renal seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit renovaskular), penyakit ginjal polikistik dan nefrosklerosis internal.
GGA Renal. GGA renal yang disebabkan oleh kelainan vaskuler seperti vaskulitis, hipertensi maligna, glomerulus nefritis akut, nefritis interstitial akut akan dibicarakan tersendiri pada bab lain. Nekrosis tubular akut dapat disebabkan oleh berbagai sebab seperti penyakit tropik, gigitan ular, trauma (crushing injurylbencana alam, peperangan), toksin lingkungan dan zat-zat nefrotoksik. Di Rumah Sakit (35 - 50% di ICU) NTA terutama disebabkan oleh sepsis. Selain itu pasca operasi dapat terjadi NTApada 20 - 25% ha1 ini disebabkan adanya penyakit-penyakit seperti hipertensi, penyakit jantung, penyakit pembuluh darah, diabetes melitus, ikterus dan usia lanjut, jenis operasi yang berat seperti transplantasi hati, transplantasijantung. Dari golongan zat-zat nefrotoksik perlu dipikirkan nefropati karena zat radio kontras, obat-obatan seperti anti jamur, anti virus dan anti neoplastik. Meluasnya pemakian NARKOBAjuga meningkatkan kemungkinan NTA. Kelainan yang terjadi pada NTA melibatkan komponen vaskuler dan tubuler, misalnya :
Kelainan vaskular. PadaNTAterjadi : 1).Peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriol afferen glomerulus yang menyebabkan peningkatan sensitifitas terhadap substansisubstansi vasokontriktor dan gangguan otoregulasi. 2). Terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan endotel vaskuler ginjal, yang mengakibatkan pengikatan A-I1 dan Et-I serta penurunan prostaglandin dan ketersediaan NO yang berasal dari endothelial NO systhase (eNOS). 3). Peningkatan mediator inflarnasi seperti tumor necrosis factor (TNF-) dan interleukin-18 (IL 19, yang selanjutnya akan meningkatkan ekspresi dari intercellular adhesion rnolecule-1 (ICAM-I) dan P-selectin dari sel endotel, sehingga terjadi peningkatan perlengketan dari sel-sel radang, terutama sel neutrofil. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen. Keseluruhan proses-proses tersebut di atas secara bersama - sama menyebabkan vasokonstriksi intra-sel yang akan menyebabkan penurunan LFG. Kelainan tubuler. Pada NTA terjadi: 1). Peningkatan Ca2+ intrasel yang menyebabkan peningkatan calpain, cystolic phospholipase A2, serta kerusakan actin, yang akan menyebabkan cystoskeleton. Keadaan ini akann menyebabkan penurunan basolateral Na+/K-ATPase yang selanjutnya menyebabkan penurunan reabsorbsi Na+ di tubulus proksimalis, sehingga terjadi peningkatan pelepasan NaCl ke makula densa. Hal tersebut mengakibatkan umpan balik tubuloglomeruler. 2). Peningkatan NO yang berasal dari inducible NO systhase (iNOS), caspase dan mettaloproteinase serta defisiensi heat shockprotein, akan menyebabkan nekrosis dan apoptosis sel. 3). Obstruksi tubulus. Mikrovilli tubulus proksimalis yang terlepas bersama debris seluler akan membentuk substrat yang akan menyumbat tubulus. Di tubulus, dalam ha1 ini pada thick ascending limb diproduksi Tamm-Horsfall Protein (THP) yang disekresikan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI ke dalam tubulus ke dalam bentuk monomer yang kemudian berubah menjadi bentuk polimer yang yang akan memberntuk materi berupa gel dengan adanya Na+ yang konsentasinyameningkat pada tubulus distal. Gel polimerik THP bersama sel epithel tubuli yang terlepas, baik sel yang sehat, nekrotik maupun yang apoptotik, microvilli dan matrix ekstraseluler seperti fibronektiin akan membentuk silinder - silinder (cast) yang menyebabkan obstruksi tubulus ginjal. 4). Kerusakan sel tubulus menyebabkan kebocoran kembali (backleak) dari cairan intratubuler masuk kedalam sirkulasi peritubuler. Keseluruhan prosesproses tersebut diatas secara bersama-sama akan menyebabkan penurunan LFG. Di dugajuga proses iskemia dan paparan bahanlobat nefrotoksik dapat merusak glomerulus secara langsung. Pada NTA terdapat kerusakan glomemlus dan juga tubulus. Kerusakan tubulus dikenal juga dengan nama nekrosis tubular akut (NTA). Tahaptahap nekrosis tubular akut adalah tahap inisiasi, tahap kerusakan yang berlanjut (maintenance) dan tahap penyembuhan. Dari tahap inisasi ke tahap kerusakan yang berlanjut terdapat hipoksia, dan inflamasi yang sangat nampak pada kortikomeduler (cortiocomedularyjunction). Proses inflamasi memegang peranan penting pada pasofisiologi dari GGA yang terjadi karena iskemia. Sel endotel, lekosit dan sel-T berperan penting dari saat awal sampai saat reperfusi (reperfusion injury). GGA post-renal. GGA post-renal merupakan 10% dari keseluruhan GGA. GGA post renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstra renal. Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristral (urat, oxalat, sulfonamid) dan protein (mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstra-renal dapat terjadi pada pelvis ureter oleh obstruksi intrinsik (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan retoperitonial, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi / keganasan prostat) dan urethra (striktura). GGA post renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada urethra, buli-buli dan ureter bilateral atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi. Pada fase awal dari obtruksi total ureter yang akut, terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana ha1 ini disebabkan oleh prosta glandin-E2. Pada fase kedua setelah 1.5 - 2 jam terjadi penurunan aliran darah ginjal dibawah normal akibat pengaruh thromboxane-A2 (TxA2) dan A-11. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam mulai meningkat. Fase ke tiga atau fase kronik, ditandai oleh aliran darah ginjal yang makin menurun atau penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu. Aliaran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2 minggu tinggal20% dari normal. Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan faktor-faktor pertumbuhan yang akan menyebabkan febriosis interstitial ginjal.
Kerusakan vaskuler
Kerusakan tubular
Vasokontriksi renal
Kerusakan reperfusi
Obstruksi tubuler
Regerensi tubuler
Dopamin dosis rendah
Anti ICAM-1 rnAb
Furosernid
Reseptor anatognist endotelin
Anti-CD18 mAb
Manitol
Faktor pertumbuhan epidermal dan hepatosit Faktor pertambahan hepatosit insulin-like growth factor
Peptide natriuretik atrial
Pengikat radikal bebas
Doparnin dosis rendah
Antagonis kalsium
Penghambat prostease aMSH Membran biokompatibel
Antagonis reseptor leukotrien
PENGELOLAAN Tujuan pengelolaan adalah meencegah terjadinya kerusakan ginjal, mempertahankan komestasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan infeksi serta mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan. Prinsip pengelolaannya dimulai dengan mengidentifikasi pasien beresiko GGA (sebagai tindak pencegahan), mengatasi penyakit penyebab GGA, mempertahankan homeostasis, mempertahankan eopolemia, keseimbangan cairan dan elektrolit, mencegah komplikasi metabolik seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfospatemia, mengevaluasi status nutrisi, kemudian mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi obat-obat yang dipakai.
PENCEGAHAN GGA dapat dicegah pada beberapa keadaan misalnya penggunaan zat kontras yang dapat menyebabkan nefropati kontras. Pencegahan nefropati akibat zat kontras adalah menjaga hidrasi yang baik, pemakaian N-asetyl cystein serta pemakaian purosemid pada penyakit tropik perlu di waspadai kemungkinan GGA pada gastrointeristis akut, malaria dan demam berdarah. Pemberian kemoterapi dapat menyebabkan ekskresi asam urat yang tinggi sehingga menyebabkan GGA. Pada tabel ini dapat dilihat beberapa upaya pencegahan GGA.
TERAPI KHUSUS GGA Bila GGA sudah terjadi diperlukan pengobatan khusus, umumnya dalam ruang lingkup perawatan intensif sebab
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GANGGUAN GINJAL AKUT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Cari dan perbaiki faktor pre dan pasca renal Evaluasi obat-obatan yang telah diberikan Optimalkan curah jantung dan aliran darah ke ginjal Perbaiki dan atau tingkatkan aliran urin Monitor asupan cairan dan pengeluaran cairan, timbang badan tiap hari Cari dan obati komplikasi akut (hiperkalemia, hipernatremia, asidosis, hiperfosfatemia,edema paru) Asupan nutrisi adekuat sejak dini Cari fokus infeksi dan atasi infeksi secara agresif Perawatan menyeluruh yang baik (kateter, kulit, psikologis) Segera memulai terapi dialisis sebelum timbul komplikasi Berikan obat dengan dosis tepat sesuai kapasitas bersihan ainial
-
-
Oliguria : produksi urin < 2000 mL in 12 h Anuria : produksi urin < 50 mL in 12 h Hiperkalemia : kadar potasium > 6.5 mmollL Asidemia (keracunan asam) yang berat : pH < 7.0 Azotemia : kadar urea > 30 mmol1L Esefalopati uremikum Neuropati Imiopati uremikum Perikarditis uremikum Natrium abnorrnalitas plasma : konsentrasi > 155 mmollL atau < 120 mmollL Hipertemia Keracunan obat
Komplikasi
beberapa penyakit primernya yang berat seperti sepsis, gagal jantung dan usia lanjut, dianjurkan untuk inisiasi dialisis ini. Dialisis bermanfaat untuk koreksi akibat metabolik dari GGA. Dengan dialisis dapat diberikan cairanl nutrisi dan obat-obat lain yang diperlukan seperti antibiotik. GGA post-renal memerlukan tindakan cepat bersama dengan ahli urologi misalnya pembuatan nefrostomi, mengatasi infeksi saluran kemih dan menghilangkan sumbatan yang dapat disebabkan oleh batu, setriktur uretra atau pembesaran prostat. Belum ada bukti yang nyata keunggulan antara terapi pengganti intensif dan terapi pengganti intermiten.
Kebutuhan nutrisi pada GGA amat bervariasi sesuai dengan penyakit dasarnya atau kondisi komorbidnya, dari kebutuhan yang biasa, sampai dengan kebutuhan yang tinggi seperti pada pasien dengan sepsis. Rekomendasi nutrisi GGA amat berbeda dengan GGK, dimana pada GGA kebutuhan nutrisi sisesuaikan dengan keadaan proses kataboliknya. Pada GGK justru dilakukan pembatasanpembatasan. Pada tabel di bawah ini diperlihatkan kebutuhan nutrisi pada berbagai keadaan GGA. GGA menyebabkan abnormalitas metabolisme yang amat kompleks, tidak hanya pengaturan air, asam basa, elektrolit, tetap juga asam amino / protein, karbohidrat dan lemak. Heterogenitas GGA yang amat tergantung dari penyakit dasarnya membuat keadaan ini lebih kompleks. Oleh karena itu nutrisi pada GGA disesuaikan dengan proses katabolis yang terjadi, sehingga pada suatu saat menjadi normal kembali.
FASE PERBAIKAN
Pada tahap ini terjadi poliuria yang sangat banyak sehingga perlu dijaga keseimbangan carian. Asupan cairan
Kelebihan volume intravaskular Hipobatremia Hiperkalemia
Asidosis metabolik Hiperfosfatemia
Hipokalemia Nutrisi
Pengobatan Batas garam (1-2 glhari) dan air (< 1 Llhari), Furosemid, ultrafiltrasi atau dialisis Batas asupan air (< 1 Llhari) : hindari infus larutan hipotonik Batasi asupan diet K (< 40 mmollhari) ; hindari diuretik hemat K, Potassiumbinding ion exchange resins, Glukosa (50 ml dextrosa 50%) dan insulin (10 unit), Natrium bikarbonat (50 - 100 mmol), Agonis p2 (salbutamol, 10 - 20 mdg di inhalasi atau 0.5 1 mg IV), kalsium glukonat ( I 0 ml larutan 10% dalam 2 - 5 menit) Natrium bikarbonat (upayakan bikarbonat serum > 15 mmolIL, pH > 7.2) Batasi asupan diet fosfat (800 mglhari), obat pengikat fosfat (kalsium asetat; kalsium karbonat) Kalsium karbonat ; kalsium glukonat (10 20 ml larutan 10%) Batasi asupan protein diet (0.8 - 1 glkg BBlhari) jika tidak dalam kondisi katabolik, karbohidrat (100 glhari), nutrisi enternal atau parenteraljika perjalanan klinik lama tau katabolik.
pengganti diusulkan sekitar 65 - 75% dari jumlah cairan yang keluar. Pad atahap ini pengamatan faal ginjal hams tetap dilakukan karena pasien pada dasarnya belum sembuh sempurna (bisa sampai 3 minggu atau lebih)
KESIMPULAN
Istilah gangguan ginjal akutlacute kidney injury sebaiknya menggantikan istilah gagal ginjal akut1ARF. Istilah gangguan ginjal akut memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai proses GGA dengan dibuatnya kriteria RIFLEIAKIN. Kriteria RIFLE dan AKIN memberikan cara berpikir baru dalam memahami GGA, pentahapan dari GGA, standardisasi dalam definisi sehingga ada keseragaman dalam
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1048
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Hemodialsis intermitten
-
Continous renal replacment therapy
Keuntungan
Resiko rendah untuk perdarahan - Lebih banyak waktu untuk rnencari diagnosis dan intervensi I terapi. - Lebih cocok untuk hiperkalemia berat - Biaya murah
Hernodinarnik lebi stabil Aritrnia lebih jarang Perbaikan nutrisi Pertukaran gas di paru lebih baik Kontrol cairan lebih baik Kontrol biokimia darah lebih baik Waktu rawat inap ICU lebih singkat
Kerugian
-
Masalah akses vaskuler Risiko tinggi terjadinya perdarahan lrnobilisasi lebih lama Lebih banyak masalah pada filter (ruptur, penyumbatan oleh bekuan darah) Biaya mahal
Ketersediaan perawat HD Lebih sulit kontrol hernodinarnik Dosis dialisis tidak rnencukupi Kurang kontrol cairan Nutrisi kurang Tidak cocok untuk pasien dengan hipertensi intrakranial Tidak ada pembuangan sitokin Potensial terjadi aktivasi komplemen oleh membrane yang non kornpatibel (tidak sesuai)
Jenis dan cara dialisis Hernodialisis Konvensional Slow lona extended daily diilysis (SLED) Sequential ultrafiltration & clearance Continuous arteriovenous hemodialysis (CAVHD) Continuous venovenous hemodialysis (CWHD)
Dialiser Hernodialiser Hernodialiser Hernodialiser
Dialisis peritoneal Berkesinarnbungan lnterrniten
Klirens difusi dan ultrafiltrasi bersarnaan, intermiten Klirens difusi dan ultrafiltrasi denaan aliran darah dan dialisat yang pelan, intermiten Ultrafiltrasi diikuti klirens difusi, intermiten
-
Hemodialiser
Klirens difusi dan ultrafiltrasi pelan dan bersarnaan tanpa pompa darah
Hemofilter
Klirens difusi dan ultrafiltrasi pelan dan bersarnaan dengan pornpa darah
Hernodialisis dan hemofiltrasi Continuous Hernofilter arterivenous hernodialysis plus hernofiltration (CAVHDF) Hernofilter Continuous venovenous hernodialysis plus hernofiltration (CWHDF) Ultrafiltrasi Isolated ultrafiltration Hernodialiser Slow continuos ultrafiltration (SCUF)
Prinsi~ keria
Hemofilter
Peritoneum Peritoneum
Klirens konvektif berkesinambungan tanpa pornpa darah
Klirens konvektif berkesinarnbungan dengan pompa darah
Klirens konvektif dan difusi berkesinambungantanpa pompa darah Klirens konvektif dan difusi berkesinambungan dengan pompa darah Klirens dan ultrafiltrasi berkesinarnbungan ; ganti cairan selang beberapa jam Klirens dan ultrafiltrasi intermiten; ganti cairan tiap jam selarna 12 jam setiap 2-3 hari
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GANGGUAN GINJAL AKUT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Tahap katabolisme Keadaan klinis Mortalitas Dialisis I hemofiltrasi Pemberian makanan Rekomendasi Energi (kkallkgBBlh) Subtrat energi Glukosa glkg Lemak glkg Asam amino I protein Nutrien oral I enteral Parenteral
Ringan
Sedang
Toksik karena obat 20% Jarang
Pembedahan + infeksi 60% Apabila perlu
Injuri berat I sepsis > 80% Sering
Oral
Enterall parenteral
Enterall parenteral
Glukosa
Glukosa + lemak 3-5 0.8- 1.5 0.8-1.2EAA + NEAA Formula
Glukosa + lemak
3-5 0.5 - 1 0.6 - 0.8 EAA (+NEAA) Makanan
Berat
3 - 5 (maks 7)
1.0-1.5 E M + NEAA Formula
Glukosa 50 Glukosa 50 70% 70% + emulsi lemak 10 - 20% EAA + NEAA (biasa atau khusus untuk ginjal) + multivitamin + multitrace element
Dan Druml W, Mitch WE. Nutritional Management of Acute Renal Failure. Brady HR, Wilcox CS, editors. Therapy in Nephmlogy and Hypertension. Philadelphia :WB Saunders Company ;1999.
mendeskripsikanGGA.Keseragaman ini akan mendorong upaya pencegahan, pengobatan dan penelitian yang seragam. Hasil akhir yang diharapakan adalah tatalaksana atau penanganan GGA yang lebih baik.
REFERENSI Bellomo R, Bagshaw S, Langenberg C, Ronco C. Pre-Renal Azotemia: A Flawed Paradigm in Critically ill Septic Patients? (eds.): Acute Kidney Injury. Contrib 1Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 1 - 9. Kellum JA, Bellomo R, Ronco C,. The Concept of Acute Kidney Injury and the RIFLE Criteria. (eds.) : Acute Kidney Injury. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 10 - 16. Vincent Louis J. Critical Care Nephrology : A Multidisciplinary Approach. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 24 - 31.
Leverve MX, Cano JM Noel. Nutritional Management in Acute Illness and Acute Kidney Insufficiency. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 112 - 118. Devarajan P. Emerging Biomarkers of Acute Kidney Injury. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 203 - 212. Bonventre V. Joseph. Diagnosis of Acute Kidney Injury : From Classic Parameters to New Biomarkers. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 213 - 219. A. Davenport. Renal Replacement Therapy for the Patient with Acute Traumatic Brain Injury and Severe Acute Kidney Injury. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 333 - 339. Cerda J, Lameire N, Eggres P. et all. Epidemiology of Acute Kidney Injury. Clin J Am Soc Nephrol 3 : 881 - 886 ; 2008. Bonventre V Joseph. Dialysis in Acute Kidney Injury - More Is Not Better. N Engl J Med 359 : July 3 ; 2008. Metha L. Ravindra, Kellum A. John, Shah V Sudhir. et all. Acute Kidney Injury Network: report of an initiative to improve outcomes in acute kidney injury. Critical Care, Vol.ll No.2 : 1 - 8; 2007. Bagshaw M.S, George C and Bellomo R. A comparison of the RIFLE and AKIN criteria for acute kidney injury in critically ill patients. Nephrol Dial Transplant (2008) 23: 1569-1574. Himmelfarb J and Ikizler TA. Acute kidney injury: changing lexicography, definitions, and epidemiology Kidney International (2007) 71, 971-976. Molitoris AB, Yaqub SM Current Diagnosis and Treatment Nephrology and Hypertension. Acute Kidney Injury. Section I1 Acute Renal Failure. A LANCE Medical Book : 2009; (9) : 89 - 98. Field M,Pollok C,Harris D.Glomerulus filtration and acute renal failure.The renal system. 2001;5:65-73. Lameire N, Wim Van Biesen, Vanholder R. Acute renal fai1ure.t. 2005;365:417-30 Robert W. Schrier. Manual of nephrology. 6tthedition. New York London; 2005. Suhardjono, Sukahatya M, Parsoedi I. Gagal Ginjal akut. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I1 Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. p. 417-22. Susalit E. Penanganan gagal ginjal akut di ICU. Nskah lengkap gagal ginjal akut, penyakit ginjal, sistemik ginjal dan system kardiovaskular pada hipertensi. Jakarta: PERNEFRI; 2005. p. 18-22. Syakib B. Patogenesis gagal ginjal akut. Naskah lengkap gagal ginjal akut, penyakit ginja1,sistemik ginjal dansistem kardiovaskular pada hipertensi. Jakarta: PERNEFRI; 2005. p.1-7 The VA 1 NIH Acute Renal Failure Trial Network. Intensity of Renal Support in Critically I11 Patients with Acute Kidney Injury. N. Eng J. Med. 2008 ; 35 - : 7 - 20. Druml W, Mitch WE. Nutritional Management of acute renal failure. Brady HR, Wilcox CS, editors. Therapy in nephrology and hypertension. Philadelphia. WB Saunders Comp. 1999.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
HEMODIALISIS Pudji Rahardjo, Endang Susalit, Suhardjono
PENDAHULUAN
.'
Tahapan gaga1 ginjal kronik dapat dibagi menurut beberapa cara, antara lain dengan memperhatikan faal ginjal yang masih tersisa. Bila faal ginjal yang masih tersisa sudah minimal sehingga usaha-usaha pengobatan konservatif yang berupa diet, pembatasan minum, obat-obatan, dan lain-Iain tidak memberi pertolongan yang diharapkan lagi, keadaan tersebut diberi nama penyakit ginjal kronik (PGK). Pada stadium ini terdapat akumulasi toksin uremia dalam darah yang dapat membahayakan kelangsungan hidup pasien. Pada umumnya faal ginjal yang masih tersisa, yang diukur dengan klirens kreatinin (KKr), tidak lebih dari 5 mL/menit/l,73 m2. Pasien PGK, apa pun etiologi penyakit ginjal nya, memerlukan pengobatan khusus y a n g disebut pengobatan atau terapi pengganti (TP). Setelah menetapkan bahwa TP dibutuhkan, perlu pemantauan y a n g ketat sehingga dapat ditentukan dengan tepat kapan TP tersebut dapat dimulai.
TERAPI PENGGANTI Seperti diketahui faal ginjal dapat dibagi menjadi faal ekskresi dan faal endokrin. Pada PGK. kedua golongan faal ini memburuk walaupun tidak selalu proporsional. TP yang ideal adalah yang dapat menggantikan fungsi kedua faal ini. Transplantasi ginjal yang berhasil akan mengganti keseluruhan faal ginjal yang sakit, sedangkan dialisis mengganti sebagian faal ekskresi. Pada Tabel 1 tertulis beberapa TP yang dapat dilaksanakan dewasa ini. Di samping TP tersebut ada juga TP yang hanya dilakukan dalam keadaan yang sangat khusus atau pada penelitian.
I
II
Dialisis A. Dialisis Peritoneal (DP) - DP intermiten (DP) - DP mandiri berkesinambungan (DPMB) - DP dialirkan berkesinambungan (DPDB) - DP nokturnal (DPN) B. Hemodialisis (HD) Transplantasi Ginjal (TG) TG donor hidup (TGDH) TG donor jenazah (TGDJ)
Pada PGK, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial) dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafiltrasi (Gambar 1). Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat dibanding molekul dengan berat molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat terlarut tersebut makin tinggi bila (1) perbedaan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Selaput Semipermeabel
I
Kompartemen 1
Gambar I.Proses
Kompartemen 2
(
dialisis
konsentrasi di kedua kompartemen makin besar, (2) diberi tekanan hidrolik di kompartemen darah, d m (3) bila tekanan osmotik di kompartemen cairan dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan darah untuk meningkatkan efisiensi (Gambar 2). Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai konsentrasinya sama di kedua kompartemen. Terdapat 4 jenis membran dialiser yaitu: selulosa, selulosa yang diperkaya, selulo sintetik, dan membran sintetik. Pada membran selulosa terjadi aktivasi komplemen oleh gugus hidroksil bebas, karena itu penggunaan membran ini cenderung berkurang digantikan oleh membran lain. Aktivasi sistem komplemen oleh membran lain tidak sehebat aktivasi oleh membran selulosa.
Darah kembali ke badan
Dialisat dialirkan pompa Gambar 2.
Bagan hemodialisis
Luas permukaan membran juga penting untuk proses pembersihan. Luas permukaan membran yang tersedia adalah dari 0.8 m2 sampai 2,l m'. Semakin tinggi luas permukaan membran semakin efisien proses dialisis yang terjadi. Selama proses dialisis pasien akan terpajan dengan cairan dialisat sebanyak 120-150 liter setiap dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan dialisat akan dapat dengan mudah berdifusi ke dalam darah pasien selama dialisis. Karena itu kandungan solut cairan dialisat harus dalam batas-batas yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Cairan dia!isat perlu dimurnikan agar tidak terlalu banyak mengandung zat yang dapat membahayakan tubuh. Dengan teknik reverse osnlosis air akan melewati membran semi permeabel yang memiliki pori-pori kecil
sehingga dapat menahan molekul dengan berat molekul kecil seperti urea, natrium, dan klorida. Cairan dialisat tidak perlu steril karena membran dialisis dapat berperan sebagai penyaring kuman dan endotoksin. Tetapi kuman harus dijaga agar kurang dari 200 koloni1mL dengan melakukan desinfektan cairan dialisat. Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar 135-145 meqIL. Bila kadar natrium lebih rendah maka risiko untuk terjadinya gangguan hemodinamik selama hemodialisis akan bertambah. Sedangkan bila kadar natrium lebih tinggi gangguan hemodinamik akan berkurang tetapi akan meningkatkan kadar natrium darah pascadialisis. Keadaan ini akan menimbulkan rasa haus dan pasien akan cenderung untuk minum lebih banyak. Pada pasien dengan komplikasi hipotensi selama hemodialisis yang sulit ditanggulangi maka untuk mengatasinya kadar natrium dalam cairan dialisat dibuat lebih tinggi. Diuliser dapat didaur ulang (reuse) untuk tujuan mengurangi biaya hemodialisis. Dilaporkan 80% pasien hemodialisis di Ameriia Serikat dilakukan daur ulang sedangkan di Eropa sekitar 10%. Segera setelah selesai prosedur hemodialisis dialiser dicuci dengan cairan dialisat yang banyak untuk menghilangkan bekuan darah yang terdapat dalam kapiler dialiser: Dilakukan pengukuran volume diull~eruntuk mengetahui apakah dialiser ini masih dapat dipakai d m dilihat apakah terdapat cacat jasmminya. Umumnya dipakai kembal i bila volume diuliser 80%. Setelah itu dicrliser disimpan dengan cairan antiseptik (formaldehid 4%). Sebelum digunakan kembali dialiser ini dicuci kembali untuk membuang semua formaldehid. Formaldehid yang tersisa dalam dialiscr dapat memasuki tubuh selama proses dialisis dan ha1 ini dapat menimbulkan gangguan pada pasien. Terdapat dua jenis cairan dialisat yang sering digunakan yaitu cairan asetat dan bikarbonat. Kerugian cairan asetat adalah bersifat asam sehingga dapat menimbulkan suasana asam di dalam darah yang akan bermanifestasi sebagai vasodilatasi. Vasodilatasi akibat cairan asetat ini akan mengurangi kemampuan vasokonstriksi pembuluh darah yang diperlukan tubuh untuk memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi selaina hernodialisis. Keuntungan cairan bikarbonat adalah dapat memberikan bikarbonat ke dalam darah yang akan menetralkan asidosis yang biasa terdapat pada pasien dengan penyakit ginjal kronik danjuga tidak menimbulkan vasodilatasi. Pada proses dialisis terjadi aliran darah di luar tubuh. Pada keadaan ini akan terjadi aktivasi sistem koagulasi darah dengan akibat timbulnya bekuan darah. Karena itu pada dialisis diperlukan pemberian heparin selama dialisis berlangsung. Ada tiga teknik pemberian heparin yaitu teknik heparin rutin, heparin minimal, dan bebas heparin. Pada teknik heparin rutin, teknik yang paling sering digunakan sehari-hari, heparin diberikan dengan cara bolus diikuti dengan contit7ou.c infir.\ion. Pada keadaan di
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI mana risiko perdarahan sedang atau berat digunakan teknik heparin minimal dan teknik bebas heparin. Contoh beberapa keadaan risiko perdarahan berat misalnya pada pasien dengan perdarahan intraserebral, trombositopenia, koagulopati, dan pascaoperasi dengan perdarahan. Jumlah dan tekanan darah yang mengalir ke dialiser, hams memadai sehingga perlu suatu akses khusus. Akses khusus ini pada umumnya adalah vena lengan yang sudah dibuatkan fistula dengan arteria radialis atau ulnaris. Terdapat shunt aliran darah arteri ke vena sehingga vena akan membesar dan mengalami epitelisasi. Fistula seperti ini (fistula cimino) dapat bertahan bertahun-tahun dan komplikasinya hampir tak ada. Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi di antaranya adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, clan menggigil. Komplikasi yang jarang terjadi misalnya sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser; aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis dan hipoksemia. Di Indonesia hemodialisis dilakukan 2 kali seminggu dengan setiap hemodialisis dilakukan selama 5 jam. Di senter dialisis lain ada juga dialisis yang dilakukan 3 kali seminggu dengan lama dialisis 4 jam. Pasien hemodialisis hams mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting urifuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1-1.2 gkgBBhari dengan 50% terdiri atas protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-70 meqlhari. Pembatasan kalium sangat diperlukan. karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-urnbian tidak dianjurkan dikonsurnsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah air kencing yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40- 120 meqhari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebihan maka selama periode di antara dialisis akan terjadi kenaikan berat badan yang besar. Kecukupan dosis hemodialisis yang diberikan diukur dengan istilah adekuasi dialisis. Terdapat korelasi yang kuat antara adekuasi dialisis dengan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien dialisis. Adekuasi dialisis diukur dengan menghitung urea reduction ratio (URR)dan (KT/
V). URR dihitung dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar ureum predialisis dengan kadar ureum pascadialisis dibagi kadar ureum pascadialisis. Pada hemodialisis 2 kali seminggu dialisis dianggap cukup bila UUR-nya lebih dari 80% Cara lain menghitung adekuasi dengan menghitun KT/N Terdapat rumus Dougirdas untuk menghitung KT/ N dengan memasukkan nilai ureum pra dan pascadialisis, berat badan pra dan pascadialisis. Pada hemodialisis 3 kali seminggu KT/N dianggap cukup bila lebih besar atau sarna dengan 1,8. Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG sudah kurang dari 5 mllmenit. yang di dalalT praktek dianggap demikian bila (TICK) < 5 mL menit. Keadaan pasien yang hanya mempunya TKK < 5 mL/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila di jumpai sarah satu dari ha1 tersebut di bawah : Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata K serum > 6 mEqL Ureum darah > 200 mg/dL pH darah < 7,l Anuria berkepanjangan ( > 5 hari) Fluid overloaded Hemodialisis di Indonesia dimulai padc tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak mmah sakit rujukan Umumnya dipergunakan ginjal buatan yan! kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermeabel (hollowfibre kidney) Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.
REFERENSI Bregman H, Dougirdas JT, Ing TS. Complications during hemodialysis. Dalam: Dougirdas JT, Ing TS (eds) Handbook of dialysis, edisi 2, Little Brown am Company: 1994. 149-68. Daugirdas JT. Chronic hemodilysis prescription: a urel kinetic approach. Dalam: Dougirdas JT, Ing TS (eds) Handbook of dialysis, edisi 2. Little Brown am Company: 1994.92-120. Dialysis Therapy, Ed. Nissenson AA, Fine AN Philadelphia: Hanley & Belfus; 1986. Kartono SD, Darmarini F, Aahimy A. Penyusunan diet pada gagal ginjal kronik dengan dialisis. Dalam: Sidabu~arAP, Suhardjono (ed). Gizi pada gagal ginja kronik. Beberapa aspek penatalaksanaan. PERNEFRI 1992.60-74.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
DIALISIS PERITONEAL Imam Parsudi, Parlindungan Siregar, Rully M.A. Roesli
PENDAHULUAN Dialisis peritoneal (DP) sudah lama dikenal. Sarjana pertama yang melakukan DP di klinik pada seorang pasien uremia karena obstruksi ureter akibat kanker kandungan adalah Ganter (1923). Perkembangan selanjutnya memakan waktu cukup lama dan baru Maxwell (1959) mengajukan teknik dialisis intermiten yang merupakan modifikasi dari teknik yang diajukan Grollman, dkk (195 1 ). Sampai saat ini teknik ini masih tetap terpakai. Perkembangan selanjutnya ditunjang dengan tersedianya antibiotik serta cairan dialisat komersial. Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu penanganan pasien GGA (Gagal Ginjal Akut) maupun GGK (Gagal Ginjal Kronik), menggunakan membran peritoneum yang bersifat semipermeabel. Melalui membran tersebut darah dapat difiltrasi. Keuntungan Dialisis Peritoneal (DP) bila dibandingkan dengan hemodialisis, secara teknik lebih sederhana, cukup aman serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas khusus, sehingga dapat dilakukan di setiap rumah sakit. Pada saat ini pun DP masih menempati kedudukan cukup penting untuk menangani kasus-kasus tertentu dalam rumah sakit besar dan modem.
PRlNSlP DASAR DIALISIS PERITONEAL Untuk dialisis peritoneal akut biasa dipakai styletcatheter (kateter peritoneum) untuk dipasang pada abdomen masuk dalam kavum peritoneum, sehingga ujung kateter terletak dalam kavum Douglasi. Setiap kali 2 liter cairan dialisis dimasukkan dalam kavum peritoneum melalui kateter tersebut. Membran peritoneum bertindak sebagai membran dialisis yang memisahkan antara cairan dialisis dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam
pembuluh darah di peritoneum. Sisa-sisa metabolisme seperti ureum, kreatinin, kalium dan toksin lajn yang dalam keadaan normal dikeIuarkan melalui ginial, pada gangguan faal gjnjal akan tertimbun dalam plasma darah. Karena kadarnya yang tinggi akan mengalami difusi melalui membran peritoneum dan akan masuk dalarn cairan dialisat dan dari sana akan dikeluarkan dari tubuh. Sementara itu setiap waktu cairan dialisat yang sudah dikeluarkan diganti dengan cairan dialisat baru.
Cairan Dialisat Susunan cairan dialisat mengandung elektrolit dengan kadar seperti pada plasma darah normal. Komposisi elektrolit cairan dialisat bervariasi. namun prinsipnya kurang lebih seperti terlihat pada Tabel 1. Pada umumnya cairan dialisat tidak mengandung kalium, karena tujuannya untuk mengeluarkan kalium yang tertimbun karena terganggunya fungsi ginjal. Bila DP dilakukan pada pasien dengan kadar kalium dalam batas normal, untuk mencegah terjadinya hipokalemia. dalam cairan dialisat dapat ditambahkan kalium 33-4,5 mEq/ liter cairan dialisat.
Elektrolit
MEqlL
Tek. Osmosis ImOsmlL)
Na+ Ca++ Mg++ CILaktatGlukosa
140,O 4,O 1,5 102,o 43,5
140,O 2,O 0,8 102,o 83,3 15,O grIL
291,O rnEqlL
371,6 rnOsrnlL
Tiap 1 liter cairan dialisat mengandung: 5.650 gram NaCI, 0294 gram CaCI,, 0,153 gram MgCI,, 4.880 gram NaIaktat dan 15.000 gram glukosa. Bila cairan dialisat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENS1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
mengandung kadar glukosa lebih dari 1.5% kita sebut cairan dialisat hipertonik (2,s; 3 3 ; dan 4,25%). Berdasarkan prinsip perbedaan tekanan osmotik, maka cairan dialisat hipertonik ini dapat digunakan untuk mengeluarkan cairan tubuh yang berlebihan. Heparin ditambahkan dalam cairan dialisat dengan tujuan untuk mencegah pembentukan fibrin yang dapat mengganggu aliran cairan, biasanya diberikan pada permulaan dialisat dengan dosis 500-1000 U tiap 2 liter cairan. lndikasi Pemakaian Dialisis Peritoneal Dialisat peritoneal dapat digunakan pada pasien : 1. Gagal ginjal akut (dialisat peritoneal akut) 2. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit atau asam basa. 3. Intoksikasi obat atau bahan lain 4. Gagal ginjal .kronik (dialisat peritoneal kronik) 5. Keadaan klinis larn di mana DP telah terbukti manfaatnya. Kontraindikasi Dialisais Peritoneal 1. Kontraindikasi absolut : tidak ada 2. Kontraindikasi relatif : keadaan-keadaan yang kemungkinan secara teknis akan mengalami kesulitan atau memudahkan terjadinya komplikasi seperti gemuk berlebihan, perlengketan peritoneum, peritonitis lokal, operasi atau trauma abdomen yang baru saja terjadi, kelainan intraabdomen yang belum diketahui sebabnya, luka bakar dinding abdomen yang cukup luas terutama bila disertai infeksi atau perawatan yang tidak adekuat.Salah satu cara yang sering digunakan untuk menilai efisiensi DP adalah dengan menentukan peritoneal clearance (klirefls peritoneal) dengan rumus:
Cp : U : p : V :
cp=uxv P Peritoneal Clearance Konsentrasi zat tersebut dalam cairan dialisat yang keluar d k i kavurn peritoneum (mg%). Konsentrasi zat tersebut dalam darah atau plasma (mg%) Volume cairan dialisat tiap menit (mL)
a. Komplikasi mekanis Perforasi organ abdomen (usus, aorta, kandung kencing, atau hati). Perdarahan yang kadang-kadang dapat menyumbat kateter . Gangguan drainase (aliran cairan dialisat) Bocornya cairan dialisat Perasaan tidak enak dan sakit dalam perut. b. Komplikasi metabolik Gangguan keseimbangan cairan, elek- tronit dan asam basa. Gangguan metabolisme karbohidrat perlu diperhatikan terutama pada penyandang DM berupa hiperglikemia tak terkendali dan kemungkinan dapat juga terjadi hipoglikemia post dialisis. Kehilangan protein yang terbuang lewat cairan dialisat. Sindrom disequilibrium. Sindrom ini terdiri atas kumpulan gejala-gejala berupa sakit kepala, muntah, kejang, disorientasi, hipertensi, kenaikan tekanan cairan serebrospinal, koma, dan dapat menyebabkan kematian pasien. Komplikasi ini dapat terjadi pada pasien dengan kadar ureum tinggi, di mana koreksi kelainan biokimiawi terjadi terlalu cepat dan lebih sering terjadi pada pasien dengan overhidrasi. Patogenesis sindrom ini belum diketahui dengan pasti. Salah satu teori yang banyak dianut adalah karena lambatnya koreksil penurunan ureum dalam otak dan cairan serebrospinal bila dibandingkan dengan darah. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan tekanan osmotik dengan akibat edema otak. Teori lain: teori hipoglikemia, perubahan pC02 dan pH. pergeseran elektrolit ovemidrasi, dan kenaikan perbandingan WCa serum. c. Komplikasi radang Infeksi alat pernapasan. biasanya berupa pneumonia atau bronkitis purulenta. Sepsis lebih sering terjadi pada pasien dengan infeksi fokal di luar peritoneum seperti pneumonia atau pielonefritis. Peritonitis. D
Faktor yang mempengaruhi klirens peritoneum adalah besar kecilnya molekul, kecepatan cairan dialisat, equilibration-time (dwell time = lamanya cairan dialisat berada dalam kavum peritoneum), suhu cairan dialisat, tekanan osmosis cairan dialisat, permeabilitas peritoneum, dan aliran darah dalam kapiler peritoneum. KOMPLIKASI DIALISIS PERITONEAL
Komplikasi DP dapat berupa komplikasi mekanis dan komplikasi radang.
INDIKASI DP PADA GAGAL GINJAL AKUT
Pasien GGA dapat dilakukan DP atas dasar : 1. DP pencegahan : DP dilakukan setelah diagnosis GGA ditegakkan. 2. DP dilakukan atas indikasi : a. Indikasi klinis :keadaan m u m jelek dan gejala klinis nyata. b. Indikasi biokimiawi: Ureum darah >200 mg%, Kalium <6 mEqIL, H C 0 3 < 10-15 mEqlL, pH<7,1.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
DIALISIS PERITONEAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI PERBEDAAN DP DAN HD PADA PASIEN GGK Dialisis pada pasien GGA dapat dilakukan dengan DP atau HD tergantung keadaanl kondisi pasien dan fasilitas yang tersedia. Pada saat ini RS yang cukup besar biasanya tersedia DP maupun HD. Pada salah satu pasien dapat lebih menguntungkan bila dilakukan DP, sedang yang lain lebih baik bila dilakukan HD. Stewart dkk (1966) menemukan bahwa dari kasus-kasus GGA, 20% lebih baik bila dilakukan DP, 20% lebih baik bila dilakukan HD dan sisanya 60% sama baiknya apakah dilakukan DP atau HD. DP merupakan tindakan yang lebih sederhana, baik alat maupun prosedur pelaksanaannya dan dapat dilakukan di setiap RS tanpa fasilitas khusus. Cepat dapat dikerjakan tanpa persiapan sebelumnya dan dapat dilakukan dalam beberapa menit setelah dilakukan keputusan untuk melakukan dialisis. P-rsoalan waktu ini kadang-kadang sangat penting artinya seperti misalnya dalam menghadapi pasien dengan hiperkalemia berat. DP merupakan dialisis pilihan pada keadaan-keadaan berikut : Bila penggunaan antikoagulan merupakan kontraindikasi. Pasien dengan perubahan volume darah tiba-tiba yang tidak diinginkan (hemodinarnik tidak stabil). i Pasien dengan tekanan darah tidak stabil atau dalam keadaan pre-shock. Bayi, anak kecil dan pada usia lanjut yang secara teknis I-ID sukar dilakukan. Pasien memerlukan pengeluaran cairan tubuh yang sangat besar karena overhidrasi berat. Bila kanulasi pembuluh darah tidak memungkinkan. Pada pankreatitis akut baik disertai komplikasi GGA maupun tidak.
21/2 -3 jam; c). Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). (Popovich & Moncrief, 1976), CAPD dilakukan 3-5 kali per hari, 7 hari per minggu dengan setiap kali cairan dialisis dalam kavurn peritoneum ( dwell-time) lebih dari 4 jam. Pada umumnya dwell-time pada waktu siang 4-6 jam, sedangkan waktu malam 8 jam. CAPD memberikan klirens ureum sama dengan yang dicapai HD 15 jam per minggu, namun klirens solut dengan Berat Molekul antara 1.000 -5.000 Dalton (middle molecule) 48x lebih besar dari HD. Middle molecule dianggap sebagai bahan toksin uremik yang diduga bertanggung jawab terhadap sindrom uremia. CAPD terbukti dapat mengendalikan keluh kesah dan gejala uremia dengan baik. namun penurunan konsentrasi toksin metabolik uremia tidak cepat, sehingga CAPD sebaiknya dimulai setelah dicapai pengendalian adekuat intoksikasi metabolik akut dengan teknik dialisis lain yang lebih efisien (HD atau IPD). Saat ini CAPD dianggap sebagai salah satu bentuk dialisis yang sudah mantap dan merupakan dialisis pilihan bagi pasien yang amat muda, usia lanjut dan penyandang diabetes melitus. Sisanya pemilihan antara CAPD dan HD tergantung dari fasilitas dialisis, kecocokan serta pilihan pasien. Kesederhanaan. keamanan hidup tanpa mesin, perasaan nyaman, keadaan klinis yang baik, kebebasan pasien merupakan daya tarik CAPD bagi dokter maupun pasien. Problem utama sampai saat ini yang masih memerlukan perhatian adalah kom- plikasi peritonitis, meskipun saat ini dengan kemajuan teknologi angka kejadian peritonitis sudah dapat ditekan sekecil mungkin. Patient survival CAPD 1-5 tahun berturut- turut 99,77,67,60, dan 42%, sedangkan technical survival berturut-turut 77,58,46,40, dan 21%.
CONTINOUS AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS (CAPD)
PROSEDUR CAPD DAN DIALISAT
CAPD adalah salah satu bentuk DP kronik untuk pasien dengan gaga1ginjal terminal (GGT). GGT adalah merupakan stadium akhir GGK saat pasien sudah tidak dapat lagi dipertahankan secara konservatif dan memerlukan terapi pengganti (renal replacement therapy). Terapi pengganti dapat berupa dialisis kronik atau transplantasi ginjal. Dialisis kronik dapat berupa HD dan DP. DP dapat berupa: a). Intermittent Peritoneal Dialysis (IPD). IPD dilakukan 3-5 kali perminggu dan tiap kali dialisis selama 8-14 jam. Jadi pada prinsipnya sama seperti HD kronik hanya waktu yang diperlukan setiap kali dialisis lebih lama karena efisiensinya jauh di bawah HD; b). Continous Cyclic Peritoneal Dialysis (CCPD). CCPD dilakukan tiap hari dan di- lakukan waktu malam hari, penggantian cairan dialisis sebanyak 3-4 kali. Cairan dialisis terakhir dibiarkan dalam kavum peritoneum selama 12-14jam. Pada waktu malam cairan dialisis dibiarkan dalam kavum peritonium selama
Prosedur CAPD adalah suatu teknik dialisis kronik dengan efisiensi rendah sehingga bila tidak dilakukan 24 jam per hari dan 7 hari per minggu tidak adekuat untuk mempertahankan pasien GGK stadium akhir. Kebanyakan pasien memerlukan rata-rata 4 kali pergantian per hari. Saat pergantian disesuaikan dengan waktu yang paling enak bagi pasien dengan sarat dwell time tidak boleh kurang dari 4 jam karena dalam waktu 4 jam baru akan terjadi keseimbangan kadar ureum antara plasma darah dan cairan dialisat. Ultrafiltrasi diperlukan untuk mengeluarkan cairan dari badan dan dapat dicapai dengan cairan dialisat hipertonik. Ultrafiltrasi sebanyak 2.000 mL dapat dicapai dengan 2 kali per- .gantian dengan cairan dialisat 4,25%. Bila ultrafiltrasi kita lakukan terlalu cepat dapat terjadi kram, mual, muntah, dan hipotensi ortostatik.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
CINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Cairan Dialisat Cairan dialisat yang ada pada saat ini di Indonesia terdiri atas 3 macam cairan yaitu dengan kadar dekstrosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% dalam kantong plastik 2 liter. Susunan cairan dialisat sama dengan susunan elektrolit plasma darah normal tanpa kalium dengan osmolalitas lebih tinggi dari plasma 1Osmolalitas plasma 280 mOsm/L) dan ditambah laktat (Tabel 1). Bila pasien normokalemia atau hipokalemia, perlu penambahan: 1 KC1 sampai konsentrasi 4 mEq/L untuk mencegah hipokalemia berat. Heparin perlu ditambahkan bila ada peritonitis atau cairan dialisat mengandung fibrin atau protein terlalu banyak untuk mencegah tersumbatnya kateter dengan dosis 1.000 -2.000 USP units per liter cairan dialisat. KONTRAINDIKASI CAPD Kontraindikasi CAPD adalah penyakit diskus lumbalis, hipertrigl (seridemia familial, hernia pada dinding abdomen (perlu perbaikan dulu) dan pasien yang tidak bisa bekerjasama. Hati- hati melakukan CAPD bila ada perlengketan yang luas, distensi usus, kelainan abdomen yang belum terdiagnosis, luka bakar, dll.
HASlL PENGENDALIAN CAPD 1. BUN dan Kreatinin. Pasien dengan klirens kreatinin 2-5 cclmenit dengan CAPD selama2-3 minggu, BUN = 50+5 mg% dan kreatinin plasma kurang dari 12 mg%. CAPD mempertahankan kedua parameter tersebut lebih rendah dari pada IPD. 2. Air Elektrolit dan Bikarbonat. Air dan natrium. Ultrafiltrasi sebanyak 2 liter per hari dapat dicapai dengan menggunakan 3 kali pergantian dengan dekstrosa 1,5% dan 2 kali pergantian dengan dekstrosa 4,25%. Setiap hari dapat dikeluarkan 3-4 gram Natrium sehingga keseimbangan Na dapat dicapai dengan mudah. Kebanyakan pasien dengan CAPD tidak membutuhkan pembatasan air dan garam. Elektrolit. Elektrolit dengan cepat mencapai normal dan sesudah 2 minggu CAPD dicapai kadar Na = 138 :t 3 mEq/L; CI = 100 :t 5 mEq1L; K = 4,l :t 0,4 mEq1L dan HC03 = 25 :t 4 mEq1L. Pada beberapa pasien terjadi hipokalemia ringan dan memerlukan penambahan kalium per oral. Pengambilan solut tergantung dari konsentrasi dekstrosa dalam cairan dialisat. Kenaikan pengambilan solut oleh cairan hipertonik tidak hanya karena volume yang dikeluarkan lebih banyak tetapi juga oleh pengaruh solvent drag (Tabel 2). Meskipun relatif hanya sedikit kalium yang diambil waktu CAPD (18 mEq1L) perhari, sedangkan pasien tanpa pembatasan pemasukan kalium (50-80 mEq per hari), kadar kalium plasma darah tetap normal. Hal ini
Konsentrasi dekstrosa
Osmolalitas pH fmOsMlLI
Per hari Air (mL) Natrium (mEq) Kalium (mEq) Kreatinin (mg) Protein (g) Calcium (mg) Fosfor (mg) Magnesium (mg)
734 129 20 803 7,l 23 313 37
Na
Ca
Mg
CI
Laktat
Per kantong Dekstrosa 0,5%
1,5%
4,25%
+ 158 + 13
92 16 7 190 1,7 1 75 8
819 94 8 270 13 35 107 21
7 164 22 5 67 3
diduga karena kenaikan ekskresi kalium melalui tinja. Kalium menunjukkan balans positif dan setelah 6 bulan dengan CAPD terlihat menurunnya hormon paratiroid. CAPD tidak dapat mengeluarkan fosfat yang ada dalam makanan sehingga masih memerlukan obat pengikat fosfat dengan dosis kecil. Bikarbonat dengan konsentrasi laktat dalam cairan dialisat 35 mEq1L akan menyebabkan serum bikarbonat naik dari rata-rata 18 mEq/L menjadi 22,23 mEq/l 3. Hemoglobin dan Hematokrit. Selama kurang lebih 3 bulan setelah CAPD terjadi kenaikan Hb dan ini akan terus naik sampai mencapai nilai tertentu setelah bulan kesepuluh dan akhimya diikuti penurunan dan pada umumnya stabil pada kadar 8 gldl. Ini disebabkan kemungkinan karena pengambilan bahan toksik metabolik sehingga memungkinkan sumsum tulang bereaksi terhadap kenaikan eritropoietin yang biasa terjadi pada pasien uremia dan ini akan menyebabkan kenaikan Hb dan Ht. Akan tetapi setelah Hb naik. pacuan pada sistem eritropoietin menurun dan bila perbandingan antara eritropoietin dan zat toksik metabolik kembali ke nilai semula, Hb dan Ht akan kembali turun. 4. Protein Plasma dan Hilangnya Protein. Serum protein pada umumnya stabil pada nilai rendah normal dengan kadar albumin rata-rata 3.5 0.8 mg%. Ini disebabkan karena hilangnya protein melalui membran peritoneum selama CAPD dan 75% dari protein yang hilang adalah albumin. Di samping protein (5- 15 per hari) pasien CAPD juga akan kehilangan asam amino sebanyak 2-3 gram per hari. Kehilangan protein tergantung antara lain dari kadar dekstrosa cairan dialisat dan pernah tidaknya menderita peritonitis sebelumnya. 5. Glukosa Darah. Glukosa darah yang masuk ke dalam
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
*
1057
DIALISISPERITONEAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI plasma selama CAPD antara 150-200gdan ini lebih kecil dari pada IPD. Pada pasien tanpa DM pada umumnya tidak menyebabkan hiperglikemia.Banyaknya glukosa yang masuk dalam darah ini yang sering dikaitkan dengan terjadinya kenaikan berat badan dan kolesterol serta trigliserida darah. Pada peyandang DM kadar glukosa darah dapat dikendalikan dengan pemberian insulin intraperitoneal atau kombinasi intraperitoneal dan subkutan. 6. Kolesterol dan Trigliserida Pasien dengan CAPD menunjukkan kenaikan kedua parameter tersebut dan diduga berkaitan dengan penyerapan glukosa ke dalam plasma. Dianjurkan sedapat mungkin tidak menggunakan cairan dialisat hipertonik. 7. Tekanan Darah. Pengendalian edema akan berhubungan dengan penuru nan tekanan darah dan ini terjadi bila digunakan cairan dialisat hipertonik.
EFEK PSIKOSOSIAL PASIEN DENGAN CAPD Keuntungan yang paling utama pasien GGK stadium akhir dengan CAPD adalah hidup tanpa mesin yang memberikan kebebasan yang lebih dari pada terapi lain. Kesederhanaan, keamanan, hidup tanpa mesin, perasaan nyaman, keadaan klinis yang baik, kebebasan, pasien biaya yang relatifmurah merupakan daya tarik CAPD baik bagi dokter maupun pasien. Rehabilitasi pasien dengan CAPD ter nyata sama saja dengan pasien teknik lain. Telah dilaporkan beberapa perubahan fisis ke arah perbaikan antara lain menstruasi dapal teratur, nafsu seks kembali, gatal-gatal menghilang, tumbuhnya rambut di ketiak dan dada, perubahan warna dan kekeringan kulit dan lain sebagainya. Pada pasien dengan umur di bawah 50 tahun, CAPD tidak mengganggu dan mengurangi kepuasan hubungan kelamin, sedangkan di atas umur 50 tahun terjadi penurunan aktivitas seks mungkin karena penyakit kroniknya. DIET PASIEN DENGAN CAPD Tidak ada pembatasan ketat yang hams dilakukan terhadap diet pasien dengan CAPD namun perlu ditekankan pentingnya pengertian hubungan antara intake dan output, kese- imbangan cairan dan elektrolit dan pengambilan produk metabolik oleh dialisis. Untuk menghindari balans. Nitrogen negatif, diet dianjurkan dengan protein tinggi (minimal 1,2 gramIkgBBlhari) dan energi tinggi. Balans negatif pada pasien CAPD disebabkan karena hilangnya protein (6-8 glhari) dan asam amino (2-3 gram per hari), peritonitis. penurunan asupan prolein dan kalori yang umumnya terlihat setelah CAPD berlangsung 1 tahun dan adanya pacuan kronik terhadap katabolisme protein.
Komplikasi CAPD dapat kita bagi menjadi komplikasi teknis dan komplikasi medis. Komplikasi Teknis pada umumnya bukan merupakan komplikasi serius dan mudah diatasi, terdiri antara lain bocornya cairan dialisat, sumbatan pada saat masuk atau keluarnya cairan dialisat, kesalahan letak kateter, dan lain sebagainya. Komplikasi Medis pada umumnya dapat di atasi dengan mudah. Komplikasi ini antara lain hipotensi, keluhan gastrointestinal (mual, tumpah, hilangnya nafsu makan dll), sakit sendi dan sakit tulang punggung,kram, perasaan lelah, infeksi kulit sekitar tempat masuknya kateter, perasaan sakit di abdomen dan peritonitis. Peritonitis adalah komplikasi yang sering dijumpai meskipun saat ini di beberapa pusat ginjal angka kejadian peritonitis menurun sampai serendah 1 episode every 4 patients years dan penurunan ini terutama karena lebih baiknya seleksi dan latihan pasien serta kemajuan teknologi seperti connector, in linejlters dun y tubing. Gejala dan keluh kesah pasien terbanyak adalah keruhnya cairan dialisat serta sakit abdomen. Di samping itu dapat pula disertai mual, muntah, panas, menggigil maupun diare. Gejala fisis yang dapat dijumpai adalah ketegangan dinding perut, kenaikan temperatur dan leukositosis. Penyebab kuman paling sering adalah Staphylococcus aureus dan epidermidis (40-60%) yang merupakan gram positif, 2040% disebabkan gram negatif dan sisanya karena fungi dan aseptik. Bila ada gejala- gejala peritonitis, segera dibuat kultur dan uji kepekaan. Sementaramenunggu hasil laboratorium, dapat diberikan kombinasi sefalosporin (untuk gram positif) dan tobramisin (untuk gram negatif) intraperitoneal dan diberikan setiap pergantian cairan dialisat. Dosis antibiotik untuk mengatasi peritonitis yang diberikan intraperitoneal adalah sebagai berikut: (mg/L cairan dialisat), Metisilin (200), karbenisilin (200), sefalotin (200), sefoksitin (1OO), Vankomisin (20), Kanamisin .(20), Gentamisin (10), Tobramisin (10), Amikasin (20), klindamisin (20), kloramfenikol(20) dan amfoterisin (1-20).
Beardsworth SF. Practical peritoneal dialysis. In: Nolph, KD (ed) Peritoneal Dialysis. John Wright & Sons LId, Bristol, 1994. Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic Publishers; 1989. Boen ST. Peritoneal dialysis in clinical medicine. Charles C. Springfield, Illinois, USA : Thomas Publisher; 1964. Boner G. Peritonitis and exit-site infections. Prospective and advances in clinical nephrology. Continuing medical education program, XIV th International Congress of Nephrology, 25-29 May, Sydney, 1997; 188-192. Burkart J.M. Diagnosis of peritonitis in continuous peritoneal dialysis. Up To Date, 13.3, 2005, CD-ROM. Cancarini GC. The future of peritoneal dialysis : Problems and hopes. Nephrolog. Dial. Transplant, 1997; 12(SuppI-I) 83-8.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1058
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Keane WF, Alexander SR, Bailie GR, Boeschoten E, Gokal R et al. Peritoneal dialysis -related peritonitis. Treatment recommendation: 1996 update. Peritoneal Dialysis Int, 1996; 16,557573. Khanna R, Nolph KD and Oreopoulos, DG. The Essentials of Peritoneal Dialysis. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, The Netherlands: 1993. Khanna R. Peritonitis during continous ambolutory peritoneal dialysis. New trends. In: Asian Nephrology Edited by Chungh, K.S. Dehli.Oxford University Press; 1994; 571-82. Nizar A Gokal R. An overview of continous ambulatory peritoneal dialysis. In: Asian Nephrology Edited by Chungh, KS. Delhi. Oxford University Press; 1994; 541- 7.
Nolph KD. Peritoneal dialysis. In. Drukker W, Parson FM and Maher JF (eds). Replacement of Renal Function by Dialysis. The Haque : Martinus Nijhoff Medical Division; 1978. Piraino B., Bailie GR., Bernardini J., Boeschoten E., Gupta A., Holmes C., Kuijper EJ., Li PK., Lye WC., Mujais S., Paterson DL., Fontan MP., Ramos A,, Schaefer F., Uttley L. Peritoneal dialysis-related infections recommendations: 2005 update. Perit Dial Int 2005, 25(2): 107-3 1. Prichard SS. Peritoneal dialysis and hemodialysis, are they comparable. Nephrolog Dialysis Transplant, 1979; 12(suppl 1):65-7.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
TERAPI PENGGANTI GINJAL BERKESINAMBUNGAN (CRRT) Rully M.A. Roesli
PENDAHULUAN Pasien Gaga1 Ginjal Akut (GGA), terutama yang dalam keadaan kritis dan dirawat di unit perawatan intensif, seringkali disertai dengan berbagai komplikasi. Biasanya pasien menunjukkan gejala-gejala uremi, kelebihan cairan, asidosis, dan hiperkatabolik. Pada banyak kasus, pasienmengalami sepsis dan gaga1 multi organ yang memerlukan alat bantu napas (respirator mekanik). Kematian dapat mencapai lebih dari 70% kasus'. Kondisi klinis semacam ini memerlukanjumlah asupan cairan, obat, atau nutrisi yang besar. Padahal pasien juga mengalami keadaan oliguri atau anuri, sehingga pemberian asupan cairan menjadi sangat terbatas, pengelolaan pasien, pada umumnya, selalu melibatkan "RenalReplacement Therapy (RRT) atau Terapi Pengganti Ginjal (TPG). Indikasi penggunaan TPG adalah untuk melakukan perbaikan terhadap gangguan-gangguan homeostatik yang terjadi, di samping dapat menghindari terjadinya kelebihan cairan akibat pengobatan dan hiperalimentasi3. Ada berbagai jenis TPG dapat digunakan untuk pasien GGA dalam kondisi kritis. Pemilihan jenis TPG yang akan digunakan sangat tergantung terhadap penguasaan dokter maupun perawat akan teknik-teknik TPG juga pada fasilitas TPG yang tersedia. Pada awalnya, pemilihan teknik TPG hanya terbatas pada hemodialisis konvensional atau dialisis peritoneal akut. Hemodialisis dan dialisis peritoneal mulai digunakan pada pasien GGA sejak tahun 194A4. Pada tahun 1977, Kramer dkk, menemukan teknik hemofiltrasi baru dengan indikasi untuk pasien overhidrasi yang resisten terhadap diuretik. yaitu Continous arteriovenous hernofiltration (CAVH). Kemudian teknik ini berkembang sehingga dikenal berbagai teknik dan jenis TPG baru, yang dikelompokkan menjadi Terapi pengganti "
ginjal berkesinambungan (Continous RRT = CRRT). Dengan dibuatnya mesin-mesin hemodialisis yang mempunyai kemampuan mutakhir, teknik hemodialisisjuga berkembang. Pada tahun 1998 di Universitas Arkansas Amerika, Marshal dkk memperkenalkan teknik hemodialisis baru, yang mempunyai kelebihan dibandingkan teknik konvensional, disebut sebagai "Sustained Low-Ef$cient Dialysis (SLED)". Menurut Ronco dkk (2000) dan Kaplan (2002), CRRT dan SLED adalah teknik TPG yang paling sering digunakan untuk pasien GGA dalam keadaan kritis. Masing-masing jenis TPG mempunyai indikasi yang spesifik, derajat kesulitan dalam teknik maupun monitoring yang berbeda, serta perbedaan dalam biaya pengobatan yang dibutuhkan. Dengan demikian, pengetahuan yang memadai terhadap jenis-jenis TPG sangat diperlukan untuk dapat memilih jenis TPG yang sesuai untuk setiap pasien GGA yang kita hadapi.
