HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
BUKU AJAR ILMU PENYAKIT DALAM Edisi Kelima Jilid I1
Aru W. Sudoyo
Marcellus Simadibrata K.
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Gastroenterologi Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, Jakarta
Bambang Setiyohadi
Siti Setiati
Konsdtan Reumatologi Divisi Reurnatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, Jakarta
I h s Alwi Konsultan Kardiologi Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalarn Diponegoro 7 1 Jakarta Pusat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Editor: Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati
Editor Topik: Ari Fahrial Syam, Arif Mansjoer, Arina Widya Murni, C. Rinaldi Lesmana, Ceva W. Pitoyo, Dante Saksono Harbuwono, Dyah Purnamasari, Erni J. Nelwan, Esthika Dewiasty, Hamzah Shatri, Ika Prasetya Wijaya, Ikhwan Rinaldi, Imam Effendi, M. Begawan Bestari, Nafrialdi, PN. Haryanto, Parlindungan Siregar, Purwita W. Laksmi, Rudy Hidayat, Ryan Ranitya, Sally A.Nasution, Teguh Harjono Karjadi, Tri Juli Edy Tarigan
Redaktur Pelaksana: Setting dan Layout: Design Cover:
Nia Kurniasih Edy Supardi, Nia Kurniasih, Sudiariandini S., Harry Haryanto, Zikri Anwar, Sandi Saputra Harry Sugianto
210mmx275 mm 30 + 928 halaman ISBN : 978-979-9Y55-95-b(Ji1id L e n g k a p ) ISBN : 97B-979-9455-97-O(Ji1id 1 1 )
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Sanksi Pelanggaran Pasal44 Undang -undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas undang-undang Nomor 6 Tahun 1987 Tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Nomor 7 Tahun 1987. 1.
2.
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000.00,(seratus juta rupiah) barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (I),dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000.00,- (lima puluh juta rupiah)
Diterbitkan pertama kali oleh: InternaPublishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam J1. Diponegoro 71 Jakarta Pusat 10430 Telp. : 021-3193775 Faks. : 021-31903776 Email :
[email protected] Cetakan Pertama November 2009 Cetakan Kedua Agustus 2010
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan, sehingga kami dapat menerbitkan revisi Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi ke-V. Buku ini merupakan penyempunaan buku edisi sebelumnya. Revisi selalu kami upayakan karena kami meyadari begitu cepatnya perkembangan tatalaksana di bidang ilmu Penyakit Dalam. Hal inilah yang membuat kami beke rja keras agar dapat menerbitkan buku yang dapat dijadikan andalan. Kami berhararap buku ini dapat dijadikan pintu masuk untuk mengembangkan diri menelusuri sumber-sumber ilmu pengetahuan kedokteran lebih lanjut. Buku ajar edisi ini mengalami perubahan hampir di semua bab. Perkembangan terbaru dalam 4 tahun terakhir telah menjadi bagian dalam buku ini. Pada proses revisi, dari 450 naskah terdapat 81 naskah yang direvisi. Seperti buku sebelumnya, buku ini juga berisi bab dasar-dasar ilmu penyakit dalam serta pendekatan holistiknya, ditambah pula kedokteran kegawatdaruratan (emergency medicine), genetika, biologi molekular, dan ilmu kedokteran adolesen dan kami menambahkan satu bab baru khusus untuk penatalaksanaan Nutrisi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Kami tim editor amat sadar karena keterbatasan yang kami miliki saat buku ini terbit, pasti telah terjadi penambahan informasi maupun pengetahuan yang tidak sempat dimuat. Untuk itu, para pembaca dipersilakan menelusuri kepustakaan yang telah dicantumkan sebagai bacaan anjuran di akhir setiap topik, dengan memegang asas medicine is a life-long study. Tim editor mengucapkan terima kasih kepada Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia (PB. PAPDI) yang tetap percaya memberikan tugas terhormat hi, Juga kepada tim editor buku ajar sebelumnya yang telah bekerja keras merevisi buku ajar ini sehingga kita dapat memiliki Buku Ajar yang menjadi acuan di bidang ilmu kedokteran di seluruh Indonesia. Tim editor juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, para penulis dari seluruh negeri, sekretariat Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Jakarta, tim editor dan semua pihak yang telah rela meluangkan waktu menulis dan mengedit buku ini Kami sangat menyadari buku ini pasti tidak luput dari kesalahan-kesalahan, baik itu berupa salah ketik, kesalahan dalam bahasa maupun tata letak. Pada kesempatan ini tim editor memohon maaf kepada para penulis maupun pembaca. Masukan, kritik dan saran akan kami jadikan cambuk supaya kami dapat menerbitkan buku ajar ini kearah yang lebih baik. Insya Allah.. ... Sebagai kata akhir, perkenankan kami juga mengucapkan penghargaan kami kepada semua mahasiswa fakultas kedokteran di Indonesia yang dengan kepercayaan merupakan motivator serta pendorong semangat bagi kami untuk menyelesaikan buku ajar ini sebaik mungkin. Tanpa kalian, mahasiswa di seluruh Indonesia, buku ini tidak akan menjadi seperti sekarang ini. Semoga persembahan para anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia bagi masyarakat kedokteran dapat lebih menerangi dunia ilmu kedokteran di negara ini untuk Indonesia yang lebih maju lagi.
Jakarta, Nopember 2009 Tim Editor
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Assalamu'alaikum wr. wb. Sejawat Yang Terhormat. Kita bersama mengucapkan syukur pada Tuhan YME bahwa Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ini telah mencapai cetakan yang kelima, sehingga buku yang telah banyak dibaca ini senantiasa diremajakan dan tetap populer. Ada beberapa makna dari keberadaan buku ini yang saya ingin garis bawahi', yaitu 1)Ilmu Penyakit Dalam masih tetap utuh dengan semua subdisiplin yang bernaung di bawahnya, yaitu Alergi dan Imunologi, Gastroenterologi, Geriatri, Ginjal dan Hipertensi, Hematologi dan Onkologi, Hepatobilier, Kardiologi, Metabolik dan Endokrin, Pulmonologi, Psikosomatik, Reumatologi dan Penyakit Tropik dan Infeksi. Pendekatan holistik yang menjadi falsafah dasar cabang utama dan tertua Ilmu Kedokteran ini menjadi landasan bagi semua cabang-caban g ilmu kedokteran lainnya, dan untuk Indonesia ha1 ini menjadi lebih penting karena luasnya wilayah serta besarnya populasi yang harus dijangkau. Hal lain adalah 2) keterlibatan dan partisipasi begitu banyaknya anggota Perhimpunan Dokter Spersialis Penyakit Dalam (PAPDI) dalam penulisan buku ini, sesuatu yang membahagiakan bagi setiap pengurusnya, karena menunjukkan tidak hanya kebersamaan tetapi juga suatu tekad besar untuk berjalan bersama.
Para penulis Buku Ajar Penyakit Dalam ini adalah para anggota PAPDI dari seluruh Indonesia yang ditunjuk tim editor dan telah meluangkan waktunya di samping kesibukan masing-masing. Tidaklah mudah untuk menyusun suatu makalah yang akan digunakan sebagai referensi oleh calon-calon dokter dan spesialis, dan tidak ringan bagi para editor untuk mengirim kritik serta saran dalam perjalanan merealsisasikan buku ajar ini. Untuk itu saya sebagai Ketua Umum menyampaikan apresiasi serta terima kasih yang sebesar-besarnya. Saya yakin buku ini dapat menjadi referensi yang baik bagi para dokter, baik mahasiswa kedokteran, dokter umum, calon Dokter Spesialis Penyakit Dalam maupun dokter dari keahlian lainnya. Dengan membaca buku ajar ini diharapkan kemampuan sejawat meningkat baik dalam teori maupun keterampilan sehingga pelayanan pada pasien pun akan meningkat kualitasnya. Sekali lagi saya mengucapkan selamat atas terbitnya buku ajar cetakan kelima ini, semoga Allah SWT meberikan rahmatNya pada kita semua. Amin.
Jakarta, Nopember 2009 Ketua DR. dr. Aru W Sudoyo, SpPD-KHOM, FACP
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Prof. DR. Dr. A Harryanto Reksodiputro, Sp.PD
Dr. Agus S.Waspodo, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Dr. A. Madjid, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Subbagian Ginjal Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RS. Wahidin Sudirohusodo, Makassar.
Konsultan Kardiovaskular, Bagian Fisiologi, FK. USU/RSUP. Dr. Pringadi Medan
Prof. Dr. Agus Tessy, Sp.PD
Dr. A. Muin Rachman, Sp.PD
Konsultan Kardivaskular Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. H. Ahmad A Asdie, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSU Dr. Sardjito, Yogyakarta
Dr. A. Sanusi Tarnbunan, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Ahmad Fauzi, Sp.PD
Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. H. A.Aziz Rani, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi Hepatologi Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Ahrnad Rasyid, Sp.PD
Konsultan Pulmonologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSUP, Dr. Moh. Hoesin, Palembang Dr. Aida Lydia, Sp.PD
Dr. A. Nurman, Ph.D, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSAL Mintoharjo, Jakarta
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilrnu Penyakit Dalarn FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. H. Akmal Sya'roni, Sp.PD
Prof. Dr. A.R.Nasution, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang
Prof. Dr. Abdulmuthalib, Sp.PD
Dr. Ali Djurnhana, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RSUP. Hasan Sadikin, Bandung
Dr. Adiwiyono, Sp.PD
Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RS Dr. Moh.Hoesin Palembang
.
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Dr. Agus P. Sarnbo, Sp.PD
Bagian Penyakit Dalam, FK Univ. Hasmuddin/ RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar
Prof. Dr. Ali Ghani, Sp.PD
Prof. Dr. H. AIi Sulaiman, Ph.D, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dr. Alwi Shihab, Sp.PD
Prof. DR. Dr. Askandar Tjokroprawiro, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
Dr. Alwinsyah, Sp.PD
Prof. Dr. Asrnan Manaf,Sp.PD
Divisi Pulmonologi dan Alergi-Imunologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAND/RS Dr. M. qamil, Padang
Dr. Arnaylia Oehadian, Sp.PD
Dr. Asril Bahar, Sp.PD
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Konsultan Pulmonologi-Konsultan Geriatri Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Dr. AMC Karena-Kaparang, Sp.PD
Dr. Asrul Harsal, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Sam Ratulangi/RSU Malalayang, Manado
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Arni Ashariati,Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Lab. Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Andi Fachruddin Benyarnin,Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RS Wahidin Sudirohusodo, Makassar
Prof. Dr. Azhar Tandjung, Sp.PD
Konsultan Alergi Imunologi-Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi dan Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUD Dr. Pringadi-RSUP.H.Adam Malik, Medan Prof. Dr. B. Fanani Lubis, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RS Dr. Pringadi
Dr. Andri Sanityoso, Sp.PD
Dr. B.J. Waleleng, Sp.PD
Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/RSUP Malalayang, Manado
Dr. Ari Baskoro, Sp.PD
Divisi Alergi Imunologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD. Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Ari Fahrial Syarn, Sp.PD, MMB
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Arif Mansjoer, Sp.PD, KIC
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Arnadi Taslirn, Sp.PD
RS. Krakatau Steel Cilegon, Jawa Barat DR. Dr. Aru W. Sudoyo, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi hledik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. B. P. Putra Suryana, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Seksi Reumatologi, Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RS Dr. Saiful Anwar, Malang Dr. Barnbang lrawan M, Sp.PD
SMF Penyakit Dalam FK. UGM/RSUP. Dr. Sardjito, Yogyakarta Dr. Barnbang Karsono, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Barnbang Setiyohadi, Sp.PD
Konsultan Reumatologi, Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Boedhi Darrnojo, Sp.PD
Dr. Arya Govinda, Sp.PD
Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Dr. Aryanto Suwondo, Sp.PD
Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalani FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang Dr. Barnbang Sigit Riyanto, Sp.PD
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Prof. Dr. Barwani Hisyam, Sp.PD
Dr. Chairul Effendi, Sp.PD
Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP. Dr. Sardjito, Yogyakarta
Konsultan Alergi Imunologi Subbagian Alergi Imunologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalarn FK UNAIR/RSUD. Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Candra Wibowo, Sp.PD
Dr. Blondina Marpaung, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUD. Dr. kingadi-SUF. H. Adam Malik, Medan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Sam Ratulangi/RSU Malalayang
Prof. DR. Dr. Asman Boedisantoso R, Sp.PD
Konsultan Penyakit ~ r o ~ dan i k Infeksi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNMUL/RSUD A. Wahab Sjahranie, Samarinda
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Boediwarsono, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Lab. Ilmu Penyakit Dalam FK. UNAIR/RS. Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Budi Darmawan Machsoos, Sp.PD
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang Dr. Budi Muljono, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RS Dr. Moh. Hoesin, Palembang Dr. Budi Setiawan, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalarn FKUI/RSUPN-CM, Jakarta DR. Dr. Budiman, Sp.PD
Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Budiono, Sp.PD
Divisi Pulmonologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
ana ado
Dr. Carts A. Gunawan,Sp.PD
Dr. Chudahman Manan, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta DR. Dr. Cleopas Martin Rumende, Sp.PD
Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Cosphiadi Irawan, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta DR. Dr. Czeresna Heriawan Soejono, Sp.PD, MEpid
Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Dadang Makmun, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. DR. Dr. Daldiyono Hardjodisastro, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Dr. Dante Saksono Harbuwono, PhD, SpPD
Dr. C. Singgih Wahono,Sp.PD
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang
Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Catharina Suharti, Sp.PD
Prof. Dr. Dasnan Ismail, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang
Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Ceva Wicaksono Pitoyo, Sp.PD
Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Daulat Manurung, Sp.PD
Dr. Chairul Bahri, Sp.PD
Dr. Dewa Putu, Sp.PD
Bagian Ilmu Penyakit Dalam , FK USU/RS Dr. Pringadi, Medan
Subbagian Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dr. Dharrneizar, Sp.PD
Dr. Edy Mart Salim, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Alergi Imunologi, Subbagian Alergi Imunologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSMH, Palembang
Dr. Dharrnika Djojoningrat, Sp.PD
Divisi Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi, Departemen I h u Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Prof. DR. Dr. Dina Jani Mahdi, Sp.PD
Konsultan Alergi Imunologi Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Djoko Wahono, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang
Dr. Eko Budiono, Sp.PD
Dr. Elias Pardjono, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta Prof. DR. Dr. Endang Susalit, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Djoko Widodo, Sp.PD
Prof. Dr. Enday Sukandar, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Lnfeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Ginjal Hipertensi Subbagian Ginjal Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RSUP. Hasan Sadikin, Bandung
Dr. Djoni Djunaedi, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang Dr. Dody Ranuhardy, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Erwanto Budi W., Sp.PD
Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta DR. Dr. Evy Yunihastuti, Sp.PD
Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. F. Surnanto Padrnornartono, Sp.PD
Dr. Dono Antono, Sp.PD
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Doni Priarnbodo Witjaksono, Sp.PD
Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta Prof. Dr. Dwi Sutanegara, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP. Sanglah Denpasar, Bali Dr. E.N. Keliat, Sp.PD
Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUD.Dr. Pringadi-RSUP.H.Adam Malik, Medan Prof. Dr. Eddy Soewandojo Soewondo, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Lab. Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr.Sutomo, Surabaya Prof. Dr. Edu Tehupeiory, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Subbagian Reumatologi, Bagian llmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RSUP. Dr. Wahidin S. Makassar
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang Dr. Faridin, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Subbagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Hasanuddin, Makasar Dr. Gatoet Isrnanoe, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RS Dr. Sjaiful Anwar Malang Dr. Gatot Soegianto, Sp.PD
Subbagian Alergi Imunologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUP Dr. Soetomo. Surabaya Dr. Ginova Nainggolan, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Prof. DR. Dr. Guntur Hermawan, Sp.PD
Prof. Dr. Hanafi B. Trisnohadi, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Subbagian Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Surakarta/RSUD Dr. Moewardi, Solo
Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. H. Soemarsono, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Bagian Patologi Klinik, Bagian Penyakit Dalam FK Univ. Brawaijaya, Malang
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Meksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof.Dr. H.A. Fuad Bakry F, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang Prof. Dr. H.A.M.AkiI, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RSUP Dr. Wahidin S. Makassar Dr. H.E. Mudjaddid, Sp.PD
Konsultan Psikosomatik Divisi Psikosomatik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. H. Hanum Nasution, Sp.PD
Kansultan Psikosomatik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSU Dr. Pringadi, Medan Prof. Dr. H.M.S. Markum, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Hadi Halim, Sp.PD
Konsultan Pulmonologi SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RS Dr. Moh. Hoesin, Palembang Dr. Hadi Martono, Sp.PD
Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi Sernarang
Prof. Dr. Handono Kalim, Sp.PD
Dr. Hans Salonder, Sp.PD
Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Sam Ratulangi/RSU Malalayang, Manado Prof. Dr. Hariono Achmad, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RSUD. Dr. Sjaiful Anwar, Malang Dr. Harlinda Haroen, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/ RSUP Malalayang, Manado Prof. DR. Dr. Harry Isbagio, Sp.PD
Konsultan Reumatologi-Konsultan Geriatri Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSU Dr. Pringadi, Medan Prof. DR. Dr. Hendromartono, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya Prof. Dr. Herdiman T. Pohan, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Hermasyah, Sp.PD
Dr. Hadi Yusuf, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Subbagian Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS. Hasan Sadikin, Bandung
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSU Dr. Moh. Hoesin, Palembang
Prof. DR. Dr. Abdul Halim Mubin, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/ RSUP Dr. Soetomo, Surabaya
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RSUP Dr.Wahidin S, Makassar
Prof. Dr. Hernomo Kusumobroto, Sp.PD
Dr. HamzahShatri, Sp.PD, MEpid
Prof. DR. Dr. Heru Sundaru, Sp.PD
Konsultan Psikosomatik Divisi Psikosomatik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Alergi Imunologi Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dr. Hilman Tadjoedin, Sp.PD
Prof. Dr. lman Supandiman, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/ RS Hasan Sadikin, Bandung
Dr. Hirlan, Sp.PD
DR. Dr. Iris Rengganis, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUD Dr. Kariadi, Semarang
Konsultan Alergi Imunologi, Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. IGde RakaWidiana, Sp.PD
Dr. lrsan Hasan; Sp.PD
Divisi Ginjal Hipertensi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah, Bali
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUIJN-CM, Jakarta
Dr. IKetut Suega, Sp.PD
Divisi Hematologi-Onkologi Medik Bagian/ SMF Penyakit Dalam FK UDAYANA/RS Sanglah ~en~asar3ali
Dr. l n a Wahid,Sp.PD
Subagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAND/RS Dr. M. Djamil, Padang
Prof. DR. Dr. IMade Bakta, Sp.PD
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK uNUD/RSL.JP Sanglah Denpasar, Bali Dr. Ian Effendi N. Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Ddam FK UNSRI/RS. Moh. Hoesin, Palembang
Prof. Dr. lskandar Zulkamaen, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. lswan A. Nusi, Sp.PD
Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalarn FK UNAIR/EL.JP Dr. Soetomo, Surabaya
Dr. lbnu Punvanto, Sp.PD
Subbagian Hematologi-OnkoIog Medik SMF IImu Penyakit Dalam FK UGM/RSL.JP Dr. Sardjito, Yogyakarta DR. Dr. ldrus Alwi, Sp.PD
Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. lwang Gurniwang, Sp.PD
Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Jodi Sidharta Loekman, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali
Dr. Ika PrasetyaWijaya, Sp.PD
Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Dr. lkhwan Rinaldi, Sp.PD
Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departernen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta DR. Dr. lmam Effendi, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
DR. Dr. Johan Kurnianda, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/ RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta Prof. DR. Dr. Johan S. Masjhur, SpPD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/ RS Hasan Sadikin, Bandung Dr. Johanes Purwoto,Sp.PD
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Dr. lmam Subekti, Sp.PD
Prof. Dr. John M.F. Adam, *PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Divisi Endokrin dan Metabolik Bagian Penyakit Dalam FK Univ. Hasanuddin/RS Dr. Wahidin S, Makasar
ONLY SCANNED FORxii dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI DR. Dr. Joewono Soeroso, MSc, Sp.PD
Dr. Kuntjoro Harimurti, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Lab. UPF Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr. Sutomo, Surabaya
Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Jose Roesma, PhD, Sp.PD
Konsultan Patologi Klinik Bagian Patologi Klinik FK Univ. Brawijaya, Malang
DR. Dr. Kusworini Handono, Sp.PK
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Laurentius A. Lesmana, PhD, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Yuliasih, Sp.PD
Konsultan Reumatologi, Subbagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
Dr. Leonard Nainggolan, Sp.PD
Konsultan Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Julius, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Andalas/RSL.JPDr. M. Djamil, Padang
Dr. Lestariningsih, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Subbagian Ginjal Hipertensi Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang
DR. Dr. Karel Pandelaki, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/RSUP, Manado
Dr. Linda K. Wijaya, Sp.PD
Konsultan Reumatologi RS. Pantai Indah Kapuk -Jakarta
Prof. DR. Dr. Karmel L. Tambunan, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Linda W.A. Rotty, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/RSUP Malalayang, Manado
Prof. DR. Dr. Karnen G. Bratawijaya, Sp.PD
Konsultan Alergi Imunologi, Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Lucky Aziza Bawazier, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Kartika Widayati, Sp.PD
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
DR. Dr. Lugyanti Sukrisman, Sp.PD
Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Ketut Suega, Sp.PD
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali
Prof. Dr. Lukman Hakim Makmun, Sp.PD
Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. DR. Dr. Ketut Suwitra, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali
Dr. Lukman Hakim Zain, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUP H. Adam Malik, Medan
Dr. Khie Chen, Sp.PD
Konsultan Tropik Infeksi, Divisi Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Dr. M. Tantoro Harmono, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/RSUD Dr. Muwardi, Surakarta
Dr. Kris Pranarka, Sp.PD
Dr. M. Darwin Prenggono, Sp.PD
Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP. Dr. Kariadi, Semarang
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNLAM/RSUD. Ulin, Banjarmasin
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
xiii
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Dr. Muhammad Diah, Sp.PD
Dr. Nafrialdi, Ph.D,Sp.PD
Divisi Kardiologi, Bagian Penyakit Dalam FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang
Departemen Farmakologi FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. M.Yusuf Nasution, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Padang
Dr. Najirman, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Instalasi Hemodialisa SMF Penyakit Dalam FK USU/RSUP H. Adam Malik, Medan
Dr. Nanang Sukmana, Sp.PD
Konsultan Alergi Imunologi, Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Made Putra Sedana, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Lab. Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya
Dr. Nasronudin,Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Subbagian Tropik Infeksi Bagian Penyakit Dalam FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya
Dr. Marcellus Simadibrata K, Ph.D, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Nasrul Jubir, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. Qarnil, Padang
Dr. Marulam M. Panggabean, Sp.PD
Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Nelly Tendean Wenas, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi ~ a ~ i Ilmu a * Penyakit ~ a l a k FK UNSRAT/RSUP Malalayang, Manado
Dr. Meddy Setiawan, Sp.PD
Bagian Penyakit Dalam, FK Univ. Brawijaya, Malang Dr. Mediarty Syahrir, Sp.PD
Dr. Nina Kemala Sari, Sp.PD
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RS Dr. Moh. Hoesin, Palembang
Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Niniek Burhan, Sp.PD
Prof. Dr. Mochammad Sja'bani, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang
Konsultan Ginjal Hipertensi, Divisi Ginjal Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
Prof. Dr. Nizam Oesman, Sp.PD
Dr. Moefrodi Wirjoatmodjo, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Lab. Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta
DR. Dr. Noorwati Sutandyo, Sp.PD
Prof. DR. Dr. Mohammad Yogiantoro, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Ginjal Hipertensi, Divisi Ginjal Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Airlangga/RS Dr. Sutomo Surabaya Dr. Muhamad Yamin, Sp.JP
Dr. Nugroho Prayogo, Sp.PD
Konsultan Kardiovaskular, Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
DR. Dr. Murdani Abdullah, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Nurhay Abdurachman, Sp.PD
Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Nurul Akbar, Sp.PD
Dr. H. Murnizal Dahlan, Sp.B
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Bedah Vaskular, Divisi Bedah Vaskular Departemen Bedah FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
xiv
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Prof. Dr. Nuzirwan Acang, Sp.PD
Dr. PN. Harryanto, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Padang
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi RSU Bethesda, Tomohon, Sulawesi Utara
Dr. Nyoman Astika, Sp.PD
Instalasi Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah Denpasar - Bali Drs. Nyoman Gde Suryadhana
Dr. Poernomo Budi Setiawan, Sp.PD
Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Pradana Soewondo, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit DalamFKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Bagian Gigi Mulut, FKG Univ. Indonesia, Jakarta Dr. Nyoman Kertia, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta Prof. Dr. OK Moehad Syah, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK USU/RSUP H. Adam Malik, Medan Prof. Dr. PangarapenTarigan, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUP H. Adam Malik, Medan Dr. Pangestu Adi, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Panji lrani Fianza, Sp.PD
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Penyakit Dalam FK Univ. Padjadjaran/RS Dr. Hasan Sadikin Bandung DR. Dr. Parlindungan Siregar, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi, Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Pasiyan Rahmatullah, Sp.PD
Konsultan Pulmonologi, Divisi Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang Prof. DR. Dr. Paulus Wiyono, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
Dr. Pranawa, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal HipertensiLab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Probosuseno, Sp.PD
Subbagian Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/ RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta Dr. F.X. Pridady, Sp.PD
Unit Penyakit Dalam, RSAB. Harapan Kita, Jakarta Dr. Primal Sudjana, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Subbagian Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung Dr. Putut Banyupurnama, Sp.PD
Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalarn FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta Dr. R.A. Tuty Kuswardhani, Sp.PD
Konsultan Geriatri Instalasi Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS. Sanglah Denpasar - Bali Prof. DR. Dr. RR. Djokomoeljanto, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang Dr. R. Soertadi, Sp.PD Prof. Dr. R.H.H. Nelwan, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalarn FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. DR. Dr. Rachmat Soelaeman, Sp.PD
Dr. Pernodjo Dahlan, Sp.PD
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSU Dr. Sardjito, Yogyakarta Prof. DR. Dr. PG Konthen, Sp.PD
Konsultan Alergi Imunologi Subbagian Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo,Surabaya
Konsultan Ginjal Hipertensi Unit Penelitian Kesehatan FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung Dr. H. Rahmat Sumantri, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dr. Rawan Broto, Sp.PD
Prof. Dr. S.A. Abdurachman, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam F K UNPAD/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Dr. Rejeki Andayani Rahayu, Sp.PD
Prof. Dr. Saharman Leman, Sp.PD
Konsultan Geriatri Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang
Konsultan Kardiovaskular SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Pandang Dr. Sally Aman Nasution, Sp.PD
Dr. Restu Pasaribu, Sp.PD
Divisi Ginjal Hipertansi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RS Moh. Hoesin, Palembang
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Riardy Pramudyo, Sp.PD
Prof. DR. Dr. Samsuridjal Djauzi, Sp.PD
Konsulatan Reumatologi Sub Unit Reumatologi Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Konsultan Alergi Imunologi, Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. DR. Dr. Rifai Amirudin, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RSUP Dr. Wahidin S, Makasar
Prof. DR. Dr. Sarwono Waspadji, Sp.PD
Dr. Shofa Chasani, Sp.PD
Dr. Rino A.Gani, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Ginjal Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RS Dr. Kariadi, Semarang Dr. Shufrie Effendy, Sp.PD
Dr. Ririn H, Sp.Gk
Instalasi Gizi RS. Kanker Dharmais, Jakarta Dr. Rizasyah Daud, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Rizka Humardewayanti Asdie, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta Dr. Ronald A. Hukom, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Rudi Putranto, Sp.PD
Divisi Psikosomatik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Dr. Rully M.A. Roesli, PhD, Sp.PD
Konsultan Ginial Hivertensi Bagian Ilmu pbnyakit Dalam FK UNPAD/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung Dr. Rose Dinda, SpPD
SMF Ilmu Penyakit Dalam, FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. pamil, Pandang
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. DR. Dr. Sidartawan Soegondo, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Dr. Siti Nurdjanah, Sp.PD, M.Kes.
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta DR. Dr. Siti Setiati, MEpid, Sp.PD
Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Sjaharuddin Harun, Sp.PD
Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Slamet Suyono, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Divisi Metabolik ~ n d o k ; i n Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
ONLY SCANNED FOR xvidr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dr. Soebagyo Loehoeri, Sp.PD
Dr. Sumardi, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta
Divisi Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
Prof. Dr. Soebandiri, Sp.PD
Dr. Sumariyono, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. DR. Dr. Soeharyo Hadisaputro, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik DiabetesKonsultan Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Supartondo,Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RS Dr. Kariadi Semarang Prof. Dr. Soenarto, Sp.PD
Dr. Suradi Maryono, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/RSUD Dr. Muwardi, Surakarta
Prof. DR. Dr. Soewignjo Soemohardjo, Sp.PD
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RS. Dr. Kariadi, Semarang
Dr. Suyono, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam, RSU. Mataram Dr. Stephanus Gunawan, Sp.PD
Dr. Syadra Bardiman Rasyad, Sp.PD
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSU. Mataram
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang
Dr. Sugianto, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya
Dr. Syafii Piliang, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RS Dr. Pringadi, Medan
Dr. Sugiyono Somoastro, Sp.PD
Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Syafril Syahbuddin, Sp.PD
Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAND/RSUP Dr. M. Djamil, Padang
Dr. Suhardi Darmo A. Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Subbagian Ginjal Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta
DR. Dr. Syakib Bakri, Sp.PD
Konsultan Ginjal Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RSU Dr. Wahidin S, Makasar
Prof. DR. Dr. Suhardjono, Sp.PD Prof. DR. Dr. T.Santoso, Sp.PD, FACC, FESC
Konsultan Ginjal Hipertensi, Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Konsultan Kardiovaskular,Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
DR. Dr. Suhendro, Sp.PD
Dr. Taufik Indrajaya, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Sub Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang
Prof. DR. Dr. Sujono Hadi, Sp.PD
Dr. Teguh H. Karjadi, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Konsultan Alergi Imunologi Divisi Alergi Imunologi Dept. Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Sukamto, Sp.PD
Dr. Tjokorda Gde Dharmayuda, Sp.PD
Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
xvii
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dr. Tjokorda Rakaputra, Sp.PD
Prof. Dr. Wiguno Prodjosudjadi, PhD, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali
Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Trinugroho Heri Fadjari, Sp.PD
Sub Bagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Dr. Yenny DianAndayani, Sp.PD
Divisi Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalarn FK UNSRI/RSU Dr. Moh.Hoesien Palembang
Dr. Triwibowo, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta
Dr. Yoga I.Kasjmir, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
DR. Dr. Tuti Parwati Merati, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali
Dr. Yosia Ginting, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSU H.Adam Malik, Medan
Dr. UjainahZaini Nasir, Sp.PD
Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Umar Zain, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSU H.Adam Malik, Medan Dr. Unggul Budihusodo, Sp.PD
Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Usman Hadi, Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Subbagian Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya. Dr. Purwita W. Laksrni, Sp.PD
Dr. Zakifman Jack, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Prof. DR. Dr. Zubairi Djoerban, Sp.PD
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta DR. Dr.Zul Dahlan, Sp.PD
Konsultan Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung Prof. DR. Dr. Zuljasri Albar, Sp.PD
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Zulkarnain Arsyad, Sp.PD
Prof. Dr. Wasilah Rochmah, Sp.PD
Konsultan Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Padang
Konsultan Geriatri Subbagian Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta Dr. Widayat Djoko S., Sp.PD
Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
DR. Dr. Zulkifli Amin, Sp.PD
Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENGANTAR TIM EDITOR
iii
SAMBUTAN KETUA UMUM PB. PAPDI KONTRIBUTOR
v vii
11. Pemeriksaan Fisis Jantung
JILID I
Lukrnan H. Makrnun, Nurhay Abddurachrnan
12. Pemeriksaan Abdomen, Urogenital dan Anorektal
DASAR-DASAR ILMU PENYAKIT DALAM 1. Pengembangan Ilmu dan Profesi Penyakit Dalam
13. Catatan Medik Berdasarkan Masalah (CMBM)
77
Lukrnan H. Makrnun
1
Sarnsuridjal Djauzi
14. Psikoneuro Imunoendokrinologi
80
E.Mudjaddid, Hamzah Shatri, R. Putranto
2. Perkembangan Ilmu Penyakit Dalam sebagai Suatu Disiplin Ilmu
4
Nurhay Abdurachrnan
15. Masalah Kesehatan Akibat Alkohol dan Merokok
83
Budirnan
3. Pendekatan Holistik di Bidang Ilmu Penyakit Dalam
7
H.M.S.Markurn. E.Mudiaddid
4. Empati dalam Komunikasi Dokter-Pasien
10
Sarnsuridjal Supartondo . Diauzi, .
5. Praktik Ilmu Penyakit Dalam Rantai Kokoh Cost-effectiveness
16. Kesehatan Remaja Barnbang Setiyohadi
17. Kesehatan Perempuan Siti Setiati, Purwita W. Laksrni
18. Kesehatan Keluarga 12
6. Masa Depan Ilmu Penyakit Dalam dan Spesialis Penyakit Dalam
113
Barnbang Setiyohadi
19. Dasar-dasar Penyakit Akibat Kerja
Supartondo
130
Teguh H. Karjadi, Sarnsuridjal Djauzi
14
Slarnet Suyono
20. Dasar-dasar Farmakologi Klinik
133
Nafrialdi
21
7. Evidence Based Medicine
21. Genetika Medik dan Biologi Molekular Barnbang Setiyohadi, Nyornan Gde Suryadhana
Zubairi Djoerban
8. Anamnesis
25
Supartondo, Barnbang Setiyohadi
9. Pemeriksaan Fisis urnurn
29
KEGAWATDARURATAN MEDIK
54
22. Terapi Oksigen
Barnbang Setiyohadi, Imam Subekti
10. Pemeriksaan Fisis Dada dan Paru Cleopas Martin Rurnende
69
Marcellus Sirnadibrata K.
Anna Uyainah Z. N
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
140
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 23. Dukungan Ventilator Mekanik
166
Ceva W. Pitoyo, Zulkifli Arnin
44. Penatalaksanaan Perdarahan Varises Esofagus 297 Hernorno Kusurnobroto
24. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
175
45 Ileus Paralitik
Parlindungan Siregar
46 Trombosis Arterial Tungkai Akut
25 Gangguan Keseimbangan Asarn Basa Metabolii 190 Parlindungan Siregar
26. Rehidrasi
197
Rizka Humardewayanti Asdie, Doni Priambodo Witjaksono, Soebagjo Loehoeri
27. Penatalaksanaan Umum Koma
307
Ali Djumhana, Ari F. Syam
309
Murnizal Dahlan
47 Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom Lisis Tumor
311
Zakifman Jack
205
Budiman
48. Kegawatan Onkologi dan Sindrom Paraneoplastik
313
Aru W. Sudoyo, Sugiyono Somoastro
28. Sinkop
210
Kasim Rasjidi, Sally Aman Nasution
29. Gaga1 Napas Akut
218
Zulkifli Amin, Johanes Purwoto
30. Resusitasi Jantung Paru
227
Arif Mansjoer
NUTRISI 49. Dasar-dasar Nutrisi Klinik pada Proses Penyembuhan Penyakit Daldiyono, Ari Fahrial Syarn
31. Acute Respirato y Distress Syndrome (ARDS) 234 Zulkifli Amin
50. Nutrisi Enteral Marcellus Sirnadibrata
32. Syok Hipovolemik
242
Ika Prasetya Wijaya
33. Syok Kardiogenik
245
ldrus Alwi, Sally Aman Nasution
34. Penatalaksanaan Syok Septik
252
Arif Mansjoer, Marcellus Simadibrata K
53. Terapi Nutrisi pada Pasien Kanker
257
lris Rengganis, Heru Sundaru, Nanang Sukmana, Dina Mahdi
36. Kegagalan Multi Organ (Disfungsi Organ Multipel)
Imam Subekti
52. Dukungan Nutrisi pada Penyakit Kritis
Khie Chen, Herdiman T. Pohan
35. Renjatan Anafilaktik
51. Nutrisi Parenteral: Cara Pemillihan Kapan dan Bagaimana
Noorwati Sutandyo
54. Gangguan Nutrisi pada Usia Lanjut Nina Kernala Sari
55. Malnutrisi
262
Aryanto Suwondo
Ari Fahrial Syam
56 Malnutrisi di Rumah Sakit
37. Sindrom Termal dan Sengatan Listrik
270
Siti Setiati, Rose Dinda
Budiman
38. Sengatan Serangga
275
Budiman
ALERGI IMUNOLOGI KLINIK
39. Penatalaksanaan Keracunan Bisa Kalaj engking
278
Djoni Djunaedi
280
Djoni Djunaedi
58. Prosedur Diagnostik Penyakit Alergi
377
Azhar Tanjung, Evy Yunihastuti
41. Intoksikasi Narkotika (Opiat)
284
Nanang Sukmana
59. Alergi Makanan
382
Iris Rengganis, Evy Yunihastuti
42. Keracunan Bahan Kimia, Obat dan Makanan
60. Alergi Obat
289
Widayat Djoko, Djoko Widodo
Ceva W. Pitoyo
367
Karnen Garna Baratawidjaja, Iris Rengganis
40. Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbisa
43. Hemoptisis
57. Imunologi Dasar
294
387
Samsuridjal Djauzi, Heru Sundaru, Dina Mahdi, Nanang Sukmana
61. Rinosinusitis Alergi Heru Sundaru, Erwanto Budi Winulyo
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
392
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 62. Urtikaria dan Angiodema
395
63. Asma Bronkial
81. Tukak Gaster Pengarapen Tarigan
Ari Baskoro, Gatot Soegiarto, Chairul Effendi, P.G.Konthen
82. Tukak Doudenum 404
Heru Sundaru, Sukarnto
H.A.M. Akil
83. Dispepsia Fungsional
64. Penyakit kompleks Imun
415
Edy Mart Salirn, Nanang Sukrnana
65. Respons Imun Infeksi HIV
84. Pendekatan Diagnostik Diare Kronik 421
Tuti Parwati Merati, Sarnsuridjal Djauzi
66. Imunisasi Dewasa
Marcellus Sirnad~brataK.
85. Diare Akut 429
Erwanto Budi, Samsuridjal Djauzi
67. Vaskulitis
Dharrnika Djojoningrat
Marcellus Sirnadibrata K., Daldiyono
86. Polip Kolon
435
Nanang Sukrnana
557
H.A. Fuad Bakry F
87. Kolitis Infeksi
560
Nizarn Oesman
88. Tumor Kolorektal
GASTROENTEROLOGI
Murdani Abdullah
68. Pendekatan Klirris Penyakit Gastrointestinal 441 Dharrnika Djojoningrat
69. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Baeian Atas "
Julius
90. Kolitis Radiasi 447
Dadang Makrnun
91. Irritable Bowel Syndrome (IBS)
Pangestu Adi
70. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah (Hematokezia) dan Perdarahan Samar (Occult)
92. Hemoroid 453
7l. Gangguan Motilitas Saluran Cerna Bsgian 460
Bawah
583
Chudahrnan Manan, Ary Fahrial Syarn
Murdani Abdullah
587
Marcellus Sirnadibrata K.
93. Inflammato y Bowel Disease Alur Diagnosis dan Pengobatannya di Indonesia"
591
Dharrnika Djojoningrat
Marcellus Sirnadibrata K.
72. Pemeriksaan Endoskopi Saluran Cerna
467
94. Pankreatitis Kronik Marcellus Sirnadibrata K
Marcellus Sirnadibrata K.
73. Nyeri Abdomen Akut
474
74. Malabsorpsi
95. Penyakit Divertikular H.A.M.Akil
Daldiyono, Ari Fahrial Syarn
477
96. Penyakit Vaskular Mesentrika Syadra Bardirnan Rasyad
Ari Fahrial Syarn
75. Penyakit Refluks Gastrmofageal
480
97. Penyakit Tropik Infeksi GasYroimZestinal
621
Marcellus Sirnadibrata K., Ahrnad Fauzi
Dadang Makrnun
76. Akalasia
488
HA. Fuad Bakry F.
77. Striktur/Stenosis Esofagus
493
Marcellus Simadibrata K.
HEPATOBILIEIR: 98. Fisiologi dan Biokimia Hati
78. Tumor Esofagus
497
A. Abdurachman
Rifai Amirudin
99. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus
79. Infeksi Helico6acter Pybri d'an Penyakit Gastro-Duodenal A.Azir Rani, Achmad Falwj
801 Gastritis Hirlan
89. Tumor Gaster
634
Ali Sulairnan
501
100. Kelainan Enzim pada Penyakit Hati Nurul Akbar
509
101. Hepatitis Viral Akut Andri Sanityoso
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
640
102. Hepatitis B Kronik
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 653
Soewignjo Soernohardjo, Stephanus Gunawan
103. Hepatitis C
Czeresna Heriawan Soejono
662
124. Pedoman Memberi Obat Pada Pasien Geriatri Serta Mengatasi Masalah Polifarmasi
668
Supartondo, Arya Govinda Roosheroe
Rino A.Gani
104. 'Sirosis Hati
674
125. Pelayanan Kesehatan Sosial dan Kesejahteraan Usia Lanjut
677
126. Regulasi Suhu pada Usia Lanjut
Siti Nurdjanah
105. 'Asites Hirlan
106. 'Koma Hepatik Nasrul Jubir
107. 'Sindrom Hepatorenal
123. Pengkajian Paripurna Pada Pasien Geriatri 768
681
Purnorno Budi Setiawan, Hernorno Kusurnobroto
685
779
Hadi Martono, I Dewa Putu Prarnantana S.
789
Siti Setiati, Nina Kernala Sari
127. Dehidrasi dan Gangguan Elektrolit
797
R A.Tuty Kuswardhani, Nina Kernala Sari
128. Gangguan Tidur pada Usia Lanjut
108. Karsinoma Hati
776
802
Rejeki Andayani
129. Gangguan Keseimbangan Jatuh dan Fraktur 812
Unggul Budihusodo
109. Abses Hati Piogenik
692
130. Dizzines pada Lanjut Usia
Nelly Tendean V!enas, B.J. Waleleng
110. Perlemakan Hati Non Alkoholik
695
lrsan Hasan
111. Penyakit Hati pada Kehamilan
702
Hariono Achrnad
112. Hepatotoksisitas Imbas Obat
Siti Setiati, Purwita W. Laksrni
708
Putut Bayupurnarna
113. Hiperbilirubinemia Non Hemolitik Familial 714 A. Fuad Bakry F.
826
Probosuseno, Niko Adhi Husni, Wasilah Rochrnah
131. Demensia
837
Wasilah Rochrnah, Kuntjoro Hari Murti
132. Depresi pada pasien Usia Lanjut
845
Czeresna H. Soejono, Probosuseno, Nina Kernala Sari
133. Penyakit Parkinson
851
Rejeki Andayani Rahayu
114. Kolesistitis
718
F.X. Pridady
134. Imobilisasi pada Usia Lanjut
859
Siti Setiati, Arya Govinda Roosheroe
115. Penyakit Batu Empedu
721
Laurentius A. Lesrnana
116. Tuberkulosis Peritoneal
727
Lukrnan Hakirn Zain
135. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hiperaktif 136. Konstipasi dan Inkontinensia Alvi
117. Pankreatitis Akut
731
A. Nurrnan
118. Tumor Pankreas
739
F. Soernanto Padrnornartono
865
Siti Setiati, I Dewa Putu Prarnantara
876
Kris Pranarka, Rejeki Andayani
137. Penatalaksanaan Infeksi pada Usia Lanjut Secara Menyeluruh
884
Rejeki Andayani Rahayu, Asril Bahar
119. Tindakan Intervensi pada Penyakit Hati
747
Agus Sudiro Waspodo
138. Strok dan Penatalaksanaannya oleh Internis
892
Hadi Martono, R.A.Tuty Kuswardhani
120. Biopsi Hati
750
139. Hipertensi pada Usia lanjut
899
Suhardjono
Agus Sudiro Waspodo
121. Transplantasi Hati
753
140. Kegawatdaruratan pada Pasien Geriatri
904
Lukrnan Hakirn Makrnun
lswan A. Nusi
141. Sindrom Delirium (Acute Confusional State) 907 Czeresna H.Soejono, Dewa Putu P.
142. Iatrogenesis
GERIATRI
913
R.A.Tuty Kuswardhani, Nyornan Astika
122. Proses Menua dan Implikasi Klinis Siti Setiati, Kuntjoro Hari Murti, Arya Govinda R
757
143. Asuhan pada Kondisi Terminal Supartondo
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
916
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 144. Elderly mistreatment (Salah Perlakuan Terhadap Orang Tua)
163. Penyakit Ginjal Kronik
919
Ketut Suwitra
Supartondo, Nina Kemala Sari
145. Gerontologi dan Geriatri di Indonesia
164. Gangguan Ginjal Akut
924
H.M.S. Markum
R. Boedhi Darmojo
165. Hemodialisis
1050
J. Pudji Rahardjo, Endang Susalit, Suhardjono
166. Dialisis Peritoneal
JILID I1
1053
lmam Parsudi, Parlindungan Siregar, Rully M.A Roesli
167. Terapi Pengganti Ginjal Berkesinambungan (CRRT)
GINJAL HIPERTENSI 146. Pemeriksaaan Penunjang pada Penyakit Ginjal
R U I I ~M.A. Roesli
168. Transplantasi Ginjal Endang Susalit
935
169. Hipertensi Esensial
lmam Effendi, H.M.S. Markum
147. Edema Patofisiologi dan Penanganan
Mohammad Yogiantoro
946
170. Hipertensi pada Penyakit Ginjal
Ian Effendi, Restu Pasaribu
Agus Tessy
952
148. Hematuria
171. Hipertensi Renovaskular
Lestariningsih
Syakib Bakri
956
149. Proteinuria
172. Hiperaldosteronisme Primer
Lucky Aziza Bawazier
Ginova Nainggolan
962
150. Sindrom Poliuria
173. Feokromositoma
Shofa Chasani
lmam Effendi
969
151. Glomerulonefritis
174. Hipertensi pada Kehamilan
Wiguno Prodjosudjadi
Suhardjono
975
152. Amiloidosis Ginjal
175. Krisis Hipertensi
M. Rachmat Soelaeman
153. Penyakit Ginjal Diabetik
Jose Roesma
979
Harun Rasyid Lubis
154. Nefritis Lupus
983
HEMATOLOGI
~ u c k yAziza Bawazier, Dharmeizar, H.M.S. Markum
155. Nefropati IgA Idiopatik
992
176. Hemopoiesis
1105
177. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia
1109
Soebandiri
Enday Sukandar, Parlindungan Siregar
997
156. Nefritis Herediter
I Made Bhakta
Jodi Sidharta Loekman
178. Anemia Aplastik
999
157. Sindrom Nefrotik Wiguno Prodjosudjadi
158. Vaskulitis Renal
loo4
Aida Lydia
159. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa
179. Anemia Defisiensi Besi I Made Bakta, Ketut Suega, Tjokorda Gde Dharmayuda
1008
Enday Sukandar
180. Anemia pada Penyakit Kronis
160. Penyakit TubulointerstisiaI
1116
Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder
1016
1138
lman Supandiman, Heri Fadjari,
I Gde Raka Widiana
Lugyanti Sukrisman
161. Batu Saluran Kemih
1025
181. Anemia Megaloblastik
Mochammad Sja'bani
Soenarto
162. Penyakit Ginjal dan Kehamilan
1033
182. Anemia Hemolitik Autoimun
Jose Roesma
1152
Elias Parjono, Kartika Widayati Taroeno Hariadi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
xxiii
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
183. Anemia Hemolitik Non lmun
1157
184. Purpura Trombositopenia Imun
204 Dasar-dasar Hemostasis
1293
C Suharti
lkhwan Rinaldi, Aru W. Sudoyo
1165
205. Patogenesis Trombosis
1301
Karmel L. Tambunan
lbnu Purwanto
185. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH)
206. Hemofilia A dan B 1174
Made Putra Sedana
207. Penyakit Von Willebrand
186. Kelainan Hematologi pada Lupus Eritematosus Sistemik
1307
Linda W.A. Rotty
1313
Sug~anto
1177
Zubairi Djoerban
208. Koagulasi Intravaskular Diseminata
1319
Lugyanti Sukrisman
187. Hipersplenisme
1183
Bud1 Muljono
209. Fibrinolisis Primer
1323
Boediwarsono
188. Dasar-Dasar Transfusi Darah
1185
Zubair~Djoerban
210. Gangguan Hemostasis pada Sirosis Hati
1327
Karmel L. Tambunan
189. Darah dan Komponen: Komposisi, Indikasi dan Cara Pemberian Harlinda Haroen
1190
211. Gangguan Hemostasis pada Diabetes Melitus 1334 Andi Fachruddin Benyamin
212. Kondisi Hiperkoagulabilitas
190. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi Transfusi Darah M. Tantoro Harmono
191. Aferesis Donor dan Terapeutik Ronald A. Hukom
1336
Hilman Tadjoedin
213. Sindrom Antibodi Antifosfolipid: Aspek Hematologik dan Penatalaksanaan 1345 Shufrie Effendy
214, Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru 1354
192. Leukemia Granulositik Kronis Heri Fadjari, Lugyanti Sukrisman
193. Polisitemia Vera M. Darwin Prenggono
Lugyanti Sukrisman
215. Pemakaian dan Pemantauan Obat-obatan Antitrombosis Nusirwan Acang
194. Trombositosis Esensial
216. Trombositopenia pada Wanita Hamil
lrza Wahid'
1364
Yenny Dian Andayani
195. Mielofibrosis
217. Trombosis pada Kanker
Suradi Maryono
1369
Cosphiadi lrawan
196. Leukemia Mieloblastik Akut Johan Kurnianda
218. Sitogenetika
1374
Aru W. Sudoyo
197. Sindrom Dismielopoetik
219. Dasar-dasar Talasemia: Salah Satu Jenis Hemoglobinopati
Ami Ashariati
198. Dasar-dasar Biologis Limfoproliferatif Amaylia Oehadian, Trinugroho Heri Fadjari
199. Limfoma Non Hodgkin (LNH)
1379
Djumhana Atmakusuma, lswari Setyaningsih
220. Thalassemia: Manifestasi Klinis, Pendekatan Diagnosis, dan Thalassemia Intermedia 1387 Djumhana Atmakusuma, lswari Setyaningsih
A Harryanto Reksodiputro, Cosphiadi lrawan
221. Transplantasi Sel Puncabnduk Darah
1394
A. Harryanto Reksodiputro
200. Penyakit Hodgkin Rachmat Sumantri
222. Sel Punca (Stem Cell) dan Potensi Klinisnya
201. Leukemia Limfoblastik Akut
1401
Cosphiadi lrawan
Panji lrani Fianza
202. Leukemia Limfositik Kronik
ONKOLOGI MEDIK
Linda W. A. Rotty
203. Mieloma Multipel dan Penyakit Gamopati Lain Mediarty Syahrir
223. Pendekatan Diagnostik Tumor Padat Budi Darmawan Machsoos
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1407
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 224. Aspek Selular dan Molekular Kanker
1413
243. Pengantar Diagnosis Ekokardiografi Ali Ghanie
Bambang Karsono
225. Teknik-teknik Biologi Molekular dan Selular pada Kanker
244. Ekokardiografi Trans Esofageal (ETE)
1417
Bambang Karsono
Lukman H. Makmun
245. Pemeriksaan Kardiologi Nuklir
226. Penanda Tumor dan Aplikasi Klinik
1422
Ketut Suega, I Made Bakta
227. Penggunaan Obat-obatan Antikoagulan Antitrombotik, Trombolitik dan Fibrinolitik 1434 Soenarto
Ika Prasetya Wijaya
246. Penyadapan Jantung (Cardiac Catheterization) Hanafi B.Trisnohadi
247. Intervensi Koroner Perkutan
228. Peran Flow Cytometric Immunophenotyping di Bidang Keganasan Hematologi dan Onkologi 1440 Cosphiadi Irawan, Zubairi Djoerban
T. Santoso
248. Gagal Jantung Marulam M. Panggabean
249. Gagal Jantung Akut
229. Prinsip Dasar Terapi Sistemik pada Kanker 1446 Abdulmuthalib
Daulat Manurung
250. Gagal Jantung Kronik
230. Teknik-teknik Pemberian Kemoterapi
1454
Adiwijono
231. Terapi Hormonal Pada Kanker
1471
Noorwati Sutandyo
232. Terapi Biologi pada Kanker
1478
Johan Kurnianda
233. Pengobatan Suportif pada Pasien Kanker 1482 A. Harryanto Reksodiputro
234. Neutropeni Febril pada Kanker
1498
Dody Ranuhardy
235. Penatalaksanaan MetastasisKanker ke Tulang
251. Mekanisme dan Klasifikasi Aritmia A. Muin Rachman
252. Gangguan Irama Jantung yang Spesifik Hanafi B. Trisnohadi
253. Fibrilasi Atrial Sally Arnan Nasution, Ryan Ranitya
254. Aritmia Supra Ventrikular Lukman H. Makrnun
255. Aritmia Ventrikel M. Yamin, Sjaharuddin Harun
1506
Nugroho Prayogo
236. Penanggulangan Nyeri pada Kanker
Ali Ghanie
1512
Asrul Harsal
256. Bradikardia M. Yamin, A. Muin Rachman
257. Kardioversi M. Yamin, A. Muin Rachman
2378. Sindrom Paraneoplastik
1516
Sugiyono Somoastro, Abdulmuthalib
258. Pacu Jantung Sementara A. Muin Rachman
238. Penatalaksanaan Pasien Kanker Terminal 1519 dan Perawatan di Rumah Hospis Asrul Harsal
259. Elektrofisiologi M. Yarnin, Sjaharuddin Harun, Lukman H. Makmun
260. Pacu Jantung Menetap (Permanen)
KARDIOLOGI
M. Yamin
239. Elektrokardiografi
1523
Sunoto Pratanu, M. Yamin, Sjaharuddin Harun
240. Radiologi Jantung
261. Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik Saharman Leman
1539
ldrus Alwi
262. Stenosis Mitral Taufik Indrajaya, Ali Ghanie
241. Elektrokardiografi Pada Uji Latih Jantung 1544 Ika Prasetya Wijaya
263. Regurgitasi Mitral Daulat Manurung
242. Pemantauan Irama Jantung (Holter Monitoring) M. Yamin, Daulat Manurung
1548
264. Stenosis Aorta Marulam M. Panggabean
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 265. Regurgitasi Aorta
1689
Saharman Lernan
287. Kor Pulmonal Kronik
1842
Sjaharuddin Harun, Ika Prasetya Wijaya
266. Kelainan Katup Pulmonal
1693
Barnbang lrawan M
288. Hipertensi Pulmonar Primer
1845
Muhammad Diah, Ali Ghanie
267. Penyakit Katup Trikuspid
1698
Ali Ghanie
289. Penyakit Jantung dan Operasi non Jantung 1853 Sjaharuddin Harun, Abdul Majid
268. Endokarditis
1702
ldrus Alwi
JILID I11
269. Miokarditis ldrus Alwi, Lukrnan H. Makrnun
270. Kardiomiopati
1720
Sally Arnan Nasution
271. Perikarditis
1725
Marularn M. Panggabean
METABOLIK ENDOKRIN 290. Sindrom Metabolik
1865
Sidartawan Soegondo, Dyah Purnarnasari
272. Angina Pektronis Tak Stabil
1728
Hanafi B.Trisnohadi
291. Diabetes Melitus di Indonesia
1877
Slarnet Suyono
273. Angina Pektoris Stabil
1735
292 Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Dyah Purnamasari 1880
1741
293. Farmakoterapi pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2
A. Muin Rachrnan
274. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST ldrus Alwi
275. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST
1757
Sjaharuddin Harun, ldrus Alwi
276. Antitrombotik dan Trombolitik pada Penyakit Jantung Koroner
294. Terapi Non Farmakologi pada Diabetes Melitus
1767
lwang Gurniwang, Ika Prasetya W, Dasnan lsrnail
277. Edema Paru Akut
1772
1891
M. Yunir, Suharko Soebardi
295. Insulin: Mekanisme Sekresi dan Aspek Metabolisme
1896
Asrnan Manaf
Sjaharuddin Harun, Sally Arnan Nasution
278. Penyakit Jantung Hipertknsi
1884
Sidartawan Soegondo
1777
296. Hipoglikemia Iatrogenik
1900
Djoko Wahono Soernadji
Marularn M. Panggabean
279. Penyakit Jantung Kongenital pada Dewasa 1779 Ali Ghanie
297. Ketoasidosis Diabetik Pradana Soewondo
280. Penyakit Jantung pada Usia Lanjut
1790
298. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik
non Ketotik
Lukrnan H. Makrnun
281. Manifestasi Klinis Jantung pada Penyakit Sistemik 1792
1912
Pradana Soewondo
299. Asidosis Laktat Pradana Soewondo, Hari Hendarto
ldrus Alwi
282. Penyakit Jantung Tiroid
1798
Dono Antono, Yahya Kisvanto
283. Penyakit Jantung pada Penyakit Jaringan Ikat '
1804
ldrus Alwi
300. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya, Diagnosis dan Strategi Pengelolaan Sarwono Waspadji
301. Retinopati Diabetik Karel Pandelaki
284. Tumor Jantung
1818
ldrus Alwi
285. Kehamilan pada Penyakit Jantung
1822
Sally Arnan Nasution, Ryan Ranitya
286. Penyakit Arteri Perifer
1831
302. Komplikasi Kronik DM: Penyakit Jantung Koroner 1947 Alwi Shahab
303 Nefropati Diabetik Hendrornartono
Dono Antono, Dasnan lsrnail
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1943
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 304. Neuropati Diabetik
PSIKOSOMATIK
Imam Subekti
305. Diabetes Melitus Gestasional John MF Adam
306. Diabetes Melitus dalam Pembedahan Supartondo
325. Kedokteran Psikosomatik: Pandangan dari Sudut Ilmu Penyakit Dalam 326. Gangguan Psikomatik : Gambaran Umum dan Patofisiologi
307. Kaki Diabetes
2089
S.Budihalim, E. Mudjaddid
2093
E.Mudjaddid, Harnzah Shatri
Sarwono Waspadji
308. Diabetes Melitus pada Usia Lanjut
327. Ketidakseimbangan Vegetatif
2098
S. Budihalim, D. Sukatman, E.Mudjaddid
Wasilah Rochrnah
328. Psikofarmaka dan Psikosomatik
309. Obesitas
2102
E.Mudjaddid, S.Budihalim, D. Sukatman
Sidartawan Sugondo
310. Dislipidemia John MF Adam
311. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme R. Djoko Moeljanto
329. Pemahaman dan Penanganan Psikosomatik Gangguan Ansietas dan Depresi: di Bidang 2105 Ilmu Penyakit Dalam E.Mudjaddid
330. Dispepsia Fungsional
2109
E.Mudjaddid
312. Gangguan Akibat Kurang Iodium R. Djoko Moeljanto
313. Tiroiditis
331. Psikosomatik pada Saluran Cerna Bagian Bawah 2111 Sujono Hadi
Paulus Wiyono
332. Sindrom Kolon Iritabel
314. Nodul Tiroid
E.Mudjaddid
Johan S. Masjhur
333. Aspek Psikosomatik Hipertensi
315. Karsinoma Tiroid
2119
S. Budihalirn, D. Sukatman, Hamzah Shatri
Imam Subekti
334. Gangguan Jantung Fungsional
316. Tumor Hipofisis
2122
Hamzah Shatri
Pradana Soewondo
335. Aspek psikosomatik pada Gangguan Irama Jantung
317. Gangguan Pertumbuhan Syafril Syahbuddin
2127
S. Budihalirn, D.Sukatman, Harnzah Shatri
318. Diabetes Insipidus
336. Sindrom Hiperventilasi
Asman Boedi Santoso Ranakusuma, Imam Subekti
2130
E. Mudjaddid, Rudi Putranto, Hamzah Shatri
337. Aspek Psikosomatik pada Asma Bronkial 2133
319. Hormon Steroid
E.Mudjaddid
Sjafii Piliang, Chairul Bahri
338. Gangguan Psikosomatik pada Penyakit Reumatik dan Sistem Muskuloskeletal
320. Hiperkortisolisme Sjafii Piliang, Chairul Bahri
321. Penyakit Korteks Adrenal Lainnya
339. Fibromialgia
Sjafii Piliang
2136
D. Sukatman, S. Budihalim, Rudi Putranto, Hamzah Shatri
2140
E.Mudjaddid
322. Metabolisme Kalsium Agus P. Sambo, John MF Adam
323. Menopause, Andropause, dan Somatopause Perubahan Hormonal pada Proses Menua
340. Nyeri Psikogenik
2143
Harnzah Shatri, Bambang Setiyohadi
341. Sindrom Lelah Kronik
2148
Hamzah Shatri, E.Mudjaddid
Pradana Soewondo
342. Migren dan Sakit Kepala
324. Pre Diabetes Dante Saksono Harbuwono
Ahmad H. Asdie, Pernodjo Dahlan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI xxvii
2152
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 343. Psikosomatik Pada Kelainan Tiroid
2156
R. Djokornoeljanto
363. Fibrosis Kistik (Cystic Fibrosis) Alwinsyah A., E.N.Keliat, Azhar Tandjung
344. Aspek Psikosomatik Pasien Diabetes Melitus 2159 E. Mudjaddid, Rudi Putranto
345. Gangguan Psikosomatik Obesitas Harnzah Shatri, Rudi Putranto, Z. Arsyad, S. Syahbuddin
346. Gangguan Makan Pasien Psikosomatik
2163 .
Pasiyan Rahrnatullah
2167 2171
368. Abses Paru
2177
Hadi Halirn
370. Hipertensi Pulmonal Primer (HPP)
2182
Sarnsuridjal Djauzi, Rudi Putranto, E. Mudjaddid
351. Masalah Psikosomatik Pasien Kanker
Ahrnad Rasyid
369. Penyakit-penyakit Pleura
2180
S. Budihalirn, D. Sukatrnan, E. Mudjaddid
350. Aspek Psikososial AIDS
367. Penyakit Paru Interstisial Ceva Wicaksono Pitoyo
Hanum Nasution, H.E.Mudjaddid
349. Gangguan Psikosomatik Saluran Kemih
366. Tromboemboli Paru Pasiyan Rahmatullah
R. Sutadi, Rudi Putranto, Hamzah Shatri, E. Mudjaddid
348. Gangguan Tidur Pasien Psikosomatik
Pasiyan Rahmatullah
365. Bronkiektasis
Harnzah Shatri, Hanurn Nasution
347. Gangguan Seksual Psikosomatik
364. Pneumonitis dan Penyakit Paru Lingkungan
Zulkarnain Arsyad
371. Pneumotoraks Spontan
2184
Barrnawi Hisyarn, Eko Budiono
Zoebairi Djoerban, Harnzah Shatri
372. Sleep Apnea (Gangguan Bernapas Saat Tidur) Sumardi, Barwani Hisjam, Barnbang Sigit Ryanto, Eko Budiono
PULMONOLOGI 352. Manifestasi Klinik dan Pendekatan pada Pasien dengan Kelainan Sistem Pernapasan 2189 Zulkifli Amin
353. Pneumonia
2196
Zul Dahlan
354. Pneumonia Bentuk Khusus
2207
Zul Dahlan
REUMATOLOGI 373. Introduksi Reumatologi A.R.Nasution, Surnariyono
374. Penerapan Evidence Based Medicine Dalam Bidang Reumatologi
2360
Joewono Soeroso
355. Transplantasi Paru
2211
Zulkifli Amin
375. Metrologi Dalam Bidang Reumatologi
2365
Rizasyah Daud
356. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut
2216
376. Struktur Sendi, Otot, Saraf dan Endotel Vaskular
Barnbang Sigit Riyanto, Barwani Hisyam
357. Tuberkulosis Paru
2230
Zulkifli Arnin, Asril Bahar
377. Strukhu dan Biokimia Tulang Rawan Sendi
358. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir
2240
378. Struktur dan Metabolisme Tulang
2249
Zulkifli Arnin
2254
2385
Barnbang Setiyohadi
379. Inflamasi
360. Kanker Paru
2382
Harry lsbagio
Zulkifli Arnin, Asril Bahar
359. Penyakit Mediastinum
2370
Surnariyono, Linda K. Wijaya
2402
Soenarto
Zulkifli Arnin
380. Apoptosis
361. Penyakit Paru karena Mikobakterium Atipik
Linda Kurniaty Wijaya
2263
Azhar Tandjung, E.N. Keliat
362. Penyakit Paru karena Jamur
2267
381. Peran Protease, Derivat Asam Arakidonat dan Oksida Nitrit pada Patogenesis Penyakit Reumatik 2422 B.P. Putra Suryana
Azhar Tandjung, E.N. Keliat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
xxviii
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ILL
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PENYAKIT GINJAL Imam Effendi, H.M.S. Markum
PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibicarakan tentang urinalisis, pemeriksaan fungsi ginjal, pemeriksaan serologis, pemeriksaan radiologis ginjal dan biopsi ginjal. Tujuan dari pemeriksaan ini untuk mendapatkan diagnosis yang akurat sehingga dapat diberikan terapi yang tepat.
Parameter Fisik Urin Warna. Normal pucat-kuning tua dan amber tergantung kadar urokrom. Keadaan patologis, obat dan makanan dapat mengubah warna. Urin merah disebabkan Hb, miogobin, atau pengaruh obat rifampisin. Warna hijau dapat karena zat klinis eksogen (biru metilen) atau infeksi Pseudomonas; warna oranyetjingga menandakan pigmen empedu. Bila urin keruh dapat karena fosfat (biasanya normal) atau leukosituria dan bakteri (abnormal). Turbiditas. Normal transparan, urin keruh karena hematuria, infeksi dan kontaminasi Bau. Beberapa penyakit mempunyai bau urin yang khas, misal bau keton, maple syrup disease, isojloric acidemia, dsb. Densitas relatif. Metode pemeriksaan ada beberapa macam: 1. Berat jenis: diukur memakai urinometer, mudah dilakukan, butuh urin 25 cc, BJ dipengaruhi oleh suhu urin, protein, glukosa dan kontras media. BJ mencerminkan konsentrasi yang larut dalam urin dan nilai normal 1010-1030.Pada orangtua BJ bisa di bawah atau di atas normal karena kehilangan daya
mengencerkan atau memekatkan urin. 2. Refraktometri: mudah dilakukan dan hanya butuh 1 cc urin, faktor yang mempengaruhi BJ, juga akan mempengaruhi pengukuran ini. 3. Osmolalitas: berbeda dengan BJ, temperatur dan protein tidak mempengaruhi, tetapi kadar glukosa meningkatkan osmolalitas.Osmolalitas urin, normal 501200 mOsmL walau penting menandakan konsentrasi urin, tetapi tidak rutin diperiksa. Pada kasus batu ginjal atau kelainan elektrolit (hipo atau hipernateremia) perlu diperiksa untuk diagnosis. 4. Dipstik: memakai indikator perubahan warna pada dipstik dan sudah luas dipakai. Parameter Kimia pH: tes memakai dipstik, pada pH <5,5 atau >7,5 akurasinya kurang, dan harus memakai pH meter. pH hasilnya dipengaruhi oleh asam-basa sistemik Hb: dalam kondisi normal tidak dijumpai dalam urin. Bila positif hams dicurigai hemolisis atau mioglobinuria Glukosa: dengan dipstik untuk menilai reabsorbsi glukosa dan bahan lain. Tes ini sangat sensitif dan dapat dilanjutkan dengan kadar glukosa urin secara kuantitatif dengan metode enzirnatik. Protein: normal proteinuria tidak lebih dari 150 mglhari untuk dewasa. Pada kondisi patologis proteinuria dapat dibedakan: 1. Proteinuria glomerulus: ini terjadi pada penyakit glomerulus karena gangguan permeabilitas protein (misal: albumin, globulin) 2. Proteinuria tubular: ini terjadi pada penyakit tubulus dan interstisium dan disebabkan gangguan reabsorbsi protein berat molekul (BM) ringan (a. 1. mikroglobulin,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI b2 mikroglobulin, retinol binding protein) 3. Proteinuria overload: ini disebabkan peningkatan protein BM rendah melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus (Bence-Jones protein, lisosom, mioglobin) 4. Proteinuria benigna: protein ini termasuk proteinuria karena demam, ortostatik atau kerja fisik. Proteinuria biasanya dites memakai dipstik, dan cukup sensitif terhadap albumin. Untuk protein Bence Jones hams memakai metode lain yaitu teknik presipitasi dengan asam sulfa salisil, asam triklorasetik atau dengan pemanasan dan bufer acetic acid sodium acetat. Metode Dipstik adalah semikuantitatif dengan nilai O4 (+). Untuk lebih teliti menilai protein kuantitatif digunakan metode lain seperti turbidimetri. Jumlah protein kuantitatif 24 jam diekspresikan sebagai g/L atau gl24jam per 1,73 m2. akan tetapi perhitungan dengan urin 24 jam ini memakan waktu, sering keliru clan tidak praktis. Cara lain yaitu dengan menghitung rasio protein kreatinin. Dengan cara ini dipakai urin random dan single. Sebagai contoh: Urin sesaat mengandung protein 100 mg% dan kreatin urin 50 mg%. Jadi jumlah protein dalam urin 100150 = 2 gramharill ,73 m2. Harus diingat bahwa ekskresi protein mempunyai sirkadian (tertinggi pada siang dan terendah pada malam hari) sedangkan ekskresi kreatinin relatif stabil24jam oleh karena itu contoh urin hams diambil pada saat yang sama. Analisis kualitatif proteinuria dilakukan secara elektroforesa asetat selulos atau agarose atau memakai SDS-PAGE (sodium dodecyl sulfate-polyacrylamide). Dengan metode elektroforesa ini dapat diketahui selektifitas proteinuria, karena dapat membedakan jenis protein: P2 mikroglobulin, albumin, IgG dsb. Kadangkadang selektifitas dapat mengetahui beratnya lesi dan dapat mengetahui respons terapi dan prognosis.
Metode dipsti k Samar = 10-30 mg% I + = 30 mg% 2+=1M)mg% 3+ = 500 mg% 4+= > 2000mg%
Metode asam sulfosalisil Samar: = 20 mg% (slight tuhidm) I+ = 50 mg% (print visble through specs) 2+ = 200 mg% (print invisible) 3+ = 500 mg% (flocculation) 4 + = > 1000 mg% (denseprecipitate)
Dipstik lebih sensitif untuk albumin, sedangkan tes asam sulfosalisil untuk semua jenis protein. Imunoglobulin rantai ringan dapat dideteksi dengan asam sulfosalisil, tetapi tidak untuk dipstik. Jadi multipel mieloma hanya dapat diketahui dengan tes asam sulfosalisil. False positif pada dipstik urin yang sangat basa atau terlalu encer False positif asam sulfosalisil didapatkan akibat radio kontras dan obat-obat tolbutamid, penisilin, sefalosporin. Leukosit Esterase. Tes dipstik ini berdasarkan aktivitas
enzim esterase indoksil yang dihasilkan oleh neutrofil, granulosit dan makrofag dan akan memberi nilai positif bila ada paling sedikit 4 (empat) 1eukositILPB. Nitrit. Dasar tes ini adalah adanya bakteri yang dapat mengubah nitrat menjadi nitrit melalui enzim reduktase nitrat. Enzim ini banyak pada bakteri gram negatif dan tidak ada pada bakteri jenis Pseudomonas, Staphylococcus albus dan Enterococcus. Tes ini membutuhkan persiapan dengan diet kaya nitrat (sayuran) dan membutuhkan waktu reaksi yang cukup di kandung kencing. Tes ini mempunyai sensitivitas rendah (20-80%) dan spesifisitas + 90%. Keton. Tes dengan metode dipstik menunjukkan adanya asam asetoasetat dan aseton. Positif di urin pada penyakit asidosis diabetik, puasa, muntah ataupun olahraga yang berlebihan. Tes ini berdasarkan reaksi keton dengan nitroprusid. Mikroskopik Urin Pemeriksaan mikroskopik ini akan melengkapi pemeriksaan win secara kimiawi. Metode. Urin pertama atau kedua pada pagi hari, dan untuk cegah kerusakan sel harus segera diperiksa. Setelah disentrifugasi memakai alat hitung khusus, urin diperiksa dengan mikroskop biasa atau fase kontras. Sel Sel pada sedimen urin dapat berasal dari sirkulasi (eritrosit dan lekosit) dan dari traktus urinarius (sel tubulus, epitel). Eritrosit. Eritrosit dalam urin ada 2 macam, yaitu: isomorfik, dismorfik. Eritrosit isomorfik berasal dari traktus urinarius. Sedangkan dismorfik berasal dari glomerulus. Bila eritrosit dominan dismorfik (>go%) dari total eritrosit disebut hematuria glomerulus. Beberapa ahli mengatakan bila terjadi "hematuria campuran" 50% isomorfik dan 50% dismorfik, sudah dapat dikategorikan hematuria glomerulus. Selain itu bila paling sedikit 5% terjadi akantositosis juga dapat disebut hematuria glomerulus. Bagaimana terbentuknya dismorfik, rnasih terus diselidiki, namun disebutkan bahwa adanya injuri 2 tempat, yaitu waktu eritrosit melewati membran basalis dan efek fisikokimia selama melewati tubulus. Dalam kondisi normal eritrosit dapat dijumpai <12.000 eritrosiucc. Leukosit. Neutrofil adalah leukosit yang paling sering dijumpai pada urin, mudah diidentifikasidengan sitoplasma granular dan inti berlobus. Pada urin normal, lekosit dapat ditemukan 2-3LPB. Bilajurnlahnya melebihi, kemungkinan infeksi atau inflamasi. Pada perempuan, lekosit urin dapat karena kontaminasi dari genitalia eksterna. Netrofil akan meningkat dalam urin pada penyakit proliferatif glomerulopati dan nefritis interstitialis. Eosinofiluria, dapat mudah dilihat dengan pewarnaan Wright atau Hansel, yang terjadi pada nefritis interstitialis
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PENYAKIT GINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI alergika, glomerulonefiitis,prostatitis, pielonefi-itiskronik, skistosomiasis. Limfosituria dapat sebagai tanda dini rejeksi akut pada pasien transplantasi. Adanya lekosituria, dengan biakan bakteri yang negatif hams dipertimbangkan TBC ginjal, batu saluran kencing, papiler nekrosis, atau uretritis kronik. Sel tubulus ginjal. Walaupun tidak diperiksa pada urinalisis rutin, sel sel besar ini dengan inti yang sangat jelas sering terlihat pada nekrosis tubular akut (NTA), glomerulonefritis atau pielonefritis. Pada proteinuria masif, degenerasi sel epitel dapat dijumpai sebagai ovalfat bodies. Lipid. Lipid pada urin terlihat sferis, translusen, dan benvarna kuning dalam macam-macam bentuk. Mereka dapat bebas (isolate4 atau berada dalam sitoplasma sel epitel tubulus atau makrofag, disebut Oval Fat Bodies. Bila dengan silinder, lipid membentuk silinder lemak. Lipid dapat terlihat sebagai kristal kolesterol. Lipid drops mengandung esterkolesterol dan kolesterol bebas, dan di bawah sinar polarisasi akan terlihat Maltase Croses Lipid dalam urin disebabkan beberapa penyakit antara lain sindrom nefrotik, atau spingolipidosis (Penyakit Fabry). Silinder (Cast).Silinder terbentuk di dalam tubulus distal atau bagian awal tubulus kontortus karena pengendapan masa selular dan elemen non selular di dalam matrik protein Tamm-Horsfall. Dengan ditemukan silinder menunjukkan kelainan ginjal. Ada bermacam-macam jenis silinder tergantung partikel apa yang terjebak di dalamnya dan masing-masing mempunyai arti klinik sendiri, antara lain: I. Silinder Hialin. Tidak benvarna dan indeks refiaksi rendah. Mudah dilihat dengan mikroskop fase kontras, tapi dapat terabaikan dengan mikroskop biasa. Silinder hialin dapat ditemukan pada orang normal dan juga penyakit ginjal bila bersama-sama denganjenis silinder lain. 2. Silinder Granular. Silinder ini berisi granul halus dan khas untuk pasien dengan kelainan ginjal. 3. Silinder Lemak. Silinder yang berisi lemak ini spesifik untuk penyakit ginjal glomerulus dengan tipe nefrotik. 4. Silinder Eritrosit. Silinder eritrosit dapat mengandung beberapa eritrosit, tetapi dapat sangat banyak sehingga matriks tidak terlihat. Silinder eritrosit ini erat hubungannya dengan hematuria dan menandakan hematuria yang berasal dari glomerulus. Pada glomerulonefritis yang ditandai hematuria dapat ditemukansilindereritrositsampai 80%. Selain itq silinder eritrosit adalah petanda glomerulonfritistipe proliferatif, terutama dengan lesi ekstrakapilerlnecrotising. 5. Silinder Hemoglobin. Seperti namanya, ia benvarna kecoklatan dan sering ada granul karena eritrosit yang mengalami kerusakan. Silinderhemoglobin mempunyai arti yang sarna dengan silinder eritrosit. Selain itu, dapat disebabkan Hb yang bebas akibat hemolisis intravaskular.
6. Silinder Lekosit. Silinder ini dapat mengandung bermacarn-macamjenis sel damh putih. Bila positif dalam urin bisa dikaitkan dengan pielonefritis akut, nefritis interstitialis, glomerulonefritis proliferatif, terutama pasca infeksi dan pada lupus nefritis. 7. Silinder Epitel. Silinder ini mengandung sel tubulus yang lepas dan mudah diidentifikasi karena nukleusnya sangat mencolok. Silinder ini dapat ditemukan pada nekrosis tubular akut, nefritis interstitialis, kelainan glomerulus dan pada sindrom nefiotik. 8. Silinder Mioglobin. Silinder ini berisi mioglobin dan identik dengan silinder hemoglobin. Perbedaannya dihubungkan dengan tanda klinis. Silinder ini dapat ditemukan pada gagal ginjal akut yang mengalami rabdomiolisis. Kristal Macam-macam kristal dapat ditemukan dalam urin: 1. Kristal asam urat dan urat amorf 2. Kristal kalsium oksalat 3. Kristal kalsium fosfat 4. Kristal tripe1 fosfat 5. Kristal kolesterol 6. Kristal sistin 7. Kristal karena obat Tidak semua kristal dapat dihubungkan dengan penyakit batu ginjal, karena pembentukan kristal sangat tergantung dari hidrasi, diet, pH urin, infeksi dan gangguan metabolisme. Namun demikin beberapa kristal dapat dihubungkan dengan kondisi patologi seperti kalsium oksalat, atau asam urat, bila ditemukan berulang dapat menandakan hiperkalsiuria, hiperoksalouria, atau hiperwikosuri. Kristal asam urat yang banyak dapat ditemukan pada gagal ginjal akut karena nefropati asam urat, sementara itu kristal monohidrat kalsium oksalat sering pada keracunan etilen glikol. Ada beberapa kristal yang selalu patologis yaitu kristal kolesterol yang ditemukan dengan proteinuria masif. Selain itu kristal sistin, ditemukan pada sistinuria. Kristal karena obat dapat ditemukan pada gagal ginjal akut karena vitamin C, sulfadiazin, indinavir, naftidrofuril oksalat, karena pembentukan kristal oksalat. Organisme Bakteri kadang-kadang dapat dilihat dalam urin, karena kontaminasi ataupemeriksaan yang ditunda-tunda. Bakteri positif belum tentu infeksi karena belum tentu patogen, dan baru dicurigai adanya infeksi bila ditemukan bersama leukosit yang penuh. Telur parasit schistosoma hematobium dapat ditemukan dalam urin dan sering disertai hematuria dan leukosituria.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI PEMERIKSAAN FUNGSI GINJAL Ginjal mempunyai fimgsi bermacam-macam termasuk filtraci glomerulus, reabsorbsi dan sekresi dari tubulus, pengenceran dan pemekatan urin, pengasaman win, serta memproduksi dan memetabolisme hormon. Dari semua fungsi itu parameter untuk mengetahui f k g s i dan progresi penyakit adalah laju filtrasi glomerulus dan kemampuan ekskresi.
Fungsi Filtrasi Glomerulus dan Konsep Klirens Ginjal Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) adalah mengukur berapa banyak filtrat yang dapat dihasilkan oleh glomerulus. Ini adalah pengukuran yang paling baik dalam menilai fungsi ekskresi. Untuk setiap nefron, filtrasi dipengaruhi oleh aliran plasma, perbedaan tekanan, luas permukaan kapiler dan permeabilitas kapiler. Jadi LFG merupakanjumlah dari hasil semuanefron(rata-rata 1juta tiap ginjal). Homer Smith adalah peneliti yang memberi nama renal clearance sebagai istilah untuk menilai LFG. Rumus baku untuk menilai klirens: UxV
c=-
P C = klirens U = konsentrasi zat marker dalam urin V = volume urin P = konsentrasi zat marker dalam plasma
Pemeriksaan Konsentrasi Ureum Plasma Nilai normal konsentrasi ureum plasma 20-40 mg%. Ureum merupakan produk nitrogen terbesar yang dikeluarkan melalui ginjal yang berasal dari diet dan protein endogen yang telah difiltrasi oleh glomerulus dan sebagian direabsorbsi oleh tubulus. Ureum akan lebih banyak lagi direabsorbsi pada keadaan di mana urin lambatlterganggu (dehidrasi). Pengaruh yang penting dari diet dan reabsorbsi tubulus menjadikan pemeriksaan bersihan ureum menjadi tidak tepat, sama seperti pengukuran LFG. Namun demikian pemeriksaan kadar ureum plasma tetap penting dan diperlukan pada pasien-pasien penyakit ginjal terutama untuk mengevaluasi pengaruh diet restriksi protein. Pada pasien gagal ginjal, kadar ureum lebih memberikan gambaran gejala-gejala yang terjadi dibandingkan kreatinin. Hal ini diduga ada beberapa zat toksik yang dihasilkan berasal dari sumber yang sama dengan ureum. Dengan demikian pada kadar ureum 20-25 mgldl akan memperlihatkan gejala-gejala muntah, dan pada kadar 5060 mgldl akan meningkat menjadi lebih berat. Oleh karena itu kadar ureum merupakan tanda yang paling baik untuk timbulnya uremik toksik. Gejala toksik ureum juga dapat dihilangkan dengan menurunkan kadar ureum denganjalan pengaturan diet rendah protein untuk pasien gagal ginjal
berat. Normal perbandingan ureum-kreatinin berkisar 6080. Peningkatan perbandingan ureum-kreatinin ini menunjukkan adanya faktor-faktor lain di luar gagal ginjal tersebut yang meningkatkan kadar ureum.
Pemeriksaan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) Kreatinin Plasma dan Bersihan Kreatinin Manfaat klinis pemeriksaan LFG adalah: Deteksi dini kerusakan ginjal Pemantauan progresifitas penyakit Pemantauan kecukupan terapi ginjal pengganti Membantu mengoptimalkan terapi dengan obat tertentu Penetapan LFG dapat memakai petanda eksogen (inulin, iotalamat, iosotalamat,( W r EDTA, 99TcDTPA) atau marker endogen P2 mikroglobulin, a,mikroglobulin,retinoV binding protein, sistatin C). Zat eksogen untuk tes ini hams mempunyai syarat: bebas difiltrasi di glomerulus tidak diabsorpsi oleh tubulus tidak disekresi oleh tubulus mempunyai kadar stabil dalam darah tanpa ekskresi di luar ginjal, mudah, akurat dalam pengukuran, dan tidak toksik. Zat yang terutarna berasal dari metabolisme organ ini hanya mengalami proses filtrasi glomerulus, sedangkan sekresi tubulus sangat minimal sehingga dapat diabaikan. Oleh karena itu kreatinin sangat berguna untuk menilai f k g s i glomerulus dan kadar plasma kreatinin lebih baik dibandingkan kadar plasma ureum. Kenaikan plasma kreatinin 1-2 mgIdL dari normal menandakan penurunan LFG =k 50%.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PEMERIKSAAN PENUNJANC PADA PENYAKIT ClNJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Ada beberapa faktor yang mempengaruhi plasma kreatinin, antara lain:
Tes
Metode
Komentar
Meningkat diet tinggi kreatinin dari daging atau suplemen kaya kreatinin menurunnya sekresi kreatinin akibat kompetisi dengan asam keton, anion organik (pada uremia), atau obat (sirnetidin, sulfa)
Kreatinin plasma
darah sewaktu
sederhana kurang akurat menurun bila otot kecil meningkat dengan konsumsi daging dipengaruhi beberapa obat dipengaruhi oleh pengukuran
Menurun asupan kreatinin menurun atau berkurangnya massa otot karena kurus, tua atau diet rendah protein.
Bersihan kreatinin
urin 24 jam dan contoh darah
Variasi Standarisasi atau kalibrasi yang tidak seragam. Untuk menilai LFG: memakai Formula Cockcroft- Gault: Untuk perempuan: LFG = nilai pada priax 0.85 Untuk pria:
Formula CockcroftGault
contoh darah sewaktu
Radioisotop
Ikali suntik
koleksi urin 2 jam kurang dipercaya over estimate dipengaruhi obat tanpa koleksi urin lebih akurat dibanding kreatinin plasma over estimate pada obes over estimate pada diet rendah protein nilai akurat tinggi invasif sering untuk riset
(140-umur) x (BBIkg) LFG =
72 x kreatinin serum (mg%) Namun demikian perhitungan yang terbaik untuk LFG adalah dengan menentukan bersihan kreatinin yaitu: Nilai normal untuk bersihan kreatinin: Laki-laki =97-137 mLlmenit/l,73m2atau =0,93- 1,32mLldetik/ m' Perempuan= 88-128 mLlmenit/l,73m2atau= 0,85-1,23 mL/ detik/m2. Pengumpulan urin yang tidak tepat akan menghasilkan bersihan kreatinin yang kurang akurat. Untuk laki-laki urinnya mengandung 15-20mg kreatinin/kgBB/hari, sedang pada perempuan 10-15mg kreatininlkgBB/hari.Nilai ini akan menurun dengan bertambahnya urnur. -
Metode Sistatin C serum Beberapa laporan menunjukkan bahwa sistatin C dalam serum merupakan petanda LFG yang akurat, lebih baik daripada kreatinin. Sistatin C diproduksi oleh seluruh sel berinti secara konstan dan tidak dipengaruhi inflamasi, keganasan, perubahan masa tubuh, nutrisi, demam atau jenis kelamin. Sistatin C difiltrasi sempurna oleh glomerulus, lalu mengalami reabsorbsi dan dikatabolisme di tubulus proksimal. Metode pemeriksaan sistatin C dapat secara particle-enhanced nephelometric immunoassay (PENIA) dan particle enhanced turbidity immunoassay (PETIA). Penentuan LFG dengan formula sistatin:
kreatinin urin (mgldl x volume urin) (m1124 jam)
Bersihan kreatinin
=
kreatinin serum (mgldl) x 1440 menit
Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) mengeluarkan rumus untuk mengukur LFG dan lebih akurat dibandingkanklirens kreatinin.Rumus ini belum baku untuk anak-anak, orang tua, perempuan hamil dan bila nilai albumin serum sangat ekstrim. Rumus ini tidak praktis untuk dipakai sehari-hari dibandingkan rumus CockcroftGault dan nomogram. LFG = 170x Pcr (mg/dl) -0,999 x usia -09176x SUN -0,170 x alb
Catatan: Untuk perempuan hasil x 0,762 dan kulit hitam (Negro) x 1,18 Pcr: Plasma Kreatinin; SUN: Urea Nitrogen Serum; Alb: Albumin.
Nilai Normal dari variasi Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) Laju filtrasi glomerulus (LFG) dipengaruhi usia, kelamin, luas permukaan badan. Secara klasik, LFG diukur per 1,73m2. Luas permukaan badan dapat diukur dengan nomogram dari tinggi dan berat badan. LFG pada orang dewasa rata-rata 130 cc/min/1,73 m2 untuk pria dan 120 mV menit/1,73 m2untuk perempuan dengan koefisien variasi 14-18%. Umur akan mempengaruhi LFG h 10 cc/minl1,73 m2 per dekade setelah usia 40 tahun. Jadi nilai LFG pada usia 80 tahun adalah h 50% dari LFG dewasa muda. LFG pada kehamilan meningkat 50% pada trimester pertama dan kembali normal segera setelahmelahirkan. LFG mempunyai ritme sirkadian; ia naik 10% pada sore hari dibandingkan tengah malam. Makanan tinggi protein atau infus asam amino akan meningkatkan LFG LFG dan aliran plasma ginjal
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
meningkat dalam waktu 1 jam setelah makan, dan LFG menurun sementara selama olahraga.
MENGUKUR ALIRAN PLASMA GINJAL Metode ini memakai p-Aminohipurat (PAH) karena zat ini hampir 100% diekskresi oleh ginjal pada saat pertama kali lewat ginjal. Dengan cara ini aliran darah ke ginjal dapat dihitung dengan membagi aliran plasma ginjal dengan (1-hematokrit). Karena metode PAH membutuhkan infus yang kontinyu, saat ini ada metode baru dengan lkali suntik zat radioaktif seperti I-Hipuran atau MAG3.
Petanda Kerusakan Tubulus Walaupun ada petanda kerusakan tubulus seperti protein BM ringan (P-2 mikroglobulin, a-1 makroglobulin) dan enzim tubulus (N-asetil P glukosaminidase) akan meningkat akan tetapi belum rutin dipakai. Selain metodenya rumit, hasilnya belum konsisten, sehingga tes ini hanya dipakai untuk riset. Pengukuran Fungsi Tubulus Fungsi tubulus proksimal dan tubulus distal dapat dinilai dengan beberapa cara antara lain mempelajari transpor natrium, transpor kaliurn, pengasaman urin dan kemampuan memekatkan atau mengencerkan urin. Masalah ini dibicarakan dalam bab-bab selanjutnya.
PEMERIKSAAN SEROLOGI Dengan kemajuan bioteknologi yang pesat para peneliti selalu mencari petanda yang akurat dan noninvasif untuk diagnosis dan evaluasi penyakit glomeruluslvaskular. Pemeriksaan serologi, merupakan pemeriksaan penunjang yang tidak kalah penting dari patologi anatomik. Pada tabel di bawah ini terdapat pemeriksaan serologi yang sering dipakai untuk evaluasi dan diagnosis penyakit ginjal.
PEMERIKSAAN RADlOLOGl GINJAL Pemeriksaan radiologi dalarn bidang nefiologi maju dengan pesat. Pada bab ini akan dibahas secara singkat. Pemeriksaan-pemeriksaan ini sangat bermanfaat untuk menentukan diagnosis. Persiapan sebelum tindakan yang baik akan memberi hasil yang baik. Harus diperhatikan bahwa pemakaian bahan kontras radiologi terutama yang non-ionik dapat menimbulkan penurunan fungsi ginjal akibat iskemia, toksik maupun toksisitas vaskular.
Faktor-faktor yang diperhatikan untuk pemeriksaan radiologi: 1). Informasi yang akan diperoleh untuk manajemen selanjutnya; 2). Akurasi dan ketepatan diagnostik; 3). Invasiflnon invasif dan pertimbangkan risiko; 4). Biaya pemeriksaan
Ultrasonografi 1. Klasik 2. Kontras USG Resolusi USG berkisar 1-2 cm dapat dipergunakan untuk memeriksa korteks, medula, piramid ginjal dan pelebaran sistem kolekting ureter. Ukuran ginjal berbeda 1,5 cm antara kedua ginjal menandakan adanya kelainan pada ginjal tersebut. Bila panjang <9 cm, dianggap mengecillmelisut. Indikasi pemeriksaan USG ginjal: 1. mengukur ginjal (panjang dan lebar) 2. skrining hidronefiosis 3. memastikan massa di ginjal 4. abses atau hematoma 5. skrining kista ginjal 6. melihat lokasi ginjal untuk tindakan invasif 7. mengukur volumelsisa urin kandung kemih 8. menilai trombosis vena renalis (Doppler) 9. menilai aliran darah ginjal (Doppler) USG klasik (tanpa kontras). USG klasik (tanpa kontras), relatif murah, tak tergantung fungsi ginjal, dan sangat mudah dilakukan dan dapat menentukan lokasi, bentuk dan ukuran. Saat ini USG portabel sudah tersedia untuk saat darurat. Masa kistik atau solid, obstruksi atau regresi hidronefiosis dapat segera diketahui. Doppler benvarna dapat menilai vaskularisasi dan perfusi ginjal. Selain itu biopsi ginjal menjadi lebih mudah apabila dipandu dengan USG Kelebihan USG Ginjal: 1. sensitif mendeteksi penimbunan cairan dilatasi pelviokalises dan kista 2. dapat membedakan kortek dan medula 3. dapat membedakan kista dan massa padat 4, dapat melihat bentuk seluruh ginjal dan ruangan sekitar ginjal 5. secara doppler dapat melihat aliran darah ginjal 6. mudah dibawa 7. tidak memakai kontras dan radiasi Kelemahan: 1. tidak dapat menunjukkan pelviokalises secara teliti 2, tidak dapat melihat ureter normal 3. tidak dapat melihat retroperitoniumjelas 4. batu kecil dan batu ureter tak dapat dideteksi 5. bergantung kepada operator
USG Kontras. Tindakan ini memerlukan gasperJuoroocty2 bromide. Metode ini masih dalam riset dan belum dikomersilkan untuk pemakaian klinis.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PENYAKIT GINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Tak jelas sebab Hernaturi NS Hipertensi, fungsi normal Hipertensi, fungsi turun Ras ISK Hydronefrosis
Fibrosis retroperitoneal Nekrosis Papila Nekrosis Kortek Trombus V. renalis lnfark ginjal Nefrokalsinosis
USG IVP atau USG USG CT angiografi MRA MRA CT USG IVP TC DTPA renografi CT IVP CT kontras CT kontras CT kontras CT non kontras
Foto Polos Abdomen Walaupun akhir-akhir ini sudah bermunculan berbagai macam teknik imaging yang cukup canggih, pemeriksaan foto polos ginjal, ureter, dan kandung kemih tetap merupakan pemeriksaan yang sangat penting. Pasien diletakkan pada posisi telentang dengan sinar X terarah ke tubuh pasien terutama ginjal dan kandung kemih. Pada pasien yang sangat gemuk diperlukan pengambilan 2 kali (2 film) untuk masing-masing saluran kemih bagian atas dan kandung kemih secara terpisah. Bentuk ginjal. Ukuran ginjal dapat diketahui dan ini bervariasi bergantung tinggi badan, berat badan dan jenis kelamin pasien. Pada keadaan dimana terjadi pembesaran massa ginjal dapat ditandai dengan pergeseran lemak perinefiik. Gambaran ureter. Pada pemeriksaan foto polos tidak dapat dilihat, akan tetapi posisinya dapat diperhitungkan mulai dari hilus renal melalui daerah prosesus transversus vertebra lumbalis menyilang daerah persambungan sakroiliaka menuju ke bawah melewati pelvis lateral sebelum memasuki kandung kemih. Gambaran kandung kemih. Dibentuk oleh lapisan lemak berbatasan ke arah lateral dekat usus kecil yang berisi gas dan berbentuk kubah. Ukuran panjang kandung kemih di atas simfisis pubis sangat berkaitan erat dengan volume kandung kemih yang dapat dipakai untuk mengukur dengan sempurna kosongnya kandung kemih pada pemeriksaan kandung kemih sesudah buang air kecil. Gambaran kalsifikasi. Pada daerah lokasi ginjal, ureter, dan kandung kemih hams diteliti kemungkinan kalsifikasi. Pada keadaan dijumpai batu pada saluran kemih, kalsifikasi sering ditemukan. Pada daerah vesika seminalis dan juga pada prostat, yang terdapat pada dasar kandung kemih, adanya batu dapat diragukan atau menjadi tersamar oleh adanya kalsifikasi vaskular terutama pada daerah splenik dan arteri iliaka, dari saluran kencing.
Pielografi lntravena (PIV) Berbeda dengan foto polos abdomen, PIV memakai kontras, oleh karena itu PIV lebih mempunyai risiko yaitu alergi terhadap kontras ataupun toksik pada pasien dengan fungsi ginjal yang telah menurun. PIV bertujuan untukmelihat ginjal, ureter dan kandung kencing. Untuk melihat kelainan di ginjal perut hams diberi tekanan. Film pertama diambil pada detik 30 setelah penyuntikan kontras. Film kedua, biasanya 5 menit, diambil dengan posisi telentang dan miring untuk menilai ekskresi kontras dan ureter. Posisi telentang kadangkadang sulit untuk menilai ureter distal, dan hams posisi telungkup. Untuk menilai kandung kencing diperlukan foto dari samping atau tampak dari atas, dan ini akan membantu bila ada prolap kandung kencing. Film pasca void dipakai untuk menilai pengosongan kandung kemih dan penting untuk menilai evaluasi ureter distal, yang mungkin kurang jelas bila kontras mengisi penuh kandung kemih. Serial foto yang diambil setelah kontras: 30 detik :menilai ginjal 5 menit : proses eksresi sistem pelviokalises >5menit : ureter Kontraindikasi relatif untuk pemeriksaan BNO-IVP 1. Riwayat alergi terhadap kontras media 2. Adanya: - Gangguan fungsi ginjal - Diabetes - Mieloma multipel - Dehidrasi 3. Penyakit jantung terutama aritmia Pielografi Retrograde (PRG) PRG dilakukan bila ureter sulit terlihat dengan pemeriksaan radiologi lain atau bila sampel urin diperlukan untuk sitologi atau pembiakan kuman. Pasien yang alergi terhadap kontras atau penyakit ginjal kronik ringan dapat dievaluasi memakai cara ini. Tindakan ini invasif karena memasang kateter dari orifisium ureter dengan alat sistoskopi dan didorong sampai ke pelvis renalis memakai fluoroskopi kateter ditarik perlahan sambil menyemprotkan kontras. Pielografi Antegrad (PAG) PAG dilakukan dengan cara memasang alat menembus kulit langsung ke pelvis renalis. PAG dilakukan bila metode PRG tidak dapat dilakukan. Dengan metode ini tekanan ureter dapat diukur, hidronefrosis dapat dievaluasi dan lesi ureter dapat diidentifikasi. PAG sering dilakukan mendahului nefrostomi. PRG dan PAG adalah tindakan invasif, jadi hanya dilakukan bila tindakan lain gagal. Sistografi Sistografi bertujuan untuk mempelajari kandung kencing
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pembuluh darah yaitu angioplasti transluminal perkutan,
lebih rinci, misalnya menentukan refluks ureter, fungsi dan anatomi kandung kencing. Pada kasus trauma, sistografi dapat dilakukan untuk evaluasi perforasi kandung kencing, yang sulit didiagnosis dengan cara lain. Kateter Foley dipasang dan kencing dikeluarkan. Dengan bantuan fluoroskopikontras disemprot melalui kateter. Film pertama diambil dari depan dan samping segera kontras masuk kandung kencing dan ini sangat baik untuk mendeteksi ureterokel. Ketika kandung kencing tidak penuh, film diarnbil dari macam-macam sudut dan refluks dapat diidentifikasi dengan metode ini. Film-film kandung kemih pada saat pengosongan kontras juga penting untuk diagnosis divertikel, jumlah urin sisa, dan pola mukosa kandung kencing. Angiografi Renalis dan Venografi Renalis Dewasa ini angiografi paling sering dilakukan untuk riset penyakit vaskular, mencari penyebab hipertensi dan renal insufisiensi. Bermacam-macam penyakit terkait dengan arteri renalis seperti aterosklerosis, penyakit fibrosis, aneurism, emboli, fistula AV, vaskulitis, trombosis dan nefrosklerosis. Pada trauma, angiografi bermanfaat untuk menilai patensi a.renalis atau perdarahan traktus urinarius. Selain itu angiografi dapat dipakai untuk mendiagnosis massa ginjal seperti karsinoma, angiomiolipoma, onkositoma, kista atau abses. Juga untuk persiapan transplantasi ginjal, angiografi sangat berguna untuk menilai kondisi pembuluh darah ginjal, dan bila ada dugaan s t r i h anastomosis atau oklusi. Venografi renalis terutama untuk mendiagnosis trombosis vena atau tumor yang melibatkan vena renalis. Indikasi angiografi ginjal: 1). Evaluasi hipertensi renovaskular; 2). Angiografi intervensi: memakai kateter spesial untuk embolisasi, angioplastik balon; 3). Evaluasi preoperatif ginjal donor; 4). Evaluasi ginjal transplan untuk kemungkinan oklusi atau stenosis; 5). Diagnosis trombosis vena renalis; 6). Massa ginjal atau kista ginjal atau trauma ginjal Kontraindikasi relatif untuk pemeriksaan angiografi ini tentu berkaitan dengan pemakaian kontras dan karena tindakan ini invasif, kelainan hemostasis. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan nefropati kontras adalah: insufisiensi renal, dehidrasi, diabetes, mieloma multipel, lansia. Banyak cara untuk mengurangi komplikasi nefropati kontras misalnya dengan profilaksis steroid, memberi cairan NaClIkoreksi dehidrasi, memakai kontras yang mempunyai osmolalitas rendah dan non ionik, serta pemakaian asetilsistein (NAC) pre-kontras. Bermacammacam teknik angiografi renalis, tergantung dari tujuannya antara lain: Aortografi abdomen, arteriografi renal selektif, cavografi vena inferior, venografi renal selektif. Sampling renin vena renalis, DSA-intraarteri, DSA-intravena. Selain segi diagnostik, angiografi dapat dipakai untuk terapi
embolisasi transkateter, sten a.renalis. Tomografi Komputer (CT) Pemeriksaan CT berguna untuk memeriksa lebih lanjut kelainan yang terdapat pada USG atau PIV. CT dipakai untuk evaluasi massa ginjal, melokasi ginjal ektopik, meneliti batu, mencari massa retroperitoneal.Kemajuan CT makin nyata setelah ditemukan scan-helical yang lebih canggih. CT dapat dilakukan dengan atau tanpa kontras intravena. CT tanpa kontras dipakai untuk deposisi kalsium dan perdarahan, dan merupakan pilihan pasien kolik ginjal dan kemungkinan batu. CT tanpa kontras dilanjutkan dengan kontras sangat berguna untuk infeksi ginjal, karena bukan saja untuk mengidentifikasi kemungkinan obstruksi batu tetapi luasnya kerusakan parenkim dan daerah perinephric. Dengan scan helical ginjal dapat dipelajari setelah pemberian kontras dan dapat dipelajari kemampuan ekskresi, bila terlambat dapat disebabkan obstruksi, atau kelainan parenkim seperti nekrosis tubular akut. Angiografi CT Salah satu kecanggihan scan helical adalah kemampuan angiografi CT, dapat memberi gambaran serupa angiografi konvensional akan tetapi kurang invasif. Dengan metode ini dapat dievaluasi suplai darah ke ginjal pada pasien cangkok. Angiografi CT dapat untuk skrining stenosis arteri renalis dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas 99%. Keterbatasan CT. Pada pasien obesitas, selain sulit mendapat akses vaskular dan sering banyak artefak karena kelebihan berat, dan terutama untuk diagnosis daerah abdomen dan retroperitoneal CT juga sangat sensitif terhadap logam. CT Scan dapat lebih superior dari USG dalam keadaan: 1). Evaluasi neoplasma ganas, CT scan dapat mengetahui luasnya penyebaran dan keterlibatan kelenjar getah bening sehingga dapat menentukan staging; 2). Evaluasi ruang perirenal dan pararenal serta fasia gerota; 3). Trauma ginjal; 4). CT dan MRI sangat baik untuk menilai struktur retroperitoneal. Pemeriksaan Radionuklir untuk Ginjal Metode pemeriksaan ini memberi informasi baik kualitatif maupun kuantitatif tentang ginjal secara non invansif. Dengan memakai kamera sinar gamma akan menangkap proton dari radiotracer dari badan dan membentuk garnbarlimage, dapat seluruh tubuh atau bagian dari tubuh. Ada 3 kategori "radio tracer" yang dipakai pada pemeriksaan ginjal: filtrasi glomerulus, sekresi tubulus, retensi agen oleh tubulus Indikasi radionuklir untuk ginjal: 1). Menentukan LFG dan aliran plasma efektif ginjal bahkan pada gangguan fungsi; 2). Mengukur fungsi ginjal masing-masing; 3). Mendiagnosis hipertensi renovaskular; 4). Evaluasi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PENYAKIT GINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI transplan ginjal: aliran anastomosis, obstruksi, ekstravasasi urin; 5). Membedakan hidronefrosis obstruktif dari nonobstruktif dengan renogram furosemid, dimana pada tipe obstruksi terjadi kelambatan ekskresi. Laju filtrasi glomerulus. Agen akan melewati glomerulus sehingga LFG dapat dihitung. Agen sekresi tubulus. Agen yang disekresi oleh tubulus dipakai untuk menilai aliran plasma ginjal efektif karena mempunyai ekstraksi dan kliren yang lebih tinggi. I 3 l I-OIH dan 99Tc-MAG3disekresi oleh tubulus proksimal Retensi agen oleh tubulus. Agen DMSA dan glukoheptonat (GH) yang dilabel sangat baik untuk menilai korteks. Dapat mengevaluasi scarring ginjal dan klarifikasi pseudotumor ginjal. Pilihan agen untuk renal antar lain: 1. LFG: 99 Tc-DTPA 2. LFG dg gangguan fungsi: - 99T~-DTPA-MAG3 - 13'I-OM 3. Aliran plasma ginjal efektif: - 99T~-MAG3 - '311-OM 4. "Scarring" ginjal: - 99T~-DMSA - 99T~-GH 5. Pseudotumor: DMSA 6. Obstruksi: 99Tc-DTPA 7. Obstruksi dengan gangguan fungsi: 99Tc-MAG3.
pelengkap. Hilangnya batas medula korteks memberi gambaran yang nonspesifik pada MRI. Kista ginjal mudah terlihat dengan MRI, akan tetapi kurang akurat menentukan fokus kalsifikasi, dan lebih jelas dengan CT. Untuk staging lesi renal yang padat, MRI lebih superior dibandingkan CT karena dapat mendeteksi trombus tumor pada pembuluh darah besar dan dapat membedakan hilus kolateral pembuluh dari nodul limfa. Beberapa neoplasma ginjal terlihat homogen dengan sekeliling parenkim normal sehingga dapat terabaikan dengan MRI tanpa kontras. MRI dapat membantu membedakan massa adrenal pada feokromositoma; juga MRI sangat bermanfaat mendiagnosistrombosis vena renalis. Angiografi MRI, bila dikerjakan bersama-sama dengan kontras intravena, sangat bermanfaat untuk evaluasi stenosis pada a.renalis, di mana hasilnya lebih baik dibandingkan Digital Substraction Angiography (DSA) dan lebih tidak invasif dibandingkan angiografi konvensional. Kesimpulan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan radiologi dapat menjadi alat bantu diagnostik yang sangat berguna, tetapi biasanya mahal dan dapat memberikan reaksi yang tidak diinginkan. Dengan persiapan dan seleksi pasien yang cerqlat dapat meningkatkan nilai daya guna dan menurunkan toksisitas. Walau beberapa tahun ini dipakai kontras dengan osmolar yang rendah, masih saja dapat menimbulkan gaga1 ginjal akut dan trombosis vaskular.
Renogram Metode ini akan memberi informasi aliran darah, uptake ginjal, dan ekskresi, dengan memakai DTPA, MAG3 dan OM. Rekaman diambil setiap beberapa detik pada menit pertama. Komponen selanjutnya menilai fungsi ginjal dengan menghitung ambilan radio tracer dan eksresi oleh ginjal. Secara normal, puncak konsentrasi antara menit 3-5 setelah suntikan agen. Transit yang melambat akan mengubah kurva renogram. Renogram kaptopril. Metode ini untuk mendeteksi stenosis Arenalis atas dasar kaptopril menghambat pembentukan A2 dan menghambat vasokontriksi. Setelah periode wash out dibuat renograrn basal memakai DTPA atau MAG3. Setelah pemberian kaptopril, bila terbukti ada stenosis a.rena1maka akan ada kelambatan mencapai puncak, adanya retensi isotop dan penurunan LFG pada ipsilateral. Sensitivitasrenogram kaptopril ini menurun dengan adanya gangguan fbngsi ginjal.
BlOPSl GINJAL
MAGNETIC RESONANCE IMAGING ( M R I )
MRI sangat jarang menjadi pemeriksaan pertama untuk evaluasi ginjal, namun MRI dapat menjadi pemeriksaan
Biopsi ginjal dapat memberikan gambaran dasar klasifikasi dan pengertian penyakit ginjal baik primer maupun sekunder. Tindakan ini cukup aman bila dilakukan secara tepat apalagi memakai panduan agar lebih terarah misal dengan USG CT. Juga disainjarum TRUCUT dan memakai alat semi otomatis. Manfaat biopsi ginjal 1. Menegakkan diagnosis baik kelainan primer atau sistemik 2. Menentukan prognosis 3. Menentukan opsi pengobatan 4. Mengetahui patofisiologi penyakit ginjal Kontraindikasi biopsi 1. Gangguan koagulasi dan trombositopenia 2. Disfungsi trombosit (kontraindikasirelatif) dapat diatasi dengan dialisis atau desmopresin yang akan merangsang koagulasi trombosis 3. Hipertensi (kontraindikasi relatif) 4. Pielonefkitis, dapat mengakibatkan abses 5. Kelainan anatomis: ginjal soliter Hasil yang adekuat: biopsi korteks ginjal dan mengandung 6-8 glomerulus. Dibutuhkan 2 sediaan untuk
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI mikroskop cahaya, mikroskop elektron dan imunofluoresen. Indikasi. Risiko biopsi ginjal selalu hams dipertimbangkan, demikian juga keuntungan pada tiap pasien. Biopsi ginjal berguna untuk diagnosis dan perencanaan pengobatan, termasuk sebagai pegangan untuk menghentikan pengobatan dan prognosis penyakit. Ada 4 kelompok yang merupakan indikasi utama biopsi: sindrom nefrotik, penyakit ginjal akibat penyakit sistemik, gagal ginjal akut dan transplantasi ginjal. Indikasi lain adalah: proteinuria ringan, hematuria, penyakit ginjal kronik. Sindrom nefrotik. Walaupun sindrom nefrotik (proteinuria >3,5 ghari) merupakan indikasi, namun ada pengecualian: 1. Anak usia 1 tahun-pubertas. Biasanya jenis perubahan minimal dan responsif terhadap steroid. Dilakukan biopsi bila: tidak ada respons terapi, C, rendah, hematuria, gangguan fungsi. Perubahan minimal sangat jarang pada usia kurang dari 1 tahun dan biopsi perlu dilakukan untuk diagnosis sindrom nefrotik kongenital. 2. Diabetes: Bila dianggap SN karena diabetes yaitu dengan riwayat lama mengidap diabetes, retinopati dan sedimen urin inactive dengan USG yang masih normal.
Penyakit sistemik dengan proteinuria atau insufisiensi renal. Beberapa penyakit sistemik seperti amiloid, reaksi obat, mieloma, sarkoidosis hanya dapat didiagnosis dengan biopsi ginjal. Pada SLE, biopsi dapat untuk menentukan aktivitas penyakit, menilai terapi dan rencana pengobatan. Gangguan ginjal akut. Diagnosis gagal ginjal akut berdasarkan anamnesis dan laboratorium. Bila penyebabnya tidak jelas dan tidak responsif dengan terapi suportif, hams dilakukan biopsi. Hematuria dan proteinuria dengan silinder eritrosit, menandakan vaskulitis sistemik, dan perlu segera biopsi untuk konfirmasi diagnosis dan menilai beratnya reaksi inflamasi dan luasnya fibrosis. Bila ANCA positif dan terapi ditujukan untuk manifestasi vaskulitis ekstrarenal, manfaat biopsi masih diperdebatkan. ANCA positif dapat terjadi juga pada kondisi lain seperti endokarditis, maka uiltuk membedakannya hanya dengan biopsi ginjal. Biopsi pada GGA kadang diperlukan setelah pengobatan pertama selesai untuk menilai beratnya dan reversibilitas; serta perlu tidaknya dilanjutkan dengan terapi imunosuportif. Proteinuria non nefrotik. Nilai biopsi ginjal pada proteinuria <3,5 ghari memang kurang berarti dibandingkan sindrom nefrotik. Studi REIN menunjukkan kemunduran fungsi ginjal dengan meningkatnya proteinuria. Proteinuria < 1,5 ghari setara dengan penurunan LFG 0,12 cclminl bulan, dan pada kondisi ini penghambat ACE kurang bermanfaat. Bila proteinuria 13-3 ghari LFG menurun 0,4 cc/mm/bulan dan pada kelompok ini penghambat ACE ternyata bermanfaat. Oleh karena itu sangat penting memastikan diagnosis bila protein > 1,5 gihari. Indikasi lain
pada artritis rematoid dimana hasil biopsi dapat mempengaruhi manajemen. Pada kondisi ini, bila diternukan amiloidAA, terapi hams intensif, untuk mengurangi ke kadar normal. Bila artritis rematoid memberi gambaran nefropati membranosa, terapi dengan emas atau penisilamin tidak dianjurkan. Proteinuria ringan dengan hematuria. Nefropati IgA sering mempunyai gambaran klinis protein kurang dari 1,5 glhari dengan hematuria mikroskopik. Pada pasien ini perlu terapi jangka panjang. Sebaliknya pasien dengan GN pasca infeksi mempunyai manifestasi klinis yang sama, tetapi prognosis lebih baik. Oleh karena itu perlu menunda biopsi 6 bulan, dan biopsi mutlak dilakukan bila kelainan urin menetap 6 bulan, walau hngsi ginjal normal. Bila kelainan urin disebabkan penyakit sistemik, seperti pada vaskulitis atau lupus, biopsi mempunyai nilai yang tinggi untuk mengetahui luasnya kerusakan glomerulus dan rencana terapi. Hematuria terisolasi. Karena hematuria dapat disebabkan oleh banyak hal, biopsi ginjal pada hematuria kadang diperdebatkan. Biopsi pada hematuria dilakukan bila hematuria menetap, apalagi bila ada hipertensi, proteinuria dan hematuria glomerulus (dismorfik). Pada hematuria terisolasi, tanpa gejala lain, tindakan biopsi masih diperdebatkan, dan para nefrologis lebih menyukai mengikutilfollow up selama beberapa tahun. Penyakit ginjal kronik dengan sebab tdak jelas. Biopsi sangat bermanfaat pada gangguan fungsi yang tidak jelas sebabnya, dimana USG menunjukkan ukuran yang normal. Bila ginjal melisut (<9,5 cm, dewasa), pada biopsi ginjal biasanya menunjukkan glomerulosklerosis dan fibrosis interstitialis yang luas. Pada keadaan demikian biopsi memang tidak membantu untuk memperbaiki kerusakan, akan tetapi dapat membantu prognosis dan rencana terapi. Gambaran ekogenitas pada USG dan hilangnya batas korteks dan medula, adalah suatu tanda penyakit parenkim ginjal yang lanjut, namun bukan indikasi untuk biopsi. Disfungsi ginjal cangkok. Biopsi ginjal pada keadaan ini sangat berguna untuk membedakan antara rejeksi dan nekrosis tubular akut pada periode awal cangkok. Pada periode lanjutjuga penting untuk membedakan rejeksi akut dari rejeksi kronik, yang tidak memerlukan terapi, atau membedakan nefrotoksisitas karena obat anti rejeksi. Karena tidak sulit melakukan biopsi pada ginjal cangkok, maka sering dilakukan biopsi berulang bila diperlukan.
Persiapan untuk biopsi 1. USG ginjal: keduanyanormal, tanpa sikatrik dan tanpa tanda obstruksi 2. Tekanan diastolik <95 mmHg 3. Kultur urin: steril 4. Status hematologi: - AspirinIOAINS (NSAID) dihentikan 5 hari sebelurn biopsi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PENYAKIT GINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
- Hitung trombosit >100.000 - PT <1,2 x kontrol - APTT <1,2 x kontrol (bila memanjang singkirkan antikoagulan lupus)
- Waktu perdarahan: <10 menit Prosedur biopsi ginjal: 1. peralatan USG sebagai penuntun 2. anestesi: anestesi lokal 3. jarum: pistol biopsi 4. tempat: pool bawah ginjal, lebih disukai ginjal kiri 5. jaringan yang diperoleh dibagi dua: - untuk pemeriksaan mikroskop cahaya - untuk pemeriksaan imunofluoresen 6. pasca biopsi: - tidur tengkurap +jam - minurn banyak - monitor: tekanan darah, urin lengkap 7. pasien dipulangkan bila tidak ada hematuria Modifikasi tindakan biopsi: 1. Walaupun pasien biasanya dirawat untuk biopsi, pada pasien dengan risiko rendah one day care. Pagi biopsi sore pulang, misalnya tensi, fungsi ginjal normal dan kelainan urin tak bergejala. Metode ini kadang dikaitkan dengan masalah asuransi kesehatan. 2. Alat biopsi. Bila "pistol biopsi" tidak ada, jarum dapat memakai model TRUCUT atau VIM SILVERMAN Bantuan radiologi. Untuk menentukan lokasi ginjal USG lebih baik dibandingkan urografi intravena. Alternatif adalah fluoroskopi dengan kontras atau CT pada kasus tertentu. Posisi. Pada beberapa keadaaan: sesak napas atau nyeri bila telungkup, biopsi dapat dilakukan secara duduk. Biopsi terbuka. Biopsi ginjal secara terbuka dapat dilakukan pada risiko tinggi, misalnya ginjal tunggal, dengan tendensi perdarahan, atau bila dengan biopsi tertutup gagal. Ini tentu menarnbah biaya, tidak nyaman, dan dewasa ini jarang dilakukan.
Biopsi ginjal cangkok. Letak ginjal cangkok di bawah dinding kulit abdomen, tidak bergerak karena respirasi, membuat biopsi lebih simpel dan sering dilakukan berulang-ulang.
Komplikasi 1. Komplikasi biopsi ginjal antara lain hematoma, hematuria makroskopik, fistula arteriovena, infeksi dan pembedahan. 2. Perdarahan. Hematoma perirenal ditandai dengan penurunan Hb. Hematuria makroskopik dengan hematoma perirenal terjadi 2%, dan hanya 1% membutuhkan transfusi darah. Hematuria yang berat dapat menyebabkan kolik. Bila hematuria berlanjut perlu angiografi untuk tindak lanjut embolisasi. 3. Fistula arteriovena. Sering tidak ada keluhan dan ditemukan secara radiologi. Frekuensi sekitar 10% bila diperiksa secara arteriografi atau Doppler benvarna. Kebanyakan kasus akan sembuh spontan. Fistula arteriovena yang menetap, dapat menyebabkan hematuria, hipertensi dan gangguan fungsi ginjal. Dalam situasi demikian embolisasi perlu dilakukan. 4. Komplikasi lain. Walaupun sangatjarang, biopsi ginjal dapat menyebabkan fistula peritoneallkalises, hematotorak, perforasi kolon ataupage kidnq di mana terjadi tamponade ginjal. 5. Kematian karena biopsi sangat jarang dan biasanya disebabkan perdarahan pada kasus risiko tinggi terutama pada gagal ginjal akut.
Brenner MB. The kidney. 7th edition. In: Brenner & Rector, editors. Philadelphia: WB Saunders; 2000. p. 353-412. Johnson RJ, Feehally J. Comprehensive clinical nephrology. 2nd edition. Mosby; 2000. p. 27-70. Simonson MS, Banz MB. Nephrology secret. p. 4-1 1. Wilcos CX, Tisher CC. Handbook of nephrology and hypertension. 5 th edition. Lippincott Williams & Wilkins; 1999. p. 20-2.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
EDEMA PATOFISIOLOGI DAN PENANGANAN Ian Effendi, Restu Pasaribu
DlSTRlBUSl NORMAL CAIRAN TUBUH Komponen terbesar dari tubuh adalah air. Air adalah pelarut bagi semua zat terlarut dalam tubuh baik dalam bentuk suspensi maupun larutan.Air tubuh total adalah persentase dari berat air dibandingkan dengan berat badan total, nilainya bervariasi menurut jenis kelamin, umur dan kandungan lemak tubuh. Distribusi normal cairan tubuh dapat dilihat pada Gambar 1.
menyebabkan retensi natrium dan air, penyakit ginjal serta berpindahnya air dari intravaskular ke interstitium. Volume cairan interstitial dipertahankan oleh hukum Starling. Menurut hukum Starling, kecepatan dan arah perpindahan air dan zat terlarut termasuk protein antara kapiler dan jaringan sangat dipengaruhi oleh perbedaan tekanan hidrostatik dan osmotik masing-masing kompartemen.Tekanan osmotik adalah tekanan yang dihasilkan molekul protein plasma yang tidak permeabel melalui membran kapiler. Proses perpindahan ini melalui proses difusi, ultrafiltrasi dan reabsorbsi. Faktor yang terlibat adalah perbedaan tekanan hidrostatik intravaskular dengan ekstravaskular (AP), perbedaan tekanan osmotik (An) dan permeabilitas kapiler (Kf). Kecepatan perpindahan cairan (Fm) yang membentuk edema diformulasikan sebagai berikut:
Fm = Kf (AP - Arc) Pengaruh faktor-faktor di atas dalam proses terjadinya edema dapat dilihat pada Tabel 1.
PATOFISIOLOGI EDEMA
Garnbar 1. Distribusi normal cairan tubuh
Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel tubuh atau di dalam berbagai rongga tubuh, keadaan ini swing dijumpai pads praktik klinik s&ari-hari yang terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan faktorfaktor yang mengontrol perpindahan cairan tubuh, antara lain gangguan hemodinamik sistem kapiler yang
Edema terjadi pada kondisi di mana terjadi peningkatan tekanan hidrostatik kapiler, peningkatan permeabilitas kapiler atau peningkatan tekanan osmotik interstisial, atau penurunan tekanan osmotik plasma. Ginjal mempunyai peran sentral dalam mempertahankan homeostasis cairan tubuh dengan kontrol volume cairan ekstraselular melalui pengaturan ekskresi natrium dan air. Hormon antidiuretik disekresikan sebagai respons terhadap perubahan dalam volume darah, toni sit as dan tekanan darah untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh. Konsep Volume Darah Arteri Efektif O A E ) merupakan ha1 penting dalam memahami mengapa ginjal menahan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
EDEMA PATOFlSlOLOGlDAN PENANGANAN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Klinis --
Faktor yang berpengaruh
Mekanisme
-
Edema lokal lnflamasi Trombosis vena dalam Edema generalisata Sindrom nefrotik
Peningkatan Kf Peningkatan AP
Diperantarai sitokin Obtruksi vena Obstruksi limfe
Peningkatan Kf Peningkatan AP Penurunan AX
Diperantarai sitokin Pelepasan aldosteron Penurunan kadar albumin Peningkatan volume darah Penurunan curah jantung Diperantarai oleh: renin, angiotensin, aldosteron Hipertensi portal Diperantarai oleh aldosteron Penurunan kadar albumin Diperantarai oleh: prostaglandin, NO Penurunan kadar albumin Diperantarai oleh : renin, angiotensin, aldosteron
GGA oliguria
Peningkatan AP
Gagal jantung kongestif
Peningkatan AP
Sirosis hepatis
Peningkatan AP Penurunan Ax Peningkatan Kf
Kwashiorkor
Penurunan An
Edema idiopatik
Peningkatan AP
natrium dan air. VDAE didefinisikan sebagai volume darah arteri yang adekuat untuk mengisi keseluruhan kapasitas pembuluh darah arteri. VDAE yang normal terjadi pada kondisi di mana rasio curah jantung terhadap resistensi pembuluh darah perifer seimbang. VDAE dapat berkurang pada kondisi terjadi pengurangan volume darah arteri (perdarahan, dehidrasi), penurunan curah jantung (gaga1 jantung) atau peningkatan capacitance pembuluh darah arteri (sepsis, sirosis hepatis) sehingga VDAE dapat berkurang dalam keadaan volume darah aktual yang rendah, normal atau tinggi. Pada orang normal, pembebanan natrium akan meningkatkan volume ekstraseluler dan VDAE yang secara cepat merangsang natriuresis untuk memulihkan volume tubuh normal. Jika VDAE berkurang maka ginjal akan memicu retensi natrium dan air. Mekanisme ini melibatkan:
PENURUNAN ALlRAN DARAH GINJAL Penurunan VDAE akan mengaktifasi reseptor volume pada pembuluh darah besar, termasuk low-pressure baroreceptors, intrarenal receptors sehingga terjadi peningkatan tonus simpatis yang akan menurunkan aliran darah pada ginjal. Jika aliran darah ke ginjal berkurang akan dikompensasi oleh ginjal dengan menahan natriurn dan air melalui mekanisme sebagai berikut:
Peningkatan reabsorbsi garam dan air di tubulus proksimalis. Penurunan aliran darah ke ginjal dipersepsikan oleh ginjal sebagai penurunan tekanan darah sehingga terjadi kompensasi peningkatan sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus. Renin akan meningkatkan pembentukan angiotensi 11, angiotensin I1 ini akan menyebabkan kontriksi arteriol eferen sehingga terjadi peningkatan fraksi filtrasi (rasio laju filtrasi glomerulus terhadap aliran darah ginjal) dan peningkatan tekanan osmotik kapiler glomerulus. Peningkatan tekanan osmotik ini akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi air pada tubulus proksimalis. Peningkatan reabsorbsi natrium dan air tubulus distalis. Angiotensin I1 akan merangsang kelenjar adrenal melepaskan aldosteron, aldosteron ini akan menyebabkan retensi natrium pada tubulus kontortus distalis.
SEKRESI HORMON ANTlDlURETlK (ADH) Penurunan VDAE akan merangsang reseptor volume pada pembuluh arteri besar dan hipotalamus aktivasr reseptor ini akan merangsang pelepasan ADH yang kemudian mengakibatkan ginjal menahan air. Pada kondisi gangguan ginjal, komposisi cairan tubuh pada beberapa kompartemen tubuh akan terganggu dan menyebabkan edema. Penyebab umum edema: 1. Penuman tekanan osmotik - Sindrom nefrotik - Sirosis hepatis - Malnutrisi 2. Peningkatan permeabilitas vaskular terhadap protein - Angioneurotik edema 3. Peningkatan tekanan hidrostatik - Gagal jantung kongestif - Sirosis hepatis 4. Obstruksi aliran limfe - Gagal jantung kongestif 5. Retensi air dan natrium - Gagal ginjal - Sindrom nefrotik
Pembentukan Edema pada Sindrom Nefrotik Sindrom nefrotik adalah kelainan glomerulus dengan karakteristik proteinuria (kehilangan protein melalui urin >3,5g/hari), hipoproteinemia, edema dan hiperlipidemia. Pasien sindrom nefrotik juga mengalami volume plasma yang meningkat sehubungan dengan defek intrinsik ekskresi natrium dan air. Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik berhubungan dengan kehilangan protein sehingga terjadi penurunan tekanan osmotik menyebabkan perpindahan cairan intravaskular ke interstitium dan memperberat pembentukan edema. Pada kondisi tertentu,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
kehilangan protein dan hipoalbumin dapat sangat berat sehingga volume plasma menjadi berkurang yang menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang juga merangsang retensi natrium dan air. (Gambar 2)
Defek intrinsik ekskresi natrium
Penurunan LFG
\
I
air
\
+
Mekanisme overfilling. Pada beberapa pasien sindrom nefrotik terdapat kelainan yang bersifat primer yang mengganggu ekskresi natrium pada tubulus distalis, sebagai akibatnya terjadi peningkatan volume darah, penekanan sistem renin-angiotensin dan vasopresin. Kondisi volume darah yang meningkat (overfilling) yang disertai dengan rendahnya tekanan osmosis plasma mengakibatkan transudasi cairan dari kapiler ke interstitial sehingga terjadi edema.
Proteinuria I
Hipoalbuminemia
I
1
Defek tubulus yang primer
C
L
Penurunan VDAE
t
J
Retensi natrium dan air oleh ginjal
-,
Volume plasma 9
Gambar 2. Mekanisme retensi natrium dan air
1 ANP
Ada 2 mekanisme yang menyebabkan terjadinya edema pada sindrom nefrotik: Mekanisme underJilling. Pada mekanisme underfilling, terjadinya edema disebabkan rendahnya kadar albumin serum yang mengakibatkan rendahnya tekanan osmotik plasma, kemudian akan diikuti peningkatan transudasi cairan dari kapiler ke ruang interstitial sesuai dengan h u h Starling, akibatnya volume darah yang beredar akan berkurang (underfilling) yang selanjutnya mengakibatkan perangsangan sekunder sistem renin-angiotensinaldosteron yang meretensi natrium dan air pada tubulus distalis. Hipotesis ini menempatkan albumin dan volume plasma berperan penting pada proses terjadinya edema. Proteinuria I
i
Hipoalbuminemia
Tekanan osmotik plasma
4
+I
Volume plasma &
1 Sistem renin angiotensin
I
1 I
I ANP N I . ~
RETENSI AIR
I L
m!MA
Gambar 3. Skema hipotesis undetfill
RETENSI
1 I
Tubulus Resisten terhadap ANP
1
11
Garnbar 4. Skema hipotesis overfill
Pembentukan Edema pada Gagal Jantung Kongestif Gagal jantung kongestif ditandai kegagalan pompa jantung, saat jantung mulai gagal memompa darah, darah akan terbendung pada sistem vena dan saat yang bersamaan volume darah pada arteri mulai berkurang. Pengurangan pengisian arteri ini (direfleksikan pada VDAE) akan direspons oleh reseptor volume pada pembuluh darah arteri yang memicu aktivasi sistem saraf simpatis yang mengakibatkan vasokontriksi sebagai usaha untuk mempertahankan curah jantung yang memadai. Akibat vasokontriksi maka suplai darah akan diutamakan ke pembuluh darah otak,jantung dan paru, sementara ginjal dan organ lain akan mengalami penurunan aliran darah. Akibatnya VDAE akan berkurang dan ginjal ~ k a menahan n natrium dan air. Kondisi gagal jantung yang sangat berat, juga akan terjadi hiponatremia, ini terjadi karena ginjal lebih banyak menahan air dibanding dengan natrium. Pada keadaan ini ADH akan meningkat dengan cepat dan akan terjadi pemekatan urin. Keadaan ini diperberat oleh tubulus proksimal yang juga menahan air dan natrium secara berlebihan sehingga produksi urin akan sangat berkurang.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
EDEMA PATOFISIOLOCI DAN PENANGANAN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Pelepasrfn vasopresln
+ t--Sistem saraf simpatis%
Ren~n-anglotensin-'f aldosteron
perbedaan berat badan yang dipengaruhi oleh posisi tubuh. Pada posisi berdiri terjadi retensi natrium dan air sehingga terjadi peningkatan berat badan, ini diduga karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler pada posisi berdiri. Pada kondisi tertentu dapat disertai penurunan volume plasma yang kemudian mengaktivasi sistem reninangiotensin-aldosteron sehingga edema akan memberat. Edema idiopatik ini hams dibedakan dengan edema yang bersamaan dengan siklus menstruasi, karena edema pada siklus menstruasi terjadi akibat retensi natrium dan air karena stimulasi estrogen yang berlebihan.
Gambar 5. Mekanisme edema pada gagal jantung
TERAPI EDEMA
Di lain pihak, ADH juga merangsang pusat rasa haus, menyebabkan peningkatan masukan air. Pembentukan Edema pada Sirosis Hepatis Sirosis hepatis ditandai oleh fibrosis jaringan hati yang luas dengan pembentukan nodul. Pada sirosis hepatis, fibrosis hati yang luas yang disertai distorsi struktur parenkim hati menyebabkan peningkatan tahanan sistem porta diikuti dengan terbentuknya pintas portosistemik baik intra maupun ekstra hati. Apabila perubahan struktur parenkim semakin berlanjut, pembentukan pintas juga semakin berlanjut, vasodilatasi semakin berat menyebabkan tahanan perifer semakin menurun. Tubuh akan menafsirkan seolah-olah terjadi penurunan VDAE. Reaksi yang dikeluarkan untuk melawan keadaan itu adalah meningkatkan tonus saraf simpatis adrenergik. Hasil akhirnya adalah aktivasi sistem vasokonstriktor dan anti diuresis yakni sistem renin-angiotensin-aldosteron, saraf simpatis dan ADH. Peningkatan kadar ADH akan menyebabkan retensi air, aldosteron akan menyebabkan retensi garam sedangkan sistem saraf simpatis dan angiotensin akan menyebabkan penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dan meningkatkan reabsorbsi garam pada tubulus proksimalis. Pembentukan Edema Karena Obat Beberapa obat yang sering dipakai dalam praktik seharihari juga dapat menyebabkan edema (Tabel 2). Mekanisme penyebab edema karena obat di antaranya terjadinya vasokontriksi arteri renalis (OATNS, cyclosporine), dilatasi arteri sistemik (vasodilator), meningkatkan reabsorbsi natrium di ginjal (hormon steroid) dan merusak struktur kapiler (interleukin 2). Edema ldiopatik Keadaan ini biasanya terjadi pada perempuan yang ditandai dengan episode edema periodik yang tidak berhubungan dengan siklus menstruasi dan biasanya disertai distensi abdomen. Pada edema idiopatik ini terdapat
Terapi edema harus mencakup penyebab yang mendasarinya yang reversibel Cjika memungkinkan), pengurangan asupan sodium harus dilakukan untuk meminimalisasi retensi air. Tidak semua pasien edema memerlukan terapi farmakologis; pada beberapa pasien terapi non farmakologis sangat efektif seperti pengurangan asupan natrium (yakni kurang dari jumlah yang diekskresikanoleh ginjal) dan menaikkan kaki di atas level dari atrium kiri. Pada kondisi tertentu diuretik harus diberikan bersamaan dengan terapi non farmakologis. Pemilihan obat, rute pemberian, dan dosis akan sangat tergantung pada penyakit yang mendasarinya, beratringannya penyakit dan urgensi penyakitnya. Efek diuretik berbeda berdasarkan tempat kerjanya pada ginjal. Klasifikasi diuretik berdasarkan tempat kerja: 1. Diuretik yang bekerja pada tubulus proksimalis Carbonic anhydrase inhibitor: asetazolamid (Diamoks) Phosphodiesterase inhibitor: teofilin (diduga diperantarai cyclic adenosine monophosphate) 2. Diuretik yang bekerja pada loop of henle Sodium-potassium chloride inhibitors: bumetanid (Bumeks), ethacrynic acid (Edecrin), furosemid
o.asl4 3. Diuretik yang bekerja pada tubulus kontortus distal Sodium chloride inhibitors: klortalidon (Higroton), hidroklorotiazid (Esidriks), metolazon (Diulo) 4. Diuretik yang bekerja pada cortical collecting tubule Antagonis aldosteron: spirono lakton (Aldakton) Sodium channel blokers: amilorid (Midamor), triamterene (Direniurn) Pada pemberian firrosemid oral,jumlah yang diabsorbsi berkisar 10-80% (rata-rata 50%), sementara bumetanid d m torsemid diabsorbsi hampir sempurna yaitu berkisar 80100%. Diuretik golongan tiazid dan hidroklorotiazid diekskresikan keurin dalam bentuk tidak berubah. Pemberian diuretikjugahams mempertimbangkan waktu paruh diuretik tersebut. Golongan tiazid memiliki waktu paruh yang panjang sehingga dapat diberikan satu kali atau dua kali
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
950
CINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS) Vasodilatasi splanik (Faktor utama)
Hipertensi portal
1
Penulwnan allran darah glnlal dan
Hipoalbuminemia
Minoksidil Hidralazin Klonidin Metildopa Guanetidin Calcium channel antagonists Antagonis alfa andrenergik Hormon steroid Glukokortikoid Anabolik steroid Estrogen Progestin Siklosporin Growth hormone lmunoterapi Interleukin 2 OKT 3 antibodi monoklonal
I
I
4
Asites
Antihipertensi Vasodilator:
I
St,mulasl vasopresln
St~mulas~ sfstern saraf slmpatls
LFG
Akt~vas~ slstern renlnanglotenslnaldosteron
I
I
I RETENSI NATRIUM DAN AIR
Gambar 6. Mekanisme edema pada sirosis hepatitis
sehari, sementara loop diuretic seperti bumetanid memvunvai waktu varuh satu iam, torsemid 3-4 iam sehingga pemberiannya harus lebih sering. Efek loop diuretic dapat menghilang dengan segera, kemudian ginjal mulai mereabsorbsi natrium dan meniadakan efek diuretik. Proses ini disebut post diuretic sodium chloride retention,sehingga restriksi natrium sangat penting bagi pasien yang mendapat loop diuretic.
. -
<
,
I
Mengurangi asupan natrium dan air, baik dari diet maupun intravena
RESlSTENSl TERHADAP DlURETlK Resistensi terhadap diuretik adalah kegagalan tubuh membuat kondisi keseimbangan natrium yang negatif meskipun telah menggunakan diuretik dosis tinggi (misalnya furosemid mencapai 240 mghari). Kondisi ini
Jenis Diuretik Carbonic anhidrase inhibitor Acetazolamide Loop diuretic Furosemid Etacrynic acid Tiazid Klorotiazid Hidroklorotiazid Metolazon Potassium Sparring ~riamteren Amilorid Spironolakton
Tempat kerja Tubulus Proksimalis
Loop of henle Tubulus Distalis
Duktus Kontortus
Potensi
Efek Primer
Na'IH'
Ill
Meningkatkan pengeluaran natrium dan air a. Diuretik: Hanya sebagai terapi paliatif bukan kuratif b. Tirah baring, local pressure
I"
Hindari faktor yang memperburuk penyakit dasar: diuresis yang berlebihan menyebabkan pengurangan volume plasma, hipotensi, perfusi yang inadekuat, sehingga diuretik harus diberikan dengan hati-hati
harus dipikirkan pada pasien dengan edema yang menetap meskipun telah diberi diuretik yang maksimal serta pengurangan aktivitas fisik dan asupan natrium yakni kurang dari 2 gram per hari. Pemahaman akan
Pertukaran +
Penanganan penyakit yang mendasari
&
Efek Sekunder Ekskresi K
Dosis mglhari
1'
Komplikasi Hipokalemia
Ekskresi ~ ~ 0 3 . 1 '250-500
Hiperkloremia Asidosis
+++
Absorbsi Na+/K+12CI.$
Ekskresi K 1' E~~~~~~~ H+1'
40-600 50-400
Hipokalemia Alkalosis
++
Absorbsi
Ekskresi K
++
++
Na'&
5001000 50-100 2,5-10
Hipokalemia Alkalosis
+
Absorbsi ~a'&
100-300 5-10 100-400
Hiperkalemia Asidosis
+++
+
Ekskresi H'
1'
Ekskresi K & Ekskresi H' &
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
951
EDEMA PATOFISIOLOGIDAN PENANGANAN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI farmakokinetik suatu diuretik sangat perlu untuk menentukan ada tidaknya resistensi diuretik. Efek pemberian furosemid peroral sulit diprediksi karena absorbsinya sangat tidak menentu. Penambahan diuretik lain dengan tempat kerja yang berbeda dapat membantu mengatasi adaptasi tubulus distal karena pemberian diuretik yang berlangsung lama. Penyebab potensial terjadinya resistensi terhadap diuretik dapat dilihat pada Tabel 5.
Noncompliance Tidak patuh pada regimen yang diberi Tidak patuh pada pengurangan asupan natrium Resisten Gangguan absorbsi loop diuretic Penurunan aliran darah ginjal: Penurunan volume plasma Penggunaan &at lain seperti OAINS, Penyekat ACE Akibat farrnakologis : berhubungan dengan waktu paruh diuretik Pengurangan sekresi tubuler: karena kelainan ginjal, volume darah yang h r a n g dan obat Toleran terhadap obat: karena penggunaan &at yang berlangsung lama.
Penyebab potensial kegagalan terapi diuretik adalah terjadinya toleransi. Short term tolerance hams dipikirkan jika terjadi penurunan respons pada pemberian pertama suatu diuretik. Hal ini sering disebabkan oleh penurunan volume intravaskular sebagai kompensasi tubuh untuk mencegah kehilangan cairan tubuh secara berlebihan. Long term tolerance dapat terjadi pada penggunaan diuretik jangka panjang. Hal ini diperantarai hipertrofi nefron segmen distal dan reabsorbsi natrium yang berlebihan. Penambahan dosis diuretik pada kondisi ini tidak dapat memperbaiki diuresis tetapi penambahan diuretik golongan lain dapat dipertimbangkan.
REFERENSI Braunwald E. Edema In: Braunwald, Fauci, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, editors. Harrison's principles of internal medicine. 16Ih edition. New York: Mc Graw-Hill companies; 2004. p. 21722. Brater DC. Diuretic therapy. N Engl J Med. 1998;339:387-95. Chototh DK, Andreoli TE. Disorder of extracellular volume. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. I" edition. New York: Mosby publisher; 2000. p. 3,8,111. De Bruyne LK. Mechanisms and management of diuretic resistance in congestive heart failure. Postgrad Med J. 2003;79:268-71. Deschenes G, Feraille, Doucet A. Mechanism of edema in nephrotic syndrome: old theories and new ideas. Nephrol Dial Transplant. 2003; 18:454-6. Eknoyan G. A history of edema and its management. Kidney Int Suppl. 1997;59:S 1 18-26. Ellison DH. Diuretic drugs and the treatment of edema: from clinic to bench and back again. Am J Kidney Dis. 1994;23:623-43. Hamm LL, Batuman V. Edema in nephrotic syndrome: new aspect of an old enigma. J AmSoc Nephrol. 2003;14:3288-9. Moller S, Bentsen F, Henriksen JH. Effect of volume expansion on systemic hemodynamics and central arterial blood volume in cirrhosis.Gastroenterology. 1995;109:1917-25. O'Brien JG, Chennubhotla SA. Treatment of edema. Am Farn Physician. 2005;71:2111-7. Wilson LM. Gangguan pada volume cairan, osmolalitas dan elektrolit. In: Price SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 4th edition. Volume I. Jakarta: Penerbit buku kedokteran; 1995. p.302-26.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
HEMATURIA Lestariningsih
PENDAHULUAN
Darah yang ditemukan dalam urin, baik hematuria makroskopis ataupun mikroskopis, mempakan tanda yang cukup serius terhadap kelainan pada saluran kemih. Kadang-kadang kita mendapatkan pasien dengan hematuria mikroskopik asimtomatik. Keluhan serta gejala klinis pasien dapat memberikan arahan untuk menegakkan diagnosis.
Hematuria adalah keadaan abnormal dengan ditemukannya sel darah merah dalam urin. Ada dua macam hematuria, yaitu hematuria mikroskopis dan hematuria makroskopis (gross hematuria). Hematuria makroskopis dapat terjadi bila sedikitnya l c c darah per liter urin sedangkan hematuria mikroskopis sering kita temukan pada pemeriksaan laboratorium urinalisis pada pasien dengan berbagai keluhan, atau pada saat pemeriksaan kesehatan (check up). Dikatakan hematuria bila pada pemeriksaan mikroskop ditemukan sel darah merah 3 atau lebih per lapang pandang besar urin yang disentrifugasi, dari evaluasi sedimen urin dua dari tiga contoh urin yang diperiksa.
HEMATURIA TRANSIEN ATAU PERSISTEN
Ditemukannya sedimen urin seperti sel darah merah, leukosit, silinder merupakan tanda penyakitlkelainan glomerulus, tubulointerstisial, dan urologi. Bila ditemukan hematuria tentu dokter ingin mengetahui apakah hematuria itu menetaplpersisten atau sementaral transien. Untuk menentukan ha1 ini diperlukan evaluasi
pemeriksaan urin beberapa hari. Hematuria tidak berbahaya sepanjang tidak menyebabkan perdarahan hebat, tetapi etiologi hematuria hams ditegakkan untuk penanganan lebih lanjut. Bila ditemukan hematuria, dilakukan evaluasi etiologi dan penyakit yang mendasari terjadinya hematuria.
PATOFISIOLOGI
Berdasarkan lokasi yang mengalami kelainan atau trauma, dibedakan glomerulus dan ekstra glomerulus untuk memisahkan bidang nefiologi dan urologi. Darah yang berasal dari nefion disebut hematuria glomerulus. Pada keadaan normal, sel darah merah jarang ditemukan pada urin. Adanya eritrosit pada urin dapat terjadi pada kelainan herediter atau perubahan struktur glomerulus dan integritas kapiler yang abnormal. Eritrosit bila berikatan dengan protein TaamHorsfall akan membentuk silinder eritrosit. Ini merupakan petunjuk penyakitkelainan glomerulus yang merupakan penanda penyakit ginjal kronik. Pada penyakit nefrodglomerulus biasanya hanya ditemukan sel darah merah saja tanpa silinder. Proteinuria merupakan tanda lesi nefron'glomerulus. Evaluasi pemeriksaan mikroskopis bila ditemukan hematuri, yaitu ditemukan eritrosit dalam urin 3 per lapang pandang besar. Hematuria mikroskopik: bila ditemukan eritrosit 3 atau lebihllapang pandang besar. Bila hematuria disertai proteinuria positif 1 dengan menggunakan dipstick dilanjutkan dengan pemeriksaan kuantitatif ekskresi proteid24 jam. Bila ekskresi protein lebih dari 1 g124 jam segera konsultasi nefrologi untuk evaluasi. Pada ekskresi protein lebih dari 500mgl24jam yang makin meningkat atau persisten diperkirakan suatu kelainan parenkim ginjal. Perlu diperhatikan dalam pengambilan contoh urin: pada perempuan hams disingkirkan penyebab hematuria
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pasien baru dengan hematuria mikroskopik asimtomatik I
Dlsingkirkan penyebab hematuria antara lain: menstruasi, olahraga yang belebihan , aktlvitas seksual, infeksi virus, infeksi bakteri, trauma
.t
I
Bila ditemukan 1 atau lebih dari : Hematuria mikroskopik + proteinuria** Eritrosit dismorfik , silinder eritrosit Peningkatan kreatinin serum dari normal
I
+
-
ada riwayat sebagai berikut : Merokok pekejaan berhubungandengan bahan kimia (amin aromatik) riwayat gross hernatur~a Usia > 40 tahun
w
Evaluasi penyakit ginjal primer
gangguan pengosongan kandung kemih (iritatif) lnfeksi saluran kemih berulang
1
pzEGq Gambar 1. Evaluasi pemeriksaan hematuria mikroskopik
lain misalnya menstruasi, adanya laserasi pada organ genitalia, sedangkan pada laki-laki apakah disirkumsisi atau tidak.
Vaskular Gangguan koagulasi Kelebihan obat anti koagulan Trombosis atau emboli arterial Malformasi arteri-vena Fistula a r t e r i - v e n a Nutcracker syndrome Trombosis vena renalis Glomerular Nefropati IgA Alport sindrom Glomerulonefritis primer dan s e k ~ lnterstisial lnterstisial nefritis alergi Nefropati analgesik Penyakit ginjal polikistik Pielonefritis akut Tuberkulosis Rejeksi ginjal alograf Uroepitelium Keganasan ginjal dan saluran k e ~ Latihan yang berlebihan Trauma Nekrosis papillaris Sistitis/uretritis/prostatitis (biasan Penyakit parasit (misalnya skisto: Nefrolitiasis atau batu vesika urin Penyebab Lainnya Hiperkalsiuria Hiperurikosuria Sickle cell diseasdpenyakit sel s;
Bila pada urinalisis ditemukan eritrosit, leukosit dan silinder eritrosit, merupakan tanda sugestif penyakit ginjal akut atau penyakit ginjal kronik, perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut. Diagnosis banding hematuria persisten antara lain glomerulonefritis, nefritis tubulointerstisial atau kelainan urologi. Adanya silinder leukosit, leukosituria menandakan nefritis tubulointerstisial. Bila disertai hematuria juga merupakan variasi dari glomerulonefiitis. Pada kelompok faktor risiko penyakit ginjal kronik harus dilakukan evaluasi pemeriksaan sedimen urin untuk deteksi dini. Pemeriksaan sitologi urin dilakukan pada risiko tinggi untuk mendeteksi karsinoma sel transisional, kemudian dilanjutkan pemeriksaan sistoskopi. Kelainan urologi yang lain seperti karsinoma sel transisional pada ginjal, sistem pelviokaliks, ureter dapat dideteksi dengan pemeriksaan ultrasonografi, I W , CT scan atau MRI.
Apabila ditemukan proteinuria yang bermakna, hematuria, silinder eritrosit, insufisiensi ginjal atau ditemukan sel darah merah yang predominan adalah bentuk dismorfik, segera dilakukan evaluasi kelainan parenkim g i n j a l l penyakit ginjal primer. Eritrosit
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Predominant urinalysis abnormality RBC
RBC casts*
WBC
WBC Casts
Tubular Cells
Cellular Casts
Granular Casts
Total Protein to Creatinin
Fat**
Associated kidney disease
Ratio'
200-1.000 mglg < 200 mglg
'1'000 mglg
+
200-1.000 mglg
Proliferative glomerulonephritis or hereditary nephritis Hereditary nephritis, or disease of small vessels (microangiopathy) Cystic kidney disease, kidney neoplasms or urinary tract leddions other than kidney disease Tubulointerstitial nephritis Urinary tract lesions other than kidney disease May be present in all types of kidney disease, but most abundant in acute tubular necrosis (the most common kidney disease causing acute kidney failure) Diabetic kidney disease and noninflammatory glomerular disease Non-inflammatory glomerular disease, non-inflammatory tubulonterstitial disease, or disease affecting medium-sized arteries
Modified with permissions (KDOQI CKD guideline, 2002) Detection of red blood cell casts requires careful preparation and thorough and repeated examination of sediment from freshly obtained urine specimens. Even under ideal conditions, red blood cell casts may not always be detected in patients with proliferative glomerulonephritis. ** Oval fat bodies, fatty casts, free fat + Cut-off values are not precise Abbreviations and symbols: RBC, red blood cells, WBC, white blood cells: +, abnormality present: -, abnormality not present; abnormality may or may not be present
+,
Evaluasl urologl paslen dengan hernaturla asirnptornatlk Paslen tldak dltemukanadanya tanda-tanda sugestlf penyaklt glnjal plmer
+ +
I
+
I Pasten dengan ns~korendah
Paslen dengan rls~kot~nggl I
Ueln4Otahun Tldak ada nwayat ~Masi lidak ada riwayat gmss hemeluria Tldak jelas adanya gangguan umlogl Pemer~ksaanIVU I urografi lntravenous )
I
I Pemenksaan lerlgkap IVU. sltologl
F==EEiT
r-
* L
urlnallsls tekanan darah, s~tolog~ ulang pada 6 12.24 36 bulan
1a
ta
+
I
I
,nfeks,
h p" , ;ut ;eH Prote,nur,a Hlpertens, 'Gross' hematuna. sltolog~. abnormal lrltasl kandung kemlh dan glomerulus Evaluasl en aklt Injal pnmer
lidak ada Evaluasl urolog~
Gambar 2. Evaluasi urologi pada hematuria asimtomatik mikroskopik
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
evaluasl lenokao
1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Coe FL. Proteinuria, hematuri, azotemia and oliguria. HarrisonWs principles of internal medicine. 10th edition. New York: McGraw Hill; 1983. p. 21 1-8. Fegazzi GB. Urinalysis. In: Comprehensive clinical nephrology. 2nd edition.Mosby.p.35-40. Grossfeld GD. Asymptomatic microscopic hematuri in adult. Am Fam Physi. 2001. KIDOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease. evaluation, classification, and stratification. Part 5. Evaluation of laboratory measurement for clinical assement of kidney disease, 2002. Silkensen JR, Kasiske BL. Laboratory assessment of renal disease: clearance, urinalysis, and renal biopsy. The kidney. 2nd edition.2004.p. 1107-12. Sukandar E. Masalah umum glomerulopati. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 2. 3"' edition. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. p. 325.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PROTEINURIA Lucky Aziza Bawazier
PENDAHULUAN Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin manusia yang melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m2. Dalam keadaan normal, protein di dalam urin sampai sejumlah tertentu masih dianggap fungsional. Ada kepustakaan yang menuliskan bahwa protein urin masih dianggap fisiologis jika jumlahnya kurang dari 150 mglhari pada dewasa (pada anak-anak 140 mg/m2), tetapi ada juga yang menuliskan, jumlahnya tidak lebih 200 mghari. Sejumlah protein ditemukan pada pemeriksaan urin rutin, baik tanpa gejala, ataupun dapat menjadi gejala awal dan munglun suatu bukti adanya penyakit ginjal yang serius. Walaupun penyakit ginjal yang penting jarang tanpa adanya proteinuria, kebanyakan kasus proteinuria biasanya bersifat sementara, tidak penting atau merupakan penyakit ginjal yang tidak prowif. -pula protein dikeluarkan urindalarnjumlah yang bervariasi sedikit dan secara langsung bertanggung jawab untuk metabolisme yang serius. Adanya protein di dalam urin sangatlah penting, dan memerlukan penelitian lebii lanjut untuk menentukan penyebablpenyakit dasarnya. Adapun prevalensi proteinuria yang ditemukan saat pemeriksaan penyaring rutin pada orang sehat sekitar 3,5%. Jadi proteinuria tidak selalu merupakan manifestasi kelainan ginjal. Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila kadarnya di atas 200 mglhari pada beberapa kali pemeriksaan dalam waktu yang berbeda. Ada yang mengatakan proteinuria persisten jika protein urin telah menetap selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnya biasanya hanya sedikit di atas nilai normal. Dikatakan proteinuria masif bila terdapat protein di urin melebihi 3500 mglhari dan biasanya mayoritas terdiri atas albumin. Dalam keadaan normal, walaupun terdapat sejumlah protein yang cukup besar atau beberapa gram protein
plasma yang melalui nefron setiap hari, hanya sedikit yang muncul di dalam urin. Ini disebabkan 2 faktor utama yang berperan yaitu: 1. Filtrasi glomerulus 2. Reabsorbsi protein tubulus PATOFlSlOLOGl PROTEINURIA Proteinuria dapat meningkat melalui salah satu cara dari ke-4 jalan di bawah ini: 1. Perubahan permeabilitas glomerulus yang mengikuti peningkatan filtrasi dari protein plasma normal terutama albumin. 2. Kegagalan tubulus mereabsorbsi sejumlah kecil protein yang normal difiltrasi. 3. Filtrasi glomerulus dari sirkulasi abnormal, Low Molecular Weight Protein (LMWP) dalam jumlah melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus. 4. Sekresi yang meningkat dari makuloprotein uroepitel dan sekresi IgA (ImunoglobulinA) dalam respons untuk inflamasi. Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin tergantung mekanisme jejas pada ginjal yang berakibat hilangnya protein. Sejumlah besar protein secara normal melewati kapiler glomerulus tetapi tidak memasuki urin. Muatan dan selektivitas dinding glomerulus mencegah transportasi albumin, globulin dan protein dengan berat molekul besar lainnya untuk menembus dinding glomerulus. Jika sawar ini rusak, terdapat kebocoran protein plasma ke dalam urin (proteinuria glomerulus). Protein yang lebih kecil (<20 kDal) secara bebas disaring tetapi diabsorbsi kembali oleh tubulus proksimal. Pada individu normal ekskresi kurang dari 150 mghari dari protein total dan albumin hanya sekitar 30 mghari; sisa protein pada urin akan diekskresi oleh tubulus (Tamm Horsfall,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PROTEINURIA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Imunoglobulin A dan Urokinase) atau sejumlah kecil P-2 mikroglobulin, apoprotein, enzim dan hormon peptida. Dalam keadaan normal glomemll~sendotel membentuk barier yang menghalangi sel maupun partikel lain menembus dindingnya. Membran basalis glomerulus menangkap protein besar (>I00 kDal) sementara foot processes dari epitellpodosit akan memungkinkan lewatnya air dan zat terlarut kecil untuk transpor melalui saluran yang sempit. Saluran ini ditutupi oleh anion glikoprotein yang kaya akan glutamat, aspartat, dan asarn silat yang bermuatan negatif pada pH fisiologis. Muatan negatif akan menghalangi transpor molekul anion seperti albumin. Beberapa penyakit glomerulus seperti penyakit minimal change menyebabkan bersatunya foot processes glomerulus sehingga terjadi kehilangan albumin selektif. Fusi foot processes meningkatkan tekanan sepanjang membran basalis kapiler yang berakibat terbentuknya pori yang lebih besar sehingga terjadi proteinuria non selektif atau proteinuria bermakna. Mekanisme lain dari timbulnya proteinuria ketika produksi berlebihan dari proteinuria abnormal yang melebihi kapasitas reabsorsi tubulus. Ini biasanya sering dijumpai pada diskrasia sel plasma (mieloma multipel dan limfoma) yang dihubungkan dengan produksi monoklonal imunoglobulin rantai pendek. Diskrasia sel plasma (mieloma multipel) dapat dihubungkan dengan sejumlah besar ekskresi rantai pendek di urin, yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan dipstik. Rantai pendek ini dihasilkan dari kelainan yang disaring oleh glomerulus dan direabsorbsi kapasitasnya pada tubulus proksimal. Bila ekskresi protein urin total melebihi 3,5 gram sehari, sering dihubungkan dengan hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (sindrom nefrotik). Ekskresi yang melebihi 3,5 gram dapat timbul tanpa gambaran atau gejala lain dari sindrom nefrotik pada beberapa penyakit ginjal yang lain. PROTEINURIA FlSlOLOGlS Proteinuria sebenarnya tidaklah selalu menunjukkan kelainadpenyakit ginjal. Beberapa keadaan fisiologis pada individu sehat dapat menyebabkan proteinuria. Pada keadaan fisiologis sering ditemukan proteinuria ringan yang jumlahnya kurang dari 200 mglhari dan bersifat sementara. Misalnya: pada keadaan demam tinggi, gaga1 jantung, latihan fisik yang kuat terutama lari maraton dapat mencapai lebih dari 1 gramlhari), pasien dalam keadaan transfusi darahtplasma atau pasien yang kedinginan, pasien hematuria yang ditemukan proteinuria masif, yang sebabnya bukan karena kebocoran protein dari glomerulus tetapi karena banyaknya protein dari eritrosit yang pecah dalam urin akibat hematuri tersebut (positif palsu proteinuria masif). Proteinuria fisiologis dapat pula terjadi pada masa remaja dan juga pada pasien yang lordotik (ortostatik proteinuria).
PROTEINURIA PATOLOGIS Sebaliknya, tidak semua penyakit ginjal menunjukkan proteinuria, misalnya pada penyakit ginjal polikistik, penyakit ginjal obstruksi, penyakit ginjal akibat obat-obat analgesik dan kelainan kongenital kista dan sebagainya, sering tidak ditemukan proteinuria.Walaupun demikian, proteinuria adalah manifestasi besar penyakit ginjal dan merupakan indikator perburukan fungsi ginjal. Baik pada penyakit ginjal diabetes maupun penyakit ginjal non diabetes, sejak dahulu protenuria dianggap sebagai faktor prognostik yang bermakna dan paling akurat. Risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular juga meningkat secara bermakna dengan adanya proteinuria. Di dalam kepustakaan, banyak definisi diberikan untuk menyatakan berapa jumlah protein sebenarnya dalam urin yang dianggap patologis. Ada kepustakaan yang menyatakan, protein di dalam urin tidak boleh melebihi 150 mgl24 jam, tetapi ada pula yang menyebutkan protein urin di bawah 200 mghari. Proteinuria yang berat, sering kali disebut masif, temtama pada keadaan nefrotik, yaitu protein di dalam urin yang mengandung lebih dari 3 gram124 jam pada dewasa atau 40 mglm21jampada anak-anak, biasanya berhubungan secara bermakna dengan lesilkebocoran glomerulus. Sering pula dikatakan bila protein di dalam urin melebihi 3,5 grand24jam. Penyebab proteinuria masif sangat banyak, yang pasti keadaan diabetes melitus yang cukup lama dengan retinopati, dan penyakit-glomerulus. Terdapat 3 jenis proteinuria patologis: 1). Proteinuria glomerulus, misalnya: mikroalbuminuria, proteinuria klinis; 2). Proteinuria tubular; 3). Overflow proteinuria. PROTElNURlA GLOMERULUS Bentuk proteinuria ini tampak pada hampir semua penyakit ginjal di mana albumin adalah jenis protein yang paling dominan (60-90%) pada urin, sedangkan sisanya protein dengan berat molekul rendah ditemukan hanya sejumlah kecil saja. Dua faktor utama yang menyebabkan filtrasi glomerulus protein plasma meningkat: 1). Ketika barier filtrasi diubah oleh penyakit yang mempengaruhi glomerulus. Protein plasma, terutama albumin, dapat melalui glomerulus. Pada penyakit glomerulus dikenal penyakit perubahan minimal, albuminuria disebabkan kegagalan selularitas yang berubah. Pada penyakit ginjal yang lain sebagaimana GN proliferatif dan nefropati membranosa, terjadi defek pada ukuran; 2). Faktor-faktor hemodinamik seperti peningkatan tekanan kapiler glomerulus/fraksi filtrasi mungkin juga menyebabkan proteinuria glomerulus oleh tekanan difus yang me~iingkat tanpa perubahan apapun pada permeabilitas intrinsik
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dinding kapiler glomerulus. Mekanisme ini mungkin terdapat pada proteinuria ringan, transien yang kadangkadang terlihat pada pasien hipertensi dan gagal jantung kongestif. Pemeriksaan ditentukan dengan pemeriksaan semi kuantitatif misalnya: dengan uji Esbach dan Biuret. Proteinuria klinis dapat ditemukan > lglhari.
PROTElNURlA TUBULAR Jenis proteinuria ini mempunyai berat molekul yang rendah antara 100-150 mg perhari, terdiri atas P-2 mikroglobulin dengan berat molekul 14000 dalton. Penyakit yang biasanya menimbulkan proteinuria tubular adalah: renal tubular acidosis (RTA), sarkoidosis, sindrom Fankoni, pielonefritis kronis, dan akibat cangkok ginjal.
OVERFLOW PROTElNURlA Diskrasia sel plasma (pada mieloma multipel ) berhubungan dengan sejumlah besar ekskresi rantai pendeklprotein berat molekul rendah (kurang dari 40000 dalton) berupa Light Chain Imunoglobulin, yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan dipstiklyang umumnya mendeteksi albuminlpemeriksaan rutin biasa, tetapi harus pemeriksaan khusus. Protein jenis ini disebut protein Bence Jones. Penyakit lain yang sering menimbulkan protein Bence Jones adalah amiloidosis dan makroglobulinemia. Protein berat molekul rendahlrantai ringan ini dihasilkan dari kelainan yang disaring oleh glomerulus dan kemampuan reabsorbsi tubulus proksimal. Presipitat asam sulfosalisilat tidaklah terdeteksi dengan dipstik, hanya memperkirakan rantai terang (protein Bence Jones) dan rantai pendek yang secara tipikal dalam bentuk presipitat, karena protein Bence Jones mengendap pada suhu 45" dan larut kembali pada suhu 95- 100". Gaga1 ginjal dari kelainan ini timbul melalui berbagai mekanisme obstruksi tubulus (nefropati silinder) dan deposit rantai pendek.
Pada keadaan normal albumin win tidak melebihi 30 mgl hari. Bila albumin di urin 30-300 mglhari atau 30-350 rngl hari disebut mikroalbuminuria. Biasanya terdapat pada pasien DM dan hipertensi esensial dan beberapa penyakit glomerulonefritis (misal, glomerulonefritis proliferatif mesangial difus). Mikroalbuminuria merupakan marker (pertanda) untuk proteinuria klinis yang disertai penurunan faal ginjal LFG (laju filtrasi glomerulus) dan penyakit kardiovaskular sistemik.Albuminuria tidak hanya pertanda risiko penyakit kardiovaskular dan penyakit ginjal, tetapi
juga berguna sebagai target keberhasilan pengobatan. Monitor albuminuria sebaiknya dilakukan dalam praktek sehari-hari pada pasien dengan risiko penyakit kardiovaskular dan ginjal. Albumin dapat menjadi target untuk memperoleh proteksilperlindungan kardiovaskular dan diharapkan pedomannya dibuat untuk membantu dokter dalam memutuskan bagaimana mengukur albumin urin, berapa angka normalnya, kadar abnormalnya, dan berapa. kadar terendah yang hams dicapai. Peningkatan ekskresi albumin urin dapat menjadi prediktor kerusakan fungsi ginjal pada populasi umum. Albuminuria dapat dipakai sebagai "alat yang berharga" untuk menentukan risiko perkembangan lebih lanjut gagal ginjal, tanpa dipengaruhi faktor-faktor risiko lain kardiovaskular. Peranan albuminuria pada diagnosis awal dan pencegahan penyakit ginjal dan kardiovaskular sangat penting ditinjau dari sudut demografi dan epidemiologi di negara sedang berkembang. Pada pasien diabetes melitus tipe-I dan 11, kontrol ketat gula darah, tekanan darah dan mikroalbuminuria sangat penting. Hipotesis mengapa mikroalbuminuria dihubungkan dengan risiko penyakit kardiovaskular adalah karena disfungsi endotel yang luas. Belum jelas apakah mikroalbuminuria secara spesifik berhubungan dengan kegagalan sintesis nitrit oksid pada individu dengan atau tanpa diabetes melitus tipe-11. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan peranan kegagalan sintesis nitrit oksid pada sel endotel yang berhubungan antara mikroalbuminuria dengan risiko penyakit kardiovaskular.
PROTElNURlA TERlSOLASl Proteinuria terisolasi adalah sejumlah protein yang ditemukan dalam urin tanpa gejala pada pasien sehat yang tidak mengalami gangguan fungsi ginjal atau penyakit sistemik. Proteinuria ini hampir selalu ditemukan secara kebetulan dapat menetaplpersisten, dapat pula hanya sementara, yang mungkin saja timbul karena posisi lordotik tubuh pasien. Biasanya sedimen urin normal. Dengan pemeriksaan pencitraan ginjal tidak ditemukan gangguan abnormal ginjal atau saluran kemih dan tidak ada riwayat gangguan ginjal sebelumnya. Biasanya total ekskresi protein urin kurang dari 2 glhari. Data insidens dan prevalensi terisolasi isolated proteinuria ini pada grup usia berapa dan populasi yang mana, belum ada.Yangjelas pada berbagai populasi prevalensinya bervariasi antara 0,610,7%. Proteinuria terisolasi dibagi dalam 2 kategori: 1). Jinak, termasuk yang fungsional, idiopatik, transienltidak menetap, ortostatik, dan intermiten; 2). Yang lebih serius lagi adalah yang mungkin tidak ortostatik dan timbul secara persisten.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PROTEINURIA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PROTEINURIA TERlSOLASl JlNAK
Proteinuria Fungsional Ini adalah bentuk umum proteinuria yang sering terlihat pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena berbagai penyakit. Biasanya berhubungan dengan demam tinggi, latihan sternosus, terpapar dengan dinginlkedinginan, stres emosi, gagal jantung kongestif, sindrom obstruksi sleep apnea, dan penyakit akut lainnya. Sebagai contoh: ekskresi protein meningkat 23 kali setelah latihan sternosus tetapi hilang kembali setelah istirahat. Sebenarnya, kunci keadaan ini proteinuria tidak tampak dengan segera. Proteinuria tersebut adalah jenisltipe glomerulus yang diyakini disebabkan oleh perubahan hemodinamik ginjal yang meningkatkan filtrasi glomerulus protein plasma. Penyakit ginjal yang progresif tidak timbul pada pasien ini. Proteinuria Transien ldiopatik Merupakan kategori proteinuria yang umum pada anakanak dan dewasa muda, yang ditandai oleh proteinuria yang timbul selama pemeriksaan urin rutin orang sehat tetapi hilang kembali setelah pemeriksaan urin dilakukan kembali. Pasien tidak mempunyai gejala, proteinuria selalu ditemukan secara insidentil pada penapisan urin rutin, atau selama pemeriksaan kesehatan terhadap pekerja dan pemeriksaan rutin dari asuransi yang biasanya merupakan fenomena fisiologis pada orang muda. Sebenarnya, jika contoh urin diperiksa cukup sering, banyak orang sehat muda kadang-kadang akan menimbulkan hasil proteinuria kualitatif positif. Proteinuria tidak dihubungkan dengan keadaan yang buruk sehingga tidak diperlukan evaluasi lebih lanjut. Proteinuria lntermiten Terdapat pada lebih dari separuh contoh urin pasien yang tidak mempunyai bukti penyebab proteinuria. Berbagai studi menunjukkan variasi luas dari bentuk abnormalitas ginjal yang berhubungan dengan keadaan ini. Pada beberapa kasus dengan berbagai lesi minor pada glomerulus/interstitium, tidak ditemukan kelainan pada biopsi ginjal. Prognosis pada kebanyakan pasien adalah baik dan proteinuria kadang-kadang menghilang setelah beberapa tahun. Kadang-kadang, walaupun jarang, terdapat insufisiensi ginjal progresif dan risiko untuk gagal ginjal terminal tidak lebih besar daripada populasi umum. Keadaan ini biasanya tidak berbahaya pada pasien lebih muda dari 30 tahun, sedangkan pada pasien yang lebih tua, lebih jarang, biasanya harus dimonitor tekanan darahnya, gambaran urinalisis, dan fungsi ginjalnya.
Proteinuria Ortostatik (Postural) Pada semua pasien dengan ekskresi protein masif, proteinuria meningkat pada posisi tegak dibandingkan posisi berbaring. Perubahan ortostatik pada ekskresi protein tampaknya tidak mempunyai kepentingan diagnostik dan prognostik Dengan perkataan lain, pertimbangan prognostik yang bermakna dapat dilakukan pada situasi proteinuria yang ditemukan hanya ketika pasien dengan posisi tegak dan hilang pada waktu pasien berbaring. Ini merujuk pada posisi tegawortostatik proteinuria. Ekskresi protein per hari hampir selalu di bawah 2 gram (walaupun lebih dari 2 gram kadang-kadang dilaporkan). Proteinuria ortostatik sering pada usia dewasa muda, dengan prevalensi secara umum 2-5%, jarang terdapat pada usia di atas usia 30 tahun. Walaupun dapat timbul selama fase penyembuhan dari berbagai penyakit glomerulus, kurang lebih 90% dewasa muda dengan proteinuria ortostatik menunjukkan kondisi yang baik. Pada 80% kasus, kondisi transien disebut proteinuria ortostatik transien. Hasil biopsi pada pasien ini menunjukkan perubahan lesi minimal glomerulus dan tidak adanya deposit imunoglobulin. Kondisi ini mempunyai prognosis sangat bagus sebagai proteinuria transien non ortostatik dan tekanan darah yang masih normal. Pada 20% pasien, proteinuria ortostatik dikatakan menetap dan berproduksi kembali, akan tetapi follow up studi lebih dari 20 tahun menunjukkan proteinuria hilang secara perlahan-lahan pada kebanyakan kasus. Kurang lebih 15% kasus, hilang selama 5 tahun, pada 50% kasus hilang 10 tahun dan lebih dari 80% hilang dalam 20 tahun. Walaupun proteinuria menetap secara persisten untuk 20 tahun, insufisiensi ginjal tidak dapat diobservasi dan tekanan darah tidak ditemukan lebih tinggi daripada populasi umurn. Studi kecil melaporkan tidak adanya bukti dari insufisiensi ginjal atau proteinuria 40 tahun setelah diagnosis dari proteinuria ortostatik yang pertama dibuat. Evaluasi secara rinci tidak mempunyai bukti nyata ditemukannya penyakit ginjal dan biopsi ginjal menunjukkan hasil histologi yang normal, penebalan dinding kapiler yang minimal sampai dengan moderat atau hiperselular mesangial fokal. Hasil mikroskop elektron menunjukkan tingkat perubahan segmental dan fokal dengan matriks mesangial yang meningkat dan penggabungan foot process dan pewarnaan imunodifusi untuk komplemen dan imunoglobulin memberikan hasil yang bervariasi. Patofisiologi proteinuria ortostatik tidaklah diketahui. Diduga bahwa pengumpulan darah pada lengan dapat menyebabkan perubahan hemodinamik glomerulus yang mempengaruhi filtrasi protein. Walaupun biasanya prognosis proteinuria ortostatik baik, persisten (non ortostatik) proteinuria berkembang pada segelintir orang. Kemaknaannya tidaklah dekat dan mungkin tidaklah penting. Namun, bila proteinuria masih menetap, maka pada
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
pasien secara teratur (tiap 1-2 tahun), dilakukan monitor tekanan darah dan pemeriksaan urin. Jika proteinuria berubah ke bentuk yang persisten, evaluasi ginjal sangat diperlukan dan biopsi harus dilakukan untuk menyingkirkan penyakit ginjal serius.
PROTElNURlA TERlSOLASl YANG MENETAPI PERSISTEN Anamnesis secara lengkap (termasuk riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit keluarga) dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mencari penyakit ginjallpenyakit sistemik yang menjadi penyebabnya. a Jika ditemukantanda-tandalgejala, lakukan pemeriksaan darah, pencitraan, dan atau biopsi ginjal untuk mencari kausa. b Jika tidak ditemukan bukti, ulangi tes kualitatif untuk proteinuria dualtiga kali, 1. Jika tidak ada proteinuria dalam spesimen urin berarti kondisi ini hanya transien atau fungsional. Nilai kembali dan tidak perlu melakukan tes ulang. 2. Jika proteinuria ditemukan tiap saat, periksa Blood Urea Nitrogen (BUN), kreatinin clan klirens kreatinin, ukur ekskresi protein urin 24 jam, USG ginjal dan tes protein ortostatik/postural. Jika fungsi ginjal I hasil USG tidak normal, kembali ke Ia. Jika fungsi ginjal dan hasil USG normal dan proteinuria adalah tipe postural, tidak diperlukan tes berikutnya. Follow up pasien tiap 1-2 tahun, kecuali: a. Proteinuria menjadi persisten: ikuti pedoman Ipenuntun proteinuria (IV B) b. Proteinuria membaik atau menjadi intermiten: ikuti follow up berikutnya. Jika fungsi ginjal dan USG normal dan proteinuria non postural, ulang pemeriksaan protein urin 24 jam 2-3x untuk menyingkirkan proteinuria intermiten. a. Jika proteinuria intermiten. Pasien dewasa muda urnur kurang dari 30 tahun, harus di-follow up tiap 1-2 tahun dan pasien dewasa yang berusia lebih tua (>30 tahun) di-follow up tiap 6 bulan. b. Jika proteinuria persisten, evaluasi lebih lanjut tergantung pada tingkat proteinuria. 1. Jika proteinuria <3 gram124 jam, perlu dikonfirmasi dengan imaging ginjal yang cukup untuk menyingkirkan obstruksi ginjal atau abnormalitas anatomi ginjal dan penyakit ginjal polikistik. Juga pada pasien >45 tahun, pemeriksaan elektroforesis urin diperlukan untuk menyingkirkan multipel mieloma. Jika semua hasil negatif, periksa ulang pasien tiap 6 bulan. 2. Jika proteinuria lebih dari 3 gram124jam, lanjutkan ke-I A.
Cara Mengukur Protein di Dalam Urin Metode yang dipakai untuk mengrrkur proteinuria saat ini sangat bervariasi dan bermakna. Metode dipstik mendeteksi sebagian besar albumin dan memberikan hasil positif palsu bila pH >7.0 dan bila urin sangat pekat atau terkontaminasi darah. Urin yang sangat encer menutupi proteinuria pada pemeriksaan dipstik. Jika proteinuria yang tidak mengandung albumin dalam jumlah cukup banyak akan menjadi negatif palsu. Ini terutama sangat penting untuk menentukan protein Bence Jones pada urin pasien dengan multipel mieloma. Tes untuk mengukur konsentrasi urin total secara benar seperti pada presipitasi dengan asam sulfosalisilat atau asam triklorasetat. Sekarang ini, dipstik yang sangat sensitif tersedia di pasaran dengan kemampuan mengukur mikroalbuminuria (30-300 mg/ hari) dan merupakan petanda awal dari penyakit glomerulus yang terlihat untuk memprediksi jejas glomerulus pada nefropati diabetik dini.
p G z q (Deteks~dengan d~pstlck)
dan m~kroskoplsurln
+
Bukt~penyak~tg~n]aI/s~stem~k
& TlDAK ADA I
+ Fungs~glnjal dan USG Normal
Protelnurla ortostat~klpostural
1
Test latn (-) Follow up tlap 1-2 thn
Fungs~glnjal dan USG abnormal
Protelnurla non ortostat~k
Gambar 1. Cara pemeriksaan proteinuria
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1
Ulang urln kwantltatlf 2-3x
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Keterangan gambar: Pendekatanpasien dengan proteinuria. Pemeriksaan proteinuria sering diawali dengan pemeriksaan dipstik yang positif pada pemeriksaan urinalisis rutin. Dipstik konvensional mendeteksi mayoritas albumin dan tidak dapat mendeteksi kadar albumin urin antara 30-300 mglhari. Pemeriksaan lebih pasti dari proteinuria sebaiknya memeriksa protein urin 24 jam atau rasio protein pagilkreatinin (mglg). Bentuk proteinuria pada elektroforesis protein urin dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari glomerulus, tubular, atau abnormal tergantung asal protein urin. Protein glomerulus disebabkan oleh permeabilitas glomerulus yang abnormal. Proteinuria tubular seperti Tamm-Horsfall secara normal dihasilkan tubulus ginjal. Protein sirkulasi yang abnormal seperti rantai ringanlpendek kappallambda telah siap disaring karena ukurannya yang kecil. FSGS
: Fokal Segmental Glomerulosklerosis
MPGN
: Membrano proliferatif Glomerulonefritis
Gambar 2. Skema evaluasi proteinuria
REFERENSI Anavekar NS, Pfeffer MA. Cardiovascular risk in chronic kidney disease. Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int. 2004:66 (suppl. 92):Sll-S5. Becker GJ. Which albumin should we measure? Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int. 2004:66 (supp1.92):S16-S7. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, et al. Harrison's principles of internal medicine.15th edition. New York: The McGraw-Hill; 2001. p. 266-8. Brenner BM. The kidney. 5th edition. Boston: WB. Saunders Co; 1996, 1981, 2003, 1864. De Zeeuw D. Albuminuria, not only a cardiovascularlrenal risk marker, but also a target for treatment? Kidney Int. 2004:66:suppl 92:S2-S6. Hoy W,McDonald SP. Albuminuria: marker or target in indigenous populations. Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int. 2004:66:(supp1.92):S25-S31. Jacobson HR, Striker GE, Klahr Saulo. The principles and practice of nephrology. USA: Mosby; 1995. p. 114-1056. Johnson RJ, Feehally J.Comprehensive clinical nephrology. London: Mosby; 2000. Mitch WE, Shahinfar S, Dickson TZ. Detecting and managihg patients with type 2 diabetic kidney disease: proteinuria and cardiovascular disease. Kidney Int. 2004:66:(supp1.92):S97-S8.
Nijad KZ, Eddy AA, Glassock. Which is proteinuria an ominous biomarker of progressive kidney disease? Kidney Int. 2004:66 (supp1.92): S76-S89. Remuzzi G, Chiurchiu C, Ruggenenti P. Proteinuria predicting outcome in renal disease: nod diabetic nephropathies (REIN). Kidney Int. 2004:66 (supp1,92):S90-S6. Rotter RC, Naicker S, Katz IV. Demographic and epidemiologic transition in the developing world: role of albuminuria in the early diagnosis and prevention of renal and cardiovascular disease. Kidrley Int. 2004: 66(supp1.92):S32-S7. Russo LM, Comper WD, Osicka TM. Mechanism of albuminuria associated with cardiovascular disease and kidney disease. Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int. 2004:66:(suppl.92):S67-S78. Sukandar E. Nefrologi klinik. 2nd ed. Bandung: Penerbit ITB; 1997. Verhave JC, Gansevoort RT. An elevated urinary albumin excretion predicts de novo development of renal function impairment in the general population. Kidney Int. 2004:66:(supp1,92):Sl8S21. Warnock D G Inclusion of albumin as a target in therapy guidelines: guidelines for chronic kidney disease. Kidney Int. 2004:66:(supp1.92): S 1214 3 .
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
SINDROM POLIURIA Shofa Chasani
PENDAHULUAN
REGULASI CAIRAN TUBUH
Poliuria adalah suatu keadaan di mana volume air kemih dalam 24jam meningkat melebihi batas normal disebabkan gangguan fungsi ginjal dalam mengkonsentrasi air kemih. Definisi lain adalah volume air kemih lebih dari 3 liter/ hari, biasanya menunjukkan gejala klinik bila jumlah air kemih antara 4-6 literlhari. Poliuri biasanya disertai dengan gejala lain akibat kegagalan ginjal dalam memekatkan air kemih antara lain rasa haus, dehidrasi dan lain-lain. Menurut Brenner poliuri dibagi 2 macam: 1. Poliuria non fisiologis: pada orang dewasa, poliuri didapatkan bila air kemih lebih dari 3 literlhari. 2. Poliuria fisiologis: volume air kemih dibandingkan dengan volume air kemih yang diharapkan karena rangsangan yang sama, dikatakan poliuri bila volume air kemih lebih besar dari volum yang diharapkan. Poliuri terdapat pada berbagai keadaan, meskipun diabetes insipidus merupakan penyebab yang sering terjadi. Adapun penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah diabetes melitus yang tidak terkontrol, polidipsi psikosis, hiperkalsemia, hipokalemi dll.
Kehilangan air tubuh dapat melalui. berbagai jalan yaitu melalui paru (respirasi), melalui kulit (perspirasi), melalui gastrointestinal (feses) dan melalui ginjal. Ginjal merupakan jalan yang terpenting, regulasi pengeluaran air diatur dengan mempertahankan osmolalitas cairan tubuh. Osmolalitas serum normal dipertahankan pada rentang yang sempit yaitu 285-295 mOsm /kg. Rentang osmolalitas urin antara 100-200 mOsm/kg, tergantung adanya kebutuhan mempertahankan atau mengeluarkan air bebas. Bila kemampuan ginjal untuk memekatkan air kemih terganggu maka terjadi peningkatan jumlah air kemih yang bisa disebabkan oleh beberapa keadaan, antara lain: 1. Ketidak mampuan sekresi ADH oleh hipofisis posterior 2. Kerusakan mekanisme arus balik. Hiperosmotik intestisium medula dibutuhkan untuk memekatkan air kemih yang maksimal, tidak peduli berapa banyak ADH yang tersedia dalam tubuh; 3. Ketidak mampuan tubulus distal dan tubulus koligentes untuk merespons ADH. Ada dua reseptor ADH yaitu vasopressin 1 (VI) memiliki aktivitas vasokontriksi dan prostaglandin dan vasopressin 2 (V2) memiliki aktivitas antidiuretik, vasodilator dan mediator faktor koagulasi. Bila reseptor V2 yang aktif maka akan terjadi peningkatan permeabilitas terhadap air sehingga air kemih berkurang, sebaliknya bila respetor VI yang aktif maka permeabilitas turun dan akibatnya jumlah air kemih meningkat. Mekanisme umpan balik osmoreseptor ADH dapat dilihat pada Gambar 1.
Tujuan 1. Mampu menerangkan definisi poliuria 2. Marnpu menerangkantentang regulasi cairan tubuh oleh ginjal dan pengaruh hormon ADH terhadap tubulus ginjal. 3. Mampu menerangkan mekanisme terjadinya poliuri baik karena faktor osmotik maupun faktor hormonal. 4. Mampu menerangkan penyebab poliuria, gambaran klinik serta diagnosis banding dan gejala ikutannya. 5. Mampu menerangkan mekanisme penanganan poliuria.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
963
SINDROM POL~URIA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI DIABETES INSIPIDUS
BOsmolalitas ekstraselular
BSekresi ADH oleh hipofisis Posterior
E4ADH plasma
BPerrneabilitas H20 Tubulus distal dan tubulus koligenitas
Gambar 1. Mekanisme umpan balik osmoreseptor ADH
Cortex
Diabetes insipidus merupakan penyakit yang jarang terjadi, kurang lebih 3 per 100 000 orang. Pasien tampil dengan poliuri yang nyata dan polidipsi dengan osmolalitas serum yang tinggi (lebih dari 295) dan tidak sesuai dengan osmolalitas air kemih yang rendah. Diabetes insipidus disebabkan adanya insufisiensi atau tidak adanya hormon anti diuretik (ADWAVP) atau tidak pekanya tubulus ginjal terhadap rangsangan AVP. Biasanya pasien tidak sanggup untuk mempertahankan air bila mendapatkan tambahan cairan. Kekurangan AVP (Arginin Vasopressin) atau efek AVP dihubungkan dengan ketidak adekuatan mengkonsentrasikan urin akan meningkatkan pengeluaran urin (Poliuria) dan biasanya akan disertai rasa haus (polidipsi) sebagai kompensai bila mekanisme haus masih baik. Bila mekanisme haus mengalami gangguan maka akan terjadi kenaikan osmolalitas dengan kenaikan natrium plasma (hipernatremia). Sehingga kekurangan AVP atau disebut diabetes insipidus akan mempunyai sindroma klinik seperti kenaikan pengeluaran urin, yang hipotonik dan ha1 ini berbeda dengan diabetes mellitus yang bersifat hipertonik. Beberapa perbedaan patofisiologi terjadinya poliuri hipotonik ini menjadikan poliuria hipotonik dibagi menjadi: 1. CDl (diabetes insipidus sentral) 2. Disfungsi osmoreseptor (sebagai variasi dari CDI) 3. Gestasional diabetes insipidus 4. NDI (diabetes insipidus nefrogenik) 5. Polidipsi primer (diabetes insipidus dipsogenikl psychgenic polydipsi)
ETlOLOGl CDI Outer 400 medula
400 -b
600 Inner medula 800
I
800
Water reabsotptw, (Passive)
+
1. Kongenital (Congenital malformations, Autosomal dominant,AVP-Neurophysin gene mutation. 2. drug/toxin -induce (ethanol, diphenylhydantion, snake venom) 3. Granulomatous (histiositosis, sarkoidosis) 4. Neoplastik (craniopharyngioma, germinoma,lymfoma, leukemia, meningioma, tumor pituitari, metastasis). 5. infeksi (meningitis, tuberkulosis, encephalitis) 6. Trauma (neurosurge.ry, deceleration injury) 7. Vaskular (cerebral hemorrhage or infarction, brain death)
ETlOLOGl OSMORECEPTOR DYSFUNCTION Pepilla
I
Gambar 2. Mekanisme pemekatan dan pengencaran air kemih (Brenner 2007)
1. Granulomatous (histiositosis, sarkoidosis) 2. Neoplastik (kraniofaringioma, pinealoma, meningioma, metastasis) 3. Vaskular (anterior communicating artery aneurysm/ ligation, intrahypothulamic hemorrhage)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 4. Other (hydrocephalus, ventricular/supersellar cyst, trauma, degenerative deseases). 5. Idiofatik
ETIOLOGI "INCREASED AVP METABOLISM"
2. Diabetes insipidus didapat: karena kelainan intra kranial (trauma, pembedahan, tumor di kepala, infeksi (tuberkulosis, ensefalitis, meningitis) . Istilah lain dari keadaan dimana ADH meningkat di luar batas fisiologis karena sebab yang bermacam-macam disebut SIADH (Syndrome of Inappropriate Secretion of ADH).
PREGNANCY PATOFlSlOLOGl OSMORECEPTORDYSFUNCTION ETIOLOGI NEPHROGENIC DIABETES INSIPIDUS Congenital (X-linked recessive, AVP V2Receptor gene mutations, autosomal recessive or dominant, aquaporin2 water channel gene mutations). Drugs induced (demeclocycline, lithium, cisplatin, mrthoxyflurane) Hypercalcemia. Hypokalemia. Infiltrating lesions (sarcoidosis, amyloidosis). Vascular (sickle cell anemia). Mechanical (polycystic kidney disease, bilateral ureteral obstruction) Solute dieresis (glucose, mannitol, sodium, radiocontrast dyes) Idiophatic.
ETIOLOGI PRIMARY POLYDIPSIA Psychogenic (schizophrenia, obsessive-compulsive behaviors) Dipsogenic (downward restting of thirst threshold, idiophatic or similar lesions as with central diabetes insipidus).
PATOFlSlOLOGl CDI Pada umumnya basal AVP hams turun h a n g dari 10 -20% dari normal sebelum oamolality urine basal turun kurang dari 300mOsmlkg H 2 0 dan aliran urin naik ke level simptomatik (>50 ml/KgBW/day).Hasil dari hilangnya air akan menaikkan osmolalitas plasma dan akan merangsang rasa haus, sehingga terjadi polidipsi. Kemampuan kompensasi dari polidipsi terbatas, pada keadaan mencapai ambang batas maka perlu bantuan suplementasiAVP. Karena konservasi ginjal terhadap natrium tidak terganggu maka adanya kekurangan AVP ini tidak disertai kekurangan natrium. Pada kasus dimana AVP sama sekali tidak disekresi (complete Dl) pasien akan tergantung seluruhnya pada intake air untuk keseimbangan air dalam tubuh. Diabetes Insipidus Sentral ada 2 macam yaitu: 1. Diabetes insipidus idiopatik (autosomal dominan familial) diduga karena autoimun.
Defek utama pada pasien dengan gangguan ini adalah tidak adanya osmoreseptor yang meregulasi rasa haus. Dengan perkecualian (walau jarang) osmoregulator AVP juga terganggu, walau respons hormonal terhadap rangsangan nonosmotik tetap utuh, ada 4 macam disfungsi osmoreseptor yang khas dengan defek rasa haus dan 1 atau respon sekresi AVP : Upward resetting osmostat untuk rasa haus dan latau respons sekresi AVP Destruksi osmoresceptor partial (respons sekresi AVP yang kurang dan rasa haus) Destruksi osmoreseptor total (tidak ada sekresi AVP dan rasa haus) Disfungsi selektif dari osmoregulasi haus dengan sekresi AVP yang utuh) Berbeda dengan CDI dimana polidipsi mempertahankan osmolalitas dengan batas normal, pasien dengan disfungsi osmoreseptor secara khas mempunyai osmolalitas antara 300 - 340 mOsm/Kg H20.
GESTATIONAL DIABETES INSIPIDUS Defisiensi relative plasma AVP, dapat juga karena kenaikan kecepatan metabolism AVP, kondisi ini hanya ada pada pasien hamil , oleh karenanya pada umumnya disebut Gestational Dl. Hal ini dapat juga karena aktivitas enzyme "cystine aminopeptidase" (oxytocinaseatau vasopressinase) yang secara normal dihasilkan plasenta yang berguna untuk mengurangi oxytosin dalam sirkulasi dan mencegah kontraksi uterus prematur. Pada pasien ini umunya kadarnya meningkat, biasanya berhubunganm dengan pasien preeklampsia, acut fatty liver dan coagulopathy. Patofisiologinya sama dengan CDI, bedanya bahwa poliuria biasanya tidak dapat dikoreksi dengan pemberian AVP, sebab secara cepat akan didegradasi. DGI dapat dikontrol dengan DDAVP, AVP V2 receptor agonist karena resisten terhadap degradasi oleh oxytosinase atau vasopressinase.
NEPHROGENIC DIABETES INSIPIDUS (NDI) NDI terjadi karena adanya resistensi anti diuretika AVP. Pertama kali dikenal th 1945 pada pasien dengan kelainan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
SINDROM POLIURIA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI genetik yaitu (sex-linked). Poliuria didapati sejak lahir sedangkan level plasma AVP normal atau meningkat, resitensi efek antidiuretik AVP bisa parsial maupun komplit, biasanya paling banyak pada laki-laki, walaupun tidak selalu pada wanita biasanya ringan atau tidak ada karier pada wanita, 90% kasus kongenital NDI disebabkan mutasi reseptorAVPV2. Kongenital NDI dapat juga diebabkan mutasi gene autosomal yang mengkode AQP2 yaitu protein yang membentuk kana1 air di tubulus kolektivus di medulla dan penyebab lain adalah (lihat etiologi NDI). NDI merupakan ketidakmampuan ginjal (tubulus distal dan koligentes) untuk berespon dengan ADH. Banyak jenis penyakit ginjal yang dapat mengganggu mekanisme pemekatan air kemih terutama yang mengenai medula ginjal. Juga kerusakan ansa henle seperti yang terjadi pada diuretika yang menghambat reabsorbsi elektrolit oleh segmen ini. Obat-obat tertentu seperti litium (anti manikodepresi pada kelainan jiwa) dan tetrasiklin dapat merusak kemampuan segmen tubulus distalis untuk berespons terhadap ADH. Diabetes insipidus nefrogenik dibagi menjadi 2 macam: 1. IdiopatiWfamiliallgenetik:ada 2 macam gen yaitu AVP V2 (arginin vasopresin reseptor)-(x linked) dan AQP2 (autosomal resesif dan autosomal dominant). NDI yang paling sering diturunkan secara x-linked (90%). NDI yang diturunkan secara autosomal resesif (9%) dan autosomal dominan (1%). 2. Didapat: Akibat obat (litium, demeklosiklin, metoksifluran), Metabolik (hipokalemia, hiperkalsiuria biasanya dengan hiperkalemia). Penyakit ginjal (polikistik ginjal, obstruktif uropati, pielonefiitis kronis, nefropati sickle cell, sarkoid, gaga1ginjal kro& mielomamultipel, penyakit sjogren, nefropati analgetik).
Seperti halnya CDI, sensitivitas ginjal terhadap efek antidiuretika AVP juga menghasilkan kenaikan ekskresi "dilute"urin, penurunan air dalam tubuh dan kenaikan osmolalitas plasma, ha1 ini akan merangsang rasa haus untuk mengkompensasi meningkatkan intake air. Besarnya poliuri maupun polidipsi tergantung sensitivitas ginjal terhadap AVP, setiap individa berbeda "setpoint"nya, sensitivitas rasa haus dan sekresi AVP.
encer (dilutes urine). Besar kecilnya poliuria dan polidipsi bervariasi tergantung intensitas rangsangan untuk minum. Pada pasien dengan abnormalitas rasa haus, polidipsi dan poliuri relatif konstan dari hari ke hari tetapi pada psychogenic polydipsi intake air dan output urine cenderung fluktuatif, kadang bisa sangat besar. Kadang dengan intake air yang tinggi maka akan terjadi "dilutional hyponatremia".
DIAGNOSIS KLlNlK Manifestasi Klinik Diabetes lnsipidus Pada umumnya manifestasi klinik diabetes insipidus sentralis (CDI) maupun NDI adalah berupa poliuri dan polidipsi. Dibandingkan NDI, poliuri pada CDI bisa lebih dari 15 literhari Secara mum NDI mempunyai gejala klinis sering haus akan air dingin,,nokturia, osmolaritas serum mendekati 300 mOsm1Kg dan berat jenis urin <1.005 dengan osmolaritas air kemih <200. Biasanya mulainya bertahap, sejak bayi sering muntah, rasa tercekik, tidak suka makan, konstipasi ataupun kadang diare, gangguan pertumbuhan, panas yang tidak diketahui penyebabnya, letargi dan iritabilitas. Mayoritas didiagnosis pada tahun pertama kehidupannya. Pada CDI gejala timbul secara tiba-tiba, apakah karena tumor maupun idiopatik biasanya pria: perempuan adalah 3 :2 dengan rerata pemunculan gejala pada umur 16 tahun. 5- 10% pasien CDI biasanya berjalan dengan 3 fase yaitu: awalnya poliurilfase hipotonik, diikuti peningkatan kerusakan sel hipofisis dan akhirnya terjadi diabetes insipidus permanen. Tes Pemekatan Air Kemih Adanya peningkatan serum natrium (>143meq/l) Berat jenis air kemih yang rendah Tidak ada pemasukan natrium yang berlebihan dan kadar vasopresin yangtinggi. Bila ketiga keadaan di atas terjadi maka diagonis NDI bisa ditegakkan. Hasil tes ini mungkin sulit untuk menginterpretasi seseorang dengan dibetes insipidus parsial yaitu bila produksi vasopresin sub normal (diabetes insipidus neurogenik parsial) atau respons sebagian ginjal terhadap konsentrasi vasopresin yang normal (NDI parsial).
POLlDlPSl PRIMER
Tes Genetik Gen-gen yang ditemukan sampai sekarang adalah AVPV2 dan AQP2. AVPV2 merupakan satu-satunya gen yang berhubungan dengan x linked NDI. AQP2 merupakan satusatunya gen yang berhubungan dengan NDI autosomal resesif dan autosomal dominan.
Patofisiologi polidipsi primer berbeda dengan CDI, intake air yang berlebihan menyebabkan cairan tubuh sedikit encer (Slight dilutes), menekan sekresi AVP dan urine menjadi
Tes Penunjang Tes ini berguna untuk menentukan penyebab DI antara lain laboratorium klinik dan pemeriksaan radiologi.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI TERAPI Untuk semua jenis diabetes insipidus secara umum adalah: 1. Koreksi setiap defisit air. 2. Mengurangi kehilangan air yang berlebihan lewat urin. Terapi spesifik tergantung jenis poliurinya dan tergantung keadaan klinik dari masing-masing diabetes insipidus.
MACAM CARA TERAPI DIABETES INSIPIDUS 1. Air: TBW = 0,6 xpremorbid weight x (I -140/Na ) 2. Antidiuretic agents: Arginin vasopressin (Pitressin) I -Deamino-8-D-argininvasopressin(Desmopressin, DDAVP) 3. Antidiuresis-enhancing agents: Chlorpropamide Prostaglandin Synthese inhibitors (indomethacin, ibuprofen, tolmetin) 4. Natreuretic agents: Thiazide diuretic Amiloride. 5. OAINS (obat anti inflammasi non steroid). Koreksi Air Untuk mengurangi kerusakan susunan syaraf pusat dari pemaparan hiperosmolality pada kebanyakan kasus DI maka secepatnya osmolality plasma harus diturunkan dalam 24 jam pertarna ,hingga 320-330 mOsm/Kg H 2 0 atau mendekati 50%. Arginin Vasopressin (Pitressin) Merupakan sintetis dari AVP manusia, kemasan 20 Unitlml aqua. Mempunyai short-halflife relative (2-4 jam lamanya efek antidiuretik) dianjurkan tidak diberikan bolus intra vena kecuali dalam keadan akut mis: postoperative DI, dilakukan titrasi dosis sampai efek diuresisnya terkontrol. Efek samping: meningkatkan tekanan darah. Desmopressin DDAVP adalah agonist reptor AVPV2, banyak dikembangkan untuk terapi DI karena mempunyai half life yang panjang (8-20 jam efek lamanya antidiuretik) dan tanpa adanya aktivasi AVP V1. Merupakan obat pilihan baik untuk akut maupun kronis CDI. Kemasan dalam bentuk intranasal 100 mglml aqua, nasal spray 10 mg dalam 0,l ml. atau dosis oral 0,l atau 0,2 mg. Dalam keadaan emergensi bisa diberikan intavena atau
intramuskularlsubkutan dengan kemasan 4 mglml. Pemberian parenteraljauh lebih baik 5- 10 kali dibandingkan intranasal dengan dosis rekomendasi 1-2 mg tiap 8-12 jam. Chlorpropamid (Diabenese) Merupakan obat anti oral diabetes dari golongan sulfoniurea yang memiliki efek osmotic dari AVP di ginjal. Dikatakan bahwa chlorpropamid mengurangi polyuria hingga 25-75% pada pasien dengan CDI. Titik kerjanya sebagian besar di tubulus ginjal yang berpotensiasi dengan hidroosmotik dari AVP dalam sirkulasi, disamping terbukti meningkatkan sekresi AVP di pitutari. Dosisnya antara 250-500 mglhari dengan efek antidiuretika 1-2 hari dan maksimum 4 hari. Sebaiknya tidak diberikan pada penderita hamil dan anak-anak, serta bukan untuk kasus akut. Prostaglandin Synthese Inhibitors Mempunyai efek baik pada otak maupun ginjal, efeknya masih kurang diketahui. Di otak mempunyai efek merangsang sekresi AVP sedangkan di ginjal merangsang efek AVP, dengan demikian bisa digunakan untuk CDI dan NDI. Natriuretic Agents Tiazid merupakan diuretik yang mempunyai efek paradox antidiuretik pada pasien dengan CDI walaupun terapi utamanya untuk NDI. Dosis 50-lOOmgIhari, biasanya dapat mengurangi diuresis hingga 50% kombinasi dengan DDAVP sering digunakan pada penderita NDI. OAINS Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS) seperti endometasin dapat memacu pemekatan air kemih dan mengurangi pengeluaran air kemih. Obat ini dapat dipakai sendiri ataupun kombinasi dengan diuretik tiazid. Penggunaan OAINS perlu perhatian karena nefrotoksik maupun kelainan sekresi asam lambung. Mengingat efek samping indometasin (penghambat siklooksigenase- l1Cox-I), maka penggunaan penghambat Cox-2 diharapkan bisa sebagai penggantinya walaupun belum ada penelitiannya. PENGOBATAN PADA KEADAAN TERTENTU 1. Pengobatan darurat pada dehidrasi. 2. Pengobatan pada keadaan khusus sewaktu tindakan bedah. 3. Penanganan kelainan ginjal misal hidronefrosis, hidroureter dan megakistik.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
2. Gangguan reabsorbsi natrium di tubulus sehinga terjadi kehilangan natrium dalam jumlah banyak dalarn urin. 3. Gangguan sel tubulus distalis terhadap efek ADH. 4. Hidrasi berlebihan selama fase oliguri. 5. Pembersihan solute di dalam medulla, ha1 ini diperlukan kerja tubulus ginjal untuk mempertahankan gradient hipertonik didalam interstitial ginjal. Selama fase poliuria akan banyak kehilangan natrium dan air, sehingga bila penanganan tidak baik, yaitu hidrasi yang cukup maka akan terjadi dehidrasi dan berakibat terjadinya gangguan ginjal lagi. Untuk ini diperlukan penanganan dan pengawasan yang ketat.
4. Penanganan sewaktu masa pertumbuhan 5. Penanganan perkembangan psikomotor.
PENDEKATAN KLlNlK PADA PASIEN POLlURl Diagram alur ini menggambarkan cara pendekatan klinik terhadap pasien dengan poliuri. Sebelah kiri menunjukkan gambaran diuresis air dan sebelah kanan menunjukkan diuresis osmotik. (Gambar 3)
POLlURlA PADA GANGGUAN GINJAL AKUT (GGGAIAKI = ACUTE KIDNEY INJURY) POLlURlA PADA HlPOKALEMl
Poliuria merupakan fase setelah oliguri pada penderita GgGA, pada fase ini penderita mengeluarkan banyak urin sehingga disebut fase keluaran tinggi (high outputphase) atau fase diuresis. Pada fase ini filtrate glomelulus memasuki tubulus yang belum sepenuhnya berfungsi normal, sehingga belum ada fungsi reabsorbsi dan fungsi sekresi solute sehingga hanya berupa cairan saja. Beberapa penyebab terjadinya poliuria pada GgGA antara lain : 1. Filtrat solute yang tadinya tertahan sewaktu terjadi oliguri misalnya ureum yang merupakan zat aktif secara osmotik.
Pasien dengan hipokalemi akan menyebakan pemekatan urine oleh ginjal akan terganggu, mekanisme secara pasti belum sepenuhnya diketahui. studi awal menunjukkan bahwa hipokalemi yang menginduce poliuria tidak dapat dikoreksi dengan pemberian ADH. Beberapa mekanisme terjadinya poliuria karena hipokalemi antara lain : Adanya produksi prostaglandin yang berlebihan. Menghambat respons ADH. Polidipsi primer. Merubah pelepasan ADH. Metabolism oksidati dimedulla yang abnormal. Mengurangi medullary solute
--
POLlURlA
I Uosm<250 mOsmlL Diuresis air Langkah 2b: Cukupkah osmoles yang disaring?
Langkah 2a: Apakah Pnaz140 mmollL
I
I
I
1
YA DIABETES INSIPIDUS
TlDAK -1POLIDIPSI
YA
TlDAK
I
Langkah 3b. Penksa osmoles di urln dan tentukan sumbernya
Langkah 3a: Respon terhadap Vasopresin?
- Diuresis air intermiten - Defek ginjal mengkonsentrasikan
DIABETES INSIPIDUS SENTRAL
I I
Langkah 4:
I-,.:I*,.., .,.I, , .
DIABETES INSIPIDUS I
I OSMOLES ORGANIK I I Glukosa Urea Monitol
Gambar 3. Algoritme poliuri
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
, I
ELEKTROLIT
I
REFERENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Edoute,Y, Davids,M.R, Johnston,C. Halperin,M.L. An integrative physiological approach to polyuria and hypematremia: a dobletake' on diagnosis and therapy in a patient with schizophrenia. Q J Med.2003. 96: 531-40. Guyton A.C and Hall J,E, Textbook of Medical Physiology, Ninth Ed, WB Saunders Company, 1996, 349 - 65. Halperin,M,L. Davids M,R, and Kamel,K,S. Interpretation of urin electrolyte and Acid-Base Parameter in Branner,B,M & Rector's, The Kidney, Seventt Edit, Vol 2. Chapter 25. WB Saunders.2004: 1151- 81. Johnson ,T,M, Miller,M, Pillon D,J, and Ouslander,J,G, Arginine vasopressin ang nocturnal polyuria in older adults with frequent night-time voiding. The Journal of Urology, copyright 2003: vol. 170: 480 - 4. Knoers, N. Nephrogenic Diabetes Insipidus, Gene Reviews, www.genetes.org. January. 2005 . 1-19.
Koeppen BM, Stanton BA. Renal Physiology, Mosby Year Book. Copy right. 1992. 70 - 90. Lazorick S. Polyuria and Diabetes Insipidus. httpllwww.med.unc.edu/ medicine/web/diabetesinsipidus.htm.February. 2005. 1-5. Quaedackers JS, RoelfsemaV, Hunter CJ, Heineman E, Gunn AJ, Bennet L. Polyuria and impaired renal blood flow after asphyxia in preterm fetal sheep, Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 286. 2004: R576-R583. Hassane AML, Krane AL, Chen Q, Solaimani M. Early polyuria and urinary concentrating defect in potassium deprivation. Am J Physiol Renal Physiol. 279: F655-663. 2000. Brenner BM. Brenner and Rector in. The Kidney. Eight Edit. 2007. Dagher PC, Rosenthal SH, Ruehm SG, et al. Newley developed techniques to study and diagnose acut renal failure. J Am Soc Nephrol; 14;2003;2188-98.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
GLOMERULONEFRITIS Wiguno Prodjosudjadi
PENDAHULUAN Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit yang sering dijumpai dalam praktik klinik sehari-hari dan merupakan penyebab penting penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, GN dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan GN sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis. Di Indonesia GN masih merupakan penyebab utama PGTA yang menjalani terapi pengganti dialisis walaupun data US Renal Data System menunjukkan bahwa diabetes merupakan penyebab PGTA yang tersering. Manifestasi klinik GN sangat bervariasi mulai dari kelainan urin seperti proteinuria atau hematuri saja sampai dengan GN progresif cepat.
Glomerulonefiitisadalah penyakit akibat respon imunologik dan hanya jenis tertentu saja yang secara pasti telah diketahui etiologinya. Proses imunologik diatur oleh berbagai faktor imunogenetik yang menentukan bagaimana individu merespons suatu kejadian. Secara garis besar dua mekanisme terjadinya GN yaitu circulating immune complex dan terbentuknya deposit kompleks imun secara in-situ. Antigen (Ag) yang berperan pada pembentukan deposit in-situ dapat berasal dari komponen membran basal glomerulus (MBG) sendiri @xed-antigen) atau substansi dari luar yang terjebak pada glomerulus (planted-antigen). Mekanisme pertama apabila Ag dari luar memicu terbentuknya antibodi (Ab) spesifik, kemudian membentuk kompleks imun Ag-Ab yang ikut dalam sirkulasi. Kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemenyang kemudian
berikatan dengan kompleks Ag-Ab. Kompleks imun yang mengalir dalam sirkulasi akan terjebak pada glomerulus dan mengendap di sub-endotel dan mesangium. Aktivasi sistem komplemen akan terus berjalan setelah terjadi pengendapan kompleks imun. Mekanisme kedua apabila Ab secara langsung berikatan dengan Ag yang merupakan komponen glomerulus. Alternatif lain apabila Ag nonglomerulus yang bersifat kation terjebak pada bagian anionik glomerulus, diikuti pengendapan Ab dan aktivasi komplemen secara lokal. Selain kedua mekanisme tersebut GN dapat dimediasi oleh imunitas selular (cell-mediated immunity). Studi eksperimental membuktikan bahwa sel T dapat berperan langsung terhadap timbulnya proteinuria dan terbentuknya kresen pada GN kresentik. KERUSAKAN GLOMERULUS PADA GN Kerusakan glomerulus tidak langsung disebabkan oleh endapan kompleks imun. Berbagai faktor seperti proses inflamasi, sel inflamasi, mediator inflamasi, dan komplemen berperan pada kerusakan glomerulus. Kerusakan glomerulus dapat terjadi dengan melibatkan sistem komplemen dan sel inflamasi, melibatkan sistem komplemen tanpa keterlibatan sel inflamasi, dan melibatkan sel inflamasi tanpa sistem komplemen. Kerusakan glomerulus dapat pula terjadi sebagai implikasi langsung akibat imunitas selular melalui sel T yang tersensitisasi (sensitized-T cells). Pada sebagian GN, endapan kompleks imun akan memicu proses inflamasi dalam glomerulus dan menyebabkan proliferasi sel. Pada GN non-proliferatif dan tipe sklerosing seperti GN membranosa (GNMN) atau glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) tidak melibatkan sel inflamasi. Faktor lain seperti proses imunologik yang mendasari terbentuknya Ag-Ab, lokasi endapan, komposisi dan jumlah endapan sertajenis Ab berpengaruh terhadap kerusakan glomerulus.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PROSES INFLAMASI PADA KERUSAKAN GLOMERULUS
Kerusakan awal pada glomerulus disebabkan oleh proses inflamasi yang dipicu oleh endapan kompleks imun. Proses inflamasi akan melibatkan sel inflamasi, molekul adesi dan kemokin yaitu sitokin yang mempunyai efek kemotaktik. Proses inflamasi diawali dengan melekat dan bergulirnya sel inflamasi pada permukaan sel endotel (tethering and rolling;).Proses ini dimediasi oleh molekul adesi selektin L, E, dan P yang secara berturut turut terdapat pada permukaan leukosit, endotel dan trombosit. Molekul CD3 1 atau PECAM- 1 (platelet-endothelial cell adhesion molecule-1) yang dilepaskan oleh sel endotel akan merangsang aktivasi sel inflamasi. Reaksi ini menyebabkan ekspresi molekul adesi integrin pada permukaan sel inflamasi meningkat dan perlekatan sel inflamasi dengan sel endotel semakin kuat. Perlekatan ini dimediasi oleh VLA-4 (very-late antigen 4) pada permukaan sel inflamasi dan VCAM-1 (vascular cell adhesion molecule-I) pada sel endotel yang teraktivasi. Ikatan antara LFA-1 (lymphocyte function-associated antigen-1) pada permukaan sel inflamasi dan ICAM- 1 (intracellular adhesion molecule-1) pada sel endotel akan lebih mempererat perlekatan tersebut. Proses selanjutnya adalah migrasi sel inflamasi melalui celah antar sel endotel (transendothelial migration). Pada Tabel 1 disebutkan berbagai molekul adhesi yang berperan pada proses inflamasi termasuk pada GN.
Selectins E-selectin L- selectin P- selectin lntegrins P I-integrins VLA-4 P2-integrins LFA-1 Mac-I ~150.95
19-like family ICAM-1 ICAM-2 VCAM-1
SEL INFLAMASI PADA KERUSAKANGLOMERULUS
Sel inflamasi yang banyak dikaitkan dengan kerusakan glomerulus pada GN adalah leukosit polimormonuklear (PMN) dan monosit/makrofag. Trombosit dan produk koagulasinya juga ikut berperan pada proses inflamasi tersebut. Peran leukosit PMN dibuktikan pada GN akut pasca infeksi streptokokus. Infiltrasi makrofag pada glomerulus pertama kali ditunjukkan pada pasien GN kresentik. Belakangan dilaporkanbahwa infiltrasi makrofag pada glomerulus dijumpai pada berbagai GN dan berkaitan dengan beratnya proteinuria. Interaksi antara makrofag dengan sel glomerulus seperti sel mesangial, sel epitel atau sel endotel glomerulus akan menyebabkan sel tersebut teraktivasi dan melepaskan berbagai mediator inflamasi seperti sitokin pro-inflamasi dan kemokin yang akan menambah proses inflamasi dan kerusakan jaringan. Trombosit yang lebih banyak berperan pada sistem koagulasi akan menyebabkan oklusi kapiler, proliferasi sel endotel dan sel mesangial pada GN. Trombosit dapat diaktivasi oleh kompleks imun atau Ab melalui ikatan dengan reseptor Fc yang terdapat pada permukaan sel. Interaksi ini menyebabkan agregasi trombosit yang akhirnya akan menyebabkan koagulasi intrakapiler glomerulus.
a subfamily ENA-78 GCP-2 IL-8 (NAP-1) ylP-10 NAP-2, NAP-4 PF-4 SDF-I a, SDF-1P
p subfamily MCP-1 (MCAF) MCP-2, MCP-3 MIP-la, MIP-1P RANTES
ENA:epithelial~derivedneutrophil activating factor; GCP: granulocyte chemotactic protein; IL-8 :interleukin-8; NAP:neutrophil activating protein-7; PF-4: platelet factor-4; SDF:stromal cell-derived factor; MCP :monocyte chemoattractant protein ;MIP :macrophage inflammatory protein; RANTES: regulated, on activation, normal T expressed and secreted
VLA-4: very late antigen-4; LFA-1: lymphocyte-function associated antigen- I ICAM-I: intercellular adhesion molecule-1; ICAM-2; VCAM1:vascular cell adhesion molecule-I
Kemokin mempunyai efek kemotaktik yaitu kemampuan menarik sel inflamasi keluar dari dalam pembuluh darah menuju jaringan. Secara garis besar dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kemokin-P dan kemokin-a, yang berturutturut mempunyai efek kemotaktik terhadap leukosit dan monosit atau limfosit seperti terlihat pada Tabel 2. Dengan pengaruh kemokin akan semakin banyak sel inflamasi yang bermigrasi ke jaringan sehingga proses inflamasi menjadi lebih berat.
KOMPLEMENPADA KERUSAKANGLOMERULUS Keterlibatan komplemen terbukti dengan ditemukannya endapan pada pemeriksaan mikroskop imunofluoresen (IF) biopsi ginjal pasien GN. Kadar serum komplemen yang rendah pada nefritis lupus dan GN pasca infeksi streptococcz~sakut memperkuat kaitan antara komplemen dan GN. Dalam keadaan normal komplemen berperan sebagai mekanisme pertahanan humoral. Pada GN komplemen berfungsi mencegah masuknya Ag, tetapi dapat pula menginduksi reaksi inflamasi. Dua jalur aktivasi sistem komplemen yaitu klasik dan alternatif.Kompleks imun yang
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
mengandung IgG atau IgM akan mengaktivasijalur klasik sedangkan aktivasi jalur altematif dipicu oleh kompleks imun yang mengandung IgA atau IgM seperti terlihat pada Gambar 1.
radikal yang berpengaruh pada kerusakan MBG. Makrofag juga mampu melepaskan mediator inflamasi seperti sitokin proinflamasi, PDGF (platelet-derived growth factors), TGF-P (transforminggrowth factor-P) yang berperan pada patogenesis dan progresi GN. EVALUASI KLlNlSDAN DIAGNOSIS GN
Jalur AlternsUr
Proses terbenluknye Komponen terminal
C9
+
Poly Cg Membrane Channels
Gambar 1. Aktivasi sistem komplemen jalur klasik dan alternatif
Kerusakan glomerulus terjadi aki-bat terbentuknya fragmen komplemen aktif yang berasal dari aktivasi sistem komplemen. Fragmen komplemen C3a, C4a, C5a bersifat anafilatoksin sedangkan C5a mempunyai efek kemotaktik terhadap leukosit. Endapan kompleks imun sub-epitel akan mengaktivasi jalur klasik dan menghasilkan MAC (membrane attack complex). Dalam jumlah besar MAC akan menyebabkan lisis sel epitel glomerulus seperti pada GNMN. Sebaliknya bila tidak menimbulkan lisis akan mengaktivasi sel epitel glomerulus dan membentuk kolagen serta produk metabolisme asam arakhidonat yang bersifat protektif. Endapan C3b pada MBG menyebabkan terjadinya perlekatan sel inflamasi dengan C3b melalui reseptor komplemen CR1 yang terdapat pada permukaan sel dan akan dilepaskan berbagai protease yang dapat menyebabkan kerusakan glomerulus.
MEDIATOR INFLAMASI PADA KERUSAKAN GLOMERULUS
Mediator inflamasi yang diproduksi oleh sel inflamasi atau sel glomerulus yang teraktivasi seperti sitokin proinflamasi, protease dan oksigen radikal, serta produk ekosaenoid berperan pada kerusakan glomerulus. Aktivasi leukosit menyebabkan dilepaskannya granul azurofilic yang mengandung enzim lisosom dan protease yang dapat menyebabkan kerusakan MBG. Granul spesifik yang mengandung laktoferin merangsang pembentukan oksigen
Gejala klinik GN merupakan konsekuensi langsung akibat kelainan struktur dan fungsi glomerulus. Glomerulonefritis ditandai dengan proteinuria, hematuri, penurunan fungsi ginjal, dan perubahan ekskresi gararn dengan akibat edema, kongesti aliran darah, dan hipertensi. Manifestasi klinik GN merupakan kumpulan gejala atau sindrom klinik yang terdiri dari kelainan urin asimtomatik, sindrom nefrotik, GN progresif cepat, sindrom nefrotik, dan GN kronik. Klasifikasi ini sederhana dan mudah diaplikasikan walaupun setiap gambaran klinik dapat diasosiasikan dengan berbagai jenis GN baik penyebab maupun kelainan histopatologinya. Pada sindrom kelainan urin asimtomatik ditemukan proteinuria subnefrotik dan atau hematuri mikroskopik tanpa edema, hipertensi dan gangguan fungsi ginjal. Pada sindrom nefritik ditemukan hematuri dan proteinuria, gangguan fungsi ginjal, retensi air dan garam serta hipertensi. Glomerulonefritisprogresif cepat ditandai dengan penurunan fungsi ginj a1 yang terj adi dalam beberapa hari atau minggu, gambaran nefritik, dan pada biopsi ginjal menunjukkan gambaran spesifik. Sindrom nefrotik ditandai proteinuria masif (>3,5 g/1,73 m2/hari), edema anasarka, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia. Glomerulonefritis kronik ditandai dengan proteinuria persisten dengan atau tanpa hematuria disertai penurunan fungsi ginjal progresif lambat. Sumber pustaka lain membagi sindrom klinik GN menjadi nefritik fokal, nefritik difus, sindrom nefrotik dan GN pola non spesifik. Sindrom klinik nefritik fokal ditandai dengan hematuri, red cell cast, dan proteinuria <1.5 g/24 jam. Pada sindrom nefritik difus proteinuria lebih berat tetapi belum mencapai stadium nefrotik, edema, hipertensi dan gangguan fungsi ginjal. Sindrom nefrotik (SN) ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif, hiperlipidemia, hipoalbuminemia dan pada pemeriksaan urin menunjukkan lipiduria dan red cell cast. Gambaran GN yang tidak khas misalnya pada nefritis lupus, infeksi virus hepatitis B atau C dikelompokkan sebagai sindrom klinik pola non-spesifik. Data GN yang dikumpulkan dari 5 rumah sakit selama 5 tahun oleh Sidabutar dan kawan-kawan dari 459 kasus rawat inap, 177 kasus lengkap dengan biopsi ginjal. Dari 177kasus yang dilakukan biopsi ginjal35,6% menunjukkan manifestasi klinik sindrom nefrotik, 19,2% sindrom nefritik akut, 3,9% GN progresif cepat, 15,3% dengan hematuria, 19,3% proteinuria, dan 6,8% hipertensi. Informasi riwayat GN dalam keluarga, penggunaan obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas organik, heroin,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kapiler glomerulus terjadi pada segmen glomerulus dan
imunosupresif seperti siklosporin atau takrolimus, dan riwayat infeksi streptococcus, endokarditis atau virus diperlukan untuk menelusuri penyebab GN. Keganasan paru, payudara, gastrointestinal, ginjal, penyakit Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin, serta penyakit multisistem seperti diabetes melitus, amiloidosis, lupus dan vaskulitis juga diasosiasikan dengan GN. Edema tungkai dan kelopak mata merupakan gejala klinik GN. Pemeriksaan urin, gula darah, serum albumin, profil lemak, dan fungsi ginjal diperlukan untuk membantu diagnosis GN. Pemeriksaan serologi seperti ASTO, C3, C4, ANA dan anti-dsDNA, antibodi anti-GBM (glomerulus basement membrane), ANCA diperlukan untuk menegakkan diagnosis GN dan membedakan GN primer dan sekunder. Apabila ada kecurigaan, pemeriksaan untuk menegakkan infeksi bakteri, virus HIV, hepatitis B dan C juga diperlukan. Ultrasonografi ginjal diperlukan untuk menilai ukuran ginjal dan menyingkirkan kelainan lain seperti obstruksi sistem pelviokalises. Biopsi ginjal diperlukan untuk menegakkan diagnosis secara histopatologi dan dapat digunakan sebagai pedoman pengobatan. Biopsi ginjal terbuka dilakukan dengan operasi dan memerlukan anestesi umum sedangkan biopsi jarum perkutan cukup dengan anestesi lokal. Biopsi ginjal tidak dilakukan apabila ukuran ginjal kurang dari 9 cm yang menggambarkan proses kronik.
GAMBARAN HISTOPATOLOGIS Klasifikasi GN primer secara histopatologik sangat bervariasi tetapi secara umurn dapat dibagi menjadi GN proliferatif dan non-proliferatif. Termasuk GN nonproliferatif adalah GN lesi minimal, glomerulosklerosis fokal dan segmental, serta GN membranosa.
GLOMERULONEFRITIS LESl MINIMAL (GNLM) Glomerulonefritislesi minimal merupakan salah satu jenis yang dikaitkan dengan sindrom nefrotik dan disebut pula sebagai nefrosis lupoid. Pemeriksaan dengan mikroskop cahaya dan IF menunjukkan gambaran glomerulus yang normal. Pada pemeriksaan mikroskop elektron menujukkan hilangnyafoot processes. sel epitel viseral glomerulus.
GLOMERULOSKLEROSISFOKAL DAN SEGMENTAL (GSFS) Secara klinis memberikan gambaran sindrom nefrotik dengan gejala proteinuria masif, hipertensi, hematuri, dan sering disertai gangguan fungsi ginjal. Pemeriksaan mikroskop cahaya menunjukkan sklerosis glomerulus yang mengenai bagian atau segmen tertentu. Obliterasi
dinding kapiler mengalami kolaps. Kelainan ini disebut hialinosis yang terdiri dari IgM dan komponen C3. Glomerulus yang lain dapat normal atau membesar dan pada sebagian kasus ditemukan penambahan sel.
GLOMERULONEFRITIS MEMBRANOSA (GNMN) Glomerulonefiitis membranosa atau nefropati membranosa sering merupakan penyebab sindrom nefrotik. Pada sebagian besar kasus penyebabnya tidak diketahui sedangkan yang lain dikaitkan dengan LES, infeksi hepatitis virus B atau C, t m o r ganas, atau akibat obat misalnya preparat emas, penisilinamin, obat anti inflamasi non-steroid. Pemeriksaan mikroskop cahaya tidak menunjukkan kelainan berarti sedangkan pada pemeriksaan mikroskop IF ditemukan deposit IgG dan komplemen C3 berbentuk granular pada dinding kapiler glomerulus. Dengan pewarnaan khusus tampak konfigurasi spike-like pada MBG. Gambaran histopatologi pada mikroskop cahaya, IF dan mikroskop elektron sangat tergantung pada stadium penyakitnya.
GLOMERULONEFRITIS PROLIFERATIF Tergantung lokasi keterlibatan dan gambaran histopatologi dapat dibedakan menjadi GN membranoproliferatif (GNMP), GN mesangioproliferatif (GNMsP), dan GN kresentik. Nefropati IgA dan nefropati IgM juga dikelompokkan dalam GN proliferatif. Pemeriksaan mikroskop cahaya GNMP memperlihatkan proliferasi sel mesangial dan infiltrasi leukosit serta akumulasi matrik ekstraselular. Infiltrasi makrofag ditemukan pada glomerulus dan terjadi penebalan MBG serta double contour. Pada mikroskop IF ditemukan endapan IgG, IgM, dan C3 pada dinding kapiler yang berbentuk granular.
PENGOBATAN Pengobatan spesifik pada GN ditujukan terhadap penyebab sedangkan non-spesifik untuk menghambat progresivitas penyakit. Pemantauan klinik yang reguler, kontrol tekanan darah dan proteinuria dengan penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors, ACE-i) atau antagonis reseptor angiotensin I1 (angiotensin I1 receptor antagonists, AIIRA) terbukti bermanfaat. Pengaturan asupan protein dan kontrol kadar lemak darah dapat membantu menghambat progresivitas GN. Efektivitas penggunaan obat imunosupresif GN masih belum seragam. Diagnosis GN, faktor pasien, efek samping dan faktor prognostik merupakan pertimbangan terapi imunosupresif. Kortikosteroid efektif pada beberapa tipe
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI GN karena dapat menghambat sitokin proinflamasi seperti IL-la atau TNF-a dan aktivitas transkripsi NFkB yang berperan pada patogenesis GN. Siklofosfarnid,klorambusil, dan azatioprin mempunyai efek antiproliferasi dan dapat menekan inflamasi glomerulus. Siklosporin walaupun sudah lebih dari 20 tahun digunakan pada transplantasi ginjal tetapi belum ditetapkan secara penuh untuk pengobatan GN. Imunosupresif lain seperti mofetil mikofenolat, takrolimus, dan sirolimusjuga belum diindikasikan secara penuh untuk pengobatan GN. Pengobatan imunosupresif terbukti memberikan keuntungan pada GN kresentik, GSFS, GNLM, GNMN, dan pada nefropati IgA. Pada GNLM prednison dosis 0,5-1 mg/kg berat badanl hari selama 6-8 minggu kemudian diturunkan secara bertahap dapat digunakan untuk pengobatan pertama. Pada GSFS kortikosteroid dapat diberikan dengan dosis yang sama sampai 6 bulan dan dosis diturunkan setelah 3 bulan pengobatan. Prednisolon diturunkan setengah dosis satu minggu setelah remisi untuk 4-6 minggu kemudian dosis diturunkan bertahap selama 4-6 minggu agar pengobatan steroid mencapai 4 bulan. Pada GN yang resisten terhadap steroid atau relaps berulang, siklofosfarnid atau siklosporin merupakan pilihan terapi. Mofetil mikofenolat dapat digunakan sebagai alternatif terapi pada GN resisten steroid atau relaps berulang. Pada GNMN monoterapi kortikosteroid tidak efektif dan kombinasi dengan siklofosfamid atau klorambusil mencapai remisi 50%. Kortikosteroid masih efektifuntuk pengobatan GNMP anak tetapi tidak pada pasien dewasa. Pada nefropati IgA prednison efektif menghambat progresivitas penyakit tetapi kombinasi ACE-i dan AIIRA merupakan pilihan pertama.
PENGOBATAN GN MASA DEPAN Kerusakan glomerulus pada GN terjadi akibat interaksi faktor penyerang dan unsur pertahanan. Oleh karena itu pengobatan GN dilakukan untuk mengontrol proses dan mediator inflamasi sebagai faktor penyerang dan meningkatkan efek anti-inflamasi sebagai unsur pertahanan. Molekul adhesi dan kemokin berperan penting pada inflamasi glomerulus sehingga penelitian difokuskan untuk mempengaruhi kedua molekul tersebut. Pada studi eksperimental terbukti pemberian anti-MIP2, anti-MCP- I, anti-VLA-4, anti LFA- 1 atau anti-ICAM- 1 dapat mengurangi infiltrasi sel inflamasi dan terjadinya proteinuria. Pemberian soluble IL-1 receptor, IL- Ira (IL-1 receptor antagonist), dan sTNFR (soluble TNF receptor) dapat mempengaruhi efek mediator inflamasi sedangkan anti-TGF-P dapat mengurangi akumulasi matrik ekstraseluler dan progresivitas GN. Berbagai sitokin seperti IL-4, IL- 10, IL- 13 dikenal mempunyai efek anti-inflamasi. Pemberian IL-4 dapat mencegah produksi sitokin proinflamasi dan meningkatkan sintesis anti-inflamasi IL-
Ira dan sTNF-a. Produksi oksigen radikal, IL- l a dan ILI p, IL-8, TNF-a oleh makrofag dapat pula dihambat dengan pemberian IL- 13. Terapi genetik merupakan salah satu upaya pengobatan GN dan penyakit ginjal lain masa depan. Dengan melakukan transfer genetik ke dalam sel somatik diharapkan dapat memperbaiki kelainan genetik. Sel glomerulus merupakan target utama transfer gen untuk memodifikasi proses inflamasi. Transfer gen in vivo ke dalam glomerulus dapat dilakukan dengan perantaraan virus atau liposom. Pada model GN anti-Thy. 1, transfer ODN antisens dapat mencegah efek prosklerotik TGF-P dan terjadinya glomerulosklerosis. Transfer gen pada tubulus lebih sulit karena setiap segmen tubulus mempunyai fungsi dan jenis sel yang berbeda.
REFERENSI Arend WP. Interleukin-1 receptor antagonist. A new member of interleukin-1 family. J Clin Invest. 1991;88: 1445-51. Bargman JM. Management of minimal lesion glomerulonephritis: evidence-based recommendations. Kidney Int. 1999;55(suppl 7O):S3-S6. Bockenstedt LK, Goetzl EJ. Constituents of human neutrophils that mediate enhanced adherence to surfaces. J Clin Invest. 1980;65: 1372-80. Burgess E. Management of focal segmental glomerulosclerosis: evidence-based recommendations. Kidney Int. 1999;55(suppI 7O):S26-S32. Chadban SJ, Atkins RC. Glomerulonephritis. Lancet. 2005;365:1797806. Couser WG, Baker PJ, Adler S. Editorial Review. Complement and the direct mediation of immune glomerulus injury: A new perspective. Kidney Int. 1985;28:879-90. Couser WG, Shankland SJ. Membranous nephropathy. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2"d edition. Edinburg: Mosby; 2003. p. 295. Feehally J, Johnson RJ. Introduction to glomerulus disease: clinical presentations. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2"dedition. Edinburg: Mosby; 2003. p. 255. Ferrario F, Castiglione A, Colasanti G, Di Belgioso GB, Berroli S, D'Amico G. The detection of monocytes in human glomerulonephritis. Kidney Int. 1985;28:513-9. Glassock RJ, QAdler SG, Ward HJ, Cohen AH. Primary glomerulus disease. In: Brenner BM, Rector FC, editors. The kidney. 2nd edition. Philadelphia: WB Saunders Co.; 1991. p. 1 182. Hebert LA, Cosio FG, Birmingham DJ. Complement and complement regulatory protein in renal disease. In: Neilson EG, Couser WG, editors. Immunologic renal diseases. lstedition. Philadelphia: Lippincott-Raven; 1997. p. 377. Heber! MJ, Brady HR. Leukocyte adhesion. In: Neilson EC, Couser WG, editors. Immunological renal diseases. Is' edition. Philadelphia: Lippincott-Raven; 1997. p. 51 9. Holdworth SR. Macrophage-induced glomerulus fibrin deposition in experimental glomerulonephritis in rabbit. J Clin Invest. 1985;76:1367-74. Hricik DE, Chung-Park M, Sedor JR. Glomerulonephritis. N Engl J
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
974
GINJAL HIPERTENS1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Med. 1998;339:888-99. Imai E, Isaka Y. Strategies of gene transfer to the kidney. Perspective in basic science. Kidney Int. 1998;53:264-72. Johnson RJ, Lovett D, Lehrer RI, Couser WG, Klebanoff SJ. Role of oxidants and proteases in glomerulus injury. Kidney Int. 1994;45:352-9. Johnson RJ, Rennke H, Feehally J. Introduction to glomerulus disease. Pathogenesis and classifications. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2" edition. Edinburgh: Mosby; 2003. p. 243. Khlar S, Levey AS, Beck GJ, et al. The efffects of dietary protein restriction and blood pressure control on the progression of chronic renal disease: Modification of diet in renal disease study group. N Engl J Med. 1994;330:877-84. Kluth DC, Rees A. New approaches to modify glomerulus inflammation. J Nephrol. 1999;12:66-75. Muirhead N. Management of idiopathic membranous nephropathy: evidence-based recommendations. Kidney Int. 1999;55(suppl 7O):S47-S55. Nakao N, Yoshimura A, Morita H, et al. Combination treatment of angiotensin-I1 receptor blocker and angiotensin converting enzyme inhibitor in non-diabetic renal (COORPORATE): a randomized controlled trial. Lancet. 2003;361:117-24. Phil Mason. Minimal change disease and primary focal segemental glomerulosclerosis. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2ndedition. Edinburg: Mosby; 2003. p. 271.
Prodjosudjadi W. Monocyte chemoattractant protein-1 in glomerulus disease and renal transplantation, [Thesis]. Leyden University, ISBN 90-9009404-0, 1996. Rose BD. Differential diagnosis of glomerulus disease. 2005 UpToDate. Available from URL: www.uptodate.com.(800)9986374.(781)237-4788 Rydel JJ, Kobert SM, Borok RZ, Schwartz MM. Focal segmental glomerulus sclerosis in adults: presentation, course and response to therapy. Am J Kidney Dis. 1995;25:534-42. Schena FP, Johnson RJ, Alpers CE. Membranoproliferative glomerulonephritis and cryoglubulinemic glomerulonephritis. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2"* edition. Edinburg: Mosby; 2003. p. 309. Schlondorff D, Nelson PJ, Luckow B, Banas B. Chemokine and renal disease. Kidney Int. 1997;s 1:610-21. Sidabutar RP, Nico A Lumenta, Suhardjono, et al. Glomerulonephritis in Indonesia. One day course on Renal Immunology, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Jakarta, August 20, 1987. Wheeler DC. Does lipid-lowering therapy slow progression of chronic kidney disease? Am J Kidney Dis. 2004;44:9 17-20. Wilson CB. Renal response to immunologic glomerulus injury. In: Brenner BM, Rector FC, editors. The kidney. 5Ih edition. Philadelphia: WB Saunders; 1996. p. 1253.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
AMILOIDOSIS GINJAL M. Rachmat Soelaeman
PENDAHULUAN Amiloidosis dan kelompok disproteinemi terdiri dari spektrum beberapa penyakit dan secara patogenesis berhubungan dengan penimbunan material derivat imunoglobulin dalam ginjal. Amiloidosis adalah suatu penyakit penimbunan hasil metabolisme yang unik, dan yang ditimbun merupakan protein fibriler yang tidak larut di dalam jaringan tubuh.
Amiloidosis ginjal adalah penyakit dengan karakteristik penimbunan polimer protein di ekstraselular dan gambaran dapat diketahui dengan histokimia dan gambaran ultrashuktur yang khas. Polimer protein merupakan shuktur tersier dan mempunyai ciri khas dalam perwamaan serta stabil dalam kedaan patologis. Penimbunan interstisial yang progresif akan menyebabkan disfungsi organ dan menimbulkan gejala.
sekarang adalah berdasarkan kimia material. Terdapat 2 tipe sistemik yang paling banyak yaitu AL (amiloidosisprimer atau mieloma terkait amiloidosis) dan AA (sekunder atau amiloidosis reaktif). Pendapat dahulu, adanya deposit N terminal dari fragmen kappa atau lamda rantai pendek imunoglobulindan pendapat sekarang adalah berhubungan dengan fase akut reaktan serum reaktan amiloid A (SAA) sebagai prekursor protein amiloidogenik. Klasifikasi amiloidosis terdapat pada Tabel 1. Struktur amiloid dapat dipelajari dengan melihat atau mempelajari morfologi. Setelah pengecatan congo-red temyata amiloid mempunyai struktur polaroid dan terlihat khas bentuk dikelilingi seperti ape1 hijau. Terlihat secara teratur morfologi deposit amiloid dalam mesangium glomerulus. Gambaran ini sering terdapat pada semua tipe amiloid dan pada preparat fibril murni. Radiologi kristalogrofiakan terlihat fibril terdiri dari rantai polipeptida tegak lurus sepanjang aksis fibril
ETlOLOGl DAN INSIDENS
Virchow adalah peneliti pertama yang memberi nama amiloidosis untuk reaksi warna material yang khas, setelah pewarnaan iodium dan sulfur. Interpretasi seperti ini mengundang kontroversi untuk mempelajari lebih lanjut mengenai komposisi proteinnya.
Berdasarkan data suatu RS di AS, amiloidosis terdapat hanya 0,7% dari 11.586 atopsi pada 1961 sampai 1970. Etiologi amiloidosis berhubungan dengan klinis: multipel miel~ma,'~en~akit inflamasi menahun, tetapi kebanyakan tipe primer. Insidens amiloidosis berhubungan pula dengan plasma cell dyscrasias,tetapi etiologi amiloidosis sekunder bergeser dari infeksi supuratif menahun ke penyakit rematik.
Amiloidosis dibagi berdasarkan manifestasi klinis dan tempat penimbunan material, tetapi pembagian yang
Perbedaan mekanisme patogenesis berdasarkan perubahan protein amiloidogenik dan konfirmasi patologis
SEJARAH
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
I
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 1-erdapat beberapa macam .-"-. .. .."... . ."."... .-....-"., . .-..".""., -.-.....-.
I
Deposit Am Wold. dan Penyakit Dasar Klasifikasi
P
~
Distnbusi: sisternik ~ (S). ~ Penyakit ~ dasar ~ lokal (L)
lmu noglobulin ra ntai ringan
S ,L
Amiloid serum A
S
Amiloidosis AA sekunder; infeksi kronik (malaria, TB) atau inflamasi (AR. spond ilitis ankilosin g); keganasan (limfoma Hodgkin dan gastrointestinal, karsinoma, GU)
MikroglobulinP2.
S, L
Hemodialisis: deposit primer di sendi.
Transtiretin
Apr P
r
Mreloma mu ltipel. diskrasia plasma sel plasma, amiloidosis. AL primer.
L
Penyakit Alzhermer sporad is, pen uaan s~ndrom Down
S
FAP (tipe Portugrs) Ami loidosis kardiovaskular sen il
.
CJD sporadls
Protein P rion L
(iatrogen~k) CJD famil~al,FFI
AApo Al
Apo lrpoprote~n Al
S L
Am1 lordos~ss~stem~k A rte r~os kleros~s
AApo Al I
Apo llpop roteln All
S
Amr loldosrs glnjal hered~ter
S
FAP (t~peFlnnlsh), Lattrce corneal dystrophy
S
Ami loidosis visera l familial (ginjal, hati. limpa) Ami lo~dosisfamilial (tipe Icelandic)
Agel
Alys
Lisozim
S
Afib, or Aa
Fibrinogen rantai a
Al APP
Pol rpept~da amrlo~d pankreas
AANF
Peptida natri uretik atrial Prolaktin
S
L
Am1 loldosls srstem~k heredrter
Fibri lasi atrial
L
Pituitari
L
Iatroge nik Kornea
A (tbn ) Ata u
Protein Tau
L
Ains Aker
Gambar 1. Endapan amrlord pada kaprler menyumbat glomerulus dan menyebabkan mesangrum menebal
langerh ans pankreas
Insulin Keratoep ite lin tbn
A pro
mekanisme: 1 ), protein dengan tendensi melipat secara tidak normal sesuai umur (transtiretin pada sistemik amiloidosis senilis) atau konsentrasi dalam serum tinggi disebabkan ekspresi yang berlebihan (AA amiloidosis) atau berkurangnya penjerni han dari sirkulasi ( P , - t i ~ i kroglobuliri pada hemodialisis). 2). mutasi sehinggapenggantian asam anlino tunggal pada protein prekursor, sehingga keadaan tidak stabil (herediter). 3). preteolitih parsial dari protein prekursor sehingga tidak terdapat protein fibriler (prekursor protein b-amiloid (APP) pada penyakit Alzheimer). 4). kehilangan mekanistne penghilangan peptida amiloidogenik dengall konsentrasi lokal yang tinggi. Peranan Faktor perangsang anliloid (AEP) belum dimengerti secara baik dalam proses pembentukan fibril. Komponen serum a~niloidP (SAP) dan komponen metnbrana basalis, diantaranya glukosaminoglikan sulfat, laminin, fibronektin, dan tipe IV kolagen terdapat pada kondisi yang berhubungan dengan fibril AA amilod. Secara pasti setnua ha1 tersebut masih metnerlukan penelitian lebih lanjut. Mekanisme dan tempat penimbunan: 1. Penurunan fi~ngsiorgan disebabkan selain oleh perubahan tisis, arsitektur, dan fungsi karena adanya fibril amiloid; juga oleh secara pengaruh lokal toksin fibril. 2. Dapat pula disebabkan oleh oxidative .\ti.e~.sdan aktifasi apoptosis, seperti terjadi pada amiloidosis AL.
L
L
Tumor-tumo r Pindborg Otak Gambar 2. Amrlord dengan pengecatan congo red terlrhat am~lord tersebar dalam glomerulus
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Garnbar 3. Membran basal~sdan kapller glomerulus rnenebal aklbat penumpukan amilo~d
12-15 bulan atau kurang bila ada mieloma. bila amioloid mengenai liver (9 %) prognosis lebih baik. Amiloidosis AA (sekunder) terdapat pada penyakit inflamasi menahun atau infeksi; penyakit yang sering menyertai adalah artritis rematoid, arteritis rematoid juvenilis, dan ankilosis spondilitis. Malaria, lepra, dan tuberkulosis merupakan infeksi menahun dan sering menyertai amiloidosis AA. Amiloidosis AA dapat disertai pula penyakit Hodgkin, keganasan dalam saluran makanan dan saluran kemih. Prognosis amiloidosis AA, 50% selama 5 tahun dan 25% selama 15 tahun.
DIAGNOSIS
Gambar 4. Endapatatau depos~tamllord pada korteks glnjal sepert~ Illin abu
3. Sampai 25% kelainan hanya pads satu organ. Deposit mungkin spesifik organ, seperti pada amiloidosis P2 mi~roglobulin terdapat pads sendi, Aa ( A fib) amiloid pada parenkim ginjal.
MANIFESTAS1 KLlNlS Amiloidosis sistemik pada umumnya progresif dan fatal, tetapi perjalanan penyakitnya masih tetap belum diketahui pasti, sebab pengenalan klinis sangat kurang sampai fase terakhir. Amioloidosis dapat mengenai semua umur dan jenis kelarnin. Presentasi atau manifestasi klinis tergantung dari distribusi dan jumlah timbunan amiloid, dan ge.jalanya tidak spesifik. Gejala dan tanda jang sudah diketahui pada arniloidosis sisteniik adalah makroplosisa. sindrom neikotik, gaga1 ginjal, sindrorn carpal tunnel, neuropati sensorik dan tnotorik. gaga1 jant~mgatau aritmia, hepatosplenomegali, diare, nialabsorpsi, ulkus, limpadenopati, gangguan pembekuan darah, fragilitas kapiler. dan gangguan agregasi trombosit. Gejala amiloidosis AL yang paling sering terdapat pada diskrasin set plasma atau sel B. atau gamopati monoklonal; amiloidosis sering bersamaan dengan mieloma 15% tidak disertai penyakit lain. Pada amiloidosis AL yang mengenai gastrointestinal (7%) sering disertai perdarahan hebat sehingga mengancam jiwanya. Prognosis amiolodosis AL,
Diagnosis klinis amiloidosis merupakan salah satu tantangan dalam kedokteran. Langkah pertama adalah kecurigaan secara klinis, selanjutnya dilakukan pendekatan oleh beberapa disiplin ilmu dan termasuk dalarn pendekatan ini adalah riwayat keluarga, pemeriksaan klinis. dan mempelajari jaringan. Teknik biokimia dan molekular merupakan pilihan pemeriksaan diagnostik dan bila imunohistokimia gagal menemukan deposit protein ha1 yang mendukung pada organ yang terkena. Teknik ini penting pula untuk pemeriksaan keluarga yang mempunyai kemungkinan amiloidosis familier. Lebih dari 100 mutan amiloidogenik telah dapat teridentifikasi sebgai amiloidosis sistemik herediter, dan bentuk herediter ini sering salah diagnosis sebagai amiloidosis AL karena penampilan klinis yang hampir sama. Efektivitas pengobatan dan prognosis akan dipengaruhi oleh diagnosis lebih awal, penemuan tipe fibril protein endapan (deposit), dan konseiing genetik. Analisis DNA dengan mempergunakan PCR perlu pula dilakukan untuk mengetahui terjadi mutasi. Teknik yang lebih akurat adalah pemeriksaan dengan ~kinfigrafiuntuk mendeteksi deposit pads organ dan pemeriksaan ini noninv~~.sive.
TERAPI Sampai saat ini tidak ada pengobatan yang diprediksi efektif untuk pencegahan fibrilogenesis atau memobilisasi deposit yang sudah stabil, tetapi beberapa pasien pernah dilaporkan mengalami regresi deposit. Tindakan primer adalah memperbaiki kondisi yang mendasarinya untuk mencegah produksi yang berlebihan dari protein prekursor atau mengurangi deposit atau pembentukan fibril. Penggunaan melt'alan, deksametason, kolkisin, atau kombinasinya dapat digunakan unti~kamiloidosis AL dan ternyata dapat memperbaiki fungsi organ yang terkena. Dosis tinggi kemoterapi diikuti oleh transplantasi sumsum
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI tulang atau stem cell mungkin akan meningkatkan survival rates. Telah dilaporkan pula penurunan progresif fungsi hati, kemudian dilakukan transplantasi hati, kemudian diikuti transplantasi stem cell. Pada amiloidosis AA diberikan yang agresif untuk penyakit dasarnya, umpanya pada rematoid artritis diebrikan imunosupresif. Kolkisin dapat mencegah terjadi arniloid, demam mediteranian, dan memperbaiki fungsi organ. Transplantasi ginjal akan memperbaiki P2 mikroglobulin, prekursor amiloidosis AH dan high-j7wc hemodialysis mungkin mencegah HD-related amyloidosis.
REFERENSI Appel GB, Radhakrishnan J, and D'Agati WD. Secondary glomerulus disease. In: BM Brenner, editor. The kidney. 7th edition. Library of congress cataloging Publication; 2004. p. 1418-23. Basi S, Schulman G, and Fogo AB. Multiple complications in multiple pyeloma. 2005;45(3):619-23. Brunt EM, Tiniakos DG. Metabolic storage disease: amyloidosis. Clin Liver Dis. 2004; 8(4):915-30. Murphy CL. Renal apolipoprotein A-I associated with a novel mutant leu 64 Pro. Am J Kidney Dis. 2004;44(6):1103-9. Schwartz MM, Korbet SM. Amyloidosis and the dysproteinemias. Immunologic renal disease. New York: Lippincot-Raven; 1997. p. 1147-60. Yazaki M. A patient with severe renal associated with an immunglobulin g-heavy chain fragment. Am J Kidney Dis. 2004;43(5):619-23.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
NJAL DIABETIK , PENDAHULUAN World Health Organization (WHO) telah mengumumkan bahwa prevalensi diabetes melitus (DM) akan meningkat di seluruh dunia pada milenium ketiga ini, termasuk negara di Asia Tenggara, di antaranya di Indonesia. Sebagian besar dari penyakit ini adalah DM tipe 2. Sekitar 40% dari pasien DM terdapat keterlibatan ginjal, sehingga dapat dipahami bahwa masalah penyakit ginjal diabetik (PGD) juga akan mengalami peningkatan di era awal abad 2 1 ini. Pada dekade ini juga, di banyak negara maju PGD tercatat sebagai komponen terbanyak dari pasien baru yang menjalani terapi pengganti ginjal. Keadaan yang sama sudah mulai juga kelihatan di Indonesia. Pada pasien DM, berbagai gangguan pada ginjal dapat terjadi, seperti terjadinya batu saluran kemih, infeksi saluran kemih, pielonefiitis akut maupun kronik, dan juga berbagai bentuk glomerulonefritis, yang selalu disebut sebagai penyakit ginjal non diabetik pada pasien diabetes. Akan tetapi yang terbanyak dan terkait secara patogenesis dengan diabetesnya adalah PGD, yang secara klasik patologinya diuraikan oleh Kimmelstiehl-Wilson pada tahun 1936,berupa glomerulosklerosisyang noduler dan difus.
PATOGENESIS
.
.
Kelebihan gula darah memasuki sel glomerulus melalui fasilitasi glucose transporter (GLUT), terutama GLUT 1, yang mengakibatkan aktivasi beberapa mekanisme seperti poloy pathway, hexoamine pathway, Protein Kinase C (PKC) pathway, dan penumpukan zat yang disebut sebagai advanced glycation end-products (AGES). Beberapa zat biologis aktif ternyata dapat dijumpai pada berbagai percobaan, baik in vitro maupun in vivo, yang
dapat berperan penting dalam p e r t ~ m b u h a nsel, ~ diferensiasi sel, dan sintesis bahan matriks ekstraselular. Diantara zat ini addah mitogen activatedpratein kinases (MAPKs), PKC-b isoform dan extracellular regulated protein kinase (ERIC). Ditemukannya zat yang mampu menghambat aktivitas zat zat tersebut telah terhukti mengurangi akibat yang timbul, seperti, mencegah peningkatan derajat albuminuria dan derajat kerusakan struktural berupa penumpukan matriks mesangial. Kemungkinan k s a r perubahan ini diakib8tkan penuwan ekspresi transforming growth factor-@ (-TGF-,fi), dan penmanextrucellda~matrix (ECM). PamTCSF-P dalam perkemba~gannefropati diabetik ini telah ditwnjWan pula oleh berbagai peneliti, bahwa kadar zat ini meningkatpada ginjal pasien diabetes. Berbagai proses di atas .dipercaya bukan saja berperan dalam terbentuknya nefropati pada pasien DM akan tetapi juga dalam progresifitasnya menuju tahap lanjutan. Penelitian dengan menggunakan micro-pupcture menunjukkan bahwa tekanan intra glomerulus rnemgkat pada pasien DM bahkan sebelum tekanan darah sistemik meningkat. Perubahan hemodinarnik ginjal ini diduga terkait dengan aktivitas berbagai hormon ~vastraktif,seperti angiotensin-I1 (A-11) dan endotelin. Apakah ,peningkatari jalur hormonal ini terkait dengan hiperglikemia Mum jehs; akan tetapi pada binatang percobaan pemberian penghambat ACE ataupun angiotensin receptor blocker telah ditunjukkan rnengurangi tekanan intraglomerulus, Oleh karena penghambatACE bukan hanya mempengaruhi jalur terkait angiotensin-I1 tetapi juga rnempengaruhi degradasi bradikinin, suatu vasodilator, maka sebenarnya belum dapat disimpulkan pengaruh baik tersebut adalah diberikan oleh antagonis te~hadapA-11. Begitugwr berbagai laporan telah juga menunjukkan bahwa pengaruh utama dari penghambat ACE terhadap terjadinya albuminuria jangka panjang serta perubahan struktural
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
glomerulus adalah melalui kemampuannya menghambat A-11. Pasien dengan nefropati diabetikjuga mempunyai risiko tertinggi untuk mendapat penyulit penyakit kardiovaskular, sebagaimana juga retinopati dan neuropati. Penyakit kardiovaskular berhubungan erat dengan disfungsi endotel (DE), yang pada diabetes juga meningkat. DE merupakan penyulit banyak faktor risiko dan dianggap. berperan penting, baik dalam memicu terjadinya maupun dalam progresivitas aterosklerosis. Pada berbagai faktor risiko tersebut, seperti LDL-kolesterol yang oksidatif, merokok, dan hipertensi, A-I1 dan diabetes memicu aterosklerosismelalui &ivasi endotel. ~eselun;han'f&tor risiko ini membuat ketersediaan nitric oxide (NO) berkurang baik karena produksi yang menurun ataupun degradasi yang meningkat, kesemuanya menambah lagi aktivasi endotel. Pada DM tipe 1 keadaan ini terlihat mendahului terjadinya mikroangiopati diabetik dan mungkin juga sebagai penyebabnya. Ada pandangan bahwa hiperglikemia memudahkan terjadinya DE, selanjutnya faktor lain berperan untuk menentukan pasien mana yang akan mengalami nefropati diabetik dan angiopati yang agresif dan pasien mana pula yang tidak. Faktor itu adalah genetik dan lingkungan. Pada pasien DM tipe 2, DE sudah muncul sejak awal ditemukannya diabetes dan merupakan petanda buruk. Tidak jelas apakah DE pada diabetes ini disebabkan hiperglikemi atau faktor lain. Faktor penentu lain yang paling penting adalah peningkatan inflamasi. Ada yang berpendapat bahwa DE pada DM adalah primer, dengan kata lain DE adalah penyebab dan bukan disebabkan DM. Genetik adalah faktor penentu lain yang erat kaitannya dengan terjadinya nefropati diabetik. Hanya sekitar 40% pasien DM tipe 1 maupun DM tipe 2 yang jatuh kedalam nefropati diabetik. Lainnya terbebas dari penyulit diabetes ini. Telah banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa terjadinya nefropati diabetik terkumpul pada kelompok keluarga tertentu. Salah satu yang selalu diselidiki orang adalah polimorfisme pada renin angiotensin system (RAS), ada 2 jenis yang sudah dikenali yaitu genotip M235T dari angiotensinogen dan insersi/delesi (VD)dari genotip ACE. Selalu dikemukakan bahwa genotip DD mempunyai kaitan dengan terjadinya makroangiopati pada pasien DM tipe 2 dari ras Cina, akan tetapi tidak pada ras lain. Masih menjadi pertanyaan besar apakah nefropati diabetik diturunkan bersamaan dengan DM? Apakah timbulnya nefropati diabetik semata mata karena penyulit seperti hipertensi, ataupun resistensi insulin? Pertanyaan ini belum punya jawaban yang jelas.
DIAGNOSIS DAN PERJALANAN KLlNlS Diagnosis PGD dimulai dari dikenalinya albuminuriapada pasien DM, baik tipe 1 maupun t i p 2. Bila jumlah protein/
albumin di dalam urin masih sangat rendah sehingga sulit dideteksi dengan metode pameriksaan urin yang biasa, akan tetapi sudah >30 mg/24 jam ataupun >20 uglmenit, disebutjuga sebagai mikroalbuminuria. Ini sudah dianggap sebagai nefropati insipien. Derajat albuminuria/proteinuria ini dapat juga ditentukan dengan rationya terhadap kreatinin dalam urin yang diambil sewaktu, disebut sebagai albuminlkreatinin ratio (ACR). Tingginya ekskresi albuminlprotein dalam urin selanjutnya akan menjadi petunjuk tingkatan kerusakan ginjal seperti terlihat dalam Tabel 1.
Kategori
Kumpulan urin 24 jam (mg124hr)
Kumpulan urin sewaktu (~glrnin)
Urin sewaktu (pglrng creat)
<30 30-299 ->300
-=20 20-199 ->200
<30 30-299 >300
Normal Mikroalbuminuria Albuminuria klinis
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan 2-3 spesimen urin dalam 36 bulan. Hati-hati terhadap proteinuria yang timbul pada latihan fisik dalam 24 jam terakhir, infeksi, demam, payah jantung, hiperglikemia yang berat, tekanan darah yang sangat tinggi, piuria dan hematuria. (Dikutip dari ADA, 2004)
Secara tradisional Penyakit Ginjal Diabetik selalu dibagi dalam tahapan sebagai berikut: Tahap I. Pada tahap ini LFG meningkat sampai 40% di atas normal yang disertai pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih reversibel dan berlangsung 0-5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe I ditegakkan. Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat biasanya kelainan h g s i maupun struktur ginjal akan normal kembali. Tahap 11. Terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis diabetes tegak, saat perubahan struktur ginjal berlanjut dan LFG masih tetap meningkat. Alburninuriahanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan stres, atau kendali metabolik yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung lama. Hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresifitas biasanya terkait dengan memburuknya kendali metabolik. Tahap ini disebut sebagai tahap sepi (silent stage). , ... : Tahap 111. Ini adalah tahap awal nefropati (incipientdiabetic nephropathy), saat mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi setelah 10-15 tahun diagnosis diabetes tegak. Secara histopatologis juga telah jelas penebalan membrana basalis glomerulus. LFG masih tetap tinggi dan tekanan darah sudah ada yang mulai meningkat. Keadaan ini dapat bertahan bertahun tahun dan progresivitas masih munglun dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan darab yang ketat.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
A
I
7
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Tahap IV.Ini merupakan tahapan saat nefropati diabetik bermanifestasi secara klinis dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa, tekanan darah sering meningkat serta LFG yang sudah menurun di bawah normal. Ini terjadi setelah 15-20 tahun diabetes tegak. Penyulit diabetes lain sudah pula dapat dijumpai seperti retinopati, neuropati, gangguan profil lemak, dan gangguan vaskular umum. Progresivitas ke arah gagal ginjal hanya dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah, dan tekanan darah. Tahap V. Ini adalah tahap gagal ginjal, saat LFG sudah sedemikian rendah sehingga pasien menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis maupun cangkok ginjal. Pada DM tipe 2 saat diagnosis ditegakkan, sudah banyak pasien yang mangalami mikro- dan makroalbuminuria, karena sebenarnya DM telah berlangsung bertahun-tahun sebelumnya. Lagipula keberadaan albuminuria kurang spesifik untuk adanya nefropati diabetik. Tanpa penanganan khusus 20-40% dari pasien ini akan melanjut pada nefropati nyata. Setelah terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus maka laju penurunan akan bervariasi secara individual, akan tetapi 20 tahun setelah keadaan ini, hanya sekitar 20% dari pada mereka yang berlanjut menjadi (penyakit ginjal tahap akhir) PGTA. Pada tahap ini tidak ada lagi perbedaan antara DM tipe 1 dan tipe 2. Begitupun karena usia pasien dengan DM tipe 2 lebih tua, maka banyak pula pasien yang diiringi penyakit jantung koroner, yang sering membuat pasien tak sampai mencapai PGTA. Tetapi karena penanggulangan PJK dewasa ini telah lebih baik maka banyak pula pasien DM yang hidupnya cukup lama untuk sampai mengalami gagal ginjal.
TERAPI DAN PENCEGAHAN Tanda klinik bagi setiap tahap terutama adalah hiperglikemia, hipertensi, dan selalu dijumpai hiperlipidemia. Keseluruhan tanda klinik ini sekaligus merupakan faktor risiko untuk progresivitas ke tahap berikutnya sampai ke tahap akhir. Faktor risiko lainnya adalah konsumsi rokok. Dengan demikian maka terapi di tiap tahapan pada umumnya sama dan adalah juga merupakan tindakan pencegahan untuk memperlambat progresivitas dimaksud. Terapi dasar adalah kendali kadar gula darah, kendali tekanan darah dan kendali lemak darah. Di samping itu perlu pula dilakukan upaya mengubah gaya hidup seperti pengaturan diet, menurunkan berat badan bila berlebih, latihan fisik, menghentikan kebiasaan merokok, dll, juga tindakan preventif terhadap penyakit kardiovaskular.
Pengendalian Kadar Gula Darah Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun), dengan melibatkan ribuan pasien telah menunjukkan bahwa pengendalian kadar gula darah secara intensif akan mencegah progresivitas dm mencegah timbulnya penyulit kardiovaskular, baik pada pasien DM Tipe 1 maupun DM Tipe 2. Oleh karena itu perlu sekali diupayakan agar terapi ini dilaksanakan sesegera mungkin. Yang dimaksud dengan pengendalian secara intensif adalah pencapaian kadar HbA 1c <7%, kadar gula darah preprandial 90- 130 mgldl, post-prandial <180 mgldl. Pengendalian Tekanan Darah Pengendalian tekanan darah juga telah ditunjukkan memberi efek perlindungan yang besar, baik terhadap ginjal, renoproteksi, maupun terhadap organ kardiovaskular. Makin rendah tekanan darah yang dicapai makin baik pula renoproteksi. Banyak panduan yang menetapkan target yang seharusnya dicapai dalam pengendalian tekanan darah pada pasien diabetes. Pada umumnya target adalah tekanan darah
lgr/24 jam maka target perlu lebih rendah, yaitu 425175 rnrnHg. Hams diingat bahwa mencapai target ini tidak mudah. Sering harus memakai kombinasi berbagai jenis obat, dengan berbagai efek samping, dan harga obat yang kadang sulit dijangkau pasien. Hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah tercapainya tekanan darah yang ditargetkan, apapun jenis obat yang dipakai. Tetapi karena Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-I) dan angiotensin receptor blocker (ARB) dikenal mempunyai efek antiproteinurik maupun renoproteksi yang baik, maka obat-obatan ini sebagai awal pengobatan hipertensi pada pasien DM. Pengaturan Diet Pengaturan diet terutama dalam kerangka manajemen DM tidak diterangkan dalamjudul ini. Dalam upaya mengurangi progresivitas nefropati maka pemberian diet rendah protein sangat penting. Dalam suatu penelitian klinik selama 4 tahun pada pasien DM tipe 1 yang diberi diet mengandung protein 0,9 gram/kgBB/hari selama 4 tahun menurunkan risiko terjadinya penyakit ginjal tahap akhir (PGTA=ESRD) sebanyak 76%. Umumnya dewasa ini disepakati pemberian diet mengandung protein sebanyak 0,8 gram/kgBB/hari, atau sekitar 10% kebutuhan kalori, pada pasien dengan Neji-opatiovert, tetapi bila LFG telah mulai menurun maka pembatasan protein dalam diet menjadi 0,6 gram/kgBB/hari mungkin bermanfaat untuk memperlambat penurunan LFG selanjutnya. Begitupun hams diantisipasi terjadinya kekurangan nutrisi. Jenis protein juga berperan dalam terjadinya dislipidemia. Mengganti daging merah dengan daging ayam pada pasien DM tipe 2 menurunkan ekskresi albumin dalam urin sebanyak 46% dengan disertai
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
penurunan kolesterol total, LDL kdesterol, dan apolipoprotein B. Ini mungkin karena komposisi lemak jenuldtak jenuh pada kedua jenis bahan makanan berbeda. Pasien DM sendiri cenderung mangalami keadaan dislipidemia. Keadaan ini perlu diatasi dengan diet dan obat. Bila diperlukan dislipidemia diatasi dengan statin dengan target LDL kolesterol <100 mgldl pada psien DM dan c70 mg/dl bila sudah ada kelainan kardiovaskular.
Penhnganan Multifaktorial Suatu penelitian klinik dari Steno Diabetes Centre di Copenhagen mendapatkan bahwa penanganan intensif secara multifaktorial >pads ,pasiea DM tipe 2 detrgan miki-oalbuminuiiamenunjukkan pengurangan faktor risiko yang jauh melebihi pananganan sesuai panduan m u m penanggulangan diabetes 'nasional mereka. Juga ditunjukkan bahwa terjadi penurunan yang sangat bermakna pada kejadian kardiovaskular, termasuk strok yang fatal dan non-fatal. Demikian pula kejadian spesifik seperti nefropati, retinopati, dan neuropati autonomik lebih rendah. Yang dimaksud dengan intensif adalah krapi yang dititrasi sampai mencapai target, baik t e h a n darah, kadar gula darah, lemak dzrrah, dan miroalbuminuria serta juga disertai peneegahan penyakit kardiovaskular dengan pernberian aspirin. Dalam kenyataamya pasien dengan terapi intensif lebih banyak rnendapat obat golongan ACEI dan ARB, Dernikiatljuga dengan obat hipoglikemik oral dan insulin. Untuk pengendalian lemak darah lebih banyak mendapat statin. Bagi pasien yang sudah berada pada tahap 5, gagal ginjal, terapi yang khusus untuk gagal ginjal perlu dijalankan, seperti pemberian diet rendah protein, pembtrian, obat pengikat fosfat dalam makanan, pencegahan dan pengobatan anemia den eritropoietin, dan lain-lain.
REf ERENSl
American Diabetes Association. Hypertension management in adults with diabetes. Diabetes Care. 2004;27(S):S65-57. American Diabetes Association. Nephropathy in diabetes. Diabetes Care. 2004;27(S):S79-S83. Bakris GL, Williams M, Dworkin L, et al. Preserving renal function in adults with hypertension and diabetes: NKF hypertension and diabetes. Executive committee Working Group. Am T Kidney Dis. 2000;36:646-61. Cooper ME. Seminar: Pathogenesis, prevention and treatment of. diabetic nephropathy. Lancet. 1998;352:213-9. Gaede P, Vedel P, Larsen N, Jensen GVH, Parving HH and Pedersen 0.Multifactorial intervention and cardiovascular disease in patients with type 2 diabetes. New Engl J Med. 2003;348:38393. Gross JL, de Azevedo MJ, Silvero SP, Canani LH, Caramori ML, Zelmanovitz T. Diabetic nephropathy: diagnosis, prevention and treatment. Diabetes Care. 2005;28: 176-88. Kikkawa R Koya D, Haneda M. Progression of diabetic nephropathy. Am J Kidney Dis. 2003;41 (S I):S19-S21. King H, Rewers M. Global estimates for prevalence of diabetes mellitus and impaired glucose tolerance in adults. WHO ad hoc diabetes reporting group. Diabetes care. 1993; 16:157-77. Merta M, Reiterova J, Rysava R, Kmentova D and Tesaf V. Genetics of diabetic nephropathy. Nephrol Dial Transplant. 2003;18(Suppl 5):24-5. Roesli R, Susalit E, Djafar J. Nefropati diabetik. Buku ajar ilmu penyakit dalam. ~ d i s ke-3. i Dalam': Suvono S. dkk. editor. Jakarta: ~ a i a Penerbit i FKUI; 2b01. p. 356-65. Satko SG, Langefeld CD, Daelhagh P, Bowdert DW, Rich SS and Freedman B1. Mephrapathy id siblings of African Amerkans with overt type 2 diabetic nephsopilthy. Am J Kidney Dis. 2002;40:489-94. , , Stehouwer CDA. Endothelial dysfunction in diabetic nephropathy: state of the art and potential significance for non diabetic renal disease. Nephrol Dial Transplant. 2004;16:?78-81. Sharma K, Ziyadeb FS, Alzahabi B, et al. Increased renal production of transforming growth factor T P I in patients with type I1 diabetes. Diabetes. 1997;46:854-9. USRDS. Incidence and prevalence of ESRD. Am J Kidney Dis. 2004;45(S):S57-S74. Ziyadeh FN, Isono M, Chen S. Iavolvement of the transforming growth factor- P system in the pathogenesis of diabetic nephropathy. Clin Exp Nephrol. 2002;6:125-9.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
-
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
154 NEFRITIS LUPUS Lucky Aziza Bawazier, Dl~armeizar,H.M.S. Markum I
PENDAHULUAN
rr
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit jaringan ikat, etiologinya tidakjelas diketahui dan termasuk soluble immune complexes disease, di mana gambaran klinisnya cukup luas dapat melibatkan banyak organ tubuh, serta perjalanan penyakitnya ditandai dengan remisi dan eksaserbasi. Walaupun etiologinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi diduga mempunyai hubungan dengan beberapa faktor perdisposisi seperti kelainan genetika, infeksi virus, maupun kelainan hormonal. LES merupakan soluble immune complexes disease, ditandai lesi autoimun disertai pembentukan antibodi ganda terhadap berbagai jaringan organ seperti sendi, paru, otot, dan ginjal. Keterlibatan ginjal sebagai salah satu manifestasi LES telah diketahui sejak lebih dari 54 abad yang lalu. Sedangkan gambaran lengkap keteriibatan komplikasi ginjal tersebut baru sejak 2 dekade yang lalu. Kriteria klasifikasi pasien dengan LES berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium, pertama kali tahun 1971 oleh American Rheumatisms Association (ARA) yang kemudian direvisi tahun 1982. Menurut kriteria ini bila terdapat 4 dari 11 manifestasi tersebut, sudah dapat di katagorikan sebagai LES. Sebelas kriteria ARA yang telah direvisi tersebut adalah: 1). Ma2ar rdsh, 2). Discoid rash, 3). Photosensitivify, 4). Oral ulcers (ulserasi mulut), 5). Arthritis non erosif, 6). Serositis (pleuritislperikatditis), 7). Gangguan ginjai (prdteinuria ,500 mghari atau silinder sellcellztlar cast; 8). ~ a k g u a nneurologis (kejang atau psikosis) kelainan gangguan saraf pusat, 9). Gangguan hematologi (seperti anemi hemolitik, lekopeni, limfositopeni atau trombositopeni), 10). Kelainan imt~nologis(hasil tes sel lupus eriternatosus, terdapat antibodi anti DNA, antibodi anti sel lupus atau hasil test serologi false positif untuk sifilis,antibodi anti fosfolipid), 11). Hasil tes positif antibodi
anti nulclear (ANA (+)). Walaupun kriteria di atas sensitivitasnya 96% dan spesifisitasnya96%, ferapi kriteria tersebut didesainmtuk klasifikasi, tidak untuk tujuan diagnostik. Jelasnya, banyak pasien masih sulitJgaga1untuk diagnostik klinis pasti untuk 1 , , memenuhi kriteria tersebut di atas. - , Prevalensi keterlibat~giqialdM LES zang diuam&n nefritis lupus, qangat-,bervariasi dan:berbeda;heda, bervariasi antara 31-6$% (rata-rata,40%) pada awgl,LES, Sedangkan komplikasi lebih lanjut pada LES dewasa terhadap ginjal rata-rata 60% kadang-kadang pada 3-6% pasien, manifes kelainan ginjal merup&qela%%i fie&$ma yang 85iemukari sebelum gejaIa klinis LES lain nluncul. Walaupun perempuan yang terkena Illpus lebih bhnyak dengan perbandingan 5: 1 dibandingkan pria, tetapi pada pria dengan LE'$ insid& terjadinyd hefritis lupus lebih tinggi walaupun tidak berbeda bkrmakna dengan perempuan. Orang Asia dan kulit hitam lebih sefing mengalami nefritis lupus dibandingkan dengan ras iainnya. Peningkatan risiko nefiitis lupus dihdbungkan derlgan HLA-DR2, HLA-DR3, HLA-DR~dirh HLA DQ-beta, difisiensi komplemen seperti Clq, C2, dan C4, serta ptoduksi tumor n$crdsis'jhctor (TNF)' yang rendah. r - b ,
"
1
)
I
*
,
z
ETIOLOGI Etiologi LES seperti telah diutarakan di atas, beium diketahui dengari pasti. Beberapa faktor infeksi seperti infeksi virus konkorna, genetik hormonal diduga'sebagai faktor predisposisi. lnfeksi Virus Percobaan binatang dengan strain tikus New Zealand infeksi virus concorna (intra uterin) dapat menyebabkan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
984
CINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
perubahan-perubahan limfosit sel-p yang menyerupai limfosit sel-p yang terdapat pada LES aktif manusia.
Faktor HerediterlFaktor Genetik Sebagaimana kelainanlgangguan autoimun, bukti telah menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada perkembangan LES maupun nefiitis lupus. Berbagai jenis gen yang banyak belum teridentifika~i memediasi faktor predisposisi genetik ini. Faktor-faktsr lingkungan mungkin memicu perkembangan penyakit ini. Studi epidemiologi klinis telah menemukm hubungan faktor herediter dengan LES antara lain: 1. Kembar (identical twin), terutama pada kembar monozigot daripada kembar dizigot: tetapi peran lingkungan juga besar. 2. HLA-P haplotipe 3. Antigen DRW2 dan DRW5 4. Defisiensi C2 inborn. 5. HLA DR2 dan HLA-DR3 berhubungan dengan LES 6. HLA-DR4 dihubungkandengan prevalensi yang rendah dari LES dan tampaknya sebagai pelindung dari serangan LES. Faktor Hormonal Studi epidemiologiklinis menemukan bahwa kejadian LES lebih sering pada perempuan muda, diduga mempunyai hubungan dengan hormon androgen dan estrogen. Gen Komplemen 1. DefisiensiC 1Q, C 1Rdan C 1S dihubungkan dengan LES, NL dan produksi dari anti-dsDNA (anti-doublestranded DNA) 2. Defisiensi C2 dan C4 dihubungkan &ngan LES atau sindrom yang mirip dengan lupus (lupus like syndrome). 3. Hilangnya C4A dan kemungkinan C4B dihubungkan dengan LES 4. FCgR gen: mediasi ini mengikatZgG danI@ yang terdapat kompleks imun pada sel-sel seperti makrofag dan fagosit mononuklear yang lain. 5. ~ u ~ aF C ~ G danIRIIIa ~ yang mengikat IgG2 dan IgGl secara berturutan, dimana R13 1 dihubungkan dengan nefritis lupus dalam populasi kulit hitam. 6. Gen sitokin: gen IL 10 dan kemunglunan IL 1 RN,$an TNF-a dihubungkan dengan LES. 7, ,, G e n a p ~ p t ~ s@e@osis,ge$:,Dd~k is d~ibeberap,a gen apoptosis ,dihubungkan dengan lupus like syndrome pada tikus danjarang pada LES manusia termasuk CD95 danCD178.
,;!
'
3 :
.
$ 2
aksi antara
faktor predisposisi genetik dengan faktor lingkungan, faktor hormon seks, dan faktor sistem neuroendokrin. Interaksi faktor-faktor ini akan mempengaruhi dan mengakibatkan terjadinya respons imun yang menimbulkan peningkatan aktivitas sel-T dan sel-B, sehingga terjadi peningkatan auto-antibodi (DNA-anti-DNA). Sebagian dari auto-antibodi ini akan membentuk kompleks imun bersama dengan nukleosom (DNA-histon), kromatin, C,q, laminin, Ro (SS-A), ubikuitin, clan ribosom; yang kemudian akan membuat deposit (endapan) sehingga terjadi kerusakanjaringan. Pada sebagian kecil NL tidak ditemukan deposit k6mpiek imun dengan sediaan imunofluoresen atau mikroskop elektron. Kelompok ini disebut sebagai Pauci immune necrotizing glomerulonephritis. .
Gambar 1. Patofisiologi nefritis lupus
Gambar 2.
Gambaran klinik kerusakan glomerulus dihubungkan dengan letak lokasi terbentuknya deposit komplek imun. Deposit pada mesangium dan subendotel terletak proksimal terhadap membran basalis glomerulus sehingga mempunyai akses ke pembuluh darah. Deposit pada daerah ini akan mengaktifkan komplemen, yang kemudian membentuk kemoatraktan C,a dan C,a. Selanjutnya terjadi influks sel netrofil dan sel mononuklear. Deposit pada me,sangium dan subendotel secara histopatologis memberikan gambaran mesangial, proliferatif fokal, dan proliferatif difus; secara klinis memberikan gambaran
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
NEFRlTIS LUPUS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
sedimen urin yang aktif (ditemukan eritrosit, lekosit, silinder sel dan granula), proteinuria, dan sering disertai p e n m a n fungsi ginjal. Sedangkan deposit pada subepitel tidak mempunyai hubungan dengan pembuluh darah karena dipisahkan oleh membran basalis glomerulus sehingga tidak terjadi influks netrofil dan sel mononuklear. Secara histopatologis memberikan gambaran nefropati membranosa dan secara klinis hanya memberikan gejala proteinuria. Pengaruh MAC dari komplemen (C5b-9) pada glomerulus, yaitu: 1).Aktivitas komplemen oleh kompleks imun dan terbentuk C5b6. C5b6 ini terikat dengan komponen C7, C8 dan C9 untuk merangsang podosit, 2). Memproduksi kolagen, 3). Alternatif lain merangsang sel-sel mesangial dengan dilepaskan oksigen radikal bebas, PGE dan IL-1. Radikal oksigen bebas mempunyai fimgsi biologis terutama merangsang trombosit dan nekrosis jaringan, 4). IL-1 merangsang podosit untuk sintesis kolagen, 5). Merangsang pembentukan PGE, TNF dan proliferasi sel mesangial.
Pemeriksaan histopatologi menggambarkan secara pasti kelainan ginjal. Klasifikasi WHO pada tahun 2003 membagi NL dalam 6 kelas. Skema ini berdasarkan hasil biopsi spesimen yang didapat dari mikroskop cahaya, imunofluoresen,dan mikroskop elektron. International Society Nephrology/Renal Pathology Society (ISNIRPS)membuat klasifikasi baru NL. Klasifikasi baru ini juga terutama berdasarkan pada perubahan glomerulus serta kelas 111 dan IV lebih rinci perubahan morfologisnya. Dengan pemeriksaan imunofluoresendapat ditemukan deposit imun pada semua kompartemen ginjal (glomerulus, tubulus, interstisium dan pembuluh darah). Biasanya ditemukan'lebih dari8atu kelas imunoglobulin. Terbanyak ditemukan deposit IgG dengan ko-deposit IgM dan IgA pada sebagian besar sediaan. Juga bisa di identifikasi komplemen C3 dan Clq. Pewarnaan untuk fibrin-fibrinogen dikerjakan bila didapatkan lesi crescent dan lesi nekrotik segmental. Sebagai tambaha.ntnlidasifikasi patologis, aktivitas dan kronisitasnya secara patologis dan secara prediksi untuk penentuan prognosis ginjalnya (progresi dari penyakit ginjd). Id& aktivitas merefleksikankeadaan di inflamasi yang aktif yang diperoleh dari biospi, yang reversible dengan terapi obat. Indeks kronisitas merefleksikan banyaknya fibrosis dan jaringan parutlnekrosisyang tidak berespons terhadap tertapii: GckC. @jat b g m :indekd aktivitas yang tinggi lebih merupakan respon terapi yang agresif dimana lesi ginjal yang kronisitasnya tinggi tidak respon. Tabel 1, 2, dan 3 sebagai estimasi untuk prognosis chn pedoman umwn terapi, Pengobatan yang agresif akan
.
Kelas f#stsgorl WHO)
Gambaran Mlkroskop Cahaya
Gambaran Mikroskop Elektron (DepR Elektron)
Gambaran Mlroskopis Imunofluonucence (Deposit lglC
Normal (I)
Nmal
Glomerulonefri tis mesangial proliperatif (11) Glomerulonefri tis fokal segmental proliferatif (111)
Normal atau pelebaran mesangial difus dan hiperselular Hiperselular mesangial difus dengan fokal dan segmental, segmental nekmsis dan trombin hial~n Hiperselular difus, interposisi mesangial, deposit subendotel, nekrosis segmental. trombus hialin, badan hematoksilin.
Mes : ++ SE :+ Epi :O
Mes : ++ CW :+ SE Epi : 0
Mes : +++ SE : + Epi : 0
cw
;nesangial nngan deposit ep~membran a, tonjolantonjolan Fokal
SE Epi
Glomerulonefri tis difus proliferatif (IV)
tis membran lupus (V)
Glomemlonefri tis sklerosis lanjut
Nefritis interstisial
superimpose
d dan segmental atau skleros~s pada kategori I V N Tubulointerstisi al akut dan kronis
Mes : +++ SE : +++ Epi : +++
:2 +++
'
Mes : + CW : + Membran tubulus basement
++ Variabel glomerulus deposit
:+
Mes : ++ :+ SE : + Epi : 0
Mes CW SE Epi
: +++ : ++ : +++ : ++++ deposit tubulointerstisial ekstraglomerular
+
CW : SE : 2
Mes : ++++ CW : Membran tubulus basement
+
++ Variabel glomerulus deposit
memberikan gejala-gejala yang merupakan perubahan histopatologi aktif. Tanda-tanda kronisitas menunjukkan tidak reversibelnya pengobatan atau terapi agresif yang kurang berhasil. Index aktivitas dan kronisitas dievlluasi pada lesi ginjal yang mungkin mentransfotasi dari 1 kelas ke kelas yang lain secara spontanlpengobatan u
GEJALA KLlNlS
Kelainan ginjal ditemukan pada 50-60% dari semua pasien LES, dan ;id& jarang merupakan gambaran klinis pertarna dan satu-satunya yang akan mengikuti periode remisi dan eksarsebasi sesuai dengttn LESnya. Manifestasinya kliniS NL bervariasi mulai dari kelainan urinalisis tanpa keluhan dan ditemukan pada pemeriksaan rutin maupun dalam
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kelas
Deskripsi
I
Glomerulus normaL (dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, imunofluoresen, m~kroskopelektron) Perubahan pada mesangial a. Normal dengan mikroskop cahaya, deposit pada mesangial dengan imunofluoresendan atau mikroskop elektron. b. Hiperseluleritasmesangial dan terdapat deposit pada imunofluoresendan atau mikroskop elektron. Focal segmental glomerulonephritis a. Lesi nekrotik aktif b. Lesi sklerotik aktif c. Lesi sklerotik Glomerulonefritisdifus (proliferasi luas pada mesangial, endokapiler atau mesangiokapilerdan atau deposit luas sub endotel) a. Tanpa lesi segmental b. Dengan lesi nekrotik aktif c. Dengan lesi aktif dan sklerotik d. Dengan lesi sklerotik Glomerulonefritis membranosa difus: a. Glomerulonefritismembhnosa murnl b. Berhubungan dengan lesi kelas II (a atau b) Glomerulonefritissklerotik lanjut.
II
Ill
IV
V
VI
lndeks aktivitasllesi aktif Glomerulus
-
Tubulo interstitial
Proliferasi endokapiler lnfiltrasi lekosit Depos~thialin subendotel Nekrosis fibrinoidl karioreksis
lnflamasi interstitial
lndeks kronisitasl lesi kronis
-
-
Sklerosis glomerulus (glomerulosclerosis) Bentuk crescent fibrosis (fibrosis crescent)
Fibrosis interstitialisdan tubulus atrofi
keadaan sindrom nefrotik atau keadaan darurat medis (sindrom nefritik akut dan syndrome rapidly progressive glomerulonephritis). Gejala NL biasanya berkorelasi baik dengan tingkat keterlibatan glomerulusnya.
GAMBARAN KLlNlS NL
Glomerulopati/nefropati asimplomatik. Kelainan urinalisis: proteinuria didapatkan pada semua pasien, hematuri mikroskopis pada 80% pasien, sedimen urin (silinder eritrosit, silinder lekosit). Sindrom nefritik akut (SNA). SNA pada lupus sulit dibedakan dengan GN pasca infeksi streptokokus, gangguan tubular pada 60-80% pasien. Sindrom RPGN (Rapidlyprogressiveglomerulonephritis). Ini sulit dibedakan dengan sindrom nefritik akut, gejalagejala khusus RPGN:
1. Onsetnya cepat 2. Penurunan LFG progresif dalam beberapa minggd bulan lalu mencapai gagal ginjal terminal 3. Hipertensi sistemik yang cukup mencolok 4. Proteinuria 1-3 gram perhari disertai kelainan sedimen aktif.
Sindrom glomerulus progresif dan kronis, ditandai dengan kelainan berikut: 1. Proteinuria bervariasi antara 1-3 gramlhari disertai kelainan sedimen aktif 2. Penurunan faal ginjal LFG progresif lambat sehingga dalam beberapa bulan sampai dengan beberapa tahun gagal ginjal. Sindrom nefrotik. Merupakan gambaran klinis paling sering dijumpai pada NL biasanya berkisar antara 45-63% pasien tetapi tidak disertai dengan hiperkolesterolemi. Hipertensi pada 15-50% pasien. Penurunan fungsi ginjal pada 40-80% pasien, dimana penurunan yang mencolok mencapai 30% pasien. Perjalanan klinik nefiritis lupus sangat bervariasi dan hasil pengobatannya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, kecepatan menegakkan diagnosis, kelainan histopatologi yang didapat dari hasil biopsi ginjal saat mulai pengobatan dan jenis regimen yang dipakai. Diagnosis klinis nefritis lupus ditegakkan bila pasien LES terdapat proteinuria 21 gram124 jam denganlatau hematuri (>8 eritrositJLPB) dengadatau penurunan fungsi ginjal sampai 30%. Sedangkan diagnosis pasti nefritis lupus diteg&kan dengan biopsi ginjal dan berdasarkan klasifikisi morfologi dari WHO (1982) nefntis lupus dibagi dalam 6 kela's. Gamb~ranklinis yang ringan dapat berubah menjadi bentuk yang berat dalam perjalanan penyakitnya. Beberapa prediktor yang dihubungkan dengan perburukan fungsi ginjal pada saat pasien diketahui menderita NL antara lain: 1. Ras kulit hitam 2. Hematokrit <26% 3. Kreatinin serum >2.4 mg/dL 4. Kadar C3 <76 mg/dL Hubungan Klasifikasi Histopatologi WHO dan Manifestasi Klinis NL Hubungan ini sangat penting untuk program terapi awal dalam menghadapi keadaan darurat dan untuk keperluan prognosis dan indikasi biopsi ginjal. PENDEKATAN DlAGNOSTlK NL dapat merupakan salah satu gambaran klinis dari LES dan tidak jarang merupakan satu-satunya gambaran klinis dari LES maka untuk menghadapi kedua masalah tersebut, diperlukan pemeriksaan penunjang diagnostik pasti yaitu:
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
NEFRITIS LUPUS
987
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Gejala klinis
Kelas NL kelas I NL kelas Ila NL kelas Ilb
NL kelas Ill
NL kelas IV
NL kelas V
NL kelas VI
Klasifikasi
Protein urin
NL kelas I NL kelas lia NL kelas lib NL kelas Ill NL kelas IV NL kelas V NL kelas VI
+
+ +
++ ++
++ +
Hematuria
Hipertensi
+
++
+++ + f
Gambaran klinis Tanpa gambaran klinis atau hanya terdapat proteinuria tanpa adanya kelainan pada sedimen urin Terdapat proteinuria persisten tanpa adanya kelainan pada sedimen urin. Terdapat hematuria mikroskopik dan bisa terdapat silinder lekositferitrosit danlprotenuria tanpa hipertensi dan tidak pernah terjadi sindrom nefrotik atau gangguan fungsi ginjal. Hematuri dan protenuria ditemukan pada seluruh pasien, sedangkan pada sebagian pasien ditemukan hipertensi, sindrom nefrotik dan penurunan fungsi ginjal Hematuria dan protenuria ditemukan pada seluruh pasien (sindrom nefrotik akut) sedangkan sindrom nefrotik, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal diternukan pada hampir seluruh pasien. Sindrom nefrotik ditemukan pada seluruh pasien sebagian dengan hematuri atau hipertensi akan tetapi fungsi ginjal masih normal atau sedikit menurun. Biasanya menimbulkan penurunan fungsi ginjal yang larnbat dengan kelainan urin yang relatif normal.
1. Pemeriksaan penunjang diagnosis Urinalisis rutin (urin yang diambil hams segar) Faal ginjal LFG dengan cara mengukur klirens kreatinin tes 24 jam Elektroporesis protein Profil lipid Darah rutin (Hb, lekosit, LED, trombosit) 2. Pemeriksaan serologis ANA-fluorescent Anti dsDNA Antibodi SmNA (Nuclear Antigen) Profil komplemen (C3, C4) Circulating immune complexes (CICX) Imunoglobulin serum Pemeriksaan serologik penting untuk menentukan diagnosis NL karena menunjukkan adanya produksi auto
Sindrom nefrotik
+ ++
+ ++
f f
++
Fungsi ginjal N N N N atau 1
1 N atau 1 lambat
f
.-,LES -
-
Penyakiljaringan ikat campuran iainnya Sindmm reumatologi yang lain Reaksiobat Keganasan Endokarditis baklerial sub-akut Usia lanjut
Titer ANA > 1 : 320
4 -
-
LES Kemungklnan
4
1
'
Penyakiljaringan ikat campuran Sindmm reumatologi yang lain
4
Test anti-RoISS-A Anti-WSSD
Test anti dsDNA
Wasd :a Berhubungan dng s~ndrom-stndmm
Menunjukkan akttvllas penyak11LES
4
Test anti Sm anti RNP
1
+
4
Anh-Sm ( + ) I ant1 RNP rendah I
Anti-Sm rendah alau ant1 RNP (+)
Mungkin LES jaringan ikat campuran
Gambar 3.
antibodi yang abnormal tetapi kurang tepat untuk menentukan adanya kelainan ginjal, menilai prognosis maupun tindak lanjut selama terapi. Tes ANA sangat sensitif untuk LES, tapi tidak spesifik. ANA juga ditemukan pada artritis reumatoid, skeloderma, sindrom S.jogren, polimiositis, dan infeksi HIV. Titer ANA tidak mempunyai korelasi yang baik dengan beratnya kelainan ginjal pada LES. Pada umumnya ANA kurang mempunyai hubungan dengan derajat kerusakan lesi ginjal dan tidak membantu untuk memantau respons terapi dan prognosis. Tes antids DNA (anti double-stranded DNA) lebih spesifik tapi kurang sensitif untuk LES. Tes ini positif pada kira-kira 75% pasien LES aktif yang belum diobati. Dapat diperiksa dengan teknik radioimmunoassay Farr atau teknik ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay). Tes anti-ds DNA mempunyai korelasi yang baik dengan adanya kelainan ginjal.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pemeriksaan lain adalah antibodi anti-ribonuklear, seperti anti-Sm dan anti-nRNP. Antibodi anti-Sm meskipun sangat spesifik untuk LES, tapi hanya ditemukan pada 25% pasien lupus. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa antibodi anti-Sm mempunyai hubungan dengan peningkatan insidens penyakit ginjal dan susunan saraf pusat serta prognosis yang buruk. Antibodi anti-nRNP ditemukan pada 35% pasien LES, juga pada penyakitpenyakit rematologik terutama penyakit jaringan ikat. Aktivasi sistem komplemen sering dipantau pada NL. Kosentrasi komplemen C3 dan C4 serum biasanya rendah pada fase aktif. Kosentrasi komplemen serum ini tidak mempunyai hubungan dengan derajat penyakitnya. Kadar C3 dan C4 sering sudah di bawah normal sebelum gejala lupus bermanifestasi. Konsentrasi C3 dan C4 menurun bila terdapat eksarsebasi akut dari lupus tetapi normalisasi kadar komplemen dihubungkan dengan perbaikan NL. Defisiensi komplemen lain seperti c 1r, C 1s, C2, C5 dan C8 juga didapatkan pada LES dan kadar komplemen total kemungkinan tetap di bawah normal meskipun penyakit dalam keadaan in aktif.
Circulating Immune Complex (Kompleks lmun dalam Sirkulasi) Sering ditemukan meningkat pada pasien yang masih aktif tetapi tidak dapat dipakai untuk menentukan derajat penyakit maupun panduan terapi dan prognosis karena juga dapat dideteksi pada berbagai penyakit autoimun lain. Kompleks imun ini dapat diukur dengan pengukuran C 1q fase solid dan tes sel raji. Banyak pemeriksaan antibodi anti nukleus pada NL walaupun spesifitasnya masih terbatas. Diagnosis NL Kriteria diagnosis NL 4 dari 1 1 kriteria ARA ditambah dengan: 1. Proteinuriapersisten, hematuri disertai kelainan sedimen aktif 2. Kenaikan titer anti nukleus dan DNA-binding antibody atau keduanya. PENGOBATAN Sebaiknya pengobatan diberikan setelah didapatkan hasil histopatologi dan biopsi ginjal. Pilihan rejimen pengobatan berdasarkan gambaran patologi anatomi. Tetapi biasanya pasien datang sudah mendapat kortikosteroid dari tempat praktek RS yang berbeda, karena tidak adanya fasilitas biopsi ginjal atau karena sudah mendapat pengobatan untuk LESnya sendiri tanpa gejala NL. Prinsip dasar pengobatan adalah untuk memperbaiki hngsi ginjal atau setidaknya mempertahankan h g s i ginjal agar tidak bertambah buruk tetapi perlu juga diperhatikan
efek samping obat yang timbul, karena pengobatan NL memerlukan waktu yang relatif lama, dimana efek samping obat tadi akan mempengaruhi kualitas hidup pasien. 1. NL kelas I tidak memerlukan pengobatan spesifik. P,engobatan lebih ditujukan pada gejala-gejala ekstra renal 2. NL kelas I1 ajika tidak disertai proteinuri yang bermakna (>1 gramlhari) dan sedimen urin yang aktif tidak memerlukan pengobatan 3. NL kelas I1 b yang disertai proteinuri > 1 gramhari, antids DNA yang tinggi, hematuri, dan Ci rendah diberikan pengobatan; prednison 0.5- 1 mglhari selama 6- 12 minggu, kemudian diturunkan perlahan-lahan (5- 10 mg) tiap 1-3 minggu, dan dilakukan penyesuaian dosis sesuai aktivitas klinik 4. Pada NL kelas I11 dan IV pengobatan lebih ditujukan untuk kelainan ginjalnya. Rejimen yang paling banyak dipakai saat ini adalah kombinasi steroid dosis rendah yaitu prednison 0.5 mgkglhari selama 4 minggu yang kemudian diturunkan perlahan-lahan sampai dosis minimal untuk mengendalikan kelainan diluar ginjal, dan siklofosfamid 750 mg/m2 tiap bulan selama 6 bulan, kemudian setiap 2 bulan dengan dosis yang sama sampai 6 kali pemberian, dosis selanjutnya tiap bulan 3 juga 6 kali pemberian (total pengobatan 3 tahun). Dengan rejimen ini kira-kira 80% pasien akan mengalami remisi yang ditandai dengan tidak terdapatnya sedimen urin yang aktif, proteinuri < 1 gramhari, dan klirens kreatinin tetap stabil atau membaik sedikitnya 30%. Beberapa obat lainnya yang dapat pula digunakan pada NL kelas 111dan IV ialah: 1. Azatioprin dengan dosis 2 mglkg, dikombinasikan dengan prednison. Pemakaian Azatioprin bertujuan untuk menghindari efek samping p-ada pemakaian siklofosfamid. Obat ini juga relatif aman pada perempuan hamil. 2. Siklosporin dapat pula dipakai bersama dengan prednison. Dosis awal 5 mglkglhari, yang kemudian diturunkan menjadi 2,5 mglkghari setelah 6 bulan. 3. Mycoplzenolate Mofetil (MMF) dengan dosis 0,5-2 gramlhari, khususnya bila pengobatan dengan siklofosfamid tak berhasil. Diberikan bersama dengan Prednison (dosis 0,5 mglkglhari) yang kemudian diturunkan perlahan. Lama pengobatan bisa mencapai 24 bulan. 4. Beberapa obat lainnya yang dipakai dalam pengobatan NL dan masih dalam taraf penelitian misalnya antibodi monoklonal (anti-c,, anti CD 40 legand), imunoglobulin IV, kladribin, dan LJP394. 5. NL kelas V: diberikan prednison dengan dosis 1 mgkgi hari selama 6-12 minggu. Bila tak ada respon klinik, prednison dihentikan sedangkan bila terdapat respons, prednison dipertahankan selama 1-2 tahun dengan dosis 10 mghari. Juga dapat pula diberikan siklosporin
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
NEFRlTlS LUPUS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pada NL kelas V ini. 6. NL kelas VI: pengobatan lebih difokuskan pada manifestasi ekstra renal. Untuk memperlambat penurunan fungsi ginjal dilakukan terapi suportif seperti restriksi protein, pengobatan hipertensi, pengikat fosfor oral. dan vitamin D.
- Klas Ill(berat) + lV - SN - Menurunfungs~g~njal - Hlpertensl - Gangguansusunan saraf pusat (SSP) Ikesadaran menurun Ilupus serebral
- Klas 11, Ill dan V (nngan)
- Protelnuna - Fungs~glnjal normal
Pembenan met11predlsolone1V 500 rng 3 her1beflurut-turut (dlulang b ~ l a dlperlukan, yattu blla gejala-gelaja yang mengancamjlwa maslhjelas)
Pred~sonmulal 1-1112 mglkg BBlhan
Dilanjutkandengan prednisonoral 1 - 1.5 rnglkg BBlhati
Jika terdapat penuruan fungsi ginjal : Azatiopnn diberikan 2.5 mglkgBBlhari
Ella respons terap18-12mlnggu tldak mencapa lotal rem st + prednlsondqturunkan 0 5 mg-lrkgrB81narls a 0 05 mg/kgBB/handalam fase pemellharaan Dan Slklofosfamld 500-750 ~ ~ ~ ' L P B I(1-3 I V rngLgBB nulan1lV) selama 6 bulan I
i
Gambar 4. Pada fase akut: Pengobatan induksi dengan kortikosteroid
Pengobatan imunologis dilakukan dengan pemberian imunosupresan. Sasaran pengobatan ini ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan tanda-tanda klinik lupus (baik renal maupun ekstra renal) serta petada serologi lupus. Tanda-tanda klinik tersebut berupa proteinuria, hematuri, silinder eritrosit, kreatinin serum, ekskresi kemokin dan sitokin dalam urin, kadar anti C 1q dalam darah, komplemen C3-C4, anti dsDNA, kelainan hematologi, dan kelainan ekstra renal. Pengobatan non imunologis dilakukan dengan pemberian obat anti hipertensi (ACEI, AIIRB dan pemberian statin yang tujuannya untuk menurunkan tekanan darah, proteinuria dan kolesterol secara agresif Sesuai gejala klinis dan gambaran histopatologi terdapat 2 masalah terapi utama yang hams dilakukan: yaitu induksi pengobatan dari NL yang berat, yang mengancam jiwa sering mempengaruhi banyak sistem organ dan onset penyakitnya pendek. Ini sangat berbahaya bagian survival pasien. Pengobatan selanjutnya adalah pengobatan pemeliharaan dan pengobatan kronis jangka panjang dan tujuan pengobatan ini untuk menghindari efek jangka panjang penyakit sehingga efek samping pengobatan juga penting untuk diawasi. Lalu dilanjutkan dalam dosis yang sama 3 bulanlkali, selama 2 tahun (24 bulan) (Rejimen ini diberikan pdaa NL kelas 111, IV campuran kelas 111dengan V, campuran kelas IV dengan V). Bila terdapat gangguan fungsi ginjal: dosis
siklofosfamiddikurangi. Bila pada pemberian siklofosfamid dalam 12 minggu tidak terdapat perubahaan maka siklofosfamid dapat diganti dengan azatioprin 2 mg/kgBB/ hari. Pada fase pemeliharaan ada juga yang memberikan siklofosfamid IV setiap 3 bulan selama 1 tahun pemeliharaan. Rerata lama pengobatan adalah 4,5 tahun memberi keberhasilan yang sama dengan rejimen siklofosfamid. Jika terdapat vaskulitis yang nyata: dapat dilakukan plasma exchange 3-4 literlhari untuk 7 hari. Pada fase induksi, imunosupresan yang sering digunakan adalah siklosporin, siklofosfamid atau mikofenolat mofetil. Pada fase pemeliharaan yang sering digunakan bila pasien mampu dari sudut finansial adalah mikofenolat mofetil(1-2 gramlhari) atau azatioprin (2 mg/kgBB/hari) maksimal 150-200 mg perhari diberikan selama 1 tahun. Azatioprin diberikan dengan dosis 2.5 mg/kgBB pada pasien NL kelas IV. Mekofenolat mofetil (MMF) diberikan dengan dosis 1 gram 2 x sehari (total 2 gram) selama 6 bulan, lalu dosis ditumnkan jadi 500 mg 2xlhari (total 1 gram) selama 6 bulan lagi. Rejimen ini diberikan pada NL kelas I11 berat, IV, campuran kelas I11 dan V, campuran kelas IV dan V. Siklosporin diberikan dengan dosis <5 mg/kgBB selama 1 tahun, pada NL kelas IV dan kelas V. Pengobatan Non-lmunologis Pengobatan non- imunologis dilakukan untuk menurunkan tekanan darah dan proteinuria dengan penghambat ACE dan penghambat reseptor angiotensin. Sedangkan untuk menumnkan kolesterol dipakai golongan statin. Tujuan pengobatan ini adalah untuk mengurangi progresivitas kearah perburukan fungsi ginjal sesuai dengan penanganan kasus penyakit ginjal kronik, sasaran tekanan darah adalah serendah mungkin dimana pasien masih merasa nyaman yaitu 120175 mmHg, proteinuria kurang dari 0,5 gram124jam dan kolesterol LDL 4 0 0 mg/dL. Untuk masa yang akan datang agaknya terapi secara genetik akan memberikan harapan walaupun masih dalam tahap percobaan awal. Monitoring Respons Pengobatan Terapi yang efektif dihubungkan dengan berkurangnya manifestasi inflamasi, berkurangnya gejala ekstrarenal, membaiknya kadar C3, C4, dan titer anti dsDNA. Untuk kelainan ginjalnya sendiri akan didapatkan aktivitas sedimen urin yang menurun, membaiknya kreatinin plasma, dan menurunnya atau berkurangnya proteinuria. RESISTEN TERHADAP PENGOBATAN
Sampai saat ini masih belum ada keseragaman terhadap
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
definisi remisi pada nefritis lupus. Salah satu pegangan, tercapainya normalisasi fungsi ginjal serta ketahanan hidup yang lebih panjang. Prediktor klinik yang dapat dipegang adalah, sedimen urin menjadi tidak aktif, kadar kreatinin = 1,4 mg1dL dan ekskresi protein = 330 mg1dL. Disebut resisten bila selama pengobatan induksi tidak ada respon menuju remisi. Pasien yang awalnya memakai siklosfamid, bila terjadi resisten pengobatan dapat ditukar dengan mikofenolat mofetil atau sebaliknya, dengan memakai dosis obat yang biasa dipakai pada kedua jenis regimen tersebut. Obat-obat lain yang dapat dipakai antara lain, imunoglobulin intravena, terapi antibodi monoklonal, imunadsorption, pentoksifilin atau rituksimba, tetapi hasil yang memuaskan belum diperoleh dengan pasti masih perlu percobaan klinis yang lebih banyak.
RELAPS (KAMBUH) Disebut relaps bila aktivitas penyakit timbul kembali setelah beberapa saat mengalami remisi. Prediktor yang paling dini dan akurat adalah ditemukannya kembali sedimen eritrosit atau leukosit yang kemudian diikuti oleh proteinuria.
PROGNOSIS
Prognosis NL sulit dirarnalkan karena pedoman terapi yang baku belum ada, selain itu perjalanan penyakit NL sulit diprediksi. Hampir semua peneliti sependapatbiopsi ginjal mempunyai peranan penting untuk menentukan prognosis dan respons terapi. Pada nefritis lupus kelas I dan I1 hampir tidak terjadi penurunan fungsi ginjal yang bermakna sehingga secara nefrologis kelompok ini memiliki prognosis yang baik. Nefritis lupus kelas I11 dan IV hampir seluruhnya akan menimbulkan penurunan fungsi ginjal. Pada nefritis lupus kelas 111 yang keterlibatan glomerulus <50% akan memberikan prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang keterlibatan glomerulusnya >50%, dimana prognosis kelompok ini menyerupai prognosis nefritis lupus kelas IV yaitu buruk. Nefritis lupus kelas V memiliki prognosis yang cukup baik sama dengan nefropati membranosa primer, sebagian kecil saja akan menimbulkan sindrom nefrotik yang berat. Nefropati membranous primer yang ringan biasanya mempunyai perjalanan penyakit lambat dan prognosis yang baik. Kelompok pasien NL dengan gambaran klinis glomerulopati asimtomatik dengan lesi histopatologis hanya mengenai mesangium atau proliferasi fokal derajat sedang, prognosisnya cukup mengkhawatirkan,bila tanpa pengobatan medikamentosa.
KEHAMILAN REFERENSI Kehamilan dapat menimbulkan eksaserbasi nefritis lupus sebesar 50% kasus pada selama masa kehamilan terutama trimester ke-3 atau awal masa nifas (tetapi bervariasi 10-75%) tetapi sekarang eksaserbasi lebih rendah karena mungkin berhubungan dengan penggunaan yang lebih bebas dari kortikosteroid dan obat sitotoksik selama kehamilan. Kekambuhanlrelapsl kematian janin timbul lebih jarang ketika timbul selama periode remisi. Dari 64 kehamilan 41 pasien: 37% lahir cukup bulan, 30% bayi prematur dan 33% abortus (29% abortus spontan dan 4% abortus non alasan medis. Pasien dengan antikoagulan yang bersirkulasi lebih sering kehilangan janinnya daripada ibu yang tidak mempunyai antikoagulan lupus yang bersirkulasi. Azotemia dari kadar kreatinin serum >1,5 mg1dL dan hipertensi selama kehamilan, keduanya dihubungkan dengan peningkatan kematian janin, di mana sindrom nefrotik sendiri tidak. Selama kehamilan 44% pasien berkembang menjadi hipertensi, fungsi ginjal menurun pada 19% dan sembuh 17% pasca partum. Serum komplemen yang rendah berguna untuk membedakan relapsnya NL dari kehamilannya tidak berkomplikasil pra-eklampsi pada pasien dengan LES.
Austin I11 HA, Boumpas DT, Vaughan EM, Balow JE. Predicting renal outcomes in severe lupus nephritis: contributions of clinical and histology data. Kidney Int. 1994;45:544-50. Austin HA, Klippel OH, Balow JE et al. Therapy of lupus nephritis: controlled trioal of prednisone and cytotatic drugs. N Engl J Med. 1986; 3 14:614-9. Boumpas DT, Austin HA 3d, Vaughn EM, Klippel JH, Steinberg AD, Yarboro CH, Balow JE. Controlled trial of pulse methylprednisolone versus two regimens of pulse cyclophosphamide in severe lupus nephritis. Lancet. 1992; 26:340(8822):741-5. Cameron JS. Lupus nephritis. J Am Soc Nephrol. 1999;10:413-24. Chan TM, Li FK, Tang CS, Wong RW, Fang GX, Ji YL, Lau CS, Wong AK, Tong MK, Chan KW, Lai KN. Efficacy of mycophenolate mofetil in patients with diffuse proliferative lupus nephritis. Hong Kong-Guangzhou Nephrology Study Group. N Engl J Med. 2000;343(16):1156-62. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL Jr, Jones DW, Materson BJ, Oparil S, Wright JT Jr, Roccella EJ. The seventh report of the Joint National Committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure: the JNC 7 report. JAMA. 2003;21;289(19):2560-72. Cortes-Hemandes J, Ordi-Ros J, labrador M, et al. Antihisto and antidouble standed deoxyribonucleic acid antibodies are associated with renal disease in SLE. Am J Med. 2004;116:165-70. Davieska, Wallport MJ. Immune complex handling in systemic lupus erythematosus. Immunology of renal disease pusey CD.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
NEFRITIS LUPUS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dodrecht/Boston/London: kluwer Academic Publ.; 1991. p. 59-73. Gabriel R. Postgradiute nephrology. 3rd edition. LondonIBostonl Durban/Singapore/Toronto/Wellington:Buttterworths; 1985. p. 100-4. Galindo-Rodriguez 4 Bustamante R, Esquivel-Nava 4 Salazar-Exaire D, Vela-Ojeda J, Vadillo-Buenfil M, Avina-Zubieta JA. Pentoxifylline in the treatment of refractory nephrotic syndrome secondary to lupus nephritis. J Rheumatol. 2003;30(11):2382-4. Glicklich D, Acharya A. Mycophenolate mofetil therapy for lupus nephritis refractory to intravenous cyclophosphamide. Am J Kidney Dis. 1998;32(2):3 18-22. Glassock RJ. Current therapy treatment recommendation for lupus nephritis. Controlled trial of prednisone and cytostatic drugs. N Engl J Med. 1986;3 14:614-9. Haylet JP, Kashgarian. Nephropathy of systemic lupus erythematosus. Disease of the kidney. In: Schrier RW, Gotschalk CW, editors. 5th edition. BostonlTorontolLondon: Litt Br & Co.; 1993. p. 2019-37. Hebert LA, Dillon JJ, Middendorf DF, Lewis EJ, Peter JB. Relationship Between appearance of urinary red blood celllwhite blood cell casts and the onset of renal relapse in systemic lupus erythematosus. Am J Kidney Dis. 1995;26(3):432-8. Korbet SM, Lewis EJ, Schwartz MM, Reichlin M, Evans J, Rohde RD. Factors predictive of outcome in severe lupus nephritis. Lupus Nephritis Collaborative Study Group. Am J Kidney Dis. 2000;35(5):904-14. Llach F. Papper's clinical nephrology. 3" edition. Boston/Toronto/ London: Litt Br & Co,; 1993. p. 165-73. Nossent HC, Koldingsnes W. Long-term efficacy of azathioprine
treatment for proliferative lupus nephritis. Rheumatology (Oxford). 2000;39(9):969-74. Ponticelli C. Current therapy in nephrology and hypertension. 3'd edition. BC DeckerlMosby-Year Book; 1992. p. 158-62. Remuzzi G, Ruggenenti P, Perico N. Chronic renal diseases: renoprotective benefits of renin-angiotensin system inhibition. Ann Intern Med. 2002; 16;136(8):604-15. Rose BD and Jacobs JB. Nephrotic syndrome and glomerulonephritis. Pathophysiology of renal disease. In: Rose BD, editors. 2nd edition. New York: McGraw-Hill int Ed; 1987. p. 237-52. Rose BD, Rennke HG. Renal pathophysiology the essential. BaltimorelPhiladelphialSidney1Tokyo:Williams and Wilkins; 1994. p. 211-43. Rose BD, Schur PH, Falk RJ,Appel GB. Treatment of lupus nephritis. UpToDate. 2005; 13-1. CD-ROM. Schur PH. Epidemiology and pathogenesis o f systemic lupus erythematosus. UpToDate. 2005;13-1. CD-ROM. Schur PH. Antibodies to DNA, Sm, and RNP. Up to Date. 2005;13:1. Tam LS, Li EK, Leung CB, Wong KC, Lai FM, Wang A, Szeto CC, Lui SF. Long-term treatment of lupus nephritis with cyclosporin A. QJM. 1998; 91(8):573-80. Wallase DJ, Hann BH, Klippel JH. Lupus nephritis. In: Daniel JW, Bevra HH, editors. Dubois lupus erythematosis. 5Ih edition. William&Willkin; 1996. p. 1053-65. Weeining JJ, D'agati VD, Schwartz MM, et al. The classification of glomerulonephritis in systemic lupus erythematosus revisited. Kidney Int. 2004;65:52 1-30. Wilmer WA, Rovin BH, Hebert CJ, Rao SV, Kumor K, Hebert LA. Management of glomerulus proteinuria: a commentary. J Am Soc Nephrol. 2003;14(12):3217-32.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
NEFROPATI IgA IDIOPATIK Enday Sukandar, Parlindungan Siregar
PENDAHULUAN
Glomerulonefitis (glomerulopati) dengan presentasi klinis hanya kelainan urinalisis rutin (hematuria dengan atau tanpa proteinuria) sering 1010s dari pendekatan diagnosis. Dahulu penyakit ini dikenal sebagai hematuria esensial karena etiologinya tidak diketahui. J Berger di Paris 1968 pertama kali melaporkan studi imunopatologi yaitu perubahan proliferasi sel mesangial disertai deposit IgA dan C,. Terdapat beberapa istilah untuk penyakit ini seperti nefropati IgA, nefropati IgA mesangiall glomerulonefritis, penyakit mesangial IgA, dan penyakit Berger (penemu). Penyakit ini banyak menarik perhatian para pakar karena tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia. Etiologi dan patogenesisnya masih belum jelas, dan manifestasi klinisnya bervariasi. Pasien mungkin datang dengan kelainan urinalisis tanpa keluhan, hipertensi, sindrom nefritik akut, atau gaga1 ginjal kronik terminal.
ETlOLOGl DAN KLASlFlKASl
Deposit IgA disertai komponen-komponen komplemen seperti C,, C, atau Clq ternyata ditemukan pada beberapa penyakit lain seperti HSP (Henoch-Schonlein purpura), SLE, dan penyakit sirosis hati. Apakah HSP dimasukkan pada kategori Nefropati IgA primer atau idiopati masih kontroversial. Etiologi nefropati IgA idiopatik (primer atau isolated) tidak diketahui. Presentasi klinis hematuria mikroskopik/ atau makroskopik berulang sering mengikuti infeksi saluran napas bagian atas (faringitis atau tonsilitis). Hematuria yang mengikuti episode faringitis dinamakan syndrome pharyngitic hematuria.
A.
6.
Primer (Idiopatik) 1. Nefropati IgA primer (idiopatik) atau isolated 2. Berhubungan dengan HSP (Henoch-Schonlein purpura) Sekunder 1. Penyakit hati alkoholik 2. lgA monoklonal garnopati 3. Mikosis fungoides 4. Lepra 5. Dermatitis herpetiforrnis 6. Hemosiderosis paru 7. Spondilosis ankilosing 8. Shunt sistem portal
*woo KT dkk 1986
PATOGENESIS NEFROPATI IGA IDIOPATIK
Etiologi Nefropatik IgA tidak diketahui sehingga mekanisme patogenesis kerusakan glomerulus sulit dipahami. Hasil studi imunologi menemukan perubahan proliferasi sel mesangial disertai deposit IgA dan C,. Diduga penyakit ini termasuk penyakit kompleks imun. Faktor genetik: 1. DR, 2. DO 3. Kromosom 6 dengan komplemen G,a dan G,, Faktor luar: a). Sirosis hati dan penyakit hati berat lainnya b). Granulomatosis Wegener c). Hlv d). Antigen virus, antara lain: rotavirus, parainfluenza, rinovirus, adenovirus, respiratoty syncytial virus e) Antigen bakteri, antara lain: Stafilokokus aureus, E. coli, pneumokokus, streptokok salivarius, streptokokus mutan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
993
NEFROPATI lgA IDIOPATIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
f) Antigen makanan (dietary), antara lain: BSA (bovine
serum albumin), protein kacang kedelai, gluten, alkohol. g) Vaksin, seperti: vaksin influenza/parotitis/polio
Gambar 1. Patogenesis nefropati IgA
Produksi lgA Beberapa faktor yang mempengaruhi mekanisme kenaikan produksi IgA (IgA responder) seperti: a). Gangguan aktivitas spesifik supresor-lgA sel T; b). Kenaikan aktivitas spesifik sel T helper-lgA dan sel T,; c). Hiperaktivitas spesifik-lgA sel B; d). Rangsangan stimulasi (stimuli) makrofag diikuti kenaikan produksi IgA. Kompleks imun (Immune Complexes- IC): a). Kompleks imun IgA polimerik; b). Kompleks imun IgA monomerik; c). Kompleks imun IgA multimerik; d). Kompleks imun IgG. Pada penelitian percobaan binatang maupun pada manusia ternyata IgA polimerik mempunyai peran terhadap patogenesis kerusakan glomerulus. IgA polimerik ini berhubungan dengan infeksi mukosa saluran napas bagian atas Cfaring dan tonsil).
PERUBAHAN HISTOPATOLOGI GINJAL
Mikroskop Cahaya Klasifikasi mikroskop cahaya Nefropati IgA berdasarkan rekomendasi KOMISI WHO (1982): I. Lesi minimal. Pemeriksaan dengan mikroskop cahaya masih terlihat normal. 11. Lesi minor. Pelebaran mesangium disertai penambahan sel-sel mesangium (hiperselularitas). minimal ditemukan 3 sel per daerah (area) pada glomeruli tepi (perifer). 111. Glomerulonefiitisfokal dan segmental - Minimal 50% glomeruli memperlihatkan tanda-tanda sklerosis yang bersifat fokal dan segmental - Penambahan sel-sel mesangium (hiperselularitas) - Tidak jarang ditemukan nekrosis - Sisa glomeruli memperlihatkan perubahan minor n! Derajat ini dibagi menjadi beberapa tingkatan: 1. Proliferasi sel-sel mesangium difus 2. Dibagi dalam 2 kategori - Proliferasi sel mesangium disertai sklerosis - Proliferasi sel mesangium difus disertai sklerosis dan pembentukan kresen (bulan sabit) V Glomerulonefritis sklerosis dihs. Hampir 80% glomeruli mengalami perubahan histopatologi. Mikroskop Elektron Lokasi deposit. Deposit IgA dan komponen (C) dikenal sebagai electron-dense deposit terlihat pada daerah mesangium dan kapiler glomerulus (subendotelium, subepitelium atau keduanya). Pada nefropati IgA selalu ditemukan deposit masif di daerah mesangium. Jumlah deposit bervariasi setiap daerah dalam glomerulus dan antar glomeruli. Deposit juga ditemukan pada dinding kapiler glomerulus pada sebagian kecil pasien. Perubahan mesangial. Beberapa perubahan yang hams diidentifikasi yaitu: a). Penambahan matriks; b). Hiperselularitas sel; c). Tanda-tanda lisis (mesangiolisis) yang disebabkan deposit imunoprotein dalam matriks; d). Serat kolagen sering ditemukan pada daerah matriks. Perubahan dinding kapiler glomerulus. Perubahan kapiler perifer pada nefropati IgA: a). Subendothelium jluffi, granules lamination; b). Lisis membran basal glomerulus; c). Aneurisms; d). Penebalan membran basal glomerulus; e). Dense deposits; f). Reduplikasi membran basal glomerulus; g). Nekrosis lumen; h). PMN dalam lumen; i). Partikel tubuloretikular.
MANIFESTAS1 KLlNlS NEFROPATI IGA Nefropati IgA tidak mempunyai gejala subyektif atau obyektif khusus (spesifik). Pada umumnya manifestasi klinis Nefropati IgA: 1). Hematuria makroskopik.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
CINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Hematuria makroskopik (gross) rekuren yang mengikuti infeksi saluran napas bagian atas. Hematuria berlangsung beberapa hari sampai 1 minggu; 2). Proteinuria dengan sindrom nefritik; 3). Hipertensi berat disertai penurunan faal ginjal (gaga1 ginjal kronik) Manifestasi klinis 358 pasien Nefropati IgA terlihat pada Tabel 2.
Histopatologi ginial
1. 2. 3.
Hematuria dan proteinuria Hematuria (gross) Sindrom nefrotik Sindrom nefritik Gagal ginjal kronik Hipertensi Jumlah total Umur rata-rata (tahun)
231 (65%) 52 (15%) 30 (8%) 3 (1%) 21 (53%) 21 (55%) 358 (1 00%) 26+8
4.
5.
6.
Woo KT, dkk 1986 7.
Sebagian besar pasien dengan kelainan urinalisis tanpa keluhan (asimtomatik); diperlukan pendekatan diagnosis sistematik dan terarah.
GBM patah-patah dan pembentukan bulan sabit (crescent) GBM bergerigi dan iregular Perubahan GBM dan podosit glomerular tuft kolaps dan sklerotik GMB mengalami perubahan difus dan sklerotik glomerulus, ekspansi difus podosit (lesi minimal). Deposit epimembranosa jarang Nekrosis tubular akut dan tubulus tersumbat sel eritrosit. Glomerulus kresentik Perubahan vaskular hipertensif dan sklerotik. Sklerotik glomerulus Sklerotik glomerulus dan perubahan vaskular hipertensif. Pembentukanjaringan ikat tubulo interstisial. Atrofi tubulus dan glomerulus kresentik
Sindrom nefrotik
Gagal ginjal akut (sindrom nefritik akut) Hipertensi Gagal ginjal kronik
Ginjal. Clarkosn AR, Woodroffe AJ, Aarons, 1993
KORELASI MANlFESTASl KUNlS DAN PERUBAHAN HISTOPATOLOGI GINJAL Di klinik masalah ini sangat bermanfaat untuk tujuan intervensi farmakologis sebagai terapi simtomatis dan ramalan prognosis.
Manifestasi klinis
Hematuria makroskopik (gross) Hematuria mikroskopik Proteinuria
Hematurla
+
~roteynurla
1 Anamnesls (umur) Pemerrksaanflsls diagnostlk (Hlpertensi)
1 PENDEKATAN DIAGNOSIS NEFROPA TI IGA IDIOPATIK Pendekatan diagnosis Nefropati IgA Idiopatik tergantung manifestasi klinis. Kelainan urinalisis rutin (hematuria dengan atau tanpa proteinuria) yang merupakan salah satu manifestasi klinis, sering 1010s dari pengamatan. Algoritma pendekatan diagnosis hematuria dengan atau tanpa proteinuria (Gambar 2).
Anamnesis Identifikasi urnur, biasanya anakldewasa muda Keluhan infeksi saluran napas atas (faringitis atau tonsilitis) sebelum episode hematuria (gross atau mikroskopik), periode laten kurang dari 7 hari. Episode hematuria berulang (rekuren) dan hilang setelah beberapa hari (1 minggu) Pemeriksaan Fisis Diagnostik Keadaan orofaring Hipertensi
Urinalisls, EsbachlB~uret Mlkroblologlurln Serum BUN & kreatlnln
1
Ekskresr urogram USG Renogram
1 GLOMERULOPATI
4
Glnjal pollklst~k TBC, saluran kemih dan glnjal
RP Gn
NEFROPATI IgA
1 Biopsr Glnjal Pemeriksaan imunodiagnostrk
1 TERAPl SlMTOMATlK
Gambar 2. Algoritme pendekatan diagnosis nefropati IgA (HSP = Henoch-SchonleinPurpura, SLE = systemic lupus erytomatosus, RP Gn = resoMng poslinfectious glomerulonephritis)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
NEFROPATI I d IDIOPATIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Uji Saring Laboratorium Pemeriksaan sedimen urin untuk identifikasi silinder eritrosit Albuminuria semikuantitatif atau kuantitatif Faal ginjal ureum dan kreatinin Mikrobiologi urin terutama CFUImL urin Uji Saring Pencitraan (imaging) Tujuan: Untuk mencari etiologi hematuria: Ginjal polikistik TBC ginjal dan saluran kemih Khusus kasus urologi Uji saring pencitraan: Ekskresi urogram dan ultrasonografi (USG) Diagnosis Banding Nefropati IgA 1. Henoch -Schonleinpurpura (HSP) 2. Systemic lupus erythematosus (RPGN) Diagnosis Nefropati IgA 1. Identifikasi faktor predisposisi. Nefropati IgA lebih sering pada pasien dengan BW,, dan DR, MHC 2. Pemeriksaan imunodiagnostik - Glomeruli memperlihatkan proliferasi sel-sel mesangial difus dan mungkin disertai gambaran proliferasi fokal dan segmental. - Imunofluoresensi memperlihatkan deposit granular IgA dan C3 pada semua glomeruli. Pada beberapa glomeruli pasien mungkin mengandung deposit IgG dan IgM. - IgA dan C, dapat ditemukan pada dinding kapiler di daerah perbatasan dermal dan epidermal (dermalepidermal junction). - Electron-dense deposit sering ditemukan pada subendotelium dan matriks mesangial. - Pada sebagian besar pasien ditemukan CICx yang mengandung IgA. Konsentrasi komponenkomponen komplemen biasanya normal.
2. Manipulasi diet dan asupan antigen: Sodium chromoglycate 3. Mengurangi pembentukan IgA: Fenitoin 4. Immune-complex-mediated renal injury:Kortiko steroid, siklosporin 5. Obat antiproteinuria: Proteinuria diduga sebagai marka untuk progresivitas kerusakan ginjal (glomerulosklerosis) - Pembatasan asupan protein hewani - Penghambat ACE dan Angiotensin Receptor Blocker. 6. Hipertensi: a). Penghambat ACE; b). Angiotensin Receptor Blocker; c). Antagonis kalsium 7. Perubahan (kelainan) hemoreologi: a). Antikoagulan; b). Obat antiplatelet (dipiridamol); c). Omega 3.
lntervensi Terhadap Perjalanan Penyakit (Komplikasi) 1. Sindrom nefritik akut (SNA) 2. Sindrom nefrotik 3. Sindrom gagal ginjal kronik / terminal
PROGNOSIS
Prognosis Nefropati IgA tergantung dari manifestasi klinis. 1. Hematuria makroskopik (gross) asimtomatik - Pada anak biasanya mempunyai prognosis baik, faal ginjal normal, dan hipertensi mudah dikendalikan - Pada dewasa mempunyai prognosis lebih buruk, hampir 5 - 10% terjadi gagal ginjal kronik. 2. Nefrotik IgA idiopatik mempunyai prognosis buruk bila manifestasi klinis berupa sindrom nefrotik disertai hipertensi. 3. Nefropati IgA dengan manifestasi klinis gagal ginjal kronik/terminal hams menjalani program dialisis dan transplantasi ginjal. Rekurensi Nefropati IgA pada ginjal cangkok (graft kidney) setelah kira-kira 10 tahun.
TERAPI NEFROPATI IGA IDIOPATIK
Terapi semata-mata bersifat simtomatik tergantung manifestasi klinis, tanpa keluhan atau keluhan ringan atau keadaan darurat medis seperti sindrom nefritik akut (SNA). Prinsip terapi simtomatik yaitu intervensi terhadap patogenesis dan patofisiologi, perjalanan penyakit, atau komplikasi. l n t e r v e n s i Terhadap Patogenesis d a n Patofisiologi 1. Mengurangi kontak dengan antigen: a). Antibiotik bila berhubungan dengan infeksi bakteri; b). Tonsilektomi
Churg J. In: Collaboration with Sobin LH and pathologist and nephrologist in 14 countries. Renal Disease: Classification and Atlas of Glomerular Diseases. Tokyo: Igaku -Shoin; 1982. Clarkson AR. IgA Nephropathy: History, classification and geographic distribution. In: Clarkson AR (ed). IgA. Nephropathy, Martinus Nijhoff Publ; 1987.1-8. Clarkson AR, Woodroffe AJ, Aarons. IgA nephropathy and HenochSchonlein purpura. In: Schrier RW & Gottshalk CW (eds). 41hed. Diseases of the Kidney. Lit Br. & Co; 1993, p. 1839-64. Engido J. The role of polymeric IgA in the pathogenesis of IgA nephropathy. In: Clarkson AR (ed). IgA Nephropathy. Martinus Nijhoff Publ; 1987. p. 157-75. Gabriel R (ed). IgA nephropathy. In: Postgraduate Nephr0logy.3'~ ed. Butterworth; 1985. p. 92-4.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
996
GINJAL HIPERTENS1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Maschio G, Cagnoli L, Claroni F et al. ACE inhibition reduces proteinuria in normotensive patients with IgA nephropathy: A multicentre, randomized, placebo controlled study. Nephrol Dial Transplant 1994;9:265-9. Rekola S, Bergstrand A, Bucht H. Development of hypertension in IgA nephropathy as a marker of poor prognosis. Am J.NephroI1990;10:290-5. Sinniah R. IgA Nephropathy. In: Sulaeman AB & Morad Z (eds). Proceedings of the VI* Asian Coil in Nephrology. Exp. Med Kuala Lumpur; 1985. p. 61-8. Sinniah R. IgA mesangial nephropathy: Berger's disease. (editorial review). Am J NephroI1985;5:73-83.
Sinniah R. The pathology of IgA nephropathy. In : Clarkson AR (ed). IgA Nephropathy. Martinus Nijhoff Publ; 1986. p. 66-96. Tomino V. Pathogenesis (Antigenic heterogenety). In: Woo KT, Wu AYT, Lim CH (eds). Proceedings of the 3rd Asian-Pacific Congress of Nephrology. Singapore; 1986. p. 114-8. Woo KT, Edmonson RPS, Wu AYT et al. Clinical and prognostic indices of IgA nephritis. In: Woo KT, Wu AYT, Lim CH (eds). Proceedings of the 3rd Asian-Pacific Congress of Nephrology. Singapore; 1986. p. 119-29. van der Hem GK, Beukhof JR. IgA nephropathy. In- van der Hem Gk (ed), Nephrology, Excerta Medica; 1982. p. 393-404.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
NEFRITIS HEREDITER Jodi Sidharta Loekman
PENDAHULUAN Nefritis herediter biasa disebut sebagai sindrom Alport merupakan penyakit glomerulus yang progresif terutama pada laki-laki dan sering disertai gangguan saraf pendengaran dan penglihatan. Sindrom ini dipublikasikan dalam British Medical Journal tahun 1927 oleh Cecil Alport. Prevalensi penyakit ini diperkirakan 1 dari 50.000 kelahiran hidup. Sejak tahun 1980 telah dapat dibuktikan bahwa kelainan sindrom Alport terletak pada membran basalis glomerulus (MBG) akibat mutasi genetik pada collagen protein family tipe IV. Secara genetik merupakan penyakit heterogenik dengan x-linked inheritance, baik autosomal recessive maupun autosomal dominant variants. Pada 80% pasien, penyakit ini diturunkan melalui x-linked trait berasal dari mutasi gen COL4A5 pada kromosom x sehingga dapat dijumpai keadaan yang spesifik yaitu tidak akan terjadi penurunan dari seorang bapak ke anak laki-laki karena sifat genetik laki-laki hanya melalui kromosom y, tetapi dapat memberikan kromosom x abnormal kepada anak perempuannya. Perempuan dengan x-linked SindromAlport merupakan karier heterogenik dari penyakit mutasi genetik ini dan dapat menurunkannya kepada anak laki-laki maupun perempuan. Pada autosomal recessive sindrom Alport, mutasi berasal dari gen COL4A3, COL4A4 ataupun COL4A6.
MBG awalnya normal lalu mengalami perubahan menjadi bilaminer lalu multilaminer dan akhirnya mendesak lengkung kapiler glomerulus,glomerulusmenjadi sklerotik, tubulus mengalami atrofi, interstisium mengalami fibrosis. Dengan pemeriksaan antibodi monoklonal dapat diketahui bahwa COL4A3, 4 dan 5 terdistribusi secara
normal pada MBG, kapsul Bowman dan juga pada membran basalis distal collecting tubule, serta pada membranmembran di koklea dan mata, dengan demikian kerusakan yang terjadi pada organ tersebut mempunyai persamaan proses.
PERUBAHAN HISTOLOGIS Perubahan awal berupa penebalan MBG lalu terjadi longitudinal splitting dan memberikan gambaran berlapis (multi-laminated) akibat proses injury and repair, kemudian berlanjut dengan perubahan glomerulus melalui proses glomerulosklerosis.
Biasanya manifestasi klinis berupa hematuri asimtomatik, jarang terjadi gross hematuri, terjadi pada usia muda, mikrohematuri persisten sering terjadi terutama pada anak laki-laki. Pada tahap awal biasanya kreatinin serum dan tekanan darah tidak mengalami perubahan, tetapi dengan berjalannya waktu fungsi ginjal mengalami penurunan secara progresif yang ditandai proteinuria yang semakin persisten dan menjadi gaga1 ginjal tahap akhir pada usia 16 sampai 35 tahun. Variasi gambaran klinis ditentukan oleh besarnya mutasi genetik. Gangguan ekstrarenal yang paling sering didapati adalah hilangnya pendengaran, dimulai dengan hilangnya kemampuan mendengarkan nada-nada tinggi dan akhirnya hilang kemampuan mendengar percakapan normal. Pada mata dijumpai gangguan berupa kurangnya kemampuan lengkung lensa mata (anterior lenticonus), bintik putih atau kuning di daerah perimakular retina, kelainan kornea berupa distrofi polimorfis posterior dan erosi kornea, dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HlPERTENSl
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
berakhir dengan mundurnya ketajaman penglihatan. Megatrombositopenia dapat ditemukan pada tipe autosomal dominant.
pelatihan keterampilan berkomunikasi dengan isyarat, gangguan pada lensa mata dapat diatasi dengan penggantian lensa mata atau penggantian kornea. Dialisis dilakukan pada penyakit ginjal kronik tahap akhir.
DIAGNOSIS Adanya riwayat penyakit ginjal disertai gangguan pendengaran pada anggota keluarga merupakan tuntunan untuk mencurigai sindrom Alport. Hal ini dihubungkan dengan adanya hematuri glomerulus persisten. Pada biopsi ginjal ditemukan adanya kelainan MBG. Perkembangan klinis menuju pada progresivitas penyakit ginjal kronis serta bila mungkin tes genetika adanya mutasi gen COLAAS, COL4A3, COL4A4.
~ r a n s ~ l a n t aGinjal si Dilakukan pada pasien yang sudah pada tahap akhir penyakit ginjal kronik. Dilaporkan bahwa 3 sarnpai 4% dari pasien transplantasi ginjal tersebut mengalami anti-GBM antibody disease dan umumny a terjadi pada tahun pertama pasca transplantasi, terjadi glomerulonefritis kresentik dan berakhir dengan graft loss. Bila terjadi ha1 tersebut maka plasmaferesis dan pemberian Siklofosfamid merupakan pilihan pengobatan. Berulangnya sindrom Alport pasca transplantasi tidak pernah dijumpai sampai saat ini.
DIAGNOSIS BANDING
PENCEGAHAN
1. Penyakit Fabry (Angiokeratoma corporis diffusum universale) 2. Sindrom Nail-patella (Osteo-onychodysplasia) 3. Sindrom nefrotik kongenital. Kelainan ini tanpa disertai gangguan pendengaran.
Pencegahan dapat dilakukan dengan menjalani konsultasi pra-nikah pada seseorang dengan riwayat penyakit ginjal dan ketulian dalam keluarganya. Keadaan tersebut potensial mempunyai risiko terhadap sindrom Alport. Konsultasi dilakukan oleh ahli genetika.
REFERENSI Saat ini belum ada terapi spesifik, terapi lebih banyak ditujukan pada pengendalian keadaan sekunder akibat gangguan fungsi ginjal seperti pengendalian hipertensi dengan menggunakan angiotensin-converting enzyme inhibitors. Obat ini dapat menurunkan tekanan intraglomerulus dan terbukti dapat menurunkan laju progresivitas penurunan fungsi ginjal. Untuk pencegahan terhadap meluasnya ekspansi mesangial dapat diberikan Siklosporin A terutama pada pasien dengan proteinuria berat, sedangkan untuk pengendalian fosfat digunakan pengikat fosfat, serta pengendalian dislipidemia menggunakan statin. Gangguan fungsi pendengaran biasanya permanen sehingga pasien dapat diberikan
Adler, Cohen, Glassock. Secondary glomerulus disease. The kidney. Philadelphia: WB Saunders; 1996. p. 1555-61. Chen D, Jefferson B, Harvey SJ, Zheng K. Cyclosporine A slows the progressive renal disease of alport syndrome (X-linked hereditary nephritis): result from a canine model. J Am Soc Nephro1.2003;14:690-8. Chugh KS, Agarwal VSA, Jha V. Hereditary nephritis (Alport's syndrome)-clinical profile and inheritance in 28 kindreds. Ruminska EZ, Szymczak WS, Moszynski B. Chronic hereditary nephritis with hearing loss (Alport's syndrome). Otolaryngol Pol. 1989;43:401-8. Kahstan CE. Hereditary nephritis (Alport syndrome). Australian Kidney Foundation. Hereditary nephritis (Alport syndrome). Available from: http:!!www.kidney.org.au!.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
SINDROM NEFROTIK Wiguno Prodjosudjadi
PENDAHULUAN Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif >3,5g/hari, hipoalbuminemia <3,5 gldl, hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut hams ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalburninemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respons yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik.
Sindom nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik seperti tercanturn pada Tabel 1. Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam kelompok GN primer, GN lesi minimal (GNLM), glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS), GN membranosa (GNMN), dan GN membranoproliferatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering ditemukan.Dari 387 biopsi ginjal pasien SN dewasa yang dikumpulkan di Jakarta antara
Glornerulonefritis primer: - GN lesi minimal (GNLM) - Glornerulosklerosis fokal (GSF) GN mernbranosa (GNMN) GN mernbranoproliferatif (GNMP) - GN proliferatif lain Glornerulonefritis sekunder akibat: lnfeksi - HIV, hepatitis virus B dan C - Sifilis, malaria, skistosorna Tuberkulosis, lepra Keganasan Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin, rnielorna rnultipel, dan karsinorna ginjal Penyakit jaringan penghubung Lupus eritematosus sisternik, artritis reurnatoid, MCTD (mixed connective tissue disease) Efek obat dan toksin Obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas, penisilinarnin, probenesid, air raksa, kaptopril, heroin Lain-lain : Diabetes rnelitus, arniloidosis, preeklarnsia, rejeksi alograf kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah
-
-
1990- 1999 dan representatif untuk dilaporkan, GNLM didapatkanpada 44,7%, GNMsP (GN mesangioproliferatif) pada 14,2%, GSFS pada 11,6%, GNMP pada 8,0% dan GNMN pada 6,5%. Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya pada GN pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat antiinflamasi non-steroid atau preparat emas organik, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada lupus eritematosus sistemik dan diabetes melitus.
Berdasarkan pemikiran bahwa penyebab SN sangat luas
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
CINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
maka anamnesis dan pemeriksaan fisis serta pemeriksaan urin, termasuk pemeriksaan sedimen, perlu dilakukan dengan cermat. Pemeriksaan kadar albumin dalam serum, kolesterol, dan trigliserid juga membantu penilaian terhadap SN. Anamnesis penggunaan obat, kemungkinan berbagai infeksi, dan riwayat penyakit sistemik lain perlu diperhatikan. Pemeriksaan serologik dan biopsi ginjal sering diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan penyebab GN sekunder. Pemeriksaan serologik sering tidak banyak memberikan informasi dan biayanya mahal. Karena itu sebaiknya pemeriksaan serologik hanya dilakukan berdasarkan indikasi yang kuat.
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (chargebarrier).Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan 1010s tidaknya protein melalui MBG. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan nonselektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG. Pada SN yang disebabkan oleh GNLM ditemukan proteinuria selektif. Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan fusi foot processus sel epitel viseral glomerulus dan terlepasnya sel dari sruktur MBG. Berkurangnya kandungan heparan sulfat proteoglikan pada GNLM menyebabkan muatan negatif MBG menurun dan albumin dapat 1010s ke dalam win. Pada GSFS, peningkatan permeabilitas MBG disebabkan oleh suatu faktor yang ikut dalam sirkulasi. Faktor tersebut menyebabkan sel epitel viseral glomerulus terlepas dari MBG sehingga permeabilitasnya meningkat. Pada GNMN kerusakan struktur MBG terjadi akibat endapan komplek imun di s ub-epitel. Komplek C5b-9 yang terbentuk pada GNMN akan meningkatkan permeabilitas MBG, walaupun mekanisme yang pasti belum diketahui.
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan
protein, sintesis albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemiamerupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut. Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien SN. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan. Mekanisme terjadinya edema pada SN dapat dilihat pada Gambar 1.
KOMPLIUASI PADA Shl Keseimbangan Nitrogen Proteinuria masif pada SN akan menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi negatif. Penurunan massa otot sering ditemukan tetapi gejala ihi tertutup oleh gejala edema anasarka dan baru tampak setelah edema menghilang. Kehilangan massa otot sebesar 1020% dari massa tubuh (lean body mass) tidak jarang dijumpai pada SN.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gambar 1. Mekanisme edema pada sindrom nefrotik
Hiperlipidemia dan Lipiduria Hiperlipidemiamerupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal sampai sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density lipoprotein). Selain itu ditemukan pula peningkatan IDL (intermediate-density lipoprotein) dan lipoprotein (Lp)a, sedangkan HDL (high density lipoprotein) cenderung normal atau rendah. Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Semula diduga hiperlipidemia merupakan hasil stimulasi nonspesifik terhadap sintesis protein oleh hati. Karena sintesis protein tidak berkorelasi dengan hiperlipidemia disimpulkan bahwa hiperlipidemia tidak langsung diakibatkan oleh hipoalbuminemia. Hiperlipidemia dapat ditemukan pada SN dengan kadar albumin mendekati normal dan sebaliknya pada pasien dengan hipoalbuminemia kadar kolesterol dapat normal. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN.
Menurunnya aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoproteinhati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Penurunan kadar HDL pada SN diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterol acyltransferase) yang berfungsi katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktifitas ensim tersebut diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada SN. Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (ovalfat bodies)danfa@ cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria daripada dengan hiperlipidemia.
Hiperkoagulasi Komplikasi tromboemboli sering ditemukanpada SN akibat peningkatan koagulasi intravaskular. Pada SN akibat GNMN kecenderungan terjadinya trombosis vena renalis cukup tinggi sedangkan SN pada GNLM dan GNMP frekuensinyakecil. Emboli paru dan trombosis vena dalam (deep vein thrombosis)sering dijumpai pada SN. Kelainan tersebut disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktivitas berbagai faktor koagulasi intrinsik dan ekstrinsik.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup komplek meliputi peningkatan fibrinogen, hiperagregasi trombosit dan penurunan fibrinolisis. Gangguan koagulasi yang terjadi disebabkan peningkatan sintesis protein oleh hati dan kehilangan protein melalui win.
Metabolisme Kalsium dan Tulang Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolisme kalsium dan tulang pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui urin sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25 (OH),D plasma juga ikut menurun sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan. Karena fungsi ginjal pada SN umumnya normal maka osteomalasi atau hiperparatiroidisme yang tak terkontrol jarang dijumpai. Pada SN juga terjadi kehilangan hormon tiroid yang terikat protein (thyroid-bindingprotein) melalui urin dan penurunan kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas dan hormon yang menstimulasi tiroksin (thyroxinestimulating hormone) tetap normal sehingga secara klinis tidak menimbulkan gangguan. lnfeksi Sebelum era antibiotik, infeksi sering merupakan penyebab kematian pada SN terutama oleh organisme berkapsul (encapsulated organisms). Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, selular, dan gangguan sistem komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas selular. Hal ini dikaitkan dengan keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi dengan normal. Gangguan Fungsi Ginjal Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering menyebabkan timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal. Sindrom nefrotik dapat progresif dan berkembang menjadi PGTA. Proteinuriamerupakan faktor risiko penentu terhadap progresivitas SN. Progresivitas kerusakan glomerulus, perkembangan glomerulosklerosis, dan kerusakan tubulointerstisium dikaitkan dengan proteinuria. Hiperlipidemia juga dihubungkan dengan mekanisme terjadinya glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstisium pada SN, walaupun peran terhadap progresivitas penyakitnya belum diketahui dengan pasti.
Komplikasi Lain pada SN Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa terutama apabila disertai proteinuria masif, asupan oral yang kurang, dan proses katabolisme yang tinggi. Kemungkinan efek toksik obat yang terikat protein akan meningkat karena hipoalbuminemia menyebabkan kadar obat bebas dalam plasma lebih tinggi. Hipertensi tidak jarang ditemukan sebagai komplikasi SN terutarna dikaitkan dengan retensi natrium dan air.
PENGOBATAN Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan nonspesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema, dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid, metalazon, dan atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0,8-1,O glkg berat badanlhari dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin I1 (angiotensin 11receptor antagonists) dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria. Risiko tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan. Walaupun pemberian antikoagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu studi terbukti memberikan keuntungan. Dislipidemia pada SN belum secara meyakinkan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, tetapi bukti klinik dalam populasi menyokong pendapat perlunya mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserid, dan meningkatkan kolesterol HDL.
REFERENSI Agarwal A, Nath KA. Effect proteinuria on interstitium. Effect of products of nitrogen metabolism. Am J Nephrol. 1993;13:37684. Anderson S, Kennefick TM, Brenner BM. Renal and systemic. Manifestation of glomerulus disease. In: Brenner BM, Rector FC, editors. The kidney. 51h edition. Philadelphia: WB Saunders; 1996. p. 1981. Appel G. Lipid abnormalities in renal disease. Kidney Int. 1991;39:169-83. Brenner BM, Hostetter TH, Humes HD. Molecular basis of proteinuria of glomerulus origin. N Engl J Med. 1978;298:826-33. Brenner BM, Meyer TW, Hosteter TH. Dietary protein intake and the progressive nature of kidney disease: the role of
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1003
SINDROMNEFRO~K
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI hemodynamically glomerulus injury in the pathogenesis of glomerulus sclerosis in aging, renal ablation and intrinsic renal disease. N Engl J Med. 1982;307:652-9. Donckenvolcke RA, Walle JGV. Pathogenesis of edem formation in the nephrotic syndrome. Kidney Int. 1997;51(suppl 58):S72S4. Feehally J, Johnson RJ. Introduction to glomerulus disease: clinical presentations. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comphrensive clinical nephrology. 2"* edition. Edinburg: Mosby; 2003. p. 255. Glassock RJ, Brenner BM. The major glomerulopathies. In: Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL, editors. Harrison's principles of internal medicine. 13rdedition. New York: McGraw-Hill; 1994. p. 1295. Haas M, Meehan SM, Karrison TG, Spargo BH. Changing etiologies of unexplained adult nephritic syndrome: a comparison of renal biopsy findings from 1976-1979 and 1995-1997. Am J Kidney Dis. 1997;30: 621-31. Himawan S. Pathological features of glomerulonephritis in Jakarta. Supplement of Abstract and Proceeding of 131h Asian Colloquium in Nephrology. Bali, November 23-25, 2000. Howard AD, Moore J, Gouge SF. Routine serologic tests in differential diagnosis of adult nephritic syndrome. Am J Kidney Dis. 1990;15:24-30. Hricik DE, Chung-Park M, Sedor JR. Glomerulonephritis. N Engl J Med. 1998;339: 888-99. Humprey MH. Mechanisms and management of nephrotic syndrome. Kidney Int. 1994;45:266-81. Jennette JC, Falk RJ. Adult minimal change glomerulopathy with acute renal failure. Am J Kidney Dis. 1990;16:432-7. Jensen H, Rossing N, Anderson SB. Albumin metabolism in the nephritic syndrome in adults. Clin Sci. 1967;33:445-57. Kanwar YS, Liu ZZ, Kashihara N, Wallner El. Current status of the structural and functional basis of glomerulus filtration and proteinuria. Sem Nephrol. 1991;11:390-413. Kaysen G, Gambertoglio J, Felts J, Hutchison F. Albumin synthesis, albuminuria and hyperlipidemia in nephritic syndrome. Kidney Int. 1987;31:1368-76. Koenig KG, Bolton WK. Clinical evaluation and management of hematuri and proteinuria. In: Neilson EG, Couser WG, editors.
Immunologic renal diseases. 1" edition. Philladelphia: Lippincott-Raven. 1997. p. 805. Uhn K, Haas-Wohrle A, Lutz-Vorderbrugge A, Felten H. Treatment of severe nephrotic syndrome. Kidney Int. 1998;53:(suppl 64):S50-S3. Lowenstein J, Schacht RG, Baldwin DS. Renal failure in minimal nephrotic syndrome. Am J Med. 1981;70:227-30. Moorehead JF, Chan EK, El-Nahas M, Varghese Z. Hypothesis lipid nephrotoxicity in chronic progressive glomerulus and tubulointerstitial disease. Lancet. 1982;2:1309-11. Nakao N, Yoshimura A, Morita H. Combination treatment of angiotensin I1 receptor blocker with angiotensin converting enzyme inhibitors in non-diabetic renal disease [COOPERATE]: a randomized controlled trial. Lancet. 2003;361:117-34. Oberbauer R, Haas M, Regele H, Barnas U, Schmidt A, Mayer G. Glomerulus permselectivity in proteinuric patients after kidney transplantation. J Clin Invest. 1995;96:22-9. Sarasin FP, Schifferli JA. Prophylactic oral anticoagulant in nephritic patient with idiopathic membranous nephropathy. Kidney Int. 1994;45:578-85. Savin VJ, Sharma R, Sharma M. Circulating factor associated with increased glomerulus permeability to albumin in recurrent focal segmental glomerulosclerosis. N Engl J Med. 1996;334:87883. Schena FP, Gesualdo L, Grandaliano G, Montinarno V. Progression of renal damage in human glomerulonephritides: Is there sleight of hand in winning the game? Kidney Int. 1997;52:1439-57. Smith JD, Hayslett JP. Reversible renal failure in the nephritic syndrome. Am J Kidney Dis. 1992;19:201-13. Vernier RL, Klein DJ, Sisson SP, Mahan JD, Oegema TR, Brown DM. Heparan sulfate-rich anionic site in the human glomerulus basement membrane. Decreased concentration in congenital nephrotic syndrome. N Engl J Med. 1983;17: 1001-9. Wanner C, Rader D, Bartens W. Elevated plasma lipoprotein (a) in patients with the nephrotic syndrome. Ann Intern Med. 1993;119:263-9. Warwick GL, Packard CJ. Pathogenesis of lipid abnormalities in patients with nephrotic syndromelproteinuria: clinical implication. Miner Electrolyte Metab. 1993;19:115-26.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
VASKULITIS RENAL Aida Lydia
PENDAHULUAN Vaskulitis ditandai oleh inflamasi dan nekrosis pembuluh darah yang dapat menyebabkan iskemia pada jaringan terkait. Umumnya vaskulitis dapat mengenai pembuluh darah dengan berbagai ukuran pada berbagai organ tubuh. Kategori vaskulitis dibuat berdasarkan ukuran pembuluh darah yang terkena, yaitu vaskulitis pembuluh darah besar (large vessel vasculitis), vaskulitis pembuluh darah sedang (medium-sized vessel vasculitis) dan vaskulitis pembuluh darah kecil (small vessel vasculitis). Pembuluh darah ginjal seringkali merupakan target dari berbagai macam penyakit vaskulitis sistemik, terutama yang mengenai pembuluh darah kecil (small vessel vasculitis). Vaskulitis pembuluh darah besar (large vessel vasculitis): Mengenai terutama pernbuluh darah aorta beserta cabang utamanya. Bila ada keterlibatan ginjal biasanya mengenai arteri renalis dengan menifestasi hipertensi renovaskular. Vaskulitis pembuluh darah sedang (medium-sized vessel vasculitis): Terutama mengenai pembuluh darah viseral dan dapat pula mengenai berbagai pembuluh darah ginjal seperti arteri renalis, arteri arkuata dan arteri interlobularis. Inflamasi dan nekrosis pada arteri ini dapat menyebabkan trombosis atau ruptur yang dapat menyebabkan infark dan perdarahan ginjal. Vaskulitis pembuluh darah kecil (small vessel vasculitis):Vaskulitsjenis ini terutama mengenai pembuluh darah yang lebih kecil dari arteri seperti kapiler, venula dan arteriol. Target utama vaskulitisjenis ini pada ginjal adalah glomerulus, oleh karena itu manifestasi utama penyakit ini adalah glomerulonefritis. Vaskulitis pembuluh darah kecilpauce-immune (small vesselpauce-immune vasculitis). Penyakit Granulomatosis Wegener, Churg-Strauss syndrome dan Poliangiitis
mikroskopiktermasuk kelompok ini dan sulit dibedakan satu sama lain. Keterlibatan kapiler glomerulus menyebabkan glomerulonefritis, bila mengenai kapiler alveolus paru menyebabkan perdarahan paru (pulmonary hemorrhage) dan pada keterlibatan venula kulit menyebabkan purpura. Walaupun kompleks imun sirkulasi (circulating immune complex) mempunyai peran dalam patogenesis, namun pada pemeriksaan biopsi tidak dijumpai adanya deposit kompleks imun pada pembuluh darah. Keadaan ini dikenal dengan istilah Pauce-Immune. Diagnosis vaskulitis pembuluh darah kecil Pauce-Immune ditegakkan berdasarkan sindrom yang menyertai penyakit: Granulomatosis Wegener berhubungan dengan inflamasi granulomatosa nekrotik (necrotizing granulomatous injlammation) yang seringkali disertai keterlibatan saluran napas. Churg-Strausssyndrome adalah vaskulitis yang timbul berhubungan dengan asma, eosinofilia dan inflamasi granulomatosa nekrotik (necrotizing granulomatous inflammation). Poliangiitis mikroskopik ditegakkan bila vaskulitis tidak disertai dengan bukti adanya Granulomatosis Wegener atau Churg-Strauss syndrome, misalnya tidak ditemukan asma, eosinofilia, dan bukti inflamasi granulomatosa nekrotik. Penyakit Granulomatosis Wegener, Churg-Strausssyndrome, dan Poliangiitis mikroskopik menunjukkan adanya vaskulitis pada kapiler glomerulus. Pemeriksaan histopatologi pada glomerulonefritiskelompok ini ditandai adanya nekrosis dan pembentukan crescent, disertainya absennya deposit imunoglobulin, sering disebut dengan istilah Pauci-immune crescentic glomerulonephritis. Bila Pauci-immune crescentic glomerulonephritis yang timbul tidak disertai gejala vaskulitis sistemik sering disebut sebagai vaskul it is renal atau idiopathic rapidly progressive glomerulontphritis ('PGN).
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
VASKULITIS RENAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Granulomatosis Wegener, Churg-Strauss syndrome, Poliangiitis mikroskopik, serta Glomerulonefiitiskresentik terisolasi, semuanya berhubungan dengan adanya autoantibodi terhadap komponen sitoplasma neutrofil, yaitu circulating antineutrophil cytoplasmic autoantibody (ANCA). Antigen spesifik terhadap ANCA yang ditemukan pada kasus glomerulonefritis dan vaskulitis adalah terhadap proteinase 3 dan mieloperoksidase (MPO). Hal ini kemudian menyebabkan timbul hipotesis bahwa ANCA mempunyai peranan dalarn patogenesis vaskulitis. Berbagai bukti klinis menunjukkan bahwa ANCA berhubungan dengan aktivitas penyakit, tetapi hubungan ini tidak begitu kuat. Dari observasi in vitro untuk mengetahui bagaimana mekanisme ANCA dapat menimbulkan kerusakan vaskular, diduga bahwa awalnya terjadi stimulasi neutrofil oleh sitokin (cytokine-primed neutrophil) yang dapat timbul akibat infeksi virus, menyebabkan neutrofil mengekspresikan antigen pada permukaan yang mempunyai akses untuk berinteraksi dengan ANCA. Cytokine-primed neutrophil yang terpapar dengan ANCA akan melepaskan Imunoglobulin G (IgG) dari granulnya, yang menghasilkan metabolik oksigen toksik dan membunuh sel endotel pada kultur sel. Kompleks ANCA-Ag diadsorpsi ke dalam sel endotel, kemudian akan terbentuk kompleks imun in situ. Walaupun masih kontroversial, ada pendapat bahwa sel endotel dapat mesintesis PR3 yang dapat pula berperan dalam pembentukan kompleks imun in situ. Netrofil yang diaktivasi oleh ANCA (ANCA activation of netrophils) dimediasi oleh Fab'2 yang terikat pada netrofil dan reseptor Fc. Bila peristiwa ini terjadi invivo akan menyebabkan terjadinya vaskulitis sebagai akibat dari netofil yang menempel, melakukan penetrasi dan kemudian merusak dinding vaskular.
Granulomatosis Wegener, Churg-Strauss syndrome dan Poliangiitis mikroskopik dapat mengenai berbagai usia, namun penyakit ini paling sering timbul pada usia dekade ke 5,6 atau 7. Laki-laki sedikit lebih banyak dari perempuan dan lebih banyak mengenai kulit putih dibanding kulit hitam. Insidensi pertahun di Amerika Utara dan Eropa diperkirakan 1-2 per 100.000 populasi.
Manifestasi klinis Granulomatosis Wegener, ChurgStrauss syndrome, dan Poliangiitis mikroskopik sangat bervariasi, tergantung bagian tubuh yang terlibat, aktivitas, dan perjalanan penyakit akut atau kronik. Ketiga penyakit
ini mempunyai manifestasi yang kurang lebih sama, yaitu gejala vaskulitis pembuluh darah kecil. Pasien dengan Granulomatosis Wegener dan ChurgStrauss syndrome mempunyai tambahan gejala sesuai dengan sindromnya masing-masing. Keterlibatan ginjal sering terjadi pada Granulomatosis Wegener dan Poliangiitis mikroskopik, namun jarang dijumpai pada Churg-Strauss syndrome. Manifestasi renal yang sering dijumpai merupakan gejala keterlibatan glomerulus seperti hematuria, proteinuria, disertai gaga1 ginjal. Gagal ginjal biasanya memberikan gambaran karakteristik seperti rapidly progressive glomerulonephritis (RPGN) pada Granulomatosis Wegener dan Poliangiitis mikroskopik, namun lebih ringan pada Churg-Strauss syndrome. Granulomatosis Wegener dan Poliangiitis mikroskopik dapat juga bermanifestasi sebagai nefritis akut yang indolen atau nefritis kronik. Gejala lain dapat dijumpai manifestasi inflamasi sistemik yang tidak spesifik seperti demam, malaise, anoreksia, penurunan berat badan, mialgia, dan artralgia. Kadang awalnya dirasakan seperti gejala influenza (flu-like illness). Sering ditemukan keterlibatan kulit, misalnya pada Granulomatosis Wegener, Churg-Strauss syndrome maupun Poliangiitis mikroskopik didapatkan lesi purpura yang menunjukkan adanya venulitis dermal. Purpura ini lebih banyak mengenai ekstremitas bawah, sering disertai ulserasi halus setempat (Gambar 1). Lesi nodular pada kulit dapat ditemukan pada Granulomatosis Wegener dan Churg-Strauss syndrome, tetapi sangat jarang pada Poliangiitis mikroskopik. Nodul ini dapat terjadi karena arteritis dermal atau subkutaneus, dan akibat inflamasi granulomatosa nekrotik. Keterlibatan saluran napas atas dan bawah lebih sering terjadi pada Granulomatosis Wegener dan Churg-Strauss syndrome, dan walaupun jarang dapat pula terjadi pada Poliangiitis mikroskopik dengan manifestasi perdarahan paru (pulmonary hemorrhage) akibat kapilaritis hemoragik. Perdarahan paru lebih dominan pada Granulomatosis Wegener, sedangkan pada Churg-Strauss syndrome terutama disertai a s ~ a bronkial. Pada Granulomatosis Wegener dan ChurgStrauss syndrome terjadi kerusakan pan1 yang disebabkan inflamasi granulomatosa nekrotik, pada pemeriksaan radiologi terdeteksi sebagai lesi nodular atau kavitas yang lokasinya dapat berpindah. Pada Poliangiitis mikroskopik tidak dijumpai lesi paru granulomatik. Manifestasi keterlibatan saluran napas atas termasuk rinitis, sinusitis, otitis media, dan inflamasi okular. Gejala ini lebih sering pada Granulomatosis Wegener, namun dapat pula dijumpai pada Churg-Strausssyndrome dan Poliangiitis mikroskopik. Terutama pada GranulomatosisWegener dapat ditemukan gejala destruksi tulang hidung dengan manifestasi perforasi septa1 dan deformitas bentuk hidung. Gejala neurologi berupa neuropati perifer, umumnya mononeuritis kompleks dijumpai terutama pada Churg-Strauss
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
syndrome. Keterlibatan gastrointestinal menimbulkan gejala nyeri abdominal, iskemia mesenterika, perforasi intestinal (jarang), dan pada pemeriksaan feses dapat dijumpai adanya darah. Tabel 1menunjukkan persentase keterlibatan organ pada ketiga penyakit tersebut.
Organ sirtern
Pollanglltls Mlkroskoplk
Granulomatosls Wegner
S1ndrom Churg Streurr
90 40 50 35 60 30 50
80 40 90 90 60 50 50
45 60 70 50 50 70 50
Ginjal Kulit Paru
THT Muskuloskeletal Neurologi Gastrointestinal
SEROLOGI ANCA Pemeriksaan serologi ANCA sangat berguna pada pauci-immune crescentic glomerulonephritis namun harus diinterpretasi dalam konteks sesuai dengan karakteristik pasien. Sensitifitas diagnostik mencapai 8090%, tetapi spesifisitastergantung populasi pasien. Sekitar seperempat pasien dengan anti-GBM crescentic glomerulonephritis dan idiopathic immune-complex crescentic glomerulonephritis memberikan ANCA positif (Tabel 2).
Proteinase 3 Mieloperoksidase (PR31cANCA) (MPOlpANCA) Granulornatosis Wegener Poliangiitis Mikoskopik Churg-Strauss Syndrome Pauci-immune Gkmerulonephritis
Negatif
70
25
5
40
50
10
10
60
30
70
10
Titer ANCA biasanya menurun setelah terapi dan meningkat bila penyakit kambuh. Namun peningkatan titer saja tidak bisa dipakai sebagai dasar untuk perubahan terapi, harus disertai adanya peningkatan aktivitas penyakit secara klinis. ANCA dapat pula positif pada penyakit inflamasi lain seperti kolitis inflamasi, rematoid, penyakit inflamasi liver kronik, endokarditis, dan fibrosis kistik. Pada keadaan ini ANCA tidak spesifik terhadap PR3 atau MPO, tetapi spesifik terhadap Antigen netrofil yang lain misalnya seperti laktoferin, katepsin G.
Lesi glomerular berupa glomerulonefritis nekrotik (necrotizing glomerulonephritis), sering disertai dengan crescent. Pada lesi permulaan yang ringan dijumpai nekrosis fibrinoid segmental dengan atau tanpa crescent. Pada lesi akut yang berat dapat terjadi nekrosis global dengan pembentukan crescent yang luas. Berbeda dengan crescent yang dimediasi oleh penyakit imun kompleks, pada penyakit ini segmen yang non-nekrotik pada glomerulus yang mengalami injuri segmental tampak normal atau mengalami sedikit sekali perubahan. Hal ini berbeda dengan crescent yang dimediasi oleh penyakit imun kompleks (nefritis lupus, nefropati IgA, glomerulonefritis membranoproliferatif) yang secara spesifik ditemukan hiperselularitas endokapiler dan penebalan dinding kapiler pada segmen non-nekrotik. Tambahan pula pada pauci-immune vasculitis bisa dijumpai arteritis renal, terutama pada arteri interlobularis dan angiitis medularis yang mengenai vasa recta. Infiltrat mononuklear terutama eosinofil dapat dijumpai bila lesi glomerulus dan arteri berat.
PERJALANAN ALAMIAH PENYAKIT Sebelum tersedia obat imunosupresan prognosis penyakit ini buruk, kebanyakan pasien meninggal dalam waktu kurang dari 1 tahun. Dengan pengobatan imunosupresan yang adekuat masa harapan hidup pasien dan survival ginjal dalam 1 tahun mencapai 70-80%. Keberhasilandalam pemeliharaan fungsi ginjal dalam jangka waktu panjang berbanding terbalik dengan kadar kreatinin serum pada waktu awal diagnosis.
PENGOBATAN Glomerulonefritis yang cukup berat, yang sampai terjadi gangguan fungsi ginjal memerlukan pengobatan imunosupresan. Pengobatan meliputi 3 fase yaitu fase induksi, fase pemeliharaan, dan fase relaps. Pada fase induksi diberikan kortikosteroid dan obat sitotoksik seperti siklofosfamid. Dengan kombinasi obat ini biasanya terjadi remisi sekitar 75 %. Dosis terapi induksi meliputi Metilprednisolon7 mgKgBB, diberikan intra vena tiga hari berturut-turut dilanjutkan dengan Prednison oral 60 mghari yang di turunkan menjadi 10 mghari dalam waktu 3 bulan. Obat ini dikombinasi dengan Siklofosfamid oral 2 mg/KgBB/hari atau siklofosfamid intravena atau 0,s1 g/m2/bulan.Terapiplasma exchange bermanfaat terutama pada penyakit yang berat, gaga1 ginjal yang tergantung dialisis, atau ada keadaan yang mengancam jiwa seperti pulmonary hemorrhage.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
VASKULITIS RENAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pengobatan pada fase pemeliharaan terdiri dari Siklofosfamid yang dapat diteruskan sampai 6-12 bulan untuk mempertahankan remisi. Sebagai obat altematif pada fase ini dapat digunakan Azatioprin, sebagai contoh Siklofosfamid diberikan sampai 3 bulan kemudian dilanjutkan dengan Azatioprin 2 mg/KgBB/hari untuk mempertahankan keadaan remisi. Kira-kira 25-50% pasien dengan penyakit ini akan mengalami kekambuhan. Pengobatan yang terbaik pada kasus relaps ini belurn diketahui dengan baik. Biasanya digunakan obat seperti halnya pada fase induksi, narnun lebih kurang intensif apalagi bila keadaan rileps dapat dideteksi lebih dini.
REFERENSI Booth AD, Pusey CD, Jayne DR. Renal vasculitis. Nephrol Dial Transplant. 2004;19: 1964-8. Jennette JC. Rapidly progressive crescentic glomerulonephritis. Kidney Int. 2003;63:1164-77. Jennette JC, Falk RJ. Renal and systemic vasculitis. In: Johnson RJ, Feehaly J, editors. Comprehensive clinical nephrology. London: Mosby; 2000. p. 28.1-28.14. Jennette JC, Falk RJ. The pathology of vasculitis involving the kidney. Am J Kidney Dis. 1994;24:130-41. Kallenberg CGM, Brouwer E, Weening JJ, Cohen TJW. Anti neutrophyl cytoplasmic antibodies: current diagnostic and pathophysiologic potential. Kidney Int. 1994;46:1-15. Savage COS. ANCA associated renal vasculitis. Kidney Int. 2001;60:1614-27.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
INFEKSI SALURAN KEMIH PASIEN DEWASA Enday Sukmdar
menyebabkan negatif palsu pada pasien dengan presentasi klinis ISK.
PENDAHULUAN Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering ditemukan di praktik umum, walaupun . bermacam-macam antibiotika sudah tersedia luas di pasaran. Data penelitian epidemiologi klinik melaporkan hampir 25-35% semua perempuan dewasa pernah mengalami ISK selama hidupnya. Infeksi saluran kemih (ISK) tipe sederhana (uncomplicated type) jarang dilaporkan menyebabkan insufisiensi ginjal kronik (IGK) walaupun sering mengalami ISK berulang. Sebaliknya ISK berkomplikasi (complicated type) terutarna terkait refluks vesikoureter sejak lahir sering menyebabkan insufisiensi ginjal kronik (IGK) yang berakhir dengan gaga1 ginjal terminal (GGT). Penggunaan prosedur pencitraan ginjal seperti ultrasonografi (USG) yang tersebar luas di masyarakat termasuk praktik dokter umurn hams berdasarkan indikasi medis yang kuat dan benar. -
lnfeksi Saluran Kemih (ISK) ISK adalah istilah umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme (MO) dalarn win. Bakteriuria bermakna (signifi:cant bacteriuria): Bakteriuria bermakna menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme (MO) murni lebih dari lo5colonyforming units (cfulml) pada biakan urin. Bakteriuria bermakna mungkin tanpa disertai presentasi klinis ISK dinamakan bakteriuria asimtomatik (covert bacteriuria). Sebaliknya bakteriuria bermakna disertai presentasi klinis ISK dinamakan bakteriuria bermakna simtomatik. Pada beberapa keadaan pasien dengan presentasi klinis ISK tanpa bakteriuria bermakna. Banyak faktor yang
Pas~en tela h mendapat terap~a nbm~kroba Terap~dl uret~ka Mtnum banyak Waktu pengamb~lansarnpel tldak tepat Pera nan ba kter~ofag PIurla bermakna (sgnificant pyuna), b~lad temukan netrofll > 10 per lapang pandang
lnfeksi Saluran Kemih (ISK) Bawah Presentasi klinis ISK bawah tergantung dari gender: 1. Perempuan - Sistitis. Sistitis adalah presentasi klinis infeksi kandung kemih disertai bakteriuria bermakna - Sindrom uretra akut (SUA). Sindrom uretra akut adalah presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistitis bakterialis. Penelitian terkini SUA disebabkan MO anaerobik. 2. Laki-laki Presentasi klinis ISK bawah pada laki-laki mungkin sistitis, prostatitis, epidimidis dan uretritis. lnfeksi Saluran Kemih (ISK) Atas 1. Pielonefitis akut (PNA). Pielonefitis akut adalah proses inflamasi parenkim ginjal yang disebabkan infeksi bakteri 2. Pielonefritis kronis (PNK). Pielonefitis kronis munglun akibat lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran kemih dan refluks vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1009
INFEKSI SALURAN KEMIH PASIEN DEWASA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kronik sering diikuti pembentukanjaringan ikat parenkim ginjal yang ditandai pielonefritis kronik yang spesifik. Bakteriuria asimtomatikkronik pada orang dewasa tanpa faktor predisposisi tidak pernah menyebabkan pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal. Data epidemiologi klinik tidak pernah melaporkan hubungan antara bakteriuria asimptomatik dengan pielonefritis kronik.
Infeksi saluran kemih [ISIS) tergantung banyak faktar; seperti usia, gender, prevalensi bakteriuria, d m faktor predisposisi yang rnenyebabkan pe~ubahanstruktur saluran kemih termasuk ginjal. Selama periode usia beberapa bulan dan lebih dari 65 tahun perempuan cenderung menderita ISK dibandingkan laki-laki. ISK befulang pa& l&i-laki jarang dilaporkm, kecuali disertai f&or predispasisi (pencetush Prevalensi bakteriuri asimtomarik lebih sering ditemtlkan pada perempuan. Prevalensi selama periode sekolah (school girls) 1% meningkat menjadi 5% selama periode aktif secara seksual. Prevalensi mfeksi aimtornatik meningkai mencapai 30%, baik laki-laki maupun perempuan bila disertai falctor predispmsisi seperti terlihat pada Tabel 2. rabel2. Faktor Predisposisi (Pencetus) ISK
MIKROORGANISME SALURAN KEMIH Pola mikroorganisme(MO) bakteriuria seperti terlihat pada Tabel 3. Pada umumnya ISK disebabkan mikro-organisme (MO) tunggal: Escherichia coli merupakan MO yang paling sering diisolasi dari pasien dengan infeksi simtomatik maupun asimtomatik Mikroorganisme lainnya yang sering ditemukan seperti Proteus spp (33% ISK anak laki-laki berusia 5 tahun), Klebsiella spp, dan Stafilokokus dengan koagulase negatif Infeksi yang disebabkan Pseudomonas spp dan MO lainnya seperti Stafilokokusjarang dijumpai, kecuali pasca kateterisasi.
Patogenesis Urinary Pathogens Patogenesis bakteriuri asimtomatik menjadi bakteriuri simtomatik dengan presentasi klinis ISK tergantung dari patogenitas bakteri dan status pasien sendiri (host). 1. Peranan Patogenisitas Bakteri. Sejumlah flora saluran cerna termasuk Escherichia coli diduga terkait dengan etiologi ISK. Penelitian melaporkan lebih dari 170 serotipe 0 (antigen) E coli yang patogen. Patogenisitas E. Coli terkait dengan bagian permukaan sel polisakarida dari lipopolisakarin (LPS) seperti terlihat pada Gambar 2.
L~tias~s Obstruks~saluran kem~h Penyakit ginjal polikistik Nekrosis papilar Diabetes mellitus pasca transplantasi glnjal Nefropati analgesik Penyakit Sikle-cell Senggama Kehamilan dan peserta KB dengan tablet progesteron Kateterisasi
Gamhr 2. Wrmukaan Escheri~hiamti
Usia (tahun)
Gsmber 1. Prevalensi babriurla asimtomat'i dengsln usla
HanyaIG serotipe dari 170serotipe OIE. coli yang berhasil diisolasi rutin dari pasien ISK klinis, diduga strain E.coli ini mempunyai patogenisitas khusus. Penelitian intensif berhasil menentukan faktor virulensi E.coli dikenal sebagai virulence determinalis, seperti terlihat pada Tabel 4.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Gram negatif Famili
Genus
Enterobacteriaceae
Escherichia Klebsiella Proteus
Gram positif Spesies coli pneumoniae oxytosa mirabilis vulgaris
Famili
Genus
Spesies
Micrococcaceae
Staphylococcus
aureus
Streptococceae
Streptococcus
fecalis enteroCOCCUS
Enterobacter Providencia Morganella Citrobacter
cloacae aerogenes rettgeri stuartii morganii freundii diversus
Serratia Pseudomonadaceae
Penentu virulensi
Pseudomonas
Alur
Fimbriae
Adhesi Pernbentuk jaringan ikat (scarring)
Kapsul antigen K
Resistensi terhadap pertahanan tubuh Perlengketan (attachment) Resistensi terhadap fagositosis
Lipopolysaccharide side chains (0 antigen) Lipid A (endotoksin) Mernbran protein lainnya
lnhibisi peristalsis ureter Pro-inflarnmatori Kelasi besi Antibiotika Resisten Kernungkinan perlengketan lnhibisi fungsi fagosit Sekuestrasi besi
Bakteri patogen dari urin (urinary pathogens) dapat menyebabkan presentasi klinis ISK tergantung juga dari faktor lainnya seperti perlengketan mukosa oleh bakteri, faktor virulensi, dan variasi fase faktor virulensi. Peranan Bakterial attachment of mucosa. Penelitian membuktikan bahwa fimbriae (proteinaceous hair-like projectionPom the bacterial surface) seperti terlihat pada Gambar 2, merupakan salah satu pelengkap patogenesitas yang mempunyai kemampuan untuk melekat pada permukaan mukosa saluran kemih. Pada umumnya P jimbriae akan terikat pada P blood group antigen yang terdapat pada sel epitel saluran kemih atas dan bawah. Fimbriae dari strain E. coli ini dapat diisolasi hanya dari urin segar. Peranan faktor virulensi lainnya. Kemampuan untuk melekat (adhesion) mikroorganisme (MO) atau bakteri
tergantung dari organ pili atau fimbriae maupun non-jimbriae. Pada saat ini dikenal beberapa adhesion sepertifimbriae (tipe 1, P dan S), non fembrial adhesions (DR haemaglutinin atau DFA component of DR blood group), fimbrial adhesions (AFA-1 dan AFA-III), M-adhesions, G-adhesions dan curli adhesions (2). Sifat patogenisitas lain dari E.coli berhubungan dengan toksin. Dikenal beberapa toksin seperti a-haemolisin, cytotoxic necrotizing factor-1 (CNF- l), dan iron uptake system (aerobactin dan enterobactin). Hampir 95% a-hemolisin terikat pada kromosom dan berhubungan denganpathogenicity islands (PAIS) dan hanya 5% terikat pada gen plasmio. Resistensi uropatogenik E.coli terhadap serum manusia dengan perantara (mediator) beberapa faktor terutama aktivasi sistem komplemen termasuk membrane attack complex (MAC). Mekanisme pertahanan tubuh berhubungan dengan pembentukan kolisin (Col V), K- 1, Tra T proteins dan outer membrane protein (OHPA). Menurut beberapa peneliti uropatogenik MO ditandai dengan ekspresi faktor virulensi ganda. Beberapa sifat uropatogen MO; seperti resistensi serum, sekuestrasi besi, pembentukan hidroksat dan antigen K yang muncul mendahului manifestasi klinis ISK. Gen virulensi dikendalikan faktor luar seperti suhu, ion besi, osmolaritas, pH, dan tekanan oksigen. Laporan penelitian Johnson mengungkapkan virulensi E.coli sebagai penyebab ISK terdiri atasfimbriae type 1 (58%), P-fimbriae (24%), aero bactin (38%), haemolysin (20%), antigen K (22%), resistensi serum (25%), dan antigen 0 (28%). Faktor virulensi variasi fase. Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan untuk mengalami perubahan bergantung pada dari respon faktor luar. Konsep variasi fase MO ini menunjukkan peranan beberapa penentu
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
INFEKSI SALURAN KEMIH PASIEN DEWASA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI virulensi bewariasi di antara individu dan lokasi saluran kemih. Oleh karena itu, ketahanan hidup bakteri berbeda dalam kandung kemih dan ginjal. 2. Peranan Faktor Tuan Rumah (host) Faktor Predisposisi Pencetus ISK. Penelitian epidemiologi klinik mendukung hipotesis peranan status saluran kemih merupakan faktor risiko atau pencetus ISK. Jadi faktor bakteri dan status saluran kemih pasien mempunyai peranan penting untuk kolonisasi bakteri pada saluran kemih. Kolonisasi bakteria sering mengalami kambuh (eksaserbasi) bila sudah terdapat kelainan struktur anatomi saluran kemih. Dilatasi saluran kemih termasuk pelvis ginjal tanpa obstruksi saluran kemih dapat menyebabkan gangguan proses klirens normal dan sangat peka terhadap infeksi. Gambar 3 memperlihatkan dilatasi ureter dan kalises pelvis ginjal pada perempuan hamil.
Genetik
Perilaku
Biologis
Lainnya
Status nonsekretorik
Kelainan kongenital
Senggama
Operasi urogenital
Antigen golongan darah ABO
Urinary tract obs truction Riwayat infeksi saluran kemih sebelumnya Diabetes lnkontinensi
Penggunaan diafragma, kondom. spemisida, penggunaan antibiotik terkini
Terapi estrogen
Kepekaan terhadap ISK rekuren dari kelompok pasien dengan saluran kemih normal (ISK tipe sederhana) lebih besar pada kelompok antigen darah non-sekretorik dibandingkan kelompok sekretorik. Penelitan lain melaporkan sekresi IgA urin meningkat dan diduga mempunyai peranan penting untuk kepekaan terhadap ISK rekuren.
PATOFlSlOLOGl ISK
Gambar 3. Dilatasi kalises pelvis ginjal dan ureter pada kehamilan
Zat makanan dari bakteri akan meningkat dari normal, diikuti refluks MO dari kandung kemih ke ginjal. Endotoksin (lipid A) dapat menghambat peristaltik ureter. Refluks vesikoureter ini sifatnya sementara dan hilang sendiri bila mendapat terapi antibiotika. Proses pembentukan jaringan parenkim ginjal sangat berat bila refluks vesikoureter terjadi sejak anak-anak. Pada usia dewasa muda tidak jarang dijumpai di klinik gaga1 ginjal terminal (GGT) tipe kering, artinya tanpa edema denganltanpa hipertensi. Status imunologi pasien (host). Penelitian laboratorium mengungkapkan bahwa golongan darah dan status sekretor mempunyai kontribusi untuk kepekaan terhadap ISK. Pada Tabel 5 dapat dilihat beberapa faktor yang dapat meningkatkan hubungan antara berbagai ISK (ISK rekuren) dan status sekretor (sekresi antigen darah yang larut dalam air dan beberapa kelas imunoglobulin) sudah lama diketahui. Prevalensi ISK juga meningkat terkait dengan golongan darah AB, B dan PI (antigen terhadap tipe fimbriae bakteri) dan dengan fenotipe golongan darah Lewis.
Pada individu normal, biasanya laki-laki maupun perempuan urin selalu steril karena dipertahankanjumlah dan frekuensi kencing. Uretro distal merupakan tempat kolonisasi mikroorganisme nonpathogenicfastidious Gram-positive dan gram negatif. Hampir semua ISK disebabkan invasi mikroorganisme asending dari uretra ke dalam kandung kemih. Pada beberapa pasien tertentu invasi mikroorganisme dapat mencapai ginjal. Proses ini dipermudah refluks vesikoureter. Proses invasi mikroorganisme hematogen sangat jarang ditemukan di klinik, mungkin akibat lanjut dari bakteriemia. Ginjal diduga merupakan lokasi infeksi sebagai akibat lanjut septikemi atau endokarditis akibat Stafilokokus aureus. Kelainan ginjal yang terkait dengan endokarditis (Stafilokokus aureus) dikenal Nephritis Lohlein. Beberapa peneliti melaporkan pielonefiitis akut (PNA) sebagai akibat lanjut invasi hematogen dari infeksi sistemik gram negatif.
PRESENTASI KLlNlS ISK Setiap pasien dengan ISK pada laki dan ISK rekuren pada perempuan harus dilakukan investigasi faktor predisposisi atau pencetus (Tabel 2). Presentasi klinis ISK atas dan bawah pada pasien dewasa seperti terungkap pada Gambar 4. Pielonefritis akut (PNA). Presentasi klinis PNA seperti panas tinggi (39.5-40S°C), disertai menggigil dan sakit pinggang. Presentasi klinis PNA ini sering didahului gejala ISK bawah (sistitis).
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1012
CINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI rabel6. Klasiflkasi ISK Rekuren d a n Mlkroorganisme M01 Klasifikasi ISK
Patogenesis
-
- -
Sekali-sekali ISK Sering ISK
1
I
Abses perinefnk Ureteritis-
I
ISK setelah terapi Tidak adekuat (relapsing)
+
Nyed supapubik Diuria
Gambar 4. Hubungan antara IoKasi infeks~dengan gejala klin~s
ISK bawah (sistitis). Presentasi klinis sistitis seperti sakit suprapubik, polakisuria, nokturia, diswia, dan stranguria Sindrom uretra akut (SUA). Presentasi klinis SUA sulit dibedakan dengan sistitis. SUA sering ditemukan pada perempuan usia antara 20-50 tahun. Presentasi klinis SUA sangat miskin (hanya disuri dan. sering kencing) disertai cfulml urin 6 minggu dengan mikroorganisme ( M O ) yang berlainan. b). Relapsing infection. Setiap kali infeksi disebabkan mikroorganisme yang sama, disebabkan sumber infeksi tidak mendapat terapi yang adekuat.
KOMPLlKASl ISK
'
Komplikasi 1SK tergantung dari tipe yaitu ISK tipe
Mikroorganisme
Reinfeksi
Berla~nan
Sering episode ISK ISK persisten
Berlainan
Terapi tidak sesuai Terapi inefektif setelah reinfeksi lnfeksi persisten Reinfeksi cepat Fistula enterovesikal
Sarna
Sarna
Sarna Sarna Sarnalberlainan Berlainan
Gender -
-
Laki-laki atau wanita Wanita Wanita atau laki-laki Wanita atau laki-laki Wanita atau laki-laki Wanita atau lakl-taki Wanita atau laki-laki Wanrta atau laki-laki
sederhana (uncomplicated) dan tipe berkornplikasi (cotnplicuted). 1. ISK sederhana (uncomnplic~~ted). ISK akut tipe sederhana (sistitis) yaitu non-obstruksi dan bukan perempuan hamil menipakan penyakit ringan (se/flimiteddisr~~.\c.) dan tidak menyebabkan akibat lanjut jangka lama 2. ISK tipe berkomplikasi (complicated) ISK selama kehamilan. ISK selama kehamilan dari umur kehamilan; seperti terlihat Tabel 7. ISK pada diabetes melitus. Penelitian epidemiologi klinik melaporkan bakteriuria dan ISK lebih sering ditemukan pada DM dibandingkan perempuan tanpa DM.
Kondisi BAS* tidak diobati
ISK trirnesker Ill
Risiko potensial Pielonefritis Bayi prernatur Anemla Pregnancy-induced hypertension Bayi rnengalarni retardas1 mental Perturnbuhan bayi lambat Cerebral palsy Fetal death
* BAS: Basiluria Asimtomatik
Basiluria asimtolnatik (BAS) merupakan risiko untuk pielonefritisdiikuti penurunan.laju filtrasi glomerulus (LFG). Komplikasi et?i/~h):~emutousqvstiti.~,pielonefritis yang terkait spesies kandida dan infeksi Gram-negatif lainnya dapat dijumpai pada DM. Pielonefritis emfisematosa disebabkan MO pembentuk gas seperti E. roli, Cundida spp dan Klostridium tidak jarang dijumpai pada DM. Pembentukan gas sangat intensif pada parenkim ginjal dan jaringan nekrosis disertai hematom yang luas. Pielonefritis emtisematosa sering disertai syok septik dan nefropati akut vasomotor (AVH).
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
INFEKSI SALURAN KEMIH PASIEN DEWASA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Abses perinefrik merupakan komplikasi ISK pada pasien dengan DM (47%), nefiolitiasis (41%) dan obstruksi ureter (20%).
PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSIS ISK Analisa urin rutin, pemeriksaan mikroskop urin segar tanpa putar, kultur urin, serta jumlah kumanlml urin merupakan protokol standar untuk pendekatan diagnosis ISK. Pengambilan dan koleksi urin, suhu, dan teknik transportasi sampel urin hams sesuai dengan protokol yang dianjurkan. Investigasi lanjutan terutama renal imaging procedures tidak boleh rutin, hams berdasarkan indikasi klinis yang kuat (Tabel 8). Renal imaging procedures untuk investigasi faktor predisposisi ISK: Ultrasonogram(USG) Radiografi - Foto polos perut - PielografiIV - Micturating cystogram Isotop scanning
ISK kambuh (relapsing infection) Pasien laki Gejala urologik: kolik ginjal, piuria, hematuria Hematuria persisten Mikroorganisrne (MO) jarang: Pseudomonas spp dan Proteus spp ISK berulang dengan interval 16 minggu
MANAJEMEN ISK lnfeksi Saluran Kemih (ISK) Bawah Prinsip manajemen ISK bawah meliputi intake cairan yang banyak, antibiotika yang adekuat, dan kalau perlu terapi simtomatikuntuk alkalinisasi urin: Hampir 80% pasien akan memberikan respon setelah 48 jam dengan antibiotikatunggal; seperti ampisilin 3 gram, trimetoprim 200 mg Bila infeksi menetap disertai kelainan urinalisis (lekosuria)diperlukan terapi konvensional selama 5- 10 hari Pemeriksaan mikroskopik urin dan biakan urin tidak diperlukan bila semua gejala hilang dan tanpa lekosiuria. Reinfeksi berulang (frequent re-infection) Disertai faktor predisposisi. Terapi antimikroba yang intensif diikuti koreksi faktor risiko Tanpa faktor predisposisi - Asupan cairan banyak
- Cuci setelah melakukan senggama diikuti terapi antimikroba takaran tunggal (misal trimetoprim 200 mg) Terapi antimikroba jangka lama sampai 6 bulan. Sindrom uretra akut (SUA). Pasien dengan sindrom uretra akut dengan hitung kurnan 103-1O5 memerlukan antibiotika yang adekuat. Infeksi klarnidia memberikan hasil yang baik dengan tetrasiklin. Infeksi disebabkan MO anaerobik diperlukan antirnikroba yang serasi, misal golongan kuinolon. lnfeksi Saluran Kemih (ISK) Atas Pielonefrits akut. Pada umumnya pasien dengan pielonefiitis akut memerlukan rawat inap untuk memelihara satus hidrasi dan terapi antibiotika parenteral paling sedikit 48 jam. Indikasi rawat inap pielonefritis akut seperti terungkap pada Tabel 9. The Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga alternatif terapi antibiotik IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam sebelum diketahui MO sebagai penyebabnya: Fluorokuinolon Amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin Sefalosporin dengan spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida.
Kegagalan mernpertahankan hidrasi normal atau toleransi terhadap antibiotika oral Pasien sakit berat atau debilitasi Terapi antibiotik oral selama rawat jalan mengalami kegagalan Diperlukan investigasi lanjutan Faktor predisposisi untuk ISK tipe berkomplikasi Komorbiditas seperti kehamilan, diabetes melitus, usia lanjut
PENCEGAHAN Data epidemiologi klinik mengungkapkan uji saring bakteriuria asimtomatik bersifat selektif dengan tujuan utama untuk mencegah menjadi bakteriuria disertai presentasi klinik ISK. Uji saring bakteriuria asimtomatik hams rutin dengan jadual tertentu untuk kelompok pasien perempuan hamil, pasien DM terutama perempuan, dan pasca transplantasi ginjal perempuan dan laki-laki, dan kateterisasi laki-laki dan perempuan. Bakteriuria Asimtomatik pada Kehamilan Penelitian epidemiologi klinik melaporkan prevalensi bakteriuria asimtomatik pada kehamilan bervariasi antara 2- 10%; dan tergantung dari status sosio-ekonomi. Bila mikroorganisme lain seperti Ureaplasma urealyticum dan Gardnella vaginalis berhasil diisolasi,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENS1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Status
lnsiden
Basiluri asimtomatik - Riwayat ISK sejak anak tanpa pembentukanjaringan ikat - Riwayat ISK sejak anak disertai pembentukanjaringan ikat Sistitis Pielonefritis
4-10% 7% 7% 4% 1-2%
prevalensi bakteriuria asimtomatikmeningkat lebih dari 25%. Tetapi peranan kedua MO tersebut masih belum jelas. Pada kelompok perempuan tidak hamil ditemukan basiluria asimtomatik dua kali berturut-turut MO yang sama mempunyai sensitivitas 95% dan spesivitas 95% untuk cenderung mengalami episode presentasi klinik ISK. Pada kelompok perempuan ini tidak diperlukan terapi antimikroba, cukup irigasi MO dengan asupan cairan yang banyak. Setiap perempuan hamil dengan basiluri asimtomatik harus mendapat terapi antimikroba untuk mencegah presentasi klinis pielonefritis dan komplikasi kehamilannya; seperti terungkap pada Tabel 7. Pada Tabel 10 diperlihatkan insidens ISK selama kehamilan.
Bakteriuria Asimtomatik pada Diabetes Melitus Prevalensi bakteriuri asimtomatikpada perempuan disertai diabetes melitus lebih banyak dibandingkan dengan perempuan tanpa diabetes melitus. Patogenesis kepekaan terhadap ISK diantara pasien diabetes melitus tidak diketahui pasti. Penelitian epidemiologi klinik gaga1 mencari hubungan antara prevalensi bakteriuria asimtomatik dengan kualitas pengendalian hiperglikemia (dengan parameter gula darah puasa dan HbA 1C dan faal ginjal. Peneliti lain Balasoiu D menemukan hubungan faktor risiko gangguan faal kandung kemih (Bladder sfu unction) dengan peningkatan kepekaan terhadap ISK pada diabetes melitus. Disfungsi kandung kemih ini diduga akibat disfungsi saraf autonom dan gangguan fungsi leukosit PMN (opsonisasi, kemotaksis dan fagositosis). Perubahan susunan kimiawi dan konsentrasi protein Tamm-Horsfaal diduga mempengaruhi perubahan bacterial adhesion terhadap sel epitel yang dapat mencetuskan infeksi saluran kemih (ISK). Menurut beberapa peneliti basiluri asimtomatik pada diabetes melitus merupakan faktor predisposisi pielonefritis akut disertai mikrosis papiler dan insufisiensi renal. Basiluria asimtomatik dengan mikroorganisme pembentukan; seperti E.coli, Candida spp dan klostridium dapat menyebabkan pielonefritis emfisematosa disertai syok septik dan vasomotor akut nefropati. Beberapa peneliti lebih cenderung memberikan terapi antimikroba pada basiluria asimtomatik pada pasien dengan diabetes melitus.
Resipien Transplantasi Ginjal Prevalensi bakteriuria asimtomatik cukup tinggi mencapai 35-79% diantara resipien pada 3-4 bulan pertama pasca transplantasi ginjal; diduga terkait dengan indwelling catheter sebagai faktor risiko. Bakteriuria asimtomatik pada resipien ini merupakan risiko pielonefritis akut (graft infection), septikemia diikuti penurunan laju filtrasi glomerulus. Bakteriuria simtomatikdengan presentasi klinis yang muncul6 bulan pertama (late infection) pasca transplantasi ginjal dengan presentasi klinik ringan. Parameter hitung kumadml urin para resipien pasca transplantasi ginjal modifikasi karena diuresis pasca cold ischemic time. Menurut beberapa peneliti, kriteria bakteriuria asimtomatik dengan hitung kumadml urin. Terapi antimikroba untuk bakteriuria asimtomatik pada resipien transplantasi ginjal masih silang pendapat. Sebagian besar peneliti menganjurkan kemoterapi untuk resipien pasca transplantasi ginjal dengan bakteriuria asimtomatik disertai piuri. ISK Berhubungan dengan Kateter Pemasangan kateter jangka lama sering dilakukan pasien usia lanjut. Data penelitian melaporkan prevalensi infeksi nosokomial mencapai 40% diduga terkait pemasangan kateter urin. Bakteriuri asimtomatik dilaporkan 26% diantara kelompok pasien indwelling catheter mulai dari hari-2- 10. Hampir !4 kelompok pasien tersebut diikuti presentasi klinik ISK. Bakteriemia dengan prevalensi 3,6% diduga terkait dari sumber saluran kemih. Peneliti Tambyah dan Maki menemukan catheter-associated UTI sebagian besar asimtomatik. Bakteria patogen yang terkait dengan bakteriuri dengan kateterisasi; seperti E, coli, Enterococcus, Klebsiella, Pseudomonas, Proteus, Enterobacter, dan Candida. Pada umumnya bakteriuri terkait kateter bersifat polimikroba. Sebagianbesar peneliti tidak menganjurkan antibiotika sebagai pencegahan infeksi saluran kemih terkait kateter. Negara maju seperti USA menganjurkan penggunaan kateter urin berselaput campuran perak atau kateter oksida perak untuk mencegah infeksi saluran kemih terkait kateter.
REFERENSI Balasoiu D, Van Kissel KC, Van Kats-Renaud HJ, Collet TJ, Hoepelman AT. Granulocyte function in woman with diabetes and asymptomatic bacteriuria. Diabetic Care. 1997;20:392-5. Bass PF, Jarvis JAW and Mitchell CK. Urinary tract infections. Primary care: clinics in oftice practice. Volume 30. WB Saunders; 2005. Batalla MA, Ballodimus MC, Bradley RF. Bacteriuria in diabetes mellitus. Diabetologic. 1971;7: 297-9. Evans DA, Hennekens CH, Miao L et al. Bacteriuria and subsequent mortality in woman. Lancet. 1982; 1 :156-8.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
INFEKSI SALURAN KEMlH PASIEN DEWASA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Fowler JE. Urinary tract infection and inflammatory, year book Med. Plub Inc; 1989. p. 71-9. Johson JR. Virulence factors in Escherichia coli urinary tract infection. Clin Microbial Rev. 1991;4:80-128. Kunnin CW. Detection, prevention and management of urinary tract infection. 3rd edition. Phil1 Lie & Fabingen Inc; 1974. p. 136-46. Marsh FP. The frequency of dysuria. Urology. In: Blandy JF, editor. Gyford Blackwell Sc; 1976. p. 734-52. Melillo KF. Asymptomatic bacteriuria in oldewr adults: when is it necessary to screen and treat ? Nurse Pract. 1995;20:50-66. Ottolini MC, Sfaer CM, Rushton HG, et al. Relationship of asymptomatic bacteriuria and renal scarring with uropathic bladders who are practising clean intermittent catheterization. J Pediatr. 1995;127:368-72. Patterson TH, Andriole VT. Detection, significance and therapy of bacteriuria and therapy of bacteriuria in pregnancy. Infect Dis Clin Norhi Am. 1997;11:593-608.
Raz R, Stamm WE. A control trial of intravaginal estriol in post menopausal woman with recurrent urinary tract infections. N Engl Med. 1993;329:753-6. Schmaldienst S, Horl WH. Bacterial infection after renal transplantation. Nephrol. 1997;75:140-53. Semetkowska-Jurkiewicz E, Galinsky J, Mannitius A, et al. Results of 10-years follow-up of asymptomatic bacteriuria in diabetic patients. Nephro Dial Transplant. 1990;5:466 (abstract). Sukandar E. Tinjauan umum infeksi saluran kemih. Nefiologi klinik. In: Sukandar E, editor. 3rd edition. 1997. p. 25-43. Stein G & Funfstuck. Asymptomatic bacteriuria: what to do. Nephrol Dial Transplant. 1999;14:1618-21. Tople N & Williams JD. Urinary tract infection in adults. Medicine Int. 1991;4:3604-10. Tolkoff-Rubin RH. Urinary tract infection in the renal transplant recipient. Infectiology. 1997; 1:27-33.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT TUBULOINTERSTISIAL IGde Raka Widiana
PENDAHULUAN Jaringan tubulointerstitialterdiri dari seluruhjaringan ginjal kecuali glomerulus. Istilah nefiitis interstitialispertama kali diperkenalkan oleh Unanue dkk tahun 1966 pada kelinci percobaan yang mengalami glomerolunefritis. Inflamasi atau cedera progresif pada interstitium ginjal akan merusak jaringan ginjal secara luas yang pada akhirnya menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Inflamasi interstitial dapat dimulai dari dalam kompartemen interstitium atau sebagai akibat cedera glomeruler atau vaskuler. Walaupun berbagai cedera tubulointerstitial disebabkan oleh proses toksik, obat, atau infeksi, narnun, sebagian besar proses inflamasi bersifat imunogenik. Infiltrasi sel mononuclear yang terjadi mengakibatkan pelepasan sitokin parakrin, yang secara bersama-sama menyebabkan gangguan lingkungan mikro. Ternyata hubungan antara gangguan struktur glomerulus dan gangguan fungsi ginjal tidak begitu h a t . Sebaliknya kerusakan kompartemen tubulointrstitial berasosiasi lebih kuat dengan kinerja ginjal. Parameter fungsional ginjal seperti klirens inulin, kapasitas konsentrasi maksimal, ekskresi natrium temyata berkorelasi secara kuat dengan skor inflamasi tubulointerstitial. Hubungan antara kelainan tubulointerstitial dan fungsi ginjal skgat erat, ha1 ini dapat dijelaskan dengan beberapa mekanisme, antara lain: Pertama, secara anatomi, aliran urin terhalang dengan obstruksi tubuler akibat proses radang. Inflamasi dan da~am t e n ~ u m b a ttubulus dan meningkatkan tekanan intratubuler. Atrofi tubulus dan debris dalam tubulus menyumbat aliran filtrat glomerulus. Kedua, berkaitan dengan meningkatnya resistensi vaskular dengan cedera tubuler progresif dan fibrosis. Pada keadaan ini volume kapiler peritubuler menurun pada daerah inflamasi,edema fibrosisyang mengakiba& iskhemia
di daerah tersebut. Gangguan aliran keluar arteriola glomerulus mengakibatkan hipertensi intraglomeruler. Hipertensi intraglomeruler mengakibatkan kerusakan glomerulus dan sklerosis mesangial. Ketiga, otoregilasi berupa mekanisme feedbeck tubuloglomerularjuga mengalami giggum. Pada keadaan ini arteriola aferen tidak sensitif terhadap sinyal tubuloglomerular feedback. Mekanisme ini mungkin diperantarai oleh gangguan sistem renin-angiotensin lokal atau gangguan produksi prostaglandin lokal. Keempat, berkaitan dengan atrofi daerah intrestitium dan penipisan epitel sepanjang daerah tubulus proksimal dan thick ascending limb darin loop Henle. Akibat perubahan ini, gradien osmotik ginjal normal mengalami penurunan akibat menurunnya transpor natrium pada daerah loop Henle ini. Hal ini mengakibatkan menurunnya absorpsi air pada filtrat glomerulus yang mengakibatkan hiposteinuria dan poliuria. Meningkatnya kandungan solut dan air pada lumen tubulus akan menurunkan filtrasi glomerulus. Akibatnya, rangsangan produksi renin oleh aparatus juxtaglomerularis menurun. Akibatnya, reaksi vasokonstriksi pada vasa eferen akibat rangsang angiotensin I1 menurun dan filtrasi glomerulus juga menurun.
MEKANlSME CEDERA TUBULOINTERSTISIAL Sumber inflamasi imunogenik dapat berasal dari antigen nefritogenik yang berasal dari sel interstitial dan ekstraselulemya, atau berasal dari sirkulasi. Antigen ini dapat berupa: Antigen dari sel ginjal dan membran basal tubuler Salah satu contoh antigen ini adalah kompleks antigen
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Heyman nephritis. Contoh lain adalah protein TammHorsfall juga dijumpai pada permukaan sel tubulus dan disekresi ke dalam lumen tubulus. Protein Tamm-Horsfall atau uromodulin ini merupakan suatu glikoprotein yang dapat membentuk deposit imun sepanjang basal sel tubulus. Konyugat Hapten-obat Sejumlah golongan penisilin, sefalosporin, fenitoin merupakan antigen ekstrarenal yang membentuk deposit imun. Deposit ini terbentuk lokal in-situ atau berasal dari kompleks sirkulasi. Antigen Akibat Mimikri Molekular Beberapa antibodi streptokoki nefritogenik dapat bereaksi secara silang dengan kolagen tipe IV di daerah interstitium. Selain itu, bakteri E. coli dapat bereaksi silang dengan protein Tamrn-Horsfall.Antibodi anti-DNA dapat mengenal komponen matriks ekstraseluler seperti laminin dan heparan sulfat. Antigen Ekstra-renal Dalam Bentuk Deposit lmun Contohnya, pada nefritis lupus dengan deposit DNA, nefropati IgA, nefropati Sjogren, cryoglobulinemia. Lokasi deposit ini tergantung dari muatan listrik, struktur antigen dan dan antibodi, adanya reseptor Fc, mekanisme aliran ginjal, klirens efektif dan banyak faktor lainnya.
RESPONS IMUN PADA PENYAKITTUBULO INTERSTISIAL
Sebagian besar penyakit tubulointerstitial dimediasi oleh proses imunologik. Antigen target-nya sendiri sebenarnya tidak mampu merangsang reaksi imun. Namun, sebelumnya antigen ini harus di proses dulu oleh APC (antigen presenting cells) yang umumnya adalah sel makrofag dan sel dendritik. Kemudian antigen berupa peptida yang telah diproses ini dipresentasikan pada permukaan sel bersama antigen MHC (major histocompatibility complex) klas I dan klas 11. Secara umum sel T helper yang menginduksi produksi antibodi oleh sel B dan sel efektor mengenal antigen yang diproses dalam kaitannya dengan MHC klas 11. Kemampuan dari sel limfosit T untuk membedakan kompleks peptida-MHC ini diperkuat oleh protein CD4 atau CD8 pada permukaan sel limfosit. Kedua molekul ko-reseptor ini masing-masing dapat mengenal secara spesifik salah satu dari domain immunoglobulin-likeyang bersifat non-polimrorfik yang terdapat pada molekul MHC. Secara spesifik, CD4 berikatan dengan domain P-2 pada semua polipeptida MHC klas I1 dan CD8 berikatan dengan domain P-3 MHC klas I. Pengenalan oleh CD4 atau CD8 , akan memberikan sinyal yang kuat pada sel T. Akibatnya,
sel T CD8 umumnya mengenal peptida yang terikat pada protein MHC klas I dan dikatakan sebagai class-I restricted, sedangkan, CD4 mengenal peptida yang berikatan dengan MHC klas I1 disebut sebagai clas-N restricted. Hal ini merupakan faktor penting dalam menentukan tipe respons imun yang diinduksi oleh antigen tertentu. Antigen sitosolik (berkaitan dengan MHC klas I) urnumnya dikenal oleh sel T sitotoksik CD8, yang dapat membunuh sel-sel terinfeksi yang mempresentasikannya. Di pihak lain, peptida dari jalur endositik (berkaitan dengan MHC klas 11) utamanya dipresentasikan kepada sel T CD4 helper, membantu mengawaii respons sel B (memproduksi antibodi) dalam menyerang antigen ekstraselular. Reseptor sel limfosit T dapat mengenal kompleks MHC-peptida antigen dengan ikatan pada residu spesifif yang terdapat pada peptida dan regio yang sangat polimorfik dari molekul MHC pada dan disekitar lekukan ikatan peptida. Akibatnya, reseptor limfosit T ini dapat membedakan berbagai peptida yang berbeda dan bentukbentuk alele yang berbeda dari protein MHC. Rantai reseptor T disintesis melalui dari genom berbeda yang kemudian ditata kembali. Sel memerlukan paling sedikit dua sinyal yang teraktivasi. Sinyal pertama, dimulai dengan ikatan aloantigen atau antigen yang telah diproses dan dipresentasikan oleh MHC self kepada kompleks TCR (Tcell receptor)/CD3. Sinyal kedua, untuk aktivasi sel T terjadi akibat interaksi antara sejumlah pasangan molekul ligan tambahan (accessory) pada APC dan pada sel T, seperti yang terjadi antara molekul CD28 pada limfosit T dan ligannya B27 pada permukaan APC. Pada ikata ligan spesifik, suatu sinyal dikeluarkan yang akan bekerja secara sinergik bersama-sama sinyal yang diinduksi oleh TCR akan mengaktivasi sel T. Sinyal ganda ini akan men-triger CD4 sel T untuk mengaktivasi ekspresi gen sitokin IL-2 dan reseptor IL-2, yang mengakibatkan induksi ekspresi sitokin lain dan akan mengaktivasi kaskade sel T seluruhnya untuk berjalan, yang pada akhirnya menyebabkan pembelahan sel. Bila sel T di-triger tanpa disertai sinyal kedua, sel akan berubah menjadi anergi yang selain bersifat inaktifjuga menjadi refrakter terhadap setiap sinyal peng-aktif. Dalam beberapa menit saja sel T meninggalkan fase kuisen dalam siklus pembelahan sel (GO). Kejadian spesifik yang menyertai meliputi sintesis DNA, RNA dan protein baru pada permukaan sel. Respons imun dari individu berkaitan dengan kerentanan terhadap penyakit. Toleransi imuqologik terjadi karena kompleks antigen-MHC dari inang (host) tidak mampu merangsang secara efektif respons imun. Pengenalan peptida sendiri (selj) dan peptida asing (nonselfi membuat sistem imun secara seletif ber-reaksi terhadap protein asing (mikroorganisme atau antigen), bukan terhadap protein sendiri (selj). Timus berperan dalam seleksi sel T yang memiliki selektivitas respons terhadap
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
CINJAL HIPERTENS1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI peptida non-self. Gangguan pengenalan ini membuat tubuh bereaksi secara salah terhadap protein sendiri sehingga terjadi penyakit otoimun. Respons imun dapat diperantarai oleh kekebalan yang dimediasi oleh antibodi (antibody-mediated immunity). Antibodi anti-TBM (tubular basement membrane) sering dijumpai pada banyak kasus berupa endapan linier pada membran basal tubulus. Selain itu reaksi imun dapat diperantarai oleh sel (cell-mediated immunity). Pada kasus ini infiltrasi sel mononuclear dijumpai pada lebih dari 50% kasus. Sel-sel tersebut meliputi sel limfosit T, monosit, sel limfosit B, sel plasma, atau NK (natural killer cell). Pada sebagaian besar kasus rasio CD4lCD8 mendekati 1. Kortikosteroid dapat secara nyata menurunkan jumlah limfosit . Selain itu, dijumpai peningkatan ekspresi antigen MHC kls I1 pada sel T dan sel epitel tubulus, serta meningkatnya ekspresi molekul adesi pada sel tubulus seperti ICAM- I (intracellular adhesion molecules-I). Aktivitas sitotoksisitas dari sel T bertanggung jawab terhadap kerusakan sel tubulus yang mengakibatkan atrofi tubulus. Pada kultur sel, dijumpai sel T sitotoksik mensintesis protein dengan aktivitas esterase serin dan proteinpore-performing yang memiliki efek seperti MAC (membrane attack complex) pada kaskade komplemen. Respons imun pada penyakit tubulointerstitial dapat diperantarai oleh proses amplifikasi dan sitokin. Proses amplifikasi adalah proses yang menyertai peristiwa endapan antibodi spesifik, deposisi kompleks imun, infiltrasi sel T yang meningkatkan inflamasi dan cedera jaringan. Proses arnplifikasi ini terdiri dari aktivasi kaskade komplemen yang berakhir pada pembentukan C5b-9 (membrane attack complex), pelepasan sejumlah sitokin dan ensim protease dari sel serta atraksi dan aktivasi sel efektor non-spesifik seperti makrofag dan eosinofil. Selsel ini dikenal bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan lebih lanjut. Dari peristiwa ini diketahui ekspresi C3 pada sel tubulus meningkat. Hilangnya reseptor C5a pada binatang percobaan menurunkan secara nyata cedera interstitial. Komplemen yang teraktivasi berperan dalam patogenesis proteinuria, bersifat kemotaksis, namun, juga dapat berperan dalam klirens kompleks imun, dengan demikian berperan dalam proses penyembuhan. Sel parenkim dan sel infiltrat dapat juga mengekspresikan molekul proinflamasi seperti kemokin yang memiliki kemampuan keniotaksis, seperti IL-8 (interleukin-8), RANTES dan MCP- 1 (monocyte chemotactic peptide-I). Sintesis dan pelepasan endotelin I, suatu peptida yang memiliki sifat-sifat proliferasi dan vasokonstriksi menghasilkan aktivitas kemotaktik dan menarik sel monosit serta merangsangnya untuk menghasilkan sitoki pro-inflamasi. Pada fase lanjut proses imun menyebabkan fibrogenesis dan atrofi tubulus. Sebagian besar fibrosis interstitial disebabkan oleh inflamasi dan cedera yang dimulai dari kompartemen ginjal lainnya. Penctetus non-
spesifik fibrosis ini bisa berasal dari proteinuria glomeiuler atau akibat adanya sel-sel radang pada ruang interstitial. Kedua faktor ini menginduksi keluamya sitokin lokal, yang dapat mengubah epitel interstitial menjadi fibroblas. Fibroblas ini kemudian mengalami proliferasi dan aktivasi sehingga menyebabkan sintesis matriks danlatau mengakibatkan proteolisis, lihat Gambar 1.
Infiltrat interstisial
4 Fibrosis interstitiallatrofitubular
1
Obliterasi kapiler post-glomeruler
1
Atrofi tubplus
A
Glomeruli atubuler
Mekanisme Tubuloglorne~Iar feedback
Penurunan fungsi ginjal
J
1
Penyakit ginjal kronik Gambar 1. Skema lesi tubulointerstisial sampai penyakit ginjal kronik
NEFRlTlS INTERSTITIAL AKUT Epidemiologi Nefritis interstitial akuta (NIA) sering disebut nefritis tubulointerstitialakuta.. NIA dilaporkan bertanggungiawab thd 15% dari gagal ginjal akut.. Diperkirakan 25% gagal ginjal kronik disebabkan oleh cedera ginjal persisten akibat NIA asimtomatik. Pada populasi yang tampak sehat, yang menjalani biopsi ginjal saat mengalami hematuria atau proteinuria, 1% spesimen biopsi menunjukkan gambaran nefritis interstitial. Antara 1- 15% pasien yang mengalami manifestasi gagal ginjal menunjukkan gambaran NIA pada biopsi ginjal. Etiologi NIA paling sering disebabkan oleh obat-obatan, seperti derivat penisilin (khususnya metisilin, sefalosporin), rifampisin, sulfonamid, fenitoin, alopurinol, diuretika golongan furosemid dan tiazid, interferon-alfa, omeprazol,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dan golongan obat anti-inflamasinon-steroid (OAINS), 5aminosalicylic acid (5-ASA), propylthiouracil. Sorafenib, suatu obat kanker sel ginjal tahap lanjut dilaporkan menyebabkan insufisiensi ginjal yang berkaitan dengan NIA, setelah mendapat terapi sorafenib 200 mg dua kali sehari selamalO hari untuk kanker sel ginjal metastasis. Akhir-akhir ini obat penghambat pompa proton (proton pump inhibitor, [PPI]) banyak diresepkan oleh dokter di Amerika, digunakan pada penyakit hiperasiditas lambung. Pada satu riviu dari berbagai literatur di dunia, dilaporkan 64 kasus NIA yang terkait dengan obat PPI, yang 59 diantaranya dibuktikan dengan pemeriksaan biopsi ginjal, lihat gambar 3. Obat PPI yang dilaporkan terkait dengan NIA ini adalah omeprazole (47 kasus), pantoprazole (6 kasus), esomeprazole (3 kasus), lansoprazole (2 kasus), dan rabeprazole (2 kasus), dengan rerata lama pengobatan sebelum NIA 13 minggu (kisaran 2-52 minggu). Pemah dilaporkan pada penggunaan obat tradisional Cina untuk pelangsing dan mushroom. lnfeksi sistemik, seperti difteria, demam-skarlet, endokarditis bacterial akut, infeksi HIV dan infeksi virus Epstein-Barr dan penyakit otoimun seperti sarkoidosis, sindroma Sjogren, SLE, penyakit antimembrana basalis tubulus ginjal, tubulointerstitial nephritis-uveitis (TINU) syndrome merupakan etiologi NIA. Sebagian besar NIA tidak diketahui penyebabnya (idiopatik).Sindroma TINU ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1975. Sampai saat ini 200 kasus TINU telah dilaporkan diseluruh dunia. NIA dilaporkan sebesar 2-3% dari semua gambaran biopsi ginjal dan 10-15% gambaran biopsi ginjal dari pasien dengan acute kidney injury (AKI). lmunoetiopatogenesis Seperti halnya penyakit tubulointertitial pada umumnya, proses kekebalan humoral dan seluler berperan dalam kerusakan jaringan interstitial. Antibodi terhadap membran basalis tubulus dan sel limfosit T berperan dalam reaksi terhadap antigen yang melekat pada membrana basalis. Secara genetik toleransi imunologik menghilang sehinggaterjadi reaksi kekebalan terhadap antigen struktur jaringan badan (self). Kemungkinan imunopatogenesis lain adalah fenomena mimikri molekuler dari hapten yg berasal dari obat atau antigen kuman terhadap jaringan tubulointerstitial. Mungkin juga obat bisa berefek toksik langsung terhadap struktur interstital. Regulasi imunologik dilakukan oleh sel supresor-T, MHC (major histocompatibility complex) seperti dijelaskan di atas..Mekanisme kerusakan jaringan melibatkan efektor yang terdiri dari aktivasi komplemen, kemotaksis sel efektor. Reaksi humoral menyangkut produksi IgE mengakibatkan aktivasi eosinofil, basofil dan sel mast yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas. Mediator yang berperan dalam kerusakan jaringan meliputi ensim protease, leukotrien, superoksida dan peroksida. Tanda utama histopatologik dari NIA adalah infiltrasi sel limfosit dari subset helper-T. Sel ini
berperan dalam hipersensitivitas tipe lambat dengan pelpasan limfokin. Cell-mediated cytotoxicity, dan produksi limfokin memodulasi produksi matriks ekstraselular dan fibroblas. Sel limfosit B CD20 positif dilaporkan ikut berperan dalam inflamasijaringan intertitial ginjal.Bersama dengan sel limfosit T CD3 positif, sel limfosit B CD 20 positif ini membentuk struktur noduler yang lebih besar. Ekspresi mRNA dari kemokin CXCL13 meningkat sebanding dengan mRNA CD20 pada jaringan tubulointerstitial. Protein CXCL13 ini banyak ditemukan pada infiltrat noduler dan berkaitan dengan jumlah sel limfosit B CXCR5 positif. Diduga sel limfosit B CXCR5 positif direkrut melalui kemokin CXCL 13 untuk membentuk struktur mirip folikel intrarenal. Patologi Gambaran utama kelainan patologi adalah edema infiltrasi sel-sel radang ke dalam kopartemen interstitial dengan penjarangan glomemlus. Infiltrat sel radang terdiri dari sel limfosit T yang mengekspresi CD4, monosit, sel plasma dan eosinofil, lihat Gambar 2. Membrana basalis tubulus terputus dijumpai pada kasus yang berat. Pada pengecatan dengan imunoflurosenmunglun dijumpai endapan IgG IgM atau komplemen yang berdistribusi linier atau grander, lihat Gambar 3. Sebagian besar sel epitel tubulus mengekspresi antigen MHC klas I1 dan molekul adesi seperti ICAM-1. Pada penyakit kronik, infiltrat seluler diganti dengan fibrosis yang mengakibatkan bentuk ginjal ireguler dan kontraksi ginjal. Sel tubulus mengalami atrofi dan lumen dilatasi, glomerulus atubuler, suatu glomerulus yang terputus dengan tubulus proksimal, dijumpai pada nefropati cis-platin, nefropati lithium, rejeksi alograf. Sel tubulus yang rusak kemudian mengalami apoptosis. Peristiwa apoptosis diperantarai oleh Fas death receptor, yang mengaktivasi kaskade caspase dengan akibat pemecahan protein intraseluler dan menghilangnya sel. Nefrosklerosis dan glomerulosklerosis terjadi pada kasus lanjut. Pada stadium ini sulit menentukan patologi primernya. Bentuk lain, pembentukan granuloma, seperti pada sarkoidosis dan tuberkulosis. Dalam bentukan granuloma ini dapat ditunjukkan infiltrasi sel raksasa berinti banyak (multinucleated) dan eosinofil pada jaringan interstitium. Dalam granuloma ini sering dijurnpai kalsifikasi dengan nekrosis sentral, lihat Gambar 5. Gejala Klinik Secara klinik NIA mudah ditegakkan, berdasarkan keluhan dan tanda: 1. Perjalanan penyakit beberapa hari sampai bemingguminggu, dengan puncak proses imun sekitar 2 minggu 2. Mneingkatnyakadarkreatinin serum dengan cepat (0,30,5 mg/dl/hari) 3. Triad: febris (pada sekitar 80% kasus), ruam kulit @ada sekitar 50% kasus) dan esonofilia (sekitar 80% kasus)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI yang biasanya terjadi sekitar 10-15 hari setelah dimulai pemberian obat-obatan. 4. Gejala spesifik: pasien yang mengalami infeksi, dengan antibiotika, febris niereda, namun kemudian febris kambuh setelah beberapa hari
Gambar 1. Gambaran eksudat dan fibrosis jaringan interst~sial, atrofi tubulus, dan glomerulus maslh utuh Gambar 4. Gambaran granuloma pada biopsi ginjal dengan NIA. Gambar A, memperlihatkan kalfifikasi (tanda panah); gambar B, infiltrasi sel raksasa berinti banyak (multinucleated) pada jaringan interstitium, gambar C infiltrasi sel eosinofil pada jaringan interstitium, dan gambar D granuloma dengan nekrosis sentral.
Gambar 2. Ei7dapan kompleks irnun pada rnembrana basalis tubulus dengan m~kroskop~munfluoresan
Gambar 3. Blopsi jarum ginjal paslen NIA yang berkaitan dengan pengobatan lansoprazole. Tampak ~nflamasidengan infiltrasi eosinofil pada jaringan interst~tium
Pemeriksaan Penunjang 1. Urinalisis dijumpai proteinuria ringan atau sedang, hematuria mikroskopik, piuria steril dengan silinder leukosit, esonofiliuria (dengan pengecatan hansel, sensitif untuk NIA). Bila dijumpai silinder eritrosit hams dipikirkan penyakit glomeruler. 2. USG menunjukkan ukuran ginjal membesar (nefromegali) 3. biopsi dianjurkan bila dengan presentasi klinik tidak khas. Pada biopsy dijumpai infiltrasi mononuklear (sel plasma atau limfosit) dan kadang-kadang eosinofil, destruksi tubuler. Glomerulus umumnya masih utuh. Fibrosis interstitial dan atrofi tubulus nienunjukkan kerusakan interstitial ireversibel dengan gagal ginjal kronik. Terdapat korelasi yang baik antara derajad fibrosis dengan fungsi ginjal dan prognosis untuk pemulihan. Terapi 1. Pikirkan dan singkirkan bahan atau obat-obat yang potensial menyebabkan NIA 2. obati infeksi sistemik dengan antibiotika atau antivirus 3. periksa secara serial kadar ureum dan kreatinin serum, diharapkan kadarnya menurun dalam beberapa hari setelah faktor penyebab dihilangkan.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1020
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gambar 4. Gambaran granuloma pada biopsi ginjal dengan NIA Gambar A, memperllhatkan kalfifikasi (tanda panah), gambar B, hflltrasr sel raksasa berinti banyak (multinucleated) pada jaringan Jnterstitlum, gambar C infiltras~sel eoslnofil pada jaringan interstitrum, dan gambar D granuloma dengan nekrosis sentral
Gambar 2. Endapan kompleks imun pada membrana basalis tubulua dengan mikroskop ~munfluoresan
Gambar 3. Biopsi larum glnjal paslen NIA yang berkaitan dengan pengobatan lansop~azoke.Tampak inflamasi dengan infiltrasi essinofil pada jarmgan interstdium
Pemeriksaan Penunjang 1. Urinalisis dij~unpaiproteinuria ringan atau sedang, hemamria mikroskopik, piuria steril dengan silinder leukosit, esonofiliuria (dengan pengecatan hansel, sensitif untuk NIA). Bila dijuinpai silinder eritrosit hams dipikirkan penyakit glomeruler. 2. USG menunjukkan ukuran ginjal membesar (nefi-omegali) 3. biopsi dianjurkan bila dengan presentasi klinik tidak khas. Pada biopsy dijumpai infiltrasi mononuklear (sel plasma atau limfosit) dan kadang-kadang eosinofil, destruksi tubuler. GIomerulus umumnya masih utuh. Fibrosis interstitial dan atrofi tubulus nlenunjukkan kerusakan interstitial ireversibel dengan gaga1 ginjal kronik. Terdapat korelasi yang baik antara derajad fibrosis dengan fungsi ginjal dan prognosis untuk pemdiha~~. Terapi 1. Pikirkan dan singkirkan bahan atau obat-obat yang potensial menyebabkan NIA 2. obati infeksi sistemik dengan antibiotika atau antivirus 3, periksa secara serial kadar ureum dan kreatinin serum, diharapkan kadarnya menurun dalam beberapa hari setelah faktor penyebab dihilangkan.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 4. bila gejala klinik dan laboratorik tidak membaik setelah faktor penyebab potensial dihilangkan, dimulai pemberian kortikosteroid. Sebailcnya kortikosteroiddiberikan setelah pemeriksaan biopsi. Biopsi bertujuan untuk mengkofirmasi diagnosis dan kortikosteroid diberikan bisa hasil biopsi tidak menunjukkan fibrosis signifikan. Prednison 1 mglkg BB diberikan selama 4-6 minggu. Bila selama 1-2 minggu terapi prednison tidak ada perbaikan, diberikan kombinasi dengan siklosfosfamid 2 mglkg 88. Bila tidak terjadi perbaikan selarna 5-6 minggu, siklosfosfamid dihentikan dan kortikosteroid diturunkan dengan tapper selama beberapa minggu. Bila terjadi perbaikan fimgsi ginjal setelah terapi kombinasi, terapi ini ditemskan selama 1 tahun. Efek samping siklosfosfamid yang perlu diperhatikan adalah aktivasi infeksi virus laten, sistitis hemoragika dan toksisitas gonadal (sterilitas). Sistitis dapat dihindari dengan rehidrasi selama terapi. 5. Paparan kronik terhadap zat kimia dan obat dapat mengakibatkan gagal ginjal kronik. Bila terjadi gagal ginjal kronik, terapi yang diberikan berupa terapi suportif gagal ginjal kronik. Bila berkembang menjadi gagal ginjal terminal dialysis dan kemudian transplantasi merupakan terapi pilihan.
NEFRIT1S INTERSTITAL KRONIK Patologi Gambaran patologi nefritis interstitial kronik (NIK) bervariasi, mulai dari atrofi tubulus, penipisen sel epitel tubulus, dilatasi tubulus dan infiltrasi sel mononuklear ke dalam kompartemen interstitial diantara tubulus. Membran basalis tubulus umumnya menebal. Kadang-kadang dijurnpai silinder luminal yang terdiri dari neutrofil dan limfosit. Infiltrat seluler terdiri dari limfosit, kadang-kadmg eosinofil, sel plasma clan neutrofil. Pada kasus yang jarang dijumpai perdarahan dan edema dengan infiltrat sel yang didominasi oleh neutrofil. Gambaran imunofluorensen menunjukkan adanya endapan komplemen C3, IgG sepanjang membran basalis dengan distribusi linier. Dengan mikroskop cahaya, tarnpak glomerulus masih normal walapun telah dijumpai penurunan filtrasi glomerulus yang nyata. Bila penyakit berjalan lanjut, kelainan glomerulus seperti fibrosis peri-glomeruler dan glomerulosklerosis bahkan sklerosis global sering dijumpai. Gambaran klinik Pada kebanyakan kasus NIK terdiagnosis melalui skrining dengan dijumpainya kelainan urinalisis atau penurunan h g s i ginjal. Paling sering pasien mengalami keluhan sistemik akibat penyakit dasarnya atau keluhan non-
spesifik gagal ginjal, tergantung derajat gagal ginjal seperti lemah, mual, nokturia atau gangguan tidur. Gambaran laboratorium khas meliputi proteinuria pada kisaran nonnefrotik, hematuria mikroskopik, piuria dan glukosuria. Selain itu, dijumpai gangguan fungsi asidifikasi (pengasaman) dan pemekatan (konsentrasi) urin akibat gangguan hngsi tubulus proksimal atau distal. Kadar asam urat tidak begitu tinggi dan anemia sering dijumpai. Sekitar 50% pasien mengalami hipertensi yang tidak berkorelasi dengan derajad penurunan fungsi ginjal.
Etiologi Secara umum faktor etiologi pada NIA dengan paparan bahan toksik jangka panjang dapat menyebabkan NIK, namun terdapat beberapa gambaran khusus NIK seperti berikut: Nefropati endemik. Nefropati Balkan merupakan salah satu contoh NIK endemik yang terjadi di daerah Bulgaria, bekas Yugoslavia dan Rumania. Penyebabnya belum diketahui, diduga berkaitan denga paparan timah hitam jangka panjang, infeksi sehingga diagnosis dini sulit ditegakkan. Pasien umumnya mengeluh gejala tak spesifik, seperti meningkatnya ekskresi protein tubulus (beta2 mikroglobulin, lisosim, light chain, retinal binding protein), ensimuria (N-acethyl-PD-glucosaminidase), dan menurunnya kapasitas konsentrasi urin. Ekskresi beta-2 mikmglobulin merupakan indikator sensitifuntuk kerusakan awal.. Tidak dijumpai adanya antibodi anti-GBM atau antiTBM. Sekitar 2-47% pasien dilaporkan mengalami tumor uroepitelium. Sarkoidosis. Penyakit sarkoidosis paling sering melibatkan ginjal melalui mekanisme gangguan metablisme kalsium. Sekitar 10-15% pasien dengan sarkoidosis mengalami hiperkalsemia yang menyebabkan pemekatan darah, menurunnya laju filtrasi glomerulus atau nefrokalsinosis atau nefrolitiasis. Walaupun secara patologi, jaringan interstitial mengalami granuloma tanpa pengejuan (non-caseating), namun, tampaknya gangguan fungsi ginjal lebih disebabkan oleh hiperkalsemia,karena dengan pemberian volume cairan fungsi ginjal dapat dikoreksi. Secara epidemiologi sarkoidosis lebih banyak menyerang perempuan dari pada laki-laki. Secara patologi, penyakit ginjal sarkoidosis ditandai dengan dijumpainyagranuloma non-caseating yang terdiri dari limfosit, histiosit dan sel-sel raksasa (giant cells). Luasnya granuloma di ginjal bervariasi, pada beberapa kasus granuloma ini meluas sampai ke korteks, sehingga dapat merusak arkitektur ginjal. Infiltrasi limfosit dan fibrosis periglomeruler fokal sering dijumpai disamping granuloma. Dengan mikroskop imunofluorosen dan mikroskop elektron, tidak dijumpai adanya deposit imun. Dengan terapi kortikosteroid, penyembuhan pasien dapat terlihat dengan membaiknya laju filtrasi glomerulus secara nyata.dan menghilangnya granuloma dan infiltrat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI limfosit pada biopsi. Demikianjuga hiperkalsemia membaik setelah terapi kortikosteroid ini. Siklofosfamid dapat dipakai sebagai terapi alternatif apabila terjadi intoleransi atau refrakter terhadap kortikosteroid. Penyakit lain yang ditandai dengan adanya pembentukan granuloma adalah tuberkulosis, silikosis, histoplasmosis. Mieloma multipel (MM). Mekanisme MM dapat menyebabkan insufisiensi renal terdiri dari cast nephropathy, bersama-sama dengan kontraksi volume cairan badan, hiperkalsemia, nefrokalsinosis dan hiperurikemia. Perubahan patologi khas pada MM adalah ditemukannya silinder protein pada segmen nefron distal yang mengalami atrofi dan dilatasi yang dikelilingi oleh sel-sel raksasa (mungkin berasal dari monosit-makrofag). Silinder ini khususnya mengandung protein Tarnm-Horsfall dan protein light chain. Kelainan lainnya adalah infiltrasi sel mononuklear dan sel plasma di daerah interstitium, kalsifikasi interstitium, deposit amiloid pada penbuluh darah dan glomerulus. Dengan teknik imunofluorosesn, kadang-kadang dijumpai endapan light chain sepanjang membran basal glomerulus dan tubulus. Terapi pada cast nephropathy MM ini terdiri dari kemoterapi, alkalinisasi urin, pemberian cairan hipotonis untuk menginduksi poliuria dan hindari bahan-bahan radiokontras yang bersifat nefrotoksik. Nefritis radiasi. Nefritis radiasi sering terjadi secara akut setelah dalam setahun terapi radiasi. Bentuk kronik, terjadi bila terapi radiasi dilakukan lebih lama dari satu tahun. Namun, akhor-akhir ini dengan perubahan protokol terapi radiasi, nefritis radiasi jarang dilaporkan. Gejala dan tanda nefritis radiasi meliputi penurunan laju filtrasi glomerulus, hipertensi, dan proteinuria. Garnbaran patologi meliputi fibrosis interstitial, namun, karena hipertensi sering berkembang mulai awal penyakit, fibrosis ini sulit dibedakan dengan nefrosklerosis akibat hipertensi. Patogenesis cedera radiasi pada ginjal manusia sulit dijelaskan. Namun, pada binatang percobaan dapat diperlihatkan cedera radiasi menyebabkan pembengkakan sel endotel, kemudian berkembang oklusi vaskular dan atrofi tubulus. Awalnya terjadi peningkatan aliran darah ke ginjal, kemudian diikuti dengan penurunan aliran darah ginjal dan glomerulus dan penurunan laju filtrasi glomerulus. Perubahan-perubahan ini mungkin dimediasi oleh sistem renin-angiotensin. Nefritis radiasi merupakan penyakit yang dose dependent (tergantung dosis radiasi). Sebagian besar nefritis radiasi baru terjadi pada dosis radiasi lebih dari 2300 rad. Risiko nefritis radiasi dapat dikurangi dengan shielding (melindungi daerah ginjal) atau dosis radiasi yang terputusputus. Selama radiasi pemberian obat-obat yang potensial nefrotoksik hams dihindari. Nefropati analgesik (NA). Penggunaan analgetika dosis besar dan jangka panjang secara epidemiologik banyak dikaitkan dengan NIK dan nekrosis papilaris. NA analgesik
umumnya bersifat reversibel. Insidensi NA sangat bervariasi, perampuan lebih sering (5-7 kali) diserang daripada laki-laki. Di Skotlandia, Belgia dan Australia 1020% penyakit ginjal tahap akhir disebabkan oleh NA. Pasien dengan NA umumnya sering mengkonsumsi obat-obat analgetika untuk mengobati sakit kepala, nyeri rematik atau sakit perut. Komponen kafein dalam obat meningkatkan ketergantungan pasien pada obat, selain keluhan yang sering diderita. Satu laporan menyebutkan bahwaNA baru terjadi apabila pasien minum obat 6 tablet selama lebih dari 3 tahun. Juga dilaporkan bahwa untuk terjadinya NA, diperlukan minum obat kombinasi antara analgetikaanalgetika, misalnya diantara aspirin, asetaminofen, fenasetin, kafein atau kodein. Pemberian obat anti-inflamasi non-steroid dosis besarjangka panjang meningkatkan risiko NIK dan gaga1 ginjal. Secara patologi djumpai kelainan non-spesifik atau kelainan spesifik berupa NIK atau nekrosis papilaris, penglisutan (contracted) ginjal. Dengan mikroskop cahaya, dijumpai fibrosis interstitial dan atrofi tubulus dan kadang-kadang infiltrasi mononuklear. Kadang-kadang dijumpai bersama-sama dengan glomerulosklerosis fokal, kalsifikasi interstitial. Kalsikifikasi papiler yang diagnosis dengan non-contrast CT-scan sangat sensitif dan spesifik untuk mendignosis NA. Nefripati asam urat (NAU). Sejak dulu hiperurikemia diiaitkan dengan NIK Nefiipati akibat hiperurikemia disebut gouty nephropathy. Sekitar 11% penyakit interstitial kronik berkaitann dengan gangguan metabolisme asam urat. Harus diperhatikan pasien dengan penurunan fungsi ginjal, kadar asam urat darah biasanya di atas 10 mgldl, ha1 ini berkaitan dengan menurunnya filtrasi glomerulus atau berkaitan dengan pemakaian diuretika. Terapi hiperurikemiapenting untuk mencegah pemburukan fungsi ginjal dengan obat dan diet rendah purin. Hiperkalsemia. Kelainan metabolisme kalsium yang menyebabkan hiperkalsemia atau meningkatnya turn-over kalsium memberikan efek multiplikatif terhadap ginjal. Hiperkalsemia menurunkan laju filtrasi glomerulus melalui mekanisme vasokokstriksi ginjal, menurunnya koefisien ultrafiltrasi glomerulus, dan kontraksi volume akibat gangguan kapasitas konsentrasi ginjal yang disebabkan oleh resistensi hormon vasopresin. Gangguan metabolisme kalsium dapat menyebabkan nefrikalsinosis dengan endapan kalsium di ginjal, disekitar basal membran tubulus, khususnya disekitar tubulus distalis atau tubulus pengumpul (collecting duct). Akibatnya terjadi infiltrasi sel mononuklear dan nekrosis tubuler. Nefrokalsinosis dapat juga terjadi pada pasien normikalsemik dengan meningkatnya absorpsi kalsium (pada penyakit sarkoidosis, intoksikasi vitamin D), penyerapan tulang (neoplasma dan mieloma multipel), atau asidosis tubuler distal. Terapi hiperkalsemia ditujukan terhadap penyakit primer, menurunkan kadar kalsium
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI plasma dan koreksi kelainan asam-basa. Nefropati hipokalemik (NH). Kelainan ini jarang terjadi, disebabkan oleh hipokalemia terus-menerus. NH dapat bersifat penyakit keturunan atau penyakit yang didapat. Bentuk NH yang diturunkan secara genetik disebabkan kelainan yang berkaitan dengan HLA (human leucocyte antigen), dan ditandai dengan pengeluaran kalium oleh ginjal akibat sebab yang tidak diketahui, tekanan darah normal, meningkatnya renin dan aldosteron darah dan meningkatnya ekskresi prostaglandin urin. Secara patologik dijumpai vakuolisasi tubulus proksimal. Patogenesis NH belum jelas, namun dari buktibukti pada tikus percobaan, hipokalemia merangsang amniogenesis (karena berkaitan dengan asidosis intraseluler), yang kemudian merangsang aktivasi komplemen, menarik sel-sel radang ke dalam kompartemen interstitial. Oksalosis. Hiperoksaluria terjadi akibat kelainan bawaan, meningkatnya absorpsi oksalat di usus, atau meningkatnya beban oksalat secara masif dan akut. Ketiga faktor ini dapat mengganggu fungsi ginjal. Hiperoksaluria primer disebabkan gangguan ensim 2-oksaloglutaratglioksalat karboligase (tipe-1) atau gangguan ensim 2-gliseric dehidrogronase (tipe-2). Pasien-pasien ini umumnya mengalami gagal ginjal sebelum usia dewasa. Pasien-pasien dengan penyakit radang usus (influmatory bowel disease) arau bypass ileal-jejunal mengalami peningkatan absorpsi oksalat usus. Ovedosis vitamin C dan minurn etilin glikol menyebabkan presipitasi kristal oksalat intratubuler dan gagal ginjal akut. Nefropati abstruktif (NO). Obstroksi parsial atau total mengakibatkan menurunya laju filtrasi glomerulus dan menurunnya reabsorpsi solut oleh tubulus, gangguan ekskresi kalium dan hidrogen, gangguan kapasitas konsentrasi akibat resistensi vasopresin (diabetes insipidus nefrogenik). Kelainan patologik yang menyertai meliputi fibrosis glomeruler dan tubulus, atrofi tubulus, dan kadang-kadang sklerosis glomeruler fokal. Secara patofisiologik, terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus nefron tunggal akibat menurunnya aliran plasma ginjal dan menurunnya tekanan hidrolik, dan menurunnya jumlah nefron yang masih berfungsi. Mediator-mediator yang berperan terhadap menurunnya laju filtrasi glomerulus nefron tunggal adalah angiotensin 11, tromboksan A2, hormon anti-diuresis dan leukotrien serta nitric oxide. Secara patologik, akibat obstruksi saluran kemih secara akut dan kronik menyebabkan infiltrasi sel mononunklear terutama makrofag dan sel limfoist T CD4 disekitar sel tubulus. Sel-sel ini menghilang setelah tindakan deobstruksi. Infiltrasi sel-sel leukosit mungkin disebabkan oleh pelepasan kemoatraktan lipid oleh ginjal. Pelepasan TGF-P oleh sel-sel infiltrat berperan pada fibrosis interstitial.
Nefropati Lead (timah hitam)-NL. NL banyak terjadi pada paparanjangka panjang sumber-sumbertimah hitam seperti pipa air tipe lama, pot tempat air, cat mengandung timah hitam. Diagnosis NL dapat dibuat dengan dijumpai meningkatnya ekskrasi timah hitam (>0,6 mg124jam) setelah pemberian 1 g disodium EDTA dan dijumpainya penurunan fungsi ginjal. Sinar tembus fluorosen untuk melihat cadangan timah hitam tulang merupakan cara cepat dan non-invasif untuk menentukan adanya paparan timah hitam. Deposit timah hitam umurnnya terjadi pada bagian S3 tubulus proksimal. Adanya nuclear inclusion di daerah ini secara patologi merupakan tanda spesifik NL. Kelainan tubulus ini berkaitan dengan disfungsi tubulus proksimal (banyak dijumpai pada anak-anak) dan sindroma Fanconi. Pada orang dewasa NL ditandai dengan NIK dengan fibrosis interstitial, atrofi tubulus dan nefrosklerosis. Pasien sering mengalami artritis gout rekuren, hiperurikemia, hipertensi. EDTA dianjukan untuk terapi (terapi khelating) dan dipakai untuk kepentingan diagnostik. Nefropati Cadmium (NC). NC dapat terjadi pada individuindividu yang terpapar jangka panjang dengan cadmium, seperti yang terjadi pada pekerja-pekerja peleburan logam. Cadmium terikat dengan metallothionein dan kompleks ini akan di-pinositosis oleh sel tubulus proksimal. Ginjal dan hati adalah dua organ yang terutarna terlibat. Waktu paruh cadmium dalam tubuh lebih dari 10 tahun. Cadmium akan segera disimpan di jaringan setelah paparan akut sehingga kadarnya di dalam darah segera menurun. Eksresi cadmium di urin akan terjadi bila ambang endapan cadmium di ginjal terlampaui. Intoksikasi cadmium menyebabkan disfimgsi tubulus proksimal, hiperkalsiuria dengan nefrolitiasis dan penyakit tulang metabolik dengan manifestasi nyeri tulang. Perjalanan penyakit dan terapi NIK Terapi dasar NIK adalah terapi penyakit primernya dengan usaha mengidentifikasi bahan eksogen penyebab (obat, logam berat) atau kondisi seperti obstruksi dan infeksi dan menghilangkannya. Usaha lainnya, mengendalikan tekanan darah (dengan ACE-inhibitor), terapi kelainan elektrolit, kelainan asam basa, hipenuikemia dan gangguan metabolisme fosfat. Terapi yang lebih spesifik dengan chelating agent untuk intoksikasi timah hitam. Terapi kortikosteroid untuk sarkoidosis
REFERENSI Muller GA, Zeisberg M and Strutz F. The importance of tubulointerstitial damage in progressive renal disease. Nephrol Dial Transplant 2000; 15: S76-S77. Wolf G. Angiotensin 11 as a mediator of tubulointerstitial injury. Nephrol Dial Transplant 2000;15: S61-S63. Kelly CL and Neilson EG dalam Brenner BM (ed). Brenner's and Rector's The Kidney 7Ih ed 2004. Tubulointerstitial diseases, Philadelphia. Pp 1483-15 1 1.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Riott I, Brostoff J & Male D. Major histwompatibility complex and transplantation dalam lmmunology 6Ih ed 1996. Mosby, Edinberg 2001. Pp 426-30. Ross WD Immune system dalam Introduction to Molecular Medicine 2nd ed, 19%. Springer Vedag, New York.:Pp 116. Helderman JH and Goral S. Transplantation immunology dalam Danovitch GM (ed). Hamdbook of kidney transplantation 2nd ed 1996. p 21-23. Little brown and Co, Boston. I-Hong Hsu S and Couser WG. Chronic progression of tubulointerstitial dmage in proteinuric renal disease is mediatad by complement activation: a therapeutic role for complement inhibitor. J Am Soc Nephrol 2003 14 S186-S191. Benigni A. Tubulointerstitial disease mediators of injury: the role of endothelin. Nephrol Dial TranspJant 2000;15: 850852. De Broe M, Stdear JC, Nouwen EJ and FJsevier MM. 5-aminosalicylic acid (5-ASA) and chronic tubulointerstitial nephritis in patients with chronic infl-ammatory bowel disease: is there a link. Nephrol Dial Transplant 1997;12: 1839-1841. Nakahama H, Nakamura H, Kitada 0 pnd Sugita M. Chronic drug induced tubulointerstitial nephritis with renal failure associated with prophylthiouracil therapy. Case report. Nephrol Dial Transplant 1999;14:1263-1265. Izzedine H, Brocheriou I, Rixe 0 , Deray G. Interstitial nephritis in patients taking sorafenib. Nephrol Dial Transplant 2007;22:2411.
Sierra et al. Systematic review: Proton pump inhibitor- associated acute interstitial nephritis. Aliment Pharmacol Ther 2007;26:545. Ricketsm J, Kimel G, Spence J, Weir R. Acute allergic interstitial nephritis after use of pantoprazole. CAMJ 2009; 180(5):5358. Sinnmon KT, Courtney AE, Harron C, O'Rourke DM & Mulan RN. Tubulointerstitial nephritis and uveitis (TINU) syndrome: epidemiology, diagnosis and management. NDT Plus 2008;2:112-6. Moroyama T, Kawada N, Nagatoya K, Yorio M, Imai E and Hori M. Oxidative stress in tubulointerstitial injury: a therapeutic potential of antioxidant towards interstitial fibrosis. Nephrol Dila Transplant 2000; 15: S47-S49. Heller F, Lindenmeyer MT, Cohen CD et al. The contribution of B cells to renal interstitial inflammation. Am J Pathol 2007;170:457-468. Marcussen N. Tubulointer~titialdamage leads to atubular glomeruli: significance and possible role in progression. Nephrol Dial Trandplant 2000; 15: S74-S75. Hughes J. Apoptosis in tubulointerstitial renal disease. Nephrol Dial Tranasplant 2000;15:S55-S57. Joss N, Morris S, Young B, & Geddes C. Granulomatous Interstitial Nephritis. Clin J Am Soc Nephrol 2007;2:222-30.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
BATU SALURAN KEMIH Mochammad Sja'bani
PEAIDAHULUAN
Batu saluran kemih menurut tempatnya digolongkan menjadi batu ginjal dan batu kandung kemih. Batu ginjal merupakan keadaan tidak normal di dalam ginjal, dan mengandung komponen kristal serta matriks organik. Lokasi batu ginjal dijumpai khas di kaliks atau pelvis dan bila akan keluar dapat terhenti di ureter atau di kandung kemih. Batu ginjal sebagian besar mengandung batu kalsium. Batu oksalat, kalsium oksalat, atau kalsium fosfat, secara bersama dapat dijumpai sarnpai 65-85% dari jumlah keseluruhan batu ginjal. Sukahatya dan Muhamad Ali ( 1 975) melaporkan dari 96 batu saluran kemih ditemukan batu dengan kandungan asam urat tinggi, bentuk murni sebesar 24 (25%) dan campuran bersama kalsium oksalat/kalsium fosfat sebesar 76 (79%),sedangkan batu kalsium oksalat/kalsium fosfat sebesar 7 1 (73%). Batu ginjal merupakan penyebab terbanyak kelainan di saluran kemih. Di Negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Australia, batu saluran kemih banyak dijumpai di saluran kemih bagian atas, sedang di negara berkembang seperti India, Thailand, dan Indonesia lebih banyak dijumpai batu kandung kemih. Di daerah Semarang, sejak tahun 1979 proporsi batu ginjal dijumpai relatif meningkat dibanding proporsi batu kandung kemih. Peningkatan kejadian batu pada saluran kemih bagian atas terjadi di abad-20, khususnya di daerah bersuhu tinggi dan dari Negara yang sudah berkembang. Epidemiologi batu saluran kemih bagian atas di Negara berkembang dijumpai ada hubungan yang erat dengan perkembangan ekonomi serta dengan peningkatan pengeluaran biaya untuk kebutuhan makanan perkapita. Di beberapa m a h sakit di Indonesia dilaporkan ada perubahan proporsi batu ginjal dibandingkan batu saluran kemih bagian bawah. Hasil analisis jenis batu ginjal di
Laboratorium Patologi Winik Universitas Gadjah Mada sekitar tahun 1964 dan 1974, menunjukkan kenaikan proporsi batu ginjal dibanding proporsi batu kandung kemih. Sekitar tahun 1964- 1969 didapatkan proporsi batu ginjal sebesar 20% dan batu kandung kemih sebesar 80%, tetapi pada tahun 1970-1974 batu ginjal sebesar 70 persen ( 10 1 - 144 batu) dan batu kandung kemih 30 persen (431144 batu). Di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarangtahun 1979 telah dirawat 166 pasien batu saluran kernih atau 52110.000 pasien rawat inap. Hampir keseluruhan pasien (99%) datang dengan problem medis batu ginjal yang dilaporkan sebesar 35%. Pada tahun 198 1-1983 dilapotkan dari 634 pasien batu saluran kemih didapatkan 337 pasien batu ginjal(53%). Pada tahun 1983 di Rurnah Sakit DR. Sardjito dilaporkan 64 pasien dirawat dengan batu saluran kemih, batu ginjal 75% dan batu kandung kemih 25%. Kejadian batu saluran kemih terdapat sebesar 57110.000 pasien rawat inap. Pada tahun 1986 dilaporkan prevalensi batu saluran kemih sebesar 80/10.000 pasienrawat k i p . Batu ginjal ditemukan 79 dari 89 pasien batu saluran kemih tersebut. Tampaknya proporsi batu ginjal relatif stabil. Di rumah sakit di Amerika Serikat kejadian batu ginjal dilaporkan sekitar 7-10 pasien untuk setiap 1000 pasien rurnah sakit dan insidens dilaporkan 7-21 pasien untuk setiap 10.000 orang dalam setahun.Pengambilanbatu tanpa operasi dengan litotripsi (extra corporeal shockwave lithotripsy) atau penghancuran batu dengan gelombang kejut, telah banyak dilakukan pada beberapa pusat litotripsi.
PATOGENESIS DAN KLASlFIKABI
Pembentukan batu saluran kemih memerlukan keadaan supersaturasi dalam pembentukan batu. Inhibitor
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1026
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
pembentuk batu dijumpai dalam air kemih normal. Batu kalsium oksalat dengan inhibitor sitrat dan glikoprotein. Beberapa promoter (reaktan) dapat memacu pembentukan batu seperti asam urat, memacu batu kalsium oksalat. Aksi reaktan dan inhibitor belum dikenali sepenuhnya. Ada dugaan proses ini berperan pada pembentukan awal atau nukleasi kristal, progresi kristal atau agregatasi kristal. Misalnya penambahan sitrat dalam kompleks kalsium dapat mencegah agregatasi kristal kalsium oksalat dan mungkin dapat mengurangi risiko agregatasi kristal dalam saluran kemih. Batu ginjal dapat terbentuk bila dijumpai satu atau beberapa faktor pembentuk kristal kalsium dan menimbulkan agregasi pembentukan batu. Subyek normal dapat mengekskresikan nukleus kristal kecil. Proses pembentukan batu dimungkinkan dengan kecenderungan ekskresi agregat kristal yang lebih besar dan kemungkinan sebagai kristal kalsium oksalat dalam air kemih. proses perubahan kristal yang terbent& pada tubulus menjadi batu masih belum sejelas proses pembuangan kristal melalui aliran air kemih yang banyak. ~ i ~ ~ bahwa agregasi kristal menjadi cukup besar sehingga tertinggal dan biasanya ditimbun pada duktus kolektikus akhir. selanjutnya secara perlahan timbunan akan membesar. Pengendapan ini diperkirakan timbul pada bagian sel epitel yang mengalami lesi. Kelainan ini kemungkinan disebabkan oleh kristal sendiri.
Sekitar delapan puluh persen pasien batu ginjal merupakan batu kalsium, dan kebanyakan terdiri dari kalsium oksalat atau agak jarang sebagai kalsium fosfat. Jenis batu lainnya terdiri dari batu sistin, batu asam urat dan batu struvit.
FAKTOR RlSlKO PENYEBAB BATU Faktor risiko di bawah ini merupakan faktor utama predisposisi kejadian batu ginjal, dan menggambarkan kadar normal dalam air kemih. Lebih dari 85% batu pada laki-laki dan 70% pada perempuan mengandung kalsium, terutama kalsium oksalat. Predisposisi kejadian batu khususnya batu kalsium dapat dijelaskan sebagai berikut: Hi pe rkalsi ri a Kelainan ini dapat menyebabkan hematuri tanpa ditemukan pembentukan batu. Kejadian hematuri diduga disebabkan kerusakanjaringan lokal yang di~engaruhioleh agregasi kalsium dalam air kemih ~ kristal k i kecil. ~ Peningkatan ~ k ~ ekskresi ~ dengan atau tanpa faktor risiko lainn~a,ditemkan pads setengah dari pembentuk batu kalsium idiopatik. Kejadian hiperkalsiuria idiopatik diajukan dalam tiga bentuk: Hiperkalsiuria absortif ditandai oleh adanya kenaikan absorpsi kalsium dari lumen usus. Kejadian ini paling banyak dijumpai.
Gambar 1. Aspek umum pembentukan batu saluran kemih (dipengaruhi oleh banyak faktor)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1027
BATU SALURAN KEMIH
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Hiperkalsiuria puasa ditandai adanya kelebihan kalsium, diduga berasal dari tulang. Hiperkalsiuria ginjal yang diakibatkan kelainan reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal. Kemaknaan klinis dan patogenesis klasifikasi di atas masih belumjelas. Masalah hiperkalsiuriaidiopatik ini dapat disebabkan oleh: a). diturunkan autonom dominan dan sering dihubungkan dengan kenaikan konsentrasi kalsitriol plasma atau 1,25-dihidroksi vitamin D, ringan sampai sedang; b). masukan protein tinggi diduga meningkatkan kadar kalsitriol dan kecenderungan pembentukan batu ginjal. Faktor yang meningkatkan kadar kalsitriol belum jelas, kemungkinan faktor kebocoran fosfat dalam air kemih dianggap sebagai kelainan primer. Pentrunan kadar fosfat plasma dianggap akan memacu sistesis kalsitriol. Mekanisme ini dijumpai pada sebagian kecil pasien. Hipositraturia Suatu penurunan ekskresi inhibitor pembentukan kristal dalam air kemih, khususnya sitrat, merupakan suatu mekanisme lain untuk timbulnya batu ginjal. Masukan protein merupakan salah satu faktor utama yang dapat membatasi ekskresi sitrat. Peningkatan reabsorbsi sitrat akibat peningkatan asam di proksimal dijumpai pada asidosis metabolik kronik, diare kronik, asidosis tubulus ginjal, diversi ureter atau masukan protein tinggi. Sitrat pada lumen tubulus akan mengikat kalsium membentuk larutan kompleks yang tidak terdisosiasi. Hasilnya kalsium bebas untuk mengikat oksalat berkurang. Sitrat juga dianggap menghambat proses aglomerasi kristal. Kekurangan inhibitor pembentukan batu selain sitrat, meliputi glikoprotein yang disekresi oleh sel epitel tubulus ansa Henle asenden seperti muko-protein TemmHorsfall dan nefrokalsin. Nefrokalsin muncul untuk mengganggu pertumbuhan kristal dengan mengabsorpsi permukaan kristal dan memutus interaksi dengan larutan kristal lainnya. Produk seperti mukoprotein Tamm-Horsfall dapat berperan dalam kontribusi batu kambuh. Hiperurikosuria Hiperurikosuria merupakan suatu peningkatan asam urat air kemih yang dapat memacu pembentukan batu kalsium, minimal sebagian oleh kristal asam urat dengan membentuk nidus untuk presipitasi kalsium oksalat atau presipitasi kalsium fosfat. Pada kebanyakan pasien dengan lebih ke arah diet purin yang tinggi. Penurunan Jumlah Air Kemih Keadaan ini biasanya disebabkan masukan cairan sedikit. Selanjutnyadapat menimbulkan pembentukan batu dengan peningkatan reaktan dan pengurangan aliran air kemih. Penambahan masukan air dapat dihubungkan dengan rendahnya jumlah kejadian batu kambuh.
Jenis Cairan yang Diminum Jenis cairan yang diminum dapat memperbaiki masukan cairan yang kurang. Minuman soft drink lebih 1 liter perminggu menyebabkan pengasaman dengan asam fosfor dapat meningkatkan risiko penyakit batu. Kejadian ini tidak jelas, tetapi sedikit beban asam dapat meningkatkan ekskresi kalsium dan eksresi asam urat dalam air kemih serta mengurangi kadar sitrat air kemih. Jus ape1 dan jus anggur juga dihubungkan dengan peningkatan risiko pembentukan batu, sedangkan kopi, teh, bir, dan anggur diduga dapat mengurangi risiko kejadian batu ginjal. Hiperoksaluria Merupakan kenaikan ekskresi oksalat di atas normal. Ekskresi oksalat air kemih normal di bawah 45 mghari (0,5 mmollhari). Peningkatan kecil ekskresi oksalat menyebabkan perubahan cukup besar dan dapat memacu presipitasi kalsium oksalat dengan derajat yang lebih besar dibandingkan kenaikan absolut ekskresi kalsium. Oksalat air kemih berasal dari metabolisme glisin sebesar 40 persen, dari asam askorbat sebesar 40 persen, dari oksal~tdiet sebesar 10 persen. Kontribusi oksalat dan diet disebabkan sebagian garam kalsium oksalat tidak larut di lumen intestinal. Absorbsi oksalat intestinal dan ekskresi oksalat dalam air kemih dapat meningkat bila kekurangan kalsium pada lumen intestinal untuk mengikat oksalat. Kejadian ini dapat terjadi pada tiga keadaan: a). diet kalsium rendah, biasanya tidak dianjurkan untuk pasien batu kalsium. b). hiperkalsiuria disebabkan oleh peningkatan absorbsi kalsium intestinal. c). penyakit usus kecil atau akibat reseksi pembedahan yang mengganggu absorbsi asam lemak dan absorbsi garam empedu. Peningkatan absorbsi oksalat disebabkan oleh pengikatan kalsium bebas dengan asam lemak pada lumen intestinal dan peningkatan permeabilitas kolon terhadap oksalat. Hiperoksaluria dapat disebabkan oleh hiperoksaluria primer. Kelainan ini berbentuk kerusakan akibat kekurangan enzim dan menyebabkan kelebihan produksi oksalat dari glikoksalat. Ginjal Spongiosa Medulla Pembentukan batu kalsium meningkat pada kelainan ginjal spongiosa, medula, terutama pasien dengan predisposisi faktor metabolik hiperkalsiuria atau hiperurikosuria. Kejadian ini diperkirakan akibat adanya kelainan duktus kolektikus terminal dengan daerah statis yang memacu presipitasi kristal dan kelekatan epitel tubulus. Batu Kalsium Fosfat dan Asidosis Tubulus Ginjal Tipe 1 Faktor risiko batu kalsium fosfat pada umumnya berhubungan dengan faktor risiko yang sama sepcrti batu kalsium oksalat. Keadaan ini pada beberapa kasus
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
diakibatkan ketidakmampuan menurunkan nilai pH air kemih sarnpai normal.
Faktar Diet Faktor diet dapat berperan penting dalam mengawali pembentukan batu. Contoh: Suplementasi vitamin dapat meningkatkan absorbsi kalsium dan ekskresi kalsium Masukan kalsium tinggi dinggap tidak penting, karena hanya diabsorbsi sekitar 6 persen dari kelebihan kalsium yang bebas dari oksalat intestinal. Kenaikan kalsium air kemih ini terjadi penurunan absorbsi oksalat dan penurunan ekskresi oksalat air kemih. Faktor diet yang berperan penting pada kebanyakan pasien, dapat disebabkan oleh: Masukan natrium Morida. Masukan natrium yang tinggi dapat meningkatkan ekskresi kalsium. Hubungan ini diperkirakan disebabkan sebagian oleh reabsorbsi kalsium secara pasif mengikuti natrium dan air pada tubulus proksimal dan sepanjang lengkung Henle. Penurunan reabsorbsi natrium proksimal disebabkan oleh volume berlebih menyebabkan pengurangan transportasi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium air kemih. Peningkatan masukan natrium dari 80 ke 200 meqhari pada pembentuk batu dengan hiperkalsiuria idiopatik, dilaporkan menyebabkan kenaikan ekskresi kalsium sebesar 40 persen (dari 278 ke 384 mglharir atau 7 ke 9,5 mmolhari). Suatu penelitian melaporkan peningkatan risiko pembentukan batu pada perempuan dengan masukan natrium tinggi, namun tidak pada pria. Mekanisme penurunan ekskresi sitrat air kemih akibat masukan natrium tinggi belum jelas. Anion bersama natrium muncul menjadi determinan dari efek ekskresi kalsium. Untuk timbulnya kalsiuresis tampaknya diperlukanklorida. Hasil penelitian pada perawat dilaporkan bahwa pada perempuan dengan masukan natrium kelompok seperlima tertinggi mempunyai risiko relatif sebesar 1,3 untuk timbulnya batu dengan keluhan, dibandingkan kelompok seperlima terendah. Masukan protein. Masukan protein tinggi umumnya dihubungkan dengan peningkatan insidens penyakit batu. Hal ini disebabkan peningkatan kalsium dan asam urat, fosfat dan penurunan ekskresi sitrat. Sebagian besar protein hewani mempunyai proporsi kandungan fosfat 1015 kali dibandingkan kandungan kalsium. Namun, pada keong sawah1emas didapatkan proporsi kalsium yang lebih tinggi dibandingkan kandungan fosfat (2 12/68). Masukan protein dan metabolisme purin dan sulfur menghasilkan asam amino dan asam urat. Keadaan ini akan memacu pembentukan batu kalsium. Hal ini disebabkan peningkatan ekskresi kalsium dan asam urat dan penurunan ekskresi sitrat. Gangguan ini dapat diperberat dengan masukan natrium tinggi. Kenaikan ekskresi kalsium dalam air kemih dapat pula disebabkan oleh penglepasan kalsium dari
tulang. Penurunan pH air kemih disebabkan oleh peningkatan asam air kemih. Penurunan pH dapat menyebabkan presipitasi asam urat menjadi nidus pembentukan batu kalsium. Presipitasi kalsium oksalat berbeda dengan presipitasi asam urat karena tidak tergantung pada pH. Pembentukan batu bertambah dengan kenaikan turunan asam urat dan kenaikan ekskresi asam urat. Penurunan pH cairan tubular dapat menurunkan ekskresi sitrat disebabkan oleh peningkatan reabsorbsi sitrat di proksimal. Peningkatan ion hidrogen akan mengubah anion sitrat valensi tiga menjadi anion sitrat valensi dua, yang lebih mudah diabsorbsi kembali lewat ko-transport natrium-sitrat pada membran luminal. Penurunan pH intraselular berperan dalam peningkatan pemakaian sitrat oleh sel. Pengurangan sitrat dalam sel menyebabkan sitrat mengalir dari lumen tubular ke dalam sel. Hipositraturia akibat asidosis dapat menambah pembentukan batu pada pasien dengan diet protein tinggi, pasien dengan diare kronik atau dengan minum obat inhibitor asetazolamid. Masukan Kalsium. Masukan kalsium memiliki efek paradoks pada pembentukan batu. Untuk setiap peningkatan masukan kalsium 100 mg, pada subyek normal dilaporkan sekitar delapan persen diabsorbsi dan kemudian diekskresi dan pada pasien hiperkalsiuria sebesar 20 persen. Diet kalsium tinggi diperkirakan dapat menimbulkan penyakit batu, meskipun insidens pembentukan batu ditemukan menurun pada kelompok pria dan perempuan. Pengikatan oksalat diet dalam usus lebih dapat menjelaskan terjadinya pengurangan absorbsi dan pengurangan ekskresi oksalat air kemih. Besarnya pengurangan persentase kenaikan ekskresi kalsium, bila ekskresi oksalat lebih rendah dibandingkan ekskresi kalsium. Supersaturasi relatif air kemih terhadap kalsium oksalat ditemukan menurun. Masukan diet tinggi kalsium dihubungkan dengan kejadian batu ginjal yang rendah pada penelitian kesehatan "perawat" mengubah pandangan tentang ekskresi oksalat dalam air kemih. Risiko relatif batu dilaporkan sebesar 0,65 pada kelompok masukan kalsium tertinggi dibanding dengan kelompok masukan kalsium terendah. Sebaliknya masukan tambahan kalsium dilaporkan meningkatkan risiko relatif sebesar 1,2 dibanding kelompok tanpa masukan tambahan kalsium. Perbedaan hasil diduga karena perbedaan saat pemberian masukan kalsium. Pemberian masukan kalsium pada waktu makan akan mengikat masukan oksalat secara maksimal. Bila diberikan di luar saat makan, kalsiurn kehilangan kesempatan mengikat masukan oksalat, sehingga oksalat tetap diekskresi dan kalsium tetap bebas dalam lumen intestinal. Akhirnya akan terjadi kenaikan absorbsi kalsium dan kenaikan ekskresi kalsium dalam air kemih. Masukan kalium. Diet tinggi kalium dapat mengurangi risiko pembentukan batu dengan menurunkan ekskresi kalsium dan dengan meningkatkan ekskresi sitrat dalam air
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
BATU SALURAN KEMlH
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kemih. Dua hsrsil' penelitian medapatkan penurunan risiko pembentukan batu dengan masukan kalium. Penefitian secara acak dengan suplemen kalium sitfat menunjukkan efek protektif. Snkrosa. Telah diketahui bahwa sukrosa dan ruranan karbohidrat lainnya dapat meningksrtkan ekskresi kalsium dalam air kemih dengan mekanisme yang belurn diketahut. Dalam dua penelitian yang melibatkan perempm, masukan tinggi sukrosa berhubungan dengan peningkatan risiko pembentukan batu, namun tidak pada laki-laki. Viiamgn. Vitamin C (asam askorbat) dalam dosis besar m e ~ p a k a nsalah satu risiko pernbentukan batu kalsium oksaIat. Secara in vivo, asarn askorbat dimetaboiisirmenjadi oksalat yang diekskresikan dalam air kemih. Suatu penelitian potong Iintang berskala b e s a ~mendapatkan peningkatan tisiko pemberrtukan batu pada taki-laki dan perempuan yang mengkonsumsi suplemen vitamin C. Namun, dalam pehelitian prospektif didapztkan tidak adanya hubungan antara risiko pembentukan batu dengan masukan vitamin C meskipun dalam dosis tinggi iebih dari 1500trrgIhr. Hal ini murigkin dise'bakan oleh masukm vitamin C yang relatif tinggi pada kelompok referensi yang mengurangi tingkat ketelitian pada perbedm yang tipis, sehingga masih merupakan ha1 yang mungkin bahwa masukan vitamin C dengan dosis tinggi meningkatkanrisiko pembenmkan batu. Vitamin B6 (piridoksin) bemanfaat mengurangi ekskresi oksalat dalam air kemih pada pasien dengan hiperoksaluria idiopatik. Suatu penelitian mendapatkan penurunan risiko pembentukan batu pada perernpuan yang mengkonsurnsi v h h B6 lebih dari 40mgl Pa; n a m tidak pada laki-laki. k s a m lemak. Suatu penelitian jangka pendek menunjukkan penorunan ekskresi kalsium air kemih pada pasien hiperkalsiuria idiapatik setelah pemberian suplemen kapsul minyak ikan (eicosapentanoic acid). Pemberian suplemen kapsul minyak ikan pada 12 pembentak batu hiperkalsiuria selama 8 minggu memnmkan ekskresi kalsium air kemih sebesar 36% dan ekskresi oksalat sebesar 5 1%. Masukan air. Peningkatan volume masukan air dapat mengurangi risiko pembentukan batu sehingga sangat dianjurkan bagi para pasien batu ginjal, maupun untuk proteksi. Suatu penelitian pada insidensi pembentukan batu dan suatu studi acak terkontrol mendapatkan bahwa peningkatan masukan air menurunkan pembentukan batu. Dengan meningkatnya volume air kemih maka tingkat kejenuhan kalsium oksalat menurun sehingga mengurangi kemungkinan pembentukan kristal.
EVALUASI PASlEN BATU GINJAL Besarnya nilai faktor risiko dalam menimbulkan penyakit batu bervariasi sesuai dengan populasi yang ada.
Pengenalan ke semua faktor risiko ba?u gisrjaI diperlukan
unmk tidakan evalmsi darr tindakan pengobatan pasien dengan penyakit batu kambuh. Cara penetapan diagnosis p y e b a b batu: I. Riwayat penyakit b&u(ditaPryakanjenis kelamin, usia, pekerjaan, hubungm keadaan penyakit, infeksi dan penggunaan obat-obatan. Riwayat t m a n g keIuarga yang menderita batu saluran kemilr, perrcegahan, pengobatan yang telah dilakukan, cara pengambilan batu, analisis jenis barn, dan situasi batmya). 2. Gambaran batu saiuran kemih dilakukan pemeriksaan: a. Uhasunografi dapat menunjukkan ukuran, bentuk dan posisi batu pemeriksmn ini diperlukan pada perempuan hamil dan pasien yang afergi kontras radiologi dapat diketahui adanya batu radiolusen dan dilatasi sistem kolektikus. Keterbatasan pemeriksaan ini adalah kesulitan untuk menunjukkan batu ureter, dan tidak dapat membedakan batu kalsifikasi dan batu radiolusen. b. Pemeriksaan radiografi F d o abdomen biasa dapat menunjukkan ukuran, bentuk dan posisi membedakan batu kalsifikasi densitas tinggi: kalsium oksalat dan kalsium fosfat densitas rendah: strwife, sistin, dan campuran keduany a indikasi dilakukan uji kualitatif sistin pada pasien muda Keterbatasan pemeriksaan foto sinar tembus abdomen adalah tidak dapat untuk menentukan batu radiolusen, batu kecil dan batu yang tertutup bayangan struktur tulang. Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan batu dalarn ginjal dan batu luar ginjal. c. Urogram Deteksi batu radiolusen sebagai defek pengisian (filling) (batu asam urat, xantin, 2,8dihidroksiadenin ammonium urat) Menunjukkan lokasi batu dalam sistem kolektikus Menunjukkan kelainan anatomis d. CT-scan helikal dan kontras 3. Investigasi biokimiawi Pemeriksaan laboratorium rutin, sampel dan air kemih. Pemeriksaan pH, berat jenis air kemih, sedimen air kemih untuk menentukan hematuri, leukosituria, dan kristaluria. Pemeriksaan kultur kuman penting untuk adanya infeksi saluran kemih. Apabila batu keluar, diperlukan pencarian faktor risiko dan mekanisme timbulnya batu.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Perlu dilakukan: penampungan air kemih 24 jam (atau waktu tertentu) pengurangan pH air kemih penampungan air kemih dengan bahan pengawet 10 mL timol5% di dalam isopropanol untuk 2 L, atau 15mLHC16N pemeriksaan serum mengikuti protokol diet Cara Pengumpulan air kemih pada hari penampungan air kemih, air kemih dibuang sesudah bangun pagi dan dicatat waktu pengosongan air kemih sesudahnya, semua air kemih ditampung ke dalam botol. Diusahakanjangan ada air kemih yang hilang, tampungan disimpan dalam tempat dingin penampungan sampai dengan waktu yang sama dengan sehari sebelumnya bila pengumpulan lengkap, kemudian dibawa ke laboratorium secepatnya
PENGOBATAN Tujuan pengobatan : Mengatasi Gejala. Batu saluran kemih dapat menimbulkan keadaan darurat bila batu turun dalam sistem kolektikus dan dapat menyebabkan kelainan sebagai kolik ginjal atau infeksi di dalam sumbatan saluran kemih. Nyeri akibat batu saluran kemih yang dapat dijelaskan lewat dua mekanisme: (I) dilatasi sistem sumbatan dengan peregangan reseptor sakit dan (2) iritasi lokal dinding ureter atau dinding pelvis ginjal disertai edema dan penglepasan mediator sakit. Keluhan nyeri kolik batu saluran kemih dapat dilakukan diagnosis banding dengan keadaan seperti: a). Kolik ginjal akibat penyakit urologi yang lain, seperti aliran bekuan darah, aliran jaringan nekrotik, striktur, kompresi atau angulasi berat ureter, b). Nyeri abdomen oleh sebab lain, seperti gastrointestinal (apendisitis, kolesistitis, batu empedu, pankreatitis), vaskular (infark ginjal, infark limpa, aneurisma aorta), ginekologi (kista ovarium, adneksitis, kehamilan ektopik, endometriosis), dan lainnya (abses psoas, infark jantung, diabetes mellitus, feokromositoma). Sumbatan dalam sistem kolektikus tidak selalu dihubungkan dengan kolik ginjal. Kombinasi nyeri pinggang dan febris merupakan petanda, infeksi saluran kemih dan dilatasi sistem kolektikus yang merupakan petanda timbulnya kedaruratan untuk menghilangkan sumbatan. Pengobatan hanya dengan pemberian antibiotiksaja kurang memadai. Infeksi progresif menyebabkan sepsis urologi dan dilaporkan mortalitasnya lebih dari 50%. Tindakan emergensi ditujukan kepada pasien dengan kolik ginjal. Pasien dianjurkan untuk tirah baring dan dicari penyebab lain. Berikan spasme analgetik atau inhibitor
sintesis prostaglandin (intravena, intramuskular, atau supositoria). Pengambilan Batu. a). Batu dapat keluar spontan. Bila masalah akut dapat diatasi, gambaran radiologis yang ditemukan adalah merupakan basis penanganan selanjutnya. Berdasarkan ukuran, bentuk dan posisi batu dapat diestimasi batu akan keluar spontan atau hams diambil. Sekitar 60-70% dari batu yang turun spontan sering disertai dengan serangan kolik ulangan. Diberikan terapi atau untuk pencegahan kolik, dijaga pembuangan tinja tetap baik, diberikan terapi antiedema dan diberikan diuresis, serta aktivitas fisis. Batu tidak diharapkan keluar spontan bila batu ukuran sebesar atau melebihi 6mm, disertai dilatasi hebat pelvis, infeksi atau sumbatan sistem kolektikus dan keluhan pasien terhadap nyeri dan kerapan nyeri. Bila diperkirakan tidak memungkinkan keluar spontan dilakukan tindakan pengambilan batu dan pencegahan batu kambuh. b). Pengambilan batu: gelombang kejutan litotrips ekstrakorporeal, perkutaneous nefrolitomilcara lain, pembedahan Pencegahan (Batu Kalsium Kronik-kalsium Oksalat) a. Menurunkan konsentrasi reaktan (kalsium dan okasalat) b. Meningkatkan konsentrasi inhibitor pembentukan batu Sitrat (kalium sitrat 20 mEq tiap malam hari, minum jeruk nipis atau lemon sesudah makan malam) Batu ginjal tunggal (meningkatkan masukan cairan, mengkontrol secara berkala pembentukan batu baru) c. Pengaturan diet Meningkatkan masukan cairan Masukan cairan terutama pada malam hari akan meningkatkan aliran kemih dan menurunkan konsentrasi pembentuk batu dalam air kemih. Dari hasil uji coba didapatkan pada tahun ke-5 insidensi pembentukan batu baru pada kelompok banyak minum 12% dibanding kelompok kontrol27%. Pada kelompok pembentuk batu jumlah air kemih harian ditemukan 250-350 ml lebih sedikit dibanding kelompok kontrol. Hindari masukan minum gas (softdrinks) lebih 1 liter perminggu. Ditemukan kekambuhan batu sebesar 15 persen lebih tinggi dalam 3 tahun dibandingkan kelompok peminum cairan lain. Kurangi masukan protein (sebesar I glkg berat badanlhari). Masukan protein tinggi dapat meningkatkan ekskresi kalsium, ekskresi asam urat , dan menurunkan sitrat dalam air kemih. Protein binatang diduga mempunyai efek menurunkan pH air kemih lebih besar dibandingkan protein sayuran karena lebih banyak menghasilkan asam. Membatasi masukan natrium. Diet natrium rendah (80 sampai 100 mqlhari) dapat memperbaiki reabsorbsi kalsium proksimal, sehingga terjadi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
BATU SALURAN KEMlH
HANYA DI SCAN UNTUKKESIMPULAN dr. PRIYO PANJI
pengurangan ekskresi natrium dan ekskresi kalsium. Penurunan masukan natrium dari 200 sampai 80 meql hari dilaporkan mengurangi ekskresi kalsium sebanyak 100mg/hari (2,5 mmolhari). Masukan kalsium. Pembatasan masukan kalsium tidak dianjurkan.Penurunan kalsium intestinalbebas akan menimbulkan peningkatan absorbsi oksalat oleh pencemaan, peningkatan ekskresi oksalat dan meningkatkan saturasi kalsium oksalat air kemih. Diet kalsium rendah dapat merugikan pasien dengan hiperkalsiuria idiopatik karena keseirnbangankalsium negatif akan memacu pengambilan kalsium dari tulang dan dari ginjal. Keadaan ini akan memperburuk penurunan densitas tulang pada beberapa pasien. Pemberian Obat (untuk mencegah presipitasi batu baru kalsium oksalat, disesuaikan kelainan metabolik yang ada). a). Hiperkalsiuria idiopatik. Batasi pemasukan garam dan diberikan diuretic tiazid seperti hidroklorotiazid perhari 2550mg. Regimen ini dapat menurunkan ekskresi kalsium sebanyak 150 mglhari (3,75 mmollhari). Keduanya menurunkan insidensi batu baru sebesar 90 persen (walaupun ada perbaikan 50 sampai 65 persen pada pasien sebagai kelompok plasebo). Hindarkan terjadinya hipokalemia, bila perlu ditambahkan kalium sitrat atau kalium bikarbonat. b). Pemberian fosfat netral (ortofosfat), yang mengurangi ekskresi kalsium dan meningkatkan ekskresi inhibitor kristalisasi (seperti pirofosfat). c). Hiperurikosuria(diberikan alopurinol 100 sampai 300 mgl hari). Pembentukan batu baru menurun sampai 80 persen dengan alopurinol (hanya 60 persen dengan plasebo). d). Hipositraturia (diberikan kalium sitrat). Hasil penelitian dengan kontrol dilaporkan insidens pembentukan batu baru menurun pada pasien hipositraturia dari 1,2 jadi 0,l per tahun pasien dalam kelompok yang diberikan kalium sitrat dibandingkan kelompok plasebo yang tidak berubah. Manfaat ini dihubungkan dengan ekskresi sitrat dalam air kemih meningkat dua kali. Pemberian minuman 2 buahjeruk nipis diberikan sesudah makan malam pada pasien batu ginjal kalsium dengan hipositraturia dilaporkan dapat meningkatkan ekskresi asam sitrat dan pH air kemih di atas 6 secara bermakna. Masukan 4 ons jus lemon perhari (dicampur dengan air sebanyak 2 liter) meningkatkan ekskresi sitrat air kemih pada 11 dari 12 pasien (rata-rata peningkatan 142 sampai 346mg/hari). e). Hiperoksaluria enterik, diusahakan pengurangan absorbsi oksalat intestinal, diberikan banyak masukan cairan, kalium sitrat (kalsium sitrat untuk mengkoreksi asidosis metabolik bila ada), kalsium karbonat (kalsium karbonat oral 1 sampai 4 ghari untuk mengikat oksalat lumen intestinal). Walaupun beberapa kalsium diabsorbsi, terjadi penurunan proporsi pada ekskresi oksalat. Berikan diet rendak lemak dan diet rendah oksalat. Pertimbangan pemberian fosfor elemental sebagai fosfat netral. f). Batu kalsium fosfat. Seperti pada pasien kalsium oksalat dapat diberikan kalium sitrat.
Penanganan batu saluran kemih dilakukan dengan pengenalan sedini mungkin. Tatalaksana awal yang dilakukan adalah evaluasi faktor risiko batu saluran kemih. Terapi diberikan untuk mengatasi keluhan dan mencegah serta mengobati gangguan akibat batu saluran kemih. Pengambilan batu dapat dilakukan dengan pembedahanl litotripsi dan yang terpenting adalah pengenalan faktor risiko sehingga diharapkan dapat memberikan hasil pengobatan dan memberikan pencegahan timbulnya batu saluran kemih yang lebih baik.
Alpern RJ, Sakhaee K. Does hiperphosphaturia underline hypercalciuria? Lancet. 1997;349-5 18. Andersen DA. The nutritional significance of primary bladder stone. Br J Uro1.1962;160-77.50. Baggio B, Priante G, Brunati AM, Clari G, Bordin L. Specific modulatory effect of arachidonic acid on human red blood cell oxalate transport:clinical implications in calcium oxalate nephrolithiasis. J Am Soc Nephrol. 1999;10 Suppl 14:S381-4. Barcelo P, Wuhl 0,Sewitge E, Rousaud A, Pak. CYC. Randomized double-blind study of potassium citrate in idiophatic hypocitraturic calcium nephrolithiasis. J Urol. 1993;150:1761-4. Bataille P, Archard Jm, FournierA, Boudaillie B, westeel PF, et al. Diet, vitamin D and vertebral mineral density in hypercalciuric calcium stone formers. Kidney Int. 1991;39:1193-205. Borghi L, Meschi T, Amato F, Briganti A, Novarini A, Giannini A. Urinary volume, water and reccurences in idiophatic calcium nephrolithiasis: a 5-year randomized prospective study. J Urol. 1996;155:839-43. Breslau NA, Brinkley L, Hill KD, Pak CYC. Relathionship of animal protein-rich diet to kidney stone formation and calcium metabolism. J Clin Endocrinol Metab. 1988;66:140-6. Breslau N, Padalino N, Kok D, Yom Y, Pak C. Physicochemical effects of a new show-release potassium phosphate preparation (UroPhos-K) in absorptive hypercalciuria. J Bone Miner Res. 1995;10:394-400. Buck AC, Davis RL, Harrison T. The protective role of eicosapentaenoic acid (EPA) in the pathogenesis of nephrolithiasis. J Urol. 1991;146:188-94. Coe FL, Parks JH, Asplin JR. The pathogenesis and treatment of kidney stones. N Engl J Med. 1992;327:1141-52. Coe F, Parks J. Nephrolithiasis: pathogenesis and treatment. Chicago Year Book Medical; 1988. Coe FL, Favus MJ, Braunwald E. Nephrolithiasis. Harrison's principles of internal medicine. 1Ithedition. Tokyo: Mc Graw Hill; 1987. Curhan GG, willet WC, RimmEB, Spielgelman D, Stampfer MJ. Prospective study of beverage use and the risk of kidney stones. Am J Epidemiol. 1996;143:240-7. Curhan GC, Willet WC, Rimm EB, Stamfer MJ. A prospective study of dietary calcium and other nutrients and the risk of symptomatic kidney stones. N Engl J Med. 1993;328:833-8. Curhan GC. Diet and the prevention of kidney stones. Nephrology Rounds. 2004;2. Curhan GC, Willet WC, Rimm EB, Spielgelman D, Stamfer Mj. A
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
CINJAL HIPERTENS1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Melnick JZ, Srere PA, Eishourbagy NA. Adenosine triphophate
prospective study of dietary calcium and others nutrients and the risk of symptomatic kidney stones. N Engl J Med. 1993;328:833-8. Curhan GC, Willet WC, Rimm EB, Starnfer MJ. Intake of vitamin B6 and C and the risk of kidney stones in women. J Am Soc Nephrol. 1999;10:840-5. Curhan GC, Willet WC, Rimm EB, Stamfer MJ. A prospective study of the intake of vitamins C and B6, and the risk of kidney stones in men. J Urol. 1996;155:1947-51. Curhan GG, Willet WC, Speizer FE, Spiegelman D, Stamfer MJ. Comparison of dietary calcium with supplemental calcium and other nutrients as factors affecting the risk for kidney stones in women. Ann Intern Med. 1997;126:497. Ettinger B, Tang A, Citron JT, Livermmore B, Williams T. Randomized trial of allopurinol in prevention of calcium oxalate calculi. N Engl J Med. 1986; 315:1386-9. Ettinger B, Citron JT, Livemore B, Dolman LI. Chlorthalidone reduces calcium oxalate calculous reccurence but magnesium hydroxice does not. J Urol. 1988;139:679-84. Frangos PN, Rous SN. Incidence and economic factors in urolithiasis. In: Rous, editor. Stone disease diagnosis and management. Florida: Grune & Stratton; 1987. p. 3-10. Friedman PA, Gesek FA. Calcium transport in renal epithelial cells. Am J Physiol. 1993;264:F181-98. Gamboro G. Petrarulo M. Nardelotto A, Marangella M, Baggio B. Erythrocyte transmembrane flux and renal clearence of oxalate in idiopathic calcium nephrolithiasis. Kidney Int. 1995;48:1549-52. Gault MH, Chafe LL, Morgan JM. Parfrey PS, Harnett JD, Walsh EA, et al. Comparison of patients with idiophatic calcium phosphate and calcium oxalate stones. Medicine (baltimore). 1991;70:345-59. Hamm LL. Renal handling of citrate. Kidney Int. 1990;38:728. Hess B. Zipperle L. Jaeger P. Citrate and calcium effects on TammHorsfall glycoprotein as a modifier of calcium oxalate crystal anggregation. Am J Physiol. 1990;265:F784-91. Johnson CM, Wilson DM, O'Fallon WM, Malek RS, Kirland LT. Renal stone epidemiology:a 25-year study in Rochester, Minnesota. Kidney Int. 1979;16:624-3 1. Kok DJ, Papapoulus SE, Bijvoet OL. Crystal agglomeration is a major element in calcium oxalate urinary stone formation. Kidney Int. 1990;37:51-6. Kok DJ, Khan SR. Calcium oxalate nephrolithiasis, a free or fiexd particles disease. Kidney Int. 1994;46:847-54. Lemann J. Jr. Composition of the diet and calcium kidney stones (editional). N Engl J Med. 1993;328:880. Lemann J Jr, Piering WF, Lennon EJ. Possible role of carbohydrateinduced calciuria in calcium oxalate kidney-stone formation. N Engl J Med. 1969;280(5):232-7. Lieske JC, Toback FG. Regulation of renal epithelial cell endocytosis of calcium oxalate monohydrate crystals. Am J Physiol. 1993;264:F800-7.
citrate lyase mediates hypocitraturia in rats. J Clin Invest. 1996;98:2381. Muldowney FP, Freaney R, Barnes E. Dietary chloride and urinary calcium in stone disease. Q J Med. 1994;87:501. Muldowney FP, Freaney R, Moloney MF. Importance of dietary sodium in the hypercalciuria syndrome. Kidney Int. 1982;22:292-6. Obialo CI, Clayman RV, Matts JP, Fitch LL, Buchwald H, Gillis M, et al. Pathogenesis of nephrolithiasis post-partial ileal bypass surgery: case-control study. Kidney Int. 1991;39:1249-54. Parivar F, Low RK, Stoller ML. Influence of diet on urinary stone disese. J Urol. 1996;155:432-40. Parks JH, Coe FL. A Urinary calcium-citrate index for the evaluation of nephrolithiasis. Kidney Int. 1986;30:85-90. Pyrah LH. Renal calculus. Is'edition. New York: Spinger; 1979. Rahardjo B, Suwito A. Batu saluran kencing di Rumah Sakit Dr. Kariadi di Semarang. Symposium batu kandung kencing di Semarang, 11 Agustus, 1986. p. 38-5 1. Robertson WG. Dietary factors important in calcium stones information. In: Schwille, P.0, editors. New York: Plenum; 1985. p. 73-6. Robertson WG, Peacock M. Calcium oxalate crystalluria and inhibitors of crystallization inn recurrent renal stoneformers. Clin Sci. 1972;43:499-506. Sakhee K, Harvey JA, Pedalino PK, Whitson P, Pak CYC. The potential role of salt abuse on the risk for kidney stone formation. J Urol. 1993;150:310-2. Seltzer MA, Low RK. McDonald M, Shami GS, Stoller ML. Dietary manipulation with lemonade to treat hypocitraturic calcium nephrolithiasis. J Urol. 1996; 156:907-9. Shuster J, Jenkins A. Logan C, Barnett T. Riehle R, Zackson D, Wolfe H, Dale R, Daley M, Malik I. soft drink consumption and urinary stone recurrence: a randomized prevention trial. J Clin Epidemiol. 1992;45:911-6. Sja'bani M, Baskoro T. Batu peturasa di Yogyakarta dan sekitarnya. Kumpulan simposium IAPI 11, Bandung, Agustus. 1975. Sja'bani M. Pengaruh pemberian kalium sitrat dan diet tinggi sitrat pada pasienbatu kalsium ginjal pasca pengambilan batu. Berkala Kedokteran Inpress. 1998. Sja'bani M. Pencegahan kekambuhan batu ginjal jenis batu kalsium idiopatik. Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Gadjah Mada. 2004; 183-2 17. Smith LH. Diet and Hyperoxaluria in the syndrome of idiopathic calcium oxalate urolithiasis. Am J Kidney Dis. 1991;17:370-5. Soucie J, Coates R, McClellan W, Austin H, Thun M. Relation between geographic variability in kidney stones prevalence and risk factors for stones. Am J Epidemiol. 1996;143:487-95. Sukahatya M, Ali M. Batu ginjal, naskah lengkap Kopapdi 111, Bandung. 1975. Takasaki E. Chronological variation in the chemical composition of upper urinary tract xalxuli. J Urol. 1996;136:5-9.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT GINJAL DAN KEHAMILAN Jose Roesma
KEHAMILAN DAN GINJAL NORMAL Kehamilan normal merupakan suatu proses alamiah yang fisiologis bagi perempuan di mana semua organ mengalami penyesuaian, termasuk organ ginjal. Pada ginjal terjadi perubahan anatomi berupa pembesaran kedua ginjal dan pelebaran sistem pelviokalises di samping perubahan fisiologik berupa peningkatan aliran darah ginjal (50%) dan peningkatan laju filtrasi glomerulus.(l50%).Perubahan ini terjadi pada 24 minggu pertama dan ditandai dengan penurunan ureum dan kreatinin di bawah normal. Vasodilatasi pada kehamilan menyebabkan penurunan tekanan darah sampai 10 mm Hg dari normal dan naik kembali mendekati akhir kehamilan. Secara klinis perlu perhatian bahwa seorang perempuan hamil muda dengan kadar ureum, kreatinin, dan tekanan darah yang normal (pada perempuan tidak hamil) sebetulnya telah menderita gangguan fungsi ginjal dan prehipertensi.
KEHAMILAN DAN PENYAKIT GINJAL Kehamilan dan penyakit ginjal mempunyai dua aspek, yaitu kehamilan mempengaruhi progresi penyakit ginjal dan sebaliknya penyakit ginjal mempengaruhi proses kehamilan. Penyakit ginjal yang sering ditemui pada kehamilan di antaranya adalah: Infeksi traktus urinariuslinfeksi saluran kemih (ISK). Infeksi traktus urinarius merupakan penyakit ginjal utama pada kehamilan dan disertai dengan risiko berat bayi rendah, kematian bayi dalam kandungan dan kelahiran prematur. Infeksi traktus urinarius yang sering ditemukan pada kehamilan adalah: a). Bakteriuria asimtomatik. Bakteriuria asimtomatik adalah adanya bakteri dengan jumlah bermakna dalam urin (>100.000 kurnanfmlurin) tanpa
gejala klinik. Pada perempuan tidak hamil keadaan ini tidak diberi obat, tetapi pada kehamilan perlu diobati dengan antibiotika yang sesuai selama sekurang-kurangnya 10 hari. Hal ini disebabkan risiko timbulnya infeksi ginjall Pielonefritis meningkat sampai 30 % pada kehamilan dan dapat ditekan sampai 3 % dengan pengobatan yang tepat dan cukup. Perlu diperiksakan biakan urin dan penyesuaian jenis antibiotika dengan hasil biakan. Bila infeksi bersifat persisten perlu pengobatan supresif dengan nitrofurantoin. Sayang obat ini tidak lagi beredar di Indonesia. b). Sistitis. Sistitis adalah infeksi kandung kemih dengan gejala sering kencing, nyeri waktu kencing dan rasa terdesak kencing. Sistitis bisa disertai adanya kuman (yang perlu diberi antibiotika yang sesuai) ataupun tanpa kuman (piuria steril) dan perlu dipertimbangkan adanya sindrom uretral. c). Pielonefritis. Pielonefritis pada kehamilan disertai gejala nyeri pinggang, demam, menggigil, mual dan muntah dan terjadi pada 2% kehamilan. Keadaan ini diobati dengan antibiotika parenteral, sebaiknya di rumah sakit sampai keadaan membaik, diteruskan dengan terapi antibiotika oral, untuk menghindari komplikasi sepsis dan gangguan kehamilan. Gangguan ginjal akut. Gangguan ginjal akut (GGA) seperti juga pada perempuan tidak hamil dibagi 3 jenis, yaitu: a). Gangguan ginjal akut prerenal. Gangguan ginjal akut prerenal pada umunya disebabkan faktor hipovolemi baik akibat dehidrasi, perdarahan (abruptio placentae), dekompensasi kordis, dan sepsis. Sepsis sering ditemukan pada abortus kriminal pada kehamilan muda. b). Gangguan ginjal akut renal. Gangguan ginjal akut renal umumnya terjadi sebagai kelanjutan GGA prerenal atau iskemia ginjal dan akibat faktor toksik biasanya berupa tubular nekrosis akut (ATN). Dalam keadaan berat dapat terjadi nekrosis kortikal akut yang bersifat ireversibel. c). Gangguan ginjal akut Post Renal. Gangguan ginjal akut post renal umumnya disebabkan obstruksi. Perlu disadari bahwa sistem
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
pelviokalises pada kehamilan melebar sehingga sukar dibedakan dengan pelebaran akibat obstruksi. Gangguan ginjal kronik. Kehamilan dengan gangguan ginjal kronik saling mempengaruhi. Gangguan ginjal kronik mempengaruhi kehamilan melalui beratnya gangguan fungsi ginjal, derajat proteinuria dan tingginya tekanan darah. Pada gangguan fungsi ginjal yang ringanpun (kreatinin >1.5 mg%) komplikasi berupa BB bayi rendah, kelahiran prematur dan kematian bayi meningkat. Penderita gangguan ginjal kronik yang hamil, progresi penyakit ginjalnya sangat tergantung fungsi ginjal saat awal kehamilan. Hal ini terlihat dari studi epidemiologikl retrospektif yang telah dilakukan. Hal yang ikut berpengaruh adalah penyakit penyerta pada pasien, utamanya derajat proteinuria dan tingginya tekanan darah. Katz menemukan 16% perempuan hamil dengan gangguan fungsi ginjal ringan (kreatinin > 1.5 mg%) mengalami progresi ke tahap gagal ginjal tahap akhir (GGTAIESRD). Cunningham mendapatkan 6% perempuan hamil dengan gagal ginjal sedang (kreatinin 1,5-2,4 mg%) mengalami gagal ginjal tahap akhir sedangkan 45% perempuan hamil dengan gagal ginjal berat (kreatinin >2,5 mg%) akan mencapai gagal ginjal tahap akhir. Pada penderita dengan gangguan ginjal kronik dan kehamilan etiologi penyebab gagal ginjal tidak mempengaruhi prognosis kehamilan, kecuali pada pasien lupus nefritis dimana 50% penderita lupus nefritis akan kambuh lupusnya waktu kehamilan disertai dengan penurunan fungsi ginjal dan 50% keharnilan akan disertai kematian janin. Dengan demikian dianjurkan penderita lupus hams stabil dulu kondisi lupusnya selama 6 bulan sebelum kehamilan dimungkinkan. Adanya antikoagulan lupus serta antibodi kardiolipin menambah kemungkinan risiko komplikasi kehamilan pada lupus.
PEMBERIAN OBAT PADA WANITA HAMlL DENGAN GANGGUAN FUNGSI GINJAL
Mengatur pemberian obat dan dosisnya pada wanita hamil apalagi dengan gangguan fungsi ginjal merupakan masalah yang membutuhkan perhatian khusus. Dosis obat perlu disesuaikan dengan umur kehamilan dan derajat fungsi ginjal agar tidak berbahaya bagi ibu maupun janin. Dalam keadaan darurat, keselamatan ibu merupakan prioritas walupun pengaruh obat pada janin tetap perlu diperhatikan. Obat yang sering menjadi pertimbangan adalah jenis antibiotika, tuberkulostatika, obat imunosupresif serta antihipertensif. Setiap jenis obat dari kelompok tersebut perlu dipelajari tersendiri pengaruhnya terhadap kehamilan dan dosisnya yang perlu disesuaikan dengan derajat gangguan fungsi ginjal. Untuk ha1 tersebut tersedia berbagai petunjuk khusus (leaflet promosi obat, literatur, dsb) karena tidak ada petunjuk umum yang berlaku pada keadaan yang khusus (hamil dengan gangguan fungsi ginjal) ini.
GINJAL TRANSPLAN DAN KEHAMILAN Transplantasi memperbaiki kesuburan pada penderita dengan gagal ginjal. Kehamilan dapat terjadi pada 12% penderita transplan dengan sukses sampai 90% sehingga kehamilan dapat direncanakan pada ginjal transplan setelah 1-2 tahun post transplant dalam keadaan fingsi ginjal yang baik. Bila kreatinin < 1.4 mg% 94% kehamilan bisa sukses, dibandingkan 74% bila kadar kreatinin > 1.4 mg%. Juga progresi gangguan fungsi ginjal transplan pada kehamilan, seperti di luar kehamilan, tergantung kepada fungsi ginjal prehamil, derajat proteinuria dan tingginya tekanan darah.
DIALISIS DAN KEHAMILAN Gagal ginjal tahap akhir disertai dengan kesuburan yang menurun dengan anovulasi sehingga kehamilan jarang terjadi pada pasien dialisis, kurang dari 1%. Kehamilan pada dialisis sering disertai abortus, hanya 50% kehamilan sampai aterm, itupun disertai prematuritas (85%) dan BB bayi rendah (28%). Sebaiknya pasien dialisis yang hamil didialisis setiap hari untuk menghindari komplikasi baik bagi ibu maupun bayi.
REFERENSI Agraharkar M. Renal disease and pregnancy. Available online on http://www.emedicine.com. Epstein FH. Pregnancy and renal disease. New Engl J Med. 1996;335(4):277-8. Schricr RW. Kidney diseases in pregnancy. Diseases of the kidney. 6th edition. Lippincott Williams & Wilkins; 1997.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT GINJAL KRONIK Ketut Suwitra
MEKANISME PENYAKIT GINJAL KRONIK Batasan Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Kriteria penyakit ginjal kronik, seperti yang tertulis pada Tabel 1.
yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut: (140 - umur ) X berat badan
LFG (mVmnt/l,73m2)
*)
=
72 X kreatinin plasma (rngldl) *) pada perempuan dikalikan 0, 85
Klasifikasi tersebut tampak pada Tabel 2.
Penjelasan
LFG (mllmnll .73m2)
---
1.
Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, beru~akelainan struktural atau funnsional, dengan atau tanpa benurunan laju filtrasi (LFG), dengan rnanifestasi : - kelainan patologis terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalarn tes pencitraan (imaging tests) Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 mllmenit11,73rn2 selarna 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal
*
-
2.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik. Klasifi kasi Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua ha1
5
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau '? Kerusakan ginjal dengan LFG & ringan Kerusakan ginjal dengan LFG $ sedang Kerusakan ginjal dengan LFG $ berat Gagal ginjal
15 - 29 c 15 atau dialisis
Klasifikasi atas dasar diagnosis, tampak pada Tabel 3. Epidemiologi Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Penyakit
Tipe mayor (contoh)
Pel?;?kit ginjal diabetes
Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes
Penyakit glornerular (penyakit otoimun, infeksi sisternik,obat, neoplasia) Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, rnikroangiopati) Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat) Penyakit kistik (ginjal polikstik)
Penyakit pada transplantasi
Rejeksi kronik Keracunan obat (siklosporin/ takrolirnus) Penyakit recurrent (glornerular) Transplant crlomerulopathv
pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun. Patofisiologi Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis reninangiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotansin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforminggrowth factor /3 (TGFp). Beberapa ha1 yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibroisis glomerulus maupun tubulointerstitial. Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belurn merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hip0 atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal. Etiologi Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Tabel 4 menunjukan penyebab utama dan insiden penyakit ginal kronik di Amerika Serikat. Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti pada Tabel 5. Dikelompokkan pada sebab lain di antaranya, nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui.
Penyebab
lnsiden
Diabetes mellitus - tipe 1 (7%) - tipe 2 (37%) Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar Glomerulonefritis Nefritis interstitialis Kista dan penyakit bawaan lain Penyakit sisternik (rnisal, lupus dan vaskulitis) Neoplasma Tidak diketahui Penyakit lain
Penyebab
lnsiden
Glornerulonefritis Diabetes Melitus Obstruksi dan infeksi Hipertensi Sebab lain
46,39% 18,65% 12,85% 8,46% 13,65%
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
44 % 27% 10% 4% 3% 2% 2% 4% 4%
PENYAKIT GINJAL KRONIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI PENDEKATAN DlAGNOSTlK Gambaran Klinis Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: a). Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya,b). Sindromuremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremicfrost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. c). Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida). Gambaran Laboratoris Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: a). Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. b). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan hngsi ginjal. c). Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik. d). Kelainan urinalisis meliputi, proteiuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria. Gambaran Radiologis Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi: a). Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak. b). Pielografi intravenajarangdikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di sarnping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c). Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi. d). Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi. e). Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakanbila ada indikasi. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi
perinefrik, gangguan pembekuan darah, gaga1 napas, dan obesitas.
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi: terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition) memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular pencegahan dan terapi terhadap komplikasi terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Perencanaan tatalaksana (action plan) Penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat pada Tabel 6.
Derajat
1
LFG (m11mntl1,73m~)
> 90
Rencana tatalaksana
- terapi peyakit dasar, kondisi kornorbid, evaluasi pernburukan (progression)fungsi ginjal. rnernperkecil risiko kardiovaskular
2
60 - 89
- mengharnbat pernburukan
3
30 - 59
4
15-29
- evaluasi dan terapi kornplikasi - persiapan untuk terapi peng ganti
5
c 15
(progression)fungsi ginjal
ginjal
- terapi pengganti ginjal
Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normdl secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histdpatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepatterhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah mensampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat. Pencegahan dbn Terapi Terhadap Kondisi I Komorbid Penting sekali unruk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG padla pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat emperburuk keadaan pasien. Faktorfaktor komorbid in antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi iang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstrdksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahdn radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit Qasarnya.
1
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENS1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Skematik tentang patogenesis perburukan fungsi ginjal dapat dilihat pada Gambar 1. Kornpensasi hiperfiltrasi dan hipertrofi 4
LFG mllmenit > 60
I
Nefropati b- ,
Berkurangnya jumlah netron [Hiperlensi sistemik
+
II
-
Kebocoran protein lewat glomerulus
Gambar 1. Patogenesis perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis
Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltasi glomerulus ini adalah: Pembatasan Asupan Protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG < 60 mllmnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6 - 0,8/kg.bb/hari, yang 0,35 - 0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkallkgBBlhari, Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jurnlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah, asupan protein berlebih (protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfitration), yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia. Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertenasi, di samping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat
Asupan protein glkglhari Tidak dianjurkan
Fosfat glkglhari Tidak d~batasi 5 10 g
25 - 6 0
0.6-0,8lkglhari, termasuk 2 0.35 grlkglhr nilai biologi tinggi.
5 - 25
0,6-0,8 lkglhari, terrnasuk 2 0,35 rlkglhari protein nilai biologi tinggi atau tarnbahan 0,3 g asam amino esensial atau asam keton
5 10 g
< 60 (sindrorn nefrotik)
0,Blkglhr (+I gr protein Ig prote~nuria atau 0,3 g Ikg tambahan asam amino esensial atau asam keton
5 9g
pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Ensim Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.
Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan ha1 yang penting, karena 40-45 % kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-ha1 yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah, pengenda-lian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Beberapa di antara komplikasi tersebut akan dibicarakan pada bagian ini, sedangkan sisanya dibicarakan pada bagian lain.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1039
PENYAKIT GINJAL KRONIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI < 10 g% atau hematokrit < 30%, meliputi evaluasi terhadap Derajat
Penjelasan
1
Kemsakan ginjal dengan LFG normal Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan
2
LFG
Kornplikasi
60 - 89
- Tekanan darah mulai ?' -
3
Penumnan LFG sedang
30 - 59
4
Penumnan LFG berat
15 - 29
5
Gagal ginjal
Hiperfosfatemia Hipokalcemia Anemia Hiperparatiroid Hipertensi Hiperhomosistinemia
Malnutrisi Asidosis Metabolik - Cendmng hiperkalemia - Dislipidemia -
< 15
- Gagal jantung - Uremia
Anemia Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin. Hal-ha1lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah, defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin
status besi (kadar besi serum/ serum iron, kapasitas ikat besi totallTota1 Iron Binding Capacity, feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan ha1 yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi hams selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik hams dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 gldl.
Osteodistrofi Renal Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Patofisiologinya dapat dilihat pada Gambar 2. Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gaga1 ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.
Gambar 2. Patogenesis terjadinya osteodistrofi renal
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1040
GINJAL HIPERTENS]
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Mengatasi Hiperfosfatemia a. Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mgthari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi. b. Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah, garam kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsiurn yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaC03) dan calcium acetate. Tabel 9 memperlihatkan cara dan jenis pengikat fosfat, efikasi dan efek sampingnya. c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent).Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang minimal.
masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water loss antara 500-800 mlhari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500- 800 ml ditambahjumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) hams dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5 -5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi. Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy) Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 mllmnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.
REFERENSI CaralBahan
Efikasi
Efek Samping
Diet rendah fosfat AI(OH)3 Ca C03 Ca Acetat Mg(OH)2IMgCO3
Tidak selalu mudah Bagus Sedang Sangat bagus Sedang
Malnutrisi lntoksikasi Al Hipercalcemia Mual, muntah lntoksikasi Mg
Pemberian Kalsitriol (1.25 (OH,D,) Pemberian kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium di saluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam calcium carbonate di jaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Di samping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu, pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal. Pembatasan Cairan dan Elektrolit Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang
Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification and stratification, New York National Kidney Foundation, 2002. Mackenzie HS, Brenner BM. Chronic renal failure and its systemic manifestations. In: Brady HR, Wilcox CS, editors. Therapy in nephrology and hypertension. Philadelphia: WB Saundres; 1999. p. 463-73. Skorecki K, Jacob Green, Brenner BM. Chronic renal failure. Harrison's principles of internal medicine. In: Kasper, Braunwald, Fauci, et al, editors. 16'h edition. Vol 1. New York: McGraw-Hill: 2005. p. 1551-61. Slatopolsky E, Brown A, Dusso A, et al. Pathogenesis of secondary hyperparathyroidism. Kidney Int. 1999;73;S14-S20. Wei Wang, Chan L. Chronic renal failure: manifestation and pathogenesis, In: Schier RW, editors. Renal and electrolyte disorders. 6Ih edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2003. p. 456-97. Wish JB. Anemia associated with renal failure. In: Hricik DE, Miller RT, Sedor JR, editors. Nephrology secrets. 2" edition. Philadelphia: Henley & Belfus; 2003. p. 163-5. Yu TH. progression of chronic renal failure. Arch Intern Med. 2003;163: 1417-29. Goodman WG; Medical management of secondary hyperparathyroidism in chronic renal failure. Nephrol Dial Transplant. 2002;18:S3;32-9.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
GANGGUAN GINJAL AKUT H.M.S. Markum
PENDAHULUAN
Perubahaan lstilah Gagal Ginjal Akut (Acute Renal Failure ARF) Menjadi Gangguan Ginjal Akut (Acute Kidney Injury-A KI) Pada tahun 1951 Homer W Smith memperkenalkan istilah gagal ginjal akut - acute renal failure. Istilah ini mempunyai penekanan pada kegagalan faal ginjal yang lanjut. Istilah ARF ini bertahan sampai tahun 200 1. Dengan mortalitas yang masih tinggi dirasakan perlunya mengetahui gangguan ginjal akut yang lebih awal. Adanya pasien yang sembuh atau membaik dari penurunan hngsi ginjal yang mendadak menunjukkan terdapat derajat dari GGA dari ringan sampai berat. GGA dapat terjadi oleh bermacam sebab. Perbedaan geografis juga menentukan sebab dari GGA misalnya di negara maju GGA terjadi pada orang tua terutama pada usia lanjut sedangkan di negara berkembang lebih kerap timbul pada usia muda dan anak-anak misalnya karena malaria dan gastrointeristis akut. Laporan insidens GGA berlainan dari negara ke negara, dari klinik ke klinik, oleh karena kriteria diagnostik yang tidak seragam dan kausa yang berbedabeda. Dengan demikian diperlukan suatu cara berpikir baru yang bermanfaat bagi pengertian mekanisme timbulnya GGA, klasifikasi yang seragam dan pentahapan dari GGA yang berdampak pada pengobatan dan penelitian dari GGA.
-
Gangguan Ginjal Akut Berat (GGA -Acute Kidney Injury AKI) yang memerlukan dialisis, mempunyai mortalitas tinggi melebihi 50%. Nilai ini sangat tinggi apabila disertai kegagalan multi organ. Walaupun terdapat perbaikan yang nyata pada terapi penunjang, angka mortalitas belum banyak berkurang karena penyakit dasar yang berat seperti trauma, sepsis, usia pasien makin tua dan pasien tersebut juga menderita penyakit kronik lainnya. Dengan mortalitas yang tinggi maka diperlukan pengertian yang lebih baik mengenai GGA. GGA telah dikenal oleh William Heberden pada tahun 1802 dan diberi istilah ischuria renalis. Walaupun beberapa peneliti terkenal yaitu Bowman, Charcot dan William membuat beberapa sumbangan pemikiran untuk kondisi ini namun sindrom ini dilupakan orang. Perhatian terhadap sindrom ini berkembang kembali saat perang dunia pertama dan terutama selama perang dunia ke dua. Laporan lengkap yang pertama mengenai GGA ditulis oleh Hackradt seorang ahli patologi Jerman pada tahun 1917, yang menjelaskan keadaan seorang tentara yang mengalami luka trauma berat. Laporan ini dilupakan orang sampai terjadinya perang dunia ke-2, pada saat London mendapat serangan Jerman, didapatkan banyak pasien crush kidney syndrome, yaitu pasien-pasien dengan trauma berat akibat tertimpa bangunan kemudian meninggal akibat GGA. Tonggak yang amat penting adalah dengan dimulai tindakan hemodialisis pada awal tahun 1950-an yang amat mengurangi kematian karena korban trauma akibat peperangan. Perkembangan penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa GGA yang dapat pulih kembali ini terjadi juga pada pasien dengan transhsi darah yang tidak cocok, abortus, gangguan hemodinamik kardiovaskular, sepsis dan berbagai akibat efek zat nefrotoksik.
Perubahan istilah GGA-AKI menyebabkan : 1. Makna perubahaan nilai serum kreatinin yang sedikit meninggi dapat menyebabkan kondisi yang lebih berat. 2. Istilah gangguan (injury)lebih tepat dalam memberikan pengertian patofisiologi penyakit dari pada istilah gagal ybilure). 3. Dipahami adanya tahap-tahap dari GGA Sebagai contoh dapat dilihat daripada tabel berikut makna dari perubahan nilai kreatinin terhadap beratnya penyakit dan peningkatan biaya perawatan.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
I K r ~ f ~ ~ s ~ rMultivariable u m OR (95% CI) (mgldL)
KiiEEi
Area under ROC curve
Kriteria Kreatinin serum
Kenaikan kreatinin serum
>2.0x 5x nilai dasar atau penurunan GFR 250% Failure
Kenaikan kreatinin serum 2 3 . 0 ~5x nilai dasar atau penurunan GFR 275% or an Nilai absolut kreatinin serum > 4 mg dengan peningkatan mendadak minimal 0.5 mg
Oliguria
1
Kenaikan biaya total
Kriteria UO
(A) The Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) criteria for the definition and classification of AKI (i.e. RIFLE criteria) Risk Kenaikan kreatinin serum <0.5 mUkg1jam > I .5x nilai dasar atau for 2 61jam penurunan GFR 225% Injury
Non-ologuria
ESRD
<0.5 mUkg1jam atau 2121jam <0.3 rnUkg1jam
->24 jam
ths
1
Gambar 1. RIFLE Criteria for Diagnosis of AKI. Adapted with permission from Lameire et al.
anuria 212 jam
Kriteria UO
AKIN criteria
Kriteria Kreatinin serum
Tahap
Kriteria kreatinin serum
1
Kenaikan kreatinin serum 2 0.3 mgldl p 26.4 pmolll) atau kenaikan 2 150% to 200% (1.5- sampai 2 kali lipat) dari nilai dasar
Kurang dari 0.5 rnllkg per jam lebih dari 6 jam
2
Kenaikan kreatinin serum > 200% 300% (> 2 - 3 kali lipat) dari kenaikan nilai dasar kreatinin serum 200% - 300% (> 2 - 3 kali lipat) dari nilai dasar
Kurang dari 0.5 mllkg per jam lebih dari 12 jam
3
Kenaikan kreatinin serum > 300% (> 3 kali lipat) dari nilai dasar (or serum creatinine of more than or equal to 4.0 mgldl 354 pmolll]) with an acute increase of at least 0.5 mgldl [44 pmolll])
Kurang dari 0.3 mllkg per jam lebih dari 24 jam atau anuria 12 jam
Kriteria produksi urin
Klasifikasi ini menilai tahap GGA dari nilai kreatinin serum dan diuresis. Kemudian ada upaya dari kelompok Acute Kidney Injury Network (AKIN) untuk mempertajam kriteria RIFLE sehingga pasien GGA dapat dikenali lebih awal. Klasifikasi ini lebih sederhana dan memakai batasan waktu 48 jam. Disadari bahwa GGA merupakan kelainan yang kompleks, sehingga perlu suatu standar baku untuk penegakan diagnosis dan klasifikasinya dengan berdasarkan kriteria RIFLE. Atas sistem ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Diharapkan penelitian seperti ini dilakukan oleh kelompok perhimpunan
nephrologi dan perhimpunan kedokteran gawat darurat. Atas dasar klasifikasi dan kriteria RIFLE dapat dibuat penelitian bersama memakai kaidah -kaidah yang sama. Sehingga dapat dilakukan usaha - usaha pencegahan dan pengobatan GGA yang lebih baik. AKIN sebagai bentuk kebersamaan dalam satu sistem jaringan yang luas diharapkan dapat memfasilitasi kerjasama penelitian. Kriteria AKIN dapat meningkatkan insidens GGA tahap awal, walaupun belum cukup kuat untuk perbaikan prognosis dibandingkan dengan kriteria RIFLE.
Definisi GGA Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan kadar kreatinin serum >0.3 mg/dl(> 26.4 pmolll), presentasi kenaikan kreatinin serum >SO% (1.5 x kenaikan dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria yang tercatat < 0.5 ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam). Kriteria diatas memasukan baik nilai absolut maupun nilai persentasi dari perubahan kreatinine untuk menampung variasi yang berkaitan dengan umur, gender, indeks masa tubuh dan mengurangi kebutuhan untuk pengukuran nilai basal kreatinin serum dan hanya diperlukan 2 kali pengukuran dalam 48 jam. Produksi air seni dimasukan sebagai kriteria karena mempunyai prediktif dan mudah diukur. Kriteria diatas hams memperhatikan adanya obstruksi saluran kemih dan sebab-sebab oliguria lain yang reversible. Kriteria diatas diterapkan berkaitan dengan gejala klinik dan pasien sudah mendapat cairan yang cukup. Perjalanan GGA dapat : 1. Sembuh sempuma
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 2. Pmurunan fwl ginjal sesuai dengan tahap-tahap GGK (CKDtahap 1 - 4) 3. Eksaserbasi berupa naik turunnya progresivitas GGK / CKD tahap 1 - 4 4. Kerusakan tetap dari ginjal (GGK, CKD tahap 5) ha1 ini dapat dilihat di gambar berikut.
OambPr 2. Natural history of M I . Patients who develop AKI may exoefience ( 1 ) c o m ~ l e t erecaverv of renal function, (2) debeloprnent bipmgrissive &runic kidney disease (CKD), (3) execerbatian of the rate of prouression of preexisting CKD; or (4) irreversible koss of kine; fuwtion and evolve I ~ Z ~ E S R D .
DIAGNOSIS
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan GGA pre-renal, GGA renal dan GGA postrenal. Dalam menegakkan diagnosis gangguan ginjal akut
perlu diperiksa: 1). Anamnesis yang baik, serta p e m e r k m jasmani yang teliti ditujukan untuk mencari sebab gangguan ginjal akut seperti misalnya operasi kardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi (infeksi kulit, infeksi tenggorokan, infeksi saluran kemih), riwayat bengkak, riwayat kencing batu. 2). Membedakan gangguan ginjal akut (GGA) dengan gangguan ginjal kronik (GGK) misalnya anemia dan ukuran ginjal yang kecil menunjuRkan gaga1 ginjal kronis. 3). Untuk mendiagnosis GGA diperlukari pemeriksaan berulang h g s i ginjal yaitu kadar w e m , kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien yang dirawat selalu diperiha asupan dan keluaran cairan, berat badan untuk memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada gangguan ginjal h t yang berat dengan be-rkurangnya fbngsi ginjal ekskresi air dan garam berkwang sehingga dapat menimbulkan edema bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau edema paru. Ekskresi asam yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolik dengan kompensasi pernapasan kussumaul. Umumnya manifestasi GGA lebih di dominasi oleh faktor-faktor presipitasi atau penyakit utamanya. 4). Penilaian pasien GGA: a). Kadar kreatinin serum. Pada gangguan ginjal akut faal ginjal dinilai dengan memeriksa berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar serutn kreatinin tidak dapat mengukur secara tepat laju filtrasi glomerulus karena tergantung dari produksi (otot), distribusi dalam cairan tubuh dan ekskresi oleh ginjal. b). Kadar cystatin C serum. Walaupun belum diakui secara umum nilai serum cystatin C dapat menjadi indikator gangguan yifijal akut tahap awal yang cukup dapat dipercaya, c). Volume urin. Anuria akut atau oliguria berat tnerupakan indikator yang spesifik untuk gangguan ginjal akut, yang dapat terjadi sebelurn perubahaan nilai-nilai biokirnia darah. Walaupun demikian volume urin pada GGA bisa bermacam-macam. GOA pre-renal biasanya hampir selalu disertai oliguria (c400 mllhari), walaupun kadang-
I Tabel 4. Temuan kelainan urin pada pada GGA Etiologi Pn)reml
Sedimen Tomk hidin
Iskernla
Sel epltel, muddy-brawn cats, pigmented granular east8 Lekosit (WBC),Torak lekcsit, easinophilis, Eritrosit /REG), sel epitel Dysmorphic REGS. RBC cast Beberapa torak hialin, eritmit Kristal asam urat
Nefritis interstitial akut
Ghl Akuf P~iena! Lysis tumor Arterial Ivenous Urnambosis Ethylene glycol
Fw+ Fe-urea 41
c35 r2 350
41
Proteinuria Tidak ada ataw -mar Samar ringan
-
>1
Ringan - sedang
early
Sedang - baik
c l early
Eritrosit
Tidak ada atau s m r Tidak a& atau samar Ringan - &ang
KPistal kalsium oksalat
Samar - Ringan
a1 late
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1044
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
kadang tidak dijumpai oliguria. GGA post renal dan GGA renal dapat ditandai baik oleh anuria maupun poliuria. d). Kelainan analisis urin (Tabel 4). e). Petanda biologis (Biomarkers).Syarat petanda biologis GGA adalah mampu dideteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai dengan kemudahan teknik pemeriksaanya. Petanda biologis diperlukan untuk secepatnya mendiagnosis GGA. Berdasarkan kriteria RIFLEtAKJN maka perlu dicari petanda untuk membuat diagnosis seawal mungkin. Beberapa petanda biologis mungkin bisa dikembangkan. Gamhr berikut menunjukkan beberapa petanda biologis yang dikaitkan dengan perjalanan penyakit GGA. Petanda biologis ini adalah zat - zat yang dikeluarkan oleh hlbulus ginjal yang rusak, seperti interleukin 18, enzim tubular, N-acetyl-bglucosamidase, alanine aminopeptidase, kindey injuty molecule I. Dalam satu penelitian pada anak-anak pasea bedah jantung terbuka gelatinaseassociated Iipoccrlin (NGAL) terbukti dapat dideteksi 2 jan setelah pembedahaan, 24 jam lebih awal dari kenaikan kadar kreatinin. Dalam masa akan datang kemungkinan diperlukan kombinasi dari petanda biologis.
Prosedui
Anamnesis dan perneriksaan fisik
Mikroskopik urin
Pemeriksaan biokimia darah Pmeriksaan biokimia urin Darah ferifer lengkap USG Ginjal
Jnformasi yang dicari Tanda-tanda untuk menyebabkan gangguan ginjal akut. lndikasi beratnya gangguan metabolik. Perkiraan status volume (hidrast) Petanda inflamasi glomerulus atau tubulus. lnfeksi saluran kemih atau uropati kristal Mengukur pengurangan laju Wltrasi glomerulus dan gangguan metabolik ymg diakibatkanya Membedakan gagal ginjal pra-renal dan renal Menentukan ada tidaknya anemia, leukositosis, dan kekurangan trmb4t akibat pemakaian. Menentukan ukwan ginjal, ada tidaknya obst~ksitekstur, parenkim ginjal yang abnormal
Bila diperlukan : CT Scan abdomen Pemindaian radionuklir
Mengetahui struktur abnonnal dari ginjal dan traktus urinarus Mengetahui perfusi ginjel yang abnorml
Pielogram
Evaluasi perbaikan dari obstntksi traktus Llrinarius Msnentukan berdasarkan pemerilrsaan patdogi penyabit ginjal.
Biops~ginjal
Gambar 3. Acute kidney injury and its btomarkers
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GANGGUAN GINJAL AKUT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI GAMBARAN KLlNlS GANGGUAN GINJAL AKUT GGA dapat dibagi rnenjadi 3 bagian besar, antara lain: GGA pre-renal. Penyebab GGA pre-renal adalah hipoperfusi ginjal. Hipoperfusi dapat disebabkan oleh hipovolemia atau menurunnya volume sirkulasi yang efektif. Pada GGA pre-renal integritas jaringan ginjal masih terpelihara sehingga prognosis dapat lebih baik apabila faktor penyebab dapat dikoreksi. Apabila upaya perbaikan hipoperfusi ginjal tidak berhasil maka akan timbul GGA renal berupa Nekrosis TubularAkut (NTA) karena iskemik. Keadaan ini dapat timbul sebagai akibat bermacam-macam penyakit. Pada kondisi ini fimgsi otoregulasi ginjal akan berupaya mempertahankan tekanan perfusi, melalui mekanisme vasodilatasi intrarenal. Dalam keadaan normal, aliran darah ginjal dan LFG relatif konstan, diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. GGA pre-renal disebabkan oleh hipovolemia, penurunan volume efektif intravaskular seperti pada sepsis dan gagal jantung serta disebabkan oleh gangguan hemodinamik intra-renal seperti pada pemakaian anti inflamasi non steroid, obat yang menghambat angiotensin dan pada tekanan darah, yang akan mengaktifasi baroreseptor kardiovaskuler yang selanjutnya mengaktifasi sistem saraf simpatis, sistem renin-angiotensinserta merangsang pelepasaan vasopresin dan endothelin- 1 (ET- I), yang merupakan mekanismes tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta perfusi serebral. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferen yang dipengaruhi oleh refleks miogenik serta prostagladin dan nitric oxide (NO), serta vasokontriksi arteriol afferen yang terutarna dipengaruhi oleh angiotensinI1 (A-11) dan ET-1. Mekanisme ini bertujuan untuk mempertahankanhomeostasis intrarenal. Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta berlangsung dalam jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan terganggu, dimana arteriol afferen mengalami vasokonstriksi,terjadi kontraksi mesangial dan peningkatan reabsorbsi Na+ dan air. Keadaan ini disebut pre-renal atau GGA fungsional, dimana belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal. Penanganan terhadap penyebab hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis intra-renal menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi beberapa obat seperti ACEIARB, NSAID, terutama pada pasien-pasien berusia di atas 60 tahun dengan kadar serum kreatinin mg/dL sehingga dapat terjadi GGA pre-renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi, hipotesis, penggunaan diuretik, sirosis hati dan gagal jantung. Perlu di ingat bahwa pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaan-keadaanyang merupakan risiko GGA pre-renal seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit renovaskular), penyakit ginjal polikistik dan nefrosklerosis internal.
GGA Renal. GGA renal yang disebabkan oleh kelainan vaskuler seperti vaskulitis, hipertensi maligna, glomerulus nefritis akut, nefritis interstitial akut akan dibicarakan tersendiri pada bab lain. Nekrosis tubular akut dapat disebabkan oleh berbagai sebab seperti penyakit tropik, gigitan ular, trauma (crushing injurylbencana alam, peperangan), toksin lingkungan dan zat-zat nefrotoksik. Di Rumah Sakit (35 - 50% di ICU) NTA terutama disebabkan oleh sepsis. Selain itu pasca operasi dapat terjadi NTApada 20 - 25% ha1 ini disebabkan adanya penyakit-penyakit seperti hipertensi, penyakit jantung, penyakit pembuluh darah, diabetes melitus, ikterus dan usia lanjut, jenis operasi yang berat seperti transplantasi hati, transplantasijantung. Dari golongan zat-zat nefrotoksik perlu dipikirkan nefropati karena zat radio kontras, obat-obatan seperti anti jamur, anti virus dan anti neoplastik. Meluasnya pemakian NARKOBAjuga meningkatkan kemungkinan NTA. Kelainan yang terjadi pada NTA melibatkan komponen vaskuler dan tubuler, misalnya :
Kelainan vaskular. PadaNTAterjadi : 1).Peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriol afferen glomerulus yang menyebabkan peningkatan sensitifitas terhadap substansisubstansi vasokontriktor dan gangguan otoregulasi. 2). Terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan endotel vaskuler ginjal, yang mengakibatkan pengikatan A-I1 dan Et-I serta penurunan prostaglandin dan ketersediaan NO yang berasal dari endothelial NO systhase (eNOS). 3). Peningkatan mediator inflarnasi seperti tumor necrosis factor (TNF-) dan interleukin-18 (IL 19, yang selanjutnya akan meningkatkan ekspresi dari intercellular adhesion rnolecule-1 (ICAM-I) dan P-selectin dari sel endotel, sehingga terjadi peningkatan perlengketan dari sel-sel radang, terutama sel neutrofil. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen. Keseluruhan proses-proses tersebut di atas secara bersama - sama menyebabkan vasokonstriksi intra-sel yang akan menyebabkan penurunan LFG. Kelainan tubuler. Pada NTA terjadi: 1). Peningkatan Ca2+ intrasel yang menyebabkan peningkatan calpain, cystolic phospholipase A2, serta kerusakan actin, yang akan menyebabkan cystoskeleton. Keadaan ini akann menyebabkan penurunan basolateral Na+/K-ATPase yang selanjutnya menyebabkan penurunan reabsorbsi Na+ di tubulus proksimalis, sehingga terjadi peningkatan pelepasan NaCl ke makula densa. Hal tersebut mengakibatkan umpan balik tubuloglomeruler. 2). Peningkatan NO yang berasal dari inducible NO systhase (iNOS), caspase dan mettaloproteinase serta defisiensi heat shockprotein, akan menyebabkan nekrosis dan apoptosis sel. 3). Obstruksi tubulus. Mikrovilli tubulus proksimalis yang terlepas bersama debris seluler akan membentuk substrat yang akan menyumbat tubulus. Di tubulus, dalam ha1 ini pada thick ascending limb diproduksi Tamm-Horsfall Protein (THP) yang disekresikan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI ke dalam tubulus ke dalam bentuk monomer yang kemudian berubah menjadi bentuk polimer yang yang akan memberntuk materi berupa gel dengan adanya Na+ yang konsentasinyameningkat pada tubulus distal. Gel polimerik THP bersama sel epithel tubuli yang terlepas, baik sel yang sehat, nekrotik maupun yang apoptotik, microvilli dan matrix ekstraseluler seperti fibronektiin akan membentuk silinder - silinder (cast) yang menyebabkan obstruksi tubulus ginjal. 4). Kerusakan sel tubulus menyebabkan kebocoran kembali (backleak) dari cairan intratubuler masuk kedalam sirkulasi peritubuler. Keseluruhan prosesproses tersebut diatas secara bersama-sama akan menyebabkan penurunan LFG. Di dugajuga proses iskemia dan paparan bahanlobat nefrotoksik dapat merusak glomerulus secara langsung. Pada NTA terdapat kerusakan glomemlus dan juga tubulus. Kerusakan tubulus dikenal juga dengan nama nekrosis tubular akut (NTA). Tahaptahap nekrosis tubular akut adalah tahap inisiasi, tahap kerusakan yang berlanjut (maintenance) dan tahap penyembuhan. Dari tahap inisasi ke tahap kerusakan yang berlanjut terdapat hipoksia, dan inflamasi yang sangat nampak pada kortikomeduler (cortiocomedularyjunction). Proses inflamasi memegang peranan penting pada pasofisiologi dari GGA yang terjadi karena iskemia. Sel endotel, lekosit dan sel-T berperan penting dari saat awal sampai saat reperfusi (reperfusion injury). GGA post-renal. GGA post-renal merupakan 10% dari keseluruhan GGA. GGA post renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstra renal. Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristral (urat, oxalat, sulfonamid) dan protein (mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstra-renal dapat terjadi pada pelvis ureter oleh obstruksi intrinsik (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan retoperitonial, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi / keganasan prostat) dan urethra (striktura). GGA post renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada urethra, buli-buli dan ureter bilateral atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi. Pada fase awal dari obtruksi total ureter yang akut, terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana ha1 ini disebabkan oleh prosta glandin-E2. Pada fase kedua setelah 1.5 - 2 jam terjadi penurunan aliran darah ginjal dibawah normal akibat pengaruh thromboxane-A2 (TxA2) dan A-11. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam mulai meningkat. Fase ke tiga atau fase kronik, ditandai oleh aliran darah ginjal yang makin menurun atau penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu. Aliaran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2 minggu tinggal20% dari normal. Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan faktor-faktor pertumbuhan yang akan menyebabkan febriosis interstitial ginjal.
Kerusakan vaskuler
Kerusakan tubular
Vasokontriksi renal
Kerusakan reperfusi
Obstruksi tubuler
Regerensi tubuler
Dopamin dosis rendah
Anti ICAM-1 rnAb
Furosernid
Reseptor anatognist endotelin
Anti-CD18 mAb
Manitol
Faktor pertumbuhan epidermal dan hepatosit Faktor pertambahan hepatosit insulin-like growth factor
Peptide natriuretik atrial
Pengikat radikal bebas
Doparnin dosis rendah
Antagonis kalsium
Penghambat prostease aMSH Membran biokompatibel
Antagonis reseptor leukotrien
PENGELOLAAN Tujuan pengelolaan adalah meencegah terjadinya kerusakan ginjal, mempertahankan komestasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan infeksi serta mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan. Prinsip pengelolaannya dimulai dengan mengidentifikasi pasien beresiko GGA (sebagai tindak pencegahan), mengatasi penyakit penyebab GGA, mempertahankan homeostasis, mempertahankan eopolemia, keseimbangan cairan dan elektrolit, mencegah komplikasi metabolik seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfospatemia, mengevaluasi status nutrisi, kemudian mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi obat-obat yang dipakai.
PENCEGAHAN GGA dapat dicegah pada beberapa keadaan misalnya penggunaan zat kontras yang dapat menyebabkan nefropati kontras. Pencegahan nefropati akibat zat kontras adalah menjaga hidrasi yang baik, pemakaian N-asetyl cystein serta pemakaian purosemid pada penyakit tropik perlu di waspadai kemungkinan GGA pada gastrointeristis akut, malaria dan demam berdarah. Pemberian kemoterapi dapat menyebabkan ekskresi asam urat yang tinggi sehingga menyebabkan GGA. Pada tabel ini dapat dilihat beberapa upaya pencegahan GGA.
TERAPI KHUSUS GGA Bila GGA sudah terjadi diperlukan pengobatan khusus, umumnya dalam ruang lingkup perawatan intensif sebab
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GANGGUAN GINJAL AKUT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Cari dan perbaiki faktor pre dan pasca renal Evaluasi obat-obatan yang telah diberikan Optimalkan curah jantung dan aliran darah ke ginjal Perbaiki dan atau tingkatkan aliran urin Monitor asupan cairan dan pengeluaran cairan, timbang badan tiap hari Cari dan obati komplikasi akut (hiperkalemia, hipernatremia, asidosis, hiperfosfatemia,edema paru) Asupan nutrisi adekuat sejak dini Cari fokus infeksi dan atasi infeksi secara agresif Perawatan menyeluruh yang baik (kateter, kulit, psikologis) Segera memulai terapi dialisis sebelum timbul komplikasi Berikan obat dengan dosis tepat sesuai kapasitas bersihan ainial
-
-
Oliguria : produksi urin < 2000 mL in 12 h Anuria : produksi urin < 50 mL in 12 h Hiperkalemia : kadar potasium > 6.5 mmollL Asidemia (keracunan asam) yang berat : pH < 7.0 Azotemia : kadar urea > 30 mmol1L Esefalopati uremikum Neuropati Imiopati uremikum Perikarditis uremikum Natrium abnorrnalitas plasma : konsentrasi > 155 mmollL atau < 120 mmollL Hipertemia Keracunan obat
Komplikasi
beberapa penyakit primernya yang berat seperti sepsis, gagal jantung dan usia lanjut, dianjurkan untuk inisiasi dialisis ini. Dialisis bermanfaat untuk koreksi akibat metabolik dari GGA. Dengan dialisis dapat diberikan cairanl nutrisi dan obat-obat lain yang diperlukan seperti antibiotik. GGA post-renal memerlukan tindakan cepat bersama dengan ahli urologi misalnya pembuatan nefrostomi, mengatasi infeksi saluran kemih dan menghilangkan sumbatan yang dapat disebabkan oleh batu, setriktur uretra atau pembesaran prostat. Belum ada bukti yang nyata keunggulan antara terapi pengganti intensif dan terapi pengganti intermiten.
Kebutuhan nutrisi pada GGA amat bervariasi sesuai dengan penyakit dasarnya atau kondisi komorbidnya, dari kebutuhan yang biasa, sampai dengan kebutuhan yang tinggi seperti pada pasien dengan sepsis. Rekomendasi nutrisi GGA amat berbeda dengan GGK, dimana pada GGA kebutuhan nutrisi sisesuaikan dengan keadaan proses kataboliknya. Pada GGK justru dilakukan pembatasanpembatasan. Pada tabel di bawah ini diperlihatkan kebutuhan nutrisi pada berbagai keadaan GGA. GGA menyebabkan abnormalitas metabolisme yang amat kompleks, tidak hanya pengaturan air, asam basa, elektrolit, tetap juga asam amino / protein, karbohidrat dan lemak. Heterogenitas GGA yang amat tergantung dari penyakit dasarnya membuat keadaan ini lebih kompleks. Oleh karena itu nutrisi pada GGA disesuaikan dengan proses katabolis yang terjadi, sehingga pada suatu saat menjadi normal kembali.
FASE PERBAIKAN
Pada tahap ini terjadi poliuria yang sangat banyak sehingga perlu dijaga keseimbangan carian. Asupan cairan
Kelebihan volume intravaskular Hipobatremia Hiperkalemia
Asidosis metabolik Hiperfosfatemia
Hipokalemia Nutrisi
Pengobatan Batas garam (1-2 glhari) dan air (< 1 Llhari), Furosemid, ultrafiltrasi atau dialisis Batas asupan air (< 1 Llhari) : hindari infus larutan hipotonik Batasi asupan diet K (< 40 mmollhari) ; hindari diuretik hemat K, Potassiumbinding ion exchange resins, Glukosa (50 ml dextrosa 50%) dan insulin (10 unit), Natrium bikarbonat (50 - 100 mmol), Agonis p2 (salbutamol, 10 - 20 mdg di inhalasi atau 0.5 1 mg IV), kalsium glukonat ( I 0 ml larutan 10% dalam 2 - 5 menit) Natrium bikarbonat (upayakan bikarbonat serum > 15 mmolIL, pH > 7.2) Batasi asupan diet fosfat (800 mglhari), obat pengikat fosfat (kalsium asetat; kalsium karbonat) Kalsium karbonat ; kalsium glukonat (10 20 ml larutan 10%) Batasi asupan protein diet (0.8 - 1 glkg BBlhari) jika tidak dalam kondisi katabolik, karbohidrat (100 glhari), nutrisi enternal atau parenteraljika perjalanan klinik lama tau katabolik.
pengganti diusulkan sekitar 65 - 75% dari jumlah cairan yang keluar. Pad atahap ini pengamatan faal ginjal hams tetap dilakukan karena pasien pada dasarnya belum sembuh sempurna (bisa sampai 3 minggu atau lebih)
KESIMPULAN
Istilah gangguan ginjal akutlacute kidney injury sebaiknya menggantikan istilah gagal ginjal akut1ARF. Istilah gangguan ginjal akut memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai proses GGA dengan dibuatnya kriteria RIFLEIAKIN. Kriteria RIFLE dan AKIN memberikan cara berpikir baru dalam memahami GGA, pentahapan dari GGA, standardisasi dalam definisi sehingga ada keseragaman dalam
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1048
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Hemodialsis intermitten
-
Continous renal replacment therapy
Keuntungan
Resiko rendah untuk perdarahan - Lebih banyak waktu untuk rnencari diagnosis dan intervensi I terapi. - Lebih cocok untuk hiperkalemia berat - Biaya murah
Hernodinarnik lebi stabil Aritrnia lebih jarang Perbaikan nutrisi Pertukaran gas di paru lebih baik Kontrol cairan lebih baik Kontrol biokimia darah lebih baik Waktu rawat inap ICU lebih singkat
Kerugian
-
Masalah akses vaskuler Risiko tinggi terjadinya perdarahan lrnobilisasi lebih lama Lebih banyak masalah pada filter (ruptur, penyumbatan oleh bekuan darah) Biaya mahal
Ketersediaan perawat HD Lebih sulit kontrol hernodinarnik Dosis dialisis tidak rnencukupi Kurang kontrol cairan Nutrisi kurang Tidak cocok untuk pasien dengan hipertensi intrakranial Tidak ada pembuangan sitokin Potensial terjadi aktivasi komplemen oleh membrane yang non kornpatibel (tidak sesuai)
Jenis dan cara dialisis Hernodialisis Konvensional Slow lona extended daily diilysis (SLED) Sequential ultrafiltration & clearance Continuous arteriovenous hemodialysis (CAVHD) Continuous venovenous hemodialysis (CWHD)
Dialiser Hernodialiser Hernodialiser Hernodialiser
Dialisis peritoneal Berkesinarnbungan lnterrniten
Klirens difusi dan ultrafiltrasi bersarnaan, intermiten Klirens difusi dan ultrafiltrasi denaan aliran darah dan dialisat yang pelan, intermiten Ultrafiltrasi diikuti klirens difusi, intermiten
-
Hemodialiser
Klirens difusi dan ultrafiltrasi pelan dan bersarnaan tanpa pompa darah
Hemofilter
Klirens difusi dan ultrafiltrasi pelan dan bersarnaan dengan pornpa darah
Hernodialisis dan hemofiltrasi Continuous Hernofilter arterivenous hernodialysis plus hernofiltration (CAVHDF) Hernofilter Continuous venovenous hernodialysis plus hernofiltration (CWHDF) Ultrafiltrasi Isolated ultrafiltration Hernodialiser Slow continuos ultrafiltration (SCUF)
Prinsi~ keria
Hemofilter
Peritoneum Peritoneum
Klirens konvektif berkesinambungan tanpa pornpa darah
Klirens konvektif berkesinarnbungan dengan pompa darah
Klirens konvektif dan difusi berkesinambungantanpa pompa darah Klirens konvektif dan difusi berkesinambungan dengan pompa darah Klirens dan ultrafiltrasi berkesinarnbungan ; ganti cairan selang beberapa jam Klirens dan ultrafiltrasi intermiten; ganti cairan tiap jam selarna 12 jam setiap 2-3 hari
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GANGGUAN GINJAL AKUT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Tahap katabolisme Keadaan klinis Mortalitas Dialisis I hemofiltrasi Pemberian makanan Rekomendasi Energi (kkallkgBBlh) Subtrat energi Glukosa glkg Lemak glkg Asam amino I protein Nutrien oral I enteral Parenteral
Ringan
Sedang
Toksik karena obat 20% Jarang
Pembedahan + infeksi 60% Apabila perlu
Injuri berat I sepsis > 80% Sering
Oral
Enterall parenteral
Enterall parenteral
Glukosa
Glukosa + lemak 3-5 0.8- 1.5 0.8-1.2EAA + NEAA Formula
Glukosa + lemak
3-5 0.5 - 1 0.6 - 0.8 EAA (+NEAA) Makanan
Berat
3 - 5 (maks 7)
1.0-1.5 E M + NEAA Formula
Glukosa 50 Glukosa 50 70% 70% + emulsi lemak 10 - 20% EAA + NEAA (biasa atau khusus untuk ginjal) + multivitamin + multitrace element
Dan Druml W, Mitch WE. Nutritional Management of Acute Renal Failure. Brady HR, Wilcox CS, editors. Therapy in Nephmlogy and Hypertension. Philadelphia :WB Saunders Company ;1999.
mendeskripsikanGGA.Keseragaman ini akan mendorong upaya pencegahan, pengobatan dan penelitian yang seragam. Hasil akhir yang diharapakan adalah tatalaksana atau penanganan GGA yang lebih baik.
REFERENSI Bellomo R, Bagshaw S, Langenberg C, Ronco C. Pre-Renal Azotemia: A Flawed Paradigm in Critically ill Septic Patients? (eds.): Acute Kidney Injury. Contrib 1Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 1 - 9. Kellum JA, Bellomo R, Ronco C,. The Concept of Acute Kidney Injury and the RIFLE Criteria. (eds.) : Acute Kidney Injury. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 10 - 16. Vincent Louis J. Critical Care Nephrology : A Multidisciplinary Approach. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 24 - 31.
Leverve MX, Cano JM Noel. Nutritional Management in Acute Illness and Acute Kidney Insufficiency. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 112 - 118. Devarajan P. Emerging Biomarkers of Acute Kidney Injury. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 203 - 212. Bonventre V. Joseph. Diagnosis of Acute Kidney Injury : From Classic Parameters to New Biomarkers. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 213 - 219. A. Davenport. Renal Replacement Therapy for the Patient with Acute Traumatic Brain Injury and Severe Acute Kidney Injury. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 333 - 339. Cerda J, Lameire N, Eggres P. et all. Epidemiology of Acute Kidney Injury. Clin J Am Soc Nephrol 3 : 881 - 886 ; 2008. Bonventre V Joseph. Dialysis in Acute Kidney Injury - More Is Not Better. N Engl J Med 359 : July 3 ; 2008. Metha L. Ravindra, Kellum A. John, Shah V Sudhir. et all. Acute Kidney Injury Network: report of an initiative to improve outcomes in acute kidney injury. Critical Care, Vol.ll No.2 : 1 - 8; 2007. Bagshaw M.S, George C and Bellomo R. A comparison of the RIFLE and AKIN criteria for acute kidney injury in critically ill patients. Nephrol Dial Transplant (2008) 23: 1569-1574. Himmelfarb J and Ikizler TA. Acute kidney injury: changing lexicography, definitions, and epidemiology Kidney International (2007) 71, 971-976. Molitoris AB, Yaqub SM Current Diagnosis and Treatment Nephrology and Hypertension. Acute Kidney Injury. Section I1 Acute Renal Failure. A LANCE Medical Book : 2009; (9) : 89 - 98. Field M,Pollok C,Harris D.Glomerulus filtration and acute renal failure.The renal system. 2001;5:65-73. Lameire N, Wim Van Biesen, Vanholder R. Acute renal fai1ure.t. 2005;365:417-30 Robert W. Schrier. Manual of nephrology. 6tthedition. New York London; 2005. Suhardjono, Sukahatya M, Parsoedi I. Gagal Ginjal akut. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I1 Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. p. 417-22. Susalit E. Penanganan gagal ginjal akut di ICU. Nskah lengkap gagal ginjal akut, penyakit ginjal, sistemik ginjal dan system kardiovaskular pada hipertensi. Jakarta: PERNEFRI; 2005. p. 18-22. Syakib B. Patogenesis gagal ginjal akut. Naskah lengkap gagal ginjal akut, penyakit ginja1,sistemik ginjal dansistem kardiovaskular pada hipertensi. Jakarta: PERNEFRI; 2005. p.1-7 The VA 1 NIH Acute Renal Failure Trial Network. Intensity of Renal Support in Critically I11 Patients with Acute Kidney Injury. N. Eng J. Med. 2008 ; 35 - : 7 - 20. Druml W, Mitch WE. Nutritional Management of acute renal failure. Brady HR, Wilcox CS, editors. Therapy in nephrology and hypertension. Philadelphia. WB Saunders Comp. 1999.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
HEMODIALISIS Pudji Rahardjo, Endang Susalit, Suhardjono
PENDAHULUAN
.'
Tahapan gaga1 ginjal kronik dapat dibagi menurut beberapa cara, antara lain dengan memperhatikan faal ginjal yang masih tersisa. Bila faal ginjal yang masih tersisa sudah minimal sehingga usaha-usaha pengobatan konservatif yang berupa diet, pembatasan minum, obat-obatan, dan lain-Iain tidak memberi pertolongan yang diharapkan lagi, keadaan tersebut diberi nama penyakit ginjal kronik (PGK). Pada stadium ini terdapat akumulasi toksin uremia dalam darah yang dapat membahayakan kelangsungan hidup pasien. Pada umumnya faal ginjal yang masih tersisa, yang diukur dengan klirens kreatinin (KKr), tidak lebih dari 5 mL/menit/l,73 m2. Pasien PGK, apa pun etiologi penyakit ginjal nya, memerlukan pengobatan khusus y a n g disebut pengobatan atau terapi pengganti (TP). Setelah menetapkan bahwa TP dibutuhkan, perlu pemantauan y a n g ketat sehingga dapat ditentukan dengan tepat kapan TP tersebut dapat dimulai.
TERAPI PENGGANTI Seperti diketahui faal ginjal dapat dibagi menjadi faal ekskresi dan faal endokrin. Pada PGK. kedua golongan faal ini memburuk walaupun tidak selalu proporsional. TP yang ideal adalah yang dapat menggantikan fungsi kedua faal ini. Transplantasi ginjal yang berhasil akan mengganti keseluruhan faal ginjal yang sakit, sedangkan dialisis mengganti sebagian faal ekskresi. Pada Tabel 1 tertulis beberapa TP yang dapat dilaksanakan dewasa ini. Di samping TP tersebut ada juga TP yang hanya dilakukan dalam keadaan yang sangat khusus atau pada penelitian.
I
II
Dialisis A. Dialisis Peritoneal (DP) - DP intermiten (DP) - DP mandiri berkesinambungan (DPMB) - DP dialirkan berkesinambungan (DPDB) - DP nokturnal (DPN) B. Hemodialisis (HD) Transplantasi Ginjal (TG) TG donor hidup (TGDH) TG donor jenazah (TGDJ)
Pada PGK, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial) dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafiltrasi (Gambar 1). Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat dibanding molekul dengan berat molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat terlarut tersebut makin tinggi bila (1) perbedaan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Selaput Semipermeabel
I
Kompartemen 1
Gambar I.Proses
Kompartemen 2
(
dialisis
konsentrasi di kedua kompartemen makin besar, (2) diberi tekanan hidrolik di kompartemen darah, d m (3) bila tekanan osmotik di kompartemen cairan dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan darah untuk meningkatkan efisiensi (Gambar 2). Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai konsentrasinya sama di kedua kompartemen. Terdapat 4 jenis membran dialiser yaitu: selulosa, selulosa yang diperkaya, selulo sintetik, dan membran sintetik. Pada membran selulosa terjadi aktivasi komplemen oleh gugus hidroksil bebas, karena itu penggunaan membran ini cenderung berkurang digantikan oleh membran lain. Aktivasi sistem komplemen oleh membran lain tidak sehebat aktivasi oleh membran selulosa.
Darah kembali ke badan
Dialisat dialirkan pompa Gambar 2.
Bagan hemodialisis
Luas permukaan membran juga penting untuk proses pembersihan. Luas permukaan membran yang tersedia adalah dari 0.8 m2 sampai 2,l m'. Semakin tinggi luas permukaan membran semakin efisien proses dialisis yang terjadi. Selama proses dialisis pasien akan terpajan dengan cairan dialisat sebanyak 120-150 liter setiap dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan dialisat akan dapat dengan mudah berdifusi ke dalam darah pasien selama dialisis. Karena itu kandungan solut cairan dialisat harus dalam batas-batas yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Cairan dia!isat perlu dimurnikan agar tidak terlalu banyak mengandung zat yang dapat membahayakan tubuh. Dengan teknik reverse osnlosis air akan melewati membran semi permeabel yang memiliki pori-pori kecil
sehingga dapat menahan molekul dengan berat molekul kecil seperti urea, natrium, dan klorida. Cairan dialisat tidak perlu steril karena membran dialisis dapat berperan sebagai penyaring kuman dan endotoksin. Tetapi kuman harus dijaga agar kurang dari 200 koloni1mL dengan melakukan desinfektan cairan dialisat. Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar 135-145 meqIL. Bila kadar natrium lebih rendah maka risiko untuk terjadinya gangguan hemodinamik selama hemodialisis akan bertambah. Sedangkan bila kadar natrium lebih tinggi gangguan hemodinamik akan berkurang tetapi akan meningkatkan kadar natrium darah pascadialisis. Keadaan ini akan menimbulkan rasa haus dan pasien akan cenderung untuk minum lebih banyak. Pada pasien dengan komplikasi hipotensi selama hemodialisis yang sulit ditanggulangi maka untuk mengatasinya kadar natrium dalam cairan dialisat dibuat lebih tinggi. Diuliser dapat didaur ulang (reuse) untuk tujuan mengurangi biaya hemodialisis. Dilaporkan 80% pasien hemodialisis di Ameriia Serikat dilakukan daur ulang sedangkan di Eropa sekitar 10%. Segera setelah selesai prosedur hemodialisis dialiser dicuci dengan cairan dialisat yang banyak untuk menghilangkan bekuan darah yang terdapat dalam kapiler dialiser: Dilakukan pengukuran volume diull~eruntuk mengetahui apakah dialiser ini masih dapat dipakai d m dilihat apakah terdapat cacat jasmminya. Umumnya dipakai kembal i bila volume diuliser 80%. Setelah itu dicrliser disimpan dengan cairan antiseptik (formaldehid 4%). Sebelum digunakan kembali dialiser ini dicuci kembali untuk membuang semua formaldehid. Formaldehid yang tersisa dalam dialiscr dapat memasuki tubuh selama proses dialisis dan ha1 ini dapat menimbulkan gangguan pada pasien. Terdapat dua jenis cairan dialisat yang sering digunakan yaitu cairan asetat dan bikarbonat. Kerugian cairan asetat adalah bersifat asam sehingga dapat menimbulkan suasana asam di dalam darah yang akan bermanifestasi sebagai vasodilatasi. Vasodilatasi akibat cairan asetat ini akan mengurangi kemampuan vasokonstriksi pembuluh darah yang diperlukan tubuh untuk memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi selaina hernodialisis. Keuntungan cairan bikarbonat adalah dapat memberikan bikarbonat ke dalam darah yang akan menetralkan asidosis yang biasa terdapat pada pasien dengan penyakit ginjal kronik danjuga tidak menimbulkan vasodilatasi. Pada proses dialisis terjadi aliran darah di luar tubuh. Pada keadaan ini akan terjadi aktivasi sistem koagulasi darah dengan akibat timbulnya bekuan darah. Karena itu pada dialisis diperlukan pemberian heparin selama dialisis berlangsung. Ada tiga teknik pemberian heparin yaitu teknik heparin rutin, heparin minimal, dan bebas heparin. Pada teknik heparin rutin, teknik yang paling sering digunakan sehari-hari, heparin diberikan dengan cara bolus diikuti dengan contit7ou.c infir.\ion. Pada keadaan di
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI mana risiko perdarahan sedang atau berat digunakan teknik heparin minimal dan teknik bebas heparin. Contoh beberapa keadaan risiko perdarahan berat misalnya pada pasien dengan perdarahan intraserebral, trombositopenia, koagulopati, dan pascaoperasi dengan perdarahan. Jumlah dan tekanan darah yang mengalir ke dialiser, hams memadai sehingga perlu suatu akses khusus. Akses khusus ini pada umumnya adalah vena lengan yang sudah dibuatkan fistula dengan arteria radialis atau ulnaris. Terdapat shunt aliran darah arteri ke vena sehingga vena akan membesar dan mengalami epitelisasi. Fistula seperti ini (fistula cimino) dapat bertahan bertahun-tahun dan komplikasinya hampir tak ada. Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi di antaranya adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, clan menggigil. Komplikasi yang jarang terjadi misalnya sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser; aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis dan hipoksemia. Di Indonesia hemodialisis dilakukan 2 kali seminggu dengan setiap hemodialisis dilakukan selama 5 jam. Di senter dialisis lain ada juga dialisis yang dilakukan 3 kali seminggu dengan lama dialisis 4 jam. Pasien hemodialisis hams mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting urifuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1-1.2 gkgBBhari dengan 50% terdiri atas protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-70 meqlhari. Pembatasan kalium sangat diperlukan. karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-urnbian tidak dianjurkan dikonsurnsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah air kencing yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40- 120 meqhari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebihan maka selama periode di antara dialisis akan terjadi kenaikan berat badan yang besar. Kecukupan dosis hemodialisis yang diberikan diukur dengan istilah adekuasi dialisis. Terdapat korelasi yang kuat antara adekuasi dialisis dengan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien dialisis. Adekuasi dialisis diukur dengan menghitung urea reduction ratio (URR)dan (KT/
V). URR dihitung dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar ureum predialisis dengan kadar ureum pascadialisis dibagi kadar ureum pascadialisis. Pada hemodialisis 2 kali seminggu dialisis dianggap cukup bila UUR-nya lebih dari 80% Cara lain menghitung adekuasi dengan menghitun KT/N Terdapat rumus Dougirdas untuk menghitung KT/ N dengan memasukkan nilai ureum pra dan pascadialisis, berat badan pra dan pascadialisis. Pada hemodialisis 3 kali seminggu KT/N dianggap cukup bila lebih besar atau sarna dengan 1,8. Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG sudah kurang dari 5 mllmenit. yang di dalalT praktek dianggap demikian bila (TICK) < 5 mL menit. Keadaan pasien yang hanya mempunya TKK < 5 mL/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila di jumpai sarah satu dari ha1 tersebut di bawah : Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata K serum > 6 mEqL Ureum darah > 200 mg/dL pH darah < 7,l Anuria berkepanjangan ( > 5 hari) Fluid overloaded Hemodialisis di Indonesia dimulai padc tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak mmah sakit rujukan Umumnya dipergunakan ginjal buatan yan! kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermeabel (hollowfibre kidney) Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.
REFERENSI Bregman H, Dougirdas JT, Ing TS. Complications during hemodialysis. Dalam: Dougirdas JT, Ing TS (eds) Handbook of dialysis, edisi 2, Little Brown am Company: 1994. 149-68. Daugirdas JT. Chronic hemodilysis prescription: a urel kinetic approach. Dalam: Dougirdas JT, Ing TS (eds) Handbook of dialysis, edisi 2. Little Brown am Company: 1994.92-120. Dialysis Therapy, Ed. Nissenson AA, Fine AN Philadelphia: Hanley & Belfus; 1986. Kartono SD, Darmarini F, Aahimy A. Penyusunan diet pada gagal ginjal kronik dengan dialisis. Dalam: Sidabu~arAP, Suhardjono (ed). Gizi pada gagal ginja kronik. Beberapa aspek penatalaksanaan. PERNEFRI 1992.60-74.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
DIALISIS PERITONEAL Imam Parsudi, Parlindungan Siregar, Rully M.A. Roesli
PENDAHULUAN Dialisis peritoneal (DP) sudah lama dikenal. Sarjana pertama yang melakukan DP di klinik pada seorang pasien uremia karena obstruksi ureter akibat kanker kandungan adalah Ganter (1923). Perkembangan selanjutnya memakan waktu cukup lama dan baru Maxwell (1959) mengajukan teknik dialisis intermiten yang merupakan modifikasi dari teknik yang diajukan Grollman, dkk (195 1 ). Sampai saat ini teknik ini masih tetap terpakai. Perkembangan selanjutnya ditunjang dengan tersedianya antibiotik serta cairan dialisat komersial. Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu penanganan pasien GGA (Gagal Ginjal Akut) maupun GGK (Gagal Ginjal Kronik), menggunakan membran peritoneum yang bersifat semipermeabel. Melalui membran tersebut darah dapat difiltrasi. Keuntungan Dialisis Peritoneal (DP) bila dibandingkan dengan hemodialisis, secara teknik lebih sederhana, cukup aman serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas khusus, sehingga dapat dilakukan di setiap rumah sakit. Pada saat ini pun DP masih menempati kedudukan cukup penting untuk menangani kasus-kasus tertentu dalam rumah sakit besar dan modem.
PRlNSlP DASAR DIALISIS PERITONEAL Untuk dialisis peritoneal akut biasa dipakai styletcatheter (kateter peritoneum) untuk dipasang pada abdomen masuk dalam kavum peritoneum, sehingga ujung kateter terletak dalam kavum Douglasi. Setiap kali 2 liter cairan dialisis dimasukkan dalam kavum peritoneum melalui kateter tersebut. Membran peritoneum bertindak sebagai membran dialisis yang memisahkan antara cairan dialisis dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam
pembuluh darah di peritoneum. Sisa-sisa metabolisme seperti ureum, kreatinin, kalium dan toksin lajn yang dalam keadaan normal dikeIuarkan melalui ginial, pada gangguan faal gjnjal akan tertimbun dalam plasma darah. Karena kadarnya yang tinggi akan mengalami difusi melalui membran peritoneum dan akan masuk dalarn cairan dialisat dan dari sana akan dikeluarkan dari tubuh. Sementara itu setiap waktu cairan dialisat yang sudah dikeluarkan diganti dengan cairan dialisat baru.
Cairan Dialisat Susunan cairan dialisat mengandung elektrolit dengan kadar seperti pada plasma darah normal. Komposisi elektrolit cairan dialisat bervariasi. namun prinsipnya kurang lebih seperti terlihat pada Tabel 1. Pada umumnya cairan dialisat tidak mengandung kalium, karena tujuannya untuk mengeluarkan kalium yang tertimbun karena terganggunya fungsi ginjal. Bila DP dilakukan pada pasien dengan kadar kalium dalam batas normal, untuk mencegah terjadinya hipokalemia. dalam cairan dialisat dapat ditambahkan kalium 33-4,5 mEq/ liter cairan dialisat.
Elektrolit
MEqlL
Tek. Osmosis ImOsmlL)
Na+ Ca++ Mg++ CILaktatGlukosa
140,O 4,O 1,5 102,o 43,5
140,O 2,O 0,8 102,o 83,3 15,O grIL
291,O rnEqlL
371,6 rnOsrnlL
Tiap 1 liter cairan dialisat mengandung: 5.650 gram NaCI, 0294 gram CaCI,, 0,153 gram MgCI,, 4.880 gram NaIaktat dan 15.000 gram glukosa. Bila cairan dialisat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENS1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
mengandung kadar glukosa lebih dari 1.5% kita sebut cairan dialisat hipertonik (2,s; 3 3 ; dan 4,25%). Berdasarkan prinsip perbedaan tekanan osmotik, maka cairan dialisat hipertonik ini dapat digunakan untuk mengeluarkan cairan tubuh yang berlebihan. Heparin ditambahkan dalam cairan dialisat dengan tujuan untuk mencegah pembentukan fibrin yang dapat mengganggu aliran cairan, biasanya diberikan pada permulaan dialisat dengan dosis 500-1000 U tiap 2 liter cairan. lndikasi Pemakaian Dialisis Peritoneal Dialisat peritoneal dapat digunakan pada pasien : 1. Gagal ginjal akut (dialisat peritoneal akut) 2. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit atau asam basa. 3. Intoksikasi obat atau bahan lain 4. Gagal ginjal .kronik (dialisat peritoneal kronik) 5. Keadaan klinis larn di mana DP telah terbukti manfaatnya. Kontraindikasi Dialisais Peritoneal 1. Kontraindikasi absolut : tidak ada 2. Kontraindikasi relatif : keadaan-keadaan yang kemungkinan secara teknis akan mengalami kesulitan atau memudahkan terjadinya komplikasi seperti gemuk berlebihan, perlengketan peritoneum, peritonitis lokal, operasi atau trauma abdomen yang baru saja terjadi, kelainan intraabdomen yang belum diketahui sebabnya, luka bakar dinding abdomen yang cukup luas terutama bila disertai infeksi atau perawatan yang tidak adekuat.Salah satu cara yang sering digunakan untuk menilai efisiensi DP adalah dengan menentukan peritoneal clearance (klirefls peritoneal) dengan rumus:
Cp : U : p : V :
cp=uxv P Peritoneal Clearance Konsentrasi zat tersebut dalam cairan dialisat yang keluar d k i kavurn peritoneum (mg%). Konsentrasi zat tersebut dalam darah atau plasma (mg%) Volume cairan dialisat tiap menit (mL)
a. Komplikasi mekanis Perforasi organ abdomen (usus, aorta, kandung kencing, atau hati). Perdarahan yang kadang-kadang dapat menyumbat kateter . Gangguan drainase (aliran cairan dialisat) Bocornya cairan dialisat Perasaan tidak enak dan sakit dalam perut. b. Komplikasi metabolik Gangguan keseimbangan cairan, elek- tronit dan asam basa. Gangguan metabolisme karbohidrat perlu diperhatikan terutama pada penyandang DM berupa hiperglikemia tak terkendali dan kemungkinan dapat juga terjadi hipoglikemia post dialisis. Kehilangan protein yang terbuang lewat cairan dialisat. Sindrom disequilibrium. Sindrom ini terdiri atas kumpulan gejala-gejala berupa sakit kepala, muntah, kejang, disorientasi, hipertensi, kenaikan tekanan cairan serebrospinal, koma, dan dapat menyebabkan kematian pasien. Komplikasi ini dapat terjadi pada pasien dengan kadar ureum tinggi, di mana koreksi kelainan biokimiawi terjadi terlalu cepat dan lebih sering terjadi pada pasien dengan overhidrasi. Patogenesis sindrom ini belum diketahui dengan pasti. Salah satu teori yang banyak dianut adalah karena lambatnya koreksil penurunan ureum dalam otak dan cairan serebrospinal bila dibandingkan dengan darah. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan tekanan osmotik dengan akibat edema otak. Teori lain: teori hipoglikemia, perubahan pC02 dan pH. pergeseran elektrolit ovemidrasi, dan kenaikan perbandingan WCa serum. c. Komplikasi radang Infeksi alat pernapasan. biasanya berupa pneumonia atau bronkitis purulenta. Sepsis lebih sering terjadi pada pasien dengan infeksi fokal di luar peritoneum seperti pneumonia atau pielonefritis. Peritonitis. D
Faktor yang mempengaruhi klirens peritoneum adalah besar kecilnya molekul, kecepatan cairan dialisat, equilibration-time (dwell time = lamanya cairan dialisat berada dalam kavum peritoneum), suhu cairan dialisat, tekanan osmosis cairan dialisat, permeabilitas peritoneum, dan aliran darah dalam kapiler peritoneum. KOMPLIKASI DIALISIS PERITONEAL
Komplikasi DP dapat berupa komplikasi mekanis dan komplikasi radang.
INDIKASI DP PADA GAGAL GINJAL AKUT
Pasien GGA dapat dilakukan DP atas dasar : 1. DP pencegahan : DP dilakukan setelah diagnosis GGA ditegakkan. 2. DP dilakukan atas indikasi : a. Indikasi klinis :keadaan m u m jelek dan gejala klinis nyata. b. Indikasi biokimiawi: Ureum darah >200 mg%, Kalium <6 mEqIL, H C 0 3 < 10-15 mEqlL, pH<7,1.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
DIALISIS PERITONEAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI PERBEDAAN DP DAN HD PADA PASIEN GGK Dialisis pada pasien GGA dapat dilakukan dengan DP atau HD tergantung keadaanl kondisi pasien dan fasilitas yang tersedia. Pada saat ini RS yang cukup besar biasanya tersedia DP maupun HD. Pada salah satu pasien dapat lebih menguntungkan bila dilakukan DP, sedang yang lain lebih baik bila dilakukan HD. Stewart dkk (1966) menemukan bahwa dari kasus-kasus GGA, 20% lebih baik bila dilakukan DP, 20% lebih baik bila dilakukan HD dan sisanya 60% sama baiknya apakah dilakukan DP atau HD. DP merupakan tindakan yang lebih sederhana, baik alat maupun prosedur pelaksanaannya dan dapat dilakukan di setiap RS tanpa fasilitas khusus. Cepat dapat dikerjakan tanpa persiapan sebelumnya dan dapat dilakukan dalam beberapa menit setelah dilakukan keputusan untuk melakukan dialisis. P-rsoalan waktu ini kadang-kadang sangat penting artinya seperti misalnya dalam menghadapi pasien dengan hiperkalemia berat. DP merupakan dialisis pilihan pada keadaan-keadaan berikut : Bila penggunaan antikoagulan merupakan kontraindikasi. Pasien dengan perubahan volume darah tiba-tiba yang tidak diinginkan (hemodinarnik tidak stabil). i Pasien dengan tekanan darah tidak stabil atau dalam keadaan pre-shock. Bayi, anak kecil dan pada usia lanjut yang secara teknis I-ID sukar dilakukan. Pasien memerlukan pengeluaran cairan tubuh yang sangat besar karena overhidrasi berat. Bila kanulasi pembuluh darah tidak memungkinkan. Pada pankreatitis akut baik disertai komplikasi GGA maupun tidak.
21/2 -3 jam; c). Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). (Popovich & Moncrief, 1976), CAPD dilakukan 3-5 kali per hari, 7 hari per minggu dengan setiap kali cairan dialisis dalam kavurn peritoneum ( dwell-time) lebih dari 4 jam. Pada umumnya dwell-time pada waktu siang 4-6 jam, sedangkan waktu malam 8 jam. CAPD memberikan klirens ureum sama dengan yang dicapai HD 15 jam per minggu, namun klirens solut dengan Berat Molekul antara 1.000 -5.000 Dalton (middle molecule) 48x lebih besar dari HD. Middle molecule dianggap sebagai bahan toksin uremik yang diduga bertanggung jawab terhadap sindrom uremia. CAPD terbukti dapat mengendalikan keluh kesah dan gejala uremia dengan baik. namun penurunan konsentrasi toksin metabolik uremia tidak cepat, sehingga CAPD sebaiknya dimulai setelah dicapai pengendalian adekuat intoksikasi metabolik akut dengan teknik dialisis lain yang lebih efisien (HD atau IPD). Saat ini CAPD dianggap sebagai salah satu bentuk dialisis yang sudah mantap dan merupakan dialisis pilihan bagi pasien yang amat muda, usia lanjut dan penyandang diabetes melitus. Sisanya pemilihan antara CAPD dan HD tergantung dari fasilitas dialisis, kecocokan serta pilihan pasien. Kesederhanaan. keamanan hidup tanpa mesin, perasaan nyaman, keadaan klinis yang baik, kebebasan pasien merupakan daya tarik CAPD bagi dokter maupun pasien. Problem utama sampai saat ini yang masih memerlukan perhatian adalah kom- plikasi peritonitis, meskipun saat ini dengan kemajuan teknologi angka kejadian peritonitis sudah dapat ditekan sekecil mungkin. Patient survival CAPD 1-5 tahun berturut- turut 99,77,67,60, dan 42%, sedangkan technical survival berturut-turut 77,58,46,40, dan 21%.
CONTINOUS AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS (CAPD)
PROSEDUR CAPD DAN DIALISAT
CAPD adalah salah satu bentuk DP kronik untuk pasien dengan gaga1ginjal terminal (GGT). GGT adalah merupakan stadium akhir GGK saat pasien sudah tidak dapat lagi dipertahankan secara konservatif dan memerlukan terapi pengganti (renal replacement therapy). Terapi pengganti dapat berupa dialisis kronik atau transplantasi ginjal. Dialisis kronik dapat berupa HD dan DP. DP dapat berupa: a). Intermittent Peritoneal Dialysis (IPD). IPD dilakukan 3-5 kali perminggu dan tiap kali dialisis selama 8-14 jam. Jadi pada prinsipnya sama seperti HD kronik hanya waktu yang diperlukan setiap kali dialisis lebih lama karena efisiensinya jauh di bawah HD; b). Continous Cyclic Peritoneal Dialysis (CCPD). CCPD dilakukan tiap hari dan di- lakukan waktu malam hari, penggantian cairan dialisis sebanyak 3-4 kali. Cairan dialisis terakhir dibiarkan dalam kavum peritoneum selama 12-14jam. Pada waktu malam cairan dialisis dibiarkan dalam kavum peritonium selama
Prosedur CAPD adalah suatu teknik dialisis kronik dengan efisiensi rendah sehingga bila tidak dilakukan 24 jam per hari dan 7 hari per minggu tidak adekuat untuk mempertahankan pasien GGK stadium akhir. Kebanyakan pasien memerlukan rata-rata 4 kali pergantian per hari. Saat pergantian disesuaikan dengan waktu yang paling enak bagi pasien dengan sarat dwell time tidak boleh kurang dari 4 jam karena dalam waktu 4 jam baru akan terjadi keseimbangan kadar ureum antara plasma darah dan cairan dialisat. Ultrafiltrasi diperlukan untuk mengeluarkan cairan dari badan dan dapat dicapai dengan cairan dialisat hipertonik. Ultrafiltrasi sebanyak 2.000 mL dapat dicapai dengan 2 kali per- .gantian dengan cairan dialisat 4,25%. Bila ultrafiltrasi kita lakukan terlalu cepat dapat terjadi kram, mual, muntah, dan hipotensi ortostatik.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
CINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Cairan Dialisat Cairan dialisat yang ada pada saat ini di Indonesia terdiri atas 3 macam cairan yaitu dengan kadar dekstrosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% dalam kantong plastik 2 liter. Susunan cairan dialisat sama dengan susunan elektrolit plasma darah normal tanpa kalium dengan osmolalitas lebih tinggi dari plasma 1Osmolalitas plasma 280 mOsm/L) dan ditambah laktat (Tabel 1). Bila pasien normokalemia atau hipokalemia, perlu penambahan: 1 KC1 sampai konsentrasi 4 mEq/L untuk mencegah hipokalemia berat. Heparin perlu ditambahkan bila ada peritonitis atau cairan dialisat mengandung fibrin atau protein terlalu banyak untuk mencegah tersumbatnya kateter dengan dosis 1.000 -2.000 USP units per liter cairan dialisat. KONTRAINDIKASI CAPD Kontraindikasi CAPD adalah penyakit diskus lumbalis, hipertrigl (seridemia familial, hernia pada dinding abdomen (perlu perbaikan dulu) dan pasien yang tidak bisa bekerjasama. Hati- hati melakukan CAPD bila ada perlengketan yang luas, distensi usus, kelainan abdomen yang belum terdiagnosis, luka bakar, dll.
HASlL PENGENDALIAN CAPD 1. BUN dan Kreatinin. Pasien dengan klirens kreatinin 2-5 cclmenit dengan CAPD selama2-3 minggu, BUN = 50+5 mg% dan kreatinin plasma kurang dari 12 mg%. CAPD mempertahankan kedua parameter tersebut lebih rendah dari pada IPD. 2. Air Elektrolit dan Bikarbonat. Air dan natrium. Ultrafiltrasi sebanyak 2 liter per hari dapat dicapai dengan menggunakan 3 kali pergantian dengan dekstrosa 1,5% dan 2 kali pergantian dengan dekstrosa 4,25%. Setiap hari dapat dikeluarkan 3-4 gram Natrium sehingga keseimbangan Na dapat dicapai dengan mudah. Kebanyakan pasien dengan CAPD tidak membutuhkan pembatasan air dan garam. Elektrolit. Elektrolit dengan cepat mencapai normal dan sesudah 2 minggu CAPD dicapai kadar Na = 138 :t 3 mEq/L; CI = 100 :t 5 mEq1L; K = 4,l :t 0,4 mEq1L dan HC03 = 25 :t 4 mEq1L. Pada beberapa pasien terjadi hipokalemia ringan dan memerlukan penambahan kalium per oral. Pengambilan solut tergantung dari konsentrasi dekstrosa dalam cairan dialisat. Kenaikan pengambilan solut oleh cairan hipertonik tidak hanya karena volume yang dikeluarkan lebih banyak tetapi juga oleh pengaruh solvent drag (Tabel 2). Meskipun relatif hanya sedikit kalium yang diambil waktu CAPD (18 mEq1L) perhari, sedangkan pasien tanpa pembatasan pemasukan kalium (50-80 mEq per hari), kadar kalium plasma darah tetap normal. Hal ini
Konsentrasi dekstrosa
Osmolalitas pH fmOsMlLI
Per hari Air (mL) Natrium (mEq) Kalium (mEq) Kreatinin (mg) Protein (g) Calcium (mg) Fosfor (mg) Magnesium (mg)
734 129 20 803 7,l 23 313 37
Na
Ca
Mg
CI
Laktat
Per kantong Dekstrosa 0,5%
1,5%
4,25%
+ 158 + 13
92 16 7 190 1,7 1 75 8
819 94 8 270 13 35 107 21
7 164 22 5 67 3
diduga karena kenaikan ekskresi kalium melalui tinja. Kalium menunjukkan balans positif dan setelah 6 bulan dengan CAPD terlihat menurunnya hormon paratiroid. CAPD tidak dapat mengeluarkan fosfat yang ada dalam makanan sehingga masih memerlukan obat pengikat fosfat dengan dosis kecil. Bikarbonat dengan konsentrasi laktat dalam cairan dialisat 35 mEq1L akan menyebabkan serum bikarbonat naik dari rata-rata 18 mEq/L menjadi 22,23 mEq/l 3. Hemoglobin dan Hematokrit. Selama kurang lebih 3 bulan setelah CAPD terjadi kenaikan Hb dan ini akan terus naik sampai mencapai nilai tertentu setelah bulan kesepuluh dan akhimya diikuti penurunan dan pada umumnya stabil pada kadar 8 gldl. Ini disebabkan kemungkinan karena pengambilan bahan toksik metabolik sehingga memungkinkan sumsum tulang bereaksi terhadap kenaikan eritropoietin yang biasa terjadi pada pasien uremia dan ini akan menyebabkan kenaikan Hb dan Ht. Akan tetapi setelah Hb naik. pacuan pada sistem eritropoietin menurun dan bila perbandingan antara eritropoietin dan zat toksik metabolik kembali ke nilai semula, Hb dan Ht akan kembali turun. 4. Protein Plasma dan Hilangnya Protein. Serum protein pada umumnya stabil pada nilai rendah normal dengan kadar albumin rata-rata 3.5 0.8 mg%. Ini disebabkan karena hilangnya protein melalui membran peritoneum selama CAPD dan 75% dari protein yang hilang adalah albumin. Di samping protein (5- 15 per hari) pasien CAPD juga akan kehilangan asam amino sebanyak 2-3 gram per hari. Kehilangan protein tergantung antara lain dari kadar dekstrosa cairan dialisat dan pernah tidaknya menderita peritonitis sebelumnya. 5. Glukosa Darah. Glukosa darah yang masuk ke dalam
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
*
1057
DIALISISPERITONEAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI plasma selama CAPD antara 150-200gdan ini lebih kecil dari pada IPD. Pada pasien tanpa DM pada umumnya tidak menyebabkan hiperglikemia.Banyaknya glukosa yang masuk dalam darah ini yang sering dikaitkan dengan terjadinya kenaikan berat badan dan kolesterol serta trigliserida darah. Pada peyandang DM kadar glukosa darah dapat dikendalikan dengan pemberian insulin intraperitoneal atau kombinasi intraperitoneal dan subkutan. 6. Kolesterol dan Trigliserida Pasien dengan CAPD menunjukkan kenaikan kedua parameter tersebut dan diduga berkaitan dengan penyerapan glukosa ke dalam plasma. Dianjurkan sedapat mungkin tidak menggunakan cairan dialisat hipertonik. 7. Tekanan Darah. Pengendalian edema akan berhubungan dengan penuru nan tekanan darah dan ini terjadi bila digunakan cairan dialisat hipertonik.
EFEK PSIKOSOSIAL PASIEN DENGAN CAPD Keuntungan yang paling utama pasien GGK stadium akhir dengan CAPD adalah hidup tanpa mesin yang memberikan kebebasan yang lebih dari pada terapi lain. Kesederhanaan, keamanan, hidup tanpa mesin, perasaan nyaman, keadaan klinis yang baik, kebebasan, pasien biaya yang relatifmurah merupakan daya tarik CAPD baik bagi dokter maupun pasien. Rehabilitasi pasien dengan CAPD ter nyata sama saja dengan pasien teknik lain. Telah dilaporkan beberapa perubahan fisis ke arah perbaikan antara lain menstruasi dapal teratur, nafsu seks kembali, gatal-gatal menghilang, tumbuhnya rambut di ketiak dan dada, perubahan warna dan kekeringan kulit dan lain sebagainya. Pada pasien dengan umur di bawah 50 tahun, CAPD tidak mengganggu dan mengurangi kepuasan hubungan kelamin, sedangkan di atas umur 50 tahun terjadi penurunan aktivitas seks mungkin karena penyakit kroniknya. DIET PASIEN DENGAN CAPD Tidak ada pembatasan ketat yang hams dilakukan terhadap diet pasien dengan CAPD namun perlu ditekankan pentingnya pengertian hubungan antara intake dan output, kese- imbangan cairan dan elektrolit dan pengambilan produk metabolik oleh dialisis. Untuk menghindari balans. Nitrogen negatif, diet dianjurkan dengan protein tinggi (minimal 1,2 gramIkgBBlhari) dan energi tinggi. Balans negatif pada pasien CAPD disebabkan karena hilangnya protein (6-8 glhari) dan asam amino (2-3 gram per hari), peritonitis. penurunan asupan prolein dan kalori yang umumnya terlihat setelah CAPD berlangsung 1 tahun dan adanya pacuan kronik terhadap katabolisme protein.
Komplikasi CAPD dapat kita bagi menjadi komplikasi teknis dan komplikasi medis. Komplikasi Teknis pada umumnya bukan merupakan komplikasi serius dan mudah diatasi, terdiri antara lain bocornya cairan dialisat, sumbatan pada saat masuk atau keluarnya cairan dialisat, kesalahan letak kateter, dan lain sebagainya. Komplikasi Medis pada umumnya dapat di atasi dengan mudah. Komplikasi ini antara lain hipotensi, keluhan gastrointestinal (mual, tumpah, hilangnya nafsu makan dll), sakit sendi dan sakit tulang punggung,kram, perasaan lelah, infeksi kulit sekitar tempat masuknya kateter, perasaan sakit di abdomen dan peritonitis. Peritonitis adalah komplikasi yang sering dijumpai meskipun saat ini di beberapa pusat ginjal angka kejadian peritonitis menurun sampai serendah 1 episode every 4 patients years dan penurunan ini terutama karena lebih baiknya seleksi dan latihan pasien serta kemajuan teknologi seperti connector, in linejlters dun y tubing. Gejala dan keluh kesah pasien terbanyak adalah keruhnya cairan dialisat serta sakit abdomen. Di samping itu dapat pula disertai mual, muntah, panas, menggigil maupun diare. Gejala fisis yang dapat dijumpai adalah ketegangan dinding perut, kenaikan temperatur dan leukositosis. Penyebab kuman paling sering adalah Staphylococcus aureus dan epidermidis (40-60%) yang merupakan gram positif, 2040% disebabkan gram negatif dan sisanya karena fungi dan aseptik. Bila ada gejala- gejala peritonitis, segera dibuat kultur dan uji kepekaan. Sementaramenunggu hasil laboratorium, dapat diberikan kombinasi sefalosporin (untuk gram positif) dan tobramisin (untuk gram negatif) intraperitoneal dan diberikan setiap pergantian cairan dialisat. Dosis antibiotik untuk mengatasi peritonitis yang diberikan intraperitoneal adalah sebagai berikut: (mg/L cairan dialisat), Metisilin (200), karbenisilin (200), sefalotin (200), sefoksitin (1OO), Vankomisin (20), Kanamisin .(20), Gentamisin (10), Tobramisin (10), Amikasin (20), klindamisin (20), kloramfenikol(20) dan amfoterisin (1-20).
Beardsworth SF. Practical peritoneal dialysis. In: Nolph, KD (ed) Peritoneal Dialysis. John Wright & Sons LId, Bristol, 1994. Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic Publishers; 1989. Boen ST. Peritoneal dialysis in clinical medicine. Charles C. Springfield, Illinois, USA : Thomas Publisher; 1964. Boner G. Peritonitis and exit-site infections. Prospective and advances in clinical nephrology. Continuing medical education program, XIV th International Congress of Nephrology, 25-29 May, Sydney, 1997; 188-192. Burkart J.M. Diagnosis of peritonitis in continuous peritoneal dialysis. Up To Date, 13.3, 2005, CD-ROM. Cancarini GC. The future of peritoneal dialysis : Problems and hopes. Nephrolog. Dial. Transplant, 1997; 12(SuppI-I) 83-8.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1058
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Keane WF, Alexander SR, Bailie GR, Boeschoten E, Gokal R et al. Peritoneal dialysis -related peritonitis. Treatment recommendation: 1996 update. Peritoneal Dialysis Int, 1996; 16,557573. Khanna R, Nolph KD and Oreopoulos, DG. The Essentials of Peritoneal Dialysis. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, The Netherlands: 1993. Khanna R. Peritonitis during continous ambolutory peritoneal dialysis. New trends. In: Asian Nephrology Edited by Chungh, K.S. Dehli.Oxford University Press; 1994; 571-82. Nizar A Gokal R. An overview of continous ambulatory peritoneal dialysis. In: Asian Nephrology Edited by Chungh, KS. Delhi. Oxford University Press; 1994; 541- 7.
Nolph KD. Peritoneal dialysis. In. Drukker W, Parson FM and Maher JF (eds). Replacement of Renal Function by Dialysis. The Haque : Martinus Nijhoff Medical Division; 1978. Piraino B., Bailie GR., Bernardini J., Boeschoten E., Gupta A., Holmes C., Kuijper EJ., Li PK., Lye WC., Mujais S., Paterson DL., Fontan MP., Ramos A,, Schaefer F., Uttley L. Peritoneal dialysis-related infections recommendations: 2005 update. Perit Dial Int 2005, 25(2): 107-3 1. Prichard SS. Peritoneal dialysis and hemodialysis, are they comparable. Nephrolog Dialysis Transplant, 1979; 12(suppl 1):65-7.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
TERAPI PENGGANTI GINJAL BERKESINAMBUNGAN (CRRT) Rully M.A. Roesli
PENDAHULUAN Pasien Gaga1 Ginjal Akut (GGA), terutama yang dalam keadaan kritis dan dirawat di unit perawatan intensif, seringkali disertai dengan berbagai komplikasi. Biasanya pasien menunjukkan gejala-gejala uremi, kelebihan cairan, asidosis, dan hiperkatabolik. Pada banyak kasus, pasienmengalami sepsis dan gaga1 multi organ yang memerlukan alat bantu napas (respirator mekanik). Kematian dapat mencapai lebih dari 70% kasus'. Kondisi klinis semacam ini memerlukanjumlah asupan cairan, obat, atau nutrisi yang besar. Padahal pasien juga mengalami keadaan oliguri atau anuri, sehingga pemberian asupan cairan menjadi sangat terbatas, pengelolaan pasien, pada umumnya, selalu melibatkan "RenalReplacement Therapy (RRT) atau Terapi Pengganti Ginjal (TPG). Indikasi penggunaan TPG adalah untuk melakukan perbaikan terhadap gangguan-gangguan homeostatik yang terjadi, di samping dapat menghindari terjadinya kelebihan cairan akibat pengobatan dan hiperalimentasi3. Ada berbagai jenis TPG dapat digunakan untuk pasien GGA dalam kondisi kritis. Pemilihan jenis TPG yang akan digunakan sangat tergantung terhadap penguasaan dokter maupun perawat akan teknik-teknik TPG juga pada fasilitas TPG yang tersedia. Pada awalnya, pemilihan teknik TPG hanya terbatas pada hemodialisis konvensional atau dialisis peritoneal akut. Hemodialisis dan dialisis peritoneal mulai digunakan pada pasien GGA sejak tahun 194A4. Pada tahun 1977, Kramer dkk, menemukan teknik hemofiltrasi baru dengan indikasi untuk pasien overhidrasi yang resisten terhadap diuretik. yaitu Continous arteriovenous hernofiltration (CAVH). Kemudian teknik ini berkembang sehingga dikenal berbagai teknik dan jenis TPG baru, yang dikelompokkan menjadi Terapi pengganti "
ginjal berkesinambungan (Continous RRT = CRRT). Dengan dibuatnya mesin-mesin hemodialisis yang mempunyai kemampuan mutakhir, teknik hemodialisisjuga berkembang. Pada tahun 1998 di Universitas Arkansas Amerika, Marshal dkk memperkenalkan teknik hemodialisis baru, yang mempunyai kelebihan dibandingkan teknik konvensional, disebut sebagai "Sustained Low-Ef$cient Dialysis (SLED)". Menurut Ronco dkk (2000) dan Kaplan (2002), CRRT dan SLED adalah teknik TPG yang paling sering digunakan untuk pasien GGA dalam keadaan kritis. Masing-masing jenis TPG mempunyai indikasi yang spesifik, derajat kesulitan dalam teknik maupun monitoring yang berbeda, serta perbedaan dalam biaya pengobatan yang dibutuhkan. Dengan demikian, pengetahuan yang memadai terhadap jenis-jenis TPG sangat diperlukan untuk dapat memilih jenis TPG yang sesuai untuk setiap pasien GGA yang kita hadapi.
PRlNSlP DASAR Prinsip dasar dari TPG, termasuk CRRT, adalah membuang (translokasi) zat-zat dengan kadar yang berlebihan keluar tubuh. Zat-zat ini dapat berupa yang terlarut dalam darah (solut), seperti toksin ureum, kalium, dll. Atau zat pelarutnya yaitu air atau serum darah (solution). di dalam proses TPG, translokasi terjadi di dalam ginjal buatan(dialyzer), yang terdiri dari 2 kornpartemen (ruangan), yaitu kompartemeri darah dan kompartemen dialisat. Kedua kompartemen ini dibatasi oleh sebuah membran semi-permiabel. Perbedaan tekanan antara kedua kompartemen disebut trans membran pressure(TMP). Darah dari dalam tubuh akan dialirkan ke kompartemen darah, sedang cairan pencuci
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1060
CINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI (dialisat) dialirkan ke kompartemen dialisat. Translokasi dapat terjadi dengan lnekanislne difusi atau ultrafiltrasi.
Mekanisme Difusi Pada mekanisme difusi terjadi translokasi solut akibat adanya perbedaan konsentrasi antara kompartemen darah dan kompartemen dialisat (gradien konsentrasi). Solut dengan konsentrasi tinggi dalam darah, seperti kaliuln atau urea berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat. Sedang solut dengan konsentrasi rendah dalam darah, seperti bikarbonat, berpindah dari kompartemen dialisat ke kompartemen darah. Solut yang dalam keadaan seinibang diantara kedua kompartemen, seperti natriuni dan klorida, hampir tidak berubah (Gambar 1).
dengan molekul air. Proses konveksi dapat terjadi pada solut dengan tnolekul kecil (urea nitrogen, kreatinin, kalium, dll) atau membran dengan molekul besar (inulin, P2-mikroglobulin, TNF, vitamin B 12, dll) tergantung dari jenis, luas pertnukaan, dan biokompabilitas membran semi-permiabel yang digunakan.
Keterangan gambar: Translokasi solut terjadi akibat perbedaan konsentrasi (rnekanisme difusi). Translokasi air (solution) terjadi akibat perbedaan tekanan (mekanisme ultrafiltrasi). Proses difusi akan berhenti bila konsentrasi sudah seimbang ( t eyuilibrum). Proses ultrafiltrasi akan berhenti bila tekanan sudah seimbang (TMPH-0).
PROSES HEMODlALlSlS DAN HEMOFILTRASI Mekanisme Ultrafiltrasi Pada mekanisme ultrafiltasi terjadi translokasi molekul air (zat pelarut) melalui membran semi-permiabel akibat perbedaan tekanan(trtrns tnernhrun pre.c.\zlre= TMP) antara kompartemen darah dan kompartemen dialisat. Tekanan hidrostatik akan mendorong air keluar dari suatu kompartemen, sedang tekanan onkotik akan menahannya. Selisih penjumlahan tekanan-tekanan dalam kedua kompartemen disebut TMP (Gambar 1).
MEKANISME DlFUSl
(Perbedaankonsentrasi)
MEKANISME ULTRAFILTRASI
(Perbedaantekanan)
0
Ultrafiltration
t = Later
I
Garnbar 1. Mekanisme difusi dan ultrafiltrasi (dikutip dari Daugirdas & van Stone, 2001)
Mekanisme Konveksi (convection) Pada mekanisme konveksi terjadi translokasi solut, bersamaan dengan translokasi air yang terjadi dalam dalam proses ultrafiltrasi. Solut dapat ikut berpindah akibat terikat
Proses Terapi Pengganti Ciitijal dibedakan berdasarkan mekanisme terjadinya translokasi solut atau air. Dinamakan proses hemodialisis (H D) bila lnekanistne dasamya adalah difi~si.T~kiuanutama dari proses difusi adalah pe~i,jeniihan darali (hloodpurrfific~~tio~i) dari zat-zat dengan konsentrasi yang berlebih di dalalii tubuli (translokasi solut). Pada proses hemodialisis, dapatjuga terjadi translokasi air akibat adanya perbedaan tekanan (TMP). Dinamakan proses hemofiltrasi ( H F ) bila mekanisnie dasarnya adalah ultrafiltrasi. T~!juan utama dari proses ultrafiltrasi adalah niengurangi kelebihan cairan dalam tubuli (volunir control). Pada suatu proses hernofiltrasi dapat terjadi translokasi solut (penjernilian darah) melalui mekanisnie konveksi. Dinamakan hemodia-filtrasi ( H D F ) bila prosesnya merupakan gabungan antara kedua mekanisme. Pada suatu proses hemodialisis selalu diperlukan cairan dialisat. Sedang pada suatu proses hemofiltrasi diperlukan cairan substitusi (replucm1et7t,flzlitl) untuk mengganti cairan yang difiltrasi (ultratiltrat). Pada hemodiatiltrasi diperlukan kedua macam cairan tersebut. Ginjal buatan (dializer) pada proses hemodialisis disebut lieniodialiser, sedang pada proses hemofiltrasi disebut hernofilter. Parameter efisiensi proses hernodialisis (HD) diukur dengan klirens (laju difusi) ureum, dan dipengaruhi oleh: kecepatan aliran darah, kecepatan aliran dialisat, gradien konsentrasi, jenis dan luas permukaan membran semipermeabel, dan besar molekul solut. Parameter efisiensi proses hemofiltrasi (HF) berhubungan dengan kecepatan laju ultrafiltrasi (Qfi dan sifat membran semi-permiabel. Dibutuhkan membran dengan koefisien ultrafiltrasi (KL,fl yang tinggi agar proses ultrafiltrasi berjalan maksinial (high:flz~xt?~rti~hr~tt~e). Peranan Qb, Qd, dan Qf pada proses hemodialisis dan hemofiltrasi: a). Kecepatan aliran darah (Qb). Makin cepat aliran darali akan makin cepat terjadinya pen.jernilian darah. Pada hemodialisis konvensional, kecupatan aliran darah (Qb) standar adalali 150 - 350 cclmenit. Dengan Qb sebesar ini penjernihan darah akan terjadi dengan cepat. Tetapi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1061
TERAPI PENGGANTI GINJAL BERKESINAMBUNGAN (CRRT)
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI SCUF CAVH C W H CAVHD
CAVHDF
C W H D CWHDF
Akses pernbuluh darah
A-V
A-V
V-V
A-V
A-V
V-V
V-V
Penggunaan Pornpa Ultafiltrate = Qf(rnl1jarn) Laju dialisat= Qd (Iljarn) Cairan substitusi (Ilhari) Klirens urea (rnllmenit) Tingkat kesulitan Harga
Tidak 100 0
Ya 600 0 12 10 2 2
Tidak 1000 0 21.6 16.7 3 4
Ya 300 1 4.8 21.7 2 3
Tidak 600 1 12 26.7 2 3
Ya 300 1 4.8 21.7 3 4
Ya 800 1 16.8 30 3 4
0 1.7 1 1
PD Kateter Peritonial Tidak 500 2.0 0 8.5 2 3
Tingkat kesulitan dan harga : I = paling mudah dan murah sld 4 = paling rnahal dan sulit.
Qb yang tinggi akan menimbulkan keadaan hemodinamik yang tidak stabil. Terutama pada pasien-pasien dalam kondisi kritis. Sebaliknya pada proses ultrafiltrasi tidak dibutuhkan Qb yang tinggi. Pada terapi CRRT, kecepatan aliran darah dapat sangat rendah, yaitu 50 cclmenit pada CAVH dan 200cc pada C W D . Makin rendah Qb keadaan hemodinamik akan menjadi lebih stabil. b). Kecepatan aliran dialisat (Qd). Untuk terjadi mekanisme difusi yang baik diperlukan aliran dialisat (Qd) yang berjalan berlawanan (counter-current) dengan aliran darah. Pada HD konvensional Qd standar adalah 500-600 cclmenit. Pada proses ultrafiltrasi tidak diperlukan cairan dialisat. Sedangkan pada proses hemodia-filtrasi diperlukan dialisat dengan kecepatan rendah. Dengan menggunakan highflux membrane, Qd sebesar 10-30 ccljam sudah dapat menghasilkan translokasi solut dengan memuaskan. Membranjenis ini harganya jauh lebih mahal dibandingkan membran untuk HD konvensional. c). Laju filtrasi (Qf). Pada translokasi solut dengan cara konveksi, dibutuhkan laju ultrafiltrasi yang sangat tinggi. Qf standar pada proses ultrafiltrasi adalah 1 - 2 liter airljam (Tabel 1). Ronco dkk (2000) merekomendasikan laju filtrasi lebih dari 35 cc/kgBB/ menit baru akan memberikan proses konveksi yang memuaskan. Kerugian dengan Qf yang tinggi adalah cairan substitusi (replacement fluid) diperlukan dalam jumlah besar, sehingga proses hemofiltrasi menjadi mahal. Pada proses hemo-diafiltrasi tidak diperlukan Qf yang terlalu tinggi, karena translokasi solut terjadi dengan kombinasi mekanisme konveksi dan difusi. Pada proses hemodiafiltrasi biasanya hanya diperlukan Qf < 10 cclkg BBImenit.
Akses Pembuluh Darah Pada proses hemodialisis atau hemofiltrasi diperlukan aliran darah (akses) dari tubuh ke ginjal buatan (dialyzer) melalui pembuluh darah. Bila akses dari tubuh melalui pembuluh darah arteri (A), maka aliran darah terjadi akibat tekanan darah sendiri. Bila akses melalui pembuluh darah vena (V) diperlukan suatu pompa (P). Darah selalu kembali kedalam tubuh melalui pembuluh darah vena, Biasa digunakan
istilah (A-V) bila akses keluar dari tubuh melalui pembuluh darah arteri dan kembali melalui pembuluh darah vena. Atau (V-V) bila keluar atau masuk kedalam tubuh melalui pembuluh darah vena (Tabel 1). Pada proses dialisis peritonial, akses cairan dialisat kedalam tubuh melalui kateter peritonial, sedang proses dihsi dan filtrasi terjadi di dalam rongga peritonial. Selama darah berada diluar tubuh(extracorperal), dicegah supaya tidak membeku dengan pemberian heparin, berupa heparin reguler atau heparin molekul rendah. Makin lama darah berada diluar tubuh, seperti pada CRRT, makin banyak heparin yang digunakan, dengan konsekuensi lebih akibat sering timbul efek sarnping. Pada tabel berikut ini Mehta RL (2000) memperlihatkan perbedaan dalam teknik beberapa jenis CRRT.
Berdasarkan lamanya waktu pelaksanaan, Mehta RL (1 998) membuat klasifikasi Terapi Pengganti Ginjal pada pasien GGA sebagai berikut: a). dilakukan dengan jangka waktu tertentu (intermiten) atau b). dilakukan secara berkesinambungan (continous). (Tabel 2) Pada terapi hemodialisis intermiten (IHD) proses dialisis berlangsung cepat, hanya 4-6 jam1 kali. Dengan teknik ini penjernihan darah berlangsung cepat dan efisien. Kerugiannya adalah penurunan volume cairan tubuh dan elektrolit juga berlangsung cepat sehingga sering didapatkan efek samping seperti hipotensi, gangguan elektrolit, atau edema otak. Pada terapi teknik baru, seperti EDD atau SLED, waktu dialisis diperpanjang (12-24 jam) dengan maksud agar proses dialisis menjadi lebih lambat sehingga efek sampingnya berkurang. Pada teknik CRRT, proses hemofiltrasi dilakukan secara berkesinambungan (continous RRT). Dengan demikian perubahan homeostatik berjalan lambat tetapi stabil.
Dalam pengelolaan pasien GGA dalam keadaan kritis, Mehta
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HlPERTENSl
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Terapi lntermiten Konvensional Hemodiallsis Konvensional (IHD) Dengan sorben Hemodiafiltrasi Ultrafiltrasi (sekuensial) Teknik baru Extended Daily Dialysis (EDD) Slow continuous dialysis Sustained Low Efficient Dialysis (SLED)
Terapi Berkesinambungan (CRRT) Dialisis Peritonial (PD) Ultrafiltrasi (SCUF) Hemofiltrasi (CAVH, C W H ) Hemodialisis (CAVHD, CWHD) Hemodiafiltration (CAVHDF, CVVHDF)
Keterangan: Slow Continous Ultrafiltration CAVH: Continous Arterio-Venous Hernofiltration Continous Veno-Venous Hernofiltration CAVHD: Continous Arterio-Venous Hernodialysis Continous Veno-Venous Hemofdialysis Continous Arterio-Venous Hernodiafiltration Continous Veno-Venous Hernodiafiltration IHD: Intermittent Hernodialysis PD: Peritoneal Dialysis SLED: Sustained Low-Efficient Dialysis
(200 1 ) I 8 membagi CRRT berdasarkan indikasi terapi yaitu : ( 1) Renal replacement, bila indikasinya untuk memperbaiki gangguan fungsi ginjal, dengan segala komplikasinya. (2) Renal support, yaitu bila indikasinya untuk membantu fungsi organ lain yang diakibatkan oleh gaga1 organ multipel (termasuk penurunan fungsi ginjal). Indikasi CRRT pada pasienGGA dapat dilihat pada Tabel 3.
Renal replacement
Renal support
Tujuan Mengganti fungsi ginjal pengobatan Saat melakukan Tergantung parameter intervensi bioimia lndikasi dialisis Dosis dialisis
Membantu organorgan lain Tergantung kebutuhan invidual Sempit Luas Sesuai penurunan fungsi Sesuai kebutuhan ginjal dan indikasi
Indikasi untuk memulai dialisis pada pasien GGA, terutama yang dalam keadaan kritis, sangat berbeda dengan indikasi pada pasien dengan Penyakit Ginjal Kronik (PGK). Berdasarkan kriteria NKFDOQI (1 997), inisiasi dialisis pada pasien PGK adalah bila Laju Filtasi Glomerulus (LFG) < 15 cclmenit. Pada pasien GGA indikasinya menjadi sangat luas, tergantung dari kondisi klinis yang dihadapi. Indikasinya sama sekali tidak berdasarkan LFG Dalarn tabel 4 dicantumkan beberapa kondisi klinis yang merupakan indikasi untuk memulai terapi.
Oliguri Anuriloliguri berat Hiperkalemi Asidosis berat Azotemi Gagal organ lain, terutama paru Enselopalopati uremik Perikarditis uremik Neuropatilmiopati uremik Hipernatremia berat Hiperterrnia Keracunan obat yang dapat terdialisis
(output urin < 200 mil12 jam) (output urin < 50 m1112 jam) (Kalium > 6.5 mmollliter) (pH < 7.1) ([urea] > 30 mmollliter) (edema paru)
(Natrium > 160 mmollliter)
Adanya salah satu kriteria tersebut di atas merupakan indikasi untuk memulai CRRT. Adanya 2 kriteria tersebut di atas merupakan keharusan untuk memulai CRRT.
TEKNIK OPERASIONAL BEBERAPA JENlS CRRT Setiap jenis CRRT mempunyai teknik operasional yang berbeda. Pemilihan teknik CRRT untuk pasien GGA hams memperhatikan: indikasi dan tujuan CRRT, fasilitas yang tersedia, efek samping, pengetahuan dan ketrampilan dokter atau perawat, tingkat kesulitan dan harga pengobatan.
Slow Continous Ultrafiltration ( S C U F ) Indikasi dari SCUF adalah untuk mengurangi cairan tubuh yang berlebihan. Teknik yang digunakan adalah ultrafiltrasi lambat (10 cclmenit. Menurut Ronco (2000) mortalitas pasien baru akan menurun secara bermakna bila Q f >35 cc/kgBB/menit. Mengingat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1063
TERAPI PENGGANTI CINJAL BERKESINAMBUNGAN (CRRT)
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Proses ini memerlukan pengawasan ketat. Tingkat kesulitan dan harga pengobatan teknik ini adalah yang paling mahal dibandingkan dengan teknik CRRT lainnya. Sirkuit CAVHD dan CVVHD dapat dilihat pada Gambar 4.
*
/I Gambar 2. SirlluR A V M SCUF
*-
ultrafiltrasi berlangsung secara berkesinanibungan maka dengan teknik ini keadaan hemodinamik tetap stabil. Diperlukan cairau substitusi untuk mengganti cairan yang hilang. Bany aknya cairan substitusi tergantung besamya Qf. Dengan teknik ini tidak diperlukan cairan dialisat. Akses pembuluh darah dapat A-V atau V-V. Pada akses A-V, tidak digunakan polnpa karena darah niengalir akibat tekanan darah arteri pasien. Pada akses V-V diperlukan pompa darah. Mengingat efisiensinya kurang maka akses A-V dewasa ini jarang digunakan. Membran yang digunakan lle~nofilter (high_flzr.u). Teknik ini dilakukan berkesinambungan dan memerlukan monitor yang ketat. Tingkat kesulitan dan harga pengobatan lebih tinggi dari SCUE Sirkuit CAVH dan C W H dapat dilihat pada Gambar 3.
II
CAVHD ",
-
1 Ji'l
Id.
CWHDC
.-
a-
I.
1 03
'
1..
1
4.
Gambar 4. Sirkuit CAVHDICWHD
Dialisis Peritoneal Dialisis peritoneal masih digunakan dibeberapa Rumah Sakit. Hal ini disebabkan karena tekniknya yang sangat sederhana dan murah. Pada dialisis peritoneal tidak dibutuhkan mesin dialisis atau ginjal buatan (dialiser). Proses difusi dan ultrafiltrasi terjadi di rongga peritoneum. Proses dialisis dilakukan secara berkesinambungan. Kerugiannya adalah semua proses yang terjadi tidak dapat diatur dan diramalkan. Proses penjemihan darah maupun ultrafiltrasi berlangsung lambat. Dari hasil penelitian Phu dkk (2002) didapatkan bahwa angka kematian pasien GGA yang menjalani dialisis peritoneal (47%) jauh lebih tinggi dibanding pasien yang menjalani CRRT jenis lain (1 5%). Oleh karena itu walaupun tekniknya mudah dan murah, tetapi tidak dianjurkan untuk digunakan, terutama bila ada pilihan CRRTjenis lain. BEBERAPA TEKNIK DIALISIS INTERMITEN
Continous Arterio-Venous Hemo Dia-filtration, Continous Veno-Venous Hemo Dia-filtration Perbedaan antara CAVHDFICVVHDF dibandingkan dengan CAVHICVVH adalah indikasinya. Selain untuk mernbuang kelebilian cairan tubuh, teknik ini dapat digunakan secara etisien untuk penjernihan darah. Agar terjadi penjemihan darah (proses difusi), rnaka digunakan cairan dialisat dengan laju dialisat yang lambat, Qd=l O- 15 cclmenit. Sedangkan kecepatan aliran darah juga dibuat lambat, Qb = 50-200 cclmenit. Mengingat Qd dan Qb yang lainbat maka keadaan hemodinamik akan tetap stabil. Selain cairan dialisat, juga diperlukan cairan substitusi untuk mengganti cairan yang hilang. Untuk proses ini diperlukan mesin hemofiltrasi dan penggunaan ki,gh7fEzrx dialyzer.
Hemodialisis lntermiten (IHD) IHD adalah teknik yang masih paling sering digunakan untuk pengelolaan GGA. Digi~nakanmesin hemodialisis dan dialiser yang konvensional seliingga teknik ini relatif lebih mudah dan murah. Dialisis dilakukan secara intermiten yaitu antara 4-6 jamlkali, 3 salnpai 6 kalil minggu. Proses penjemihan darah dan pengeluaran cairan yang berlebihan dapat dilakukan dalam waktu yang pendek. Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, seringkali menimbulkan efek samping hipotensi atau gangguan hemodinamik lain (Sirkuit IHD dapat dilihat pada Gambar 5). Menurut Schiff dkk (2002) bila waktu dialisis diperpanjang, yaitu dilakukan tiap hari angka kematian pasien dapat diturunkan. Menurut penelitiannya angka kematian pasien GGA dengan HD konvensional(2-3 kalil minggu) adalah 37%, lebih tinggi dibandingkan dengan bila HD dilakukan tiap hari (22%). Menurut Bellomo dkk
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
(1999) teknik CRRT, karena dilakukan secara berkesinambungan, mempunyai kelebihan dalam proses penjernihan darah bila dibandingkan dengan teknik IHD.
Sustained Low Efficient Dialysis (SLED) Teknik SLED merupakan modifikasi dari teknik HD konvensional .Teknik ini menggabungkan keuntungan dari HD setiap hari dm CRRT. Digunakm mesin HD dan dialiser konvensiona1 sehingga harganya tidak terlalu mahal dan tidak perlu pengawasan khusus. Agar hemodinamik menjadi lebih stabil maka Qb diturunkan menjadi 4 5 0 cc/ menit dan Qdmenjadi <300 cdmenit. Untuk mengimbangi agar dialisis tetap efisien maka waktu dialisis (tD) diperpanjang menjadi 5-12 jam (Sirkuit IWD dapat dilihat pada Gambar 5). Pada SLED terjadi proses penjernihan darah dan kontrol cairan tubuh yang efisien dan stabil. Tidak diperlukan cairan substibsi atau monitoring yang ketat. Pertama kali digunakan oleh Marshal (1 998). Menurut Liao dkk (2003) translokasi molekul rnenengah dan besar pada teknik SLED jauh lebih baik dibanding H D konvensional. Nampaknya teknik ini menjanjikan, walaupun belum banyak dilakukan penelitian mengenai SZH).
II Garnbar 9. Sirkuit IHD dan SLED
CRRT PADA PASIEN SEPSIS
Berdasarkan hipotesis bahwa CaRT dapat melakukan penjernihan darah dan kontrol cairan tubuh secara efisien, timbul dugaan bahwa CRRT dapat digunakan untuk factor, PA1 membuang sitokin, endotoksin, tumor necroui.~ dan zat-zat proinflamasi tainnya. Tetapi sampai saat ini tidak ada bukti yang pasti mengenai masalah ini. Ronco dkk (2000) membuktikan bahwa angka kematian pada pasien dengan GGA yang disertai sepsis berhubungan dengan dosis ultrafiltrasi. Angka kematian akan menurun secara bermakna bila dosis ultrafiltrasi >35 cc/kgSB/jam. Tetapi penurunan angka kematian ini lebih berhubungan dengan rendahnya gangguan hemodinamik pada pasien, bukan karena menurunnya kadar sitokin. John s dkk (200 1 ) membandingkan kelompok pasienGGA dengan sepsis dengan tempi C W H (20 orang) dm hemodialisis intermiten (10 orang), tidak ada perbedaan pada parameter perhsi
splanknik regional, sepesti pH, KO,, atau perbedaan konsentrasilkadar pCO, pada kedua kelompok pasien. Kellum dkk (2002) melakukan meta-analisis pada 13 penelitian d e n pjumlah pasien lebih dari 1000orang. Tidak didapatkan perbedaan dalam angka kematian diantara CRRT dm hernodialisis intemiten(1HD) (RR-0,93;0,95. G1=0,79-1,09). TeknikCRRT yang mutakhir adalah CPFA( continousplasmafiltration), Pada peneltian dengan jurnlah pasien terbatas, teknik ultrafiltrasi yang digabung dengan plasmaferesis dapat rnengurangi endotoksin yang beredat dalam darah. Selain itu untuk mengurangi intoksikasi akut ditambahkan filter sorben yang berisi antibiotik (palymyxin B). Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untulc dapat menarik kesimpulan secara pasti mengenai efektifitas teknik-teknik baru tersebut.
REFERENSI Bellomo R. Farmer M, Bhonagiri S. et al. Changing acute renal failure treatment from lnterrnirtent hernodialysis to continuous hemofiltration: impact on a ~ o t e m i ccontrol. Int J Art Org. 1999;(22); 145-50. Besarh A, Ra.ja RM. Vwcular acces for hemodialysis. In: Daugardias JT. Blake P4, Ing TS. editors. Ilandbook of dialysis. 3'* edition. Lippincot Williams & Wilkins; 2001. p. 67-101. Briglia A, Paganini E. Acule renal failure in the intensive care unit. Clin Chest Med. 1999;20:347-66. Conger J. Dialysis and related therapies. Sernin Nephrol. 1998;18:933-40. Daugirdas JT. Peritoneal dialysis in acute renal failure - why the bad outcome ?. New Engi J Med. 2002;347:933-5. Daugirdas JT, van store JC. Physiologic principles and urea kinetic modeling. In: Daugardias JT. Blake P4, lng TS, editors, Handbook of dialysis. 3"' edition. Lippincot Williams L Wilkins; 2001. p. 15-45. De Vriese ANS. Prevention and treatment of acure renal failure in sepsis. J Am Soc Nephrol. 2003;14:792-805. John S, Griesbach D, Bautngartel M, et al. Effect of conlinuoas haemofiltration vs intermittent haemodial3sis on systemic haemodjnamics and splanchnic regional perfusion in septic shock patients: a prospectite, randonlized clinical trial. Nephrol Dial 'Sransplant 2001 :I 6(2):320-7. Kaplan AA. Renal failure. In: Bongard FS, Sue DY. editors. Current critical care. Diagnosis and treatment. 2"' edition. New York: Mc Graw-Hill: 2002. p. 342-75. Kellum JA, Angus D, Johnson JP et.al. Continous versus Intermittent renal replacement: a meta analysis. Intensive Care MA!, 2002;28:29-37. Kramer P, Wigger W. Matthaei D. Scheler F. Arterio-venous hemofiltration: a neM simple method for treatment of o~erhydratedpatients resistant to diur~titics.Klin Wochenschr. 1977:55:1121. Liao 2, Zhang W, Hatdy PA, et al. Kinetic compariscm of different acute dialqsis therapies. Artif Organs. 2003;27(9):802-7. Marshall MR, Golper TA, Shaver MJ, et al. Ilrea kinetics during sustained low-efficiency dialysis in critically ill patients requiring renal replacement therapy Am J Kidney Dis. 2002;39(3):556-70.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1065
TERAPI PENGCANTI GINJAL BERKESINAMBUNGAN (CRRT)
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Marshal MR, Golper TA, Shaver MJ, Alam MG, et al. Sustained low-efficient dialysis for critically ill patients requiring renal replacement therapy. Kidney Int. 2001;60(2):777-85. Mehta RL, Chertow GM. Selection of dialysis modality. In: Owen WF, Pereira BJ, Sayegh MH, editors. Dialysis and transplantation; a companion to Brenner & Rectors' the kidney. Philadelpia: WB Sanders; 2000. p. 403-17. Mehta RL. Supportive therapies; intermittent hemodialysis, continuous renal replacement therapies and peritoneal dialysis. In: Schrier RW, editor. Atlas of diseases of the kidney, Current Medicine. Philadelphia: Blackwell Science; 1998. Mehta RL. Indications for dialysis in the ICU renal replacement vs renal support blood purification. 2001;19:227-32. National Kidney Foundation. NKF-DOQI clinical practice guidelines for dialysis adequaly. Am J Kidney Dis. 1997;3D[52]:567-5 136. Phu NH, Hien TT, Thi N, Mai TH, et al. Hemofiltration and peritoneal dialysis in infection-associated acute renal failure in vietnam. N Engl J Med. 2002; (347):895-902. Reilly PO, Tolwani A. Renal replacement therapy. Crit Care Clin. 2005;21: 367-78.
Ronco C. Bellomo R Homel P, et al. Effects of different doses in continous veno-venous hemofiltration on outcomes of acute renal failure: a prospective randomised trial. Lancet. 2000;356:26-30. Schiffl H, Lang SM, Fischer R. Daily hemodialysis and the outcome of acute renal failure. N Engl J Med. 2002;346:(5): 305-10. Schrier R.W., Wang W. Acute renal failure and sepsis. N Engl J Med. 2004; 351 :(2):159-69. Teschan PE. Evolution of daily hemodialysis in acute renal failure: from the Korean War to the Present. Home Hemodial Int. 1999;3:58-68. Tetta C, D'Intini V, Bellomo R, et al. Extracorporeal treatments in sepsis: are there new perspectives? Clin Nephrol. 2003;60:299304. Van Bommel EF, Leunissen KM, Weimar W. Continuous renal replacement therapy for critically ill patients: an update. J Intensive Care Med. 1996;24: 192-8. Yeun J, Depner T. Principles of dialysis modality. In: Owen WF, Pereira BJ, Sayegh MH, editors. Dialysis and transplantation; a companion to Brener & Rectors' the kidney. Philadelpia: WB Sanders; 2000. p. 1-32.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
TRANSPLANTASI GINJAL Endang Susalit
PENDAHULUAN Pada tahun 2002, National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative(K/DOQg telah menyusun pedoman praktis penatalaksanaan klinik tentang evaluasi, klasifikasi, dan stratifikasi penyakit ginjal kronik. Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan ringan fungsi ginjal, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal. Jika sudah sampai pada gagal ginjal tahap akhir, yaitu penyakit ginjal kronik stadium 5, dibutuhkan terapi pengganti untuk dapat bertahan hidup. Ada tiga jenis terapi pengganti yaitu hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal. Pada Gambar 1 dapat dilihat hubungan dan peran tiap terapi pengganti dalam penatalaksanan pasien gagal ginjal tahap akhir. PenyakiiGinjal Kmnik Progresif
1 1
- 4
Terapi Konsewatif
21/Gagai Ginjai Tahap Akhir
J
Meninggai
Diaiisis
Hernodialisis/ DPMB')
f
Transplantasi
Bertahan hidup
Ginjal
') Dimllsls pmitoneal mandmn berkeslnambungan
Garnbar 1. Skerna penatalaksanaan gagal ginjal
Semua pasien dengan gagal ginjal tahap akhir dipertimbangkan sebagai calon resipien transplantasi ginjal kecuali jika mengidap penyakit keganasan sistemik, infeksi kronik, penyakit kardiovaskular yang berat atau gangguan neuropsikiatrik yang akan mengganggu kepatuhan minum obat imunosupresif, meskipun pada akhirnya pasien yang akan memutuskan jenis terapi pengganti yang akan dipergunakan.
TRANSPLANTASI GINJAL SEBAGAI SALAH SATU PlLlHAN TERAPI PENGGANTI Transplantasi ginjal telah menjadi terapi pengganti utama pada pasien gagal ginjal tahap akhir hampir di seluruh dunia. Manfaat transplantasi ginjal sudah jelas terbukti lebih baik dibandingkan dengan dialisis terutama dalam ha1 perbaikan kualitas hidup. Salah satu di antaranya adalah tercapainya tingkat kesegaran jasmani yang lebih baik. Misalnya, seorang perempuan muda yang menerima ginjal transplan bisa hamil dan melahirkan bayi yang sehat. Transplantasi ginjal yang berhasil sebenarnya merupakan cara penanganan gagal ginjal tahap akhir yang paling ideal, karena dapat mengatasi seluruh jenis penurunan fungsi ginjal. Di pihak lain, dialisis hanya mengatasi akibat sebagian jenis penurunan fungsi ginjal. Di samping itu transplantasi ginjal masih memberikan keuntungan lain dibandingkan dengan dialisis seperti terlihat pada Tabel 1. Manfaat transplantasi paling jelas terlihat pada pasien usia muda dan pada pasien diabetes melitus. Sebagai contoh, pasien dialisis nondiabetik yang berumur 20-39 tahun mempunyai harapan hidup 20 tahun lagi, tetapi jika dilakukan transplantasi ginjal harapan hidupnya menjadi 31 tahun lagi. Pasien dialisis yang diabetik pada kelompok yang sama mempunyai harapan hidup 8 tahun lagi, tetapi jika dilakukan transplantasi ginjal harapan hidupnya menjadi 25 tahun lagi.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
'
TRANSPLANTASI GINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Ada beberapa faktor yang berperan pada keberhasilan transplantasi ginjal, yaitu faktor yang berkaitan dengan donor dan resipien, faktor imunologi, faktor penanganan pra dan peri-operatif, serta faktor pasca-operatif.
Transplantasi ginal
Hernodialisis kronik
Satu kali (biasanya)
Seumur hidup
Kualitas hidup (jika berhasil)
baik sekali
cukup baik
Ketergantungan pada fasilitas medik
minimal
Besar
Jika gagal
dapat hemodialisis kembali atau transplantasi lagi
Meninggal
Angka kematianltahun
4 -8 %
20-25%
Prosed;
FAKTORYANG BERKAITAN DENGAN DONOR Transplantasi ginjal tidak bisa terlaksana tanpa ginjal donor. Walaupun perhatian sering lebih banyak dicurahkan pada penanganan resipien pascatransplantasi, identifikasi masalah dan persiapan donor sangat berpengaruh terhadap keberhasilan transplantasi. Transplantasi ginjal dapat memanfaatkan ginjal donor hidup yang sehat atau ginjal donor jenazah. Kekurangan jumlah ginjal donor merupakan masalah umum yang dihadapi seluruh dunia. Sebagian besar negara di Asia sudah memanfaatkan donor jenazah, sedangkan Indonesia belum memanfaatkan donor jenazah, seperti terlihat pada Tabel 2. Transplantasi donor hidup memang memberikan hasil yang lebih baik. Akan tetapi, transplantasi donor jenazah juga memberi keuntungan yang lain, yaitu tidak adanya risiko pada donor dan ginjal donor dapat diberikan kepada resipien yang paling sesuai.
Negara Jepang Korea Saudi Arabia Taiwan Filipina Malaysia Muangthai Singapura Indonesia Bangladesh
Donor hidup I%)
Donor Jenazah I%)
DONOR HlDUP
Yang dimaksud dengan donor hidup adalah donor yang masih hidup. Pemeriksaan persiapan calon donor hidup dilakukan secara bertahap seperti terlihat pada Tabel 3. Dengan prosedur penjaringan dan evaluasi donor tersebut, dapat dipastikan bahwa calon donor memang ikhlas untuk mendonasikan ginjalnya, dalam keadaan sehat dan mampu menjalani operasi nefrektomi, serta mampu hidup normal dengan satu ginjal setelah melakukan donasi. Yang dimaksud dengan hidup normal di sini adalah dapat bekerja seperti sebelum donasi, tidak memerlukan diet khusus atau obat, tidak ada perubahan dalam kehidupan seks, dan jika masih dalam usia subur, ia tetap subur seperti semula. Calon donor tidak dipakaijika mengidap penyakit ginjal atau jika diprediksi terdapat peninggian risiko morbiditas dan mortalitas pada saat operasi transplantasi. Pada tabel 4 dapat dilihat kriteria eksklusi calon donor hidup. Semakin tua umur seseorang semakin kecil cadangan fungsi ginjalnya sehingga ginjal yang berasal dari donor yang berumur lebih tua akan menghasilkan fungsi ginjal transplan yang lebih rendah. Ginjal yang berasal dari donor yang berumur sangat muda, 0 sampai dengan 5 tahun, juga sangat peka terhadap waktu iskemik dingin dan cenderung menghasilkan kegagalan imunologik yang lebih tinggi. Ginjal yang berasal dari donor dengan virus sitomegalo positif yang ditransplantasikan ke resipien dengan virus sitomegali negatif, cenderung mempunyai ketahanan hidup yang lebih pendek jika dibandingkan dengan ginjal yang berasal dari donor dengan virus sitomegalo negatif.
(1) Penjaringan Donor Edukasi resipien tentang donasi donor hidup dan jenazah Anamnesis riwayat keluarga dan penjaringan calon donor Konfirmasi kesamaan golongan darah ABO calon donor dengan calon resipien Pemeriksaan tissue typing dan cross match calon donor yang golongan darah ABO-nya sama dengan calon resipien Pilih calon donor yang paling sesuai, bersama calon resipien dan keluarga Edukasi calon donor tentang proses evaluasi dan donasi (2) Evaluasi Donor Anamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap Pemeriksaan laboratorium : Darah lengkap, kimia darah, HBsAg, anti-HCV, CMV, VDRL, HIV, tes toleransi glukosa(jika ada riwayat diabetes dalam keluarga), hemostasis, tes kehamilan Urinalisis, kultur urin, tes klirens kreatinin, ekskresi protein dalam urin-24 jam Foto toraks, elektrokardiografi, tes treadmill (usia >50 tahun), pielografi intravena Evaluasi psikiatrik Arteriografi ginjal Tes crossmatch sebelum transplantasi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
CINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dokter Indonesia (IDI) telah memberikan Urnur kurang dari 18 tahun atau lebih dari 65 tahun Hipertensi (> 140190 atau perlu obat darah tinggi) Diabetes (Tes toleransi glukosa atau HbAlc abnormal) Proteinuria (> 250 rng124 jam) Riwayat batu ginjal Laju filtrasi glomerulus abnormal (TKK < 80 mllmenit) Hernaturia mikroskopik Kelainan urologik ginjal donor Masalah rnedik yang bermakna (PPOK, Keganasan baru) Obesitas (30% di atas berat badan ideal) Riwayat trombosis atau tromboembolisrne Kontraindikasi ~sikiatrik TKK= tes kliren kreatinin; PPOK= Penyakit paru obstruktif kronik
DONOR JENAZAH Transplantasi donor jenazah bertujuan memanfaatkan organ tubuh pasien yang akan meninggal. Ginjal donor jenazah dalam waktu yang relatif singkat hams segera dipindahkan ke resipien. Dewasa ini, dikembangkan pula donasi ginjal yang berasal dari jenazah dengan jantung yang sudah tidak berdenyut lagi, yang lazim disebut donor henti denyut jantung (stop beating heart donor). Pada umumnya, donor jenazah adalah korban trauma kepala atau penyakit pembuluh darah otak. Kontraindikasidonorjenazah absolut dan relatif dapat dilihat pada Tabel 5. Ketahanan hidup ginjal transplan dari donor jenazah yang meninggal karena penyakit serebrovaskular iskemik tidak sebaik ketahanan hidup ginjal transplan dari donor jenazah yang meninggal karena perdarahan subaraknoid.
rekomendasi tentang batasan mati, yang antara lain menyebutkan bahwa manusia dinyatakan mati jika batang otaknya tidak berfungsi lagi. Penentuan saat mati batang otak pasien yang akan menjadi donorjenazah dibuat setelah ada izin dari keluarga oleh dokter lain di luar tim transplantasi, untuk mencegah kemungkinan adanya keinginan yang terlalu cepat untuk segera melakukan transplantasi. Kriteria mati batang otak dapat dilihat pada Tabel 6. Sementara itu, pasien hams tetap dirawat oleh tim dokter yang merawatl mengobati sebelumnya yang dilaksanakan di dalam unit yang lengkap, seperti unit perawatan intensif atau unit perawatan jantung intensif sebagai pasien biasa dan bukan dianggap sebagai pasien tahap akhir. Produksi urin dipertahankan cukup banyak, seolah-olah demi kepentingan pasien sendiri.
1). Persyaratan: (a) korna, respirasi dengan ventilator (b) diagnosis penyebab korna: pasti (kelainan struktur otak ireversibel) 2). Disingkirkan: (a) hipoterrni (< 35" C) (b) obat-obatan (c) kelainan endokrinlmetabolik berat 3). Tes: (a) tidak ada refleks batang otak (b) aDnu
DONOR GINJAL XENOGENIK Absolut
Relatif
Urnur 7 70 tahun
Urnur > 60 tahun
Penyakit ginjal kronik Keganasandengan metastasis
Urnur < 5 tahun Hipertensi ringan
Hipertensi berat Sepsis bakteri Pecandu obat intravena HBsAg, anti HCV, HIV positif
lnfeksi yang diobati Nekrosis tubuler akut nonoligurik Masalah rnedik donor (diabetes, SLE) Waktu iskemik dingin yang panjang
Gagal ginjal akut oligurik
Perforasi usus
Waktu iskernik panas yang panjang SLE = systemic lupus erythematosus
Alasan yang kuat untuk mengembangkan xenotransplantasi adalah kurangnya jumlah organ donor untuk transplantasi pada manusia. Xenotransplantasi adalah transplantasi jaringan atau organ di antara dua spesies yang berbeda, misalnya dari hewan ke manusia. Pada saat ini sedang dikembangkan transplantasi ginjal dari babi ke manusia yang masih banyak mengalami kendala imunologik dan non-imunologik. Respons imunologik terhadap xenotransplan dapat berupa rejeksi hiperakut, rejeksi akut vaskular dan selular, dan rejeksi kronik. Kendala non-munologik bempa risiko transmisi infeksi, kecocokan fisiologik, dan masalah etika clan agarna yang berkaitan dengan pemanfaatan organ yang berasal dari hewan untuk manusia.
DIAGNOSIS MATI BATANG OTAK
FAKTOR YANG BERKAITAN DENGAN RESlPlEN
Masalah yang harus diperhatikan pada transplantasi donor jenazah adalah penentuan batasan mati. Batasan mati yang bermanfaat untuk donasi organ tubuh adalah mati batang otak. Di Indonesia, pada tahun 1985 Ikatan
Sebelum pasien gagal ginjal dipertimbangkan sebagai calon resipien transplantasi ginjal, harus dipastikan terlebih dahulu apakah pasien memang sudah mengalami gagal ginjal tahap akhir.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TRANSPLANTASI GINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
SELEKSI CALON RESlPlEN TRANSPLANTASI GINJAL
Tujuan seleksi calon resipien transplantasi ginjal adalah untuk mengidentifikasi adanya masalah medik, sosial, dan psikologis yang dapat menghambat keberhasilan transplantasi ginjal. Berdasarkan data yang diperoleh, selain dipertimbangkan bahwa pasien akan mendapat obat imunosupresif untuk jangka waktu panjang, harus dipastikan pula bahwa transplantasi ginjal merupakan pilihan terapi pengganti yang terbaik untuk pasien. Tidak jarang pasien mengidap penyakit multisistem selain ginjal atau penyakit penyerta lain yang disebabkan oleh hipertensi, hiperlipidemia atau uremia. Pada Tabel 7 dapat dilihat evaluasi preoperatif yang dilakukan pada calon resipien transplantasi ginjal. Kriteria yang digunakan untuk menyeleksi pasien dialisis untuk transplantasi ginjal berbeda di tiap unit transplantasi, yang umumnya berdasarkan pengalaman di masing-masing unit. Sebagian besar unit transplantasi tidak melakukan transplantasi pada pasien dengan antiHIV positif, dan melakukan transplantasi pada resipien dengan anti-CMV negatif dari donor dengan anti-CMV positif. Sebagian besar unit transplantasi tidak melakukan transplantasi pada resipien dengan HBsAg positif yang pada biopsi hati didapatkan hepatitis kronik aktif. Pendapat berbagai unit masih beragam terhadap resipien dengan anti-HCV positif, donor dengan anti-HCV positif, dan resipien dengan masalah kardiovaskular.
1). Anarnnesis dan perneriksaan fisis lengkap 2). Perneriksaan laboratoriurn: Golongan darah, darah lengkap, kirnia darah, HBsAg, anti HCV, CMV, HSV, HIV, VDRL Urinalisis, kultur urin, sekret dan tes resistensi, tissue typing, antibodi sitotoksik, hernostasis 3). Elektrokardiografi, ekokardiografi 4). Foto toraks, arteriografi /Doppler a.iliaka 5). Perneriksaan THT, gigi-rnulut (fokus infeksi) 6). Gastroskopi
nefropati diabetik, ginjal transplan dapat mengalami nefropati, dan pasien diabetes melitus baik yang bergantung maupun yang tidak bergantung pada insulin cenderung mengalami komplikasi kardiovaskular yang meningkatkan mortalitas. Penyakit ginjal obstruktif, khususnya urolitiasis, dapat kambuh pada ginjal transplan. Demikian pula, nefropati hipertensif atau nefrosklerosis dapat timbul pada ginjal transplan jika hipertensi tidak dikendalikan secara baik.
KONTRAlNDlKASl TRANSPLANTASI GINJAL Pada beberapa keadaan, transplantasi ginjal tidak dianjurkan karena merupakan prosedur dengan risiko tinggi, seperti terlihat pada Tabel 9.
Kekarnbuhan Penyakit Dasar Glomerulonefritis rnernbranoproliferatif (Tipe 1) Glornerulonefritis rnernbranoproliferatif (Tipe 2) Glornerulosklerosis fokal Nefropati IgA Glornerulonefritis kresentik Nefritis antirnernbrana basalis glorneruler Glornerulonefritis membranosa idiopatik Nefritis lupus Purpura ~enoch-~chonlein
lnsiden (%)
Gagal Transplan (%)
25
8
1). Masalah psikiatrik, seperti psikosis, retardasi mental, dan adiksi obat 2). Riwayat ketidakpatuhanyang berulang 3). Urnur sangat lanjut ( > 70 tahun) 4). Keganasan baru atau dengan metastasis 5). Penyakit di luar ginjal (jantung, vaskular, hati, paru-paru) yang berat 6 ) . lnfeksi kronik (tuberkulosis aktif)
ETlOLOGl GAGAL GINJAL Etiologi penyakit ginjal yang menyebabkan gagal ginjal juga sangat penting karena beberapa penyakit ginjal primer tertentu bisa kambuh lagi pada ginjal transplan. Glomerulonefritis adalah salah satu penyebab gagal ginjal yang penting dan insiden kekambuhan pada ginjal transplan sangat bervariasi antara 1 dan 90%, bergantung pada jenis kelainan histologik, seperti terlihat pada Tabel 8. Kemungkinan terjadinya gagal ginjal transplan akibat kekambuhan penyakit dasar jauh lebih kecil, yaitu paling tinggi 12% pada glomerulosklerosis fokal. Pada pasien
KOREKSI PENYAKIT PENYERTA PRETRANSPLANTASI Pasien gagal ginjal tahap akhir harus menjalani dialisis secara teratur selain mendapat terapi yang lain, khususnya beberapa minggu sebelum transplantasi, sehingga tercapai keadaan umum yang optimal pada saat menjalani operasi. Masalah medik atau bedah harus dikoreksi terlebih dahulu sewaktu pasien masih dalam periode dialisis seperti hipertensi, hiperglikemia bila mengidap diabetes melitus, ulkus peptikum, karies dentis, dan penyakit jantung
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
koroner. Pada Tabel 10 dapat dilihat prosedur pembedahan yang mungkin harus dilakukan sebelum dilaksanakan transplantasi ginjal.
Saluran kemih
:
Jantung Gastrointestinal
: :
Gigi-mulut
:
prostatektomi, batu saluran kemih, nefrektomi, eksisi leher kandung kemih operasi pintas koroner penyakit divertikel, batu kandung empedu ekstraksi gigi
FAKTOR LAIN Dilaporkan bahwa angka mortalitas pascatransplantasi meningkat pada pasien yang menjalani hemodialisis lebih dari dua tahun, dan makin panjang waktu periode dialisis pratransplantasi, makin buruk prognosis pasca transplantasi. Resipien yang berusia lebih dari 55 tahun dan kurang dari 16 tahun mempunyai risiko yang lebih tinggi. Yang berusia muda cenderung mengalami kelambatan saat ginjal mulai berfungsi. Di pihak lain, yang berusia tua cenderung mengalami peninggian mortalitas kardiovaskular pascatransplantasi. Respons imunitas yang menurun pada usia lanjut menyebabkan terjadinya penurunan rejeksi secara bermakna pada resipien yang berusia lebih dari 60 tahun. Lebih dari 60% resipien yang berusia kurang dari 15 tahun akan mengalami rejeksi akut dalam 6 bulan pascatransplantasi. Resipien dengan obesitas cenderung mengalami keterlambatan saat ginjal transplan mulai berfungsi. Septikemia, gangguan gastrointestinal, dan diabetes pascatransplantasi lebih sering dijumpai pada pasien dengan obesitas.
Transplantasi ginjal dengan golongan darah ABO donor dan resipien yang berbeda dapat dilakukan dengan mengeluarkan dan menurunkan titer antibodi anti-A dan anti-B dengan cara plasmaferesis dan splenektomi resipien atau dengan cara imunoadsorpsi pratransplantasi. Transplantasi ginjal dengan golongan darah ABO donor dan resipien yang berbeda ternyata menunjukkan hasil yang cukup baik walaupun dengan biaya yang sangat besar karena prosedurnya agak rumit.
KELAS KOMPLEKS HlSTOKOMPATlBlLlTAS MAYOR Ginjal transplan direjeksi terutarna karena adanya protein di dalam membran sel yang dikode oleh kompleks histokompatibilitas mayor (MHC). Kompleks histokompatibilitas mayor pada manusia merupakan kumpulan gen yang menempati lengan pendek kromosom 6. Kumpulan gen ini, dikenal sebagai antigen leukosit manusia (HLA), mengkode glikoprotein membran sel, serta berperan pada inisiasi dan akselerasi respons imun. Terdapat tiga jenis molekul yang dikode, yaitu Kelas I, 11, dan I11 seperti terlihat pada Gambar 2. Antigen Kelas I terdapat pada membran plasma hampir di semua sel dan jaringan, sedangkan Kelas I1 terdapat pada sebagian kecil jenis sel seperti limfosit B, makrofag, monosit, dan sel dendritik folikuler. Antigen Kelas I1 itu juga dapat ditemukan pada membran sel jenis lain, seperti limfosit T, sel endotel, dan sel tubulus ginjal sebagai akibat pengaruh sitokin, seperti interferon gama dan faktor nekrosis tumor.
DP
DQ DRB DRA
84 Hsp70 TNF HLA-B HLA-C HLA-A
FAKTOR IMUNOLOGI
Gambar 2. Kompleks histokompatibilitas mayor pada lengan pendek. Kromosom 6. Hla kelas 1: Hla-a, b, c; kelas 2: Hla-dp, dq, dr; kelas 3: B4, hsp 70, tnf
Pada transplantasi ginjal, sistem histokompatibilitas yang berperan adalah kesesuaian sistem golongan darah ABO dan HLA (human leucocyte antigen).
FUNGSI KOMPLEKS HlSTOKOMPATlBlLlTAS MAYOR
SISTEM GOLONGAN DARAH ABO Golongan darah ABO resipien hams sama dengan donor; jika berbeda dapat terjadi reaksi rejeksi vaskular hiperakut dan akut walaupun ada yang melaporkan keberhasilan pada keadaan tersebut. Rejeksi pada keadaan tersebut disebabkan oleh antibodi yang bereaksi dengan antigen golongan darah A danJatau B yang terdapat. di dalam sel endotel vaskular.
Fungsi HLA adalah mempresentasikan antigen asing terhadap limfosit T yang kemudian akan memicu respons imun. Molekul HLA dapat mengikat protein asing dan bereaksi dengan kompleks reseptor sel-TED3 pada sel T dengan cara yang khas, yaitu HLA Kelas I dengan sel TCD8 dan HLA Kelas I1 dengan sel T-CD4. Pada Gambar 3 terlihat limfosit-CD4 (sel helper/ inducer) bereaksi dengan reseptor antigen Kelas 11, sedangkan limfosit-CD8 (sel sitotoksik/supresor)bereaksi dengan sel yang mengandung antigen Kelas I.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TRANSPLANTASI GINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Sel Alogenik
4
Limfosit T Helper
/
HLA Kelas 11
L~rnfositT Sitotoksik
HLA Krlas I
Rcseptor SB
Garnbar 3. lnteraksi antara kelas HLA dan limfosit
PENGARUH KESESUAIAN HLA TERHADAP HASlL TRANSPLANTASI GINJAL Pada transplantasi ginjal donor keluarga terdapat korelasi yang sangat berrnakna antara jumlah kesamaan haplotip donor dengan resipien dan ketahanan hidup ginjal transplan. Dilaporkan bahwa pada resipien yang mendapat prednisolon dan azatioprin, ketahanan hidup ginjal transplan 1 taliun dari saudara dengan HLA identik 9095%, saudara dengan haplo-identik 70-80%, dan saudara dengan haplo-negatif 60-70%. Pada resipien yang mendapat siklosporin dilaporkan bahwa angkanya lebih tinggi daripada angka tersebut di atas. Pada transplantasi ginjal donor jenazah, meskipun transplantasi dari donor dengan kesesuaian 6 antigen HLA memberikan hasil yang lebih baik daripada dari donor dengan kesesuaian I-ILA yang kurang dari 6, banyak studi melaporkan hasil yang cukup baik walaupun Iianya HLA DR yang sesuai atail HLA DR dan B yang sesuai. Urutan antigen HLA yang meniberikan hasil transplantasi ginjal yang makin kurang baik jika terdapat ketidaksesuaian adalah HLA DR, B, dan A. Faktor lain yang mempengaruhi ketahanan hidup ginjal transplan adalah jenis dan dosis obat imunosupresif yang dipakai, misalnya siklosporin. Secara umuin, dikatakan bahwa makin kuat imunosupresi, rnakin kecil keuntungan yang diperoleh dengan kesesuaian HLA. Pada resipien yang mendapat 4 jenis obat imunosupresif, pengaruh kesesuaian antigen HLA rnenjadi tidak tampak. Meskipun demikian, pengaruh ketidaksesuaian antigen HLA terhadap ketahanan hidup ginjal transplan diduga rnasih ada dalam jangka waktu panjang setelah transplantasi.
reaksi rejeksi hiperakutlaccelerated karena selain sitotoksik juga dapat langsung menimbulkan reaksi pada sel endotel ginjal transplan, mengaktifkan sistem komplemen, dan menyumbat mikrosirkulasi ginjal transplan dengan trombus. Karena itu, tes crossmcrtch yang dilakukan pada pratransplantasi merupakan suatu keharusan. Pemeriksaan yang paling sering digunakan adalah tes limfositotoksisitas dengan memakai komplemen. Selain itu ada pusat transplantasi yarig menggunakan teknik flow cytometry atau teknik lain yang rnendeteksi adanya antibodi terhadap antigen yang lebih spesifik, yang terdapat dalam sel endotel pembuluh darah, monosit, atau sel epitel.