PRlNSlP DASAR Prinsip dasar dari TPG, termasuk CRRT, adalah membuang (translokasi) zat-zat dengan kadar yang berlebihan keluar tubuh. Zat-zat ini dapat berupa yang terlarut dalam darah (solut), seperti toksin ureum, kalium, dll. Atau zat pelarutnya yaitu air atau serum darah (solution). di dalam proses TPG, translokasi terjadi di dalam ginjal buatan(dialyzer), yang terdiri dari 2 kornpartemen (ruangan), yaitu kompartemeri darah dan kompartemen dialisat. Kedua kompartemen ini dibatasi oleh sebuah membran semi-permiabel. Perbedaan tekanan antara kedua kompartemen disebut trans membran pressure(TMP). Darah dari dalam tubuh akan dialirkan ke kompartemen darah, sedang cairan pencuci
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1060
CINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI (dialisat) dialirkan ke kompartemen dialisat. Translokasi dapat terjadi dengan lnekanislne difusi atau ultrafiltrasi.
Mekanisme Difusi Pada mekanisme difusi terjadi translokasi solut akibat adanya perbedaan konsentrasi antara kompartemen darah dan kompartemen dialisat (gradien konsentrasi). Solut dengan konsentrasi tinggi dalam darah, seperti kaliuln atau urea berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat. Sedang solut dengan konsentrasi rendah dalam darah, seperti bikarbonat, berpindah dari kompartemen dialisat ke kompartemen darah. Solut yang dalam keadaan seinibang diantara kedua kompartemen, seperti natriuni dan klorida, hampir tidak berubah (Gambar 1).
dengan molekul air. Proses konveksi dapat terjadi pada solut dengan tnolekul kecil (urea nitrogen, kreatinin, kalium, dll) atau membran dengan molekul besar (inulin, P2-mikroglobulin, TNF, vitamin B 12, dll) tergantung dari jenis, luas pertnukaan, dan biokompabilitas membran semi-permiabel yang digunakan.
Keterangan gambar: Translokasi solut terjadi akibat perbedaan konsentrasi (rnekanisme difusi). Translokasi air (solution) terjadi akibat perbedaan tekanan (mekanisme ultrafiltrasi). Proses difusi akan berhenti bila konsentrasi sudah seimbang ( t eyuilibrum). Proses ultrafiltrasi akan berhenti bila tekanan sudah seimbang (TMPH-0).
PROSES HEMODlALlSlS DAN HEMOFILTRASI Mekanisme Ultrafiltrasi Pada mekanisme ultrafiltasi terjadi translokasi molekul air (zat pelarut) melalui membran semi-permiabel akibat perbedaan tekanan(trtrns tnernhrun pre.c.\zlre= TMP) antara kompartemen darah dan kompartemen dialisat. Tekanan hidrostatik akan mendorong air keluar dari suatu kompartemen, sedang tekanan onkotik akan menahannya. Selisih penjumlahan tekanan-tekanan dalam kedua kompartemen disebut TMP (Gambar 1).
MEKANISME DlFUSl
(Perbedaankonsentrasi)
MEKANISME ULTRAFILTRASI
(Perbedaantekanan)
0
Ultrafiltration
t = Later
I
Garnbar 1. Mekanisme difusi dan ultrafiltrasi (dikutip dari Daugirdas & van Stone, 2001)
Mekanisme Konveksi (convection) Pada mekanisme konveksi terjadi translokasi solut, bersamaan dengan translokasi air yang terjadi dalam dalam proses ultrafiltrasi. Solut dapat ikut berpindah akibat terikat
Proses Terapi Pengganti Ciitijal dibedakan berdasarkan mekanisme terjadinya translokasi solut atau air. Dinamakan proses hemodialisis (H D) bila lnekanistne dasamya adalah difi~si.T~kiuanutama dari proses difusi adalah pe~i,jeniihan darali (hloodpurrfific~~tio~i) dari zat-zat dengan konsentrasi yang berlebih di dalalii tubuli (translokasi solut). Pada proses hemodialisis, dapatjuga terjadi translokasi air akibat adanya perbedaan tekanan (TMP). Dinamakan proses hemofiltrasi ( H F ) bila mekanisnie dasarnya adalah ultrafiltrasi. T~!juan utama dari proses ultrafiltrasi adalah niengurangi kelebihan cairan dalam tubuli (volunir control). Pada suatu proses hernofiltrasi dapat terjadi translokasi solut (penjernilian darah) melalui mekanisnie konveksi. Dinamakan hemodia-filtrasi ( H D F ) bila prosesnya merupakan gabungan antara kedua mekanisme. Pada suatu proses hemodialisis selalu diperlukan cairan dialisat. Sedang pada suatu proses hemofiltrasi diperlukan cairan substitusi (replucm1et7t,flzlitl) untuk mengganti cairan yang difiltrasi (ultratiltrat). Pada hemodiatiltrasi diperlukan kedua macam cairan tersebut. Ginjal buatan (dializer) pada proses hemodialisis disebut lieniodialiser, sedang pada proses hemofiltrasi disebut hernofilter. Parameter efisiensi proses hernodialisis (HD) diukur dengan klirens (laju difusi) ureum, dan dipengaruhi oleh: kecepatan aliran darah, kecepatan aliran dialisat, gradien konsentrasi, jenis dan luas permukaan membran semipermeabel, dan besar molekul solut. Parameter efisiensi proses hemofiltrasi (HF) berhubungan dengan kecepatan laju ultrafiltrasi (Qfi dan sifat membran semi-permiabel. Dibutuhkan membran dengan koefisien ultrafiltrasi (KL,fl yang tinggi agar proses ultrafiltrasi berjalan maksinial (high:flz~xt?~rti~hr~tt~e). Peranan Qb, Qd, dan Qf pada proses hemodialisis dan hemofiltrasi: a). Kecepatan aliran darah (Qb). Makin cepat aliran darali akan makin cepat terjadinya pen.jernilian darah. Pada hemodialisis konvensional, kecupatan aliran darah (Qb) standar adalali 150 - 350 cclmenit. Dengan Qb sebesar ini penjernihan darah akan terjadi dengan cepat. Tetapi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1061
TERAPI PENGGANTI GINJAL BERKESINAMBUNGAN (CRRT)
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI SCUF CAVH C W H CAVHD
CAVHDF
C W H D CWHDF
Akses pernbuluh darah
A-V
A-V
V-V
A-V
A-V
V-V
V-V
Penggunaan Pornpa Ultafiltrate = Qf(rnl1jarn) Laju dialisat= Qd (Iljarn) Cairan substitusi (Ilhari) Klirens urea (rnllmenit) Tingkat kesulitan Harga
Tidak 100 0
Ya 600 0 12 10 2 2
Tidak 1000 0 21.6 16.7 3 4
Ya 300 1 4.8 21.7 2 3
Tidak 600 1 12 26.7 2 3
Ya 300 1 4.8 21.7 3 4
Ya 800 1 16.8 30 3 4
0 1.7 1 1
PD Kateter Peritonial Tidak 500 2.0 0 8.5 2 3
Tingkat kesulitan dan harga : I = paling mudah dan murah sld 4 = paling rnahal dan sulit.
Qb yang tinggi akan menimbulkan keadaan hemodinamik yang tidak stabil. Terutama pada pasien-pasien dalam kondisi kritis. Sebaliknya pada proses ultrafiltrasi tidak dibutuhkan Qb yang tinggi. Pada terapi CRRT, kecepatan aliran darah dapat sangat rendah, yaitu 50 cclmenit pada CAVH dan 200cc pada C W D . Makin rendah Qb keadaan hemodinamik akan menjadi lebih stabil. b). Kecepatan aliran dialisat (Qd). Untuk terjadi mekanisme difusi yang baik diperlukan aliran dialisat (Qd) yang berjalan berlawanan (counter-current) dengan aliran darah. Pada HD konvensional Qd standar adalah 500-600 cclmenit. Pada proses ultrafiltrasi tidak diperlukan cairan dialisat. Sedangkan pada proses hemodia-filtrasi diperlukan dialisat dengan kecepatan rendah. Dengan menggunakan highflux membrane, Qd sebesar 10-30 ccljam sudah dapat menghasilkan translokasi solut dengan memuaskan. Membranjenis ini harganya jauh lebih mahal dibandingkan membran untuk HD konvensional. c). Laju filtrasi (Qf). Pada translokasi solut dengan cara konveksi, dibutuhkan laju ultrafiltrasi yang sangat tinggi. Qf standar pada proses ultrafiltrasi adalah 1 - 2 liter airljam (Tabel 1). Ronco dkk (2000) merekomendasikan laju filtrasi lebih dari 35 cc/kgBB/ menit baru akan memberikan proses konveksi yang memuaskan. Kerugian dengan Qf yang tinggi adalah cairan substitusi (replacement fluid) diperlukan dalam jumlah besar, sehingga proses hemofiltrasi menjadi mahal. Pada proses hemo-diafiltrasi tidak diperlukan Qf yang terlalu tinggi, karena translokasi solut terjadi dengan kombinasi mekanisme konveksi dan difusi. Pada proses hemodiafiltrasi biasanya hanya diperlukan Qf < 10 cclkg BBImenit.
Akses Pembuluh Darah Pada proses hemodialisis atau hemofiltrasi diperlukan aliran darah (akses) dari tubuh ke ginjal buatan (dialyzer) melalui pembuluh darah. Bila akses dari tubuh melalui pembuluh darah arteri (A), maka aliran darah terjadi akibat tekanan darah sendiri. Bila akses melalui pembuluh darah vena (V) diperlukan suatu pompa (P). Darah selalu kembali kedalam tubuh melalui pembuluh darah vena, Biasa digunakan
istilah (A-V) bila akses keluar dari tubuh melalui pembuluh darah arteri dan kembali melalui pembuluh darah vena. Atau (V-V) bila keluar atau masuk kedalam tubuh melalui pembuluh darah vena (Tabel 1). Pada proses dialisis peritonial, akses cairan dialisat kedalam tubuh melalui kateter peritonial, sedang proses dihsi dan filtrasi terjadi di dalam rongga peritonial. Selama darah berada diluar tubuh(extracorperal), dicegah supaya tidak membeku dengan pemberian heparin, berupa heparin reguler atau heparin molekul rendah. Makin lama darah berada diluar tubuh, seperti pada CRRT, makin banyak heparin yang digunakan, dengan konsekuensi lebih akibat sering timbul efek sarnping. Pada tabel berikut ini Mehta RL (2000) memperlihatkan perbedaan dalam teknik beberapa jenis CRRT.
Berdasarkan lamanya waktu pelaksanaan, Mehta RL (1 998) membuat klasifikasi Terapi Pengganti Ginjal pada pasien GGA sebagai berikut: a). dilakukan dengan jangka waktu tertentu (intermiten) atau b). dilakukan secara berkesinambungan (continous). (Tabel 2) Pada terapi hemodialisis intermiten (IHD) proses dialisis berlangsung cepat, hanya 4-6 jam1 kali. Dengan teknik ini penjernihan darah berlangsung cepat dan efisien. Kerugiannya adalah penurunan volume cairan tubuh dan elektrolit juga berlangsung cepat sehingga sering didapatkan efek samping seperti hipotensi, gangguan elektrolit, atau edema otak. Pada terapi teknik baru, seperti EDD atau SLED, waktu dialisis diperpanjang (12-24 jam) dengan maksud agar proses dialisis menjadi lebih lambat sehingga efek sampingnya berkurang. Pada teknik CRRT, proses hemofiltrasi dilakukan secara berkesinambungan (continous RRT). Dengan demikian perubahan homeostatik berjalan lambat tetapi stabil.
Dalam pengelolaan pasien GGA dalam keadaan kritis, Mehta
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HlPERTENSl
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Terapi lntermiten Konvensional Hemodiallsis Konvensional (IHD) Dengan sorben Hemodiafiltrasi Ultrafiltrasi (sekuensial) Teknik baru Extended Daily Dialysis (EDD) Slow continuous dialysis Sustained Low Efficient Dialysis (SLED)
Terapi Berkesinambungan (CRRT) Dialisis Peritonial (PD) Ultrafiltrasi (SCUF) Hemofiltrasi (CAVH, C W H ) Hemodialisis (CAVHD, CWHD) Hemodiafiltration (CAVHDF, CVVHDF)
Keterangan: Slow Continous Ultrafiltration CAVH: Continous Arterio-Venous Hernofiltration Continous Veno-Venous Hernofiltration CAVHD: Continous Arterio-Venous Hernodialysis Continous Veno-Venous Hemofdialysis Continous Arterio-Venous Hernodiafiltration Continous Veno-Venous Hernodiafiltration IHD: Intermittent Hernodialysis PD: Peritoneal Dialysis SLED: Sustained Low-Efficient Dialysis
(200 1 ) I 8 membagi CRRT berdasarkan indikasi terapi yaitu : ( 1) Renal replacement, bila indikasinya untuk memperbaiki gangguan fungsi ginjal, dengan segala komplikasinya. (2) Renal support, yaitu bila indikasinya untuk membantu fungsi organ lain yang diakibatkan oleh gaga1 organ multipel (termasuk penurunan fungsi ginjal). Indikasi CRRT pada pasienGGA dapat dilihat pada Tabel 3.
Renal replacement
Renal support
Tujuan Mengganti fungsi ginjal pengobatan Saat melakukan Tergantung parameter intervensi bioimia lndikasi dialisis Dosis dialisis
Membantu organorgan lain Tergantung kebutuhan invidual Sempit Luas Sesuai penurunan fungsi Sesuai kebutuhan ginjal dan indikasi
Indikasi untuk memulai dialisis pada pasien GGA, terutama yang dalam keadaan kritis, sangat berbeda dengan indikasi pada pasien dengan Penyakit Ginjal Kronik (PGK). Berdasarkan kriteria NKFDOQI (1 997), inisiasi dialisis pada pasien PGK adalah bila Laju Filtasi Glomerulus (LFG) < 15 cclmenit. Pada pasien GGA indikasinya menjadi sangat luas, tergantung dari kondisi klinis yang dihadapi. Indikasinya sama sekali tidak berdasarkan LFG Dalarn tabel 4 dicantumkan beberapa kondisi klinis yang merupakan indikasi untuk memulai terapi.
Oliguri Anuriloliguri berat Hiperkalemi Asidosis berat Azotemi Gagal organ lain, terutama paru Enselopalopati uremik Perikarditis uremik Neuropatilmiopati uremik Hipernatremia berat Hiperterrnia Keracunan obat yang dapat terdialisis
(output urin < 200 mil12 jam) (output urin < 50 m1112 jam) (Kalium > 6.5 mmollliter) (pH < 7.1) ([urea] > 30 mmollliter) (edema paru)
(Natrium > 160 mmollliter)
Adanya salah satu kriteria tersebut di atas merupakan indikasi untuk memulai CRRT. Adanya 2 kriteria tersebut di atas merupakan keharusan untuk memulai CRRT.
TEKNIK OPERASIONAL BEBERAPA JENlS CRRT Setiap jenis CRRT mempunyai teknik operasional yang berbeda. Pemilihan teknik CRRT untuk pasien GGA hams memperhatikan: indikasi dan tujuan CRRT, fasilitas yang tersedia, efek samping, pengetahuan dan ketrampilan dokter atau perawat, tingkat kesulitan dan harga pengobatan.
Slow Continous Ultrafiltration ( S C U F ) Indikasi dari SCUF adalah untuk mengurangi cairan tubuh yang berlebihan. Teknik yang digunakan adalah ultrafiltrasi lambat (10 cclmenit. Menurut Ronco (2000) mortalitas pasien baru akan menurun secara bermakna bila Q f >35 cc/kgBB/menit. Mengingat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1063
TERAPI PENGGANTI CINJAL BERKESINAMBUNGAN (CRRT)
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Proses ini memerlukan pengawasan ketat. Tingkat kesulitan dan harga pengobatan teknik ini adalah yang paling mahal dibandingkan dengan teknik CRRT lainnya. Sirkuit CAVHD dan CVVHD dapat dilihat pada Gambar 4.
*
/I Gambar 2. SirlluR A V M SCUF
*-
ultrafiltrasi berlangsung secara berkesinanibungan maka dengan teknik ini keadaan hemodinamik tetap stabil. Diperlukan cairau substitusi untuk mengganti cairan yang hilang. Bany aknya cairan substitusi tergantung besamya Qf. Dengan teknik ini tidak diperlukan cairan dialisat. Akses pembuluh darah dapat A-V atau V-V. Pada akses A-V, tidak digunakan polnpa karena darah niengalir akibat tekanan darah arteri pasien. Pada akses V-V diperlukan pompa darah. Mengingat efisiensinya kurang maka akses A-V dewasa ini jarang digunakan. Membran yang digunakan lle~nofilter (high_flzr.u). Teknik ini dilakukan berkesinambungan dan memerlukan monitor yang ketat. Tingkat kesulitan dan harga pengobatan lebih tinggi dari SCUE Sirkuit CAVH dan C W H dapat dilihat pada Gambar 3.
II
CAVHD ",
-
1 Ji'l
Id.
CWHDC
.-
a-
I.
1 03
'
1..
1
4.
Gambar 4. Sirkuit CAVHDICWHD
Dialisis Peritoneal Dialisis peritoneal masih digunakan dibeberapa Rumah Sakit. Hal ini disebabkan karena tekniknya yang sangat sederhana dan murah. Pada dialisis peritoneal tidak dibutuhkan mesin dialisis atau ginjal buatan (dialiser). Proses difusi dan ultrafiltrasi terjadi di rongga peritoneum. Proses dialisis dilakukan secara berkesinambungan. Kerugiannya adalah semua proses yang terjadi tidak dapat diatur dan diramalkan. Proses penjemihan darah maupun ultrafiltrasi berlangsung lambat. Dari hasil penelitian Phu dkk (2002) didapatkan bahwa angka kematian pasien GGA yang menjalani dialisis peritoneal (47%) jauh lebih tinggi dibanding pasien yang menjalani CRRT jenis lain (1 5%). Oleh karena itu walaupun tekniknya mudah dan murah, tetapi tidak dianjurkan untuk digunakan, terutama bila ada pilihan CRRTjenis lain. BEBERAPA TEKNIK DIALISIS INTERMITEN
Continous Arterio-Venous Hemo Dia-filtration, Continous Veno-Venous Hemo Dia-filtration Perbedaan antara CAVHDFICVVHDF dibandingkan dengan CAVHICVVH adalah indikasinya. Selain untuk mernbuang kelebilian cairan tubuh, teknik ini dapat digunakan secara etisien untuk penjernihan darah. Agar terjadi penjemihan darah (proses difusi), rnaka digunakan cairan dialisat dengan laju dialisat yang lambat, Qd=l O- 15 cclmenit. Sedangkan kecepatan aliran darah juga dibuat lambat, Qb = 50-200 cclmenit. Mengingat Qd dan Qb yang lainbat maka keadaan hemodinamik akan tetap stabil. Selain cairan dialisat, juga diperlukan cairan substitusi untuk mengganti cairan yang hilang. Untuk proses ini diperlukan mesin hemofiltrasi dan penggunaan ki,gh7fEzrx dialyzer.
Hemodialisis lntermiten (IHD) IHD adalah teknik yang masih paling sering digunakan untuk pengelolaan GGA. Digi~nakanmesin hemodialisis dan dialiser yang konvensional seliingga teknik ini relatif lebih mudah dan murah. Dialisis dilakukan secara intermiten yaitu antara 4-6 jamlkali, 3 salnpai 6 kalil minggu. Proses penjemihan darah dan pengeluaran cairan yang berlebihan dapat dilakukan dalam waktu yang pendek. Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, seringkali menimbulkan efek samping hipotensi atau gangguan hemodinamik lain (Sirkuit IHD dapat dilihat pada Gambar 5). Menurut Schiff dkk (2002) bila waktu dialisis diperpanjang, yaitu dilakukan tiap hari angka kematian pasien dapat diturunkan. Menurut penelitiannya angka kematian pasien GGA dengan HD konvensional(2-3 kalil minggu) adalah 37%, lebih tinggi dibandingkan dengan bila HD dilakukan tiap hari (22%). Menurut Bellomo dkk
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
(1999) teknik CRRT, karena dilakukan secara berkesinambungan, mempunyai kelebihan dalam proses penjernihan darah bila dibandingkan dengan teknik IHD.
Sustained Low Efficient Dialysis (SLED) Teknik SLED merupakan modifikasi dari teknik HD konvensional .Teknik ini menggabungkan keuntungan dari HD setiap hari dm CRRT. Digunakm mesin HD dan dialiser konvensiona1 sehingga harganya tidak terlalu mahal dan tidak perlu pengawasan khusus. Agar hemodinamik menjadi lebih stabil maka Qb diturunkan menjadi 4 5 0 cc/ menit dan Qdmenjadi <300 cdmenit. Untuk mengimbangi agar dialisis tetap efisien maka waktu dialisis (tD) diperpanjang menjadi 5-12 jam (Sirkuit IWD dapat dilihat pada Gambar 5). Pada SLED terjadi proses penjernihan darah dan kontrol cairan tubuh yang efisien dan stabil. Tidak diperlukan cairan substibsi atau monitoring yang ketat. Pertama kali digunakan oleh Marshal (1 998). Menurut Liao dkk (2003) translokasi molekul rnenengah dan besar pada teknik SLED jauh lebih baik dibanding H D konvensional. Nampaknya teknik ini menjanjikan, walaupun belum banyak dilakukan penelitian mengenai SZH).
II Garnbar 9. Sirkuit IHD dan SLED
CRRT PADA PASIEN SEPSIS
Berdasarkan hipotesis bahwa CaRT dapat melakukan penjernihan darah dan kontrol cairan tubuh secara efisien, timbul dugaan bahwa CRRT dapat digunakan untuk factor, PA1 membuang sitokin, endotoksin, tumor necroui.~ dan zat-zat proinflamasi tainnya. Tetapi sampai saat ini tidak ada bukti yang pasti mengenai masalah ini. Ronco dkk (2000) membuktikan bahwa angka kematian pada pasien dengan GGA yang disertai sepsis berhubungan dengan dosis ultrafiltrasi. Angka kematian akan menurun secara bermakna bila dosis ultrafiltrasi >35 cc/kgSB/jam. Tetapi penurunan angka kematian ini lebih berhubungan dengan rendahnya gangguan hemodinamik pada pasien, bukan karena menurunnya kadar sitokin. John s dkk (200 1 ) membandingkan kelompok pasienGGA dengan sepsis dengan tempi C W H (20 orang) dm hemodialisis intermiten (10 orang), tidak ada perbedaan pada parameter perhsi
splanknik regional, sepesti pH, KO,, atau perbedaan konsentrasilkadar pCO, pada kedua kelompok pasien. Kellum dkk (2002) melakukan meta-analisis pada 13 penelitian d e n pjumlah pasien lebih dari 1000orang. Tidak didapatkan perbedaan dalam angka kematian diantara CRRT dm hernodialisis intemiten(1HD) (RR-0,93;0,95. G1=0,79-1,09). TeknikCRRT yang mutakhir adalah CPFA( continousplasmafiltration), Pada peneltian dengan jurnlah pasien terbatas, teknik ultrafiltrasi yang digabung dengan plasmaferesis dapat rnengurangi endotoksin yang beredat dalam darah. Selain itu untuk mengurangi intoksikasi akut ditambahkan filter sorben yang berisi antibiotik (palymyxin B). Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untulc dapat menarik kesimpulan secara pasti mengenai efektifitas teknik-teknik baru tersebut.
REFERENSI Bellomo R. Farmer M, Bhonagiri S. et al. Changing acute renal failure treatment from lnterrnirtent hernodialysis to continuous hemofiltration: impact on a ~ o t e m i ccontrol. Int J Art Org. 1999;(22); 145-50. Besarh A, Ra.ja RM. Vwcular acces for hemodialysis. In: Daugardias JT. Blake P4, Ing TS. editors. Ilandbook of dialysis. 3'* edition. Lippincot Williams & Wilkins; 2001. p. 67-101. Briglia A, Paganini E. Acule renal failure in the intensive care unit. Clin Chest Med. 1999;20:347-66. Conger J. Dialysis and related therapies. Sernin Nephrol. 1998;18:933-40. Daugirdas JT. Peritoneal dialysis in acute renal failure - why the bad outcome ?. New Engi J Med. 2002;347:933-5. Daugirdas JT, van store JC. Physiologic principles and urea kinetic modeling. In: Daugardias JT. Blake P4, lng TS, editors, Handbook of dialysis. 3"' edition. Lippincot Williams L Wilkins; 2001. p. 15-45. De Vriese ANS. Prevention and treatment of acure renal failure in sepsis. J Am Soc Nephrol. 2003;14:792-805. John S, Griesbach D, Bautngartel M, et al. Effect of conlinuoas haemofiltration vs intermittent haemodial3sis on systemic haemodjnamics and splanchnic regional perfusion in septic shock patients: a prospectite, randonlized clinical trial. Nephrol Dial 'Sransplant 2001 :I 6(2):320-7. Kaplan AA. Renal failure. In: Bongard FS, Sue DY. editors. Current critical care. Diagnosis and treatment. 2"' edition. New York: Mc Graw-Hill: 2002. p. 342-75. Kellum JA, Angus D, Johnson JP et.al. Continous versus Intermittent renal replacement: a meta analysis. Intensive Care MA!, 2002;28:29-37. Kramer P, Wigger W. Matthaei D. Scheler F. Arterio-venous hemofiltration: a neM simple method for treatment of o~erhydratedpatients resistant to diur~titics.Klin Wochenschr. 1977:55:1121. Liao 2, Zhang W, Hatdy PA, et al. Kinetic compariscm of different acute dialqsis therapies. Artif Organs. 2003;27(9):802-7. Marshall MR, Golper TA, Shaver MJ, et al. Ilrea kinetics during sustained low-efficiency dialysis in critically ill patients requiring renal replacement therapy Am J Kidney Dis. 2002;39(3):556-70.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1065
TERAPI PENGCANTI GINJAL BERKESINAMBUNGAN (CRRT)
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Marshal MR, Golper TA, Shaver MJ, Alam MG, et al. Sustained low-efficient dialysis for critically ill patients requiring renal replacement therapy. Kidney Int. 2001;60(2):777-85. Mehta RL, Chertow GM. Selection of dialysis modality. In: Owen WF, Pereira BJ, Sayegh MH, editors. Dialysis and transplantation; a companion to Brenner & Rectors' the kidney. Philadelpia: WB Sanders; 2000. p. 403-17. Mehta RL. Supportive therapies; intermittent hemodialysis, continuous renal replacement therapies and peritoneal dialysis. In: Schrier RW, editor. Atlas of diseases of the kidney, Current Medicine. Philadelphia: Blackwell Science; 1998. Mehta RL. Indications for dialysis in the ICU renal replacement vs renal support blood purification. 2001;19:227-32. National Kidney Foundation. NKF-DOQI clinical practice guidelines for dialysis adequaly. Am J Kidney Dis. 1997;3D[52]:567-5 136. Phu NH, Hien TT, Thi N, Mai TH, et al. Hemofiltration and peritoneal dialysis in infection-associated acute renal failure in vietnam. N Engl J Med. 2002; (347):895-902. Reilly PO, Tolwani A. Renal replacement therapy. Crit Care Clin. 2005;21: 367-78.
Ronco C. Bellomo R Homel P, et al. Effects of different doses in continous veno-venous hemofiltration on outcomes of acute renal failure: a prospective randomised trial. Lancet. 2000;356:26-30. Schiffl H, Lang SM, Fischer R. Daily hemodialysis and the outcome of acute renal failure. N Engl J Med. 2002;346:(5): 305-10. Schrier R.W., Wang W. Acute renal failure and sepsis. N Engl J Med. 2004; 351 :(2):159-69. Teschan PE. Evolution of daily hemodialysis in acute renal failure: from the Korean War to the Present. Home Hemodial Int. 1999;3:58-68. Tetta C, D'Intini V, Bellomo R, et al. Extracorporeal treatments in sepsis: are there new perspectives? Clin Nephrol. 2003;60:299304. Van Bommel EF, Leunissen KM, Weimar W. Continuous renal replacement therapy for critically ill patients: an update. J Intensive Care Med. 1996;24: 192-8. Yeun J, Depner T. Principles of dialysis modality. In: Owen WF, Pereira BJ, Sayegh MH, editors. Dialysis and transplantation; a companion to Brener & Rectors' the kidney. Philadelpia: WB Sanders; 2000. p. 1-32.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
TRANSPLANTASI GINJAL Endang Susalit
PENDAHULUAN Pada tahun 2002, National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative(K/DOQg telah menyusun pedoman praktis penatalaksanaan klinik tentang evaluasi, klasifikasi, dan stratifikasi penyakit ginjal kronik. Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan ringan fungsi ginjal, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal. Jika sudah sampai pada gagal ginjal tahap akhir, yaitu penyakit ginjal kronik stadium 5, dibutuhkan terapi pengganti untuk dapat bertahan hidup. Ada tiga jenis terapi pengganti yaitu hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal. Pada Gambar 1 dapat dilihat hubungan dan peran tiap terapi pengganti dalam penatalaksanan pasien gagal ginjal tahap akhir. PenyakiiGinjal Kmnik Progresif
1 1
- 4
Terapi Konsewatif
21/Gagai Ginjai Tahap Akhir
J
Meninggai
Diaiisis
Hernodialisis/ DPMB')
f
Transplantasi
Bertahan hidup
Ginjal
') Dimllsls pmitoneal mandmn berkeslnambungan
Garnbar 1. Skerna penatalaksanaan gagal ginjal
Semua pasien dengan gagal ginjal tahap akhir dipertimbangkan sebagai calon resipien transplantasi ginjal kecuali jika mengidap penyakit keganasan sistemik, infeksi kronik, penyakit kardiovaskular yang berat atau gangguan neuropsikiatrik yang akan mengganggu kepatuhan minum obat imunosupresif, meskipun pada akhirnya pasien yang akan memutuskan jenis terapi pengganti yang akan dipergunakan.
TRANSPLANTASI GINJAL SEBAGAI SALAH SATU PlLlHAN TERAPI PENGGANTI Transplantasi ginjal telah menjadi terapi pengganti utama pada pasien gagal ginjal tahap akhir hampir di seluruh dunia. Manfaat transplantasi ginjal sudah jelas terbukti lebih baik dibandingkan dengan dialisis terutama dalam ha1 perbaikan kualitas hidup. Salah satu di antaranya adalah tercapainya tingkat kesegaran jasmani yang lebih baik. Misalnya, seorang perempuan muda yang menerima ginjal transplan bisa hamil dan melahirkan bayi yang sehat. Transplantasi ginjal yang berhasil sebenarnya merupakan cara penanganan gagal ginjal tahap akhir yang paling ideal, karena dapat mengatasi seluruh jenis penurunan fungsi ginjal. Di pihak lain, dialisis hanya mengatasi akibat sebagian jenis penurunan fungsi ginjal. Di samping itu transplantasi ginjal masih memberikan keuntungan lain dibandingkan dengan dialisis seperti terlihat pada Tabel 1. Manfaat transplantasi paling jelas terlihat pada pasien usia muda dan pada pasien diabetes melitus. Sebagai contoh, pasien dialisis nondiabetik yang berumur 20-39 tahun mempunyai harapan hidup 20 tahun lagi, tetapi jika dilakukan transplantasi ginjal harapan hidupnya menjadi 31 tahun lagi. Pasien dialisis yang diabetik pada kelompok yang sama mempunyai harapan hidup 8 tahun lagi, tetapi jika dilakukan transplantasi ginjal harapan hidupnya menjadi 25 tahun lagi.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
'
TRANSPLANTASI GINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Ada beberapa faktor yang berperan pada keberhasilan transplantasi ginjal, yaitu faktor yang berkaitan dengan donor dan resipien, faktor imunologi, faktor penanganan pra dan peri-operatif, serta faktor pasca-operatif.
Transplantasi ginal
Hernodialisis kronik
Satu kali (biasanya)
Seumur hidup
Kualitas hidup (jika berhasil)
baik sekali
cukup baik
Ketergantungan pada fasilitas medik
minimal
Besar
Jika gagal
dapat hemodialisis kembali atau transplantasi lagi
Meninggal
Angka kematianltahun
4 -8 %
20-25%
Prosed;
FAKTORYANG BERKAITAN DENGAN DONOR Transplantasi ginjal tidak bisa terlaksana tanpa ginjal donor. Walaupun perhatian sering lebih banyak dicurahkan pada penanganan resipien pascatransplantasi, identifikasi masalah dan persiapan donor sangat berpengaruh terhadap keberhasilan transplantasi. Transplantasi ginjal dapat memanfaatkan ginjal donor hidup yang sehat atau ginjal donor jenazah. Kekurangan jumlah ginjal donor merupakan masalah umum yang dihadapi seluruh dunia. Sebagian besar negara di Asia sudah memanfaatkan donor jenazah, sedangkan Indonesia belum memanfaatkan donor jenazah, seperti terlihat pada Tabel 2. Transplantasi donor hidup memang memberikan hasil yang lebih baik. Akan tetapi, transplantasi donor jenazah juga memberi keuntungan yang lain, yaitu tidak adanya risiko pada donor dan ginjal donor dapat diberikan kepada resipien yang paling sesuai.
Negara Jepang Korea Saudi Arabia Taiwan Filipina Malaysia Muangthai Singapura Indonesia Bangladesh
Donor hidup I%)
Donor Jenazah I%)
DONOR HlDUP
Yang dimaksud dengan donor hidup adalah donor yang masih hidup. Pemeriksaan persiapan calon donor hidup dilakukan secara bertahap seperti terlihat pada Tabel 3. Dengan prosedur penjaringan dan evaluasi donor tersebut, dapat dipastikan bahwa calon donor memang ikhlas untuk mendonasikan ginjalnya, dalam keadaan sehat dan mampu menjalani operasi nefrektomi, serta mampu hidup normal dengan satu ginjal setelah melakukan donasi. Yang dimaksud dengan hidup normal di sini adalah dapat bekerja seperti sebelum donasi, tidak memerlukan diet khusus atau obat, tidak ada perubahan dalam kehidupan seks, dan jika masih dalam usia subur, ia tetap subur seperti semula. Calon donor tidak dipakaijika mengidap penyakit ginjal atau jika diprediksi terdapat peninggian risiko morbiditas dan mortalitas pada saat operasi transplantasi. Pada tabel 4 dapat dilihat kriteria eksklusi calon donor hidup. Semakin tua umur seseorang semakin kecil cadangan fungsi ginjalnya sehingga ginjal yang berasal dari donor yang berumur lebih tua akan menghasilkan fungsi ginjal transplan yang lebih rendah. Ginjal yang berasal dari donor yang berumur sangat muda, 0 sampai dengan 5 tahun, juga sangat peka terhadap waktu iskemik dingin dan cenderung menghasilkan kegagalan imunologik yang lebih tinggi. Ginjal yang berasal dari donor dengan virus sitomegalo positif yang ditransplantasikan ke resipien dengan virus sitomegali negatif, cenderung mempunyai ketahanan hidup yang lebih pendek jika dibandingkan dengan ginjal yang berasal dari donor dengan virus sitomegalo negatif.
(1) Penjaringan Donor Edukasi resipien tentang donasi donor hidup dan jenazah Anamnesis riwayat keluarga dan penjaringan calon donor Konfirmasi kesamaan golongan darah ABO calon donor dengan calon resipien Pemeriksaan tissue typing dan cross match calon donor yang golongan darah ABO-nya sama dengan calon resipien Pilih calon donor yang paling sesuai, bersama calon resipien dan keluarga Edukasi calon donor tentang proses evaluasi dan donasi (2) Evaluasi Donor Anamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap Pemeriksaan laboratorium : Darah lengkap, kimia darah, HBsAg, anti-HCV, CMV, VDRL, HIV, tes toleransi glukosa(jika ada riwayat diabetes dalam keluarga), hemostasis, tes kehamilan Urinalisis, kultur urin, tes klirens kreatinin, ekskresi protein dalam urin-24 jam Foto toraks, elektrokardiografi, tes treadmill (usia >50 tahun), pielografi intravena Evaluasi psikiatrik Arteriografi ginjal Tes crossmatch sebelum transplantasi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
CINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dokter Indonesia (IDI) telah memberikan Urnur kurang dari 18 tahun atau lebih dari 65 tahun Hipertensi (> 140190 atau perlu obat darah tinggi) Diabetes (Tes toleransi glukosa atau HbAlc abnormal) Proteinuria (> 250 rng124 jam) Riwayat batu ginjal Laju filtrasi glomerulus abnormal (TKK < 80 mllmenit) Hernaturia mikroskopik Kelainan urologik ginjal donor Masalah rnedik yang bermakna (PPOK, Keganasan baru) Obesitas (30% di atas berat badan ideal) Riwayat trombosis atau tromboembolisrne Kontraindikasi ~sikiatrik TKK= tes kliren kreatinin; PPOK= Penyakit paru obstruktif kronik
DONOR JENAZAH Transplantasi donor jenazah bertujuan memanfaatkan organ tubuh pasien yang akan meninggal. Ginjal donor jenazah dalam waktu yang relatif singkat hams segera dipindahkan ke resipien. Dewasa ini, dikembangkan pula donasi ginjal yang berasal dari jenazah dengan jantung yang sudah tidak berdenyut lagi, yang lazim disebut donor henti denyut jantung (stop beating heart donor). Pada umumnya, donor jenazah adalah korban trauma kepala atau penyakit pembuluh darah otak. Kontraindikasidonorjenazah absolut dan relatif dapat dilihat pada Tabel 5. Ketahanan hidup ginjal transplan dari donor jenazah yang meninggal karena penyakit serebrovaskular iskemik tidak sebaik ketahanan hidup ginjal transplan dari donor jenazah yang meninggal karena perdarahan subaraknoid.
rekomendasi tentang batasan mati, yang antara lain menyebutkan bahwa manusia dinyatakan mati jika batang otaknya tidak berfungsi lagi. Penentuan saat mati batang otak pasien yang akan menjadi donorjenazah dibuat setelah ada izin dari keluarga oleh dokter lain di luar tim transplantasi, untuk mencegah kemungkinan adanya keinginan yang terlalu cepat untuk segera melakukan transplantasi. Kriteria mati batang otak dapat dilihat pada Tabel 6. Sementara itu, pasien hams tetap dirawat oleh tim dokter yang merawatl mengobati sebelumnya yang dilaksanakan di dalam unit yang lengkap, seperti unit perawatan intensif atau unit perawatan jantung intensif sebagai pasien biasa dan bukan dianggap sebagai pasien tahap akhir. Produksi urin dipertahankan cukup banyak, seolah-olah demi kepentingan pasien sendiri.
1). Persyaratan: (a) korna, respirasi dengan ventilator (b) diagnosis penyebab korna: pasti (kelainan struktur otak ireversibel) 2). Disingkirkan: (a) hipoterrni (< 35" C) (b) obat-obatan (c) kelainan endokrinlmetabolik berat 3). Tes: (a) tidak ada refleks batang otak (b) aDnu
DONOR GINJAL XENOGENIK Absolut
Relatif
Urnur 7 70 tahun
Urnur > 60 tahun
Penyakit ginjal kronik Keganasandengan metastasis
Urnur < 5 tahun Hipertensi ringan
Hipertensi berat Sepsis bakteri Pecandu obat intravena HBsAg, anti HCV, HIV positif
lnfeksi yang diobati Nekrosis tubuler akut nonoligurik Masalah rnedik donor (diabetes, SLE) Waktu iskemik dingin yang panjang
Gagal ginjal akut oligurik
Perforasi usus
Waktu iskernik panas yang panjang SLE = systemic lupus erythematosus
Alasan yang kuat untuk mengembangkan xenotransplantasi adalah kurangnya jumlah organ donor untuk transplantasi pada manusia. Xenotransplantasi adalah transplantasi jaringan atau organ di antara dua spesies yang berbeda, misalnya dari hewan ke manusia. Pada saat ini sedang dikembangkan transplantasi ginjal dari babi ke manusia yang masih banyak mengalami kendala imunologik dan non-imunologik. Respons imunologik terhadap xenotransplan dapat berupa rejeksi hiperakut, rejeksi akut vaskular dan selular, dan rejeksi kronik. Kendala non-munologik bempa risiko transmisi infeksi, kecocokan fisiologik, dan masalah etika clan agarna yang berkaitan dengan pemanfaatan organ yang berasal dari hewan untuk manusia.
DIAGNOSIS MATI BATANG OTAK
FAKTOR YANG BERKAITAN DENGAN RESlPlEN
Masalah yang harus diperhatikan pada transplantasi donor jenazah adalah penentuan batasan mati. Batasan mati yang bermanfaat untuk donasi organ tubuh adalah mati batang otak. Di Indonesia, pada tahun 1985 Ikatan
Sebelum pasien gagal ginjal dipertimbangkan sebagai calon resipien transplantasi ginjal, harus dipastikan terlebih dahulu apakah pasien memang sudah mengalami gagal ginjal tahap akhir.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TRANSPLANTASI GINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
SELEKSI CALON RESlPlEN TRANSPLANTASI GINJAL
Tujuan seleksi calon resipien transplantasi ginjal adalah untuk mengidentifikasi adanya masalah medik, sosial, dan psikologis yang dapat menghambat keberhasilan transplantasi ginjal. Berdasarkan data yang diperoleh, selain dipertimbangkan bahwa pasien akan mendapat obat imunosupresif untuk jangka waktu panjang, harus dipastikan pula bahwa transplantasi ginjal merupakan pilihan terapi pengganti yang terbaik untuk pasien. Tidak jarang pasien mengidap penyakit multisistem selain ginjal atau penyakit penyerta lain yang disebabkan oleh hipertensi, hiperlipidemia atau uremia. Pada Tabel 7 dapat dilihat evaluasi preoperatif yang dilakukan pada calon resipien transplantasi ginjal. Kriteria yang digunakan untuk menyeleksi pasien dialisis untuk transplantasi ginjal berbeda di tiap unit transplantasi, yang umumnya berdasarkan pengalaman di masing-masing unit. Sebagian besar unit transplantasi tidak melakukan transplantasi pada pasien dengan antiHIV positif, dan melakukan transplantasi pada resipien dengan anti-CMV negatif dari donor dengan anti-CMV positif. Sebagian besar unit transplantasi tidak melakukan transplantasi pada resipien dengan HBsAg positif yang pada biopsi hati didapatkan hepatitis kronik aktif. Pendapat berbagai unit masih beragam terhadap resipien dengan anti-HCV positif, donor dengan anti-HCV positif, dan resipien dengan masalah kardiovaskular.
1). Anarnnesis dan perneriksaan fisis lengkap 2). Perneriksaan laboratoriurn: Golongan darah, darah lengkap, kirnia darah, HBsAg, anti HCV, CMV, HSV, HIV, VDRL Urinalisis, kultur urin, sekret dan tes resistensi, tissue typing, antibodi sitotoksik, hernostasis 3). Elektrokardiografi, ekokardiografi 4). Foto toraks, arteriografi /Doppler a.iliaka 5). Perneriksaan THT, gigi-rnulut (fokus infeksi) 6). Gastroskopi
nefropati diabetik, ginjal transplan dapat mengalami nefropati, dan pasien diabetes melitus baik yang bergantung maupun yang tidak bergantung pada insulin cenderung mengalami komplikasi kardiovaskular yang meningkatkan mortalitas. Penyakit ginjal obstruktif, khususnya urolitiasis, dapat kambuh pada ginjal transplan. Demikian pula, nefropati hipertensif atau nefrosklerosis dapat timbul pada ginjal transplan jika hipertensi tidak dikendalikan secara baik.
KONTRAlNDlKASl TRANSPLANTASI GINJAL Pada beberapa keadaan, transplantasi ginjal tidak dianjurkan karena merupakan prosedur dengan risiko tinggi, seperti terlihat pada Tabel 9.
Kekarnbuhan Penyakit Dasar Glomerulonefritis rnernbranoproliferatif (Tipe 1) Glornerulonefritis rnernbranoproliferatif (Tipe 2) Glornerulosklerosis fokal Nefropati IgA Glornerulonefritis kresentik Nefritis antirnernbrana basalis glorneruler Glornerulonefritis membranosa idiopatik Nefritis lupus Purpura ~enoch-~chonlein
lnsiden (%)
Gagal Transplan (%)
25
8
1). Masalah psikiatrik, seperti psikosis, retardasi mental, dan adiksi obat 2). Riwayat ketidakpatuhanyang berulang 3). Urnur sangat lanjut ( > 70 tahun) 4). Keganasan baru atau dengan metastasis 5). Penyakit di luar ginjal (jantung, vaskular, hati, paru-paru) yang berat 6 ) . lnfeksi kronik (tuberkulosis aktif)
ETlOLOGl GAGAL GINJAL Etiologi penyakit ginjal yang menyebabkan gagal ginjal juga sangat penting karena beberapa penyakit ginjal primer tertentu bisa kambuh lagi pada ginjal transplan. Glomerulonefritis adalah salah satu penyebab gagal ginjal yang penting dan insiden kekambuhan pada ginjal transplan sangat bervariasi antara 1 dan 90%, bergantung pada jenis kelainan histologik, seperti terlihat pada Tabel 8. Kemungkinan terjadinya gagal ginjal transplan akibat kekambuhan penyakit dasar jauh lebih kecil, yaitu paling tinggi 12% pada glomerulosklerosis fokal. Pada pasien
KOREKSI PENYAKIT PENYERTA PRETRANSPLANTASI Pasien gagal ginjal tahap akhir harus menjalani dialisis secara teratur selain mendapat terapi yang lain, khususnya beberapa minggu sebelum transplantasi, sehingga tercapai keadaan umum yang optimal pada saat menjalani operasi. Masalah medik atau bedah harus dikoreksi terlebih dahulu sewaktu pasien masih dalam periode dialisis seperti hipertensi, hiperglikemia bila mengidap diabetes melitus, ulkus peptikum, karies dentis, dan penyakit jantung
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
koroner. Pada Tabel 10 dapat dilihat prosedur pembedahan yang mungkin harus dilakukan sebelum dilaksanakan transplantasi ginjal.
Saluran kemih
:
Jantung Gastrointestinal
: :
Gigi-mulut
:
prostatektomi, batu saluran kemih, nefrektomi, eksisi leher kandung kemih operasi pintas koroner penyakit divertikel, batu kandung empedu ekstraksi gigi
FAKTOR LAIN Dilaporkan bahwa angka mortalitas pascatransplantasi meningkat pada pasien yang menjalani hemodialisis lebih dari dua tahun, dan makin panjang waktu periode dialisis pratransplantasi, makin buruk prognosis pasca transplantasi. Resipien yang berusia lebih dari 55 tahun dan kurang dari 16 tahun mempunyai risiko yang lebih tinggi. Yang berusia muda cenderung mengalami kelambatan saat ginjal mulai berfungsi. Di pihak lain, yang berusia tua cenderung mengalami peninggian mortalitas kardiovaskular pascatransplantasi. Respons imunitas yang menurun pada usia lanjut menyebabkan terjadinya penurunan rejeksi secara bermakna pada resipien yang berusia lebih dari 60 tahun. Lebih dari 60% resipien yang berusia kurang dari 15 tahun akan mengalami rejeksi akut dalam 6 bulan pascatransplantasi. Resipien dengan obesitas cenderung mengalami keterlambatan saat ginjal transplan mulai berfungsi. Septikemia, gangguan gastrointestinal, dan diabetes pascatransplantasi lebih sering dijumpai pada pasien dengan obesitas.
Transplantasi ginjal dengan golongan darah ABO donor dan resipien yang berbeda dapat dilakukan dengan mengeluarkan dan menurunkan titer antibodi anti-A dan anti-B dengan cara plasmaferesis dan splenektomi resipien atau dengan cara imunoadsorpsi pratransplantasi. Transplantasi ginjal dengan golongan darah ABO donor dan resipien yang berbeda ternyata menunjukkan hasil yang cukup baik walaupun dengan biaya yang sangat besar karena prosedurnya agak rumit.
KELAS KOMPLEKS HlSTOKOMPATlBlLlTAS MAYOR Ginjal transplan direjeksi terutarna karena adanya protein di dalam membran sel yang dikode oleh kompleks histokompatibilitas mayor (MHC). Kompleks histokompatibilitas mayor pada manusia merupakan kumpulan gen yang menempati lengan pendek kromosom 6. Kumpulan gen ini, dikenal sebagai antigen leukosit manusia (HLA), mengkode glikoprotein membran sel, serta berperan pada inisiasi dan akselerasi respons imun. Terdapat tiga jenis molekul yang dikode, yaitu Kelas I, 11, dan I11 seperti terlihat pada Gambar 2. Antigen Kelas I terdapat pada membran plasma hampir di semua sel dan jaringan, sedangkan Kelas I1 terdapat pada sebagian kecil jenis sel seperti limfosit B, makrofag, monosit, dan sel dendritik folikuler. Antigen Kelas I1 itu juga dapat ditemukan pada membran sel jenis lain, seperti limfosit T, sel endotel, dan sel tubulus ginjal sebagai akibat pengaruh sitokin, seperti interferon gama dan faktor nekrosis tumor.
DP
DQ DRB DRA
84 Hsp70 TNF HLA-B HLA-C HLA-A
FAKTOR IMUNOLOGI
Gambar 2. Kompleks histokompatibilitas mayor pada lengan pendek. Kromosom 6. Hla kelas 1: Hla-a, b, c; kelas 2: Hla-dp, dq, dr; kelas 3: B4, hsp 70, tnf
Pada transplantasi ginjal, sistem histokompatibilitas yang berperan adalah kesesuaian sistem golongan darah ABO dan HLA (human leucocyte antigen).
FUNGSI KOMPLEKS HlSTOKOMPATlBlLlTAS MAYOR
SISTEM GOLONGAN DARAH ABO Golongan darah ABO resipien hams sama dengan donor; jika berbeda dapat terjadi reaksi rejeksi vaskular hiperakut dan akut walaupun ada yang melaporkan keberhasilan pada keadaan tersebut. Rejeksi pada keadaan tersebut disebabkan oleh antibodi yang bereaksi dengan antigen golongan darah A danJatau B yang terdapat. di dalam sel endotel vaskular.
Fungsi HLA adalah mempresentasikan antigen asing terhadap limfosit T yang kemudian akan memicu respons imun. Molekul HLA dapat mengikat protein asing dan bereaksi dengan kompleks reseptor sel-TED3 pada sel T dengan cara yang khas, yaitu HLA Kelas I dengan sel TCD8 dan HLA Kelas I1 dengan sel T-CD4. Pada Gambar 3 terlihat limfosit-CD4 (sel helper/ inducer) bereaksi dengan reseptor antigen Kelas 11, sedangkan limfosit-CD8 (sel sitotoksik/supresor)bereaksi dengan sel yang mengandung antigen Kelas I.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TRANSPLANTASI GINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Sel Alogenik
4
Limfosit T Helper
/
HLA Kelas 11
L~rnfositT Sitotoksik
HLA Krlas I
Rcseptor SB
Garnbar 3. lnteraksi antara kelas HLA dan limfosit
PENGARUH KESESUAIAN HLA TERHADAP HASlL TRANSPLANTASI GINJAL Pada transplantasi ginjal donor keluarga terdapat korelasi yang sangat berrnakna antara jumlah kesamaan haplotip donor dengan resipien dan ketahanan hidup ginjal transplan. Dilaporkan bahwa pada resipien yang mendapat prednisolon dan azatioprin, ketahanan hidup ginjal transplan 1 taliun dari saudara dengan HLA identik 9095%, saudara dengan haplo-identik 70-80%, dan saudara dengan haplo-negatif 60-70%. Pada resipien yang mendapat siklosporin dilaporkan bahwa angkanya lebih tinggi daripada angka tersebut di atas. Pada transplantasi ginjal donor jenazah, meskipun transplantasi dari donor dengan kesesuaian 6 antigen HLA memberikan hasil yang lebih baik daripada dari donor dengan kesesuaian I-ILA yang kurang dari 6, banyak studi melaporkan hasil yang cukup baik walaupun Iianya HLA DR yang sesuai atail HLA DR dan B yang sesuai. Urutan antigen HLA yang meniberikan hasil transplantasi ginjal yang makin kurang baik jika terdapat ketidaksesuaian adalah HLA DR, B, dan A. Faktor lain yang mempengaruhi ketahanan hidup ginjal transplan adalah jenis dan dosis obat imunosupresif yang dipakai, misalnya siklosporin. Secara umuin, dikatakan bahwa makin kuat imunosupresi, rnakin kecil keuntungan yang diperoleh dengan kesesuaian HLA. Pada resipien yang mendapat 4 jenis obat imunosupresif, pengaruh kesesuaian antigen HLA rnenjadi tidak tampak. Meskipun demikian, pengaruh ketidaksesuaian antigen HLA terhadap ketahanan hidup ginjal transplan diduga rnasih ada dalam jangka waktu panjang setelah transplantasi.
reaksi rejeksi hiperakutlaccelerated karena selain sitotoksik juga dapat langsung menimbulkan reaksi pada sel endotel ginjal transplan, mengaktifkan sistem komplemen, dan menyumbat mikrosirkulasi ginjal transplan dengan trombus. Karena itu, tes crossmcrtch yang dilakukan pada pratransplantasi merupakan suatu keharusan. Pemeriksaan yang paling sering digunakan adalah tes limfositotoksisitas dengan memakai komplemen. Selain itu ada pusat transplantasi yarig menggunakan teknik flow cytometry atau teknik lain yang rnendeteksi adanya antibodi terhadap antigen yang lebih spesifik, yang terdapat dalam sel endotel pembuluh darah, monosit, atau sel epitel.
MIXED LYMPHOCYTE CULTURE Pada transplantasi donor hidup dapat dilakukan tes mired lymphocyte reaction untuk menentukan derajat ketidaksesuaian antigen Kelas 11. Dasar tes ini adalah proliferasi yang terjadi bila limfosit seseorang dikultur bersama limfosit orang lain. Tes ini dapat membantu seleksi bila terdapat lebih dari satu donor. Tes ini secara in vitro dapat membantu memprediksi respons imun resipien terhadap antigen donor. Tes ini bermanfaat untuk mengukur kapasitas proliferasi limfosit resipien walaupun tidak banyak lagi yang menggunakan tes ini dalam kegiatan transplantasi ginjal sehari-hari.
FAKTOR PREOPERATIF DAN PERIOPERATIF Beberapa faktor perlu diperhatikan pada waktu menjelang, selama, dan segera sesudah operasi transplantasi ginjal.
WAKTU ISKEMIK GINJAL
Keberhasilan transplantasi ginjal juga ditentukan oleh panjang waktu suatu ginjal mengalami iskemia akibat terhentinya sirkulasi. Ada empat jenis waktu iskemik yang harus diperhatikan pada transplantasi ginjal, yaitu: 1). Waktu iskemik total, yakni waktu selama ginjal tidak mendapat sirkulasi darah; dimulai dari saat nefiektomi sampai dengan selesainya anastomosis pembuluh darah pada waktu operasi transplantasi ginjal; 2). Waktu iskemik panas TES CROSSMATCH pertama, yakni waktu yang dimulai dari saat sirkulasi ke ginjal berhenti sampai saat dimulainya perfusi ginjal Tes crosstnatch bertujuan mengetahui adanya antibodi dengan cairan pembilas; 3). Waktu iskemik dingin, yakni dalam serum resipien, khususnya antibodi anti-HLA, waktu yang dimulai dari saat ginjal donor diperfusi cairan terhadap antigen donor. Antibodi pratransplantasi ini bisa pembilas sampai perfusi dihentikan; 4). Waktu iskemik timbul akibat kehamilan, transfusi darah, atau gagal ginjal panas kedua, yakni waktu yang dimulai dari saat perfusi transplan sebelumnya. AntibodiONLY ini dapat menyebabkan SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI cairan pembilas dihentikan sampai dengan anastomosis di buka. Waktu iskemik panas sangat berkorelasi dengan panjang hidup ginjal transplan. Jika waktu iskemik panas pertarna lebih dari 60 menit ketahanan hidup ginjal transplan sangat menurun. Pada donorjenazah, waktu iskemik dingin yang lebih dari 24 jam akan memperlambat saat ginjal transplan mulai berfungsi pascatransplantasi, dan akan menurunkan ketahanan hidup ginjal transplan.
Panjang waktu penyimpanan ginjal bergantung pada proses pendinginan yang dilakukan untuk mengurangi aktivitas metabolik dan kebutuhan oksigen, serta jenis cairan pembilas yang digunakan untuk mempertahankan lingkungan intraselular dalam keadaan tanpa adanya pompa natriudkalium. Perfusi dilakukan dengan cairan pembilas yang bersuhu 2-4" C melalui arteri renalis karena proses pendinginan yang kurang atau berlebihan dapat menyebabkan kerusakan intraseluler yang ireversibel. Ada beberapa jenis cairan pembilas yang dapat digunakan, antara lain, cairan Histidine-TryptophaneKetoglutarate, University of Winconsin,dan Euro-Collins. Ditinjau dari saat ginjal transplan mulai berfungsi dan derajat fungsi ginjal pada hari ke-14 pascatransplantasi, urutan mulai dari yang terbaik adalah seperti urutan di atas. Khusus untuk cairan Euro-Collins terdapat usaha untuk menambahkan MgS04 dan mengganti glukosa dengan manitol.
GINJAL HIPERTENS1
interstisial yang berlebihan ke rongga intravaskular. Pemberian albumin dalam jumlah yang cukup selama operasi terbukti membantu ginjal transplan berfungsi dini, meningkatkan ketahanan hidup ginjal transplan, dan menurunkan mortalitas. Di beberapa pusat transplantasi, manitol diberikan pada waktu revaskularisasi ginjal transplan karena dapat mengurangi insidens nekrosis tubular akut. Pada umurnnya, ginjal transplan akan memproduksi urin segera setelah revaskularisasi. Beberapa resipien dapat mengeluarkan urin sampai dengan 1000 mlljam yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kelebihan cairan yang terjadi secara kronik pratransplantasi, beban osmotik molekul yang tidak cukup terbersihkan dengan dialisis (termasuk kreatinin), kerusakan tubulus proksimal, dan obat diuretik yang diberikan selama operasi. Pada beberapa jam pertama pascatransplantasi diberikan larutan kristaloid per infus untuk menggantikan jumlah urin yang keluar dengan tetesan paling sedikit 100 mlljam. Setelah itu, jumlah urin yang keluar diganti dengan infus larutan dekstrosa dalam garam (112 normal) dengan menghitung keseimbangan cairan dari jam ke jam dan memperhatikan nilai tekanan vena sentralis. Diuresis biasanya akan kembali normal dalam waktu 24-72 jam. Resipien yang mengalami oliguria hams menjalani dialisis sampai ginjal transplan berfungsi. Meskipun operasi transplantasi ginjal tidak mengganggu selaput peritoneum, ileus pascatransplantasi dapat terjadi untuk sementara. Biasanya, makanan peroral diberikan setelah fungsi usus kembali normal pada 24-48 jam pascatransplantasi dan kemudian infus cairan dapat dihentikan.