MIXED LYMPHOCYTE CULTURE Pada transplantasi donor hidup dapat dilakukan tes mired lymphocyte reaction untuk menentukan derajat ketidaksesuaian antigen Kelas 11. Dasar tes ini adalah proliferasi yang terjadi bila limfosit seseorang dikultur bersama limfosit orang lain. Tes ini dapat membantu seleksi bila terdapat lebih dari satu donor. Tes ini secara in vitro dapat membantu memprediksi respons imun resipien terhadap antigen donor. Tes ini bermanfaat untuk mengukur kapasitas proliferasi limfosit resipien walaupun tidak banyak lagi yang menggunakan tes ini dalam kegiatan transplantasi ginjal sehari-hari.
FAKTOR PREOPERATIF DAN PERIOPERATIF Beberapa faktor perlu diperhatikan pada waktu menjelang, selama, dan segera sesudah operasi transplantasi ginjal.
WAKTU ISKEMIK GINJAL
Keberhasilan transplantasi ginjal juga ditentukan oleh panjang waktu suatu ginjal mengalami iskemia akibat terhentinya sirkulasi. Ada empat jenis waktu iskemik yang harus diperhatikan pada transplantasi ginjal, yaitu: 1). Waktu iskemik total, yakni waktu selama ginjal tidak mendapat sirkulasi darah; dimulai dari saat nefiektomi sampai dengan selesainya anastomosis pembuluh darah pada waktu operasi transplantasi ginjal; 2). Waktu iskemik panas TES CROSSMATCH pertama, yakni waktu yang dimulai dari saat sirkulasi ke ginjal berhenti sampai saat dimulainya perfusi ginjal Tes crosstnatch bertujuan mengetahui adanya antibodi dengan cairan pembilas; 3). Waktu iskemik dingin, yakni dalam serum resipien, khususnya antibodi anti-HLA, waktu yang dimulai dari saat ginjal donor diperfusi cairan terhadap antigen donor. Antibodi pratransplantasi ini bisa pembilas sampai perfusi dihentikan; 4). Waktu iskemik timbul akibat kehamilan, transfusi darah, atau gagal ginjal panas kedua, yakni waktu yang dimulai dari saat perfusi transplan sebelumnya. AntibodiONLY ini dapat menyebabkan SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI cairan pembilas dihentikan sampai dengan anastomosis di buka. Waktu iskemik panas sangat berkorelasi dengan panjang hidup ginjal transplan. Jika waktu iskemik panas pertarna lebih dari 60 menit ketahanan hidup ginjal transplan sangat menurun. Pada donorjenazah, waktu iskemik dingin yang lebih dari 24 jam akan memperlambat saat ginjal transplan mulai berfungsi pascatransplantasi, dan akan menurunkan ketahanan hidup ginjal transplan.
Panjang waktu penyimpanan ginjal bergantung pada proses pendinginan yang dilakukan untuk mengurangi aktivitas metabolik dan kebutuhan oksigen, serta jenis cairan pembilas yang digunakan untuk mempertahankan lingkungan intraselular dalam keadaan tanpa adanya pompa natriudkalium. Perfusi dilakukan dengan cairan pembilas yang bersuhu 2-4" C melalui arteri renalis karena proses pendinginan yang kurang atau berlebihan dapat menyebabkan kerusakan intraseluler yang ireversibel. Ada beberapa jenis cairan pembilas yang dapat digunakan, antara lain, cairan Histidine-TryptophaneKetoglutarate, University of Winconsin,dan Euro-Collins. Ditinjau dari saat ginjal transplan mulai berfungsi dan derajat fungsi ginjal pada hari ke-14 pascatransplantasi, urutan mulai dari yang terbaik adalah seperti urutan di atas. Khusus untuk cairan Euro-Collins terdapat usaha untuk menambahkan MgS04 dan mengganti glukosa dengan manitol.
GINJAL HIPERTENS1
interstisial yang berlebihan ke rongga intravaskular. Pemberian albumin dalam jumlah yang cukup selama operasi terbukti membantu ginjal transplan berfungsi dini, meningkatkan ketahanan hidup ginjal transplan, dan menurunkan mortalitas. Di beberapa pusat transplantasi, manitol diberikan pada waktu revaskularisasi ginjal transplan karena dapat mengurangi insidens nekrosis tubular akut. Pada umurnnya, ginjal transplan akan memproduksi urin segera setelah revaskularisasi. Beberapa resipien dapat mengeluarkan urin sampai dengan 1000 mlljam yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kelebihan cairan yang terjadi secara kronik pratransplantasi, beban osmotik molekul yang tidak cukup terbersihkan dengan dialisis (termasuk kreatinin), kerusakan tubulus proksimal, dan obat diuretik yang diberikan selama operasi. Pada beberapa jam pertama pascatransplantasi diberikan larutan kristaloid per infus untuk menggantikan jumlah urin yang keluar dengan tetesan paling sedikit 100 mlljam. Setelah itu, jumlah urin yang keluar diganti dengan infus larutan dekstrosa dalam garam (112 normal) dengan menghitung keseimbangan cairan dari jam ke jam dan memperhatikan nilai tekanan vena sentralis. Diuresis biasanya akan kembali normal dalam waktu 24-72 jam. Resipien yang mengalami oliguria hams menjalani dialisis sampai ginjal transplan berfungsi. Meskipun operasi transplantasi ginjal tidak mengganggu selaput peritoneum, ileus pascatransplantasi dapat terjadi untuk sementara. Biasanya, makanan peroral diberikan setelah fungsi usus kembali normal pada 24-48 jam pascatransplantasi dan kemudian infus cairan dapat dihentikan.
PENATALAKSANAAN PERIOPERATIF DlSFUNGSl DIN1 GINJAL TRANSPLAN Pada periode preoperatif, status sirkulasi dan hemodinamik resipien transplantasi ginjal dikaji, dilakukan deteksi dini terhadap sumber infeksi, dan jika terdapat kelainan elektrolit dikoreksi. Dialisis preoperatif yang adekuat akan memudahkan penatalaksanaan perioperatif dan mengurangi risiko operasi. Karena obat imunosupresif sudah diberikan sebelum atau pada saat operasi, tindakan operasi harus sangat cermat. t-Iematoma dan kebocoran ureter akan meningkatkan insidens infeksi luka pascaoperatif. Antibiotika berspektrum luas dosis tunggal yang diberikan pada saat induksi anestesi dapat mengurangi insidens infeksi luka pascaoperatif secara bermakna. Jika pada periode preoperatif dijumpai keadaan dehidrasi, selama operasi dapat diberikan cairan yang agak berlebih. Volume cairan intravaskular perlu dipertahankan dengan cara memonitor tekanan vena sentralis. Ini akan membantu ginjal transplan berfungsi optimal. Albumin dapat diberikan karena dapat menarik cairan
Pengkajian dan pengobatan disfungsi dini ginjal transplan sangat penting pada penatalaksanaan resipien transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang optimal dilakukan dengan cara mengkaji data klinik, laboratorium, pencitraan, dan biopsi secara integratif. Tidak jarang dibutuhkan kematangan pengalaman klinik dalam situasi yang meragukan. Pada Tabel 11 dapat dilihat faktor mekanii dan nonmekanik yang dapat menyebabkan disfungsi dini ginjal transplan pascatransplantasi. Langkah pertama yang dilakukan pada resipien transplantasi yang tetap anuria pascaoperatif adalah dengan melakukan irigasi kateter urin karena bisa terdapat bekuan darah yang menyumbat ujung kateter. Kadangkadang, terutama pada pria, ujung dan balon kateter tidak dapat masuk sampai ke dalam kandung kemih. Jika cairan yang diinstilasi tidak balik dengan mudah, posisi kateter hams diperbaiki, atau jika perlu, kateternya diganti. Jika kateter urin berfungsi baik, diberikan bolus cairan sebanyak
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1073
TRANSPLANTASICINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 250 ml sanipai dengan satu atail dua liter untrtk mengatasi hipovolertlia dengan mempertahankan nilai tekanan vena sentralis setinggi 10- 12 cni H20. Manitol dan furosemid sering diberikan ilntuk menstiniulasi keluarnya urin. Jika fiaktor hipovolemia dan obstruksi sudah disingkirkan. penyebab mekanik ini liarus dibedakan dengan nekrosis tubular akut. rejeksi dini, dan toksisitas obat. Pemeriksaan ultrasonografi adalah teknik noninvasif yang cukup nyaman dan dapat ~nernbantumembedakan berbagai penyebab tnekanik uliguria dini. Biopsi gin-jal transplan perkutan tetap merupakan prosedur utatna untttk mu~nhedakarinekrosis tubular akut, toksisitas obat, dan rtjeksi.
I
Tabel 11. Faktor Mekanik dan Nonmekanik yang Dapat Menyebabkan D,isfungsi Dini Ginjal Transplan Pascatrans~lantasi Mekanik Komplikasi saluran kemih Obstruksi bekuan darah Obstntksi ureter Kebocoran ureter Obstruksi limfokel Non mekanik
Faktor donor Hipotensi lama Umur tua Ol~guria lnkompatibilitas imunologrk Golongan darah ABO Ketidaksesuaian HLA Antibodi sitotoksik pratranspiantasr pdsrtrf
Komplikasr vaskular Stenos~sarteri Trombods arteri Oklusi arteri polar Trornbosis vena Prese~asi Toksisitas obat Temperatur nark Perfusi kartrkostero~d Waktu iskemik panjang Rejeksi Hiperakut Accelerated
Akut Kronik
REJEKSI GlNJAL TRANSPLAN Sislem imun nianusia dapat n~engenalibagian tubuhnya sendiri dan bendn asing. serta lntttnpunyai kemampuan mempertatiankan diri trrhadap virus. bakteri, mutan, dan sel asing lainnya. Rile ~nembransel ginjal transplan me~niliki antigen yang tidak sesuai dengan resipien, limfosit T akan bereaksi. yaitu berupa respons imun selular dan pembentukan antibodi, yang akan manyebabkan destruksi sel ginjal transplan dan akhirnya trombosis pembuluh darah. Rejrksi adalah suatu proses yatiy meniperlihatkan jaringari cangkoli ( ~ r r ! f dikenal t) dan dirusak respons itnun selular dan humoral resipien. Limfosit resipien tnengenal molekul HLA ynng terdapat di dalam mernbran sel cangkok, kemudian merusak set tersebut. Rcspo~lsimun awal adalah interaksi atitara limfosit T yang membawa CD1dan CD28 dengan srl khus~tsresipien atau donor yany nietnbawa dan sekresi antigen. Pengaktifan limfosit 1'-CD4+ ( TIIcI?ILJ~) interlei~kin-2(IL2) akan memulai kaskade respons imun seluler dan humoral, yang akhirnya akan menghancurkan cangkokan. seperti terlihat p d a Gambar 4.
Sel piasma
1
Mekanisrna Antibodi
Gambar 4. Diagram kaskede rnekanisms pengenalan antigen den efektor rejeks~cangkok
Terdapat empat tipe reaksi rejeksi yang dapat terjadi pada transplantasi ginjal: 1 ). Rejeksi hiperakut adalah destruksi imunologik ginjal transplan yang terjadi dalam waktu 73 jam pascatransplantasi dan sering terjadi intraoperatif. Rrjeksi ini disebabkan oleh reaksi antibodi resipien yang terbentuk pratransplantasi dengan antigen sel endotel pembuluh darah ginjal transplan. Pasien menunjukkan gangguan imunologik herat dengan koagulasi intravaskular diseminata. Ginjal transplan edema dan henioragik, dan jika tidak diangkat dapat pecah. Pemeriksaan histopatologik inenunjukkan adanya endapan lgG diln C3 di dalam dinding kapiler glomerulus dan peritubulus, serta agregasi trornbosit yang menyumbat lumen kapiler. 2). Rejeksi akut cepat (uccelerated acute) adalah destruksi ginjal transplan yang terjadi dalatn 24-72 jam pascatransplantasi. Rejeksi ini disebabkan oleh respons i~nunhumoral dan s e l ~ ~ l resipien er yang sering ire~ersibelwalaupun kadany-kadang dapat diatasi dengan terapi antilimfosit. Pemeriksaan histopatologik tnenunji~kkanadanya kerusakan pada pembuluh darah yang sering disertai taskulitis nekrotik. 3). Rejeksi akut adalah destruksi ginjal transplan yang terjadi mulai pada akliir ~iiingyu pertarna s a ~ n p a i denyan 6 bulan pascatransplantasi yang disebabkan oleh respons imun selular dan humoral resipien. Resipien mendadak demam, badan lemali. hipertensi, dan oliguria disertai peninggian kadar kreatinin darah. dan penurunan nilai tes kliren kreatinin. Ginjal transplan menjadi edema yang mengiritasi selaput peritoneum sehingga menimbulkan rasa nyeri di daerah pelvis. Obat yang dapat digunakan adalah steroid, antilimfosit globulin poliklonal, dan antibodi monoklona! OKT3. Pemeriksaan histopatologik menunjukkan infiltrasi difus sel monoriukleus yang disertai edema dan perdarahan di dalatn jaringan interstisial. Kadang-kadang disertai infiltrasi sel polimorfonukleus, destruksi pembuluh darah. dan proliferasi sel endotel dengan trombosis mikrovask~~lar. Kadar interleukin-2 plasma pratransplantasi berkorelasi positif dengan insiden rejeksi akut, dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENS1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
peninggian kadar interleukin-2 plasma dalam 24 jam pascatransplantasi yang bermakna merupakan prediktor terjadinya rejeksi akut. Chen dan kawan-kawan membuktikan bahwa ekspresi reseptor interleukin-2 pada jaringan ginjal dhpat digunakan sebagai petanda rejeksi akut. 4). Rejeksi kronik adalah penurunan fungsi ginjal transplan secara perlahan-lahan, disertai proteinuria dan hematuri mikroskopik, yang terjadi setelah enam bulan pascatransplantasi. Ada yang berpendapat bahwa istilah yang lebih tepat adalah gaga1 ginjal cangkok kronik atau chronic allograj nephropathy. Dalam hubungan ini, yang berperan adalah beberapa faktor seperti kerusakan iskemik pada saat transplantasi, histokompatibilitas, umur donor, keseringan dan derajat episode rejeksi akut, hipertensi, hiperlipidemia, dan penyakit ginjal rekurens. Pemeriksaan histopatologik menunjukkan adanya fibrosis jaringan interstisial dan pembuluh darah, proliferasi dan penebalan mesangial serta glomerulosklerosis. Pada saat ini obat imunosupresif yang ada tidak bermanfaat dan pencegahan ditujukan terutama untuk mengatasi faktor risiko tersebut.
FAKTOR PASCAOPERATIF Oleh karena sel limfosit T berperan sangat penting dalam proses rejeksi, berbagai obat imunosupresif yang dipergunakan pada transplantasi ginjal ditujukan terhadap sel ini. Beberapa obat imunosupresifjuga mempunyai efek tambahan terhadap sel imun yang lain seperti sel limfosit B dan sel fagosit mononuklir. Obat imunosupresif yang sering dipakai pada transplantasi ginjal adalah kortikosteroid, penghambat sintesis purin, penghambat kalsineurin, penghambat target rapamisin dan antibodi terhadap reseptor pada permukaan sel T.
Prednison adalah kortikosteroid pertama yang dipergunakan untuk transplantasi organ. Obat ini lebih efektif dan menghasilkan potensiasi jika dikombinasi dengan obat imunosupresif lainnya. Di dalam hati, prednison cepat diubah menjadi prednisolon yang mempunyai efek beragam. Prednisolon mempunyai efek antiinflamasi, menghambat migrasi sel di dalam jaringan ginjal cangkok, menghambat produksi interleukin- I, dan pada dosis tinggi melisis limfosit T sehingga dapat dipakai untuk mengatasi rejeksi akut. Dosis tinggi steroid dapat menimbulkan infeksi dan nekrosis avaskular tulang sehingga banyak unit transplantasi cepat menurunkan dosis steroid dalam minggu-minggu pertama pascatransplantasi, bahkan ada yang memberikan dosis rendah steroid sejak awal.
Kortikosteroid bermanfaat baik untuk imunosupresi pemeliharaan maupun untuk pengobatan rejeksi akut. Untuk imunosupresi pemeliharaan pada awal transplantasi diberikan 30-100 mghari. Dosis dikurangi secara progresif, yang bergantung pada perjalanan klinik, sampai menjadi dosis pemeliharaan 5 - 10 mghari. Ada yang memberikan kortikosteroid selang sehari untuk mengurangi morbiditas. Untuk pengobatan rejeksi akut selular, metilprednisolon 500-1000 mghari dapat diberikan selama 3 hari secara intravena. Angka keberhasilan pada pulse steroid ini sekitar 75 %.
Azatioprin adalah suatu antimetabolit derivat imidazol6merkaptopurin. Azatioprin dan prednisolon sudah lama dipergunakan sebagai obat imunosupresif dasar pada transplantasi. Di dalam hati azatioprin dimetabolisme menjadi bentuk aktif yang dapat menghambat sintesis DNA dan RNA, serta menghambat produksi interleukin-2. Efek samping utamanya adalah mielotoksisitas sehingga pemberian azatioprin disesuaikan dengan jumlah lekosit dalam darah perifer yang diusahakan agar tidak kurang dari 4000lml. Dosis diberikan 2-3 mglkgBB1hari dan jika dikombinasikan dengan siklosporin atau takrolimus dosis dikurangi menjadi 1-1,5 mg/kgBB/hari.
MOFETIL MIKOFENOLAT Asam mikofenolat adalah hasil fermentasi spesies Penicillium yang menghambat enzim inosine monophosphate dehydrogenase yang diperlukan untuk sintesis purin. Defisiensi purin akan menghambat sintesis DNA dalam sel limfosit. Oleh karena efek mofetil mikofenolat pada biosintesis purin, obat ini digunakan sebagai pengganti azatioprin baik pada awal transplantasi atau sesudah episod rejeksi yang terjadi pada pasien yang sebelumnya memakai azatioprin. Dosis mofetil mikofenolat yang dianjurkan adalah 2 x 1 gramlhari.
PENGHAMBAT KALSINEURIN: SlKLOSPORlN Siklosporin adalah suatu polipeptida siklik yang diproduksi dari jamur Tolypocladium injlatum, yang terdiri atas 11 asam amino dan mempunyai berat molekul1203. Siklosporin di dalam sitoplasma berikatan dengan siklofilin dan ikatan ini kemudian menghambat enzim kalsineurin yang berfungsi pada pengaktifan nuclear factor of activated T cell (NFAT). Seperti diketahui, NFAT berperan dalam
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TRANSPLANTASI GINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI proses pengaktifan gen IL-2 dan transkripsi mRNA untuk IL-2, suatu sitokin yang berperan dalam merangsang pertumbuhan dan proliferasi. Dosis pemeliharaan adalah 3-5 mgkgBB/hari. Interaksi siklosporin dengan obat lain memerlukan perhatian khusus karena dapat meninggikan atau menurunkan kadar siklosporin. Obat yang menginduksi aktivitas enzim P450 seperti rifampisin, isoniazid, dan trimetoprim dapat menurunkan kadar siklosporin, sedangkan obat yang menghambat aktivitas enzim P450 seperti verapamil, diltiazem, nikardipin, eritromisin, ketokonazol, dan simetidin dapat meninggikan kadar siklosporin. Pemakaian siklosporin bersama amfoterisin, aminoglikosid, dan obat antiinflamasi nonsteroid dapat mempercepat terjadinya efek samping nefrotoksik. Efek samping yang lain adalah hipertensi, hiperlipidemia, hirsutisme dan pembesaran gusi.
Takrolimus, termasuk dalam penghambat kalsineurin, memiliki struktur molekul yang berbeda dengan siklosporin dan dalam sitoplasma berikatan dengan protein yang berbeda yaitu FKBP (FK binding protein), tetapi menunjukkan mekanisme kerja, interaksi obat dan efek samping yang hampir sama. Kelebihannya dibandingkan dengan siklosporin adalah angka kejadian hipertensi, hiperlipidemia clan komplikasi kosmetik yang lebih rendah. Kekurangannya dibandingkan dengan siklosporin adalah lebih toksik terhadap ginjal, saluran pencernaan dan pankreas, meskipun dengan dosis yang lebih rendah komplikasi tersebut kejadiannya berkurang. Dosis pemeliharaan adalah 0,15 - 0,30 m@gBB/hari.
Sirolimus atau rapamisin merupakan obat imunosupresif pemeliharaan yang relatif baru pada transplantasi ginjal. Sirolimus menghambat respons proliferatif sel limfosit T dan B terhadap rangsangan sitokin. Sirolimus berikatan dengan FKBP, seperti takrolimus, tetapi tidak menghambat kalsineurin melainkan menghambat kinase target rapamisin yang berperan dalam pengendalian siklus sel. Efek samping yang bisa terjadi adalah hambatan penyembuhan luka, diare, hiperlipidemia, anemia dan trombositopenia. Dosis sirolimus yang dianjurkan adalah 2 mgthari.
PREPARAT ANTlLlMFOSlT Kemajuan pertama yang berarti dalam usaha mengatasi
respons imun yang lebih selektif adalah pemakaian preparat antilimfosit poliklonal dalam klinik. Beberapa preparat tersebut, misalnya, serum antilimfosit (ALS), globulin antilimfoblas (ALG), dan globulin antitimosit (ATG) merupakan antibodi terhadap sel T. Walaupun preparat poliklonal menunjukkan spesifisitas imunosupresif yang makin meningkat, selektivitas supresi masih belum optimal. Preparat antibodi monoklonal, seperti OKT3 bekerja lebih selektif terhadap reseptor sel T (anti-CD3), yang berfungsi untuk pengenalan antigen. Obat ini sudah terbukti sangat efektif untuk pengobatan rejeksi yang resisten terhadap steroid serta dapat dipakai sebagai pengobatan awal dalam minggu pertama pascatransplantasi. Dosis dan cara pemakaian preparat ini dapat dilihat pada Tabel 12.
ANTIBODI MONOKLONAL ANTI-RESEPTOR INTERLEUKIN-2 YANG D I H U M A N I S A S I I DlKlMERlSASl Antibodi monoklonal ini merupakan imunosupresif yang lebih spesifik dibandingkan dengan OKT3 dan poliklonal karena reseptor interleukin-2 sepenuhnya ada pada sel T yang sudah teraktivasi. Humanisasi atau kimerisasi antibodi ini mengurangi pembentukan antibodi antimouse pada resipien sehingga meningkatkan waktu paruh dan efektivitas obat. Penelitian daclizumab dan basiliximab secara acak, terkontrol dibandingkan dengan plasebo menunjukkan penurunan sepertiga kejadian rejeksi akut.
PROTOKOL PEMAKAIAN OBAT IMUNOSUPRESIF Pada umumnya, setiap unit transplantasi mempunyai protokol sendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat dan pengalaman masing-masing. Protokol tersebut dipakai sebagai pedoman umum yang tidak dianut secara kaku dan jika diperoleh pengetahuan dan pengalaman dengan obat baru, pedoman tersebut dimodifikasi. Tujuan pemberian obat imunosupresif pada transplantasi ginjal adalah memberikan obat anti rejeksi dalam dosis yang masih dapat ditoleransi untuk jangka waktu lama, tetapi dapat mencegah terjadinya rejeksi terhadap ginjal cangkok. Pemberian obat imunosupresif terdiri dari dua tahap, yaitu tahap awal atau induksi dan tahap pemeliharaan. Banyak unit transplantasi yang memakai cara terapi tripe1 yang terdiri dari siklosporin atau takrolimus, azatioprin atau mofetil mikofenolat, dan prednisolon dengan dosis seperti terlihat pada Tabel 12. Regimen sekuensial atau kuadripel dengan preparat antilimfosit banyak dipergunakan untuk pasien yang sensitif atau pada
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
retransplantasi. Pada rejeksi akut, seperti terlihat pada Tabel 12, dapat dipergunakan kortikosteroid dosis tinggi secara oral atau parenteral, preparat antilimfosit atau plasmaferesis.
TOLERANSI Toleransi pada transplantasi adalah suatu keadaan tidak terdapatnya reaksi imunologik terhadap antigen yang terdapat pada jaringan atau organ yang ditransplantasikan, tanpa pemakaian obat imunosupresif. Pada saat ini berbagai penelitian sedang dilakukan pada hewan percobaan sedangkan pada manusia belurn dapat dicapai keadaan toleransi ini.
KOMPLlKASl INFEKSI PADA TRANSPLANTASI GINJAL Keberhasilan transplantasi ginjal bergantung pada keseimbangan antara imunosupresi yang memadai untuk mencegah rejeksi ginjal cangkok dan pemeliharaan kompetensi imun pada taraf yang memadai untuk melindungi resipien terhadap infeksi. Sebagai akibat pemakaian berkelanjutan obat yang menekan h g s i sel T, resipien transplantasi ginjal menunjukkan peninggian risiko terhadap infeksi oleh berbagai patogen intraselular
Siklo k g
Dosis awal
seperti virus, protozoa, bakteri, dan jamur. Insiden infeksi yang letal dan nonletal menurun terutama disebabkan oleh peningkatan pe-ngalaman, perbaikan dalam metode organ procurement dan seleksi resipien, peningkatan teknik bedah, serta pengetahuan yang lebih baik tentang jenis dan saat terjadinya infeksi. Pemakaian antibiotika profilaktik untuk mengurangi keseringan infeksi luka, pelaksanaan biopsi ginjal secara tertutup, pemeriksaan ultrasonografi di daerah ginjal transplan yang lebih sering, dan pemberian bolus prednisolon dosis tinggi untuk terapi rejeksi yang lebih jarang, serta kebijakan untuk tidak mempertahankan ginjal transplan yang tak berfungsi lagi ikut berperan menurunkan insiden komplikasi infeksi. Walaupun demikian, infeksi tetap merupakan penyebab penting baik bagi mortalitas maupun bagi penurunan ketahanan hidup ginjal transplan. Di Indonesia infeksi pascatransplantasi merupakan salah satu masalah utama, selain masalah donor dan biaya.
HASlL TRANSPLANTASI GINJAL Dalarn bagian ini dikemukakan hasil transplantasi ginjal seperti yang dilaporkan oleh the United Network of Organ Sharing (WOS) Registry di Amerika Serikat, hasil transplantasi ginjal jangka panjang, dan pengalaman di Indonesia.
OKT3
Aza k g
Pred mg
2,s 23
100 30
Steroid dosis tinggi Steroid dosis rendah
20-30
3 bulan diubah ke AzaIPred Siklo mulai setelah diuresis
Regimen Tanpa siklosporin Siklo dosis tinggi Tempi ganda
17,5 10-15
Tempi tripel
8-12,5
1,5
20-30
Kuadripell sekuensial
8-12,5
1,5
20-30
Pred Oral dosis tlnggl
Tf!?
1.5-2,O (7-14)
Metilpred lntravena
OKT3
mg (hari)
atau
Rejeksi berat
200 mglhari: 3 hari, diturunkan 5-7 hari
1 gramlhari: 3-5 had
5,O mglhari: 5-14 hari
Rejeksi sedang
120 mglhari: 3-5 hari, diturunkan 5-7 hari
2,5-5.0 mglhari: 514 hari
Rejeksi ringan
120 mglhari: 3 hari, diturunkan ke semula
500 mglhari: 3 hari 250-500 mglhari: 3
5 (5-10)
Keterangan
Sekuensial: Siklo setelah ATG 7-14 hari
ALGIATG
Plasmaferesis
Dosis sesuai dengan petunjuk
Rejeksi vaskular. 2-3L: 3-5 hari
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1077
TRANSPLANTASIGINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI adalah 86% dan 95%. Ginjal cangkok tersebut mempunyai proyeksi waktu paruh 13 tahun.
REGlSTRASl UNOS Berdasarkan laporan registrasi UNOS disimpulkan ha1 berikut: 1). Ketahanan hidup ginjal cangkok satu tahun pada resipien yang memperoleh ginjal dari saudara kandung dengan HLA-identik adalah 95%, saudara kandung dengan kesamaan 1 haplotip 91%, orang tua 90%, dan dari anak 89%. Ketahanan hidup pasien satu tahun pada orang tua yang memperoleh ginjal dari anaknya adalah 94%, sedangkan resipien yang memperoleh ginjal dari anggota keluarga dekat adalah 98%. Ginjal transplan dari donor keluarga dengan HLAidentik mempunyai proyeksi waktu paruh 26 tahun, sedangkan jika dengan kesamaan 1 haplotip proyeksinya 12-14 tahun. 2). Ketahanan hidup ginjal cangkok dan pasien satu tahun pada transplantasi antar-pasangan hidup adalah 92% dan 99%. Ketahanan hidup ginjal cangkok dan pasien satu tahun pada transplantasi dengan donor dari keluarga jauh atau dari orang lain
Tahun
A
1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
2 1 1 3 2 11 14 16 8 8 13 11 11 11 12 13 16 26 19 15 12 11 6 9 13
Jumlah
7 10 13 294
2
-
5 6 6 5 3 5 4 5 3
2 2 -
48
-
-
2 8 5 3 2 6 3 5 6 3
6 4 1 1
-
-
-
-
-
2 -
3 3 1 1 4 2 1
-
2
-
2
1 47
-
2 1 31
HASlL TRANSPLANTASI GINJAL JANGKA PANJANG Hasil transplantasi ginjal yang dikemukakan di atas umwnnya dilaporkan sebagai ketahanan hidup ginjal transplan satu tahun, dan memang ketahanan hidup satu tahun bisa menggambarkan ketahanan hidup 10 tahun. Dalam era siklosporin, prediksi ketahanan hidup 10 tahun ginjal transplan yang berasal dari saudara kandung dengan HLA identik adalah 79%, dari orang tua 52%, dan dari donor jenazah 44%. Faktor yang mempengaruhi hasil transplantasi adalah kesesuaian HLA, ras, unit transplantasi pelaksana, etiologi penyakit ginjal, derajat fungsi ginjal transplan dalam periode awal pascatransplantasi, clan insidens rejeksi dini.
-
-
-
-
1 1
-
-
4 2 1 29
1 -
-
2 2 3 3 2 2 1 1 2 2
"
2
2 3 4 7 11 22 36 52 65 79 99 123 149 171 193 216 245 281 310 337 355 373 385 397 412 425 439 455
I 1 3 4
-
1 -
II
1 1
-
-
-
-
-
2
1
3
-
Jumlah kumulatlf
-
-
Jumlah pertahun
14 16 13 14 20 24 26 22 22 23 29 36 29 27 18 18 12 12 15 13 14 16 455
Keterangan: : RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo IRS PGI Cikini Jakarta A B : RS Dr. Karyadi IRS Telogorejo Semarang C : RSPAD Gatot Subroto Jakarta : RS Dr. Sutomo Surabaya D E : RS Dr. Sarjito Yogyakarta F : RS Dr. Pirngadi Medan : RS Dr. Hasan Sadikin Bandung G H : RS Advent Bandung
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GINJAL HIPERTENS1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENGALAMAN Dl INDONESIA
Transplantasi ginjal dilaksanakan pertama kali di Indonesia pada tahun 1977. Transplantasi ginjal berkembang sangat lambat dan pada Tabel 13 dapat dilihat jumlah transplantasi ginjal di Indonesia tahun demi tahun menurut registrasi Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Secara umurn ketahanan hidup ginjal transplan dan pasien yang dicapai di Indonesia tidak berbeda dengan yang dilaporkan di luar negeri.
Allen RDM, Chapman JR. A manual of renal transplantation. London: Little, Brown and Company;l994. Bradley BA. Factors affecting kidney transplantation success. Curr Opin Nephrol Hypertens. 1992;1:220-9. Briggs JD. The recipient of a renal transplant. In: Morris PJ, editor. Kidney transplantation, principles and practice. 4th edition. Philadelphia: WB Saunders;l994.p. 43-55. Cecka JM, Terasaki PI. The UNOS scientific renal transplant registry. In: Terasaki PI, Cecka JM, editors. Clinical transplants 1992. Los Angeles: UCLA, Tissue Typing Laboratory; 1993. p.1-16. Chandraker A, Perkins DL, Carpenter CB, Sayegh MH. Transplantation immunobiology. In: Brenner BM, editor. Brenner & Rector's the kidney. 7Ih edition. Philade1phia:WB Saunders; 2004. p. 2759-83. Chugh KS, Vivekanand JHA. Commerce in transplantation in third world countries. Kidney Int. 1996;49: 1181-6. Danovitch GM. Immunosuppressive medication and protocols for kidney transplantation. In: Danovitch GM, editor. Handbook of kidney transplantation. 3rdedition.Philade1phia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. p. 62-1 10. Davison AM. Renal transplantation: recurrence of original disease with particular reference to primary glomerulonephritis. Nephrol Dial Transplant. 1995; 1 O(supp1 1):81-4. Goral S, Helderman JH. Current and emerging maintenance immunosuppressive therapy. In: Owen WF, Pereira BJG, Sayegh MH, editors. Dialysis and tranplantation: a companion to Brenner & Rector's the kidney. Philadelphia: WB Saunders; 2000. p. 561-7. Gritsch HA, Rosenthal JT, Danovitch GM. Living and cadaveric kidney donation. In: Danovitch GM, editor. Handbook of kidney transplantation. 3rd edtion. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001.p. 11 1-29. Kendrick E. Evaluation of the transplant recipient. 1n:Danovitch GM, editor. Handbook of kidney transplantation. 3rd edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. p.130-45.
Kubak BM, Pegues DA, Holt CD. Infectious complications of kidney transplantation and their management. In: Danovitch GM, editor. Handbook of kidney transplantation. 3rd edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. p. 22162. Magee CC, Milford E. Clinical aspects of renal transplantation. In: Brenner BM, editor. Brenner & Rector's the kidney, 71h edition. Philadelphia: WB Saunders; 2004. p. 2805-48. Marshall VC, Jablonski P, Scott DF. Renal preservation. In: Morris PJ, editor. Kidney transplantation, principles and practice. 4 th edition. Philadelphia: WB Saunders; 1994. p. 86-108. McGeown MG. Towards long - term graft survival: an overview. Nephrol Dial Transplant. 1995;1O(suppl 1): 3-9. Melk A, Halloran P. Immunosuppressive agents used in transplantation. In: Johnson RJJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2ndedition. Edinburg: Mosby; 2003. p.105769. National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KIDOQI) Advisory Board: KIDOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification, and stratification. Kidney Disease Outcome Quality Initiative. Am J Kidney Dis. 2002;39(Suppl 1): S l S246. Pallis C. Brainstem death: the evolution of a concept. In: Morris PJ, editor. Kidney transplantation, principles and practice. 4th edition. Philadelphia: WB Saunders; 1994. p.7 1-85. Rawn JD, Tilney NL. The early course of a patient with a kidney transplant. In: Morris PJ, editor. Kidney transplantation, principles and practice. 4th ed. Philadelphia: WB Saunders; 1994. p. 167-78. Sayegh MH, Krensky AM. Transplantation immunobiology. In: Owen WF, Pereira BJG, Sayegh MH, editors. Dialysis and transplantation: a companion to Brenner & Rector's the kidney. Philadelphia: WB Saunders; 2000. p. 487-98. Susalit E. Efek amlodipin terhadap faktor yang berperan pada penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh siklosporin pada resipien transplantasi ginjal. Buku disertasi dipertahankan dihadapan Senat Guru Besar UI 3 Juli 1996. Susalit E. Strategi penatalaksanaan gagal ginjal kronik memasuki abad XXI. Pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Penyakit Dalam di FKUI, Jakarta, 6 Mei 1998. Ting A, Welsh K. HLA matching and crossmatching in renal transplantation. In: Morris PJ, editor. Kidney transplantation, principle and practice. 4th edition. Philadelphia: WB Saunders; 1994. p. 109-26. Waid TH. Prevention and treatment of renal allograft rejection. In: Glassock RJ, editor. Current therapy in nephrology and hypertension. 41h edition. St. Louis: Mosby; 1998. p. 356-67.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
HIPERTENSI ESENSIAL Mohammad Yogiantoro
PENDAHULUAN
DEFlNlSl
Sampai saat ini hipertensi masih tetap menjadi masalah karena beberapa hal, antara lain meningkatnya prevalensi hipertensi, masih banyaknya pasien hipertensi yang belum mendapat pengobatan maupun yang sudah diobati tetapi tekanan darahnya belum mencapai target, serta adanya penyakit penyerta dan komplikasi yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi esensial. Beberapa penulis lebih memilih istilah hipertensi primer, untuk membedakannya dengan hipertensi lain yang sekunder karena sebab-sebab yang diketahui. Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High. Blood Pressure (JNC 7 ) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, Hipertensi derajat 1 dan derajat 2 (Tabel 1).
Data epidemiologis menunjukkan bahwa dengan makin meningkatnya populasi usia lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan bertambah, dimana baik hipertensi sistolik maupun kombinasi hipertensi sistolik dan diastolik sering timbul pada lebih dari separuh orang yang berusia >65 tahun. Selain itu, laju pengendalian tekanan darah yang dahulu terus meningkat, dalam dekade terakhir tidak menunjukkan kemajuan lagi bola kurva mendatar), dan pengendalian tekanan darah ini hanya mencapai 34%dari seluruh pasien hipertensi. Sampai saat ini, data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari negara-negara yang sudah maju. Data dari The National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES) menunjukkan bahwa dari tahun 1999-2000, insiden hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29-3 1%, yang berarti terdapat 58-65 juta orang hipertensi di Amerika, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHANES I11 tahun 1988- 1991. Hipertensi esensial sendiri merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi.
K'as'nkasi Tekanan Darah
TDS (mmHg)
Normal Prahipertensl Hipertensi derajat 1 Hipertensi derajat 2
< 120 120 139 140 159 > 160
-
-
TDD (mmHg) dan atau atau atau
< 80 80 89 90 99 > 100
-
-
TDS = Tekanan Darah Slstolik, TDD = Tekanan Darah Diastollk
Masih ada beberapa klasifikasi dan pedoman penanganan hipertensi lain dari World Health Organization (WHO) dan International Society of Hypertension (ISH), dari European Society of Hypertension (ESH, bersama European Society of Cardiology), British Hypertension Society (BSH) serta Canadian Hypertension Education Program (CHEP), tetapi umumnya digunakan JNC 7.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1080
GINJAL HIPERTENS1
PATOGENESIS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktorial yang timbul terutama karena interaksi antara faktor-faktor risiko tertentu. Faktor-faktor risiko yang mendorong timbulnya kenaikan tekanan darah tersebut adalah: 1. faktor risiko, seperti: diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas, merokok, genetis 2. sistem saraf simpatis tonus simpatis variasi diurnal 3. keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi: endotel pembuluh darah berperan utama, tetapi remodeling dari endotel, otot polos dan interstisium juga memberikan kontribusi akhir 4. pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin, angiotensin dan aldosteron Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalan pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi m u s dasar Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer (Gambar 1).
KERUSAKAN ORGAN TARGET
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan
organ-organ target yang umum ditemui pada pasien hipertensi adalah: 1. jantung hipertrofi ventrikel kiri angina atau infark miokardium gaga1 jantung 2. otak strok atau transient ischemic attack 3. penyakit ginjal kronis 4. penyakit arteri perifer 5. retinopati Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor AT1 angiotensin 11, stres oksidatif, down regulation dari ekspresi nitric oxide synthase, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming growth factor$ (TGF-P) Adanya kemsakan organ target, terutama pada jantung dan pembuluh darah, akan memperburuk prognosis pasien hipertensi. Tingginya morbiditas dan mortalitas pasien hipertensi terutama disebabkan oleh timbulnya penyakit kardiovaskular.
Gambar 1. Faktor-faktor yang berpengaruh pada pengendalian tekanan darah
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HlPERTENSl ESENSIAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Faktor risiko penyakit kardiovaskular pada pasien hipertensi antara lain adalah: merokok obesitas kurangnya aktivitas fisik dislipidemia diabetes melitus mikroalbuminuriaatau perhitungan LFG <60 mumenit umur (laki-laki >55 tahun, perempuan 65 tahun) riwayat keluarga dengan penyakit jantung kardiovaskular prematur (laki-laki <55 tahun, perempuan < 65 tahun) Pasien dengan prehipertensi berisiko mengalami peningkatan tekanan darah menjadi hipertensi;mereka yang tekanan darahnya berkisar antara 130-139180-89 mmHg dalam sepanjang hidupnya akan memiliki dua kali risiko menjadi hipertensi dan mengalami penyakit kardiovaskular dari pada yang tekanan darahnya lebih rendah. Pada orang yang berumur lebih dari 50 tahun, tekanan darah sistolik >I40 mmHg merupakan faktor risiko yang lebih penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskular dari pada tekanan darah diastolik: risiko penyakit kardiovaskular dimulai pada tekanan darah 115/75 mmHg, meningkat dua kali dengan tiap kenaikan 20110 mmHg risiko penyakit kardiovaskular bersifat kontinyu, konsisten, dan independen dari faktor risiko lainnya individu berumur 55 tahun memiliki 90% risiko untuk mengalami hipertensi
EVALUASI HlPERTENSl
Evaluasi pada pasien hipertensi bertujuan untuk: 1). Menilai pola hidup dan identifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya atau menilai adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis dan menentukan pengobatan. 2). Mencari penyebab kenaikan tekanan darah. 3). Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit kardiovaskular. Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisis serta pemeriksaan penunjang. Anamnesis meliputi: 1. lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah 2 indiiasi adanya hipertensi sekunder a). keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik) b). adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian obat-obat analgesik dan obatl bahan lain c). episoda berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokromositoma)
d). episoda lemah otot dan tetani (aldosteronisme) 3. faktor-faktorrisiko a). riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien b). riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya c). riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya d). kebiasaan merokok e). polamakan 0. kegemukan, intensitas olah raga g). kepribadian 4. gejala kerusakan organ a). otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient ischemic attacks, defisit sensoris atau motoris b). jantung: palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki c). ginjal: haus, poliuria, nokturia, hematuri d). arteri perifer: ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten 5. pengobatan antihipertensi sebelumnya 6. faktor-faktor pribadi, keluarga dan lingkungan Pemeriksaan fisis selain memeriksa tekanan darah, juga untuk evaluasi adanya penyakit penyerta, kerusakan organ target serta kemunglunan adanya hipertensi sekunder. Pengukuran tekanan darah: pengukuran rutin di kamar periksa pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring-ABPM) pengukuran sendiri oleh pasien Pengukuran di kamar periksa dilakukan pada posisi duduk di kursi setelah pasien istirahat selama 5 menit, kaki di lantai dan lengan pada posisi setinggi jantung. Ukuran dan peletakan manset (panjang 12-13 cm, lebar 35 cm untuk standar orang dewasa) dan stetoskop hams benar (gunakan suara Korotkoff fase I dan V untuk penentuan sistolik dan diastolik). Pengukuran dilakukan dua kali, dengan sela antara 1 sampai 5 menit, pengukuran tarnbahan dilakukan jika hasil kedua pengukuran sebelurnnya sangat berbeda. K o n f i a s i pengukuran pada lengan kontralateral dilakukan pada kunjungan pertama dan jika didapatkan kenaikan tekanan darah. Pengukuran denyut jantung dengan menghitung nadi (30 detik) dilakukan saat duduk segera sesudah pengukuran tekanan darah. Untuk orang usia lanjut, diabetes dan kondisi lain dimana diperkirakan ada hipotensi ortostatik, perlu dilakukan juga pengukuran tekanan darah pada posisi berdiri. Beberapa indikasi penggunaan ABPM antara lain: hipertensi yang borderline atau yang bersifat episodik hipertensi ofice atau white coat adanya disfungsi saraf otonom hipertensi sekunder sebagai pedoman dalam pemilihan jenis obat antihipertensi tekanan darah yang resisten terhadap pengobatan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
CINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI antihipertensi gejala hipotensi yang berhubungan dengan pengobatan antihipertensi Pengukuran sendiri di rumah memiliki kelebihan dan kekurangan. Kekurangannya adalah masalah ketepatan pengukuran, sedang kelebihannya antara lain dapat menyingkirkan efek white coat dan memberikan banyak hasil pengukuran. Beberapa peneliti menyatakan bahwa pengukuran di rumah lebih mewakili kondisi tekanan darah sehari-hari. Pengukuran tekanan darah di rumah juga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan meningkatkan keberhasilan pengendalian tekanan darah serta menurunkan biaya. Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari: test darah rutin glukosa darah (sebaiknya puasa) kolesterol total serum kolesterol LDL dan HDL serum trigliserida serum slasa) asam urat serum kreatinin serum kalium serum hemoglobin dan hematokrit urinalisis (uji carik celup serta sedimen urin) elektrokardiogram Beberapa pedoman penanganan hipertensi menganjurkan test lain seperti: ekokardiogram USG karotis (dan femoral) C-reactive protein mikroalbuminuria atau perbandingan albuminkeatinin urin proteinuria kuantitatif (jika uji carik positif) fbnduskopi (pada hipertensi berat) Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya penyakit penyerta sistemik, yaitu: aterosklerosis (melalui pemeriksaan profil lemak) diabetes (terutama pemeriksaan gula darah) fbngsi ginjal (dengan pemeriksaan proteinuria, kreatinin serum, serta memperkirakan laju filtrasi glomerulus) Pada pasien hipertensi, beberapa pemeriksaan untuk menentukan adanya kerusakan organ target dapat dilakukan secara rutin, sedang pemeriksaan lainnya hanya dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan dan gejala pasien. Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan organ target meliputi: 1. jantung pemeriksaan fisis foto polos dada (untuk melihat pembesaranjantung, kondisi arteri intratoraks dan sirkulasi pulmoner) elektrokardiografi(untuk deteksi iskemia, gangguan konduksi, aritmia, serta hipertrofi ventrikel kiri) ekokardiografi
2. pembuluh darah pemeriksaan fisis termasuk perhitunganpulsepressure ultrasonografi (USG) karotis fungsi endotel (masih dalam penelitian) 3. otak pemeriksaan neurologis diagnosis strok ditegakkan dengan menggunakan cranial computed tomography (CT) scan atau magnetic resonance imaging (MRI) (untuk pasien dengan keluhan gangguan neural, kehilangan memori atau gangguan kognitif) 4. mata funduskopi 5. fbngsi ginjal pemeriksaan fungsi ginjal dan penentuan adanya proteinurialmikro-makroalbuminuria serta rasio albumin kreatinin urin perkiraan laju filtrasi glomerulus, yang untuk pasien dalam kodisi stabil dapat diperkirakan dengan menggunakan modifikasi rumus dari Cockroft-Gault sesuai dengan anjuran National Kidney Foundation (NKF) yaitu: (140
- umur) x Berat Badan
Klirens Kreatinin* =
x 0,85 (untuk perernpuan) 72 x Kreatinin Serum
'Glomerulus Filtration Ratellaju filtrasi glomerulus (GFR) dalam mllmeniff 1 .73m2
JNC 7 menyatakan bahwa tes yang lebih mendalam untuk mencari penyebab hipertensi tidak dianjurkan kecuali jika dengan terapi memadai tekanan darah tidak tercapai.
PENGOBATAN Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah: target tekanan darah
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HIPE~TENSIESENSIAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Terapi nonfarmakologis terdiri dari : menghentikan merokok menurunkan berat badan berlebih menurunkan konsumsi alkohol berlebih latihan fisik menurunkan asupan garam meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan Iemak Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan oleh JNC 7: diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosterone Antagonist (Aldo Ant) Beta Blocker (BB) Calcium Channel Blocker atau Calcium antagonist (CCB) Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) Angiotensin 11Receptor Blocker atau AT, receptor antagonist/blocker (ARB) Masing-masing obat antihipertensimemiliki efektivitas dan keamanan dalam pengobatan hipertensi, tetapi pemilihan obat antihipertensijuga dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: faktor sosio ekonomi profil faktor risiko kardiovaskular ada tidaknya kerusakan organ target ada tidaknya penyakit penyerta variasi individu dari respon pasien terhadap obat antihipertensi kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang gunakan pasien untuk penyakit lain bukti ilmiah kemarnpuan obat antihipertensiyang akan digunakan dalam menurunkan risiko kardiovaskular Berdasarkan uji klinis, hampir seluruh pedoman penanganan hipertensi menyatakan bahwa keuntungan pengobatan antihipertensi adalah penurunan tekanan darah itu sendiri, terlepas dari jenis atau kelas obat antihipertensi yang digunakan. Tetapi terdapat pula bukti-bukti yang menyatakan bahwa kelas obat antihipertensi tertentu memiliki kelebihan untuk kelompok pasien tertentu. Untuk keperluan pengobatan, ada pengelompokan pasien berdasar yang memerlukan pertimbangan khusus (Special Considerations), yaitu kelompok Indikasi yang Memaksa (Compelling Indication) dan Keadaan Khusus lainnya (Special Situations). Indikasi yang memaksa meliputi: gaga1 jantung pasca infark miokardium risiko penyakit pembuluh darah koroner tinggi diabetes penyakit ginjal kronis pencegahan strok berulang Keadaan khusus lainnya meliputi: populasi minoritas obesitas dan sindrom metabolik
hipertrofi ventrikel kanan penyakit arteri perifer hipertensi pada usia lanjut hipotensi postural demensia hipertensi pada perempuan hipertensi pada anak dan dewasa muda hipertensi urgensi dan emergensi Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap, dan target tekanan darah dicapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan unntuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah, dan kemudian tekanan darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan dosis obat tersebut, atau berpindah ke antihipertensi lain dengan dosis rendah. Efek samping umumnya bisa dihindari dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal maupun kombinasi. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah, tetapi terapi kombinasi dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah obat yang hams diminum bertambah. Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien (Gambar 2) adalah: diuretika dan ACEI atau ARB CCBdanBB CCB dan ACEI atau ARB CCB dan diuretika AB dan BB kadang diperlukan tiga atau empat kombinasi obat
Gambar 2. Kernungkinan kombinasi obat antihipertensi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1084
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kelas Obat
Kontraindikasi
lndikasi Mutlak
Diuretika (Thiazide)
gagal jantung kongestif, usia lanjut, isolated systolic hypertension, ras Afrika
gout
kehamilan
Diuretika (Loop)
insufisiensi ginjal, gagal jantung kongestif
Diuretika (anti aldosteron)
gagal jantung kongestif, pasca infark miokardium
gagal ginjal, hiperkalemia
Penyekat p
angina pektoris, pasca infark miokardium, gagal jantung kongestif, kehamilan, takiaritmia
asma, penyakit paru obstruktif menahun, AV block (derajat 2 atau 3)
Calcium Antagonist (dihydropiridine)
usia lanjut, isolated systolic hypertension, angina pektoris, penyakit pembuluh darah perifer, aterosklerosis karotis, kehamilan
Calcium Antagonist (verapamil, diltiazem)
angina pektoris, aterosklerosis karotis, takikardia supraventrikuler
Penghambat ACE
Angiotensin II receptor antagonist (AT1blocker)
gagal jantung kongestif, disfungsi ventrikel kiri, pasca infark miokardium, nondiabetik nefropati, nefropati DM tipe 1, proteinuria nefropati DM tipe 2, mikroalbuminuria diabetik, proteinuria, hipertrofi ventrikel kiri, batuk karena ACE1
a - Blocker
hiperplasia prostat (BPH), hiperlipidemia
Klasifikasi Tekanan Darah
TDS
A-V block (derajat 2 atau 3), gagal jantung kongestif kehamilan, hiperkalemia, stenosis arteri renalis bilateral kehamilan, hiperkalemia, stenosis arteri renalis bilateral hipotensi ortostatis
(mmHg)
Perbaikan Pola Hidup
Normal Prehipertensi
c 120 120 139
dan < 80 atau 80 - 89
dianjurkan Ya
Hipertensi derajat 1
140 159
atau 90 - 99
Hipertensi derajat 2
> 160 -
atau
PEMANTAUAN Pasien yang telah mulai mendapat pengobatan harus datang kembali untuk evaluasi lanjutan dan.pengaturan dosis obat sampai target tekanan darah tercapai. Setelah
penyakit pembuluh darah perifer, intoleransi glukosa, atlit atau pasien yang aktif secara fisik takiaritmia, gagal jantung kongestif
TDD (m?Hg)
> 100 -
Tidak Mutlak
gagal jantung kongestif
Terapi Obat Awal Dengan Tanpa lndikasi lndikasi yang yang Memaksa Memaksa Tidak indikasi obat
obat-obatan untuk indikasi yang memaksa
Ya
diuretika jenis Thiazide untuk sebagian besar kasus, dapat dipertirnbangka n ACEI, ARB, BB, CCB atau kornbinasi
Ya
kombinasi 2 obat untuk sebagian besar kasus urnurnnya diuretika jenis Thiazide dan ACE1 atau ARB atau BB atau CCB)
obat-obatan untuk indikasi yang mernaksa obat antihipertensi lain (diuretika, ACEI, ARB, BB, CCB) sesuai kebutuhan
tekanan darah tercapai dan stabil, kunjungan selanjutnya dengan interval 3-6 bulan, tetapi frekuensi kunjungan ini juga ditentukan oleh ada tidaknya komorbiditas seperti gagal jantung, penyakit yang berhubungan seperti diabetes, dan kebutuhan akan pemeriksaan laboratorium.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HIPERTENSI ESENSIAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Strategi untuk meningkatkan kepatuhan pada pengobatan: empati dokter akan meningkatkan kepercayaan, motivasidan kepatuhan pasien dokter harus mempertimbangkan latar belakang budayaepercayaan pasien serta sikap pasien terhadappengobatan pasien diberi tahu hasil pengukuran tekanan darah, targetyang masih hams dicapai, rencana pengobatan selanjutnyaserta pentingnya mengikuti rencana tersebut Penyebab hipertensi resisten: 1. pengukuran tekanan darah yang tidak benar 2. dosis belum memadai 3. ketidak patuhan pasien dalam penggunaan obat antihipertensi 4. ketidak patuhan pasien dalam memperbaiki pola hidup asupan alkohol berlebih kenaikan berat badan berlebih 5. kelebihan volume cairan tubuh asupan garam berlebih terapi diuretika tidak cukup penurunan fimgsi ginjal berjalan progresif 6. adanya terapi lain masih menggunakan bahanlobat lain yang meningkatkan tekanan darah adanya obat lain yang mempengaruhi atau berinteraksi dengan kerja obat antihipertensi 7. adanya penyebab hipertensi laidsekunder Jika dalam 6 bulan target pengobatan (termasuk target tekanan darah) tidak tercapai, hams dipertimbangkan untuk melakukan rujukan ke dokter spesialis atau subspesialis. Bila selain hipertensi ada kondisi lain seperti diabetes melitus atau penyakit ginjal, baik American diabetes association (ADA) maupun International society of nephrology (ISN) dan NKF menganjurkan rujukan kepada seorang dokter yang ahli jika laju filtrasi glomerulus mencapai < 60 ml/men/l ,73m2,ataujika ada kesulitan dalam mengatasi hipertensi atau hiperkalemia, serta rujukan kepada konsultan nefrologi jika laju filtrasi glomerulus mencapai < 30 ml/men/1,73m2,atau lebih awal jika pasien berisiko mengalami penurunan fimgsi ginjal yang cepat atau diagnosis dan prognosis pasien diragukan. Pengobatan antihipertensi umumnya untuk selama hidup. Penghentian pengobatan cepat atau lambat akan diikuti dengan naiknya tekanan darah sampai seperti sebelum dimulai pengobatan antihipertensi. Walaupun demikian, ada kemungkinan untuk menurunkan dosis dan jumlah obat antihipertensi secara bertahap bagi pasien yang diagnosis hipertensinya sudah pasti serta tetap patuh terhadap pengobatan nonfarmakologis. Tindakan ini hams disertai dengan pengawasan tekanan darah yang ketat.
lndikasi yang Memaksa
Pilihan Terapi Awal
Gagal Jantung
Thiaz, BB, ACEI, ARB, Aldo Ant
Pasca lnfark Miokard Risiko Penyakit Pembuluh Darah Koroner Diabetes Penyakit Ginjal Kronis Pencegahan stroke berulang
BB, ACEI, Aldo Ant Thiaz, BB, ACEI, CCB Thiaz, BB, ACEI, ARB, CCB ACEI, ARB Thiaz, ACE1
REFERENSI British Hypertenson Society. Guidelines for management of hypertension: Report of the Fourth Working Party for the British Hypertension Society. J Hum Hypertension. 2004;18:139-85. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Hypertension. 2003;42: 1206-52. European Society of Hypertension - European Society of Cardiology Guidelines Committee. 2003 European Society of Hypertension - European Society of Cardiology Guidelines for the Management of Arterial Hypertension. J Hypertens. 2003;21:101 1-53. Evidence - Based Recommendation Task Force of the Canadian Hypertension Education Program 2004. Canadian Hypertension Education Program Recommendation. January 2004. Kaplan NM. Primary hypertension: pathogenesis. Kaplan's clinical hypertension. 8thedition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002. p. 56-135. National Kidney Foundation. KIDOQI clinical practice guidelines on hypertension and antuhypertensive agents in chronic kidney disease. Am J Kidney Dis. 2004;43 (suppl 1):SI-S290. Warnock DG, Textor SC. Core curriculum in nephrology: hypertension. Am J Kidney Dis. 2004;44:369-75. Word Health Organization, International Society of Hypertension Writing Group. 2003 World Health Organization - International Society of Hypertension Statement of Management of Hypertension. J Hypertens. 2003; 21 :1983-92. World Health Organization and International Society of Hypertension Guidelines Subcommittee. 1999 World Health Organization - International Society of Hypertension Guidelines for the Management of Hypertension. J Hypertens. 1999;17:151-83.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
HIPERTENSI PADA PENYAKIT GINJAL Agus Tessy
PENDAHULUAN Pasien hipertensi banyak ditemukan di masyarakat dan sekalipun telah diterapi masih banyak yang tekanan darahnya tidak terkontrol. Hal ini disebabkan karena kombinasi obat yang tidak sesuai dan banyak obat-obat yang mempunyai efek samping dan kontraindikasi. Sehingga diperlukan obat antihipertensi yang dapat digunakan oleh pasien hipertensi yang dapat di toleransi dengan baik dan mempunyai efek samping yang minimal sehingga ketaatari pemakaiannya juga lebih baik. Renin-Angiotensinogen-Aldosteron-(RAA) sistem berperan penting dalam niemelihara hemodinamik dan homeostasis kardiovaskular. Sistem RAA dianggap sebagai suatu homeostatic feed back loop dimana ginjal dapat mengeluarkan renin sebagai respons terhadap rangsangan seperti tekanan darah rendah, stres simpatetik, berkurangnya volutne darah dan bila keadaan-keadaan ini normal kembali maka RAA sistem tidak teraktivasi. Penyakit ginjal dapat menyebabkan naiknya tekanan darah dan sebaliknya hipertensi dalam jangka waktu lama dapat mengganggu ginjal. Di klinik sukar untuk membedakan kedua keadaan ini terutama pada penyakit ginjal menahun. Apakah hipertensi yang menyebabkan penyakit ginjal menahun ataukah penyakit ginjal yang menyebabkan naiknya tekanan darah dan untuk mengetahui kedua keadaan ini diperlukan adanya catatau medik yang teratur dalam jangka panjang. Beratnya pengaruh hipertensi pada ginjal tergantung dari tingginya tekanan darah dan lamanya menderita hipertensi. Makin tinggi tekanan darah dalam waktu lama makin berat komplikasi yang dapat ditimbulkan. Hubungan antara hipertensi dan ginjal telah lama diketahui sejak Richard Bright pada 1836. Penelitian-penelitian selama ini membuktikan bahwa hipertensi merupakan salah satu faktor pemburuk fi~ngsi
gin.jal di samping faktor-faktor lain seperti proteinuria,jenis penyakit ginjal, hiperglikemia, hiperlipidemia dan beratnya hngsi ginjal sejak awal. Upaya menuninkan tekanan darah jelas akan menurunkan faktor risiko kardiovaskular. Pada studi Cohart mendapatkan bahwa penyebab kematian akibat hipertensi ialah insufisiensi koroner, CHF, infark cerebral dan perdarahan, penyakit ginjal menahun dan ruptur aneurisme. Variabilitas tekanan darah berperan penting sebagai penyebab kerusakan target organ. Beberapa komponen variabilitas tekanan darah yang berperan antara lain: perubahan tekanan darah siang dan malam, perubahan tekanan darah setiap hari, kecepatan perubahan tekanan darah dan perubahan tekanan darah jangka panjang.
Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut maupun penyakit ginjal hronik baik pada kelainan glomerulus maupun pada kelainan vaskular. Hipertensi pada penyakit ginjal dapat dikelompokkan dalam: 1. Pada Penyakit Glomerulus Akut: G N Pasca Streptokokkus, Nefropati, Membranos~ 2. Pada Penyakit Vaskular: Vaskulitis, Sklerode~ma 3. Pada penyakit ginjal kronik: CKD Stage 111 - V 4. Penyakit Glomerulus Kronik: Tekanan darah normal tinggi
Penyakit Glomerulus Akut Hipertensi terjadi oleh karena adanya retensi natrium yang menyebabkan hipervolemi. Retensi natriurn terjadi akibat adanya peningkatan reabsorbsi Na di duktus koligentes. Peningkatan ini dimungkinkan ole11 karena adanya resistensi relatif terhadap Hormon Natriuretik Peptida dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HIPERTENSI PADA PENYAKIT GINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
peningkatan aktivitas pompa Na-K-ATPase di duktus koligentes.
Penyakit Vaskular Pada keadaan ini terjadi iskemi yang kemudian merangsang sistem renin angiotensin aldosteron. Penyakit Ginjal Kronik Hipertensi oleh karena hal-ha1 sebagai berikut 1). Retensi natrium, 2). Peningkatan sistem RAA akibat iskemi relatif karena kerusakan regional, 3). Aktivitas saraf simpatis meningkat akibat kerusakan ginjal, 4). Hiperparatiroid Sekunder, 5). Pemberian eritropoetin. Penyakit Glomerulus Kronik Tekanan darah yang ditemukan biasanya normal tinggi dibandingkan dengan kontrol normal. Sejak ditemukan cara penentuan praktis kadar renin dan angiotensin I1 di dalam plasma maka reninangiotensinogen-aldosterone (RAA) sistem diteliti secara luas. Renin dihasilkan oleh sel-sel jukstaglomerulus di ginjal dan akan merubah angiotensinogen menjadi angiotensin I (AI). Kemudian A1 oleh pengaruh angiotensin converting enzyme (ACE) yang dihasilkan oleh paru, hati dan ginjal dirubah menjadi angiotensin I1 (AII) (Gambar 1). Sistem RAA adalah satu sistem hormonal enzimatik yang bersifat multikompleks dan berperan dalam ha1 naiknya tekanan darah, pengaturan keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit.
Sekresi renin oleh ginjal dipengaruhi oleh: 1). Mekanisme intrarenal: (a) reseptor vaskular, (b) makula densa; 2). Mekanisme simpatoadrenergik; 3). Mekanisme humoral. Selain sistem RAA adajuga sistem Kalikrein-Kinin (KK) yang juga dapat menyebabkan naiknya tekanan darah (Gambar 2). Kalikrein akan merubah Bradikininogen menjadi Bradikinin kemudianACE akanmerubah Bradikinin menjadi fragmen inaktif yang dapat meningkatkan tekanan darah (Gambar 3). Renin mengubah Angiotensinogen menjadi Angiotensin I (AI) kemudian A1 dirubah oleh ACE menjadi Angiotensin I1 (AII) dan alur ini disebut alur ACE. Selain alur ACE, A11 juga dapat terbentuk langsung dari Angiotensinogen atau melalui alur lain dan kedua alur ini disebut alur non ACE. (Gambar 4)
PENGOBATAN
Berdasarkan patogenesis terjadinya hipertensi pada penyakit ginjal, maka pengobatan sebaiknya disesuaikan pada masing masing kelompok. Pengobatan hipertensi pada kelompok penyakit glomerulus akut, diberikan diuretik sekaligus mengurangi edema yang terjadi pada kelompok ini. Pengurangan cairan dengan dialisis dapat juga menurunkan tekanan darah. Pemberian ACEI atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) juga dimungkinkan, stimulasi terhadap sistem renin angiotensin aldosteron jaringan (tissue-ACE) dapat terjadi bila ada lesi pada ginjal. ACEI atau ARB merupakan obat pilihan pengobatan hipertensi pada kelainan vaskular ginjal oleh karena iskemi yang terjadi akan merangsang sistem-RAA. Pada gaga1ginjal kronis, pemberian diuretik atau ACE11 ARB atau Calcium Channel Blocker (CCB) atau Beta Blocker dimungkinkanuntuk pengobatan hipertensi secara
Bradikininogen
I
Kalikrein ---------3
Bradikinin
Gambar 1. Sistem renin-angiotensinogen-aldosteron
Gambar 2. Sistem kalikrein kinin
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1088
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI BRADYIUNIN SYSTEM
Activated Factor XI1
Pre-kallikrern 4 Kallikrein
1
~
i
* _ - I
Prostaglandins Nitric oxide
~
Angiofensinogen i ~ hepatic~origin) (alpha,-globulin,
I
-Q+
-9-
Endofhelium
ANGlOTENSlN SYSTEM
I
4
- , Converting
~
~
~
- - - Renin
Angiotensin I (decapeptide)
enz me
Inactive peptide
\4
opie (1999)
VASODILATlrA' Increased aldosterone release
Gambar 3. Peranan ACE pada sistem RAA dan sistem KK
sendiri-sendiri atau kombinasi. Komplikasi terjadinya hiperkalemi pada pemberian ACEI atau Bet~rBlocker atau penurunan fungsi ginjal pada pemberian ACEI harus menjadi perhatian. Bila terjadi hiperkalemi atau penurunan fungsi ginjal lebih dari 30%, pemberian obat ini harus dihentikan. Sesuai anjuran dari The Seventh Report of the Joint National Conzmitee on Prevention. Detection, Evaluation, and Treatment qf'High Blood Pressure (JNC 7 ) ,tahun 2003, tekanan darah sasaran pada penyakit ginjal kronik adalah 130180 mmHg untuk menahan progresi penurunan fungsi ginjal, maka tekanan darah diusahakan diturunkan untuk mencapai sasaran dengan kombinasi obat-obat di atas.
-I -
Angiotensinogen
Renin
I
+
Angiotensin I
ACE
1
A 11 MAT,
All-AT,
Gambar 4. Alur pernbentukan All
Pengobatan hipertensi pada penyakit glomerulus kronik dapat diperlakukan sebagai pengobatan hipertensi pada penyakit glomerulus akut. Pada glomerulonefritis kronik dapat ditemukan adanya hipertrofi ventrikel kiri walaupun tekanan darah masih dalam rentang 'normal', sehingga pemberian ACEI atau ARB dapat dipakai. Renoprotektif Maksud dari pengobatan hipertensi selain untuk menurunkan tekanan darah, juga untuk mencegah terjadinya kerusakan pada organ target. Terbentuknya A11 baik dari alur ACE maupun alur non ACE dapat menyebabkan glomerulofibrosis karena terjadi infiltrasi makrofag, naiknya tekanan intraglomeruler dan kenaikan aldosteron yang semuanya dapat menyebabkan gangguan pada sel-sel glomerulus. Naiknya tekanan intraglomeruler akibat terjadi perbedaan tekanan pada vasa afaren dan vasa eferen. Dalam ha1 renoprotektif ARB lebih unggul dari ACEI karena selain efek samping yang minim, semua A11 yang terbentuk baik dari alur ACE maupun alur non ACE dihambat sedangkan reseptor AT, yang mempunyai efek menguntungkan justru distimulasi'. Angiotensin 11 dengan kadar yang rendah dapat menyebabkan proteinuri. Hal ini disebabkan karena terjadinya peningkatan tekanan pada kapiler glomerulus, ukuran pori-pori glomerulus dan terjadi perubahanperubahan pada membrana glomerulus. Proteinuri merupakan barometer penentuan prognosis pasien hipertensi dan penyakit ginjal. Semakin banyak proteinuri, semakin jelek prognosis dan semakin tinggi risiko kardiovaskular.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HIPERTENSI PADA PENYAKIT GINJAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ARB merupakan obat oral aktif dan bekerja spesifik menghambat ikatan A11 dengan reseptor AT,, sedangkan ACEI hanya menghambat pembentukan A11 melalui jalur ACE. Pada data penelitian hewan menunjukkan bahwa ARE3 lebih sedikit mengurangi GFR bila dibandingkan dengan ACEI. Jelas bahwa ARE3 dan ACEI sama-sama mempunyai sifat renoprotektif pada berbagai jenis gangguan faal ginjal. ARB mempunyai efek natriuretik yang sama dengan dosis sedang dari tiasid. Telah diketahui bahwa reseptor AT, antagonis memiliki potensi untuk mengurangi proteinuri dan menurunkan tekanan darah tanpa terjadi perubahan-perubahan yang dapat mengganggu GFR. Perlu penelitian jangka panjang untuk menentukan apakah reseptor AT, antagonis dapat bersifat nefroprotective seperti halnya ACEI. Reseptor AT, antagonis dapat digunakan pada pasien penyakit ginjal. Pada beberapa studi berkesimpulan bahwa perlu hati-hati dalam ha1 penggunaan reseptor AT, antagonis dan ACEI pada penyakit ginjal akut dan bila dipergunakanmaka perlu pengamatan yang cermat fungsi ginjal.
endotel seperti pada hipertensi akan mempercepat remodeling vaskular akibat berkurangnya kombinasi NO dengan Angiotensin I1 lokal. Nitric Oxide berperan mengatur sirkulasi darah ginjal dan dapat meningkatkan retensi natrium sehingga bila terjadi gangguan sintesis NO berakibat terjadi ketidak seimbangan antara pengaturan aliran darah ginjal dan natrium yang berakibat buruk pada hipertensi ya3g peka garam. Disimpulkan bahwa aktifvtas sintesis NO lebih berperan pada hipertensi yang peka terhadap garam. Khususnya pada hipertensi yang peka garam akan lebih cepat terjadi gangguan pada organ target misalnya ginjal dan jantung. Dapat disimpulkan bahwa aktivitas sintesis NO dapat terjadi secara genetik dan gangguan respons sintesis NO vaskular dapat menyebabkan tingkat gangguan target organ yang berbeda. Sedangkan pada orang tua karena berkurangnya aktivitas NO endotel yang terjadi pada usia lanjut.
lnteraksi Nitric Oxide (NO) dengan Angiotensin II Angiotensin I1 juga berperan dalam ha1 pengaturan GFR melalui spasme vasa afaren dan vasa eferen. Pada penelitian lanjut menemukan bahwa A11 dapat meningkatkan oksidasi pada otot polos pembuluh darah dan sel-sel mesangial sehingga sintesis sel yang berlarutlarut dari superoksida anion nitrik oksida dan selanjutnya dapat menghambat respons sel-sel mesangial yang berakibat terjadinya hipertrofi dan hiperplasia serta peningkatan produksi matriks. Karena Angiotensin I1 dan sintesis NO yang dikeluarkan secara lokal, maka terjadi interaksi antara keduanya yang akhimya berperan dalam ha1 fisiologi dan patologi ginjal. Nitric Oxide mengatur sintesis ACE dan reseptor AT, pada jaringan vaskular. Bila terjadi penghambatan sintesis NO yang kronis maka akan menyebabkan gangguan pada glomerulus dan tubulointerstitialdan terjadi remodeling koroner, LVH d m hipertensi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa berkurangnya bioaktivitas NO vaskular akibat d i s h g s i
Bataineh A, Raij L. Angiotensin 11, nitric oxide and end-organ damage in hypertension. Kidney Int. 1998;54:68:S14-S9. Chung 0 , Unger T. Angiotensin I1 receptor blockade and end-organ protection. AJH. 1999;12:S 150-S6. JAMA. 2003;289:19 (Reprinted). Johannes F.E. Mann: valsartan and the kidney: present and future. J Cardio Pharmacol. 33:l l:S37-S40. Kaplan NM, Rose BD. Hypertension in renal disease. Up To Date CD-ROM version 13.3. 2005. McInnes GT. Angiotensin I1 antagonism in clinical practice: experience with valsartan. J Cardiovasc Pharmacol. 1999;33:(Supp. 1). Oparil S. Newly emerging pharnarcology differences in angiotensin I1 receptor blockers. AJH. 2000;13: 18s-24s. Perico N, Spormann D, Peruzzi E, Bodin F, Sioufi A, Bertocchi F. Efficacy and tolerability of valsartan compared with Lisinopril in patients with hypertension and renal insufficiency. Clin Drug Invest. 1997;14:(4). Tessy A . Renoprotektif of ARB in the management of hypertension, annual meeting nephrology 2001, Medan November 1-3, 2001, Tiara Convention Centre.
REFERENSI
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
HIPERTENSI RENOVASKULAR Syakib Bakri
PENDAHULUAN Hipertensi renovaskular (HRV) merupakan penyebab tersering dari hipertensi sekunder. Diagnosis HRV penting karena kelainan ini potensial untuk disembuhkan dengan menghilangkan penyebabnya yaitu stenosis arteri renalis. Stenosis arteri renalis adalah suatu keadaan terdapatnya lesi obstruktif secara anatomik pada arteri renalis, sedangkan HRV adalah hipertensi yang terjadi sebagai akibat fisiologis adanya stenosis arteri renalis. Biasanya stenosis lebih dari 70% baru memberi konsekuensi fisiologis tersebut. Penting untuk membedakan kedua keadaan ini, oleh karena adanya stenosis arteri renalis tidak selalu menimbulkan hipertensi. Eyler dkk menemukan bahwa pada subyek normotensi berusia kurang dari 60 tahun, prevalensi stenosis arteri renalis mencapai 45%. Schwartz & White pada otopsi 154 subyek, menemukan adanya hubungan yang bermakna antara stenosis arteri renalis dengan usia tetapi tidak ada korelasi stenosis arteri renalis dengan tekanan darah diastolik. Demikian juga adanya stenosis arteri renalis dan hipertensi secara bersama-sama tidaklah selalu mempunyai hubungan sebab-akibat. Holley dkk menemukan bahwa pada 49% subyek normotensi dan 77% pasien hipertensi yang ditelitinya ditemukan stenosis arteri renalis sedang sampai berat. Smith menemukan bahwa nefrektomi dapat menghilangkan hipertensi hanya pada 35% kasus yang terbukti mempunyai stenosis arteri renalis dan hipertensi, walaupun diketahui bahwa makin lama berlangsungnya HRV makin rendah kemungkinan revaskularisasi dapat mengontrol tekanan darah oleh karena kemungkinan sudah terjadi nefrosklerosis pada ginjal kontralateral. Istilah nefropati iskemik menggambarkan suatu keadaan terjadinya penurunan fungsi ginjal akibat adanya stenosis arteri renalis. Bila sudah terjadi gangguan hngsi ginjal, kelainan ini akan menetap walaupun tekanan
darahnya dapat dikendalikan dengan pengobatan yang meliputi medikamentosa antihipertensi, revaskularisasi dengan tindakan bedah, atau angioplasti. Prevalensi HRV sangat rendah, kurang dari 1% dari populasi umum, tetapi dapat mencapai 40-60% pada populasi hipertensi refrakter dengan pengobatan lebih dari 3 macam anti-hipertensi dan pada populasi di atas 70 tahun.
Lesi Aterosklerotik Arteri Renalis Merupakan penyebab paling sering dari HRV, mencapai 90% kasus. Biasanya ditemukan pada usia lanjut, sering dengan riwayat keluarga hipertensi. Lesi umumnya terjadi bilateral dan biasanya pada daerah ostium, baik fokal atau merupakan lanjutan dari plak aorta serta pada 113 bagian proksimal arteri renalis. Biasanya berhubungan dengan adanya aterosklerosis secara umum dan sering ditemukan pada pasien dengan riwayat infark miokard, strok dan klaudikasi intermiten. Displasia Fibromuskular Merupakan penyebab terbanyak kedua, lebih sering ditemukan pada perempuan muda pada umur dekade ketiga dan keempat. Biasanya tidak mempunyai riwayat hipertensi dalarn keluarga dan umumnya belum mempunyai kelainan organ target. Terjadinya bilateral pada 213 kasus, dan biasanya terjadi pada 213 bagian distal arteri renalis atau cabang intrarenal. Fibromuskular displasia terdiri dari lima tipe histologi yaitu: fibroplasia medial (65-75%), fibroplasiaperimedial(10-25%),fibroplasia intirnal (10-25%), hiperplasia medial (5-10%) serta fibroplasia periarterial (sangat jarang).
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HIPERTENSI RENOVASKULAR
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Penyebab-penyebab Lain Arteritis Takayasu, neurofibromatosis, aneurisma aorta disekans, fistula arteri-vena renalis, arteritis radiasi, posttransplant stenosis, dan emboli.
Model percobaan HRV pertama kali dilakukan oleh Goldblatt tahun 1934 yang menunjukkan bahwa terjadi hipertensi persisten bila dilakukan konstriksi kedua arteri renalis anjing percobaan atau pada satu arteri renalis di mana ginjal satunya telah dikeluarkan. Walaupun pada awalnya diyakini bahwa hipersekresi renin dari ginjal yang iskemik yang berperan pada terjadinya hipertensi, penelitian-penelitian selanjutnyamengindikasikan adanya faktor lain yang berperan padapersistensinya peningkatan tekanan darah oleh karena hiperreninemia tidak selalu ditemukan pada fase lanjut HRV. Juga dibuktikan bahwa mekanisme terjadinya hipertensi pada hewan percobaan, berbeda, tergantung apakah ginjal kontralateral masih intak (one clip, ttvo kidney Goldblatt hypertension, sama dengan stenosis arteri renalis unilateral pada manusia) atau ginjal kontralateral telah diangkat (one clip, one kidney Goldblatt hypertension, sama dengan stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis unilateral dengan ginjal tunggal pada manusia). Fase Akut. Konstriksi arteri renalis segera akan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan juga renin serta aldosteron. Pemberian angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEI) atau saralasin (suatu angiotensin receptor blockers = ARB) dapat mencegah peningkatan tekanan darah ini, mengindikasikan bahwa peningkatan tekanan darah ini merupakan akibat dari hiperreninemia. Fase Kronik. Setelah beberapa hari, tekanan darah tetap meningkat tetapi renin dan aldosteron mulai menurun ke nilai normal. Pada fase ini perlangsungan dari hipertensi berbeda tergantung dari apakah ginjal kontralateral intak atau tidak, serta dari spesies yang diteliti. Umumnya penelitian dilakukan pada tikus. One clip, one kidney Goldblatt hypertension: Seiring dengan menurunnya renin, terjadi peningkatan volume plasma akibat dari retensi natrium. Bila pada fase ini diberikan ACEI, hanya sedikit terjadi penurunan tekanan darah. Bila hewan percobaan diberikandiet rendah natrium, peningkatan tekanan darah tetap terjadi, tetapi mekanismenyaberbeda: renin plasma tetap meningkat tetapi terjadi peningkatan volume plasma. Jadi hipertensi yang terjadi apakah renin-dependent atau volume-dependent, tergantung dari asupan natrium. Efek hipotensi dari ACEI pada model ini kurang terlihat. One clip, two kidney Goldblatt hypertension: Pada model ini retensi natrium minimal dan hipertensi adalah renin-dependent, di mana pemberian ACEI memberi efek
hipotensi yang jelas. Pada model ini ginjal kontralateral mampu mengekskresikan natrium walaupun tidak sepenuhnya normal oleh karena aktivasi sistem reninangiotensin (RA) juga menyebabkan vasokonstriksi pada ginjal kontralateral. Pada stenosis arteri renalis, ginjal yang stenotik akan mengalami atrofi tubular dan fibrosis interstisial akibat hipoperfusi, sedangkan pada ginjal kontralateral terjadi hipertensi intraglomerulus akibat transmisi tekanan sistemik yang meningkat yang akan menyebabkan proteinuri dan glomerulosklerosis yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan nefron.
DIAGNOSIS Sukar membedakan hipertensi esensil dengan HRV hanya dengan pemeriksaan fisis; dibutuhkan pemeriksaanpemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan aktivitas renin plasma perifer basal maupun setelah pemberian kaptopril dan pemeriksaan renin vena renalis, serta pemeriksaan radiologi seperti renogram dengan atau tanpa pemberian kaptopril, ultranonografi, magnetic resonance angiography ataupun arteriografi. Arteriografi dianggap sebagai pemeriksaan baku emas untuk diagnosis stenosis arteri renalis. Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan-pemeriksaan ini sangat bervariasi.
Tes
Sensitivitas
Spesifitas
Renogram Renogram kaptoril Aktivitas renin plasma perifer Aktivitas renin plasma perifer sesudah pemberian kaptopril Ultrasonografi Lesi apapun Lesi > 60% Magnetic resonance angiography
75% 83% 57% 96%
75% 93% 66% 55%
95% 90% 88%-95%
90% 62% 94%
Pemeriksaan-pemeriksaanini memerlukan biaya mahal dan tidak selalu tersedia. Olehnya, skrining untuk mencari kemungkinan adanya HRV tidak efektif-biaya untuk dilakukan pada populasi umum karena prevalensi HRV yang sangat rendah. Skrining hanya dilakukan pada kelompok pasien yang mempunyai riwayat dan gambaran klinik yang mencurigakan kemungkinan suatu HRV yaitu: Hipertensi yang timbul pada usia kurang dari 30 tahun atau lebih dari 50 tahun. Hipertensi akselerasi atau hipertensi maligna. Hipertensi yang resisten dengan pemberian 3 atau lebih macam obat antihipertensi. Hipertensi dengan gangguan hngsi ginjal yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
CINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Perburukan hngsi ginjal dari pasien hipertensi yang diobati dengan ACEI atau ARB. Hipertensi dengan bising pada abdomen Hipertensi dengan edema paru yang berulang. Pada tahun 1992, Mann & Pickering membuat suatu kriteria probabilitas HRV berdasarkan kriteria klinis dengan tujuan untuk menyeleksi pemeriksaan yang perlu dilakukan sebagai berikut: 1). Probabilitas rendah: pada pasien hipertensi ringan-sedang tanpa kelainan organ target. Pada kelompok ini tidak perlu dilakukan shining HRV, 2). Probabilitas sedang: pada pasien hipertensi berat (tekanan diastolik di atas 120 mmHg), hipertensi yang refrakter dengan pengobatan standar, hipertensi dengan bising pada abdomen atau pinggang, hipertensi sedang (tekanan diastolik 105-120 mmHg) yang merokok, pada pasien yang mempunyai penyakit vaskular oklusif (serebrovaskular, koroner atau arteri perifer), atau pada pasien dengan peningkatan kreatinin serum yang tidak bisa dijelaskan sebabnya. Pada kelompok ini dianjurkanuntuk pemeriksaan renin plasma setelah stimulasi kaptopril dan renografi isotop, yang dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan arteriografi arteri renalis dan pemeriksaan renin vena renalis. 3). Probabilitas tinggi: pada pasien dengan hipertensi berat (tekanan diastolik di atas 120mmHg) yang refrakter dengan pengobatan agresif atau dengan insufisiensi ginjal progresif, khususnya pada perokok atau yang mempunyai bukti adanya penyakit arteri oklusif; hipertensi maligna atau akselerasi; hipertensi dengan peningkatan kreatinin serum yang diinduksi oleh ACEI dan hipertensi sedang-berat dengan ukuran ginjal yang asimetris. Pada kelompok ini dianjurkan untuk langsung melakukan arteriografi arteri renalis.
PENATALAKSANAAN Tujuan penatalaksanaan HRV adalah mengurangi angka morbiditas dan mortalitas akibat peningkatan tekanan darah dan iskemi ginjal, melalui pemberian obat antihipertensi, revaskularisasi dengan angioplasti atau operasi. Pilihan pengobatan yang akan diarnbil hams mempertimbangkan etiologi dari stenosis arteri renalis, dan keadaan umum pasien. Pada HRV akibat penyakit renovaskular aterosklerotik, hipertensi esensial biasanya sudah didiagnosis sebelum diagnosis HRV dan umumnya pasien sudah mendapat pengobatan antihipertensi sebelum perburukan dari kontrol tekanan darahnya atau f h g s i ginjalnya, yang mendugakan suatu HRV. Pada penelitian the Dutch Renal Artery Stenosis Intervention Cooperative study, pengobatan medikamentosa dengan 3 atau lebih jenis obat antihipertensi dapat mengontrol tekanan darah pada lebih dari separuh pasien.
Pada pasien dengan fibromuskular displasia, tindakan revaskularisasi dapat merupakan pengobatan definitif dalam menurunkan tekanan darah. Berbeda dengan pasien HRV akibat displasia fibromuskular, pasien dengan penyakit renovaskular aterosklerotik biasanya tetap membutuhkan obat antihipertensi walaupun tindakan revaskularisasinya berhasil. Tindakan revaskularisasi biasanya kurang memberikan hasil yang memuaskan pada pasienHRV yang berusia lanjut, HRV dengan insufisiensi ginjal lanjut (kreatinin serum lebih dari 3 mg%), bila penyebabnya penyakit renovaskular aterosklerotik atau bila ukuran ginjal kurang dari 9 cm pada pemeriksaan radiografi atau ultrasonografi.
Pengobatan Medikamentosa Pengobatan medikamentosa tidak berbeda dengan hipertensi esensial. Perhatian khusus hams diberikan bila memberikan ACEI atau ARB. Kedua obat ini merupakan pilihan pada stenosis unilateral di mana ginjal kontralateral berfungsi baik; sebaliknya merupakan kontraindikasi pada stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis unilateral pada pasien dengan hanya satu ginjal (yang stenotik) yang berfungsi, oleh karena akan rnenyebabkan perburukan fungsi ginjal, bahkan gaga1 ginjal akut. Umumnya dibutuhkan kombinasi beberapa macam antihipertensi untuk mendapatkan kontrol yang optimal pada pasien HRV. Angioplasti Perkutan Pada lesi fibromuskular, keberhasilan teknik pengobatan ini mencapai 85-loo%, di mana 50% pasien dapat disembuhkansedangkan40% mengalami perbaikan kontrol tekanan darah. Pada lesi aterosklerotik, keberhasilannya dalam menormalkan tekanan darah lebih kurang dibandingkanpada lesi aterosklerosis;walaupun demikian pada sebagian pasien terjadi perbaikan kontrol tekanan darah dan fungsi ginjal. Revaskularisasi dengan Tindakan Bedah Berbagai teknik operasi revaskularisasi telah dipergunakan, tergantung letak, luas, dan beratnya lesi pada arteri renalis. Untuk lesi ostial aterosklerotikdilakukan tindakan aortorenal endareterectomy dan aortorenal bypass. Untuk lesi fibromuskular dilakukan graft dari arteri hipogastrika. Dapat pula dilakukan aortorenal vein bypass graft pada lesi aterosklerotik dan lesi fibromuskular. Kontrol tekanan darah lebih banyak didapatkan pada lesi fibromuskular dari pada lesi aterosklerotik.
REFERENSI Bhalla A, D'Cmz S, Lehl SS, et al. Renovascular hypertension - its evaluation and management. JIACM. 2003;4:139-46.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1093
HIPERTENSI RENOVASKULAR
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Bloch MJ. An evidence-based approach to diagnosing renovascular hypertension. Curr Cardiol Rep. 2001;3:477-84. Canzanello VJ. Medical management of renovascular hypertension. Secondary hypertension: clinical presentation, diagnosis and treatment. In: Mansoor GA, editor. New Jersey: Humana Press; 2004. p. 91-107. Eyler WR, Clark MD, Garman JE, et al. Angiography of the renal areas including a comparative study of renal arterial stenoses in patients with and without hypertension. Radiology. 1962;78:87992. Holley KE, Hunt JC, Brown AL, et al. Renal artery stenosis: a clinical-pathological study in normotensive and hypertensive patients. Am J Med. 1964;37:14-22. Mann SJ, Pickering TG. Detection of renovascular hypertension. Ann Intern Med. 1992;117:845-53. Muller FB, Sealey JE, Case DB, et al. The captopril test of identifying renovascular disease in hypertensive patients. Am J Med. 1986;80:633-44. Pickering TG, Laragh JH, Sos TA. Renovascular hypertension. Diseases of the kidney. 5Lhedition. In: Schrier EW, Gottschalk CW, editors. London: Little, Brown and Company; 1993. p. 1451-74.
Rankin SC, Saunders AJS, Cook GJR, et al. Renovascular hypertension. Clin Radio]. 2000;55:1-12. Rosner MH. Renovascular hypertension: can we identify a population at high risk? Southern Med J. 2001;94:1058-64. Salifu MO, Haria DM, Badero 0 , et al. Challenges in the diagnosis and management of renal artery stenosis. Curr Hypertens Rep. 2005;7:219-27. Schwartz CJ, White TA. Stenosis of the renal artery: an unselected necropsy study. Br Med J. 1964;2:1415-21. Smith HW. Unilateral nephrectomy in hypertensive disease. J Urol. . 1956;76:685-701. Thavarajah S, White WB. Diagnostic evaluation for patients with renovascular hypertension In: Secondary hypertension: clinical presentation, diagnosis and treatment. In: Mansoor GA, editor. New Jersey: Humana Press; 2004. p. 63-81. van Jaarveld BC, Krijnen P, Pieterman H, et al. The effect of balloon angioplasty on hypertension in atherosclerotic renal artery stenosis. N Engl J Med. 2000;342:1007-14.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
HIPERALDOSTERONISME PRIMER Ginova Nainggolan
PENDAHULUAN Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah yang melebihi tekanan darah normal seperti apa yang telah disepakati oleh para ahli yaitu lebih dari atau sama dengan 140190 mmHg (JNC-7). Hipertensi dapat diklasifikasikan sebagai hipertensi primer atau hipertensi esensial, yang merupakan 95% dari seluruh pasien hipertensi, dan hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder antara lain adalah penyakit renovaskular, penyakit ginjal kronik, feokromositoma, hiperaldosteronisme primer, hipertensi monogenik atau penyebab lain yang diketahui. Hiperaldosteronisme primer adalah sindrom yang disebabkan oleh hipersekresi aldosteron yang tak terkendali umumnya berasal dari kelenjar korteks adrenal. Hiperladosteronisem primer secara klinis dikenal dengan triad terdiri dari hipertensi, hipokalemi dan alkalosis metabolik. Sindrom ini dilaporkan pertama kali tahun 1955 oleh Conn. Sindrom ini disebabkan oleh hiperplasi kelenjar kortek adrenal, adenoma unilateral atau karsinoma adrenal.
Semakin banyak laporan yang menunjukkan adanya peningkatan insidens hiperladosteronisme primer di masyarakat. Pada awalnya hiperaldosteronisrne dicurigai bila didapatkan hipertensi dengan hipokalemia dan dengan kriteria ini insidensss hiperaldosteronisrne dilaporkan berkisar 1-2 % dari populasi hipertensi. Dahulu kecurigaan terdapat hiperaldosteronisrne bila didapatkan hipokalemia pada pasien hipertensi dan untuk tindakan diagnostik perlu penghentian terapi antihipertensi selama 2 minggu, ha1 yang sulit dilakukan bila tekanan darah pasien sukar dikendalikan. Hal ini menyebabkan tindakan diagnostik
.
jarang dilakukan dan selanjutnya laporan kejadian hiperaldosteronisme menjadi sedikit. Saat ini tindakan diagnostik untuk deteksi adanya hiperladosteronisme dipermudah dengan memeriksa rasio aldosteron renin (Aldosteron-renin ratio=ARR) dan pemeriksaan ini tidak memerlukan penghentian obat antihipertensi. Saat ini banyak laporan yang menunjukkan kejadian hiperaldosteronisme primer berkisar antara 5- 10%. Hasil ini didapatkan dengan memeriksa semua pasien hipertensi terhadap kemungkinan hiperaldosteronisrne primer. Pada pasien ini tidak didapatkan hipokalemia. Tetapi peningkatan insidens hiperaldosteronisrne primer yang dilaporkan sebagian besar disebabkan peningkatan insidens kejadian hiperplasi adrenal dimana terapi yang dibutuhkan cukup dengan obat antagonis aldosteron.
GEJALA DAN TANDA Hipokalemia membuat pasien mengeluh adanya rasa lemas dan tekanan darah biasanya tinggi dan sukar dikendalikan. Pada pasien tanpa hipokalemia tidak terdapat gejala lemas.
Sel kelenjar adrenal yang mengalami hiperplasia atau adenoma menghasilkan hormon aldosteron secara berlebihan. Peningkatan kadar serum aldosteron akan merangsang penambahan jumlah saluran natrium yang terbuka pada sel prinsipal membran luminal dari duktus kolektikus bagian kortek ginjal. Akibat penambahanjumlah ini, reabsorbsi natrium mengalami peningkatan. Absorbsi natrium juga membawa air sehingga tubuh menjadi cenderung hipervolemia. Sejalan dengan ini, lumen duktus kolektikus ini berubah
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HIPERALDOSTERONISME PRIMER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI menjadi bermuatan lebih negatif yang mengakibatkan keluarnya ion kalium dari sel duktus kolektikus masuk ke dalam lumen tubuli melalui saluran kalium. Akibat peningkatan ekskresi kalium di urin, terjadi kadar kalium darah berkurang. Peningkatan ekskresi kalium juga dipicu oleh peningkatan aliran cairan menuju tubulus distal. Hal ini mengakibatkan tubuh kekurangan kalium dan timbul gejala seperti lemas. Hipokalemi yang terjadi akan merangsang peningkatan ekskresi ion-H di tubulus proksimal melalui pompa NH,', sehingga reabsorbsi bikarbonat meningkat di tubulus proksimal dan kemudian terjadi alkalosis metabolik. Hipokalemi bersama dengan hiperaldosteron juga akan merangsang pompa H-K-ATPase di tubulus distal yang mengakibatkan peningkatan ekskresi ion-H, selanjutnya akan memelihara keadaan alkalosis metabolik pada pasien ini. Kadar renin plasma pada pasien ini sangat rendah. Hipervolemia yang terjadi akibat reabsorbsi natrium dan air yang meningkat akan menekan produksi renin sehingga kadar renin plasma tertekan. Hal ini berbeda dengan hiperaldosteronisrne sekunder dimana terjadi peningkatan kadar renin maupun aldosterondarah. Hiperaldosteronisme sekunder didapatkan pada hipertensi renovaskular atau pemberian diuretik pada pasien hipertensi. Hipertensi yang terjadi pada pasien ini sebagian besar disebabkan oleh hipervolemia yang menetap.
DIAGNOSIS
Tindakan diagnosis pada hiperladosteronisrne primer terdiri dari tahap menentukan adanya hiperaldosteronisrne primer dan mengetahui kausanya. Bila dicurigai terdapat hiperaldosteronisme primer maka dilakukan pemeriksaan serum aldosteron dan Plasma Renin Activity (PRA) secara bersamaan. Pemeriksaan ini dilakukan pagi hari dan tidak perlu pasien hams berbaring. Sebelum tes dilakukan perlu diketahui apakah pasien sedang mengkonsumsi obat yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan seperti antagonis aldosteron, yang harus dihentikan 6 minggu sebelum dilakukan pemeriksaan. Penggunaan antihipertensi dilaporkan tidak mempengaruhi hasil pemeriksaan kecuali ACE Inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker perlu dicatat. Pada pasien yang menggunakan ACE Inhibitor atau ARB, hasil PRA yang tidak terdeteksi menunjukkan terdapat hiperladosteronisrne. Rasio antara kadar aldosteron dalam plasma (ngldl) dengan kadar renin dalam plasma (ng/ml per jam) yang disebut sebagai rasio aldoteron renin (Aldosteron Renin Ratio=ARR) memiliki nilai diagnostik yang bermakna. Nilai ARR> 100 dianggap sebagai nilai diagnostik yang sangat bermakna untuk terdapatnya hiperladosteronisrne. Perlu diperhatikan pada penghitungan ARR sangat tergantung
pada nilai PRA. Bila menggunakan reagen yang dapat mengukur kadar PRA konsentrasi rendah maka rasio aldosteron1PRAakan semakin besar. Karena itu disarankan menggunakan reagen yang dapat mengukur kadar PRA yang rendah. Kombinasi aldosteron plasma 20 ngldl (555 pmolL) dan ARR > 30 memiliki spesifisitas dan sensitifitas 90% untuk mendeteksi hiperaldosteronisrne. Peningkatan serum aldosteron dan ARR saja tidak berarti didapatkan hiperladosteronisrne primer. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk menunjukkan adanya sekresi kelenjar adrenal yang berlebihan. Untuk itu dilakukan tes supresi kelenjar aldosteron dengan memberikan garam NaCl. Terdapat dua cara melakukan tes supresi yaitu secara oral dan pemberian NaCl isotonis. Pada tes supresi oral diberikan diet 5 g/NaCl per oral dengan pemberian selama tiga hari. Setelah hari ketiga dilakukan pengumpulan urin selama 24 jam untuk mengukur kadar natrium, kalium dan aldosteron dalarn urin. Kadar natrium dalam urin harus lebih dari 200 meq yang menandakan diet tinggi natrium yang diberikan telah cukup adekuat. Kadar aldosteron urin lebih dari 14 pgrl24 jam atau 39 nmo1124 jam sesuai dengan hiperaldosteronisrne primer. Tes supresi kedua yaitu dengan pemberian 2 liter NaCl isotonis dalam waktu 4 jam dengan posisi pasien tidur terlentang. Bila kadar aldosteron plasma lebih dari 10 ngldl atau lebih dari 277 pmol/L, sesuai dengan adanya hiperaldosteronisrne primer. Diagnostik lain adalah dengan terdapatnya peningkatan ekskresi kalium dalam urin 24 jam (> 30 meql L). Syaratpemeriksaan ini adalahpasien tidak boleh dalam keadaan hipovolemia atau dalam keadaan diet rendah natrium (kadar Natriurn urin h a n g dari 50 meq per 24 jam). Pemeriksaan lain pada hiperladosteronisrne primer adalah pemeriksaan analisis gas darah yang menunjukkan gambaran alkalosis metabolik yang disebabkan peningkatan reabsorbsi bikarbonat di tubulus proksimal karena peningkatan kadar aldosteron. Dahulu kecurigaan hiperaldosteronisrne primer bila didapatkan pasien hipertensi dengan hipokalemia atau adanya gejala lemas. Saat ini dengan semakin banyaknya laporan peningkatan kejadian hiperaldosteronisrne maka kriteria pasien yang perlu dilakukan skrining diperluas. Pasien yang perlu dilakukan penyapihan untuk mengetahui adanya hiperaldosteronisme primer adalah pasien hipertensi derajat 1 dengan kriteria usia < 30 tahun, tidak terdapat riwayat hipertensi dalam keluarga dan tidak obes. Dilain pihak tes penyapihan pada semua pasien hipertensi tidak dianjurkan. Walaupun saat ini dilaporkan adanya peningkatan kejadian hiperaldosteronisme primer di masyarakat tetapi hasil skrining tersebut menunjukkan peningkatan populasi hiperplasia adrenal yang cukup diterapi dengan pemberian antagonis aldosteron. Dengan melakukan skrining hiperladosteronisme pada semua pasien hipertensi proporsi adenoma lebih sedikit (dari 60-
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
70% menjadi 25%) dibandingkan bila dilakukan skrining pada pasien dengan hipokalemia atau hipertensi resisten. Pasien yang juga memerlukan tes penyapihan adalah hipertensi dengan hipokalemia, pasien hipertensi berat dan adrenal insidensstaloma.Adrenal insidensstaloma adalah ditemukannya pembesaran kelenjar adrenal secara tidak sengaja pada pemeriksaan CT ScanIMRI abdomen. Pemeriksaan berikutnya adalah untuk menentukan subtipe hiperaldosteronisme primer. Terdapat tiga subtipe yaitu adenoma (APA= Aldosteron producing adenoma), hiperplasi adrenal dan karsinoma adrenal. Pemeriksaan pencitraan berupa CT-Scan atau MRZ dapat membedakan ketiganya. Bila didapatkan ukuran kelenjar > 4 cm maka kecurigaan adanya karsinoma adrenal perlu dipikirkan.Bila didapatkan kelenjar adrenal membesar satu sisi maka diagnostik terdapat APA. Bila didapatkan kedua kelenjar membesar maka penyebab hiperaldosteronisme primer adalah hiperplasia adrenal. Pada keadaan sulit untuk rnenentukan apakah terdapat hiperplasia atau adenolna maka dilakukan pengukuran kadar aldosteron di vena adrenal. Pemeriksaan ini dilaporkan sulit dilakukan karena itu harus dilakukan oleh ahli yang berpengalaman untuk pemeriksaan ini. Pasien dalam pemberian infus kontinu ACTH 50 mcg perjam ketika dilakukan pengambilan sample darah vena. Juga diperiksa kadar kortisol untuk memastikan darah berasal dari vena adrenal. Bila didapatkan kadar aldosteron berbeda >4 kali maka di sisi tersebut terdapat adenoma, sedangkan pada hiperplasia kelenjar adrenal kadar aldosteron pada dua sisi hampir sama.
Bila pasien tidak toleran dengan spironolakton, dapat diberikan amiloride hingga dosis 15 mg dua kali sehari. Amiloride hanya dipakai untuk menormalkan kadar kalium dan tidak dapat menurunkan tekanan darah oleh karena itu perlu ditambahkan obat antihipertensi lain. Perlu diperhatikan bahwa pada terapi ini kadar aldosteron dalam darah tetapi tinggi dan dalam jangka panjang dikhawatirkan ha1 ini dapat menimbulkan gangguan pada jantung .
ADENOMA PRODUCING ALDOSTERON Pengobatan yang terbaik pada adenoma adrenal (pembesaran unilateral) adalah dengan melakukan adrenalektomi secara bedah konvensional atau pengangkatan dengan teknik laparoskopi. Adrenalektomi pada adenoma adrenal akan menorrnalkan kadar aldosteron plasma serta menormalkan tekanan darah tanpa membutuhkan spironolakton, suplementasi kalium atau obat antihipertensi yang lain. Tetapi pada 40-60% pasien didapatkan tekanan darah tetap tinggi pasca operasi. Pada kelompok dengan penggunaan obat antihipertensikurang dari 2 dan tidak adanya riwayat hipertensi dalam keluarga dilaporkan tekanan darah akan terkendali setelah operasi adrenalektomi. Sedangkan pada karsinoma kelenjar adrenal dilakukan adrenalektomi.
REFERENSI PENGOBATAN Tujuan terapi adalah menormalkan tekanan darah, serum kalium dan kadar serum aldosteron. Pada hiperplasi kelenjar aldosteron ha1 ini dicapai dengm dengan pemberian obat antagonis aldosteron. Pemberian spironolakton 12,525 mg biasanya sudah cukup efektif mengendalikan tekanan darah dan menormalkan kadar kalium plasma. Sayangnya obat spironolakton yang diberikan dalam jangka panjang mempunyai efek samping seperti irnpotensi, ginekomastia, gangguan haid dan gangguan traktus gastrointestinal sehingga pemberian jangka panjang spironolakton mempunyai banyak kendala. Saat ini ada obat baru eplerenon dengan dosis 2 kali 25 mg perhari dengan efek samping yang lebih ringan daripada spironolakton sehingga dapat diberikan dalarn jangka panjang, walaupun harganya relatif mahal. Selain terapi farmakologi perlu dikurangi asupan garam dalam makanan, berolahraga secara teratur, menormalkan berat badan dan menghindari konsumsi alkohol
Chobanion AV, Bakris GL, Black HR, et al. The seventh report of the joint natiqnal committee on prevention, detection, evaluation and treatment of high blood pressure: The JNC 7 report. JAMA. 2003;289:2560-72, Ganguly A. Primary aldosteronism. New Englj.Med. 1998;339:182834. Kaplon NM. Primary aldosteronism. In: Kaplan NM, editor. Kaplan's clinical hypertension, 8th edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2002. p. 455-79. Mulatero P, Stowasser M, Keh-Chuan Loh, Fardella CE, Gordon Ra, Mosso L, Gomez-Sanchez CE, Veglio F, Young WF Jr. Increased diagnosis of primary aldosteronism, including surgically correctable forms, in centers from five continents. J Clin Endocrinot Metab. 2004;&9:1045-50, Plouin P, Amar L, Chatellier G : Trends in the prevalence of primary aldosteronism, aldosterone-producing adenomas and surgically correctable aldosterone-dependent hypertension. NDT. 2004;19:774-7. Sawka AM, Young WM, Thompson GB, Grant CS, Farley DR, Leibson C, van Heerden JA. Primary aldosteronism: factors associated with normalization of blood pressure after surgery. Ann Intern Med, 2001;135:258-61. Young WF, Primary aldosteronism, Management issue. NY Acad Sciences 2002. Ann NY Acad Sci. 2002;979:61-76.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
FEOKROMOSITOMA Imam Effendi
PENDAHULUAN Angka kejadian hipertensi karena kelainan endokrin tidak diketahui dengan pasti. Pada masa lalu bentuk hipertensi karena endokrin kurang dari 1%. Kecilnya angka kejadian ini karena under diagnosis, kurangnya pengertian dan terbatasnya serta sulitnya tes diagnostik. Penyebab hipertensi endokrin antara lain korteks adrenal, kelainan hipofisis, medulla adrenal, tiroid, tumor renin dan lain sebagainya. Sering sekali hipertensi endokrin tidak terdiagnosis karena tidak jelasnya tanda dan gejala serta pada laboratorium rutin tidak ditemukan kelainan. Namun demikian sering pula ditemui tanda atau gejala spesifik dan perlu ketelitian anamnesis, pemeriksaan fisis dan laboratorium untuk mendiagnosis hipertensi sekunder. Diagnosis yang tepat dan cepat pada hipertensi endokrin sering ada kesempatan untuk sembuh, dan terhindar dari malapetaka selanjutnya. Feokromositoma adalah salah satu hipertensi endokrin yang patut dicurigai bila ada riwayat dalam keluarga. Selain itu ada tanda-tanda 5H mencurigai feokromositoma yaitu : hipertensi, headachelsakit kepala, hipermetabolisme, hiperhidrosis, hiperglikemia. Feokromositoma mempunyai arti warna coklat dan sebagian besar tumor tumbuh di dalam kelenjar adrenal, hanya 10% di luar kelenjar adrenal (paraganglioma). Umumnya ia bersifat jinak dan hanya 10% metastasis ke tulang, paru, hati dan kelenjar getah bening. Tumor dapat mensekresi bermacam-macam hormon, terutama norefinefrin, efinefrin dan dopamin, dengan pola-pola tertentu yang berbeda pada tiap-tiap pasien. Beberapa paragangliomajuga dapat memproduksi efinefiin. Produksi dopamin yang banyak sering menandakan keganasan atau tumor yang besar. Angka kejadian feokromositoma di USA sangat bervariasi antara 0,05-0,1% dan sering pasien meninggal tanpa diduga karena feokromositoma, jadi
mungkin angka kejadian feokromositoma lebih tinggi. Feokromositoma dapat sporadis atau familial, bisa unisentris atau unilateral. Tipe familial sering multisentris dan bilateral. Feokromositoma sering bilateral atau bagian dari neoplasma endokrin multipel. Feokromositoma adrenal dikenal the rule of ten percent: : 10% Bilateral Ekstra adrenal : 10% Familial : 10% : 10% Pediatri
GAMBARAN KLlNlS Manifestasi klinis berhubungan dengan overproduksi katekolamin seperti sakit kepala, berkeringat, berdebardebar, dan dikenal sebagai triad. Kadang-kadang hipertensi dan diabetes, dengan atau tanpa gejala menjadi manifestasi awal, atau dapatjuga teraba masa tumor diperut atau pembesaran paraganglioma di leher, telinga, dada atau paru tumor metastasis. Hipertensi yang terjadi dapat labil (66%) atau menetap (33%), sehingga sering salah diagnosis sebagai hipertensi primer. Suatu keadaan yang luar biasa dapat terjadi di mana terjadi hipertensi berat dengan atau tanpa gaga1jantung, dan penampilan macammacam sebagai tanda peninggian katekolamin. Hal ini dapat terjadi pada saat trauma, persalinan, atau perdarahan ke dalam tumor. Sebaliknya feokromositoma dengan gabungan penyakit von Lindau, bisa tanpa ada gejala, tekanan darah normal dan tes laboratoriurn katekolamin dalam batas normal. Sebagai ringkasan beberapa tanda klinis untuk mencurigai adanya feokrornositoma: 1. Hipertensi menetap atau yang paroksismal disertai sakit kepala, berdebar, dan berkeringat 2. Hipertensi dan riwayat feokromositoma dalam keluarga 3. Hipertensi yang refrakter terdapat obat terutama disertai
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 4. 5. 6. 7. 8.
9.
berat badan menurun Sinus takikardia Hipertensi ortostatik Aritimia rekuren Tipe MEN 2 atau MEN 3 Krisis hipertensi yang terjadi selama pembedahaan anestesi Mempunyai respons kepada Pblocker
Ada beberapa kondisi terkait dengan feokromositoma: 1. Neurofibromatosis 2. Skelerosis fibrosis 3. Sindrom Sturge-weber 4. Penyakit von Hippel-Lindau 5. MEN, tipe 2: Feokromositoma Paratiroid adenoma Karsinoma tiroid medulla 6. MEN, tipe 3 : Feokromositoma Karsinoma medulla tiroid Neuroma mukosa Ganglioma abdominalis Habitus marfanoid Gejala lain da; kelebihan katekolamin dapat berupa pucat, hipotensi ortostatik ,pandangan kabur, edema papil mata, berat badan tmm, poliuri, polidepsi, peningktan LED, hiperglikemia, gangguan psikiatri, kardiomiopati dilatasi, eritropoesis, karena kurang spesifiknya tanda dan gejala serta hasil laboratorium yang sulit, sehingga
feokromositoma sering diternukan secara kebetulan secara CT scan ataupun MRI. Feokromositoma jarang sebagai penyebab hipertensi, tapi ia potensial fatal duringpregnancy, angka kematian untuk ibu 17% dan janin 26%. Penyebab kematian ibu adalah: edema paru, perdarahan otak, kolap kardiovaskular. Terapi dengan a dan penyekat P akan. mengurangi angka kematian ibu walaupun angka kematian janin tetap tinggi. Perempuan dengan gejala hipertensi paroksimal, palpitasi, diaforesis, sakit kepala perlu dievaluasi lebih lanjut dengan mengukur eksresi katekolamin urin. Bila ekskresi meningkat, CT Scan dan MRI perlu dilakukan untuk melokasi tumor. Ada beberapa yang menyarankan operasi pada trimester I dan 11, atau sebagian diobati dulu, dan operasi dilakukan setelah persalinan. DIAGNOSIS Berdasarkan keluhan dan gejala klinis dan membutuhkan konfirmasi laboratorium dengan mengukur katekolamin darah atau urin atau hasil metabolitnya. Laboratorium yang khas adalah peningkatan kadar katekolamin 5- 10 kali normal. Bila kadar katekolamin tidak terlalu tinggi, belum tentu bukan feokromositoma. Perlu dilakukan tes klonidin dimana akan terjadi penekanan kadar norefenefrin (menjadi normal). Untuk familial feokromositoma skrining tes perlu dilakukan dengan pengukuran kadar normetanefrin dan metanifrin plasma.
cari sebab lain
Gambar 1. Alur diagnosis feokromositorna
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Selain tes supresi klonidin, ada tes provokasi lain yaitu tes regitin (fentolamin), dan tes stimulasi glukagon. Tes regitin berdasarkan atas dugaan kelebihan katekolamin, sebaliknya tes glukagon mempunyai dasar stimulasi glukagon, tetapi dapat meningkatkan risiko krisis hipertensi, sehingga kedua tes ini kurang populer. Bila ditemukan kadar laboratorium yang positif perlu dicari lokasi dengan melakukan pemeriksaan CT-Scan dari kelainan adrenal. Bila CT-Scan normal perlu dilakukan pemeriksaan lain yaitu: Sampel dari vena besar yang selektif Metaiodobenzyl guanidine scaning (MIBG) Scan indium-labeled octreotide Mengukur kadar metanefrin bebas dalam darah dan dibandingkan sample vena cava Scan tomografi emisi positron Pada gagal ginjal, katekolamin darah dapat meningkat 2-3 kali sehingga mengganggu interpretasi. Harus diingat bahwa kadar katekolamin yang meningkat dapat false negatifkarena stres, atau karena pengaruh obat: amifetamin, anti depresan, etanol, L-Dopa, withdraw1 clonidin. Sebaliknya kadar katekolamin dapat normal pada urin 24 jam pada paroksimal hipertensi bila saat normotensi.
Bila tumor sudah ditegakan dan dilokalisasi, pasien disiapkan untuk operasi. Persiapan sebelum operasi perlu dilakukan mengontrol tekanan darah, memakai a dan P blocker. Operasi dapat dilakukan secara konvensial ataupun laparaskopi. Pasca operasi dapat terjadi hipotensi dan hipoglikemia. Umumnya terjadi penurunan tensi pasca operasi, namun pada beberapa kasus tensi tetap tinggi sehingga perlu obat anti hipertensi. Follow-up harus dilakukan sepanjang hidup karena tumor sisa sering
Klinis : Hipertensi paroksimal Sakit kepala Berdebar-bedar Keringat Obesites trunkel Kulit tipis Otot lemah
Laboratorium : Plasma atau urin metanefrin
Aldosteron primer
Hipertensi Lemah
Kanker adrenokortison
Virilisasi I Feminisasi
Darah : hipokalemia Aldosteron Renin Plasma Dehidroefiandrosteron Testoteron Estrogen
Feokromositoma
Sindrom Cushing
Plasma kortisol jam 8 pagi setelah 1 minggu Deksametason waktu tidur
menimbulkan gejala klinis. Untuk jenis yang malignan, perlu reseksi yang agresif. Gejala perlu dikontrol dengan a dan /3 -blocker dan radiasi dilakukan untuk metastase ke tulang. Kemoterapi dengan siklosfosfamid, vinkristin dan dakarlazin perlu dipertimbangkan bila pembedahan tidak bisa dilakukan. Operasi tumor adalah pilihan terapi dan tingkat kesembuhan mencapai 90%.
PROGNOSIS 5 tahun cukup baik (> 95%) untuk non-feokromositoma malignan, sedangkan yang feokromositoma malignan < 50%. Rekuren setelah operasi kurang dari 10% pada nonfeokromositoma malignan. Setelah operasi 75% pasien dapat bebas dari obat antihipertensi, sisanya 25% hanya membutuhkan minimal anti hipertensi.
REFERENSI Bravo EL. Pheochromocytoma: new concepts and future trends. Kidney lnl. 199;40:544. Dixit A. Pheochromocytoma. Nephrology secret. In: Hanley Belfus, editor. 1999. p. 1978. Dluhy RG. Pheochromocytoma-death of an axiom. N Engl J Med. 2002; 346:1486. Ganguly A, Grim CE, Weinberger MH, Henry DP. Rapid cyclic fluctations of blood pressure associated with an adrenal pheochromocytoma. Hypertension. 1984;6:28 1. Gifford RW Jr. Management of hypertensive crises. JAMA. 1991;266:829. Lenders JW, Pacak K, Walther MM, et al. Biochemical diagnosis of pheochromocytoma: which test is best? JAMA. 2002;287:1427. SJ. Severe paroxysmal hypertension Mann (Pseudopheochromocytoma). Arch lntern Med. 1999;159:670. Neumann HP, Pawlu C, Peczkowska M, et al. Distinct clinical features of paraganglioma syndromes associated with SDHB and SDHD gene mutations. JAMA. 2004;292:943. Neumann, HP, Berger, DP, Sigmund, G, et al. Pheochromocytomas, multiple endocrine neoplasia type 2, and von Hippel-Lindau disease. N Engl J Med. 1993;329:1531. Pacak K, Linehan WM, Eisenhofer G, et al. Recent advances in genetics, diagnosis, localization, and treatment of pheochromocytoma. Ann lntern Med. 2001 ;134:3 15. Plouin PF, Chatellier G, Fofol I, Corvol P. Tumor recurrence and hypertension persistence after successful pheochromocytoma operation. Hypertension. 1997;29: 1 133. Stein PP, Black HR. A simplified diagnostic approach to pheochromocytoma. A review of the literature and report of one institution's experience. Medicine. 1991;70:46. Young WF, Kaplan NM. Diagnosis and treatment of pheochromocytoma in adult, Up to Date. 2005.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
HIPERTENSI PADA KEHAMILAN Suhardjono
hipertensi kronik; 4). Hipertensi gestasional atau hipertensi yang sesaat (de-novo).
PENDAHULUAN Hipertensi pada kehamilan merupakan penyebab utama peningkatan morbiditas dan mortalitas maternal, janin, dan neonatus. Hal ini tidak hanya terjadi pada negara berkembang, tetapi juga negara maju. Perempuan hamil dengan hipertensi mempunyai risiko yang tinggi untuk komplikasi yang berat seperti abruptio plasenta, penyakit serebrovaskular,gagal organ, koagulasi intravaskular. Pada penelitian observasi pasien hipertensi kronik yang ringan didapatkan risiko kehamilan sebagai berikut: preeklampsia 10-25%,abruptio 0,7- 1,5%,kelahiran prematur kurang dari 37 minggu 12-34?h, dan hambatan pertumbuhan janin 816%. Risiko bertambah pada hipertensi kronik yang berat pada trimester pertama dengan didapatnya preeklampsia sampai 50%. Terhadap janin, hipertensi mengakibatkan risiko retardasi perkembangan intrauterin, prematuritas dan kematian intrauterin. Selain itu risiko hipertensi seperti gagal jantung, ensefalopati, retinopati, perdarahan serebral, dan gagal ginjal akut dapat terjadi. Akan tetapi manfaat pengobatan hipertensi selama kehamilan tergantung pada beratnya penyakit. Secara fisiologis, tekanan darah mulai menurun pada trimester kedua, yang mencapai rata-rata 15 mmHg lebih rendah dari tekanan darah sistolik sebelum hamil pada trimester ketiga. Penurunan ini terjadi baik pada yang normotensi maupun hipertensi kronik.
KLASlFlKASl HlPERTENSl PADA KEHAMILAN Pada dasarnya terdapat 4 jenis hipertensi yang urnumnya terdapat pada saat kehamilan, yaitu: 1). Preeklampsiaeklampsia atau disebut juga sebagai hipertensi yang diakibatkan kehamilan; 2). Hipertensi kronik (preexisting hypertension); 3). Preeklampsia pada (superimposed)
Sampai saat ini masih belum ada keseragaman dalam ha1 definisi hipertensi pada kehamilan. Dapat berupa kenaikan tekanan darah pada trimester kedua, atau tekanan darah pada trimester yang sama dengan sebelum hamil. Akan tetapi saat ini dalam beberapa konsensus sudah menuju kesepakatan dalarn banyak ha1 mengenai terminologi. Walaupun batasan hipertensi adalah tekanan darah 1401 90 mmHg atau lebih, masih ada yang belum sepakat, oleh karena pemakaian batas tekanan darah ini mengakibatkan ada kelompok pasien preklampsia-eklampsia yang tidak masuk kriteria. Dalam ha1 pemakaian kriteria proteinuria lebih sulit lagi, mengingat pemeriksaan ini amat subyektif dan tidak terlalu tepat. Saat ini dianggap pemeriksaan uji celup (dipstick test) merupakan pemeriksaan yang cukup baik untuk membedakan proteinuria atau tidak. 1. Preeklampsia adalah hipertensi (140190 mmHg) dan proteinuria (>300 mg124 jam'urin) yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu pada perempuan yang sebelumnya normotensi. 2. Hipertensi kronik didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik lebih atau sama dengan 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg yang telah ada sebelum kehamilan, pada saat kehamilan 20 minggu yang bertahan sampai lebih dari 20 minggu pasca partus. 3. Preeklampsia pada hipertensi kronik, adalah hipertensi pada perempuan hamil yang kemudian mengalami proteinuria, atau pada yang sebelumnya sudah ada hipertensi dan proteinuria, adanya kenaikan mendadak tekanan darah atau proteinuria, trombositopenia, atau peningkatan enzim hati.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HIPERTENSIPADA KEHAMILAN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 4. Hipertensi gestasional atau yang sesaat, dapat terjadi pada saat kehamilan 20 minggu tetapi tanpa proteinuria. Pada perkembangannya dapat terjadi proteinuria sehingga dianggap sebagai preeklampsia. Kemudian dapat juga keadaan ini berlanjut menjadi hipertensi kronik.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM Selain pemantauan tekanan darah, diperlukan pemeriksaan laboratorium guna memantau perubahan dalam hematologi, ginjal dan hati, yang dapat mempengaruhi prognosis pasien dan janinnya. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan untuk memantau pasien hipertensi pada kehamilan adalah Hb atau Ht untuk melihat kemungkinan hemokonsentrasi yang mendukung diagnosis hipertensi gestasional. Hitung trombosit yang amat rendah terdapat pada sindrom HELLP ( hemolysis, elevated liver enzyme levels and low platelet count). Pemeriksaan enzim AST, ALT, dan LDH untuk mengetahui keterlibatan hati. Urinalisis untuk mengetahui adanya proteinuria atau jumlah ekskresi protein dalam urin 24 jam. Kreatinin serum diperiksa untuk mengetahui hngsi ginjal, yang pada kehamilan umumnya kreatinin serum menurun. Asam urat perlu diperiksa karena kenaikkan asam urat biasanya dipakai sebagai tanda beratnya preeklampsia. Pemeriksaan EKG diperlukan pada hipertensi kronik, seperti juga pada kehamilan tanpa hipertensi diperlukan pemeriksaan gula darah, dan kultur urin. PENANGANAN HlPERTENSl PADA KEHAMILAN Penanganan Non-farmakologis Pada preeklampsia, hipertensi kembali menjadi normal setelah melahirkan. Akan tetapi bagi janin, kelahiran sebelum waktunya (preterm)tidak menguntungkan. Untuk itu walaupun berisiko, penatalaksanaan konservatif dipilih, menunggu agar janin dapat dilahirkan dalam keadaan yang lebih baik. Pada kisaran tekanan darah sistolik 140-160 atau diastolik 90-99 mmHg dapat dilakukan pengobatan non farmakologik. Perawatan singkat dilakukan untuk diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan preeklampsia. Penanganan tergantung pada keadaan klinik, beratnya hipertensi, umur kehamilan dan risiko ibu serta janinnya. Dapat berupa pengawasan yang ketat, pembatasan aktivitas fisik, tirah baring miring ke kiri. Dalam keadaan ini dianjurkan diet normal tanpa pembatasan garam. Pemberian Obat Antihipertensi Pada hipertensi kronik yang hamil dengan tekanan darah yang tinggi, pengobatan sebelumya dianjurkan untuk diteruskan. Akan tetapi pada tekanan darah yang tidak
begitu tinggi, harus hati-hati, bila perlu, dilakukan pengurangan dosis. Tekanan darah yang terlalu rendah berisiko mengurangi perfusi utero-plasenta yang dapat mengganggu perkembangan janin. Bukti penelitian manfaat pengobatan hipertensi ringan pada kehamilan masih belum meyakinkan karena jumlah kasus penelitian yang masih sedikit sehingga tak cukup memperlihatkan manfaat penurunan angka komplikasi obstetfik. Tekanan darah lebih dari 170 atau diastolik lebih dari 110 mmHg pada perempuan hamil harus dianggap kedaruratan medis dan dianjurkan dirawat di rumah sakit. Pada keadaan ini tekanan darah hams diturunkan sesegera munglun. Banyak yang tidak memberikan obat sampai batas tekanan darah diastolik >lo5 - 110 mmHg diastolik atau 160 mmHg sistolik, batas sering terjadinya komplikasi perdarahan otak. Walaupun pada beberapa keadaan batasan ini tidak begitu tepat, mengingat tekanan diastolik sebelumnya kurang dari 75 mmHg. Pada hipertensi gestasional (tanpa proteinuria) batas pemberian pengobatan umumnya adalah di atas 140 mmHg sistolik atau 80 mmHg diastolik. Pada yang dengan hipertensi dengan proteinuria atau terdapat keluhan atau dengan'tanda kerusakan organ target (pada hipertensi kronik) pemberian obat dapat diberikan untuk mencapai tekanan darah yang normal. Obat-obat Antihipertensi Ada 2 macam obat hipertensi, pada keadaan yang akut atau darurat biasanya diperlukan pengobatan parenteral atau oral. Obat-obat injeksi antara lain; injeksi intra venal abetalol, hidralazin, dan antagonis kalsium. Obat antihipertensi yang dapat atau tidak boleh dipakai dapat dilihat pada Tabel 1.
Agonis Alfa sentral
Metildopa, obat pilihan
Penghambat Beta
Atenolol dan metoprolol aman dan efektif pada kehamilan trimester akhir Labetalol, efektif seperti metildopa, pada kegawatan dapat diberi intra vena
Penghambat Alfa dan Beta Antagonis Kalsium
Nifedipin oral, isradipin i.v. dapat dipakai pada kedaruratan hipertensi
Inhibitor ACE dan Antagonis Angiotensin Diuretik
Kontra indikasi, dapat mengakibatkan kematianjanin atau abnormalitas
Vasodilator
Hydralazine tak dianjurkan lagi mengingat efek perinatal
Direkomendasikanapabila telah dipakai sebelum kehamilan. Tidak direkomendasikan pada preeklampsia
Metildopa 250 mg 2 kali sehari, dapat dinaikkan sampai maksimal 4 gram sehari. Labetalol 100 mg 2 kali sehari, maksimum 2400 mg sehari.Atenolol, penghambat beta yang
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
CINJAL HIPERTENS1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
tak mempunyai efek penghambat alfa, berkaitan dengan penurunan aliran darah plasenta dan janin pada kelahiran apabila diberikan mulai dari awal kehamilan. Labetalol yang mempunyai efek penghambat alfa dan beta dapat mempertahankan aliran darah utero-plasenta dalam keadaan yang maksimal. Obat penghambat beta untuk pengobatan hipertensi i-inganmeningkatkan risiko mendapatkan bayi yang lebih kecil (dengan risiko relatif 1,36, pada interval kepercayaan 95% (1,02-1,82), risiko yang tidak lebih besar dibanding obat hipertensi yang lain. Semakin banyak pengalaman yang didapat dari golongan obat antagonis kalsium yang terbukti cukup aman dipakai pada kehamilan.Nifedipin kerja panjang (dosis maksimum 120 mglhari) dan golongan nondihidropiridin verapamil dapat diberikan. FDA tidak menerima nifedipin kerja cepat sebagai pengobatan hipertensi darurat dan pemberian sub lingual karena terbukti menurunkan tekanan darah berlebihan. Dari penelitian mengenai pengobatan hipertensi pada kehamilan didapat kesimpulan bahwa pemilihan antihipertensi seharusnya tergantung dari pengalaman dan pengetahuan dari dokter yang mengobati, dalam ha1 efek obat terhadap ibu dan janinnya.
Target Tekanan Darah Walaupun penelitian klinik belum membuktikan seberapa besar penurunan tekanan darah yang optimal, banyak yang menganjurkan target tekanan darah sistolik 140-150 dan diastolik 90- 100 mmHg. Pada perempuan hamil yang telah mempunyai gangguan organ target, tekanan darah dianjurkan diturunkan kurang dari 140190 mmHg sampai mencapai 120 dan 80 mmHg. Dari penelitian yang telah dilakukan belum ada bukti yang jelas apakah keuntungan dari penurunan tekanan darah sampai normal, 120180 mmHg, bagi ibu dan janinnya. Hipertensi Pasca Partus dan Ibu yang Menyusui Data mengenai ha1 ini terbatas. Pada umumnya setelah partus terdapat kenaikan tekanan darah pada perempuan yang tidak hipertensi sebesar 6 mmHg sistolik dan 4 mmHg diastolik. Pada preeklampsia tekanan darah secara spontan membaik dalam waktu beberapa minggu, rata-rata 16*9,5 hari dan sudah membaik dalam waktu 12 minggu. Hipertensi yang ringan yang masih bertahan sesudah waktu ini harus dievaluasi lebih lanjut.
Selain dapat meneruskan pengobatan yang dipakai selama kehamilannya, pada perempuan yang tidak menyusui bayi dapat diberikan golongan obat penghambat ACE, penyekatbeta, dan antagonis kalsium. Diuretik yang diberi pada keadaan hipervolemia, dengan edema, selama beberapa hari dapat menurunkan tekanan darah menjadi normal kembali. Tekanan darah dalam keadaan ini harus dipantau agar tidak mengalami keadaan hipotensi. Apabila tekanan darah sebelum kehamilan normal, setelah 3 minggu pasca partus obat hipertensi dapat dihentikan dengan pengawasan lebih lanjut untuk mengetahui kemungkinan peningkatan tekanan darah kembali. Semua obat antihipertensi akan masuk dalam air susu ibu (ASI). Pada perempuan yang menyusui, obat golongan penghambat reseptor beta dan penghambat kalsium cukup aman walaupun obat tersebut masuk ke air susu ibu. Labetalol dan propranolol tidak dikonsentrasi dalam AS1 sehingga lebih dianjurkan dipakai dibanding penghambat beta yang lain. Bila ada indikasi kontra pilihan lain adalah penghambat kalsium. Inhibitor ACE dan antagonis reseptor angiotensin umumnya dihindari pada ibu yang menyusui, akan tetapi setelah masa neonatus dapat dipertimbangkan. Diuretika sebaiknya dihindari mengingat obat ini dapat mengurangi volume ASI.
REFERENSI August P. Treatment of hypertension in pregnancy. In: Rose BD, editor. L'pToDule 13.1, 2005. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al. The seventh report of the Joint National Committee on prevention, detection, evaluation. and treatment of high blood pressure: the SNC 7 report. JAMA. 2003;289(19):2560-72. Cifkova R. Hypertension in pregnancy: recommendations for diagnosis and treatment. European Society of Hypertension Scientific Newsletter. Update on hypertension management. 2004;5:2. Guidelines Committee. 2003 European Society of HypertensionEuropean Society of Cardiology guidelines for the management of arterial hypertension. J flypertens. 9003;21:1011-53. Sibai BM. Diagnosis and management of gestational hypertension and preeclampsia. Obstet Gynecol. 2003; 102:181. Williams B, Poulter NR, Brown MJ, et al. British hypertension society guidelines. Guidelines for management of hypertension: report o f t h e fourth working party of the British Hypertension Society, 2001-BHS IV. J Hum Hypertens. 2004;18:139-85.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
KRISIS HIPERTENSI Jose Roesma
PENDAHULUAN
Krisis Hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target. Pada umumnya krisis hipertensi terjadi pada pasien hipertensi yang tidak atau lalai memakan obat antihipertensi. Krisis hipertensi meliputi dua kelompok yaitu: Hipertensi darurat (emergency hypertension): di mana selain tekanan darah yang sangat tinggi terdapat kelainanl kerusakan target organ yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan dengan segera (dalam menit sampai jam) agar dapat mencegahlmembatasi kerusakan target organ yang terjadi. Hipertensi mendesak (urgency hypertension): di mana terdapat tekanan darah yang sangat tinggi tetapi tidak disertai kelainanlkerusakan organ target yang progresif, sehingga penurunan tekanan darah dapat dilaksanakan lebih larnbat (dalam hitunganjam sampai hari). Pada umumnya krisis hipertensi ditemukan di poliklinik gawat darurat rurnah sakit dan kadang-kadang merupakan jurnlah yang cukup menyolok pada poliklinik gawat darurat di bagian penyakit dalam, walaupun keluhan utamanya berbeda-beda.
darah >220/140 mm Hg
Status Neurologi
Prevalensi rata-rata 1-5 % penduduk dewasa tergantung dari kesadaran pasien akan adanya hipertensi dan derajat kepatuhan makan obat. Sering pasien tak menyadari diinya adalah pasien hipertensi atau tak teratur/ berhenti makan obat. G EJALA Hipertensi krisis umurnnya adalah gejala organ target yang terganggu, di antaranya nyeri dada dan sesak napas pada gangguan jantung dan diseksi aorta; mata kabur pada edema papila mata; sakit kepala hebat, gangguan kesadaran dan lateralisasi pada gangguan otak; gaga1 ginjal akut pada gangguan ginjal; di samping sakit kepala dan nyeri tengkuk pada kenaikkan tekanan darah pada umumnya. Diagnosis ditegakkan berdasarkan tingginya tekanan darah, gejala dan tanda keterlibatan organ target. Selain pemeriksaan fisik, data laboratorium ikut membantu diagnosis dan perencanaan. Urin dapat menunjukkan proteinuria, hematuri dan silinder. Hal ini terj adi karena tingginya tekanan darah juga menandakan keterlibatan ginjal apalagi bila ureum dan kreatinin meningkat.Gangguan elektrolit bisa terjadi pada hipertensi sekunder dan berpotensi menimbulkan aritmia.
Jantung
Ginjal
Gastrointestinal
perdarahan
sakit kepala, denyut jelas, kacau
uremia
mual, muntah
eksudat edema papilla
gangguan kesadaran, kejang, lateralisasi
Funduskopi
membesar dekompensasi oliguria
proteinuria
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1104
GINJAL HIPERTENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Pemeriksaan penunjang seperti elektrokardiografi (EKG) untuk melihat adanya hipertrofi ventrikel kiri ataupun gangguan koroner serta ultrasonografi (USG) untuk melihat struktur gin.jal dilaksanakan sesuai kondisi klinis pasien. amb bar an klinik hipertensi darurat dapat dilihat pada Tabel 1.
PENGOBATAN Pengobatan hipertensi mendesak cukup dengan obat oral yang bekerja cepat sehingga menurunkan tekanan darah dalam beberapajam. Di Indonesia banyak dipakai seperti pada Tabel 2. Pengobatan hipertensi darurat memerlukan obat yang segera menurunkan tekanan darah dalam menit-jam sehingga umumnya bersifat parenteral. Di Indonesia banyak dipakai seperti pada Tabel 3. Untuk memudahkan penilaian dan tindakan dibuat bagan seperti yang tercantum pada Tabel 4.
Obat
2:;
Kelompok Tekanan darah
Biasa
Mendesak
Darurat
>1801110
>1801110
>2201140
Gejala
tidak ada, kadangkadang sakit kepala gelisah
sakit kepala hebat, sesak napas
sesak napas, nyeri dada, kacau. gangguan kesadaran
Pem Fisik
organ target taa
gangguan organ target
ensefalofati, edema paru, gangguan fungsi ginjal, CVA, iskemia jantung
Pengobatan
awasi 1-3 jam mulaifieruskan obat oral, naikkan dosis
awasi 3-6 jam, obat oral berjangka kerja pendek
Rencana
periksa ulang dalam 3 hari
Periksa ulang dalam 24 jam
pasang jalur intravena, periksa laboratoriurn standar, terapi obat intravena rawat ruanganllCU
Data-data dari krisis hipertensi ini berasal dari pengalaman klinik berbagai pusat rujukan dan bukan evidence based karena sedikitnya jumlah kasus dan sulit melaksanakan suatu studi tersamar ganda, sehingga kepustakaan umumnya merupakan pendapat para ahli berdasarkan pengalamannya masing-masing.
Dosis
Efek
Nifedipin 5-10 mg
diulang 15 menit
5-15 menit
4-6 jam
gangguan koroner
Kaptopril 12.5-25 mg
diulangl 112 jam
15-30 menit
6-8 jam
stenosis a.renalis
Klonidin 75-150 ug
diulangl jam
30-60 menit
8-16 jam
Mulut kering, ngantuk
REFERENSI
Propanolol 10-40 mg
diulangl 112 jam
15-30 menit
3-6jam
Bronkokonstriksi, Blok jantung
Kaplan NK. Hypertensive crises. In: Kaplan's clinical hypertension. 8" edition. Lipincott Williams & Wilkins; 2002. Roesma J. Krisis hipertensi. In: Simposium kedaruratan klinik. 2002. Vidt D. Hypertensive crises: emergencies and urgencies: clev clinic med. 2003.
Perhatian Khusus
ye;:
Efek
Obat
Dosis
Klonidin IV 150 ug
6 amp per 250 cc Glukosa 5% mikrodrip
30-60 menit
24 jam
Nitrogliserin IV
10-50ug 100uglcc per 500 cc 0,5 - 6 uglkglmenit
2-5 menit
5-10 menit
1-5 menit
15-30 menit
Diltiazem lV
5-15 uglkglmenit lalu sama 1-5 uglkgl menit
sama
Nitroprusid IV
0,25 uglkglmenit
Langsung
Nikardipin 1V
2-3 menit
Perhatian khusus ensefalopati dengan gangguan koroner
selang infus lapis perak
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
HEMOPOESIS Soebandiri
BATASAN Hemopoesis adalah proses pembuatan darah. Sebagaimana diketahui, darah terbagi atas: Bagian yang Berbentuk (fbrmed elements). Terdiri atas sel-sel darah merah (eritrosit), sel-sel darah putih (leukosit) dan keping-keping darah (trombosit; platelet) yang bentuknya dapat dilihat dengan mikroskop. Bagian yang Tidak Berbentuk. Plasma yang terdiri atas molekul-molekul air, protein-protein, lemak, karbohidrat, vitamin-vitamin, enzim-enzim dan sebagainya, yang larut dalam plasma. Yang dibicarakan dalam bab ini hanyalah proses pembentukan sel-sel darah (bagian ke-1 yaitu formed elements). Akan dibahas 3 komponen (kompartemen)yang berperan penting pada hemopoesis, yaitu : Kompartemen sel-sel darah Kompartemen lingkungan-mikro Kompartemen zat-zat pemicdperangsang (stimulator) hemopoesis
KOMPONEN-KOMPONEN HEMOPOESIS Hemopoesis adalah suatu proses yang kompleks yang melibatkan banyak komponen-komponen yang saling terkait antara lain: 1. Komponen atau Kompartemen yang terdiri atas sel-sel darah baik sel-sel induk, sel-sel bakal dan sel-sel matur. 2. Komponen atau Kompartemen yang disebut stroma atau lingkungan mikrohemopoetik (LMH) atau hemopoetic-micro-environment. Komponen 1 dapat dianggap sebagai benih sedangkan komponen 2 dapat dianggap sebagai tanah di mana benih itu turnbuh. Kedua kompartemen ini tidak sendirisendiri tetapi berbaur.
3. Kompartemen ke-3 terdiri atas zat-zat yang dapat menstimulasi sel-sel darah untuk berproliferasi, berdiferensiasi danlatau berfungsi sesuai dengan tugas yang sudah direncanakan. Komponen ini disebut hernopoetic growth factors (HGF) atau faktor pertumbuhan hemopoetik (FPH).
I. KOMPARTEMENSELSEL DARAH Kompartemen sel darah terdiri atas:
A. Sel lnduk Pluripoten (SIP) Menurut teori unitarian, sel-sel darah berasal dari satu sel induk pluripoten (Pluripotent Stem Cells). Sel-sel ini jumlahnya sedikit, namun mempunyai kemampuan besar berproliferasi berkali-kali sesuai kebutuhan. Pengenalan SIP ini dipelopori oleh Till dan Mc Culloch pada tahun 1960-an dengan penelitiannya yang menggunakan teknologi pembiakan in-vivo pada tikus. Mereka menamakan SIP itu sebagai CFU-S (Colony Forming Unit Spleen). Selanjutnya Dexter pada dekade berikutnya mengembangkan suatu media pembiakan yang baik untuk pembiakan in-vitro dari SIP ini (DexterCulture). Media ini mengkaitkan juga pentingnya LMH sedemikian sehingga CFU-S ini dapat hidup lama dan dinamakan Long Term Culture Initiating Cells (LTC-IC). Dalam media Dexter terdapat sel-sel lingkungan mikro yang menghasilkan stimulator-stimulator pertumbuhan hemopoesis yang disebut Hemopoetic Growth Factors (HGF) atau juga Colony Stimulating Factors (CSF) yang dapat menstimulasi koloni-koloni sel-sel bakal darah untuk terus berprolifrerasi dan berdiferensiasi sesuai jalur turunannya (1ineage)nya. Hal ini akan dibahas berikut ini. Dengan majunya ilmu imunologi ditemukan teknologi hibridoma yang memungkinkan kita membuat antibodi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
CFU-GEMM ini distimulasi oleh GEMM-CSF untuk berdiferensiasi menjadi CFU-G CFU-M, CFU-Meg dan CFU-E (melalui BFU-E = Burst Forming Unit Erythrocyte). Seterusnya CFU-G distimulasi G-CSF ; GM-CSF dapat menstimulasi CFU-G dan CFU-MK manjadi sel-sel yang lebih tua (sel-sel matur). Hierarki pertumbuhan sel-sel darah dapat dilihat pada Gambar 1.
monoklonal (Monoclonal Antibody) (MoAb) dalam jumlah banyak; kemudian dikembangkan penemuan-penemuan petanda-petanda imunologis di permukaan sel-sel darah yang dinamai menurut sistem CD (Cluster yf'Diferentiution). Petanda-petanda ini dapat dideteksi dengan MoAb dan dengan teknik imunohistokimia atauflow cytornetry SIP mempunyai petanda imunologis CD-34. Selain itu juga belum didapatkan petanda yang mengarah ke suatu jalur turunan yang lain. HLA-DR sering masih negatif, sehingga baik sekali untuk pencangkokan sumsum tulang (PST) yaitu pencangkokan SIP (Stem Cell Transplantation).
C. Sel-sel Darah Dewasa Subkompartemen ini terdiri atas golongan granulosit (eosinofil, basofil, neutrofil), golongan-golongan monositl makrofag, trombosit, eritrosit dan limfosit B dan T yang perlu dibahas tersendiri.
B. Sel Bakal Terkait Tugas (SBTT) atau Cornitted Progenitor Hernopoetic Cells Dengan stimulasi faktor pertumbuhan yang berasal dari LMH yang dinalnakan faktor sel induk (Stem Cell Factor = SCF), SIP dapat berdifferensiasi menjadi sel-sel bakal darah yang terkait tugas (SBTT) yang terkait pada tugas menurunkan turunan-turunan sel-sel dar& yaitu jalur-jalur turunan mieloid dan makrofag disebut colony forming unit gmnuloc,vte. erythrocyte. megakaryocyte, monocyte (CFUGEMM) dan jalur turunan limfosit (LymphoidProgenitor Cells = LPC). SBTT yang bertugas menurunkan sistem granulosit, eritrosit, monositlmakrofag dan megakariosit dalam teknologi pembiakan pada tikus disebut CFU-GEMM.
1.1.SIP
/ I
II. KOMPARTEMEN LINGKUNGAN MlKRO HEMOPOETIK (LMH) Di sumsum tulang sel-sel darah berada berbaur dengan kompartemen I1 yaitu jaringan lain yang terdiri atas kumpulan macam-macam sel dan matriks yang disebut stroma dari sumsum tulang. Stroma terdiri atas bermacam subkompartemen yaitu fibroblas, adiposit, matriks ekstraselular, monosit, makrofag dan sel-sel endotel yang dapat menghasilkan macam-macam
1
/! DARAH TEPllORGAN PERIFER SEL MATUR
i
i - - - - - - - - - - - - - - - - -b
1 . 2 . s ~ ~ ~ SUMSUM TULANGIORGAN SENTRAL SEL-SEL MATUR
i
1 +----------------
Pre-B - - -,B
---------------
:a
P
I
I
Pre-T d T
CFU-G-+MY
b -b
ProMY
+ MY+
MetaMy
I I
II ,T I I I
. r
G
I
I
I I
VMo I
-- ----- --,
M P ~
I I I
II .Tr I
I
- I
Eo I I
I I
I
I
I
1
[Retic I
Norrn.bl
Gambar 1. Hierarki sel-sel darah
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
I
!
ERY
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Nomenklatur FPH menggunakan 3 cara yaitu: Memakai akhiran CSF seperti GM-CSF, G-CSF, M-CSF dan sebagainya. *. Memakai awalan IL (Interleukin=senyawa yang diproduksi suatu sel yang dapat mempengaruhi sel darah lain) seperti IL-1, IL-2 dst. Memakai nama-nama khusus seperti Stem-cell-factor (SCF), eritropoetin, trombopoetin dan seterusnya. Stimulasi dapat berarti dua arah yaitu positif bila betul menstimulasi atau negatif bila ia menghambat proses.
zat yang dapat menstimulasi perturnbuhan sel-sel induk, selsel bakal, dan sel-sel darah yang lain. Zat-zat ini dinamakan colony stimulatingfactors (CSF) atau juga Hemopoetic Growth Factors (HGF). CSF yang merangsang pertumbuhan granulocyte disebut granulocyte colony stimulating factor (G-CSF), sedangkan yang monosit dan makrofag disebut Monocyte/Macrophage Colony Stimulating Factors (M-CSF). Zat-zat ini akan dibahas lebih lengkap di bagian berikutnya dari bab ini. Stroma yang terdiri atas fibroblas, monosit, makrofag, endotel dan sebagainya itu disebut juga sebagai lingkungan mikro hemopoetik (LMH). Jadi jaringan LMH ini seakan-akan merupakan tanah yang menghidupi selsel induk dan sel-sel bakal yang dianggap sebagai benih di persemaian. Kalau stroma atau LMH ini rusak atau defisien maka pertumbuhan sel-sel darah akan terganggu (hipoplastik sampai aplastik). Awalnya sel-sel bakal darah melekat pada LMH melalui suatu molekul adhesi yang diproduksi oleh stroma, kemudian melalui interaksi antar sel matriks sel bakal dirangsang untuk berdifferensiasi dan berfungsi seperti yang sudah direncanakan.
Senyawa-senyawa FPH mempunyai 3 sifat biologis, yaitu:
Pleiotrofi artinya satu FPH dapat menstimulasi beberapa sel-sel bakal; misalnya: IL-3 dapat menstimulasi CFU-G maupun CFU-E dan CFU-Meg, meskipun dalam derajat yang berbeda (Multi-CSF) Redundansi artinya satu sel bakal dapat distimulasi oleh 2 FPH, misa1nya:CFU-E dapat distimulasi oleh IL-3 maupun oleh E-CSF (eritropoetin) meskipun dalam derajat yang berbeda. Transmodulasi reseptor artinya reseptor sel bakal A dapat pula berfungsi sebagai reseptor sel bakal B.
KOMPONEN (KOMPARTEMEN) FPH (FAKTOR PERTUMBUHAN HEMOPOETIK), DISEBUT JUGA HGF (HEMOPOETIC GROWTH FACTOR)
Hal ini mempunyai arti klinis yang penting, karena dengan demikian berarti pengobatan dengan kombinasi FPH akan jauh lebih berhasil daripada dengan satu FPH (tentu bila ada indikasi), namun biayanya tentu lebih mahal juga. Proses produksi selanjutnya dari sel-sel darah 'seperti eritrosit, granulosit, trombosit, limfosit (kompartemen I) tidak dibahas di bab ini. Proses ini disebut juga sebagai eritropoesis, granulopoesis, trombopoesis, limfopoesis dan seterusnya yang dapat terjadi di sumsum tulang maupun di sistem hemopoetik perifer, namun perlu pembahasan khusus. Makin lama makin banyak FPH baru yang ditemukan dan diproduksi.
Batasan: FPH adalah senyawa-senyawa yang dapat menstimulasi proliferasi, diferensiasi dan aktifasi fungsional dari sel-sel bakal darah. FPH diproduksi oleh stroma (kompartemen 11). Normalnya FPH hanya didapatkan dalam kadar sedikit di dalam darah. Awalnya orang membuat FPH dari sel-sel stroma yang dibiakkan (teknologi pembiakan). Dengan majunya ilmu biologi molekular gen-gen pada kromosomkromosom yang menyandi FPH dapat ditentukan, lalu di klon dan dengan teknologi rekombinan dapat dibuat dalam jumlah banyak dan dipasarkan di seluruh dunia oleh industri farmasi sebagai senyawa-senyawa FPH (HGF).
Jenis Sel LMH
Fibroblast Endotil Adiposit Matriks Ekstra Selular (ECM)
G-CSF
GM-CSF
FGF
VWF
H-CAM
Selektin
Cadherin
+++
+
++ +++
+++
++
+
++ +++
+
+++
+ ++ +
+++
+++
+
+++
+
+
++
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
FPH sel-sel T . .-.: f
S e l B ; CFU-GM
.
Stimulasi dan aktiv Stimulasi dan aktivasi G (Granulosit)
Gambar 2. Beberapa FPH, lokasi gen dan aktivitasl sel sasaran
REFERENSI Hampson L, Hampson IN, Dexter TM. The biology of hemopoesis. Education Programme of The 26Ih Conggress of The ISH. Singapore: 25-29 August; 1996. p. 399. Koury MJ, Boudurant MC. Origin and development of blood cells. In: Lee GR, et al, editors. Wintrobe's clinical hematology. Volume IA. Chapter 8. loth edition. Philadelhia: Lippincott Williams & Wilkins; 1999. p. 145. Mazza JJ. Hematopoesis. In : Massa JJ, editor. Manual of clinical hematology. 2"d edition. Boston: Little, Brown; 1995. p. 1.
Mollineux G, Mazanet R. Hemopoetic g r o ~ t hfactors. In: Provan D, Gribben J, editors. Molecular hematology. Oxford, London: Blackwell Science; 2000. p. 198. Soebandiri. Hemopoetic growth factors. Naskah Lengkap Konas VlII PHTDI, Surabaya 11-13 Oktober 1997 (Kuliah UMUM 1 I). Testa NG, Dexter TM. The regulation of hemopoetic cell production. In: Hoffbrand AV, Lewis SM, Tuddenham EGD, Editors. Post graduate hematology. 4Ih edition. Oxford, Boston, Singapore: Buttenvorth Heinemann; 1999. p. 1 .
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENDEKATAN TERHADAP PASIEN ANEMIA I Made J3akta
PENDAHULUAN Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik (chronic debility) yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering, anemia, terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik. Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count). Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit. Hams diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu di mana ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan massa eritrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan akut dan kehamilan. Permasalahan yang timbul adalah berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit paling rendah yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serta keadaan fisiologis tertentu seperti misalnya kehamilan. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease entity), tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar (underlyingdisease). Oleh karena itu dalam diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi hams dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting karena seringkali penyakit dasar tersebut tersembunyi, sehingga apabila ha1 ini dapat diungkap akan menuntun para klinisi
ke arah penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan penyakit dasarjuga penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang mendasari anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus anemia tersebut. Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang patogenesis dan patofisiologi anemia, serta ketrampilan dalam memilih, menganalisis serta merangkum hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Tulisan ini bertujuan untuk membahas pendekatan praktis dalam diagnosis dan terapi anemia yang sering dihadapi oleh dokter umum ataupun spesialis penyakit dalam.
KRlTERlA ANEMIA Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian.Yang menjadi masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Oleh karena itu perlu ditentukan titik pemilah (cut ofpoint) di bawah kadar mana kita anggap terdapat anemia. Di Negara Barat kadar hemoglobin paling rendah untuk lakilaki adalah 14 gldl dan 12 gldl pada perempuan dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain memberikan angka yang berbeda yaitu 12 gldl (hematokrit 38%) untuk perempuan dewasa, 11 g/dl (hematokrit 36%) untuk perempuan hamil, dan 13 gldl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut of point anemia untuk keperluan penelitian lapangan seperti terlihat pada Tabel 1.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kelompok
Kriteria Anemia (Hb)
Laki-laki dewasa Wanita dewasa tidak hamil Wanita harnil
< 13 gldl
< 12 gldl < Ilgldl
Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan negara berkembang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau dirawat di rurnah sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut. Oleh karena itu beberapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai kriteria hemoglobin kurang dari 10 gldl sebagai awal dari work up anemia, atau di India dipakai angka 10- 1 1 gldl.
disebabkan oleh karena: 1). Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; 2). Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan); 3). Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis). Gambaran lebih rinci tentang etiologi anemia dapat dilihat pada Tabel 3.
A.
PREVALENSIANEMIA Anemia mempakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik di klinik maupun di lapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik. De Maeyer memberikan gambaran prevalensi anemia di dunia untuk tahun 1985 seperti terlihat pada Tabel 2.
Lokasi
Anak 0-4th
Anak 5-12 th
Laki dewasa
Wanita 15-49 th
Negara maju Negara berkembang Dunia
12%
7% 46%
3% 26%
14%
11%
51%
59%
47%
43%
37%
18%
51%
35%
B.
C.
Wanita hamil
Untuk Indonesia, Husaini dkk memberikan gambaran prevalensi anemia pada tahun 1989 sebagai berikut: :30-40% Anak prasekolah Anak usia sekolah :25-35% Perempuan dewasa tidak hamil : 30 -40% : 50 - 70% Perempuan hamil :20 -30% Laki-laki dewasa Pekerja berpenghasilan rendah : 30 - 40%
D.
Anemia karena gangguan pernbentukan eritrosit dalarn surnsurn tulang 1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit a. Anemia defisiensi besi b. Anemia defisiensi asam folat c. Anemia defisiensi vitamin 812 2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi a. Anemia akibat penyakit kronik b. Anemia sideroblastik 3. Kerusakan surnsurn tulang a. Anemia aplastik b. Anemia mieloptisik c. Anemia pada keganasan hernatologi d. Anemia diseritropoietik e. Anemia pada sindrom mielodisplastik Anemia akibat kekurangan eritropoietin: anemia pada gagal ginjal kronik Anemia akibat hernoragi 1. Anemia pasca perdarahan akut 2. Anemia akibat perdarahan kronik Anemia hemolitik 1. Anemia hernolitik intrakorpuskular a. Gangguan rnembran eritrosit (rnernbranopati) b. Gangguan ensirn eritrosit (enzirnopati): anemia akibat defisiensi G6PD c. Gangguan hemoglobin (hernoglobinopati) - Thalassemia - Hemoglobinopatistruktural: HbS, HbE, dl1 2. Anemia hernolitik ekstrakorpuskuler a. Anemia hernolitik autoimun b. Anemia hemolitik mikroangiopatik c. Lain-lain Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks
Berbagai survei yang telah pernah dilakukan di Bali memberikan angka-angka yang tidak jauh berbeda dengan angka di atas.
Klasifikasi lain untuk anemia d q l t dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan: 1). Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg; 2). Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg; 3). Anemia makrositer, bila MCV 95 fl. Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan (Tabel 4) akan sangat menolong dalam mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemia.
ETlOLOGl DAN KLASIFIKASI ANEMIA
PATOFlSlOLOGl DAN GEJALAANEMIA
Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam penyebab. Pada: dasarhya anemia
Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala yang timbul pada setiap kasus
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENDEKATAN TERHADAP PASIEN ANEMIA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI I.
II.
Ill.
Anemia hipokromik mikrositer a. Anemia defisiensi besi b. Thalassemia major c. Anemia akibat penyakit kronik d. Anemia sideroblastik Anemia norrnokromik norrnositer a. Anemia pasca perdarahan akut b. Anemia aplastik c. Anemia hemolitik didapat d. Anemia akibat penyakit kronik e. Anemia pada gagal ginjal kronik f. Anemia pada sindrom mielodisplastik g. Anemia pada keganasan hematologik Anemia makrositer a. Bentuk megaloblastik 1. Anemia defisiensi asam folat 2. Anemia defisiensi 812, termasuk anemia pemisiosa b. Bentuk non-megaloblastik 1. Anemia pada penyakit hati kronik 2. Anemia pada hipotiroidisme 3. Anemia pada sindrom mielodisplastik
anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun di bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena: 1). Anoksia organ; 2). Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen. Gejala urnum anemia menjadijelas (anemia simtomatik) apabila kadar hemoglobin telah turun di bawah 7 &dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada: a). Derajat penurunan hemoglobin; b). Kecepatan penurunan hemoglobin; c). Usia; d). Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya. Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu: 1. Gejala umum anemia. Gejala m u m anemia, disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (HW7 gldl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7g/dl). 2. Gejala khas masing-masing anemia. Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh: Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok (koilonychia). Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B 12
Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegali Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi 3. Gejala penyakit dasar. Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi cacing tarnbang: sakit perut, pembengkakan parotis dan wama kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena artritis reumatoid. Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.
PEMERIKSAAN UNTUK DIAGNOSIS ANEMIA Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari: 1). Pemeriksaan penyaring (screening test); 2). Pemeriksaan darah sen anemia; 3). Pemeriksaan sumsum tulang; 4). Pemeriksaan khusus. Pemeriksaan Penyaring Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut. Pemeriksaan Darah Seri Anemia Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik. Pemeriksaan Sumsum Tulang Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik, serta pada kelainan hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid. Pemeriksaan Khusus Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada: Anemia defisiensi besi : serum iron. TIBC (total iron
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
binding capacity), saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan pengecatan besi pada sumsum tulang (Per1 b stain). Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B 12 serum, tes supresi deoksiuridin dan tes Schiling. Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin dan lain-lain. Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang. Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti misalnya pemeriksaan faal hati, faal ginjal atau faal tiroid.
PENDEKATAN DIAGNOSIS Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease entity), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak cukup hanya sampai pada diagnosis anemia, tetapi sedapat mungkin kita hams dapat menentukan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Maka tahap-tahap dalam diagnosis anemia adalah: Menentukan adanya anemia Menentukan jenis anemia Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi hasil pengobatan Pendekatan Diagnosis Anemia Terdapat bermacam-macam cara pendekatan diagnosis anemia, antara lain adalah pendekatan tradisional, pendekatan morfologi, fungsional dan probabilistik, serta pendekatan klinis. Pendekatan Tradisional, Morfologik, Fungsional dan Probabilistik Pendekatan tradisional adalah pembuatan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil laboratorium, setelah dianalisis dan sintesis maka disimpulkan sebagai sebuah diagnosis, baik diagnosis tentatif ataupun diagnosis definitif. Pendekatan lain adalah pendekatan morfologi, fisiologi dan probabilistik. Dari aspek morfologi maka anemia berdasarkan hapusan darah tepi atau indeks eritrosit diklasifikasikan menjadi anemia hipokromik mikrositer, anemia normokromik normositer dan anemia makrositer. Pendekatan fungsional bersandar pada fenomena apakah anemia disebabkan karena penurunan produksi eritrosit di sumsum tulang, yang bisa dilihat dari penurunan angka retikulosit, ataukah akibat kehilangan darah atau hemolisis, yang ditandai oleh peningkatan angka retikulosit. Dari kedua pendekatan ini kita dapat menduga jenis anemia
dan kemungkinan penyebabnya. Hasil ini dapat diperkuat dengan pendekatan probabilistik (pendekatan berdasarkan pola etiologi anemia), yang bersandar pada data epidemiologi yaitu pola etiologi anemia di suatu daerah. Pendekatan Probablistik atau Pendekatan Berdasarkan Pola Etiologi Anemia Secara umum jenis anemia yang paling sering dijumpai di dunia adalah anemia defisiensi besi, anemia akibat penyakit kronik dan thalassemia. Pola etiologi anemia pada orang dewasa pada suatu daerah perlu diperhatikan dalam membuat diagnosis. Di daerah tropis anemia defisiensi besi merupakan penyebab tersering disusul oleh anemia akibat penyakit kronik dan thalassemia. Pada perempuan hamil anemia karena defisiensi folat perlu juga mendapat perhatian. Pada daerah tertentu anemia akibat malaria masih cukup sering dijumpai. Pada anak-anak tampaknya thalasemia lebih memerlukan perhatian dibandingkan dengan anemia akibat penyakit kronik. Sedangkan di Bali, mungkin juga di Indonesia, anemia aplastik merupakan salah satu anemia yang sering dijumpai. Jika kita menjurnpai anemia di suatu daerah, maka penyebab yang dominan di daerah tersebutlah yang menjadi perhatian kita pertamatama. Dengan penggabungan bersarna gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium sederhana, maka usaha diagnosis selanjutnya akan lebih terarah. Pendekatan Klinis Dalam pendekatan klinis yang menjadi perhatian adalah: 1). Kecepatan timbulnya penyakit (awitan anemia), 2). Berat ringannya derajat anemia, 3). Gejala yang menonjol. Pendekatan Berdasarkan Awitan Penyakit Berdasarkan awitan anemia, kita dapat menduga jenis anemia tersebut. Anemia yang timbul cepat (dalam beberapa hari sampai minggu) biasanya disebabkan oleh: 1). Perdarahan akut, 2). Anemia hemolitik yang didapat seperti halnya pada AIHA terjadi penurunan Hb >I gldl per minggu. Anemia hemolitik intravaskular juga sering terjadi dengan cepat, seperti misalnya akibat salah transfusi, atau episode hemolisis pada anemia akibat defisiensi G6PD, 3). Anemia yang timbul akibat leukemia akut, 4). Krisis aplastik pada anemia hemolitik kronik. Anemia yang timbul pelan-pelan biasanya disebabkan oleh: 1). Anemia defisiensi besi; 2). Anemia defisiensi folat atau vitamin B12; 3). Anemia akibat penyakit kronik; 4). Anemia hemolitik kronik yang bersifat kongenital. Pendekatan Berdasarkan Beratnya Anemia Derajat anemia dapat dipakai sebagai petunjuk ke arah etiologi. Anemia berat biasanya disebabkan oleh: 1). Anemia defisiensi besi; 2). Anemia aplastik; 3). Anemia pada leukemia akut; 4). Anemia hemolitik didapat atau
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1113
PENDEKATAN TERHADAPPASIEN ANEMIA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kongenital seperti misalnya pada thalasemia major; 5). Anemia pasca perdarahan akut; 6). Anemia pada GGK stadium terminal. Jenis anemia yang lebih sering bersifat ringan sampai sedang,jarang sampai derajat berat ialah: l).Anemia akibat penyakit kronik; 2). Anemia pada penyakit sistemik; 3). Thalasemia Trait. Jika pada ketiga anemia tersebut di atas dijumpai anemia berat, maka hams dipikirkan diagnosis lain, atau adanya penyebab lain yang dapat memperberat derajat anemia tersebut. Pendekatan Berdasarkan Sifat Gejala Anemia Sifat-sifat gejala anemia dapat dipakai untuk membantu diagnosis. Gejala anemia lebih menonjol dibandingkan gejala penyakit dasar dijumpai pada: anemia defisiensi besi, anemia aplastik, anemia hemolitik. Sedangkan pada anemia akibat penyakit kronik dan anemia sekunder lainnya (anemia akibat penyakit sistemik, penyakit hati atau ginjal), gejala-gejala penyakit dasar sering lebih menonjol. Pendekatan Diagnostik Berdasarkan Tuntunan Hasil Laboratorium Pendekatan diagnosis dengan cara gabungan hasil penilaian klinis dan laboratorik merupakan cara yang ideal tetapi memerlukan fasilitas dan ketrampilan klinis yang cukup. Di bawah ini diajukan algoritma pendekatan diagnostik anemia berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium (Gambar 1 s.d. Gambar 4)
I
I
PENDEKATANTERAPI Beberapa ha1 yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien anemia ialah: 1). Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah ditegakkan terlebih dahulu; 2). Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan; 3). Pengobatan anemia dapat berupa: a). Terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahan akut akibat anemia aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia pasca perdarahan akut yang disertai gangguan hemodinamik, b). Terapi suportif, c). Terapi yang khas untuk masing-masing anemia, d). Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut; 4). Dalam keadaan di mana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa memberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus). Di sini hams dilakukan pemantauan yang ketat terhadap respon terapi dan perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan
I
ehtrosit (MCV. MCH, MCHC)
I
I
4 normostler I
1
L~hatGambar 2
-- ----.-.
--
.. .
L~hatGambar 3
.-.
- ..-.-
. . .-
.. ..-. -- . .
Gambar 1. Algoritme pendekatan diagnosis anemia
I
ANEMIA HlPOKROMlK MlKROSlTER
Thalasemia beta
Anemia 'Idero
Gambar 2. Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik mikrositer
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI NORMOKROMIK NORMOSITER
.
Normallmenurun
Gambar 3. Algoritme diagnosis anemia normokromik normositer
*
ANEMIA MAKROSITER I
Retikulosit
Meningkat
* , Normal1 menurun Sumsum tulang
perdarahan
1 II."."rn I"""' Anemia pasca
I
4
1
megaloblastik
-1j,
1
Faal hati
Anemia hipotiroidisme
Gambar 4. Algoritme pendekatan diagnostik anemia makrositer
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
i
1115
PENDEKATAN TERHADAP PASIEN ANEMIA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI evaluasi terus menerus tentang kemungkinan perubahan diagnosis; 5). Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda gangguan hemodinamik. Pada anemia kronik transhi hanya diberikan jika anemia bersifat simtomatik atau adanya ancaman payah jantung. Di sini diberikan packed red cell, jangan whole blood. Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena itu transfusi diberikan dengan tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretika kerja cepat seperti furosemid sebelum transfusi.
Anemia merupakan kelainan yang sering dijumpai. Untuk penelitian lapangan umumnya dipakai kriteria anemia menurut WHO, sedangkan untuk keperluan klinis dipakai kriteria Hb < 10 gldl atau hematokrit < 30%. Anemia dapat diklasifikasikan menurut etiopatogenesisnya ataupun berdasarkan morfologi eritrosit.Gabungan kedua klasifikasi ini sangat bermanfaat untuk diagnosis. Dalam pemeriksaan anemia diperlukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorik yang terdiri dari: pemeriksaan penyaring, pemeriksaan seri anemia, pemeriksaan sumsum tulang: pemeriksaan khusus. Pendekatan diagnosis anemia dapat dilakukan secara klinis, tetapi yang lebih baik ialah dengan gabungan pendekatan klinis dan laboratorik. Pengobatan anemia seyogyanya dilakukan atas indikasi yang jelas. Terapi dapat diberikan dalam bentuk terapi darurat, terapi suportif, terapi yang khas untuk masing-masing anemia dan terapi kausal.
REFERENSI Bakta IM. Hematologi ringkas. Denpasar: UPT Penerbit Universitas Udayana, 2001. Bakta IM. Segi-segi praktis pengelolaan anemia. Buletin Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI). 1999; 1(2):67-88. Bakta IM, Lila IN, Widjana DP, Sutisna P. Anemia dan anemia defisiensi besi di Desa Belumbang, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan Bali. Naskah lengkap KOPAPDI VIII. Yogyakarta: KOPAPDI VIII; 1990. Bakta IM. Anemia kekurangan besi pada usia lanjut. Majalah Kedokteran Indonesia. 1989;39:504-6. Bakta IM, Sutjana DP & Andewi JP. Prevalensi anemia dan infeksi cacing tambang di Desa Pejaten Bali. Naskah lengkap kongres nasional IV PHTDI. Yogyakarta: PHTDI; 1983. Bakta IM, Soenarto, Sutanegara D. Penelitian anemia di pedesaan (suatu survei di Desa Kedisan Bali). Naskah lengkap KOPAPDI. Semarang: KOPAPDI; 198 1.
Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U, Williams WJ. Approach to the patient. In: Beutler E, Coller BS, Lichtman MA, Kipps TJ, editors. Williams hematology. 6Ih edition. New York: McGraw Hill. p. 3-8. Beutler E. The common anemias. JAMA. 1990;259:2433-7. Boediwarsono, Adi P, Soebandiri. Diagnosis dan pengobatan anemia. Surabaya: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan LabNPF Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR-RSUD Dr. Sutomo; 1988. Cawley JC. Haematology. London: W. Heineman Med. Books; 1983. Conrad ME. Anemia. eMedicine Journal. 2002;3(2):1-25. Evatt BL. Fundamental diagnostic hematology: anemia. Atlanta & Geneva: US Department of Health and Human Services & WHO, 1992. DeMaeyer EM. Preventing and controlling deficiency anemia through primary health care. Geneva: WHO; 1989. Djubelgovic B, Hadley T & Pasic RA. New algorithm for diagnosis of anemia. Postgraduate Medicine. 1989;85: 119-30. Djulbegovic B. Reasoning and decision making in hematology. New York: Churchil Livingstone; 1992. Fairbanks VF. The anemias. In: Mazza JJ, editor. Manual of clinical hematology. 2ndedition. Boston: Litte Brown; 1995. p. 17-69. Glader B. Anemia: general considerations. In: Greer GM, Paraskevas F, Glader B, editors. Wintrobe's clinical hematology. 1l t h edition. Philadelphia: Lippincot, Williams; 2004. p. 947-1009. Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Essential hematology. 4Ih edition. Oxford: Blackwell Science; 2001. Husaini M, Husaini YK, Siagian UL & Suharno D. Anemia gizi: suatu studi kompilasi informasi dalam menunjang kebijaksanaan program. Bogor: Puslitbang Gizi; 1989. Isbister HP, Pittglio DH. Clinical hematology: a problem-oriented approach. Baltimore: William & Wilkin; 1988. Kellermeyer RW. General principles of the evaluation and therapy of anemias. Med CIin N Am. 1984;66:533-43. Linker CA. Blood. In: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. editors. Current medical diagnosis & treatment. 36th edition. Stanford: Appleton & Lange; 1997. p. 463-518. Longo DL. Oncology and hematology. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison's Principle of Internal Medicine. 151h edition. New York: McGraw Hill; 2001. p. 491-762. Mehta BC. Approach to patient with anemia. Indian J Med Sci. 2004;58:26-9. Schnall SF, Berliner N, Duffy TP, Benz EJ. Approach to the adult and child with anemia. In: Hoffman R, Benz EJ, Shttil SJ, Furie B, Cohen HJ, Silberstein LE, McGlove P, editors. Hematology: Basic Principles and Practice. 3rdedition. New York: Churchill Livingstone; 2000. p. 367-82. Shah A. Anemia. Indian J Med Sci 2004; b58:24-5. Weatherall DJ & Wasi P. Anemia. In: Warren KS & Wasi P, editors. Tropical and geographial medicine. New York: McGraw-Hill Book; 1985. WHO Technical Report Series No. 405. Nutritional Anemia. Geneva: WHO; 1968.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ANEMIA APLASTIK Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder
PENDAHULUAN
EPlDEMlOLOGl
Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoiesis yang relatif jarang ditemukan namun berpotensi mengancam jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia sumsum tulang dan pertama kali dilaporkan tahun 1888 oleh Ehrlich pada seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah menderita penyakit dengan gejala anemia berat, perdarahan, dan hiperpireksia. Pemeriksaan postmortem terhadap pasien tersebut menunjukkan sumsum tulang yang hiposelular (tidak aktif). Pada tahun 1904, Chauffard pertama kali menggunakan nama anemia aplastik. Puluhan tahun berikutnya definisi anemia aplastik masih belum berubah dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakan pendapat bahwa tanda khas penyakit ini adalah pansitopenia sesuai konsep Ehrlich. Pada tahun 1959, Wintrobe membatasi pemakaian nama anemia aplastik pada kasus pansitopenia, hipoplasia berat atau aplasia susmsum tulang, tanpa ada suatu penyakit primer yang menginfiltrasi, mengganti atau menekan jaringan hemopoietik sumsum tulang. Selain istilah anemia aplastik yang paling sering digunakan, masih ada istilah-istilah lain seperti anemia hipoplastik, anemia refrakter, hipositemia progresif, anemia aregeneratif, aleukia hemoragika, panmieloftisisdan anemia paralitik toksik. Anemia aplastik dapat diwariskan atau didapat. Perbedaan antara keduanya bukan pada usia pasien, melainkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium. Oleh karena itu, pasien dewasa mungkin membawa kelainan herediter yang muncul di usia dewasa. Dalam bab ini yang dibahas terutama adalah anemia aplastik didapat sedangkan sedikit penjelasan mengenai anemia aplastik herediter diberikan di akhir bab.
Insidensi anemia aplastik didapat bervariasi di seluruh dunia dan berkisar antara 2 sampai 6 kasus per 1 juta penduduk per tahun dengan variasi geografis. Penelitian The International Aplastic Anemia and Agranulolytosis S t u 4 di awal tahun 1980-anmenemukan fiekuensi di Eropa dan Israel sebanyak 2 kasus per 1juta penduduk. Penelitian di Perancis menemukan angka insidensi sebesar 1,5 kasus per 1 juta penduduk per tahun. Di Cina, insidensi dilaporkan 0,74 kasus per 100.000 penduduk per tahun dan di Bangkok 3,7 kasus per 1 juta penduduk per tahun. Temyata penyakit ini lebih banyak ditemukan di belahan Timur dunia daripada di belahan Barat. Anemia aplastik didapat umumnya muncul pada usia 15 sampai 25 tahun; puncak insidens kedua yang lebih kecil muncul setelah usia 60 tahun. Umur dan jenis kelamin pun bervariasi secara geografis. Di Amerika Serikat dan Eropa umur sebagian besar pasien berkisar antara 15-24 tahun. Cina melaporkan sebagian besar kasus anemia aplastik pada perempuan berumur di atas 50 tahun dan pria di atas 60 tahun. Di Perancis, pada pria ditemukan dua puncak yaitu antara umur 15-30 dan setelah umur 60 tahun, sedangkan pada perempuan kebanyakan berumw di atas 60 tahun. Perjalanan penyakit pada pria juga lebih berat daripada perempuan. Perbedaan umur dan jenis kelamin mungkin disebabkan oleh risiko pekerjaan, sedangkan perbedaan geografis mungkin disebabkan oleh pengaruh lingkungan.
Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik didapat diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat, atau sangat berat (Tabel 1). Risiko morbiditasdan mortalitas
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Klasifikasi Anemia aplastik berat Selularitas sumsum tulang Sitopenia sedikitnya dua dari tiga seri sel darah
Kriteria
Hitung neutrofil < 500IpL Hitung trombosit < 20.000lpL Hitung retikulosit absolut < 60.0001pL
Anemia aplastik sangat berat
Sama seperti di atas kecuali hitung neutrofil < 2001pL
Anemia aplastik tidak berat
Sumsum tulang hiposelular namun sito~eniatidak memenuhi kriteria berat
lebih berkorelasi dengan derajat keparahan sitopenia ketimbang selularitas sumsum tulang. Angka kematian setelah dua tahun dengan perawatan suportif saja untuk pasien anemia aplastik berat atau sangat berat mencapai 80%; infeksi jamur dan sepsis bakterial merupakan penyebab kematian utama. Anemia aplastik tidak berat jarang mengancam jiwa dan sebagian besar tidak membutuhkan terapi.
PATOFlSlOLOGl DAN PATOGENESIS Dahulu, anemia aplastik dihubungkan erat dengan paparan terhadap bahan-bahan kimia dan obat-obatan. Anemia aplastik dianggap disebabkan paparan terhadap bahanbahan toksik seperti radiasi, kemoterapi, obat-obatan atau senyawa kimia tertentu. Penyebab lain meliputi kehamilan, hepatitis viral, dan fasciitis eosinofilik. Jika pada seorang pasien tidak diketahui faktor penyebabnya, maka pasien digolongkan anemia aplastik idiopatik. Sebagian besar kasus anemia aplastik bersifat idiopatik. Beberapa etiologi anemia aplastik tercantum dalam Tabel 2. Anemia aplastik terkait obat terjadi karena hipersensitivitas atau dosis obat yang berlebihan. Obat yang banyak menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering
Toksisitas langsung latrogenik Radiasi Kemoterapi Benzena Metabolit intermediate beberapa jenis obat Penyebab yang diperantarai imun. latrogenik: transfusion-associatedgraft-versus-host disease Fasciitis eosinofilik Penyakit terkait hepatitis Kehamilan Metabolit intermediate beberapa jenis obat Anemia aplastik idiopatik
dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mileran atau nitrosourea. Bahan kimia terkenal yang dapat menyebabkan anemia aplastik ialah senyawa benzena. Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia aplastik sementara atau permanen, misalnya virus EpsteinBarr, influenza A, dengue, tuberkulosis (milier). Sitomegalovirus dapat menekan produksi sel sumsum tulang, melalui gangguan pada sel-sel stroma sumsum tulang. Infeksi oleh human immunodeficiency virus (HIV) yang berkembang menjadi acquired immunodeficiency s.yndrome (AIDS) dapat menimbulkan pansitopenia. Infeksi kronik olehparvovirus pada pasien dengan defisensi imun juga dapat menimbulkan pansitopenia. Akhir-akhir ini, sindrom anemia aplastik dikaitkan dengan hepatitis walaupun merupakan kasus yang jarang. Meskipun telah banyak studi dilakukan, virus yang pasti belum diketahui, namun diduga virus hepatitis non-A, non-B, dan non-C. Pada kehamilan, kadang-kadang ditemukan pansitopenia disertai aplasia sumsum tulang yang berlangsung sementara. Hal ini mungkin disebabkan oleh estrogen pada seseorang dengan predisposisi genetik, adanya zat penghambat dalam darah atau tidak ada perangsang hematopoiesis. Anemia aplastik sering sembuh setelah terminasi kehamilan, dapat terjadi lagi pada kehamilan berikutnya. Namun, sekarang diyakini ada penjelasan patofisiologis anemia aplastik yang masuk akal, yang disimpulkan dari berbagai observasi klinis hasil terapi dan eksperimen laboratorium yang sistematik. Di akhir tahun 1960-an, Mathe et a1 memunculkan teori baru berdasarkan kelainan autoimun setelah melakukan transplantasi sumsum tulang kepada pasien anemia aplastik. Keberhasilan transplantasi sumsum tulang untuk menyembuhkan anemia aplastik memperlihatkan adanya kondisi defisiensi sel asal (stem cell). Adanya reaksi autoimunitas pada anemia aplastik juga dibuktikan oleh percobaan in vitro yang memperlihatkan bahwa limfosit dapat menghambat pembentukan koloni hemopoietik alogenik dan autologus. Setelah itu, diketahui bahwa limfosit T sitotoksik memerantarai destruksi sel-sel asal hemopoietik pada kelainan ini. Sel-sel T efektor tampak lebih jelas di sumsum tulang dibandingkan dengan darah tepi pasien anemia aplastik. Sel-sel tersebut menghasilkan interferon-y dan T N F - a yang merupakan inhibitor langsung hemopoiesis dan meningkatkan ekspresi Fas pada sel-sel CD34'. Klon sel-sel T imortal yang positif CD4 dan CD8 dari pasien anemia aplastik juga mensekresi sitokin T-helper-I yang bersifat toksik langsung ke selsel CD34 positif autologus. Sebagian besar anemia aplastik didapat secara patofisiologis ditandai oleh destruksi spesifik yang diperantarai sel T ini. Pada seorang pasien, kelainan respons imun tersebut kadang-kadang dapat dikaitkan dengan infeksi virus atau pajanan obat tertentu atau zat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
kilnia tertentu. Sangat sedikit bukti adanya mekanisme lain, seperti toksisitas langsung pada sel-sel asal atau defisiensi fungsi faktor pertumbuhan hematopoietik. Lagipula, derajat destruksi sel asal dapat menjelaskan variasi perjalanan klinis secara kuantitatif dan variasi kualitatif respons imun dapat menerangkan respons terhadap terapi imunosupresif. Respons terhadap terapi imunosupresif menunjukkan adanya mekanisme imun yang bertanggung jawab atas kegagalan hematopoietik.
Kegagalan Hematopoietik Kegagalan produksi sel darah bertanggung jawab atas kosongnya sumsum tuang yang tampak jelas pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau spesimen core hiops.v sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan magnetic resonunce lmaging vertebra memperlihatkan digantinya sumsum tulang oleh jaringan lemak yang merata. Secara kuantitatif, sel-sel hematopoietik yang imatur dapat dihitung dengan flow cytotnerrj*. Sel-sel tersebut mengekspresikan protein cytoudhesivc, yang disebut CD34. Pada pemeriksaanflow cytometry, antigen sel CD34 dideteksi secara fluoresens satu persatu, sehingga jumlah sel-sel CD34' dapat dihitung dengan tepat. Pada anemia aplastik, sel-sel CD34'juga hampir tidak ada yang berarti bahwa sel-sel induk pembentuk koloni eritroid, myeloid, dan megakaryositik sangat kurang jumlahnya. Assuv lain untuk sel-sel hematopoietik yang sangat primitif dan "tenang" (qztrescent), yang sangat mirip jika tidak dapat dikatakan identik dengan sel-sel asal, juga memperlihatkan penurunan. Pasien yang mengalami panstopenia mungkin telah mengalami penurunan populasi sel asal dan sel induk sampai sekitar 1% atau kurang. Defisiensi berat tersebut mempunyai konsekuensi kualitatif, yang dicerminkan oleh pemendekan telomer granulosit pada pasien anemia aplastik.
Ligan
-
Destruksi lmun Banyak data laboratorium yang menyokong hipotesis bahwa pada pasien anemia aplastik didapat, limfosit bertanggung jawab atas destruksi ko~npartemensel hematopoietik. Eksperimen awal memperlihatkan bahwa limfosit pasien menekan hematopoiesis. Sel-sel ini memproduksi faktor penghambat yang akhirnya diketahui adalah interferon-y. Adanya aktivasi respons sel T helper1 (Th,) disimpulkan dari sifat imunofenotipik sel-sel T dan produksi interferon, tumor necrosis fuctor, dan interleukin2 yang berlebihan. Deteksi interferon-y intraselular pada sampel pasien secaraflow cytometry mungkin berkorelasi dengan respons terapi imunosupresif dan dapat memprediksi relaps. Pada anemia aplastik, sel-sel CD34- dan sel-sel induk (progenitor) hemopoietik sangat sedilutjwnlahnya. Namun, rneskipun defisiensi myeloid (granulositik, eritroid, dan megakariositik) bersifat universal pada kelainan ini, defisiensi imunologik tidak lazim terjadi. Hitung lirnfosit umumnya normal pada hampir semua kasus, demikian pula fimgsi sel B dan sel T. Lagipula, pemulihan hemopoiesis yang normal dapat terjadi dengan terapi imunosupresif yang efektif. Jadi, sel-sel asal hemopoietik tampaknya masih ada pada sebagian besar pasien anemia aplastik. Perubahan imunitas menyebabkan destruksi, khususnya kematian sel CD34 yang diperantarai ligan Fas, dan aktivasi alur intraselular yang menyebabkan penghentian siklus sel (cell-cycle urre.st). Sel-sel T dari pasien membunuh sel-sel asal hemopoietik dengan perilaku (manner) yang HLA-DR-restricted melalui ligan Fas. Sel-sel asal hemopoietik yang paling primitif tidak atau sedikit mengekspresikan HLA-DR atau FAS, dan ekspresi keduanya meningkat sesuai pematangan sel-sel asal. Jadi, sel-sel asal hemopoietik primitif, yang normalnya berjumlah kurang dari 10% sel-sel CD34' total, relatif tidak terganggu oleh sel-sel T autoreaktit:, di lain pihak, sel-sel
- 'b -
Garnbar 1. Destruksi imun pada sel hematopoletik (Modlfikasi dari Young, 1997)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
4
Toksisitas sel-se1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI asal hemopoietik yang lebih matur dapat menjadi target utama serangan sel-sel imun. Sel-sel asal hemopoietik primitif yang selamat dari serangan autoimun memungkinkan pemulihan hemopoietik perlahan-lahan yang terjadi pada pasien anemia aplastik setelah terapi imunosupresif.
perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hematomegali, yang sebabnya bermacam-macam, ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis.
MANIFESTAS1KLlNlS DAN DIAGNOSIS Anemia aplastik mungkin muncul mendadak (dalam beberapa hari) atau perlahan-lahan (berminggu-mingguatau berbulan-bulan). Hitung jenis darah menentukan manifestasi klinis. Anemia menyebabkan fatig, dispnea dan jantung berdebar-debar. Trombositopenia menyebabkan mudah memar dan perdarahan mukosa. Neutropenia meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Pasien juga mungkin mengeluh sakit kepala dan demam. Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis leukosit, hitung retikulosit, dan aspirasi serta biopsi sumsum tulang. PemeriksaanJlow cytometry darah tepi dapat menyingkirkan hemoglobinuria nokturnal paroksismal, dan karyotyping sumsum tulang dapat membantu menyingkirkan sindrom myelodisplastik. Pasien berusia kurang dari 40 tahun perlu diskrining untuk anemia Fanconi dengan memakai obat klastogenik diepoksibutan atau mitomisin. Riwayat keluarga sitopenia meningkatkan kecurigaan adanya kelainan diwariskan walaupun tidak ada kelainan fisik yang tampak. Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin. Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel 3). Pada Tabel 3 terlihat bahwa perdarahan, badan lemah, dan pusing merupakan keluhan yang paling sering ditemukan.
Jenis keluhan
Jenis Pemeriksaan Fisis
%
Pucat Perdarahan Kulit Gusi Retina Hidung Saluran cerna Vagina Demam Hepatomegali Splenomegali
PEMERIKSAAN LABORATORIUM Darah Tepi Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenis anemia adalah normokrom normositer. Kadang-kadang, ditemukan pula makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus.
OO /
Perdarahan Badan lemah Pusing Jantung berdebar Demam Nafsu makan berkurang Pucat Sesak napas Penglihatan kabur Telinga berdengung
PEMERIKSAAN FlSlS Hasil pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada Tabel 4 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan
Gambar 2. Sumsum tulang normal (Kiri) dan aplastik (Kanan). (Diambil dari www.ashimagebank.org)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Persentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Pada sebagian kecil kasus, persentase retikulosit ditemukan lebih dari 2%. Akan tetapi, bila nilai ini dikoreksi terhadap beratnya anemia (corrected reticulocyte count) maka diperoleh persentase retikulosit normal atau rendah juga. Adanya retikulositosis setelah dikoreksi menandakan bukan anemia aplastik.
Laju Endap Darah Laju endap darah selalu meningkat. Penulis menemukan bahwa 62 dari 70 kasus (89%) mempunyai laju endap darah lebih dari 100 mm dalam jam pertama. Faal Hemostasis Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh trombositopenia. Faal hemostasis lainnya normal. Sumsum Tulang Karena adanya sarang-sarang hemopoiesis hiperaktif yang mungkin teraspirasi, maka sering diperlukan aspirasi beberapa kali. Diharuskan melakukan biopsi sumsum tulang pada setiap kasus tersangka anemia aplastik. Hasil pemeriksaan sumsum tulang sesuai kriteria diagnosis. Virus Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus Hepatitis, HIV, parvovirus, dan sitomegalovirus. Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa Tes ini diperlukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai penyebab. Kromosom Pada anemia aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan kromosom. Pemeriksaan sitogenetik denganfluorescence in situ hybridization (FISH) dan imunofenotipik dengan flow cytometry diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding, seperti myelodisplasia hiposelular. Defisiensi lmun Adanya difisiensi imun diketahui melalui penentuan titer immunoglobulin dan pemeriksaan imunitas sel T. Lain-lain Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak, dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional. Kadar eritropoetin ditemukan meningkat pada anemia aplastik.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS Nuclear Magnetic Resonance lmaging Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk inengetahui luasnya perlemakan karena dapat membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum tulang berlemak dan surnsum tulang berselular. Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning) Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh setelah disuntik dengan koloid radioaktif technetium s u l h yang akan terikat pada makrofag sumsum tulang atau iodium chloride yang akan terikat pada transferin. Dengan bantuan scan sumsum tulang dapat ditentukan daerah hemopoeisis aktif untuk memperoleh sel-sel guna pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel-sel induk.
DIAGNOSIS BANDING Adanya sumsum tulang berlemak pada biopsi menunjukkan aplasia; namun hiposelularitas sumsum dapat terjadi pada penyakit hematologi lainnya. Uji diagnostik yang baru telah mempengaruhi diagnosis banding dan pemahaman kita tentang kegagalan sumsum tulang (Gambar 3). Perbedaan antara anemia aplastik didapat dan herediter telah dipertajam dengan assay spesifik untuk kelainan kromosomal dan zat kimia tertentu yang menandai anemia Fanconi. Meskipun biasanya muncul pada anak-anak, anemia Fanconi dapat didiagnosis pada saat dewasa, walaupun tanpa kelainan skeletal atau urogenital. Sumsum tulang hiposelular dibutuhkan untuk diagnosis anemia aplastik. Namun, aspirat kadang-kadang secara mengejutkan tampak selular meskipun secara keseluruhan sumsum tulang hiposelular, sebab sebagian besar pasien masih mempunyai sarang-sarang hemopoiesis yang masih berlangsung. Jadi, core biopsy 1-2 cm penting untuk pengkajian selularitas. Diseritropoiesis ringan bukan tidak lazim pada anemia aplastik, khususnya pada pasien yang juga memiliki populasi sel-sel hemoglobinuria nokturnal paroksismal kecil sampai sedang. Namun, adanya sejumlah kecil selsel blas myeloid, atau gambaran displastik seri myeloid atau megakaryosit membantu diagnosis sindrom myelodisplatik hipoplastik.
Myelodisplasia Hiposelular Membedakan anemia aplastik dari sindrom myelodisplastik hipoplastik dapat menjadi tantangan, khususnya pada pasien yang lebih tua, karena sindrom ini lebih banyak
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1121
ANEMIA APLASTIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Oambar 3. Tumapang tindih antara kelainan anemia aplastik dan diagnosis hndngnya (ModlfikasI dati Ycrumg, 20CB)
terjadi. Proporsi sel-sel CD34' di sumsum tulang mungkin membantu pada beberapa kasus. CD34 diekspresikan pada sel-sel asall induk hemopoietik dan bersifat fundamental untuk patofisiologi kedua kelainan ini. Pada sindrom myelodisplastik, ekspansi klonal muncul dari sel asal CD34'; pada anemia aplastik didapat, sel-sel asal CD34+ merupakan target serangan autoimun. Dengan demikian, proporsi sel-sel CD34' adalah 0,3% atau kurang pada pasien anemia aplastik, sedangkan proporsinya normal (0,5-1,0%) atau lebih tinggi pada sindrom myelodisplatik hipoplastik. Pemeriksaan sitogenetik sel-sel sumsum tulang sekarang sudah rutin dilakukan, tetapi interpretasi hasil dapat kontroversial. Kromosom urnumnya normal pada anemia aplastik, tetapi aneuploidi atau abnormalitas struktural relatif sering pada sindrom myelodisplastik. Jika sumsum tulang normal atau hiperselular dan sel-sel hematopoietik jelas-jelas dismorfik, maka myelodisplasia mudah dibedakan dari anemia aplastik..Namun, mungkin pada sekitar 20% kasus, sumsum tulang tampak hiposelular, selain itu, perubahan morfologinya mungkin ringan atau meragukan, dan uji kromosom memberikan hasil normal atau tidak berhasil. Diagnosis handing lebih dipersulit dengan evolusi anemia aplastik yang telah diobati menjadi myelodisplasia.
Anemia Aplastik d a n Hemoglobinuria Nokturnal Paroksismal (PNH) Terdapat hubungan klinis yang sangat kuat antara anemia aplastik dan PNH. Pada PNH, sel asal hematopoietik abnormal menurunkan populasi sel darah merah, granulosit, dan trombosit yang semuanya tidak mempunyai sekelompok protein permukaan sel. Dasar genetik PNH adalah mutasi didapat pada gen PIG-A di kromosom X yang menghentikan sintesis struktur jangkar glikosilfostatidilinositol. Defisiensi protein ini menyebabkan hemolisis intravaskular, yang mengakibatkan ketidakmampuan eritrosit untuk menginaktivasi komplemen permukaan. Tidak adanya protein tersebut mudah dideteksi denganflow cytometry eritrosit dan leukosit, tes Ham dan sukrosa sekarang sudah ketinggalan jaman (obsolete) Telah lama diketahui bahwa beberapa pasien PNH akan mengalami kegagalan sumsum tulang, dan sebaliknya, PNH dapat ditemukan sebagai "peristiwa klonal lanjut" bertahun-tahun setelah diagnosis anemia aplastik. Pemeriksaan flow cytometry memperlihatkan bahwa sejumlah besar pasien dengan kegagalan sumsum tulang mengalami e k s p w i klon PNH hematopoietik pada saat datang.
Leukemia Limfositik Granular Besar Penyakit ini juga dapat menjadi diagnosis untuk sumsum tulang yang kosong atau displastik. Limfosit granular besar dapat dikenali dari fenotipenya yang berbeda pada pemeriksaan mikroskopik darah, yaitu pola pulasan selsel khusus pada flow cytometry, dan ketidakteraturan reseptor sel T yang membuktikan adanya ekspansi monoklonal populasi sel T.
PENATALAKSANAAN Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang (TST). Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok (matched sibling donor), dan faktor-faktor risiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi hams dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1122
HEMATOLOGI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
terapi imunusupresi atau TST. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi TST lebih baik dan sedikit mengalami GVHD. Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan serangkaian terapi imunusupresif. Pasien berusia lebih dari 20 tahun dengan hitung neutrofil 200-5001 mm3 tampaknya lebih mendapat manfaat dari imunosupresi dibandingkan TST. Secara umum, pasien dengan hitung neutrofil yang sangat rendah cenderung lebih baik dengan TST, karena dibutuhkan waktu yang lebih pendek untuk resolusi neutropenia (hams diingat bahwa neutropenia pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif mungkin baru membaik setelah 6 bulan). Untuk pasien usia menegah yang memiliki donor saudara yang cocok, rekomendasi terapi hams dibuat setelah memperhatikan kondisi kesehatan pasien secara menyeluruh, derajat keparahan penyakit, dan keinginan penyakit. Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik (Gambar 4).
TERAPI KONSERVATIF Terapi lmunosupresif Terapi imunosupresif merupakan modalitas terapi terpenting untuk sebagian besar pasien anemia aplastik. Obat-obatan yang termasuk dalam terapi imunosupresif
adalah antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CsA). Mekanisme kerja ATG atau ALG pada kegagalan sumsum tulang tidak diketahui dan mungkin melalui: =. Koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal, Stimulasi langasung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis. Regimen imunosupresi yang paling sering dipakai adalah ATG dari kuda (ATGam dosis 20 mglkg per hari selama 4 hari) atau ATG kelinci (thymoglobulin dosis 3,5 mgkg per hari selama 5 hari) plus CsA (12- 15 mglkg, bid) umumnya selama 6 bulan. Berdasarkan hasil penelitian pada pasien yang tidak berespons terhadap ATG kuda, ATG kelinci tampaknya sama efektif dengan ATG kuda. Angka respons terhadap ATG kuda bervariasi dari 70-80% dengan kelangsungan hidup 5 tahun 80-90%. ATG lebih unggul dibandingkan CsA, dan kombinasi ATG dan CsA memberikan hasil lebih baik dibandingkan ATG atau CsA saja. Penambahan granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) dapat memulihkan neutropenia tetapi tidak menambah kelangsungan hidup. Namun respons awal terhadap G-CSF setelah terapi ATG merupakan faktor prognostik yang baik untuk respons secara keseluruhan. Secara umum, pasien yang berespons terhadap kombinasi ATG/ CsA mempunyai kelangsungan hidup yang sangat
---
--
Usia > 35 tahun atau tidak ada HLA matched sibling
Transplantas~ Ada respons
I
Tidak ada respons
i i Tidak ada respons
Faktor pertumbuhan hematopoletik atau androgen atau matched ut~related transplant
Gambar 4. Algoritme penatalaksanaan pasien anemia berat (Diambil dari Bagby, 2004)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANEMIA APUSTlK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI baik, sedangkan mereka yang refrakter mempunyai kelangsungan hidup yang kurang. Perhitungan pada 3 bulan setelah terapi ATG mempunyai korelasi yang baik dengan prognosisjangka panjang. Regimen imunosupresif yang lebih baru memakai mycophenolate mofetil, dan dalam konteks toksisitas CsA, Zenapax (anti-IL-2 receptor [CD25] monoclonal antibody) mungkin bermanfaat tetapi keampuhan obat-obat ini belum terbukti. Campath-1H saat ini juga sedang diuji untuk keadaan-keadaan refrakter untuk mengkaji potensi pemanfaatnnya sebagai obat imunosupresif. Kegagalan terapi imunosupresif mungkin mencerminkan undertreatment atau kelelahan cadangan sel-sel asal sebelum pemulihan hematopoietik. Di samping itu, tidak adanya respons terapi mungkin juga disebabkan salah diagnosis atau adanya patogenesis non-imun, seperti anemia aplastik herediter. Relaps dapat disebabkan penghentian dini imunosupresi, dan hitung darah pasien sering masih tergantung CsA. Terapi induksi dengan regimen ATG masa kini atau bahkan siklofosfamid dapat pula tidak cukup untuk mengeliminasi sel-sel T autoimun. Pasien-pasien refrakter dapat diobati lagi dengan ATG multipel, yang dapat menghasilkan kesembuhan (salvage) pada sejumlah pasien. Suatu penelitian pada pasien yang refiakter dengan ATG kuda, ATG kelinci menghasilkan angka respons 50% dan kelangsungan hidup jangka panjang yang sangat baik. Siklofosfamid dosis tinggi telah dianjurkan sebagai terapi lini pertarna yang efektif untuk anemia aplastik. Angka respons yang tinggi dikaitkan dengan pencegahan kekambuhan dan juga penyakit klonal. Namun, sitopenia yang berkepanjangan menghasilkan toksisitas yang berlebihan akibat komplikasi neutropenik menyebabkan penghentian uji klinik. Follow-up jangka panjang pada pasien yang mendapat siklofosfamid memperlihatkan bahwa relaps dan penyakit klonal dapat terjadi setelah terapi ini. Oleh karena itu, penggunaan siklofosfamid hanya untuk kasus-kasus tertentu atau sebagai bagian dari uji terkontrol dengan spektrum indikasi yang sempit. ATG atau ALG diindikasikanpada: 1). Anemia aplastik bukan berat, 2). Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok, 3). Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun, dan pada saat pengobatan tidak terdapat infeksi atau perdarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/ mm3. Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat, sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid. Kortikosteroid ditambahkan untuk melawan penyakit serum intrinsik terhadap terapi ATG, yaitu prednison 1 mgl kgbb selarna 2 minggu pertama pemberianATG Di samping itu, neutropenia dan trombositopenia yang ada akan semakin berat. Kira-kira 40-60%pasien berespons terhadap ATG dalam 2-3 bulan (hampir tidak pemah dalam 2-3
minggu pertama). Walaupun tidak terjadi remisi total transfusi komponen darah tidak dibutuhkan lagi. Kira-kira 30-50%dari mereka yang berhasil akan kambuh lagi dalam 2 tahun berikutnya. Pada golongan pasien ini yang kebanyakan berespons lagi bila diberi ATG. Kira-kira 25% pasien yang semula tidak memberikan respons, terjadi respons pada pemberian ATG 2-4 bulan setelah pemberian pertama. Siklosporin bekerja dengan menghambat aktivasi dan proliferasi prekursor limfosit sitotoksik. Dosisnya adalah 3- 10 mgfl
Secara konseptual, analog dengan terapi penyakit keganasan, terapi imunusupresif intensif dengan ATG dapat dipandang sebagai terapi induksi, yang mungkin membutuhkan periode pemeliharaan lama dengan CsA atau bahkan re-induksi. Angka relaps stelah terapi imunusupresif adalah 35% dalam 7 tahun. Secara umum, relaps mempunyai prognosis yang baik dan kelangsungan hidup pasien tidak memendek. Pasien dengan hitung darah yang turun dapat menerima CsA, dan jika tidak berhasil, harus diberikan ATG ulang. Angka respons dapat dibandingkan dengan yang tampak pada ATG inisial. Pada beberapa contoh, ATG kelinci dapat dipakai ketimbang ATG kuda. Siklofosfarnid dosis tinggi telah disarankan untuk imunusupresi yang mencegah relaps. Namun, ha1 ini belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan lama respons lebih dari 1 tahun, Sebaliknya, 75% respons terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama, dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG.
Kelelahan cadangan sel asal lmunosupresi tidak cukup Sal ah diagnosis Kegagalan sumsum tulang herediter
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
Anemla aplastik diperantarai imun Serangan imun persisten Patogenesis non-imun
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI TERAPl PENYELAMATAN (SALVAGE THERAPIES) Siklus lmunosupresi Berulang Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespons terhadap siklus imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, angka penyelamatan yang bermakna pada pasien yang refrakter ATG kuda tercapai dengan siklus kedua ATG kelinci. Namun, siklus ketiga tampaknya tidak dapat menginduksi respons pada pasien yang tidak berespons terhadap terapi ulangan. Upaya melakukan terapi penyelamatan dapat menunda transplantasi sumsum tulang. Namun dampaknya masih kontroversial. Pasien dengan donor saudara yang cocok dan tidak berespons terhadap terapi ATGI CsA harus menjalani TST. Selain terapi ATG berulang, obat-obat baru seperti Campath-1H atau antibodi monoklonal anti-CD3 dapat digunakan dalam konteks uji klinik. Faktor-faktor Pertumbuhan Hematopoietik dan Steroid Anabolik Penggunaan granulocyte-colony stimulatingfactor (G-CSF, Filgrastim dosis 5 iglkghari) atau GM-CSF (Sargramostim dosis 250 iglkglhari) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil walaupun tidak bertahan lama. Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya modalitas terapi anemia aplastik. Beberapa pasien akan memperlihatkan pemulihan neutropenia dengan G-CSF, tetapi neutropenia berat karena anemia aplastik biasanya refrakter. Jika dikombinasi dengan regimen ATGI CsA, G-CSF dapat memperbaiki neutropenia dan respons terapi ini merupakan faktor prognostik dini yang positif untuk respons di masa depan. Peningkatan dosis G-CSF tampaknya tidak bermanfaat. Kombinasi G-CSF dengan obat lain telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasuskasus refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien. Namun, beberapa laporan mengaitkan terapi G-CSF yang lama sebagai penyebab evolusi klonal, khususnya monosomi-7. Steroid Anabolik Steroid anabolik digunakan secara luas untuk terapi anemia apalstik sebelum penemuan terapi imunosuresif. Androgen merangsang produksi eritropoietin dan sel-sel induk sumsurn tulang. Saat ini, androgen hanya digunakan sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif. Androgen yang tersedia saat ini antara lain oxymethylone dan danazol. Obat-obat ini terbukti bermanfaat bagi sebagian pasien anemia aplastik ringan. Pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Komplikasi utama adalah virilisasi dan hepatotoksitas.
TRANSPLANTASI SUMSUM TULANG Regimen conditioning yang paling sering adalah siklofosfamid dan ATG dan telah terbukti lebih unggul dibandingkan regimen terdahulu yaitu siklofosfamid plus total thoracoabdominal irradiation. Perbaikan pada perawatan pasien dan terapi graft-versus-host disease telah membuat TST menjadi prosedur yang jauh lebih aman dan menjadikan TST suatu pilihan bagi lebih banyak pasien anemia aplastik. TST menyediakan alternatif terapi yang benar-benar kuratif berlawanan dengan komplikasi jangka panjang terapi IS konservatif, termasuk perkembangan MDS dan angka relaps yang tinggi. TST allogenik tersedia untuk sebagian kecil pasien (hanya sekitar 30% yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Dengan perbaikan umum, TST dapat memberikan kelangsungan hidup jangka panjang sebesar 94% (dengan donor saudara yang cocok). Hasil yang lebih baik telah dilaporkan pada pasien anak, tetapi tidak demikian halnya pada pasien yang lebih tua. Dengan demikian, TST hams ditawarkan sebagai pilihan kepada pasien anak dan dewasa muda yang memiliki donor cocok. Batas usia untuk TST sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia lebih tua dari 3035 tahun, lebih baik dipilih terapi imunosupresif intensif sebagai upaya pertama. Transplantasi sumsurn tulang alogenik dengan saudara kandung HLA-A,B,-DR-matched, mencapai angka keberhasilan remisi komplit permanen lebih dari 80% pada kelompok pasien terpilih yang berumur h a n g dari 40 tahun dan bisa hidup lama. Makin meningkat wnur, makin meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor yang disebut graft-versus-host disease (GVHD). Transplantasi sumsum tulang antara umur 40-50 tahun mengandung risiko meningkatnya GVHD dan mortalitas. Transplantasi sumsum tulang dapat dikerjakan Pada umumnya, bila pasien berumur kurang dari 50 tahun yang gaga1 dengan ATG, dan mempunyai saudara kandung sebagai donor yang cocok maka pemberian transplantasi sumsurn tulang perlu dipertimbangkan. Akan tetapi dengan pemberian imunosupresif sering diperlukan transfusi selama beberapa bulan. Bila transfusi komponen darah sangat diperlukan, sedapat mungkin diambil dari mereka yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang untuk membatasi reaksi penolakan cangkokan (graft rejection) yang kelak dapat mengurangi keberhasilan transplantasi sumsum tulang, karena antibodi yang terbentuk akibat transfusi. Pada pasien yang belum ditransfusi, 10 tahun setelah transplantasi sumsum tulang, yang hidup mencapai 81%, sedangkan bagi yang telah mendapat transfusi sebelumnya yang hidup hanya 46%.
Kriteria Respons Kelompok European Bone Marrow Transplantation
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANEMIA APLASTIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI (EBMT) mendefinisikan respons terapi sebagai berikut: Remisi komplit: bebas transhsi, granulosit sekurangkurangnya 2000/mm3, dan trombosit sekurangkurangnya 100.000/mrn3. Remisi sebagian: tidak tergantung pada transfusi, granulosit di bawah 2000/mm3,dan trombosit di bawah 100.000/mm3. Refrakter: tidak ada perbaikan.
Kejadian ini mungkin merupakan riwayat alamiah penyakit walaupun komplikasi tersebut lebih jarang ditemukan pada transplantasi sumsum tulang.
- '
Bila terdapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular. Risiko perdarahan meningkat bila trombosit kurang dari 20.0001 mm3. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat perdarahan atau kadar trombosit di bawah 20.000/mm3 (profilaksis). Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusitrombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung) atau pemberian gammaglobulin dosis terapi. Timbulnya sensitisasi dapat diperlambat dengan menggunakan donor tunggal. Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek. Pada infeksi berat, khasiatnya hanya sedikit sehingga pemberian antibiotik masih diutamakan.
PROGNOSIS DAN PERJALANAN PENYAKIT Riwayat alamiah anemia aplastik dapat berupa: 1). Berakhir dengan remisi sempuma. Hal ini jarang terjadi kecuali bila iatrogenik akibat kemoterapi atau radiasi. Remisi sempuma biasanya terjadi segera. 2). Meninggal dalam 1 tahun. Hal ini terjadi pada sebagian besar kasus. 3). Bertahan hidup selama 20 tahun atau lebih. Membaik dan bertahan hidup lama namun kebanyakan kasus mengalami remisi tidak sempurna. Jadi, pada anemia aplastik telah dibuat cara pengelompokan lain untuk membedakan antara anemia aplastik berat dengan prognosis buruk dengan anemia aplastik lebih ringan dengan prognosis yang lebih baik. Dengan kemajuan pengobatan prognosis menjadi lebih baik. Penggunaan imunosupresif dapat meningkatkan keganasan sekunder. Pada penelitian di luar negeri dari 103 pasien yang diobati dengan ALG, 20 pasien diikuti jangka panjang berubah menjadi leukemia akut, mielodisplasia, PNH, dan adanya risiko terjadi hepatoma.
ANEMIA APLASTIK HEREDITER Sindrom kegagalan sumsum tulang herediter antara lain meliputi anemia Fanconi, diskeratosis kongenita, sindrom Shwachman-Diamond, dan trombositopenia megakaryositik. Sebagian besar anemia aplastik (AA) bersifat didapat, namun ada juga bentuk-bentuk AA yang diwariskan. Kelainan-kelainan ini sangat jarang, mirip dengan AA didapat tetapi jarang berespons terhadap terapi imunosupresif. Kegagalan sumsum tulang herediter biasanya muncul pada usia dekade pertama dan kerap disertai anomali fisik (tubuh pendek, kelainan lengan, hipogonadisme, bintik-bintik cafk-au-lait pada anemia Fanconi). Beberapa pasien mungkin mempunyai riwayat keluarga dengan sitopenia. Dalam kelompok ini, anemia Fanconi adalah penyakit yang paling sering ditemukan. Anemia Fanconi merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh defek pada DNA repair dan memiliki predisposisi ke arah leukemia dan tumor padat. Diskeratosis kongenital, adalah sindrom kegagalan sumsum tulang diwariskan yang secara klasik muncul dengan triad pigmentasi kulit abnormal, distrofi kuku, dan leukoplakia mukosa. Kelainan ini memiliki heterogenitas dan manifestasi klinik yang beragam. Terdapat bentuk-bentuk X-linked recessive, autosomal dominan, dan autosomal resesif. Bentuk X-linked recessive diakibatkan oleh mutasi pada gen DKCI, yang menghasilkan protein dyskerin, yang penting untuk stabilisasi telomerase. Gangguan telomerase menyebabkan pemendekan telomer lebih cepat, kegagalan sumsum tulang, dan penuaan dini (premature aging). Diskeratosis congenita autosomal dominan disebabkan mutasi pada gen TERC (yang menyandi komponen RNA telomerase) yang pada akhimya mengganggu aktivitas telomerase dan pemendekan telomer abnormal. Sejumlah kecil pasien (kurang dari 5%) yangs disangka menderita AA didapat memiliki mutasi TERC. Trombositopenia amegakaryositik diwariskan merupakan kelainan yang ditandai oleh trombositopenia berat dan tidak adanya megakaryosit pada saat lahir. Sebagian besar pasien mengalami missense atau nonsense mutations pada gen C-MPL. Banyak dari antara mereka mengalami kegagalan sumsum tulang multilineage di usia dua puluhan. Sindrom Shwachman-Diamond adalah kelainan autosomal resesif yang ditandai dengan disfungsi eksokrin pankreas, disostosis metafiseal, dan kegagalan sumsum tulang. Seperti pada anemia Fanconi, pasien sindrom ini mengalam peningkatan risiko terjadinya myelodisplasia atau leukemia pada usia yang sangat muda. Belum ada lesi genetik yang dianggap menjadi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
.
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Hariman H. Soeroso L. Succesful marrow recovery after eHuGM-
penyebabnya, tetapi mutasi sebuah gen di kromosom 7 telah dikaitkan dengan penyakit ini.
REFERENS1 Adamson JW and Erslev AY. Aplastic anemia. In: Williams WJ, Beutler E, EWslev AY, Lichtman MA, editors. Hematology. 4Ih edition. New York: Mc. Graw-Hill; 1990. p. 158-74 Alter BP. Bone marrow failure: a child is not just a small adult (but an adult can have a childhood disease). Hematology. 2005:96103. Bagby GC. Lipton JM, Sloand EM, Schiffer. Marrow failure. Hematology. 2004:3 18-36. Brodsky RA, Jones RJ. Aplastic anemia. Lancet. 2005;365:164756 Fibbe WE. Telomerase mutations in aplastic anemia. N Engl J Med. 2005;352: 1481-3. Gluckman E, Esperou-Bourdeau H, Baruchel A, Boogaerts M, Briere J, Donadio D, et al. Muticentre randomized study comparing cyclosporine-A alone and antithymocyte globulin with prednisone for treatment of severe aplastic anemi. Blood. 1992;79:2540-6. Gordon-Smith EC. Aplastic anemia and allied disorders. Curr Opin Hematol. 1993:45-51.
CSF treatment in a patient with idiophatic aplastic anemia. KONAS VII Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia & International scientific meeting of Haematologist from Southeast Asian Coutries, Medan, Desember 1993. Maciejewski JP, Risitano AM. Aplastic anemia: management of adult patients. Hematology. 2005:llO-17. Rosenfeld S, Follmann D, Nunez 0 , Young NS. Antithymocyte globulin and cyclosporine for severe aplastic anemia. Association between hematologic response and long-term outcome. JAMA. 2003;289(9): 1130-5. Salonder H. Gambaran klinik anemia aplastik dan kriteria ramalan pasien berumur pendek. Skripsi. Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1983. Thompson LH. Unraveling the Fanconi anemia-DNA repair connection. Nat Genet. 2005;37:921-2. Yamaguchi H, Calado RT, Ly H, Kajigaya S, Baerlocher GM, Chanock SJ, et al. Mutation in TER7: the gene for telomerase reverse transcriptase, in aplastic anemia. N Engl J Med. 2005;352(14): 1413-24. Young NS. The pathophysiology of acquired aplastic anemia. N Engl J Med. 1997;336(19):1365-72. Young NS. Acquired aplastic anemia. Ann Intern Med. 2002;136:5346.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ANEMIA DEFISIENSI BESI IMade Bakta, Ketut Suega, Tjokorda Gde Dharmayuda
PENDAHULUAN Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.ADB ditandai oleh anemia hipokromikmikrositer dan hasil laboratoriurn yang menunjukkan cadangan besi kosong. Berbeda dengan ADB, pada anemia akibat penyakit kronik penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang oleh karena pelepasan besi dari sistem retikuloendotelial berkurang, sedangkan cadangan besi masih normal. Pada anemia sideroblastikpenyediaan besi untuk eritropoesis berkurang karena gangguan mitokondria yang menyebabkan inkorporasi besi ke dalam heme terganggu. Oleh karena itu ketiga jenis anemia ini digolongkan sebagai anemia dengan gangguan metabolisme besi. Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai, terutama di negara-negara tropik atau negara dunia ketiga, oleh karena sangat berkaitan erat dangan taraf sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia yang memberikan dampak kesehatan yang sangat merugikan serta dampak sosial yang cukup serius.
sebagian besar besi berasal dari sumber nabati, tetapi perangkat absorbsi besi tidak mengalami evolusi yang sama, sehingga banyak menimbulkan defisiensi besi.
KOMPARTEMEN BESl DALAM TUBUH Besi terdapat dalam berbagai jaringan dalam tubuh berupa: (1) senyawa besi fungsional, yaitu besi yang membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh; (2) besi cadangan, senyawa besi yang dipersiapkan bila masukan besi berkurang; (3) besi transport, besi yang berikatan dengan protein tertentu dalam fungsinya untuk mengangkut besi dari satu kompartemen ke kompartemen lainnya. Besi dalam tubuh tidak pernah terdapat dalam bentuk logam bebas (free iron), tetapi selalu berikatan dengan protein tertentu. Besi bebas akan merusak jaringan, mempunyai sifat seperti radikal bebas. Dalam keadaan normal seorang laki dewasa mempunyai kandungan besi 50 mg/kgBB, sedangkan perempuan dewasa adalah 35 mg/ kgBB. Tabel 1 menggambarkan komposisi besi pada seorang laki-laki dengan berat badan 75 kg. Jumlah besi pada perempuan pada umumnya lebih kecil oleh karena massa tubuh yang juga lebih kecil.
METABOLISME BESl Besi merupakan trace element vital yang sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan hemoglobin, mioglobin dan berbagai enzim. Besi di alam terdapat dalam jumlah yang cukup berlimpah. Dilihat dari segi evolusi alat penyerapan besi dalam usus, maka sejak awal manusia dipersiapkan untuk menerima besi yang berasal dari sumber hewani, tetapi kemudian pola makanan berubah di mana
A
Senyawa besi fungsional
Hemoglobin 2300 mg Mioglobin 320 mg ~nzim-enzim 80 mg
B
Senyawa besi transportasi Senyawa besi cadangan
Transferin Feritin Hemosiderin
C
Total
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
3 mg 700 mg 300 mg 3803 mg
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan. Untuk memasukkan besi dari usus ke dalam tubuh diperlukan proses absorbsi. Absorbsi besi paling banyak terjadi pada bagian proksimal duodenum disebabkan oleh pH dari asam lambung dan kepadatan protein tertentu yang diperlukan dalam absorbsi besi pada epitel usus. Proses absorbsi besi dibagi menjadi 3 fase: FaseLuminal: besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian siap diserap di duodenum. Fase Mukosal: proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan suatu proses aktif. Fase Korporeal: meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan, dan penyimpanan besi. (storage) oleh tubuh.
Fase Luminal Besi dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk yaitu: Besi heme: terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsinya tinggi, tidak dihambat oleh bahan penghambat sehingga mempunyai bioavailabilitas tinggi. Besi hon-heme: berasal dari sumber tumbuh-tumbuhan, tingkat absorbsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan pemacu atau penghambat sehingga bioavailabilitasnya rendah. Yang tergolong sebagai bahan pemacu absorbsi besi adalah "meat factors" dan vitamin C, sedangkan yang tergolong sebagai bahan penghambat ialah tanat, phytat dan serat fibre). Dalam lambung karena pengaruh asam lambung maka besi dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri ke fero yang siap untuk diserap. Fase Mukosal Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan terkendali (carefully regulated). Besi dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Sel absorptif terletak pada puncak dari vili usus (apical cell). Pada brush border dari sel absortif, besi feri dikonversi menjadi besi fero oleh enzim ferireduktase, mungkin dimediasi oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui membran difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT 1, disebut juga sebagai Nramp 2). Setelah besi masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui basolateral transporter (ferroprotin disebut juga sebagai IREG 1) ke dalam kapiler usus. Pada proses ini terjadi reduksi dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh hephaestin, yang identik dengan seruloplasmin pada
metabolisme tembaga), kemudian besi (feri) diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus. Besi heme diabsorbsi melalui proses yang berbeda yang mekanismenya belum diketahui dengan jelas. Besi heme dioksidasi menjadi hemin, yang kemudian diabsorbsi secara intak (utuh) diperkirakan melalui suatu reseptor. Absorbsi besi heme jauh lebih efisien dibandingkan dengan besi non-heme. Besar kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau diloloskan ke basolateral diatur oleh "set point" yang sudah diset saat enterosit berada pada dasar kripta Lieberkuhn, kemudian pada waktu pematangan bermigrasi ke arah puncak vili sehingga siap sebagai sel absorptif. Dikenal adanya mucosal block, suatu fenomena di mana setelah beberapa hari dari suatu bolus besi dalam diet, maka enterosit resisten terhadap absorbsi besi berikutnya. Hambatan ini mungkin timbul karena akumulasi besi dalam enterosit sehingga menyebabkan set-point diatur seolah-olah kebutuhan besi sudah berlebihan.
Gambar 1. Proses absorpsi besi pada permukaan duodenum
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1129
ANEMIA DEFlSlENSI BESl
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI FASE KORPOREAL Besi setelah diserap oleh enterosit (epitel usus), melewati bagian basal epitel usus, meniasuki kapiler usus, kemudian dalaln darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Transt'erin akan melepaskan besi pada sel RES melalui proses pinositosis. Satu molekul transferin dapat mengikat maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada transferin (Fe,-Tf) akan diikat oleh reseptor transferin ( t r u t ~ s f e r r i nreceptors T f r ) yang terdapat pada perm~~kaan sel, terutama sel nonnoblas. Kompleks Fe,-TtTfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi oleh klatrin (cluthrit7-cocrtc~c/pit), cekungan ini mengalami invaginasi sehingga lnembentuk endosom. Suatu polnpa proton menurunkan pH dalatn endosom, menyebabkan perubahan konforniasional dalam protein sehingga melepaskan ikatan besi dengan transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplastna dengan bantuan DMTI, sedangkari ikatan apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali.
-
MEKANISME REGULASI ABSORBS1 BESl Terdapat 3 rnekanisme regulasi absorbsi besi dalam usus : Regulator dietetik. Absorbsi besi dipengaruhi oleh jenis diet dimana besi terdapat. Diet dengan biovailabilitas tinggi yaitu besi heme, besi dari sumber hewani, serta adanya faktor enhancer akan nieningkatkan absorbsi besi. Sedangkan besi dengan bioavaibilitas rendah adalah besi non-heme, besi yang berasal dari sumber nabati dan banyak mengandung inhibitor akan discrtai prosentase absopsi besi yag rendah. Pada Llic,t~ri:~r e g l i l ~ ~ ~ini o jr uga . dikenal adanya ~iz~co.\(c~l block, seperti yang telah diuraikan di depan. Regulator simpanan. Penyerapan besi diatur melalui besarnya cadangan besi dala~n~ L I ~ L Penyerapan I ~ . besi rendah jika cadangan besi tinggi, sebaliknya apabila cadangan besi rendah maka absorbsi besi akan ditingkatkan. Bagaimana mekanisme regulasi ini bekerja belum diketahui dengan pasti. Diperkirakan melalui crypt-cc.11 progr-cr~ntnitl~ sehubungan dengan respon saturasi transtkrin plasma dengan besi. Regulator eritropietik. Besar absorbsi besi berhubunpan kecepatan eritropoesis. Er\-thropoietic regz~ltrtor mempunyai kemampuan reg~~lasi absorbsi besi lebih tinggi dibandingkan dengan \tor-c>.\ rc~gzrlutor~. Mekanisme vi.t.rhr'oix)wtiC regulrrtor ini belum dihetahui dengan pasti. I
misalnya pada anemia hemolitik autoimun. Oleh karena itu hemokromatosis sekunder jauh lebih sering pada keadaan pertarna dibandingkan dengan keadaan kedua. Akhir-akhir ini ditemukan suatu.peptida hormonal kecil yaitu hepcidin yang diperkirakan mempunyai peran sebagai soluble regulator absorbsi besi dalam usus.
SIKLUS BESl DALAM TUBUH Pertukaran besi dalatn tubuh merupakan lingkaran yang tertutup yang diatur oleh besarnya besi yang diserap usus, sedangkan kehilangan besi fisiologik bersifat tetap. Besi yang diserap itsus setiap hari berkisar antara 1-2 mg, ekskresi besi terjadi dalam jumlah yang sama melalui eksfoliasi epitel. Besi dari usus dalam bentuk transferin akan beigabung dengan besi yang dimobilisasi dari niakrofag dalam sumsurn tulang sebesar 22 mg untuk dapat memenuhi kebutuhan eritropoesis sebanyak 24 mg per hari. Eritrosit yang terbentuk secara efektif yang akan beredar melalui sirkulasi memerlukan besi 17 mg, sedangkan besi sebesar 7 mg akan dikembalikan ke makrofag karena terjadinya eritropoesis inefektif (hemolisis intramedular). Besi yang terdapat pada eritrosit yang beredar, setelah niengalarni proses penuaan juga akan dikembalikan pada makrotig sumsum tulang sebesar 17 mg. Sehingga dengall demihian dapat dilihat suatu lingkaran tertutup (closed c ~ r c u ~yang t ) sangat etisien, seperti yang dilukiskan pada Gambar 2.
I
Gambar 2. Skerna siklus pertukaran besi dalarn tubuh
KLASlFlKASl DERAJAT DEFlSlENSl BESl Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan:
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Deplesi besi (iron depleted state): cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoiesis): cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik. Anemia defisiensi besi: cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi besi.
PREVALENSI Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai baik di klinik maupun di masyarakat. ADB merupakan anemia yang sangat sering dijumpai di negara berkembang. Dari berbagai data yang dikumpulkan sampai saat ini, didapatkan gambaran prevalensi anemia defisiensi besi seperti tertera pada Tabel 2.
Afrika
Amerika Latin
Indonesia
6% 20%
3% 17 - 21%
16 - 50% 25 - 48%
60%
39 - 46%
46 - 92%
-
Laki dewasa Wanita tak hamil Wanita hamil
Belum ada data yang pasti mengenai prevalensi ADB di Indonesia. Martoatmojo et a1 memperkirakan ADB pada laki-laki 16-50% dan 25-84% pada perempuan tidak hamil. Pada pensiunan pegawai negeri di Bali didapatkan prevalensi anemia 36% dengan 61% disebabkan oleh karena defisiensi besi. Sedangkan pada penduduk suatu desa di Bali didapatkan angka prevalens ADB sebesar 27%. Perempuan hamil merupakan segmen penduduk yang paling rentan pada ADB. Di India, Amerika Latin dan Filipina prevalensi ADB pada perempuan hamil berkisar antara 35% sampai 99%. Sedangkan di Bali, pada suatu pengunjung puskesmas didapatkan prevalens anemia sebesar 50% dengan 75% anemia disebabkan oleh defisiensi besi. Dalam suatu survei pada 42 desa di Bali yang melibatkan 1684 perempuan hamil didapatkan prevalens ADB sebesar 46%, sebagian besar derajat anemia ialah ringan. Faktor risiko yang dijumpai adalah tingkat pendidikan dan kepatuhan meminum pi1 besi. Di Amerika Serikat, berdasarkan survei gizi (NHANES 111) tahun 1988 sampai tahun 1994, defisiensi besi dijumpai kurang dari 1% pada laki dewasa yang berumur kurang dari 50 tahun, 2-4% pada laki dewasa yang berumur lebih dari 50 tahun, 9- 11% pada perempuan masa reproduksi, dan 5-7% pada perempuan pascamenopause.
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya masukan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun: Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari: - saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid dan infeksi cacing tambang. - saluran genitalia perempuan: menorrhagia atau metrorhagia. - saluran kemih: hematuria - saluran napas: hemoptoe. Faktor nutrisi: akibat kurangnyajumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging). Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan. Gangguan absorbsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik. Pada orang dewasa anemia defisiensi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki ialah perdarahan gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Sedangkan pada perempuan dalam masa reproduksi paling sering karena meno-metrorhagia. Terdapat perbedaan pola etiologi ADB di masyarakat atau di lapangan dengan ADB di rumah sakit atau praktek klinik. ADB di lapangan pada umumnya disertai anemia ringan atau sedang, sedangkan di klinik ADB pada umurnnya disertai anemia derajat berat. Di lapangan faktor nutrisi lebih berperan dibandingkan dengan perdarahan. Bakta, pada penelitian di Desa Jagapati, Bali, mendapatkan bahwa infeksi cacing tambang mempunyai peran hanya pada sekitar 30% kasus, faktor nutrisi mungkin berperan pada sebagian besar kasus, terutama pada anemia derajat ringan sampai sedang. Sedangkan di klinik, seperti misalnya pada praktek swasta, ternyata perdarahan kronik memegang peran penting, pada laki-laki ialah infeksi cacing tambang (54%) dan hemoroid (27%), sedangkan pada perempuan menorhagia (33%), hemoroid dan cacing tambang masing-masing 17%.
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron depletedstate atau
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANEMIA DEFISlENSI BESI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai : iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan reseptor transferin dalam serum.Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai iron deJiciency anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.
PERUBAHAN FUNGSIONAL NON-ANEMIA PADA DEFlSlENSl BESl Di samping pada hemoglobin, besi juga menjadi komponen penting dari mioglobin dan berbagai ensim yang dibutuhkan dalam penyediaan energi dan transpor elektron. Oleh karena itu defisiensi besi di samping menimbulkan anemia, juga akan menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti misalnya pada (1) sistem neuromuskular yang mengakibatkan gangguan kapasitas kerja; (2) gangguan terhadap proses mental dan kecerdasan; ( 3 ) gangguan imunitas dan ketahanan terhadap infeksi; (3)gangguan terhadap ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Gangguan ini dapat timbul pada anemia ringan atau bahkan sebelum anemia manifes. Defisiensi besi menimbulkan penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom dan gliserofosfat oksidase, menyebabkan gangguan glikolisis yang berakibat penumpukan asam laktat sehinggamempercepat kelelahan otot. Defisiensi besi terbukti menurunkan kesegaran jasmani, sedangkan pada buruh pemetik teh terbukti menurunkan produktivitas kerja. Dampak negatif ini dapat dihilangkan jika diberikan preparat besi. Defisiensi besi menimbulkan gangguan perkembangan kognitif dan non-kognitif pada anak dan bayi sehingga dapat menurunkan kapasitas belajar. Hal ini diperkirakan karena gangguan pada enzim aldehid oksidase yang menyebabkan penumpukan serotonin, serta enzim monoaminooksidase yang menyebabkan penumpukan katekolamin dalam otak. Pengaruh defisiensi besi terhadap infeksi masih kontroversial. Ada yang berpendapat bahwa defisiensi
besi menyebabkan berkurangnya penyediaan besi pada bakteri sehingga menghambat pertumbuhan bakteri yang berakibat pada ketahanan terhadap infeksi. Di pihak lain besi dibutuhkan oleh enzim untuk sintesis DNA dan enzim mieloperoksidase netrofil sehingga menurunkan imunitas selular. Defisiensi besi dihubungkan dengan risiko prematuritas serta morbiditas dan mortalitas fetomaternal. Ibu hamil yang menderita anemia disertai peningkatan angka kematian maternal, lebih mudah terkena infeksi dan sering mengalami gangguan partus.
GEJALA ANEMIA DEFlSlENSl BESl Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu: Gejala umum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi, gejala penyakit dasar.
Gejala Umum Anemia Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome) dijurnpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindroma anemia tidak terlalu menyolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat, oleh karena mekanisme kompensasi tubuh dapat berjalan dengan baik. Anemia bersifat simtomatik jika hemoglobin telah turun di bawah 7 gldl. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konyungtiva dan jaringan di bawah kuku. Gejala Khas Defisiensi Besi Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemiajenis lain adalah: koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok (Gambar 3) atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang. stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak benvarna pucat keputihan disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti: tanah liat, es, lem, dan lain-lain. Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly adalah kumpulan gejala yang terdiri dari
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia.
Gejala Penyakit Dasar Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya pada anemia akibat penyakit cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut.
eritrosit. Indeks eritrosit sudah dapat mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Hapusan darah tepi (Gambar 4) menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, dan poikilositosis. Makin berat derajat anemia makin berat derajat hipokromia. Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia. Jika terjadi hipokromia dan mikrositosis esktrim, maka sel tampak sebagai sebuah cincin sehingga disebut sel cincin (ring cell), atau memanjang seperti elips, disebut sebagai sel pensil (pencil cell atau cigar cell). Kadang-kadang dijumpai sel target. Leukosit dan trombosit pada umumnya normal. Tetapi granulositopenia ringan dapat dijumpai pada ADB yang berlangsung lama. Pada ADB karena cacing tambang dijwnpai eosinofilia. Trombositosis dapat dijumpai pada ADB dengan episode perdarahan akut.
Gambar 3. Kuku sendok (koilonychia) pada jari tangan seorang pasien anemia defisiensi besi.
Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai adalah: Kadar Hemoglobin dan Indeks Eritrosit: didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCVdan MCH menurun. MCV < 70 fl hanya didapatkan pada anemia defisiensi besi dan thalassemia major. MCHC menurun pada defisiensi yang lebih berat dan berlangsung lama. Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi. Peningkatan anisositosis ditandai oleh peningkatan RDW (red cell distribution width). Dulu dianggap pemeriksaan RDW dapat dipakai untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik, tetapi sekarang RDW pada kedua jenis anemia ini hasilnya sering tumpang tindih. Mengenai titik pemilah MCV, ada yang memakai angka < 80 fl, tetapi pada penelitian kasus ADB di Bagian Penyakit Dalam FK UNUD Denpasar, dijumpai bahwa titik pemilah < 78 fl memberi sensitivitas dan spesifisitas paling baik. Dijumpai juga bahwa penggabungan MCV, MCH, MCHC danb RDW makin meningkatkan spesifisitas indeks
Gambar 4. Hapusan darah tepi pasien anemia defisiensi besi, menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis (A). Tampak beberapa sel pensil (panah), bandingkan dengan hapusan darah tepi normal di sebelahnya ( 6 ) .
Konsentrasi Besi Serum Menurun pada ADB, dan TIBC (total iron binding capacity) Meningkat. TIBC menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan saturasi transferin dihitung dari besi serum dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria diagnosis ADB, kadar besi serum menurun < 50 pgldl, total iron binding capacity (TIBC) meningkat > 350 pgldl, dan saturasi transferin < 15%. Ada juga yang memakai saturasi transferin < 16%, atau < 18%. Hams diingat bahwa besi serum menunjukkan variasi diurnal yang sangat besar, dengan kadar puncak pada jam 8 sampai 10 pagi. Feritin Serum Merupakan Indikator Cadangan Besi yang Sangat Baik, Kecuali pada Keadaan Inflamasi dan Keganasan Tertentu. Titik pemilah (cut offpoint) untuk feritin serum pada ADB dipakai angka < 12 pgll, tetapi ada juga yang memakai < 15 pgll. Untuk daerah tropik di mana
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANEMIA DEFISIENSI BESl
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI angka infeksi dan inflamasi masih tinggi, titik pemilah yang diajukan di negeri Barat tampaknya perlu dikoreksi. Pada suatu penelitian pada pasien anemia di rumah sakit di Bali pemakaian feritin serum < 12 pg/l dan < 20 pgll memberikan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 68% dan 98% serta 68% dan 96%. Sensitivitas tertinggi (84%) justru dicapai pada pemakaian feritin serum < 40 mgll, tanpa mengurangi spesifitas terlalu banyak (92%). Hercberg untuk daerah tropik menganjurkan memakai angka feritin serum < 20 mgll sebagai kriteria diagnosisADB. Jika terdapat infeksi atau inflamasi yang jelas seperti arthritis rematoid, maka feritin serum sampai dengan 50-60 pgll masih dapat menunjukkan adanya defisiensi besi. Feritin serum merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis IDA yang paling kuat oleh karena itu banyak dipakai baik di klinik maupun di lapangan karena cukup reliabel dan praktis, meskipun tidak terlalu sensitif. Angka feritin serum normal tidak selalu dapat menyingkirkan adanya defisiensi besi, tetapi feritin serum di atas 100 mg/dl dapat memastikan tidak adanya defisiensi besi. Protoporfirin merupakan bahan antara pada pembentukan heme. Apabila sintesis heme terganggu, misalnya karena defisiensi besi, maka protoporfirin akan menumpuk dalam eritrosit. Angka normal adalah kurang dari 30 mg/dl. Untuk defisiensi besi protoporfirin bebas adalah lebih dari 100 mgldl. Keadaan yang sama juga didapatkan pada anemia akibat penyakit kronik dan keracunan timah hitam. Kadar reseptor transferin dalam serum meningkat pada defisiensi besi. Kadar normal dengan cara imunologi adalah 4-9pg/L. Pengukuran reseptor transferin terutama dipakai untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik. Akan lebih baik lagi apabila dipakai rasio reseptor transferin dengan log feritin serum. Rasio >1,5 menunjukkan ADB dan rasio < 1,5 sangat mungkin karena anemia akibat penyakit kronik.
Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia normoblastik ringan sampai sedang dengan normoblas kecil-kecil. Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tak teratur. Normoblas ini disebut sebagai micronormoblast. Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (Per1 k stain) menunjukkan cadangan besi yang negatif (butir hemosiderin negatif). Dalam keadaan normal 40-60% normoblast mengandung granula feritin dalam sitoplasmanya, disebut sebagai sideroblas. Pada defisiensi besi maka sideroblast negatif. Di klinik, pengecatan besi pada sumsum tulang dianggap sebagai baku emas (gold standard) diagnosis defisiensi besi, namun akhir-akhir ini perannya banyak diambil alih oleh pemeriksaan feritin serum yang lebih praktis. Studi ferokinetik. Studi tentang pergerakan besi pada siklus besi dengan menggunakan zat radioaktif. Ada dua jenis studi ferokinetik yaitu plasma iron transport rate (PIT) yang mengukur kecepatan besi meninggalkan plasma,
dan erythrocyte iron turn over rate (EIT) yang mengukur pergerakan besi dari sumsum tulang ke sel darah merah yang beredar. Secara praktis kedua pemeriksaan ini tidak banyak digunakan, hanya dipakai untuk tujuan penelitian. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defisiensi besi.Antara lain pemeriksaan feses untuk cacing tambang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan semikuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, pemeriksaan darah samar dalam feses, endoskopi, barium intake atau barium inloop, dan lain-lain, tergantung dari dugaan penyebab defisiensi besi tersebut.
DIAGNOSIS Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi hams dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit. Cut offpoint anemia tergantung kriteria yang dipilih, apakah kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi. Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi (tahap satu dan tahap dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin et al) sebagai berikut: Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV <80 fl dan MCHC <3 1% dengan salah satu dari a, b, c, atau d. -. Dua dari tiga parameter di bawah ini: - Besi serum 6 0 mgldl - TIBC >350 mg/dl - Saturasi transferin:
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
DIAGNOSIS DIEFERENSIAL
anamnesis tentang menstmasi sangat penting, kalau perlu dilakukan pemeriksaan ginekologi. Untuk laki-laki dewasa di Indonesia dilakukan pemeriksaan feses untuk mencari telur cacing tambang. Tidak cukup hanya dilakukan pemeriksaan hapusan langsung (direct smear dengan eosin), tetapi sebaiknya dilakukan pemeriksaan semi kuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, untuk menentukan beratnya infeksi. Jika ditemukan infeksi ringan tidaklah serta merta dapat dianggap sebagai penyebab utama ADB, hams dicari penyebab lainnya. Titik kritis cacing tambang sebagai penyebab utama jika ditemukan telur per gram feses (TPG) atau eggpergramfaeces (EPG) >2000 pada perempuan dan >4000 pada laki-laki. Dalam suatu penelitian lapangan ditemukan hubungan yang nyata antara derajat infeksi cacing tambang dengan cadangan besi pada laki-laki, tetapi hubungan ini lebih lemah pada perempuan. Anemia akibat cacing tambang (hookworm anemia) adalah anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh karena infeksi cacing tambang berat (TPG > 2000). Anemia akibat cacing tambang sering disertai pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada pemeriksaan laboratorium di samping tanda-tanda defisiensi besi yang disertai adanya eosinofilia. Pada suatu penelitian di Bali, anemia akibat cacing tambang dijumpai pada 3,3% pasien infeksi cacing tambang atau 12,2% dari 123 kasus anemia defisiensi besi yang dijumpai. Jika tidak ditemukan perdarahan yang nyata, dapat dilakukan tes darah samar (occult blood test) pada feses, dan jika terdapat indikasi dilakukan endoskopi saluran cerna atas atau bawah.
Anemia Defisiensi Besi Derajat anemia MCV MCH Besi serum TlBC Saturasi transferin Besi sumsurn tulang Protoporfirin eritrosit Feritin serum Elektrofoesis Hb.
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya seperti: anemia akibat penyakit kronik, thalassemia, anemia sideroblastik. Cara membedakan keempat jenis anemia tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi terhadap anemia defisiensi besi adalah: a. Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan. Misalnya pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi kausal hams dilakukan,kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron replacemen therapy): Terapi Besi Oral. Terapi besi oral mempakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif, murah dan aman. Preparat yang tersedia adalahferrous sulphat (sulfas ferosus) merupakan preparat pilihan pertama oleh karena paling murah tetapi efektif. Dosis anjuran adalah 3 x 200 mg. Setiap 200 mg sulfas ferosus mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg mengakibatkan absorbsi besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan eritropoesis dua sampai tiga kali normal. Preparat lain: ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate danferrous succinate. Sediaan ini harganya lebih mahal, tetapi efektivitas dan efek samping hampir sama dengan sulfas ferosus. Terdapat juga bentuk sediaan
Anemia Akibat Penyakit Kronik
Trait Thalassemia
Anemia Sideroblastik
Ringan sampai berat Menurun Menurun Menurun c 30 Meningkat >360 Menurun < 15%
Ringan
Ringan
MenurunlN MenurunIN Menurun < 50
Menurun Menurun Normal/ t
Ringan sarnpai berat MenurunlN MenurunlN Normall
Menurun ~ 3 0 0 MenurunIN 10-20%
Negatif
Positif
Normal 1 4 Meningkat > 20% Positif kuat
Normal1& Meningkat >20% Positif dgn ring
Meningkat
Meningkat
Normal
Normal
Menurun <20 vgll
Normal 20-200 vgll
Meningkat >50 vgll Hb. A2 rneningkat
Meningkat >50 pgll N
sideroblast
N
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANEMIA DEFlSIENSl BESl
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
enteric coated yang dianggap memberikan efek samping lebih rendah, tetapi dapat mengurangi absorbsi besi. Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung kosong, tetapi efek samping lebih sering dibandingkan dengan pemberian setelah makan. Pada pasien yang mengalami intoleransi, sulfas ferosus dapat diberikan saat makan atau setelah makan. Efek samping utama besi per oral adalah gangguan gastrointestinal yang dijumpai pada 15 sampai 20%, yang sangat mengurangi kepatuhan pasien. Keluhan ini dapat berupa mual, muntah, serta konstipasi. Untuk mengurangi efek samping besi diberikan saat makan atau dosis dikurangi menjadi 3 x 100 mg. Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan, ada juga yang menganjurkan sampai 12 bulan, setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis pemeliharaan yang diberikan adalah 100 sampai 200 mg. Jika tidak diberikan dosis pemeliharaan, anemia sering kambuh kembali. Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat vitamin C, tetapi dapat meningkatkan efek samping terapi. Dianjurkan pemberian diet yang banyak mengandung hati dan daging yang banyak mengandung besi. Terapi besi parenteral. Terapi besi parenteral sangat kfektif tetapi mempunyai risiko lebih besar dan harganya lebih mahal. Oleh karena risiko ini maka besi parenteral hanya diberikan atas indikasi tertentu. Indikasi pemberian besi parenteral adalah: (1) intoleransi terhadap pemberian besi oral; (2) kepatuhan terhadap obat yang rendah; (3) gangguan pencernaan seperti kolitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi; (4) penyerapan besi terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi; (5) keadaan di mana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi oleh pemberian besi oral, seperti misalnya pada hereditary hemorrhagic teleangiectasia; (6) kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti pada kehamilan trimester tiga atau sebelurn operasi; (7) defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoetin pada anemia gaga1 ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik. Preparat yang tersedia ialah iron dextran complex (mengandung 50 mg besilml), iron sorbitol citric acid complex dan yang terbaru adalah iron ferric gluconate dan iron sucrose yang lebih aman. Besi parenteral dapat diberikan secara intramuskular dalam atau intravena pelan. Pemberian secara intramuskular memberikan rasa nyeri dan memberikan warna hitam pada kulit. Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis, meskipun jarang (0,6%). Efek samping lain adalah flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut dan sinkop. Terapi besi parenteral bertujuan untuk mengembalikan kadar hemoglobin dan mengisi besi sebesar 500 sampai
1000 mg. Dosis yang diberikan dapat dihitung melalui rumus di bawah ini: Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 2,4+ 500 atau 1000 ma
Dosis ini dapat diberikan sekaligus atau diberikan dalam beberapa kali pemberian. c. Pengobatan lain diet: sebaiknyadiberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang berasal dari protein hewani vitamin c: vitamin c diberikan 3 x 100mg per hari untuk meningkatkan absorposi besi transfusi darah: ADB jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi pemberian transhsi darah pada anemia kekurangan besi adalah: - Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah j antung - Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing yang sangat menyolok - Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada kehamilan trimester akhir atau preoperasi. Jenis darah yang diberikan adalah PRC (packed red cell) untuk mengurangi bahaya overload. Sebagai premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian filrosemid intravena. Respons Terhadap Terapi
Dalam pengobatan dengan preparat besi, seorang pasien dinyatakan memberikan respons baik bila retikulosit naik pada minggu pertama, mencapai puncak pada hari ke- 10 dan normal lagi setelah hari ke14, diikuti kenaikan Hb 0,15 ghari atau 2 gldl setelah 3-4 minggu. Hemoglobin menjadi normal setelah 4- 10 minggu. Jika respons terhadap terapi tidak baik, maka perlu dipikirkan: Pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum. Dosis besi h a n g Masih ada perdarahan cukup banyak Ada penyakit lain seperti misalnya penyakit kronik, keradangan menahun atau pada saat yang sama ada defisiensi asam folat Diagnosis defisiensi besi salah. Jika dijumpai keadaan di atas, lakukan evaluasi kembali dan ambil tindakan yang tepat. PENCEGAHAN
Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka diperlukan suatu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
berupa: Pendidikan kesehatan: - kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah penyakit cacing tambang - penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorbsi besi Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan lcronik paling yang sering dijurnpai di daerah tropik. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan pengobatan masal dengan anthelmentik dan perbaikan sanitasi. Suplementasibesi yaitu pemberian besi profilaksis pada segrnen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan anak balita. Di Indonesia diberikan pada perempuan hamil dan anak balita memakai pi1 besi dan folat. Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkanbesi pada bahan makan. Di negara Barat dilakukan dengan mecampur tepung untuk roti atau bubuk susu dengan besi.
REFERENSI Adamson JW. Iron Deficiency and others Hypoproliverative Anemias. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL (editors). Harrison's Principle of Internal Medicine. 151h edition. New York: McGraw Hill, 2001. p. 491-762. Andrews NC. Iron Deficiency and Related Disorders. In: Greer GM, Paraskevas F, Glader B (editors). Wintrobe's Clinical Hematology. 1lth edition. Philadelphia: Lippincot, Williams, Wilkins, 2004. p 947-1009. Andrews NC. Disorders of Iron Metabolism. N Engl J Med 1999;341:1986-1995. Baker WF. Iron Deficiency in Pregnancy, Obstetrics, and Gynecology. Hematol/Oncol Clin N Amer 2000;14(2). Bakta IM. Hematologi Ringkas. Denpasar : UPT Penerbit Universitas Udayana, 2001. Bakta IM. Infeksi Cacing Tambang pada Orang Dewasa dan Perannya sebagai salah satu Penyebab Anemia Defisiensi Besi: studi imunoepidemiologik di desa Jagapati, Bali (Disertasi). Surabaya:Universitas Airlangga, 1993. Bakta IM. Lila IN. Widjana DP & Sutisna P. Anemia dan anemia defisiensi besi di Desa Belumbang, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan Bali. Yogyakarta : Naskah Lengkap KOPAPDI VIII, 1990. Bakta IM. Aspek epidemiologi anemia defisiensi besi. Acta Medica Indonesiana 1993;XXV: 1054- 1073. Bakta IM. Anemia defisiensi besi pada penduduk dewasa desa Jagapati, Bali. Acta Medica Indonesiana 1993;XXV: 1231-1244. Bakta IM. Anemia kekurangan besi pada usia lanjut. Majalah Kedokteran Indonesia 1989; 39: 504-506. Bakta IM. Anemia Defisiensi Besi pada Praktek Swasta seorang Spesialis Penyakit Dalam di Denpasar. Majalah Kedokteran Udayana 1996;27:112-118. Bakta IM, Budhianto FX. Hookworm anemia in the adult population of Jagapati Village, Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop
Med Public Health 1994;25: 459-463. Bakta IM. The role of hookworm infection as an etiologic factor of iron deficiency anemia in Bali (Indonesia): an intervention study. Proceedings of VIIIth Congress of Asian Pacific Division International Society of Hematology. Brisbane 15-18 October 1995. Bakta IM, Wijana DP, Sutisna IP. Hookworm infection and iron stores: a survey in a rural community in Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1993;25: 501. Bakta IM. The relationship between hookworm infection and iron stores: a study in adult population of Jagapati Village, Bali, Indonesia. International Journal of Hematology 1996; 64(Suppl 1): S33 Brittenham GM. Disorders of Iron Metabolism: Iron Deficiency and Overload. In: Hoffman R, Benz EJ, Shttil SJ, Furie B, Cohen HJ, Silberstein LE, McGlove P (editors). Hematology: Basic Principles and Practice. 3rd edition. New York: Churchill Livingstone, 2000. p 367-382. Conrad ME. Iron Deficiency Anemia. eMedicine Journal, Vol 3, No 2, February 19,2002. DeMaeyer EM. Preventing and Controlling Deficiency Anemia Through Primary Health Care. Geneva: WHO; 1989. Fairbanks VF, Beutler E . Iron Deficiency. In: Beutler E, Coller BS, Lichtman MA, Kipps TJ (editors). Williams Hematology. 61h edition. New York: McGraw Hill,. 2001. p 447 - 470. Fleming RE, Sly WS. Hepcidin: a putative iron-regulatory hormone relevant to hereditary hemochromatosis and the anemia of chronic disease. PNAS 2001;98:6160-8162. Frewin R, Henson A, Provan D. ABC of Clinical Haematology: Iron Deficiency Anaemia. BMJ. 1997;3 14:360. Goddard AF, McIntyre AS, Scott BB. Guidelines for the management of iron deficiency anaemia. Gut 2000; 46(Suppl 1V):ivl-iv5. Hercberg S. Iron and Folat Deficiency Anaemias. International Child Health 1991; II:44-60. Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Essential Haematology 4lh edition. Oxford: Blackwell Science, 2001. Hoffbrand AV, Lewis SM, Tuddenham EGD. Postgraduate Haematology. 4"' edition. 0xford:Buttenvorth Heineman, 1999. Hillman RS, Ault KA. Hematology in Clinical Practice: A Guide to Diagnosis and Management. 31d edition. New York: McGraw Hill, 2002. Kandarini Y. Pemeriksaan indeks eritrosit sebagai uji saring diagnosis anemia defisiensi besi (karya tulis akhir). Denpasar: Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas UdayanaRS Sanglah, 2003 Kerlin P, Reiner R, Davies M, Sage RE, Grant AK. Iron Deficiency Anemia - A Prospective Study. Aust NZ Med J 1979;9:402-407. Mast AE, Blinder MA, Gronowski AM, Chumley C, Scott MG. Clinical utility of the soluble transferrin receptor and comparison with serum ferritin in several populations. Clin Chemistry 1998;44:45-51. Martoatmojo S, Abunain D, Muhilal, Enoch hl, Sastroamidjojo S. Masalah anemia gizi pada perempuan hamil dan hubungannya dengan pola konsumsi makanan. Penelitian Gizi dan Makanan 1973;3:22-41 Schmaier AH, Ptruzzelli KM. Hematology for Medical Student. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2003. Shah A. Iron Deficiency Anemia Part-I. Indian J Med Sci 2004;58:7981. Shah A. Iron Deficiency Anemia Part-11. Indian J Med Sci 2004;58: 134-137. Shah A. Iron Deficiency Anemia Part-111. Indian J Med Sci 2004;58:214-216.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1137
ANEMIA DE~SIENSIBESI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Suega K, Dhamayuda TG, Sutarga M, Bakta IM. Iron deficiency in pregnant women in Bali, Indonesia: a profile of risk factors and epidemiology. Southeast Asian J Trop Med Public Health 2002;33:604-607. Somayana G. Pemeriksaan feritin serum sebagai sarana diagnosis anemia defisiensi besi (karya tulis akhir). Denpasar: Denpasar: Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas UdayanaRS Sanglah, 2005. WHO Technical Report Series No. 405. Nutritional Anemia. Geneva: WHO; 1968.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ANEMIA PADA PENYAKIT KRONIS Iman Supandiman, Heri Fadjari, Lugyanti Sukrisman
PENDAHULUAN Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun keganasan. Anemia ini umumnya ringan atau sedang, disertai oleh rasa lemah dan penurunan berat badan dan disebut anemia pada penyakit kronis. Cartwright dan Wintrobe melaporkan bahwa pada tahun 1842, peneliti-peneliti di Perancis telah menemukan adanya massa eritrosit yang lebih rendah pada penderita tifoid dan cacar dibandingkan dengan orang normal. Diketahui di kemudian hari bahwa penyakit infeksi seperti pneumonia, sifilis, HIV-AIDS dan juga pada penyakit lain seperti artritis reumatoid, limfoma Hodgkin dan kanker sering disertai anemia dan disebut sebagai anemia pada penyakit kronis. Pada umumnya, anemia pada penyakit kronis ditandai oleh kadar Hb berkisar 7- 11 g/dL, kadar Fe serum menurun disertai TIBC yang rendah, cadangan Fe yang tinggi di jaringan serta produksi sel darah merah berkurang.
ETlOLOGl DAN PATOGENESIS Laporanldata penyakit tuberkulosis, abses paru, endokarditis bakteri subakut, osteomielitis dan infeksi jamur kronis serta HIV membuktikan bahwa hampir semua infeksi supuratif kronis berkaitan dengan anemia. Derajat anemia sebanding dengan berat ringannya gejala, seperti demam, penurunan berat badan dan debilitas umum. Untuk terjadinya anemia memerlukan waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi keseimbangan antara produksi dan penghancuran eritrosit dan Hb menjadi stabil. Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama seperti pada infeksi kronis, tetapi lebih sulit karena terapi yang efektif lebih sedikit. Penyakit kolagen dan artritis
reumatoid merupakan penyebab terbanyak. Enteritis regional, kolitis ulseratif serta sindrom inflamasi lainnya juga dapat disertai anemia pada penyakit kronis. Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker, walaupun masih dalam stadium dini dan asimtomatik, seperti pada sarkoma dan limfoma. Anemia ini biasanya disebut dengan anemia pada kanker (cancer-related anemia). a. Pemendekan Masa Hidup Eritrosit Diduga anemia yang terjadi merupakan bagian dari sindrom stres hematologik (haematological stress syndrome), di mana terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi atau kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan sekuestrasi makrofag sehingga mengikat lebih banyak zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa, menekan produksi eritropoietin oleh ginjal, serta menyebabkan perangsangan yang inadekuat pada eritropoiesis di sumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi dapat menyebabkan penurunan transformasi T4 ( t e t r a iodothyronine) menjadi T 3 (tri-iodothyronine), menyebabkan hipotiroid fungsional di mana terjadi penurunan kebutuhan Hb yang mengangkut 0 2 sehingga sintesis eritropoietin-pun akhirnya berkurang. b. Penghancuran Eritrosit
Beberapa penelitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit memendek pada sekitar 20-30% pasien. Defek ini terjadi di ekstrakorpuskular, karena bila eritrosit pasien ditranfusikan ke resipien normal, maka dapat hidup norrnal.Aktivasi makrofag oleh sitokin menyebabkan peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut dan sebagai bagian dari filter limpa (compulsive screening), menjadi kurang toleran terhadap perubahanlkerusakan minor dari eritrosit.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1139
ANEM~APADA PENYAKIT KRONIS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI c. Produksi Eritrosit Gangguan metabolisme zat besi. Kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi cukup menunjukkan adanya gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronis. Hal ini memberikan konsep bahwa anemia disebabkan oleh penurunan kemampuan Fe dalam sintesis Hb. Penelitian akhir menunjukkan parameter Fe yang terganggu mungkin lebih penting untuk diagnosis daripada untuk patogenesis anemia tersebut (Tabel 1).
Fe plasma (mg/L) TlBC Persen saturasi Kandungan Fe di makrofag Feritin serum Reseptor transferin serum
Normal
Anemia DeRsiensi Fe
Anemia Penyakit Kronis
70-90 250-400 30
30 >450 7
30 <200 15
20-200 8-28
10 >28
150 8-28
++
+++
TIBC-total iron binding capacity
Pengukuran kecepatan penyerapan zat besi oleh saluran cerna pada beberapa kasus dengan kelainan kronis memberikan hasil yang sangat bervariasi, sehingga tidak dapat disimpulkan. Pada umumnya memang terdapat gangguan absorbsi, walaupun ringan. Ambilan zat besi ke sel-sel usus dan pengikatan oleh apoferitin intrasel masih normal, sehingga defek agaknya terjadi saat pembebasan Fe dari makrofag dan sel-sel hepar pada pasien penyakit kronis. (kalimat ini dihapus) Fungsi sumsum tulang. Meskipun sumsum tulang yang normal dapat mengkompensasi pemendekan masa hidup eitrosit, diperlukan stimulus eritropoietin oleh hipoksia akibat anemia. Pada penyakit kronis, kompensasi yang terjadi kurang dari yang diharapkan akibat berkurangnya penglepasan atau menurunnya respons terhadap eritropoietin. Penelitian mengenai penglepasan eritropoietin menunjukkan hasil yang berbeda-beda; pada beberapa penelitian kadar eritropoietintidak berbeda bermakna pada pasien anemia tanpa kelainanan kronis, sedangkan penelitian lain menunjukkan penurunan produksi eritropoietin sebagai respons terhadap anemia sedangberat. Agaknya ha1 ini disebabkan oleh sitokin, seperti IL- 1 dan TNF-a yang dikeluarkanoleh sel-sel yang cedera. Penelitian in vitro pada sel hepatoma menunjukkan bahwa sitokin-sitokin ini mengurangi sintesis eritropoietin. Terdapat 3 jenis sitokin yakni TNF-a, IL-1, IFN-y yang ditemukan dalarn plasma pasien dengan penyakit inflamasi atau kanker, dan terdapat hubungan secara langsung antara kadar sitokin ini dengan beratnya anemia. TNF-a dihasilkan oleh makrofag aktif dan bila disuntikan pada tikus
menyebabkan anemia ringan dengan gambaran khas seperti anemia penyakit kronis. Pada kultur sumsum tulang manusia ia akan menekan eritropoiesis pada pembentukan BFU-E dan CFU-E. Penelitian terkini menunjukkan bahwa efek TNF-a ini melalui IFN-y yang diinduksi oleh TNF dari sel stroma. IL-1 berperan dalam berbagai manifestasi inflamasi, juga terdapat dalam serum penderita penyakit kronis. IL-1, seperti halnya TNF, akan menginduksi anemia pada tikus dan menekan pembentukan CFU-E pada kultur sumsum tulang manusia. Kedua interferon tadi diduga dapat langsung menghambat CFU-E tanpa melalui efek TNF-a, serta dapat menekan progenitor non-eritroid. Walaupun demikian, bagaimana peranannya dalam patogenesis anemia secara pasti belum dapat dijelaskan, karena masih banyak faktorfaktor lain yang tak terduga yang mungkin berperan penting dalam patogenesis anemia jenis ini.
GAMBARAN KLlNlS Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan sedang, sering kali gejalanya tertutup oleh gejala penyakit dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-1 1 gr/dL umumnya asimtomatik. Meskipun demikian apabila demam atau debilitas fisik meningkat, pengurangan kapasitas transport 0 2 jaringan akan memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai konjungtiva yang pucat tanpa kelainan yang khas dari anemia jenis ini, dan diagnosis biasanya tergantung dari hasil pemeriksaan laboratorium.
Anemia umumnya adalah normokrom-normositer, meskipun banyak pasien mempunyai gambaran hipokrom dengan MCHC <31 g/dL dan beberapa mempunyai sel mikrositer dengan MCV <80 fL. Nilai retikulosit absolut dalam batas normal atau sedikit meningkat. Perubahan pada leukosit dan trombosit tidak konsisten, tergantung dari penyakit dasarnya. Penurunan Fe serum (hipoferemia)merupakan kondisi sine qua non untuk diagnosis anemia penyakit kronis. Keadaan ini timbul segera setelah onset suatu infeksi atau inflamasi dan mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi protein pengikat Fe (transferin) menurun menyebabkan saturasi Fe yang lebih tinggi daripada anemia defisiensi besi. Proteksi saturasi Fe ini relatif mungkin mencukupi dengan meningkatkan transfer Fe dari suatu persediaan yang kurang dari Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid imatur.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi lebih lambat daripada penurunan kadar Fe serum, disebabkan karena waktu paruh transferin lebih lama (8- 12 hari) dibandingkan dengan Fe (90 menit) dan karena fungsi metabolik yang berbeda.
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
Meskipun banyak pasien dengan infeksi kronik, inflamasi dan keganasan menderita anemia, anemia tersebut disebut anemia pada penyakit kronis hanya jika anemia sedang, selularitas sumsum tulang normal, kadar besi serum dan TIBC rendah, kadar besi dalam makrofag dalam sumsum tulang normal atau meningkat, serta feritin serum yang meningkat. Beberapa penyebab anemia berikut ini merupakan diagnosis banding atau mengaburkan diagnosis anemia pada penyakit kronis: 1. Anemia dilusional. Pada penyakit kronis terutama pada keganasan stadium lanjut. 2. Drug-induced marrow suppression atau drug-induced hemolysis. Pada penekanan sumsum tulang akibat obat, kadar besi serum tinggi. Pemeriksaan hitung retikulosit, haptoglobin, bilirubin LDH dan tes Coombs hams dilakukan untuk menyingkirkan hemolisis. 3. Perdarahan kronis. 4. Thalasemia minor. 5. Gangguan ginjal. Pada keadaan ini umur eritrosit memendek clan terdapat kegagalan relatif sumsum tulang. 6. Metastasis pada sumsum tulang. PENGOBATAN
Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit dasarnya. Terdapat beberapa pilihan dalam mengobati anemia jenis ini, antara lain: a Transfusi. Merupakan pilihan pada kasus-kasus yang disertai gangguan hemodinarnik. Tidak ada batasan yang pasti pada kadar hemoglobin berapa kita hams memberi transfusi. Beberapa literatur disebutkan bahwa pasien anemia penyakit kronik yang terkena infark miokard, transfusi dapat menurunkan angka kematian secara bermakna. Demikian juga pada pasien anemia akibat kanker, sebaiknya kadar Hb dipertahankan 10-11 gr/dL. h Preparat besi. Pemberian preparat besi pada anemia penyakit kronis masih terus dalam perdebatan. Sebagian pakar masih memberikan preparat besi dengan alasan besi dapat mencegah pembentukan TNF-a. Alasan lain, pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat besi terbukti dapat meningkatkan kadar hemoglobin. Terlepas dari adanya pro dan kontra, sampai saat ini pemberian preparat besi masih belum direkomendasikan untuk diberikan pada anemia pada penyakit kronis.
c. Eritropoietin. Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian eritropoietin bermanfaat dan sudah disepakati untuk diberikan pada pasien anemi akibat kanker, gagal ginjal, mieloma multipel, artritis reumatoid dan pasien HIV. Selain dapat menghindari transfusi beserta efek sampingnya, pemberian eritropoietin mepunyai beberapa keuntungan, yakni: mempunyai efek anti inflamasi dengan cara menekan produksi TNFa dan interferon-y. Dilain pihak, pemberian eritropoietin akan menambah proliferasi sel-sel kanker ginjal serta meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan leher. Saat ini terdapat tiga jenis eritropoietin, yakni eritropoietin alfa, eritropoietin beta dan darbopoietin. Masing-masing berbeda struktur kimiawi, afinitas terhadap reseptor, clan waktu paruhnya sehingga memungkinkan kita memilih mana yang lebih tepat untuk suatu kasus. Dengan demikian mekanisme terjadinya anemia pada penyakit kronis merupakan ha1 yang hams dipahami oleh setiap dokter sebelum memberikan transhsi, preparat besi maupun eritropoietin.
REFERENSI Erslev AJ. Anemia of chronic disease. In: Beutler E, Lichtman MA, Coller BS,Kipps TJ, Seligsohn U, eds. Williams Hematology 6Ih ed. New-York: McGraw-Hi!l Medical publishing division 2001; 41:481-7. Gasche C, Waldhoer T, Feichtenschlager T, et al. Prediction of response to iron sucrose in inflammatory bowel diseaseassociated associated anemia. Am J Gastroenterol. 2001;96:2382-7. Henke M, Laszig R, Rube C, et al. Erythropoietin to treat head and neck cancer patients with anaemia undergoing radiotherapy: randomised, double-blind, placebocontrolled trial. Lancet. 2003;362:1255-60. Leyland-Jones B. Breast cancer trial with erythropoietin terminated unexpectedly. Lancet Oncol. 2003;4:459-60. Papadaki HA, Kridkos HD, Valatas V et al. Anemia of chronic disease in rheumatoid arthritis is associated with increased apoptosis of bone marrow erythroid cells: improvement following anti-tumor necrosis factor-alpha antibody therapy. Blood. 2002;100:474-82. Spivak JL. Iron and the anemia of chronic disease. Oncology (hunting). 2002;16:Supp110:25-33. Stenvinkel P. The role of inflammation in the anaemia of end-stage renal disease. Nephrol Dial Transplant. 2001;16:Supp17:36-40. Tilg H, Ulmer H, Kaser A, Weiss G. Role of IL-I0 for induction of anemia during inf1ammation.J Immunol. 2002;169:2204-9. Wilson A, Reyes E, Ofman J. Prevalence and outcomes of anemia in inflammatory bowel disease: a systematic review of the literature. Am J Med. 2004;116:Supp17A:S44-S9. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of chronic disease. N Engl J Med. 2005;352(10): 101 1-23. Weiss G. Pathogenesis and treatment of anaemia of chronic disease. Blood Rev. 2002;16:87-96. Wstenfelder C, Baranowski RL. Erythropoietin stimulates proliferation of human renal carcinoma cells. Kidney Int. 2000;58: 647-57.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ANEMIA MEGALOBLASTIK Soenarto
PENDAHULUAN Anemia megaloblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis DNA dan ditandai oleh sel megaloblastik. Kriteria anemia dan defisiensi gizi menurut WHO 1972 sebagai berikut: Dinyatakan Anemia, bila kadar hemoglobin (Hb) pada ketinggian permukaan laut lebih rendah dari nilai pada golongan umur yang ada yaitu : Anak umur 6 bulan - 6 tahun : 11d l 0 0 ml 6 tahun - 14 tahun : 12 d l 0 0 ml : 13 gr1100ml Pria dewasa Perempuan dewasa tak hamil : 12 gi-I100ml Perempuan dewasa hamil : 11 gr1100 ml Untuk anemia gizi, selain kadar Hb ditambah tolok ukur kadar besi, asam Folat dan vitamin B 12. Perlu diingat bahwa peningkatan atau penurunan Hb dan hematokrit (Ht) adakalanya palsu. Keadaan yang dapat meningkat palsu ialah: berkurangnya plasma darah, combusio (luka bakar), diuresis yang berlebihan, dehidrasi. Kadar rendah palsu contohnya pada keadaan hamil atau dekompensasi jantung. Anemia megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan oleh sintesis DNA yang terganggu. Sel-sel yang pertama dipengaruhi adalah yang secara relatif mempunyai sifat perubahan yang cepat, terutama sel-sel awal hematopoietik dan epitel gastrointestinal. Pembelahan sel terjadi lambat, tetapi perkembangan sitoplasmik normal, sehingga sel-sel megaloblastik cenderung menjadi besar dengan peningkatan rasio dari RNA terhadap DNA. Sel-sel awal/pendahulu eritroid megaloblastik cenderung dihancurkan dalam sumsum tulang. Dengan demikian selularitas sumsum tulang sering meningkat tetapi produksi sel darah merah berkurang, dan keadaan abnormal ini disebut dengan istilah eritropoiesisyang tidak efektif (ineffective erythropoiesis).
Kebanyakan anemia megaloblastik disebabkan karena defisiensi vitamin B 12 (kobalamin) dan atau asam folat. Berbagai macam keadaan klinik yang berkaitan dengan anemia megaloblastik dapat diklasifikasikan seperti yang tertera berikut ini.
KLASlFlKASl ANEMIA MEGALOBLASTIK Defisiensi Kobalamin Asupan tidak cukup: vegetarian (jarang) Malabsorbsi - Defek penyampaian dari kobalamin dari makanan: achlorhidria gaster, gastrektomi, obat-obat yang menghalangi sekresi asam - Produksi faktor intrinsik yang tak mencukupi: anemia pernisiosa, Gastrektomi total, Abnormalitas fungsional atau tak adanya faktor intrinsik yang bersifat kongenital. .- Gangguan dari ileum terminalis: sprue tropikal, sprue non tropikal, enteritis regional, reseksi intestinum, neoplasma dan gangguan granulomatosa (jarang), sindrom Imerslund (malabsorbsikobalarnin selektif) @rang) - Kompetisi pada kobalamin: fish tapeworm (Diphylobotrium latum), Bakteri blind loop syndrome - Obat-obatan : p-aminosalicylic acid, kolkisin, neomisin. Lain lain: NO (Nitrous oxide) anesthesia, defisiensi transkobalamin I1 (jarang), defek enzim kongenital (iarang). Defisiensi Asam Folat Asupan yang tak adekuat: diet yang tak seimbang (sering
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HEMATOLOCI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pada peminum alkohol, usia belasan tahun, beberapa bayi) Keperluan yang meningkat :kehamilan, bayi, keganasan, peningkatan hematopoiesis (anemia hemolitik kronik), kelainan kulit eksfoliatif kronik, hemolisis Malabsorbsi: sprue tropikal, sprue nontropikal, obat-obat: phenytoin, barbiturat (?) ethanol Metabolisme yang Terganggu: penghambat dihydrofolat reductase (metotreksat,pirimetarnin, triamteren, pentamidin, trimetoprin).Alkohol, Jarang defisiensi enzim (dihydrofolat reductase, dll). Sebab-sebab lain Obat-obatyang mengganggu metabolismeDNA: antagonis purin (6 merkaptopurin, azatioprin, dll). Antagonispirimidin (5-fluorourasil, sitosin arabinose, dll). Lain-lain : prokarbazin, hidroksiurea, acyclovir, zidovudin Gangguan metabolik Cjarang): asiduria urotik herediter, sindrom Lesch-Nyhan, lain lain Anemia megaloblastik dengan penyebab tak diketahui: anemia megaloblastik refrakter, Sindrom Diguglielmo, anemia diseritropoietik kongenital. ASAM FOLAT DAN VITAMIN 612
Asam folat dan vitamin B 12 adalah zat yang berhubungan dengan unsur makanan yang sangat penting bagi tubuh. Peran utama asam folat dan vitamin B12 ialah dalam metabolisme intraselular. Seperti yang diterangkan di depan, adanya defisiensi kedua zat tersebut akan menghasilkan tidak sempumanya sintesis DNA pada tiap sel, di mana pembelahan kromosom sedang terjadi. Jaringan-jaringanyang memiliki pergantian sel yang sangat cepat akan mengalami perubahan yang sangat dramatis, antara lain adalah sistem hematopoiesis yang sangat sensitif pada defisiensi dan menyebabkan anemia megaloblastik. Asam folat adalah nama yang biasa diberikan pada asampteroylmonoglutamic. Zat ini disintesis pada banyak macam tanaman dan bakteri. Buah-buahan dan sayur merupakan sumber diet utama dari vitamin. Beberapa bentuk dari asam folat dalam diet sangat labil dan dapat menjadi rusak pada waktu dimasak. Keperluan minimal tiap hari secara normal kurang lebih 50 ug, tetapi pada keadaan tertentu akan meningkat sejalan dengan peningkatan metabolisme seperti pada kehamilan. Defisiensi folat merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penyakit usus halus karena penyakit tersebut dapat mengganggu absorbsi folat dari makanan dan resirkulasi folat lewat siklus enterohepatik. Pada alkoholisme akut atau kronik, asupan harian folat dalam makanan akan terhambat, dan siklus enterohepatik akan terganggu oleh efek toksik dari alkohol pada sel sel parenkim hati, ha1 ini yang menjadi penyebab utama dari defisiensi folat yang menimbulkan eritropoiesis
megaloblastik. Penyakit seperti anemia hemolitik dapat pula jadi rumit oleh komplikasi defisiensi folat yang dapat terjadi. Obatobat yang menghambat dihidrofolat reduktase (antara lain metotreksat, trimetoprim) atau yang dapat mengganggu absorbsi dan penyimpanan folat dalam jaringan tubuh (antikonvulsan tertentu, kontraseptif oral) mampu mengakibatkan penurunan kadar folat dalam plasma, dan bersamaan waktunya dapat menjadi penyebab anemia megaloblastik. Hal ini karena adanya gangguan maturasi yang disebabkan oleh defek inti sel. Jadi gangguan maturasi yang timbul dalam pertumbuhan sel darah merah karena defisiensi asam folat atau vitamin B 12 disebabkan karena timbulnya defek dari inti sel darah merah yang muda dalam sumsum tulang. Folat dalam plasma pertama ditemukan dalam bentuk dari N5-metiltetrahidrofolat, suatu monoglutamat, yang ditransport ke dalam sel-sel oleh zat pengangkut yaitu yang khusus dalam bentuk tetrahidro dari vitamin. Setelah di dalam sel, gugus NS-metil dilepas ke dalam reaksi kobalamin yang diperlukan, dan folat kemudian diubah menjadi bentuk poliglutamat. Konjugasi pada polyglutamate mungkin berguna untuk penyimpanan folat di dalam sel. Ikatan folat dengan protein tampak dalam plasma, susu, dan cairan tubuh lain. Fungsi ikatan folat dan ikatan dengan membran perintisnya hingga kini belum diketahui. Baik bentuk ikatan maupun perintisnya ada kaitannya dengan pengangkutan tetrahidrofolat. Fungsi utama senyawa folat ialah memindahkan "1karbon moieties" seperti gugus-gugus metil dan formil ke berbagai senyawa organik. Sumber dari "1-karbon moieties" biasanya adalah serin, yang bereaksi dengan tetrahidrofolat menghasilkan glisin dan N5-10metilentetrahidrofolat. Sumber pilihan lain adalah asam formiminoglutamat, suatu lanjutan dalam katabolisme histidin, yang menyampaikan gugus formimino tetrahidrofolat dan asarn glutamat. Derivat-derivat tersebut menyediakan tempat masuk ke dalam kelompok pemberi dan mudah saling menukar yang terdiri dari derivat-derivat tetrahidrofolat pembawa macam-macam "1 -carbon moieties". Unsur-unsur pokok dari kelompok tersebut dapat memberikan "1-karbon moieties" mereka kepada senyawasenyawa penerima yang sesuai, guna membentuk lanjutan metabolik dengan tujuan akhir mengubah pembentukan blok-blok yang digunakan untuk sintesis makromolekulmakromolekul. Yang sangat penting dalam pembentukan blok-blok tersebut adalah: Purin-purin,di mana atom-atom C-2 dan C-8 dimasukkan dalam reaksi ketergantungan pada folat; Deoksitimidilat monofosfat (dTMP), disintesis dari NS- 10 metilentetrahidrofolat dan deoksiuridilat monofosfat (dUMP); dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANEMIA MECALOBLASTIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Metionin, yang dibentuk oleh peralihan dari gugus metil dari N5-metiltetrahidrofolat ke homosistein. Lebih lanjut dapat dilihat pada gambar metabolisme folat sebagai berikut (Gambar 1).
segera berpartisipasi dalam siklus perpindahan 1-karbon. Selama produksi dTMP dari dUPM fragmen 1-karbon telah direduksi dari formaldehid ke gugus metil dalam perjalanan dari reaksi perpindahan, yang tidak sebagai THF, tetapi sebagai dihidrofolat (DHF). Untuk partisipasi selanjutnya ke dalam siklus perpindahan 1-karbon,DHF telah direduksi menjadi THF. Reaksi ini dikatalisis oleh dihidrofolat reduktase.
Gambar 1. Metabolisme folat
Folat sangat penting untuk sintesis de novo purin, deoksitimidilat monofosfat (dTMP), dan metionin, sebagai lanjutan pembawa dari fragmen-fragmen 1-karbon yang digunakan untuk biosintesis dari senyawa-senyawa tersebut. Bentuk aktifnya adalah tetrahidrofolat (THF). Folat COOH
I
4N
COOH
c0
;-II f& CH
CHI
C-OH
I -
II -0
Gambar 2. Rumus kimia folat
THF memperoleh fragmen 1-karbon, terutarna dari serin, yang merubah menjadi glisin dalam rangkaian dari reaksi. Untuk sintesis purin, fragmen 1-karbon pertama dioksidasi ke tingkat dari asam formik, lalu mengirimkan ke substrat. Untuk sintesis metionin, keperluan reaksi kobalamin, fragmen 1-karbon pertama dikurangi sampai tingkat gugus methyl, lalu dikirimkan ke homosistein. Dalam reaksi ini kofaktor tertentu dikeluarkan sebagai THF, yang dapat
Gambar 3. Rumus kimia vitamin B12 (Kobalamin) Methylcobalamine, Adenosylcobalamine Coenzyme untuk methionine synthase dan L - methylmalonyl - CoA mutase.
Derifat aktif atau bentuk kofaktor. Bentuk bentuk poliglutamat dari tetrahidrofolat dengan unit karbon tambahan. Fungsi utama sebagai koenzim guna satu pengangkut karbon dalam asam nukleat, dari metabolisme asam amino. Kobalamin adalah vitamin yang mempunyai susunan komponen organometalik yang kompleks, di mana atom cobalt terletak dalam inti cincin, suatu struktur yang mirip bentuk porfirin dari mana Heme dibentuk. Tidak seperti heme, namun kobalamin tidak dapat disintesis dalam tubuh manusia dan hams di penuhi dari makanan. Sumber utama hanya dari daging dan susu. Keperluan minimum sehari untuk kobalamin kurang lebih 2,5 ug. Selama pencernaan dalam lambung, kobalamin dalam makanan dikeluarkan dalam bentuk-bentuk kompleks yang stabil dengan pengikat gaster R, salah satu keluarga gugus yang terdekat dari glikoprotein glikoprotein yang fungsinya belum diketahui, yang terdapat dalam sekresi (misalnya, saliva, susu, cairan lambung, empedu), fagosit dan plasma. Pada saat memasuki duodenum, ikatan kompleks kobalamin-R dicerna, dan menghasilkan kobalamin, yang
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
kemudian terikat pada faktor intrinsik (FI), suatu glikoprotein dengan berat 50-kDa yang dihasiIkan oleh sel-sel parietal dari lambung. Sekresi dari faktor intrinsik umvmnya sejalan dengan asam lambung. Ikatan kompleks kobalamin-Fl dapat melawan untuk dicerna oleh proteolitik dan melintas menuju ke ileum distal, dimana reseptor reseptor spesifik pada vili mukosa dan menyerap kompleks kobalamin-FI. Jadi FI, seperti halnya ikatan besi transferin, adalah protein sel pengatur alat pengangkut. Reseptor pengikat kompleks kobdamin-FI akan dibawa lnasuk ke sel mukosa ileum, di mana FI kemudian dimusnahkan dan kobalamin dipindahkan ke lain protein pengangkut, yaitu transkobalamin (TC) 11. Kompieks kobalamin-TC I 1 kemudian disekresi kedalam sirkulasi, dari situ dengan cepat dibawa ke hati, sumsum tulang, dan sel lain. Jalur penyerapan kobalamin dapat disimak pada Gambar 4.
Lumen
Gmbar 4. Jalur penyerapan kobalamln
Dalam keadaan normal kurang lebih 2 mg kobalamin disimpan dalam hati, dan selain itu 2 nlg disimpan dijaringan seluruh t~tbuh.Dari sudut pandang keperluan harian minimal, kurang lebih 3 sainpai 6 tahun diperlukan untuk individu normal menjadi kekurangan kobalamin bila absorbsi dihentikan secara tiba tiba. Meskipun TC I1 adalah suatu uccrptor guna penyerapan baru dari kobalamin, dimana kebanyakan kobalamin yang beredar dalam sirkulasi diikat pada TC I, yaitu suatu glikoprotein yang sangat erat hubungannya dengan pengikat R gaster. TC 1 tampaknya diturunkan sebagai bagian dari lekosit. Yang berlawanan ialah bahwa kebanyakan kobalamin yang beredar terikat pada TC I dari pada yang terikat pada TC 11; rneskipun deinikian pengangkutan awalnya clari semua kobalamin yang diabsorbsi oleh intestinum, dapat diterangkan dengan adanya fakta bahwa ikatan kobalamin pada TC I1 dengan
cepat dibersihkaa dari darah (% sampai 1 jam), sedangkan pembersihan dari kobalamin yang terikat pada TC I memerlukan waktu berhari hari. Hingga kini hngsi TC I belurn diketahui. Di dalam seI sel tubuh manusia, kobalamin merupakan faktor yang esensial bagi dua enzim, yaitu metionin sintase dan metil maionil-koenzimA(CaA) sintase. Kobalamin ada dalam dua bentuk aktif metabolik, yang dikenal pada gugus alkil yang terikat pada enam posisi koordinasi dari atom Cobalt yaitu :metilkobalamin dan adenosilkobalamin(juga disebut vitamin B 12). Sianokobalamin belum diketahui peran fisiologisnya dan harus diubah ke bentuk biologis aktif sebelum dapat digunakan oleh jaringan jaringan. Metikobalamin adalah bentuk yang diperlukan untuk metionin sintase, yang bertindak sebagai katalisator dalam perubahan homosistein ke metionin (Gambar 1).Bila reaksi tersebut terganggu, maka metabolisme folat menjadi kacau; dan dalam kekacauan ini yang menjadi latar belakang ker-sakan dalam sintesa DNA dan pada pasien dengan defisiensi kobalarnin timbul adanya benruk maturasi megaloblastik. Pada defisiensi kobalamin, maka WS-metiltetrahidrofolat yang tak terkonjugasi, yang baru diainbil dari aliran darah, tidak dapat diubah menjadi bentuk lain dari aetrahidrofolat oleh transfer metil. Ini yang disebut hipotesefolat trap. Karena N5-metiltetrahidrofolat adalah substrat yang tak baik untuk enzim konjugasi, keadaan ini sebagian besar tetap dalam bentuk tak terkonjugasi dan dengan pelan peIan keluar dari set, Karenanya defisiensi folat di jaringan akan terjadi, dan ini akan meniinbulkan l~ematoporesis megaloblastik. Hipotesis ini dapat menerangkan mengapa simpanan folat jaringan pada defisiensi kobalamin secara substansial, maka dengan penurunan yang tidak seimbang dalam konjugasi, bila dibanding dengan folat yang tidak terkonjugasi, meskipun kadar serum folat normal atau supranormal, Ini dapat pula menerangkan mengapa dengan pemberian folat besar dapat menghasilkan remisi hematolagik parsial pada pasien dengan defisiensi kobalamin. Kadar plasma hemasistein ineningkat pada defisiensi folat dan kobalamin, dan kadar yang tinggi :iri hornmistein plasma tampaknya merupakan faktor risiko untuk kejadian trombosis vena dan arteri. Hingga kini belum diketahui bahwa hiperhomosistein yang diakibatkan oleh defisiensi folat atau kobalarnin merupakan predisposisi untuk trombosis atau mengubah respons dari pengobatan. Adenilkobalamin diperlukan untuk konversi dari ~netilmalonilCoA menjadi succinyl CoA. Tidak adanya kofaktor hi yang berperan penting daiam peningkatan yang cukup besar dalam kadar jaringan dari metil malonil CoA dan pendahulunya, yaitu propionil CoA. Sebagai konsekuensi, maka asam lemak nonfisiologik yang ~nengandungsejumlah atom karbon yang berlebihan akan disintesis dan bergabung m e ~ ~ j a dLipid i neuronal.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1145
ANEMIA MECALOBLASTIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Abnormalitas biokimiawi ini dapat mempunyai sumbangan akan terjadinya komplikasi neurologis defisiensi kobalamin.
GANGGUAN KLlNlS Sebagaimanatertera dalam klasifikasi anemia megaloblastik, kausa dari anemia megaloblastik sangat bervariasi tergantung dari keadaan wilayah di dunia ini. Di wilayah dengan udara dingin, defisiensi folat sering terjadi pada pecandu alkohol, sedangkan defisiensi kobalamin disebabkan karena anemia pernisiosa atau aklorhidria merupakan tipe yang sering dari anemia megaloblastik. Di wilayah tropis, sprue adalah endemik yang merupakan penyebab penting timbulnya anemia megaloblastik, sedangkan di Skandinavia, adanya cacing pita dalam ikan yaitu Difilobotrium laturni, mungkm sebagai penyebabnya. Tentang infestasi cacing pita di masyarakat Bali perlu mendapat perhatian. Defisiensi kobalamin kebanyakan selalu berkaitan dengan malabsorbsi. Asupan harian kobalamin lebih dari cukup untuk keperluan tubuh, kecuali pada vegetarian. Berbeda dengan asupan harian asam folat adalah kecil di banyak wilayah di dunia. Lebih lanjut, karena simpanan asam folat dalam tubuh relatif rendah, maka defisiensi asam folat dapat timbul mendadak selama periode berkurangnya asupan atau meningkatnya keperluan metabolik. Dan terakhir, defisiensi asam folat dapat disebabkan oleh malabsorbsi. Sering pula dua atau lebih faktor yang berdampingan akan berakibat pada pasien. Tidak jarang kombinasi defisiensi kobalamin dan asam folat dapat terjadi. Pada para pasien " tropical sprue " sering timbul defisiensi kedua vitamin tersebut. Lesi biokimiawi sebagai akibat dalam maturasi megaloblastik dari sel sel sumsum tulang juga dapat mengakibatkan abnormalitas fungsional dan struktural dari sel sel epitel yang cepat berproliferasi dari mukosa intestinurn. Jadi defisiensi yang berat dari salah satu vitamin dapat mengakibatkan malabsorbsi. Anemia megaloblastik dapat pula dipengaruhi oleh faktor faktor yang tak ada kaitannya dengan defisiensi vitamin. Kebanyakan dari penyebab tersebut dikarenakan obat obat yang mengganggu sintesis DNA. Meskipun kurang sering, maturasi megaloblastik dapat merupakan gambaran defek sel induk hematopoietik yang didapat. Dan sangat jarang ialah adanya defisiensi enzim spesifik yang kongenital.
Defisiensi Kobalamin Gambaran klinis defisiensi kobalamin melibatkan darah, traktus gastrointestinal, dan sistema nervorum. Manifestasi hematologis sepenuhnya selalu berakibat anemia, meskipun sangat jarang purpura, dapat pula tampak, karena trombositopeni. Keluhan dari anemia dapat
terungkap seperti rasa lemah, nyeri kepala ringan, vertigo, tinitus, palpitasi, angina dan keluhan yang berkaitan dengan kegagalan jantung kongestif. Tanda fisik dari pasien dengan defisiensi kobalamin yaitu pucat, dengan kulit sedikit kekuningan begitu juga mata. Peningkatan kadar bilirubin ada kaitannya dengan tingginya pelipat gandaan sel sel eritroid dalam sumsum tulang. Nadi denyutnya cepat, dan jantung mungkin membesar, pada auskultasi biasanya terdengar bising sistolik. Manifestasi gastrointestinal karena defisiensi kobalamin akan ada keluhan nyeri lidah, yang pada inspeksi tampak papil lidah halus dan kemerahan. Keluhan lain yaitu anorexia dengan turunnya berat badan, kemungkinan bersamaan dengan diare dan lain-lain keluhan gastrointestinal. Manifestasi yang terakhir ini mungkin merupakan bagian dari megaloblastosis dari epitel usus halus, yang mengakibatkan malabsorbsi. Manifestasi gangguan neurologis, sering mengakibatkan gaga1 sepenuhnya dalam upaya pengobatan. Perubahan patologi yang awal adalah demielinasi, kemudian diikuti oleh degenerasi aksonal dan akhirnya kematian neuronal; dan stadium akhir dari perjalanan penyakit ialah tak dapat pulih. Tempat yang menderita gangguan termasuk syaraf perifer; medula spinalis, dimana kolumna posterior dan lateral mengalami demielinasi; danjuga serebrum sendiri. Keluhan dan gejala termasuk mati rasa dan parestesia pada ekstremitas, kelemahan dan ataksia. Kemungkinan terjadi gangguan dari sfingter. Refleks-refleks mungkin hilang atau meningkat. Tanda Romberg dan Babinsky mungkin dapat positif dan rasa sikap dan getaran biasanya hilang. Gangguan mental mulai dari sifat mudah marah yang ringan dan mudah lupa sampai demensia yang berat atau psikosis yang sesungguhnya. Hendaklah diinga bahwa penyakit neurologik dapat pula tampak pada pasien dengan hematokrit dan indeks sel darah merah yang normal. Kemungkinan akan banyak keuntungannya dengan pemberian suplemen folat dalam makanan, yang mungkin dapat memperbaiki keadaan seperti gejala neurologis karena defisiensi kobalamin. Gangguan pelepasan kobalamin dari makanan, kejadiannya belum dapat diketahui, Seperti diketahui kobalamin dalam makanan terikat pada enzim dalam daging dan kemudian dipisahkan dari enzim tersebut oleh asam hidroklorida dan pepsin dalam lambung. Umumnya orang orang berusia lebih dari 70 tahun mengalami aklonidria. Karenanya mereka tak mampu untuk membebaskan kobalamin dari sumber makanan tapi memelihara kemampuan absorbsi kristalin B 12, suatu bentuk yang paling sering terdapat dalam multivitamin. Ternyata hanya sebagian kecil dari orang orang usia lebih dari 70 tahun yang mengalami defisiensi kobalamin, tapi banyak yang mengidap perubahan biokimiawi, ini termasuk kadar yang rendah dari ikatan kobalamin dengan TC I1
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
dan peningkatan kadar homosistein, yang dapat meramalkan defisiensi kobalamin Hal yang serupa yaitu para pasien yang mengalami berkurangnya produksi asam lambung karena obat-obatan, seperti omeprazol, dapat juga mengganggu pelepasan kobalamin dari makanan. Namun, 'proton pump inhibitor" tidak menghambat sekresi faktor intrinsik dari sel-sel parietal.
Anemia Pernisiosa Anemia pernisiosa, dianggap yang paling lazim sebagai penyebab defisiensi kobalamin. Ini disebabkan karena tidak adanya faktor intrinsik dan adanya atrofi dari mukosa maupun destruksi autoimun dari sel sel parietal. Untuk orang orang Asia ha1 tersebut jarang terjadi. Ini merupakan penyakit untuk manusia usia lanjut, jarang untuk usia di bawah 30 tahun, meskipun anemia pernisiosa yang khas dapat terjadi pada anak umur di bawah 10 tahun (Juvenile pernicious anemia). Adanya kondisi kelainan yang diwariskan dimana keadaan histologik lambung yang normal dan mengeluarkan faktor intrinsik baik yang abnormal maupun sama sekali tidak disekresi akan mengakibatkan defisiensi pada bayi atau anak sangat muda. Kejadian anemia pernisiosa secara substansial meningkat pada penyakit penyakit imunologik, termasuk penyakit Grave, miksedema, tiroiditis, insufisiensi adenokortikal idiopatik, vitiligo, dan hipoparatiroidisme. Pasien anemia pernisiosajuga mempunyai antibodi dalam sirkulasi yang abnormal, yang berkaitan dengan penyakitnya: yaitu 90% mempunyai antibodi sel antiparietal, yang langsung melawan H+, K+-ATPase, sedangkan 60% mempunyai antibodi antifaktor intrinsik. Antibodi sel antiparietal juga dijumpai pada 50% para pasien atrofi gaster tanpa anemia pernisiosa, demikian pula terdapat pada 10 sampai 15% dari populasi pasien yang talc diseleksi, tetapi antibodi antifaktor intrinsik biasanya tidak ada pada para pasien tersebut. Sanak keluarga dari para pasien anemia pernisiosa terdapat peningkatan kejadian penyakit, walaupun keluarga yang terkena kemungkinanjuga mempunyai antibodi antifaktor intrinsik dalam serumnya. Akhirnya pengobatan dengan kortikosteroid mungkin dapat memperbaiki penyakitnya. Pada anemia pernisiosa, sel sel T sitotoksis dapat juga mempunyai andil dalam destruksi sel sel parietal. Anemia pernisiosa tidak jarang terdapat pada para pasien dengan agammaglobinemia.Hal ini menunjang peran pada sistem imun seluler sebagai patogenesisnya. Dan berbeda dengan Helicobacter pylori yang tidak mengakibatkan destruksi sel parietal pada anemia pernisiosa. Ciri yang sering dijumpai pada anemia pernisiosa adalah atrofi lambung yang mempengaruhi bagian yang mensekresi asam dan pepsin dari lambung; terkecuali antrum. Perubahan patologis lain adalah defisiensi kobalamin sekunder; ini termasuk perubahan megaloblastik dalam lambung dan epitel intestinum dan
perubahan neurologik. Abnormalitas epitelium gaster tampak sebagai cellular atypia dalam preparat sitologik lambung, dapatan ini harus dibedakan dengan hati hati dari abnormalitas yang tampak pada keganasan.
Pasca Gastrektomi Setelah gastrektomi atau kerusakan mukosa lambung yang luas karena bahan obat yang merusak, maka akan terjadi anemia megaloblastik, karena sumber faktor intrinsik telah dibuang. Pada para pasien yang demikian absorbsi kobalamin yang diberikan oral akan terganggu. Anemia megaloblastik dapat pula timbul karena gastrektomiparsial, yang sebabnya belum jelas. Organisme Intestinal Anemia megaloblastik dapat tampak pada stasis dari lesi anatomik (striktur, divertikel, anastomosis, blind loops) atau pseudo obstruksi (diabetes melitus, skleroderma, amiloid). Anemia disini disebabkan oleh kolonisasi dari sejumlah besar kumpulan bakteri dalam usus halus yang mengkonsumsi kobalamin intestinal sebelum diabsorbsi. Steatorrhea mungkin juga dapat dijumpai dalam keadaan demikian, karena metabolisme garam empedu terganggu bila intestinum dihuni lebih banyak oleh kolonisasi bakteri. Respons hematologis telah diabsorbsi setelah pemberian antibiotik oral seperti tetrasiklin dan ampisilin. Anemia megaloblastik dapat dijumpai pada orang-orang pengidap cacing pita karena adanya kompetisi dari cacing dalam memakan kobalamin. Dengan membinasakan cacing pita tersebut maka problema tersebut dapat diatasi. Abnormalitas Ileum Definisi kobalamin sering dijumpai pada "tropical sprue", sedangkan ha1 ini merupakan komplikasi yang diluar kebiasaan dari "nontropical sprue" (gluten-sensitive enteropathy). Sebenarnya tiap gangguan yang bersamaan dengan kapasitas absorbsi pada ileum distal dapat menimbulkan defisiensi kobalamin. Keadaan khusus yaitu termasuk enteritis regional, penyakit Whipple, dan tuberkulosis. Keterlibatan segmental dari ileum distal oleh suatu penyakit dapat mengakibatkan anemia megaloblastik tanpa adanya lain manifestasi dari malabsorbsi intestinal seperti steatorrhea. Malabsorbsi kobalamin dapat juga tampak setelah reseksi ileum. Sindrom Zollinger-Elison (hiperasiditaslambung yang hebat karena tumor yang mensekresi gastrin) dapat mengakibatkan malabsorbsi kobalamin oleh pengasaman usus halus, akan menghambat transfer vitamin dari ikatan R ke faktor intrinsik dan mengganggu ikatan kobalamin-FI komplex ke reseptor ileum. Pankreatitis kronik dapat juga mengakibatkan malabsorbsi kobalamin, tetapi ini hanya selalu ringan dan jarang menimbulkan defisiensi kobalamin secara klinis. Akhirnya, gangguan kongenital yang jarang
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANEMIA MEGALOBLASTIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dijumpai, yaitu penyakit Imerslund-Grasbeck, yang melibatkan suatu defek yang selektif dalam absorbsi kobalamin yang bersamaan dengan proteinuri. Para individu yang mempunyai suatu mutasi cubulin, yaitu suatu reseptor yang menjadi perantara absorbsi intestinal dari kompleks kobalamin-FI.
Nitrous Oxide Menghirup nitrous oxide sebagai obat bius menghancurkan kobalamin yang endogen. Pemakaian seperti biasanya dan besarnya pengaruh obat bius tidak cukup untuk menimbulkan defisiensi kobalamin secara klinis, tetapi pemakaian berulang atau yang berkepanjangan (>6 jam), utamanya pada pasien tua yang mempunyai simpanan kobalamin pada ambang batas, akan dapat menyebabkan anemia megaloblastik dan defisit neurologik akut. Defisiensi Asam Folat Penambahan asam folat dalam produk dari biji-bijian dan padi-padian telah disarankan oleh US Food and Drug Administration sejak Januari 1998, maka kejadian defisiensi asam folat nyata menurun. Para pasien dengan defisiensi asam folat lebih sering kurang gizi dibanding dengan defisiensi kobalamin. Manifestasi gastrointestinal adalah serupa tetapi dapat lebih meluas dan lebih berat dari anemia pernisiosa. Diare sering ada, dan cheilosis dan glossitis juga dialami. Namun, berlawanan dengan defisiensi kobalamin, tidak tampak adanya abnormalitis neurologik. Manifestasi hematologik dari defisiensi asam folat adalah sama dengan defisiensi kobalamin. Defisiensi asam folat secara umum berhubungan dengan satu atau lebih faktor seperti: asupan yang tak memadai, keperluan yang meningkat, atau malabsorbsi. Asupan yang tak memadai. Para peminum alkohol akan dapat mengalami defisiensi asam folat karena sumber utama asupan kalori yang dikonsumsi berasal dari minuman beralkohol. Alkohol dapat mengganggu metabolisme folat. Pecandu narkotik juga mudah menjadi defisiensi folat karena malnutrisi. Banyak individu fakir miskin dan usia lanjut yang mendapat makanan yang kurang akan menderita defisiensi folat. Keperluan yang meningkat. Jaringanjaringan yang relatif pembelahan selnya sangat cepat seperti sumsum tulang, mukosa usus, memerlukan cukup besar akan folat. Karenanya, para pasien anemia hemolitik kronik atau penyebab lain terjadinya eritropoiesis yang aktif akan mengalami defisiensi. Perempuan hamil mempunyai risiko tinggi untuk terjadi defisiensi folat karena keperluan yang meningkat bersamaan dengan perkembangan janin. Bila defisiensi timbul pada minggu pertama kehamilan, maka dapat mengakibatkan defek saluran saraf pada neonatus.
Kadang kadang pada kehamilan tersebut tak dapat mendeteksi, sampai defek tersebut telah berkembang; jadi, ketentuan suplementasi folat pada perempuan setelah mereka mengetahui hamil, tidaklah efektif. Namun demikian, suplementasi makanan yang mengandung folat, dapat mengurangi defek saluran saraf sampai lebih dari 50%. Defisiensi folat dapat tampak selama masa pertumbuhan cepat bayi dan remaja. Para pasien dengan hemodialisa honik perlu diberi suplementasi folat guna mengganti folat yang hilang. Malabsorbsi. Defisiensi folat sering menyertai Tropical sprue, baik gejala gastrointestinal maupun malabsorbsi akan membaik dengan pemberian asam folat atau dengan antibiotik oral. Pada pasien dengan nontripocal sprue (gluten-sensitive enteropathy) dapat pula berkembang secara nyata timbulnya defisiensi asam folat yang sejalan dengan parameter dari malabsorbsi. Hal yang serupa, adalah defisiensi folat pada pecandu alkohol dapat pula karena kemungkinan dari malabsorbsi. Termasuk pula gangguan usus halus kadang-kadang bersamaan dengan defisiensi folat.
Obat- obatan Selanjutnya masalah defisiensi folat atau kobalamin yang sering menjadi penyebab anemia megaloblastik adalah obat obatan. Bahan obat yang mengakibatkan anemia megaloblastik, disebabkan karena mengganggu sintesis DNA, baik secara langsung atau melawan kerja folat. Ini dapat diklasifikasi sebagai berikut: Langsung penghambat sintesis DNA, mereka termasuk analog purin (6-tioguanin, azatioprin, 6-merkaptopurin), analog pirimidin (5-fluorourasil, sitosin arabinose), dan obat yang mengganggu sintesis DNA dengan berbagai macam mekanisme (hidroksiurea, prokarbazin). Obat antivirus zidovudin (AZT), yang digunakan untuk pengobatan HIV, sering menimbulkan anemia megaloblastik berat. Antagonis folat. yang paling toksik dari golongan ini adalah metotreksat, suatu penghambat yang kuat pada dihidrofolat reduktase, yang digunakan untuk pengobatan keganasan tertentu dan penyakit-penyakit reumatik tertentu. Yang kurang toksik tetapi mampu untuk menimbulkan anemia megaloblastik adalah beberapa penghambat dihidrofolat reduktase yang lemah, yang digunakan untuk pengobatan berbagai macam kondisi nonmalignan. Obat-obatan tersebut termasuk pentamidin, trimetoprim, triamteren, dan pirimetamin. Lain-lain. Sejumlah obat yang melawan folat dari mekanismenya yang sukar dimengerti, akan tetapi dipikirkan ikut serta dan menyangkut pada absorbsi dari vitamin oleh intestinum. Dalam kelompok ini adalah "anticonvulsants" fenitoin, primidon, dan fenobarbital.Anemia megaloblastik yang disebabkan oleh obat obat tersebut adalah ringan.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HEMATOLOCI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Mekanisme Lain Sebab herediter. Anemia megaloblastik dapat tampak pada beberapa penyakit herediter. "Orotic aciduria" suatu defisiensi orotidilik dekarboksilase dan fosforilase, karena defek dalam metabolisme pirimidin dan dengan ciri adanya pertumbuhan yang terlambat dan perkembangan maupun dari ekskresi sejumlah besar dari asarn orotik. Malabsorbsi folat yang kongenital penyebab anemia megaloblastik, bersamaan dengan ataksia dan retardasi mental. Anemia megaloblastik yang responsif dengan tiamin yang disertai dengan ketulian saraf dan diabetes melitus pernah dilaporkan pada beberapa anak. Perubahan megaloblastik yang disertai berinti banyak dari pendahulu sel darah merah dapat dilihat dalam sumsum dari para pasien tertentu dengan anemia dyserytlzropoietik kongenital, suatu golongan gangguanlpenyakit yang diwariskan dengan ciri anemia ringan sampai sedang dan perjalanannya tidak ganas. Defisiensi TC 11, seperti abnormalitas yang diwariskan pada absorbsi kobalamin sebagai penyebab defisiensi yang mencolok dari kobalamin pada bayi atau awal masa kanak kanak. Anemia megaloblastik tak dijumpai pada defisiensi TC I yang diwariskan. ANEMIA MEGALOBLASTIK YANG REFRAKTER Eritropoiesis megaloblastik kadang kadang dapat tampak pada mielodisplasia. Perubahan megaloblastik terbatas pada seri sel darah merah. Mielodisplasia sering menghasilkan perbedaan gambaran morfologik yang lebih jelas pada normoblas ortokromatik dimana inti megaloblastik berhubungan dengan sitoplasma yang sangat hipokromik. Varian ini disebut " megaloblastoid " yang merujuk pada defek maturasi inti dan sitoplasma. "Megaloblastoid" tidak berarti " megaloblastoid ringan". Seperti halnya bentuk lain dari mielodisplasia, anemia megaloblastik refrakter ada hubungannya dengan peningkatan kejadian leukemia akut. Perubahan megaloblastik tampak pada mielosis eritremik dan eritrolekemia akut, di mana pendahulu sel darah merah nyata terlibat.
Diagnosis Guna menegakkan diagnosis anemia megaloblastik, perlu menelusuri baik pemeriksaan fisis maupun pemeriksaan laboratoris darah juga sumsum tulang. Pemeriksaan laboratorium darah meliputi hemoglobin, hematokrit, retikulosit, leukosit, trombosit, hitung jenis, laju endap darah, serum vitamin B 12, serum folat, folat eritrosit, MCV dan lain-lain tes khusus yang sesuai. Pemeriksaan film1 hapusan darah perifer perlu diperhatikan bentuk bentuk sel sel darah merah, leukosit, dan trombosit. Didapatkan secara nyata makrositosis yaitu MCV lebih dari 100 fl maka
perlu dipikirkan akan adanya anemia megaloblastik. Penyebab lain makrositosis termasuk hemolisis, penyakit hati, alkoholisme, hipotiroidisme, dan anemia aplastik. Bila makrositosis nyata yaitu MCV lebih dari 110 fl, maka pasien tersebut lebih condong pengidap anemia megaloblastik. Makrositosis jarang tampak bersamaan dengan defisiensi besi atau thalassemia. Indeks retikulosit yang rendah, dan jumlah leukosit maupun trombosit mungkin pula menurun, terutama pada para pasien dengan anemia berat. Dari gambaran darah perifer, tampak dengan nyata adanya anisositosis dan poikilositosis, bersamaan dengan makroovalositosis, yaitu sel darah merah dengan hemoglobinisasi penuh merupakan ciri dari anemia megaloblastik. Dapat dijumpai pula adanya beberapa bintik basofilik, dan kadang kadang ditemukan sel darah merah yang berinti. Pada seri leukosit, yaitu adanya netrofil yang tampak adanya inti dengan segmen lebih dari 5 atau 6 dan dikenal dengan istilah hipersegmen. Temuan ini merupakan ciri khas, maka hendaknya meningkatkan dugaan kearah anemia megaloblastik. Myelosit yang jarang mungkin pula tampak. Juga dapat pula ditemukan bentuk trombosit yang aneh. Dari pemeriksaan sumsum tulang ditemukan adanya hiperselular dengan penurunan rasio mieloidleritroid dan berlimpah besi yang tercat. Perintislpendahulu sel darah merah tampak adanya sel yang besar abnormal dan mempunyai inti yang tampaknya kebanyakan kurang matur, ha1 ini perlu diperkirakan dari perkembangan sitoplasma (nuclear-cytoplasmic asynchrony). Kromatin inti lebih tersebar dari yang diduga, dan ia memadat dalam gambaran yang sangat khas sebagai ciri dari eritropoiesis megaloblastik. Mitosis abnormal dapat tampak. Perintis granulosit juga dirusak, tampak banyak yang menjadi besar dari yang normal, termasuk band yang sangat besar dan metamielosit. Jumlah megakariosit menurun dan tampak morfologi yang abnormal. Ciri anemia megaloblastik adalah eritropoiesisyang tak efektif. Pada pasien dengan megaloblatik berat, sebanyak 90% perintis sel darah merah mungkin dihancurkan dan mereka diedarkan dalam aliran darah, dibanding dengan 10% sampai 15% pada individu normal. Meningkatnya penghancuran eritroblas dalam medula sumsum tulang akan berakibat peningkatan bilirubin yang tak terkonjugasi dan asam laktat dehidrogenase (isoenzim 1) dalam plasma. Guna mengevaluasi pasien dengan anemia megaloblastik, sangat penting untuk menentukan apakah ada defisiensi vitamin yang spesifik dengan mengukur kadar serum kobalamin dan folat. Nilai kobalamin normal dalam serum adalah antara 300 sampai 900 pglml; nilai kurang dari 200 mglml menunjukkan adanya defisiensi yang nyata secara klinis. Tampaknya ini berbeda dengan kriteria WHO seperti yang tertera di depan. Pengukuran dari kobalamin yang terikat pada TC 11, sebenarnya lebih fisiologik guna pengukuran status kobalamin, tapi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANEMIA MEGALOBLASTIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pengukuran kadar dengan cara tersebut belum dapat dilakukan secara rutin saat ini. Kadar serum normal dari asam folat berkisar antara 6 sampai 20 nglml; nilai sama atau di bawah 4 ng/ml secara umum dipertimbangkan untuk diagnostik dari defisiensi folat. Tidak seperti serum kobalamin, kadar serum folat dapat menggambarkan adanya perubahan baru pada asupan makanan. Pengukuran kadar folat dalam sel darah merah sangat berguna untuk mendapat informasi, tetapi ini bukannya subyek guna melihat fluktuasi jangka pendek dari asupan folat dan ha1 ini lebih dari serum folat sebagai indeks dari simpanan folat. Saat defisiensi kobalamin telah dipikirkan, maka patogenesisnya dapat dilacak dengan menggunakan tes Schilling.Pasien diberi kobalamin radioaktif oral, dan segera diikuti setelah itu dengan penyuntikan intramuskular kobalamin tanpa dilabel. Proporsi radioaktivitas yang diberikan akan dikeluarkan dalam urin selama 24 jam berikutnya, ha1 ini akan menetapkan suatu ketelitian ukuran dari absorbsi kobalamin dan dianggap bahwa sampel urin yang menyeluruh telah dikumpulkan. Karena defisiensi kobalamin hampir selalu karena malabsorbsi, tingkat pertama dari tes Schilling harus abnormal (misal didapat sejumlah kecil radioaktivitas dalam urin). Kemudian pasien diberi kobalamin terikat pada faktor intrinsik yang dilabel. Absorbsi dari vitamin akan mencapai normal pada pasien yang menderita anemia pernisiosa atau beberapa tipe lain dari defisiensi faktor intrinsik. Bila absorbsi kobalamin masih tetap rendah, maka pasien mungkin terdapat pertumbuhan berlebihan dari bakteri ("blind loop
syndrome") atau penyakit ileum (termasuk defek absorbsi ileum sekunder karena defisiensi kobalamin itu sendiri). Malabsorbsi kobalamin karena kelebihan pertumbuhan bakteri sering dapat dikoreksi dengan pemberian antibiotik. Tes Schilling dapat menetapkan informasi yang cukup dipercaya setelah pasien mendapat terapi yang memadai dengan kobalamin parenteral. Tes Schilling yang normal pada pasien yang telah dibuktikan dengan defisiensi kobalamin, akan memberi petunjuk adanya absorbsi yang jelek dari vitamin bila dicampur dengan makanan. Ini dapat ditegakkan dengan mengulang tes Schillingdengan kobalamin radioaktif yang diaduk dengan telur. Kadar serum dari asam metilmalonat dan homosistein juga berguna untuk diagnosis anemia megaloblastik. Keduanya meningkat pada defisiensi kobalamin, namun peningkatan homosistein, tapi bukan asam metil malonik dapat terjadi pada defisiensi folat. Tes-tes tersebut mengukur simpanan vitamin dalam jaringan dan dapat menunjukkan suatu defisiensi meskipun bila pemeriksaan yang sederhana, tapi kurang dipercaya pada kadar folat dan kobalamin yang didapatkan dan hasilnya pada ambang batas atau dalam batas normal. Para pasien terutama usia lanjut, tanpa anemia dan dengan kadar serum kobalamin normal, tetapi terdapat peninggian kadar serum asam metil malonat dapat mengakibatkanabnormalitas neuropsikiatrik. Pengobatan para pasien defisiensi kobalamin yang tak kentara biasanya akan mencegah kemerosotan lebih lanjut dan mungkin berhasil memperbaiki kesehatan pasien. Alur pikir guna menetapkan anemia megaloblastik dapat disimak pada Gambar 5.
Gambar 5. Alur plkir menetapkan anemia megaloblastik
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HEMATOLOGI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Pengobatan Setelah diagnosis defisiensi kobalamin ditegakkan maka perlu memberikan terapi spesifik berkaitan dengan penyakit dasar yang melatar belakangi, misalnya adanya pertumbuhan bakteri yang berlebihan dalam intestinum perlu diberi antibiotik, sedangkan terapi utama untuk defisiensi kobalamin adalah terapi pengganti. Sebab defek yang ada, biasanya selalu malabsorbsi, maka para pasien diberi pengobatan parenteral, terutama dalam bentuk suntikan kobalamin intramuskular. Awal pemberian terapi parenteral dengan kobalamin 1000 ug i.m, tiap minggu sampai 8 minggu, kemudian dilanjutkan suntikan i.m kobalamin 1000 ug tiap bulan dari sisa hidup pasien. Defisiensi kobalamin dapat dikelola secara efektif dengan pemberian terapi oral dengan kristalin B12 sejumlah 2 mg per hari; namun ketidak patuhan lebih besar pada terapi oral dibanding terapi i.m. Respons terapi adalah memuaskan. Segera setelah terapi dimulai, dan beberapa hari sebelum respons hematologis tampak nyata dalam darah perifer, pasien merasakan kekuatan meningkat dan ada perbaikan kesehatannya. Morfologi sumsum tulang mulai kembali ke keadaan normal dalam waktu beberapa jam setelah terapi dimulai. Retikulositosis mulai pada hari ke-4 sampai hari ke-5 setelah terapi dimulai dan mencapai puncak kurang lebih 7 hari, dan remisi berikutnya dari anemia setelah beberapa minggu. Bila retikulositosis tidak tampak, atau bila kurang cepat dari yang diharapkan dari kadar hematokrit, maka perlu dicari kemungkinan faktor lain yang mengakibatkan anemia (a.1. infeksi, bersamaan dengan defisiensi besi atau folat, atau hipotiroidisme).Hipokalemia dan retensi garam dapat tampak lebih awal dalam perjalanan terapi. Trombositosis mungkin ditemukan. Pada kebanyakan kasus, terapi pengganti adalah semua yang diperlukan guna pengobatan defisiensi kobalamin. Kadang kadang pasien menunjukkan anemia yang berat disertai pula gangguan yang membahayakan keadaan kardiovaskular yang gawat maka diperlukan transfusi. Ini perlu dilakukan dengan hati hati, sebab pasien yang demikian dapat berkembang menjadi gagal jantung karena adanya kelebihan cairan. Darah harus diberikan pelan pelan dalam bentuk PRC (Packed Red Blood Cells), dan harus selalu dalam pengawasan. Volume PRC yang diberikan sedikit demi sedikit akan cukup guna menghindari masalah gagal kardiovaskular akut. Dengan pengobatanjangka lama selama hidupnya, para pasien akan mengalami tidak berlanjutnya manifestasi defisiensi kobalamin, namun gejala neurologiknya tidak sepenuhnya dapat dikoreksi meskipun dengan terapi yang optimal. Pada pasien anemia pernisiosa perlu dengan cermat diawasi dan selalu diikuti perkembangannya karena adanya potensi untuk berkembang menjadi karsinoma lambung.
Folat, terutama dalam dosis besar, dapat mengoreksi anemia megaloblastik karena defisiensi kobalamin tanpa mengubah abnormalitas neurologik. Manifestasi neurologik mungkin tetap tidak menjadi buruk oleh terapi folat. Defisiensi folat, akan terselubung pada pasien yang makan folat dosis tinggi. Dalarn ha1 yang demikian, respons hematologis folat jangan digunakan sebagai tolok ukur untuk keberhasilan pasien dengan defisiensi kobalamin; dan defisiensi kobalamin hanya dapat disingkirkan dengan evaluasi laboratorium yang memadai. Pada pasien usia lanjut kejadian defek absorbsi kobalamin ringan frekuensinya tinggi, dan mungkin risikonya meningkat. Defisiensi kobalamin yang berat akan memberi gejala neurologis dari pada gejala hematologis, dan beberapa ahli menyarankan pemberian kristalin kobalamin oral dengan dosis 0 , l mg per hari guna profilaksis pada usia di atas 65 tahun.
DEFlSlENSl FOLAT Seperti defisiensi kobalamin, defisiensi folat perlu diobati dengan terapi pengganti. Dosis yang lazim diberikan adalah 1 mg per hari per oral, namun dosis tinggi sampai 5 mg per hari mungkin diperlukan pada defisiensi folat yang disebabkan karena malabsorbsi. Pemberian folat parenteral jarang diperlukan. Respons hematologis sama dengan yang dapat dijumpai setelah terapi pengganti pada defisiensi kobalamin, misalnya terjadinya retikulositosis yang nyata setelah kurang lebih 4 hari, kemudian diikuti dengan terkoreksinya anemia setelah 1 sampai 2 bulan kemudian. Lama terapi tergantung pada keadaan dasar defisiensi. Para pasien dengan keperluan yang terus menerus meningkat seperti pada pasien anemia hemolitik atau mereka yang dengan malabsorbsi atau malnutrisi kronik, hendaknya terus menerus didorong guna memelihara dan mengajarkan diet yang optimal dengan kecukupan folat. Penyebab Lain Anemia Megaloblastik Anemia megaloblastik karena obat obatan dapat diobati, bila mungkin, dengan mengurangi dosis obat atau menyingkirkan. Efek antagonis folat yang menghambat dihidrofolat reduktase dapat dilawan oleh asam folinik (5formil tetrahidrofolat (THF) dalam dosis 100 sampai 200 mg per hari, yang akan menghambat metabolisme folat dengan cara menyediakan suatu bentuk folat yang dapat diubah menjadi 5,10 - methylene THF. Untuk bentuk megaloblastik dari anemia sideroblastik, pemberian piridoksin dengan dosis sampai 300 mg per hari dapat dicoba, karena ada anemia sideroblastik yang tidak respons dengan piridoksin. Anemia megaloblastik yang refrakter perlu dipikirkan terapi suportif.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1151
ANEMIA MECALOBLASTIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI REFERENSI Anemia megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan oleh defek sintesis DNA dalam sel-sel terutama dari hematopoietik. Klasifikasi anemia megaloblastik dapat dikelompokkan dalam: defisiensi kobalamin, defisiensi asam folat dan sebab sebab 1,ain. Asam folat dan vitamin B12 adalah zat yang berhubungan dengan unsur makanan yang sangat diperlukan bagi tubuh. Peran utama dari asam folat dan vitamin B 12 ialah dalam metabolisme intraselular. Bila kedua zat tersebut mengalami defisiensi, akan menghasilkan tidak sempurnanya sintesis DNA. Hematopoiesis sangat sensitif pada defisiensi vitamin tersebut, dan gejala awal ialah anemia megaloblastik. Untuk membuat diagnosis perlu diperhatikan gejala klinis dan laboratoris. Terapi ditujukan untuk penggantian atau menghilangkan defisiensi tersebut.
Adamson JW, Longo DL. Anemia and polycythemia. Harrison's principles of internal medicine. 16'h edition. Volume 1. New York: McGraw -Hill; 200S.p. 329-36. Babior BM, Bunn HF. Megaloblastic anemias. Harrison's principles of internal medicine. 161hedition. Volume 1. New York: McGrawHill; 2005. p. 601-7. Hillman RS. Hematopoietic agent. Growth factors, minerals and vitamins 111, vitamin B12, folic acid, and the treatment of megaloblastic anemias. In: Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis of Theurapeutic, editors. 10Ih edition International edition. New York: Mc Graw-Hill; 2001. p. 1503-14. Lipschitz DA. Anemia in the elderly. Principle of geriatric medicine and gerontology. 2ndedition. New York: Mc Grawth-Hill, Inc; 2000. p. 662-8. Russel RM. Vitamin and trace mineral defisiensi and excess. Harrison's principles of internal medicine. 16th edition. Volume 1. New York: McGraw-Hill; 2005. p. 403-1 1. Soenarto. Permasalahan pengelolaan anemia. Kedaruratan medik I1 2001. Pertemuan Ilmiah Tahunan ke V Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Cabang Semarang. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2001. p. 48-67.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN Elias Parjono, Kartika Widayati Taroeno-Hariadi
Anemia hemolitik imun (autoimmune hemolytic anemia = AIHA / AHA) merupakan suatu kelainan di mana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit memendek.
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivasi sistem komplemen, aktifasi mekanisme seluler, atau koinbinasi keduanya. 1. aktifasi sistem komplemen. Secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler.yang ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuri. Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh. a aktifasi komplemen jalur klasik. Reaksi diawali dengan aktivasi C 1 suatu protein yang dikenal sebagai recognition unit. C 1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1 akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b (dkenal sebagai C3-convertuse). C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami perubahan konformational sehingga
mempu berikatan secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (sel darah merah berlabel antibodi). C3 juga akan membelah menjadi C3d,g, dan C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan pada membran sel darah merah dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5 convertase). C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8, dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu aluran transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan terganggu. Air clan ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak dan ruptur. h aktifasi komplemen jalur alternatif. Aktifator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian melekat pada C3b, dan oleh D faktor B dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin, dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b. SelanjutnyaC5b berperan dalam penghancuran membran. 2. Aktifasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular. Jika sel darah disensitasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktifasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses immune adherence ini sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence, terutama yang diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1153
ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI I. Anemia Hernolitik Auto lrnun (AIHA) A. AlHA tipe hangat 1. idiopatik 2. sekunder (karena cll, lirnforna, SLE) B. AlHA tipe dingin 1. idiopatik 2. sekunder (infeksi rnycoplasrna, mononucleosis, virus, keganasan lirnforetikuler) C. Paroxysmal Cold hernoglobinuri 1. idiopatik 2. sekunder (viral, dan sifilis) D. AlHA Atipik 1. AlHA tes antiglobulin negatif 2. AlHA kornbinasi tipe hangat dan dingin II. AlHA diinduksi obat Ill. AlHA diinduksi aloantibodi A. Reaksi Hemolitik Transfusi B. Penvakit Hernolitik pada Bayi Baru Lahir
Anemia Hemolitik Imun dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (Tabel 1) DIAGNOSIS Gambar 1. Aktifasi komplernen pada AlHA
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, k e m u n g k h terjadi karena gangguan c e n t d tolerance, dan gangguan pa& proses pembatasan limfosit autoreakif residual.
.
Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit DirectAntiglobulin Test (direct Coomb's test): sel eritrosit pasien dicuci dari protein-protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoclonal terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplomen, terutama IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi aglutinasi.
Gambar 2. Skerna Direct Antiglobulin Test
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI a twt
I S ~
"JC
rpc
Patient %rum
Lrml Group O RE#
Gambar 3. Indirect Antiglobulin Test
Indirect antiglobulin test (indirect Coomb's test): untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen. Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi. Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi bereaksi secara optimal pada suhu 37OC. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai penyakit lain. 1. Gejala dan tanda: Onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, dan demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri abdomen, dan anemia berat. Urin benvama gelap karena terjadi hemoglobinuri. Ikterik terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik splenomegaliterjadi pada 50-60%, hepatomegali terjadi pada 30%, dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25% pasien tidak disertai pembesaran organ dan limfonodi. 2. Laboratorium: Hemoglobin sering dijumpai di bawah 7 gldl Pemeriksaan Coomb direk biasanya positip Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi dengan semua sel eritrosit normal. Autoantiodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh. 3. Prognosis dan survival. Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik, namun terkendali. Survival 10 tahun berkisar 70%. Anemia, DVT, emboli pulmo, infark lien, dan kejadian kardiovaskuler lain bisa terjadi selama periode penyakit aktif. Mortalitas selama 5-10 tahun sebesar 15-25%. Prognosis pada AIHA sekunder tergantung penyakit yang mendasari. 4. Terapi: a. Kortikosteroid : 1- 1.5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan menunjukkan respon klinis baik
(Hmt meningkat, retikulosit meningkat, tes coombs direk positip lemah, tes coomb indirek negatip). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke90. Bila ada tanda respons terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis 10-20 mglhari. Terapi steroid dosis < 3Omglhari dapat diberikan secara selang sehari. Beberapa pasien akan memerlukanterapi rumatan dengan steroid dosis rendah, namun bila dosis perhari melebihi 15 mglhari untuk mempertahankan kadar Hmt, maka perlu segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain. b. Splenektomi.Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tapering dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa terus berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remisi komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%, namun tidak bersifat permanen. Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan setelah splenektomi. c. Imunosupresi. Azathioprin 50-200 mglhari (80 mg/m2), siklofosfamid 50- 150 mghari (60 mg/m2) d. Terapi lain: Danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol diturunkanmenjadi 200-400 mg.hari. Kombinasi D m 0 1 dan prednison memberikan hasil yang bagus sebagai terapi inisial dan memberikan respon pada 80% kasus. Efek danazol berkurang bila diberikan pada kasus relaps atau Evan's Syndrome Terapi immunoglobulin intravena (400 mgkgBB per hari selama 5 hari) menunjukkan perbaikan pada beberapa pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif pada beberapa pasien lain. Menurut Flores respon hanya 4O%Jadi terapi ini diberikan bersama terapi lain dan responsnya bersifat sementara. Mycophenolatemofetil500 mg perhari sampai 1000 mg per hari dilaporkan memberikan hasil yang bagus pada AIHA refrakter.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Rituximab dan alemtuzumab pada beberapa laporan memperlihatkan respon yang cukup menggembirakan sebagai salvage therapyL7. Dosis Rituximab 100 mg per minggu selama 4 minggu tanpa memperhitungkan luas permukaan tubuh. Terapi plasmafaresis masih kontroversial. e. Terapi transfusi: terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak. Pada kondisi yang mengancam jiwa (misal Hb < 3 gldl) transhsi dapat diberikan, sambil menunggu steroid dan immunoglobulin untuk berefek.
ANEMIA HEMOLITIK IMUN TlPE DlNGlN Terjadinya hemolisis diperantarai antibodi dingin yaitu aglutinin dingin dan antibodi Donath-Landstainer. Kelainan ini secara karakteristik memiliki aglutinin dingin IgM monoklonal. Spesifisitas aglutinin dingin adalah terhadap antigen Ili. Sebagian besar IgM yang punya spesifisitas terhadap anti-I memiliki VH4-34. Pada urnmnya aglutinin tipe dingin ini terdapat pada titer yang sangat rendah, dan titer ini akan meningkat pesat pada fase penyembuhan infeksi. Antigen I/i bertugas sebagai reseptor mycoplasma yang akan meyebabkan perubahan presentasi antigen dan menyebabkan produksi autoantibodi. Pada limfoma sel B, aglutinin dingin ini dihasilkan oleh sel limfoma. Aglutinin tipe dingin akan berikatan dengan sel darah merah dan terjadi lisis langsung dan fagositosis. a. gambaran klinik: sering terjadi aglutinisasi pada suhu dingin. Hemolisi berjalan kronik. Anemia biasanya ringan dengan Hb: 9-12 gldl. Sering didapatkan akrosianosis, dan splenomegali b. laboratorium: anemia ringan, sferositosis, polikromatosia, tes Coombs positif, anti-I, anti-I, anti Pr, anti- M, atau anti-P. c. Prognosis dan survival. Pasien dengan sindrom kronik akan memiliki survival yang baik dan cukup stabil d. Terapi: menghindarai udara dingin yang dapat memicu hemolisis Prednison dan splenektomi tidak banyak membantu Chlorarnbucil2-4mgthari Plasmafaresis untuk mengurangi antibodi IgM secara teoritis bisa mengurangi emolisis, namun secara praktik ha1 ini sukar dilakukan.
PAROXYSMALCOLD HEMOGLOBINURI Ini adalah bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai, hemolisis terjadi secara masif dan berulang setelah terpapar suhu dingin. Dahulu penyakit ini sering ditemukan, karena berkaitan dengan penyakit sifilis. Pada kondisi ekstrim autoandibodiDonath-Landsteiner dan protein komplemen
berikatan pada sel darah merah. Pada saat suhu kembali 37 C, terjadilah lisis karena propagasi pada protein-protein komplemen yang lain. a. gambaran klinis; AIHA (2-5%), hemolisis paroksismal disertai menggigil, panas, mialgia, sakit kepala, hemoglobinuri berlangsung beberapa jam. Sering disertai urtikaria b. laboratorium: hemoglobinuria, sferositosis, eritrofagositos. Coombs positif, antibodi DonathLandsteiner terdisosiasi dari sel darah merah. c. Prognosis dan survival: pengobatan penyakit yang mendasari akan memperbaiki prognosis. Prognosis pada kasus-kasus idiopatik pada umumnya juga baik dengan survival yang panjang. d. Terapi: menghindari faktor pencetus. glukokortikoiddm splenektomi tidak ada manfaatnya.
ANEMIA HEMOLITIK IMUN DllNDUKSl OBAT Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat yaitu: haptenlpenyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan kompleks ternary(mekanisme kompleks imun tipe innocent bystander), induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit tanpa ada lagi obat pemicu, serta oksidasi hemoglobin. Penyerapanladsorpsi protein nonimunologis terkait obat akan menyebabkan tes Coomb positip tanpa kerusakan eritrosit. Pada mekanisme haptenladsorpsi obat, obat akan melapisi eritrosit.dengankuat Antibodi terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat pada permukaan eritrosit. Eritrosit yang teropsonisasi oleh obat tersebut akan dirusak di limpa. Antibodi ini bila dipisahkan dari eritrosit hanya bereaksi dengan reagen yang mengandung eritrosit berlapis obat yang sama (misal penisilin). Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan obat atau metabolit obat, tempat ikatan obat permukaan sel target, antibodi, dan aktifasi komplemen. Antibodi melekat pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat dan sel target tersebut lemah, dan antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat ataupun membran eritrosit. Beberapa antibodi tersebut memiliki spesifisitas terhadap antigen golongan darah tertentu seperti Rh, Kell, Kidd, atau Vi. Pemeriksaan Coomb biasanya positif. Setelah aktifasi komplemen terjadi hemolisis intravaskuler, hemoglobinemia dan hemoglobinuri.Mekanisme ini terjadi pada hemolisis akibat obat kinin, kuinidin, sulfonamide, sulfonylurea, dan thiazide. Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit autolog, seperti contoh methyldopa. Methyldopa yang bersirkulasi dalam plasma akan menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
pada permukaan sel darah merah. Jadi yang melekat pada permukaan sel darah merah adalah autoantibodi, obat tidak melekat. Mekanisme bagaimana induksi formasi autoantibodi ini tidak diketahui. Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif. Oleh karena hemoglobin mengikat oksigen maka bisa mengalami oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat oksidatif. Eritrosit yang tua makin mudah mengalami trauma oksidatif. Tanda hemolisis karena proses oksidasi adalah dengan ditemukannya methemeglobin, sulfhemoglobin, dan Heinz bodies, blister cell, bites cell dan eccentrocytes. Contoh obat yang menyebabkan hemolisis oksidatif ini adalah nitrofurantoin, phenazopyridin, aminosalicylic acid. Pasien yang mendapat terapi sefalosporin biasanya tes Coomb positip karena adsorpsi nonimunologis, immunoglobulin, komplemen, albumin, fibrinogen dan plasma protein lain pada membran eritrosit. a. Gambaran klinis: riwayat pemakaian obat tertentu positip. Pasien yang timbul hemolisis melalui mekanisme hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi sebagai hemolisi ringan sampai sedang. Bila kompleks ternary yang berperan maka hemolis akan terjadi secara berat, mendadak dan disertai gaga1 ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat tersebut, maka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemaparan dengan dosis tunggal. b. Laboratorium: anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes Coomb positip. Lekopenia, trombositopenia, hemoglobinemia, hemoglobinuria sering terjadi pada hemolisis yang diperantarai kompleks ternary. c. Terapi: Dengan menghentikan pemakaian obat yang menjadi pemicu, hemolisis dapat dikurangi. Kortikosteroid dan transfusi darah dapat diberikan pada kondisi berat.
ANEMIA HEMOLlTlK ALOIMUN KARENA TRANSFUSI Hemolisis aloimun yang paling berat adalah reaksi transhsi akut yang disebabkan karena ketidaksesuaian ABO eritrosit (sebagai contoh transfusi PRC golongan A pada penderita golongan darah 0 yang memiliki antibodi IgM anti -A pada serum) yang akan memicu aktifasi komplemen dan terjadi hemolisis intravaskular yang akan menimbulkan DIC dan infark ginjal. Dalam beberapa menit pasien akan sesak napas, demam,nyeri pinggang, menggigil, mual, muntah, dan syok. Reaksi transfusi tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah transfusi, biasanya disebabkan karena adanya antibodi dalam kadar rendah terhadap antigen minor ertrosit. Setelah terpapar dengan sel-sel antigenik, antibodi tersebut meningkat pesat kadarnya dan menyebabkan hemolisis ekstravaskular.
REFERENSI
Thomas AT. Autoimmune Hemolytic Anemia. In Lee GR, Foerster J, Lukens J eds. Wintrobe's Clinical Hematology. loth ed. Williams&Wikins, Baltimore. 1999:1233-1255 Petz LD, Allen DW, Kaplan ME. Hemolytic Anemia: Congenital and Aquired in Mazza JJ ed. Manual of Clinical Hematology. 2"d ed. Little, Brown and Co, Boston, 1995 : 87-114 Rosse WF, Schrier SL. Pathogenesis of Autoimmune Hemolytic Anemia: cold agglutinin disease.Uptodate 2004 (12) 2 Rosse WF, Schrier SL. Clinical Features and Treatment of Autoimmune Hemolytic anemia: warm agglutinin.Uptodate 2004 (12) 2 Rosse WF, Schrier SL. Pathogenesis of Autoimmune Hemolytic anemia: warm agglutinin and Drugs.Uptodate 2004 (12) 2 Janeway C, Travers P, Walport M. Sclomchik M. Immunobiology: the immune system in health and disease.5Ih ed. Churcil Livingstone. 2001 Dhaliwal G, Cornet PA, Tierney LM. Hemolytic Anemia. Am Fam Physician 2004;69:2599-2606. Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Hemolytic Anemia Resulting from Warm-Reacting Antibodies. Williams Manual of Hematology. 6Ih ed. McGraw Hill, 2003: 127-132. Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Cryopathic Hemolytic Anemia Williams Manual of Hematology. 6Ih ed. McGraw Hill, 2003: 133-136. Kelton JG, Chan h, Heddle N, Whittaker S. Acquired Hemolytic Anemia. Blood and Bone Marrow Pathology: 185-202 Stiene-Martin EA, Lotsoeich-Steininger CA, Koepke JA. Acquired Immune Anemias of Increased Destruction. Clinical Hematology: Principles, Procedures, Correlation. 2nded. Lippincott, Philadelphia, 1998:280-292 Rosse WF. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria. Uptodate 2004 (12) 2 Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Drug induced Hemolytic Anemia. Williams Manual of Hematology. 6Ih ed. McGraw Hill, 2003: 137-142 Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Transfusion of Blood and Red Cells. Williams Manual of Hematology. 61h ed. McGraw Hill, 2003: 513-520 Hoffman PC, Gertz MA, Brodsky RA. Immune Hemolytic AnemiaSelected Topic. ~ e m a t d l o2006:l-6 ~~ Reardon JE, Marques MB. Laboratorium Evaluation and Transfusion Support of Patients with Autoimmune Hemolytic Anemia Am J Clin Pathol 2006:125(Supl ) : S71-S77 Shanafelt TD, Madueme HL, Wolf RC, Teferri A,. Rituximab for Immune Cytopenia in Adults: Idiopathic Thrombocytopenia, Autoimmune Hemolytic Anemia, Evan's syndrome. Mayo Clin Proc 2003:78:1340-1346 Provan D, Butler T, Evangelista ML. Activity and Safety Profile of Low Dose Rituxzimab for the treatment of Autoimmune Cytopenias in Adults. Haematologica 2007;92: 1695- 1698.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ANEMIA HEMOLITIK NON IMUN Ikhwan Rinaldi, Aru W. Sudoyo
PENDAHULUAN Anemia hemolisis adalah kadar hemoglobin kurang dari nilai normal akibat kerusakan sel eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya. Etiologi dan Klasifikasi Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena: 1). defek molekular: hemoglobinopati atau enzimopati; 2). abnormalitas struktur dan fungsi membran-membran; 3). faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau autoantibodi. Berdasarkan etiologinya anemia hemolisis dapat dikelompokkanmenjadi: Anemia hemolisis herediter, yang termasuk kelompok ini adalah: Defek enzirnlenzimopati - Defek jalur Embden Meyerhof - Defisiensi piruvat kinase - Defisiensi glukosa fosfat isomerase - Defisiensi fosfogliserat kinase - Defek jalur heksosa monofosfat - Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase (WD)
-
Defisiensi glutation reduktase Hemoglobinopati - Thalassemia - Anemia sickle cell - Hemoglobinopati lain Defek membran (membranopati):sferositosisherediter Anemia hemolisis didapat, yang termasuk kelompok ini adalah: Anemia hemolisis imun, misalnya: idiopatik, keganasan, obat-obatan, kelainan autoimun, infeksi, transfusi Mikroangiopati, misalnya: Trombotik Trombositopenia
Purpura (TTP), Sindrom Uremik Hemolitik (SUH), Koagulasi IntravasMar Diseminata (IUD)lDisseminated Intravascular Coagulatioan (DIC), preekl~inpsia, eklampsia, hipertensi maligna, katup prostetik Infeksi, misalnya: infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi Clostridium Berdasarkan ketahanan hidupnya dalam sirkulasi darah resipien, anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi: 1).Anemia hemolisis intrakorpuskular. Sel eritrosit pasien tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang kompatibel, sedangkan sel eritrosit kompatibel normal dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien; 2). Anemia hemolisis ekstrakorpuskular. Sel eritrosit pasien dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang kompatibel, tetapi sel eritrosit kompatibel normal tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien. Berdasarkan ada tidaknya keterlibatan imunoglobulin pada kejadian hemolisis, anemia hemolisis dikelompokkan menjadi: Anemia hemolisisis imun. Hemolisis terjadi karena keterlibatan antibodi yang biasanya IgG atau gM yang spesifik untuk antigen eritrosit pasien (selalu disebut autoantibodi). Anemia hemolisis non imun. Hemolisis terjadi tanpa keterlibatan imunoglobulin tetapi karena faktor defek molekular, abnormalitas struktur membran, faktor lingkungan yang bukan autoantibodi seperti hipersplenisme, kerusakan mekanik eritrosit karena mikroangiopati atau infeksi yang mengakibatkan kerusakan eritrosit tanpa mengikutsertakan mekanisme imunologi seperti malaria, babesiosis, dan klostridiurn. Pada bagian ini yang dibahas hanya anemia hemolisis non imun yang bukan disebabkan oleh thalasemia dan hemoglobinopati lain.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Patofisiologi Hemolisis dapat terjadi intravaskulardan ekstravaskular. Hal ini tergantung pada patologi yang mendasari suatu penyakit. Pada hemolisis intravaskular, destruksi eritrosit terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma mekanik, fiksasi komplemen dan aktivasi sel permukaan atau infeksi yang langsung mendegradasi dan mendestruksi membran sel eritrosit. Hemolisis intravaskularjarang terjadi. Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis ekstravaskular. Pada hemolisis ekstravaskular destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi sistem retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.
Manifestasi Klinis Penegakkan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pasien mungkin mengeluh lemah, pusing, cepat capek dan sesak. Pasien mungkin juga mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan, meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian obat-obatan dan terpajan toksin serta riwayat keluarga merupakan informasi penting yang hams ditanyakan saat anamnesis. Pada pemeriksaan fisis ditemukan kulit dan mukosa kuning. Splenomegali didapati pada beberapa anemia hemolitik. Pada anemia berat dapat ditemukan takikardia dan aliran murmur pada katup jantung. Selain hal-ha1 umum yang dapat ditemukan pada anemia hemolisis di atas, perlu dicari saat anamnesis dan pemeriksaan fisik hal-ha1 yang bersifat khusus untuk anemia hemolisis tertentu. Misalnya, ditemukannya ulkus tungkai pada anemia sickle cell. Perneriksaan Laboratorium Retikulositosis merupakan indikator terjadinya hemolisis. Retikulositosis mencerminkan adanya hiperplasia eritroid di sumsum tulang tetapi biopsi sumsum tulang tidak selalu diperlukan. Retikulositosis dapat diamati segera, 3-5 hari setelah penurunan hemoglobin. Diagnosis banding retikulositosis adalah perdarahan aktif, mielotisis dan perbaikan supresi eritropoeisis. Anemia pada hemolisis bisanya normositik, meskipun retikulositosis meningkatkan ukuran mean corpuscular volume. Morfologi eritrosit dapat menunjukkan adanya hemolisis dan penyebabnya. Misalnya sferosit pada sferositosis herediter, anemia hemolitik autoimun; sel target pada thalasemia, hemoglobinopati, penyakit hati; schistosit pada mikroangiopati, prostesis intravaskular dan lain-lain. Jika tidak ada kerusakan jaringan organ lain, peningkatan laktat dehidrogenase (LD) terutama LDH 2, dan SGOT dapat menjadi bukti adanya percepatan destruksi eritrosit. Baik hemolisis intravaskular maupun ekstravaskular,
meningkatkan katabolisme heme dan pembentukan bilirubin tidak terkonjugasi. Hemoglobin bebas hasil hemolisis terikat dengan haptoglobin. Hemoglobinhaptoglobin ini segera dibersihkan oleh hati hingga kadar haptoglobin menjadi rendah sampai tidak terdeteksi. Pada hemolisis intravaskular kadar hemoglobin bebas dapat melebihi kadar haptoglobin sehingga hemoglobin bebas difiltrasi oleh glomerulus dan direabsorbsi oleh tubulus proksimal dan mengalami metabolisme. Hasil metabolisme di ginjal ini menghasilkan ikatan antara besi heme dengan simpanan protein (feritin dan hemosiderin). Selanjutnya hemosiderin dikeluarkan ke urin dan terdeteksi sebagai hemosiderinuria. Pada hemolisis intravaskular yang masif, ambang kapasitas absorpsi hemoglobin oleh tubulus proksimal terlewati, sehingga hemoglobin dikeluarkan ke urin dalam bentuk hemoglobinuria.
Pada sel eritrosit terjadi metabolisme glukosa untuk menghasilkan energi (ATP). ATP digunakan untuk kerja pompa ionik dalam rangka mempertahankan milieu ionik yang cocok bagi eritrosit. Sebagian kecil energi hasil metabolisme tersebut digunakan juga untuk penyediaan besi hemoglobin dalam bentuk ferro. Pembentukan ATP ini berlangsung melalui jalur Embden Meyerhof yang melibatkan sejumlah enzim seperti glukosa fosfat isomerase dan piruvat kinase. Selain digunakan untuk membentuk energi, sebagian kecil glukosa mengalami metabolisme dalam eritrosit melalui jalur heksosa monofosfat dengan bantuan enzim glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD) untuk menghasilkan glutation yang penting untuk melindungi hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidan. Defisiensi enzim piruvat kinase, glukosa fofat isomerase dan glukosa 6 fosfat dehidrogenase dapat mempermudah dan mempercepat hemolisis. Berturut-turut prevalensi tersering kejadian defisiensi enzim tersebut adalah G6PD, piruvat kinase dan glukosa fosfat isomerase. Defek Jalur Heksosa Monofosfat Metabolisme glukosa melalui jalur ini meningkat beberapa kali ketika eritrosit terpajan dengan obat-obatan atau toksin yang membentuk radikal oksigen. Dengan ini terjadi regenerasi glutation tereduksi, perlindungan gugus sulfhidril hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidasi. Jika jalur ini terganggu karena faktor herediter, maka kadar glutation tereduksi yang adekuat tidak dapat dipertahankan sehingga gugus sulfhidril hemoblobin teroksidasi, terpresipitasi dalam eritrosit dan membentuk Heinz bodies. Terganggunya jalur ini dapat disebabkan oleh defisiensi G6PD dan glutation reduktase. Namun demikian, kelainan pada glutation reduktase belum terbukti berhubungan bermakna dengan hemolisis.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANEMIA HEMOLlTlK NON AUTOlMUN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Defisiensi G6PD Etiologi dan epidemiologi. Defisiensi enzim ini paling sering mengakibatkan hemolisis. Enzim ini dikode oleh gen yang terletak di kromosom X sehingga defisiensi G6PD lebih sering mengenai laki-laki. Pada perempuan biasanya carrier dan asimptomatik. Di seluruh dunia, terdapat lebih dari 400 varian G6PD. Berbagai varian ini terjadi karena adanya perubahan subtitusi basa berupa peggantian asarn amino. Banyaknya varian ini menimbulkan variasi manifestasi klinik lebar, mulai dari hanya anemia hemolitik nonsferositik tanpa stres oksidan, anemia hemolitik yang hanya terjadi ketika distimulasi dengan stres oksidan ringan, sampai pada abnormalitas yang tidak terdeteksi secara klinis. G6PD normal disebut tipe B. Diantara varian G6PD yang bermakna secaraklinik adalah tipe A-. Tipe ini terutama ditemukan pada orang keturunan Afiika. Tipe Mediteranian relatif sering ditemukan diantara orang Mediteranian asli, dan lebih berat dari varian A- karena dapat mengakibatkan anemia hemolitik nonsferositik tanpa adanya stres oksidatif yang jelas. Manifestasi klinis. Aktivitas G6PD yang normal menurun -50% pada waktu umur eritrosit mencapai 120 hari. Pada Tipe A- penurunan ini terjadi sedikit lebih cepat dan lebih cepat lagi pada varian Mediteranian. Meskipun umur eritrosit pada tipe A- lebih pendek namun tidak menimbulkan anemia kecuali bila terpajan dengan infeksi virus dan bakteri di samping obat-obatan atau toksin yam dapat berperan sebagai oksidan yang mengakibatkan hemolisis. Obat-obatan atau zat yang dapat mempresipitasi hemolisis pada pasien dengan defisiensi G6PD adalah asetanilid, fuzolidon (furokson), isobutil nitrit, metilen blue, asam nalidiksat, naftalen, niridazol, nitrofurantoin, fenazopiridin (piridium), primakuin, pamakuin, dapson, sulfasetamid, sulfametoksazol, sulfapiridin, tiazolsulfon, toluidin blue, trinitrotoluen, urat oksidase, vitamin K, doksorubisin.Asidosis metabolikjuga dapat mempresipitasi hemolisis pada pasien defisiensi G6PD. Hemolisis akut terjadi beberapa jam setelah terpajan dengan oksidan, diikuti hemoglobinuria dan kolaps pembuluh darah perifer pada kasus yang berat. Hemolisis biasanya self-limited karena yang mengalami destruksi hanya populasi eritrosit yang tua saja. Pada tipe A- massa eritrosit menurun hanya 25-30%. Ketika hemolisis akut hematokrit turun cepat diiringi oleh peningkatan hemoglobin dan bilirubin tak terkonyugasi dan penurunan haptoglobin. Hemoglobin mengalami oksidasi dan membentuk Heinz bodies yang tampak pada pewarnaan supravital dengan violet kristal. Heinz bodies tampak pada hari pertama atau sampai ketika badan inklusi ini siap dikeluarkan oleh limpa sehingga membentuk "bite cells". Mungkin juga ditemukan beberapa sferosit. Sebagian kecil pasien defisiensi G6 PD ada yang sangat sensitif dengan fava beans (buncis) dan dapat mengakibatkan krisis hemolisis fulminan setelah terpajan.
Diagnosis. Diagnosis defisiensi G6PD dipikirkanjika ada episode hemolisis akut pada laki-laki keturunan Afrika atau Mediteranian. Pada anamnesis perlu ditanyakan tentang kemungkinan terpajan dengan zat-zat oksidan, misalnya obat atau zat yang telah disebutkan di atas. Pemeriksaan aktivitas enzim mungkin false negatif jika eritrosit tua defisiensi G6PD telah lisis. Oleh karena itu pemeriksaan aktivitas enzim perlu diulang dua sampai tiga bulan kemudian ketika ada sel-sel yang tua. Terapi. Pada pasien dengan defisiensi G6PD tipe A-, hemolisis terjadi self limited sehingga tidak perlu terapi khusus kecuali terapi untuk infeksi yang mendasari dan hindari obat-obatan atau zat yang mempresipitasi hemolisis serta mempertahankan aliran ginjal yang adekuat karena adanya hemoglobinuria saat hemolisis akut. Pada hemolisis berat, yang bisa terjadi pada varian Mediteranian, mungkin diperlukan transfusi darah. Yang terpenting adalah pencegahan episode hemolisis dengan cara mengobati infeksi dengan segera dan memperhatikan risiko penggunaan obat-obatan, zat oksidan dan fava beans. Khusus untuk orang Afrika atau Mediteranian sebaiknya sebelum diberikan zat oksidan hams dilakukan shining untuk mengetahui ada tidaknya defisiensi G6PD. Defek Jalur Embden Meyerhof Etiologi dan epidemiologi. Enzim yang dapat terganggu pada jalur ini dan mengakibatkan anemia hemolisis adalah piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase dan fosfogliserat kinase. Yang terbanyak adalah defisiensi piruvat kinase (95%). Sedangkan defisiensi glukosa fosfat isomerase hanya sekitar 4%. Defek enzim glikolisis ini bisanya diturunkan secara autosomal resesif kecuali fosfogliserat kinase yang diturunkan terkait seks. Kelainan ini mengakibatkan eritrosit kekurangan ATP dan ion kalium keluar sel. Sel eritrosit menjadi kaku dan lebih cepat disekuestrasi oleh sistem fagosit mononuklir. Defisiensi piruvat kinase hanya mengenai sel eritrosit, sedangkan defisiensi glukosa fosfat isomerase dan fosfogliserat kinase juga mengenai sel leukosit meskipun tidak mempengaruhi fungsi leukosit. Manifestasi klinis. Beratnya anemia bervariasi dan gejalanya relatif ringan karena terjadi disosiasi kurva hemoglobin ke kanan. Hemolisis berat terjadi pada masa awal kanak-kanak dengan anemia, ikterus dan splenomegali.Pada perempuan dengan defsisiensi piruvat kinase dapat sangat pucat ketika hamil sehingga sering didiagnosis pertama kali saat itu. Anemia pada pasien ini berupa anemia normositik (makrositik ringan) normokrom dengan retikulositosis. Pada defisiensi piruvat kinase dapat ditemukan eritrosit bizar di antaranya selprickle terutama setelah splenektomi. Diagnosis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI enzimatik khusus dengan menggunakan konsentrasi substrat yang sesuai untuk mendeteksi varian-varian berafinitas rendah terhadap substrat. Terapi. Sebagian besar pasien tidak membutuhkan terapi kecuali pasien dengan hemolisis berat hams diberikan asam folat 1 mgkari. Transfisi darah diperlukan ketika krisis hipoplastik. Splenektomi bermanfaat pa& pasien dengan defisiensi piruvat kinase dan glukosa fosfat isomerase. Dengan splenektomiretikulosit di sirkulasi meningkat.
Tipe Trornbus tombosit sisternik
Trornbus trornbositfibrin predorninan di ginjal
Sebab Kegagalan degradasi faktor von Wilebrand rnultirner besar yang tidak biasa Pajanan dengan toksin Shiga
Defek faktor H plasma
Pada hemolisis mikroangiopatikterjadi kerusakan membran sel eritrosit secara mekanik dalam sirkulasi darah karena adanya fibrin atau mikrotombi trombosit yang tertimbun di arteriol. Sel eritrosit terperangkap dalam jala-jala fibrin dan mengakibatkan terfragmentasinya sel eritrosit. Hemolisis mikroangiopatik dapat terjadi pada abnormalitas dinding pembuluh darah, misalnya pada hipertensi maligna, eklampsia, rejeksi allograft ginjal, kanker diseminata, hemangioma atau disseminated intravascular coagulation (DIC), dan mikroangiopati trombotik: Tronzbotic Thrombocytopenia Purpura (TTP) dan Hemolytic Uremic Syndrome (HUS).
Mikroangiopati Trombotik Mikroangipati trombotik adalah sumbatan mikrovaskular yang terjadi karena agregasi trombosit sistemik atau intrarenal, disertai adanya trombositopenia, dan trauma mekanik sel eritrosit. Yang termasuk kelompok kelainan ini adalah: Thrombotic Trombositopenia Purpura (TTP) dan Hemolytic Uremic Syndrome (HUS). Thrombotic Trombocytopenia Purpura (TTP) Kelainan ini ditandai dengan agregasi trombosit pada arteriol berbagai organ yang mengakibatkan trombositopenia dan memicu kerusakan sel eritrosit yang mengalami fragmentasi (schistocytes atau sel helmet). Agregasi trombosit dapat mengakibatkan oklusi baik parsial atau total sehingga terjadi disfungsi organ yang biasanya terjadi pada sistem saraf atau ginjal. Oklusi ini menyebabkan jaringan iskemia atau nekrotik sehingga meningkatkan kadar laktat dehidrogenase. Adapun eritrosit yang mengalami fragmentasi terjadi karena adanya aliran darah melalui area turbulen dari mikrosirkulasi mengalami oklusi parsial karena agregasi trombosit. TTP dapat terjadi pada semua usia terutama dewasa muda dan lebih sering perempuan. Patogenesis. Pada TTP trombus tombosit/agregasi trombosit mengandung banyak faktor von Willebrand sedangkan pada DIC tombus trombosit mengandung banyak fibrin tetapi tidak mengandung faktor von
Trornbus renal atau sisternik
Transplantasi atau obat (rnytornicin, cyclosporin, tacrolirnus, quinine)
Presentasi klinis Thrombotic Trombocytopenia Purpura
Klasik, kanak-kanak atau Hemolytic Uremic Syndrome yang berhubungan dengan E. Coli Hemolytic Uremic Syndrome (HUS) familial (atau rekuren) Hemolytic Uremic Sydrome atau Thrombotic Trombocytopenia Purpura
Wilebrand. Situasi ini karena agregasi trombosit pada TTP diperantaraioleh faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa, yang lebih mudah.berikatan dengan Iba. Adanya faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa ini karena adanya defek atau defisiensi enzim metaloprotease, ADAMTS 13, yang bertugas memecah multimer faktor von Wilebrand. Defek atau defisiensi enzim ini dapat terjadi karena mutasi gen atau adanya antibodi yang menghambat enzim tersebut. Sehingga ditemukan dua tipe TTP yaitu familial dan didapat. Pada kedua tipe ini aktivitasADAMTS 13 kurang dari 5 persen normal. Manifestasi klinik. ~anifestasiklinik klasik TTP ada lima, yang sering disebut dengan pentad TTP, yaitu anemia hemolitik dengan fragmetasi eritrosit, trombositopenia, kelainan neurologik fokal atau dihs, p e n m a n fungsi ginjal dan demam. Secara praktis triad TTP: trombositopenia, skistositosis, dan peningkatan LDH cukup untuk menduga adanya TTP. Gejala dan tan& TTP bervariasi tergantung pada jumlah dan lokasi lesi arteriol.Anemia pada TTP bisa sangat ringan sampai sangat berat dan derajat trombositopenia biasanya paralel dengan derajat anemia. Gejala neurologi biasanya tampakjikajumlahtrombosit (<20.000-30.000). Demam tidak selalu ada. Onset TTP akut tetapi bisa berlangsung dalam hitungan bulan. Proteinuria dan peningkatan urea nitrogen darah (BUN) mungkin ditemukan dan terns meningkat jika berkembang menjadi gaga1ginjal. Gejala neurologis berkembang pada >90% pasien yang penyakitnya berakhir dengan kematian. Awalnya terjadi perubahan mental seperti bingung, delirium, perubahan kesadaran. Pasien dapat mengalami kejang, hemiparesis, afasia, dan kelainan lapang pandang mata. Gejala neurologis ini berfluktuasi dan berakhir dengan koma. Keterlibatan pembuluh darah jantung bisa mengakibatkan kematian mendadak. Beratnya kelainan dapat diperkirakan dengan derajat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1161
ANEMIA HEMOLITIK NON AUTOIMUN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
anemia, trombositopenia, dan kadar serum LDH. Masa protrombin, masa tromboplastin parsial, dan konsentrasi fibrinogen serta kadar fibrin degradation product (FDP) biasanya normal atau hanya abnormal ringan. Bila pemeriksaan koagulasi menunjukkan konsurnsi faktor pembekuan yang berlebihan maka diagnosis TTP diragukan. Pada 20% pasien didapatkan Anti nuclear antibody (ANA) yang positif.
Klasifikasi Ada dua tipe TTP: 1). Familial. Muncul pada masa bayi atau kanak-kanak dan kambuh dengan interval teratur tiga minggu (dirujuk sebagai thrombotic trombositopenia kronik kambuh); 2). Idiopatik didapat. Muncul pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih tua dan biasanya merupakan episode akut tunggal. Hanya 11-36% yang kambuh dengan interval tidak teratur. Biasanya terjadi dalam beberapa minggu setelah terapi awal trombosis arteri pada pasien trombosis arteri yang mendapat tiklopidin, inhibitor adenosis disfosfat (ADP) dan sebagian kecil yang pasien yang menerima klopidogrel. Kelainan ini juga bisa terjadi pada waktu kehamilan terutama trimester akhir atau periode postpartum. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya anemia hemolitik dengan fragmentasi eritrosit, tes koagulasi normal, demam, kelainan neurologi dan gangguan fungsi ginjal, yang merupakan kelainan patognomonik untuk TTP. Meski tidak selalu dibutuhkan untuk diagnosis, biopsis kulit dan otot, gusi, kelenjar getah bening, atau sumsum tulang, menunjukkan kelainan arteriol yang khas. Diagnosis Banding. Idiopathic trornbocytopenicpurpura (ITP) atau Evan k Syndrome. Pada kedua kelainan ini ditemukan juga fragmentasi eritrosit tetapi bukan eritrosit sferositik. Pada TTP tes Coombs negatif Terapi. Pada TTP familial, episode TTP dapat dicegah dengan pemberianfieshfiozen plasma yang mengandung sedikit trombosit, plasma mengandung sedikit kriopresipitat (cryosupernatant) atau plasma yang dicampur dengan pelarut dan detergen yang berisi metaloprotease aktif yang diberikan tiap tiga minggu. Tidak dibutuhkan plasmaferesis. Pada TTP idiopatik didapat perlu dilakukan plasma exchage (plasma tukar) yaitu kombinasi plasmaferesis dengan infus FFP atau cryosupernatant, setiap hari. Plasmaferesis bertujuan untuk mengeluarkan faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa dan autoantibodi terhadap ADMTS 13). Jika respon baik (trombosit meningkat dan LDH menurun) frekuensi plasma tukar dapat dikurangi tetapi kadang-kadang diteruskan untuk beberapa minggu atau bulan. Lebih dari 90% pasien dapat bertahan hidup dengan pemberian segera terapi ini. Pada keadaan dimana autoantibodi ADAMTS 13
titernya tinggi terapi plasma tukar mungkin tidak memperbaiki keadaan. Pada kondisi ini dapat diberikan vincristine, siklofosfamid, atau dilakukan splenektomi. Koma tidak merupakan kontraindikasi terapi karena perbaikan status neurologi pasien merupakan parameter respons terapi. Transfusi trombosit tidak boleh diberikan karena dapat mempresipitasi kejadian trombosis kecuali terbukti adanya ancaman perdarahan intrakranial. Aspirin dapat memprovokasi perdarahan pada pasien dengan trombositopenia berat. Hemolytic Uremic Syndrome ( H U S )
Etiologi, epidemiologi dan patogenesis. HUS terjadi pada 9-30% anak-anak. Di Buenos Aires Argentina, dan Calgary, Canada, infeksi enterohemoragik E. Coli endemik dan HUS menjadi sebab umum gagal ginjal akut pada anak-anak. Biasanya diawali dengan diare berdarah yang disebabkan oleh Eschericia Coli 0157:H7 yang menghasilkan toksin Shiga 1 dan 2 dan Shigela dysentriae yang menghasilkan toksin Shiga, yang sering mengkotaminasi daging, susu, dan keju yang tidak dimasak dengan matang. Diare berdarah biasanya terjadi satu minggu sebelum HUS. Toksin shiga masuk ke dalam sirkulasi intestinal dan berjalan di dalam plasma dan permukaan trombosit atau monosit. Toksin berikatan dengan molekul endotel kapiler glomerular, sel mesangial, dan sel epitel glomerular dan tubular, yang kemudian merusak endotel sel melalui pembentukan faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa. HUS bisa familial tapi jarang (5-10%). Meski jarang, mortalitas HUS familial lebih tinggi (54%) daripada HUS pada anak-anak (5%). S e w a n besar pasien HUS familialmengalami defisiensi atau defek faktor komplemen H yang bertugas mencegah kerusakan sel melalui jalur alternatif komplemen. Defek faktor H ini terjadi karena adanya mutasi pada gen faktor H yang dapat diturunkan secara resesif dan dominan. Herediter resesif bermanifestasi HUS pada dewasa muda sedangkan herediter dominan bermanifestasi HUS dipresipitasioleh infeksi atau kehamilan. Di samping dua tipe di atas, ditemukanjuga HUS yang terjadi pada pasien yang diterapi dengan obat antikanker mitomycin C, bisanya dalam kombinasi dengan obat lain dan pasien yang menerima kemoterapi dosis tinggi dengan transplantasi sumsum tulang autologus. Manifestasi klinik. Kelainan ini hampir sama dengan TTP, bercirikan lesi arteriol dan temuan laboratoriunyang sama. Lesi arteriol HUS hanya terjadi di ginjal sehingga jarang menimbulkan kelainan neurologi. Anemia hemolitik, trombositopenia purpura, dan gagal ginjal akut oligurik. Kebanyakan pasien mengalami hemoglobinuria atau anuria. Pemeriksaan darah tepi dan tes koagulasi tidak dapat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
dibedakan dengan TTP. Terapi. Pada HUS ringan pada anak-anak dengan oligoanuria <24 jam, biasanya pemberian cairan dan elektrolit cukup. Pada dewasa sering terjadi gagal ginjal akut yang lebih berat sehingga membutuhkan perawatan seperti penyakit gagal ginjal terminal, dialisis. Terapi lain adalah plasmaferesis dan transfusi. Pemberian FFP yang mengandung faktor H tidak mencegah kekambuhan maupun progresivitas penyakit ginjal. Antimotilitas dan antibiotik dapat meningkatkan HUS. Efikasi glukokortikoid, dekstran dan heparin belum jelas.
Koagulasi lntravaskular Diseminata (KID) Lebih jarang menimbulkan anemia karena derajat hemolisinya lebih sedikit dibandingkan dengan TTP dan HUS. KID terjadi karena aktivasi sistem koagulasi yang tidak sesuai yang dipicu deposisi fibrin pada dinding pembuluh darah kecil yang dapat menyebabkan fiagmentasi eritrosit pada seperempat pasien KID. Terapi sesuai terapi KID dan sebab yang mendasarinya. Kelainan Dinding Pembuluh Darah Lain Hipertensi maligna, eklampsia,rejeksi alograf ginjal, kanker diseminata atau hemangioma dapat menyebabkan hemolisis traumatik. Derajat hemolisisnya ringan tetapi banyak ditemukan fragmentasi eritrosit di darah tepi. Trombositopenia berat dapat ditemukan pada beberapa pasien. Terapi penyakit dasarnya dapat menghentikan hemolisis. Katup Prostesis Pada 10% pasien dengan katup prostesis aorta terjadi framentasi sel eritrosit. Meski sedikit ha1 ini bisa terjadi juga pada prostesis katup mitral. Pemendekan waktu hidup eritrosit terjadi juga pada beberapa pasien dengan stenosis aorta kalsifikasi berat dan hampir semua lesi intrakardiak. Pasien yang menjalani bypass aortofemoral juga diamati mengalami hemolisis traumatik Sferositosis Herediter Sferositosis herediter merupakan kelompok kelainan sel darah merah dengan gambaran eritrosit bulat seperti donat dengan fragilitas osmotik yang meningkat. Sferositosis herediter merupakan kelainan autosom dominan dengan insiden 1:1000 sampai 1:4500 penduduk. Pada lebih kurang 20% pasien penyakit ini merupakan kelainan autosom resesif yang diturunkan dan mutasi genetik spontan.
Etiologi dan patogenesis. Kelainan utarna pada sferositosis herediter adalah terdapatnya defek pada protein pembentuk membran eritrosit, akibat defisiensi spectrin, ankryn dan atau protein pita 3 atau protein 4.2. Hal ini menyebabkan defek vertikal dan kehilangan membran lemak dan luas
permukaan secara progresif diikuti pembentukan mikrosferosit. Akibat kelainan tersebut terjadi peningkatan fiagilitas osmotik eritrosit menyebabkan bentuk eritrosit yang bulat dan hilangnya permukaan membran. Terjebaknya sel eritrosit dalam limpa Manifestasi klinis dan laboratoris. Gejala klinis mayor sferositosis herediter adalah anemia, splenomegali dan ikterus. Ikterus dapat terjadi secara berkala sehingga luput dari perhatian orang tua saat anak masih kecil. Akibat peningkatan produksi pigmen empedu karena destruksi eritrosit, sering terbentuk batu empedu berpigmen, bahkan pada masa kanak-kanak. Hiperplasia sel eritroid sumsum tulang sebagai kompensasi destruksi sel eritrosit terjadi melalui perluasan sumsum merah ke bagian tengah tulang panjang. Tidak jarang terjadi eritropoiesis ekstra meduler di paravertebral, yang secara kebetulan terlihat pada foto thoraks. Kompensasi sumsum tulang terkadang mengalami gangguan akibat keadaan hipoplasia eritroid yang dipicu adanya infeksi terutama oleh Pantovirus. Splenomegali merupakan ha1 yang umum terjadi. Kecepatan hemolisis meningkat perlahan selama terjadinya infeksi sistemik, merangsang pembesaran limpa. Pada pemeriksaan mikroskopik, didapatkan sel eritrosit yang kecil berbentuk bulat dengan bagian sentral yang pucat. Hitung MCV biasanya normal/sedikit menurun. MCHC meningkat sampai 350-400 gldl. Untuk mengetahui secara kuantitatif sferoidisitas dilakukan pengukuran fragilitas osmotik eritrosit dengan menggunakan cairan hipoosmotik. Diagnosis dan terapi. Sferositosis herediter harus dibedakan dengan sel sferosit pada anemia hemolitik autoimun dengan pemeriksaan uji Coombs. Sferositosis juga terjadi pada reaksi hemolisis akibat splenomegali pada pasien sirosis hepatis, infeksi clostridium, bisa ular. Kelainan ini juga dapat terjadi pada anemia hemolitik yang lain seperti pada pasien defisiensi enzim G6PD. Pengobatan. Splenektomi dianjurkan pada pasien dengan anemia hemolitk sedang dan berat. Meskipun pasca splenektomi, anemia tetap terjadi, namun tidak berat. Pada anemia hemolitik yang berat, perlu diberikan preparat asam folat 1 mglhari sebagai profilaksis. Elipsitosis Herediter Ditandai oleh eritrosit dengan bentuk oval atau elips. Insiden Elipsitosis herediter ini diperkirakan 1:1000 sampai 1:4500 penduduk. Insiden sebenarnyatidak diketahui karena derajat keparahan secara klinis bervariasi kadang tanpa gejala. Etiologi dan patogenesis. Prinsip kelainan pada elipsitosis herediter adalah kelemahan secara mekanis yang berakibat meningkatnya fragilitas osmotik membran eritrosit. Hal ini
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANEMIA HEMOLITIK NON AUTOlMUN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
disebakan adanya gangguan sintesis protein spectrin a dan p, protein 4.1 dan glicophoryn C pembentuk membran eritrosit. Sebagian besar kelainan ini diturunkan secara autosomal dominan. Gejala klinis dan laboratoris. Gejala klinis bervariasi, dari tanpa gejala sampai anemia berat. Hemolisis yang terjadi dipicu adanya infeksi, hipersplenisme, defisiensi vit B 12 atau adanya KID. Pada pemeriksaan laboratorikdidapatkan gambaran eritrosit bentuk elips menyerupai puntung rokok. Dapat pula dijumpai eritrosit bentuk oval, spherosit, stomasit dan fragrnen. Pengobatan. Pengobatan jarang dibutuhkan pasien. Pada beberapa kasus yang jarang diperlukan pemberian tranfusi sel darah merah. Pada kasus yang berat, splenektomi merupakan pengobatan paliatif mencegah kerusakan dan destruksi eritrosit yang berlebihan. Pasien dengan hemolisis kronik perlu diberikan asam folat sebagai profilaksis.
Paroxysmal Nocturnal Haemoglobinuria ( P N H ) PNH ditandai oleh penurunan jumlah sel darah merah (anemia) serta terdapatnya darah di dalam urin (hemoglobinuria) dan plasma (hemoglobinemia), yang terjadi setelah tidur. Pasien PNH berisiko tinggi mengalami kejadian trombosis mayor, terbanyak trombosis pada aorta abdominalis. Kebanyakan pasien meninggal akibat trombosis ini. Etiologi dan patogenesis. Penyebab kelainan ini adalah defisiensi ensim PIG-A (phosphatidylinositol glycan class A) yang diperlukan untuk sintesis protein pengikat sel. Protein yang merupakan bagian terluar sel melekat pada membran sel dengan bantuan protein glikosilfosfatidilinositol(GPI) dan PIG-A dibutuhkan untuk sintesis protein tersebut. Bila terdapat gangguan pembentukannya protein permukaan yang melindungi sel dari komplemen hilang, sehingga memudahkan penghancuran sel darah. Persentase sel darah merah yang mengalami kerusakan menentukan beratnya penyakit. Manifestasi klinis dan laboratoris. Tiga manifestasi yang sering terjadi adalah anemia hemolitik, trombosis vena dan gangguan hematopoiesis. Hemoglobinuria dan hemosiderinuria berkala terjadi pada kebanyakan pasien.Granu1ositopenia dan trombositopenia sering terjadi, menandakan adanya gangguan hematopoiesis. Gambaran sumsum tulang normoselular. Diagnosis dan terapi. PNH perlu dicurigai pada pasien dengan anemia hemolitik yang tidak diketahui penyebabnya, terutama bila disertai leukopenia dan atau trombositopenia. Serta terdapatnya tanda hemolisis intravaskular (hemoglobinemia, hemoglobinuria dan peningkatan LDH). Transfusi sel darah merah merupakan terapi terbaik, tidak hanya meningkatkan kadar Hb, tetapi juga menekan
produksi sel darah merah di sumsum tulang selama keadaan hemoglobinuria. Sel darah merah cuci dianjurkan untuk mencegah peningkatan hemolisis. Pemberian hormon androgen kadang dapat meningkatkan Hb. Pemberian preparat glukokortikoid (prednison 60 mglhari) dapat menurunkan kecepatan hemolisis.
Hipersplenisme Limpa normal berbagi fungsi dengan jaringan lain dalam ha1 pembentukan, penyimpanan dan penghancuran sel darah serta produksi antibodi. Namun limpa memiliki kemampuan unik untuk melakukan penyaringan terhadap sel darah serta menyingkirkan sel yang abnormal maupun benda asing. Limpa memiliki 2 fungsi dasar, yaitu: Fungsi penyaring dan surveilan terhadap komponen darah di pulpa merah (oleh makrofag) Fungsi sintesis antibodi di pulpa putih Hipersplenisme merupakan proses penghancuran sel darah yang berlebihan oleh limpa. Hal ini terjadi ketika ukuran limpa mengalami peningkatan baik sel maupun jaringan atau desakan pembuluh darah. Keadaan ini meningkatkan peran fungsi penyaring, sehingga sel darah normal pun akan mengalami perlambatan serta proses penghancuran sementara. Walaupun proses penghancuran granulosit dan trombosit menyebabkan neutropenia dan trombositopenia, namun ke dua jenis sel tersebut dapat beradaptasi dengan perlambatan proses penyimpanan di limpa. Berbeda dengan sel darah merah yang terperangkap akan mengalami penghancuran menyebabkan terjadinya anemia hemolitik. Dameshek berpendapat bahwa hipersplenisme umumnya dihubungkan dengan keadaan splenomegali, menyebabkan terjadinya sitopenia yang berakibat terjadinya kompensasi hipeplasi sumsum tulang. Kebanyakan kelainan ini harus dikoreksi dengan splenektomi. lnfeksi Mikroorganisme Mikroorganisme memiliki mekanisme yang bermacammacam saat menginfeksi eritrosit menyebabkan terjadinya anemia hemolitik. Ada yang secara langsung menyerang eritrosit seperti pada malaria, babesiosis dan bartonellosis. Melalui pengeluaran toksin hemolisis oleh Clostridium perfringens, pembentukan antibodi atau otoantibodi terhadap eritrosit. Dapat pula dengan deposit antigen mikroba atau reaksi kompleks imun pada eritrosit. Malaria Pada infeksi malaria, derajat anemia yang terjadi tidak sesuai dengan rasio jumlah sel yang terinfeksi, namun penyebabnya masih belurn jelas. Fragilitas osmotik pada sel yang tidak terinfeksi maupun yang terinfeksi mengalami
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
peningkatan. Penghancuran eritrosit pada infeksi malaria disebabkan lisisnya eritrosit akibat infeksi langsung, peningkatan proses penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan proses otoimun. Namun tidak satupun mekanisme di atas yang dapat menjelaskan terjadinya anemia berat pada malaria. Proses penghancuran sel darah merah sebagian besar berlangsung di limpa. Splenopmegali merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria kronik. Diagnosis dan terapi. Diagnosis malaria ditegakkan dengan menemukan parasit pada pulasan darah tebal atau didapatkannya sekuens parasit malaria pada analisis DNA. Terapi anemia pada infeksi malaria pada dasarnya dengan mengeradikasi parasit penyebab. Transfusi darah segera, sangat dianjurkan pada pasien dewasa dengan Hb <7 gldl. Preparat asam folat sering diberikan pada pasien. Pemberian besi sebaiknyaditunda sampai terbukti adanya defisiensibesi.
Bartonellosis Merupakan infeksi yang disebabkan oleh Bartonella baciliformis yang melekat pada permukaan sel eritrosit. Eritrosit yang terinfeksi mengalami indentasi, invaginasi serta terbentuknya saluran. Eritrosit yang terinfeksi, dengan cepat dihancurkan oleh hati dan limpa. Anemia hemolitik akut terjadi pada saat demam "Oroya" di mana dengan cepat jumlah eritrosit mengalami penurunan sampai 750.OOOluL. Diagnosis dan terapi. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan B baciliformis pada sel eritrosit. Dengan pewamaan Giemsa didapatkan bentuk batang berwarna merah j ingga. Pengobatan dengan penisilin, streptomisin,kloramfenikol dan tetrasiklin memberikan respons sangat baik. Babesiosis Babesia merupakan protozoa intra eritrosit, yang ditularkan melalui gigitan kutu rambut, yang dapat menginfeksi hewan ternak maupun hewan liar. Pada manusia penyakit ini tidak hanya ditularkan melalui gigitan kutu, tetapi juga lewat transfusi darah. Diagnosis dan Terapi. Parasit ini dapat terlihat melalui pulasan darah tebal dengan pewarnaan Giemsa. Uji serologi dengan antibodi terhadap Babesia serta uji PCR dapat membantu penegakkan diagnosis. Pengobatan dengan klindamisin dan kuinin memberikan hasil yang memuaskan. Transfusi tukar juga memberikan perbaikan yang nyata.
Anemia Sel Spur Anemia sel spur merupakanjenis anemia hemolitik dengan bentuk eritrosit yang aneh, terjadi pada 5% pasien dengan penyakit hepatoseluler, terutama sirosis "Laennec" tahap lanjut.
Patogenesis. Hampir 50-70% kolesterol terdapat pada permukaan membran, sehingga menurunkan kadar air serta menyebabkan perubahan bentuk sel. Akibat bentuknya yang padat ini menyebabkan sel merah tidak dapat melewati proses penyaringan di limpa, terlebih lagi dengan adanya splenomegali kongestif akibat sirosis. Manifestasi klinis. Anemia yang terjadi cukup berat. Splenomegali didapatkan pada semua pasien sirosis dengan sel spur.Se1 darah merah irreguler dengan tambahan taji di sekitarnya serta sejumlah kecil sel darah merah yang terfragmentasi dengan bentuk yang aneh sering dijumpai pada preparat. Diagnosis dan terapi. Pasien dengan anemia sel spur mengalami reaksi hemolisis yang berat. Gambaran sel darah merah yang khas berupa sel darah merah bertajilakantosit yang memiliki panjang yang tidak beraturan dapat dijumpai pada pulasan darah. Transfusi darah hanya memberikan keuntungan sesaat. Obat penurun lemak juga tidak memberikan hasil yang memuaskan. Splenektomi dilaporkan dapat mencegah perlambatan waktu transit sel darah merah di limpa dan penghancuran dini. Namun splenektomi sangat berisiko tinggi pada pasien sirosis hati dengan hipertensi portal serta terdapat gangguan pembekuan darah.
REFERENSI Beutler E. Hemolytic anemia due to infection with microoganism. In: Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U, editors. Williams hematology. 6th edition. New York: Mc Graw Hill; 2001. p. 633-5. Bunn F, Rosse W. Hemolytic anemias and acute blood loss. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hause SL, Longo DL, Jameson J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 16thedition. New York: Mc Graw Hill; 2005. p. 607-16. Dhaliwal G, Cornett PA, Tierne LM. Hemolytic anemia. Am Fam Physician. 69:2599-606. Erslev AJ. Hypersplenism and hyposplenism. In: Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U, editors. Williams hematology. 6thedition. New York: Mc Graw Hill; 2001. p. 6835. Gallagher PG, Forget BG. Hereditary spherocytosis, elliptocytosis and related disorders. In: Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U, editors. Williams hematology. 6th edition. New York: Mc Graw Hill; 2001. p. 503-11. Greenberg PL, Gordeuk V, Issaragrisil S, Siritanaratkul N, Fucharoen S, et al. Major hematologic diseases in the developing worldnew aspects of diagnosis and management of thalassemia, malarial anemia, and acute leukemia. Hematology (Am Soc Hematol Educ Program). 2001;479:98. Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Haemolytic anaemias. In: Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH, editors. Essential hematology. London: Blackwell Science; 2001, p. 57-70. Moake JL. Thrombotic microangiopathies. N Engl J Med. 347:589600. Tsai HM. Advances in pathogenesis, diagnosis, and treatment thrombotic trombositopenia purpura. J Am Soc Nephrol. 2003;14:1072-81.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PURPURA TROMBOSITOPENIA IMUN Ibnu Punvanto
PENDAHULUAN Purpura TrombositopeniaImun (PTI) yang dahulu dikenal sebagai Idiopathic thrombocytopenia purpura (ITP) dan kemudian selanjutnya disebut juga sebagai Immune thrombocytopenic purpura merupakan suatu kelainan didapat yang berupa gangguan autoimun yang mengakibatkan trombositopenia oleh karena adanya penghancuran trombosit secara dini dalam sistem retikuloendotel akibat adanya autoantibodi terhadap trombosit yang biasanya berasal dari Immunoglubolin G. Kata trombositopeniamenunjukkan bahwa terdapat angka trombosit yang rendah, sedandkan kata purpura berasal dari suatu deskripsi akan kulit yang benvarna lebam karena symptom penyakit ini, warna ungu pada kulit ini disebebkan oleh merembesnya darah dibawah kulit. Adanya trombositopenia pada PTI ini akan mengakibatkan gangguan pada sistem hemostasis karena trombosit bersama dengan sistem vaskular faktor koagulasi darah terlibat secara bersamaan dalam mempertahankan hemostasis normal. Manifestasi klinis PTI sangat bervariasi mulai dari manifestasi perdarahan ringan, sedang sampai dapat mengakibatkan kejadian-kejadian yang fatal. Kadang juga asimptomatik. Oleh karena merupakan suatu penyakit autoimun maka kortikosteroid merupakan pilihan konvensional dalam pengobatan PTI. Pengobatan akan sangat ditentukan oleh keberhasilan mengatasi penyakit yang mendasari PTI sehingga tidak mengakibatkan keterlambatan penanganan akibat perdarahan fatal, atau pun penanganan-penanganan pasien yang gaga1 atau relaps. Di dalam makalah ini akan disajikan pegangan mengenai diagnosis klinis dan laboratorium, epidemiologi, patofisiologi, menilai dan menentukan respon terhadap pengobatan dan penangan kasus-kasus refrakter. Berdasarkan etiologi, PTI dibagi menjadi 2 yaitu primer (idiopatik) dan sekunder. Berdasarkan onset penyakit
dibedakan tipe akut bila kejadiannya kurang atau sama dengan 6 bulan (umumnya terjadi pada anak-anak) dan kronik bila lebih dari 6 bulan (umumnya terjadi pada orang dewasa). Diperkirakan insidensi PTI terjadi pada 100 kasus per 1 juta penduduk per tahun, dan kira-kira setengahnya terjadi pada anak-anak.Purpura trombositopenia imun terjadi bila trombosit mengalami destruksi secara prematur sebagai hasil dari deposisi autoantibodi atau kompleks imun dalam membran sistem retikuloendotel limpa dan umumnya di hati.
DEFlNlSl DAN EPlDEMlOLOGl Purpura Trombositopenia Imun (PTI) adalah suatu gangguan autoimun yang ditandai dengan trombositopenia yang menetap (angka trombosit darah perifer kurang dari 150.000/mL) akibat autoantibodi yang mengikat antigen trombosit menyebabkan destruksi prematur trombosit dalam sistem retikuloendotel terutama di limpa. Insidensi PTI pada anak antara 4,O-5,3 per 100.000, PTI akut umumnya terjadi pada anak-anak usia antara 2 6 tahun. 7 - 28 % an&-anak dengan PTI akut berkembang menjadi kronik 15-20% . Purpura Trombositopenia Imun (PTI) pada anak berkembang menjadi bentuk PTI kronik pada beberapa kasus menyerupai PTI dewasa yang khas. Insidensi PTI kronis pada anak diperkirakan 0,46 per 100.000 anak per tahun. Insidensi PTI kronis dewasa adalah 58 - 66 kasus b a r per satu juta populasi pertahun (5,8-6,6 per 100.000) di Amerika dan serupa yang ditemukan di Inggris. Purpura Trombositopenia Imun (PTI) kronik pada umumnya terdapat pada orang dewasa dengan median rata-rata usia 40 - 45 tahun. Ratio antara perempuan dan laki-laki adalah 1 : 1 pada penderita PTI akut sedangkan pada PTI kronik adalah2-3: 1.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Penderita PTI refrakter didefinisikan sebagai suatu PTI yang gaga1 diterapi dengan kortikosteroid dosis standar dan splenektomi yang selanjutnya inendapat terapi karena angka trombosit dibawah normal atau ada perdarahan. Penderita PTI refrakter ditemukan kira-kira 25 - 30 persen dari jumlah penderita PTI. Kelompok ini mempunyai respon jelek terhadap pemberian terapi dengan morbiditas yang cukup bermakna dan mortalitas kira-kira 16 % .
Sindroma PTI disebabkan oleh autoantibodi trombosit spesifik yang berikatan dengan trombosit autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh sistem fagosit mononuklear melalui reseptor Fc makrofag. Pada tahun 1982 Van Leeuwen pertama mengidentifikasi membran trombosit glikoprotein lIblIIIa (CD41) sebagai antigen yang dominan dengan mendemostrasikan bahwa autoantibodi e l z ~ a dari t ~ trombosit pasien PTI berikatan dengan trombosit normal. Diperkirakan bahwa PTI diperantarai ole11 suatu autoantibodi, mengingat kejadian transient trombositopeni pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita PTI, dan perkiraan ini didukung oleh kejadian transient trombositopeni pada orang sehat yang menerima transfusi plasma kaya IgG, dari seorang penderita PTI. Trombosit yang diselimuti oleh autoantibodi IgG akan mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan. Pada sebagian besar penderita,
akan terjadi mekanisme kompensasi dengan peningkatan produksi trombosit. Pada sebagaian kecil yang lain, produksi trombosit tetap terganggu, sebagian akibat destruksi trombosit yang diselimuti autoantibodi oleh makrofag didalam sumsum tulang (intrtm?ed~dlai-jv), atau karena hambatan pembentukan megakariosit (niegnk~r~vocytoporesis), kadar trombopoetin tidak meningkat, menunjukkan adanya masa megakariosit normal. Untuk sebagian kasus PTI yang ringan, hanya trombosit yang diserang, dan megakariosit mampu untuk mengkompensasi parsial dengan meningkatkan produksi trombosit. Penderita PTI dengan tipe ini dapat dikatakan menderita PTI kronik tetapi stabil denganjumlah trombosit yang rendah pada tingkat yang aman. Pada kasus yang berat, auto antibodi dapat langsung menyerang antigen yang terdapat pada trombosit dan juga pada megakariosit. Pada tipe ini produksi trombosit terhenti dan penderita harus menjalani pengobatan untuk menghindari risiko perdarahan internal1 organ-organ dalam. Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal dari kegagalan antibodi PTI utltuk berikatan dengan trornbosit yang secara genetik kek~~rangan kompleks glikoprotein IIb/illa. Kemudian berhasil diidentifikasi antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein IblIX, IalIIa, IV dan V dan determinan trombosit yang lain. Juga dijumpai antibodi yang bereaksi terhadap berbagai antigen yang berbeda. Destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen yang diperkirakan dipicu oleh antibodi, akan menimbulkan pacuan pembentukan neoantigen, yang berakibat produksi antibodi yang cukup untuk menimbulkan trombositopeni (Gambar 1).
Osmbar 1, Patogenesis penyebaran epitap pada purpuw trombositopenia diopatik (PTl) faumber; Cines dan Blanchewe, 2002).
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1167
PURPURATROMBOSITOPENIAIMUN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Secara alamiah, antibodi terhadap kompleks glikoprotein IIb/IIIa memperlihatkan restriksi penggunaan rantai ringan, sedangkan antibodi yang berasal dari displai phage menunjukkan penggunaan gen V,, . Pelacakan pada daerah yang berikatan dengan antigen dari antibodiantibodi ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut berasal dari klon sel B yang mengalami seleksi afinitas yang diperantarai antigen dan melalui mutasi somatik. Penderita PTI dewasa sering menunjukkan peningkatanjumlah HLADR + T cells, peningkatan jumlah reseptor interleukin 2 dan peningkatan profil sitokin yang menunjukkan aktivasi prekursor sel T helper dan sel T helper tipe 1. Pada pasienpasien ini, sel T akan merangsang sintesis antibodi setelah terpapar fragmen glikoprotein TIbIIIIa tetapi bukan karena terpapar oleh protein alami. Penurunan epitop kriptik ini secara in vivo dan alasan aktivasi sel T yang bertahan lama tidak diketahui dengan pasti. Dari gambar 1 dapat menperjelas bahwa, faktor yang memicu produksi autoantibodi tidak diketahui. Kebanyakan penderita mempunyai antibodi terhadap glikoprotein pada permukaan trombosit pada saat penyakit terdiagnosis secara klinis. Pada awalnya glikoprotein IIbl IIIa dikenali oleh autoantibodi, sedangkan antibodi yang mengenali glikoprotein IbIlX belum terbentuk pada tahap ini (1). Trombosit yang diselimuti autoantibodi akan berikatan dengan sel penyaji antigen (makrofag atau sel
dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian mengalami proses internalisasi dan degradasi (2). Sel penyaji antigen tidak hanya merusak glikoprotein ITbIIIIa, tetapi juga memproduksi epitop kriptik dari glikoprotein trombosit yang lain (3). Sel penyaji antigen yang teraktivasi (4) mengekspresikan peptida baru pada permukaan sel dengan bantuan kostimulasi (yang ditunjukkan oleh interaksi antara CD 154 dan CD 40) dan sitokin yang berfungsi memfasilitasi proliferasi inisiasi CD4-positif T cell clone (T-cell clone- 1) dan spesifitas tambahan (T-cell clone-2) (5). Reseptor sel imunoglobulin sel B yang mengenali antigen trombosit (B-cell clone-2) dengan demikian akan menginduksi proliferasi dan sintesis antiglikoprotein lbl IX antibodi dan juga meningkatkan produksi antiglikoprotein IIbIIIIa antibodi oleh B-cell clone 1. Metode yang saat ini digunakan untuk penatalaksanaan PTI diarahkan secara langsung pada berbagai aspek berbeda dari lingkaran produksi antibodi dan sensitisasi, klirens dan produksi trombosit (Cambar 2). Dari Gambar 2, dijelaskan bahwa pada umumnya obat yang digunakan sebagai terapi awal PTI menghambat terjadinya klirens antibodi yang menyelimuti trombosit oleh ekspresi reseptor Fcg pada makrofag jaringan (1). Splenektomi sedikitnya bekerja pada sebagian mekanisme ini namun mungkin pula mengganggu interaksi sel-T dan
Gambar 2. Perndekatan tempi purpura trambsit~peniapurpura berdasarkan mekanisme kerja dari splenektomi, behrapa obat dan plasmafaresis (Ctnes $an BlhtnMe, 2902)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HEMATOLOCI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dan HLA-DRB 1 * 150 1 telah dihubungkan dengan respon sel-B yang terlibat dalam sintesis antibodi pada beberapa penderita. Kortikosteroid dapat pula meningkatkan produksi troinbosit dengan cara menghalangi kemampuan makrofag dalam sumsum tulang untuk menghancurkan trombosit, sedangkan trombopoetin berperan merangsang progenitor megakariosit (2). Beberapa imunosupresan non spesifik seperti azathioprin dan siklosforin, bekerja pada tingkat sel-T. (3). Antibodi monoklonal terhadap CD 154 yang saat ini menjadi target uji klinik, merupakan kostimulasi molekul yang diperlukan untuk mengoptimalkan sel-T makrofag dan interaksi sel-T dan sel-B yang terlibat dalam produksi antibodi dan pertukaran klas (4). Imunoglobulin iv mengandung aiztiidiotypic antibody yang dapat menghambat produksi antibodi. Antibodi monoklonal yang mengenali ekspresi CD20 pada sel-sel R juga masih dalam penelitian (5). Plasmaferesis dapat mengeluarkan antibodi sementara dari plasma (6). Transfusi Dari gambar 2, dapat untuk menggambarkan bagaimana pendekatan pengobatan dapat dilakukan sebagai terapi awal PTI dalam menghambat terjadinya klireiis antibodi yang menyelimuti tro~nbositoleh ekspresi reseptor Fcg pada makrofag jaringan (1). Splenektomi sedikitnya bekerja pada sebagian mekanisme ini namun mungkin pula mengganggu interaksi sel-T dan sel-B yang terlibat dalam sintesis antibodi pada beberapa penderita. Kortikosteroid dapat pula meningkatkan produksi trombosit dengan cara meng'halangi kemampuan makrofag dalam sumsum tulang untuk menghancurkan trombosit, sedangkan trombopoetin berperan merangsang progenitor megakariosit (2). Beberapa imunosupresan non spesifik seperti azathioprin dan siklosforin, bekerja pada tingkat sel-T. (3). Antibodi monoklonal terhadap CD 154 yang saat ini menjadi target uji klinik, merupakan kostimulasi molekul yang diperlukan untuk mengoptimalkan sel-T makrofag dan interaksi sel-T dan sel-B yang terlibat dalam produksi antibodi dan pertukaran klas (4). Imunoglobulin iv mengandung antiidiotypic antibody yang dapat menghambat produksi antibodi. Antibodi monoklonal yang mengenali ekspresi CD20 pada sel-sel B juga masih dalam penelitian (5). Plasmaferesis dapat mengeluarkan antibodi sementara dari plasma (6). Transfusi tronibosit diperlukan pada kondisi darurat untuk terapi perdarahan. Efek dari stafilokokkus protein A pada susunan antibodi masih dalam penelitian (7).
Genetik Immune thrombocytopenic purpura telah didiagnosis pada kembar monozigot dan pada beberapa keluarga, dan telah dikatahui adanya kecenderuangan menghasilkan autoantibodi pada anggota keluarga yang sama. Adanya peningkatan prevalensi HLA-DRW2 dan DRB*04 10 pada beberapa populasi etnik telah diketahui. Ale1 HLA-DR4 dan DRB*0410 telah dihubungkan dengan respon yang menguntungkan dan merugikan terhadap kortikosteroid,
yang tidak menguntungkan terhadap splenektomi. Meskipun demikian, banyak penelitian telah gaga1 menunjukkan hubungan yang konsisten antara PTI dan kompleks HLA yang spesifik .
Antibodi-anti Trombosit Autoantibodi yang berhubungan dengan trombositopenia ditemukan pada 75 % pasien PTI. Autoantibodi IgG antitrombosit ditemukan pada +50 - 85% penderita. Antibodi antitrombosit IgA serum ditemukan sesering IgG, dan hampir 50 % kasus, kedua serotipe imunoglobulin tersebut ditemukaan pada pasien yang sama. Antibodi IgM juga ditemukan pada sejurnlah kecil pasien tetapi tidak pernah sebagai autoantibodi tunggal. Peningkatan jumlah IgG telah tampak di permukaan trombosit, dan kecepatan destruksi trombosit pada PTI adalah proporsional terhadap kadar yang menyerupai trombosit yang berhubungan dengan imunoglobulin. Autoantibodi dengan mudah ditemukan dalam plasma atau dalam eluate trombosit pada pasien dengan penyakit yang aktif, tetapi jarang ditemukan pada pasien yang mengalami remisi. Hilangnya antibodi-antibodi berkaitan dengan kembalinya jumlah trombosit yang normal. Masa Hidup Trombosit Masa hidup trombosit normal adalah sekitar 7 hari, tetapi memendek pada PTI menjadi berkisar dari 2 - 3 hari sampai beberapa menit. Pasien yang trombositopenia ringan sampai sedang rnempunyai masa hidup terukur yang lebih lama dibandingkan dengan pasien dengan trombositopenia berat. GAMBARAN KLlNlS PTI Akut PTI akut lebih sering dijumpai pada anak, jarang pada umur dewasa, onset penyakit biasanya mendadak, riwayat infeksi mengawali terjadinya perdarahan berulang, sering dijumpai eksantem pada anak-anak (rubeola dan rubella) dan penyakit saluran napas yang disebabkan oleh virus merupakan 90% dari kasus pediatrik trombositopenia imunologik. Virus yang paling banyak diidentifikasi adalah varisella zooster dan ebstein ban: Manifestasi perdarahan PTI akut pada anak biasanya ringan, perdarahan intrakranial teljadi kurang dari 1% pasien. Pada PTI dewasa, bentuk akut jarang terjadi, namun dapat mengalami perdarahan dan perjalanan penyakit lebih fulminan. PTI akut pada anak biasanya selj limiting. remisi spontan terjadi pada 90% penderita ,60% sembuh dalam 4-6 minggu dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6 bulan.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PURPURA TROMBOSITOPENIAIMUN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI PTI Kronik Onset PTI kronik biasanya tidak menentu, riwayat perdarahan sering dari ringan sampai sedang, infeksi dan pembesaran lienjarang terjadi, dan memiliki perjalanan klinis yang fluktuatif. Episode perdarahan dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, mungkin intermitten atau bahkan tems menerus. Remisi spontan jarang terjadi dan tampaknya remisi tidak lengkap. Manifestasi perdarahan PTI berupa ekimosis, peteki, purpura. Pada umumnya berat dan fiekwensi perdarahan berkorelasi dengan jumlah trombosit. Secara umum hubungan antara jumlah trombosit dan gejala antara lain bila pasien dengan AT > 50.000 ImL maka biasanya asimptomatik,AT 30.000 - 50.000 ImL terdapat luka memarl hematom, AT 10.000 - 30.000 /mL terdapat perdarahan spontan, menoragi dan perdarahan memanjang bila ada luka, AT < 10.000 /mL terjadi perdarahan mukosa (epistaksis,perdarahan gastrointestinal dan genitourinaria) dan risiko perdarahan sistem saraf pusat. Perdarahan gusi dan epistaksis sering terjadi, ini dapat berasal dari lesi peteki pada mukosa nasal, juga dapat ditemukan pada tenggorokan dan mulut. Traktus genitourinaria merupakan tempat perdarahan yang paling sering, menoragi dapat merupakan gejala satu-satunya dari PTI dan mungkin tampak pertama kali pada pubertas. Hematuriajuga merupakan gejala yang sering. Perdarahan gastrointestinal bisanya bermanifestasi melena dan lebih jarang lagi dengan hematemesis. Perdarahan intrakranial merupakan komplikasi yang paling serius pada PTI. Hal ini mengenai hampir 1% penderita dengan trombositopenia berat. Perdarahan biasanya di subarachnoid, sering multipel dan ukuran bervariasi dari peteki sampai ekstravasasi darah yang luas.
DIAGNOSIS
Lamanya perdarahan dapat membantu untuk membedakan PTI akut dan kronik, serta tidak terdapatnya gejala sistemik dapat membantu dokter untuk menyingkirkan bentuk sekunder dan diagnosis lain. Penting untuk anamnesis pemakaian obat-obatan yang dapat menyebabkan trombositopenia dan pemeriksaan fisik hanya didapatkan perdarahan karena trombosit yang rendah (peteki, purpura, perdarahan konjungtiva dan perdarahan selaput lendir yang lain). Purpura Thrombocytopenic Immune dewasa terjadi umumnya pada usia 18 - 40 tahun dan 2-3 kali lebih sering mengenai wanita dari pada pria. Splenomegali ringan (hanya ruang traube yang terisi), tidak ada limfadenopati . Selain trombositopenia hitung darah yang lain normal. Pemeriksaan darah tepi diperlukan untuk menyingkirkan pseudotrombositopenia dan kelainan hematologi yang lain. Megatrombosit sering terlihat pada pemeriksaan darah tepi, trombosit muda ini bisa dideteksi
oleh flow sitometri berdasarkan messenger RNA yang menerangkan bahwa perdarahan pada PTI tidak sejelas gambaran pada kegagalan sumsum tulang pada hitung trombosit yang serupa. Salah satu diagnosis penting adalah fungsi sumsum tulang. Pada sumsum tulang dijumpai banyak megakariosit dan agranuler atau tidak mengandung trombosit. Secara praktis pemeriksaan sumsum tulang dilakukan pada pasien lebih dari 40 tahun, pasien dengan gambaran tidak khas (misalnya dengan gambaran sitopenia) atau pasien yang tidak berespon baik dengan terapi. Meskipun tidak dianjurkan, banyak ahli pediatri hematologi merekomendasikan dilakukan pemeriksaan sumsum tulang sebelum mulai terapi kortikosteroid untuk menyingkirkan kasus leukemia akut. Pengukuran trombosit dihubungkan dengan antibodi, secara langsung uji untuk mengukur trombosit yang berikatan dengan antibodi yakni dengan MonoclonalAntigen-Capture Assay sensitivitas 45-66%, spesifisitasnya 78 - 92% dan diperkirakan bemilai positif 80 - 83 %. Uji negatiftidak menyinglurkan diagnosis deteksi yang tanpa ikatan antibodi plasma tidak digunakan. Uji ini tidak membedakan bentuk primer maupun sekunder PTI .
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding PTI antara lain: anemia aplastik, leukemia akut, Dissaminated intravascular coagulation (DIC), Thrombotic thrombocytopenic purpura-hemolytic uremic syndrome (TTP-HUS),Antiphospholipid antibody syndrome (APS), Myelodysplastic syndrome, hipersplenisme, alcoholic liver disease, bentuk sekunder PTI (SLE, HIV, leukemia limfositik kronik), pseudotrombositopenia karena ethylenediamine tetraacetate (EDTA), obat-obatan. Untuk menentukan diagnosis banding PTI tersebut perlu meninjau kembali patofisiologi klasifikasi trombositopenia pada tabel 1.
Terapi PTI lebih ditujukan untuk menjagajumlah trombosit dalam kisaran aman sehingga mencegah terjadinya perdarahan mayor. Terapi umum meliputi hindari aktivitas fisik berlebihan untuk mencegah trauma terutama trauma kepala, hindari pemakaian obat-obatan yang mempengaruhi hngsi trombosit. Terapi khusus yakni terapi farmakologis. Terapi Awal PTI (Standar) Prednison. Terapi awal PTI dengan prednisolon atau prednison dosis 1,O - 1,5 mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Respons terapi prednison terjadi dalam 2 minggu dan pada
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI a). Trornbositopenia artifaktual Trornbosit bergerornbol disebabkan oleh anticoagulant-dependent immunoglobulin (Pseudotrornbositopenia). Trornbosit satelit Giant trornbosit b). Penurunan produksi trornbosit Hipoplasia rnegakariosit Trornbopoesis yang tidak efektif Gangguan kontrol trornbopoetik Trornbositopenia herediter c). Peningkatan destruksi trornbosit Proses irnunologis - Autoimun ldiopatik Sekunder : Infeksi, keharnilan, gangguan vaskuler kollagen, gangguan lirnfoproliferatif. - Alloirnun Trornbositopenia neonatus Purpura pasca-transfusi Proses Non lrnunologis - Trombosis rnikroangiopati Disseminatedintravascular coagulation (DIC) Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP) Hemolytic-uremic syndrome (HUS) - Kerusakan trornbosit oleh karena abnorrnalitas permukaan vaskular lnfeksi Transfusi darah masif Lain-lain Abnormalitas distribusi trornbosit atau pooling Gangguan pada lirnpa (neoplastik, kongestif, infiltratif, infeksi yang tidak diketahui sebabnya) Hipotermia Dilusi trornbosit denaan transfusi rnasif
umumnya terjadi dalam minggu pertama, bila respon baik kortikosteroid dilanjutkan sampai 1 bulan, kemudian tapering. Kriteria respons awal adalah peningkatan AT > 30.000/pL, AT >50.000/pL setelah 10 hari terapi awal, terhentinya perdarahan. Tidak berespon bila peningkatan AT < 30.000/pL, AT < 50.000lpL setelah terapi 10 hari. Respon menetap bila AT menetap > 50.000lpL setelah 6 bulan follow up. Pasien yang simptomatik persisten dan trombositopenia berat (AT < 10.000lpL) setelah mendapat terapi prednison perlu dipertimbangkan untuk splenektomi. Irnunoglobulin intravena. Imunoglobulin intravena (IgIV) dosis 1 glkglhari selama 2 - 3 hari berturut-tumt digunakan bila terjadi perdarahan internal, saat AT < 5.0001pL meskipun telah mendapat terapi kortikosteroid dalam beberapa hari atau adanya purpura yang perogresif. Hampir 80% penderita berespon baik dengan cepat meningkatkan AT namun perlu pertimbangan biaya. Gaga1 ginjal dan insufisiensi paru dapat terjadi serta syok anafilaktik pada penderita yang mempunyai defisiensi IgA kongenital. Mekanisme kerja IgIV pada PTI masih belum banyak diketahui, namun meliputi blokade fc reseptor, antiidiotype antibodies pada IgIV yang menghambat ikatan autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan imunosupresi.
Splenektomi. Splenektomi untukterapi PTI telah digunakan sejak tahun 1916 dan digunakan sebagai pilihan terapi setelah steroid sejak tahun 1950-an. Splenektomi pada PTI dewasa dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua yang gagal berespon dengan terapi kortikosteroid atau yang perlu terapi trombosit terus menerus. Efek splenektomi pada kasus yang berhasil adalah menghilangkan tempat-tempat antibodi yang tertempel trombosit yang bersifat memsak dan menghilangkanproduksi antibodi anti trombin. Indikasi splenektomi sebagai berikut: a. Bila AT < 50.000lyL setelah 4 minggu (satu studi menyatakan b a h k semua pasien yang mengalami remisi komplit mempunyaiAT > 50.000lyL dalam 4 minggu). b. Angka Trombosit tidak menjadi normal setelah 6 - 8 minggu (karena problem efek samping). c. Angka Trombosit normal tetapi menurun bila dosis diturunkan (tapering on. Respon post splenektomi didefinisikan sebagai: Tak ada respons bila gagal mempertahankan AT >50.000lpL beberapa waktu setelah splenektomi, Relaps bila AT turun < 50.000 /pL. Angka 50.000 dipilih karena diatas batas ini, penderita tidak diberi terapi. Respons splenektomi bervariasi antara 50% sampai dengan 80%.
Penanganan Relaps pertama Splenektomi perlu bagi orang dewasa pada umumnya yang relaps atau yang tidak berespon dengan kortikostroid, immunoglobulin iv dan immunoglobulin anti-D. Dari gambar 4 dijelaskan bahwa lebih banyak spesialis menggunakan AT < 30.000IpL sebagai ambang batas untuk memulai terapi pada PTI daripada AT > 30.000lpL. Tidak ada konsensus yang menetapkan lama terapi kortikosteroid. Penggunaan immunoglobulin anti-D sebagai terapi awal masih dalam penelitian dan hanya cocok untuk penderita Rh-positif. Apakah penggunaan IgIV atau imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal tergantung pada beratnya trombositopenia dan luasnya perdarahan mukokutaneus. Untuk memutuskan apakah terapi penderita yang mempunyai AT 30.000lpL sampai 50.000lpL bergantung pada ada tidaknya faktor risiko perdarahan yang menyertai dan ada tidaknya risiko tinggi untuk trauma. Pada AT >50.000/yL perlu diberi IgIV sebelum pembedahan atau setelah trauma pada beberapa pasien. Padapenderita PTI kronik dan AT < 30.000/pL IgIV atau metilprednisolon dapat membantu meningkatkan AT dengan segera sebelurn splenektomi. Daftar medikasi untuk terapi PTI kronikpadapasien yang mempunyai AT < 30.0001 pL dapat dipergunakan secara individual, namun danazol atau dapson sering dikombinasi dengan prednison dosis rendah dibutuhkan untuk mencapai suatu AT hemostasis. IgIV dan anti-D imunoglobulinumumnya sebagai cadangan untuk PTI berat yang tidak respon dengan terapi oral. Untuk memutuskan apakah perlu dilakukan splenektomi, kemudian terapi medis ditemskan atau dosis ditumnkan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1171
PURPURA TROMBOSITOPENIAIMUN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dan akhirnya terapi dihentikan pada penderita PTI kronik dengan AT 30.000/mL atau lebih, bergantung pada intensitas terapi yang diperlukan, toleransi efek samping, risiko yang berhubungan dengan pembedahan dan pilihan penderita.
morbiditas yang signifikan terhadap penyakit ini dan terapinya serta memiliki mortalitas sekitar 16%.PTI refrakter kronik ditegakkan bila ditemukan 3 kriteria sebagai berikut: a. PTI menetap lebih dari 3 bulan b. Penderita gaga1 berespon dengan splenektomi. c. AT < 30.000/yL.
Terapi PTI Kronik Refrakter Pasien refrakter (+ 25% - 30% pada PTI) didefinisikan sebagai kegagalan terapi kortikosteroid dosis standar dan splenektomi serta membutuhkan terapi lebih lanjut karena AT yang rendah atau terjadi perdarahan klinis. Kelompok ini memiliki respon terapi yang rendah, mempunyai
Pendekatan Terapi Konvensional Lini Kedua Untuk penderita yang dengan terapi standar kortikosteroid tidak membaik, ada beberapa pilihan terapi yang dapat digunakan sebagai berikut: (i) Steroid dosis tinggi; (ii) IVIg dosis tinggi; (iii) Anti-D Intravena; (iv) Alkaloid vinka; (v)
Dfagram Trombosit 30.000-50.0001mm3
Trombosit <30.000 lmm3
Perdarahan
1
1 Transfusi trombosit lmunoglobulin intravena (Iglkglhan atau 2-3 hari) Metilprednisolon (Iglhari atau 3 hari)
Purpura trombositopenia imun kronis
Trombosit >50.000/mm3
1
1
Prednison atau trdak diterapi
Prednison (1-1.5 mglkglhan) lmunoglobulinAnti-0 (75 pglkg)
Tidak diterapi
I
I
I
Tmmbosit 30.000-50.0001mm3
Trombosit ~30.0001mm3
1
Pradnisonatau tidak &terapl
Perdarahan
Tidak ada danazol(l0-15 mglkglhari) dapson (75-100 mglhari)
lmunoglobulin intravena Metilprednisolon Splenektomi
medrs
TrombositO!<
OOOimm3
lmunoglobulin rntravena
Trombosit~3O.OOOlmm~
I medis dilanjutkan
...__*______....~._~~~.~....~~~~~~.~.~~.~~~.~.~. lmun refraktor kronis Purpura trombositopenia
1
1
Tmmbosit >30.0@()/mm3 Trombosit <30.0001mm3 Tidak d~terapi
Tidak diterapi
Terapi medis 1
I
1
1
4
Penghambat klirens trombosit Prednison lmunoglobulin Intwena Alkalo~d vinka Danazol
Obat-obat itnunosupreslf Azatioprin Siklofosfamid Sikloporin
Obat-cbat percobaan Antibodi penyerang CD 20 Antrbodi penyerang CD 145 Transplantasr sumsum tulang Trombopotetin -------- ----- --- ---
Gambar 3. Pengelolaan PTI awitan dewasa (Sumber: Cines DB, Blanchette VS, 2002)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Danazol; (vi) Obat imunosupresif; azathioprin, siklofosfamid, (vii) kemoterapi kombinasi; dan (viii) Dapsone. Luasnya variasi terapi untuk terapi lini kedua menggambarkan relatif kurangnya efikasi dan terapi bersifat individual. Steroid Dosis tinggi. Terapi penderita PTI refrakter selain prednisolone dapat digunakan deksametason oral dosis tinggi. Deksametason 40 mghari selama 4 hari, diulang setiap 28 hari untuk 6 siklus. Dari 10 penderita dalam penelitian kecil ini semua memberi respons yang baik (dengan AT > 100.000/pL) bertahan sekurang-kurangnya dalam 6 bulan. Pasien yang tidak berespon dengan deksametason dosis tinggi segera diganti obat lainnya. Metilprednisolon Steroid parenteral seperti metilprednisolon digunakan sebagai terapi lini kedua dan ketiga pada PTI refrakter. Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada PTI anak dan dewasa yang resisten terhadap terapi prednison dosis konvensional. Dari penelitian Weil pada penderita PTI berat menggunakan dosis tinggi metilprednisolon 30 mgtkg iv kemudian dosis diturunkan tiap 3 hari sampai 1 mgl kg sekali sehari dibandingkan dengan penderita PTI Minis ringan yang telah mendapat terapi prednison dosis konvesional. Penderita yang mendapat terapi metilprednisolon dosis tinggi mempunyai respon lebih cepat (4,7 vs 8,4 hari) dan mempunyai angka respon (80% vs 53%). Respon steroid intravena bersifat sementara pada semua pasien dan memerlukan steroid oral untuk menjaga agar AT tetap adekwat. IgIV dosis tinggi Imunoglobulin intravena dosis tinggi lmglkglhari selama 2 hari berturut-turut, sering dikombinasi dengan kortikosteroid, akan meningkatkan AT dengan cepat. Efek samping, terutarna sakit kepala, namunjika berhasil maka dapat diberikan secara intermiten atau disubtitusi dengan anti-D intravena. Anti-D intravena Anti-D intravena telah menunjukkan peningkatan AT 79-90% pada orang dewasa. Dosis anti-D 50 - 75 pgkg perhari IV. Mekanisme kerja anti-D yakni destruksi sel darah merah rhesus D-positif yang secara khusus dibersihkan oleh RES terutama di lien, jadi bersaing dengan autoantibodi yang menyelimuti trombosit melalui Fc reseptor blockade. *. Alkaloid vinka Semua terapi golongan alkaloid vinkajarang digunakan, meskipun mungkin bernilai ketika terapi lainnya gagal dan ini diperlukan untuk meningkatkan AT dengan cepat, misalnya Vinkristin 1 mg atau 2 mg iv, Vinblastin 5-10 mg, setiap minggu selama 4-6 minggu Danazol Dosis danazol200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6 bulan karena respon sering lambat. Fungsi liver hams
diperiksa setiap bulan. Bila respon terjadi, dosis diteruskan sampai dosis maksimal sekurang-kurangnya 1 tahun dan kemudian diturunkan 200 mglhari setiap 4 bulan. Immunosupresif dan kemoterapi kombinasi Immunosupresif diperlukan pada penderita yang gagal berespon dengan terapi lainnya. Terapi dengan azathioprin (2 mglkg maksimal 150 mglhari) atau siklofosfamid sebagai obat tunggal dapat dipertimbangkan dan responnya bertahan sampai 25%. Pada penderita yang berat, simptomatik, PTI kronik refrakter terhadap berbagai terapi sebelumnya. Pemakaian siklofosfamid, vinkristin dan prednisolon sebagai kombinasi telah efektif dugunakan seperti pada limfoma . Siklofosfamid 50-100 mg p.o atau 200 mglivl bulan selama 3 bulan. Azathioprin 50-100 mg p.0, bila 3 bulan tidak ada respon obat dihentikan, bila ada respon sampai 3 bulan turunkan sampai dosis terkecil . Dapsone Dapson dosis 75 mg p.0. per hari, respon terjadi dalam 2 bulan. Pasien-pasien hams diperiksa G6PD, karena pasien dengan kadar G6PD yang rendah mempunyai risiko hemolisis yang serius.
Pendekatan Penderita yang Gagal Terapi Standar dan Terapi Lini Kedua Sekitar 25% PTI refrakter dewasa gagal berespon dengan terapi lini pertama atau kedua dan memberi masalah besar. Beberapa diantaranya mengalami perdarahan aktif namun lebih banyak yang berpotensi untuk perdarahan serta masalah penanganannya. Pada umumnya PTI refrakter kronis bisa mentoleransi trombositopenia dengan baik dan bisa mempunyai kualitas hidup normal atau mendekati normal. Bagi mereka yang gagal dengan terapi lini pertama dan kedua hanya memilih terapi yang terbatas meliputi: (i) interferon-a, ii) anti-CD20, (iii) Campath-lH, (iv) mycophenolate mofetil, (v) proteinA columns, dan (vi) terapi lainnya.
REKOMENDASI TERAPl PTI YANG GAGAL TERAPl LlNl PERTAMA DAN KEDUA Campath-IH dan rituximab adalah obat yang mungkin bermanfaat pada pasien tidak berespon dengan terapi lain dan dibutuhkan untuk meningkatkan AT (misalnya perdarahan aktif). Mycophenolate mofetil tampak efektif pada beberapa pasien PTI refrakter tetapi studi lebih besar diperlukan untuk mengkonfirmasikan efikasi dan keamanannya. Dalam ha1 risiko: rasio manfaat, terapi dengan interferon-a, protein A columns, plasmapheresis dan liposomal doxorubicin tidaklah direkomendasikan. Rituximab adalah suatu antibodi monoklonal anti-CD 20 yang mendeplesi CD20+ sel B secara sementara yang
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1173
PURPURA TROMBOSITOPENIAIMUN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI selama ini dipergunakan sebagai pengobtan limfoma NonHodgkin, telah dipergunakan untuk pengobatan PTI pada beberapa penelitian pendahuluan dengan respon berlansung 12 bulan sejak dihiyung dari onset pengobatan awal diberikan. Relapsjarang terjadi setelah 2,5 tahun dan sekitar 50% pasien diperkirakan akan terus berespon tanpa tambahan terapi untuk 5 tahun selanjutnya. Penelitian di Italia menggunakan dosis pemberian rituximab dosis tinggi 375 mgrlrn2 tiap minggu selama 4 minggu didapatkan angka respon secara keseluruhan adalah 52%. Penelitian di London, Inggris menggunakan rituximab dosis rendah 100 mg per minggu selarna 4 minggu menunjukkan rituximab dosis rendah dapat menghasilkan respon yang signifikan dan bertahan lama sehubungan dengan deplesi sel B.
PELUANG PEMAKAIANAGEN TERKlNl Beberapa agen terapi baru menjadi peluang untuk pengobatan PTI. Beberapa penelitian terkini memberi perhatian akan peluang terhadap studi yang tentang efikasi dari agen stimulai trombopoiesis. Yang pertama melalui Agen trombopoietin (TPO) dan yang kedua melalui inhibitor spesifik terhadap Phagocyte-mediated Comsurnption of Platelet.
PROGNOSIS Respon terapi dapat mencapai 50%-70% dengan kortikosteroid . Pasien PTI dewasa hanya sebagian kecil dapat mengalami remisi spontan penyebab kematian pada PTI biasanya disebabkan oleh perdarahan intra kranial yang berakibaf fatal berkisar 2,2 % untuk usia lebih dari 40 tahun dan sampai 47,8 % untuk usia lebih dari 60 tahun.
REFERENSI Braendstrup P, B j e m m OW, Nielsen OJ, Jensen BA, Clausen NT, Hansen PB, Andersen I, Schmidt K, Andersen TM, Peterslund NA, Birgens HS, Plesner T, Pedersen BB, and Hasselbalch HC. Rituximab Chimeric Anti - CD20 monoclonal Antibody treatment for Adult refractory Idiopathic thrombocytopenic purpura. Am J of Hematol. 2005 ;78 : 275-280. Cheng Y, S.M. Raymond, MB. Wong. Initial Treatment Idiopathic Thromocytopenic Purpura with High Dose Dexamethason. N Engl J Med. 2003; 349: 831-6.
Cines DB, Blanchette VS. Immune Thrombocytopenic Purpura. N Engl J Med. 2002; 346 (13): 995-1006. Emilia G, Morcelli M, Luppi M, Longo G, Marasca R, Gandini G, Ferrara L. Long-term Salvage Therapy with Cyclosporin A in Refractory Idiopathic Thrombocytopenic Purpura. Blood. 2002;99(4): 1482-5. George JN, Rizvi MA. Clinical Manifestations and Diagnosis of Idiopathic Thrombocitopenic Purpura 1-11 in: Up ToDate, Rose B.D. editor. Up ToDate, Wellesley, MA, 2004. George, JN. Treatment and prognosis of Idiopathic Thrombocitopenic Purpura in: Up ToDate, Rose B.D. (Ed). Up ToDate, Wellesley, MA, editors. 2004. Handin RI. Platelet Disorder and Vascular Wall in: KJ. Isselbacher, E. Braunwald, JD Wilson, JB. Martin, AS. Fauci, DL. Kasper editors. Harrison's Principles of Internal Medicine, 1 Sthed. 2001. Levine SP. Thrombocytopenia Caused by lmmunologic Platelet Destruction in GR. Lee, J Foerster, J Lukens, F Paraskevas, JP.Greer, GM. Rodgers editors. Wintrobe's Clinical Hematology. loth edition. Baltimore, Philadelphia, London.: William & Wilkins a Waverly Company; 1999. p. 1583-611. McMillan R. Therapy for Adults with Refractory Chronic Immune Thrombocytopenic Purpura. Ann Int Med.1997; 126; 307-314. Provan D, Newland A. Fifty Years of Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (PTI): Management of Refractory in Adults. British J Hematol. 2002; 118: 933-944. Provan D, Norfolk D, Bolton-Maggs P, Newland PA, Lilleyman JP, Greer PI, May A, Murphy M, Ouwehand W, Watson S. Guidelines for the Investigation and Management of PTI in Adults, Children and in Pregnancy. British J Hematol. 2003; 120:574596. Provan, D., Butler, T., Activity and safety profile of Low-dose Rituximab for the Treatment of Autoimmune Cytopenia in Adults. Haematologica. 2007; 92(12): 1695-98 Psaila, B., Podolanczuk, AJ., Bussel, J., 2007. Recent Advances in the Treatment of immune Thrombocytopenic Purpura. ww.medscape.com. Schwartz J, Leber MD, Gillis S, Giunta A, Eldor A, Bussel JB. Long Term Follow-Up after Splenectomy Performed for Immune Thrombocytopenic Purpura (PTI). Am J Hematol. 2003; 72: 94-98. Stasi R, Pagano A, Stipa E, Amadori S. Rituximab Chimeric AntiCD20 Monoclonal Antibody Treatment for Adult with Chronic Idiopathic Thrombocytopenia Purpura. Blood. 2001;98:952957 Vesely S, Buchanan GR, Cohen A, Raskop George J. Self-reported diagnostic and management strategies in childhood idiopathic thrombocytopenic purpura: Result of a survey of practicing, pediatric hematology/oncology specis1ists.J Pediatric Hematol Oncol. 2000; 22: 55-61.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PAROXYSMAL NOCTURNAL HEMOGLOBINURIA (PNH) Made Putra Sedana
PENDAHULUAN Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) adalah suatu kelainan kronis didapat (acquired) yang ditandai terjadinya hemolisis intravaskuler dan hemoglobinuria yang umumnya terjadi pada saat pasien tidur dimalam hari., yang disebabkan oleh kelainan seluler karena mutasi somatic pada totipoten Hematopoetic stem cell yang menyebabkan kerusakan intrinsic pada membrane sel darah merah sehingga lebih rentan terhadap aksi lisis dari komplemen, ha1 ini dapat pula menimblkan trombositopenia, lekopenia dan kegawatan akibat trombosis vena. Gambaran kelainan ini pertama kali dipublikasikan oleh Strubbing pada tahun 1882, sedangkan karateristik klinisnya pertama kali dijelaskan oleh Marchiavafa dan Nazari pada tahun 1911 serta Micheli ditahun 1931, karena itulah kelainan PNH sering juga disebut MarchiavafaMicheli syndrome. Meskipun PNH umumnya terjadi pada dekade keempat dan kelima ,tetapi dapat pula terjadi pada anak-anak d m orang tua. Secara umum gambaran klinis PNH meliputi gejala anemia, hemoglobinuria, tanda-tanda perdarahan, serta keluhan gastrointestinal. Penegakan diagnosis dapat ditentukan melalui pemeriksaan darah, urine, sumsum tulang dan sitogenetik.
Penderita dengan kelainan PNH pertama kali dipublikasikan oleh Strubing pada tahun 1882, tetapi gambaran klinis yang khas penderita PNH pertama kali dijelaskan oleh Marchiavafa dan Micheli di Italia. Insiden PNH sangat bervariasi pada berbagai populasi dan lebih
sering terjadi di Asia Tenggara. PNH adalah penyakit yang jarang, dengan pemeriksaan yang tepat angka kejadian PNH hampir sama dengan Anemia Aplastik. PNH biasanya terjadi pada usia muda tetapi juga bisa terjadi pada anakanak dan orang tua. Perjalanan PNH umumnya terjadi pada usia lanjut, dengan " Median Survival " 8 - 10 tahun, umumnya sebagai penyebab kematian adalah terjadinya trombosis vena yang disertai dengan infeksi sekunder oleh karena Neutropenia berat dan perdarahan oleh karena trombositopenia.
Patogenesis terjadinya PNH adalah akibat gangguan mutasi somatic pada totipotent haematopoetic stem cell. Mutasi somatic ini kemudian menyebabkan terjadinya defesiensi berbagai jenis protein yang diperlukan bagi pembentukan glycosylphosphatidylinositol anchored (GPI anchored), yakni antara lain leucocyte alkaline phosphatase, acethylcholineesterase, decay accelerating factor (DAE CD55), membrane inhibitor of reactive lysis (MIRL,CD59), FcgammaRIIIb , c8 binding protein, lymphocyte function associated antigen 3, CD14, dan urokinase receotor Akibat defesiensi ini, GPI anchored yaitu suatu struktur kompleks yang berfungsi mengatur protein permukaan sel haematopoetik serta mengatur kadar complement-mediated lysis. Juga mengalami defesiensi absolute atau relative. Hal ini kemudian memberikan efek langsung terhadap proses hemolisis normal lewat dua cara. Pertama, bahwa kekurangan satu atau lebih protein GPI anchored akan menimbulkan kegagalan dalam menginhibisi alternative pathway dari proses hemolisis fisiologik dan akibatnya terjadilah pengaktifan comple-
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1175
PAROXYSMAL NOCTURNAL HEMOGLOBINURIA (PNH)
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI ment-mediated hemolytic .Sebagai akibatnya, sel eritrosit PNH akan mengikat lebih banyak C3 aktif dari pada eritrosit normal dan banyaknya jumlah ikatan C3 ini selanjutnya berpengaruh terhadap sensitivitas lysis eritrosit. Semakin besar proporsi eritrosit yang sensitive terhadap complement-mediated lysis semakin berat derajat dari hemolisisnya. Kedua : terjadinya defisiensi dari proteinprotein anchored akan menyebabkan terganggunya struktur dan kadar protein permukaan hemopoetik serta terjadinya kerusakan membrane sel hemopoetik, yang menyebabkan eritrosit PNH lebih peka terhadap proses Lysis dari komplemen. Berdasar sensitivitasnya terhadap komplemen, secara invitro PNH dibagi menjadi 3 type yaitu : PNH I,II,III. PNH I : adalah sel eritrosit PNH yang memiliki sensitivitas normal terhadap komplemen. PNH I1 dan III secaraberturutturut memiliki sensitivitas 3 -4 kali serta 15 - 25 kali dari sensitivitas normal. Mutasi somatic yang terjadi pada PNH tidak hanya terbatas pada eritrosit, tetapi dapat juga mencakup trombosit, leukosit dan sel-sel pluripoten hematopoesis. Karena itulah, kelainan ini dapat bermanifestasi pula sebagai kelainan displasia sumsum tulang seperti : anemia aplastik, sindroma mielodisplastik dan leukemia akut.
TANDA DAN GEJALA KLlNlS
Anemia, ikterus, splenomegali. Hemoglobinuria, terutama pagi hari. Sebagian besar kasus hemoglobinuria tidak tampak dengan jelas, walaupun terjadi hemolisis kronis. Adanya anemia hemolitik kronik. Kekurangan zat besi sebagai akibat keluarnya zat b e s ~ melalui urine. Perdarahan akibat terjadinya trombositopenia. Trombosis vena ditempat-tempat yang tidak biasa : vena hepatica, sindroma Budd-Chiari, vena serebral, vena lienalis, vena subkutis , vena mesenterika Kehamilan pada pasien PNH dapat dihubungkan dengan aborsi dan trombosis vena. Manifestasi pada ginjal : hypostenuria ,kelainan fungsi tubulus, gaga1 ginjal akut dan kronik.
Gambaran anemia hemolitik. Hapusan darah tepi : sesuai dengan gambaran anemia hemolitik, sering disertai gambaran anemia defesiensi besi, dapat pula menyerupai anemia aplastik. Retikulositosis Aspirasi sumsum tulang : hyperplasia eritropoesis atau hypoplasia.
Leukosit Alkalin Fosfatase rendah. Sucrose Waters Test dan Acid Hams Test : Positif. Pada pemeriksaah Urine didapatkan : Hemoglobinuria, Hemosiderinuria. Karena itu warna urine paling berwarna gelap (seperti the) pada pagi hari waktu bangun tidur dan makin siang warna'urine makin terang, seperti tampak pada garnbar berikut:
Gambar 1. Urin tampung pada penderita dengan PNH
DIAGNOSIS
Gejala :anemia, hemoglobinuria. Hapusan Darah Tepi : gambaran anemia hemolitik, sering disertai gambaran anemia defesiensi besi, dapat juga menyerupai anemia aplasrik. Aspirasi Sumsum Tulang : hiperplasi eritropoesis atau hypoplasi. Flowsitometri : pemeriksaan CD 59 pada eritrosit; CD 55 atau CD 59 pada granulosit. Sucrose waters Test dan Acid Hams Test : positif. Manifestasi trombosis Pada Urine : hemoglobinuria; hemosiderinuria.
DIAGNOSIS BANDING
Anemia Hemolitik Lain. Anemia Defesiensi besi Anemia aplastik Black water fever: Paroxysmal cold hemoglobinuria.
PENGOBATAN
Bila anemia transfusi darah dengan Washed Erythrocyte.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI.*,
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Asam folat 1 mghari. Bila ada defesiensi besi diberi sulfas ferosus 3 X 1 tab. Prednison 20 - 60 mghari, tetapi tidak untuk pemberian jangka panjang.. Hormon androgen : Fluoxymesteron : 5 - 30 mghari; Oxymetholon 10 - 50 mghari diberikan selama 6 - 8 minggu, bila tidak ada respon obat dihentikan. Antikoagulan : tidak terbukti bermanfaat untuk mencegah terjadinya trombosis. Streptokinase; urokinase : bila ada trombosis. Transplantasi sumsum tulang merupakan indikasi defenitifkemudiandilanjutkan dengan imunosupresan. Perkembanganpengobatan PNH dengan obat antibody monoklonan yaitu Eculizumab yang langsung mengikat komplemen C5. Dengan memblokade kaskade C5, antibodi ini dapat mengontrol terjadinya hemolisis pada PNH yang tergantung komplemen. Pada penelitian International "Multicenter Placebo Controlled Trial" pada 87 pendrita yang sudah ketergantungan dengan transfbse diberikan Eculizumab dengan dosis 600 mg IV tiap minggu selama 4 minggu, 1 minggu kemudian 900 mg IV selanjutnya 900 mg IV tiap minggu sampai minggu ke 26. Untuk penderita dengan PNH-AA syndrome dapat diberikan pengobatan imunosupresif dengan Antilimfosit Globulin (ALG atau ATG) dan Cyclosporin.
PROGNOSIS Penderita PNH rata-rata hidup 10 - 50 tahun. Kematian biasanya disebabkan oleh karena komplikasi: trombosis; pansitopenia. Penderita PNH dapat mengalami perubahan menjadi: Leukemia akut; Sindroma Mielodisplasia; Mielofibrosis;
Leukemia Limfositik Kronik; Leukemia Mielositik Kronk, PolisitemiaVera dan Eritroleukemia. Prognosis buruk bila: Usia diatas 55 tahun saat diagnosis ditegakan; adanya trombosis; perubahan menjadi : pansitopenia, sindroma mielodisplasia atau leukemia akut
REFERENSI Hillmen P, Young NS, Schubert J et al (2006). The Complement Inhibitor Eculizumab in Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. N.Engl.J.Med. 355:1233. Lichtman MA, Bentlir E, Kipps TJ, Williams WJ (2003). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. In : Williams Manual of Hematology, 6 th edition. Eds : Lichtman MA, Bentlir E, Kipps TJ, Williams WJ. Mc Graw Hill, Toronto, p 233. Luzatto L (1996). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. In : Hematology 1996. Education Programme of the 26 th Congress of International Society of Haematology. Ed : Mc Arthur JR, Sinagapore August, 25-26. Parker CJ, Lee GR (1999). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. In : Wintrobes Clinical Hematology, 10 th edition. Eds : Lee GR, Foerster J, Rodger GM. Lippincott William & Wilkins, Philadelphia, p. 1264. Parker C, Omine M, Richards S et a1 (2005). Diagnosis and Management of Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. Blood 106 : 3699. Rosse W, Bunn HF (2008). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. In : Harrisons Principle of Internal Medicine, 17 th edition . Eds : Fauci AS, BraunwaldE,Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jarneson JL, Loscalzo J. Mc Graw Hill Publishing Co, New York, p. 660. Socie G, Mary JY, de Gramont A, Rio B, Lepporier M, Rose C, Heudier, Rochant H, Cahn JY, Gluckman E. Paroxysmal Nocturnal Haemoglobinuria : Long-term follow-up an Prognostic Factors. Lancet, 348 : 573.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
KELAINAN HEMATOLOGI PADA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK Zubairi Djoerban
PENDAHULUAN Lupus eritematosus sistemik (systemiclupus erythematosus, SLE) dapat mempengaruhi banyak organ di tubuh dan menunjukkan manifestasi klinis dan imunologis dengan spektrum yang luas. Kelainan hematologi seringkali ditemukan pada SLE. Anemia dan trombositopenia, kelainan hematologi yang sering terjadi pada perjalanan penyakit pasien SLE, biasanya bukan merupakan kondisi yang fatal, namun pada beberapa pasien dapat terjadi gangguan yang berat sehingga membutuhkan manajemen yang agresif. Leukopeniajuga sering terjadi, hampir selalu merupakan limfopenia, bukan granulositopenia, kondisi ini jarang menjadi predisposisi terjadinya infeksi dan biasanya tidak membutuhkan terapi. Trombosis merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Kriteria Diagnosis SLE dari ACR pada 1971 menyatakan bahwa leukopenia, trombositopenia,dan anemia hernolitik inerupakan kriteria individual untuk SLE. Sementara pada revisi tahun 1982 dinyatakan bahwa kelainan hematologi dikelompokkan menjadi satu kelompok yang terdiri dari: 1) anemia hemolitik autoimun, 2) leukopenia (<4000/yl pada dua kali atau lebih pemeriksaan), 3) limfopenia (<1500/yl pada dua kali atau lebih pemeriksaan) dan 4) trombositopenia (<100.000/~1tanpa pemberian obat).Pada Carolina Lupus Study, dari 265 pasien SLE yang didiagnosis antara 1995 sampai 1999, frekuensi kelainan hematologi pada diagnosis awal adalah 11% anemia hemolitik, 18% leukopenia, 2 1% limfopenia, dan 11% trombositopenia. Sumsum tulang menjadi target pada pasien SLE dengan sitopenia. Sebuah penelitian pada pasien-pasien SLE dengan sitopenia, yang tidak menggunakan obat imunosupresif, melaporkan gambaran sumsum tulang
hiposelularitas menyeluruh (47,6%), peningkatan proliferasi retikulin (76,2%) dengan mielofibrosis pada satu pasien, dan nekrosis (1 9%). Plasmasitosis tampak pada 26,7% pasien dan cadangan besi menurun atau tidak ada pada 73,3% pasien.
ANEMIA Prevalensi Sebagian besar pasien menderita anemia pada suatu waktu di sepanjang perjalanan penyakitnya. Prevalensinya cukup tinggi, sekitar 5 1-98% pasien pernah menunjukkan kadar hemoglobin kurang dari 12 g/dl. Pada umumnya, yang terjadi adalah anemia derajat sedang, tetapi beberapa pasien menunjukkan anemia berat.
Etiologi Anemia pada pasien SLE dapat merupakan penyakit imun atau non-imun. Anemia yang merupakan penyakit nonimun adalah anemia pada penyakit kronik, anemia defisiensi besi, anemia sideroblastik, anemia pada penyakit ginjal, anemia diinduksi obat, dan anemia sekunder terhadap penyakit lain (misalnya anemia sel sabit). Anemia yang diperantarai imun pada pasien SLE adalah anemia hemolitik autoimun, anemia hemolitik diinduksi obat, anemia aplastik, pure red cell aplasia, dan anemia pernisiosa. Voulgarelis dkk. melaporkan pada dari 132 pasien SLE, 37,1% menderita anemia pada penyakit kronik, 35,6% anemia defisiensi besi, 14,4% anemia hemolitik autoimun dan 12,9% karena penyebab lain. Salah satu penyebab anemia pada penyakit kronik dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HEMATOLOCI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI anemia karena sebab lainnya adalah berkurangnya produksi eritropoietin dan resistensi eritropoietin pada sel eritroid. Resistensi terhadap eritropoietin dapat terjadi karena adanya autoantibodi terhadap eritropoietin (antiEpo). Voulgarelis melaporkan bahwa anti-Epo ditemukan pada 21% pasien SLE dengan anemia dan berhubungan bermakna dengan aktivitas penyakit. Respons peningkatan eritropoietin juga akibat penurunan hemoglobin juga tidak adekuat pada 4 1,2% pasien anemia hemolitik autoimun dan 42,4% pasien anemia penyakit kronik.
Anemia yang Tidak Diperantarai lmun Anemia pada penyakit kronik mempakan jenis anemia yang paling sering ditemukan pada pasien SLE. Gambaran apus darah tepi menunjukkan sel-sel yang normositik atau normokrom. Konsentrasi besi serum menurun dan kapasitas pengikatan besi total tidak berubah atau sedikit rendah. Dijumpai pula penurunan saturasi besi pada transferin. Pemeriksaan sumsum tulang memberikan hasil yang normal dengan cadangan besi yang adekuat. Anemia berkembang dengan lambat jika tidak ada komplikasi dengan faktor lain, seperti perdarahan. Hitung retikulosit rendah bila dibandingkan dengan derajat anemianya. Mekanisme anemia pada penyakit kronik masih sulit dimengerti. Hasil pada beberapa penelitian patogenesis artritis rematoid mengindikasikan bahwa banyak faktor yang terlibat seperti gangguan pelepasan besi oleh sistem fagositik mononuklear, besi terikat dengan protein pengikat, penurunan respons eritropoietin, dan efek supresif interleukin terhadap eritropoiesis. Pengobatan anemia ini pada pasien SLE ditujukan pada proses penyakitnya, tidak dianjurkan pemberian terapi besi atau intervensi spesifik lainnya. Anemia Defisiensi Besi biasanya ditemukan pada pasien SLE yang mendapat obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) atau mengalami menorrhagia. Ditemukan penumnan penggunaan besi. Radioaktivitas pada banyak organ berbeda dari normal, dengan peningkatan kadar radioaktivitas pada limpa dan hati. Peningkatan jumlah besi yang diabsorpsi tidak digunakan untuk sintesis hemoglobin melainkan untuk disimpan. Di lain pihak, turnover besi plasma meningkat pada sebagian besar pasien. Usia eritrosit lebih pendek tanpa adanya hemolisis. Jadi, anemia pada penyakit kronik pada pasien SLE dapat menyebabkan terjadinya aktivitas sumsum tulang yang rendah, pemendekan umur eritrosit, dan mungkin uptake besi yang buruk. Anemia Sel Sabit dan SLE menunjukkan manifestasi klnik yang serupa seperti artralgia, nyeri dada, efusi pleura, kardiomegali, nefropati, strok, dan kejang. Pasien dengan hemoglobinopati sel sabit juga menunjukkan peningkatan prevalensi autoantibodi, termasuk ANA. KO-eksistensiSLE
dan anemia sel sabit telah dilaporkan, dan pada beberapa pasien SLE terlambat dikenali akibat manifestasi klinisnya yang serupa tersebut. Diduga bahwa abnormalitas pada jalur alternatif dari komplemen pada hemoglobinopati sel sabit dapat menjadi predisposisi untuk'menjadi kelainan kompleks imun, termasuk SLE. Namun tidak ada bukti bahwa SLE lebih sering ditemukan pada pasien dengan hemoglobinopati sel sabit.
Anemia yang Diperantarai lmun Anemia hemolitik autoimun, Anemia hemolitik autoimun (AHA) merupakan penyebab anemia pada 5-1 9% pasien SLE. Beberapa sindrom klinik terjadi, masing-masing diperantarai oleh autoantibodi (IgG atau IgM) yang berbeda yang menyerang sel darah merah. Akibatnya, sel darah merah lebih cepat dirusak sehingga jumlah berkurang di sirkulasi.Anemia hemolitik autoimun biasanya berkembang secara bertahap pada sebagian besar pasien, namun terkadang dapat juga berkembang cepat sehingga terjadi krisis hemolitik yang progresif. Anemia hemolitik autoimun dapat dihubungkan dengan adanya antibodi antikardiolipin, atau dapat menjadi bagian dari sindroma antifosfolipid, yang mana dihubungkan dengan adanya antibodi antifosfolipid, trombosis, trombositopenia, dan keguguran berulang. Voulgarelis juga melaporkan adanya antibodi anti-dsDNA pada hampir semua pasien dengan AHA. Adanya AHA juga diperkirakan dapat mengidentifikasi subkelompok khusus dari pasien SLE karena adanya hubungan beberapa karakteristik serologik tersebut dengan manifestasi klinik. Kelly dkk. melaporkan bahwa terdapat bukti yang kuat keterlibatan gen rentan SLE, SLEHI, pada kelompok keluarga Afro-Amerika yang mempunyai paling tidak satu anggota keluarga dengan SLE dengan anemia hemolitik. Kriteria ACR tidak mendefinisikan derajat keparahan anemia hemolitik. Anemia hemolitik yang berat (didefinisikan sebagai hemoglobin +/dl, tes Coomb positif, retikulositosis, dan penurunan hemoglobin 3 g/dl sejak pemeriksaan terakhir) mempunyai hubungan yang bermakna dengan keterlibatan organ sistemik lainnya yaitu ginjal dan susunan saraf pusat. Klasifikasi AHA dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe utama menumt antibodi yang terlibat dalam destruksi eritrosit dan suhu optimal dari reaktivitas antibodi pada permukaan eritrosit. AHA tipe hangat diperantarai oleh antiboi IgG di mana reaksi dapat berlangsung optimal pada suhu 37°C. AHA aglutinin dingin diperantarai oleh antibodikomplemen IgM yang terikat optimal pada antigen eritrosit pada suhu 4°C.
AHA tipe hangat, Tipe ini merupakan jenis yang paling
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1179
KELAINAN HEMATOLOGI PADA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI banyak terjadi pada pasien SLE. Sel darah merah yang dilapisi oleh antibody IgG hangat pindah ke sirkulasi, terutama oleh sekuestrasi pada limpa. Sel darah merah yang dilapisi antibodi kemudian mengalami perubahan membran, sehingga terbentuk sferosit. Penelitian yang memeriksa struktur limpa pada pasien SLE dengan AHA menemukan bahwa eritrosit dilapisi dengan IgG dan komplemen yang kemudian difagositosissecara lengkap oleh makrofag lirnpa, dan sebagian kecil oleh sel-sel endotelial sinus. Kebalikannya, di hati, fagositosis eritrosit tersensitisasi oleh sel Kupfer hanya terjadi sesekali. Sehingga dapat disimpulkan bahwa limpa adalah lokasi utama destruksi eritrosit. Gejala klinis pada AHA sangat bervariasi. Gejala disebabkan karena anemianya seperti kelelahan, pusing, dan demam.Bukti adanya hemolisis, termasuk kuning dan urin seperti teh dapat ditemukan. AHA pada pasien SLE berkembang secara bertahap pada sebagian besar pasien, tetapi terkadang dapat muncul sebagai krisis hemolitik progresif yang cepat. Kombinasi AHA hangat dan dingin, Suatu penelitian melaporkan bahwa 7% pasien AHA yang mendapat transfusi mempunyai antibodi anti eritrosit IgG hangat dan IgM dingin, kedua antibodi tersebut berkontribusi terhadap terjadinya hemolisis. Sekitar 20% pasien dari kelompok tersebut menderita SLE. Pengobatan Terapi medikamentosa.Kortikosteroid sistemik, 1- 1,s mg/ kg prednison setiap hari, cukup efektif. Steroid diberikan secara parenteral pada pasien dengan penyakit akut dan kemudian diganti menjadi obat oral setelah keadaannya stabil dan membaik. Dosis tersebut diberikan selama 4-6 minggu dan secara bertahap ditumnkan. Pada pasien yang responsif dengan steroid, respons klinis akan terjadi dalam waktu satu minggu. Stabilisasi hematokrit terjadi dalam 30-90 hari setelah terapi dimulai. Pasien dengan anemia hemolitik berat dan progresif cepat dapat diberikan metilprenisolon 1 g IV selama 3 hari berturut-turut, diikuti dengan dosis steroid konvensional. Hitung retikulosit dapat digunakan sebagai indikator respons terapi dan untuk mendeteksi relaps saat dosis steroid diturunkan. Hitung retikulosit yang menurun drastis dihubungkan dengan relaps proses hemolitik. Pengobatan lainnya yang telah dilakukan adalah pemberian azatioprin 2-2,s mglkg dikombinasikan dengan prednison 10-20 mglhari pada pasien-pasien yang gaga1 dengan pemberian prednison. Splenektomi. Splenektomi dilakukan pada pasien dengan AHA tipe hangat idiopatik yang membutuhkan dosis pemeliharaan prednison yang tinggi (20 mghari atau lebih), pasien dengan relaps yang sering, atau mereka yang menunjukkan efek samping yang serius dengan terapi steroid.
Secara umum, splenektomi kurang efektif untuk AHA tipe hangat dibandingkan trombositopenia autoimun. Transfusi. Sebaiknya transfusi darah dihindari, tidak hanya karena risiko penularan penyakit infeksi, tetapi juga karena pengamatan menurjukkan adanya isoantibodi melawan sel darah merah pada pasein SLE. Pasien yang mendapat transfusi berulang dapat membentuk isoaglutinin terhadap beberapa antigen eritrosit yang berbeda. Sangat sedikit indikasi untuk melakukan transfusi pada pasien SLE, di antaranya aalah perdarahan masif akut, dengan kadar hemoglobin turun sampai kurang dari 6 gl dl, atau disertai dengan penyakit jantung atau iskemia serebrovaskular yang berat. Respons pasien SLE dengan anemia hemolitik autoimun terhadap kortikosteroid secara urnum sangat baik, sehinggatransfusi darah biasanya tidak diperlukan. Antibodi antieritrosit di sirkulasi dapat membuat uji cocok silang darah menjadi sulit. TROMBOSITOPENIA DAN KELAINAN TROMBOSIT LAINNYA Frekuensi dan Masalah Trombositopenia, didefinisikan sebagai kadar trombosit di bawah 150.000/mm3,cukup sering ditemui pada pasien SLE. Sebuah studi multisenter di Eropa melaporkan trornbositopenia terjadi pada 13% pasien SLE, sementara angka di Asia menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi yaitu sekitar 30%. Adanya trombositopenia dapat dijadikan indikator untuk memperkirakan prognosis pasien SLE. Sebuah studi kohort pada 408 pasien dengan waktu pemantauan median selama I1 tahun menyatakan bahwa adanya trornbositopenia berhubungan dengan peningkatan risiko mortalitas yang terkait SLE sebanyak 2,36 kali. Penelitian pada 38 keluarga yang memiliki sekurangkurangnya 2 orang anggota keluarga dengan SLE melaporkan bahwa trombositopenia berhubungan dengan bentuk SLE familial yang berat dengan gangguan pada gen 1q22-23 dan 1lp13 yang berkontribusi terhadap gambaran fenotip yang berat dan mortalitas yang tinggi. Etiologi Penyebab trombositopeniapada SLE dapat dibagi menjadi tiga, yaitu 1) kegagalan produksi yang disebabkan oleh pengobatan atau penyakitnya sendiri, 2) distribusi abnormal, sepertipooling di limpa, atau 3) destruksi besarbesaran seperti pada sindrom antifosfolipid, anemia hemolitik mikroangiopatik atau trom~ositopeniayang diperantarai antibodi. Purpura Trombosito~eniklmun Purpura Trombositopenik Imun (Immune Thrombocy-
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI topenic Purpura, ITP) mempunyai hubungan yang khusus dengan SLE. Kedua penyakit ini umumnya mengenai perempuan muda, selain itu sebagian pasien ITP yang awalnya diduga merupakan penyakit idiopatik ternyata di kemudian hari menampakkan gambaran klasik SLE. Lebih jauh lagi, purpura trombositopenik, secara klinik dibedakan dari ITP, dapat terjadi sepanjang perjalananpenyakit SLE. Manifestasi klinis, manifestasi klinis trornbositopeniapada pasien SLE secara umum serupa dengan yang terlihat pada pasien ITP atau trornbositopeniaakibat penyebab lain, dan tergantung pada jumlah hitung trombosit. Saat hitung trombosit di bawah 50.000/mm3,perdarahan spontan atau purpura dapat terjadi. Faktor lain yang mempengaruhi perdarahan spontan tersebut selain hitung trombosit adalah defek trombosit secara kualitatif dan usia trombosit. Perdarahan biasanya muncul sebagai petekie dadatau ekimosis, terutama pada tungkai bawah, dengan adanya peningkatan tekanan kapiler. Perdarahan hidung, menorrhagia, epistaksis, dan perdarahan gusi dapat pula terjadi. Perdarahan spontan pada otak merupakan komplikasi yang ditakuti dan dapat berakibat fatal. Pengobatan, umumnya dianjurkan terapi dengan kortikosteroid sistemik, yaitu prednison 1- 1,5 mgikglhari. Terapi kortikosteroid ini ekuivalen dengan "splenektomi medikal" karena mencegah sekuestrasi trombosit berlapis antibodi pada limpa. Sebagian besar pasien menunjukkan perbaikan dalam 1-8 minggu. MetilprednisolonIV dosis tinggi juga digunakan untuk trombositopenia yang berat, namun kelebihannya dibanding terapi steroid konvensional belum terbukti. Pemberian yang berulang akan mengurangi respons trombosit. Berbeda dengan ITP idiopatik, splenektomipada pasien SLE dengan trombositopenia yang resisten steroid tidak dianjurkan karena peningkatan risiko infeksi yang berat setelah splenektomi dan terlihat adanya manfaat efikasi pada pemberian obat-obat yang lain. Danazol dilaporkan efektif pada beberapa pasien dengan trombositopenia yang refrakter terhadap steroid, obat sitotoksik, dan/atau splenektomi.Danazol diberikan dengan dosis rata-rata 200 mg, tiga atau empat kali sehari. Siklofosfamid IV intermiten juga efektif pada pasien SLE yang refrakter terhadap steroid atau splenektomi atau membutuhkan peningkatan dosis steroid yang tinggi. Obat lain yang dilaporkan efektif adalah azatioprin, siklosporin, dapson, dan vinkristin. Gamma globulin IV juga efektif, namun efeknya tidak dapat bertahan lama. Seperti pada ITP idiopatik, gamma globulin paling berguna untuk pengobatan perdarahan yang mengancamjiwa atau untuk mempersiapkan pasien menjalani operasi gawatdarurat.
Purpura Trombositopenik Trombotik Kelainan ini merupakan kelainan yang jarang terjadi pada
pasien SLE, namun merupakan komplikasi yang mengancam jiwa. Kelainan ini ditandai dengan demam, disfungsi ginjal, anemia hemolitik mikroangiopatik, trornbositopenia, dan kelainan neurologis. Pengobatannya dalah dengan kortikosteroid dan infus plasma, dengan atau tanpa plasmaferesis.
Kelainan Sel Darah Putih Leukopenia terjadi pada sekitar 18-50% pasien SLE selama perjalanan penyakit. Neutrofil danlatau limfosit di sirkulasi dapat menurun akibat beberapa sebab. Pengobatan dengan kortikosteroid maupun imunosupresif dapat menekanjumlah limfosit absolut akibat sekuestrasi limfosit di limpa dan sumsum tulang. Limfopenia sering terjadi pada pasien SLE dengan penyakit yang aktif dan mempunyai arti patologis yang bermakna. Limfopenia dapat terjadi tanpa leukopenia. Penyebabnya mungkin karena adanya antibodi limfositotoksik dan apoptosis limfosit. Seperti leukopenia, limfopenia dapat disebabkan oleh faktor selain SLE sendiri. Pengobatan dengan kortikosteroid dan obat sitotoksik, infeksi, dan perawatan di rumah sakit dapat berkontribusi terhadap penurunan hitung limfosit, yang mana mungkin bukan merupakan cerminan aktivitas penyakit. Limfopenia dapat berkembang pada stadium akut pada 84% pasien dan dihubungkan dengan peningkatan sedimentation rate. Saat diagnosis, limfopenia ditemukanpada 75% pasien, namun pada pemantauan selanjutnya, beberapa pasien kemudian juga mengalami limfopenia sehingga secara kumulatif 93% pasien mengalami limfopenia. Limfopenia absolut berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Pasien dengan hitung limfosit absolut kurang dari 1500 sel/mm3 pada saat diagnosis menunjukkan frekuensi demam, poliartritis, dan keterlibatan susunan saraf pusat yang lebih tinggi, sementara prevalensi trornbositopenia dadatau anemia hemolitik lebih rendah. Trombosis Trombosis merupakan salah satu penyebab kematian pada SLE selain akibat penyakit SLE aktif, infeksi, dan keganasan. Sebuah studi kohort di Eropa pada 1000 pasien SLE melaporkan bahwa 12 dari 45 pasien pada 5 tahun pertama dan 6 dari 23 pasien pada 5 tahun berikutnya meninggal akibat trombosis. Yang dapat menjadi catatan adalah bahwa trombosis merupakan penyebab kematian utama pada pasien SLE setelah 5 tahun. Lupus Eritematosus Sistemik dan Sindrom Antifosfolipid Sindrom antibodi antifosfolipid didefinisikan sebagai penyakit trombofilia autoimun y a w ditandai adanya
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1181
KELAINAN HEMATOLOGIPADA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI antibodi antifosfolipid yang menetap serta kejadian berulang dari trombosis venalarteri, keguguran, atau trombositopenia. Trombosis pada pasien SLE hampir selalu dihubungkan dengan sindrom antibodi antifosfolipid. Kejadian trombotik yang sering terjadi adalah strok, oklusi arteri koronaria, dan emboli pulmoner. Kemungkinan adanya sindrom antifosfolipid pada pasien SLE hams ditelusuri pada pasien perempuan muda (kurang dari 40 tahun) yang mengalami strok, perempuan hamil dengan keguguran berulang atau adanya riwayat trombosis vena dalam. Pemeriksaan laboratorium ditemukan antibodi antikardiolipin IgG dadatau IgM positif, atau antikoagulan lupus positif, biasanya disertai dengan pemanjangan masa protrombin atau masa protrombin teraktivasi. Antibodi antifosfolipid, seperti antibodi antikardiolipin (anticardiolipin antibody, ACA) dan antikoagulan lupus (lupus anticoagulant, LA), seringkali ditemukan pada SLE. FalcZo dkk. melaporkan antibodi antifosfolipid ditemukan pada 50% dari 70 pasien SLE di mana LA dan ACAmasingmasing ditemukan pada 10% dan 44,3% pasien. Fraksi IgG dari plasma yang mengandung ACA dan LA pada pasien SLE dapat meningkatkan aktivasi trombosit yang dipicu oleh ADP, sementara IgG yang tidak mengandung ACA dan LA tidak menunjukkan efek tersebut. Oleh karena itu ACA dan LA diduga dapat bekerjasama untuk aktivasi platelet dan berperan dalam trombosis arterial pada pasien SLE. Antibodi antikardiolipin dan antikoagulan lupus berikatan dengan fosfolipid membran dengan perantaraan protein plasma seperti a 2 glikoprotein I (P2GPI), protrombin, protein C, protein S, atau annexin V. Nojima melaporkan antibodi antifosfolipid dependen P2GP1, protrombin, aprotein C, protein S, annexin V ditemukan pada masing 30%, 56%, 21%, 28%, dan 30% pasien SLE dan berhubungan dengan trombosis arteri dadatau vena, trombositopenia, dan keguguran.Antibodi anti-P2GPI dan antiprotrombin merupakan faktor risiko bermakna untuk trombosis arterial, antibodi anti-protein S untuk trombosis vena, dan anti-annexin V untuk keguguran.
Mikroangiopati Trombotik Mikroangiopatik trombotik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi-kondisi dimana terjadi trombosis mikrovaskular terlokalisasi atau dihs. Sindrom ini paling sering ditemukan pada pasien dengan lupus aktif, dimana perusakan jaringan dan aktivasi komplemen sedang terjadi. Etiologi mikroangiopati trombotik sangat sedikit diketahui tetapi sepertinya trombosit, faktor humoral (antibodi dan komplemen) dan endofelium mikrovaskular memegang peranan penting pada patogenesisnya. Cedera pada pembuluh darah kecil merangsang adhesi trombosit pada endotelium dan agregasi, menurunnya PGIl dan
peningkatan sintesis tromboksan. Terikatnya antibodi atau kompleks imun dari sirkulasi juga dapat menjadi awal terbentuknya mikrotrombus, aktivasi komplemen lokal, dan kemudian kerusakan endotel.
REFERENSI Al-Shahi R, Mason JC, Rao R, et al. Systemic lupus erythematosus, thrombocytopenia, microangiopathic haemolytic anaemia and anti CD25 antibodies. Br J Rheumatol. 1997;36:794-8. Castelino DJ, McNair P, Kay TW. Lymphocytopenia in a hospital population-what does it signify? Aust NZ J Med. 1997;27:1704. Cervera R, Khamashta MA, Font J, et al. Morbidity and mortality in systemic lupus erythematosus during a 10-year period a comparison of early and late manifestations in a Cohort of 1,000 patients. Medicine. 2003;82(5):299-308. Cooper GS, Parks CG, Treadwell EL, et al. Differences by race, sec, and age in the clinical and immunologic features of recently diagnosed systemic lupus erythematosus patients in the southeastern United States. Lupus. 2002;ll: 161-7. Falclo CA, Alves IC, Chahade WH, Duarte ALBP, Lucena-Silva N. Echocardiographic abnormalities and antiphospholipid antibodies in patients with systemic lupus erythematosus. Arq Bras Cardiol. 2002;79:285-91. Georgescu L, Vakkalanka RK, Elkon KB, Crow MK. Interleukin-10 promotes activation-induced cell death of SLE lymphocytes mediated by Fas ligand. J Clin Invest. 1997;100:2622-33. Hahn BH. Systemic lupus erythematosus. In: Kasper DL, Fauci AS, Lango DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrison's principles of internal medicine. 16Ih edition. New York: McGraw Hill; 2005. p. 1960-7. Kao AH, Manzi S, Ramsey-Goldman R. Review of ACR hematologic criteria in systemic lupus erythematosus. Lupus. 2004;13:8658. Kelly JA, Thompson K, Kilpatrick J, et al. Evidence for a susceptibility gene (SLEHI) on chromosome llq14 for systemic lupus erythematosus (SLE) families with hemolytic anemia. Proc Natl A Sci. 2002;99(18):11766-71. Kokori SJ, Ioannidis J, Voulgarelis M, Tzioufas AG, Moutsopoulos HM. Autoimmune hemolytic anemia in patients with systemic lupus erythematosus. Am J Med. 2000;108:198-204. Nojima J, Suehisa E, Kuratsune H, Machii T, Koike T, Kitani T, et al. Platelet activation induced by combined effects of anticardiolipin and lupus anticoagulant IgG antibodies in patients with systemic lupus erythematosus-possible association with thrombotic and thrombocytopenic complications. Thromb Haemost. 1999;81:436-41. Nojima J, Kuratsune H, Suehisa E, et al. Association between the prevalence of antibodies to b2-Glycoprotein I, prothrombin, protein C, protein S, and annexin V in patients with systemic lupus erythematosus and thrombotic and thrombocytopenic complication. Clin Chem. 2001; 47(6):1008-15. Pereira RM, Velloso ER,Menezes Y, Gualandro S, Vassalo J, Yoshinari NH. Bone marrow findings in systemic lupus erythematosus patients with peripheral cytopenias. Clin Rheumatol. 1998;17(3):219-22. Abstrak. Quismorio Jr. FP. Hemic and lymphatic abnormalities in SLE. In: Wallace DJ, Hahn BH, editors. Dubois' lupus erythematosus. 4Ih ed. Pensylvania: Lea & Febiger; 1993. p. 418-30.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Scofield RH, Bruner GR, Kelly JA, et al. Thrombocytopenia identifies a severe familial phenotype of systemic lupus ertythematosus and reveals genetic linkages at lq22 and llp13. Blood. 2003;101:992-7. Sultan SM, Begum S, Isenberg DA. Prevalence, patterns of disease and outcome in patients with systemic lupus erythematosus who develop severe haematological problems. Rheumatology. 2003;42:230-4. Voulgarelis M, Kokori SIG, Ioannidis JPA, Tzioufas AG, Kyriaki D, Moutsopoulos HM. Anaemia in systemic lupus erythematosus: aetiological profile and the role of erythropoietin. Ann Rheum Dis. 2000;59:2 17-22. Ward MM, Pyun E, Studenski S. Mortality risk associated with specific clinical manifestations of systemic lupus erythematosus. Arch Intern Med. 1996; 156: 1337-44. Winfield JB. Anti-lymphocyte antibodies is systemic lupus eryhematosus. Clin Rheum Dis. 1985;11:523. Abstrak.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
HIPERSPLENISME Budi Muljono
PENDAHULUAN
PENYEBAB PEMBESARAN LIMP
Istilah kata hipersplenisme lebih difokuskan pada keadaan kerja limpa yang berlebihan dan dapat menyebabkan penyakit. Jadi suatu keadaan pembesaran limpa dapat akibatlbersama-sama dari suatu penyakit atau dapat menyebabkan penyakit sistemik. Keadaan limpa yang dapat menyebabkan penyakit dicetuskan sejak 1866 oleh Gretsel dan 1880 Banti dan pada tahun 1907 oleh Chuffard, kata hipersplenisme mulai diperkenalkan.
Proses lnflamasi Akutlsub akut: tifoid, sepsis, abses limpa, infeksi mononukleosis, endokarditis bakterial subakut Kronik: tuberkulosis, sifilis, Felty's syndrome, rheurnatoid arthritis, malaria, leishmaniasis, trypanosomiasis, (Amazonian splenomegali dan American splenomegalies, histoplasmosis), skistosomiasis, ekinokokkosis, sarkoid Boeck's, beryllium disease.
Hipersplenisme adalah suatu keadaan di mana: a). Anemia, lekopenia, trombositopenia atau kombinasinya; b). Normal atau hiperselular sumsum tulang; c). Pembesaran limpa; d). Klinis membaik bila dilakukan pengangkatan limpa.
Hipersplenisme dapat primer atau sekunder. Primer hipersplenisme tidak diketahu penyebabnya, sedangkan sekunder hipersplenisme dapat disebabkan penyakit infeksi atau parasit, penyakit-penyakit Gaucher, leukemia, limfosarkoma. Begitu banyak dan luas fungsi dari limpa, diantaranya pembersihan bakteri, antigen, antibodi, penggantian darah dan lain-lain. Sehingga adanya pembesaran limpa dapat menyebabkan kerja limpa bertarnbah atau sebaliknya.Beberapa penyakit dapat disertai pembesaran limpa dan akan menyebabkan kenaikan kerja limpa.
CongestivelBendungan Splenomegali: Sirosis hati Trombosis,stenosis atau cavernous transformasi vena port a Trombosis yang dapat terjadi penghambatam vena splenika Tidak diketahui penyebabnya Kegagalan jantung Hiperplasia Splenomegali Anemia hemolitik murni Anemia kronik dengan adaftidak ada kerusakan darah: - Anemia pernisiosa, anemia mikrositik - Talasemia, hemoglobin C disease. - Anemia mieloftisis mielosklerosis, mielosis, megakariositis aleukemik, metaplasia mieloid agnogenik - Penyakit hemolitik sejak bayi - Lupus eritomatosus sistemik Trombositopenia purpura Limfatik hipersplenisme yang jinak: penyakit Grave k Polisitemia Vera Splenik neutropenidpanhematopenia primer Kriptogenetik,splenomegali tropikal
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
lnfiltratif Splenomegali Penyakit Gaucher's Penyakit Niemann-pick's Amiloidosis Diabetik lipemia Gargoilisme
PENGOBATAN
Kista dan Neoplasma Kista limfa (epitel, endotel atau parasit, hemangioma) Kista palsu (perdarahan, serosa, inflamasi) Hamartoma Leukemia Penyakit Hodgkin's Bukan penyakit Hodgkin's Histokistosis X Metastasis keganasan
GEJALA KLlNlS Gejala klinis yang sering dijumpai adalah rasa sakit di perut karena pembesaran limpa dan peregangan kapsul limpa, infark ataupun inflamasi dari kapsul limpa. Pada anemia hemolitik, pembesaran limpa dapat mendadak sakit dan disertai infeksi sehingga dapat terjadi secara tiba-tiba penghancuran eritrosit yang berat. Gejala klinis lainnya tergantung dari penyakit yang mendasari pembesaran limpa (hipersplenisme sekunder). Demikian juga hasil pemeriksaan laboratorium selain anemia, leukopenia, trombositopenia, atau kombinasinya dan ditambah gejala-gejala dari penyakit sekundernya
Pada pasien hipersplenisme primer, splenektomi adalah yang terutama sedangkan pada hipersplenisme sekunder sangat tergantung dengan penyakit penyebabnya. Tindakan splenektomi dilakukan bila pemeriksaan sumsum tulang normal atau hiperselular. Banyak keadaan penyakit yang disertai pembesaran limpa yang masif seperti leukemia mielositik kronik, limfoma, leukemia haircell, mielofibrosis dan mefaplasia mieloid, polisitemia Vera, penyakit gautcher's, leukemia limfositik kronik, dll. Selain karena trauma, tumor limpa dan penyakit limpa primer. Tindakan splenektomi biasanya dilakukan pada pasien anemia karena kelainan bentuk eritrosit, kelainan hemoglobin dan pada keadaan trombositopeni sehingga penghancuran eritrosit dan trombosit terhambatl berkurang. Sehingga splenektomi dapat dilakukan sebagai pilihan terakhir pengobatan penyakit-penyakit hipertensi portal, leukemia d m limfoma.
Pengangkatan limpa dapat menyebabkan tejadinya infeksi bakteri atau sepsis terutama 1 sampai 3 tahun setelah operasi. Setelahpengangkatan limpa terjadi kenaikan cepat jumlah trombosit yang disertai jumlah eritrosit.
REFERENSI Dennis L Kasper, Eugene Braunwald, et al. Harrison's principles of internal medicine. 16thedition. 2005. p. 343-8. G Richard LEE, Thomas C Bithell, et al. Wintrobe's clinical hematology. 9th edition. 1993. p. 1704-19.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
DASAR-DASAR TRANSFUSI DARAH Zubairi Djoerban
PENDAHULUAN
RlSlKO TRANSFUSI
Imunohematologi adalah bidang ilmu yang merupakan interseksi antara hematologi dan imunologi. Imunohematologi dapat dibagi menjadi dua, yang terkait dan tidak terkait dengan genetik. Imunohematologi yang terkait dengan genetik antara lain serologi transfusi, penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, graft versus host disease, imunomodulasi dan petanda genetik darah. Imunohematologi yang tidak terkait dengan genetik antara lain adalah autoimunitas, anemia hemolitik akibat obat, dan anemia hemolitik yang diinduksi neuraminidase. Istilah imunohematologi dapat diartikan sebagai penerapan prinsip-prinsip imunologi untuk mempelajari kelainan-kelainan hematologi. Namun, saat ini imunohematologi lebih difokuskan pada ilmu mengenai antigen dan antibodi pada sel darah merah yang berhubungan dengan transfusi darah dan beberapa komplikasi kehamilan. Aplikasi ilmu ini biasanya dikenal sebagai Transjksion Medicine (Ilmu Kedokteran Transfusi) atau Blood Banking (penyimpanan darah). Transfusi darahlproduk darah yang aman dan konservasi darah adalah fokus utama dari Ilmu Kedokteran Transfusi. Konservasi darah adalah teknik atau usaha untuk mengurangi kebutuhan transfbsi darah. Secara luas, imunohematologi juga mencakup imunologi transplantasi jaringan atau organ. Untuk memahami kedokteran transfusi secara komprehensif maka diperlukan pengetahuan mengenai imunologi, serologi, dan genetik. Inovasi-inovasi terbaru mengenai enzim, DNA rekombinan, dan teknik biomedis lainnya menyebabkan meluasnya batasan pengertian imunogenetik.
Sebuah penelitian melaporkan bahwa reaksi transhsi yang tidak diharapkan ditemukan pada 6,6% resipien, di mana sebagian besar (55%) berupa demam. Gejala lain adalah menggigil tanpa demam sebanyak 14%, reaksi alergi (terutama urtikaria) 20%, hepatitis serum positif 6%, reaksi hemolitik 4%, dan overload sirkulasi 1%.
Demam Peningkatan suhu dapat disebabkan oleh antibodi leukosit, antibodi trombosit, atau senyawa pirogen. Untuk menghindarinya dapat dilakukan uji cocok silang antara leukosit donor dengan serum resipien pada pasien yang mendapat transfusi leukosit. Cara lain adalah dengan memberikan produk darah yang mengandung sedikit leukosit, leukosit yang hams dibuang pada produk ini minimal 90% dari jumlah leukosit. Transfusijuga dapat dilakukan dengan memasang mikrofiltrasi yang mempunyai ukuran pori 40 mm. Dengan filter berukuran tersebut jumlah leukosit dapat berkurang sampai 60%. Pemberian prednison 50 mg atau lebih sehari atau 50 mg kortison oral setiap 6 jam selama 48 jam sebelum transfbsi atau aspirin 1 g saat mulai menggigil atau 1 jam sebelum transfusi, dilaporkan dapat mencegah demam akibat transfusi. Reaksi Alergi Renjatan anafilalctik terjadi 1 pada 20.000 transfbsi. Reaksi alergi ringan yang menyerupai urtikaria timbul pada 3% transfusi. Reaksi anafilaktik yang berat terjadi akibat interaksi antara IgA pada darah donor dengan anti-IgA spesifik pada plasma resipien.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Reaksi Hemolitik Reaksi ini terjadi karena destruksi sel darah merah setelah transfusi akibat darah yang inkompatibel. Reaksi hemolitik juga dapat terjadi akibat transfbsi eritrosit yang rusak akibat paparan dekstrose 5%, injeksi air ke dalam sirkulasi, transfusi darah yang lisis, transfusi darah dengan pemanasan berlebihan, transfusi darah beku, transfusi dengan darah yang terinfeksi, transfusi darah dengan tekanan tinggi. Jika seseorang ditransfusi dengan darah atau janin memiliki struktur antigen eritrosit yang berbeda dengan donor atau ibunya, maka dapat terbentuk antibodi pada tubuh resipien darah atau janin tersebut. Reaksi antara antigen eritrosit dan antibodi plasma, baik yang spesifik maupun nospesifik, menyebabkan antibodi merusak eritrosit. Destruksi eritrosit yang cepat akan melepaskan hemoglobin bebas ke dalam plasma sehingga menyebabkan kerusakan ginjal, toksemia, dan kematian. Meskipun saat ini pemahaman mengenai antigen sel darah merah dan implikasi klinisnya telah sangat maju, namun reaksi hemolitik akibat transfusi masih dijumpai pada setiap 250 ribu - 1 juta transfusi. Sekitar separuh kematian akibat reaksi hemolitik tersebut disebabkan oleh inkompatibilitasABO akibat kelalaian administratif. Sekitar 1 dari 1000 pasien secara klinis menunjukkan manifestasi reaksi transfusi lambat dan 1 dari 260.000 pasien menunjukkan reaksi hemolitik yang nyata karena mempunyai antibodi terhadap antigen eritrosit minor yang tidak dideteksi oleh tes antibodi rutin sebelum transfusi. Reaksi ini akan lebih mudah terjadi pada populasi yang mempunyai risiko seperti penyakit anemia sel bulan sabit (sickle cell disease). Penularan Penyakit Selain masalah reaksi antigen-antibodi,maka transfbsi yang aman juga hams memperhatikan kemungkinan penularan penyakit yang dapat menular melalui darah, seperti HIV, hepatitis B, hepatitis C, dan virus lainnya. Bakteri juga dapat mengkontaminasi eritrosit dan trombosit sehingga dapat menyebabkan infeksi dan terjadinya sepsis setelah transfusi. Penularan HIV melalui transfusi darah pertama kali dilaporkan pada tahun 1982. Kebijaksanaan untuk menyaring orang dengan perilaku risiko tinggi HIV untuk tidak mendonorkan darahnya serta kemudian dilakukannya tes penyaring untuk semua sampel darah donor, diharapkan dapat menurunkan risiko terjadinya penularan HIV melalui transfbsi darah. Kontaminasi Kontaminasi bakteri pada eritrosit paling sering disebabkan oleh Yersinia enterocolitica. Angka kontaminasi oleh renterocolitica di Amerika Serikat dan Selandia Baru masing-masing adalah 1 per 1 juta unit sel darah merah
dan 1 per 65.000 unit sel darah merah. Risiko terjadinya kontaminasi tersebut berhubungan langsung dengan lamanya penyimpanan. Risiko sepsis yang berhubungan dengan transfusi trombosit adalah 1 per 12.000, angka ini lebih besar pada transfusi menggunakan konsentrat trombosit yang berasal dari beberapa donor dibandingkan dengan trombosit yang didapatkan dengan aferesis dari donor tunggal. Bakteri yang mengkontaminasi trombosit yang dapat menyebabkan kematian adalah Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Serratia marcescens, dan Staphylococcus epidermidis. Cedera Paru Akut Risiko transfusi yang lain adalah cedera paru akut yang berhubungan dengan transhsi (transfusion-related acute lung injury, TRALI). Kondisi ini adalah suatu diagnosis klinik berupa manifestasi hipoksemia akut dan edema pulmoner bilateral yang terjadi dalam 6 jam setelah transfusi. Manifestasi klinis yang ditemui adalah dispnea, takipnea, demam, takikardi, hipo-Jhipertensi, dan leukopenia akut sementara. Angka kejadiannya dlaporkan sekitar 1 dari 1.200 sarnpai 25.000 transfusi; Finlay dkk memperkirakan bahwa angka sebenarnya lebih tinggi, namun tidak dilaporkan sebagai TRALI. Beberapa mekanisme diperkirakan menjadi penyebab terjadinya kondisi ini. Salah satunya adalah reaksi antara neutrofil resipien dengan antibodi donor yang mempunyai HLA atau antigen neutrofil spesifik; akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas kapiler pada sirkulasi mikro di paru.
Oleh karena transfusi mempunyai risiko yang cukup besar, maka pertimbangan risiko dan manfaat benar-benar hams dilakukan dengan cermat sebelum memutuskan pemberian transfusi. Secara umum, dari beberapa panduan yang telah dipublikasikan, tidak direkomendasikan untuk melakukan transfusi profilaksis dan ambang batas untuk melakukan transfusi adalah kadar hemoglobin di bawah 7,O atau 8,OgJ dl, kecuali untuk pasien dengan penyakit kritis. Walaupun sebuah studi pada 838 pasien dengan penyakit kritis melaporkan bahwa tidak ada perbedaan laju mortalitas-30 hari pada kelompok yang ditransfusi dengan batasan kadar hemoglobin di bawah 10,O g/dl dan 7 ,O gldl, namun penelitian lebih lanjut dengan jumlah pasien lebih besar masih diperlukan. Kadar hemoglobin 8,O g/dl adalah ambang batas transhsi untuk pasien yang dioperasi yang tidak memiliki faktor risiko iskemia, sementara untuk pasien dengan risiko iskemia, ambang batasnya dapat dinaikkan sampai 10,O g/ dl. Namun, transfusi profilaksis tetap tidak dianjurkan. Pemberian transfusi untuk menambah kapasitas
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
DASAR-DASAR TRANSFUSI DARAH
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pengiriman oksigen, seperti yang kerap dilakukan di unit perawatan intensif, tidak dianjurkan. Sebuah studi pada pasien sepsis melaporkan bahwa transfusi tidak menyebabkan perubahan kapasitas pengiriman oksigen 6 jam setelah transfusi.
Golongan Darah
Antigen
Antibodi
A B AB 0
A B A dan B Tidak ada
Anti-B Anti-A Tidak ada Anti-A, anti8, anti-A,B
ANTIGEN DAN ANTIBODI ERlTROSlT Antigen eritrosit adalah protein atau lipoprotein yang terinkorporasi pada lapisan lipid pada membran eritrosit. Pembentukan antigen tersebut dikode oleh gen-gen tertentu yang terdapat pada lokus spesifik pada DNA. Oleh karena itu, maka seseorang yang lahir dengan antigen eritrosit tertentu akan memilikinya seumur hidup. Antibodi terbentuk sebagai respons adanya antigen. Antibodi dapat terbentuk sebagai reaksi imunitas tubuh terhadap adanya antigen asing atau secara natural memang ada karena stimulasi dari antigen endogen yang normal, seperti anti-A dan anti-B.
GOLONGAN DARAH Sejak ditemukannya sistem ABO oleh Landsteiner pada 1900, sampai dengan tahun 1999, menurut International Society of Blood Transfusion (ISBT) terdapat 25 sistem golongan darah dan lebih dari 250 antigen golongan darah yang telah diidentifikasi. Sistem golongan darah terdiri dari satu atau lebih antigen yang ditentukan baik oleh gen tunggal atau sebuah cluster dari dua atau lebih gen homolog yang berkaitan erat dimana benar-benar tidak terjadi rekombinasi di antara gen-gen tersebut. Simbol untuk keduapuluh lima sistem golongan darah tersebut adalah ABO, MNS, P, RH, LU (Lutheran), KEL (Kell), LE (Lewis), FY Puffy), JK (K~dd),DI (Diego), YT (Cartwright), XG SC (Scianna), DO (Dombrock), CO (Colton), LW, C H / W H, XK, GE, CROM, KN, IN, OK, dan RAPH. Antigen yang tidaklbelum termasuk ke dalam sistem golongan darah dimasukkan menjadi koleksi atau seri golongan darah. Koleksi Golongan Darah adalah suatu set dari antigen yang secara genetis, biokimia, atau serologis berhubungan tetapi tidak memenuhi syarat untuk status sistem, biasanya karena antigen tersebut tidak menunjukkan ciri-ciri genetis yang benar-benar berbeda dari semua sistem golongan darah yang ada. Antigen yang tidak termasuk ke dalam sistem atau koleksi golongan darah, digolongkan menjadi Seri Golongan Darah. Sistem golongan darah yang diperiksa dalam pelaksanaan transfusi darah secara rutin adalah sistem ABO dan Rhesus yang cara penggolonggannya secara praktis dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.
Anti Rh,(D)
Kontrol Rh
Positif Negatif Positif
Negatif Negatif Positif
Tipe Rh
D+ D- (d) Harus diulang atau diperiksa dengan Rh,(D) typing (Saline tube test)
DONAS1 DARAH Seleksi Donor Darah Donor darah hams memenuhi beberapa kriteria untuk dapat mendonorkan darahnya, yaitu keadaan umum baik, usia 17-65 tahun, berat badan 50 kg atau lebih, tidak demam (temperature oral < 37,5"C), frekuensi dan irama denyut nadi normal, tekanan darah 50- 100190-180 mrnHg, dan tidak ada lesi kulit yang berat. Persyaratan lain adalah menjadi donor terakhir minimal 8 minggu yang lalu, tidak hamil, tidak menderita tuberkulosis aktif, tidak menderita asma bronkial simptomatik, pasca pembedahan (6 bulan setelah operasi besar, luka operasi telah sembuh pada operasi kecil, minimal 3 hari setelah ekstraksi gigi atau pembedahan mulut), tidak ada riwayat kejang, tidak ada riwayat perdarahan abnormal, tidak menderita penyakit infeksi yang menular melalui darah. Imunisasi dan vaksinasi. Calon donor yang baru saja mendapat imunisasi atau vaksinasi dapat diterima sebagai donor jika tidak ada gejala setelah tindakan tersebut. Jika yang didapat adalah vaksin dengan virus hidup yang dilemahkan, maka calon donor yang tidak menunjukkan gejala apapun dapat diterima dengan batasan waktu sebagai berikut:l). cacar air: dua minggu setelah timbul reaksi imun atau setelah lesi bekas suntikan mereda, 2). campak, gondong, demam kuning, polio (oral): dua minggu setelah imunisasi terakhir, 3). campak Jerman: dua bulan setelah imunisasi terakhir. Malaria. Calon donor yang baru bepergian ke daerah endemis dapat diterima menjadi donor 6 bulan setelah kembali dan terbukti tidak menunjukkan gejala dan tidak minum obat antimalaria. Calon donor yang pemah menderita malaria dapat diterima setelah 3 tahun penyakitnya asimptomatik atau obat dihentikan.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Pengambiian dan Pengumpulan Darah Informasi untuk donor. Semua calon donor harus mendapat informed consent beserta penjelasan mengenai risiko transfusi. Donor hams dijelaskan bahwa darah akan diuji terhadap penyakit infeksi seperti hepatitis, sifilis, dan
HN Reaksi selama dan sesudah donasi. Reaksi pada donor jarang terjadi. Reaksi yang dapat te~jadiadalah sinkop, rasa lemas, frekuensi nafas meningkat, pusing, pucat, dan mual. Reaksi yang jarang terjadi adalah kejang, kehilangan kesadaran, atau berkemiwdefekasi involunter. Masalah pada jantung, bahkan serangan jantung, dapat terjadi, walaupun sangat jarang (1 dari 10 juta donor). Uji terhadap darah donor. Pengujian yang dilakukan pada darah donor meliputi a)penetapan golongan darah berdasarkan ABO, b)penetapan golongan darah berdasarkan Rhesus, c)uji terhadap antibodi yang tidak diharapkan, dilakukan pada darah dari donor yang pernah mendapat transfusi atau hamil, dan d)uji terhadap penyakit infeksi, yaitu HBsAg, anti HCV, tes serologi untuk sifilis, dan tes antibodi HIV.
Teknik Pengambilan Darah Hemaferesis. Hemaferesis adalah istilah umum yang merujuk kepada pengambilan whole blood dari seorang donor atau pasien, pemisahan menjadi komponenkomponen darah, penyimpanan komponen yang diinginkan dan pengembalian elemen yang tersisa ke donor atau pasien. Plasmaferesis. Plasmaferesis adalah prosedur di mana sejumlah unit darah dari donor diambil untuk mendapatkan plasmanya, diikuti dengan penginfusan kembali sel-sel darah merah donor. Teknik ini dilakukan untuk mendapatkan plasma ataufieshfiozen plasma. Plasma yang didapatkan juga dapat difraksinasi menjadi produk seperti albumin serum dan gama globulin. Plasmaferesisbiasanya dilakukan menggunakan multibag system, namun dapat juga menggunakan separasi darah sentrifugal. Sitaferesis. Sejurnlah besar trombosit atau leukosit dapat dikoleksi dari donor tunggal menggunakan sentrifugasi aliran intermiten atau kontinyu. Plateleferesis/trombaferesis. Plateleferesis adalah prosedur dimana trombosit dipisahkan secara sentrifugal dari whole blood. Leukaferesis/granulositaferesis.Prosedur ini mengambil granulosit dan kemudian mengembalikan darah sisanya ke donor. Transfusi autologus. Transfusi autologus adalah transfusi darah atau produk darah yang berasal dari darah resipien sendiri. Prosedur ini mulai sering dilakukan setelah diketahui adanya risiko penularan penyakit, terutama infeksi HIV, melalui transfusi darah. Dengan teknik ini, risiko bahaya
transfusi darah homolog serta penularan hepatitis dan HIV dapat dihilangkan. Walaupun memiliki keuntungan, transfusi autologus tetap memiliki beberapa kelemahan, yaitu 1). tidak menghilangkan risiko kontaminasi bakteri atau overload volume, 2). tidak mengurangi risiko kesalahan administratif yang menyebabkan inkompatibilitas ABO, 3). biayanya lebih tinggi dibandingkan transfusi alogenik, 4). umumnya ada sisa darah yang tidak digunakan dan kemudian dibuang, 5). menyebabkan anemia perioperatif dan meningkatkan kemungkinan diperlukannya transfusi. Indikasi transfusi autologus adalah: 1). pasien yang menunjukkan reaksi transfusi dengan pemberian semua darah yang homolog, 2). pasien dengan golongan darah yang sangat jarang atau memiliki antibodi yang tidak diharapkan, 3). pasien yang menolak transfusi dari donor lain karena alasan kepercayaan. Darah dapat dikumpulkan dengan prosedur konvensional atau melalui pengumpulan darah yang keluar saat operasi atau trauma. Secara umum, darah yang dapat diambil tidak lebih dari 450 ml atau 12 persen dari estimasi volume darah dan kadar Hb 1lgldl atau lebih. Donasi dilakukan dengan frekuensi minimal 4 hari sekali. Flebotomi predeposit sebaiknya tidak dilakukan dalam 72 jam sebelum operasi besar tanpa penggantian parsial protein plasma menggunakan fraksi protein plasma dan albumin. Berdasarkan penelitian, sebanyak 8 unit whole blood dapat diambil dari seseorang dalam 20 hari tanpa manifestasi klinis apapun jika diberikan suplementasi besi oral kepada donor. Darah yang 'diselamatkan' selama operasi atau setelah trauma dikumpulkan dari dalam tubuh dengan alat dan dimasukkan kembali ke pasien segera setelah filtrasi. Jika tidak ditranfusikan segera, unit darah dikumpulkan dan diproses secara steril menggunakan alat untuk koleksi darah intraoperatif yang dicuci dengan 0,9%NaCl, selanjutnya dapat disimpan sampai dengan 6 jam pada suhu kamar, atau sampai dengan 24 jam pada 1-6°C. Uji Cocok-Silang Uji cocok-silang (crossmatch) atau uji kompatibilitas adalah prosedur yang paling penting dan paling sering dilakukan di laboratorium transfusi darah. Uji cocok silang secara umum terdiri dari serangkaian prosedur yang dilakukan sebelum transfusi untuk memastikan seleksi darah yang tepat untuk seorang pasien dan untuk mendeteksi antibodi ireguler dalam serum resipien yang akan mengurangi atau mempengaruhi ketahanan hidup dari sel darah merah donor setelah transfusi. Terdapat 2 jenis uji cocok-silang ,mayor yaitu menguji reaksi antara sel darah merah donor dengan serum resipien, dan minor yaitu menguji reaksi antara serum donor dengan sel darah merah resipien.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
DASAR-DASAR TRANSFUSI DARAH
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Uji cocok-silang mayor dilakukan pada tes pratransfusi, menggunakan metode yang akan menunjukkan antibodi aglutinasi, sensitisasi, dan hemolisis, juga tes antiglobulin. Uji cocok-silang minor tidak dilakukan pratransfusi karena uji ini dilakukan sebagai tes rutin pada darah donor setelah pengumpulan darah. Kombinasi beberapa prosedur dapat dilakukan untuk melakukan uji cocok-silang. Teknik salin, albumin, enzim, antiglobulin direk dan indirek. Secara umum, uji cocok silang harus mendeteksi sebagian besar antibodi resipien yang dapat mereaksi dengan sel darah merah donor. Namun, uji cocok-silang tidak menjamin sel darah donor tetap hidup atau mencegah imunisasi resipien, tidak mendeteksi kesalahan penggolongan ABO, Rh-typing, atau semua antibodi ireguler pada resipien serum.
REFERENSI Ammann AJ, Cowan MJ, Wara DW, et al. Acquired immunodeficiency in an infant: possible transmission by means of blood products. Lancet. 1983;1:956-8. Bryant NJ. An introduction to immunohematology. 3rd edition. Philadelphia: WB Saunders; 1994. Fatal Bacterial Infections Associated with Platelet Transfusions. MMWR. 2005;54(7): 168-70. Finlay HE, Cassorla L, Feiner J, Troy P. Designing and testing a computer-based screening system for transfusion-related acute lung injury. Am J Clin Pathol. 2005;124(4):601-9. Goodnough LT, Brecher ME, Kanter MH, AuBuchon JP. Transfusion medicine, first of two parts - Blood transfusion. N Engl J Med. 1999;340(6):438-47. Goodnough LT, Brecher ME, Kanter MH, AuBuchon JP. Transfusion medicine, second of two parts - Blood transfusion. N Engl J Med. 1999;340(7):525-33. Heather EF, Cassorla L, Feiner J, Toy P. Ktirmoczi GF, Mayr WR. Milestones in immunohematology. Transp Immunol. 2005;14:155-7. Possible transfusion-associated acquired immune deficiency syndrome (AIDS)- California. MMWR Morb Mortal, Wkly Rep. 1982;31:652-4.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
DARAH DAN KOMPONEN: KOMPOSISI, INDIKASI DAN CARA PEMBERIAN Harlinda Haroen
PENDAHULUAN Penggunaan darah untuk tranfusi hendaklah selalu dilakukan secara rasional dan efisien yaitu dengan memberikan hanya komponen darahlderivat plasma yang dibutuhkan saja. Pemikiran ini didasarkan bahwa darah terdiri dari bermacam-macam elemen selular dan juga bermacam macam protein plasma dengan fungsi yang berbeda-beda yang tedtunya dapat dipisahkan, juga biasanya pasien hanya memerlukan komponen tertentu saja sehingga komponen komponen darah lainnya dapat diberikan pada pasien lain yang membutuhkan. Tranfusi darah pada hakekatnya adalah pemberian darah atau komponen darah dari satu individu (donor) ke individu lainnya (resipien), dimana dapat menjadi penyelamat nyawa, tapi dapat pula berbahaya dengan berbagai komplikasi yang dapat terjadi sehingga tranfusi darah hendaklah dilakukan dengan indikasi yang jelas dan tepat sehingga diperoleh manfaat yang jauh lebih besar daripada risiko yang mungkin terjadi. Dari satu unit darah lengkap donor dengan proses sentrifugasi dengan kecepatan tinggi dapat dipisahkan menjadi sel darah merah pekat (SDMP),trombosit, plasma segar beku =freshJi.ozenplasma (FFP), kriopresipitat dan lain lain, sedangkan dari plasma dengan proses fraksinasi akan didapat beberapa derivatnya antara lain albuniin, imunoglobulin dan faktor-faktor koagulasi pekat misalnya faktor VIII pekat dan faktor IX pekat. Dengan makin majunya teknologi aferesis saat ini, maka pelayanan tranfusi darah dapat lebih tepat memenuhi kebutuhan komponen darah melalui penggunaan mesin multikomponen dengan menggunakan donor tunggal. Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi risiko transmisi penyakit yang disebabkan oleh tranfusi darah.
Komponen Darah ialah bagian darah yang dipisahkan dengan cara fisiklmekanik misalnya dengan cara sentrifugasi. Fraksi Plasma adalah derivat plasma yang diperoleh dengan cara kimialfraksinasi dengan menggunakan sejumlah besar plasma yang diproduksi di pabrik. Produk Darah ialah istilah umum yang mencakup kedua istilah komponen darah dan derivat plasma. MACAM MACAM KOMPONEN DARAH Selular Darah Utuh (whole blood) Sel darah merah pekat (packed red blood cell): - Sel darah merah pekat dengan sedikit lekosit @acked red blood cell leukocytes reduced) - Sel darah merah pekat cuci (packed red blood cell washed) - Sel darah merah pekat beku (packed red blood cell Ji.ozen,packed red blood cell deglycerolized). Trombosit konsentrat (concentrate platelets ): - Trombosit dengan sedikit lekosit (platelets concentrate leukocytes reduced). Granulosit feresis (granulocytes pheresis)
Non Selular Plasma segar beku (fi-eshfiozen plasma) Plasma donor tunggal (single donor plasma) Kriopresipitat faktor anti hemofilia (cryoprecipitate AHF)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
DARAH DAN KOMPONEN: KOMPOSISI, INDIKASI DAN CARA PEMBERIAN
1191
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI MACAM MACAM DERlFAT PLASMA Albumin Imunoglobulin Faktor VIII dan Faktor IX pekat Rh Imunoglobulin Plasma ekspander sintetik
DARAH LENGKAP ( WHOLEBLOOD) Darah lengkap ini berisi sel darah merah, lekosit, trombosit dan plasma. Satu unit kantong darah lengkap berisi 450 mL darah dan 63 mL antikoagulan. Di Indonesia satu kantong darah lengkap berisi 250 mL darah dengan 37 mL antikoagulan, ada juga yang satu unit kantong berisi 350 mL darah dengan 49 mL antikoagulan. Suhu simpan antara lo-6" Celcius. Lama simpan dari darah lengkap ini tergantung dari antikoagulan yang dipakai pada kantong darah; pada pemakaian sitrat fosfat dekstrose (CPD) lama simpan adalah 2 1 hari, sedangkan dengan CPD adenin (CPDA): 35 hari. Menurut masa simpan invitro ada 2 macam darah Iengkap yaitu darah segar dan darah baru. Darah segar yaitu darah yang disimpan sampai 48 jam, sedang darah baru yaitu darah yang disimpan sampai dengan 5 hari. Pada darah segar trombosit, faktor pembekuan labil (V, VIII) masih cukup untuk terjadinya pembekuan sedangkan darah baru kadar 2,3 difosfogliserat (2,3 DPG) suatu molekul yang mempermudah pelepasan oksigen dari hemoglobin mulai menurun.
lndikasi Darah lengkap berguna untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan volum plasma dalam waktu yang bersamaan, misalnya pada perdarahan aktif dengan kehilangan darah lebih dari 25-30% volum darah total. Namun demikian, pemberian darah lengkap pada keadaan tersebut hendaklah tidak menjadi pilihan utama, karena pemulihan segera volum darah pasien jauh lebih penting dari pada penggantian sel darah merah, sedangkan menyiapkan darah untuk tranfusi memerlukan waktu. Kontraindikasi Darah lengkap sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan anemia kronik yang normovolemik atau yang bertujuan meningkatkan sel darah merah. Dosis dan Cara Pemberian Dosis tergantung keadaan klinis pasien. Pada orang dewasa, 1 unit darah lengkap akan meningkatkan Hb sekitar 1 gldl atau hematokrit 3-4%. Pada anak-anak darah lengkap 8 mL/kg akan meningkatkan Hb sekitar 1 gldl. Pemberian darah lengkap sebaiknya melalui filter darah
dengan kecepatan tetesan tergantung keadaan klinis pasien, namun setiap unitnya sebaiknya diberikan dalam 4 jam
SEL DARAH MERAH PEKAT (PACKEDRED BLOOD CELL) Sel darah merah pekat berisi eritrosit, trombosit, lekosit dan sedikit plasma. Sel darah merah ini didapat dengan memisahkan sebagian besar plasma dari darah lengkap, sehingga diperoleh sel darah merah dengan nilai hematokrit 60-70 %. Volume diperkirakan 150-300 mL tergantung besarnya kantung darah yang dipakai, dengan massa sel Sel darah merah ini disimpan pada darah merah 100-200d. suhu lo-6"Celcius. Bila menggunakan antikoagulan CPDA maka masa simpan dari sel darah merah ini 35 hari dengan nilai hematokrit 70-80 %, sedangkan bila menggunakan antikoagulan CPD masa simpan dari sel darah merah ini 2 1 hari. Komponen sel darah merah yang disimpan dalam larutan tambahan (buffer, dekstrosa, adenin, manitol) memiliki nilai hematokrit 52-60 % dan masa simpan 42 hari. Sediaan ini bukan merupakan sumber trombosit dan granulosit, namun memiliki kemampuan oksigenasi seperti darah lengkap. .
lndikasi Sel darah merah pekat ini digunakan untuk meningkatkan jumlah sel darah merah pada pasien yang menunjukkan gejala anemia, yang hanya memerlukan massa sel darah merah pembawa oksigen saja misalnya pada pasien dengan gagal ginjal atau anemia karena keganasan. Pemberian unit ini disesuaikan dengan kondisi klinis pasien bukan pada nilai Hb atau hematrokit. Keuntungannya adalah perbaikan oksigenasi dan jumlah eritrosit tanpa menambah beban volume seperti pasien anemia dengan gagal jantung. Kontraindikasi Dapat menyebabkan hipervolemia jika diberikan dalam jumlah banyak dalam waktu singkat. Dosis dan Cara Pemberian Pada orang dewasa, 1 unit sel darah merah pekat akan meningkatkan Hb sekitar 1 gldl atau hematokrit 3-4%. Pemberian sel darah ini harus melalui filter darah standar (170 p). Hematokrit yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya hiperviskositas d a n menyebabkan kecepatan tranfusi menurun sehingga untuk mengatasinya maka diberikan salin normal 50100 ml sebagai pencampur sediaan sel darah merah dalam CPD atau CPDA-1 tetapi harus hati hati karena dapat terjadi kelebihan beban.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
SEL DARAH MERAH PEKAT DENGAN SEDlKlT LEUKOSIT (PACKED RED BLOOD CELL LEUCOCWES REDUCED)
Setiap unit sel darah merah pekat mengandung 1-3 x 1O9 lekosit. American Association of Blood Bank Standard for Tranfusion Services menetapkan bahwa sel darah merah yang disebut dengan sedikit lekosit jika kandungan leukositnya kurang dari 5 x 1O6 leukositlunit. Sel darah ini dapat diperoleh dengan cara pemutaran, pencucian sel darah merah dengan garam fisiologis, dengan filtrasi atau degliserolisasi sel darah merah yang disimpan beku. Karena pada pembuatannya ada sel darah merah yang hilang, maka kandungan sel darah merah kurang dibandingkan dengan sel darah merah pekat biasa. Suhu simpan lo-6O Celcius, sedang masa simpan tergantung pada cara pembuatannya Bila pemisahan leukosit dilakukan dengan memakai kantong ganda (sistem tertutup) masa simpannya sama dengan darah lengkap asalnya, tapi bila dengan pencucian/filtrasi (sistem terbuka) produk ini hams dipakai secepatnya (dalam 24 jam).
lndikasi Produk ini dipakai untuk meningkatkan jumlah sel darah merah pada pasien yang sering mendapatltergantung pada tranfusi darah dan pada mereka yang sering mendapat reaksi tranfusi panas yang bemlang dan reaksi alergi yang disebabkan oleh protein plasma atau antibodi lekosit. Perhatian Komponen sel darah ini tidak dapat mencegah terjadinya graft versus host disease (GVHD ), sehingga komponen darah yang dapat diandalkan untuk mencegah ha1 itu ialah bila komponen darah tersebut diradiasi. Dosis dan Cara Pemberian Pemberian komponen sel darah ini paling baik di berikan dengan menggunakan filter darah generasi ketiga.
SEL DARAH MERAH PEKAT CUCl (PACKED RED BLOOD CELL WASHED) Sel darah merah yang dicuci dengan normal salin memiliki hematokrit 70-80 % dengan volum 180 mL. Pencucian dengan salin membuang hampir seluruh plasma (98 %), menurunkan konsentrasi leukosit, dan trombosit serta debris. Karena pembuatannya biasanya dilakukan dengan sistem terbuka maka komponen ini hanya dapat disimpan dalam 24 jam dalam suhu 1-6O Celcius.
lndikasi Pada orang dewasa komponen ini dipakai untuk mencegah reaksi alergi yang berat atau alergi yang bemlang, dapat pula digunakan pada tranfusi neonatal atau tranfusi intrauteri. Perhatian Hati hati terhadap kontaminasi bakteri akibat cara pembuatannya secara terbuka, masih dapat menularkan hepatitis dan infeksi bakteri lainnya. Karena masih mengandung sejumlah kecil leukosit yang viable, komponen ini tidak menjamin pencegahan terjadinya GVHD atau infeksi CMV pasca tranfusi. Dosis dan Cara Pemberian Sebaiknya semua proses tranfusi melalui filter darah tanpa kecuali. SEL DARAH MERAH PEKAT BEKU YANG DlCUCl (PACKED RED BLOOD CELL FROZEN,PACKED RED BLOOD CELL DEGLYCEROLIZED) Sel darah merah beku ini dibuat dengan penambahan gliserol suatu sediaan krioprotektif terhadap darah yang usianya kurang dari 6 hari. Darah ini kemudian dibekukan pada suhu minus 65O atau minus 200° Celcius (tergantung sediaan gliserol) dan dapat disimpan selama 10 tahun. Karena pada proses penyimpanan beku, pencairan dan pencuciannya ada sel darah merah yang hilang maka kandungan sel darah merah minimal 80% dari jumlah sel darah merah pekat asal, demikian pula hematokrit kurang lebih 70-80%. Proses pencucian dapat menggunakan larutan glukosa dan salin. Suhu simpan lo-6OCelcius dan tidak boleh digunakan lebih dari 24 jam karena proses pencucian biasanya memakai sistem terbuka.
lndikasi Dapat dipakai untuk menyimpan darah langka. Perhatian Risiko terjadinya kontaminasi bakteri dapat terjadi karena sistem terbuka yang dipakai di mana dapat menularkan hepatitis namun tidak untuk Citomegalo virus (CMV) Dosis dan Cara Pemberian Pemberian komponen darah ini melalui filter darah dan sediaan ini memiliki massa eritrosit yang rendah karena banyak sel darah yang hilang selama proses pembuatan.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1193
DARAH DAN KOMPONEN: KOMPOSISI,INDIKASI DAN CARA PEMBERIAN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI TROMBOSIT PEKAT (CONCENTRATEPLATELETS) Berisi trombosit, beberapa lekosit dan sel darah merah serta plasma. Trombosit pekat ini dapat diperoleh dengan cara pemutaran (sentrifugasi) darah lengkap segar atau dengan cara tromboferesis. Satu kantong trombosit pekat yang berasal dari 450 mL darah lengkap dari seorang donor berisi kira kira 5,5 x 101°trombosit dengan volum sekitar 50 mL. Satu kantong trombosit pekat yang diperoleh dengan cara tromboferesis seorang donor darah berisi sekitar 3 x 10" trombosit, setara dengan 6 kantong trombosit yang berasal dari donor darah biasa. Tergantung dari jenis mesin yang dipakai, volum berkisar antara 150-400 mL. Produk ini memungkinkan tranfusi trombosit yang cocok pada pasien dengan antibodi terhadap trombosit. Trombosit pekat ini dapat disimpan pada suhu 20°-24O Celcius dengan kantong darah biasa yang diletakkan pada rotatorlagitator yang selalu berputarlbergoyang,trombosit dapat disimpan selama 3 hari, sedangkan dengan kantong darah khusus dengan cara penyimpanan yang sama trombosit dapat disimpan selama 5 hari. Produk ini daya hemostatiknya kurang, sedangkan viability pasca tranfusinya lebih baik. Pada suhu lo-6OCelcius trombosit ini dapat disimpan selama 3 hari. Produk ini fungsi hemostatiknya lebih baik namun viability pasca tranfusinya kurang.
lndikasi Trombosit pekat ini diindikasikan pada kasus perdarahan karena trombositopenia (trombosit <50.000/uL) atau trombositopati kongenitalldidapat. Juga diindikasikan pada mereka selama operasi atau prosedur invasif dengan trombosit <50.000/uL. Profilaksis diberikan pada semua kasus dengan trombosit 5-10.000 uL yang berhubungan dengan hipoplasi sumsum tulang akibat kemoterapi, invasi tumor atau aplasia primer sumsum tulang. Produk ini ditranfusikan intravena dengan memakai saringanlfilter darah standar, Sebaiknya diberikan trombosit pekat yang sama golongan ABO nya dengan pasien. Kontralndlkasl dan Perhatian Tranfusi trombosit biasanya tidak efektif pada pasien dengan destruksi trombosit yang cepat seperti: ITP, TTP dan KID dan tranfusi biasanya dilakukan hanya pada adanya perdarahan yang aktif. Pasien dengan trombositopenia yang disebabkan oleh sepsis atau hipersplenisme biasanya refrakter terhadap tranfusi trombosit. Menggigil, panas dan reaksi alergi dapat terjadi pada tranfusi trombosit. Antipiretik yang dipilih sebaiknya bukan golongan aspirin karena dapat menghambat agregasi dan fungsi trombosit. Tranfusi berulang dari trombosit dapat menyebabkan aloimunisasiterhadap HLA
dan antigen lainnya serta dapat terjadi refrakter yang ditandai dengan tidak adanya peningkatan trombosit. Pemberian terlalu cepat dapat menyebabkan kelebihan beban, serta penularan penyakit dapat terjadi seperti halnya tranfusi komponen lain.
Dosis dan Cara Pemberian Dosis yang biasanya digunakan pada perdarahan yang disebabkan karena trombositopenia adalah 1 unit110 kg BB, biasanya diperlukan 5-7 unit pada orang dewasa. Satu kantong trombosit pekat yang berasal dari 450 ml darah lengkap diperkirakan dapat menaikkan jumlah trombosit sebanyak 9000-1 1.000/ul/ m2luas permukaan tubuh; pada dewasa dengan berat badan 70 kg diperkirakan dapat menaikkan 5000-10.000/ul. Penghitungan peningkatan jumlah trombosit yang dikoreksi (Corrected Count Increment = CCI) dapat dapat dihitung lebih akurat dengan memakai rumus: CCI = ( Post tx plt ct ) - ( Pre tx plt ct ) x BSA ( Plt transfused x 10" )
Post tx: pascatranshsi Pre tx: pratransfusi BSA: body surfpce area (luas permukaan tubuh). Keberhasilan tranfusi trombosit dapat dipantau dengan menghitung jumlah trombosit (CCI ) 1 jam pasca tranfusi dimana CCI >7,5-10 x 109/Latau CCI >4,5 x 109/Lyang diperiksa 18-24jam pasca transhsi.
TROMBOSIT DENGAN SEDlKlT LEUKOSIT(PLATELETS LEUKOCYTES REDUCED) Trombosit berisi leukosit sekitar 0.5-1 x 108/unittrombosit, sedangkan trombosit dengan sedikit leukosit mengandung leukosit hanya 8.3 x 105/unit.
lndlkasi Trombosit jenis ini dipergunakan untuk pencegahan terjadinya alloimunisasi HLA temtama pada pasien yang hams menerima kemoterapi jangka panjang. Kontraindikasi dan Perhatian Meskipun sediaan ini dapat meniadakan reaksi febris pada pasien yang mengalami aloimunisasi terhadap HLA antigen, penggunaannya tidak dapat mempercepat terjadinya pemulihan jumlah trombosit. Untuk mendapatkan hasil yang baik sebaiknya dilakukan uji cocok serasi. Terjadinya reaksi tranfusi pada sediaan ini dihubungkan dengan lamanya penyimpanan akibat dilepaskannya sitokin sitokin seperti IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF alfa yang dilepaskan leukosit selama penyimpanan.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dosis dan Cara Pemberian Penggunaannya dengan menggunakan filterlsaringan khusus trombosit dengan sedikit lekosit.
GRANULOSIT FERESIS (GRANULOCYTES PHERESIS) Diperoleh dengan cara sitaferesis dari donor tunggal, berisi granulosit, limfosit, trombosit beberapa sel darah merah dan sedikit plasma. Setiap unit mengandung sekitar 1.0 x 101° granulosit, sejumlah limfosit, trombosit, 25-50 ml sel darah merah, dan mungkin sedikit hidroksietil starch ( HES ),dengan volum 200-300 ml. Suhu simpan dari sediaan ini 20-24°C dan harus segera ditransfusikan. lndikasi Komponen ini dipakai untuk meningkatkan jumlah granulosit pada pasien sepsis dengan leukopenia yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian antibiotik,dan pada pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan hipoplasi. Kontraindikasi dan Perhatian Terapi antibiotik yang tepat atau penggunaan faktor pertumbuhan hematopoietik mungkin lebih efektif dibandingkan dengan tranfusi granulosit. Efek samping yang mungkin terjadi seperti urtikaria, menggigil, demam, tidak merupakan indikasi untuk menghentikan transfusi , namun kecepatan tranfusi harus diperlambat. Untuk memperkecil kemungkinan terjadinya efek samping dapat diberikan antihistamin dan steroid sebelum transfusi. Risiko penularan terhadap CMV dapat terjadi demikian pula untuk dapat terjadinya GVHD.
dari donor, disimpan pada suhu simpan minus 18"C atau lebih rendah dengan masa simpan 1 tahun. Volume sekitar 200-250 rnl. lndikasi Plasma segar beku dipakai untuk pasien dengan gangguan proses pembekuan bila tidak tersedia faktor pembekuan pekat atau kriopresipitat, misalnya pada defisiensi faktor pembekuan multipel antara lain: penyakit hati, KID, TTP, dan dilusi koagulopati akibat transfusi masif. Kontraindikasi dan Perhatian Plasma sebaiknya tidak digunakan untuk mempertahankan ekspansi volum karena risiko penularan penyakit yang tinggi. Albumin, fraksi protein plasma, koloid, atau kristaloid yang tidak menularkan penyakit merupakan produk yang lebih aman untuk mempertahankan volum darah. Dosis dan Cara Pemberian Produk ini diberikan dalam 6jam setelah pencairan, dengan memakai saringanlfilter standar. Plasma harus cocok golongan ABO-nya dengan sel darah merah pasien dan tidak perlu uji silang. Jika plasma diberikan sebagai pengganti faktor koagulasi dosisnya adalah 10-20 mllkg (4-6 unit untuk orang dewasa) dapat meningkatkan faktor koagulasi 20-30%, dapat pula meningkatkan faktor VIII 2% (1 unitlkg). Efek samping yang terjadi dapat berupa rxienggigil, demam dan hipervolemia. KRlOPRESlPlTAT FAKTOR ANTI HEMOFlLlK (CRYOPRECIPITATEDAHF)
PLASMA SEGAR BEKU (FRESH FROZEN PLASMA = FFP)
Kriopresipitat AHF adalah konsentrat plasma protein tertentu, dibuat dengan mencairkan plasma segar beku pada suhu 4" C selama 12-14 jam atau pada circulating waterbath 4" C selama 75 menit dan kemudian memisahkan komponen yang masih berpresipitasi pada suhu tersebut dengan cara pemutaran. Komponen yang masih berpresipitasi tersebut adalah kriopresipitat. Suhu simpan adalah minus 18"C atau lebih rendah dengan lama simpan 1 tahun dengan volum sekitar 10-15 ml. Kriopresipitat ini berisi faktor VIII 80-120 unit, 150-250 mg fibrinogen, sekitar 40-70% faktor Von Willebrand, 2030% faktor XIII.
Plasma digunakan untuk mengganti kekurangan faktor koagulasi. Plasma segar beku ini berisi plasma, semua faktor pembekuan stabil dan labil, komplemen dan protein plasma. Plasma ini dipisahkan dari darah lengkap yang kemudian dibekukan dalam waktu 8 jam setelah pengambilan darah
lndikasi Kriopresipitat digunakan pada pasien dengan kekurangan F VIII (Hemofilia A) bila F VIII pekat tidak tersedia, kekurangan F XIII, kekurangan fibrinogen dan untuk pasien penyakit Von Willebrand.
Dosis dan Cara Pemberian Transfusi diberikan menggunakan saringan darah standar, dan harus cocok serasi sistem golongan ABOnya dengan darah pasien. Belum ada kesepakatan mengenai dosis dan lamanya transfusi leukosit ini, namun paling sedikit 4 hari pemberian transfusi ini baru memperlihatkan hasil.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1195
DARAH DAN KOMPONEN: KOMPOSISI,INDIKASI DAN CARA PEMBERIAN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kontraindikasi dan Perhatian Kriopresipitat tidak diberikan pada pasien yang tidak defisiensi faktor-faktor tersebut di atas. Dosis dan Cara Pemberian Sebelum dipakai, kriopresipitat harus dicairkan terlebih dahulu dengan menempatkannya dalam waterbath bersuhu 30-37" C. Komponen ini harus diberikan pada pasien dalam waktu 6 jam setelah pencairan atau 4 jam setelah pooling. Plasma yang diberikan hendaknya sama golongan ABO nya dengan sel darah merah pasien, uji silang tidak perlu dilakukan, dan diberikan dengan saringan/filter standar. Dosis untuk hipofibrinogenemia adalah 10 kantong pada orang dewasa dengan berat badan 70 kg, sedang dosis pada anak anak adalah 1 kantongJl0 kg dapat meningkatkan fibrinogen 60- 100 mgldl. Pada pasien Hemofilia A 1 kantong kriopresipitat yang menganllung 100 unit F VIII, 1 kantongl6 kg dapat meningkatkan F VIII 35%. Efek samping yang mungkin terjadi adalah reaksi alergi dan demam.
KONSENTRAT FAKTOR Vlll (FACTOR Vlll CONCENTRATE)
Konsentrat faktor VIII dapat dibuat dari plasma manusia atau diproduksi melalui teknologi rekombinan. Konsentrat faktor VIII ini dibuat dengan proses fraksinasi dari plasma yang dikumpulkan dan dibekukan segera setelah pengambilan darah. Semua produk dibuat steril, stabil, murni dan beku kering. Berbagai proses dipakai untuk mendapatkan F VIII yang bebas dari virus dan menurunkan risiko penularan infeksi misalnya dengan proses pasteurisasi atau memakai cairan pelarut tri(n-butil) fosfat. Sediaan ini memiliki volume yang sedikit. Produk yang tersedia dapat diklasifikasikan atas sediaan konsentrat F VIII dengan kemurnian menengah, kemurnian tinggi atau bebas imunoafinitas. Konsentrat F VIII dengan kemurnian menengah memiliki 1-10% dari total protein terdiri dari fibrinogen dan beberapa protein lainnya. Produk yang paling murni dibuat melalui kromatografi imunoafinitas dengan menggunakan antibodi monoklonal. Kemurniannya mencapai lebih dari 90% sebelum ditambah albumin yang dipakai sebagai stabilisator. Faktor VIII yang dibuat dari kultur sel mamalia melalui rekombinan DNA juga sudah tersedia secara luas. lndikasi Konsentrat F VIII diindikasikan untuk pengobatan atau pencegahan perdarahan pada Hemofilia A dengan defisiensi F VIII sedang sampai berat atau pasien dengan inhibitor F VIII titer rendah yang kadarnya tidak lebih dari 5-10 Bethesda unitslml.
Kontraindikasi dan Perhatian Dosis tinggi pemberian konsentrat F VIII dengan kemurnian menengah dapat meningkatkan fibrinogen secara bermakna. Direct antiglobulin tes (DAT) atau hemolisis dapat terjadi karena adanya anti A atau anti B. Reaksi yang tidak diharapkan meliputi malaise, panas, mual, dan menggigil. Pada kemurnian yang tinggi, konsentrat F VIII lebih jarang menimbulkan efek samping. Dosis dan Cara Pernberian Banyaknya aktivitas F VIII koagulan digunakan dengan mempergunakan International Units (IU). Satu IU adalah jumlah aktivitas F VIII koagulan dalam 1 mL plasma normal. Dosis permulaan untuk mencapai kadar 30-100% dihitung dengan rumus: Plasma Volume (PV mL) = 40 mLlkg x BB (kg)
F Vlll yang diinginkan (unit)
=
PV x [ kadar yang diinginkan (%) - kadar sekarang(%)] 100
Cara lain adalah: tiap unit F VIIIkgBB akan meningkatkan 2% (0.02ILJJml) Pemberiannya dapat melalui infus dengan menggunakan saringanlfilter darah standar atau dengan jarum suntik dengan filter yang telah tersedia bersama sediaannya.
KONSENTRAT FAKTOR IX (FACTOR IX CONCENTRATES)
Dua konsentrat F IX sekarang tersedia sebagai hasil rekombinan. Sediaan ini steril, stabil dan kering beku sebagai hasil dari fraksinasi plasma yang dikumpulkan. Kompleks F IX merupakan sediaan yang mengandung selain F IX juga sejumlah F 11, VII, X dan beberapa protein. Selama pembuatan konsentrat ini beberapa aktivasi dari faktor koagulasi dapat terjadi. Isi dari F VII dalam beberapa produk agak bervariasi. Jumlah masing masing faktor yang terkandung dalam sediaan ini biasanya tertera pada label botol tapi paling banyak mengandung 1-5 IU F IXImg protein. Hal sebaliknya dengan kompleks F IX, F IX koagulasi merupakan sediaan murni yang mengandung sedikit F 11, F VII dan F X. Sediaan ini dibuat dengan metode kromatografi atau antibodi monoklonal sehingga mengurangi terjadinya trombogenik. Kira kira 20-30% dari produk ini adalah F IX dimana sediaan ini mengandung 50 dan 200 IU F IXJmgprotein. Konsentrat F M dibuat dengan heat treated solvent/ detergent treated dengan teknik rekombinan untuk menurunkan risiko hepatitis, HIV dan infeksi virus lainnya.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI lndikasi Konsentrat F IX ini digunakan untuk mengobati pasien dengan defisiensi F IX yang dikenal sebagai hemofilia B. Pasien dengan inhibitor dapat diobati dengan kompleks konsentrat F IX, yang mengandung bypass aktivitas inhibitor F VIII.
lndikasi Albumin digunakan untuk meningkatkan volume sirkulasil resusitasi misalnya pada pasien luka bakar, pasien pada keadaan hipovolemia dan hipoproteinemia misalnya pasien dengan syok, pada sindrom nefrotik atau untuk meningkatkan protein plasma.
Kontraindikasi dan Perhatian Kompleks F IX sebaiknya diberikan dengan hati hati pada pasien yang mempunyai penyakit hati. Terdapat laporan terjadinya trombosis dan DIC pada adanya defisiensi anti trombin khususnya pada pasien dengan penyakit hati. Etiologi komplikasi ini mungkin berhubungan dengan penurunan bersihan hati, mengakibatkan akurnulasi faktor koagulasi tersebut. Konsentrat F IX koagulasi tampaknya lebih kurang trombogenik dibandingkan dengan kompleks F IX. Efek sarnpingdari kompleks F IX bila diberikan secara cepat adalah menggigil, demam, nyeri kepala,nausea dan j7ushing.Pemberian cepat dari F IX koagulasi adalah reaksi vasomotor.
Kontraindikasi dan Perhatian Larutan albumin 25 % tidak boleh diberikan pada pasien dengan dehidrasi dan hanya dapat diencerkan dengan salin normal dan dekstrosa 5%.
Dosis dan Cara Pemberian 1 unit F IX setara dengan 1 ml plasma manusia. Dosis yang diberikan tergantung gejala klinis dan kebutuhan pasien. Sejumlah konsentrat F IX diinfuskan dengan rumus seperti menghitung penggunaan dosis F VIII, namun secara in vivo hanya sekitar 50 % yang dipakai karena distribusi ke ekstravaskular. Jadi setiap unit F IX yang diinfuskan per kg BB akan meningkatkan 1% F
IX. ALBUMIN DAN FRAKSI PROTEIN PLASMA (ALBUMIN AND PLASMA PROTEIN FRACTION) Albumin merupakan derivat plasma yang diperoleh dari darah lengkap atau plasmaferesis, terdiri dari 96% albumin dan 4% globulin dan beberapa protein lain yang dibuat dengan proses fraksinasi alkohol dingin. Derivat ini kemudian dipanaskan 60" C selama 10jam sehingga bebas virus. Fraksi protein plasma adalah produk yang sama dengan albumin hanya dalam pemurniannya lebih kurang dibandingkan dengan albumin dalam proses fraksinasi. Fraksi protein plasma ini mengandung 83% albumin dan 17% globulin. Albumin yang tersedia adalah larutan 25% dan 5%, sementara fraksi protein plasma yang tersedia adalah larutan 5%. Tiap sediaan mengandung natrium 145 mmoll L (145 mEq1L). Larutan albumin 5%, osmotik dan onkotiknya sama dengan plasma sedangkan larutan albumin 25% osmotik dan onkotiknya lima kali lebih besar dari plasma. Albumin memiliki waktu p a d 16jam dan dapat disimpan lebih dari 5 tahun pada suhu 2-10" C.
Dosis dan Cara Pemberian Albumin dan fraksi protein plasma tidak memerlukan filter dalam pemberiannya. Pengobatan hipotensi dengan albumin hendaklah disesuaikan dengan hemodinamik pasien. Dosis 500 mL (10-20 mL/kg pada anak anak) diberikan secara cepat untuk mengatasi syok. Pada pasien luka bakar dosis albumin atau fraksi plasma protein diberikan dalam dosis tertentu untuk mempertahankan kadar protein plasma 5.2 g/dL atau lebih tinggi.Albumin tidak dapat memperbaiki hipoalbuminemia kronik dan tidak digunakan untuk jangka panjang.
IMUNOGLOBULIN (IMMUNE GLOBULIN) Imunoglobulin biasanya dibuat melalui proses fraksinasi dengan etanol dingin dari plasma yang dikumpulkan. Berisi imunoglobulin G (IgG) dengan sedikit IgA dan IgM. Terdapat dua sediaan yakni intramuskular (IMIG) dan intravena (IVIG). Pada sediaan intramuskular (IM), produk ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu pada pemberiannya diperlukan waktu 4-7 hari untuk mencapai kadar puncak dalam plasma, dosis maksimum yang dapat diberikan dibatasi oleh massa otot dan pada pemberiannya menyebabkan nyeri . Sediaan IM saat ini diberikan hanya untuk profilaksis. Sediaan ini merupakan larutan steril dengan konsentrasi protein kurang lebih 16.5 g/dL. Sediaan intravena gammaglobulin (IVIG) meminimalisasikelemahan dari pemberian intramuskular, Produk IVIG cepat mencapai puncak plasma begitu diinfuskan. Waktu paruh dari IMIG dan IVIG bervariasi antara 18-32 hari. lndikasi Preparat Imunoglobulindapat digunakan untuk profilaksis antibodi secara pasif pada orang yang rentan terhadap penyakit-penyakit tertentu dan sebagai terapi pengganti pada orang dengan imunodefisiensi primer (misalnya Sindrom Wiskott Aldrich). IVIG dapat digunakan sebagai imunomodulator pada pasien-pasien dengan kelainan autoimun misalnya ITP akut dan ITP kronik pada anak anak dan dewasa. Dapat pula digunakan untuk
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
DARAH DAN KOMPONEN: KOMPOSISI. INDIKASI DAN CARA PEMBERIAN
1197
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
trombositopenia pada HIV, purpura pasca transfusi dan sindrom Guillan Barre .Juga untuk pengobatan infeksi serta profilaksis GVHD pada pasien penerima cangkok sumsum tulang.
Kontraindikasi dan Perhatian Orang dengan riwayat defisiensi Ig A (dengan anti Ig A) atau terjadinya reaksi anafilaksis berat terhadap plasma sebaiknyajangan diberikan sediaan ini. Sediaan IM jangan diberikan secara IV karena mengandung agregat immuglobulin yang dapat mengaktifkan komplemen serta sistim kinin yang dapat menyebabkan reaksi anafilaktik. Reaksi yang tidak diinginkan lainnya dari pemberian imunoglobulin adalah nyeri kepala, menggigil, kepala terasa ringan, demam, nyeri punggung, terasa panas dan mual. Dosis dan Cara Pemberian Tergantung indikasi, karakter pasien serta sediaan yang digunakan (IM, IV). ITP dan penyakit autoirnun lainnya: IV 400mg/kg/hr selama 2-5 hari atau 0.8- 1.0 g/kg/hr selama 1-2 hari. Defisiensi imunoglobulin kongenital: - IM: 0.7 mL/kg Ibulan - IV200-800 mgkghulan. Profilaksis hepatitisA: IM 0.02-0.04 mL/kg. Hepatitis B: 0.06 mL/kg IM diulang satu bulan Varicella zooster: 1 vial (2.5 mL)/10 kg (maks 5 vial) IM diberikan dalam 72 jam pasca paparan. Virus citomegalo: - Profilaksis: 100-150 mg/kg - Pengobatan infeksi: 200 mgkg (IV)
RH IMMUNE GLOBULIN RhIG dibuat dari plasma yang dikumpulkan dan mengandung IgG anti D. Terdapat 2 sediaan yaitu intra rnuskular (IM) dan intravena (IV). Sediaan IV dosis 120 ug dan 300 ug telah disetujui oleh FDA untuk supresi imun terhadap antigen D dan untuk pengobatan ITP. Sediaan IM yang tersedia adalah dosis 300 ug dan 50 ug. Dosis 300 ug RhIG baik IV maupun IM &an melindungi efek imun lebih dari 15 ml darah dengan D positif. Semua sediaan ini aman dari transmisi penyakit infeksi dan virus dan dipakai untuk mencegah terjadinya penyakit hemolitik pada bayi b a r -lahir yang disebabkan oleh antigen Rh (D).
lndikasi dan Dosis Sebelum persalinan, untuk perempuan dengan (Rh) D negatif, 50 ug IM RhIG dapat melindungi terjadinya aborsi atau terminasi kehamilan ektopik yang terjadi dalam 12 minggu kehamilan. Setelah 12 minggu kehamilan, dosis
penuh IM RhIG dapat diberikan. Dosis penuh juga dianjurkan setelah dilakukan amniosentesis. Pasca persalinan, semua perempuan dengan (Rh) D negatif yang melahirkan bayi dengan D positif diberi 300 ug RhIG secara IM atau 120 ug secara IV. Pemberian hendaknya dilakukan dalam 72 jam setelah melahirkan.
REFERENSI American Association of Blood Banks. Blood component therapy: a physician's handbook. 6th edition. Bethesda; 1999. Boshkov LK. Platelet tranfusion. In: Goodnight SH, Hathaway WE, editors. Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide. 2ndedition. New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p. 489-94. Friedman ,KD, Menitove, JE. Preparation and clinical use of plasma and plasma fractions. In: Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, et al, editors. Williams hematology. 6Ih edition. New York: Mc Graw Hill; 2001. p. 1917. Goodnight SH, Hathaway WE. Plasma. Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide. 2ndedition. New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p. 495-500. Goodnight SH, Hathaway WE. Cryoprecipitate. Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide. 2ndedition. New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p. 5 0 1 4 . Goodnight SH, Hathaway WE. Coagulation factor concentrates. Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide. 2nd edition. New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p. 505-16. Goodnight SH, Hathaway WE. Intravenous immunoglobulin. Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide. 2ndedition. New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p. 523-7. Kruskall MS, Mandell BF. General principles of the use of intravenous immune globulin. In: Up To Date, Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004. Kruskall. Use of intravenous immune globulin in hematologic disorders. In: UpToDate, Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004. Ljungman P. Risk of CMV transmission by blood product to immunocompromised patiens and means for reduction. Br J Haematol. 2004;125:107. Mollison PL, Engelfriet CP, Contreras M. The tranfusion of platelets, leukocytes, haemopoietic cells and plasma component. In: Mollison PL, Engelfriet CP, Contreras M, editors. Blood tranfusion in clinical medicine. loLhedition. USA: Blackwell Science; 1997. p. 459-86. Murphy S. What so bad about old platelets? Transfusion. 2002;433. Pamphilon D. Viral inactivation of fresh frozen plasma. B r J Haematol. 2000;109:680. Secord A, Goldfinger D MD. Clinical and laboratory aspects of platelet tranfusion therapy. In: UpToDate, Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004. Seftel, Growe GH, Petraszko T, et al. Universal prestorage leukoreduction in Canada decreases platelet alloimmunization and refractoriness. Blood. 2004;103:333. Silvergleid AJ. Tranfusion of plasma components. In: UpToDate, Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004. Silvergleid AJ. Preparation of blood component. In: UpToDate, Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004. Wallas CH. Use of red blood cells. In: UpToDate, Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH M. Tamtoro Harmono
PENDAHULUAN Sejak diterimanya transfusi sebagai cara pengobatan, pengertian bahwa darah mengalir di dalam sistem sirkulasi dan ruang intravaskular dapat diisi cairan dari luar tubuh,perkembanganya lambat. Trasfusi itu sendiri dikerjakan pertama kali pada tahun 1667. Kemudian selama perang dunia pertama dan sesudahnya, barulah transfusi sebagai alat pengobatan berkembang pesat. Pengertian adanya perbedaan genetik antar individu, yang diungkapkan oleh Landsteiner merupakan ha1 yang penting. Pengembangan antikoagulan,pengawetan dan teknik pengerjaan yang steril, memungkinkan pengumpulan dan penyimpanan darah untuk diberikan dikemudian hari. Perkembangan teknik terus berkembang kususnya dibidang penggunaan komponen dan fraksi darah donoqperbaikan cara skrining donor,pengembangan inaktivasi kuman patogen, perkembangan mecing (matching) imunologi produk darah donor dengan resipien (penerima darah), pengembangan produk rekombinan, jadilah transfusi medis (transfusion medicine) menjadi suatu spesialisasi di bidang hematologi.Adanya epidemi acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan penularan infeksi oleh bahan infeksius lain menyebabkan terjadinya revolusi kemajuan di bidang transfusi medis.
KOMPLIKASITRANSFUSI Potensi komplikasi transflsi darah itu banyak,tapi pada saat ini masalah komplikasi hanya terdapat pada pasien yang perlu berulang-ulang mendapat transhsi atau memerlukan sejumlah darah yang banyak. Reaksi imunologi ini disebabkan oleh rangsangan aloantigen asing yang terdapat
pada eritrosit, leukosit, trombosit dan protein plasma. Bila resipien mendapat transfusi yang mengandung antigen tersebut maka akan terjadi pembentukan antibodi sehingga kelak bila mendapat tranfusi dapat terjadi reaksi mediasi imunologi,misalnya reaksi hemolitik karena ketidakcocokan eritrosit, panas atau reaksi pulmonal yang disebabkan oleh antigen leukosit atau trombosit, alergi atau reaksi anafilaksis yang disebabkan antibodi yang bereaksi dengan antigen terlarut di dalam bahan transfusi, biasanya protein plasma.
,
Komplikasi dapat di golongkan menurut: Komplikasi Imunologi Aloimunisasi: antigen eritrosit, antigen HLA - Antigen trombosit - Antigen netrofil - Protein plasma Reaksi transfusi hemolitik : segera, tertunda (delayed) Reaksi febris transfusi Kerusakan paru akut karena transfusi Reaksi transfusi alergi Purpura pasca transfusi Pengaruh imunosupresi Penyakit graft versus host Komplikasi Non Imunologi Kelebihan (overload)volum Transfusi masif: metabolik, hipotermi, pengenceran, mikroembolisasiparu Lainnya: plasticizer, hemosiderosis transfusi Infeksi: Hepatitis A,B,C ,delta dan lainya; Human immunodeJiciency virus-11-2; Human T lymphotropic virus-11-11; Virus sitomegalo; Virus Epstein Burr; Kontaminasi bakteri; Sifilis; Parasit malaria, babesiosis, tripanosoma; organisme lain
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH
1199
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI KOMPLIKASI IMUNOLOGI Aloimunisasi kepada Antigen Transfusi Aloantibodi bereaksi terhadap antigen eritrosit, sedikit saja resipien dengan multitranfusi berkembang menjadi aloantibodi eritrosit. Umumnya terdapat pada mereka yang telah menerima sekitar 10 kali transfusi, biasanya antibodi terhadap sistem Rh, Kell (K), lalu Duffy (Fy),dan Kid (Jk). Aloantibodi bereaksi terhadap antigen leukosit, terdapat pada resipien yang ditrasnfusi 2 leukosit dan trombosit, umumnya mereka ini wanita multipara dengan multi transfusi. Aloantibodi terhadap protein plasma, misalnya reaksi anafilaksis disebabkan karena adanya anti-IgA antibodi. Reaksi Transfusi Hemolitik Berkembangnya antibodi yang dapat bereaksi dengan antigen eritrosit menyebabkan perusakan eritrosit, biasanya eritrosit donor. Klinis dapat berat,mengancam kehidupan atau ringan saja. Hemolisis segera terjadi di dalam sirkulasi, yang lambat terjadi di sistem retikulo endotelial. Umumnya terjadi karena kesalahan pencatatan dan 'ABO nfismatching'. Dapat juga hemolisis terjadi pada darah resipien, bila plasma yang ditransfusikan mengandung antibodi. Reaksi transfusi hemolitik segera. Gejala dan keluhan transfusi hemolitik segera, terjadi segera sesudah darah yang tidak cocok dilakukan. Klinis kebanyakan bempa timbulnya panas, dapat dengan menggigil. Dapat juga dengan cemas, nyeri dada atau punggung, sesak napas, takikardia dan hipotensi. Keadaan mengancam kehidupan pada adanya gagal ginjal akut, syok, dan koagulasi intravaskular. Reaksi hemolisis segera ini terjadi pada: 600.000 transfusi eritrosit, kematian meningkat hingga 44% bila darah transfusi meningkat mencapai 1 L. Patogenesis kelainan ini dimulai dengan interaksi antara antibodi dan membran sel eritrosit yang mengembang menjadi terbentuknya kompleks imun, aktivasi kaskade komplemen, mekanisme koagulasi lewat sitokin dan faktor XII. Mediator vasomotor disini yaitu histamin, serotonin dan sitokin. Renjatan terjadi karena pelepasan bahan vasoaktif. Gaga1 ginjal dipikirkan karena iskemia disebabkan oleh kombinasi hipotensi, vasokonstriksi dan koagulasi intravaskular. Penanganan, transfusi harus segera dihentikan begitu dicurigai adanya reaksi hemolisis. Contoh darah pasca transfusi dan sisa darah dalam kantung dikirim ke bank darah (PMI) untuk diteliti penyebab terjadinya reaksi hemolisis. Beratnya reaksi berhubungan dengan volume eritrosit yang dimasukkan, walau hanya 30 cc darah yang tidak cocok mungkin mematikan. Semua reaksi yang berat memerlukan lebih dari 200cc darah donor. Hidrasi harus dimulai segera untuk mencegah gagal ginjal. Diberikan
.
infus garam fisiologis untuk memelihara tekanan darah dan meningkatkan air kencing agar mencapai 100cc/jam. Manitol atau furosemid dapat digunakan untuk memelihara terbentuknya kencing. Bila terjadi oliguri karena gagal ginjal cairan hams dibatasi. Obat vasoaktif seperti dopamin mungkin efektif mengatasi hipotensi dan gangguan perfusi ginjal. Sekali terbentuk gagal ginjal pengobatan suportif termasuk pembatasan cairan, memelihara kesetimbangan elektrolit dan dialisis diperlukan. Koagulopati mungkin memerlukan penanganan khusus. Pemberian heparin awal disarankan dengan dosis moderat, bila tidak ada kontraindikasi khusus, tapi penggunaannya masih kontroversial. Pada reaksi transfbsi hemolitik intravaskular yang berat mungkin diperlukan 'exchange transfusion '. Pemeriksaan pada reaksi transfusi segera. Langkahlangkah berikut harus dilakukan: Identitas pasien hams ditegaskan, semua catatan tentang pasien dan label darah donor hams diperiksa untuk menentukan adanya kesalahan pencatatan. Darah pasien hams diambil lagi, dikirim ke bank darah. Darah pasca transfusi hams dilihat adanya hemolisis. Hams diperinci kemungkinan adanya aloantibodi. Tes direk antiglobulin hams dilakukan pada saat reaksi hemolisis terjadi. Bila tes positif darah pretransfusi juga harus diperiksa untuk melihat pasien mungkin mempunyai direk antiglobulin. Pemeriksaan 'typing' eritrosit harus dilanjutkan. Bila sistem ABO dan Rh pasca transfusi tidak cocok dengan pratransfusi maka ada kesalahan identifikasi pasien atau typing. Pasien dengan reaksi transfusi hemolitik mayor hams dinilai untuk kemungkinan adanya koagulasi intravaskular dan fungsi ginjal hams dimonitor. Urin hemosiderin atau hemoglobin bebas di dalam urin hams juga diperiksa, adanya urin benvama anggur khas pada hemolisis intravaskular. Pencegahan. Semua reaksi transfusi hemolitik segera dapat dicegah. Hampir semua sebabnya karena kesalahan manusia, misalnya kesalahan memberi label pada contoh darah pasien. Prosedur memastikan identifikasi pasien, contoh darah atau komponen transfusi harus benar penempatannya. Reaksi transfusi hemolitik tertunda. Biasanya lebih ringan dari yang segera dan terjadinya pemsakan eritrosit terutama ekstravaskular. Terjadi pada 2-10 hari sesudah transfusi,antibodi eritrosit pratransfusi tidak ditemukan. Tes direk antiglobulin sering positif tapi reaksinya hanya sementara, tes dapat kembali negatif bila eritrosit yang tak cocok disingkirkan dari sirkulasi. Reaksi ini umumnya bersifat sekunder, terjadi sesudah kemasukan antigen eritrosit, respons terbentuknya antibodi lambat, puncak reaksi tercapainya juga lambat. Pada reaksi transfusi hemolitik lambat ini, perusakan eritrosit donor terjadi ekstravaskular, di mana eritrosit yang terbungkus IgG dihilangkan di sistem retikulo endotelial.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pemeriksaan yang hams dilakukan disini,bila pasien dicurigai kemungkinan terjadinya hemolitik lambat, darah segar diambil untuk pemeriksaan antibodi direk. Bila positif, dokter hams memberi tahu dan memberi kartu identitas yang menunjukkan adanya antibodi. Penanganan. Umumnya tidak ada terapi khusus, tapi pasien yang dengan reaksi berat diusahakan dilakukan hidrasi. Febris Non Reaksi Transfusi Hemolitik Terjadi pada 0,5-3% pasien yang diberikan transfusi, umumnya pada yang sudah dengan multipel transfusi. Gambaran khas berupa menggigil lalu diikuti panas, terjadi umumnya dalam waktu beberapa jam sesudah transfusi. Pening,mual muntah dapat terjadi. Kadang reaksinya dapat berat, termasuk dengan keluhan pulmonal, tapi umumnya reaksi ini ringan Reaksi ini disebabkan oleh aloimunisasi terhadap antigen leukosit dan trombosit. Sebab lain yaitu transfusi sitokin, yang berkembang di dalam trombosit asal darah segar (whole blood) yang disimpan pada suhu kamar. Kemungkinan adanya kontaminasi bakteri pada reaksi ini hams dipertimbangkan. Pendekatan menangani febris ini hams berdasar atas pengertian pada ha1 yang mendasarinya.Bila terjadi reaksi panas ini maka transfusi hams dihentikan. Kemungkinan adanya reaksi hemolitik hams dipertimbangkan. Darah donor dan contoh serum pasien hams dikirim ke bank darah. Dapat diberikan antipiretik dan hidrokortison. Pencegahan, sebaiknya diberikan darah dengan pengurangan jumlah leukosit. Kerusakan Paru Akut karena Transfusi Umumnya berupa 'respiratory distress' berat yang tibatiba, disebabkan oleh sindrom edema pulmonal non kardiogenik, mirip 'adult respiratory distress syndrome '. Menggigil, panas, nyeri dada, hipotensi dan sianosis, sebagaimana umumnya edema paru, mungkin ada. Radiologis nampak edema paru. Reaksi dapat terjadi dalam beberapa jam selama transfusi. Pada awalnya mungkin berat, umumnya akan mereda dalam 48-96 jam dengan bantuan pernapasan, tanpa gejala sisa. Reaksi ini lebih jarang daripada febris, dengan angka kejadian 1 dalam 5000 tanfusi. Ini disebabkan transfusi antibodi di dalam plasma donor, yang bereaksi dengan granulosit resipien. Diduga aglutinasi granulosit dan aktivasi komplemen terjadi dalam jaringan vaskular paru, menyebabkan endotel kapiler rusak sehingga terjadi kebocoran cairan kedalam alveoli. Penanganan dengan tindakan mengatasi edema paru dan hipoksia, termasuk bantuan pernapasan bila diperlukan. Dosis tinggi kortikosteroid mungkin menguntungkan, karena menghambat agregasi granulosit. Umumnya donor berasal dari perempuan multipara.
Reaksi Transfusi Alergi Reaksi alergi pada donor sering terjadi dengan angka kejadian sekitar 1-3%, mungkin lebih tinggi lagi karena tak dilaporkan. Gambaran berupa urtikaria, 'skin rashes', spasme bronkus, angio edema sampai renjatan anafilaksis. Untunglah kejadian renjatan anafilaksis transfusi yang berat sangat rendah, karena reaksi ini dapat mengancam kehidupan. Semua reaksi alergi ini dipikirkan diperantarai oleh IgE resipien terhadap protein atau bahan terlarut di dalam plasma donor, interaksi antara antigen dengan IgE merangsang dikeluarkanya antihistamin dari sel mast dan basofil. Untuk pasien yang dengan riwayat alergi berulang, dapat diberi antihistamin sebagai pencegahan. Bila dengan antihistamin alergi tak terkontrol sebaiknya plasma dikurangi atau diberi eritrosit yang sudah dicuci.Pada reaksi anafilaksis berat,adanya antibodi terhadap IgA donor hendaknya diperhitungkan. Reaksi ini dicegah dengan eritrosit yang dicuci. Purpura Pasca Transfusi Ini merupakan pengembangan trombositopeni yang mengancam kehidupan, terjadi pada hari ke 5- 10 sesudah transfusi. Ini disebabkan oleh berkembangnya aloantibodi yang ditujukan kepada antigen khusus trombosit. Kebanyakan pasien didahului oleh kehamilan atau transfusi. Terapi kortikosteroid mungkin bermanfaat. lmunomodulasi yang Berhubungan dengan Transfusi Transfusi darah alogenik tidak hanya berarti memberikan eritrosit,tapijuga sejurnlah efektor sel imun, produk sitokin, dan berbagai bahan, yang dapat dikenali sistem kekebalan resipien sebagai antigen asing. Substansi yang memodulasi sistem kekebalan host oleh bahan yang ditransfusikan, meningkatkan kemungkinan sindrom klinis yang umumnya dikenali dengan transfusion-related irnmunomodulation. Keuntungan dari imunomodulasi transfusi ada juga misal pada cangkok ginja1,hasilnya lebih baik bila sebelum operasi dilakukan transfusi lebih dulu, tapi bagaimana prosesnya tidak diketahui. Tapi umumnya dikatakan imunomodulasi transfusi ini banyak merugikan, misalnya kambuh kankernya atau infeksinya sesudah transfusi. Penyakit Donor Cangkok Versus Host Semua sel darah mengandung 'immunocompetent T lymphocyte', bila ditransfusikan ke resipien yang non imunokompeten,maka sel limfositT ini akan memperbanyak diri, dan menyebabkan reaksi penolakan donor transplan (reaksi penolakan). Reaksi penolakan biasanya berupa panas, diikuti 'rash' kulit berupa eritema, makulopapula mulai dari sentral ke tepi (tubuh ke anggauta). Gangguan faal hati, nausea, diare berdarah. Leukopeni diikuti
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH
1201
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
pansitopeni karena kegagalan sumsum tulang. Umumnya terjadi reaksi penolakan pada 2-3 minggu semenjak adanya keluhan yang pertama. Diagnosis berdasar gambaran klinis, ditegakkan dengan biopsi kulit. Pengobatan dilakukan dengan pemberian kortrikosteroid,globulin anti timosit, siklosporin dan 'growth factor ',tapi hasilnya tidak memuaskan.
KOMPLIKASI NON IMUNOLOGI Kelebihan Cairan Transfusi eritrosit atau plasma dapat menyebabkan kelebihan cairan di dalam sirkulasi. Pada anemia berat terjadi ekspansi volume sehingga volum cairan norma1,maka pada anemia dengan gagal jantung, transfusi harus hati-hati karena dapat menyebabkan edema paru yang berakibat fatal. Pada orang tua transfusi diberikan dengan ritme 2 ml darahlkg berat badadjam. Transfusi Masif Pengaruh metabolik, komposisi darah yang disimpan lain dengan darah di dalam sirkulasi, bila sejumlah besar darah simpanan diberikan dengan cepat maka ion K menyebabkan risiko pada pasien dengan gagal ginjal, syok dengan asidosis, atau pada hemolisis. Adanya sitrat sebagai antikoagulan dapat menyebabkan hipokalsemia. Hipotermia. Hipotermia terjadi bila sejumlah besar darah yang dingin diinfuskan. Anak dan orang tua sensitif akan ha1 ini. Pada pasien berat, denga transfusi masif ini dapat mengalami asidosis,hipoksemia, hipotermia, hipokalsemi, dan hip0 atau hiperkalemia dapat terjadi, dengan risiko aritmiajantung. Pengaruh pengenceran. Transfusi dengan sejumlah besar produk darah menyebabkan pengenceran trombosit dan faktor koagulasi yang labil. Sejumlah pasien dengan sepsis, renjatan dan koagulasi intravaskulardapat memberat dengan pengaruh transfusi ini. Mikroagregat dan mikroembolisasi paru. Selama penyimpanan eritrosit, terbentuk agregat yang terdiri dari trombosit, leukosit dan fibrin. Semua produk darah disaring dengan saringan berlubang 170 um, tapi alat ini tidak dapat menghilangkan mikroagregat, lalu disaring dengan saringan yang lubangnya 40 um. Seorang dengan transfusi sejumlah besar darah simpanan lalu mengalami sindrom disfungsi pulmonal dengan hipoksia, dipikirkan karena tersebarnya obstruksi mikrovaskular karena mikroagregat. Lain-lain. Dapat saja komplikasi berupa emboli udara, terutama jika wadah yang dipakai sebagai tempat darah berupa gelas (botol), tapi setelah yang dipakai plastik maka ini terhindarkan.
Plasticizer. Bila kantong plastik dibuat dari PVC yang mengandung 'phthalate', bahan ini lipofilik maka dapat larut kedalam cairan darah tergantung kepada suhu dan waktu penyimpanan. Bahan ini memungkinkan keracunan, maka kantong plastik diganti dengan bahan lain. Hemosiderosis transfusi, terjadi karena transfusi yang berulang ulang, misalnya anemia kronik karena kegagalan surnsum tulang. Tiap kantong darah mengandung besi sekitar 0,25g. KOMPLIKASI INFEKSI PADA TRANSFUSI DARAH Sekilas Tentang Skrining Darah Donor untuk Penyakit lnfeksi Di tahun 1960, hepatitis karena transfusi mencapai 30% pada pasien dengan multipel transfusi. Setelah dilakukan tes HbsAg bagi donor maka kejadian hepatitis B sangat menurun, tapi hepatitis C tidak. Kemudian diawal tahun 1980 terdapat tantangan baru sehubungan dengan munculnya penyakit AIDS, untuk ini dilakukan pemeriksaan antibodi HBc dan sel T donor untuk menurunkan risiko tertular AIDS lewat transfusi. Selanjutnya kemajuan pemeriksaan donor untuk mencegah penularan AIDS dan hepatitis C dicapai pada tahun 1992 di AS, seterusnya komplikasi infeksi ini sangat menurun, Penyakit infeksi yang diperiksa untuk donor (di AS) ialah: Hepatitis B HbsAg,IgM dan IgG untuk HBc antigen Hepatitis C IgG untuk hepatitis C peptid Asam nukleat virus hepatitis C HIV-11-2 IgM dan IgG anti HIV-11-2 Asam nukleat HIV- 11-2 HTLV-V-I1 IgG anti HTLV-I/-Il IgM dan IgG pada treponema antigen, atau Sipilis reaktivitas serologi non treponemal (rapid plasma reagin). Hepatitis karena Transfusi Sebelum pemeriksaan serologi dapat menentukan sebab hepatitis pada transfusi, semua hepatitis ini disebut serum hepatitis. Setelah tes HbsAg ditemukaqdiketahui 30% dari hepatitis tadi merupakan Hepatitis B. Selanjutnya dapat disingkirkan hepatitis virus A, CMV (cyto megalo virus), dan EBV (Epstein Barr virus) sebagai penyebab hepatitis pada transfusi. Pada tahun 1988, ditemukan penyebab hepatitis NANB (non A non B) ialah virus hepatitis C. Sesudah tahun 1992, tes virus hepatitis C yang diperbaiki tersedia, sehingga kemudian hepatitis karena transfusi yang semua marker tes serologi-nya negatif, disebut hepatitis non ABC.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Virus Hepatits B Virus ini merupakan DNA virus,dengan bungkus lipoprotein, padanya terdapat HbsAg, dan 'inner cor ? inti. Inti ini berisi DNA, DNA polimerase, protein kinase, dan di ekspresikan dengan antigenik determinan sebagai 'hepatitis B core' (HBc) antigen. Virus utuh dapat diperlihatkan dengan mikroskop elektron sebagai benda dengan bungkus dobel berukuran 42 nm. Bungkus virus, HbsAg, di dalam serum dapat diidentifikasi dengan metode serologi. Di dalam sirkulasi, HbsAg ini dapat utuh sebagai virion atau tidak lengkap sebagai partikel 'sphere' dan tubulus. Hepatitis B ini ditularkan oleh orang yang sakit hepatitis B akut atau yang mengidap HbsAg, lewat parenteral, hubungan seksual, atau pada perinatal dari ibu yang infeksius kepada bayinya. Masa inkubasi antara 1-6 bulan. Hanya sekitar 25-40% pasien hepatitis B dengan jindis, infeksi fulminan (berat) dengan resiko kematian menimpa sekitar 0,2-0,5%Semuapasien mengalami hepatitis sub klinis sementara,yang hanya diketahui dengan pemeriksaan laboratoriurn. Sering dinyatakan infeksi pada dewasa sekitar 5-10% menjadi karier kronik,kini diduga yang menjadi kronik lebih rendah lagi, yaitu 1%.Dari 1% ini,sekitar 25% dapat berkembang menjadi hepatitis kronik, setelah bertahun-tahun dapat sembuh atau menjadi sirosis hepatis yang fatal ataupun menjadi karsinoma hepatoselular. Setelah 12 minggu dari awal serangan, umumnya HbsAg menghilang, anti HBs muncul. Pasien yang menjadi kronik biasanya dengan HbsAg yang tinggi dan anti HBc positip, tapi anti HBs tidak.Hepatitis Be antigen (HbeAg) berhubungan dengan 'core subcomponen ', merupakan protein yang larut tapi tak berhubungan dengan struktur yang dapat dilihat, keberadaanya berhubungan dengan kadar virus yang tinggi, mempunyai arti adanya infeksi sekarang atau masih berlangsung infeksinya dan bersifat infeksius. HbeAg ini menghilang dari serum mendalui HbsAg, lalu diikuti munculnya anti Hbe. Semua orang dengan HbsAg harus dianggap infeksius, walau dengan bervariasi tingkatannya, tapi adanya HbeAg positip berarti dengan tingkat infeksius yang tinggi. Skrining donor untuk hepatitis B. Dengan ditemukannya HbsAg dan tes sera yang dikembangkan, maka penurunan angka kejadian penularan lewat transksi sangat dramatis. Sisa infeksius disebabkan oleh menghilangya HbsAg, tapi membentuk antiHBc, bukanya anti HNs, kini dengan ditemukanya reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction) yang sangat peka, pasien demikian ditemukan HBV DNA di dalarn serumnya. Kasus demikian di AS diduga terdapat pada lper 50000 kasus.
positip untuk petanda virus (VHA
Virus Hepatitis C Virus ini diduga menyebabkan 90% kasus hepatitis NANB. Sebelum ditemukan sebabnya hepatitis NANB didasarkan pada kenaikan serum transaminase tanpa reaksi yang
Virus Hepatitis E Menular secara 'water borne ',menyebar seperti VHA,tidak bersifat kronik, maka tidak berisiko ditularkan lewat transfusi.
Virus Hepatitis D Virus ini mempunyai struktur hibrid,terdiri dari antigen HBs tertutup sedikit genom RNA yang tidak komplit sehingga tak dapat bertahan hidup tanpa bantuan fungsi virus B. Hanya terdapat bila bersama hepatitis B. Darah transfusi yang mengandung VHD menyebabkan seorang karier HbsAg yang benigna menjadi hepatitis fulminan atau penyakit hati berat yang progresif. Karena VHD hanya dapat ditularkan bila ada VHB, maka adanya seromarker VHB hams disingkirkan. Virus Hepatitis A Dalam praktek transfusi,transmisi hepatitis A ini tidak meyakinkan. Darah dapat mengandung VHA bila diambil pada saat viremia fase asimtomatik.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENCECAHAN DAN PENANGANAN KOMPLIKASITRANSFUSIDARAH
1203
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Hepatitis Non-A-B Sepuluh persen Hepatitis NANB tidak termasuk hepatitis C, dengan penelitian virus tersebut,virus G, SEN dan TT. Transmisi lewat transfisi relatif sering, tapi bagaimanapun kini tak terbukti virus ini menyebabkan hepatitis. Virus Human Immunodeficiency Tipe 1 Dan 2 HIV merupakan retrovirus, dengan RNA dibungkus lipid, dan 'reverse transkipstase', bagian imunitas ada dibungkus dan protein core. Penularan lewat parenteral (transfusi), seksual dan perinatal, dari ibu ke anak. Sesudah 2-3 minggu terpajan virus, pasien menderita seperti influenza akut atau penyakit mirip mononukleosis. Penyakit memasuki masa laten tapi virus terus berkembang biak. Fase asimtomatik ini mencapai 10 tahun, lalu CD4 T cell menjadi tertekan, pasien berkembang menjadi imunodefisien berat sehingga mendapat infeksi oportunis yang berat, neoplasma atau keduanya dan meninggal. Pengobatan dengan 'highly active anti retroviral therapy', secara dramatis menurunkan morbiditas dan mortalitas di AS. Virus Human T Lymphotropic I Dan li V HTL L merupakan retrovirus manusia yang pertama ditemukan di tahun 1978 pada lifoma sel T orang dewasa, V HTL I1 merupakan retrovirus, ditemukan pada tahun 1982 pada pasien dengan lekemi 'hairy sel'. Kedua virus ini menginfeksi limfosit, beriangsung selama hidup. Vinls HTL I dihubungkan dengal, lekemia sel T dewasa atau limfoma dan kelainan nerologi IITLV I associated myelopathy (HAM) atau tropical spastic paraparesis (TSP). Infeksi V HTL I endemik di Jepang, Karia, Brazil, Melanesia dan Afrika. Menular lewat hubungan seks, menyusui, dan pemakaian jarum bersama. Pada transfusi penularan lewat koponen sel dara, tapi tidak dari kompnen plasma yang didinginkan, Limfoma sel T dewasa muncul pada usia 40-60, menggambarkan adanya masa infeksi laten yang lama sebelum serangan klinisnya muncul. Pada keadaan transfusi, HAM atau TSP dapat muncul dalam waktu beberapa bulan atau tahun pasca transfusi. Skrining donor. Tes donor,dengan memeriksa antibodi pada V HTL 1,tersedia ditahun 1988, ditahun 1997 FDA menginginkan tes untuk antibodi pada V HTL 11.Kemudian yang dites hanya IgG, dengan periode jendela agak lama, 5 1 hari, perkiraan infeksi lewat transfusi sebesar 1 per 428 000 unit. Virus Sitomegalo Virus ini merupakan virus DNA dari keluarga virus herpes. dipikirkan menyebar lewat sekret mulut,dan kontak seksual. Dapat juga menular transplasenta, lewat darah transfusi dan organ donor. Sesudah dengan gejala infeksi dapat bersifat laten, kemudian dapat mengalami reaktivasi.
Pada orang dewasa normal gambaran klinis dapat mulai dari tanpa keluhan sampai sindrom seperti mononuleosis.Pada pasien dengan imunodefisiensi reaksi primer atau reaktivasi berupa trombositopeni, anemia hemolitik, pentnonitis, kolitis, hepatitis, meningoensefalitis dan meninggal. Obat antivirus yang efektif telah tersedia. Kasus pertama infeksi virus Sitomegalo dilaporkan yahun 1960, pada pasien operasi jantung terbuka yang, memerlukan banyak darah segar. Gambaran berupa adanya sindrom panas dengan rash, limadenopati dan splenomegali, yang dihubungkan dengan limfositosis atipik 8-12 minggu sesudah pembedahan. Keadaan ini kemudian secara serologis definitif disebabkan oleh virus Sitomegalo. Sekarang ini insidens tertular virus Sitomegalo sangat rendah dengan mengunakan komponen darah yang disimpan pada pasien dengan status imunologi normal. Sitomegalo ini hanya ditularkan lewat komponen selular darah, penularan dapat sangat ditekan dengan cara mengurangi sejumlah besar leukosit.
Virus Esptein-barr Sembilan puluh persen darah donor mempunyai antibodi terhadap virus Epstein-Burr, karena infeksi berhubungan dengan leukosit maka nampaknya akan aman dengan menggunakan darah yang leukositnya dikurangi. Parvovirus B 19 Virus ini merupakan virus DNA kecil tanpa bungkus,sangat kebal terhadap pengolahan fisik untuk menonaktifkan. Infeksi sering pada anak umur 15 tahun. Sekitar 50% anak telah punya antibodi.Virusmenyebar terutama lewat traktus respiratorius. Penyakit dengan gambaran berupa eritema infeksiosum dan poliartropati. Pada orang normal virus B 19 ini menyebabkan penghentian akut produksi eritrosit yang sembuh dengan sendirinya dalam 4-8 hari. Pada pasien yang dengan destruksi eritrosit, ha1 ini dapat menyebabkan krisis aplastik akut. Pada pasien dengan imunodefisien, dapat menimbulkan anemia kronik yang mungkin reversibel dengan pemberian imunoglobulin dari luar. DNA B 19 kebanyakan terdeteksi di dalam, pooled plasmaproduct', dimana B 19 ini resisten terhadap proses inaktivasi virus, misalnya dengan pemberian larutan deterjen dan pemanasan; untuk menghindari ini dipakai cara menghilangkan plasma yang mengandung banyak titer DNA B 19. lnfeksi yang Disebarkan Artropoda Malaria merupakan penyakit infeksi global namun di AS penularan secara transfusi jarang. Donor yang melewati daerah endemi, setahun tahun tidak boleh menjadi donor, 3 tahun bila pernah tingal di daerah endemik. Babesiosis, infeksi disebabkan protozoa, menginfeksi eritrosit, disebarkan oleh kutu, keluhan mulai dari tak ada
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
keluhan sampai yang ringan seperti influenza atau malaria, dengan anemia hemolitik, diobati dengan kinin atau klindamisin. Infeksi ini jarang yang fatal. Penyakit Lyme, disebabkan oleh Borrelia burgdorferi, tak ada catatan tentang penyakit ini pada penularan karena transfusi. Tripanosoma cruzi, protozoa yang menyebabkan penyakit Chaga,ditularkan oleh kutu busuk. Infeksi akut umumnya hilang sendiri tapi dapat juga menyebabkan miokarditis, meningoensefalitisdan dapat fatal pada pasien dengan imunokompromais. Virus WestNile, merupakan flavivirus, disebarkan oleh gigitan nyamuk, umumnya menyebabkan panas,yang berat dapat dengan meningitis, ensefalitis atau paralisis flusid, yang berat mungkin fatal. Virus ini dapat ditularkan lewat transfusi.
Penularan Encefalopati Spongioform Penyakit Creutzfeld tJakob dan variannya. Penyakit infeksi ini progresif dan fata1,menyerang saraf pusat,disebabkan oleh agen yang disebut prion. Di Inggris,diketahuispongiform atau prion ini menyerang sapi sehingga disebut 'mad cow disease', dipikirkan orang yang terpapar oleh bahan dari sapi ini dapat tertular.
Kontaminasi Bakteri Kontaminasi merupakan penyebab mayor fatalitas pada transfusi. Sumber kontaminasi ini, kantong, donor bakteremia asimtomatik,pembersihan kulit tidak adekuat, Transfusi trombosit yang disimpan pada suhu kamar lebih sering menimbulkan febris dibanding eritrosit yang didinginkan. Organismeyang sering menimbulkan kontarninasi pada transfusi eritrosit antara lain yersinia, pseudomonas, enterobakter, dan seratia. Pada trombosit lebih bervariasi termasuk stafilokokus, streptokokus, klebsila, dan salmonela. Keluhan dapat berupa seperti febris non hemolitik sampai sepsis akut dengan panas, hipotensi dan kematian. Keluhan yang berat dihubungkan dengan mikro organisme dengan endotoksin. Pengobatan sama seperti pada sepsis karena organisme lain yang sesuai
REFERENSI Galel SA, et al. Transfusion medicine. In: Greer JP, et al, editor. Wintrobe's clincal hematology. 11" edition. Vol I. Lippincot Wiliams & Wilkins; 2004. p. 831-82. WHO. Adverse effects of transfusion, in the clinicals use of blood in medicine, obstetric, paediatrics, surgery and anaesthesia, trauma and burn. Malta Geneva; 2001. p. 126-52.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
AFERESIS DONOR DAN TERAPEUTIK Ronald A. Hukom
PENDAHULUAN Aferesis dalam bidang Hematologi-Onkologi merupakan suatu tindakan pengambilanlpengumpulan komponen darah tertentu melalui penyandapan darah, dengan mengembalikan komponen darah lainnya ke tubuh seseorang menggunakan alat separasi sel. Tujuan tindakan aferesis ini adalah untuk mengambil sebagian komponen darah untuk diberikan pada orang lain (aferesis donor), atau mengurangi jumlah komponen darah yang berlebihan di dalam tubuh (aferesis terapeutik). Tindakan mengambil, mencuci, dan mengembalikan darah telah dilakukan sejak tahun 1902 di Perancis pada pasien uremia. Kata aferesis sendiri berasal dari bahasa Yunani, apo dan hareisis, dengan arti keseluruhan adalah 'suatu proses mengambil dari sesuatu'. Hemaferesis terminologi yang sekarang lebih sering digunakan - berarti pengambilan komponen tertentu dari darah dengan menggunakan alat cell separator. Plasmaferesis untuk keperluan terapeutik digunakan pertama kali pada tahun 1952, sebagai usaha mengatasi hiperviskositas pada penderita mieloma multipel. Walaupun mula - mula digunakan untuk tujuan terapi, dalam perkembangannya sekarang aferesis lebih penting lagi untuk memperoleh komponen darah bagi transfusi (Aferesis Donor). Cell separator digunakan mula - mula untuk memperoleh granulosit dan trombosit dari donor tunggal bagi pengobatan suportif pada pasien kanker yang dalam keadaan imunosupresi. Dengan perkembangan terakhir teknologi aferesis, pelayanan transhsi darah dapat lebih tepat memenuhi kebutuhan komponen darah (sel darah merah, trombosit, dan plasma) melalui penggunaan mesin aferesis donor multikomponen yang ada. Pada lekoferesis, sel yang dapat diambil saat ini termasuk lymphocyte killer cells, macrophage-monocyte cells, dan myeloid stem cells. Hal ini berlangsung sejalan dengan
mulai dipakainya interleukin dan lymphocyte activated killer dalam pengobatan kanker. Jenis tindakan pada aferesis dapat berupa cytaferesis (eritrositaferesis,lekaferesis,trombaferesis),plasmaferesis, dan prosedur transplantasi sel asal darah perifer (PBSCT). Tujuan utama tindakan aferesis adalah mengeluarkan hanya sebagian komponen darah, bisa berupa sel atau plasma saja. Alat yang digunakan memiliki plastik disposable sebagai saluran yang dilalui darah dan memakai antikoagulan yang mengandung sitrat atau kombinasi sitrat dan heparin, tanpa menimbulkan efek sistemik. Sebagian besar alat yang digunakan dapat dioperasikan pada aliran darah 30 - 80 mllmenit dengan melalui akses vena perifer atau kateter vena sentral multi-lumen. Di RS Kanker Dharmais, dalam periode 1997 - 2004 tercatat lebih dari 2 100 tindakan aferesis (sekitar 300 kali setiap tahun), di mana lebih dari 90% prosedur aferesis ini merupakan aferesis donor (trombaferesis).
AFERESIS PADA PROSEDUR TRANSPLANTASI SEL ASAL DARAH TEPl Transplantasi sumsum tulang (bone marrow transplantation, BMT) dan transplantasi sel asal darah tepi (peripheral blood stem cell transplantation, PBSCT) merupakan prosedur pemulihan sel asal (stem cells) dalam tubuh pasien yang hancur sesudah kemoterapi dan latau radioterapi dosis tinggi. Sebagian besar sel asal hemopoietik ditemukan di sumsum tulang, tapi ada pula yang bisa ditemukan di darah tepi (PBSC), maupun dari tali pusat (umbilical cord) bayi yang baru lahir. Transplantasi (BMT atau PBSCT) sekarang sudah banyak digunakan dalam terapi kanker, di mana tindakan ini memungkinkan pasien menerima radioterapi danlatau kemoterapi dengan dosis sangat tinggi, sehingga bisa
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
didapatkan angka keberhasilan terapi yang lebih tinggi. Beberapa contoh indikasi transplantasi adalah pada berbagai jenis kanker darah (leukemia, sindrom mielodisplastik, limfoma non Hodgkin, penyakit Hodgkin, mieloma multiple), beberapa kanker solid (misalnya neuroblastoma dan kanker payudara), maupun kelainan hematologi lain (misalnya anemia aplastik, anemia Fanconi, imunodefisiensi congenital). Transplantasi dapat dilakukan secara autologus (pasien menerima sel asal mereka sendiri yang diambil dan disimpan sebelum terapi dosis tingginya), syngeneic (pasien menerima sel asal dari saudara kembar identik), atau allogenik (pasien menerima sel asal dari saudara kandung, orang tua, maupun dari orang lain). Pada beberapa tipe leukemia, penggunaan transplantasi allogenik dapat menimbulkan efek graft-versus-tumor (GVT) yang menguntungkan, di mana sel darah putih donor mengidentifikasi sel kanker yang mungkin tersisa di tubuh pasien sebagai benda asing dan menghancurkannya. Mesin aferesis digunakan pada PBCST untuk mengambil sel asal dari darah tepi (prosedur lekaferesis). Pada donor misalnya, dapat diberikan growth factors (5 mcglkg rhG-CSF per hari subkutan) selama 4-5 hari sebelum lekaferesis dilakukan, dengan tujuan memperoleh jumlah sel asal yang lebih banyak di darah tepi (mobilisasi PBSC). Pada pasien yang menjalani transplantasi autologus, mobilisasi PBSC dapat dilakukan dengan pemberian kemoterapi bersama growth factors, di mana rhG-CSF diberikan mulai hari 5 pasca kemoterapi sampai mulai pengambilan PBSC (harvesting). Lekaferesis dilakukan pada hari 10 - 15 pasca kemoterapi, saat jumlah lekosit sudah minimal 2 jutalml. Prosedur lekaferesis diulang hari berikutnya sampai maksimal5-6 kali, untuk memperoleh jumlah CD34 total minimal 2 jutakg. Semua sampel darah yang diperoleh dari prosedur lekaferesis, diproses dalam waktu 1 jam setelah diambil untuk penghitungan jumlah lekosit total dan analisis CD34 (dengan flow cytometry). Berbeda dari pengambilan sumsum tulang dalam prosedur BMT yang harus dilakukan di kamar operasi steril, pengambilan sel asal darah tepi (PBSCT) dengan mesin aferesis tidak memerlukan anestesi umum dan dapat dilakukan di ruang rawat biasa, dengan efek samping yang terjadi biasanya minimal, misalnya pusing, menggigil, dan kesemutan.
TERAPI SEL ASAL (STEM CELLS THERAPY) Kemungkinan pengobatan berbagai penyakit degeneratif menggunakan sel asal (stem cells) merupakan salah satu perkembangan dalam ilmu kedokteran yang saat ini mendapat perhatian besar. Kemajuan cara pengobatan ini juga diikuti berbagai masalah moral, etik, dan politis,
terutama menyangkut sumber dari sel asal yang digunakan. Berbagai masalah ini terutama menyangkut sel asal yang diperoleh dari embrio (embryonic stem cells, ESC). Sel asal yang didapat dari sumber lain, misalnya dari sumsum tulang, darah tepi, darah tali pusat, plasenta, dan cairan amnion, ternyata juga dapat digunakan untuk penyembuhan organ tubuh secara alami. Penggunaan sel asal sistem hemopoietik (hematopoietic stem cells, HSC) sudah banyak dipelajari pada berbagai kasus yang bukan keganasan atau kelainan darah, misalnya pada kelainan kardiovaskuler (kasus infark jantung akut, penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh darah tepi) dan berbagai penyakit autoimun. Studi terapi sel asal ini juga telah dilakukan pada kasus strok, trauma otak dan tulang belakang, diabetes, maupun penyakit Parkinson. Penggunaan sel asal darah tepi (peripheral blood stem cells, PBSC) untuk berbagai penyakit di atas, dan cara yang dipakai untuk mobilisasi PBSC (misalnyapemakaian G-CSF untuk 3 hari) menjadi tanggung jawab dokter ahli yang bersangkutan. Setelah mendapat pemberitahuan, Unit Aferesis akan menjadwalkan prosedur tindakan, memastikan bahwa pasien sudah mengerti semua ha1 yang berkaitan dengan tindakan pengambilan sel asal (aferesis) dan bersedia menjalani pemeriksaan mikrobiologi 1virologi (HBsAg, anti HCV, anti HIV, syphilis, HTLV) yang diperlukan. Biasanya ada pertemuan rutin (seminggu sekali) antara dokter koordinator transplantasi, petugas Unit Aferesis, dokter ahli pemilik pasien yang akan menjalani terapi sel asal, dan dokter laboratorium yang terkait. Pemeriksaan darah lengkap dan tingkat sel CD34 perlu dilakukan dengan ketat menjelang waktu pengambilan sel asal yang ditentukan. Biasanya juga telah dilakukan pemeriksaan vena yang akan dipakai, yang harus cukup besar untuk jarum 16G
Aferesis terapeutik adalah pengambilan bahan patologik atau abnormal dari sirkulasi darah pasien dengan memakai mesin aferesis. Tindakan dapat berupa plasmaferesis, leukaferesis, eritroferesis, trombaferesis, dan immunoadsorption (pengambilan IgG dan plasmacirculating immune complexes). Indikasi aferesis terapeutik selain kelainan hematologi dan onkologi adalah berbagai kelainan neurologi, misalnya acute inflammatory demyelinating polyneuropathy dan myasthenia gravis, kelainan metabolik, beberapa penyakit autoimun dan rematologi. Satu contoh terakhir penggunaan mesin aferesis adalah LDL (low-density lipoprotein) apheresis yang digunakan pada pasien dengan kolesterol LDL tinggi yang persisten, atau kelainan LDL genetik yang refrakter terhadap obat. Aferesis LDL dilakukan dua kali sebulan dan mulai dikembangkan di
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
AFERESIS DONOR DAN TERAPEUTIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Jepang sekitar 30 tahun lalu, dan diakui FDA di Amerika Serikat pada tahun 1996.
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
Sickle cell disease Komplikasi akut Pencegahan rekurensi strok Nyeri berat + sering Malaria dengan hiperparasitemia Leukemia + hiperlekositosis Transplantasi sel asal (PBSC) Reumatoid artritis (dalam keadaan tertentu) Trombositemia simtomatik
Saat ini sebagian besar sitaferesis terapeutik ditujukan untuk keadaan trombositosis atau lekositosis berat pada lekemia akut 1kronik dengan resiko pendarahan, trombosis, atau lekostasis paru dan otak. Beberapa belas tahun terakhir ini lekoferesis dikaitkan pula dengan pengambilan stem cells bagi imunoterapi eksperimental atau transplantasi sel asal (PBSCT).
Paraprotein
Metabolit toksis lmunologis
Vaskulitas Defisiensi faktor koagulasi
Sindrom hipewiskositas Krioglobulinemia Penyakit cold agglutinin Hiperkolesterolemia familial Sindrom Goodpasture Miastenia Gravis Sindrom Guillain - Barre Pemfigus Inhibitor faktor koagulasi Purpura trombositopenia imun S.L.E Glomerulonefritismesangiokapiler Purpura trombositopenia trombotik
KOMPLlKASl AFERESIS
Dalam pengawasan yang baik, prosedur aferesis adalah tindakan yang aman. Komplikasi yang dapat terjadi berhubungan dengan vascular access, perubahan homodinamik, problem mekanik berkaitan dengan instrumentasi, deplesi komponen sel dan plasma, reaksi terhadap cairan pengganti (termasuk antikoagulan), reaksi alergi, dan infeksi. Efek samping yang paling sering terjadi pada prosedur aferesis adalah hipokalsemia, dengan gejala yang timbul berupa kesemutan bibir dan jari tangan, dada rasa tertekan, dan pandangan gelap. Bila timbul gejala hipokalsemia, maka perlu diberikan suntikan kalsiurn sampai gejala hilang. Kontraindikasiseseorang untuk menjadi donor aferesis antara lain adalah bila calon donor memiliki nilai Hb/Ht, lekosit, trombosit, albumin di bawah normal; golongan
ABOIRhesus tidak cocok, atau reaksi silang cocok serasi (cross matching) memberi hasil positif; darah donor terbukti mengandung HbsAglanti HCVIHIVNDRLlmalaria, berat badan kurang, usia anak-anak atau usia tua, menderita penyakit serius (jantunglparulginjal dan lainnya). Kontraindikasi prosedur aferesis terapeutik untuk seorang pasien adalah bila ada gangguan hemodinamik yang nyata, atau bila keadaan umum sudah tidak baik lagi. Pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler yang harus menjalani prosedur aferesis, perhitungan cairan pengganti yang cermat dan volume cairan extra-corporeal yang tepat terbukti dapat mencegah gangguan hemodinamik. Bila plasma dipakai sebagai cairan pengganti, reaksi alergi sering terjadi walaupun hanya ringan dan sementara, tetapi karena resiko penularan hepatitis dan HIV, umumnya lebih baik digunakan albumin 5 % in saline sebagai cairan pengganti dari pada plasma.
MESlN AFERESIS
Pengambilan komponen darah dengan mesin aferesis saat ini makin luas dilakukan, dengan mesin aferesis yang jenisnya makin banyak tersedia. Di Amerika Serikat, trombaferesis biasa dikerjakan dengan Fenwal CS3000, Fenwal Amicus, COBE (Gambro) Spectra, Gambro Trima Version 4, dan Haemonetics LN9000. Granulosit dapat diambil misalnya dengan Fenwal CS3000, COBE (Garnbro) Spectra, Haemonetics LN9000, dan Fresenius AS 104. Sistem aferesis Spectra merupakan salah satu alat mutakhir untuk separasi dan pengambilan komponen darah dari donor atau pasien. Dari donor, produk darah diambil untuk ditransfusikan pada pasien, sementara untuk prosedur terapeutik pada pasien digunakan untuk penukaran atau deplesi komponen darah. Selain itu sistem Spectra ini dapat juga digunakan dalam pengambilan granulosit dan sel mononukleus, termasuk untuk prosedur pengambilan sel asal darah perifer (PBSC). Sistem aferesis Spectra ini terdiri dari alat disposable (preconnected separation channel and blood tubing) dan mesin aferesis, termasuk suatu alat Return Flow Controller. Di RS Kanker Dharmais, alat ini banyak digunakan pada prosedur tromboferesis dari donor tunggal untuk ditransfusikan pada pasien kanker dengan trombositopenia yang memerlukan transfusi multipel.
REFERENSI Burgstaler EA: Blood Component Collection by Apheresis. World Apheresis Association loth Congress, 2004, U.S.A. Burt RK, Loh Y, Pearce W, et al: Clinical Applications of Blood-Derived and Marrow-Derived Stem Cells for Nonmalignant Diseases. JAMA 2008, 299(8): 925-936.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
COBE Spectra Apheresis System. Operator's Manual, 1993. Huaetis DW, Bove JR, and Case J : Practical Blood Transfusion. Little, Brown and Company - BostonlToronto, 4 Th ed.,1988. Kang HJ, Lee HY, Na SH, et al: Differential Effect of Intracoronary Infusion of Mobilized Peripheral Blood Stem Cells by Granulocyte Colony-Stimulating Factor on Left Ventricular Function and Remodeling in Patients With Acute Myocardial Infarction Versus Old Myocardial Infarction. Circulation 2006, 114: 11451151.
Padley D, Strauss RG, Wieland M, et al: Concurrent Comparison of the Cobe Spectra and Fenwal CS3000 for the collection of Peripheral Blood Mononuclear Cells for Autologous Peripheral Stem Cell Transplantation. J Clin Apheresis 1991, 6: 77-80. Reksodiputro AH, Djoerban 2,Hukom RA: Beberapa Pennasalahan Utama pada Transplantasi Sumsum Tulang. Buku Naskah Lengkap Kongres Ahli Penyakit Dalam (KOPAPDI) 1990, Jogjakarta.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIS Heri Fadjari, Lugyanti Sukrisman
PENDAHULUAN Leukemia granulositik kronik (LGK) merupakan leukemia yang pertama ditemukan serta diketahui patogenesisnya. Tahun 1960 Nowell dan Hungerford menemukan kelainan kromosom yang selalu sama pada pasien LGK, yaitu 22qatau hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom 22, yang saat ini kita kenal sebagaikromosom Philadelphia (Ph). Selanjutnya, di tahun 1973 Rowley menemukan bahwa kromosom Ph terbentuk akibat adanya translokasi resiprokal antara lengan panjang kromosom 9 dan 22, lazimnya ditulis t(9;22)(q34;ql I), seperti tampak pada Gambar 1. Dengan kemajuan di bidang biologi molekular, pada tahun 1980 diketahui bahwa pada kromosom 22 yang mengalami pemendekan tadi, temyata didapatkan adanya gabungan antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9 (9q34), yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR (break cluster region) yang terletak di lengan panjang kromosom 22 (22ql1). (Gambar 2) Gabungan kedua gen ini sering ditulis sebagai BCR-ABL, diduga kuat sebagai penyebab utama terjadinya kelainan proliferasi pada LGK. Secara klasifikasi, dahulu LGK termasuk golongan penyakit mieloproliferatif, yang ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi kita dapat dengan mudah melihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit (bahkan mieloblas), meta mielosit, mielosit sampai granulosit.
Kejadian leukemia mielositik kronis mencapai 20% dari semua leukemia pada dewasa, kedua terbanyak setelah leukemia limfositik kronik. Pada umumnya menyerang usia 40-50 tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda
Gambar 1. Kromosom Philadelphia. Sumber: Laboratorium Sitogenetika Divisi Hematologi-OnkologiMedik Departemen llmu Penyakit Dalam FKUllRSCM
dan biasanya lebih progresif. Di Jepang kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, demikian juga di Rusia setelah reaktor atom Chemobil meledak.
TANDA DAN GEJALA KLlNlK Dalam perjalanan penyakitnya, LGK dibagi menjadi 3 fase, yakni: fase kronik, fase akselerasi dan fase krisis blas. Pada umumnya saat pertama diagnosis ditegakkan, pasien masih dalam fase kronis, bahkan sering kali diagnosis LGK ditemukan secara kebetulan, misalnya saat persiapan para operasi, dimana ditemukan leukositosishebat tanpa gejalagejala infeksi. Pada fase honk, pasien sering mengeluh pembesaran limpa, atau merasa cepat kenyang akibat desakan limpa terhadap lambung. Kadang timbul nyeri seperti diremas di perut kanan atas akibat. Keluhan lain sering tidak spesifik, misalnya: rasa cepat lelah, lemah badan, demarn yang tidak terlalu tinggi, keringat malam. Penurunan berat badan terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Semua keluhan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
tersebut merupakan gambaran hipermetaboiisme akibat proliferaai sel-sel leukemia. Apabila dibuat urutan berdasarkan keluhan yang diutarakm oleh pasien, maka seperti terlihat pa& Tabel 1.
Keluhan Splwomegall Lemah badan Penuwnan berat badan Hepatm~gali Keringat malam Cepat kenyang Perdarahanlpufpura Nyeri perut [infark limpa) Demam
tahun 1980 diketahui bahwa translokasi ini menyebabkan pembentukan gen hibrid BCR-ABL pada kromosom 22 dan gen resiprokal ABL-BCR pada kromosom 9, seperti tampak pada Gambar 2.
Frekwnsl Ig/c) 95 80 60 50 45 40 35 30 10
Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau mengalami akseletasi. Bila saat diagnosa ditegakkan, pasien berada p d a fase kronis, maka keelangsungan hidup berkisar anara 1 sampai 1,5 tahun. Giri Wlas fase akselerasi adalah: Ieukositosis yang sulit dikontrol oleh obat-obat miebsupresif, mieloblas di perifer meneapai 15-30%, promielosit >30%, dan trombosit <100.000/mm3.Secara klinis, fase ini dapat diduga bila limp rang tadinya sudah mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia bertambah berat, timbul petekie, ekimosis. Bila disertai demarn, biasanya ada infeksi.
Sepepti telah disinggung di atas, gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasj yang berlebihan sel induk pluripoten pada sistem hematopoiesis. Klon-klon ini, selain proliferasinya berlebihan juga dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal, karena gen BCRABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme di atas adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak sistem hematopoiesis lainnya. Pemahanan mekanisne kerja gen BCR-ABL ~nutlak diketahui, mengingat besarnya peranan gen ini pada diagnastik, perjalanan penyakit, prognostik, serta implikasi terapeutiknya. Oleh karena itu periu diketahui sitogenetik dan kejadian di tingkat molekular. Sitogenetik Mekmisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak terbentuknya Ph sampai menjadi LGK dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih belum diketahui secara pasti. Berdasarkan kejadian Hiroshima dan Nagwki, diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi, sebagian ahli berpendapat akibat mutasi spontan. Sejak
Gambar 2. Transloksi kromosom 9 dan 22. Dikutip dari Savage and Antman. N Engl J Med 2002
Gen hibrid BCR-ABL yang berada dalam lrsomosom Ph ini selanjutnya rnellsintesis protein 21 0 kD yang berperan dalam leukemoge~~esis, sedang peranan gel1 resiprokal ABL-BCR tidak diketahui I Silver, 1990; Diamond, 1995; Melo, 1996;Verfaillie, 1998). Saat ini diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph, seperti tampak pada Tabel 2. Varian-varian ini dapat terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau kromosom 9 dengan kromosom lainnya. Varian lain juga dapat terbentuk karena patahan pada gen BCR tidak selalu di daerah ql I , akan tetapi dapat juga di daerah q 12 atau q13 (Heim dan Mitel~nan,1987), dengan sendirinya protein yang dihasilkan juga berbeda berat molekulnya. Tabel 2. Variasi Kelainan Sitogenetik pada LGK
Karyotipi k
Gen-gen yang
Tarlibat BCR-JAK BCR-PDGFRB BCR-FGFRI BCR-FGFR1 BCR-PDGFRA ABL-TEL FIPI L1PDGFRA
lstilah Klinik LGK &@c LGU atipik LGK BCR-ABL negatil LGK BCRABL negalif LGK atipik LGK atipik LGK hipereosinofilia
Jadi sebenarnya gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q) selalu terdapat pada semua pasien LGK, tetapi gen BCRABL pada 9q+ hanya terdapat pa& 70% pasien LGK. Dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Phi- lebih rawan terhadap adanya kelainan kromosom tambahan, ha1 ini terbukti pada 60-80Yo pasien P h t yang mengalami fase
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1211
LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI krisis blas ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang kromosom 17 i(17)q. Dengan kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain yang berperan dalam patofisiologi LGK atau terjadi abnormalitan dari gen supresor tumor, seperti gen p53, p 16 dan gen Rb.
Aktlvltas kontrol
Aderens
Biologi Molekular pada Patogenesis LGK Pada kebanyakan pasien LGK, patahan pada gen BCR ditemukan di daerah 5,8-kb atau di daerah e13-el4 pada ekson 2 yang dikenal sebagai major break cluster region (M-bcr), kemudian gen BCR-ABL-nya akan mensintesis protein dengan berat molekul 210 kD, selanjutnya ditulis p210BCK-ARL. Patahan lainnya ditemukan di daerah 54,4-kb atau e l yang dikenal sebagai minor bcr (m-bcr) yang gen BCR-ABL-nya akan mensintesa p190 (Melo, 1996). Saglio dkk pada tahun 1990 menemukan satu lagi variasi patahan ini pada 3' gen BCR antara e19-e20 yang selanjutnya akan terbentuk p230. Daerah patahan ini kemudian dikenal sebagai micro bcr (p-bcr) (Melo, 1996). Melo (1997) menemukan bahwa 3 variasi letak patahan pada gen BCR ini yaitu mayor (M-bcr), minor (m-bcr), dan mikro (p-bcr) ternyata berhubungan dengan gambaran klinik penyakitnya. Pasien LGK yang patahan pada gen BCRnya di M-bcr berhubungan dengan trombositopenia, patahan di m-bcr berhubungan dengan monositosis yang prominen, sedang patahan di y-bcr berhubungan dengan netrofilia danlatau trombositosis. Pada gambar 2 tampak bahwa p2 I OBCR-ABLmempunyai potensi leukemogenesis dengan cara sebagai berikut: gen BCR berhngsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang mempunyai aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi kedua gen ini mempunyai kemarnpuan untuk oto-fosforilasi yang akan mengaktivasi beberapa protein di dalam sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi 1 (SHl), sehingga terjadi deregulasi dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat aderen sel-sel terhadap stroma sumsum tulang, dan berkurangnya respon apoptosis. Selanjutnya fusi gen BCR-ABL akan berinteraksi dengan berbagai protein di dalam sitoplasma sehingga terjadilah transduksi sinyal yang bersifat onkogenik, seperti tampak pada Cambar 3. Sinyal ini akan menyebabkan aktivasi dan juga represi dari proses transkripsi pada RNA, sehingga terjadi kekacauan pada proses proliferasi sel dan juga proses apoptosis. Diagnosis Banding : LGK fase kronik: leukemia mielomonositik kronik, trombositosis esensial, leukemia netrofilik kronik *. LGK fase krisis blas: leukemia mieloblastik akut, sindrom mielodisplasia
Apoptos~s
Slnyal transduksl
I
Gambar 3. Fusi Gen BCR-ABL. Gen ABL ( ~ 1 4 5yang ~ ~ ~normal ) dikontrol oleh Exon l a , I b dan Exon a2. Apabila terjadifusi dengan gen BCR, maka terjadi otofosforilasi sehingga terjadi aktivasi dari gen ABL pada gugus SH1 dengan tidak terkendali. Dikutip dari Goldrnan and Melo. N Engl J Med 2003.
juksi oleh Fusl Gen Gambar 4. Proses P asi Sinyal Tr BCR-ABL. Dikutip dan --.dman and ME . 1 Engl J Med 2003.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi rutin. Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun, lekosit antara 20-60.000/mm3. Persentasi eosinofil dan atau basofil meningkat. Ti-ombosit biasanya meningkat antara 500-600.000/mm3. Walaupun sangat jarang, pada beberapa kasus dapat normal atau trombositopenia. Apus Darah Tepi Eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering ditemukan adanya polikromasi eritroblas asidofil atau polikromatofil. Tampak seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi seri granulosit, persentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat, demikian juga persentasi eosinofil dan atau basofil.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Apus Sumsum Tulang Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio mieloid: eritroid meningkat. Megakariositjuga tampak lebih banyak. Dengan pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis.
Karyotipik Dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding technique), saat ini teknik ini sudah mulai ditinggalkan dan peranannya digantikan oleh metoda FISH (Fluorescen Insitu Hybridization) yang lebih akurat. Beberapa aberasi kromosom yang sering ditemukan pada LGK, antara lain: +8,+9,+19,+21,i(17). Pemeriksaan laboratorium lain. Sering ditemukan hiperurikemia. PENGOBATAN Tujuan terapi pada LGK adalah mencapai remisi lengkap, baik remisi hematologi, remisi sitogenetik, maupun remisi biomolekular. Untuk mencapai remisi hematologis digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif. Begitu tercapai remisi hematologis, dilanjutkan dengan terapi interferon dan atau cangkok sumsum tulang. Indikasi cangkok sumsum tulang: 1. Usia tidak lebih dari 60 tahun, 2. Ada donor yang cocok, 3. Termasuk golongan risiko rendah menurut perhitungan Sokal. Obat-obat yang digunakan pada LGK adalah: Hydroxyurea (Hydrea) - Merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi hematologik pada LGK. - Lebih efektif dibandingkanbusulfan, melfalan, dan klorarnbusil. - Efek mielosupresif masih berlangsung beberapa hari sampai 1 minggu setelah pengobatan dihentikan. Tidak seperti busulfan yang dapat menyebabkan anemia aplastik dan fibrosis pam. - Dosis 30mglkgBBlhari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Apabila leukosit > 300.000/mm3, dosis boleh ditinggikan sampai maksima12.5 gramlhari. - Penggunaannya dihentikan dulu bila lekosit <8.000/ mm3atau trombosit <100.000/mm3 - Interaksi obat dapat terjadi bila digunakan bersamaan dengan 5-FU, menyebabkan neurotoksisitas. - Selama menggunakan hydroxyurea harus dipantau Hb, lekosit, trombosit, fungsi ginjal, fungsi hati.
Busulfan (Myleran) - Termasuk golongan alkil yang sangat h a t . - Dosis 4-8rnglha1-iper oral, dapat dinaikkan sampai
12mghari. Hams dihentikan bila lekosit antara 1020.000/mn?, clan baru dimulai kembali setelah lekosit >50.000/mm3. Tidak boleh diberikan pada wanita hamil. Interaksi obat: asetaminofen, siklofosfamid, dan itrakonazol akan meningkatkan efek busulfan, sedangkan fenitoin akan menurunkan efeknya. Bila lekosit sangat tinggi, sebaiknya pemberian busulfan disertai dengan alopurinol dan hidrasi yang baik. Dapat menyebabkan fibrosis paru dan supresi sumsum tulang yang berkepanjangan
Imatinib mesylate (Gleevec = Glyvec) - Tergolong antibodi monoklonal yang dirancang khusus untuk menghambat aktivitas tirosin kinase dari fusi genBCR-ABL. - Diabsorbsi secara baik oleh mukosa lambung pada pemberian per oral - Untuk fase kronik, dosis 400mgihari setelah makan. Dosis dapat ditingkatkan sampai 600mgl hari bila tidak mencapai respons hematologik setelah 3 bulan pemberian, atau pernah mencapai respon yang baik tetapi terjadi perburukan secara hematologik, yakni Hb menjadi rendah danlatau lekosit meningkat denganltanpa perubahan jumlah trombosit. - Dosis hams diturunkan apabila terjadi netropeni berat (<500/mm3) atau trombositopenia berat (<50.000/mm3)atau peningkatan sGOT/sGPT dan bilirubin. - Untuk fase akselerasi atau fase krisis blas, dapat diberikan langsung 800mghari (400mg b.i.d). - Dapat timbul reaksi hipersensitivitas, walaupun sangat jarang - Tidak boleh diberikan pada wanita hamil - Interaksi obat: ketokonazol, simvastatindan fenitoin akan meningkatkan efek imatinib mesilat. - Selain remisi hematologik, obat ini dapat menghasilkan remisi sitogenetik yang ditandai dengan hilangnyaherkurangnya kromosom Ph dan juga remisi biologis yang ditandai dengan berkurangnya ekspresi gen BCR-ABL atau protein yang dihasilkannya. Interferon alfa-2a atau Interferon alfa-2b - Berbeda dengan imatinib mesilat, interferon tidak dapat menghasilkan remisi biologis walaupun dapat mencapai remisi sitogenetik - Dosis 5 juta IU/rn2/harisubkutan sampai tercapai remisi sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi. Berdasarkan data penelitian di Indonesia, dosis yang dapat ditoleransi adalah 3 juta IU/m2/hari.Saat ini sudah tersedia sediaan pegilasi interferon, sehingga penyuntikan cukup sekali seminggu, tidak perlu tiap hari.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI - Diperlukan premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian interferon untuk mencergahlmengurangi efek samping interferon berupa flue-likesyndrome. - Interaksi obat: teofilin, simetidin, vinblastin dan zidovudin dapat meningkatkan efek toksik interferon. - Hati-hati apabila diberikan pada usia lanjut, gangguan faal hati dan ginjal yang berat, pasien epilepsi. Cangkok sumsum tulang - Merupakan terapi definitif untuk LGK. Data menunjukkan bahwa cangkok sumsum tulang (CST) dapat memperpanjang masa remisi sarnpai >9 tahun, terutama pada CST alogenik. - Tidak dilakukan pada LGK dengan kromosom Ph negatif atau BCR-ABL negatif.
PROGNOSIS Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3-5 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Saat ini dengan ditemukannya beberapa obat baru, maka median kelangsungan hidup pasien dapat diperpanjang secara signifikan. Sebagai contoh, pada beberapa uji kliais kombinasi hidrea dan interferon median kelangsungan hidup mencapai 6-9 tahun. Imatinib mesilat memberi hasil yang lebih menjanjikan, tetapi median kelangsungan hidup belum dapat ditentukan karena masih menunggu beberapa hasil uji klinik yang saat ini masih berlangsung. Faktor-faktor di bawah ini memperburuk prognosis pasien LGK, antara ldin: Pasien: usia lanjut, keadaan umurn buruk, disertai gejala sistemik seperti penurunan berat badan, demam, keringat malarn. Laboratorium: anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia, eosinofilia, kromosom Ph negatif, BCR-ABL negatif * Terapi: memerlukan waktu lama (>3 bulan) untuk mencapai remisi, memerlukanterapi dengan dosis tinggi, waktu remisi yang singkat
REFERENSI Chronic Myeloid Leukemia Trialists' Collaborative Group. Interferon alfa versus chemotherapy fdr chronic myeloid leukemia: a meta-analysis of seven randomized trials: Chronic Myeloid Leukemia Trialists' Collaborative Group. J Natl Cancer Inst. 1997;89(21): 1616-20. Druker BJ, Talpaz M, Resta DJ, et al. Efficacy and safety of a specific inhibitor of the BCR-ABL tyrosine kinase in chronic myeloid leukemia. N Engl J Med. 2001;344(14):1031-7. Druker BJ, Sawyers CL, Kantarjian H, et al. Activity of a specific inhibitor of the BCR-ABL tyrosine kinase in the blast crisis of chronic myeloid leukemia and acute lymphoblastic leukemia with the Philadelphia chromosome. N Engl J Med. 2001;344(14):1038-42. Giles FJ, Cortes JE, Kantarjian HM, O'Brien SM. Accelerated and blastic phases of chronic myelogenous leukemia. Hematol Oncol Clin North Am. 2004;18(3):753-74. Goldman JM, Druker BJ. Chronic myeloid leukemia: current treatment options. Blood. 2001 ;98(7):2039-44. Goldman JM and Melo JV. Chronic myeloid leukemia - advances in biology and new approaches to treatment. N Engl J Med. 2003;349(15): 1451-64. Italian Cooperative Study Group on Chronic Myeloid Leukemia. Interferon alfa-2a as compared with conventional chemotherapy for the treatment of chronic myeloid leukemia. The Italian Cooperative Study Group on Chronic Myeloid Leukemia. N Engl J Med. 1994;330(12):820-5. Kantarjian H, Sawyers C, Hochhaus A, et al: Hematologic and cytogenetic responses to imatinib mesylate in chronic myelogenous leukemia. N Engl J Med. 2002;346(9):645-52. Kantarjian HM, Cortes JE, O'Brien S. Imatinib mesylate therapy in newly diagnosed patients with Philadelphia chromoso me-positive chronic myelogenous leukemia: high incidence of early complete and major cytogenetic responses. Blood. 2003;101(1):97-100. Kantarjian HM, Talpaz M. Chronic myelogenous leukemia. Hematol Oncol Clin North Am. 2004;18(3):15-6. Lee SJ, Anasetti C, Horowitz MM, Antin JH. Initial therapy for chronic myelogenous leukemia: playing the odds. J Clin Oncol. 1998; 16(9):2897-903. McGlave PB, Beatty P, Ash R, Hows JM. Therapy for chronic myelogenous leukemia with unrelated donor bone marrow transplantation: results in 102 cases. Blood. 1990;75(8):1728-32. Savage DG and Antman KH. Imatinib mesylate-a new oral targeted therapy. N Engl J Med. 2002;346(9):683-93. Sawyers CL, Hochhaus A, Feldman E, ct al. Imatinib induces hematologic and cytogenetic responses in patients with chronic myelogenous leukemia in myeloid blast crisis: results of a phase I1 study. Blood. 2002;99(10):3530-9. Sneed TB, Kantarjian HM, Talpaz M, et al. The significance of myelosuppression during therapy with imatinib mesylate in patients with chronic myelogenous leukemia in chronic phase. Cancer. 2004; 100: 116-2 1. Talpaz M, Silver RT, Druker BJ. Imatinib induces durable hematologic and cytogenetic responses in patients with accelerated phase chronic myeloid leukemia: results of a phase 2 study. Blood. 2002;99(6):1928-37.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
-
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
POLISITEMIA VERA M. Darwin Prenggono
PENDAHULUAN Suku kata polisitemia (bahasa Yunani) mengandung arti poly (banyak), cyt (sel), dan hernia (darah) sedang Vera (benar) adalah suatu penyakit kelainan pada sistem mieloproliferatif di mana terjadi klon abnormal pada hemopoetik sel induk (hematopoietic stem cells) dengan peningkatan sensitivitas pada growth factors yang berbeda untuk terjadinya maturasi yang berakibat terjadi peningkatan banyak sel. Ada dua istilah yang sering diartikan sama antara polisitemia dan eritrositosis, pada polisitemia (banyak sel) menggambarkan peningkatan dari dari total kuantitas atau volum (mass) dari sel darah pada tubuh tanapa memperdulikan jumlah leukosit atau trombosit.Sedang peningkatan jumlah dan volume saja dengan pengukuran hitung eritrosis, hemoglobin dan hematokrit adalah lebih benar disebut eritrositosis. Eritrositosis menggambarkanpeningkatan dari volume sel darah merah atau mass (polisitemia, juga disebut eritrsitosis absolute) atau menghasilkan penurunan volume plasma (disebut polisitemia/eritrositosisrelatif atau spurious).Polisitemia rubra Vera atau polisitemia Vera narna sinonim lainnya tercatat sebagai polisitemia splenomegalik, eritrositosis megalosplenik (Senator), penyakit Vaquez b, penyakit Osler 5., polisitemia mielopati ( Weber), polisitemia kriptogenik (R. C. Cabot). Polisitemia Vera selanjutnya disingkat PV, merupakan suatu penyakit kelainan pada sistem mieloproliferatifyang melibatkan unsur-unsur hemopoetik dalam sumsum tulang mulainya diam-diam tetapi progresif, kronik terjadi karena sebagian populasi eritrosit berasal dari satu klon sel induk darah yang abnormal. Berbeda dengan keadaan normalnya, sel induk darah yang abnormal ini tidak membutuhkan eritropoietin untuk proses pematangannya (eritropoietin serum <4 mU/mL), ha1 ini jelas mernbedakannya dari
eritrositosis atau polisitemia sekunder di mana eritropoietin tersebut meningkat secara fisiologis (wajar sebagai kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat) biasanya pada keadaan dengan saturasi oksigen arterial rendah, atau eritropoietin tersebut meningkat secara non fisiologis (tidak wajar) sebagai sindrom paraneoplastik yang dijumpai daripada manifestasi neoplasma lain yang mensekresi eritropoietin. Di dalam sirkulasi darah tepi PV didapati peninggian nilai hematokrit yang menggambarkan terjadi peningkatan konsentrasi eritrosit terhadap plasma mencapai >49% pada perempuan (kadar Hb > 16 mg/dL) dan >52% pada pria (kadar Hb >17 mg/dL), dan di dapati peningkatanjumlah eritrosit total (hitung eritrosit >5,5 jutal mL pada perempuan dan >6 jutalmL pada pria). Kelainan ini terjadi pada populasi klon sel induk darah (stem cell) sehingga seringkali terjadi juga produksi yang berlebihan dari leukosit dan trombosit. Permasalahan yang ditimbulkan berkaitan dengan massa eritrosit, basofil dan trombosit yang bertambah, serta perjalanan alamiah penyakit menuju ke arah fibrosis sumsum tulang. Fibrosis sumsum tulang yang ditimbulkan bersifat poliklonal dan bukan neoplastik jaringan ikat.
Polisitemia Vera biasanya mengenai pasien berumur 40-60 tahun, rasio perbandingan antara pria dan perempuan antara 2 : 1 dan dilaporkan insiden polisitemia Vera adalah 2,3 per 100. 000 populasi dalam setahun. Keseriusan penyakit polisitemia Vera ditegaskan bahwa faktanya survival median pasien sesudah terdiagnosis tanpa diobati 1,s - 3 tahun sedang yang dengan pengobatan lebih dari 10 tahun.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
POLlSlTEMlAVERA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Penyebab terjadinya Polisitemia Vera tidak diketahui, tetapi Ada pendekatan penelitian yang didefinisikan adanya kelainan molekul. Salah satu penelitian sitogenetika menunjukkan adanya kariotipe abnormal di sel induk hemopoisis pada pasien dengan polisitemia Vera dimana tergantung dari stadium penyakit, rata-rata 20% pada pasien polisitemia Vera saat terdiagnosis sedang meningkat 80% setelah diikuti lebih dari 10 tahun. Beberapa kelainan tersebut sama dengan penyakit mielodisplasia sindrom yaitu: deletion 20q (8,4%), deletion 13q (3%), trisomi 8 (7%), trisomi 9 (7%), trisomi lq (4%), deletion 5q atau monosomi 5 (3%), deletion 7q atau monosomi 7 (1%).
KLASlFlKASl DAN PENDEKATAN PADA PASlEN DENGAN ERlTROSlTOSlS Klasifikasi eritrositosistergantung volume sel darah merah (red cell mass) (eritrositosisrelatif atau polisilemia dengan polisitemia aktual). Polisitemia terbagi dalam polisitemia primer (polisitemiaVera dan polisitemia famili primer) dan polisitemia yang dipengaruhi oleh produksi eritropoeitin (polisitemia sekunder).
-
-
Eritrositosis relatif atau polisitemia (pseudoertrositosis) Hemokonsentrasi Polisitemia spurious (sindrom Gaisbijk) Polisitemia (eritrositosis absolut) Polisitemia primer - Polisitemia Vera - Polisitemiafamilial primer Polisitemia sekunder Sekunder oleh kerena penurunan oksigenisasi pada jaringan (Physiologicallyappropriate polycythemia atau hypoxia erytrhocytosis) High-altitude erytrhrocytosis (Monge disease) Penyakit paru (contoh: kor pulmonal kronik, sindrom Ayerza) Cyanotic congenital heart disease Sindrom hipoventilasi Hemoglobin abnormal Polisitemiafamilial - Sekunder oleh karena penympangan respon atau produksi eritropoietin @hysiologicallyinappropriate polycythemia) Polisitemia idiopatik
-
-
Tanda dan gejala yang predominan terbagi dalam 3 fase: Gejala awal (early symptoms). Gejala awal dari PV sangat minimal dan tidak selalu ada kelainan walaupun telah diketahui melalui tes laboratoriurn. Gejala awal yang terjadi biasanya sakit kepala (48%), telinga berdenging (43%), mudah lelah (47%), gangguan daya ingat, susah bernapas (26%), darah tinggi (72%), gangguan penglihatan (3 1%),
rasa panas pada tangan atau kaki (29%), gatal (pruritus) (43%), juga terdapat perdarahan dari hidung, lambung (stomach ulcers) (24%) atau sakit tulang (26%). Gejala Akhir (latersymptoms) dan Komplikasi. Sebagai penyakit progresif, pasien dengan PV mengalami perdarahan (hemorrhage) atau trombosis. Trombosis adalah penyebab kematian terbanyak dari PV. Komplikasi lain peningkatan asam urat dalam darah sekitar 10% berkembang ,menjadi gout dan peningkatan resiko ulkus pepticurn (10%). Fase Spenomegali (Spentphase). Sekitar 30% gejala akhir berkembang menjadi fase splenomegali.Pada fase ini terjadi kegagalan sumsum tulang dan pasien menjadi anemia berat, kebutuhan transfusi meningkat, liver dan limpa membesar. Beberapa ha1 yang penting berhubungan dengan gejala yaitu: Hipewiskositas. Peningkatan jumlah total eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan menyebabkan: Penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), lebih jauh lagi akan menimbulkan eritrostasis sebagai akibat dari penggumpalan eritrosit, dan Penurunan laju transport oksigen. Kedua ha1 tersebut akan mengakibatkan terganggunya oksigenasijaringan. Berbagai gejala dapat timbul karena terganggunya oksigenasi target organ (iskemialinfark)seperti di otak, penglihatan, pendengaran, jantung, paru, ekstremitas. Penurunan kecepatan aliran (shear rate). Penurunan shear rate akan menimbulkan gangguan fungsi hemostasis primer yaitu agregasi trombosit pada endotel ha1 tersebut akan mengakibatkan timbulnya perdarahan, walaupun jumlah trombosit > 450 ribdml. Perdarahan terjadi pada 10-30%kasus PV, manifestasinya dapat berupa epistaksis, ekimosis, dan perdarahan gastrointestinal. Trombositosis (hitung trombosit >400.000/mL). Trombositosisdapat menimbulkantrombosis, pada PV tidak ada korelasi trombositosis dengan trombosis. Trombosis vena atau tromboflebitis dengan emboli terjadi pada 3050% kasus PV. Basofilia (hitung basofd >65/mL). Lima puluh persen kasus PV datang dengan gatal (pruritus) di seluruh tubuh terutama setelah mandi air panas, dan 10%kasus PV datang dengan urtikaria suatu keadaan yang disebabkan oleh meningkatnya kadar histamin dalam darah sebagai akibat dari basofilia. Terjadinya gastritis dan perdarahan lambung terjadi karena peningkatan kadar histamin. Splenomegali. Splenomegali tercatat pada sekitar 70% pasien PV. Splenomegali ini terjadi sebagai akibat sekunder dari hiperaktif hemopoesis ekstra medular. Hepatomegali. Hepatomegali dijumpai pada kira-kira sejumlah 40% PV. Sebagaimana halnya splenomegali,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI hepatomegali juga merupakan akibat sekunder dari hiperaktif hemopoesis ekstra medular. Laju siklus sel yang tinggi. Sebagai konsekuensi logis dari hiperaktif hemopoesis dan splenomegali adalah sekuestrasi sel darah makin cepat dan banyak dengan demikian maka produksi asam urat darah akan meningkat, disisi lain laju filtrasi gromerularmenurun karena penurunan shear rate. Artritis Gout dijumpai pada 5- 10%kasus PV Defisiensivitamin B,,, dan asam folat. Laju siklus sel darah yang tinggi dapat mengakibatkan defisiensi asam folat dan vitamin B,,, ha1 ini dijumpai pada + 30% kasus PV karena penggunaan/metabolisme untuk pembuatan sel darah, sedangkan kapasitas protein tidak tersaturasi pengikat vitamin B,2 (UB,, - Protein binding capacity) dijumpai meningkat pada >75% kasus. Seperti diketahui defisiensi kedua vitamin ini memegang peran dalam timbulnya kelainan kulit dan mukosa, neuropati, atrofi N.Optikus, serta psikosis. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
megakariosit, dan mielosit. Sedangkan dari histopatologi surnsum tulang adanya bentuk morfologi megakariosit yang patologis/abnormal dan sedikit fibrosis merupakan petanda patognomonik PV. Pemeriksaan Sitogenetika Pada pasien PV yang belum mendapat pengobatan P,, atau kemoterapi sitostatika dapat dijumpai karyotip ((lihat etiologi).Variasi abnormalitas sitogenetika dapat dijumpai selain tersebut di atas terutama jika telah mendapatkan pengobatan P,, atau kemoterapi sitostatika sebelumnya.
Kategori Faktor Risiko Risiko rendah Risiko menengah Risiko tinggi
Eritrosit Untuk menegakkan diagnosis polisitemia Vera pada saat perjalanan penyakit ini, peninggian massa eritrosit haruslah didemonstrasikan. Hitung sel jumlah eritrosit dijumpai >6 jutaImL pada pria dan >5,5 jutdml pada perempuan, dan sediaan apus eritrosit biasanya normokrom, normositik kecuali jika terdapat defisiensi besi. Poikilositosis dan anisositosis menunjukkan adanya transisi ke arah metaplasia mieloid di akhir perjalanan penyakit. Granulosit Granulositjumlahnya meningkat terjadi pada 2/,kasus PV, berkisar antara 12-25 ribdmL tetapi dapat sampai 60 ribd mL. Pada dua pertiga kasus ini juga terdapat basofilia. Trom bosit Jumlah trombosit biasanya berkisar antara 450-800 ribd mL, bahkan dapat > I jutdmL. Sering didapatkan dengan morfologi trombosit yang abnormal.
B,, Serum B,, serum dapat meningkat ha1 ini dijumpai pada 35%kasus dan dapat pula menurun ha1 ini dijumpai pada h 30%kasus, dan kadar UB,,BC meningkat pada >75% kasus PV. Pemeriksaan Sumsum Tulang Pemeriksaan ini tidak diperlukan untuk diagnostik, kecuali ada kecurigaan terhadap penyakit mieloproliferatiflainnya seperti adanya sel blas dalam hitung jenis leukosit. Sitologi sumsum tulang menunjikkan peningkatan selularitas normoblastik berupa hiperplasi trilinier dari seri eritrosit,
Faktor risiko umur muda - 60 tahun dan tidak ada riwayat trombosis dan jumlah trombosit < 150 000 per mm3 umur muda - 60 tahun dan tidak ada riwayat trombosis dan jumlah trombosit > 150 000 per mm3atau ada risiko kardiovaskular umur > 60 tahun atau ada riwayat kardiovaskular
DIAGNOSIS Sebagai suatukelainanmieloproliferatif,PV dapat memberikan kesulitan dengan gambaran klinis yang hampir sarna dengan berbagai keadaan polisitemia lainnya (polisitemia sekunder). Karena kompleksnya penyakit ini, International Polycythemia Stu& Group ke dua menetapkan 2 kriteria pedoman dalam menegakkan diagnosis polisitemia Vera dari 2 kategori diagnostik, diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika memenuhi kriteria: a). Dari kategori: A,+A,+A,, atau, b). Dari kategori: A,+A,+ 2 kategori B. Kategori A Meningkatnya massa sel darah merah, ha1 ini diukur dengan krom-radioaktif CrS1.Pada pria 5: 36 mL/kg, dan pada perempuan 2 32 mL/kg. Saturasi oksigen arterial 2 92%.Eritrositosisyang terjadi sekunder terhadap penyakit atau keadaan lainnya juga disertai massa sel darah merah yang meningkat. Salah satu pembeda yang digunakan adalah diperiksanya saturasi oksigen arterial, di mana pada PV tidak didapatkanpenurunan. Kesulitan ditemui apabila pasien tersebut berada dalam keadaan: - Alkalosis respiratorik, di mana kurva disosiasi p02 akan bergeser ke kiri, dan - Hemoglobinopati, di mana afinitas oksigen meningkat sehingga kurva PO, juga akan bergeser ke kiri. Spenomegali.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1217
POLISITEMIAVERA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kategori B Trombositosis: trombosit 2 400.000/mL, Leukositosis:leukosit 2 12.000/mL(tidak ada infeksi). Neutrophil alkaline phosphatase (NAP) score meningkat lebih dari 100 (tanpa adanya panas atau infeksi). Kadar vitamin B >900 pg/mL dan atau UB,,BC dalam serum2 2200 pg/mL. Dalam beberapa leteratur disebutkan usulan modifikasi kriteria diagnostik PV sebagai berikut:
,
Kategori A Peningkatan massa eritrosit lebih dari 25% di atas ratarata angka normal atau Packed Cell Volume pada lakilaki >0,6 atau pada perempuan 0,56 Tidak ada penyebab polisitemia sekunder spenomegali yang teraba Petanda klon abnormal (kariotipe abnormal) Kategori B Trombositosis >4 00 000 per mm3 Jumlah neutropil >10 x 10 9/L dan bagi perokok >12,5 x 10 9 / ~
Spenomegali pada pemeriksaan radio isotop atau ultrasonografi Penurunan serum ertropoietin atau BFU-Egrowth yang karakteristik Diagnosis polisitemia Vera: Kategori :A 1 + A2 dan A3 atau A4 atau Kategori :A 1 + A2 dan 2 kriteria katagori B.
PENATALAKSANAAN Prinsip Pengobatan Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal kasus (individual) dan mengontrol eritropoesis dengan flebotomi. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositiW polisitemia yang belum terkontrol. Menghindari pengobatan berlebihan (over treatment). Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia muda. Mengontrol panrnielosis dengan dosis tertentu fosfor radioaktif atau kemoterapi sitostatika pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan:
Gambar 1. Manajemen terapi polisitemia Vera
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
- Trombositosis persisten di atas 800.000/mL, -
terutama jika disertai gejala trombosis. Leukositosis progresif. Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan sitopenia problematik. Gejala sistemik yang tidak terkontrol seperti pruritus yang sukar dikendalikan, penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.
Media Pengobatan Flebotomi. Flebotomi dapat merupakan pengobatan yang adekuat bagi seorang pasien polisitemia selama bertahun-tahun dan merupakan pengobatan yang dianjurkan. Indikasi flebotomi: Polisitemia sekunder fisiologishanya dilakukanjika Ht > 55% (target Ht 4 5 % ) . Polisitemia sekunder non fisiologis bergantung pada derajat beratnya gejala yang ditimbulkan akibat hiperviskositas dan penurunan shear rate, atau sebagai penatalaksanaan terbatas gawat darurat sindrom paraneoplastik. Pada PV tujuan prosedur flebotomi tersebut ialah mempertahankan hematokrit < 42% pada perempuan, dan < 47% pada pria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas dan penurunan shear rate. lndikasi flebotomi terutama pada semua pasien pada permulaan penyakit, dan pada pasien yang masih dalam usia subur. Prosedur flebotomi : a).Pada permulaan, 250-500 cc darah dapat dikeluarkan dengan blood donor collection set standard setiap 2 hari. Pada pasien dengan dengan usia >55 tahun atau dengan penyakit vaskular aterosklerotik yang serius, flebotomi hanya boleh dilakukan dengan prinsip isovolemik yaitu mengganti plasma darah yang dikeluarkan dengan cairan pengganti plasma (coloid/plasma expander) setiap kali, untuk mencegah timbulnya bahaya iskemia serebral atau jantung karena hipovolemik; b). Sekitar 200 mg besi dikeluarkan pada tiap 500 cc darah (normal total body iron 5 g). Defisiensi besi merupakan efek samping pengobatan flebotomi berulang. Gejala defisiensi besi seperti glositis, keilosis, disfagia, dan astenia dapat cepat hilang dengan pemberian preparat besi. Fosfor radioaktif (P,,). Pengobatan dengan fosfor radioaktif ini sangat efektif, mudah, dan relatif murah untuk pasien yang tidak kooperatif atau dengan keadaan sosio-ekonomi yang tidak memungkinkan untuk berobat secara teratur. P,, pertama kali diberikan dengan dosis sekitar 2-3 mCi/m2 secara intravena, apabila diberikan per oral maka dosis dinaikkan 25%. Selanjutnya apabila setelah 3-4 minggu pemberian P,, pertama: 1). Mendapatkan hasil, re-evaluasi setelah 10-12 minggu. Jika diperlukan dapat diulang akan tetapi ha1 ini jarang dibutuhkan. 2). Tidak mendapatkan hasil selanjutnya dosis kedua dinaikkan 25%
dari dosis pertama, dan diberikan sekitar 10-12 minggu setelah dosis pertama. Dengan cara ini panmielosis dapat dikontrol pada sekitar 80% pasien untuk jangka waktu sekitar 1-2 bulan dan mungkin berakhir 2 tahun atau lebih lama lagi. Sitopenia yang serius setelah pengobatan ini jarang terjadi. Pasien diperiksa sekitar 2-3 bulan sekali setelah keadaan stabil. Trombositosis dan trombositemia yang mengancam (hiper aggregasi) atau terbukti menimbulkan trombosis masih dapat terjadi meskipun eritrositosis dan lekositosis dapat terkontrol. Kemoterapi sitostatika. Tujuan pengobatan kemoterapi sitostatika adalah sitoreduksi. Saat ini lebih dianjurkan menggunakan Hidroksiurea salah satu sitostatika golongan obat anti metabolik, sedangkan penggunaan golongan obat alkilasi sudah banyak ditinggalkan atau tidak dianjurkan lagi karena efek leukemogenik, dan mielosupresi yang serius. Walaupun demikian FDA masih membenarkan (trpproved) Chlorambucil dan Busulfan digunakan pada PV Indikasi penggunaan kemoterapi sitostatika: hanya untuk Polisitemia rubra primer (PV), flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan >2 kali sebulan, trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis, urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin, splenomegali simptomatik/mengancamruptura limpa. Cara pemberian kemoterapi sitostatika: Hidroksiurea (OHydrea 500mgltablet) dengan dosis 800-1200 mg/m2/hariatau diberikan sehari 2 kali dengan dosis 10-15 mglkgE3B/kali, j ika telah tercapai target dapat dilanjutkan dengan pemberian intermitten untuk pemeliharaan. Chlorambucil (@LeukeranSmgltablet) dengan dosis induksi 0,l-0,2 mg/kgBB/hari selama 3-6 minggu, dan dosis pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap 2-4 minggu. Busulfan (@Myleran2mgtablet) 0,06 mg/kgBB/hari atau 1,8 mg/m2/hari, jika telah tercapai target dapat dilanjutkan dengan pemberian intermitten untuk pemeliharaan.
Pasien dengan pangobatan cara ini harus diperiksa lebih sering (sekitar dua sampai tiga minggu sekali). Kebanyakan klinisi menghentikan pemberian obat jika hematokrit: Pada pria <47% dan memberikannya lagi jika >52%, Pada perempuan <42% dan memberikannya lagi jika >49%. Kemoterapi biologi (sitokin). Tujuan pengobatan dengan produk biologi pada PV terutama adalah untuk mengontrol trombositemia (hitung trombosit >800.000/mm3), produk biologi yang digunakan adalah Interferon a. Interferon a flntron-A 3 & 5 juta Iu, %Roveron-A3 & 9juta Iu) digunakan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1219
POLISITEMIAVERA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI terutama pada keadaan trombositemia yang tidak dapat di kontrol, dosis yang dianjurkan 2 juta Iu/m2/s.c.atau i.m. 3 kali seminggu. Kebanyakan klinisi mengkombinasikannya dengan sitostatika Siklofosfamid ("Cytoxan 25mg & 50mgltablet) dengan dosis 100mg/m2/hari,selama 10-14 hari atau sampai target telah tercapai (hitung trombosit < 800.000/mm3) kemudian dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 100mg/m21-2 kali seminggu. Pengobatan Suportif Hiperurisemia diobati dengan alopurinol 100-600 mgl hari oral pada pasien dengan penyakit yang aktif dengan memperhatikan fungsi ginjal. Pruritus dan urtikaria dapat diberikan antihistamin,jika diperlukan dapat diberikan Psoralen dengan penyinaran Ultraviolet range A (PUVA) Gastritis/ulkus peptikum dapat diberikan penghambat reseptor Hz. Antiaggregasi trombosit Analgrelide turunan dari Quinazolin disebutkan juga dapat menekan trombopoesis.
PEMBEDAHAN PADA PASIEN PV Pembedahan Darurat Pembedahan segera sedapat-dapatnya ditunda atau dihindarkan. Dalam keadaan darurat dapat dilakukan flebotomi agresif dengan prinsip isovolemik dengan mengganti plasma yang terbuang dengan plasmafusin 4% atau cairan plasma ekspander lainnya bukan cairan isotonis atau garam fisiologis, suatu prosedur yang dapat digolongkan sebagai tindakan penyelamatan hidup (life-saving). Tindakan splenektomi sangat berbahaya untuk dilakukan pada semua fase polisitemia, dan harus di hindarkan karena dalam perjalanan penyakitnyajika terjadi fibrosis sumsum tulang organ inilah yang masih diharapkan sebagai pengganti hemopoesisnya. Pembedahan Berencana Pembedahan berencana dapat dilakukan setelah pasien terkontrol dengan baik. Lebih dari 75% pasien dengan PV tidak terkontrol atau belum diobati akan mengalami perdarahan atau komplikasi trombosis pada pembedahan, kira-kira sepertiga dari jumiah pasien tersebut akan meninggal. Angka komplikasi akan menurunjauh jika eritrositosis sudah di kontrol dengan adekuat sebelum pembedahan. Makin lama telah terkontrol, makin kecil kemungkinan terjadinya komplikasi pada pembedahan. Darah yang di dapat dari flebotomi dapat disimpan untuk transfusi autologus pada saat pembedahan.
Pencegahan Tromboemboli Peri Operatif Pencegahan tromboemboli perioperatif dapat dilakukan dengan: Penggunaan alat-alat bantu mekanik seperti kaos kaki elastik (elastic stocking;) atau pulsatting boots. Heparin dosis rendahjika tidak ada indikasi kontra dapat diberikan. Untuk dewasa, heparin i.v drip dengan dosis 10-20IukgBBIjam dengan target APTT 40"-60" sampai pasien dapat berjalan atau ambulatorik. Kemudian 50100 Iu/kgBB/subkutandapat diberikan setiap 8- 12jam sampai pasien kembali ke aktivitasnormal.
PROGNOSIS Polisitemia adalah penyakit kronis dan keseriusan penyakit Polisitemia Vera ditegaskan bahwa faktanya survival median pasien sesudah terdiagnosa tanpa diobati 13-3 tahun sedang yang dengan pengobatan lebih dari 10 tahun. Penyebab utama morbiditi dan mortaliti adalah: Trombosis dilaporkan pada 1560% pasien, tergantung pada pengendalian penyakit tersebut dan 10-40% penyebab utama kematian. Komplikasi perdarahan timbul 1535% pada pasien polisitemia Vera dan 6-30% menyebabkan kematian Terdapat 3-10% pasien polisitemia Vera berkembang menjadi mielofibrosis dan pansitopenia Polisitemia Vera dapat berkembang menjadi leukemia akut dan sindrom mielodisplasia pada 1,5% pasien dengan pengobatan hanya phlebotomy. Peningkatan risiko transformasi 13,5% dalam 5 tahun dengan pengobatan klorambusil dan 10,2% dalam 6- 10 tahun pada pasien dengan pengobatan 32P.Terdapat juga 5,9% dalam 15 tahun risiko terjadinya transformasi pada pasien dengan pengobatan hydroxyurea.
REFERENSI Means RT. Erytrhocytosis. In: Greer JP, Rodgers GM, Foeerster JF, Paraskevas F, Lukens JN, et al, editors. 11th edition. Volume 2. Wintrobe's clinical hematology; 2004. p. 1495-505. Mossuz P, Girodon F, Donnard M. Diagnostic value of serum erythropoietin level in patients with absolute erythrocytosis. Haematologica. 2004; 1194-8. Person TC, Messinezy M, Westwood N, Green AR, Bench AJ, et al. A polycythemia Vera update: diagnosis, pathology, and treatment. American Sociaety of Hematology. 2000;51-65. Radin Al. Polycythemia rubra vera. Current therapy in hematology-oncology. 5* edition. 1995. p. 236-42. Spivak JL. Polycythemia vera. Harrison's principles of internal medicine. 16thedition. 1997. p. 679-81. Stuart BJ, Viera AJ. Polycythemia vera. American family physician. 2004. White P. Myeloproliferative and myelodysplastic syndromes: polycythemia vera. Handbook of cancer chemotherapy. 31h edition. In: Skeel RT, editor. Boston: Little, Brown & Co; 1991. p. 324-5.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
.
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
TROMBOSITOSIS ESENSIAL Irza Wahid
PENDAHULUAN Di Amerika Serikat istilah trombositosis esensial disebut primary (essential) thrombocythemia, sedangkan di Eropa disebut thrombocythemia Vera. Trombositosis esensial merupakan anggota dari kelompok gangguan mieloproliferatif. Schafer A1 menggabungkan trombositosis esensial dengan gangguan mieloproliferatif lainnya dengan istilah trombositosis klonal. Dalam ha1 ini yang digolongkan sebagai trombositosis klonal adalah trombositosis esensial, polisitemia primer dan mielofibrosis. Penyakit mieloproliferatif lainnya adalah leukemia granulositik kronik (BCRIABL positif), leukemia eosinofilik kronik, leukemia netrofilik kronik serta penyakit mieloproliferatif yang tidak tergolongkan. Trombositosis esensial diperkirakan terdapat pada 400 orang dari 1.000.000 populasi. Hampir semua pasien trombositosis esensial berusia lebih dari 50 tahun, walaupun demikian pernah dilaporkan kasus pada anak berusia 2 tahun. Kurang dari 10 % pasien berusia kurang dari 10 tahun. Prevalensi trombositosis esensial lebih tinggi pada perempuan dibandingkanpria. Cortelazzo S dkk pada penelitiannya terhadap 100 orang pasien dengan trombositosis esensial memperlihatkan rerata usia pasien adalah 50 tahun (interval 17-82 tahun) dengan perbandingan pria dan perempuan 39 %:61 %.
Trombopoetin merupakan hormon kunci dalam pengaturan diferensiasi dan proliferasi megakariosit. Walaupun demikian beberapa sitokin sep-erti interleukin-6 dan interleukin-11juga berperan dalarn proses ini. Dalam keadaan normal, pengaturan produksi trombosit dari megakariosit di sumsurn tulang melibatkan pengikatan
trombopoetin bebas di plasma dengan megakariosit. Hal inilah yang merangsang aktifnya megakariositopoetik memproduksitrombosit (Gambar 1 A). Pada trombositosis reaktif, penyakit dasarnya akan merangsang peningkatan sintesis trombopoetin dengan mediator berbagai sitokin diantaranya interleukin-6 yang selanjutnya akan meningkatkan aktivitas megakariositopoetik memproduksi trombosit (Gambar 1B). Pada trombositosis klonal, terdapat gangguan pengikatan trombopoetin terhadap trombosit dan megakariosit abnormal, sehingga terdapat peningkatan kadar trombopoetin bebas di plasma. Walaupun reseptor trombopoetin (c-Mpl) berkurang, tetapi megakariosit menjadi hipersensitif terhadap aksi trombopoetin, yang akhirnya menyebabkan peningkatan megakariositopoetik dan produksi trombosit (Gambar 1 C). Mutasi somatik tunggal protein tirosin kinase JAK2 terlihat bertanggung jawab terhadap berbagai gambaran trombositosis klonal termasuk trombositosis esensial. Data terakhir memperlihatkan bahwa JAK2 ini berperan terhadap berkurangnya c-MPL. Beberapa peristiwa patofisiologi yang terlihat pada pasien dengan trombositosis esensial, yaitu: 1). Adanya bukti perubahan endovaskular pada pasien dengan eritromelalgia. Perubahan ini meliputi pembengkakan vaskular dengan penyempitan lumen yang disebabkan proliferasi otot polos dengan vakuolisasi, pembengkakan sitoplasma, deposisi material interselular dan fragmentasi lamina elastika interna, 2). Perubahan arsitektur dan h g s i trombosit yang meliputi heterogenitas ukuran, perubahan ultrastruktur, peningkatan jumlah protein spesifik trombosit, peningkatan tromboksan dan ekspresi epitop pada permukaan trombosit, 3). Perubahan genetika berperan penting dalam regulasi ekspresi trombopoetin, 4). Terdapat hubungan terbalik antara peningkatanjumlah trombosit dengan faktor von Willebrand multimers.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TROMBOSITOSIS ESENSlAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
1221
4). Peningkatan jumlah trombosit yang menyebabkan produksi berlebihan prostasiklin (PGI,) yang akan menekan penglepasan granul trombosit dan agregasi.
GAMBARAN KLlNlS
Gambar 1. Regulasi normallabnormal produksi trombosit
Trombosis merupakan manifestasi klinis mayor trombositosis esensial. Patogenesis terjadinya trombosis pada trombositosis esensial bersifat multifaktorial. Mekanisme trombositosis esensial dalam menimbulkan trombosis rnasih dieksplorasi secara luas. Karena trombosis tidak biasa terjadi pada trombositosis reaktif, maka diduga jumlah trombosit saja tidak merupakan dasar untuk terjadinya trombosis. Perubahan arsitektur megakariosititrombosit dengan trombosit yang abnormalimembesar ditemukan pada pasien trombositosis esensial, tetapi beberapa studi gaga1 membuktikan hubungan ini dalarn menimbulkan trombosis. Interaksi endotel dan trombosit serta peningkatan platelet factor (pf #)/beta tromboglobulin menyokong aktivasi trombosit yang berlebihan pada trombositosis esensial, merupakan mekanisme penting untuk terjadinya trombosis. Walaupun lebih jarang manifestasi hemoragis juga dapat muncul pada trombositosis esensial. Hemoragis dapat terjadi melalui beberapa mekanisme: 1).Abnormalitas fungsi trombosit; 2). Trombosis dengan infark yang mengalami ulserasi; 3). Konsumsi faktor koagulasi;
Sepertiga pasien trombositosis esensial mempunyai gambaran klinis yang silent. Lima puluh persen pasien trombositosis esensial, minimal mengalami sekali episode trombosis dalam waktu 9 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Lesi oklusi vaskular merupakan gambaran klinis utama pada trombositosis esensial yang gejalanya bervariasi mulai dari episode iskemia transient pada retina, susunan saraf pusat, sampai dengan adanya gambaran klinik yang lengkap, sekunder dari penurunan aliran darah dengan manifestasi angina pektoris, infark miokard akut, strok dan trombosis vena dalam. Aspek klinis khusus lesi trombotik pada trombositosis esensial adalah eritromelalgiadan trombosis mikrosirkulasi. Eritromelalgia hampir dapat disebut sebagai penemuan patognomonis pada pasien dengan trombositosis esensial. Keluhan ini biasanya dimulai dengan acroparesthesis atau sensasi gatal pada kaki yang bisanya dikuti dengan rasa nyeriiterbakar serta kemerahan dan bendungan yang kadang dapat dicetuskan oleh exerciselpanas. Trombosis mikrosirkulasi berupa lesi pada arteri dan arteriol menghasilkan gejala berupa episode iskemia yang transient dengan manifestasi berupa gangguan visus, claudicatio intermittent dan infark pada jari. Karena oklusi hanya terjadi pada mikrovaskular maka denyut nadi sering masih teraba pada pada palpasi. Adanya gangren pada jari kaki dengan pulsasi arteri perifer yang masih baik pada pasien dengan peningkatan jumlah trombosit merupakan petanda kuat trombositosis esensial. Walaupun istilah thrombohemorrhagica umum digunakan untuk gambaran klinis trombositosis esensial, perdarahan lebih jarang muncul dibandingkan dengan trombosis. Perdarahan yang muncul biasanya ringan berupa ekimosis superfisial terutama pada ekstremitas, tetapi dapat juga berupa perdarahan spontan epistaksis, ginggiva ataupun perdarahan ringan pada gastrointestinaligenitourinarius. Splenomegali didapatkan pada 70% pasien trombositosis esensial, sedangkan hipertensi didapatkan sebanyak 30%. Trombosis vaskular plasenta dengan infark berkaitan tingginya insiden abortus pada perempuan dengan trombositosis esensial. Abortus spontanlberulang dan retardasi pertumbuhan janin terjadi pada 50% pasien perempuan dengan trombositosis esensial. Cortelazzo S dkk pada penelitiannya terhadap 100 orang pasien dengan trombositosis esensial memperlihatkan 76% pasien tanpa komplikasi trombosis
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HEMATOLOGI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI ataupun hemoragis, 20% dengan manifestasi trombosis, dan hanya 4% dengan manifestasi hemoragis. Walaupun jarang, dalam perjalanan penyakitnya trombositosis esensial dapat mengalami transformasi menjadi mielofibrosis dan leukemia mieloblastik akut.
DIAGNOSIS
Peningkatan jumlah trombosit yang menetap merupakan gambaran diagnosis utama trombositosis esensial. Walaupun demikian penyebab lain peningkatan jumlah trombosit hams disingkirkan. Trombositosis yang disertai dengan splenomegali lebih mengarahkan diagnosis kepada trombositosis esensial dibandingkan dengan trombosis reaktif Kriteria diagnosis: Hitung trombosit >450.000 ul (dikonfirmasi lebih dari 1 kali) Tidak ditemukan penyebab lain peningkatan hitung trombosit Tidak ditemukan sindrom mielodisplasia atau gangguan mieloproliferatif lainnya. Sumsum tulang dengan: hiperplasia megakariositik fibrosis 4 1 3 bagian Kriteria tambahan: Splenomegali Invitro: pembentukan koloni megakariositik spontan
Campbell PJ dan Green AR mengusulkan kriteria diagnosis untuk trombositosis esensial sebagai berikut: A 1. Hitung trombosit >600 x 109/1minimal dalam waktu 2 bulan A2. Mutasi JAK2 B1. Tidak didapatkan penyebab trombositosis reaktif B2. Tidak didapatkan bukti defisiensi besi 83. Tidak didapatkan bukti polesitemia Vera B4. Tidak didapatkan bukti leukemia mielositik kronik B5. Tidak didapatkan bukti mielofibrosis B6. Tidak didapatkan bukti sindrom mielodisplasia Diagnosis trombositosis esensial dapat ditegakkan apabila A1 + A2 + B3 -B6 (V617F- trombositosis esensial posit# atau A 1 + B l - B6 (V617F-trombositosis esensial negatif) Keadaan klinis yang berkaitan dengan trombositosis reaktif: Akut dan transient Menetap (menit-jam): epinefrin, berkuat *. Menetap Qam-beberapa hari): - Kehilangan darah akut - Penyembuhan infeksi akut - Pasca (rebound) trombositopenia - Pasca imunisasi - Pasca kemoterapi cytoreductive - Pasca anemia megaloblastik - Pasca trombositopenia alkoholik Kronik Menetap dalam waktu yang lama: kehilangan darah kronik dengan defisiensi besi, penyakit inflamasi kronik, penyakit infeksi kronik, kanker, anemia hemolitik Menetap dan potensial untuk berlangsung seumur hidup Pasca splenektomi
DIAGNOSIS BANDING
Gambar 2. Gambaran Histologi Trombositosis Esensial. A. Gambaran darah tepi yang menunjukkan peningkatan jumlah trombosit termasuk adanya trombosit raksasa. B. Gambaran sumsum tulang yang menunjukkan peningkatanjumlah megakariosit
Pada keadaan ditemukannya peningkatan jumlah trombosit (>450.000/mm3) terlebih dahulu harus disingkirkan bahwa ha1 ini bukanlah disebabkan oleh suatu keadaan trombositosis reaktif. Pada trombositosis reaktif sering ditemukan adanya penyakit dasar dan tidak dite~nukanadanya keadaan trombosis/hemoragis serta splenomegali. Di samping itu fungsi trombosit, gambaran darah tepi dan gambaran sumsum tulang dalam batas normal. Selanjutnya harus dibedakan antara trombositosis esensial dengan gangguan mieloproliferatif lainnya yakni polisitemia primer, mielofibrosis idiopatik, leukemia granulositik kronik, leukemia easinofilik kronik dan leukemia netrofilik kronik.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TROMBOSITOSISESENSIAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Trombosis Klonal Penyakit dasar lskemia DigitaIlserebrovaskular Trombosis arteri Ivena besar Hemoragis Splenomegah Gambaran darah tepi Fungsi trombosit Gambaran sum-sum tulang Jumlah Morfologi
Hemoglobin
Trombosis Reaktif
'
Tidak ada Karakteristik
Sering Tidak ada
Risiko tinggi
Tidak ada
Risiko Tinggi Ya, sekitar 40 % Trombosit raksasa Mungkin abnormal
Tidak ada Tidak ada Trombosit normal Normal
Meningkat Giant, dysplastic forms with increased ploydy associated with larges masses of platelet debris
Meningkat Normal
Trornbositosis Esensial
Polisiternia Vera
Mielofibrosis ldiopatik
Normal / J
ttt
J.
Leukosit (XI 0~11) Trombosit (XI 0~11)
12-25
Be~ariasi
450 - 800
450 - 1000
Eritrosit berinti
Jarang
Jarang
Umum
Alkali fosfatase leukosit
Normal
Biasanya T
Normal - TT
Sum-sum tulang
H~perselular Megakariosit TT '?
Hiperselular Cadangan Fe t
Fibrosis, dry tap
Fibroblast
(-) -TT
(-1 - t
TT- t T t
40% - 50%
80%
80%- 99%
10 - 15%
5%- 20%
Masa eritrosit T Eritropoetin J
Marrow imaging
Splenomegali (%)
Transformasi blastik (%) Pemeriksaan khusus
Tes fungsi platelet abnormal
PENATALAKSANAAN Hidroksiurea merupakan terapi pilihan pertama pada trombositosis esensial dengan risiko tinggi. Hal ini disebabkan oleh efektifitas serta jarangnya timbul efek samping. Hidroksiurea tidak hanya efektif dalam mengurangijumlah trombosit tetapi juga dalarn mengurangi risiko timbulnya trombosis. Dosis yang digunakan adalah 15 mglkgbb. Efek samping yang dapat timbul adalah anemia, netropenia, lebih jarang lagi dapat timbul ulkus pada kakilmulut dan lesi pada kulit. Efek leukemogeniknya masih dalam perdebatan. Anagrelid suatu derivat quinazolin dapat menghambat proliferasi dan diferensiasi megakariosit. Anagrelid telah
terbukti dapat dijadikan sebagai terapi alternatif pada trombositosis esensial. Dosis dimulai dengan 2 mglhari (terbagi dalam 2-4 dosis) dan dapat ditingkatkan 0,5 mg/ hari setiap 7 hari sampai tercapai target jumlah trombosit dengan dosis maksimal10 mghari. 30% pasien tidak dapat mentoleransi anagrelid karena efek vasodilator dan inotropik positifnya. Efek samping meliputi retensi cairan, palpitasi dan aritmia. Storen EC dan Tefferi A melaporkan pemakaian jangka panjang anagrelid berkaitan dengan penurunan efek samping yang timbul pada awal terapi. Normalisasi jumlah trombosit dibutuhkan untuk meminimalkan efek trombohemoragis selama terapi. Pemakaian interferon alfa dibatasi oleh beratnya efek samping yang ditimbulkannya. 20% pasien tidak dapat mentoleransi efek samping ini. Pada perempuan trombositosis esensial denagn risiko tinggi yang berkeinginanlsedang hamil maka interferon alfa menjadi pilihan pertama. Hal ini disebabkan oleh efek teratogenik hidroksiurea dan diketahuinya anagrelid dapat melewati plasenta sehingga keamanannya menjadi tidak terjamin. Trombosit dapat dikurangi hingga <600000/mm3pada 90% pasien dengan dosis rerata 3000.000 iu setiap hari. Dalam pemilihan terapi cytoreductive, Spivak dkk merekomendasikan anagrelide dan interferon alfa pada pasien muda dan hidroksiurea pada pasien yang lebih tua. Aspirin sangat efektif sebagai terapi adjungtive, pasien trombositosis asensial dengan trombosis rekuren. Belum banyak ditemukan kepustakaan yang membahas antitrombosit lainnya seperti tiklopidin dan klopidogrel. Campbell PJ dan Green AR merekomendasikan penatalaksanaan pasien dengan trombositosis esesnsial sebagai berikut: 1). Semua pasien. Pengelolaan terhadap faktor risiko kardiovaskular lainnya seperti merokok, hipertensi, hiperkolesterolemia dan obesitas; 2). Pasien dengan risiko tinggi yakni pasien dengan riwayat trombosis atau berusia >60 tahun atau hitung trombosit > 1500 X 109/l.Aspirin dosis rendah ditambah hydroxyurea (anagrelide atau interferon alfa sebagai pilihan kedua); 3). Pasien dengan risiko menengah yakni pasien dengan usia 40-60 tahun dan tidak didapatkan gambaran risiko tinggi. Aspirin dosis rendah dan pertimbqngkan terapi cytoreductive j ika didapatkan faktor risiko kardiovaskular; 4). Pasien dengan risiko rendah yakni pasien dengan usia < 40 tahun dan tidak didapatkan gambaran risiko tinggi. Aspirin dosis rendah.
REFERENSI Anagrelide Study Group. Anagrelide, a theraphy for thrombocythemic states: experience i n 577 Patients. A m J Med. 1992;92:69-76. B a r b u i T, Finazzy G. When and h o w t o treat essential thrombocythemia. N E n g l J Med. 2005;353:85-6. Campbell PJ, Green AR. Management o f polycythemia Vera and essential thrombocythemia. Hematology. 2005:201-9.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUKMessinezy dr. PRIYO PANJI M, Pearson TC. ABC
Caldwell BS. Chronic myeloproliferative disorders. Harmening DM Clinical hematology and fundamentals of hemostasis. 4Ih edition. In: Fratantoro C, Waltner P, Brandt J, editors. Philadelphia: F.A. Davis Company; 2002. p. 331-57. Cortelazzo S, Finaui G, Ruggeri M, et al. Hydroxyurea for patients with essential thrombocythemia and high risk of thrombosis. N Engl J Med. 1995;332:1132-6. Frenkel EP, Mammen EF. Sticky platelet syndromeand thrombocythemia. Hematol Oncol Clin N Am. 2003;17:63 83. Harrison CN. Platelets and thrombosis in myeloproliverative diseases. Hematology. 2005:409-15. Kausansky KO. The molecular origins of the chronic myeloproliferative disorders: it all makes sense. Blood. 2005;105:418790.
of clinical haematology: polycythemia, primary (essential) thrombocythemia and myelofibrosis. BMJ. 1997;314:587. Schafer AI. Thrombocytosis. N Engl J Med. 2004;350:1211- 9. Spivak JL, Barosi G, Tognoni G, et al. Chronic myeloproliferative disorders. Hematology. 2005:200-24. Storen EC, Teffery A. Long-term use of anagrelide in young patients with essential thrombocythemia. Blood. 2001;97:8636. Tomer A. Effects of anagrelide on in vivo megakaryocyte proliferation and maturation in essential thrombocythemia. Blood. 2002;99:1602-9.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
MIELOFIBROSIS Suradi Maryono
PENDAHULUAN Mielofibrosis m e r u ~ a k a n suatu kelainan vana . dihubungkan dengan adanya timbunan substansi kolagen berlebihan dalam sumsum tulang. Kelainan ini secara definitifmerupakankelainan sel stem hematopoiesisklonal, dihubungkandengan chronic myeloproliferative disorders (CMPD), dimana adanya hematopoeisis ekstramedular merupakan gambaran menyolok. Penyakit ini termasukjarang didapatkan dalam praktek sehari-hari, pertama kali dilaporkan oleh Heuck G., pada tahun 1879(Sit. Clark dan William 2005), dengan nama lebih 30 macam, termasuk: Mielofibrosis primer, osteomielofibrosis, metaplasia mieloid agnogenik, mielofibrosis idiopatik dan lebih sering disebut sebagai Mielofibrosis dengan Metaplasia Mieloid (MMM). MMM perlu dibedakan dengan beberapa jenis lainnya, dimana mielofibrosis disini merupakan fenomena sekunder. ( Tabel 1) Terdapat kelainan bersifat familial yang jarang terdapat, misalnya primer hyperthrophic osteoarthropathy, mielofibrosis yang terjadi primer akibat gangguan pertumbuhan fibroblas sumsum tulang.