PENATALAKSANAAN PERIOPERATIF DlSFUNGSl DIN1 GINJAL TRANSPLAN Pada periode preoperatif, status sirkulasi dan hemodinamik resipien transplantasi ginjal dikaji, dilakukan deteksi dini terhadap sumber infeksi, dan jika terdapat kelainan elektrolit dikoreksi. Dialisis preoperatif yang adekuat akan memudahkan penatalaksanaan perioperatif dan mengurangi risiko operasi. Karena obat imunosupresif sudah diberikan sebelum atau pada saat operasi, tindakan operasi harus sangat cermat. t-Iematoma dan kebocoran ureter akan meningkatkan insidens infeksi luka pascaoperatif. Antibiotika berspektrum luas dosis tunggal yang diberikan pada saat induksi anestesi dapat mengurangi insidens infeksi luka pascaoperatif secara bermakna. Jika pada periode preoperatif dijumpai keadaan dehidrasi, selama operasi dapat diberikan cairan yang agak berlebih. Volume cairan intravaskular perlu dipertahankan dengan cara memonitor tekanan vena sentralis. Ini akan membantu ginjal transplan berfungsi optimal. Albumin dapat diberikan karena dapat menarik cairan
Pengkajian dan pengobatan disfungsi dini ginjal transplan sangat penting pada penatalaksanaan resipien transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang optimal dilakukan dengan cara mengkaji data klinik, laboratorium, pencitraan, dan biopsi secara integratif. Tidak jarang dibutuhkan kematangan pengalaman klinik dalam situasi yang meragukan. Pada Tabel 11 dapat dilihat faktor mekanii dan nonmekanik yang dapat menyebabkan disfungsi dini ginjal transplan pascatransplantasi. Langkah pertama yang dilakukan pada resipien transplantasi yang tetap anuria pascaoperatif adalah dengan melakukan irigasi kateter urin karena bisa terdapat bekuan darah yang menyumbat ujung kateter. Kadangkadang, terutama pada pria, ujung dan balon kateter tidak dapat masuk sampai ke dalam kandung kemih. Jika cairan yang diinstilasi tidak balik dengan mudah, posisi kateter hams diperbaiki, atau jika perlu, kateternya diganti. Jika kateter urin berfungsi baik, diberikan bolus cairan sebanyak
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1073
TRANSPLANTASICINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 250 ml sanipai dengan satu atail dua liter untrtk mengatasi hipovolertlia dengan mempertahankan nilai tekanan vena sentralis setinggi 10- 12 cni H20. Manitol dan furosemid sering diberikan ilntuk menstiniulasi keluarnya urin. Jika fiaktor hipovolemia dan obstruksi sudah disingkirkan. penyebab mekanik ini liarus dibedakan dengan nekrosis tubular akut. rejeksi dini, dan toksisitas obat. Pemeriksaan ultrasonografi adalah teknik noninvasif yang cukup nyaman dan dapat ~nernbantumembedakan berbagai penyebab tnekanik uliguria dini. Biopsi gin-jal transplan perkutan tetap merupakan prosedur utatna untttk mu~nhedakarinekrosis tubular akut, toksisitas obat, dan rtjeksi.
I
Tabel 11. Faktor Mekanik dan Nonmekanik yang Dapat Menyebabkan D,isfungsi Dini Ginjal Transplan Pascatrans~lantasi Mekanik Komplikasi saluran kemih Obstruksi bekuan darah Obstntksi ureter Kebocoran ureter Obstruksi limfokel Non mekanik
Faktor donor Hipotensi lama Umur tua Ol~guria lnkompatibilitas imunologrk Golongan darah ABO Ketidaksesuaian HLA Antibodi sitotoksik pratranspiantasr pdsrtrf
Komplikasr vaskular Stenos~sarteri Trombods arteri Oklusi arteri polar Trornbosis vena Prese~asi Toksisitas obat Temperatur nark Perfusi kartrkostero~d Waktu iskemik panjang Rejeksi Hiperakut Accelerated
Akut Kronik
REJEKSI GlNJAL TRANSPLAN Sislem imun nianusia dapat n~engenalibagian tubuhnya sendiri dan bendn asing. serta lntttnpunyai kemampuan mempertatiankan diri trrhadap virus. bakteri, mutan, dan sel asing lainnya. Rile ~nembransel ginjal transplan me~niliki antigen yang tidak sesuai dengan resipien, limfosit T akan bereaksi. yaitu berupa respons imun selular dan pembentukan antibodi, yang akan manyebabkan destruksi sel ginjal transplan dan akhirnya trombosis pembuluh darah. Rejrksi adalah suatu proses yatiy meniperlihatkan jaringari cangkoli ( ~ r r ! f dikenal t) dan dirusak respons itnun selular dan humoral resipien. Limfosit resipien tnengenal molekul HLA ynng terdapat di dalam mernbran sel cangkok, kemudian merusak set tersebut. Rcspo~lsimun awal adalah interaksi atitara limfosit T yang membawa CD1dan CD28 dengan srl khus~tsresipien atau donor yany nietnbawa dan sekresi antigen. Pengaktifan limfosit 1'-CD4+ ( TIIcI?ILJ~) interlei~kin-2(IL2) akan memulai kaskade respons imun seluler dan humoral, yang akhirnya akan menghancurkan cangkokan. seperti terlihat p d a Gambar 4.
Sel piasma
1
Mekanisrna Antibodi
Gambar 4. Diagram kaskede rnekanisms pengenalan antigen den efektor rejeks~cangkok
Terdapat empat tipe reaksi rejeksi yang dapat terjadi pada transplantasi ginjal: 1 ). Rejeksi hiperakut adalah destruksi imunologik ginjal transplan yang terjadi dalam waktu 73 jam pascatransplantasi dan sering terjadi intraoperatif. Rrjeksi ini disebabkan oleh reaksi antibodi resipien yang terbentuk pratransplantasi dengan antigen sel endotel pembuluh darah ginjal transplan. Pasien menunjukkan gangguan imunologik herat dengan koagulasi intravaskular diseminata. Ginjal transplan edema dan henioragik, dan jika tidak diangkat dapat pecah. Pemeriksaan histopatologik inenunjukkan adanya endapan lgG diln C3 di dalam dinding kapiler glomerulus dan peritubulus, serta agregasi trornbosit yang menyumbat lumen kapiler. 2). Rejeksi akut cepat (uccelerated acute) adalah destruksi ginjal transplan yang terjadi dalatn 24-72 jam pascatransplantasi. Rejeksi ini disebabkan oleh respons i~nunhumoral dan s e l ~ ~ l resipien er yang sering ire~ersibelwalaupun kadany-kadang dapat diatasi dengan terapi antilimfosit. Pemeriksaan histopatologik tnenunji~kkanadanya kerusakan pada pembuluh darah yang sering disertai taskulitis nekrotik. 3). Rejeksi akut adalah destruksi ginjal transplan yang terjadi mulai pada akliir ~iiingyu pertarna s a ~ n p a i denyan 6 bulan pascatransplantasi yang disebabkan oleh respons imun selular dan humoral resipien. Resipien mendadak demam, badan lemali. hipertensi, dan oliguria disertai peninggian kadar kreatinin darah. dan penurunan nilai tes kliren kreatinin. Ginjal transplan menjadi edema yang mengiritasi selaput peritoneum sehingga menimbulkan rasa nyeri di daerah pelvis. Obat yang dapat digunakan adalah steroid, antilimfosit globulin poliklonal, dan antibodi monoklona! OKT3. Pemeriksaan histopatologik menunjukkan infiltrasi difus sel monoriukleus yang disertai edema dan perdarahan di dalatn jaringan interstisial. Kadang-kadang disertai infiltrasi sel polimorfonukleus, destruksi pembuluh darah. dan proliferasi sel endotel dengan trombosis mikrovask~~lar. Kadar interleukin-2 plasma pratransplantasi berkorelasi positif dengan insiden rejeksi akut, dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENS1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
peninggian kadar interleukin-2 plasma dalam 24 jam pascatransplantasi yang bermakna merupakan prediktor terjadinya rejeksi akut. Chen dan kawan-kawan membuktikan bahwa ekspresi reseptor interleukin-2 pada jaringan ginjal dhpat digunakan sebagai petanda rejeksi akut. 4). Rejeksi kronik adalah penurunan fungsi ginjal transplan secara perlahan-lahan, disertai proteinuria dan hematuri mikroskopik, yang terjadi setelah enam bulan pascatransplantasi. Ada yang berpendapat bahwa istilah yang lebih tepat adalah gaga1 ginjal cangkok kronik atau chronic allograj nephropathy. Dalam hubungan ini, yang berperan adalah beberapa faktor seperti kerusakan iskemik pada saat transplantasi, histokompatibilitas, umur donor, keseringan dan derajat episode rejeksi akut, hipertensi, hiperlipidemia, dan penyakit ginjal rekurens. Pemeriksaan histopatologik menunjukkan adanya fibrosis jaringan interstisial dan pembuluh darah, proliferasi dan penebalan mesangial serta glomerulosklerosis. Pada saat ini obat imunosupresif yang ada tidak bermanfaat dan pencegahan ditujukan terutama untuk mengatasi faktor risiko tersebut.
FAKTOR PASCAOPERATIF Oleh karena sel limfosit T berperan sangat penting dalam proses rejeksi, berbagai obat imunosupresif yang dipergunakan pada transplantasi ginjal ditujukan terhadap sel ini. Beberapa obat imunosupresifjuga mempunyai efek tambahan terhadap sel imun yang lain seperti sel limfosit B dan sel fagosit mononuklir. Obat imunosupresif yang sering dipakai pada transplantasi ginjal adalah kortikosteroid, penghambat sintesis purin, penghambat kalsineurin, penghambat target rapamisin dan antibodi terhadap reseptor pada permukaan sel T.
Prednison adalah kortikosteroid pertama yang dipergunakan untuk transplantasi organ. Obat ini lebih efektif dan menghasilkan potensiasi jika dikombinasi dengan obat imunosupresif lainnya. Di dalam hati, prednison cepat diubah menjadi prednisolon yang mempunyai efek beragam. Prednisolon mempunyai efek antiinflamasi, menghambat migrasi sel di dalam jaringan ginjal cangkok, menghambat produksi interleukin- I, dan pada dosis tinggi melisis limfosit T sehingga dapat dipakai untuk mengatasi rejeksi akut. Dosis tinggi steroid dapat menimbulkan infeksi dan nekrosis avaskular tulang sehingga banyak unit transplantasi cepat menurunkan dosis steroid dalam minggu-minggu pertama pascatransplantasi, bahkan ada yang memberikan dosis rendah steroid sejak awal.
Kortikosteroid bermanfaat baik untuk imunosupresi pemeliharaan maupun untuk pengobatan rejeksi akut. Untuk imunosupresi pemeliharaan pada awal transplantasi diberikan 30-100 mghari. Dosis dikurangi secara progresif, yang bergantung pada perjalanan klinik, sampai menjadi dosis pemeliharaan 5 - 10 mghari. Ada yang memberikan kortikosteroid selang sehari untuk mengurangi morbiditas. Untuk pengobatan rejeksi akut selular, metilprednisolon 500-1000 mghari dapat diberikan selama 3 hari secara intravena. Angka keberhasilan pada pulse steroid ini sekitar 75 %.
Azatioprin adalah suatu antimetabolit derivat imidazol6merkaptopurin. Azatioprin dan prednisolon sudah lama dipergunakan sebagai obat imunosupresif dasar pada transplantasi. Di dalam hati azatioprin dimetabolisme menjadi bentuk aktif yang dapat menghambat sintesis DNA dan RNA, serta menghambat produksi interleukin-2. Efek samping utamanya adalah mielotoksisitas sehingga pemberian azatioprin disesuaikan dengan jumlah lekosit dalam darah perifer yang diusahakan agar tidak kurang dari 4000lml. Dosis diberikan 2-3 mglkgBB1hari dan jika dikombinasikan dengan siklosporin atau takrolimus dosis dikurangi menjadi 1-1,5 mg/kgBB/hari.
MOFETIL MIKOFENOLAT Asam mikofenolat adalah hasil fermentasi spesies Penicillium yang menghambat enzim inosine monophosphate dehydrogenase yang diperlukan untuk sintesis purin. Defisiensi purin akan menghambat sintesis DNA dalam sel limfosit. Oleh karena efek mofetil mikofenolat pada biosintesis purin, obat ini digunakan sebagai pengganti azatioprin baik pada awal transplantasi atau sesudah episod rejeksi yang terjadi pada pasien yang sebelumnya memakai azatioprin. Dosis mofetil mikofenolat yang dianjurkan adalah 2 x 1 gramlhari.
PENGHAMBAT KALSINEURIN: SlKLOSPORlN Siklosporin adalah suatu polipeptida siklik yang diproduksi dari jamur Tolypocladium injlatum, yang terdiri atas 11 asam amino dan mempunyai berat molekul1203. Siklosporin di dalam sitoplasma berikatan dengan siklofilin dan ikatan ini kemudian menghambat enzim kalsineurin yang berfungsi pada pengaktifan nuclear factor of activated T cell (NFAT). Seperti diketahui, NFAT berperan dalam
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TRANSPLANTASI GINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI proses pengaktifan gen IL-2 dan transkripsi mRNA untuk IL-2, suatu sitokin yang berperan dalam merangsang pertumbuhan dan proliferasi. Dosis pemeliharaan adalah 3-5 mgkgBB/hari. Interaksi siklosporin dengan obat lain memerlukan perhatian khusus karena dapat meninggikan atau menurunkan kadar siklosporin. Obat yang menginduksi aktivitas enzim P450 seperti rifampisin, isoniazid, dan trimetoprim dapat menurunkan kadar siklosporin, sedangkan obat yang menghambat aktivitas enzim P450 seperti verapamil, diltiazem, nikardipin, eritromisin, ketokonazol, dan simetidin dapat meninggikan kadar siklosporin. Pemakaian siklosporin bersama amfoterisin, aminoglikosid, dan obat antiinflamasi nonsteroid dapat mempercepat terjadinya efek samping nefrotoksik. Efek samping yang lain adalah hipertensi, hiperlipidemia, hirsutisme dan pembesaran gusi.
Takrolimus, termasuk dalam penghambat kalsineurin, memiliki struktur molekul yang berbeda dengan siklosporin dan dalam sitoplasma berikatan dengan protein yang berbeda yaitu FKBP (FK binding protein), tetapi menunjukkan mekanisme kerja, interaksi obat dan efek samping yang hampir sama. Kelebihannya dibandingkan dengan siklosporin adalah angka kejadian hipertensi, hiperlipidemia clan komplikasi kosmetik yang lebih rendah. Kekurangannya dibandingkan dengan siklosporin adalah lebih toksik terhadap ginjal, saluran pencernaan dan pankreas, meskipun dengan dosis yang lebih rendah komplikasi tersebut kejadiannya berkurang. Dosis pemeliharaan adalah 0,15 - 0,30 m@gBB/hari.
Sirolimus atau rapamisin merupakan obat imunosupresif pemeliharaan yang relatif baru pada transplantasi ginjal. Sirolimus menghambat respons proliferatif sel limfosit T dan B terhadap rangsangan sitokin. Sirolimus berikatan dengan FKBP, seperti takrolimus, tetapi tidak menghambat kalsineurin melainkan menghambat kinase target rapamisin yang berperan dalam pengendalian siklus sel. Efek samping yang bisa terjadi adalah hambatan penyembuhan luka, diare, hiperlipidemia, anemia dan trombositopenia. Dosis sirolimus yang dianjurkan adalah 2 mgthari.
PREPARAT ANTlLlMFOSlT Kemajuan pertama yang berarti dalam usaha mengatasi
respons imun yang lebih selektif adalah pemakaian preparat antilimfosit poliklonal dalam klinik. Beberapa preparat tersebut, misalnya, serum antilimfosit (ALS), globulin antilimfoblas (ALG), dan globulin antitimosit (ATG) merupakan antibodi terhadap sel T. Walaupun preparat poliklonal menunjukkan spesifisitas imunosupresif yang makin meningkat, selektivitas supresi masih belum optimal. Preparat antibodi monoklonal, seperti OKT3 bekerja lebih selektif terhadap reseptor sel T (anti-CD3), yang berfungsi untuk pengenalan antigen. Obat ini sudah terbukti sangat efektif untuk pengobatan rejeksi yang resisten terhadap steroid serta dapat dipakai sebagai pengobatan awal dalam minggu pertama pascatransplantasi. Dosis dan cara pemakaian preparat ini dapat dilihat pada Tabel 12.
ANTIBODI MONOKLONAL ANTI-RESEPTOR INTERLEUKIN-2 YANG D I H U M A N I S A S I I DlKlMERlSASl Antibodi monoklonal ini merupakan imunosupresif yang lebih spesifik dibandingkan dengan OKT3 dan poliklonal karena reseptor interleukin-2 sepenuhnya ada pada sel T yang sudah teraktivasi. Humanisasi atau kimerisasi antibodi ini mengurangi pembentukan antibodi antimouse pada resipien sehingga meningkatkan waktu paruh dan efektivitas obat. Penelitian daclizumab dan basiliximab secara acak, terkontrol dibandingkan dengan plasebo menunjukkan penurunan sepertiga kejadian rejeksi akut.
PROTOKOL PEMAKAIAN OBAT IMUNOSUPRESIF Pada umumnya, setiap unit transplantasi mempunyai protokol sendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat dan pengalaman masing-masing. Protokol tersebut dipakai sebagai pedoman umum yang tidak dianut secara kaku dan jika diperoleh pengetahuan dan pengalaman dengan obat baru, pedoman tersebut dimodifikasi. Tujuan pemberian obat imunosupresif pada transplantasi ginjal adalah memberikan obat anti rejeksi dalam dosis yang masih dapat ditoleransi untuk jangka waktu lama, tetapi dapat mencegah terjadinya rejeksi terhadap ginjal cangkok. Pemberian obat imunosupresif terdiri dari dua tahap, yaitu tahap awal atau induksi dan tahap pemeliharaan. Banyak unit transplantasi yang memakai cara terapi tripe1 yang terdiri dari siklosporin atau takrolimus, azatioprin atau mofetil mikofenolat, dan prednisolon dengan dosis seperti terlihat pada Tabel 12. Regimen sekuensial atau kuadripel dengan preparat antilimfosit banyak dipergunakan untuk pasien yang sensitif atau pada
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
retransplantasi. Pada rejeksi akut, seperti terlihat pada Tabel 12, dapat dipergunakan kortikosteroid dosis tinggi secara oral atau parenteral, preparat antilimfosit atau plasmaferesis.
TOLERANSI Toleransi pada transplantasi adalah suatu keadaan tidak terdapatnya reaksi imunologik terhadap antigen yang terdapat pada jaringan atau organ yang ditransplantasikan, tanpa pemakaian obat imunosupresif. Pada saat ini berbagai penelitian sedang dilakukan pada hewan percobaan sedangkan pada manusia belurn dapat dicapai keadaan toleransi ini.
KOMPLlKASl INFEKSI PADA TRANSPLANTASI GINJAL Keberhasilan transplantasi ginjal bergantung pada keseimbangan antara imunosupresi yang memadai untuk mencegah rejeksi ginjal cangkok dan pemeliharaan kompetensi imun pada taraf yang memadai untuk melindungi resipien terhadap infeksi. Sebagai akibat pemakaian berkelanjutan obat yang menekan h g s i sel T, resipien transplantasi ginjal menunjukkan peninggian risiko terhadap infeksi oleh berbagai patogen intraselular
Siklo k g
Dosis awal
seperti virus, protozoa, bakteri, dan jamur. Insiden infeksi yang letal dan nonletal menurun terutama disebabkan oleh peningkatan pe-ngalaman, perbaikan dalam metode organ procurement dan seleksi resipien, peningkatan teknik bedah, serta pengetahuan yang lebih baik tentang jenis dan saat terjadinya infeksi. Pemakaian antibiotika profilaktik untuk mengurangi keseringan infeksi luka, pelaksanaan biopsi ginjal secara tertutup, pemeriksaan ultrasonografi di daerah ginjal transplan yang lebih sering, dan pemberian bolus prednisolon dosis tinggi untuk terapi rejeksi yang lebih jarang, serta kebijakan untuk tidak mempertahankan ginjal transplan yang tak berfungsi lagi ikut berperan menurunkan insiden komplikasi infeksi. Walaupun demikian, infeksi tetap merupakan penyebab penting baik bagi mortalitas maupun bagi penurunan ketahanan hidup ginjal transplan. Di Indonesia infeksi pascatransplantasi merupakan salah satu masalah utama, selain masalah donor dan biaya.
HASlL TRANSPLANTASI GINJAL Dalarn bagian ini dikemukakan hasil transplantasi ginjal seperti yang dilaporkan oleh the United Network of Organ Sharing (WOS) Registry di Amerika Serikat, hasil transplantasi ginjal jangka panjang, dan pengalaman di Indonesia.
OKT3
Aza k g
Pred mg
2,s 23
100 30
Steroid dosis tinggi Steroid dosis rendah
20-30
3 bulan diubah ke AzaIPred Siklo mulai setelah diuresis
Regimen Tanpa siklosporin Siklo dosis tinggi Tempi ganda
17,5 10-15
Tempi tripel
8-12,5
1,5
20-30
Kuadripell sekuensial
8-12,5
1,5
20-30
Pred Oral dosis tlnggl
Tf!?
1.5-2,O (7-14)
Metilpred lntravena
OKT3
mg (hari)
atau
Rejeksi berat
200 mglhari: 3 hari, diturunkan 5-7 hari
1 gramlhari: 3-5 had
5,O mglhari: 5-14 hari
Rejeksi sedang
120 mglhari: 3-5 hari, diturunkan 5-7 hari
2,5-5.0 mglhari: 514 hari
Rejeksi ringan
120 mglhari: 3 hari, diturunkan ke semula
500 mglhari: 3 hari 250-500 mglhari: 3
5 (5-10)
Keterangan
Sekuensial: Siklo setelah ATG 7-14 hari
ALGIATG
Plasmaferesis
Dosis sesuai dengan petunjuk
Rejeksi vaskular. 2-3L: 3-5 hari
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1077
TRANSPLANTASIGINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI adalah 86% dan 95%. Ginjal cangkok tersebut mempunyai proyeksi waktu paruh 13 tahun.
REGlSTRASl UNOS Berdasarkan laporan registrasi UNOS disimpulkan ha1 berikut: 1). Ketahanan hidup ginjal cangkok satu tahun pada resipien yang memperoleh ginjal dari saudara kandung dengan HLA-identik adalah 95%, saudara kandung dengan kesamaan 1 haplotip 91%, orang tua 90%, dan dari anak 89%. Ketahanan hidup pasien satu tahun pada orang tua yang memperoleh ginjal dari anaknya adalah 94%, sedangkan resipien yang memperoleh ginjal dari anggota keluarga dekat adalah 98%. Ginjal transplan dari donor keluarga dengan HLAidentik mempunyai proyeksi waktu paruh 26 tahun, sedangkan jika dengan kesamaan 1 haplotip proyeksinya 12-14 tahun. 2). Ketahanan hidup ginjal cangkok dan pasien satu tahun pada transplantasi antar-pasangan hidup adalah 92% dan 99%. Ketahanan hidup ginjal cangkok dan pasien satu tahun pada transplantasi dengan donor dari keluarga jauh atau dari orang lain
Tahun
A
1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
2 1 1 3 2 11 14 16 8 8 13 11 11 11 12 13 16 26 19 15 12 11 6 9 13
Jumlah
7 10 13 294
2
-
5 6 6 5 3 5 4 5 3
2 2 -
48
-
-
2 8 5 3 2 6 3 5 6 3
6 4 1 1
-
-
-
-
-
2 -
3 3 1 1 4 2 1
-
2
-
2
1 47
-
2 1 31
HASlL TRANSPLANTASI GINJAL JANGKA PANJANG Hasil transplantasi ginjal yang dikemukakan di atas umwnnya dilaporkan sebagai ketahanan hidup ginjal transplan satu tahun, dan memang ketahanan hidup satu tahun bisa menggambarkan ketahanan hidup 10 tahun. Dalam era siklosporin, prediksi ketahanan hidup 10 tahun ginjal transplan yang berasal dari saudara kandung dengan HLA identik adalah 79%, dari orang tua 52%, dan dari donor jenazah 44%. Faktor yang mempengaruhi hasil transplantasi adalah kesesuaian HLA, ras, unit transplantasi pelaksana, etiologi penyakit ginjal, derajat fungsi ginjal transplan dalam periode awal pascatransplantasi, clan insidens rejeksi dini.
-
-
-
-
1 1
-
-
4 2 1 29
1 -
-
2 2 3 3 2 2 1 1 2 2
"
2
2 3 4 7 11 22 36 52 65 79 99 123 149 171 193 216 245 281 310 337 355 373 385 397 412 425 439 455
I 1 3 4
-
1 -
II
1 1
-
-
-
-
-
2
1
3
-
Jumlah kumulatlf
-
-
Jumlah pertahun
14 16 13 14 20 24 26 22 22 23 29 36 29 27 18 18 12 12 15 13 14 16 455
Keterangan: : RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo IRS PGI Cikini Jakarta A B : RS Dr. Karyadi IRS Telogorejo Semarang C : RSPAD Gatot Subroto Jakarta : RS Dr. Sutomo Surabaya D E : RS Dr. Sarjito Yogyakarta F : RS Dr. Pirngadi Medan : RS Dr. Hasan Sadikin Bandung G H : RS Advent Bandung
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENS1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENGALAMAN Dl INDONESIA
Transplantasi ginjal dilaksanakan pertama kali di Indonesia pada tahun 1977. Transplantasi ginjal berkembang sangat lambat dan pada Tabel 13 dapat dilihat jumlah transplantasi ginjal di Indonesia tahun demi tahun menurut registrasi Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Secara umurn ketahanan hidup ginjal transplan dan pasien yang dicapai di Indonesia tidak berbeda dengan yang dilaporkan di luar negeri.
Allen RDM, Chapman JR. A manual of renal transplantation. London: Little, Brown and Company;l994. Bradley BA. Factors affecting kidney transplantation success. Curr Opin Nephrol Hypertens. 1992;1:220-9. Briggs JD. The recipient of a renal transplant. In: Morris PJ, editor. Kidney transplantation, principles and practice. 4th edition. Philadelphia: WB Saunders;l994.p. 43-55. Cecka JM, Terasaki PI. The UNOS scientific renal transplant registry. In: Terasaki PI, Cecka JM, editors. Clinical transplants 1992. Los Angeles: UCLA, Tissue Typing Laboratory; 1993. p.1-16. Chandraker A, Perkins DL, Carpenter CB, Sayegh MH. Transplantation immunobiology. In: Brenner BM, editor. Brenner & Rector's the kidney. 7Ih edition. Philade1phia:WB Saunders; 2004. p. 2759-83. Chugh KS, Vivekanand JHA. Commerce in transplantation in third world countries. Kidney Int. 1996;49: 1181-6. Danovitch GM. Immunosuppressive medication and protocols for kidney transplantation. In: Danovitch GM, editor. Handbook of kidney transplantation. 3rdedition.Philade1phia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. p. 62-1 10. Davison AM. Renal transplantation: recurrence of original disease with particular reference to primary glomerulonephritis. Nephrol Dial Transplant. 1995; 1 O(supp1 1):81-4. Goral S, Helderman JH. Current and emerging maintenance immunosuppressive therapy. In: Owen WF, Pereira BJG, Sayegh MH, editors. Dialysis and tranplantation: a companion to Brenner & Rector's the kidney. Philadelphia: WB Saunders; 2000. p. 561-7. Gritsch HA, Rosenthal JT, Danovitch GM. Living and cadaveric kidney donation. In: Danovitch GM, editor. Handbook of kidney transplantation. 3rd edtion. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001.p. 11 1-29. Kendrick E. Evaluation of the transplant recipient. 1n:Danovitch GM, editor. Handbook of kidney transplantation. 3rd edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. p.130-45.
Kubak BM, Pegues DA, Holt CD. Infectious complications of kidney transplantation and their management. In: Danovitch GM, editor. Handbook of kidney transplantation. 3rd edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. p. 22162. Magee CC, Milford E. Clinical aspects of renal transplantation. In: Brenner BM, editor. Brenner & Rector's the kidney, 71h edition. Philadelphia: WB Saunders; 2004. p. 2805-48. Marshall VC, Jablonski P, Scott DF. Renal preservation. In: Morris PJ, editor. Kidney transplantation, principles and practice. 4 th edition. Philadelphia: WB Saunders; 1994. p. 86-108. McGeown MG. Towards long - term graft survival: an overview. Nephrol Dial Transplant. 1995;1O(suppl 1): 3-9. Melk A, Halloran P. Immunosuppressive agents used in transplantation. In: Johnson RJJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2ndedition. Edinburg: Mosby; 2003. p.105769. National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KIDOQI) Advisory Board: KIDOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification, and stratification. Kidney Disease Outcome Quality Initiative. Am J Kidney Dis. 2002;39(Suppl 1): S l S246. Pallis C. Brainstem death: the evolution of a concept. In: Morris PJ, editor. Kidney transplantation, principles and practice. 4th edition. Philadelphia: WB Saunders; 1994. p.7 1-85. Rawn JD, Tilney NL. The early course of a patient with a kidney transplant. In: Morris PJ, editor. Kidney transplantation, principles and practice. 4th ed. Philadelphia: WB Saunders; 1994. p. 167-78. Sayegh MH, Krensky AM. Transplantation immunobiology. In: Owen WF, Pereira BJG, Sayegh MH, editors. Dialysis and transplantation: a companion to Brenner & Rector's the kidney. Philadelphia: WB Saunders; 2000. p. 487-98. Susalit E. Efek amlodipin terhadap faktor yang berperan pada penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh siklosporin pada resipien transplantasi ginjal. Buku disertasi dipertahankan dihadapan Senat Guru Besar UI 3 Juli 1996. Susalit E. Strategi penatalaksanaan gagal ginjal kronik memasuki abad XXI. Pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Penyakit Dalam di FKUI, Jakarta, 6 Mei 1998. Ting A, Welsh K. HLA matching and crossmatching in renal transplantation. In: Morris PJ, editor. Kidney transplantation, principle and practice. 4th edition. Philadelphia: WB Saunders; 1994. p. 109-26. Waid TH. Prevention and treatment of renal allograft rejection. In: Glassock RJ, editor. Current therapy in nephrology and hypertension. 41h edition. St. Louis: Mosby; 1998. p. 356-67.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
HIPERTENSI ESENSIAL Mohammad Yogiantoro
PENDAHULUAN
DEFlNlSl
Sampai saat ini hipertensi masih tetap menjadi masalah karena beberapa hal, antara lain meningkatnya prevalensi hipertensi, masih banyaknya pasien hipertensi yang belum mendapat pengobatan maupun yang sudah diobati tetapi tekanan darahnya belum mencapai target, serta adanya penyakit penyerta dan komplikasi yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi esensial. Beberapa penulis lebih memilih istilah hipertensi primer, untuk membedakannya dengan hipertensi lain yang sekunder karena sebab-sebab yang diketahui. Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High. Blood Pressure (JNC 7 ) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, Hipertensi derajat 1 dan derajat 2 (Tabel 1).
Data epidemiologis menunjukkan bahwa dengan makin meningkatnya populasi usia lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan bertambah, dimana baik hipertensi sistolik maupun kombinasi hipertensi sistolik dan diastolik sering timbul pada lebih dari separuh orang yang berusia >65 tahun. Selain itu, laju pengendalian tekanan darah yang dahulu terus meningkat, dalam dekade terakhir tidak menunjukkan kemajuan lagi bola kurva mendatar), dan pengendalian tekanan darah ini hanya mencapai 34%dari seluruh pasien hipertensi. Sampai saat ini, data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari negara-negara yang sudah maju. Data dari The National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES) menunjukkan bahwa dari tahun 1999-2000, insiden hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29-3 1%, yang berarti terdapat 58-65 juta orang hipertensi di Amerika, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHANES I11 tahun 1988- 1991. Hipertensi esensial sendiri merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi.
K'as'nkasi Tekanan Darah
TDS (mmHg)
Normal Prahipertensl Hipertensi derajat 1 Hipertensi derajat 2
< 120 120 139 140 159 > 160
-
-
TDD (mmHg) dan atau atau atau
< 80 80 89 90 99 > 100
-
-
TDS = Tekanan Darah Slstolik, TDD = Tekanan Darah Diastollk
Masih ada beberapa klasifikasi dan pedoman penanganan hipertensi lain dari World Health Organization (WHO) dan International Society of Hypertension (ISH), dari European Society of Hypertension (ESH, bersama European Society of Cardiology), British Hypertension Society (BSH) serta Canadian Hypertension Education Program (CHEP), tetapi umumnya digunakan JNC 7.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1080
GINJAL HIPERTENS1
PATOGENESIS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktorial yang timbul terutama karena interaksi antara faktor-faktor risiko tertentu. Faktor-faktor risiko yang mendorong timbulnya kenaikan tekanan darah tersebut adalah: 1. faktor risiko, seperti: diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas, merokok, genetis 2. sistem saraf simpatis tonus simpatis variasi diurnal 3. keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi: endotel pembuluh darah berperan utama, tetapi remodeling dari endotel, otot polos dan interstisium juga memberikan kontribusi akhir 4. pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin, angiotensin dan aldosteron Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalan pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi m u s dasar Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer (Gambar 1).
KERUSAKAN ORGAN TARGET
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan
organ-organ target yang umum ditemui pada pasien hipertensi adalah: 1. jantung hipertrofi ventrikel kiri angina atau infark miokardium gaga1 jantung 2. otak strok atau transient ischemic attack 3. penyakit ginjal kronis 4. penyakit arteri perifer 5. retinopati Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor AT1 angiotensin 11, stres oksidatif, down regulation dari ekspresi nitric oxide synthase, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming growth factor$ (TGF-P) Adanya kemsakan organ target, terutama pada jantung dan pembuluh darah, akan memperburuk prognosis pasien hipertensi. Tingginya morbiditas dan mortalitas pasien hipertensi terutama disebabkan oleh timbulnya penyakit kardiovaskular.
Gambar 1. Faktor-faktor yang berpengaruh pada pengendalian tekanan darah
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HlPERTENSl ESENSIAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Faktor risiko penyakit kardiovaskular pada pasien hipertensi antara lain adalah: merokok obesitas kurangnya aktivitas fisik dislipidemia diabetes melitus mikroalbuminuriaatau perhitungan LFG <60 mumenit umur (laki-laki >55 tahun, perempuan 65 tahun) riwayat keluarga dengan penyakit jantung kardiovaskular prematur (laki-laki <55 tahun, perempuan < 65 tahun) Pasien dengan prehipertensi berisiko mengalami peningkatan tekanan darah menjadi hipertensi;mereka yang tekanan darahnya berkisar antara 130-139180-89 mmHg dalam sepanjang hidupnya akan memiliki dua kali risiko menjadi hipertensi dan mengalami penyakit kardiovaskular dari pada yang tekanan darahnya lebih rendah. Pada orang yang berumur lebih dari 50 tahun, tekanan darah sistolik >I40 mmHg merupakan faktor risiko yang lebih penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskular dari pada tekanan darah diastolik: risiko penyakit kardiovaskular dimulai pada tekanan darah 115/75 mmHg, meningkat dua kali dengan tiap kenaikan 20110 mmHg risiko penyakit kardiovaskular bersifat kontinyu, konsisten, dan independen dari faktor risiko lainnya individu berumur 55 tahun memiliki 90% risiko untuk mengalami hipertensi
EVALUASI HlPERTENSl
Evaluasi pada pasien hipertensi bertujuan untuk: 1). Menilai pola hidup dan identifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya atau menilai adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis dan menentukan pengobatan. 2). Mencari penyebab kenaikan tekanan darah. 3). Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit kardiovaskular. Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisis serta pemeriksaan penunjang. Anamnesis meliputi: 1. lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah 2 indiiasi adanya hipertensi sekunder a). keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik) b). adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian obat-obat analgesik dan obatl bahan lain c). episoda berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokromositoma)
d). episoda lemah otot dan tetani (aldosteronisme) 3. faktor-faktorrisiko a). riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien b). riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya c). riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya d). kebiasaan merokok e). polamakan 0. kegemukan, intensitas olah raga g). kepribadian 4. gejala kerusakan organ a). otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient ischemic attacks, defisit sensoris atau motoris b). jantung: palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki c). ginjal: haus, poliuria, nokturia, hematuri d). arteri perifer: ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten 5. pengobatan antihipertensi sebelumnya 6. faktor-faktor pribadi, keluarga dan lingkungan Pemeriksaan fisis selain memeriksa tekanan darah, juga untuk evaluasi adanya penyakit penyerta, kerusakan organ target serta kemunglunan adanya hipertensi sekunder. Pengukuran tekanan darah: pengukuran rutin di kamar periksa pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring-ABPM) pengukuran sendiri oleh pasien Pengukuran di kamar periksa dilakukan pada posisi duduk di kursi setelah pasien istirahat selama 5 menit, kaki di lantai dan lengan pada posisi setinggi jantung. Ukuran dan peletakan manset (panjang 12-13 cm, lebar 35 cm untuk standar orang dewasa) dan stetoskop hams benar (gunakan suara Korotkoff fase I dan V untuk penentuan sistolik dan diastolik). Pengukuran dilakukan dua kali, dengan sela antara 1 sampai 5 menit, pengukuran tarnbahan dilakukan jika hasil kedua pengukuran sebelurnnya sangat berbeda. K o n f i a s i pengukuran pada lengan kontralateral dilakukan pada kunjungan pertama dan jika didapatkan kenaikan tekanan darah. Pengukuran denyut jantung dengan menghitung nadi (30 detik) dilakukan saat duduk segera sesudah pengukuran tekanan darah. Untuk orang usia lanjut, diabetes dan kondisi lain dimana diperkirakan ada hipotensi ortostatik, perlu dilakukan juga pengukuran tekanan darah pada posisi berdiri. Beberapa indikasi penggunaan ABPM antara lain: hipertensi yang borderline atau yang bersifat episodik hipertensi ofice atau white coat adanya disfungsi saraf otonom hipertensi sekunder sebagai pedoman dalam pemilihan jenis obat antihipertensi tekanan darah yang resisten terhadap pengobatan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
CINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI antihipertensi gejala hipotensi yang berhubungan dengan pengobatan antihipertensi Pengukuran sendiri di rumah memiliki kelebihan dan kekurangan. Kekurangannya adalah masalah ketepatan pengukuran, sedang kelebihannya antara lain dapat menyingkirkan efek white coat dan memberikan banyak hasil pengukuran. Beberapa peneliti menyatakan bahwa pengukuran di rumah lebih mewakili kondisi tekanan darah sehari-hari. Pengukuran tekanan darah di rumah juga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan meningkatkan keberhasilan pengendalian tekanan darah serta menurunkan biaya. Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari: test darah rutin glukosa darah (sebaiknya puasa) kolesterol total serum kolesterol LDL dan HDL serum trigliserida serum slasa) asam urat serum kreatinin serum kalium serum hemoglobin dan hematokrit urinalisis (uji carik celup serta sedimen urin) elektrokardiogram Beberapa pedoman penanganan hipertensi menganjurkan test lain seperti: ekokardiogram USG karotis (dan femoral) C-reactive protein mikroalbuminuria atau perbandingan albuminkeatinin urin proteinuria kuantitatif (jika uji carik positif) fbnduskopi (pada hipertensi berat) Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya penyakit penyerta sistemik, yaitu: aterosklerosis (melalui pemeriksaan profil lemak) diabetes (terutama pemeriksaan gula darah) fbngsi ginjal (dengan pemeriksaan proteinuria, kreatinin serum, serta memperkirakan laju filtrasi glomerulus) Pada pasien hipertensi, beberapa pemeriksaan untuk menentukan adanya kerusakan organ target dapat dilakukan secara rutin, sedang pemeriksaan lainnya hanya dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan dan gejala pasien. Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan organ target meliputi: 1. jantung pemeriksaan fisis foto polos dada (untuk melihat pembesaranjantung, kondisi arteri intratoraks dan sirkulasi pulmoner) elektrokardiografi(untuk deteksi iskemia, gangguan konduksi, aritmia, serta hipertrofi ventrikel kiri) ekokardiografi
2. pembuluh darah pemeriksaan fisis termasuk perhitunganpulsepressure ultrasonografi (USG) karotis fungsi endotel (masih dalam penelitian) 3. otak pemeriksaan neurologis diagnosis strok ditegakkan dengan menggunakan cranial computed tomography (CT) scan atau magnetic resonance imaging (MRI) (untuk pasien dengan keluhan gangguan neural, kehilangan memori atau gangguan kognitif) 4. mata funduskopi 5. fbngsi ginjal pemeriksaan fungsi ginjal dan penentuan adanya proteinurialmikro-makroalbuminuria serta rasio albumin kreatinin urin perkiraan laju filtrasi glomerulus, yang untuk pasien dalam kodisi stabil dapat diperkirakan dengan menggunakan modifikasi rumus dari Cockroft-Gault sesuai dengan anjuran National Kidney Foundation (NKF) yaitu: (140
- umur) x Berat Badan
Klirens Kreatinin* =
x 0,85 (untuk perernpuan) 72 x Kreatinin Serum
'Glomerulus Filtration Ratellaju filtrasi glomerulus (GFR) dalam mllmeniff 1 .73m2
JNC 7 menyatakan bahwa tes yang lebih mendalam untuk mencari penyebab hipertensi tidak dianjurkan kecuali jika dengan terapi memadai tekanan darah tidak tercapai.
PENGOBATAN Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah: target tekanan darah
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HIPE~TENSIESENSIAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Terapi nonfarmakologis terdiri dari : menghentikan merokok menurunkan berat badan berlebih menurunkan konsumsi alkohol berlebih latihan fisik menurunkan asupan garam meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan Iemak Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan oleh JNC 7: diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosterone Antagonist (Aldo Ant) Beta Blocker (BB) Calcium Channel Blocker atau Calcium antagonist (CCB) Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) Angiotensin 11Receptor Blocker atau AT, receptor antagonist/blocker (ARB) Masing-masing obat antihipertensimemiliki efektivitas dan keamanan dalam pengobatan hipertensi, tetapi pemilihan obat antihipertensijuga dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: faktor sosio ekonomi profil faktor risiko kardiovaskular ada tidaknya kerusakan organ target ada tidaknya penyakit penyerta variasi individu dari respon pasien terhadap obat antihipertensi kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang gunakan pasien untuk penyakit lain bukti ilmiah kemarnpuan obat antihipertensiyang akan digunakan dalam menurunkan risiko kardiovaskular Berdasarkan uji klinis, hampir seluruh pedoman penanganan hipertensi menyatakan bahwa keuntungan pengobatan antihipertensi adalah penurunan tekanan darah itu sendiri, terlepas dari jenis atau kelas obat antihipertensi yang digunakan. Tetapi terdapat pula bukti-bukti yang menyatakan bahwa kelas obat antihipertensi tertentu memiliki kelebihan untuk kelompok pasien tertentu. Untuk keperluan pengobatan, ada pengelompokan pasien berdasar yang memerlukan pertimbangan khusus (Special Considerations), yaitu kelompok Indikasi yang Memaksa (Compelling Indication) dan Keadaan Khusus lainnya (Special Situations). Indikasi yang memaksa meliputi: gaga1 jantung pasca infark miokardium risiko penyakit pembuluh darah koroner tinggi diabetes penyakit ginjal kronis pencegahan strok berulang Keadaan khusus lainnya meliputi: populasi minoritas obesitas dan sindrom metabolik
hipertrofi ventrikel kanan penyakit arteri perifer hipertensi pada usia lanjut hipotensi postural demensia hipertensi pada perempuan hipertensi pada anak dan dewasa muda hipertensi urgensi dan emergensi Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap, dan target tekanan darah dicapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan unntuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah, dan kemudian tekanan darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan dosis obat tersebut, atau berpindah ke antihipertensi lain dengan dosis rendah. Efek samping umumnya bisa dihindari dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal maupun kombinasi. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah, tetapi terapi kombinasi dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah obat yang hams diminum bertambah. Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien (Gambar 2) adalah: diuretika dan ACEI atau ARB CCBdanBB CCB dan ACEI atau ARB CCB dan diuretika AB dan BB kadang diperlukan tiga atau empat kombinasi obat
Gambar 2. Kernungkinan kombinasi obat antihipertensi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1084
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kelas Obat
Kontraindikasi
lndikasi Mutlak
Diuretika (Thiazide)
gagal jantung kongestif, usia lanjut, isolated systolic hypertension, ras Afrika
gout
kehamilan
Diuretika (Loop)
insufisiensi ginjal, gagal jantung kongestif
Diuretika (anti aldosteron)
gagal jantung kongestif, pasca infark miokardium
gagal ginjal, hiperkalemia
Penyekat p
angina pektoris, pasca infark miokardium, gagal jantung kongestif, kehamilan, takiaritmia
asma, penyakit paru obstruktif menahun, AV block (derajat 2 atau 3)
Calcium Antagonist (dihydropiridine)
usia lanjut, isolated systolic hypertension, angina pektoris, penyakit pembuluh darah perifer, aterosklerosis karotis, kehamilan
Calcium Antagonist (verapamil, diltiazem)
angina pektoris, aterosklerosis karotis, takikardia supraventrikuler
Penghambat ACE
Angiotensin II receptor antagonist (AT1blocker)
gagal jantung kongestif, disfungsi ventrikel kiri, pasca infark miokardium, nondiabetik nefropati, nefropati DM tipe 1, proteinuria nefropati DM tipe 2, mikroalbuminuria diabetik, proteinuria, hipertrofi ventrikel kiri, batuk karena ACE1
a - Blocker
hiperplasia prostat (BPH), hiperlipidemia
Klasifikasi Tekanan Darah
TDS
A-V block (derajat 2 atau 3), gagal jantung kongestif kehamilan, hiperkalemia, stenosis arteri renalis bilateral kehamilan, hiperkalemia, stenosis arteri renalis bilateral hipotensi ortostatis
(mmHg)
Perbaikan Pola Hidup
Normal Prehipertensi
c 120 120 139
dan < 80 atau 80 - 89
dianjurkan Ya
Hipertensi derajat 1
140 159
atau 90 - 99
Hipertensi derajat 2
> 160 -
atau
PEMANTAUAN Pasien yang telah mulai mendapat pengobatan harus datang kembali untuk evaluasi lanjutan dan.pengaturan dosis obat sampai target tekanan darah tercapai. Setelah
penyakit pembuluh darah perifer, intoleransi glukosa, atlit atau pasien yang aktif secara fisik takiaritmia, gagal jantung kongestif
TDD (m?Hg)
> 100 -
Tidak Mutlak
gagal jantung kongestif
Terapi Obat Awal Dengan Tanpa lndikasi lndikasi yang yang Memaksa Memaksa Tidak indikasi obat
obat-obatan untuk indikasi yang memaksa
Ya
diuretika jenis Thiazide untuk sebagian besar kasus, dapat dipertirnbangka n ACEI, ARB, BB, CCB atau kornbinasi
Ya
kombinasi 2 obat untuk sebagian besar kasus urnurnnya diuretika jenis Thiazide dan ACE1 atau ARB atau BB atau CCB)
obat-obatan untuk indikasi yang mernaksa obat antihipertensi lain (diuretika, ACEI, ARB, BB, CCB) sesuai kebutuhan
tekanan darah tercapai dan stabil, kunjungan selanjutnya dengan interval 3-6 bulan, tetapi frekuensi kunjungan ini juga ditentukan oleh ada tidaknya komorbiditas seperti gagal jantung, penyakit yang berhubungan seperti diabetes, dan kebutuhan akan pemeriksaan laboratorium.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HIPERTENSI ESENSIAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Strategi untuk meningkatkan kepatuhan pada pengobatan: empati dokter akan meningkatkan kepercayaan, motivasidan kepatuhan pasien dokter harus mempertimbangkan latar belakang budayaepercayaan pasien serta sikap pasien terhadappengobatan pasien diberi tahu hasil pengukuran tekanan darah, targetyang masih hams dicapai, rencana pengobatan selanjutnyaserta pentingnya mengikuti rencana tersebut Penyebab hipertensi resisten: 1. pengukuran tekanan darah yang tidak benar 2. dosis belum memadai 3. ketidak patuhan pasien dalam penggunaan obat antihipertensi 4. ketidak patuhan pasien dalam memperbaiki pola hidup asupan alkohol berlebih kenaikan berat badan berlebih 5. kelebihan volume cairan tubuh asupan garam berlebih terapi diuretika tidak cukup penurunan fimgsi ginjal berjalan progresif 6. adanya terapi lain masih menggunakan bahanlobat lain yang meningkatkan tekanan darah adanya obat lain yang mempengaruhi atau berinteraksi dengan kerja obat antihipertensi 7. adanya penyebab hipertensi laidsekunder Jika dalam 6 bulan target pengobatan (termasuk target tekanan darah) tidak tercapai, hams dipertimbangkan untuk melakukan rujukan ke dokter spesialis atau subspesialis. Bila selain hipertensi ada kondisi lain seperti diabetes melitus atau penyakit ginjal, baik American diabetes association (ADA) maupun International society of nephrology (ISN) dan NKF menganjurkan rujukan kepada seorang dokter yang ahli jika laju filtrasi glomerulus mencapai < 60 ml/men/l ,73m2,ataujika ada kesulitan dalam mengatasi hipertensi atau hiperkalemia, serta rujukan kepada konsultan nefrologi jika laju filtrasi glomerulus mencapai < 30 ml/men/1,73m2,atau lebih awal jika pasien berisiko mengalami penurunan fimgsi ginjal yang cepat atau diagnosis dan prognosis pasien diragukan. Pengobatan antihipertensi umumnya untuk selama hidup. Penghentian pengobatan cepat atau lambat akan diikuti dengan naiknya tekanan darah sampai seperti sebelum dimulai pengobatan antihipertensi. Walaupun demikian, ada kemungkinan untuk menurunkan dosis dan jumlah obat antihipertensi secara bertahap bagi pasien yang diagnosis hipertensinya sudah pasti serta tetap patuh terhadap pengobatan nonfarmakologis. Tindakan ini hams disertai dengan pengawasan tekanan darah yang ketat.
lndikasi yang Memaksa
Pilihan Terapi Awal
Gagal Jantung
Thiaz, BB, ACEI, ARB, Aldo Ant
Pasca lnfark Miokard Risiko Penyakit Pembuluh Darah Koroner Diabetes Penyakit Ginjal Kronis Pencegahan stroke berulang
BB, ACEI, Aldo Ant Thiaz, BB, ACEI, CCB Thiaz, BB, ACEI, ARB, CCB ACEI, ARB Thiaz, ACE1
REFERENSI British Hypertenson Society. Guidelines for management of hypertension: Report of the Fourth Working Party for the British Hypertension Society. J Hum Hypertension. 2004;18:139-85. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Hypertension. 2003;42: 1206-52. European Society of Hypertension - European Society of Cardiology Guidelines Committee. 2003 European Society of Hypertension - European Society of Cardiology Guidelines for the Management of Arterial Hypertension. J Hypertens. 2003;21:101 1-53. Evidence - Based Recommendation Task Force of the Canadian Hypertension Education Program 2004. Canadian Hypertension Education Program Recommendation. January 2004. Kaplan NM. Primary hypertension: pathogenesis. Kaplan's clinical hypertension. 8thedition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002. p. 56-135. National Kidney Foundation. KIDOQI clinical practice guidelines on hypertension and antuhypertensive agents in chronic kidney disease. Am J Kidney Dis. 2004;43 (suppl 1):SI-S290. Warnock DG, Textor SC. Core curriculum in nephrology: hypertension. Am J Kidney Dis. 2004;44:369-75. Word Health Organization, International Society of Hypertension Writing Group. 2003 World Health Organization - International Society of Hypertension Statement of Management of Hypertension. J Hypertens. 2003; 21 :1983-92. World Health Organization and International Society of Hypertension Guidelines Subcommittee. 1999 World Health Organization - International Society of Hypertension Guidelines for the Management of Hypertension. J Hypertens. 1999;17:151-83.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
HIPERTENSI PADA PENYAKIT GINJAL Agus Tessy
PENDAHULUAN Pasien hipertensi banyak ditemukan di masyarakat dan sekalipun telah diterapi masih banyak yang tekanan darahnya tidak terkontrol. Hal ini disebabkan karena kombinasi obat yang tidak sesuai dan banyak obat-obat yang mempunyai efek samping dan kontraindikasi. Sehingga diperlukan obat antihipertensi yang dapat digunakan oleh pasien hipertensi yang dapat di toleransi dengan baik dan mempunyai efek samping yang minimal sehingga ketaatari pemakaiannya juga lebih baik. Renin-Angiotensinogen-Aldosteron-(RAA) sistem berperan penting dalam niemelihara hemodinamik dan homeostasis kardiovaskular. Sistem RAA dianggap sebagai suatu homeostatic feed back loop dimana ginjal dapat mengeluarkan renin sebagai respons terhadap rangsangan seperti tekanan darah rendah, stres simpatetik, berkurangnya volutne darah dan bila keadaan-keadaan ini normal kembali maka RAA sistem tidak teraktivasi. Penyakit ginjal dapat menyebabkan naiknya tekanan darah dan sebaliknya hipertensi dalam jangka waktu lama dapat mengganggu ginjal. Di klinik sukar untuk membedakan kedua keadaan ini terutama pada penyakit ginjal menahun. Apakah hipertensi yang menyebabkan penyakit ginjal menahun ataukah penyakit ginjal yang menyebabkan naiknya tekanan darah dan untuk mengetahui kedua keadaan ini diperlukan adanya catatau medik yang teratur dalam jangka panjang. Beratnya pengaruh hipertensi pada ginjal tergantung dari tingginya tekanan darah dan lamanya menderita hipertensi. Makin tinggi tekanan darah dalam waktu lama makin berat komplikasi yang dapat ditimbulkan. Hubungan antara hipertensi dan ginjal telah lama diketahui sejak Richard Bright pada 1836. Penelitian-penelitian selama ini membuktikan bahwa hipertensi merupakan salah satu faktor pemburuk fi~ngsi
gin.jal di samping faktor-faktor lain seperti proteinuria,jenis penyakit ginjal, hiperglikemia, hiperlipidemia dan beratnya hngsi ginjal sejak awal. Upaya menuninkan tekanan darah jelas akan menurunkan faktor risiko kardiovaskular. Pada studi Cohart mendapatkan bahwa penyebab kematian akibat hipertensi ialah insufisiensi koroner, CHF, infark cerebral dan perdarahan, penyakit ginjal menahun dan ruptur aneurisme. Variabilitas tekanan darah berperan penting sebagai penyebab kerusakan target organ. Beberapa komponen variabilitas tekanan darah yang berperan antara lain: perubahan tekanan darah siang dan malam, perubahan tekanan darah setiap hari, kecepatan perubahan tekanan darah dan perubahan tekanan darah jangka panjang.
Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut maupun penyakit ginjal hronik baik pada kelainan glomerulus maupun pada kelainan vaskular. Hipertensi pada penyakit ginjal dapat dikelompokkan dalam: 1. Pada Penyakit Glomerulus Akut: G N Pasca Streptokokkus, Nefropati, Membranos~ 2. Pada Penyakit Vaskular: Vaskulitis, Sklerode~ma 3. Pada penyakit ginjal kronik: CKD Stage 111 - V 4. Penyakit Glomerulus Kronik: Tekanan darah normal tinggi
Penyakit Glomerulus Akut Hipertensi terjadi oleh karena adanya retensi natrium yang menyebabkan hipervolemi. Retensi natriurn terjadi akibat adanya peningkatan reabsorbsi Na di duktus koligentes. Peningkatan ini dimungkinkan ole11 karena adanya resistensi relatif terhadap Hormon Natriuretik Peptida dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HIPERTENSI PADA PENYAKIT GINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
peningkatan aktivitas pompa Na-K-ATPase di duktus koligentes.
Penyakit Vaskular Pada keadaan ini terjadi iskemi yang kemudian merangsang sistem renin angiotensin aldosteron. Penyakit Ginjal Kronik Hipertensi oleh karena hal-ha1 sebagai berikut 1). Retensi natrium, 2). Peningkatan sistem RAA akibat iskemi relatif karena kerusakan regional, 3). Aktivitas saraf simpatis meningkat akibat kerusakan ginjal, 4). Hiperparatiroid Sekunder, 5). Pemberian eritropoetin. Penyakit Glomerulus Kronik Tekanan darah yang ditemukan biasanya normal tinggi dibandingkan dengan kontrol normal. Sejak ditemukan cara penentuan praktis kadar renin dan angiotensin I1 di dalam plasma maka reninangiotensinogen-aldosterone (RAA) sistem diteliti secara luas. Renin dihasilkan oleh sel-sel jukstaglomerulus di ginjal dan akan merubah angiotensinogen menjadi angiotensin I (AI). Kemudian A1 oleh pengaruh angiotensin converting enzyme (ACE) yang dihasilkan oleh paru, hati dan ginjal dirubah menjadi angiotensin I1 (AII) (Gambar 1). Sistem RAA adalah satu sistem hormonal enzimatik yang bersifat multikompleks dan berperan dalam ha1 naiknya tekanan darah, pengaturan keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit.
Sekresi renin oleh ginjal dipengaruhi oleh: 1). Mekanisme intrarenal: (a) reseptor vaskular, (b) makula densa; 2). Mekanisme simpatoadrenergik; 3). Mekanisme humoral. Selain sistem RAA adajuga sistem Kalikrein-Kinin (KK) yang juga dapat menyebabkan naiknya tekanan darah (Gambar 2). Kalikrein akan merubah Bradikininogen menjadi Bradikinin kemudianACE akanmerubah Bradikinin menjadi fragmen inaktif yang dapat meningkatkan tekanan darah (Gambar 3). Renin mengubah Angiotensinogen menjadi Angiotensin I (AI) kemudian A1 dirubah oleh ACE menjadi Angiotensin I1 (AII) dan alur ini disebut alur ACE. Selain alur ACE, A11 juga dapat terbentuk langsung dari Angiotensinogen atau melalui alur lain dan kedua alur ini disebut alur non ACE. (Gambar 4)
PENGOBATAN
Berdasarkan patogenesis terjadinya hipertensi pada penyakit ginjal, maka pengobatan sebaiknya disesuaikan pada masing masing kelompok. Pengobatan hipertensi pada kelompok penyakit glomerulus akut, diberikan diuretik sekaligus mengurangi edema yang terjadi pada kelompok ini. Pengurangan cairan dengan dialisis dapat juga menurunkan tekanan darah. Pemberian ACEI atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) juga dimungkinkan, stimulasi terhadap sistem renin angiotensin aldosteron jaringan (tissue-ACE) dapat terjadi bila ada lesi pada ginjal. ACEI atau ARB merupakan obat pilihan pengobatan hipertensi pada kelainan vaskular ginjal oleh karena iskemi yang terjadi akan merangsang sistem-RAA. Pada gaga1ginjal kronis, pemberian diuretik atau ACE11 ARB atau Calcium Channel Blocker (CCB) atau Beta Blocker dimungkinkanuntuk pengobatan hipertensi secara
Bradikininogen
I
Kalikrein ---------3
Bradikinin
Gambar 1. Sistem renin-angiotensinogen-aldosteron
Gambar 2. Sistem kalikrein kinin
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1088
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI BRADYIUNIN SYSTEM
Activated Factor XI1
Pre-kallikrern 4 Kallikrein
1
~
i
* _ - I
Prostaglandins Nitric oxide
~
Angiofensinogen i ~ hepatic~origin) (alpha,-globulin,
I
-Q+
-9-
Endofhelium
ANGlOTENSlN SYSTEM
I
4
- , Converting
~
~
~
- - - Renin
Angiotensin I (decapeptide)
enz me
Inactive peptide
\4
opie (1999)
VASODILATlrA' Increased aldosterone release
Gambar 3. Peranan ACE pada sistem RAA dan sistem KK
sendiri-sendiri atau kombinasi. Komplikasi terjadinya hiperkalemi pada pemberian ACEI atau Bet~rBlocker atau penurunan fungsi ginjal pada pemberian ACEI harus menjadi perhatian. Bila terjadi hiperkalemi atau penurunan fungsi ginjal lebih dari 30%, pemberian obat ini harus dihentikan. Sesuai anjuran dari The Seventh Report of the Joint National Conzmitee on Prevention. Detection, Evaluation, and Treatment qf'High Blood Pressure (JNC 7 ) ,tahun 2003, tekanan darah sasaran pada penyakit ginjal kronik adalah 130180 mmHg untuk menahan progresi penurunan fungsi ginjal, maka tekanan darah diusahakan diturunkan untuk mencapai sasaran dengan kombinasi obat-obat di atas.