Kondisi Neo~lastik. Gangg~an'mielo~roliferatif kronik Metaplasia mieloid agnogenik Polisitemia rubra Vera Leukemi mieloid kronik Kondisi neoplastik lainnya. Leukemia megakarioblastik akut (M7) Fibrosis dengan mielodisplasia ' Agnogenik transisional Mielodisplatik metaplasia mieloid Sindrom mieloproliferatif Mieoloid akut lain Leukemia Leukemia limfoid akut Leukemia Hairy cell Mieloma Karsinoma Mastositosis sistemik Kondisi Non Neoplastik. Penyakit granulomatosa Penyakit paget Hipoparatiroidisme Hiperparatiroidisme Osteoporosis Osteodistrofi ginjal Defisiensi Vitamin D Gray pletelet syndrome Lupus eritematosus sistemik Sklerosis sistemik
ETlOLOGl DAN PATOGENESIS
Diadaptasi dari Clark dan William (Wintrobe's clinical hematology, 2005).
Penyebab MMM belum diketahui dengan jelas. Tidak diketemukan adanya faktor pencetus, secara epidemiologi ada beberapa substansi diperkirakan sebagai penyebab, misalnya: Toluen, benzen, radiasi ionisasi. Insidensi tertinggi MMM pada pasien akibat pemberian material kontras radiografi dengan bahan dasar torium yaitu, Torotras. Korban akibat bom atom Hiroshima juga mempunyai risiko MMM 18 kali lebih besar daripada populasi lainnya, simtom pertama muncul
6 tahun setelah eksposur. Tefferi (2003) menemukan insidens MMM di Amerika utara 0,3-1,5 kasus per 100.000populasi.
HEMATOPOIESIS KLONAL Pada tahun 1951, Dameshak mengelompokkan MMM dengan CML (chronic myeloid leukemia), PV
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI (Policythemia vera) dan ET (Essential thrombocythemia) seperti halnya CMPD, karena klinis dan morfologi hampir sama. Semua memperlihatkan adanya: hiperplasia sumsum tulang, hematopoiesis yang tidak tergantung rangsangan fisiologis, suatu fase adanya kenaikan konsentrasi sel darah dalam sirkulasi, tendensi fibrosis sumsum tulang dan suatu tendensi terhadap terminasi leukemia akut. Semua gambaran CMPD yang muncul, adalah suatu mutasi somatik sel stem hematopiesis pluripoten. Beberapa observasi memperjelas adanya hematopoiesis klonal neoplastik pada MMM. Separuh pasien yang terdiagnosis, memperlihatkan abnormalitas sitogenetik klonal. Petanda lain klonalitas yang diobservasi adalah: neutrofil sirkulasi, eritrosit, platelet, limfosit dan beberapa prekusornya dalam sumsum tulang, meliputi distribusi isoenzim glukose-6-fosfat dehidrogenase, pola inaktivasi kromosom x pada perempuan, defek sel membran dan mutasi gen N-ras. Konsentrasi sel progenitor dalarn sirkulasi pada MMM, 10-20 kali normal dan CD34+ sel progenitor dalam sirkulasi meningkat 400 kali di atas level normal. Sel progenitor dari MMM hipersensitif terhadap sitokin dan dapat terjadi proliferasi secara in vitro tanpa rangsangan sitokin. Sifat-sifat di atas konsisten dengan semua gambaran pada CMPD. Progenitor megakariosit pada pasien MMM mungkin juga mengalami deferensiasi yang tidak tergantung trombopoietin (TPO), sebagai rangsangan fisiologis.
PERUBAHAN TINGKAT MOLEKULAR Adanya mutagen diperkirakan sebagai faktor pencetus yang menghasilkan hemopatia klonal pada MMM. Abnormalitas sitogenetik ternyata tidak konsisten seperti halnya perubahan gene bcr/abl pada CML, yang dihadirkan sebagai kandidat gen penting pada patogenesisnya. Perubahan tingkat molekular terjadinya MMM belum jelas, sampai sekarang masih dalam penelitian. Perbedaan ekspresi panel gen kandidat telah diteliti antara sel progenitor cytokine-independent dari pasien MMM dengan progenitor cytokine-dependent (diperkirakan normal). Immunophilin FKBPS 1 berekspresi berlebihan pada semua pasien yang diteliti dan fungsi ini terutama pada cytokine- independence. Faktor transkripsi GATA- 1 aktif pada diferensiasi megakariosit normal. Pada penelitian tikus terdapat kegagalan ekspresi GATA-1 menghasilkan sindrom yang menyerupai MMM. Sehingga peru-bahan langsung pada GATA-1 penting untuk terjadinya MMM. Beberapa gen yang berhubungan dengan pertumbuhan lain telah diteliti, misalnya: Gen retino-blastoma yang mungkin mengalami delesi atau perubahan ekspresi dan gen kalsitonin yang mengalami metilasi. Perkembangan MMM mungkin berhubungan dengan abnormalitas gen pS3 atau gen ras.
FIBROSIS SUMSUM TULANG DAN HEMATOPOlESlS EKSTRAMEDULARE Mielofibrosis pada MMM merupakan reaksi sekunder terhadap hemopatia klonal. Sel fibroblas mensekresi kolagen yang akan diakumulasi, sel ini normal dan bersifat poliklonal. Mereka distimulasi oleh sitokin yang dibebaskan dari megakariosit neoplastik dan dari klonal sel hemopoietik yang dikembangkan lainnya. Perusakan dan sintesis kolagen terjadi sehingga adanya konsentrasi prokolagen (hasil pemecahan kolagen) merupakan petanda sintesis kolagen baru yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit tersebut. Kolagen ditimbun dalam ruang ekstraselular dan elemen vaskular dalam sumsum tulang. Empat dari lima tipe kolagen terdapat disini. Kolagen tipe 1 dan 3 merupakan komponen fibrosis utama pada MMM, dan timbunan kolagen meningkat setara dengan lamanya penyakit. Pada tahap awal MMM persentase kolagen tertinggi adalah tipe 3, sedangkan pada tahap akhir kolagen tipe 1 (kolagen polimerik) tertinggi. Pada MMM sebagian kecil terdapat molekul matrik yang lebih banyak mengandung heksosamin daripada normal. Vaskularisasi juga meningkat, luasnya neovaskularisasi ini berhubungan dengan luasnya penyakit dan mungkin ha1 ini penting terhadap timbulnya fibrosis. Transforming growth factor (TGF)-P sebagai mediator utama terhadap akumulasi kolagen pada MMM. Sitokin ini disintesa oleh megakariosit dan sel endotel seperti halnya pada sistem monosit-makrofag. TGF-P lebih poten dalam mensekresi kolagen daripada growth factor derivatplatelet atau epidermal growth factor dan mungkin meregulasi kedua sitokin tersebut. TGF-P juga stimulus yang poten terhadap angiogenesis. Peningkatan angiogenesis ini sesuai penelitian Lundberg et a1 (2000), dengan membandingkan penyakit mieloproliferatif (PV, CML dan mielofibrosis/ MF) dengan pemeriksaan biopsi sumsum tulang normal, disini terjadi peningkatan vaskularisasi secara bermakna pada CML dan MF, sedikit peningkatan pada PV dibandingkan dengan normal (Gambar l c ) . Peningkatan vaskularisasi ini akibat adanya neoangiogenesis karena rangsangan faktor angiogenetik yang dipicu adanya sel ganas. Faktor angiogenetik tersebut adalah: basic Fibroblast growth factor (bFGF) dan vascular endothial cell growth factor (VEGF), yang akan memicu sel endotel untuk migrasi, proliferasi dan membentuk jaringan pembuluh darah pada tempat tersebut. Kenaikan kadar TGF-P dapat dideteksi dengan naiknya sirkulasi platelet dan megakariosit yang merupakan fragmen MMM. Beberapa growth factor lain diperkirakan juga merangsang fibroblas pada MMM, antara lain: Platelet derived growth factor yang terdapat pada megakariosit MMM, epidermal growth factor, endothelial cell growth factor, interleukin-1, basic fibroblast
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI growth factor dan kalmodulin. Beberapa mekanisme bebasnya kenaikan kadar sitokin ke dalam lingkungan sumsum tulang antara lain: Sekresi sederhana dari granulaa megakariosit, megakariosit displastik yang rusak dalam sumsum tulang dan rusaknya megakariosit sitoplasma oleh leukosit PMN. Tikus percobaan yang diberi TPO konsentrasi tinggi, akan terjadi sindrom yang menyerupai MMM.Tikus yang diinjeksi secara cepat dengan polietilen-glikolconjugated T P O untuk mempercepat hiperplasia megakariosit, trombositosis, fibrosis sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedulare. Walaupun begitu peranan TPO pada M M M belum jelas, walaupun kadar TPO pada M M M meningkat tetapi tidak berkorelasi dengan masa megakariosit. Kenaikan kadar TPO ini diperkirakan karena mekanisme klirens yang berubah. Lebih lanjut ternyata TPO menghambat proliferasi sel stem hemopoietik pada
MMM. Distribusi hematopoiesis ekstramedular pada M M M fetus melibatkan liver dan limpa. Model mielofibrosis dengan merusak pembuluh darah, pada pemeriksaan ultrastruktur memperlihatkan hematopoiesis yang meningkat diluar sumsum yang memadat, dan mulai melepaskan prekusor hematopoiesis. Ruangan ekstramedulal; Atumbuhi pindahan sel hematopoiesis. Lepasnya prekursor sumsum serupa dengankerusakan sinusoid hasil hematopoiesis ekstramedular pada metastasis dan mungkin merupakan mekanisme . kanker . mum.
GAMBARAN KLlNlS UNTUK DIAGNOSIS
M M M menyerang golongan umur menengah dan tua, rerata umur 60 tahun, pria dan perempuan mempunyai kemungkinan sama. M M M kurang sering mengenai umur muda dan jarang pada anak. Anak lelaki 2 kali daripada perempuan. Pada beberapa kasus dilaporkan adanya faktor familial.
Splenornegali Hepatornegali Fatique Anemia Leukositosis Trornbositosis Sering ditemukan (10-50% kasus) Asirntornatik Penurunan berat badan Keringat malarn Perdarahan Nyeri splenik Leukositopenia Trombositopenia Kurang sering ditemukan ( 4 0 % kasus) Edema perifer Hipertensi portal Lirnfadenopati Kuning Gout 'Diadaptasi dari Clark and Williams (Wintrob's, 2005)
TANDA Splenomegali yang cukup besar merupakan penemuan fisik yang utama (Tabel 2). Hepatomegali diketemukan separuh pasien, 2-6% terdapat hipertensi portal, mungkin diikuti komplikasi: asites, varises esofagus, perdarahan gastrointestinal dan ensefalopatia hepatik. Juga ditemukan petekie, ekhimosis dan limpadenopati. Beberapa pasien memperlihatkan adanya dermatosis neutrofilik serupa pada sweet-syndrome dan mengalami hematopoiesis ekstramedular dermal, osteosklerosis yang sebagian diikuti periostetis dengan nyeri tulang dan ketulian. Bila permukaan serosa terlibat dalam hematopoiesis mungkin akan terdapat efusi pleura dan perikard atau asites. Kadang diikuti komplikasi neuroplogis berupa: tekanan intrakranial meninggi, delirium, koma, perdarahan subdural, kerusakan motorik, sensorik dan paralasis.
GEJALA .
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pada 25% kasus M M M berpenampilan asimptomatis, diagnosis disugesti dengan adanya pemeriksaan darah yang abnormal atau secara insidensil terdapat splenomegali. (Tabel 2) Gejala klinis pada umumnya: kelelahan otot dan penurunan berat badan (7-39%), sindrom hipermetabolik (demam, keringat malam terdapat 5-20% pasien), perdarahan dan memar, kadang terdapat masa dalam perut, Gout dan kolik renal terdapat 4-6%, tophi jarang didapatkan, diare dengan sebab tak jelas dan nyeri substernal kadang diketemukan.
Darah Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan sel eritrosit bentuk tear drop yang dihubungkan adanya eritrosit berinti dalam sirkulasi, leukosit neutrofil imatur dan platelet besar abnormal (Garnbar l a , l b ) . Retikulosit meningkat; eritrosit polikromasi, fragmentasi dan sel target juga sering diketemukan. Abnormalitas morfologi ini diakibatkan adanya perubahan hematopoiesis, bebasnya sel lebih awal dari sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedular. Bagaimana perubahan ini terjadi masih belum jelas.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Anemia dengan Hb kurang 10 grldl, ditemukan 60% kasus, yang dapat terjadi akibat hemodilusi akibat volume plasma yang meningkat, gangguan produksi sumsum tulang dan hemolisis. Hapusan darah tepi pasien mielofibrosis: anisopoikilositosis, oval dari eritrosit, reaksi leukomoid (samping granulosit terdapat satu metamielosit, satu promielosit dan satu normoblas). (Sumber: Atlas hematologi, Heckner & Freud, 1999) Hasil, A: Terdapat mikrovaskular lurus, sedikit bercabang dan jarang berkelok. B: Mikrovaskular lurus, sedikit bercabang, tidak berkelok. C: Terdapat mikrovaskular pendek, banyak bercabang dan berkelok. D: Terdapat mikrovaskular banyak bercabang dan sedikit berkelok. (Sumber: Lunberg et al., 2000) Sedangkan penyebab hemolisis diperkirakan: hipersplenisme, autoantibodi eritrosit, hemoglobin H yang didapat dan %danya sensitivitas membran komplemen yang serupa PNH (Paroxysnial noctrunul hemoglobinuria). Morfologi anemia tidak khas pada umumnya normositik normokromik, makrositik bila defisiensi asam folat dan mikrositik hipokromik bila defisiensi Fe atau perdarahan gastrointestinal. Jumlah leukosit meningkat pada 50% kasus, diikuti eosinofilia dan basofilia, sedangkan jumlah limfosit normal. Beberapa mieloblas ditemukan dalam sirkulasi perifer dan mungkin tidak dipikirkan adanya konversi ke arah leukemia akut, tetapi konsentrasi mieloblas ~ 1 % memberikan prognosis jelek. Juga ditemukan neutrofil hipersegmen, kenaikan enzim neutrofil, trombosit meningkat pada awal MMM, pada progresifitas penyakit dapat terjadi trombositopenia. Platelet biasanya berukuran besar, dalam sirkulasi ditemukan megakariosit yang utuh ataupun mengalami fragmentasi. Fungsi platelet sering tidak n o r ~ n a l , gangguan waktu perdarahan dan retraksi jendalan dan penurunan: kadar platelet factor 3, platelet adhesiveness dan aktivitas lipogenesis. Perubahan pada faktor pembekuan yang terlarut dapat terjadi pada penyakit tersebut. Koagulasi intravaskular diseminatal Disseminated Intravasculav Coagulation (KIDIDIC) subklinik dapat ditemui pada 15% pasien MMM bentuk lanjut dan defisiensi faktor V yang didapat dapat terjadi pada pasien tersebut di atas. Kadar asam urat dan enzim laktat dehidrogenase hampir selalu meningkat, menggambarkan adanya massa yang berlebihan dari sel hematopoietik atau adanya hematopoiesis yang tidak efektif atau keduanya. Juga dapat terjadi kenaikan kadar enzim alkalinefosfastase serum yang merupakan keterlibatan tulang, terjadi penurunan kadar albumin, kolesterol dan lipoprotein. Dapat terjadi kenaikan kadar vitamin B12 pada pasien dengan leukositosis, yang merupakan refleksi dengan peningkatan masa neutrofil.
Gambar l a . Teardrop poikilocytes dan sel darah merah berinti dari darah pasien mielofibrosis (pembesaran400x) (Sumber: Clark dan william, Wintrob's 2005).
Gambar I b . Hapusan darah tepi pasien mielofibrosis: aniso-poikilositosis, oval dari eritrosit, reaksi leukemoid (samping granulosit terdapat satu metamielosit, satu promielosit dan satu normoblast). (Sumber:Atlas hematologi, Heckner & Freud,l999)
Gambar I c . Pemeriksaan mikroskopis laser confokal hasil biopsi sumsum tulang normal (A), PV. (B), MF.(C) dan CML (D)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI SUMSUM TULANG Aspirasi pada sumsum tulang mungkin tidak berhasil (dt:~r(rp) dan memerlukan biopsi sumsum tulang untuk
metiegakkan diagnosis MMM. Suatu konsensus telah (?j t ~ ~ ' m ~ ~ r o l o ~ v . di buat oleh /t(iliu~lSociv~jData morfologi dan klinis digabungkan i ~ n t u k n~e~idiagnosis banding MMM dari penyakit CMPD lainnya, dan darj si~idromatnielodisplasia dengan fibrosis sumsuln tulang. Kriteria tersebut adalah: fibrosis sumsum tulang dan kelainan morfologi hiperplasia surnsum tulang dan hernatopoiesis ekstran~edular.Ketiga elemen tersehut di atas harus terdapat untuk diagnosis MMM. (Tabel 3) Gambar % M& i. &a%!&ri spejimQn WYpsi awWutr, tulang menampilkan peningkatan kolageh {diperbesar 400x) (Sumber Clark dan William. Wintrob's 2005) Kriteria Mayor Fibrosis sumsum tulang difus Hilangnya t9:22 kromasom atau bcrlabl rearrangement pada sel darah perifer Splenomegali. Kriteria Minor Anisopoikilos~tos~s dengan tear dropred cells Sel darah merah berlnti dalam sirkulasi CEustred marrow megakatyobtast dan anomalous megakanocytes Metaplasia mlelold 'Catatan : Ket~gakriter~amayor ditambah dua krlteria mlnor manapun atau dua krlteria mayor pertama ditambah empat kriteria minor manapun harus dldapatkan, untuk diagnosis
MMM. *Dladaptasl dari Clark and Wllliams (Wlntrob's,2005)
Fibrosis harus terjadi pada seniua kasus MMM, dan biasanya pada pasien lanjut. Pada stadium aha1 fibrosis niininlal dan hiperplasia sutnsum tulang mungkin Icbih jelas. Keadaan tersebut disebur fase selular MMM. Bilalnana fibrosis surnsum tulang tidak terb~tktipasien yang dicurigai MMM, perlu diambil material dari tctnpat lain, karena penyebaran tidak merata. Fibrosis mungkin perlLldigradiasi menurut sistern yang telah dipublikasi dan bukti adanys osteosklerosis (Cambar 2a, 2b). Bila fibrosis masif, selularitas keselt~ruhanakan tunm, tetapi adanya hiperplasia megakariosit tetap ada. Sinusold sulnsurn rulang akan meluas, disitli akan terjadi helnatopoiesis intravaskular (Gambar 3). Kenaikan jumlah sel ilrust dapat diobservasi pada pasien menjadi fibrosis pada saat biopsi. Pada sediaan apus sunlsutn, sepintas tidak terlihat kelainan. terapi sering didapatkan hiperplasia neutrofilik dan tnegakariosit. Adanya mikromegakariosit dan makroniegakariosit dapat ditemnkan, sehingga menimbulkan rrucleol--c:~~toplu.r~nic~ usyi?chro+~.
Iw_-
-
r
+-. ;-t% .F--Ai. . -. '. -
- .
L
Gambar 2b. Ada fungsj sumsurn tulang. Fibrosis sumsum tufang total, kegagalan hematopiesis (Sumlrer. Heckner 8 Freud. Atlas hematologi,l990)
Granulosil dapat liipo atau hiperlobulated sehingga niemperliliatkan anomali Pelper-Huet didapat atau adanya n z ~ c . / r t r ~ . - ~ . t oa /s ~ ~/ t~r c~~~/ r~r ~ .Prekusor o~r ~~~i' c eritroid ~ ~ ~ matau l a ltneninlkat, Yang d a ~ a dt i ~ e r i k s adengan .scrrnni)tg isotop sumsum tulang detigan koloid sulfur untuk sel retikuloendatelial dan dengan koloid besi untuk sel eritroid yang tnenunjukkan adanya ekspansi sumsurn tulang sarnpai pada tulang panjang tiormal inaktif.
ABNORMALITAS KROMOSOM Separuh pasien MMM terdapat abnortnalitas klonal kariotipe. Hanya sedikit pasien memperlihatkan abnormalitas pada metafase, yang membuktikan pada pasien MMM tnenyisakan sel hematopoiesis
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gambar 3. Potongan biopsi sumsum tulang dari 2 pasien metaplasia mieloid agnogenik menampilkan fase proliferatif sumsum tulang dengan hiperplasia yang melibatkan semua fibrosis cell lines dan relatif sedikit (Pembesaran 200x) (A) Fibrosis intens dengan pembentukan tulang baru, dilated sinusoids, dan residual rnegakaryocytes (hematoksilin dan eosin, pembesaran 100x) (B) (Sumber: Clark dan William, Wintrob's 2005).
normal. Sering ditemukan delesi pada segmen kromosom yang dihubungkan dengan gene retinoblastoma, del 13(ql3q21) dan del20q. Kromosom yang sering terganggu adalah: 1,5,7,8,9,13,20 dan 21. Bentuk trisomi dan monosomi, delesi partial dan translokasi juga sering ditemukan. Fibroblas tidak berperan terhadap abnormalitas kromosom pada MMM.
KERUSAKAN SISTEM IMUN Secara klinis abnormalitas sistem imun sering terjadi pada MMM, ha1 ini kontras dengan CMPD lainnya. Sel limfosit T dan B langsung terpengaruh oleh defek sel stem pada MMM dan defek fungsional sel B dan T mungkin dapat diperlihatkan. Variasi abnormalitas sistem imun humoral telah ditemukan. Menurunnya kadar C3 dapat terjadi dan menyebabkan naiknya kemungkinan infeksi bakterial. Autoantibodi patologis dapat ditemukan antara lain: autoantobodi antieritrosit, antibodi antiplatelet, antibodi antinuklir, antiimunoglobulin dan antibodi antifosfolilpid. Pada MMM sumsum tulang difiltrasi limfoid. Gamopati monoklonal dapat timbul 10% pasien MMM, pada beberapa kasus kejadian simultan MMM dan diskrasia sel plasma pernah dilaporkan.
Gambaran khas pada MMM adalah adanya fibrosis sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedulare. Fibrosis sumsum tulang diikuti adanya osteosklerosis 3070% kasus, terutama mengenai kerangka aksial dan bagian proksimal tulang panjang. Korteks tulang mengalami penebalan dan pola normal trabekula menghilang. Hematopiesis terutama terjadi di lien dengan adanya splenomegali, liver dan beberapa organ lain juga dapat terlibat, misalnya: limfonodi, ginjal, adrenal, periosteum, usus, pleura, paru, jaringan lemak, kulit, mammae, dura, ovarium dan thimus. Gugusan hematopoiesis mungkin mengandung beberapa campuran turunan prekusor mieloid dan kemungkinan terlihat sebagai infiltrat mikroskopis atau tumor makroskopis. Proporsi eritroid lebih tinggi pada sisi ekstramedular daripada dalam sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedular, ada tendensi adanya indeks mitosis rendah, sel imatur dan megaloblastik yang tinggi daripada hematopiesis medular. Kerusakan organ target dapat terjadi akibat tekanan fisis sekitar jaringan normal, tetapi architektur normal tetap dapat dipertahankan. PERKEMBANGAN ALAMl DAN KEMAMPUAN HIDUP Pada MMM rata-rata dapat bertahan hidup 3-7 tahun dan kurang 20 % dapat hidup lebih 10 tahun. Prognosis ini diperkirakan diperkirakan sesuai dengan waktu pertengahan timbulnya krisis blastik pada CML dan kemungkinan lebih jelek dari kemampuan hidup pada ET dan PV. Pasien dengan bukti penyakit lebih banyak memberikan survival lebih pendek. Prognosis lebih baik bila: Tidak terdapat simptom konstitusi, Hb >10 gr/dl, platelet > 100 x 109/Ldan tidak ada hepatomegali. Pasien lebih muda mempunyai kemampuan survival lebih baik, seperti halnya rendahnya konsentrasi mieloblas dalam sirkulasi. Adanya abnormalitas sitogenetik termasuk single clone dengan translokasi kromosom 1,Sq-, trisomy 8, 13qatau 20q-, mungkin dengan prognosis lebih baik, tetapi secara keseluruhan pasien dengan kromosom abnormal mempunyai prognosis lebih jelek daripada kariotipe normal. Demikian juga pasien dengan peningkatan volume plasma atau peningkatan kadar reseptor IL-2 terlarut mempunyai survival lebih jelek. Reilly, Snowden dan Spearing et a1 (1997) membuat beberapa skor prognosis meliputi: usia, kadar Hb, simptom konstitusi dan kariotipe. Pasien dikelompokan berdasar grup risiko dengan kemungkinan hidup terpendek 16 bulan dan terpanjang 180 bulan. Dengan berjalannya waktu simptom dan sitopenia menjadi memberat walaupun secara spontan terjadi perbaikan. Beberapa masalah yang timbul misalnya: penurunan berat badan, edema ekstremitas bawah, infeksi terutama pnemonia. Hampir semua pasien
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI terjadi splenomegali yang semakin memberat sehingga timbul rasa sakit dan nyeri tulang. Sebagian pasien terjadi hipertensi portal dengan varises esofagus, akibat dari: Kenaikan aliran darah splenoportal, trombosis vena hepatika, trombosis vena portal, hemokromatosis pasca transfusi dan hematopoiesis intrasinusoidal. Perdarahan dapat akibat: trombositopenia, defek platelet, Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau defisiensi faktor pembekuan. Kematian pasien MMM, bervariasi antara lain: infeksi, perdarahan, gagal jantung, cerebrovascular accidents, gagal ginjal, gagal hati dan trombosis. Konversi ke arah leukemia dilaporkan 5-20% kasus. Perubahan ke arah leukemia tidak jelas, beberapa kasus tanpa eksposur terapi sitostatika, kejadian kearah leukemia limfositik akut serupa dengan leukemia mieloid akut.
PENATALAKSANAAN MMM munglun dapat disembuhkan dengan hematopoietic stem cells Transplantation (HSCT), tetapi HSCT biasanya berhasil untuk pasien muda d m merupakan risiko kematian yang bermakna. Tidak ada bentuk terapi lain untuk memperpanjang survival atau mencegah progresi mielofibrosis. Terapi suportif diarahkan langsung terhadap komplikasi yang terjadi. Beberapa pasien asimptomatis dan memerlukan observasi. Allopurinol diberikan untuk mempertahankan urat darah tetap normal, untuk menghambat: nefropatia urat, renal kalkuli dan gout. Anemia dan trombositopenia dapat timbul, dan akan berkembang terus sampai timbul gejala. Bila beberapa terapi gagal memperbaiki hematopoiesis, transfusi diperlukan untuk mempertahankan hitung darah. Suplemen asam folat diperlukan karena seringnya kejadian hemolisis. ALLOGENEIC HEMATOPOIETIC STEM CELL Transplantation (AHSCT) Hampir semua pasien CMPD mungkin dapat disembuhkan dengan HSCT. Terbatasnya pendekatan ini karena faktor umur dan kondisi pasien, dengan menggunakan donor yang cocok serasi dan morbiditas serta mortalitas yang dihubungkan dengan prosedur. Adanya fibrosis sumsum tulang dan splenomegali rupanya bukan hambatan untuk HSCT. Dilaporkan oleh Guardiole et a1 (1999) d m Jurado et al. (2001) &.Clark dan William (2005) kelompok International cooperative trial dengan 55 pasien, hampir semua umur muda, umur rerata 42 tahun, dengan HLA-identical
related donor. Pada seri Seatle, 8 dari 19 pasien donor HLA-matched tetapi unrelated, 2 dari 19 donor adalah one-antigen mismatches. Survival keseluruhan dalam 5 tahun sebanyak 50%. Adanya kariotipe abnormal, anemia dan umur tua diikuti outcome yang jelek. MMM dengan umur > 45 tahun kemampuan hidup 5 tahun sebanyak 14%. Semakin menjadi jelas, bahwa pada pasien lebih muda dengan 2 faktor risiko, dengan prediksi survival rendah, tanpa pengobatan kuratif, dipertimbangkan dilakukan HSCT secepatnya setelah diagnosis tegak. Untuk pasien lebih tua dengan HSCT mungkin memberikan outcome yang rendah dan faktor risiko jelek tidak ditemukan, maka sebaiknya ditunda dahulu sampai faktor risiko muncul, walaupun data tentang ha1 ini belum banyak dilaporkan. Terapi Androgen dan Kortikosteroid Hormon androgen dapat diberikan pada anemia akibat MMM. Dengan respon rate 29-57%. Perbaikan spontan mungkin dapat terjadi pada MMM, sehingga respon terhadap terapi perlu dianalisa secara cermat. Perempuan dengan splenomegaliminimal dan pasien dengan kariotipe normal memberikan prognosis lebih baik. Sebelum terapi dengan androgen, pria perlu diskrining kelenjar prostat baik secara fisis maupun dengan antigen spesifik untuk prostat, pada perempuan perlu diperhatikan adanya efek virilisasi. Selama terapi dengan androgen perlu dimonitor faal hati. Beberapa skedul dosis telah memberikan hasil cukup baik, diantaranya androgen sintetik oral: fluoksimesteron, dosis: 2-3 kali 10 mg sehari. Bila tidak ada perbaikan setelah 3-6 bulan terapi, androgen harus dihentikan. Beberapa pasien yang tidak berespon terhadap androgen, kemungkinan memberikan respon preparat lain, karena daya hidup eritrosit memendek pada MMM, kemungkinan kortikosteroid adrenal memperbaiki daya hidup eritrosit dan memperbaiki anemianya. Prednison oral, dengan dosis: lmgkg. berat badan sehari, memberikan respon pada 25-50% pasien. Respon paling baik dilaporkan terdapat pada pasien perempuan. Pasien dengan hemolisis perlu diberikan suplemen asam folat. Androgen dan kortikosteroid kadang dapat dikombinasikan. Dosis dimulai dengan prednison 30 mg/ hari, dengan kombinasi fluoksimesteron 10 mg dua kali sehari, bila terdapat respons setelah satu bulan terapi, dosis prednison diturunkan secara tapering off, sedangkan fluoksimesteron dilanjutkan. Kemoterapi Kemoterapi jarang memberikan remisi hematologis, dan tidak memberikan perubahan secara umum pada MMM, tetapi mungkin sangat memberikan perbaikan pada gejala. Kemoterapi dapat mengurangi hepatomegali dan splenomegali serta memperbaiki penurunan berat badan,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HEMATOLOGI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
demam dan keringat malam sampai 70% pasien, serta mengurangi leukositosis, trombositosis dan anemia. Kemoterapi yang pernah digunakan: busulfan, melfalan, 6-tioguanin dan hidroksiurea. Pada MMM pemberian kemoterapi hams lebih hati-hati karena cendemng terjadi toksik sumsum tulang daripada CMPD lainnya. Misalnya pemberian Busulfan 2-4 mglhari sudah mempakan dosis maksimum yang dapat diberikan dengan derajat keselamatan pada MMM. Pasien hams dimonitor secara frekuen dan kontinyu, terutama bila timbul sitopenia. Hidroksiurea dapat diberikan dosis terreduksi 500- 1000 mg selang sehari, dengan penyesuaian dosis tergantung respons klinis dan hitung darah.
lradiasi Pasien dengan hipersplenisme mungkin dapat memberikan respon dengan iradiasi splenik, terutama bila ada kontraindikasi untuk splenektomi. Hampir semua pasien mengalami perbaikan keluhan nyeri dan > 50% terjadi pengurangan ukuran lien. Iradiasi splenik akan memberikan perbaikan sitopenia, diberikan dengan fraksi kecil dengan pemantauan ketat. Dosis fraksi 15-100 cGy, 2-3 kali per minggu. Dosis total 700-2400 cGy dapat memberikan hasil yang nyaman dengan toleransi toksisitas. Hasil sementara bam dapat dilihat setelah beberapa bulan terakhir. Tumor hematopoiesis ekstramedular simptomatisjuga memberikan respons terhadap terapi iradiasi, terutama cocok pada nyeri tulang dari tumor atau periostitis dan pada deposit susunan saraf pusat. Splenektomi Splenektomi dipertimbangkan pada pasien refrakter terhadap terapi: Sitopenia, hipertensi portal, atau gejala akibat hipersplenisme. Dengan splenektomi memberikan perbaikan: simptom hipersplenisme, hipertensi portal, anemia dan trombositopenia, walaupun perbaikan ini tidak selalu dapat dipertahankan setelah satu tahun tindakan. Splenektomi pada MMM harus hati-hati, karena organomegali yang besar sehingga mungkin terjadi adhesi, naiknya aliran darah dan status compromised pasien. Adanya DIC(K1D) ringan yang ditandai kenaikan kadar D-dimer sering ditemukan pada MMM, dengan risiko perdarahan yang tidak mudah diperbaiki preoperatif. Mortalitas operasi akut dapat mencapai 38%, pada stadium awal penyakit, sedangkan mortalitas pada perawatan rumah sakit yang lebih modern turun
Pengobatan Lain Interferon dipertimbangkan karena dapat menekan aktivitas TGF-P dan efektivitasnyapada CML. Interferon-a munglun bermanfaat menghilangkan nyeri tulang, trombositopenia dan spenektomi, tetapi efektivitas ini menurun dengan adanyaflulike symptoms berat dan memberatnya anemia. Vitamin D beserta analognya dapat menekan prolioferasi magakariosit dan memperbaiki mielofibrosis yang dihubungkan dengan rickets. Anagrelid dapat menurunkan trombosit tetapi tidak memperbaiki kelainan klinis lainnya. Beberapa pasien dapat diberikan eritropoeitin bahkan lebih baik bila dikombinasikan dengan interferon. Pasien dengan MMM berat dapat diberikan preparat antiangiogenik Talidomid, 20% kasus terjadi perbaikan dengan menurunnya simptom konstitusional, ukuran lien dan perbaikan hitung darah. Efek samping serius dilaporkan antara lain: leukositosis dan trombositosis berat hematopoiesis ekstramedular perikardial, dan dapat terjadi pada dosis awal yang sangat rendah 50 mglhari. Beberapa peneliti memberikan kombinasi Talidomid 50 mghari dengan prednison O,Smglkg/hari, 95% memberikan respon komplit dalam 3 bulan pengobatan. Surarnin dan imatinib dilaporkan pemah diberikan pada MMM, dengan hasil yang belum jelas. Kuretase secara mekanik sejumlah jaringan fibrotik sumsum tulang iliaka, diperkirakan dapat meningkatkan hematopoiesis dan memperbaiki anemia, walaupun ha1 ini dengan prosedur komplek dan tidak selalu berhasil pada semua pasien. HSCT analog setelah pemberian dosis tinggi busulfan, pemah dilakukan pada sejumlah MMM lanjut yang refrakter terhadap terapi lain, walaupun dengan mortalitas cukup tinggi (6 dari 12 pasien), hampir semua pasien terjadi perbaikan simtom hipersplenisme dan separuh pasien terjadi perbaikan anemia dan trombositopenia. Diagnosis Banding Diagnosis MMM berdasarkan triad: fibrosis sumsum tulang, hematopoiesis ekstramedular dan hematopoiesis klonal dengan tidak diketemukannya penyakit yang mendasari. Tidak diketemukan tanda-tanda patognomonik dan bukti hematopoiesis klonal secara tidak langsung bila kariotipe abnormal tidak ditemukan. Biopsi sumsurn tulang penting dilakukan untuk menentukan adanya fibrosis dan membuktikan adanya hematopoiesis klonal dalam bentuk panhiperplasia serta untuk menyingkirkan adanya proses infiltrasi. Untuk diagnosis memakai Italian concensus conference (Tabel 3), walaupun mungkin tidak berlaku untuk fase awal MMM. Mielofibrosis Akut MMM kadang sukar dibedakan dengan mielofibrosis akut. Lewis dan Szur(1983. sit Clark dan William, 2005) melaporkan adanya pasien dengan: Fibrosis sumsum
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1233
MIELOFIBROSIS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI tulang. pansitopenia, demam dan secara cepat menjadi fatal, mereka menamakan sindrom ini dengan: "Malignant myelosclerosis" dan ha1 ini yang disebut sebagai: mieloseklerosis akut atau Mielofi-brosis akut. Beberapa publikasi memasukan pasien dengan fibrosis sebagai komplikasi leukemia akut, MMM dalam transisi ke leukemia akut dan fibrosis dengan komplikasi sindrom mielodisplasia. Bahkan beberapa pasien dengan sindrom ini, secara cepat berkembang menjadi bentuk aleukemik dari leukemia megakarioblastik akut (French-AmericanBritish, M7). Mielofibrosis akut hams dibedakan dengan MMM, karena bentuk ini diterapi sebagai leukemia akut, tidak terdapat splenomegali dan dalam sumsum tulang terdapat peningkatan megakarioblas.
Kelainan Mieloproliferatif Kronik Lain MMM juga perlu dibedakan dengan CML, ET dan PV (Polisitemia vera). Bila fibrosis sumsum tulang sebagai gambaran utama maka diagnosis menjadi sulit. PV yang berakhir dengan MMM like syndrome, adalah 15-20% pasien. Mielofibrosis pada PV, lebih sering terjadi setelah beberapa tahun parjalanan penyakit. Karena pasien dengan postpolisitemik PV, menjad,i simptomatik akibat ekspansi masa sel darah merah dan menjadi awal perhatian, serta diagnosis biasanya dibuat sebelum timbul fibrosjs sumsum tulang. Pasien dengan PV, pertama diketemukan adanya mielofibrosis fase postpolisitemik perjalanannya lebih progresif daripada pasien MMM. Mielofibrosis juga dapat terjadi pada CML, tetapi untuk deferensial diagnosis dengan MMM berdasarkan pada analisa genetik. Pemeriksaan kariotipe atau dengan pemeriksaan probe hibridizasion fluorescen insitu untuk perubahan gen bcr/ abl, dapat melengkapi sumsum tulang dan gambaran darah tepi. Lebih kurang 95% pasien CML yang tipik, terdapat kromosom abnormal ,t9:22 Philladelphia (Phl) dan hampir semua memperlihatkan bukti adanya kerusakan gen bcr/ abl. Beberapa kasus kadang ditemukan bersamaan translokasi 9:22 dengan atau tanpa dideteksi adanya bcr/ abl. Pada CML pembesaran lien sebanding dengan jumlah leukosit. Bila lien membesar, tetapi jumlah leukosit kurang dari 100 x 1O9 per L, mungkin kearah MMM daripada CML. Pada ET dengan fibrosis sumsum tulang, kondisi ini dapat meyerupai stadium awal MMM, dan untuk menentukan diagnosis memerlukan pengamatan lebih jauh. I
Mielofibrosis Sekunder Mielofibrosis mungkin dapat terjadi akibat reaksi terhadap: Keganasan, infeksi dan beberapa penyakit lain (tabel 1). Hal ini dapat dihubungkan dengan perubahan darah tepi dan hematopiesis dengan penampilan seperti MMM.
Suatu studi dari Mayo Clinic dari 50.277 apusan darah terdapat gambaran leukoeritroblastik sebanyak 2 15 atau 0,4%. Dua pertiga kelompok ini mem~unyairiwayat keganasan (1974, Sit: Clark & William, 2005). Diagnosis mielofibrosis sekunder berdasarkan adanya penyakit yang mendasari. Mielofibrosis sekunder merupakan gambaran reguler dari kondisi tertentu termasuk postpolycythemic PV dan komplikasi jarang dari Systemic lupus erythematosus dan rickets. Bila mielofibrosis karena infeksi biasanya bentuk kronis, menyebar luas dan biasanya mudah dideteksi. TBC dan infeksijamur biasanya sudah diobati sebelum muncul mielofibrosis sekunder .Hampir semua mielofibrosis sekunder merupakan metastasis keganasan. Pemeriksaan hidroksiprolin urin suatu metabolit dari kolagen dapat membedakan antara mielofibrosis sekunder dengan MMM. Pada MMM ekskresi normal, meningkat pada keganasan dan mielofibrosis sekunder. Pengobatan mielofibrosis sekunder terutama pengobatan penyakit primer yang mendasarinya. Perbaikan pengobatan fibrosis, dilaporkan setelah pengobatan berhasil pada PV, penyakit Hodgkin, metastasis prostat dan karsinoma mammae.
Bianco Paulo, et al. Bome marrow stromal stem cells: nature, biology and potential applications. Stem Cells. 2001;19:3:180-92. Clark DA, William WL. Myelofibrosis. Wintrobe's clinical hematology. l lth edition. In: Richard Lee, Foerster, Lukens, Paraskevas, Greer and Rodgers, editors. Baltimore Maryland: William & Vilkins; 2005. p. 2273-83. Heckner dan Freund. Atlas hematologi. Praktikum hematologi dengan mikroskop. In: Alih bahasa Wanandi S1, Suwono WJ, editors. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 1999. p. 82-4. Lunberg LG, et al. Bone marrow in polycythemia vera, chronic myelocytic leukemia and myelofibrosis has an increased vascularity. Amer J pathol. 2000;157:15-19. Mesa AR, et al. A phase 2 trial of combination low-dose thalidomide and prednison for the treatment of myelofibrosis with myeloid metaplasia. Blood. 2003;101:7:1534-51. Papaiakovon VE, et al. Thalidomide in cancer medicine. Annals Oncology. 2004;15:1151-60. Spirak JL. Polycythemia Vera and other myeloproliferative diseases. In: Kasper DL, Fauci AS, Braunwald E, Longo DL, et al, editors. Harrison's principles of internal medicine. 16Ih Edition. New York: Mc Graw-hill; 2005. p. 626-31. Tefferi A. The forgotten myeloproliferative disorder: myeloid metaplasia. The Oncologist. 2003;8:3:223-3 1. Vannocchi AM, et al. Development of myelofibrosis in mice genetically impaired for GATA-I expression (GATA-I low mice). Blood. 2002:100;1123-3. Wieczorek AJ, et al. Autocrinelparacrine mechanisms in human hematopoiesis. Stem Cells. 2001;19:2:99-101.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
'
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT Johan Kurnianda
PENDAHULUAN Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid. Bila tidak diobati, penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa miqggu sampai bulan sesudah diagnosis. Sebelum tahun 1960an pengobatan LMA terutama bersifat paliatif, tetapi sejak sekitar 40 tahun yang lalu pengobatan penyakit ini berkembang secara cepat dan dewasa ini banyak pasien LMA yang dapat disembuhkan dari penyakitnya. Kemajuan pengobatan LMA ini dicapai dengan regimen kemoterapi yang lebih baik, kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok sumsum tulang dan terapi suportif yang lebih baik seperti anti biotik generasi baru dan transfusi komponen darah untuk mengatasi efek samping pengobatan. Selain itu sejak sekitar 2 dekade tahun yang lalu juga telah dikembangkan teknik diagnostik leukemia dengan cara immunophenotyping dan analisis sitogenetik yang menghasilkan diagnosis yang lebih akurat.
Di negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari seluruh kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada anak (15%). Insidens LMA umumnya tidak berbeda dari masa anakanak hingga masa dewasa muda. Sesudah usia 30 tahun, insidensi LMA meningkat secara eksponensial sejalari dengan meningkatnya usia. Insidens LMA pada orang yang berusia 30 tahun adalah 0,8%, pada orang yang berusia 50 tahun 2,7%, sedang pada orang yang berusia di atas 65 tahun adalah sebesar 13,7%. Secara umum tidak didapatkan adanya variasi antar etnik tentang insidensi
LMA, meskipun pernah dilaporkan adanya insidens LMA tipe M3 yang 2,9 hingga 5,8 kali lebih besar pada ras Hispanik yang tinggal di Amerika Serikat dibandingkan dengan ras Kaukasia.
Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak diketahui. Meskipun demikian ada beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor predisposisi LMA pada populasi tertentu. Benzene, suatu senyawa kimia';ang banyak digunaksn pada industri penyamakan kulit di negara sedang berkembang, diketahui merupakan zat leukomogenikuntuk LMA. Selain itu radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA. Ini diketahui dari penelitian tentang tingginya insidensi kasus leukemia, termasuk LMA, pada orang-orang yang selamat dari serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Efek leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun sesudah pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun sesudah pengeboman. Faktor lain yang diketahui merupakan predisposisi untuk LMA adalah trisomi kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit herediter sindrom Down. Pasien sindrom Down dengan trisomi kromosom 2 1 mempunyai risiko 10 hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7. Selain itu pasien beberapa sindrom genetik seperti sindrom Bloom dan anemia Fanconi juga diketahui mempunyai risiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal untuk menderita LMA. Faktor lain yang dapat memicu terjadinya LMA adalah pengobatan dengan kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor padat. LMA akibat terapi adalah komplikasi jangka panjang yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
multipel, kanker payudara, kanker ovarium dan kanker testis. Jenis kemoterapi yang paling sering memicu timbulnya LMA adalah golongan alkylating agent dan topoisomerase 11inhibitor. LMA akibat terapi mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkam LMA de novo sehingga di dalam klasifikasi leukemia versi World Health Organization (WHO) dikelompokkan tersendiri (Tabel 1).
Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi blast di dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia (anemia, lekopenia dan trombositopenia). Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih berat sesak nafas, adanya trombositopenia akan menyebabkan tanda-tanda perdarahan, sedang adanya leukopenia akan menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi oportunis dari flora bakteri normal yang ada di dalam tubuh manusia. Selain itu sel-sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.
TANDA DAN GEJALA Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien LMA tidak selalu dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA, sedang 15% pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35% pasien mengalami netropenia. Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan ditemukan pada 85% kasus LMA. Oleh karena itu sangat penting untuk memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan diagnosis pada orang yang diduga menderita LMA. Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana disebutkan di atas. Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini paling
sering dijumpai pada kasus LMA tipe M3. Infeksi sering terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah peri rektal, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien LMA dengan demam. Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100 ribu/mm3), sering terjadi leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukostasis sangat bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan priapismus. Angka leukosit yang sangat tinggi juga sering menimbulkan gangguan metabolisme berupa hiperurisemia dan hipoglikemia. Hiperurisemia terjadi akibat sel-sel leukosit yang berproliferasi secara cepat dalam jumlah yang besar. Hipoglikemia terjadi karena konsumsi gula in vitro dari sampel darah yang akan diperiksa, sehingga akan dijumpai hipoglikemia yang asimptomatik karena hipoglikemia tersebut hanya terjadi in vitro tetapi tidak in vivo pada tubuh pasien. Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tandalgejala yang bervariasi tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan menyebabkan nodul di bawah kulit (kloroma).Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan menimbulkan nyeri tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan. Pembengkakan gusi sering dijumpai sebagai manifestasi infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi. Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah menings dan untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebro spinal yang diambil melalui prosedur pungsi lumbal.
DIAGNOSIS Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, morfologi sel dan pengecatan sitokimia. Seperti sudah disebutkan, sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu berkembang 2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru: immunophenotyping dan analisis sitogenetik. Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia, gabungan ahli hematologi Amerika, Perancis dan Inggris pada tahun 1976 menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri dari 8 subtipe (MO sampai dengan M7, Tabel 2). Klasifikasi ini dikenal dengan narna klasifikasi FAB (French American British). Klasifikasi FAB hingga saat ini masih menjadi diagnosis dasar LMA. Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SBB) dan mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan hasil positif pada pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4 dan M6.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Pemeriksaan penentuan imunofenotip adalah suatu teknik pengecatan modern yang dikembangkan berdasarkan reaksi antigen dan antibodi. Diketahui bahwa permukaan membran sel-sel darah rnengekspresikan antigen yang berbeda-beda tergantung dari jenis dan tingkat diferensiasi sel-sel darah tersebut. Sebagai contoh sel limfosit mengekspresikan antigen yang berbeda dengan sel granulosit maupun sel trombosit dan eritrosit. Demikian pula limfosit B mempunyai ekspresi antigen yang berbeda dengan limfosit T. Selain itu sel-sel blast rnengekspresikan antigen yang berbeda dengan sel-sel leukosit yang lebih matur seperti promielosit dan mielosit. Bila antigen yang terdapat di permukaan membran sel tersebut dapat diidentifikasi dengan antibodi yang spesifik, maka akan dapat dilakukan identifikasi jenis sel dan tingkat maturitasnya yang lebih akurat. Identifikasi sel dengan teknik immunophenotyping biasanya diberi label CD (cluster of differentiation). Saat ini terdapat lebih dari 200 CD yang menjadi penanda berbagai jenis dan tingkat maturitas sel-sel darah. Selain berfungsi sebagai alat diagnosis, teknik immunophenotyping juga mempunyai nilai prognostik dan terapi. Sebagai contoh, pasien LMA yang mengekspresikan CD7 mempunyai prognosis yang jelek sedang pasien LMA yang mengekspresikan CD2 mempunyai prognosis yang lebih baik. Saat ini juga sedang dikembangkan terapi antibodi yang secara spesifik mempunyai target terapi CD33, gemtuzumab osagamicin, yang diindikasikan bagi pasien LMA usia lanjut yang mengekspresikan CD33. Analisis sitogenetik pada keganasan hematologi telah dimulai sejak awal1960 dan berkembang lebih pesat sejak awal 1980an. Terdapat 2 kelainan dasar sitogenetik pada LMA: kelainan yang menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom dan kelainan menyebabkan perubahan yang seimbang tanpa menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom. Kelainan pertama dapat bempa kehilangan sebagian dari materi kromosom (delesildel) atau hilangnya satu materi kromosom secara utuh (monosomi). Penambahan materi kromosom juga dapat bersifat sebagian (duplikasild) atau bertambahnya satu atau lebih materi kromosom secara u h h (trisomi, tetrasomi). Kelainan kedua berupa perubahan kromosom seimbang dalam bentuk perubahan resiprokal antara dua atau lebih kromosom (translokasilt) atau perubahan pada berbagai bagian dalam satu kromosom (inversilinv). Kelainan sitogenetik t (8,21), t (15,17), inv (16)lt dan translokasi 1lq23 merupakan kelainan sitogenetik yang dijumpai pada 2 1%-28% pasien LMA dewasa. Kelainan sitogenetik lain yang dijumpai dalam jumlah cukup signifikan pada pasien LMA adalah trisomi, delesi dan kelainan karyotype yang kompleks (mempunyai kelainan sitogenetik 3 atau lebih). Kelainan sitogenetik pada pasien LMA mempunyai nilai prognostik. Pasien dengan kelainan
sitogenetik: t (15;17), inv (l6), t (16;16) atau del (l6q) dan t (8;21) yang tidak disertai del(9q) atau kelainan karyotype yang kompleks mempunyai prognosis yang baik Cfavourable); pasien dengan kelainan sitogenetik +8, -Y, +6, del(12p) atau karyotype yang normal mempunyai prognosis yang sedang (intermediate), sedangkan pasien dengan kelainan sitogenetik-5 atau del(5q),-7 atau del(7q), inv (3q), del(9q), t (9;22) dan karyotype yang kompleks mempunyai prognosis yang buruk (unfavourable). Profil kelainan sitogenetik pada pasien LMA juga mempunyai implikasi terhadap terapi sebab dewasa ini, meskipun masih kontroversial, telah dikembangkan strategi terapi pada pasien LMA berdasarkan profil sitogenetik pasien (lihat terapi). Berdasarkan profil kelainan sitogetik pasien, WHO mengajukan usulan perubahan klasifikasi LMA, yang telah diadopsi di banyak negara (Tabel 1). Pada Tabel 2 dapat dilihat kesepadanan diagnosis LMA berdasarkan klasifikasi FAB dan analisis sitogenetik.
I.
LMA dengan translokasi sitogenetik rekuren LMA dengan t(8;21)(q22;q22), AMLI(CBFcx)/ETO APL dengan t(15;17)(q22;qI 1-12) dan varian-variannya, PMURARa LMA dengan eosinofil sumsum tulang abnormal dengan inv (16)(p13q22) atau t(16;16)(p13;qI I ) , CBFplMHYlI LMA dengan abnormalitas 11q23 (MLL) II. LMA dengan multilineage dysplasia dengan sindrom myelodisplasia tanpa sindrom myelodisplasia Ill. LMA dan sindroma myelodisplastik yang berkaitan dengan terapi akibat obat alkilasi akibat epipodofilotoksin (beberapa merupakan kelainan limfoid) tipe lain IV. LMA yang tidak terspesifikasi LMA diferensiasi minimal LMA tanpa maturasi LMA dengan maturasi LMA dengan diferensiasi monositik Leukemia monositik akut Leukemia eritroid akut Leukemia megakariositik akut Leukemia basofilik akut Panmielosis akut dengan mielofibrosis
Bila memungkinkan terapi LMA direncanakan untuk tujuan kuratif. Penderita yang mempunyai peluang besar untuk mencapai tujuan kuratif adalah mereka yang berusia < 60 tahun, tanpa komorbitas yang berat serta mempunyai profil sitogetik yang favorable (lihat bawah). Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang maksimal, sangat penting untuk melakukan skrining awal dengan teliti sebelum pengobatan dimulai. Skrining awal ini, terutama ditujukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya infeksi,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1237
LEUKEMIA MIELOBLASTIKAKUT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Subtipe FAB
Narna Urnurn (% kasus) Leukemia mieloblastik akut dg diferensiasi minimal (3%) Leukemia mieloblastik akut tanpa maturasi (15-20%) Leukemia mieloblastik dengan maturasi (25-30%) Leukemia promielositik akut (510%)
Leukemia mielomonositik akut (20%)
M7
Leukemia mielomonositik dengan eosinofil abnormal (5-10%) Leukemia monositik akut (2-9%) Eritroleukemia (3-5%) Leukemia megakariositik Akut (3-12%)
Hasil Pengecatan Myeloper Sudan Esterase Oksidase Black non-spesifik
Translokasi dan Gen yang terlibat penyusunan kernbali (% kasus) inv(3q26) dan t(3;3) (1%)
EVA1
+
+
+
+
t(8;21) (40%) t(6;9) (1%)
AMLI-ETO, DEK-CAN
+
+
t(15;17) (98%) t(l1;17) ( I %) t(5,17) ( I %)
+
+
+
+
+
+
PML-RARa PLZFRARa, NPM RARa MLL, DEC-KAN EVl I CBFPMYHI I
+
11q23 (20%) inv(3q26) & t(3;3) (3%), inv(16),t(16,16) (80%)
+
11q23 (20%) t(8,16) (2%)
MLL,
+*
t(1,22) (5%)
tdk diketahui
+
* sel positif terhadap a-naftilasetat dan glikoprotein trombosit llblllla atau antigen yang berkaitan dengan faktor Vlll dan negatif terhadap naftilbutirat (Sumber : Referensi no. 13)
gangguan fungsi jantung (regimen terapi standar LMA mengandung preparat golongan antrasiklin yang bersifat kardiotoksik) dan adanya koagulopati yang sering ditemukan pada penderita LMA. Selain itu, penderita yang mempunyai angka leukosit pra-terapi yang sangat tinggi (> 100.000/mm3), mungkin memerlukan tindakan leukoparesis emergensi untuk menghindari leukostasis dan sindrom tumor lisis akibat terapi induksi. Sangat penting untuk mengingatkan agar terapi LMA sebaiknya dilakukan di rumah sakit yang mempunyai tim leukemia yang bersifat multi-disiplin, sarana laboratorium mikrobiologi yang memadai, akses untuk transhsi darah yang lengkap serta ruang sterillsemi-steril untuk pelaksanaan pengobatan. Tanpa prasarana tersebut angka kematian saat pengobatan akan sangat tinggi. Untuk mencapai hasil pengobatan yang kuratif hams dilakukan eradikasi sel-sel klonal leukemik d m memulihkan hematopoesis normal di dalam sumsum tulang. Survival jangka panjang hanya didapatkan pada pasien yang mencapai remisi komplit. Dosis kemoterapi tidak perlu diturunkan karena alasan adanya sitopenia, karena dosis yang diturunkan ini tetap akan menimbulkan efek samping berat berupa supresi sumsum tulang, tanpa punya efek yang cukup untuk mengeradikasi sel-sel leukemik maupun untuk mengembalikan fungsi sumsum tulang. Eradikasi sel-sel leukemik yang maksimal, memerlukan
strategi pengobatan yang baik. Umumnya regimen kemoterapi untuk pasien LMA terdiri dari dua fase: fase induksi dan fase konsolidasi. Kemoterapi fase induksi adalah regimen kemoterapi yang intensif yang bertujuan untuk mengeradikasi sel-sel leukemik secara maksimal sehingga tercapai remisi komplit. Istilah remisi komplit digunakan bila jumlah sel-sel darah di peredaran darah tepi kembali normal serta pulihnya populasi sel di sumsum tulang termasuk tercapainyajumlah sel-sel blast <5%. Perlu ditekankan di sini, meskipun terjadi remisi komplit tidak berarti bahwa sel-sel klonal leukemik telah tereradikasi seluruhnya, karena sel-sel leukemik akan terdeteksi secara klinik bila jumlahnya lebih dari 109 log sel. Jadi pada kasus remisi komplit, masih tersisa sejurnlah signifikan sel-sel leukemik di dalam tubuh pasien tetapi tidak dapat dideteksi. Bila dibiarkan, sel-sel ini berpotensi menyebabkan kekambuhan di masa-masa yang akan datang. Oleh karena itu, meskipun pasien telah mencapai remisi komplit perlu ditindak lanjuti dengan program pengobatan selanjutnya yaitu kemoterapi konsolidasi. Kemoterapi konsolidasi biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi dan menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama atau lebih besar dari dosis yang digunakan pada fase induksi. Seperti yang sudah disebutkan di atas, tujuan utama pengobatan LMA adalah untuk mengeradikasi sel-sel
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
leukemik di dalam sumsum tulang. Tindakan ini juga akan mengeradikasi sisa-sisa sel hematopoeisis normal yang ada di dalam sumsum tulang, sehingga pasien LMA akan mengalami periode aplasia pasca terapi induksi. Pada saat tersebut pasien sangat rentan terhadap infeksi dan perdarahan. Pada kasus yang berat kedua komplikasi ini dapat berakibat fatal. Oleh karena itu terapi suportif berupa penggunaan antibiotika dan transfusi komponen darah (khususnya sel darah merah dan trombosit) sangat penting untuk menunjang keberhasilan terapi LMA. Terapi pada LMA dibedakan menjadi 2 yaitu terapi untuk LMA pada umumnya dan terapi khusus untuk leukemia promielositik akut (LPA).
Terapi LMA pada Umumnya (Tabel 3) Terapi standar 7+3 adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan daunorubisin dengan protokol sitarabin 100 mglm2 diberikan secara infus kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60 mglm2lhari iv selama 3 hari. Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi komplit dengan terapi sitarabin dan daunorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal, sedang bila diberikan sebagai kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. Bila terdapat residual disease pada hari ke-28 perlu dipertimbangkan adanya gaga1 terapi primer dan perlu dimulai terapi altematif dengan regimen lain.
Sitogenetik Awal
Kemoterapi lnduksi
Favorable
Standar 7+3
Intermediate
Standar 7+3
Unfavorable
Standar 7+3
Terapi Post Remisi Donor HLA
HDACx 3-4 siklus, atau 2-3 siklus diikuti HSCT otolog HSCT alogenik Sesegera mungkin atau HDACx 2-4 siklus HSCT alogenik Sesegera mungkin
Tidak ada donor
HDACx 3-4 siklus, atau 2-3 siklus diikuti HSCT otolog HDACx 2-4 siklus + HSCT otolog HDACx 2-4 siklus HSCT otolog
+
Pada pasien dengan gangguan fungsi jantung pemakaian antrasiklin merupakan kontra indikasi terutama bila terdapat riwayat miokard infark dan fraksi ejeksi kurang dari 50%. Pilihan terapi pada kondisi ini adalah High dose cytarabine (ara-C)lHDAC. Regimen terapi yang dipakai pada HDAC adalah sitarabin 2-3 glm2 infus iv selama 1-2 jam tiap 12 jam selama 12 dosis atau sitarabin 2-3 glm2 selama 2 jam setiap 12jam pada hari 1,3, dan 5. Pilihan untuk terapi post remisi dapat berupa kemoterapi konsolidasi, transplantasi sel stem hematopoetik (hematopoetic stem cell transplantionl HSCT) otolog, atau HSCT alogenik. Jenis terapi pada pasca
remisi ditentukan berdasarkan usia dan faktor prognostik, terutama profil sitogenetik. Sebagian besar pasien usia muda memberikan respons yang lebih baik dibanding pasien usia tua. Bila terjadi relaps dapat diberikan lagi kemoterapi intensif dantatau HSCT untuk mencapai remisi komplit kedua atau hanya diberikan perawatan suportif. Pencapaian remisi komplit kedua tidak begitu dipengaruhi karakter sitogenetik, namun lebih dipengaruhi oleh durasi remisi komplit pertama, usia, dan ada tidaknya komorbiditas aktif. Durasi median remisi komplit kedua urnumnya kurang dari 6 bulan bila tanpa HSCT dengan disease-fre survival kurang dari 10 bulan. Survival meningkat bila sebelumnya pasien telah menjalani HSCT alogenik, namun donor untuk prosedur tersebut umumnya terbatas. Terapi Leukemia Promielositik Akut Insidensi LPA sebesar 10- 15% pasien LMA. Penyakit ini ditandai dengan kelainan sitogenetik berupa t (15; 17) yang dijumpai pada sekitar 90% kasus. Kelainan sitogenetik t (15; 17) akan menyebabkan h s i gen PML dan RAR, menjadi gen PML-RAR. Fusi gen PML-RAR mengakibatkan blokade maturitas pada seri promielosit sehingga terjadi LPA. Kini dikembangkan suatu obat yang disebut all-trans retinoic acid (ATRA) yang menjadikan fusi gen PMLRAR sebagai target aksi kerjanya. Pengobatan LPA dengan ATRA menghasilkan angka kesembuhan lebih dari 70%. LPA merupakan predisposisi untuk terjadinya koagulopati yang dalam ha1 ini diakibatkan oleh kombinasi antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien dengan manifestasi koagulopati hams segera mendapat terapi induksi (ATRA). Pada pasien yang mengalami perdarahan yang tidak terkendali (setelah terapi transfusi) dapat diberikan e-aminocaproic acid (EACA) dan tranexamide acid. Terapi induksi LPA terdiri atas kombinasi ATRA plus kemoterapi berbasis antrasiklin. Antrasiklin dapat menginduksi remisi pada 60-90% pasien bila digunakan sebagai obat tunggal. Sel leukemik pasien LPA sensitif terhadap antrasiklin karena rendahnya ekspresi Pgp dan petanda resistensi lainnya pada sel-sel LPA dibanding dengan subtipe LMA lainnya. ATRA adalah suatu derivatif vitamin A yang mampu menginduksi remisi klinis dengan mengaktifkan maturasi sel tanpa menyebabkan hipoplasia sumsum tulang. Sebagai obat tunggal ATRA menginduksi remisi pada 72-81% pasien. Umumnya ATRA mulai diberikan dalam 2-3 hari pertama pada pasien dengan perdarahan berat untuk mengatasi koagulopati pada LPA sebelum mulai dengan terapi berbasis antrasiklin. Cara ini akan menyebabkan angka lekosit menjadi tidak terlalu tinggi lagi. Selain itu cara ini menurunkan insidens sindrom asam retinoid (retinoic acid syndromelRAS). Terapi induksi menggunakan ATRA 45 mglm2lhari per oral yang terbagi dalam 2 dosis setiap hari sampai remisi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI komplit plus derivat antrasiklin, daunorubisin 50-60 mgl m2hari selama 3 hari atau idarubisin 12 mglm2hari selarna 4 hari. Terapi induksi dilanjutkan dengan terapi konsolidasi dengan kemoterapi berbasis antrasiklin dan terapi pemeliharaan dengan menggunakan ATRA. RAS dapat terjadi pada 10- 15% pasien dan umumnya terjadi 7-14 hari setelah terapi ATRA. RAS jarang terjadi selama penyembuhan akibat aplasia setelah kemoterapi dan selama terapi pemeliharaan. RAS adalah suatu sindrom kebocoran kapiler dengan manifestasi demam, distres respirasi, dan munculnya infiltrat pada paru. Dapat juga terjadi peningkatan berat badan, efusi pleura atau efusi perikard, dan gaga1 ginjal. Lekositosis berat merupakan faktor prognostik walaupun RAS sering juga terjadi pada lekopenia. Bila angka lekosit lebih dari 5.000-1 0.000/uL, ATRA dan kemoterapi diberikan bersama-sama pada saat awal terapi. Bila saat monoterapi ATRA terjadi lekositosis lebih dari 10.000/uL induksi kemoterapi harus segera dimulai. Tanpa melihat angka lekosit dan kemungkinan sepsis netropenia, bila terdapat sesak dan infiltrat paru, dengan atau tanpa demam, terapi deksametason harus segera diberikan (10 mg iv 2 kali sehari). Terapi ATRA dapat dihentikan sampai RAS menunjukkan perbaikan. Sekitar 20%-30% pasien LPA yang mecapai remisi komplit dengan terapi berbasis ATRA akan mengalami relaps dan umumnya kelompok pasien ini juga resisten terhadap terapi ATRA yang berikutnya. Arsenik, suatu racun yang sudah digunakan sebagai obat pada pengobatan tradisional Cina sejak beberapa abad yang lalu, saat ini.diketahui mempunyai efek pengobatan yang positif pada pasien ATRA yang relaps atau resisten terhadap fe'?a*pi ATRA. Salah satu komponen arsen yang sering digunakan di dalam klinik untuk terapi LPA yang relaps atau resisten terhadap ATRA adalah arsenic trioxide (ATO). Sebagai terapi LPA, AT0 mempunyai mekanisme kerja: memacu degradasi fusi protein PMLRAR (khususnya protein PML, menginduksi apoptosis, memacu diferensiasi sel - sel leukemik serta menghambat apaoptosis. AT0 umumnya diberikan dengan dosis 0,15 mg per KG BB melalui infus 3 jam hingga tercapai remisi komplit dengan maksimal pemberian 50 hari. Pada pasien LPA relaps, terapi AT0 menghasilkan respon sebesar 70% hingga 100%.
MASA DEPAN MANAJEMEN LMA Di masa depan perkembangan ilmu di bidang biologi molekular akan sangat berpengaruh pada penatalaksanaan LMA. Informasi biologi molekular akan sangat berguna untuk menentukan prognosis d m strategi terapi yang lebih baik pada pasien LMA. Sebagai contoh, ekspresi protein yang berperan pada proses angiogenesis kini diketahui merupakan faktor prognostik yang independen pada pasien LMA. Selain itu saat ini sedang dikembangkan
strategi pengobatan dengan sasaran yang spesifik (targeted therapy). Obat-obat ini didisain untuk mentarget protein-protein tertentu yang mempunyai peran pada proses leukomogenesis. Oleh karena sifatnya yang spesifik, obat-obat ini umumnya mempunyai profil efek samping yang lebih ringan dibandingkan kemoterapi, sehingga diharapkan dapat digunakan secara aman pada pasien LMA yang tidak mampu menghadapi terapi yang agresif, seperti pasien LMA usia geriatrik. Salah satu obat yang sedang dikembangkan saat ini adalah anti-FLT3, suatu protein trans membran yang berfungsi sebagai enzym tirosine kinase dan diekspresikan pada lebih dari 90% kasus LMA. Pada pasien LMA, sekitar 30% protein FLT3 mengalami mutasi dan mutasi tersebut menyebabkan proliferasi yang tidak terkendali. Selain itu diketahui pasien LMA dengan ekspresi LFT3 mutan mempunyai prognosis yang lebih jelek. Pada penelitian pendahuluan terapi antiFLT3 menghasilkan respons sebesar 18%-25% dengan efek samping yang ringan. Beberapa targeted therapy lain yang dikembangkan adalah : obat yang mentarget mutasi protein RAS yang ditemukan pada sekitar 10%-15% penderita LMA, obat yang mentarget nutasi protein c-KIT yang sering ditemuakn pada penderita LMA dengan kelainan sitogenetik invl6 dan obat yang mentarget selpunca (stem-cells) LMA. Penggunaan targeted therapy pada klinik praktis masih menunggu hasil penelitianpenelitian dengan desain yang lebih baik dan berskala besar.
Abraham J, Monahan BP. The acute leukemias. In: Abraham J, Allegra CJ, editors. Handbook of clinical oncology. Philadelphia: Lippincot Williams&Wilkins; 2001. p. 271-85. Appelbaum FR. Impact of age on the biology of acute leukemia. Educational book of the 41st Annual ASCO Meeting. 2005. p. 528-32. Arber DA, Stein AS, Carter NH, et al. Prognostic impact of acute myeloid leukemia classification. Am J Clin Pathol. 2003;119(5):672-80. Breems DA, Van Puten WLJ, Huijgens PC, et al. Prognostic index of adult patients with acute myeloid leukemia in first relapse. J Clin Oncol. 2005;23:1969-78. Brunning RD, Matutes E, Harris NL, et al. Acute myeloid leukemia: introduction. In: Jaffe ES, Harris NL, Stein H & Vardiman JW, editors. WHO classification of tumours: pathology and genetics tumours of haematopoietic and lymphoid tissues. Lyon: IARC Press; 2001. p. 76-80. Burnett A K & Knapper S Targeting treatment in AML Hematology, 2007 Douer D & Tallman MS. Arsenic trioxide: new clinical experience with an old medication in hematologic malignancies. J Clin Oncol. 2005;23:2396-4 10. Evens MA and Tallman MS. Acute leukemias. In: Skeel RT, editors. Handbook of cancer chemotherapy. 6th editions. Philadelphia; Lippincot Williams & Wilkins; 2003. p. 41 1-59. Farag SS, Rupert AS, Mrozek K, et al. Outcome of induction and
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
post remission therapy in younger adults with acute myeloid leukemia with normal karyotype: a cancer and leukemia group B study. J Clin Oncol. 2005;23:482-93. Fey M and Dreyling M Acute myeloblastic leukemia in adult patients: ESMO Clinical recommendations for diagnosis, treatment and follow-up. Ann Oncol, 2009, 20 (Supplement 4): iv100-iv101. Grant BW. Acute myelogenous and lymphocytic leukemias. In: Wood ME, Philips GK, editors. Hematology/oncology secrets. 3rd edition. Philadelphia: Hanley & Belfus; 2003. p. 114-8. Horwitz M. Epidemiology and genetic of acute and chronic leukemia. In: Wiernik PH, editor. Atlas of clinical oncology: adult leukemias. Hamilton-London: BC Decker Inc.; 2001. p. 1-18. Loges S, Heil G, Bruweleit M, et al. Analysis of concerted expression of angiogenic growth factors in acute myeloid leukemia: expression of angiopoietin-2 represents an independent
prognostic factor for overall survival. J Clin Oncol. 2005;23:1109-17. Montesinos P, Lprenzo I , Martin G et a]., Tumor lysis syndrome in patients with acute myeloid leukemia: identification of risk factors and developmentof a predictive model. Hematologica, 2008, 93 : 67 - 74. Raffaux E, Rousselot P, Poupon J, et al. Combined treatment with arsenic trioxide and all-trans-retinoic acid in patients with relapse acute promyelocytic leukemia. J Clin Oncol. 2003;2 1:2326-34. Sarkodee-Adoo C, Rapoport AP & Rowe JM. Diagnosis. In: Wiernik PH, editor. Atlas of clinical oncology: adult leukemias. HamiltonLondon: BC Decker Inc.; 2001. p. 63-87. Stone RM. Targeted therapy in AML. www.medscape.com. 2005. Zhen-yi Wang. Treatmet of acute leukemia by inducing' differentiation and apoptosis. Hematology. 2003.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
SINDROM DISMIELOPOETIK Ami Ashariati
PENDAHULUAN Sindrom dismielopoetik (SDM) atau myelodysplastic syndrome (MDS) primer dalah suatu sindrom yang di tandai oleh displasi dari sistem hemopoetik (dysmyelopoesis, dyserthoropoesis, dan dysthrombopoesis), baik tunggal maupun campuran, disertai dengan gangguan maturasi dan diferensiasi. Yang sebabnya belum diketahui. Jika penyebabnya diketahui disebut SDM sekunder, misalnya defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat, pengobatan sitostatik, dan sebagainya. SDM pada umumnya terjadi pada usia lanjut dengan rerata umur 60-75 tahun; laki-iaki sedikit lebih sering daripada perempuan dan penyebabnya sampai masih tidak diketahui. SDM primer ini meliputi penyakit-penyakit yang sebelumnya disebut sebagai preleukemia, smouldering leukemia, oligoblastic leukemia, hemopoetic dysplasia sindrom mielodisplastik, primary acquired sideroblastic anemia. Manifestasi klinisnya disebabkan karena adanya sitopeni, baik tunggal maupun kombinasi, yaitu keluhankeluhan anemi yang membangkang, perdarahan karena trombopeni, dan adanya granulositopeni dengan segala akibatnya. Klasifikasi dan kriteria-kriteria SDM ini telah diajukan oleh Bennet dan Vincent.
SDM sering ditemukanpada pasien usia lanjut antara umur 60-75 tahun, dan pada sebagian kasus pada umur <50 tahun ;laki-laki sedikit lebih sering daripada perempuan. Keluhan dan gejala secara umum lebih dikaitkan dengan adanya sitopenia. Umumnya datang dengan keluhan cepat lelah, lesu yang disebabkan anemia. Perdarahan karena
trombositopenia dan infeksi atau panas yang dikaitkan dengan leukopenial neutropeni juga dapat menjadi keluhan pasien walaupun sedikit kurang sering. Pada sebagian kecil dan sangat jarang dari pasien terjadi splenomegali atau hepatomegali.
DIAGNOSIS Diagnosis SDM dipertimbangkan untuk setiap pasien dewasa yang disertai gejala-gejala sebagai berikut: 1. Anemi danlperdarahan-perdarahan danlfebris yang tidak jelas sebabnya dan refiakter terhadap pengobatan. 2. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan adanya sitopeni dari satu atau lebih dari sistem darah - Adanya sel-sel mudalblas dalam jumlah sedikit (<30%) dengadtanpa monositosis di darah tepi. - Sumsung tulang dapat hipo, normo, atau hiperselular dengan disertai displasi sistem hemopoesis (anomali Pelger-Huet, perubahan megaloblastik, peningkatan ringan sel-sel blas dan sebagainya). - Namun gambaran itu tidak dapat dimasukkan dalam diagnosis yang jelas dari penyakit-penyakit lain seperti ITP, lekemi, anemi aplastik. Dan lain-lain. Diagnosis SDM ditetapkan bila ada butir 1 ditambah paling sedikit tiga dari butir 2. Sebenarnya untuk diagnosis SDM perlu dibantu dengan pemeriksaan pembiakan sel-sel sumsum tulang dan pemeriksaan sitogenetik. Sitogenetik sumsum tulang dapat memberikan informasi prognosis dan adanya abnormalitas kromosom yang merupakan kunci untuk membedakan SDM primer dan sekunder. Kromosom abnormal sumsum tulang ditemukan pada 30-50% pasien SDM de novo. Berbagai kelainan sitogenetik pada SDM termasuk delesi, trisome, monosomi dan anomali struktw (Tabel 1).
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HEMATOLOGI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Penggolongan SDM menurut kriteria FAB (1,13) adalah Refractory Anemia (RA), Refractory Anemia with Ringed Sideroblast (RARS), Refactory Anemia with Excessive Blast (RAEB), RAEB in Tranformation to Leukimia (RAEBt), dan Chronic Myelomonocytic Leukemia (CMML) (Tabel 2). Penggolongan lain yang diusulkan WHO untuk SDM adalah Refractrory anemia (RA), Refractory anemia with ringed sideroblasts (RARS), Refractory cytopenia with multilineage dysplasia (RCMD), Refractory anemia with excess blast (RAEB-type 1 = 59% blats in blood or marrow and RAEB- type 2 = 1019% blats in blood or marrow), 5q- syndrome, therapyrelated myelodysplastic syndrome, dan Myelodysplastic syndrome unclassified. SDM seharusnya dibedakan dengan myeloproliferative disorder yang lain dan beberapa variasi dari SDM sekunder termasuk defisiensi nutrisi, proses infeksi, efek obat dan toxic exposures.
Delesi 5q Monosomi 7 Trisomi 8 Kehilangan kromosom Y Delesi 20q 3q rearangements Berbagai abnormalitas kromosom 11 Berbagai abnormalitas kromosom 17p Defek kromosom kompleks lain Sumber: Fenaux P, Morel P, Lai JL (1996). Cytogenetic of myelodysplastic syndromes. Semin Hematol; 33:127-138.
Darah Tepi Hb Leukosit Blast (%) Trombosit Sumsum Tulang Eritrosit Sideroblas (%) Granulopoesis Blast (%) Trombopoesis
RA
RASB
RAEB
RAEBt
N atau
N atau <1 N atau
<5
<5-30
+++
+++
+++
+++
++
>15 O.+ <5 O.+
<5 O.+
CMML
<5 N atau
+++
+++
++++
5-20
20-30
5-20
+++
+++
'The descriptions of the syndromes are f om Bennett et a/. 30 FAB de-notes F ench-American-British. Keterangan : RA : Refractory Anemia : Refractory Anemia with Ringed Sideroblasts RASB : Refractory Anemia with Excessive Blasts RAEB RAEBt : RAEB in transformation to Leukemia CMML : Chronic Myelomonpcytic Leukemia
TATALAKSANA
Beberapa regimen terapi telah digunakan pada pasien SDM, tetapi sebagian besar tidak efektif di dalam mengubah perjalanan penyakitnya. Karena itu pengobatan pasien SDM bergantung pada usia, berat ringannya penyakit dan progresivitas penyakitnya. Pasien dengan klasifikasi RA dan RAEB pada umumnya bersifat indolent sehingga tidak perlu pengobatan spesifik, cukup suportif saja. Cangkok sumsum tulang (BM Transplantation) Cangkok surnswn tulang alogenik merupakan pengobatan utama pada SDM terutama dengan usia <30 tahun, dan merupakan terapi kuratif, tetapi masih merupakan pilihan <5% dari pasien. Kemoterapi Pada fase awal dari SDM tidak dianjurkan untuk diberikan kemoterapi, umumnya diberikan pada tipe RAEB, RAEBT, CMML. Sejak tahun 1968 pengobatan ARA-C dosis rendah yang diberikan pada pasien SDM dapat memberikan respons rate antara 50-75% dan respons ini tetap bertahan 2-14 bulan setelah pengobatan. Dosis ARA-C yang direkomendasi adalah 20 mglm2lhari secara drip atau 10 mglm2 secara subkutan setiap 12jam selama 2 1 hari. GM-CSF atau G-CSF Pada pasien SDM yang mengalami pansitopeni dapat diberikan GM-CSF atau G-CSF untuk merangsang diferensiasi dari hematopoetic progenitor cells. GM-CSF diberikan dengan dosis 30-500 mcglm2lhari atau G-CSF 50-1600 mcglm2 (0.1-0.3 mcgkgBBlharilsubkutan selama 7-14 hari. Lain-lain Piridoksin, androgen, danazol, asam retinoat dapat digunakan untuk pengobatan pasien SDM. Piridoksin dosis 200 mglhari selama 2 bulan kadang-kadang dapat memberikan respons pada tipe RASB walaupun sangat kecil. Danazol 600 mglhariloral selama 3 bulan dapat meningkatkan trombosit terutama pada SDM tipe trombopeni. 13-cis retinoic acid dengan dosis 1.0 mg/kgBB/hari/ oral dapat memberikan response rate 21-33% setelah 3 minggu pengobatan.
PROGNOSIS
+++
Pada sebagian besar SDM mempunyai perjalanan klinis menjadi kronis dan secara bertahap terjadi kerusakan pada sitopeni. Survival sangat bervariasi dari beberapa minggu sampai beberapa tahun. Kematian dapat terjadi pada 30% pasien yang progresif menjadi AML (Acute Myelocytic Leukemia) atau bone marrow failure (Tabel 3). Indikator prognosis baik dan buruk dari SDM (Tabel 4 dan 5).
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Klasifikasi FAB
Karakteristik
Klasifikasi WHO
Prediksi Survival
Refractory anemia with excess blasts-2 (RAEB-2)
10-19% marrow blasts c 5% peripheral-bloodblasts 213 cylopenia
10 bulan
Myelodysplasticsyndrome, unclassified (MDS-U)
113 cylopenia abnormal white or megakaryocytecells c 5% marrow blasts
Not l~sted
MQS associated with isolated del(5q)
anemia deleted chromosome 5q
9 tahun, 8 bulan
20-30% marrow blasts z 5% peripheral-bloodblasts
6 bulan
.
Refractory anemia with excess blasts in transformation (RAEB-t)
Acute myeloid leukemia (AML) with multi-lineage dysplasia following a myelodysplastic syndrome
Chronic myelomonocylic leukemia (CMML)
Myelodysplasticl myeloproliferativediseases (MDSIMPD)
absence of Philadelphia chromosome c 20% marrow and peripheral-blood blasts dysplasia of one cell line
18 bulan
Refractory anemia
Refractory anemia
c 5% marrow blasts no peripheral-bloodblasts anemia
5 tahun, 9 bulan
Refractory anemia with ringed sideroblasts (RARS)
Refractory anemia with ringed sideroblasts
c 5% marrow blasts no peripheral-bloodblasts anemia 2 15% marrow red-cell precursors with ringed sideroblasts
5 tahun, 9 bulan
Refarctory cytopenia with multilineagedysplasia (RCMD)
213 or 313 cytopenia dysplasia of two cell types c 5% marrow blasts
2 tahun, 9 bulan
Refarctory cytopenia with multilineagedysplasia and ringed sideroblasts
213 or 313 cytopenia dysplasia of two cell types c 5% marrow blasts 2 15% marrow red-cell precursors with ringed sideroblasts
2 tahun, 8 bulan
5-9% marrow blasts c 5% peripheral-bloodblasts 213 cytopenia
Itahun, 6 bulan
Refarctory cytopenia with excess blasts (RAEB)
Refractory anemia with excess blasts-I (RAEB-1)
.
.
GOOD
FAB Type (% o f patients)
'
R A (28) RARS (24) RAEB (23) RAEB-T (9) CMML (16)
Evolution (%)
Median Survival
,Months,
Survival Range
12 8 44 60 14
50 51 11 5 11
18-64 14-76+ 7-16 2.5-1 1 9-60+
Source: Cancer Genet Cytogenet. 1998; 32: 1-9
Younger age Normal or moderately reduced neutrophil and platelet counts Low blasts counts in the bone marrow and no blasts in the blood No Auer rods Ringed sideroblasts Normal karyotypes or mixed karyotypes withouts complex chromosome abnormalities In vitro bone marrow culture reveals nonleukemic growth pattern POOR Advanced age Severe neutropenia (~0.5x1031mm3)or thrombocytopenia (~5Ox1031mm3) High blasts count in B M or blasts in peripheral blood Auer rods Absence of ringed sideroblasts
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Appelbaum FR,Anderson J (1998). Allogeneic bone marrow transplantation for myelodysplastic syndromes:outcomes analysis according to IPSS score.Leukemia ; 12:Suppl 1:S25S29. Bennet Jm, Catovsky D, Daniel MT, Flandrin G, GaltonDAG, Bralnick HR, Sultan C (1982). Proposals for the classification of myelodysplastic syndrom, Brit J Haematol. 5 1:189-99. Greenberg P, Cox C, LeBeau MM, et al. (1997). International scoring system for evaluating prognosis in myelodysplastic syndromes. Blood; 89: 2079-2088. Hellstrom-Lindberg E,Ahlg en T,Beguin Y,et al. (1998).Treatment of anemia in myelodysplastic syndromes with g anulocyte colony-stimulating factor plus erythropoietin:esults f om a andomized phase 11 study and long-term follow-up of 71 patients.Blood; 92:68 75. Hellstrom E,Robert KH,Gahrton G,et al. (1988). Therapeutic effects of low-dose cytosine arabinoside,alpha-interferon, 1 alphahydroxyvitaminD3 and etinoic acid in acute leukemia and myelodysplastic syndromes.Eur J Haematol ; 40:449-59. HofmannWK, Ottmann OG, Ganser A, Hoelzer D (1996). Myelodysplastic syndromes:clinical features.Semin Hematol; 33:177-85. Khouri lF,Keating M,Korbling M,et al. (1998). Transplant1ite:induction of graft-versus-malignancy using fludarabine-based nonablative chemotherapy and allogeneic blood progenitorcell transplantation as treatment for lymphoid malignancies. J Clin Oncol.; 16:2817-24. Kjeldsberg CR, Elenitoba-Johnson KSJ, et al. (2000). Myelodysplastic Syndromes in: Practical Diagnosis of Hematologic Disorders. 3rd edition. Editor: Kjeldsberg CR. ASCP Press (American Society of Clinical Pathologists) Chicago, Illinois. Pp 369-430. Koeffler HP,Heitjan D,Mertelsmann R,et al. (1998). Randomized study of 13-cis etinoic acid v placebo in the myelodysplastic disorders.Blood; 71 :703-8. Mark LH., and David WG (1999). Myelodysplasia. New England Journal of Medicine, May 27, Vol. 340 No. 21 :1649-1 660. Michaux JL, Martiat P(1993). Chronic myelomonocytic leukemia (CMML)-a myelodysplastic or myeloproliferative syndrome?Leuk Lymphoma; 9:35-41
Molldrem JJ, Caples M, Mavoudis D, Plante M, Young NS, Barett AJ. (1997). Antithymocyte globulin for patients with myelodysplastic syndrome. Br J Haematol ; 99: 699-705. Morel P,Declercq C,Hebbar M,Bauters F,Fenaux P. (1996). P ognostic factors in myelodysplastic syndromes:critical analysis of the impact of age and gender and failure to identify a verq-low-risk g oup using standard mortality atio techniques.Br J Haematol ; 94: 1 16-9. Nevill TJ,Fung HC,Shepherd JD,et al. (1998). Cytogenetic abnormalities in primary myelodysplastic syndrome are highly predictive of outcome after allogeneic bone marow transplantation. Blood ; 92:1910-7. Neg in RS,Haeuber DH,Nagler A,et al. (1990). Maintenance treatment of patients with myelodysplastic syndromes using ecombinant human granulocyte colony-stimulating factor. Blood; 76:36-43. Oscier DG (1999). The Myelodysplastic syndromes in: Postgraduate Hematology. 41h edition. Editors : Hofibrand AV, lewis SM, Tuddenham EGD. Reed Educ.and Professional Publ. Ltd, Italy; pp 445-461. Parker JE,Pagliuca A,Mijovic A,et al. (1997). Fludarabine,cytarabine, G-CSF and idarubicin (FLAG-1DA)for the treatment of poor-risk myelodysplastic syndromes and acute myeloid leukaemia.Br J Haematol; 99:939-44. Pradono AP. Sindroma mielodisplastik (SMD) (1985). Medika 9:826. Saarni MJ,Linman JW (1971). Preleukemia: The hematologic syndrome preceeding acute leukemia. An1 J Clirl Pathol. 55:28390. Saitoh K,Miura 1,Takahashi N,Miura AB (1998). Fluorescence in situ hybridization of progenitor cells obtained by fluorescenceactivated cell sorthing for the detection of cells affected by chromosome abnormality trisomy 8 in patients with myelodysplastic syndromes. Blood; 92:2886-92. Soebandiri. Santoso Nugrahi, Boediwarsono (1986). Perjalanan Penyakit dan Kemampuan Hidup (survival ) dari Pasien Sindrom Dismielopoetik Primer di Seksi Hematology Lab I. Penyakit Dalam FK Unair / RS Dr. Sutomo Surabaya. Konas PI-ITDI V, Semarang 14-16 Oktober.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
DASAR-DASAR BIOLOGIS LIMFOPROLIFERATIF Amaylia Oehadian, Trinugroho Heri Fadjari
PENDAHULUAN
STAGES OF NORMAL B C E U DIFFERENTIATION
Kelainan limfoproliferatif qaitu leukemia limfoid dan lilnfoma maligna merupakau keganasan sel limfoid 3ang terjadi pada tahap diferensiasi yang berbeda. Pada tahap perkembangan sel pre-B dan pre-T pada sumsuln tulang, keganasan yang terjadi adalah limfoblastik lekemi sel prekursor B dan T yang bermanifestasi di sumsum tulang. Sebaliknya, pada limfoma mal~gnaterjadi pel-ubahan keganasan dari sel limfoid yang terdapat terutama pada jaringan limfoid. Meskipi~nleukemia dan limfoma keduanya melibatkan organ retikuloendotelial, rnereka berbeda secara klinis dan biologis. Pengetahuan biologik tentang kelainan limfoproliferatif ~nenjadidasar pemahaman patogenesis, diagnosis dan terapi.
Pre.B
Mature B
P , ~ ~ : ~ ~ a Dlfferentlating B
Secretory B
w
---
1-1
Pan I3 cell a$?tigens
CD 19 20 HLA-L>R
;7;;s,r:;;t2rg; CD
lla~lu,
B cell actlvatron amlgens. CD 25. 54.
1
Pre BALL
71 R n
Non Hodgklns Lymphomas
a:"EU'""'.'."'j I
Myeloma
B CELL MALIGNANCIES
Gambar 1 Keganasan sel l~mfos~t B dan tahap perkembangan sel
PERKEMBANGAN LEUKEMIA DAN LIMFOMA BERDASARKAN DlFERENSlASl SEL Leukemia dan Limfoma Sel 6 Delapan puluh persen leukemia limfoblastikdan 90% luntoma non-Hodgkin's berasal dari sel B. Hal ini didasarkan pada didapatkannya ekspresi antigen B-ltneyye-~fiestricrtl~i dan c l o n ~r.earrclizgemc.nt.,nt. ~l gen imunoglobulin rantai berat dan ringan. Keganasan-keganasan ini berhubungan dengan subpopulasi sel pre-B d m sel B matur dan secara klinis dibedakan menjadi indolen dan agresit'. Pada Gambar 1 dapat dilihat keganasan sel limfosit B dan hubungannya dengan tahap perkembangan sel.
--
Leukemia dan Limfoma Sel T Antigen sel T yang terbanyak diekspresi sebagai petanda
sel T adalah CD2 dan CD7. Pada Gambar 2 dapat dilihat hubungan antara keganasan sel T dan tahapan perkembangan sel T. Leukemia dan Limfoma Sel Natural Killer (NK) Neoplasma sel NK tnerupakan neoplasma yang jarang ditemukan. Sel NK berasal dari sel induk pluripoten dan berhubungan dengan sel l im fosit T y ang berkem bang secara terpisah pada tahap tertentu. Sel NK dibedakan dengan sel T secara imunologis. Sel NK tidak mempunyai TCR (T c+ellreceptor) gene rcurrunget?re17t,protein TCR, CD3 dan biasanya tidak mempunyai CD5. Sel NK biasanya tnempunyai ekspresi NK-~~s~ociutedtmtrgrn (CDI 6, CD56, CD57).'Klasifikasi neoplasma sel NK dapat dilihat pada Tabel 1.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1246
HEMATOLOCI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
IMUNOGLOBULIN (IG) DAN T CELL RECEPTOR (TCR)REARRANGEMENT
T CELL MALIGNANCIES
T CELL DIFFERENTIATION THYMUS
~
Manor~tyof T Cell ALL
Stage 1 Prothymocyte
Stage 2 thymocyte
Manority of T- ALL Majorlty of T- ALL
Stage 3 thymocyte
I
i
PERIPHERALBLOOD Majority of T-CII,CTCL Sezary Cell.NHL
Mature T Helper Cell CD: 2.3. 4. 5. 6. 7 , TCR
M~norityof T-CLL.NHL
Mature T Cytotox~cl Suppressor
i
CD:2. 3.4. 5 , 6. 7 ; TCR
Garnbar 2.
Diferensiasi dan keganasan sel
T
1 Tabel 1. Neoplasma Sel NK
I
lrnatur MyeloidlNK cell precursor acute leukemia Blastic NK-cell lymphoma
Matur : Indolent : Large granular lymphocyte (LGL) leukemia Agresif : NK-cell leukemia Nasallnasal type NWT cell lymphoma
Leukemia
Sebagian besar keganasan li~iifoidberasal dari sel B atail T yang telah mengalami c~lotmlinlt17~1iiog/ohl1lit1 atau TCR rcJrrrrunge:L.n7e~~t yang fisiologis. Karena itu, identifiliasi cI(~tiu1IgITCR rearr~1t1getltc~tlt ( l ~ ~ n ~ / >~ Il o~ ioi ~ ldl i t ~ - ) digunakan unt~lkmembantu diagnosis dan pemantauan terapi.
Perkembangan Sel B dan immunoglobulin Gene Rearrangement Perkembangan sel B di sumsum tulang dimulai dengan pembentukan gen-gen untuk I ~ L I ~ I ' U I I I Cregioti antibodi rantai ringan dan berat pada progenitor sel B lnelalui proses y a n g di s e b ~ ~V(D)J t ( V~~ri~tl~l~-Di~~~~r~sit~~ reconrhir~ution.Pada proses ini, DNA yang terletak di antara bagian gen mengalami delesi. Gen-gen pada 1.~tri~lh/c~ 1.c~gionimniunoglobulin rantai ringan (k atau I ) terbent~~k dari cle~iienV dan J, sedangkan pada imunoglob~~lin rantai berat, \.rrt.icrhle regiot7 terbelituk dari elemen V, D dan J. Proses rekombinasi ini dapat dilihat pada Gambar 3. Terdapat bennacam-macam segmen V, D dan J pada gorrn litle sehingga setiap sel B lnelniliki gen tertentu untuk v~lr.itrblr region yang berbeda satu sama lain dan mengkode antibodi yang berbeda. Getie rem-rrmgemerit ini juga membuat setiap sel B ~iielnp~lnyai petanda klonal tersendiri yang penting dalam analisis limfoma sel B.
Nasal dan Nasal Type NK-cell Neoplasma, Merupakan neoplasma sel NK yang paling sering ditemukan dengan karakteristik adanya pola pertumbuhan angiosentrikl angiodestruktif dengan nekrosis zonal. Tumor ini lnempunyai predileksi pada kavitas nasal dan sinus paranasal. Sering disebut juga lethal midline gi-unz~lomu atau polimorfik retikulosis. Nasul fype limjoma melnpunyai gambaran histologis yang sama, tetapi berasal dari ekstranodal seperti kulit, traktus gastrointestinal, testis, ginjal, traktus respiratori bagian atas dan matalorbita. Hodgkin's Disease Reed-Sternberg (RS) sel merupakan karakteristik penyakit Hodgkin's. Sel RS dibcdakan dengan sel limfoma nonHodgkin secara imunologis dengan tidak ditemukannya T atau B-cell associated atztigens. Sel RS mempunyai ekspresi : CD15 Merupakan antigen golongan darah Lewis X yang berfungsi sebagai reseptor adhesi. CD30(Ki-1) Sel RS dapat mempunyai monoklonal atau poliklonal immunoglobulin gene rearrangements. Pada beberapa kasus ditemukan juga T cell receptor b-chain rearrangements.
Garnbar 3.
V(D)J
Recombinabon pada
Perkembangan Sel
13
Sel B t ~ u i l yang e mengenali antigen lnelalui membranebozl~dantibodi, terdapat pada senter germinal organ limfoid sekunder: kelenjar limfe, limpa dan MALT (mucosaassoeiatedlvn~~~hoid tissue). Genomik D N A sel B kemudian mengalami 3 tipe modifikasi yaitu (Gambar 4): Receptor editing Proses pergantian rantai polypeptide antibodi dengan rantai yang lain, biasanya terjadi pada imunoglobulin rantai ringan. Class switching Beberapa sel B pada senter germinal mengalami pergantian dari ekspresi IgM dan IgD menjadi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1247
DASAR-DASARBIOLOGIS LIMFOPROLIFERATIF
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI IgG, IgA atau IgE. Proses ini menimbulkan perubahan fimgsi efektor antibodi tanpa perubahan V(D)J region. Hipermutasi Somatik. Proses mutasi (terutama perubahan single-nucleotide, juga delesi dan duplikasi) terjadi dengan frekuensi tinggi pada gen variable-region. Proses mutasi ini menyebabkan berkembangnya sel B mutan pada senter germinal yang menghasilkan antibodi dengan peningkatan afinitas terhadap antigen tertentu. Sel B mutan yang tidak mempunyai kemampuan berikatan dengan antigen atau tidak menghasilkan antibodi tertentu akan mengalami apoptosis.
Rearrangement pada Sel B Normal. Setiap sel B normal mempunyai 2 gen IgG rearrangement : VH-N-D,-N-J, dan VL-N-JLyang berbeda untuk setiap sel. Masing-masing sel B berbeda satu sama lain berdasarkan rearrangement gen IgH yang berbeda. Keadaan diversitas ini disebut poliklonalitas Rearrangement pada Sel B Limfoma. Sel B limfoma mempunyai sekuens V,-N-D,-N-J, dan V,-N-J, yang identik. Hal ini menunjukkan bahwa sel limfoma berasal dari sel B yang sama sehingga disebut monoklonalitas Perkembangan sel B, immunoglobulin gene rearrangement dan hubungannya dengan limfoma dapat dilihat pada tabel 2 dan gambar 5.
Receptor edlting
-
-
Gambar 4. Proses Modifikasi Molekular Gen yang Mengkode Antibodi
"
Vanable-reglon gene uCent remrnbinat~on
".~~~~$%?$!i?lyrnpho~-)
Gambar 5. Limfoma sel B dan perkembangan sel B
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Sel
Ge n im unoglobulin
B
Mutasi somatik
Protein lg
Marker
Limfoma
Sel induk Sel pro-B
Germ bne Germ h e
Sel pre-B
lgH rearrangement, p-chain (sttoplasma)
I gG
Sel B imatur
IgLllgH rearrangement, IgM (membran)
IgM (membrane)
CD19. C D20, CD45R. CD79a. CD10. BSAP
Mature-nafve B-cel
lgHlL rearrangement, IgM, IgD (membran)
IgMllgD
CD19, CD20, CD45R, CD79a. BSAP. CD5
BCLL, MCL
Genninal center (CB, cc )
lgHlL rearrangements, class switch
mulai mutasi somatik
lg (minimal atau tidak ada)
CD19. CD20, CD45R7CD79a,BSAP, CD10, BCL6
BF. FL, LPHL DLBCL, cHL
Sel B memwi
lgHlL rearrangement
mutasl somatk
IgM
MZL. B C L L
Sel plasma
IgHlL rearrangement
mutasi somatlk
IgG>IgA> IgD
CD19, CD20, CD45R, CD79A, BSAP CD38, Vs38c, MUM-1, CD138
CD34 CD19,CD79a, BSAP,CD34,CD10, TdT CD19, CD45R, CD79a, BSAP. CD34, CD10, TdT
BLBLIALL
Plasmasitomd mieloma
Keterangan : CB
: centmblast
LPHL
CC
: centmcytes
DLBCL
: Diffuse large cell B -celllymphoma
lymphocyte-predominant Hodgkin lymphoma
1g
imunoglobulin
cHL
: classic Hodgkin lymphoma
B-LBL
B-cell lymphoblastic Eymphoma
MZL
: marginal zone B-cell lymphoma : B cell specific activatorprotein
B-CLL
: chmnic lymphocytic leukemia
BSAP
MCL
: mantle cell lymphoma
MUM-1
: Multiple myeloma oncogene
BL
. Burkitt lymphoma
Td T
: Terminal deoxynucleotidyl
FL
: follck centerlymphoma
Perkembangan Sel T dan T-cell Receptor f TCR) T-cell receptor merupakan molekul transmembran, terdiri dari a/b atau g/d heterodimer. Setiap a,b,g dan d chain terdiri dari variable domain dan constant domain. Proses rearangement segmen V, D ,J dan C juga terjadi pada TCR seperti pada IgH rearrangement. Pre-T cell mempunyai imatur TCR yang terdiri dari b chain dan pre-Ta chain yang akan berkembang menjadi a chain dan membentuk matur TCR pada sel T.
gen yang dalam keadaan normal mengatur sintesis imunoglobulin rantai ringan dan berat berpindah posisi pada gen-gen yang mengatur aktivasi dan proliferasi sel. Diduga, gen-gen yang mengalami transformasi ini (onkogen) diatur oleh elemen regulatori yang dalam keadaan normal mengatur proliferasi dan diferensiasi sel. Beberapa translokasi kromosom pada limfoma non Hodgkin dapat dilihat pada Tabel 3 dan Cambar 6.
BL
PATOGENESIS LIMFOMA DAN LEUKEMIA Beberapa gen berperan dalam patogenesis limfoma dan leukemia. Abnormalitas sitogenetik telah ditemukan pada beberapa tipe limfoma dan leukemia. Translokasi kromosom merupakan genetic hallmark keganasan limfoid. Proses ini diduga berhubungan dengan antigen receptor gene rearrangement (gen Ig pada sel B dan gen TCR pada sel T). Gambaran umum translokasi gen ini adalah berubahnya letak protoonkogen pada daerah proksimal rekombinasi kromosom. Hal ini menyebabkan berubahnya pola ekspresi gen sebagai akibat juxtaposition regulatory sequens dari kromosom (deregulasi protoonkogen). Sekuens DNA dari beberapa translokasi kromosom menunjukkan bahwa gen-
FL- - - ...-
----
P 4
#a-
+
Gambar 6. Translokasi gen pada lirnforna
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
DLBCL
1249
DASAR-DASARBIOLOGISLIMFOPROLIFERATIF
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Mekanisme aktivasi proto-onkogen
Fungsi protoonkogen
Translokasi
% kasus
Limfoplasmasitik
t(9;14)(p13;q32)
50
PAX-5
Deregulasi transkripsional
Faktor transkripsi regulasi proliferasi dan diferensiasi sel B
Folikular
t(14;18)(q32;q21) t(1;18)(pI I;q21) t(18;22)(q21;q11)
90
BCL-2
Deregulasi transkripsional
Regulasi negatif apoptosis
Mantle cell
t(11;14)(q13;q32)
70
t(11;18)(q21;q21) t(1;14)(p22;q32)
50 jarang
Diffuse large B-cell
der(3)(q27)
35
BCL-6
Deregulasi transkripsional Protein fusi deregulasi transkripsional Deregulasi transkriosional
Regulator siklus sel
MALT
BCL-I lcyclin Dl AP12lMLT BCL-10
Burkitt
t(8;14)(q24;q32) t(2;8)(pll ;q24) t(8;22)(q24;ql I ) t(2;5)(p23;q35)
80 15 5 60
C-MYC
Deregulasi transkripsional
Faktor transkripsi regulasi proliferasi sel
NPMIALK
Protein fusi
ALK merupakan tirosin kinase
Tipe histologis
Anaplastic large T-cell
Protoonkogen
Anti apoptosis
Represor transkripsional pada pembentukan senter germinal
--
Keterangan: PAX-5 BCL-2 BCL-1 APl2lMLT
: Paired homeobox family-5 :B-cell IeukemiaNymphoma-2 : B-cell leukemiallymphoma-I : Apoptosis inhibitor kinase
BCL-6 BCL-10 NPMIALK
Translokasi kromosom pada leukemia akut pre-B. t(9;22) BCR-ABL (Break chain region-Abelson). rearrangement yang menghasilkan tirosin kinase abnormal (p 190 atau p2 10 BCR-ABL) didapatkan pada 30 % kasus. Translokasi kromosom l l q23 ( gen MLL, HRX, ALL- 1) (...........) didapatkan pada 5% kasus. Translokasi ini menghasilkan abnormal DNA binding protein yang selanjutnya menimbulkan transkripsi gen abnormal. Pada sekitar 50 % kasus leukemia akut sel T, ditemukan translokasi yang melibatkan gen reseptor antigen sel T (14q 11,7q34) yang menimbulkan ekpresi abnormal faktorfaktor transkripsi tertentu.
IMPLIKASI KLlNlS PENGETAHUAN DASAR BlOLOGlS
Dasar biologis keganasan limfoproliferatif meliputi pengetahuan tentang diferensiasi limfosit dan molekular genetik. Pengetahuan tentang ha1 tersebut mempunyai implikasi yang berhubungan dengan beberapa aspek klinis antara lain: Gambaran Klinis siapa yang terkena penyakit: pasien dengan populasi sel normal yang banyak mempunyai kemungkinan mengalami transformasi neoplasma. Limfoblastik
: 6-cell leukemia/lymphoma-6 : 6-cell leukemia/lymphoma-10 : Nucleophosminl anaplastic lymphoma kinase
limfoma sering ditemukan pada masa anak-anak karena pada usia ini didapatkan banyak sel prekursor B. Mieloma sel plasma sering ditemukan pada usia dewasa tua karena pada usia ini didapatkan banyak sel plasma yang telah mengalami paparan antigen setelah melewati senter germinal. Perjalanan penyakit: tumor yang berhubungan dengan sel normal yang aktif berproliferasi seperti limfoblas dan sentroblas cendemng berkembang dengan cepat dan agresif. Tumor yang berasal dari sel-sel pada keadaan istirahat seperti CLLISLL cenderung bersifat indolen Letak tumor: tumor yang berasal dari sel prekursor akan berkembang menjadi leukemia akut; sel pada senter germinal akan berkembang menjadi tumor pada folikel limfoid di seluruh tubuh; sel pada MALT akan berkembang pada daerah ekstranodal. Patogenesis Proses genetik yang terjadi selama diferensiasi sel melibatkan rearrangement dan mutasi gen imunoglobulin. Selama proses ini, dapat terjadi kelainan-kelainan genetik translokasi atau mutasi gen imunoglobulin yang mengakibatkan perkembangan neoplasma. Sebagian besar translokasi kromosom pada neoplasma limfoid memindahkan protoonkogen ke daerah promoter gen reseptor antigen (gen imunogloblulin atau gen reseptor sel T).
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Klasifikasi dan Diagnosis Kombinasi morfologi, imunofenotipe, rearrangement dan mutasi gen serta gambaran klinis digunakan untuk klasifikasi dan diagnosis keganasan limfoproliferatif.
Pengobatan Pengetahuan dasar biologis neoplasma limfoid digunakan untuk penelitian terapi. Tumor dengan proliferasi yang cepat pada umumnya berespon dengan obat-obat yang mengganggu sintesis DNA. Abnormalitas genetik dapat menjadi target terapi seperti antisense oligonucleotida terhadap gen anti-apoptosis seperti BCL2, obat dengan target protein fusi seperti NPMIALK atau API2MLT 1 atau obat penghambat protein pengatur siklus sel seperti siklin Dl. Deteksi Minimal Residual Disease (MRD) Dengan tehnik PCR untuk mendeteksi Ig ,TCR gene rearrangement atau translokasi kromosom lainnya, dapat dideteksi 1 sel tumor di antara 105-1O6 sel normal. PCR dapat digunakan untuk mendeteksi sel limfoma pada darah atau sumsum tulang. Pemeriksaan ini dapat menilai remisi komplit secara lebih akurat dan sebagai pertimbangan apakah terapi harus diteruskan, dihentikan atau diganti dengan yang lebih intensif.
Delves PJ, Roitt IM. Advanced in immunology: the immune system. N Engl J Med 2000; 343: 37-49. Freedman AS, Nadler LM. Malignancies of lymphoid cells. In : Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et al. editors. Harrison's principles of internal medicine. 14Ihed. New York: McGraw-Hill; 1998. p. 695-8. Gaidano G, Dalla-Fevera R. Lymphomas. In: De Vita Jr VT, Hellman S, Rosenberg SA, editors. Cancer principles and practice of oncology. 6'h ed. Philadelphia: Lippincot-Raven; 2001. p. 221535. Greer JP, Kinney MC, Loughran Jr TP. T cell and NK cell lymphoproliferative disorders. Hematology 2001: 259-81. Harris NL, Stein H, Coupland SE, Hummel M, Favera RD, Pasqualucci L, et al. New approach to lymphoma diagnosis. Hematology 2001: 194-220. Macintyre E, Willerford D, Morris SW. Non-Hodgkin's lymphoma: molecular features of B cell lymphoma. Hematology 2000: 180-94. Kuppers R, Klein U, Hansmann ML, Rajewsky K. Cellular origin of human B-cell lymphomas. N Engl J Med 1999;341:1520-9.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
LIMFOMA NON-HODCKIN (LNH) A. Harryanto Reksodiputro, Cosphiadi Irawan
PENDAHULUAN
KELENJAR LlMFE
Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan primer limfosit yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T dan kadang (amat jarang) berasal dari sel NK ("natural killer") yang berada dalam sistem limfe; yang sangat heterogen, baik tipe histologis, gejala, perjalanan klinis, respon terliadap pengobatan, maupun prognosis. Pada LNH sebuah sel limfosit berproliferasi secara tak terkendali yang ~nengakibatkanterbentuknya tumor. Seluruh sel LN H berasal dari satu sel limfosit, sehingga semua sel dalam tumor pasien LNH sel B memiliki imunoglobulin yang sama pada permukaan selnya. Pada tahun 2000 di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 54.900 kasus baru, dan 26. I00 orang meninggal karena LNH. Di Amerika Serikat, 5% kasus LNH barti terjadi pada pria, dan 4% pada wanita per tahunnya. Pada tahun 1997, LNH dilaporkan sebagai penyebab kematian akibar kanker utama pada pria usia 20-39 tahun. lnsidensi LNH di Amerika Serikat menurut iVatior7ul Cur7ccr I17stiture tahun 1996 adalah 15.5 per 100.000. LNH secara umum lebih sering terjadi pada pria. Insidensi LNH meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan mencapai puncak pada kelompok usia 80-84 tahun. Saat ini angka pasien LNH di Amerika semakin meningkat dengan pertambahan 5-10% pertahunnya ,menjadikannya urutan ke liina tersering dengan angka kejadian 12- 15 per 100.000 penduduk. Di Perancis penyakit ini merupakan keganasan ketujuh tersering. Di Indonesia sendiri LNH bersama sama dengan penyakit Hodgkin dan leukemia menduduki urutan ke enam tersering .Sampai saat ini beluln diketahui sepenuhnya mengapa angka kejadian LNH terus meningkat. Adanya hubungan yang erat antara penyakit AIDS dan LNH kiranya memperkuat dugaan adanya hubungan antara LNH dengan infeksi.
Untuk dapat memahami penggolongan histologis LNH, lnarilah kita bahas secara singkat perihal arsitektur kelenjar limfe, yaitu organisasi struktur, asal dan migrasi limfosit, serta tranformasi limfosit. Sistem limfe adalah jaringan tubuli tubuli yang amat tipis yang bercabang-cabang seperti pembuluh darah. Pembuluh limfe berisi cairan bening yang berisi sel limfosit dan merupakan sarana yang mengalirkan sel limfosit keselun~htubuh.
r-
pembu
Gambar 1. Struktur kelenjar getah bentng. Folikel-folikel dihuni padat oleh sel- Sel B yang membentuk pusat germlnal. Sel B juga menghun~daerah medula sedangkan daerah parakorteksterutama mengandung sel T. Modifikasi dari Fudenberg HH Stit~esDE, Caldwell JL, Wells JV Basic and Clinical Immunology. Los Altos Cal~forn~a ' Lange Publications, 1979;82.
Gambar 1 memperlihatkan bagan struktur kelenjar limfe, yang terbagi dalam tiga bagian utama yaitu: korteks, para korteks dan medulla. Di dalaln korteks didapati folikelfolikel yang berbentuk sferis, yang terisi penuh limfosit B. Di tengah folikel-folikel ini dapat ditemukan daerah yang berwarna agak pucat yang dinamakan pusat germinal ("centrlrm geuminativum") yang di dalamnya dapat ditemukan sel blast, sel besar dan makrofag; yang memberi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1252
HEMATOLOGI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
gambaran seperti "langit berbintang". Daerah parakorteks berisi limfosit T, sedang daerah medulla pada dasarnya dihuni oleh sel B.
PATOGENESIS TRANFORMASI DAN MlGRASl LlMFOSlT
Berbeda dengan sel hematopoeitik yang lain, limfosit kecil (matang/tua) bukanlah nierupakan sel tahap akhir dari perkembangannya, akan tetapi mereka dapat merupakan permulaan lirnfopoiesis baru yang timbul sebagai reaksi terliadap rangsangan antigen yang tepat. Hal ini dibuktikan oleh Nowell pada tahun 1960 dan peneliti lain yang liiemperlihatkan sel limfosit kecil (matang) marnpu mengadakan perubahan morfologi (tra~isformasi)dan berproliferasi sebagai reaksi terhadap rangsangan lektin nabati (plant lectill) Seperti sel darah lainnya, sel limfosit dalain kelenjar limfe juga berasal dari sel-sel induk multipotensial di dalam suinsum tulang. Sel induk m~lltipotensialpada tahap anal bertransformasi menjadi sel progenitor limfosit yang kemudian berdiferensiasi melalui dua jalur. Sebagian mengalami "pematangan" dalaln kelenjar thymus untuk menjadi sel limfosit T, dan sebagian lagi nienuju keleli,jar limfe atau tetap berada dalam sumsum t~llangdan berdiferensiasi men-jadi sel limfosit B. Apabila ada rangsangan oleh antigen yang "ses~~ai" lnaka limfosit T niaupun B akan bertransformasi niet~jadi bentuk aktif dan berproliferasi. 1,imfosit T aktif menjalankan fungsi respon imunitas seluler, sedangkan limfosit B aktif menjadi imunoblas yang keinudian menjadi sel plasma yang membentuk iinunoglobulin. Terjadi perubahan morfologi yang mencolok pada perubahan ini, dimana sitoplasma yang sedikit / kecil pada limfosit B "tua"
menjadi bersitoplas~nabanyakiluas pada sel plasma, perubahan ini terjadi pada sel limfosit B disekitar atau di dalam "cenhum gei~rninutrl~~inz"; sedangkan lirnfosit T aktif be~ukuranlebih besar dibanding limfosit T"tua". (Gambar 2) Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelo~npoksel limfosit tua yang tengah berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat adanya rangsangan imunogen). Hal yang perlu diketahui adalah proses ini terjadi di dala~nkelenjar getah bening, dimana sel limfosit tua berada diluar centr run^ gcrwlintrtiv~/ni" sedangkan imunoblast berada di bagian paling sentral dari "centrum gcrtninutivutn " Beberapa perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain: I ). Ukurannya makin besar; 2 ) . Kromatin inti menjadi lebih"11alus"; 3). Nukleolinya terlihat; 4). Protein peilnukaan sel mengalami perubahan (reseptor ?). Hal me~idasarlain yang perlu diingat adalah bahwa sel yang berubah menjadi sel kanker seringkali tetap melnpertahankan sifat "dasarqnya. Misalnya sel kanker dari litnfosit tua tetap me~npertahankansifat mudah masuk aliran darah nalnun dengan tiiigkat mitosis yang rendali, sedangkan sel kanker dari imunoblas amat jarang masuk ke dalam aliran darah, nalnun dengan tingkat mitosis yang t inggi.
ETlOLOGl DAN FAKTOR RlSlKO
Etiologi sebagian besar LNH tidak diketahui. Namun terdapat beberapa faktor risiko terjadinya LNH, antara lain: ImunoDefisiensi: 25% kelainan herediter langka yang berhubungan dengan terjadinya LNH antara lain adalah: ( e v e r e combined l t ~ i n l ~ l n o d e f i c i e lhypoganim~l ~c~~
Gambar 2. Transformasr llmfosrt B dan T menurut konsep Lukes Modlfrkasr darr Lukes RJ Boerhave Commrttee for Postgraduate Med~calEdcuatron lnternatronal Course on Malrgnant Lymphomas, Naorwrjkerhout, 1979, V-2
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1253
LIMFOMA NON-HODGKIN (LNH)
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Tahun
Penulis 1. Rappaport
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Gambar 3. Transformasi limfosit B dan T menurut konsep Lennert. E= Sheep E receptor, EAC= complement receptor, S-1g= Surface Immunoglobulin, C-1g= lntacytoplasmic Immunoglobulin, Ag=Antigenicstimulation. Modifikasi dari Lennert K, Stein H, Mohri N, Katserling E, Muller-HermelinkHK.MalignantLymphomas other than Hogkin's disease. Berlin. Springer-Verlag, 1978: 99.
globulinemia, common variable immunodeficiency, Wiskott-Aldrich syndrome, dan ataxia-telangiectasia. Limfoma yang berhubungan dengan kelainan-kelainan tersebut seringkali dihubungkan pula dengan Epstein-Barr virus (EBV) dan jenisnya beragam, mulai dari hiperplasia poliklonal sel B hingga limfoma monoklonal.
Agen Infeksius: EBV DNA ditemukan pada 95% limfoma Burkit endemik, dan lebih jarang ditemukan pada limfoma Burkit sporadik. Karena tidak pada semua kasus limfoma Burkit ditemukan EBV, hubungan dan mekanisme EBV terhadap terjadinya limfoma Burkit belum diketahui. Sebuali hipotesis menyatakan bahwa infeksi awal EBV dan faktor lingkungan dapat meningkatkan jumlah prekursor yang terinfeksi EBV dan meningkatkan risiko terjadinya kerusakan genetik. EBV juga dihubungkan dengan posttransplant lytnphoproliferative disorders (PTLDs) dan AIDS-associated lymphomas. Paparan Lingkungan dan Pekerjaan: Beberapa pekerjaan yang sering dihubungkan dengan risiko tinggi adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan adanya paparan herbisida dan pelamt organik. Diet dan Paparan Lainnya: risiko LNH meningkat pada orang yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok, dan yang terkena paparan ultraviolet.
KLASlFlKASl LIMFOMA NON HODGKIN
Lukes Lennert Gerard Marchant Bennet Dorfman WHO Formulasi Praktis
9. REAL revised 10. WHO 1 REAL
1966 dan 1976 1974 1974 1974 1974 1974 1976 1982
1993 1997
Nama Klasifikasi Modified Rappaport Lukes-Collins Lennert Kiel BNLC* Dorfman WHO** Formulasi Praktis I Working Formulation I WF REAL WHO IREAL
British National Lymphoma Classification '* World Health Organization
B-cell neoplasms I. Precursor B-cell neoplasm: precursor B-acute lymphoblastic leukemiallymphoblasticlymphoma (BALL, LBL) It. Peripheral B-cell neoplasms A. B-cell chronic lymphocytic leukemialsmall lymphocytic lymphoma B. B-cell prolymphocytic leukemia C. Lymphoplasmacytic lymphomalimmunocytoma D. Mantle cell lymphoma E. Follicular lymphoma F. Extranodal marginal zone B-cell lymphoma or MALT type G. Nodal marginal zone B-cell lymphoma (+monocytoid B-cells) H. Splenic marginal zone lymphoma evillous lymphocytes) I. Hairy cell leukemia J. Plasmacytomalplasma cell myeloma K. Diffuse large B-cell lymphoma L. Burkitt's lymphoma T-cell and putative NK-cell neoplasms I. Precursor T-cell neoplasm: precurs0r.T-acute lymphoblastic leukemiallymphoblasticlymphoma (T-ALL, LBL) II. Peripheral T-cell and NK-cell neoplasms A. T-cell chronic lymphocytic leukemialprolymphocytic leukemia B. T-cell granular lymphocytic leukemia C. Mycosis fungoideslSezary syndrome D. Peripheral T-cell lymphoma, not otherwise characterized E. Hepatosplenicgammaldelta lymphoma F. Subcutaneus ~anniculitis-likeT-cell lymphoma G. ~n~iommunot;lastic T-cell lymphoma H. Extranodal T-INK-cell lymphoma, nasal type I. Enteropathy-type intestinal T -cell lymphoma J. Adult T-cell lymphomalleukemia (HTLV I+) K. Anaplastic large cell lymphoma, primary systemic type L. Anaplastic large cell lymphoma, primary cutaneous tyPe M. Aggressive NK-cell leukemia '
Penggolongan histologis LNH merupakan masalah yang rumit dan sukar, yang kerap mengunakan istilah-istilah yang dimaksudkan untuk tujuan yang berbeda beda sehingga tidak memungkinkan diadakannya perbandingan yang bermakna antara hasil hasil berbagai pusat penelitian. Perkembangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Perkembangan terakhir klasifikasi yang banyak dipakai dan diterima dibanyak pusat kesehatan adalah formulasi praktis ("Working Formu1ation"lWF) dan REAL / WHO. WF menjabarkan karakteristik klinis dengan deskriptif histopatologis, namun belum menginformasikan jenis sel limfosit B atau T, maupun berbagai patologis klinis yang baru. WF membagi LNH atas derajat keganasan rendah, menengah dan tinggi yang mencerminkan sifat agresifitas mereka. Klasifikasi WHOJREAL beranjak dari karakter imunofenotip (sel B, sel T dan sel NK) dan analisa "lineage" sel limfoma. Klasifikasi terakhir ini diharapkan menjadi patokan baku dan cara berkomunikasi di antara ahli hematologi-onkologi medik. Hal yang perlu dicatat adalah 25% pasien LNH menunjukkan gambaran sel limfoma yang bermacam macam pada satu lokasi yang sama; maka dalam ha1 ini pengobatannya harus berdasarkan gambaran histologis yang paling dominan. Oleh karena itu diagnosis klasifikasi LNH harus selalu berdasarkan biopsi KGB dan bukan evaluasi sitologi atau biopsi sumsum tulang semata.
B.
C.
consistent with CLL plasmacytoid Folliculars .. . Predominantly . small cleaved cell Follicular, mixed small cleaved and large cell
Intermediate-grade lymphomas D. Follicular, large cell E. Diffuse, small cleaved cell F. Diffuse, mixed small and large cell G. Diffuse large cell High-grade lymphomas H. Large cell, immunoblastic I. Lymphoblastic J. Small, non-cleaved cell Burkitt's, Non-Burkitt's
6-cell neoplasma (REAL) Small lymphocytic CLLlPLL Lymphoplasmacytoid-immunocytoma Plaimacytoma~m~e~oma Hairy cell leukemia
PENDEKATAN DlAGNOSTlK
Anamnesis Umum: Pembesaran kelenjar getah bening dan malaise umum - Berat badan menurun 10% gejala dalam waktu 6 bulan - Demarn tinggi 38°C 1minggu sistemik tanpa sebab - Keringat malam Keluhan anemia Keluhan organ (misalnya lambung, nasofaring) Penggunaan obat (Diphantoine) Khusus: Penyakit autoimun (SLE, Sjogren, Reuma) Kelainan darah Penyakit infeksi (toksoplasma, mononukleosis, tuberkulosis lues, penyakit cakar kucing)
I-+
WF
T-cell neoplasma (REAL)
WF
A A.F Other Other
T-cell CLUPLL LGL ATLlL (chronic and smouldering types Mycosis fungoideslsezary syndrome
A, E A. E A,E
Marginal zone lymphoma Splenic ExtranodallMALT Nodal Follicle center, follicular Grade l Grade ll Grade Ill Follicle center, diffuse small cell Mantle cell lymphoma Diffuse large B-cell, including : T-cell rich lrnmunoblastic Mediastinal Precursor B-cell (lymphoblastic) Burkitt's lymphoma Burkitt's-like (High grade B-cell lymphoma)
Peripheral T-cell lymphoma (+I- HTLV-I) Unspecified Angioimmunoblastic Angiocentric Intestinal
Anaplastic large cell lymphoma Precursor T-cell (Lymphoblatsic)
Referensi : Rosenberg SA, Berard CW, Brown BW et al. National Cancer Institute Sponsored study of Classification of Non-Hodgkin's Lymphomas. Cancer 1982;49(10):2112-35. Harris NL, Jaffe ES, Stein H et al. Revised European-American Classification of Lymphoid neoplasms : a proposal from the International Lymphoma study group, Blood 1994 ;84(5):1361-92. Shipp MA, Mauch PM, Harris NL. Non Hodgkin's Lymphoma . In DeVita VT Jr, Hellman S, Rosenberg SA, editors. Cancer : Principles and Practice of Oncology, 5Ih edition. Philadhelphia : Lippincott-Raven, 1997.pp 2165-220.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
LIMFOMA NON-HODCKIN (LNH)
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pemeriksaan Fisik Pembesaran KGB Kelainanlpembesaran organ Performace status: ECOG atau WHOJKarnofsky Pemeriksaan Diagnostik a. Laboratoriurn Rutin Hematologi: - Darah perifer lengkap (DPL) - Gambaran darah tepi (GDT) Urinanalisis: - Urinlengkap Kimia klinik: - SGOT, SGPT, LDH, protein total, albumin, asam urat - Alkali fosfatase - Gula darah puasa dan 2 jam pp - Elektrolit:Na, K, C1, Ca, P Khusus - GammaGT - Cholinesterase (CHE) - LDWfraksi - Serum Protein Elektroforesis (SPE) - Imuno Elektroforese (IEP) - Tes Coombs - B, Mikroglobulin b. Biopsi Biopsi KGB dilakukan hanya 1kelenjar yang paling representatif, superfisial, dan perifer. Jika terdapat kelenjar periferlsuperfisial yang representatif, maka tidak perlu biopsi intra abdominal atau intratorakal. Spesimen kelenjar diperiksa: - Rutin Histopatologi: REAL-WHO dan Working Formulation - Khusus Imunoglobulinpermukaan Histolsitokimia Diagnosis ditegakkan berdasarkan histopatologi dan sitologi. FNAB dilakukan atas indikasi tertentu. Tidak diperlukan penentuan stadium laparatomi. c. Aspirasi sumsum tulang (BMP)dan biopsi sumsum tulang dari 2 sisi spina iliaca dengan hasil spesimen sepanjang 2 cm. d. Radiologi - Rutin: - Toraks foto PA dan lateral - CT scan seluruh abdomen (atas dan bawah) - K~USUS: - CT scan toraks - USGAbdomen - Limfografi, lirnfosintigrafi e. Konsultasi THT: Bila cinch Waldeyer terkena, dilakukan
gastroskopi atau foto saluran cerna atas dengan kontras. f. Cairan tubuh lain: cairan pleura, asites, cairan serebrospinaljika dilakukan punksilaspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin, di samping pemeriksaan rutin lainnya. g. Immunophenotyping:Parafin panel: CD 20, CD 3.
STADIUM PENYAKIT Penetapan stadium penyakit harus selalu dilakukan sebelum pengobatan dan setiap lokasi jangkitan hams didata dengan cermat, digambar secara skematik dan didata tidak hanya jumlah namun juga ukurannya. Hal ini sangat penting dalam menilai hasil pengobatan.
Stadium
Keterangan
I
Pernbesaran kelenjar getah bening (KGB) hanya Iregio I E: jika hanya terkena 1 organ ekstra lirnfatik tidak difus 1batas tegas Pernbesaran 2 regio KGB atau lebih, tetapi rnasih satu sisi diafragrna 11 2: pembesaran 2 regio KGB dalarn 1 sisi diafragma 11 3: pernbesaran 3 regio KGB dalarn 1 sisi diafragrna II E: pembesaran 1 regio atau lebih KGB dalarn 1 sisi diafragma dan 1 organ ekstra lirnfatik tidak difus I batas tegas Pernbesaran KGB di 2 sisi diafragma Jika rnengenai 1 organ ekstra lirnfatik atau lebih tetapi secara difus
II
Ill IV
Catatan: 1. Untuk kesepakatan kode S: Spleen (jika terkena limfa) H: Hepar (jika terkena hati) P: Pulmo (jika terkena parulpleura) C: Cerebral (jika terkena susunan syaraf pusat) 0 : 0 s (jika terkena tulang) I: Intestinal (jika terkena saluran cerna) 2.Yang dirnaksud dengan organ lirnfatik adalah: KGB, timus, lirnpa, plagues payer, appendix 3. Cervical dan supraclavicula disisi yang sama adalah 1 lokalisasi 4. Aksila dan infraclavicula disisi yang sama adalah 1 lokalisasi 5. Mediastinurn dan hilus adalah 1 lokalisasi 6 . Perturnbuhan jaringan paru sekitar hilus atau paket KGB Mediastinal adalah ekstra nodal tetapi bukan stadium IV 7 . Bulky Mass adalah massa tumor dengan diameter terpanjang lebih atau sama dengan 10 cm dan ratio mediastinum: thoraks > 0,35.Setiap pernbesaran KGB dicatat ukurannya. Stadium A bila tidak diternui gejala sisternik dan B bila diternui 1 atau lebih gejala sisternik.
FAKTOR PROGNOSTIK LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok prognostik: Indolent Lymphoma dan AgresifLymphoma. LNH Indolen memiliki prognosis yang relatif baik, dengan median survival 10 tahun, tetapi biasanya tidak dapat disembuhkan pada stadium lanjut. sebagian besar tipe Indolen adalah noduler atau folikuler. Tipe limfoma agresif memiliki
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI perjalanan alamiah yang lebih pendek, namun lebih dapat disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi kombinasi intensif. Risiko kambuh lebih tinggi pada pasien dengan gambaran histologis "divergen" baik pada kelompok Indolen maupun Agresif. International Prognostik Index (IPI) digunakan untuk memprediksi outcome pasien dengan LNH Agresif Difus yang mendapatkan kemoterapi regimen kombinasi yang mengandung Antrasiklin, namun dapat pula digunakan pada hampir semua subtipe LNH. Terdapat 5 faktor yang mempengaruhi prognosis, yaitu usia, serum LDH, status performans, stadium anatomis, dan jumlah lokasi ekstra nodal. Tiap faktor memiliki efek yang sama terhadap outcome, sehingga abnormalitas dijumlahkan untuk mendapatkan indeks prognostik. Skor yang didapat antara 0-5. Pada pasien usia <60 " (age adjusted IPI), indeks yang digunakan lebih sederhana yaitu hanya meliputi faktor stadium anatomis, serum LDH, dan status "performance", tanpa status ekstra nodal.
Umur
< 60 tahun = 0 > 60 tahun = 1
TUMOR STAGE ANN ARBOR
I atau II = 0 Ill atau 1V = 1
LDH serum
Normal = 0 Meningkat = I
ECOG PERFORMANCE STATUS
Tak ada gejala
= 0--
Ada gejala
= I--
=0
Bedridden < I12 day = 2-----Bedridden 3 112 day = 3 Chronically bedridden = 4--Keterlibatan ekstranodal
=I
< Itempat = 0 > Itempat = I
Skor Total Kev scores Low risk = 0.1 Intermediate = 2
high intermediate = 3 high risk = 4,5
LNH lndolen Indolen, Stadium I dan Stadium 11,Kontrol penyakitjangka panjang atau perbaikan masa bebas penyakit ("diseasefiee survival ") secara bermakna dapat dicapai pada sejumlah pasien LNH indolen stadium I atau stadium TI dengan menggunakan dosis radiasi 2500-4000 cGy pada lokasi yang terlibat atau pada lapangan yang lebih luas yang mencakup lokasi nodal yang berdekatan. (termasuk sistem KGB terkait dengan ekstra nodal yang terlibat) Standar pilihan terapi: 1). Iradiasi 2). Kemoterapi
dengan terapi radiasi 3). Extended (regional) irradiasi, untuk mencapai nodal yang bersebelahan. 4). Kemoterapi saja atau "Wait and see" jika terapi radiasi tidak dapat dilakukan. 5). Sub totalltotal iradiasi.lymphoid Cjarang). Radioterapi luas tak meningkatkan angka kesembuhan dan dapat menurunkan toleransi terhadap kemoterapi lanjutan nantinya Indolen, Stage II/III/IV, Pengelolaan optimal pada LNH indolen stadium lanjut masih kontroversial dan masih melalui berbagai penelitian klinis. Standar pilihan terapi: Tanpa terapilwait and see: pasien asimptomatik dilakukan penundaan terapi dengan observasi. Pasien stadium lanjut dapat diobservasi dan dilaporkan tidak mempengaruhi harapan hidup. Remisi spontan dapat terjadi. Terapi diberikan bila ada gejala sistemik, perkembangan tumor yang cepat dan komplikasi akibat perkembangan tumor.(misal: obstruksi atau effusi ) Rituximab (anti CD 20 monoclonal antibodi; Rituxan, Mab Thera) sebagai "jirst line therapy" , diberikan tunggal atau kombinasi. Merupakan anti CD20 antibodi monoklonal kimera yang telah disetujui untuk terapi LNH indolen yang relaps atau refrakter. Obat ini bekerja dengan cara aktivasi antibodi-dependent sitotoksik Tsel, mungkin melalui aktivasi komplemen dan memperantarai sinyal intraseluler: - Untuk LNH indolen, dihasilkan ORR 50% dengan lama respons bertahan sekitar 1 tahun. Pada large cell lymphoma, dihasilkan respons sekitar 30%. Kombinasi kemoterapi dengan rituximab bersifat sinergis. - Dosis baku rituximab 375 mglm2 IV setiap minggu selama 4 sampai 8 minggu dan dosis maksimum yang bisa ditoleransi belum ditentukan. Terapi ulang memberikan respons 40%. - Efek samping berupa demam dan menggigil biasa dijumpai terutama pada inhs pertama. Efek samping yang fatal (seperti anafilaksis, ARDS dan sindrom lisis tumor) pernah juga dilaporkan terutama pada pasien dengan sel limfoma dalam sirkulasi atau CLL Purine nucleoside analogs (Fludarabin atau 2klorodoksiadenosin; kiadribin) memberikan respons sampai 50% pada pasien yang telah diobatilkambuh. Alkylating Agent Oral (dengan atau tanpa steroid) - Siklofosfarnid - Klorambusil Kemoterapi Kombinasi. Terutama untuk memberikan hasil yang cepat. Biasanya digunakan kombinasi klorambusil atau siklofosfamid plus kortikosteroid, dan fludarabin plus mitoksantron. Kemoterapi tunggal atau kombinasi menghasilkan respons cukup baik (60-80%). Terapi diteruskan sampai mencapai hasil maksimum. Terapi "maintenance" tak meningkatkan harapan hidup, bahkan dapat memperlemah respons terapi berikut dan mempertinggi efek leukemogenik
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1257
LIMFOMANON-HODGKIN (LNH)
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Beberapa protokol kombinasi antara lain: - CVP : Siklofosfamid + Vinkristin + Prednison - C(M)OPP : Siklofosfamid + Vinkristin + Prokarbazin + Prednison - CHOP :Siklofosfamid + Doksorubisin + Vinkristin + Prednison - FND : Fludarabin+Mitoksantron Deksametason Antibodi Monoklonal Radioaktif. Angka respons berkisar antara 50-80% pada kasus yang pernah diterapi. Sediaan yang tersedia antara lain :13'1-anti CD20 (tositumomab, Bexxarm) dan 9oY-anti CD20 (Ibritumomabtiuxetan,Zevalin@),digunakan pada pasien relaps denganltanpa keterlibatan sumsum tulang minimal (< 25%). Suatu penelitian acak yang membandingkan tiuxetan vs rituximab menunjukan tingkat respon pengobatan (80% vs 55%) dan remisi lengkap (30% vs 15%) untuk keuntungan radio imunokonjugasi. Kemoterapi Intensif denganltanpa "total-body irradiation" diikuti dengan transplantasi sumsum tulangPstem cellperifer autologous atau allogenic"1 PBSCT (masih dalam evaluasi klinis). Kemoterapi dibandingkan dengan kemoterapi diikuti anti-idiotype vaccine (penelitian fase 111) IFN-a. Penggunaan IFN-alpha pada limfoma folikular sampai sekarang belum jelas. Hasil beberapa penelitian menunjukkan efek potensiasi angka respons, perpanjangan waktu remisi dan kemungkinan pengaruhnya pada harapan hidup. Radioterapi paliatif. Diberikan pada kasus tumor besar (bulky) atau untuk mengurangi obstruksi dan nyeri.
*
Konversi histologis. LNH indolen yang bertransformasi menjadi agresif memiliki prognosis jelek dan dapat melibatkan sistem saraf pusat (terutama: meningeal). Biasanya memberikan respons terapi yang baik dengan
Number of risk Factor
protokol pengobatan LNH derajat keganasan menengah atau tinggi. Kemoterapi dosis tinggi dan transplantasi sel induk untuk kasus ini hams dipertimbangkan. Primary Cutaneous B-Cell Lymphoma ( C B C L ) . Didefinisikan sebagai limfoma tanpa penyebaran ekstrakutan pada waktu didiagnosa dan selama paling sedikit 6 bulan berikutnya. Penyebaran ke kaki memberikan prognosis yang lebihjelek. CBCL yang terlokalisir diobati dengan radioterapi,juga untuk yang multifokal. Kemoterapi dicadangkan untuk kasus dengan lesi anatomik "non-contiguous" atau penyebaran ekstrakutan. Terapi eksperimental. Beberapa antibodi monoklonal dengan target antigen CD23, CD19, CD20, CD22 atau untuk beberapa antigen yang lebih umum sifatnya seperti CD5, CD25, CD80, CD40. Alemtuzumab (Campath -1H), antibodi terhadap CD52 untuk terapi CLL, prolimfositik leukemia dan beberapa jenis limfoma sel T. Imunotoksin Vaksin idiotipe Antisense oligonukleotida Inhibitor selektif Transplantasi sumsum tulang autologus atau dukungan terapi sel induk perifer, setelah kemoterapi dosis tinggi sedang diteliti secara mendalam. Transplantasi sumsum tulang alogenik atau transplantasi sel induk. Dianjurkan pada pasien usia muda yang refrakter dengan donor yang masih ada ikatan keluarga dan digunakan sebagai cadangan terakhir. Indolen, rekuren. Standar Pilihan terapi: Terapi radiasi paliatif Kemoterapi Rituximab (anti CD 20-monoclonal antibodies) Transplantasi sumsum tulang (masih dalam tahap evaluasi klinis)
Percentage patients
Complete Response Rate(%)
All Patients (adverse risk factors, age >60y; performance status 2 2 LDH greater than normal; Ann Arbor Stage Ill or IV; 2 2 extranodal sites) 0.1 Low 2 Low intermediate 3 High intermediate 4.5 High Patients 5 60 y old (adverse risk factors: Ann Arbor stage Ill or IV, LDH greater than normal, performance status 22 0 Low 1 Low intermediate 2 High intermediate 3 Hiah
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
5-Y Diseasefree survival
(%I
5-Y Survival (Yo)
LNH Agresif
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI R dan Djumhana melaporkan di Indonesia angka angka ini lebih rendah, belum diketahui faktor pasti penyebabnya. Penelitian secara acak terhadap protokol CHOP (generasi pertama) dibandingkan dengan beberapa protokol generasi I1 / I11 seperti: m-BACOD, MACOP-B, dan ProMACECYtaBOM oleh "The Inter Group Study" melaporkan tidak ada perbedaan bermakna dari sudut angka harapan hidup dan masa bebas penyakit. Harapan hidup aktuarial berkisar antara 40% sarnpai 45%. Dengan demikian protokol CHOP tetap merupakan protokol baku terapi awal LNH agresif. ~ e l a i n hasi GELA study (~oiffieret al) menunjukkan bahwa pasien usia tua dengan LNH agresif dengan penambahan rituximab pada setiap siklus CHOP meningkatkan overall survival dengan pengamatan 3 tahun dari 49% menjadi 62% bila dibandingkan dengan CHOP saj a. Selain itu, regimen y ang sama dapat
L N H Intermediaten-ligh Grade Terlokalisir. Non bulky stadium IA dan IIA, dengan keterlibatan ekstranodal (E), dapat diterapi dengan regimen yang mengandung doxorubicin (CHOP/CHVmP/BV) minimal 3 siklus, dilanjutkan dengan IFRT (ekuivalen dengan 3000 cGy dalam 10 fraksi). Kombinasi kemoterapi dan radioterapi pada stadium awal memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan kemoterapi saja.
h,
Stadium 1-11(Bulb),I11 dan n!diterapi dengan CHOP siklus lengkap atau CHVmPBV 8 siklus (dalam penelitian). Untuk daerah "bulky" IFRT dapat diberikan guna meningkatkan lokal kontrol. Mc Kelvey melaporkan denganregimen CHOP 50% sampai 7 1% pasien mencapai remisi lengkap dan 75% diantaranya bertahan hidup lebih dari tiga tahun. Harryanto
Response Category
Physical Examinations
Lymph node
Lymph Node Masses
CR
Normal
Normal
Normal
Normal
Cru
Normal Normal Normal Normal Decrease in LiverISpleen Enlarging IiverISpleen, new sites
Normal Normal Normal > 50% decrease > 50% decrease New or increased
Normal >75% decrease Normal 2 50% decrease 50% decrease New or increased
Indeterminate Normal or indeterminate Positive Irrelevant Irrelevant Reappearence
PR
RelapseIProgression
WHO
Premier1 Residif
Stadium
>
Trial
LNH limfoplasmasiter makroglobulinemia LNH ektranodal Sel B zone Marginal jenis MALT
Terapi dalam Trial W & S, chloorambucil, fludarabine atau CVP
Lambung l dan HP + Lambung l dan HP I - IV
PIR PIR PIR
LNH sel , zona marginal nodal
Eradikasi HP RT, chloorambucil, CVP W & S, RT, (chirurgie); chloorambucil, CVP Chloorambucil, CVP, fludarabine
PIR
LNH sel B zona marginal pada limpa
Splenectomi, chloorambucil
LNH follicular derajat 1-2
1111
EORTC 20971' IF-RT +I- low dose TBI
1111 IllllV
HOVON 48" (bila CRlPR setelah 8x CVP oral Ibila tidak 90y - ibritumomab tiuxetan (Zevalin) HOVON 47 : chloorambucil vs 2 x 2 Gy IF-RT > 18
LNH folikular deraiat 3
'
Bone Marrow
R of refractair
PIR
EORTC 209811 HOVON 39'" R-CHOP vs CHOP, +I- rituximab "maintenance" Lihat LNH difus
R-CHOP = CHOP + rituximab ' hanya bila CD 20 + ** bila residif Irefrakter pada berbagai .pengobatan S dalam waktu dekat 7 setelah 1 atau 2 protokol yang tanpa antrasiklin W & S Wait and see
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
IF-RT W & S, chloorambucil, CVP, RT W & S, chloorambucil, CVP, fludarabine
W & S, chloorambucil, CVP, fludarabine, RT CVP, chloorambucil, fludarabine, RT, CHOP; p.m. non-myeloablative allo SCT**
1259
LIMFOMA NON-HODGKIN (LNH)
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI menghasilkan "disease control" (cure) sekitar 30-40% pada pasien stadium lanjut LNH derajat keganasan menengah dan tinggi LNH intermediate/high grade yang refrakterl relaps: pasien refrakter yang gaga1 mencapai complete respons diberikan terapi salvage dengan RT jika area yang terkena tidak ekstensif. Terapi pilihan bila mungkin adalah kemoterapi salvage diikuti dengan transplantasi stem cell autologusPBSCT Kemoterapi salvage terdiri dari high-dose sitosin arabinose, kortikosteroid dan cisplatin dengan atau tanpa etoposide. Pilihan lain ICE, MINE, dan yang lain seperti CEPPB, EVA, miniBEAM, VAPEC B clan infb EPOCH. Kemoterapi dosis tinggi dengan RT diikuti PBSCT Allogenic BMT MCL (Mantle Cell lymphoma) agresif. Hyper CVAD alternating dengan metotreksat dosis tinggi plus sitarabin dosis tinggi. Rituximab ditambahkan untuk regimen ini. Pasien <65 tahun dipertimbangkan dilakukan transplantasi autologus atau alogenik setelah dua atau empat siklus kemoterapi. Siklus regimen ini diulang setiap 21 hari. Protokol Leiden khususnya untuk stadium I11 dan IV, mengikuti "European Intergroup Trial" membandingkan mieloablatif radiokemoterapi diikuti dengan transplantasi
sumsum tulang atau dosis pemeliharaan dengan INF-a setelah tercapai remisi dan sitoreduksi dengan kemoterapi yang mengandung kombinasi antrasiklin Terapi induksi 1: (R-Hyper VCAD) Rituximab 375 mgIm2 IV hari I clan 8 Siklofosfamid 300mg/m2 IV setiap 12jam hari 1-3 Vinkristin 2mg IV hari ke 4 dan 11 Doksorubisin 25 mglm2, inhs selama 24 jam hari ke 4 dan 5 Deksametason 40 mg IV atau PO, hari 1-4 dan hari ke 1114 Granulosit Colony-stimulatingfactor (G-CSF), 5pgkg IV atau SC setiap hari, dimulai hari ke 6 sampai neutropil >4500/pL Terapi Induksi 2: (dimulai setelah pulih dari siklus 1) Rituximab 375mg/m2iv inhs hari 1 Metotreksat 200 mg/m2iv bolus hari 1, diikuti 800mg/ m2 inhs IV selam 24 jam; berikan larutan IV alkalin Leukovorin, 50mg PO diberikan 24 jam setelah inhs metotreksat selesai diikuti 15mgPO setiap 6 jam total 8 dosis (dosis disesuaikan berdasarkan kadar serum metotreksat) Sitarabin 3000mg/m2iv selama 1jam setiap 12jam total 4 dosis dimulai hari ke 2 (dosis dikurangi menjadi 1000mglm2 perdosis untuk pasien >60 tahun dengan serum kreatinin lebih dari 1,5mg/dl)
WHO
LNH sel B sel besar difus
Stadium
Umur
Premier1 Residif
I II
< 66
PIR P
IIIIIV
< 66
P
Il-IV
>65
P
Il-IV
18-65
R
> 65
R
Mediastinal LNH sel B besar LNH mantel sel
Trial
HOVON 26 : LDH > 1.5 x ULN) CHOP vs i-CHOP HOVON 26 : (LDH < 1.5 x ULN) HOVON 46* : (aa-IPI** ? LI) CHOP - 14 +Irituximab HOVON 44* : DHAP-VIM-DHAP +I- rituximab, diikuti SCT auto
3 x CHVmPIBV + RT 8 x CHVmPIBV
8 x CHVmPIBV 8 x CHVmPlBV HOVON 44, tanpa rituximab p.m. non-myeloablatieve allo SCT DHAP, (CHOP), RT; p.m. nonmyeloablatieve allo SCT 6 x CHVmPIBV + IF-RT
I
P
II - IV I IV Il-IV
<66
P R P
Lihat LNH sel B besar difus + IF-RT Lihat LNH sel B besar difus HOVON 45*$: 3 x R-CHOP, HD-Ara-C + auto SCT
? 66
P
HOVON 46*' (lihat LNH sel B sel besar)
-
Terapi dalam trial
R hanya apabila CD 20 + ** aa-IPI = age-adjusted IPI $ dalam waktu dekat dibuka Y ingat criteria inklusi pada penelitian P35 ULN = upper limft of normal R-CHOP = CHOP + rituximab
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
8 X C H V ~ P I B V +~ auto SCT; p.m. nyeloablatieve pada usia muda 8 x CHV~PIBV~ DHAP
'
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI WHO
Stadium
Trial
Terapi Dalam Trial
LNH lirnfoblastik LNH Burkitt
I - IV
I - IV
ALL-4 ALL 3-95
ALL-4 ALL 3-95
Limfoblastik limfoma. Terapi sama dengan ALL (misal: protokol ALL-4 ). Pasien dengan prognosis jelek dipertimbangkan untuk transplantasi sumsum tulang awal atau regimen kemoterapi awal yang lebih intensif. Universitas Stanford mengusulkan regimen: Terapi induksi 1 bulan Profilaksis CNS 1 bulan Terapi konsolidasi 3 bulan Terapi maintenance 7 bulan. Regimen Siklofosfamid400 mglm2 PO untuk 3 hari pada minggu 1,4,9,12,15dan 18 Doksorubisin 50mg/m2iv pada minggu 1,4,9,12,15 dan 18 Vinkristin 2 mg IV minggu 1,2,3,4,5,6,9,12,15,dan 18 Prednison 40 mglm2 setiap hari selama 6 minggu (tappering oj), dilanjutkan selama 5 hari pada minggu 9,12,15,dan 18 Profilaksis CNS dengan radioterapi whole-brain (2400 cGy dalam 12 fraksi) dan metotreksat intratekal(12 mg setiap kali untuk 6 dosis) diberikan antara minggu 4 dan 9. L-asparaginase6000 UIm2 (maximum 10.000 U) untuk 5 dosis pada awal peberian profilaksis CNS. Terapi maintenance terdiri dari metotreksat (30 mglm2 PO setiap minggu) dan 6-merkaptopurin (75 mglm2 PO setiap hari) dari minggu 23 sampai 52. Dvuse Small Cleaved CelllBurkitt's Limfoma.Terapijenis ini sama dengan limfoma agresif (sel besar difuse) stadium lanjut ;mengunakan regimen kombinasi yang agresif. Pasien dengan limfomajenis ini mempunyai risiko 20-30 % selama perjalanan hidupnya untuk menyebar ke SSP; pemberian metotreksat intratekal(4- 6 kali) direkomendasikan untuk semua pasien. Beberapa pusat kesehatan mempertimbangkan konsolidasi dengan transplantasi sumsum tulang.
Adult Non-Hodgkin's Lymphoma (PDQe) Treatment- Health Professional Version. National Cancer Institute. U.S. National Institutes of Healt Armitage J 0 , et al, Non Hogkin Lymphomas. Cancer, principal and practice of oncology. Editor: DeVita VT, Hellman S, Rosenberg SA. 2001;2256-303. Atmakusuma D. Aspek Selular dan Molekular Limfoma NonHodgkin.Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUl RSCM. Childhood NonHodgkin's Lymphoma (PDQm). National Cancer Institute Coiffier B, Herbrecht R, Tilly H, Sebban C, et al. Gela Study Comparing CHOP and R-CHOP in elderly patients with DLCL:3year median follow-up with an analysis according to comorbidity factors.Presentation at the 39Ih Annual Meeting of the American Society of Clinical Oncology, 31 May-3 June 2003, Chicago, USA Complete Summary of GUIDEL1NE:The use of chemotherapy and growth factors in older patients with newly diagnosed, advancedstage, aggressive histology non-Hodgkins' lymphoma. 19982004 National Guideline Clearinghouse Czuczman MS, Weaver R, Alkuzweny B, Berlfein J, Grillo-Lopez AJ. Prolonged Clinical and Molecular Remission in Patients With Low-Grade or Follicular Non-Hodgkin's Lymphoma Treated With Rituximab Plus CHOP Chemotherapy: 9-year Follow-Up. Journal of Clinical Oncology. Volume 22. Number 23. December 1 2004 Davis TA, Grillo-Lopez A, White CA, et.al. Rituximab Anti-CD20 Monoclonal Antibocy Therapy in Non-Hodgkins's Lymphoma: Safety and Efficacy of Re-Treatment. Journal of Clinical Oncology, Vol 18 No. 17, 2000:pp 3135-43. Emmanouillides C, Casciato DA. Hodgkin and non-Hodgkin lymphoma.1n Manual of clinical oncology, 5Ih Ed. Edited by Casciato DA. Lippincot Williams & Wilkins, 2004 : 435-56. Fisher RI, Mauch PM, Harris LN, Friedberg JW. Non Hodgkins lymphomas.ln Cancer priciples & practice of oncology 71h Ed. Edited by DeVita VT, Hellman S, Rosenberg SA. 2005 : 1957 931 Fisher RI, Gaynour ER, Dahlberg S et al. Comparison of standart regimen (CHOP) with three intensive chemotherapy regimen for advanced NHL. N Engl J Med 1993; 328: 1002-6. Forspointner R, Dreyling M, Repp R, et all. The summary: the addition of rituximab to a combination of fludarabine, cyclophosphamide, mitoxantrone (FCM) significantly increases the response rate and prolongs survival as compared to FCM alone in patients with relapsed and refractory follicular and mantle cell lymphomas - results from a prospective randomized study of the German Low Grade Lymphoma Study Group (GLSG). Blood 2004;104:3064-71. Ghiemilmini Michele, Schmitz Shu-Fang Hsu, Cogliatti Sergio B.et.al. Prolonged treatment with rituximab in patients with follicular lymphoma significantly increases event-free survival and response duration compared with the standard weekly x 4 schedule. Blood, 14 June 2004.Volume 103, Number 12 Gordon LI. Non-Hodgkin lymphoma. Manual of clinical Hematology, 3" Ed. Edited by Mazza JJ. Lippincot Williams & wilkins, 2002 : 318-33. Gutierrez Martin, Wilson WH. Non-Hodgkin lymphoma. In Bethesda handbook of clinical oncology. Edited by Abraham J, Allegra CJ. Lippincot williams & wilkins, 2001 : 319-31. Hematologie klapper.Editor Ottolander GJ, Willemze R. NonHodgkin lymphoma (NHL). Hematologie leids universitair medisch centrum.Leiden ,1999 :82-98 http:liwww.nci.nih.gov/ cancer: Adult Non-Hodgkin lymphoma. 2004. International Non-Hodgkin's Lymphoma Prognostic Factors Project A predictive model for aggressive non-Hodgkins lymphoma . N Engl J Med 1993; 329 : 987-94. McLaughlin P, Grillo-Lopez AJ et. Al. Rituximab Chimeric Anti-CD 20 Monoclonal Antibody Therapy for Relapsed Indolent
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Lymphoma: Half of Patients Respond to a Four-Dose Treatment Program. Journal of Clinical Oncologv, Vol 16, No 8, 1998:pp2825-33 Mounier N, Brier J, Gisselbrecht C, et.al. Rituximab plus CHOP (RCHOP) overcomes bcl2-associated resistance to chemotherapy in elderly patients with diffuse large B-cell lymphoma (DLBDCL).Blood, I June 2003. Volume 101, number 11. National Comprehensive Cancer Network, Clinical Practice Guidelines in Oncology-v. 1.2004. Non-Hodgkin's Lymphoma Version1.2004. National Comprehensive Cancer Network Pathology and genetis tumours of haematopoeitic and lymphoid tissues. WHO classification of tumours. Edited by Jaffe ES, Harris NL, Steir H, Vardiman JW. 2001 Pettengell Ruth, Linch David. Position paper on the therapeutic use of rituximab in CD20-positive diffuse large B-cell nonHodgkin's lymphoma. British Journal of Haematology, 2003.121.44-48 Pfreundschuh M, et al. Frist Analysis of the completed MabTheram International (MInT) Trial in young patients with low risk diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL): Addition of rituximab to a CHOP-like regimen significantly improves outcome of all patients with the identification of a very favorable subgroup
with IPI=O and no bulky disease. Oral presentation at ASH 2004. Protokol Limfoma Non Hodgkin.Timja Kanker Darah dan KGB. Reksodiputro H, Cosphiadi I. Limfoma non-Hodgkin.Buku ajar Ilmu penyakit dalam .Jilid II.Ed 3.Balai penerbit FKUI,2001: 60720. Rituximab plus chemotherapy: expanding first-line treatment options in indolent non-Hodgkin's lymphoma. Highlight from Ash 2003. Roche Pharmaceuticals Rituximab for Aggressive Non-Hodgkin's Lymphoma. National Institute for Clinical Excellence. Technology Appraisal 65. September 2003 Robinson AS and Goldstone A. Clinical Use of Rituximab in Haematological Malignancies. Britisth Journal of Cancer (2003) 89, 1389-1394 Stein RS, John PG. Non Hodgkin lymphoma. In Hand book of cancer chemotherapy, 6th Ed. Editor Skeel RT. Lippincot williams & wilkins, 2003: 503-23 The Use of Chemotherapy and Growth Factors in Older Patients with Newly Diagnosed, Advance-Stage, Aggressive Histology Non-Hodgkin's Lymphoma. Patience Guideline Report #6-7, June 25, 2003. Program in Evidence;Based Care - A Cancer Care Ontario Program.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT HODGKIN Rachmat Sumantri
PENDAHULUAN
sumsum tulang. Keluarga dari pasien Hodgkin (adik-kakak) juga mempunyai risiko untuk terjadi penyakit Hodgkin.
Penyakit Hodgkin termasuk dalam keganasan limforetikular yaitu limfoma malignum,yang terbagi dalam limfoma malignum Hodgkin dan limfoma lalignum non Hodgkin. Kedua penyakit tersebut dibedakan secara histopatologis, di mana pada limfoma Hodgkin ditemukan sel ReedSternberg. Penyakit ini dilaporkan pertama kali oleh Thomas Hodgkin pada tahun 1832,kemudian gambaran histopatologis dilaporkan oleh Langerhans tahun 1872,disusul oleh laporan terpisah dari Sternberg dan Reed yang menggambarkan suatu sel raksasa yang kemudian diberi nama Sel Reed-Sternberg. Analisis PCR menunjukkan bahwa sel Reed Sternberg berasal dari folikel sel B yang mengalami gangguan struktur pada imunoglobulin,sel ini juga mengandung suatu faktor transkripsi inti sel (NFkB),kedua ha1 tersebut menyebabkan gangguan apoptosis.
EPlDEMlOLOGl DAN FAKTOR RlSlKO
Di Amerika Serikdt terdapat 7500 kasus baru Penyakit Hodgkin setiap tahunnya,rasio kekerapan antara laki-laki dan perempuan adalah 1,3- 1,4 berbanding 1. Terdapat distribusi umur bimoda1,yaitu pada usia 15-34 tahun dan usia di atas 55 tahun. Faktor risiko untuk penyakit ini adalah infeksi virus;infeksi virus onkogenik diduga berperan dalam menimbulkan lesi genetik,virus memperkenalkan gen asing ke dalam sel target. Virus-virus tersebut adalah virus Epstein-Barr, Sitomegalovirus, HIV dan Human Herpes Virus-6 (HHV-6). Faktor risiko lain adalah defisiensi imun, misalnya pada pasien transplantasi organ dengan pemberian obat imunosupresif atau pada pasien cangkok
Terdapat pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri. Gejala sistemikyaitu demam (tipe Pel-Ebstein),berkeringat malam hari,penurunan berat badan, lemah badan dan pruritus terutama pada jenis Nodular Sklerosis.Selain itu terdapat nyeri di daerah abdomen akibat splenomegali atau pembesaran kelenjar yang masif, nyeri tulang akibat destruksi lokal atau infiltrasi sumsum tulang
GEJALA KLlNlS
Limfadenopati dengan konsistensi rubbery dan tidak nyeri Demam, tipe Pel-Ebstein Hepatosplenomegali Neuropati Tanda-tanda obstruksi seperti edema ekstrimitas, sindrom vena cava, kompresi medulla spinalis, disfingsi hollow viscera. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Pemeriksaan darah: anemi, eosinofilia, peningkatan laju endap darah, padajlow cytometry dapat terdeteksi limfosit abnormal atau limfositosis dalam sirkulasi. Pada pemeriksaan faal hati terdapat gangguan faal hati
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT HODGKIN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI yang tidak sejalan dengan keterlibatan limfoma pada hati. Peningkatan alkali fosfatase dan adanya ikterus kolestatik dapat merupakan gejala paraneoplastik tanpa keterlibatan hati. Dapat terjadi obstruksi biliaris ekstrahepatik karena pembesaran kelenjar getah bening porta hepatis. Pemeriksaan faal ginjal: peningkatan kreatinin dan ureum dapat diakibatkan obstruksi ureter. Adanya nefropati urat dan hiperkalsemi dapat memperberat fungsi ginjal. Sindroma nefrotik sebagai fenomena paraneoplastik dapat terjadi pada limfoma Hodgkin. Hiperurikemi merupakan manifestasi peningkatan turn-over akibat limfoma. Hiperkalsemi dapat disebabkan sekunder karena produksi limfotoksin (osteoclast activating factor) oleh jaringan 1imfoma.KadarLDH darah yang meningkat dapat menggambarkan massa tumor dan turn-over. Poliklonal hipergamaglobulinemi sering didapatkan pada limfoma Hodgkin dan Non Hodgkin. Biopsi sumsum tulang Dilakukan pada stadium lanjut untuk keperluan staging, keterlibatan surnsum tulang pada limfoma Hodgkin sulit didiagnosis dengan aspirasi sumsum tulang. Radiologis Pemeriksaan foto torak untuk melihat limfodenopati hilar dan mediastinal, efusi pleura atau lesi parenkim paru. Obstruksi aliran limfotik mediastinal dapat menyebabkan efusi chylous (seperti susu). USG abdomen kurang sensitif dalam mendiagnosis adanya limfodenopati. Pemeriksaan CT Scan torak untuk mendeteksi abnormalitas parenkim paru dan mediastinal sedangkan CT Scan abdomen memberi jawaban limfodenopati retro peritoneal, mesenterik, portal, hepatosplenomegali atau lesi di ginjal.
PENTAHAPAN (STAGING)
Penentuan staging sangat penting untuk terapi dan menilai prognosis. Staging dilakukan menurut Cotswolds (1990) yang merupakan modifikasi dari klasifikasi Ann Arbor (1971). Stadium I keterlibatan satu regio kelenjar getah bening atau struktur jaringan limfoid (limpa, timus, cincin Waldeyer) atau keterlibatan 1 organ ekstralimfatik. Stadium I1 Keterlibatan>2 regio kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama (kelenjar hilus bila terkena pada kedua sisi termasuk stadium 11); keterlibatan lokal 1 organ ekstranodal atau 1 tempat dan kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama (IIE). Jumlah regio anatomik yang terlibat ditulis dengan angka (contoh 51,). Stadium I11 Keterlibatan regio kelenjar getah bening pada kedua sisi diafragma (111), dapat disertai lien (IIIs), atau
keterlibatan 1 organ ekstranodal (IIIE) atau keduanya (IIISE). 111, Dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bening splenik, hilar,seliak atau portal. 111, Dengan keterlibatan kelenjar getah bening paraaorta, iliaka dan mesenterika. Stadium IV Keterlibatan difiddiserninata pada 1 atau lebih organ ekstranodal atau jaringan dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bening.
Keterangan yang dicantumkan pada setiap stadium: A Tanpa gejala B Demam (suhu >38 "C), keringat malam, p e n m a n berat badan >10 % dalam waktu 6 bulan sebelumnya) X Bulky disease (pembesaran mediastiurn >1/3, adanya massa kelenjar dengan diameter maksimal10 cm) E Keterlibatan 1 organ ekstranodal yang contiguous atau proksimal terhadap regio kelenjar getak bening CS Clinical stage PS Pathologic stage (misalnya ditentukan pada laparotomi)
Karakteristik
Limfoma Hodgkin
Ternpat asal
Nodal
Distribusi nodal
Sentripetal (aksial)
Penyebaran nodal Keterlibatan susunan saraf pusat Keterlibatan hepar Keterlibatan surnsurn tulang Keterlibatan surnsurn tulang rnernpengaruhi buruknya prognosis Sernbuh dengan kernoterapi
Contiguous
Limfoma non Hodgkin Low grade
IntermediaV high grade
Ekstranodal (10%) Sentrifugal
Ekstranodal (35%) Sentrifugal
Noncontiguous Noncontiguous
Jarang (
Jarang (< 1 %)
Jarang (
Jarang
Sering (> 50 %) Sering (>50 %)
Jarang
Jarang (< 10%) Ya
Ya
Tidak
Jarang (< 20 %) Ya
Tidak
Ya
KLASlFlKASl LIMFOMA HODGKIN
Biopsi kelenjar secara eksisi biasanya memberi hasil gambaran histopatologis lebihjelas dari biopsi cucuk jarurn (Fine Needle Biopsy); Klasifikasi Rye: Lymphocyte Predominant Nodular sclerosis Mixed cellularity Lymphocyte depletion
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Jacksonand Parker
Lukes and Butler
Rye Conference
WHO classification
REAL classification
Paragranuloma
Lymphocytic or histiocyiic, nodular Lymphocytic or histiocytic, diffuse
Lymphocytepredominant
Nodular lymphocyte-predominant classic HD Lymphocyte -rich classic HD
Lymphocyte predominant,nodular HD Lymphocyte-rich classic HD
Granuloma
Nodular sclerosis Mixed cellurarity
Nodular sclerosis Mixed cellularity
Nodular sclerosis Mixed cellularity
Nodular sclerosis Mixed cellularity
Sarcoma
Diffuse fibrosis Reticular
Lymphocyte -depleted Unclassifiable classic HD
Klasifikasi WHO: Nodular lymphocyte predominance Hodgkin Lymphoma (Nodular LPHL):Saat ini dikenal sebagai indolent B-cell Non Hodgkin Lymphoma dan bukan true Hodgkin Disease. Tipe ini mempunyai sel limfosit dan histiosit, CD 20 positif tetapi tidak memberikan gambaran sel Reed-Stenberg. Classic Hodgkin Limphoma: Lymphocyte rich, Nodular sclerosis, Mixed cellurarity, Lymphocyte depleted.
Pengobatan limfoma Hodgkin adalah radioterapi ditambah kemoterapi, tergantung dari staging (Clinical stage = CS) dan faktor risiko. Radioterapi meliputi Extended Field Radiotherapy (EFRT), Involved Field Radiotherapy (IFRT) dan radioterapi ( R T ) pada Limfoma Residual atau Bulky Disease. Faktor risiko untuk terapi menurut German llodgkin's 1.ymphoma Studv Group (GHS(;) meliputi: Massa mediastinal yang besar Ekstranodal Peningkatan laju endap darah, > 50 untuk tanpa gejala atau > 30 untuk dengan gejala (B) Tiga atau lebih regio yang terkena Menurut EORTCIGELA (European Organization for Research and Treatment of Carcinoma/Groupe dJEtude des Lymphomes de I'Adulte) faktor risiko yaitu: Massa mediastinal yang besar Usia 50 tahun atau lebih Peningkatan laju endap darah 4 regio atau lebih Dalam guideline yang dikeluarkan oleh National Comprehensive Cancer Network (2004) kemoterapi yang direkomendasikan adalah ABVD dan Stanford V sebagai kemoterapi terpilih. Terapi lain Penyakit Hodgkin yang masih diteliti adalah: Imunoterapi dengan antibodi monoklonal anti CD 20,
imunotoksin anti CD 25, bispesifik monoklonal antibodi C D 16/CD 30 bispesifik antibodi dan radio immunoconjugates.
PENYAKIT HODGKIN DAN KEHAMllAN Penyakit Hodgkin dapat dijumpai pada kehamilan, beberapa ha1 penting yang perlu diketahui: Tidak ada transmisi penyakit Hodgkin ke bayi Bila memerlukan radiasi sebaiknya ditunda sampai melahirkan kecuali pada "Bulky Disease" dan diberikan dengan pelindung. Bila diperlukan radiasi pada semester pertama dapat dipertimbangkan abortus terapeutik. Malfonnasi fetus terjadi pada 15% kasus bila kemoterapi diberikan pada semester pertama, tidak terjadi pada semester berikutnya. Hindarkan kemoterapi dalam 3 minggu sebeluni melahirkan untuk menghindari netropeni pada bayi.
A
Kelompok
Stadium
Rekomendasi
Stadium dini (favorable)
CS I-IIA I6 tanpa faktor risiko
EFRT (30-36 Gy) atau 4-6 siklus kemoterapi + IFRT 20-36 Gy
Stadium dini (unfavorable)
CS 1-11 AIB + RF
4-6 siklus kemoterapi + IFRT 20-36 Gy
Stadium lanjut
CS llB +RF;CS IIIAIB CS IV AIB
6-8 siklus kemoterapi + RT 20-36 Gy pada limfoma residual dan bulky disease
PROGNOSIS Ada tujuh faktor risiko independen untuk memprediksi masa bebas progresi penyakit FFR (Freedom From Progression), yaitu : 1). Jenis Kelamin, 2). Usia >45 tahun; 3). Stadium IV; 4). Hb <10 gr'?!~;5). Leukosit > 15000/mm3; 6). Limfosit <600/mm3 atau <8 % leukosit; 7). Serum albumin <4 gr%
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1265
PENYAKIT HODGKIN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Regimen
Dosis
Imalm2,
Pemberian
6
IV
1,4 100 40
PO PO
Jadwal (hari)
Siklus iharil
-
MOPP
- Mechloretamine - Oncovin - Procarbazine - Prednisone
IV
COPP
- Cyclophospharnide - Oncovin - Procarbazine - Prednisone ABVD - Adriamycin - Bleomycin - Vinblastine Dacarbazine
-
Stanford V
- Mechlorethamine - Adriamycin - Wnblastine - Vincnsthe - Bleomyc~n - Etoposide - Prednisone - G-CSF
12 mlnggu
6 25 6 1,4 5 60x2 40
Pasien tanpa faktor risiko FFP = 84%, dengan satu faktor risiko FFP = 77%, dengan dua faktor risiko FFP = 67%,tiga faktor risiko FFP = 60%, empat faktor risiko FFP = 5 1%, lima faktor risiko atau lebih FFP = 42%.
Terapi Relaps setelah radioterapi Nodal relaps CS I - II tanpa gejala B, tanpa radioterapi sebelumnya Progresif primer Relaps dini = Relaps lanjut
Kemoterapi Radioterapi salvage
IV IV IV IV IV IV PO
SC
minggu 1 5 9 mlnggu 1,3,5,9,11 minggu 1,3,5,9,11 minggu 2,4,6,8,10,12 minggu 2,4,6,8,10,12 mlnggu 3,7,11 minggu 1-9, tappering minggu 10- 12
REFERENSI Hodgkin's Disease ; National Comprehensive Cancer Network, Clinical Practice Guidelines in Oncology, Version 1, 2004 Diehl V, Mauch PV, Harris NL : Hodgkin's Disease in Vincent T Devita Jr Eds. Cancer, Principles and Practice of Oncology, Lippincot Williams & Wilkins, 61h Ed., 2001, pp 2339-87. Stein RS and Morgan DS : Hodgkin's Disease in Wintrobe's Clinical Hematology, Lippincott Williams & Wilkins, I I t h Ed., 2004, pp 2521-54. Iman Supandiman, Rachmat Sumantri, Heri Fadjari, Pandji Irani Fianza, Amaylia Oehadian : Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematolog - Onkologi Medik, Bandung, 2003.
High dose chemotherapy (HDCT) diikuti oleh transplantasi sel asal "Autologous Stem Cell Transplantation" (ASCT)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT Panji Irani Fianza
Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor limfoid. Lebih dari 80% kasus, selsel ganas berasal dari limfosit B, dan sisanya merupakan leukemia sel T. Leukemia ini merupakan bentuk leukemia yang paling banyak pada anak-anak. Walaupun demikian, 20% dari kasus LLA adalah dewasa. Jika tidak diobati, leukemia ini bersifat fatal.
Insidensi LLA adalah 1160.000 orang per tahun, dengan 75% pasien berusia kurang dari 15 tahun. Insidensi puncaknya usia 3-5 tahun. LLA lebih banyak ditemukan pada pria daripada perempuan. Saudara kandung dari pasien LLA mempunyai risiko empat kali lebih b&ar untuk berkembang menjadi LLA, sedangkan kembar monozigot dari pasien LLA mempunyai risiko 20% untuk berkembang menjadi LLA.
Penyebab LLA pada dewasa sebagian besar tidak diketahui. Faktor keturunan dan sindroma predisposisi genetik lebih berhubungan dengan LLA yang terjadi pada anak-anak. Beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis yang berhubungan dengan LLA adalah : 1). Radiasi ionik. Orang-orang yang selamat dari ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki mempunyai risiko relatif keseluruhan 9,l untuk berkembang menjadi LLA; 2). Paparan dengan benzene kadar tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang, kerusakan kromosom, dan leukemia; 3). Merokok sedikit meningkatkan risiko LLA
pada usia di atas 60 tahun; 4). Obat kemoterapi; 5). Infeksi virus Epstein Barr berhubungan kuat dengan LLA L3; 6). Pasien dengan sindroma Down dan WiskottAldrich mempunyai risiko yang meningkat untuk menjadi LLA.
PATOGENESIS MOLEKULAR Kelainan sitogenetik yang paling sering ditemukan pada LLA dewasa adalah t(9;22)/BCR-ABL(20-30%) clant(4; 11)/ ALL1-AF4 (6%). Kedua kelainan sitogenetik ini berhubungan dengan proinosis yang buruk. Fusi gen BCR-ABL merupakan hasil dari translokasi kromosom 9 dan 22 [t(9;22)(q34;qll)] yang dapat dideteksi hanya dengan pulse-field gel electrophoresis atau reversetranscriptase polymerase chain reaction. ABL adalah nonreceptor tyrosine protein kinase yang secara enzimatik mentransfer molekul fosfat ke substrat protein, sehingga terjadi aktivasi jalur transduksi sinyal yang penting dalam regulasi proliferasi dan pertumbuhan sel. Kelainan yang lain yaitu -7, +8, dan karyotipe hipodiploid berhubungan dengan prognosis yang buruk; sedangkan t(10; 14) dan karyotipe hiperdiploid tinggi berhubungan dengan prognosis yang baik. Mekanisme umum lain dari pembentukan kanker adalah hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor yang mempunyai peranan penting dalam mengontrol progresi siklus sel, misalnya p16(INK4A) dan p15(INK4B). Kejadian yang sering adalah delesi, mikrodelesi, dan penyusunan kembali gen (gene rearrangement) yang melibatkan p16(INK4A) dan p16(INK4B). Kelainan ekspresi dari gen supresor tumor Rb dan p53 ternyata lebih sering terjadi. Kelainan yang melibatkan dua atau lebih gen-gen ini ditemukan pada sepertiga pasien LLA dewasa.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1267
LEUKEMIA LIMFOBLASTIKAKUT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Klasifikasi lmunologi Precursor B-Acute Lymphoblastic Leukaemia (ALL)70%: common ALL (50%), null ALL, pre-B ALL T-ALL (25%) B-ALL (5%) Definisi subtipe imunologi ini berdasarkan atas ada atau tidak adanya berbagai antigen permukaan sel. Subtipe imunologi yang paling sering ditemukan adalah common ALL. Null cell ALL berasal dari sel yang sangat primitif dan lebih banyak pada dewasa. B-ALL merupakan penyakit yang jarang, dengan morfologi L3 yang sering berperilaku sebagai limfoma agresif (varian Burkitt).
Klasifikasi Morfologi the French-AmericanBritish (FA 6): L1: Sel blas berukuran kecil seragam dengan sedikit sitoplasma dan nukleoli yang tidak jelas L2: Sel blas berukuran besar heterogen dengan nukleoli yang jelas dan rasio inti-sitoplasma yang rendah L3: Sel blas dengan sitoplasma bewakuola dan basofilik Kebanyakan LLA pada dewasa mempunyai morfologi L2, sedangkan tipe L 1 paling sering ditemukan pada anak.' Sekitar 95% dari semua tipe LLA kecuali sel B mempunyai ekspresi yang meningkat dari terminal deoxynucleotidyl transferuse (TdT), suatu enzim nuklear yang terlibat dalam pengaturan kembali gen reseptor sel T dan imunoglobulin. Peningkatan ini sangat berguna dalam diagnosis. Jika konsentrasi enzim ini tidak meningkat, diagnosis LLA dicurigai.
GAMBARAN KLlNlS
(c) Gambar 1. Morfologi sel blas LLA (a) T~peL1; (b) Tipe L2, (c) Tlpe L3
Presentasi klinis LLA sangat bervariasi. Pada umumnya gejala klinis menggambarkan kegagalan sumsum tulang atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel limfoblas ganas di sumsum tulang menyebabkan kurangnya sel-sel normal di darah perifer dan gejala klinis dapat berhubungan dengan anemia, infeksi, dan perdarahan. Demam atau infeksi yang jelas dapat ditemukan pada separuh pasien LLA, sedangkan gejala perdarahan pada sepertiga pasien yang baru didiagnosis LLA. Perdarahan yang berat jarang terjadi. Gejala-gejala dan tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan: Anemia: mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada Anoreksia *- Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel-sel leukemia) Demam, banyak berkeringat (gejala hipermetabolisme) Infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah, selulitis, atau sepsis. Penyebab yang paling sering adalah stafilokokus, streptokokus, dan bakteri gram negatif usus, serta berbagai spesies jamur. Perdarahan kulit betechiae, atraumatic ecchymosis), perdarahan gusi, hematuria, perdarahan saluran cerna, perdarahan otak Hepatomegali Splenomegali Limfadenopati Massa di mediastinurn (sering pada LLA sel T) Leukemia sistem saraf pusat: nyeri kepala, muntah (gejala tekanan tinggi intrakranial), perubahan dalam status mental, kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI dan VII, kelainan neurologik fokal Keterlibatan organ lain: testis, retina, kulit, pleura, perikardium, tonsil
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI GAMBARAN LABORATORIUM Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk konfirmasi diagnostik LLA, klasifikasi prognostik dan perencanaan terapi yang tepat, yaitu : Hitung Darah Lengkap (Complete B l o o d Count) dan Apus Darah Tepi Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis. Hiperleukositosis (>100.000/mm3)terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat melebihi 200.000/mm3. Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia. Proporsi sel blas pada hitung leukosit bervariasi dari 0 sampai 100%.Kira-kira sepertiga pasien mempunyai hitung trombosit kurang dari 25.000/mm3. Aspirasi dan Biopsi Sumsum Tulang Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasi diagnosis dan klasifikasi, sehingga semua pasien LLA harus menjalani prosedur ini. Spesimen yang didapat harus diperiksa untuk analisis histologi, sitogenetik dan immunophenotyping. Apus sumsum tulang tampak hiperselular dengan limfoblas yang sangat banyak, lebih dari 90% sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsurn tulang seluruhnya digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint dari jaringan biopsi penting untuk evaluasi gambaran sitologi. Sitokimia Gambaran morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum tulang kadang-kadang tidak dapat membedakan LLA dari leukemi mieloblastik akut (LMA). Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan mieloperoksidase akan memberikan hasil yang negatif. Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari prekursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blas LMA. Sitokimia juga berguna untuk membedakan precursor B dan B-ALL dari T-ALL. Pewamaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang ganas, sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewamaan periodic acid Schiff(PAS). TdT yang diekspresikan oleh limfoblas dapat dideteksi dengan pewarnaan imunoperoksidase ataujow cytometry. lmunofenotip (dengan sitometri arus/Flow cytometryl Pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi LLA. Reagen yang dipakai untuk diagnosis dan identifikasi subtipe imunologi adalah antibodi terhadap: Untuk sel prekursor B: CDlO (common ALL antigen),CD 19, CD79A, CD22, cytoplasmic m-heavy chain, dan TdT
Untuk sel T: CDl a, CD2, CD3, CD4, CD5, CD7 ,CD8 dan TdT Untuk sel B: kappa atau lambda, CD19, CD20, dan CD22 Pada sekitar 15-54% LLA dewasa didapatkan ekspresi antigen mieloid. Antigen mieloid yang biasa dideteksi adalah CD13, CD15, danCD33. Ekspresi yang bersamaan dari antigen limfoid dan mieloid dapat ditemukan pada leukemia bifenotip akut. Kasus ini jarang, dan perjalanan penyakitnya buruk. Sitogenetik Analisis sitogenetik sangat berguna karena beberapa kelainan sitogenetik berhubungan dengan subtipe LLA tertentu, dan dapat memberikan informasi prognostik (tabel 1). Translokasi t(8; 14), t(2;8), dan t(8;22) hanya ditemukan pada LLA sel B, dan kelainan kromosom ini menyebabkan disregulasi dan ekspresi yang berlebihan dari gen c-myc pada kromosom 8. Beberapa kelainan sitogenetik dapat ditemukan pada LLA atau LMA, misalnya kromosom Philadelphia, t(9;22)(q34;qll) yang khas untuk leukemia mielositik kronik dapat juga ditemukan pada <5% LMA dewasa dan 20%-30% LLA dewasa. Biologi Molekular Teknik molekular dikerjakan bila analisis sitogenetik rutin gagal, dan untuk mendeteksi t(12;21) yang tidak terdeteksi dengan sitogenetik standar. Teknik ini juga hams dilakukan untuk medeteksi gen BCR-ABL yang mempunyai prognosis buruk. Pemeriksaan Lainnya Parameter koagulasi biasanya normal dan koagulasi intravaskular diseminata jarang terjadi. Kelainan metabolik seperti hiperurikemia dapat terjadi terutama pada pasien dengan sel-sel leukemia yang cepat membelah dan tumor burden yang tinggi. Pungsi lumbal dilakukan pada saat diagnosis untuk memeriksa cairan serebrospinal. Perlu atau
Kelainan
Prognosis
Perubahan numerik Hiperdiploidi tinggi (lebih dari 50 krornosom) Hiperdiploidi (47-50) Pseudodiploidi (46 dengan perubahan strukturlnumerik Hipodiploidi (kurang dari 46) Kelainan struktur
Krornosom Philadelphia t(9;22)* t (12;21)'* t (139) t (4; 11)... t (8;14)
Baik Sedang Sedang Buruk
Gen yang terlibat
BCR-ABL TEL-AMLI E2A-PBX1 MLL-AF4 MYC
Buruk Baik Baik Buruk Baik
Harus dibedakan dari krisis blas limfoid dari leukemia mieloid kronik
...Terjadi pada 30% kasus LLA anak. Terdapat pada LLA sel B dengan morfologi L3
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI tidaknya tindakan ini dilakukan pada pasien dengan banyaknya sel blas yang bersirkulasi masih kontroversi. Definisi keterlibatan susunan saraf pusat (SSP) adalah bila ditemukan lebih dari 5 leukosit/mL cairan serebrospinal dengan morfologi sel blas pada spesimen sel yang disentrifugasi.
Aspirasi dan biopsi sumsum tulang : - Pewarnaan sitokimia, analisis sitogenetik, analisis imunofenotip, analisis molekular BCR-ABL
DIAGNOSIS BANDING Limfositosis, limfadenopati dan hepatosplenomegali yang berhubungan dengan infeksi virus dan limfoma Anemia aplastik
PENDEKATAN DIAGNOSIS Pendekatan diagnosis LLA dewasa :
Anamnesis Pemeriksaan fisik Pemeriksaan laboratorium : - Hitung darah lengkap, apus darah tepi, pemeriksaan koagulasi, kadar fibrinogen, kimia darah, golongan darah ABO dan Rh, penentuan HLA Foto toraks atau computed tomography Pungsi lumbal
Kelomook
Tahun
n loasienl
Umur*
Keberhasilan terapi LLA terdiri dari kontrol surnsurn tulang dan penyakit sistemiknya, juga terapi atau pencegahan SSP. Hal ini dapat tercapai dengan kombinasi pemberian kemoterapi dan terapi pencegahan SSP (kemoterapi intratekal danlatau sistemik dosis tinggi, dan pada
lnduksi
Konsolidasi V, DX,AD,AC,C,T G,VM AD,AC,A
Pemeliharaan
CR
LFS
MP,M
75%
39% pd 7th
MP,M,V,C,P,AD ,AC MP,M,V,P MP,M,V,P
76% 82% 89%
30% pd 10th 28% pd 5th
MP,M
83%
MP,M,V,[AC,Mi, VM,HDAC,HDM ,DXI
82%
29% pd 9th
82%
31%
MP,M [V,P,Mi,A,C,VM, ACI MP,M,V,P
86%
41% pd 4th
85%
36% pd 3th
Tidak dilaporkan MP,M,V,P MP,M
85%
36% pd 3th
91% 84%
38% pd 5th 49% pd 3th
82%
35% pd 5th
Studi dengan > 500 pasien GMALL 02/84
1993
562
28
V,P,A,D,C, AC, M,MP
FGTALL
1993
58 1
33
MRC-UKALL XA MRCIECOG
1997 1999
618 920
> 15
V,P,D/R,C[ AD,AC] V,P,A,D V,P,D,A,C, AC,MP
GMALL 05/93
2001
1163
35
V,P,A,D,C, AC,M,MP
GIMEMA 0288
2002
794
28
V,P,A,D,C, [HDAC,Mi]
Total (% = weighted mean)
[AC,VP,D,TG] HDM,A [AC,VP,V,DX,D, C,TG] SCT V,DX,AD,AC,C, TG,VM,AC,HD M,A,C [HDAC,Mi] V,HDM,HDAC, DX,VM
+
4638
Studi terbaru dengan > 100 pasien Pethema ALL-93
1998
108
28
V,P,D,A,C
CALGB
1998
198
35
V,P,D,A,C
Sweden
1999
120
44
MDACC Lombardia
2000 2001
204 121
39 35
HDAC, C,D,V,BX V,AD,DX,C I,V,A,P,[C]
Netherlands
2001
193
33
Standar
HDM, V,D,P,A,C,VM,A C C,MP,AC,V,A,M, AD,DX,TG,P AD,HDAC,V,BX, C,D,Vp ~tSCT HDM,HDAC,C,P I,V,C,VM,HDAC, HDM,DX SCT HDAC, VP 16 + allo/auto SCT
+
-
Total (% = weighted 944 86% 38% mean) * median umur atau rentang Singkatan: CR complete remission; LFS, leukemia free sun~ival;V, vinkristin; P, prednison; A, asparaginase; D, daunorubisin; C, cyclophosphamide; AC, cytarabine; M, methotrexate; MP, mercaptopurine; DX, deksarnetason; AD, adriamisin; TG, tioguanin; VM, teniposide; R, rubidazone; VP, etoposide; HDAC, high dose AC; HDM, high dose M; SCT, stem cell transplantation; Mi, mitoxantrone; BX, betametason; I, idarubisin.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI beberapa kasus dengan radiasi kranial). Lama rata-rata terapi LLA bervariasi antara 1,5-3 tahun dengan tujuan untuk eradikasi populasi sel leukemia. Terapi LLA dibagi menjadi : Induksi remisi Intensifikasi atau konsolidasi Profilaksis susunan saraf pusat (SSP) Pemeliharaanj angka panjang Sebelum terapi dimulai harus diperhatikan hal-ha1 berikut dari pasien: Metabolik Hiperurisemia, hiperfosfatemia dan hipokalsemia sekunder dapat terjadi pada pasien denganjumlah sel leukemia yang sangat banyak. Hal ini memerlukan hidrasi intravena, alkalinisasi urin, dan pemberian alupurinol untuk mencegah akumulasi asam urat. lnfeksi Selain mielosupresi, terapi LLA dapat menekan imunitas seluler sehingga ada yang memberikan pencegahan terhadap infeksi virus herpes dan Pneumonytis carinii. Hematologik Batas untuk pemberian .transfusi sel darah merah tergantung dari keadaan fisiologik pasien. Transfusi sel darah merah harus dihindari pada pasien dengan hiperleukositosis karena dapat meningkatkan secara mendadak viskositas darah dan mempresipitasi leukostasis. Pada keadaan hiperleukositosis (leukosit >1 00.000/rnrn3) dilakukan leukoferesis atau pemberian prednison selama 7 hari atau vinkristin sebelum terapi induksi remisi dimulai. Terapi lnduksi Rernisi Tujuan dari terapi induksi remisi adalah mencapai remisi komplit hematologik (hematologic complete remission/ CR), yaitu eradikasi sel leukemia yang dapat dideteksi secara morfologi dalam darah dan sumsum tulang dan kembalinya hematopoiesis normal. Tulang punggung terapi induksi remisi adalah prednison dan vinkristin. Terapi ini biasanya terdiri dari prednison, vinkristin, dan antrasiklin (pada umdmnya daunorubisin) dan juga L-asparginase. Tambahan obat seperti siklofosfamid, sitarabin dosis konvensional atau tinggi, merkaptopurin dapat diberikan pada beberapa regimen. Terapi dengan prednison dan vinkristin menghasilkan CR pada sekitar 50% pasien LLA de novo. Penambahan antrasiklinmemperbaiki CR menjadi 70-85%. Daunombisin biasanya diberikan seminggu sekali, tapi beberapa penelitian memberikan dosis intensifikasi (30-60mg/m22-3 hari). Dosis intensifikasi berhubungan dengan mortalitas yang tinggi, sehingga diperlukan terapi suportif intensif
dan pemberian faktor pertumbuhan (granulocyte colonystimulatingfactorlGSCF). GSCF tidak memperbaiki CR tapi mempersingkat lama neutropenia 5-6 hari dan menurunkan insidens infeksi. Penambahan L-asparginase tidak memperbaiki fiekuensi dan durasi CR. Terapi lntensifikasi atau Konsolidasi Setelah tercapai remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi (early intensification) yang bertujuan untuk mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang resisten obat. Terapi ini juga dilakukan 6 bulan kemudian (late intens$cation). Studi Cancer andLeukemia Group B menunjukkan durasi remisi dan kelangsungan hidup yang lebih baik pada pasien LLA yang mencapai remisi dan mendapat 2 kali terapi intensifikasi (early dan late intensification) daripada pasien yang tidak mendapat terapi intensifikasi. Berbagai dosis mielosupresi dari obat yang berbeda diberikan tergantung protokol yang dipakai. Profilaksis SSP Profilaksis SSP sangat penting dalam terapi LLA. Sekitar 50%-75% pasien LLA yang tidak mendapat terapi profilaksis ini akan mengalami relaps pada SSP. Profilaksis SSP dapat terdiri dari kombinasi kemoterapi intratekal, radiasi kranial dan pemberian sistemik obat yang mempunyai bioavaliabilitas SSP yang tinggi seperti metotreksat dosis tinggi dan sitarabin dosis tinggi. Pemberian ketiga kombinasi terapi ini ternyata tidak memberikan hasil yang superior, sedangkan kemoterapi intratekal saja atau kemoterapi sistemik dosis tinggi saja tidak memberikan proteksi SSP yang baik. Kemoterapi intratekal dengan radiasi kranial (antara 1800-2400 cGy) memberikan angka relaps SSP yang sama dengan kemoterapi intratekal + kemoterapi sistemik dosis tinggi tanpa radiasi kranial yaitu antara 0%-11%. Perneliharaan Jangka Panjang Terapi ini terdiri dari 6-merkaptopurin tiap hari dan metotreksat seminggu sekali selama 2-3 tahun. Pada LLA anak terapi ini memperpanjang disease-free survival, sedangkan pada dewasa angka relaps tetap tinggi. Tabel 2 memperlihatkan hasil terapi LLA dewasa dari berbagai studi. Transplantasi Sumsurn Tulang Pada pasien LLA yang mempunyai risiko tinggi untuk relaps dilakukan transplantasi sumsum tulang alogenik pada remisi komplit yang pertama. Risiko tinggi untuk relaps yaitu: Kromosom Philadelphia Perubahan susunan gen MLL Hiperleukositosis
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gaga1mencapai remisi komplit dalam waktu 4 minggu Pasien LLA dewasa yang mengalami relaps setelah mencapai remisi komplit harus menjalani transplantasi sumsum tulang alogenik begitu remisi kedua tercapai.
Terapi untuk B-ALL Kebanyakan B-ALL tidak dapat diterapi dengan regimen LLA konvensional. Karena kecepatan proliferasi sel-sel leukemia-nya tinggi, maka diberikan terapi hyperfractionation dari siklofosfamid dosis tinggi dan metotreksat dosis tinggi. Saat ini tidak ada terapi yang efektif untuk B-ALL yang refrakter atau relaps. Pilihan Terapi dan Pengelolaan Baru untuk LLA Dewasa: Terapi molekular: inhibisi direk aberasi molekular yang terlibat dalam patogenesis - Inhibitor tirosin kinase STI571, inhibitor farnesil transferase Terapi antibodi: supresi target sel blas leukemia sesuai dengan ekspresi antigennya - CD19:antiCD19 - CD20: Rituximab - CD52: Carnpath Transplantasi sumsum tulang non-mieloablasi: ekstensi Penggunaan efek graft-versus-leukemia indikasi transplantasi sumsum tulang untuk pasien tua Evaluasi minimal residual disease (MRD): evaluasi individual terhadap respon terapi: - Penilaian elemen terapi yaitu induksi, terapi baru, dan strafikasi risiko (MRD= sel blas leukemia residual yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan mikroskopis sumsum tulang. MRD diperiksa dengan metode Polymerase Chain Reaction) Analisis microarray: Analisis profil ekspresi gen dan seleksi gen yang diekspresikan secara berbeda: - Identifikasi faktor prognostik dan gen target untuk terapi baru.
+
BEBERAPA PROTOKOLYANG DlPAKAl UNTUK TERAPI LLA DEWASA ADALAH: Protokol OPAL (modified) Induksi remisi : Vinkristin 1,5 mg/m2IV, hari 1 (max. 2 mg). Daunorubisin 30 mg/m2IV, hari 1,2,14,21,28. Prednison 40 mg/m2 PO, hari 1-28 lalu tappering off2 minggu. L-asparaginase 10.000 Ulm2 IV diberikan pada saat mendekati remisi komplit selama 4 hari sebelurn radiasi kranial.
Biasanya diperlukan 4 dosis vinkristin (tiap minggu) dan 5 dosis daunorubisin. Pemberian metotreksat intratekal sesuai dengan protokol biasa. Aspirasi sumsum tulang dilakukan sekitar minggu ke 5 jika trombosit >100.000/mm3dan neutrofil >1000/mm3untuk konfirmasi respons komplit. Selama pemberian asparaginase hams diperiksa kadar fibrinogen. Bila fibrinogen
Modifikasi Dosis: Vinkristin 1 mg bila bilirubin >2 mg% Doksorubisin: dosis diturunkan 25%, bila bilirubin 2-3 mg%, 50%bila bilirubin 3-4 mg%, 75% bila bilirubin >4 mg?4 Metotreksat: dosis diturunkan: 25% bila kreatinin 1,5-2 mg%, 50% bila kreatinin >2 mg% HIDAC 1 gram/m2:bila: - Usia >60 tahun - Kreatinin >2 mg% - Kadar metotreksat >20 mmol/L
PROGNOSIS Kebanyakan pasien LLA dewasa dapat mencapai remisi tapi tidak sembuh dengan kemoterapi saja, dan hanya 30% yang bertahan hidup lama. Kebanyakan pasien yang sembuh dengan kemoterapi adalah usia 15-20 tahun dengan faktor prognostik baik lainnya. Harapan sembuh untuk pasien LLA dewasa lainnya tergantung dari terapi yang lebih intensif dengan transplantasi sumsum tulang. Overall disease-free survival rate untuk LLA dewasa kira-kira 30%. Pasien usia >60 tahun mempunyai disease-free survival rate 10% setelah remisi komplit. Faktor prognostik LLA dewasa dapat dilihat pada Tabel 7.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Obat
Dosis
A. Kemoterapi dosis intensif 1. Hyper- CVAD (siklus 1, 3, 5, 7) Siklofosfamid Mesna Vinkristin Doksorubisin Deksametason
Hari
300 mglmz IV 3 jam tiap 12 jam (6 dosis) 300 mg/mz IV kontinu sampai 6 jam setelah dosis siklofosfamid terakhir 2 mg IV 50 mg/m2 IV 40 mg Ihari
1-
2. Metotreksaffsitosin arabinoside dosis tinggi (MTX 1 HIDAC) (siklus 2, 4, 6, 8) Metotreksat 200 mg/m2 IV 2 jam 800 mg/m2 IV 24 jam Lekovorin 15 mg setiap 6 jam (8 dosis) mulai 24 jam setelah selesai metotreksat Ara - C 3 gram/mz IV 2 jam, tiap 12 jam (4 dosis) Metilprednisolon 50 mg IV, 2 kali Ihari
3. Profilaksis SSP Metotreksat Ara - C Penderita dengan risiko : Tinggi Rendah Tidak diketahui
12 mg intratekal (IT) 100 mg 16 IT 4 IT 8 IT
4. Profilaksis antibiotik Siprofloksasin atau Levofloksasin Flukonazol Asiklovir atau Valasiklovir
500 mglhari PO 500 mglhari PO 200 mglhari PO 2 x 200 mglhari PO 500 mglhari PO
B. Terapi Pemeliharaan Kromosom Philadelphia (+) 3 transplantasi sumsum tulang alogenik atau IFN + ara - C selama 2 tahun Mature B - cell ALL 3 tanpa terapi pemeliharaan Sub tipe lain terapi POMP selama 2 tahun 1. POMP (Oral 6 merkaptopurine (6 MP), vinkristin, metotreksat, prednison) 6 MP 3 x 50 mq PO Ihari Metotreksat 20 mglm PO 1minggu Vinkristin 2 mg IV Ibulan Prednison 200 mglhari - 5 x 1 bulan (bersama vinkristin)
+
2. Profilaksis antibiotik (selama 6 bulan pertama) Trimetoprim- sulfametoksazol 2 x 1 hari Asiklovir atau 200 mg PO Valasiklovir 500 mg PO
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
Pada akhir minggu 3 hari Iminggu 3 hari 1 minggu
1273
LEUKEMlA LIMFOBLASTIK AKUT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Obat
Dosis
lnduksi Vinkristin Siklofosfamid Prednison Daunorubisin atau Zorubisin Metotreksat
Hari
1,5 mglm2 IV 600 mglm2 IV 60 mglm2 lV IPO 50 mglm2 IV 100 mg/m2 IV 12mg IT
Salvage (hari ke 28) Amsacrine 120 mglmz IV 500 mglm2 (12 jam) IV Sitosin arabinosid Konsolidasi (3 siklus tiap 4 minggu) Daunorubisin atau 60 mglm2 IV Zorubisin 120 mglm2 IV 60 mglm2 SC IIM Sitosin arabinosid 1000 IU 1m2 IV IIM Asparaginase Konsolidasi sebelum transplantasi sumsum tulang alogenik (1 siklus) Siklofosfamid 60 mg/m2 IV Vinkristin 1,5 mglm2 IV 60 mglm2 IV atau PO Prednison Pemeliharaan Terapi A (siklus 1, 3, 5 dan 7) 60 mglm2 PO Prednison 1,5 mglm2 IV Vinkristin Daunorubisin atau 60 mg/m2 IV 120 mglm2 IV Zorubisin 60 mglm2 PO 6 MP 15 mg/m2 PO Metotreksat Doktinomisin 100061m2 IV Terapi B (siklus 2, 4, 6, 8) Prednison Vinkristin Siklofosfamid Karmustin 6 MP Metotreksat Daktinomisin
60 mglmz PO 1,5 mg/mz IV 800 mglm2 IV 80 mg/m2 IV 60 mg/m2 PO 15 mglm2 PO 100061m2 IV
Karakteristik pasien Obat
Dosis
Hari
Usia (tahun) < 30 > 30 -
Praterapi Siklofosfamid Prednison Blok A Vinkristin Metotreksat lfosfamid VM2, (Teniposide) Sitosin arabinoside
Faktor prognostik
2 mg IV 1500 mg/m2 infus 24 jam 800 mg/m2 infus 1 jam 100 mg/mz infus 1 jam 150 mg/m2infus 1 jam. tiap 12 jam
1 1, diikuti lekovorin 1- 5 4-5 4-5
Deksametason Metotreksat Ara - C Deksametason Blok B (setelah istirahat 16 hari) 2 mg IV Vinkristin 1500 mg/m2 infus 24 jam Metotreksat 200 mg/mZ IV Siklofosfamid Adriamisin 25 mg/m2 IV (15 menit) Deksametason 10 mg/m2 PO Metotreksat 15mg IT Ara - C 40 mg IT Deksametason 4 mg IT
I 1, diikuti lekovorin 1-5 4, 5 1-5 1-5 1-5 1-5
Jumlah lekosit (x10~1ml) < 30.000 -> 30.000 (> 100.000 untuk sel T) lmmunophenotype T-cell ALL Mature 6-cell ALL, early T-cell ALL Sitogenetika Kelainan 12p; t(10;14)(q24;q11) Normal; hiperdiploid t(9;22), -7,+8 . . t(4;l . l), . t(1;19), . . hipodiploid, . . Respons terapi Remisi komplit dalam 4 minggu Minimal residual disease ~ersisten
Profilaksis SSP : radiasi kranial24 Gy setelah terapi Blok B. Terapi pada CNS involvement : radiasi kranial dan neuroaksis Metotreksat. Ara - C, deksametason IT
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Sedang Buruk Baik Buruk
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Obat
Dosis
Hari
F a s e I : lnduksi (4 minggu) Siklofosfamid * Daunorubisin Vinkristin Prednison * L - asparaginase (E - coli)
1200 mg/m2 IV 1 4 5 mg/m2 IV 1, 2, 3 2 mg IV 1 , 8, 15, 2 2 6 0 mglm2 P O / IV 1-21 ~ O O O I U / ~ ~ S C / 5I ,M8 , 1 1 , 1 5 , 1 8 , 22 F a s e I I A : lntensifikasi dini ( 4 minggu, ulang lagi 1 kali untuk f a s e I I B) Metotreksat intratekal 1 5 mg 1 Siklofosfamid 1000 mg/m2 IV 1 6 MP 6 0 mg/m2 P O 1-14 Sitarabin 7 5 mg/m2 sc 1-4,8-11 Vinkristin 2 mg IV 15,22 L - asparaginase (E - coli) 6000 IU lm2 S C I IM 15,18,22,25 F a s e I l l : Profilaksis S S P d a n pemeliharaan (12 minggu) Radiasi kranial 2400 cGy Metotreksat intratekal 1 5 mg 6 MP 6 0 mglm2 P O Metotreksat 2 0 mglm2 P O
1-12 1-8, 15-22,29 1-70 36, 4 3 , 50, 5 7 , 6 4
F a s e IV : lntensifikasi lanjut ( 8 minggu) Doksorubisin Vinkristin Deksametason Siklofosfamid 6 - Tioguanin Sitarabin
1 , 8, 1 5 1, 8, 1 5 1-14 29 29 -42 29 - 32,36 - 39
3 0 mg/m2 IV 2 mg IV 1 0 mglm2 P O 1000 mglm2 IV 6 0 mglm2 P O 7 5 mg/m2 sc
F a s e V : Pemeliharaan jangka panjang (sampai 2 4 bulan setelah diagnosis) Vinkristin 2 mg IV I , tiap 4 minggu Prednison 6 0 mg/m2 P O 1 - 5, tiap 4 minggu 6 MP 6 0 mglm2 P O 1-28 Metotreksat 2 0 mglm2 P O 1 , 8, 15, 2 2 Keterangan :
:
untuk penderita 2 6 0 tahun : Siklofosfamid 8 0 0 mglm2, hari 1 Daunorubisin 3 0 mglm2, hari 1 , 2 , 3 Prednison 6 0 mglm2, hari 1 - 7 G - C S F 5 pglkg S C 1 hari diberikan pada hari ke 4 sampai netrofil 2 1000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan d e n g a n jarak > 2 4 jam.
REFERENSI Baxter Oncology. Selected schedules of therapy for malignant tumours Part 1 : Haematologic Malignancies, 1 Oth ed; 2001. Cao TM, Coutre SE. Acute lymphoblastic leukemia in adults. In: Greer JP. Foerster J, Lukens JN, Rodgen GM, Paraskevas F, Glader B, editors. Wintrobe's Clinical Hematology. 1lth edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. p 2077-96. Charrin C. Cytogenetic abnormalities in adult acute lymphoblastic leukemia: correlations with hematologic findings and outcome. A collaborative study of the Groupe Francais de Cytogenetique Hematologigue. Blood. 1996;87:3 135-42. Erba HP. Acute leukemia. In: Schmaier AH. Petruzzelli LM, editors. Hematology for the medical student. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2003. p. 173-84. Freedman AS, Nadler LM. Malignancies of lymphoid cells. In: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al, editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 14'h edition. New York: Mc GrawHill 1998. p. 695-712.
Garcia-Manero G, Kantarjian HM. The Hyper-CVAD regimen in adult acute lymphocytic leukemia. In: Kantarjian HM, Hoelzer D, Larson RA, editors. Hematology/oncology clinics of North America. Advances in the treatment of adult acute lymphocytic leukemia, Part I. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 2000. p. 1381-96. Hallbook H, Simonsson B, Bjorkholm M, et al. High dose ara-c as upfront therapy for adult patients with acute lymphoblastic leukemia (ALL). Blood. 1999;94:1327a. Hoelzer D, Gokbuge N, Ottmann 0 , et al. Acute lymphoblastic leukemia. Hematology. 2002: 162-92. Howard MR, Hamilton PJ. Haematology: An illustrated colour text. Second edition. Edinburgh: Churchill Livingstone; 2002. Larson RA, Dodge RK, Linker CA, et al. A randomized controlled trial of filgrastim during remission induction consolidation chemotherapy for adults with acute lymphoblastic leukemia: CALGB study 91 11. Blood. 1998;92:1556-64. Larson RA, Dodge RK, Burns CP, et al. A five-drug remission induction regimen with intensive consolidation for adults with
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1275
LEUKEMIA LlMFOBLASTlK AKUT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI acute lymphoblastic leukemia: cancer and leukemia group B study 881 1. Blood. 1995;85:2025-37. Larson RA. Recent Clinical trials in acute lymphocytic leukemia by the cancer and leukemia Group B. In: Kantarjian HM, Hoelzer D, Larson RA, editors. Hematology/oncology clinics of North America. Advances in the treatment of adult acute lymphocytic leukemia, Part I. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 2000. p. 1367-79. Mandelli F, Annino L, Rotoli B. The GIMEMA ALL 0183 trial: analysis of 10-year follow-up. GIMEMA Cooperative Group, Italy. Br J Haemotol. 1996;92: 665-72. Supandiman I, Sumantri R, Fadjari H, Irani P, Oehadian A. Pedoman diagnosis dan terapi hematologi onkologi medik. Bandung: QCommunication;2003.
Treatment statement for Health professionals. Adult acute lymphoblastic leukemia. Available from:URL:http://www.meb.unibonn.de/cancer.gov/CDR0000062864.html Thiebaut A, Vernant JP, Degos L, et al. Adult acute lymphocytic leukemia study testing chemotherapy and autologous and allogeneic transplantation: A follow-up report of the French Protocol LALA 87. In: Kantarjian HM, Hoelzer D, Larson RA, editors. Hematology/oncology clinics of North America. Advances in the treatment of adult acute lymphocytic leukemia, Part I. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 2000. p. 135366. Wetzler M, Dodge RK, Mrozek K, et al. Prospective karyotype analysis in adult acute lymphoblastic leukemia: The cancer and leukemia group B experience. Blood. 1999;93: 3983-93.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
LEUKEMIA LIMFOSITIK KRONIK Linda W.A. Rotty
Leukemia limfositik kronik (LLK) adalah suatu keganasan hematologik yang ditandai oleh proliferasi klonal dan penumpukan limfosit B neoplastik dalam darah, sumsum tulang, limfonodi, limpa, hati dan organ-organ lain. LLK ini masuk dalam kelainan limfoproliferatif.Tanda-tandanya meliputi limfositosis, limfadenopati dan splenomegali. Kebanyakan LLK (95%) adalah neoplasma sel B, sisanya neoplasma sel T.
Usia rerata pasien saat diagnosis 65 tahun, hanya 10- 15% kurang dari 50 tahun. Angka kejadian di negara Barat 31 100.000. Pada populasi geriatri, insidens di atas usia 70 tahun sekitar 50/100.000. Risiko terjadinya LLK meningkat seiring usia. Perbandingan risiko relatif pada pria tua adalah 2,8: 1 perempuan tua. Kebanyakan pasien memiliki ras Kaukasia dan berpendapatan menengah. Perjalanan penyakit bervariasi. Kondisi penyakit sel B dapat diramal kelangsungan hidupnya antara lebih dari 10 tahun sampai kurang dari 19 bulan, dan 9 tahun untuk seluruh populasi pasien LLK. Beberapa pasien dengan LLK mempunyai masa hidup normal dan yang lain meninggal dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis. Beberapa tahun terakhir kemajuan penting dicapai dalam pemahaman biologi, perjalanan alami dan pengobatan.
PENYEBAB Penyebab LLK masih belum diketahui. Kemungkinan yang berperan adalah abnormalitas kromosom, onkogen dan retrovirus (RNA tumour virus) Penelitian awal
menunjukkan keterlibatan gen bcl- 1 dan bcl-2 pada 5- 15% pasien sedangkan gen bcl-3 hanya kadang-kadang terlibat. Protoonkogen lcr dan c-fgr, yang mengkode protein kinase tirosin diekspresikan pada limfosit yang terkena LLK tetapi tidak pada sel B murni yang normal. Saat ini pasien LLK didapatkan delesi homozigot dari regio genom telomerik gen retinoblastoma tipe-1 d l 3s25. Hal ini menunjukkan bahwa gen supresor tumor baru terlibat dalam LLK. Sel B darah tepi normal adalah subpopulasi limfosit B CD5+ matur (sama dengan Sel B-la) yang terdapat pada zona mantel limfonodi dan dalam jumlah kecil di darah. Sel B LLK mengekspresikan imunoglobulin membran permukaan yang umumnya rendah kadarnya, kebanyakan IgM, IgD dibandingkan sel B darah tepi normal, dan single light chain (kappa dan lambda). Juga mengekspresi antigen sel T CD5, antigen HLA-DR dan antigen sel B (CD 19 dan CD20) mempunyai reseptor untuk sel darah merah tikus, dan menghasilkan autoantibodi polireaktif. Ekspresi gen VH dan VL terbatas pada sel-sel tersebut. Berdasarkan karakteristiktersebut, LLK kemungkinan merupakan akibat dari suatu proses bertahap, dimulai dengan ekspansi poliklonal yang ditimbulkan oleh antigen terhadap limfosit B CD5+ yang di bawah pengaruh agen mutasi pada akhirnya ditransformasi menjadi proliferasi monoklonal. Limfosit B CD5+ neoplastik menumpuk akibat hambatan apoptosis (kematian sel terprogram). Meskipun gen bcl-2 jarang mengalami translokasi, tetapi terus menerus diekspresikan secara berlebihan, yang mengakibatkan bertambah panjangnya kelangsungan hidup sel LLK. Selain itu sitokin terlibat dalam pengaturan pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel tersebut. Pada LLK, TNF alfa dan IL- 10 berperan sebagai growth factor. Dalam perjalanan penyakit ekspresi berlebihan CD38, onko gen c-myc, delesi gen RB- 1, dan mutasi gen supresor tumor p53 juga terjadi. Sekitar 50% pasien LLK mempunyai abnormalitas
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
LEUKEMIA LlMFOSITlK KRONIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI sitogenik, khususnya trisomi 12, kelainan kromosom 13 pada lajur q14 ( lokasi gen supresor RB-I), 14q+, delesi kromosom 6 dan delesi kromosom 1 1. Hal ini baik dideteksi melalui fluoresensi in situ,hibridisasi dibandingkan analisis sitogenik konvensional. Belum jelas makna kelainan tersebut pada tingkat molekular. Kelainan kariotipik bertambah pada LLK stadium lanjut dan menunjukkan abnormalitas yang didapat. Evolusi kariotipik umumnya berhubungan dengan perjalanan penyakit, terjadi pada 15-40% pasien LLK.
DIAGNOSIS Manifestasi Klinis Pada awal diagnosis, kebanyakan pasien LLK tidak menunjukkan gejala (asimptomatik). Pada pasien dengan gejala, paling sering ditemukan limfadenopati generalisata, penurunan berat badan dan kelelahan. Gejala lain meliputi hilangnya nafsu makan dan penurunan kemampuan latihadolahraga. Demarn, keringat malam dan infeksij arang terjadi pada awalnya, tetapi semakin menyolok sejalan dengan perjalanan penyakitnya. Akibat penumpukan sel B neoplastik, pasien yang asimptomatik pada saat diagnosis pada akhimya akan mengalami limfadenopati, splenomegali dan hepatomegali. Pemeriksaan Fisis 20-30% pasien tidak menunjukkan kelainan fisik. Kelainan fisik yang sering dijumpai adalah limfadenopati. Sekitar 50% pasien mengalami limfadenopati danlatau hepatosplenomegali. Pembesaran limfonodi dapat terlokalisir atau merata dan bervariasi dalam ukuran. Splenomegali danlatau hepatomegali ditemukan pada 2550% kasus. Infiltrasi pada kulit, kelopak mata, jantung, pleura, paru dan saluran cema umumnya jarang dan timbul pada akhir perjalanan penyakit. Sejalan dengan perjalanan penyakit, limfadenopati masif dapat menimbulkan obstruksi lumen termasuk ikterus obstruktif, disfagia uropati obstruktif, edema ekstremitas bawah, dan obstruksi usus parsial. Timbulnya efusi pleura atau asites berhubungan dengan prognosis yang buruk.
KRlTERlA DIAGNOSIS
Tanda patognomonik LLK adalah peningkatan jumlah lekosit dengan limfositosis kecil sekitar 95%. Untuk menegakkan diagnosis sebaiknya dilakukan pemeriksaan gambaran darah tepi secara hati-hati dan cermat. Gambaran darah tepi tampak limfositosis dengan gambaran limfosit kecil matur dan smudge cell yang dominan; imunofenotip khas lirnfosit (CD5+, CD 19+,CD2(H, CD23+,FMC7-I+, DAN CD22-I+); dan infiltrasi limfosit ke sumsum tulang (>30%
limfosit). Infiltrasi limfosit ke sumsum tulang bervariasi dalam 4 gambaran yaitu interstisial(33%), nodular (lo%), campuran interstisial dan nodular (25%) serta infiltrasi difus (25%). Meskipun telah didapatkan limfositosis dan infiltrasi limfosit ke sumsum tulang belum berarti pasti LLK. LLK dapat didiagnosis jika ditemukan peningkatan absolut limfosit di dalam darah (>5000/uL) dan morfologi serta imunofenotipnya menunjukkan gambaran khas. Klasifikasi France-America-British(FAB) membagi tiga tipe morfologi berdasarkan perbandingan limfosit atipikal di dalam darah, yaitu: LLK tipikal terdiri dari lebih 90% limfosit kecil LLK tipe prolimfositik (sel prolimfositik 11-54%) LLK atipikal yang ditandai dengan morfologi sel limfosit yang heterogen tetapi proporsi prolimfosit kurang dari 10%. Kriteria ini tidak selalu menetap. Pada kasus LLK atipikal, gangguan limfoproliferatif lainnya harus dipertimbangkan dulu sebelum membuat diagnosis LLK atipikal; oleh karena itu analisis imunofenotip sel B neoplastik, data sitogenetik dan molekular dapat bermanfaat.
Jenis kelarnin Stadium Klinik Morfologi lirnfosit Garnbaran dari infiltrasi surnsum tulang Waktu penggandaan lirnfosit Penanda serum Ekspresi CD 38 Abnorrnalitas gen Status gen lgVH
Risiko rendah
Risiko Tinggi
Wanita Binet A RAI 0 , I Tipikal Non diffuse > 12 bulan Normal
Pria Binet B IC RAI 11, Ill, IV Atipikal Diffuse < 12 bulan Meningkat
< 20 - 30%
> 20 - 30% Delesi 11q23 Loss/ mutation p 53 Mutasi (-)
Tidak ada Mutasi
STADIUM
Stadium
Gejala klinis dan laboratorium
0
Lirnfositosis darah tepi dan surnsum tulang Lirnfositosis + Pernbesaran Lirnfonodi Lirnfositosis + Splenornegali I Hepatomegali Lirnfositosis + anemia (Hb < IIgrldl)
I II Ill IV
Lirnfositosis + trombositopenia (trornbosit < 100.0001uL)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
Median survival (bulan) > 150
101 > 71 19 19
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Stadium
Gejala klinis dan laboratorium
A
Limfositosis darah tepi dan sumsum tulang + < 3 daerah limfoid yang membesar Limfositosis darah tepi dan sumsum tulang + > 3 daerah limfoid yang mebesar ~ G d i u mB + anemia (Hb < 11 gldl pd pria dan < 10 grldl pada perempuan atau trombositopenia (<100.000/uL)
B
Median survival (bulan) >7 <5
<2
Catatan: 5 area limfoid : KGB servikal, aksila, inguinal, hati, limpa
DIAGNOSIS BANDING Leukemia prolimfositik (Sel prolimfosit >54%) Hairy cell leukemia Limfoma limfositik kecil Mantle cell lymphoma Leukemia limfoplasmasitik - makroglobulinemiaWaldenstrom - mieloma sel plasma Leukemia sel T kronik Leukemia LGL Leukemia sel T dewasa Limfoma sel T kutanlkulit
Pasien dengan LLK dapat menunjukkan berbagai komplikasi akibat progresivitas penyakitnya. Infeksi, Merupakan komplikasi dan penyebab utama kematian. S. pneumoniae, S. aureus dan H. injluenzae merupakan organisme yang sering dijumpai pada pasien LLK yang tidak diberikan terapi imunosupresi.Telah terjadi pembahan spektrum penyakit dan bakteri penyebab pada pasien-pasien yang diberikan preparat imunosupresan. Yaitu meliputi baik bakteri gram negatif maupun bakteri oportunistik seperti Candida, Mycobacterium tuberculosis, Listeria, l? carinii, Cytomegalovirus, Aspergillus dan virus hezpes. Pasien LLK yang berusia lebih dari 65 tahun danlatau dengan stadium lanjut mempunyai risiko lebih tinggi terhadap infeksi dan biasanya membutuhkan terapi suportif untuk profilaksis. Hipogamaglobulinemia dijumpai lebih dari 66% pasien pada akhir penyakit ini. Semua kelas imunoglobulin (IgG, IgA dan IgM) biasanya menurun, meskipunjuga dijumpaihanya satu atau dua imunoglobulin saja yang turun. Penurunan gamaglobulin dan neutrofil yang sangat bermakna menyebabkan kerentanan pasien terhadap infeksi bakteri.
Transformasi Menjadi Keganasan Limfoid yang Agresif. Terjadi sekitar 10-15%. Yang tersering adalah sindroma Richter (5%) dan leukemia prolimfositik. Pasien dengan sindroma Richter (limfoma sel besar) sering didapatkan limfadenopati dan hepatosplenomegali yang progresif, demam, nyeri abdomen, penurunan berat badan, anemia dan trombositopenia progresif, dengan peningkatan limfositosis perifer dan LDH secara cepat. Pasien-pasien ini mempunyai kelangsunganhidup rata-rata 6 bulan. Pasien dengan transformasi ke arah leukemia prolimfositik manunjukkan anemia progresif, trombositopenia, limfadenopati, prolimfosit pada darah tepi (>55%), hepatosplenomegali, wasting syndrome dan meningkatnya resistensi terhadap terapi. Transformasi LLK yang lain meliputi LLA, leukemia sel plasma, mieloma multipel dan limfoma Hodglan. Komplikasi Akibat Penyakit Autoimun meliputi tes anti globulin direct yang positif (Coomb's test), anemia hemolitik, trombositopenia, neutropenia dan aplasia sel darah merah murni (aplasia p u r e red cell) atau agranulositosis. Tes antiglobulin direct positif hingga 20% pasien LLK selama perjalanan penyakitnya. Hemolisis klinis dijumpai pada 50% kasus. Trombositopeniaautoimun terjadi pada 2% pasien LLK. Keganasan sekunder. Lokasi tersering meliputi kulit (melanoma dan karsinoma), paru dan saluran cerna. Hal ini dianggap sebagai konsekuensi terapi imunosupresi yang poten. Gangguan atau keganasan hematologi lainnya juga dilaporkan mempunyai hubungan dengan LLK.
PENATALAKSANAN Diagnosis LLK tidak menandakan perlunya pengobatan. Saat ini tidak terdapat terapi kuratif untuk LLK. Tujuan terapi pada kebanyakan pasien LLK adalah meredakan gejala dan memperpanjang kelangsungan hidup. Tetapi pada pasien lebih muda dengan faktor risiko buruk, pendekatan eksperimental dengan tujuan penyembuhan yang dipilih. Indikasi terapi adalah: Kegagalan sumsum tulang yang progresif yang ditandai dengan memburuknya anemia dan atau trombositopenia. Limfadenopati yang progresif (>10 cm) Splenomegali masif (>6 cm) atau nyeri pada limpa Limfositosis progresif (dalam 2 bulan meningkat 50%) Gejala sistemik yaitu penurunan berat badan >lo% dalam 6 bulan, suhu badan >38OC selama >2 minggu, fatigue, keringat malam Sitopenia autoimun Kemungkinan terapi terkini menurut faktor prognostik dan variabel lainnya sebagai berikut:
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
LEUKEMIA LlMFOSITlK KRONIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI LLK STADIUM DIN1YANG STABIL Pada pasien ini tidak diperlukan terapi kecuali timbul gejala atau penyakitnya berlanjut. Hal ini didasarkan pada: Pasien LLK stadium dini yang stabil bertahan hidup sebagai mana subyek normal dengan usia yang sama. Pengobatan pada pasien dengan stadium dini (Binet stadium A atau Rai stadium 0) dengan klorarnbusil, baik kontinu maupun intermiten memperlambat rasio progresivitas penyakit tetapi tidak memperbaiki kelangsungan hidup. Selain itu dalarn satu penelitian terapi kontinu dengan klorambusil berhubungan dengan kelangsungan hidup yang lebih pendek karena tingginya insidens kanker epitel.
LLK STADIUM LANJUT DENGAN BATAS TUMOR LUAS DAN GAGAL SUMSUM TULANG Kemoterapi Tunggal Klorambusil. Mula-mula 2-4 mg kemudian dinaikkan 6-8 mg per oral setiap hari atau pemberian intermiten setiap 2-4 minggu dengan dosis 0,4-0,7 mglkg BB per oral. Pengobatan diberikan sepanjang terdapat respons, biasanya tidak lebih dari 8-12 bulan. Angka respons berkisar 40-70%, tetapi respons komplit jarang terjadi. Pada penelitian-penelitianterakhir, kombinasi klorambusil dengan prednison tidak lebih baik dibandingkan dengan klorambusil saja. Meskipun pasien diobati dengan regimen kemoterapi kombinasi memiliki respons lebih tinggi namun angka kelangsungan hidup tidak lebih panjang. Siklofosfamid. Pasien yang tidak dapat mentoleransi klorambusil, dapat diberikan siklofosfamid dengan dosis per oral 200 mglm2hari selama 5 hari atau pemberian intermiten setiap 3-4 minggu dengan dosis 500-750 mg/m2 intravena pada hari I. Asupan cairan 2-3 liter per hari. Efek samping berupa mual, muntah, rambut rontok, supresi sumsum tulang dan sistitis. Aturan terapi pemeliharaan LLK tidak pernah diteliti lebih lanjut. Biasanya, pengelolaan terhenti sekali terjadi respons, dan dimulai lagi saat penyakit berkembang ke arah progresivitas. Respons pengobatan kedua biasanya buruk daripada pengobatan pertama, kemungkinan ha1 ini terjadi akibat overekspresi gen mdr dan mutasi gen p53. Bagi pasien yang tidak berespons terhadap terapi baku atau relaps setelah diberi terapi, dianjurkan menggunakan analog purin khususnya fludarabin. Bersamaan dengan pemakaian obat ini, juga diberikan profilaksis asam urat yaitu allopurinol (dosis 300 mg hari selama 7 hari setiap siklus) dan bila diperlukan transfusi PRC.
Kemoterapi kombinasi yang diberikan adalah kemoterapi yang biasanya diberikan pada pasien limfoma non Hodgkin atau mieloma multipel . Diindikasikan pada pasien LLK yang gaga1 terhadap terapi tunggal klorambusil atau siklofosfamid dengan atau tanpa prednison. Kemoterapi yang direkomendasikan adalah: Siklofosfamid, vinkristin dan prednison (COP) Dosis: - Siklofosfamid300 mg/m2peroralhari 1-5 atau 750 mg/ m21Vhari I. - Vinkristin 2 mg IV hari I - Prednison 40 mg/m2per oral hari 1-5 COP dan doksombisin Dosis: - Doksorubisin 25-50 mg/m2IV hari I.
SlTOPENlA AKIBAT MEKANISME IMUN ATAU HIPERSPLENISME Pasien dengan sitopenia akibat respons imun sebaiknya diobati kortikosteroid dengan dosis 1 mgkgBB per hari dan ditappering-off., Preparat imunosupresan hanya diberikan pada pasien yang tidak respons setelah 4-6 minggu terapi, meliputi imunoglobulin dosis tinggi, siklosporin, splenektomi dan radiasi limpa dengan dosis rendah. Dua pendekatan terapi terakhir berguna pada kasus dengan hipersplenisme. Hasil pengobatan terbaik dilaporkan dengan siklosporin.
PENGOBATAN SlSTEMlK
TERHADAP
KOMPLlKASl
Hipogamaglobulinemia. Pada penelitian acak, imunoglobulin dosis tinggi (400 mgkg BB intravena setiap 3 minggu) akan mencegah infeksi tetapi tidak meningkatkan kelangsungan hidup pasien LLK Pertimbangan biaya dengan lamanya survival pada pemberian rutin imunoglobulin menjadi perdebatan para ahli. Pada dosis yang lebih rendah (250 mglkg BB setiap 4 minggu atau 10 g setiap 3 minggu) mempunyai efektivitas yang setara dengan dosis tinggi. Kejadian infeksi hams diobati dengan antibiotika spektrum luas dan klinisi hams memikirkan kemungkinan terjadinya infeksi oportunistik. Pemberian vaksinasi mungkin memberikan respons imun suboptimal mengingat regulasi sistem imun yang terganggu. Neutropenia yang diperberat dengan kemoterapi sering dijumpai. Jurnlah neutrofil yang rendah dapat disebabkan karena lamanya dan kombinasi dari terapi pada pasien dengan penyakit refrakter stadium lanjut. Pemberian filgrastim atau pegfilgrastim setelah kemoterapi dapat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
mengurangi risiko neutropenia. Sebuah penelitian menunjukkan berkurangnya frekuensi infeksi paru yang serius pada pasien LLK risiko tinggi yang mendapat filgrastim dan terapi berbasis fludarabin bila dibandingkan kontrol. Anemia adalah temuan laboratorium yang sering dijumpai pada LLK dan bertambah berat sesuai perjalanan penyakit. Terapi LLK dapat menimbulkan eksaserbasi anemia yang sudah ada, khususnya pada pasien usia lanjut. Konsekuensinya adalah kelelahan dan dispneu yang sangat mengurangi kualitas hidup pasien. Penelitian acak double blind menunjukkan bahwa eritropoietin rekombinan dapat mengatasi anemia yang tidak berespons terhadap kemoterapi dan gejala yang diakibatkannya.
Radioterapi pada pasien LLK hanya bersifat paliatif. Dapat berupa: Radiasi limpa. 50-90% pasien akan menunjukkan penurunan ukuran limpa, berkurangnya nyeri perut serta rasa tidak enak pada perut. Catovsky pada tahun 199 1 melaporkan 3 8% pasien mengalami remisi hematologik yang komplit. Diberikan dosis rendah 0,s1 Gy 1-3 kalilminggu. Efek samping adalah fatique, mual, trombositopenia transien dan netropenia. Radioterapi terapi eksternal untuk lesi-lesi yang besar (bulky nodal masses). Dosis 30-40 Gy dalam 2 fraksi.
SPLENEKTOMI Indikasi: Splenomegali masif yang simptomatik Sitopenia yang refrakter : Sitopenia autoimun dan hipersplenisme PENGOBATAN LlNl KE 2 (SECOND LINE THERAPY Analog Purin Analog purin (pentostatin, fludarabin dan 2klorodeoksiadenosin) merupakan preparat yang baik untuk LLK. Fludarabin atau analog purin lainnya mungkin akan menggantikan klorambusil sebagai terapi baku LLK.Sedangkan pemberian analog purin dalam kombinasi dengan agen sitotoksik lainnya (siklofosfamid) atau biologic-response modzjers (interferon) sedang diteliti. Mekanisme kerja dari analog purin kompleks, tetapi meliputi induksi apoptosis. Pada pasien-pasien tanpa respons terhadap pengobatan inisial, fludarabin (25 mg/ m2 permukaan tubuh intravena selama 5 hari setiap 4 minggu) merupakan obat pilihan, dengan keberhasilan
respons 17-74% (respons komplit 0-20%). Angka kejadian respons lebih tinggi pada pasien yang memberikan respons pada pengobatan sebelumnya dan yang tidak menerima pengobatan secara ekstensif. Hasil awal pada penelitian yang sedang berlangsung membandingkan fludarabin dengan kombinasi siklofosfamid, doksorubisin, vinkristin dan prednison serta siklofosfamid, doksorubisin dan prednison menunjukkan respons yang lebih tinggi dibandingkan fludarabin; meskipun belum diketahui pada jangka panjangnya. Efek toksik utama analog purin adalah mielosupresi, sindroma lisis tumor akut ,anemia hemolitik autoimun dan ITP. Infeksi oportunistik (cytomegalovirus, toxoplasma, Pneumocystis carinii, legionella dun listeria) terjadi karena penurunan sel CD4+ yang diakibatkan oleh preparat ini. Akibatnya pasien yang diterapi dengan analog purin dan prednison mengalami infeksi oportunistik lebih sering dibandingkan dengan pemberian analog purin saja, oleh karena itu prednison sebaiknya tidak diberikan. Meskipun belum terbukti secara klinis, pemberian antibiotika dapat dipakai sebagai profilaksis. PENGOBATAN BARU Antibodi Monoklonal Diakuinya antibodi monoklonal anti CD20 chimeric (rituximab) dan antibodi monoklonal anti CD52 humanized (alentuzumab) membuka cakrawala baru pengobatan LLK. Rituximab adalah antibodi anti CD20 chimeric yang dipelajari secara luas pada limfoma derajat rendah (low grade) dimana dijumpai respon pada 50% pasien. Respons terhadap rituximab padapasien LLK yang diberi dosis sama dengan pada limfoma bersifat marginal, kemungkinan karena perbedaan farmakokinetik rituximab pada penyakit tersebut atau kurangnya ekspresi target CD20 pada sel LLK. Tetapi penambahan antibodi monoklonal untuk menunjang terapi LLK meningkatkan frekuensi pencapaian CR. Penelitian terbaru kombinasi rituximab dengan terapi berbasis fludarabin pada LLK yang sebelumnya tidak diterapi, menunjukkan hasil yang menggembirakan. Penelitian oleh MD Andersson Cancer Center pada pasien LLK yang sebelumnya tidak diterapi, memberikankan rituximab untuk menunjang dosis fludarabin dan siklofosfamidselama 6 siklus. Laporan awal dari 134 pasien yang mendapat pengobatan komplit, 66% mencapai respon komplit dan secara keseluruhan dijumpai rasio respon 95%. Beberapa CR (melalui PCR) ditunjukkan oleh penelitian ini. Alentuzumab adalah antibodi monoklonal humanized yang ditujukan langsung untuk antigen CD52. FDA menyetujui alentuzumab untuk pengobatan pasien LLK yang sebelumnya diobati dengan agen alkil dan mengalami
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1281
LEUKEMIA LIMFOSITIKKRONIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI penyakit refrakter terhadap fludarabin. Antigen CD52 diekspresikan pada hampir semua sel LLK seperti halnya limfosit T, B normal, sel NK dan monosit. Pada penelitian yang menghasilkan pengakuan terhadap alentuzumab didapatkan rasio respons 33% dan kelangsungsan hidup rerata 16 bulan pada pasien LLK yang mengalami penyakit refrakter fludarabin. Di antara pasien yang berespon terhadap alentuzumab kelangsungan hidup lebih 32 bulan. Pasien dengan nodul yang besarnya >5 cm dan status ECOG yang buruk (> 2) mempunyai respon terhadap alentuzumab yang rendah secara bermakna. Pengobatan dengan antibodi ini dapat menimbulkan eksaserbasi neutropenia yang telah ada sebelumnya dan berhubungan baik dengan infeksi bakterial maupun oportunistik.
Autologous transplantation. Terdapat sejumlah laporan penelitian tentang autotransplantasi pada LLK. Sekitar 40 pasien telah dilaporkan, dan semuanya mempunyai penyakit yang lanjut sebelum transplantasi, serta semua menerima siklofosfamid dan iradiasi total tubuh sebagai regimen. Sekitar separuh pasien transplantasi sumsum tulang disterilkan dengan antibodi monoklonal terhadap sel B (CD 19, CD20, CD 10 dan CD5). Namun follow upnya terlalu singkat untuk ditarik suatu kesimpulan. Meskipun hasilnya menjanjikan, transplantasi sebaiknya masih dipertimbangkan sebagai terapi eksperimental. Infeksi oportunistik (toksoplasmosis) merupakan ha1 yang perlu diperhatikan. Transplantasi, sebaiknya dipertimbangkan pada pasien muda dengan risiko tinggi LLK.
TRANSPLANTASI HEMATOPOIETIC PROGENITORS Allogeneic Transplantation. Data pada seri alotransplantasi, melibatkan 54 pasien, telah dikumpulkan oleh European and International Bone Marrow Transplant Registries. Usia rerata pasien transplantasi 41 tahun, dengan kisaran 2 1-57 tahun. Sebelum transplantasi sebagian besar pasien mendapatkan siklofosfamid dan iradiasi total tubuh demikian pula siklosporin dan metotreksat dipakai sebagai preparat mencegah graftversus host disease. Dari 54 pasien, 38 (70%) mengalami remisi dan 24 (44%) hidup dengan usia median 27 tahun (kisaran 5-80 tahun) setelah transplantasi. Probabilitas kelangsungan hidup 3 tahun adalah 46% (95% CI, 32-60%). Lima pasien (9%) meninggal akibat leukemia progresif, dan 25 (46%) pasien mengalami komplikasi pengobatan. Hasil akhir didapatkan lebih baik pada pasien dengan penyakit stabil yang respons terhadap terapi dibandingkan yang progresif Relaps kadang terjadi selambat-lambatnya 4 tahun setelah transplantasi.
CR
Kriteria Gejala Ltmfonodi
Interferon alfa memberikan respons meskipun bukan respons komplit, pada pasien-pasien dengan penyakit stadium dini yang tidak menerima terapi sebelumnya. Merupakan agen yang potensial untuk mencapai respons terhadap kemoterapi. Efektivitas antibodi monoklonal, baik sendiri (CAMPATH I -H) atau dikombinasi dengan toksin (B4-blocked ricin), agen sitotoksik atau radioisotop (II3') sedang diteliti; respons diperoleh biasanya parsial atau sementara. Antibodi monoklonal mungkin bermanfaat pada penyakit residual yang minimal. IL-2, IL-4 dan IL-6 sedang dalam penelitian. IL-2 telah terbukti membatasi aktivitas secara klinis, namun pada dosis tinggi menimbulkan toksisitas. Penelitian sebelumnya pada tikus mendukung bahwa antisense oligonukleotida spesifik pada IL-10 merupakan stimulator poten pertumbuhan limfosit B neoplastik yang dapat digunakan secara klinis.
Tidak ada Tidak membesar
PR Mengecillhilang > 50%
Hepar ILirnpa Hb
Tidak teraba > IIgrldl
Netrofil
> 1,5x 1 0 ~ 1 ~
Limfosit Trombosit
< 4,O x 1 0 ~ 1 ~ > 100 x lo91L
Aspirasi sumsum tulang Biopsi sumsum tulang
< 30 %
Mengecil > 50% > 11 grldl atau membaik > 50% > 1,5 x 1 0 ~ atau 1~ meningkat > 50% Menurun > 50% > 100 x 1 0 ~ atau 1~ Meningkat > 50%
PD Membesar > 50% atau nodus baru Membesar > 50%
Meningkat > 50%
Tidak ada infiltrasi Residu lymphoid interstisial atau nodul nodul Keterangan: CR=complete respons (remisi lengkap), PR=partial respons (remisi parsial), PD=persistent disease (penyakit menetap ?)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
REFERENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Bynd J.C, Stilgenbauer S, Flinn IW. Chronic lymphocytic leukemia. Hematology 2004: 163-83. Chiorazzi N, Kanti R, Ferrarini M. Chronic lymphocytic leukemia. N Eng J Med 2005;352(8):804-15. Chronic Lymphocytic Leukemia Trialist's Collaboration Group. Chemotherapeutic options in CLL : a meta-analysis of the randomized trials. Journal of National Cancer Institute 1999;91(10):861-8. Dyer Martin J.S.. Risk stratification in the treatment of chronic lymphocytic leukemia. Business briefing : North American Pharmacotherapy 2004;2: 1-4. Erlich RB, Ghayee HK, Noga SJ. Chronic lymphocytic leukemia: Will recent major advances lead t o cure ? Oncology 2004:12(12):41-9. Goldin LR, Ishibe N, Sgaenbati M et al. A genome scan of 18 families with CLL. British Journal of Hematology 2003;121:866-73
Guidelines on the diagnosis and management of CLL. British Journal of Hematology 2004; 125:294-3 17. Hyde C, Wake B, Bryan S et al. Fludarabine as second-line therapy for B-CLL : a technology assessment. Health Technology Assesment 2002;6(2). Kalil N, Cheson BD. Chronic lymphocytic leukemia. The oncologist 1994;4:352-69. London Cancer New Drug Group. APCDTC Briefing. Alemtuzumab for the treatment of relaps CLL. March 2004. Mavromatis BH, Cheson BD. Novel therapies for Chronic Lymphocytic Leukemia. Blood (Reviews) 2004: 18;137-48. Rai KR, Kalra J. Chronic lymphocytic leukemia. In : Brain C, Carbone PP. Current Therapy in Hematology-Oncology. Fifth edition. Mosby Co 1995.p.251-4. Recent advances of Clinical aspects and treatment of CLL.2004. Rozman C, Montserrat E. Chronic lymphocytic leukemia. N Eng J Med 1995;333(16):1052-57.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
MIELOMA MULTIPEL DAN PENYAKIT GAMOPATI LAIN Mediarty Syahrir
PENDAHULUAN Keganasan sel plasma dikenal sebagai neoplasma monoklonal yang berkembang dari lini sel B; terdiri dari nlieloma multipel (MM), makroglobulinemia Waldemstrom's, amiloidosis primer dan penyakit rantai berat. Neoplasma monoklonal dikenal dengan banyak nama antara lain adalah gamopatia monoklonal, paraproteinemia, diskrasia sel plasma dan disproteinemia. Penyakit ini biasanya disertai produksi imunoglobulin atau fragmen-fragmennya dengan satu penanda idiotipik, yang ditentukan oleh regio variabel identik dalam rantai ringan dan berat. Istilah paraprotein, protein monoklonal atu komponen M, menunjukkan adanya komponen yang elektroforetik homogen ini dalarn serum dan urin. Paraprotein dapat merupakan imunoglobulin lengkap, biasanya tipe IgG atau ZgA, jarang juga tipe IgD atau IgE. Dalam kira-kira 20% kasus oleh sel plasma neoplastik hanya diproduksi rantai ringan lambda atau kappa. Rantai ringan ini oleh ginjal cepat disekresi dan karena itu terutama dapat ditunjukkan dalam urin (Protein Bence Jones). Klasifikasi penyakit yang disertai adanya paraprotein dalam serum atau urin terdapat pada tabel 1. Penyebab terbanyak para protein serum adalah gamopatia monoklonal esensial: ditemukannya secara kebetulan para protein serum pada orang yang betapapun sehat . Gamopatia monoklonal esensial disebut juga gamopatia monoklonal benigna, MGUS (monoclonal gammopathy of undetermined signzjicance). Ekspansi tidak terkontrol atau maligna klon sel yang memproduksi para protein, seperti mieloma multipel, berakibat kenaikan konsentrasi paraprotein, terjadinya tumor-tumor limfoplasmaseluler, destruksi tulang, insufisiensi sumsum tulang dan lain-lain gejala penyakit.
Penyakit Mieloma multipel adalah keganasan sel B dari sel plasma neoplastik yang memproduksi protein immunoglobulin monoklonal. Walaupun masih kontroversial dikatakan bahwa semua kasus Mieloma multipel berkembang dari gammopatia monoklonal esensial atau MGUS. Prognosis sangat bergantung pada kadar serum b2-mikroglobulin dan C-reaktif protein, serta sel plasma labelling indeks.
Kejadian keganasan sel plasma mungkin merupakan suatu proses multi langkah. Faktor genetik mungkin berperan pada orang-orang yang rentan untuk terjadinya perubahan yang menghasilkan proliferasi sel plasma sebagai prekursor, membentuk klon yang stabil dari sel plasma yang memproduksi protein M seperti pada MGUS. Dalam sel mana terjadi transformasi maligna tepatnya terjadi belum jelas. Dapat ditunjukkan sel limfosit B yang agak dewasa yang termasuk klon sel maligna di darah dan sumsum tulang, yang dapat menjadi dewasa menjadi sel plasma. Terjadinya onkogen yang paling penting diduga berlangsung dalam sel pendahulu yang mulai dewasa ini atau bahkan mungkin dalam sel plasma sendiri. Suatu kelainan genetik yang spesifik belum teridentifikasi. Kromosom yang sering terlibat hanya kromosom 1,13(13q-) dan 14 (14q+) menimbulkan dugaan bahwa gen-gen yang terlokalisasipada kromosom ini telah terganggu regulasinya. Antara lain dijumpai kelainan dalam gen supresor Rb yang terletak pada 13 q dan cmyc-gen dan bcl- 1-gen, yang berhubungan dengan t(l1; 14). Perubahan-perubahan di dalam gen ras dan dalam gen supresor tumor p53 terutama dijumpai dalam stadium
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI lanjut pertumbuhan sel plasma maligna. Laporan-laporan terakhir menunjukkan bahwa pentingnya stimulasi autokrin dari klon ganas oleh IL-6 dan proses aktifasi onkogen dari berbagai stadium penyakit' ini. Pertumbuhan dan diferensiasi sel mieloma mungkin diregulasi oleh berbagai sitokin, dengan menggunakan sistem pengaturan autokrin dan parakrin. Terutama IL-6 ternyata merupakan faktor pertumbuhan penting dan sentral untuk sel mieloma in vitro dan in vivo. Konversi dari sel monoklonal stabil yang terkontrol menjadi tidak terkontrol, progresif menjadi tumor ganas MM memerlukan satu atau lebih perubahan tambahan. Predisposisi genetik, paparan radiasi, rangsangan antigenik yang kronis dan berbagai kondisi lingkungan dan pekerjaan mempengaruhi terjadinya MM ini walau hanya dalam persentasi yang kecil (Tabel 1).
Ras Afrika-Amerika Laki-laki Usia tua Monoclonal Gammopathy of Undetermined Significance (MGUS) Rangsangan imun kronik Paparan radiasi Paparan dari pekerjaan yang berhubungan dengan pestisida, industri cat, metal, kayu, kulit, tekstil, asbestos, bensin dan pelarut Predisposisi qenetik
Mieloma multipel ditandai oleh lesi litik tulang, penimbunan sel plasma dalam sumsum tulang, dan adanya protein monoklonal dalam serum dan urin. Manifestasi klinis dari MM heterogen oleh karena adanya masa tumor, produksi immunoglobulin monoklonal, penurunan sekresi immunoglobulin oleh sel plasma normal yang mengakibatkan terjadinya hipogammaglobulinemia, gangguan hematopoisis dan penyakit osteolitik pada tulang, hiperkalsemia dan d i s h g s i ginjal. Simptom terjadi akibat dari tekanan masa tumor, pelepasan sitokin secara langsung dari tumor atau secara tidak langsung dari sel host (stroma sumsum tulang dan sel-sel tulang) sebagai respon pada adesi sel-sel tumor, dan terakhir oleh karena penyakit-penyakit akibat depososisi protein MM (AL Amiloidosis dan penyakit rantai berat) atau oleh karena kelainan autoimun (Contoh : koagulopati). Epidemiologi Mieloma Multipel Mieloma multipel merupakan 1% dari semua keganasan dan 10% dari tumor hematologik. MM merupakan keganasan hematologi tersering yang kedua di Amerika Serikat. Umur median penderita rata-rata 65 tahun, meskipun kadang-kadang MM terjadi pada umur dekade
ke dua. Penyakit ini menyebabkan kematian rata-rata 12.000 orang pertahun di Amerika Serikat. Di Inggris terdapat angka kematian tahunan rata - rata 9 orang perjuta penduduk. Kejadian MM dua pertiga lebih tinggi pada laki-laki orang kulit hitam dibandingkan dengan wanita, dengan kejadian yang lebih tinggi secara signifikan pada laki-laki pada setiap populasi di Amerika Serikat. Di Poli Hematologi Bagian Penyakit Dalam RSCM Jakarta rata-rata berumur 52 tahun, berkisar dari 15 tahun sampai usia 72 tahun, laki-laki lebih sering dari pada wanita.A Patofisiologi Mieloma Multipel Perkembangan sel plasma maligna mungkin merupakan suatu proses multi langkah, diawali dengan adanya serial perubahan gen yang mengakibatkan penumpukan sel plasma maligna, adanya perkembangan perubahan di lingkungan mikro sumsum tulang, dan adanya kegagalan sistem imun untuk mengontrol penyakit. Dalam proses multi langkah ini melibatkan di dalamnya aktivasi onkogen seluler, hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor, dan gangguan regulasi gen sitokin. Keluhan dan gejala pada pasien MM berhubungan dengan ukuran masa tumor, kinetik pertumbuhan sel plasma dan efek fisikokimia, imunologik dan humoral produk yang dibuat dan disekresi oleh sel plasma ini, seperti antara lain para protein dan faktor pengaktivasi osteoklastik (osteoclastic activating factor/OAF). Pada waktu timbul gejala klinik jumlah total sel plasma ditaksir . loll atau 1012. Paraprotein dalam sirkulasi dapat memberi berbagai komplikasi, seperti hipervolemia, hiperviskositas, diatesis hemoragik dan krioglobulinemia. Karena pengendapan rantai ringan, dalam bentuk amiloid atau sejenis, dapat terjadi terutama gangguan fungsi ginjal dan jantung. Faktor pengaktif osteoklast (OAF) seperti IL1-P, limfotoksin dan tumor necrosis factor (TNF) bertanggung jawab atas osteolisis dan osteoporosis yang demikian khas untuk penyakit ini. Karena kelainan tersebut pada penyakit ini dapat terjadi fraktur (mikro) yang menyebabkan nyeri tulang, hiperkalsemia dan hiperkalsiuria. Konsentrasi imunoglobulin normal dalam serum yang sering sangat menurun dan fungsi sumsum tulang yang menurun dan netropenia yang kadang-kadang ada menyebabkan kenaikan kerentanan terhadap infeksi. Gagal ginjal pada MM disebabkan oleh karena hiperkalsemia, adanya deposit mieloid pada glomerulus, hiperurisemia, infeksi yang rekuren, infiltrasi sel plasma pada ginjal, dan kerusakan tubulus ginjal oleh karena infiltrasi rantai berat yang berlebihan: Sedangkamanemia disebabkan oleh karena tumor menyebabkan penggantian sumsum tulang dan inhibisi secara langsung terhadap proses hematopoisis, perubahan megaloblastik akan menurunkan produksi vitamin B 12 dan asam folat.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
MIELOMA MULTIPEL DAN PENYAKIT GAMOPATI LAlN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Gambaran Klinis Mieloma Multipel MM hams difikirkan pada pasien di atas 40 tahun dengan anemia yang sulit diketahui penyebabnya, disfungsi ginjal atau adanya lesi tulang (hanya < 2% penderita MM berusia < 40 tahun. Penderita MM biasanya dengan gejala anemia, nyeri tulang, fraktur patologik, tendensi perdarahan, dan atau neuropati perifer. Kelainan ini akibat dari tekanan masa tumor atau sekresi protein atau sitokin oleh sel tumor, atau sel-sel dari produk tumor. Pada pemeriksaan fisik biasanya tidak ditemukan kelainan spesifik. Kadang-kadang terdapat nyeri lokal bagian-bagian tulang. Panjang tobuh pederita MM yang lanjut dapat banyak menurun karena infraksi vertebra. (i) Nyeri : terutama nyeri tulang tulang karena fraktur kompresi pada tempat osteopenia atau karena lesi litik tulang, biasanya tulang punggung. Keadaan ini disebabkan oleh aktifitas yang berlebihan dari faktor pengaktif osteoklast (OAF) seperti IL-1 P, TNF-P dan atau LI-6. Faktor-faktor inijuga menghambat aktivitas osteoblastik kompensatori. Nyeri lokal dapat juga di'sebabkan oleh tekanan tumor pada medulla spinalis dan saraf-saraf yang keluar dari medulla spinalis. Gejala anemia : letargi, kelemahan, dispnea, pucat, (ii) takhikardia, dst. (iii) Infeksi berulang : ini berkaitan dengan kekurangan produksi antibodi, dan pada penyakit lanjut, karena netropenia (iv) Nefropati : Fungsi ginjal terganggu bila kapasitas absorpsi dari rantai berat haus (lelah) yang akan menyebabkan nefritis interstisiil dengan rantai berat.. Penyebab kedua nefropati adalah hiperkalsemia dengan hiperkalsiuria, yang menyebabkan prerenal azotemia. Hiperkalsemia dapat menyebabkan penimbunan di tubulus renal, yang juga menyebabkan nefritis interstisiil. Penyebab lain gaga1 ginjal pada MM adalah seringnya menggunakan antiinflamasi nonsteroid untuk mengatasi nyeri pada MM (v) Kecenderungan perdarahan abnormal : protein mieloma mengganggu fungsi trombosit dan faktor pembekuan :trombositopenia terdapat pada penyakit lanjut. (vi) Kadang - kadang terdapat makroglossia, "carpal turnel syndrome" dan diare yang disebabkan penyakit amiloid. (vii) "Sindroma hiperviskositas" terjadi pada kurang lebih 10% pasien MM di mana viskositas plasma sudah 4 kali viskositas plasma normal yang menyebabkan kelainan pada sirkulasi sehingga mengakibatkan disfungsi organ serebral, paru, ginjal, mata dan organ-organ lain, biasanya berupa trombosis dengan purpura, perdarahan, kelainan penglihatan, gejala SSP dan neuropati, dan payah jantung. Ini diakibatkan polimerisasi imunoglobin abnormal dan agak khusus terjadi bila ini IgA, IgM atau IgD.
(viii) Neuropati : umumnya disebabkan oleh kompresi pada medulla spinalais atau saraf kepala. Polineuropati dapat terjadi oleh karena adanya endapan amiloid pada perineuronal atau perivaskuler (vasa nervorum), tetapi dapat juga karena osteosklerotik myeloma. Kadang-kadang merupakan bagian dari sindrom POEM {polineuropati, organomegali, endokrinopati, monoklonal gammopati dan perubahan kulit} Diagnosis Mieloma Multipel Diagnosis MM ditegakkan mulai dari trias diagnostik klasik ( sel plasma, biasanya > 10% + M protein + lesi litik). Pada 98% pasien protein monoklonal ditemukan dalam serum atau urin atau keduanya. Para protein serum adalah IgM pada dua-pertiga, IgA pada satu pertiga, dengan jarang IgM atau IgD atau kasus campuran. Sebab - sebab paraprotein serum lain dimuat pada Tabel 2. Pada kasus yang ragu - rdgu, penyelidikan "follow up" akan menunjukkan kenaikan progresif dalam konsentrasi paraprotein pada mieloma yang tidak diobati. Imunoglobin serum normal (IgG, IgA, dan IgM) ditekan. Urin mengandung protein Bence-Jones pada dua pertiga kasus. Ini terdiri atas rantai ringan bebas, baik kappa atau lambda, dari jenis yang sama dengan paraprotein serum. Akan tetapi, pada 15% kasus proteinuria Bence-Jones ada tanpa paraprotein serum.
-
Gammopati monoclonal benigna Mieloma multipel Makroglobulinemia Limfoma malignum atau leukemia limfositik kronis Penyakit haemaglutinin dingin kronis Jarang dengan karsinoma
Sumsum tulang memperlihatkan sel plasma meningkat (> 10% dan biasanya lebih dari 30%), sering dengan bentuk
abnormal - "sel mieloma". Pengujian imunologis menunjukkan sel - sel ini bersifat monoklonal serum. Penelitian tulang rangka (skeletal survey) memperlihatkan daerah osteolisis atau penipisan tulang merata (generalized bone rarefaction) (20%). Fraktur patologis biasa terjadi. Tanpa lesi ditemukan pada 20% pasien. Biasanya paling sedikit dua atau tiga sifat diagnostik yang tersebut diatas ditemukan, seperti pada Tabel 3. Laboratorium Mieloma Multipel (i) Biasanya ada anemia normokrom normositik atau makrositik. Pembentukan "rouleaux" menonjol pada sebagian besar kasus (gambar 4). Neutropenia dan trombositopenia ditemukan pada penyakit lanjut. Sel plasma abnormal narnpak dalam filem darah pada 15%
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI a. Serum protein electrophoresis
I b. Lesi multipel Iitii pada tengkorak I
Gambar 1. Serum protein elektroforese (a) dan l e s ~multipel litik (punch out) pada tengkorak pada Multipel Mieloma (b)
I Tabel 3. Kriteria Diagnostik Kelainan Sel Plasma M~eloma Mult~pel(MM)
Monoclonal gammopathy of unndetermrned srgnlficance (MGUS)
Kriteria Mayor : I Plasmas~tomapada blopsl janngan II Sel Plasma sumsum tulang >30% Ill M proteln lgG > 35g/dl, IgA >20g/dl, kappa atau lambda ranta~ rlngan pada elektroforese unn Kriteria Minor A Sel Plasma sumsum tulang 10% 30% B. M proteln pada serum dan urln (kadar leb~hkeal dan Ill) C Les~Ilt~kpada tulang D Normal res~duallgG < 500mglL, IgA c IgIL, atau IgG <6glL Diagnosis MM bila terdapat kriteria 1 mayor dan 1 minor atau 3 kriteria minor yang harus meliputi kriteria A + 6 . Kombinasi I dan A bukan merupakan diagnosis MM. Sel Plasma sumsum tulang ~ 5 % Paslen aslmtomatlk M Protein <3gldl Rontgen tulang normal Hb dan kals~umnormal Proteln Bence-Jones negat~f p2-m1kroglobullns3mglL Kreatinin serum normal
Mleloma lndolen
T~dakada s~mtomatau gejala penyak~t T~dakada lnfeks~rekuren Serum igG c7gld1, atau IgA <5gldl T~dakada les~tulang atau < 3 les~lttrk Status Karnofsky > 70% Hb > 10 rngldl Kreatlnln serum c 2,O mgidl Labelling Index < I %
Smolderrng M~eloma
Sepert~pada m~eloma~ndoien+ Sel plasma sumsum tulang 10-30% T~dakada les~tulang
pasien. Perubahan leuko-eritroblastik kadang-kadang terlihat. (ii) Laju endapan eritrosit1LED tinggi (iii) Peninggian kalsium serum terjadi pada 45% pasien.
(iv)
(v) (vi) (vii)
(viii)
Terdapat fosfatase lindi serum normal (kecuali setelah fraktur patologis). Urea darah meninggi di atas 14 mmol/L dan kreatinin serum meninggi pada 20% kasus. Deposit berprotein dari proteinuria Bence-Jones. hiperkalsemia, asam urat, amiloid dan pielonefritis semuanya dapat ikut memperberat payah ginjal. Albumin serum rendah ditemukan pada peny akit lanjut. CRP niempakan petanda adanya IL-6 yaitu faktor pertumbuhan dari mieloma niultipel. P-2 mikroglobulin merupakan itidikator prognostik yang akan meningkat pada stadium lanjut dari mielo~na multipel. Pada darah perifer ditemukan penurunan CD4 ( T helper limfosit) dan peningkatan CD8 (T supresor limfosit).
Faktor Prognostik Mieloma Multipel Banyak faktor prognostik klinik berkorelasi kuat dengan masa sel mieloma, yang dapat ditaksir berdasarkan atas banyaknya paraprotein total yang diproduksi pada pasien selama 24 jam, dibagi oleh banyaknya paraprotein yang diproduksi per sel dala~nkurun waktu yang sama. Faktor prognostik yang berpengaruh dalam perkembangan M M adalah : kadar hemoglobin, kalsium, kreatinin serum, P,mikroglobulin, albumin, delesi kromosorn 13 atau 1 f q dengan pemeriksaan FISH (tluoroscence in situ hybridization), translokasi t(4; 14) dan delesi p53 pada sitogenetik sunisum tulang, CRP, sel plasma labeling indeks dan IL,-6 serum. Cara penetapan stadium klinik dari Durie dan Salmon dikorelasi dengan masa tumor yang ditaksir (Tabel 4) Ketahanan hidup rata-rata pendcrita MM bervariasi, tergantung pada stadium penyakit, dari 4 sampaj kira-kira
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
MIELOMA MULTlPEL DAN PENYAKIT GAMOPATI LAIN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Faktor
Stadium I (massa tumor rendah: <0,6 x 10" sel mieloma per m2) Hb >6,2 mmol / I Kalsium serum normal: c 2,6 mmol II Kerangka normal atau paling banyak 1 sarang tulang soliter Kadar paraprotein relatif rendah: IgG <50 grll IgA <30 grll sekresi Bence-Jones <4 g124 jam Stadium II (rnassa tumor intermediet : 0,6 "C 1,2 x 10" sel mieloma per m2) kriteria tidak termasuk stadium I dan Ill Stadium Ill (massa tumor tinggi : > I ,2 x loq2sel Mieioma per m2): Hb <5,3 mmol II Kalsium serum >2,6 mmol II Kelainan kerangka luas Kadar paraprotein relatif tinggi : IgG >70 g/i IgA >50 gll sekresi Bence-Jones 12 gll
Ketahanan Hidup Rata-rata 6 Y 46 bulan
XY 32 bulan
X Y 23 bulan
Stadium-stadium ini, tergantung faal ginjal, masih dibagi lagi ke dalam A dan 0: A = kreatinin serum 4 8 0 mol 1 I B = kreatinin serum 2180 mol Ii
45 bulan. Juga kadar P,-mikroglobulin menunjukkankorelasi yang jelas dengan masa tumor yang ditaksir (Tabel 5)
Ketahanan Hidup Rata-rata P2-Mdan CRP < 6,O rng/l P2-Matau CRP > 6,O rngll P2-Mdan CRP > 6,O mgll
54 bulan 27 bulan 6 bulan
Pengobatan Mieloma Multipel Sebaiknya penderita diberi keterangan mengenai penyakitnya dan terutama ditekankan bahwa penyakitnya dapat dikontrol dengan baik, walaupun tidak dapat disembuhkan. Meskipun sel mieloma responsif dengan radioterapi dan kemoterapi, kondisi respon lengkap tidak dapat bertahan lama. Kemoterapi barn harus diberikan jika jelas ada progresi penyakit, jadi kebanyakan pada fase simtomatik penyakit, tetapi yang efektif mengurangi keluhan dan memperpanjang ketahanan hidup. Obat pengalkil seperti melphalan dan siklofosfamid dalam ha1 ini ternyata paling efektif. Kemoterapi dengan melphalan dan prednison (MP) menunjukkan angka respon yang tinggi 50% - 60%. Tetapi percobaan acak prospektif dari MP dan kombinasi berbagai macam kemoterapi gaga1 membuktikan bahwa kombinasi kemoterapi meningkatkan ketahanan hidup.
Klinis Umur Status kebugaran Laboratorium Rutin Beta2 mikrolobulin Serum albumin Serum creatinin LDH CRP Hemoglobin Trornbosit Pemeriksaan Khusus Labeling indeks Sel plasma Morfologi sel plasma Sitogenetik surnsum tulang: - sitogenetik standar - FISH analisis kromosorn 13 - Microarray techniques Whole body FDGIPET Scan
Proanosis Muda - lebih baik Rendah - buruk Tinggi - buruk Rendah - buruk Meningkat - buruk Meningkat - buruk Meningkat - buruk Rendah - buruk Rendah - buruk
-
Tinggi buruk Plasrnablastik - buruk Bila : - Hipodiploidildelesi 13 - buruk - Delesi 13 buruk - Differential patterns Extramedullary buruk
-
-
Meskipun MM merupakan penyakit yang "incurable", pengobatan biasanya dimulai pada saat simptom penyakit muncul. Sekarang, terutama pada pasien yang muda, lamanya."disease-free remission" lebih besar dari lima tahun dapat dicapai dengan menggunakan pendekatan terapi sebagai berikut : Kemoterapi dosis tinggi dikombinasi dengan transplantasi stem sel perifer autologus Agen biologik spesifik termasuk talidomit yang diberikan dalam bentuk kombinasi dengan deksametason dosis tinggi dan atau inhibitor proteosom (bortezomibNelcade) Kemoterapi konvensional (contoh : vincristine, doksorubisin dan deksametason; melphalan dan prednison) Beberapa penelitian terapi pemeliharaan dengan interferon dikonfinnasikan tidak ada manfaatnya; sedang penelitian terapi pemeliharaan dehgan steroid atau interferon-alfa rekombinan memperpanjang respon terapi konvensional. Pada stadium I : terapi tidak dilakukan, karena tidak ada bukti klinis yang menunjukkan bahwa terapi pada stadium asimptomatik akan memperpanjang survival Pada stadium Lanjut (I1 atau lanjut ) : Terapi pada MM bersifat individual tergantung pada faktor komorbiditas, status kebugaran, resiko dan prognosis Pasien bukan kandidat transplantasi, umur > 65 tahun diberikan terapi dengan regimen1 agen konvensional Yang termasuk terapi konvensional primer yaitu melphalan/prednison (MP), Vinkristin/doxorubicin/ dexametason (VAD), Dexametason, talidomit/dexametason (data masih kurang). Terapi pemeliharaan dengan steroid
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
dan interferon, sedang terapi "salvage" dengan mengulangi terapi konvensional primer (jika kambuh lebih dari 6 bulan), siklfosfamid - VAD, etoposide/dexametason/ sitarabin,sisplatin (EDAP), siklofosfamid dosis tinggi, talidomit dan bortezomib. Kortikosteroid yang memblokade aktivasi osteoklas dengan regresi tumor langsung menimbulkan penurunan kadar paraprotein. Kombinasikombinasi obat yang biasa dipakai tersimpul dalam tabel 6. Kandidat transplantasi adalah pasien usia < 65 th dengan kondisi klinis baik, dimana regimen kemoterapi yang digunakan untuk pre transplantasi adalah regimen VAD. Meskipun tidak kuratif transplantasi stem sel autologus (ASCT) meningkatkan response rate dan memperpanjang median overall survival rate menjadi 12 bulan. Angka mortalitas sebesar 1-2%. Tidak ada perbedaan survival antara ASCT yang dilakukan segera setelah 4 siklus kemoterapi induksi dan ASCT setelah pasien relaps setelah kemoterapi pretransplantasi. Terapi primer pada plasmasitoma soliter dengan radiasi (45Gy atau lebih) pada palsmasitomanya dan dapat bersifat kuratif. Sedang indolent (smoldering) mieloma tidak memerlukan terapi primer karena kondisi ini dapat baik sampai beberapa sampai terjadi progresivitas penyakit. Terapi mieloma multipel relaps atau refrakter : Regimen yang sudah dipakai dapat digunakan untuk mencapai remisi kedua. VAD digunakan pada kasus yang relaps dengan agen alkil atau relaps pada saat terapi. Talidomit dosis tunggal atau dengan dexamethasone dosis tinggi atau bortezomib. Progresi penyakit dapat tampak dari kenaikan yang hebat kadar paraprotein, nyeri yang bertambah, dan bertambahnya lesi litik tulang pada foto rontgen. Jika progresi terjadi selama terapi dengan MP maka dpat digunakan kombinasi obat yang lain. Dalam usaha meningkatkan waktu remisi dan ketahanan hidup penderita MM pada tahun-tahun terakhir ini dipertimbangkan penanganan terapi mieloablatif (dosis tinggi kemoterapi dan radioterapi tubuh total) dilanjutkan dengan transplantasi sumsum tulang autologus (sel induk perifer) atau alogenik (transplantasi sumsum tulang) pada penderita yang relatif masih muda. Terapi terbaru (Novel Therapy) dari MM saat ini adalah: 1. Talidomit Regimen standar yang dipakai saat ini adalah Thalidomide-Dexamethasone: Thalidomide 200 mg diberikan selama 4 minggu Dexamethasone diberikan 40 mglm2 peroral, hari 14; hari 9-12; hari ke 17-20. Thalidomide - Dexamethasone memberikan respons yang lebih baik dari dexamethasone saja (63% vs 41%;p=0.02) Thalidomide - Dexamethasone ini diulang tiap 4 minggu
Efek samping berupa trombosis vena dalam (DVT), rash, neuropati, dan bradikardi. 2. Analog talidomit :Revimid,Actimid Regimen analog talidomit RevDex : Linalidomide diberikan 25 mghari po hari 1-21 Dexamethason diberikan 40 mghari po hari 1-4; 912, hari ke 17-20 Revldex diulang tiap 28 hari MM baru terdiagnosis mencapai respons obyektif sebesar 9 1% dengan Revldex Efek samping : rasa lelah 15%; kelemahan otot 6%, pneumonitis 6%, rash 6%, dan anxietas 6%. 3. Bortezomib (Velcade, sebelumnya PS-341) Kombinasi bortezomib plus dexamethason; atau Bortezomib plus doxorubicin; dexamethasone dan regimen basis bortezomib lainnya yang memberikan respon klinik sebesar 70-90 %. Bortezomib plus dexamethasone memberikan respons yang lebih tinggi dibandingkan regimen VAD Bortezomib diberikan 1.3 mglm2 iv hari ke 1,4,8,11di ulang tiap 2 1 hari Dexamethasone 20 mg sehari sebelum dan pada hari terapi bortezomib diberikan. Terapi diberikan selama maksimum 8 siklus. *. Efek sarnping : trombositopenia 30%, neutropenia 14%, anemia l o % , oeuropati 8% dan hipotensi. 4. Arsenic Trioxide (ATOITrisenox) Arsenic Troxide menghambat tumor angiogenesis sehingga akan menginduksi apoptosis dari lini selsel maligna hematopoitik, termasuk mielomamultipel. 5. Genasense BCI-2 antibody
.
Pengobatan supo;tif
MM
Pembrantasan nyeri yang baik, terapi efektif infeksi dan kebijaksanaan transfusi yang baik merupakan prinsip penting dalam terapi suportif penderita MM. Untuk mengatasi nyeri di samping anlgetika kadang-kadang diperlukan tindakan ortopedik, dan sering juga radioterapi lokal. Perlu dipertimbangkan bahwa pada nyeri persisten punggung tanpa tanda osteolisis lokal dipikirkan kemungkinan kompresi oleh plasmasitoma ekstradural. Dalam ha1 ini diperlukan diagnostik cepat dengan CT-scan atau MRI. Sehingga terapi cepat dengan radiasi lokal dapat dilakukan. Pada sindroma hiperviskositas perlu dilakukan plasmaferesis, pada hiperkalsemianya diperlukan tindakan untuk diuresis yang banyak, diuretika, prednison atau bifosfonat. Radioterapi diperlukan untuk penderitapenderita dengan fraktur patologik (iminens), lesi osteolitik yang besar dalam tulang pipa yang panjang, plasmasitoma di luar tulang dan pada jejas melintang sebagai akibat kompresi medulla spinalis.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1289
MIELOMA MULTIPEL DAN PENYAKIT GAMOPATI LAIN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI MP CP COP
VMCP
VCAP
VBAP
VAD
Melfalan 8 mglm2 Prednisone 60 mglm2 Siklofosfamid 300 mqlm2 Prednisone 60 mglm Siklofosfamid 300 mglm2 Vinkristin 1,O mg/m2 Prednisone 60 mglm2 Vinkristin 1,O mg/m2 Melfalan 6 rng/m2 Siklofosfamid 125 mym2 Prednisone 60 mglm Vinkristin 1,O mglm2 Siklofosfamid 400 mqlm2 Prednisone 60 mglm Vinkristin 1,O mglm2 BCNU (carmustine) 30 mg/m2 Doksorubisin 30 mglm2 Prednisone 60 mg/m2 Vinkristin 4,O mglhari kontinu Adriamisin 8 mg/m2/harikontinu Deksametason 40 mg Pada tiap siklus ganjil juga Dosis tinggi kortikosteroid : Deksametason 40 mg
Pengobatan Keadaan Darurat MM (i) Uremia: rehidrasi, obati sebab yang mendasari (misalnya hiperkalsemia, hiperurisemia). Hemodialisis dipertimbangkan pada beberapa pasien. (i) Hiperkalsemia akut: hidrasi, prednisolon, fosfat (intravena atau oral). Mithramycin atau kalsitonin dapat juga bermanfaat. Paraplegia kompresi: laminektomi dekompresi, irradiasi, kemoterapi. Lesi tunggal tulang yang nyeri : kemoterapi atau irradiasi Anemia berat: transfusi 'packed red cells". Perdarahan karena interferensi paraprotein terhadap koagulasi, dan sindroma hiperviskositas dapat diobati dengan plasmaferesis berulang. Zat pengalkil mengurangi nyeri, mengurangi proliferasi sel plasma dalam sumsum tulang dan dengan demikian menurunkan kadar paraprotein serum. Pada saat sel plasma "dibunuh", fungsi sumsum tulang normal membaik. Melphalan diberikan setiap hari selama 4 - 7 hari setiap 6 9 minggu. Allopurinol juga diberikan untuk mencegah nefropati urat. Karena tak dapat dihindari resistensi yang berkembang terhadap terapi zat pengalkil, pengobatan pasien tanpa gejala dengan penyakit dini tidak dianjurkan. Penilaian klinis dan laboratorium teratur hams dilakukan pada perjalanan penyakit. Pengobatan dapat ditunda sampai berkembangnya tanda atau gejala kegagalan sumsum tulang, sampai terdapat kenaikan urea darah atau protein
Hari ke 1 sld ke 4 Hari ke 1 sld ke 4 Hari ke 1 sld ke 4 Hari ke sld ke 4 Hari ke 1 sld ke 4 Hari ke 1 Hari ke 1 sld ke 4 Hari ke 1 Hari ke s/d ke 4 Hari ke 1 sld ke 4 Hari ke 1 sld ke 4 Hari ke 1 Hari ke 1 Hari ke 1 sld ke 4 Hari ke 1 Hari ke 1 Hari ke 1 Hari ke sld ke 4 Selama 4 hari Selama 4 hari Hari ke 1 sld ke 4 Hari ke 9 sld ke 12 Hari ke 17 sld ke 20 Hari ke 1 sld ke 4 Hari ke 9 sld ke 12 Hari ke. 17 sld ke 20
Bence Jones muncul dalam urin, atau sampai lesi tulang luas atau menyebabkan gejala.
PLASMASlTOMA SOLITER Plasmasitoma soliter dari tulang atau jaringan lunak berbeda dengan MM terutama oleh prognostiknya yang lebih baik. Jika tidak didapatkan kenaikan sel plasma monoklonal di tempat lain di dalam tubuh, tidak ditemukan adanya lesi tulang lain dan kadar imunoglobulin normal, maka radioterapi lokal dapat mencukupi. Sesudah radioterapi maka kadar paraprotein akan menurun. Pada kira-kira 60% kasus, terjadi MM generalisata pada penderita dengan plasmasitoma soliter tulang, biasanya dalam 3 tahun setelah diagnosis. Plasmasitoma soliter jaringan lunak lebih sering dapat diterapi kuratif dengan pembedahan ataupun radioterapi dan dengan ini mempunyai prognosis lebih baik dari pada plasmasitoma soliter tulang.
PENYAKITWALDESTROM(MAKROGLOBUUNEMIA) Penyakit Waldenstrom adalah penyakit indolent limfoproliferatif dengan produksi IgM monoklonal. Penyakit ini jarang ditemukan, sering ditemukan pada laki - laki umur pertengahan dan lebih tua, Umur rata-rata penderita dengan penyakit Waldenstrom pada waktu
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI diagnosis kira-kira 60 tahun. Gejala klinis bersifat sebagai limfoma yang berkembang lambat. Ada proliferasi sel yang menghasilkan paraprotein IgM monoklonal dan mempunyai beberapa persamaan dengan limfosit maupun sel plasma di sumsum t ~ l a n g Pada . ~ ~perjalanan ~ ~ klinisnya ditemukan seluler karakteristik berua adanya CD5-, CD10-, dan CD 20-, dan respon terapi dengan fludarabin yang sama dengan leukemia limfositik kronik Istilah makroglobulinemia Waldenstrom sering dibatasi pada kasus - kasus dimana gambaran klinis dominan adalah akibat makroglobulinemia dan infiltrat selular difhs. Kasus - kasus dengan massa tumor yang dominan (menonjol) sering dinamakan sebagai "limfoma malignum dengan makroglobulinemia". Pada kedua kasus, sel - sel ganasnya adalah populasi sel B monoklonal.
Gambaran Klinis Penyakit Waldestrom (i) Permulaan penyakit biasanya perlahan - lahan, penderita mudah letih dan kehilangan berat badan. (ii) Sindroma Hiperviskositas dapat mengakibatkan gangguan penglihatan, letargi, kebingungan, kelemahan otot, gejala sistem saraf, dan payah jantung bendungan. Paraprotein IgM menambah kekentalan darah lebih daripada konsentrasi ekuivalen IgG atau IgA dan peningkatan kecil diatas 30 g L dalarn konsentrasi mengakibatkan peningkatan besar dalam viskositas. Retina dapat memperlihatkan berbagaijenis perubahan; bendungan vena, perdarahan, eksudat dan diskus kabur (blurred disc). Jika mikroglobulin adalah adalah krioglobulin, gejala kriopresipitasi, misalnya fenomena Raynaud, dapat terjadi. Kelainan ginjal, lesi tulang atau hiperkalsemia seperti pada mieloma tidak didapatkan atau jarang terjadi pada penyakit Waldenstrom (iii) Kecenderungan perdarahan dapat diakibatkan dari interferensi makroglobulin dengan faktor pembekuan dan fungsi trombosit. Bisa ditemukan perdarahan retina. (iv) Anemia normokrom normositer yang disebabkan pengenceran darah (hemodilusi), berkurangnya umur sel darah merah, kehilangan darah, dan kegagalan sumsum tulang pada penyakit lanjut. Formasi rouleux dan tes Coombs positif lebih sering ditemukan dari pada mieloma. (v) Limfadenopati sedang dan pembesaran hati dan limpa sering terlihat. (vi) Hepatosplenomegali (vii) Terdapat infeksi yang berulang Diagnosis Penyakit Waldestrom (i) IgM monoklonal serum biasanya lebih besar dari pada 15 g/L. (ii) Sumsum tulang memperlihatkan infiltrasi pleomorfiik oleh limfosit kecil, sel plasma, bentuk "plasmasitoid",
sel imfoid muda, "mast cells" dan histiosit. Biopsi trefin dapat memperlihatkan penyakit yang lebih nodular, yang berarti prognosis lebih baik dari pada infiltrasi difus. (iii) Laju endap eritrosit /LED tinggi. (iv) Sering limfositosis darah tepi dengan sebagian limfosit plasmasitoid. (v) Histologi limfonodus memperlihatkan arsitektur sinus yang terlindung, kehilangan pola folikular dengan infiltrasi selular yang serupa dengan yang ditemukan dalam sumsum tulang .
Pengobatan Penyakit Waldestrom (i) Sindroma hiperviskositas akut : plasmaferesis berulang. Karena IgM terutama intravaskular, ini lebih efektif dari pada dengan paraprotein IgG atau IgA ketika banyak dari protein ini ekstravaskular dan dengan begitu mengisi kembali kompartemen plasma. (ii) Terapi penunjang ; transfusi untuk anemia, antibiotika untuk infeksi, dst. (iii)Zat pengalkilasi oral (klorambusil, siklofosfamid atau melfalan), sendiri atau dalam kombinasi dengan prednison adalah obat yang paling banyak digunakan; ini mengurangi infiltrasi sumsum tulang dan merendahkan konsentrasi IgM serum. Fludarabine (25 mg/m2 perhari selama 5 hari setiap 4 minggu) atau cladribine (0,l mglkg perhari selama 7 hari setiap 4 minggu) merupakan kemoterapi tunggal yang sangat efektif. Prognosis Penyakit Waldestrom Perjalanan penyakit sangat bervariasi, tetapi kebanyakan progresif lambat. 80% pasien yang berespon dengan kemoterapi, median survivalnya di atas 3 tahun. Ada kasuskasus yang penyakitnya berakhir sebagai limfoma imunoblastik, leukemia mieloblastik akut dan leukemia mieloid kronik.
SINDROMA POEM Sindroma ini terdiri dari polineuropati, organomegali, endokrinopati, mieloma multipel dan kelainan kulit (Skin changes). Pasien biasanya dengan progresif polineuropati sensorimotor yang berat yang dihubungkan dengan lesilesi tulang sklerotik dari mieloma. Tidak seperti pada mieloma hepatomegali dan limfadenopati terjadi pada dua pertiga kasus, dan splenomegali pada sepertiga kasus. Limfadenopatiterjadi karena produksi IL-6 yang berlebihan. Manifestasi endokrin berupa amenore pada wanita dan impotensi serta ginekomasti pada pria. Hiperprolaktinemia disebabkan oleh karena hilangnya kontrol inhibisi yang normal dari hipotalamus. DM tipe 2 terjadi pada sepertiga kasus. Hipotiroidisme dan insuffisiensi adrenal dapat pula
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
MlELOMA MULTIPEL DAN PENYAKIT GAMOPATI LAIN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI terjadi. Kelainan kulit dapat berupa : hiperpigmentasi, hipertrikhosis, penebalan kulit dan jari tabuh. Manifestasi klinis lain dapat berupa : edema perifer, asites, e h s i pleura, demam dan trombositosis. Patogenesis dari sindroma ini sampai sekarang belum diketahui, tetapi ditemukan kadar sitokin inflamasi IL-1, IL-6, VEGF dan TNF yang tinggi dan rendahnya sitokin inhibitor TGF-P di sirkulasi. Pengobatan terhadap mieloma akan memperbaiki semua manifestasi klinik ini.
PENYAKIT RANTAI-BERAT Penyakit rantai berat adalah keganasan limfoplasmasitik yang jarang ditemukan, ditandai oleh proliferasi sel limfoplasmositik yang mensintesis dan mensekresi rantai berat imunoglobulin yang cacat biasanya berupa fragmen Fc yang utuh dsn delesi pada regio Fd.. Empat dari lima rantai berat yang mungkin disebutkan pada kelainan ini, yaitu rantai berat gamma (g), alfa (a), dan mu (m), tetapi tidak ada laporan mengenai rantai berat delta (d) atau epsilon. Penyakit rantai berat gamma (g) terutama terdapat pada orang tua. Gejala klinis pada penyakit ini berupa kelelahan, febris, anemia, limfadenopati, hepatomegali atau splenomegali. Eritema dan edema palatum dapat terjadi karena keterlibatan jaringan limfatik rantai Waldeyer. Sumsurn tulang dapat normal atau menunjukkan kenaikan sel limfoplasmasitik. Terapi kuratif tidak mungkin, terapi biasanya dengan siklofosfamid, vinkristin dan prednison. Perjalanan penyakit sangat bervariasi. Penyakit rantai berat alfa (a) berbeda dengan penyakit sel lasma lain, terutama terdapat pada penderita muda dan menampakkan diri hampir selalu sebagai suatu penyakit usus, jarang sebagai kelainan di paru,. Manifestasi klinis penderita berupa diare, malabsorbsi, terhentinya pertumbuhan dan nyeri perut. Yang karakteristik adalah infiltrasi limfoplasmasitik d i h s yang luas dari mukosa usus dan kelenjar mesenterial. Ada hubungan epidemiologik dengan infeksi usus oleh parasit, bakteri dan virus. Terapi antimikrobial dapat memberi remisi. Penderita yang tidak bereaksi dengan terapi antimikrobial, dapat diberi zat pengalkil atau kombinasi vinkristin, doksorubisin, siklofosfamid dan prednison, dapat mencapai remisi jangka panjang.
GAMMOPATI MONOKLONAL BENIGNA (BENIGN MONOCLONAL GAMMOPATHY) Paraprotein dapat ditemukan dalam serum, khususnya pada orang lebih tua tanpa bukti pasti mieloma, makroglobulinemia atau limfoma. Tidak terdapat lesi tulang, biasanya tanpa proteinuria Bence - Jones, dan proporsi sel plasma dalam sumsum normal (kurang dari 4%) atau
sedikit meningkat (kurang dari 10%). Konsentrasi imunoglobulin monoclonal dalam serum biasanya kurang dari 20 g/L dan tetap diam jika diikuti selama 2 atau 3 tahun. Imunoglobulin serum lainnya tidak ditekan. Setelah bertahun - tahun "follow-up", proporsi besar pasienpasien ini menderita mieloma jelas (overt myeloma).
Amiloid adalah deposit homogen dalam jaringan, benvarna merah jambu dengan haematoksilin dan eosin dan merah dengan Congo red, dan memperlihatkan "birefringence" hijau. Amiloid mempunyai struktur fibrilair dan diklasifikasikan sebagai berikut :
Amiloid yang bersamaan dengan proliferasi imunosit monoclonal. Tipe ini terdiri atas rantai ringan danlatau darah V,N terminal dari rantai ringan . Ini dinamakan tipe "AL" dan ditemukan bersamaan dengan mieloma, makroglobulinaemia Waldenstrom, penyakit rantai-berat dan dalam bentuk "primer". Gambaran klinis disebabkan oleh terkenanya jantung, makroglossia, neuropati perifer atau "syndroma Carpal tunner" atau dengan kegagalan ginjal. Amiloid sistemik reaktif Tipe ini terdiri atas protein "A" yang mungkin berasal dari protein fase akut dan dinamakan tipe "AA". Ini ditemukan bersamaan dengan infeksi kronis (misalnya tuberkulosis), arthritis rematoid dan penyakit neoplastik, termasuk penyakit Hodgkin. Ini juga biasa bersamaan dengan "familial Mediteranean fever". Gambaran klinis disebabkan terkenanya retikukulo-endotelial dengan pembesaran hati dan limfa; ginjal juga dapat terkena dengan trombosis vena dan sindroma nefrotik.
mi lo id setem pat (localized amyloid) Ini biasa terjadi sekeliling, khususnya tumor sistem endokrin dan juga terjadi dalam kulit dan tempat lain pada umur tua. Amiloidosis sistemik primer yang juga disebut sebagai AL amiloidosis adalah penyakit yang jarang ditemukan yang ditandai oleh adanya produksi rantai ringan bebas oleh sel plasma monoklonal pada sumsum tulang. Tergantung pada juinlah sel plasma sumsum tulang, konsentrasi protein M serum dan urin serta ada tidaknya lesi tulang, penyakit ini dibagi atas AL amiloidosis atau AL amiloidosis dengan MM. Klinis dapat timbul gejala makroglosi, kardiomegali, malabsorbsi, hepatomegali, sindroma carpal-tunner, neuropati perifer, hipotensi ortostatik, dan purpura. Diagnostik dapat ditentukan dengan pemeriksaan histologik terarah pada endapan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
amiloid di kulit, ginggiva, rektum atau ginjal (Pengecatan Congo-merah). Pada amiloidosis primer ada plasmasitosis terbatas (terkontrol) dalam sumsum tulang dan tidak terdapat lesi osteolitik (pada foto rontgen). Kemoterapi tidak dapat mengeradikasi komplit sel plasma monoklonal, dan ketahan hidup median penyakit ini 12 - 14 bulan. Pengobatan pilihan pada AL amiloidosis antara lain MP,m VAD, dosis tinggi moderat dengan melphalan atau dosis tinggi melphalan dengan dukungan sel stem (growth factor).
Foerster J. Multiple Myeloma. In : Lee GR, Bithell TC, Foerstell J, Athens JW, Lukens JN eds. Wintrobe's Clinical Hemat0logy.9'~ ed.Philadelphia: Lea & Febiger;1993:2219 - 2249. Longo DL, Anderson KC. Plasma Cell Disorders. In: Braunwald E, lsselbacher KL, Petersdorf RG et al eds. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16'h ed. McGrawHill Book Co. 2004: 656 662 Beganovic S, Djulbegovic B. Plasma Cell Disorders. In: Djulbegovic B, Sullivan DM eds. Decision Making In Oncology Evidence Based Management. Churchill Livingstone, Philadelphia. 1997:103 - 13. Djoerban Z. Mieloma Multipel. Dalam Waspadji S, Rachman AM, lsbagio H, Daldiyono, Nelwan RHH, Soeparman et al. llmu Penyalit Dalam Jilid 11. Balai Penerbit FKUI.Jakarta.l990:558563. Durie BG, Salmon SE. A Clinical Staging System for Multiple Myelom: Correlation of measured myelom cell mass with presenting clinical features, response to treatment, and survival. Cancer.1975;36:842 - 54.
Holdrinet RSG. Diskrasia Plasma. Dalam Onkologi Terjemahan Bahasa Indonesia. Panitia Kanker RSUP Dr.Sardjito. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. l999:699 - 7 13. Bergsagel PL. Epidemiology, etiology and molecular pathogenesis. In :Richardson PG, Anderson KC eds. Multiple Myeloma. Remedica Publishing.2004: 1-24. NCCN. Multiple Myeloma. Practice Guidelines in Oncologyv.2.2009. Giles FJ. Multiple Myeloma And Waldenstrom's Macroglobulinemia. In: Brain MC, Carbone PP eds. Current Therapy in Hematology-Oncology. 5Ih ed. Mosby-Year Book.Inc. 1992:274 282. Oken MM. Myeloma. In : Kirkwood JM. Lotze MT. Yasko JM eds. Current Cancer Therapeutics. @nd eds. Churchill Livingstone Philadlphia. 1996: 281 - 285. Lichtman MA. Essential Monoclonal Gammopathy. In : Beutler E, Coller B, Lichman M Kipps TJ eds. Williams Hematology. 6Ih ed.McGraw-Hill Co.2001: 1271 -77. Barlogie B, Shaughnessy J, Munshi N, Epstein J. Plasma Cell Myeloma. In : Beutler E, Coller B, Lichman M Kipps TJ eds. Williams Hematology. 6Ih ed.McGraw-Hill Co.2001: 1279 1304. Buxbaum JN, Jacobson DR. The Amyloidoses. In : Beutler E, Coller B, Lichman M Kipps TJ eds. Williams Hematology. 6Ih ed.McGraw-Hill Co.2001: 1305 - 16. Linker CA. Multiple Myeloma. In: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA eds. Current Medical Diagnosis & Treatment. 44th ed. Prentice-Hall International lnc.2005: 497 - 500. Kyle RA. Multiple Myeloma and Related Monoclonal Gammopathies. In: Mazza JJ ed. Mannual of Clinical Hematology. 2nded. McGraw-Hill Book Co. 1987:251 - 276. Greipp,PR, San Miguel J, Durie BGM et a1:lnternational staging system for multiple mye1oma.J Clin Oncol 23:3412-3420,2005.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
DASAR-DASAR HEMOSTASIS C. Suharti
PENDAHULUAN Pemahaman tentang dasar fisiologi hemostasis sangatlah penting. Pemahaman yang baik selain akan meningkatkan pengertian tentang patofisiologi kelainan trombohemoragik, juga membantu dalarn membuat interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium, yang dapat digunakan sebagai dasar dalam pendekatan terapi. Hemostasis berasal dari kata haima (darah) dan stasis (berhenti), merupakan proses yang amat komplek, berlangsung secara terus menerus dalam mencegah kehilangan darah secara spontan, serta menghentikan perdarahan akibat kerusakan sistem pembuluh darah. Setiap kerusakan endotel pembuluh darah merupakan rangsangan yang poten untuk pembentukan bekuan darah. Proses yang terjadi secara lokal berfungsi untuk menutup kebocoran pembuluh darah, membatasi kehilangan darah yang berlebihan, dan memberi kesempatan untuk perbaikan pembuluh darah. Terdapat beberapa mekanisme kontrol dari proses ini antara lain: sifat antikoagulan dari sel endotel normal, adanya inhibitor faktor koagulan aktif dalam sirkulasi, dan produksi enzim fibrinolitik untuk melarutkan bekuan. Terjadinya abnormalitas hemostasis kebanyakan sebagai akibat defek dari salah satu atau lebih dari tahapan proses koagulasi. Komponen penting yang terlibat dalam proses hemostasis terdiri atas: Pembuluh darah Trombosit Kaskade faktor koagulasi Inhibitor koagulasi Fibrinolisis
PERAN PEMBULUH DARAH Pembuluh darah normal terdiri atas intima, media dan
adventitia. Intima: terdiri atas satu lapis sel endotel yang bersifat nontrombogenik dan membran elastis interna. Media: terdiri atas otot polos, ukuran otot polos ini bervariasi tergantung jenis pembuluh darah (arteril vena), dan ukuran pembuluh darah. Adventisia: terdiri atas membran elastis eksterna dan jaringan ikat penyokong. Permeabilitas, fragilitas dan vasokonstriksi merupakan sifat yang dimiliki oleh pembuluh darah. Peningkatan permeabilitas mengakibatkan keluarnya darah dari pembuluh darah berupa petekie, purpura, dan ekimosis yang besar. Peningkatan fragilitas pembuluh darah memungkinkan terjadinya ruptur yang menimbulkan petekie, purpura (terutama pada kulit dan mukosa), ekimosis yang besar, serta perdarahan hebat pada jaringan yang lebih dalam. Vasokonstriksi dapat mengakibatkan obstruksi yang bersifat parsial maupun total, iskemia, dan akhirnya terbentuk trombus. Vasokonstriksi ini di bawah kontrol lokal (suhu, pH, pC02), neural (saraf simpatis) dan humoral. Faktor humoral yang mengendalikan vasokonstriksi terutama substansi yang dilepas oleh trombosit seperti: epinefrin, norepinefrin, ADP (adenosin difosfat), kinin, dan tromboksan. Produk degradasi fibridfibrinogen (FDP, Fibrin/fibrinogen degradation products) yang dilepas sewaktu sistem fibrinolisis bekerja pada fibrin dapat memodulasi vasokonstriksi. Weibel-Palade merupakan suatu aparatus yang unik dari sel endotel dan diduga merupakan derivat dari aparatus Golgi. Weibel-Palade ini berisi faktor von Willebrand (vW), antigen vW, dan P-selektin. Interleukin- 1 (IL- 1), endotoksin, trauma mekanik, dan komplemen, dapat menginduksi pelepasan isi aparatus Weibel-Palade. Sel endotel secara konstan melepas nitrogen oksida (NO), berfungsi - untuk relaksasi sel otot polos dan dilatasi pembuluh darah, guns menjamin patensi ~embuluhdarah.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Bila terjadi kerusakan sel endotel, segera disekresi endotelin-1 atau substansi lain yang dapat menyebabkan vasokonstriksi. Endotelin- 1 dalam sirkulasi bekerja sebagai kemoatraktan, menarik leukosit dan trombosit. Endotelin1, bersama trombin menginduksi sel endotel untuk mengekspresi berbagai molekul adhesi, termasuk integrin dan selektin yang memfasilitasi adesi. Sel endotel juga mengandung berbagai proteoglikan: heparin sulfat, kondroitin sulfat, dermatan sulfat, dan trombomodulin. Proteoglikan ini berinteraksi dengan antitrombin untuk meningkatkan hambatan terhadap pembentukan protease serin. Trombomodulin merupakan proteoglikan yang terikat pada sel endotel, berfungsi sebagai reseptor trombin. Peranan trombomodulin mengubah aktivitas prokoagulan dari trombin sedemikian rupa, sehingga trombomodulin yang terikat pada trombin kehilangan kemampuan untuk: (i) mengubah fibrinogen menjadi fibrin, (ii) mengaktifkan trombosit, dan (iii) mengaktifkan faktor XIII. Trombomodulin yaiig terikat pada trombin akan mengaktifkanprotein C menjadi protein C aktif, dan bersama dengan protein S (kofaktor) akan menghambat faktor Va dan VIIIa.
mengalami diferensiasi, selanjutnya bermigrasi, dan akhirnya membentuk sel endotel baru yang bersifat nontrombogenik. Bila pembentukan sumbat trombosit primer terjadi secara berlebihan, akan terbentuk suatu trombus besar yang dapat menghentikan aliran darah, yang akhirnya dapat menyebabkan kerusakan organ akibat iskemia. Peristiwa lain akibat terkelupasnya endotel dapat menyebabkan terbentuknya plak aterosklerotik. Bila peristiwa terbentuknya sumbat hemostatik primer berlangsung secara berulang, terjadi pada tempat yang sama, dan dalam periode waktu yang lama, otot polos atau sel lain akan berdiferensiasi dan bermigrasi ke intima. Syatu senyawa akan dilepas, selanjutnya akan menarik makrofag yang "memakan" kolesterol maupun materi yang lain, sehingga terbentuklah plak aterosklerotik.
Kerusakan Pembuluh Darah (paparan kolagen subendotel)
Pengaktifan koagulasi
Pengaktifan koagulasi
Pengaktifan koagulasi
(sesuai)
(berlebihan)
(berulang)
1
Trombus besar
Deposit makrofag dan lipid
Oklusi pembuluh darah II
Pembentukan ateroma 111
Sumbat hemostatik
1
(primer)
Prokoagulan
Antikoagulan
Kontraksi oleh pengaruh histamin, kinin, serotonin, dan tromboksan Produksi faktor koagulasi: Tromboplastin (faktor jaringan) F.VIIIvW Aktivator dan inhibitor protein C. Inhibitor aktivator plasminogen tipe 1(PAI-1) Subendotel: Mengaktifkan, dan adhesi trombosit Mengaktifkan F. XII, XI
Inhibitor trombosit NO Prostasiklin ADPase Inhibitor bekuan darahllisis Trombomodulin Heparan Inhibitor jalur faktor jaringan (TFPI) Aktivator plasminogen (t-PA)
vW, von Willebrand; PAI-1, plasminogen activator inhibitor type 1; TFPI, tissue factor pathway inhibitor; t-PA, tissue plasminogen activator
Sel endotel bisa terkelupas oleh berbagai rangsangan: asidosis hipoksia endotoksin kompleks antigen-antibodi dalam sirkulasi Bila sel endotel terkelupas, kolagen maupun membrana basalis subendotel menarik trombosit untuk membentuk sumbat hemostatik primer, sehingga menghentikan keluarnya darah dari pembuluh darah. Setelah sumbat hemostatik primer terbentuk, proses selanjutnya adalah peristiwa reparasi. Otot polos atau sel lain dari media ~
~
Proses reparasi normal I
Gambar 1. Kerusakan pembuluh darah (terkelupasnya sel endotel) dengan segala konsekuensinya. (dikutip dari Bick RL, 2002)
Produksi Trombosit Trombosit diproduksi di sumsum tulang dengan cara fragmentasi sitoplasma megakariosit. Diameter trombosit berkisar antara 2-4nm, volume 7fl(5-8fl). Hitung trombosit antara 150-400x109/1, sedangkan umur trombosit berkisar 7-10 hari. Kira-kira sepertiga dari jumlah trombosit yang dikeluarkan dari sumsum tulang tertangkap di limpa normal; namun pada kondisi splenomegali masif, jumlah ini bisa meningkat sampai 90%. Produksi trombosit diatur oleh hormon trombopoetin yang diproduksi oleh hepar dan ginjal. Struktur Trombosit Secara ultrastruktur, trombosit terdiri atas: Zona Perifer.Terdiri atas glikokalik, suatu membran ekstra yang terletak di bagian paling luar; di dalamnya terdapat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
DASAR-DASAR HEMOSTASIS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
membran plasma, dan lebih dalam lagi terdapat sistem kanal terbuka. Zona sol-gel. Terdiri atas mikrotubulus,mikrofilamen, sistem tubulus padat (berisi nukleotida adenin dan kalsium). Selain itu juga terdapat trombostenin, suatu protein penting untuk fungsi kontraktil. Zona organela. Terdiri atas granula padat, mitokondria, granula a , dan organela (lisosom dan retikulum endoplasmik). Granula padat berisi dan melepaskan nukleotida adenin, serotonin, katekolamin, dan faktor trombosit. Sedangkan granula a berisi dan melepaskan fibrinogen, PDGF (platelet- derived growthfactor), enzim lisosom. Terdapat tujuh faktor trombosit yang telah diidentifikasi dan diketahui ciri-cirinya. Dua diantaranya dianggap penting yakni faktor trombosit 3 (membran fosfolipoproteintrombosit), dan faktor trombosit 4 (faktor antiheparin). Trombosit bila diaktifkan, akan mengalami kontraksi dan membentuk pseudopodia. Selama proses kontraksi, berbagai senyawa maupun granula terkonsentrasi pada bagian pusat trombosit, dan bila kontraksi makin kuat, membran organela robek, selanjutnya isi dikeluarkan lewat sistem kanal yang terbuka. Senyawa ini kemudian berinteraksi dengan reseptor membran trombosit terdekat, yang akan mengakibatkan pengaktifan lebih lanjut, sehingga makin banyak trombosit yang diaktifkan. Selain berinteraksi dengan trombosit, beberapa senyawa juga berinteraksi dengan sel endotel terdekat. Formasi pseudopodia ini meningkatkan adhesi trombosit (trombosit melekat pada permukaan bukan trombosit, misalnya pada kolagenlmembranbasalis), maupun agregasi (interaksi antar trombosit).
FDP, FibrinlFibrinogen Degradation Products; ADP, Adenosin Difosfat Setelah terjadi adhesi trombosit, selanjutnya akan dilepas ADP. Proses ini bersifat reversibel, yang terlihat sebagai
lntegrin GPlallla: reseptor kolagen GPlbllX-V: reseptor faktor vW GPllblllla: reseptor fibrinogen P-selektin Protein Faktor trombosit 3 dan 4 P-trornboglobulin PDGF Plasminogen Fibrinogen Protein plasma (albumin, IgG) Faktor vW
Amin biogenik Serotonin Histamin Katekola min Nukleotid adenin ADP ATP AMP siklik Kation: Cat' Tromboksan A2
GP, glikoprotein; PDGF, Platelet-derivedgrowth factor; ADP, adenosine di~hosphate;ATP, adenosine triphosphate; AMP, adenosine monophosphate.
Koiagen subendotel maupun membrana basalis Trombin Fibrin monomer FDP, terutama fragmen X Endotoksin
Kompleks antigenantibodi dalam sirkulasi y-globulin yang melapisi permukaan Virus ADP Katekolamin Asam lemak bebas.
gelombang pertama pada grafik tes agregasi trombosit. Bila konsentrasi ADP makin meningkat, terjadilah agregasi trombosit. Selain ADP, juga dilepas serotonin, yang menyebabkan vasokonstriksi, sehingga memberi kesempatan untuk menyiapkan pembentukan sumbat hemostatik primer, yang terdiri atas trombosit dan fibrin. Pada kondisi dimana kadar ADP mencapai titik kritis, terjadilah pengaktifan membran fosfolipid (faktor trombosit 3), yang bersifat ireversibel. Membran fosfolipid ini memfasilitasi pembentukan komplek protein koagulasi yang terjadi secara berurutan. Kejadian yang berurutan mulai dari agregasi trombosit, peningkatan reaksi pelepasan, pengaktifan faktor trombosit 3, merupakan proses yang ireversibel, tampak sebagai gelombang ke dua dalam grafik tes agregasi trombosit. Hasil seluruh proses ini akhirnya terbentuk sumbat hemostatik primer. Granula a, selain melepaskan faktor prokoagulan dan produk yang mengaktifkan trombosit, juga melepas PDGF (platelet-derived growth factor), yang kemudian terikat dengan reseptor, yang akan menghambat sekresi trombosit maupun agregasi yang diinduksi oleh trombin.
Jalur Biokimia dan Fungsi lntrasel Trombosit AMP siklik merupakan modulator kunci fungsi trombosit. Peranan dari senyawa ini menggabungkan protein yang tergantung AMP siklik, untuk membentuk aktivitas kinase. Kinase sendiri berfungsi untuk fosforilasi protein reseptor, yang akhirnya mengikat kalsium. Apabila kalsium dalam sel trombosit terikat, trombosit bersifat hipoagregasi dan hipoadhesi. Epinefrin, trombin, kolagen, dan serotonin menghambat enzim adenilat siklase, yang bertanggung jawab untuk konversi ATP menjadi AMP siklik. Hambatan ini mengakibatkan penurunan konsentrasi kinase, penurunan fosforilasi protein reseptor, peningkatan ion kalsium, yang akhirnya berakibat hiperagregasi trombosit. Enzim yang bertanggungjawab mengubah AMP siklik menjadi bentuk inaktif adalah fosfodiesterase.Dipiridamol, suatu obat antitrombosit, menghambat fosfodiesterase. Pada kondisi seperti ini, konsentrasi AMP siklik, kinase, dan protein reseptor yang telah mengalami fosforilasi meningkat. Akibatnya kalsium dalarn trombosit akan terikat, trombosit menjadi hipoaktif.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Adesi trombosit
1
Reaksi pelepasan awal
+
ADP Kohesi trombosit
-
ADP Peningkatan reaksi pelepasan -Serotonin Aktivitas fosfolipid trombosit
Vasokonstriksi
Aktivitas fosfdli~idtrombosit
Gambar 2. Fungsi trombosit. (Bick RL, 2002)
Menghambat
Adenilat siklase
t-----
(Epl, Trombin, kolagen,bHT) Dipiridamol
Protein tergantung AMP s~klik
+
Protein reseptor (Ca++ ikstan)
kc->
Ca ++
roteinKomplek reseptor- Ca ++
Gambar 3. Reaksi biokimiawi di dalam sel trombosit, Bick RL,
2002
Peranan P r o s t a g l a n d i n dan D e r i f a t Prostaglandin Membran fosfolipid trombosit maupun sel endotel diubah menjadi asam arakidonat oleh enzim fosfolipaseA2(PLA2) yang diaktifkan oleh trombin maupun kolagen. Asam arakidonat diubah menjadi prostaglandin G2(PGG2) dan prostaglandin H2 (PGH2) oleh enzim siklo-oksigenase. Pada membran trombosit, tromboksan sintetase mengubah PGH2 menjadi tromboksan A2, suatu agen agregasi yang poten. Selain itu, tromboksan A2 juga berfungsi sebagai
vasokonstriktor yang poten. Pada sel endotel dan jaringan subendotel, prostasiklin sintetase mengubah PGH2 menjadi prostasiklin, suatu inhibitor agregasi dan vasodilator yang poten. Aspirin dan sulfinpirazon, merupakan antitrombosit yang berfungsi menghambat enzim siklooksigenase. Kedua antitrombosit ini bersifat selektif, dimana 70% aktivitas diarahkan ke trombosit, dan hanya sekitar 30% diarahkan ke sel endotel. Hal ini yang memungkinan sel endotel mampu melanjutkan sintesa prostaglandin, sedangkan trombosit tidak. Adenilat siklase adalah enzim yang mengubah ATP menjadi AMP siklik. Tromboksan A2 merupakan inhibitor adenilat siklase yang poten, dan sebaliknya, prostasiklin merupakan stimulator adenilat siklase yang poten. Predisposisi terjadinya trombosis atau perdarahan tergantung konsentrasi relatif ke dua senyawa tersebut. Interaksi trombosit dengan pembuluh darah (adhesi), atau dengan trombosit yang lain (agregasi), serta dengan protein plasma terjadi pada permukaan membran trombosit dengan mediator glikoprotein yang terdapat pada membran trombosit. Glikoprotein IaIIIa merupakan salah satu reseptor adhesi dari trombosit (integrin). Peranan GPIahIa untuk adhesi trombosit kurang dominan, terbukti bahwa kelainan kongenital, dimana tidak didapatkan GPIaAIa, tidak mengakibatkan timbulnya perdarahan yang berarti. GPTbhX-Vdan GPIIbAIIamempunyai peranan yangjauh lebih penting. GPIbLX-V merupakan faktor adhesi yang utama, sedangkan GPIIbIIIIa merupakan mediator agregasi yang sangat penting. Pada sindrom Bernard-Soulier, tidak ditemukan GPIb dan GPIX. GPIb mempunyai beberapa fungsi: (i) kompleks GPIbJIX berfungsi sebagai reseptor untuk faktor vW (pada respon terhadap injuri, terjadi adhesi trombosit pada subendotel melalui ikatan GPIbJIX dan faktor vW); (ii) sebagai reseptor untuk antibodi yang tergantung kinin dan kinidin, seperti yang terjadi pada trombositopeniaakibat kinin atau kinidin; (iii) berfungsi sebagai bagian dari komplek reseptor-trombin dari trombosit. GPV sangat penting dalam pengaktifan trombosit oleh trombin. Komplek GP IIbAIIa terdapat pada granula a maupun pada membran trombosit. Keduanya merupakan subunit dari suatu glikoprotein tunggal. GPIIb merupakan protein yang dalam fungsinya sangat tergantung ion kalsiurn. Pada trombastenia Glanzman, GP IIbAIIa tidak ada atau dalam keadaan menurun. GP IIbAIIa merupakan reseptor fibrinogen, dan juga berfungsi sebagai tempat ikatan antibodi PLAI. Ikatan fibrinogen pada IIbIIIIa diperlukan untuk agregasi trombosit yang optimal yang diinduksi oleh ADP. GPIIbIIIIa juga terikat pada faktor vW dan fibronektin.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
DASAR-DASAR HEMOSTASIS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI FUNGSI PROTEIN PLASMA
Membran Fosfolipid FosfolipaseA, Asam arakidonat
'
Asa ~ulfinirazon
Prostasiklin sintetase
-A 4
Prostasiklin
/x ' Hambatan agregasl
/
Peroksidase -Tromboksan sintetase TromboksanA,
/
>gregasi A2 Vasokonstriksi
Vasodilatasi
Gambar 4. Prostaglandin dalam fungsi trombosit dan sel endotel (Bick RL, 2002)
Glikoprotein la
Ib Ila Ilb
Fungsi Reseptor untuk subendotel yang tidak tergantung F.vW Reseptor F.vW Reseptor vW dan fibrinogen
llla
Reseptor vW dan fibrinogen
V
Reseptor untuk trombin Reseptor trornbin
IX
Karakteristik
Pada sindrorn BernardSoulier, GP Ib tidak terdapat Pada trombastenia Glanzrnann, GP Ilb tidak terdapat Pada trornbastenia Glanzrnann, GP llla tidak terdapat Pada sindrorn BernardSoulier, GPV tidak terdapat Pada sindrom BernardSoulier, GPlX tidak terdapat
(7)
Nomor faktor I II Ill
v
VII VlllC IX X XI XI I Xlll Fitzgerald Fletcher
Nama
Bentuk aktif
Fibrinogen Protrombin Faktor jaringan Proaselerin Prokonvertin Faktor antihemofili Faktor Christmas Faktor Stuart-Prower Plasma thromboplastin antecedent Faktor Hageman Faktor yang rnenstabilkan fibrin Kininogen berat molekul tinggi Prekalikrein
Fibrin Protease serin Reseptorlkofaktor Kofaktor Protease serin Kofaktor Protease serin Protease serin Protease serin Protease serin Transglutarninase Kofaktor Protease serin
Fungsi protein plasma dalam hemostasis meliputi berbagai sistem: protein koagulasi enzim fibrinolisis inhibitor komplemen kinin Pembentukan kinin dan pengaktifan komplemen dianggap tidak penting dalam kelainan trombohemoragik.
Protein Koagulasi Protein koagulan, lebih sering ditulis dalam huruf Romawi, meskipun beberapa diantaranya tidak mempunyai angka Romawi. Pembentukan fibrin, bisa digambarkan terdiri atas empat reaksi kunci yakni: pembentukan F.IXa (pengaktifan lewat sistem kontak) pembentukan F.Xa pembentukan trombin (F.IIa) pembentukan fibrin Konsep ini sangat membantu dalam memahami sistem koagulasi. Pembentukan faktor IXa, Pengaktifan lewat kontak dari jalur intrinsik diawali dengan pengaktifan faktor XI1 (faktor Hageman). Fosfolipid, kolagen, kolagen subendotel, dan kalikrein mampu mengubah EX11 menjadi F.XIIa (a:aktif). F.XIIa, merupakan serin protease, yang kemudian mengubah F.XI menjadi F.XIa. Reaksi ini akan terjadi cepat bila terdapat kininogen dengan berat molekul tinggi (highmolecular-weight kininogen), namun bila tidak ada akan terjadi lambat. F.XIa, bersama ion kalsium mengubah F.IX menjadi F.IXa. F.Ma merupakan enzim yang berfimgsi untuk pembentukan F.Xa. Perlu ditambahkan bahwa F.XIIa sendiri dapat mengubah prekalikrein menjadi kalikrein, sehingga dapat mengubah lebih banyak F.XII menjadi F.XIIa. Pembentukan faktor Xa. Pembentukan F.Xa melibatkan dua jalur utama, intrinsik dan ekstrinsik. Jalur ekstrinsik melibatkan tromboplastin (faktorjaringan, tissuefactor, TF), F.VII, dan ion kalsium. Faktor jaringan terdiri atas protein yang terikat pada membran lipoprotein, berada dalam kondisi terproteksi pada membran sel endotel. Bila terjadi injuri, faktorjaringan dilepas dalam sirkulasi,bersama ion kalsium membentuk kompleks dengan F.W menjadi TFIF.W a . F.VIIa ini kemudian mengaktifkan FIX maupun FX. Pengaktifan FX (menjadi F.Xa) mengakibatkan pembentukan trombin dalam jumlah kecil. Trombin yang terbentuk ini akan meningkatkan proses koagulasi dengan mengaktifkan kofaktor V dan VIII. Jalur amplifikasi yang melibatkan faktor VIII dan faktor IX dapat dianggap sebagai suatu peranan yang dominan dalam meningkatkan produksi faktor Xa. Trombin juga dapat mengaktifkan faktor XI, yang dapat meningkatkan produksi faktor IXa.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
-............... --................-. ~
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Peran kofaktor dalarn ha1 ini untuk menjamin bahwa hanya enzim dan substrat yang tepat yang akan m a s k dalam komplek pembentukan. Sebagai contoh, adanya faktor V memungkinkan F.Xa bereaksi dengan F.11. Pembentukan F.Xa dan trombin tergantung pada beberapa faktor yang tergantung vitamin K (faktor 11, VII, IX, dan X). Faktorfaktor ini disintesis dalam parenkim sel hepar.
~
Sistem kontak XII, PK, HK
i
XI
....Xlla
Sistem F. Jaringan IXa + Vill
Protrombin
4
Va-"e Trombin c..........
Fibrinogen
\+ Fibrin -h
D-dimer
Gambar 5. Kaskade koagulasi.Van Gorp ECM, 1999 (dengan rnodifikasi). PK, prekalikrein; HK, kininogen berat rnolekul tinggi; TF, faktor jaringan; TFPI, inhibitor jalur faktor jaringan; AT, anti trombin; TAT, kornplek trombin-anti trornbin; PCa, protein C aktif; F1+2, fragrnen protrombin 1+2; D-dimer, produk pemecahan fibrin; FPA, fibrinopeptid A;
Pembentukan F.Xa lewat jalur intrinsik membutuhkan lima komponen: substrat (EX), enzim (F.IXa), kofaktor (F.VIII:C), permukaan (faktor trombosit 3), ion kalsium. Faktor jaringan dan inhibitor jalur faktor jaringan (tissuefactorpathway inhibitor, TFPI). Pembentukan F.Xa lewatjalur ekstrinsik melibatkan faktor jaringan, EVII, ion kalsium, dan TFPI. Faktorjaringan bisa berasal sel endotel, sistem monositlmakrofag, maupun sel ganas. Faktor jaringan akan terbentuk bila terjadi suatu injuri atau rangsangan, misalnya: induksi sitokin (IL-la, TNF a), pengaktifan komplemen, terutarna C5a, lipopolisakarida,dan komplek imun dalam sirkulasi. Faktor jaringan diaktifkan atau dilepas untuk mengaktifkan F.VII menjadi F.VIIa, membentuk komplek dengn F.VII bersama ion kalsium. Komplek TF/F.VIIa mampu mengaktifkanbaik F.X maupun F.IX menjadi F.Xa dan F.IXa. Sebagai tambahan, F.Xa dapat mengubah kompleks TF/F.VII menjadi kompleks TFNIIa, sehingga meningkatkan potensi dalam mengaktifkan F.IX dan F.X. Proses aktivasi yang dimediasi injuri ini dihambat oleh TFPI. Terdapat beberapa sel sebagai sumber TFPI: sel endotel (sumber utama), hepatosit, par-, ginjal, monosit, dan kandung kencing. Pembentukan trombin. Dalam reaksi ini dibutuhkan: substrat (F.119, enzim (F.Xa), kofaktor (F.V), faktor trombosit 3 atau fosfolipid lain, ion kalsium Semua faktor ini membentuk kompleks pada permukaan fosfolipid untuk membentuk trombin, suatu enzim baru.
Pembentukan Fibrin. Trombin melepaskan dua peptida kecil dari fibrinogen, yaitu fibrinopeptid A dan B, dan terbentuklah fibrin monomer. Fibrin monomer berpolimerisasi dengan membentuk agregasi "end to end" dun "side to side ", yang bersifat larut (soluble fibrin), yang larut dalam 5Murea atau asam monoklorasetik 1%. Pembentukan fibrin monomer yang larut disebut polimerisasi 1. Fungsi lain dari trombin yang penting ialah mengaktifkan faktor XI11 menjadi faktor XIIIa. Faktor XIIIa mengubah fibrin yang larut menjadi tidak larut. Peristiwa ini disebut polimerisasi 11. Sistem Fibrinolisis Sistem fibrinolisis berfungsi menghancurkan bekuan fibrin. Plasmin mempunyai afinitas yang sama terhadap fibrin maupun fibrinogen, memecah keduanya menjadi produk degradasi fibridfibrinogen Cfibrin/Jibrinogendegradationproducts,FDP). Plasmin juga memecah F.V, VIII, IX dan XI, hormon adenokortikotropik (ACTH), hormon perturnbuhan, insulin dan masih banyak lagi protein yang lain. Dalam sistem fibrinolisisterdapat dua jalur pengaktifan fisiologik: (i) melibatkan aktivator plasminogen (tissue plasminogen activator, t-PA); (ii) melibatkan F.XIIa (Hageman).F.XIIa mengubah prekalikreinmenjadi kalikrein, selanjutnya kalikrein mengubah plasminogen menjadi palsmin. Di dalam klinik, terdapat beberapa aktivator farmakologik yang sering digunakan untuk trombolisis, misalnya streptokinase, urokinase, t-PA, dan acylplasminogen-streptokinaseactivator complex (APSAC). Urokinase secara langsung mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin, tetapi streptokinase membentuk kompleks streptokinase-plasminogen, selanjutnya komplek ini kemudian mengubah plasminogen menjadi plasmin. Sistem fibrinolisis dimodulasi oleh sejumlah inhibitor: (i) a2-antiplasmin (a2-AP), yang menghambat kerja plasmin; (ii) a2-makroglobulin; (iii) inhibitor aktivator plasminogen, (plasminogen activator inhibitor type 1, PAI- 1 ). PAI- 1 merupakan modulator yang menghambat tPA dan aktivator plasminogen urokinase. Fibrinogen terdiri atas beberapa bagian, A-a dan B-b serta rantai g dengan peptida A dan peptida B. Pada awalnya fibrin dan fibrinogen dipecah menjadi fragmen X. Pemecahan berikutnya menghasilkan fragmen Y dan fragmen D, dan pemecahan terakhir menghasilkan fragmen D (lain) dan fragmen E. Fragmen X, Y, D, dan E secara klinik merupakan FDP yang dapat diukur. Adanya FDP
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
DASAR-DASAR HEMOSTASIS
Faktor Xll
-
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Faktor Xlla
1 /'
PAI-I
a-2Antiplasmin A-ZMakmglobulin
t
Biodegradasi (Faktor V, VII, IX, dll)
i
..
.-..
Fibrino (geno) h i s
Pembentukan FDP . . .
...-..--.
Gambar 6. Fisiologi dari sistern fibrinolisis. Bick RL, 2002. t-PA, tissue plasrninogen activator; PAI-1, plasrninogen activator inhibitor-1
menunjukkan suatu kondisi klinik yang serius, di mana terdapat gangguan polimerisasi fibrin monomer dan fungsi trombosit. Sistem Inhibitor Sistem koagulasi diatur oleh sejumlah inhibitor.Inhibitor ini b e h g s i membatasi reaksi koagulasi yang berlebihan, agar pembentukan fibrin terbatas disekitar daerah yang mengalami injuri saja, untuk mencegah terjadinya kondisi patologi. Beberapa inhibitorpenting dalam sistem koagulasi: antitrombin 111(ATIII),protein C (PC), protein S (PS). ATIII merupakan inhibitor koagulasi fisiologik yang kuat, terdiri atas glikoprotein yang disintesa oleh hepar. ATIII menghambat aktivitas trombin (IIa), F.Xa, dan dalam tingkatan yang lebih rendah juga menghambat ma, XIa, XIIa, dan kalikrein. Fungsi inhibitor ini menjadi semakin kuat dengan adanya heparin. Protein C merupakan zimogen (praenzim), disintesa di hepar, tergantung vitamin K. Protein C diaktifkan oleh trombin bersama dengan ion kalsium dan trombomodulin yang terletak di permukaan sel endotel. PCa selanjutnya akan menghambat F.Va dan F.VIII:C. Aktivitas ini memerlukan permukaan fosfolipid, ion kalsium, dan sangat ditingkatkan oleh protein S. PCa juga bekerja aktif selama terjadi proses fibrinolisis dengan jalan menghambat inhibitor aktivator plasminogen (PAI- I). Protein S, juga disintesa di hepar, tergantung vitamin K. Protein S dalam sirkulasi berfungsi sebagai kofaktor protein C. Hubungan Pengaktifan Komplemen dan Hemostasis Meskipun pengaktifan sistem komplemen tidak termasuk bagian integral dari fisiologi hemostasis, namun
mempunyai peranan penting dalam penyakit trombohemoragik. Sistem komplemen dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, mengakibatkan hipotensi dan syok, suatu kejadian yang sering terjadi pada koagulasi intravaskular diseminata (disseminated intravascular coagulation,DIC) dan kelainan trombohemoragik yang lain. Pengaktifan komplemen C8-9 (fase "attack") dapat mengakibatkan lisis osmotik dari eritrosit dan trombosit. Kondisi seperti ini dapat meningkatkan materi prokoagulan, yang akhirnya akan meningkatkan proses koagulasi. Sebagai contoh, lisis eritrosit yang diinduksi komplemen, akan melepas membran fosfolipoprotein maupun ADP, dimana keduanya berfbgsi sebagai prokoagulan. Lisis trombosit akan mengakibatkan pelepasan ADP, yang juga meningkatkan aktivitas koagulasi. Sistem komplemen terdiri atas suatu reaksi seri yang terjadi secara berurutan seperti pada reaksi koagulasi. PengaktifanC 1 sampai C5 disebut fase aktivasi; sedangkan pengaktifan C5 sampai C9 disebut fase "attack". F.XIIa dapat mengubah prekalikrein menjadi kalikrein, yang selanjutnya mengubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin dapat mengaktifkan C 1 atau C3. Aktivasi komplemen yang diinduksi oleh plasmin ini dapat mengakibatkan kondisi klinik yang serius. Hubungan Pengaktifan Kinin dan Koagulasi Kinin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, mengakibatkan dilatasi pembuluh darah, syok, serta kerusakan organ. Seperti halnya aktivasi komplemen, pembentukan kinin berpusat pada faktor XII. F.XIIa mengubah prekalikrein menjadi kalikrein. Kalikrein mengubah kininogen menjadi kinin. F.XIIa juga diubah menjadi fragmen F.XIIa oleh plasmin. Fragrnen ini juga mengaktikm prekalikrein menjadi kalikrein, sehingga makin meningkatkan pembentukan kinin.
PEMERIKSAAN PENYARING UNTUK FUNGSI HEMOSTASIS
Kelainan hemostasis dengan perdarahan abnormal dapat merupakan: Kelainan pembuluh darah, Trombositopenia atau gangguan fungsi trombosit, Kelainan koagulasi Sejumlahpemeriksaan sederhanadapat dikerjakan untuk menilai fungsi trombosit, pembuluh darah, serta komponen koagulasi dalam hemostasis. Pemeriksaan penyaring ini me1iputi:pemeriksaandarah lengkap (complete blood count, CBC), evaluasi darah apus, waktu perdarahan, waktu protrombin (prothrombin time, PT), activatedpartial thromboplastin time (aPTT), agregasi trombosit. Pemeriksaan darah lengkap dan evaluasi darah apus.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Trombositopenia sering mempakan penyebab perdarahan abnormal, oleh karena itu pada pasien yang diduga menderita kelainan perdarahan, pertama kali hams dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap dan pemeriksaan apusan darah perifer. Selain untuk memastikan adanya trombositopenia, dari pemeriksaan darah apus dapat menunjukkan kemungkinan penyebab yang jelas seperti misalnya leukemia.
Pemeriksaan penyaring sistem koagulasi. Pemeriksaan penyaring meliputi penilaian jalur intrinsik dan ekstrinsik dari sistem koagulasi dan perubahan dari fibrinogen menjadi fibrin. Waktu protrombin (PT) mengukur faktor VII, X, V, protrombin dan fibrinogen.Nilai normal 10-14 detik. Nilai PT sering diekspresikan sebagai INR (international normalized ratio). aPTT mengukur faktor VIII, IX, XI, dan XII, selain faktor V, X, protrombin dan fibrinogen. Nilai normal aPTT antara 30-40 detik, Perpanjangan dari PT dan aPTT yang disebabkan karena defisiensi faktor koagulasi dapat dikoreksi dengan penambahan plasma normal kedalam plasma yang diperiksa. Apabila tidak dapat dikoreksi atau hanya sebagian terkoreksi, dicurigai kemungkinan adanya inhibitor koagulan. Waktu trombin (thrombin time, TT) cukup sensitif untuk menilai defisiensi fibrinogen atau adanya hambatan terhadap trombin. Nilai normal antara 14-16 detik. Pemeriksaan faktor koagulasi khusus. Termasuk disini misalnya fibrinogen, faktor vW, dan faktorVIII. Pemeriksaan bisa secara kuantitatif atau dengan cara membandingkan efek koreksi dari plasma yang mengandung kekurangan substrat tertentu yang mempunyai perpanjangan waktu pembekuan (PT, aPTT), dengan efek koreksi terhadap plasma normal, yang hasilnya dinyatakan dengan persentase aktivitas normal. Waktu perdarahan. Waktu perdarahan berguna untuk pemeriksaan fungsi trombosit abnormal misalnya pada defisiensi faktor vW. Pada trombositopenia, waktu perdarahan juga akan memanjang, namun pada perdarahan abnormal yang disebabkan kelainan pembuluh darah, waktu perdarahan biasanya normal. Pemeriksaan dilakukan dengan cara memberi tekanan pada lengan atas dengan memasang manset tekanan darah. Setelah itu, dibuat insisi kecil pada daerah fleksor lengan bawah. Pada keadaan normal, perdarahan akan berhenti dalam waktu 3-8menit. Pemeriksaan fungsi trombosit. Tes agregasi trombosit merupakan pemeriksaan yang mempunyai nilai penting. Tes ini mengukur penurunan penyerapan sinar pada plasma kaya trombosit sebagai agregat trombosit. Agregasi primer berasal dari rangsangan agen eksternal, sedangkan respon sekunder berasal dari agen yang dilepas dari dalam trombosit sendiri. Agen agregasi yang sering digunakan misalnya: ADP, kolagen, ristosetin, asam arakidonat dan
adrenalin. Pemeriksaan Fibrinolisis. Peningkatan aktivator plasminogen dalam sirkulasi dapat dideteksi dengan memendeknya euglobulin clot lysis tinze. Beberapa tehnik imunologik digunakan untuk mendeteksi produk degradasi dari fibrin maupun fibrinogen (D-dimer).
Pemeriksaan penyaring Waktu trombin (TT)
Waktu protrornbin (PT) Actifated partial thromboplastin time (aPTT atau PTTK)
Abnormalitas yang ditunjukkan dengan perpanjangan Defisiensi atau abnormal dari fibrinogen Hambatan trombin oleh heparin atau FDP Defisiensi atau harnbatan dari salah satu atau lebih dari faktor koagulasi: VII, X, II, fibrinogen Defisiensi atau hambatan dari salah satu faktor koagulasi: XII, XI, IX, Vlll, X, V, 11, fibrinogen
Penyebab kelainan yang paling sering Koagulasi intravaskular diseminata Terapi heparin Penyakit hepar Terapi warfarin
Hemofilia, Christmas disease
REFERENSI Catalano PM. Coagulation physiology and hemorrhagic disorders. In: Besa EC, Catalano PM, Kant JA, Jefferies LC. Hematology. Baltimore, Williams & Wilkins, 1992.p.223-35. Colman RW, Clowes AW, George JN, Hirsh J, Marder VJ. Overview iof hemostasis. 1n:Colman RW, Hirsh J, Marder VJ, Clowes AW, George JN. Hemostasis and thrombosis. 4Ih Ed.Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. 2001.p.3-16. Bick RL, Murano G. Physiology of thrombosis. In: Bick RL. Disorders of thrombosis & hemostasis. 3rd Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2002.p.1-29. Griffin J. Immunology and Haemat0logy.2"~Ed. London: Elsevier Science, 2003.p. 1 15-29. Hillman RS, Ault KA. Hematology in clinical practice. 3rd Ed. New York. McGraw-Hill. 2002.p.301-15. Hoffbrand AV, Pettitt JE, Moss PAH. Hematology. 4Ih Ed. London. Blackwell, 2001 :236-49. Martinez J, Garcia-Manero G. Principles of Hemostasis and thrombosis. In: Spandorfer J, Konkle B, Merli GJ. Management and prevention of thrombosis in primary care. New York. Oxford University Press, 2001 .p. 1-13, ' van Gorp ECM, Suharti C, ten Cate H, Dolmans WMV, van der Meer JWM, ten Cate JW,et al. Infectious disease and coagulation disorders. JID 1999; 180: 176-86. Van Gorp ECM, Minnema MC, Suharti C, Mairuhu ATA, Brandjes DPM, ten Cate H, Hack CE, Meijers JCM. Activation of coagulation factor XI, without detectable contact activation in dengue hemorrhagic fever. BJ Haematol 200 1 ;113:94-9.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PATOGENESIS TROMBOSIS Karmel L. Tambunan
PENDAHULUAN
menghubungkan trombosit yang berdekatan satu lain dan kemudian terjadi agregasi trombosit dan membentuk plak trombosit yang menutup 1ukdtrauma.Sumbatan bersifat sementara (temporer). Proses ini kemudian diikuti proses hemostasis sekunder (Gambar 1 dan Gambar 2).
Untuk dapat memahami trombosis, pengetahuan mengenai dasar-dasar hemostasis sangat diperlukan. Dalam keadaan normal, darah berada dalam sistim pembuluh darah, dan berbentuk cair. Keadaan ini dimungkinkan oleh faktor hemostasis yang terdiri dari hemostasis primer, hemostasis sekunder.dan hemostasis tersier. Hemostasis primer terdiri dari trombosit dan pembuluh darah. Disebut hemostasis primer karena yang pertama terlibat dalam proses penghentian perdarahan bila terjadi luka atau trauma.Hemostasis primer dimulai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan pembentukan trombosit plak menutup luka dan menghentikan perdarahan. Vasokonstriksi menyebabkan aliran darah menjadi lebih lambat pada daerah yang luka atau trauma. Keadaan ini akan mempermudah trombosis pada reseptor trombosis Gp I b menempel pada subendotel pembuluh darah (adhesi) dengan perantaraan faktor von Willebrand. Trombosit yang teraktivasi ini menyebabkan reseptor trombosit Gp IIb/IIIa siap menerima ligan fibrinogen dan fibrinogen
Gambar 1. Hernostasis sepintas
FII
Agrsgasl Trombostt
Trornbomodulln
-
k l a k iismostat~k
-+
1-
F~bnnollsls Anttplasmln Mtgrasldan prol~ferastsel
Rekanal~sas~
Sembuh
Gambar 2. Hemostasis
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1301
1302
HEMATOLOCI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Hemostasis sekunder terdiri dari faktor pembekuan dan anti pembekuan. Hemostasis sekunder dimulai dengan aktivasi koagulasi melalui jalur ekstrinsik dan intrinsik.Jalur ekstrinsik yaitu jaringan yang terlepas terikat pada FVII dan menyebabkan FVII menjadi aktif .F.VIla. mengaktifkan F.X menjadi F.xa. dan besama F.V dan PF3 membentuk kompleks protrombinase Selain mengaktifkan FX, FVIIa juga mengaktifkan F.IX menjadi F.IXa dalani jalur intrinsik. Kompleks protrombinase akan mengaktifkan protrombin menjadi trombin dan trombin akan memecahkan fibrinogen menjadi fibrin.Fibrin akan menggantikan sumbat trombosit sampai terjadi penyembuhan luka. Migrasi dan proliferasi sel terjadi pada jaringan yang rusak untuk penyembuhan luka. Hemostasis tersier yaitu sistem fibrinolisis akan diaktifkan dan menyebabkan lisis dari fibrin dan endotel menjadi utuh. Pada umumnya proses penyembuhan berlangsung dalam waktu 14 hari. Kelainan hemostasis menyebabkan perdarahan atau trombosis (Gambar 3). Pada uraian berikutnya yang akan dibahas adalah trombosis. Trornbosis yaitu proses pembentukan trombus atau adanya trombus dalam pembuluh darah atau ruang jantung .Trombosis dapat terjadi pada arteri dan vena Trombosis pada arteri disebut trombus putih karena . komposisinya selain fibrin didominasi oleh trombosit. Berbeda dengan trombus pada vena disebut trombus merah karena komposisinya selain fibrin didominasi oleh sel darah merah.
Hemostasis
L
PATOGENESIS TROMBOSIS
Patogenesis trombosis arteri dan vena berbcda. Selain dari fakbr aliran darah,faktor risiko dan pembuluh darah sendiri turut berperanan. Oleh karenanya patogenesis masing masing akan dibisarakan tersendiri. Misalnya akibat perbedaan aliran darah, pada pembentukan trombus vena tidak dibutuhkan faktor von Willebrand sebaliknya pada trombus arteri. Trornbosis terjadi bila terjadi gangguan keseimbangan antara yang merangsang trombosis dan yang mencegah trombosis.
Patogenesis Trornbosis
Mekanisme Proteksi Stirnulasi Trombogenik
Gambar 4. Patogenesis trornbosis
Trombosis
1r
%:y+-l!
yang berlebihan Trombogenik
Mekanisme protekst
k
Normal Trornbosit teqadi
i
I I
proteksi
Gambar 5. Keseimbangan stimulasi dan proteksi trombosis Trombosis Arteri Faktor merangsang atau faktor risiko trombosis, yaitu: Endotel pembuluh darah yang tidak utuh. Endotel pembuluh darah yang utuh akan rnencegah trombosit menempel pada endotel pembuluh darah. Sebaliknya pembuluh darah yang terganggu atau tidak utuli merupakan faktor risiko trombosis. Sel endotel akan kehilangan kernampuan rnencegah trombosis bila distimulasi oleh enzim seperti trombin,hipoksia, sllear stres, oksidan, sitokin seperti interleukin-1 (1L- I), faktor nekrosis tumor (TNF), dan interferon gamma, hormon sintetik seperti desrnopresin asetat, dan endotoksin. lnduksi sintesis plu.\niit~ogen ~ktivutorinhibitor-I (PAI- 1 ) akan menghambat aktivator plasminogen mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin sehingga fibrinolisis berkurang. Trombomodulin yang terikat pada pennukaan endotel juga akan berkurang oleh sitokin dan endotoksin yang menyebabkan aktivrlsi protein C terganggu. Semuanya ini akan tnenyebabkan kecenderungan untuk terjadi trombosis (Gambar 6 ) . Trombosit yang teraktivasi. Trombosit yang aktif rnenyebabkan reseptor G p Ilb/IIIa menerima ligan fibrinogen dan fibrinogen akan menghubungkan trornbosit yang berdekatan satu sama lain dan terjadi agregasi trornbosit. Defisiensi antipembekuan. Terdapat antipembekuan alamiah di dalam tubuh yaitu Antitrornbin 111 (ATIII),
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1303
PATOGENESIS TROMBOSIS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI -
Stres Bakteri Endotoksin hemodinamik dan
Sitokin
Kolesterol
Gambar 6. Faktor yang merusak endotel
Protein C, Protein S dan makroglobulin alfa 2. Defisiensi antipembekuan akan menyebabkan darah cendrung mengalami trombosis yang disebut trombofilia.Bedakan dengan hemofilia yang cenderung mengalami perdarahan. Klirens faktor pembekuan aktif berkurang. Faktor pembekuan aktif dibersihkan di dalam tubuh sehingga jumlahnya berkurang dan proses aktavasi koagulasi akan berkurang. Sistem fibrinolisis berkurang. Fibrinolisis yang berkurang akan menyebabkan fibrin yang dibentuk akan terus bertambah dan menyebabkan trombosis. Stagnasi.Aliran darah yang lambat merupakan faktor risiko trombosis.Mekanisme ini dapat dilihat pada trombosis vena. Umurnnya faktor yang mencegah trombosis merupakan kebalikan dari yang menstimulasi trombosis, antara lain: Endotel yang Utuh. Sebagaimana sudah disebut sebelumnya, endotel yang utuh merupakan faktor yang mencegah melengketnya trombosit pada subendotel.
liblllla tidak aktif
Endotel yang utuh mensekresi berbagai zat yang berperan menghambat trombosis. Endotel mensekresi prostasikilin, nitrit oxide (NO), trombomodulin, enzim adenosin difosfat (ADP), heparan dan tissueplasminogen activator (t-PA) dan urokinase plasminogen aktivator (u-PA). Prostasiklin menyebabkan vasodilatasi dan menghambat. agregasi trombosit. NO juga menyebabkan vasodilatasi dan menghambat agregasi trombosit. Enzim ADP akan mengubah ADP menjadi adenosin monofosfat (AMP) sehingga menghambat aktivasi trombosit. Trombomodulin bersama trombosit akan mengaktifkan Protein C menjadi Protein C aktif .Protein C aktif bersama kofaktor Protein S akan menghambat F.V aktif dan F.VIII aktif. Heparan bersama AT 111 akan menghambat faktor Xa dan trombin. t-PA akan mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin dan plasmin akan melisis fibrin. Endotel juga mensintesis endotelin yang mengatur tonus pembuluh darah yang menyebabkan vasokonstriksi (Gambar 8). Trombosit normal. Trombosit tidak akan menempel pada sel endotel yang normal; Anti pembekuan yank cukup. Antikoagulan yang cukup akan menghambat proses koagulasi sehingga tidak terjadi pembentukan fibrin. Klirens faktor pembekuan aktif yang adekuat. Klirens faktor koagulasi aktif akan mengurangi terjadinya pembentukan fibrin Fibrinolisis yang adekuat. Fibrinolisis yang adekuat akan menghancurkan fibrin yang sudah ada sehinggatidak terjadi pembentukan trombus. Aliran darah yang baik. Aliran darahyang baik akan mudah bercampurnya antikoagulasi dan faktor koagulasi aktif sehingga proses koagulasi akan terhambat.
GPllb/llla aktif beragregas~GP liblllla ditempati fibrinogen yang rnenjembatani trombosit yang berdekatan
Gambar 7. Agregasi trombosit
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Menghancurkan Va
( Trornbin Epmefrin
llT'Ty
Protein S\
1(
1I
Trornbornolud~n
Heparan
Aktivator plasrninogen (tPA) (@A)
Gambar 8. Endotel dan proteksi trombosis
Faktor lain yang berperanan terhadap trombosis arteri yaitu: aterotrombosis. Faktor risiko aterotrombosis dapat digolongkan sebagai: Umum yaitu umur dan obesitas Genetik,jenis kelamin, dan PA1 Gaya hidup, rokok, diet d m kurang olahraga Inflarnasi,CRP dan ligan CD 40, IL-6 meningkat, faktor protrombotik dan fibrinogen meningkat Kondisi sistemik, hipertensi, hiperlipidemia, Lpa meningkat, homosisteinemia, estrogen, diabetes, trombofilia, sidrom hiperviskositas, sindrom leukositosis dan polisitemia Faktor lokal, pola aliran darah, shear stress, diameter pembuluh darah, struktur dinding arteri dan persentase. stenosis arteri. Gejala trombosis termasuk trombosis tergantung dari lokasi dan besarnya trombus.Trombosis pada arteri serebral akan mengakibatkan Transient ischemic attack (TIA) atau strok iskemik.Trombosis pada arteri koroner mengakibatkan angina pektoris atau infark miokard. Trombosis pada arteri perifer akan menyebabkan klaudikasio intermiten atau nekrosislgangren. Trom bosis Vena Trombus vena biasanya dimulai di vena betis yang kemudian meluas sampai vena proksimal.Trombus biasanya dibentuk pada daerah aliran darah yang lambat atau yang terganggu.Sering dimulai sebagai deposit kecil pada sinus vena besar di betis pada puncak kantong vena baik di vena dalam betis maupun di paha atau pada vena yang langsung terkena trauma. Pembentukan, perluasan d m pelarutan trombus vena dan emboli paru mencerminkan suatu keseimbangan antara yang menstimulasi trombosis dan yang mencegah trombosis. Virchow lebih dari satu abad yang lalu telah mengemukakan faktor yang berperan pada trombosis vena yang terkenal dengan Triad Erchow yaitu, koagulasi darah, stagnasi dan kerusakan pembuluh darah.
Aktivasi koagulasi melalui jalur instrinsik dapat terjadi karena kontak FXII dengan kolagen pada subendotelium pembuluh darah yang rusak. Aktivasi melalui jalur intrinsik jaringan yang rusak masuk aliran darah mengaktifkan F.VII. Baik jalur intrinsik maupun jalur ekstrinsik akhirnya akan membentuk fibrin. Pada penyakit kanker F.X dapat langsung diaktifkan oleh sistein yang dikeluarkan sel kanker. Beberapa kelainan herediter dan kondisi tertentu disertai dengan meningkatnya faktbr koagulasi dan menjadi predisposisi trombosis. Kehamilan disertai dengan meningkatnya F.11, F.VII dan F.X. Golongan darah bukan 0 pada sebagian populasi disertai dengan meningkatnya F.VII1. Mutasi gen protrombin menyebabkan meningkatnya kadar protrombin. Mutasi gen protrombin ini terjadi 1-4% pada populasi kaukasian normal dan ditemukan 4- 18% pasien dengan Tromboemboli Vena. Tetapi ha1 serupa jarang ditemukan pada populasi Asia dan Afrika. Stasis merupakan predisposisi trombosis karena: mencegah faktor koagulasi aktif dilarutkan oleh darah yang tidak aktif, mencegah klirens faktor kpagulasi aktif mencegah bercampumya faktor koagulasi aktif dengan penghambatnya Stasis dapat diakibatkan oleh imobilitas, obstruksi vena dilatasi vena d m meningkatnya viskositas darah. Imobilitas dapat diakibatkan strok, atau berbaring lama. Obstruksi dapat karena kompresi dari luar atau sekunder karena trombosis vena sebelumnya. Viskositas darah meningkat karena polisitemia, disproteinemia dan fibrinogen yang meningkat. Vasodilatasi vena terjadi pada pasien vena varikosa, orang tua terutama kalau berbaring lama, kehamilan dan estrogen. Pembuluh Darah Rusak Trauma pada pasien merupakan faktor risiko tromboemboli vena. Trauma pada pembuluh darah menyebabkan kerusakan endotel sebagai respon terhadap trauma dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PATOGENESISTROMBOSIS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
inflamasi akan diproduksi sitokin. Sitokin akan menstimulasi sintesis PAI-1 dan menyebabkan sistem fibrinolisis. berkurang. Aktivasi koagulasi dapat terjadi melalui jalur instrinsik yaitu terjadi kontak EX11 dengan kolagen pada subendotelium, atau melalui jalur ekstrinsik yaitu tromboplastin masuk dalam darah akibat kerusakan sel. Aktivasi koagulasi baik melalui jalur instrinsik maupun melalui ekstrinsikkeduanya akan mengaktifkan EX menjadi F.X aktif dan selanjutnya akan menyebabkan terbentuknya fibrin. Kerusakan endotel vena juga menyebabkan trombosit menempel pada subendotelial dan trombosit beragregasi pada lokasi akumulasi leukosit. Kolagen akan mengaktifkan F.XII, sedang trombosit mengaktifkan EX11 dan F.XI.
FAKTOR RlSlKO TROMBOSIS
Berdasarkan data-data yang ditemukan faktor risiko trombosis: operasi besar, operasi ortopedi, trauma, kehamilan dan nifas, penyakit jantung, penyakit saraf, kanker dan kemoterapi pada penyakit kanker, umur, obesitas, jenis kelamin, varicose vena, riwayat tromboemboli vena, imobilisasi yang lama, golongan darah, terapi hormon, lainlain. Operasi Operasi disertai dengan faktor risiko yang multipel untuk tromboemboli vena (VTE), prevalens meningkat dengan meningkatnya umur. Pemakaian profilaksis untuk risiko VTE menurunkan angka kejadian VTE pada pasien yang mengalami operasi. Pada operasi ortopedi rata-rata trombosis vena dalam (DVT) terjadi pada 50% pasien. Kehamilan Keharnilan juga dilaporkan menyebabkan meningkatnya risiko trombosis karena meningkatnya faktor-faktor koagulasi, F 11, F VII dan F X. karena menurunnya kadar Protein S dan terhambatnya sistim fibrinolisis.
mengalami trombosis vena dalam. Pada 2 studi strok internasional, dari 4859 pasien ditemukan 0,9% dengan gejala emboli paru dalam 14 hari dari mulai terjadinya strok iskemik dan hampir separuhnya fatal. Pada studi strok akut di Cina dari 10320 pasien, 0,2% di diagnosis dengan gejala emboli paru dalam waktu empat minggu sesudah kejadian strok iskemik dan separuhnya fatal.
KeganasanlKan ker Dilaporkan bahwa keganasan merupakan faktor risiko untuk tromboemboli vena (VTE) yang menjalani operasi. Tetapi ternyata pada pasien yang tidak menjalani operasi ditemukan VTE dan ada hubungannya dengan keganasan tadi. Pasien dengan keganasan mempunyai risiko 3kali terjadinya VTE. Hal ini karena sel kanker dapat mengeluarkan prokoagulan yang mengaktifkan koagulasi. Kanker sendiri dapat menyebabkan penekanan pembuluh darah vena. Bahkan pasien kanker yang mendapat kemoterapi akan meningkatkan terjadinya VTE. Umur Umur lanjut disertai dengan peningkatan insiden dari tromboemboli vena (VTE). Berdasarkan hasil autopsi di satu rumah sakit ditemukan insidens emboli paru rendah lebih pada pasien lebih mudah dari 40 tahun, tetapi kemudian insidens meningkat secara tajam dengan kenaikan umur. Survei lain autopsi dilakukan pada orang yang mati karena terbakar dan luka, ditemukan pada trombosis vena pada 47% pasien yang lebih muda dari 45 tahun, 62% pada pasien umur 46-75 tahun dan 74 % pada umur di atas lebih 75 tahun. Penelitian pada pasien pascaoperasi di rumah sakit dilakukan scanning kaki untuk mendiagnosis DVT tanpa gejala menunjukkan meningkatnya umur menjadi faktor risiko yang utama. Umur juga menunjukkan meningkatnya DVT yang tanpa gejala yang diagnosis ditegakkan dengan venografi pada pasien sesudah mengalami hip replacement. Apabila dilakukan analisis multivariat sesudah disesuaikan dengan faktor risiko yang menyertai seperti obesitas, ada atau tidak ada keganasan, lama anestesi, jenis operasi, dan sebelumnya ada trombosis menunjukkan tetap ada asosiasi dengan umur.
Penyakit Jantung Infark miokard dilaporkan meningkatkan kejadian DVT 2040% selama 10- 14 hari sesudah infark miokard. Penyakit gagal jantung kongestif pada otopsi ditemukan insiden emboli paru meningkat. Pada 150 pasien dengan gagal jantung kongestif 10 dari 20 pasien yang meninggal dan diotopsi 5 diantaranya ditemukan emboli paru. Gagal jantung kongestif ditemukan menjadi faktor risiko independen untuk VTE.
Obesitas Obesitas dilaporkanjuga merupakan faktor risiko terjadinya trombosis. Obesitas dengan indeks masa tubuh >20,9 kg/ mm2ditemukan menjadi faktor risiko independen (RR 3,O untuk pulmonari yang bergejala dalam suatu kesehatan perawatan)
Penyakit Neurologi Dari 8 studi strok secara keseluruhan ditemukan 53 % pasien
Jenis Kelamin Tiga studi melaporkan bahwa jenis kelamin perempuan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUKREFERENSI dr. PRIYO PANJI
dapat menjadi faktor risiko independen yang lemah. Di Amerika insidens tromboemboli vena bergejala umumnya diturunkan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. Di Swedia, insidens trombosis vena dalam pada laki-laki dan perempuan hampir sama. Namun demikian di inggris, kematian akibat emboli paru 50% lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Dan insiden VTE yang bergejala umumnya ditemukan lebih tinggi lakilaki daripada perempuan di Amerika Utara.
Riwayat VTE Riwayat pernah tromboeboli vena (VTE) menunjukkan hubungan yang sangat kuat dengan meningkatnya trombosis vena dalam (DVT) pascaoperasi. Dari 3 studi dan analisis multvariat ditemukan riwayat positif DVT merupakan faktor risiko independen. lmobilisasi Studi percobaan menunjukkan stasis vena merupakan faktor penting dalam pembentukan trombus vena .Gibbs melaporkan dari hasil autopsi 253 pasien ditemukan adanya hubungan antara lamanya berbaring dan kejadian trombosis vena . Kejadian trombosis vena pada pasien yang berbaring kurang dari satu minggu, ditemukan hanya 15%, sedangkan pada pasien yang berbaring lebih dari satu minggu kejadian lebih dari 80%. Sindrom klas ekonomi pada mereka yang naik pesawat terbang lebih dari 6 jam juga disebut sebagai faktor risiko trombosis vena. Gol Darah Ditemukan hubungan negatif antara golongan darah 0 dan VTE. Golongan darah 0 menunjukkan kejadian DVT kurang dibandingkan dengan populasi normal, Swedia 3 1% vs 39%, Belgia 29% vs 46%. Golongan darah bukan 0 disertai dengan meningkatnya kadar F.VIII dan faktor von Willebrand, mungkin sebagai faktor penyebab meningkatnya kejadian VTE. HormonlKontrasepsi oral Estrogen yang ada dalam kontrasepsi oral potensial menyebabkan trombosis karena menurunkan kadar protein S meningkatkan faktor VII, dan meningkatkan protein C resisten. Meningkatnya faktor risiko VTE dengan kontrasepsi oral ini berhubungan dengan pasien yang mempunyai faktor risiko tambahan misalnya faktor V Leiden.
Brandjes DPM, ten Cate JW, et al. Pre-surgical identification of the patient at risk for developing venous thromboembolism postoperatively. Acta Chir Scand. 1990;556(Suppl): 18-21. Clarke-Pearson DL, DeLong ER et al. Variables associated with postoperative deep venous thrombosis: a prospective study of 41 1 gynecology patients and creation of a prognostic model. Obstet Gynecol. 1987;69: 146-50. Clarke-Pearson DL, DeLong ER, et al. Variables associated with postoperative deep venous thrombosis: a prospective study of 41 1 gynecolog patients and creation of prognostic model. Obstet Gynecol. 1987;69: 146-50. Colman RW. Clowes AW, George JN. Overview of hemostasis in hemostasis thrombosis. Lippincott Williams Wilkins. 2001. p. 3-16. Eriksson Bl, Ekman S, et al. Prevention of deep vein thrombosis after total hip replacement direct thrombin inhibition with recombinant hirudin, CGP 39393. Lancet. 1996;347;635-9. Eriksson BI, Wille-Jorgensen P, et al. A comparison of recombinant hirudin with a low molecular weight heparin to prevent thromboembolic complications after total hip replacement. N Engl J Med. 1997;337:1329-35. Flordal PA, Bergqvist D, et al. Clinical relevance of the fibrinogen uptake test in patients having general abdominal surgery: relation to major thromboembolism and mortality. Thromb Res. 1995;80:491-7. Hirsh J, Colman RW, Marder VJ, et al. Overview of thrombosis and treatment in hemostasis thrombosis. Lippincott Williams Wilkins; 2001. p. 1071-84. Kakkar VV, Howe CT, et al. Deep Vein Thrombosis of the leg: Is there a "high risk" group ? Am J Surg. 1970;120:527-30. Kearon C, Salzman EW, Hirsh J. Epidemilogy, pathogenesis and natural history of venous thrombosis Hemostasis Thrombosis. Lippincott Williams Wilkins; 2001. p. 1153-1177. Lefkovits, et al. NEJM. 1995;332:1553. Morrel MT, Dunnil MS. The postmortem incidence of pulmonary embolism in a hospital population. Br J Surg. 1968;55:347. Sevitt S, Gallagher N. Venous thrombosis and pulmonary embolism; a clinico-pathological study in injured and burned patients. Br J Surg. 1961;48:475-89. Veth (3, Meuwissen OJ et al. Prevention of postoperative deep vein thrombosis by a combination of subcutaneous heparin with subcutaneous dihydroergotamine or oral sulphinpyrazone. Thromb Haemost. 1985;54:570-3. Veth G, Meuwissen OJ, et al. Prevention of postoperative deep vein thrombosis by a combination of subcutaneous dihydroergotamine or oral sulphinpyrazone. Thromb Haemost. 1985;54:5703. Wille-Jorgensen P, Ott P. Predicting failure of low-dose prophylactic heparin in general surgical procedures. Surg Gynecol Obstet. 1990:171:126-30.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
HEMOFILIA A DAN B Linda W.A. Rotty
PENDAHULUAN Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah yang diturunkan (herediter)secara sex-linked recessive pada kromosom X (Xh). Meskipun hemofilia merupakan penyakit herediter tetapi sekitar 2030% pasien tidak memiliki riwayat keluarga dkngan gangguan pembekuan darah, sehingga diduga terjadi mutasi spontan akibat lingkungan endogen ataupun eksogen. Sampai saat ini dikenal 2 macam hemofilia yang diturunkan secara sex-linked recessive yaitu : Hemofilia A (hemofilia klasik), akibat defisiensi atau disfimgsi faktor pembekuan VIII (F VIIIc). Hemofilia B (Christmas disease) akibat defisiensi atau dishngsi F IX (faktor Christmas). Sedangkanhemofilia C merupakan penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor XI yang diturunkan secara autosomal recessive pada kromosom 4q32q35. Gen F VIII dan F IX terletak pada kromosom X serta bersifat resesif, maka penyakit ini dibawa oleh perempuan (karier, XXh) dan bermanifestasi klinis pada laki-laki (pasienXhY);dapat bermanifestasi klinis pada perempuan bila kedua kromosom X pada perempuan terdapat kelainan (XhXh), Penyakit ini pertama kali dikenal pada keluarga Judah yaitu sekitar abad kedua sesudah Masehi di Talmud. Pada awal abad ke-19 sejarah modern hemofilia baru dimulai dengan dituliskannya silsilah keluarga Kerajaan Inggris mengenai penyakit ini oleh Otto (tahun 1803). Sejak itu hemofilia dikenal sebagai kelainan pembekuan darah yang diturunkan secara X-linked recessive, sekitar setengah abad sebelum hukum Mendel diperkenalkan. Selanjutnya Legg pada tahun 1872 berhasil membedakan hemofilia dari penyakit gangguan pembekuan darah lainnya berdasarkan gejala klinis; yaitu berupa kelainan yang diturunkan
dengan kecenderungan perdarahan otot serta sendi yang berlangsung seumur hidup. Pada permulaan abad 20, hemofilia masih didiagnosis berdasarkan riwayat keluarga dan gangguan pembekuan darah. Pada tahun 1940-1950 para ahli baru berhasil mengidentifikasi defisiensi F VIII dan F IX pada hemofilia A dan hemofilia B. Pada tahun 1970 berhasil diisolasi F VIII dari protein pembawanya di plasma, yaitu faktor von Willebrand (F vW), sehingga sekarang dapat dibedakan kelainan perdarahan akibat hemofilia A dengan penyakit von Willebrand. Memasuki abad 2 1, pendekatan diagnostik dengan teknologi yang maju serta pemberian faktor koagulasi yang diperlukan mampu membawa pasien hemofilia melakukan aktivitas seperti orang sehat lainnya tanpa hambatan.
Penyakit ini bermanifestasi klinik pada laki-laki. Angka kejadian hemofiliaA sekitar 1: 10.000 orang dan hemofilia B sekitar 1: 25.000-30.000 orang. Belum ada data mengenai angka kekerapan di Indonesia, namun diperkirakan sekitar 20.000 kasus dari 200 juta penduduk Indonesia saat ini. Kasus hemofilia A lebih sering dijumpai dibandingkan hemofilia B, yaitu berturut-turut mencapai 80-85% dan 1015% tanpa memandang ras, geografi dan keadaan sosial ekonomi. Mutasi gen secara spontan diperkirakan mencapai 20-30% yang terjadi pada pasien tanpa riwayat keluarga.
Legg mengklasifikasikan hemofilia berdasarkan kadar atau aktivitas faktor pembekuan (F VIII atau F IX) dalam plasma. Kadar faktor pembekuan normal sekitar 0,5- 1,5 Uldl(50-
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
150%); sedangkan pada hemofilia berat bila kadar faktor pembekuan
Berat Aktivitas F VllllF IX- Ulml (%) Frekuensi Hemofilia A (%) Frekuensi Hemofilia B (%) Usia awitan Gejala neonatus
< 0,01 ( 4 )
Sedang
Ringan > 0,05 (>5)
70
0,Ol-0,05 (1-5) 15
50
30
20
-< 1 tahun
1-2 tahun sering PCB jarang ICB
> 2 tahun tak pernah PCB jarang sekali ICB trauma cukup kuat jarang
sering PCB
Perdarahan ototl sendi Perdarahan SSP
kejadian ICH tanpa trauma risiko tinggi
Perdarahan post operasi
sering dan fatal
trauma ringan risiko sedang butuh bebat
Perdarahan oral (trauma, cabut gigi)
sering terjadi
dapat terjadi
15
pada operasi besar kadang terjadi
Keterangan: PCB = Post circumcisional bleeding; ICH = Intracranial hemorrhage
GEJALA DAN TANDA KLlNlS Perdarahan mempakan gejala dan tanda klinis khas yang sering dijumpai pada kasus hemofilia. Perdarahan dapat timbul secara spontan atau akibat trauma ringan sampai sedang serta dapat timbul saat bayi mulai belajar merangkak. Manifestasi klinis tersebut tergantung pada beratnya hemofilia (aktivitas faktor pembekuan). Tanda perdarahan yang sering dijumpai yaitu berupa hemartrosis, hematom subkutanlintramuskular, perdarahan mukosa mulut, perdarahan intrakranial, epistaksis dan hematuria. Sering pula dijumpai perdarahan yang berkelanjutan pascaoperasi kecil (sirkumsisi, ekstraksi gigi). Hemartrosis paling sering ditemukan (85%) dengan lokasi berturut-turut sebagai berikut, sendi lutut, siku, pergelangan kaki, bahu, pengelangan tangan dan lainnya. Sendi engsel lebih sering mengalami hemartrosis dibandingkan dengan sendi peluru, karena
ketidakmampuannya menahan gerakan berputar dan menyudut pada saat gerakan volunter maupun involunter, sedangkan sendi peluru lebih mampu menahan beban tersebut karena fungsinya. Hematoma intramuskular terjadi pada otot-otot fleksor besar, khususnya pada otot betis, otot-otot regio iliopsoas (sering pada panggul) dan lengan bawah. Hematoma ini sering menyebabkan kehilangan darah yang nyata, sindrom kompartemen, kompresi saraf dan kontraktur otot. Perdarahan intrakranial merupakan penyebab utama kematian, dapat terjadi spontan atau sesudah trauma. Perdarahan retroperitoneal dan retrofaringeal yang membahayakan jalan napas dapat mengancam kehidupan. Hematuria masif sering ditemukan dan dapat menyebabkan kolik ginjal tetapi tidak mengancam kehidupan. Perdarahan pascaoperasi sering berlanjut selama beberapa jam sampai beberapa hari, yang berhubungan dengan penyembuhan luka yang buruk.
DIAGNOSIS Sampai saat ini riwayat keluarga masih mempakan cara terbaik untuk melakukan tapisan pertama terhadap kasus hemofilia, meskipun terdapat 20-30% kasus hemofilia terjadi akibat mutasi spontan kromosom X pada gen penyandi F VIII / F IX. Seorang anak laki-laki diduga menderita hemofilia jika terdapat riwayat perdarahan berulang (hemartrosis, hematom) atau riwayat perdarahan memanjang setelah trauma atau tindakan tertentu dengan atau tanpa riwayat keluarga. Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting sebelum memutuskan pemeriksaan penunjang lainnya. Kelainan laboratorium ditemukan pada gangguan uji hemostasis, seperti pemanjangan masa pembekuan (CT) dan masa tromboplastin partial teraktivasi (aPTT), abnormalitas uji thromboplastin generation, dengan masa perdarahan dan masa protrombin (PT) dalam batas normal. Diagnosis definitif ditegakkan dengan berkurangnya aktivitas F VIIIIF IX, dan jika sarana pemeriksaan sitogenetik tersedia dapat dilakukan pemeriksaan petanda gen F VIIIE IX. Aktivitas F VIII 1F IX dinyatakan dalam U/ ml dengan arti aktivitas faktor pembekuan dalam 1 ml plasma normal adalah 100%.Nilai normal aktivitas F VIIIE IX adalah 0,5-1,5 U/ml atau 50-150%. Harus diingat adalah membedakan hemofilia A dengan penyakit von Willebrand, dengan melihat rasio F VIIIc: F VIIIag dan aktivitas F vW (uji ristosetin) rendah. (Tabel 2) Diagnosis antenatal sebenarnya dapat dilakukan pada ibu hamil dengan risiko. Pemeriksaan aktivitas F VIII dan kadar antigen F VIII dalam darah janin pada trimester kedua
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HEMOFILIA A DAN B
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Pewarisan
Hemofilia A
Hemofilia B
Penyakit von Willebrand
X-linked recessive Sendi, otot, pascatrauml operasi
Autosomal dominant Mukosa, kulit post trauma operasi
Jumlah trombosit
Normal
X-linked recessive Sendi, otot, post trauma1 operasi Normal
Waktu perdarahan
Normal
Normal
Memanjang
PPT aPTT
Normal Memanjang
Normal Memanjang
F VIII C F VIII AG F IX Tes ristosetin
Rendah Normal Normal Normal
Normal Normal Rendah Normal
Normal Memanjangl normal Rendah Rendah Normal Terganggu
Lokasi perdarahan utama
Normal
Keterangan: PPT: plasma protrombin time, aPTT: activated parfial tromboplastin time
dapat membantu menentukan status janin terhadap kerentanan hemofilia A. Identifikasi gen F VIII dan petanda gen tersebut lebih baik dan lebih dianjurkan. Seorang perempuan diduga sebagai pembawa sifat hemofilia (karier)jika dia memiliki lebih dari satu anak lelaki pasien hemofilia atau mempunyai seorang atau lebih saudara laki-laki dan seorang anak lelaki pasien hemofiia atau ayahnya pasien hemofilia (Gambar 1). Deteksi pada hemofilia A karier dapat dilakukan dengan menghitung rasio aktivitas F VIIIc dengan antigen FVIIIvW. Jika nilai kurang dari 1 memiliki ketepatan dalam menentukan hemofilia karier sekitar 90%; namun hati-hati pada keadaan hamil, memakai kontrasepsi hormonal dan terdapatnya penyakit hati karena dapat meningkatkan aktivitas F VIIIc. Aktivitas F VIII rata-rata pada karier 50%, tetapi kadangkadang <30% dan dapat terjadi perdarahan sesudah trauma atau pembedahan. Analisis genetika dengan menggunakan DNA probe, yaitu dengan cara mencari lokus polimorfik pada kromosom X akan memberikan informasi yang lebih tepat.
DIAGNOSIS BANDING HemofiliaA dan B dengan defisiensi faktor XI dan XII. Hemofilia A dengan penyakit von Willebrand (khususnya varian Normandy), inhibitor F VIII yang didapat dan kombinasi defisiensi F VIII dan V kongenital. Hemofilia B dengan penyakit hati, pemakaian warfarin, defisiensi vitamin K, sangat jarang inhibitor F IX yang didapat.
Gambar 1. Pohon keluarga hemofilia keterangan: XX
=
Perempuan sehat
XhX = Perempuan karier
XY =Laki-laki sehat XhY=Perempuan karier
PENATALAKSANAAN Terapi Suportif Pengobatan rasional pada hemofilia adalah menormalkan kadar faktor anti hemofilia yang kurang. Namun ada beberapa ha1 yang hams diperhatikan: Melakukan pencegahan baik menghindari lukal benturan. Merencanakan suatu tindakan operasi serta mempertahankan kadar aktivitas faktor pembekuan sekitar 30-50%. Untuk mengatasi perdarahan akut yang terjadi maka dilakukan tindakan pertarna seperti rest, ice, compressio, elevation (RICE) pada lokasi perdarahan. Kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid sangat membantu untuk menghilangkan proses inflamasi pada sinovitis akut yang terjadi setelah serangan akut hemartrosis. Pemberian prednison 0 3 - 1 mgkg BBIhari selama 5-7 hari dapat mencegah terjadinya gejala sisa berupa kaku sendi (artrosis) yang mengganggu aktivitas harian serta menurunkan kualitas hidup pasien hemofilia. Analgetika. Pemakaian analgetika diindikasikan pada pasien hemartrosis dengan nyeri hebat, dan sebaiknya dipilih analgetika yang tidak mengganggu agregasi trombosit (harus dihindari pemakaian aspirin dan antikoagulan). Rehabilitasi medik. Sebaiknya dilakukan sedini mungkin secara komprehensif dan holistik dalam sebuah tim, karena ketelambatan pengelolaan akan menyebabkan kecacatan dan ketidakmampuan baik fisik, okupasi maupun psikososial dan edukasi. Rehabilitasi medik artritis hemofilia meliputi : latihan pasiflaktif, terapi dingin dan panas (hati-hati), penggunaan ortosis, terapi psikososial dan terapi rekreasi serta edukasi.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Terapi Pengganti Faktor ~ e m b e k u a n Pemberian faktor pembekuan dilakukan 3 kali seminggu untuk menghindari kecacatan fisik (terutama sendi) sehingga pasien hemofilia dapat melakukan aktivitas normal. Namun untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan faktor anti hemofilia (AHF) yang cukup banyak dengan biaya yang tinggi. Terapi pengganti faktor pembekuan pada kasus hemofilia dilakukan dengan memberikan F VIII atau F IX, baik rekombinan, konsentrat maupun komponen darah yang mengandung cukup banyak faktor-faktor pembekuan tersebut. Pemberian biasanya dilakukan dalam beberapa hari sampai luka atau pembengkakan membaik; serta khususnya selama fisioterapi. Konsentrat F VllllF IX Hemofilia A berat maupun hemofilia ringan dan sedang dengan episode perdarahan yang serius membutuhkan koreksi faktor pembekuan dengan kadar yang tinggi yang harus diterapi dengan konsentrat F VIII yang telah dilemahkan virusnya. Faktor IX tersedia dalam 2 bentuk yaitu prothrombin complex concentrates (PCC) yang berisi F 11, VII, IX dan X, dan purijied F IX concentrates yang berisi sejumlah F IX tanpa faktor yang lain. PCC dapat menyebabkan trombosis paradoksikal dan koagulasi intravena tersebar yang disebabkan oleh sejumlah konsentrat faktor pembekuan lain. Risiko ini dapat meningkat pada pemberian F IX berulang, sehingga purljied konsentrat F IX lebih diinginkan. Waktu paruh F VIII adalah 8- 12jam sedangkan F IX 24 jam dan volum distribusi dari F IX kira-kira 2 kali dari F
m. Kebutuhan F VIII 1 F IX dihitung berdasarkan rumus: 1. Volume plasma (VP) = 40 ml/kgBB x BB (kg) F VIII / F IX yang diinginkan (U) = VP x (kadar yang diinginkan (%) - kadar sekarang (%) 100 2. F VIII yang diinginkan (U) = BB(kg) x kadar yang diinginkan (%) I 2
F IX yang dinginkan (U) = BB (kg) x kadar yang diinginkan (%) Metode penghitungan alternatif lain adalah satu unit F VIII mampu meningkatkan aktivitasnya di dalam plasma 0,02 U/ml(2%) selama 12jam; sedangkan 1 unit F IX dapat meningkatkan aktivitasnya di dalam plasma sampai 0,O 1 Ulm (1%) selama 24 jam.
Penuntun penggunaan pengganti faktor pembekuan pada perdarahan hemofilia tergantung kasus per kasus. (Tabel 3)
Kriopresipitat AHF Kriopresipitat AHF adalah salah satu komponen darah non selular yang merupakan konsentrat plasma tertentu yang mengandung F VIII, fibrinogen, faktor von Willebrand. Dapat diberikan apabila konsentrat F VIII tidak ditemukan. Satu kantong kriopresipitat berisi 80-100 U F VIII. Satu kantong kriopresipitat yang mengandung 100 U F VIII dapat meningkatkan F VIII 35%. Efek samping dapat terjadi reaksi alergi dan demam. I-deamino 8-D Arginin Vasopresin (DDAVP) atau Desmopresin Hormon sintetik anti diuretik (DDAVP) merangsang peningkatan kadar aktivitas F VIII di dalam plasma sampai 4 kali, namun bersifat sementara. Sampai saat ini mekanisme kerja DDAVP belum diketahui seluruhnya, tetapi dianjurkan untuk diberikan pada hemofilia A ringan dan sedang dan juga pada karier perempuan yang simtomatik. Pemberian dapat secara intravena dengan dosis 0,3mg/kg BB dalam 30-50 NaCl0,9% selama 15-20 menit dengan lama kerja 8 jam. Efek puncak pada pemberian ini dicapai dalam waktu 30-60 menit. Pada tahun 1994 telah dikeluarkan konsentrat DDAVP dalam bentuk semprot intranasal. Dosis yang dianjurkan untuk pasien dengan BB <50 kg 150 mg (sekali semprot), dan 300 mg untuk pasien dengan BB >50 kg (dua kali semprot), dengan efek puncak terjadi setelah 6090 menit. Pemberian DDAVP untuk pencegahan terhadap kejadian perdarahan sebaiknya dilakukan setiap 12-24jam. Efek samping yang dapat terjadi berupa takikardia,$ushing, trombosis (sangat jarang) dan hiponatremia. Juga bisa timbul angina pada pasien dengan PJK. Antifibrinolitik Preparat antifibrinolitik digunakan pada pasien hemofilia B untuk menstabilisasikan bekuanlfibrin dengan cara menghambat proses fibrinolisis. Hal ini ternyata sangat membantu dalam pengelolaan pasien hemofilia dengan perdarahan; terutama pada kasus perdarahan mukosa mulut akibat ekstraksi gigi karena saliva banyak mengandung enzim fibrinolitik. Epsilon aminocaproic acid (EACA) dapat diberikan secara oral maupun intravena dengan dosis awal200 mglkg BB, diikuti 100 mglkg BB setiap 6 jam (maksimun 5 g setiap pemberian). Asam traneksamat diberikan dengan dosis 25 mglkg BB (maksimun 1,5 g) secara oral, atau 10 mgkg BB (maksimum 1 g) secara intravena setiap 8 jam. Asam traneksamat juga dapat dilarutkan 10% bagian dengan cairan parenteral, terutama salin normal.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1311
HEMOFILIA A DAN B
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Lokasi
Kadar Aktivitas Faktor Pembekuan
Hemofilia A
Hemofilia B
Sendi
40 - 80%
20 - 40 UlkgBBlhari
Otot
40 - 80%
20 - 40 UlkgBBlhari
Mukosa rnulut
50% dilanjutkan antifibrinolitik 80 - 100%
25 UlkgBB
30 - 40 UIkgBB selang sehari 30 - 40 UIkgBB selang sehari 50 UlkgBB
40 - 50 UlkgBB
80 - 100 UlkgBB kernudian
Kemudian 30 - 40 UlkgBBlhari 40 - 50 UlkgBB kernudian 30 - 40 UlkgBBlhari 40 - 50 UlkgBB kernudian 30 - 40 UlkgBBlhari 50 UlkgBB kernudian 25 Ulkg BB112 jam atau per infus 50 UlkgBB kernudian 50 UlkgBB112 jam atau per infuse
70 - 80 UlkgBB selang sehari 80 - 100 UAgBB kernudian 70 - 80 UlkgBB selang sehari 80 100 UIkgBB kemudian 70 - 80 UlkgBB selang sehari 100 UlkgBB kemudian 50 UlkgBBlhari atau per infus
Epistaksis
dipertahankan 30% Gastrointestinal
loo%, kemudian dipertahankan 30%
Genitourinaria
loo%, kernudian dipertahankan 30%
SSP
loo%, kernudian dipertahankan 50 100 %
Traumaloperasi
loo%, kernudian 50% sarnpai luka rnenutup, dipertahankan 30%
Terapi Gen Penelitian terapi gen dengan menggunakan vektor retrovirus, adenovirus dan adeno-associated virus memberikan harapan baru bagi pasien hemofilia. Saat ini sedang intensif dilakukan penelitian invivo dengan memindahkan vektor adenovirus yang membawa gen antihemofilia ke dalam sel hati. Gen F VIII relatif lebih sulit dibandingkan gen F IX, karena ukurannya (9 kb) lebih besar; namun akhir tahun 1998 para ahli berhasil melakukan pemindahan plasmid-based factor VIII secara ex vivo ke fibroblas.
PENYULIT PENGOBATAN Inhibitor Faktor Pembekuan Penyulit yang berpotensi mengancam kehidupan pasien hemofilia adalah terbentuknya antibodi poliklonal terhadap F VIII atau F IX. Antibodi ini akan menghambat aktivitas faktor pembekuan, sehingga pemberian terapi pengganti kurang efektif atau bahkan tidak efektif sama sekali. Mekanisme terbentuknya antibodi ini belum diketahui secara menyeluruh; kemungkinan sensitisasi berulang akibat pemberian komponen darah atau konsentrat faktor pembekuan, namun ternyata inhibitor ini dapat ditemukan pada anak-anak hemofilia A yang hanya diberi faktor pembekuan rekombinan atau bahkan pads mereka yang tidak pernah diterapi. Biasanya ditemukan secara tidak sengaja (pasien asimtomatik) saat
-
100 UlkgBB kemudian 50 UlkgBBlhari atau per infus
Modalitas Terapi Lain Istirahat/irnobilisasi/fisioter api Istirahat/imobilisasi/fisioter api Antifibrinolitik Jangan gunakan PCCs Tampon1 kauterisasi pleksus Kisselbach
Antifibrinolitik (dapat digunakan) Prednison 1-2 mglhari selama 5-7 hari mungkin berguna Antikonvulsan; pungsi lurnbal harus dilindungi F pernbekuan Rencana pengelolaan ora dan pasca operasi sangat rnenentukan
evaluasi klinis terhadap pemeriksaan laboratorium rutin; atau yang sering (pasien simtomatik) adalah tidak diperolehnya respons klinis terhadap pemberian faktor pembekuan maupun kebutuhan faktor pembekuan yang meningkat dibanding dengan sebelumnya. Telah dilaporkan dapat terjadi reaksi anafilaksis yang berhubungan dengan inhibitor faktor pembekuan pada hemofilia B. Angka kejadian terbentuknya inhibitor terhadap faktor pembekuan pada hemofilia A sedang dan berat sekitar 2033%, sedangkan pada hemofilia B hanya 1-4%. Upaya mengatasi penyulit ini adalah dengan pemberian konsentrat kompleks protrombin aktif meskipun kurang aman; atau F VIII aktif yang harganya mahal jika terjadi perdarahan. Hyate C@yang mengandung F VIII porcine merupakan pilihan lain untuk pasien hemofilia A dengan inhibitor F VIII. Plasmaferesis dapat juga dilakukan terutama dalam mengatasi keadaan kritis pada pasien dengan antibodi faktor pembekuan. Imunomodulator seperti siklofosfamid dosis rendah, gama globulin dosis tinggi atau steroid dapat diberikan meskipun hasilnya belum dapat diramalkan secara klinis; namun mampu membuat toleransi terhadap respon imun (immune mlerance). Penularan Penyakit Penularan penyakit melalui produk darah cukup tinggi terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, seperti hepatitis, malaria, HIV, HTLV- 1, virus Epstein Barr,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
HHV-6, cytomegalo virus, parvovirus B 19, penyakit Chagas, penyakit Lyme dan penyakit Creutzfeld-Jacob.Hal tersebut dilatarbelakangi keadaan sosial ekonomi yang berdampak pada pelayanan, sarana dan fasilitas kesehatan.
Reaksi alergi Hipertensi pulmoner primer
Komplikasi yang sering ditemukan adalah artropati hemofilia; yaitu penimbunan darah intra artikular yang menetap dengan akibat degenerasi kartilago dan tulang sendi secara progresif. Hal ini menyebabkan penurunan sampai rusaknya fungsi sendi. Hemartrosis yang tidak dikelola dengan baik juga dapat menyebabkan sinovitis kronik akibat proses peradangan jaringan sinovial yang tidak kunjung henti. Sendi yang sering mengalami komplikasi adalah sendi lutut, pergelangan kaki dan siku. Perdarahan yang berkepanjangan akibat tindakan medis sering ditemukan jika tidak dilakukan terapi pencegahan dengan memberikan faktor pembekuan darah bagi hemofilia sedang dan berat sesuai dengan macam tindakan medis itu sendiri (cabut gigi, sirkumsisi, apendektomi, operasi intra abdomenlintra torakal). (Tabel 3) Sedangkan perdarahan akibat trauma sehari-hari yang tersering berupa hemartrosis, perdarahan intramuskular dan hematom. Perdarahan intrakranial jarang terjadi, namun jika terjadi berakibat fatal.
REFERENSI Carol K. Management of hemophilia. N Engl J Med 1996; 331: 877-80. Cawthern KM, Veer C, Lock B et al. Blood coagulation in hemophilia A and hemophilia C. Blood 1998;91(12):4581-4592. DiMichele D, Neufeld EJ. Hemophilia a new approach to an old disease. Hematoi Clin North Am 1998; 6 : 1315-44.
Goodnight SH, Hathaway WE. Hemophilia A. In : Disorders of Hemostasis and Thrombosis, A Clinical Guide, 2"d Ed. McGrawHill Co, New York 2001, p. 127-139. Goodnight SH, Hathaway WE. Hemophilia B. In : Disorders of Hemostasis and Thrombosis, A Clinical Guide, 2ndEd. McGrawHill Co, New York 2001, p. 140-145. Goodnight SH, Hathaway WE. Coagulation factors concentrates. In : Disorders of Hemostasis and Thrombosis, A Clinical Guide, 2nd Ed. McGraw-Hill Co, New York 2001, p. 505-15. Gigna Healthcare Coverage Position. Factor VIII therapy 2004, p. 1-6 Hedner U, Ginsburg D, Lusher JM, High KA. Congenital hemorrhagic disorder : new insights into the pathophysiology and treatment of hemophilia. Hematol 2000; 67: 241-9. Hilman R, Ault KA. Hemophilia and other intrinsics pathway defects. In Hematology in Clinical Practice A Guide to Diagnosis and Management. McGraw Hill, NewYork, 1995, pp 447-88. Handin RI. Disorders of coagulation and thrombosis. In Braunwald E, Fauci AS, Kasner DL, et al (Eds). Harrison's Principles of Internal Medicine. 161h ed. McGraw Hill, New York, 2005, pp 971-7. 2004 Hemophilia. hhtp://www.avigen.com/HEMOPHILIA.HTM. Hemophilia A. hhtp://www.icondata.com/health/pedbase/fles HEMOPHIL. HTM. 2004. Hoyer LW. Hemophilia A. N Engl J Med 1994; 330 : 38-47. Kalev I, Kenderova V. Reflections on the treatment of hemophilia. Haemophilia 2002; 8 : 554-7. Linari S, Frusconi S, Passerini I, et al. Characterization patients with hemophilia A. Haemophilia 2002; 8 : 558-62. Miller DG, Stamatoyannopoulos G. Therapy for hemophilia. N Engl J Med 2001; 344: 1782-4. 0' Mahony B. Hemophilia program in the developing world. Lancet 2001; 358 ; 2118- 21. Park F, Ohashi K, Kay MA. Therapeutic levels of human factor VIlI and IX. Blood 2000; 96 : 1173-6. Ratnoff 0 . Historical review. British Journal of hematology 2003; 122-92. William WJ. Congenital deficiencies of coagulation factors including haemophilia. In : Williams Hematology. Companion Handbook, 5Ih Ed. McGraw-Hill International Edition, Toronto 1996, p. 355-62. White GC, Rosendaal F, Aledort LM. Definitions in hemophilia. Recommendation of the scientific subcommittee on factor VlIl and factor IX of the International Society on Thrombosis and Haemostasis. Thromb Haemost 2001; 85 : 560-72.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT VON WILLEBRAND
PENDAHULUAN Definisi Penyakit von Willebrand (PVW) adalah kelainan perdarahan herediter disebabkan oleh defisiensi faktor von Willebrand
jiwa terjadi pada kurang dari 5 orang per 1juta penduduk di negara-negara barat. Terdapat 3 varian utama PVW, masing-masing berbeda dalam beratnya gejala. PVW juga disebut sebagai pseudohemofilia atau hemofilia vaskular.
0. FVW membantu trombosit melekat pada dinding pembuluh darah dan antara sesamanya, yang diperlukan untuk pembekuan darah yang normal. Faktor von Willebrand
Faktor von Willebrand (FVW) adalah suatu glikoprotein multimer heterogen dalam plasma dengan dua fungsi utama: Memudahkan adhesi trombosit pada kondisi stres berat dengan menghubungkan reseptor membran trombosit ke subendotel pembuluh darah Bekerja sebagai pembawa plasma bagi faktor VIII, suatu protein koagulasi darah yang penting.
PENYAKIT VON WILLEBRAND (PWV)
Kelainan perdarahan kronis yang ditandai dengan agregasi trombosit maupun pembentukan bekuan tidak terjadi secara memadai. Kelainan adhesi trombosit mungkin karena kelainan reseptor trombosit intrinsik atau kelainad defisiensi molekul pelekat seperti FVW. PVW ditemukan melalui studi pedigree sebuah keluarga secara cermat di kepulauan Uland. Penyakit ini merupakan kelainan perdarahan herediter yang paling umum. Diturunkan sebagai satu sifat (trait) dominan autosomal dengan prevalensi sekitar 11100 sampai 31100.000 orang. Namun, PVW berat dengan riwayat perdarahan yang mengancam
KLASlFlKASl DAN PATOFlSlOLOGl
PVW disebabkan oleh kelainan kuantitatif danlatau kualitatif FVW, suatu protein faktor pembekuan yang diperlukan untuk interaksi antara trombosit-dinding pembuluh darah dan untuk pembawa faktor VIII. Pada banyak kasusjuga terdapat defisiensi faktor VIII. Kelainan yang nyata pada FVW bertanggung jawab terhadap 3 tipe utama PVW. Kelainan Kuantitatif FVW Tipe 1 dan 3 ditandai dengan kelainan kuantitatif FVW. Identifikasi kelainan gen adalah sulit pada tipe 1 dan 3 PVW. Tipe 1 merupakan kelainan yang ringan, dan menjadi kasus terbanyak. Pada PVW tipe 1,40% anggota keluarga kelompok ini membawa alele PVW namun dengan kadar FVW normal. Tipe 3 adalah bentuk yang terberat. Bentuk ini jarang terjadi. Kelainan Kualitatif FVW Tipe 2, yang terdiri dari subtipe 2A, 2B, 2M dan 2N, meliputi pasien dengan kelainan kualitatifFVW. Tipe 2 meliputi kelainan yang ringan sampai sedang, ditandai dengan gejala-gejala yang sifatnya sedang. Tipe 2A ditandai dengan penurunan fungsi FVW yang terkait trombosit dan termasuk subtipe IIA dan IIC. Tipe 2B, ditetapkan dengan meningkatnya afinitas FVW terhadap GPlb trombosit. Tipe 2N, ditandai oleh kelainan ikatan FVW pada faktor VIII.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
'
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Sangat banyaknya varian PVW mendorong usaha penyederhanaan klasifikasi kelainan ini (Tabel 1).
Tipe Revisi
Gambaran
Tipe Dahulu
1
Defisiensi parsial
2A
Varian F W yang ditandai dengan kehilangan multimer BM tinggi dan penurunan fungsinya yang tergantung trombosit (plateletdependent) F W dengan kehilangan multimer BM tinggi disebabkan oleh peningkatan afinitas terhadap GPl b trombosit Varian FVW dengan penurunan fungsi tergantung trombosit yang tidak berkaitan dengan kehilangan multimer BM tinggi Varian F W dengan penurunan afinitas terhadap faktor Vlll
28
2M
2N
3
Defisiensi berat F W
1-1 1-2 IA IIA IIG IIC IIH IID IIE IIF llB I New York Malmo IB Vicenza IC ID Defective Vlll binding Normandy 111
*Dari Sadler 1994; Friedman & Rodgers 2004
GAMBARAN KLlNlK Gejala paling sering terjadi meliputi: perdarahan gusi, hematuri,epistaksis,perdarahan saluran kemih, darah dalam feses, mudah memar, menoragi. Pasien PVW simtomatik, seperti pada gangguan fungsi trombosit lainnya, biasanya tampil dengan perdarahan mukokutan, terutama epistaksis, mudah memar, menoragi, dan perdarahan gusi dan gastrointestinal. Pasien dengan kadar faktor VIII yang sangat rendah bahkan dapat menunjukkan hemartrosis dan perdarahan jaringan dalam tubuh. Seringkali gambaran kelainan itu tidak nyata sampai tkrdapat faktor pemberat seperti trauma atau pembedahan. PVW dapat diturunkan sebagai satu sifat (trait) dominan atau resesif autosomal. Seringkali terdapat riwayat yang jelas dalam keluarga dengan perdarahan abnormal dan berat, namun daya tembus (penetrance) dan ekspresi gen yang mengalami mutasi sangat bervariasi. Meskipun orangtua dengan autosom dominan memindahkan gen yang abnormal ke 50% anakanaknya, penyakit dengan gejala yang nyata hanya pada 30-40% keturunannya. Pasien dengan gen resesif tunggal khas asimtomatik tetapi dapat menunjukkan kadar aktivitas antigen FVW abnormal. Keturunan dengan heterozigot ganda, yang diturunkan dari orangtua yang keduanya membawa gen cacat defective), menghasilkan penyakit berat (tipe 3 PVW
Meskipun jarang, PVW yang didapat, terlihat pada pasien dengan keadaan tertentu (states) penyakit limfoproliferatif atau imunologi akibat autoantibodi terhadap FVW.
DIAGNOSIS Diagnosis PVW memerlukan: kecurigaan terhadap gambaran klinis tingkat tinggi dan kecakapan pemanfaatan laboratorium. Bila pasien dalam keadaan kritis, sulit menetapkan diagnosis yang tepat. Bila PVW dianggap merupakan faktor penunjang pada perdarahan pasien, lebih dahulu harus diobati secara empiris dan penelusuran laboratoris yang rumit ditunda sampai pasien secara klinis stabil dan tidak mendapat produk darah dan obat selama beberapa minggu.
Pemeriksaan Laboratorium Hasil pemeriksaan laboratorium sangat beragam. Pola diagnosis paling sering merupakan kombinasi: pemanjangan BT penurunan kadar FVW plasma penurunan secara paralel kadar aktivitas biologi diperiksa dengan penentuan kadar kofaktor ristosetin penurunan aktivitas faktor VIII Beragamnya tes laboratoriurn dikaitkan pada sifat-sifat kelainan yang heterogen pada PVW maupun kenyataan bahwa kadarnya dalam plasma dipengaruhi oleh tipe golongan darah ABO, kelainan sistem saraf pusat, sistem inflamasi, dan kehamilan. Evaluasi Penapisan Untuk PVW hams mencakup pemeriksaan BT, hitung trombosit, PT, dan APTT PVW ringan tipe 1 biasanya hasil pemeriksaan normal. Bila penyakit lebih berat BT memanjang antara 15-30 menit sedang hitung trombosit normal. Pasien dengan defisiensi berat FVW atau kelainan faktor VIII mengikat FVW berakibat pemanjangan APTT, sekunder akibat menurunnya kadar faktor VIII dalam plasma. Untuk menetapkan diagnosis diperlukan pemeriksaan khusus kadar FVW dan hngsinya. Evaluasi Lengkap PVW
Diperlukanpemeriksaan aktivitasVIII:C, Ag:FVW, aktivitas (fungsi) FVW (ristocetin cofactor activity), dan analisis besarnya (size) multimer FVW menggunakan elektroforesis gel agarosa. Aktivitas faktor VIII diperiksa dari kemampuan dilusi plasma pasien untuk mengkoreksi pemanjangan APTT pada plasma yang kekurangan faktor VIII.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Tipe
BT
Ag : Vlll
Akt Kofaktor Ristocetin
Akt Koagulan F VIII
Multimer
2a
'P
4 or N
0
-b or N
Abnormal
2b
'P
&orN
4orN
'P
0
0
4 or N 0
Abnormal
3
Pseudo P W Hernofili A
'!'
&orN
6orN
4
Abnormal
N
N
N
* Meningkat dengan aspirin
Ag:FVW dihitung dengan assay enzyme-.like immunosorbent atau immunoassay, Aktivitas FVW dihitung dengan mencampur berbagai konsentrasi ristocetin dengan plasma pasien dan trombosit normal dalam agregometer. Derajat aktivitas FVW akan setara atau lebih rendah dibandingkan derajat Ag:FVW. Bergantung subtipe PVW, analisis multimer FVW sangat penting untuk diagnosis klasifikasi varian PVW tipe 2. Klasifikasi PVW penting untuk perencanaan pengelolaan klinis. Penyakit tipe 1-PVW tipe 1 adalah varian paling banyak hingga mencapai 80%. Beratnya gambaran klinis tipe ini sangat bervariasi, berhubungan dengan penurunan kadar FVW dalam plasma dan faktor VIII. Pada pasien yang bergejala, aktivitas Ag:FVW dan FVW menurun di bawah 50% nilai normal. Pasien dengan golongan darah 0 pada urnumnya menunjukkannilai FVW normal rendah dan tidak boleh langsung didiagnosis sebagai PVW tipe ringan. Oleh karena FVW merupakan protein pembawa FVIII dalam sirkulasi, kadar FVIII akan secara bermakna menurun pada pasien dengan penyakit tipe 1 yang berat, dan menyebabkan pemanjangan APTT. Analisis multimer FVW menunjukkan pola normal. PVW tipe 2-tipe ini ditandai oleh kelainan kualitatif FVW plasma. Hal ini dapat berakibat penurunan FVW yang lebih besar (PVW tipe 2A dan 2B) atau perubahan-perubahan beragam pada ikatan Ag:FVW dan faktor VIII (tipe 2M dan 2N PVW). Menghilangya multimer lebih besar menyebabkan penurunan yang tidak proporsional pada aktivitas FVW (ristocetin cofactor activity) bila dibandingkan dengan Ag:FVW. Aktivitas faktor VIII jarang menurun pada PVW tipe 2A, B, dan M tetapi menjadi berat pada PVW tipe 2N. Pasien PVW tipe 2 tidak mempunyai FVW multimer dengan BM tinggi atau sedang (intermediate) dalam plasma Kelompok heterogen ini, ditandai oleh paling tidak 2 defek yang nyata: produksi FVW (yang suseptibel
-N
Dari Lin ker 2002
terhadap proteolisis) dan destruksi yang meningkat menjelang sekresi selular. Beberapa pasien masih sanggup mengeluarkan multimer yang lebih besar ke dalarn sirkulasi bila dirangsang dengan DDAVP, yang lain menunjukkan sedikit atau tanpa respons. Pasien tipe 2A mempunyai tendensi perdarahan yang sedang. PVW tipe 2 menunjukkan FVW abnormal dengan afinitas meningkat terhadap reseptor GPIbIIX trombosit. Pemberian (loading;)multimer besar FVW pada trombosit menyebabkan p e n m a n yang nyata kadar FVW multimer dehgan BM tinggi atau sedang (intermediate) dalam plasma, yang menyerupai PVW tipe 2A. Pada saat yang sama, oleh karena melimpahnya FVW pada permukaan trombosit, penelitian aktivitas FVW (yaitu ristocetin-induced platelet aggregation, RIPA) akan menunjukkan tendensi peningkatan agregasi trombosit. Secara klinis, melimpahnya FVW pada permukaan trombosit, dapat mendorong agregasi trombosit dalam sirkulasi, pembuangan agregat, dan trombositopenia. Kehamilan, inflamasi, atau pemberian DDVAP, melalui peningkatan pengeluaran FVW, dapat memperburuk trombositopenia. Bukannya cenderung mengalami agegrasi trombosit, pasien-pasien ini sebaliknya mempunyai tendensi berdarah, bukan kelainan/penyakit trombotik. PVW Tipe-Trombosit perlu perhatian khusus sebab tampil dengan banyak sifat serupa PVW tipe 2B. Namun, peningkatan ikatan multimer FVW pada PVW tipetrombosit disebabkan oleh kerusakan pada reseptor GPI b, bukan FVW pasien. Hal ini merupakan perbedaan penting menyangkut tempi. Pasien PVW tipe-trombosit memerlukan transfusi trombosit sama perlunya dengan pemberian FVW untuk memperbaiki kelainan perdarahannya. PVW Tipe 2M - ditandai dengan pola normal multimer FVW dalam plasma tetapi penurunan yang tidak seimbang pada aktivitas FVW bila dibandingkan dengan vWF:Ag. Hal ini menghasilkan produksi molekul FVW abnormal dengan penurunan afinitas terhadap reseptor GPlbIIX trombosit.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Banyak pasien dengan kelainan tersebut akan memperoleh respons dari DDAVP, sedangkan yang lain memerlukan penambahan FVW. PVW tipe 2N-menunjukkan kerusakan ikatan faktor VIII terhadap FVW. Pengukuran aktivitas dan antigen FVW keduanya normal, sepertijuga analisis pola multimer FVW. Derajat aktivitas faktor VIII menurun, sama seperti pada pasien dengan hemofilia yang ringan. Penyakit tipe 2N hams dipikirkan dalam diagnosis banding bila seorang pasien perempuan datang dengan derajat FVlII atau bila anggota keluarga pasien yang perempian terjangkit. Penyakit tipe 3-PVW tipe 3 ditandai dengan tidak ditemukannya Ag:FVW dalam sirkulasi dan derajat VII1:C sangat rendah (3-10% normal). Pasien seperti ini menunjukkan perdarahan berat dengan hemartrosis dan hematoma muskulus serupa pasien hemofili A atau B. Namun, tidak seperti hemofilia klasik, BT sangat memanjang. Penurunan (inheritance) penyakit tipe 3 masih tidak jelas. Pasien demikian munglun merupakan heterozigot ganda atau homozigot untuk satu gen abnormal. Pasien biasanya normal, yang menunjukkan suatu pola resesif autosomal. PVW yang Didapat Autoantibodi terhadap inhibitor protein FVW PVW yang didapat, berbeda dari PVW kongenital, jarang terjadi, tampil awalnya lambat, dan tanpa riwayat perdarahan dalam keluarga. PVW yang didapat berkaitan dengan sejumlah penyakit kronis termasuk kelainan berikut: autoimun gamopati monoklonal limfoproliferatif keganasan epidemik hipotiroidisme tumor Wilm mieloproliferatif sebab pemakaian obat, termasuk siprofloksasin. Autoantibodi tipe IgG, IgM dan IgA telah ditemukan dan tampaknya ditujukan terhadap berbagai epitope molekul protein PVW yang menyebabkan beberapa mekanisme perdarahan berkaitan dengan PVW yang didapat. Pasien dengan auto-antibodi terhadap FVW biasanya menunjukkan perdarahan membran mukosa dan mudah memar. Gambaran laboratorium dapat menyerupai PVW dengan pemanjangan BT, penurunan aktivitas FVIII:C, Ag:FVW dan FVW, meskipun kadarnya dapat berbeda.
TERAPI DAN PERJALANAN KLINIS Secara umum terapi meliputi pemberian obat, transfusi darah, dan menghindari keadaan yang dapat menyebabkan rudapaksa atau perdarahan.
Pengelolaan Segera Fungsi trombosit yang abnormal sering yang pertama tampak sebagai komplikasi penyakit akut atau pembedahan. Beberapa faktor pemberat dapat menentukan beratnya tendensi perdarahan. Pada keadaan demikian, diagnosis yang tepat dapat ditunda, namun tindakan harus disesuaikan dengan sebanyak mungkin faktor pendorong yang potensial. Daftar ini termasuk: menghentikan obat yang menghambat hngsi trombosit secara empiris memberikan FVW, dan transfusi trombosit yang normal, tergantung beratnya perdarahan. Meskipun pendekatan ini kurang tepat, namun efektif. Kelainan fungsi trombosit, baik yang didapat maupun kongenital, dapat segera diatasi dengan mengontrol perdarahan klinis yang berat. Pengelolaan Jangka Panjang Kelainan fungsi trombosit hams didasari diagnosis yang tepat. Pasien dengan kelainan kongenital hams dinasihati untuk menghindari obat yang memperberat kelainan fungsi dan menyebabkan perdarahan. Aspirin dan analgesik nonsteroid adalah offender primer, pasien-pasien PVW dan trombasteni menunjukkan pemanjangan bermakna BT dengan pemberian aspirin dan merupakan risiko lebih besar terhadap perdarahan klinis. Pasien demikian juga harus benar-benar diajari tentang sifat kelainan mereka Harus membawa serta identifikasi atau memakai gelang peringatan (warning). Protokol ini dapat bermanfaat sebagai petunjuk untuk terapi transfusi yang memadai pada keadaan darurat. Sebagai prinsip umum, sifat kelainan fungsi akan menuntun pilihan pengobatan. Misalnya, pasien PVW dengan jumlah FVW yang tidak normal akan berespon terhadap obat yang meningkatkan kadar FVW plasma. Pada situasi demikian, trombosit perlu normal begitu kelainan FVW diperbaiki. Sebaliknya, pasien dengan defek kongenital metabolisme trombosit akan memerlukan transfusi trombosit yang normal. Seperti untuk kelainan fungsi trombosit yang didapat, kebenaran terletak somewhere in between. Terdapat bukti klinis bahwa pasien dengan defek yang didapat sekunder terhadap pemberian obat, uremia, dan penyakit hati akan merespons terhadap DDVAP, pemberian FVW, atau keduanya. Data ini mendukung bahwa peningkatan kadar FVW dapat sebagian mengkompensasi kelainan bersumber trombosit. DDAVP (Desmopresin) DDAVP adalah analog sintetik hormon antidiuretik, vasopresin. Pemberian secara intravena, merangsang
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT VON WLLEBRAND
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pengeluaran FVW dari sel endotel agar FVW dan faktor VII1:C cepat meningkat dalam plasma. Hal ini merangsang fungsi trombosit, dan pada beberapa tipe PVW memendekkan BT. Akibatnya terhadap kadar faktor VIII dipakai untuk menangani pasien dengan hemofili A ringan yang mengalami pembedahan minor. Kelainan fungsi trombosit akibat pemberian obat, uremia, dan penyakit hati juga dapat membaik, mungkin akibat pengeluaran dalam jumlah sangat besar multimer FVW. Pada pasien uremia, terapi eritropoietin belum dilaporkan menumnkan secara bermakna tendensi perdarahan, sehingga menyebabkan DDVAP kurang populer. Keberhasilan menangani pasien PVW bergantung pada tipe penyakitnya. Pasien dengan tipe 1 PVW yang lebih ringan menunjukkan respons yang sangat baik, dengan pemendekan BT dan peningkatan kadar FVW dan faktor VII1:C. Banyak pasien dengan dengan PVW tipe 2A atau tipe 2M juga mempunyai respons baik terhadap DDVAP, meskipun BT tidak menjadi normal dan efeknya bertahan relatif singkat. Pasien dengan PVW tipe 2N biasanya tidak respons, meskipun uji terapi menunjukkan pasien tertentu dapat ditangani melalui pembedahan minor atau suatu episode perdarahan dengan DDAVP saja. Pasien PVW tipe 3 tidak akan respons terhadap pemberian obat, sebab pasien ini tidak ada persediaan FVW di endotel. Baik FVW maupun faktor VIII hams disiapkan untuk memperbaiki kelainan pada kedua pasien tipe 2N dan tipe 3. Pemberian DDAVP dikontraindikasikan pada pasien PVW tipe 2B dan tipe-trombosit. Pada kedua kelainan, stimulasi pengeluaran FVW dapat menyebabkan peningkatan agregasi trombosit dan memperburuk keadaan trombositopenia pasien. Pada pasien tipe 2B, kelainan fungsi trombosit dan trombositopenia berhubungan dengan produksi multimer FVW yang abnormal. Oleh karena itu, penanganan yang efektif untuk pasien demikian dengan penambahan FVW dan transfusi trombosit. Formulasi DDAVP berbentuk sediaan baik intravena maupun intranasal. DDAVP diberikan intravena dengan dosis 0,3 mg/kg; hams diencerkan dalam 30-50 mL salin dan diberikan dalam 10-20menit untuk meminimalkan efek samping, terutama takikardia dan hipotensi. Seperti preparat pendahulunya, DDAVP akan menyebabkan nyeri kepala, pusing (lightheadedness), nausea, dan muka kemerahan flacialflushing) pada pasien, terutama bila diberikan secara cepat. Obat tersebut juga mempunyai efek antidiuretik ringan yang dapat mengarah intoksikasi bila pasien mendapat terapi multipel dan cairan parenteral jumlah besax Nasal spray yang sangat pekat dapat diberikan sendiri pada perempuan PVW tipe 1 untuk terapi menoragi. Obat tersebut dapat efektif untuk mengontrol perdarahan yang berkaitan dengan ekstraksi gigi atau pembedahan minor pada pasien PVW dan hemofili A ringan. Dosis 300-pg
intranasal DDAVP (stimate nasal spray), diberikan dengan aplikasi 100 pL dari larutan 1,5 mg/mL ke lubang hidung, akan meningkatkan kadar FVW, pada umumnya, 2 sampai 3 kali lipat.. Terapi DDAVP paling efektif untuk perdarahan ringan selama pembedahan minor. Kerugiannya, efeknya berlangsung singkat. Perbaikan BT dan kadar FVW terbatas sampai 12-24jam. Di samping itu, respons terhadap dosis ulangan dapat berbeda akibat timbulnya takifilaksis. Kebanyakan pasien memberikan respons terhadap 2 atau 3 dosis dalam interval 24-jam, tetapi beberapa kasus membutuhkan 48-72 jam di antara 2 dosis untuk perbaikan. Pada situasi demikian, kontrol terhadap tendensi perdarahan pasien sangatlah penting, misalnya setelah pembedahan, DDAVP bila diberikan sendiri tidak adekuat, sehingga dianjurkan pemberian tambahan FVW.
Faktor von Willebrand (FVW) Penggantian FVW-dapat diperoleh dengan: transfusi plasma segar atau konsentrat plasma mengandung kompleks FVW-VIII. Kriopresipitat adalah konsentrat yang mudah didapat dan efektif. Seperti terapi dengan DDVAP, kriopresipitat dapat segera memperpendek BT, yang berkaitan dengan infus multimer FVW besar. Namun, perbaikan BT dapat berlangsung relatif singkat. Kadar kriopresipitat dan multimer Ag:FVW cepat rusak dalam 6-12 jam setelah diberikan melalui infus. Pada waktu yang sama, kadar faktor V1II:C meningkat selama 24 jam berikutnya, di luar proporsi jumlah yang diberikan. Kenaikan kadar faktor VIII tampaknya untuk memberikan efek protektif. Perbaikan tendensi perdarahan pasien berlangsung lebih lama daripada yang diketahui baik dengan BT atau kadar FVW saja. Dosis kriopresipitat-sangat empiris. Pasien dengan penyakit tipe 1 atau tipe 3 yang berat hams ditangani seperti pasien hemofilia A berat. Pada kedua keadaan tersebut kadar FVW dan faktor VIII kurang dari 10%. Untuk mengawasi tendensi perdarahan, faktor VII1:C hams dinaikkan menjadi 50-70% untuk pembedahan mayor dan 30-50% untuk pembedahan minor atau perdarahan yang kurang berat. Untuk pasien dengan PVW tipe 1 yang kurang berat, direkomendasikan kombinasi DDVAP dan sejumlah kecil kriopresipitat. Berapa banyak FVW hams diberikan dan berapa lama terapi tergantung pada perjalanan klinis pasien. Apabila kriopresipitat tidak didapatkan, salah satu bentuk konsentrat faktor VIIIIFVW dapat diberikan. Namun, konsentrat tersebut hams mengandung multimer FVW besar agar efektif. Sediaan yang kaya FVW termasuk Humate P dan Alphanate. Dosis faktor VIII 50 U k g tiap 12jam biasanya akan cukup. Keuntungan sediaan-sediaan ini adalah kurang memberikan risiko transmisi virus. Oleh karena sangat rendahnya kadar Ag:FVW dan faktor VIII, pasien PVW tipe 3 mempunyai risiko timbulnya
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
antibodi tehadap FVW setelah transfusi sediaan plasma tersebut. Sekali ini terjadi, pasien mempunyai risiko reaksi anafilaktoid dan infus FVW berikutnya menjadi kurang efektif. Antihistamin dan steroid dapat mengaburkan reaksi anafilaktoid.Imunoglobulin intravena dengan dosis 1 gram1 kg sehari selama 2-3 hari dapat mengurangi kadar antibodi anti-FVW sementara. Transhsi trombosit dapat dipakai untuk menangani pasien yang telah menunjukkan adanya alloantibodi. Obat lain-yang bermanfaat untuk menangani pasien PVW termasuk: Premarine-Efek positif pada h g s i trombosit juga tampak pada pasien uremi yang diberi Premarine. Epsilon aminocaproic acid (EACA), inhibitor fibrinolitik. EACA telah digunakan pada hemofilia dan pasien PVW untuk mencegah perdarahan pada pembedahan minor, terutama ekstraksi gigi. EACA diberikan pada pasien dewasa dengan dosis 3-4 gram tiap 4-6 jam iv atau po dimulai saat sebelum prosedur dan dilanjutkan sampai 5-7 hari Estrogen tampaknya meningkatkan produksi FVW oleh sel endotel. Selama kehamilan normal, pasien PVW dapat menormalkan kembali kadar Ag:FVW dan fakfor VIII:C, meskipun BT-nya biasanya tetap memanjang IgG Intravena mungkin membantu mempertahankan efek terapi terhadap tendensi perdarahan pada pasien dengan MGUS dan PVW yang didapat (acquired)
REFERENSI
Andrews MM, Mooney KH. Von Willebrand's disease. In: Mc Cance KL, Huethe SE, editors. Pathophysyology. International edition. 2nd edition. St. Louis Missouri: Mosby Year Book; 1994. p. 926. Cohen AJ, Kessler CM. Acquired inhibitors. Auto-antibody against inhibitors of von Willebrand factor protein. In: Bailliere's clinical hematology, hemophilia, Lee CA (Guest ed), editors. Tokyo: Bailliere Tindall. 1996;69(2):348. Friedman KD, Rodgers GM. Von Willebrand's disease. Wintrobe's clinical hematology. 11th edition. In: Greer JP, Foerster J, et al, editors. London: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. p. 1628. Gastineau DA. Disorder of platelet adhesion molecule. In: Mazza JJ, editor. Manual of clinical hematology. 2002. p. 362 Handin RI. von Willebrand's disease. Harrison's principles of internal medicine. 16Ih edition. In: Kasper DL, et al, editors. Toronto: McGraw-Hill; 2005. p. 676. Hillman RS, Ault KA. von Willebrand's disease. Hematology in clinical practice. 3rd edition. Toronto: McGraw-hill; 2002. p. 342. Linker CA. von Willebrand's disease. Current medical diagnosis and treatment. 41st edition. In: Tierney LM Jr, McPhee SJ, Papadakis MA, editors. London: Lange Med BooksIMcGraw-Hill; 2002. p. 557. Mazurier C, Meyer D. Molecular basis of von Willebrand's disease. Bailliere's clinical hematology. In: Haemophilia, Lee CA (Guest ed), editors. Tokyo: Bailliere Tindall. 1996;9(2):229. Sadler JE. A revised classiication of von Willebrand disease. Thromb Hemost. 1994;71:520. Sadler JE, et al. Molecular mechanism and classiication of von Willebrand disease. Thromb Hemost. 1995;74: 161. Von Willebrand's disease. Available online on http:// www.mamashealth. com/default.asp: 313112005. Von Willebrand's Disease. Available online on http:// www.marvistavet. com/html/body~von~wiIlebrand~s~disease. html: 313 112005. Von Willebrand's disease. Available online on http://www.nlm. nih.gov/medlineplus/ency/article/000544.htm:3/31/2005.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA Lugyanti Sukrisman
PENDAHULUAN Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) atau Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) merupakan suatu keadaan di mana sistem koagulasi danlatau fibrinolitik teraktivasi secara sistematik, menyebabkan koagulasi intravaskular luas dan melebihi mekanisme antikoagulan alamiah.KID merupakan kejadian antara yang disebabkan oleh kelainan yang jelas dengan patofisiologi dan manifestasi klinis yang bervariasi. Istilah dekompensata atau KID akutlfulminan menggambarkan keadaan di mana kecepatan konsumsi faktor koagulan atau trombosit melebihi kemampuan tubuh untuk mensintesis faktor tersebut.
MEKANISME HEMOSTASIS NORMAL Sistem pembuluh darah membentuk suatu sirkuit yang utuh yang mernpertahankan darah &lam keadaan cair. Jika terdapat kerusakan pada pembuluh darah, trombosit dan sistem koagulasi akan menutup kebocoran atau kerusakan tersebut sampai sel pada dinding pembuluh darah memperbaiki kebocoran tersebut secara permanen. Proses ini meliputi beberapa tahaplfaktor, yaitu: 1. Interaksi pembuluh darah dengan struktur penunjangnya. 2. Trombosit dan interaksinya dengan pembuluh darah yang mengalami kerusakan. 3. Pembentukan fibrin oleh sistem koagulasi. 4. Pengaturan terbentuknya bekuan darah oleh inhibitor1 penghambat faktor pembekuan dan sistem fibrinolisis. 5. Pembentukan kembali (remodeling) tempat yang luka setelah perdarahan berhenti. Tahap 1 dan 2 dikenal sebagai hemostasis primer. Sel endotel pada dinding pembuluh darah mempunyai
,
mekanisme untuk mengatur aliran darah dengan cara vasokonstriksi atau vasodilatasi, sedangkan membran basal subendotel mengandung protein-protein yang berasal dari endotel seperti kolagen, fibronektin, faktor von Willebrand dan lain-lain, yang merupakan tempat melekatnya trombosit dan leukosit. Trombosit akan membentuk sumbat hemostasis melalui proses: 1). adhesi (adhesion), yaitu melekat pada dinding pembuluh darah; 2). agregasi atau saling melekat di antara trombosit tersebut, yang kemudian menjadi dilanjutkan dengan proses koagulasi. Tahap 2 atau sistem koagulasi melibatkan faktor pembekuan dan kofaktor, yang berinteraksi pada permukaan fosfolipid membran trombosit atau sel endotel yang rusak untuk membentuk bekuan darah yang stabil. Sistem ini dibagi menjadi jalur ekstrinsik yang melibatkan faktor jaringan (tissuefactor) dan faktor VII, dan jalur intrinsik (surfacecontact factor). Sistem ini diaktifkan jika faktor jaringan, yang diekspresikan pada sel yang rusak atau teraktivasi (sel pembuluh darah atau monosit) berkontak dengan faktor VII aktif (a) yang bersirkulasi, membentuk kompleks yang selanjutnya akan mengaktifkan faktor X menjadi Xa dan seterusnya hingga membentuk trombuslfibrin yang stabil (fibrin ikat silanglcross-linkedfibrin).Proses ini tergambar pada Gambar 1. Setelah fibrin terbentuk, antikoagulan alamiah berperan untuk mengatur dan membatasi pembentukan sumbat hemostasis atau trombus pada dinding pembuluh darah yang rusak tersebut. Sistem ini terdiri dari antitrombin (AT)-111, protein C dan protein S, serta heparin kofaktor 11, alfa-1 antitripsin dan alfa-2 makroglobulin. Antitrombin bekerja menghambat atau menginaktivasi trombin, faktor VIIa, XIIa, XIa, Xa dan IXa. Tanpa adanya heparin, kecepatan inaktivasi ini relatif lambat. Heparin mengikat dan mengubah AT dan meningkatkan kecepatan inaktivasi AT. Sedangkan protein C menghambat faktor Va dan VIIIa, dengan bantuan protein S sebagai kofaktor.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Jalur Ekstrinsik
Jalur lntrinsik
I
Pajanan janngan subendotel atau aktlvas~endotel
I
K a l l ; k r e I n ~ PreWIlkreln ~ -
I
Fibrinolbis
................................. 0
I
F~bnn
---+pol~mer Fibrin
monomer
fibrin
-+ degradas~
F~bnnogen
Gambar 2. Sistem koagulasi, inhibitor dan fibrinolisis (Dikutip dari Folkman dkk. C1-INH:complement factor-1 esterase inhibitor, PL:fosfolipid anionik, TF:faktor jaringan, TFPI: tissue factor pathway inhibitor, tPA:tissue-type plasminogen activator.
Fibrinolisis atau pemecahan fibrin merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk mempertahankan patensi pembuluh darah dan menormalkan aliran darah. Enzim yang berperan dalam sistem ini adalah plasminogen, yang akan diubah menjadi plasmin dan kemudian akan memecah fibrinogen dan fibrin menjadi fibrinogen (atau ,fibrin) degrudation prodzlct (FDP), sedangkan produk pemecahan fibrin ikat silang adalah D-dimer. Proses ini dapat dilihat pada Gambar 1 .
PATOFlSlOLOGl KOAGULASI INTRAVASKULAR DlSEMlNATA Seperti telah disebutkan di atas, KID berhubungan dengan kondisi klinis yang jelas, yang mendasari terjadinya KID tersebut. Beberapa keadaan berikut ini berhubungan dengan KID: kelainan obstetri: emboli air ketuban, solusio plasenta, retuined,fetus .syndrome, eklamsia, abortus hemolisis intravaskular: reaksi hemolisis transfusi, hemolisis minor, transfusi masif sepsis: Gram negatif (endotoksin) atau positif (mukopolisakarida) viremia: HIV, hepatitis, varisela, sitomegalovirus metastasis kanker leukemia: leukemia promielositik akut (APLIM3), mielomonositik (M4) luka bakar cedera karena trauma (crush injuries) dan nekrosis jaringan trauma
penyakit hati akut: ikterus obstruktif, gagal hati akut kelainan vaskular penyakit autoimun Pada solusio plasenta, jaringan atau enzim dari plasenta dilepaskan ke dalam uterus dan sirkulasi sistemik, menyebabkan aktivasi sistem koagulasi. Pada hemolisis, adenosin difosfat (ADP) atau fosfolipoprotein membran eritrosit mengaktivasi sistem koagulasi. Pada sepsis, endotoksin mengaktivasi sistem koagulasi, merangsang penglepasan sitokin tumor n e c r o s i ~ulphu (TNF-a), interleukin (1L)-I, dan komplemen yang menyebabkan gangguanlkerusakan endotel. Pada viremia, mekanisme yang berkaitan dengan KID adalah reaksi antigen-antibodi, sedangkan hepatitis virus yang berat dan gagal hati akut dapat menyebabkan KID. KID juga sering terjadi pada keganasan terutama tumor padat. Keadaan ini dapat disebabkan oleh penekanan oleh tumor tersebut, faktor jaringan (tissue ,fuctor) dan prokoagulan yang dilepaskan oleh sel tumor tersebut, atau ~nelaluiaktivasi sel endotel oleh sitokin (IL- I , vusczrlar enu'otheliul gr-ou,th$~ctorlVEGF, TNF). Pada luka bakar, jaringan yang nekrotik dan mikrohemolisis merupakan pencetus KID. Sedangkan pada pasien dengan luka terbuka pada kepala atau menjalani kraniotomi dapat terjadi KID yang dicetuskan oleh fosfolipid dari otak. Beberapa penyakit autoimun, kardiovaskular (termasuk pemakaian protesalkatup jantung buatan), pembuluh darah ginjal dan inflamasi berkaitan dengan KID kompensata. Hal ini berkaitan dengan gangguan endotel dan aktivasi faktor pembekuan.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI GAMBARAN KLlNlS Manifestasi*linis KID dapat berkaitan dengan peristiwa KID itu sendiri, dengan penyakit yang mendasari, atau keduanya. Perdarahan pada kulit seperti petekie, ekimosis, dari bekas suntikan atau tempat infus atau pada mukosa, sering ditemukan pada KID akut. Perdarahan ini juga bisa masif dan membahayakan, misalnya pada traktus gastrointestinal, paru, susunan saraf pusat atau mata. Pasien dengan KID kronik umumnya hanya disertai sedikit perdarahan pada kulit dan mukosa. Trombosis mikrovaskular dapat menyebabkan disfungsi organ yang luas. Pada kulit dapat berupa bula hemoragik, nekrosis akral dan gangren. Trombosis vena dan arteri besar dapat terjadi, tetapi relatifjarang. Disfungsi organ akibat mikrotrombosis yang luas ini dapat berupa iskemia korteks ginjal, hipoksemia hingga perdarahan dan acute respiratory distress syndrome (ARDS) pada paru serta penurunan kesadaran. Disfungsi hati dengan ikterus dilaporkan terdapat pada 22-57% pasien dengan KID.
DIAGNOSIS LABORATORIUM Gambaran hasil pemeriksaan laboratorium pada KID sangat bervariasi dan dapat dipengaruhi oleh penyakit yang mendasari.1° Pada pemeriksaan laboratorium dasar, leukositosis sering ditemukan. Granulositopeniajuga dapat terjadi akibat ketidakmampuan sumsum tulang untuk mengimbangi kerusakan neutrofil yang cepat. Trombositopenia sering ditemukan yang dapat disebabkan oleh: 1). kerusakan trombosit yang meningkat, 2). perlekatan trombosit pada endotel mikrovaskular dan pembentukan mikroagregrat yang menyumbat kapiler, 3). produksi sumsum tulang yang kurang dan 4).pooling yang berlebihan pada limpa. Sedangkan anemia umumnya disebabkan oleh perdarahan, pemendekan umur eritrosit pada keadaan sepsis, gangguan hematopoiesis dan hemodilusi pasca resusitasi cairan. Pada pemeriksaan mikroskopik dapat ditemukan schistocytes, yang terbentuk akibat interaksi eritrosit dengan fibrin. Pemeriksaan hemostasis yang secara rutin dapat dilakukan adalah: masa protrombin (prothrombin timelPT), masa tromboplastin parsial teraktivasi (acivated partial thromboplastin timelaPTT), D-dimer, antitrombin-111, fibrinogen dan masa trombin, sedangkan pemeriksaan fragmen protrombin 1+2, fibrinopeptida A, jibrinogen degradationproduct (FDP),platelet factor-4, tes protamin dan reptilase tidak dilakukan secara rutin dan tidak selalu dapat dilakukan di laboratorium rumah sakit. Yang hams diingat adalah pemeriksaan koagulasi serial umumnya lebih menolong daripada satu kali pemeriksaan dalam mendiagnosis KID. Berkurangnya jumlah trombosit atau memanjangnya PT dan aPTT dalam
pemeriksaan serial merupakan petanda KID yang sensitif, meskipun tidak spesifik. Terdapat sistem skor yang dibuat oleh International Society on Thrombosis a n d Haemostasis pada tahun 200 1, yang dapat digunakan untuk mendiagnosis KID. Di Indonesia telah dibuat Konsensus Nasional tatalaksana KID pada sepsis pada tahun 200 1, yang selain memuat sistem skor tersebut di atas, juga memuat kriteria minimal untuk mendiagnosis KID pada sepsis.
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan utama KID terdiri dari 2 bagian, yaitu: 1). segera mengatasi penyakit yang mendasari, d m 2.) terapi suportif yang agresif, termasuk mengatasi hipovolemia dan hipoksemia. Pemahaman mengenai patofisologi dan perjalanan penyakit yang mendasari atau pencetus KID sangat diperlukan untuk penatalaksanaan yang logis dan rasional. Setelah mengidentifikasi dan mengatasi penyakit yang mendasari, yang harus ditentukan adalah apakah diperlukan substitusi faktor pembekuan dan apakah pemberian heparin harus dipertimbangkan. Karena penyebab dan manifestasi klinis yang sangat bervariasi, terapi KID harus dipertimbangkan secara individual berdasarkan usia, penyebab KID, lokasi dan beratnya perdarahan atau trombosis, keadaan hemodinamik saat itu dan pengobatan penyakit yang mendasari. Jika kadar fibrinogen, trombosit atau faktor pembekuan rendah dan pasien mengalami perdarahan atau akan menjalani prosedur invasif, pemberian faktor pembekuan seperti kriopresipitat, plasma beku segar atau trombosit konsentrat mungkin diperlukan. Pendapat yang mengibaratkan terapi substitusi ini seperti 'menambah minyak ke api', secara teori memungkinkan, meskipun ternyata tidak terbukti baik secara klinis maupun pada penelitian eksperimental. Jika pasien memerlukan terapi substitusi denganltanpa heparin, kadar trombosit dan fibrinogen hams diperiksa 30-60 menit setelah transfusi dan setiap 6 jam. Hal ini diperlukan untuk menentukan apakah KID masih aktif dan apakah masih diperlukan terapi substitusi. Indikasi, dosis dan cara pemberian heparin yang tepat masih merupakan ha1 yang kontroversial. Jika terdapat tanda-tanda trombosis seperti nekrosis kulit pada pupura fulminan, iskemia akral atau kulit, atau tromboemboli vena, terapi heparin merupakan indikasi. Beberapa kondisi di mana terapi heparin mungkin diperlukan adalah: kematian janin intra uterin yang teretensi (retained dead fetus syndrome), hemangioma raksasa (Kasabach-Merritt syndrome), aneurisma aorta, tumor padat dan APL. Sedangkan pada keadaan-keadaan seperti sepsis, solusio plasenta, emboli air ketuban, abortus septik atau provokatus dan eklamsia/sindrom HELLP (Hemolysis,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Elevated Liver Enzyme and Low Platelet) atau penyakit hati, heparin secara umum tidak terbukti bermanfaat, bahkan kadang-kadang dapat berbahaya. Jurnlah dan cara pemberian heparin harus ditentukan berdasarkan gambaran dan situasi klinis. Sebagai contoh, pasien dengan emboli air ketuban dengan obstruksi pembuluh darah paru akut, diberikan heparin 5.000 unit secara bolus intravena, dilanjutkan dengan infus kontinu 1.000 unit per jam. Tetapi pada APL dengan hipofibrinogenemia berat, pemberian heparin bolus dan kontinu dalam jumlah sedang atau besar dapat menyebabkan perdarahan intra serebral yang fatal. Pada KID kronik, tidak diperlukan pemberian heparin bolus dan cukup diberikan dosis 15 unit per kg berat badan per jam dengan infus kontinu, dengan penyesuaian dosis selanjutnya sesuai dengan respons pasien. Modalitas terapi lainnya adalah antitrombin (AT)-I11 dan protein C. Pada KID yang disebabkan oleh sepsis, kadar AT menurun karena konsumsi yang berlebihan dalam proses koagulasi, sintesis yang menurun dan inaktivasi oleh enzim elastase yang dilepaskan oleh neutrofil yang teraktivasi. Berbagai penelitian mengenai pemberian AT pada pasien KID yang disebabkan oleh sepsis menunjukkan hasil yang bervariasi. Penelitian mengenai terapi protein C yang teraktivasi (activated protein Cl APC) menunjukkan berkurangnya mortalitas. Hasil ini juga didapatkan pada pasien sepsis berat dengan risiko kematian tinggi. Pemberian obat penghambat fibrinolisis seperti EACA tidak diperbolehkan karena dapat menyebabkan deposit fibrin yang luas di mikrosirkulasi dan dishngsi atau gaga1 organ karena iskemia. Pemberian penghambat trombin (direct thrombin inhibitor) terbukti efektif pada binatang tapi belum terbukti pada manusia, sedangkan terapi antibodi anti endotoksin tidak terbukti memperbaiki survival pasien.
REFERENSI Aoki N, Matsuda T, Saito H, Takatsuki K, Okajima K, Takamatsu J, et al. A comparative double-blind randomized trial of activated protein C and unfractionated heparin in the treatment of disseminated intravascular coagulation. Int J hematol. 2002;75:5:540-7. Bick RL. Disseminated intravascular coagulation. Current concepts of etiology, pathophysiology, diagnosis and treatment. In: Bick RL, guest editor. Hematology/oncology clinics of north America. Thrombosis and thrombophilia: diagnosis and management 2003;12:1:149-76. Balk RA. Pathogenesis and management of multiple organ dysfunction or failure in severe sepsis and septic shock. In: Balk RA, Casey LC, editors. Critical care clinics. Septic and septic shock. Philadelphia: W.B. Saunders; 2000. p. 337-52.
Bick RL. Disseminated intravascular coagulation. Current concepts of etiology, pathophysiology, diagnosis, and treatment. Hematology/oncology clinics of north America. Thrombosis and thrombophilia: diagnosis and management. 2003;17:14976. Bick RL. Disseminated intraliascular coagulation: a review of etiology, pathophysiology, diagnosis, and management: guidelines for. Clin Appl Thromb Hemost. 2002;8(1): 1-3 1. Cicco MD. The prothrombotic state in cancer: pathogenic mechanisms. Crit rev oncol hematol. 2004;50:3:187-96. Dhainaut JF, Yan SB, Joyce DE, Pettila V, Basson B, Brandt JT, et al. Treatment effects of drotrecogin alfa (activated) in patients with severe sepsis with or without overt disseminated intravascular' coagulation. Thromb Haemost. 2004;2: 1 1 :I 924-33. Dhainaut JF, Yan SB, Cariou A, Mira JP. Soluble thrombomodulin, plasma-derived unactivated protein and recombinant human activated protein C in sepsis. Crit Care Med. 2002;30:5:S31824. Folkman J, Browder T, Palmblad J. Angiogenesis research: guidelines for translation to clinical application. Thromb Haemost. 2001;86:23-33 Fourrier F, Jourdain M, Tournoys A. Clinical trial results with antithrombin I11 in sepsis. Crit Care Med. 2000;28:9:S38-43. Fourrier F. Recombinant human activated protein C in the treatment of severe sepsis: an evidence-based review. Crit Care Med. 2004;32:11:S534-41 Goodnight SH, Hathaway WE. Mechanisms of thrombosis and hemostasis. Disorders of hemostasis and thrombosis. A clinical guide. 2ndedition. New York: The McGraw-Hill; 2001. p. 3-19. Levi M. Disseminated intravascular coagulaton: new concepts, new controversies. Coagulation: consultative hemostasis. 2002 The American society of hematology. Available from http:// www.asheducationbook..org/cgi/content/fu1/2002/1335 cited 12/3/2005. Levi M, Jonge Ed, Poll Tvd, Cate HT. Novel approach to the management of disseminated intravascular coagulation. Crit Care Med. 2000;28:9:S20-4. Mammen EF. The haematological manifestations of sepsis. J Antimicrob Cheinoth. 1998;(suppl 41 ):A1 7-24. Marcus AJ. Platelet and their disorders. In: Ratnoff OD, Forbes CD, editors. Disorders of hemostasis. 3rd edition. Philadelphia: W.B.Saunders; 1996;9. p. 79-137. Rodrigues JC, Fein AM. Diagnostic approach and clinical manifestations of severe sepslis. In: Fein AM, Abraham EM, Balk RA, Bernard GR, Bone RC, Dantzker DR, et al, editors. Sepsis and multiorgan failure. Baltimore: Williams and Wilkins; 1997;23. p. 269-76. Ratnoff OD. Disseminated intravascular coagulation. In: Ratnoff OD, Forbes CD, editors. Disorders of hemostasis. 3rd edition. Philadelphia: W.B.Saunders; 1996;9. p. 259-95. Seligsohn U. Disseminated intravascular coagulation. In: Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U, editors. Williams hematology. 6Ih edition. New York: McGraw-Hill; 2001. p. 1677-95. Saito H. Normal hemostatic mechanisms. In: Ratnoff OD, Forbes CD, editors. Disorders of hemostasis. 3rd edition. Philadelphia: W.B.Saunders; 1996. p. 23-52. Tambunan KL, Sudoyo AW, Mustafa I, Pudjiadi A, Chen K, Govinda A, Sukrisman L, editors. Konsensus nasional tatalaksana KID (DIC) pada sepsis 2001.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
FIBRINOLISIS PRIMER Boediwarsono
PENDAHULUAN Fibrinolisis primer merupakan sindrom fibrinolisis yang berlebihan oleh karena adanya enzim fibrinolitik di dalam sirkulasi seperti plasmin dan tissue plasminogen activutor (t-PA). Pengobatan dengan trombolitik mewakili contoh yang umum dan ekstrim dari fibrinolisisprimer. Penyebab lainnya dari fibrinolisis primer sangat jarang. Sedangkan fibrinolisis sekunder merupakan respons kompensasi dari koagulasi intravaskular diseminata (KID), yang mungkin disebabkan oleh adanya berbagai penyakit lain yang mendasari.
menyebabkan perdarahan berat dari lokasi jejas vaskular. Umumnya, proses fibrinolisis sistemik terjadi jika terdapat sejumlah besar aktivator plasminogen dalam darah atau pada permukaan fibrin, ketika terdapat kekurangan penghambat fibrinolytic, atau ketika hati tidak mampu membersihkan aktivator plasminogen atau plasmin (Tabel 1). Enzim fibrinolitik yang beredar akan memecah trombus yang terdapat dalam pembuluh darah, menghancurkan fibrinogen dan faktor pembekuan darah lainnya, dan menghambat fungsi trombosit (Gambar 1).
Mekanisme -
Sistem fibrinolitik berfungsi untuk membersihkan fibrin yang tidak diperlukan dari lokasi vaskular atau ekstravaskular dan ini merupakan pengaturan yang alami. Setelah jejas vaskular, deposisi fibrin akan merangsang pelepasan t-PA dari sel endotel yang terkena dan mungkin juga dari jaringan lainnya yang berdekatan dengan bekuan yang terbentuk. Aktivator plasminogen akan mengikat rantai fibrin dan mengkonversi plasminogen menjadi plasmin, dengan memecah fibrin dan membentuk soluble fibrin degradation products (sFDP). Di bawah proses fibrinolisis yang terkendali akan membatasi lokasi bekuan fibrin yang dipecah. Ini disebabkan adanya netralisasi plasmin bebas oleh a2-antiplasmin (a2-AP) dan penghambatan t-PA oleh plasminogen activutor inhibitor-1 (PAI-1). Jika enzim fibrinolitikterlepas ke dalam sirkulasi dalam bentuk aktif, maka mereka akan segera dihambat oleh a2-AP dan dibersihkan oleh hati sebelum proses fibrinolitik ini berkembang. Kadang-kadang, sebagai akibat penyakit ini atau pemberian obat trombolitik, prose fibrinolisis akan muncul yang cenderung dapat
Contoh
-
Circulatingplasminogen activator
Obat trombolitik Keganasan (contoh leukemia promielositik akut) Cardiooulmona~ ,b v ~ a s s - 8
Penurunan kadar inhibitor (a2-antiplasmin,plasminogen activator inhibitor-)
Penyakit hati Arniloidosis Penyakit herediter
Penurunan bersihan hati dari plasmin, plasminogen activators
Transplantasi hati orthotopic End-stage liver disease dengan hipertensi portal
Pengobatan dengan obat fibrin-specific thrombolytic seperti t-PA, efek fibrinolitik akan terlokasir pada permukaan fibrin, dengan mengurangi sejumlah plasmin bebas dalam sirkulasi. Hal yang penting, obat fibrinspecEficthrombolytic ini tidak dapat membedakan trombus patologis dengan trombus normal dari sumbat hemostatik, sehingga dapat timbul perdarahan akibat obat ini seperti yang kita dapatkan akibat dari plasmin bebas di sirkulasi.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Sumbat Hemostatik
E
Kompleks PAP
1
arteri koroner akut, 11 persen pasien dengan perdarahan, 3 sampai 4 persen dengan perdarahan serius, dan 0,5 persen dengan perdarahan SSP. Resiko perdarahan meningkat dengan adanya tindakan invasif yang dilakukan selama pemberian obat fibrinolitik atau jika pasien sudah memiliki gangguan hemostatik sebelumnya. Perdarahan juga timbul setelah pengobatan trombosis vena dalam, emboli paru, atau penyakit oklusi arteri perifer dengan obat trombolitik.
I
Penyakit Hati Pasien dengan penyakit hati lanjut akan mengalami fibrinolisis sistemik. Hal ini disebabkan penurunan sintesa a2-antiplasmin di samping juga bersihan hati dari enzim fibrinolitik yang menurun pada kondisi ini. Banyak pasien dengan penyakit hati stadium lanjut mempunyai nilai laboratorium yang menyokong adanya fibrinolisis (sampai dengan 40 persen mempunyai pemendekkan masa lisis euglobulin (MLE)), perdarahan karena fibrinolisis mungkin terjadi pada saat trauma atau operasi.
Gambar 1. Defek hemostatik pada fibrinolisis. Plasmin menhancurkan circulating clot factors, mengganggu fungsi thrombosit, dan melisis hemostatic plugs
GEJALA KLlNlS Perdarahan berat akibat fibrinolisis primer mungkin dapat terjadi, khususnya jika pada pasien dengan operasi atau tindakan invasif lainnya. Gambar 1 mengambarkan sedikitnya ada 3 alasan timbulnya perdarahan: Enzim fibrinolitik sirkulasi dengan cepat melisis bagian hemostatic plugs yang berhadapan dengan darah, sehingga semua defek vaskular, besar atau kecil, akan mulai berdarah. Plasmin akan menghancurkan fibrinogen, faktor V, dan faktor VIII, sehirigga mengganggu pembentukkan fibrin. Gangguan fungsi trombosit terjadi oleh karena adanya defek agregasi yang diinduksi oleh FDP, dan defek adesi akibat gangguan interaksi antara faktor von Willebrand-glikoprotein Ib yang diinduksi oleh plasmin. Secara klinis, fibrinolisis munglun dicurigai pada pasien dengan luka (contohnya pada lokasi penyuntikan) yang sebelumnya perdarahan berhenti menjadi merembes kembali (ooze). Perdarahan hampir dapat terjadi di semua tempat, namun khususnya prominen pada tempat trauma atau operasi. Perdarahan SSP yang bersifat merusak lebih sering pada pasien dengan fibrinolisis sistemik berat (contoh pemberian 150 mg t-PApada TIM1 I1 trial) daripada pasien dengan defek pembentukkan fibrin (contoh hemophilia A) atau disfungsi trombosit (contoh trombositopenia < 50001
m.
Pengobatan Trombolitik Pemberian infus aktivator plasminogen seperti streptokinase, urokinase, atau t-PA akan melisiskan bekuan pada arteri koronaria atau pembuluh darah lainnya yang buntu. Sebagai konsekuensi, resiko perdarahan akan meningkat pada pasien yang menerima pengobatan trombolitik. Pada TIM1 trial (Thrombolysis In Myocardial Infarction), pemberian t-PA intravena untuk pengobatan sumbatan
Amiloidosis Fibrinolisis sistemik kronik mungkin sangat jarang terjadi pada pasien dengan penyakit amiloidosis. Adsorpsi penghambat fibrinolitik seperti a2-antiplasmin pada fibril amiloidosis, serta peningkatan kadar aktivator plasminogen, mungkin bertanggung jawab pada defek hemostatik. Keganasan Pasien leukemia promielositik akut cenderung menimbulkan fibrinolisis sistemik dibandingkan koagulasi intravaskular diseminata. Sel leukemia dapat membuat aktivator plasminogen (urokinase dan tissue type), dan bila masuk ke sirkulasi akan menginduksi keadaan fibrinolitik. Kultur dari sel leukemia promielositik akut yang diinduksi oleh asam retinoat menunjukkan diferensiasi sel ini menjadi bentuk sel mieloid dewasa, menurunkan aktivitas faktor jaringan sel leukemia, namun perluasan dari enzim fibrinolitik selular masih tetap ada. Karsinoma prostat dan keganasan lainnya dapat juga menimbulkan fibrinolisis sistemik. ~ a r d i o p u l m o n a Bypass r~ Pembedahan kardiovaskular dengan sirkulasi ekstrakorporeal akan meningkatkan aktivitas fibrinolitik, khususnya dari pergeseran darah mediastinum. Meskipun secara in vivo, autotransfusi darah ini tidak merangsang timbulnya fibrinolisis sistemik berat. Pengobatan pasien dengan penghambat fibrinolitik pada saat pembedahan akan mengurangi kehilangan darah yang terjadi. Tindakan Pembedahan Lainnya Adanya fibrinolisis lokal pada area prostat merupakan faktor predisposisi terjadinya perdarahan segera dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
RBRINOLlSlS PRIMER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI tertunda pada pasien yang dilakukan pembedahan urologi. Di dalam urin dan jaringan traktus genitourinariurn terdapat banyak aktivator plasminogen . Kondisi Herediter Pasien dengan defek herediter a2-AP maupun PAI- 1jarang dilaporkan dengan perdarahan serius.
Pada Tabel 2 terdapat beberapa uji laboratorium yang mengalami gangguan pada fibrinolisis sistemik. Masa lisis euglobulin menggambarkan adanya plasmin yang bersirkulasi atau aktivator plasminogen, suatu uji standar untuk penyaringan kelainan hemostatik yang merefleksikan adanya defisiensi faktor pembekuan dan disfungsi trombosit, dan uji FDP yang berguna untuk menilai adanya proses proteolisis fibrinogen atau fibrin. Masa lisis euglobulin dikerjakan dengan membuat bekuan dari plasma yang bebas penghambat fibrinogen dalam tabung uji. Kemudian diamati setelah 60 menit untuk menilai kecapatan lisis bekuan. Karena uji ini cukup sensitif, maka uji positif (lisis terjadi <60 menit) tidak menggambarkan bahwa perdarahan klinis yang terjadi oleh karena fibrinolisis sistemik. Immunoassays berguna untuk menilai kompleks plasmin-antiplasmin (PAP). Selama pengobatan trombolitik, kadar PAP menggambarkan pembuatan plasmin, meskipun asay ini belum dilakukan di laboratorium klinis secara rutin. Kadar a2-AP yang rendah merupakan indikator adanya fibrinolisis ekstensif. a2-AP memiliki afinitas yang tinggi dengan plasmin, sehingga adanya plasmin bebas hanya terjadi setelah a2-AP habis dikonsumsi. Adanya 2 pM plasminogen dalam plasma akan diikat oleh 1 pM a2-AP. Jadi, jika lebih dari separuh plasminogen akan di konversi menjadi plasmin, seluruh a2-AP akan dikonsumsi dan plasmin bebas akan timbul dalam darah. Konsentrasi fibrinogen yang masih bertahan, berguna sebagai petunjuk beratnya proses fibrinolisis yang terjadi, dengan catatan kita telah menyingkirkan penyebab hipofibrinogenemia yang lainnya. Fibrinolisis sistemik berat biasanya dikaitkan dengan kadar fibrinogen yang turun, sebagai contoh kadar fibrinogen yang turun dari 350 menjadi 100 mg/dL atau bahkan lebih rendah lagi setelah pengobatan trombolitik jangka pendek dengan streptokinase pada trombosis arteri koroner akut. Satu pertimbangan yang dilakukan pada pengukuran kadar fibrinogen pada setting pengobatan dengan trombolitik aktif adalah tabung koleksi darah seharusnya berisi penghambat spesifik untuk aktivitas fibrinolitik guna mencegah fibrinolisis in vitro dan kadang-kadang dikelirukan dengan kadar fibrinogen yang rendah.
Proses
Uji Abnormal
Circulating plasminogen activators or plasmin
Euglobulin lysis time Aktivitas 1-PA Kornpleks plasrnin-antiplasmin
Proteolisis faktor pernbekuan oleh plasrnin
PT APTT Fibrinogen Faktor V dan Vlll
Defek fungsi trornbosit
Waktu perdarahan
Lisis fibrin
D-Dirner TCT
Konsurnsi reaktan fibrinolitik
Plasminogen bant ti plasm in Plasmin activator inhibitor-1
PENGELOLAAN Meskipun tidak selalu memungkinkan, pengobatan penyakit dasar yang bertanggung jawab ataS timbulnya koagulopati merupakan pendekatan yang terbaik saat ini. Sebagai contoh, pengobatan leukemia promielositik akut dengan menghilangkan sel-sel yang membuat aktivator plasminogen. Jika timbul perdarahan selama pengobatan trombolitik, penghentian infus seharusnya dilakukan karena waktu paruh obat trombolitik ini sangat singkat (5 sampai 30 menit) dan mereka cepat hilang dari sirkulasi. Jika fibrinolisis sistemik yang timbul ringan dan kronis, maka pengobatan dengan anti-fibrinolitik khusus tidak diperlukan. Sebagai contoh, pasien dengan penyakit hati lanjut dan masa lisis euglobulin yang pendek tanpa perdarahan. Meskipun fibrinolisis yang terjadi lebih berat dan terdapat perdarahan, penggantian dengan produk darah guna mengkoreksi defek koagulasi dan trombosit sering diperlukan. Transfusi plasma beku segar yang berisi faktor pembekuan dan a2-AP, kriopresipitat yang berisi fibrinogen dan faktor VIII, dan transfusi trombosit akan membantu mengkoreksi defek fungsi trombosit. Pada akhirnya, pengobatan antifibrinolitik dengan epsilon-aminocaproic acid atau asam traneksamat mungkin dapat menolong pada beberapa pasien, namun hati-hati oleh karena kemungkinan timbulnya risiko komplikasi trombosis. Sering sulit untuk membedakan fibrinolisis primer dan sekunder. Pada fibrinolisis sekunder, sebenarnya proses fibrinolisis ini bersifat protektif. Pengobatan trombolitik pada kasus dengan komplikasi perdarahan harus hatihati, pertimbangkan beratnya risiko re-trombosis koroner atau miokard dibandingkan beratnya perdarahan.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Bevan DH et al . Cardiac bypirss haernostasis : puffing blood through the mill. Br JHaematbl 1999;104:208 Bovill EG et a1 . Hemorrhagic events during therapy with recombinant tissue-type rlasminogen activator, heparin, and aspirin for acute myocardial infarction. Results of the Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) Phase I1 trial. Ann Intern Med 1991; 115:256 Collen D . The plasminogen (fibrinolytic) system. Thromb Haemo~t 1999;82:259 Del Zoppo GJ . Thrombolytic therapy in the treatment of stroke. Drugs 1997;54:90 Handin RI . Disorders of coagulation and thrombosis. In : Harrison's principles of internal medicine. 16Ih edition. Vol 1. McGrawHill, New York. 2005.p. 680-7
Nielsen JD et al . Postopetative blood lass after ttansurethral prostatectorny is dependent on in situ fibrinalysis, BrJ Urol 1997; 80:889 Stump DC et al. Pathologic fibrinolysis as a cause of clinical bleeding. Semin Thromb Hemost 1990; 16:260 Tallman MS . The thrombophilic state in acute prortlyelocytic leukemia. Semin Thromb Hemost. 1999;25:209 Tracy RP, Bovill EG . Fibrinolytic parameters and hemostatic monitoring: Identify-ing and predicting patients at risk for major hemorrhagic events. Am J Cardiol 1992;69:52A Williams EC . Plasma a2-antiplasmin activity. Role in the evaluation and manage-ment of fibrinolytic states and other bleeding disorders. Arch Intern Med 1989; 149: 1769.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
GANGGUAN HEMOSTASIS PADA SIROSIS HAT1 Karmel L. Tambunan
PENDAHULUAN Salah satu komplikasi yang sering dijumpai pada sirosis hati adalah perdarahan. Komplikasi perdarahan bisa bervariasi dari yang paling ringan seperti ekimosis sampai yang paling berat dan mengancam nyawa misalnya perdarahan saluran cerna bagian atas. Beratnya perdarahan, erat hubungannya dengan gangguan hemostasis, sedang gangguan hemostasis biasanya ada hubungannya dengan gangguan fungsi hati (De Groote, 1984). Angka kejadi gangguan hemostasis pada sirosis hati berbeda dari satu pusat klinik ke pusat yang lain tetapi angka kejadian perdarahan yang memerlukan transfusi pada pasien sirosis hati adalah 32% (Spector dan Corn, 1967). Di Indonesia, Reksodiputro menemukan kelainan hemostasis sebanyak 78,57% pada sirosis hati dan 65,55% di antaranya disertai dengan gejala klinis perdarahan. Sulaiman menemukan manifestasi perdarahan pada sirosis hati, melena 56,2, hematemesis 50,6%, perdarahan gusi 27% dan epistaksis 13,2% (Sulaiman, 1990).Tambunan melaporkan dari 121 sirosis hati 75 kasus (6 1,9%)mengalami perdarahan. Perdarahan saluran cerna bagian atas dijumpai pada 46 kasus (38.0 I%), 3 kasus (16,67%) pada childA, 16 kasus (32,65%) pada child B, sisanya 27 kasus (50%) pada child C. Perdarahan karena ruptur esofagus dijumpai pada childA 1 kasus (5,5%) childB 5 kasus (10,20%) dan child C 19 kasus(35,18%). Perdarahan gusi dan atau epistaksis dijumpai pada 40 kasus sirosis hati (32,23%), pada childA 1 kasus (5,5%), pada child B 15 kasus (30,61%), pada child C 24 kasus (44,44%). Ekimosis dan atau hematoma ditemukan pada child A 1 kasus (5,5%), childB 8 kasus (16,33%), child C 6 kasus (1 1,l IYo).
Perdarahan berulang ditemukan pada child A 1 kasus (5,56%), pada child B 4kasus (8,16%), pada child C 17 kasus (37,04%). Dari sini terlihat bahwa insiden perdarahan beratnya perdarahan dan perdarahan berulang sangat erat hubungannya dengan beratnya penyakit menurut klasifikasi Child. Gangguan hemostasis pada sirosis hati sangat kompleks. Patogenesis gangguan hemostasis ini dapat digolongkan dalam beberapa kelompok berikut: Gangguan sintesis faktor pembekuan dan antikoagulan Defisiensi bersihan hati (hepatic clearance deficiency) Trombositopenia Pembentukan faktor pembekuan yang abnormal Gabungan antara kelainan tersebut di atas Berbeda dengan negara Barat sirosis hati terbanyak disebabkan alkohol.
GANGGUAN SlNTESlS FAKTOR PEMBEKUAN Semua faktor pembekuan diproduksi di dalam hati, kecuali F VIII yang diduga diproduksi dalam endotel pembuluh darah. Berdasarkan sifat, kebutuhan akan vitamin K, faktor pembekuan dibagi dalam tiga kelompok yaitu:
Bergantung pada Vitamin K Vitamin K berfungsi sebagai koenzim dalam proses pembentukan F 11, F VII, F IX dan F X. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya vitamin K berperan pada tahap akhir pembentukan faktor pembekuan tersebut yaitu pada tahap karboksilasi asam gamma glutamat. Tanpa vitamin K, akan terbentuk faktor pembekuan yang tidak sempurna dan tidak
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
berfungsi baik. Faktor pembekuan yang tidak sempurna ini bahkan dapat bersifat seperti antikoagulan. Bila terjadi defisiensi vitamin K maka faktor pembekuan yang pertama kurang ialah faktor VII karena paruh umurnya 4-7 jam, kemudian F IX, lalu F X dan terakhir F 11. Tambunan melaporkan kadar faktor pembekuan yang tergantung vitamin K pada sirosis hati berbeda bermakna bila dibandingkan pasien sirosis hati childA child B child Cdan kelompok normal. Prevalensi defisiensi faktor I1 ditemukan 72% dari 120 pasien sirosis hati.Yaitu terdiri dari defisiensi faktor I1 pada child A 3 kasus (16,67%), child B 32 kasus (65,31%), child C 52 kasus (99,11%). Defisiensi faktor VII ditemukan 42 kasus (35%) dari 120 kasus dan tidak ditemukan pada child A, sedangkan pada child B 13 kasus (26,53%) sedangkan child C 29 kasus (54,72%). Defisiensi faktor IX ditemukan pada 78,3% (94 dari 120 kasus) yaitu pada masing-masing kelompok, pada childA 8 kasus (44,44%),pada child B 39 kasus (79,59%) dan child C 47 kasus (88,69%). Defisiensi faktor X, ditemukan 73,3% (88 dari 120kasus) yaitu pada masingmasing kelompok, yaitu childA 6 kasus (33,33%), childB 36 kasus (73,47%), dan pada childC 46kasus (86,79%). Vitamin K yang terdapat dalam tubuh berasal dari makanan, terutama sayuran hijau dan dari hasil sintesis bakteri usus. Defisiensi vitamin K dapat terjadi oleh karena kurang tersedia dalam makanan, gangguan absorbsi dan pada penyakit hati. Pada penyakit hati obstruksi, defisiensi vitamin K terjadi akibat berkurangnya garam empedu yang diperlukan untuk absorbsi vitamin K. Pemakaian obat kolesteramin untuk menghilangkan gatal pada penyakit hati obstruksi, akan memperberat defisiensi vitamin K karena kolesteramin mengikat garam empedu. Pasien sirosis hati yang mendapat antibiotika dalam waktu yang lama (lebih dari 14 hari) dapat menyebabkan gangguan sintesis vitamin K oleh usus yang 'terlihat dari masa protrombin yang memanjang. Defisiensi faktor pembekuan yang bergantung vitamin K pada sirosis hati, umumnya terganggu karena kemampuan sintesis hati yang berkurang, tetapi gangguan sintesis faktor 11, VII, IX dan X, kadang-kadang diperberat oleh adanya defisiensi vitamin K. Tambunan melaporkan pemberian vitamin K oral pada sirosis hati pada child C tidak ada manfaat, pada child A dan child B tidak konklusif dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Walaupun pemberian vitamin K pada sirosis hati hasilnya mengecewakan, beberapa peneliti masih menganjurkan pemberian vitamin K pada sirosis hati. Robert menganjurkan pemberian vitamin K pada pasien yang akan menjalani biopsy hati yang disertai dengan masa protrombin memanjang. Pada penderia sirosis hati yang disertai ikterus berat dan perdarahan dianjurkan untuk mencoba memberikan vitamin K 10 mg intravena atau intramuskular selama 3 hari. Kadar faktor pembekuan dapat menentukan beratnya sirosis hati. Perdarahan spontan dan kematian, erat
hubungannya dengan kadar F I1 yang kurang dari 20%. Dilaporkan kadar F VII menurun baik pada sirosis hati alkoholik maupun pada sirosis hati yang bukan alkoholik. Faktor VII merupakan faktor pembekuan yang paling peka terhadap defisiensi vitamin K. Respons yang gagal menaikkan F VII atau memendekan masa protrombin terhadap pemberian vitamin K pada penyakit insufisiensi hati berat merupakan tanda prognosis buruk. Pada sirosis hati dekompensasi, umumnya tidak ada respon kenaikan F VII terhadap pemberian vitamin K. Untuk menentukan sirosis hati dekompensasi atau tidak, yang didasarkan atas respons kenaikan faktor pembekuan terhadap pemberian vitamin K, pemeriksaan kadar F VII lebih peka daripada masa protrombin. Pada penyakit hati menahun, F VII juga merupakan peramal yang baik untuk menentukan pasien mana yang akan mengalami perdarahan berat (Manucci, 1970). Faktor IX juga berkurang pada sirosis hati. Bila masa tromboplastin parsial memanjang disertai kadar F IX kurang dari 35% merupakan petanda prognosis buruk (Spector dan Corn, 1967) dan terlebih lagi bila disertai dengan respons gagal terhadap vitamin K (Donaldson et al, 1969). Faktor X, sama seperti F 11, F VII dan F IX juga berkurang pada sirosis hati tetapi kurang sering dievaluasi seperti faktor yang lain (Spector dan Corn, 1967). Juga dilaporkan pada sirosis hati kadar faktor pembekuan dapat berkurang karena keluar dari plasma darah dan masuk ke dalam kompartemen ekstravaskular (Straub, 1977).
Kelompok Fibrinogen Faktor pembekuan fibrinogen, F V, F VIII dan F XI11 dikelompokkan dalam fibrinogen atas dasar BM>300.000 dalton dan untuk pembuatannya tidak memerlukan vitamin K. Pada sirosis hati yang stabil sering ditemukan fibrinogen menurun atau masih normal. Penurunan kadar fibrinogen pada sirosis hati dapat terjadi karena konsumsi koagulopati, fibrinogenolisis yang berlebihan dan sintesis yang berkurang. Selain karena kadar fibrinogen berkurang pada sirosis hati sering juga dibentuk fibrinogen yang abnormal yang disebut disfibrinogen. Tambunan pada tahun 1993 melaporkan kadar fibrinogen juga menurun sesuai dengan tingkat beratnya penyakit menurut child hanya kadar fibrinogen pada child A dan B berbeda tidak bermakna, sedangkan antara childA dan child C, dan child B dan child C berbeda bermakna. Defisiensi fibrinogen ditemukan 54,17% (65 dari 120 kasus) dan pada masingmasing kelompok pada chiIdA 2 kasus (1 1,11%) child B 24 kasus (48,98%), dan child C 39 kasus (73,58%). Faktor V sering menurun pada penyakit hati kronis. Bila kadar F V 20-50% sering terjadi perdarahan spontan atau perdarahan dengan prognosis yang buruk. Faktor V juga penting dalam menilai fungsi hati berat pada stadium akhir. Bila F V persisten kurang dari 50% merupakan petanda prognosis yang buruk. Defisiensi fibrinogen dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GANGGUAN HEMOSTASIS PADA SIROSIS HAT1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI F V, biasanya ditemukan pada penyakit hati berat atau pada stadium akhir. Tetapi kedua faktor pembekuan ini juga bisa berkurang apabila terjadi fibrinolisis primer atau koagulasi intravaskular diseminata (KID). Faktor VIIIC dan VIII.vW tidak disintesis dalam hati. Asalnya tidak diketahui dengan pasti tetapi diduga di endotel pembuluh darah. Faktor VIIIR.Ag disintesis dalam endotel hati dan jaringan lain. Pada sirosis hati yang stabil F VIIIC sering meningkat walaupun tidak setinggi seperti pada nekrosis hati akut. Bila pada sirosis hati kadar F VIIIC kurang dari 100% maka perlu dicurigai ada konsumsi koagulopati akut. Faktor XI11 merupakan petunjuk yang baik untuk meramalkan kematian pada sirosis hati dan hepatitis. Pasien biasanya meninggal bila kadar F XI11 kurang dari 35% dan disertai kadar plasminogen kurang dari 19%.
Faktor Pembekuan Kontak Faktor XI, F XII, prekallikrein dan KBMT bisa berkurang pada sirosis hati karena gangguan produksi. Prekallikrein adalah yang pertama terlihat menurun pada sirosis hati. Faktor kontak tidak memperlihatkan sesuatu nilai ramalan pada sirosis hati yang stabil. Penurunan kadar F XI1 biasanya terjadi bersamaan dengan penurunan kadar albumin darah.
ANTIKOAGULAN
'
Sebagaimana sudah dikemukakan, selain protein C masih ada antikoagulan yang lebih kuat yaitu AT 111. Berbeda dengan protein C, sintesis AT I11 tidak memerlukan vitamin K. Peranan AT I11 dalam penyakit hati penting. Protein C dan AT I11 erat hubungannya dengan fungsi sintesis hati pada sirosis hati dan penyakit hepatitis menahun. Pemberian AT I11 pada sirosis hati dapat meningkatkan kadar fibrinogen karena mengurangi aktivitas intravaskular koagulasi serta memperbaiki parameter pembekuan. Pada sirosis hati AT I11 dapat berkurang disebabkan gangguan sintesis. Tambunan melaporkan kadar AT I11 kelompok A, B dan C dan kelompok normal berbeda bermakna bila dibandingkan baik kelompok child A dengan kelompok normal, child A dengan child B, child B child C.
DEFlSlENSlBERSIHANHAT1(HEPATICCLEARANCE DEFICIENCY) Selain memproduksi faktor pembekuan, hati juga berfungsi untuk membersihkan zat aktivator maupun prokoagulan yang beredar di dalam darah. Bila zat aktivator yang beredar di dalarn tubuh melebihi daya bersihan hati, aktivator akan mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin dan menyebabkan terjadinya fibrinolisis. Apabila prokoagulan
yang beredar di dalam darah melebihi daya bersihan hati maka prokoagulan ini akan mengaktifkan sistim pembekuan dan menyebabkan pembekuan intravaskular diseminata. Walaupun masih ada faktor lain yang berperanan dan turut menentukan terjadinya fibrinolisis dan KID, tetapi bersihan hati merupakan salah satu faktor yang terpenting.
Hiperfibrinolisis atau fibrinolisis yang berlebihan sudah lama dikenal pada sirosis hati. Fibrinolisis yang berlebihan ini ditandai dengan masa lisis euglobulin yang memendek dan hasil degradasi fibrinogen yang meningkat. Untuk membedakan fibrinolisis yang berlebihan dengan fibrinolisis sekunder yang terjadi pada KID, beberapa penulis menyebut hiperfibrinolisis dengan istilah fibrinolisis primer atau hanya disebut fibrinolisis saja. Patogenesis fibrinolisis pada sirosis hati masih kontroversial. Dikemukakan ada 2 teori penyebab fibrinolisis (1) kemampuan hati melakukan bersihan terhadap aktivator plasminogen berkurang, sehingga plasmin meningkat di dalam plasma, dan (2) sintesis alamiah yaitu antiplasmin a2 berkurang. Pada pasien sirosis hati, fibrinolisis primer bisa meningkat dalam sirkulasi plasma dengan manifestasi perdarahan dari mukosa lambung dan robekan esofagus. Fibrinolisis lokal mungkin berperanan penting dalam memperberat perdarahan pada mukosa lambung yang terus berlangsung. Tetapi pada sirosis hati stabil juga bisa ditemukan fibrinolisis tanpa disertai gejala perdarahan. Hal ini mengundang keinginan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara fibrinolisis dengan pasien yang mengalami perdarahan. Analisis masa euglobulin sebagai prediktor pada pasien SH 68 kasus dengan perdarahan dan 40 kasus tanpa perdarahan tidak terbukti masa lisis euglobulin dapat digunakan untuk memprediksi perdarahan sedangkan kadar D-Dimer dapat dipakai sebagai prediktor perdarahan.
KOAGULASI INTRAVASKULARDISEMINATA Walaupun pada mulanya KID diragukan pada sirosis hati, namun bukti hasil penelitian selanjutnya menghilangkan keraguan tersebut. Masalah ini timbul karena gambaran hemostasis pada sirosis hati sangat mirip dengan KID. Tetapi dengan ditemukannya bukti aktivitas trombin dan plasmin yang merupakan ciri khusus dari KID masalah tersebut dapat teratasi. Aktivitas trombin terlihat dari meningkatnya fibrinopeptida A, sedang aktivitas plasmin terlihat dari kenaikan D-Dimer. Ada beberapa faktor yang berperanan dalam proses terjadinya KID pada sirosis hati. Tambunan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
melaporkan D-Dimer meningkat pada 59,48% kasus secara bermakna dan dalam analisis selanjutnya ditemukan bahwa D-Dimer > 2000, dapat merupakan prediktor perdarahan.
Penurunan Kemampuan Bersihan Hati Zat toksis yang ada dalam usus melalui vena porta akan masuk dalam sirkulasi darah. Dalam keadaan normal zat toksis ini akan dibersihkan oleh hati. Pada sirosis hati kemampuan untuk membersihkan zat toksis ini kurang, sehingga zat toksis tersebut akan mengaktifasi proses pembekuan darah dan terjadi KID. Peningkatan Tromboplastin Pada sirosis hati sel hati yang mengalami nekrosis dapat berperan sebagai tromboplastin dan mengaktivasi sistem pembekuan. Pembekuan intravaskular yang terjadi oleh karena diaktifkan oleh tromboplastin paling jelas terlihat pada hepatitis fulminan. Stasis Sistem Porta Pada pasien sirosis hati sering ditemukan hipertensi porta. Pada hipertensi porta terdapat bendungan yang mengakibatkan hipoksia sel endotel pembuluh darah. Hipoksia sel endotel pembuluh darah menyebabkan dilepaskannya aktivator yang merangsang sistem pembukuan darah. Uji klinis yang dikemukakan sebagai bukti bahwa KID ada pada sirosis hati antara lain pemberian heparin memperlihatkan perbaikan uji laboratorium KID yang terlihat dari kenaikan fibrinogen dan trombosit. Fibrinopeptida A yang meningkat pada sirosis hati berkurang setelah pemberian heparin menunjukkan bahwa pada sirosis hati terjadi pembentukan trombin intravaskular. Pemberian heparin dosis rendah pada sirosis hati selama operasi elektif yang menunjukkan perbaikan fagositosis dan fungsi katabolik sistem retikulo endotelial, dapat menerangkan perbaikan hasil laboratorium karena bersihan substansi toksis dan fragmen faktor pembekuan. Meskipun heparin berguna pada penatalaksanaan KID, tetapi pada nekrosis hati akut masih dipertanyakan, karena walaupun hasil laboratorium menunjukkan perbaikan tetapi tidak jelas menurunkan mortalitas. Minna pada tahun 1974 mengemukakan kriteria laboratorium definitif pada sirosis hati untuk membedakan antara gangguan hemostasis disertai KID dan tanpa disertai KID, yaitu pada SH yang disertai KID ditemukan fibrinogen rendah kurang dari 125mg%, masa protrombin sangat memanjang lebih dari 25 detik, trombosit kurang dari 50.000/mm3 dan respon positif terhadap pemberian heparin. Tetapi banyak peneliti lain kurang menyetujui kriteria tersebut, dengan alasan hemostasis pada sirosis hati sangat kompleks mengemukakan pentingnya pemeriksaan
D-Dimer untuk menegakkan diagnosis KID pada sirosis hati. Karena D-Dimer adalah hasil degradasi dari ikatsilang fibrin maka D-Dimer hanya positif pada trombosis atau KID (Carr 1989a).
Frekuensi trombositopenia pada sirosis hati cukup tinggi yaitu 37-77%. Penyebab trombositopenia pada sirosis hati bermacam-macam, dapat karena hipersplenisma, KID, alkohol. Selain karena trombositopenia perdarahan pada sirosis hati dapat terjadi akibat gangguan fungsi trombosit yang disebabkan HDF yang meningkat. Berbeda dengan laporan sirosis hati di negara Barat, Tambunan melaporkan dari 120 kasus sirosis hati, hanya 13 kasus (10,83%). Perbedaan ini kemungkinan disebabkan penyebab sirosis hati yang berbeda yaitu di negara barat adalah karena alkohol sedangkan di Indonesia sirosis hati disebabkan karena infeksi virus hepatitis.
PEMBENTUKANFAKTOR PEMBEKUANYANG AB, NORMAL Pada sirosis hati dapat terjadi pembentukan fibrinogen yang tidak normal yang disebut disfibrinogenemia.Fibrinogen yang abnormal ini mengandung asam sialat yang tinggi. Kadar fibrinogenpada disfibrinogenemiabila diukur dengan cara pemeriksaan immunologis atau cara presipitasi hasilnya normal. Tapi pemeriksaan masa trombin akan memanjang. Ini akibat gangguan polimerasi fibrinogen. Masa trombin yang memanjang karena disfibrinogenomia ini dapat dikoreksi dengan memberikan neuromidase karena mengikat asam sialat.
GABUNGAN ANTARA BEBERAPA KELAINAN HEMOSTASIS Pada sirosis hati sering dijumpai gabungan beberapa kelainan hemostasis seperti defisiensi faktor pembekuan yang disertai dengan fibrinolisis primer atau pembekuan intravaskular diseminata. Yang sering menjadi masalah ialah membedakan antara fibrinolisis primer yang disertai dengan trombositopenia di satu pihak dengan defisiensi faktor pembekuan yang disertai dengan trombositopenia di satu pihak dengan defisiensi faktor pembekuan yang terjadi karena KID. Masalah ini sekarang dapat diatasi dengan tersedianya pemeriksaan D-Dimer yang dapat membedakan antara fibrinogenolisis dan fibrinolisis. Hal ini sangat penting dari segi klinis karena pengobatannya sangat berbeda.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GANGGUAN HEMOSTASIS PADA SIROSlS HAT1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI PENATALAKSANAAN PERDARAHAN PADA SlROSlS HATI Tindakan yang hams dilakukan pada pasien sirosis hati dengan perdarahan ditujukan untuk menghentikan perdarahan dan mengembalikan volume darah. Untuk mencapai tujuan tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan medikamentosa dan bedah.
Medikamentosa Transfusi darah atau komponen darah. Transfusi darah dan plasma beku segar merupakan pilihan pertama untuk mengatasi perdarahan pada sirosis hati yang bukan masalah bedah. Walaupun demikian transfusi darah atau komponen darah pada sirosis hati tidak selalu memberi hasil yang diinginkan. Finkber pada tahun 1959,melaporkan transfusi darah segar dapat menghentikan perdarahan. Sebaliknya Spector melaporkan trmsfusi d a r k segar malah dapat memperberat perdarahan. Konsentrat kompleks protrombin dan plasma beku segar dilaporkan mempunyai efektifitasyang tinggi dalam mengatasi perdarahan pada sirosis hati. Konsentrat AT I11 juga dilaporkan bermanfaat mengatasi perdarahan pada sirosis hati. Tambunan melaporkan transfusi plasma beku segar dengan dosis rata-rata 15 ml/kgBB dapat menaikkan secara bermakna faktor 11,VII,IX, X. Heparin. Pemberian heparin pada sirosis hati dengan perdarahan masih kontroversial. Pertentangan ini timbul disebabkan oleh ha1 yang dijelaskan sebelumnya yaitu adanya keraguan KID pada sirosis hati. Minna pada tahun 1974,melaporkan bahwa ia berhasil mengatasi perdarahan pada sirosis hati yang disertai dengan KID dengan memberikan heparin 5000-7500 U tiap 4-6 jam. Pengobatan dengan heparin pada sirosis hati yang disertai koagulasi intravaskular derajat rendah menaikkan kadar fibrinogen, plasminogen dan memperbaiki masa protrombin. Fischer pada tahun 1973 menganjurkan pemberian heparin pada sirosis hati dengan perdarahan karena terbukti memperbaiki faktor pembekuan. Walaupun pemberian heparin pada sirosis hati dengan perdarahan terbukti memperbaiki faktor pembekuan, tetapi banyak yang kurang setuju karena alasan tidak terbukti menurunkan mortalitas. Tarnbunan melaporkan pemberian heparin 10 menit sebelum transfusi plasma beku segar dibandingkan dengan tanpa memberikan heparin pada pasien dengan sirosis hati disertai asites dan D-Dimer positif, kadar fibrinogen meningkat secara bermakna pada pasien yang mendapat heparin. Antifibrinolisis. Epsilon amino caproic acid (EACA), memperlihatkan beberapa keuntungan, tetapi sekarang tidak dianjurkan karena risiko terjadinya trombosis tinggi. Antifibrinolisis lainnya seperti asam traneksamat dapat diberikan bila ada fibrinolisis.
Beta blocker. Propanolol mengurangi perdarahan gastrointestinal karena menurunkan tekanan vena porta. Keuntungan lainnya akibat sirkulasi pada vena porta yang berkurang, menyebabkan aktivitas fibrinolisis mukosa lambung jug@berkurang. Terapi skierosing (skieroterapi). Tujuan terapi sklerosing adalah menghentikanperdarahan dengan cara menyuntikan sklerosan pada varises osofagus (Terblance et al, 1981; Paquet dan Feussner, 1985). Selain menghentikan perdarahan darurat terapi ini juga dapat dipakai mencegah perdarahan jangka panjang (Mac Dougal et al, 1982). Balon tamponade (SB Tube). Balon tamponade dipergunakan pada perdarahan varises yang masif. Balon tamponade bekerja dengan cara mekanik yaitu menekan langsung pembuluh darah varises yang robek (Terblance et al, 1981; Fleig et a1 1983).
Operasi Tujuan operasi adalah untuk menghentikan atau mencegah perdarahan (Tabak et a1 1982). Tindakan bedah dapat berupa pintas porta sistemik (Spleno venal shunt) atau transeksi esofagus.
Aster RH. 1966. Pooling of platelets in the spleen : role in the pathogenesis of "hypersplenic thrombocytopenia". J Clin Invest 45:645-57. Biland L, Duckert F, Prisender S et al. 1978. Quantitative Est~mation of Coagulation Factors In Liver Disease, The Diagnostik and Prognostic Value of Factor XIII, Factor V and Plasminogen. New Eng J Med 305, 242-8 Bloom AL. 1975. Intravascular coagulation and the liver. Br J Haematol. 30:l-7. Bloom AL.1975. Intravascular coagulation and the liver. Br J Haematol. 30:l-7. Corrigan JJ. 1981. Diagnosis and Therapy of Coagulopathies in Patients with Liver Disease, Contemp Anesth Pract, 4: 1-1 1 . Clark R, Rake MO, Flute PT, et al. 1973. Coagulation Abnormalities in Acute Liver Failure: Pathogenetic and Therapeutic Implications. Scand J Gastro enter01 8: (Supp1.19):63-70. Carr JM. 1989b. Disseminated Intravascular Coagulation in Cirrhosis. Hepatology 10,103-10. Cowan DH, Hine JD. 1971. Thrombocytopenia in severe alcoholIsm. Ann Intern Med 74. 34-43. Cowan DH. 1980. Effect of alcoho1ism on hemostasis. Semin Hematol 17: 137-47 Consensus Conference. 1985. Fresh Frozen Plasma. JAMA. 253:551-3. Corrigan JJ. 1981. Diagnosis and Therapy of coagulopatjies in patients with liver disease. Contemp Anesth Pract, 4 : l - l l . Cordova C, Musca A, Violi F, et al. 1982. Improvement of some blood coagulation factors in cirrhotic patients treated with low doses of heparin. Scan J Haemato1;29:235-40. Coccheri S, Manucci PM, Palareti G, et al. 1982. Significance of plasma fibrinopeptida A and high molecular weight fibrinogen in patients with liver cirrhosis. Br J Haematol, 52:503-9.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Capel P. 1984. Platelet involvement in the hemostatic failure of liver disease. In hemostatic failure in liver disease, Thijs 0 dan Fondu P, Editor. Martinus Nijhoff Publisher, Boston;69-80. Cooney D, Smith A. 1978. The pathophysiology of hipersplenic thrombocytopenia. Arch Intern Med 121:332-7. Coleman M, Finlayson N, Bettygole RE, et al. 1975. Fibrinogen survival in cirrhosis: Improvement by "Low Dose" heparin. Ann Intern Med.;83:79-81. De Groote J. 1984. Introduction. In Haemostasis Failure in Liver disease. Fondu P dan Thijs 0. Martinus Nijhoff Publisher. 1-4. Deutsch E. 1965. Blood Coagulation Changes in Liver Disease. Prog Liver Dis. 2:69-93. Donaldson GWK, DavieSH, Darg A, et al. 1969. Coagulation Factors in Chronic Liver Diseases. J Clin Pathol, 22:199-204. Fletcher AP, Biederman 0 , Moore D, et al. 1964. Abnormal Plasminogen-plasmin System Activity (fibrinolisis) in Patients with Hepatic Cirrhosis : Its cause and consequences. J Clin Inevst, 43:681-95. Francis CW dan Marder VJ. Mechanism of fibrinolysis in Hematology. Williams et al. MCGraw Hill Publishing company.13 13-21. Feinstein Dl. 1982. Diagnosis and management of disseminated intravascular coagulation : the Role of heparin therapy. Blood ;60:284-7. Fischer M, Gauss P, Korp W, et al. 1973. Heparin therapy in the case od acute liver cirrhosis. Scand j Gastroenterol 8 (Suppl 19): 135-8. Finkbiner RB, McGovern JJ, Goldstein R, et a]. 1959. Coagulation defects in liver disease and response to transfusion during surgery. Am J Med, 26: 199-21 3. Fleig WE, Stange EF, Reuttenaueur K, et al. 1983. Emergency endoscopy slerotherapy for bleeding esophageal varices: a prospective study in patients not responding to ballon tamponade. Gastroi'ntest endosc 29,8-14. Green G, Dymock IW, Poller L, Thompson JM, et al. 1976. Factor VII as a marker of Hepatocellular Synthetic Function in Liver Disease. J Clin Pathol , 29:971-5. Green G, Poller L, Thompson JM, et al. 1977. Association of abnormal fibrin polymerization with liver disease. Gut;18:90912. Green G, Poller L, Thompson JM, et al. 1977. Association of abnormal fibrin polymerization with severe liver disease. Gut;18:909-12. Grossi C, Rousselot L, Panke W. 1962. Coagulation defects in patients with cirrhosis of the liver undergoing porta systemic shunts. Am J Surg, 104:512-26. Hallen A, Nilsson IM.1964. Coagulation Studies in Liver Disease. Thromb Diath Haemorrh. 1 1:41. Herold R, Straub PW.1973. Acute Hepatic Necrosis of Hepatitis and Mushroom Poisoning. Helv Med Acta. 375-24 Jacobson RJ, Wagner S, Weinberg R, et al. 1971. Bleeding complications in the fulminant hepatitis. Lancet, 2:1426. Koller F. 1973. Theory and Experience Behind the Use of Coagulation Tests in Diagnosis and Prognosis of Liver Disease. Scand J Gastreoenterol, 8 (Suppl), 1 9 5 1-61. Kupfer HG, Gee W, Ewald AT et al. 1964. Statistical Correlation of Liver Function Tests with Coagulation Factor Deficiencies in Laennec's cirrhosis. Thromb Diathes Haematol, 11:3 17-3 1. Karpathin S, Freedman ML. 1978. Hipersplenic thrombocytopenia differentiated from increased peripheral destruction by platelet. Ann Intern Med 89:200-3. Lord JW, Andrus W de W. 1941. Differentiation of Intra Hepatic and Extra Hepatic Jaundice. Response of the Plasma Prothrom-
bin to Intramuscular Injection of Menadione (3-methyl-1.4 Napthoquinon) as a Diagnostic Aid. Arch Intern Med 68. 199210. Laursen B, Mortensen JZ, Frost L et al. 1981. Disseminated Intravascular Coagulation in Hepatic Failure Treated with Antithrombin 111. Thromb Res,22:701-704. Lahnborg G, Berghem L, Lagergen H, et al. 1976. Effect of low-dose heparin on the phagocytic and catabolic function of the reticuloendothelial system in man during surgery. Ann Chir Gyn, 65:376-81. Lechner K, Niesser H, Thaler E. 1977. Coagulation abnormalities in liver disease. Sem Thromb Hemostas,4:1:40-56. Langley P, Hughes R, Williams R. 1982. Platelet adhesiveness to glass beads in liver disease. Acta Haemat. 67:124-7. Linderbaum J, Hargrove R. 1968. Thrombocytopenia in alcoholic. Ann Intern Med 68:526-32. Lane DA., Scully MF, Thomas DP, et al. 1977. Acquired dysfibrinogenemia in acute and chronic liver disease. Br J Haematol 35,301-8. Lebrec D, Poynard T, Hillon P, et al. 1981. Propanolol for prevention of recurrent gastrointestinal bleedings in patients with cirrhosis. N Eng J Med, 305;1371-74. Manucci PM. 1970 Estimation of Prothrombin in Liver Disease. J Clin Pathol 23:291-5. Mindrum G, Glueck HI. 1959. Plasma Prothrombin Time in Liver Disease: Its Clinical and Prognosis Significance. Ann Intern Med 50:1370-84. Mason JW and Colman RW. 1971. The Role of Hageman Factor in Disseminated Intravascular Coagulation Induced by Septicemia, Neoplasia or Liver Disease. Thrombos Diathes Haemorrh, 26:325-3 1. Manucci L, Diguardi N, DelNinno E, et al. 1973. Value of Normotest and antithrombin 111 in the Assessment of Liver Function. Scand J Gastroenterol , 8 (Suppl. 19):103-7. Mosser KM, Hajjar GC. 1966. Age and Disease-related alterations in Fibrinogen-euglobulin (fibrinolytic) Behaviour. Am J Med Sci, 251 :536-44. Minna JD, Robboy SJ, Colman RW. 1974. Liver disease in DIC. In Disseminated intravascular coagulation in man. Springfield, IIlinois, Charles C Thomas. 160-6. Maisonneuve P, Sultan Y. 1977. Modification of Factor VIIl complex Properties in Patients with Liver Disease. J Clin Pathol, 30:221-7. Martinez J, MacDonald KA, Palasoak JE. 1983. The role of sialic acid in the dysfibrinogenemia associated with liver disease: Distribution of sialic acid on the constitutive chains. Blood 61:1196-201. Masure R. 1984. Strategies for rational haemotherapy. In Haemostatic Failure in Liver Disease., Thijs 0 dan Fondu P. Martinus Nijhoff Publisher, Boston;162-168. MacDougal BRD, Westaby D, Theodossi A, et al. 1982. Increased long-term survival in variceal hemorrhage using injection sclerotherapy. Lancet 1,124-7. Manucci PM, Franchi F, Dioguardi N. 1976. Correction of abnormal coagulation in chronic liver disease by combine use of fresh frozen plasma and ptothrombin complex concentrates. Lancet,2 :542-5. Nanji AA, Blank DW. 1983.Clinical Status as Reflected in Biochemical Tests on Patients with Chronic Alcoholic Liver Disease. Clin Chem, 29:992-3. Oka K dan Tanaka K.1979. Local fibrinoysis of esophagus and stomach as a cause of hemorrhage in liver cirrhosis. Thromb Res, 14:837-44.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1333
GANGGUAN HEMOSTASIS PADA SIROSIS HAT1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Palasoak JE, Martinez J. 1977. Dysfibrinogenemia associated with liver disease. J Clin Invest, 60239-95. Poller L. 1977. Coagulation Abnormalities in Liver Disease. In Poller, L (ed): Recent Advances in Blood Coagulation. 2"* ed London , Churcill Livingstone. Penny R, Rozenberg MC, and Firkin BG. 1966. The Splenic platelet pool. Br J Haematol 27, 1-16. Pallasoak JE, Martinez J. 1977. Dysfibrinogenemia associated with liver disease. J Clin Invest, 60:89-95. Paquet KJ, Feusner H.1985. Endoscopic sclerosis and esophageal ballon tamponade in acute hemorrhage from esophagogastric varices. Prospective controlled randomized trial. Hepatology 5, 580-3. Reksodiputro AH, Djoerban 2, Muthalib A. dkk. 1978. Kelainan Hemostasis pada Sirosis Hati. Kumpulan Naskah Ilmiah Simposium Nasional Penyakit Hati Menahun. Pang RTL dkk. Editor: 276-82. Ratnoff OD. 1984. Hemostatic Defect in Liver and Billiary Tract Disease. In Disorders of Hemostasis.Ratnoff OD and Forbes CD. Grune & Stratton,Inc :451-72. Roberts HR and Cederbaum AI. 1972. The Liver and Blood Coagulation. : Physiology and Pathology. Gastro Enterol. 63:297-320. Rock W. 1984. Laboratory assessment of coagulation in liver disease. Clin Lab Med;4:419-42. Roberts HR, dan Cederbaum AI. 1972. The Liver and blood coagulation: Physiology and pathology. Gastro enterol, 63:297320. Sulaiman A. 1990. Virus Hepatitis B, Sirosis Hati dan Karsinoma Hepatoselular (Kumpulan Naskah Ilmiah dalam rangka tesis) 139-58. Sherlock S, Alpert L.1965. Bleeding in Surgery in Relation to Liver Disease. Proc R Soc Med, 58, 257-9. Straub, PW.1977. Diffuse Intravascular Coagulation in Liver Disease. Thromb Hemost 4,29-39. Shearer MJ, McBurney A, Breckenridge AM, et al. 1977. Effect of Warfarin on the Metabolism Phyloquinone (vitamin K): Dose relationship in Man. Clin Sci and Mol Med 52.621-30. Shearer MJ, Allan V, Haroon Y, et al. 1980. Nutritional Aspect of Vitamin K in the Human.In Suttie (ed). Vitamin K Metabolism and Vitamin K Dependent Protein. Univ Park Press. Baltimore. 317. Samama m.1984. The Significance of Several Coagulation Tests in Evaluation of the Risk of Bleeding, in Hemostatic Failure in Liver Disease, Thijs 0 dan Fondu P. Martinus Nijhoff Publisher. Boston:81-93. Soria J, Soria C. 1984. Abnormalities of Fibrin Formation in Severe Hepatic Diseases, in Hemostatic Failure in Liver Disease, Thijs 0 , Fondu P. Martinus Nijhoff Publisher. Boston : 52-68. Prydz H. 1977. Vitamin-dependent clotting factors. Semin Thromb Hemostas.4:ll-4. Straub PW. 1977.Diffuse Intravascular Coagulation in Liver Disease.Thromb Hemos 4, 29-39.
Scharer I, Best C. 1989. Protein-C and antithrombin 111 are the Best Coagulation Markers for Decreased Liver Synthesis in Liver Cirrhosis and CAH. Abstract. Thrombosis and Hemostasis. XIlth Congress of the International Society on Thrombosis and Haemostasis, Tokyo, Japan. 275 (882). Schipper HG, ten Cate JW. 1982. Antithrombin I11 transfusion in patients with hepatic cirrhosis. Br J Haemato1;52:25-33. Spector 1 dan Corn M.1967. Laboratory Tests of Hemostasis. The Relationship to Hemorrhage in Liver Disease. Arch Intern Med. 119:577-82. Spector I, Corn M , Ticktin HE. 1966. Effect of plasma transfusion on the prothrombon time and clotting factors in liver disease. N Eng J Med, 275:1032-7. Sirinek KR, Levine BA. 1988. High-dose vasopressin for acute variceal; hemorrhage. Arch Surg 123:876-80. Tarnbunan.1993. Gangguan Hemostasis pada Sirosis Hati dan Saran Penatalaksanaanya di Indonesia. Disertasi. Balai Penerbit FKUI. Tucker JS, Woolf IL, Boyes BE, et al. 1973. Coagulation Studies in Acute Hepatic Failure. Gut, 14:4 18. Tytgat G, Collen D, de Vreker RR, Verstraete M. 1968. Investigation on the fibrinolytic system in liver cirrhosis. Acta Haematol 40:265-74. Sherman IA. 1982. DIC in Massive Transfussion. Prog Clin Biol Res, 108, 171-89. Thomas DP. 1972. Abnormalities of platelet aggregation in patients with alcoholic cirrhosis. Ann NY Acad Sci, 201:24350. Tabak C, Eugene J, Juler GL, et al. 1982. Upper gastrointestinal hemorrhage in cirrhosis: timing and indications for active intervention. Am J gastroenterol, 77:947-8. Terblanche J, Yakoob HI, Bordas JM, et al. 1981. Acute bleeding varices. A five -years a prospective evaluation of tamponade and schlerotherapy. Ann Surg.521-30. Thomas DP. 1972. Abnormalities of Platelet Aggregation Patients with Alcoholic Cirrhosis. Ann NY Acad Sci, 201:24350. Tytgat GN, Collen D, Verstraete M. 1971. Metabolism of fibrinogen in cirrhosis of the liver. J Clin Invest;50:1690-701. Verstraete M, Vermylen, J, dan Collen D. 1974. Intravascular coagulation in liver disease. Ann Rev Med, 25:447-55 van Outryve M, Baele G, DeWeerdt GA et al. 1973. Anti Haemophilic Factor A (F VIII) and Serum Fibrin-fibrinogen Degradation Products in Hepatic Cirrhosis. Scan J Haematol, 11:48-152. van Vliet ACM, van Vliet HHDM, Dzoljic-Danilovic 4 et al. Plasma Prekallikrein and Endotoxemia in Liver Cirrhosis. Thrombosis Haemostas, 45:65-7. Verhaeghe R, Van Damme B, Molla A, et al. 1972. Dysfibrinogenemia associated with primary hepatoma. Scand J Haematol, 9:451-8. Veltkamp JJ, and Kreuning J. 1973. The Diagnostic Value of Coagulation Studies in Chronic Liver Disease. Scan J Gastroenterol,8 (SUPPI. 19):93-5. Walsh WD, Losowosky MD.1971. The Hemostatic Defect of Liver Disease. Gastro enterol, 60. 108-19.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
GANGGUAN HEMOSTASIS PADA DIABETES MELITUS Andi Fachruddin Benyamin
PENDAHULUAN Penyandang Diabetes Melitus (DM) tipe 2 telah terbukti memiliki risiko untuk mengalami kelainan kardiovaskular yang jauh lebih tinggi dibanding populasi normal. Komplikasi vaskular dapat berupa mikrovaskular (pembuluh darah mata, ginjal dan saraf) danlatau makrovaskular (pembuluh darah jantung, otak dan arteri perifer). Kelainan mikro dan makrovakular ini dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas penyandang DM. Aterosklerosis dapat terjadi lebih cepat pada penyandang DM. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa jauh sebelum terdiagnosis DM tipe 2, baik pada fase glukosa darah puasa terganggu (GDPT) maupun pada toleransi glukosa terganggu (TGT), sebenarnya telah berlangsung berbagai bentuk perubahan yang pada gilirannya akan menyebabkan peningkatan risiko tersebut. Sekitar 80% dari penyandang DM meninggal akibat komplikasi trombotik. Faktor risiko tradisional, seperti hipertensi, kadar high density lipoprotein (HDL) yang rendah, meningkat pada penyandang DM tipe 2 dan toleransi glukosa terganggu VG9. Patogenesis terjadinya kelainan kardiovaskular pada penderita DM tipe 2 bersifat multifaktorial sebagai akibat dari berbagai faktor antara lain faktor-faktor metabolik, oksidasilgliko-oksidasi, disfungsi sel endotel, inflamasi, dan gangguan trombosis atau fibrinolisis. Disini hanya akan dibahas pada gangguan hemostasis yang terjadi pada penyandang DM tipe 2 .
Hemostasis adalah proses fisiologis yang bertujuan untuk
menghentikan perdarahan pada lesi vaskular. Monolayer sel endotel yang ruptur membuka struktur sub endotel, menyebabkan adhesi dan aktivasi trombosit pada lokasi ruptur, dan secara simyltan faktor jaringan yang terpapar dan menyebabkan aktivasi faktor koagulasi yang dimulai dengan pembentukan fibrin. Trombus merupakan agregasi trombosit dan fibrin, menghentikan perdarahan dan membentuk sikatrik. Proses fibrinolisis, yang terjadi secepat pembentukan fibrin, menyebabkan destruksi trombus dan kembali diserap pembuluh darah.Hemostasis adalah suatu fenomena kekuatan lokal, dengan pengerasan lokal sendiri, tetapi diatur oleh beberapa jalur penghambat yang membatasi perluasan trombus. Beberapa perubahan dalam keseimbangan antara aktivasi dan inhibisi menyebabkan kelainan pada perdarahan atau trombosis.
GANGGUAN PENGATURAN HEMOSTASIS PADA DIABETES Telah lama diketahui bahwa pada penderita diabetes melitus, terutama DM tipe 2, terdapat keadaan yang disebut kondisi protrombotik, dimana lebih mudah timbul trombosis dibanding keadaan fisiologis normal. Kondisi protrombotik menunjukkan adanya abnormalitas baik pada aktivasi trombosis maupun fibrinolisis. Salah satu penyebab dari kedua abnormalitas tersebut adalah resistensi insulin, hiperglikemia dan inflamasi. Selain itu, pada DM tipe 2 ditemukan bukti adanya perubahan dari berbagai faktor yang berperan pada faal hemostasis. Peningkatan Kadar Fibrinogen, Kadar fibrinogen yang meningkat akan menyebabkan agregasi trombosit dan perubahan reologik serta bekuan yang kaya akan fibrin. Banyak penelitian pada DM tipe 2 melaporkan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GANCCUAN HEMOSTASIS PADA DIABETES MELITUS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI peningkatan kadar fibrinogen. Pada pasien DM tipe 2 didapatkan penekanan fibrinolisis yang disebabkan oleh peningkatan kadar Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI- 1 ) . Penurunan aktivitas fibrinolitik trombosit mengakibatkan penurunan deposit fibrin dan perubahan pada komponen-komponen dari pembuluh darah. Kadar PAI- 1 meningkat pada pasien-pasien resistensi insulin yang obes, seperti pada pasien DM tipe 2 dan pada kisaran normal pada pasien DM tipe 1. Kadar plasma PAI- I berhubungan dengan indeks massa tubuh, lemak viseral, tekanan darah dan kadar plasma insulin, trigliserida, small dense LDL, dan... kolesterol HDL. PeningkatanAktivitas Faktor VII, Terjadi sebagai akibat adanya hiperlipidemia post-prandial. Ekspresi Plasminogen Aktivator Inhibitor-1 yang berlebihan, Adanya perubahan ini telah dibuktikan terjadi baik pada penderita DM tipe 2, resistensi insulin, maupun hiperinsulinemia. Hal ini diduga sebagai akibat efek langsung dari insulin dan pro-insulin. Sebagaimanatelah diketahui, insulin akan merangsang sintesis PAI-1. Selanjutnya peningkatan PAI-1 dalam darah akan menyebabkan penghambatan aktivitas fibrinolisis. Menurunnya kadar PAI-1 pada penderita t2DM setelah pemberian terapi dengan obat golongan tiazolidindion memperkuat bukti peranan resistensi insulin sebagai penyebab. Peningkatan Agregasi Trombosit, Telah terbukti bahwa pada penyandang DM tipe 2 diperlukan dosis asam asetil salisilat yang lebih tinggi untuk mencegah terjadinya agregasi trombosit dibanding pada nondiabetes. Masih belurn dapat dipastikan apakah faktor glukosa sendiri atau gangguan metabolik penyerta yang merupakan penyebabnya. Penurunan Kadar Urokinase pada Plak Aterosklerotik.
Peningkatan PAI- 1 baik dalam plasma maupun pada plak tak hanya berakibat rendahnya migrasi sel otot polos (smooth muscle cell) vaskular, tetapi juga akan menyebabkan penurunan ekspresi urokinase pada dinding pembuluh darah serta plak. PadaJibrous cap yang tipis, berlangsungnya proteolisis dibagian bahu dari plak (oleh karena aktivasi sel limposit T dan makrofag) dapat mempermudah terjadinya ruptur plak serta sindrom koroner akut seperti angina pektoris tidak stabil maupun infark miokard akut.
REFERENSI Eckel RH, Wassef CM, Chait A et al, AHA Conference Proceedings. Prevention Conference VI: Diabetes and Cardiovascular Disease,Pathogenesis of Atherosclerosis in Diabetes, Circulation, 2002, 105-109. Juhan-Vague 1, Alessi MC, Vague P. Increased plasma Plasminogen Activatorlnhibitor-1 levels : a probable link between insulin resistance and athero- thrombosis, Diabetologia, 1991 :34:457 - 462. Minamikawa J, Yamanouchi M, Inoue D et al. Another potential use of troglitazone in non-insulin dependent diabetes mellitus. J Clin Endocrinol Metab, 1998 : 83 : 1041-1042. Schneider DJ, Sobel BE.Diabetes and Thrombosis in Johnstone MT,Veves A Eds, Diabetes and Cardiovascular Disease, Totowa NJ, Humana Press, 2001. Sobel BE, Woodcock-Mitchell J, Schneider DJ et al : Increased Plasminogen Activator Inhibitor type 1 in Coronary Artery Atherectomy Specimens From Type 2 Diabetic Compared With Nondiabetic Patients, A Potential Factor Predisposing to Thrombosis and Its Persistence, Circulation, 1998 : 97: 22132221. Sobel BE : Increased Plasminogen Activator Inhibitor-l and Vasculopathy, A Reconcilable Paradox, Circulation, 1999 : 99 : 2496-2498. Sobol AB, Watala C. The role of platelets in diabetes-related vascularComplication. Diabetes Res Clin Pract. 2000 :SO : 116.
EFEK ADANYA KEADAAN PROTROMBOTIK PADA PENYANDANG DIABETES MELITUS Keadaan protrombotik yang terjadi pada penyandang DM tipe 2 berperan dalam dua ha1 penting yaitu pada patogenesis terjadinya aterosklerosis yang progresif, serta timbulnya kejadian koroner akut (acute coronavy events).
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
KONDISI HIPERKOAGULABILITAS Hilman Tadjoedin
PENDAHULUAN Pada tahun 1860, Virchow mengusulkan teori tentang patogenesis terjadinya trombus yang melibatkan: sel endotel, aliran darah, dan kondisi hiperkoagulabilitas. Saat ini risiko terjadinya trombosis diduga dapat diakibatkan oleh beberapa faktor, yaitu: genetik, lingkungan, dan faktor didapat. Keadaan di atas memicu berkembangnya teori two hit atau multihit sebagai risiko independen terjadinya trombosis. Pada perkembangan berikutnya, faktor genetik dan atau didapat diperberat dengan beberapa faktor risiko, yaitu: imobilisasi, inflamasi, rokok, terapi hormon dan lain sebagainya.
Hypercoagulable states merupakan keadaan kongenitall didapat yang telah diketahui atau dicurigai berhubungan dengan hipereaktivitas sistem koagulasi dan atau perkembangan ke arah tromboemboli. Manifestasi klinis kelainan ini adalah: meningkatnya kejadian trombosis, yang muncul pada usia muda, trombosis familial, dan trombosis di lokasi yang tidak lazim (di vena otak). Menurut penyebab hypercoagulable states, dibagi
HYPERCOAGULABLE STATES KONGENITAL
Bentuk kelainan ini terutama (60% penyebab tersering) adalah resistensi protein C teraktivasi (APC resistance)/ kelainan genetik padapoint of mutation (faktor V Leiden) dan berkurangnya natural anticoagulan, yang diperankan
oleh Anti Trombin I11 (AT 111), Protein C (PC) dan Protein S (PS). Pada Tabel 2 diperlihatkan beberapa penyebab hypercoagulable states kongenital. Hal yang menarik pada keadaan ini adalah pada saat ditegakkan diagnosis, 50% kelompok ini tidakmenunjukkan gejala adanya trombosis.Terdapat kecenderungan meningkatnya perbedaan antara populasi yang menunjukkan gejala dengan yang tidak menunjukkan gejala, pada kelompok umur, tetapi 20-30% kelompok ini tetap tidak menunjukkan gejala.
Resistensi protein C teraktivasi Defisiensi alfa-makroalobulin Antibodi antikardiolipk Defisiensi antitrombin Disfibrinogenemia Faktor V leiden Defisiensileksesfaktor V Ekses faktor VII Ekses faktor Vlll Ekses faktor XI Defisiensi kofaktor II heparin
Hiperhomosisteinuemia Hi~erfibrinoaenemia ~ntikoa~ula';l lupus Ekses PAI-1 Defisiensi plasminogen Defisiensi protein C Defisiensi protein S Protrombin G20210A Defisiensi tPA DefisiensiTFPl Defisiensi Trombomodnuli
PAI-I=plasminogen activator inhibitor-I; TFPI=tissue factor pathway inhibitol; tPA=tissue plasminogen activator
8.
Resistensi Activated Protein C (APC resistance) Defisiensi Anti Trombin Ill (AT Ill) Defisiensi Protein C (PC) Defisiensi Protein S (PS) Gangguan pada ko-faktor II heparin Disfibrinogenemia Kombinasi gangguan (PC + APC resistance + PS) Gangguan pada sistem fibrinolisis
9.
Hiperhomosisteinemia
1. 2. 3. 4.
5. 6.
7.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Protein C Teraktivasi Dengan ditemukannya faktor V Leiden, maka identifikasi terhadap pasien dengan riwayat keluarga yang memiliki kecenderungan trombosis menjadi lebih besar. Dahlback dkk melakukan pengamatan terhadap resistensi protein C pada sekelompok populasi dan menyimpulkan bahwa pasien dengan trombofilia familial yang berhubungan dengan gangguan pada titik mutasi tingkat genetik (genetic point of mutation), yaitu pada perubahan posisi tunggal asam amino glutamin menjadi arginin pada posisi 506, &an menyebabkan aktifhya resistensi faktor V Leiden terhadap antikoagulan alamiah, yaitu APC (autoantibodi APC). Selain ha1 di atas, secara hipotesis, resistensi APC diakibatkan oleh defisiensi PS dan gangguan faktor VIII atau V pada tempat pembelahan APC. Ciri khas kelainan ini adalah respons yang buruk terhadap antikoagulan. Bentuk gangguan ini adalah abnormalitas faktor V (faktor V Leiden), yang didapat pada 15-30% kasus trombosis.
Tipe I: kadar antigen dan aktivitas PC rendah. Tipe 11: kadar antigen PC normal, tetapi berkurang aktivitasnya. Tipe 111: kadar antigen PC berkurang dan aktivitasnya rendah.
Defisiensi Protein S (PS) Protein S merupakan glikoprotein plasma (berat molekul 84000 D) yang juga disintesis di hati dan sel endotel. PS merupakan kofaktor PC aktif dan membentuk kompleks dengan ikatan protein C4b. Di dalam plasma PS dapat bersifat bebas atau berikatan dengan protein C4b, tetapi hanya bentuk PS bebas saja yang aktif. Hingga saat ini, klasifikasi gangguan PS belum dapat dipastikan.
Tiwue factor + factorVll (a)
Defisiensi AntiTrombin Ill (AT Ill) AT merupakan glikoprotein plasma (berat molekul: 58.000 D), yang disintesis di hati dan sel endotel. Fungsi AT adalah menghambat trombin, faktor Xa, IXa, XIa, XIIa serta plasmin dan kalikrein. Fungsi AT menjadi lebih aktif dengan bantuan heparin atau mukopolisakarida yang mirip heparin, yang terdapat pada permukaan sel endotel. Defisiensi AT merupakan kelainan autosom dominan, bentuk heterozigot dapat menjadi risiko terjadinya trombosis vena. Pada populasi umum, prevalensi defisiensi AT adalah 1: 2000 sampai dengan 1: 5000. Untuk penggunaan praktis, gangguan pada AT dikelompokkanmenjadi: Tipe I defisiensi murni. Tipe I1 abnormalitasAT. Tipe 111, gabungan tipe I dan 11. Manifestasi tersering kejadian trombosis pada bentuk gangguan koagulasi ini adalah trombosis vena dalam, emboli paru, trombosis splanknik, di samping tercatat pula beberapa angka kejadian trombosis arteri. Defisiensi Protein C (PC) PC merupakan glikoprotein dependen (berat molekul63.000 D), yang disintesis di hati. Setelah diaktivasi oleh kompleks trombin-trombomodulin di permukaan sel endotel, PC &an menghambat kerja faktor VIIIa dan Va serta menstimulasi proses fibrinolisis. Seperti halnya AT, defisiensi PC diturunkan secara autosom dominan, sedangkan sifat heterozigot merupakan risiko timbulnya trombosis. Pada pasien homozigot, kadar PC yang tidak terdeteksi didapatkan dari kedua orangtua dengan kondisi heterozigot.
Berdasarkan temuan laboratorium, gangguan PC dikelompokkan menjadi:
Faktor IXa (+ faktor vltta)
Faktor Xa (+ faMmVa)
k
Sistem protein C w
r
j
F ~ H Mla
b
l
n
FaMor !la )
Antitrombin
Gambar 1. Jalurantikoagulanfisiologis:AT Ill menghambat Trombin (F Ila) dan F Xa, APC mendegradasi ko-faktor Va dan Xa, tissue factor pathway inhibitor (TFPI) menghambat kompleks F Vlla.
Gangguan pada Heparin KO-faktor II Heparin kofaktor I1 (HC 11)merupakan glikoprotein plasma dengan berat molekul 65.000 D, yang berfungsi menghambat aktivitas trombin. Reaksi di atas diperkuat dengan adanya heparin dan dermatan sulfat. Disfibrinogenemia Merupakan kelainan kongenital yang jarang didapat, ditandai dengan gangguan fungsi fibrinogen tingkat molekular. Kelainan ini diturunkan secara autosom dominan. Sekitar 15% dari 243 kelainan molekul fibrinogen dikaitkan dengan manifestasi trombosis, baik arteri maupun vena. Melemahnya ikatan dengan t-PA atau plasminogen terhadap fibrin yang abnormal, berkurangnya aktivitas plasminogen pada fibrin yang abnormal, dan resistensi terhadap fibrin, diperkirakan merupakan mekanisme yang bertanggung jawab terhadap gangguan fibrin. Kombinasi Gangguan Telah dilaporkan beberapa kasus kombinasi gangguan atau
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
HYPERCOAGULABLE STATES DIDAPAT
kaitannya dengan gangguan pada sistem fibrinolisis. Walaupun kemungkinan akan ditemukan kejadian trombosis di tempat-tempat yang tidak lazim, ternyata 50% pasien dengan kelainan ini tidak menunjukkan gejala. Dengan kata lain, kejadian trombosis tidaklah bertambah berat pada kombinasi gangguan dibandingkan dengan gangguan tunggal.
Kondisi di atas merupakan penyebab hypercoagulable state didapat: Pada kesempatan ini penulis membatasi diri untuk membahas tentang kehamilan, keganasan, dan sindrom antifosfolipid. Kehamilan Perubahan fisiologis dan anatomis selama kehamilan dapat memperberat keadaan tromboemboli. Sebagaimana halnya perempuan yang tidak hamil, diagnosis tromboemboli seringkali sukar ditegakkan, sehingga dibutuhkan pemeriksaan yang akurat. Beberapa pendekatan diagnostik dapat dilakukan pada perempuan hamil, namun dibandingkan dengan perempuan yang tidak hamil beberapa jenis pemeriksaan menjadi amat sangat terbatas pemakaiannya, terutama yang berkaitan dengan radiasi. Perempuan tanpa riwayat trombosis, pada saat kehamilan akan memiliki risiko kejadian trombosis; walaupun besar risiko masih belum dapat dipastikan. Studi terakhir menyatakan perempuan hamil dengan defisiensi AT 111, PC atau PS akan memiliki risiko trombosis 8 kali lebih besar dibandingkan dengan kontrol. Walaupun demikian, kejadian risiko trombosis absolut di atas masih rendah (7 dari 169 kehamilan), 2 episode selama trimester ketiga, 5 episode setelah kelahiran.
Gangguan pada Sistem Fibrinolisis Efektivitas sistem fibrinolisis amat tergantung pada kemampuannya untuk membentuk plasmin. Meningkatnya aktivitas fibrinolisis akan memicu terjadinya lisis bekuan, hingga hasil akhirnya adalah perdarahan. Sebaliknya, kejadian hipofibrinolisis akan memudahkan terbentuknya fibrin, yang berakhir dengan trombosis. Hingga saat ini, hubungan antara gangguan sistem fibrinolisis dengan risiko terbentuknya trombosis masih dalam perdebatan. Hiperhomosisteinemia Merupakan kelainan metabolik yang diakibatkan oleh beberapa kelainan genetik. Homosistein darah akan menyebabkan kerusakan jaringan penyambung dan memicu gangguan sistem koagulasi. Mekanisme di atas diduga akibat pengaruh aktivitas trombomodulin atau meningkatnya aktivitas F V.
Penerima metil Fosfatidiletanolamin Guamidoasetat Penghantar saraf (neurotransmitters)mis dopamin Protein (mielin) DNA RNA Penerima vana sudah termetilasi -Fosfatidilkolinkreatin Kreatinin
'
Penghantar saraf termetilasi Protein=proteintermetilasi DNA termetilasi RNA termetilasi
x
Poliamin
f
S-adenosil met~onin
Glisin f-Penghambat Sarkosin
?%?<
Serine
yry
metil THF
J)< Metionin
Homosistein
Sistationin
$4
Sistein
Taurin
-b
Gambar 2
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
? 9-
Glisin
'"'
Metil THF
(SAM Activation)
A-Ketobutirat
Serin
Metilen HF
(SAM . .
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 1. 2.. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kehamilan Heganasan Sindrom antifosfolipid Kelainan rnieloproliferatif Pasca pembedahan Sindrorn nefrotik lnflamasi Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH)
Pada studi lainnya, sejumlah 2480 perempuan hamil dengan mutasi faktor V Leiden, memiliki risiko trombosis 8 kali lebih besar. Penatalaksanaan antepartum perempuan hamil dengan trombofilia tanpa riwayat trombosis sebelumnya, hingga saat ini masih kontroversial sehubungan dengan rendahnya kejadian trombosis serta kurangnya data penelitian tentang profilaksis trombosis. Keganasan Keganasan atau penggunaan kemoterapi yang digunakan sebagai pengobatan keganasan, dapat menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. Keganasan dapat mempengaruhi aliran melalui efek mekanik pada pembuluh darah sekitar tumor. Di samping itu, angiogenesis yang diinduksi oleh tumor menghasilkan pembuluh darah yang kompleks dengan aliran darah yang abnormal. Mikrovaskular di sekitar tumor mengalami peningkatan permeabilitas terhadap protein, antara lain fibrinogen. Kemungkinan ha1 tersebut diakibatkan sel tumor menghasilkan vascular permeability factor atau vascular endothelial growth factor (VEGF). Selain meningkatkan permeabilitas, VEGF juga mengatur angiogenesis dan menginduksi ekspresi faktor jaringan, sehingga terjadi deposisi fibrin ekstravaskular. Pada keganasan, kondisi hiperkoagulabilitas disebabkan oleh adanya aktivitas prokoagulan sel tumor, yaitu faktor jaringan dan cancer procoagulant (CP). Faktor jaringan berfungsi sebagai reseptor dan ko-faktor F VII, sedangkan CP adalah protease sistein yang memecahkan F X secara langsung tanpa adanya F VIIa. Sel tumor juga menyediakan permukaan untuk pembentukan kompleks protrombinase karena F Va dan F Xa dapat menempel pada permukaan sel tumor. Di samping itu kemoterapi menyebabkan penurunan peran alltikoagulan alamiah (PC dan PS). Sindrom Antifosfolipid Beberapa hipotesis telah diusulkan untuk menjelaskan mekanisme selular dan molekular yang mengaitkan antibodi antifosfolipid dengan kejadian trombosis. Teori pertama adalah adanya aktivasi sel endotel. Ikatan antibodi antifosfolipidmengakibatkan teraktivasinya
sel endotel, yang dimanisfestasikan dengan ekspresi molekul adhesi, sekresi sitokin dan metabolisme prostasiklin. Antibodi antifosfolipid yang dikenal sebagai l3,-glikoprotein I berikatan dengan sisa sel endotel. Teori berikutnya menitikberatkan pada oksidan yang diakibatkan jejas pada endotel vaskular. Oksidasi lipoprotein densitas rendah (LDL), yang merupakan penyumbang utama kejadian aterosklerosis, diserap oleh makrofag, yang menyebabkan makrofag teraktivasi dan selanjutnya terjadi kerusakan pada sel endotel. Autoantibodi untuk mengoksidasi LDL
HYPERCOAGULABLE STATES GABUNGAN (KONGENITAL DAN DIDAPAT) Didapatkannya gabungan hypercoagulable states pada pasien yang sama menunjukkan cukup tingginya insidens kejadian ini. Contoh kasus yang cukup baik adalah penggunaan kontrasepsi oral pada pasien dengan defisiensi AT.
PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN Pencegahan terhadap kejadian trombosis merupakan ha1 yang paling penting. Berbagai faktor dapat menimbulkan trombosis, padahal medikamentosa yang digunakan untuk penatalaksanaan kejadian ini hanya terbatas pada beberapa langkah pencegahan koagulasi dan tidak dapat mempengaruhi keseluruhan. Beberapa jenis obat yang ditujukan terhadap beberapa keadaan koagulasi: Warfarin: menghambat sintesis faktor koagulasi yang tergantung vitamin K (anti vitamin K), yaitu : F 11, VII, IX, X, Protein C dan S. Aspirin: menghambat agregasi trombosit dengan cara intervensi sintesis tromboksan. Tiklopidin: menghambat agregasi trombosit dengan cara melekatkan fibrinogen pada membran trombosit. Obat ini ditujukan untuk pasien dengan risiko strok serta intoleransi terhadap aspirin. Heparin: menghambat aktivasi F X dengan cara mencegah konversi protrombin menjadi trombin. Dengan menghambat fibrin-stabilizing factor oleh trombin, heparin mencegah pembentukan stablefibrin clot. Tissue plasminogen factor (t-PA): mengaktifkan plasmin yang memecahkan fibrin. PENGOBATAN Seperti halnya kelainanlgangguan umumnya, maka penatalaksanaan pada kondisi hiperkoagulabilitas adalah
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
pengobatan terhadap penyakit dasar, walaupun demikian prinsip pengobatan adalah:
Antikoagulan Heparin, .Meningkatkan aktivitas anti trombin 111. Menghambat aktivitas F X dengan cara mencegah konversi protrombin menjadi trombin. Dengan menghambat$brinstabilizingfactor, heparin mencegah pembentukan stable Jibrin clot. Low molecular weight heparin (LMWH), misalnya: enoxaparin atau dalteparin, umumnya diberikan subkutan, tidak memerlukan monitor aPTT, lebih sedikit menimbulkan antibodi maupun trombositopenia.
Biasanya unj?actionated heparin (UFH) diberikan apabila LMWH tidak tersedia. Umumnya, dosis UFH untuk pasien dewasa adalah 25.000-40.000 unit, diberikan secara infus kontinyu selama 24 jam, dengan diawali bolus 5.000 unit intravena, dengan monitoring terhadap aPTT (target 1,5-2 kali kontrol).
Warfarin, Merupakan antagonis vitamin K, menurunkan faktor 11, VII, IX, X, serta antikoagulan alamiah protein C dan S. Preparat ini diberikan dengan dosis awal 5-10 mg oral, yang diikuti secara titrasi, hingga.dicapai nilai (International Normalized Ratio) INR: 2-3.
ALGORITHM FOR LABORATORY INVESTIGATION OF HYPERCOAGULABLE STATE Indications forLlaboratory Testing: Idiopathic/unexplained Recurrent Family history of thrombotic tendency Unusually young age Unusual site e.g. subclavian or mesenteric vessels Resistant to conventional anticoagulant therapy During pregnancy or oral contraceptive therapy Primary Panel of Test: Activated Protein C (APC) Resistance (screening test for Factor V Leiden) Protein C* Protein S* Antithrombin* (formerly known as Antithrombin 111) Lupus Anticoagulant (APPT Mixing Studies,Dilute Russel Viper Venom Time, Hexagonal Phase phosplipid test) AnticardiolipinAntibody (IgG and IgM) Serum Homocysteine (Fasting sample) *Functional assays are used initially for Protein C , Protein S and Antithrombin. If Protein C or Protein S values decreased,immunologic assays are performed (for Protien C antigen or total and freeprotein S antigen respectively). If the above test are all negative, and there is strong suspicion of a primary hypercoagulable disorder,consider adding the following tests, as clinically warranted: Fibrinogen (rule out dysfibrinogenemia) Plasminogen (rule out hypo- or dysplasminogenemia) tPa levels (before and after venous occlusion); PA1 level-considered investigative Ideal Time for Testing:
Ideally, at the of time of testing, the patient should be:
Clinically stable-if an acute event has occurred, it is advisable to defer testing for several weeks. Off warfarin and heparin therapy-if this is not possible, keep in mind the follwing: - Heparin may cause a mild acquired decrease in Antithrombin. - Warfarin will produce an acquired decrease in Protein C and Protein S. Protein C and Protein S levels cannot be reliably interpreted in patients on warfarin. In general, if a deficiency ofAntithrombin, Protein C, or Protein S is observed,it is recommended that the testing be reppeated after an interval to confirm deficiency. Family studies may be helpful.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1341
KONDISIHIPERKOAGULABILITAS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Awal Kejadian Trombosis
I Faktor risiko
I
Idioiatik Usia muda
sepintas
Faktor risiko sedang berlangsung
Garnbar 3. Awal Kejadian Trornbosis
Characteristics of Patient t -
Risk of Recurrence in the Year after Discontinuation (%)
Duration of Therapy
3 4 0 if risk factor avoided > I 0 if risk factor persistent
3 rno 6 rno Until factor resolves 6 rno*
> I0 > I0 >I0
Indefinite Indefinite Indefinite
~
Major transient risk factor Minor risk factor; no thrornbophilia Idiopathic event; no thrornbophilia or low-risk thrornbophilia Idiopathic event; high-risk thrornbophilia More than one idiopathic event Cancer; other ongoing risk factor
Data are from Hirsh and Hoak, Hyers et al., and Kearon.
t Examples of major transient risk factors are major surgery, a major medical illness, and leg casting. Examples of minor transient risk factors are the use of an oral contraceptive and hormone-replacementtherapy. Examples of low-risk thrombophiliasare heterozygosityfor the factor V Leiden and G20210A prothrombin-genemutations. Examples of highrisk thrombophilia are antithrombin, protein C, and protein S deficiencies; homozygosityfor the factor V Leiden or prothrombin-gene mutation or heterozygosityfor both; and the presence of antiphospholipid antibodies. $ Therapy may be prolonged if the patient prefers to prolong it or if the risk of bleeding is low.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Risk Factor t Antithrombin deficiency Protein C deficiency Protein S deficiency Factor V Leiden mutation Heterozygous Homozygous Dysfibrinogenemia Factor V Leiden and G20210A prothrombin-gene mutations Antiphospholipid antibodies Elevated factor Vlll levels Elevated factor IX levels Hv~erhomocvsteinemia
Estimated Prevalence (%)$ 1 3 3
Estimated Relative Risk of Recurrence 1,5-3 13-3 1,5-3 1-4 About 4 NA 2-5
Data are from Kearon, Christiansen et al., Baglin et al., Margaglinone et al., and Kyrle et al. Relative risk are for patients with the risk factor in question, as compared with those without the risk factor. t The definition of deficiency of antithrombin, protein C, or protein S varies; it is usually defined as a functional or immunologic value that is less than the 5thpercentile of values in the control population. $ Prevalence and relative risk depend on the definitions of hyperhomocysteinemia and elevations in levels of factor Vlll and factor IX and on the reference group.
Preparat terbaru, Fondaparinux merupakan pentapeptida yang menghambat faktor Xa. Argatroban dan Lepirudin menghambat langsung fungsi trombin. Preparat-preparat di atas ditujukan kepada pasien dengan masalah heparininduced thrombocytopenia. Pada umumnya, antikoagulan yang digunakan untuk pasien rawat inap, dimulai dengan heparin dan selanjutnya menggunakan warfarin untuk pemeliharaan (tumpang tindih 3 hari dengan heparin). Lama penggunaan tergantung pada penyakit yang mendasarinya, misalnya trombosis vena dalam daerah tungkai, diberikan selama 6 minggu sampai 3 bulan; dan seterusnya. Antifibrinolisis Tissue plasminogen activator (tPA, alteplase), streptokinase dan urokinase menyebabkan lisisnya bekuan dengan cara mengaktifkan plasmin, yang kemudian mendegradasi fibrin. Indikasi tPA adalah trombosis vena dalam, emboli paru masif, emboli arteri pada ekstremitas, infark miokard akut, dan unstable angina pectoris.
Dosis yang biasa digunakan: t-PA-untuk emboli paru masif (kasus dewasa dengan berat badan > 65 kg) 10 mg, i.v bolus, selama 1-2 menit, dilanjutkan dengan 50 mg, i.v selama 1jam dan 40 mg, i.v duajam berikut (dosis total: 100 mg). Streptokinase-untuk emboli paru, trombosis arteri atau vena dalam: 250.000 IU, iv selama 30 menit, selanjutnya 100.000IU1ja.m selama24jam (untukkasus emboli paru); atau selama 72 jam (untuk kasus trombosis arterilvena dalam). Urokinase-untuk emboli paru 4400 IUkg BB, i.v selama
10 menit, dilanjutkan dengan 4400 IUIkg BBIjam, intravena selama 12jam. Umumnya, terapi antifibrinolisis diikuti dengan antikoagulan heparin. Kontraindikasi terapi ini adalah perdarahan aktif, cerebrovascular accident baru (kurang dari 3 bulan), neoplasma intrakranial, aneurisma serta cedera kepala baru.
An tisg regaol Tram booi Preparat yang biasa digunakan aspirin 60-325 mg,hari) disertai dengan klopidogrel (dosis awal 400 mg, selanjutnya 75 mghari); akan menurunkan angka kejadian trombosis arteri (strok, infark miokard) pada pasien risiko tinggi.
Faktor risiko didapat Trom bosis arteri
Trombosis vena
merokok hipertensi diabetes melitus hiperlipidemia
imobilisasi operasi keganasan sindrom nefritik
kontrasepsioral polisitemia
kontrasepsi oral gagal jantung kongestif sindrom obesitas
hipewiskositas
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
Faktor risiko kongenital defisiensi protein C defisiensi protein S defisiensi protein AT Ill resistensi protein C teraktivasi (Faktor V Leiden) Alel protrombin 20210 aktivator plasminogen polirnotfisme inhibitor-1 Peningkatan factor Vlll defek faktor XI1 disfibrinogenemia homosisteinemia
1343
KONDISI HIPERKOAGULABILITAS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Clinical manifestations
Hypercoagulable State
Percentage (%)
-
Livedo retikularis Trombosis vena arterial Keterlibatan SSP Trom bositopenia Aborsi berulang (>2) Anemia hemolitik Ulkus tungkai
49
Risiko relatif dari VTE tunggal sepanjang hidup
Faktor V Leiden Protrombin G20210A Faktor V Leiden dan protrombin G20210A (heterozigot-ganda) Defisiensi protein C Defisiensi protein S Defisiensi antitrombin Hiperhornosisteinemia Lupus anticoagulant Antibodi antikardiolipin
43 5 44 41 26 23 8
2-10 2-6 20.0
11 32
* Risiko relatif variabilitasnya tinggi, tergantung, tergantung Hypercoagulable States
Pasien dengan Populasi Tromboemboli Vena Tunggal
Uzm:
\'-,
Factor V Le~den Prothrornbin G20210A Antithrombin def~ciency Prote~nC deficiency Protein S deficiency
3-7
20
1-3 0.02
6 1
0,244 tidak diketahui Hiperhornosisteinemia 5-10 Antibodi antifosfolipid 0-7 N/A=notreadilv available or unknown
Presentasi tromboemboli vena (VTE) Trombosis vena serebral
Trombosis vena serebral Pada perempuan pengguna pi1 kontrasepsi oral Trombosis vena kava, vena renal, vena mesenterika, dan vena hepatik Tromboflebitis superfisial migratori (Trousseau's syndrome) Tromboflebitis superfisial rekuren Nekrosis kulit warfarin Purpura neonatal fulminal Kehilangan fetal yang tidak dapat dijelaskan (tiga atau lebih abortus trimester pertama atau kematian pada trimester kedua atau ketiga yang tidak dapat dijelaskan pada fetus normal secara morfologi)
Keluarga Trombofilik (%I ,. -, 50 18
pada apakah mereka diturunkan dari studi-studi berbasis keluarga atau populasi. Perbedaan risiko dapat dijelaskan pada kesulitan lebih besar dalam mendapatkan reliabilitas perkiraan berbasis populasi karena secara keseluruhan prevalensi kelainan ini rendah. Mungkin angka kejadian ini overestimated pada studi-studi familial awal..
4-8
3
1-2 10-25 5-15
tidak diketahui tidak diketahui Risiko Relatif
Kondisi Hypercoagulable Protrombin G20210A, antibodi antifosfolipid, defisiensi antitrombin, trombositemia esential, PNH Protrombin G20210A Antibodi antifosfolipid, kanker, defisiensi antitrombin, sindrom mieloproliferatif, PNH Kanker (terutama adenokarsinoma saluran gastrointestinal) Faktor V leiden, polisitemia Vera, defisien antikoagulan alamiah Defisiensi protein C dan S Defisiensi protein C dan S homozigot Antibodi antifosfolipid
Risiko. Absolut*
Perempuan nonkarrier 1 0,8110000 Perempuan nonkarrier pengguna 4 3,211 0000 pi1 kontrasepsi oral Faktor V Leiden heterozigositas 7 5.711 0000 35 28.5110000 Heterozigositas faktor V Leiden perempuan pengguna pi1 kontrasepsi oral 'Perkiraan jurnlah kasus VTE per 10.000 orang per tahun.
Pemeriksaan Skrining Resistensi protein C teraktivasi Pemeriksaan rnutasi protrombin G20210A dengan PCR Tingkat aktivitas antitrombin, protein C, dan protein S Tingkat aktivitas faktor Vlll Lupus antikoagulans (aPTT sensitif, aPTT mixing, dilute Russell viper venom time) Antibodi antikardiolipindengan ELSA Kadar hornosistein plasma total
Pemeriksaan Konfirmasi PCR Faktor V Leiden Pemeriksaan antigenik untuk antitrombin, protein C, danlatau protein S Pemeriksaan konfirmasi untuk lupus anticoagulants*
* Include at least one of the following: platelent neutralization
procedure, hexagonal phase phospholipids, TextarinIEcarin test, platelet vesicles, D W Confirm. PCR=polyrnerasechain reaction; aPTT=activated partial thromboplastin time; ELISA=enzyme-linkedimmunosorbent assay.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Bertina RM. Hypercoagulable States. In : Semin in Hematol 1997;34(3):167-70. Bates SM, Ginsberg JS. How we manage venous thromboembolism during pregnancy. Blood 2002;100(10):3470-8. Cobb ME, Hollensead SC. Molecular Testing for Inherited Thrombotic Disease. Available from : http://www.uoflhealthcare.org. Cattaneo M, Martinelli I, Mannucci PM. Hyperhomocysteinemia as a risk factor for Deep Vein Thrombosis. NEJM 1996;335:974-6. Chadha P. Thrombotic Disorders : Hypercoagulable State. In : Kasper DL, Braunwald D, Fauci AS, et al. Harrison's Manual of Medicine 16theds. McGraw-Hill 2005, 277-280. DeLoughery T. Hypercoagulable States - 2004.
Girolami A, Sartori h?T, Patrassi GM et al. Hypercoagulability : An Updated Review. Available from : http://haem.nus.edu.sg/ishapdl 1996119961087.pdf. Kyrle P, Minar E,Bialonczyk C et al. The Risk of Recurrent Venous Thromboembolism in Men and Woman. NEJM 2004;350:255863. Levine JS, Branch DW, Rauch J. The Antiphospholipid Syndrome. NEJM 2002;346(10):752-63. Nema SK. Thrombosis-The Newer Dimensions. MJAFI 2004;60:218-9. Solymoss S. Factor V Leiden : Who should be tested ?. CMAJ 1996;155:296-8. Setiabudy RD,Trombosis pada keganasan. Dalam : Kongres Nasional dan Temu Ilmiah - Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah (PHTDI); 2005.hlm. 40.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
SINDROM ANTIBODI ANTIFOSFOLIPID: ASPEK HEMATOLOGIK DAN PENATALAKSANAAN Shufrie Effendy
Sindroma antibodi antifosfolipid (antibody antiphospholipid syndrome, APS) didefinisikan sebagai penyakit trombofilia autoimun yang ditandai dengan adanya I) antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin dadatau antikoagulan lupus) yang menetap (persisten) serta 2) kejadian berulang trombosis venalarteri, keguguran, atau trombositopenia. Sindrom ini pertama kali diusulkan oleh Hughes dan Harris antara tahun 1983-1986, oleh karena itu sindrom ini dikenal juga sebagai sindrom Hughes.
ANTlBODl ANTIFOSFOLIPID
Antibodi antifosfolipid (antiphospholipid antibody, aPLA) didefinisikan sebagai immunoglobulin yang bereaksi dengan dinding biologis sel bagian luar yang komponen utamanya adalah fosfolipid. Fosfolipid antikoagulan disebut juga sebagai antifosfolipid (antiphospholipid, aPL), yang secara struktural hampir menyerupai komplemen. Secara alamiah (fisiologis), aPL yang dibentuk oleh tubuh adalah P2 glikoprotein I (P2GPI), berfungsi sebagai pengontrol aktivitas fosfolipid prokoagulan (PL) yang mengandung enzim fosfolipase A, (phospholipase A,, PLA,). P2GPI merupakan enzim yang terikat oleh apolipoprotein-H (ApoH) sebagai penghambat enzim PLA2. Selain dari P2GP1, secara alamiah tubuh juga membentuk annexin V atau 'placental anticoagulant protein 1" yang disebut juga sebagai "placental aPL", yang sangat kuat menghambat
enzim PLA2, terutama pada kehamilan dan kematian sel (apoptosis). Penghambat PLA2 yang secara patologis terbentuk diketahui sebagai inhibitor Lupus yang lebih dikenal sebagai Antikoagulan Lupus (Lupus Anticoagulant, LA) yang terdiri dari 2 subgrup, yaitu: a). LA sensitif tromboplastin yang menghambat kompleks VIIa, 111, PL, dan Ca", mengakibatkan pemanjangan masa protrombin (PT), khususnya pada pemeriksaan dengan "diluted PT'; b). LA non-sensitif tromboplastin yang menghambat kompleks VIIIa, IXa, PL, Ca" mengakibatkan pemanjangan masa tromboplastin teraktifasi parsial (aPTT) dadatau yang menghambat kompleks Xa, Va, PL, dan Ca" mengakibatkan pemanjangan dRWT- 1 pada dRWT-2 normal. Berbagai jenis aPLA dapat dibangun oleh berbagai antigen yang terikat pada epitope fosfolipid pada bagian luar dinding biologis sel yang terpapar. Sebagai contoh, aPLA dependen protrombin dibangun oleh epitope fosfolipid pengikat apolipoprotein, pengikat LA atau protrombin; aPLA dependen P2-GPI dibangun oleh epitope fosfolipid pengikat Apo-H pengikat P2-GPI; dan aPLA dependen anneksin V dibangun oleh epitope fosfolipid pengikat apolipoprotein-pengikat annexin V; sedangkan aPLA dependen LDL teroksidasi dibangun oleh epitope fosfolipid pengikat apolipoprotein-pengikat LDL teroksidasi. Kebanyakan jenis aPLA yang ditemukan dapat bereaksi langsung terhadap kofaktor plasma protein (apolipoprotein) yang terikat kardiolipin (difosfatidilgliserol) yang dapat dideteksi secara ELISA atau radioimmunoassay (RIA), disebut sebagai antibodi antikardiolipin (anticardioplipin antibody, ACA).
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HEMATOLOGI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Antibodi antifosfolipid dijumpai sejak usia muda, prevalensi ACA dan LA pada subyek kontrol sehat adalah 1-5%. Sebagaimana autoantibodi lainnya, prevalensi antibodi antifosfolipid meningkat seiring deng,an bertambahnya umur, khususnya di antara pasien asia lanjut dengan penyakit kronis penyerta. Di antara pasien dengan SLE, prevalensi ACA positif sekitar 12-30%,dan sekitar 15-34% dengan antibodi LA positif. Banyak pasien yang menunjukkan bukti laboratorium adanya antibodi antifosfolipid, tidak menunjukkan gejala klinis. Data yang ada untuk subyek kontrol sehat, tidak cukup untuk memperhitungkan persentase mereka yang memiliki antibodi antifosfolipid dan akan menunjukkan gejala trombosis atau komplikasi kehamilan yang sesuai dengan APS. Sebaliknya, APS
dapat berkembang dalam 20 tahun pada 50-70% pasien baik dengan lupus eritematosus sistemik maupun antibodi antifosfolipid. Meskipun demikian, hampir 30% pasien lupus eritematosus sistemik dan dengan antibodi antikardiolipin, sedikit sekali menunjukkan bukti klinis APS pada pemantauan sekitar 7 tahun. Studi prospektif telah menunjukkan hubungan antara antibodi antifosfolipid dan episode pertama dari trombosis vena dan infark miokard, serta strok berulang. Oleh karena itu, ha1 yang menjadi penting adalah identifikasi pasien dengan antibodi antifosfolipid yang risikonya terhadap kejadian trombotik meningkat. Faktor risiko penting adalah riwayat trombosis, adanya antibodi antikoagulan lupus, dan peningkatan kadar antibodi antikardiolipin IgG. Masing-masingmeningkatkanrisiko trombosis sampai lima kali lipat, meskipun tidak semua studi melaporkan hasil yang sama. Namun, kecuali riwayat kejadian trombotik, faktor risiko yang lain tidak cukup untuk digunakan sebagai faktor prediktif dilakukannya terapi.
KRlTERlA DlAGNOSTlK
Diagnosis APS ditegakkan dengan 1 kriteria klinis dan 1 kriteria laboratorium, sesuai dengan konsensus pada simposium internasional mengenai antibodi antifosfolipid di Sapporo pada 1998. Ekor hldrofobik
KRlTERlA KLlNlS
Gambar 1. Antigen fosfolipid pada permukaan dinding sel, protein spesifik antigenik, protein kofaktor plasma (apolipoprotein), dan fosfolipid
Trombosis Pembuluh Darah Satu atau lebih episode klinis dari trombosis arteri, vena atau pembuluh darah kecil pada jaringan atau organ yang dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan pencitraanl Doppler atau histopatologis (tanpa inflamasi dinding pembuluh darah) Morbiditas Kehamilan Satu atau lebih kematian janin berusia 10 minggu atau kurang, yang tidak dapat dijelaskan-diketahui dengan ultrasonografi atau pemeriksaan langsung, atau Satu atau lebih kelahiran prematur dari neonatus normal berusia 34 minggu atau kurang, akibat eklampsia atau insufisiensi plasenta berat, atau Tiga atau lebih aborsi spontan konsekutif sebelum usia kehamilan 10 minggu yang tidak dapat dijelaskan dimana kelainan anatomi, genetika, atau hormonal telah disingkirkan.
Pmleln kofakbr plasma
PL tergantung W-GPlh 8 antil2glikopmbn I Ps Ianti phosphatidilserene
Gambar 2. Antibodi Antifosfolipid (PLA2=fosfolipase A2, p2GPI= p2 glikoprotein I, LA = antikoagulan lupus, Apo-H=apolipoprotein H, aPs=antifosfatidil serin)
Kriteria Lgboratorium IgGAntibodi Antikardiolipin,danlatau isotipe IgM pada titer sedang atau tinggi pada 2 atau lebih pemeriksaan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1347
SINDROMANTIBODI ANTIFOSFOLIPID
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI ldiopatik
.Antiger,. Trauma, infeksi, binding apolipoprotein bind phospholipids dan lain-lain
1
Trombosit
4
I
Endotella I pertubat~on
Antibodi antifosfolipidl
I
I
Antikoagulan fosfolipid I
TrombomodulinO Protein CO Protein SO
Keadaan hiperkoagulabilitas I
I
j
trombosit, defisiensi fibrinolitik, statis, hiperviskositas,
!
Gambar 3. Patogenesis trombosis akibat adanya antibodi antifosfolipid
Antibodi antifosfolipid secara langsung menginaktivasi protein C mengakibatkan aktivitas FV dan FVIII berlebihan mengakibatkan hiperkoagulasi. Antibodi antifosfolipid secara langsung berinterferensi dengan autoantibodi kompleks heparan-antitrombin, mengaktifkan reseptor Fc sel imunoefektor mengekspresikan tromboplastin jaringan yang akan mengaktivasi koagulasi.
dengan interval sekurang-kurangnya 6 minggu, diukur dengan ELISA terstandarisasi untuk antibodi dependen P2GPI. Adanya Antikoagulan Lupus dalam plasma pada 2 atau lebih pemeriksaan dengan interval sekurang-kurangnya 6 minggu, dideteksi menurut panduan dari The International Society on Thrombosis and Hemostasis (Scientijk Subcommitte on Lupus Anticoagulants/ Phospholipids-Dependent Antibodies).
KLASlFlKASl APS PATOFlSlOLOGl Asosiasi klinik trombosis dari anti-P2GPI dan anti-anneksin V berupa trombosis vena danlatau arteri; antioksidan LDL berupa trombosis arteri; sedangkan LA (aPL dependen protrombin) dapat berupa perdarahan atau trombosis, tetapi trombosis vena danlatau arteri lebih sering dijumpai daripada perdarahan.
Pada "The I l l h International Congress on Antiphospholipid Antibodies " di Sydney, 2004, telah diusulkan klasifikasi sebagai berikut: APS sebagai penyakit tunggal APS yang berhubungan dengan penyakit lain termasuk
SLE APS katastrofa
TROMBOGENESIS Protein
Trombosis dapat terjadi melahi beberapa mekanisme berikut ini: Antibodi antifosfolipid merupakan antagonis P2GPI mengakibatkan ekspresi berlebihan PL-A2 Antibodi antifosfolipid merupakan antagonis Anneksin V mengakibatkan ekspresi berlebihan PL-A2 Antibodi antifosfolipid merupakan antagonis trombomodulin, sehingga secara tidak langsung antibodi antifosfolipid menghambat aktivasi protein C. Antibodi antifosfolipid secara langsung menginaktivasi protein S sebagai kofaktor protein C.
Sel
+
Fosfolipid anionik Glikoprotein I-p2 Anneks~nv
Trofoblas 9 Apoptosis penurunan ekspresi HCG Endotel Apoptosis pelepasan EMP VCAM- 1, ECAM- 1. E-selectin, Faktor Jaringan
Trombomodulin Protein c Protein S
Trombosit+ pelepasan PAF & ekspresi berlebihan GPllblllla Apoptosis pelepasan cPLA2. PMP Trombositopenia Eritrosit 9 Anemia hemolitik
Protrombin E ",,.", lCtnr Ylr IL-3 & GM-CSF 8
+ +
+
+
+
+
,I,"
Ekspresi IL-3 & GM-CSF J,
+ Leukopenia
EMP = endothelial microparticle, PMP = platelet microparticle, PAF = platelet activating factors, cPLA2 = cytosol phospholipase A2
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Klasifikasi ini memenuhi untuk stratifikasi risiko dan pilihan terapi. Sebelumnya, pada "The 81hInternational Congress on Antiphospholipid Antibodies " di Sapporo, 1998, APS diklasifikasikanmenjadi: 1). APS Primer, jika tidak ada SLE atau kelainan autoimun lain. 2). APS Sekunder,jika dijumpai SLE.
SPEKTRUM GAMBARAN KLlNlS APS Asimptomatik pada LA dadatau ACA positif Simptomatik pada LA dadatau ACA positif: - Perempuan dengan: - Riwayat infertilitas primer tanpa kelainan ginekologis dan kesuburan. - Riwayat keguguran. - Riwayat toksemia kehamilan - Adanya trombosis - Arteri, vena atau pembuluh darah kecil pada jaringan atau organ. - Sindrom antibodi antifosfolipid katastrofa. Sindrom antibodi antifosfolipid katastrofa adalah kegagalan organ multisistem, sekunder terhadap trombosisl infark dan menunjukkan gambaran mikroangiopati pada pemeriksaan histologi.
MANlFESTASl KLlNlS Aspek klinis pada sindrom antifosfolipid dapat berupa aspek klinis seluler dan sistem. Aspek klinis selular adalah sebagai berikut: Anemia hemolitik Apoptosis trofoblastik, sehingga terjadi penurunan hormon hCG Leukopenia Aspek klinis sistem dapat berupa perdarahan dan trombosis. Perdarahan disebabkan oleh 1). trombositopenia, 2). PT memanjang (tromboplastin sensitif-fosfolipid inefisien), 3). aPTT memanjang (Defisiensi FXIc dadatau tromboplastin sensitif-fosfolipid inefisien), dan 4). hipoprotrombinemia didapat. Sementara trombosis disebabkan oleh: 1)apoptosis endotelial, sehingga terjadi pelepasan mikropartikel endotelial dan material adhesi, 2)trombosit teraktivasi, sehingga terjadi sticky platelet syndrome, 3)keadaan hiperkoagulabilitas, dan 4)keadaan trombofilik. Gejala dan Tanda Kejadian vasospastik atau vaso-oklusif dapat terjadi pada setiap sistem organ, maka pada anamnesis sangat penting untuk mendapatkan riwayat penyakit pasien dan
kemungkinan manifestasi pada organ yang spesifik. Penyakit ini memiliki spektrurn klinis yang luas, mulai dari yang asimptomatik secara klinis dan indolen sampai yang perjalanan penyakitnya progresif secara cepat. Mata. Penglihatan kabur atau ganda, gangguan penglihatan (melihat kilatan cahaya), kehilangan penglihatan (sebagian lapang pandang, total) Kardiorespirasi. Nyeri dada, menjalar ke lengan; napas pendek Gastrointestinal. Nyeri perut, kembung, muntah. Pembuluh darah perifer. Nyeri atau pembengkakan tungkai, klaudikasio, ulserasi jarittungkai, nyeri jari tangantkaki yang dicetuskan oleh dingin. Muskuloskeletal. Nyeri tulang, nyeri sendi Kulit. Purpura dadatau petekie, ruam livedo retikularis temporer atau menetap, jari-jari tanganfkaki kehitamhitaman atau terlihat pucat. Neurologi dan psikiatri. Pingsan, kejang, nyeri kepala (migrain), parestesi, paralisis, ascending weakness, tremor, gerakan abnormal, hilangnya memori, masalah dalam pendidikan (sulit berkonsentrasi, mengerti yang dibaca dan berhitung). Endokrin. Rasa lemah, fatigue, artralgia, nyeri abdomen (gambaran Penyakit Addison) Urogenital. Hematuri, edema perifer Riwayat kehamilan. Keguguran berulang, kelahiran prematur, pertumbuhan janin terhambat Riwayat keluarga. Risiko APS meningkat pada pasien yang memiliki anggota keluarga dengan: - Keguguran berulang, kelahiran prematur, pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion, khorea gravidarum, infark plasenta, preeklampsi, toksemia keharnilan, tromboembolisme neonatorum. - Infark miokard atau strok pada anggota keluarga yang berusia kurang dari 50 tahun - Trombosisvena dalam, flebitis atau emboli pulmoner - Migrain, penyakit Raynaud, atau TIA Riwayat pengobatan. Menggunakan kontrasepsi oral Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda yang sesuai dengan organ yang terkena dan dapat melibatkan sistem organ apapun. Pembuluh darah perifer - Palpasi tulang atau sendi :nyeri tekan (infark tulang) - Nyeri saat sendi digerakkan, tanpa artritis (nekrosis avaskular) - Pembengkakan tungkai (trombosis vena dalam) - Penurunan pengisian kapiler, denyut nadi, dan perhsi (trombosis arterial/vasospasm) - Gangren (trombosis arteri atau infark) Paru: Respiratory distress, takipnea (emboli pulmoner, hipertensi pulmoner) Ginjal
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1349
SINDROM ANTIBODI ANTIFOSFOLlPlD
-
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI - Pemeriksaan darah perifer lengkap
~ i ~ e r t e n(trombosis si arteri renalis, lesi pembuluh darah intrarenal) - Hematuria (trombosis vena renalis) Jantung: - Murmur pada katup aorta atau mitral (endokarditis) - Nyeri dada, diaforesis (infark miokard) Gastrointestinal: - Nyeri tekan pada abdomen kuadran kanan atas, hepatomegali (sindrom Budd-Chiari, trombosis pembuluh darah kecil hati, infark hati) - Nyeri tekan abdomen (trombosis arteri mesenterika) - Endokrin: kelemahan otot, kekakuan progresif pada otot-otot pelvis dan paha dengan kontraktur fleksi yang berhubungan dengan insufisiensi adrenal (infarwperdarahan adrenal). Mata - Oklusi arteri retina - Trombosis vena retina Manifestasi kulit: - Livedo retikularis - Lesi purpura - Tromboflebitissuperfisial - Vasospasme (fenomena Raynaud) - Splinter hemorrhages (perdarahan di bawah kuku) periungual atau subungual - Infark perifer (digital pitting) - Ulserasi - Memar (berhubungan dengan trombositopenia) Kelainan sistem saraf pusat atau perifer - Strok - TIA - Parestesia, polineuritis atau mononeuritis multipleks (iskemialinfark vasovorurn) - Paralisis, hiperrefleksi, rasa lemah (transverse myelitis, sindrom Guillain-Barre) - Kelainan pergerakan-tremor khoreiform (infark serebral, serebelum, basal ganglia) - Kelainan yang menyerupai sklerosis multipel - Kehilangan memorijangka pendek
PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan antibodi antifosfolipid Identifikasi trombosis intrarenal, arteri renalis atau vena renalis: - Analisis urin dipstik untuk hemoglobin atau protein - Pemeriksaan urin: adanya sel darah merah - Urin 24 jam untuk pemeriksaan protein dan klirens kreatinin Identifikasi trombositopenia persisten atau anemia hemolitik:
- LDH, bilirubin, haptoglobin - Tes Coombs direklindirek
-
Analisis urin dipstik untuk hemoglobin
- Antibodi antiplatelet (untuk mengevaluasi adanya hubungan dengan purpura trombositopenik autoimun) Defisiensi sistem koagulasi: Protein C Protein S - Antitrombin I11 - Antibodi protein koagulasi, seperti antibodi antifaktor I1 (protrombin) Polimorfismegenetik: - Mutasi Faktor V Leiden - Mutasi gen protrombin 202 10A - Mutasi Methylene tetrahydrofolate reductase (MTHFR) (mengarah ke hiperhomosisteinemia)
Pemeriksaan Radiologis Untuk kejadian trombotik (mis. TrombosisVena Dalarn) - Ultrasonografi (USG) Doppler - Venografi - Ventilation/perhsion scan (untuk emboli pulmoner) Untuk kejadian trombotik arterial (mis. oklusi/iskemia pembuluh darah serebral,jantung, perifer): - Computerized tomography (CT) - Magnetic resonance imagint (MRI) - Arteriografi - USGDoppler Untuk kelainan jantung: - Ekokardiografi dua dimensi - Ekokardiografitransesofageal - Angiografi dengan kateterisasi Patologi Biopsi dari organ yang terkena, seperti kulit atau ginjal, mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis vaskulopati/mikroangiopati pada APS. Pemeriksaan histologi pada mikroangiopati trombotik menunjukkan adanya vaskulopati non-inflamasi tanpa vaskulitis. Fibrin thrombi dihubungkan dengan obstruksi dan hiperplasia intima fibrosa dengan rekanalisasi jaringan penyambung intima. Lesi ginjal, terutama, ditandai dengan oklusi vaskular yang fibrotik dengan trombosis akut dan lesi vasooklusif pada pembuluh-pembuluh darah intrarenal. Juga dapat ditemukan fibrosis interstisial dan atrofi tubuler. DIAGNOSIS BANDING Sindrom antifosfolipid adalah satu dari beberapa keadaan protrombotik dimana trombosis terjadi baik pada vena atau arteri. Meskipun kondisi lain yang dapat menjadi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HEMATOLOCI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
predisposisi terjadinya trombosis arteri dan vena (misal. trombositopenia diinduksi heparin, homosisteinemia, kelainan mieloproliferatif, dan hiperviskositas) dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium rutin, adanya antibodi antifosfolipid mungkin menjadi satu-satunya kelainan pada pasien dengan sindrom antifosfolipid primer. Penting untuk dicatat bahwa karena waktu tromboplastin parsial teraktivasi yang normal tidak menyingkirkan adanya antibodi antikoagulan lupus, seorang pasien yang menunjukkan kejadian trombotik pertama kali harus diskrining terhadap antibodi antikardiolipin dan pemeriksaan lain yang sensitif dengan antibodi antikoagulan lupus. Diagnosis dapat tidak diperkirakan pada pasien yang sindrom antifosfolipid-nya menunjukkan proses yang kronik dan lebih indolen, mengakibatkan terjadinya iskemia dan hilangnya fungsi organ yang lambat dan progresif. Faktor risiko sekunder yang meningkatkan kecenderungan trombosis harus dicari. Beberapa faktor dapat mempengaruhi dinding vena dan arteri, termasuk stasis, cedera vaskular, obat-obatan seperti kontrasepsi oral, dan faktor risiko tradisional untuk aterosklerosis. Sangat penting untuk menghilangkan atau mengurangi faktor-faktor ini, karena kehadiran antibodi antifosfolipid saja tidak cukup untuk menyebabkan terjadinya trombosis; "serangan kedua" dikombinasikan dengan dengan antibodi antifosfolipid diperlukan untuk terjadinya trombosis. Akhirnya, bahkan pada pasien yang terbukti menderita sindrom antifosfolipid, menguraikan penyebab dan efeknya dapat sangat sulit. Sebagai contoh, sindrom antifosfolipid dikaitkan dengan sindrom nefritis, yang juga merupakan faktor risiko tromboemboli. Penyakit lain yang berhubungan dengan APS adalah seperti berikut: ITP (Immune Thrombocytopenic Purpura), Anemia hemolitik autoimun Kelainan autoimun sekunder: - SLE, dan penyakit kolagen lainnya (artritis rematoid dan Behqet's) - Induksi obat-obatan (drug induced), oleh prokainamid, hidralazin, kuinidin, fenotiazin, penisilin. Penyakit kanker: - Kanker hematologi (mis.leukemia, penyakit limfoproliferatif dan sel plasma, dll) - Kanker padat Penyakit infeksi: - Viral (misalnya CMV, Hepatitis C, HIV, HTLV- 1, dll) - Bakterial (misalnya S. hemolyticus, H. pylori, Rickettsia spp, dll.) - Parasit (misalnya malaria) Penyakit hati kronis/sirosis hati: Alkoholik, Hepatitis C Sindrom hemolitik
- Inkompatibilitas ibu dan bayi (ABO, Rh, HLA) - Talasemia
PENGOBATAN Pengobatan digolongkan dalam 4 kelompok: 1). Profilaksis, trombosis pembuluh darah kecil; 2). Pencegahan trombosis lanjutan pada pembuluh darah sedang dan besar; 3). Pengobatan mikroangiopati trombotik akut, dan 4). Penanganan kehamilan yang berhubungan dengan antibodi antifosfolipid. Uraian berikut akan membahas mengenai pengobatan dua kelompok pertama. Jenis-jenis obat yang digunakan dalam terapi medikamentosa APS dapat dilihat pada Tabel 2.
Nama
Dosis
Aspirin Tiklopidin Dipiridamol
1-2 mglkglhari 250 mg, 2 kali sehari 75-400 rnglhari, 3 atau 4 kali sehari Dosis inisial: 40-170 Ulkg IV lnfus pemeliharaan: 18 Ulkgljam IV atau: Dosis inisial: 50 Ulkgljam IV, diikuti dengan infus 15-25 Ulkgljam, dosis ditingkatkan 5 Ulkgljam q4h prn berdasarkan hasil PTT Profilaksis (dosis rata-rata): 30 mg subkutan, setiap 12 jam Terapi : 1 mglkg, subkutan setiap 12 jam
Heparin
Enoksaparin
Warfarin
5-15 mglhari, dosis dinaikkan berdasarkan INR yang ingin dicapai (2.5-3.5)
ad 1 Pasien asimptomatik tanpa faktor risiko dan riwayat keluarga dengan trombosis arterilvena atau keguguran tidak diberikan terapi yang spesifik. Pasien asimptomatik dan terdapat anggota keluarga yang menderita trombosis venalarteri atau keguguran dapat diberikan profilaksis dengan aspirin, Namun sebagian klinisi tidak menganjurkan pengobatan ini jika tidak terdapat faktor risiko yang lain. Sebuah studi potong lintang pada the Physicians' Health Study meneliti peranan aspirin 325 mg per hari sebagai obat profilaksis. Aspirin tidak menimbulkan proteksi terhadap trombosis vena dalam dan emboli paru pada pria dengan antibodi antikardiolipin. Sebaliknya, aspririn dapat menimbulkan proteksi terhadap trombosis pada perempuan dengan sindrom antifosfolipid dan riwayat keguguran. Hidroksiklorokuin dapat memproteksi pasien lupus eritematosus sistemik dan sindrom antifosfolipid sekunder terhadap terjadinya trombosis. Tentunya, faktor-faktor lain yang menjadi predisposisi trombosis harus disingkirkan.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
SINDROM ANTIBODI ANTIFOSFOLIPID
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Modifikasi faktor risiko sekunder untuk aterosklerosis sebaiknya dilakukan, sehubungan dengan peranan cedera vaskular dalam pembentukan trombosis yang berhubungan dengan antibodi antifosfolipid, dan hubungannya dengan antibodi antifosfolipid dan LDL teroksidasi.
ad 2 Peranan antikoagulan dalam menurunkan angka kejadian trombosis berulang telah ditunjukkan melalui tiga penelitian retrospektif. Studi pada 19 pasien dengan sindrom antifosfolipid menunjukkan angka rekurensi pada 8 tahun sebesar 0% pada pasien yang mendapat antikoagulan oral. Pada pasien yang pengobatan antikoagulannya dihentikan, angka rekurensinya adalah 50% setelah 2 tahun dan 78% setelah 8 tahun. Dua seri studi lain yang lebih besar menunjukkan tingkat proteksi terhadap trombosis vena dan arteri berhubungan langsung dengan tingkat antikoagulasinya. Pada 70 pasien sindrom antifosfolipid, pengobatan dengan warfarin intensitas menengah (untuk mencapai International Normalized Ratio (INR) 2,O-2,9) dan intensitas tinggi (INR 3,O atau lebih) mengurangi angka trombosis rekurens secara bermakna, dimana pengobatan intensitas rendah (INR 1,9 atau kurang) tidak memberikan proteksi yang bermakna. Hasil yang serupa dilaporkan oleh studi pada 147 pasien dengan sindrom antifosfolipid. Pada kedua studi tersebut, aspirin saja tidak efektif dalam menurunkan angka trombosis rekurens. Pasien APS primer dengan trombosis vena dapat diobati dengan terapi inisial yang terdiri dari heparin diikuti dengan warfarin atau heparin berat molekul rendah (low molecular weight heparin, LMWH). Risiko kekambuhan tertinggi terjadi dalam 6-12 minggu pertama setelah trombosis, namun biasanya pengobatan diteruskan setidaknya sampai 6 bulan pada pasien tanpa faktor risiko lain. Pasien APS primer dengan trombosis arterilinfark tanpa faktor risiko lain dapat diobati dengan aspirin, sementara pemberian antikoagulan masih kontroversial. Sebagian menganjurkan pemberian antikoagulan jangka panjang, namun Antiphospholipid Antibodies in Stroke Study (APASS) melaporkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam rekurensi stroke antara kelompok yang diobati dengan aspirin saja dibandingkan dengan kelompok yang diobati dengan aspirin dan warfarin. Pasien APS sekunder dengan trombosis arteri atau vena diindikasikan untuk pemberian terapi antiplatelet (seringkali merupakan kombinasi antar asipirin, hidroksiklorokuin dan pentoksifilin) ditambah antikoagulan (warfarin atau LMWH). Pasa pasien dengan LA positif dan memiliki faktor risiko lain (seperti mutasi faktor V Leiden, gen protrombin, atau MTHFR) pemberian antikoagulan seumur hidup mungkin diperlukan.
Beberapa ha1 penting harus diperhatikan. Pertama, penghentian warfarin tampaknya berhubungan dengan peningkatan risiko trombosis dan bahkan kematian, khususnya pada enam bulan pertama setelah terapi antikoagulan dihentikan. Karena angka rekurensi pada pasien yang telah mendapat antikoagulan optimal dapat mencapai 70%, pengobatan dengan warfarin seharusnya dilakukan jangka panjang, jika tidak seumur hidup. Kedua, masih belum jelas apakah pasien dengan sindrom antifosfolipid dapat diobati dengan aman menggunakan warfarin intensitas menengah atau apakah dibutuhkan pengobatan intensitas tinggi. Hal ini merupakan ha1 penting yang belum terpecahkan, karena warfarin intensitas tinggi menyebabkan risiko lebih tinggi untuk terjadinya komplikasi perdarahan. Pada beberapa studi, warfarin intensitas menengah telah menunjukkan efek penekanan koagulasi yang sepenuhnya efektif, sebagaimana dinilai menurut kadar fragmen protrombin dan pencegahan trombosis rekurens. Akhirnya, pemantauan tingkat antikoagulasi pada pasien sindrom antifosfolipid dipersulit oleh kurangnya reagen terstandarisasi untuk penentuan INR dan kemungkinan potensial adanya interferensi oleh antibodi antifosfolipid pada pengukurannya.
PENGOBATAN PADA IBU HAMlL Perempuan hamil dengan antibodi antifosfolipid positif dan riwayat dua atau lebih kehilangan kehamilan dini atau satu atau lebih kehilangan kehamilan akhir, preeklampsi, pertumbuhan janin terhambat, atau abrupsio, disarankan pemberian aspirin antepartum ditambah profilaksis heparin (unfiactioned heparin,UFH, atau LMWH) dosis kecil atau sedang (Grade 2B). Perempuan hamil dengan antibodi antifosfolipid positif tanpa riwayat tromboemboli vena atau kehilangan kehamilan hams dipertimbangkan mempunyai peningkatan risiko timbulnya trombosis vena dan, barangkali, kehilangan kehamilan. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah observasi, pemberian heparin dosis kecil, profilaksis LMWH, danlatau aspirin dosis rendah, 75-162 mg sehari (semua Grade 2C). Pasien dengan APLA dan riwayat trombosis vena, pada umumnya mendapat antikoagulan oral jangka panjang oleh karena risiko kambuh yang tinggi. Selama dalam masa kehamilan, di samping pemberian aspirin dosis mini direkomendasikan dosis terapi LMWH atau UFH. Saat pascapartum, terapi antikoagulan oral jangka panjang dilanjutkan (Grade 1C). Perempuan homozygous MTHFR varian termolabil (C677T), disarankan pemberian suplemen asam folat sebelum konsepsi atau, jika telah hamil, secepat mungkin, dan selama kehamilan (Grade 2C). Perempuan dengan suatu trombofilia kongenital dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
keguguran berulang pada trimester kedua atau setelahnya, preeklampsi berulang atau berat, atau abrupsio, disarankan pemberian aspirin dosis mini di samping profilaksis UFH atau LMWH kecil (Grade 2C)' Saat pascaparturn' juga disarankan pemberian antikoagulan pada perempuan ini (Grade 2C).
REFERENSI Alarcon-Segovia D, Delezi M, Oria CV, et al. Antiphospholipid antibodies and the antiphospholipid syndrome in systemic lupus erythematosus: a prospective analysis of 500 consecutive patients. Medicine (Baltimore). 1989;68:353-65. Alarcbn-Segovia D, Ptrez-Vazquez ME, Villa AR, Drenkard C, Cabiedes J. Preliminary classification criteria for the antiphospholipid syndrome within systemic lupus erythematosus. Semin Arthritis Rheum. 1992; 21 :275-86. Alarcon-Segovia D, Sanchez-Guerrero J. Primary antiphospholipid syndrome. J Rheumatol. 1989;16:482-8. Ames PRJ. Antiphosyholipid antibodies, thrombosis and atherosclerosis in slstemic lupus erythematosus: a unifying 'membrane stress syndrome' hypothesis. Lupus. 1994;3:371-7. Arnout J. The pathogenesis of the antiphospholipid syndrome: a hypothesis based on parallelisms with heparin-induced thrombocytopenia. Thromb Haemost. 1996;75:536-41. Arvieux J, Roussel B, Jacob MC, Colomb MG. Measurement of antiphospholipid antibodies by ELlSA using beta 2-glycoprotein I as an antigen. J Immunol Methods. 1991;143:223-9. Asherson RA, Khamashta MA, Ordi-Ros J, et al. The "primary" antiphospholipid syndrome: major clinical and serological features. Medicine. 1989;68:366-74. Asherson RA. Antiphospholipid antibodies and syndromes. In: Lahita RG, editor. Systemic lupus erythematosus. 2nd edition. New York: Churchill Livingstone; 1992. p. 587-635. Bajaj SP, Rapaport SI, Barclay S, Herbst KD. Acquired hypoprothrombinemia due to non-neutralizing antibodies to prothrombin: mechanism and management. Blood. 1985;65:1538-43. Bernini JC, Buchanan GR, Ashcraft J. Hypoprothrombinemia and severe hemorrhage associated with a lupus anticoagulant. J Pediatr. 1993; 123:937-9. Bevers EM, Galli M, Barbui T, Comfurius P, Zwaal RFA. Lupus anticoagulant IgG's (LA) are not directed to phospholipids only, but to a complex of lipid-bound human prothrombin. Thromb Haemost. 1991 ;66:629-32. Brandt JT. Triplett DA, Alving B, Scharrer I. Criteria for the diagnosis of lupus anticoagulants: an update. Thromb Haemost. 1995;74: 1 185-90. Cabral AR, Amigo MC, Cabiedes J, Alarc6n-Segovia D. The antiphospholipid Icofactor syndromes: a primary variant with antibodies to b2-glycoprotein-I but no antibodies detectable in standard antiphospholipid assays. Am J Med. 1996;101:47281. Carreras LO, Forastiero RR, Martinuzzo ME. Which are the best biological biological markers of the antiphospholipid syndrome? J Autoimmun. 2000;15:163-72. Cervera R, Khamashta MA, Font J, et al. Systemic lupus erythematosus: clinical and immunologic patterns of disease expression in a cohort of 1,000 patients. Medicine. 1993;72:11324.
de Groot PG, Derksen RHWM. Specificity and clinical relevance of lupus anticoagulant. Vessels. 1995;1:22-6. Erkan D, Lockshin MD. What is antiphospholipid syndrome? Curr Rhem Reports. 2004;6:45 1-7. Esmon NL, Safa 0 , Smirnov MD, Esmon CT. Antiphospholipid antibodies and the protein C pathway. J Autoimmun. 2000;15:221-5. Galli M, Comfurius P, Barbui T, Zwaal RFA, Bevers EM. Anticoagulant activity of b2-glycoprotein I is potentiated by a distinct subgroup of anticardiolipin antibodies. Thromb Haemost. 1992;68:297-300. Galli M, Comfurius P, Maassen C, et al. Anticardiolipin antibodies (ACA) directed not to cardiolipin but to a plasma protein cofactor. Lancet. 1990;335: 1544-7. Galli M. Should we include anti-prothrombin antibodies in the screening for the antiphospholipid syndrome? J Autoimmun. 2000;15:101-5. Gruel Y. Antiphospholipid syndrome and heparin-induced thrombocytopenia: update on similarities and differences. J Autoimmun. 2000;15:265-8. Harris EN, Gharavi AE, Boey ML, et al. Anticardiolipin antibodies: detection by radioimmunoassay and association with thrombosis in systemic lupus erythematosus. Lancet. 1983;2:1211-4. Hift RJ, Bird AR, Sarembock BD. Acquired hypoprothrombinaemia and lupus anti-coagulant: response to steroid therapy. Br J Rheumatol. 1991 ;30:308-10. Htirkko S, Miller E, Dudl E, et al. Antiphospholipid antibodies are directed against epitopes of oxidized phospholipids: recognition of cardiolipin by monoclonal antibodies to epitopes of oxidized low density lipoprotein. J CIin Invest. 1996;98:8 1525. Hughes GRV, Harris EN, Gharavi AE. The anticardiolipin syndrome. J Rheumatol. 1986; 13:486-9. Hughson MD, McCarty GA, Brumback RA. Spectrum of vascular pathology affecting patients with the antiphospholipid syndrome. Hum Pathol. 1995;26:716-24. Kandiah DA, Krilis SA. Beta2-glycoprotein I. Lupus. 1994;3:20712. Levine JS, Subang R, Koh JS, Rauch J. Induction of anti-phospholipid autoantibodies by b2-glycoprotein I bound to apoptotic thymocytes. J Autoimmun. 1998;11:413-24. Lie JT. Pathology of the antiphospholipid syndrome. In: Asherson RA, Cervera R, Piette J-C, Shoenfeld Y, editors. The antiphospholipid syndrome. Boca Raton, Fla.: CRC Press; 1996. p. 89-104. Lotz BP, Schutte C-M, Colin PF, Biermann LD. Sneddon's syndrome with anticardiolipin antibodies - complications and treatment. S Afr Med J. 1993;83:663-4. Mclntyre JA, Wagenknecht DR. Anti-phosphatidylethanolamine (aPE) antibodies: a survey. J Autoimmun. 2000; 15: 185-93. McNeil HP, Chesterman CN, Krilis SA. Immunology and clinical importance of antiphospholipid antibodies. Adv Immunol. 1991;49:193-280. McNeil HP, Simpson RJ, Chesterman CN, Krilis SA. Anti-phospholipid antibodies are directed against a complex antigen that includes a lipid-binding inhibitor of coagulation: b2-glycoprotein 1 (apolipoprotein H). Proc Natl Acad Sci, 87:4120-4.Hunt JE, McNeil HP, Morgan GJ, Crameri RM, Krilis SA. 1992. A phospholipids beta 2-glycoprotein I complex is an antigen for anticardiolipin antibodies occurring in autoimmune disease but not with infection. Lupus. 1990;1:75-81. Merkel PA, Chang YC, Pierangeli SS, Convery K, Harris EN, Polisson
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1353
SINDROM ANTIBODI ANTIFOSFOLIPID
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI RP. The prevalence and clinical associations of anticardiolipin antibodies in a large inception cohort of patients with connective tissue diseases. Am J Med. 1996;101:576-83. Meroni PL, Del Papa N, Raschi E, et al. b2-Glycoprotein I as a 'cofactor' for anti-phospholipid reactivity with endothelial cells. Lupus. 1998;7(Suppl 2):S44-S7. Meroni PL, Raschi E, Camera M, et al. Endothelial activation by aPL: a potential pathogenetic mechanism for the clinical manifestations of the syndrome. J Autoimmun. 2000;15:237-40. Mulloz-Rodriguez FJ, Reverter JC, Font J, et al. Prevalence and clinical significance of antiprothrombin antibodies in patients with systemic lupus erythematosus or with primary antiphospholipid syndrome. Haematologica. 2000;85:632-7. Ohlson S, Zetterstrand K. Detection of circulating immune complexes by PEG precipitation combined with ELISA. J Immunol Methods. 1985;77:87-93. Oosting JD, Derksen RHWM, Bobbink IWG, Hackeng TM, Bouma BN, de Groot PG. Antiphospholipid antibodies directed against a combination of phospholipids with prothrombin, protein C or protein S: an explanation for their pathogenic mechanism? Blood. 1993;81:2618-25. Permpikul P, Rao LV, Rapaport SI. Functional and binding studies of the roles of prothrombin and i2-glycoprotein I in the expression of lupus anticoagulant activity. Blood. 1994;83:287892. Pernod G, Awieux J, Carpentier PH, Mossuz P, Bosson JL, Polack B. Successful treatment of lupus anticoagulant hypoprothrombinemia syndrome using intravenous immunoglobulins. Thromb Haemost. 1997;78:969-70. Petri M. Epidemiology of the antiphospholipid antibody syndrome. J Autoimmun. 2000;15:145-5 1. Piette J-C, Wechsler B, Frances C, Papo T, Godeau P. Exclusion criteria for primary antiphospholipid syndrome. J Rheumatol. 1993;20: 1802-4. Price BE, Rauch J, Shia MA, et al. Anti-phospholipid autoantibodies bind to apopiotic, but not viable, thymocytes in a b2-glycoprotein Idependent manner. J Immunol. 1996;157:2201-8.
Rand JH, Wu X-X, Andree HAM, et al. Pregnancy loss in the antiphospholipid- antibody syndrome - a possible thrombogenic mechanism. N Engl J Med. 1997;337:154-60. Roubey RAS. Tissue factor pathway and the antiphospholipid syndrome. J Autoimmun. 2000;15:217-20. Roubey RAS. Immunology of the antiphospholipid antibody syndrome. Arthritis Rheum. 1996;39:1444-54. Shi W, Chong BH, Chesterman CN. b2-Glycoprotein I is a requirement for anticardiolipin antibodies binding to activated platelets: differences with lupus anticoagulants. Blood. 1993;81:1255-62. Tincani A, Balestrieri G, Allegri F, et al. Overview on anticardiolipin ELISA standardization. J Autoimmun. 2000;15:195-7. Vaarala 0 , Alfthan G, Jauhiainen M, Leirisalo-Repo M, Aho K, Palosuo T. Crossreaction between antibodies to oxidised low-density lipoprotein and to cardiolipin in systemic lupus erythematosus. Lancet. 1993;341:923-5. Vianna JL, Khamashta MA, Ordi-Ros J, et al. Comparison of the primary and secondary antiphospholipid syndrome: a European multicenter study of 114 patients. Am J Med. 1994;96:3-9. Viard J-P, Amoura 2, Bach J-F. Association of anti-b2 glycoprotein I antibodies with lupus-type circulating anticoagulant and thrombosis in systemic lupus erythematosus. Am J Med. 1992;93:181-6. Williams S, Linardic C, Wilson 0 , Comp P, Gralnick HR. Acquired hypoprothrombinemia: effects of danazol treatment. Am J Hematol. 1996;53:272-6. Wilson WA, Gharavi AE, Koike T, et al. International consensus statement on preliminary classification criteria for definite antiphospholipid syndrome: report of an international workshop. Arthritis Rheum. 1999;42:1309-11. Wurm H. b2-Glycoprotein-I (apolipoprotein H) interactions with phospholipid vesicles. Int J Biochem. 1984;16:5 11-5.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
TROMBOSIS VENA DALAM DAN EMBOLI PARU ~ugyantiSukrisman
PENDAHULUAN
Trombosis adalah terbentuknya bekuan darah dalam pembuluh darah. Trombus atau bekuan darah ini dapat terbentuk pada vena, arteri, jantung atau mikrosirkulasi dan menyebabkan komplikasi akibat obstruksi atau emboli. Di Amerika Serikat, trombosis merupakanpenyebab utama kematian dengan angka kematian sekitar 2 juta penduduk setiap tahun akibat trombosis arteri, vena atau komplikasinya. Angka kejadian trombosis vena dalam (deep venous thvombosislDVT) yang baru berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan pada usia lebih dari 70 tahun diperkirakan 200 per 100.000 penduduk. Trombosis vena dan emboli paru berkaitan dengan berbagai kondisi medis atau progedur bedah tertentu. Risiko tromboemboli pada pasien dengan defisiensi antitrombin I11 dapat mencapai SO%, 70% pada gagal jantung kongestif dan 40% pada infark miokard akut. Pada pasien yang menjalani operasi, kejadian DVT berkisar 30% di Eropa dan 16% di Amerika Serikat. Pada pasien yang menjalani operasi panggul atau lutut, kejadian DVT berkisar 45-70% sedangkan kejadian emboli paru dapat mencapai 20%; 1-3% di antaranya fatal. Pada operasi ginekologi dan obstetri, risiko DVT berkisar 7-45% sedangkan pada operasi saraf antara 9-50%. Tabel berikut menggambarkan berbagai faktor yang dapat menyebabkan trombosis. PATOGENESIS
Dalam keadaan normal, darah yang bersirkulasi berada dalam keadaan cair, tetapi akan membentuk bekuan jika teraktivasi atau terpapar dengan suatu permukaan. Virchow mengungkapkan suatu triad yang merupakan
Gangguan pada Arteri
Gangguan pada Vena
Aterosklerosis Merokok
Operasi (urnum) Operasi ortopedi
Hipertensi Diabetes melitus Kolesterol LDL Hipertrigliserida Riwayat trombosis pada keluarga Gagal jantung kiri
Artroskopi Trauma Keganasan lmobilisasi Sepsis
Kontrasepsi oral Estrogen Lipoprotein (a) Polisiternia Sindrom hiperviskositas Sindrom leukostasis
Gagal jantung kongestif Sindrorn nefrotik Obesitas Varicose vein Sindrom pascatlebitis Kontrasepsi oral
Gangguan pada Darahl Trombosit Sindrom anti fosfolipid Resistensi protein C (Faktor V Leiden) Sticky platelet syndrome Gangguan protein C Gangguan protein S Gangguan antitrombin Gangguan heparin kofaktor II Gangguan plasminogen Gangguan plasminogen activator inhibitor Gangguan faktor XI1 Disfibrinogenemia Homosisteinemia
Estrogen
dasar terbentuknya trombus, yang dikenal sebagai Triad Virchow. Triad ini terdiri dari: 1). gangguan pada aliran darah yang mengakibatkan stasis, 2). gangguan pada keseimbangan antara prokoagulan dan antikoagulan yang menyebabkan aktivasi faktor pembekuan, dan 3). gangguan pada dinding pembuluh darah (endotel) yang menyebabkan prokoagulan. Trombosis terjadi jika keseimbangan antara faktor trombogenik dan mekanisme protektif terganggu. Faktor trombogenik meliputi: gangguan sel endotel terpaparnya subendotel akibat hilangnya sel endotel aktivasi trombosit atau interaksinya dengan kolagen subendotel atau faktor von Willebrand. aktivasi koagulasi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TROMBOSIS VENA DALAM DAN EMBOLI PARU
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI terganggunya fibrinolisis stasis Mekanisme protektif terdiri dari: faktor antitrombotik yang dilepaskan oleh sel endotel yang utuh netralisasi faktor pembekuan yang aktif oleh komponen sel endotel hambatan faktor pembekuan yang aktif oleh inhibitor pemecahan faktor pembekuan oleh protease pengenceran faktor pembekuan yang aktif dan trombosit yang beragregasi oleh aliran darah lisisnya trombus oleh sistem fibrinolisis Trombus terdiri dari fibrin dan sel-sel darah. Trombus arteri, karena aliran yang cepat, terdiri dari trombosit yang diikat oleh fibrin yang tipis, sedangkan trombus vena terutama terbentuk di daerah stasis dan terdiri dari eritrosit dengan fibrin dalam jumlah yang besar dan sedikit trombosit. DIAGNOSIS Trombosis Vena Dalam Anamnesis dan pemeriksaan fisis merupakan ha1 yang sangat penting dalam pendekatan pasien dengan dugaan trombosis. Keluhan utama pasien dengan DVT adalah kaki yang bengkak dan nyeri. Riwayat penyakit sebelumnya merupakan ha1 penting karena dapat diketahui faktor risiko dan riwayat trombosis sebelumnya. Adanya riwayat trombosis dalam keluarga juga merupakan ha1 penting. Pada pemeriksaan fisis, tanda-tanda klinis yang klasik tidak selalu ditemukan. Gambaran klasik DVT adalah edema tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri, dapat diraba pembuluh darah superfisial, dan tanda Homan yang positif. Pada pemeriksaan laboratorium hemostasis didapatkan peningkatan D-dimer dan penurunan antitrombin. Peningkatan D-dinier merupakan indikator adanya trombosis yang aktif. Pemeriksaan ini sensitif tetapi tidak spesifik dan sebenarnya lebih berperan untuk menyingkirkan adanya trombosis jika hasilnya negatif. Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 93%, spesivisitas 77% dan nilai prediksi negatif 98% pada DVT proksimal, sedangkan pada DVT daerah betis sensitivitasnya 70%. Pemeriksaan laboratorium lain umumnya tidak terlalu bermakna untuk mendiagnosis adanya trombosis, tetapi dapat membantu menentukan faktor risiko. Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan yang penting untuk mendiagnosis trombosis. Pada DVT, pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah venografil flebografi, ultrasonografi (USG) doppler (duplex scanning), USG kompresi, Venous Impedance Plethysmography (IPG) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Ketepatan pemeriksaan ultrasonografi doppler pada
pasien dengan DVT proksimal yang simtomatik adalah 94% dibandingkan dengan venografi, sedangkan pada pasien dengan DVT pada betis dan asimtomatik, ketepatannya rendah. Ultrasonografi kompresi (Real-Time B- mode compressiorz ultrasound) mempunyai sensitivitas 89% dan spesivisitas 97% pada DVT proksimal yang simtomatik, sedangkan pada DVT di daerah betis, hasil negatif palsu dapat mencapai 50%. Pemeriksaan duplex scanning mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk mendiagnosis DVT proksimal. Venografi atau flebografi merupakan pemeriksaan standar untuk mendiagnosis DVT, baik pada betis, paha, maupun sistem ileofemoral. Kerugiannya adalah pemasangan kateter vena dan risiko alergi terhadap bahan radiokontras atau yodium. MRI umumnya digunakan untuk mendiagnosis DVT pada perempuan hamil atau pada DVT di daerah pelvis, iliaka dan vena kava di mana duplex scanning pada ekstremitas bawah menunjukkan hasil negatif. Emboli Paru Pada emboli paru pasien umumnya mengeluh nyeri dada mendadak (seperti nyeri pleuritik), sesak napas, hemoptisis, banyak berkeringat dan gelisah. Keluhan ini dapat menyerupai nyeri dada pada sindrom koroner akut, sehingga diperlukan anamnesis dan evaluasi yang lebih cermat. Gejala klasik emboli paru berupa sesak (dengan atau tanpa disertai nyeri dada pleuritik atau hemoptisis), takipnea, takikardia dan banyak berkeringat. Tanda ini sering tidak spesifik, sehingga harus dipikirkan diagnosis banding atau kemungkinan lain. Pemeriksaan foto dada (toraks) tidak spesifik tetapi dapat membantu mendiagnosis emboli paru, meskipun dapat dijumpai gambaran normal hingga 40% kasus. Elektrokardiogram dapat menunjukkan gambaran normal atau sinus takikardia. Gambaran yang klasik seperti gelombang S,-T,, gelombang T yang terbalik di sandapan prekordial kanan, deviasi aksis ke kanan dan right bundle branch block (RBBB) lengkap atau tidak lengkap dapat dijumpai tetapi tidak memastikan diagnosis. Pemeriksaan analisis gas darah dapat menunjukkan penurunan tekanan PO, dan pCO, yang disertai alkalosis, meskipun nilai analisis gas darah yang normal tidak menyingkirkan adanya emboli paru. Pemeriksaan Ventilation-Perfusion (V/Q) Lung Scanning merupakan prosedur baku untuk mendiagnosis emboli paru. Interpretasi hasil pemeriksaan ini berdasarkan daerah VIQ yang 'mismatch', yaitu tidak terdapatnya gambaran perfusi sedangkan gambaran ventilasi tampak normal atau tersebar merata. Hasil yang diperoleh dibagi menjadi: sangat mungkin (highprobability), kemungkinan sedang (intermediate probability), rendah (low probability), sangat rendah (very low probability) atau normal. Angiografi pulmonal juga merupakan prosedur standar untuk mendiagnosis emboli paru. Mengingat prosedur ini
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
invasif dengan risiko morbiditas 0,2% dan mortalitas 1,9% karena reaksi alergi terhadap bahan kontras, perforasi jantung dan aritmia, prosedur ini digunakan jika hasil VIQ scanning menunjukkan kemungkinan sedang atau rendah dan ultrasonografi ekstremitas normal sedangkan kemungkinan klinis sedang atau tinggi. Spiral CTangiography merupakan prosedur yang tidak invasif dengan sensitivitas 953% dan spesifisitas 97,6%, kecuali pada emboli paru subsegmental yang menunjukkan hasil yang lebih rendah. PENATALAKSANAAN
Trom bosis Vena Dalam Tujuan penatalaksanaan DVT pada fase akut adalah: Menghentikan bertambahnya trombus Membatasi bengkak yang progresif pada tungkai Melisiskan atau membuang bekuan darah (trombektomi) dan mencegah disfungsi vena atau sindrom pasca trombosis @ost thrombotic syndrome) di kemudian hari Mencegah emboli Antikoagulan, Unfractionated heparin (UFH) merupakan antikoagulan yang sudah lama digunakan untuk penatalaksanaan DVT pada saat awal. Mekanisme kerja utama heparin adalah: 1). meningkatkan kerja antitrombin 111sebagai inhibitor faktor pembekuan, dan 2). melepaskan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dari dinding pembuluh darah. Terapi ini diberikan dengan bolus 80 IUI kg berat badan (BB) intravena dilanjutkan dengan i n h s 18 IUkgBBIjam dengan pemantauan nilai Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) sekitar 6 jam setelah bolus untuk mencapai target APTT 1,5-2,5 kali nilai kontrol dan kemudian dipantau sedikitnya setiap hari. Sebelum memulai terapi heparin, APTT, masa protrombin (prothrombin time1 PT) dan jumlah trombosit hams diperiksa, terutama pada pasien dengan risiko perdarahan yang tinggi atau dengan gangguan hati atau ginjal. Heparin berat molekul rendah (low molecular weight heparinlLMWH) dapat diberikan satu atau dua kali sehari secara subkutan dan mempunyai efikasi yang baik. Keuntungan LMWH adalah risiko perdarahan mayor yang lebih kecil dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium yang sering dibandingkan dengan UFH, kecuali pada pasien-pasien tertentu seperti gagal ginjal atau sangat gemuk. Pemberian antikoagulan UFH atau LMWH ini dilanjutkan dengan antikoagulan oral yang bekerja dengan menghambat faktor pembekuan yang memerlukan vitamin K. Antikoagulan oral yang sering digunakan adalah warfarin atau coumarinlderivatnya. Obat ini diberikan bersama-sama saat awal terapi heparin dengan pemantauan (International Normalized Ratio) INR. Heparin diberikan selama minimal 5 hari dan dapat dihentikan bila
antikoagulan oral ini mencapai target INR yaitu 2,O-3,O selama dua hari berturut-turut. Lama pemberian antikoagulan masih bervariasi, tetapi pada umumnya bergantung pada faktor risiko DVT tersebut. Pasien yang mengalami DVT hams mendapat antikoagulan selama 6 minggu hingga 3 bulan jika mempunyai faktor risiko yang reversibel, atau sedikitnya 6 bulan jika faktor risikonya tidak diketahui (idiopatik). Sedangkan pada pasien yang mempunyai faktor risiko molekular yang diturunkan seperti defisiensi antitrombin 111, protein C atau S, activatedprotein C resistance atau dengan lupus anticoagulantlantibodi antikardiolipin, antikoagulan oral diberikan lebih lama, bahkan dapat seumur hidup. Pemberian antikoagulan seumur hidup ini juga diindikasikan pada pasien yang mengalami lebih dari dua kali episode trombosis vena atau satu kali trombosis pada kanker yang aktif. Terapi trombolitik. Terapi ini bertujuan untuk melisiskan trombus secara cepat dengan cara mengaktiflan plasminogen menjadi plasmin. Terapi ini umumnya hanya efektif pada fase awal dan penggunaannya harus benar-benar dipertimbangkan secara baik karena mempunyai risiko perdarahan tiga kali lipat dibandingkan dengan terapi antikoagulan saja. Pada umumnya terapi ini hanya dilakukan pada DVT dengan oklusi total, terutama pada iliofemoral. Trombektomi. Trombektomi, terutama dengan fistula arteriovena sementara, harus dipertimbangkan pada trombosis vena iliofemoral akut yang kurang dari 7 hari dengan harapan hidup lebih dari 10 tahun. Filter vena kava inferior. Filter ini digunakan pada trombosis di atas lutut pada kasus di mana antikoagulan merupakan kontraindikasi atau gagal mencegah emboli berulang. Emboli Paru Pasien yang kesakitan harus diberikan analgetik tetapi hams hati-hati jika akan memberikan opiat pada pasien yang hipotensi. Jika terjadi hipoksemia refrakter meskipun sudah diberikan oksigen, tindakan intubasi dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan, meskipun dapat memperburuk hemodinamik karena gangguan aliran darah balik ke jantung (venous return). Pada pasien yang mengalami renjatan, pemasangan kateter vena sentral perlu dipertimbangkan. Antikoagulan, Seperti halnya DVT, UFH merupakan terapi standar dan dapat diberikan secara intravena atau subkutan. Karena efikasi heparin sangat bergantung pada konsentrasi yang harus dicapai dalam beberapa jam pasca terapi, pemberian secara subkutan tidak dapat mencapai respon yang adekuat kecuali jika dosis awal UFH sedikitnya 17.500 IU (atau 250 IUkgBB) setiap 12jam. Selain UFH, LMWH dapat diberikan dengan efikasi yang sama, meskipun masih belum direkomendasikan pada emboli paru masif yang
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1357
TROMBOSISVENA DALAM DAN EMBOLI PARU
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
disertai gangguan hemodinamik.Antikoagulan oral dimulai bersamaan dengan terapi heparin. Kedua obat ini diberikan selama minimal 5 hari dan heparin dihentikan jika sudah mencapai target INR di atas 2,O selama dua hari berturutturut. Penghambat langsung trombin (direct thrombin inhibitor) seperti hirudin atau lepirudin merupakan antikoagulan yang digunakan pada pasien yang mengalami trombositopenia akibat pemakaian heparin (HeparinInduced ThrombocytopenialHIT). Obat ini bekerja dengan menghambat trombin secara langsung tanpa melalui antitrombin 111. Hasil penelitian ximelagatran, obat penghambat langsung trombin yang terbaru, menunjukkan bahwa efikasi obat ini tidak lebih rendah dibandingkan dengan enoksaparinlwarfarindan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada efek samping perdarahan mayor ataupun mortalitas dibandingkan dengan terapi standar. Terapi trombolitik, Terapi ini dicadangkan untuk pasien dengan gangguan sirkulasi berat seperti hipotensi, oliguria dan hipoksemia berat. Risiko perdarahan mayor berkisar 10%.Risiko perdarahan serebral berkisar 0,5- 1,5%, terutama pada pasien usia lanjut dengan hipertensi yang tidak terkontrol, pasien yang baru menjalani operasi kraniotomi atau strok.
PENCEGAHAN Mengingat sebagian besar tromboemboli vena bersifat asimtomatik atau tidak disertai gejala klinis yang khas, biaya yang tinggi jika terjadi komplikasi dan risiko kematian
Derajat Risiko Risiko rendah Operasi minor pada pasien usia <40 tahun tanpa faktor risiko tambahan Risiko sedang Operasi minor pada pasien dengan faktor risiko tambahan Operasi bukan mayor pada pasien 40-60tahun tanpa faktor risiko tambahan Operasi mayor pada pasien <40 tahun tanpa faktor risiko tambahan Risiko tinggi Operasi bukan mayor pada pasien >60tahun atau dengan faktor risiko tambahan Operasi mayor pada pasien >40tahun atau dengan faktor risiko tambahan Risiko sangat tinggi Operasi mayor pada pasien >40tahun + riwayat tromboemboli vena, kanker atau hypercoagulable state molekular, artroplasti panggul atau lutut, operasi frraktur panggul, trauma mayor, cedera tulang belakang (spinal
akibat emboli paru yang fatal, pencegahan trombosis atau tromboprofilaksis harus dipertimbangkan pada kasuskasus yang mempunyai risiko terjadinya tromboemboli vena. Tabel berikut menggambarkan risiko tromboemboli pada pasien yang menjalani operasi tanpa tomboprofilaksis. Untuk mencegah tromboemboli vena, seperti tercantum pada tabel di atas, dapat diberikan Low Dose Unfractionated Heparin (LDUH), yaitu UFH 5.000 IU subkutan setiap 8-12 jam yang dimulai 1-2 jam sebelum operasi; ADH yaitu UFH subkutan setiap 8 jam, mulai sekitar 3.500 IU sk dan disesuaikan4 500 IU dengan target nilai aPTT normal tinggi, atau LMWHIheparinoid yang dapat diberi sesuai dengan jenis operasi dan risiko tromboemboli prosedur tersebut.
Bick RL, Kaplan H. Syndromes of trombosis and hypercoagulability. Congenital and acquired causes of thrombosis. In: Bick R1,. Guest editor. The medical clinics of north America. Current concepts of thrombosis. Prevalent trends for diagnosis and management 1998;82:3:409-58. Bandolier. Evidence based thinking about health care. DVTs and all that, April 2003; 110-2. Disitasi dari http:llwww.jr2.ox.ac.ukl bandolierlbandl lOIblI0-2.html tanggal 29 Mei 2005. Baker WF. Diagnosis of deep venous thrombosis and pulmonary embolism. In: Bick RL. Guest editor. The medical clinics of north America. Current concepts of thrombosis. Prevalent trends for diagnosis and management 1998;82:3:459-76. Goodnight SH, Hathaway WE. Mechanisms of hemostasis and thrombosis. In: Disorders of hemostasis and thrombosis. A clinical
DVT Betis
DVT Proksimal
lolo)
(%I
0
2
04
0,2
0,002
10-20
2-4
1-2
0,l-0,4 LDUH 112 jam, LMWH,
EP (klinis)
EP fatal
Pencegahan
(")
,
Tidak ada terapi khusus, mobilisasi agresif
ES atau IPC
20-40
4-8
2-4
0,4-1,O LDUH I8 jam, LMWH atau IPC
40-80
10-20
4-10
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
0,2-5
LMWH, antikoagulan oral, IPCIES+ LDUHILMWH, atau ADH
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI guide, 2nd ed. New York: The McGraw-Hill companies 2001:319. Geerts WH, Heit JA, Clagett GP, Pineo GF, Colwell CW, Anderson FA et al. Prevention of venous thromboembolism. Chest. 2001;119:132S-175s. Hirsh J, Colman RW, Marder VJ, George JN, Clowes AW. Overview of thrombosis and its treatment. In: Colman RW, Hirsh J, Marder VJ, Clowes AW, George JN, eds. Hemostasis and thrombosis. Basic principle and clinical practice 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins 2001;65:1071-84. Health services/technology assessement text. What is the level of risk of venous thrombosis and embolism in various patient groups? Disitasi dari file://E:DVTincidence.htm tanggal 26 Mei 2005. Haas SK. Treatment of deepvenous thrombosis and pulmonaryembolism. In: Bick RL. Guest editor. The medical clinics ofnorth America. Current conceptsof thrombosis. Prevalent trendsfor diagnosis and management1998;82:3:495-510.
Hyers TM, Agnelli G, Hull RD,Morris TA, Samama M, Tapson Vet al. Antithrombotic therapy forvenous thromboembolic disease.Chest. 2001;l 19:176S-1938. New drugs, old drugs. The directthrombin inhibitor melagatran ximelagatran. MJA. 2004;181:8:432-7. Rickles FR, Levine MN, Dvorak HF. Abnormalities of hemostasis in malignancy. In: Colman RW, Hirsh J, Marder VJ, Clowes AW, George JN, eds. Hemostasis and thrombosis. Basic principle and clinical practice 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins 2001;69:1131-52. Riedel M. Venous thromboembolic disease. Acutepulmonary embolism 1: pathophysiology, clinical presentation and diagnosis. Heart.2001;85:229-40. Riedel M. Venous thromboembolic disease. Acutepulmonary embolism 2. Treatment. Heart. 2001;85:35160. Wells PS, Anderson DR, Ginsberg J. Assessment of deep vein thrombosis or pulmonary embolism by the combined use of clinical model and noninvasive diagnostic tests. Semin Thromb Hemost. 2000;26:6:643-56.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PEMAKAIAN DAN PEMANTAUAN OBATdBATAN ANTITROMBOSIS Nusirwan Acang
PENDAHULUAN Dalam keadaan normal, darah mengalir di dalam lumen pembuluh darah dan berbentuk cair. Pada keadaan patologis, dapat terjadi keadaan dimana darah keluar dari pembuluh darah, yang disebut perdarahan, atau darah membeku di dalam lumen pembuluh darah, yang disebut trombosis. Sejak dikemukakannya teori trombogenesis oleh Rudolf Virchow pada pertengahan abad ke- 19, pengetahuan mengenai trombosis telah berkembang dengan pesat. Pada saat sekarang, trombosis merupakan suatu keadaan yang menimbulkan masalah kesehatan terutama di negara negara barat, baik dalam ha1 morbiditas maupun mortalitasnya, yang terjadi di dalam atau di luar rumah sakit. Di Amerika Serikat, trombosis merupakan penyebab kematian yang utama, di mana setiap tahunnya sekitar 2 juta orang menderita trombosis arteri maupun vena, dan 60.000 kasus di antaranya meninggal karena emboli paru. Di Swedia dilaporkan, 160 kasus baru trombosis vena dalam (TVD) diantara 100.000 penduduk. Di Indonesia, sampai saat ini belum ada data epidemiologi yang lengkap mengenai trombosis, baik yang didasarkan atas data komunitas maupun data rumah sakit. Data rumah sakit yang ada adalah, laporan dari R.S Jantung Harapan Kita yang telah merawat 533 kasus trombosis di ICCU selama tahun 1997, dan laporan dari ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo yang telah merawat sebanyak 137 kasus trombosis pada tahun yang sama. Adanya trombosis pada arteri atau vena, akan mengakibatkan terganggu atau tersumbatnya aliran darah dari atau ke jaringan organ-organ yang dikenai, dan akan menimbulkan kelainan yang serius apabila mengenai organ vital seperti paru, jantung dan otak.Untuk mengatasil
mengobati keadaan ini diperlukan pemberian obat-obat yang dapat mencegah terbentuknya dan melarutkan trombus. Obat-obat antitrombosis yang banyak dipakai saat ini adalah golongan antikoagulan, antiplatelet, dan trombolitik. Pada dekade terakhir ini, telah banyak diteliti dan di pasarkan obat-obat antikoagulan, antiplatelet dan trombolitik yang baru.
OBAT-OBATAN ANTITROMBOSIS Proses pembekuan darah terjadi melalui jalur yang sangat kompleks. Menurut teori klasik (fourfactor theory), proses pembekuan ini, dimulai dengan aktifnya tromboplastin, dilanjutkan dengan terbentuknya trombin dari protrombin, dan hasil akhir dari proses ini adalah terbentuknya fibrin (bekuan darah) dari fibrinogen. Tujuan pengobatan trombosis adalah: a).mencegah perluasan ekstensi trombus, b). mengurangi terjadinya rekurensi trombus, c). mencegah pembentukan emboli, d). mencegah terjadinya sindrom post-trombotik Obat-obat antitrombosis dapat dibagi atas 3 golongan, yaitu:a). antikoagulan, b). antiplatelet agregasi, c). trombolitik/fibrinolitik Antikoagulan Antikoagulan adalah golongan obat-obat yang kerjanya menghambat pembekuan darah. Menurut cara kerjanya dikenal dua golongan antikoagulan, yaitu: Bekerja langsung (direk) pada pembekuan darah yaitu, berfungsi langsung sebagai antitrombin 111. Obat yang termasuk golongan ini adalah heparin.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Bekerja secara tidak langsung (indirek) yaitu, yang mempunyai khasiat menghambat pembekuan darah dengan memutuskan hubungan antara faktor-faktor pembekuan yang dibentuk di hati, yaitu faktor pembekuan 11, VII, IX dan X. Obat yang tergolong kelompok ini adalah antikoagulan oral. Indikasi pemberian obat-obat antikoagulan adalah sebagai berikut: a). trombosis vena dalam, b).infark miokard, c).angina pektoris tidak stabil, d).trombosis yang berulang (rekurens), e).terapi profilaksis trombosis pada tindakan operasi besarlmayor seperti neurosurgery dan total hip replacement Kontra indikasi pemberian obat-obat antikoagulan adalah: Absolut: a). perdarahan aktif, b). perdarahan serebrospinal, c).riwayat hipersensitivitas terhadap heparin, d).riwayat adanya trombositopenia terinduksi heparin, e). diatesis haemoragik. Relatif: a). ulkus peptikum, b). pasca operasi mayor yang kurang dari 5 hari, c).trauma mayor yang baru terjadi Efek samping pemberian obat-obat antikoagulan adalah: a). perdarahan, b). trombositopenia, c). rambut rontok, biasanya reversibel, c). osteoporosis, dalam keadaan berat bisa sampai fraktur Untuk mengurangi timbulnya efek samping ini. diperlukan monitor waktu pembekuan darah dan jumlah trombosit secara teratur
HEPARIN Heparin merupakan mukopolisakarida (glukosaminoglikan) yang terdiri dari glukosamin sulfat dan asam glukuronat. Penelitian mengenai efektifitas heparin dan anti koagulan oral, telah dimulai sejak tahun 1960. Kemudian, telah banyak dilakukan penelitian-penelitian untuk menentukan dosis dan lama pemberian antikoagulan pada pengobatan dan pencegahan timbulnya trombosis. Trombosis berulang dapat terjadi 20% pada kelompok yang tidak mendapat heparin, dan hanya 6,7% pada kelompok yang mendapat heparin pada masa follow up selama 6 bulan. Secara farmakologis, heparin berfungsi sebagai antikoagulan yang mempunyai efek langsung sebagai antitrombin 111, akan tetapi juga dapat melepaskan plasminogen aktifator jaringan dan tissue factor pathway inhibitor (TPFI) dari endotel. TPFI ini dapat menekanl menetralisir pembentukan faktor pembekuan Xa, sehingga tidak terjadi pembekuan. Heparin mempunyai berat molekul yang cukup besar sehingga tidak bisa melewati membran, tidak bisa diserap usus, dan tidak dapat meliwati plasenta. Dengan demikian heparin hanya dapat diberikan secara intra vena atau subkutan.
Dosis dan Lama Pemberian Heparin. Berbagai penelitian telah banyak dilakukan untuk mendapatkan cara pemberian, dosis optimal dan lamanya pemberian heparin yang efektif untuk pengobatan dan pencegahan trombosis. Studi terakhir mendapatkan bahwa lama pemberian heparin dapat dikurangi dari 10 hari menjadi 5 hari, apabila pemberiannya dikombinasikan dengan anti koagulan oral. Heparin dibagi atas 2 golongan, yaitu: (Unfractionated heparin-UH), dan (Low moleculer weight heparin/ heparin biasa dan heparin berat molekul rendahLMWH)
Nilai aPTT
Dosis H e ~ a r i n
aPTT < 35" (< I,2 x kontrol) aPTT 35-45"(1,2 - 1,5 x kontrol)
Tingkatkan infus 4 UIkgBBljam Tingkatkan infus 2 UIkgBBljam
aPTT 46-70" (1,5 - 2,5 x kontrol) aPTT 71-90" (2,5 - 3 x kontrol) aPTT > 90" (> 3 x kontrol)
Tidak ada perubahan Kurangi kecepatan infus Stop infus, ditunda pernberian selama 4 iam
Heparin BiasalTidak Terfraksionasi (UF) Cara pemberian.Heparin dapat diberikan secara intra vena atau subkutan, tidak boleh diberikan intramuskuler.
Dosis pemberian. Unfractionated heparin diberikan dengan dosis inisial5000 U bolus IV, kemudian dilanjutkan dengan drip 1000 Uljam, dosis ini hams selalu di evaluasi dan disesuaikan untuk mendapatkan nilai aPTT 1,5-2,5 kontrol(46-70 detik), aPTT ini diperiksa setiap 4-6 jam. Salah satu pedoman untuk pemberian UH dapat dilihat pada tabel. 1. Alternatif lain pemberian UH adalah, diberikan 5.000 unit secara subkutan setiap 4-6 jam, dengan catatan besarnya dosis yang diberikan hams disesuaikan dengan hasil pemeriksaan aPTT, nilai aPTT tetap dipertahankan 1,5-2,5 kontrol. Cara ini terutama diberikan pada pencegahan terjadinya trombosis vena dalam pada penyakit paru berat dan payah jantung yang lanjut. Pemberian UH secara kontinu, mempunyai keterbatasanl kekurangan sebagai berikut: Tidak bisa diprediksi respon antikoagulannya, oleh karena UH bisa di inaktifkan oleh protein plasma dan faktor trombosit 4. Membutuhkan monitor yang ketat fungsi pembekuan darah Adanya "rebound" gejala klinis pada penghentian pemberian UH secara tiba-tiba. Bisa mengaktifasi fungsi trombosit Mempunyai risiko Heparin induced thrombocytopeni Lama pemberian. Lamapemberian heparin adalah selama 5 hari, kemudian dilanjutkan dengan pemberian antikoagulan oral.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PEMAKAIAN DAN PEMANTAUAN OBAT-OBATAN ANTITROMBOSIS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
.
Heparin Berat Molekul Rendah (Low molecular weight heparinlLMWH) LMWH berasal dari degradasi unfractionated heparin, Dibandingkan dengan UH, LMWH mempunyai beberapa keunggulan. yaitu: LMWH merupakan polisakarida dengan berat molekul (BM) yang lebih rendah yaitu 4.000 6.000 dalton, dibandingkan dengan UH yang mempunyai BM 12.000 14.000 dalton. Ukuran yang kecil ini memiliki aktivitas anti-IIa dan Xa yang lebih tinggi. LMWH diabsorpsi secara konsisten melalui pemberian subkutan dengan bioavailabilitas 85%, dibandingkan 15% pada UH, dan terutama dieksresi melalui ginjal dengan waktu paruh berkisar 3,5 4,5 jam dibandingkan 1,5 jam pada UH. Tingginya bioavailabilitas dan lamanya masa paruh, maka LMWH, memungkinkan diberikan 1 2 kali per hari. Pada pemberian LMWH, Partial thromboplastin time (PTT) tidak akan memanjang, sehingga tidak perlu dievaluasi secara berkala. Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa LMWH lebih aman, efektif, dan cukup murah untuk tatalaksana trombosis vena dalam dan emboli paru non masif. Efektivitas.LMWH lebih baik terhadap regresi trombus dibandingkan dengan UH. Pemberian UH menghasilkan regresi trombus pada 40,2% kasus, sedangkan pada pemberian LMWH dua kali sehari adalah 53,4% kasus dan pada terapi LMWH sekali sehari adalah 53,5%. Akan tetapi dengan pengontrolan yang ketat, pemberian UH tidak akan memberikan efek samping yang banyak berbeda dengan pemberian LMWH. Oleh karena LMWH merupakan anti koagulan yang efektif, aman dan tidak perlu monitoring yang ketat untuk tatalaksana trombosis vena dalam, maka dikembangkan pemakaian LMWH secara mandiri bagi pasien rawat jalan, tanpa perlu dirawat inap di rumah sakit. Dosis dan Cara Pemberian LMWH. LMWH diberikan secara subkutan, 1 atau 2 kali sehari selama 5 hari, dengan dosis sebagai berikut: . Enoksaparin (Lovenox): 100 UIKgBB, sekali sehari subkutan atau 40 mg subkutan tiap 12 jam, dosis pertama dapat didahului 30 mg IV bolus. Nadroparine (Fraxiparin): 4.000 IU subkutan, diberikan tiap 12jam Dalteparin (Fragrnin): 120 IUKgBB subkutan diberikan setiap 12jam. Maksimum 10.000IU, 2 kalihari. Reviparin (Clivarin): 4.000 IU subkutan, diberikan tiap 12jam Adreparin (Nurmilo): 120 IUtKgBB subkutan, diberikan tiap 12jam.
tidak langsung (indirek) yaitu, bekerja secara kompetitif dengan vitamin K, sehingga akan mengganggu pembentukan faktor-faktor pembekuan 11, VII, IX, dan X. Obat-obat yang termasuk kepada golongan antikoagulan oral yang banyak dipakai adalah warfarin dan coumarin (Sintrom).Antikoagulan oral biasanya diberikan mengikuti pemberian heparin.
ANTIKOAGULAN ORAL
Trombosit merupakan faktor penting yang memulai dan yang mempropagasi terjadinya suatu pembentukan trombus. Oleh karena itu antiaggregasi trombosit
Golongan obat-obat antikoagulan oral ini berhngsi secara
WARFARIN Pemberian warfarin secara tunggal untuk pengobatan proses tromboemboli kurang bermanfaat, akan tetapi memberikan hasil yang memuaskan apabila diberikan mengikuti terapi heparin. Beberapa peneliti telah mendapatkan bahwa, terapi warfarin pada proses tromboemboli vena yang pertama kali terjadi, memiliki angka kekambuhan 22% dalam masa 'tfollow up" 3 bulan, dibandingkan 7% bila diterapi hanya dengan heparin atau LMWH. Pemberian warfarin selama 3 bulan pada pasien trombosis vena dalam yang telah diberi heparin selama 57 hari, akan mendapatkan insiden-trombosis berulang lebih rendah pada kelompok yang mendapat terapi lanjutan dengan warfarin dibandingkan dengan kelompok tanpa pemberian warfarin.
Dosis dan Cara Pemberian Pemberian warfarin dimulai 24 jam setelah pemberian heparin, dengan dosis 5- 10 mg peroral, kemudian dosis disesuaikan dengan nilai INR. Setelah tercapai target INR: 2-3 selama 2 hari berturut turut (biasanya memerlukan waktu 4-5 hari), heparin dapat dihentikan, pemberian warfarin diteruskan sesuai dengan protokol yang dipakai. Salah satu protokol/pedoman pemberian warfarin adalah seperti Tabel 2. Lama Pemberian Warfarin: Pada trombosis vena asimtomatik, untuk vena distal: 4 minggu, dan vena proksimal: 3 bulan. Padatrombosis vena disertai faktor risiko yang berlanjut, diberikan minimal selama 6 bulan. Apabila faktor risiko tersebut tidak dapat dihilangkan, terapi diteruskan untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Pada trombosis vena dengan faktor risiko yang bersifat sementara (operasi, immobilisasi), terapi antikoagulan diberikan selama 4 minggu.
ANTIAGREGASI TROMBOSIT
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI INR
1 1 -4 1,5- 1,9 2,O-3,O 3,O-4,9 4,O-5,O > 5,O
Penyesuaian Dosis
Naikkan dosis 10 - 20%. Kontrol 1 minggu Naikkan dosis 5 -10%. Kontrol 2 minggu Dosis tetap. Kontrol 1 minggu Turunkan dosis 5 -10%. Kontrol2 minggu Turunkan dosis 10 - 20%. Kontrol 1 minggu Stop pemberian. Dipantau sld INR turun menjadi 3
merupakan suatu golongan obat pilihan untuk pengobatan dan pencegahan serangan iskemia yang disebabkan oleh adanya proses trombosis arterial. Peran antiaggregasi trombosit, berbeda dengan obat-obat golongan antikoagulan yang lebih bermanfaat pada trombosis vena. Golongan obat anti aggregasi trombosit pertama yang masih banyak dipakai sampai saat ini adalah asam salisilat (aspirin). Asam salisilat berfungsi menghambatlinhibisi pembentukan prostasiklin dan tromboksan A2 yang berperan pada jalur pengaktifan aggregasi trombosit.Akan tetapi, karena efek samping aspirin yang diberikan dalam jangka waktu yang cukup lama berupa iritasi lambung yang cukup mengganggu pasien, maka dikembangkan obat-obat barn golongan antiaggregasi trombosit. Salah satu obat antiaggregasi trombosit baru adalah "ADP Receptor Antagonist, yang juga berperan menghambat aktifasi trombosit, contohnya klopidogrel.Obat-obat lain yang juga diteliti bermanfaat untuk mencegah aggregasi trombosit adalah ticlopidin, dipiridamol dan sulfin pirazon. Telah diteliti perbandingan efek tiklopidin dan klopidogrel pada pengobatan penyakit arteri koroner, dan didapatkan hasil yang hampir sama. Indikasi pemberian obat-obat antiaggregasi trombosit adalah untuk pencegahan terjadinya serangan iskemia akut seperti iskemia strok, "transient ischaemic attack", angina pektoris, penyakit vaskular perifer.
Dosis dan Cara ~ e m b e r i a nAnti-aggregasi Trom bosit: Aspirin: 150-325mg, diberikan peroral. Untuk maintenen dilanjutkan dengan dosis 75- 150 mglhari. Klopidrogel: 75 mg/hari, diberikan per oral. Bisa diberikan dosis awal 300-600 mg apabila dibutuhkan mula kerja (onset of action) yang cepat. Tiklopidin: 2 x 250 mglhari, diberikan peroral. Bisa diberikan dosis awal500 mg apabila dibutuhkan mula kerja (onset of action) yang cepat. Dipiridamol2-3x 25 mghari, diberikan per oral.
OBAT TROMBOLlTlK Pengobatan dengan obat trombolitik seperti streptokinase, urokinase, recombinant tissue plasminogen activator (tPA) diberikan pada keadaan terjadinya emboli di arteri
dan untuk mengurangi besarnya bekuan darah pada trombosis vena dalam. Beberapa penelitian melaporkan, pada pasien trombosis vena dalam (DVT) yang mendapat obat trombolitik, angka kejadian sindroma pasca trombotik (Post Thrombosis Syndrome) berkurang. Indikasi pemberian obat-obat golongan trombolitik adalah: infark miokard akut emboli paru trombosis vena dalam penyakit arteri oklusif kronis Kontraindikasi pemberian obat-obat golongan trombolitik adalah: Hipertensi berat, endokarditis bakterialis subakut, hamil trimester pertama, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, dan usia lanjut dengan kecendrungan degenerasi arteriosklerotik
Preparat Streptokinase, Obat ini berfungsi dan bertujuan untuk mengaktifkan pembentukan plasmin dari plasminogen. Dosis awa1250.000 IU, diberikan perinfus selama 30 menit, dan dilanjutkan dengan dosis 100.000 I.U./jam, dengan pengontrolan waktu protrombin yang ketat. Lama pemberian adalah 24-72 jam, dan dilanjutkan dengan pemberian heparin dan antikoagulan oral sesuai protokol yang sudah dibahas sebelum ini. Urokinase, Dosis awal diberikan 4.000 unitKgBB, dan dilanjutkan dengan infk 4.000 unitKgBBIjam. Pemberian obat ini tidak memerlukan kontrol waktu protrombin. Tissue Plasrninogen Activator (rTPA) Pada pasien dengan BB >65, dosis awal 15mg, diberikan bollus 1.Vpelan-pelan, kemudian 50 mg perinfus selama 30 menit pertama, diikuti 35 mg selama 60 menit, sampai dengan dosis maksimal 100 mg dalam waktu 3 jam pemberian. Pada pasien dengan BB <65 mg, dosis awal 10 mg, diberikan bollus 1.V pelan-pelan, kemudian 50mg perinfk selama 60 menit, diikuti 20 mg selama 60 menit, dalam waktu 3 jam. REFERENSI Alving B.M : How I treat heparin-induced thrombocytopenia and thrombosis. Blood.2003;101(1):31-7. Antman E.M : Enoxaparine : A New Standard of Care. Euro pean Heart Journal (Suppplement) F7 - F11, 2000. Breddin H.K, Wunderle V.H et a1 : Effect of Low Molecular Weight Heparin on Thrombus Regression and Recurrent Thromboembolism in Patient with Venous Thrombosis. The New Engl J of Med. 433:626-631, 2001. De Gluca. G et al : Comparison between ticlopidine and clopidogrel in patient with ST segment-elevation myocardial infarction . Thromb Haemaost. 91 :1084-1089, 2004.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1363
PEMAKAIAN DAN PEMANTAUAN OBAT-OBATANANTITROMBOSIS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Fitzgerald : Collaborative meta-analysis of randomised trials of antiplatelet therapy for prevention of death, myocardial ifarction and stroke in high risk patient. British Medical Journal. 324:71-86, 2002. Hirst J, Agnes Y, and Lee Y : How do we diagnose and Treat Deep Vein Thrombosis. Blood 99(9) :1352-1364, 2002. Letai A and Kutter D.J. Cancer : Coagulation and Anti Coagulation. The Oncologist. 4(6):443-446, 1999. Merli G, Spiro T.E et al : Subcutaneous Enoxaparine Once or Twice Daily Compared with Intravenous Unfractioned Heparin for Treatment of Venous Thromboembolic Disease. Annals Of Internal Medicine 134(3): 191-201, 200 1. Merli G.1 : Low-Molecular-Weight Heparin in The Treatment of Acute Deep Vein Thrombosis and Pulmonary Embolism. Advanced Studies in Pharmacy. 2(12):445-451, 2002.
Mukherjee D, Muhaffey K.W et al : Promise of combination low-molecular-weight heparin and platelet glycoprotein IIb/IIIa inhibition. American Heart Journal 144(6):995-1002, 2002. Ringleb P.A, Bhatt D.L et a1 : Benefit of Clopidogrel over Aspirin. Is Amplified in Patient with A History of Ischaemic Event. Stroke 35528-532, 2004. Singh L.D : Combination anticoagulation therapy doubles risk of bleeding in patients at high risk of stroke. British Medical Journal. 329:250, 2004. Scwarzt K, Schmt B et al : Eligibility for Home Treatment of Deep Vein Thrombosis : A Prospective study. British Medical Journal. 322:1212-1213, 2001 Tambunan K.L : The Problem of Thrombosis in Indonesia. Symposium of Thrombosis and Hemostasis : A Multidisci-plinary Approach. Jakarta, November 251h 2000. Tait R.C. Anti Coagulation in Patient With Thromboembolic Disease. Thorax. 56(2) :30-37, 2001.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
TROMBOSITOPENIA PADA WANITA HAMIL Yenny Dian Andayani
PENDAHULUAN Hemostasis normal memerlukan sejumlah trombosit yg berfungsi baik di dalam sirkulasi. Jika terjadi penurunan jumlah trombosit dalam sirkulasi darah dapat memicu terjadinya perdarahan. Pada orang normal jumlah trombosit di dalam sirkulasi berkisar antara 150.00i)-450.000/ul, rata-rata berumur 710 hari. Kira-kira 113 dari jumlah trombosit di dalam sirkulasi darah mengalami penghancuran di dalam limpa oleh karena itu untuk mempertahankan jumlah trombosit supaya tetap normal diproduksi 150.000-450.000 sel trombosit perhari. Pasien dengan trombositopenia sering menimbulkan masalah dalam diagnosis dan penatalaksanaan. Diagnosis banding trombositopenia sangat luas karena kelainan yang menyebabkan trombositopenia banyak sekali dimana dapat terjadi penurunan produksi disatu sisi dan terjadi percepatan dekstruksi disisi lain.
DEFlNlSl TROMBOSITOPENIA Bila jumlah trombosit kurang dari 150.000/ul di dalam sirkulasi disebut trombositopenia. Pada perempuan yang tidak hamil jurnlah trombosit normal 150.000-400.000/ul, sedangkanpada perempuan hamil jumlah trombosit sedikit menurun. Trombositopenia pada perempuan hamil dapat diklasifikasikan Trombositopenia ringan: jumlah trombosit 100.00015o.ooo/ul Trombositopenia sedang: jumlah trombosit 50. 000100.000/u1 Trornbositopenia berat: jumlah trombosit < 50.000/ ul.
Angka kejadian trombositopenia pada perempuan hamil 7-8 %, studi lain menyatakan 10%. sedangkan angka kejadian trombositopenia asimptomatik pada perempuan hamil 5 %.
Etiologi trombositopenia yang berhubungan dengan perempuan hamil secara garis besar dibagi 2 : Trombositopenia yang spesifik pada kehamilan: gestational thrombocytopenia(GT), preeklampsi, Sindrom HELLP, acutefatty liver ofpregnancy (AFLP). Trombositopenia yang tidak spesifik pada kehamilan: immune thrombocytopenic purpura (ITP), thrombotic microangiopaties, thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP), hemolytic uremic syndrome (HUS), Infeksi virus (HIV, CMV, EBV), Antiphospholipid antibodies,DIC, disfungsi sumsum tulang, defisiensi nutrisi, drug-induced thrombocytopenia, Type ZZb Von willebrand disease, congenital, hypersplenism GEJALA KLlNlS TROMBOSITOPENIA SECARA UMUM Gejala umum yang sering tampak pada pasien trombositopenia adalah petekiae, ekimosis, gusi dan hidung berdarah, menometrorrhagia, sedangkan gejala jarang terjadi adalah hematuria, perdarahan gastrointestinal, perdarahan intrakranial. Perdarahan biasanya terjadi bila jumlah trombosit
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TROMBOSITOPENIA PADA WANITA HAMIL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI TROMBOSITOPENIAPADA KEHAMILAN Dikenal juga dengan trombositopenia insidental pada kehamilan. Angka kejadian 8 % pada perempuan hamil, dan >70% trombositopenia pada kehamilan adalah gestational thrombocytopenia. Patofisiologi belum jelas tapi diduga adanya peningkatan penggunaan trombosit. Diagnosa bisanya diketahui secara tidak sengaja yaitu pada saat pemeriksaan darah rutin pada akhir trimester kedua. Tidak ada tes diagnostik yang tepat untuk membedakan apakah ITP dan GT, karena pada keduanya didapati antibodi anti trombosit.
Manifestasi Klinik Ringan, trombositopenia simptomatik dengan jumlah trombosit >70.000/mm3. Biasanya tidak ada riwayat perdarahan atau jumlah trombosit yang rendah sebelum kehamilan. Jumlah trombosit akan normal kembali setelah 2- 12 miggu paska persalinan, tapi adajuga yang melaporkan 1 minggu paska persalinan sudah kembali normal. Penatalaksanaan Tidak ada penatalaksanaan khusus untuk gestasional trornbositopenia. Pemeriksaan trombosit secara berkala paska persalinan penting dikerjakan untuk memonitor apakah jumlah trombosit sudah kembali normal.
Preeklampsia terjadi pada 6% kehamilan terutama pada primigravida dengan usia <20 tahun dan >30 tahun dan merupakan 17,6 % penyebab kematian pada kehamilan di USA. Kriteria preeklampsia meliputi hipertensi, proteinuria (protein >300 mgI24 jam) dan berkembang sesudah 20 miggu kehamilan. Angka kejadian trombositopenia pada perempuan dengan preeklampsia 15%. Sedangkan penelitian lain menyatakan lebih berat yaitu 50%. Angka Kejadian preklampsia lebih tinggi pada negara berkembang. Faktor genetik diduga memainkan peranan penting namun belum jelas. Preeklampsia pada kehamilan sering dihubungkan karena jarak kehamilan yang panjang. Faktor keturunan perlu dipertimbangkan walaupun tidak dapat dijadikan patokan, sementara studi lain menyebutkan faktorpaternal dan genetik maternal juga mempengaruhi. Walaupun kondisi klinis baru tampak pada triwulan ke tiga kehamilan namun gejala telah muncul sejak awal kehamilan yang terlihat dari remodeling pada vaskularisasi uterus si ibu oleh sel trofoblas.
Penatalaksanaan Penanganan yang diberikan pada pasien dengan preeklampsi adalah terapi suportif dengan memperbaiki
kondisi klinis pasien untuk persiapan persalinan. Penanganan konservatif disarankan untuk preeklampsi ringan yang terjadi pada usia kehamilan sebelum 34 minggu dengan mempertimbangkankematanganjanin. Pemberian trombosit dilakukan bila akan dilakukan tindakan sesaria. Umumnya kondisi klinis pasien dengan preeklampsi membaik setelah beberapa hari paska persalinan.
HEMOLYSIS, ELEVATED LIVER ENZYMES, LOW PLATELET (HELLP) SYDROME Sindrom HELLP merupakan variasi bentuk preeklampsi berat. Angka kejadian adalah 7- 10% pada semua kehamilan. Sindrom HELLP kira-kira terdapat pada 21% trornbositopenia pada kehamilan. Patofisiogi Sindrom HELLP merupakan proses mikroangiopati dimana kerusakan endotel dapat menggangu adhesi trombosit.
Diagnosis dan Klasifikasi Sindrom HELLP Hemolisis (H): Gambaran abnormal darah tepi (adanya schistocite),Bilirubin total >1,2 mgldl, LDH >600 U IL Peningkatan enzim hati (EL): SGOT >70 UL, LDH >600
u/L
Jumlah trombosit menurun (LP): Trombosit < 100.000/ md
Kira-kira 50 % pasien mengalami gejala sindrom HELLP yang lengkap sedangkan 50% nya lagi dengan sindrom HELLP yang tidak lengkap gejalanya misalnya hanya EL, HEL, ELLP atau hanya LP. Beberapa Penulis membuat klasifikasi HELLP berdasarkan beratnya trombositopenia Kelas 1: Bilajumlah trombosit <50.000/mm3 Kelas 2: Bilajumlahtrombosit 50.000-100.000/mm3. Kelas 3: Bilajumlahtrombosit 100.000-150.000/mm3
Manifestasi Klinis Biasanya tidak spesifik seperti : mual, muntah, sakit kepala 50 %, nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran atas kanan terdapat pada 50-67% kasus. Tidak semua sindrom HELLP memenuhi kriteria preeklampsia, hanya 15% dengan hipertensi diastolik < 90 mm Hg, 15% lagi mempunyai minimal atau tidak ada sama sekali proteinuria. Trombositopeniabiasanya kelas 2 yaitu 50.000-100.000/mm3,jarang sekali < 20.000/mm3.Perdarahan sangat jarang, biasanya berupa hematom pada subkutan. Angka kematian ibu hamil dengan sindrom HELLP adalah 1%. Penatalaksanaan Pasien hamil dengan sindrom HELLP bila kehamilan sudah cukup hams segera diterminasi akan tetapi bila kehamilan kurang dari 32 minggu dan tidak ada gejala
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI maka persalinan dapat ditunda 24 sampai 48 jam dengan pemberian kortikosteroid. Untuk persalinan pervaginam jumlah trombosit dipertahankan > 20.000/mm3, sedangkan untuk persalinan dengan sesaria jumlah trombosit >50.000/ mm3.Bila persalinan dengan sesaria jurnlah trombosit <50.000, dapat diberikan tranfusi trombosit sebelum operasi atau selama operasi. Kebanyakan proses penyakit akan berakhir baik paska persalinan, namun bila keadaan memburuk dan menjadi sindrom paska persalinan yang menyerupai ITP segera lakukan tindakanpheresis.
PERLEMAKAN HATI AKUT PADA KEHAMILAN (ACUTE FATTY OF PREGNANCYIAFLP) Angka kejadian 1pada 5000-10.000kehamilan muncul pada primigravida selama trimester ketiga. Dari beberapa pengamatan ternyata penyebab AFLP adalah terjadi defisiensi Long Chain 3 -hydroxy-acyl Coa dehydrogenase (LCHAD) atau enzim lain yang melibatkan asam lemak di mitokondria.
Manifestasi Klinis Lemah, mual, nyeri epigastrium, nyeri di kuadran kanan atas, sesak napas, perubahan status mental, gangguan fungsi hati, diabetes insipidus dan hipoglikemia. Pada pemeriksaan laboratorium kadar fibrinogen dan antitrombin menurun. Penatalaksanaan Pada pasien dengan AFLP ditatalaksana dengan terapi suportif dengan mengkoreksi gangguan elekrolit dan keadaan hipoglikemia, juga mengobati penyebab koagulopati. Dibutuhkan waktu 10 hari untuk mengnormalisasi gangguan hemostasis. Angka kematian ibu dengan AFLP kurang dari 5%.
PURPURA TROMBOSITOPENIK IMUN (IMMUNE THROMBOCYTENIC PURPURAATP) Biasanya dikenal juga dengan Idiopathic thrombocytopenic purpura atau Autoimune Thrombocytopenic Purpura (ATP). Angka kejadian 1 per 1000-10.000 perempuan hamil dan terdapat pada 3% dari seluruh kejadian trombositopenia pada kehamilan. Antibodi anti trombosit yang terbentuk dapat menembus plasenta dan menyebabkan fetal trombositopenia yang menghasilkan komplikasi perdarahan pada neonatus dengan gejala yang ringan sampai berat. Kira kira 80% pasien dihubungkan dengan antitrombosit antibodi,tetapi pemeriksaan antibodi
antitrombosit tidak rutin dilakukan untuk menegakkan diagnosis.
Manifestasi Klinis Gejala awal biasanya terdapat ptekiae, epitaksis dan 'perdarahan pada gusi, akan tetapi kadang-kadang juga tanpa gejala. Gejala perdarahan yang hebat sangat jarang walaupunjumlah trombosit <20.000 /mm3.Diagnosis ITP dibuat setelah disingkirkan penyebab lain dari trombositopenia misalnya akibat bahan kimia atau obatobatan. Pada akhir tahun 80-an persalinan pada perempuan dengan ITP melalui sesaria yang elektif terutarna pada j anin dengan trombosit <50.000/mm3.Anak yang lahir dari Ibu dengan ITP tidak selalu mempunyai trombosit yang rendah sama sepeqi ibunya sehingga perempuan hamil dengan ITP tidak selalu menjalani persalinan sesaria. Dari beberapa penelitian perempuan hamil dengan ITP 12% bayi yang dilahirkanmengalami trombositopenia berat, hany'a 1% menderita perdarahan intrakranial yang tidak ada hubungannya dengan proses persalinan dengan sesaria. Secara normal bayi yang dilahirkan mengalami penurunan trombosit beberapa hari setelah dilahirkan ,ha1 itu kemungkinan disebabkan oleh karena adanya antibodi (IgG) trombosit pada air susu ibu , walaupun tidak ada kontraindikasi menyusui pada perempuan dengan ITP, tidak ada satupun obat yang dapat mencegah trombositopenia pada janin. Untuk perempuan hamil dengan ITP bila trombosit > 50.000/mm3dan tidak ada gejala maka tidak perlu diobati sedangkan bila trombosit <50.000/mm3 dengan perdarahan abnormal atau akan dilakukan tindakan invasif maka perlu diberikan terapi. Terapi yang dapat diberikan pada perempuan dengan ITP Steroid (misalnya: prednisone), Mulai memberikan respons setelah hari ke 3 -7 hari, mencapai efek maksimal setelah 2-3 minggu pengobatan. Kira-kira 70 % pasien memberikan respon, 25% remisi komplit. Intravena Immunoglobulin, Digunakan bila tidak respon dengan steroid, pada tindakan bedah atau jumlah trombosit yang rendah dengan perdarahan. Mulai memberikan respon setelah 6-72 jam. Kira-kira 70% pasien diberikan pengobatan ulang setelah 30 hari, akan tetapi pengobatan ini mahal. Splenektomi, Pada perempuan yang tidak hamil splenektomi dilakukan bila tidak respon dengan intravena imunoglobulin. Untuk perempuan hamil splektomi tidak diindikasikankarena alasan tehnis terutama pada trimester ke-3, akan tetapi bila jumlah trombosit <10.000/mm3dan tidak respon dengan steroid atau intravena imunoglobulin maka dapat dilakukan splenektomi. Pada 213 kasus terjadi remisi komplit.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TROMBOSITOPENIA PADA WANITA HAMIL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Tranfusi Trombosit, Diberikan pada pasien yang mengalami perdarahan atau untuk tindakan operasi dengan jumlah trombosit <10.000/mm3.
Splenektomi dapat dilakukan pada TTP sedangkan pada HUS yang berat dapat dilakukan hemodialisis.
PURPURA TROMBOSITOPENIK TROMBOTIK (TTP) DAN SINDROM HEMOLlTlK UREMIK (HUS) TTP dan HUS adalah kelainan mikroangiopati yang ditandai dengan adanya trombositopenia, anemia hemolitik dan kegagalan organ-organ. Angka kejadian 1 diantara 25 kelahiran. Adanya mikroangiopati sering dihubungkan adanya Preeklampsia atau Sindrom HELLP sehingga terjadi kesalahan diagnosa yang mengakibatkan meningkatkan angka kesakitan dan kematian ibu. Penyebab belum diketahui pasti tetapi kerusakan endotel diduga menjadi faktor pencetus. Agregasi trombosit intravaskularyang abnormal menimbulkan mikrotrombus, sehingga menyebabkan trornbositopenia, anemia hemolitik dan iskemik pada organ-organ. Saat ini disarankan untuk dilakukan pemeriksaan turunan defisiensi spesifik v WF-cleaving protease pada patogenesis TTP. Protease ini dikenal dengan ADAMS 13 yang merupakan famili dari ADAMS metalloprotease yang kadarnya cenderung menurun pada pasien TTP. Defisiensi ini disebabkan karena adanya reaksi antibodi dengan protease sedangkan pada TTP bawaan karena adanya mutasi pada gen ADAMS 13. Kadar ADAMS 13 umumnya meningkat pada kehamilan normal yang diduga merupakan bentuk yang menyertai perkembangan mikroangiopati trombotik. Manifestasi Klinis Gejala dan tanda TTP dan HUS sering tumpang tindih. Pada TTP manifestasi klinis bervariasi tergantung jumlah dari arteri yang terlibat 'Gejala klinis berupa mual, muntah, sesak napas, trombositopenia berat, anemia hemolitik, demam dan gangguan neurologi (sakit kepala, perubahan kesadaran, hemiparese) sedangkan pada HUS gejala sama akan tetapi gangguan pada fungsi ginjal lebih dominan yaitu adanya proteinuria, hematuria, oligouri atau anuria. Penatalaksanaan Plasmaferesis merupakan terapi yang utama pada TTP dan HUS dimana plasmaferesis memindahkan substansi agregasi trombosit yang menyebabkan TTP dan HUS. Kerberhasilan terapi pada TTP 90 % sedangkan pada HUS kurang. Steroid dapat diberikan akan tetapi tidak begitu efektif dibanding dengan plasmaferesis. Pemberian tranfusi trombosit hams dihindari kecuali adanya perdarahan intrakranial. Imunosupresi seperti vinkristin, azatioprin,siklosporin dapat diberikan.
Gangguan neurologi Demam Hipertensi Gangguan ginjal Lesi kulit purpura trombosit PTIAPTT Fibrinogen BUNlcreatinin SGOTISGPT LDH
TTP
HUS
HELLP
+++
+/-
+/+/+I+/-
++ +/+/-
+ wN . tj
+I+I-
+++
uu tj
tj
tj
fl
flflfl
tj
tj
flflfr
flflit
u uoro Uoro
fl fl fl
ERITEMATOSUS LUPUS SlSTEMlK (SLE) Lebih kurang 25% pasien SLE berkembang menjadi trombositopenia sekunder oleh karena penghancuran trombosit oleh antibodi antitrombosit, kompleks imun atau sebab lainnya. Dari penelitian Burrow terhadap jumlah trombosit pada perempuan hamil ternyata terdapat 8 ibu harnil dengan SLE.
INFEKSI VIRUS Hampir semua infeksi virus dapat menyebabkan trombositopenia, akan tetapi yang paling sering menyebabkan trombositopenia adalah virus HIV, CMV, EBV. Patofisiologi terjadinya trombositopenia oleh karena adanya penekanan dari sumsum tulang. Trombositopenia karena infeksi virus tidak membutuhkan pengobatan karena dapat sembuh sendiri.
KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA (KID) Trombositopenia yang terjadi pada keadaan KID biasanya terjadi dari kelainan obstetrik dan perdarahan pasca persalinan. KID biasanya berhubungan dengan perdarahan.
TROMBOSITOPENIA KARENA OBAT Diketahui bahwa beberapa obat dapat menyebabkan trombositopenia, misalnya: heparin, kuinin, kuinidin, zidovudin dan sulfonamid. Kokain dapat juga menyebabkan trornbositopenia pada perempuan hamil. Trombositopenia yang terjadi oleh karena trombosit
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
dirusak oleh aktivasi komplemen akibat terbentuknya drug antibody complexes. Walaupun dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan selama 7-10 hari, namun untuk kasus yang berat denganjumlah trombosit <10.000-20.000 lmm3 dan perdarahan kadang kadang diperlukan terapi suportif seperti kortikosteroid, plasmaferesis dan infus trombosit.
Istilah hipersplenisme digunakan untuk menyatakan kondisi klinis di mana terdapat sitopenia pada sirkulasi dengan adanya pembesaran lien dan sumsum tulang dengan hiperplasi dari elemen seluler di mana elemenelemen tersebut menurun di dalam darah. Pembesaran lien disebabkan karena adanya sequestrasi dari lien. Oleh karena lebih dari 200 penyakit berhubungan dengan splenomegali maka trombositopenia ditemukan pada banyak kasus. Trombositopenia yang berhubungan dengan hipersplenisme biasanya tidak berhubungan dengan perdarahan. Gambaran laboratorium membantu menegakkan diagnosis hipersplenisme sebagai dasar terjadinya trombositopenia dengan adanya penurunan jumlah trombosit dengan volum trombosit rata-rata normal, dan adanya sedikit peningkatan turn over trombosit.
George JN, Rizvi MA . Thrombocytopenia, In : William WJ. Beutere,Erslev AJ, Lichman MA ( Eds). Hematologi, 6.Ed, NY;Mc Graw-Hill Publ.Co : 2003, 1495-533. Handin RI. Disorders of the platelet and Vessel wall. In : Isselbacher KJ et a1 (Eds). Harrisons Principles of Internal Medicine. 16 th ed, vol 1.NY : Mc Graw -Hill Inc ;2005, 673-9 Hillman RS and Ault KA . Thrombocytopenia. In : Hematology in Clinical Practice .second Edition, Mc Graw-Hill Inc, 1998,43758. Mc Crae KR. Thrombocytopenia in pregnancy: differential diagnosis, pathogenesis, and management. Blood Review, 2003, vol 17, 7-14. Kain EN, Mayes LC, et all. Thrombocytopenia in pregnant women who use cocaine.AM J Obstet Gyneco1.1995, vol 173, 885890. Pilai M. Platelets and Pregnancy. British Journal of Obtetrics and Gynaecology, 1993, vol 100, 201-4. Rutherford CJ and Frenkel EP. Thrombocytopenia "lissues in Diagnosis and Therapy " Medical Clinics of North America, 1994, VOI 78, p 555 - 74. Richard F. Thrombocytopenia in pregnancy. http:// . www.emedicine.com/med/topic. Silver RM, Branch W, Scott JC. Mathernal Thrombocytopenia in Pregnancy : Time for a reassessment. AM J Obstet Gynecol, 1995, VOI 173, 479-82.
PSEUDOTROMBOSITOPENIA Adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi dimana jumlah trombosit yang tidak sebenarnya pada pemeriksaan darah lengkap yang dilakukan secara elektronik. Hal ini disebabkan oleh karena banyak substansi di dalam darah yang menyebabkan aglutinasi trombosit bila darah ditambah dengan EDTA yang digunakan sebagai antikoagulan. Umumnya diagnosis tepat dapat dapat ditegakkan dengan pemeriksaan apusan darah tepi dengan melihat adanya trombosit yang menggumpal. Gejala klinik pada pseudotrombositopenia tidak ada.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
TROMBOSIS PADA KANKER Cosphiadi Irawan
PENDAHULUAN Penyakit keganasan dalam perkembangannya dapat menyebabkan terjadinya perdarahan atau trombosis. Kecenderungan perdarahan terjadi melalui: 1). trombositopenia, baik melalui penekanan produksi akibat kemoterapi, radiasi atau infiltrasi sel ganas maupun koagulasi intravaskular diseminata (KID), 2). fibrinolisis sistemik, 3). adanya produksi zat mirip antikoagulan (misal: glikosaminoglikan) atau terjadinya disfribrino genemia. Dalam kenyataannya dibandingkan perdarahan justru kejadian trombosis (arteri dan yang lebih sering adalah trombosis vena) lebih tinggi kejadiannya. Dilaporkan dalam perkembangan penyakitnya 15% pasien kanker akan mengalami trombo-emboli vena (VTE); bahkan pada otopsi postmortem dilaporkan angka ini mencapai 30-50%. Sebaliknya ditemui 20% pasien yang datang dengan sumbatan vena dalam (DVT) atau emboli paru, ternyata kemudian juga menjadi pasien kanker. Kanker dan hiperkoagulasi merupakan topik yang - telah beberapa dekade dibicarakan dai tiap kali tetap merupakan bahasan yang menarik karena kekerapannya yang tinggi dan patogenesisnya yang kompleks. Diawali laporan Armand Trousseau pada tahun 1865, yang menegakkan hubungan kanker dengan kejadian VTE dan dikenal sebagai sindrom " Trousseau ", sekarang telah diketahui bahwa kanker sendiri dapat meningkatkan risiko kejadian trombosis sampai empat kali dan kemoterapi meningkatkan sampai enam kali. Di Amerika Serikat total kejadian sumbatan vena dalam (DVT)/emboli paru (PE): 117 per 100.000 populasil pertahunnya, sehingga dapat diperkirakan secara kasar akan didapatkan angka kejadian DVT dan PE pada pasien kanker adalah: 11200 orang pertahunnya. Anderson melakukan survey di rumah sakit pada tahun 1992 melaporkan pada pasien yang dirawat dirumah sakit minimal ada 19% yang memiliki minima1tiga faktor risiko
terjadinya trombo emboli (TE), dan pada beberapa ruangan tertentu (misal: ruang perawatan operasi jantung) dapat mencapai 70%; sedangkan dengan empat faktor risiko mencapai 9%. Faktor faktor yang meningkatkan risiko trombosis secara garis besar dapat dibagi dua kelompok besar yaitu faktor bawaanlkonstitusional dan faktor didapatllingkungan (misal: imobilisasi, prosedur akses pembuluh darahloperasi, kehamilan, pi1 kontrasepsi, terapi sulih hormon dan keganasan) (Tabel 1). Interaksi penyakit kanker dan berbagai faktor kondisi di ataslkomorbid, tindakan operasi atau radiasi, maupun jenis kemoterapi yang diberikan serta cara perawatan pasien akan menempatkan pasien secara "unik" pada tingkat risikonya masing masing untuk terjadinya VTE. Pendekatan diagnostik dan pengobatan antitrombosis yang menyama ratakan pasien (generalize4 akan menempatkan pasien pada risiko yang mungkin tidak perlu dan beban biaya yang tidak ringan. Namun perlu pula diketahui bahwa menetapkan kriteria pasien mana yang memerlukan atau
Faktor Predisposisi
Faktor Khusus Defisiensi protein C Defisiensi protein S Defisiensi AT Ill Resistensi protein C teraktivasi Protombin G20210A Peningkatan faktor Vlll Hiperhomosisteinemia Umur
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
Operasi atau trauma Penyakit Keganasan lnfark miokard akut
Strok Hipertensi
Infeksi akut I berat
Penyakit mieloproliferatif Sindrom nefrotik
Gagal jantung akut Gagal napas akut
Obesitas Varises
Sindrom antifospolipid Penyakit jantung kongestif Penerbangan jarak jauh
Kehamilan I puerpurium lmobilisasi Riwayat VTE
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
tak memerlukan terapi terutama pencegahan primer bukanlah ha1 yang mudah, dan belum ada kesepakatan yang dapat diterima secara universal mengenai ha1 tersebut. Di Indonesia sendiri kejadian VTE dan pelaporannya secara nasional belum ada, yang mungkin salah satunya penyebabnya adalah karena penatalaksanaan pasien kanker di Indonesia masih dilaksanakan secara terkotakkotak dan belum terpadu dalam satu tim yang terdiri dari disiplin bedah onkologi, radioterapi dan hematologionkologi medik, maupun disiplin penunjang 1ainnya;atau karena ha1 ini dianggap belum merupakan ha1 yang mendesak untuk segera ditangani karena tak mempengaruhi morbiditas dan harapan hidup pasien. Dari berbagai penelitian yang ada jelas membuktikan bahwa itu adalah anggapan yang salah, karena kejadian trombosis pada pasien kanker jelas akan meningkatkan angka kesakitan, menurunkan kualitas hidup, naiknya biaya perawatan dan dapat menurunkan harapan hidup pasien Hiperkoagulasi sendiri dapat didefinisiskan sebagai: kumpulan kondisi konstitusionalldidapat yang diketahuil dicurigai meningkatkan reaksi sistem koagulasi dan memulai terjadinya trombosis termasuk perubahan permanenlsesaat dari sistem koagulasi akibat adanya defek genetik atau interaksi dengan lingkunganlklinis tertentu yang mempredisposisi terjadinya tromboemboli.
EKSTRASEL
INDING VASKULAR PROTROMBOTIK
PAI-1: HAMBAT FlBRlNOLlSlS(Menghambat fibrinolisis) PAI-1: Plasminogenaktivation Inhibitor-I, TM: Thrombomodulin, TF: Tissue factor
Garnbar 1. Tumor sel, Host Cell dan sitokin
.
.
PATOGENESIS DAN PATOFlSlOLOGl Terjadinya trombosis pada keganasan mencakup proses kompleks yang temtama disebabkan aktivitas prokoagulan sel kanker (procoagulant activitylPCA) yang kemudian akan merupakan interaksi antara: (Gambar 1 dan 2 ) Aktivitas prokoagulan dengan diproduksinya faktor jaringan ("tissue factorlTFn) dan "cancerprokoagulan "(CP)l"tumor associated mucin" oleh sel tumor. Sitokin yang dikeluarkan oleh sel kanker (TNF-a,TNFP clan VEGF) Dampaknya pada proses fibrinolisis Perubahan pembuluh darahldisfungsi endotel Interaksi antara sel pasienl"kost7' (teraktifasinya: monosit, makrofag, trombosit dan sel endotel) dengan sel tumor .Monosit dan makrofag akan mengeluarkan interleukin-1 (IL-1) dan interleukin-6 (IL-6) yang menyebabkan kemsakan endotel dan "sloughing" sel endotel pembuluh darah (PD), sehingga menjadi bersifat trombogenik. Khususnya interaksi dengan makrofag akan mengaktifkan trombosit, faktor XI11 dan faktor X, yang akan meningkatkan pembentukkan trombin dan selanjutnya menimbulkan trombosis Sel kanker yang utuh mampu melepaskan vesikel plasma membran kedalam sirkulasi daf-ah dan meningkatkan pembentukkan bekuan darah
Garnbar 3. Keterangan: T F : Tissue factorlfaktor jaringan, C P : cancer procoagulan, PAI: plasminogen activator inhibitor, VEGF: vascular endothelial growth factor, TNF: tumor necrosis factor, T M : trombo modulin
Patofisiologi terjadinya trombosis pada kanker masih tetap relevan diterangkan dengan "Triad Virchow " yang sejak 1826 menyatakan kejadian trombosis dikarenakan adanya: Gangguan Aliran Darah, yang dalam ha1 ini karena imobilisasi bed rest atau adanya kompresi pembuluh darah oleh massa tumor: kondisi ini akan memperlambat atau bahkan menghambat aliran darah, yang selanjutnya akan: a). Menurunkan "clearance" faktor faktor pembekuan yang teraktifasi, b). Menimbulkan hipoksia sel endotel, c). Trauma pembuluh darah. Berbagai ha1 tadi akan mempredisposisi terjadinya TE.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TROMBOSITOSIS PADA KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
-
,
lLauma dan gangguan fungsi pembuluh darah, akibatnya adanya invasi sel tumor (misal: karsinoma sel ginjal) atau kemoterapi. Dalam penelitian selanjutnya dapat dijelaskan bahwa ha1 tersebut berkaitan dengan menurunnya trombomodulin, prostasiklin dan aneksin 11; yang ketiganya bersifat sebagai "antikoagu1an"dan "anti agregasi "baik langsung maupun tak langsung . Terjadiiya perubahan pada komponen pembekuan darah yang menyebabkan kondisi hiperkoagulasi (terjadi pada 50-70% pasien kanker), terjadi melalui aktivasi langsung faktor Xa oleh CP yang hanya diekskresikan oleh sel tumor dan foetal (suatu sistein protease dengan BM 68 kDa) atau melalui TF (suatu glikoprotein trans membran dengan BM 47 kDa) selain diekskresikan sel kanker juga oleh sebagian besar sel normal seperti sel monosit, endotel, sel jaringan ikat dan lainnya .Ekskresi TF di "up regulated' oleh sitokin yang kemudian mengaktivasi faktor VII dan membentuk kompleks TF+VIIa .Salah satu produksi sel tumor berupa musin asam sialat, dapat mengaktifkan faktor X secara non enzymatik. Selain mekanisme di atas juga diketahui terjadi penurunan anti koagualan alamiah, seperti: AT 111, protein C dan S atau melalui aktivasi trombosit. Beberapa faktor yang meningkatkankan risiko kejadian trombo emboli (TE) pada kanker yaitu antara lain: a. Jenis dan stadium kanker b. Berbagai prosedur perawatan urnum maupun khusus yang meliputi: imobilisasi, operasi, kateter vena sentral, kemoterapi, terapi hormonal dan lain lain. L
Terapi hormonal. Meningkatnya risiko TE terjadi melalui sifat intrinsik tamoksifen (TAM) yang mirip estrogen (agonis), dapat meningkatkan berbagai faktor prokoagulan, di sampingjuga menurunkan AT I11 dan protein C.Saphner danjuga Pritchard melaporkan kejadian TE lebih tinggi pada kombinasi TAM dengan kemoterapi , dibanding hanya kemoterapi atau TAM saja. Kateter sentral vena. Denovo memberikan kemungkinan 30% terjadinya TE, ha1 ini meningkat mencapai 70% bila terjadi disfimgsi kateter sebelurnnya (Gould et al). Berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian TE sehubungan dengan pemasangan kateter vena, dilaporkan lebih lanjut: a) Risiko kateter lubang tiga >lubang dua >lubang satu, b). Lebih berhubungan dengan ukuran daripada tipelmerek tertentu, c).Risiko lebih tinggi pada pemasangan di vena subclavia kiri daripada kanan, d). Ujung kateter terletak pada distal dari setengah vena kava superior berseberangan dengan dinding dada, e).Adanya tumor intratorakal. Home melaporkan risiko tertinggi terjadinya oklusi parsial vena terjadi pada enam minggu pertama pemasangan kateter Operasi. Kakkar dan Williamson melaporkan pada post operasi pasien kanker, risiko kejadian DVT meningkat dua kali dan PE fatal meningkat lebih dari tiga kali dibanding operasi pada tumor jinak. Penilaian risiko trombosis selama operasi tergantung pada jenis operasiltrauma (exposing risk) dan faktor predisposisi pasien (misal: umur lebih dari 40 tahun, adanya penyakit lain/komorbid, obesitas, varises vena, peradangan , infeksi, terapi hormonal dan adanya trombofilia).