-I -
Angiotensinogen
Renin
I
+
Angiotensin I
ACE
1
A 11 MAT,
All-AT,
Gambar 4. Alur pernbentukan All
Pengobatan hipertensi pada penyakit glomerulus kronik dapat diperlakukan sebagai pengobatan hipertensi pada penyakit glomerulus akut. Pada glomerulonefritis kronik dapat ditemukan adanya hipertrofi ventrikel kiri walaupun tekanan darah masih dalam rentang 'normal', sehingga pemberian ACEI atau ARB dapat dipakai. Renoprotektif Maksud dari pengobatan hipertensi selain untuk menurunkan tekanan darah, juga untuk mencegah terjadinya kerusakan pada organ target. Terbentuknya A11 baik dari alur ACE maupun alur non ACE dapat menyebabkan glomerulofibrosis karena terjadi infiltrasi makrofag, naiknya tekanan intraglomeruler dan kenaikan aldosteron yang semuanya dapat menyebabkan gangguan pada sel-sel glomerulus. Naiknya tekanan intraglomeruler akibat terjadi perbedaan tekanan pada vasa afaren dan vasa eferen. Dalam ha1 renoprotektif ARB lebih unggul dari ACEI karena selain efek samping yang minim, semua A11 yang terbentuk baik dari alur ACE maupun alur non ACE dihambat sedangkan reseptor AT, yang mempunyai efek menguntungkan justru distimulasi'. Angiotensin 11 dengan kadar yang rendah dapat menyebabkan proteinuri. Hal ini disebabkan karena terjadinya peningkatan tekanan pada kapiler glomerulus, ukuran pori-pori glomerulus dan terjadi perubahanperubahan pada membrana glomerulus. Proteinuri merupakan barometer penentuan prognosis pasien hipertensi dan penyakit ginjal. Semakin banyak proteinuri, semakin jelek prognosis dan semakin tinggi risiko kardiovaskular.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HIPERTENSI PADA PENYAKIT GINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ARB merupakan obat oral aktif dan bekerja spesifik menghambat ikatan A11 dengan reseptor AT,, sedangkan ACEI hanya menghambat pembentukan A11 melalui jalur ACE. Pada data penelitian hewan menunjukkan bahwa ARE3 lebih sedikit mengurangi GFR bila dibandingkan dengan ACEI. Jelas bahwa ARE3 dan ACEI sama-sama mempunyai sifat renoprotektif pada berbagai jenis gangguan faal ginjal. ARB mempunyai efek natriuretik yang sama dengan dosis sedang dari tiasid. Telah diketahui bahwa reseptor AT, antagonis memiliki potensi untuk mengurangi proteinuri dan menurunkan tekanan darah tanpa terjadi perubahan-perubahan yang dapat mengganggu GFR. Perlu penelitian jangka panjang untuk menentukan apakah reseptor AT, antagonis dapat bersifat nefroprotective seperti halnya ACEI. Reseptor AT, antagonis dapat digunakan pada pasien penyakit ginjal. Pada beberapa studi berkesimpulan bahwa perlu hati-hati dalam ha1 penggunaan reseptor AT, antagonis dan ACEI pada penyakit ginjal akut dan bila dipergunakanmaka perlu pengamatan yang cermat fungsi ginjal.
endotel seperti pada hipertensi akan mempercepat remodeling vaskular akibat berkurangnya kombinasi NO dengan Angiotensin I1 lokal. Nitric Oxide berperan mengatur sirkulasi darah ginjal dan dapat meningkatkan retensi natrium sehingga bila terjadi gangguan sintesis NO berakibat terjadi ketidak seimbangan antara pengaturan aliran darah ginjal dan natrium yang berakibat buruk pada hipertensi ya3g peka garam. Disimpulkan bahwa aktifvtas sintesis NO lebih berperan pada hipertensi yang peka terhadap garam. Khususnya pada hipertensi yang peka garam akan lebih cepat terjadi gangguan pada organ target misalnya ginjal dan jantung. Dapat disimpulkan bahwa aktivitas sintesis NO dapat terjadi secara genetik dan gangguan respons sintesis NO vaskular dapat menyebabkan tingkat gangguan target organ yang berbeda. Sedangkan pada orang tua karena berkurangnya aktivitas NO endotel yang terjadi pada usia lanjut.
lnteraksi Nitric Oxide (NO) dengan Angiotensin II Angiotensin I1 juga berperan dalam ha1 pengaturan GFR melalui spasme vasa afaren dan vasa eferen. Pada penelitian lanjut menemukan bahwa A11 dapat meningkatkan oksidasi pada otot polos pembuluh darah dan sel-sel mesangial sehingga sintesis sel yang berlarutlarut dari superoksida anion nitrik oksida dan selanjutnya dapat menghambat respons sel-sel mesangial yang berakibat terjadinya hipertrofi dan hiperplasia serta peningkatan produksi matriks. Karena Angiotensin I1 dan sintesis NO yang dikeluarkan secara lokal, maka terjadi interaksi antara keduanya yang akhimya berperan dalam ha1 fisiologi dan patologi ginjal. Nitric Oxide mengatur sintesis ACE dan reseptor AT, pada jaringan vaskular. Bila terjadi penghambatan sintesis NO yang kronis maka akan menyebabkan gangguan pada glomerulus dan tubulointerstitialdan terjadi remodeling koroner, LVH d m hipertensi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa berkurangnya bioaktivitas NO vaskular akibat d i s h g s i
Bataineh A, Raij L. Angiotensin 11, nitric oxide and end-organ damage in hypertension. Kidney Int. 1998;54:68:S14-S9. Chung 0 , Unger T. Angiotensin I1 receptor blockade and end-organ protection. AJH. 1999;12:S 150-S6. JAMA. 2003;289:19 (Reprinted). Johannes F.E. Mann: valsartan and the kidney: present and future. J Cardio Pharmacol. 33:l l:S37-S40. Kaplan NM, Rose BD. Hypertension in renal disease. Up To Date CD-ROM version 13.3. 2005. McInnes GT. Angiotensin I1 antagonism in clinical practice: experience with valsartan. J Cardiovasc Pharmacol. 1999;33:(Supp. 1). Oparil S. Newly emerging pharnarcology differences in angiotensin I1 receptor blockers. AJH. 2000;13: 18s-24s. Perico N, Spormann D, Peruzzi E, Bodin F, Sioufi A, Bertocchi F. Efficacy and tolerability of valsartan compared with Lisinopril in patients with hypertension and renal insufficiency. Clin Drug Invest. 1997;14:(4). Tessy A . Renoprotektif of ARB in the management of hypertension, annual meeting nephrology 2001, Medan November 1-3, 2001, Tiara Convention Centre.
REFERENSI
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
HIPERTENSI RENOVASKULAR Syakib Bakri
PENDAHULUAN Hipertensi renovaskular (HRV) merupakan penyebab tersering dari hipertensi sekunder. Diagnosis HRV penting karena kelainan ini potensial untuk disembuhkan dengan menghilangkan penyebabnya yaitu stenosis arteri renalis. Stenosis arteri renalis adalah suatu keadaan terdapatnya lesi obstruktif secara anatomik pada arteri renalis, sedangkan HRV adalah hipertensi yang terjadi sebagai akibat fisiologis adanya stenosis arteri renalis. Biasanya stenosis lebih dari 70% baru memberi konsekuensi fisiologis tersebut. Penting untuk membedakan kedua keadaan ini, oleh karena adanya stenosis arteri renalis tidak selalu menimbulkan hipertensi. Eyler dkk menemukan bahwa pada subyek normotensi berusia kurang dari 60 tahun, prevalensi stenosis arteri renalis mencapai 45%. Schwartz & White pada otopsi 154 subyek, menemukan adanya hubungan yang bermakna antara stenosis arteri renalis dengan usia tetapi tidak ada korelasi stenosis arteri renalis dengan tekanan darah diastolik. Demikian juga adanya stenosis arteri renalis dan hipertensi secara bersama-sama tidaklah selalu mempunyai hubungan sebab-akibat. Holley dkk menemukan bahwa pada 49% subyek normotensi dan 77% pasien hipertensi yang ditelitinya ditemukan stenosis arteri renalis sedang sampai berat. Smith menemukan bahwa nefrektomi dapat menghilangkan hipertensi hanya pada 35% kasus yang terbukti mempunyai stenosis arteri renalis dan hipertensi, walaupun diketahui bahwa makin lama berlangsungnya HRV makin rendah kemungkinan revaskularisasi dapat mengontrol tekanan darah oleh karena kemungkinan sudah terjadi nefrosklerosis pada ginjal kontralateral. Istilah nefropati iskemik menggambarkan suatu keadaan terjadinya penurunan fungsi ginjal akibat adanya stenosis arteri renalis. Bila sudah terjadi gangguan hngsi ginjal, kelainan ini akan menetap walaupun tekanan
darahnya dapat dikendalikan dengan pengobatan yang meliputi medikamentosa antihipertensi, revaskularisasi dengan tindakan bedah, atau angioplasti. Prevalensi HRV sangat rendah, kurang dari 1% dari populasi umum, tetapi dapat mencapai 40-60% pada populasi hipertensi refrakter dengan pengobatan lebih dari 3 macam anti-hipertensi dan pada populasi di atas 70 tahun.
Lesi Aterosklerotik Arteri Renalis Merupakan penyebab paling sering dari HRV, mencapai 90% kasus. Biasanya ditemukan pada usia lanjut, sering dengan riwayat keluarga hipertensi. Lesi umumnya terjadi bilateral dan biasanya pada daerah ostium, baik fokal atau merupakan lanjutan dari plak aorta serta pada 113 bagian proksimal arteri renalis. Biasanya berhubungan dengan adanya aterosklerosis secara umum dan sering ditemukan pada pasien dengan riwayat infark miokard, strok dan klaudikasi intermiten. Displasia Fibromuskular Merupakan penyebab terbanyak kedua, lebih sering ditemukan pada perempuan muda pada umur dekade ketiga dan keempat. Biasanya tidak mempunyai riwayat hipertensi dalarn keluarga dan umumnya belum mempunyai kelainan organ target. Terjadinya bilateral pada 213 kasus, dan biasanya terjadi pada 213 bagian distal arteri renalis atau cabang intrarenal. Fibromuskular displasia terdiri dari lima tipe histologi yaitu: fibroplasia medial (65-75%), fibroplasiaperimedial(10-25%),fibroplasia intirnal (10-25%), hiperplasia medial (5-10%) serta fibroplasia periarterial (sangat jarang).
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HIPERTENSI RENOVASKULAR
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Penyebab-penyebab Lain Arteritis Takayasu, neurofibromatosis, aneurisma aorta disekans, fistula arteri-vena renalis, arteritis radiasi, posttransplant stenosis, dan emboli.
Model percobaan HRV pertama kali dilakukan oleh Goldblatt tahun 1934 yang menunjukkan bahwa terjadi hipertensi persisten bila dilakukan konstriksi kedua arteri renalis anjing percobaan atau pada satu arteri renalis di mana ginjal satunya telah dikeluarkan. Walaupun pada awalnya diyakini bahwa hipersekresi renin dari ginjal yang iskemik yang berperan pada terjadinya hipertensi, penelitian-penelitian selanjutnyamengindikasikan adanya faktor lain yang berperan padapersistensinya peningkatan tekanan darah oleh karena hiperreninemia tidak selalu ditemukan pada fase lanjut HRV. Juga dibuktikan bahwa mekanisme terjadinya hipertensi pada hewan percobaan, berbeda, tergantung apakah ginjal kontralateral masih intak (one clip, ttvo kidney Goldblatt hypertension, sama dengan stenosis arteri renalis unilateral pada manusia) atau ginjal kontralateral telah diangkat (one clip, one kidney Goldblatt hypertension, sama dengan stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis unilateral dengan ginjal tunggal pada manusia). Fase Akut. Konstriksi arteri renalis segera akan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan juga renin serta aldosteron. Pemberian angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEI) atau saralasin (suatu angiotensin receptor blockers = ARB) dapat mencegah peningkatan tekanan darah ini, mengindikasikan bahwa peningkatan tekanan darah ini merupakan akibat dari hiperreninemia. Fase Kronik. Setelah beberapa hari, tekanan darah tetap meningkat tetapi renin dan aldosteron mulai menurun ke nilai normal. Pada fase ini perlangsungan dari hipertensi berbeda tergantung dari apakah ginjal kontralateral intak atau tidak, serta dari spesies yang diteliti. Umumnya penelitian dilakukan pada tikus. One clip, one kidney Goldblatt hypertension: Seiring dengan menurunnya renin, terjadi peningkatan volume plasma akibat dari retensi natrium. Bila pada fase ini diberikan ACEI, hanya sedikit terjadi penurunan tekanan darah. Bila hewan percobaan diberikandiet rendah natrium, peningkatan tekanan darah tetap terjadi, tetapi mekanismenyaberbeda: renin plasma tetap meningkat tetapi terjadi peningkatan volume plasma. Jadi hipertensi yang terjadi apakah renin-dependent atau volume-dependent, tergantung dari asupan natrium. Efek hipotensi dari ACEI pada model ini kurang terlihat. One clip, two kidney Goldblatt hypertension: Pada model ini retensi natrium minimal dan hipertensi adalah renin-dependent, di mana pemberian ACEI memberi efek
hipotensi yang jelas. Pada model ini ginjal kontralateral mampu mengekskresikan natrium walaupun tidak sepenuhnya normal oleh karena aktivasi sistem reninangiotensin (RA) juga menyebabkan vasokonstriksi pada ginjal kontralateral. Pada stenosis arteri renalis, ginjal yang stenotik akan mengalami atrofi tubular dan fibrosis interstisial akibat hipoperfusi, sedangkan pada ginjal kontralateral terjadi hipertensi intraglomerulus akibat transmisi tekanan sistemik yang meningkat yang akan menyebabkan proteinuri dan glomerulosklerosis yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan nefron.
DIAGNOSIS Sukar membedakan hipertensi esensil dengan HRV hanya dengan pemeriksaan fisis; dibutuhkan pemeriksaanpemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan aktivitas renin plasma perifer basal maupun setelah pemberian kaptopril dan pemeriksaan renin vena renalis, serta pemeriksaan radiologi seperti renogram dengan atau tanpa pemberian kaptopril, ultranonografi, magnetic resonance angiography ataupun arteriografi. Arteriografi dianggap sebagai pemeriksaan baku emas untuk diagnosis stenosis arteri renalis. Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan-pemeriksaan ini sangat bervariasi.
Tes
Sensitivitas
Spesifitas
Renogram Renogram kaptoril Aktivitas renin plasma perifer Aktivitas renin plasma perifer sesudah pemberian kaptopril Ultrasonografi Lesi apapun Lesi > 60% Magnetic resonance angiography
75% 83% 57% 96%
75% 93% 66% 55%
95% 90% 88%-95%
90% 62% 94%
Pemeriksaan-pemeriksaanini memerlukan biaya mahal dan tidak selalu tersedia. Olehnya, skrining untuk mencari kemungkinan adanya HRV tidak efektif-biaya untuk dilakukan pada populasi umum karena prevalensi HRV yang sangat rendah. Skrining hanya dilakukan pada kelompok pasien yang mempunyai riwayat dan gambaran klinik yang mencurigakan kemungkinan suatu HRV yaitu: Hipertensi yang timbul pada usia kurang dari 30 tahun atau lebih dari 50 tahun. Hipertensi akselerasi atau hipertensi maligna. Hipertensi yang resisten dengan pemberian 3 atau lebih macam obat antihipertensi. Hipertensi dengan gangguan hngsi ginjal yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
CINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Perburukan hngsi ginjal dari pasien hipertensi yang diobati dengan ACEI atau ARB. Hipertensi dengan bising pada abdomen Hipertensi dengan edema paru yang berulang. Pada tahun 1992, Mann & Pickering membuat suatu kriteria probabilitas HRV berdasarkan kriteria klinis dengan tujuan untuk menyeleksi pemeriksaan yang perlu dilakukan sebagai berikut: 1). Probabilitas rendah: pada pasien hipertensi ringan-sedang tanpa kelainan organ target. Pada kelompok ini tidak perlu dilakukan shining HRV, 2). Probabilitas sedang: pada pasien hipertensi berat (tekanan diastolik di atas 120 mmHg), hipertensi yang refrakter dengan pengobatan standar, hipertensi dengan bising pada abdomen atau pinggang, hipertensi sedang (tekanan diastolik 105-120 mmHg) yang merokok, pada pasien yang mempunyai penyakit vaskular oklusif (serebrovaskular, koroner atau arteri perifer), atau pada pasien dengan peningkatan kreatinin serum yang tidak bisa dijelaskan sebabnya. Pada kelompok ini dianjurkanuntuk pemeriksaan renin plasma setelah stimulasi kaptopril dan renografi isotop, yang dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan arteriografi arteri renalis dan pemeriksaan renin vena renalis. 3). Probabilitas tinggi: pada pasien dengan hipertensi berat (tekanan diastolik di atas 120mmHg) yang refrakter dengan pengobatan agresif atau dengan insufisiensi ginjal progresif, khususnya pada perokok atau yang mempunyai bukti adanya penyakit arteri oklusif; hipertensi maligna atau akselerasi; hipertensi dengan peningkatan kreatinin serum yang diinduksi oleh ACEI dan hipertensi sedang-berat dengan ukuran ginjal yang asimetris. Pada kelompok ini dianjurkan untuk langsung melakukan arteriografi arteri renalis.
PENATALAKSANAAN Tujuan penatalaksanaan HRV adalah mengurangi angka morbiditas dan mortalitas akibat peningkatan tekanan darah dan iskemi ginjal, melalui pemberian obat antihipertensi, revaskularisasi dengan angioplasti atau operasi. Pilihan pengobatan yang akan diarnbil hams mempertimbangkan etiologi dari stenosis arteri renalis, dan keadaan umum pasien. Pada HRV akibat penyakit renovaskular aterosklerotik, hipertensi esensial biasanya sudah didiagnosis sebelum diagnosis HRV dan umumnya pasien sudah mendapat pengobatan antihipertensi sebelum perburukan dari kontrol tekanan darahnya atau f h g s i ginjalnya, yang mendugakan suatu HRV. Pada penelitian the Dutch Renal Artery Stenosis Intervention Cooperative study, pengobatan medikamentosa dengan 3 atau lebih jenis obat antihipertensi dapat mengontrol tekanan darah pada lebih dari separuh pasien.
Pada pasien dengan fibromuskular displasia, tindakan revaskularisasi dapat merupakan pengobatan definitif dalam menurunkan tekanan darah. Berbeda dengan pasien HRV akibat displasia fibromuskular, pasien dengan penyakit renovaskular aterosklerotik biasanya tetap membutuhkan obat antihipertensi walaupun tindakan revaskularisasinya berhasil. Tindakan revaskularisasi biasanya kurang memberikan hasil yang memuaskan pada pasienHRV yang berusia lanjut, HRV dengan insufisiensi ginjal lanjut (kreatinin serum lebih dari 3 mg%), bila penyebabnya penyakit renovaskular aterosklerotik atau bila ukuran ginjal kurang dari 9 cm pada pemeriksaan radiografi atau ultrasonografi.
Pengobatan Medikamentosa Pengobatan medikamentosa tidak berbeda dengan hipertensi esensial. Perhatian khusus hams diberikan bila memberikan ACEI atau ARB. Kedua obat ini merupakan pilihan pada stenosis unilateral di mana ginjal kontralateral berfungsi baik; sebaliknya merupakan kontraindikasi pada stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis unilateral pada pasien dengan hanya satu ginjal (yang stenotik) yang berfungsi, oleh karena akan rnenyebabkan perburukan fungsi ginjal, bahkan gaga1 ginjal akut. Umumnya dibutuhkan kombinasi beberapa macam antihipertensi untuk mendapatkan kontrol yang optimal pada pasien HRV. Angioplasti Perkutan Pada lesi fibromuskular, keberhasilan teknik pengobatan ini mencapai 85-loo%, di mana 50% pasien dapat disembuhkansedangkan40% mengalami perbaikan kontrol tekanan darah. Pada lesi aterosklerotik, keberhasilannya dalam menormalkan tekanan darah lebih kurang dibandingkanpada lesi aterosklerosis;walaupun demikian pada sebagian pasien terjadi perbaikan kontrol tekanan darah dan fungsi ginjal. Revaskularisasi dengan Tindakan Bedah Berbagai teknik operasi revaskularisasi telah dipergunakan, tergantung letak, luas, dan beratnya lesi pada arteri renalis. Untuk lesi ostial aterosklerotikdilakukan tindakan aortorenal endareterectomy dan aortorenal bypass. Untuk lesi fibromuskular dilakukan graft dari arteri hipogastrika. Dapat pula dilakukan aortorenal vein bypass graft pada lesi aterosklerotik dan lesi fibromuskular. Kontrol tekanan darah lebih banyak didapatkan pada lesi fibromuskular dari pada lesi aterosklerotik.
REFERENSI Bhalla A, D'Cmz S, Lehl SS, et al. Renovascular hypertension - its evaluation and management. JIACM. 2003;4:139-46.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1093
HIPERTENSI RENOVASKULAR
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Bloch MJ. An evidence-based approach to diagnosing renovascular hypertension. Curr Cardiol Rep. 2001;3:477-84. Canzanello VJ. Medical management of renovascular hypertension. Secondary hypertension: clinical presentation, diagnosis and treatment. In: Mansoor GA, editor. New Jersey: Humana Press; 2004. p. 91-107. Eyler WR, Clark MD, Garman JE, et al. Angiography of the renal areas including a comparative study of renal arterial stenoses in patients with and without hypertension. Radiology. 1962;78:87992. Holley KE, Hunt JC, Brown AL, et al. Renal artery stenosis: a clinical-pathological study in normotensive and hypertensive patients. Am J Med. 1964;37:14-22. Mann SJ, Pickering TG. Detection of renovascular hypertension. Ann Intern Med. 1992;117:845-53. Muller FB, Sealey JE, Case DB, et al. The captopril test of identifying renovascular disease in hypertensive patients. Am J Med. 1986;80:633-44. Pickering TG, Laragh JH, Sos TA. Renovascular hypertension. Diseases of the kidney. 5Lhedition. In: Schrier EW, Gottschalk CW, editors. London: Little, Brown and Company; 1993. p. 1451-74.
Rankin SC, Saunders AJS, Cook GJR, et al. Renovascular hypertension. Clin Radio]. 2000;55:1-12. Rosner MH. Renovascular hypertension: can we identify a population at high risk? Southern Med J. 2001;94:1058-64. Salifu MO, Haria DM, Badero 0 , et al. Challenges in the diagnosis and management of renal artery stenosis. Curr Hypertens Rep. 2005;7:219-27. Schwartz CJ, White TA. Stenosis of the renal artery: an unselected necropsy study. Br Med J. 1964;2:1415-21. Smith HW. Unilateral nephrectomy in hypertensive disease. J Urol. . 1956;76:685-701. Thavarajah S, White WB. Diagnostic evaluation for patients with renovascular hypertension In: Secondary hypertension: clinical presentation, diagnosis and treatment. In: Mansoor GA, editor. New Jersey: Humana Press; 2004. p. 63-81. van Jaarveld BC, Krijnen P, Pieterman H, et al. The effect of balloon angioplasty on hypertension in atherosclerotic renal artery stenosis. N Engl J Med. 2000;342:1007-14.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
HIPERALDOSTERONISME PRIMER Ginova Nainggolan
PENDAHULUAN Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah yang melebihi tekanan darah normal seperti apa yang telah disepakati oleh para ahli yaitu lebih dari atau sama dengan 140190 mmHg (JNC-7). Hipertensi dapat diklasifikasikan sebagai hipertensi primer atau hipertensi esensial, yang merupakan 95% dari seluruh pasien hipertensi, dan hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder antara lain adalah penyakit renovaskular, penyakit ginjal kronik, feokromositoma, hiperaldosteronisme primer, hipertensi monogenik atau penyebab lain yang diketahui. Hiperaldosteronisme primer adalah sindrom yang disebabkan oleh hipersekresi aldosteron yang tak terkendali umumnya berasal dari kelenjar korteks adrenal. Hiperladosteronisem primer secara klinis dikenal dengan triad terdiri dari hipertensi, hipokalemi dan alkalosis metabolik. Sindrom ini dilaporkan pertama kali tahun 1955 oleh Conn. Sindrom ini disebabkan oleh hiperplasi kelenjar kortek adrenal, adenoma unilateral atau karsinoma adrenal.
Semakin banyak laporan yang menunjukkan adanya peningkatan insidens hiperladosteronisme primer di masyarakat. Pada awalnya hiperaldosteronisrne dicurigai bila didapatkan hipertensi dengan hipokalemia dan dengan kriteria ini insidensss hiperaldosteronisrne dilaporkan berkisar 1-2 % dari populasi hipertensi. Dahulu kecurigaan terdapat hiperaldosteronisrne bila didapatkan hipokalemia pada pasien hipertensi dan untuk tindakan diagnostik perlu penghentian terapi antihipertensi selama 2 minggu, ha1 yang sulit dilakukan bila tekanan darah pasien sukar dikendalikan. Hal ini menyebabkan tindakan diagnostik
.
jarang dilakukan dan selanjutnya laporan kejadian hiperaldosteronisme menjadi sedikit. Saat ini tindakan diagnostik untuk deteksi adanya hiperladosteronisme dipermudah dengan memeriksa rasio aldosteron renin (Aldosteron-renin ratio=ARR) dan pemeriksaan ini tidak memerlukan penghentian obat antihipertensi. Saat ini banyak laporan yang menunjukkan kejadian hiperaldosteronisme primer berkisar antara 5- 10%. Hasil ini didapatkan dengan memeriksa semua pasien hipertensi terhadap kemungkinan hiperaldosteronisrne primer. Pada pasien ini tidak didapatkan hipokalemia. Tetapi peningkatan insidens hiperaldosteronisrne primer yang dilaporkan sebagian besar disebabkan peningkatan insidens kejadian hiperplasi adrenal dimana terapi yang dibutuhkan cukup dengan obat antagonis aldosteron.
GEJALA DAN TANDA Hipokalemia membuat pasien mengeluh adanya rasa lemas dan tekanan darah biasanya tinggi dan sukar dikendalikan. Pada pasien tanpa hipokalemia tidak terdapat gejala lemas.
Sel kelenjar adrenal yang mengalami hiperplasia atau adenoma menghasilkan hormon aldosteron secara berlebihan. Peningkatan kadar serum aldosteron akan merangsang penambahan jumlah saluran natrium yang terbuka pada sel prinsipal membran luminal dari duktus kolektikus bagian kortek ginjal. Akibat penambahanjumlah ini, reabsorbsi natrium mengalami peningkatan. Absorbsi natrium juga membawa air sehingga tubuh menjadi cenderung hipervolemia. Sejalan dengan ini, lumen duktus kolektikus ini berubah
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HIPERALDOSTERONISME PRIMER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI menjadi bermuatan lebih negatif yang mengakibatkan keluarnya ion kalium dari sel duktus kolektikus masuk ke dalam lumen tubuli melalui saluran kalium. Akibat peningkatan ekskresi kalium di urin, terjadi kadar kalium darah berkurang. Peningkatan ekskresi kalium juga dipicu oleh peningkatan aliran cairan menuju tubulus distal. Hal ini mengakibatkan tubuh kekurangan kalium dan timbul gejala seperti lemas. Hipokalemi yang terjadi akan merangsang peningkatan ekskresi ion-H di tubulus proksimal melalui pompa NH,', sehingga reabsorbsi bikarbonat meningkat di tubulus proksimal dan kemudian terjadi alkalosis metabolik. Hipokalemi bersama dengan hiperaldosteron juga akan merangsang pompa H-K-ATPase di tubulus distal yang mengakibatkan peningkatan ekskresi ion-H, selanjutnya akan memelihara keadaan alkalosis metabolik pada pasien ini. Kadar renin plasma pada pasien ini sangat rendah. Hipervolemia yang terjadi akibat reabsorbsi natrium dan air yang meningkat akan menekan produksi renin sehingga kadar renin plasma tertekan. Hal ini berbeda dengan hiperaldosteronisrne sekunder dimana terjadi peningkatan kadar renin maupun aldosterondarah. Hiperaldosteronisme sekunder didapatkan pada hipertensi renovaskular atau pemberian diuretik pada pasien hipertensi. Hipertensi yang terjadi pada pasien ini sebagian besar disebabkan oleh hipervolemia yang menetap.
DIAGNOSIS
Tindakan diagnosis pada hiperladosteronisrne primer terdiri dari tahap menentukan adanya hiperaldosteronisrne primer dan mengetahui kausanya. Bila dicurigai terdapat hiperaldosteronisme primer maka dilakukan pemeriksaan serum aldosteron dan Plasma Renin Activity (PRA) secara bersamaan. Pemeriksaan ini dilakukan pagi hari dan tidak perlu pasien hams berbaring. Sebelum tes dilakukan perlu diketahui apakah pasien sedang mengkonsumsi obat yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan seperti antagonis aldosteron, yang harus dihentikan 6 minggu sebelum dilakukan pemeriksaan. Penggunaan antihipertensi dilaporkan tidak mempengaruhi hasil pemeriksaan kecuali ACE Inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker perlu dicatat. Pada pasien yang menggunakan ACE Inhibitor atau ARB, hasil PRA yang tidak terdeteksi menunjukkan terdapat hiperladosteronisrne. Rasio antara kadar aldosteron dalam plasma (ngldl) dengan kadar renin dalam plasma (ng/ml per jam) yang disebut sebagai rasio aldoteron renin (Aldosteron Renin Ratio=ARR) memiliki nilai diagnostik yang bermakna. Nilai ARR> 100 dianggap sebagai nilai diagnostik yang sangat bermakna untuk terdapatnya hiperladosteronisrne. Perlu diperhatikan pada penghitungan ARR sangat tergantung
pada nilai PRA. Bila menggunakan reagen yang dapat mengukur kadar PRA konsentrasi rendah maka rasio aldosteron1PRAakan semakin besar. Karena itu disarankan menggunakan reagen yang dapat mengukur kadar PRA yang rendah. Kombinasi aldosteron plasma 20 ngldl (555 pmolL) dan ARR > 30 memiliki spesifisitas dan sensitifitas 90% untuk mendeteksi hiperaldosteronisrne. Peningkatan serum aldosteron dan ARR saja tidak berarti didapatkan hiperladosteronisrne primer. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk menunjukkan adanya sekresi kelenjar adrenal yang berlebihan. Untuk itu dilakukan tes supresi kelenjar aldosteron dengan memberikan garam NaCl. Terdapat dua cara melakukan tes supresi yaitu secara oral dan pemberian NaCl isotonis. Pada tes supresi oral diberikan diet 5 g/NaCl per oral dengan pemberian selama tiga hari. Setelah hari ketiga dilakukan pengumpulan urin selama 24 jam untuk mengukur kadar natrium, kalium dan aldosteron dalarn urin. Kadar natrium dalam urin harus lebih dari 200 meq yang menandakan diet tinggi natrium yang diberikan telah cukup adekuat. Kadar aldosteron urin lebih dari 14 pgrl24 jam atau 39 nmo1124 jam sesuai dengan hiperaldosteronisrne primer. Tes supresi kedua yaitu dengan pemberian 2 liter NaCl isotonis dalam waktu 4 jam dengan posisi pasien tidur terlentang. Bila kadar aldosteron plasma lebih dari 10 ngldl atau lebih dari 277 pmol/L, sesuai dengan adanya hiperaldosteronisrne primer. Diagnostik lain adalah dengan terdapatnya peningkatan ekskresi kalium dalam urin 24 jam (> 30 meql L). Syaratpemeriksaan ini adalahpasien tidak boleh dalam keadaan hipovolemia atau dalam keadaan diet rendah natrium (kadar Natriurn urin h a n g dari 50 meq per 24 jam). Pemeriksaan lain pada hiperladosteronisrne primer adalah pemeriksaan analisis gas darah yang menunjukkan gambaran alkalosis metabolik yang disebabkan peningkatan reabsorbsi bikarbonat di tubulus proksimal karena peningkatan kadar aldosteron. Dahulu kecurigaan hiperaldosteronisrne primer bila didapatkan pasien hipertensi dengan hipokalemia atau adanya gejala lemas. Saat ini dengan semakin banyaknya laporan peningkatan kejadian hiperaldosteronisrne maka kriteria pasien yang perlu dilakukan skrining diperluas. Pasien yang perlu dilakukan penyapihan untuk mengetahui adanya hiperaldosteronisme primer adalah pasien hipertensi derajat 1 dengan kriteria usia < 30 tahun, tidak terdapat riwayat hipertensi dalam keluarga dan tidak obes. Dilain pihak tes penyapihan pada semua pasien hipertensi tidak dianjurkan. Walaupun saat ini dilaporkan adanya peningkatan kejadian hiperaldosteronisme primer di masyarakat tetapi hasil skrining tersebut menunjukkan peningkatan populasi hiperplasia adrenal yang cukup diterapi dengan pemberian antagonis aldosteron. Dengan melakukan skrining hiperladosteronisme pada semua pasien hipertensi proporsi adenoma lebih sedikit (dari 60-
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
70% menjadi 25%) dibandingkan bila dilakukan skrining pada pasien dengan hipokalemia atau hipertensi resisten. Pasien yang juga memerlukan tes penyapihan adalah hipertensi dengan hipokalemia, pasien hipertensi berat dan adrenal insidensstaloma.Adrenal insidensstaloma adalah ditemukannya pembesaran kelenjar adrenal secara tidak sengaja pada pemeriksaan CT ScanIMRI abdomen. Pemeriksaan berikutnya adalah untuk menentukan subtipe hiperaldosteronisme primer. Terdapat tiga subtipe yaitu adenoma (APA= Aldosteron producing adenoma), hiperplasi adrenal dan karsinoma adrenal. Pemeriksaan pencitraan berupa CT-Scan atau MRZ dapat membedakan ketiganya. Bila didapatkan ukuran kelenjar > 4 cm maka kecurigaan adanya karsinoma adrenal perlu dipikirkan.Bila didapatkan kelenjar adrenal membesar satu sisi maka diagnostik terdapat APA. Bila didapatkan kedua kelenjar membesar maka penyebab hiperaldosteronisme primer adalah hiperplasia adrenal. Pada keadaan sulit untuk rnenentukan apakah terdapat hiperplasia atau adenolna maka dilakukan pengukuran kadar aldosteron di vena adrenal. Pemeriksaan ini dilaporkan sulit dilakukan karena itu harus dilakukan oleh ahli yang berpengalaman untuk pemeriksaan ini. Pasien dalam pemberian infus kontinu ACTH 50 mcg perjam ketika dilakukan pengambilan sample darah vena. Juga diperiksa kadar kortisol untuk memastikan darah berasal dari vena adrenal. Bila didapatkan kadar aldosteron berbeda >4 kali maka di sisi tersebut terdapat adenoma, sedangkan pada hiperplasia kelenjar adrenal kadar aldosteron pada dua sisi hampir sama.
Bila pasien tidak toleran dengan spironolakton, dapat diberikan amiloride hingga dosis 15 mg dua kali sehari. Amiloride hanya dipakai untuk menormalkan kadar kalium dan tidak dapat menurunkan tekanan darah oleh karena itu perlu ditambahkan obat antihipertensi lain. Perlu diperhatikan bahwa pada terapi ini kadar aldosteron dalam darah tetapi tinggi dan dalam jangka panjang dikhawatirkan ha1 ini dapat menimbulkan gangguan pada jantung .
ADENOMA PRODUCING ALDOSTERON Pengobatan yang terbaik pada adenoma adrenal (pembesaran unilateral) adalah dengan melakukan adrenalektomi secara bedah konvensional atau pengangkatan dengan teknik laparoskopi. Adrenalektomi pada adenoma adrenal akan menorrnalkan kadar aldosteron plasma serta menormalkan tekanan darah tanpa membutuhkan spironolakton, suplementasi kalium atau obat antihipertensi yang lain. Tetapi pada 40-60% pasien didapatkan tekanan darah tetap tinggi pasca operasi. Pada kelompok dengan penggunaan obat antihipertensikurang dari 2 dan tidak adanya riwayat hipertensi dalam keluarga dilaporkan tekanan darah akan terkendali setelah operasi adrenalektomi. Sedangkan pada karsinoma kelenjar adrenal dilakukan adrenalektomi.
REFERENSI PENGOBATAN Tujuan terapi adalah menormalkan tekanan darah, serum kalium dan kadar serum aldosteron. Pada hiperplasi kelenjar aldosteron ha1 ini dicapai dengm dengan pemberian obat antagonis aldosteron. Pemberian spironolakton 12,525 mg biasanya sudah cukup efektif mengendalikan tekanan darah dan menormalkan kadar kalium plasma. Sayangnya obat spironolakton yang diberikan dalam jangka panjang mempunyai efek samping seperti irnpotensi, ginekomastia, gangguan haid dan gangguan traktus gastrointestinal sehingga pemberian jangka panjang spironolakton mempunyai banyak kendala. Saat ini ada obat baru eplerenon dengan dosis 2 kali 25 mg perhari dengan efek samping yang lebih ringan daripada spironolakton sehingga dapat diberikan dalarn jangka panjang, walaupun harganya relatif mahal. Selain terapi farmakologi perlu dikurangi asupan garam dalam makanan, berolahraga secara teratur, menormalkan berat badan dan menghindari konsumsi alkohol
Chobanion AV, Bakris GL, Black HR, et al. The seventh report of the joint natiqnal committee on prevention, detection, evaluation and treatment of high blood pressure: The JNC 7 report. JAMA. 2003;289:2560-72, Ganguly A. Primary aldosteronism. New Englj.Med. 1998;339:182834. Kaplon NM. Primary aldosteronism. In: Kaplan NM, editor. Kaplan's clinical hypertension, 8th edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2002. p. 455-79. Mulatero P, Stowasser M, Keh-Chuan Loh, Fardella CE, Gordon Ra, Mosso L, Gomez-Sanchez CE, Veglio F, Young WF Jr. Increased diagnosis of primary aldosteronism, including surgically correctable forms, in centers from five continents. J Clin Endocrinot Metab. 2004;&9:1045-50, Plouin P, Amar L, Chatellier G : Trends in the prevalence of primary aldosteronism, aldosterone-producing adenomas and surgically correctable aldosterone-dependent hypertension. NDT. 2004;19:774-7. Sawka AM, Young WM, Thompson GB, Grant CS, Farley DR, Leibson C, van Heerden JA. Primary aldosteronism: factors associated with normalization of blood pressure after surgery. Ann Intern Med, 2001;135:258-61. Young WF, Primary aldosteronism, Management issue. NY Acad Sciences 2002. Ann NY Acad Sci. 2002;979:61-76.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
FEOKROMOSITOMA Imam Effendi
PENDAHULUAN Angka kejadian hipertensi karena kelainan endokrin tidak diketahui dengan pasti. Pada masa lalu bentuk hipertensi karena endokrin kurang dari 1%. Kecilnya angka kejadian ini karena under diagnosis, kurangnya pengertian dan terbatasnya serta sulitnya tes diagnostik. Penyebab hipertensi endokrin antara lain korteks adrenal, kelainan hipofisis, medulla adrenal, tiroid, tumor renin dan lain sebagainya. Sering sekali hipertensi endokrin tidak terdiagnosis karena tidak jelasnya tanda dan gejala serta pada laboratorium rutin tidak ditemukan kelainan. Namun demikian sering pula ditemui tanda atau gejala spesifik dan perlu ketelitian anamnesis, pemeriksaan fisis dan laboratorium untuk mendiagnosis hipertensi sekunder. Diagnosis yang tepat dan cepat pada hipertensi endokrin sering ada kesempatan untuk sembuh, dan terhindar dari malapetaka selanjutnya. Feokromositoma adalah salah satu hipertensi endokrin yang patut dicurigai bila ada riwayat dalam keluarga. Selain itu ada tanda-tanda 5H mencurigai feokromositoma yaitu : hipertensi, headachelsakit kepala, hipermetabolisme, hiperhidrosis, hiperglikemia. Feokromositoma mempunyai arti warna coklat dan sebagian besar tumor tumbuh di dalam kelenjar adrenal, hanya 10% di luar kelenjar adrenal (paraganglioma). Umumnya ia bersifat jinak dan hanya 10% metastasis ke tulang, paru, hati dan kelenjar getah bening. Tumor dapat mensekresi bermacam-macam hormon, terutama norefinefrin, efinefrin dan dopamin, dengan pola-pola tertentu yang berbeda pada tiap-tiap pasien. Beberapa paragangliomajuga dapat memproduksi efinefiin. Produksi dopamin yang banyak sering menandakan keganasan atau tumor yang besar. Angka kejadian feokromositoma di USA sangat bervariasi antara 0,05-0,1% dan sering pasien meninggal tanpa diduga karena feokromositoma, jadi
mungkin angka kejadian feokromositoma lebih tinggi. Feokromositoma dapat sporadis atau familial, bisa unisentris atau unilateral. Tipe familial sering multisentris dan bilateral. Feokromositoma sering bilateral atau bagian dari neoplasma endokrin multipel. Feokromositoma adrenal dikenal the rule of ten percent: : 10% Bilateral Ekstra adrenal : 10% Familial : 10% : 10% Pediatri
GAMBARAN KLlNlS Manifestasi klinis berhubungan dengan overproduksi katekolamin seperti sakit kepala, berkeringat, berdebardebar, dan dikenal sebagai triad. Kadang-kadang hipertensi dan diabetes, dengan atau tanpa gejala menjadi manifestasi awal, atau dapatjuga teraba masa tumor diperut atau pembesaran paraganglioma di leher, telinga, dada atau paru tumor metastasis. Hipertensi yang terjadi dapat labil (66%) atau menetap (33%), sehingga sering salah diagnosis sebagai hipertensi primer. Suatu keadaan yang luar biasa dapat terjadi di mana terjadi hipertensi berat dengan atau tanpa gaga1jantung, dan penampilan macammacam sebagai tanda peninggian katekolamin. Hal ini dapat terjadi pada saat trauma, persalinan, atau perdarahan ke dalam tumor. Sebaliknya feokromositoma dengan gabungan penyakit von Lindau, bisa tanpa ada gejala, tekanan darah normal dan tes laboratoriurn katekolamin dalam batas normal. Sebagai ringkasan beberapa tanda klinis untuk mencurigai adanya feokrornositoma: 1. Hipertensi menetap atau yang paroksismal disertai sakit kepala, berdebar, dan berkeringat 2. Hipertensi dan riwayat feokromositoma dalam keluarga 3. Hipertensi yang refrakter terdapat obat terutama disertai
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 4. 5. 6. 7. 8.
9.
berat badan menurun Sinus takikardia Hipertensi ortostatik Aritimia rekuren Tipe MEN 2 atau MEN 3 Krisis hipertensi yang terjadi selama pembedahaan anestesi Mempunyai respons kepada Pblocker
Ada beberapa kondisi terkait dengan feokromositoma: 1. Neurofibromatosis 2. Skelerosis fibrosis 3. Sindrom Sturge-weber 4. Penyakit von Hippel-Lindau 5. MEN, tipe 2: Feokromositoma Paratiroid adenoma Karsinoma tiroid medulla 6. MEN, tipe 3 : Feokromositoma Karsinoma medulla tiroid Neuroma mukosa Ganglioma abdominalis Habitus marfanoid Gejala lain da; kelebihan katekolamin dapat berupa pucat, hipotensi ortostatik ,pandangan kabur, edema papil mata, berat badan tmm, poliuri, polidepsi, peningktan LED, hiperglikemia, gangguan psikiatri, kardiomiopati dilatasi, eritropoesis, karena kurang spesifiknya tanda dan gejala serta hasil laboratorium yang sulit, sehingga
feokromositoma sering diternukan secara kebetulan secara CT scan ataupun MRI. Feokromositoma jarang sebagai penyebab hipertensi, tapi ia potensial fatal duringpregnancy, angka kematian untuk ibu 17% dan janin 26%. Penyebab kematian ibu adalah: edema paru, perdarahan otak, kolap kardiovaskular. Terapi dengan a dan penyekat P akan. mengurangi angka kematian ibu walaupun angka kematian janin tetap tinggi. Perempuan dengan gejala hipertensi paroksimal, palpitasi, diaforesis, sakit kepala perlu dievaluasi lebih lanjut dengan mengukur eksresi katekolamin urin. Bila ekskresi meningkat, CT Scan dan MRI perlu dilakukan untuk melokasi tumor. Ada beberapa yang menyarankan operasi pada trimester I dan 11, atau sebagian diobati dulu, dan operasi dilakukan setelah persalinan. DIAGNOSIS Berdasarkan keluhan dan gejala klinis dan membutuhkan konfirmasi laboratorium dengan mengukur katekolamin darah atau urin atau hasil metabolitnya. Laboratorium yang khas adalah peningkatan kadar katekolamin 5- 10 kali normal. Bila kadar katekolamin tidak terlalu tinggi, belum tentu bukan feokromositoma. Perlu dilakukan tes klonidin dimana akan terjadi penekanan kadar norefenefrin (menjadi normal). Untuk familial feokromositoma skrining tes perlu dilakukan dengan pengukuran kadar normetanefrin dan metanifrin plasma.
cari sebab lain
Gambar 1. Alur diagnosis feokromositorna
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Selain tes supresi klonidin, ada tes provokasi lain yaitu tes regitin (fentolamin), dan tes stimulasi glukagon. Tes regitin berdasarkan atas dugaan kelebihan katekolamin, sebaliknya tes glukagon mempunyai dasar stimulasi glukagon, tetapi dapat meningkatkan risiko krisis hipertensi, sehingga kedua tes ini kurang populer. Bila ditemukan kadar laboratorium yang positif perlu dicari lokasi dengan melakukan pemeriksaan CT-Scan dari kelainan adrenal. Bila CT-Scan normal perlu dilakukan pemeriksaan lain yaitu: Sampel dari vena besar yang selektif Metaiodobenzyl guanidine scaning (MIBG) Scan indium-labeled octreotide Mengukur kadar metanefrin bebas dalam darah dan dibandingkan sample vena cava Scan tomografi emisi positron Pada gagal ginjal, katekolamin darah dapat meningkat 2-3 kali sehingga mengganggu interpretasi. Harus diingat bahwa kadar katekolamin yang meningkat dapat false negatifkarena stres, atau karena pengaruh obat: amifetamin, anti depresan, etanol, L-Dopa, withdraw1 clonidin. Sebaliknya kadar katekolamin dapat normal pada urin 24 jam pada paroksimal hipertensi bila saat normotensi.
Bila tumor sudah ditegakan dan dilokalisasi, pasien disiapkan untuk operasi. Persiapan sebelum operasi perlu dilakukan mengontrol tekanan darah, memakai a dan P blocker. Operasi dapat dilakukan secara konvensial ataupun laparaskopi. Pasca operasi dapat terjadi hipotensi dan hipoglikemia. Umumnya terjadi penurunan tensi pasca operasi, namun pada beberapa kasus tensi tetap tinggi sehingga perlu obat anti hipertensi. Follow-up harus dilakukan sepanjang hidup karena tumor sisa sering
Klinis : Hipertensi paroksimal Sakit kepala Berdebar-bedar Keringat Obesites trunkel Kulit tipis Otot lemah
Laboratorium : Plasma atau urin metanefrin
Aldosteron primer
Hipertensi Lemah
Kanker adrenokortison
Virilisasi I Feminisasi
Darah : hipokalemia Aldosteron Renin Plasma Dehidroefiandrosteron Testoteron Estrogen
Feokromositoma
Sindrom Cushing
Plasma kortisol jam 8 pagi setelah 1 minggu Deksametason waktu tidur
menimbulkan gejala klinis. Untuk jenis yang malignan, perlu reseksi yang agresif. Gejala perlu dikontrol dengan a dan /3 -blocker dan radiasi dilakukan untuk metastase ke tulang. Kemoterapi dengan siklosfosfamid, vinkristin dan dakarlazin perlu dipertimbangkan bila pembedahan tidak bisa dilakukan. Operasi tumor adalah pilihan terapi dan tingkat kesembuhan mencapai 90%.
PROGNOSIS 5 tahun cukup baik (> 95%) untuk non-feokromositoma malignan, sedangkan yang feokromositoma malignan < 50%. Rekuren setelah operasi kurang dari 10% pada nonfeokromositoma malignan. Setelah operasi 75% pasien dapat bebas dari obat antihipertensi, sisanya 25% hanya membutuhkan minimal anti hipertensi.
REFERENSI Bravo EL. Pheochromocytoma: new concepts and future trends. Kidney lnl. 199;40:544. Dixit A. Pheochromocytoma. Nephrology secret. In: Hanley Belfus, editor. 1999. p. 1978. Dluhy RG. Pheochromocytoma-death of an axiom. N Engl J Med. 2002; 346:1486. Ganguly A, Grim CE, Weinberger MH, Henry DP. Rapid cyclic fluctations of blood pressure associated with an adrenal pheochromocytoma. Hypertension. 1984;6:28 1. Gifford RW Jr. Management of hypertensive crises. JAMA. 1991;266:829. Lenders JW, Pacak K, Walther MM, et al. Biochemical diagnosis of pheochromocytoma: which test is best? JAMA. 2002;287:1427. SJ. Severe paroxysmal hypertension Mann (Pseudopheochromocytoma). Arch lntern Med. 1999;159:670. Neumann HP, Pawlu C, Peczkowska M, et al. Distinct clinical features of paraganglioma syndromes associated with SDHB and SDHD gene mutations. JAMA. 2004;292:943. Neumann, HP, Berger, DP, Sigmund, G, et al. Pheochromocytomas, multiple endocrine neoplasia type 2, and von Hippel-Lindau disease. N Engl J Med. 1993;329:1531. Pacak K, Linehan WM, Eisenhofer G, et al. Recent advances in genetics, diagnosis, localization, and treatment of pheochromocytoma. Ann lntern Med. 2001 ;134:3 15. Plouin PF, Chatellier G, Fofol I, Corvol P. Tumor recurrence and hypertension persistence after successful pheochromocytoma operation. Hypertension. 1997;29: 1 133. Stein PP, Black HR. A simplified diagnostic approach to pheochromocytoma. A review of the literature and report of one institution's experience. Medicine. 1991;70:46. Young WF, Kaplan NM. Diagnosis and treatment of pheochromocytoma in adult, Up to Date. 2005.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
HIPERTENSI PADA KEHAMILAN Suhardjono
hipertensi kronik; 4). Hipertensi gestasional atau hipertensi yang sesaat (de-novo).
PENDAHULUAN Hipertensi pada kehamilan merupakan penyebab utama peningkatan morbiditas dan mortalitas maternal, janin, dan neonatus. Hal ini tidak hanya terjadi pada negara berkembang, tetapi juga negara maju. Perempuan hamil dengan hipertensi mempunyai risiko yang tinggi untuk komplikasi yang berat seperti abruptio plasenta, penyakit serebrovaskular,gagal organ, koagulasi intravaskular. Pada penelitian observasi pasien hipertensi kronik yang ringan didapatkan risiko kehamilan sebagai berikut: preeklampsia 10-25%,abruptio 0,7- 1,5%,kelahiran prematur kurang dari 37 minggu 12-34?h, dan hambatan pertumbuhan janin 816%. Risiko bertambah pada hipertensi kronik yang berat pada trimester pertama dengan didapatnya preeklampsia sampai 50%. Terhadap janin, hipertensi mengakibatkan risiko retardasi perkembangan intrauterin, prematuritas dan kematian intrauterin. Selain itu risiko hipertensi seperti gagal jantung, ensefalopati, retinopati, perdarahan serebral, dan gagal ginjal akut dapat terjadi. Akan tetapi manfaat pengobatan hipertensi selama kehamilan tergantung pada beratnya penyakit. Secara fisiologis, tekanan darah mulai menurun pada trimester kedua, yang mencapai rata-rata 15 mmHg lebih rendah dari tekanan darah sistolik sebelum hamil pada trimester ketiga. Penurunan ini terjadi baik pada yang normotensi maupun hipertensi kronik.
KLASlFlKASl HlPERTENSl PADA KEHAMILAN Pada dasarnya terdapat 4 jenis hipertensi yang urnumnya terdapat pada saat kehamilan, yaitu: 1). Preeklampsiaeklampsia atau disebut juga sebagai hipertensi yang diakibatkan kehamilan; 2). Hipertensi kronik (preexisting hypertension); 3). Preeklampsia pada (superimposed)
Sampai saat ini masih belum ada keseragaman dalam ha1 definisi hipertensi pada kehamilan. Dapat berupa kenaikan tekanan darah pada trimester kedua, atau tekanan darah pada trimester yang sama dengan sebelum hamil. Akan tetapi saat ini dalam beberapa konsensus sudah menuju kesepakatan dalarn banyak ha1 mengenai terminologi. Walaupun batasan hipertensi adalah tekanan darah 1401 90 mmHg atau lebih, masih ada yang belum sepakat, oleh karena pemakaian batas tekanan darah ini mengakibatkan ada kelompok pasien preklampsia-eklampsia yang tidak masuk kriteria. Dalam ha1 pemakaian kriteria proteinuria lebih sulit lagi, mengingat pemeriksaan ini amat subyektif dan tidak terlalu tepat. Saat ini dianggap pemeriksaan uji celup (dipstick test) merupakan pemeriksaan yang cukup baik untuk membedakan proteinuria atau tidak. 1. Preeklampsia adalah hipertensi (140190 mmHg) dan proteinuria (>300 mg124 jam'urin) yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu pada perempuan yang sebelumnya normotensi. 2. Hipertensi kronik didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik lebih atau sama dengan 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg yang telah ada sebelum kehamilan, pada saat kehamilan 20 minggu yang bertahan sampai lebih dari 20 minggu pasca partus. 3. Preeklampsia pada hipertensi kronik, adalah hipertensi pada perempuan hamil yang kemudian mengalami proteinuria, atau pada yang sebelumnya sudah ada hipertensi dan proteinuria, adanya kenaikan mendadak tekanan darah atau proteinuria, trombositopenia, atau peningkatan enzim hati.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HIPERTENSIPADA KEHAMILAN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 4. Hipertensi gestasional atau yang sesaat, dapat terjadi pada saat kehamilan 20 minggu tetapi tanpa proteinuria. Pada perkembangannya dapat terjadi proteinuria sehingga dianggap sebagai preeklampsia. Kemudian dapat juga keadaan ini berlanjut menjadi hipertensi kronik.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM Selain pemantauan tekanan darah, diperlukan pemeriksaan laboratorium guna memantau perubahan dalam hematologi, ginjal dan hati, yang dapat mempengaruhi prognosis pasien dan janinnya. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan untuk memantau pasien hipertensi pada kehamilan adalah Hb atau Ht untuk melihat kemungkinan hemokonsentrasi yang mendukung diagnosis hipertensi gestasional. Hitung trombosit yang amat rendah terdapat pada sindrom HELLP ( hemolysis, elevated liver enzyme levels and low platelet count). Pemeriksaan enzim AST, ALT, dan LDH untuk mengetahui keterlibatan hati. Urinalisis untuk mengetahui adanya proteinuria atau jumlah ekskresi protein dalam urin 24 jam. Kreatinin serum diperiksa untuk mengetahui hngsi ginjal, yang pada kehamilan umumnya kreatinin serum menurun. Asam urat perlu diperiksa karena kenaikkan asam urat biasanya dipakai sebagai tanda beratnya preeklampsia. Pemeriksaan EKG diperlukan pada hipertensi kronik, seperti juga pada kehamilan tanpa hipertensi diperlukan pemeriksaan gula darah, dan kultur urin. PENANGANAN HlPERTENSl PADA KEHAMILAN Penanganan Non-farmakologis Pada preeklampsia, hipertensi kembali menjadi normal setelah melahirkan. Akan tetapi bagi janin, kelahiran sebelum waktunya (preterm)tidak menguntungkan. Untuk itu walaupun berisiko, penatalaksanaan konservatif dipilih, menunggu agar janin dapat dilahirkan dalam keadaan yang lebih baik. Pada kisaran tekanan darah sistolik 140-160 atau diastolik 90-99 mmHg dapat dilakukan pengobatan non farmakologik. Perawatan singkat dilakukan untuk diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan preeklampsia. Penanganan tergantung pada keadaan klinik, beratnya hipertensi, umur kehamilan dan risiko ibu serta janinnya. Dapat berupa pengawasan yang ketat, pembatasan aktivitas fisik, tirah baring miring ke kiri. Dalam keadaan ini dianjurkan diet normal tanpa pembatasan garam. Pemberian Obat Antihipertensi Pada hipertensi kronik yang hamil dengan tekanan darah yang tinggi, pengobatan sebelumya dianjurkan untuk diteruskan. Akan tetapi pada tekanan darah yang tidak
begitu tinggi, harus hati-hati, bila perlu, dilakukan pengurangan dosis. Tekanan darah yang terlalu rendah berisiko mengurangi perfusi utero-plasenta yang dapat mengganggu perkembangan janin. Bukti penelitian manfaat pengobatan hipertensi ringan pada kehamilan masih belum meyakinkan karena jumlah kasus penelitian yang masih sedikit sehingga tak cukup memperlihatkan manfaat penurunan angka komplikasi obstetfik. Tekanan darah lebih dari 170 atau diastolik lebih dari 110 mmHg pada perempuan hamil harus dianggap kedaruratan medis dan dianjurkan dirawat di rumah sakit. Pada keadaan ini tekanan darah hams diturunkan sesegera munglun. Banyak yang tidak memberikan obat sampai batas tekanan darah diastolik >lo5 - 110 mmHg diastolik atau 160 mmHg sistolik, batas sering terjadinya komplikasi perdarahan otak. Walaupun pada beberapa keadaan batasan ini tidak begitu tepat, mengingat tekanan diastolik sebelumnya kurang dari 75 mmHg. Pada hipertensi gestasional (tanpa proteinuria) batas pemberian pengobatan umumnya adalah di atas 140 mmHg sistolik atau 80 mmHg diastolik. Pada yang dengan hipertensi dengan proteinuria atau terdapat keluhan atau dengan'tanda kerusakan organ target (pada hipertensi kronik) pemberian obat dapat diberikan untuk mencapai tekanan darah yang normal. Obat-obat Antihipertensi Ada 2 macam obat hipertensi, pada keadaan yang akut atau darurat biasanya diperlukan pengobatan parenteral atau oral. Obat-obat injeksi antara lain; injeksi intra venal abetalol, hidralazin, dan antagonis kalsium. Obat antihipertensi yang dapat atau tidak boleh dipakai dapat dilihat pada Tabel 1.