FAKTOR RlSlKO
Jenis keganasan. Beberapa laporan menyebutkan beberapa jenis kanker memberikan kecenderungan yang lebih tinggi terjadinya TE, dimana kanker pankreas memberikan angka 24-28%, paru berkisar 20-27%, kolon 318%, gaster 12-13%, prostat 13-17% dan payudara 2-8%. (tergantung pre-postmenopause). Jenis histologi tertentu seperti adenokarsinoma tipe produksi musin positip juga merupakan faktor predisposisi terjadinya TE. Namun tingginya prevalensi VTE pada kanker lebih mengikutijenis kanker yang tersering pada populasi umum, seperti pada laki laki jenis yang sering dijumpai adalah kanker kolon, paru dan prostat; sedangkan pada wanita adalah: kanker payudara, paru dan ovarium. Kemoterapi. Meningkatkan risiko TE melalui tiga mekanisme, yaitu: a.) Kerusakan akut dinding pembuluh darah (misal: bleomisin, carmustin,vinka alkaloid) b). Non akut pada endotel (misal: doksorubisin) c). Menurunkan kadar antikoagulan alamiah (misal:CMF menurunkan protein C dan S ;L-asparaginase menurunkan AT 111). Beberapa laporanjuga menyebutkan kemoterapi neoajuvan dan ajuvan seperti rejimen FAC, ataupun status postmenopause pada waktu terapi memberikan risiko yang tinggi dan bermakna terjadinya TE.
PENCEGAHAN DAN TERAPI Untuk dapat memahami topik ini ada baiknya dapat dipahami dahulu berbagai terminologi di dalamnya, yaitu: Risiko predisposisi ("'predisposing risk"): adalah risiko yang telah ada sebelumnya, terlepas dari kondisi penyakitnya saat ini atau operasi yang akan dijalaninya. Terbagi lagi dalam: a. Risiko umumlkarakter umum sepertijenis kelamin, umur, golongan darah clan lainnya; atau penyakit yang diderita dalam tiga bulan terakhir (misal: AMI, strok), maupun kondisi kronis yang lain (misal: insufisiensi vena, varises, keganasan) b. Risiko inheren mayor: termasuk di dalamnya riwayat pribadi atau keluarga dengan VTE, kelainan pembekuan darah ataupun penanda mutasi genetik tertentu Risiko terpajan ("exposing risk"): adalah risiko didapat karena kondisi penyakit medik atau bedah, termasuk di dalamnya adalah prosedur terapi yang hams dilaluinya Risiko keseluruhan ("overall risklOR "): adalah total risiko VTE seseorang dengan mengkombinasikan risiko predisposisi dan terpajan. "Decision Matrix" adalah salah satu usaha para ahli diberbagai negara berdasarkan penilaian faktor risiko poin
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
*
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 1 dan 2 di atas guna menilai dan membagi OR pasien atas kelompok risiko: rendah, moderat, tinggi dan sangat tinggi. Pada risiko tinggi dan sangat tinggi para panelis sepakat untuk memberikan pencegahan antikoagulan baik UFH ataupun LMWH,sedangkan anti agregasi belum disepakati manfaat dan perannya. Dengan menjawab berbagai pertanyaan yang telah disusun, kita dapat menetapkan jumlah nilai akhir risiko pasien "The Srjcth ACCP Consensus" menetapkan tiga ha1 yang menjadikan seorang pasien memiliki risiko tertinggi kejadian trombosis yaitu: 1). Pasien dengan riwayat TE vena 2). Penyakit kanker 3). Operasi besarlmayor ortopedik; sehingga terapi pencegahannya dengan antikoagualan hams dijalankan. Hal ha1 ini selanjutnya akan dipengaruhi oleh: tata cara perawatan urnum, lama dan jenis anestesi, mobilisasi pre-post operasi, tingkat hidrasi pasien dan ada tidaknya sepsis. Bick dan teman pada tahun 2003 mencantumkan pembagian katagori risiko berdasarkan "the International Consensus Group dan European Consensus Group" (terdiri dari'risiko rendah, moderat dan tinggi) dan tingkat klasifikasi risiko berdasarkan "The Sixth ACCP Consensus" (terdiri dari: rendah, moderat, tinggi dan sangat tinggi) pada pasien operasi dan medik; berdasarkan "exposing factor" dan faktor predisposisi. Keduanya menetapkan bahwa operasi besar, operasi daerah pelvis atau abdomen untuk keganasan merupakan risiko tinggi dan sangat tinggi yang memerlukan terapi pencegahan baik dengan heparin berat molekul rendah (low molecular weight heparin1 LMWH) atau UFH (unfractionated heparin) (Rekomendasi 1A). Sedang kan untuk pasien non operasi harus dikaji risiko VTE mengunakan sistem nilai "exposing dun predisposing factor". Pasien dalam kelompok moderat dan tinggi harus dipertimbangkan terapi pencegahan UFH atau LMWH ( 6thACCP Consensus: 1A ). Sedangkan asidum salisilikum sebagai anti agregasi belum dipastikan perannya TERAPI DAN DOSlS Pencegahan pada Pasien Kanker Pro Operasi Tanpa pencegahan ,pasien kanker yang menjalani operasi, akan mengalami risiko DVT yang dibuktikan dengan venografi mencapai 20-40%, dengan fatal PE 1%. Pemberian antikoagulan sebagai pencegahan VTEIPE pasien keganasan yang menjalani operasi sangat direkomendasikan. Mismetti et a1 melaporkan tak ada perbedaan bermakna antara UFH atau LMWH pada timbulnya simtomatik VTE, perdarahan mayor, transfusi darah atau kematian. Hal ini juga berlaku untuk pasien non kanker. Penelitian enoxacan yang membandingkan enoksaparin 40 mg sekali sehari dengan UFH 5000 U tiga kali sehari pada 1115 pasien kanker yang menjalani operasi
bagian abdomen atau pelvis menunjukkan pada hari ke 8 dan ke- 15 tak ditemui perbedaan bermakna kejadian VTE (15% vs IS%), maupun efek sampingnya. Pada enoxacan I1 pasien kanker dengan operasi abdomen mendapat enoksaparin 40 mg sekali sehari selama seminggu, yang dilanjutkan dengan randomisasi dengan dosis yang sama atau plasebo selama 2 1 hari; memperlihatkan penurunan insiden DVT dari 12% menjadi 4,8% (p=0,02) Pencegahan pada Pasien Mediklnon Operasi Kondisi disini agak lebih sulit, dan tak banyak penelitian pencegahan primer antikoagulan pada pasien kanker yang menjalani prosedur mediklkemoterapi. Levine et a1 memberikan warfarin dosis rendah 1 mg selama 6 minggu (INR 1,3-1,9) atau plasebo secara random pada 3 11 pasien kanker payudara stadium IV yang menjalani kemoterapi, mendapatkan 85% penurunan risiko relatif trombosis pada kelompok warfarin (p= 0,03) tanpa meningkatkan risiko perdarahan. Samama et a1 menunjukkan pemberian enoxaparin dibanding plasebo pada pasien kanker yang dirawat dengan penyakit akut mempunyai risiko relatif 0,37 untuk trombosis (p <0,00 1). Disisi lain pada suatu observasi pasien kanker stadium lanjut atau metastasis rawat dengan jalan hanya ditemui 3% kejadian VTE bergejala. Disimpulkan pada pasien kanker stadium lanjut rawat jalan tak dianjurkan pemberian rutin LMWH atau UFH ,narnun direkomendasikan bila dirawat karena penyakit akut lainnya Terapi VTE Prinsipnya pengobatan baku dengan antikoagulan kejadian VTE pada pasien kanker tak berbeda dengan pasien non kanker. Pemberian LMWH subkutan atau intravenous UFH memberikan hasil yang sama efektifnya. Pemberiaan LMWH (enoksaparin, reviparin) berdasarkan berat badan, dua kali sehari lebih efektif dibandingkan sekali sehari, dan mungkin dilakukan secara rawat jalan. Pencegahan Sekunder Dengan rejimen oral vitamin K antagonis yang dimulai sejak hari pertama UFWLMWH ,untuk mencapai INR 2,O-3,O akan mencapai kekambuhan sampai 8% pertahunnya pada pasien non kanker; namun angka ini akan 2-3 kali lebih tinggi pada pasien kanker. Hal ini menunjukkan sulitnya memelihara tingkat terapetik INR pada pasien kanker karena berbagai kondisi inheren yang kompleks. Untuk menjawab keadaan ini dua penelitian pemberian jangka panjang LMWH (CANTHANOX: enoksaparin pada 147pasien dan CLOT: dalteparin pada 336 pasien) vs warfarin, menunjukkan pada CANTHANOX tak ditemui perbedaan bermakna kejadian VTE, namun dengan kecenderungan perdarahan lebih tinggi pada warfarin. Hasil CLOT menunjukkan pemberian dalteparin 200 Ukgl SC sekali
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TROMBOSITOSIS PADA KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI sehari selama satu bulan diikuti 75-80% dosis awal selama 5 bulan dibanding kelompok kontrol dalteparin 5-7 hari diikuti warfarin atau asenokoumarol selama 6 bulan (INR: 2-3). Menunjukkan LMWH menurunkan risiko kekarnbuhan (9% vs 17%; HR 0,48 , p=0,002) dan penurunan absolut mencapai 8%.
Lama Terapi Belum ada kesepakatan berapa lama pengobatan antikoagulan hams diberikan pada pasien kanker. Namun beranjak dari konsep selama risiko VTE meningkat pada pasien kanker yang terpajan faktor 'predisposing" dan "exposing" atau pasien kanker dengan metastase atau pasien non metastase dengan penyakit yang "aktif' atau dalam terapi anti tumor, maka selama itu pulalah terapi antikoagulan tetap direkomendasikan untuk diberikan
Beberapa kesirnpulan dari pembahasan ini adalah: 1) Kanker menyebabkan hiperkoagulasi pada 40-70% pasien 2) Berdasarkanjenis keganasan, kejadian TE berkisar 3-28% 3) Dasar patogenesis terjadinya trombods pada pasien kanker, adalah adanya saling keterkaitan antara PCA ("procoagulant activity"), sitokin, fibrinolisis dan interaksi sel tumor dan sel "host "4) " Exposing risk" yaitu berbagai prosedur seperti kemoterapi, terapi hormonal, operasi dan jenis serta lama anestesianya, pemasangan vena sentral,tingkat imobilisasi.danjenis/stadiurn; maupun 'predisposingfactor" (faktor risiko yang ada pada pasien, seperti obesitas, varises, kondisi trombofilia dan lainnya) merupakan dua sisi yang hams dikaji dan dinilai baik secara umum/sistimatis, maupun secara individual ("taylar made") untuk mengantisipasi tingggi rendahnya risiko trombosis pada pasien kanker, dalam kaitannya perlu tidaknya terapi antikoagulan sebagai pencegahan primer atau sekunder.
Abramson N, Abramson S. Hypercoagulability : clinical assessment and treatment. South Med J 2001; 94 (10) :I013 - 20 Bick RL, Haas S. Thromboprophylaxis and thrombosis in medical , surgical, trauma and obstetric 1 gynecologic patients. Hematol Oncol Clin N Am 2003; 17 : 217 - 58 Blom JW, Doggen CJM, Osanto S, Rosendal FR. Malignancies, pthrombotic mutations, and the risk of venous thrombosis. JAMA 2005; 293 : 715 -22
Bick RL. Cancer associated thrombosis. N Engl J Med 2003 ; 349 : 109 - 11 Bauer KA. Venous thromboembolism in malignancy,Editorial. J Clin Oncol 2000; 18 3065 - 7 Baron JA, Gridley G Weiderpss E, et al . Venous thromboembolism and cancer Lancet. 1998; 351 :I077 - 80 Falanga A. Tumor cell prothrombotic properties. Haemostasis 2001;3 1 (suppl) : 1-4 Falanga A. Thrombosis and malignancy : an underestimated problem. J Hematology 2003; 88 : 607 - I 0 Frenkel EP, Bick RL. Thrombohemorrargic defects associated with malignancy. In Disorders of thrombosis and hemostasis clinical and laboratory practice .3'd Ed Editor Bick RL 2002 : 264 -78. Green KB, Silverstein RL.Hypercoagulability in cancer .Hemato1 Oncol Clin N Am 1996 ; 10: 499 - 524 Haqim N, Lanir N, Hoffman R, et aql. Acquired activated protein C resistance is common in cancer patients and is associated with venpous thromboembolism. Am J Med 2001; 110 : 91 - 6 Harter C, Salwender HJ, Bach A, et al. Catheter-related infection and thrombosis of the internal jugular vein in hematologic oncologic patiens undergoing chemotherapy.Cancer 2000; 94 : 245 - 50 Kakkar AK, Levine M,Pinedo HM,et al. Venous thrombosis in cancer patients: insight from the FRONTLINE survey. Oncologist 2003; 8 : 381 - 8 Lee AYY. Epidemiology and management of venous thromboembolism in patients with cancer.Thromb Res 2003;llO: 167-72 Levine MN. Managing thromboembolic disease in the cancer patient: efficacy and safety of antithrombotic treatment options in patients with cancer. Cancer Treat Rev 2002;28: 145-9 London SM. Patients with cancer are at high risk of venous thrombosis. BMJ 2005; 330 :26 Mandala M, Ferretti G, Cremonesi et al. Venous thromboembolism and cancer: new issues for and old topic. Crit Rev in Oncol 1 Hem 2003; 48: 65-80 Mousa SA. Anticoagulants in thrombosis and cancer: the missing link. Expert Rev 2002; 2 : 227 - 33 Mielicki WP. Biochemistry of cancer. Haemostasis 200 1 ; 3 1 (suppl) : 8-10 Petitou M,Herbert JM. Synthetic anticoagulants. Pour la Science 2000; 274:l-8 Rogers LR. Cerebrovascular complication in cancer patients. Neurol Clin N Am 2003; 21 : 167 - 92 Ronsdorf A, Perruchoud AP,Schonenberg RA. Search for occult malignancy in patients with DVT. Peer Rev Article. Samama MM et al. Decision Matrix for the prophylaxis of venous throboembolism (VTE). Forum 2003 ; 1: 1-14 Sorensen HT, Mellemkajaer L, Olsen J, Baron JA. Prognosis of cancer associated with venous thromboembolism. N Engl J Med 2000; 343 : 1846 - 50 The Matisse Investigator. Subcutaneeous fondaparinux versus intravenous UFH in the initial treaqtment of PE. N Engl J Med 2003 ; 349 :I695 - 702 von Tempelhoff GF, Niemann F, Schneider DM, et al. Blood rheology during chemotherapy in patients with ovarian cancer. Throm Res 1998 : 90 : 73 - 82.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
SITOGENETIKA Aru W. Sudoyo
PENDAHULUAN Sitogenetika, atau pemeriksaan terhadap kromosom, telah mengalami perkembangan yang pesat dalam dua dasawarsa ini sehingga sudah menjadi bagian dari ilmu kedokteran klinis. Selain untuk mendeteksi kelainan bawaan seperti sindrom Down (trisomi 21), teknik ini telah membuktikan bahwa pada berbagai jenis keganasan darah dan padat didapatkan kelainan kromosom yang khas. Pada tahun 1960, sitogenetik telah berkembang dari laboratorium genetika yang mempelajari tanarnan serta lalat Drosophila ke dunia klinik. Penemuan kromosom Philadelphia pada spesimen sumsum tulang seorang pasien leukemia granulositik kronik (LGK) oleh Nowell dan Hungerford, membuka era baru di mana didapatkan kelainan kromosom yang secara konsisten dihubungkan dengan jenis keganasan tertentu. Sepuluh tahun berlalu sebelum kemajuan teknologi berikutnya, yaitu pada tahun 1970, dengan ditemukannya teknik pemitaan (chromosome banding) oleh Caspersson. Diketahui bahwa pada kromosom Philadelphia tersebut terjadi translokasi antara kromosom 9 dan 22. Teknik pemitaan tersebut merupakan awal perkembangan sitogenetik kanker yang sesungguhnya di mana hingga saat pencetakan buku ini telah dilaporkan lebih dari 8000 kelainan kromosom pada kanker. Kemajuan teknologi biologi molekular selanjutnya mendapatkan bahwa pada breakpoint atau lokasi translokasi tersebut (translokasi kromosom 9 dan 22 pada LGK) terbentuk gen baru atau gen fusi BCR-ABL yang dianggap memicu terjadinya penyakit ganas tersebut. Dikaitkan dengan konsep di atas, beberapa istilah sitogenetik perlu diketahui terlebih dahulu, yaitu: Lengan Pendek Kromosom, dinyatakan sebagai "p", lengan panjang kromosom, dinyatakan sebagai "q", dan sentromer yaitu bagian yang menyempit di antara "p" dan "q" (Gambar 1).
Gambar 1. Kromosom dalam tahap metafase setelah mengalami perlakuan dengan enzim tripsin. Tampak pita-pita yang terbentuk dan memberikan gambar khas bagi setiap krornosom.
Translokasi, disingkat t, yaitu bila sebagian dari sebuah kromosom berpindah ke kromosom lain. Perpindahan ini dapat bersifat resiprokal (bertukar) atau tidak. Contoh: t(9;22) yang berarti telah terjadi perpindahan, dalah ha1 ini pertukaran tempat, sebagian sepotonglsegmen kromosom 9 ke kromosom 22. Dikenal sebagai kromosom Philadelphia pada leukemia granulositik kronik. lnsersi (insertion) atau "ins". Sepotonglsebagian kromosom berpindah ke lokasi baru, menyelipkan diri di antara pita-pita kromosom yang sama atau kromosom lainnya. Misalnya: ins(5;2)(p14;q22q32) berarti pematahan dan penyambungan kembali terjadi pada pita 5p14 pada lengan pendek kromosom 5 dan pita-pita 2q22 dan 2q32. Inversi, disingkat inv. Sebagian dari sebuah kromosom mengalami rotasi 180 pada kariotip 46, XY, inv(3)(q26q29), terjadi pematahan (breakage) dan penyambungan kembali
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
SITOGENETIKA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI (reunion) di kromosom 3 pada lokasi pita q26 dan q29. Delesi atau del berarti hilangnya sebagian dari sebuah kromosom. Suatu sebutan del (l)(q23) berarti pada kromosom 1 telah terjadi kehilangan sebagian daripadanya pada lokasi pita q23. Marker disingkat "mar" digunakan bila pada kelainan tidak dikenal. Tanda + atau: Tanda ini dipasang di depan sebuah angka kromosom untuk menunjukkan adanya penambahan atau kehilangan sebuah kromosom. Klon (clone) :dua sel dengan kromosom yang mengalami tambahan kromosom (atau bagiannya) atau perubahan struktur yang sama. Suatu kelainan dikatakan sebagai klonal bila berasal dari satu sel dan mempunyai ciri genetik sama. Diploid :jumlah dan susunan kromosom yang normal. Haploid : setengah dari susunan normal (misalnya 23 kromosom) Hipodiploid :hilangnya kromosom dengan jumlah 45 atau kurang. Kariotip :susunan kromosom dari sebuah sel tertentu yang dibuat berdasarkan suatu sistem yang telah disepakati, dimulai dari kromosom berukuran paling besar dan berakhir dengan yang terkecil. Kariotip manusia normal ditulis sebagai 46, XY untuk laki-laki dan 46, M untuk perempuan. Hingga saat ini tidak diketahui seberapa konsisten rearrangements atau perubahan kromosom itu terjadidapat secara kebetulan, yaitu seleksi alam akan menyingkirkan sel-sel yang tidak memiliki kelebihan proliferatif. Sebaliknya, banyaknya ragam kelainan kromosom yang ditemukan pada kanker mencerminkan suatu kelemahan (instabilitasgenetik) dalam sel itu sendiri, dan beberapa peneliti mengusulkan bahwa adanya titiktitik lemah atau fragile sites sebagai mediator untuk perubahan kromosom tersebut.
KELAINAN KROMOSOM: SlFAT RANDOM ATAU NON-RANDOM Dalam kaitannya dengan keganasan, dikenal apa yang disebut sebagai perubahan random atau kebetulan, dan non-random atau tidak kebetulan. Pengertian ini penting untuk dipakai sebagai landasan pembahasan selanjutnya karena kelainan random adalah perubahan pada kromosom yang terjadi dan ditemukan secara kebetulan pada sebuah preparat metafase dan dianggap sebagai penemuan yang tidak bermakna. Hal yang perlu dipastikan pada waktu mendapatkan kelainan kromosom adalah apakah perubahan tersebut (translokasi insersi, dan sebagainya) merupakan kelainan random (kebetulan) atau non-random (didapatkan pada lebih dari satu metafase atau set kromosom). Kelainan baru dapat dilaporkan sebagai kejadian bermakna bila bersifat
non-random. Pada proses pemitaan kromosom (chromosome banding), kromosom mengalami pemrosesan dengan enzim sehingga tampak sebagai memiliki pita-pita atau band. Setiap kromosom memiliki ciri susunan pita tertentu, yang menjadi dasar pengenalan dan interpretasi adanya kelainan dalam suatu kariotip (susunan kromosom menurut ukuran). Pemeriksaan tersebut ditujukan pada tahap mitosis di mana kromosom sudah mulai memisahkan diri dengan pasangannya tetapi tetap pada satu sumbu atau spindel, yaitu tahap metafase.
PERUBAHAN PRIMER DAN SEKUNDER Sungguhpun kelainan non-random di atas menetapkan keabsahan interpretasi, suatu pengamatan pada sebuah metafase kadang-kadang akan membingungkan karena banyaknya kelainan yang ditemukan. Apakah kelainan kromosom tersebut penting secara patogenesis, perlu sebelumnya dipilah menjadi dua kategori yaitu kelainan primer dan sekunder. Kelainan primer biasanya merupakan kelainan satusatunya pada sebuah kariotip dan seringkali merupakan kelainan yang khas untuk keganasan tertentu, seperti translokasi kromosom 9 dan 22 pada LGK (kromosom Philadelphia). Kelainan tersebut dianggap sudah muncul pada tahap dini suatu keganasan dan mempunyai kemungkinan peran kausal. Sedangkan kelainan sekunder merupakan kejadian yang ditemukan pada tahapan lebih lanjut perjalanan suatu tumor atau kanker sehingga sudah menjadi banyak dan seringkali sudah tidak ada makna klinis dan tidak dapat membantu untuk mencari penyebab.
MAKNA KLlNlK PEMERIKSAANSITOGENETIKA Dalarn bidang hematologi, penggunaan sitogenetik sebagai pemeriksaan penunjang dalam pendekatan diagnostik terhadap leukemia telah menyebabkan diusulkannya penyempurnaan klasifikasi FAB dengan klasifikasi MIC (morphology-immunophemotype-cytogenetics). Sistem klasifikasi FAB (French-American-British)yang lazim digunakan dianggap mempunyai beberapa kelemahan, antara lain karena butuh persentase sel blas, ketidak-jelasan akan sel blas tipe 11, kesulitan membedakan antara leukemia mieloblastik akut dan sindrom mielodisplastik, dan definisi dari M6. Sitogenetik,bersama dengan pemeriksaan imunofenotip, kemudian masuk sebagai alat bantu tambahan. Salah satu contoh adalah pada acute mixed lineage leukemia, suatu keadaan yang tidak tercakup dalam klasifikasi FAB. Pada leukemiajenis ini didapatkan positivitas untuk CALLA seperti pada LLA dengan (t(l)(q23) dan t(Il)(q23) dan t(9;22) yang biasanya didapatkan pada LMA. The MIC (morphologyimmunophemotype-cytogenetics) Cooperative of Study
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Group bertujuan menjajaki kemungkinan meningkatkan ketetapan klasifikasi cara FAB (French-American-British) mengajukan bahwa kasus-kasus LMA perlu dipelajari secara morfologi, imunologi, dan sitogenetik (sistem MIC). Dengan sistem MIC ini, maka leukemia mieloblastik akut akan dibagi menjadi sepuluh kategori dan bukan tujuh seperti sekarang ini.
Gambar 2. Contoh foto kromosom-kromosom yang telah digunting dan disusun berurutan sesuai kesepakatan internasional. Dikenal sebagai sebuah kariotip, mernbantu dalarn menentukan kelainan kromosom.
SlTOGENETlK DAN PROGNOSIS Kelainan kromosom pada leukemia dianggap sebagai salah satu variabel prognostik leukemia akut yang independen. Kejadian sitogenetik yang paling penting dalam menentukan sifat dan perjalanan leukemia akut adalah perubahan kariotipik primer. Kelainan primer sering ditemukan sebagai kelainan kromosom tunggal pada keganasan, dan seringkali dihubungkan dengan jenis keganasan tertentu, suatu ha1 yang berlaku pada LMA. Sebaliknya, kelainan sekunder jarang atau tidak pernah ditemukan sebagai kelainan tunggal, terjadi sebagai kejadian tambahan dan seringkali menjadi penemuan utama pada tahap lanjut penyakit. Kelainan kromosom pada LMA diketahui mempunyai nilai prognostik yang tidak bergantung pada faktor lain kecuali protokol pengobatan yang digunakan. Secara umum, prognosis paling baik didapatkan pada kelainan kromosom inv(l6) dan paling buruk pada delesi atau monosomi kromosom 5,7, atau keduanya, t(1;7(,t(6;9), inv(3), t(3;3), dan kariotip yang rumit. Contoh lain, misalnya, adanya translokasi t(8;2 1)(q22;q23) pada LMA menunjukkan prognosis yang lebih baik apabila pada penyakit tersebut ditemukan t(6;9)(p23;q34), LMA biasanya didahului oleh MDS. Dengan adanya korelasi antara gambaran kariotip atau kelainan kromosom tertentu dengan beberapa subtipe LMA, dapat dikatakan bahwa diperkirakan hasil akhir pengobatannya, ha1 yang penting karena terapi terhadap LMA direncanakan dengan tujuan kesembuhan. Dengan kata lain, perubahan kromosom
primer cenderung untuk menentukan sifat penyakit, dalam ha1 ini LMA, seperti yang tercermin pada sitologi, respons terhadap pengobatan, dan sifat biologis penyakit. Selama perubahan keriotipik ini tidak mengalami perubahan, LMA tidak akan menunjukkan banyak variasi perjalanan penyakitnya sampai terjadinya penambahan pada perubahan tersebut (perubahan sekunder), seperti hilangnya kromosom seks atau trisomi 8. Perubahan tersebut dapat sedikit ataupun sangat banyak. Dalam ha1 LMA dengan kelainan sekunder, penyakit cenderung untuk memiliki perjalanan yang lebih agresif dengan masa sakit pendek serta respons terhadap sitostatik yang sangat jelek. Setiap subtipe LMA mempunyai kejadian biologis (termasuk juga aspek klinis dan prognosis) berhubungan dengan atau bahkan ditentukan oleh perubahan secara spesifik pada kromosom. Bila muncul kelainan kromosom tambahan, biasanya leukemia menjadi lebih agresif dalam perjalanan penyakit. Kelainan-kelainan kromosom dihubungkan dengan prognosis yang buruk. The Sixth International Workshop on Chromosomes in Leukemia, yang bertemu di London tahun 1987, mencapai kesimpulan yang hampir sama, bahwa kariotip merupakan faktor prognostik yang independen pada LMA de novo (baru). Penelitian-penelitian di masa yang akan datang masih dibutuhkan, karena hasil akhir pasien LMA amat ditentukan oleh protokol pengobatan yang digunakan. Kesimpulan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan secara terpisah oleh Schifferl yang mengatakan bahwa hasil pemeriksaan sitogenetik yang siap kurang lebih 3 atau 4 minggu setelah diagnosis dapat membantu penentuan langkah berikutnya setelah remisi tercapai. Munculnya resistensi terhadap sitostatik, yang ditemukan juga pada mereka dengan prognosis baik, menunjukkan bahwa pemeriksaan sitogenetik secara serial diharapkan dapat membantu mendeteksi munculnya klon-klon yang resisten terhadap obat.
SlTOGENETlKA TUMOR PADAT Walaupun teknik sitogenetik telah mengalami banyak kemajuan, tumor padat masih mencakup 27% dari kelainan kromosom yang dilaporkan. Perubahan kromosom pada tumor padat biasanya sangat kompleks dan sudah melibatkan kelainan sekunder akibat lanjutnya progresifitas keganasan pada waktu diperiksa. Membedakan kelainan primer dan sekunder jauh lebih sulit daripada leukemia. Sungguhpun demikian, kemajuan mulai dicapai dengan diidentifikasinya berbagai kelainan primer yang khas untuk beberapa tumor padat tertentu walaupun hanya sedikit yang telah ditelaah pada tingkat molekular. Pemeriksaan kromosom pada tumor padat lebih sulit karena beberapa hal:
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Garnbar 3. Potongan-potongan kariotip dari metafase yang diproses dengan trypsin-Giemsa memperlihatkan perubahan tatanan kromosorn pada leukemia mieloblastik akut:(A)t(9;22) (q34;q11), CML;(B)t(8;21)(q22;q22),AML-M2; (C)inv(l6)(pl3q22), AMMol-M5;(D)t(1 5 ; l 7)(q22;qll -12),APL; (E) t(9;11)(p22;q23), Arnol-M5; dan (F) de1(5)(q13q33) pada tAM. Lokasi kelainan ditunjukkan dengan anak panah (Van den Berghe, 1995)
Pada waktu tumor padat dapat dilihat oleh mata telanjang, yaitu pada saat pasien datang ke dokter, biasanya kelainan kromosom sudah lanjut sedemikian rupa sehingga sudah banyak kelainan sekunder. Jaringan tumor padat, berbeda dengan sumsum tulang pada keganasan hematologi, mengandung jaringan ikat dan penunjang yang masih hams "disingkirkan" dahulu sebelum dapat diteliti. Dengan tingkat proliferasi jaringan yang lebih lambat dari sumsum tulang diperlukan biakan yang lebih lama dengan konsekuensi pemeliharaan biakan yang lebih memerlukan kecermatan. Sebagai akibat berbagai ha1 di atas, pada kariotip akan didapatkan jumlah dan kelainan yang sangat banyak.
KEGUNAANSlTOGENETlK TUMOR PADAT DALAM KLINIK Untuk keganasan hematologi, analisis sitogenetik sudah menjadi bagian dari pendekatan diagnostik. Gambaran kariotip sel darah tepi, sumsum tulang, maupun kelenjar getah bening sudah dapat memastikan ada tidaknya penyakit keganasan, menentukan jenisnya, dan memberikan prognosis. Analisis sitogenetik dan modalitas diagnostik lainnya sudah dianggap saling melengkapi. Analisis sitogenetik pada tumor padat, di lain pihak, hams dilakukan secara lebih hati-hati karena kesulitan teknik dan masih kurangnya pemahaman mengenai perangai tumor padat itu sendiri. Beberapa kelainan seperti -X atau -Y, misalnya, dapat ditemukan pada keadaan non-
neoplastik. Beberapa translokasi terdapat pada sel normal dalam biakan. Tetapi bila ditemukan kelainan yang bersifat multipel dan kompleks, dapat dipastikan bahwa sel tersebut ganas. Sitogenetik tumor padat sebagai alat diagnostik bermanfaat pada keadaan tertentu misalnya efusi pleura, suatu keadaan di mana cara-cara sitologi maupun lainnya tidak membawakan hasil. Dalam beberapa keadaan, analisis sitogenetik berguna dalam membedakan tipe tumor, seperti y(11;22) pada sarkoma Ewing dan tumor serupa, t(2; 13) pada rabdomiosarkoma, t(X; 18) pada sarkoma sinovial, dan t(12; 16)pada liposarkoma miksoid. Karena sarkoma Ewing, neuroblastoma metastatik neuroblastoma, rabdomio sarkoma, dan limfoma non Hodgkin jelas berbeda dalam ciri-ciri sitogenetik, maka analisis kromosom dapat menjadi alat bantu diagnostik dengan konsekuensi terapeutik jelas. Diagnosis sitogenetik bahkan dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan cucuk jamm halus Vine needle aspiration biopsy).
Macam Tumor Tumor Epitelial Pleomorlik adenoma Karsinoma paru Karsinoma ginjal Karsinoma kandung kemih Tumor Wilms Karsinoma ovarium Karsinoma prostat Tumor Mesenkim Lipoma Leiongioma Liposarkoma (miksoid) Sarkoma sinovia Rabdomiosarkoma Malignantfibris histiocytoma Tumor Sel Germinal, Neurogenik. Neuroekstradermal Meningioma Astrositoma Neuroblastoma Retinoblastoma Melanoma malignum Sarkoma Ewing, tumor askin, Neuroepitelioma perifer Tumor sel geminal
Macam Perubahan Translokasi dari 12q13 (5,t(3;8)(p21q12) del(3) (p14-23) del(3) (p14-23)'t(3;5)(pl3;q22) i(5p),trisomi7,monosomi 9 del(1l)(pl3) add(19)(p13) de1(7)(q22), deI(lO)(q24) Translokasi dari 12q13-15, ring kromosom Perubahan struktur dari 12q13-15, de1(7)(q21q31),trisomi 12 t(12;16)(q13.3;p11.2) t(X;l8)(pll;qll) t(2;13)(q35-37;q14) add(19)(p13)
Monosomi22, de1(22)(q12-13) de1(9)(p13-24).dmin del(l)(32-36),herldmin deI(15)(q14).1(6)(plO) Delesion of 6q,t(6)(plO) t(11;22)(q24;q12)
Peran sitogenetik pada tumor padat belum baku seperti pada keganasan hematologi, tetapi beberapa hubungan antara sitogenetik dan prognosis telah dilaporkan. Sebuah contoh, pads tumor sel germinatha testikular, kemungkinan gagalnya kemoterapi meningkat dengan jurnlah I(12)(p 10). Pada kanker prostat, kelainan kromosom berhubungan dengan pendeknya masa harapan hidup. Pada neuroblastoma pemeriksaan sitogenetik juga mempunyai nilai prognostik. Karena teknologi untuk mengatasi kesulitan tersebut belum lama digunakan sampai saat ini banyaknya
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
penemuan masih jauh lebih sedikit daripada sitogenetik keganasan hematologi. Sungguhpun demikian, pemeriksaan sitogenetik pada tumor padat sudah mulai membuka tabir genetik masing-masing tumor, menyusul ditemukannya kelainan pada kromosom 13 pada retinoblastoma yang menjadi dasar penelitian terhadap kausa tumor tersebut. Seperti pada keganasan hematologi, pada tumor padat kelainan kromosom akan menjadi pembuka ke arah penelusuran kelainan genetik yang terjadi, dengan jalan yang masih panjang dan kesempatan yang sangat terbuka lebar untuk pelaporan dan penelitian.
REFERENSI Arthur DC, Berger R, Golomb HM, Swansbury GJ, Reeves BR, Alimena G, Van Den Berghe H. General report of the Sixth. International Workshop on Chromosomes in Leukemia: theclinical significance of karyotype in acute myelogenous leukemia. Cancer Genet Cytogenet. 1989;40:203-16. Bain BJ. Leukemia diagnosis-a guide to the FAB classification. Philadelphia: JB Lippincott Company; 1990.
Greenberg P, O'Brien S, Goldman J, Sawyer C. Myelodysplastic syndromes and myeloproliferative disorders: clinical, therapeutic, and molecular advances. Education program book,American Society of Hematology Meeting. Seattle; 1995. p. 10. Heim S, Mitelman F. Cancer cytogenetics. In: Alan R Liss, editor. New York; 1995. p. 83. Hirsch-Ginsberg C, Yang OH, Kagan J, Liang JC, Stass SA. Advances in the diagnosis of acute leukemia. Mitelman F, Heim S. Quantitative acute leukemia cytogenetics. Gene, Chromosomes & Cancer. 1992;5:57-66. Schiffer CA, Lee EJ, Tomiyasu T, Wiernick PH, TestaJR. Prognostic impact of cytogenetic abnormalities in patientswith de novo acute nonlymphocytic leukemia. Blood.1989;73(1):263-70. Schumacher HR, Shirt MA, Kowal-Vern A, Dizikes D, Radvany RM, Le Beau MM. Acute leukemia and related entities: Impact of new technology. Arch Pathol Lab Med. 1991;115:331-7. Sullivan AK. Classification, pathogenesis, and etiology of neoplastic disease of the hemopoetic system. In: Kee GR, Bithell TC, Foerster J, editors. Wintrobe's clinical hematology. 9th edition. Philadelphia: Lea & Febiger. Van den Berghe H, Dal Cin P. Chromosomes and cancer. In: Peckham M, Pinedo H, Veronesi U, editors. Oxford textbook of oncology. Oxford-New York: Oxford University Press; 1995. p. 32.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
DASAR-DASAR TALASEMIA: SALAH SATU JENIS HEMOGLOBINOPATI Djumhana Atmakusuma, Iswari Setyaningsih
PENDAHULUAN Sebelum menata-laksana penderita thalassemia, terlebih dahulu pengetahuan dasar hemoglobinopati perlu difahami, dengan fokus thalassemia, mencakup pengertian, bentuk, epidemiologi, genotip, fenotip, patogenesis, dasar molekular, dan patofisiologi. Dengan memahami aspek dasar thalassemia, aspek klinis thalassemia dapat lebih dihayati, karena aspek genotip thalassemia memberikan gambaran klinis atau fenotip yang khusus dan beragam, terkadang berbeda, misalnya kelainan heterozigot ganda thalassemia PIHbE memberikan fenotip bervariasi, dari thalassemia mayor sampai dengan intermedia atau minor.
Pada embrio: - Hb Gower 1, terdiri atas rantai globin zeta dan epsilon ({,&,), - Hb Gower 2, terdiri atas rantai globin alfa dan epsilon (a,&,) - Hb Portland, terdiri atas rantai globin zeta dan gamma (I;,?,), sebelum minggu ke 8 intrauterin. - Semasa tahap fetus terdapat perubahan produksi rantai globin dari rantai zeta ({) ke rantai alfa (a) dan dari rantai epsilon (E) ke rantai gamma (y), diikuti dengan produksi rantai beta (P) dan rantai delta (6) saat kelahiran.
JENIS JENIS HEMOGLOBIN
PENGERTIAN HEMOGLOBINOPATI, HEMOGLOBlNOPATl STRUKTURAL DAN THALASSEMIA
Molekul hemoglobin terdiri atas dua pasang rantai globin identik yang berasal dari kromosom yang berbeda (terpisah?). Beberapa jenis hemoglobin yang dapat dijumpai, sebagai berikut: Pada orang dewasa: - HbA (96 %), terdiri atas 2 pasang rantai globin alfa dan beta (a,P,) - Hb A, (2,s %), terdiri atas 2 pasang rantai globin alfa dan delta (a26,) Pada fetus: - HbF (predominasi), terdiri atas 2 pasang rantai globin alfa dan gamma (a,y,) - Pada saat dilahirkan HbF terdiri atas rantai globin alfa dan Ggamma (aZGy,)dan alfa dan *gamma (a,?,), di mana kedua rantai globin gamma berbeda pada asam amino di posisi 136 yaitu glisin pada Gy dan alanin pada 9
Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan masuk ke dalam kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau dekat gen globin. Mutasi gen globin ini dapat menimbulkan dua perubahan rantai globin, yakni: (a) perubahan struktur rangkaian asam amino (amino acid sequence) rantai globin tertentu, disebut hemoglobinopati struktural, atau (b) perubahan kecepatan sintesis (rate of synthesis) atau kemampuan produksi rantai globin tertentu, disebut thalassemia. Hemoglobinopati yang ditemukan secara klinis, baik pada anak anak atau orang dewasa, disebabkan oleh mutasi gen globin a atau P. Sedangkan, mutasi berat gen globin I;, E ,dan y dapat menyebabkankematian pada awal gestasi.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
'
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Tabel 1 menunjukkan kelainan-kelainan yang termasuk ke dalam hemoglobinopati:
1. Hemoglobinopatistruktural a. Sindrom sel sickle: - HbS - Heterozigot ganda HbS dengan varian hemoglobin thalassemik: Hb SC, Hb SD, Hb S, Hb Sthalassemia-a, Hb S-thalassemia-P b. Hemoglobin dengan afinitas oksigen yang berubah: Contohnya, Hb Yakima c. Hemoglobin tidak stabil (unstable): Contohnya, Hb Koln 2. Thalassemia: a. Thalassemia-a b. Thalassemia-P c. Thalassemia-6P, thalassemia-y6P, dan thalassemiaaP d. Heterozigot ganda thalassemia-a atau -P dengan varian hemoglobin thalassemik: Contohnya, thalassemia P/HbE
3. Varian hemoglobin thalassemik: HbC, HbD-Punjab, HbE, Hb Constant Spring, Hb Lepore, dan lain lain. 4. Hemoglobin persisten herediter: HbF persisten , 5. Hemoglobinopatididapat (acquired): Contohnya, methemoalobin
HEMOGLOBINOPATISTRUKTURAL Pada hemoglobinopati struktural, salah satu asam amino yang lazim pada rantai globin digantikan oleh asam amino lainnya, sehingga menyebabkan produksi rantai globin tidak efektif yang mengakibatkan terjadinya anemia. Beberapa kelainan yang termasuk hemoglobinopati struktural adalah sindrom sickle cell, hemoglobin dengan afinitas oksigen yang berubah, dan hemoglobin tidak stabil. 1. Sindrom sickle cell a Hb S: Pada HbS asam amino valin pada posisi ke-6 gen globin beta digantikan oleh asam amino glutamat (Cd 6, GAGVal>GTGG1" atau p.VaMGlu), sehingga timbul anemia sel sickle. HbS banyak dijumpai di Amerika Serikat. b. Heterozigot ganda HbS dengan varian hemoglobin thalassemik: 1. Hb SC, dijumpai pada 3 % Afro-amerikan, merupakan kombinasi antara HbS dan HbC yang diwarisi dari orang tua yang masing-masing membawa salah satu Hb varian (misalnya ayah pembawa sifat HbS dan ibu pembawa sifat HbC; atau sebaliknya). 2. Hb SD: adalah kombinasi HbS dengan HbD 3. Hb SE: adalah kombinasi HbS dengan HbE. 4. Hb S-thalassemia-a: adalah kombinasi HbS dengan
thalassemia a 5. Hb S-thalassemia-P: adalah kombinasi HbS dengan thalassemia-P 2. Hemoglobin dengan afinitas oksigen yang berubah: Contohnya adalah Hb Yakima (P Cd 99 GATA">CATHi" atau p.Asp99His), ditemukan secara sporadik dengan klinis berupa polisitemia. 3. Hemoglobin tidak stabil (unstable): Contohnya Hb atau p.Val98Met). Terjadi Kbln (P Cd98 GTGVa'>ATGMe' akibat mutasi gen yang mengubah rangkaian asam amino pada daerah yang penting untuk solubilitas atau pengikatan heme. Hb varian ini dijurnpai secara sporadik.
Penurunan kecepatan sintesis atau kemampuan produksi satu atau lebih rantai globin a atau b, ataupun rantai globin lainnya, dapat menimbulkan defisiensi produksi sebagian (parsial) atau menyeluruh (komplit) rantai globin tersebut. Akibatnya, terjadi thalassemia yang jenisnya sesuai dengan rantai globin yang terganggu produksinya, seperti ditunjukkan di bawah ini. 1. Thalassemia-a, terjadi akibatberkurangnya (defisiensi parsial) (thalassemia-a') atau tidak diproduksi sama sekali (defisiensi total) (thalassemia-ao)produksi rantai globin-a 2. Thalassemia-P, terjadi akibat berkurangnya rantai globin-b (thalassemia- P+)atau tidak diproduksi sama sekali rantai globin-P (thalassemia- P ') 3. Thalassemia-GP terjadi akibat berkurangnya atau tidak diproduksinya kedua rantai-6 dan rantai-p. Hal yang sama terjadi pada thalassemia-y6P, dan thalassemia-
aP
4. Heterozigot ganda thalassemia a atau P dengan varian hemoglobin thalassemik: - Contohnya, thalassemia-PlHbE: diwarisi dari salah satu orang tua yang pembawa sifat thalassemia P, dan yang lainnya adalah pembawa sifat HbE.
BENTUK HEMOGLOBINOPATILAlNNYA Di samping hernoglobinopati struktural dan thalassemia, termasuk ke dalam kelompok kelainan hernoglobinopati adalah varian hemoglobin thalassemik, hemoglobin persisten herediter dan hemoglobinopati didapat.
1. Varian hemoglobin thalassemik : Hemoglobin yang abnormal secara struktur (hemoglobin struktural), dikaitkan dengan fenotip thalassemia. yang diwariskan bersama-sama (coinherited): a. Varian rantai globin P yang dikaitkan dengan fenotip thalassemia-p: - HbC, Asam amino glutamat digantikanoleh asam
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1381
DASAR-DASAR THALASSEMIA : SALAH SATU JENlS HEMOGLOBINOPATI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI amino lysin pada posisi 6 rantai globin P (Cd 6 GAGG1">AAGLY;atau p.Glu6Lys). Mutasi ini dijumpai di Afrika. - HbD-Punjab, Asam amino glutamat digantikan oleh asam amino glisin pada posisi 121 rantai atau globin P (Cd 121 GAAGiU>GGAG'", p.Glul2 1Gly). - HbE,Asam amino glutamat digantikan oleh asam amino lysin pada posisi 26 rantai globin P (Cd 26 GAGG1">AAGLY;atau p.Glu26Lys). Mutasi ini banyak dijumpai di Asia Tenggara - H b Lepore (FP)O, Varian hemoglobin yang diproduksi oleh gen fusi ah, akibat delesi bagian 3' gen 6 dan bagian 5' gen P. Gen fusi ini mengkode rantai h s i 6P varian yang jauh lebih sedikit diproduksi dibandingkan dengan rantai p normal. Dijumpai dengan frekuensi rendah pada populasi Italia, Yunani dan Afro-amerikan dan Afro-Inggris. b. Varian rantai globin a yang dikaitkan dengan fenotip thalassemia a+ - Hb Constant Spring. Disebabkan oleh mutasi pada codon stop gen a, yang selanjutnya menyebabkan penambahan 32 asam amino pada rantai a 2 (a2 Cd142; TAAS'0p>CAAG1n+30aa atau p.Xl42GlnextX33) Frekuensi di Thailand 1 - 8 %. 2. Hemoglobin persisten herediter (Hereditarypersistent of fetal hemoglobin = HPFH): kadar HbF tetap tinggi sampai dengan dewasa 3. Hemoglobinopati didapat (acquired): Methemoglobin akibat terpajan bahan toksik, sulfhemoglobin akibat terpajan bahan toksik, karboksihemoglobin, HbH pada eritroleukemia,HbF yang meningkat pada keadaan stress eritroid dan displasia sumsum tulang.
EPlDEMlOLOGl THALASSEMIA Sebaran thalassemia terentang lebar dari Eropa SelatanMediteranian, Timur Tengah, dan Afrika sampai dengan Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara. Tabel 2 menunjukkan sebaran populasi thalassemia di dunia.
GENOTIP DAN FENOTIP THALASSEMIA-p Lebih dari dua ratus bentuk mutasi gen dijumpai pada thalassemia-a, namun beratnya defek bervariasi. Individu normal memiliki dua ale1gen globin-P, sehingga genotip thalassemia-P dapat muncul dalam bentuk heterozigot atau homozigot. Kedua bentuk genotip ini dapat melahirkan berbagai bentuk fenotip thalassemia-P. Heterozigositas thalassemia-P disebut juga sebagai
Jenis thalassemia
Peta sebaran
Thalassemia-P
Populasi Mediteranian, Timur Tengah, India, Pakistan, Asia Tenggara, Rusia Selatan, Cina Jarang di: Afrika, kecuali Liberia, dan di beberapa bagian Afrika Utara Sporadik: pada semua ras
Thalassemia-a
Terentang dari Afrika ke Mediteranian, Timur Tengah, Asia Timur dan Tenggara Hb Bart's hydrops syndrome dan HbH disease sebagian besar terbatas di populasi Asia Tenggara dan Mediteranian
thalassemia-P trait. Sedangkan homozigositas atau heterozigositas ganda disebut juga sebagai thalassemiap mayor. Tabel 3 menunjukkan genotip dan fenotip
Bentuk thalassemia-8
Genotip
Fenotip
-
~halassemia-p" (p-zerothalassemia)
Thalassemia homozigot (popo)
Bervariasi (ringan sld berat)
~halassemia-p' (p-plusthalassemia)
Mutasi gen bervariasi heterozigot
Bervariasi (ringan sld berat)
~halassemia-po dan Thalassemia-p'
Heterozigot ganda: - 2 p0 berbeda atau 2 p' berbeda - atau podan B'
1. Thalassemia-Po, Thalassemia-p', Thalassemia homozigot dan heterozigot Thalassemia-Po (p-zerothalassemia) Terjadi karena gen normal tidak diekspresikan atau terjadi delesi gen (jarang).Pada thalassemia homozigot (POPo)rantai-p tidak diproduksi sama sekali dan hemoglobin A tidak dapat diproduksi. Pada thalassemia-F(P-plus-thalassemia) ekspresi gen p normal menurun, namun tidak menghilang sama sekali, sehingga hemoglobin A masih diproduksi. Hingga saat ini telah ditemukan banyak jenis mutasi thalassemia-P' dengan berat defek sintesis rantai-p yang bervariasi, dari yang ringan sampai yang berat. Genotip homozigot thalassemia-fJmenunjukkan fenotip yang juga bervariasi, dari yang ringan sampai yang sangat berat. Sementara itu, heterozigot ganda dapat memiliki dua gen thalassemia-Poyang berbeda, atau dua gen thalassemia-P' yang berbeda, atau kombinasi gen thalassemia Po dan p. 2. Thalassemia-p trait Thalassemia-P trait mempunyai genotip berupa heterozigot thalassemia-P, seringkali disebut juga
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI sebagai thalassemia-P minor. Fenotip kelainan ini secara klinis tidak memberikan gejala (asimtomatik). 3. Thalassemia-P mayor
Thalassemia-P mayor, dengan genotip homozigot atau heterozigot ganda thalassemia-P,menunjukkan fenotip klinis berupa kelainan yang berat karena penderita bergantung pada transfusi darah untuk memperpanjang usia. 4. Thalassemia-P intermedia
Thalassemia-(3intermedia menunjukkan fenotip klinis di antara thalassemia-P mayor dan thalassemia-P minor. Penderita thalassemia-P intermedia secara klinis dapat berupa asimtomatik, namun kadang kadang memerlukan transfusi darah yang umumnya tidak bertujuan untuk mempertahankan hidup. Thalassemia-Pintermedia merupakan kelompok kelainan yang heterogen dengan derajat beratnya kelainan bervariasi, mencakup: - homozigot dan heterozigot ganda thalassemia-e+ minor, atau heterozigot thalassemia-fiyang diperberat dengan faktor pemberat genetik berupa triplikasi alfa baik dalam bentuk heterozigot maupun homosigot. 5. Thalassemia-P dominan Mutasi thalassemia yang dikaitkan dengan fenotip kinis yang abnormal dari bentuk heterozigot disebut juga sebagai thalassemia-P dominan
-
GENOTlP DAN FENOTIP SINDROM THALASSEMIA-a
Thalassemia-a dikelompokkan ke dalam empat bentuk genotip klasik dengan fenotip yang berbeda, seperti tertera pada Tabel 4.
Penderita kelainan ini merupakan pembawa sifat yang fenotipnya tidak memberikan gejala dan tanda (an asymptomatic, silent carrier state). Kelainan ini ditemukan pada 15 - 20 % populasi keturunan Afrika.
2. Thalassemia-1-a trait (-a I-a atau aa I- -)
Pada penderita ditemukan delesi dua loki. Delesi ini dapat berbentuk thala~semia-2~-a homozigot (-a/-a) atau thalassemia-la-a heterozigot (aal- -). Fenotip thalassemia-I-a trait menyerupai fenotip thalassemia-a minor.
3. Hemoglobin H disease (- -1- a) Pada penderita ditemukan delesi tiga loki, berbentuk heterozigot ganda untuk thalassemia-2-a dan thalas. Pada fetus terjadi akumulasi semia-1-a (--/-a) beberapa rantai -P yang tidak ada pasangannya (unpaired pchains). Sedangkan pada orang dewasa akumulasi unpaired-P chains yang mudah larut ini membentuk tetramer P,, yang disebut HbH. HbH membentuk sejumlah kecil inklusi di dalam eritroblast, tetapi tidak berpresipitasi dalam eritrosit yang beredar. Delesi tiga loki ini memberikan fenotip yang lebih berat. Bentuk kelainan ini disebut HbH disease. Fenotip HbH disease berupa thalassemia intermedia, ditandai dengan anemia hemolitik sedang-berat, namun dengan inefektivitas eritropoiesis yang lebih ringan.
4. Hydrops fetalis dengan Hb Bart's (- - 1- - ) Pada fetus ditemukan delesi 4 loki. Pada keadaan embrional ini sama sekali tidak diproduksi rantai globin a. Akibatnya, produksi rantai globin-8 berlebihan dan membentuk tetramer globin-8, yang disebut Hb Barts (84).8,ini memiliki afinitas oksigen yang sangat tinggi. Akibatnya, oksigen tidak ada yang mencapai jaringan fetus, sehingga terjadi asfiksia jaringan, edema (hydrops fetalis), gaga1 jantung kongestif, dan meninggaldalam uterus. Gambar 1 di bawah ini menunjukkan jenis jenis thalassemia-a didasarkan atas lesi genetik.
Bentuk thalassemia-a
Genotip
Thalassemia-2-a trait Thalassemia-I-a trait: Thala~semia-2~-a homozigot Thalassemia-la-a heterozigot Hemoglobin H disease
(-a Iaa)
asimtomatik
-
(- a I- a)
-
(aa I--)
menyerupai thalassemia-f3 minor
Hydrops fetalis dengan Hb Barts
( 4- a) (- - I - - )
Fenotip
PATOGENESISTHALASSEMIA
thalassemia intermedia hydrops fetalis meninggal in utero
+
1. Thalassemia-2-a trait (-a 1aa):
Pada penderita hanya dijumpai delesi satu rantai a (-a), yang diwarisi dari salah satu orang tuanya. Sedangkan rantai-a lainnya yang lengkap (aa), diwarisi dari pasangan orang tuanya dengan rantai-a normal.
Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau dekat gen globin. Pada thalassemia mutasi gen globin ini dapat menimbulkan perubahan rantai globin a atau P, berupa perubahan kecepatan sintesis (rate of synthesis) atau kemampuan produksi rantai globin tertentu, dengan akibat menurunnya atau tidak diproduksinya rantai globin tersebut. Perubahan ini diakibatkan oleh adanya mutasi gen globin pada clusters gen a atau p berupa bentuk delesi atau non delesi. Walaupun telah lebih dari dua ratus mutasi gen thalassemia yang telah diidentifikasi, tidak jarang pada analisis
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1383
DASAR-DASAR THALASSEMIA :SALAH SATU JENIS HEMOCLOBINOPATI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gambar 1. Jenis jenis thalassemia-a yang berbeda. Kotak hitarn rnenunjukkan gen normal, sedangkan kotak putih menggambarkan delesi gen atau gen yang tidak aktif sebagian (parsial) atau seluruhnya (kornplit)
DNA thalassemia belum dapat ditentukan jenis mutasi gennya. Hal inilah yang merupakan kendala terapi gen pada thalassemia. Clusters Gen Globin 1. Cluster gen-a terletak pada kromosom 16: - terdiri atas satu gen-c fungsional dan dua gen-a (a, dan a , ) - exon kedua gen globin-a memiliki sekuens yang identikal - produksi mRNA a, melebihi produksi mRNA a , , oleh faktor 1,5 ke 3
2. Cluster gen P terletak pada kromosom 11: - terdiri atas satu gen E fungsional, gen G%, gen *%, gen 6, dan gen p - flanking regions mengandung conserved sequences, penting untuk ekspresi gen 3. Pengaturan cluster gen globin - Transkrip primer adalah prekursor mRNA yang besar, dengan kedua sekuens intron dan exon, yang secara ekstensif diproses di dalam nukleus untuk menghasilkan mRNA akhir. - Ekspresi gen globin diatur oleh mekanisme kontrol yang kompleks. 4. Perubahan dan perkembangan ekspresi gen globin - Globin-P yang diproduksi dalam konsentrasi rendah mulai minggu ke 8 sampai ke 10 masa fetus.dan sangat meningkat pada gestasi 36 minggu. - Globin-%yang diproduksi dalam konsentrasi pada awalnya, mulai menurun pada gestasi 36 minggu - Pada saat kelahiran globin-P dan globin-2 diproduksi secara seimbang - Pada usia 1 tahun, produksi globin-%kurang dari 1 persen dari produski globin non-a total - Mekanisme perubahan tidak jelas, mungkin
-
melibatkan "a time clock" dalam sel asal (stem cells) hemopoiesis Sintesis hemoglobin fetal dapat direaktivasi pada orang deasa bila terjadi stress hemopoiesis
DASAR MOLUKELAR THALASSEMIA-P Thalassemia-P merupakan kelainan hemoglobin yang memiliki banyak bentuk mutasi gen. Hampir dari dua ratus bentuk mutasi gen yang terjadi pada thalassemia P. Setiap kelompok populasi memiliki satu set mutasi thalasemia P yang berbeda, umumnya terdiri atas dua atau tiga jenis mutasi yang membentuk bulk, dikombinasikan dengan sejumlah besar bentuk mutasi yang jarang. Begitu luas pola distribusi, hanya 20 allel yang dicakup untuk sebagian besar determinan thalassemia-P. Secara garis besar mutasi gen pada thalasssemia -P dibagi menjadi dua kelompok bentuk mutasi gen, yakni bentuk delesi dan non delesi. 1. Delesi gen g1obin-P: Paling sedikit 17 delesi yang berbeda yang hanya dijumpai pada thalassemia-P, namun jarang dan tampaknya terisolasi, berupa kejadian tunggal (single event), kecuali delesi 619-bp pada ujung akhir 3' gen -P lebih sering ditemukan, walaupun terbatas pada populasi Sind dan Gujarat di Pakistan dan India. Delesi ini mencakup lebih kurang 50 % allel thalassemia-P. Bentuk homozigot delesi ini menghasilkan thalassemia-Po. Heterozigot delesi ini menghasilkan peningkatan HbA, dan HbF, sama yang dijumpai pada bentuk mutasi lainnya thalassemia-P
2. Mutasi non delesi globin-P: Mutasi non delelesi globinp mencakup proses transkripsi, prosesing dan translasi, berupa mutasi titik (point mutations): - region promotor (promotor regions),
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
mutasi transkripsional pada lokasi CAP (CAPsites, 5'-untranslated region) mutasi prosesing RNA: intron-exon boundaries, polyadenilation signal (Poly A signal), splice site consensus sequences, cryptic sites in exons, cyptic sites in introns. mutasi yang menyebabkan translasi abnormal RNA messenger: inisiasi (initiation), nonsense, dan mutasifiameshift. 3. Bentuk mutasi lainnya: Di samping kedua bentuk mutasi di atas dapat dijumpaijuga bentuk bentuk mutasi lainnya yang khas pada thalassemia P diwariskan secara dominan (dominantly inherited P thalassemias), varian globin P tidak stabil (unstable P-globin variants), thalassemia P tersembunyi (silent P-thalassemia), mutasi thalassemia P yang tidak terkait kluster gen globin P (Pthalassemia mutations unlinked to the Pglobin gene cluster), dan bentuk bentuk bervariasi thalassemia P (variantforms of @thalassemia) .
DASAR MOLEKULAR THALASSEMIA-a Haplotip gen globin-a dapat ditulis sebagai a a , yang menunjukkan gen-a, dan gen-a,. Individu normal memiliki genotip a a l a a . Pada thalassemia-a dapat terjadi mutasi gen yang berbentuk delesi dan non-delesi gen-a. Delesi Gen-a Delesi pada thalassemia-a yang mencakup satu (-a) atau kedua (- -) gen -a dapat diklasifikasikan berdasarkan ukurannya, ditulis di atas (superscript). Contohnya (-a3') menunjukkan delesi 3,7 kb pada satu gen-a. Bila ukuran delesi belurn dapat ditentukan, maka ditulis sebagai (- - MED) yang artinya delesi kedua gen-a yang pertama kali diidentifikasipada individu yang berasal dari Mediteranian. Pada thalassemia-aO,terdapat 14 delesi yang mengenai kedua gen-a, sehingga produksi rantai-a hilang sama sekali dari kormosom yang abnormal. Bentuk thalassemia-a+ yang paling umum (dana4,2)mencakup delesi satu atau duplikasi lainnya gen globin-a
Kelas Mutasi Gen pada Thalassemia-a Tabel 5 di bawah menunjukkan jenis jenis mutasi gen-a yang menyebabkan thalassemia-a.
Jenis thalasserniaa
Bentuk rnutasi gen
~halassemia-a'
Delesi mencakup cluster gen globinTruncations of telomeric region of 16p Delesi HS40 region
Thalassemia-a'
Delesi mencakup gen-anatau -a, Point mutations mencakup gen-a2 atau -al: - prosesing mRNA: IVS 1 donor * IVS 1 acceptor * Poly (A) signal - translation mRNA: * initiation codon * Exon 1 atau l * Termination codon - post translation codon:* unstable a-globin
Thalassemia-a retardasi mental
ATR-16: - delesi atau telomeric truncations of 16p translokasi ATR-X: Mutasi KH2: * delesi * missense ' nonsense ' splice site
-
PATOFlSlOLOGl THALASSEMIA Pada thalassemia terjadi pengurangan atau tidak ada sama sekali produksi rantai globin satu atau lebih rantai globin. Penurunan secara bermakna kecepatan sintesis salah satu jenis rantai globin (rantai-a atau rantai-p) menyebabkan sinstesis rantai globin yang tidak seimbang. Bila pada keadaan normal rantai globin yang disintesis seimbang antara rantai a dan rantai p, yakni berupa a#,, maka pada thalassemia-Po,di mana tidak disintesis sama sekali rantai p, maka rantai globin yang diproduksi berupa rantai a yang berlebihan (a,). Sedangkan pada thalassemia-aO,di mana tidak disintesis sama sekali rantai a , maka rantai globin yang diproduksi berupa rantai P yang berlebihan (P,).
a 3 3 '
Non-delesi Gen- a Pada lesi non-delesi kedua haplotip gen-a utuh (aa), sehingga diberikannomenklatur (aTa),di mana superscript T menunjukkan bahwa gen tersebut thalassemik. Narnun bila defek molekular diketahui, seperti pada hemoglobin Constant Spring, nomenklatur (aTa)dapat diubah menjadi (acsa). Ekspresi gen-a, lebih kuat dua sampai tiga kali dari ekspresi gen- a , , sehingga sebagian besar mutasi nondelesi ditemukan predominasi pada ekspresi gen-a,
Patofisiologi thalassemia-P Pada thalassemia-a, di mana terdapat penurunan produksi rantai p, terjadi produksi berlebihan rantai a . Produksi rantai globin 3, di mana pasca kelahiran masih tetap diproduksirantai globin a,%(HbF), tidak mencukupi untuk mengkompensasi defisiensi a,P, (HbA). Hal ini menunjukkan behwwa produksi rantai globin P dan rantai globin % tidak pernah dapat mencukupi untuk mengikat rantai a yang berlebihan. Rantai a yang berlebihan ini merupakan ciri khas pada patogenesisi thalassemia-P. Rantai a yang belebihan, yang tidak dapat berikatan dengan rantai gobin lainnya, akan berpresipitasi pada prekursor sel darah merah dalam sumsum tulang dan dalam
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1385
DASAR-DASARTHALASSEMIA : SALAH SATU JENIS HEMOGLOBINOPATI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI sel progenitor dalam darah tepi. Presipitasi ini akan menimbulkan gangguan pematangan prekursor eritroid dan eritropoiesis yang tidak efektif (inefektif), sehingga umur eritrosit menjadi pendek. Akibatnya, timbul anemia. Anemia ini lebih lanjut lagi akan menjadi pendorong (drive) profiferasi eritroid yang terus menerus (intens) dalam sumsum tulang yang inefektif, sehingga terjadi ekspansi sumsum tulang. Hal ini kemudian akan menyebabkan deformitas skeletal dan berbagai gangguan pertumbuhan dan metabolisme. Anemia kemudian akan ditimbulkan lagi (exacerbated) dengan adanya hemodilusi akibat adanya hubungan langsung (shunting) darah akibat sumsum tulang yang berekspansi dan juga oleh adanya splenomegali. Pada lirnpa yang membesar makin banyak sel darah merah abnormal yang terjebak, untuk kemudian akan dihancurkan oleh sistem fagosit. Hiperplasia sumsum tulang kemudian akan meningkatkan absorpsi dan muatan besi. Transfusi yang diberikan secara teratur juga menambah muatan besi. Hal ini akan menyebabkan penimbunan besi yang progresif di jaringan berbagai organ, yang akan diikuti kerusakan organ dan diakhiri dengan kematian. bila besi ini tidak segera dikeluarkan. Tabel 6 memperlihatkan patofisiologi thalassemia-P. Patofisiologi thalassemia-a Patofisiologi thalassemia-a umumnya sama dengan yang dijumpai pada thalassemia-P kecuali beberapa perbedaan utama akibat delesi (-) atau mutasi (T) rantai globin-a. Hilangnya gen gl0bin-a tunggal (-ataa atau aTa/aa) berdampak pads fenotip. Sedangkan thalassemia-2a-a homozigot (-a/-a) atau thalassemia- la-a heterozigot ( a a
I- -) memberi fenotip seperti thalassemia-P carrier. Kehilangan 3 dari 4 gen globin-a memberikan fenotip tingkat penyakit berat menengah (moderat), yang dikatakan sebagai HbH disease. Sedangkan thalassemiaa0homozigot (-I-) tidak dapat bertahan hidup, disebut sebagai Hb-Bart's hydrops syndrome. Kelainan dasar thalssemia-a sama dengan thalassemiap, yakni ketidak seimbangan sintesis rantai globin. Namun ada perbedaan besar dalam ha1 patofisiologi kedua jenis thalassemia ini. Pertama, karena rantai-a dimiliki bersama oleh hemoglobin fetus ataupun dewasa (tidak seperti pada thalassemia-p), maka thalassemia-a bermanifestasi pada masa fetus. Kedua, sifat-sifat yang ditimbulkan akibat produksi secara berlebihan rantai globin- dan -P yang disebabkan oleh defek produksi rantai globin-a sangat berbeda dibandingkan dengan akibat produksi berlebihan rantai-a pada thalassemia-P. Bila kelebihan rantai-a tersebut menyebabkan presipitasi pada prekursel eritrosit, maka thalassemia-a menimbulkan tetramer yang larut (soluble), yakni $, Hb Bart's dan p,, seperti diperlihatkan pada Gambar 2 dan Tabel 7.
BEBERAPA PERBEDAAN PENTING ANTARA TH ALASSEMIA-a DAN THALASEMIA-P
Tabel 7 di bawah ini memperlihatkan beberapa perbedaan penting antara thalassemia-a dan thalassemia-P, mencakup kelainan gen sampai dengan manifestasi klinik.
Hal yang Terjadi
AkibatnyalManifestasinya
Mutasi primer terhadap produksi globin:
Sintesis globin yang tidak seimbang
Rantai globin yang berlebihan terhadap metabolisme dan ketahanan hidup (survival) eritrosit
Anemia
Eritrosit abnormal terhadap fungsi organ
Anemia, splenomegali, hepatomegali, dan kondisi hiperkoagulabilitas
Anemia terhadap fungsi organ
Produksi eritropoietin dan ekspansi sumsum tulang, deformitas skeletal, gangguan metabolisme, dan perubahan adaptif fungsi kardiovaskular
Metabolisme besi yang abnormal
Muatan besi berlebih miokardium, kulit
+ kerusakan jaringan hati, endokrin,
Rentan terhadap infeksi spesifik Peningkatan kadar HbF; Heterogenitas populasi sel darah merah
Sel seleksi Modifiers genetik sekunder
Variasi fenotip: khususnya melalui respons HbF Variasi metabolisme bilirubin, besi, dan tulang
Pengobatan
Muatan besi berlebih, kelainan tulang, infeksi yang ditularkan lewat darah, toksisitas obat
Riwayat evolusioner
Variasi dari latar belakang genetik: respon terhadap infeksi
Faktor ekologi dan etnologi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dewasa
Fetus
Berlebihan
Berlebihan P4
Yd
Hb Bart's
HbH Afinitas oksigen t~nggiI HlPOKSlA lnstab~litashomotetramer Inclus~onbodies. Kerusakan membran. Umur eritros~tpendek I HEMOLlSlS Splenomegal~I HIPERSPLENISME
1
Gambar 2. Garis besar patofisiologi talasemia-a
Thalassemia-a Mutasi Sifat-sifat globin yang berlebihan
Sel darah merah
Anemia Perubahan tulang Besi berlebih
Delesi gen umum terjadi Tetramer y4atau P4yanglarut Pembentukan hemikrom lambat Band 4.l.tidak teroksidasi Terikat kepada band 3 Hidrasi berlebihan (overhydrated) Kaku (rigid) Membra hiperstabil p50 menurun Terutama hemolitik Jarang
Delesi gen umum jarang terjadi Agregat rantai-u yang tidak larut Pembentukan hemikrom cepat Band 4.1 teroksidasi lnteraksi kurang dengan band 3
Jarang
Umum
REFERENSI Higgs DR, Thein SL, Wood WG. The biology o f the thalassemia. In: Weatherall DJ, Clegg IIB, editors. The Thalassemia Syndromes. 4th ed, New York: Blackwell Science: 2001,p. 65284. 2. Bain BJ. Hemoglobinopathy Diagnosis. 1st ed. Mald6en,MA: Blackwell Science: 2001, 1 186. 3. McGhee DB Structural Defects in Hemoglobin (Hemoglobinopathies). In: Hematology Clinical Principles and Applications. 2nd ed, Philadelphia, PA: Saundcrs: 2002, p 319 - 358. 1.
-
Thalassemia-P
Dehidrasi Kaku Membran tidak stabil p50 menurun Terutama diseritropoietik Umum
4. Lukens JN. Abnormal Hemoglobins: Hereditary Disorders of Hemoglobin Structure and Synthesis. Abnormal Hemoglobins: General Principles. In: Greer JP, Foerster J, Lukens JN, et all, editors. Wintrobe's Clinical Hematology, 7th ed, Philadelphia,PA: Lippincott Williams & Wilkins: 2004, p 1247 - 1262. 5. Benz EJ. Hemoglobinopathies. In: Harrison's Principles o f Internal Medicine. 16th ed, New York: McGraw-Hill: 2005, p 593 - 601. 6. Weatherall DJ, Clegg JB. The Ihalassemia Syndromes. 4th ed. Malden, MA: Blackwell Science: 2001, p 3 - 82 7. Konsensu? Naasional Penatalaksanaan Thalassemia
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
THALASSEMIA: MANIFESTASI KLINIS, PENDEKATAN DIAGNOSIS, DAN THALASSEMIA INTERMEDIA Djumhana Atmakusuma
MANlFESTASl KLlNlS THALASSEMIA Kelainan genotip thalassemia memberikan fenotip yang khusus, bemariasi, dan tidak jarang tidak sesuai dengan yang diperkirakan.
MANlFESTASl KLlNlS THALASSEMIA-/3 Thalassemia-P dibagi 3 (tiga) sindrom klinik ditambah satu sindrom yang baru ditentukan, yakni: Thalassemia-P minor (trait) l beterozigot: anemia hemolitik mikrositik hipokrom Thalassemia-P mayor 1 homozigot: Anemia berat yang bergantung pada transfusi darah Thalasssemia-P intermedia: Gejala di antara thalssemiap mayor dan minor Pembawa sifat tersembunyi thalassemia-P (silent carrier)
PEMBAWA SlFAT TERSEMBUNYITHALASSEMIAp (SILENT CARRIER) a. Kelainan Genotip Pembawa sifat tersembunyi adalah penderita thalassemia dengan variasi mutasi P yang heterogen, di mana hanya sedikit terjadi gangguan produksi rantai-p, sehingga dihasilkan rasio yang hampir normal antara rantai globin P dan a, tanpa menyebabkan kelainan hematologis
b. Gambaran Fenotip Tampilan klinis normal dengan kadar hemoglobin normal, kadar HbA2 normal dan kemungkinan adanya mikrositosis yang sangat ringan. Adanya pembawa sifat tersembunyi diketahui saat dilakukan studi keluarga (saudara kandung dan keluarga dekat) pada anak dengan sindroma thalassemia-P yang lebih berat daripada kedua orangtuanya yang menunjukkan thalassemia-P trait.
THALASSEMIA-P MINOR (TRAIT) a. Gambaran Klinis Tampilan klinis normal. Hepatomegali dan splenomegali ditemukan pada sedikit penderita. b. Gambaran Laboratoris Pada penderita thalassemia-P minor biasanya ditemukan anemia hemolitik ringan yang tidak bergejala (asimtomatik). Kadar hemboglobin terentang antara 10 - 13 g% dengan jumlah eritrosit normal atau sedikit tinggi. Darah tepi menunjukkan gambaran mikrositik hipokrom, poikilositosis, sel target dan eliptosit, termasuk kemungkinan ditemukannya peningkatan eritrosit stippled. Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia eritroid ringan sampai sedang dengan eritropoiesis yang sedikit tidak efektif. Umumnya kadar HbA2 tinggi (antara 3,5 - 8 %). Kadar HbF biasanya terentang antara 1 - 5 %. Pada bentuk varian lainnya yang jarang, ditemukan HbF berkisar antara 5-20%.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
THALASSEMIA-P MAYOR
yang sangat bergantung transfusi darah dan thalassemia trait yang asimtomatik
a. Gambaran Klinis Thalassemia-P mayor.biasanya ditemukan pada anak berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun dengan klinis anemia berat, Bila anak tersebut tidak diobati dengan hipertransfusi (transfusi darah yang bertujuan mencapai kadar Hb tinggi) akan terjadi peningkatan hepatosplenomegali, ikterus, perubahan tulang yang nyata karena rongga sumsum tulang mengalami ekspansi akibat hiperplasia eritroid yang ekstrim. b. Gambaran Radiologis Radiologi menunjukkan gambaran khas "hair on end". Tulang panjang menjadi tipis akibat ekspansi sumsum tulang yang dapat berakibat fraktur patologis. Wajah menjadi khas, berupa menonjolnya dahi, tulang pipi dan dagu atas. Pertumbuhan fisik dan perkembangannya terhambat. c. Gambaran Laboratoris Kadar Hb rendah mencapai 3 atau 4 g%. Eritrosit hipokrom, sangat poikilositosis, termasuk sel target, sel teardrop, dan eliptosit. Fragmen eritrosit dan mikrosferosit terjadi akibat ketidak-seimbangan sintesis rantai globin. Pada darah tepi ditemukan eritrosit stippled dan banyak sel eritrosit bernukleus. MCV terentang antara 50 - 60 fL. Sel darah merah khas berukuran besar dan sangat tipis, biasanya wrinkled dan folded dan mengandung hemoglobin clump. Hitung retikulosit berkisar antara 1 % - 8 %, di mana nilai ini kurang berkaitan dengan hiperplasia eritroid dan hemolisis yang terjadi. Rantai globin-a yang berlebihan dan merusak membran sel merupakan penyebab kematian prekursor sel darah merah intramedula, sehingga menimbulkan eritopoiesis inefektif. Elektroforesis Hb menunjukkan terutama HbF, dengan sedikit peningkatan HbA,. HbA dapat tidak ada sama sekali atau menurun. sumsum tulang menunjukkan hiperplasia eritroid dengan rasio eritroid dan mieloid kurang lebih 20:l. Besi serum sangat meningkat, tetapi total iron binding capacity (TIBC) normal atau sedikit meningkat. Saturasi transfenin 80 % atau lebih. Fenitin serum biasanya meningkat.
a. Pengertian Tentang Thalassemia Intermedia Thalassemia-P intermedia adalah penderita thalassemia yang dapat mempertahankan hemoglobin minimum k 7 g% atau lebih tinggi tanpa mendapat transfusi. Ketidak seimbangan sintesis ranta-a dan -P berada di antara thalasemia trait dan mayor, sehingga fenotip klinik menyerupai gambaran di antara fenotip thalassemia mayor
b. Kelainan Genotip Penderita thalassemia-P intermedia dapat menunjukkan kelainan kelainan genotip yang berbentuk: homozigot untuk mutasi yang menyebabkan penurunan ringan ekspresi globin-P heterozigot ganda untuk untuk mutasi ringan atau mutasi yang menyebabkan pengurangan yang lebih nyata ekspresi globin-P pewarisan bersama (co-inheritance) dengan thalassemia-a, yang menyebabkan bentuk homozigot mutasi thalassemia-P yang lebih berat, namun dapat tetap berbentuk thalassemia yang tidak bergantung pada transfusi, karena rasio antara rantai-alrantai-p lebih seimbang. peningkatan kapasitas untuk memproduksi rantai globin-%dari mekanisme non-delesi ke bentuk delesi dengan hasil meningkatnya produksi HbF bentuk bentuk mutasi gen lainnya, seperti delesi thalassemia-6P,bentuk homozigot untuk bentuk mutasi tersebut, atau bentuk heterozigot ganda antara thalassemia-6P dan mutasi thalassemia-P pewarisan bersama antara thalassemia lokus-a triple ( a a a ) dan thalassemia-P heterozigot.
c. Gambaran Laboratoris Morfologi eritrositpada thalassemia intermediamenyerupai thalassemia mayor. Elektroforesis Hb dapat menunjukkan HbF 2 - 100 % ,HbA2 sampai dengan 7 %, dan HbA 0 - 80 %, bergantung pada fenotip penderita. HbF didistrubusikan secara heterogen dalarn peredaran darah. d. Gambaran Ktinis Gambaran klinik bervariasi dari bentuk ringan, walaupun dengan anemia sedang, sampai dengan anemia berat yang tidak dapat mentoleransi aktivitas berat dm fi.akturpatologik. Muatan besi berlebih dijumpai , walaupun tidak mendapat transfusi darah. Eritropoiesis nyata meningkat, namun tidak efektif, sehingga menyebabkan peningkatan turnover besi dalam plasma, kemudian merangsang penyerapan besi via saluran cerna. Komplikasijantung dan endokrin muncul 10 - 20 tahun kemudian pada penderita thalassemia intermedia yang tidak mendapat transhsi darah.
THALASSEMIA-BIHEMOGLOBIN-E Kelainan Genotip dan Gambaran Fenotip Thalassemia-PMemoglobin-E(HbE) umumnya dijumpai di Asia Tenggara, di mana prevalensi kedua mutasi genetik ini cukup tinggi. Karena HbE kurang diproduksi, sama
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
THALASSEMIA: MANlFESTASl KLINIS, PENDEKATAN DIAGNOSIS, DAN THALASSEMIA INTERMEDIA
1389
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI halnya dengan pada thalassemia-P, maka bila kedua mutasi gen ini diwariskan bersama, terjadi defisiensi yang nyata produksi rantai g1obin-P. Gambaran klinik bervariasi di antara thalassemia intermedia sampai dengan thalassemia yang bergantung transf~isidarah dan tidak dapat dibedakan dengan thalassemia-P homozigot.
SINDROM KLlNlS THALASSEMIA-a Empat sindrom klinik thalassemia-a terjadi pada thalassemia-a, bergantung pada nomor gen dan pasangan cis atau trans dan jumlah rantai-a yang diproduksi. Ke empat sindrom tersebut adalah pembawa sifat tersembunyi thalassemia-a (silent carrier), thalassemia-a trait (thalassemia-a minor), HbH diseases dan thalassemia-a homozigot (l~yu'r-ops.fetulis)
7 - 10 g% dan retikulosit antara 5 - 10 %. Limpa biasanya membesar. Sumsuin tulang menunjukkan hiperplasia eritroid. Retardasi mental yang terakait dengan thalassemia-a dapat terjadi bila lokus atau loki dekat cluster gen-a pada kromosom 16, bermutasi atau ko-delesi dengan cluster gen-a. Krisis hemolitik terjadi bila penderita mengalami infeksi, hamil atau terpapar dengan obat-obat oksidatif. Krisis hemolitik dapat menjadi penyebab terdeteksinya kelainan ini, karena penderita HhH disease ini biasanya menunjukkan gambaran klinik normal. Eritrosit menunjukkan mikrositik hipokromik dengan poikilositosis yang nyata, termasuk sel target dan gambaran beraneka-ragam. HbH mudah teroksidasi dan in vivo secara perlahan berubah ke bentuk Heinz-lika bodies dari hemoglobin yang terdenaturasi. Incltlsion bodies mengubah bentuk dan sifat viskoelastik eritrosit, menyebabkan umur eritrosit menurun. Splenektomi sering memberikan perbaikan.
PEMBAWASIFAT TERSEMBUNYI THALASSEMlAa HYDROPS FETALIS Kelainan Genotip, Gambaran Fenotip dan Laboratorium Delesi satu gen globin-a menyisakan tiga gen globin-a fungsional ( - a l a a a ) , menyebabkan sindrom silent carrier. Rasio rantai globin-a/-P hampir normal. Gambaran klinis normal. Tidak ditemukan kelainan hematologis. Saat dilahirkan, Hb Bart's ($) dalam rentangan 1-2 %. Tidak ada cara yang pasti untuk mendiagnosis silent carrier dengan kriteria hematologis. Bila diperlukan, dapat dilakukan studi gen.
THALASSEMIA-a TRAIT (MINOR) Kelainan Genotip, Gambaran Fenotip dan Laboratorium Thalassemia-a trait dapat berupa bentuk homozigot-a+ ( - a / - a ) atau heterozigot-a0 (- -1aa). Sindrom ini lnenunjukkan tampilan klinis normal, anemia ringan dengan peningkatan eritrosit yang mikrositik hipokrom. Pada saat dilahirkan, Hb Bart's dalaln rentangan 2 - 10 %. Biasanya pada penderita dewasa tidak ditemukan HbH (P,).
HBH DISEASE Kelainan Genotip, Gambaran Fenotip dan Laboratorium HbHdisease biasanya disebabkan oleh hanya adanya satu gen yang memproduksi rantai globin-a (- -1- a )atau dapat juga disebabkan oleh kombinasi andengan Hb Constant Spring (- -1 aCS a). Penderita mengalami anemia hemolitik kronik ringan sampai dengan sedang, dengan kadar Hb terentang antara
K e l a i n a n Genotip, Gambaran Fenotip, Laboratorium dan Tindak Lanjut Thalassemia-a homozigot (- -1- -) tidak dapat bertahan hidup karena sintesis rantai globin-a tidak terjadi. Bayi lahir dengan hydrops fetalis, yakni edema disebabkan penumpukan cairan serosa dalam jaringan fetus akibat anemia berat. Hemoglobin didominasi oleh Hb Bart's (a,), bersama dengan Hb Portland 5-20 %, dan sedikit HbH. Hb Bart's mempunyai afinitas oksigen yang tinggi, sehingga tidak dapat membawa oksigen ke jaringan . Fetus dapat bertahan hidup karena adanya Hb Portland, tetapi Hb jenis ini tidak dapat mendukung tahap berikutnya pertumbuhan fetus, dan akhirnya fetus meninggal karena anoksia. Bayi dilahirkan prematur, dapat lahir hidup lalu meninggal beberapa saat kemudian. Fetus menunjukkan anemia, edema, asites, hepatosplenomegali berat dan kardiomegali. Pada saat lahir bayi ~nenurijukkananemia mikrositik hipokrom. Rongga sumsum tulang melebar dengan hiperplasia eritroid yang nyata. Hal ini menunjukkan eritropoiesis ekstramedular. Kehamilan dengan I~ydropsfetalis berbahaya bagi si ibu, kal-eila dapat menyebabkan toksemia dan perdarahan berat pasca partus. Adanya hydrop.5 fetalis ini dapat diketahui pada pertengahan umur kehamilan dengan ultrasonografi. Terminasi awal dapat menghindarkan kejadian berbahaya ini pada si ibu.
PENDEKATANDIAGNOSIS THALASSEMIA Untuk menegakkan diagnosis thalassemia diperlukan langkah langkah sebagai berikut, seperti yang digambarkan pada algoritma di bawah ini:
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Riwayat penyakit (Ras, riwayat keluarga, usia awal penyakit, pertumbuhan)
1
Pemeriksaan fisik (Pucat, ikterus, splenomegali, deformitas skeletal, pigmentasi)
1 Laboratorium darah dan sediaan apus (Hemoglobin, MCV, MCH, retikulosit, jumlah eritrosit, gambaran darah tepiltermasuk badan inklusi dalam eritrosit darah tepi atau sumsum tulang, dan presipitasi HbH
1
Elektrofosresis hemoglobin (Adanya Hb abnormal, termasuk analisis pada pH 6-7 untuk HbH dan H Barts)
1 Penentuan HbA2 dan HbF (Untuk memastikan thalassemia-P)
P
Distribusi HbF intraselular
Sintesis rantai globin Analisis struktural Hb varian (misal:Hb Lepore)
Gambar 1. Algoritma pendekatan diagnosis thalassemia
Riwayat penderita dan keluarga sangat penting dalam mendiagnosis thalassemia, karena pada populasi dengan ras dan etnik tertentu terdapat frekuensi yang tinggi jenis gen abnormal thalassemia yang spesifik. Pemeriksaan fisik mengarahkan ke diagnosis thalassemia, bila dijumpai gejala dan tanda pucat yang menunjukkan anemia, ikterus yang menunjukkan hemolitik, splenomegali yang menunjukkan adanya penumpukan ( p o o l i n g ) sel abnormal, dan deformitas skeletal, terutama pada thalassemia-P, yang menunjukkan ekpansi rongga sumsum tulang, pada thalassemia mayor.. Penderita sindrom talassemia urnumnya menunjukkan anemia mikrositik hipokrom. Kadar hemoglobin dan hematokrit menurun, tetapi hitung jenis eritrosit biasanya secara disproporsi relatif tinggi terhadap derajat anemia, yang menyebabkan MCV yang sangat rendah. MCHC biasanya sedikit menurun. Pada thalassemia mayor yang tidak diobati, relative distribution width (RDW) meningkat karena anisosotosis yang nyata. Namun, pada thalassemia minor RDW biasanya normal; ha1 ini membedakannya dengan anemia defisiensi besi. Pada pewarnaan Wright eritorsit khas mikrositik dan hipokrom, kecuali pada fenotip pembawa sifat tersembunyi. Pada thalassemia-P heterozigot dan HbH disease, eritrosit
mikrositik dengan poikilositosis ringan sampai dengan menengah. Pada thalassemia-aO heterozigot terdapat mikrositik dan hipokrom ringan, tetapi kurang poikilositosis. Pada thalassemia-P homzigot dan heterozigot berganda, dapat ditemukan poikilosotpsis yang ekstrim, termasuk sel target dan eliptosit, dan juga polikromasia, basophillic stippling, dan nRBCs. Hitung retikulosit meningkat, menunjukkan sumsum tulang merespon proses hemolitik. Pada HbH Disease, hitung reikulosit dapat mencapai 10%. Pada thalassemia-P homozigot hitung retikulosit kurang lebih 5%; ha1 ini secara tidak proporsional relatif rendah terhadap derajat anemia. Penyebabnya paling munglcin akibat eritropoiesis inefektif. Sumsum tulang penderita thalassemia-P yang tidak diobati menunjukkan hiperselularitas yang nyata dengan hiperplasia eritroid yang ekstrim. Hemopoiesis ekstramedula terlihat menonjol. Namun HbH disease kurang menunjukkan hiperplasia eritroid. Sementara itu, thalassemia heterozigot hanya menunjukkan hiperplasia eritroid ringan. Eritrosit thalassemia yang mikrositik hipokrom memiliki fragilitas osmotik yang menurun. Hal ini digunakan sebagai dasar dari variasi one-tube tes fragilitas osmotik sebagai
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
THALASSEMIA: MANIFESTAS1 KLINIS, PENDEKATAN DIAGNOSIS, DAN THALASSEMIA INTERMEDIA
1391
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI uji tapis pembawa sifat thalassemia pada populasi di mana thalassemia sering dijumpai. Namun, tes ini tidak dapat membedakannya dengan anemia defisiensi besi, karena pada pada anemia defisiensi besi ditemukan fragilitas osmotik yang menurun. Pada thalassemia-a minor (trait), HbH disease, dan thalassemia-a pembawa sifat tersembunyi (silent) tes pewarnaan brilliant cresyl blue untuk HbH inclusions dapat digunakan untuk merangsang presipitasi HbH yang secara intrinsik tidak stabil. HbH inclusions (rantai globin-P yang terdenaturasi) mempunyai ciri khas berupa materi (bodies) yang kecil, multipel, berbentuk iregular, berwarna biru kehijauan, yang mirip bola golf atau buah raspberry. Materi ini biasanya tersebar merata dalam eritrsoit. Pada HbH disease. Hampir seluruh eritrosit mengandung inclusions, sedangkan pada thalassemiaa minor hanya sedikit eritrosit yang mengandung inclusions, sementara itu pada thalassemia-a pembawa sifat tersembunyi inclusions ini jarang sekali ditemukan. Inclusions ini berbeda dengan Heinz bodies, di mana materi ini menunjukkan ukuran yang lebih besar, jumlahnya sedikit, dan sering letaknya eksentrik di sepanjang membran eritrosit. Bila tidak ditempkan HbH inclusions tidak berarti menghilangkan kemungkinan diagnosis thalassemia-a minor atau pembawa sifat tersembunyi. Untuk itu diperlukan matoda pemeriksaan khusus. Elektroforesis dengan selulosa asetat pada pH basa penting untuk menapis diagnosis hemoglobin H, Bart's, Constrant Spring, Lepore, dan variasi lainnya. HbH dan Bart's cepat bergerak pada selulosa asetat pada pH basa tetapi pada pH asam hanya mereka merupakan hemoglobin yang bermigrasi anodally. Peningkatan HbA, dengan elektroforesis hemoglobin dapat dilakukan pada uji tapis thalassemia-P minor, yang diukur dengan menggunakan mikrohematografi. Nilai HbA, Peningkatan HbF yang ditemukan pada thalassemia-bp, HPFH dan varian thalassemia-p lainnya dapat dideteksi juga dengan elektroforesis. Prosedur khusus lainnya seperti tes rantai globin dan analisis DNA dikerjakan untuk mengidentifikasi genotip spesifik. Uji ini dapat dilakukan untuk tujuan penelitian, untuk membedakan thalassemia-a carrier dari thalassemiaa p carrier, untuk mengidentifikasi gen pembawa sifat tersembunyi, atau melihat pola pewarisan keluarga dengan gen yang banyak. Harus ditentukan apakah keuntungan uji lengkap ini melebihi biayanya
THALASSEMIA INTERMEDIA Sebelum kita mendiagnosis thalassemia intermedia, seyogyanya kita mengetahui komplikasi akibat penyakit thalasemia itu sendiri, karena dengan mengetahui komplikasi tersebut, bila kita temukan gejala dan tanda tersebut kita harm berfikir kemunglunan orang ini penderita
thalassemia intermedia.
a. Komplikasi Thalassemia lntermedia Komplikasi yang terjadi pada thalassemia intermedia dapat diakibatkan oleh proses penyakitnya atau oleh pengobatannya. Komplikasi akibat penyakit thalassemia, mencakup: Kardiomiopati Ekstramedullary hematopoiesis Kolelitiasis Splenomegali Hemokromatosis Kejadian trombosis (hiperkoagulasi, risiko aterogenesis, lesi iskemik cerebral asimtomatis) Ulkus maleolar Deformitas dan kelainan tulang (osteoporosis) b. Diagnosis Thalassemia lntermedia Diagnosis thalassemia intermedia mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium, seperti diuraikan di bawah ini, yang dikutip dari Panduan Penatalakasanaan Thalassemia Intermedia Perhimpunan Hematologi & Transfusi Darah Indonesia (PHTDI) Juli 2008. b.1. Anamnesis Usia tersering >18-67 tahun (dapat terjadi pada usia 2 18 tahun) bAdanya tanda dan gejala anemia dengan atau tanpa riwayat Splenomegali Batu empedu Trombosis (DVT, stroke,fetal loss syndrome, APS) Kardiomiopati Hemopoiesis ekstramedular . Penyakit hati kronik Ulkus maleolar Kelainan endokrin /diabetes melitus b.2. Pemeriksaan Fisik Facies Thalassemia Pucat, Ikterik+/Hepatosplenomegali sedang-berat Gangguan pertumbuhan tulang +/b.3. Laboratorium Darah tepi lengkap - Hemoglobin - Hematokrit - Retikulosit - Sediaan apus darah tepi : anemia mikrositer, hipokrom, anisositosis, poikilositosis, sel eritrosit muda (normoblast), fiagmentosit, sel target.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
- Indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC, RDW) bila
tidak ada cell counter, lakukan uji resistensi osmotik 1 tabung (fragilitas) Analisis hemoglobin: 1. Elektroforesis Hemoglobin - Hb varian kualitatif (elektroforesis cellulose acetaet membrane) - HbA2 kuantitatif (metoda mikrokolom) - HbF (alkali denaturasi modifikasi Betke 2 menit) - HbH inclusion bodies (pewarnaan supravitall retikulosit) Atau 2. Metoda HPLC (Beta short variant Biorad): analisis kualitatif dan kuantitatif
b.4. Radio imajing (tentative) MRI : untuk melihat hematopoisis ekstramedular MRI T2* : untuk melihat iron overload pada jantung b.5. Pemeriksaan Komplikasi PenyakitThalssemia Splenomegali Pemeriksaan fisik atau USG Kolelitiasis: USG I CT scan Hemopoiesis ekstramedular: Foto rontgrn (X ray) Kelainan tulang: X ray IMRI Trombosis (DVT, Stroke, APS): USG duplex, angiografi, hemostasis Kelainan jantung : Eko kardiografi atau T2* MRI Kelainan hati: LICILiver Iron Concentration (biopsi atau T2* MRI) c. Penatalaksanaan Penderita Thalassemia lntermedia Penderita thalassemia dewasa diawali dengan penentuan kadar hemoglobin dan adanya pansitopenia (penurunan Hb progresif < 7 g/dl, leukopeni < 30001ul trombositopeni < 80.0001 ul) yang menunjukkan adanya hipersplenisme. Berdasarkan kadar hemoglobin (7 - 9 gr), ditentukan langkah penatalaksanaan selanjutnya. c.1. Hb < 7 grldl Disertai dengan splenomegali Masif: Pada kondisi ini splenektomi merupakan pilihan. Imunoprofilaksis pra splenektomi merupakan keharusan, mencakup: vaksinasi anti meningococus vaksinasi anti hemophilus influensa Pasca splenektomi diberikan antibiotika profilaksis antibiotik (penisilin oral) c.2. Hipersplenisme Pads keadaan ini 'plenektomi m e r u ~ a k a npilihan
pengobatan.
c.3. Pasca splenektomi bila Hb :7 gr %: Pada keadaan ini penangan komplikasi merupakan keharusan, mencakup: batu empedu: kolesistektomi infeksi: antibiotika hiperurikemia /Gout: allopurinol aterogenesis: pemantauan lanjut sesuai tatalaksana aterogenesis ulkus tungkai: perawayan luka diabetes melitus: sesuai dengan tatalaksana diabetes melitus hiperkoagulasi dan trombosis: aniagregasi trombosit dan antikoagulan oral osteoporosis:bisfosfonat, dl1 kelainan hat: obat antivirus iskemia serebral: terapi sesuai dengan tatalaksana baku eritropiesis heterotropik:hidroksiurea hemokromatosis: terapi kelasi besi c.4. Pasca splenektomi bila Hb > 7 gr % Pada kondisi ini transfusi darah merah pekat . d. Hb < 7grldl tanpa splenomegali Pemantauan klinis dan hematologi e. Transfusi darah pada penderita thalassemia intermedia Transfusi darah pada penderita thalassemia intermedia diberikan atas indikasi, sebagai berikut : Gangguan pertumbuhan Kondisi stres sementara : kehamilan, infeksi Manifestasi klinis anemia Gagal jantung kongestif Ulkus tungkai f. Pemantauan besi pada penderita thalassemia intermadia: Setiap transfusi: rata rata asupan besi Setiap 3 bulan: dosis kelasi dan frekuensi, fungsi hati, feritin serial Setiap 6 bulan (pada anak): pertumbuhan dan perkembangan seksual Setiap tahun: inuatan besi hati, fungsi jantung (ekokardiografi), MRl jantung T2*, fungsi hati, ferritin serial g. Pengobatan muatan berlebih besi Ada beberapa pilihan obat yang direkomendasikan untuk untukterapi kejasi, sepefii tertera pada Tabel 1 di bawah ini.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
THALASSEMIA:MANIFESTASI KLINIS, PENDEKATAN DIAGNOSIS, DAN THALASSEMIA INTERMEDIA
1393
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Terapi
Rekomendasi
Deferasirox
Dosis awal 20 mglkglhari pada pasien yang cukup sering mengalami transfusi
(Exjade@)
30 mglkglhari pada pasien dengan kadar kelebihan besi yang tinggi 10-15 mglkglhari pada pasien dengan kadar kelebihan besi yang rendah
DFO
20-40 mglkg (anak-anak), = 50-60 mglkg (dewasa)
(Desferala)
Pada pasien anak < 3 tahun, direkomendasikan untuk mengurangi dosis dan melakukan pemantauan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tulang
Deferiprone
75 mglkglhari
(Ferriproa)
Dapat dikombinasikan dengan DFO bila DFO sebagai tidak efektif
PROGRAM PENCEGAHAN Program pencegahan berdasarkan penapisan pembawa sifat thalassemia dan diagnosis pranatal telah dapat m e n d a n secara bermakna kejadian thalassemia mayor pada anak-anak di Yunani, Siprus, Italia daratan dan Sardinia. Penapisan pembawa sifat thalassemia-P lebih berdaya guna bila dikerjakan dengan penilaian indeks sel darah merah. Individu dengan MCV dan MCH yang rendah dinilai konsentrasi HbA,-nya. Masalahnya timbul pada penapisan individu dengan pembawa sifat thalassemia-a bersamaan (co-existent) dengan thalassemia-a. Di Indonesia program pencegahan thalassemia-P mayor telah dikaji oleh Departemen Kesehatan melalui program health technology assesrnent (HTA), di mana beberapa butir rekomendasi, sebagai hasil kajian, diusulkan dalam program prevensi thalassemia, termasuk teknik dan metoda uji saring laboratorium, strategi pelaksanaan dan aspek medikolegal, psikososial, dan agama
DIAGNOSIS PRANATAL Mutasi thalassemia-a, biasanya dapat dideteksi dengan analisis DNA langsung yang diperoleh dari fetus dengan biopsi villus korionik atau cairan amniosentesis. DNA dianalisis dengan metoda polymerase chain reaction (PCR) dan metoda hibridisasi molekular untuk menentukan adanya mutasi thalassemia. Bila ke dua pasangan orang tua membawa sifat gen thalassemia minor, diagnosis pra natal thalassemia-a homozigot pada bayi yang dikandung dapat dibuat dengan analisisis endonuklease restriksi DNA, yang diperoleh dari villus korionik atau cairaan aminiosentesis.
Tidak adanya gen-a memastikan diagnosis. Terminasi awal akan dapat mencegah akibat berbahaya bagi si ibu, yakni toksemia dan perdarahan hebat pasca partus.
REFERENSI 1. Higgs DR, Thein SL, Wood WG. The biology of the thalassemia. In: Weatherall DJ, Clegg JB, editors. The Thalassemia Syndromes. 4th ed, New York: Blackwell Science: 2 0 0 1 , ~ .65284. 2 . Bain BJ. Hemoglobinopathy Diagnosis. 1st ed. Malden,MA: Blackwell Science: 2001, 1 - 186. 3. McGhee DB Structural Defects in Hemoglobin (Hemoglobinopathies). In: Hematology Clinical Principles and Applications. 2nd ed, Philadelphia, PA: Saunders: 2002, p 319 - 358. 4 . Lukens JN. Abnormal Hemoglobins: Hereditary Disorders of Hemoglobin Structure and Synthesis. Abnormal Hemoglobins: General Principles. In: Greer JP, Foerster J, Lukens JN, et all, editors. Wintrobe's Clinical Hematology, 7th ed, Philadelphia,PA: Lippincott Williams & Wilkins: 2004, p 1247 - 1262. 5 . Benz EJ. Hemoglobinopathies. In: Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th ed, New York: McGraw-Hill: 2005, p 593 - 601. 6 . Weatherall DJ, Clegg JB. The Thalassemia Syndromes. 4th ed. Malden, MA: Blackwell Science: 2001, p 3 - 826. 7. Fucharoen S, Winichagon P. Clinical and hematologic aspect of hemoglobin E L thalassemia. Current Opinion in Hematology: 2000,7,2, p 106 - 112. 8. Olivieri,MD. Management of the Beta-Thalassemias. Education Program Book. International Society of Hematology: 2000, p 8 - 11 9. Cohen AR, Galanello R, Pennel DJ, et al. Thalassemia.Education Program Book. American Society of Hematology: 2004, p 14 - 34 10. Guidelines for the Clinical Management of Thalassemia. Thalassemia International Federation. 2 nd ed. Thalassemia International Federation,.Cyprus, 2007: p 6 - 189.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
TRANSPLANTASI SEL PUNCA/INDUK DARAH A. Harryanto Reksodiputro
PENDAHULUAN Rekayasa jaringan mempakan terobosan baru dalam bidang kedokteran karena menggabungkan ilmu biologi dan rekayasa untuk menciptakan meteode biologik yang dapat menggantikan atau memulihkan jaringan-jaringan yang rusak. Sel-sel sumsum tulang atau darah tepi telah dikultur di laboratorium dan subpopulasi terpilih kemudian dipakai untuk mengobati jaringadorgan yang rusak. Sel punca (stem cell) adalah sel-sel yang berasal dari embrio, janin, atau individu, yang belum berdiferensiasi dengan kemampuan memperbaharui diri yang tak terbatas atau terus-menerus dan dengan dengan induksi yang spesifik, dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel yang spesifik. Sel induk (progenitor cell) adalah sel-sel yang berasal dari janin atau individu yang berdiferensiasi parsial yang kemudian dapat membelah dan membentuk sel yang spesifik. Sel punca dan sel induk dibedakan berdasarkan kemampuannya bereplikasi setelah membelah. Ketika membelah, satu dari dua sel yang baru tersebut biasanya adalah sel punca yang mempunyai kemampuan memperbaharui dirinya sendiri kembali. Sedangkan ketika sel progenitor membelah, akan terbentuk sel progenitor kembali atau sel yang terdierensiasi, dimana keduanya tidak mempunyai kemampuan memperbaharui dirinya sendiri. Sel punca atau induk dapat menjadi sel-sel saraf, jantung, pankreas, dan lain-lain. Sel-sel ini berpotensi mengganti sel jaringan yang rusak atau hancur karena penyakit berat. Sel punca dapat berasal dari embrio yang sedang membelah (embryonal stem cells),janin (embryonicgerm cell), atau dari sel-sel yang telah mengalami derajat maturasi tertentu tanpa memandang usia individu (adult stem cells). Sel asal embrio diperoleh dengan menghancurkan embrio atau janin tersebut sehingga
banyak mengundang konflik etik dan moral. Dalam bab ini yang dimaksudkan untuk transplantasi adalah sel punca non-embrionik. Transplantasi sel punca (haemopoietic stem cell transplantation) merupakan prosedur pencangkokan sel punca (stem cell) atau sel induk (progenitor cell) darah dari satu individu ke individu lain, atau dari individu itu sendiri yang disimpan terlebih dahulu sebelum pemberian kemoterapi dan kemudian dicangkokkan ke dalam dirinya sendiri pasca pemberian kemoterapi tersebut. Berdasarkan hubungan antara sumber donor sel puncd sel induk darah dari penerimanya (resipien), transplantasi dikelompokkanmenjadi: Singenik. Sel puncdsel induk darah donor berasal dari spesies yang sama, identik secara genetik, misalnya pada saudara kembar Allogenik. Sel puncalsel induk darah berasal dari donor saudara kandung, orangtua, atau dari orang lain yang cocok sistem HLA-nya. Autologus. Sel puncdsel induk darah berasal dari pasien sendiri. Pada tahun 1950 Jacobson dan Lorenz melaporkan kematian seekor hewan pengerat yang menjalani irradiasi seluruh tubuh (total body irradiation/TBI) dapat dicegah dengan pemberian intravena sel limpa atau sel sumsurn tulang. Untuk beberapa saat, timbul beda pendapat, efek proteksi yang didapat apakah akibat hormonal atau sel yang diberikan intravena. Cole serta Alpen dan Baum menyokong cellreplacement theory dengan menggunakan mencit dan anjing. Pada tahun 1956,Ford mengemukakan teori radiasi chimaera, yaitu hematopoiesis hewan yang mendapat radiasi dapat diganti dengan injeksi sumsum hewan lainnya. Chimaera diartikan sebagai didapatkannya populasi sel yang berasal dari individu berbeda, diberikan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1395
TRANSPLANTAS1 SEL PUNCAIINDUK DARAH
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kepada satu resipien. Kemudian diketahui bahwa hematopoiesis chimaera hanya dapat berhasil setelah pemberian terapi imunosupresif intensif, yaitu TBI. Saat ini, transplantasi sel puncalinduk darah sering dilakukan dengan tujuan untuk: Memperbaiki sindrom gaga1 sumsum tulang (misalnya leukemia, anemia aplastik, kelainan herediter, dan sebagainya). Melindungi sumsum tulang dari dampak mieloblasi radiasi atau kemoterapi sitostatika dosis tinggi (misalnya pada limfoma non-Hodgkin). Memasukkan sel punca darah, sel genetika normal1 direkayasa menjadi normal (terapi gen).
Kanker: Leukemia akutkonik Praleukemidsindrom mielodisplasia (MDS) Kelainan limfoproliferatif (misalnya limfoma nonHodglun, mieloma multipel) Tumor padat (neuroblastoma, kanker payudara, kanker paru sel kecil, sarkoma Ewing, dan lain-lain). Bukan Kanker: Kegagalan sumsum tulang (misalnya anemia aplastik) lmunodefisiensi Kelainan darah (talassemia, anemia sel sabit) Kelainan genetik nondarah
SUMBERSEL PUNCNINDUK DARAH Sel puncalsel induk darah saat ini diperoleh dari tiga suinber yang kemudian dipakai sebagai nama jenis transplantasi sel asallsel induk, yaitu 1). Sumsum tulang: transplantasi sumsum tulang atau bone marrow transplantation (BMT), 2). Sel darah tepi: transplantasi sel induk darah tepi atau peripheral blood stem cell transplantation (PBSCT), 3). Tali pusat bayi baru lahir: transplantasi sel induk darah tali pusat bayi baru lahir atau umbilical cord blood transplantation (UBCT).
LANGKAH-LANGKAH MEMPEROLEH DAN MENYEDIAKAN SEL PUNCNINDUK DARAH Perolehan dan penyediaan sel puncalinduk darah merupakan salah satu kegiatan terpenting dari rangkaian BMT atau PBSCT. Jumlah, kualitas, dan viabilitas sel puncalinduk darah yang baik dan optimal merupakan syarat mutlak keberhasilan transplantasi. Langkah-langkah tersebut adalah: 1). Memperoleh sel puncalinduk darah dari sumsum tulang, darah tepi, atau darah tali pusat bayi baru lahir, 2). Pemisahan sel puncalinduk darah, diikuti
dengan pemrosesan kedua, yang mencakup pemekatan (mengkonsentrasikan sel puncdinduk darah), deplesi sel limfosit T, pembersihan sel puncalinduk darah dari sel tumor (tumor purging), seleksi sel CD34+, dan lain-lain, 3). Penilaianlpengendalian kualitas dan viabilitas sel puncal induk darah yang didapat, 4)Kriopreservasi dan penyimpanan sel puncalinduk darah, 5)Pencairan sel puncatinduk darah yang disimpan beku, 6)Transplantasi sel puncalinduk darah.
KEGIATAN MEMPEROLEH SEL PUNCAIINDUK DARAH Sebelum sel punca dari donor diambil, dilakukan pemeriksaan lebih dahulu terhadap donor. Salah satunya, pemeriksaan terhadap infeksi, dilakukan bersamaan dengan atau sebelum prosedur pengambilan sel (dalam waktu 4 minggu) pada donor produk sel aferesis/sumsum. Sementara untuk donor darah tali pusat, pemeriksaan terhadap ibu dilakukan dalam waktu 1 minggu sebelum atau sesudah melahirkan. Tindakan untuk memperoleh sel puncdinduk darah dari tiga jenis sumber sangat berbeda. Pada BMT, sel puncal induk darah diambil dengan melakukan aspirasi sumsum tulang pada spina iliaka posteriorlanterior donor sehat (BMT alogenik) atau dari pasien sendiri (autologus) yang sudah dinyatakan remisi lengkap pasca kemoterapi sitostatika, misalnya pasien limfoma non-Hodgkin. 'Tindakan ini dilakukan di kamar bedah steril di bawah anestesi umum dan memerlukan penggantian volume sumsum tulang yang dikumpulkan dengan transfusi darah autologus. Pada PBSCT, sel induk darah dalam sumsum tulang dimobilisasi ke darah tepi dengan rangsangan factor pertumbuhan hemopoietik (G-CSF, GM-CSF), atau dengan sitostatika tunggal dosis tinggi (siklofosfamida), atau kombinasi keduanya. Untuk donor allogenik, digunakan G-CSFIGM-CSF, sedangkan untuk pasien transplantasi autologus dapat digunakan kombinasi keduanya. Pada donor alogenik, hari ke-5 atau ke-6 atau lebih pascastimulasi G-CSFIGM-CSF , sel puncalinduk darah dapat dipanen (harvesting) dengan media aferesis. Tindakan ini dilakukan pada pasien dalm keadaan sadar dan tidak memerlukan transfusi darah. Sel puncalinduk darah tali pusat dan plasenta dapat diambil secara ex zzltero maupun in zdtero. Sel puncdinduk diambil dari bayi baru lahir dengan mengaspirasi darah langsung dari tali pusat, dalam keadaan steril, dan kemudian ditampung dalam kantung darah steril. Pengarnbilan darah tali pusat in utero dapat dilakukan dengan syarat hanya pada kehamilan tunggal, pada persalinan yang diperkirakan tidak ada komplikasi, dan usia janin minimal 34 minggu.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1396
HEMATOLOGI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Agar transplantasi berhasil, jumlah sel puncalinduk darah hams memenuhi syaratjumlah minimal dan optimal yang diperoleh dari satu kali atau beberapa kali panen, baik pada BMT, PBSCT, maupun UCBT
PEMISAHAN SEL PUNCAllNDUK DARAH DAN PEMROSESANSEKUNDER Sel puncdinduk darah yang diperoleh dengan ketiga cara di atas dipisah-pisahkan dengan alat pemisah komponen darah (bloodseparator). Kemudian dilakukan pemrosesan sekunder pada sel punca/induk darah yang didapat, yang meliputi: Pemekatanlkonsenstrasi sel puncdinduk darah. Deplesi sel limfosit T (sel T), pada transplantasi alogenik Pembersihan sel asallinduk darah dari sel tumor (tumor purging) Pemilihadseleksi sel induk darah (sel CD34+) Sel punca ditandai dengan adanya ekspresi CD34 dan Thy 1 dan absennya CD38, CD33, dan HLA-DR. CD34 adalah penanda untuk sel punca dan induk pada manusia . Pemekatan sel induk darah bertujuan memudahkan pemrosesan selanjutnya dan kriopreservasi. Agar tidak hancur pada suhu di bawah OvC, ke dalam konsentrat tersebut dimasukkan dimetilsulfoksida (DMSO) 10% dan untuk pertumbuhannya diberikan plasma autologus. Deplesi sel T dilakukan pada transplantasi alogenik untuk mengurangi terjadinya dan beratnya graft-versu,~-
host disease (GVHD), karena kejadian GVHD berkaitan erat dengan dosis sel limfosit T yang diinfuskan. Salah satu teknik deplesi sel T adalah dengan antibodi monoklonal (Campath) in vitro dan in vivo. Pembersihan sel puncdinduk darah dari kontaminasi sel tumor (tumorpurging) masih bersifat spekulatif, karena belum ada teknik purging yang menunjukkan masa bebas penyakit. Teknik-teknik tersebut mencakup teknik fisika, kimia, dan imunologik. Seleksi positif sel CD34+ telah terbukti bermanfaat untuk transplantasi sumsum tulang autologus. Teknik ini mungkin berguna untuk deplesi limfosit T atau sel tumor dari inokulum PBSC, atau sebagai proses awal insersi gen, atau ekspansi in vitro sel induk darah.
KEGIATAN PENlLAlANlKONTROL SEL PUNCAI INDUK DARAH YANG DIPANEN Di samping harus memenuhi syarat kuantitas, sel puncal induk darah yang dipanen juga hams mempunyai kualitas dan viabilitas yang optimal. Penilaian kuantitas dan kualitas selalu dilakukan terhadap sel puncalinduk darah yang dipanen, pada pemrosesan sekunder, dan pada sel yang disimpan dalam nitrogen cair. Kuantitas sel puncalinduk darah dinilai dengan menghitung sel CD34+ (sel induk darah) dengan alat sitometri arus fi~lcytomctry). Teknik ini cepat dan akurat. Jumlah koloni sel yang tumbuh dengan teknik kultur colony fbrming tinit-granulocyte mucrophuge (CFU-GM) dapat
D0I.d r:tP
Sum sum Tu bng
Darab T a Darah Tab Pwat
v
-----h 6-CSF
+
S t l pmca dpis&Clan
S t l plntcsyang mash bcrcanpur KI-nl daah
dan dihkubasl dtngm
Ian
antibodi
/
d
ScI punca rang terikat ant~bodr dlprsahkn
Rml
Sel Fun ca
/-*\
I
Pellcalrai
ST b:.)mg!
e
Gambar 2. Alur transplantasi sel punca darah
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
%
;ohme caran dikurangl
3
b rl~~rescrvasi
TRANSPLANTASI SEL PUNCAIINDUK DARAH
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI juga digunakan untuk menentukan jumlah sel induk darah, namun hasilnya lama (10-14 hari). Teknik ini dapat digunakan untuk menilai viabilitas sel induk darah. Teknik lain adalah dengan pewamaan trypan blue. Di samping tes kuantitas dan viabilitas, hams dipastikan tes mikrobiologi bahwa sel puncalinduk darah yang dipanen tidak terinfeksi mikroorganisme aerob atau anaerob. Juga virus hepatitis B, hepatitis C, HIV, virus sitomegalo, VDRL, dan malaria.
KEGIATAN KRIOPRESERVASIDAN PENYIMPANAN SEL PUNCNINDUK DARAH Setelah menjalani pemrosesan sekunder, sel puncdinduk darah harus disimpan dalam nitrogen cair (bersuhu 197°C) agar dapat tetap hidup dalam jangka waktu lama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun asalkan menjalani proses kriopreservasi dengan DMSO 10%. Namun sebelumnya suhu sel induk darah diturunkan bertahap sampai mencapai suhu - 120°C, kemudian disimpan dalam nitrogen cair. Selain kantung sel puncal induk darah yang telah dikonsentrasikan, ke dalam tangki nitrogen juga dimasukkan beberapa tabung kecil berisi sampel sel puncalinduk darah, untuk penilaian kualitas secara periodik atau pemeriksaan lainnya bila diperlukan. Selama penyimpanan, hams dilakukan pemantauan rutin kerja tanki dan pengisian periodik nitrogen cair selama konsentrat sel puncalinduk darah berada dalam tanki tersebut.
KEGIATAN PENCAIRAN KONSENTRAT SEL PUNCNINDUK DARAH (THAWING) Bila ingin digunakan, sel induk darah harus dicairkan terlebih dahulu (thawing) sesuai prosedur baku.
KEGIATAN TRANSPLANTASI SEL PUNCNINDUK DARAH Pada BMTIPBSCT alogenik, sel puncalinduk darah yang telah dicairkan kemudian diinfuskan kepada pasien. Pada BMTIPBSCT autologus, sel puncdinduk darah diinfuskan kembali kepada pasien itu sendiri. Transplantasi dilakukan satu hari pasca conditioning. ~ e b e l u mtransplantasi, resipien perlu mendapat premedikasi untuk mencegah timbulnya reaksi toksisitas. Conditioning. Conditioning merupakan tindakan pemberian sitostatika dosis tinggi (high dose chemotherapy) dengadtanpa kombinasi iradiasi tubuh total (TBI). Sebagai contoh adalah pemberian siklofosfamida dosis tinggi dua hari berturut-turut, pada hari minus 6 dan 5
sebelum transplantasi, dan TBI pada hari minus 1. Transplantasi dilakukan pada hari ke-0. Tujuan conditioning adalah untuk mengosongkan sumsum tulang dari sel asallinduk darah resipien (mieloablasi), sehingga sel puncalinduk darah yang ditransplantasikan dapat tumbuh. Dosis tinggi kemoterapi sitostatika yang diberikan bersifat mieloablasi, begitu pula dengan dosis TBI. Conditioning juga dapat dilakukan tanpa mieloablasi. Premedikasi sebelum transplantasi. Karena asal sel puncalinduk darah disimpan pada suhu beku dengan DMSO l o % , perlu tindakan pencegahan untuk mengurangi toksisitas akibat DMSO dengan pemberian antihistamin. Salah satu toksisitas DMSO adalah renjatan akibat pelepasan histamine yang diinduksi DMSO. Toksisitas lainnya merupakan darnpak langsung terhadap system kardiovaskuler, yaitu hipertensi, bradikardia, dan blok jantung. Efek samping lain transplantasi sel puncd induk darah yang mengalami kriopreservasi adalah hematuria, nausea, muntah, dan diare. Hemoglobinuria dapat terjadi akibat lisisnya eritrosit setelah pencairan. Sesak napas, kram perut, mual, muntah, dan diare dapat disebabkan oleh histamin yang dilepaskan akibat DMSO. Premedikasi sebelum tindakan transplantasi mencakup langkah-langkah sebagai berikut: Hidrasi, agar dicapaijumlah urin 2,5 mlkg berat badanl jam Alkalinisasi win, dengan menambahkan bikarbonat ke dalam cairan rehidrasi. Antihistamin: difenhidramin atau yang ekuivalen Kortikosteroid : hidrokortison Diuretik :manitol
PASCA TRANSPLANTASI SEL PUNCAIINDUK DARAH Pasca transplantasi, pasien dirawat di kamar isolasi sarnpai keadaan neutropenia berat yang mengancam jiwa (<1000 sel/mm3)teratasi dengan ditandai kembalinya granulosit ke nilai normal. Banyak ha1 yang hams diawasi dan ditatalaksana pascatransplantasi, termasuk komplikasi yang mungkin terjadi.
KOMPLlKASl TRANSPLANTASI Pasca pemberian kemoterapi sitostatika dosis tinggi, pasien dapat mengalami komplikasi. Agar pemberian kemoterapi dosis tinggi dengan atau tanpa TBI pada resipien dapat berhasil baik, maka komplikasi baik yang bersifat akut, maupun yang timbulnya lambat, hams dicegah, dikurangi dan ditanggulangi secara cepat.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Komplikasi pada Tahap Conditioning Mukositis dan diare. Mukositis dan diare sering dijumpai dengan berbagai derajat dan akan berkurang setelah minggu kedua. Oklusi vena hepatika. Dua bentuk histopatologik oklusi vena yang mungkin ditemukan mencakup vena occlusive disease (VOD), yang melibatkan vena hepatika terminalis dan vena sublobular, serta nekrosis hepatosit perisentralis. Dari kedua bentuk tersebut VOD merupakan komplikasi fatal, dijumpai pada 15-30% pasien, serta tingkat mortalitas 3%. Pada proses awal VOD didapatkan gambaran patologik perdarahan sentrilobular hati massif. Kerusakan vena digambarkan sebagai sempitnya lumen serta melebarnya zona subendotelial, berisi serabut kolagen halus, komponen sel, serta makrofag. Nekrosis sel hati perisentral dapat menyebabkan emboli vena terminalis, karena tempat pori sinusoid menembus endotel vena terminalis menjadi sempit dan tersumbat sel hati yang terkelupas, sisa sel, fibrosis subendotel yang akhirnya menyebabkan obstruksi aliran darah, melibatkan vena hepatika terminalis dan vena sublobular, serta nekrosis hepatosit perisentralis. Manifestasi klinisnya berupa hepatomegali, asites, iktems, nyeri abdominal, dan ensefalopati. Komplikasi Setelah Transplantasi VOD. Walaupun sering dijumpai pada fase conditioning, VOD dapat juga terjadi setelah tindakan transplantasi (akibat dipicu oleh obat imunosupresif, terutama siklosporin). Diagnosis VOD biasanya ditegakkan dari gambaran klinis dalam 3 minggu pascatransplantasi. Pada beberapa kasus dijumpai peningkatan kadar transaminase serum dan alkali fosfatase, sedangkan pemeriksaan koagulasi menunjukkan nilai normal. Hal yang perlu diingat, adalah bahwa gambaran klinis graft versus host disease (GVHD) akut dapat menyerupai VOD lanjut, sehingga untuk membedakannya diperlukan pemeriksaan histopatologi. Pneumonia interstititialis kronis. Faktor risiko terjadinya pneumonia interstititalis idiopatik terutama dipengaruhi oleh usia, penggunaan metotreksat untuk mencegah GVHD, beratnya GVHD, tingkat kemampuan berperan pasien sebelum transplantasi, interval waktu sejak diagnosis sampai transplantasi, serta tingginya dosis radiasi pasien yang mendapat metotreksat setelah transplantasi. Leukoensefalopati. Leukoensefalopatibiasanya ditemukan pada anak yang mendapat radiasi kepala. Pada pasien ini, juga ditemukan hambatan pertumbuhan dan organ seksual. Katarak. Katarak ditemukan pada 80% pasien yang mendapat TBI dosis tunggal, tetapi dijumpai pula pada 18% kasus dengan TBI terbagi. Keganasan sekunder. Pada percobaan anjing yang mendapat radiasi chimera, munculnya keganasan sekunder
meningkat sebesar 6 kali bila dibandingkan populasi normal. Keganasan sekunder yang sering ditemukan adalah limfoma non-Hodgkin, leukemia dan tumor padat. Faktor risiko timbulnya keganasan sekunder adalah pemberian TBI dan GVHD yang diberikan antimosit globulin atau antibody monoclonal anti-CD3. Infeksi. Infeksi timbul terutama setelah tindakan transplantasi, karena granulositopenia dini. Sebanyak 5% resipien dengan HLA identik, dan lebih banyak pada NLA non-identik akan mengalami infeksi bakterial dan jamur dua minggu pasca transplantasi. Jainur yang sering dijumpai dan acapkali sulit diobati adalah Aspergillus fumigates, yang menginvasi paru dan otak. Infeksi nosokomial akibat Aspergillus ditelusuri melalui sistem ventilasi yang terkontaminasi, materi gedung terkontaminasi dan gedung yang sedang direnovasi. Penggunaan HEPA (high eficiencyparticulate air) akan menurunkan kejadian infeksi Aspergillus. Penggunaan antibiotika, tertama terhadap gram positif, akan menimbulkan resistensi , terutama Staphylococcus epidermidis yang multiresisten. Infeksi berat yang muncul 3-4 bulan pascatransplantasi disebabkan oleh virus. Yang sering adalah virus sitomegalo (CMV). Umumnya infeksi ini asimptomatik dan hanya muncul apabila didapatkan peningkatan antibodi atau ekskresi virus di urin. Penatalaksanaan infeksi CMV berupa pemberian gansiklovir (15 hari sebelum sampai 30 hari sesudah transplantasi), dikombinasikan dengan immunoglobulin dosis tinggi. Dosis profilaktik immunoglobulin yang dianjurkan adalah 500 mg1kgBB setiap minggu selama 3 bulan, kemudian setiap bulan selama satu tahun. Tujuan pengobatan ini menurunkan insidens GVHD, yang dihubungkan dengan pneumonia interstititalis pada pasien seropositif. Tujuan lainnya adalah menurunkan risiko septikemia gram negatif.
PBSCT Dibandingkan dengan BMT Penggunaan PBSCT telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir sebagai alternatif BMT konvensional. Dalam berbagai aspek transplantasi sel puncalinduk darah, PBSCT sama dengan BMT. Perbedaannya antara lain adalah: PBSCT lebih praktis dari BMT. Panenlpengumpulan sel punca atau sel induk darah donor (pada transplantasi alogenik) atau pasien sendiri (pada transplantasi autologus) pada PBSCT dengan mesin aferesis tidak perlu pembiusan umum dan dilakukan di kamar biasa. SebaliknyaBMT dilakukan di kamar bedah steril dalam anestesi umum. Batas usia pasien yang diperbolehkan menjalani PBSCT lebih tua dibandingkan pada BMT. Pemulihan granulosit, trombosit, dan retikulosit setelah PBSCT tampak lebih cepat dibandingkan dengan BMT. Biaya PBSCT, walaupun pada periode pratransplantasi,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TRANSPLANTASI SEL PUNCAIINDUK DARAH
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
lebih tinggi daripada BMT, namun biaya total keseluruhan lebih murah. PBSCT lebih sering menyebabkan GVHD diakibatkan lebih tingginya load sel T. Oleh karena itu BMT lebih baik dari PBSCTjika dilakukan pada kelainan non-kanker, seperti hemoglobinopati, dimana engraftment yang cepat dan reaksi graft versus tumor (GVT) tidaklah terlalu penting. UCBT Dibandingkan PBSCT dan BMT Saat ini translantasi darah tali pllsat dan plasenta telah menjadi pilihan utama untuk pasien anak-anak, serta menjadi pilihan untuk orang dewasa yang kesulitan mendapatkan donor yang cocok. Keunggulan jenis tranplantasi ini adalah memungkinkan untuk dilakukan dengan donor yang HLAnya tidak benar-benar cocok dengan resipien. Kecocokan 3-4 dari 6 antigen HLA-A, HLA-B dan HLA-DRB 1 sudah cukup untuk transplantasi. Transplantasi ini juga lebih sedikit menyebabkan GVHD dibandingkan pada PBSCT atau BMT walaupun dengan ketidakcocokan HLA yang serupa. Hal ini sangat menggembirakan karena membuka kemungkinan lebih besar bagi pasien untuk mendapatkan donor, karena sekitar 70% pasien yang membutuhkan transplantasi sel puncalinduk hematopoietik tidak dapat menemukan donor yang cocok di keluarganya. Keunggulan lain adalah kemungkinan risiko penularan penyakit yang ditularkan melalui darah menjadi lebih rendah. Kelemahannya adalah, terbatasnya volume yang dapat, oleh karena itu sel punca yang diambil dari tali pusat dan plasenta biasanya hanya adekuat untuk anak-anak atau dewasa muda. Untuk meningkatkan jumlah sel sehingga memperbaiki engraftment dan rekonstitusi imun, dapat dilakukan transplantasi darah tali pusat sekuensial, dimana dilakukan transplantasi kedua setelah transplantasi pertama.
TRANSPLANTASI SEL PUNCA DARAH UNTUK PENYAKIT NON-HEMATOLOGIK Studi-studi terbaru menunjukkan bahwa sel punca dewasa yang diambil dari sumsum tulang atau darah tepi dapat berdiferensiasi menjadi sel yang sama sekali berbeda dari sel-sel darah, yaitu menjadi sel-sel jaringan organ padat. Kemampuan ini disebut plastisitas perkembangan (developmetalplasticity). Namun, ada pula yang literatur yang membedakan lagi istilah plastisitas dan transdiferesiasi. Proses perubahan dari sel punca darah menjadi sel non-darah tetap masih berasal dari satu lapisan embrionik yang sama yaitu mesoderm (lihat gambar I), misalnya menjadi sel otot, disebut plastisitas Sementara, proses perubahan sel punca darah menjadi sel yang secara
embrionik berasal dari lapisan yang berbeda disebut transdiferensiasi, misalnya dari sel punca darah menjadi sel epitel usus (mesoderm ke endoderm). Dengan teknik-teknik aplikasi tertentu, sel-sel punca dari sumsum tulang telah diujicobakan untuk mengobati infark miokardial, penyakit jan'tung iskemik, osteogenesis imperfekta, penyakit ginjal glomerular, penyakit neurodegenerative dan stroke. Mekanisme yang berada di balik pembentukan jaringan organ padat ini masih belum jelas, namun riset-riset masih terus berlangsung untuk mencari strategi terapi yang potensial bermanfaat.
REFERENSI Alenzi FQ, Alenazi BQ. Ahmad SY, Salem ML, Al-Jabri AA. Wyse RK. The haemopoietic stem cell: between apoptosis and self renewal. Yale J Biol Med. 2009. 82(1):7-18. Areman E, Deeg HJ, Sacher RA. Bone marrow and stem cell processing: A manual of current techniques. Philadelphia: FA Davis Compani; 1992. Arcese W, Aversa F, Bandini G De Vincetiis A. Falda M, Lanata L, et al. Clinical use of allogeneic hematopoietic stem cells from sources other than bone marrow. Haematologica. 1998;83:159-82. Ballen KK. New trend in umbilical cord transplantation. 2005. 105: 3786-92 Copelan EA. Hematopoietic Stem-Cell Transplantation. N Engl J Med. 2006;354: 18 13-26. Cooper DL. Peripheral blood stem cell transplantation. In: De Vita VT, Hellman S, Rosenberg SA, editors. Cancer: principles and practice of oncology, 4th edition. Philadelphia: JB Lippincott Company 1994. Cutler C, Antin JH. Peripheral blood stem cell for allogeneic transplantation: a review. Stem Cells. 2001 ;19: 108- 17. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Medis Sel Punca di Indonesia, Jakarta, 2008. Giles B. Protocols of bone marrou transplantation and peripheral blood stem cell transplantation in hematological malignancies and solid tumors. Division of Hematology-Oncology. CedarSinai Medical Center, Los Angeles, 1994. Hartmann 0 , Blaise D, Michon J, et al. Results of multicentric randomized clinical trial comparing peripheral blood stem cells (PBSC) and bone marrow (BM) graft in autologus transplantation. Federation Nationale des Centres de Lutfe contre le Cancer, France. CONFER Information System Herzog EL, Chai L, Krause DS. Plasticity of marrow-derived stem cells. Bood 2003; 102 (10):3483-93. Kessinger A, McMann.is JD. Practical consideration of apheresis i peripheral blood stem cell transplantation. 1st edition. Lakewood, Colorad o: Cobe BCT; 1994. Korbling M, Anderlini P. Peripheral blood stem cell versus bone marrow allotransplantation: does the source of hematopoietic stem cells matter? Blood. 2001;98(10):2900-8. Korbling M, Estrov Z. Adult stem cells for tissue repair- an new theurapeutic concept? N Engl J Med. 2003; 349(6):570-82 Rovo A, Gratwhol A. Plasticity after allogeneic hematopoietic stem cell transplantation. Biol. Chem. 2008. 389:825-36. Shaefer UW, Beele DW. Bone marrow transplantation. 2nd edition. Freiburg: Karger GmbH; 1996.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Stadtmauer EA, Schneider CJ, Silberstein L. Peripheral blood progenitor cell generatio and harvesting. Semin Oncol. 1995;22:291-300. Treleaven J, Wiernick P. Color atlas and text of bone marrow transplantation. London: Mosby-Wolfe;l995. Uyl-de Groot CA, Richel DJ, Rutten FFH. Peripheral blood progenitor cell transplantation mobilised by r-metHuG-GSF (Filgastrim): a less costly alternative to autologus bone marrow transplantation. Eur J Cancer. 1994;30A(I 1): 163 1-5. Weaver CH, Hazelton B, Bitch R, et a]. An analysis of engrafiment kinetics as a function of CD34 content of peripheral blood progenitor cell collection in 692 patients after the administration of myeloablative chemotherapy. Blood. 1995;88(10):3961-9. Wiinder EW, Heno PR (Eds). Peripheral blood stem cell autografts. Berlin: Springer-Verlag;l993.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
SEL PUNCA (STEM CELL) DAN POTENSI KLINISNYA Cosphiadi Irawan
PENDAHULUAN Diminggu ketiga Januari 2009 pemerintah federal Amerika Serikat melalui lembaga FDA ( F o o d D r u g a n d Administration) telah memberikan izin pilot project penerapan terapi sel punca embrional pada sepuluh pasien kasus trauma tulang belakang (spinal cord injury) yang menyebabkan kelumpuhan. Hal ini mempakan sejarah baru bagi perkembangan sel terapi menggunakan sel punca di negara paman Sam tersebut, yang selama ini diketahui sangat ketat melarang penggunaan dana federal untuk penelitian terapi menggunakan sel punca. Menilik perkembangan dan antusiasme yang begitu tinggi meliputi terapi sel punca, sebenarnya diawali dengan dua ha1 yaitu: 1.Keberhasilan Ian Wilmut, Keith Campbell dan teamnya pada tahun 1997 mengkloning Dolly 2. Keberhasilan laboratorium James Thomson pada tahun 1998 melakukan patok baku processing sel punca embrional, dan bukti kemampuan sel punca embrional dapat berkembang menjadi berbagai progenitor sel menjanjikan pengobatan bagi berbagai penyakit degeneratif di masa mendatang. Keberadaan sel punca sendiri dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu sel punca embrional dan sel punca dewasa (adult .stem celllASC) termasuk didalamnya sel punca jaringan fetus; dimana mereka memperlihatkan beberapa karakteristik dan fungsi yang sama. Dibedakan terutama dari segi kemampuannya untuk bertransdiferensiasi (plasitisitasnya) menjadi progenitor sel yang berbeda. Sejak itulah berkembang harapan sel punca embrional yang memiliki kemampuan memperbahami diri (renewal) dan sifat plastisitasnya untuk bertrans difrensiasi menjadi sel jenis manapun ditubuh manusia dapat memperbaiki kemsakan jaringan dan fungsi organ tubuh; ha1 ini diikuti perkembangan pesat terapi sel punca
dewasa, khususnya sel punca hematopoetik (hematopoetic stem celliHSC) pada penyakit jantung, maupun sel punca jaringan fetus (seperti: darahlepitelial plasenta, cairan amnion, Wharton's Jelly). Perkembangan lain, adalah dimulainya kemampuan teknologi untuk memproduksi berbagai organ tubuh (tissue engineering dan scafold), yang pada gilirannya mempakan jawaban atas berbagai penyakit degenerasi seperti diabetes, jantung koroner, stroke, penyakit Parkinson's dan banyak kerusakan organ lainnya. Sejarah peran sel punca pada keganasan darah telah dicatat keberhasilannnya sejak lebih dari tiga puluh tahun terakhir, akan dibahas dalam bab yang lain. Pembahasan berikut secara singkat akan lebih tertuju pada peran sel terapi pada penyakit degeneratif. Selanjutnya akan dikaji: definisi sel punca; faktor dan kemampuan yang mempertahankan potensi biologinya: termasuk pembahasan: a. Niches ( lingkungan mikro sel punca) b. Sinyal intra selular sel punca c. Mekanisme migrasi dan homing. Serta beberapa contoh perkembangan terapi sel punca, khususnya dibidang penyakit dalam saat ini. Perdefinisi sel punca adalah sel yang mempunyai tiga kemampuan dan sifat dasar,yaitu: 1. Kemampuan untuk memperbaharui dirinya sendiri (self renewal) melalui pembelahan diri yang simetris dan sekaligus asimetris (-menjadi progenitor sel yang berbeda-) 2. Sel yang yang pada tingkat awal perkembangannya, tak memiliki fungsi khusus (unspecialiazed) 3. Mampu menjadi progenitor dari berbagai jenis sel didalam tubuh (plasticity1 transdifrensiasi), dimana diperkirakan ada 200 an jenis sel ditubuh manusia. Berdasarkan kemampuannya menjadi berbagai tipe sel tersebut, sel punca dapat dibagi menjadi beberapa tingkat kemampuan, yaitu bersifat totipoten, yaitu sel punca yang mampu menjadi progenitor dari ketiga
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
etik dan sosial yang luas dampaknya, sedangkan yang paling banyak dikembangkan sebagai sumber terapi sel adalah HSC CD34(+) dan mesench~~in~alstem celllMSC (sel punca mesenkimal).
lapisan primer germinal: ektoderm, mesoderm dan endodem; dalam ha1 ini adalah hasil konsepsi dalamphute iygote (hari ke 2 konsepsi). Pluripoten kemampunnya lebih terbatas untuk menjadi jenis lapisan germinal tertentu, misalnya: mesoderm; yang menjadi sel hematopoetik, osteogenik, chondrogenik dan jaringan adipose (lemak) dan unipoten, yaitu sel punca yang hanya mampu menjadi satu jenis progenitor sel, misal sel punca hematopoeitik eritroblast, yang menjadi eritrosit atau megakaryoblast yang menjadi trombosit (lihat gambar 1). Sel punca sendiri dapat berasal dari berbagai sumber: 1. Sel punca embrional (SPE), berasal dari blastosis (hari ke 5 fertilisasi) 2. Germinal embrional (melalui aborsi elektifkehamilan 5 -9 minggu) 3. Sel punca epitelialidarah plasentaljaringan fetus (misal: cord blood SCICBC)4. Sel punca dewasa (misal: HSC dari sumsum tulang atau darah tepi, sel punca adiposeljaringan lemak) 5. Sel punca somatik (.tomtitic .?ten1 celliSSC: diisolasi dari jaringan organ tertentu) 6. Sornutic Cell Nuclear Pun.sfirl SCNT: sel punca yang diperoleh dari sel somatik yang inti selnya ditransfer ke Oocyte donor yang telah dienukleasi, yang melalui proses genetic-epigenetic rearrangement akan memiliki kapasitas seperti ESC. 7. iPS (Induced Pluripotent Stem Cell), dengan melakukan inisiasi (reprogramming) embrional sel somatik manusia dengan memasukkan (transduksi) gen yang berperan penting dalam proses embrional melalui perantara lentivirul, seperti (OCT4, SOX2, NANOG dan LIN28) sehingga mempunyai kemampuan seperti sel embrional. Sel punca emprional dibanyak negara menimbulkan masalah -
Diawali penelitian exvivo Asahara pada tahun 1997 yang memperlihatkan CD34(+) murni, lnalnpu berdiferensiasi menjadi sel dengan phenotip endotel (positip penanda endotel EPC) dan mernbentuk pembuluh darah baru didaerah iskemik, merupakan bukti bahha HSC mampu bertransdifrensiasi menjadi selain sel hematopoetik. Setahun kemudian 1998 Raffi et al serta Shi et al, memperlihatkan invivo adanya circul~itorr.m(1otkelirrl progenitor celliCEPC yang merupakan EPC yang berasal dari SSTL; disamping adanya diferensiasi CD34(+) HSC menjadi sel dengan penanda EPC seperti vWF/I.i)n ( DIL ). Willehrund :\ Fuctor (+) dan Dil-ucrtj~lc~ted Diketahui EPCICEPC juga mengekspresikan VEGF reseptor KDR dan CD34 (+). Pada tahun 200 1 Kamihata , dalam penelitiannya menunjukkan BMMNC (honemurrow mono17~1cle~r cell) melepaskan VEGF, bFGF (bc1sic.fibr*o17lri,\t grolvth fucror), yang akan meningkatkan kadar angiopoeitin dan pada gilirannya bersifat merangsang lokal angiogenesis. Juga pada tahun yang sama beberapa peneliti dari berbagai pusat penelitian seperti masing n~asingJackson; Kocher; Orlicl dan Toma, beserta teman
-
-
-
-
Karakteristik Sel Embrional A s ~ I Didapaf dari embryo prelmplataSi atau port ~mplantasl
FI_.
Self renewal S e dapaf membag, drl menladl dtnnya sendlrl unluk waktu yang lama fanpa berdlfsrensiasl
Pluripoten: sel embrlooal dapat menladl se apapun dart kellga laplsan gennina bahkan setelah tu~nbuh dl med,a kultur untuk waktu lama
Tiga lapisan germma1 deogan masing maring contoh perkembangan selnya
Ektaderm menjadi'kulit.gtg8 olak,medulaspinalia rambut.se1 sensank mata,tellnga hrdung mulut dan sel pigmen
Mesoderm men~adl.otot. pembuluh darah.jarkat dan jantung
Endoderm menjadl' usus pancreas lambung.hatl, paw, kandung kemih dan sel telur / spsrma
Gambar 1. Perkembangan sel punca embr~onalpluripoten. Self renewal and Plasboty (D~kut~p dar~ Regenerative Medicine, 2006)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
SEL PUNCA (STEM CELL) DAN POTENSI KLINISNYA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pada tahun 2002; memperlihatkan bahwa sel punca sumsum tulang (hone marrow stem cell1BMSC) mampu engraftmen pada otot jantung dan sebagian mengekspresikan penanda cardiuc dan 1 atau endothelial protein, yang dapat berarti terjadi diferensiasi menjadi curdiuc lineage dan berperan dalam regenerasi otot jantung yang degeneratif.
ekspresi J-cathenin oleh HSC, atau sinyal Wnt oleh lingkungan mikro; diketahui meregulasi kapasitas renewal. Pemberian Shh ( Sonic hedgehog ) in vivo yang berfungsi upstream terhadap BMP-4 (Bone Morphogenic Protein 4); merangsang proliferasi HSC. BMP4 sendiri berfungsi penghambatap terhadap Shh. Selanjutnya mobilisasi HSC kedarah juga diperantarai komponen endotelial yang berlokasi di perisit pembuluh darah sinusoidal di sumsum tulang. Ini memperlihatkan salah satu contoh niche hematopoesis. Mekanisme diatas dan kemungkinan yang terbuka luas untuk merangsang diferensiasi spesisfik sel punca sesuai dengan faktor pertumbuhan yang diberikan ataupun lingkungan mikro tertentu ,akan semakin membuka potensi sel punca bagi mengatasi berbagai penyakit degeneratif growth factors
LIF
Ras
PI3 kine-
Wnt
I
BMP4
,
Garnbar 2. Tampak HSC rnenempati posisi berdampingan dengan osteoblas dan sinusoid pembuluh darah dan dikelilingi sel stroma yang berasal dari MSC di sumsurn tulang. (Dikutip dari: Yin T, Li L. The Stem cell niches in bone. J Clin Invest; 116:2006)
a. Niches (lingkungan mikro) Kemampuan tersebut dipertahankan melalui suatu kondisi dan mekanisme kompleks serta tertata secara cermat didalam lingkungan mikro atau niches; dimana perkembangan sel punca pluripoten yang untuk tetap mempertahankan sifat asal (renewal) atau menjadi progenitor yang commited dan yang akhirnya berdiferensiasi akhir menjadi sel tipe tertentu, dipertahankan lnelalui proses pembelahan yang simetrik, yang menghasilkan sel turunan yang identik dengan sel asal dan tetap berada diniche dan asimetrik, yang menghasilkan sel turunan yang merupakan progenitor dibawahnya dan akan meninggalkan niches untuk berdiferensiasi menjadi berbagai jalur (lineages); merupakan hasil interaksi sel punca dengan niches yang juga diregulasi oleh spesifik gro\r.tll factors, sitokin dan hormon tertentu, maupun sinyal intraselular yang mempertahankan status renelzlal dan sinyal yang menginduksi diferensiasi, yang akhirnya menghasilkan homeostasis jaringan. Ketidak seimbangan proses ini, seperti tnisalnya pembelahan simetris yang dominan akan menghasilkan penumpukkan sel punca seperti halnya pada proses tumorigenesis; dilain sisi pembelahan asimetri yang dominan menghasilkan penurunan populasi sel punca, yang akhirnya akan menyebabkan proses regenerasi organ menurun karena proses apoptosis. Penelitian in vivo Genevieve D tentang perkembangan HSC di sumsum tulang memperlihatkan peran osteoblas melalui ekspresi osteopontin meregulasi proliferasi dan ukuran niche,
self renewal
Gambar 3. Terlihat skerna sinyal intraselularyang rnernperlihatkan pengaturan self renewal oleh LIF(leukemia inhibitoly factor),Wnt dan BMP4; serta rangsangan diferensiasi oleh faktor pertumbuhan
b. Homing (migrasi sel punca) Homing adalah proses bertahap yang membutuhkan molekul adesif, sitokin dan kemokin serta protease degradasi matriks ekstraselular .Mobilisasi sel punca atau enu'othelialprogenitor celllEPC di dan ke sumsum tulang, jaringan iskemia atau jaringan tumor ganas diketahui mirip proses ekstravasasi lekosit/limfosit; atau migrasi transendotelial sel tumor pada saat terjadinya diseminasi hematogenous metastase. Kemokine merupakan molekul kecil peptide yang menginisiasi migrasi dari sel efektor. Diantaranya adalah SDFa (stromal derived factor a) yang terikat dengan CXCR4 reseptor (CDI 84) merupakan kemotaksis yang penting baik untuk progenitor, sel darah merah matang dan terlibat pada limfopoesis-B, juga mielopoesis(Corrinna W). Interaksi SDF- l a dengan CXCR4 akan merangsang migrasi limfosit, HSC dan juga sel tumor. Khusus HSC interaksi tersebut mengatur retensi, migrasi dan mobilisasinya di sumsum
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI tulang pada heomeostasis dan juga perlukaan jaringan. Secara singkat dapat dikatakan mobilisasi sel punca memperlihatkan karakteristik hilangnya kontak antar sel dan down regulation serta degradasi molekul adhesif diikuti desensitisasi axis SDF-a CXCR4. Sebaliknya up-regulation adesif molekul sel dan aktifasi SDF-a CXCR4 diperlukan untuk I~omingnyasel punca.
follow up jangka pendek; Penurunan volume LVES dan LVED ;ukuran infark atau pergerakan dinding jantung juga lebih baik pada kelompok sel punca. Terdapat korelasi positip antara dosis sel punca dan perbaiklan LVEF yang diukur dengan MRI. Santoso dan grup, salnpai May 2009 telah melakukan penyuntikkan intrakoroner PBSC pada 20 pasien IMA dan tiga pasien pilot prolect penyuntikkan intrakardial BMMNC pasien PJK no optlon terapi. Tidak didapati efek sarnping dan komplikasi peri-pasca tindakan, sampai follow up 3 - 9 bulan. Dan diteinui perbaikan fungsi jantung dan pengecilan jaringan infark yang moderate.
PENERAPAN KLlNlS Diluar penyakit keganasan darah dimana transplatasi HSC telah dipergunakan lebih dari 30 tahun dan terbukti meningkatkan angka kesembuhan dan harapan hidup; sel terapi pada penyakit degeneratif sendiri telah diterapkan menggunakan behcrapa sumher sel punca yang diharapkan mampu herkembang merljadi progenitor/ repopulasi dari sel jaringan yang rusak, nannrn padu saat yang sumo tak mampu herkembang n~erljadi teratoma. Beberapa penyakit yang mungkin mendapat keuntungan dari sel terapi adalah: penyakit jantung: infark akut dan kronik, penyakit pembuluh darah perifer (PAD), diabetes, kelainan ginjal, penyakit autoimmune, penyakit liver akut dan kronik, penyakit muskulo-skeletal dan penyakit degeneratif lainnya. Beberapa sudah dalam tahap uji klinik fase 2, dan sebagian lainnya masih dalam tahap penelitian preklinik pada hewan. 1 . lnfark miokard a k u t (IMA) dan ischemic cardiomyopathy (ICM). Peran sel punca baik pada recent IMA (< I4 hari ) dengan penyuntikkan intrakoroner BMMNC (delapan penelitian) dan PBSC (dua penelitian) total 698 pasien, median follow up enam bulan, telali di meta-analisa oleh Lipinsky et al. Didapatkan hasil perbedaan secara statistik bermakna serta mengu~itungkan pada kelompok yang meiidapat sel punca, meliputi: peningkatan bermakna LVEF sebesar 3%; pengecilan ukuran infark, (-) 5,6% ;penurunan volume akhir sistolik: () 7,4 ml. Volume akhir diastolik meskipun tak bermakna menunjukkan kecenderungan menurun: (-) 4,6 ml. LatifAA, et al melakukan kajian sistimatik dan meta-analisa yang meliputi delapan belas penelitian dengan total 999 pasien meliputi sepuluh penelitian IMA, enam penelitian ICM dan dua penelitian carnpuraii IMA IICM. Jenis sel punca yang dipergunakan meliputi sel punca dewasa meliputi BMMNC, BM-MSC dan BM-CPC (circulating progenitor cell). Didapati perbedaan bermaluia yang menguntung keiolnpok sel punca yang meliputi: perbaikan 3,66% LVEF, pengecilan ukuran infark sebesar (-) 5,49% dan penurunan LVES volume sebesar (-) 4,8 ml. Martin Rendon, et a1 meliputi tiga belas penelitian acak total 81 1 pasien.Hasilnya memperlihatkan sel terapi tak berhubungan dengan peningkatan efek samping yang tak diinginkan, rneskipun belum cukup data untuk rnengambil kesitnp~~lan definitif. Diperliliatkan pula peningkatan LVEF yang ajeg pada
'
2. PAD (Peripheral Arterial Disease): Beberapa penel itian menetapkan pasien yang sesuai dengan unti~kimplantasi sel punca baik BMMNC maupun PBSC adalah pasien dengan chronic critical lirnh rschemia (CLI), tennasuk nyeri pada istirahat, i~lkusyang tak menyembuh, bukan kandidat operasi ataupun operasi neovaskuiar~sasi,ABI 0.6 dan tetap progresif setelah menjalani seinua terapi baku secara optimal. Hiroaki M, pada total n= 45 pasien melakukan uji klinik random, buta ganda, ditnana sebagian pasien mendapat suntikan iM BMMNC : berkisar 0,7 - 2,8 x 10e9 ( rata rata 1,6 x 10e9 sel : SD 0,6 ); termasuk CD34(+) dengan kisaran 0,84 -9,6 x 10e7 ( rata rata 3,7 x 1 Oe 7 sel : SD 1,8 ); dan sebaga~kontrol ~nendapatPBMNC. Pada lninggu ke empat didapati peningkatan ABI pada kedua keloinpok, namun pasien dengan BMMNC ABI meningkat 0 , l dibanding 0,02 pada PBMNC ( p< 0,0001 ). Observasi sampai 24 minggu pasca injeksi tetap terjadl perbaikan satus iskemik (ABI, konsentrasi 0 2 jaringan, skala nyeri istirahat, bebas nyeri pada waktu berjalan dan perbaikan ulkus). Terjadi perbaikan angiograti pada 60 % pasien dimana pada kelompok BMMNC didapati rasio kapilerlserat otot sebesar 2,3 dibanding PBMNC 0,74. Hasil yang mirip juga diperlihatkan pada laporan kasus Ishida A et a1 pada enain kasus PAD berat (5 pasien thromboangitis obliterans, 1 pasien arteriosklerosis obliterans) dengan suntikan mobilisasi PBMNC pada hari I dan 2; dan Huang P, et al pada 28 kasus diabetes dengan CLI melalui uji klinik acak dengan mobilisasi PBMNC dan kontrol dengan suntikan hari 1 dan ke- 14 3. Penyakit keganasan: Progenitor sel kanker, yang mengekspresikan penanda sel punca dan mampu se/j renewal telah dapat diisolasi dari pasien AML, melanoma, keganasan otak, payudara, ovarium dan prostat (Mimeault M et al). Didasari berbagai penelitian sebelumnya yang memperlihatkan sel punca kanker memperlihakan aberansi ekspresi danlataatau aktititas dari berbagai horrnon. Faktor pertumbuhan (GF) sitokin dan kemokin (androgen, estrogen, EGF dan TGFaEGFR, IGFilGFR, S W S M O , Writ/ B-catenin, Notch, TGF-I3 dan SDF-alCXCR4 dan elemen sinyal tumoregenik (telomerase, PI3K/Akt, NF-kB dan MycI ); yang mungkin berperan terhadap pertumbuhan yang terus menerus, survival sel punca kanker dan juga transformasi keganasan pada waktu inisiasi dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
SEL PUNCA (STEM CELL) DAN POTENSI KLINISNYA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
progresifitas sel ganas; maka berkembang penelitian terapi target molekular yang mampu menghambat kaskade sinyal spesifik seperti inhibitor EGFR, Hedgehog, WntlJ-catenin dan Notch, atau dengan terapi kombinasi yang akan memberikan hasil yang lebih efektif. 4. Penyakit liver kronik/sirosis:Laporan pendahuluan dua uji klinik non acak, Gordon et a1 dan Terai et al, dengan penggunaan PBSC dari hail mobilisasi G-CSF berturut turut memperlihatkan: 3 - 4 dari 5 pasien sirosis yang mendapat suntikkan intra hepatik dan infus perifer BMMNC, memperlihatkan perbaikkan fungsi hati dengan menurunnya bilirubin, meningkatnya albumin dan berkurangnya asites. Sedangkan melaporkan dari 9 pasien yang diteliti, terjadi perbaikan fungsi hati dan perbaikan Child Pough pada semua pasien yang diteliti dan p e n m a n asites pada 6 pasien. 5. Pengembangan sel terapi pada pasien diabetes tipe 1 dan 2, penyakit auto-immune danjuga penyakit ginjalmasih dalam fase awal penelitian preklinik dengan hasil yang menjanjikan dan dapat menjadi terapi alternatif dimasa mendatang.
1. Sel punca, khususnya HSC selama lebih dari 30 tahun telah berperan dalam pengobatan keganasan darah, adalah sel yang memiliki kemampuanselfrenaval, belum mempunyai fungsi yang khusus (unspecialized) dan mampu menjadi progenitor berbagai sel organ ditubuh kita (plastisitasltransdiferensiasi), dapat berperan mengatasi berbagai penyakit degeneratif 2. Berdasarkan kemampuannya bertransdiferensiasil plastisitas dikenal sel punca totipoten, pluripoten dan unipoten 3. Secara umum sel punca dapat berasal dari sel punca embrionallgerminal embrional; dan sel punca dewasa termasuk didalamnya sel punca dari amnion-epiteliall jaringan fetusldarah plasenta. 4. Dikenal teknik SCNT dan iPS, yang menjadikan sel somatik kembali mampu menjadi seperti halnya sel embrional 5. Dibidang penyakit dalam, manfaat sel terapi (-dan yang paling banyak diteliti adalah pada penyakitjantung IMA dan PJK -) dalam bentuk pemberian sel punca secara intrakoroner ataupun intrakardial memberikan perbedaan bermakna: peningkatan LVEF, penurunan ESV dan ukuran infark dibanding kelompok kontrol. Sedangkanperbaikan iskemik jaringan juga dilaporkan penelitian pendahuluan pada PAD 6. Sampai saat ini pengunaan sel terapi pada berbagai penyakit degeratif meskipun pada banyak pusat penelitian memberikan hasil positip, masih dalam tahap penelitian.
REFERENSI
Ho AD, Wagner W. Clinical potential of stem cells: hype or hope? In: Ho AD, Hoffman, Zanjani ED, eds. Stem Cell Transplantation. Biology, prossesing, and therapy. Weinheim: WILEY.VCH Veerlag Gmbh & Co.Kga.4; 2006. p. 3 - 20. Mimeault M, Batra SK. Concise review: recent advances on the significance of stem cell in tissue regeneration and cancer therapies. STEM CELLS. 2006;24:23 19-45. Cosphiadi Irawan. Terapi sel punca ("Stem CelllSC'') di bidang penyakit dalam. PIT PAPDI ke 111, Semarang, 2009. Regenerative Medicine 2006.pdf Tefesse Window. Huangsu D, Osafune K,Machr R, Goo W, Eijkelenboom A, Chen. Induction of pluripotent stem cell from primary human fibroblast with only Oct 4 and Sox2. Nature. 2008;22:1269-74. Rasokat UF, Dimmeler Stefanie. Endothelial Progenitor Cells for Cardiac Regeneration. In: Ho AD,Hoffman, Zanjani ED, eds. Stem cell transplantation. Biology, prossesing, and therapy. Weinheim:WILEY.VCH Veerlag Gmbh & Co.KgaA; 2006. p. 17992. Despars G, Tan J, Periasamy P, O'Neill HC. The role of stroma in hematopoesis. Current stem cell research & therapy. 2007;2:23. Yin T, Li L. The stem cell niche in bone. J Clin. Invest. 2006;116:1195-201. Weidt C, Niggeman B, Kasenda B, Drell TL, Zanker KS, Dittmar T. Stem cell migration: a quintessential stepping stone to succesfull therapy. Current stem cell research & therapy. 2007;2:89-103. Lipinsky MJ, Biondi-Zoccai GGL, Abbate A, et al. Impact of intracoronary cell therapy on left ventricular function in the setting of acute myocardial infarction. J Am Coll Cardiol. 2007;50;1761-7. Abdel Latif A, Bolli R, Tleyjeh IM, et al. Adult bone marrow derived cells for cardiac repair a systematic review and meta-analysis. Arch Intern Med. 2007;167:989-97. Martin RE, Braunskill S, Dorcee S, et al. Stem cell treatment for acute myocard infarction. (Review). The Cochrane Collaboration, Wiley J & Smith. 2008. Santoso T, Cosphiadi 1, Alwi I, Auda A, Kosasih A, Ardian, et al. Safety and efficacy of combined G-CSF and EPO based-stem cell therapy using intracoronary infusion of autologous PBSC in patients recent myocardial infarction: phase 11 study (unpublished data) 2009. Matsubara H. Therapeutic angiogenesis for cardiac and peripheral vascular diseases by autologous bone marrow cell transplantation. In: Kipshidze, Serruys PW, eds. Hand Book of Cardiovascular cell transplantation, London: Martin Dunitz, Taylor & Francis Group. 2004:275-85. Ishida A, Ohya Y,Sakuda H, et al. Autologous PBMNC implantation for patients with PAD improves limb ischemia. Circ J. 2005;69: 1260-5. Huang P, Li S, Han M, et al. Autologous transplantation of G-CSF mobilized PBMNC improves critical limb Ischemia in diabetes. Diabetes Care 2005;28:2155-60. Lorenzin S, Andreone P. Stem cell therapy for human liver cirrhosis: a cautious analysis of the results. Stem cell. 2007;25:2383-4. Terai S, Tashikawa T, Omari K, et al. Improved liver function in patients with liver cirrhosis after autologous BM cell infusion therapy. Stem Cells. 2006;24:2292-8.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENDEKATAN DIAGNOSTIK TUMOR PADAT Budi Darmawan Machsoos
PENDAHULUAN Diagnosis tumor padat bertujuan mengidentifikasi jenis tumor padat yang diderita dengan cara pemeriksaan tertentu secara lege artis. Menegakkan diagnosis suatu tumor padat adalah sangat penting walaupun tidak selalu mudah dan hams dilakukan sebelum memberikan terapil penatalaksanaan tumor padat itu sendiri. Berbagai upaya klinik yang meliputi pendekatan multidisipliner diperlukan secara rutin untuk menegakkan diagnosis tumor padat. Atas dasar azas manfaat dan memudahkan cara kerja di klinik serta efisiensi tenaga dan biaya, maka pembahasan pendekatan diagnostik tumor padat selanjutnya difokuskan pada: pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium,pemeriksaan patologi anatomi, pemeriksaan penunjang lain, pentahapan (staging) tumor padat, tata cara penulisan diagnosis tumor padat dan status penampilan (performance status) pasien.
Tumor padat adalah bentuk benjolan yang abnormal dalam tubuh, yang disebabkan oleh berbagai macam penyakit, seperti penyakit keganasan (neoplasma), infeksi, dll. Dalarn arti khusus tumor padat di sini didefinisikan sebagai benjolan yang disebabkan oleh penyakit keganasan (neoplasma); dan neoplasma ganas secara umum disebut kanker. Dalam pembahasan selanjutnya pada bab ini yang dimaksud tumor padat adalah tumor padat ganas.
PEMERIKSAAN KLlNlK Pemeriksaan klinik disini adalah pemeriksaan rutin yang biasa dilakukan dengan cara anamnesis dan pemeriksaan
fisik, yaitu: inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi, rectal toucher, dll. Pemeriksaan ini sangat penting, karena dari hasil pemeriksaan klinik yang dilakukan secara teliti, menyeluruh, dan sebaik-baiknya dapat ditegakkan diagnosis klinik yang baik pula. Pemeriksaan klinik yang dilakukan hams secara holistik. Anamnesis tentang keluhan kanker pada seorang pasien, dapat bermacam-macam mulai dari tidak ada keluhan sampai banyak sekali keluhan, bisa ringan sampai dengan berat. Kanker stadium dini pada umumnya tidak menimbulkan keluhadgejala apapun. Keluhanlgejala yang timbul biasanya bergantung pada lokasi tumor pada organ, stadium lanjut dari tumor, dan penyulit yang ditimbulkannya. Lokasi tumor pada organ vital seperti: otak, mediastinum, paru, hepar, pankreas, ginjal, dl1 akan lebih cepat menimbulkan keluhadgejala yang khas. Begitu juga stadium dari tumor; semakin lanjut stadium tumor, semakin banyak timbul keluhanlgejala akibat tumor padat itu sendiri atau akibat penyulit yang ditimbulkannya. Apabila ditemukan tumor padat di dalam atau di permukaan tubuh yang jumlahnya banyak (multiple), maka perlu ditanyakan tumor mana yang timbul lebih dahulu. Tujuannya adalah untuk memperkirakan origin dari tumor padat. Pemeriksaan fisik sebagaimana dilakukan secara rutin di klinik juga perlu dilakukan pada pasien tumor padat. Pemeriksaan fisik ini sangat penting sebagai data dasar keadaan umum pasien dan keadaan awal tumor padat tersebut saat di diagnosa. Selain pemeriksaan umum, pemeriksaaaan khusus terhadap tumor padat tersebut perlu dideskripsikan secara teliti dan rinci. Untuk tumor padat yang letaknya berada di atau dekat dengan permukaan tubuh, jika perlu dapat digambar topografinya pada organ tubuh supaya mudah mendeskripsikannya. Selain itu juga perlu dicatat: (1). Ukuran tumor padat, dalam 2 atau 3 dimensi, (2). Konsistensinya, (3). Ada perlekatan atau tidak
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOGI MEDlK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
dengan organ di bawahnya atau kulit di atasnya. Jika ada komplikasi lokaljuga perlu dicatat, misalnya terdapat ulkus di atasnya, tanda-tanda infeksi, abses, retraksi, dll. Pemeriksaan klinis juga mempunyai peranan penting dalam memperkirakan apakah tumor padat tersebut jinak atau ganas (Tabel 1).
Karakteristik
Tumor Jinak
Tumor Ganas
Batas tumor Kapsul Kecepatan tumbuh lnfiltrasi
Jelas Jelas Umumnya lambat Tidak ada
Nekrosisl ulserasi Struktur jaringan
Sangat jarang Khas menunjukkan asal jaringan Uniform Normal Normal Normal Tidak ada Jarang Jarang, kecuali tumor endokrin
Tidak jelas Tidak jelasl pseudo kapsul Umumnya cepat Ada, bahkan merupakan ciri khas Sering Tidak khas, sering sulit menentukan asal jaringan Polikromasi Hiperkromasil polikromasi Hiperkromasil polikromasi Naik Sering Sering Sering
Bentuk sel Warna inti sel Warna sitoplasma Rasio nukleuslplasma Metastase Residif Efek sistemik
PEMERIKSAAN LABORATORIUM Pemeriksaan laboratorium rutin untuk menunjang diagnosis tumor padat penting dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui keadaan pasien apakah ada penyulit kanker atau penyakit sekunder, dan juga untuk persiapan terapi yang akan dilakukan baik itu tindakan bedah maupun tindakan medik. Beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan, antara lain: a. darah lengkap f faal hemostatik k. asam urat b. urin lengkap g. protein serum 1. serum imunoglobulin c. tes fungsi hati h. alkali fosfatase m. dl1 d. tes fungsi ginjal i. elektrolit serum e. gula darah j. LDH Pada kasus limfoma maligna, pemeriksaan LDH yang meningkat dapat menggambarkan massa tumor dan laju ganti, terutama pada limfoma yang bersifat agresif. Sedangkan hiperurikemia pada kasus yang sama selain merupakan manifestasi laju ganti limfoma agresif, juga ditemukan pada limfoma derajat keganasan rendah yang ekstensif. Pada kanker lain seperti keganasan kolorektal, peningkatan LDH diikutkan dengan prognosis.
dari biopsi tumor padat atau dari spesimen operasi. Ada beberapa cara biopsi yang sering dilakukan, yaitu: 1). Biopsi insisi, yaitu mengambil sebagian kecil jaringan tumor padat dengan menggunakan pisau bedah; 2). Biopsi eksisi (biopsi in toto), yaitu mengambil seluruh tumor secara eksisi. Untuk tumor jinak, tindakan ini sekaligus sebagai terapi; 3). Biopsi truncut, yaitu mengambil sebagian jaringan tumor dengan alat biopsi khusus berbentukjarum besar yang dapat memotong dan mengambil jaringan tumor; 4). Biopsi aspirasi denganjarum (Needle Aspiration Biopsy), yaitu mengambil sebagian kecil jaringan tumor padat dengan cara disedot menggunakan jarum yang ditusukkan kedalam jaringan tumor. Dapat dilakukan dengan jarum besar (jarurn no 18 atau jarum Jamshidi), atau j a m halus ( j a m nomer 23), atau menggunakan jarum khusus (jarurn Vin Silverman); 5). Biopsi endoskopi, yaitu mengambil sebagian kecil jaringan tumor dengan menggunakan endoskop. Setelah bahan sediaan PA diperoleh, selanjutnya diproses melalui beberapa cara agar dapat dipotong sangat halus. Proses tersebut antara lain: sediaan beku (Vries coupe), parafine block, plastic coupe, dl1 dan dilakukan pengecatan sesuai tujuan pemeriksaan. Pemeriksaan PA ini sangat penting dalam menentukan jenis tumor padat, dan selanjutnya akan sangat berguna untuk menentukan tindakan terapi apa yang akan diberikan kepada pasien. Pemeriksaan PA ini antara lain dipergunakan untuk menentukan: Diagnosis patologi atau morfologi yang didasarkan pada hasil pemeriksaan mikroskopis, dan sekaligusbisa untuk menentukan jaringan asal tumor padat apakah berasal dari jaringan: Epithel, embrional,mesenkim, atau campuran. Sifat tumor: Jinak, Ganas, karsinoma in situ. Derajat diferensiasi sel. Ada 4 derajat, yaitu: - G 1 = diferensiasi baik (well dzferentiated) - G2 = diferensiasi sedang (moderatelydzferentiated) - G3 = diferensiasijelek (poorly differentiated) - G4= Tanpa diferensiasi (undifferentiated atau anaplastic) Pada umumnya derajat keganasan tumor padat sesuai dengan derajat diferensiasi sel. Makin jelek derajat diferensiasi sel, makin ganas tumor padat tersebut. Stadium Penyakit. Penentuan stadium penyakit juga penting artinya, karena stadium ini sangat menentukan prognosis pasien. Beberapa stadium dari kanker dapat ditentukan dari pemeriksaan PA. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada staging tumor padat di bawah.
PEMERIKSAAN PATOLOGI ANATOMI PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN Pemeriksaan Patologi Anatomi (PA) ialah pemeriksaan morfologi tumor, meliputi pemeriksaan makroskopi dan mikroskopi. Bahan untuk pemeriksaan PA dapat diperoleh
Pencitraan (Imaging) Pemeriksaan imaging yang diperlukan untuk membantu
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1409
PENDEKATAN DIAGNOSTIK TUMOR PADAT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI menegakkan diagnosis tumor padat (radiodiagnosis) banyak jenisnya mulai dari yang konvensional sampai dengan yang canggih, dan untuk efisiensi hams dipilih sesuai dengan kasus yang dihadapi (Tabel 2). Pada tumor padat yang letaknya profunda dari bagian tubuh atau organ, pemeriksaan diperlukan untuk tuntunan (guiding) pengambilan sampel patologi anatomi, misal cucukjaruml fine needle aspiration biopsi (FNAB) atau biopsi lainnya. Selain untuk membantu menegakkan diagnosis, pemeriksaan imagingjuga berperan dalam menentukan staging dari tumor padat. Beberapa pemeriksaan imaging tersebut antara lain: Radiografi polos atau radiografi tanpa kontras. Contoh: X-foto tengkorak, leher, toraks, abdomen, tulang, marnrnografi, dll. Radiografi dengan kontras. Contoh: Saluran cerna bagian atas, bronkografi, Colon in loop, kistografi, dll.
Organ yang Diperlksa
Jenis Radiodiagnosis
Laring
Ro tengkorak, CT, Ventrikulografi, Angiografi Ro tulang vertebrae, Mielografi Ro Tengkorak, Water, CT Ro Tengkorak. Water, CT Ro Tengkorak (lateral, basis), Water. CT, MRI, Bone scan. Ro toraks Laringografi, CT
Tiroid
USG, Scan 113' uptake
Paru
Ro toraks (PA, lateral), CT, bronkografi, PET Scan Ro toraks, CT Mammografi, USG, Ro toraks, bone scan, CT
Otak Mielum Sinus Maksilaris Mulut Nasofaring
Mediastinum Payudara Esofagus Lambung, Duodenum Kolon. Rekto-sigmoid Hepar
UGI, CT UGI. CT colon in loop, CT. Ro toraks. USG, CT
Pankreas
USG, CT. MRI
Ginjal
IVP, CT, Angiografi
Vesika Urinaria
USG, Kistografi
Prostat
USG. Kistografi. CT
Uterus, Ovari-um, Sewiks Jaringan lunak
USG. CT abdomen. Ro toraks
Pembuluh darah Pembuluh limfe Kelenjar limfe Tulang Otot
Angiografi, MRI Limfografi Limfografi. USG, CT Ro tulang, Scintigrafi ,CT CT, MRI
Ro polos, CT, MRI
Keterangan: CT = Computerized tomography UGI = Upper Gastro Intestinal MRI = Magnetic Resonance Imaging IVP = lntra Venous Pyelography USG = Ultrasonography PET = Positron Emission Tomography Ro = Rontgen
USG (Ultrasonografi), yaitu pemeriksaan dengan menggunakan gelombang suara. Contoh: USG abdomen, USG urologi, mammosografi, dll. CT-scan (Computerized Tomography Scanning). Contoh: Scan kepala, thoraks, abdomen, whole body scan, dll. MRI (Magnetic Resonance Imaging;). Merupakan alat scanning yang masih tergolong baru dan pada umumnya hanya berada di Rumah sakit besar. Alat ini menggunakan magnet inti sel, terutama ion hidrogen. Hasilnya dikatakan lebih baik dari CT. Sintigrafi atau sidikan Radioisotop.Alat ini merupakan salah satu alat scannning dengan menggunakan isotop radioaktif, seperti: I~dium'~', Technetium 99, dll. Contoh: scinfigrafi tiroid, tulang, otak, dll. RIA (RadioImmuno Assay), untuk mengetahui petanda tumor (tumor marker).
Penanda Tumor (Tumor Marker) Penanda tumor (PT) atau tumor marker ialah molekul protein berupa enzim, hormon, dl1 yang dalam keadaan normal tidak atau sedikit sekali diproduksi oleh sel tubuh. PT merupakan salah satu penunjang pemeriksaan kanker tertentu, baik untuk skrining, menegakkan diagnosis, prognosis, pemantauan hasil pengobatan dan juga deteksi kekambuhan. Untuk tujuan skrining, diagnosis, maupun untuk menilai hasil pengobatan, maka harus dipilih penanda tumor yang memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Tetapi perlu diingat bahwa hingga saat ini belum ditemukan PT tunggal yang memiliki sensitifitas dan spesifisitasyang tinggi. Pemeriksaan kombinasi PT berupa panel pemeriksaan tertentu, untuk jenis tumor tertentu, dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas diagnostik (Tabel 3). Pada umumnya pemeriksaan penanda tumor pertama I awal dilakukan sebelum terapi untuk menunjang diagnosis dan atau untuk memperoleh data awal kadar PT yang diperlukan untuk pemantauan berikutnya. Secara umum jadwal pemeriksaan PT berikutnya dalam rangka pemantauan atau deteksi kekambuhan adalah: (1). Antara 2-10 hari setelah tindakan, (2). Setiap 3 bulan selama 1-2 tahun pertama, (3). Setiap 6 bulan pada tahun ke 3-5, (4). Bila secara klinis ada dugaan residif atau metastasis, (5). Bila ada peningkatan kadar PT, pemeriksaan diulang k 4 minggu kemudian. Dalam ha1 pemantauan, interpretasi hasil pemeriksaan tidak didasarkan pada hasil satu kali pengukuran tetapi pada trend peningkatan atau penurunan kadar PT tersebut.
PENTAHAPAN TUMOR PADAT Pentahapan tumor padat ialah penentuan stadium dari tumor padat, meliputi penentuan letak topografi tumor
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1410
ONKOLOGl MEDIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kanker Payudara Ovariurn Testis Kolorektal Prostat Paru Tiroid Koriokarsinorna Neuroblastoma Hati Pankreas Lambung Nasofaring Esofagus Serviks
Skrining
Diagnosis
Prognosis
ER. PR, HER-2 CA 125, CA 72-4 AFP, P-HCG, LDH PSA
AFP IgA anti EBV-VCA & EA
PSA NSE, SCC, Cyfra 21-1 Kalsitonin, Tiroglobulin p-HCG NSE, VMA, Katekolamin AFP, PlVKA II CA 19-9, CEA CA 72-4, CA 19-9 IgA anti EBV-VCA CEA, SCC
AFP, p-HCG, LDH CEA PSA
CA 15-3, CEA, MCA, CA 27. 29 CEA, Ca 125 AFP, P-HCG, LDH CEA, CA 19-9 PSA NSE, Cyfra 21-1, CEA Kalsitonin, Tiroglobulin
CA 19-9
NSE AFP CA 19-9 CA 72-4, CEA IgA anti EBV-VCA
HPV Typing
primer, ekstensinya ke organ sekitar, dan ada tidaknya metastasenya ke organ lain. Mengetahui stadium tumor padat sangat penting artinya untuk menentukan tindakan terapi apa yang akan diberikan dan juga prognosis penyakit. Beberapa cara menentukan stadium dari tumor padat, antara lain berdasarkan: (1). Letak topografi tumor beserta ekstensi dan metastasenya dalam organ, (2). Sistem TNM, (3). Pentahapan menurut AJCC (American Joint Committee on Cancer), dan (4). Berdasarkan kesepakatan para ahli (konvensi).
Stadium Tumor Padat Berdasarkan Letak Topografi, Ekstensi, dan Metastasenya Dalam Organ Stadium lokal: pertumbuhannya masih terbatas pada organ semula tempatnya tumbuh. Karsinoma in situ: pertumbuhannya masih terbatas intra epitelial, intraduktal, intra lobuler. Istilah ini hanya dikenal pada tumor ganas epitelial. Infiltrasi lokal atau invasif: Tumor padat telah tumbuh melewati jaringan epitel, duktus, atau lobulus, tetapi masih dalam organ yang bersangkutan (pengertian patologi: telah melewati stratum papilare atau membrana basalis) atau telah menginfiltrasi jaringan sekitarnya (pengertian klinis: sudah ada perlekatan dengan organ sekitarnya). Stadium metastase regional: Tumor padat telah metastase ke kelenjar limfe yang berdekatan (kelenjar limfe regional) S t a d i u m m e t a s t a s e j a u h : Tumor padat telah metastase pada organ yang letaknya jauh dari tumor primer. Secara klinis kadang-kadang dipakai dua istilah di atas sekaligus untuk menyebutkan stadium tumor padat yaitu S t a d i u m lokoregional, oleh karena pada kenyataannya sering ditemukan stadium lokal dan regional secara bersamaan pada waktu dilakukan pemeriksaan klinis.
Pernantauan Tx, Deteksi kekarnbuhan
SCC
Sistem TNM (Stadium TNM) Sistem ini pertamakali diperkenalkan oleh seorang sarjana Perancis Piere de Noix, kemudian dipergunakan dan disempurnakan oleh UICC (Union Internationale Contre le Cancere), dan sejak 1958 sistem ini dipergunakan secara luas di berbagai belahan dunia. Sistem TNM ini berdasarkan 3 kategori, yaitu: T (Tumor primer), N (Nodul regional, metastase ke kelenjar limfe regional), dan M (Metastase jauh). Masing-masing kategori tersebut dibagi lagi menjadi subkategori untuk melukiskan keadaan masing-masing kategori dengan cara memberi indeks angka dan huruf dibelakang T, N, dan M, yaitu: T = Tumor Primer - Indeks angka: Tx, Tis, TO, T1, T2, T3, dan T4. - Indeks huruf: T 1a, T 1b, T 1c, T2a, T2b, T3b, dst N = Nodul, metastase ke kelenjar regional. - Indeks angka: NO, N1, N2, danN3. - Indeks huruf: Nla, N l b, N2a, N2b, dst M = Metastase organ jauh - Indeks angka: MO, M1 - Indeks huruf: Mx Tiap-tiap indeks angka dan huruf mempunyai arti klinis sendiri-sendiri untuk tiap jenis atau tipe tumor padat. Jadi arti indeks untuk karsinoma payudara tidak sama dengan karsinoma nasofaring, dsb. Pada umumnya arti sistem TNM tersebut adalah sebagai berikut: Kategori T = Tumor Primer. - Tx = Syarat minimal menentukan indeks T tidak terpenuhi. - Tis = Tumor in situ - TO = Tidak ditemukan adanya tumor primer - T1= Tumor dengan f maksimal < 2 cm - T2 = Tumor dengan f maksimal2-5 cm - T3 = Tumor dengan f maksimal>5 cm - T4 = Tumor invasi keluar organ. Kategori N = Nodul, metastase ke kelenjar regional. - NO = Nodul regional negatif
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1411
PENDEKATAN DIAGNOSTIK TUMOR PADAT
- N1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Nodul regional positif, mobil (belum ada perlekatan) - N2 = Nodul regional positif, sudah ada perlekatan - N3 = Nodus jukstaregional atau bilateral. Kategori M = Metastase organ jauh - MO = Tidak ada metastase organ jauh - MI = Ada metastase organ jauh - Mx = Syarat minimal menentukan indeks M tidak terpenuhi. =
Pentahapan Menurut AJCC (American Joint Committee on Cancer) Setelah sistem TNM diperkenalkan dan dipakai secara luas pada tahun 1958, kelompok para ahli yang menangani kanker di USA, pada tahun 1959juga mengemukakan suatu skema pentahapan kanker yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari sistem TNM. Kelompok para ahli tersebut semula bernama: The American Joint Committe for Cancer Staging and End Results Reporting (disingkat: AJC). AJC tersebut kemudian berubah nama pada tahun 1980 menjadi American Joint Committee on Cancer (disingkat AJCC). Tujuan pembuatan skema staging kanker tersebut adalah agar lebih praktis dan lebih mudah pemakaiannya di klinik. Buku manual stadium kanker (Manuulfor StagingofCancer) edisi satu hasil kerja AJCC dipublikasikan pertama kali pada tahun 1977 dan diperbarui setiap beberapa tahun, sehingga pada tahun 2002 sudah dikeluarkan edisi 6 yang sampai saat ini dipakai secara luas. Staging menurut AJCC ini pertama harus menentukan T,N,M dari tumor padat tersebut sesuai ketentuan yang ada, dan selanjutnya dikelompokkan dalam stadium tertentu yang dinyatakan dalam angka Romawi (I-IV) dan angka Arab (khusus untuk stadium 0). Lebih mudahnya, sebagai contoh dapat dilihat staging kanker payudara menurut AJCC pada Tabel 4.
Stadium Stadium 0 Stadium I Stadium IIA
Stadium llB Stadium lllA
Stadium lllB
Stadium lllC Stadium IV
Pentahapan Berdasarkan Kesepakatan Para Ahli (Konvensi) Beberapa jenis tumor padat stagingnya didasarkan pada kesepakatan para ahli dibidangnya masing-masing. Beberapa contohnya antara lain: Stadium Dukes, untuk karsinoma kolorektal Stadium Ann Arbor, untuk limfoma maligna Stadium FIGO, untuk karsinoma sewiks dan tumor ginekologi Stadium Jewett, untuk karsinoma bladder (kantung kencing) American staging for prostate cancer, untuk kanker prostat Staging melanoma maligna menurut Clark, dan Breslow, dll.
TATA CARA PENULISAN DIAGNOSIS TUMOR PADAT Setelah semua pemeriksaan yang diperlukan untuk diagnosis telah lengkap, maka selanjutnya penegakkan diagnosis tumor padat hendaknya ditulis selengkaplengkapnya, meliputi: (I). Organ asal tumor padat (origin-nya), (2). Histopatologi, dan (3). Stadiumnya. Tumor primer pada umumnya diberi nama berdasarkan nama organ atau jaringan tempat tumor padat tersebut pertama kali tumbuh. Namun ada beberapa tumor padat diberi nama berdasarkan nama sarjana yang pertamakali menemukan atau melaporkan jenis tumor tersebut (eponim), antara lain: Limfoma Burkitt, Limfoma Hodgkin (keduanya merupakan keganasan kelenjar limfe), Tumor Wilm (nefroblastoma, keganasan pada ginjal), Tumor Brenner (tumor ovarium, dapat ganas atau jinak), Sarkoma Ewing (tumor ganas tulang), dll. Selain itu sebaiknya juga disebutkan status penampilan pasien (performance status) saat diagnosis ditegakkan, untuk tujuan persyaratan sebelum dilakukan tindakan terapi dan sekaligus untuk evaluasi perkembangan keadaan umum pasien selama dan sesudah terapi diberikan. A
Deskripsi TNM Tis TI TO TI T2 T2 T3 TO TI T3 T3 T4 T4 T4 Sembarang T Sembarang T
NO MO NO MO N1 MO N1 MO NO MO N1 MO NO MO N2 MO N2 MO N1 MO N2 MO NO MO N1 MO N2 MO N3 MO Sembarang N M I
STATUS PENAMPILAN PASIEN Status penampilan pasien juga perlu ditetapkan sejak diagnosis tumor padat ditegakkan. Hal ini sangat berguna untuk menilai base line status penampilan pasien sejak diagnosis ditegakkan dan perubahannya selama pengobatan, maupun selesai pengobatannya. Pada umumnya status penampilan pasien ditampilkan dalam bentuk skala tertentu. Beberapa diantaranya yang sering dipakai adalah Skala Karnofsky, Skala Zubrod (ECOG = Eastern Cooperative Oncology Group) seperti teilihat dalam Tabel 5,6, dan 7.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Skala
Deskripsi Tidak tarnpak sakit Aktivitas normal dengan sedikit tanda-tanda penyakit Aktivitas normal dengan upaya; tanda-tanda penyakit Tidak dapat beraktivitas normal tapi rnarnpu rnengurus diri sendiri Kadang-kadang rnernbutuhkan bantuan Mernerlukan bantuan cukup banyak Sering rnemerlukan bantuan Tidak dapat bergerak sendiri; butuh perawatan khusus Sangat 1ernah;dapat rnernerlukan perawatan rurnah sakit Sakit berat, rnernbutuhkan perawatan rumah sakit
Skala 0 1
2
3 4
Deskripsi Asirnptornatik; aktivitas normal Sirnptornatik tetapi arnbulatori penuh Sirnptornatik; di ternpat tidur ~ 5 0 % waktunya ' Sirnptornatik; di ternpat tidur >50% waktunya; tapi tidak irnobilisasi 100% irnobilisasi
Skala Zubrod
Skala Karnofsky
0 1 2
100 % 85 % 65 % 40 % 15 %
3 4
Ampi R. Penanda tumor: prinsip umum dan aplikasi klinis. Informasi Laboratorium. 2005;2:3-5. AJCC staging systems [on line]. Available at: http://www.training.seer.
cancer.gov/moduIe~staging~cancer/unitO3~secO3~ part00-ajcc.html. Akses: tanggal 21 Nopember 2005. Bakornas HOMPEDIN. Kanker payudara. Panduan tata laksana kanker tumor padat dalam ha1 kemoterapi. Jakarta; 2005. p. 422. Bresalier RS. Malignant & premalignant lesions o f the colon. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH, editors. Current diagnosis & treatment i n gastro-enterology. 2nd edition. Boston: McGrawHill; 1996. p. 422-8. Jardine L, Haffty BG, Doroshow JH, et al. Breast cancer overview risk factors, screening, genetic testing, and prevention. In: Pazdur RP, Coia LR, et al, editors. Cancer management: a multidisiplinary approach medical, surgical, and radiation oncology. 8th edition. New York: United Business Media; 2004. p. 165-88. Skeel RT. Systemic assessment o f the patient with cancer and long-term medical complications o f treatment. In: Skeel RT, editor. Handbook o f cancer chemotherapy. 6th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2003. p. 26-9. Sukardja IDG. Onkologi klinik. 2nd edition. Surabaya: Airlangga University Press; 2000. p.133-208. Sturgeon C. Practice guidelines for tumor markers in the clinic. Clinical Chemistry. 2000;48: 1 1 5 1-9.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ASPEK SELULAR DAN MOLEKULAR KANKER Bambang Karsono
PENDAHULUAN Kanker adalah penyakit di mana sel-sel ganas "beranakpinak" berupa keturunan yang bersifat ganas pula. Pewarisan bakat ganas ini, atau yang biasa disebut dengan istilah fenotip, memberi petunjuk kuat pada kita bahwa kelainan mendasar sifat ganas ini berada pada gen sel kanker tersebut. Pelbagai kajian petanda genetik, seperti translokasi 9;22 yang menghasilkan kromosom Philadelphia pada leukemia granulositik/mieloid kronik, menunjukan bahwa sel-sel kanker ini berasal dari satu sel yang kemudian membentuk satu kelompok sel yang homogen, yang disebut sebagai klon (clone). Di samping sifat ganas yang berasal dari translokasi kromosom, sifat ganas juga dapat berasal dari gen yang secara normal terdapat di dalam sel. Gen-gen semacam ini disebut sebagai proto-onkogen, yang kemudian oleh karena mutasi somatik berubah menjadi onkogen. Onkogen inilah yang kemudian mengubah perangai sel dari normal menjadi sel kanker. Contoh dari proto-onkogen ini adalah H-ras (rat sarcoma- associated sequence, Harvey) yang pertama kali ditemukan pada gen virus penyebab sarkoma pada tikus oleh Harvey. Proses onkogenesis juga dapat terjadi oleh virus melalui beberapa cara, tergantung jenis virusnya, transforming retroviruses, nontransforming retroviruses dan virus DNA. Transforming retroviruses menginsersi provirus pada sisi hulu suatu proto-onkogen sel pejamu. Dalam proses replikasi virus berikutnya terjadi penggabungan proto-onkogen sel pejamu ke dalam genom virus. Selanjutnya ekspresi proto-onkogen dikendalikan sepenuhnya oleh virus yang infeksinya bersifat menetap ini. Mekanisme onkogenesis non-transforming retroviruses terjadi oleh karena virus-virus dalam kelompok ini menginsersi provirus berdekatan dengan protoonkogen sel pejamu dan provirus ini berperan sebagai
promoter atau enhancer yang kuat. Sebagaimana kita ketahui bersamapromoter dan enhancer berperan penting dalam proses transkripsi suatu gen. Onkogen pada virus DNA memang berasal dari virus itu sendiri, onkogen pada virus ini memang dibutuhkan secara hakiki oleh virus ini untuk replikasi dan mentransformasisel pejamu. Virus DNA menghasilkan protein-protein yang dapat memaksa sel pejamu memasuki fase S siklus sel.
BlOLOGl SELULAR DAN MOLEKULAR KANKER Menurut Hanahan dan Weinberg terdapat enam perubahan fisiologik mendasar yang secara bersama-sama memungkinkan tumbuh dan berkembangnya sel-sel ganas, perubahan-perubahan sebagai berikut: Mandiri dalam ha1 sinyal-sinyal pertumbuhan Tidak sensitif terhadap sinyal-sinyal penghambat pertumbuhan (anti pertumbuhan) Mampu menghindar dari apoptosis (programmed cell death) Berkemampuan replikasi yang tak terbatas Kemampuan angiogenesis yang berkesinambungan Mampu menyusup ke jaringan lain dan bermetastasis Setiap perubahan fisiologik di atas tidak terdapat pada sel-sel asal sel-sel ganas dan didapat selama perubahan bertahap dari sel-sel normal menjadi sel-sel ganas.
M A N D l R l D A L A M H A L SINYAL-SINYAL PERTUMBUHAN Murphy dan Adrian mengkultur galur sel kanker pankreas dalam media tanpa serum. Mereka mendapatkan bahwa tingkat proliferasi sel lebih tinggi bila media tidak sering diganti dibandingkan bila media sering diganti atau dikultur
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
bersama-sama dengan penghambat tyrosine kinase reseptor EGF(epiderrna1 growth factor) atau penghambat MEK (MAPKIERK kinase). Selain itu aktivitas ERK (extracelular regulatedprotein kinase) 1 dan 2 dan kadar mRNA dari c-jun dan c-fos meningkat bermakna bila dikultur berkesinambungan dalam media bebas serum. Serum pada media kultur sel binatang, termasuk sel manusia tertentu, berfungsi sebagai penyedia pelbagai senyawa polipeptida faktor pertumbuhan. Faktor-faktor pertumbuhan ini berperan sebagai pengatur, yang tak tergantikan, pertumbuhan dan diferensiasi sel dan sebagai sarana komunikasi antar sel. Mitogen activated protein kinase (MAPK) adalah sekelompok protein yang diaktifkan oleh berbagai rangsang ekstraselular dan berfungsi menyampaikan sinyal rangsang tersebut ke inti sel. Salah satu keluarga dari MAPK ini adalah extracelular regulated protein kinase (ERK) 1 dan 2+, kedua protein ini diaktifkan secara kuat oleh EGF dan PDGF (platelet derivedgrowth factor) melaluijalur R a s K a f M P K . Kelompok protein kedua pada MAPK adalah kelompok yang salah satu anggotanya c-Jun-N-terminal Kinase (JNK), protein ini suatu enzim yang mampu mengaktifkan AP- 1 (activator protein- I) yaitu suatu faktor transkripsi. Sinyal yang diterima reseptor akan diteruskan ke inti sel melalaui kaskade Ras+Erkl/ 2+ c-Fos atau Rac+ JNK+ c-Jun dan selanjutnya heterodimer c-Junlc-Fos bertindak sebagai faktor transkripsi. Faktor transkripsi AP-1 sebenarnya suatu kelompok protein yang terdiri atas 2 keluarga yaitu keluarga c J u n yang terdiri atas c-Jun, JunB dan JunD. Sedangkan keluarga yang lain adalah c-Fos yang terdiri dari c-Fos, FosB, Fra-1 dan Fra-2. Stimulasi EGF akan menyebabkan transkripsi gen c-fos. MAPK juga dapat mengakibatkan transkripsi gen c-jun. Dengan demikian Murphy dan Adrian membuktikan bahwa galur sel kanker pankreas dapat hidup dan tumbuh dalam media kultur tanpa dukungan faktor pertumbuhan dari serum. Faktor pertumbuhan yang berperan di sini EGF karena dapat dihambat oleh penghambat tyrosine kinase EGF. Kemudian sinyal EGF ini melalui jalur Ras+ MAPKjAp-I .sampai ke inti sel, oleh karena terdapat peningkatan kadar ERKl dan ERK2 di samping peningkatan kadar mRNA c-jun dan c-fos. Kesimpulan galur sel kanker pankreas dapat memsintesis sendiri EGF yang dibutuhkannya. Secara in vivo ketidaktergantungan sel kanker terhadap faktor pertumbuhan dari sel lain dapat dilihat pada mieloma multipel (MM). Interleukin-6 (11-6) merupakan faktor pertumbuhan utama yang terlibat dalam kelangsungan hidup sel-sel MM manusia. Namun demikian temyata dapat dibuat galur sel mieloma manusia (human myeloma cell line = HMCL) dari setiap pasien MM tahap akhir dan galur sel ini tidak membutuhkan 11-6 untuk kelangsungan hidupnya, dengan perkataan lain sel-sel mieloma pada pasien MM tahap akhir dapat membuat sendiri 11-6 untuk
kelangsungan hidupnya". Frassanito dan kawan-kawan meneliti sel mieloma denganflow cytometvy, sel mieloma didefinisikan sebagai sel mononuklear sumsum tulang yang positif untuk CD38 dan positif untuk syndecan-1 (CD138). Ternyata pada sel-sel CD38+ dan syndecan-l+ ini ditemukan 11-6 intrasitoplasmik. Gejala ini membuktikan bahwa sel-sel mieloma menghasilkan sendiri 11-6 atau biasa disebut gejala autokrin.
TlDAK SENSITIF TERHADAP SINYAL-SINYAL PENGHAMBAT PERTUMBUHAN
Sinyal-sinyal penghambat pertumbuhan bekerja melalui siklus sel, oleh karena pada siklus sel inilah sel diatur kapan berproliferasi, berdiferensiasi atau masuk ke fase diam (quiescent atau Go). Siklus sel adalah suatu proses yang tertata amat teratur untuk menggandakan dan menebarkan informasi genetik dari satu generasi sel ke generasi yang berikutnya. Selama proses ini berjalan, DNA hams digandakan secara tepat dan salinan kromosom harus dibagikan tepat sama jumlah pada kedua sel anak yang terbentuk. Siklus sel dapat dibedakan menjadi beberapa tahap yang terpisah jelas yaitu: GI (gap 1) suatu interval atau celah antara mitosis (fase M) dan sintesis DNA (fase S). Selama fase G, ini sel dapat mengalami stimulasi dari berbagai mitogen dan faktor pertumbuhan (growth factor) ekstraselular Selanjutnya sel memasuki fase S, pada fase ini DNA digandakan dengan cara membuat salinan komplemennya (complementary copy) G, (gap 2) adalah interval atau celah antara penyempumaan sintesis DNA (fase S) dan mitosis (fase M) Fase M ditandai dengan - Pembentukan benang-benang mitotik yang terpisah pada kedua kutub sel - Pemisahan khromatid menjadi dua bagian yang sama persis dalam kualitas dan kuantitas (two sister chromatids) - Pembelahan sel Dalam pengaturan proliferasi sel tahap G,/S memegang peranan terpenting. Pada lebih kurang sepertiga akhir fase G , terdapat suatu periode yang disebut restriction point. Restriction point sebenamya hanya merupakan salah satu dari pos pemeriksaan (checkpoint) yang terdapat dalam siklus sel. Peraturan siklus sel menetapkan bahwa hams dapat dipastikan semua langkah dalam setiap fase sudah benar-benar sempurna selesai pada waktu memasuki fase berikutnya. Untuk itu beberapa pos pemeriksaan (checkpoint) pemantau keutuhan DNA ditempatkan secara strategis di akhir fase G, dan pada ambang peralihan fase G,/M guna mencegah gerak maju atau perambatan siklus
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ASPEK SELULAR DAN MOLEKULAR KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pada sel yang mengalami mutasi atau kerusakan. Restriction point ini dikawal oleh protein RJ3 (pRB, retinoblastoma), pRB bertindak memantau keutuhan DNA. Dalam keadaan tidak terfosforilasi pRB mengikat protein lain yaitu E2F. E2F adalah suatu faktor transkripsi. Bila DNA dalam keadaan utuh maka terjadi fosforilasi pRB oleh CDK4lCDK6 (cyclin dependent kinase), akibat fosforilasi pRB, maka pRB tidak dapat lagi mengikat E2F. E2F yang terlepas akan menyebabkan transkripsi beberapa gen termasuk di antaranya gen untuk cyclin E, cyclin E ini dibutuhkan sel untuk menembus restriction point. Beberapa protein dapat menghambat fosforilasi pRB, protein-protein itu antara lain p53, p16'NK4a, plgARFdan p2 1. p53 bekerja mengaktifkan p2 1 dan pada gilirannya p2 1 menghambat CDK416. p 19AK' bekerja dengan cara menginaktivasi MDM2, inaktif MDM2 tidak dapat menghambat p53 sehingga p53 dapat mengaktifkan p2 1. p 16INK"bekerja langsung menginaktivasi CDK416 sehingga tidak dapat memfosforilasi pRB. Apabila terjadi kerusakan DNA maka siklus sel akan dihambat terutama di GI,bila kerusakan DNA tak mungkin diperbaiki maka sel akan melakukan apoptosis. Kerusakan DNA akan mengaktifkan ATM (ataxiatelangiectasia mutated), suatu phosphoinositide-3-kinase yang dapat memfosforilasi asam amino serine pada p53, sehingga terjadi aktifasi p53. Ke hilir aktifasi p53 ini menghambat fosforilasi pRB sehingga E2F tetap terikat pada pRB yang berarti siklus sel ditahan pada fase G,. Aktivasi ATM akibat kerusakan DNA juga dapat mengaktifkan protein yang disebut HuCdsl. Pada gilirannya aktifasi HuCds 1 akan menghambat CDKl ,protein yang mendorong siklus sel dari G, ke M, sehingga siklus sel ditahan pada fase G, dan itu berarti mitosis dihambat. Sinyal-sinyal yang berasal dari TGF-P (transforming growth factor P) mengendalikan berbagai proses selular seperti proliferasi, identifikasi, differensiasi, apoptosis dan pembentukan dalam embriogenesis. Umumnya sinyalsinyal dari TGF-P ini mempunyai efek negatif terhadap pertumbuhan sel, oleh karena itulah tidak mengherankan bila inaktifasi jalur sinyal TGF-P berperan dalam tumor genesis. Ikatan TGF-P sebagai ligand terhadap reseptornya akan mengakibatkan hetero-dimerisasi reseptor TGF-P. Selanjutnya reseptor ini akan memfosforilasi Smad4, Smad4 terfosfosforilasi akan membentuk dimer dengan Smad4 inaktif dan tertranslokasi ke inti sel. Di dalam inti sel dimer Smad4 akan bekerja menghambat ekspresi c-myc dan meningkatkan ekspresi protein-protein inhibitor siklus sel baik dari keluarga INK maupun dari keluarga KIP. TGF-P mampu menghambat proliferasi sel-sel epitel, endotel, hematopoietik dan beberapa jeins sel-sel mesenkhim. Hambatan proliferasi ini dapat langsung yaitu terhadap CDK fase GI, yaitu CDK416 dan juga CDK2. Hambatan terhadap CDK416 terjadi melalui pengaktifan penghambat CDK baik dari keluarga INK4 (inhibitor CDK4 yang terdiri dari p15, p16, p18 dan p19) maupun dari
keluarga KIP (kinase inhibitory protein yang terdiri dari p2 I , p27 dan p57). Ke hilir hambatan terhadap CDK416 berarti menghambat fosforilasi pRB, lanjut ke hilir lagi berarti tidak mampu melepaskan E2F yang diperlukan untuk mentranskripsi gen-gen yang dibutuhkan untuk menembus restriction point. Hambatan secara tidak langsung berupa mengurangi fungsi gen c-myc, yaitu dengan cara menghambat transkripsinya, padahal protein c-Myc (hasil dari gen c-myc) berperan menghambat p 15INKh. p 151NKh ini sendiri berhngsi menghambat aktifasi CDK416 yang berarti menghambat laju siklus sel di fase G,. Jadi stimulasi TGFp akan mengakibatkan peningkatan kadar p 1SNKh sehingga aktivitas CDK416 berkurang yang berarti pRB tidak terfosforilasi dan ke hilir ini berarti restriction point G I tidak dapat ditembus. Sinyal-sinyal dari TGF-P juga berperan dalam gerak maju siklus sel dari G, ke M. Peranan TGF-P pada pertumbuhan kankir dapat dilihat pada pengaruh ekspresi reseptor TGF-P pada patogenesis KSS atau SCC (karsinoma sel skuamosa atau squamous cell carcinoma) leher dan kepala. Tingkat diferensiasi KSS dan kecenderungan infiltrasi KSS ternyata dipengaruhi oleh tingkat ekspresi reseptor TGF-P Makin buruk tingkat diferensiasi dan makin cenderung untuk berinfiltrasi maka makin sedikit pula ekspresi reseptor TGF-P dipermukaan sel. Pada kanker buli-buli berkurangnya ekspresi gen TGFDl berkaitan erat dengan derajat keganasan tinggi kanker buli-buli dan tingkat penyakit lanjut. Sedangkan kehilangan ekspresi reseptor TGF-P berdampak pada derajat penyakit (grade) yang lebih tinggi, tingkat penyakit (stage) yang lebih tinggi, metastasis kelenjar getah bening, progresi penyakit dan tingkat kelanjutan hidup yang lebih rendah.
MAMPU MENGHINDAR DARl APOPTOSIS Berbagai sinyal kematian fisiologik, sebagaimana juga berbagai cedera sel yang patologik, dapat memicu proses apoptosis yang terprogram secara genetik. Sedangkan wujud pelaksanaan sinyal kematian ini ke hilir terbagi menjadi 2 jalur utama yaitu jalur Caspase dan jalur kerusakan organel selular, dan organel selular yang paling banyak diketahui dalam kaitan dengan apoptosis ini adalah mitokondria. Oleh karena anggota keluarga protein Bcl-2 berada pada posisi hulu dalam peristiwa kerusakan sel yang irreversibel dan oleh karena sebagian besar peranannya dalam peristiwa tersebut terpusat pada mitokondria, maka anggota keluarga protein Bcl-2 ini berperan menentukan dalam membuat keputusan apakah suatu sel akan mati atau tetap terus hidup. Proto-onkogen bcl-2 semula ditemukan pada limfoma sel B (B cell lymphoma) dengan t(14; 18).Anggota keluarga protein Bcl-2 ini ternyata ada yang bersifat pro-apoptotik seperti Bax, Bak dan Bcl-X,, dan sebaliknya ada pula yang bersifat anti-apoptotik atau pro-survival seperti Bcl-2 dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOGI MEDlK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Bcl-X,. Protein keluarga Bcl-2 ini mempunyai 4 buah domain pada setiap anggotanya, keempat domain itu BH I (Bcl-2 homology),BH2, BH3 dan BH4. Setiap anggota keluarga Bcl-2 anti-apoptotik selalu mempunyai domain BH4 sebaliknya anggota keluarga Bcl-2 pro-apoptotik justru tak mempunyai domain BH4 ini. Domain BH3 diyakini berperan penting sebagai domain kematian pada anggota keluarga pro-apoptotik. Anggapan ini dibenarkan oleh ditemukannya anggota keluarga protein Bcl-2 yang hanya memiliki domain BH3 saja seperti Bad dan Bid yang keduanya temyata bersifat pro-apoptotik. Semua anggota keluarga protein ini mampu berdimerisasi baik homo maupun heterodimer sehingga diyakini bahwa proses dimerisasi ini akan dapat mengakibatkan netralisasi efek masing-masing. Terbukti memang rasio antara pro-apoptotik dan anti-apoptotik dapat menentukan apakah akan terjadi apoptosis atau tidak. Anggota keluarga protein Bcl-2 antiapoptotik terdapat sebagai bagian yang terpisahkan (bagian integral) dari membran mitochondria, sedangkan anggota keluarga pro-apoptotik terdapat di dalam sitosol atau sitoskelet. Sinyal kematian mengakibatkan Bax atau Bak (pro-apoptotik) berubah bentuk stereometriknya sehingga memaparkan amino terminusnya dan melepaskan sebagian dari asam-asam amino pada sisi amino terminus ini. Perubahan ini mengakibatkan Bax atau Bak dapat bergabung dengan membran mitokondria dan menjadi bagian integralnya serta dapat mengalami dimerisasi. Rasio antara Bax, Bak dan Bcl-Xs (pro-apoptotik), yang telah terintegrasi di membran mitochondria, di satu sisi dengan Bcl-2 dan Bcl-X, (anti-apoptotik), yang memang bagian integral membran mitokondria, di sisi lain inilah yang &an menentukan nasib suatu sel untuk mengalami apoptosis atau tidak.
REFERENSI Butel JS. Viral carcinogenesis: revelation of molecular mechanism and etiology of human disease. Carcinogenesis; 2000;21: 405 426 Banin S. Moyal L, Shieh S-Y, Taya Y, Anderson CW, Chessa L. Smorodinsky NI. Prives C, Reiss Y, Shiloh Y, Ziv Y. Enhanced phosphorylation of p53 by ATM in response to DNA damage. Science, 1998; 281 : 1674-77 Brown AL, Lee C-H, Schwarz JK, Mitiku N, Piwnica-Worms H, Chung JH. A human Cds-l related kinase that function downstream of ATM protein in cellular response to DNA damage. Proc Natl Acad Sci, 1999; 96: 3745-50 Bryan RT, Hussain SA, James ND, Jankowski JA, Wallace DMA. Molecular pathway in bladder cancer: partl. Brit J Urol Intern, 2005; 95: 485-90.
Cooper GM, Hausman RE. Growth of animal cells in culture. In: The cell. A molecular approach. 3rd edition. Washington, ASM Press;2004.p.29-33 Canman CE, Lim D-S, Cimprich KA, Taya Y, Tamai K, Sakaguchi K, Appella E, Kastan MB, Siliciano JD. Activation of the ATM kinase by ionizing radiation and phosphorylation of p53. Science, 1998; 281: 1677-1979 De Cesare D, Jacquot S, Hanauer A, Sassoni-Corsi P. Rsk-2 activity is necessary for epidermal growth factor-induced phosphorylation of CREB protein and transcription of c-fos gene. Proc Natl Acad Sci; 1998, 95: 12202-7 Donovan J, Slingerland J. Transforming growth factor-ll and breast cancer . Cell cycle arrest by transforming growth factor-ll and its disruption in cancer. Breast Cancer Res, 2000; 2: 116-24 Frassanito MA, Cusmai A, lodice G, Dammacco F. Autocrine interleukin-6 production and highly malignant multiple myeloma: relation with resistance to drug-induced apoptosis. Blood, 2001; 97: 483-89 Gross A, McDonnell JM, Korsmeyer SJ. BCL-2 family members and the mitochondria in apoptosis. Gen Develop; 1999, 13: 1899 191 1 Hill RP, Tannock IF. Introduction to cancer biology. In: Tannock IF, Hill RP. The basic science of oncology. 3rd edition, 1998, McGraw-Hill, New York: 1 - 5 Hanahan D, Weinberg RA. The hallmark of cancer. Cell; 2000, 100: 57 - 70 lsraels ED, lsraels LG. The cell cycle.Oncologist 2000; 5: 510-13 Murphy LO, Cluck MW, Lovas S, Otvos F, Murphy RF, Schally AV, Permert J, Larsson J, Knezetic JA, Adrian TE. Pancreatic cancer cells require an EGF receptor-mediated autocrine pathway for proliferation in serum free condition. Brit J Cancer; 2001, 84: 926 - 935. Manson MM, Holloway KA, Howells LM, Hudson EA, Plummer SM, Squires MS, Prigent SA. Modulation of signal-transduction pathways by chemopreventive agents. Biochem Soc Transc; 2000, 28: 7 - 12 Murakami M, Ui M, Iba H. Fra-2-positive autoregulatory loop triggered by mitogen-activated protein kinase (MAPK) and Fra-2 phosphorylation sites by MAPK. Cell Growth Differ;1999, 10: 333-42. Muro-Cacho CA, Anderson M, Cordero J, Muoos-Antonia T. Expression of transforming growth factor I type I1 receptor in head and neck squarnous cell carcinoma. Clin Cancer Res, 1999; 5: 1243-48 Shi Y, Massagud J. Mechanism of TGF-I signalling from cell membrane to the nucleus. Cell, 2003; 685 - 700 Warner BJ. Blain SW. Seoane J, Massagud J. Myc downregulation by transforming growth factor I required for activation of the pl4lNKb GI arrest pathway. Mol Cel Biol, 1999; 19: 5913-22. Weinberger RA. Oncogenes and the molecular biology of cancer. J Cell Biol, 1983; 97: 1661 - 1662 Zhang X-G, Gu J-J, Lu Z-L, Yasukawa K, Yancopoulos GD, Turner K, Shoyab M, Taga T, Kishimoto T, Bataille R, Klein B. Ciliary Neurotropic Factor, Interleukin 11, Leukemia Inhibitory Factor, and Oncostatin M are growth factors for human myeloma cell lines using the Interleukin 6 signal transducer gp130. J Exp Med;1994, 177: 1337-42.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
TEKNIK-TEKNIK BIOLOGI MOLEKULAR DAN SELULAR PADA KANKER Bambang Karsono
PENDAHULUAN Berkembangnya kemampuan teknik pemeriksaan di bidang biologi molekular telah mendorong perubahan yang cepat dalam kemampuan membuat diagnosis kelainan genetik. Di masa yang lampau kelainan genetik didiagnosis secara deduktif dari manifestasi fenotipnya., yaitu dengan kriteria klinis dan pemeriksaan biokimiawi. Kriteria klinis seringkali meragukan, di samping itu kelainan genetik kadang-kadang butuh waktu lama baru bermanifestasi. Pemeriksaan biokimiawi juga sering membingungkan dan kadang perlu tindakan invasif. Kriteria klinis dan uji biokimiawi jelas tak mungkin untuk medeteksi carrier kelainan genetik dan membuat diagnosis kelainan genetik secara antenatal. Keterbatasan yang penting dari metoda diagnostik molekular adalah perubahan genetik yang melatarbelakangi penyakit keturunan seringkali amat heterogen. Kita tahu bahwa mutasi pada gen ini dapat berupa, delesi suatu wilayah (region) kromosom, delesi gen, delesi exon, duplikasi rangkaian nukleotida, insersi suatu rangkaian nukleotida dan mutasi titik (point mutation). Apapun bentuk mutasi genetiknya yang pasti mutasi ini menyebabkan hilangnya f h g s i gen tersebut. Dalam taraf molekular kadang-kadang kelainan gen ini seragam seperti misalnya pada penyakit sel bulan sabit (sickle cell), namun dapat juga amat heterogen seperti misalnya pada fibrosis kistik.
BEBERAPA ISTILAH BlOLOGl MOLEKULAR Untuk dapat memahami metoda pemeriksaan biologi molekular, maka dalarn paragraf ini akan dijelaskan beberapa pengertian yang lazim digunakan dalarn biologi molekular.
Enzim endonuklease restriksi adalah enzim yang dihasilkan oleh sel prokaryote yang dapat mengenali rangkaian basa tertentu dalam DNA heliks ganda, contoh EcoRI yang berasal dari E. coli serotipe RI dapat mengenali rangkaian basa GAATTC dan memotong DNA heliks ganda di antara G dan A pada rangkaian tersebut. DNA polymerase adalah enzim yang dapat menggunakan dan merubah deoksinukleotida-S'trifosfat menjadi deoksinukleotida-5'monofosfat dan merangkaikannya ke ujung terminal -OH 3' dari primer DNA. Nukleotida adalah suatu senyawa yang terdiri dari gula, dapat berupa ribosa pada RNA atau deoksiribosa pada DNA, basa yang dapat berupa basa purin yaitu adenin dan guanin dan basa pirimidin yaitu sitosin dan timin (uridin sebagai ganti timin pada RNA) serta fosfat. dNTP, merupakan kependekan dari deoksi nukleotida trifosfat. Nukleotida di sini dapat berarti adenin, guanin, sitosin atau timin. Oleh enzim DNA polimerase akan dirubah menjadi deoksimonofosfat dan dirangkaikan menjadi untaian DNA. Oligonukleotida adalah segmen rantai tunggal DNA yang seringkali berasal dari DNA synthesizer. Primer, suatu oligonukleotida yang merupakan pasangan komplemen dari segmen kecil DNA rantai tunggal atau RNA. Primer digunakan dalam reaksi PCRuntuk mensintesis kopi pasangan komplemen dari template DNA atau template RNA. Upstream primer adalah primer yang berpasangan dengan segmen DNA pada ujung 5' dari template strand DNA. Sedangkan downstream primer berpasangan dengan ujung 5' dari coding strand DNA atau jika dilihat dari template strand, pada ujung 3 '.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOGI MEDIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Probe atau Pelacak DNA adalah potongan DNA yang berlabel dan digunakan untuk mengidentifikasi rangkaian urutan basa yang merupakan pasangan komplemennya di dalam genom, kromosom atau sel.
BEBERAPA PENYAKITAKIBAT KELAINAN GEN Mutasi titik terjadi pada kodon ke- 6 gen P globin, yaitu adenin digantikan oleh timin, sehingga terjadi penggantian asam amino asam glutamat oleh valin pada protein P globin. Kelainan pada protein P globin ini berakibat pada terbentuknya sel bulan sabit. Penggantian basa guanin oleh adenin pada basa ke 1691 gen faktor V mengakibatkan penukaran asam amino ke 506 pada protein faktor V dari arginin menjadi glutamin. Protein faktor V dengan kelainan ini menjadi resisten terhadap pemecahan oleh protein C dan protein S. Resistensi faktor V ini secara klinis menimbulkan trombosis vena dan emboli paru-paru. Pada leukemia granulositik kronik dikenal kelainan yang disebut khoromosom Ph. Pada kromosom Ph' ini sebenamya terjadi perpindahan yang bersifat resiprokal antara sebagian dari gen abl di kromosom 9 dan sebagian gen bcr di kromosom 22 sehingga terbentuk gen chimera yaitu gen BCR-ABL. Sedikitnya ada dua varian gen BCRABL ini yaitu varian yang membentuk protein p2 10 dan varian yang membentuk protein p190. Ketiga penyakit di atas menggambarkan 2 jenis mutasi genetik yang berbeda ekstrim namun maknanya secara klinis sama saja. Substitusi basa pada suatu gen tentu saja tidak akan merubah ukuran gen tersebut, namun demikian dapat merubah bentuk stereoskopis dari segmen DNA rantai tunggal gen tersebut. Selain itu perubahan dalam susunan basa menyebabkan perubahan pula pada titik potong enzim restriksi endonuklease terhadap segmen DNA rantai tunggal dari gen tersebut. Kedua perubahan ini dapat dimanfaatkan untuk mendeteksinya. Pada gen BCR-ABL jelas terdapat perbedaan ukuran gen chimera dengan gen yang asli. Perbedaan ukuran inilah yang digunakan untuk menemukan mutasi tersebut. Sel-sel limfosit B dalam proses maturasinya dari limfoblas menjadi prolimfosit dan limfosit mengalami proses rearrangment pada gen yang membentuk imunoglobulin baik pada heavy chain maupun pada light chain. Proses rearrangment ini bersifat unik dalam proses maturasi setiap sel B, sehingga susunan gen imunoglobulin ini pada setiap sel Bpun unik. Gen imunoglobulin untuk heavy chain berasal dari 50 gen kelompok variabel (VH gene), 30 gen kelompok diversity gene (DH gene) dan 6 gen dari kelompok joining gene (JH gene). Oleh karena demikian banyak gen yang mengalami rearrangment dalam gen imunglobulin heavy chain (IgH) ini, maka wajar bila variasi hasil rearrangment inipun sangat besar, sehingga
kemungkinan untuk 2 sel B memiliki hasil rearrangment yang sama sangat kecil. Dengan perkataan lain IgH dapat menjadi sidik jari bagi setiap sel limfosit B. Apabila sebuah sel limfosit B kemudian tumbuh menjadi satu klon yang besar, entah oleh karena keganasan atau oleh karena respon terhadap antigen, maka dengan sendirinya setiap sel B dalam klon tersebut mempunyai sidik jari gen IgH yang sama. Dan oleh karena jumlahnya besar maka klon ini tentu lebih mudah terdeteksi dibandingkan dengan sel B yang tidak tumbuh menjadi klon. Keadaan inilah yang digunakan untuk mendeteksi adanya pertumbuhan sel B monoklonal secara molekular.
TEKNIK PEMERIKSAAN DALAM BlOLOGl MOLEKULAR Elektroforesis adalah suatu cara untuk memisahkan molekul bermuatan listrik berdasarkan perbedaan massa dan muatan listriknya di dalam suatu medan listrik. Makin basar massanya maka makin lambat molekul ini bergerak, sebaliknya makin besar muatan listriknya makin cepat molekul ini bergerak. Agar pemisahan ini dapat terlihat jelas maka molekul yang akan dipisahkan ini harus diletakkan dalam suatu zona tertentu dan mulai bergerak dari satu titik yang sama. Sebagai zona pemisahan dipakai 2 macam media yaitu gel agar atau gel poliakrilamid, sedangkan molekul yang diperiksa dapat berupa protein atau asam nukleat (DNA atau RNA). Polymerase chain reaction (PCR) adalah suatu metoda in vitro untuk mensintesis suatu rangkaian DNA spesifik secara enzimatis dengan menggunakan sepasang primer oligonukleotida yang berhibridisasi dengan rantai DNA yang berhadapan dan mengapit suatu wilayah tertentu di DNA sasaran. Teknik ini pertama kali ditemukan oleh Mullis pada tahun 1985. PCR pada saat ini umumnya dilakukan di blok pemanas dari thermal cycler, alat ini berfungsi untuk merubah-rubah suhu sesuai dengan langkah dan siklus PCR. Langkah-langkah dalam PCR dimulai dengan denaturasi pada suhu 94°C selanjutnya langkah annealing pada suhu 55°C dan terakhir ekstensi pada suhu 72"C, ketiga langkah ini disebut satu siklus, selanjutnya siklus ini diulang-ulang sampai 25-40 kali. Pada langkah denaturasi DNA rantai ganda dipisahkan menjadi rantai tunggal, selanjutnya pada langkah annealing primer berhibridisasi dengan DNA rantai tunggal dan akhimya pada saat ekstensi primer mengalami polimerisasi dengan bantuan enzim DNA polimerase. DNA polimerase yang dipakai dalam reaksi ini bersifat tahan terhadap suhu tinggi sehingga tidak kehilangan aktivitasnya walaupun terkena suhu tinggi pada langkah denaturasi. DNA polimerase yang tahan panas ini berasal dari suatu bakteri termoasidofilus yaitu Thermus aquaticus yang diasingkan dari mata air panas di Yellowstone National Park.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TEKNIK-TEKNIK BIOLOCI MOLEKULAR DAN SELULAR PADA KANKER
1419
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI PCR juga dapat dilaksanakan dengan bahan pemeriksaan RNA, teknik ini disebut RT-PCR (Reverse transcriptase-PCR). Mula-mula dilakukan yang disebut first strand synthesis yaitu membuat kopi pasangan komplemen DNA dengan RNA sebagai cetakan (template). DNA rantai tunggal pertama ini kemudian menjadi cetakan untuk proses PCR biasa. First strand synthesis dilaksanakan dengan mengunakan enzim reverse transcriptase yang berasal dari Avian Myeloblastosis virus (AMV) atau dari Moloney murin leukemia virus (MuLV). Teknik Southern blot mula-mula diperkenalkan oleh E.M. Southern pada tahun 1975, pada saat itu ia memindahkan fiagmen DNA yang telah dipisahkan secara elektroforesis ke membran nitroselulosa lalu divisualisasi dengan pelacak DNA radioaktif. Secara prinsip teknik Southern blot meliputi 3 pekerjaan yaitu: pertama, elektroforesis terhadap DNA untuk memisahkan fiagrnenfragmen DNA berdasarkan ukurannya. Kedua, fragmen DNA yang telah terpisahkan tadi ditransfer ke suatu penyangga padat dalam ha1 ini membran baik nitroselulosa maupun nilon, dengan tetap mempertahankan keterpisahannya tersebut. Terakhir, fiagmen DNA yang sudah berada dalam fase padat ini kemudian divisualisasi dengan pelacak DNA. Teknik ini kemudian dikembangkan untuk RNA dan disebut Northern blot dan untuk protein disebut sebagai Western blot. Teknik single strand conformation polymorphism (SSCP)pertamakali diemukan oleh Orita dan kawan-kawan pada tahun 1989untuk menguji saring polimorfisme DNA. Mutasi titik, insersi dan delesi pada suatu fragmen DNA cukup mampu untuk merubah bentuk stereoskopis (=konformasi) fragmen DNA rantai tunggal sehingga merubah juga kecepatan migrasinya dalam elektroforesis. Kecepatan migrasi DNA yang akan diuji dibandingkan dengan kecepatan migrasi DNA yang telah diketahui tidak mengalami mutasi (wild type), bila ternyata ditemukan perbedaan jauh migrasi dalam elektroforesis,maka itu berarti DNA yang diuji telah mengalami mutasi. Untuk mengetahui jenis mutasi memang tidak dapat dengan memakai teknik SSCP, untuk itu diperlukan sekuensing.
BEBERAPA CONTOH PEMERIKSAAN BlOLOGl MOLEKULAR DALAM KLlNlK
Untuk menemukan translokasi t(9q;22q) pada leukemia granulositik kronik atau leukemia limfoblastik akut selain dengan cara karyotyping dapat juga dilakukan dengan teknik biologi molekular. Translokasi gen bcr (breakpoint cluster region) pada kromosom 22 ke gen abl (Abelson) pada kromosom 9 menyebabkan terbentuknya gen baru yaitu gen BCR-ABL yang tentu saja memiliki karakteristik yang berbeda dengan karakteristik masing-masing gen asalnya. Ada dua cara untuk mendeteksi translokasi ini
secara biologi molekular. Cara pertama adalah dengan memanfaatkan perbedaan titik potong pada untaian DNA yang terdapat di gen chimera dan yang terdapat pada masing-masing gen asalnya oleh enzim endonuklease restriksi. Setelah DNA dipotong dengan enzim tersebut lalu dilakukan elektroforesis, selanjutnya dilakukan transfer Southern ke membran nilon atau nitroselulosa. Pelacak DNA yang dapat dibeli secara komersial hanya akan berhibridisasi dengan potonganan DNA yang berasal dari gen BCR-ABL dan tidak akan berhibridisasi dengan potongan DNA yang berasal masing-masing gen asal. Jadi bila ditemukan hibridisasi pelacak DNA maka itu berarti terjadi translokasi, demikian pula sebaliknya. Dengan teknik in dapat dibuktikan bahwa titik pisah yang terdapat pada gen bcr sedikitnya ada 2 tempat, yang diduga berhubungan dengan jenis krisis blastik yang terjadi pada pasien LGK. Cara kedua adalah dengan teknik RT-PCR. Teknik ini memanfaatkan perbedaan yang terjadi pada transkripsi DNA gen menjadi mRNA, mRNA yang barasal dari fusi gen BCR-ABL tentu berbeda urutan basanya dengan urutan basa mRNA yang berasal dari transkripsi masingmasing gen asal. Dengan menggunakan primer yang hanya dapat beranneal dengan gen fusi, maka tentu saja bila fusi tak terjadi tak ada produk RT-PCR. Dengan menggunakan 2 pasang primer yang berbeda ternyata dapat ditemukan 2 jenis fusi gen BCR-ABL yang tergantung dari letak titik pisah pada gen bcr. Kedua jenis gen fusi tersebut menghasilkan produk RT-PCR yang berbeda ukurannya yaitu masing-masing berukuran 456 bp dan 385 bp. Pemeriksaan molekular untuk gen BCRABL ini bermanfaat untuk melihat sisa penyakit minimal (minimal residual disease=mrd) pada pasien LGK yang mendapat transplantasi sumsum tulang, di samping itu juga untuk memantau terjadinya relaps atau kegagalan tumbuh transplant. Salah satu penyebab trombosis vena dalam adalah faktor V yang resisten terhadap protein C yang teraktifasi (APC resistant Faktor V, APC = activatedprotein C) atau yang disebutjuga faktor V Leiden. Penyakit ini relatif baru ditemukan yaitu pada tahun 1993. Prevalensinya di kalangan donor darah di Canada cukup tinggi yaitu 5.3%, sedangkan di kalangan orang Indonesia diduga tidak ada. Diagnosis pasti penyakit ini hanyalah dengan pemeriksaan molekular. Dengan teknik PCR gen faktor V ini diamplifikasi, produk amplifikasinyakemudian diinkubasi dengan enzim endonukleaserestriksi. Hasil digesti dengan enzim tersebut kemudian dielektroforesis. Gen faktor V normal (wild type) memberikan hasil3 buah pita dengan ukuran 163 bp, 49 bp dan 37 bp. Mutasi homozigot pada gen ini akan menampakkan pita elektroforesis berukuran 200bp dan 49 bp, sedangkan mutasi heterozigot akan menampakkan keempat pita kombinasi dari wild type dan mutant yaitu 200 bp, 163 bp, 49 bp dan 37 bp. Seorang pasien trombosis
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
vena yang ditemukan mengalami mutasi gen faktor V ini mungkin perlu mendapat terapi antikoagulan seumur hidup oleh karena risiko untuk meggalami rekurensi lebih tinggi daripada pasien tanpa mutasi gen. Rearrangement gen IgH yang bersifat unik untuk setiap sel limfosit B ini juga bersifat monoklonal baik pada sel normal maupun pada penyakit-penyakit limfoproliferatif. Pemeriksaan rearrangement ini dilakukan terhadap segmen gen IgH yang diapit oleh primer untuk wilayah V dan wilayah J. dengan sepasang primer ini didapatkan produk PCR yang berukuran 100-1 20 bp. Pemeriksaan diawali dengan proses PCR, kemudian hasil PCR dielektroforesis di gel agarose untuk mencari pita yang berukuran 100- 120
I-
all
Gambar 1. Gen baru (BCR-ABL) sebagai akibat fusi 2 gen (ABL dan BCR)
bp tersebut di atas. Bila pemeriksaan ini dilakukan terhadap pasien keganasan limfosit B seperti limfoma malignum sel B, LLA dan MM sebelum dilakukan pengobatan, maka pemeriksaan ulang sesudah pengobatan dapat digunakan sebagai cara untuk mendeteksi mrd. Gen BRCA- 1 pertama kali ditemukan pada tahun 1994 oleh Miki dan kawan-kawan. Mereka menemukan gen ini terletak pada kromosom 17q (lengan panjang kromosom 17) dan mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap kanker payudara dan indung telur. Sejak penemuannya ini telah banyak dilakukan penelitian tentang dampak mutasi gen ini pada pembawanya. Prevalensinya dikalangan pasien kenker payudara dan kanker indung telur bervariasi, dikalangan pasien kanker payudara tanpa riwayat penyakit kanker payudara namun terdiagnosis kanker ini pada usia kurang dari 35 tahun, prevalensinya sekitar lo%, namun demikian prevalensi mutasi gen ini pada pasien dengan riwayat keluarga kanker payudara dan indung telur mencapai 40%. Seseorang dengan mutasi gen BRCA-I mempunyai risiko sampai usia 70 tahun untuk terkena kanker payudara sebesar 87% dan untuk terkena kanker indung telur sebesar 44%. Selain itu mutasi ini juga meningkatkan risiko seseorang untuk terkena kanker kolon dan prostat. Pemeriksaan mutasi gen BRCA-I diawali dengan amplifikasi exon-exon tertentu dari gen BRCA- I ini dengan teknik PCR. Hasil PCR diteliti mutunya dengan pemeriksaan elektroforesis agarose. Bila hasil PCR baik maka, hasil PCR ini didenaturasi lalu dielektroforsis kembali dalam suasana ternaturasi dan dala~nsuhu tertentu di gel poliakrilamid, teknik ini disebut SSCP (single strand cortfi)rnzution polymorphrsrn). Mutasi akan merubah
Gambar 2. Prinsip mplifikasi DNA dmgan prosedur PCR (polymerase chain
reaction)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1421
TEKNIK-TEKNIKBlOLOCl MOLEKULAR DAN SELULAR PADA KANKER
HANYA DI SCAN UNTUKLeedr. PRIYO PANJI DH, Henderson PA, Blajchman MA. Prevalence of factor V
konformasi bentuk DNA rantai tunggal (dalam keadaan terdenaturasi) sehingga berbeda dengan konformasi wild type, dan ini berakibat perbedaan migrasi pada elektroforesis. Pemeriksaan SSCP ini digunakan sebagai uji wring untuk menemukan mutasi gen, untuk penentuan tipe mutasi hams dilakukan sekuensing.
Anonymous. Southwestern medical genetics and dysmorphology glossary. http://lwaber.swmwd.edu/glossarl.htm Anonymous. The source for discovery. Protocols and applications guide. 3rd edition,Promega corporation, 1996. Cross NCP. Detection of BCR-ABL in hematological malignancies by rt-PCR. In Cotter FE.(ed). Methods in molecular medicine, molecular diagnosis of cancer. Hurnana Press Inc. Totowa NJ. 1966, pp 25 - 36. Davis L, Kuehl M, Battey J. Basic methods in molecular biology. Second edition. Appleton and Lange 1994. Erlich HA (ed). PCR technology. Principal and applications for DNA amplification. M Stockton press 1989, pp 1 - 5. Evans H, Sillibourne J. Detection of the BCR-ABL gene in CML/ ALL patients. Promega Notes Mag 57, 1996: 21 - 23. Ford D, Easton DF, Bishop DT, Narod SA, Goldgar DE, Breast Cancer Linkage. Risks of cancer in BRCA 1 mutation carriers. Lancet 343, 1994: 692 - 5. Friedman LS, Ostermeyer EA, Szabo CI, Dowd P, Lynch ED, Rowell SE, King M-C. Confirmation of BRCAl by analysis of germline mutations linked to breast and ovarian cancer in ten families. Nature Genetics 8: 399 - 404, 1994. Hames BD. One dimensional polyacrylamidegel electrophoresis. 1n:Hames BD, Rickwood D. Gel electrophoresis of protein. A practical approach 2"d edition, IRL Press Oxfor d, 1990, pp 1 147. Korf B. Molecular diagnosis (first of two parts). Molecular Medicine. N Engl J Med 332, 1995: 1218 - 20. Koster T, Rosendaal FR, de Ronde H, Briet E, Vandenbroucke JP, Bertina RM. Venous thrombosis due to poor anticoagulant responsto activated protein C: Leiden Thrombophilia Study. Lancet 342, 1993: 1503 - 6. Lodish H, Baltimore D, Berk A, Zipursky SL, Matsudaira P, Darnell J. Mole-cular Cell Biology. Sientific American Books. W.H. Freeman and Coy, New York, 1995. Langston AA, Malone KE, Thompson JD, Daling JR, Ostrander EA. BRCA 1 mutation in population-based sample of young women with breast cancer. N Eng J Med. 334, 1996: 137 - 42.
Leiden in Canadian blood donor population. Can Med Assoc J 155, 1996: 285 - 91. Maniatis T, Fritsch EF, Sambrook J. Molecular cloning. A Laboratory Manual. Cold Spring Harbor Laboratory 1982. Morris SW, Daniel L, Ahmed CMI, Elias A, Lebowitz P. Relationship of bcr breakpoint to chronic phase duration, survival, and blast crisis lineage in chronic myelogenous leukemia patients presenting in early chronic phase. Blood 75, 1990: 2035 - 41. Malourn K, Pritsch 0 , Dighiero G. Minimal residual disease detection in B-cell malignancies by assesing IgH rearrangement. Hematol Cell Ther 39, 1997:119 - 24. Miki Y, Swensen J, Shattuck-Eidens D, Futreal PA, et al. A strong candidate for the breast and ovarian cancer susceptibility gene BRCA 1. Science, 266, 1994: 66 -71. ,Ridker PM, Hannekens CH, Lindpaintner K, Stampfer MJ. Eisenberg PR, Miletich JP. Mutation in gene coding for coagulation factor V and the risk of myocardial infarction, stroke, and venous thrombosis in apperently healthy men. N Engl J Med 332. 1995: 912 - 7. Rees DC, Cox M, Clegg JB. World distribution of factor V Leiden. Lancet 346, 1995: 1 133 - 4. Ruteshouser EC, Huff V. Blotting assays. Cancer Bull 47, 1995: 268 - 71. Schmid M, Schalasta G A rapid and reliable PCR based method for detecting the blood coagulation factor V Leiden mutation. Biochemica 1997 (3): 12 - 5. Schwartz RS. Jumping genes and the immunoglobulin V gene system. N Engl J Med 333, 1995: Saiki RK. The design and optimization of the PCR. In: Erlich HA (ed). PCR technology. Principal and applications for DNA amplification. M Stockton press 1989, pp 7 - 16. Simioni P, Prandoni P, Lensing AWA, Scudeller A, Sardella C, Prins MH, Villalta S, Dazzi F, Girolami A. The risk of recurrent venous thromboembolism in patients with an Arg506-to-Gln mutation in gene for factor V (factor V Leiden). N Engl J Med 336, 1997: 399 - 403. Simard J, Tonin P, Durocher F, Rommens J, et al. Common origins of BRCA 1 mutations in Canadian breast and ovarian cancer families. Nature Genetics 8, 1994: 392 - 8. Taylor GR. Polymerase chain raection: basic principles and automation. In McPherson MJ, Quirke P, Taylor GR (eds), PCR 1 Practical Approach. Oxford University Press 7Ih reprint 1996, pp 1 - 14. Trainor KJ, Brisco MJ, Wan JH, Neoh S, Grist S, Morley AA. Gene rearrangement in B- and T- Lymphoproliferative Disease Detected by the Polymerase Chain Reaction. Blood 78, no. 1, 1991: 192 6.
-
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENANDA TUMOR DAN APLIKASI KLINIK Ketut Suega, Imade Bakta
PENDAHULUAN Karsinogenesis adalah suatu proses multi langkah yang berlangsung lama melibatkan akumulasi gen yang mengalami kelainan sampai timbulnya lesi kanker pada tubuh. Deteksi tumor fase awal merupakan masalah yang penting bagi para onkologist oleh karena pada fase inilah terapi diharapkan memberikan hasil maksimal. Seperti diketahui penyebab primer dan faktor yang mengawali proses karsinogenesis adalah adanya defek pada protoonkogen, gen supresor dan beberapa gen esensial lainnya. Defek tersebut tidak saja dianggap sebagai faktor patogenetik tapi juga sebagai penanda tumor oleh karena mutasi DNA (defek genetik) yang terdeteksi pada cairan biologis tubuh merupakan petunjuk adanya pertumbuhan tumor. Penanda tumor (PT) adalah suatu molekul atau proses ataupun suatu substansi yang dapat diukur dengan suatu pemeriksaan (assay) baik secara kualitatif maupun kuantitatif pada kondisi prakanker dan kanker. Perubahan kadar tersebut dapat diakibatkan oleh tumor maupun oleh jaringan normal sebagai respon terhadap tumor. Definisi yang lebih umum dari PT adalah suatu alat yang dapat membantu para klinisi untuk menjawab pertanyaan sekitar masalah kanker dan istilah PT sering digunakan secara umum sekali. Terlepas dari definisi mana yang dipakai, PT sendiri dapat berupa DNA, mRNA, protein, atau bagian dari protein (seperti proses dari proliferasi, angiogenesis, apoptosis, d m lainnya). PT dapat ditemukan dalam jumlah yang banyak dalam darah atau urin pasien dengan kanker dan dapat juga dijumpai dalam darah dan urin pasien yang tidak menderita kanker. Di samping itu jaringan, air liur, cairan tubuh dan sel sendiri dapat dipakai sebagai bahan untuk pemeriksaan PT. PT banyak digunakan dalam klinik dalam rangka menambahkan informasi yang diperlukan sehingga dapat
membantu dalam pengambilan keputusan klinik suatu penyakit. Ada banyak jenis PT, beberapa diantaranya hanya diproduksi oleh satu jenis tumor sedang ada PT yang sama dibuat oleh beberapa jenis tumor. Pemeriksaan PT dapat dilakukan dengan melibatkan model binatang atau dengan menggunakan tes imunohistokimia. Perkembangan di bidang pemeriksaan PT sangat pesat dan beberapa pemeriksaan yang canggih dan baru seperti microarrays, serial analysis of gene expression (SAGE) dan mass spectrometry, studi proteomics untuk mengetahui proteom dari setiap sel, terus dikembangkan walupun beberapa diantaranya hanya digunakan untuk keperluan riset saja.
IDENTlFlKASl PENANDA TUMOR Sejarah perkembangan PT dimulai sejak ditemukannya pertama kali oleh Henry Bence-Jones pada tahun 1846 endapan protein dalam kencing yang diasamkan dari seorang pasien mieloma multipel dan sampai saat ini masih digunakan sebagai salah satu tanda adanya imunoglobulin rantai ringan, dan sejak saat itu telah ditemukan makin banyak PT yang potensial. PT yang pertarna kali digunakan sebagai alat untuk mendeteksi adanya kanker adalah Human Chorionic Gonadotropin (HCG). HCG digunakan untuk mengetahui adanya kanker dari jaringan plasenta yang disebut gestational trophoblastic neoplasia (GTN). Beberapa tumor testis d m ovariurn juga memproduksi HCG oleh karena berasal dari sel germinal. Dalam perkembangan selanjutnya banyak sarjana dalam melakukan risetnya berusaha menemukan suatu PT yang dapat mendeteksi semua kanker hanya dengan satu jenis tes. Pada tahun 1965 Dr. Joseph Gold menemukan suatu substansi dalam darah pada pasien dengan kanker kolon yang disebut carcino embryonic antigen (CEA). Sejak tahun
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1423
PENANDA TUMOR DAN APLIKASI KLINIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Protein merupakan target yang digunakan
1970 tes darah telah makin berkembang untuk mendeteksi adanya PT, diberikan label numerik seperti misalnya CA 199 untuk kanker kolorektal dan kanker pankreas, CA 15-3 untuk kanker payudara, dan CA 125 untuk kanker ovariurn. Dan banyak lagi yang ditemukan akan tetapi penyelidikannya tidak dilanjutkan oleh karena tidak memberikan manfaat yang lebih baik dibandingkan dengan PT yang sudah ada. Namun demikian sampai saat ini belum ditemukan target utama dari penelitian tentang PT ini yaitu menemukan PT yang dapat mendeteksi adanya lesi prakanker. Tidak saja PT ini tidak cukup sensitif akan tetapi juga tidak spesifik untuk satu jenis tumor saja. Seperti misalnya pasien dengan kanker paru atau payudara akan mempunyai kadar CEA yang tinggi, walaupun CEA merupakan penanda adanya tumor kolon. Tidak seperti penemuan obat-obat baru sampai pada pengesahannya sebagai obat standar, prosedur untuk pemeriksaan PT mulai dari penelitian laboratorium sampai aplikasi klinik belum ditentukan dengan jelas. Khususnya apabila pemeriksaannya menggunakan bahan jaringan dan dengan tujuan untuk menentukan PT yang bersifat prediktif. Untuk mengatasi ha1 ini setelah melalui beberapa kali pertemuan dan konsensus mengenai karakteristik dan aplikasi klinik dari PT maka National Cancer Institute merekomendasikan suatu strategi untuk menentukan suatu PT. Penanda biologis dengan potensi diagnostik dan prediktiftersebut mula-mula akan diperiksapada fase I yang terdiri dari pilot study. Pada fase ini metode yang dipakai tersebut akan dites menggunakan material baik yang berasal dari jaringan normal maupun jaringan tumor untuk mengetahui perubahan kadar molekul yang bersangkutan. Apabila pemeriksaan cukup meyakinkan baik secara kualitatif maupun kuantitatif,kemudian dilakukan studi fase I1 yang merupakan studi retrospektif dengan menggunakan sampel klinik yang sudah ditentukan untuk mendapatkan nilai klinik PT yang potensial. Setelahitu akan diikuti dengan fase I11 dengan studi komfirmasi menggunakan sekelompok pasien dan fase IV yang merupakan fase validasi kadar PT dengan melakukan studi terbuka pada banyak institusi seperti pada trial klinik. PT dan tumor antigen mempunyai peran yang menjanjikan di dalam aplikasi klinik akan tetapi dengan teknologi yang terdahulu belum dapat menentukan lokasi dari protein tersebut sehingga belum dapat dengan tegas menggambarkan asal dari tumornya. Dahulu penemuan suatu PT merupakan suatu produk sampingan dari suatu studi, bukan suatu tujuan utama dari riset. Pada perkembangan terakhir ini ditemukan 2 jenis teknologi untuk mengidentifikasi PT yaitu serial analysis of gene expression ( SAGE ) dan microarray analysis. Akan tetapi kedua cara ini mempunyai keterbatasannyadalam mengenal PT. Yang utama adalah adanya kenyataan bahwa perbedaan kadar pada level mRNA tidak sepenuhnya mencerminkan adanya perbedaan pada kadar proteinnya.
baik sebagai diagnosis maupun target terapi sehingga diperlukan suatu konfirmasi dari masing kandidat PT di tingkat ekspresi proteinnya. Salah satu studi dengan menggunakan SAGE pada kanker kolorektal telah berhasil menghitung ekspresi gen yang bertanggung jawab. Buckhaulst et al., berhasil mengidentifikasikan penanda dini dari kanker kolorektal melalui perbandingan ekspresi gen pada adenoma, kanker kolon dan epitel kolon normal yang berasal dari pasien dengan familial adenomatosis polyposis. Pada studi ini didapatkan 20 transkrip protein dengan peningkatan kadar hampir 20 kali pada adenoma dan kanker kolon dibandingkan dengan epitel normal. Enam diantaranya dapat dipergunakan sebagai PT oleh karena dia dapat mengkode protein permukaan. Studi lain dengan SAGE dapat membedakan antara adenocarcinoma dan squamous cell carcinoma pada kanker paru. Namun demikian diperlukan studi lanjutan untuk dapat menggunakan PT yang baru sebagai alat untuk menegakkan diagnosis penyakit. PT yang ideal adalah PT yang sangat spesifik artinya dia hanya ada pada tumor tersebut dan juga perlu sensitifitas yang tinggi artinya dapat mendeteksi tumor pada kondisi prakanker. Akan tetapi sampai saat ini belum ada satupun PT yang ideal dan pemeriksaan hanya satu jenis PT tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis suatu tumor oleh karena: 1. kadar PT dapat meningkat pada pasien tanpa kanker; 2. kadar PT tidak meningkat pada setiap pasien kanker, lebih-lebih pada kanker stadium dini; 3. banyak PT meningkat kadarnya pada berbagaijenis tumor. Akan tetapi kadar PT akan sangat berguna apabila digunakan bersama-sama dengan pemeriksaan rontgen dan tes darah lainnya untuk menegakkan diagnosis kanker pada individu yang diketahui mempunyai risiko tinggi untuk kanker.
KLASlFlKASl PENANDA TUMOR Banyak macam penggolongan yang dapat ditemukan mengenai PT. Berdasarkan aspek kliniknya maka PT dapat dibedakan menjadi: screening, prognosis, predictive dan monitoring markers. Screening Markers Penanda ini merupakan bagian dari penanda diagnosis. Hal yang penting diperhatikan pada penanda ini adalah sensitivitas dan spesifisitas dari PT dalam menunjang diagnosis. Untuk dapat berfungsi sebagai penanda yang dapat mengenal tumor pada fase awal maka PT yang bersangkutan harus mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Namun demikian, tergantung dari jenis tumor tingkat sensitivitas dan spesifisitasnya dapat bervariasi. Sebagai contoh skrining untuk tumor kolon
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOGI MEDIK
HANYA DI karena SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI memerlukan spesifisitas yang tinggi oleh semua risk-group nya khususnya pada payudara berdasarkan pasien dengan tes positif akan menjalani pemeriksaan kasus yang node-negative. Penanda lainnya yang juga kolonoskopi suatu prosedur invasif dan mahal. Sebaliknya mendapat validasi dan evaluasi yang konsisten sebagai pada kanker payudara walaupun dengan spesifisitas yang penanda prognosis adalah proliferation marker thymitidak terlalu tinggi asalkan di sertai dengan sensitivitas dine labelling index juga untuk kanker payudara. tinggi tetap dapat diterima karena akan dilanjutkan dengan Beberapa ha1 yang perlu untuk diperhatikan sebelum pemeriksaan mammography yang dianggap murah dan menetapkan suatu PT sebagai penanda prognosis adalah lebih mudah. Hal ini akan mengurangi jurnlah pasien yang PT ini sebaiknya hanya dievaluasi pada pasien yang tidak menjalani pemeriksaan sekaligus memastikan mereka yang menerima terapi sistemik setelah pemberian terapi lokodengan tes positif (sensitivitas) harus menjalani regional, oleh karena pemberian terapi sistemik akan pemeriksaan lanjutan.Di samping ha1 itu, prevalensi kanker mempengaruhi perjalanan penyakit secara signifikan. Hal yang kedua adalah PT yang berkaitan langsung dengan yang bersangkutan juga dapat menyebabkan tingkat spesifisitas suatu tes dapat diterima sebagai tes skrining. perjalanan dari suatu tumor tidak akan memberi manfaat klinik. Manfaat dari penanda prognosis dan juga lainnya Seperti misalnya penelitian pada kelompok pasien dengan tergantung dari apakah hasilnya akan mempengaruhi risiko tinggi maka hasil nilai prediksi positif akan tinggi, penatalaksanaan selanjutnya. Misalnya pada pasien oleh karena hasil positif palsu lebih banyak pada populasi dengan kemampuan yang sangat terbatas tentunya yang tidak diteliti. Akan tetapi perlu diingat bahwa disini penentuan prognosis tidak akan memberikan manfaat sensitivitas tidak mempunyai pengaruh yang besar dan maksimal. ha1 ini dapat diatasi misalnya dengan melakukan pemeriksaan PT lain yang tidak ada hubungannya dengan PT yang pertama. Predictive Markers Sampai saat ini hanya ada 2 jenis PT yang diterima Predictive markers memprediksi respon terapi sedangkan sebagai tes skrining yaitu PSA, yaitu suatu PT untuk prognostic markers memprediksi terjadinya kekambuhan mendiagnosis kanker prostat dan pemeriksaan hemogloatau progresi dari penyakitnya. Akan tetapi banyak bin pada feses untuk skrining kanker kolon. PSA penanda mempunyai kedua sifat tersebut. Pada kanker mempunyai sensitivitas yang tinggi tapi spesifisitas yang payudara, penanda yang banyak diteliti sebagai predickurang. Hal ini dapat diterima karena pemeriksaan biopsi tive marker adalah reseptor hormon steroid. ER (estrogen prostat dianggap prosedur yang relatif mudah. Namun receptor) dan PgR (progesterone receptor) dapat demikian banyak usaha baru yang dilakukan dalam rangka memprediksi respons terapi hormonal. Pasien yang menemukan suatu bahan lain yang dapat dikombinasikan berespons dengan dengan terapi hormonal mempunyai dengan PSA untuk meningktkan spesifisitas. Suatu kit korelasi positif dengan kadar ER pada tumor primer dan pemeriksaan darah tersamar pada feses dengan spesifisitas pada kasus yang lanjut, keberhasilan terapi lebih banyak yang tinggi telah dipasarkan walaupun sensitivitasnya dijumpai pada kasus dengan tumor dengan kadar ER dan masih belurn maksimal. PgR yang tinggi. Salah satu kesulitan tes skrining ini adalah tingkat Selama hampir 20 tahun keberadaan dari ER dan PgR kepatuhan pasien. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien pada tumor primer merupakan petunjuk utama bagi para syarat tes skrining haruslah tidak terlalu invasif dan klinisi untuk mengobati kanker yang recurrent dengan terapi prosedur yang tidak rumit sehingga bisa mudah dikerjakan. hormonal. Akan tetapi status reseptor hormonal ini tidak Di samping tentu saja hasil pemeriksaan PT yang sepenuhnya dapat memprediksi mana pasien yang akan bersangkutan akan membawa keuntungan yang lebih pada memberi respons ataukah resisten dengan terapi pasien yaitu tingkat kesembuhan yang tinggi. hormonal. Pada pemberian terapi hormonal adjuvant pada kanker payudara dengan ER positif hanya memberi respons sekitar 20-25% saja. Oleh karena itu banyak para saljana Prognostic Markers masih meneliti biological predictive marker yang lainya Penanda ini akan memberikan informasi mengenai hasil sebagai target potensial di masa depan seiring dengan pengobatan dan juga tentang tingkat keganasan dari berkembangnya teknologi pemeriksaan yang makin canggih. tumornya. Umumnya penanda ini dievaluasi pada saat pemberian terapi pertama pada masing individu. Salah satu Monitoring Markers contoh PT yang dapat memberikan informasi prognosis Penanda ini dapat digunakan pada beberapa keadaan. yang banyak digunakan di klinik adalah uPA (urokinasePertama, PT yang sudah baku dapat dipakai untuk type plasminogen activator) dan PAI- 1 ( plasminogen memonitor manfaat atau respons terapi yang diberikan. activator inhibitor type-I) pada kanker payudara. PT ini Artinya perubahan dari status penyakitnya juga diikuti merupakan yang pertama dilakukan validasi dengan level dengan perubahan dari kadar PT. Juga dapat digunakan of evidence yang tinggi. Kombinasi kedua PT ini dapat sebagai alat follow-up setelah pemberian terapi awal menggambarkan prognosis pasien dengan kanker ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1425
PENANDA TUMOR DAN APLIKASI KLINIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dengan tujuan melihat awitan timbulnya dan beratnya recurrent disease. Pengukuran kadar PT untuk evaluasi terapi sering dipakai sebagai surrogate end point dari manfaat terapi tersebut. PT jenis ini jelas sangat bermanfaat untuk pergantian dan pemilihan terapi lainnya apabila tidak dijumpai adanya respons terhadap terapi yang diberikan atau adanya toksisitas obat sehingga pasien terhindar dari paparan obat terlalu lama. Pada pasien kanker sel germinal, alfa fetoprotein dan HCG dipakai sebagai alat monitor dari keberhasilan terapi. Sedang pada pasien dengan kanker saluran cerna, CEA dan CA 19-9 digunakan sebagai alat untuk mengetahui kekambuhan penyakit setelah terapi awal. Hal yang sama pada kanker ovarium, CA 125 umumnya dipakai untuk mengetahui adanya proses kekambuhan. Namun perlu untuk diingat, agar PT klas ini mempunyai manfaat klinik yang jelas, harus dapat dibuktikan bahwa dengan dilakukannya deteksi dini akan meningkatkan kemampuan hidup pasien. Pada kanker payudara ternyata tidak didapatkan manfaat dengan mengukur kadar PT secara reguler pada follow-up setelah terapi primer sehingga pemeriksaan PT pada fase ini tidak direkomendasikan walaupun hasil yang didapatkan dapat merupakan alat monitor yang berguna selama terapi sistemik pada kanker payudara yang mengalami kekambuhan. Berdasarkan spesifitasnya maka PT dapat dibedakan menjadi: tumor speczfic proteins, non-specific dun cell specific protein overexpressed in malignant cell.
Tumor Specific Proteins PT spesifik hanya diekspresikan oleh sel tumor tertentu. Sebagai contoh adalah apa yang dikenal sebagai fusion proteins yang merupakan penggabungan antara onkogen yang bertanggung jawab pada proses malignansi dengan gen promotor yang lain. Sebagai akibatnya adalah produksi protein yang aktif yang merupakan klon yang malignan. Kromosom Philadelphia adalah salah satu contoh fusion protein yang merupakan penanda yang cukup spesifik untuk lekemia mieloid kronik. Dengan melakukan DNA sekuensing dapat direkombinasikanfusion genes sehingga dapat diciptakan atau bahkan dirusaknya gen yang bertanggung jawab pada suatu proses keganasan. Non Specific Proteins Protein onkofetal adalah salah satu contoh PT yang walaupun tidak terlalu spesifik akan tetapi cukup berguna. Protein ini diekspresikan selama pertumbuhan embriologis dan juga pada sel kanker. Protein oncofetal yang paling sering digunakan sebagai PT adalah CEA yang diekspresikan oleh semua sel kanker saluran cerna dan sel kanker lainnya. Protein lainnya adalah alfa fetoprotein yang dijumpai pada sel kanker hati dan juga pada kanker testis dan ovarium.
C e l l S p e c i f i c Protein O v e r e x p r e s s e d i n Malignant Cells Beberapa jenis protein diekspresikan secara berlebihan oleh sel kanker tertentu yang sebenarnya merupakan ekspresi dari sel yang mengalami diferensiasi normal sehingga kadarnya dalam serum relatif lebih tinggi pada pasien dengan kanker. Hal ini dapat dilihat pada kasus kanker prostat dimana didapatkan peningkatan konsentrasi dari PSA (prostate speszfic antigen). Berdasarkan struktur biologis PT dapat dibedakan antara protein markers dan DNA markers; Protein marker sudah lebih dahulu dikenal dan banyak digunakan dalam klinik. Walaupun jumlahnya akan makin meningkat dengan ditemukannya teknologi proteonomik, tapi hanya sedikit yang masih akan digunakan. Protein yang pertama kali dikenal dan digunakan dalam praktek klinik adalah alfa fetoprotein, yang kemudian diikuti oleh CEA, CA 125, PSA, dan lainnya. Sedang DNA markers adalah defek genetik yang bertanggung jawab atas terjadinya proses karsinogenesis. Seperti diketahui proses karsinogenesis adalah proses multi langkah yang berlangsung lama akibat adanya akumulasi dari gen yang mengalami defek pada saat terjadinya proses pembelahan sel, perbaikan DNA maupun proses apoptosis. Dengan kemajuan pengetahuan mengenai mekanisme karsinogenesis, diketahui bahwa beberapa kelainan gen tadi dapat dipakai sebagai petunjuk adanya proses malignansi sehingga digunakan sebagai PT untuk diagnosis kanker., Defek genetik sebagai PT merupakan klas terbaru dan mempunyai potensi diagnostik yang baik.
Penanda rotei in
Pro~erti
Karakter universal Onko spesifitas Spesifitas jaringan
Penanda DNA
Tidak ada
Absolut
Relatif Tinggi
Absolut Tidak ada secara virtual
Stadium deteksi
Tumor yang berkembang
Sel-sel yang terinisial
Asal
SeCsel hidup
Sel-sel yang mati
Materi klinis
Darah (kebanvakan) urin
Tumor, alami
Secara umum kedua jenis PT ini dapat saling melengkapi dalam rangka menegakkan diagnosis adanya tumor. Beberapa karakteristik dari DNA markers ini adalah dia adalah universal artinya ditemukan pada hampir semua sel kanker yang bersangkutan, berbeda dengan penanda protein yang tidak didapatkan pada semua tumor. Penanda DNA bersifat sangat oncospeszfic artinya dia merupakan produk dari proses karsinogenesis (direct cause and effect relationship in carcinogenesis), sedang penanda protein dapat merupakan penanda dari proses diferensiasi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOGI MEDIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI normal dari sel yang mengalami maturasi, sehingga protein mungkin dapat dideteksi pada kondisi patologis lainnya. Namun demikian penanda DNA tidak dapat menggambarkan asal jaringan (lokasi), tidak seperti ha1 penanda protein. Penanda DNA sangat potensial dalam memprediksi fase awal dari proses pembentukan kanker, tapi ha1 ini masih perlu penelitian lebih lanjut. Penanda protein akan makin meningkat kadarnya dengan berkembangnya sel kanker tersebut akan tetapi pada penanda DNA justru konsentrasinya akan makin meningkat dengan makin banyak proses apotosis atau nekrosis yang terjadi pada sel kanker tersebut, yang akan melepaskan DNA dari sel ke ruang ekstra seluler.
tumor sel islet, kanker usus kecil dan besar, hepatoma, lambung, paru, ovarium, payudara dan kanker ginjal. Untuk pemeriksaan penanda tumor biasanya diperiksakan HCG intak dan beta subunit HCG karena ada jenis tumor yang hanya memproduksi subunit beta saja. Beberapa peneliti mendapatkan hubungan antara kadar HCG dengan ukuran tumor dan prognosisnya. Peningkatan HCG juga ditemukan pada laki-laki dengan tumor mediastinum (mediastinal germ cell neoplasm). Hormon ini dapat dideteksi di darah dan urin. Karena HCG tak dapat menembus sawar darah otak maka rasio kadar HCG antara cairan sebrospinal dan serum >1:60 menunjukkan kemungkinan adanya metastase ke serebral.
PENANDA TUMOR
Carcino Embryonic Antigen (CEA) CEA diproduksi selama perkembangan bayi dan setelah lahir produksi CEA akan berhenti dan tak terdeteksi pada orang dewasa normal. CEA ditemukan pertama kali pada adenokarsinoma kolon pada tahun 1965. CEA dimetabolisme di hepar dengan waktu paruh sekitar 1-8 hari. Beberapa penyakit hati dan obstruksi biliaris akan menghambat klirens nya sehingga akan terjadi peningkatan kadar CEA. CEA adalah PT yang digunakan untuk pasien dengan kanker kolorektal. Kadar di atas 5 ulml sudah dianggap abnormal. Kadar yang tinggi juga dijumpai pada kanker paru, payudara, pankreas, tiroid, hati, serviks dan kandung kemih. Dalam kondisi normal kadar CEA meningkat pada perokok. Kadar CEA akan meningkat setelah kankemya sendiri terdeteksi sehingga CEA tidak digunakan sebagai alat diagnostik. CEA adalah satu-satunya penanda yang sudah digunakan sebagai alat monitoring kanker kolorektal selama >20 tahun, dan pemeriksaan serial lebih direkomendasikan untuk mendeteksi rekurensi kanker kolorektal pasca tindakan bedah. Peningkatan kadar CEA setelah tindakan dihubungkan dengan adanya kekambuhan dari tumornya.
Banyak jenis PT yang tersedia secara komersial akan tetapi tidak semuanya bermanfaat secara klinik. Ada juga PT yang hanya digunakan oleh para peneliti di dalam riset sehingga tidak tersedia di laboratoriurn komersial dan hanya apabila diketahui mempunyai nilai klinik maka PT yang bersangkutan akan dapat diperiksakan pada laboratorium klinik. Berikut beberapa PT yang sering digunakan di klinik. Alfa Fetoprotein (AFP) AFP biasanya didapatkan pada fetus yang sedang tumbuh, bayi baru lahir dan perempuan hamil, mempunyai kadar tertinggi sekitar 15 ugll setelah tahun pertama dari kehidupan dan akan meningkat pada kelainan hati dan keganasan lainnya. Protein ini diproduksi oleh hati bayi dan yolk sac.Peningkatan kadar AFP lebih dari 100 nglml paling sering dijumpai pada kanker sel germinal dan kanker hati primer, akan tetapi juga meningkat pada kanker lambung, kolon, pankreas dan paru yaitu sekitar 20%. Kadar AFP dijumpai lebih tinggi pada 213 pasien kanker hepatoselular. Kadar normal AFP tidak lebih dari 20 nglml, kadamya meningkat sesuai dengan peningkatan ukuran tumor. Dalam sirkulasi waktu paruh AFP adalah 3,5- 6 hari. Pada tumor kecil kadamya bisa lebih kecil dari 20 nglml. AFP juga meningkat pada hepatitis akut dan kronis tapi kadamya tidak lebih dari 100 nglml, tapi tidak meningkat pada penyakit kolestasis. Human Chorionic Gonadotropin (HCG) HCG dalam keadaan normal disekresikan oleh jaringan plasenta dan mencapai kadar tertinggi pada umur kehamilan 60 hari. Hormon ini terdiri dari 2 subunit yaitu alpha subunit dan beta subunit, dengan waktu paruh sekitar 12-24 jam. Kadar normal HCG adalah 1-5 nglml dan sedikit meningkat pada perempuan pasca menopause (sampai 10 nglml). Kadar yang tinggi dari HCG dapat ditemukan pada kehamilan mola, korio karsinoma. Peningkatan kadar HCG dapat juga dijumpai pada adenokarsinoma pankreas,
Cancer Antigen 15-3 (CA 15-3) CA 15-3 pertama kali digunakan pada kanker payudara. Kadamya hanya meningkat kurang lebih 10% pada kasus yang dini tapi akan meningkat sampai 75% pada kanker yang sudah lanjut. Kadar normal CA 15-3 adalah sekitar 25 d m l , dan kadar setinggi 100 u/ml bisa dideteksi pada perempuan yang tidak menderita kanker. CA 15-3 juga meningkat pada kanker lainnya seperti kanker pankreas, paru, ovarium dan hati. Pada hepatitis dan sirosis juga ditemukan kadar CA 15-3 yang meningkat. Sampai saat ini ada beberapa PT yang dapat digunakan untuk kanker payudara, seperti : CEA< MCA, CA 549, BR 27-29 dan BRMA. Penanda lainnya seperti CYFRA2 1.1, TPA, TPS dan c-erbB atau HER-21 neu.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENANDA TUMOR DAN APLIKASI KLINIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Cancer Antigen 125 (CA 125) CA 125 adalah PT standar untuk kanker epitelial ovariurn. Kadarreferensi yang banyak dianut adalah 0-35 kuL, narnun hampir 99% perempuan normal pascamenopause mempunyai kadar <20 kU/L. Kadar antara 100kU/L dm lebih dapat dijumpai pada perempuan pramenopause pada saat menstruasi. Lebih dari 90% pasien mempunyai kadar CA 125 lebih dari 30 ulml apabila kanker sudah lanjut. CA 125 sedang diteliti sebagai alat untuk skrining diagnosis oleh karena kadarnya meningkat apabila penyakitnya hanya mengenai ovarium. Akan tetapi masalahnya banyak perempuan dengan kadar >30 Ulml tidak didapatkan dengan kanker ovarium. Kadar yang tinggi juga ditemukan pada perempuan dengan endometriosis, pada kanker paru dan individu yang mempunyai kanker sebelumnya. Kadar CA 125 yang meningkat juga ditemukan pada kondisi nonmalignan seperti penyakit hati, fibroid, kista ovarium, dan peritonitis. Cancer Antigen 19-9 (CA 19-9) CA 19-9 dijurnpai pada epitel lambung bayi, saluran usus halus dan hati serta pankreas bayi serta pada serum pasien dengan keganasan. Walaupun CA 19-9 pertama kali dilakukan untuk kanker kolorektal, akan tetapi saat ini diketahui penanda ini lebih sensitif untuk kanker pankreas. Dan saat ini dianggap sebagai PT yang terbaik untuk kanker pankreas. Dia tidak bisa untuk mendeteksi kasus awal karena kadar CA 19-9 yang meningkat menandakan kasus tersebut sudah lanjut. Kadar abnormal CA 19-9 adalah di atas 37 uJ ml. CA 19-9juga dapat meningkat pada kanker saluran cerna jenis lainnya seperti kanker duktus biliaris. Kadar yang meningkat juga dapat dilihat pada hepatitis, sirosis, pankreatitis dan kelainan saluran cerna lainnya. Keadaan ikterus akan mempengaruhi spesifisitas' CA 19-9, karena pada kondisi dengan ikterus didapatkan kadar CA 19-9 yang meningkat sehingga CA 19-9 kurang sensitif dalam mendeteksi kanker pankreas fase awal dan hanya 55% pasien kanker pankreas dengan kadar CA 19-9 yang tinggi apabila masa tumor <3 cm. Prostate Specific Antigen (PSA) Dalam kondisi normal kadar PSA <3 nglml pada laki dewasa. PSA diproduksi di sel prostat dan kadar di atas 4 nglml ditemukan pada penyakit prostat baik kasus malignan maupun kasus jinak seperti prostat hiperplasia. Walaupun diganosis pasti dari kanker adalah biopsi tapi dengan melihat kadar PSA akan memberikan informasi penting tentang kondisi pasien. PSA satu-satunya PT yang sudah diakui sebagai alat skrining untuk kanker prostat. Pemeriksaan PSA terdiri dari PSAfree dan PSA act yang merupakan kompleks antara PSA dengan alpha-l antichymotrypsin. PSA act merupakan rasio antara total PSA dengan PSAPee, dan digunakan untuk membedakan antara kasus jinak seperti prostat hipertrofi dengan kanker
prostat. Kadar di bawah 4 nglml menunjukan tidak adanya lesi malignan sedang kadar di atas 10 nglml menandakan lesi kanker, sedang nilai antara 4-10 nglml merupakan area abu-abu yang masih memerlukan pemeriksaan tambahan atau serial PSA. Disini dapat dimintakan pemeriksaan PSA free. Kadar PSAfree yang meningkat jarang diikuti oleh adanya kanker, dan kadar PSA free lebih besar 25% dari total PSA umumnya merupakan lesi jinak. Di bawah 15% kemungkinan suatu kanker meningkat di atas 20% dan apabila < 10% maka kemungkinan kanker meningkat menjadi sekitar 30-60%. Umumnya kadar di atas 4 nglml mengharuskan tindakan biopsi prostat dan kadar >20 ng/ ml menunjukkan kanker sudah menyebar dan biasanya tidak bisa disembuhkan. Banyak faktor lain yang mempengaruhi kadar PSA yaitu umur tua akan cenderung mempunyai kadar yang lebih tinggi. Demikian pula pada pasien BPH (benign prostate hypertrophy). Kadar PSA berkorelasi linier dengan pertumbuhan tumor, makin besar jaringan tumor makin tinggi peningkatan kadar PSA. Terapi hormonal juga dapat mempengaruhi sekresi PSA dan ha1 ini sangat ditentuksn oleh aktivitas androgen. Pada pasien kanker proslat yang sudah mendapat terapi bedah atau radioterapi menunjukkan peningkatan kadar PSA merupakan tanda adanya rekurensi. Setelah terapi seharusnya kadar PSA adalah 0. Demikian halnya, kadar PSA seharusnya menurun setelah pasien mendapat terapi yang efektif dan kadarnya meningkat apabila tumornya tetap berkembang. Beta 2-Microglobulin (B2M) B2M merupakan protein yang berhubungan dengan membran luar dari banyak sel termasuk sel limfosit. Dia merupakan unit kecil dari molekul MHC klas I dan diperlukan untuk transpor rantai berat klas I dari retikulum endoplasmik ke permukaan sel. Pada kadar yang kecil B2M dapat ditemukan pada serum, urin dan cairan spinal orang normal. B2M meningkat pada leukemia limfoblastik akut, leukemia kronik, mieloma multipel dan beberapa limfoma. Pada pakreatitis juga didapatkan kadar B2M yang meningkat. Pada mieloma multipel B2M sangat baik untuk menentukan prognosis. Pasien dengan kadar >3 nglml akan mempunyai prognosis yang lebih jelek. Bladder Tumor Antigen (BTA) BTA dijumpai pada urin pasien dengan kanker kandung kemih. Dan bersama dengan NMP 22 digunakan sebagai tes untuk memonitor rekurensi kanker. Hal ini belum banyak digunakan ,masih dilakukan studi lanjutan. Akan tetapi banyak ahli masih menganggap sitoskopi lebih baik dari pada penanda ini. CancerAntigen 27.29 (CA 27.29) CA ini juga dipakai untuk kanker payudara, akan tetapi dia tidak lebih baik dari pada CA 15-3. Akan tetapi dia lebih
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOGI MEDlK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI jarang positif pada individu yang sehat. Kadar normal biasanya kurang dari 38-40 dml. Penanda ini temyata juga dapat meningkat pada kanker yang lain. HER-2/neu (c-erbB-2) HER-2/neu merupakan penanda yang ditemukan pertama kali pada sel kanker payudara dan dapat dilepaskan ke sirkulasi darah. Protein ini dijumpai pada permukaan sel epitel dan berfungsi sebagai reseptor untuk faktor pertumbuhan sel. Pada sel kanker protein ini akan kehilangan respon normalnya untuk faktor regulator lainnya sehingga akan menyebabkan kontrol regulasi terhadap suatu sel hilang dan timbulah kanker. HER-2/neu juga dapat dijumpai pada kanker lain. Dia hanya digunakan untuk meramalkan prognosis. Perempuan dengan kanker payudara dengan penanda ini tidak akan memberikan respons baik dengan kemoterapi dan mempunyai prognosis yang jelek. Umumnya penanda ini tidak diperiksa melalui darah tapi memeriksa sel kankemya dengan menggunakan immz~nohistochemistryatau pewarnaan khusus pada jaringan kankernya. Pemeriksaan lainya yaitu dengan ELISA untuk menghitur kadarnya dalam darahlserum. Kadar normal dalam darah adalah di bawah 450 fmol/ml. Lipid Associated Sialic Acid in Plasma (LASA-P) LASA-P telah diteliti sebagai penanda pada kanker ovarium dan kanker lainnya. Namun belum menunjukkan mafaat yang besar sehingga penggunaannya sudah mulai ditinggalkan. NMP22 NMP22 merupakan protein yang ditemukan pada urin pasien kanker kandung kemih. Awalnya digunakan untuk follow-up pasien dengan kanker kandung kemih untuk menghindari pemeriksaan sistoskopi yang berulang. Pemeriksaan ini sudah mulai ditinggalkan karena tidak sensitif. Neuron Spesific Enolase (NSE) NSE disekresi oleh sel saraf dan sel neuroendokrin susunan saraf pusat dan tepi. Peningkatan kadar NSE > 12 nglml biasanya dianggap abnormal. NSE kadang dipakai untuk kanker paru khususnya pada kanker sel kecil. Protein ini didapatkan lebih baik dari pada CEA untuk follow-up pasien kanker sel kecil. Penanda ini juga ditemukan pada beberapa tumor neuroendokrin yaitu karsinoid, neuroblastoma, kanker medula tiroid, tumor Wilm's dan pheochromocytoma. Thyroglobulin (hTG) Thyroglobulin diproduksi oleh kelenjar tiroid dan kadamya meningkat pada kelainan tiroid. Apabila kanker
tiroid telah diangkat dan kadar thyroglobulin meningkat di atas 10 nglml maka dapat diduga terjadi kekambuhan. Kadar ini juga dapat diikuti untuk mengevaluasi hasil terapi pada kanker tiroid yang metastase. Kadar hTG yang meningkat juga dapat dijumpai pada tumor Wilm's. S-100 S-100 berhubungan dengan melanoma malignan. Pada studi awal diketahui tejadi peningkatan pada hampir semua pasien dengan melanoma malignan. Hal ini sedang diteliti dan tes pemeriksaan S-100 masih pelajari. Cancer Antigen 72-4 (CA 72-4) CA 72-4 merupakan tes yang relatif baru untuk kanker ovarium dan kanker yang berasal dari saluran cerna. Tidak lebih baik dari CA 125 tapi dapat menambahkan nilai diagnosis dan ha1 ini masih dalam penelitian lanjutan. Squamous Cell Carcinoma Antigen (SCC) SCC pertama kali di identifikasi pada kanker serviks. Ini merupakan penanda dari kanker sel squmous yang dapat terjadi pada serviks, kepala dan leher, paru dan kulit. Kadar dari SCC dapat dipakai membantu menetapkan stadium dari karsinoma dan menentukan respon terapi (4,19) Beberapa pemeriksaan penanda lainnya dapat digunakan sebagai petunjuk adanya lesi kanker, seperti misalnya pemeriksaan metabolit katekolamin pada kasus neuroblastoma, hormon adrenokortikotropik dan antidiuretik hormon pada kasus kanker paru sel kecil. Alpha 2 macroglobulin dapat berikatan dengan PSA dan kompleks ini dapat digunakan pada kanker prostat. Kadar feritin yang tinggi juga dihubungkan dengan beberapa jenis kanker seperti kanker testis, neuroblastoma, limfoma Burkitt's, leukemia dan kanker laring. Pada kanker nasofaring didapatkan bahwa DNA EBV ( Epstein Burr firus ) dalam plasma dapat digunakan sebagai PT baik sebelum, selama maupun sesudah terapi diberikan.
APLlKASl KLlNlK PENANDA TUMOR Penggunaan PT di klinik ditujukan terutama untuk mendapat informasi tambahan yang dapat mempengaruhi penatalaksanaan suatu penyakit. Namun ditegaskan bahwa tidak dapat dijamin bahwa suatu metode pemeriksaan PT dalam darah ataujaringan akan memberikan hasil yang sama dengan metode yang berbeda. Demikian pula hasil dari suatu pemeriksaan akan sangat ditentukan oleh komposisi spesimen, prosesing dari jaringan yang akan diperiksa, spesifisitas'dan desain dari alat ukur yang dipakai, jenis antibodi pada assay immunometric dan yang penting juga adalah evaluasi statistik terhadap data yang didapat (preanalytical, analytical dun post analytical aspect).
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENANDA TUMOR DAN APLIKASI KLINIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PT akan sangat berguna dalam evaluasi dan penatalaksanaan beberapa kondisi klinik seperti penzntuan risiko suatu tumor, skrining tumor, diferensial diagnosis, menentukan prognosis dan monitoring perjalanan suatu tumor. Strategi skrining akan sangat efisien apabila dilakukan pada populasi dengan risiko tinggi terhadap munculnya suatu tumor yang diperkirakan, dan dengan makin majunya pengetahuan dimana beberapa gen yang diduga sudah dapat diidentifikasikan maka estimasi risiko timbulnya kanker akan makin tepat. Skrining PT akan makin bermanfaat apabila tersedia pilihan terapi yang dapat menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas dari kanker yang bersangkutan. Pada situasi dimana hasil dari pemeriksaan histopatologis meragukan, PT mungkin dapat membantu membedakan antara jaringan yang jinak dengan ganas, antara keganasan hematologi dengan keganasan yang berasal dari epitel atau jaringan mesensimal dan bahkan dapat membedakan tipe jaringan dengan jenis lainnya. Walaupun awalnya PT dipelajari untuk dapat mendeteksi tumor pada fase dini, namun sampai saat ini hanya PSA yang diterima sebagai penanda dini dari suatu kanker ( kanker prostat ). Pada pasien dengan kadar CA 125 tinggi diduga mempunyai kanker ovarium walaupun massa ovariumnya tidak terlalu jelas bisa di identifikasi. Banyak para peneliti meragukan manfaat pemeriksaan PT sebagai alat skrining tumor fase dini oleh karena tidak spesifiknya PT yang bersangkutan. Akan tetapi ha1 ini nampakya dapat diatasi dengan melakukan pemeriksaan kombinasi antara beberapa PT sekaligus sehingga meningkatkan daya spesifisitas. Peneliti Jepang mendapatkan hasil yang dapat menilai dengan adekuat risiko timbulnya kanker pada sekelompok orang yang sebelumnya normal. Dengan mengkombinasikan 3 macam klas PT yaitu tumor- speczfic tumor markers, tumor-associated tumor markers dan growth-related tumor markers assays. Prognosis pada pasien dengan tumor primer ataupun metastase adalah suatu prediksi suatu kondisi tumor di kemudian hari baik dengan pengobatan maupun tanpa pengobatan. Menurut McGuire dan Clark faktor prognosis dibagi menjadi 2 katagori yaitu faktor prognostik yang meramalkan adanya kekambuhan atau progresi dari penyakitnya dan faktor prediktif yang meramalkan adanya respons atau resisten terhadap terapi yang diberikan. Suatu PT bisa bersifat keduanya yaitu prognostik (kemungkinan kekambuhan dan atau progresi) dan prediktif (kemungkinan bermanfaat terhadap terapi yang diberikan). Sebagai contoh adalah pada pasien kanker payudara dengan ER- negative yang tidak mendapat terapi akan mempunyai risiko kekambuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien dengan ER-positive, diduga disebabkan oleh ER berhubungan dengan metastase atau potensi overgrowth. Pada kasus ini ER adalah faktor prognostik. Pada kasus lain pemberian tamoksifen (anti
estrogen) lebih efektif dalam mencegah rekurensi dari kanker payudara yang ER-positive dibandingkan dengan ER-negative. Disini PT ER adalah faktor prediktif terhadap efek tamoksifen. Selama dalam terapi dan fase follow-up selanjutnya pemeriksaan PT dapat dipakai sebagai alat untuk memonitor pasien. Baik untuk mendeteksi kekambuhan tumor primer setelah mendapat terapi maupun untuk melihat efektifitas hasil pengobatan. Banyak perempuan dengan kanker payudara diperiksakan setiap tahun CA 15-3 untuk mendeteksi rekurensi kankernya sebelum gejalanya timbul, namun ha1 ini masih banyak dipertanyakan manfaatnya. Umumnya peningkatan kadar CA 15-3 terjadi bersamaan dengan munculnya gejala. Demikian pula halnya dengan pemeriksaan CEA pada kanker kolon sehingga ASCO tak merekomendasikan penggunaan PT ini untuk monitor kasus dengan kanker kolon, kecuali untuk melihat respons terapi pada kanker kolon stadium lanjut. Kebanyakan para klinisi berpendapat manfaat PT terbesar adalah untuk memonitor pasien kanker stadium lanjut yang sedang mendapat terapi. Dimana akan lebih mudah untuk memeriksa PT dibandingkan melakukan pemeriksaan lainnya seperti scaning, X-ray dan pemeriksaan invasif lainnya. Kalau kadar PT menurun umumnya merupakan tanda dari keberhasilan terapi, demikian sebaliknya apabila kadarnya meningkat maka terapi hams diganti. Namun perlu diingat kadang terjadi peningkatan kadar PT pada saat terjadinya kematian dari sel kanker terutama pada kanker yang sensitif terhadap kemoterapi. Akhirnya pemeriksaan PT hanya akan menjadi efektif apabila hasilnya dapat mempengaruhi penatalaksanaan pasien sehingga menghasilkan perbaikan klinik yang nyata. Sebaliknya apabila PT yang bersangkutan tidak dapat memberikan manfaat baik dalam lama hidup, kualitas hidup pasien ataupun aspek ekonominya tentunya PT yang bersangkutan tidak layak untuk diteruskan. Akan tetapi walaupun belum tersedianya modalitas terapi untuk suatu tumor tertentu, pemeriksaan PT tetap akan memberi manfaat dikemudian hari seiring dengan perkembangan terapi dimasa depan. Karena pengetahuan tentang PT akan membuka peluang dikembangkannya suatu pendekatan baru berdasar atas pengenalan molekul protein dari PT tersebut. Demikian pula PT akan memberi nilai klinik yang tinggi apabila dia dapat mengambarkan suatu proses bilogis dari berkembangan suatu tumor.
Panduan untuk Penanda Tumor Perlu untuk diketahui bahwa panduan atau guideline tidak selalu bisa memenuhi setiap perubahan yang terjadi pada setiap pasien. Dia tidak dimaksudkan untuk memaksakan seorang klinisi pada suatu kondisi individu tertentu tapi lebih merupakan suatu petunjuk secara lebih umum. Dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOGI MEDlK
DI semua SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI juga dia tidak seutuhnyaHANYA inclusive pada metode PROSPEK PENANDA TUMOR penanganan pasien yang ada, sebaliknya tidak juga Banyak PT barn yang sedang diteliti dan dikembangkan mentabukan terapi lainnya yang jelas memberikan hasil sebagai suatu penanda tumor yang potensial di masa yang yang sama. ASCO menganggap kepatuhan pada akan datang. Dengan perkembangan tehnologi pemeriksaan guideline tertentu hanyalah bersifat sukarela (voluntary). dengan menggunakan antibodi monoklonal makin banyak Keputusan akhir mengenai penggunaan guideline saja penemuan tentang molekul yang berkaitan dengan tergantung dari penilaian klinik dari seorang dokter proses karsinogenesis pada tahap awal, baik pada darah berdasarkan kebutuhan dari pasiennya. Di samping itu maupun pada sel kankemya sendiri. Perubahan.kromosom, perlu diperhatikan guideline biasanya dibuat atas dasar baik delesi, duplikasi maupun lainnya telah diketahui dan pemberian pengobatan di dalam konteks praktis klinik mungkin akan menjadi penanda yang potensial. Di samping sehingga tidak dimaksudkan pada konteks penelitian yang itu banyak laboratorium yang mencari kelainan genetik umumnya dilakukan untuk mengetahui suatu terapi untuk mendeteksi adanya kanker. Kita ketahui semua inovatif dan baru. kanker akan mempunyai kelainan DNA, suatu molekul yang Clinical guideline bukanlah suatu magic bullet bagi mengatur setiap fungsi sel tubuh. Dengan mengetahui para klinisi akan tetapi hanya memberikan salah satu kelainan DNA dalam darah, urin, atau sel tubuh maka para pilihan tambahan untuk memperbaiki kualitas hidup ilmuwan akan dapat mengenal proses perkembangan pasien. Petunjuk penggunaan PT ini dibuat melalui kanker pada stadium awal sekali. Saat ini telah berkembang penilaian kritis dan sistematik dari literatur ilmiah oleh suatu studi yang baru yang disebut sebagai proteomics para ahli dari banyak disiplin ilmu, nasional maupun yaitu studi tentang protein complement yag komplit atau intemasional. Rekomendasi penggunaan PT merupakan suatuproteom dari sel. Dengan teknologiproteomic akan bagian dari penatalaksanaan menyeluruh dari seorang memungkinkan kita untuk mengenal perubahan protein pasien kanker karena kontribusi dari pemeriksaan PT tidak akibat suatu proses penyakit dengan akurasi yang tinggi. dapat diintepretasikan tersendiri. Dan keuntungan lainproteomic study ini adalah identifikasi Berikut disajikan salah satu guideline praktis dari protein yang merupakan produk akhir yang bertanggung penanda tumor dengan indikasinya pada jenis tumor yang jawab terhadap keseluruhan proses tersebut (biological bersangkutan yang direkomendasikan oleh group panelis endproducts). dari beberapa negara. (dikutip :34) A.Tumor Sel Germinativum ACBl
AJCC
EAU
EGPT
ESMO
NACB
SIGN
ACJJ
ASCO
EGPT
ESMO
NACB
SIGN
SOR
ACBl
AJCC
ASCO
EGPT
NACB
SOR
AFP dan hCg untuk Skrining Diagnosis Ideteksi Pentahapanlprognosis Mendeteksi rekurensi Memantau terapi AFP untuk diagnosis yang berbeda dari NSGCT LDH untuk Diagnosisldeteksi Pentahapanlprognosis Mendeteksi rekurensi Memantau terapi
B. Kanker Kolorektal ACBI CEA untuk Skrining Diagnosisldeteksi Pentahapanlprognosis Mendeteksi rekurensi Memantau terapi Skrining untuk metastase hepatik
C. Kanker Payudara Pengukuran ER dan PR Pada semua lesi primer Untuk memilah terapi endokrin Ekspresi lebih HER-21neu (c-erbB-2) Untuk memilah pasien terpi herceptin
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1431
PENANDA TUMOR DAN APLIKASI KLINIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
CA15-3 or BR27.29 for Skrining Diagnosisldeteksi Prognosislprediksi Follow-uplpemantauan treaPTent CEA untuk Skrining Diagnosisldeteksi Prognosislprediksi Follow up/pemantauan teaPTent D. Kanker Ovarium
AJCC
EGPT
ESMO
NACB
SOR
ACBI
ACS
AJCC
AUA
EAU
EGPT
BTA
EGPT Y
NACB
ACBI
CAI25 untuk Skrining Diagnosisldeteksi Pentahapanlprognosis Deteksi rekurensi Memantau terapi CEA atau CA19.9 jika CAI25 tidak meningkat pada Diagnosis AFP dan hCG untuk menyingkirkan diagnosis tumor sel germinal pada wanita muda
N N' Y Y
Y
E. Kanker Prostat NACB
PSA untuk Skrining (dengan DRE) Sebagai alat bantu diagnosis (dengan DRE) Prognosis Memantau pasien setelah diagnosis % bebas: Total PSA sebagai diagnosis pembantu ketika PSA 4-10 pg/L and DRE negatif Pemeriksaan kanker prostat Kisaran rujukan spesifik umur F. Paru, Neuroendokrin, dan Kanker Tiroid Kanker paru NSE pada diagnosis yang berbeda CYFRA 21-1, CEA, danlatau NSE sebagai follow-up and pemantauan terapi Tumor-tumor neuroendokrin Katekolamin urin, asam vanililmandalat, danlatau asam homovanilat sebagai petunjuk feokromositoma and neuroblastom Kalsitonin untuk mendiagnosis dan memantau Tiroid medulari karsinoma Kanker tiroid Tiroglobulin
Y
Y
N. not recommended; Y, recommended. Ruang kosong menunjukkan bahwa aplikasi tidak dipertimbangkan danlatau rekomendasi dijanjikan. bACBI, Association of Clinical Biochemists in Ireland: ESMO, European Society of Medical Oncologv: NSGCT, nonseminomatous germ cell tumor: LDH, lactate dehydrogenase: ER, estrogen receptor: PR, progesterone receptor: ACS, America Cancer Socienty: AUA, American Urological Association: BTA, British Thyroid Association. 'Manfaat pemeriksaan CEA meragukan. dPemeriksaan laboratorium dibatasi pada pasien dengan sangkaan gejala. 'Manfaat pemeriksaan CEA meragukan karena tidak menunjukkan manfaat kelangsungan hidup. 'Hanya jika metastasis hati diindikasikan secara klinis. 8Jika penyakit tidak dapat diukur segera, peningkatan Ca15-3 atau BR 27.29 bisa digunakan untuk menduga kegagalan terapi. hMungkin berguna untuk diagnosis dini metastasis jauh. 'Hanya jika CEA meningkat, dan CA 15-3 tidak meningkat. JJika penyakit tidak dapat diukur segera, peningkatan CEA mungkin bisa digunakan untuk menduga kegagalan terapi.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
kUntuk deteksi dini pada pasien karsinoma stadium 11 atau 111 yang telah diterapi sebelumnya yang secara klinis bebas penyakit. 'Pada perempuan pasca menopause, membantu dalam diagnosis diferensial masa pelvis jinak dan ganas. "Jika dikombinasi dengan sonografi transvagina, CA125 bisa menjadi prosedur untuk deteksi dini kanker ovarium pada perempuan dengan sindrom kanker ovarium herediter. "Pemeriksaan setiap tahun dimulai pada laki-laki usia 50 tahun dengan harapan hidup paling sedikit 10 tahun. "Berdasarkan permintaan, keputusan skrining populasi harus menunggu hasil studi acak prospektif yang menunjukkan pengaruh skrining pada hasil. psistem penentuan stadium TNM diperbaiki dengan penambahan skor PSA dan gleason, tetapi inklusi menunggu hasil studi. PSA telah berperan dalam penentuan stadium pada pasien menunjukkan stadium Tk setelan biopsi prostat yang asimtomatik dan selalu ditelusuri hanya jika PSA meningkat. qTerapi tambahan ditawarkan jika PSA meningkat.
Potensi dari diagnostik gen yang dipakai sebagai alat skrining pada tumor ataupun pada keseluruhan sel yang mengandung gen yang rusak bukanlah suatu yang mudah dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Perlu dibedakan kerusakan sel yang terjadi pada ketuaan, mengingat proses ketuaan sendiri merupakan akumulasi dari kerusakan gen yang sangat berpotensi untuk muncul dimasa yang akan datang sebagai suatu tumor yang manifes. Namun kenyataannya ha1 tersebut memang tidak mudah dikenali. Oleh karena itu perlu ditingkatkan sensitivitas dari penanda DNA dan dikembangkan suatu teknik untuk menghitung penanda DNA tersebut. Hanya dengan penghitungan penanda DNA (suatu panel dari penanda awal dan penanda lanjut lebih baik dari hanya penanda tunggal) dalam darah akan memungkinkan untuk mendeteksi fase awal dari tumor. Demikian pula dengan data kuantitatif dapat dilakukan perbandingan dengan data dari klinik lainya, untuk memonitor progresi penyakit pada individu tertentu, dan mendeteksi adanya progresi dari tumor dengan menghitung panel PT tersebut.
RINGKASAN PT adalah alat yang penting bagi para klinisi untuk membantu memberikan informasi mengenai deteksi awal suatu tumor, estimasi prognosis pasien, memprediksi respons terapi dan monitoring penyakit. Namun sebuah PT sebelum diakui bermanfaat secara klinik hams melalui suatu studi validasi dan penilaian kualitas pada beberapa tingkatan. Suatu penanda hams terbukti memberi manfaat lebih pada pasien, meningkatkan kualitas dan menurunkan biaya perawatan pasien sebelum diaplikasikan dalam praktek klinik sehari-hari. Ada banyak jenis penanda dan manfaatnya akan lebih baik apabila dilakukan pemeriksaan serial dan kombinasi dibandingkan hanya dengan pemeriksaan tunggal. Yang perlu juga diperhatikan adalah kualitas dan prosedur dari pemeriksaan, karena pemeriksaan dengan metode yang lain akan mendapatkan
hasil yang beda sehingga perlu dilakukan standarisasi. Dengan perkembangan teknologi kedokteran yang pesat diharapkan di masa depan suatu penanda yang ideal bisa ditemukan yaitu penanda yang dengan sensitivitas dan spesifitas tinggi, mudah dan murah pemeriksaannya.
REFERENSI American Cancer Society. Tumor Markers. Available at: http:// www.google.com. Accessed 15101/05. Anonim. Current Cancer Marker. Available at: http:// www.google.com. Accessed 04/02/05. Buckhaults P, Rago C, StCroix B. Secreted and Cell Surface Genes Expressed in Benign and Malignant Colorectal Tumors. Cancer Res. 2001; 61: 6996-01 Bidart JM, Thuillier F, Augereau C, Chalas J, Daver A, Jacob N, et al. Kinetic of Serum Tumor Marker Concentrations and Usefulness in Clinical Monitoring. Clin Chem 1999;45:1695-707. Bast RC, Ravdin P, Hayes DF, Bates S, Frische H, Jessup JM, et al. 2000 Update of Recommendation for the Use of Tumor Markers in Breast and Colorectal Cancer: Clinical Practice Guidelines of the American Society of Clinical Oncology. Asco Special Article. J Clin Oncol 2001;19:1865-78. Baselga J. Is Circulating HER-2 More Than Just a Tumor Marker? Editorial. Clin Cancer Res 2001;7:2605-7. Cordon-Cordo C. p53 and RB: Simple Interesting Correlates or Tumor Markers of Critical Predictive Nature? J Clin Oncol 2004;22:975-7. Cancer Center Staff. Tumor Marker Tests. Available at: http:// www.google.com. Accessed 04/02/05 European Group on Tumor Markers . Tumour Markers in Germ Cell Cancer-EGTM Recommendations. Available at: http:// www.google.com. Accessed 04/02/05. European Group on Tumor Markers. Tumour Markers in Breast Cancer-EGTM Recommendations. Available at: http:ll www.google.com. Accessed 04/02/05. European Group on Tumor Markers . Tumour Markers in Lung Cancer-EGTM Recommendations. Available at: http:// www.google.com. Accessed 04/02/05 Fritsche HA. Serum Tumor Markers for Patient Monitoring: A Case-Oriented Approach Illustrated with Carcinoembryonic Antigen. Clin Chem 1993;39:243 1-4.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1433
PENANDA TUMOR DAN APLlKASl KLlNlK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Hayes DF, Bast RC, Desch CE, Fritsche H, Kemeny NE, Jessup JM, et al. Tumor Marker Utility Grading System: a Framework to Evaluate Clinical Utility of Tumor Markers. Special Article. J Natl Cancer Inst 1996;88:1456-66. Harbech N, Kates RE, Schmit HM. Clinical relevance invasion factors Urokinase type Plasminogen Activator and Plaminogen Activator Inhibitor type-1 for individualized therapy decision in primary breast cancer is greatest when used in combination. J Clin.Onco1.2002; 19: 1000-07. Kobayashi T, Kawakubo T. Prospective Investigation of Tumor markers and Risk Assessment in Early Cancer Screening. Available at: http://www.google.com. Accessed 04/02/05. Hermeking H. Serial Analysis of Gene Expression and Cancer. Current Opinion in Oncology 2003;15:44-9. Lichtenstein AV, Potapova GI. Genetic Defects as Tumor Markers. Moleculer Biology 2003;37:159-69. Lindblom A, Liljegren A. Tumour Markers in Malignancies. Clinical Review. BMJ 2000;320:424-7. Loging WT, Lal A, Siu IM, Loney TL, Wikstrand CJ, Marra MA, Prange C. lndentifying Potential Tumor Markers and antigens by Database Mining and Rapid Expression Screening. Letter. Genome Research 2000;lO: 1393-1 402. Norderson NJ. Tumor Markers. Available at: http://www.google.com. Accessed 04/02/05. Phillips L. Tumor Markers. Available at: http://www.google.com. Accessed 3 1/01/05. Perkins GL, Slater ED, Sanders GK, Prichard JG. Serum Tumor Markers. Am Fam Physician 2003;68:1075-82. European Group on Tumor Markers . Tumour Markers in Gastrointestinal Cancers-EGTM Recommendations. Available at: http://www.google.com. Accessed 04/02/05.
Riley RD, Heney D, Jones DR, Sutton AJ, Lambert PC, Abrams KR, et al. A Systemic Review of Molecular and Biological Tumor Marker in Neuroblastoma. Review. Clin Cancer Res 2004;10:412. Srinivas PR, Verma M, Zhao Y, Srivastava. Proteomics for Cancer Biomarker Discovery. Clin Chem 2002;48:1160-9. Smith JF. Tumor Markers. Available at: http://www.google.com. Accessed 15101/05. Smith RA, Cokkinides V, Eschenbach AC, Levin B, Cohen C, Runowich CD, et al. American Cancer Society Guidelines 'for the Early Detection of Cancer. Ca Cancer J Clin 2002;52:8-22. Schrohl AS, Holten-Andersen M, Sweep F, Schmitt M, Harbeck N, Foekens J, et al. Tumor Markers from Laboratory to Clinical Utility. Review. Molecular & cellular proteomics 2.6 2003: 37887. Sidransky D. Emerging molekuklar markers of cancer. Nature Rev. Cancer 2002; 2: 210-19 Sturgeon C. Practice Guidelines for Tumor Marker Use in the Clinic. Cancer Diagnostic: Review. Clin Chem 2002;48: 115 1-9. Shoterlersuk K, Khorpraset C, Sakdikul S, Pornthanakasem W, Voravud N, Mutirangura A. Epstein-Barr Virus DNA in Serum1 Plasma as a Tumor Marker for Nasopharyngeal Cancer. Clin Cancer Res 2000;6: 1046-5 1. Sturgeon C. Practice Guidelines for Tumor Marker Use in the Clinic. Clin Chem.2002; 48: 1151-9 Torosian MH. The Clinical Usefulness and Limitations of Tumor Markers. Surg Gynnecol Obstet 1988; 166:567-79. Varsney D, Zhou YY, Giller SA, Alsabel R. Determination of HER2 status and Chromosome 17 Polysomy in Breast Carcinoma Comparing Hercep test and Pathvysion. Am.J Clin Pathol. 2004; 121: 70-77.
.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENGGUNAAN OBA'LOBATAN ANTIKOAGULAN ANTITROMBOLITIK, TROMBOLITIK DAN FIBRINOLITIK Soenarto
PENDAHULUAN Penghentian perdarahan spontan yang disebabkan robeknya pembuluh darah disebut hemostasis. Peristiwa ini sangat kompleks, dan melibatkan banyak faktor dimulai dari pembuluh darah, trombosit dan faktor-faktor pembekuan yang ada dalam plasma darah. Hasil akhir peristiwa ini ialah terbentuknya fibrin. Tahap pembekuan darah dalam garis besarnya melalui: (1) pembentukan tromboplastin, (2) pembentukan trombin dari protrombin, (3) pembentukan fibrin dari fibrinogen. Peristiwa terjadinya bekuan guna menutup bagian pembuluh darah yang rusak adalah suatu peristiwa fisiologik normal, namun bila bekuan yang timbul mengakibatkan aliran darah ke jaringan terganggu atau tersumbat, akan terjadi suatu penyakit (trombosis). Dalam ha1 ini diperlukan obat yang dapat mencegah atau melarutkan trombus. Obat yang dimaksud, tergolong: antikoagulan, antitrombotik, trombolitik dan fibrinolitik.
OBAT ANTIKOAGULAN Obat antikoagulan ialah obat atau golongan obat yang kerjanya menghalangi pembekuan darah. Menurut cara kerjanya dikenal dua macam antikoagulan yaitu: a). langsung (direk) pada pembekuan darah dan antitrombin 111 baik in vivo maupun in Vitro dan contoh untuk ini adalah heparin dan, b). yang tak langsung (indirek) mempunyai khasiat menghambat pembekuan darah dengan memutuskan hubungan antara faktor pembekuan yang
dibentuk di hati yang memerlukan adanya vitamin K. Faktor pembekuan tersebut ialah faktor 11, VII, IX dan X. Obat yang tergolong kelompok ini hanya bekerja in vivo, termasuk di sini ialah golongan antikoagulan oral.
HEPARIN Heparin untuk pertama kali diisolasi dari hati anjing. Zat tersebut terdiri dari banyak asam glukuronat (26%) dan glukosamin (23%). Sekarang heparin dapat diisolasi dari sel maupun jaringan yaitu: mast cell dan mukosa usus, paru dan dinding pembuluh darah. Tentang banyaknya zat tersebut dalarn jaringan berbeda dari spesies satu dengan yang lain. Pada manusia jumlahnya sedikit. Beberapa pabrik farmasi telah memproduksi zat tersebut dari paru lembdsapi atau dari mukosa usus babi. Seperti diterangkan di atas heparin merupakan mukopolisakarid (glukosaminoglikan) yang terdiri dari glukosamin sulfat dan asam glukuronat atau iduronat. la membentuk suatu ikatan asam organik dengan muatan listrik negatif. Fungsi fisiologi heparin belum jelas, diperkirakan berkaitan dengan fungsi mast cell, metabolisme lemak, dan pemeliharaan sifat nontrombogenik sel endotel permukaan pembuluh darah. Heparin bersifat antikoagulan langsung. Aksi untuk mengadakan gangguan terhadap perkembangan aktivitas tromboplastin ini tampak terjadi baik invivo maupun in vitro. Secara tak langsung heparin bekerja sebagai kofaktor plasma. Kofaktor heparin atau antitrombin 111 adalah suatu alfa 2 globulin dan suatu inhibitor protease yang dapat menetralisir beberapa faktor
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENGCUNAAN OBAT-OBATAN ANTIKOAGULAN ANTITROMBOI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pembekuan yang telah diaktifkan yaitu XIIa, kalikrein, IXa, Xa, Ila dan XIIIa. Pengaruh ini lebih dipercepat dengan adanya heparin. Meskipun antitrombin I11 diperkirakan menginaktifkan trombin, namun plasma protein lain juga ikut terpengaruh. Ada petunjuk bahwa antitrombin I11 berperan dalam menghambat pengaktifan faktor XI dan heparin mempercepat reaksi ini. Jadi heparin dapat menurunkan aktivitas antitrombin 111, ha1 demikian akan tampak pada pasien yang mendapatkan pengobatan baik secara terus menerus maupun terputus-putus. Karenanya pengobatan standar untuk penyakit-penyakit tromboemboli memerlukan suatu modifikasi guna mencegah seminimal mungkin akan kekurangan antitrombin I11 selama pengobatan berlangsung. Perlu diingat bahwa selain heparin, terdapat pula obat lain yang mempunyai pengaruh terhadap penurunan kadar antitrombin 111. Obat kontrasepsi yang mengandung estrogen dapat juga menurunkan kadar antitrombin 111. Selama terjadi penjendalan, trombosit akan menghasilkan faktor trombosit 4. Zat ini dapat menetralisir pengaruh heparin. Fungsi fisiologisnya belum diketahui. Ikatan antara faktor trombosit 4 dengan heparin memudahkan penumpukan trombin dan pembentukan jendalan. Pengaruh lain suntikan heparin ialah dapat membersihkan plasma lipid pada pasien dengan plasma keruh (lipemia). Hasil reaksi ini adalah, pengeluaran darah dari ikatanjaringan enzim-enzim lipid hidrolisis. Salah satu enzim yaitu lipoprotein lipase, menghidrolisasi trigliserid dari kilomikron-kilomikron dan very low density lipoprotein yang terikat pada sel sel endotel kapiler menjadi asam lemak dan bagian bagian gliserid.
Nasib, Penyerapan dan Pengeluaran Heparin kurang mempunyai kemampuan menembus membran karena molekulnya besar. Juga tidak diserap oleh usus dan tidak dapat menembus plasenta. Demikian pula bila heparin diberikan pada ibu yang menyusui bayi, heparin tak ditemukan dalam air susu. Bila heparin disuntikkan intravena, pengaruh antikoagulannya mudah lenyap dari darah, karena waktu paruh tergantung dari dosis yang diberikan. Dari percobaan pemberian heparin dengan dosis 100,400, dan 800 unitlkg berat badan yang diberikan intravena, tampak bahwa waktu pamh aktivitas antikoagulasi kurang lebih berturut-turut sekitar 1,2, dan 3 jam. Heparin di dalam tubuh akan dimetabolisasi dalam hati oleh enzim heparinase, dan hasil metabolit yang inaktif dikeluarkan bersama urin. Heparin sendiri dapat pula ditemukan dalam urin setelah pemberian dosis besar intravena. Waktu paruh aktivitas antikoagulan heparin dapat memanjang lebih dari normal pada pasien dengan gangguan faal ginjal dan sirosis hati. Untuk pasien dengan
emboli paru diperlukan dosis heparin besar karena obat ini cepat dibersihkan dari darah.
Cara Pemberian dan Dosis Heparin dapat disuntikkan intravena maupun subkutan, dan jangan diberikan intramuskular. Obat yang tersedia biasanya berbentuk sebagai heparin sodium injection USP. Penggumpalan darah in vitro dapat dicegah dengan kadar 1 unitlml darah dalam badan. Pemberian 10.000 unit bolus heparin intravena pada pasien seberat 70 kg akan menghasilkan kadar awal heparin kurang lebih 3 unitlml darah, dan aktivitas . antikoagulan lenyap dengan waktu paruh 1,5 jam. Pengobatan intravena secara berulang adalah baik. Dosis awal 10.000unit diikuti dosis ulang 5.000 unit sarnpai 10.000 unit tiap 4 atau 6 jam. Indikasi penggunaan heparin akan dibahas kemudian. Efek Samping, Toksisitas Efek samping biasanya jarang terjadi. Bila hendak memberi heparin pada pasien, perlu diketahui obat apa yang diminum. Dernikian pula mengenai riwayat alergi terhadap jaringan hewan. Sebaiknya dicoba dulu dengan 1.000 unit. Reaksi hipersensitif dapat berupa: menggigil, demam, urtikaria, dan renjatan anafilaktik. Efek samping yang mungkin timbul ialah: Terjadinya rambut rontok sampai botak yang sifatnya reversibel. Osteoporosis sampai patah tulang pernah dilaporkan pada pasien yang mendapatkan heparin 15.000 unit tiap hari selama 6 bulan. Perdarahan merupakan komplikasi utama pemberian heparin. Perdarahan dapat dikurangi dengan kontrol yang cermat pada dosis yang diberikan. Efek antikoagulan perlu dimonitor dengan tes waktu pembekuan. Trombositopenia dapat terjadi setelah pemberian heparin, karena itu penghitungan trombosit hams sering dilakukan. Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap heparin, pasien dengan perdarahan aktif, hemofilia, purpura trombositopenik, perdarahan intrakranial,endokarditis bakterial, tuberkulosis aktif, meningkatkan permeabilitas kapiler, ulkus traktus gastrointestinalis, hipertensi berati kemungkinan abortus dan karsinoma alat dalam. Heparin harus ditunda pada dan sesudah operasi mata, otak atau medula spinalis. Antidotum Kerja heparin dapat dinetralisir oleh protamin sulfat. Pemberiannya intravena secara pelan pelan. Diberikan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOCI MEDIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI sebagai larutan satu persen dan diperhitungkan 1 sampai 1,25 mg protamin per mg heparin, dan jangan melebihi 100 mg dalam waktu 24 jam. Kelebihan dosis protamin memberikan efek antikoagulan.
Yang meningkatkan respons: aspirin, fenilbutason, oksifenbutason, metronidazol, moral hidrat, d-tiroksin, steroid anabolik, kinidin dan glukagon. Yang mengurangi respons : barbiturat, griseohlvin, vitamin K, vitamin C dosis tinggi dan adrenokortikosteroid.
ANTIKOAGULAN ORAL Yang termasuk dalam kelompok obat ini ialah kelas kumarin (bishidroksikumarin) dan Indandion (Fenindion). Sejumlah obat golongan kumarin ini telah dapat disintesis. Strukturnya mirip vitamin K yang sintetik. Diperkirakan kerja golongan antikoagulan ini kompetitif terhadap vitamin K, sehingga faktor-faktor pembekuan yang membutuhkan vitamin K dalam pembentukannya akan terganggu. Faktor-faktor tersebut ialah: faktor 11, faktor VII, faktor IX dan faktor X. Jadi obat antikoagulan oral tidak bakerja secara langsung. Mereka tidak mempengaruhi pembekuan in vitro, tapi in vivo. Gangguan pembekuan ini tidak berlangsung segera setelah meminum obat, melainkan tergantung dari penyusutan atau hilangnya faktor-faktor pembekuan yang bersangkutan, dimana masing masing mempunyai waktu paruh yang berbeda. Yang hilang pertama adalah faktor VII karena waktu paruhnya terpendek kemudian diikuti berturut turut oleh IX, X dan akhirnya 11. Dengan demikian efek antikoagulan baru nyata setelah masa laten antara 12-24 jam. Sebaliknya demikian pula bila terjadi perdarahan akibat dosis antikoagulan berlebihan, make pemberian vitamin K tidak dapat segera mengatasinya dan perlu diberikan transfusi plasma atau darah segar.
Faktor-faktor yang Mempengaruhl Aktivitas Terdapat beberapa faktor baik fisiologis maupun patologis yang mempengaruhi peningkatan atau penurunan respons terhadap obat antikoagulan oral. Faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap efek biologis obat. Beberapa faktor yang mempengaruhi obat antikoagulan oral adalah: Faktor yang meningkatkan respons hipoprotrombinemia. - Faktor yang mengakibatkan defisiensi vitamin K (diet yang kurang, penyakit usus halus). - Penyakit hati dengan berbagai etiologi. Keadaan hipermetabolik seperti: demarn, hipertiroidisme Faktor yang menurunkan respons hipoprotrombinemia: kehamilan sindrom nefiotik, uremia. lnteraksi Obat Terdapat beberapa macam obat yang dapat mengadakan interaksi dengan obat antikoagulan. Pengaruhnya dapat meningkatkan atau menurunkan respons antikoagulan oral.
Penyerapan, Nasib dan Pengeluaran Obat antikoagulan oral diserap di usus. Kecepatan penyerapan tergantung jenis obat. Warfarin lebih cepat diserap dibandingkan dengan dikumarol. Di antara jenis warfarin sendiri terdapat juga perbedaan. Bioavailability kalium warfarin pada manusia lebih rendah dari pada natium warfarin. Obat golongan ini akan mengalami konjugasi di dalam hati dan dikeluarkan dengan urin serta tinja. Penanganan Pengaruh Toksik Perdarahan merupakan ha1 yang tidak diinginkan pada pemberian obat antikoagulan oral. Pengobatan perdarahan karena pengaruh obat ini ialah segera menghentikan obat dan memberikan vitamin K, (fitonadion). Cara ini akan menghentikan perdarahan ringanlkecil, dan waktu protrombin akan menjadi normal dalam waktu 24 jam. Vitamin K3 dalam ha1 ini tidak efektif. Bila perdarahan berat, diberi vitamin K intravena paling sedikit 50 mg. Bila dengan cara ini tidak menolong setelah beberapa jam, perlu segera transfusi darah segar atau, fresh frozen plasma dan penambahan vitamin K, Bila pasien dengan antikoagulan oral akan menjalani operasi, obat dapat dilanjutkan dengan penambahan vitamin K, 2,s mg tiap hari, dua hari menjelang operasi atau 5 mg pada hari menjelang operasi. Alternatif lain bila pasien dengan warfarin akan menjalani operasi, warfarin dapat dihentikan. Selanjutnya diberi substitusi heparin dosis rendah menjelang operasi sarnpai 5-7 hari setelah operasi. Kemudian kembali ke obat semula. Kontraindikasi sama dengan heparin, termasuk panyakit hati, ginjal, dan defisiensi vitamin K. Preparat dan Cara Pemberian Warfarin sodium U.S.P. (Koumadin, Panwarfarin) dapat diperoleh dalam bentuk tablet 2,2,5,5,7,5, 10 dan 25 mg. Meskipun dianjurkan dosis awal antara 40-60 mg sebaiknya hati-hati dengan dosis yang besar. Terapi dapat dimulai dengan 10-15 mg; sedang dosis pemeliharaan antara 2-1 5 mg tiap hari. Dicumarol U.S.P. (Bishidroksikumarin). Pada manusia obat ini lambat dan tak sempurna diserap. Waktu paruh tergantung dari dosis yang diberikan. Sering memberikan gangguan gastrointestinal (mual, kembung, nyeri den
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1437
PENCCUNAAN OBAT-OBATANANTIKOACULAN ANTITROMBOLITIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI diare). Dosis yang dianjurkan pada had pertame 300 mg, hari kedua 200 mg den dosis pemeliharaan antara 25-1 50 mg disesuaikan dengan respons pengobatan yang diukur dengan one stage prothrombin time. Kemasan berupa tablet 25,50 dan 100 mg serta kapsul 25 dan 60 Mg. Ansenokoumarol. Waktu paruh pada manusia sekitar 8jam. Dosis yang dianjurkan pada hari pertama 28 mg, hari kedua 16 mg, selanjutnya dosis pemeliharaan tergantung pada one stage prothrombin activity. Efek samping yang pernah dilaporkan ialah iritasi gastrointestinal, dermatitis, urtikaria dan alopesia. Fenindion, U.S.P. (Hedulin). Obat ini banyak efek sampingnya, dan toksis. Karenanya pemakaiannya tak dianjurkan. Difenadion, U.S.P. (Dipaksin). Efek samping berupa gangguan gastrointestinal yang ringan. Dosis awal pada hari pertama 20-30 mg, hari kedua 10-15 mg, dan dosis pemeliharaan 2,5-5 mg setiap hari. Sediaan berupa tablet 5 mg. Fenprokoumon, U.S.P. (Likuamar). Waktu paruh dalam plasma adalah panjang yaitu 6 hari. Efek samping yang dilaporkan ialah : nausea, diare dan dermatitis. Dosis hari pertama 2 1 mg, hari kedua 9 mg dan dosis pemeliharaan antara 0,5 6 mg tergantung one stage prothrombin time. Tersedia dalam bentuk tablet 3 mg. Anisindion. Penggunaan sangat terbatas. Hari pertama diberikan 300 mg, hari kedua 200 mg, hari ketiga 100 mg, dan dosis pemeliharaan 2 10 mg setiap hari.
OBAT ANTITROMBOTIK Cara kerja obat antitrombotik berbeda dengan obat antikoagulan. Golongan yang pertama bekerjanya menekan fungsi trombosit, sedangkan golongan kedua menekan pembentukan atau fungsi faktor-faktor pembekuan. Yang pertama digunakan terutama pada penyakit trombotik arterial, sedang yang kedua. guna mengontrol gangguan tromboembolik vena. Kemanjuran obat antitrombotik dari pada obat yang mencegah penggumpalan trombosit dapat diperlihatkan dalarn: Tes fungsi trombosit in vitro eks vivo (yaitu trombosit yang berasal dari orang yang telah mendapat obat). Percobaan binatang. Yang tergolong obat antitrombotik yaitu aspirin, sulfinpirazon,dipiridarnol, dekstran 70 dan 75, dan klofibrat.
ASPIRIN Obat ini mampu menghambat pengeluaran ADP dari trombosit dan menghambat pembentukan prostasiklin dan tromboksan AT Akibatnya trombosit tidak cepat
menggerombol dan waktu perdarahan memanjang. Dosis antara 325-1300 mg memberikan pengaruh antitrombotik dan waktu protrombin pun akan memanjang dengan pemberian dosis tinggi ini. Sebaliknya dosis 100-300 mg tidak mempunyai pengaruh. Faktor faktor koagulasi (11, VII, IXdan X) menunjukkan penurunan aktivitas pembekuan dengan dosis aspirin antara 1.300-2.000 mg yang dapat dikoreksi dengan pemberian vitamin K.
Obat ini berkhasiat vasodilator, yang dalam kombinasi dengan warfarin menghambat terjadinya emboli pada pasien dengan katup prostetik. Dipiridamol sendiri secara klinis tidak mempunyai efek menghambat ADP. Cara kerja obat ini menekan fungsi trombosit dengan merangsang aktivitas prostasiklin atau menghambat aktivitas siklik nukleotid fosfodiesterase, dengan hasil meningkatkan kadar AMP siklik. Dosis dipiridamol pada pasien dengan katup jantung buatan ialah 400 mg setiap hari.
Obat ini digunakan untuk tujuan urikosuria, dan di sampingnya dapat menghambat fungsi trombosit dalam ha1 kemampuannya melekat pada sel subendotel dan sintesis prostaglandin. Pengaruh menghambat agregasi trombosit baru tampak 18jam setelah pemberian obat tersebut.
Merupakan obat hipolipidernik yang juga dapat mengurangi perlekatan trombosit in vitro.
DEKSTRAN 70 DAN DEKSTRAN 75 Dekstran in vitro tidak mempunyai pengaruh terhadap hngsi trombosit dalam darah, namun waktu pembekuan, polimerasi fibrin dan fungsi trombosit dapat terganggu in vivo. Infbs dekstran harus hati-hati pada pasien dengan edema paru, payah jantung dan fungsi ginjal yang menurun. Hal ini disebabkan karena.dekstran dapat meningkatkan tekanan osmotik koloidal. Ada kontraindikasi untuk pasien anemia berat, trombositopenia berat dan kadar fibrinogen yang menurun. Efek samping yang mungkin timbul ialah urtikaria, sesak napas dan hipotensi.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOGI MEDIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
OBAT TROMBOLlTlK DAN FlBRlNOLlTlK
Streptokinase dan urokinase adalah protein yang telah menunjukkan kemanjurannya guna pengobatan penyakit tromboemboli akut. Mereka meningkatkan pemecahan trombi dengan memacu perubahan plasminogen endogen menjadi plasmin (fibrinolisin), suatu enzim proteolitik yang menghidrolisasi fibrin. Penggunaan obat ini harus oleh tangan dokter yang berpengalaman banyak dalam mengelola penyakit tromboemboli. Obat tersebut diindikasikan pada emboli paru yang luas dan tromboflebitis iliofemoralis yang berat. Streptokinase (Streptase) Dihasilkan dari Streptococcus betahemolyticus. Ia bekerja dengan cara interaksi dengan proaktivator plasminogen hingga terbentuk kompleks yang mempunyai aktivitas protease dan mempercepat perubahan plasminogen menjadi plasmin. Plasmin ini mampu menghancurkan fibrin yang terjadi pada bekuan darah dan menurunkan fibrinogen dan faktor V dan VII. Streptokinase dapat melarutkan bekuan darah yang telah timbul. Bila zat tersebut diberikan pada luka yang sudah menutup, akan terjadi perdarahan lagi. Karena itu harus dicegah pemberian obat antikoagulan dan obat yang mencegah aglutinasi trombosit bersamaan dengan streptokinase atau urokinase. Efek yang tidak diinginkan dengan pemberian streptokinase ialah reaksi panas, reaksi alergi sampai anafilaksis. Hal ini disebabkan karena terbentuknya antibodi terhadap obat tersebut. Obat ini telah digunakan dengan hasil baik untuk pengobatan emboli paru akut dan trombosis vena yang letaknya dalam. Biasanya dosis awal streptokinase adalah 250.000 U. Diberikan intravena pelan pelan selama 30 menit, kemudian dilanjutkan dengan 100. 000 I.U. setiap jam, disesuaikan dengan waktu trombin. Pengobatan diteruskan untuk 24 sampai 72 jam dan selalu dimonitor dengan waktu trombin. Waktu trombin ini sebaiknya berkisar antara 2 sampai 5 kali harga normal. Penggunaan lain yaitu pada infark miokard akut. Urokinase (Abbokinass) Obat ini pertama kali diisolasi dari kencing manusia. Dibuat dari kultur sel ginjal manusia. Zat ini adalah enzim proteolitik dan merupakan substrat alamiah yang mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Penggunaannya serupa dengan streptokinase. Kontraindikasi pemakaian urokinase ialah : pada anak, pasien yang baru sembuh dari luka trauma yang baru, keganasan di viseral dan intrakranial, cerebrovasculer accident yang baru, serta kehamilan. Dosis awal urokinase sebanyak 4.400 l.U./kg, diberikan intravena selama 10 menit, kemudian diteruskan dengan i n b s 4.400 l.U/Kg. setiap jam selama 12 jam dan selanjutnya diberi heparin
atau antikoagulan oral. Selama pengobatan dengan urokinase, tidak perlu memonitor dengan waktu trombin.
ANTIDOTUM UNTUK OBAT FlBRlNOLlTlK Antidotum yang spesifik untuk menanggulangi kelebihan dosis obat fibrinolitik (streptokinase, urokinase) ialah asam aminokaproat. Asam aminokaproat (Amicar) dapat diperoleh dalam bentuk suntikan, sirup atau tablet. Dosis awal adalah 5 g (oral atau iv) dilanjutkan dengan 1,25 g tiap jam sampai perdarahan dapat dikendalikan. Dosis tidak boleh melebihi 30 g dalam waktu 24 jam. Penyuntikan intravena hams dilakukan pelan-pelan guna menghindari kemungkinan timbulnya hipotensi, bradikardia dan disritmia.