Agonis Alfa sentral
Metildopa, obat pilihan
Penghambat Beta
Atenolol dan metoprolol aman dan efektif pada kehamilan trimester akhir Labetalol, efektif seperti metildopa, pada kegawatan dapat diberi intra vena
Penghambat Alfa dan Beta Antagonis Kalsium
Nifedipin oral, isradipin i.v. dapat dipakai pada kedaruratan hipertensi
Inhibitor ACE dan Antagonis Angiotensin Diuretik
Kontra indikasi, dapat mengakibatkan kematianjanin atau abnormalitas
Vasodilator
Hydralazine tak dianjurkan lagi mengingat efek perinatal
Direkomendasikanapabila telah dipakai sebelum kehamilan. Tidak direkomendasikan pada preeklampsia
Metildopa 250 mg 2 kali sehari, dapat dinaikkan sampai maksimal 4 gram sehari. Labetalol 100 mg 2 kali sehari, maksimum 2400 mg sehari.Atenolol, penghambat beta yang
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
CINJAL HIPERTENS1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
tak mempunyai efek penghambat alfa, berkaitan dengan penurunan aliran darah plasenta dan janin pada kelahiran apabila diberikan mulai dari awal kehamilan. Labetalol yang mempunyai efek penghambat alfa dan beta dapat mempertahankan aliran darah utero-plasenta dalam keadaan yang maksimal. Obat penghambat beta untuk pengobatan hipertensi i-inganmeningkatkan risiko mendapatkan bayi yang lebih kecil (dengan risiko relatif 1,36, pada interval kepercayaan 95% (1,02-1,82), risiko yang tidak lebih besar dibanding obat hipertensi yang lain. Semakin banyak pengalaman yang didapat dari golongan obat antagonis kalsium yang terbukti cukup aman dipakai pada kehamilan.Nifedipin kerja panjang (dosis maksimum 120 mglhari) dan golongan nondihidropiridin verapamil dapat diberikan. FDA tidak menerima nifedipin kerja cepat sebagai pengobatan hipertensi darurat dan pemberian sub lingual karena terbukti menurunkan tekanan darah berlebihan. Dari penelitian mengenai pengobatan hipertensi pada kehamilan didapat kesimpulan bahwa pemilihan antihipertensi seharusnya tergantung dari pengalaman dan pengetahuan dari dokter yang mengobati, dalam ha1 efek obat terhadap ibu dan janinnya.
Target Tekanan Darah Walaupun penelitian klinik belum membuktikan seberapa besar penurunan tekanan darah yang optimal, banyak yang menganjurkan target tekanan darah sistolik 140-150 dan diastolik 90- 100 mmHg. Pada perempuan hamil yang telah mempunyai gangguan organ target, tekanan darah dianjurkan diturunkan kurang dari 140190 mmHg sampai mencapai 120 dan 80 mmHg. Dari penelitian yang telah dilakukan belum ada bukti yang jelas apakah keuntungan dari penurunan tekanan darah sampai normal, 120180 mmHg, bagi ibu dan janinnya. Hipertensi Pasca Partus dan Ibu yang Menyusui Data mengenai ha1 ini terbatas. Pada umumnya setelah partus terdapat kenaikan tekanan darah pada perempuan yang tidak hipertensi sebesar 6 mmHg sistolik dan 4 mmHg diastolik. Pada preeklampsia tekanan darah secara spontan membaik dalam waktu beberapa minggu, rata-rata 16*9,5 hari dan sudah membaik dalam waktu 12 minggu. Hipertensi yang ringan yang masih bertahan sesudah waktu ini harus dievaluasi lebih lanjut.
Selain dapat meneruskan pengobatan yang dipakai selama kehamilannya, pada perempuan yang tidak menyusui bayi dapat diberikan golongan obat penghambat ACE, penyekatbeta, dan antagonis kalsium. Diuretik yang diberi pada keadaan hipervolemia, dengan edema, selama beberapa hari dapat menurunkan tekanan darah menjadi normal kembali. Tekanan darah dalam keadaan ini harus dipantau agar tidak mengalami keadaan hipotensi. Apabila tekanan darah sebelum kehamilan normal, setelah 3 minggu pasca partus obat hipertensi dapat dihentikan dengan pengawasan lebih lanjut untuk mengetahui kemungkinan peningkatan tekanan darah kembali. Semua obat antihipertensi akan masuk dalam air susu ibu (ASI). Pada perempuan yang menyusui, obat golongan penghambat reseptor beta dan penghambat kalsium cukup aman walaupun obat tersebut masuk ke air susu ibu. Labetalol dan propranolol tidak dikonsentrasi dalam AS1 sehingga lebih dianjurkan dipakai dibanding penghambat beta yang lain. Bila ada indikasi kontra pilihan lain adalah penghambat kalsium. Inhibitor ACE dan antagonis reseptor angiotensin umumnya dihindari pada ibu yang menyusui, akan tetapi setelah masa neonatus dapat dipertimbangkan. Diuretika sebaiknya dihindari mengingat obat ini dapat mengurangi volume ASI.
REFERENSI August P. Treatment of hypertension in pregnancy. In: Rose BD, editor. L'pToDule 13.1, 2005. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al. The seventh report of the Joint National Committee on prevention, detection, evaluation. and treatment of high blood pressure: the SNC 7 report. JAMA. 2003;289(19):2560-72. Cifkova R. Hypertension in pregnancy: recommendations for diagnosis and treatment. European Society of Hypertension Scientific Newsletter. Update on hypertension management. 2004;5:2. Guidelines Committee. 2003 European Society of HypertensionEuropean Society of Cardiology guidelines for the management of arterial hypertension. J flypertens. 9003;21:1011-53. Sibai BM. Diagnosis and management of gestational hypertension and preeclampsia. Obstet Gynecol. 2003; 102:181. Williams B, Poulter NR, Brown MJ, et al. British hypertension society guidelines. Guidelines for management of hypertension: report o f t h e fourth working party of the British Hypertension Society, 2001-BHS IV. J Hum Hypertens. 2004;18:139-85.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
KRISIS HIPERTENSI Jose Roesma
PENDAHULUAN
Krisis Hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target. Pada umumnya krisis hipertensi terjadi pada pasien hipertensi yang tidak atau lalai memakan obat antihipertensi. Krisis hipertensi meliputi dua kelompok yaitu: Hipertensi darurat (emergency hypertension): di mana selain tekanan darah yang sangat tinggi terdapat kelainanl kerusakan target organ yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan dengan segera (dalam menit sampai jam) agar dapat mencegahlmembatasi kerusakan target organ yang terjadi. Hipertensi mendesak (urgency hypertension): di mana terdapat tekanan darah yang sangat tinggi tetapi tidak disertai kelainanlkerusakan organ target yang progresif, sehingga penurunan tekanan darah dapat dilaksanakan lebih larnbat (dalam hitunganjam sampai hari). Pada umumnya krisis hipertensi ditemukan di poliklinik gawat darurat rurnah sakit dan kadang-kadang merupakan jurnlah yang cukup menyolok pada poliklinik gawat darurat di bagian penyakit dalam, walaupun keluhan utamanya berbeda-beda.
darah >220/140 mm Hg
Status Neurologi
Prevalensi rata-rata 1-5 % penduduk dewasa tergantung dari kesadaran pasien akan adanya hipertensi dan derajat kepatuhan makan obat. Sering pasien tak menyadari diinya adalah pasien hipertensi atau tak teratur/ berhenti makan obat. G EJALA Hipertensi krisis umurnnya adalah gejala organ target yang terganggu, di antaranya nyeri dada dan sesak napas pada gangguan jantung dan diseksi aorta; mata kabur pada edema papila mata; sakit kepala hebat, gangguan kesadaran dan lateralisasi pada gangguan otak; gaga1 ginjal akut pada gangguan ginjal; di samping sakit kepala dan nyeri tengkuk pada kenaikkan tekanan darah pada umumnya. Diagnosis ditegakkan berdasarkan tingginya tekanan darah, gejala dan tanda keterlibatan organ target. Selain pemeriksaan fisik, data laboratorium ikut membantu diagnosis dan perencanaan. Urin dapat menunjukkan proteinuria, hematuri dan silinder. Hal ini terj adi karena tingginya tekanan darah juga menandakan keterlibatan ginjal apalagi bila ureum dan kreatinin meningkat.Gangguan elektrolit bisa terjadi pada hipertensi sekunder dan berpotensi menimbulkan aritmia.
Jantung
Ginjal
Gastrointestinal
perdarahan
sakit kepala, denyut jelas, kacau
uremia
mual, muntah
eksudat edema papilla
gangguan kesadaran, kejang, lateralisasi
Funduskopi
membesar dekompensasi oliguria
proteinuria
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1104
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Pemeriksaan penunjang seperti elektrokardiografi (EKG) untuk melihat adanya hipertrofi ventrikel kiri ataupun gangguan koroner serta ultrasonografi (USG) untuk melihat struktur gin.jal dilaksanakan sesuai kondisi klinis pasien. amb bar an klinik hipertensi darurat dapat dilihat pada Tabel 1.
PENGOBATAN Pengobatan hipertensi mendesak cukup dengan obat oral yang bekerja cepat sehingga menurunkan tekanan darah dalam beberapajam. Di Indonesia banyak dipakai seperti pada Tabel 2. Pengobatan hipertensi darurat memerlukan obat yang segera menurunkan tekanan darah dalam menit-jam sehingga umumnya bersifat parenteral. Di Indonesia banyak dipakai seperti pada Tabel 3. Untuk memudahkan penilaian dan tindakan dibuat bagan seperti yang tercantum pada Tabel 4.
Obat
2:;
Kelompok Tekanan darah
Biasa
Mendesak
Darurat
>1801110
>1801110
>2201140
Gejala
tidak ada, kadangkadang sakit kepala gelisah
sakit kepala hebat, sesak napas
sesak napas, nyeri dada, kacau. gangguan kesadaran
Pem Fisik
organ target taa
gangguan organ target
ensefalofati, edema paru, gangguan fungsi ginjal, CVA, iskemia jantung
Pengobatan
awasi 1-3 jam mulaifieruskan obat oral, naikkan dosis
awasi 3-6 jam, obat oral berjangka kerja pendek
Rencana
periksa ulang dalam 3 hari
Periksa ulang dalam 24 jam
pasang jalur intravena, periksa laboratoriurn standar, terapi obat intravena rawat ruanganllCU
Data-data dari krisis hipertensi ini berasal dari pengalaman klinik berbagai pusat rujukan dan bukan evidence based karena sedikitnya jumlah kasus dan sulit melaksanakan suatu studi tersamar ganda, sehingga kepustakaan umumnya merupakan pendapat para ahli berdasarkan pengalamannya masing-masing.
Dosis
Efek
Nifedipin 5-10 mg
diulang 15 menit
5-15 menit
4-6 jam
gangguan koroner
Kaptopril 12.5-25 mg
diulangl 112 jam
15-30 menit
6-8 jam
stenosis a.renalis
Klonidin 75-150 ug
diulangl jam
30-60 menit
8-16 jam
Mulut kering, ngantuk
REFERENSI
Propanolol 10-40 mg
diulangl 112 jam
15-30 menit
3-6jam
Bronkokonstriksi, Blok jantung
Kaplan NK. Hypertensive crises. In: Kaplan's clinical hypertension. 8" edition. Lipincott Williams & Wilkins; 2002. Roesma J. Krisis hipertensi. In: Simposium kedaruratan klinik. 2002. Vidt D. Hypertensive crises: emergencies and urgencies: clev clinic med. 2003.
Perhatian Khusus
ye;:
Efek
Obat
Dosis
Klonidin IV 150 ug
6 amp per 250 cc Glukosa 5% mikrodrip
30-60 menit
24 jam
Nitrogliserin IV
10-50ug 100uglcc per 500 cc 0,5 - 6 uglkglmenit
2-5 menit
5-10 menit
1-5 menit
15-30 menit
Diltiazem lV
5-15 uglkglmenit lalu sama 1-5 uglkgl menit
sama
Nitroprusid IV
0,25 uglkglmenit
Langsung
Nikardipin 1V
2-3 menit
Perhatian khusus ensefalopati dengan gangguan koroner
selang infus lapis perak
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
HEMOPOESIS Soebandiri
BATASAN Hemopoesis adalah proses pembuatan darah. Sebagaimana diketahui, darah terbagi atas: Bagian yang Berbentuk (fbrmed elements). Terdiri atas sel-sel darah merah (eritrosit), sel-sel darah putih (leukosit) dan keping-keping darah (trombosit; platelet) yang bentuknya dapat dilihat dengan mikroskop. Bagian yang Tidak Berbentuk. Plasma yang terdiri atas molekul-molekul air, protein-protein, lemak, karbohidrat, vitamin-vitamin, enzim-enzim dan sebagainya, yang larut dalam plasma. Yang dibicarakan dalam bab ini hanyalah proses pembentukan sel-sel darah (bagian ke-1 yaitu formed elements). Akan dibahas 3 komponen (kompartemen)yang berperan penting pada hemopoesis, yaitu : Kompartemen sel-sel darah Kompartemen lingkungan-mikro Kompartemen zat-zat pemicdperangsang (stimulator) hemopoesis
KOMPONEN-KOMPONEN HEMOPOESIS Hemopoesis adalah suatu proses yang kompleks yang melibatkan banyak komponen-komponen yang saling terkait antara lain: 1. Komponen atau Kompartemen yang terdiri atas sel-sel darah baik sel-sel induk, sel-sel bakal dan sel-sel matur. 2. Komponen atau Kompartemen yang disebut stroma atau lingkungan mikrohemopoetik (LMH) atau hemopoetic-micro-environment. Komponen 1 dapat dianggap sebagai benih sedangkan komponen 2 dapat dianggap sebagai tanah di mana benih itu turnbuh. Kedua kompartemen ini tidak sendirisendiri tetapi berbaur.
3. Kompartemen ke-3 terdiri atas zat-zat yang dapat menstimulasi sel-sel darah untuk berproliferasi, berdiferensiasi danlatau berfungsi sesuai dengan tugas yang sudah direncanakan. Komponen ini disebut hernopoetic growth factors (HGF) atau faktor pertumbuhan hemopoetik (FPH).
I. KOMPARTEMENSELSEL DARAH Kompartemen sel darah terdiri atas:
A. Sel lnduk Pluripoten (SIP) Menurut teori unitarian, sel-sel darah berasal dari satu sel induk pluripoten (Pluripotent Stem Cells). Sel-sel ini jumlahnya sedikit, namun mempunyai kemampuan besar berproliferasi berkali-kali sesuai kebutuhan. Pengenalan SIP ini dipelopori oleh Till dan Mc Culloch pada tahun 1960-an dengan penelitiannya yang menggunakan teknologi pembiakan in-vivo pada tikus. Mereka menamakan SIP itu sebagai CFU-S (Colony Forming Unit Spleen). Selanjutnya Dexter pada dekade berikutnya mengembangkan suatu media pembiakan yang baik untuk pembiakan in-vitro dari SIP ini (DexterCulture). Media ini mengkaitkan juga pentingnya LMH sedemikian sehingga CFU-S ini dapat hidup lama dan dinamakan Long Term Culture Initiating Cells (LTC-IC). Dalam media Dexter terdapat sel-sel lingkungan mikro yang menghasilkan stimulator-stimulator pertumbuhan hemopoesis yang disebut Hemopoetic Growth Factors (HGF) atau juga Colony Stimulating Factors (CSF) yang dapat menstimulasi koloni-koloni sel-sel bakal darah untuk terus berprolifrerasi dan berdiferensiasi sesuai jalur turunannya (1ineage)nya. Hal ini akan dibahas berikut ini. Dengan majunya ilmu imunologi ditemukan teknologi hibridoma yang memungkinkan kita membuat antibodi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
CFU-GEMM ini distimulasi oleh GEMM-CSF untuk berdiferensiasi menjadi CFU-G CFU-M, CFU-Meg dan CFU-E (melalui BFU-E = Burst Forming Unit Erythrocyte). Seterusnya CFU-G distimulasi G-CSF ; GM-CSF dapat menstimulasi CFU-G dan CFU-MK manjadi sel-sel yang lebih tua (sel-sel matur). Hierarki pertumbuhan sel-sel darah dapat dilihat pada Gambar 1.
monoklonal (Monoclonal Antibody) (MoAb) dalam jumlah banyak; kemudian dikembangkan penemuan-penemuan petanda-petanda imunologis di permukaan sel-sel darah yang dinamai menurut sistem CD (Cluster yf'Diferentiution). Petanda-petanda ini dapat dideteksi dengan MoAb dan dengan teknik imunohistokimia atauflow cytornetry SIP mempunyai petanda imunologis CD-34. Selain itu juga belum didapatkan petanda yang mengarah ke suatu jalur turunan yang lain. HLA-DR sering masih negatif, sehingga baik sekali untuk pencangkokan sumsum tulang (PST) yaitu pencangkokan SIP (Stem Cell Transplantation).
C. Sel-sel Darah Dewasa Subkompartemen ini terdiri atas golongan granulosit (eosinofil, basofil, neutrofil), golongan-golongan monositl makrofag, trombosit, eritrosit dan limfosit B dan T yang perlu dibahas tersendiri.
B. Sel Bakal Terkait Tugas (SBTT) atau Cornitted Progenitor Hernopoetic Cells Dengan stimulasi faktor pertumbuhan yang berasal dari LMH yang dinalnakan faktor sel induk (Stem Cell Factor = SCF), SIP dapat berdifferensiasi menjadi sel-sel bakal darah yang terkait tugas (SBTT) yang terkait pada tugas menurunkan turunan-turunan sel-sel dar& yaitu jalur-jalur turunan mieloid dan makrofag disebut colony forming unit gmnuloc,vte. erythrocyte. megakaryocyte, monocyte (CFUGEMM) dan jalur turunan limfosit (LymphoidProgenitor Cells = LPC). SBTT yang bertugas menurunkan sistem granulosit, eritrosit, monositlmakrofag dan megakariosit dalam teknologi pembiakan pada tikus disebut CFU-GEMM.
1.1.SIP
/ I
II. KOMPARTEMEN LINGKUNGAN MlKRO HEMOPOETIK (LMH) Di sumsum tulang sel-sel darah berada berbaur dengan kompartemen I1 yaitu jaringan lain yang terdiri atas kumpulan macam-macam sel dan matriks yang disebut stroma dari sumsum tulang. Stroma terdiri atas bermacam subkompartemen yaitu fibroblas, adiposit, matriks ekstraselular, monosit, makrofag dan sel-sel endotel yang dapat menghasilkan macam-macam
1
/! DARAH TEPllORGAN PERIFER SEL MATUR
i
i - - - - - - - - - - - - - - - - -b
1 . 2 . s ~ ~ ~ SUMSUM TULANGIORGAN SENTRAL SEL-SEL MATUR
i
1 +----------------
Pre-B - - -,B
---------------
:a
P
I
I
Pre-T d T
CFU-G-+MY
b -b
ProMY
+ MY+
MetaMy
I I
II ,T I I I
. r
G
I
I
I I
VMo I
-- ----- --,
M P ~
I I I
II .Tr I
I
- I
Eo I I
I I
I
I
I
1
[Retic I
Norrn.bl
Gambar 1. Hierarki sel-sel darah
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
I
!
ERY
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Nomenklatur FPH menggunakan 3 cara yaitu: Memakai akhiran CSF seperti GM-CSF, G-CSF, M-CSF dan sebagainya. *. Memakai awalan IL (Interleukin=senyawa yang diproduksi suatu sel yang dapat mempengaruhi sel darah lain) seperti IL-1, IL-2 dst. Memakai nama-nama khusus seperti Stem-cell-factor (SCF), eritropoetin, trombopoetin dan seterusnya. Stimulasi dapat berarti dua arah yaitu positif bila betul menstimulasi atau negatif bila ia menghambat proses.
zat yang dapat menstimulasi perturnbuhan sel-sel induk, selsel bakal, dan sel-sel darah yang lain. Zat-zat ini dinamakan colony stimulatingfactors (CSF) atau juga Hemopoetic Growth Factors (HGF). CSF yang merangsang pertumbuhan granulocyte disebut granulocyte colony stimulating factor (G-CSF), sedangkan yang monosit dan makrofag disebut Monocyte/Macrophage Colony Stimulating Factors (M-CSF). Zat-zat ini akan dibahas lebih lengkap di bagian berikutnya dari bab ini. Stroma yang terdiri atas fibroblas, monosit, makrofag, endotel dan sebagainya itu disebut juga sebagai lingkungan mikro hemopoetik (LMH). Jadi jaringan LMH ini seakan-akan merupakan tanah yang menghidupi selsel induk dan sel-sel bakal yang dianggap sebagai benih di persemaian. Kalau stroma atau LMH ini rusak atau defisien maka pertumbuhan sel-sel darah akan terganggu (hipoplastik sampai aplastik). Awalnya sel-sel bakal darah melekat pada LMH melalui suatu molekul adhesi yang diproduksi oleh stroma, kemudian melalui interaksi antar sel matriks sel bakal dirangsang untuk berdifferensiasi dan berfungsi seperti yang sudah direncanakan.
Senyawa-senyawa FPH mempunyai 3 sifat biologis, yaitu:
Pleiotrofi artinya satu FPH dapat menstimulasi beberapa sel-sel bakal; misalnya: IL-3 dapat menstimulasi CFU-G maupun CFU-E dan CFU-Meg, meskipun dalam derajat yang berbeda (Multi-CSF) Redundansi artinya satu sel bakal dapat distimulasi oleh 2 FPH, misa1nya:CFU-E dapat distimulasi oleh IL-3 maupun oleh E-CSF (eritropoetin) meskipun dalam derajat yang berbeda. Transmodulasi reseptor artinya reseptor sel bakal A dapat pula berfungsi sebagai reseptor sel bakal B.
KOMPONEN (KOMPARTEMEN) FPH (FAKTOR PERTUMBUHAN HEMOPOETIK), DISEBUT JUGA HGF (HEMOPOETIC GROWTH FACTOR)
Hal ini mempunyai arti klinis yang penting, karena dengan demikian berarti pengobatan dengan kombinasi FPH akan jauh lebih berhasil daripada dengan satu FPH (tentu bila ada indikasi), namun biayanya tentu lebih mahal juga. Proses produksi selanjutnya dari sel-sel darah 'seperti eritrosit, granulosit, trombosit, limfosit (kompartemen I) tidak dibahas di bab ini. Proses ini disebut juga sebagai eritropoesis, granulopoesis, trombopoesis, limfopoesis dan seterusnya yang dapat terjadi di sumsum tulang maupun di sistem hemopoetik perifer, namun perlu pembahasan khusus. Makin lama makin banyak FPH baru yang ditemukan dan diproduksi.
Batasan: FPH adalah senyawa-senyawa yang dapat menstimulasi proliferasi, diferensiasi dan aktifasi fungsional dari sel-sel bakal darah. FPH diproduksi oleh stroma (kompartemen 11). Normalnya FPH hanya didapatkan dalam kadar sedikit di dalam darah. Awalnya orang membuat FPH dari sel-sel stroma yang dibiakkan (teknologi pembiakan). Dengan majunya ilmu biologi molekular gen-gen pada kromosomkromosom yang menyandi FPH dapat ditentukan, lalu di klon dan dengan teknologi rekombinan dapat dibuat dalam jumlah banyak dan dipasarkan di seluruh dunia oleh industri farmasi sebagai senyawa-senyawa FPH (HGF).
Jenis Sel LMH
Fibroblast Endotil Adiposit Matriks Ekstra Selular (ECM)
G-CSF
GM-CSF
FGF
VWF
H-CAM
Selektin
Cadherin
+++
+
++ +++
+++
++
+
++ +++
+
+++
+ ++ +
+++
+++
+
+++
+
+
++
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
FPH sel-sel T . .-.: f
S e l B ; CFU-GM
.
Stimulasi dan aktiv Stimulasi dan aktivasi G (Granulosit)
Gambar 2. Beberapa FPH, lokasi gen dan aktivitasl sel sasaran
REFERENSI Hampson L, Hampson IN, Dexter TM. The biology of hemopoesis. Education Programme of The 26Ih Conggress of The ISH. Singapore: 25-29 August; 1996. p. 399. Koury MJ, Boudurant MC. Origin and development of blood cells. In: Lee GR, et al, editors. Wintrobe's clinical hematology. Volume IA. Chapter 8. loth edition. Philadelhia: Lippincott Williams & Wilkins; 1999. p. 145. Mazza JJ. Hematopoesis. In : Massa JJ, editor. Manual of clinical hematology. 2"d edition. Boston: Little, Brown; 1995. p. 1.
Mollineux G, Mazanet R. Hemopoetic g r o ~ t hfactors. In: Provan D, Gribben J, editors. Molecular hematology. Oxford, London: Blackwell Science; 2000. p. 198. Soebandiri. Hemopoetic growth factors. Naskah Lengkap Konas VlII PHTDI, Surabaya 11-13 Oktober 1997 (Kuliah UMUM 1 I). Testa NG, Dexter TM. The regulation of hemopoetic cell production. In: Hoffbrand AV, Lewis SM, Tuddenham EGD, Editors. Post graduate hematology. 4Ih edition. Oxford, Boston, Singapore: Buttenvorth Heinemann; 1999. p. 1 .
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENDEKATAN TERHADAP PASIEN ANEMIA I Made J3akta
PENDAHULUAN Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik (chronic debility) yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering, anemia, terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik. Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count). Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit. Hams diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu di mana ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan massa eritrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan akut dan kehamilan. Permasalahan yang timbul adalah berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit paling rendah yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serta keadaan fisiologis tertentu seperti misalnya kehamilan. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease entity), tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar (underlyingdisease). Oleh karena itu dalam diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi hams dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting karena seringkali penyakit dasar tersebut tersembunyi, sehingga apabila ha1 ini dapat diungkap akan menuntun para klinisi
ke arah penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan penyakit dasarjuga penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang mendasari anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus anemia tersebut. Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang patogenesis dan patofisiologi anemia, serta ketrampilan dalam memilih, menganalisis serta merangkum hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Tulisan ini bertujuan untuk membahas pendekatan praktis dalam diagnosis dan terapi anemia yang sering dihadapi oleh dokter umum ataupun spesialis penyakit dalam.
KRlTERlA ANEMIA Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian.Yang menjadi masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Oleh karena itu perlu ditentukan titik pemilah (cut ofpoint) di bawah kadar mana kita anggap terdapat anemia. Di Negara Barat kadar hemoglobin paling rendah untuk lakilaki adalah 14 gldl dan 12 gldl pada perempuan dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain memberikan angka yang berbeda yaitu 12 gldl (hematokrit 38%) untuk perempuan dewasa, 11 g/dl (hematokrit 36%) untuk perempuan hamil, dan 13 gldl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut of point anemia untuk keperluan penelitian lapangan seperti terlihat pada Tabel 1.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kelompok
Kriteria Anemia (Hb)
Laki-laki dewasa Wanita dewasa tidak hamil Wanita harnil
< 13 gldl
< 12 gldl < Ilgldl
Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan negara berkembang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau dirawat di rurnah sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut. Oleh karena itu beberapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai kriteria hemoglobin kurang dari 10 gldl sebagai awal dari work up anemia, atau di India dipakai angka 10- 1 1 gldl.
disebabkan oleh karena: 1). Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; 2). Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan); 3). Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis). Gambaran lebih rinci tentang etiologi anemia dapat dilihat pada Tabel 3.
A.
PREVALENSIANEMIA Anemia mempakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik di klinik maupun di lapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik. De Maeyer memberikan gambaran prevalensi anemia di dunia untuk tahun 1985 seperti terlihat pada Tabel 2.
Lokasi
Anak 0-4th
Anak 5-12 th
Laki dewasa
Wanita 15-49 th
Negara maju Negara berkembang Dunia
12%
7% 46%
3% 26%
14%
11%
51%
59%
47%
43%
37%
18%
51%
35%
B.
C.
Wanita hamil
Untuk Indonesia, Husaini dkk memberikan gambaran prevalensi anemia pada tahun 1989 sebagai berikut: :30-40% Anak prasekolah Anak usia sekolah :25-35% Perempuan dewasa tidak hamil : 30 -40% : 50 - 70% Perempuan hamil :20 -30% Laki-laki dewasa Pekerja berpenghasilan rendah : 30 - 40%
D.
Anemia karena gangguan pernbentukan eritrosit dalarn surnsurn tulang 1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit a. Anemia defisiensi besi b. Anemia defisiensi asam folat c. Anemia defisiensi vitamin 812 2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi a. Anemia akibat penyakit kronik b. Anemia sideroblastik 3. Kerusakan surnsurn tulang a. Anemia aplastik b. Anemia mieloptisik c. Anemia pada keganasan hernatologi d. Anemia diseritropoietik e. Anemia pada sindrom mielodisplastik Anemia akibat kekurangan eritropoietin: anemia pada gagal ginjal kronik Anemia akibat hernoragi 1. Anemia pasca perdarahan akut 2. Anemia akibat perdarahan kronik Anemia hemolitik 1. Anemia hernolitik intrakorpuskular a. Gangguan rnembran eritrosit (rnernbranopati) b. Gangguan ensirn eritrosit (enzirnopati): anemia akibat defisiensi G6PD c. Gangguan hemoglobin (hernoglobinopati) - Thalassemia - Hemoglobinopatistruktural: HbS, HbE, dl1 2. Anemia hernolitik ekstrakorpuskuler a. Anemia hernolitik autoimun b. Anemia hemolitik mikroangiopatik c. Lain-lain Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks
Berbagai survei yang telah pernah dilakukan di Bali memberikan angka-angka yang tidak jauh berbeda dengan angka di atas.
Klasifikasi lain untuk anemia d q l t dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan: 1). Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg; 2). Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg; 3). Anemia makrositer, bila MCV 95 fl. Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan (Tabel 4) akan sangat menolong dalam mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemia.
ETlOLOGl DAN KLASIFIKASI ANEMIA
PATOFlSlOLOGl DAN GEJALAANEMIA
Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam penyebab. Pada: dasarhya anemia
Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala yang timbul pada setiap kasus
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENDEKATAN TERHADAP PASIEN ANEMIA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI I.
II.
Ill.
Anemia hipokromik mikrositer a. Anemia defisiensi besi b. Thalassemia major c. Anemia akibat penyakit kronik d. Anemia sideroblastik Anemia norrnokromik norrnositer a. Anemia pasca perdarahan akut b. Anemia aplastik c. Anemia hemolitik didapat d. Anemia akibat penyakit kronik e. Anemia pada gagal ginjal kronik f. Anemia pada sindrom mielodisplastik g. Anemia pada keganasan hematologik Anemia makrositer a. Bentuk megaloblastik 1. Anemia defisiensi asam folat 2. Anemia defisiensi 812, termasuk anemia pemisiosa b. Bentuk non-megaloblastik 1. Anemia pada penyakit hati kronik 2. Anemia pada hipotiroidisme 3. Anemia pada sindrom mielodisplastik
anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun di bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena: 1). Anoksia organ; 2). Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen. Gejala urnum anemia menjadijelas (anemia simtomatik) apabila kadar hemoglobin telah turun di bawah 7 &dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada: a). Derajat penurunan hemoglobin; b). Kecepatan penurunan hemoglobin; c). Usia; d). Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya. Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu: 1. Gejala umum anemia. Gejala m u m anemia, disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (HW7 gldl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7g/dl). 2. Gejala khas masing-masing anemia. Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh: Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok (koilonychia). Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B 12
Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegali Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi 3. Gejala penyakit dasar. Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi cacing tarnbang: sakit perut, pembengkakan parotis dan wama kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena artritis reumatoid. Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.
PEMERIKSAAN UNTUK DIAGNOSIS ANEMIA Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari: 1). Pemeriksaan penyaring (screening test); 2). Pemeriksaan darah sen anemia; 3). Pemeriksaan sumsum tulang; 4). Pemeriksaan khusus. Pemeriksaan Penyaring Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut. Pemeriksaan Darah Seri Anemia Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik. Pemeriksaan Sumsum Tulang Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik, serta pada kelainan hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid. Pemeriksaan Khusus Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada: Anemia defisiensi besi : serum iron. TIBC (total iron
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
binding capacity), saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan pengecatan besi pada sumsum tulang (Per1 b stain). Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B 12 serum, tes supresi deoksiuridin dan tes Schiling. Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin dan lain-lain. Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang. Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti misalnya pemeriksaan faal hati, faal ginjal atau faal tiroid.
PENDEKATAN DIAGNOSIS Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease entity), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak cukup hanya sampai pada diagnosis anemia, tetapi sedapat mungkin kita hams dapat menentukan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Maka tahap-tahap dalam diagnosis anemia adalah: Menentukan adanya anemia Menentukan jenis anemia Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi hasil pengobatan Pendekatan Diagnosis Anemia Terdapat bermacam-macam cara pendekatan diagnosis anemia, antara lain adalah pendekatan tradisional, pendekatan morfologi, fungsional dan probabilistik, serta pendekatan klinis. Pendekatan Tradisional, Morfologik, Fungsional dan Probabilistik Pendekatan tradisional adalah pembuatan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil laboratorium, setelah dianalisis dan sintesis maka disimpulkan sebagai sebuah diagnosis, baik diagnosis tentatif ataupun diagnosis definitif. Pendekatan lain adalah pendekatan morfologi, fisiologi dan probabilistik. Dari aspek morfologi maka anemia berdasarkan hapusan darah tepi atau indeks eritrosit diklasifikasikan menjadi anemia hipokromik mikrositer, anemia normokromik normositer dan anemia makrositer. Pendekatan fungsional bersandar pada fenomena apakah anemia disebabkan karena penurunan produksi eritrosit di sumsum tulang, yang bisa dilihat dari penurunan angka retikulosit, ataukah akibat kehilangan darah atau hemolisis, yang ditandai oleh peningkatan angka retikulosit. Dari kedua pendekatan ini kita dapat menduga jenis anemia
dan kemungkinan penyebabnya. Hasil ini dapat diperkuat dengan pendekatan probabilistik (pendekatan berdasarkan pola etiologi anemia), yang bersandar pada data epidemiologi yaitu pola etiologi anemia di suatu daerah. Pendekatan Probablistik atau Pendekatan Berdasarkan Pola Etiologi Anemia Secara umum jenis anemia yang paling sering dijumpai di dunia adalah anemia defisiensi besi, anemia akibat penyakit kronik dan thalassemia. Pola etiologi anemia pada orang dewasa pada suatu daerah perlu diperhatikan dalam membuat diagnosis. Di daerah tropis anemia defisiensi besi merupakan penyebab tersering disusul oleh anemia akibat penyakit kronik dan thalassemia. Pada perempuan hamil anemia karena defisiensi folat perlu juga mendapat perhatian. Pada daerah tertentu anemia akibat malaria masih cukup sering dijumpai. Pada anak-anak tampaknya thalasemia lebih memerlukan perhatian dibandingkan dengan anemia akibat penyakit kronik. Sedangkan di Bali, mungkin juga di Indonesia, anemia aplastik merupakan salah satu anemia yang sering dijumpai. Jika kita menjurnpai anemia di suatu daerah, maka penyebab yang dominan di daerah tersebutlah yang menjadi perhatian kita pertamatama. Dengan penggabungan bersarna gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium sederhana, maka usaha diagnosis selanjutnya akan lebih terarah. Pendekatan Klinis Dalam pendekatan klinis yang menjadi perhatian adalah: 1). Kecepatan timbulnya penyakit (awitan anemia), 2). Berat ringannya derajat anemia, 3). Gejala yang menonjol. Pendekatan Berdasarkan Awitan Penyakit Berdasarkan awitan anemia, kita dapat menduga jenis anemia tersebut. Anemia yang timbul cepat (dalam beberapa hari sampai minggu) biasanya disebabkan oleh: 1). Perdarahan akut, 2). Anemia hemolitik yang didapat seperti halnya pada AIHA terjadi penurunan Hb >I gldl per minggu. Anemia hemolitik intravaskular juga sering terjadi dengan cepat, seperti misalnya akibat salah transfusi, atau episode hemolisis pada anemia akibat defisiensi G6PD, 3). Anemia yang timbul akibat leukemia akut, 4). Krisis aplastik pada anemia hemolitik kronik. Anemia yang timbul pelan-pelan biasanya disebabkan oleh: 1). Anemia defisiensi besi; 2). Anemia defisiensi folat atau vitamin B12; 3). Anemia akibat penyakit kronik; 4). Anemia hemolitik kronik yang bersifat kongenital. Pendekatan Berdasarkan Beratnya Anemia Derajat anemia dapat dipakai sebagai petunjuk ke arah etiologi. Anemia berat biasanya disebabkan oleh: 1). Anemia defisiensi besi; 2). Anemia aplastik; 3). Anemia pada leukemia akut; 4). Anemia hemolitik didapat atau
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1113
PENDEKATAN TERHADAPPASIEN ANEMIA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kongenital seperti misalnya pada thalasemia major; 5). Anemia pasca perdarahan akut; 6). Anemia pada GGK stadium terminal. Jenis anemia yang lebih sering bersifat ringan sampai sedang,jarang sampai derajat berat ialah: l).Anemia akibat penyakit kronik; 2). Anemia pada penyakit sistemik; 3). Thalasemia Trait. Jika pada ketiga anemia tersebut di atas dijumpai anemia berat, maka hams dipikirkan diagnosis lain, atau adanya penyebab lain yang dapat memperberat derajat anemia tersebut. Pendekatan Berdasarkan Sifat Gejala Anemia Sifat-sifat gejala anemia dapat dipakai untuk membantu diagnosis. Gejala anemia lebih menonjol dibandingkan gejala penyakit dasar dijumpai pada: anemia defisiensi besi, anemia aplastik, anemia hemolitik. Sedangkan pada anemia akibat penyakit kronik dan anemia sekunder lainnya (anemia akibat penyakit sistemik, penyakit hati atau ginjal), gejala-gejala penyakit dasar sering lebih menonjol. Pendekatan Diagnostik Berdasarkan Tuntunan Hasil Laboratorium Pendekatan diagnosis dengan cara gabungan hasil penilaian klinis dan laboratorik merupakan cara yang ideal tetapi memerlukan fasilitas dan ketrampilan klinis yang cukup. Di bawah ini diajukan algoritma pendekatan diagnostik anemia berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium (Gambar 1 s.d. Gambar 4)
I
I
PENDEKATANTERAPI Beberapa ha1 yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien anemia ialah: 1). Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah ditegakkan terlebih dahulu; 2). Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan; 3). Pengobatan anemia dapat berupa: a). Terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahan akut akibat anemia aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia pasca perdarahan akut yang disertai gangguan hemodinamik, b). Terapi suportif, c). Terapi yang khas untuk masing-masing anemia, d). Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut; 4). Dalam keadaan di mana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa memberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus). Di sini hams dilakukan pemantauan yang ketat terhadap respon terapi dan perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan
I
ehtrosit (MCV. MCH, MCHC)
I
I
4 normostler I
1
L~hatGambar 2
-- ----.-.
--
.. .
L~hatGambar 3
.-.
- ..-.-
. . .-
.. ..-. -- . .
Gambar 1. Algoritme pendekatan diagnosis anemia
I
ANEMIA HlPOKROMlK MlKROSlTER
Thalasemia beta
Anemia 'Idero
Gambar 2. Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik mikrositer
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI NORMOKROMIK NORMOSITER
.
Normallmenurun
Gambar 3. Algoritme diagnosis anemia normokromik normositer
*
ANEMIA MAKROSITER I
Retikulosit
Meningkat
* , Normal1 menurun Sumsum tulang
perdarahan
1 II."."rn I"""' Anemia pasca
I
4
1
megaloblastik
-1j,
1
Faal hati
Anemia hipotiroidisme
Gambar 4. Algoritme pendekatan diagnostik anemia makrositer
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
i
1115
PENDEKATAN TERHADAP PASIEN ANEMIA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI evaluasi terus menerus tentang kemungkinan perubahan diagnosis; 5). Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda gangguan hemodinamik. Pada anemia kronik transhi hanya diberikan jika anemia bersifat simtomatik atau adanya ancaman payah jantung. Di sini diberikan packed red cell, jangan whole blood. Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena itu transfusi diberikan dengan tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretika kerja cepat seperti furosemid sebelum transfusi.
Anemia merupakan kelainan yang sering dijumpai. Untuk penelitian lapangan umumnya dipakai kriteria anemia menurut WHO, sedangkan untuk keperluan klinis dipakai kriteria Hb < 10 gldl atau hematokrit < 30%. Anemia dapat diklasifikasikan menurut etiopatogenesisnya ataupun berdasarkan morfologi eritrosit.Gabungan kedua klasifikasi ini sangat bermanfaat untuk diagnosis. Dalam pemeriksaan anemia diperlukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorik yang terdiri dari: pemeriksaan penyaring, pemeriksaan seri anemia, pemeriksaan sumsum tulang: pemeriksaan khusus. Pendekatan diagnosis anemia dapat dilakukan secara klinis, tetapi yang lebih baik ialah dengan gabungan pendekatan klinis dan laboratorik. Pengobatan anemia seyogyanya dilakukan atas indikasi yang jelas. Terapi dapat diberikan dalam bentuk terapi darurat, terapi suportif, terapi yang khas untuk masing-masing anemia dan terapi kausal.
REFERENSI Bakta IM. Hematologi ringkas. Denpasar: UPT Penerbit Universitas Udayana, 2001. Bakta IM. Segi-segi praktis pengelolaan anemia. Buletin Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI). 1999; 1(2):67-88. Bakta IM, Lila IN, Widjana DP, Sutisna P. Anemia dan anemia defisiensi besi di Desa Belumbang, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan Bali. Naskah lengkap KOPAPDI VIII. Yogyakarta: KOPAPDI VIII; 1990. Bakta IM. Anemia kekurangan besi pada usia lanjut. Majalah Kedokteran Indonesia. 1989;39:504-6. Bakta IM, Sutjana DP & Andewi JP. Prevalensi anemia dan infeksi cacing tambang di Desa Pejaten Bali. Naskah lengkap kongres nasional IV PHTDI. Yogyakarta: PHTDI; 1983. Bakta IM, Soenarto, Sutanegara D. Penelitian anemia di pedesaan (suatu survei di Desa Kedisan Bali). Naskah lengkap KOPAPDI. Semarang: KOPAPDI; 198 1.
Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U, Williams WJ. Approach to the patient. In: Beutler E, Coller BS, Lichtman MA, Kipps TJ, editors. Williams hematology. 6Ih edition. New York: McGraw Hill. p. 3-8. Beutler E. The common anemias. JAMA. 1990;259:2433-7. Boediwarsono, Adi P, Soebandiri. Diagnosis dan pengobatan anemia. Surabaya: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan LabNPF Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR-RSUD Dr. Sutomo; 1988. Cawley JC. Haematology. London: W. Heineman Med. Books; 1983. Conrad ME. Anemia. eMedicine Journal. 2002;3(2):1-25. Evatt BL. Fundamental diagnostic hematology: anemia. Atlanta & Geneva: US Department of Health and Human Services & WHO, 1992. DeMaeyer EM. Preventing and controlling deficiency anemia through primary health care. Geneva: WHO; 1989. Djubelgovic B, Hadley T & Pasic RA. New algorithm for diagnosis of anemia. Postgraduate Medicine. 1989;85: 119-30. Djulbegovic B. Reasoning and decision making in hematology. New York: Churchil Livingstone; 1992. Fairbanks VF. The anemias. In: Mazza JJ, editor. Manual of clinical hematology. 2ndedition. Boston: Litte Brown; 1995. p. 17-69. Glader B. Anemia: general considerations. In: Greer GM, Paraskevas F, Glader B, editors. Wintrobe's clinical hematology. 1l t h edition. Philadelphia: Lippincot, Williams; 2004. p. 947-1009. Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Essential hematology. 4Ih edition. Oxford: Blackwell Science; 2001. Husaini M, Husaini YK, Siagian UL & Suharno D. Anemia gizi: suatu studi kompilasi informasi dalam menunjang kebijaksanaan program. Bogor: Puslitbang Gizi; 1989. Isbister HP, Pittglio DH. Clinical hematology: a problem-oriented approach. Baltimore: William & Wilkin; 1988. Kellermeyer RW. General principles of the evaluation and therapy of anemias. Med CIin N Am. 1984;66:533-43. Linker CA. Blood. In: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. editors. Current medical diagnosis & treatment. 36th edition. Stanford: Appleton & Lange; 1997. p. 463-518. Longo DL. Oncology and hematology. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison's Principle of Internal Medicine. 151h edition. New York: McGraw Hill; 2001. p. 491-762. Mehta BC. Approach to patient with anemia. Indian J Med Sci. 2004;58:26-9. Schnall SF, Berliner N, Duffy TP, Benz EJ. Approach to the adult and child with anemia. In: Hoffman R, Benz EJ, Shttil SJ, Furie B, Cohen HJ, Silberstein LE, McGlove P, editors. Hematology: Basic Principles and Practice. 3rdedition. New York: Churchill Livingstone; 2000. p. 367-82. Shah A. Anemia. Indian J Med Sci 2004; b58:24-5. Weatherall DJ & Wasi P. Anemia. In: Warren KS & Wasi P, editors. Tropical and geographial medicine. New York: McGraw-Hill Book; 1985. WHO Technical Report Series No. 405. Nutritional Anemia. Geneva: WHO; 1968.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ANEMIA APLASTIK Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder
PENDAHULUAN
EPlDEMlOLOGl
Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoiesis yang relatif jarang ditemukan namun berpotensi mengancam jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia sumsum tulang dan pertama kali dilaporkan tahun 1888 oleh Ehrlich pada seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah menderita penyakit dengan gejala anemia berat, perdarahan, dan hiperpireksia. Pemeriksaan postmortem terhadap pasien tersebut menunjukkan sumsum tulang yang hiposelular (tidak aktif). Pada tahun 1904, Chauffard pertama kali menggunakan nama anemia aplastik. Puluhan tahun berikutnya definisi anemia aplastik masih belum berubah dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakan pendapat bahwa tanda khas penyakit ini adalah pansitopenia sesuai konsep Ehrlich. Pada tahun 1959, Wintrobe membatasi pemakaian nama anemia aplastik pada kasus pansitopenia, hipoplasia berat atau aplasia susmsum tulang, tanpa ada suatu penyakit primer yang menginfiltrasi, mengganti atau menekan jaringan hemopoietik sumsum tulang. Selain istilah anemia aplastik yang paling sering digunakan, masih ada istilah-istilah lain seperti anemia hipoplastik, anemia refrakter, hipositemia progresif, anemia aregeneratif, aleukia hemoragika, panmieloftisisdan anemia paralitik toksik. Anemia aplastik dapat diwariskan atau didapat. Perbedaan antara keduanya bukan pada usia pasien, melainkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium. Oleh karena itu, pasien dewasa mungkin membawa kelainan herediter yang muncul di usia dewasa. Dalam bab ini yang dibahas terutama adalah anemia aplastik didapat sedangkan sedikit penjelasan mengenai anemia aplastik herediter diberikan di akhir bab.
Insidensi anemia aplastik didapat bervariasi di seluruh dunia dan berkisar antara 2 sampai 6 kasus per 1 juta penduduk per tahun dengan variasi geografis. Penelitian The International Aplastic Anemia and Agranulolytosis S t u 4 di awal tahun 1980-anmenemukan fiekuensi di Eropa dan Israel sebanyak 2 kasus per 1juta penduduk. Penelitian di Perancis menemukan angka insidensi sebesar 1,5 kasus per 1 juta penduduk per tahun. Di Cina, insidensi dilaporkan 0,74 kasus per 100.000 penduduk per tahun dan di Bangkok 3,7 kasus per 1 juta penduduk per tahun. Temyata penyakit ini lebih banyak ditemukan di belahan Timur dunia daripada di belahan Barat. Anemia aplastik didapat umumnya muncul pada usia 15 sampai 25 tahun; puncak insidens kedua yang lebih kecil muncul setelah usia 60 tahun. Umur dan jenis kelamin pun bervariasi secara geografis. Di Amerika Serikat dan Eropa umur sebagian besar pasien berkisar antara 15-24 tahun. Cina melaporkan sebagian besar kasus anemia aplastik pada perempuan berumur di atas 50 tahun dan pria di atas 60 tahun. Di Perancis, pada pria ditemukan dua puncak yaitu antara umur 15-30 dan setelah umur 60 tahun, sedangkan pada perempuan kebanyakan berumw di atas 60 tahun. Perjalanan penyakit pada pria juga lebih berat daripada perempuan. Perbedaan umur dan jenis kelamin mungkin disebabkan oleh risiko pekerjaan, sedangkan perbedaan geografis mungkin disebabkan oleh pengaruh lingkungan.
Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik didapat diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat, atau sangat berat (Tabel 1). Risiko morbiditasdan mortalitas
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Klasifikasi Anemia aplastik berat Selularitas sumsum tulang Sitopenia sedikitnya dua dari tiga seri sel darah
Kriteria
Hitung neutrofil < 500IpL Hitung trombosit < 20.000lpL Hitung retikulosit absolut < 60.0001pL
Anemia aplastik sangat berat
Sama seperti di atas kecuali hitung neutrofil < 2001pL
Anemia aplastik tidak berat
Sumsum tulang hiposelular namun sito~eniatidak memenuhi kriteria berat
lebih berkorelasi dengan derajat keparahan sitopenia ketimbang selularitas sumsum tulang. Angka kematian setelah dua tahun dengan perawatan suportif saja untuk pasien anemia aplastik berat atau sangat berat mencapai 80%; infeksi jamur dan sepsis bakterial merupakan penyebab kematian utama. Anemia aplastik tidak berat jarang mengancam jiwa dan sebagian besar tidak membutuhkan terapi.
PATOFlSlOLOGl DAN PATOGENESIS Dahulu, anemia aplastik dihubungkan erat dengan paparan terhadap bahan-bahan kimia dan obat-obatan. Anemia aplastik dianggap disebabkan paparan terhadap bahanbahan toksik seperti radiasi, kemoterapi, obat-obatan atau senyawa kimia tertentu. Penyebab lain meliputi kehamilan, hepatitis viral, dan fasciitis eosinofilik. Jika pada seorang pasien tidak diketahui faktor penyebabnya, maka pasien digolongkan anemia aplastik idiopatik. Sebagian besar kasus anemia aplastik bersifat idiopatik. Beberapa etiologi anemia aplastik tercantum dalam Tabel 2. Anemia aplastik terkait obat terjadi karena hipersensitivitas atau dosis obat yang berlebihan. Obat yang banyak menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering
Toksisitas langsung latrogenik Radiasi Kemoterapi Benzena Metabolit intermediate beberapa jenis obat Penyebab yang diperantarai imun. latrogenik: transfusion-associatedgraft-versus-host disease Fasciitis eosinofilik Penyakit terkait hepatitis Kehamilan Metabolit intermediate beberapa jenis obat Anemia aplastik idiopatik
dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mileran atau nitrosourea. Bahan kimia terkenal yang dapat menyebabkan anemia aplastik ialah senyawa benzena. Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia aplastik sementara atau permanen, misalnya virus EpsteinBarr, influenza A, dengue, tuberkulosis (milier). Sitomegalovirus dapat menekan produksi sel sumsum tulang, melalui gangguan pada sel-sel stroma sumsum tulang. Infeksi oleh human immunodeficiency virus (HIV) yang berkembang menjadi acquired immunodeficiency s.yndrome (AIDS) dapat menimbulkan pansitopenia. Infeksi kronik olehparvovirus pada pasien dengan defisensi imun juga dapat menimbulkan pansitopenia. Akhir-akhir ini, sindrom anemia aplastik dikaitkan dengan hepatitis walaupun merupakan kasus yang jarang. Meskipun telah banyak studi dilakukan, virus yang pasti belum diketahui, namun diduga virus hepatitis non-A, non-B, dan non-C. Pada kehamilan, kadang-kadang ditemukan pansitopenia disertai aplasia sumsum tulang yang berlangsung sementara. Hal ini mungkin disebabkan oleh estrogen pada seseorang dengan predisposisi genetik, adanya zat penghambat dalam darah atau tidak ada perangsang hematopoiesis. Anemia aplastik sering sembuh setelah terminasi kehamilan, dapat terjadi lagi pada kehamilan berikutnya. Namun, sekarang diyakini ada penjelasan patofisiologis anemia aplastik yang masuk akal, yang disimpulkan dari berbagai observasi klinis hasil terapi dan eksperimen laboratorium yang sistematik. Di akhir tahun 1960-an, Mathe et a1 memunculkan teori baru berdasarkan kelainan autoimun setelah melakukan transplantasi sumsum tulang kepada pasien anemia aplastik. Keberhasilan transplantasi sumsum tulang untuk menyembuhkan anemia aplastik memperlihatkan adanya kondisi defisiensi sel asal (stem cell). Adanya reaksi autoimunitas pada anemia aplastik juga dibuktikan oleh percobaan in vitro yang memperlihatkan bahwa limfosit dapat menghambat pembentukan koloni hemopoietik alogenik dan autologus. Setelah itu, diketahui bahwa limfosit T sitotoksik memerantarai destruksi sel-sel asal hemopoietik pada kelainan ini. Sel-sel T efektor tampak lebih jelas di sumsum tulang dibandingkan dengan darah tepi pasien anemia aplastik. Sel-sel tersebut menghasilkan interferon-y dan T N F - a yang merupakan inhibitor langsung hemopoiesis dan meningkatkan ekspresi Fas pada sel-sel CD34'. Klon sel-sel T imortal yang positif CD4 dan CD8 dari pasien anemia aplastik juga mensekresi sitokin T-helper-I yang bersifat toksik langsung ke selsel CD34 positif autologus. Sebagian besar anemia aplastik didapat secara patofisiologis ditandai oleh destruksi spesifik yang diperantarai sel T ini. Pada seorang pasien, kelainan respons imun tersebut kadang-kadang dapat dikaitkan dengan infeksi virus atau pajanan obat tertentu atau zat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
kilnia tertentu. Sangat sedikit bukti adanya mekanisme lain, seperti toksisitas langsung pada sel-sel asal atau defisiensi fungsi faktor pertumbuhan hematopoietik. Lagipula, derajat destruksi sel asal dapat menjelaskan variasi perjalanan klinis secara kuantitatif dan variasi kualitatif respons imun dapat menerangkan respons terhadap terapi imunosupresif. Respons terhadap terapi imunosupresif menunjukkan adanya mekanisme imun yang bertanggung jawab atas kegagalan hematopoietik.
Kegagalan Hematopoietik Kegagalan produksi sel darah bertanggung jawab atas kosongnya sumsum tuang yang tampak jelas pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau spesimen core hiops.v sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan magnetic resonunce lmaging vertebra memperlihatkan digantinya sumsum tulang oleh jaringan lemak yang merata. Secara kuantitatif, sel-sel hematopoietik yang imatur dapat dihitung dengan flow cytotnerrj*. Sel-sel tersebut mengekspresikan protein cytoudhesivc, yang disebut CD34. Pada pemeriksaanflow cytometry, antigen sel CD34 dideteksi secara fluoresens satu persatu, sehingga jumlah sel-sel CD34' dapat dihitung dengan tepat. Pada anemia aplastik, sel-sel CD34'juga hampir tidak ada yang berarti bahwa sel-sel induk pembentuk koloni eritroid, myeloid, dan megakaryositik sangat kurang jumlahnya. Assuv lain untuk sel-sel hematopoietik yang sangat primitif dan "tenang" (qztrescent), yang sangat mirip jika tidak dapat dikatakan identik dengan sel-sel asal, juga memperlihatkan penurunan. Pasien yang mengalami panstopenia mungkin telah mengalami penurunan populasi sel asal dan sel induk sampai sekitar 1% atau kurang. Defisiensi berat tersebut mempunyai konsekuensi kualitatif, yang dicerminkan oleh pemendekan telomer granulosit pada pasien anemia aplastik.
Ligan
-
Destruksi lmun Banyak data laboratorium yang menyokong hipotesis bahwa pada pasien anemia aplastik didapat, limfosit bertanggung jawab atas destruksi ko~npartemensel hematopoietik. Eksperimen awal memperlihatkan bahwa limfosit pasien menekan hematopoiesis. Sel-sel ini memproduksi faktor penghambat yang akhirnya diketahui adalah interferon-y. Adanya aktivasi respons sel T helper1 (Th,) disimpulkan dari sifat imunofenotipik sel-sel T dan produksi interferon, tumor necrosis fuctor, dan interleukin2 yang berlebihan. Deteksi interferon-y intraselular pada sampel pasien secaraflow cytometry mungkin berkorelasi dengan respons terapi imunosupresif dan dapat memprediksi relaps. Pada anemia aplastik, sel-sel CD34- dan sel-sel induk (progenitor) hemopoietik sangat sedilutjwnlahnya. Namun, rneskipun defisiensi myeloid (granulositik, eritroid, dan megakariositik) bersifat universal pada kelainan ini, defisiensi imunologik tidak lazim terjadi. Hitung lirnfosit umumnya normal pada hampir semua kasus, demikian pula fimgsi sel B dan sel T. Lagipula, pemulihan hemopoiesis yang normal dapat terjadi dengan terapi imunosupresif yang efektif. Jadi, sel-sel asal hemopoietik tampaknya masih ada pada sebagian besar pasien anemia aplastik. Perubahan imunitas menyebabkan destruksi, khususnya kematian sel CD34 yang diperantarai ligan Fas, dan aktivasi alur intraselular yang menyebabkan penghentian siklus sel (cell-cycle urre.st). Sel-sel T dari pasien membunuh sel-sel asal hemopoietik dengan perilaku (manner) yang HLA-DR-restricted melalui ligan Fas. Sel-sel asal hemopoietik yang paling primitif tidak atau sedikit mengekspresikan HLA-DR atau FAS, dan ekspresi keduanya meningkat sesuai pematangan sel-sel asal. Jadi, sel-sel asal hemopoietik primitif, yang normalnya berjumlah kurang dari 10% sel-sel CD34' total, relatif tidak terganggu oleh sel-sel T autoreaktit:, di lain pihak, sel-sel
- 'b -
Garnbar 1. Destruksi imun pada sel hematopoletik (Modlfikasi dari Young, 1997)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
4
Toksisitas sel-se1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI asal hemopoietik yang lebih matur dapat menjadi target utama serangan sel-sel imun. Sel-sel asal hemopoietik primitif yang selamat dari serangan autoimun memungkinkan pemulihan hemopoietik perlahan-lahan yang terjadi pada pasien anemia aplastik setelah terapi imunosupresif.
perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hematomegali, yang sebabnya bermacam-macam, ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis.
MANIFESTAS1KLlNlS DAN DIAGNOSIS Anemia aplastik mungkin muncul mendadak (dalam beberapa hari) atau perlahan-lahan (berminggu-mingguatau berbulan-bulan). Hitung jenis darah menentukan manifestasi klinis. Anemia menyebabkan fatig, dispnea dan jantung berdebar-debar. Trombositopenia menyebabkan mudah memar dan perdarahan mukosa. Neutropenia meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Pasien juga mungkin mengeluh sakit kepala dan demam. Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis leukosit, hitung retikulosit, dan aspirasi serta biopsi sumsum tulang. PemeriksaanJlow cytometry darah tepi dapat menyingkirkan hemoglobinuria nokturnal paroksismal, dan karyotyping sumsum tulang dapat membantu menyingkirkan sindrom myelodisplastik. Pasien berusia kurang dari 40 tahun perlu diskrining untuk anemia Fanconi dengan memakai obat klastogenik diepoksibutan atau mitomisin. Riwayat keluarga sitopenia meningkatkan kecurigaan adanya kelainan diwariskan walaupun tidak ada kelainan fisik yang tampak. Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin. Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel 3). Pada Tabel 3 terlihat bahwa perdarahan, badan lemah, dan pusing merupakan keluhan yang paling sering ditemukan.
Jenis keluhan
Jenis Pemeriksaan Fisis
%
Pucat Perdarahan Kulit Gusi Retina Hidung Saluran cerna Vagina Demam Hepatomegali Splenomegali
PEMERIKSAAN LABORATORIUM Darah Tepi Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenis anemia adalah normokrom normositer. Kadang-kadang, ditemukan pula makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus.
OO /
Perdarahan Badan lemah Pusing Jantung berdebar Demam Nafsu makan berkurang Pucat Sesak napas Penglihatan kabur Telinga berdengung
PEMERIKSAAN FlSlS Hasil pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada Tabel 4 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan
Gambar 2. Sumsum tulang normal (Kiri) dan aplastik (Kanan). (Diambil dari www.ashimagebank.org)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Persentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Pada sebagian kecil kasus, persentase retikulosit ditemukan lebih dari 2%. Akan tetapi, bila nilai ini dikoreksi terhadap beratnya anemia (corrected reticulocyte count) maka diperoleh persentase retikulosit normal atau rendah juga. Adanya retikulositosis setelah dikoreksi menandakan bukan anemia aplastik.
Laju Endap Darah Laju endap darah selalu meningkat. Penulis menemukan bahwa 62 dari 70 kasus (89%) mempunyai laju endap darah lebih dari 100 mm dalam jam pertama. Faal Hemostasis Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh trombositopenia. Faal hemostasis lainnya normal. Sumsum Tulang Karena adanya sarang-sarang hemopoiesis hiperaktif yang mungkin teraspirasi, maka sering diperlukan aspirasi beberapa kali. Diharuskan melakukan biopsi sumsum tulang pada setiap kasus tersangka anemia aplastik. Hasil pemeriksaan sumsum tulang sesuai kriteria diagnosis. Virus Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus Hepatitis, HIV, parvovirus, dan sitomegalovirus. Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa Tes ini diperlukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai penyebab. Kromosom Pada anemia aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan kromosom. Pemeriksaan sitogenetik denganfluorescence in situ hybridization (FISH) dan imunofenotipik dengan flow cytometry diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding, seperti myelodisplasia hiposelular. Defisiensi lmun Adanya difisiensi imun diketahui melalui penentuan titer immunoglobulin dan pemeriksaan imunitas sel T. Lain-lain Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak, dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional. Kadar eritropoetin ditemukan meningkat pada anemia aplastik.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS Nuclear Magnetic Resonance lmaging Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk inengetahui luasnya perlemakan karena dapat membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum tulang berlemak dan surnsum tulang berselular. Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning) Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh setelah disuntik dengan koloid radioaktif technetium s u l h yang akan terikat pada makrofag sumsum tulang atau iodium chloride yang akan terikat pada transferin. Dengan bantuan scan sumsum tulang dapat ditentukan daerah hemopoeisis aktif untuk memperoleh sel-sel guna pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel-sel induk.
DIAGNOSIS BANDING Adanya sumsum tulang berlemak pada biopsi menunjukkan aplasia; namun hiposelularitas sumsum dapat terjadi pada penyakit hematologi lainnya. Uji diagnostik yang baru telah mempengaruhi diagnosis banding dan pemahaman kita tentang kegagalan sumsum tulang (Gambar 3). Perbedaan antara anemia aplastik didapat dan herediter telah dipertajam dengan assay spesifik untuk kelainan kromosomal dan zat kimia tertentu yang menandai anemia Fanconi. Meskipun biasanya muncul pada anak-anak, anemia Fanconi dapat didiagnosis pada saat dewasa, walaupun tanpa kelainan skeletal atau urogenital. Sumsum tulang hiposelular dibutuhkan untuk diagnosis anemia aplastik. Namun, aspirat kadang-kadang secara mengejutkan tampak selular meskipun secara keseluruhan sumsum tulang hiposelular, sebab sebagian besar pasien masih mempunyai sarang-sarang hemopoiesis yang masih berlangsung. Jadi, core biopsy 1-2 cm penting untuk pengkajian selularitas. Diseritropoiesis ringan bukan tidak lazim pada anemia aplastik, khususnya pada pasien yang juga memiliki populasi sel-sel hemoglobinuria nokturnal paroksismal kecil sampai sedang. Namun, adanya sejumlah kecil selsel blas myeloid, atau gambaran displastik seri myeloid atau megakaryosit membantu diagnosis sindrom myelodisplatik hipoplastik.
Myelodisplasia Hiposelular Membedakan anemia aplastik dari sindrom myelodisplastik hipoplastik dapat menjadi tantangan, khususnya pada pasien yang lebih tua, karena sindrom ini lebih banyak
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1121
ANEMIA APLASTIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Oambar 3. Tumapang tindih antara kelainan anemia aplastik dan diagnosis hndngnya (ModlfikasI dati Ycrumg, 20CB)
terjadi. Proporsi sel-sel CD34' di sumsum tulang mungkin membantu pada beberapa kasus. CD34 diekspresikan pada sel-sel asall induk hemopoietik dan bersifat fundamental untuk patofisiologi kedua kelainan ini. Pada sindrom myelodisplastik, ekspansi klonal muncul dari sel asal CD34'; pada anemia aplastik didapat, sel-sel asal CD34+ merupakan target serangan autoimun. Dengan demikian, proporsi sel-sel CD34' adalah 0,3% atau kurang pada pasien anemia aplastik, sedangkan proporsinya normal (0,5-1,0%) atau lebih tinggi pada sindrom myelodisplatik hipoplastik. Pemeriksaan sitogenetik sel-sel sumsum tulang sekarang sudah rutin dilakukan, tetapi interpretasi hasil dapat kontroversial. Kromosom urnumnya normal pada anemia aplastik, tetapi aneuploidi atau abnormalitas struktural relatif sering pada sindrom myelodisplastik. Jika sumsum tulang normal atau hiperselular dan sel-sel hematopoietik jelas-jelas dismorfik, maka myelodisplasia mudah dibedakan dari anemia aplastik..Namun, mungkin pada sekitar 20% kasus, sumsum tulang tampak hiposelular, selain itu, perubahan morfologinya mungkin ringan atau meragukan, dan uji kromosom memberikan hasil normal atau tidak berhasil. Diagnosis handing lebih dipersulit dengan evolusi anemia aplastik yang telah diobati menjadi myelodisplasia.
Anemia Aplastik d a n Hemoglobinuria Nokturnal Paroksismal (PNH) Terdapat hubungan klinis yang sangat kuat antara anemia aplastik dan PNH. Pada PNH, sel asal hematopoietik abnormal menurunkan populasi sel darah merah, granulosit, dan trombosit yang semuanya tidak mempunyai sekelompok protein permukaan sel. Dasar genetik PNH adalah mutasi didapat pada gen PIG-A di kromosom X yang menghentikan sintesis struktur jangkar glikosilfostatidilinositol. Defisiensi protein ini menyebabkan hemolisis intravaskular, yang mengakibatkan ketidakmampuan eritrosit untuk menginaktivasi komplemen permukaan. Tidak adanya protein tersebut mudah dideteksi denganflow cytometry eritrosit dan leukosit, tes Ham dan sukrosa sekarang sudah ketinggalan jaman (obsolete) Telah lama diketahui bahwa beberapa pasien PNH akan mengalami kegagalan sumsum tulang, dan sebaliknya, PNH dapat ditemukan sebagai "peristiwa klonal lanjut" bertahun-tahun setelah diagnosis anemia aplastik. Pemeriksaan flow cytometry memperlihatkan bahwa sejumlah besar pasien dengan kegagalan sumsum tulang mengalami e k s p w i klon PNH hematopoietik pada saat datang.
Leukemia Limfositik Granular Besar Penyakit ini juga dapat menjadi diagnosis untuk sumsum tulang yang kosong atau displastik. Limfosit granular besar dapat dikenali dari fenotipenya yang berbeda pada pemeriksaan mikroskopik darah, yaitu pola pulasan selsel khusus pada flow cytometry, dan ketidakteraturan reseptor sel T yang membuktikan adanya ekspansi monoklonal populasi sel T.
PENATALAKSANAAN Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang (TST). Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok (matched sibling donor), dan faktor-faktor risiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi hams dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1122
HEMATOLOGI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
terapi imunusupresi atau TST. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi TST lebih baik dan sedikit mengalami GVHD. Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan serangkaian terapi imunusupresif. Pasien berusia lebih dari 20 tahun dengan hitung neutrofil 200-5001 mm3 tampaknya lebih mendapat manfaat dari imunosupresi dibandingkan TST. Secara umum, pasien dengan hitung neutrofil yang sangat rendah cenderung lebih baik dengan TST, karena dibutuhkan waktu yang lebih pendek untuk resolusi neutropenia (hams diingat bahwa neutropenia pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif mungkin baru membaik setelah 6 bulan). Untuk pasien usia menegah yang memiliki donor saudara yang cocok, rekomendasi terapi hams dibuat setelah memperhatikan kondisi kesehatan pasien secara menyeluruh, derajat keparahan penyakit, dan keinginan penyakit. Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik (Gambar 4).
TERAPI KONSERVATIF Terapi lmunosupresif Terapi imunosupresif merupakan modalitas terapi terpenting untuk sebagian besar pasien anemia aplastik. Obat-obatan yang termasuk dalam terapi imunosupresif
adalah antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CsA). Mekanisme kerja ATG atau ALG pada kegagalan sumsum tulang tidak diketahui dan mungkin melalui: =. Koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal, Stimulasi langasung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis. Regimen imunosupresi yang paling sering dipakai adalah ATG dari kuda (ATGam dosis 20 mglkg per hari selama 4 hari) atau ATG kelinci (thymoglobulin dosis 3,5 mgkg per hari selama 5 hari) plus CsA (12- 15 mglkg, bid) umumnya selama 6 bulan. Berdasarkan hasil penelitian pada pasien yang tidak berespons terhadap ATG kuda, ATG kelinci tampaknya sama efektif dengan ATG kuda. Angka respons terhadap ATG kuda bervariasi dari 70-80% dengan kelangsungan hidup 5 tahun 80-90%. ATG lebih unggul dibandingkan CsA, dan kombinasi ATG dan CsA memberikan hasil lebih baik dibandingkan ATG atau CsA saja. Penambahan granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) dapat memulihkan neutropenia tetapi tidak menambah kelangsungan hidup. Namun respons awal terhadap G-CSF setelah terapi ATG merupakan faktor prognostik yang baik untuk respons secara keseluruhan. Secara umum, pasien yang berespons terhadap kombinasi ATG/ CsA mempunyai kelangsungan hidup yang sangat
---
--
Usia > 35 tahun atau tidak ada HLA matched sibling
Transplantas~ Ada respons
I
Tidak ada respons
i i Tidak ada respons
Faktor pertumbuhan hematopoletik atau androgen atau matched ut~related transplant
Gambar 4. Algoritme penatalaksanaan pasien anemia berat (Diambil dari Bagby, 2004)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANEMIA APUSTlK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI baik, sedangkan mereka yang refrakter mempunyai kelangsungan hidup yang kurang. Perhitungan pada 3 bulan setelah terapi ATG mempunyai korelasi yang baik dengan prognosisjangka panjang. Regimen imunosupresif yang lebih baru memakai mycophenolate mofetil, dan dalam konteks toksisitas CsA, Zenapax (anti-IL-2 receptor [CD25] monoclonal antibody) mungkin bermanfaat tetapi keampuhan obat-obat ini belum terbukti. Campath-1H saat ini juga sedang diuji untuk keadaan-keadaan refrakter untuk mengkaji potensi pemanfaatnnya sebagai obat imunosupresif. Kegagalan terapi imunosupresif mungkin mencerminkan undertreatment atau kelelahan cadangan sel-sel asal sebelum pemulihan hematopoietik. Di samping itu, tidak adanya respons terapi mungkin juga disebabkan salah diagnosis atau adanya patogenesis non-imun, seperti anemia aplastik herediter. Relaps dapat disebabkan penghentian dini imunosupresi, dan hitung darah pasien sering masih tergantung CsA. Terapi induksi dengan regimen ATG masa kini atau bahkan siklofosfamid dapat pula tidak cukup untuk mengeliminasi sel-sel T autoimun. Pasien-pasien refrakter dapat diobati lagi dengan ATG multipel, yang dapat menghasilkan kesembuhan (salvage) pada sejumlah pasien. Suatu penelitian pada pasien yang refiakter dengan ATG kuda, ATG kelinci menghasilkan angka respons 50% dan kelangsungan hidup jangka panjang yang sangat baik. Siklofosfamid dosis tinggi telah dianjurkan sebagai terapi lini pertarna yang efektif untuk anemia aplastik. Angka respons yang tinggi dikaitkan dengan pencegahan kekambuhan dan juga penyakit klonal. Namun, sitopenia yang berkepanjangan menghasilkan toksisitas yang berlebihan akibat komplikasi neutropenik menyebabkan penghentian uji klinik. Follow-up jangka panjang pada pasien yang mendapat siklofosfamid memperlihatkan bahwa relaps dan penyakit klonal dapat terjadi setelah terapi ini. Oleh karena itu, penggunaan siklofosfamid hanya untuk kasus-kasus tertentu atau sebagai bagian dari uji terkontrol dengan spektrum indikasi yang sempit. ATG atau ALG diindikasikanpada: 1). Anemia aplastik bukan berat, 2). Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok, 3). Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun, dan pada saat pengobatan tidak terdapat infeksi atau perdarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/ mm3. Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat, sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid. Kortikosteroid ditambahkan untuk melawan penyakit serum intrinsik terhadap terapi ATG, yaitu prednison 1 mgl kgbb selarna 2 minggu pertama pemberianATG Di samping itu, neutropenia dan trombositopenia yang ada akan semakin berat. Kira-kira 40-60%pasien berespons terhadap ATG dalam 2-3 bulan (hampir tidak pemah dalam 2-3
minggu pertama). Walaupun tidak terjadi remisi total transfusi komponen darah tidak dibutuhkan lagi. Kira-kira 30-50%dari mereka yang berhasil akan kambuh lagi dalam 2 tahun berikutnya. Pada golongan pasien ini yang kebanyakan berespons lagi bila diberi ATG. Kira-kira 25% pasien yang semula tidak memberikan respons, terjadi respons pada pemberian ATG 2-4 bulan setelah pemberian pertama. Siklosporin bekerja dengan menghambat aktivasi dan proliferasi prekursor limfosit sitotoksik. Dosisnya adalah 3- 10 mgfl
Secara konseptual, analog dengan terapi penyakit keganasan, terapi imunusupresif intensif dengan ATG dapat dipandang sebagai terapi induksi, yang mungkin membutuhkan periode pemeliharaan lama dengan CsA atau bahkan re-induksi. Angka relaps stelah terapi imunusupresif adalah 35% dalam 7 tahun. Secara umum, relaps mempunyai prognosis yang baik dan kelangsungan hidup pasien tidak memendek. Pasien dengan hitung darah yang turun dapat menerima CsA, dan jika tidak berhasil, harus diberikan ATG ulang. Angka respons dapat dibandingkan dengan yang tampak pada ATG inisial. Pada beberapa contoh, ATG kelinci dapat dipakai ketimbang ATG kuda. Siklofosfarnid dosis tinggi telah disarankan untuk imunusupresi yang mencegah relaps. Namun, ha1 ini belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan lama respons lebih dari 1 tahun, Sebaliknya, 75% respons terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama, dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG.
Kelelahan cadangan sel asal lmunosupresi tidak cukup Sal ah diagnosis Kegagalan sumsum tulang herediter
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
Anemla aplastik diperantarai imun Serangan imun persisten Patogenesis non-imun
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI TERAPl PENYELAMATAN (SALVAGE THERAPIES) Siklus lmunosupresi Berulang Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespons terhadap siklus imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, angka penyelamatan yang bermakna pada pasien yang refrakter ATG kuda tercapai dengan siklus kedua ATG kelinci. Namun, siklus ketiga tampaknya tidak dapat menginduksi respons pada pasien yang tidak berespons terhadap terapi ulangan. Upaya melakukan terapi penyelamatan dapat menunda transplantasi sumsum tulang. Namun dampaknya masih kontroversial. Pasien dengan donor saudara yang cocok dan tidak berespons terhadap terapi ATGI CsA harus menjalani TST. Selain terapi ATG berulang, obat-obat baru seperti Campath-1H atau antibodi monoklonal anti-CD3 dapat digunakan dalam konteks uji klinik. Faktor-faktor Pertumbuhan Hematopoietik dan Steroid Anabolik Penggunaan granulocyte-colony stimulatingfactor (G-CSF, Filgrastim dosis 5 iglkghari) atau GM-CSF (Sargramostim dosis 250 iglkglhari) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil walaupun tidak bertahan lama. Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya modalitas terapi anemia aplastik. Beberapa pasien akan memperlihatkan pemulihan neutropenia dengan G-CSF, tetapi neutropenia berat karena anemia aplastik biasanya refrakter. Jika dikombinasi dengan regimen ATGI CsA, G-CSF dapat memperbaiki neutropenia dan respons terapi ini merupakan faktor prognostik dini yang positif untuk respons di masa depan. Peningkatan dosis G-CSF tampaknya tidak bermanfaat. Kombinasi G-CSF dengan obat lain telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasuskasus refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien. Namun, beberapa laporan mengaitkan terapi G-CSF yang lama sebagai penyebab evolusi klonal, khususnya monosomi-7. Steroid Anabolik Steroid anabolik digunakan secara luas untuk terapi anemia apalstik sebelum penemuan terapi imunosuresif. Androgen merangsang produksi eritropoietin dan sel-sel induk sumsurn tulang. Saat ini, androgen hanya digunakan sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif. Androgen yang tersedia saat ini antara lain oxymethylone dan danazol. Obat-obat ini terbukti bermanfaat bagi sebagian pasien anemia aplastik ringan. Pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Komplikasi utama adalah virilisasi dan hepatotoksitas.
TRANSPLANTASI SUMSUM TULANG Regimen conditioning yang paling sering adalah siklofosfamid dan ATG dan telah terbukti lebih unggul dibandingkan regimen terdahulu yaitu siklofosfamid plus total thoracoabdominal irradiation. Perbaikan pada perawatan pasien dan terapi graft-versus-host disease telah membuat TST menjadi prosedur yang jauh lebih aman dan menjadikan TST suatu pilihan bagi lebih banyak pasien anemia aplastik. TST menyediakan alternatif terapi yang benar-benar kuratif berlawanan dengan komplikasi jangka panjang terapi IS konservatif, termasuk perkembangan MDS dan angka relaps yang tinggi. TST allogenik tersedia untuk sebagian kecil pasien (hanya sekitar 30% yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Dengan perbaikan umum, TST dapat memberikan kelangsungan hidup jangka panjang sebesar 94% (dengan donor saudara yang cocok). Hasil yang lebih baik telah dilaporkan pada pasien anak, tetapi tidak demikian halnya pada pasien yang lebih tua. Dengan demikian, TST hams ditawarkan sebagai pilihan kepada pasien anak dan dewasa muda yang memiliki donor cocok. Batas usia untuk TST sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia lebih tua dari 3035 tahun, lebih baik dipilih terapi imunosupresif intensif sebagai upaya pertama. Transplantasi sumsurn tulang alogenik dengan saudara kandung HLA-A,B,-DR-matched, mencapai angka keberhasilan remisi komplit permanen lebih dari 80% pada kelompok pasien terpilih yang berumur h a n g dari 40 tahun dan bisa hidup lama. Makin meningkat wnur, makin meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor yang disebut graft-versus-host disease (GVHD). Transplantasi sumsum tulang antara umur 40-50 tahun mengandung risiko meningkatnya GVHD dan mortalitas. Transplantasi sumsum tulang dapat dikerjakan Pada umumnya, bila pasien berumur kurang dari 50 tahun yang gaga1 dengan ATG, dan mempunyai saudara kandung sebagai donor yang cocok maka pemberian transplantasi sumsurn tulang perlu dipertimbangkan. Akan tetapi dengan pemberian imunosupresif sering diperlukan transfusi selama beberapa bulan. Bila transfusi komponen darah sangat diperlukan, sedapat mungkin diambil dari mereka yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang untuk membatasi reaksi penolakan cangkokan (graft rejection) yang kelak dapat mengurangi keberhasilan transplantasi sumsum tulang, karena antibodi yang terbentuk akibat transfusi. Pada pasien yang belum ditransfusi, 10 tahun setelah transplantasi sumsum tulang, yang hidup mencapai 81%, sedangkan bagi yang telah mendapat transfusi sebelumnya yang hidup hanya 46%.
Kriteria Respons Kelompok European Bone Marrow Transplantation
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANEMIA APLASTIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI (EBMT) mendefinisikan respons terapi sebagai berikut: Remisi komplit: bebas transhsi, granulosit sekurangkurangnya 2000/mm3, dan trombosit sekurangkurangnya 100.000/mrn3. Remisi sebagian: tidak tergantung pada transfusi, granulosit di bawah 2000/mm3,dan trombosit di bawah 100.000/mm3. Refrakter: tidak ada perbaikan.
Kejadian ini mungkin merupakan riwayat alamiah penyakit walaupun komplikasi tersebut lebih jarang ditemukan pada transplantasi sumsum tulang.
- '
Bila terdapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular. Risiko perdarahan meningkat bila trombosit kurang dari 20.0001 mm3. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat perdarahan atau kadar trombosit di bawah 20.000/mm3 (profilaksis). Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusitrombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung) atau pemberian gammaglobulin dosis terapi. Timbulnya sensitisasi dapat diperlambat dengan menggunakan donor tunggal. Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek. Pada infeksi berat, khasiatnya hanya sedikit sehingga pemberian antibiotik masih diutamakan.
PROGNOSIS DAN PERJALANAN PENYAKIT Riwayat alamiah anemia aplastik dapat berupa: 1). Berakhir dengan remisi sempuma. Hal ini jarang terjadi kecuali bila iatrogenik akibat kemoterapi atau radiasi. Remisi sempuma biasanya terjadi segera. 2). Meninggal dalam 1 tahun. Hal ini terjadi pada sebagian besar kasus. 3). Bertahan hidup selama 20 tahun atau lebih. Membaik dan bertahan hidup lama namun kebanyakan kasus mengalami remisi tidak sempurna. Jadi, pada anemia aplastik telah dibuat cara pengelompokan lain untuk membedakan antara anemia aplastik berat dengan prognosis buruk dengan anemia aplastik lebih ringan dengan prognosis yang lebih baik. Dengan kemajuan pengobatan prognosis menjadi lebih baik. Penggunaan imunosupresif dapat meningkatkan keganasan sekunder. Pada penelitian di luar negeri dari 103 pasien yang diobati dengan ALG, 20 pasien diikuti jangka panjang berubah menjadi leukemia akut, mielodisplasia, PNH, dan adanya risiko terjadi hepatoma.
ANEMIA APLASTIK HEREDITER Sindrom kegagalan sumsum tulang herediter antara lain meliputi anemia Fanconi, diskeratosis kongenita, sindrom Shwachman-Diamond, dan trombositopenia megakaryositik. Sebagian besar anemia aplastik (AA) bersifat didapat, namun ada juga bentuk-bentuk AA yang diwariskan. Kelainan-kelainan ini sangat jarang, mirip dengan AA didapat tetapi jarang berespons terhadap terapi imunosupresif. Kegagalan sumsum tulang herediter biasanya muncul pada usia dekade pertama dan kerap disertai anomali fisik (tubuh pendek, kelainan lengan, hipogonadisme, bintik-bintik cafk-au-lait pada anemia Fanconi). Beberapa pasien mungkin mempunyai riwayat keluarga dengan sitopenia. Dalam kelompok ini, anemia Fanconi adalah penyakit yang paling sering ditemukan. Anemia Fanconi merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh defek pada DNA repair dan memiliki predisposisi ke arah leukemia dan tumor padat. Diskeratosis kongenital, adalah sindrom kegagalan sumsum tulang diwariskan yang secara klasik muncul dengan triad pigmentasi kulit abnormal, distrofi kuku, dan leukoplakia mukosa. Kelainan ini memiliki heterogenitas dan manifestasi klinik yang beragam. Terdapat bentuk-bentuk X-linked recessive, autosomal dominan, dan autosomal resesif. Bentuk X-linked recessive diakibatkan oleh mutasi pada gen DKCI, yang menghasilkan protein dyskerin, yang penting untuk stabilisasi telomerase. Gangguan telomerase menyebabkan pemendekan telomer lebih cepat, kegagalan sumsum tulang, dan penuaan dini (premature aging). Diskeratosis congenita autosomal dominan disebabkan mutasi pada gen TERC (yang menyandi komponen RNA telomerase) yang pada akhimya mengganggu aktivitas telomerase dan pemendekan telomer abnormal. Sejumlah kecil pasien (kurang dari 5%) yangs disangka menderita AA didapat memiliki mutasi TERC. Trombositopenia amegakaryositik diwariskan merupakan kelainan yang ditandai oleh trombositopenia berat dan tidak adanya megakaryosit pada saat lahir. Sebagian besar pasien mengalami missense atau nonsense mutations pada gen C-MPL. Banyak dari antara mereka mengalami kegagalan sumsum tulang multilineage di usia dua puluhan. Sindrom Shwachman-Diamond adalah kelainan autosomal resesif yang ditandai dengan disfungsi eksokrin pankreas, disostosis metafiseal, dan kegagalan sumsum tulang. Seperti pada anemia Fanconi, pasien sindrom ini mengalam peningkatan risiko terjadinya myelodisplasia atau leukemia pada usia yang sangat muda. Belum ada lesi genetik yang dianggap menjadi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
.
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Hariman H. Soeroso L. Succesful marrow recovery after eHuGM-
penyebabnya, tetapi mutasi sebuah gen di kromosom 7 telah dikaitkan dengan penyakit ini.
REFERENS1 Adamson JW and Erslev AY. Aplastic anemia. In: Williams WJ, Beutler E, EWslev AY, Lichtman MA, editors. Hematology. 4Ih edition. New York: Mc. Graw-Hill; 1990. p. 158-74 Alter BP. Bone marrow failure: a child is not just a small adult (but an adult can have a childhood disease). Hematology. 2005:96103. Bagby GC. Lipton JM, Sloand EM, Schiffer. Marrow failure. Hematology. 2004:3 18-36. Brodsky RA, Jones RJ. Aplastic anemia. Lancet. 2005;365:164756 Fibbe WE. Telomerase mutations in aplastic anemia. N Engl J Med. 2005;352: 1481-3. Gluckman E, Esperou-Bourdeau H, Baruchel A, Boogaerts M, Briere J, Donadio D, et al. Muticentre randomized study comparing cyclosporine-A alone and antithymocyte globulin with prednisone for treatment of severe aplastic anemi. Blood. 1992;79:2540-6. Gordon-Smith EC. Aplastic anemia and allied disorders. Curr Opin Hematol. 1993:45-51.
CSF treatment in a patient with idiophatic aplastic anemia. KONAS VII Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia & International scientific meeting of Haematologist from Southeast Asian Coutries, Medan, Desember 1993. Maciejewski JP, Risitano AM. Aplastic anemia: management of adult patients. Hematology. 2005:llO-17. Rosenfeld S, Follmann D, Nunez 0 , Young NS. Antithymocyte globulin and cyclosporine for severe aplastic anemia. Association between hematologic response and long-term outcome. JAMA. 2003;289(9): 1130-5. Salonder H. Gambaran klinik anemia aplastik dan kriteria ramalan pasien berumur pendek. Skripsi. Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1983. Thompson LH. Unraveling the Fanconi anemia-DNA repair connection. Nat Genet. 2005;37:921-2. Yamaguchi H, Calado RT, Ly H, Kajigaya S, Baerlocher GM, Chanock SJ, et al. Mutation in TER7: the gene for telomerase reverse transcriptase, in aplastic anemia. N Engl J Med. 2005;352(14): 1413-24. Young NS. The pathophysiology of acquired aplastic anemia. N Engl J Med. 1997;336(19):1365-72. Young NS. Acquired aplastic anemia. Ann Intern Med. 2002;136:5346.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ANEMIA DEFISIENSI BESI IMade Bakta, Ketut Suega, Tjokorda Gde Dharmayuda
PENDAHULUAN Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.ADB ditandai oleh anemia hipokromikmikrositer dan hasil laboratoriurn yang menunjukkan cadangan besi kosong. Berbeda dengan ADB, pada anemia akibat penyakit kronik penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang oleh karena pelepasan besi dari sistem retikuloendotelial berkurang, sedangkan cadangan besi masih normal. Pada anemia sideroblastikpenyediaan besi untuk eritropoesis berkurang karena gangguan mitokondria yang menyebabkan inkorporasi besi ke dalam heme terganggu. Oleh karena itu ketiga jenis anemia ini digolongkan sebagai anemia dengan gangguan metabolisme besi. Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai, terutama di negara-negara tropik atau negara dunia ketiga, oleh karena sangat berkaitan erat dangan taraf sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia yang memberikan dampak kesehatan yang sangat merugikan serta dampak sosial yang cukup serius.
sebagian besar besi berasal dari sumber nabati, tetapi perangkat absorbsi besi tidak mengalami evolusi yang sama, sehingga banyak menimbulkan defisiensi besi.
KOMPARTEMEN BESl DALAM TUBUH Besi terdapat dalam berbagai jaringan dalam tubuh berupa: (1) senyawa besi fungsional, yaitu besi yang membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh; (2) besi cadangan, senyawa besi yang dipersiapkan bila masukan besi berkurang; (3) besi transport, besi yang berikatan dengan protein tertentu dalam fungsinya untuk mengangkut besi dari satu kompartemen ke kompartemen lainnya. Besi dalam tubuh tidak pernah terdapat dalam bentuk logam bebas (free iron), tetapi selalu berikatan dengan protein tertentu. Besi bebas akan merusak jaringan, mempunyai sifat seperti radikal bebas. Dalam keadaan normal seorang laki dewasa mempunyai kandungan besi 50 mg/kgBB, sedangkan perempuan dewasa adalah 35 mg/ kgBB. Tabel 1 menggambarkan komposisi besi pada seorang laki-laki dengan berat badan 75 kg. Jumlah besi pada perempuan pada umumnya lebih kecil oleh karena massa tubuh yang juga lebih kecil.
METABOLISME BESl Besi merupakan trace element vital yang sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan hemoglobin, mioglobin dan berbagai enzim. Besi di alam terdapat dalam jumlah yang cukup berlimpah. Dilihat dari segi evolusi alat penyerapan besi dalam usus, maka sejak awal manusia dipersiapkan untuk menerima besi yang berasal dari sumber hewani, tetapi kemudian pola makanan berubah di mana
A
Senyawa besi fungsional
Hemoglobin 2300 mg Mioglobin 320 mg ~nzim-enzim 80 mg
B
Senyawa besi transportasi Senyawa besi cadangan
Transferin Feritin Hemosiderin
C
Total
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
3 mg 700 mg 300 mg 3803 mg
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan. Untuk memasukkan besi dari usus ke dalam tubuh diperlukan proses absorbsi. Absorbsi besi paling banyak terjadi pada bagian proksimal duodenum disebabkan oleh pH dari asam lambung dan kepadatan protein tertentu yang diperlukan dalam absorbsi besi pada epitel usus. Proses absorbsi besi dibagi menjadi 3 fase: FaseLuminal: besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian siap diserap di duodenum. Fase Mukosal: proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan suatu proses aktif. Fase Korporeal: meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan, dan penyimpanan besi. (storage) oleh tubuh.
Fase Luminal Besi dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk yaitu: Besi heme: terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsinya tinggi, tidak dihambat oleh bahan penghambat sehingga mempunyai bioavailabilitas tinggi. Besi hon-heme: berasal dari sumber tumbuh-tumbuhan, tingkat absorbsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan pemacu atau penghambat sehingga bioavailabilitasnya rendah. Yang tergolong sebagai bahan pemacu absorbsi besi adalah "meat factors" dan vitamin C, sedangkan yang tergolong sebagai bahan penghambat ialah tanat, phytat dan serat fibre). Dalam lambung karena pengaruh asam lambung maka besi dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri ke fero yang siap untuk diserap. Fase Mukosal Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan terkendali (carefully regulated). Besi dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Sel absorptif terletak pada puncak dari vili usus (apical cell). Pada brush border dari sel absortif, besi feri dikonversi menjadi besi fero oleh enzim ferireduktase, mungkin dimediasi oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui membran difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT 1, disebut juga sebagai Nramp 2). Setelah besi masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui basolateral transporter (ferroprotin disebut juga sebagai IREG 1) ke dalam kapiler usus. Pada proses ini terjadi reduksi dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh hephaestin, yang identik dengan seruloplasmin pada
metabolisme tembaga), kemudian besi (feri) diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus. Besi heme diabsorbsi melalui proses yang berbeda yang mekanismenya belum diketahui dengan jelas. Besi heme dioksidasi menjadi hemin, yang kemudian diabsorbsi secara intak (utuh) diperkirakan melalui suatu reseptor. Absorbsi besi heme jauh lebih efisien dibandingkan dengan besi non-heme. Besar kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau diloloskan ke basolateral diatur oleh "set point" yang sudah diset saat enterosit berada pada dasar kripta Lieberkuhn, kemudian pada waktu pematangan bermigrasi ke arah puncak vili sehingga siap sebagai sel absorptif. Dikenal adanya mucosal block, suatu fenomena di mana setelah beberapa hari dari suatu bolus besi dalam diet, maka enterosit resisten terhadap absorbsi besi berikutnya. Hambatan ini mungkin timbul karena akumulasi besi dalam enterosit sehingga menyebabkan set-point diatur seolah-olah kebutuhan besi sudah berlebihan.
Gambar 1. Proses absorpsi besi pada permukaan duodenum
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1129
ANEMIA DEFlSlENSI BESl
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI FASE KORPOREAL Besi setelah diserap oleh enterosit (epitel usus), melewati bagian basal epitel usus, meniasuki kapiler usus, kemudian dalaln darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Transt'erin akan melepaskan besi pada sel RES melalui proses pinositosis. Satu molekul transferin dapat mengikat maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada transferin (Fe,-Tf) akan diikat oleh reseptor transferin ( t r u t ~ s f e r r i nreceptors T f r ) yang terdapat pada perm~~kaan sel, terutama sel nonnoblas. Kompleks Fe,-TtTfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi oleh klatrin (cluthrit7-cocrtc~c/pit), cekungan ini mengalami invaginasi sehingga lnembentuk endosom. Suatu polnpa proton menurunkan pH dalatn endosom, menyebabkan perubahan konforniasional dalam protein sehingga melepaskan ikatan besi dengan transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplastna dengan bantuan DMTI, sedangkari ikatan apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali.
-
MEKANISME REGULASI ABSORBS1 BESl Terdapat 3 rnekanisme regulasi absorbsi besi dalam usus : Regulator dietetik. Absorbsi besi dipengaruhi oleh jenis diet dimana besi terdapat. Diet dengan biovailabilitas tinggi yaitu besi heme, besi dari sumber hewani, serta adanya faktor enhancer akan nieningkatkan absorbsi besi. Sedangkan besi dengan bioavaibilitas rendah adalah besi non-heme, besi yang berasal dari sumber nabati dan banyak mengandung inhibitor akan discrtai prosentase absopsi besi yag rendah. Pada Llic,t~ri:~r e g l i l ~ ~ ~ini o jr uga . dikenal adanya ~iz~co.\(c~l block, seperti yang telah diuraikan di depan. Regulator simpanan. Penyerapan besi diatur melalui besarnya cadangan besi dala~n~ L I ~ L Penyerapan I ~ . besi rendah jika cadangan besi tinggi, sebaliknya apabila cadangan besi rendah maka absorbsi besi akan ditingkatkan. Bagaimana mekanisme regulasi ini bekerja belum diketahui dengan pasti. Diperkirakan melalui crypt-cc.11 progr-cr~ntnitl~ sehubungan dengan respon saturasi transtkrin plasma dengan besi. Regulator eritropietik. Besar absorbsi besi berhubunpan kecepatan eritropoesis. Er\-thropoietic regz~ltrtor mempunyai kemampuan reg~~lasi absorbsi besi lebih tinggi dibandingkan dengan \tor-c>.\ rc~gzrlutor~. Mekanisme vi.t.rhr'oix)wtiC regulrrtor ini belum dihetahui dengan pasti. I
misalnya pada anemia hemolitik autoimun. Oleh karena itu hemokromatosis sekunder jauh lebih sering pada keadaan pertarna dibandingkan dengan keadaan kedua. Akhir-akhir ini ditemukan suatu.peptida hormonal kecil yaitu hepcidin yang diperkirakan mempunyai peran sebagai soluble regulator absorbsi besi dalam usus.
SIKLUS BESl DALAM TUBUH Pertukaran besi dalatn tubuh merupakan lingkaran yang tertutup yang diatur oleh besarnya besi yang diserap usus, sedangkan kehilangan besi fisiologik bersifat tetap. Besi yang diserap itsus setiap hari berkisar antara 1-2 mg, ekskresi besi terjadi dalam jumlah yang sama melalui eksfoliasi epitel. Besi dari usus dalam bentuk transferin akan beigabung dengan besi yang dimobilisasi dari niakrofag dalam sumsurn tulang sebesar 22 mg untuk dapat memenuhi kebutuhan eritropoesis sebanyak 24 mg per hari. Eritrosit yang terbentuk secara efektif yang akan beredar melalui sirkulasi memerlukan besi 17 mg, sedangkan besi sebesar 7 mg akan dikembalikan ke makrofag karena terjadinya eritropoesis inefektif (hemolisis intramedular). Besi yang terdapat pada eritrosit yang beredar, setelah niengalarni proses penuaan juga akan dikembalikan pada makrotig sumsum tulang sebesar 17 mg. Sehingga dengall demihian dapat dilihat suatu lingkaran tertutup (closed c ~ r c u ~yang t ) sangat etisien, seperti yang dilukiskan pada Gambar 2.
I
Gambar 2. Skerna siklus pertukaran besi dalarn tubuh
KLASlFlKASl DERAJAT DEFlSlENSl BESl Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan:
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Deplesi besi (iron depleted state): cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoiesis): cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik. Anemia defisiensi besi: cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi besi.
PREVALENSI Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai baik di klinik maupun di masyarakat. ADB merupakan anemia yang sangat sering dijumpai di negara berkembang. Dari berbagai data yang dikumpulkan sampai saat ini, didapatkan gambaran prevalensi anemia defisiensi besi seperti tertera pada Tabel 2.
Afrika
Amerika Latin
Indonesia
6% 20%
3% 17 - 21%
16 - 50% 25 - 48%
60%
39 - 46%
46 - 92%
-
Laki dewasa Wanita tak hamil Wanita hamil
Belum ada data yang pasti mengenai prevalensi ADB di Indonesia. Martoatmojo et a1 memperkirakan ADB pada laki-laki 16-50% dan 25-84% pada perempuan tidak hamil. Pada pensiunan pegawai negeri di Bali didapatkan prevalensi anemia 36% dengan 61% disebabkan oleh karena defisiensi besi. Sedangkan pada penduduk suatu desa di Bali didapatkan angka prevalens ADB sebesar 27%. Perempuan hamil merupakan segmen penduduk yang paling rentan pada ADB. Di India, Amerika Latin dan Filipina prevalensi ADB pada perempuan hamil berkisar antara 35% sampai 99%. Sedangkan di Bali, pada suatu pengunjung puskesmas didapatkan prevalens anemia sebesar 50% dengan 75% anemia disebabkan oleh defisiensi besi. Dalam suatu survei pada 42 desa di Bali yang melibatkan 1684 perempuan hamil didapatkan prevalens ADB sebesar 46%, sebagian besar derajat anemia ialah ringan. Faktor risiko yang dijumpai adalah tingkat pendidikan dan kepatuhan meminum pi1 besi. Di Amerika Serikat, berdasarkan survei gizi (NHANES 111) tahun 1988 sampai tahun 1994, defisiensi besi dijumpai kurang dari 1% pada laki dewasa yang berumur kurang dari 50 tahun, 2-4% pada laki dewasa yang berumur lebih dari 50 tahun, 9- 11% pada perempuan masa reproduksi, dan 5-7% pada perempuan pascamenopause.
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya masukan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun: Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari: - saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid dan infeksi cacing tambang. - saluran genitalia perempuan: menorrhagia atau metrorhagia. - saluran kemih: hematuria - saluran napas: hemoptoe. Faktor nutrisi: akibat kurangnyajumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging). Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan. Gangguan absorbsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik. Pada orang dewasa anemia defisiensi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki ialah perdarahan gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Sedangkan pada perempuan dalam masa reproduksi paling sering karena meno-metrorhagia. Terdapat perbedaan pola etiologi ADB di masyarakat atau di lapangan dengan ADB di rumah sakit atau praktek klinik. ADB di lapangan pada umumnya disertai anemia ringan atau sedang, sedangkan di klinik ADB pada umurnnya disertai anemia derajat berat. Di lapangan faktor nutrisi lebih berperan dibandingkan dengan perdarahan. Bakta, pada penelitian di Desa Jagapati, Bali, mendapatkan bahwa infeksi cacing tambang mempunyai peran hanya pada sekitar 30% kasus, faktor nutrisi mungkin berperan pada sebagian besar kasus, terutama pada anemia derajat ringan sampai sedang. Sedangkan di klinik, seperti misalnya pada praktek swasta, ternyata perdarahan kronik memegang peran penting, pada laki-laki ialah infeksi cacing tambang (54%) dan hemoroid (27%), sedangkan pada perempuan menorhagia (33%), hemoroid dan cacing tambang masing-masing 17%.
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron depletedstate atau
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANEMIA DEFISlENSI BESI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai : iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan reseptor transferin dalam serum.Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai iron deJiciency anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.
PERUBAHAN FUNGSIONAL NON-ANEMIA PADA DEFlSlENSl BESl Di samping pada hemoglobin, besi juga menjadi komponen penting dari mioglobin dan berbagai ensim yang dibutuhkan dalam penyediaan energi dan transpor elektron. Oleh karena itu defisiensi besi di samping menimbulkan anemia, juga akan menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti misalnya pada (1) sistem neuromuskular yang mengakibatkan gangguan kapasitas kerja; (2) gangguan terhadap proses mental dan kecerdasan; ( 3 ) gangguan imunitas dan ketahanan terhadap infeksi; (3)gangguan terhadap ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Gangguan ini dapat timbul pada anemia ringan atau bahkan sebelum anemia manifes. Defisiensi besi menimbulkan penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom dan gliserofosfat oksidase, menyebabkan gangguan glikolisis yang berakibat penumpukan asam laktat sehinggamempercepat kelelahan otot. Defisiensi besi terbukti menurunkan kesegaran jasmani, sedangkan pada buruh pemetik teh terbukti menurunkan produktivitas kerja. Dampak negatif ini dapat dihilangkan jika diberikan preparat besi. Defisiensi besi menimbulkan gangguan perkembangan kognitif dan non-kognitif pada anak dan bayi sehingga dapat menurunkan kapasitas belajar. Hal ini diperkirakan karena gangguan pada enzim aldehid oksidase yang menyebabkan penumpukan serotonin, serta enzim monoaminooksidase yang menyebabkan penumpukan katekolamin dalam otak. Pengaruh defisiensi besi terhadap infeksi masih kontroversial. Ada yang berpendapat bahwa defisiensi
besi menyebabkan berkurangnya penyediaan besi pada bakteri sehingga menghambat pertumbuhan bakteri yang berakibat pada ketahanan terhadap infeksi. Di pihak lain besi dibutuhkan oleh enzim untuk sintesis DNA dan enzim mieloperoksidase netrofil sehingga menurunkan imunitas selular. Defisiensi besi dihubungkan dengan risiko prematuritas serta morbiditas dan mortalitas fetomaternal. Ibu hamil yang menderita anemia disertai peningkatan angka kematian maternal, lebih mudah terkena infeksi dan sering mengalami gangguan partus.
GEJALA ANEMIA DEFlSlENSl BESl Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu: Gejala umum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi, gejala penyakit dasar.
Gejala Umum Anemia Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome) dijurnpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindroma anemia tidak terlalu menyolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat, oleh karena mekanisme kompensasi tubuh dapat berjalan dengan baik. Anemia bersifat simtomatik jika hemoglobin telah turun di bawah 7 gldl. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konyungtiva dan jaringan di bawah kuku. Gejala Khas Defisiensi Besi Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemiajenis lain adalah: koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok (Gambar 3) atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang. stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak benvarna pucat keputihan disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti: tanah liat, es, lem, dan lain-lain. Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly adalah kumpulan gejala yang terdiri dari
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia.
Gejala Penyakit Dasar Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya pada anemia akibat penyakit cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut.
eritrosit. Indeks eritrosit sudah dapat mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Hapusan darah tepi (Gambar 4) menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, dan poikilositosis. Makin berat derajat anemia makin berat derajat hipokromia. Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia. Jika terjadi hipokromia dan mikrositosis esktrim, maka sel tampak sebagai sebuah cincin sehingga disebut sel cincin (ring cell), atau memanjang seperti elips, disebut sebagai sel pensil (pencil cell atau cigar cell). Kadang-kadang dijumpai sel target. Leukosit dan trombosit pada umumnya normal. Tetapi granulositopenia ringan dapat dijumpai pada ADB yang berlangsung lama. Pada ADB karena cacing tambang dijwnpai eosinofilia. Trombositosis dapat dijumpai pada ADB dengan episode perdarahan akut.
Gambar 3. Kuku sendok (koilonychia) pada jari tangan seorang pasien anemia defisiensi besi.
Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai adalah: Kadar Hemoglobin dan Indeks Eritrosit: didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCVdan MCH menurun. MCV < 70 fl hanya didapatkan pada anemia defisiensi besi dan thalassemia major. MCHC menurun pada defisiensi yang lebih berat dan berlangsung lama. Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi. Peningkatan anisositosis ditandai oleh peningkatan RDW (red cell distribution width). Dulu dianggap pemeriksaan RDW dapat dipakai untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik, tetapi sekarang RDW pada kedua jenis anemia ini hasilnya sering tumpang tindih. Mengenai titik pemilah MCV, ada yang memakai angka < 80 fl, tetapi pada penelitian kasus ADB di Bagian Penyakit Dalam FK UNUD Denpasar, dijumpai bahwa titik pemilah < 78 fl memberi sensitivitas dan spesifisitas paling baik. Dijumpai juga bahwa penggabungan MCV, MCH, MCHC danb RDW makin meningkatkan spesifisitas indeks
Gambar 4. Hapusan darah tepi pasien anemia defisiensi besi, menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis (A). Tampak beberapa sel pensil (panah), bandingkan dengan hapusan darah tepi normal di sebelahnya ( 6 ) .
Konsentrasi Besi Serum Menurun pada ADB, dan TIBC (total iron binding capacity) Meningkat. TIBC menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan saturasi transferin dihitung dari besi serum dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria diagnosis ADB, kadar besi serum menurun < 50 pgldl, total iron binding capacity (TIBC) meningkat > 350 pgldl, dan saturasi transferin < 15%. Ada juga yang memakai saturasi transferin < 16%, atau < 18%. Hams diingat bahwa besi serum menunjukkan variasi diurnal yang sangat besar, dengan kadar puncak pada jam 8 sampai 10 pagi. Feritin Serum Merupakan Indikator Cadangan Besi yang Sangat Baik, Kecuali pada Keadaan Inflamasi dan Keganasan Tertentu. Titik pemilah (cut offpoint) untuk feritin serum pada ADB dipakai angka < 12 pgll, tetapi ada juga yang memakai < 15 pgll. Untuk daerah tropik di mana
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANEMIA DEFISIENSI BESl
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI angka infeksi dan inflamasi masih tinggi, titik pemilah yang diajukan di negeri Barat tampaknya perlu dikoreksi. Pada suatu penelitian pada pasien anemia di rumah sakit di Bali pemakaian feritin serum < 12 pg/l dan < 20 pgll memberikan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 68% dan 98% serta 68% dan 96%. Sensitivitas tertinggi (84%) justru dicapai pada pemakaian feritin serum < 40 mgll, tanpa mengurangi spesifitas terlalu banyak (92%). Hercberg untuk daerah tropik menganjurkan memakai angka feritin serum < 20 mgll sebagai kriteria diagnosisADB. Jika terdapat infeksi atau inflamasi yang jelas seperti arthritis rematoid, maka feritin serum sampai dengan 50-60 pgll masih dapat menunjukkan adanya defisiensi besi. Feritin serum merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis IDA yang paling kuat oleh karena itu banyak dipakai baik di klinik maupun di lapangan karena cukup reliabel dan praktis, meskipun tidak terlalu sensitif. Angka feritin serum normal tidak selalu dapat menyingkirkan adanya defisiensi besi, tetapi feritin serum di atas 100 mg/dl dapat memastikan tidak adanya defisiensi besi. Protoporfirin merupakan bahan antara pada pembentukan heme. Apabila sintesis heme terganggu, misalnya karena defisiensi besi, maka protoporfirin akan menumpuk dalam eritrosit. Angka normal adalah kurang dari 30 mg/dl. Untuk defisiensi besi protoporfirin bebas adalah lebih dari 100 mgldl. Keadaan yang sama juga didapatkan pada anemia akibat penyakit kronik dan keracunan timah hitam. Kadar reseptor transferin dalam serum meningkat pada defisiensi besi. Kadar normal dengan cara imunologi adalah 4-9pg/L. Pengukuran reseptor transferin terutama dipakai untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik. Akan lebih baik lagi apabila dipakai rasio reseptor transferin dengan log feritin serum. Rasio >1,5 menunjukkan ADB dan rasio < 1,5 sangat mungkin karena anemia akibat penyakit kronik.
Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia normoblastik ringan sampai sedang dengan normoblas kecil-kecil. Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tak teratur. Normoblas ini disebut sebagai micronormoblast. Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (Per1 k stain) menunjukkan cadangan besi yang negatif (butir hemosiderin negatif). Dalam keadaan normal 40-60% normoblast mengandung granula feritin dalam sitoplasmanya, disebut sebagai sideroblas. Pada defisiensi besi maka sideroblast negatif. Di klinik, pengecatan besi pada sumsum tulang dianggap sebagai baku emas (gold standard) diagnosis defisiensi besi, namun akhir-akhir ini perannya banyak diambil alih oleh pemeriksaan feritin serum yang lebih praktis. Studi ferokinetik. Studi tentang pergerakan besi pada siklus besi dengan menggunakan zat radioaktif. Ada dua jenis studi ferokinetik yaitu plasma iron transport rate (PIT) yang mengukur kecepatan besi meninggalkan plasma,
dan erythrocyte iron turn over rate (EIT) yang mengukur pergerakan besi dari sumsum tulang ke sel darah merah yang beredar. Secara praktis kedua pemeriksaan ini tidak banyak digunakan, hanya dipakai untuk tujuan penelitian. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defisiensi besi.Antara lain pemeriksaan feses untuk cacing tambang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan semikuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, pemeriksaan darah samar dalam feses, endoskopi, barium intake atau barium inloop, dan lain-lain, tergantung dari dugaan penyebab defisiensi besi tersebut.
DIAGNOSIS Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi hams dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit. Cut offpoint anemia tergantung kriteria yang dipilih, apakah kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi. Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi (tahap satu dan tahap dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin et al) sebagai berikut: Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV <80 fl dan MCHC <3 1% dengan salah satu dari a, b, c, atau d. -. Dua dari tiga parameter di bawah ini: - Besi serum 6 0 mgldl - TIBC >350 mg/dl - Saturasi transferin:
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
DIAGNOSIS DIEFERENSIAL
anamnesis tentang menstmasi sangat penting, kalau perlu dilakukan pemeriksaan ginekologi. Untuk laki-laki dewasa di Indonesia dilakukan pemeriksaan feses untuk mencari telur cacing tambang. Tidak cukup hanya dilakukan pemeriksaan hapusan langsung (direct smear dengan eosin), tetapi sebaiknya dilakukan pemeriksaan semi kuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, untuk menentukan beratnya infeksi. Jika ditemukan infeksi ringan tidaklah serta merta dapat dianggap sebagai penyebab utama ADB, hams dicari penyebab lainnya. Titik kritis cacing tambang sebagai penyebab utama jika ditemukan telur per gram feses (TPG) atau eggpergramfaeces (EPG) >2000 pada perempuan dan >4000 pada laki-laki. Dalam suatu penelitian lapangan ditemukan hubungan yang nyata antara derajat infeksi cacing tambang dengan cadangan besi pada laki-laki, tetapi hubungan ini lebih lemah pada perempuan. Anemia akibat cacing tambang (hookworm anemia) adalah anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh karena infeksi cacing tambang berat (TPG > 2000). Anemia akibat cacing tambang sering disertai pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada pemeriksaan laboratorium di samping tanda-tanda defisiensi besi yang disertai adanya eosinofilia. Pada suatu penelitian di Bali, anemia akibat cacing tambang dijumpai pada 3,3% pasien infeksi cacing tambang atau 12,2% dari 123 kasus anemia defisiensi besi yang dijumpai. Jika tidak ditemukan perdarahan yang nyata, dapat dilakukan tes darah samar (occult blood test) pada feses, dan jika terdapat indikasi dilakukan endoskopi saluran cerna atas atau bawah.
Anemia Defisiensi Besi Derajat anemia MCV MCH Besi serum TlBC Saturasi transferin Besi sumsurn tulang Protoporfirin eritrosit Feritin serum Elektrofoesis Hb.
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya seperti: anemia akibat penyakit kronik, thalassemia, anemia sideroblastik. Cara membedakan keempat jenis anemia tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi terhadap anemia defisiensi besi adalah: a. Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan. Misalnya pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi kausal hams dilakukan,kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron replacemen therapy): Terapi Besi Oral. Terapi besi oral mempakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif, murah dan aman. Preparat yang tersedia adalahferrous sulphat (sulfas ferosus) merupakan preparat pilihan pertama oleh karena paling murah tetapi efektif. Dosis anjuran adalah 3 x 200 mg. Setiap 200 mg sulfas ferosus mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg mengakibatkan absorbsi besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan eritropoesis dua sampai tiga kali normal. Preparat lain: ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate danferrous succinate. Sediaan ini harganya lebih mahal, tetapi efektivitas dan efek samping hampir sama dengan sulfas ferosus. Terdapat juga bentuk sediaan
Anemia Akibat Penyakit Kronik
Trait Thalassemia
Anemia Sideroblastik
Ringan sampai berat Menurun Menurun Menurun c 30 Meningkat >360 Menurun < 15%
Ringan
Ringan
MenurunlN MenurunIN Menurun < 50
Menurun Menurun Normal/ t
Ringan sarnpai berat MenurunlN MenurunlN Normall
Menurun ~ 3 0 0 MenurunIN 10-20%
Negatif
Positif
Normal 1 4 Meningkat > 20% Positif kuat
Normal1& Meningkat >20% Positif dgn ring
Meningkat
Meningkat
Normal
Normal
Menurun <20 vgll
Normal 20-200 vgll
Meningkat >50 vgll Hb. A2 rneningkat
Meningkat >50 pgll N
sideroblast
N
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANEMIA DEFlSIENSl BESl
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
enteric coated yang dianggap memberikan efek samping lebih rendah, tetapi dapat mengurangi absorbsi besi. Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung kosong, tetapi efek samping lebih sering dibandingkan dengan pemberian setelah makan. Pada pasien yang mengalami intoleransi, sulfas ferosus dapat diberikan saat makan atau setelah makan. Efek samping utama besi per oral adalah gangguan gastrointestinal yang dijumpai pada 15 sampai 20%, yang sangat mengurangi kepatuhan pasien. Keluhan ini dapat berupa mual, muntah, serta konstipasi. Untuk mengurangi efek samping besi diberikan saat makan atau dosis dikurangi menjadi 3 x 100 mg. Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan, ada juga yang menganjurkan sampai 12 bulan, setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis pemeliharaan yang diberikan adalah 100 sampai 200 mg. Jika tidak diberikan dosis pemeliharaan, anemia sering kambuh kembali. Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat vitamin C, tetapi dapat meningkatkan efek samping terapi. Dianjurkan pemberian diet yang banyak mengandung hati dan daging yang banyak mengandung besi. Terapi besi parenteral. Terapi besi parenteral sangat kfektif tetapi mempunyai risiko lebih besar dan harganya lebih mahal. Oleh karena risiko ini maka besi parenteral hanya diberikan atas indikasi tertentu. Indikasi pemberian besi parenteral adalah: (1) intoleransi terhadap pemberian besi oral; (2) kepatuhan terhadap obat yang rendah; (3) gangguan pencernaan seperti kolitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi; (4) penyerapan besi terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi; (5) keadaan di mana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi oleh pemberian besi oral, seperti misalnya pada hereditary hemorrhagic teleangiectasia; (6) kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti pada kehamilan trimester tiga atau sebelurn operasi; (7) defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoetin pada anemia gaga1 ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik. Preparat yang tersedia ialah iron dextran complex (mengandung 50 mg besilml), iron sorbitol citric acid complex dan yang terbaru adalah iron ferric gluconate dan iron sucrose yang lebih aman. Besi parenteral dapat diberikan secara intramuskular dalam atau intravena pelan. Pemberian secara intramuskular memberikan rasa nyeri dan memberikan warna hitam pada kulit. Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis, meskipun jarang (0,6%). Efek samping lain adalah flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut dan sinkop. Terapi besi parenteral bertujuan untuk mengembalikan kadar hemoglobin dan mengisi besi sebesar 500 sampai
1000 mg. Dosis yang diberikan dapat dihitung melalui rumus di bawah ini: Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 2,4+ 500 atau 1000 ma
Dosis ini dapat diberikan sekaligus atau diberikan dalam beberapa kali pemberian. c. Pengobatan lain diet: sebaiknyadiberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang berasal dari protein hewani vitamin c: vitamin c diberikan 3 x 100mg per hari untuk meningkatkan absorposi besi transfusi darah: ADB jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi pemberian transhsi darah pada anemia kekurangan besi adalah: - Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah j antung - Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing yang sangat menyolok - Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada kehamilan trimester akhir atau preoperasi. Jenis darah yang diberikan adalah PRC (packed red cell) untuk mengurangi bahaya overload. Sebagai premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian filrosemid intravena. Respons Terhadap Terapi
Dalam pengobatan dengan preparat besi, seorang pasien dinyatakan memberikan respons baik bila retikulosit naik pada minggu pertama, mencapai puncak pada hari ke- 10 dan normal lagi setelah hari ke14, diikuti kenaikan Hb 0,15 ghari atau 2 gldl setelah 3-4 minggu. Hemoglobin menjadi normal setelah 4- 10 minggu. Jika respons terhadap terapi tidak baik, maka perlu dipikirkan: Pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum. Dosis besi h a n g Masih ada perdarahan cukup banyak Ada penyakit lain seperti misalnya penyakit kronik, keradangan menahun atau pada saat yang sama ada defisiensi asam folat Diagnosis defisiensi besi salah. Jika dijumpai keadaan di atas, lakukan evaluasi kembali dan ambil tindakan yang tepat. PENCEGAHAN
Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka diperlukan suatu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
berupa: Pendidikan kesehatan: - kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah penyakit cacing tambang - penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorbsi besi Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan lcronik paling yang sering dijurnpai di daerah tropik. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan pengobatan masal dengan anthelmentik dan perbaikan sanitasi. Suplementasibesi yaitu pemberian besi profilaksis pada segrnen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan anak balita. Di Indonesia diberikan pada perempuan hamil dan anak balita memakai pi1 besi dan folat. Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkanbesi pada bahan makan. Di negara Barat dilakukan dengan mecampur tepung untuk roti atau bubuk susu dengan besi.
REFERENSI Adamson JW. Iron Deficiency and others Hypoproliverative Anemias. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL (editors). Harrison's Principle of Internal Medicine. 151h edition. New York: McGraw Hill, 2001. p. 491-762. Andrews NC. Iron Deficiency and Related Disorders. In: Greer GM, Paraskevas F, Glader B (editors). Wintrobe's Clinical Hematology. 1lth edition. Philadelphia: Lippincot, Williams, Wilkins, 2004. p 947-1009. Andrews NC. Disorders of Iron Metabolism. N Engl J Med 1999;341:1986-1995. Baker WF. Iron Deficiency in Pregnancy, Obstetrics, and Gynecology. Hematol/Oncol Clin N Amer 2000;14(2). Bakta IM. Hematologi Ringkas. Denpasar : UPT Penerbit Universitas Udayana, 2001. Bakta IM. Infeksi Cacing Tambang pada Orang Dewasa dan Perannya sebagai salah satu Penyebab Anemia Defisiensi Besi: studi imunoepidemiologik di desa Jagapati, Bali (Disertasi). Surabaya:Universitas Airlangga, 1993. Bakta IM. Lila IN. Widjana DP & Sutisna P. Anemia dan anemia defisiensi besi di Desa Belumbang, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan Bali. Yogyakarta : Naskah Lengkap KOPAPDI VIII, 1990. Bakta IM. Aspek epidemiologi anemia defisiensi besi. Acta Medica Indonesiana 1993;XXV: 1054- 1073. Bakta IM. Anemia defisiensi besi pada penduduk dewasa desa Jagapati, Bali. Acta Medica Indonesiana 1993;XXV: 1231-1244. Bakta IM. Anemia kekurangan besi pada usia lanjut. Majalah Kedokteran Indonesia 1989; 39: 504-506. Bakta IM. Anemia Defisiensi Besi pada Praktek Swasta seorang Spesialis Penyakit Dalam di Denpasar. Majalah Kedokteran Udayana 1996;27:112-118. Bakta IM, Budhianto FX. Hookworm anemia in the adult population of Jagapati Village, Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop
Med Public Health 1994;25: 459-463. Bakta IM. The role of hookworm infection as an etiologic factor of iron deficiency anemia in Bali (Indonesia): an intervention study. Proceedings of VIIIth Congress of Asian Pacific Division International Society of Hematology. Brisbane 15-18 October 1995. Bakta IM, Wijana DP, Sutisna IP. Hookworm infection and iron stores: a survey in a rural community in Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1993;25: 501. Bakta IM. The relationship between hookworm infection and iron stores: a study in adult population of Jagapati Village, Bali, Indonesia. International Journal of Hematology 1996; 64(Suppl 1): S33 Brittenham GM. Disorders of Iron Metabolism: Iron Deficiency and Overload. In: Hoffman R, Benz EJ, Shttil SJ, Furie B, Cohen HJ, Silberstein LE, McGlove P (editors). Hematology: Basic Principles and Practice. 3rd edition. New York: Churchill Livingstone, 2000. p 367-382. Conrad ME. Iron Deficiency Anemia. eMedicine Journal, Vol 3, No 2, February 19,2002. DeMaeyer EM. Preventing and Controlling Deficiency Anemia Through Primary Health Care. Geneva: WHO; 1989. Fairbanks VF, Beutler E . Iron Deficiency. In: Beutler E, Coller BS, Lichtman MA, Kipps TJ (editors). Williams Hematology. 61h edition. New York: McGraw Hill,. 2001. p 447 - 470. Fleming RE, Sly WS. Hepcidin: a putative iron-regulatory hormone relevant to hereditary hemochromatosis and the anemia of chronic disease. PNAS 2001;98:6160-8162. Frewin R, Henson A, Provan D. ABC of Clinical Haematology: Iron Deficiency Anaemia. BMJ. 1997;3 14:360. Goddard AF, McIntyre AS, Scott BB. Guidelines for the management of iron deficiency anaemia. Gut 2000; 46(Suppl 1V):ivl-iv5. Hercberg S. Iron and Folat Deficiency Anaemias. International Child Health 1991; II:44-60. Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Essential Haematology 4lh edition. Oxford: Blackwell Science, 2001. Hoffbrand AV, Lewis SM, Tuddenham EGD. Postgraduate Haematology. 4"' edition. 0xford:Buttenvorth Heineman, 1999. Hillman RS, Ault KA. Hematology in Clinical Practice: A Guide to Diagnosis and Management. 31d edition. New York: McGraw Hill, 2002. Kandarini Y. Pemeriksaan indeks eritrosit sebagai uji saring diagnosis anemia defisiensi besi (karya tulis akhir). Denpasar: Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas UdayanaRS Sanglah, 2003 Kerlin P, Reiner R, Davies M, Sage RE, Grant AK. Iron Deficiency Anemia - A Prospective Study. Aust NZ Med J 1979;9:402-407. Mast AE, Blinder MA, Gronowski AM, Chumley C, Scott MG. Clinical utility of the soluble transferrin receptor and comparison with serum ferritin in several populations. Clin Chemistry 1998;44:45-51. Martoatmojo S, Abunain D, Muhilal, Enoch hl, Sastroamidjojo S. Masalah anemia gizi pada perempuan hamil dan hubungannya dengan pola konsumsi makanan. Penelitian Gizi dan Makanan 1973;3:22-41 Schmaier AH, Ptruzzelli KM. Hematology for Medical Student. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2003. Shah A. Iron Deficiency Anemia Part-I. Indian J Med Sci 2004;58:7981. Shah A. Iron Deficiency Anemia Part-11. Indian J Med Sci 2004;58: 134-137. Shah A. Iron Deficiency Anemia Part-111. Indian J Med Sci 2004;58:214-216.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1137
ANEMIA DE~SIENSIBESI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Suega K, Dhamayuda TG, Sutarga M, Bakta IM. Iron deficiency in pregnant women in Bali, Indonesia: a profile of risk factors and epidemiology. Southeast Asian J Trop Med Public Health 2002;33:604-607. Somayana G. Pemeriksaan feritin serum sebagai sarana diagnosis anemia defisiensi besi (karya tulis akhir). Denpasar: Denpasar: Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas UdayanaRS Sanglah, 2005. WHO Technical Report Series No. 405. Nutritional Anemia. Geneva: WHO; 1968.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ANEMIA PADA PENYAKIT KRONIS Iman Supandiman, Heri Fadjari, Lugyanti Sukrisman
PENDAHULUAN Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun keganasan. Anemia ini umumnya ringan atau sedang, disertai oleh rasa lemah dan penurunan berat badan dan disebut anemia pada penyakit kronis. Cartwright dan Wintrobe melaporkan bahwa pada tahun 1842, peneliti-peneliti di Perancis telah menemukan adanya massa eritrosit yang lebih rendah pada penderita tifoid dan cacar dibandingkan dengan orang normal. Diketahui di kemudian hari bahwa penyakit infeksi seperti pneumonia, sifilis, HIV-AIDS dan juga pada penyakit lain seperti artritis reumatoid, limfoma Hodgkin dan kanker sering disertai anemia dan disebut sebagai anemia pada penyakit kronis. Pada umumnya, anemia pada penyakit kronis ditandai oleh kadar Hb berkisar 7- 11 g/dL, kadar Fe serum menurun disertai TIBC yang rendah, cadangan Fe yang tinggi di jaringan serta produksi sel darah merah berkurang.
ETlOLOGl DAN PATOGENESIS Laporanldata penyakit tuberkulosis, abses paru, endokarditis bakteri subakut, osteomielitis dan infeksi jamur kronis serta HIV membuktikan bahwa hampir semua infeksi supuratif kronis berkaitan dengan anemia. Derajat anemia sebanding dengan berat ringannya gejala, seperti demam, penurunan berat badan dan debilitas umum. Untuk terjadinya anemia memerlukan waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi keseimbangan antara produksi dan penghancuran eritrosit dan Hb menjadi stabil. Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama seperti pada infeksi kronis, tetapi lebih sulit karena terapi yang efektif lebih sedikit. Penyakit kolagen dan artritis
reumatoid merupakan penyebab terbanyak. Enteritis regional, kolitis ulseratif serta sindrom inflamasi lainnya juga dapat disertai anemia pada penyakit kronis. Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker, walaupun masih dalam stadium dini dan asimtomatik, seperti pada sarkoma dan limfoma. Anemia ini biasanya disebut dengan anemia pada kanker (cancer-related anemia). a. Pemendekan Masa Hidup Eritrosit Diduga anemia yang terjadi merupakan bagian dari sindrom stres hematologik (haematological stress syndrome), di mana terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi atau kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan sekuestrasi makrofag sehingga mengikat lebih banyak zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa, menekan produksi eritropoietin oleh ginjal, serta menyebabkan perangsangan yang inadekuat pada eritropoiesis di sumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi dapat menyebabkan penurunan transformasi T4 ( t e t r a iodothyronine) menjadi T 3 (tri-iodothyronine), menyebabkan hipotiroid fungsional di mana terjadi penurunan kebutuhan Hb yang mengangkut 0 2 sehingga sintesis eritropoietin-pun akhirnya berkurang. b. Penghancuran Eritrosit
Beberapa penelitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit memendek pada sekitar 20-30% pasien. Defek ini terjadi di ekstrakorpuskular, karena bila eritrosit pasien ditranfusikan ke resipien normal, maka dapat hidup norrnal.Aktivasi makrofag oleh sitokin menyebabkan peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut dan sebagai bagian dari filter limpa (compulsive screening), menjadi kurang toleran terhadap perubahanlkerusakan minor dari eritrosit.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1139
ANEM~APADA PENYAKIT KRONIS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI c. Produksi Eritrosit Gangguan metabolisme zat besi. Kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi cukup menunjukkan adanya gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronis. Hal ini memberikan konsep bahwa anemia disebabkan oleh penurunan kemampuan Fe dalam sintesis Hb. Penelitian akhir menunjukkan parameter Fe yang terganggu mungkin lebih penting untuk diagnosis daripada untuk patogenesis anemia tersebut (Tabel 1).
Fe plasma (mg/L) TlBC Persen saturasi Kandungan Fe di makrofag Feritin serum Reseptor transferin serum
Normal
Anemia DeRsiensi Fe
Anemia Penyakit Kronis
70-90 250-400 30
30 >450 7
30 <200 15
20-200 8-28
10 >28
150 8-28
++
+++
TIBC-total iron binding capacity
Pengukuran kecepatan penyerapan zat besi oleh saluran cerna pada beberapa kasus dengan kelainan kronis memberikan hasil yang sangat bervariasi, sehingga tidak dapat disimpulkan. Pada umumnya memang terdapat gangguan absorbsi, walaupun ringan. Ambilan zat besi ke sel-sel usus dan pengikatan oleh apoferitin intrasel masih normal, sehingga defek agaknya terjadi saat pembebasan Fe dari makrofag dan sel-sel hepar pada pasien penyakit kronis. (kalimat ini dihapus) Fungsi sumsum tulang. Meskipun sumsum tulang yang normal dapat mengkompensasi pemendekan masa hidup eitrosit, diperlukan stimulus eritropoietin oleh hipoksia akibat anemia. Pada penyakit kronis, kompensasi yang terjadi kurang dari yang diharapkan akibat berkurangnya penglepasan atau menurunnya respons terhadap eritropoietin. Penelitian mengenai penglepasan eritropoietin menunjukkan hasil yang berbeda-beda; pada beberapa penelitian kadar eritropoietintidak berbeda bermakna pada pasien anemia tanpa kelainanan kronis, sedangkan penelitian lain menunjukkan penurunan produksi eritropoietin sebagai respons terhadap anemia sedangberat. Agaknya ha1 ini disebabkan oleh sitokin, seperti IL- 1 dan TNF-a yang dikeluarkanoleh sel-sel yang cedera. Penelitian in vitro pada sel hepatoma menunjukkan bahwa sitokin-sitokin ini mengurangi sintesis eritropoietin. Terdapat 3 jenis sitokin yakni TNF-a, IL-1, IFN-y yang ditemukan dalarn plasma pasien dengan penyakit inflamasi atau kanker, dan terdapat hubungan secara langsung antara kadar sitokin ini dengan beratnya anemia. TNF-a dihasilkan oleh makrofag aktif dan bila disuntikan pada tikus
menyebabkan anemia ringan dengan gambaran khas seperti anemia penyakit kronis. Pada kultur sumsum tulang manusia ia akan menekan eritropoiesis pada pembentukan BFU-E dan CFU-E. Penelitian terkini menunjukkan bahwa efek TNF-a ini melalui IFN-y yang diinduksi oleh TNF dari sel stroma. IL-1 berperan dalam berbagai manifestasi inflamasi, juga terdapat dalam serum penderita penyakit kronis. IL-1, seperti halnya TNF, akan menginduksi anemia pada tikus dan menekan pembentukan CFU-E pada kultur sumsum tulang manusia. Kedua interferon tadi diduga dapat langsung menghambat CFU-E tanpa melalui efek TNF-a, serta dapat menekan progenitor non-eritroid. Walaupun demikian, bagaimana peranannya dalam patogenesis anemia secara pasti belum dapat dijelaskan, karena masih banyak faktorfaktor lain yang tak terduga yang mungkin berperan penting dalam patogenesis anemia jenis ini.
GAMBARAN KLlNlS Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan sedang, sering kali gejalanya tertutup oleh gejala penyakit dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-1 1 gr/dL umumnya asimtomatik. Meskipun demikian apabila demam atau debilitas fisik meningkat, pengurangan kapasitas transport 0 2 jaringan akan memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai konjungtiva yang pucat tanpa kelainan yang khas dari anemia jenis ini, dan diagnosis biasanya tergantung dari hasil pemeriksaan laboratorium.
Anemia umumnya adalah normokrom-normositer, meskipun banyak pasien mempunyai gambaran hipokrom dengan MCHC <31 g/dL dan beberapa mempunyai sel mikrositer dengan MCV <80 fL. Nilai retikulosit absolut dalam batas normal atau sedikit meningkat. Perubahan pada leukosit dan trombosit tidak konsisten, tergantung dari penyakit dasarnya. Penurunan Fe serum (hipoferemia)merupakan kondisi sine qua non untuk diagnosis anemia penyakit kronis. Keadaan ini timbul segera setelah onset suatu infeksi atau inflamasi dan mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi protein pengikat Fe (transferin) menurun menyebabkan saturasi Fe yang lebih tinggi daripada anemia defisiensi besi. Proteksi saturasi Fe ini relatif mungkin mencukupi dengan meningkatkan transfer Fe dari suatu persediaan yang kurang dari Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid imatur.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi lebih lambat daripada penurunan kadar Fe serum, disebabkan karena waktu paruh transferin lebih lama (8- 12 hari) dibandingkan dengan Fe (90 menit) dan karena fungsi metabolik yang berbeda.
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
Meskipun banyak pasien dengan infeksi kronik, inflamasi dan keganasan menderita anemia, anemia tersebut disebut anemia pada penyakit kronis hanya jika anemia sedang, selularitas sumsum tulang normal, kadar besi serum dan TIBC rendah, kadar besi dalam makrofag dalam sumsum tulang normal atau meningkat, serta feritin serum yang meningkat. Beberapa penyebab anemia berikut ini merupakan diagnosis banding atau mengaburkan diagnosis anemia pada penyakit kronis: 1. Anemia dilusional. Pada penyakit kronis terutama pada keganasan stadium lanjut. 2. Drug-induced marrow suppression atau drug-induced hemolysis. Pada penekanan sumsum tulang akibat obat, kadar besi serum tinggi. Pemeriksaan hitung retikulosit, haptoglobin, bilirubin LDH dan tes Coombs hams dilakukan untuk menyingkirkan hemolisis. 3. Perdarahan kronis. 4. Thalasemia minor. 5. Gangguan ginjal. Pada keadaan ini umur eritrosit memendek clan terdapat kegagalan relatif sumsum tulang. 6. Metastasis pada sumsum tulang. PENGOBATAN
Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit dasarnya. Terdapat beberapa pilihan dalam mengobati anemia jenis ini, antara lain: a Transfusi. Merupakan pilihan pada kasus-kasus yang disertai gangguan hemodinarnik. Tidak ada batasan yang pasti pada kadar hemoglobin berapa kita hams memberi transfusi. Beberapa literatur disebutkan bahwa pasien anemia penyakit kronik yang terkena infark miokard, transfusi dapat menurunkan angka kematian secara bermakna. Demikian juga pada pasien anemia akibat kanker, sebaiknya kadar Hb dipertahankan 10-11 gr/dL. h Preparat besi. Pemberian preparat besi pada anemia penyakit kronis masih terus dalam perdebatan. Sebagian pakar masih memberikan preparat besi dengan alasan besi dapat mencegah pembentukan TNF-a. Alasan lain, pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat besi terbukti dapat meningkatkan kadar hemoglobin. Terlepas dari adanya pro dan kontra, sampai saat ini pemberian preparat besi masih belum direkomendasikan untuk diberikan pada anemia pada penyakit kronis.
c. Eritropoietin. Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian eritropoietin bermanfaat dan sudah disepakati untuk diberikan pada pasien anemi akibat kanker, gagal ginjal, mieloma multipel, artritis reumatoid dan pasien HIV. Selain dapat menghindari transfusi beserta efek sampingnya, pemberian eritropoietin mepunyai beberapa keuntungan, yakni: mempunyai efek anti inflamasi dengan cara menekan produksi TNFa dan interferon-y. Dilain pihak, pemberian eritropoietin akan menambah proliferasi sel-sel kanker ginjal serta meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan leher. Saat ini terdapat tiga jenis eritropoietin, yakni eritropoietin alfa, eritropoietin beta dan darbopoietin. Masing-masing berbeda struktur kimiawi, afinitas terhadap reseptor, clan waktu paruhnya sehingga memungkinkan kita memilih mana yang lebih tepat untuk suatu kasus. Dengan demikian mekanisme terjadinya anemia pada penyakit kronis merupakan ha1 yang hams dipahami oleh setiap dokter sebelum memberikan transhsi, preparat besi maupun eritropoietin.
REFERENSI Erslev AJ. Anemia of chronic disease. In: Beutler E, Lichtman MA, Coller BS,Kipps TJ, Seligsohn U, eds. Williams Hematology 6Ih ed. New-York: McGraw-Hi!l Medical publishing division 2001; 41:481-7. Gasche C, Waldhoer T, Feichtenschlager T, et al. Prediction of response to iron sucrose in inflammatory bowel diseaseassociated associated anemia. Am J Gastroenterol. 2001;96:2382-7. Henke M, Laszig R, Rube C, et al. Erythropoietin to treat head and neck cancer patients with anaemia undergoing radiotherapy: randomised, double-blind, placebocontrolled trial. Lancet. 2003;362:1255-60. Leyland-Jones B. Breast cancer trial with erythropoietin terminated unexpectedly. Lancet Oncol. 2003;4:459-60. Papadaki HA, Kridkos HD, Valatas V et al. Anemia of chronic disease in rheumatoid arthritis is associated with increased apoptosis of bone marrow erythroid cells: improvement following anti-tumor necrosis factor-alpha antibody therapy. Blood. 2002;100:474-82. Spivak JL. Iron and the anemia of chronic disease. Oncology (hunting). 2002;16:Supp110:25-33. Stenvinkel P. The role of inflammation in the anaemia of end-stage renal disease. Nephrol Dial Transplant. 2001;16:Supp17:36-40. Tilg H, Ulmer H, Kaser A, Weiss G. Role of IL-I0 for induction of anemia during inf1ammation.J Immunol. 2002;169:2204-9. Wilson A, Reyes E, Ofman J. Prevalence and outcomes of anemia in inflammatory bowel disease: a systematic review of the literature. Am J Med. 2004;116:Supp17A:S44-S9. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of chronic disease. N Engl J Med. 2005;352(10): 101 1-23. Weiss G. Pathogenesis and treatment of anaemia of chronic disease. Blood Rev. 2002;16:87-96. Wstenfelder C, Baranowski RL. Erythropoietin stimulates proliferation of human renal carcinoma cells. Kidney Int. 2000;58: 647-57.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ANEMIA MEGALOBLASTIK Soenarto
PENDAHULUAN Anemia megaloblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis DNA dan ditandai oleh sel megaloblastik. Kriteria anemia dan defisiensi gizi menurut WHO 1972 sebagai berikut: Dinyatakan Anemia, bila kadar hemoglobin (Hb) pada ketinggian permukaan laut lebih rendah dari nilai pada golongan umur yang ada yaitu : Anak umur 6 bulan - 6 tahun : 11d l 0 0 ml 6 tahun - 14 tahun : 12 d l 0 0 ml : 13 gr1100ml Pria dewasa Perempuan dewasa tak hamil : 12 gi-I100ml Perempuan dewasa hamil : 11 gr1100 ml Untuk anemia gizi, selain kadar Hb ditambah tolok ukur kadar besi, asam Folat dan vitamin B 12. Perlu diingat bahwa peningkatan atau penurunan Hb dan hematokrit (Ht) adakalanya palsu. Keadaan yang dapat meningkat palsu ialah: berkurangnya plasma darah, combusio (luka bakar), diuresis yang berlebihan, dehidrasi. Kadar rendah palsu contohnya pada keadaan hamil atau dekompensasi jantung. Anemia megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan oleh sintesis DNA yang terganggu. Sel-sel yang pertama dipengaruhi adalah yang secara relatif mempunyai sifat perubahan yang cepat, terutama sel-sel awal hematopoietik dan epitel gastrointestinal. Pembelahan sel terjadi lambat, tetapi perkembangan sitoplasmik normal, sehingga sel-sel megaloblastik cenderung menjadi besar dengan peningkatan rasio dari RNA terhadap DNA. Sel-sel awal/pendahulu eritroid megaloblastik cenderung dihancurkan dalam sumsum tulang. Dengan demikian selularitas sumsum tulang sering meningkat tetapi produksi sel darah merah berkurang, dan keadaan abnormal ini disebut dengan istilah eritropoiesisyang tidak efektif (ineffective erythropoiesis).
Kebanyakan anemia megaloblastik disebabkan karena defisiensi vitamin B 12 (kobalamin) dan atau asam folat. Berbagai macam keadaan klinik yang berkaitan dengan anemia megaloblastik dapat diklasifikasikan seperti yang tertera berikut ini.
KLASlFlKASl ANEMIA MEGALOBLASTIK Defisiensi Kobalamin Asupan tidak cukup: vegetarian (jarang) Malabsorbsi - Defek penyampaian dari kobalamin dari makanan: achlorhidria gaster, gastrektomi, obat-obat yang menghalangi sekresi asam - Produksi faktor intrinsik yang tak mencukupi: anemia pernisiosa, Gastrektomi total, Abnormalitas fungsional atau tak adanya faktor intrinsik yang bersifat kongenital. .- Gangguan dari ileum terminalis: sprue tropikal, sprue non tropikal, enteritis regional, reseksi intestinum, neoplasma dan gangguan granulomatosa (jarang), sindrom Imerslund (malabsorbsikobalarnin selektif) @rang) - Kompetisi pada kobalamin: fish tapeworm (Diphylobotrium latum), Bakteri blind loop syndrome - Obat-obatan : p-aminosalicylic acid, kolkisin, neomisin. Lain lain: NO (Nitrous oxide) anesthesia, defisiensi transkobalamin I1 (jarang), defek enzim kongenital (iarang). Defisiensi Asam Folat Asupan yang tak adekuat: diet yang tak seimbang (sering
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HEMATOLOCI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pada peminum alkohol, usia belasan tahun, beberapa bayi) Keperluan yang meningkat :kehamilan, bayi, keganasan, peningkatan hematopoiesis (anemia hemolitik kronik), kelainan kulit eksfoliatif kronik, hemolisis Malabsorbsi: sprue tropikal, sprue nontropikal, obat-obat: phenytoin, barbiturat (?) ethanol Metabolisme yang Terganggu: penghambat dihydrofolat reductase (metotreksat,pirimetarnin, triamteren, pentamidin, trimetoprin).Alkohol, Jarang defisiensi enzim (dihydrofolat reductase, dll). Sebab-sebab lain Obat-obatyang mengganggu metabolismeDNA: antagonis purin (6 merkaptopurin, azatioprin, dll). Antagonispirimidin (5-fluorourasil, sitosin arabinose, dll). Lain-lain : prokarbazin, hidroksiurea, acyclovir, zidovudin Gangguan metabolik Cjarang): asiduria urotik herediter, sindrom Lesch-Nyhan, lain lain Anemia megaloblastik dengan penyebab tak diketahui: anemia megaloblastik refrakter, Sindrom Diguglielmo, anemia diseritropoietik kongenital. ASAM FOLAT DAN VITAMIN 612
Asam folat dan vitamin B 12 adalah zat yang berhubungan dengan unsur makanan yang sangat penting bagi tubuh. Peran utama asam folat dan vitamin B12 ialah dalam metabolisme intraselular. Seperti yang diterangkan di depan, adanya defisiensi kedua zat tersebut akan menghasilkan tidak sempumanya sintesis DNA pada tiap sel, di mana pembelahan kromosom sedang terjadi. Jaringan-jaringanyang memiliki pergantian sel yang sangat cepat akan mengalami perubahan yang sangat dramatis, antara lain adalah sistem hematopoiesis yang sangat sensitif pada defisiensi dan menyebabkan anemia megaloblastik. Asam folat adalah nama yang biasa diberikan pada asampteroylmonoglutamic. Zat ini disintesis pada banyak macam tanaman dan bakteri. Buah-buahan dan sayur merupakan sumber diet utama dari vitamin. Beberapa bentuk dari asam folat dalam diet sangat labil dan dapat menjadi rusak pada waktu dimasak. Keperluan minimal tiap hari secara normal kurang lebih 50 ug, tetapi pada keadaan tertentu akan meningkat sejalan dengan peningkatan metabolisme seperti pada kehamilan. Defisiensi folat merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penyakit usus halus karena penyakit tersebut dapat mengganggu absorbsi folat dari makanan dan resirkulasi folat lewat siklus enterohepatik. Pada alkoholisme akut atau kronik, asupan harian folat dalam makanan akan terhambat, dan siklus enterohepatik akan terganggu oleh efek toksik dari alkohol pada sel sel parenkim hati, ha1 ini yang menjadi penyebab utama dari defisiensi folat yang menimbulkan eritropoiesis
megaloblastik. Penyakit seperti anemia hemolitik dapat pula jadi rumit oleh komplikasi defisiensi folat yang dapat terjadi. Obatobat yang menghambat dihidrofolat reduktase (antara lain metotreksat, trimetoprim) atau yang dapat mengganggu absorbsi dan penyimpanan folat dalam jaringan tubuh (antikonvulsan tertentu, kontraseptif oral) mampu mengakibatkan penurunan kadar folat dalam plasma, dan bersamaan waktunya dapat menjadi penyebab anemia megaloblastik. Hal ini karena adanya gangguan maturasi yang disebabkan oleh defek inti sel. Jadi gangguan maturasi yang timbul dalam pertumbuhan sel darah merah karena defisiensi asam folat atau vitamin B 12 disebabkan karena timbulnya defek dari inti sel darah merah yang muda dalam sumsum tulang. Folat dalam plasma pertama ditemukan dalam bentuk dari N5-metiltetrahidrofolat, suatu monoglutamat, yang ditransport ke dalam sel-sel oleh zat pengangkut yaitu yang khusus dalam bentuk tetrahidro dari vitamin. Setelah di dalam sel, gugus NS-metil dilepas ke dalam reaksi kobalamin yang diperlukan, dan folat kemudian diubah menjadi bentuk poliglutamat. Konjugasi pada polyglutamate mungkin berguna untuk penyimpanan folat di dalam sel. Ikatan folat dengan protein tampak dalam plasma, susu, dan cairan tubuh lain. Fungsi ikatan folat dan ikatan dengan membran perintisnya hingga kini belum diketahui. Baik bentuk ikatan maupun perintisnya ada kaitannya dengan pengangkutan tetrahidrofolat. Fungsi utama senyawa folat ialah memindahkan "1karbon moieties" seperti gugus-gugus metil dan formil ke berbagai senyawa organik. Sumber dari "1-karbon moieties" biasanya adalah serin, yang bereaksi dengan tetrahidrofolat menghasilkan glisin dan N5-10metilentetrahidrofolat. Sumber pilihan lain adalah asam formiminoglutamat, suatu lanjutan dalam katabolisme histidin, yang menyampaikan gugus formimino tetrahidrofolat dan asarn glutamat. Derivat-derivat tersebut menyediakan tempat masuk ke dalam kelompok pemberi dan mudah saling menukar yang terdiri dari derivat-derivat tetrahidrofolat pembawa macam-macam "1 -carbon moieties". Unsur-unsur pokok dari kelompok tersebut dapat memberikan "1-karbon moieties" mereka kepada senyawasenyawa penerima yang sesuai, guna membentuk lanjutan metabolik dengan tujuan akhir mengubah pembentukan blok-blok yang digunakan untuk sintesis makromolekulmakromolekul. Yang sangat penting dalam pembentukan blok-blok tersebut adalah: Purin-purin,di mana atom-atom C-2 dan C-8 dimasukkan dalam reaksi ketergantungan pada folat; Deoksitimidilat monofosfat (dTMP), disintesis dari NS- 10 metilentetrahidrofolat dan deoksiuridilat monofosfat (dUMP); dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANEMIA MECALOBLASTIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Metionin, yang dibentuk oleh peralihan dari gugus metil dari N5-metiltetrahidrofolat ke homosistein. Lebih lanjut dapat dilihat pada gambar metabolisme folat sebagai berikut (Gambar 1).
segera berpartisipasi dalam siklus perpindahan 1-karbon. Selama produksi dTMP dari dUPM fragmen 1-karbon telah direduksi dari formaldehid ke gugus metil dalam perjalanan dari reaksi perpindahan, yang tidak sebagai THF, tetapi sebagai dihidrofolat (DHF). Untuk partisipasi selanjutnya ke dalam siklus perpindahan 1-karbon,DHF telah direduksi menjadi THF. Reaksi ini dikatalisis oleh dihidrofolat reduktase.
Gambar 1. Metabolisme folat
Folat sangat penting untuk sintesis de novo purin, deoksitimidilat monofosfat (dTMP), dan metionin, sebagai lanjutan pembawa dari fragmen-fragmen 1-karbon yang digunakan untuk biosintesis dari senyawa-senyawa tersebut. Bentuk aktifnya adalah tetrahidrofolat (THF). Folat COOH
I
4N
COOH
c0
;-II f& CH
CHI
C-OH
I -
II -0
Gambar 2. Rumus kimia folat
THF memperoleh fragmen 1-karbon, terutarna dari serin, yang merubah menjadi glisin dalam rangkaian dari reaksi. Untuk sintesis purin, fragmen 1-karbon pertama dioksidasi ke tingkat dari asam formik, lalu mengirimkan ke substrat. Untuk sintesis metionin, keperluan reaksi kobalamin, fragmen 1-karbon pertama dikurangi sampai tingkat gugus methyl, lalu dikirimkan ke homosistein. Dalam reaksi ini kofaktor tertentu dikeluarkan sebagai THF, yang dapat
Gambar 3. Rumus kimia vitamin B12 (Kobalamin) Methylcobalamine, Adenosylcobalamine Coenzyme untuk methionine synthase dan L - methylmalonyl - CoA mutase.
Derifat aktif atau bentuk kofaktor. Bentuk bentuk poliglutamat dari tetrahidrofolat dengan unit karbon tambahan. Fungsi utama sebagai koenzim guna satu pengangkut karbon dalam asam nukleat, dari metabolisme asam amino. Kobalamin adalah vitamin yang mempunyai susunan komponen organometalik yang kompleks, di mana atom cobalt terletak dalam inti cincin, suatu struktur yang mirip bentuk porfirin dari mana Heme dibentuk. Tidak seperti heme, namun kobalamin tidak dapat disintesis dalam tubuh manusia dan hams di penuhi dari makanan. Sumber utama hanya dari daging dan susu. Keperluan minimum sehari untuk kobalamin kurang lebih 2,5 ug. Selama pencernaan dalam lambung, kobalamin dalam makanan dikeluarkan dalam bentuk-bentuk kompleks yang stabil dengan pengikat gaster R, salah satu keluarga gugus yang terdekat dari glikoprotein glikoprotein yang fungsinya belum diketahui, yang terdapat dalam sekresi (misalnya, saliva, susu, cairan lambung, empedu), fagosit dan plasma. Pada saat memasuki duodenum, ikatan kompleks kobalamin-R dicerna, dan menghasilkan kobalamin, yang
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
kemudian terikat pada faktor intrinsik (FI), suatu glikoprotein dengan berat 50-kDa yang dihasiIkan oleh sel-sel parietal dari lambung. Sekresi dari faktor intrinsik umvmnya sejalan dengan asam lambung. Ikatan kompleks kobalamin-Fl dapat melawan untuk dicerna oleh proteolitik dan melintas menuju ke ileum distal, dimana reseptor reseptor spesifik pada vili mukosa dan menyerap kompleks kobalamin-FI. Jadi FI, seperti halnya ikatan besi transferin, adalah protein sel pengatur alat pengangkut. Reseptor pengikat kompleks kobdamin-FI akan dibawa lnasuk ke sel mukosa ileum, di mana FI kemudian dimusnahkan dan kobalamin dipindahkan ke lain protein pengangkut, yaitu transkobalamin (TC) 11. Kompieks kobalamin-TC I 1 kemudian disekresi kedalam sirkulasi, dari situ dengan cepat dibawa ke hati, sumsum tulang, dan sel lain. Jalur penyerapan kobalamin dapat disimak pada Gambar 4.
Lumen
Gmbar 4. Jalur penyerapan kobalamln
Dalam keadaan normal kurang lebih 2 mg kobalamin disimpan dalam hati, dan selain itu 2 nlg disimpan dijaringan seluruh t~tbuh.Dari sudut pandang keperluan harian minimal, kurang lebih 3 sainpai 6 tahun diperlukan untuk individu normal menjadi kekurangan kobalamin bila absorbsi dihentikan secara tiba tiba. Meskipun TC I1 adalah suatu uccrptor guna penyerapan baru dari kobalamin, dimana kebanyakan kobalamin yang beredar dalam sirkulasi diikat pada TC I, yaitu suatu glikoprotein yang sangat erat hubungannya dengan pengikat R gaster. TC 1 tampaknya diturunkan sebagai bagian dari lekosit. Yang berlawanan ialah bahwa kebanyakan kobalamin yang beredar terikat pada TC I dari pada yang terikat pada TC 11; rneskipun deinikian pengangkutan awalnya clari semua kobalamin yang diabsorbsi oleh intestinum, dapat diterangkan dengan adanya fakta bahwa ikatan kobalamin pada TC I1 dengan
cepat dibersihkaa dari darah (% sampai 1 jam), sedangkan pembersihan dari kobalamin yang terikat pada TC I memerlukan waktu berhari hari. Hingga kini hngsi TC I belurn diketahui. Di dalam seI sel tubuh manusia, kobalamin merupakan faktor yang esensial bagi dua enzim, yaitu metionin sintase dan metil maionil-koenzimA(CaA) sintase. Kobalamin ada dalam dua bentuk aktif metabolik, yang dikenal pada gugus alkil yang terikat pada enam posisi koordinasi dari atom Cobalt yaitu :metilkobalamin dan adenosilkobalamin(juga disebut vitamin B 12). Sianokobalamin belum diketahui peran fisiologisnya dan harus diubah ke bentuk biologis aktif sebelum dapat digunakan oleh jaringan jaringan. Metikobalamin adalah bentuk yang diperlukan untuk metionin sintase, yang bertindak sebagai katalisator dalam perubahan homosistein ke metionin (Gambar 1).Bila reaksi tersebut terganggu, maka metabolisme folat menjadi kacau; dan dalam kekacauan ini yang menjadi latar belakang ker-sakan dalam sintesa DNA dan pada pasien dengan defisiensi kobalarnin timbul adanya benruk maturasi megaloblastik. Pada defisiensi kobalamin, maka WS-metiltetrahidrofolat yang tak terkonjugasi, yang baru diainbil dari aliran darah, tidak dapat diubah menjadi bentuk lain dari aetrahidrofolat oleh transfer metil. Ini yang disebut hipotesefolat trap. Karena N5-metiltetrahidrofolat adalah substrat yang tak baik untuk enzim konjugasi, keadaan ini sebagian besar tetap dalam bentuk tak terkonjugasi dan dengan pelan peIan keluar dari set, Karenanya defisiensi folat di jaringan akan terjadi, dan ini akan meniinbulkan l~ematoporesis megaloblastik. Hipotesis ini dapat menerangkan mengapa simpanan folat jaringan pada defisiensi kobalamin secara substansial, maka dengan penurunan yang tidak seimbang dalam konjugasi, bila dibanding dengan folat yang tidak terkonjugasi, meskipun kadar serum folat normal atau supranormal, Ini dapat pula menerangkan mengapa dengan pemberian folat besar dapat menghasilkan remisi hematolagik parsial pada pasien dengan defisiensi kobalamin. Kadar plasma hemasistein ineningkat pada defisiensi folat dan kobalamin, dan kadar yang tinggi :iri hornmistein plasma tampaknya merupakan faktor risiko untuk kejadian trombosis vena dan arteri. Hingga kini belum diketahui bahwa hiperhomosistein yang diakibatkan oleh defisiensi folat atau kobalarnin merupakan predisposisi untuk trombosis atau mengubah respons dari pengobatan. Adenilkobalamin diperlukan untuk konversi dari ~netilmalonilCoA menjadi succinyl CoA. Tidak adanya kofaktor hi yang berperan penting daiam peningkatan yang cukup besar dalam kadar jaringan dari metil malonil CoA dan pendahulunya, yaitu propionil CoA. Sebagai konsekuensi, maka asam lemak nonfisiologik yang ~nengandungsejumlah atom karbon yang berlebihan akan disintesis dan bergabung m e ~ ~ j a dLipid i neuronal.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1145
ANEMIA MECALOBLASTIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Abnormalitas biokimiawi ini dapat mempunyai sumbangan akan terjadinya komplikasi neurologis defisiensi kobalamin.
GANGGUAN KLlNlS Sebagaimanatertera dalam klasifikasi anemia megaloblastik, kausa dari anemia megaloblastik sangat bervariasi tergantung dari keadaan wilayah di dunia ini. Di wilayah dengan udara dingin, defisiensi folat sering terjadi pada pecandu alkohol, sedangkan defisiensi kobalamin disebabkan karena anemia pernisiosa atau aklorhidria merupakan tipe yang sering dari anemia megaloblastik. Di wilayah tropis, sprue adalah endemik yang merupakan penyebab penting timbulnya anemia megaloblastik, sedangkan di Skandinavia, adanya cacing pita dalam ikan yaitu Difilobotrium laturni, mungkm sebagai penyebabnya. Tentang infestasi cacing pita di masyarakat Bali perlu mendapat perhatian. Defisiensi kobalamin kebanyakan selalu berkaitan dengan malabsorbsi. Asupan harian kobalamin lebih dari cukup untuk keperluan tubuh, kecuali pada vegetarian. Berbeda dengan asupan harian asam folat adalah kecil di banyak wilayah di dunia. Lebih lanjut, karena simpanan asam folat dalam tubuh relatif rendah, maka defisiensi asam folat dapat timbul mendadak selama periode berkurangnya asupan atau meningkatnya keperluan metabolik. Dan terakhir, defisiensi asam folat dapat disebabkan oleh malabsorbsi. Sering pula dua atau lebih faktor yang berdampingan akan berakibat pada pasien. Tidak jarang kombinasi defisiensi kobalamin dan asam folat dapat terjadi. Pada para pasien " tropical sprue " sering timbul defisiensi kedua vitamin tersebut. Lesi biokimiawi sebagai akibat dalam maturasi megaloblastik dari sel sel sumsum tulang juga dapat mengakibatkan abnormalitas fungsional dan struktural dari sel sel epitel yang cepat berproliferasi dari mukosa intestinurn. Jadi defisiensi yang berat dari salah satu vitamin dapat mengakibatkan malabsorbsi. Anemia megaloblastik dapat pula dipengaruhi oleh faktor faktor yang tak ada kaitannya dengan defisiensi vitamin. Kebanyakan dari penyebab tersebut dikarenakan obat obat yang mengganggu sintesis DNA. Meskipun kurang sering, maturasi megaloblastik dapat merupakan gambaran defek sel induk hematopoietik yang didapat. Dan sangat jarang ialah adanya defisiensi enzim spesifik yang kongenital.
Defisiensi Kobalamin Gambaran klinis defisiensi kobalamin melibatkan darah, traktus gastrointestinal, dan sistema nervorum. Manifestasi hematologis sepenuhnya selalu berakibat anemia, meskipun sangat jarang purpura, dapat pula tampak, karena trombositopeni. Keluhan dari anemia dapat
terungkap seperti rasa lemah, nyeri kepala ringan, vertigo, tinitus, palpitasi, angina dan keluhan yang berkaitan dengan kegagalan jantung kongestif. Tanda fisik dari pasien dengan defisiensi kobalamin yaitu pucat, dengan kulit sedikit kekuningan begitu juga mata. Peningkatan kadar bilirubin ada kaitannya dengan tingginya pelipat gandaan sel sel eritroid dalam sumsum tulang. Nadi denyutnya cepat, dan jantung mungkin membesar, pada auskultasi biasanya terdengar bising sistolik. Manifestasi gastrointestinal karena defisiensi kobalamin akan ada keluhan nyeri lidah, yang pada inspeksi tampak papil lidah halus dan kemerahan. Keluhan lain yaitu anorexia dengan turunnya berat badan, kemungkinan bersamaan dengan diare dan lain-lain keluhan gastrointestinal. Manifestasi yang terakhir ini mungkin merupakan bagian dari megaloblastosis dari epitel usus halus, yang mengakibatkan malabsorbsi. Manifestasi gangguan neurologis, sering mengakibatkan gaga1 sepenuhnya dalam upaya pengobatan. Perubahan patologi yang awal adalah demielinasi, kemudian diikuti oleh degenerasi aksonal dan akhirnya kematian neuronal; dan stadium akhir dari perjalanan penyakit ialah tak dapat pulih. Tempat yang menderita gangguan termasuk syaraf perifer; medula spinalis, dimana kolumna posterior dan lateral mengalami demielinasi; danjuga serebrum sendiri. Keluhan dan gejala termasuk mati rasa dan parestesia pada ekstremitas, kelemahan dan ataksia. Kemungkinan terjadi gangguan dari sfingter. Refleks-refleks mungkin hilang atau meningkat. Tanda Romberg dan Babinsky mungkin dapat positif dan rasa sikap dan getaran biasanya hilang. Gangguan mental mulai dari sifat mudah marah yang ringan dan mudah lupa sampai demensia yang berat atau psikosis yang sesungguhnya. Hendaklah diinga bahwa penyakit neurologik dapat pula tampak pada pasien dengan hematokrit dan indeks sel darah merah yang normal. Kemungkinan akan banyak keuntungannya dengan pemberian suplemen folat dalam makanan, yang mungkin dapat memperbaiki keadaan seperti gejala neurologis karena defisiensi kobalamin. Gangguan pelepasan kobalamin dari makanan, kejadiannya belum dapat diketahui, Seperti diketahui kobalamin dalam makanan terikat pada enzim dalam daging dan kemudian dipisahkan dari enzim tersebut oleh asam hidroklorida dan pepsin dalam lambung. Umumnya orang orang berusia lebih dari 70 tahun mengalami aklonidria. Karenanya mereka tak mampu untuk membebaskan kobalamin dari sumber makanan tapi memelihara kemampuan absorbsi kristalin B 12, suatu bentuk yang paling sering terdapat dalam multivitamin. Ternyata hanya sebagian kecil dari orang orang usia lebih dari 70 tahun yang mengalami defisiensi kobalamin, tapi banyak yang mengidap perubahan biokimiawi, ini termasuk kadar yang rendah dari ikatan kobalamin dengan TC I1
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
dan peningkatan kadar homosistein, yang dapat meramalkan defisiensi kobalamin Hal yang serupa yaitu para pasien yang mengalami berkurangnya produksi asam lambung karena obat-obatan, seperti omeprazol, dapat juga mengganggu pelepasan kobalamin dari makanan. Namun, 'proton pump inhibitor" tidak menghambat sekresi faktor intrinsik dari sel-sel parietal.
Anemia Pernisiosa Anemia pernisiosa, dianggap yang paling lazim sebagai penyebab defisiensi kobalamin. Ini disebabkan karena tidak adanya faktor intrinsik dan adanya atrofi dari mukosa maupun destruksi autoimun dari sel sel parietal. Untuk orang orang Asia ha1 tersebut jarang terjadi. Ini merupakan penyakit untuk manusia usia lanjut, jarang untuk usia di bawah 30 tahun, meskipun anemia pernisiosa yang khas dapat terjadi pada anak umur di bawah 10 tahun (Juvenile pernicious anemia). Adanya kondisi kelainan yang diwariskan dimana keadaan histologik lambung yang normal dan mengeluarkan faktor intrinsik baik yang abnormal maupun sama sekali tidak disekresi akan mengakibatkan defisiensi pada bayi atau anak sangat muda. Kejadian anemia pernisiosa secara substansial meningkat pada penyakit penyakit imunologik, termasuk penyakit Grave, miksedema, tiroiditis, insufisiensi adenokortikal idiopatik, vitiligo, dan hipoparatiroidisme. Pasien anemia pernisiosajuga mempunyai antibodi dalam sirkulasi yang abnormal, yang berkaitan dengan penyakitnya: yaitu 90% mempunyai antibodi sel antiparietal, yang langsung melawan H+, K+-ATPase, sedangkan 60% mempunyai antibodi antifaktor intrinsik. Antibodi sel antiparietal juga dijumpai pada 50% para pasien atrofi gaster tanpa anemia pernisiosa, demikian pula terdapat pada 10 sampai 15% dari populasi pasien yang talc diseleksi, tetapi antibodi antifaktor intrinsik biasanya tidak ada pada para pasien tersebut. Sanak keluarga dari para pasien anemia pernisiosa terdapat peningkatan kejadian penyakit, walaupun keluarga yang terkena kemungkinanjuga mempunyai antibodi antifaktor intrinsik dalam serumnya. Akhirnya pengobatan dengan kortikosteroid mungkin dapat memperbaiki penyakitnya. Pada anemia pernisiosa, sel sel T sitotoksis dapat juga mempunyai andil dalam destruksi sel sel parietal. Anemia pernisiosa tidak jarang terdapat pada para pasien dengan agammaglobinemia.Hal ini menunjang peran pada sistem imun seluler sebagai patogenesisnya. Dan berbeda dengan Helicobacter pylori yang tidak mengakibatkan destruksi sel parietal pada anemia pernisiosa. Ciri yang sering dijumpai pada anemia pernisiosa adalah atrofi lambung yang mempengaruhi bagian yang mensekresi asam dan pepsin dari lambung; terkecuali antrum. Perubahan patologis lain adalah defisiensi kobalamin sekunder; ini termasuk perubahan megaloblastik dalam lambung dan epitel intestinum dan
perubahan neurologik. Abnormalitas epitelium gaster tampak sebagai cellular atypia dalam preparat sitologik lambung, dapatan ini harus dibedakan dengan hati hati dari abnormalitas yang tampak pada keganasan.
Pasca Gastrektomi Setelah gastrektomi atau kerusakan mukosa lambung yang luas karena bahan obat yang merusak, maka akan terjadi anemia megaloblastik, karena sumber faktor intrinsik telah dibuang. Pada para pasien yang demikian absorbsi kobalamin yang diberikan oral akan terganggu. Anemia megaloblastik dapat pula timbul karena gastrektomiparsial, yang sebabnya belum jelas. Organisme Intestinal Anemia megaloblastik dapat tampak pada stasis dari lesi anatomik (striktur, divertikel, anastomosis, blind loops) atau pseudo obstruksi (diabetes melitus, skleroderma, amiloid). Anemia disini disebabkan oleh kolonisasi dari sejumlah besar kumpulan bakteri dalam usus halus yang mengkonsumsi kobalamin intestinal sebelum diabsorbsi. Steatorrhea mungkin juga dapat dijumpai dalam keadaan demikian, karena metabolisme garam empedu terganggu bila intestinum dihuni lebih banyak oleh kolonisasi bakteri. Respons hematologis telah diabsorbsi setelah pemberian antibiotik oral seperti tetrasiklin dan ampisilin. Anemia megaloblastik dapat dijumpai pada orang-orang pengidap cacing pita karena adanya kompetisi dari cacing dalam memakan kobalamin. Dengan membinasakan cacing pita tersebut maka problema tersebut dapat diatasi. Abnormalitas Ileum Definisi kobalamin sering dijumpai pada "tropical sprue", sedangkan ha1 ini merupakan komplikasi yang diluar kebiasaan dari "nontropical sprue" (gluten-sensitive enteropathy). Sebenarnya tiap gangguan yang bersamaan dengan kapasitas absorbsi pada ileum distal dapat menimbulkan defisiensi kobalamin. Keadaan khusus yaitu termasuk enteritis regional, penyakit Whipple, dan tuberkulosis. Keterlibatan segmental dari ileum distal oleh suatu penyakit dapat mengakibatkan anemia megaloblastik tanpa adanya lain manifestasi dari malabsorbsi intestinal seperti steatorrhea. Malabsorbsi kobalamin dapat juga tampak setelah reseksi ileum. Sindrom Zollinger-Elison (hiperasiditaslambung yang hebat karena tumor yang mensekresi gastrin) dapat mengakibatkan malabsorbsi kobalamin oleh pengasaman usus halus, akan menghambat transfer vitamin dari ikatan R ke faktor intrinsik dan mengganggu ikatan kobalamin-FI komplex ke reseptor ileum. Pankreatitis kronik dapat juga mengakibatkan malabsorbsi kobalamin, tetapi ini hanya selalu ringan dan jarang menimbulkan defisiensi kobalamin secara klinis. Akhirnya, gangguan kongenital yang jarang
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANEMIA MEGALOBLASTIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dijumpai, yaitu penyakit Imerslund-Grasbeck, yang melibatkan suatu defek yang selektif dalam absorbsi kobalamin yang bersamaan dengan proteinuri. Para individu yang mempunyai suatu mutasi cubulin, yaitu suatu reseptor yang menjadi perantara absorbsi intestinal dari kompleks kobalamin-FI.
Nitrous Oxide Menghirup nitrous oxide sebagai obat bius menghancurkan kobalamin yang endogen. Pemakaian seperti biasanya dan besarnya pengaruh obat bius tidak cukup untuk menimbulkan defisiensi kobalamin secara klinis, tetapi pemakaian berulang atau yang berkepanjangan (>6 jam), utamanya pada pasien tua yang mempunyai simpanan kobalamin pada ambang batas, akan dapat menyebabkan anemia megaloblastik dan defisit neurologik akut. Defisiensi Asam Folat Penambahan asam folat dalam produk dari biji-bijian dan padi-padian telah disarankan oleh US Food and Drug Administration sejak Januari 1998, maka kejadian defisiensi asam folat nyata menurun. Para pasien dengan defisiensi asam folat lebih sering kurang gizi dibanding dengan defisiensi kobalamin. Manifestasi gastrointestinal adalah serupa tetapi dapat lebih meluas dan lebih berat dari anemia pernisiosa. Diare sering ada, dan cheilosis dan glossitis juga dialami. Namun, berlawanan dengan defisiensi kobalamin, tidak tampak adanya abnormalitis neurologik. Manifestasi hematologik dari defisiensi asam folat adalah sama dengan defisiensi kobalamin. Defisiensi asam folat secara umum berhubungan dengan satu atau lebih faktor seperti: asupan yang tak memadai, keperluan yang meningkat, atau malabsorbsi. Asupan yang tak memadai. Para peminum alkohol akan dapat mengalami defisiensi asam folat karena sumber utama asupan kalori yang dikonsumsi berasal dari minuman beralkohol. Alkohol dapat mengganggu metabolisme folat. Pecandu narkotik juga mudah menjadi defisiensi folat karena malnutrisi. Banyak individu fakir miskin dan usia lanjut yang mendapat makanan yang kurang akan menderita defisiensi folat. Keperluan yang meningkat. Jaringanjaringan yang relatif pembelahan selnya sangat cepat seperti sumsum tulang, mukosa usus, memerlukan cukup besar akan folat. Karenanya, para pasien anemia hemolitik kronik atau penyebab lain terjadinya eritropoiesis yang aktif akan mengalami defisiensi. Perempuan hamil mempunyai risiko tinggi untuk terjadi defisiensi folat karena keperluan yang meningkat bersamaan dengan perkembangan janin. Bila defisiensi timbul pada minggu pertama kehamilan, maka dapat mengakibatkan defek saluran saraf pada neonatus.
Kadang kadang pada kehamilan tersebut tak dapat mendeteksi, sampai defek tersebut telah berkembang; jadi, ketentuan suplementasi folat pada perempuan setelah mereka mengetahui hamil, tidaklah efektif. Namun demikian, suplementasi makanan yang mengandung folat, dapat mengurangi defek saluran saraf sampai lebih dari 50%. Defisiensi folat dapat tampak selama masa pertumbuhan cepat bayi dan remaja. Para pasien dengan hemodialisa honik perlu diberi suplementasi folat guna mengganti folat yang hilang. Malabsorbsi. Defisiensi folat sering menyertai Tropical sprue, baik gejala gastrointestinal maupun malabsorbsi akan membaik dengan pemberian asam folat atau dengan antibiotik oral. Pada pasien dengan nontripocal sprue (gluten-sensitive enteropathy) dapat pula berkembang secara nyata timbulnya defisiensi asam folat yang sejalan dengan parameter dari malabsorbsi. Hal yang serupa, adalah defisiensi folat pada pecandu alkohol dapat pula karena kemungkinan dari malabsorbsi. Termasuk pula gangguan usus halus kadang-kadang bersamaan dengan defisiensi folat.
Obat- obatan Selanjutnya masalah defisiensi folat atau kobalamin yang sering menjadi penyebab anemia megaloblastik adalah obat obatan. Bahan obat yang mengakibatkan anemia megaloblastik, disebabkan karena mengganggu sintesis DNA, baik secara langsung atau melawan kerja folat. Ini dapat diklasifikasi sebagai berikut: Langsung penghambat sintesis DNA, mereka termasuk analog purin (6-tioguanin, azatioprin, 6-merkaptopurin), analog pirimidin (5-fluorourasil, sitosin arabinose), dan obat yang mengganggu sintesis DNA dengan berbagai macam mekanisme (hidroksiurea, prokarbazin). Obat antivirus zidovudin (AZT), yang digunakan untuk pengobatan HIV, sering menimbulkan anemia megaloblastik berat. Antagonis folat. yang paling toksik dari golongan ini adalah metotreksat, suatu penghambat yang kuat pada dihidrofolat reduktase, yang digunakan untuk pengobatan keganasan tertentu dan penyakit-penyakit reumatik tertentu. Yang kurang toksik tetapi mampu untuk menimbulkan anemia megaloblastik adalah beberapa penghambat dihidrofolat reduktase yang lemah, yang digunakan untuk pengobatan berbagai macam kondisi nonmalignan. Obat-obatan tersebut termasuk pentamidin, trimetoprim, triamteren, dan pirimetamin. Lain-lain. Sejumlah obat yang melawan folat dari mekanismenya yang sukar dimengerti, akan tetapi dipikirkan ikut serta dan menyangkut pada absorbsi dari vitamin oleh intestinum. Dalam kelompok ini adalah "anticonvulsants" fenitoin, primidon, dan fenobarbital.Anemia megaloblastik yang disebabkan oleh obat obat tersebut adalah ringan.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HEMATOLOCI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Mekanisme Lain Sebab herediter. Anemia megaloblastik dapat tampak pada beberapa penyakit herediter. "Orotic aciduria" suatu defisiensi orotidilik dekarboksilase dan fosforilase, karena defek dalam metabolisme pirimidin dan dengan ciri adanya pertumbuhan yang terlambat dan perkembangan maupun dari ekskresi sejumlah besar dari asarn orotik. Malabsorbsi folat yang kongenital penyebab anemia megaloblastik, bersamaan dengan ataksia dan retardasi mental. Anemia megaloblastik yang responsif dengan tiamin yang disertai dengan ketulian saraf dan diabetes melitus pernah dilaporkan pada beberapa anak. Perubahan megaloblastik yang disertai berinti banyak dari pendahulu sel darah merah dapat dilihat dalam sumsum dari para pasien tertentu dengan anemia dyserytlzropoietik kongenital, suatu golongan gangguanlpenyakit yang diwariskan dengan ciri anemia ringan sampai sedang dan perjalanannya tidak ganas. Defisiensi TC 11, seperti abnormalitas yang diwariskan pada absorbsi kobalamin sebagai penyebab defisiensi yang mencolok dari kobalamin pada bayi atau awal masa kanak kanak. Anemia megaloblastik tak dijumpai pada defisiensi TC I yang diwariskan. ANEMIA MEGALOBLASTIK YANG REFRAKTER Eritropoiesis megaloblastik kadang kadang dapat tampak pada mielodisplasia. Perubahan megaloblastik terbatas pada seri sel darah merah. Mielodisplasia sering menghasilkan perbedaan gambaran morfologik yang lebih jelas pada normoblas ortokromatik dimana inti megaloblastik berhubungan dengan sitoplasma yang sangat hipokromik. Varian ini disebut " megaloblastoid " yang merujuk pada defek maturasi inti dan sitoplasma. "Megaloblastoid" tidak berarti " megaloblastoid ringan". Seperti halnya bentuk lain dari mielodisplasia, anemia megaloblastik refrakter ada hubungannya dengan peningkatan kejadian leukemia akut. Perubahan megaloblastik tampak pada mielosis eritremik dan eritrolekemia akut, di mana pendahulu sel darah merah nyata terlibat.
Diagnosis Guna menegakkan diagnosis anemia megaloblastik, perlu menelusuri baik pemeriksaan fisis maupun pemeriksaan laboratoris darah juga sumsum tulang. Pemeriksaan laboratorium darah meliputi hemoglobin, hematokrit, retikulosit, leukosit, trombosit, hitung jenis, laju endap darah, serum vitamin B 12, serum folat, folat eritrosit, MCV dan lain-lain tes khusus yang sesuai. Pemeriksaan film1 hapusan darah perifer perlu diperhatikan bentuk bentuk sel sel darah merah, leukosit, dan trombosit. Didapatkan secara nyata makrositosis yaitu MCV lebih dari 100 fl maka
perlu dipikirkan akan adanya anemia megaloblastik. Penyebab lain makrositosis termasuk hemolisis, penyakit hati, alkoholisme, hipotiroidisme, dan anemia aplastik. Bila makrositosis nyata yaitu MCV lebih dari 110 fl, maka pasien tersebut lebih condong pengidap anemia megaloblastik. Makrositosis jarang tampak bersamaan dengan defisiensi besi atau thalassemia. Indeks retikulosit yang rendah, dan jumlah leukosit maupun trombosit mungkin pula menurun, terutama pada para pasien dengan anemia berat. Dari gambaran darah perifer, tampak dengan nyata adanya anisositosis dan poikilositosis, bersamaan dengan makroovalositosis, yaitu sel darah merah dengan hemoglobinisasi penuh merupakan ciri dari anemia megaloblastik. Dapat dijumpai pula adanya beberapa bintik basofilik, dan kadang kadang ditemukan sel darah merah yang berinti. Pada seri leukosit, yaitu adanya netrofil yang tampak adanya inti dengan segmen lebih dari 5 atau 6 dan dikenal dengan istilah hipersegmen. Temuan ini merupakan ciri khas, maka hendaknya meningkatkan dugaan kearah anemia megaloblastik. Myelosit yang jarang mungkin pula tampak. Juga dapat pula ditemukan bentuk trombosit yang aneh. Dari pemeriksaan sumsum tulang ditemukan adanya hiperselular dengan penurunan rasio mieloidleritroid dan berlimpah besi yang tercat. Perintislpendahulu sel darah merah tampak adanya sel yang besar abnormal dan mempunyai inti yang tampaknya kebanyakan kurang matur, ha1 ini perlu diperkirakan dari perkembangan sitoplasma (nuclear-cytoplasmic asynchrony). Kromatin inti lebih tersebar dari yang diduga, dan ia memadat dalam gambaran yang sangat khas sebagai ciri dari eritropoiesis megaloblastik. Mitosis abnormal dapat tampak. Perintis granulosit juga dirusak, tampak banyak yang menjadi besar dari yang normal, termasuk band yang sangat besar dan metamielosit. Jumlah megakariosit menurun dan tampak morfologi yang abnormal. Ciri anemia megaloblastik adalah eritropoiesisyang tak efektif. Pada pasien dengan megaloblatik berat, sebanyak 90% perintis sel darah merah mungkin dihancurkan dan mereka diedarkan dalam aliran darah, dibanding dengan 10% sampai 15% pada individu normal. Meningkatnya penghancuran eritroblas dalam medula sumsum tulang akan berakibat peningkatan bilirubin yang tak terkonjugasi dan asam laktat dehidrogenase (isoenzim 1) dalam plasma. Guna mengevaluasi pasien dengan anemia megaloblastik, sangat penting untuk menentukan apakah ada defisiensi vitamin yang spesifik dengan mengukur kadar serum kobalamin dan folat. Nilai kobalamin normal dalam serum adalah antara 300 sampai 900 pglml; nilai kurang dari 200 mglml menunjukkan adanya defisiensi yang nyata secara klinis. Tampaknya ini berbeda dengan kriteria WHO seperti yang tertera di depan. Pengukuran dari kobalamin yang terikat pada TC 11, sebenarnya lebih fisiologik guna pengukuran status kobalamin, tapi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANEMIA MEGALOBLASTIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pengukuran kadar dengan cara tersebut belum dapat dilakukan secara rutin saat ini. Kadar serum normal dari asam folat berkisar antara 6 sampai 20 nglml; nilai sama atau di bawah 4 ng/ml secara umum dipertimbangkan untuk diagnostik dari defisiensi folat. Tidak seperti serum kobalamin, kadar serum folat dapat menggambarkan adanya perubahan baru pada asupan makanan. Pengukuran kadar folat dalam sel darah merah sangat berguna untuk mendapat informasi, tetapi ini bukannya subyek guna melihat fluktuasi jangka pendek dari asupan folat dan ha1 ini lebih dari serum folat sebagai indeks dari simpanan folat. Saat defisiensi kobalamin telah dipikirkan, maka patogenesisnya dapat dilacak dengan menggunakan tes Schilling.Pasien diberi kobalamin radioaktif oral, dan segera diikuti setelah itu dengan penyuntikan intramuskular kobalamin tanpa dilabel. Proporsi radioaktivitas yang diberikan akan dikeluarkan dalam urin selama 24 jam berikutnya, ha1 ini akan menetapkan suatu ketelitian ukuran dari absorbsi kobalamin dan dianggap bahwa sampel urin yang menyeluruh telah dikumpulkan. Karena defisiensi kobalamin hampir selalu karena malabsorbsi, tingkat pertama dari tes Schilling harus abnormal (misal didapat sejumlah kecil radioaktivitas dalam urin). Kemudian pasien diberi kobalamin terikat pada faktor intrinsik yang dilabel. Absorbsi dari vitamin akan mencapai normal pada pasien yang menderita anemia pernisiosa atau beberapa tipe lain dari defisiensi faktor intrinsik. Bila absorbsi kobalamin masih tetap rendah, maka pasien mungkin terdapat pertumbuhan berlebihan dari bakteri ("blind loop
syndrome") atau penyakit ileum (termasuk defek absorbsi ileum sekunder karena defisiensi kobalamin itu sendiri). Malabsorbsi kobalamin karena kelebihan pertumbuhan bakteri sering dapat dikoreksi dengan pemberian antibiotik. Tes Schilling dapat menetapkan informasi yang cukup dipercaya setelah pasien mendapat terapi yang memadai dengan kobalamin parenteral. Tes Schilling yang normal pada pasien yang telah dibuktikan dengan defisiensi kobalamin, akan memberi petunjuk adanya absorbsi yang jelek dari vitamin bila dicampur dengan makanan. Ini dapat ditegakkan dengan mengulang tes Schillingdengan kobalamin radioaktif yang diaduk dengan telur. Kadar serum dari asam metilmalonat dan homosistein juga berguna untuk diagnosis anemia megaloblastik. Keduanya meningkat pada defisiensi kobalamin, namun peningkatan homosistein, tapi bukan asam metil malonik dapat terjadi pada defisiensi folat. Tes-tes tersebut mengukur simpanan vitamin dalam jaringan dan dapat menunjukkan suatu defisiensi meskipun bila pemeriksaan yang sederhana, tapi kurang dipercaya pada kadar folat dan kobalamin yang didapatkan dan hasilnya pada ambang batas atau dalam batas normal. Para pasien terutama usia lanjut, tanpa anemia dan dengan kadar serum kobalamin normal, tetapi terdapat peninggian kadar serum asam metil malonat dapat mengakibatkanabnormalitas neuropsikiatrik. Pengobatan para pasien defisiensi kobalamin yang tak kentara biasanya akan mencegah kemerosotan lebih lanjut dan mungkin berhasil memperbaiki kesehatan pasien. Alur pikir guna menetapkan anemia megaloblastik dapat disimak pada Gambar 5.
Gambar 5. Alur plkir menetapkan anemia megaloblastik
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HEMATOLOGI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Pengobatan Setelah diagnosis defisiensi kobalamin ditegakkan maka perlu memberikan terapi spesifik berkaitan dengan penyakit dasar yang melatar belakangi, misalnya adanya pertumbuhan bakteri yang berlebihan dalam intestinum perlu diberi antibiotik, sedangkan terapi utama untuk defisiensi kobalamin adalah terapi pengganti. Sebab defek yang ada, biasanya selalu malabsorbsi, maka para pasien diberi pengobatan parenteral, terutama dalam bentuk suntikan kobalamin intramuskular. Awal pemberian terapi parenteral dengan kobalamin 1000 ug i.m, tiap minggu sampai 8 minggu, kemudian dilanjutkan suntikan i.m kobalamin 1000 ug tiap bulan dari sisa hidup pasien. Defisiensi kobalamin dapat dikelola secara efektif dengan pemberian terapi oral dengan kristalin B12 sejumlah 2 mg per hari; namun ketidak patuhan lebih besar pada terapi oral dibanding terapi i.m. Respons terapi adalah memuaskan. Segera setelah terapi dimulai, dan beberapa hari sebelum respons hematologis tampak nyata dalam darah perifer, pasien merasakan kekuatan meningkat dan ada perbaikan kesehatannya. Morfologi sumsum tulang mulai kembali ke keadaan normal dalam waktu beberapa jam setelah terapi dimulai. Retikulositosis mulai pada hari ke-4 sampai hari ke-5 setelah terapi dimulai dan mencapai puncak kurang lebih 7 hari, dan remisi berikutnya dari anemia setelah beberapa minggu. Bila retikulositosis tidak tampak, atau bila kurang cepat dari yang diharapkan dari kadar hematokrit, maka perlu dicari kemungkinan faktor lain yang mengakibatkan anemia (a.1. infeksi, bersamaan dengan defisiensi besi atau folat, atau hipotiroidisme).Hipokalemia dan retensi garam dapat tampak lebih awal dalam perjalanan terapi. Trombositosis mungkin ditemukan. Pada kebanyakan kasus, terapi pengganti adalah semua yang diperlukan guna pengobatan defisiensi kobalamin. Kadang kadang pasien menunjukkan anemia yang berat disertai pula gangguan yang membahayakan keadaan kardiovaskular yang gawat maka diperlukan transfusi. Ini perlu dilakukan dengan hati hati, sebab pasien yang demikian dapat berkembang menjadi gagal jantung karena adanya kelebihan cairan. Darah harus diberikan pelan pelan dalam bentuk PRC (Packed Red Blood Cells), dan harus selalu dalam pengawasan. Volume PRC yang diberikan sedikit demi sedikit akan cukup guna menghindari masalah gagal kardiovaskular akut. Dengan pengobatanjangka lama selama hidupnya, para pasien akan mengalami tidak berlanjutnya manifestasi defisiensi kobalamin, namun gejala neurologiknya tidak sepenuhnya dapat dikoreksi meskipun dengan terapi yang optimal. Pada pasien anemia pernisiosa perlu dengan cermat diawasi dan selalu diikuti perkembangannya karena adanya potensi untuk berkembang menjadi karsinoma lambung.
Folat, terutama dalam dosis besar, dapat mengoreksi anemia megaloblastik karena defisiensi kobalamin tanpa mengubah abnormalitas neurologik. Manifestasi neurologik mungkin tetap tidak menjadi buruk oleh terapi folat. Defisiensi folat, akan terselubung pada pasien yang makan folat dosis tinggi. Dalarn ha1 yang demikian, respons hematologis folat jangan digunakan sebagai tolok ukur untuk keberhasilan pasien dengan defisiensi kobalamin; dan defisiensi kobalamin hanya dapat disingkirkan dengan evaluasi laboratorium yang memadai. Pada pasien usia lanjut kejadian defek absorbsi kobalamin ringan frekuensinya tinggi, dan mungkin risikonya meningkat. Defisiensi kobalamin yang berat akan memberi gejala neurologis dari pada gejala hematologis, dan beberapa ahli menyarankan pemberian kristalin kobalamin oral dengan dosis 0 , l mg per hari guna profilaksis pada usia di atas 65 tahun.
DEFlSlENSl FOLAT Seperti defisiensi kobalamin, defisiensi folat perlu diobati dengan terapi pengganti. Dosis yang lazim diberikan adalah 1 mg per hari per oral, namun dosis tinggi sampai 5 mg per hari mungkin diperlukan pada defisiensi folat yang disebabkan karena malabsorbsi. Pemberian folat parenteral jarang diperlukan. Respons hematologis sama dengan yang dapat dijumpai setelah terapi pengganti pada defisiensi kobalamin, misalnya terjadinya retikulositosis yang nyata setelah kurang lebih 4 hari, kemudian diikuti dengan terkoreksinya anemia setelah 1 sampai 2 bulan kemudian. Lama terapi tergantung pada keadaan dasar defisiensi. Para pasien dengan keperluan yang terus menerus meningkat seperti pada pasien anemia hemolitik atau mereka yang dengan malabsorbsi atau malnutrisi kronik, hendaknya terus menerus didorong guna memelihara dan mengajarkan diet yang optimal dengan kecukupan folat. Penyebab Lain Anemia Megaloblastik Anemia megaloblastik karena obat obatan dapat diobati, bila mungkin, dengan mengurangi dosis obat atau menyingkirkan. Efek antagonis folat yang menghambat dihidrofolat reduktase dapat dilawan oleh asam folinik (5formil tetrahidrofolat (THF) dalam dosis 100 sampai 200 mg per hari, yang akan menghambat metabolisme folat dengan cara menyediakan suatu bentuk folat yang dapat diubah menjadi 5,10 - methylene THF. Untuk bentuk megaloblastik dari anemia sideroblastik, pemberian piridoksin dengan dosis sampai 300 mg per hari dapat dicoba, karena ada anemia sideroblastik yang tidak respons dengan piridoksin. Anemia megaloblastik yang refrakter perlu dipikirkan terapi suportif.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1151
ANEMIA MECALOBLASTIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI REFERENSI Anemia megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan oleh defek sintesis DNA dalam sel-sel terutama dari hematopoietik. Klasifikasi anemia megaloblastik dapat dikelompokkan dalam: defisiensi kobalamin, defisiensi asam folat dan sebab sebab 1,ain. Asam folat dan vitamin B12 adalah zat yang berhubungan dengan unsur makanan yang sangat diperlukan bagi tubuh. Peran utama dari asam folat dan vitamin B 12 ialah dalam metabolisme intraselular. Bila kedua zat tersebut mengalami defisiensi, akan menghasilkan tidak sempurnanya sintesis DNA. Hematopoiesis sangat sensitif pada defisiensi vitamin tersebut, dan gejala awal ialah anemia megaloblastik. Untuk membuat diagnosis perlu diperhatikan gejala klinis dan laboratoris. Terapi ditujukan untuk penggantian atau menghilangkan defisiensi tersebut.
Adamson JW, Longo DL. Anemia and polycythemia. Harrison's principles of internal medicine. 16'h edition. Volume 1. New York: McGraw -Hill; 200S.p. 329-36. Babior BM, Bunn HF. Megaloblastic anemias. Harrison's principles of internal medicine. 161hedition. Volume 1. New York: McGrawHill; 2005. p. 601-7. Hillman RS. Hematopoietic agent. Growth factors, minerals and vitamins 111, vitamin B12, folic acid, and the treatment of megaloblastic anemias. In: Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis of Theurapeutic, editors. 10Ih edition International edition. New York: Mc Graw-Hill; 2001. p. 1503-14. Lipschitz DA. Anemia in the elderly. Principle of geriatric medicine and gerontology. 2ndedition. New York: Mc Grawth-Hill, Inc; 2000. p. 662-8. Russel RM. Vitamin and trace mineral defisiensi and excess. Harrison's principles of internal medicine. 16th edition. Volume 1. New York: McGraw-Hill; 2005. p. 403-1 1. Soenarto. Permasalahan pengelolaan anemia. Kedaruratan medik I1 2001. Pertemuan Ilmiah Tahunan ke V Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Cabang Semarang. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2001. p. 48-67.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN Elias Parjono, Kartika Widayati Taroeno-Hariadi
Anemia hemolitik imun (autoimmune hemolytic anemia = AIHA / AHA) merupakan suatu kelainan di mana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit memendek.
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivasi sistem komplemen, aktifasi mekanisme seluler, atau koinbinasi keduanya. 1. aktifasi sistem komplemen. Secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler.yang ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuri. Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh. a aktifasi komplemen jalur klasik. Reaksi diawali dengan aktivasi C 1 suatu protein yang dikenal sebagai recognition unit. C 1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1 akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b (dkenal sebagai C3-convertuse). C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami perubahan konformational sehingga
mempu berikatan secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (sel darah merah berlabel antibodi). C3 juga akan membelah menjadi C3d,g, dan C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan pada membran sel darah merah dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5 convertase). C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8, dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu aluran transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan terganggu. Air clan ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak dan ruptur. h aktifasi komplemen jalur alternatif. Aktifator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian melekat pada C3b, dan oleh D faktor B dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin, dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b. SelanjutnyaC5b berperan dalam penghancuran membran. 2. Aktifasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular. Jika sel darah disensitasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktifasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses immune adherence ini sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence, terutama yang diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1153
ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI I. Anemia Hernolitik Auto lrnun (AIHA) A. AlHA tipe hangat 1. idiopatik 2. sekunder (karena cll, lirnforna, SLE) B. AlHA tipe dingin 1. idiopatik 2. sekunder (infeksi rnycoplasrna, mononucleosis, virus, keganasan lirnforetikuler) C. Paroxysmal Cold hernoglobinuri 1. idiopatik 2. sekunder (viral, dan sifilis) D. AlHA Atipik 1. AlHA tes antiglobulin negatif 2. AlHA kornbinasi tipe hangat dan dingin II. AlHA diinduksi obat Ill. AlHA diinduksi aloantibodi A. Reaksi Hemolitik Transfusi B. Penvakit Hernolitik pada Bayi Baru Lahir
Anemia Hemolitik Imun dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (Tabel 1) DIAGNOSIS Gambar 1. Aktifasi komplernen pada AlHA
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, k e m u n g k h terjadi karena gangguan c e n t d tolerance, dan gangguan pa& proses pembatasan limfosit autoreakif residual.
.
Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit DirectAntiglobulin Test (direct Coomb's test): sel eritrosit pasien dicuci dari protein-protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoclonal terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplomen, terutama IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi aglutinasi.
Gambar 2. Skerna Direct Antiglobulin Test
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI a twt
I S ~
"JC
rpc
Patient %rum
Lrml Group O RE#
Gambar 3. Indirect Antiglobulin Test
Indirect antiglobulin test (indirect Coomb's test): untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen. Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi. Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi bereaksi secara optimal pada suhu 37OC. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai penyakit lain. 1. Gejala dan tanda: Onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, dan demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri abdomen, dan anemia berat. Urin benvama gelap karena terjadi hemoglobinuri. Ikterik terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik splenomegaliterjadi pada 50-60%, hepatomegali terjadi pada 30%, dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25% pasien tidak disertai pembesaran organ dan limfonodi. 2. Laboratorium: Hemoglobin sering dijumpai di bawah 7 gldl Pemeriksaan Coomb direk biasanya positip Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi dengan semua sel eritrosit normal. Autoantiodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh. 3. Prognosis dan survival. Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik, namun terkendali. Survival 10 tahun berkisar 70%. Anemia, DVT, emboli pulmo, infark lien, dan kejadian kardiovaskuler lain bisa terjadi selama periode penyakit aktif. Mortalitas selama 5-10 tahun sebesar 15-25%. Prognosis pada AIHA sekunder tergantung penyakit yang mendasari. 4. Terapi: a. Kortikosteroid : 1- 1.5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan menunjukkan respon klinis baik
(Hmt meningkat, retikulosit meningkat, tes coombs direk positip lemah, tes coomb indirek negatip). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke90. Bila ada tanda respons terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis 10-20 mglhari. Terapi steroid dosis < 3Omglhari dapat diberikan secara selang sehari. Beberapa pasien akan memerlukanterapi rumatan dengan steroid dosis rendah, namun bila dosis perhari melebihi 15 mglhari untuk mempertahankan kadar Hmt, maka perlu segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain. b. Splenektomi.Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tapering dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa terus berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remisi komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%, namun tidak bersifat permanen. Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan setelah splenektomi. c. Imunosupresi. Azathioprin 50-200 mglhari (80 mg/m2), siklofosfamid 50- 150 mghari (60 mg/m2) d. Terapi lain: Danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol diturunkanmenjadi 200-400 mg.hari. Kombinasi D m 0 1 dan prednison memberikan hasil yang bagus sebagai terapi inisial dan memberikan respon pada 80% kasus. Efek danazol berkurang bila diberikan pada kasus relaps atau Evan's Syndrome Terapi immunoglobulin intravena (400 mgkgBB per hari selama 5 hari) menunjukkan perbaikan pada beberapa pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif pada beberapa pasien lain. Menurut Flores respon hanya 4O%Jadi terapi ini diberikan bersama terapi lain dan responsnya bersifat sementara. Mycophenolatemofetil500 mg perhari sampai 1000 mg per hari dilaporkan memberikan hasil yang bagus pada AIHA refrakter.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Rituximab dan alemtuzumab pada beberapa laporan memperlihatkan respon yang cukup menggembirakan sebagai salvage therapyL7. Dosis Rituximab 100 mg per minggu selama 4 minggu tanpa memperhitungkan luas permukaan tubuh. Terapi plasmafaresis masih kontroversial. e. Terapi transfusi: terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak. Pada kondisi yang mengancam jiwa (misal Hb < 3 gldl) transhsi dapat diberikan, sambil menunggu steroid dan immunoglobulin untuk berefek.
ANEMIA HEMOLITIK IMUN TlPE DlNGlN Terjadinya hemolisis diperantarai antibodi dingin yaitu aglutinin dingin dan antibodi Donath-Landstainer. Kelainan ini secara karakteristik memiliki aglutinin dingin IgM monoklonal. Spesifisitas aglutinin dingin adalah terhadap antigen Ili. Sebagian besar IgM yang punya spesifisitas terhadap anti-I memiliki VH4-34. Pada urnmnya aglutinin tipe dingin ini terdapat pada titer yang sangat rendah, dan titer ini akan meningkat pesat pada fase penyembuhan infeksi. Antigen I/i bertugas sebagai reseptor mycoplasma yang akan meyebabkan perubahan presentasi antigen dan menyebabkan produksi autoantibodi. Pada limfoma sel B, aglutinin dingin ini dihasilkan oleh sel limfoma. Aglutinin tipe dingin akan berikatan dengan sel darah merah dan terjadi lisis langsung dan fagositosis. a. gambaran klinik: sering terjadi aglutinisasi pada suhu dingin. Hemolisi berjalan kronik. Anemia biasanya ringan dengan Hb: 9-12 gldl. Sering didapatkan akrosianosis, dan splenomegali b. laboratorium: anemia ringan, sferositosis, polikromatosia, tes Coombs positif, anti-I, anti-I, anti Pr, anti- M, atau anti-P. c. Prognosis dan survival. Pasien dengan sindrom kronik akan memiliki survival yang baik dan cukup stabil d. Terapi: menghindarai udara dingin yang dapat memicu hemolisis Prednison dan splenektomi tidak banyak membantu Chlorarnbucil2-4mgthari Plasmafaresis untuk mengurangi antibodi IgM secara teoritis bisa mengurangi emolisis, namun secara praktik ha1 ini sukar dilakukan.
PAROXYSMALCOLD HEMOGLOBINURI Ini adalah bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai, hemolisis terjadi secara masif dan berulang setelah terpapar suhu dingin. Dahulu penyakit ini sering ditemukan, karena berkaitan dengan penyakit sifilis. Pada kondisi ekstrim autoandibodiDonath-Landsteiner dan protein komplemen
berikatan pada sel darah merah. Pada saat suhu kembali 37 C, terjadilah lisis karena propagasi pada protein-protein komplemen yang lain. a. gambaran klinis; AIHA (2-5%), hemolisis paroksismal disertai menggigil, panas, mialgia, sakit kepala, hemoglobinuri berlangsung beberapa jam. Sering disertai urtikaria b. laboratorium: hemoglobinuria, sferositosis, eritrofagositos. Coombs positif, antibodi DonathLandsteiner terdisosiasi dari sel darah merah. c. Prognosis dan survival: pengobatan penyakit yang mendasari akan memperbaiki prognosis. Prognosis pada kasus-kasus idiopatik pada umumnya juga baik dengan survival yang panjang. d. Terapi: menghindari faktor pencetus. glukokortikoiddm splenektomi tidak ada manfaatnya.
ANEMIA HEMOLITIK IMUN DllNDUKSl OBAT Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat yaitu: haptenlpenyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan kompleks ternary(mekanisme kompleks imun tipe innocent bystander), induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit tanpa ada lagi obat pemicu, serta oksidasi hemoglobin. Penyerapanladsorpsi protein nonimunologis terkait obat akan menyebabkan tes Coomb positip tanpa kerusakan eritrosit. Pada mekanisme haptenladsorpsi obat, obat akan melapisi eritrosit.dengankuat Antibodi terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat pada permukaan eritrosit. Eritrosit yang teropsonisasi oleh obat tersebut akan dirusak di limpa. Antibodi ini bila dipisahkan dari eritrosit hanya bereaksi dengan reagen yang mengandung eritrosit berlapis obat yang sama (misal penisilin). Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan obat atau metabolit obat, tempat ikatan obat permukaan sel target, antibodi, dan aktifasi komplemen. Antibodi melekat pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat dan sel target tersebut lemah, dan antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat ataupun membran eritrosit. Beberapa antibodi tersebut memiliki spesifisitas terhadap antigen golongan darah tertentu seperti Rh, Kell, Kidd, atau Vi. Pemeriksaan Coomb biasanya positif. Setelah aktifasi komplemen terjadi hemolisis intravaskuler, hemoglobinemia dan hemoglobinuri.Mekanisme ini terjadi pada hemolisis akibat obat kinin, kuinidin, sulfonamide, sulfonylurea, dan thiazide. Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit autolog, seperti contoh methyldopa. Methyldopa yang bersirkulasi dalam plasma akan menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
pada permukaan sel darah merah. Jadi yang melekat pada permukaan sel darah merah adalah autoantibodi, obat tidak melekat. Mekanisme bagaimana induksi formasi autoantibodi ini tidak diketahui. Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif. Oleh karena hemoglobin mengikat oksigen maka bisa mengalami oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat oksidatif. Eritrosit yang tua makin mudah mengalami trauma oksidatif. Tanda hemolisis karena proses oksidasi adalah dengan ditemukannya methemeglobin, sulfhemoglobin, dan Heinz bodies, blister cell, bites cell dan eccentrocytes. Contoh obat yang menyebabkan hemolisis oksidatif ini adalah nitrofurantoin, phenazopyridin, aminosalicylic acid. Pasien yang mendapat terapi sefalosporin biasanya tes Coomb positip karena adsorpsi nonimunologis, immunoglobulin, komplemen, albumin, fibrinogen dan plasma protein lain pada membran eritrosit. a. Gambaran klinis: riwayat pemakaian obat tertentu positip. Pasien yang timbul hemolisis melalui mekanisme hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi sebagai hemolisi ringan sampai sedang. Bila kompleks ternary yang berperan maka hemolis akan terjadi secara berat, mendadak dan disertai gaga1 ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat tersebut, maka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemaparan dengan dosis tunggal. b. Laboratorium: anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes Coomb positip. Lekopenia, trombositopenia, hemoglobinemia, hemoglobinuria sering terjadi pada hemolisis yang diperantarai kompleks ternary. c. Terapi: Dengan menghentikan pemakaian obat yang menjadi pemicu, hemolisis dapat dikurangi. Kortikosteroid dan transfusi darah dapat diberikan pada kondisi berat.
ANEMIA HEMOLlTlK ALOIMUN KARENA TRANSFUSI Hemolisis aloimun yang paling berat adalah reaksi transhsi akut yang disebabkan karena ketidaksesuaian ABO eritrosit (sebagai contoh transfusi PRC golongan A pada penderita golongan darah 0 yang memiliki antibodi IgM anti -A pada serum) yang akan memicu aktifasi komplemen dan terjadi hemolisis intravaskular yang akan menimbulkan DIC dan infark ginjal. Dalam beberapa menit pasien akan sesak napas, demam,nyeri pinggang, menggigil, mual, muntah, dan syok. Reaksi transfusi tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah transfusi, biasanya disebabkan karena adanya antibodi dalam kadar rendah terhadap antigen minor ertrosit. Setelah terpapar dengan sel-sel antigenik, antibodi tersebut meningkat pesat kadarnya dan menyebabkan hemolisis ekstravaskular.
REFERENSI
Thomas AT. Autoimmune Hemolytic Anemia. In Lee GR, Foerster J, Lukens J eds. Wintrobe's Clinical Hematology. loth ed. Williams&Wikins, Baltimore. 1999:1233-1255 Petz LD, Allen DW, Kaplan ME. Hemolytic Anemia: Congenital and Aquired in Mazza JJ ed. Manual of Clinical Hematology. 2"d ed. Little, Brown and Co, Boston, 1995 : 87-114 Rosse WF, Schrier SL. Pathogenesis of Autoimmune Hemolytic Anemia: cold agglutinin disease.Uptodate 2004 (12) 2 Rosse WF, Schrier SL. Clinical Features and Treatment of Autoimmune Hemolytic anemia: warm agglutinin.Uptodate 2004 (12) 2 Rosse WF, Schrier SL. Pathogenesis of Autoimmune Hemolytic anemia: warm agglutinin and Drugs.Uptodate 2004 (12) 2 Janeway C, Travers P, Walport M. Sclomchik M. Immunobiology: the immune system in health and disease.5Ih ed. Churcil Livingstone. 2001 Dhaliwal G, Cornet PA, Tierney LM. Hemolytic Anemia. Am Fam Physician 2004;69:2599-2606. Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Hemolytic Anemia Resulting from Warm-Reacting Antibodies. Williams Manual of Hematology. 6Ih ed. McGraw Hill, 2003: 127-132. Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Cryopathic Hemolytic Anemia Williams Manual of Hematology. 6Ih ed. McGraw Hill, 2003: 133-136. Kelton JG, Chan h, Heddle N, Whittaker S. Acquired Hemolytic Anemia. Blood and Bone Marrow Pathology: 185-202 Stiene-Martin EA, Lotsoeich-Steininger CA, Koepke JA. Acquired Immune Anemias of Increased Destruction. Clinical Hematology: Principles, Procedures, Correlation. 2nded. Lippincott, Philadelphia, 1998:280-292 Rosse WF. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria. Uptodate 2004 (12) 2 Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Drug induced Hemolytic Anemia. Williams Manual of Hematology. 6Ih ed. McGraw Hill, 2003: 137-142 Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Transfusion of Blood and Red Cells. Williams Manual of Hematology. 61h ed. McGraw Hill, 2003: 513-520 Hoffman PC, Gertz MA, Brodsky RA. Immune Hemolytic AnemiaSelected Topic. ~ e m a t d l o2006:l-6 ~~ Reardon JE, Marques MB. Laboratorium Evaluation and Transfusion Support of Patients with Autoimmune Hemolytic Anemia Am J Clin Pathol 2006:125(Supl ) : S71-S77 Shanafelt TD, Madueme HL, Wolf RC, Teferri A,. Rituximab for Immune Cytopenia in Adults: Idiopathic Thrombocytopenia, Autoimmune Hemolytic Anemia, Evan's syndrome. Mayo Clin Proc 2003:78:1340-1346 Provan D, Butler T, Evangelista ML. Activity and Safety Profile of Low Dose Rituxzimab for the treatment of Autoimmune Cytopenias in Adults. Haematologica 2007;92: 1695- 1698.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ANEMIA HEMOLITIK NON IMUN Ikhwan Rinaldi, Aru W. Sudoyo
PENDAHULUAN Anemia hemolisis adalah kadar hemoglobin kurang dari nilai normal akibat kerusakan sel eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya. Etiologi dan Klasifikasi Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena: 1). defek molekular: hemoglobinopati atau enzimopati; 2). abnormalitas struktur dan fungsi membran-membran; 3). faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau autoantibodi. Berdasarkan etiologinya anemia hemolisis dapat dikelompokkanmenjadi: Anemia hemolisis herediter, yang termasuk kelompok ini adalah: Defek enzirnlenzimopati - Defek jalur Embden Meyerhof - Defisiensi piruvat kinase - Defisiensi glukosa fosfat isomerase - Defisiensi fosfogliserat kinase - Defek jalur heksosa monofosfat - Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase (WD)
-
Defisiensi glutation reduktase Hemoglobinopati - Thalassemia - Anemia sickle cell - Hemoglobinopati lain Defek membran (membranopati):sferositosisherediter Anemia hemolisis didapat, yang termasuk kelompok ini adalah: Anemia hemolisis imun, misalnya: idiopatik, keganasan, obat-obatan, kelainan autoimun, infeksi, transfusi Mikroangiopati, misalnya: Trombotik Trombositopenia
Purpura (TTP), Sindrom Uremik Hemolitik (SUH), Koagulasi IntravasMar Diseminata (IUD)lDisseminated Intravascular Coagulatioan (DIC), preekl~inpsia, eklampsia, hipertensi maligna, katup prostetik Infeksi, misalnya: infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi Clostridium Berdasarkan ketahanan hidupnya dalam sirkulasi darah resipien, anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi: 1).Anemia hemolisis intrakorpuskular. Sel eritrosit pasien tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang kompatibel, sedangkan sel eritrosit kompatibel normal dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien; 2). Anemia hemolisis ekstrakorpuskular. Sel eritrosit pasien dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang kompatibel, tetapi sel eritrosit kompatibel normal tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien. Berdasarkan ada tidaknya keterlibatan imunoglobulin pada kejadian hemolisis, anemia hemolisis dikelompokkan menjadi: Anemia hemolisisis imun. Hemolisis terjadi karena keterlibatan antibodi yang biasanya IgG atau gM yang spesifik untuk antigen eritrosit pasien (selalu disebut autoantibodi). Anemia hemolisis non imun. Hemolisis terjadi tanpa keterlibatan imunoglobulin tetapi karena faktor defek molekular, abnormalitas struktur membran, faktor lingkungan yang bukan autoantibodi seperti hipersplenisme, kerusakan mekanik eritrosit karena mikroangiopati atau infeksi yang mengakibatkan kerusakan eritrosit tanpa mengikutsertakan mekanisme imunologi seperti malaria, babesiosis, dan klostridiurn. Pada bagian ini yang dibahas hanya anemia hemolisis non imun yang bukan disebabkan oleh thalasemia dan hemoglobinopati lain.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Patofisiologi Hemolisis dapat terjadi intravaskulardan ekstravaskular. Hal ini tergantung pada patologi yang mendasari suatu penyakit. Pada hemolisis intravaskular, destruksi eritrosit terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma mekanik, fiksasi komplemen dan aktivasi sel permukaan atau infeksi yang langsung mendegradasi dan mendestruksi membran sel eritrosit. Hemolisis intravaskularjarang terjadi. Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis ekstravaskular. Pada hemolisis ekstravaskular destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi sistem retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.
Manifestasi Klinis Penegakkan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pasien mungkin mengeluh lemah, pusing, cepat capek dan sesak. Pasien mungkin juga mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan, meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian obat-obatan dan terpajan toksin serta riwayat keluarga merupakan informasi penting yang hams ditanyakan saat anamnesis. Pada pemeriksaan fisis ditemukan kulit dan mukosa kuning. Splenomegali didapati pada beberapa anemia hemolitik. Pada anemia berat dapat ditemukan takikardia dan aliran murmur pada katup jantung. Selain hal-ha1 umum yang dapat ditemukan pada anemia hemolisis di atas, perlu dicari saat anamnesis dan pemeriksaan fisik hal-ha1 yang bersifat khusus untuk anemia hemolisis tertentu. Misalnya, ditemukannya ulkus tungkai pada anemia sickle cell. Perneriksaan Laboratorium Retikulositosis merupakan indikator terjadinya hemolisis. Retikulositosis mencerminkan adanya hiperplasia eritroid di sumsum tulang tetapi biopsi sumsum tulang tidak selalu diperlukan. Retikulositosis dapat diamati segera, 3-5 hari setelah penurunan hemoglobin. Diagnosis banding retikulositosis adalah perdarahan aktif, mielotisis dan perbaikan supresi eritropoeisis. Anemia pada hemolisis bisanya normositik, meskipun retikulositosis meningkatkan ukuran mean corpuscular volume. Morfologi eritrosit dapat menunjukkan adanya hemolisis dan penyebabnya. Misalnya sferosit pada sferositosis herediter, anemia hemolitik autoimun; sel target pada thalasemia, hemoglobinopati, penyakit hati; schistosit pada mikroangiopati, prostesis intravaskular dan lain-lain. Jika tidak ada kerusakan jaringan organ lain, peningkatan laktat dehidrogenase (LD) terutama LDH 2, dan SGOT dapat menjadi bukti adanya percepatan destruksi eritrosit. Baik hemolisis intravaskular maupun ekstravaskular,
meningkatkan katabolisme heme dan pembentukan bilirubin tidak terkonjugasi. Hemoglobin bebas hasil hemolisis terikat dengan haptoglobin. Hemoglobinhaptoglobin ini segera dibersihkan oleh hati hingga kadar haptoglobin menjadi rendah sampai tidak terdeteksi. Pada hemolisis intravaskular kadar hemoglobin bebas dapat melebihi kadar haptoglobin sehingga hemoglobin bebas difiltrasi oleh glomerulus dan direabsorbsi oleh tubulus proksimal dan mengalami metabolisme. Hasil metabolisme di ginjal ini menghasilkan ikatan antara besi heme dengan simpanan protein (feritin dan hemosiderin). Selanjutnya hemosiderin dikeluarkan ke urin dan terdeteksi sebagai hemosiderinuria. Pada hemolisis intravaskular yang masif, ambang kapasitas absorpsi hemoglobin oleh tubulus proksimal terlewati, sehingga hemoglobin dikeluarkan ke urin dalam bentuk hemoglobinuria.
Pada sel eritrosit terjadi metabolisme glukosa untuk menghasilkan energi (ATP). ATP digunakan untuk kerja pompa ionik dalam rangka mempertahankan milieu ionik yang cocok bagi eritrosit. Sebagian kecil energi hasil metabolisme tersebut digunakan juga untuk penyediaan besi hemoglobin dalam bentuk ferro. Pembentukan ATP ini berlangsung melalui jalur Embden Meyerhof yang melibatkan sejumlah enzim seperti glukosa fosfat isomerase dan piruvat kinase. Selain digunakan untuk membentuk energi, sebagian kecil glukosa mengalami metabolisme dalam eritrosit melalui jalur heksosa monofosfat dengan bantuan enzim glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD) untuk menghasilkan glutation yang penting untuk melindungi hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidan. Defisiensi enzim piruvat kinase, glukosa fofat isomerase dan glukosa 6 fosfat dehidrogenase dapat mempermudah dan mempercepat hemolisis. Berturut-turut prevalensi tersering kejadian defisiensi enzim tersebut adalah G6PD, piruvat kinase dan glukosa fosfat isomerase. Defek Jalur Heksosa Monofosfat Metabolisme glukosa melalui jalur ini meningkat beberapa kali ketika eritrosit terpajan dengan obat-obatan atau toksin yang membentuk radikal oksigen. Dengan ini terjadi regenerasi glutation tereduksi, perlindungan gugus sulfhidril hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidasi. Jika jalur ini terganggu karena faktor herediter, maka kadar glutation tereduksi yang adekuat tidak dapat dipertahankan sehingga gugus sulfhidril hemoblobin teroksidasi, terpresipitasi dalam eritrosit dan membentuk Heinz bodies. Terganggunya jalur ini dapat disebabkan oleh defisiensi G6PD dan glutation reduktase. Namun demikian, kelainan pada glutation reduktase belum terbukti berhubungan bermakna dengan hemolisis.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANEMIA HEMOLlTlK NON AUTOlMUN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Defisiensi G6PD Etiologi dan epidemiologi. Defisiensi enzim ini paling sering mengakibatkan hemolisis. Enzim ini dikode oleh gen yang terletak di kromosom X sehingga defisiensi G6PD lebih sering mengenai laki-laki. Pada perempuan biasanya carrier dan asimptomatik. Di seluruh dunia, terdapat lebih dari 400 varian G6PD. Berbagai varian ini terjadi karena adanya perubahan subtitusi basa berupa peggantian asarn amino. Banyaknya varian ini menimbulkan variasi manifestasi klinik lebar, mulai dari hanya anemia hemolitik nonsferositik tanpa stres oksidan, anemia hemolitik yang hanya terjadi ketika distimulasi dengan stres oksidan ringan, sampai pada abnormalitas yang tidak terdeteksi secara klinis. G6PD normal disebut tipe B. Diantara varian G6PD yang bermakna secaraklinik adalah tipe A-. Tipe ini terutama ditemukan pada orang keturunan Afiika. Tipe Mediteranian relatif sering ditemukan diantara orang Mediteranian asli, dan lebih berat dari varian A- karena dapat mengakibatkan anemia hemolitik nonsferositik tanpa adanya stres oksidatif yang jelas. Manifestasi klinis. Aktivitas G6PD yang normal menurun -50% pada waktu umur eritrosit mencapai 120 hari. Pada Tipe A- penurunan ini terjadi sedikit lebih cepat dan lebih cepat lagi pada varian Mediteranian. Meskipun umur eritrosit pada tipe A- lebih pendek namun tidak menimbulkan anemia kecuali bila terpajan dengan infeksi virus dan bakteri di samping obat-obatan atau toksin yam dapat berperan sebagai oksidan yang mengakibatkan hemolisis. Obat-obatan atau zat yang dapat mempresipitasi hemolisis pada pasien dengan defisiensi G6PD adalah asetanilid, fuzolidon (furokson), isobutil nitrit, metilen blue, asam nalidiksat, naftalen, niridazol, nitrofurantoin, fenazopiridin (piridium), primakuin, pamakuin, dapson, sulfasetamid, sulfametoksazol, sulfapiridin, tiazolsulfon, toluidin blue, trinitrotoluen, urat oksidase, vitamin K, doksorubisin.Asidosis metabolikjuga dapat mempresipitasi hemolisis pada pasien defisiensi G6PD. Hemolisis akut terjadi beberapa jam setelah terpajan dengan oksidan, diikuti hemoglobinuria dan kolaps pembuluh darah perifer pada kasus yang berat. Hemolisis biasanya self-limited karena yang mengalami destruksi hanya populasi eritrosit yang tua saja. Pada tipe A- massa eritrosit menurun hanya 25-30%. Ketika hemolisis akut hematokrit turun cepat diiringi oleh peningkatan hemoglobin dan bilirubin tak terkonyugasi dan penurunan haptoglobin. Hemoglobin mengalami oksidasi dan membentuk Heinz bodies yang tampak pada pewarnaan supravital dengan violet kristal. Heinz bodies tampak pada hari pertama atau sampai ketika badan inklusi ini siap dikeluarkan oleh limpa sehingga membentuk "bite cells". Mungkin juga ditemukan beberapa sferosit. Sebagian kecil pasien defisiensi G6 PD ada yang sangat sensitif dengan fava beans (buncis) dan dapat mengakibatkan krisis hemolisis fulminan setelah terpajan.
Diagnosis. Diagnosis defisiensi G6PD dipikirkanjika ada episode hemolisis akut pada laki-laki keturunan Afrika atau Mediteranian. Pada anamnesis perlu ditanyakan tentang kemungkinan terpajan dengan zat-zat oksidan, misalnya obat atau zat yang telah disebutkan di atas. Pemeriksaan aktivitas enzim mungkin false negatif jika eritrosit tua defisiensi G6PD telah lisis. Oleh karena itu pemeriksaan aktivitas enzim perlu diulang dua sampai tiga bulan kemudian ketika ada sel-sel yang tua. Terapi. Pada pasien dengan defisiensi G6PD tipe A-, hemolisis terjadi self limited sehingga tidak perlu terapi khusus kecuali terapi untuk infeksi yang mendasari dan hindari obat-obatan atau zat yang mempresipitasi hemolisis serta mempertahankan aliran ginjal yang adekuat karena adanya hemoglobinuria saat hemolisis akut. Pada hemolisis berat, yang bisa terjadi pada varian Mediteranian, mungkin diperlukan transfusi darah. Yang terpenting adalah pencegahan episode hemolisis dengan cara mengobati infeksi dengan segera dan memperhatikan risiko penggunaan obat-obatan, zat oksidan dan fava beans. Khusus untuk orang Afrika atau Mediteranian sebaiknya sebelum diberikan zat oksidan hams dilakukan shining untuk mengetahui ada tidaknya defisiensi G6PD. Defek Jalur Embden Meyerhof Etiologi dan epidemiologi. Enzim yang dapat terganggu pada jalur ini dan mengakibatkan anemia hemolisis adalah piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase dan fosfogliserat kinase. Yang terbanyak adalah defisiensi piruvat kinase (95%). Sedangkan defisiensi glukosa fosfat isomerase hanya sekitar 4%. Defek enzim glikolisis ini bisanya diturunkan secara autosomal resesif kecuali fosfogliserat kinase yang diturunkan terkait seks. Kelainan ini mengakibatkan eritrosit kekurangan ATP dan ion kalium keluar sel. Sel eritrosit menjadi kaku dan lebih cepat disekuestrasi oleh sistem fagosit mononuklir. Defisiensi piruvat kinase hanya mengenai sel eritrosit, sedangkan defisiensi glukosa fosfat isomerase dan fosfogliserat kinase juga mengenai sel leukosit meskipun tidak mempengaruhi fungsi leukosit. Manifestasi klinis. Beratnya anemia bervariasi dan gejalanya relatif ringan karena terjadi disosiasi kurva hemoglobin ke kanan. Hemolisis berat terjadi pada masa awal kanak-kanak dengan anemia, ikterus dan splenomegali.Pada perempuan dengan defsisiensi piruvat kinase dapat sangat pucat ketika hamil sehingga sering didiagnosis pertama kali saat itu. Anemia pada pasien ini berupa anemia normositik (makrositik ringan) normokrom dengan retikulositosis. Pada defisiensi piruvat kinase dapat ditemukan eritrosit bizar di antaranya selprickle terutama setelah splenektomi. Diagnosis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI enzimatik khusus dengan menggunakan konsentrasi substrat yang sesuai untuk mendeteksi varian-varian berafinitas rendah terhadap substrat. Terapi. Sebagian besar pasien tidak membutuhkan terapi kecuali pasien dengan hemolisis berat hams diberikan asam folat 1 mgkari. Transfisi darah diperlukan ketika krisis hipoplastik. Splenektomi bermanfaat pa& pasien dengan defisiensi piruvat kinase dan glukosa fosfat isomerase. Dengan splenektomiretikulosit di sirkulasi meningkat.
Tipe Trornbus tombosit sisternik
Trornbus trornbositfibrin predorninan di ginjal
Sebab Kegagalan degradasi faktor von Wilebrand rnultirner besar yang tidak biasa Pajanan dengan toksin Shiga
Defek faktor H plasma
Pada hemolisis mikroangiopatikterjadi kerusakan membran sel eritrosit secara mekanik dalam sirkulasi darah karena adanya fibrin atau mikrotombi trombosit yang tertimbun di arteriol. Sel eritrosit terperangkap dalam jala-jala fibrin dan mengakibatkan terfragmentasinya sel eritrosit. Hemolisis mikroangiopatik dapat terjadi pada abnormalitas dinding pembuluh darah, misalnya pada hipertensi maligna, eklampsia, rejeksi allograft ginjal, kanker diseminata, hemangioma atau disseminated intravascular coagulation (DIC), dan mikroangiopati trombotik: Tronzbotic Thrombocytopenia Purpura (TTP) dan Hemolytic Uremic Syndrome (HUS).
Mikroangiopati Trombotik Mikroangipati trombotik adalah sumbatan mikrovaskular yang terjadi karena agregasi trombosit sistemik atau intrarenal, disertai adanya trombositopenia, dan trauma mekanik sel eritrosit. Yang termasuk kelompok kelainan ini adalah: Thrombotic Trombositopenia Purpura (TTP) dan Hemolytic Uremic Syndrome (HUS). Thrombotic Trombocytopenia Purpura (TTP) Kelainan ini ditandai dengan agregasi trombosit pada arteriol berbagai organ yang mengakibatkan trombositopenia dan memicu kerusakan sel eritrosit yang mengalami fragmentasi (schistocytes atau sel helmet). Agregasi trombosit dapat mengakibatkan oklusi baik parsial atau total sehingga terjadi disfungsi organ yang biasanya terjadi pada sistem saraf atau ginjal. Oklusi ini menyebabkan jaringan iskemia atau nekrotik sehingga meningkatkan kadar laktat dehidrogenase. Adapun eritrosit yang mengalami fragmentasi terjadi karena adanya aliran darah melalui area turbulen dari mikrosirkulasi mengalami oklusi parsial karena agregasi trombosit. TTP dapat terjadi pada semua usia terutama dewasa muda dan lebih sering perempuan. Patogenesis. Pada TTP trombus tombosit/agregasi trombosit mengandung banyak faktor von Willebrand sedangkan pada DIC tombus trombosit mengandung banyak fibrin tetapi tidak mengandung faktor von
Trornbus renal atau sisternik
Transplantasi atau obat (rnytornicin, cyclosporin, tacrolirnus, quinine)
Presentasi klinis Thrombotic Trombocytopenia Purpura
Klasik, kanak-kanak atau Hemolytic Uremic Syndrome yang berhubungan dengan E. Coli Hemolytic Uremic Syndrome (HUS) familial (atau rekuren) Hemolytic Uremic Sydrome atau Thrombotic Trombocytopenia Purpura
Wilebrand. Situasi ini karena agregasi trombosit pada TTP diperantaraioleh faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa, yang lebih mudah.berikatan dengan Iba. Adanya faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa ini karena adanya defek atau defisiensi enzim metaloprotease, ADAMTS 13, yang bertugas memecah multimer faktor von Wilebrand. Defek atau defisiensi enzim ini dapat terjadi karena mutasi gen atau adanya antibodi yang menghambat enzim tersebut. Sehingga ditemukan dua tipe TTP yaitu familial dan didapat. Pada kedua tipe ini aktivitasADAMTS 13 kurang dari 5 persen normal. Manifestasi klinik. ~anifestasiklinik klasik TTP ada lima, yang sering disebut dengan pentad TTP, yaitu anemia hemolitik dengan fragmetasi eritrosit, trombositopenia, kelainan neurologik fokal atau dihs, p e n m a n fungsi ginjal dan demam. Secara praktis triad TTP: trombositopenia, skistositosis, dan peningkatan LDH cukup untuk menduga adanya TTP. Gejala dan tan& TTP bervariasi tergantung pada jumlah dan lokasi lesi arteriol.Anemia pada TTP bisa sangat ringan sampai sangat berat dan derajat trombositopenia biasanya paralel dengan derajat anemia. Gejala neurologi biasanya tampakjikajumlahtrombosit (<20.000-30.000). Demam tidak selalu ada. Onset TTP akut tetapi bisa berlangsung dalam hitungan bulan. Proteinuria dan peningkatan urea nitrogen darah (BUN) mungkin ditemukan dan terns meningkat jika berkembang menjadi gaga1ginjal. Gejala neurologis berkembang pada >90% pasien yang penyakitnya berakhir dengan kematian. Awalnya terjadi perubahan mental seperti bingung, delirium, perubahan kesadaran. Pasien dapat mengalami kejang, hemiparesis, afasia, dan kelainan lapang pandang mata. Gejala neurologis ini berfluktuasi dan berakhir dengan koma. Keterlibatan pembuluh darah jantung bisa mengakibatkan kematian mendadak. Beratnya kelainan dapat diperkirakan dengan derajat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1161
ANEMIA HEMOLITIK NON AUTOIMUN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
anemia, trombositopenia, dan kadar serum LDH. Masa protrombin, masa tromboplastin parsial, dan konsentrasi fibrinogen serta kadar fibrin degradation product (FDP) biasanya normal atau hanya abnormal ringan. Bila pemeriksaan koagulasi menunjukkan konsurnsi faktor pembekuan yang berlebihan maka diagnosis TTP diragukan. Pada 20% pasien didapatkan Anti nuclear antibody (ANA) yang positif.
Klasifikasi Ada dua tipe TTP: 1). Familial. Muncul pada masa bayi atau kanak-kanak dan kambuh dengan interval teratur tiga minggu (dirujuk sebagai thrombotic trombositopenia kronik kambuh); 2). Idiopatik didapat. Muncul pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih tua dan biasanya merupakan episode akut tunggal. Hanya 11-36% yang kambuh dengan interval tidak teratur. Biasanya terjadi dalam beberapa minggu setelah terapi awal trombosis arteri pada pasien trombosis arteri yang mendapat tiklopidin, inhibitor adenosis disfosfat (ADP) dan sebagian kecil yang pasien yang menerima klopidogrel. Kelainan ini juga bisa terjadi pada waktu kehamilan terutama trimester akhir atau periode postpartum. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya anemia hemolitik dengan fragmentasi eritrosit, tes koagulasi normal, demam, kelainan neurologi dan gangguan fungsi ginjal, yang merupakan kelainan patognomonik untuk TTP. Meski tidak selalu dibutuhkan untuk diagnosis, biopsis kulit dan otot, gusi, kelenjar getah bening, atau sumsum tulang, menunjukkan kelainan arteriol yang khas. Diagnosis Banding. Idiopathic trornbocytopenicpurpura (ITP) atau Evan k Syndrome. Pada kedua kelainan ini ditemukan juga fragmentasi eritrosit tetapi bukan eritrosit sferositik. Pada TTP tes Coombs negatif Terapi. Pada TTP familial, episode TTP dapat dicegah dengan pemberianfieshfiozen plasma yang mengandung sedikit trombosit, plasma mengandung sedikit kriopresipitat (cryosupernatant) atau plasma yang dicampur dengan pelarut dan detergen yang berisi metaloprotease aktif yang diberikan tiap tiga minggu. Tidak dibutuhkan plasmaferesis. Pada TTP idiopatik didapat perlu dilakukan plasma exchage (plasma tukar) yaitu kombinasi plasmaferesis dengan infus FFP atau cryosupernatant, setiap hari. Plasmaferesis bertujuan untuk mengeluarkan faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa dan autoantibodi terhadap ADMTS 13). Jika respon baik (trombosit meningkat dan LDH menurun) frekuensi plasma tukar dapat dikurangi tetapi kadang-kadang diteruskan untuk beberapa minggu atau bulan. Lebih dari 90% pasien dapat bertahan hidup dengan pemberian segera terapi ini. Pada keadaan dimana autoantibodi ADAMTS 13
titernya tinggi terapi plasma tukar mungkin tidak memperbaiki keadaan. Pada kondisi ini dapat diberikan vincristine, siklofosfamid, atau dilakukan splenektomi. Koma tidak merupakan kontraindikasi terapi karena perbaikan status neurologi pasien merupakan parameter respons terapi. Transfusi trombosit tidak boleh diberikan karena dapat mempresipitasi kejadian trombosis kecuali terbukti adanya ancaman perdarahan intrakranial. Aspirin dapat memprovokasi perdarahan pada pasien dengan trombositopenia berat. Hemolytic Uremic Syndrome ( H U S )
Etiologi, epidemiologi dan patogenesis. HUS terjadi pada 9-30% anak-anak. Di Buenos Aires Argentina, dan Calgary, Canada, infeksi enterohemoragik E. Coli endemik dan HUS menjadi sebab umum gagal ginjal akut pada anak-anak. Biasanya diawali dengan diare berdarah yang disebabkan oleh Eschericia Coli 0157:H7 yang menghasilkan toksin Shiga 1 dan 2 dan Shigela dysentriae yang menghasilkan toksin Shiga, yang sering mengkotaminasi daging, susu, dan keju yang tidak dimasak dengan matang. Diare berdarah biasanya terjadi satu minggu sebelum HUS. Toksin shiga masuk ke dalam sirkulasi intestinal dan berjalan di dalam plasma dan permukaan trombosit atau monosit. Toksin berikatan dengan molekul endotel kapiler glomerular, sel mesangial, dan sel epitel glomerular dan tubular, yang kemudian merusak endotel sel melalui pembentukan faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa. HUS bisa familial tapi jarang (5-10%). Meski jarang, mortalitas HUS familial lebih tinggi (54%) daripada HUS pada anak-anak (5%). S e w a n besar pasien HUS familialmengalami defisiensi atau defek faktor komplemen H yang bertugas mencegah kerusakan sel melalui jalur alternatif komplemen. Defek faktor H ini terjadi karena adanya mutasi pada gen faktor H yang dapat diturunkan secara resesif dan dominan. Herediter resesif bermanifestasi HUS pada dewasa muda sedangkan herediter dominan bermanifestasi HUS dipresipitasioleh infeksi atau kehamilan. Di samping dua tipe di atas, ditemukanjuga HUS yang terjadi pada pasien yang diterapi dengan obat antikanker mitomycin C, bisanya dalam kombinasi dengan obat lain dan pasien yang menerima kemoterapi dosis tinggi dengan transplantasi sumsum tulang autologus. Manifestasi klinik. Kelainan ini hampir sama dengan TTP, bercirikan lesi arteriol dan temuan laboratoriunyang sama. Lesi arteriol HUS hanya terjadi di ginjal sehingga jarang menimbulkan kelainan neurologi. Anemia hemolitik, trombositopenia purpura, dan gagal ginjal akut oligurik. Kebanyakan pasien mengalami hemoglobinuria atau anuria. Pemeriksaan darah tepi dan tes koagulasi tidak dapat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
dibedakan dengan TTP. Terapi. Pada HUS ringan pada anak-anak dengan oligoanuria <24 jam, biasanya pemberian cairan dan elektrolit cukup. Pada dewasa sering terjadi gagal ginjal akut yang lebih berat sehingga membutuhkan perawatan seperti penyakit gagal ginjal terminal, dialisis. Terapi lain adalah plasmaferesis dan transfusi. Pemberian FFP yang mengandung faktor H tidak mencegah kekambuhan maupun progresivitas penyakit ginjal. Antimotilitas dan antibiotik dapat meningkatkan HUS. Efikasi glukokortikoid, dekstran dan heparin belum jelas.
Koagulasi lntravaskular Diseminata (KID) Lebih jarang menimbulkan anemia karena derajat hemolisinya lebih sedikit dibandingkan dengan TTP dan HUS. KID terjadi karena aktivasi sistem koagulasi yang tidak sesuai yang dipicu deposisi fibrin pada dinding pembuluh darah kecil yang dapat menyebabkan fiagmentasi eritrosit pada seperempat pasien KID. Terapi sesuai terapi KID dan sebab yang mendasarinya. Kelainan Dinding Pembuluh Darah Lain Hipertensi maligna, eklampsia,rejeksi alograf ginjal, kanker diseminata atau hemangioma dapat menyebabkan hemolisis traumatik. Derajat hemolisisnya ringan tetapi banyak ditemukan fragmentasi eritrosit di darah tepi. Trombositopenia berat dapat ditemukan pada beberapa pasien. Terapi penyakit dasarnya dapat menghentikan hemolisis. Katup Prostesis Pada 10% pasien dengan katup prostesis aorta terjadi framentasi sel eritrosit. Meski sedikit ha1 ini bisa terjadi juga pada prostesis katup mitral. Pemendekan waktu hidup eritrosit terjadi juga pada beberapa pasien dengan stenosis aorta kalsifikasi berat dan hampir semua lesi intrakardiak. Pasien yang menjalani bypass aortofemoral juga diamati mengalami hemolisis traumatik Sferositosis Herediter Sferositosis herediter merupakan kelompok kelainan sel darah merah dengan gambaran eritrosit bulat seperti donat dengan fragilitas osmotik yang meningkat. Sferositosis herediter merupakan kelainan autosom dominan dengan insiden 1:1000 sampai 1:4500 penduduk. Pada lebih kurang 20% pasien penyakit ini merupakan kelainan autosom resesif yang diturunkan dan mutasi genetik spontan.
Etiologi dan patogenesis. Kelainan utarna pada sferositosis herediter adalah terdapatnya defek pada protein pembentuk membran eritrosit, akibat defisiensi spectrin, ankryn dan atau protein pita 3 atau protein 4.2. Hal ini menyebabkan defek vertikal dan kehilangan membran lemak dan luas
permukaan secara progresif diikuti pembentukan mikrosferosit. Akibat kelainan tersebut terjadi peningkatan fiagilitas osmotik eritrosit menyebabkan bentuk eritrosit yang bulat dan hilangnya permukaan membran. Terjebaknya sel eritrosit dalam limpa Manifestasi klinis dan laboratoris. Gejala klinis mayor sferositosis herediter adalah anemia, splenomegali dan ikterus. Ikterus dapat terjadi secara berkala sehingga luput dari perhatian orang tua saat anak masih kecil. Akibat peningkatan produksi pigmen empedu karena destruksi eritrosit, sering terbentuk batu empedu berpigmen, bahkan pada masa kanak-kanak. Hiperplasia sel eritroid sumsum tulang sebagai kompensasi destruksi sel eritrosit terjadi melalui perluasan sumsum merah ke bagian tengah tulang panjang. Tidak jarang terjadi eritropoiesis ekstra meduler di paravertebral, yang secara kebetulan terlihat pada foto thoraks. Kompensasi sumsum tulang terkadang mengalami gangguan akibat keadaan hipoplasia eritroid yang dipicu adanya infeksi terutama oleh Pantovirus. Splenomegali merupakan ha1 yang umum terjadi. Kecepatan hemolisis meningkat perlahan selama terjadinya infeksi sistemik, merangsang pembesaran limpa. Pada pemeriksaan mikroskopik, didapatkan sel eritrosit yang kecil berbentuk bulat dengan bagian sentral yang pucat. Hitung MCV biasanya normal/sedikit menurun. MCHC meningkat sampai 350-400 gldl. Untuk mengetahui secara kuantitatif sferoidisitas dilakukan pengukuran fragilitas osmotik eritrosit dengan menggunakan cairan hipoosmotik. Diagnosis dan terapi. Sferositosis herediter harus dibedakan dengan sel sferosit pada anemia hemolitik autoimun dengan pemeriksaan uji Coombs. Sferositosis juga terjadi pada reaksi hemolisis akibat splenomegali pada pasien sirosis hepatis, infeksi clostridium, bisa ular. Kelainan ini juga dapat terjadi pada anemia hemolitik yang lain seperti pada pasien defisiensi enzim G6PD. Pengobatan. Splenektomi dianjurkan pada pasien dengan anemia hemolitk sedang dan berat. Meskipun pasca splenektomi, anemia tetap terjadi, namun tidak berat. Pada anemia hemolitik yang berat, perlu diberikan preparat asam folat 1 mglhari sebagai profilaksis. Elipsitosis Herediter Ditandai oleh eritrosit dengan bentuk oval atau elips. Insiden Elipsitosis herediter ini diperkirakan 1:1000 sampai 1:4500 penduduk. Insiden sebenarnyatidak diketahui karena derajat keparahan secara klinis bervariasi kadang tanpa gejala. Etiologi dan patogenesis. Prinsip kelainan pada elipsitosis herediter adalah kelemahan secara mekanis yang berakibat meningkatnya fragilitas osmotik membran eritrosit. Hal ini
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANEMIA HEMOLITIK NON AUTOlMUN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
disebakan adanya gangguan sintesis protein spectrin a dan p, protein 4.1 dan glicophoryn C pembentuk membran eritrosit. Sebagian besar kelainan ini diturunkan secara autosomal dominan. Gejala klinis dan laboratoris. Gejala klinis bervariasi, dari tanpa gejala sampai anemia berat. Hemolisis yang terjadi dipicu adanya infeksi, hipersplenisme, defisiensi vit B 12 atau adanya KID. Pada pemeriksaan laboratorikdidapatkan gambaran eritrosit bentuk elips menyerupai puntung rokok. Dapat pula dijumpai eritrosit bentuk oval, spherosit, stomasit dan fragrnen. Pengobatan. Pengobatan jarang dibutuhkan pasien. Pada beberapa kasus yang jarang diperlukan pemberian tranfusi sel darah merah. Pada kasus yang berat, splenektomi merupakan pengobatan paliatif mencegah kerusakan dan destruksi eritrosit yang berlebihan. Pasien dengan hemolisis kronik perlu diberikan asam folat sebagai profilaksis.
Paroxysmal Nocturnal Haemoglobinuria ( P N H ) PNH ditandai oleh penurunan jumlah sel darah merah (anemia) serta terdapatnya darah di dalam urin (hemoglobinuria) dan plasma (hemoglobinemia), yang terjadi setelah tidur. Pasien PNH berisiko tinggi mengalami kejadian trombosis mayor, terbanyak trombosis pada aorta abdominalis. Kebanyakan pasien meninggal aki