PEMAKAIAN OBAT ANTIKOAGULAN, ANTITROMBOTIK DAN TROMBOLlTlK Obat obat tersebut digunakan untuk mencegah penyakit tromboemboli. Telah digunakan untuk pengobatan maupun pencegahan pada infark miokard, katup jantung buatan, emboli jantung, emboli paru, tromboemboli serebral, trombosis vena dalam pada waktu dan setelah pembedahan. Untuk penggunaan obat obat tersebut hams tersedia sarana laboratorium yang baik serta tenaga yang berpengalaman. Monitoring harus dilakukan guna menghindari timbulnya bahaya perdarahan.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM GUNA PENGAWASAN PEMAKAIAN OBAT ANTIKOAGULAN Tujuan pemeriksaan laboratorium sebelum dan selama pemakaian obat antikoagulan ialah menilai serta mencegah dan sebaik mungkin mengurangi efek yang tidak diinginkan atau guna mengetahui efektivitas pemberian. Pemeriksaan sebelum menggunakan obat dimaksudkan untuk menemukan kemungkinan kelainan hemostasis. Pemeriksaan yang diperlukan: penentuan hemoglobin, trombosit pemeriksaan hapusan darah perifer pemeriksaan urin waktu pembekuan darah (Lee White) waktu tromboplastin parsial (PTT) one stage prothrombin time tes protrombin dan prokonvertin tes trombo (thrombo Test) Guna memonitor pemakaian heparin disarankan pemeriksaan PTT, karena ini lebih peka dibandingkan waktu pembekuan darah. Untuk pasien dengan antikoagulan oral dimonitor
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1439
PENCCUNAAN OBAT-OBATANANT~KOACULANANTITROMBOLITIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dengan: tes one stage prothrombin time, tes protrombin dan prokonvertin (Tes P dan P) dan tes trombo.
PENGENDALIAN EFEK PENGOBATAN (THERAPEUTIC RANGE) Pengendalian dosis pemeliharaan perlu memperhatikan hasil laboratoriurn. Waktu pembekuan hasilnya antara 2-2,5 normal. Kompleks protrombin hasilnya antara 20-25 Tes trombo hasilnya antara 5-1 5%. Tes protrombin dan prokonvertin = 20
Buckler P, Douglas AS. Antithrombotic treatment. Brit Med J. 1983; 287: 196. Leavel BS, Thorup OA. Anticoagulants in fundamental. Hematology. Fourth edition. 1976. p. 600. O'Reilly RA. Anticoagulant, antithrombotic and thrombolytic drugs, in Goodman & Gilman's. The pharmacological basic of therapeutics. 6th edition. New York: Mac Milian Pubi Go; 1980. p. 1347. Schoder R, Biamino G Enz Rudiger VIL, et al. Intravenous short term infusion of Streptokinase in acute myocardial infarction. Circulation. 1983:67:536. Sharma CVRK, Gella G Parisi AF, et al. Thrombolytic therapy. New Eng J Med. 1982;306: 1268.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PERAN FLOW CYTOMETRIC IMMUNOPHENOTYPINC DI BIDANG KEGANASAN HEMATOLOGI DAN ONKOLOGI Cosphiadi Irawan, Zubairi Djoerban
PENDAHULUAN
APA ITU FLOW CYTOMETRY?
Ketepatan diagnosis keganasan darah sangat tergantung dari tiga parameter yang saling mendukung, yaitu: morfologi, imunofenotip dan sitogenetika (sesuai dengan rekomendasi WHO dan klasifikasi FABIFrench American British). Beberapa kasus mungkin telah sangat jelas diagnosanya berdasarkan morfologi selnya (sitologi) atau jaringan (histologi) yang didukung pewarnaan imunositokimia/histokimia; namun tidak sedikit pula yang memerlukan kajian sitogenetik dan biologi molekular terlebih bila akan mengkaji subklasifikasi, prognosis, hasil pengobatan dan kemungkinansisa minimal sel ganas (minimal residual diseaselMRD); tulisan ini selanjutnya akan menitik beratkan pada pembahasan penerapan flow cytometric immunophenotyping (FCI) pada keganasan darah dan tumor padat. Imunophenotyping sendiri berarti: mengenali (identiJication) dan menghitung (quantification) antigen sel melalui fluorochrome yang dilekatkan (labeled) pada antibodi monoklonal yang spesifik terhadap antigen dipermukaan atau sitoplasma (intra selular) dari sel tertentu. Teknik ini dapat dikerjakan secara manual dengan menggunakan mikroskop fluoresens atau dengan alatflow-cytometry (FAC-scan atau Coulter) yang dapat menilai dan menghitung sel sel satu persatu serta menganalisa berbagai parameter karakteristik sel yang kompleks secara simultan, obyektif dengan akurasi yang tinggi. Untuk dapat memahami bidang imunophenotyping dengan baik, maka pembahasannya tak dapat dilepaskan dengan pengertianjlow-cytometri dan ha1 ha1 yang terkait dengannya.
Flow-cytometry adalah teknologi yang memungkinkan pengukuran berbagai karakter fisik dari satu sel (singlejle cell) secara simultan/bersamaan .Pengukuran ini dilakukan pada saat satu sellpartikel, bersama aliran air (fluid stream) dengan kecepatan 500 sampai 4000 sel per detik melewati sistem analisa optik (apparatus) yang mampu melaporkan: secara relatif ukuran (jbrward scatter), granularitad kompleksitas internal (side scatter) dan intensitas flurosens dari sel tersebut pada saat berinteraksi dengan sinar laser. Alat ini urnumnya menggunakan sumber sinar LASER (light amplzfication by stimulated emission of radiation) dari argon dengan panjang gelombang 488 nm yang akan dieksitasi (menyerap energi) oleh flurokrom tertentu (misalnya: PerCPPerkloroferidin ,FITC 1fluoroisotiosianat, PEIfikoeritrin ) yang kemudian melepaskan energi (emitting photon) yang diserapnya melalui: getaran (vibration), pelepasan panas (heat dissipation) dan dengan panjang gelombang yang berbeda yang disebut fluoresens (FL1, FL2 atau FL3) yang direkam oleh detektor optik berupa energi sinyal yang akan diubah menjadi sinyal elektronik serta dilaporkan berupa gambaran distribusi sel dan enurnerasi.(Gambar 1) Hal ini menjadikan imunofenotip dengan flowcytometry merupakan fase yang penting dalam menilai dan menentukan diagnosis awal dan klasifikasi pasien dengan leukemia akut; yang dalam perkembangannya berperan pula untuk menentukan prognosis, rencana pengobatan dan membantu mendeteksi adanya residu minimal penyakit (MRD: minimal residual disease). Teknik ini dipergunakan pula untuk melakukan enumerasi CD4 (sel T helper) ,CD8
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1441
PERAN n o w CYTOMETRIC IMMUNOPHENOTYPING
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gambar 1.Terllhat suspensi "single" sel yang terfokus oleh tekanan hidrodinarnik dalarn aliran cairan dan di"interseksi" oleh laser ion argon, dirnana sinyal yang dikeluarkan akan di tangkap oleh detektor "fonvard /side scatter" ( 1 ) dan detektor multi ernisi flurosens (2-4). Sinyal ini akan dikonversi dan diarnplifikasi rnenjadi data digital dan ditayangkan dalarn layar computer. Sumber: Brown M. Clin Chern 2000.
(sel T supresor), CD56(-)INK sel, CD34 (sel induk), retikulosit; dan pada tumor padat digunakan untuk menganalisa siklus sel, tingkat proliferasi, DNA ploidy, apoptosis dan monitor resistensi sel terhadap kemoterapi, serta banyak lainnya. FCI dalam perkembangannya merupakan alat yang berguna untuk menentukan diagnosa berdasarkan fenotip baik secara selular dan juga hematopatologi Berbagai spesimen yang dapat dipakai dapat berasal dari darah tepi, aspirasi sumsum tulang, core biopsy, aspirasi jarum halus, sampel segar biopsi jaringan, dan juga berbagai sampel dari cairan tubuh.
POPULASI SEL SUMSUM TULANG NORMAL Sumsum tulang normal didominasi elemen matang dari mielopoesis. Sel ini umumnya berukuran besar dan sangat bervariasi dari kompleksitas sitoplasma dan inti sel, sehingga dapat dibedakan dengan komponen lainnya berdasarkan penyebaran cahayanya (light scatter). Informasi yang lebih rinci didapat dengan dual parameter RALS (right angle light scatter) dan CD45 (antigen yang dijumpai pada leukosit) dengan intensitas berbeda-beda tergantung dari jenis selnya. Masing masing sel akan menempati posisi tertentu dalam penampilan digitalnya (Gambar 2), proses selanjutnya dengan melakukan gating (penilaian dan penghitungan kelompok sel tertentu) berdasarkan koekspresi dari antibodi monoklonal tertentu dapat diketahui jumlah dan jenis sel tersebut. Dengan memahami prinsip diatas dan proses hematopoeisis normal maupun yang patologis teknologi ini mampu memberikan asupan yang sangat bermanfaat bagi seorang klinisi dalam menentukan terapi, prognosis, monitor hasil pengobatan dan banyak lainnya.
KEGANASAN HEMATOLOGI DAN IMUNOFENOTIP Pada dasamya semua jenis sel darah berasal dari sel induk (stem cell), yang kemudian berdiferensiasi dan berproliferasi baik pada jalur mieloid atau limfoid; di bawah kontrol sitokin seperti CFS (colony stimulatingfactors). Sel-sel pendahulu (precursor) dari jalur dan fase yang berbeda akan mengekspresikan subset molekul yang berbeda pada permukaanlmembran selnya dan mungkin juga sitoplasmik (intrasel) yang dapat merupakan penanda khusus dari sel tersebut. Konsep inilah yang kemudian didefinisikanldikenal sebagai antigen CDlcluster of differentiation. CD antigen ini berhubungan dengan membran-plasma leukosit yang secara molekular mungkin berhubungan dengan berbagai fungsi sel, seperti misalnya: interaksi sel, reseptor sitokin, sinyal transduksi, ion channels, transportasi, enzim, Ig, atau molekul adhesif. Sejalan dengan diferensiasi sel pada jalurnya, maka CD antigen ini akan berubah. Sebagai contoh sel induk mieloid mengekspresikan CD34+ (merupakan penanda sel induk), yang kemudian akan mengalami penurunan/menghilang (down regulation) pada saat berdiferensiasi ke bawah menjadi granulosit; dan mulai mengekspresikan CD 13, dan CD33. Neutrofil matang akan memperlihatkan CDl lb, CD13, dan CD15, namun CD33 menghilang. Pada keganasan limfoid atau mieloid, analisa flow-cytometry menggunakan panel antibodi monoklonal dapat mendeteksi secara spesifik dengan ketepatan mencapai 98% untuk membedakan asal sel tersebut, selanjutnya karena perannya yang penting pada leukemia akut, maka FCI akan dibahas lebih mendalam dibanding jenis keganasan lainnya. Sistim panel antibodi monoklonal yang digunakan dari satu pusat kesehatan dengan yang lainnya, biasanya
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1442
ONKOLOCI MEDIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Garnbar 2 . Dual parameter CD45/"s1de scatter" memperllhatkan beberapa populasl , regio (r) A Sesual SSTL normal dengan beberapa populasl normal, B Llrnfoblast pada ALL C CML dengan translsl krlsrs blas I mleloblas menlngkat dan reaktlf precursor erithrold d Keganasan rendah Irrnfoprol~feratif, sesual dengan CLL
akan berbeda dalam tingkat spesifitasnya. Nalnun secara diagnostik, panel tersebut harus terdiri dari minimal kombinasi yang dapat membedakan kelompok sel dan jenis keganasannya (limfoid/mieloid ,akut atau kronik, limfotna sel BIT, sel plasma/mieloma multipel). Tentu saja ha1 ini memerlukan seorang ahli penyakit darah dan kanker serta patologi klinik yang berpengalaman; serta tergantung pula dari dana yang tersedia, kemampuan pasien dan kebutuhan penelitian.
KEGANASAN HEMATOLOGI Sampai dengan saat ini telah diketahui setidaknya 247 CD subset antigen yang mewakili perkembangan sel pendahulu sampai dengan matang baik dari mieloid atau limfoid. Dengan tetap mengacu pada kemampuan diagnostik dari sudut morfologi, imunosito/histokimia dan kariotip; beberapa acuan CD berikut akan disampaikan pada masing masing keganasannya. Namun tetap harus dicamkan, mengingat kesulitan untuk menyusun kriteria
baku yang kaku, kembali penulis mengutip perte~nuanpanel Amerika dan Canada tahun 1997 yang merekomendasikan pada semua kasus, interpretasi akhir FfC harus berkaitan dengan keadaan klinis, morfologi, hasil laboratorium dan studi lain yang clianggap sesuai.
Akut Mielablas LeukernialAML MO Sel blast MO, secara irnunohistokimia bereaksi negatif, dan menempati podsi yang rendah pada CD45+ dan RALS (side scatter) dan berhimpitan dengan daerah limfoblas. Namun setidaknya akan bereaksi positif dengan minimal satu penanda spesifik mieloid seperti: CD13+, CD33+ dan CD 1 1b+. Bila dite~nuireaksi dengan mieloproksidase (MPO) maka reaksi ini akan lebih seneitif dari pada kombinasi CD 13+ ataupun CD33+. Meskipun bereaksi negatif terhadap penanda lirnfoid , namun dapat ditemui pula koebpresi CD7+ ddn CM+. MO hampir selalu bereaksi positif terhadap HLA-DR dan CD34. Beberapa peneliti melaporkan koekspsesi CD7-k dan CD34+, memiliki prognosis yang buruk karena berhubungan dengan fenotip kebal terhadap pengobatan; MO juga dilaporkan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI memperlihatkan kekerapan yang tinggi abnormalitas sitogenetik, yang diantaranya berhubungan dengan kromosom 5 dan 7.
AML M1 M1 mempunyai gambaranflow digital yang mirip dengan MO, dan mungkin sulit dipisahkan, kecuali adanya penambahan side scatter karena adanya peningkatan granularitas. (namun ini tidak definitif). M1 biasanya selalu menampilkan CD13+, CD33+ dan HLA DR+; narnun CD34+ yang lebih rendah dari MO. Sebagian juga dapat ditemui CD15+ dan CD4+, namun lebih jarang dari MO AML M2 Perbedaan yang menonjol antara M1 dan M2, adalah pada M2 telah ditemui adanya pematangan dan menurunnya persentase blast. CD45+ dan side scatter memperlihatkan gambaran yang tak terputus (kontinu) dari regional mieloblas ke mieloid matang. Umumnya M2 memperlihatkan HLA DR+; adanya ekspresi CD 19+ dan CD 56+ pada M2 mungkin berhubungan dengan t (8;21) yang merupakan prognosis yang baik pada pasien dewasa. Pasien dengan morfologi M2 dan t (8;2 l), jarang ditemui CD13-, CD14- dan CD33- dan MPO+. Sedang pada M3 akan ditemui penurunan CD45+ dan juga menurun serta hilangnya HLA-DR pada kebanyakan kasus. Pada M4 dan M5, keduanya memiliki kemiripan dari segi fenotip, kecuali pada M4 CD34+ lebih banyak ditemui dari pada M5. Fenotip yang penting pada keduanya adalah CD13+, CD33+, HLA-DR, CD14+ dan CD15+. Pada beberapa kasus M5 dapat ditemui CD56+. AML M6 jarang ditemui dan belum teridentifikasi dengan baik; CD34+,CD13, dan CD33 biasanya dapat ditemui, sedangkan ekspresi CD45 dan side scatter dominan menonjol pada daerah eritroid. AML M7 (megakarioblastik leukemia) merupakan kurang dari 1% kasus AML dimana diagnosa ditegakkan bila lebih dari 30% sel noneritroid adalah megakarioblas (ini kadang sulit dikenali).Secara imunofenotip dapat dikenali bila mengekspresikan CD6 1 (Gp IIIA) danlatau CD4 1 (Gp IIb-IIIA). Secara keseluruhan berdasarkan kriteria WHOIFAB, AML dibagi atas delapan subtipe berdasarkan: morfologi, bereaksi positif terhadap pewarnaan Sudan black B dan peroksidase; minimal secara bervariasi mengekspresikan CD 13, CD 14, CD33, CD4 1 ,CD61 dan glikoforin A. Beberapa senter menggunakan CD45, CD34 dan CD7 sebagai penapis MRD. Beberapa abnormalitas sitogenetik seperti t (8;2 1 atau 15;17), inversi kromosom 16, abnormalitas 11q23 dapat digunakan untuk menetapkan respon terapi dan prognosis. Leukemia Limfoblastik: ALL (Akut lekemia limfoblastik) Klasifikasi WHO menetapkan bahwa klasifikasi ALL hams
dilakukan dengan panel antibodi monoklonal dan bila mungkin abnormalitas genetik ALL precursor B: biasanya menunjukkan CD19+, CD79a+ dan CD 1O+; negatif atau dim CD20; CD22 + pada permukaan atau sitoplasma sel serta CD45 (-) atau dim (intensitas antara bright dan negatif). sIg biasanya (-) dan CD34 sering positif meskipun dianggap tak spesifik. Hal yang membantu membedakan dengan limfoma adalah ekspresi TdT, CD 13 dan atau CD33. Beberapa patokan diagnosa adalah bila dijumpai ekspresi kuat CD19 dan CDlO dengan TdT atau CD34 positif atau densitas rendah CD45; ekspresi CD lainnya dapat diabaikan. Bila CDlO(-), namun ditemui ekspresi kuat CD 19 dan CD22,inipun dapat dipertimbangkan diagnostik (dengan koekspresi TdT dan CD34). Belakangan CD79a sebagai reseptor sel B (protein permukaan sel) mulai muncul sebagai reagen diagnostik. Untuk membedakan dengan sel B yang dapat meningkat pada beberapa kasus (terutama pasien anak) digunakan gambaran variatif ekspresi dari berbagai penanda di atas dengan menggunakan analisa multi parameter. ALL precursor T: memiliki karakter CD7+, CD5a+, dan CD2+, namun CD3(-) atau dim untuk sitoplasma(cytCD3+). Adanya CD4 dan CD8 dapat dijumpai dalam berbagai kombinasi (namun umumnya keduanya negatif atau keduanya positif) dianggap parameter diagnostik. Demikian pula dengan kombinasi CD3+ danTdT dan CD34+; untuk yang terakhir hati hati bila sampel berasal dari mediastinal anterior, karena timosit juga memberikan ekspresi yang sama. Lekemia sel rambut (Hairy cell leukemia), dikenali denga sIg+; pada jenis rantai ringan sel B, penanda sel B akan ditemui positifkuat (umumnya lebih dari sel B normal dan sudah pasti lebih dari kelainan limfoproliferatif lainnya) CLL sel B: merniliki karakter CD19+, CD5+, CD20 dim, CD22 dim dan sIg dim terbatas pada rantai ringan.
Bilineage Leukemia Akut Keadaan dimana ditemui sel blast berasal dari dua lineage Ialur yang berbeda, yang dapat berupa kombinasi mieloid dan limfosit B atau T; atau berasal dari sel limfosit B dan T dan bukan mieloid sama sekali. Cara termudah menentukan adalah dengan FIC ,dimana alur mieloid akan bereaksi terhadap MPO minimal 3% dari sel blast. Untuk sel T, cytCD3 (sitoplasma CD3) merupakan parameter diagnostik dan cytCD79a atau cytCD22 positif untuk sel B Leukemia Akut Bifenotif Suatu kedaan dimana sel blast memiliki reaksi positif untuk dua penanda spesifik dua alur yang berbeda; keadaan yang lebih jarang adalah positif dengan tiga penanda spesifik. Diagnosis dengan FIC diperlukan minimal flow cytometry analisa dua warna. Sel blast dapat menunjukkan reaksi positif dengan MPO y-untuk mieloid-y dan cytCD3
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
0NKOUX;I MEDIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI (limfosit T) atau dengan cytCD79a (limfosit B). Variasi lain adalah sel blast mengekspresikan cytCD3 dan cytCD79a atau CD221cytCD22 untuk sel limfosit TIB yang nature. Reaksi CD3 positif tidak bemakna cytCD3 positif. Keadaan yang jarang sekali ditemui namun pemah dilaporkan adalah sel blast menunjukkkan reaksi positif terhadap tiga penanda spesifik mieloid, limfosit T dan B yaitu: MPO, cytCD3 dan cytCD79alcytCD22. Untuk keganasan sel plasma (misal: mieloma multipel) selalu menunjukkan bright CD38+ dengan ekspresi cytIg, CD45 juga kadang terekspresi lemah. Sedangkan untuk sindrom mielodisplasia, meskipun terjadi peningkatan sel blast (CD45 dan RALS, CD34 dan penanda pan mieloid lainnya) dapat dideteksi dengan FCI, namun diagnosis MDS tak dapat hanya beranjak dari FCI saja.
Limfoma Maligna Kemampuan FCI hampir menyamai teknik imunohistokimia, namun dalam beberapa segi dapat lebih sensitif, subjektifitas yang rendah dan hasil yang lebih cepat. Namun sampai saat ini FCI belum menjadi patokan baku diagnostik penyakit Hodgkin dan non Hodgkin (NHL), dikarenakan beberapa kontroversi apakah klasifikasinya cukup hanya dengan imofenotip saja. NHL umumnya menunjukkan gambaran populasi sel B dengan ekspresi Ig rantai ringan dan (sel B normal atau jinak menunjukkan rasio: 60%:40%). Untuk sel T ha1 ini lebih sulit karena belum disepakati penanda yang spesifik; namun pada umumnya sel T maligna menunjukkan gambaran yang homogen d a d atau ekspresi antigen asinkron, sementara sel T normal lebih heterogen. Beberapa gambaran abnormal antigen TCR (Tcell receptor), CD3+ atau TCR 4.3 dan TCR d dapat dijumpai. MRD Kemampuan mikroskop cahaya mendeteksi adanya MRD berkisar 11100 sel, sedangkan FIC meskipun kemampuannya di bawah PCR (polymerase. chain reaction) namun telah mampu mendeteksi sampai kisaran 1 per 1000- 100.000 sel , terutama dengan teknik analisa multiparametrik. Kelebihan lain dari PCR adalah lebih cepat dan sederhana dikerjakannya, data kuantitatif, adekuat untuk kasus leukemia, serta biayanya lebih murah. Sebagai contoh Ito et al, dengan menggunakan dual parameter CD45 dan SSC daripada FSC dan SSC telah mampu meningkatkan sensitivitas sampai 1 perlOO.OOO se1:Weir et a1 menggunakan kombinasi dua analisa empat warna untuk melihat gambaran ekspresi antigen SSTL normal; yang bila kemudian dilakukan pada sampel ALL sel precursor B, mampu mendeteksi 8 1 dari 82 kasus (99%) yang berada diluar gambaran regional normal, dan ini ajeg dengan MRD
FCI Dl BIDANG ONKOLOGI Perkembangan teknologiflow cytometry dibidang onkologi dilaporkan mencakup monitoring regulasi siklus sel, apoptosis, berbagai mekanisme resistensi terhadap obat sitotoksik1MDR dan respon kemoterapi. Beberapa mekanisme ektraselular seperti farmakokinetik obat (distribusi, metabolisme dan ekstrasi), adanya sel tumor pada daerah sanctuaries (daerah dimana obat tak terdistribusi) dan beberapa mekanisme biokimiawi dipercaya memegang peranan terhadap kegagalan kemoterapi. Beberapa mekanisme spesifik MDR dilaporkan terhadap doksorubisin, vinkristin dan taksol. Berapa fluorokrom seperti kalsium probes, Kalsein, Quin2 dapat memonitor efflux obat oleh pompa MDR. Deteksi beberapa protein yang berhubungan dengan resistensi obat (MRPlmulti drugs resistance associated protein) telah dilaporkan pada beberapa keganasan seperti: karsinoma paru (LRP) dan payudara (BRCP). Untuk mempelajari gambaran siklus sel (G011- S-G2 M), dipergunakan distribusi bivariat terhadap DNA content dan ekspresi siklins D 1, E, A dan B 1. Pada fase GO11 DNA sel sesuai dengan set satu unit, meningkat pada fase S dan dua kali lipat fase GO11 pada fase G2lM (dua unit). Demikian pula terjadi perubahan ekspresi siklins pada masing masing fase. Distribusi sel tehadap parameter ini akan menempatkan sel pada subkompartemen GO11-S-atau G2lM. Penilaian terhadap apoptosis sel dapat dilakukan secara analisa bivarian dengan melihat DNA strand breaks (FITC-deoksinukletida) dan DNA content (propidium iodida) atau secara analisa multivariat mengunakan LSC (laser scanningflow cytometric).
Flowcytometry merupakan pemeriksaan yang sangat berguna untuk menetapkan diagnosis dan memantau hasil pengobatan dan deteksi minimal sel ganas terutama pada keganasan hematologi, sedang perannya dibidang onkologi banyak dilaporkan tentang analisa siklus sel, apoptosis dan MDR. Analisa data dan interpretasi FCI merupakan proses dua langkah, yang bersandar pertama pada analisa multi parameter panel antibodi monoklonal untuk membedakan sel normal dengan abnormal. Langkah kedua adalah fenotip sel abnormal ini kemudian dijabarkan (gating) berdasarkan adanya reaksi disertai intensitas ekspresi berbagai antigen (permukaan/sitoplasma sel) dan juga distribusi light scatter. Gambaran hasil keseluruhan fenotip ini kemudian diinterpretasi mungkin berupa diagnosis penyakit tertentu, atau mungkin mempersempit diferensial diagnosa. Analisa dan sintesis ini harus dimasukkan dalam pelaporannya.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1445
PERAN FLOW CYTOMETRICIMMUNOPHENOTYPING
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Marti GE, Stevenson MS, Bleesing JJH. Introduction to flow cytometry. Seminin Hem.2001; 38(2):93 -8 Dunphy CH. Application of flow cytometry and immunohistochemistry to diagnostic hematopathology. Arch Pathol Lab Med. 2004;128 :I0004 -1022 Chovath B, Sedlak J. Hematopoietic cell differentiation antigen (CD system 1997). cancer research relevance. Neoplasma. 1998;45,5: 273-6 McCoy JP. Basic principles of flow cytometry. HematolOncol Clin N Am. 2002;16:229-43 Riley RS, Massey D, Cook CJ, et al. lmmunophenotypic analysis of acute lymphocytic leukemia. Hematol Oncol Clin N Am.2002; 16 :245- 89 Jennings D, Foon KA. Recents advances in flow cytometry: application to the diagnostic of hematology malignancy. Blood ,1997: 90(8): 2863 - 92 Todd WM. Acute myeloid leukemia and related condition. Hematol Oncol Clin N ,4111.2002; 16:301 - 317 Dazynkiewicz Z, Smolewski P, Bedner E. Use of flow and laser cytometry to study mechanism regulating cell cycle and controlling cell death. Hematol Oncol Clin N Am.2002; 16: 339 -54
Orfao A, Schimitz G, Brando, et al. Clinically usefull information provided by the flow cytometry immunophenotyping of hematology malignancies: current status and future directions. Clinical Chemistry. 1999; 45(10): 1708 -1 7 Krishan A, Arya P. Monitoring of cellular resistance to cancer chemotherapy. Hematol Oncol Clin N Am.2002; 16: 357 - 68 Borowitz MJ. Bray R, Gascoyne R, et al. US-Canadian consensus recommendation on the immunophenotypic of hematologic neoplasia by flow cytometry: data analysis and interpretation. Cytometri ,1997; 30 : 236 -44 Stewart CC, Behm FG, Carey JL. US-Canadian consensus recommendation on the immunophenotypic of hematologic neoplasia by flow cytometry: selection of antibody combinations. Cytometry. 1997; 30: 231 - 5 Stetler M, Stevenson, Braylan RC. Flow cytometric analysis of lymphoma and lymphoproliferative disoders. Seminars in Hem. 2001;38: 11 1 - 21 Weir EG, Borowitz MJ. Flow cytometry in diagnosis of acute leukemia. Seminars in Hem. 2001: 38 : 124136
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PRINSIP DASAR TERAPI SISTEMIK PADA KANKER Abdulmuthalib
PENDAHULUAN
Modalitas pengobatan pada kanker secara umum terbagi dua, yaitu terapi lokal, berupa pembedahan dan radiasi, dan terapi sistemik. Jenis terapi sistemik pada kanker adalah kemoterapi dengan obat sitotoksik, terapi hormonal, dan terapi biologi, atau target molekular. Pengetahuan dan penerapan kemoterapi saat ini telah berkembang dengan pesat, semenjak pertama kali digunakannya mustar nitrogen untuk pasien dengan keganasan hematologi pada tahun 1943. Perkembangan pengetahuan dan aplikasi teknik-teknik baru di bidang biologi molekular, sangat mendukung penemuan obatobat baru yang lebih efektif membunuh sel kanker dengan efek samping yang makin minimal serta dapat membunuh sel kanker yang resisten dengan obat kemoterapi konvensional. KlNETlKA SEL DAN TRANSFORMASI KEGANASAN
S m u a sel, baik yang normal maupun sel kanker, membelah dalam diri dalam suatu siklus sel. Namun, sel-sel yang normal di dalam tubuh berada pada keseimbangan antara kecepatan sel-sel tersebut untuk membelah dan membentuk sel-sel baru dengan kecepatan kematian sel. Secara mum, set-sel di dalarn tubuh terbagi menjadi 3 kelompok (Gambar 1): kelompok sel yang aktif berproliferasi kelompok sel yang berdiferensiasi kelompak sel yang tidak aktif berproliferasi (G,,) yang dapat masuk ke dalam siklus sel dengan srimulasi Eertentu. Setiap sel mernulai pertumbuhannya selama fase pascamitotik (GI) dimana enzim-enzim yang penting untuk
Gamhar 1. Kelompok &eldi dalam tubuh
produksi DNA, RNA, dan protein lain diproduksi. Fase ini diikuti oleh fase sintesis DNA (S). Setelah sintesis DNA lengkap, sel memasuki fase pra-mitotik ((3,) dimana terjadi sintesis protein dan RNA lebih lanjut. Fase ini diikuti oleh fase mitosis (M) dimana pembelahan sel terjadi, satu sel akan membelah menjadi dua sel. Sel kemudian memasuki fase G , kembali. Sel yang berada pacta fase G, dapat mernasuki fase istirahat (6,). Kanker muncul dari lesi genetik yang menyebabkan pertumbuhan atau pembelahan sel yang berlebihan yang tidak diiringi dengan kematian sel yang adekuat. Kegagalan diferensiasi selular menyebabkan perubahan posisi selulat dan kapasitas untuk berproliferasi. Secara normal, sel-se1 &an dirangsang untuk memasuki siklus sel dari Goatau tetap berada dalarn siklus sel di b w a h pengaruh sinyalsinyal tertentu seperti oleh fakror pertumbuhan, sitokin dan ho-rmon.Sel kemudian mernasuki G Idan fase S setelah melalui 'titik pemeriksaan' untuk memastikan bahwa gen-nya siap melakukan replikasi. Enzim-enzim kinwse tergantung siklin (cyclin-depe~adgnt kinuxes, CDKs) adalah enzim yang berperan mengam perjalanan sel memasuki setiap fase dalam siklus sel. Salah satu titik perneriksaan yang penting agar sel dapat memasuki fase S adalah yang
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PRINSIP DASAR TERAPI SlSTEMlK PADA KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
diatur oleh produk dari gen pensupresi tumor p53. Produk gen ini merupakan inhibitor dari CDK 4 dan 6. Enzim CDK 4 dan 6 yang teraktivasi akan memfosforilasi produk gen retinoblastoma (pRb). pRb yang terfosforilasi akan melepaskan E2FS yang berperan dalam menyelesaikan replikasi DNA selama fase S. Selama fase G,, CDK2 bersama-sama dengan siklin A dan E memastikan bahwa sintesis DNA yang benar telah lengkap. Sel selanjutnya memasuki fase M di bawah pengaruh CDKl dan siklin B. Proliferasi sel kanker juga diatur oleh proto-onkogen yang dalam keadaan aktif akan menyebabkan perturnbuhan sel. Proto-onkogen merupakan produk dari onkogen. Onkogen dapat dibagi menjadi 2 kelompok, 1) onkogen yang bekerja di sitoplasma untuk mengganggu sinyal faktor pertumbuhan normal, seperti ras, raf; dan enzim tirosin kinase dari src, erbB atau sis; 2) onkogen inti, yang mengubah kontrol transkripsi gen, seperti jum, fos, myc, dan myb. Gen pensupresi tumor, seperti p53 dan pRb, bekerja menghambat atau mencegah terjadinya pertumbuhan sel yang tidak teratur akibat aktivitas proto-onkogen tersebut. Selanjutnya, kapasitas sel untuk membelah diatur oleh aktivitas telomerase yang mengatur replikasi kromosom. Kapasitas invasi dan metastasis dipengaruhi oleh kerjasama antara metaloprotease matriks dan aktivator plasminogen serta kapasitas untuk menarik sel stroma pejamu pada tempat invasi melalui tumor-induced angiogenesis.
DASAR BlOLOGl TERAPI SlSTEMlK PADA KANKER Obat sitotoksik mempunyai efek primer pada sintesis atau fungsi makromolekul, yaitu mempengaruhi DNA, RNA, atau protein yang berperan dalam pertumbuhan sel kanker, sehingga sel kanker menjadi mati. Oleh karena itu sebagian besar obat sitotoksik tidak efektif terhadap sel-sel pada Go,oleh karena sel-sel tersebut relatif inaktif, artinya tidak ada sintesis makromolekul. Kematian sel tidak terjadi pada saat sel terpapar dengan obat. Seringkali, suatu sel hams melalui beberapa tahap pembelahan sebelum kemudian mati. Oleh karena hanya sebagian sel yang mati akibat obat yang diberikan, dosis kemoterapi yang berulang hams tems diberikan untuk mengurangi jumlah sel kanker. Terdapat hubungan terbalik antara jumlah sel dan kurabilitas obat kemoterapi. Berdasarkan model pada tikus, efek sitotoksik dari obat antikanker bersifat logaritmik. Secara umum, suatu obat diperkirakan membunuh sel tumor dalam fraksi yang konstan bukan dalam jumlah yang konstan. Artinya, jika suatu obat membunuh sel kanker sebanyak log 3, berarti akan mengurangi tumor dari 101° menjadi lo7 sel. Dosis yang sama juga akan mengurangi los sel tumor menjadi 1O2 sel.
Jika terapi gaga1 membunuh galur sel yang sensitif, ha1 ini disebabkan karena pada awalnya jumlah sel tumor asal terlalu tinggi untuk dosis kuratif potensial dari obat tersebut. Sel-sel kanker dapat terdeteksi secara klinis setelah berjumlah lo9 sel dan tidak akan menunjukkan respons terhadap terapi setelah berjumlah 1012sel. Kemoterapi membunuh sel-sel yang aktif membelah. Model Gompertzian menunjukkan bahwa pertumbuhan tumor tidak konstan, mula-mula akan tumbuh secara eksponensial kemudian pertumbuhannya melambat secara eksponensial. Fraksi pertumbuhan puncak terjadi kira-kira saat ukuran tumor 37% dari ukuran maksimum. Berdasarkan model ini, maka jika kemoterapi diberikan pada stadium lanjut dimana fraksi pertumbuhannya rendah maka fraksi sel yang terbunuh menjadi kecil Jadi, kemoterapi akan lebih efektif bila dimulai sedini mungkin. Model ini juga penting dalam pemberian terapi ajuvan. Angka ketahanan hidup dan masa bebas penyakit tidak dipengaruhi oleh jumlah residu sel kanker, apakah populasinya 1 sel atau 1 juta sel, karena pertumbuhan kembali populasi residu sel akan lebih cepat pada volum yang kecil dibandingkan yang lebih besar.
OBAT SlTOTOKSlK DAN SIKLUS SEL Sebagian besar obat menunjukkan variasi toksisitas letal pada sepanjang siklus sel. Sebagian besar antimetabolit menimbulkan toksisitas letal hanya pada sel-sel yang mensintesis DNA, di mana metotreksat dan doksorubisin mempunyai toksisitas maksimum untuk fase S. Banyak obat dari golongan ini juga menghambat onset atau kelanjutan sintesis DNA dari sel yang 1010s dari terapi. Toksisitas letal pada suatu fase siklus sel tidak selalu sinkron dengan mekanisme kerja suatu obat. Vinkristin dan vinblastin diketahui menganggu pembentukan mitotic spindle, menyebabkan terhentinya sel pada fase mitosis. Namun, penelitian menunjukkan bahwa efek letal dari obat ini terjadi ketika sel berada pada fase S, yaitu ketika pembentukan mitotic spindle dimulai. Docetaxel dan paclitaxel yang bekerja dengan distabilisasi tubulin mempunyai efek letal pada siklus sel yang berbeda. Docetaxel memberikan efek toksik maksimal pada fase S, sedangkanpaclitaxel menunjukkan peningkatan toksisitas pada sel-sel yang meninggalkan fase S melalui G2, masuk ke fase M. Obat sitotoksik dapat dikategorikan menjadi 1). obat yang efektif pada fase tertentu dari siklus sel (phasespecific drugs), 2). obat yang efektif pada sel yang berada pada siklus sel, namun tidak tergantung pada fase-nya (cell cycle-speczJic drugs), dan 3). obat yang efektif baik saat sel berada pada siklus sel ataupun istirahat (cell cyclenon speczjic drugs). Obat kategori pertama yang bekerja pada fase S contohnya adalah antimetabolit (sitarabin, fluorourasil,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
'
ONKOLOGIMEDIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI gemsitabin, metotreksat, tioguanin, fludarabin) yang mengganggu sintesis DNA atau inhibitor topoisomerase I (topotecan) yang mengganggu struktur DNA. Obat yang bekerja pada fase G2 adalah antibiotik (bleomisin), inhibitor topoisomerase I1 (etoposid), serta stabilisatorl polimerisator mikrotubulus (paclitaxel). Obat yang bekerja pada fase M dengan mengganggu segregasi kromosom adalah golongan alkaloid vinka (vinblastin, vinkristin, vindesin, vinorelbin). Obat yang efektifitasnya tidak bergantung pada sel berada di fase manapun adalah sebagian besar obat alkilator (klorambusil, siklofosfamid, melfalan, busulfan, dakarbazin, sisplatin, karboplatin) dan antibiotika (daktinomisin, daunorubisin, doksorubisin, idarubisin). Sebenarnya obat-obatan ini tidak benar-benar nonspesifik karena mereka tetap menunjukkan efektivitas yang lebih besar pada suatu fase dibanding fase yang lain, namun derajatnya tidak sama dengan obat yang fase-spesifik. Pemberian obat kategori ketiga serupa dengan pemberian iradiasi foton, sehingga tidak tergantung apakah sel berada pada siklus sel atau tidak. Contohnya mustard nitrogen (mekloretamin) dan nitrosourea (karmustin, lomustin).
KEMOTERAPI KOMBlNASl Pemberian obat sitotoksik tunggal dengan dosis yang masih dapat ditoleransi secara klinis tidak dapat digunakan untuk mengobati kanker, dengan beberapa kekecualian seperti pada koriokarsinoma dan limfoma Burkit. Kemoterapi kombinasi memberi beberapa keuntungan sebagai berikut, 1) pemusnahan sel-sel kanker dapat terjadi secara maksimal dengan kisaran toksisitas yang masih dapat ditoleransi oleh tubuh pasien, 2) lebih luasnya kisaran interaksi antara obat dan sel tumor dengan abnormalitas genetik yang berbeda pada populasi tumor yang heterogen, dan 3) kemoterapi kombinasi dapat mencegah atau memperlambat tumbulnya resistensi obat selular. Pemeriksaan obat-obat sitotoksik sebagai kombinasi mengikuti panduan sebagai berikut: Pertama, pilihan hanya pada obat yang terbukti memberikan respons parsial sebagai obat tunggal. Obat yang dapat menimbulkan respons komplit lebih disukai dibandingkan yang hanya menimbulkan respons parsial. Kedua, toksisitasnya tidak tumpang tindih dengan toksisitas obat lain dalam kombinasi, sehingga dapat minimalisasi efek letal serta dapat memaksimumkan intensitas dosis.
TOLAK UKUR PENGOBATAN Terapi sistemik yang diberikan kepada pasien dapat
diberikan dengan tujuan kuratif maupun paliatif. Pemberiannya saat ini dapat digolongkan menjadi empat kelompok, yaitu: 1). terapi induksi primer untuk kanker di mana kemoterapi merupakan satu-satunya cara pengobatan yang efektif (misalnya limfoma, tumor Wilm, rabdomiosarkoma embrional, kanker paru sel kecil) atau kanker stadium lanjut; 2). terapi neoajuvan, untuk pasien dengan kanker terlokalisir namun ukurannya terlalu besar untuk dilakukan pembedahan atau radiasi dengan optimal; 3). terapi ajuvan, sebagai tambahan terapi lokal, baik pembedahan atau radiasi, yang bertujuan menghilangkan mikrometastasis; dan 4). pemberian langsung pada lokasi tumor. Terapi induksi primer untuk kanker stadium lanjut dan metastatik diberikan sebagai terapi paliatif, untuk memperbaiki kualitas hidup, menghilangkan gejaldsindrom akibat tumor, serta memperpanjang masa progresifitas tumor dan masa harapan hidup. Terapi neoajuvan saat ini umumnya diberikan pada pengobatan kanker anal, kandung kemih, payudara, esofagus, larings, kanker paru non-sel kecil lokal lanjut, dan sarkoma osteogenik. Untuk beberapa penyakit, seperti kanker anal, gastroesofageal, larings dan kanker paru nonsel kecil, manfaat klinis yang optimal akan terjadi bila kemoterapi diberikan bersama dengan radioterapi, baik bersama-sama atau berurutan. Respons pengobatan dapat diukur dengan perubahan obyektif dari ukuran tumor atau produk tumor, masa ketahanan hidup dan respons subyektif. Tidak semua tolok ukur ini dapat diukur untuk menilai respons pengobatan. Pada pengobatan ajuvan, misalnya, tumor primer telah diangkat, sehingga indikator utama keberhasilan pengobatan, yaitu pengurangan ukuran tumor, tidak dapat menjadi tolok ukur. Jadi pada kemoterapi ajuvan, masa bebas kekambuhan (relaps-free survival) dan masa ketahanan hidup keseluruhan (overall survival) menjadi tolok ukur akhir yang utama. Yang dimaksud dengan relapsfree survival pada kemoterapi ajuvan adalah waktu yang dibutuhkan untuk tumbuhnya kembali sel-sel kanker yang dapat terdeteksi secara klinis. Regresi tumor secara obyektif dapat diukur dengan pengurangan ukuran tumor atau produk tumor seperti imunoglobulin pada limfoma. Lesi tumor awal dikategorikan sebagai 'dapat diukur' (diameter terpanjang lebih dari 20 mm dengan teknik konvensional atau lebih dari 10 mm dengan spiral CT scan) atau 'tidak dapat diukur' (lesi lebih kecil atau benar-benar tidak terukur). Respons Komplir didefinisikan sebagai tidak ditemukannya kembali tandatanda tumor baik secara radiologis maupun biologis. Respons Parsial adalah penurunan ukuran diameter tumor sekurang-kurangnya 50%. Penyakit Progresif adalah peningkatan diameter tumor sekurang-kurangnya 25%. Kriteria lain adalah Penyakit Stabil di mana pengurangan ukuran tumor tidak memenuhi syarat untuk respons parsial atau peningkatan ukuran tumor tidak
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PRINSIP DASAR TERAPI SlSTEMlK PADA KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI memenuhi syarat untuk kriteria penyakit progresif. Indikator yang paling penting dari kualitas remisi komplit adalah masa bebas kekambuhan (relaps-free survival).
ECOG Derajat
POLA SENSlTlVlTAS KANKER TERHADAP KEMOTERAPI Kelompok I Kanker dengan sitostatika mutakhir menghasilkan efek sitoreduktif yang cepat dan kesembuhan umumnya terjadi pada kanker yang secara intrinsik sensitif terhadap kemoterapi sitostatika (contohnya: leukemia limfoblastik akut pada anak-anak, penyakit Hodgkin, beberapa jenis limfoma non-Hodgkin, kanker testis). Kelompok II Kanker yang biasanya berespons baik pada saat permulaan diberikan sitostatika namun kemudian sering berubah menjadi refrakter terhadap sitostika berikutnya (contohnya: kanker payudara, kanker paru sel kecil, kanker ovarium yang kambuh).
Kriteria (disederhanakan)
Karnofsky
%
Status Fungsional
0
Aktivitas normal
100
Dapat melakukan aktivitas normal, tidak memerlukan perawatan khusus (tidak ada gejala) Aktifitas normal dengan gejala minimal
1
Ada gejala, cukup rawat jalan
80
Aktifitas normal dengan usaha ekstra, ada gejala penyakit Tidak dapat bekerja, dapat dirawat di rumah, perlu bantuan untuk beberapa aktivitas
2
~50% waktu harus berbaring
60
Kadang-kadang perlu bantuan Perlu bantuan dan seringkali perawatan medis
50
3
>50% waktu harus berbaring
40
Tidak dapat merawat diri sendiri, memerlukan perawatan di rumah sakit, perjalanan penyakit dapat sangat cepat Tidak dapat beraktifitas sama sekali, indikasi dirawat di rumah sakit
4
Harus berbaring terus-menerus
20
5
Meninggal
Sangat sakit, perlu dirawat di RS untuk pengobatan suportif Sekarat Meninggal
Kelompok Ill Tumor yang secara intrinsik resisten terhadap hampir semua kemoterapi sitostatika (contohnya: melanoma maligna)
FAKTOR-FAKTOR YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM MELAKUKAN KEMOTERAPI Faktor yang harus diperhatikan dalam merencanakan kemoterapi adalah pilihan rejimen pengobatan, dosis, cara pemberian dan jadwal pemberian. Faktor yang harus diperhatikan pada pasien adalah usia, jenis kelamin, status sosioekonomi, status gizi, status penampilan (Tabel I), cadangan sumsum tulang, serta fbngsi paru, ginjal, hati, jantung dan adanya penyakit penyerta. Faktor yang berhubungan dengan tumor adalah jenis dan derajat histologi, tumor primer atau metastasis, lokasi metastasis, ukuran tumor, serta adanya efusi.
Kontraindikasi absolut adalah penyakit terminal (harapan hidup sangat pendek), kehamilan trimester pertama, septikemia, dan koma. Kontraindikasi relatif adalah bayi di bawah 3 bulan, usia tua, terutama pada pasien dengan tumor yang tumbuh lambat dan kurang sensitif terhadap kemoterapi; status penampilan buruk (kurang dari 40), terdapat gaga1 organ
10 0
yang parah, metastasis otak (jika tidak dapat diobati dengan radioterapi), demensia, pasien tidak dapat datang secara reguler, pasien tidak kooperatif, serta jenis tumornya resisten terhadap obat antikanker.
OBAT YANG DIGUNAKAN SEBAGAI TERAPI SlSTEMlK PADA KANKER Obat yang digunakan untuk terapi sistemik kanker terdiri dari beberapa macam golongan. penggolongan ini dapat didasarkan pada cara kerjanya atau sumber obat tersebut berasal. Beberapa contoh obat dan golongannya dapat dilihat pada Tabel 2. Obat Alkilator Obat alkilator adalah obat yang membentuk ikatan dengan asam nukleat, protein, dan banyak molekul dengan berat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI molekul rendah. Obat ini merupakan senyawa elektrofil atau menjadi elektrofil di dalam tubuh untuk menghasilkan molekul terpolarisasi dengan daerah bermuatan positif. Molekul yang terpolarisasi ini kemudian dapat berinteraksi dengan daerah yang kaya dengan elektron pada banyak molekul selular. Mekanisme utama golongan obat ini adalah interaksi antara molekul elektrofil dengan DNA. Interaksi ini menyebabkan terjadinya reaksi substitusi, ikatan silang (cross-linking), atau pemutusan untai DNA. Obat alkilator berinteraksi dengan DNA, RNA, atau protein yang telah terbentuk, sehingga obat golongan ini merupakan obat yang tergolong tidak spesifik pada fase tertentu, bahkan beberapa juga dapat aktif pada sel yang tidak berada di siklus sel (cell cycle-nonspecific).
Obat Antimetabolit Obat golongan ini adalah kelompok senyawa dengan berat molekul rendah yang mempunyai efek antineoplasma karena struktur atau fungsinya mirip dengan metabolit yang secara alami terlibat dalam sintesis asam nukleat. Obat ini bekerja dengan menghambat enzim-enzim penting yang terlibat dalam sintesis asam nukleat atau terinkorporasi ke dalam asam nukleat dan menghasilkan kode genetik yang salah. Kedua mekanisme ini menyebabkan penghambatan sintesis DNA dan akhirnya kematian sel. Oleh karena efeknya terutama pada sintesis DNA, maka obat ini paling aktif pada sel yang aktif turnbuh dan sebagian besar termasuk kategori fase-spesifik. Produk Natural Obat-obat ini dimasukkan ke dalam satu golongan bukan berdasarkan cara kerjanya namun karena sumbernya yang berasal dari produk natural. Golongan obat ini terdiri dari beberapa jenis, yaitu a) Inhibitor mitotik (vinkristin, vinblastin, vindesin,vinorelbin), aktivitasnya terutama disebabkan karena efeknya terhadap protein mikrotubular sehingga terjadi penghentian metafase dan inhibisi mitosis. Jadi, berdasarkan cara kerjanya obat ini digolongkan sebagai antimikrotubul; b) Derivat Podophyllum (etoposide, teniposide), podofilotoksin semisintetik ini dapat membentuk kompleks dengan enzim DNA topoisomerase 11, yaitu enzim yang penting untuk menyelesaikan replikasi DNA. Interaksi ini menyebabkan untai DNA terputus dan siklus sel terhenti pada fase S akhir dan G , awal; c). Camptothecin (irinotecan, topotecan), target primernya adalah DNA topoisomerase I; d) Antibiotik, merupakan senyawa antimikroba yang diproduksi oleh Streptomyces sp., bekerja dengan mempengaruhi fungsi dan sintesis asam nukleat; e) Enzim, contohnya adalah asparaginase yang mengkatalisis hidrolisis asparaginase menjadi asam aspartat dan amonia sehingga sel ganas menjadi kekurangan asam amino esensial yang penting bagi kehidupannya. Produk natural yang merupakan antibiotik terbukti
sangat bermanfaat dalam pengobatan kanker dan efektif pada berbagai jenis kanker. Obat golongan antibiotika berdasarkan mekanisme kerjanya terbagi menjadi beberapa jenis, 1) obat yang menyebabkan pembelahan DNA yang tergantung topoisomerase I1 dan berinterkalasi dengan untai ganda DNA, contohnya: daktinomisin, antrasiklin (doksorubisin, daunorubisin, epirubisin, dan idarubisin), mitoksantron; 2)obat yang menyebabkan fragmentasi untai DNA, contohnya; bleomisin; 3)obat yang menyebabkan reaksi ikatan silang antara untai komplementer DNA yang mengganggu proses replikasi, contohnya mitomisin. Produk natural, selain alkaloid vinka yang telah disebutkan, yang termasuk golongan obat antimikrotubul adalah taksan. Paklitaksel merupakan senyawa yang mulamula ditemukan, disusul oleh analognya yaitu dosetaksel. Obat ini memiliki spektrum aktivitas antikanker yang luas dan mempunyai mekanisme sitotoksisitas yang unik. Paklitaksel berinteraksi dengan mikrotubul, tetapi tidak seperti alkaloid vinka yang mengharnbat pembentukannya, paklitaksel menstabilkan mikrotubul dan menghambat pengrusakannya. Paklitaksel menciptakan keseimbangan dinamis antara pembentukan dan pengrusakan mikrotubul. Proses yang paling dipengaruhi oleh obat ini adalah mitosis.
TERAPI HORMONAL Sejak dilaporkan pada tahun 1895 bahwa ooforektomi dapat memperlambat progresifitas kanker payudara, telah diketahui peranan hormon dalam perkembangan kanker. Estrogen, progestin, dan androgen diketahui berperan dalam perkembanan kanker payudara dan endometrium. Molekul yang terkait dengan famili reseptor steroid saat ini merupakan target yang tepat untuk molekul kecil dalam pengobatan kanker. Jika terikat dengan ligannya, reseptor ini dapat mengubah transkripsi gen dan, pada beberapa jaringan, dapat menginduksi apoptosis. Glukokortikoid diberikan dengan dosis tinggi pada leukemia dan limfoma, sehingga diharapkan terjadi apoptosis pada sel tumor. Contoh lain adalah pengobatan kanker prostat dengan dietilstilbesterol (DES). DES bekerja seperti estrogen pada tingkat hipotalamus untuk menurunkan produksi luteinizing hormone (LH), sehingga akan terjadi penurunan produksi testosteron oleh testis. Untuk mendapatkan efek supresi androgen testikuler tersebut dapat pula diberikan obat agonis luteinizing hormone-releasing hormone (LHRH) seperti leuprolide dan goserelin. Obat lain adalah antagonis androgen yang bekerja pada reseptor androgen, seperti j7utamide atau bicalutamide. Terapi hormonal telah memberikan hasil yang memuaskan pada pasien kanker payudara dengan reseptor estrogen/progesteron positif. Sejak awal 1960-an, sewaktu reseptor estrogen pertama kali ditemukan, diketahui bahwa
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1451
PRINSlP DASAR TERAPI SISTEMIK PADA KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Golongan Alkilator
Sub-Golongan Mustar Nitrogen
Aziridin dan Epoksida Alkil sulfonat Nitrosurea
Hidrazin dan Turunan Triazin
Antimetabolit
Antifolat
Analog pirimidin Analog cytidine
Analog purin
Inhibitor Topoisomerase
Analog Camptothecin
Epipodofilotoksin Antrasiklin
Lain-lain Antimikrotubul
Alkaloid vinka
Taksan
Obat Siklofosfamid lfosfamid Melfalan Klorarnbusil Tiotepa Mitomisin C Dianhidrogalaktitol Busulfan Karrnustin (BCNU) Lomustin (CCNU) Semustin (rnetil CCNU) Prokarbazin Dakarbazin Ternozolomid Metotreksat Raltitreksed Pernetreksed 5-fluorourasil (5-FU) Capecitabin Sitarabin (cytosine arabinoside, ara-C) Gemcitabine 6-merkaptopurin (6MP) Azatioprin 6-tioguanin (6-TG) lrinotecan Topotecan
Etoposide Teniposide Doksorubisin, Daunorubisin Epirubisin ldarubisin Mitoksantron Aktinomisin D Vinblastin Vinkristin Vindesin Vinorelbin Paklitaksel Dosetaksel
Contoh Dosis Obat 400-200 rnglm2 IV; 100 mglrn2 PO qd 8 rng/m2qd x 5, PO 1-3 rnglm qd PO 6-10 mg/rn2q6 rninggu
200 mglrn2 IV; 150 mglm2 PO 100-300 mglm2 PO
100 rng/rn2per hari X 14 375 mg/rn2 IV hari 1 & 15 150-200 rng/rn2qd X 5 q28; atau 75 rng/m2qd X 6-7 rngg 15-30 mg/rn2 PO atau IM qd X3-5
375 mglrn2 IV qd X5; 600 rnglrn2 IV hr 1&8 1250 mg/m2 PO bid 2 mgg, 1 rninggu stop 100 rnglm2per hr qd X 7 dengan infus kontinyu; 103 g/lm2 IV bolus 1000 mg/rn2 IV per rninggu X 7 75 rnglm2PO atau s.d 500 rnglrn2 PO (dosis tinggi) 1-5 rnglkg per hari 2-3 mglkg per hr sarnpai 3-4 mgg 100-150 rnglm2 IV > 90 rnnt q3-4 mgg atau 30 rnglrn2 per hari > 120 jam 20 rng/m2 IV q3-4 rngg >30 mnt atau 1,5-3 mglrn2q 3-4 rngg > 24 jam atau 0,5 mg/m2 per hari > 21 hari 100-150 mg/rn2IV qd X3-5 hr 150-200 mglm2 IV 2X serninggu, 4 rngg 45-60 mg/m2q3-4 rngg;10-30 mg/rn2per rngg; atau regimen infus kontinyu 150 mg/m2 IV q3 rngg 10-15 rng/m2q3mgg; 10 rnglm2 IV qd X3 12 mg/m2qd X3 10-15 ~ g l k gper hr qd X 5 IV bolus 6-8 mg/rn2 per rngg 1-1,4 mglrn2per rngg (maks 2 mg) 15-30 mglm2 per mgg 175 rng/m2 per infus 3 jarn;135-175 mg/m2 per infus 24 jam; 140 mg/rn2 per infus 96 jam; 250 mg/m2per infus 24 jam + G-CSF 60-75 rnglrn2per infus 1 jam, q3 mgg 75-100 rnq/m2 per dosis IV q3-4 rngg 365 mglrn IV q3-4 rngg 130 mg/m2q3 mgg > 2 jam atau 85 mg/rn2q2 rngg
Platinum
Sisplatin Karboplatin (Paraplatin) Oksaliplatin (Eloksatin)
Lain-lain
L-Asparaginase Bleomisin
~ rngg 25.000 l ~ l qm3-4
Terapi target
lmatinib mesilat Gefitinib Trastuzumab
400 mglhr 250 mglhr Inisial: 4 mglkg, infuse 90'. Dosis pemeliharaan: 2 molka, infus 30'
BCNU: bischloroethylnitrosourea; CCNU: cyclohexylchloroethyInitrosourea;qd : setiap hari; PO: per oral; IV: intravena; q: setiap; bid: dua kali sehari; rng: miligrarn; mgg:rninggu
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
kanker payudara yang mempunyai reseptor estrogen atau reseptor progesteron memberikan hasil pengobatan yang lebih baik. Tanpa reseptor, hasil pengobatan hormonal kurang dari 5%, sedangkan yang reseptomya positif, 3040%, bahkan hasil pengobatan 60-70% bila tumornya mempunyai kombinasi reseptor estrogen dan progesteron. Obat antiestrogen, seperti tamoksifen, telah terbukti dapat memperbaiki outcome pada setiap stadium kanker payudara dengan reseptor hormonal positif. Obat inhibitor aromatase seperti anastrozol, letrozol, atau eksemestan juga telah dilaporkan memberikan hasil yang baik dan merupakan obat pilihan pada pasien pascamenopause,baik yang alamiah maupun menopause buatan (pasca ablasi ovarium).
Trombositopenia, anemia, dan leukopenia adalah efek samping yang terjadi akibat kemoterapi. Sebagian besar program pengobatan standar dirancang sesuai dengan kinetika pemulihan sumsum tulang setelah paparan kemoterapi. Beberapa tahun terakhir mulai diberikan faktor perangsang koloni seperti faktor perangsang kolonimakrofag (macrophage-colony stimulating factor, MCSF), faktor perangsang koloni-granulosit (granulocytecolony stimulating factor, G-CSF). Faktor pertumbuhan ini mempunyai peran penting dalam pemberian dosis intensif kemoterapi dengan mencegah leukopenia sehingga mengurangi insidens infeksi dan lamanya rawat inap.
TERAPI DENGAN TARGET MOLEKULAR
Mukositis Mukositis dapat terjadi pada rongga mulut (stomatitis), lidah (glossitis), tenggorok (esofagitis), usus (enteritis), dan rektum (proktitis). Umumnya mukositis terjadi pada hari ke-5-7 setelah kemoterapi. Satu kali mukositis muncul, siklus berikutnya akan terjadi mukositis kembali, kecuali jika obat diganti atau dosis diturunkan. Mukositis dapat menyebabkan infeksi sekunder, asupan nutrisi yang buruk, dehidrasi, penambahan lama waktu perawatan, dan peningkatan biaya perawatan. Untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder akibat mukositis, maka kebersihan mulut hams dijaga. Pasien juga harus diingatkan untuk berhati-hati dengan gigi palsunya dan memilih sikat gigi yang bulunya halus. Setiap kali habis makan, mulut harus dibersihkan dan berkumur dengan obat antiseptik. Jika telah terjadi infeksi sekunder, apakah disebabkan oleh jamur, herpes, atau bakteri, maka infeksi harus diobati dengan obat yang sesuai.
Terapi dengan target molekular pada pengobatan kanker adalah strategi pengobatan yang dirancang untuk menghambat molekul spesifik yang terlibat dalam proses transformasi keganasan atau mempengaruhi metastasis sel-sel kanker. Terapi ini dapat ditujukan pada produk onkogen yang terlibat secara langsung pada insiasi transformasi keganasan, contohnya adalah imatinib untuk pengobatan leukemia mielositik kronik. Selain itu dapat ditujukan pada produk onkogen yang terlibat pada stadium selanjutnya dari proses transformasi keganasan (berperan dalam progresifitas tumor, tidak pada awal pembentukan tumor), contohnya adalah trastuzumab untuk pengobatan kanker payudara. Obat yang digunakan untuk terapi ini terbagi atas beberapa jenis. Molekul berukuran kecil dapat menghambat enzim atau reseptor pertumbuhan yang terlibat dalam pertumbuhan sel. Contohnya adalah imatinib dan gefitinib. Obat penginduksi apoptosis bekerja melalui interaksinya dengan protein yang terlibat proses apoptosis. Contoh obat jenis ini adalah bortezomib yang digunakan pada pengobatan mieloma multipel. Jenis lain adalah antibodi monoklonal, vaksin kanker, inhibitor angiogenesis, dan terapi gen.
EFEK SAMPING KEMOTERAPI Obat sitotoksik menyerang sel-sel kanker yang sifatnya cepat membelah. Namun, terkadang obat ini juga memiliki efek pada sel-sel tubuh normal yang juga mempunyai sifat cepat membelah seperti rambut, mukosa (selaput lendir), sumsum tulang, kulit, dan sperma. Obat ini juga dapat bersifat toksik pada beberapa organ seperti jantung, hati, ginjal, dan sistem saraf. Berikut akan dibahas beberapa efek samping yang sering ditemui pada pasien.
SUPRESI SUMSUM TULANG
Mual dan Muntah Mual dan muntah terjadi karena peradangan dari sel-sel mukosa (mukositis) yang melapisi saluran cerna. Muntah dapat terjadi secara akut, dalam 0-24jam setelah kemoterapi, atau tertunda, 24-96 jam setelah kemoterapi. Setiap obat tidak sama derajatnya dalam menimbulkan muallmuntah. Obat yang dapat sangat sering (>90%) menyebabkan muntah contohnya sisplatin, dakarbazin, mekloretamin, dan melfalan/arabinosa-C dosis tinggi. Obat yang sering (60-90%) menimbulkan muntah contohnya siklofosfamid, prokarbazin, etoposid, metotreksat, sisplatin. Obat yang insidensnya sedang (30-60%) dalam menimbulkan muntah misalnya doksorubisin, 5fluorourasil,karboplatin, ifosfamid, sitarabin, mitoksantron. Obat yang sedikit menimbulkan muntah adalah alkaloid vinka, 5-fluorourasil, bleomisin, etoposid. Obat yang sangat jarang (
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1453
PRINSIP DASAR TERAPI SISTEMIK PADA KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pilih antimual yang sesuai, ketiga, obati beberapa hari untuk mencegah muntah berkepanjangan, keempat, kombinasi antimual akan memberikan pencegahan lebih kuat, dan kelima, cegah muntah sebelum pemberian obat kemoterapi (premedikasi). Obat yang dapat diberikan untuk mencegah muall muntah adalah deksametason 8 mg, 2 kali sehari (hari ke-1 dan 2) dilanjutkan 4 mg, 2 kali sehari (hari ke-3 dan 4) dan metoklopramid 0,5 mgkg, 4 kali sehari, hari ke-1 sampai 4. Alternatif lain adalah ondansentron, hari ke-1 dan 2, dan proklorperazin, 15 mg, tiga kali sehari, hari ke- 1 sampai 4. Untuk mengantisipasi muallmuntah maka sebelum kemoterapi dapat diberikan obat penenang seperti lorazepam. Selain pemberian obat, lingkungan di sekitar pasien dan makanan harus diperhatikan. Pasien sebaiknya ditempatkan di ruangan yang sejuk, makan makanan dingin, hindari makanan yang pedas dan berbau menyengat, makan dan minum dalam porsi yang sedikit tetapi sering, hindari makan 1-2jam sebelum dan sesudah kemoterapi, relaksasi dengan menonton televisi, bermain game, atau membaca, tidur selama periode mual yang hebat, menjaga kebersihan mulut serta berolahraga. Diare Diare disebabkan karena kerusakan sel epitel saluran cema sehingga absorpsi tidak adekuat. Obat golongan antimetabolit adalah yang sering menimbulkan diare. Pasien dianjurkan makan rendah serat, tinggi protein (enteramin) dan minum cairan yang banyak. Obat antidiare juga dapat diberikan. Seperti juga diare karena sebab lain, maka penggantian cairan dan elektrolit yang telah keluar hams dilakukan. Pada pemeriksaan hams dilihat apakah ada lecet perianal, jika ada hams segera diatasi agar tidak memicu infeksi. Alopesia Kerontokan rambut sering terjadi pada kemoterapi akibat efek letal obat terhadap sel-sel folikel rambut. Pemulihan total akan terjadi setelah terapi dihentikan. Pada beberapa pasien, rambut dapat tumbuh kembali pada saat terapi masih berlangsung. Tumbuhnya kembali merefleksikan proses proliferatif kompensatif yang meningkatkan jumlah sel-sel induk atau mencerminkan perkembangan resistensi obat pada jaringan normal. Infertilitas Spermatogenesis dan pembentukan folikel ovarium
merupakan ha1 yang rentan terhadap efek toksik obat antikanker. Pria yang mendapat kemoterapi seringkali produksi spermanya menumn. Biopsi testis menunjukkan hilangnya sel-sel germinal pada tubulus seminifems, ha1 ini disebabkan karena efek obat terhadap sel-sel yang berploriferasi cepat. Efek antispermatogenik ini dapat pulih kembali setelah kemoterapi dosis rendah tetapi beberapa pria mengalami infertilitas yang menetap. Kemoterapi seringkali menyebabkan perempuan pramenopause mengalami penghentian menstruasi sementara atau menetap dan timbulnya gejala-gejala menopause. Hilangnya efek ini sangat tergantung dari umur, jenis obat yang digunakan, serta lama dan intensitas kemoterapi. Biopsi ovarium menunjukkan kegagalan pembentukan folikel ovarium.
REFERENSI Blay JY, Cesne AL, Alberti L, Ray-Coquart I. Targeted cancer therapies. Bull Cancer. 2005;92 (2):E13-8. Chu E, DeVita Jr VT. Principles of cancer management: chemotherapy. In: DeVita Jr VT, Hellman S, Rosenberg SA, editors. Cancer principles and practice of oncology. 61h edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001 .p. 289302. Doroshow JH. Principles of medical oncology. In: Pollock RE, Doroshow JH, Khayat D, Nakao A, O'Sullivan B, editors. UICC manual of clinical oncology. 81h edition. New Jersey: John Wiley & Sons; 2004. p. 245-62. Kastan MB, Skapek SX. Molecular biology of cancer: the cell cycle. In: DeVita Jr VT, Hellman S, Rosenberg SA. Cancer principles and practice of oncology. 6Ih edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. p. 91-102. Liu G, Robins HI. The natural history and biology of cancer. In: Pollock RE, Doroshow JH, Khayat D, Nakao A, O'Sullivan B, editors. UICC manual of clinical oncology. 81h edition. New Jersey: John Wiley & Sons; 2004. p. 1-18. Moore MJ, Erlichman C. Pharmacology of anticancer drugs. In: Tannock IF, Hill RP, editors. The basic science of oncology. 3rd edition. New York: Mc Graw-Hill; 1998. p. 350-69. Sausville EA, Longo DL. Principles of cancer treatment: surgery, chemotherapy, and biologic therapy. In: Kasper DL, et al. Harrison's principles of internal medicine. 161h edition. New York: McGraw Hill; 2005. p. 464-81. Skeel RT, Khleif SN. Biologic and pharmacologic basis of cancer chemotherapy. In: Skeel RT, editor. Handbook of cancer chemotherapy. 61h edition. Philadelphia: Lippincot William & Wilkins; 2003. p. 3-25. Skeel RT. Antineoplastic drugs and biologic response modifiers: classification, use, and toxicity of clinically useful agents. In: Skeel RT, editor. Handbook of cancer chemotherapy. 6Ih edition. Philadelphia: Lippincot William & Wilkins; 2003. p. 53-156.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
TEKNIK-TEKNIK PEMBERIAN KEMOTERAPI Adiwijono
PENDAHULUAN Ada beberapa teknik pemberian kemoterapi. Masing-masing teknik ditentukan oleh: Jenis keganasan yang diobati Lokasi dari pada keganasan tersebut di dalam tubuh manusia. Jenis obat sitostatika yang diperlukan Di bawah ini diuraikan masing-masing teknik pemberian kemoterapi dan disertakan contoh-contoh seperlunya.
Dapat secara berobat jalan Tidak perlu mengeluarkan biaya untuk obat-obat dan alat inhs, alat suntik dan biaya perawatan maupun biaya pemondokan, dan lain-lain. ETOPOSID ORAL lndikasi Kanker ovarii yang kambuh setelah penggunaan kemoterapi dengan platinum dan taksan.
KEMOTERAPI ORAL Beberapa Kasus yang Dapat Diobati Secara Oral Untuk pengobatan kanker ovarii yang relaps setelah pengobatan dengan platinum atau taksan. Untuk pengobatan kanker kolorektal yang telah lanjut, kanker payudara metastatik setelah gaga1 dengan antrasiklin dan taksan. Untuk pengobatan leukemia limfositik kronik sel B dan LNH derajat keganasan rendah dan lain-lain. Obat yang Digunakan Etoposid Kapesitabin Fludarabin Cara Pemberian Per oral Keuntungannya Pemberian mudah
Hal-ha1 yang Perlu Diperhatikan Periksa darah rutin lengkap sebelum mulai kemoterapi. Bilajumlah sel neutrofil <1,5 x 109Aataujurnlahtrombosit
Bersihan kreatinin
=
---------Kadar kreatinin (i molll)
Kreatinin diekskresi lewat ginjal, etoposid tak perlu dikurangi dosisnya pada insufisiensi renal yang ringan. Kalau insufisiensi renal sedang atau berat, jangan digunakan etoposid. Periksa fungsi hati, bila ada insufisiensi hati sedang sampai berat jangan digunakan etoposid.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TEKNIK-TEKNIK PEMBERIAN KEMOTERAPI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Dosis Sen 1 Etoposid 50 mg (dosis total) PO dua kali sehari, hari 1-7. (Peningkatan dosis hanya dilakukan bila tidak ada toksisitas derajat 3 atau 4 setelah seri 1. Sen 2 Etoposid 50 mg (dosis total) PO dua kali sehari ,hari 110. (Peningkatan dosis hanya dilakukan bila tak ada toksisitas derajat 3 atau 4 setelah seri 1). Seri 3-6 Etoposid 50 mg (dosis fatal) PO dua kali sehari, hari 114. Peningkatan dosis hanya dilakukan apabila tidak ada toksisitas derajat 3 atau 4 setelah seri 1 atau 2.
Beberapa Hal Penting Diperhatikan Periksa darah rutin lengkap sebelum mulai kemoterapi. Bila jumlah sel neutrofil <1500/mm3 atau trombosit <100.000/mm3tunda dulu kemoterapi. Periksa tes fungsi hati. Bila kadar bilirubin >3x nilai normal tertinggi atau transaminase (GOT, GPT) >2,5 x nilai normal tertinggi tunda dulu kemoterapi.
Cara Pemberian Per oral 2 x 1 tablet 50 mg sehari Lama waktu yang diperlukan tiap seri 2 1 hari dan jumlah seri biasanya 6 seri.
Efek Samping Sistem pencemaan: diare, mual, muntah, mukositis nyeri di abdomen. Gangguan fungsi hati: peningkatan kadar bilirubin dan enzim transaminase. Kulit: hand-foot syndrome (telapak tangan dan kaki terasa gatal, sakit, bengkak, kemerahan), adanya bintikbintik di kulit, kulit kering dan gatal, dermatitis (radang kulit). Alopesia (biasanya tidak terlalu berat). Supresi sumsum tulang (biasanya tidak berat). Bila terjadi efek samping diatasi dengan menurunkan dosis atau terapi simptomatik.
Efek Samping Supresi sumsum tulang, alopesia, nausea-vomitus, mukositis, hand and foot syndrome. Anti Emetik Potensi emetogenik rendah. Dapat diatasi dengan antiemetik apa saja sesuai kebutuhan.
KAPESlTABlN ORAL Mekanisme Kerja Kapesitabin adalah derivat fluoropirimidin karbamat disajikan dalam bentuk preparat oral. Kapesitabin bersifat nonsitotoksik, selanjutnya diubah menjadi 5-FU yang bersifat sitotoksik, setelah itu baru mengalami metabolisme. Perubahan menjadi 5-FU di dalam jaringan tumor, dikatalisasi oleh enzim timidin fosforilase, karena itu paparan jaringan normal terhadap 5-FU menjadi minimal. Aktivasi yang selektif terhadap tumor, menyebabkan kadar 5-FU dalam jaringan tumor jauh lebih besar daripada dalam jaringan normal. lndikasi Obat baris pertama (first line treatment) untuk kanker kolorektal yang telah lanjut; kanker payudara metastatik yang telah gaga1 dengan antrasiklin dan taksan.
Dosis dan Cara Pemberian 1250 kg/m2/oraldiberikan dua kali sehari bersama makan pada hari 1- 14 disusul 1 minggu tanpa obat, sehingga satu siklus lamanya 2 1 hari. Jumlah siklus: sampai terbukti bahwa penyakitnyajadi progresif atau terjadi toksisitas yang berat. Berikan antiemetik sesuai kebutuhan.
Kontraindikasi Hipersensitif terhadap Kapesitabin atau 5-FU. Insufisiensi ginjal yang berat (bersihan kreatinin <30 mllmenit). Bila bersihan kreatinin 30-50 mllmenit, dosis diturunkan menjadi 75% dari dosis semula. Tidak boleh diberikan kepada perempuan hamil, perempuan menyusui dan anak. Untuk Hand Foot Syndrome Menggunakan Skala Berikut: Derajat 1. Mati rasa disastesialparaetesia, gatal, pembengkakan yang tak nyeri, atau eritema yang menyebabkanrasa tak nyarnan, tetapi masih bisa melakukan aktivitas normal. Derajat 2. Eritema yang nyeri dan pembengkakan tangan atau kaki atau rasa tidak nyaman yang mengganggu aktivitas. Derajat 3. Deskuamasi yang basah, ulserasi, rasa panas, nyeri yang hebat pada tangan dan kaki atau rasa tak nyaman yang menyebabkan tidak dapat melakukan aktivitas.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOGI MEDIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Derajat Toksisitas (NCIC)
Selama Masa Pengobatan
Penyusunan Dosis untuk Siklus y.a.d.
Derajat 1
Pertahankan Dosis Semula
Derajat 2 Muncul ke 1 Muncul ke 2 Muncul ke 3 Muncul ke 4
Tunggu sampai derajat 0-1 Tunggu sampai derajat 0-1 Tunggu sampai derajat 0-1 Hentikan pengobatan
100% 75% 50%
Derajat 3 Muncul ke 1 Muncul ke 2 Muncul ke 3
Tunggu sarnpai derajat 0-1 Tunggu sampai derajat 0-1 Hentikan pengobatan
75% 50%
Tunggu sampai derajat 0-1 atau hentikan pengobatan
50%
Derajat 4 Muncul ke 1
Pertahankan Dosis Semula
FLUDARABIN ORAL Penggunaan Untuk terapi CLL sel B yang resisten terhadap alkylating agent, juga untuk NHL derajat keganasan rendah yang kambuh. Mekanisme Kerja Derivat purin nukkleosida Masuk sel melalui mekanisme transpor oleh nukleosida. Mengalami refosforilasi pada F-are-ATP melalui deoksitidin kinase. Trifosfat diubah jadi DNA Menghambat ribonukleotida reduktase, DNA polimerase, DNA primase, DNA ligase. Menyebabkan apoptosis. Hal-ha1 yang Perlu Diperhatikan Beritahu bahwa pasien dapat berobat jalan. Sebelum pengobatan periksa kadar ureum, kreatinin dan tes fungsi hati. Hati-hati pada pengobatan pasien dengan disfungsi hati dan insufisiensi renal. Beritahu pasien untuk: - Menghindari obat yang mengandung aspirin. - Mengenali tanda-tanda dan gejala dari anemia dan trombositopenia. - Mengenali tanda-tanda sindrom lisis tumor dan penting mempertahankan hidrasi. - Mengenali tanda-tanda efek samping lainnya dan usaha-usaha yang bisa dilakukan. Dosis dan Cara Pemberian Fludarabin 40 mg/m2per oral selama 5 hari.
Lama siklus 28 hari Jumlah siklus 6 Obat ini menimbulkan rasa mual ringan,jadi dapat diatasi dengan obat anti emetik biasa.
Toksisitas Netropenia trombositopenia, sering diikuti terjadinya febril neutropenia. Anemia hemolitik,jarang terjadi, tetapi bila terjadi berat. Limfopenia yang mungkin bertahan sampai 1tahun atau lebih. Dapat terjadi infeksi: herpes zoster, herpes simpleks, pneumosistis carinii, kandida, aspergilus dan lain-lain. Neurotoksis, terjadi pada 15% pasien dengan dosis standar. Bila dosis lebih dari dosis standar, dapat terjadi neurotosisitas yang berat dan fatal. Sindrom lisis tumor dapat terjadi <0,5%, tetapi bila terjadi fatal dan tak dapat dicegah dengan allopurinol dan hidrasi. Toksisitas yang lain: nausea, vomitus dan alopesia. Toksisitas dapat lebih berat pada orang tua atau pada pasien yang tak ada respons terhadap terapi. KEMOTERAPI INTRAVENA Obat-obat Sitostatika yang Digunakan Secara lntravena Banyak obat kemoterapi yang penggunaannya secara IV, misalnya Siklofosfamid, Epirubisin, Vinkristin, 5-FU, Metotreksat, Sitarabin dan lain-lain. Cara pemberian kemoterapi secara IV diantaranya untuk pengobatan kanker payudara, kanker kolorektal, limfoma maligna, leukemia akut dan lain-lain. Cara pemberian kemoterapi secara IV bemariasi, tergantung pada jenis obat maupun jenis keganasannya. Misalnya: Epirubisin, pemberian secara IV pelan-pelan. Siklofosfamid,dilarutkan dulu dalam larutan NaCl0,9%, lalu disuntikkan secara IV pelan-pelan, atau dengan inhs drip selama 10-20 menit. Sitarabin dilarutkan dulu dalam 500 cc salin diberikan secara i n k s drip selama 24 jam. Karena obat-obat kemoterapi yang penggunaannya secara IV banyak, dan indikasinyajuga berbeda-beda, maka di sini disajikan satu contoh: pemberian kemoterapi pada kanker payudara. FEC (5-FLUOROURASIL, EPIRUBISIN, SIKLOFOSFAMID) lndikasi Kemoterapi kanker payudara baik sebagai terapi ajuvan, neoajuvan maupun kanker payudara yang sudah metastatis.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TEKNIK-TEKNIK PEMBERIAN KEMOTERAPI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Hal-ha1 yang Perlu Diperhatikan Pasien usia di atas 60 tahun atau ada riwayat penyakit jantung, sebelum kemoterapi harus dilakukan pemeriksaan ekokardiogram atau MUGA (multiple gated acquisition test of cardiac output), untuk menjamin bahwa ventrikel kiri berfungsi baik. Periksa fungsi hati. Jika ada insufisiensi hati, dosis epirubisin dan 5-FU dikurangi. Periksa fungsi ginjal. Jika ada insufisiensiginjal, kurangi dosis siklofosfamid. Periksa darah rutin lengkap. Jika netrofi14 500/mrn3atau trombosit <100.000/mm3tunda dulu kemoterapi. Berikan antiemetik yang kuat sebelum kemoterapi. Kontrol dosis kumulatif epirubisin, untuk menghindari kardiotoksisitasbila dosis kumulatif epirubisin>900 mg/ m'.
Beritahu pasien tentang kemungkinan rambut dapat rontok, akibat kemoterapi.
Dosis 5 FU 500 mg/m2/IVpada hari 1 Epirubisin 60 mg/m2/IVpada hari 1 Siklofosfamid 500 mg/m2/IVpada hari 1. Cara Pemberian 5 FU dan siklofosfamid disuntikkan secara 1.V pelanpelan atau dilarutkan dalam NaCl 0,9% 100 ml dan diinfuskan dalam 10-20menit. Epirubisin disuntikkan lewat selang infus salin. Siklus dan Jumlah Siklus Lama siklus 2 1 hari Jumlah siklus 6 Efek Samping Mielosupresi Alopesia Nausea, vomitus Mukositis Kardiomiopati(bila dosis kumulatif dari epirubisin >900 mg/m2. Sistitis hemoragik pada pemakaian siklofosfamiddosis tinggi. Tetapi pada regimen ini dosisnya tidak tinggi, sehingga tak perlu penggunaan mesna dan hidrasi. KEMOTRAPI INTRATEKALINTRAVENTRIKULAR lndikasi Terapi untuk meningitis neoplastik, akibat tumor solid, limfoma atau leukemia. Terapi profilaksis untuk pasien dengan risiko tinggi pada limfoma atau leukemia.
Obat yang Digunakan Metotreksat Tiotepa Sitarabin Cara Pemberian Intraventrikular Dengan pemasangan reservoar sub Q secara operatif dan dengan kateter ventrikular (SRVC). Keuntungannya - Pemberian obat mudah - Dijamin bahwa obat yang dimasukkan dapat mencapai Cairan serebrol spinal (CSS). - Obat dapat diberikan pada pasien dengan trombositopenia - Kemungkinan respons dan survival lebih baik dari pada melalui lumbal. Kekurangannya - Biaya dan komplikasi yang berkaitan dengan pemasangan SRVC (infeksi, perdarahan, malfungsi, pemasangan pada tempat yang h a n g tepat. - Komplikasi yang diakibatkan oleh pemasangan SRVC yang berulang. - CSS dikeluarkan dulu sedikit, baru obat dimasukkan pelan-pelan (<1 mllmenit) untuk menghindari pergeseran CSS yang terlalu cepat di dalam otak. Lumbal Melalui pungsi lumbal berulang. Sistemik Penelitian yang baru, menunjukkan bahwa metotreksat dosis tinggi mungkin bermanfaat. Pendekatan Terapeutik pada Pasien Neoplastik Meningitis Diagnosis pengobatan dini perlu cepat untuk mempertahankan fungsi neurologik. Evaluasi secara keseluruhan untuk menilai faktor prognostik dan menentukan pengobatan. Faktor prognostik yang baik meliputi: - Riwayat perjalanan tumor sistemik yang lambat. - Kanker sistemik responsif terhadap terapi neoplastik. - Tak ada bukti kanker sistemik. - Tak ada gangguan neurologik yang menetap. - Status performance yang baik. Terapi radiasi pada bagian yang besar dan menunjukkan gejala. Kemoterapi intratekal bertujuan mengobati penyakit yang masih minimal dan sel-sel tumor yang terdapat di dalam lcs. - Umumnya dimulai dengan fungsi lumbal. - Jika ini memperbaiki keadaan pasien dengan terapi intratekal jangka panjang, dipasang SCRC (Sub Q Reservoir and Ventricular Catheter).
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOGI MEDIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
- Penggunaan scan Indium DTPA untuk mengamati -
-
kelainan aliran CSS, yang akan mempengaruhi distribusi kemoterapi intratekal. Kemoterapi intratecal dimulai dua kali dalam satu minggu. Bila pemeriksaan sitologi lcs menjadi negatif, terapi intrathecal diberikan dua kalilminggu untuk 1 minggu setiap bulannya. Respons terhadap kemoterapi intratekal harus dinilai dengan pemeriksaan CSS yang diambil dari tempat yang sama pada saat pemeriksaan sitologi positif. Dosis sebaiknya dalam mg (lebih baik dari pada mgl m2)karena orang dewasa mempunyai volume CSS yang hampir sama tanpa memandang tinggi dan berat badannya.
Toksisitas Mielosupresi - Tiotepa >metotreksat >sitarabin Potensial menimbulkan ensefalopati yang fatal. - Kombinasi kemoterapi intratekal >metotreksat >sitarabin >tiotepa. - Insidensi meningkat setelah lebih dari 6 bulan dari permulaan terapi. - Mula-mula sering diketahui pada MRI, diikuti gangguan neurologik yang tak dapat disembuhkan. - Meningitis stafilokokus epidermidis muncul subakut pada pasien SRVC. METOTREKSAT (MTX) INTRAVENTRIKULAR Mekanisme Kerja Antimetabolit Target dihidrofolat reduktase Mengurangi donor karbon yang diperlukan untuk sintesis purin dan pirimidin. Meningkatkan dihidrofolat poliglutamat, yang selanjutnya menghambat sintesis purin. Farmakologi klinik: - Umumnya aktif terhadap pembelahan sel jaringan yang cepat. - Umumnya efektif bila kadar obat tetap tinggi untuk jangka waktu yang lama. Penentuan Dosis 10 mg dalam 5- 10 ml larutan elliot B dua kali dalam satu minggu melalui ruang intratekal di daerah lumbal atau di ventrikel. Teruskan sampai sitologi CSS menjadi bersih (negatif). Lalu teruskan dengan terapi pemeliharaan, dua pengobatan setiap minggu (satu minggu tiap bulan).
Farmakokinetik 10 MTX IT dapat menghasilkan kadar lebih dari 10 iM dalam CSS sampai 48 jam. MTX intratekal dibersihkan dari CSS sebagian besar melalui aliran lewat granulosisaraknoid dan sirkulasi vena. Kelainan aliran CSS dapat mengakibatkan kadar tinggi dari MTX yang masuk jaringan otak menjadi lama yang dapat mengakibatkan leuko ensefalopati. Kira-kira 90% MTX dalam sirkulasi sistemik dibersihkan oleh ginjal. MTX dapat tertahan dalam cairan ehsi atau asites yang mengakibatkan pembersihan yang tertunda dan toksisitas. Toksisitas Toksisitas primer yang dini adalah pada mukosa GI dan sumsum tulang. Jika toksisitas ini menjadi problema klinis, ha1 ini dapat dicegah dengan menggunakan kalsium leukovorin oral, yang melindungijaringan sistemik, tetapi tak menembus keadaan CSS. Toksisitas utama yang timbulnya terlambat, adalah nekrosis tersebar yang menyebabkan leukoensefalopati. Faktor risiko utama meliputi: - MTX intratekal - Radiasi kranial(1.u. bila didahului MTX intratekal) - MTX sistemik Terapi Suportif Obat antiemetik biasanya tidak diperlukan Perawatan yang Penting CSS dikeluarkan sebanyak volume obat yang akan dimasukkan (5- 15 cc), obat dimasukkan pelan-pelan (< 1 mllmenit) untuk menghindari aliran (pergeseran) yang cepat dari CSS di dalam otak. Hindari kontaminasi, gunakan teknik aseptik yang ketat. Obat dapat dimasukkan bila ada aliran yang mudah dari CSS yang tak mengandung darah. Intoksikasi berat dapat terjadi pada orang tua atau pasien dengan lesi meningeal yang berat. Penilaian - Status dasar neurologik - Untuk araknoiditis akut (kebanyakan reaksi toksik): sakit kepala, nyeri punggung, kaku kuduk, dan demam. - Mielopati subakut: paraplegilparaparesis pada satu atau lebih radiks saraf. - Leukoensefalopati kronik: iritabel, ataksia dan meningkatnya tekanan CSS. - Neurotoksisitas yang ditandai oleh: rasa panas, mati rasa di kaki, stupor, agitasi, kejang-kejang dan sesak napas.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TEKNIK-TEKNIKPEMBERIAN KEMOTERAPI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
- Menentukan tempat-tempat yang mudah terkena
infeksi. Edukasi pasien - Jelaskan caranya: pasien diminta tidur telentang selama prosedur berlangsung. - Komplikasi akut yang dapat meliputi: nausea, vomitus, demam, sakit kepala, kaku kuduk, biasanya akan mereda dalam 72 jam. - Catat gejala-gejala yang tak biasa.
Toksisitas utama adalah terjadinya leukemia non limfositik akut seperti obat-obat alkylating yang lain. Neurotoksisitas nampaknya lebih rendah daripada metotreksat intratekal. Perawatan Suportif Biasanya tak perlu obat antiemetik. Segi Farmasi Larutan Elliott B (CSS buatan) atau salin normal merupakan pelarut yang cocok.
Mekanisme Kerja Alkylating agent fungsional Secara farmakologis sama dengan nitrogen mustard. Dapat dimasukkan ke dalam ruang-ruang dalam badan ( b o 4 cavities) Farmakologi Klinik Tak spesifik untuk siklus sel. Metabolit primer trietilen-fosforamid (TEPA) bertanggungjawabuntuk semua aktivitas obat terhadap tuinor solid. Dosis 10 mg dalam 5-10 ml larutan Eliot B atau salin normal dua kali dalam seminggu, masukkan dalam ruang intratekal dari daerah lumbal atau ventrikel. Teruskan sampai sitologi CSS bersih. Lalu teruskan dengan terapi pemeliharaan dua kali dalam seminggu (satu minggu setiap bulan). Farmakokinetik Halflife terminal dari tiotepa intraventrikular 8 jam. Bersihan ventrikular kira-kira 4% dari bersihan total Kadar tiotepa lumbal hanya 5% dari kadar ventrikular, tetapi masih cukup tinggi untuk aktif. Toksisitas Efek samping dari tiotepa adalah mielosupresi. Dosis yang dimasukkan lewat CSS (10 mg dua kali seminggu) mendekati dosis yang diberikan secara sistemik. Mielosupresi dapat terjadi pada pasien-pasien yang: - Sebelumnya sudah sering mendapat kemoterapi atau radiasi. - Pasien yang menderita kanker yang sudah lanjut dan menginfiltrasi sumsum tulang. - Sering mendapat terapi radiasi pada kolumna ventebralis atau pelvis sebagai bagian dari pengobatan metastasis leptomeningeal.
Segi Perawatan Pemeriksaan darah rutin dilakukan setiap seminggu. CSS dikeluarkan dan obat dimasukkan pelan-pelan (<1 mllmenit) untuk menghindari pergeseran CSS yang cepat di dalam otak. Pakai sarung tangan bila memegang larutan tiotepa karena dapat terjadi skin rash setelah kontak dengan bahan tersebut. Larutan tiotepa yang baru dibuat, sering keruhherkabut dan hams disaring dengan saringan yang pori-porinya ukuran 0,22 mcg. Jika tetap keruh setelah disaring, jangan dipakai. Hindari kontaminasi, gunakan teknik aseptik yang ketat. Awasi - Status dasar neurologik - Lokasi yang memungkinkan terjadinya infeksi Jelaskan kepada pasien - Untuk tetap telentang selama 30 menit selama pengobatan. - Komplikasi akut bisa terjadi diantaranya : nausea vomitus, demam, sakit kepala, kaku kuduk dan semuanya itu akan hilang dalam 72 jam. - Laporkan gejala-gejala yang tak biasa terjadi.
Sinonim Ara-C Sitosin Arabinosid Sitosar Penggunaan Penggunaan sitarabin intratekal, telah diakui sebagai tindakan preventif dan pengobatan leukemia meningeal. Mekanisme Kerja Antimetabolit Metabolit dari sitarabin yang intraselular, Ara-CTP bergabung dengan DNA
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOGI MEDIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dosis Untuk meningitis leukemik 30 mglm2Ara-C diberikan secara intratekal langsung. Jumlah dosis yang diberikan tergantung pada beratnya leukemik meningitis. Jika diberikan secara intratekal, Ara-C sebaiknya dilarutkan dalam salin yang bebas larutan pengawet. Pelarut yang mengandung benzil alkohol sebaikya tak digunakan. Farmakokinetik Mekanisme utama untuk bersihan sistemik melalui metabolisme di hati oleh sitidin deaminase yang membentuk nukleosid inaktif, ara-U. Perawatan Bahan pengencer yang terdapat dalam container, sebaiknya tidak digunakan (ini adalah pengawet: benzil alkohol); gunakan salin USP (yang tak diawetkan) atau larutan ringer USP (yang tidak diawetkan). Hindari kontaminasi; gunakan teknik aseptik yang ketat. Risiko terjadinya toksisitas neurologik yang berat lebih kecil pada sitarabin dari pada metotreksat. Amati: - Status dasar neurologik. - Bila terjadi araknoiditisakut (umumnyareaksi toksik), sakit kepala, nyeri punggung, kaku kuduk dan \*. demam. - port d'entre untuk infeksi. Jelaskan kepada pasien: - Untuk tetap tidur telentang selama 30 menit selama pengobatan. - Komplikasiakut dapat terjadi, meliputi: nausea, vomitus, demam, sakit kepala, kaku kuduk, biasanya akan hilang dalam 72 jam. - Beritahukan bila ada keluhan yang tidak biasa.
hams diawasi baik-baik.
- Kebanyakan tumor solid akan memerlukan terapi intrapleural. Drainase Torakoskopi merupakan prosedur terbaik agar arah jarurn tepat dan paru mengembang kembali. Tube standard yang besar: - Dapat mengernbangkan paru semaksimal rnungkin. Kateter yang lentur (sop catheter) - Baik untuk cairan efusi yang dapat mengalir dengan bebas. - Dapat digunakan untuk pasien rawat jalan. - Pompa pleura-peritoneal kadang-kadang digunakan, tetapi sering macet dan sulit dipakai untuk penggunaan j angka panj ang. Pleurodesis Pam hams dikembangkan kembali. Volume dari drainase 4 5 0 ccl24jam. Jika lokulasi minimal, injeksi urokinase dapat membantu ekspansi maksimal dari paru. Pemberian narkotik sistemik atau intrapleural dapat mengurangi rasa sakit pada kebanyakan pasien. Anestesi lokal intrapleural juga sering dipakai. Drainase ulang <250 cc124jam pada waktu tube ditarik. Obat Apa yang Digunakan ? Dimasukkan "talc paudrage" ke dalam kavum pleura. Bleomisin - Cukup efektiftetapi mahal. Doksisiklin - Efektivitas sedang, tetapi murah. - Perlu terapi ulang, dan menaikkan biaya.
BLEOMlSlN INTRAPLEURA KEMOTERAPI INTRAPLEURAL Pasien yang Dapat Diobati dengan Cara Ini Simptom masih minimal, jangan tunggu sampai terjadi gangguan pernapasan. Prognosis baik, pasien mempunyai harapan hidup yang cukup baik sehingga mondok di rumah sakit 3-4 hari tidak jadi masalah. Penyakitnya tak mungkin disembuhkan dengan terapi sistemik - Limfoma, small cell lung cancer, dapat diberi terapi sistemik setelah torasentesis. - Tumor yang menunjukkan respons sedang seperti kanker payudara, kanker ovarii dapat menunjukkan respons terhadap terapi setelah torasentesis tetapi
Penggunaan Telah disetujui FDA untuk pengobatan keganasan yang menyebabkan efusi pleura dengan cara intrapleural. Juga digunakan untuk efusi peritoneal dan perikardial. Mekanisme Kerja Digunakan untuk menimbulkan inflamasi pleurodesis. Dosis Dosis umumnya 60m dalam 100 ml salin dengan menggunakan kateter. Pasien di tempat tidur dengan berbagai posisi untuk melengkapi kontak dengan semua bagian pleura. Terapi diulang cukup satu kali.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TEKNIK-TEKNIK PEMBERlAN KEMOTERAPI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Farmakokinetik 45% dari dosis intrapleural dapat masuk sirkulasi. Waktu paruh dalam kavum pleura 3 jam. Bleomisin yang diabsorbsi,dikeluarkan lewat ginjal(6070%) clan mempunyai waktu paruh 2-4 jam. Waktu paruh akan bertambah panjang pada pasien dengan insufisiensi renal.
Toksisitas Intrapleural yang sering: - Demam, nyeri ringan sampai sedang, mual, luka infeksi lokal. Intrapleural yang jarang: - Reaksi anafilaktik, retensi cairan, kemerahan dan diare. Sistemik (45% dosis diabsorbsi) - Reaksi kulit (pruritus, hiperpigmentasi, edema, eritema, penebalan kuku, mukositis, alopesia). - Anoreksia. - Pneumonitis interstisial. - Hipotensi, nyeri pada tempat suntikan, demam dan menggigil selama inhs. - Mielosupresi. - Trombosis mikroangiopati. Alergi, anafilaksis. Perawatan Suportif Paru perlu dikembangkan penuh agar pleurodesis efektif. Asetaminofen diberikan bila demam. Suntikkan morfin 10 mg diberikan 30 menit sebelum pengobatan. Lidokain 25 cc 2% disuntikkan ke dalam kavum pleura sebelwn bleomisin. Kadang-kadang perlu antiemetik. Obat dan alat untuk mengatasi kemungkinan reaksi anafilaksis hams siap. Segi Farmasi Vial yang intak disimpan di kulkas, buat larutan yang stabil dan dapat disimpan 1 bulan di kulkas, 2 minggu bila disimpan pada suhu kamar. Salin normal merupakan pelarut yang cocok. Jangan dicampur dengan larutan yang mengandung kation divalen atau trivalen (terutama tembaga) karena problem kelasi. Inaktivasi dengan menggunakan hidrogen peroksida, senyawa-senyawa yang mengandung sulfidril dan vitamin C. Segi Perawatan Obat-obat dan peralatan untuk keadaan darurat hams siap.
Pasien yang sebelumnya mempunyai riwayat radiasi pada paru atau penyakit paru obstruksi kronik mempunyai risiko komplikasi dan toksisias yang lebih tinggi. Pemberian obat mungkin sangat sakit, berikan premedikasi sebelum pengobatan sampai 24-48 jam sesudahny a. Setelah obat masuk, pasien diberi posisi yang tepat (telentang, tengkurap, miring ke kanan atau ke kiri) untuk menjamin distribusi yang merata dari obat sklerosing. Chest tube yang terpasang di dada dapat diklem sesuai kebutuhan. Jumlah obat sklerosing dapat dikeluarkan kembali melalui chest tube yang tidak diklem hams dicatat. Awasi: - Bila terjadi reaksi hipersensitivitas - Bila ada tanda toksisitas pulmonal: napas yang pendek, wheezing, rash, menggigil, timbul demam. Pasien diajari: - Cara mengatur peralatan intrapleural. - Untuk memberi laporan bila terjadi serangan nyeri dada atau demam yang akut.
KEMOTERAPI INTRAPERITONEAL Kegunaan Dikenal sebagai cara pengobatan yang rasional untuk kanker ovariurn residual (kemoterapi inisial, pengobatan dengan obat-obat baris kedua, konsolidasi). Untuk trial terapi ajuvan, kanker gaster dan kolon. Pengobatan yang telah teruji untuk sel-sel residual dari mesotelioma setelah reseksi maksimal. Dasar Pemikiran Meningkatkan paparan dari tumor yang ada dalam kavum peritoneal dengan obat sitotoksik yang aktif dan obat antineoplastik. Cara yang paling tepat untuk obat-obat yang aktivitas antineoplastiknyaterhadap beberapa jenis tumor masih diragukan (kanker ovarium, kolon, gaster, mesotelioma dan lain-lain) dapat dibuktikan bahwa aktivitas neoplastiknya dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan kadar dan lama paparan. Trial Fase I Banyak obat telah diuji dari segi keamanan dan farmakokinetik melalui pemberian intra peritoneal. Misal perbaikan Farmakokinetik pada pemberian secara intraperitoneal dibanding secara sistemik. - Sisplatin/karboplatin(10-20 kali lipat) - 5 FU (200 x lipat)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOGl MEDIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
- Metotreksat (90 x lipat) - Doksorubisin (300 x lipat) -
Paklitaksel(1000 x lipat)
- Interferon alfa (100 x lipat) Toksisitas Batas dosis toksis ditentukan oleh obat yang dimasukkan ke dalarn kavum peritoneal. - Sisplatinlkarboplatin (batas dosis toksis: ada efek sistemik, abdominal discomfort minimal dan risiko terbentuknya adhesi). - Doksorubisin (batas dosis toksis: nyeri abdominal yang beratlterjadi adhesi). - Paklitaksel (batas dosis toksis: nyeri abdominal). Risiko terjadinya komplikasi akibat pemberian obat: - Infeksi - Perforasi usus akibat pemasangan kateter. Risiko toksisitas yang unik akibat pemberian obat ke dalam kavum peritoneal tak nampak pada pemberian secara sistemik. Cara Pemberian Pemasangan kateter semi permanen dengan pembedahan atau pemasangan kateter perkutan pada setiap pengobatan. Biasanya dimasukkan 1-2 1volume obat, dan tak perlu mengeluarkan cairan setelah pengobatan. Keberatan Teoritis untuk Merencanakan Terapi Antineoplastik lntra Peritoneal Kesulitan untuk memasukkan obat antineoplastik yang adekuat melalui kavum peritoneal. Obat yang mencapai tumor melalui aliran darah kapiler sedikit.
Kegunaan Terapi inisial untuk kanker ovarium residuaVmikroskopik atau tumor residual dengan diameter maksimal0,5 cm) pada pasien pasca operasi. Terapi tahap kedua untuk tumor residual setelah ada respons terhadap terapi sistemik dengan obat-obat platinum. Terapi konsolidasi pada pasien dengan tumor derajat keganasan tinggi stadium I11 dan IV pasca operasi dan menunjukkan respons komplit. Dasar pemikiran: - Meningkatkan paparan terhadap sisplatin pada kanker yang ada dalam kavum peritoneal. - Mempertahankansecaramaksimal dan arnan, kontak antara tumor dan sisplatin yang masuk lewat kapiler.
Penentuan Dosis Sisplatin diberikan secara intraperitoneal dengan dosis 100 mglm2 dalam salin normal 1 - 2 1. Sisplatin dapat diberikan secara intraperitoneal pada dosis 200 mglm2 bersamaan dengan sodium tiosulfat untuk nephroprotection (cara dengan dosis tinggi ini masih eksperimental). Pilihan cara pemberian terapi: - Dipasang kateter parasentesis pada setiap pengobatan. - Dipasang kateter Tenckhoff terus menerus. - Kateter Tenckhoff dihubungkan dengan alat Sub Q untuk mengalirkan obat lewat v. porta. - Terapi dapat diulang maksimal 6 seri dengan interval 3-4 minggu. Farmakokinetik Puncak kadar peritonea1 dari sisplatin reaktif 20x lebih tinggi daripada terapi sistemik. AUC untuk paparan sisplatin pada kavum peritoneal 10 kali lebih tinggi daripada sirkulasi sistemik. Kira-kira 70% sisplatin yang diberikan secara intraperitoneal menyebar secara sistemik sebagai obat yang reaktif.
Toksisitas Efek samping utama obat yang menyebar secara sistemik, diakibatkan oleh toksisitas sisplatin (nefrotoksisitas, neurotoksisitas dan muntahmuntah). Pemberian sisplatin secara intraperitoneal, jangan dianggap merupakan cara untuk mengurangi toksisitas dari obat tersebut. Toksisitas lokal umumnya terbatas pada "abdominal discomfovt" yang ringan. Dapat terjadi adhesi intraperitoneal yang dapat menyebabkan obstruksi usus. Risiko infeksi intraperitoneal dan perforasi usus berkaitan dengan pemasangan kateter dan manipulasi yang dilakukan. Perawatan Suportif Sebelum memasukkan sisplatin intraperitoneal, berikan hidrasi seperti pemberian sistemik dosis 100 mglm2. Gunakan regimen antiemetik standar untuk sisplatin (serotonin reseptor antagonis plus deksametason). Segi Farmasi Larutkan sisplatin dalam 1-2 1 salin normal. Segi Perawatan Hidrasi pra dan pasca terapi; monitor asupan dan keluaran.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TEKNIK-TEKNIKPEMBERIAN KEMOTERAPI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
*
Berikan diuretik: manitol dan hosemid. Posisi pasien: semi Fowler. Gunakan teknik aseptik untuk mencegah infeksi karena penggunaan kateter dan peritonitis. Bila infus telah selesai, slang diklem dan catat waktunya. Bila cairan telah dikeluarkan,bilas kateter dengan salin steril. Karena dapat terjadi mielosupresi,perlu dimonitorAE, AL, AT. Awasi: - Perubahan nutrisi karena mual dan muntah. Tanda-tanda infeksi melalui kateter. - Tanda-tanda gangguan pendengaran. Tanda-tanda neuropati perifer. - Tanda-tanda gangguan fungsi ginjal. Edukasi pasien - Perlu mengamati dan menjaga posisi kateter. - Perlu melaporkan bila ada tanda-tanda infeksi: demam, radang, nyeri abdominal, diare, sesak napas. - Laporkan bila terjadi: mati rasa, gatal-gatal di jari tangan dan kaki, sulit memegang pensil atau mengancingkan baju. Beri jaminan bahwa gejala ini hanya sementara.
-
KEMOTERAPI ARTERIAL HEPATlK (HEPATIC ARTERIAL CHEMOTHERAPY/HA C) lndikasi Pengobatan metastasis hepatik dari kanker kolorektal. Mungkin bermanfaat sebagai terapi ajuvan setelah reseksi hepar. Obat yang Digunakan FUDR FU MitomisinC Cara Pemberian Dengan pompa sub Q yang dipasang saat operasi. Keuntungan dibanding pemberian secara sistemik: Pemberian obat mudah. - Toksisitas sistemik lebih ringan. - respons lebih tinggi: 50-70%. - Kemungkinan menghasilkan survival yang lebih baik. - Penelitian oleh CALGB untuk mengetahui apakah HAC menghasilkan survival lebih baik dari pada terapi sistemik. Kerugian dibanding terapi sistemik: - Lebih mahal dan perlu tindakan bedah. - Kemunglunanterjadi komplikasi akibat penggunaan kateter dan sklerosis bilier.
-
Pendekatan terapeutik pada pasien dengan metastasis di hepar Diagnosis dini dan reseksi dengan pembedahan jika munglun. Evaluasi menyeluruh untuk menentukan faktor prognostik dan menentukan sejauh mana terapi yang hams diberikan. Jika inoperabel, dapat diterapi dengan HAC atau terapi sistemik atau kombinasi kedua cara tersebut. Faktor prognostik yang baik meliputi: - Kurang dari dua metastase - Tidak ada bukti adanya penyakit ekstra hepatik. - LDH dan CEA dalam batas normal. Toksisitas Tidak ada mielosupresi, nausea, vomitus dan diare. Jika diare, hams dicurigai adanya shunting ke usus. Toksisitas hepatobilier: - Efek iskemia dan inflamasi pada saluran empedu, karena saluran empedu mendapatkan darah dari a. hepatika. - Toksisitas bilier narnpak sebagai kenaikan SGOT alkali fosfatase dan bilirubin. - Pada stadiumawal daritoksisitas,kenaikanenzimhepar akan kembali normal jika obat dikeluarkan dan pasien disuruh istirahat; pada kasus yang lanjut sulit diatasi. - Jika ikterus tidak teratasi, dilakukan retrograd kolangio pankreatografi (ERCP) yang dapat menunjukkan lesi seperti kolangitis sklerosis idiopatik. - Striktura mungkin nampak di bifurkasio duktus hepatikus. - Prosedur drainase dengan ERCP atau kolangiogram transhepatik mungkin berguna. - Monitor yang ketat dari tes fungsi hati perlu, untuk menghmdari komplikasi bilier. - Jika kadar bilirubin serum meninggi sampai >3 mg% tidak ada lagi pengobatan yang bisa diberikan. Penyakit Ulserasi Gastritis atau ulkus peptikum dapat terjadi karena perhsi obat dari gaster dan duodenum melalui cabangcabang dari arteria hepatika. Komplikasi dari Pemasangan dan Penggunaan Infuse Pump Melalui Arteria Hepatika Perhsi inkomplit atau ekstrahepatik. Mungkin terjadi emboli pada arteri yang berakibat terjadinya perhsi ekstra hepatik. Dapat terjadi kesalahan teknik selama pemasangan kateter dimana kateter terpasang terlalu jauh dari percabangan a. gastroduodenal dan a. hepatika yang dapat meningkatkan paparan terhadap obat.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOGI MEDIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Usaha untuk Mengurangi Toksisitas Terhadap Hepar Deksametason. Modifikasi sirkadian. Selang seling HAI FUDR dengan 5-FU pada a. hepatika.
Rekomendasi Dilakukan monitor yang ketat dari tes fungsi hati. Bila ada peningkatan dari Alkali fosfatase, SGOT atau bilirubin, dosis hams disesuaikan. Tes fungsi hati hams diperiksa dua kali setiap minggu untuk mengevaluasi masalah-masalah ini. FLOKSURIDIN INTRAARTERI HEPATIK (FUDR, 5-FLUORO-2-DEOKSIURIDIN) Kegunaan Kanker kolorektal metastatik. - Kadang-kadang dipakai sebagai terapi ajuvan setelah operasi reseksi. Kanker hepatobilier primer. Terapi intraperitoneal. Mekanisme Kerja Analog pirimidin. Indikator timidilat sintase. Inhibitor dari timidilat sintase, menyebabkan penurunan dari DTTP, dengan demikian mempengaruhi sintesis DNA. Over ekspresi dari timidilat sintase menyebabkan resistensi terhadap obat. Farmako Kinetik Sitotoksisitor tergantung pada dosis dan waktu. Ekstraksi dari FUDR oleh hepar yang normal 95%, sedang FU20-50%. Sering lebih efektif bila diberikan melalui infus yang lama dan bila dipakai FUDR dosisnya harus dikurangi. Toksisitas biasanya terbatas pada jaringan yang pembelahan selnya cepat misalnya mukosa GI, sumsum tulang.
*
Dosis Pemberian terbaik dicapai dengan memakai pompa, untuk mengatasi tekanan dalam arteri-arteri yang besar dan menjamin tetesan infus yang tetap. - Dosis terapeutik melalui infis arterial kontinu 0,l06 mgkgI3Bhari. - 0,16 rng/k@B x 14hari jika diberikan dengan pompa ekstemal. - Dosis sebaiknya dikombinasikan dengan 20 mg deksametason untuk setiap botol FUDR.
Penyediaan - 500 mg bubuk FUDR steril dalam vial 5 ml. Ini hams diencerkan dengan 5 ml akualides steril (SWFI). Dosis dan pemberian - Setiap vial hams dilarutkan dengan 5 ml SWFI untuk menghasilkan larutan yang mengandung kira-kira 100 mg FUDRIml. Dosis harian yang telah ditentukan diencerkan dengan dekstrosa 5% atau NaCl0,9% sampai volum yang tepat untuk alat infus y ang dipakai.
Segi Perawatan Cara pemberian - Periksa kateter - Setelah pemasangan pompa dengan cara operasi, awasi injeksi intraarterial dari kateter fluorosein. - Pemberian intra hepatik - Tak dianjurkan mengambil sampel darah arterial, karena tekanan dalam arteri tinggi dan kemungkinan terjadi pembekuan. - Pastikan aliran infus yang lancar untuk menilai aliran kembali dari darah. - Masukkan obat kemoterapi melalui pompa infus intraarterial ke hepar. - Untuk mencegah nyeri epigastrik, berikan simetidin 4 x 300 mg per oral atau ranitidin 2x 150 mg per oral. - Untuk mencegah sklerosing kolangitis, tambahkan deksametason 0,3-0,5 mghari bersamaan dengan FUDR Manajemen - Monitor fungsi hati untuk menetapkan jika modifikasi dosis FUDR diperlukan. Bandingkan nilai yang diperoleh dengan nilai referensi. Lihat modifikasi dosis yang dianjurkan dalam tabel di bawah. - Untuk tanda-tanda sklerosis bilier: ikterus, pruritus, dan nyeri perut kanan atas. - Atasi diare: berikan infus RL, bismut subsalisilat, kaolin dengan pektin atau loperamid-HC1 Edukasi pasien - Jelaskan kemungkinan komplikasi karena pemasangan kateter arterial. - Efek sarnpingFUDR: muallmuntah, nyeri epigastrik, nyeri abdominal kram, diare, menurunnya nafsu makan, mengantuk, rasa capai. - Manajemen di rumah: catat wujud feses, sering kencing, kram, asupan cairan, obat antidiare. - Penjelasan tentang pompa: - Informasi tentang pompa. - Batasi aktivitas yang dapat menyebabkan trauma pada balon pompa. - Hindari aktivitas yang dapat menyebabkan perubahan yang lama dari suhu badan, tensi,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1465
TEKNIK-TEKNIKPEMBERIAN KEMOTERAPI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI perubahan ke arah tempat yang tinggi, yang dapat mengubah kecepatan aliran infus.
MITOMISIN C (INTRAHEPATIK) Mekanisme Kerja Antiobiotik yang diisolasi dari Streptomisin caespitosus. Dosis 10 mglm2 IA atau IV setiap 4 minggu 2x, lalu setiap 6 minggu. Dosis yang lebih tinggi pada pemakaian IA mengakibatkan kejadian sklerosis bilier yang lebih tinggi. Farmakokinetik Menghambat sintesis DNA. Klirens terjadi terutama karena metabolisme di hepar, tetapi metabolisme terjadi juga di jaringan lain. Toksisitas Trombositopenia dan atau leukopenia. Dapat tertunda sampai 8 minggu setelah terapi. Nekrosis dan berakibat mengelupasnya jaringan jika terjadi ekstravasasi pada waktu menyuntikkan. Dapat terjadi peningkatan alkali fosfatase, transarninase dan sklerosis bilier. Perawatan Suportif Premedikasi dengan deksametason. Segi Farmasi Heparin 10.000 unit masukkan dalam pompa reservoar pada setiap pengisian kembali.
Derajat Toksisitas
.-----,
(NCIC)
Segi Perawatan Modifikasi dosis didasarkan pada leukosit dan trombosit, dengan demikian perlu dimonitor pemeriksaan darah rutin. Monitor fungsi ginjal sebelum pemberian setiap dosis. Kurangi dosis bila kadar kreatinin serum >1,7 mgldl. ~remedikasidengan serotonin antagonis merupakan indikasi seperti pemberian anti emetik untuk menunda mud. Jika terjadi ekstravasasi, hentikan infus segera. Evaluasi: - Fungsi ginjal, amati bila ada tanda-tanda dan gejala dari gaga1 ginjal atau sindrom hemolitik uremik. - Fungsi paru, amati bila ada tanda-tanda dan simptom pneumonitis interstisial dan ARDS. - Amati untuk kemungkinan terjadinya kelainan akibat veno occlusive disease dari hepar pada pasien ABMT. Edukasi pasien: - Kemungkinan terjadinya efek samping dan usaha untuk dapat mengatasi sendiri. - Pentingnya pelaksanaan KB.
KEMOTERAPI INTRAARTERIAL Dasar Pemikiran Infus intraarterial mencapai kapiler (jaringan tumor), kadarnya dapat sampai 2.500 kali lipat dibanding dengan infus intravena. "Supra doze" dari obat yang masuk dapat mengatasi resistensi terhadap obat. Selektivitas dapatditingkatkan lebih lanjut. - Dapat dikombinasikan dengan obat penetral sistemik atau obat kemo proteksi.
Penyusunan Dosis untuk Siklus v.a.d.
Selama Masa Pengobatan
Derajat 1
Pertahankan Dosis Semula
Derajat 2 Muncul ke 1 Muncul ke 2 Muncul ke 3 Muncul ke 4
Tunggu sampai derajat 0-1 Tunggu sampai derajat 0-1 Tunggu sampai derajat 0-1 Hentikan pengobatan
100% 75% 50%
Derajat 3 Muncul ke 1 Muncul ke 2 Muncul ke 3
Tunggu sampai derajat 0-1 Tunggu sampai derajat 0-1 Hentikan pengobatan
75% 50%
Tunggu sampai derajat 0-1 atau hentikan pengobatan
50%
Derajat 4 Muncul ke 1
Pertahankan Dosis Semula
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
-
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI selama 6-7 minggu.
Dapat diberikan dengan angiografi selektif, untuk meminimalkan dosis untukjaringan normal. Presentasi suplai darah pada jaringan tumor dari setiap pembuluh darah ditentukan secara radiologis dan dipakai untuk menghitung jumlah obat yang hams dimasukkan melalui kateter yang selektif atau superselektif.
Farmakokinetik Setelah melewati tumor, sisplatin menyebar seperti pemberian IV (dikurangi jumlah yang dinetralisir oleh natrium tiosulfat). Kadar puncak intraselular terjadi 48-72 jam.
Kegunaan Karsinoma sel skuamosa dari kepala dan leher (sangat selektif bila diberikan bersama radiasi). Telah digunakan di Jepang untuk tumor hepar, dan strategi yang sama telah digunakan untuk kanker ovarium (intraperitoneal lebih bany ak dipakai daripada intra arterial).
Toksisitas Sama dengan sisplatin intravena. Mukositis biasanya terjadi bersamaan dengan radiasi (45% memerlukan nutrisi dengan NGT jangka panjang). Nefrotoksisitas, neurotoksisitas dan ototoksisitas jarang, biasanya derajat I. Mielosupresi jarang, neutropenia dapat diatasi dengan pemberian GCSF. Mual, muntah dan diare dapat diatasi dengan hidrasi dan obat anti emetik dan antidiare.
Mekanisme Kerja Infus intraarterial mencapai kadar kapiler (dalam tumor) sampai 2500 kali daripada kadar yang dicapai dengan infus intravena. Supradosis dari obat yang dilepaskan dapat mengatasi resistensi obat. Dosis mingguan yang tinggi menghasilkan intensitas pengobatan yang tinggi (150 mglm2lminggu). Karena dosis sisplatin yang tinggi, harus diberikan dengan obat penetral natrium tiosulfat (diberikan secara IV pada saat mulai infus sisplatin). Natrium tiosulfat berikatan dengan sisplatin hanya di dalam serum (tidak intra selular), yang membentuk senyawa inaktif yang diekskresi lewat urin.
Perawatan Suportif Antiemetik. Prahidrasi (sampai batas nefiotoksisitas). Pengobatan profilaksis dengan deksametason 4 mg I.V. atau per oral dimulai pada malam hari sebelum pengobatan dan dilanjutkan setiap 6 jam sampai pagi harinya setelah pengobatan, berguna untuk membatasi pembengkakan tumor, terutama bila tumor mengenai saluran napas bagian atas. Edema muka akibat terapi ini juga dapat dikurangi. PEG tube dianjurkan sebelum pengobatan. "Mucositis mix" (Benadryl, Maalox, salep hidocame) atau anestesi topikal lainnya berguna untuk mengantisipasi mukositis.
Dosis Prahidrasi dan antiemetik profilaksis diberikan 24 jam sebelum pengobatan dimulai. Sisplatin 150 mg/m2setiap satu minggu untuk 4 minggu. Sebelum pengobatan dimulai dilakukan pemeriksaan angiografi transfemoral dan menunjukkan aliran darah ke tumor yang dominan. Natrium tiosulfat 9 g yang dilafzltkan dalam 200 ml akuades diberikan secara IV 15-20 menit bersamaan dengan pemberian infk sisplatin intra arterial (diberikan dengan pompa kecepatan tinggi, 1-2 mlldetik-waktu infus total 2-3 menit). Pemberian natrium tiosulfat diteruskan pada dosis 12 g/m2 dilarutkan dalam 1 1akuades, diinfuskan 167 mll jam selama 6jam. Pemberian sisplatin diamati sampai 2 minggu untuk kemungkinan terjadinya toksisitas derajat 111atau IV. Radiasi dimulai 24 jam setelah pemberian dosis sisplatin pertama, diteruskan 5 harilminggu, 200 c Gy setiap hari
Segi Farmasi Dosis sisplatin dilarutkan dalam salin normal sampai kadar 1 mg/ml.
-
Perawatan Kontrol: darah rutin, AT, BUN, kreatinin, bersihan kreatinin elektrolit dan audiogram. Hidrasi yang cukup sebelum sampai sesudah terapi; awasi intake yang cukup dan output. Monitor urin output agar mencapai 100 ccljam. Bila kurang dari 100 cc berikan furosemid. Pertimbangkan pemberian "cytiprotectant" misal amifostin untuk mencegah nefrotoksisitas, neurotoksisitas, toksisitas hematologik dan toksisitas akibat radiasi. Premedikasi dengan kortikosteroid dan antihistamin untuk mencegah anafilaksis. Hati-hati agar menghindari kesalahan dalam pemberian sisplatin. Overdosis dari sisplatin dapat menyebabkan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TEKNIK-TEKNIKPEMBERIAN KEMOTERAPI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI gagal ginjal, gagal hati, toksisitas okuler, mielosupresi, nausea dan vomitus yang berat, neuritis dan kematian. Tidak dianjurkan mengambil sampel darah dari arteri, karena tekanan dalam sistem arteri tinggi dan kemungkinan dapat mengental. Jika terjadi ekstravasasi, cabut inhsnya dan pindahkan ke tempat lain. Interaksi obat - Ototoksisitas meningkat bila obat diberikan bersama diuretik. - Toksisitas renal meningkat bila obat diberikan bersama aminoglikosida. - Sisplatin mengurangi efek fenitoin; karena itu dosis fenitoin perlu ditingkatkan. Awasi : - Muallmuntah, berikan antiemetik sebelum terapi ditemskan sampai 24jam. - Tanda-tanda anafilaksis: edema muka, mengi, takikardia, hipotensi; berikan obat-obat emergensi. - Monitor elektrolit serum, mungkin perlu suplemen. - Status dasar neurologik dan selama terapi, mungkin perlu terapi fisik untuk neuropati perifer. Edukasi pasien: - Tunjukkan dan tulis informasi yang berkaitan dengan manajemen dan perawatan. - Hubungan efek sementara terhadap fertilitas; pertimbangkan bank sperma, minimum sampai 2 tahun setelah pengobatan selesai. - Minum obat antiemetk,minum sampai 3 l/hari, makan makanan yang tak benvarna dan berbau. - Bila ada efek samping, minum obat sendiri. - Laporkan bila terjadi: mati rasa, gatal-gatal dan pembahan pendengaran. KEMOTERAPI INTRAVESIKA Tinjauan Kira-kira 70% dari pasien yang terdiagnosis sebagai karsinoma sel transisional pada vesika urinaria, penetrasinya superfisial. Misalnya Ta (papiler), Tcis (carcinoma in situ) Ti (invasi ke lamina propria). 50-70% dari pasien kanker vesika urinaria mengalami kekambuhan dan 30-50% pasien kanker vesika urinaria progresi ke arah stadium yang lebih tinggi. Tujuan Terapi ajuvan profilaksis dan etiologik adalah untuk mengeliminasi karsinoma in situ, karsinoma superfisial yang tidak dapat direseksi dan mencegah kekambuhan. Keputusan untuk menggunakan terapi intravesikal, didasarkan pada kecendemngan dan risiko terjadinya progresi dan kekambuhan.
Pemilihan Obat Tak ada obat tunggal yang terbaik; faktor-faktor seperti toksisitas, absorbsi dan efektivitas adalah penting. Kemoterapi intravesikal yang terbaik untuk tumor transisional grade I. Jadwal pengobatan yang optimal dari terapi intravesikal tak diketahui. Pengobatan jangka pendek sama efektifhya dengan dosis multipel yang diberikan dalam waktu yang lama. Mekanisme Kerja Kontrol antara sel kanker epitel dengan obat sangat perlu. Selanjutnya sangat penting agar obat sitostatika itu dapat diabsorbsi oleh sel kanker untuk menghentikan pembelahan dan pertumbuhan sel. Kadar dan lamanya keberadaan obat di dalam vesika urinaria sangat penting. Absorbsi sistemik sebaiknya minimal untuk menghindari toksisitas sistemik.
BACILLUS CALMETTE-GUERIN (BCG) INTRAVESIKAL Kegunaan Telah diakui FDA berguna dapat pengobatan TCC (Transitional Cel Carcinoma) in situ (CIS) dari vesika urinaria. Obat pilihan pertama untuk profilaksis dari kekambuhan dari TCC papiler superfisial vesika urinaria. Juga digunakan untuk pengobatan TCC superfisial yang tidak direseksi pada vesika urinaria. Mempakan obat intravesikal yang paling efektif dengan diseasefiee survival (DFS) 5 tahun sampai 70% pada CIS. DFS turun sampai 30% dalam 10 tahun. Mekanisme Kerja Strain mikobakterium bovis yang telah dilemahkan mempunyai efek stimulator pada respons imun. Menginduksi respons inflamasi yang memproduksi berbagai sitokin, meliputi tumor nekrosis faktor, interferon gamma dan interleukin-2. Mungkin menghasilkan imunitas anti kanker vesika urinaria melalui sistem imunitas humoral dan selular. BCG hams adhesi pada tumor vesika urinaria dan lamina basalis melalui reseptor fibronektin. Penentuan Dosis Berikan secara intravesikal seminggu sekali selama 6 minggu. Pertahankan dalam vesika urinaria selama 2 jam.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Minimal diperlukan 10juta organisme dalam 50-75 ml salin nonbakteriostatik. Diberikan pengobatan ulang 6 minggu; tetapi rekurensi dua kali pengobatan 6 minggu, berarti efektivitas BCG kurang.
Toksisitas Iritabilitas vesika urinaria, frekuensi, urgensi, disuria. Hematuria, demam, malaise, mual, kedinginan, artralgia dan pruritus. BCG dapat menyebabkan sakit karena penyebaran sistemik dari mikrobakterium yang membahayakan. Pengobatannya dengan OAT + sikloserin. Segi Perawatan Setelah pengobatan posisi pasien di rubah setiap 15 menit untuk menjamin distribusi yang sempuma dari obat. Pemeliharaan obat yang baik dan cuci tangan. Arnati: - Tanda-tanda toksisitas sistemik dari BCG: demam, malaise, batuk. - Tanda dan gejala dari sistitis; amati volume urin, frekuensi dan hematuria. - Tambahkan antispasmodik, antiseptik untuk traktus urinarius dan obat anti inflamasi nonsteroid. (OAINS) bila perlu. Edukasi pasien: - Cuci tangan dan higiene yang ketat. - Obat perlu dipertahankan dalam vesika urinaria 2 jam. - Dianjurkan banyak minum selama 48 jam pasca pengobatan. - Berikan desinfektan pada urin 6 jam setelah pemberian obat, dengan menambahkan volume desinfektan yang sama dengan volume urin. - Catat suhu badan, laporkan bila ada kenaikan suhu sampai 103°Fbeberapa saat, atau demam >I0 1OF tern menerus selama dua hari. - Laporkan bila ada simptom malaise, batuk atau adanya darah dalam urin.
Kegunaan Profilaksis terhadap kekambuhan TCC superfisial dari vesika urinaria terutama pada grade I. Pengobatan tumor yang superfisial. Kurang efektif daripada BCG pada CIS dan profilaksis. Pemberian segera setelah reseksi transuretral dari TCC yang superfisial. Penelitian jangka panjang menunjukkan aktivitas yang
minimal untuk mencegah kekambuhan atau progresi dari TCC superfisial dari vesika urinaria.
Penentuan Dosis Instilasi intravesikal30 mg dalam 30 ml salin atau 60 mg dalam 60 ml salin. Sebaiknya dipertahankan di dalam vesika urinaria selama 1-2jam seminggu sekali dalam 6-8 minggu. Farmakokinetik Bila diberikan intravesikal, absorbsi sistemik minimal; tetapi pada pasien dengan kerusakan epitel yang ekstensif, tiotepa dapat diabsorbsi karena ukuran molekulnya kecil. Toksisitas Mielosupresi pada 15-20% pasien, terutama granulositopenia dan trombositopenia. Kadang-kadang terjadi sistitis. Segi Perawatan Lihat pada bab sebelumnya mengenai hal-ha1 khusus berkenaan dengan pemberian obat intravesikal, penyimpanan obat yang baik, dan cuci tangan. Obat mempunyai berat molekul yang kecil dan ada kecenderungan terjadinya absorbsi vaskular; dapat terjadi mielosupresi; pemeriksaan darah rutin hams dilakukan sebelurn pengobatan. Perbesar area kontak dengan reposisi pasien setiap interval 15 menit. Awasi ; - Tanda-tanda dan simptom sistitis akibat obat. - Kelainan kulit berupa: kemerahan, eksfoliasi, deskuamasi (meskipun jarang dengan dosis intravesikal). Edukasi pasien: - Jaga kebersihan tangan dan higiene badan secara ketat. - Obat perlu dipertahankan 2jam dalam kandung kemih agar efeknya maksimal. - Pasien diminta banyak minum setelah pengobatan. - Laporkan bila sering kencing, disuria atau hematuria.
Kegunaan Profilaksisuntuk kekambuhan dari TCC yang superfisial dari vesika urinaria. Mengobati tumor superfisial dari vesika urinaria. Penggunaan segera setelah reseksi transuretral dari TCC
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TEKNIK-TEKNIKPEMBERIAN KEMOTERAPI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI yang superfisial. Pengobatan dari CIS, sebagai terapi intravesikal primer atau untuk CIS yang refrakter terhadap BCG. Lebih efektif daripada tiotepa untuk tumor superfisial derajat keganasan tinggi. Kurang efektif untuk CIS dan kanker superfisial dari vesika urinaria dan lebih mahal daripada BCG. Penentuan Dosis Selama 8 minggu diberi pengobatan 40 mg Mitomisin-C dalam 40 cc salin setiap seminggu sekali, diikuti terapi pemeliharaan tiap bulan selama satu tahun. Obat dibiarkan 1-2jam dalam vesika urinaria. Farmakokinetik Absorbsi sistemik minimal dari permukaan vesika urinaria. Toksisitas Sistitis akibat obat, klasifikasi mural clan kemerahan pada kulit. Segi Perawatan Periksa urin sebelum pengobatan, catat bila ada bakteri dan eritrosit. Dosis berkisar 20-40 mg; encerkan sampai 1 mglml dengan akuades steril; larutan pengencer dapat diganti lidokain hidroklorida 1% jika sistitis diakibatkan oleh pengobatan sebelumnya. Lihat pada bab sebelumnya tentang hal-ha1yang khusus berkaitan dengan terapi intravesikal. Dapat diresepkan oksbutinin untuk pasien yang kesulitan menahan air seni selama 2 jam; gunakan secara hati-hati pada pasien tua. Batasi asupan cairan mulai 8 jam sebelum pengobatan untuk mengurangi pengenceran dari obat; tingkatkan asupan cairan setelah pengobatan untuk membersihkan vesika urinaria dari sisa-sisa obat (3-4 1dalam 24 jam). Cuci tangan yang bersih dan gunakan obat dengan benar. Awasi: - Tanda-tanda dan simptom dari ISK, demam dan kedinginan. - Hasil pemeriksaan urin untuk kemungkinan adanya bakteria, jika dicurigai periksa biakan dari urin dan lapor dokter untuk kemungkinan penggunaan antibiotik. - Tanda-tanda reaksi alergi berupa kemerahan pada kulit yang difus, dermatitis kontak dengan adanya kemerahan pada kulit di bagian palmar dan genital. Edukasi pasien: - Obat perlu dipertahankan di dalam vesika urinaria selama 2 jam.
- Penting untuk meningkatkan asupan cairan setelah
pengobatan sampai 24 jam dan sesudahnya mengosongkan vesika urinaria tiap 2-3 jam. Tanda-tanda dan gejala dari ISK. Cuci tangan dan higiene laksanakan dengan ketat. Pantang dari hubungan seksual atau gunakan alat protektif segera setelah pengobatan.
Kegunaan Profilaksis terhadap kekambuhan TCC superfisialpada vesika urinaria. Pengobatan untuk karsinoma superfisial. Dilaksanakan segera setelah reseksi transuretral dari TCC superfisial. Pengobatan untuk CIS sebagaiterapi intravesikalprimer. Kurang efektif daripada BCG Lebih efektif daripada tiotepa untuk tumor superfisial derajat keganasan tinggi. Di Amerika jarang digunakan karena kurang efektif dibandingBCG dan mitomisin c dan terjadinya toksisitas lokal. Penentuan Dosis Telah digunakanjadwal instilasi intravesika multipel. Paling banyak 30-90 mglminggu selama 3 minggu dan obat dipertahankan intravesikal 1-2 jam. Regimen lain 60-90 mg dalam 50 ml salin setiap 3 minggu diulangi sampai 8 kali. Farmakokinetik Absorbsi sistemik minimal digunakan secara intravesikal. Toksisitas Sistitiskemikal, yang dapat lanjut dan terjadi kontraktur vesika urinaria yang permanen. Belum pernah dilaporkan terjadinya leukopenia dan toksisitas kardial. Segi Perawatan Periksa urin sebelum pengobatan, catat adanya bakteri dan eritrosit. Dosis 40-60 mg. Diencerkan sampai 1 mgkg dengan salin normal, obat ini mahal. Chemical cystitis//bladder irritability merupakan efek samping utama dan dapat diobati dengan fenazo-piridin hidroklorid, meskipun sering dapat sembuh tanpa intervensi. Lihat bab sebelumnya tentang hal-ha1 spesifik berkaitan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. - PRIYO PANJI
*
dengan terapi intravesikal. Oksibutinin diberikan kepada pasien yang sulit menahan kencing selama 2 jam; hati-hati untuk penggunaan pada orang tua. Batasi asupan cairan mulai 8jam sebelum pengobatan dimulai agar obat tidak menjadi lebih encer; tingkatkan asupan cairan setelah pengobatan dan bersihkan vesika urinaria dari sisa-sisa obat (3-4 1 dalam 24 jam). Cuci tangan dan gunakan obat secara benar. Awasi: - Tanda dan gejala dari ISK; demam dan kedinginan. - Hasil pemeriksaan urin untuk adanya bakteri dan bila dicurigai periksa biakan win dan konsultasi pada dokter untuk penggunaan antibiotik. - Toksisitas lokal dapat berat dengan pembentukan jaringan fibrotik dan kontraktur dari vesika urinaria; jika kapasitas vesika urinaria menurun sebaiknya obat dihentikan. Edukasi pasien: - Obat perlu dipertahankan dalam vesika urinaria selama 2 jam.
-
Tingkatkan asupan cairan setelah pengobatan selesai sampai 24 jam dan bilas vesika urinaria tiap 2-3jam. Tanda dan simptom dari ISK. Cuci tangan dan pertahankan higiene personal dengan ketat. Pantang hubungan seksual atau gunakan alat protektif segera setelah pengobatan.
Cassi J., Twelves C., Van Cutsem E., et al., 2002: First-line oral Capecilabine therapy in metastatic Colorectal Cancer: a favorable safety profile compared with intravenous 5-fluvouracil/ leucovarin. Am. Oncol 13: 566-75 Ratain M. J., Tempero M., Skosey C. 2001: Outline of Oncology Therapeutic. W.B. Sounders Company, Toronto. Summerhayes M and Daniel S., 2003: Practical Chemotherapy. Radchiffe Medical Press. Bristol.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
TERAPI HORMONAL PADA KANKER Noorwati Sutandyo
Ada berbagai obat hormonal yang digunakan untuk terapi pasien kanker. Obat-obatan ini terutama diindikasikan sebagai terapi kanker yang responsif hormon, seperti kanker payudara, prostat, atau endometrium. Terapi hormonal juga diberikan untuk sindrom paraneoplastik, seperti sindrom karsinoid dan gejala-gejala yang disebabkan kanker, termasuk anoreksia.
MODULASI RESEPTOR ESTROGEN SECARA SELEKTIF Tamoksifen Tamoksifen paling sering dipakai sebagai terapi ajuvan pada perempuan dengan kanker payudara yang telah direseksi. Saat ini terdapat konsensus bahwa penggunaan tamoksifen harus diteruskan selama lima tahun. Pada kanker payudara metastatik yang responsif hormon, yang dipakai biasanya adalah aromatase inhibitor bukan tamoksifen, namun pasien yang memburuk setelah mendapat aromatase inhibitor masih mungkin mendapat manfaat dari tamoksifen. Selain itu, tamoksifen telah menjalani berbagai studi prospektif sebagai obat kemopreventif kanker p a y ~ d a r a . Studi-studi ~.~ tersebut memperlihatkan bahwa tamoksifen menurunkan insidens kanker payudara sebesar 38% dibandingkan plasebo, dengan catatan tidak ada efek pada kanker yang reseptor estrogen-(ER)-negatif tetapi penurunan insidens sebesar 48% pada kanker payudara yang ER-positif. Namun tidak ada manfaat tambahan pada kelangsungan hidup yang ditunjukkan dalam kelompok tamoksifen. Dosis standar tamoksifen adalah 20 mg. Waktu paruh obat yang panjang menunjukkan bahwa dosis ini dapat diberikan sekali sehari. Tamoksifen merupakan obat neoplastik yang paling sedikit toksisitasnya. Uji klinik acak
terkontrol plasebo memperlihatkan bahwa tarnoksifen tidak mengakibatkan keluhan gastrointestinal yang lebih banyak dibandingkan plasebo. Toksisitas yang paling menonjol adalah gejolak panas (hotflushes) pada sekitar 50% perempuan yang menggunakannya dengan intensitas dan lama yang bervariasi. Gejolak panas karena tarnoksifen meningkat selama 3 bulan pertama terapi dan kemudian mendatar. Gejala ini tampak lebih menonjol pada perempuan dengan riwayat gejolak panas atau terapi sulih estrogen. Gejolak panas dapat dikurangi dengan pemberian megestrol dosis rendah atau antidepresan seperti venlafaksin, paroksetin, atau fluoksetin. Di satu sisi efek estrogenik tamoksifen bermanfaat, namun di sisi lain dapat menyebabkan efek samping berbahaya, yaitu kanker endometrium. Meskipun insidens kanker endometrium pada pasien yang mendapat tamoksifen meningkat, namun risiko absolutnya kecil. Insidens tahunan kanker endometrium di Amerika Serikat adalah 1 per 1000. Pada perempuan yang mendapat tamoksifen, insidens kanker endometrium meningkat dengan rasio 2,8. Efek estrogenik tamoksifen yang bermanfaat adalah penurunan kolesterol total, pemeliharaan densitas tulang pada perempuan pascamenopause, dan mungkin penurunan penyakit kardiovaskular. Pada perempuan pramenopause, tamoksifen mempunyai efek negatif pada densitas tulang. Sebagian besar pasien tidak mengeluhkan gejala-gejala vaginal, namun ada beberapa . keluhan kekeringan vagina, sedangkan yang lain mengalami peningkatan sekresi vaginal. Efek tamoksifen yang kurang lazim adalah toksisitas retina, tetapi tidak sampai mengancam kehilangan penglihatan. Tamoksifen dapat menjadi predisposisi fenomena tromboembolik, khususnya jika digunakan bersamaan dengan kemoterapi. Resistensi terhadap tamoksifen bersifat instrinsik atau didapat dan dapat terjadi dengan beberapa cara. Pada setiap langkah alur transduksi sinyal yang dipengaruhi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI tamoksifen, terdapat potensi terjadinya perubahan respons. Setelah tamoksifen berikatan dengan ER, terjadi translokasi kompleks ER-tamoksifen ke inti sel dan berikatan dengan estrogen response element. lkatan ini mencegah aktivasi transkripsi gen-gen yang responsif estrogen. Data laboratorium dan klinis memberi kesan bahwa kanker payudara ER-positif yang mengekspresikan HER-2 secara berlebihan mungkin berkaitan dengan resistensi tamoksifen. Pada tumor-tumor ini, aktivasi yang tidak tergantung ER oleh alur mitogen-activated protein kinase (MAPK) membantu terjadinya resistensi. Selain itu, ekspresi AIB 1, suatu koaktivator reseptor estrogen, dapat terkait dengan resistensi tamoksifen pada pasien yang mengoverekspresikan HER-2. Resistensi tamoksifen dapat pula diterangkan oleh kenyataan bahwa kanker payudara dengan kadar ekspresi HER-2 yang lebih tinggi atau amplifikasi HER-2 secara bermakna menurunkan kadar ERI progesteron reseptor (PgR) dibandingkan tumor dengan kadar overekspresi HER-2 atau amplifikasi yang lebih rendah. Pada beberapa keadaan, resistensi terjadi setelah selsel ER-positif hilang. Mutasi ER diduga merupakan mekanisme yang mendasarinya, tetapi sedikit bukti yang menunjukkan ha1 tersebut. Fosforilasi ER dapat memerantarai pengikatan hormon, pengikatan DNA, dan akhirnya aktivasi transkripsi. Perubahan pada fosforilasi yang diperantarai perubahan-perubahan pada protein kinase Adan C juga dapat menyebabkan resistensi. Terakhir, modifikasi pada estrogen response element, seperti perubahan urutan dan duplikasi, dapat menyebabkan pengikatan kompleks tamoksifen-ER dengan peningkatan transkripsi gen-gen yang responsif estrogen. Potensi karsinogenik tamoksifen telah diketahui pada tikus dan manusia. Meskipun mekanisme efek karsinogenik ini tidak dipahami, telah diusulkan bahwa perubahan senyawa antara reaktif (reactive intermediates) yang berikatan kovalen dengan makromolekul mendasari proses ini dan telah diperlihatkan secara in vitro. Raloksifen Raloksifen adalah agonis dan antagonis estrogen yang mulanya dibuat sebagai obat antikanker payudara. Raloksifen bersifat estrogenik pada tulang namun antiestrogenik pada jaringan payudara dan uterus. Sebenarnya penelitian-penelitian awal tidak memperlihatkan hasil yang menjanjikan, namun studi-studi skala besar melaporkan bahwa obat ini menekan laju osteoporosis pada perempuan-perempuan dengan risiko osteoporosis. Penelitian-penelitian tersebut memperlihatkan penurunan kanker payudara pada perempuan yang menerimanya sehingga dikembangkan uji kemopreventif kanker payudara generasi kedua yang membandingkan raloksifen dengan tamoksifen pada perempuan pascamenopause risiko tinggi. Meskipun obat ini relatif
dapat ditoleransi baik, namun dapat pula timbul gejolak panas. Keuntungan lain raloksifen dibadingkan dengan tamoksifen adalah bahwa raloksifen tampaknya tidak memicu kanker endometrium.
FULVESTRANT Alternatif lain untuk tamoksifen adalah ,fulvestrunt (sebelumnya dikenal dengan ICI 182,780). Fluvestrunt adalah antagonis ER yang diketahui tidak memiliki aktivitas agonis dan menyebabkan penurunan ER. Seperti tamoksifen,$~lvestrant berikatan secara kompetitif dengan ER tetapi dengan afinitas yang jauh lebih kuat, yaitu sekitar 100 kali lebih besar daripada tamoksifen, sehingga mencegah efek estrogen endogen pada sel-sel target. Hasil dari dua uji klinik fase 111 telah memperlihatkan bahwafulvestrant sama efektifnya dengan anastrozol dalam pengobatan perempuan pasca menopause dengan kanker payudara stadium lanjut yang positif ER dan pernah mendapat terapi antiestrogen (terutama tamoksifen). Fulvestrant dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang paling sering (insidensnya lebih dari 10%) pada studi acak fase 111adalah reaksi di tempat injeksi dan gejolak panas. Peristiwa yang juga sering (dengan insidens 1 % sampai 10%) adalah astenia, sakit kepala dan gangguan gastrointestinal seperti mual, muntah, dan diare, dengan gangguan gastrointestinal minor sebagai efek samping yang paling sering dijumpai. Medroksiprogesteron dan Megestrol Medroksiprogesteron dan megestrol adalah derivat 17hidroksi progesteron yang berbeda pada ikatan rangkap antara posisi C6 dan C7. Megestrol merupakan obat hormonal yang paling lazim dipakai untuk pasien dengan kanker payudara lanjut, biasany a dengan dosis total harian 160 mg. Obat ini juga sering dipakai untuk terapi kanker endometrium metastatik yang responsif hormonal pada dosis 320 mgl hari. Selain itu, dosis 160 mglhari kadangkadang dipakai sebagai terapi hormonal untuk kanker prostat. Megestrol telah dievaluasi luas untuk terapi anoreksia-kakeksia yang disebabkan kanker atau sindrom imunodefisiensi didapat. Berbagai rentang dosis dari 160 sampai 1600 mgl hari telah digunakan. Studi prospektif memperlihatkan hubungan dosis-respons pada dosis sampai 800 mgl hari. Dosis rendah megestrol(40 mglhari) telah terbukti efektif menurunkan gejolak panas pada perempuan dengan kanker payudara dan pada pria yang menjalani terapi ablasi androgen. Megestrol relatif dapat ditoleransi baik, dengan efek samping yang menonjol adalah stimulasi selera makan dengan peningkatan berat badan. meskipun ha1 ini merupakan efek yang bermanfaat pada pasien dengan anoreksia-kakeksia, namun dapat menjadi problem pada
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TERAPI HORMONAL PADA KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pasien dengan kanker payudara atau endometrium. Efek samping megestrol asetat lainnya adalah penekanan produksi steroid adrenal dengan menekan surnbu hipofisisadrenal. Walaupun ha1 ini tampaknya asimptomatik pada sebagian besar pasien, namun ada laporan bahwa supresi adrenal dapat menyebabkan problem klinis pada beberapa pasien. Selama beberapa dekade, pemberian obat ini dapat dihentikan begitu saja tanpa diketahui adanya sekuele pada pasien, dan tampaknya praktik seperti ini dapat diteruskan. Namun, jika terjadi tanda-tanda dan gejala-gejalaAddisonian setelah penghentian obat, hams diberikan kortikosteroid. Lebih lanjut, jika pasien yang mendapat megestrol mengalami infeksi bermakna, mengalami cedera atau menjalani pembedahan, harus diberikan perlindungan kortikosteroid. Mungkin ada sedikit peningkatan insidens fenomena tromboembolik pada pasien yang mendapat megestrol saja. Risiko ini tampaknya lebih tinggi jika megestrol diberikan bersama dengan terapi sitotoksik. Masih kontroversi apakah megestrol menyebabkan edema. Jika ada, edema biasanya minimal dan mudah diatasi dengan diuretik ringan. Megestrol dapat menyebabkan impotensi pada beberapa pria. Insidensnya masih kontroversial, meskipun pada umumnya disetujui bahwa ha1 tersebut bersifat ireversibel. Megestrol dapat menyebabkan ketidakteraturan menstruasi, yang paling menonjol adalah perdarahan lucut menstrual dalam dua minggu setelah penghentian obat. Meskipun mual dan muntah dianggap sebagai efek samping, terdapat data yang memperlihatkan bahwa obat ini mempunyai efek antiemetik. Megestrol tampaknya dapat menurunkan baik mual maupun muntah pada sekitar dua pertiga pasien kanker stadium lanjut. Medroksiprogesteron mempunyai banyak sifat, penggunaan klinik, dan toksisitas yang mirip megestrol asetat. Medroksiprogesteron tersedia dalam kemasan tablet 2,5 mg dan 10 mg serta injeksi 100 dan 400 mg/L. Dosis untuk terapi kanker payudara metastatik atau prostat adalah 400 mg/ minggu atau lebih dan 1000 mg/ minggu untuk kanker endometrial metastatik. Sediaan injeksi atau dosis oral harian telah digunakan untuk pengendalian gejolak panas. Inhibitor Aromatase Ketika menopause, sintesis hormon-hormon ovarium berhenti. Namun, estrogen terus diproduksi dari hasil konversi androgen (yang dihasilkan kelenjar adrenal) oleh aromatase, suatu enzim dari keluarga besar CYP. Aromatase adalah kompleks enzim yang bertanggung jawab dalam langkah terakhir sintesis estrogen melalui konversi androsetenedion dan testosteron menjadi estron (El) dan
E2. Aromatase inhibitor 'telah dikelompokkan dalam sejumlah cara, seperti pembagian generasi pertama, kedua
dan ketiga; steroid dan non-steroid, serta reversibel (ikatan ionik) dan ireversibel (ikatan kovalen). Inhibitor aromatase non-steroid misalnya aminoglutetimida (generasi pertama), rogletimida danfadrozole (generasi kedua), dan anastozol, letrozol, vorozol (generasi ketiga). Inhibitor aromatase steroid meliputi formestan (generasi kedua) dan exemestane (generasi ketiga). Inhibitor aromatase steroid dan non-steroid berbeda dalam ha1 cara interaktivasi dan inaktivasi enzim aromatase. Inhibitor steroid berkompetisi dengan substrat endogen androstenedion dan testosteron untuk situs aktif enzim dan diproses menjadi senyawa antara yang berikatan secara ireversibel dengan situs aktif, sehingga menyebabkan inhibisi enzim ire~ersibel.~' Inhibitor nonsteroid juga berkompetisi dengan substrat endogen, dengan membentuk ikatan yang reversibel dengan atom besi pada hem sehingga aktivitas enzim tersebut dapat dipulihkan bila inhibitor dibuang. Tidak jelas apakah jenis inhibisi (reversibel atau ireversibel) mempunyai implikasi klii Aminoglutetimida Aminoglutetimida merupakan inhibitor aromatase yang pertama kali digunakan di klinik. Ketika itu obat ini digunakan sebagai adrenalektomi medik. Pada kanker payudara metastatik dilaporkan terdapat angka respons sebesar 32%. Namun, karena tidak adanya s~lektivitas terhadap aromatase dan supresi aldosteron serta kortisol, pemberian aminoglutetimida perlu dibarengi pemberian kortikosteroid, seperti hidrokortison. Oleh karena perkembangan inhibitor aromatase yang lebih selektif dan sekarang jarang dipakai kurang toksik, amin~~lutetirnida untuk pengobatan kanker payudara metastastik. Aminoglutetimida kadang-kadang juga dipakai untuk mencoba membalik kelebihan produksi hormon oleh kanker-kanker adrenokortikal. Letrozol dan Anastrozol Baik letrozol dan anastrozol diindikasikan sebagai terapi lini pertama pada perempuan dengan kanker payudara metastatik yang reseptor-positif. Rekomendasi ini didasarkan pada dua studi fase I11 terpisah, salah satunya membadingkan anastrozol dengan tamoksifen dan satu lagi membandingkan letrozol dengan tamoksifen. Pada kedua uji klinik, median lama perburukan bagi pasien yang menerima baik anastrozol atau letrozol secara bermakna lebih panjang dibandingkantamoksifen. Lebih lanjut, pada pasien yang menerima letrozol, terdapat kecenderungan perbaikan pada kelangsungan hidup keseluruhan dibandingkan dengan tamoksifen. Pada terapi lini kedua kanker payudara metastatik untuk perempuan yang tidak berhasil diterapi dengan tamoksifen, uji klinik kedua obat memperlihatkanperbaikan efektivitas klinis letrozol dan anastrozol dibandingkan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOClMEDlK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
megestrol asetat. Pada terapi ajuvan, hasil dari uji klinik Arimidex, tamoksifen, Alone or in Combination (ATAC) menghasilkan persetujuan penggunaan anastrozol untuk terapi ajuvan kanker payudara pasca menopause. Dalam studi ini, yang membandingkan anastrozol, tarnoksifen, dan kombinasi tamoksifen-anastrozol, pasien yang mendapat anastrozol mengalami perbaikan bermakna dalam ha1 kelangsungan hidup bebas penyakit, lama waktu sampai terjadi kegagalan terapi, dan tolerabilitas. Namun, tidak ada perbedaan dalam kelangsungan hidup keseluruhan. Sebaliknya, kelompok kombinasi tidak memperlihatkan manfaat lebih dibandingkan tamoksifen saja.
EXEMESTANE Pada kanker payudara metastatik yang refrakter tamoksfen, exemestane tampak lebih baik dibandingkan megestrol asetat pada uji klinik fase 111, yaitu perbaikan median waktu ke perburukan tumor dan median kelangsungan hidup. Meskipun data fase I11 yang membandingkan exemestane terhadap tamoksifen pada terapi lini pertama kanker payudara metastatik belum dipublikasikan, hasil dari studi fase I1 acak yang membandingkan exemestane dengan tamoksifen memberi kesan bahwa exemestane lebih unggul.
Analog Gonadotropin-Releasing Hormone (GnRH) Hasil terapi analog GnRH pada orkhidektomi medik digunakan sebagai suatu .cara memberikan ablasi androgen pada kanker prostat metastatik. Oleh karena aktivitas agonis inisial analog GnRH dapat menyebabkan tumorjlare mulai dari kenaikan kadar androgen transien, penggunaan antiandrogenflutamide konkomitan telah dilakukan untuk mencegah efek ini. Analog GnRHjuga dapat menyebabkan regresi tumor pada kanker payudara yang responsif hormon dan telah menerima persetujuan dari US Foodand Drug Administration sebagai terapi kanker payudara metastatik pada perempuan premenopause. Data memberi kesan bahwa obat-obatan ini mungkin bermanfaat sebagai terapi ajuvan pada perempuan pramenopause dengan kanker payudara yang telah direseksi. Penggunaan obat ini dalam kombinasi dengan kemoterapi ajuvan pada perempuan pramenopause dengan kanker payudara primer merupakan subyek uji klinik besar berskala internasional yang masih berlangsung. Toksisitas primer analog GnRH bersifat sekunder terhadap ablasi konsentrasi steroid seks dan meliputi gejolak panas, berkeringat, dan mual. Gejalagejala ini dapat dipulihkan dengan analog progestational dosis rendah. Analog GnRH yang tersedia untuk pemakaian klinis adalah gosereline dan leuprolide. Keduanya terdapat dalam sediaan intramuskular depo dan diberikan dengan
interval satu bulan. Dosis yang dianjurkan setiap bulan untuk leuprolide adalah 7,5 mg dan gosereline 3,6 mg. Terdapat pula sediaan depo dengan masa kerja yang lebih panjang yang hanya diberikan setiap 3 bulan.
ANTIANDROGEN Flutamid Antiandrogen flutamid digunakanpada pria dengan kanker prostat metastatik baik sebagai terapi inisial, berkombinasi dengan analog GnRH, atau ketika kanker tidak responsif walaupun sudah mendapat ablasi androgen. Dosis yang dianjurkan adalah 250 mg per oral tiga kali sehari. Pada pasien dengan kanker prostat yang masih berkembang meskipun digunakan flutamid, penghentian flutamid dapat menyebabkan respons putus obat. Efek samping tersering akibat flutamid adalah diare, dengan atau tanpa gangguan perut. Ginekomastia, yang mungkin agak nyeri, sering terjadi pada laki-laki yang tidak mendapat terapi ablasi androgen konkomitan. Flutamid jarang menyebabkan hepatotoksisitas, suatu kondisi yang reversibel bila terdeteksi secara dini namun dapat juga fatal. Tidak ada cara pemeriksaan untuk menskrining hepatotoksisitas akibat flutamid kecuali memperhatikan fenomena ini dan melakukan uji fungsi hati jika gejalagejala timbul.
BlKALUTAMlD (CASODEX) Casodex merupakan antiandrogen non-steroid lain yang telah disetujui oleh US FDA untuk penggunaan di Amerika Serikat. Dosis yang dianjurkan adalah tablet 50 mg per hari. Sebuah uji klinik melaporkan bahwa Casodex tampak sebanding dengan flutamid pada pasien dengan kanker prostat lanjut. Casodex relatif dapat ditoleransi dan berkaitan dengan insidens diare yang lebih rendah dibandingkan flutamid.
Nilutamid Nilutamid6' mewakili variasi antiandrogen ketiga yang tersedia untuk pasien dengan kanker prostat. Meskipun mungkin tidak semahal antiandrogen lain, obat ini mempunyai dua toksisitas unik, yaitu rabun malam hari dan toksisitas paru sehingga penggunaannya terbatas. FLUOKSIMESTERON Fluoksimesteronadalah suatu androgen yang telah dipakai baik pada perempuan dengan kanker payudara metastatik yang responsif hormon dan telah mendapat terapi hormonal seperti tamoksifen, inhibitor aromatase atau
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TERAPI HORMONAL PADA KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI megestrol asetat. Dosis biasanya 10 mg dua kali sehari. Meskipun angka respons keseluruhan rendah, terdapat beberapa orang pasien yang mengalami respons antitumor tinggi dan bertahan berbulan-bulan bahkan bertahuntahun. Toksisitas yang terkait dengan fluoksimesteron adalah yang dapat diduga dengan suatu androgen: hirsutisme, kebotakan, penurunan suara (hoarseness), akne, peningkatan libido dan eritrositosis. Fluoksimesteron dapat juga meningkatkan hasil uji fungsi hati pada beberapa pasien, dan yang jarang, dikaitkan dengan neoplasma hepatik.
Dietilstilbestrol dan Estradiol Dietilstilbestrol (DES) dahulu adalah terapi hormonal primer untuk kanker payudara metastatik. Uji klinik komparatif acak memperlihatkan bahwa DES mempunyai angka respons yang sama dengan tamoksifen. Namun, berdasarkan uji tersebut, penggunaan DES dilampaui oleh tamoksifen terutama karena DES memiliki lebih banyak toksisitas. DES kadang-kadang digunakan pada pasien kanker payudara metastatik yang memiliki kanker sensitif hormon yang gaga1 berespons terhadap terapi hormon multipel lainnya. Dosis untuk keadaan ini adalah 15 mgl hari (baik sebagai dosis tunggal atau terbagi). DES juga digunakan sebagai terapi ablasi androgen pada pria dengan kanker prostat metastatik. Dosis sekitar 3 mgl hari menghasilkan kadar testosteron seperti pada keadaan anorkhid. Pada perempuan, DES dapat menyebabkan sejumlah toksisitas. Salah satu yang tersering adalah mual dan muntah. DES juga menyebabkan nyeri pada payudara dan warna puting dan areola yang lebih gelap. DES meningkatkan risiko fenomena tromboembolik, dan ha1 ini dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa. Pada laki-laki, DES menghasilkan peningkatan peristiwa trornboembolik dan mortalitas, sehingga penggunaannya terbatas. DES juga menyebabkan ginekomastia yang nyeri. Meskipun radiasi payudara sebelum pemberian DES tampaknya dapat mencegah toksistas tersebut, ha1 ini tidak membantujika diberikan setelah toksisitas timbul.
Octreotide adalah analog somatostatin yang telah merevolusi terapi sindrom karsinoid dan sindrom kelebihan hormon yang berkaitan dengan kanker sel pulau-pulau pankreas dan akromegali. Angka respons tinggi dan ratarata bertahan untuk beberapa bulan, kadang-kadang bertahun-tahun. Kadang-kadang respons antitumor yang secara temporer berkaitan dengan octreotide tampak pada tumor-tumor tersebut dan telah diteliti sebagai terapi potensial pada kanker payudara. Hasil studi acak pada
perempuan dengan kanker payudara metastatik tidak memperlihatkan adanya manfaat atas penambahan octereotide pada tamoksifen. Octreotide juga dapat meredakan diare berat yang disebabkan oleh kemoterapi berbasis 5-FU dan raadiasi pelvis. Octreotide dapat diberikan secara intravena atau subkutan. Dosis awal adalah 50g diberikan dua sampai tiga kali pada hari pertarna. Dosis dititrasi rnenaik, dengan dosis harian yang lazim berkisar antara 400 sampai 450 gl hari bagi sebagian besar pasien. Pada saat tertentu, dosis sampai 1500 gl hari dapat diberikan. Tersedia pula sediaan depot, yang memungkinkan dosis diberikan dengan interval satu bulan. Octreotide umumnya dapat ditoleransi baik. Tampaknya, octreotide menyebabkan toksisitas lebih banyak pada pasien akromegalik, dengan problem seperti bradikardia, diare, hipoglikemia, hiperglikemia, hipotiroidisme, dan kolelitiasis.
REFERENSI Anzano MA, Peer CW, Smith JM, et al. Chemoprevention of mammary carcinogenesis in the rat: combined use of raloxifene and 9-cis-retinoic acid. J Natl Cancer Inst 1996;88:123. Ahmann FR, Citrin DL, deHaan HA, et al. Zoladex: a sustainedrelease, monthly lutienizing hormone-releasing hormone analogue for the treatment of advanced prostate cancer. J Clin Oncol 1987;5:912. Black LJ, Jones CD, Falcone JF. Antagonism of estrogen action with a new benzothiophene derived antiestrogen. Life Sci 1983;32:1031. Benz CC, Scott GK, Sarup JC, et al. Estrogen-dependent, tamoxifenresistant growth of MCG-7 cells transfected with HER2Ineu. Breast Cancer Res Treat 1993;24:85. Bonone G, Briand PA, Miksicek RJ, et al. Activation of the unliganded estrogen receptor by EGF involves the MAP kinase pathway and direct phosphorylation. EMBO J 1996;15:2174. Bonomi P, Pessis D, Bunting N, et al. Megestrol acetate used as primary hormonal therapy in stage D prostatic cancer. Semin Oncol 1985;12:36. Buzdar A, Howell A. Advances in aromatase inhibition: clinical efficacy and tolerability in the treatment of breast cancer. Clin Cancer Res 2001 ;7:2620. Baum M, Budzar AU, Cuzick J, et al. Anastrozole alone or in combination with tamoxifen versus tamoxifen alone for adjuvant treatment of postmenopausal women with early breast cancer. first results of the ATAC randomised trial. Lancet 2002;359:2131. Byar DP. Proceedings: The Veterans Administration Cooperative Urological Research Group's studies of cancer of the prostate. Cancer 1973;32:1126. Bajetta E, Procopio Ci, Ferrari L, et al. A randomized, multicenter prospective trial assessing long-acting release octreotide pamoate plus tamoxifen as a first line therapy for advanced breast carcinoma. Cancer 2002;94:299. Brogden RN, Clissold SP. Flutamide. A preliminary review of its pharmacodynamic and pharmacokinetic properties, and therapeutic efficacy in advanced prostatic cancer. Drugs 1989;38:135.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOGIMEDIK
HANYA DI SCAN UNTUKKonecny dr. PRIYO G, Pauletti G,PANJI Pegram M, et al. Quantitative association
Cuzick J, Forbes J, Edwards R, et al. First results from the International Breast Cancer Intervention Study (IBIS-I): a randomized prevention trial. Lancet 2002;360:8 17 Cuzick J, Powless T, Veronesi U, et al. Overview of the main outcomes in breast-cancer prevention trials. Lancet 2003;361:296 Coopman P. Garcia M, Brunner N, et al. Anti-proliferative and antiestrogenic effects of 1CI 164,384 and ICI 182,780 in 4-OHtamoxifen-resistant human breast cancer cells. Int J Cancer 1994;56:295. Casinu S, Fedeli A, Fedeli SL, et al. Octreotide versus loperamide in the treatment of fluorouracil-induced diearrhea: a randomized trial. J Clin Oncol 1993;l 1:148. Dewar JA, Horobin JM, Preece PE, et al. Long-term effects of tamoxifen on blood lipid values in breast cancer. BMJ 1992;305:225. Delmas PD, Bjamason NH, Mitlak BH, et al. Effects of raloxifene on bone mineral density, serum cholesterol concentrations, and uterine endometrium in postmenopausal women. N Engl J Med 1997;337:1641. Dole EJ, Holdsworth MT. Nilutamide: an antiandrogen for the treatment of prostate cancer. Ann Pharmacother 1997;31:6575. Early Breast Cancer Trialists ' Collaborative Group. Tamixifen for earl) breast cancer: an overview of the randomised trials. Lancet 1998;35 1: 145 1. Encarnacion CA, Ciocca DR, McGuire WL, et al. Measurement of steroid hormone receptors in breast cancer patients on tamoxifen. Breast Cancer Res Treat 1993;26:237. Fisher B, Constantino JP, Wickerham DL, et al. Tamoxifen for prevention of breast cancer: report of the National Surgical Adjuvant Breast and Bowel Project P-l Study. J Natl Cancer Inst 1998;90: 1371. Fendl KC, Zimniski SJ. Role of tamoxifen in the induction of hormone-independent rat mammary tumors. Cancer Res 1992;52:235. Gorin MB, Day R, Constantino JP, et al. Long-term tamoxifen citrate use and potential ocular toxicity. Am J Ophthalmol 1998;125:493. Goss PE, Strasser K. Aromatase inhibitor in the treatment and prevention of breast cancer. J Clin Oncol 2001 ;19:88 1. Howell A, Robertson JF, Quaresma Albano J, et al. Fulvestrant, formerly ICI 182.780, is as effective as anastrozole in postmenopausal women with advanced breast cancer progressing after prior endocrine treatment. J Clin Oncol 2002;20:3396. Harvey HA, Lipton A, Max DT, et al. Medical castration produced by the GnRH analogue leuprolide to treat metastatic breast cancer. J Clin Oncol 1985;3:1068. Howell A, Osborne CK, Morris C, et al. ICI 182,780 (Faslodex): development of a novel, "pure" antiestrogen. Cancer 2000;89:817. lngle JN, Ahmann DL, Green SJ, et al. Randomized clinical trial of diethylstilbestrol versus tamoxifen in postmenopausal women with advanced breast cancer. N Engl J Med 1981:304:16. Kiang DT, Kennedy BJ. Tamoxifen (antiestrogen) therapy in advanced breast cancer. Ann Intern Med 1977;87:687 Karnik PS, Kulkami S, Liu XP, et al. Estrogen receptor mutations in tamoxifen-resistant breast cancer. Cancer Res 1994;54:349. Kato S. Endoh H, Masuhiro Y, et al. Activation of the estrogen receptor through phosphorylation by mitogen-activated protein kinase. Science 1995;270: 149 1. Kennedy BJ. Hormonal therapies in breast cancer. Semin Oncol 1974;l:l 19.
between HER-2lneu and steroid hormone receptors in hormone receptor-positive primary breast cancer. J Natl Cancer Inst 2003;95: 142. Kaufmann M, Bajetta E, Dirix LY, et al. Exemestane is superior to megestrol acetate after tamoxifene failure in postme?opausal women with advanced breast cancer: results of a phase I11 randomized double-blind trial. The Exemestane Study Group. J Clin Oncol 2000; 18: 1399. Kaufmann M, Jonat W, Blamey R, et al. Survival analyses from the ZEBRA study. Goserelin (Zoladex) versus CMF in premenopausal women with node-positive breast cancer. Eur J Cancer 2003;39: 17 1 1. Love RR, Cameron L, Connell BL, et al. Symptoms associated with tamoxifen treatment in postmenopausal women. Arch Intern Med 1991;151:1842. Loprinzi CL, Michalak JC, Quella SK, et al. Megestrol acetate for the prevention of hot flashes. N Engl J Med 1994;331:47 Loprinzi CL, Kugler JW, Sloan JA, et al. Venlafaxine in the management of hot flashes in survivors of breast cancer: a randomised controlled trial. Lancet 2000;356:2059. Loprinzi CL, Sloan JA, Perez EA, et al. Phase 111 evaluation of fluoxetine for treatment of hot flashes. J Clin Oncol 2002;20: 1578 Love RR, Mazess RB, Barden HS, et al. Effects of tamoxifen on bone mineral density in postmenopausal women with breast cancer. N Engl J Med 1992;326:852. Lipton A, Ali SM, Leitzel K, et al. Serum HER-21neu and response to the aromatase inhibitor letrozole versus tamoxifen. J Clin Oncol 2003;2 1:1967. Loprinzi CL, Ellison NM, Schaid DJ, et al. Controlled trial of megestrol acetate for the treatment of cancer anorexia and cachexia. J Natl Cancer lnst 1990;82:1 127. Loprinzi CL, Michalak JC, Schaid DJ, et al. Phase I11 evaluation of four doses of megestrol acetate as therapy for patients with cancer anorexia andlor cachexia. J Clin Oncol 1993;11:762. Loprinzi CL, Jensen MD, Jiang NS, et al. Effect of megestrol acetate on the human pituitary-adrenal axis. Mayo Clin Proc 1992;67: 1160. Leinung MC, Liporace R, Miller CH. Induction of adrenal suppression by megestrol acetate in patients with AIDS. Ann Intern Med 1995;122:843. Mouridsen H, Gershanovich M, Sun Y, et al. Phase 111 study of letrozole versus tamoxifen as first-line therapy of advanced breast cancer in postmenopausal women: analysis of survival and update of efficacy from the International Letrozole Breast Cancer Group. J Clin Oncol 2003;2 1 :2 101. McDonald CC, Stewart HJ. Fatal myocardial infarction in the Scottish adjuvant tamoxifen trial. The Scottish Breast Cancer Committee. BMJ 1991;303:435. Nabholtz JM, Buzdar A, Pollak M, et al. Anastrozole is superior to tamoxifen as first-line therapy for advanced breast cancer in postmenopausal women: results of a North American multicenter randomized trial. Arimidex Study Group. J Clin Oncol 2000;18:3758. Osborne CK, Bardou V, Hopp TA, et al. Role of the estrogen receptor coactivator AlBl (SRC-3) and HER-21neu in tamoxifen resistance in breast cancer. J Natl Cancer lnst 2003;95:353. Osborne CK, Pippen J, Jones SE, et al. Double-blind, randomized trial comparing the efficacy and tolerability of fulvestrant versus anastrozole in postmenopausal women with advanced breast cancer progressing on prior endocrine therapy: results of
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TERAPl HORMONAL PADA KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
a North American trial. J Clin Oncol 2002;20:3386. Piccart M, Parker LM, Pritchard KI. Oestrogen receptor downregulation: an opportunity for extending the window of endocrine therapy in advanced breast cancer. Ann Oncol 2003;14:1017. Parkin DM, Muir CS. Cancer incidence in five continents. Comparibility and quality of data. IARC Sci Publ 1992;45. Rutqvist LE, Johansson H, Signomklao T, et al. Adjuvant tamoxifen therapy for early stage breast cancer and second primary malignancies. Stockholm Breast Cancer Study Group. J Natl Cancer Inst 1995;87:645. Paridaens R, Dirix L, Lohrisch C, et al. Mature results of a randomized phase I1 multicenter study of exemestane versus tamoxifen as first-line hormone therapy for postmenopausal women with metastatic breast cancer. Ann Oncol 2003;14: 1391. Polsker GL, Brogden RN. Leuprorelin. A review of its pharmacology and therapeutic use in prostatic cancer, endometriosis and other sex hormone-related disorders. Drugs 1994;48:930. Rowland KM Jr, Loprinzi CL, Shaw EG, et al. Randomized doubleblind placebo-controlled trial of cisplatin and etoposide plus megestrol acetatelplacebo in extensive-stage small-cell lung cancer: a North Central Cancer Treatment Group Study. J Clin Oncol 1996;14:135. Steams V, Beebe KL, Iyengar M, et al. Paroxetine controlled release in the treatment of menopausal hot flashes: a randomized controlled trial. JAMA 2003;289:2827. Styles JA, Davies A, Lim CK, et al. Genotoxicity of tamoxifen, tamoxifen epoxide and toremifene in human lymphoblastoid cells containing human cytochrome P450s. Carcinogenesis 1994;15:5.
Santen RJ. Suppression of estrogens with amonoglutethimide and hydrocortisone (medical adrenalectomy) as treatment of advanced breast carcinoma: a review. Breast Cancer Res Treat 1981;1:183. Schteingart DE, Cash R, Conn JW. Amino-glutethimide and metastatic adrenal cancer. Maintained reversal (six months) of Cushing's syndrome. JAMA 1966;198: 1007. Schellhammer PF, Sharifi R, Block NL, et al. A controlled trial of bicalutamide versus flutamide, each in combination with luteinizing hormone-releasing hormone analogue therapy, in patients with advanced prostate carcinoma. Analysis of time to progression. CASODEX Combination Study Gorup. Cancer 1996;78:2164. Tchekmedyian NS, Hickman M, Siau J, et al. Megestrol acetate in cancer anorexia and weight loss. Cancer 1992;69: 1268. Vogelzang NJ, Chodak GW, Soloway MS, et al. Goserelin versus orchiectomy in the treatment of advanced prostate cancer: final results of a randomized trial. Zoladex Prostate Study Group. Urology 1995;46:220. Wakeling AE, Dukes M, Bowler J. A potent specific pure antiestrogen with clinical potential. Cancer Res 1991;5 1:3867. Williams GM, Iatropoulos MJ, Djordjevic MV, et al. The triphenylethylene drug tamoxifen is a strong liver carcinogen in the rat. Carcinogenesis 1993;315. Wysowski DK, Freiman JP, Tourtelot JB, et al. Fatal and nonfatal hepatotoxicity associated with flutamide. Ann Intern Med 1993;118:860. Wadler S, Benson AB 111, Engelking C, et ai. Recommended guidelines for the treatment of chemotherapy-induced diarrhea. J Clin Oncol 1998;16:3169.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
TERAPI BIOLOGI PADA KANKER Johan Kurnianda
Terapi biologi pada kanker adalah terapi yang menggunakan sistem respon imun tubuh untuk melawan sel-sel tumor. Pada awal tahun 1800 para klinisi mengamati bahwa pada pasien kanker kadang-kadang terjadi regresi tumor setelah pasien mengalami infeksi bakteri. Hal ini menjadi awal dari ide mengenai reaksi inang penjamu yang dapat digunakan sebagai terapi kanker. Penelitian klinis mengenai terapi biologi telah dilakukan sejak hampir 1 abad yang lalu. William B. Coley, seorang ahli bedah di Memoriam Hospital New York menghabiskan karirnya selama tahun 1892-1936untuk mendapatkan terapi yang dapat melawan penyakit dengan menggunakan mekanisme pertahanan tubuh. Hasil temuannya menunjukkan kadang-kadang terjadi regresi tumor pada pasien yang diterapi. Namun demikian hasil temuan ini belum dapat diterima secara luas karena hasilnya tidak dapat diprediksi. Dalam perkembangannya, banyak penelitian modern tentang terapi biologi yang sudah dilakukan. Suatu studi meta-analisis menunjukkan dari tahun 1990 sampai dengan 2002 sedikitnya telah dilaporkan dalam publikasi tertulis internasional sebanyak 334 penelitian tentang terapi biologi pada kanker, lebih dari 80% diantaranya adalah penelitian fase I dan fase 11. Penyakit kanker yang paling sering dijadikan topik penelitian adalah melanoma, karsinoma sel ginjal, keganasan gastrointestinal dan limfoma, sedangkan imunoterapi adalah jenis terapi biologi yang paling sering diteliti. Sejauh ini terapi biologi telah menunjukkan hasil yang baik pada beberapa jenis kanker. Diantaranya adalah interferon-a (IFN-a ), yang digunakan untuk melanoma dengan status nodal yang positif, hairy cell leukemia, karsinoma sel ginjal, dan leukemia mieloid kronik. Interleukin-2 (IL-2) digunakan untuk karsinoma sel ginjal dan melanoma. Bacille Calmette-Gurin (BCG) digunakan sebagai terapi intravesikal ajuvan pada karsinoma buli-buli non-invasif.
Terapi biologi dapat dibagi menjadi 2 tipe. Tipe pertama adalah penggunaan substansi seperti sitokin, bakteri tertentu, obat-obatan, atau introduksi gen untuk menstimulasi respons irnun selular terhadap kanker. Tipe kedua adalah penggunaan antibodi monoklonal spesifik yang beraksi langsung terhadap antigen tumor.
Contoh
Tipe Sitokin lmunoterapi adoptif
Interleukin-2, interferon-a, tumor necrosis factor-a Lymphokine-activated killer cells, tumorinfiltrating Lymphocytes
Vaksin
Vaksin gangliosida GM2 untuk melanoma, vaksin sel melanoma untuk melanoma, vaksin berbasis sel dendritik
Antibodi monoklonal
Anti-CD20 untuk limfoma, anti HER-2 untuk kanker payudara
Sitokin adalah protein kecil atau peptida yang terjadi secara alamiah pada spesies mamalia. Secara fisiologis sitokin memiliki banyak fungsi termasuk memodulasi fungsi imun. Limfokin memodulasi respon imun limfosit sedang monokin memodulasi respon monosit atau makrofag. Jumlah sitokin yang teridentifikasi semakin meningkat, namun baru sedikit yang dapat diproduksi dalam jumlah cukup dengan menggunakan metode DNA rekombinan. Selain itu belum banyak sitokin yang teruji secara klinis untuk terapi tumor. Sitokin yang telah banyak diteliti diantaranya adalah interferon, interleukin, dan tumor necrosis-a. Interferon dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu tipe A dan tipe B. Tipe Ameliputi IFN-a dan IFN-y. Tipe B meliputi IFN-P. Namun demikian baru IFN tipe A saja yang telah digunakan dalam onkologi klinis. Meski sudah banyak
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TERAPI BlOLOGl PADA KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ditemukan subtipe-subtipe dari berbagai tipe IFN, baik yang alami maupun melalui rekayasa genetik, masih sedikit IFN yang teruji secara ekstensif. Semua IFN memiliki kemampuan menghambat replikasi virus di dalam sel. IFN bekerja dengan cara mengikat reseptor permukaan sel yang spesifik, mengaktifkan kaskade kinase, dan akhirnya mengaktifkan faktor transkripsi yang mengikat elemen DNA yang responsif terhadap IFN. Proses ini menghasilkan ekspresi gen yang dapat diinduksi oleh IFN. IFN tipe A merupakan imunostimulan yang poten dan juga memiliki aksi antiproliferatif dan antiangiogenik. Mekanismenya dalam melawan kanker secara in vivo masih belum diketahui dan efektifitasnya tergantung dari cara, dosis, jadwal maupun lama pemberiannya. IFN-a telah dinyatakan Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi hairy cell leukemia, leukemia mieloid kronik, sarkoma Kaposi non viseral yang berhubungan dengan AIDS, dan melanoma stadium 111. IFN-a juga telah digunakan sebagai terapi limfoma derajat keganasan rendah, mieloma multipel, dan dikombinasi dengan 5-fluourasil untuk karsinoma kolon yang rekuren. IFN-a telah diuji dengan obat imunologi maupun kemoterapi lain untuk biokemoterapi melanoma. FDA juga telah menyetujui penggunaan IFN-a sebagai terapi sklerosis multipel yang remisi dan relaps untuk memperlambat hambatan fisik dan menurunkan frekuensi eksaserbasi. IFN-a disetujui oleh FDA untuk terapi penyakit granulomatosa kronik, namun di dalam klinis juga sering digunakan untuk karsinoma sel ginjal. Interleukin adalah limfokin yang secara spesifik mengatur respon imun limfosit, baik komponen sel-T maupun sel-B. Interleukin dapat memulai, mempertahankan dan menurunkan respons imun serta dapat menyebabkan pergantian dari respon imun selular (T-helper 1) menjadi humoral (T-helper 2) atau sebaliknya, tergantung kadar relatihya. Sebagai produk sel T aktif, IL-2 memacu proliferasi dan meningkatkan hngsi sel T lainnya, sel natural killer (NK), dan sel B. Sel-sel NK yang diaktivasi IL-2 menyebabkan aktivitas lymphokine-activated killer (LAK). Sel B yang dipacu oleh LI-2 melepaskan IgM yang berkaitan dengan sekresi (secretory-associated IgM) lebih banyak dibanding IgM yang berkaitan dengan membran (membrane-associated IgM). Setelah dipacu IL-2 makrofag mencapai maturasi sitolitik dan menguraikan transforming growth factor beta (TGF-P). Satu-satunya IL yang digunakan secara klinis adalah IL-2. IL-1 dan IL-4 juga telah dicoba namun pemakaian klinisnya masih terbatas. IL-3 diduga juga merupakan molekul yang berguna untuk menstimulasi sumsum tulang namun aktivitas anti tumornya secara in vivo atau in vitro tidak terbukti. IL-5 melalui IL-15 telah ditentukan karakteristiknya, diklon, dan diproduksi. IL- 12 dan IL- 15 memiliki potensi meningkatkan imunitas anti tumor. IL- 11
telah diterima FDA untuk meningkatkan perbaikan trombosit setelah kemoterapi. IL-2 telah diterima FDA sebagai terapi karsinoma sel ginjal yang mengalami metastase dan melanoma stadium lanjut. Terdapat responrespon terhadap IL-2 yang dramatik pada pasien melanoma stadium lanjut dan suatu kombinasi antara IL-2, IFN dan beberapa obat kemoterapi (biokemoterapi) kini sedang diuji-cobakan pada pasien melanoma stadium lanjut. IL-2 telah menunjukkan aktivitas pada beberapa keganasan hematologi, termasuk leukemia mielogenik akut dan limfoma refrakter, sementara penggunaannya pada kasuskasus pasca transplantasi dan terapi adjuvan untuk vaksin kanker masih dalam tahap awal penelitian. Tumor necrosis factor alpha (TNF-a), dikenal juga dengan istilah kakexin, merupakan peptida yang terlibat untuk memproduksi dan mempertahankan respon inflamasi. TNF-a terutama diproduksi oleh sel T aktif dan memiliki berbagai macam efek terhadap monositlmakrofag, sel endotel, dan sel-sel lain di seluruh tubuh. TNF-a bekerja melalui reseptor di permukaan membran sel dan menyebabkan kematian sel melalui apoptosis atau aktivasi sel target. Secara in vitro TNF-a dapat membunuh banyak tumor target yang mengekspresikan reseptor. Secara in vivo TNF-a memiliki aktivitas proinflamasi yang poten yang menyebabkan toksisitas pada dosis terapi dan ha1 ini yang membatasi penggunaannya dalam klinis. Beberapa jenis efek samping TNF-a adalah demam, malaise, syok, dan gaga1 multi organ. TNF-a (dalam kombinasi dengan melphalan) saat ini masih diteliti manfaatnya sebagai terapi isolated limb perfusion untuk melanoma dan sarkoma.
Imunoterapi adoptif adalah suatu pendekatan terapi dimana sel T atau sel efektor lain, yang distimulasi dengan memaparkannya pada sel tumor atau antigen ex vivo, diinjeksikankembali pada pasien kanker agar memunculkan respons imun yang dimediasi sel untuk mengeradikasi selsel tumor. Dalam imunoterapi adoptif pasien menjadi donor sel T dan sekaligus menjadi resipien. Tampaknya toleransi terhadap antigen tumor dikendalikan melalui stimulasi ex vivo. Selain itu, bila digunakan donor sel T dari orang lain, sel T tersebut akan ditolak oleh tubuh. Meski manipulasi ex vivo dapat meningkatkan keuntungan dalam terapi kanker, sejauh ini hasil-hasil penelitian klinis belum dapat menentukan biaya dan sumber-sumber yang diperlukan untuk pendekatan terapi ini. Akhir-akhir ini telah digunakan klon sel T yang dimodifikasi untuk terapi virus dan keganasan. Contoh terapi tersebut adalah transfer adoptif sel T positif CD8 spesifik CMV yang telah terbukti efektif dalam menyusun kembali imunitas selular dalam melawan CMV pada pasien
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOCIMEDIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
pasca transplantasi sumsum tulang alogenik. Selain itu transfer adoptif limfosit sitotoksik yang spesifik virus Epstein-Barr (VEB) juga telah terbukti efektif sebagai profilaksi dan tempi pada limfoma imunoblastik yang positif VEB pada pasien dengan kemampuan imunitas menurun (immunocompromised).
VAKSIN KANKER Vaksin kanker adalah suatu imunisasi aktif yang bertujuan menginduksi sel T atau komponen lain sistem imun untuk mengenali dan secara aktif menyerang jaringan kanker. Jenis-jenis vaksin yang telah diuji secara klinis meliputi vaksin seluruh sel dengan komposisi berupa sel-sel autolog atau alogenik, cell lysate, atau preparasi membran, protein purifikasi, karbohidrat, peptida, atau antibodi antiidiopatik yang menyerupai epitop tumor. Antigen pada jaringan malignan yang dapat digunakan sebagai vaksinasi adalah protein dan peptida (misal fragrnen protein tumor), gangliosida (misal GM2), dan asam nukleat (DNA dan RNA yang mengkode antigen tumor). Pasien melanoma yang memunculkan antibodi anti-GM2 setelah vaksinasi ternyata memiliki prognosis yang lebih baik. Vaksin kanker baru digunakan di dalam penelitian klinis. Di luar penelitian klinis, vaksin kanker masih belum banyak dimanfaatkan. Meski banyak vaksin yang sudah diteliti dalam semua fase uji klinis, standard pemakaiannya secara klinis masih belum dapat ditetapkan. Pada penelitian binatang vaksin kanker menunjukkan potensi yang paling baik dalam mencegah kekambuhan kanker setelah tumor primernya dieliminasi, baik secara pembedahan, radiasi, maupun kemoterapi. Salah satu jenis vaksin kanker yang saat ini dikembangkan adalah vaksinasi kanker berbasis sel dendritik (SD). SD merupakan suatu kelompok sel yang mempresentasikan antigen (antigen-presenting cells) bersifat heterogen dan kompleks. SD adalah leukosit yang terdistribusi secara luas di peredaran darah tepi dan pembuluh limfe aferen. Pada pemeriksaan dengan teknik immunophenotyping, SD biasanya memberikan respons positif untuk CD40, CD80, CD83 dan CD86, sedangkan progenitor SD yang ada di sumsum tulang memberi respons positif untuk CD14 dan C D l l C . SD biasanya akan memberikan respon negatif untuk penanda sel limfosit T seperti CD3, CD 16 dan CD28, penanda sel limfosit B (CD 19 dan CD20) maupun sel NK (CD56 dan CD57). Di dalam sistem imun, SD mempunyai peran yang sangat luas dan kompleks. Dalam sistem imunitas yang tidak spesifik (innate), SD mempunyai peran penting dengan mensekresi sitokin seperti IL- 12 dan I F ' A dan B, sebagai salah satu mekanisme pertahanan tubuh. Di samping itu, SDjuga memacu sel-sel NK yang secara cepat akan mengeradikasi sel-sel target. Pada sistem imunitas
yang spesifik, SD berperan untuk mengekspresikan kompleks peptida-MHC pada sel T yang naif (belum mempunyai memori). Lebih lanjut, SDjuga berperan untuk mengaktifkan sel T melalui sinyal pacuan yang spesifik. Respons imun yang spesifik dari SD ini berperan penting untuk mengeradikasi sel-sel tumor, menghambat metastasis dan proses infeksi. Disebabkan oleh perannya yang sangat vital dalam sistem imun, banyak peneliti yang saat ini mengembangkan vaksin kanker dengan memanfaatkan potensi SD. Salah satu teknik pengembangan vaksin berbasis SD adalah dengan melakukan rekayasa genetik untuk membuat suatu fusi protein antara antigen imunogenik (misalnya antigen dari salah satu jenis sel kanker) dengan satu peptid spesifik dari SD. Fusi protein ini, juga melalui rekayasa genetik, ditanamkan pada bakteri gram positif seperti lactobacillus. Lactobacillus yang sudah mengandung fusi protein imunogenik ini akan diberikan kepada pasien secara oral. Di dalam usus, bakteri ini akan berkoloni dan kemudian di dalam usus halus akan mengekspresikan fusi protein imunogenik yang selanjutnya akan dikenal secara cepat oleh SD. Fusi protein imunogenik akan diikat oleh SD dan segera dipresentasikan ke sel T untuk di eradikasi. Teknik serupa juga bisa dilakukan secara transdermal, memanfaatkan aktivitas SD yang ada di dalam kulit. Berbagai uji klinis fase I dan I1 tentang vaksin berbasis SD saat ini sedang dilakukan dan hasil dari pelitian-penelitian tersebut akan segera dipublikasikan.
ANTlBODl MONOKLONAL Antibodi monoklonal (AbMo) adalah antibodi purifikasi yang dilepaskan untuk melawan suatu antigen spesifik atau epitop. AbMo dibuat dengan cara mengimunisasi tikus dengan preparat antigen purifikasi, ekstrak tumor, atau seluruh sel. Limfosit B yang memproduksi imunoglobulin dari lien tikus kemudian difusikan dengan cell line yang imortal untuk membentuk hibridoma. Hibridoma dapat ditumbuhkan dalam kultur dalam jangka waktu yang tidak terbatas dan disaring untuk memproduksi antibodi yang diinginkan. Klon hibridoma yang memproduksi antibodi yang diinginkan dapat dipurifikasi dan dikultur dalam jurnlah besar. Antibodi monoklonal dapat diproduksi dalam jumlah cukup untuk kepentingan klinis. Beberapa teknik laboratorium menggunakan AbMo untuk mendiagnosis keganasan. Teknik yang paling aplikatif dan paling banyak dipakai adalahflow cytometry. Pada teknik ini sel-sel diinkubasi dengan AbMo spesifik yang telah ditandai dengan molekul fluoresens yang berbeda-beda. dan tertuju pada penanda permukaan sel tertentu. Sel-sel tersebut kemudian dilewatkan pada suatu aliran tipis melalui sinar laser. Komputer kemudian membaca defraksi sinar laser dan menginterpretasi data untuk mengakses ada atau tidaknya penanda permukaan sel yang
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1481
TERAPI BIOLOGI PADA KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI berbeda-beda. Teknik ini sangat membantu dalam menentukan monoklonalitas yang terdapat pada keganasan, selain juga membantu menentukan fenotipe seluler pada keganasan hematologi dan tumor solid. AbMo yang dibubuhi radionuklida kini menjadi sarana diagnostik dan terapi yang semakin penting. Sebagai antigen, AbMo dapat menyebabkan reaksi antigen-antibodi yang serupa dengan makromolekul ekstrinsik lainnya. Pada beberapa kasus dapat terjadi demam, menggigil, dan reaksi hipersensitivitas. Meski jarang, dapat juga terjadi reaksi anafilaksi yang fatal. Kerusakan organ dapat terjadi akibat ikatan non spesifik AbMo dengan jaringan non tumor. Bila AbMo terikat dengan toksin atau radionuklida dapat terjadi toksisitas spesifik terhadap agen tersebut. Namun demikian secara klinis umumnya toksisitas yang terjadi hanya ringan dan dapat ditoleransi pasien. AbMo yang kini digunakan dalam klinis diperoleh dari tikus yang telah diimunisasi. Para ahli telah membuat antibodi terapi bagi manusia yang dapat menghindar dari pengenalan sistem imun. Kini para ahli sedang berupaya untuk menyembunyikan imunogenisitasantibodi murin dan menyusunnya kembali menjadi sesuatu yang sangat menyempai antibodi manusia. Hal itu dilakukan dengan cara mensubstitusi seluruh struktur non esensial dari antibodi tikus dengan counterpartnya yang analog pada manusia (analogous human counterparts) melalui metode rekombinan DNA. Proses ini disebut humanisasi dan dapat menghasilkan antibodi yang dalam uji klinis terbukti mampu menghina dari sistem imun manusia. Namun demikian penelitian-penelitian pendahuluan terhadap AbMo ini tidak memberikan hasil memuaskan. Hal ini disebabkan faktor-faktor seperti adanya reaktivitas silang AbMo dengan antigen normal, adanya ekspresi antigen tumor pada sel normal, ikatan kinetik antibodi terhadap permukaan sel, dan lemahnya mekanisme efektor seperti sitotoksisitas yang dimediasi sel serta tergantung antibodi atau sitotoksisitas yang dimediasi komplemen. Selain itu juga ada faktor besarnya tumor, adanya antigen tumor dalam sirkulasi yang mencegah AbMo berikatan dengan permukaan sel tumor, serta modifikasi antigen tumor oleh sel tumor itu sendiri sehingga sel tidak lagi mengikat AbMo. Masalah lain dalam terapi AbMo yang efektif adalah adanya produksi antibodi anti murin pada manusia (human anti murine antibodies/HAMA) yang menginaktivasi AbMo sebelum AbMo mencapai sel tumor dan uptake AbMo yang buruk di luar lapisan-lapisan awal sel tumor yang berada di sekitar kapiler. Telah diupayakan beberapa cara untuk mengatasi hambatan-hambatan di atas di antaranya dengan mengembangkan fragmen Fab (sisi aktif regio variabel) yang lebih jarang melepaskan HAMA, memiliki waktu pamh yang lebih panjang, dan lebih baik dalam penetrasi tumor. Selain itu diupayakan juga suatu konjugasi terhadap toksin, obat-obatan, dan radionuklida yang dapat secara
dramatis meningkatkan sitotoksisitas AbMo. Beberapa AbMo saat ini mulai digunakan di dalam klinis, termasuk di Indonesia, untuk penanganan pasien kanker. Dua AbMo yang saat ini banyak digunakan adalah rituximab dan trastuzumab. Rituximab, suatu humanized mouse chimeric antibo& yang memiliki target antigen CD20 pada permukaan membran sel limfosit B, telah diterima FDA untuk digunakan sebagai terapi limfoma non-Hodgkin sel B, baik tipe diffuse atau folikular. Beberapa penelitian klinis fase I11 yang berskala besar, menunjukkan kombinasi rituximab dengan kemoterapi standar CHOP, menghasilkan respon terapi dan survival yang lebih tinggi secara bermakana dibandingkan kemoterapi standar CHOP, tanpa peningkatan efek samping. Rekombinan humanized monoclonal antibo& lain, trastuzumab, yang mempunyai target human epithelial growth factor 2 (HER-2), juga telah mendapat persetujuan FDA pada tahun 1998 untuk digunakan sebagai terapi pada subgrup pasien kanker payudara metastatik yang menunjukkan ekspresi berlebihan dari protein HER-2. Imunotoksin gemtuzumab ozogamicin (antibodi anti-CD-33) dilaporkanmenunjukkan respon yang signifikan pada pasien AML relaps yang mengekspresikanCD33. Beberapa AbMo lain sedang dalarn penelitian dan mungkin dapat segera digunakan di dalam klinis.
Anderson CM, Haider S. Biologic therapy of cancer. In Wood ME, Philips GK , editors. HematologylOncology Secrets, 3'* edition, Philadelphia, Hanley & Belfus; 2003. p. 21 1-6. Espinoza-Delgado I. Cancer vaccines. The Oncologist 2002;7:2033. Jonasch E. Haluska FG. Interferon in ontological practice: review of interferon biology, clinical applications, and toxicities. The Oncologist 2001;6:34-55. Lim J-B, Kwon OH, Kim H-S et al. Adoptive immunotherapy for CMV disease in immunocompromised patients. Yonsei Medical Journals 2004, 45 (suppl) : 18-22 Michalek J, Buchler T and Hajek R. T lymphocyte therapy for cancer. Physiological Research 2004, 53 : 463 - 69 Mohamadzadeh M, Luftig R. Dendritic cells: In the forefront of immunopathogenesis and vaccine development - A review. Journal of Immune Based Therapies and Vaccine 2004,2:1, http:// www.jibtherapies.com/content/2/l/l. Ottaino A, Mollo E, Di Lorenzo G et al. Prospective clinical trials of biotherapies in solid tumor: a 5-years survey. Cancer Immunology lmmunotherapy 2005, 54 (1): 44 - 50 Pettengell R, Linch D. Position paper on the therapeutic use of rituximab in CD-20 positive diffuse large B-cell non-Hodgkin's lymphoma. British Journal of Haematology 2003;121:44-48. Ross JS, Gray K, Gray GS et al. Anticancer antibodies. American Journal of Clinical Pathology 2003, 119 (4): 472 - 85. Wang L-X, Huang W-X, Graor H et al. Adoptive immunotherapy of cancer with polyclonal, lo8-fold hyperexpanded, CD4' and CD8' cells. Journal of Translation Medicine 2004; 2: 41, http:// www.translational-medicine.com.content/2/1/4 1
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENGOBATAN SUPORTIF PADA PASIEN KANKER A. Harryanto Reksodiputro
PENDAHULUAN Penatalaksanaan kanker bersifat multidisiplin, mulai dari pendekatan diagnostik yang melibatkan banyak keahlian, kemudian pengobatan kanker yang multimodalitas dengan operasi, radiasi, dan kemoterapi, ataupun kombinasi dari ketiga ha1 tersebut. Pengobatan pasien itu sendiri secara holistik juga meliputi banyak hal. Di samping pengobatan 'kuratif' dengan cara pembedahan, radiasi maupun kemoterapi, pengobatan yang bertujuan mengatasi berbagai gangguan organ baik yang disebabkan langsung oleh selljaringan kanker itu sendiri maupun akibat tidak langsung, memegang peranan yang amat penting dalam pengobatan pasien kanker. Program pengobatan ini digolongkan dalam kelompok pengobatan suportif. Pengobatan suportif adalah pengobatan yang diberikan kepada pasien kanker, yang menunjang pengobatan kanker. Pengobatan suportif ini tidak hanya diperlukan pada pasien yang menjalani pengobatan kuratif, tetapi juga pada pasien yang menjalani pengobatan paliatif. Jika di dalam pengobatan kanker targetnya adalah sembuh, terutama pada kanker stadium awal, maka pengobatan suportif bersifat membantu, sehingga perannya tidak terlalu besar. Namun, pada stadium lanjut dimana sudah ada metastasis atau kondisi pasien kurang baik dan targetnya bukan sembuh, hanya paliatif dengan kualitas hidup yang lebih baik, maka pengobatan suportif sangat besar perannya. Pengobatan suportif meliputi semua aspek kesehatan, baik fisik maupun psikis. Beberapa di antaranya adalah nyeri, nutrisi, infeksi, neutropenia (dengan menggunakan faktor pertumbuhan hemopoietik), transfusi darah dan komponen darah, nutrisi, gangguan metabolisme
(hiperkalsemia,hiperurisemia, sindrom lisis tumor, asidosis laktat, hiperkipoglikemia, dsb), fungsi berbagai organ (jantung, hati, ginjal, endokrin, dsb), kelainan saluran cerna atas dan bawah (stomatitis, mual, muntah, diare, konstipasi, dsb), serta masalah spiritual dan keagamaan. Pengobatan suportif ini begitu pentingnya sehingga tidak jarang lebih penting dari pengobatan pembedahan, radiasi, maupun kemoterapi, karena pengobatan suportif ini acapkali justru mengatasi masalah-masalah yang dapat menyebabkan kematian pasien. Misalnya, anemia atau neutropenia pada pasien kanker, menyebabkan pengobatan dengan radiasi atau kemoterapi hams ditunda, karena pengobatan kuratif yang diberikan sebelum pengobatan suportif berhasil menaikkan leukosit, justru dapat berakibat fatal. Pengobatan suportif pada pasien kanker sudah dimulai sejak awal, karena sepertiga dari pasien baru kanker datang dengan keluhan nyeri, sementara jika sudah stadium lanjut maka sekitar 70% pasien mengeluh nyeri. Begitu juga dengan keluhan lain yang adakalanya tidak berhubungan langsung dengan kanker, seperti penurunan berat badan, sering membawa pasien datang ke dokter dan dalam evaluasi selanjutnya ternyata menderita kanker, begitu juga dengan keluhan lain. Pengobatan suportif sulit untuk didefinisikan secara tepat, karena secara keseluruhan meliputi pengobatan, perawatan, menunjang masalah psikososial, rehabilitasi yang diperlukan sejak awal menderita sakit melalui bermacam fase pengobatan aktif untuk pengobatan jangka panjang atau sampai pasien meninggal. Ruang lingkup kerja pengobatan suportif sangat luas. Masalah suportif antara lain: infeksi, febris netropenia, pencegahan infeksi masalah saluran cerna: mual, muntah, diare, obstruksi,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENCOBATAN SUPORTIF PADA PASIEN KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI ostomi nyeri perdarahan dan masalah koagulasi/koreksi gangguan hemostasis kebersihan mulut, mukositis anoreksia, kaheksia gangguan psikiatri: ansietas dan depresi komplikasi neurologi fatigue diagnosis dan upaya pencegahan anemia upaya mempertahankan integritas tulang upaya mencegah terjadinya serta menghambat enzim siklooksigenase (COX-2) upaya mencegah gen-onko Ras mencegah, deteksi dini, dan mengatasi gangguan faal ginjal, hati, dan jantung. Pengobatan suportif meliputi berbagai prosedur pengobatan yang bertujuan untuk meningkatkan atau sekurangnya mempertahankan kondisi kesehatan pasien sehingga ia dapat menerima pengobatan kuratif (bedah, radiasi, kemoterapi, atau kombinasi) tanpa efek samping berarti. Pengobatan suportif ini diberikan pada pasien kanker sebelum, selama, sesudah, bahkan kadang-kadang sampai berbulan-bulan setelah pengobatan kausal selesai. Karena itu pada keadaan-keadaan tertentu pengobatan suportif lebih penting dari pengobatan kausal. Apabila seorang pasien kanker menderita bronkopneumonia pada saat jadwal pemberian kemoterapi maka pengobatan suportif terhadap bronkopneumonia jauh lebih penting daripada kemoterapi dan jadwal kemoterapi hams ditunda. Dalam penanganan pasien usia tua dengan kanker, pengobatan suportif memegang peranan penting. Beberapa ha1 yang hams dipikirkan sebelumnya adalah: Apakah pasien akan meninggal karena kanker atau karena kemoterapi. Apakah pasien mampu mentoleransi efek samping sitostatika. Apakah pengobatan pasien akan lebih banyak mendatangkan manfaat dari mudarat. Pengobatan suportif bertujuan untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Mundurnya keadaan umum pasien kanker dapat disebabkan oleh berbagai ha1 dan dibagi ke dalam empat kelompok besar yaitu akibat pertumbuhan tumor yang invasif, akibat tidak langsung dari kanker, akibat pengobatan kanker, baik yang bertujuan kuratif maupun paliatif, serta akibat ha1 yang tidak ada kaitannya dengan kanker. KEMUNDURAN KEADAAN PASIEN AKIBAT PERTUMBUHAN TUMOR YANG INVASIF Cara tumbuh sel-sel kanker tidak mengikuti kaidah-kaidah
yang berlaku dalam tubuh, sehingga tidak mengherankan apabila pertumbuhan sel kanker acapkali merusak berbagai organ. Komplikasi gawat akan terjadi apabila yang terganggu fungsinya adalah organ vital seperti vena kava superior, medula spinalis, otak, bronkus, vena kava inferior, usus, saluran empedu, dan saluran kemih. Dalam keadaan dimana terjadi komplikasi pada organorgan tersebut di atas, perlu diadakan tindakan dekompresi segera; biasanya dengan penyinaran, kadang-kadang dengan tindakan pengobatan yang bertujuan memperbaiki tindakan umum pasien yang acapkali telah mengalami gangguan sistemis. Barulah kemudian diteruskan prosedur diagnostik yang diperlukan untuk menentukan tingkat penyakit dan mengidentifikasi faktor yang berperan terhadap prognosis. Di samping kompresi, invasi tumor pada jaringan sekitarnya dapat pula menyebabkan erosi, bahkan perforasi. Akibatnya terjadi perdarahan, perforasi usus atau berbagai fistula misalnya fistula trakeo-bronkial dan rektovesika urinaria. Perdarahan dan perforasi hams segera dapat diatasi karena dapat berakibat fatal. Fistula yang terjadi akibat invasi tumor sedapat mungkin diatasi sebelum pengobatan sitostatika karena kelak dapat menjadi sumber infeksi yang sulit diatasi dan dapat berakibat fatal. Hal yang dapat terjadi akibat invasi tumor adalah rasa nyeri gangguan fungsi kelenjar yaitu diabetes insipidus (hipofisis) dan penyakit Addison (adrenal). Rasa nyeri akibat kanker acapkali amat hebat dan menyebabkan pasienan yang amat sangat. Obat yang diberikan dapat berkisar antara obat analgesik sampai narkotik, bahkan tidak jarang memerlukan intervensi ahli bedah saraf (blok neurolitik, subarachnoid, Phizothomy, cordotomy, thalamektomy, hipofisektomi).
KEMUNDURAN KEADAAN PASIENSEBAGAI AKIBAT TlDAK LANGSUNG DARl KANKER Seperti terlihat pada Tabel 1, komplikasi sebagai akibat tidak langsung dari kanker amat banyak dan bervariasi mulai dari yang ringan sampai pada cukup berat bahkan kadang-kadang berakibat fatal bila tidak segera diatasi (hiperkalsemia). Di antara berbagai komplikasi tersebut, yang perlu mendapat perhatian utama adalah kakeksia, anemia, gangguan imunologis, hiperkalsemia, dan nyeri. Gangguan gizi yang tidak diperbaiki bersama-sama pengobatan antikanker sering lebih memperburuk keadaan umum pasien. Akibatnya kemampuan imunologis memperburuk dan terjadilah infeksi yang acapkali sukar diatasi. Hiperkalsemia terutama terjadi pada kanker tulang (mieloma multipel) dan yang bermetastasis luas kedalam tulang. Bila tidak cepat diatasi, hiperkalsemia dapat menyebabkan kematian. Pengobatan terdiri dari hidrasi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
parenteral dan kortikosteroid, bila tidak berhasil dengan garam fosfat, obat-obat yang menyebabkan kelasi kalsium (EDTA) atau indometasin.
Urnurn Hernatologis
lrnunologis
Metabolik Endokrin, paraneoplastik
Neurornuskuler
Kulit Tulang
dernarn, berat badan rnenurun, anoreksia anemia, reaksi leukernoid poliglobulin DIC non-spesifik fungsi granulosit garna globulin arniloidosis para protein kalsiurn asarn urat sindrorn Cushing ADH : karsinoma sel 'oat' Insulin : ovariurn, sarkorna Eritropoietin; ginjal Gonadotropin: ovariurn, testis, teratorna, koriokarsinorna rniopati rniastenia-gravis neuropati ensefalopati psoriasis akantosis osteoartiopati poliartritis rnielofibrosis rnielosklerosis
EFEK SAMPING SlTOSTATlKA Selain membasmi sel kanker, sitostatika juga merusak selsel berbagai jaringan tubuh. Jaringan yang paling banyak mengalami kerusakan tentu saja adalah organ-organ yang mempunyai daya proliferasi tinggi, seperti sumsum tulang, mukosa saluran cerna, dan folikel rambut. Efek samping yang hampir selalu dijumpai adalah gejala gastrointestinal, supresi sumsum tulang, dan kerontokan rambut. Efek samping yangjarang terjadi, tetapi tidak kalah pentingnya adalah kerusakan otot jantung, sterilitas, fibrosis paru, kerusakan ginjal, kerusakan hati, sklerosis kulit, reaksi anafilaksis, gangguan saraf, gangguan hormonal, dan perubahan genetik yang dapat mengakibatkan terjadinya kanker baru. Gejala gastrointestinal yang paling utama adalah mual, muntah, diare, dan mukositis. Mual dan muntah biasanya timbul selang beberapa waktu setelah pemberian sitostatika dan berlangsung tidak melebihi 24 jam. Efek muntah yang terjadi acapkali sulit diatasi dengan obat antimuntah konvensional. Gejala klinis supresi sumsum tulang terutama disebabkan oleh terjadinya penurunan jumlah sel darah putih, sel trombosit, dan sel darah merah. Supresi sumsum
Surnsurn tulang Gastro-intestinal Jantung Paru Hati Ginjal Kulit Saraf Pankreas Uterus Kandung kencing
leukosit 1, trornbosit 1, Hb 1 stornatitis, gastritis, diare, ulkus larnbung, ileus kardiorniopati-payah jantung, hipertensi fibrosis fibrosis nekrosis tubuli alopesia, hiperpigrnentasi parentesi, neuropati, tuli, letargi pankreatitis perdarahan sistitis hernoragis
tulang akibat pemberian sitostatika dapat terjadi segera atau kemudian. Pada supresi sumsum tulang yang terjadi segera, penurunan kadar leukosit mencapai nilai terendah pada hari ke-8 sampai dengan hari ke-14. Setelah itu, diperlukan waktu kurang lebih tujuh hari untuk menaikkan kadar leukositnya kembali. Pada supresi sumsum tulang yang terjadi kemudian, penurunan kadar leukosit terjadi dua kali yaitu pertama-tama pada minggu kedua, dan pada sekitar minggu keempat dan kelima. Kadar leukosit kemudian akan naik lagi dan akan mencapai nilai mendekati normal pada minggu keenam. Leukopenia dapat menurunkan daya tahan tubuh, sementara trombopenia dapat mengakibatkan perdarahan, lebih-lebih bila terjadi erosi pada traktus gastrointestinal. Kerontokan rambut dapat bervariasi, dari kerontokan ringan sampai dengan kebotakan. Kardiomiopati akibat doksorubisin dan daunorubisin umumnya sulit diatasi. Sebagian besar pasien meninggal karena pumpfailure. Fibrosis paru umumnya ireversibel. Tabel 3 memperlihatkan kejadian payah jantung pada 242 pasien kanker yang mendapat kemoterapi di RS Kanker Dharmais (RSKD) yang diperiksa dengan ekokardiografi selama periode Januari-Desember 1995. Kelainan hati yang terjadi biasanya amat menyulitkan pemberian sitostatika se-lanjutnya karena banyak diantaranya yang dimetabolisir dalam hati. Dari berbagai mekanisme, diketahui bahwa pembentukan radikal bebas oksigen (RBO) memegang peranan penting dalam efek hepatotoksik obat. Stres oksidatif pada membran sel akan menyebabkan gangguan integritas membran. Polaritas
< 20 -
21-30 31-40 41-50 51-60 >60 Tidak diketahui Jumlah
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1 1 4 5 9 2 2 35
28,6 2,86 11,43 14,29 25,72 5,72 5,72 100,O
PENGOBATAN SUPORTIF PADA PASIEN KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
membran sel akan terganggu dan berbagai saluran ion mengalami perubahan sehingga fungsinya lepas kontrol. Akibatnya terjadi gangguan gradien konsentrasi ion di kedua sisi membran sel diikuti berbagai reaksi biokimia dalam sel. Ada beberapa obat antikanker yang memerlukan pemeriksaan tes fungsi hati sebelum dan selama pemakaiannya seperti golongan alkilator (siklofosfamid, busulfan), golongan antrasiklin (doksorubisin, daunorubisin, farmorubisin, epirubisin); antimetabolit (metotreksat, fluorourasil, merkaptopurin), alkaloid vinka (vinkristin, vinblastin), dan enzim (L-aspariginase). Obat golongan alkilator bekerja dengan pembentukan ion karbonium atau kompleks lain yang sangat reaktif. Obat ini membentuk ikatan kovalen (alkilasi) dengan DNA sehingga terjadi cross linking pada rantai DNA sehingga fungsinya terganggu. Efek sitotoksik maupun efek sampingnya berhubungan langsung dengan proses alkilasi ini. Khusus untuk efek hepatotoksik tidak diketahui secara spesifik gugus mana yang mengalami alkilasi. Namun, karena hati merupakan organ yang sangat kaya akan berbagai enzim, sangat mungkin bahwa alkilasi ini terjadi pada gugus amino atau karboksil dari berbagai enzim dalam hati. Antrasiklin bekerja dengan berinteraksi di antara basabasa DNA sehingga menggangu fungsi DNA sebagai template. Antrasiklin juga bereaksi dengan sitokrom p,,, reduktase yang dengan NADPH membentuk zat antara yang bersifat reaktif dan selanjutnya bereaksi dengan oksigen menghasilkan radikal bebas. Efek ini dikaitkan dengan efek samping antrasiklin seperti efek kardiotoksik dan mungkin juga efek hepatotoksik. Seperti diterangkan di atas, molekul radikal bebas ini akan menimbulkan reaksi berantai dengan komponen membran sel sehingga integritas membran akan terganggu. Kekacauan gradien ion di kedua sisi membran menyebabkan gangguan fungsi sel berupa gangguan kontraktilitas sel otot jantung yang dalam bentuk ekstrim bermanifestasi sebagai gagal jantung. Pada hati terjadi gangguan hngsi metabolisme dan kebocoran enzim-enzim sitosol dan mikrosom yang dapat dideteksi sebagai peningkatan enzim transaminase. Kerusakan ginjal akibat kemoterapi dapat langsung (direk) maupun tidak langsung (indirek). Efek langsung dapat terjadi akibat blokade mekanik nefron (misalnya metrotreksat dan metabolitnya yang cenderung berpresiptasi pada tubulus dan duktus kolektikus pada pemberian dosis tinggi dan pH urin rendah). Kemungkinan lain adalah karena kerusakan jaringan ginjal langsung akibat obat atau metabolitnya, paling sering pada pemberian sisplatin dan nitrosurea. Sisplatin menyebabkan kerusakan dan nekrosis sel tubulus distal dan proksimal dengan cara menurunkan aktivitas metabolik mitokondria, mengharnbat peroksidase glutation, dan merangsang lipoperoksidase. Sisplatin juga
menyebabkan gangguan elektrolit, terutama hipomagnesemia dan hipokalsemia. Streptozotosin, lomustin, dan karmustin mengganggu fungsi tubulus ginjal sehinga menyebabkan proteinuria, aminoasiduria dan hipokalemia. Mitomisin C sering dilaporkan dengan kejadian gagal ginjal dan anemia hemolitik mikroangiopatik. Ifosfamid dan siklofosfamid dosis tinggi dapat merusak tubulus distal menyebabkan hiponatremia dan SIADH. Efek tidak langsung dapat terjadi karena pemberian kemoterapi pada tumor yang sangat sensitif menyebabkan katabolisme asam nukleat interseluler hebat yang berakhir dengan nefropati asam urat. Asam nukleat purin dikatabolisme menjadi hipoksantin, kemudian xantin, dan terakhir dioksidasi oleh xantin oksidase menjadi asam urat. Asam urat meningkatkan keasaman urin dan terpresipitasi di tubulus distal dan duktus kolektikus hingga terjadi anuria. Hiperurisemia ini dapat merupakan bagian dari sindrom tumor lisis. Untuk pencegahan efek nefrotoksik diperlukan hidrasi yang adekuat (2500-3000 ml/m2/24jam) yang dimulai 24 jam sebelum pemberian kemoterapi. Alkalinisasi urin dengan natrium bikarbonat penting untuk ekskresi asam urat. Profilaksis dengan alupurinol300-400 mg/m2/hari.Jika terjadi nefropati asam urat pengobatannya dengan memperbaiki hidrasi, dan jika fungsi ginjal memburuk dapat dilakukan hemodialisis. Khusus untuk sisplatin, hanya diberikan pada pasien dengan jumlah urin minimal 100 mL/jam, sebelum, selama, dan sesudah kemoterapi. Obat proteksi yang dapat digunakan adalah amifostin diberikan 30 menit sebelum pemberian sisplatin. Toksisitas sisplatin juga dapat dikurangi dengan pemberian natrium tiosulfat pada pemberian sisplatin intraperitoneal, dietiltiokarbamat, kaptopril, dan verapamil.
Organ yang Ter~enaaruh "
.
Sumsum tulang Gastrointestinal Jantung Paru Hati Ginjal Kulit
Saraf Pankreas Uterus Kandung kemih
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
Obat Penyebab Kecuali steroid, Bleomisin, L-Asparaginase Adriamisin, Bleomisin, Metotreksat. 5-FU, Aktinomisin D, Kortikosteroid, Alkilating agent, Vinkristin Adriamisin, Daunorubisin, Kortikosteroid Bleomisin, Metotreksat, Siklofosfamid, Busulfan Metotreksat, Sisplatin, Arabinosa-C, LAsparaginase, Mithramycin Metroteksat, Sisplatin, Mithramycin Bleomisin, Busulfan, Adriamisin, Siklofosfamid, Aktinomisin D, Vinblastin, Vinerelbin Vinkristin, Vinblastin, Vindesin, Sisplatin L-Asparaginase Estrogen Siklofosfamid, lsofin
ONKOLOGI MEDIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
MASALAH INFEKSI PADA PASIEN KANKER
Pasien kanker acapkali memiliki penurunan daya tahan tubuh. Hal ini disebabkan oleh penyakit kanker itu sendiri atau akibat berbagai pengobatan baik bedah, radiasi maupun kemoterapi. Di samping itu berbagai prosedur tindakan yang dilakukan pada pasien kanker baik dalam rangka diagnosis (bronkoskopi, gastroskopi), maupun untuk terapi (infus makanan, cairan) juga berperan dalam terjadinya infeksi. Beberapa jenis kanker disertai oleh penurunan respons imun spesifik. Pasien penyakit limfoma malignum baik Hodgkin atau non-Hodgkin disertai defisiensi imunitas seluler yang mengakibatkan pasien menjadi rentan terhadap infeksi virus (herpes simpleks, varisela zoster dll) dan infeksi jamur (kriptokokus, dll). Berbeda dengan pasien limfoma malignum, pasien leukemia akut amat rentan terhadap infeksi bakteri gram negatif sebagai akibat adanya leukopenia danlatau gangguan fungsi (fagositas) granulosit. Pasien leukemia limfositik menahun dan pasien mieloma multipel amat sensitifterhadap infeksi bakteri yang invasif dari golongan stafilokokus, streptokokus dan pneumokokus. Granulosit neutrofilik adalah sel yang paling berperan dalam respons imun terhadap bakteri maupun jamur. Perlu diketahui bahwa waktu paruh umur sel granulosit dalam darah adalah 6-7 jam, setelah itu sel-sel ini akan bermigrasi ke daerah sepanjang endotel atau masuk ke dalam jaringan ekstravaskular. Pada keadaan di mana terjadi depresi sumsum tulang, maka neutropenia akan terjadi dalam 5-7 jam. Infeksi merupakan penyebab kematian paling utama pada pasien kanker di samping perdarahan. Sekitar 90% pasien kanker meninggal akibat infeksi, perdarahan, atau infeksi bersama-sama dengan perdarahan. Dengan makin mantapnya kemampuan untuk mengatasi trombositopenia, infeksi merupakan masalah yang makin penting. Radiasi maupun penggunaan sitostatika dapat menyebabkan terjadinya granulositopenia akibat penekanan fungsi sumsum tulang. Banyak laporan yang dapat membuktikan hubungan antara beratnya granulositopenia dan infeksi. Penelitian Body dapat menunjukkan bahwa pada pasien kanker, penurunan kadar granulosit di bawah 1000/mm3,di bawah 500/mm3dan di bawah 100/mm3 meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi berat, masing-masing sebesar lo%, 19% dan 28%. Angka kematian pasien meningkat sampai dengan 80% pada pasien yang kadar granulositnya menetap di bawah 100/mm3selama tujuh hari pertama infeksi. Oleh karena itu tindakan pencegahan, diagnosis dini, dan pengobatan yang cepat dan tepat mutlak mendapat perhatian dari mereka yang mengelola pasien kanker. Kelambatan diagnosis danlatau pemilihan antibiotika yang tidak tepat dapat cepat menyebabkan terjadinya sepsis dan kematian pasien.
Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya frekuensi infeksi pada pasien kanker antara lain adalah: (1) erosi pada tumor yang menyebabkan terbukanya kulit atau lapisan mukosa yang merupakan barrier yang melindungi tubuh dari dunia luar. Hal ini terutama terjadi pada kanker kulit, kepala dan leher, saluran cerna, mulut rahim dan vagina, (2) terjadi sumbatan akibat tekanan atau pertumbuhan kanker, misalnya kanker paru, saluran cerna, dan prostat; (3) penurunan daya tahan tubuh, baik penurunan imunitas humoral (mieloma multipel, leukemia limfositik menahun), maupun imunitas selular (limfoma Hodgkin, limfoma non-Hodgkin, kanker paru, payudara, lambung); (4) berbagai prosedur diagnostik yang menyebabkan erosi pada mukosa maupun pada kulit (endoskopi, arteriografi); (5) tindakan pembedahan dalam ha1 ini tingginya kemungkinan infeksi tergantung kepada tempat dan besarnya tumor; jenis operasi dan daya tahan tubuh si sakit; (6) pengobatan suportif, misalnya pemberian makanan parenteral dan transfusi komponen darah (virus hepatitis, virus sitomegalo, toksoplasmosis); (7) radioterapi dan sitostatika.
MEKANISME PENURUNAN IMUNITAS PADA KANKER Infeksi sistemis selalu merupakan masalah yang besar bagi seorang pasien kanker. Hal ini hanya dapat terjadi setelah mikroorganisme dapat melampaui berbagai lapisan pertahanan sistem imunitas tubuh manusia. Kejadian serius ini sering terjadi pada pasien kanker, terutama berkaitan dengan kemajuan dunia kedokteran. Hal-ha1 yang dapat berperan terhadap terjadinya infeksi sistemis, antara lain penggunaan antibiotika spektrum luas, infus, berbagai kateter, dialisis, radioterapi, kemoterapi, kortikosteroid, dll. Barrier paling luar manusia terhadap infeksi adalah suhu badan, pergantian kulit dan mukosa yang cepat, peristaltik usus, lapisan lemak, asam lambung, saliva, keringat, dll. Semuanya berperan penting dalam upaya melindungi tubuh terhadap infeksi. Flora yang normal pada kulit, nasal, oral, kolon, juga berperan dalam upaya menghalangi pertumbuhan mikroorganisme patogen. Dalam keadaan neutropenia, terutama neutropenia sekunder pada pasien kanker maka hampir seluruh respons imun nonspesifik ini akan lumpuh, sehingga mikroorganisme dapat masuk ke sirkulasi darah ke jaringan atau ke dalam kelenjar getah bening. Respons imun nonspesifik, seperti granulosit, memegang peran amat penting dalam upaya tubuh mencegah infeksi. Interleukin merupakan salah satu sitokin yang merangsang sel granulosit untuk berfungsi. Karena itu ganguan respons imun spesifik akan menurunkan pula fungsi granulosit. Di samping itu berbagai obat, terutama sitostatika dan radiasi juga dapat mengakibatkan granulopenia.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1487
PENCOBATAN SUPORTlF PADA PASIEN KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Nama Sitostatika - .--
Efek Lambat
Efek Segera
Siklofosfamid
mual,muntah,reaksi hipersensitivitas tipe I, rasa terbakar pada muka,penglihatan kabur
depresi sumsum tulang, kebotakan, sistitis hemoragik, sterilitas (sementara), fibrosis paru, hiponatremia, leukemia,kanker kandung kemih, sekresi ADH terganggu, teratogenesis
Doksorubisin
mual,muntah,urin kemerahan, nekrosis, kerusakan jaringan setempat yang berat pada ekstravasasi, diare, demam, perubahan EKG,sementara, aritmia,ventrikel, reaksi anafilaksis
depresi sumsum tulang, kardiotoksisitas, kebotakan, stomatitis, anoreksia, konjungtivitis, pigmentasi akral
Daunorubisin
mual,muntah,diare,urin kemerahan, nekrosis, dan kerusakan jaringan yang berat
depresi sumsum tulang, kardiotoksisitas, kebotakan, stomatitis, anoreksia, diare, demam, menggigil, dermatitis pada daerah yang sebelumnya diradiasi
Metotreksat
mual, muntah, diare, demam, anafilaksis
ulserasi oral dan gastrointestinal, depresi sumsum tulang, toksisitas hati, infiltrat, fibrosis paru, osteoporosis, konjungtivitis, kebotakan, depigmentasi, disfungsi haid, ensefalopati
Vinkristin
reaksi lokal pada ekstravasasi
neuropati perifer, kebotakan, depresi sumsum tulang ringan, konstipasi ,ileus paralitik,nyeri rahang,gangguan sekresi ADH
Fluorourasil
mual,muntah,diare,reaksi hipersensitivitas
ulkus oral dan gastrointestinal, depresi sumsum tulang, diare,kerusakan saraf (otak kecil),aritmia jantung, angina pektoris, kebotakan, hiperpigmentasi, eritrodisplasia konjungtivitis, gagal jantung
muntah, mual, reaksi anafilaksis
kerusakan ginjal,ototoksisitas,depresisumsum tulang, hemolisis, hipomagnesemia, neuropati perifer, hipokalsemia, hipokalemia, penyakit Raynaud, sterilitas, teratogenesis
mual, muntah, nekrosis jaringan, demam
depresi sumsum tulang (kumulatif), stomatitis, kebotakan,toksisitas paru akut, fibrosisparu, toksisitas hati, toksisitas ginjal, amenorea, sterilitas sindrom hemolitik-uremia, kalsifikasi kandung kemih
Sitarabin
mual, muntah, diare, reaksi anafilaktik
depresi sumsum tulang, konjungtivitis, megaloblastosis, ulserasi ora1,kerusakan hati,demam, edema paru, neurotoksisitas sentral, perifer pada dosis tinggi,rabdomiolisis, pankreatitis (bila digunakan bersama asparaginase)
Etoposid
mual, muntah, diare, demam, hipotensi, reaksi alergi
depresi sumsum tulang, kebotakan, neuropati perifer, mukositis, kerusakan hati pada dosis tinggi
Sisplatin
Mitomisin
Perlu ditekankan bahwa netropenia pada kanker tidak sama dengan netropenia pads keadaan lain seperti demam tifoid, malnutrisi dan anemia aplastik. Pada kanker terjadi produksi sitokin berlebihan yang menekan respons imun tubuh. Infeksi yang acapkali terdapat pada granulopenia amat luas mulai dari ginggivitis, faringitis, esofagitis, pneumonia, furunkulosis, karbunkel, infeksi perianal dll. Mikroorganisme yang menyebabkan infeksi dapat berupa bakteri, virus, jamur, atau protozoa.
Gangguan respons imun telah terjadi sejak amat dini pada pasien kanker. Gangguan respons imun pada pasienpasien ini dapat terjadi pada berbagai lapisan respons imun mulai dari sistem imun yang non spesifik (kulit, muka) sampai dengan yang paling spesifik (limfosit T dan limfosit B). Respons imun spesifik yang berperan dalam upaya mencegah infeksi adalah respons imun selular dan humoral. Di samping berperan dalam eradikasi mikroorganisme, limfosit T juga turut berperan dalam
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOGI MEDlK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
fagositosis oleh makrofag. Penekanan respons imun tubuh yang terjadi akibat sitokin yang dikeluarkan sel kanker sejak awal pertumbuhannya antara lain sebagai berikut, (1) merusak reseptor CD3 limfosit T, (2) menutup reseptor sel T (menghambat interaksi sel T dengan.antigen presenting cells), (3) mengikat FAP (produk sel T sitotoksik) dan menyebabkan kematian sel T. Gangguan respons imun telah terjadi sejak amat dini pada pasien kanker. Gangguan respons imun pada pasienpasien ini dapat terjadi pada berbagai lapisan respons imun mulai dari sistem imun yang nonspesifik (kulit, muka) sampai dengan yang paling spesifik (lirqfosit T dan limfosit B). Infeksi yang terjadi akibat gangguan respons imun selular (spesifik) tidak sama dengan granulopenia. Gangguan limfosit T dapat diakibatkan infeksi bakteri (misalnya: salmonela, mikobakterium), virus (herpes, sitomegalo, varisella), jamur (histoplasma, coccidoides), atau protozoa (toksoplasma, pneumosistis).
lnfeksi oleh Bakteri Gram Negatif Walaupun hanya 30% sepsis pada pasien neutropenia disebabkan oleh bakteri gram negatif namun karena infeksi bakteri gram negatif ini berisiko tinggi menjadi hlminan (terutama bila disebabkan oleh P.aeroginosa) maka pengobatan febris netropenia secara empiris memerlukan antibiotika yang dapat mencakup bakteri gram negatif Bila netropenia berat danlatau diperkirakan akan berlangsung lama maka lebih disarankan memakai kombinasi obat betalaktam dengan aminoglikosid daripada monoterapi. Walaupun demikian beberapa penulis melaporkan pengobatan dengan antibiotika tunggal yaitu dengan seftasidim, sefepim, sefrom, imipenem, meropenem dapat memberi hasil yang setara dengan pemberian antibiotika secara kombinasi. lnfeksi oleh Bakteri Gram Positif Akhir-akhir ini banyak tulisan melaporakan makin menurunnya frekuensi infeksi gram negatif dan sebaliknya main meningkatnya frekuensi oleh bakteri gram positif pada pasien netropenia terutama Staphylococcus epidermidis dan berbagai jenis Streptokokus. Karena Staphylococcus epidermidis acapkali resisten pada bermacam antibiotika, umumnya diperlukan vankomisin dan teikoplanin. Walaupun demikian karena infeksi oleh S.epidermidis biasanya indolen dan mortalitasnya rendah, pemberian antibiotika dapat ditunda sampai ada hasil pemeriksaan mikrobiologis. Lain halnya dengan infeksi oleh streptokokus, dimana mortalitasnya tinggi sehingga kebanyakan penulis menganjurkan penggunaan antibiotika empiris secara profilaksis apabila risiko infeksi streptokokus tinggi.
lnfeksi Jamur Penyebab infeksi pada 5% febris neutropenia adalah jamur. Infeksijamur ini bisa dijumpai bersarna-sama dengan infeksi bakteri. Dalam keadaan demam terjadi infeksi ganda, jamur dan bakteri, sehingga gejala-gejala akibat infeksi jamur acapkali menjadi sulit dideteksi. Infeksijamur akan menunjukkan demam berkepanjangan setelah infeksi bakteri tereradikasi. Atas dasar itu banyak pusat menyarankan pemberian amfoterisin-B (amp-B) pada pasien neutropenia yang demamnya tidak hilang setelah pemberian antibiotika spektrum luas untuk beberapa hari tanpa adanya bakterimia. Perlu diingat makin lama demam bertahan pada pasien neutropenia makin tinggi kemungkinan terjadinya infeksi jamur. lnfeksi Virus Infeksi virus banyak terjadi pada keadaan di mana terdapat imunosupresi di samping netropenia, misalnya pada transplantasi sumsum tulang di mana pasca kemoterapi amat agresif diberikan lagi obat imunosupresi. Walaupun demikian, ha1 ini berbeda dengan infeksi virus herpes simpleks, dimana infeksi sering timbul pada keadaan neutropenia tanpa imunosupresi. Oleh karena itu beberapa pusat memberikan asiklovir sejak awal pada pasien yang diperkirakan akan mengalami neutropenia berat untuk waktu yang lama. Infeksi dengan virus sitomegalo dan pneumonitis pada pasien kanker paling sering bermanifestasi sebagai pneumonitis interstisial difus. Infeksi dengan virus sitomegalo ini biasanya timbul setelah pasien tidak lagi berada pada keadaan netropenia namun masih berada pada keadaan imunosupresi berat.
Dikemoterapi Terinfeksi jamur* (%)
RS Cipto Mangunkusumo (1989 - 1991)
RS Kanker Dharmais (1993 1994)
-
RS Kanker Dharmais (1996 - 1997)
34 11 (32.35%)
45 11 (25%)
35 8 (23%)
'Terutama kandida albikans netropenia berat (tingkat 4): leukosit < 1000/mm3
Jenis lnfeksi Jamur Kandidiasis Aspergillosis Lain-lain
Persentase 44 - 80 % 20 - 30 % Jarang
Demam yang disertai gejala panas setelah pasien tidak lagi berada dalam keadaan neutropenia merupakan indikasi untuk melakukan lavase bronkus (bronchoalveolar lavage) dan pemerikaan terhadap Pneumocystis carinii dan virus sitomegalo.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENGOBATAN SUPORTIF PADA PASIEN KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Bila ditemukan infeksi paru dihs pada pasien defisiensi imun maka virus sitomegalo dan Pcarinii hams dieradikasi dengan menggunakan gansiklovir bersama-sama dengan kotrimoksasol.
DEMAM PADA KANKER Pada beberapa jenis kanker, demam dapat disebabkan oleh kanker itu sendiri. Kanker yang acapkali disertai demam yang disebabkan oleh metabolisme kanker itu sendiri (noninfeksi) antara lain limfoma (69%), leukemia (17%), dan kanker payudara (+50%). Pada kanker lain keadaan semacam ini relatifjarang terjadi. Kanker yang jarang disertai demam akibat metabolisme sel kankemya sendiri antara lain kanker paru dan melanoma maligna. Demam kanker biasanya dijumpai pada stadium lanjut dan pada kanker yang agresif. Beberapa penelitian memperkirakan sitokin, antara lain interleukin 1 (IL- I), sebagai penyebab demam. Kadang-kadang sukar untuk membedakan apakah demam disebabkan oleh sel kanker itu sendiri atau oleh infeksi. Beberapa gejala dapat digunakan untuk membedakan kedua jenis demam ini. Demam akibat infeksi pada pasien kanker umumnya toksis, menggigil, takikardi, kadang-kadang hipotensi sampai dengan syok. Pasien dengan demam kanker biasanya tidak disertai menggigil maupun takikardi, bahkan acapkali pasien tidak merasa sakit bahkan tidak sadar akan adanya demam. Demam kanker biasanya bersifat intermiten sebaliknya sementara infeksi biasanya tidak. Karena acapkali sulit untuk membedakan demam infeksi dengan demam kanker maka disarankan untuk memberikan obat anti inflamasi untuk membedakan kedua keadaan ini. Dalam keadaan ini dapat diberikan indometasin atau naproksen yang biasanya dapat menurunkan suhu pada demam kanker dalam 12jam, sedang demam infeksi tidak akan turun dengan obat ini.
Demam Berkepanjangan pada Kanker Di samping demam kanker dan demam infeksi, kadangkadang dijumpai demam berkepanjangan setelah neutropenia diatasi dan tidak hilang dengan antibiotika. Keadaan semacam ini biasanya disebabkan oleh infeksi jamur. Infeksi jamur dapat terjadi pada hati, ginjal, organ intraabdomen, maupun dalam paru. Pemeriksaan CT scan akan amat bermanfaat. Biasanya akan terlihat abses kecil pada hati hingga infiltrat pada paru-paru. Hal lain yang dapat menyebabkan demam dalam keadaaan lekosit telah normal adalah infeksi oleh virus (CMV) atau protozoa. Dalam ha1 seperti ini, terutama bila dijumpai gambar infiltrat pada paru dapat diberikan gansiklovir bersama dengan kotrimoksazol.
MASALAH NUTRlSl PADA PASIEN KANKER
Malnutrisi adalah ha1 yang hampir selalu ditemukan pada pasien kanker, bahkan acapkali dipandang sebagai salah satu tanda penting kanker. Setiap ada penurunan berat yang mencolok penyakit yang perlu diingat antara lain kanker. Defisiensi gizi yang paling sering ditemukan pada pasien kanker adalah defisiensi protein dan kalori dengan manifestasi mengecilnya massa otot. Literatur menunjukkan bahwa malnutrisi mempunyai dampak b u d terhadap fungsi imunitas tubuh serta menurunkan toleransi pasien terhadap sitostatika, radiasi dan bedah. Adanya bukti yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara gizi yang buruk dengan respons terhadap pengobatan dan harapan hidup menyebabkan dilakukannya berbagai upaya agresif untuk memperbaiki gizi pasien. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan energi dan nitrogen dari tumor pasien jauh lebih kecil dan ha1 tersebut tidak sesuai dengan penurunan berat badan pasien. Kakeksia yang terjadi tidak dapat diterangkan oleh penggunaan energi untuk metabolisme tumor. Banyak penelitian yang menunjukkan adanya berbagai zat dalam darah pasien yang berperan dalam penurunan berat si sakit. Sindrom kakeksia kanker adalah suatu keadaan yang ditandai gejala penurunan berat badan, anoreksia, dan mengecilnya massa otot. Berbagai laporan menunjukkan bahwa tak ada hubungan yang konsisten antara berat ringannya sindrom kakeksia kanker dengan stadium penyakit, lamanya sakit maupun jenis histologi. Penyebab kakeksia pada kanker masih belurn jelas benar namun pasti multifaktorial. Penyebab kakeksia pada kanker dibagi dalam tiga kelompok, yaitu (a)anoreksia karena keganasan, (b) anoreksia karena pengobatan, dan (c)gangguan metabolisme tubuh. Selain mempengaruhi hasil pengobatan, malnutrisi dan kaheksia tidak jarang menyebabkan kematian pasien kanker. Penurunan berat badan sebelum pengobatan dimulai terjadi pada 31-40% pasien kanker payudara, leukemia akut nonlimfoblastik, sarkoma, dan penyakit Hodgkin; 48-61% pada pasien kanker kolon, prostat, dan paru; dan 83-89% pada pasien kanker pankreas dan lambung. Karena pengobatan dengan sitostatika dan radioterapi akan mengurangi nafsu makan, bila tidak ditanggulangi dengan baik, gizi pasien akan menjadi lebih buruk lagi selama pengobatan. Penyebab kurang gizi pada pasien kanker dapat dibagi atas tiga kelompok, yaitu: (1)rendahnya nutrisi yang dikonsumsi pasien, (2) konsumsi bahan nutrisi oleh sel kanker, dan (3) gangguan metabolisme akibat kanker. Gangguan metabolisme yang diakibatkan oleh kanker tidak sama dengan akibat kelaparan seperti terlihat pada tabel 8.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI ANOREKSIA KANKER
Kelaparan
Kanker Laniut -
Metabolisme basal Mediator Ureagenesis hati Balans nitrogen negatif Glukoneogenesis Proteolisis otot Sintesis protein hati
normal atau 1
normal atau 1
+ + + +
+++
+++
+++ +++ +++
+
+++
Gizi yang kurang antara lain disebabkan oleh anoreksia, gangguan fungsi traktus gastrointestinal dan kebutuhan yang meningkat. Anoreksia dapat disebabkan oleh gangguan fungsi mengecap dan mencium maupun gangguan fungsi susunan saraf pusat. Tumor dapat mempengaruhi metabolisme tubuh. Beberapa jenis tumor memproduksi hormon yang menyebabkan hipoglikemia. Pasien kanker kurang mampu untuk menggunakan lemak sebagai sumber energi. Tabel 9 menunjukkan bahwa tumor yang beratnya lebih dari 1 kg mengkonsumsi kira-kira 34% dari seluruh asupan makanan. Walaupun etiologi kakeksia kanker belum diketahui benar namun banyak data menunjukkan peranan berbagai sitokin terhadap terjadinya kakeksia kanker. Penemuanpenemuan ini mambantu upaya mencari jawaban mengapa begitu sulit menaikkan berat badan pasien dengan kaheksia kanker walaupun dengan pemberian nutrisi yang agresif sekalipun. Penelitian membuktikan bahwa pasien tanpa penurunan berat badan memiliki harapan hidup lebih baik daripada pasien dengan penurunan berat badan yang diobati dengan pengobatan yang sama. Seperti telah dikemukakan, berbagai laporan menunjukkan bahwa pemberian nutrisi agresif paling banyak hanya meningkatkan kadar air dan lemak pada tubuh pasien kanker. Hebatnya penurunan berat badan yang dapat disebabkan oleh sel kanker yang nota bene beratnya amat jarang melebihi 1-2% dari berat badan pasien menunjukkan adanya peran berbagai senyawa dalam plasma yang berperan terhadap terjadinya kaheksia tersebut.
Ukuran Tumor
% Berat Badan*
100 g 500 g 1 kg 1 3 kg BB = 60 kg A. 1200 kalorilhari B. 2800 kalorilhari
0.1 % 0.8 % 1.6 % 2,5 %
% Asupan MakananlHari A B 3,4 17,O 34,O 51 ,O
1,45 7,3 14,5 21,9
Walaupun anoreksia hampir selalu dijumpai pada kanker stadium lanjut, namun keadaan anoreksia juga acapkali ditemukan pada stadium dini. Anoreksia kanker tidak hanya ditemukan pada kanker saluran cerna namun juga pada kanker dari organ yang jauh letaknya dari saluran cerna. Mekanisme terjadinya belum jelas benar. Beberapa kemungkinan yang dipikirkan sebagai penyebabnya, antara lain (1)efek lokal dari tumor, (2)gangguan pada cita rasa, (3)gangguan fungsi hipotalamus, dan (4)efek dari pengobatan
ANOREKSIAAKIBAT PENGOBATAN Anoreksia akibat sitostatika telah lama dikenal. Selain anoreksia, sitostatika juga menyebabkan muntah stomatitis dan gangguan fungsi saluran cerna, yang antara lain disebabkan atrofi mukosa saluran cerna. Radiasi menyebabkan atrofi mukosa mulut yang kemudian menyebabkan hilangnya fungsi pengecap mulut. Demam pada paslen kanker non-netropenla
Obat dan transfusi Kultur darah + bahan lainnya += evaluasi penyebab demam. Bila sepsis antibiotik spektrum luas. Bila tidak sepsis "waif & see" + obat kanker
* FUO : Febris of unknown origin
CT scan bila perlu beri obat anti jamur + gansiklovir + kotrimoksasd
BAL : Bmncho- alveolar lavage
Gambar 1. Algoritrne penatalaksanaan dernam pada pasien kanker
KAKEKSIA AKlBAT GANGGUAN METABOLISME TUBUH Kaheksia kanker memiliki tanda-tanda khusus (Tabel 8). Penelitian pada 200 pasien kanker dengan malnutrisi melaporkan bahwa metabolisme tubuh yang normal, menurun, dan meningkat didapat pada masing-masing 4 1 %, 33%, dan 25% pasien. Peneliti tersebut menemukan bahwa penurunan berat badan tetap terjadi walaupun metabolisme basalnya normal. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa metabolisme protein meningkat 50% pada pasien kanker walaupun tak ada perubahan pada pemakaian energi basal.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENGOBATAN SUPORTIF PADA PASIEN KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Metabolisme glukosa pada pasien kanker abnormal. Beberapa peneliti dapat menunjukkan bahwa glukoneogenesis meningkat pada pasien dengan kanker. Pasien dengan tumor yang besar bahkan tidak mampu menekan glukoneogenesis pada pasien kanker yang mendapat infus glukosa; keadaan seperti yang biasa terlihat pada pasien dengan resistensi insulin. Mungkin reseptor P-pankreas menjadi kurang sensitif terhadap rangsangan ringan untuk memproduksi insulin. Karena insulin berperan penting dalam anabolisme jaringan maka keadaan yang dikemukakan tersebut memegang peranan paling penting dalam proses terjadinya pengecilan massa otot pasien. Berbagai laporan menunjukkan berbagai sitokin dan polipeptida yang terbentuk dalam tubuh pasien kanker berperan penting terhadap berbagai gangguan metabolisme yang terjadi, yaitu (1) anoreksia, (2) stimulasi metabolisme basal, (3) stimulasi konsumsi glukosa, (4) mobilisasi cadangan lemak dan cadangan protein, (5) penurunan aktivitas enzim adipocyte lipoprotein, (6) meningkatkan pelepasan asam amino otot, dan (7)meningkatkan aktivitas transportasi asam amino hati. Sitokin yang berperan dalam terjadinya gangguan metabolisme pasien kanker adalah antara lain Tumor Necrosis Factor (TNF) dan interleukin (IL). Penelitian menunjukkan bahwa berbagai sitokin tersebut tidak hanya diproduksi oleh sel-sel yang berperan dalam respons imunitas tubuh namun juga oleh sel-sel kanker tersebut (autokrin). Percobaan binatang yang disuntik dengan TNF menunjukkan bahwa TNF dapat menimbulkan hiperglikemia dalam waktu satu jam setelah penyuntikan. Kenaikan glukosa darah ini ternyata disertai dengan kenaikan kadar glukagon, ACTH, kortikosteron dan epinefrin. Percobaan lain yaitu dengan cara inkubasi sel adenokortikol dengan TNF ternyata dapat merangsang sekresi kortisol seperti ACTH. Berbagai percobaan telah membuktikan bahwa IL-1 dapat menyebabkan hiperglikemia seperti TNE Peneliti lain dapat menunjukkan bahwa bersama dengan keadaan hiperglikemia tersebut terjadi konsumsi glukosa berlebihan oleh otot. Penyuntikan IL-lb merangsang sekresi insulin oleh sel-sel Langerhans. Penyuntikan TNF pada binatang percobaan yang terpapar dengan 2-deoksiglukosa mengakibatkan uptake glukosa meningkat 80-100% pada hati, limpa dan ginjal. Uptake di kulit meningkat 60%, paru-paru 30-40 %, ileus 30-40%, dan diafragma 150% (tertinggi). Sedangkan pada otot dan kulit tak ada kenaikan uptake glukosa.
GANGGUAN METABOLISME PROTEIN Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mempelajari efek sitokin terhadap metabolisme protein otot pada pasien
Substrat Air
Lemak
Karbohidrat Protein
Parameter Klinis Cairan tubuh Balans energi Energi cadangan Massa lemak tubuh Aktivitas LPL Penghancuran lemak Kadar lipid serum Glokuneogenesis Resistensi terhadap insulin Konsumsi glukosa Massa otot Proteolisis otot Pelepasan asam amino otot Sintesis protein hati Transportasi asam amino hepat Balans nitrogen
meningkat negatif berkurang berkurang meningkat meningkat meningkat meningkat ada meningkat mengecil meningkat meningkat meningkat meningkat negatif
kanker dan menunjukkan bahwa penyuntikan TNF dan IL1 pada binatang percobaan akan menyebabkan degradasi protein otot. Sungguhpun demikian penelitian lain menunjukkan bahwa penggunaan antibodi untuk menghambat kerja IL- 1 tidak menghambat degradasi protein otot. Hal tersebut menimbulkan pemikiran adanya mediator lain yang berperan dalam cara kerja sitokin. TNF tidakl kurang mempengaruhi metabolisme, TNF hanya meningkatkan degradasi oleh kortikosteroid, yang dirangsang produksinya oleh TNF. Para peneliti telah menunjukkan bahwa TNF meningkatkan transportasi asam amino hati. Para peneliti telah dapat pula menunjukkan bahwa antibodi anti TNF dapat mengurangi transportasi asam amino hati. Interleukin-b bersama-sama glukokortikoid juga dapat menghambat transportasi asam amino hati. Glutamin adalah asam amino yang paling banyak diselidiki pada pasien kanker. Hal ini disebabkan oleh karena (a) glutamin adalah sumber energi utama pada berbagai kanker, (b) glutamin adalah asam amino manusia yang paling banyak jumlahnya dan bentuk cadangannya amat labil, (c) glutamin adalah asam amino yang paling banyak digunakan pada mitokondria sel kanker. Konsumsi glutamin oleh jaringan kanker dapat mencapai 50% atau lebih. Jumlah ini lebih besar dari konsumsi organ tubuh yang manapun. Kadar glutamin yang rendah dapat merupakan mediator poliolisis dalam tubuh. Kadar glutamin terus menurun walaupun sebaliknya pelepasan glutamin oleh otot makin meningkat. Penelitian pada binatang percobaan yang menderita sarkoma methylcholantherene menunjukkan (a) penggunaan glutamin oleh jaringan yang melebihi pelepasan glutamin oleh otot (b) adanya peningkatan penggunaan glutamin oleh hati (c) di samping penggunaan oleh sel tumor
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOGI MEDIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
GANGGUAN METABOLISME LEMAK
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa berkurangnya cadangan lemak pada pasien kanker diakibatkan oleh kemampuan TNF dan IL- 1 memobilisasi cadangan lemak. Penyuntikan TNF pada binatang percobaan mengakibatkan kenaikan lemak trigliserid dalam waktu 2 jam. Penyuntikan IL-b dan TNF menurunkan aktivitas enzim lipoprotein lipase jaringan adiposa. Berbagai percobaan juga menunjukkan kenaikan kadar trigliserid setelah injeksi TNF disebabkan oleh stimulasi sekresi lipid oleh jaringan lemak.
PEMBERIAN NUTRlSl SUPORTIF PADA PASIEN KANKER Ada beberapa kriteria yang dipakai sebagai landasan pengobatan nutrisi suportif pada pasien kanker, antara lain: bila pasien tidak marnpu untuk mengkonsumsi 1000 kalori sehari, bila terjadi penurunan berat badan lebih dari 10% berat badan pasien sebelum sakit, kadar albumin serum kurang dari 3,5 g%, kadar transferin serum menurun, ada tanda-tanda penurunan daya tahan tubuh. Kebutuhan kalori pada seorang pasien dapat dihitung sebagaimana akan diterangkan kemudian. Nutrisi suportif ini dapat diberikan secara enteral atau parenteral bergantung pada keadaan pasien. Kebutuhan kalori seorang pasien kanker adalah kebutuhan kalori basal ditambah 30-60% kalori basal. Kalori basal : Laki-laki 27-30 kaVkg BB idealkari *. Perempuan 23-26 kalkg BB idealhari Kalori tarnbahan : Aktivitas sehari-hari: 10%-30% kalori basal Keadaan hiperkatabolik: - ukuran tumor; 0-7% kalori basal - infeksi, sepsis; 10-15% kalori basal Kebutuhan protein adalah 0,6-0,s grkg berat badan ideal per hari. Untuk mengganti kehilangan nitrogen tubuh diperlukan tambahan 0,5 per kg berat badan ideal per hari. Pengobatan nutrisi suportif dapat diberikan dengan dua cara, yaitu: enteral melalui saluran cerna parenteral melalui pembuluh darah balik Apabila tidak terdapat gangguan faal absorpsi makanan dalam saluran cerna, maka disarankan untuk memberikan bahan nutrisi melalui saluran cerna. Bila tidak mungkin memberikan bahan makanan langsung melalui mulut, maka dapat digunakan pipa gastrostomi atau jejunostomi.
Pada pasien kanker acapkali terdapat gangguan absorpsi bahan nucrisi sehingga harus diberikan nutrisi parenteral. Bahan makanan langsung dimasukkan ke aliran pembuluh darah balik melalui kateter. Karena bahan nutrisi dapat menyebabkan iritasi pada dinding pembuluh darah vena, maka apabila diperlukan pemberian nutrisi parenteral untuk jangka panjang atau berulang-ulang, cairan nutrisi hams dimasukkan ke dalam pembuluh vena yang cukup besar. Pada umurnnya dipilih vena subklavia sebagai tempat masuknya kateter. Berbagai penelitian menganjurkan untuk tetap berusaha memberikan makanan melalui saluran cerna. Dengan kata lain pemberian makan melalui saluran cerna tetap merupakan prioritas utama pada pasien kanker. Hal ini disebabkan alasan sebagai berikut : (1). memelihara saluran cerna, (2).memelihara aktivitas fisik dan enzim saluran cerna, (3).mempertahankan peranan sistim imunitas saluran cerna, (4). mempertahankan fungsi mukosa sebagai barier, (5). memelihara keutuhan keseimbangan flora usus, (6). meningkatkan hasil pengobatan kemoterapi dan radioterapi
Nyeri Kanker umumnya merupakan nyeri kronik. Penatalaksanaan nyeri kanker agak berbeda dengan nyeri lain, memerlukan pengetahuan yang perlu dipelajari dengan baik, yang meliputi penilaian patofisiologi nyeri, pemakaian obat yang sesuai dengan tingkatan nyeri serta antisipasi efek samping obat nyeri.
Patofisiologi Nyeri Secara garis besar dan berhubungan dengan pengobatan nyeri, nyeri dibagi atas 3 kelompok: nyeri somatik, termasuk disini nyeri tulang nyeri viseral, nyeri pada organ dalam seperti hepatoma, kanker pankreas nyeri neurogenik, yang berhubungan dengan kerusakan saraf Pada kenyataan sehari-hari, sering ditemukan nyeri tersebut merupakan gabungan dari ketiga ha1 di atas. Tingkatan Nyeri Untuk memudahkan dalam penilaian nyeri, maka dibuat alat bantu untuk menilai nyeri yang sering dipakai adalah Visual Analog Scale (VAS). VAS merupakan derajat tingkatan angka dari 1 sampai 10, dibagi 3 kelompok besar yaitu: Nyeri ringan, VAS 1-3 Nyeri sedang, VAS 4-6 Nyeri berat, VAS 7- 10 Pembagian ini dibuat, agar memudahkan dalam menentukan pengobatan nyeri.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1493
PENGOBATAN SUPORTIF PADA PASIEN KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 10 C M VISUAL ANALOG SCALE (VAS)
1
~ i d a ada k nveri
Nye" Maksimal
(
Garnbar 2. Skala penilaian derajat nyeri
Pedoman Pengobatan Nyeri Pedolnan pengobatan nyeri kanker 4 ang sering digunakan dan mudah pemakaiannya adalah Step Ladder f i r Puin. Pedoman ini sangat praktis dan mudah dimengerti, sehingga Badan Kesehatan Dunia, WHO, menganjurkan agar pedoman ini dipakai dalam penatalaksanan nyeri kanker.
Gambar 3. Tiga langkah pengobatan nyeri kanker
membuat pedotnan yank! bisa dipakai untuk mengobati pasien kanker dengan nyeri. Pedoman ini antara lain, sebagai berikut. Oral. Sebaiknya obat yang diberikan secara oral, karena sangat rnemudahkan dan tidak tergantung kepada orang lain. Step ladder grridunce Pemberian obat nyeri berdasarkan pedoman tinggi rendahnya rasa nycri Aroundtheclock. Pemberian obat nyeri hams tepat waktu, misalnya setiap 12 jam, tnaka jika pasien tidur pada jam makan obat, pasien harus dibangunkan, sehingga pengaturan jam makan obat harus diperhitungkan dengan jarn tidur pasien. Individualistik. Pengobatan nyeri disesuaikan dengan keadaan pasien. Walaupun ada pedo~nanumum, namun setiap pasien diberlakukan secara individual artinya satu
pasien dengan pasien yang lainnya belum tentu mendapat cara pengobatan yang sama, setiap pasien mempunyai kekhasan masing-masing. Attention to detail. Harus selalu mempertahankan hal-ha1 kecil yang akan mempengaruhi nyeri dan hasil pengobatan. Penilaian nyeri merupakan dasar utama pengobatan nyeri kanker. Penilaian ini dilakukan berulang kali sesuai kondisi saat i tit. Sesuai dengan pedonian WHO, jika derajat nyeri yang ringan dengan nilai VAS 1-3 maka dapat diberikan obat golongan asetominofen, dengan dosis maksimal 3 gram per hari. OAINS. Hal yang sangat menarik akhir-akhir ini adalah OAINS golongan COX-2 seperti c,elrco.rih di samping dipakai untuk anti nyeri terutalna nyeri tulang. Obat ini juga bernianfaat sebagai pencegahanianti kanker yang bekerja sebagai anti angiogenesis yang sudah dilaporkan pada kanker pay udara. Jika lnasih dirasabn nyeri dengan obat di atas atau dari a%al sudah diketahui derajat nyeri sedang (VAS 4-6), maka selain obat di atas dapat ditambahkan opioid ringan sepel-ti kodein. Dosis maksimal yang diberikan 6 kali 30 mg. Akhir-akhir ini sering juga dipakai tramadol namun laporan untuk pemakaian jangka lama belu~nada, khusus untuk kanker dosis maksimal600 mglhari. Jika masih nyeri atau dari awal sudah termasuk nyeri berat (VAS 7-10), maka diberikan opiod, golongan mortin, dan seharusnya dalam 24 jam nyeri sudah harus terkendali dengan baik. Pemberian morfin dapat diberikan dengan inisial bolus dilanjutkan derigan infils drip dengan dosis yang disesuaikan dengan kebutuhan. Dosis maksimal morfin tidak ada, artinya selarna tidak ada efek samping yang mengganggu, dosis morfin bisa dinaikkan. Walaupun tidak ada dosis maksimal morfin, namun beberapa ha1 yang perlu diperhatikan adalali, setiap pemberian mortin hari~sdiikuti oleh peniberian laksan, jangan rnenunggu sampai tilnbul konstipasi, karena akan menyulitkan dalam penatalaksanaan konstipasi tersebut. Efek ketergantungan boleh dikatakan tidak ada jika diberikan sesuai pedoman. Efek rnengantuk sangat individual. Morfin yang tersedia di pasaran di Indonesia adalah: Morfin anipul. Obat ini dberikan untuk nyeri hebat dan beker-ja cepat, dapat diberikan bol~ispelan (biasanya 2,5 mg) Morfin rnrn~c~clrtrtc~. Obat ini diberikan 4-6 kali per hari, dosis disesuaikan keperluan, biasanya dipakai pada awal pengobatan rnortin atau setelah infils morfin. Agar mudah i~ntukpen~aturantitrasi dosis, obat ini bisa diger~lsatau dibelah. Rclemcd Tuhlet). Obat ini MST (hlotphint. Slot~~iiled bekerja selarna 12 jam, sehingga biasanya diberikan 2 kali per hari, obat ini tidak boleh dibelah atau digerus karena efek lepas lambatnya akan hilang sementara harganya relatif inahal.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOGI MEDlK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Fentanil (Transdermal Patch). Obat ini agak berbeda dengan golongan opioid lain dalam bentuk kemasan, ia dipakai ditempel pada kulit (patch) clan lama kerja efektif 72 jam. Obat ini dilepaskan secara lambat dan mulai bekerja setelah 12-17 jam, sehingga dipakai sebagai terapi pemeliharaan setelah nyeri terkontrol dengan morfin yang lain. Obat ini biasanya ditempel pada dinding dada.
berupa ansietas dan depresi. Gangguan ini sering terabaikan dan perhatian terhadap ha1 ini sering baru dibicarakan jika sudah ada gejala psikis yang sangat berat untuk menerima kondisi ini. Sesuai dengan prinsip umum bahwa pengobatan kanker adalahn multidisiplin, sebaiknya penatalaksanaan masalah ini bekerja sama dengan psikiater atau ahli psikosomatik.
MASALAH NEUROLOGIK MASALAH PERDARAHAN DAN KOAGULASI Masalah perdarahan merupakan masalah yang cukup merepotkan pada kanker, selain karena pertumbuhan sel kanker yang berupa ulseratif atau eksfoliatif yang mudah berdarah pada permukaan, juga sering didapatkan perdarahan di saluran cerna dan keganasan lain yang memerlukan transhsi darah. Kanker yang banyak disertai trombosis adalah antara lain pankreas, lambung, usus, ovarium, payudara, dan paru. Masalah koagulasi akhir-akhir ini berkembang pesat sekali, hubungan kanker stadium lanjut dengan kanker terutama yang berhubungan dengan hormop seperti kanker payudara mempunyai hubungan yang erat, dan tidak jarang ditemukan gambaran hiperkoagulasi pada pemeriksaan hemostasis dan sebagian kecil juga dilaporkan trombosis vena dalam pada beberapa pasien. Koagulasi intravaskulardiseminata (KID) tidak j arang ditemukan pada penyakit keganasan dan memerlukan suatu pemeriksaan yang lebih baik. Samuel dkk., melaporkan bahwa hiperkoagulasi yang disertai trombosis banyak ditemukan pada pasien kanker. Hiperkoagulasi pada pasien kanker merupakan akibat polah sel kanker maupun sebagai akibat pemberian kemoterapi. Para peneliti beranggapan bahwa fibrin yang terbentuk pada keadaan hiperkoagulasi dapat meliputi sel kanker agar tidak dikenal oleh sistem imun tubuh kita. Di samping itu penelitian menunjukkan bahwa fibrin dapat merangsang sel kanker untuk angiogenesis yang diperlukan pada metastasis. Karena itu pemeriksaan hemostasis harus dilakukan pada pasien kanker dan pasien yang menderita hiperkoagulasi perlu mendapat antikoagulan baik oral (warfarin) atau injeksi (heparin atau heparin berberat molekul rendah). Mousa, melaporkan bahwa heparin menghambat angiogenesis dengan mengikat promotor angiogenesis yaitu Fibroblast Growth Factors dan Vascular Endothelial Growth Factors.
GANGGUAN PSlKlATRlK Pada umumnya penyakit kronik yang tidak sembuh akan mempengaruhi kondisi psikis seseorang, yang dapat
Ada beberapa gangguan neurologik yang cukup mengganggu seperti plegia, tic facialis, dll. yang memerlukan penanganan oleh neurolog.
MASALAH ANEMIA DAN DEPRESI SUMSUM TULANG Fatigue yang dihubungkan dengan anemia, merupakan masalah yang mengganggu kualitas hidup pasien. Pemberian eritropoietin akhir-akhir ini menjadi pilihan untuk mengatasi ha1 ini. Obat ini tergolong mahal sehingga pemakaian obat ini hams dipertimbangkan sesuai asas manfaat. Anemia amat berpengaruh terhadap hasil pengobatan pasien kanker. Caro dkk., melaporkan bahwa anemia meningkatkan risiko kematian pada pasien kanker dengan peningkatan sebesar 65%. Dampak langsung sel kanker terhadap terjadinya anemia adalah melalui produksi TNFa dan IL-1 oleh sel kanker. Kedua sitokin tersebut menyebabkan sumsum tulang menjadi kurang sensitif terhadap eritropoeitin, sedangkan eritrosit yang terbentuk mempunyai umur (lifespan) lebih pendek daripada eritrosit orang normal, ha1 mana menambah risiko anemia pada pasien kanker. Di samping itu gangguan metabolisme (metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak) menambah risiko terjadinya anemia pada pasien kanker. Dunst dkk., telah melaporkan hubungan anemia pada pasien kanker dengan kadar VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor). Diperkirakan bahwa hipoksia akibat anemia dapat merangsang produksi VEGF oleh sel endotel. Sebaliknya VEGF amat diperlukan oleh sel kanker untuk angiogenesis saat metastasis Oleh karena itu kadar VEGF acapkali digunakan sebagai tanda agresifitas sel kanker pasien. Di samping hal-ha1 di atas, leukopenia dan trombopenia akibat kanker itu sendiri atau akibat pengobatan dapat mengakibatkan infeksi fatal dan perdarahan yang dapat berpengaruh buruk terhadap prognosis dan hasil pengobatan pasien. Dampak lain dari anemia yaitu fatigue, nafas pendek, gangguan keseimbangan, depresi, semuanya amat berpengaruh terhadap hasil pengobatan. Perlu diingat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENCOBATAN SUPORTIF PADA PASIEN KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI bahwa anemia gravis dapat menyebabkan gaga1 jantung yang dapat fatal.
MEMPERTAHANKAN INTEGRITAS TULANG
Beberapa jenis kanker misalnya prostat dan payudara mudah bermetastasis ke tulang. Metastasis ke tulang akan menyebabkan rasa sakit dan risiko patah tulang. Sel kanker mengeluarkan berbagai sitokin antara lain IL-6 yang dapat menyebabkan osteoporosis. Sebaliknya osteoporosis akan menyebabkan tulang memproduksi TGF-a yang dapat merangsang pertumbuhan sel tumor, suatu lingkaran setan. Obat-obat golongan bifosfonat seperti Bonefos, Aredia, Zometa, Actonel dapat menghambat lingkaran setan ini. Obat-obat ini perlu disertai bahan-bahan yang diperlukan untuk pembentukan tulang seperti Ca, Mg, vitamin D. Integritas tulang perlu dievaluasi secara periodik dengan quantitative computerized tomography bone mineral bone density stud' (QCT). Disarankan pemeriksaan ini dilakukan sekali setahun.
MENCEGAH DAN MENGHAMBAT ENZlM SIKLOOKSIGENASE (COX-2)
Makanan yang kita makan memegang peranan penting dalam terjadinya maupun progesivitas penyakit kanker. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah lemak jenuh dan tidak jenuh jamak yang dikonsumsi dan lemak "berbahaya" yang diproduksi dalam tubuh. Yang berperan penting adalah jalur metabolisme asam lemak omega-6 menuju salah satu jalur, di homo gamma linoleic acid (DGLA) atau asam arakidonik. Jalur asam arakidonik adalah jalur yang merugikan tubuh. Enzim yang berperan penting dalam jalur ini adalah enzim siklooksigenase (COX-2) yang menghasilkan pembentukan prostaglandin E2 (PGE-2). Dalam keadaan normal COX-2 dibutuhkan untuk berbagai metabolisme di otak, ginjal dan respons iman. Bila terdapat dalam jumlah berlebihan maka COX-2 akan berperan penting dalam berbagai jalur metabolisme yang menguntungkan sel kanker yaitu jalur angiogenesis, jalur proliferasi sel kanker dan pembentukan prostaglandin berlebihan. Sheeban dkk., melaporkan bahwa hasil penelitian epidemiologi selama 9,4 tahun menunjukkan pasien kanker kolon yang disertai kadar enzim COX-2 tinggi berada dalam stadium yang lebih lanjut, ukuran tumor yang lebih besar dan harapan hidup yang lebih pendek. Knorr, menunjukkan bahwa konsumsi aspirin (inhibitor COX-2) dapat menurunkan risiko terjadinya kanker kolon. Karena itu penggunaan obat anti enzim COX-2 perlu diupayakan, tentu saja secara tepat guna dan aman.
UPAYA MENEKAN AKTlVlTAS GEN RAS
Protein gen ras memegang peranan penting dalam regulasi proliferasi sel. Protein gen ras memegang peranan kunci dalam ha1 integritas penerusan sinyal-sinyal intra sel yang mengatur siklus sel dan proliferasi sel. Mutasi dari salah satu dari tiga kelompok gen Ras (HRas, N-Ras, K-Ras) akan mengakibatkan peningkatan tingkat proliferasi sel. Hal semacam ini ditemukan pada 3040% kanker pada manusia antara lain pankreas, kolon, tiroid, paru, hati, melanoma, dan leukemia mielositik akut. Protein Ras berperan sebagai protein yang meneruskan sinyal-sinyal intra sel dalam alur sinyal yang memerintahkan sel untuk membelah diri. Apabila ada rangsangan dari luar pada dinding sel, untuk membelah diri, maka alur penerusan sinyal ini akan menjadi aktif. Sebaliknya apabila tidak ada rangsangan maka protein Ras akan berada pada keadaan non-aktif. Apabila ada mutasi gen Ras maka protein ekspresi gen abnormal ini akan tetap berada dalam keadaan aktif. Akibatnya terjadi aktivasi alur yang abnormal yang memberikan instruksi bermitosis terus menerus. Agar dapat mengkode protein Ras yang gen Ras harus mengalami proses maturasi. Proses maturasi ini terjadi melalui beberapa tahap, yang terpenting adalah tahap farnesilasi. Enzim yang berperan dalam proses dalam proses farnesilasi adalah farnesyl transferase. Penelitian menunjukkan bahwa minyak ikan dan obat penurun kolesterol (lovastatin, simvastatin, pravastatin) menurunkan kadar 'yarnesyfated Ras protein".
MASALAH GANGGUAN FAAL GINJAL, HATI DAN JANTUNG
Pencegahan, deteksi dini, dan, jika ada, penatalaksanaan terhadap masalah ini dilakukan sebelum setiap kali pemberian, selama pemberian dan pasca pemberian tiap siklus kemoterapi dengan cara pemeriksaan laboratorium, menghindari obat yang toksik terhadap organ tersebut, serta mengatasi kelainan secepat mungkin bila terjadi.
REFERENSI Abramowicz M. 1991.Drugs of choice for cancer chemotherapy. The Medical Letter on Drugs and theurapeutics 33: 21-8. Adachi 0,Kawsai T, Takeda, et al. 1998. Targeted disruption of the MyD88 gene results in loss of IL-l and IL-18-medicated function. Immnunity; 9:143-50. Bakemeir RF, Qazi R. 1993. Basic concepts of cancer chemotherapy and principles of medical oncology. In: P, McDonald S, Qazi R, eds. Clinical oncology: A multidisciplinary approach for physicians and students. 71h ed. Philadelphia: WB Saunders; 105-16. Balducci L. Estabilshment of guidelines for managing older cancer patients [online]. Available: http://www.medscape.com/ viewarticle/416482-15 [21 S.021.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOGIMEDIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Body JJ, Lossignol D, Ronson A. 1997. The concept of rehabilitation of cancer patients. Curr Opin Oncol; 9: 332-40. Body JJ. 1999. The syndrome of anorexia-cachexia. Curr Opin Oncol; l I: 255-60. Broaddus VC, Boylan AM, Hoeffel JM, et al. 1994. Neutralization of 11-8 inhibits neutrophill influx in a rabbit model of endotoxin-induced pleurisy. J Immunol; 152: 2960-7. Brody JE. 1991. Aspirin linked to aid in colon cancer fight. New York Times Dec 12, 141(48,812), A12. Bruera E, Fainsinger RL. 1993. Clinical management of cachexia and anorexia. In: Doyle D, Hanke G, McDonald N, eds. Oxford textbook of palliative medicine. Oxford: Oxford University Press; 330-6. Cafagna D, Ponte E. 1997. Pulmonary embolism of paraneoplastic origin. Minerva Med; 88(12): 523-30. Caro JJ, et al. 2001. Anemia as an independent prognostic factor for survival in patients with cancer: a systemic, quantitative review. Cancer; 91(12):2214-21. Caroline NL. 1996. Nutrition and hydration. In: Waller A, Caroline NL. Handbook of palliative care in cancer. Boston: ButtenvorthHeinemann; 45-57. Cazzola M. 2000. Mechanisms of anaemia in patients with malignancy: implications for the clinical use of recombinant human erythropoietin. Med Oncol; 17( Suppl. I): S 1 1-S 16. Cleton FJ. 1995. Chemotherapy : general aspects. In: Peckham M, Pinedo H, Veronesi U, eds. Oxford Texbook of Oncology. Oxford: Oxford University Press; 445-53. DeVita VT Jr. 1993. Principles of chemotherapy. In: DeVita VT Jr, Hellman S, Rosenberg SA. Cancer : Principles and Practice of Oncology. 41h ed. Philadelphia: JB Lippincot; 276-92. Dunst J, et al. 1999. Low hemoglobin is associated with increased serum levels of vascular endothelial growth factor (VEGF) in cancer patients. Does anemia stimulate angiogenesis? Strahlenther Onkol; 175(3): 93-6. Dworzak F, Ferrari P, Gavazzi C, Malorana C, Bozetti F. 1998. Effects if cachexias due to cancer on whole body and skeletal muscle protein turnover. Cancer; 82: 42-7. Eisenberg E, Borsook D, Le Bel AA. 1996. Pain in the terminally ill. In: Borsook D, Le Bel AA, Mc Peek B, eds. The Massachussens General Hospital Handbook of pain management. Boston: Little Brown and Co; 310-25. Ewer MS, Benjamin RS. 1993. Cardial toxicity of antineoplatic therapy. In: Cvitkovic E, Droz JP, Armand JP, Khoury S, eds. Handbook of chemotherapy in clinical oncology. Jersey: Scientific Communication International; 447-52. Foley KM. 1993. Management of cancer pain, supportive care and the quality of life of the cancer patient. In: De Vita V, Hellman S, Rosenberg S, eds. Cancer principle and practice of oncology. 4Ih ed, vol 2. Philadelphia: Lippincott; 2417-37. Freireich EJ. 1993. Principle of combination therapy. In: Cvitkovic E, Droz JP, Armand JP, Khoury S, eds. Handbook of chemotherapy in clinical oncology. Jersey: Scientific Communication International; 69-72. Gibbs JB, Kohl NE, Koblan KS, et al. 1996. Farnesyltransferase inhibitors and anti-ras therapy. Breast Cancer Res Treat; 38(1):75-83. Greco M. 1995. Achievements and obstacles to progress in cancer surgery. In: Peckham M, Pinedo H, Veronesi U, eds. Oxford Texbook of Oncology. Oxford: Oxford University Press; 865I .
Heber D. 1999. Cancer cachexia and anorexia, In: Heber D, ed. Nutritional Oncology. 1" ed, San Diego : Academic Press; 53746.
Henshaw EC, Schloerb P. 1993. Nutrition and the cancer patient, In: Rubin P, McDonald S, Qazi R, eds. Clinical oncology: A multidisciplinary approach for physicians and students. 7thed. Philadelphia: WB Saunders;; 691-9. Jatoi A, Kumar S, Sloan JA, Nguyen PL. 2000. On appetite and its loss. J Clin Oncol;l8: 2930-2. Kramer ZB, Keller JW, Rubin P. 1993. Oncologic emergencies. In: Rubin P, McDonald S, Qazi R, eds. Clinical oncology: A multidisciplinary approach for physicians and ~tudents.7'~ ed. Philadelphia: WB Saunders; 147-58. Klastersky J. 1993. Prevention and treatment of infections related to chemotherapy. In: Cvitkovic E, Droz JP, Armand JP, Khoury S, eds. Handbook of chemotherapy in clinical oncology. Jersey: Scientific Communication International; 477-81. Leonard WJ, Depper JM, Grabutree GR, et al, 1984. Molecular cloning and expression of cDNAs for the human interleukin-2 receptor. Nature;3 11: 626-3 1. Lichtman SM. Age-related renal changes [online]. Available: http:/ /www.medscape.com/viewarticle/4 16482-2 [2 1.5.021. Lichtman SM. Age-related toxicity of chemotherapy [online]. Available: http://www.medscape.com/viewarticle/416482-3 [2 1.5.021. Lichtman SM. Age-related toxicity of chemotherapy in women with breast cancer [online]. Available: http://www.medscape.com/ viewarticle/416482-7 [21.5.02]. Lichtman SM. Managing cardiotoxicity related to chemotherapy [online]. Available: http:llwww.medscape.com/viewarticle/ 416482-6 [21.5.02]. Lichtman SM. Managing mucositis related to chemotherapy [online]. Available: http://www.medscape.corn/viewarticle/416482~5 [21.5.02]. Lichtman SM. Managing neutropenia related to chemotherapy [online]. Available: http:llwww.medscape.com/viewarticle/ 41 6482-4 [21.5.02]. Lichtman SM. Prevention of age-related toxicity [online]. Available: http://www.medscape.com/viewarticle/4164825 [21.5.02]. Marks DL, Ling N, Cone RD. 2001. Role of the central melanocortin system in cachexia. Cancer Res; 61: 1432-8. Mosmann TR, Sad S. 1996. The expanding universe of T-cell subsets: T h l , Th2 and more. lmmunol Today;I 7: 138-46. Mousa SA, 2002. Anticoagulants in thrombosis and cancer: the missing link. Semin Thromb Hemost; 28(1):45-52. Muegge K, Williams TM, Kant J, et al. 1989. Interleukin-l costimulatory activity on the interleukin-2 promoter via AP1. Science; 246:249-5 1. Murphy PM, Tiffany HL. 1991. Cloning of complementary DNA encoding a functional human interleukin-8 receptor. Science; 253:1280-3. Noonvati S, Reskodiputro AH. 2003. Peran nutrisi pada keganasan. Simposium HUT RS Kanker Dharmais. Jakarta Prema P, Peethambaran, Charles L. 1997. Management of cancer anorexia and cachexia in supportive care. In: Klastersky J. Cancer-A handbook for oncologist, 2" ed, New York: Marcel Dekker Inc; 297-304. Puccio M, Nathanson L. 1997. The cancer cachexia syndrome. Semin Oncol; 24(3): 277-87. Reksodiputro AH, Atmakusuma D, Prayogo N, Susilowati I, Dunda G 1999. Pengobatan suportif pada pasien kanker. Seminar Upaya Penanggulangan Penyakit Tidak Menular dalam Menyongsong Milenium Ketiga, Jakarta. 4 November. Reksodiputro AH, Prayogo N, Susilowati I, Dunda G, Atmakusuma D. 1999. Pengobatan suportif pada pasien kanker. Seminar Tim Penanggulangan Kanker RS Pelni. Jakarta. 20 November.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1497
PENGOBATAN SUPORTIFPADA PASIEN KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Reksodiputro AH, Sutandio N, Nafrialdi, Yunihastuti E. 2001. Beberapa aspek pengobatan suportif pada pasien kanker. Prosiding Pertemuan llmiah Tahunan 2001 IPD FKUI. Jakarta. Richard A, Jeffrey N. Pathophysiology of cancer cachexia. In: Doyle D, Hanke G, McDonald N, eds. Oxford textbook of palliative medicine. Oxford: Oxford University Press; 316-27. Rosenbaum EH, Rosenbaum I, Andrews A, Spiegel D. 2005. Fifth dimension cancer supportive care [online]. Available: http:/l www.cancersupportivecare.com/5index.html [accessed 16.3.051. Rosenberg SA. 1993. Principles of surgical oncology. In: DeVita VT Jr, Hellman S, Rosenberg SA. Cancer : Principles and Practice of Oncology. 4Ih ed. Philadelphia: JB Lippincot: 238-47. Rougier. 1993. Regional and intracavitary chemotherapy. In: Cvitkovic E, Droz JP, Armand JP, Khoury S, eds. Handbook of chemotherapy in clinical oncology. Jersey: Scientific Communication International; 140-82. Rufie P. 1993. Pulmonary toxicity of antineoplatic agents. Cvitkovic E, Droz JP, Armand JP, Khoury S, eds. Handbook of chemotherapy in clinical oncology. Jersey: Scientific Communication International; 453-9. Schmid J, Weismann C. 1987. Induction of mRNA for a serine protease and a beta-thromboglobulin-like protein in mitogenstimulated human leukocytes. J Immunol; 139:250-6. Schroder JM, Mrowietz U, Morita E, Christophers E. 1987. Purification and partial biochemical characterization of human monocyte-derived, neutrophil-activating peptide that lacks interleukin-l activity. J Immunol; 139: 3474-83. Sears B. 1995. The zone: a dietary road map. New York: Harper Collins. Sekido N, Mukaida N, Harada A, et al. 1993. Prevention of luna reperfusion injury in rabbits by a monoclonal antibody against interleukin-8. Nature; 365: 654-7. Sheehan K, Sheahan K, O'Donoghue DP, et al. 1999. The relationship between cyclooxygenase-2-expression and colorectal cancer. JAMA;282(13): 1254-7.
Shornick LP, De Togni P, Mariathasan S, et al. 1993. Mice deficient in IL-l beta manifest impaired contact hypersensitivity to trinitrochlorobenzene. J Exp Med; 183: 1427-36. Smith JW, Longo DL, Alvord WG, et al. 1993. The effects of treatment with interleukin-l alpha on platelet recovery after high-dose carboplatin. N Engl J Med; 328: 756-61. Souba WW. 1997. Nutritional Support. In: DeVita VT Jr, Hellman S, Rosenberg SA, eds. Cancer principles & practice of oncology. 5Ih ed. Philadelphia: Lippincott-Raven; 2841-57. Taniguchi T, Matsui H, Fujita T, et al. 1983. Structure and expression of a cloned cDNA for human interleukin-2. Nature;302-5 Tayek JA, 1999. Nutritional and biochemical aspects of the cancer patient. In: Heber D, Blackbum GL, Go VLW, eds. Nutritional Oncology. 1" ed, San Diego: Academic Press; 519-36. Tisdale MJ.1997. Biology of cachexia. J Natl Cancer Inst; 89: 17631773. Vincent P, Schonwetter RS. 2001. Assessment and management of pain in palliative care patients. Cancer Control, JMCC8 (1):1524. Moffit Cancer Center & Research Institute). Von Hoff DD, Hanauskel AR. 1993. Medical Oncology. In: Cvitkovic E, Droz JP, Armand JP, Khoury S, eds. Handbook of chemotherapy in clinical oncology. Jersey: Scientific Communication International; 89-90. Walz A, Paveri P, Aschauer H, Baggiolini M. 1987. Purification and amino acid sequencing of NAF, a novel neutrophil-activating factor produced by monocytes. Biochem Biophys Res Commun; 149: 755-61 Wang JM, Su S, Gong W, Oppenheim JJ. 1998. Chemokines, receptors, and their role in cardiovascular pathology. Int J Clin Lab Res; 28:83-90. World Health Organization (WHO). 1998. Cancer pain relief and palliative care. In:. Manual on the prevention and control of common cancers. Manila: WHO Regional Pub; 125-75.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
NEUTROPENI FEBRIL PADA KANKER Dody Ranuhardy
PENDAHULUAN Neutropeni Febril atau demam neutropeni merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien kanker yang sedang menjalani pengobatan kemoterapi dan dapat memberikan dampak kematian yang sangat besar bagi pasien apabila tidak tertatalaksana dengan baik. Infeksi yang terjadi dapat menyebabkan pasien jatuh ke dalam sepsis, syok septik, dan akhirnya meninggal. Tahun 1969National Cancer Institute USA melaporkan kematian 50% pasien yang mengalami bakteremia Pseudomonas aeruginosa karena keterlambatan pengobatan, fokal infeksi yang tidak terdeteksi, maupun antibiotik yang tidak akurat. Konsep yang dianut pada saat itu adalah tidak memberikan antibiotik sarnpai terbukti bahwa infeksi benarbenar terjadi, demam saja tidaklah cukup. Tetapi dengan adanya laporan di atas menjadi jelas bahwa sebenarnya tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan mikrobiologi untuk segera memulai pengobatan secara cepat dan akurat yakni dengan memberikan pengobatan empirik. Pada penelitian 33 pasien kanker yang mengalami sepsis di RSCM dan RS Kanker Dharmais didapatkan 54% meninggal, sebagian besar karena infeksi bakteri gram negatif (55,26%), gram positif (39,47%) dan jamur (5,26%). Kemajuan tatalaksana demam neutropeni akan sangat berpengaruh terhadap kematian yang ditimbulkannya. Pada penelitian 3080 pasien Neutropeni Febril yang dilakukan oleh EORTC (European Organization for Research and Treatment of Cancer) dan IATCG (International Antimicrobial Therapy Cooperative Group) tahun 1997 didapatkan angka mortalitas sebesar 8,7%. Di Indonesia, belum ada data nasional besarnya angka kematian demam neutropeni sementara di RS Kanker Dharmais antara tahun 1999/2000/2002 bervariasi antara 12,5%-38,8 %.
Perbedaan angka kematian tersebut dimungkinkan oleh karena belum tersosialisasikannya strategi baku diagnosis dan tatalaksana demam neutropeni di Indonesia. Selain itu kondisi lingkungan, pola infeksi, keterbatasan fasilitas laboratorium dan dana merupakan kendala yang sangat berpengaruh terhadap perbedaan angka kematian tersebut.
-
Meninggal Hidup
-
-
Jan Mar 1999
Mei Juli 2000
Jan Des 2002
N 1 7
N 2 7
N 7 11
% 12,5
87,5
% 22,2 77,8
% 38,8 61,2
Catatan : : 37 pasien Jumlah Pasien RllM 2002 Dapat dievaluasi : 18 pasien Tak Dapat dievaluasi : 19 pasien (bukan netropeni, data tak lengkap, dsb)
DEFlNlSl DEMAM NEUTROPENI Demam adalah suhu oral >38"C dua kali pengukuran yang berlangsung lebih dari 1jam atau pada dua kali pengukuran dalam waktu 12jam, atau suhu oral >38,3"C dalam satu kali pengukuran dan tidak didapatkan tanda-tanda non infeksi. Neutropeni adalahjumlah neutrofil (batang dan segmen) kurang dari 500 sel/mm3 dengan kecenderungan turun menuju 500 sel/mm3dalam 2 hari berikutnya. Demam tak dapat diterangkan yakni demam yang tidak disertai tanda klinis infeksi atau tidak ditemukannya infeksi secara mikrobiologis. Demam klinis terbukti infeksi yakni demam dan didapatkan tanda klinis infeksi seperti pneumonia, infeksi kulit atau jaringan lunak, tetapi secara mikrobiologis tidak ditemukan patogen.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1499
NEUTROPENI FEBRIL PADA KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Infeksi terbukti secara mikrobiologi dengan atau tanpa bakteremia, yakni ditemukannya bakteri pathogen pada tempat infeksi atau ditemukannya bakteri patogen pada kultur darah walaupun pada lokasi infeksi tidak ditemukan. Pengambilan kultur haruslah dapat diyakini dan dipercaya korelasinya.
Pasien dengan kanker akan lebih mudah mendapatkan infeksi dibandingkan dengan non-kanker. Demikian halnya dengan pasien kanker darah akan lebih mudah dan lebih sering mengalami infeksi dibandingkan dengan pasien kanker solid. Pada pasien kanker terutama kanker darah, anemia aplastik dan pasien yang mendapatkan imunosupresan setelah transplantasi sumsum tulang akan mengalami neutropeni yang berkepanjangan, defek pada fagositosis, gangguan sistim imun seluler dan atau humoral. Semua ini akan berdampak pada lebih tingginya kejadian infeksi dan lebih luasnya spektrum infeksi yang terjadi, serta terhadap hasil pengobatan secara keseluruhan. Pada kanker padat, penekanan terhadap sistim imun tidaklah terlalu bermakna tetapi lebih ditekankan pada kerusakan barier anatomik seperti kulit, permukaan mukosa, fenomena obstruksi (misalnya kanker paru-paru, kanker traktus bilier), tindakan operasi, radiasi, penggunaan kateter, prostesis. Walaupun neutropeni akibat kemoterapi terjadi pula kepada pasien kanker padat, biasanya hanya berlangsung singkat dan tidak seperti pada kanker darah sehingga risiko dan kejadian infeksi lebih sedikit dibandingkan dengan kanker darah. Beberapa faktor predisposisi terjadinya infeksi pada pasien kanker adalah sebagai berikut: Neutropenia.Berhubungan dengan pemberian kemoterapi, radiasi, infiltrasi sumsum tulang serta obat-obatan (misalnya ganciclovir). Tidak seperti pada kanker darah, pada kanker solid biasanya fungsi-fungsi netrofil masih normal dan pemberian kemoterapi konvensional jarang mengakibatkan neutropeni yang berat, dan berlangsung kurang dari 1 minggu, oleh karena itu biasanya digolongkan dalam low risk. Kerusakan barier anatomis. Barier anatomis termasuk di antaranya kulit yang intaklutuh, mukosa orofaring, saluran nafas, gastrointesinal dan traktus genitourinarius mempunyai mekanisme pertahanan badan terhadap masuknya mikroorganisme. Pemberian Kemoterapi seringkali menyebabkan kerusakan mukosa, kemudian timbul kolonisasi kuman pada permukaan mukosa tersebut clan akhimya menirnbulkanrisiko kejadian infeksi. Beberapa jenis kemoterapi cenderung menyebabkan mukositis termasuk di antaranya adalah klorambusil, sisplatin, sitarabin (sitosin arabinoside, Ara C), doksorubisin, 5
fluorourasil dan metotreksat. Kerusakan barier mukosa ini juga dapat disebabkan oleh pengobatan radiasi, prosedur operasi, penggunaan kateter, sten, prostesis dan lain lain. Obstruksi. Fenomena obstruksi sering terjadi pada kanker primer maupun kanker metastatis. Pada kanker paru bronkogenik atau juga lesi metastasis paru seringkali menyebabkan obstruksi parsial saluran nafas kemudian terjadinya pneumonia post obstructive. Obstruksi traktus bilier pada pasien kanker hepatobilier dan pankreas seringkali menyebabkan kolangitis. Pada kanker serviks seringkali terjadi obstruksi uretra yang kemudian diikuti oleh infeksi traktus urinarius sedangkan pada kanker prostat dapat terjadi prostatitis. Pada keadaan ini infeksi disebabkan oleh bakteri yang mengadakan kolonisasi pada tempat obstruksi yang biasanya bersifat campuran atau polimikrobial. Tindakan medis. Beberapa tindakan medis seperti operasi, prosedur medis, pengobatan radiasi dan penggunaan kateter termasuk shunt, stents dan prostesis seringkali menyebabkan infeksi. Penggunaan multilumen kateter untuk pemberian transfusi darah atau komponen darah, pemberian kemoterapi, antibiotik dan suportif lain seperti nutrisi juga dapat meningkatkan kejadian infeksi. Kateter urin yang sering dipergunakan pada obstruksi atau inkontinensia urin berisiko untuk terjadinya infeksi traktus urinarius. Pada berbagai kasus kanker otak, seringkali dipergunakan shunt cerebrospinal. Pada saat terjadi infeksi pada pangkalnya akan menimbulkan gejala pusing, perubahan status mental dan meningisimus, sedangkan infeksi pada bagian ujung yakni rongga pleura atau rongga peritoneum dapat menyebabkan pleuritis atau peritonitis. Demikian juga pemasangan prostesis pada pasien-pasien osteosarkoma atau kanker tulang lainnya melalui tindakan operasi, tidak jarang menimbulkan infeksi yang terutama disebabkan oleh kolonisasi bakteri pada kulit. Faktor lain. Banyak kanker solid terjadi pada usia lanjut di mana defisiensi sistim imun terjadi akibat proses penuaan, malnutrisi, dan kakeksia kanker yang akan sangat berpengaruh terhadap kejadian dan beratnya infeksi serta respons pengobatan yang maksimal.
DERAJAT FAKTOR RlSlKO Derajat faktor risiko adalah risiko perburukan keadaan sampai terjadinya ancaman kematian pada pasien didasarkan pada jenis tumor solid atau hematologik, tipe kemoterapi konvensionallagressive, komorbiditas, lamanya neutropeni, ada tidaknya infeksi klinis, dan ada tidaknya tanda-tanda syok. Panduan tatalaksana pemberian antimikroba pada pasien neutropeni febril Jerman tahun 2003 membagi faktor risiko atas 3 kelompok, yakni risiko rendah, risiko menengah, dan risiko tinggi yang
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOGI MEDlK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
didasarkan atas definisi kelompok risiko dari AGIHO dan MASCC (Multinational Association of Supportive Care in Cancer). Pembagian faktor risiko dari Bakornas Hompedin (Badan Koordinasi Nasional Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia) tahun 2004 didasarkan pada jenis tumor solidlhematologi, tipe kemoterapi konvensional intensivelaggresive, komorbiditas, lamanya neutropeni, adanya tanda-tanda klinis infeksi dan adanya tanda-tanda syok sebagai berikut: Risiko rendah - Tumor solid - Kemoterapi konvensional - Tak ada komorbiditas - Neutropeni berlangsung singkat <3 hari - Tidak didapatkan infeksi klinis: SSP, pneumonia dan infeksi kateter - Tidak didapatkan tanda-tanda syok Risiko sedang - Tumor solid atau keganasan hematologi - Kemoterapi intensive atau PBSCT - Komorbiditasminimal - Neutiopeni berlangsung 3-7 hari - Didapatkan atau tidak didapatkan infeksi klinis - Ada atau tidak didapatkan tanda-tanda syok Risiko tinggi - Keganasan hematologi - Kemoterapi intensif/PBSC /BMT - Komorbiditas bermakna - Neutropeni berlangsung >7 hari - Didapatkan atau tidak didapatkan infeksi klinis - Ada atau tidak didapatkannya tanda-tanda syok Regimen kemoterapi konvensional umumnya tidak menyebabkan neutropeni yang berat walaupun memang pemberian kemoterapi pada kanker solid tergantung pada intensitas dosis yang diberikan. Oleh karena itu kejadian neutropeni febril tidaklah terlalu sering. Angka kejadian demam pada pasien kanker paru jenis sel kecil biasanya tak lebih dari 50%. Kejadian demam pada kanker ovarium yang mendapatkan kemoterapi paclitaxel dengan atau tanpa platinum berkisar 33%),dan pada kanker testis kurang dari 20%. Kemoterapi intensivelaggresive pada pasien kanker hematologi akan memberikan dampak neutropeni yang berat
Rata-Rata Jenis Ca masuk RllM -
-
1. Leukemia akut 2. Lirnforna 3. Ca Ovarium 4. PTG 5. Ca Testis
Hari rawat
dan lama sehingga kejadian neutropeni febril pun akan lebih sering. Pada suatu penelitian retrospektif di University Hospital of Zurich, insidens neutropeni febril pada pasien leukemia akut didapatkan sebesar 86%. Demikian pula halnya denganjenis leukemia, pada AML, rata-rata kejadian neutropeni febril lebih tinggi dibandingkan dengan pada ALL, yakni 6040% berbanding 40-60%. Dalam ha1 larnanya neutropenia, rata-rata pada AML berkisar antara 17-20 hari sedangkan pada ALL berkisar 13- 14 hari.
GAMBARAN KLlNlS NEUTROPENI FEBRIL
DAN
DIAGNOSIS
Hal yang penting dalam diagnosis neutropeni febril adalah adanya demam dan neutropeni sesuai dengan definisi di atas. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah pengertian tentang demam tak dapat diterangkan, demam klinis terbukti infeksi, demam terbukti secara mikrobiologis. Pada pasien neutropeni febril, 40-60% demam tak dapat diterangkan, 25-40% demam terbukti secara klinis ataupun mikrobiologis. Sedangkan demarn neoplastik karena tumor lisis berkisar 4 4 % . Pengamatan pasien neutropeni di Ruang Isolasi Imunitas Menurun (RIIM) RS Kanker Dharmais Januari 2002 Sampai Desember 2002 memperlihatkan bahwa hanya 28% (5118) pasien neutropeni febril yang terbukti secara mikrobiologis. Gambaran pasien neutropeni di RIIM RSKD dapat dilihat pada Tabel 2. Pada pasien neutropeni, infeksi dapat teqadi mulai dari saluran cerna atas atau bawah yakni berupa stomatitis, periodontitis, esofagitis, kolitis dan lesi perianal, infeksi saluran pernapasan atas atau bawah berupa pharyngitis, sinusitis, pneumonia, atau bronkopneumonia, serta infeksi kulit oleh karena trauma lokal ataupun kateter vena. Gambaran tempat-tempat terjadinya infeksi pada pasienpasien di RSKD dapat dilihat pada Tabel 3. Selain gambaran klinis tersebut di atas, diperlukan juga pemeriksaan penunjang lain dalam mendiagnosis dan menentukan pengobatan yang akan diberikan antara lain: pemeriksaan radiologis berupa foto toraks, pemeriksaan laboratorium rutin darah tepi, kimia darah, hngsi hati, fungsi ginjal, CRP kuantitatif, laboratorium khusus mikrobiologi yakni kultur darah, urin, faeces, dan swab
Leukosit Nadir
Dengan Febris
Tanpa Febris
299 240 200 300 600
6 4 2 0 0
5 1 0 1 1
Kultur darah
Rasio rneninggallhidup
4 1 ? ? 0
615=1.2 1/3=0.3 012=0 011=O 011=O
-
9,64 11,2 10,5 11,O 8,O
69 42 50 3,O
7,O
Keterangan HKT : Hari Kemoterapi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
NEUTROPENI FEBRIL PADA KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Fokal lnfeksi
Januari-Maret 1999
MeiJuli 2000
4 1 2 0 0 1 2
1 1 1 1 2 0 5
URTl Bronkopneumonia Stomatitis Gastrointestinal Ulkus pada kulit Flebitis Tidak ditemukan
tenggorok. Ketentuan-ketentuan pengambilan sampel kultur darah sebagai berikut: CNS (Coagulase Negative Staphilococcus) dan corynebacteriumhams 2 kali positif pada sampel darah kultur yang terpisah. Bila hanya sekali positif berarti kontaminasi. Infeksi paru, sampel hams dari BAL (Bronchoalveolar Lavage) atau darah. Sampel dari swab tenggorok, sputum, saliva atau mouth rinse hanya bermakna bila positif pada waktu yang bersamaan dengan terjadinya infiltrat paru. Feses kultur bermakna bila terdapat gejala infeksi abdomen dan 2 kali positif. Pada infeksi berhubungan dengan kateter infus, perlu positif pada 2 tempat yakni kultur darah dan kultur tempat masuknya infeksi. Bakteremia merupakan komplikasi yang paling sering pada pasien neutropenia. Secara klasik, infeksi yang paling sering ditemukan adalah bakteri gram negatif batang. Tetapi kemudian terjadi pergeseran pola kuman ke arah dominasi dari gram positif sebagai akibat dari luasnya pemakaian kateter vena sentral, pemakaian profilaksis antibiotik dengan Kuinolon dan pemberian kemoterapi dosis tinggi yang mencetuskan terjadinya mukositis.
Bakteria Tungal Uji Klinis I II Ill IV V Vlll IX XI XI1 (low risk) XIV (highrisk)
Periode
Jumlah Pasien
% Gram (+)
% Gram
1973-1976 1977-1980 1980-1983 1983-1985 1986-1988 1989-1991 1991-1994 1994-1996 1995-1997 1997-2000
145 111
71 67 59 59 37 31 33 31 59 47
29 23
141
219 213 151 161 199 39 186
(-1
41
41 63 69 67 69 41 53
Di RSCMRSKD sampai dengan tahun 1996 bakteri gram negatif pada pasien sepsis neutropeni febril masih lebih dominan dibandingkan dengan bakteri gram positif yakni 55,26% berbanding 39,47%. Bakteri gram negatif
terbanyak adalah sebagai berikut Esch, coli 15,8% Pseudomonas sp. 15,8% Klabsiella sp. 14,5% Acinetobacter sp. 3,9% Sedangkan bakteri gram positif adalah sebagai berikut: Stvept. viridans 19,7% Staph. epidermis 7,9% Staph. aureus 53% Strept. anhemolyticus 3,9% Pada periode 1990-2000 di seluruh dunia mulai muncul kembali bakteri gram positif yang menakutkan yakni Methycilin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) bahkan strain terakhir yakni GISA (Glicopeptide Intermediate Staphylococcus aureus) di USA dan VRE (Vancomycin Resistant Enterococcus) di Swedia pada tahun 1997. Selain infeksi bakteri gram negatif dan gram positif, infeksijamur juga merupakan masalah penting pada pasien neutropeni febril, bahkan dapat menimbulkan kematian. Bodey dkk. pada tahun 1992 melaporkan ditemukannya infeksi jamur pada 25% pasien leukemi akut yang menjalani otopsi. Permasalahannya adalah sulitnya mendiagnosis dan mengobati infeksi jamur, oleh karena itu diperlukan pengenalan faktor-faktorrisiko, pemberian anti jamur profilaksis dan pengobatan empirik infeksi jamur. Untuk mendiagnosis infeksi jamur gejala dan tandanya seringkali tidak spesifik bahkan tidak ada. Biasanya manifestasi Kandidiasis dapat berupa mukositis, esofagitis, bahkan kadang-kadang berupa opthalmitis dan gastritis walaupun jarang. Manifestasi aspergillosis sering berupa IPA (Invasive Pulmonary Aspergillosis), penyakit Rhinocerebral atau tracheobronchitis obstructive. Sedangkan kriptokokosis manifestasinya dapat berupa meningitis atau pneumonia dan lesi kulit. Beberapa faktor risiko terjadinya infeksi jamur antara lain: neutropeni yang lama dan berat, pemakaian antibiotik spektrum luas, pemakaian kateter vena sentral, penggunaan steroid, gangguan pada sistem imun selular dan penurunan imunoglobulin. Pemeriksaan kultur darah terhadap infeksi jamur jarang sekali berhasil, deteksi antibodi pun sulit unuk diinterpretasi karena serokonversi sering terjadi lambat. Teknik terbaru yang digunakan saat ini adalah deteksi antigenemia untuk aspergillus dengan circulating galactomanan dan manitol/arabinitol untuk kandidosis. Sedangkan teknik lain seperti PCR masih dalam pengembangan. Infeksi virus walaupun jarang dapat terjadi pada pasien leukemia terutama yang menjalani transplantasi. Infeksi dapat disebabkan oleh HSV (Herpes Simplex Virus), VZV (Varicella Zoster Virus), CMV (Cytomegalovirus). Pemeriksaan virus sulit dilakukan walaupun demikian beberapa teknik seperti shell-vial cultures, antigen detection dan PCR dikerjakan pula di negara-negara maju.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1502
ONKOLOCIMEDIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENATALAKSANAAN PENGOBATAN ANTlMlKROBA
Sebelum dilakukan pemberian kemoterapi, terutama pada pasien dengan intermediate dan high risk, beberapa pusat pengobatan termasuk Indonesia, terlebih dahulu memberikan PAD (Partial Antibiotic Decontamination) dengan tujuan sterilisasi usus atau saluran cerna. Regimen PAD dapat berupa kolistin, neomisin, pipemedik acid ditambah dengan anti jamur profilaksis seperti flukonazol, itrakonazol atau amfoterisin B, atau dapat juga regimen lain seperti kuinolon-siprofloksasin,bahkan yang sederhana dengan dengan kotrimoksazol. Kelemahan dari siprofloksasin sebagai PAD adalah dapat diserap secara sistemik sehingga sering menimbulkan resistensi, sedangkan kelemahan Kotrimoksazol adalah spektrumnya lemah dan sudah banyak dilaporkan resisten. Pada pasien neutropeni febril sangat diperlukan pengobatan empirik sebelum diperoleh hasil kultur mikrobiologi untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Adapun beberapa prinsip pengobatan empirik pada neutropeni febril adalah sebagai berikut: Prompt atau secepatnya, karena cepat dan tingginya angka kematian
/
Empirik, yang didasarkan pada surveillance, kondisi pasien dan kondisi setempat. Bakterisidal, lebih dipilih daripada antibiotic bacteriostatic pada keadaan netrofil rendah. Broad spectrum, untuk mencakup semua bakteri potensial patogen. Dalam ha1 pemilihanjenis antibiotik yang akan diberikan terdapat beberapa konsep pengobatan yang hendaknya perlu diperhatikan antara lain adalah: Pemberian monoterapi atau antibiotik kombinasi Antibiotik yang dipilih hams sudah diteliti dan terbukti efektif, terutama untuk spektrum kuman patogen Monoterapi hanya boleh diberikan oleh tim yang berpengalaman, pasien diperiksa secara reguler dan monitoring ketat untuk deteksi dini kegagalan pengobatan, infeksi tambahan, efek samping obat dan resistensi patogen Pola kuman dan pola resistensi kuman terhadap antibiotik di setiap rurnah sakit atau ruang perawatan hams sudah ada sebelum menentukan pilihan antibiotik Protokol pengobatan yang diberikan dapat menggunakan acuan dari IDSA (Infectious Disease Society ofAmerica) 2002 Guidelinesyang membagi pasien
Demam yanp tidal dapat dijelaskan pada pasien dengan risiko rendah
I
piperasilin tazobaktarn karbapenern
Gambar 1. Protokol terapi risiko rendah, rencana pengobatan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
I/
1503
NEUTROPENI FEBRIL PADA KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI ke dalam kategori low risk dan high risk atau German Guidelines yang membagi pasien atas low risk, intermediate risk dan high risk sebagai berikut: Pengobatan Antijamur Pengobatan standar sampai saat ini masih menggunakan flukonazol, itrakonazol, amfoterisin B atau liposomal Amfo B. Antimikotik yang baru seperti vorikonazol, kaspofungin dikatakan juga efektif terhadap blastomises. Kelebihan amfoterisin B adalah spektrumnya yang lebih luas terhadap kandida dan juga aspergilus dibandingkan dengan flukonazol yang spektrumnya terbatas terhadap Candida albicans. Selain itu juga bermanfaat terhadap histoplasma kapsulatum, koksidioides, kriptokokkus neoformans dan blastomices. Pemberian anti jamur untuk pasien risiko ringan atau sedang dapat dimulai pada hari ke 6-8 sedangkan untuk risiko tinggi pada 72-96 jam. Dosis amfotericin B 0.5- lmgkgBB/hari, diberikan dalam 250 cc Dekstrose 5% dalam waktu 2-6 jam. Maximal cumulative dose adalah tidak melebihi 3,6 gram. Untuk
menghindari reaksi anafilaksis sebaiknya terlebih dahulu diadakan test dose 1 mg dalam 20 cc Dekstrose 5% selama 30 menit. Dalam ha1 terdapat gangguan fungsi ginjal sebaiknya dipergunakan azol. Pengobatan Antivirus Pengobatan antivirus tidak dipergunakan sebagai pengobatan empirik. Obat antivirus hanya diindikasikan bila terdapat bukti klinis atau laboratoris adanya penyakit virus. Obat anti virus terbaru seperti valasiklovir dan famsiklovir mempunyai absorbsi yang lebih baik dari pada asiklovir. Infeksi sistemik sitomegalovirus jarang didapatkan pada pasien neutropeni febril, kecuali yang menjalani transplantasi sumsum tulang atau pada pasien retinitis AIDS. Pengobatan Lain Penggunaan growth factor tidak direkomendasikan secara rutin pada pasien febril atau afebril neutropeni. Penggunaan imunomodulator juga tidak direkomendasikan secara rutin karena belum ad? bukti
Demam yang tidak dapat dijelaskan, pasien risiko menengah
1
1.Pengobatan tunggal: seflazidim, sefep~m,piperasilin-tazobaktam, karbapenem + aminogllkosld atau generasl ketlgakeempat 2.atau pengobatan dua obat: as~lam~nopenis~l~n kepalospor~n+am~noglikos~d Klinis memburuk
Tidak
72-96 jam ? Reevaluasi: pemeriksaan klinis, foto toraks, jika negatii HR-CT, kultur darah, antigen-kandida, antigen-asporgilus pemeriksa?n pilihan
Dilanjutkan 1): ditambah aminoglikosid: setelah carbapenem: quinolon + glikopeptid: mungkinjuga dilanjutkan 2): carbapenem
Lama pengobatan total: 7 hari tanpa demam setelah peningkatan granulosit >1000@J1 : 2 hari bebas demam Lama pengobatan total: 10 hari
Tidak lnfeksi ditemukan: terapi definitif setelah 72jam dengan demam dapat diganti dengan: AmB, ITRA, VOR atau CAS
Ditambah glukopeptida hana jika ada mukositis atau infeksi dari kateter
Gambar 2. Protokol pengobatan inisial untuk pasien risiko menengah adalah AMB: Amfoterisin B konvensional atau liposomal. ITR: itrakonazol, VOR: vorikonazol, CAS: kaspofungin
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1504
ONKOLOGI MEDlK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Demam yang tidak dapat dijelaskan, pasien risiko tinggi 1
1 -
I
1.Pengobatan tunggal : seftazidim, sefepim, piperasilin-tazobaktam, karbapenem 2.atau pengobatan dua obat : asilaminopenisilin+aminoglikosid atau qenerasi ketiaal keempat kepalosporin+aminoglikosid
I Klinis memburuk
I
I
Ya
1
Ya
I
Tidak
I
Tidak
Demam setelah 72-96jam ?
Jika negatif: HR-CT, kultur darah, antigen-kandida,
I Kondisi klinis stabil ?
I
Karbapenem + flukonazol, AmB, ITRA, VOR atau CAS setelah pengobatan s e b e l u m n ~ a dengankarbapenem: juga quinolon + glikopeptid + flukonazol, AMB, ITRA, VOR atau CAS
Tidak a d a modifikasi
Lama pengobatan total: 7 harl tanpa demam setelah peningkatan granulosit~100051 hari bebas demam
Lama pengobatan total: 1 0 days
Jika infeksi diternukan: pengobatan definitif 72 jam tetap demam, ganti dengan: AmB, ITRA,
Ditambah glikopeptida jika a d a mukositis atau infeksi dari kateter
G a m b a r 3. Pengobatan d a n strategi pada pasien risiko tinggi: AMB: Amfoterisin B konvensional atau liposornal. ITR: itrakonazol, VOR: vorikonazol. CAS: kaspofungin
nyata demikian juga empirikal imunoglobin, penggunaannya hanya terbatas pada pasien yang sudah terbukti terdapat defisiensi imunoglobin.
REFERENSI Schimpff Sc, Greene WH, Young VM, Wiernik DH. Significance of pseudomonas aeruginosa in the patient with leukemia or lymphoma. j infect dis, 1974; 130 (suppl.): S24-31. Suhendro dkk. Endotoksemia pada pasien sepsis dengan keganasan. 1996. A Harryanto R, Dody Ranuhardy, Johan Kurnianda dkk. Panduan tatalaksana febrile neutropeni pada pasien kanker. Bakornas Hompedin, 2004. Bodey GP. Infection in Cancer Patients: A continuing association. Am j med. 1986; 81 (suppl A-I): 11-26. Bow EJ. Infection risk and cancer chemotherapy: The impact of
the chemotherapy regimen in patients with lymphoma and solid tissue malignancies. J Antimicrob Chemother. 1998; 41 (suppl D): 1-5. Bodey G., Bueltmann, NB, Duguid W. et al. Fungal infections in cancer patients: an international autopsy survey. Eur. J. Clin. Microbial. 1992; 11 : 99-109. Carlson JW, Fowler JM, Mitchell SK et al. Chemoprophylaxis with ciprofloxacin in ovarian cancer patients receiving paclitaxel: a randomized trial. Gynaecol Oncol 1997: 65: 325-9. Counsell R, Pratt J, William MV. Chemotherapy for germ cell tumors: Prophylactic ciprofloxacin reduces the incidence of neutropenic fever. Clin Oncol R. Coll Radiol 1994; 6: 232-6. Dody Ranuhardy. Monoterapi antibiotik pada pasien keganasan dengan infeksi. Abstract Book 41h Jakarta Antimicrobial Update, April 2003; 25-6. Dody Ranuhardy. Pengobatan empirik infeksi jamur sistemik pada neutropeni febril. Simposium Perhimpunan Mikologi Klinik Indonesia. Jakarta, Juni 2002. Edward B Rubenstein, Keneth Vi Rolston. Risk adjusted manage-
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
NEUTROPENI FEBRlL PADA KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ment of the febrile neutropenic cancer patients. In textbook of febrile neutropeni. Martin Dunitz Ltd. London. 2001: 175. Erik Torell, Hans Fredlund, Eva Tomquist et al. Intra hospital spread of vancomycin resistant Enterococcus faecium in Sweden. Scan. J. Infect. Dis. 1997; 29: 259-63. H. Link, A. Bohme, O.A. Cornely et al. Antimicrobial therapy of unexplained fever in neutropenic patients. Guidelines of the infectious disease working party (AGIHO) of the German Society of Hematology and Oncology (DGHO), Studi Group lnterventional Therapy of Unexplained Fever, Arbeits Gemeinschaft Supportiv Masshahmen in der Onkologie (ASO) of the Deutsche Krebsgessel Schatl (DKG-German Cancer Society). Ann Hematol, 2003; 82 (suppl. 2): s105- s117. Jud B, Gmur J., Follath F. Art 2ndHaufigkeit Schener. Infekt komplikationan bei der behandlung akuter leukarnien. Schweiz Med. Wochenschr 1994; 124: 2060-3. Kiehn TE, Amstrong D. Changes in the spectrum of organisms causing bacteremia and fungemia in immunocompromised
patients due to venous access devices. Eur J Clin. Microbial. Infect. Dis. 1990; 9: 869-872. Poesmans M. Factors predicting mortality among febrile neutropenic cancer patients treated within a clinical trial: ten years experience by the EORTC International Antimicrobial Therapy Cooperative Group. In proceedings of 3rd International Symposium on Febrile Neutropeni. Brussels, Belgium, 1997; Abstr 97. Rolston, KVI. Infections in patients with solid tumors. In: Management of infections in immunocompromised patients (Pizzo P. Glauser MP eds). London: WB Saunders company Ltd. 2000: 1 17-40. Walter T Hughes, Donald Armstrong, Gerald P Bodey et al. 2002. Guidelines for the use of antimicrobial agents in neutropenic patients with cancer. CID, 2002; 34: 730-51. Zinner SH. Changing epidemiology of infections in patients with neutropenia and cancer: emphasis on gram positive and resistant bacteria.Clin. Infect. Dis. 1999; 29: 490-4.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENATALAKSANAAN METASTASIS KANKER KE TULANG Nugroho Prayogo
PENDAHULUAN Penyakit kanker metastasis ke tulang (metastatic bone disease) pada dasarnya merupakan interaksi antara sel kanker dengan sel tulang (osteoklas). Hal ini akan mengganggu keseimbangan remodeling dan metabolisme tulang yang normal serta menyebabkan peningkatan aktivitas osteoklas, sehingga salah satu target terapi adalah mengurangi aktivitas osteoklas. Lesi di tulang ini dapat menyebabkan kesakitan (morbiditas) yang hebat; seperti nyeri tulang, fraktur patologis, kompresi medula spinalis atau penekanan saraf spinalis serta efek lesi tulang yang luas dimana menyebabkan hiperkalsemia. Semuanya sedikit banyak akan menyebabkan disabilitas dan menurunkan kualitas hidup. (Coleman RE,oncologist2000).
KEKERAPAN Pada prinsipnya semua kanker dapat menyebar ke tulang. (Twycross 82), namun yang lebih sering menurut kepustakaan luar negeri antara lain adalah: 1). mieloma multipel70-95 %; 2). kanker payudara 6575%; 3). prostat 65-75%; 4). tiroid; 5). paru 6). ginjal (Mundy, colorectal. Galasko 1981). (Tabel 1) Dan sebagai contoh di Jakarta, RS Kanker Dharmais tahun 2000-2001, dari 84 kasus kanker payudara stadium IV, 33 % mengalami metastasis ke tulang, (peringkat kedua sesudah metastasis ke paru 37%). (Tabel 2)
Jenis tumor
lnsidens metastasis
Median survival
70-95% 65-75% 65-75% 30-40% 20-25% 14-45% 60% 11%
20 bulan 24 bulan 40 bulan < 6 bulan
Myeloma Payudara Prostat Paru Ginjal Melanoma Tiroid Rektum
(Mundy GR, Coleman RE. Galasko 1981)
MASALAH METASTASIS TULANG Dari segi kesehatan masyarakat, problem metastasis adalah problem morbiditas. Perkiraan besarnya morbiditas tersebut tergantung dua hal. Pertama adalah angka kekerapan kanker yang menyukai tulang sebagai lokasi metastasis dan kedua, angka survival dari kanker tersebut (Tabel 1 dan tabel 3). Sebagai contoh, kekerapan metastasis kanker payudara ke tulang cukup sering, 70%-95 % (tabel 1). Dengan pengobatan yang baik dapat dicapai angka survival ratarata sekitar 2 tahun. Pada review suatu pusat kanker, metastasis hanya ke tulang saja mempunyai harapan hidup lebih baik, yaitu median survival 2,l tahun dibanding dengan kombinasi metastasis tulang ditambah organ lain, hanya 1,6 tahun (Tabel 2). Pada penelitian yang lebih besar, dimana didapati komplikasi ke tulang terjadi paling besar (go%), paling kecil metastasis diluar tulang (2 1%) dan 60% terjadi komplikasi tulang ditambah metastasis ditempat lain.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1507
PENATALAKSANAAN METASTASISKANKER KE TULANG
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Umur (tahun)
Lokasi lesi
20-
30-
40-
50-
60-
70-
Jumlah
%
14 4
5 0
4 1
3 0
36 9
37% 9%
2 1 6 (6%) 14
1 0 8 (8%) 14 '
0 0 1 (1%) 4
15 5 32
15% 5% 33%
--
Paru Supra klavikula Hati Otak Tulang
0 1
10 3
0 0 0
7
5
Jumlah
1
2 5 (5%) 27
2 12 (13%) 37
97
Nugroho P. PHTDI 2005
Metastasis Kekerapan Median SUN.
Osseous
osseous Extra
0 s s . a extra oss
80% 2,l tahun
21 %
60% 1,6tahun
Dikutip dari Coleman ASCO 2001
Di samping itu di Jakarta, Rurnah Sak~tDharmais, kanker yang sering bermetastasis ke tulang menduduki 10 besar kanker tersering (Ronald H, Harryanto R). Gambaran tersebut menunjukkan metastasis ke tulang merupakan masalah yang cukup penting. PENATALAKSANAAN Diagnosis Diagnosis atau deteksi metastasis kanker ke tulang diperlukan, karena: (a). untuk mengetahui apakah pada nyeri tulang yang hebat, terdapat penyebaran kanker yang belum terdeteksi. (b) untuk penentuan stadium kanker. (CBS Galasko 1994). Namun demikian, sekali metastasis kanker ke tulang terdiagnosis, tidak cukup bila hanya mendeteksi adanya metastasis saja. Diperlukan keterangan yang adekuat mengenai: (a) lokasi metastasis secara tepat (b) derajat tulang yang terkena dan lokasi penyebaran (c) adakah komplikasi akibat metastasis, misalnya hiperkalsemia, fraktur yang mengancam, fraktur patologis, instabilitas spinal atau kompresi saraf spinal. (d) adakah jaringan lunak yang terkena dan (e) bagaimana vaskularisasi lesi. Semua data klinik tersebut berguna untuk pertimbangan terapi. Gejala Klinik Nyeri. Nyeri tulang, terutama yang sering terjadi pada usia setengah tua dan usia tua harus diwaspadai sebagai gejala metastasis ke tulang.
Nyeri bisa timbul di area mana saja, namun bila dijumpai pada tulang penyangga (tulang aksial) maka harus lebih waspada karena akibat yang ditimbulkan apabila terkena metastasis bisa fraktur kompresi bahkan bisa menimbulkan kelumpuhan. Nyeri bersifat tidak spesifik, bisa ringan ataupun nyeri hebat. Sekitar 30-50 persen kasus metastasis tulang tidak merasa nyeri (Mettler, Guiberteau 1983). Namun justru sering terjadi, suatu kanker (khususnya mieloma multipel) ditemukan secara tidak sengaja karena adanya nyeri tulang di daerah tulang belakang, dan pada waktu dilakukan pemeriksaan foto rontgen vertebra ditemukan tanda metastasis ke tulang. Bengkak. Pembengkakkan jaringan lunak jarang terjadi. Kadangkala sulit dibedakan dengan infeksi. Biasanya terjadi pada tulang di bawah kulit. Parameter Biokimiawi Pemeriksaan ini kurang spesifik dan nilai diagnosis rendah, tetapi berguna untuk evaluasi hasil terapi atau kekambuhan. Pemeriksaan yang se'ring dilakukan: (a) alkali fosfatase (Bischop 1985), (b) hidroksi prolin urin dan (c) rasio hidroksi prolin urinlkreatinin (Cuschieri 1978). Pemeriksaan Radiologi Foto Polos. Gambaran radiologis dari foto polos amat penting, karena tidak semua rumah sakit mepunyai CT scan ataupun scan tulang. Lesi metastasis ke tulang umumnya multipel. Terdapat 3 jenis lesi, (a) lesi osteolitikumumnya terjadi pada mieloma multipel atau kanker solid (b) lesi osteoblastik atau sklerotik, umumnya terdapat pada kanker prostat dan ( c ) lesi mixed, campuran lesi litik dan komponen osteoblastik, terdapat pada kanker payudara dan juga solid tumor lainnya. Khusus pada lesi litik, terdapat tiga tipe (Adams dan Isherwood 1983) yaitu: (a) lesi geografik, besar, tunggal, lesi litik jelas, besar lebih dari 1 cm dengan tepi berbatas tegas.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI (b) Lesi moteaten, multipel, lebih kecil(2-5mm), pinggir biasanya tidak tegas. (c) Lesi permeatif, ukuran lesi sangat kecil, lmm atau kurang, terutama terjadi dalam korteks. Pada metastasis tulang bisa terjadi ratusan lesi permeatif. Geografik lesi menggambarkan perkembangan metastasis yang tumbuh lambat, sedang lesi permeatif biasanya terjadi dimana metastasis sangat agresif. Kebanyakan metastasis mulai muncul di medula dan setelah fase berikutnya baru melibatkan korteks. Hal ini menyebabkan foto polos kurang sensitif pada fase awal. Edelstyn, menyatakan, setelah ada kerusakan 50% medula, baru secara radiografik lesi dapat terdeteksi. Sebaliknya lesi di korteks yang kecil lebih gampang terdeteksi. Sebagai contoh, hilangnya pedikel pada foto vertebra merupakan tanda awal dari metastasis. Walupun foto polos kurang sensitif, namun pada nyeri tulang yang hebat foto polos hams dibuat untuk mengetahui seberapa besar kerusakan tulang terjadi. Jika 30% atau lebih tulang korteks rusak, risiko fraktur meningkat dan lesi harus diobati secara adekuat. Lesi yang sangat nyeri merupakan isyarat adanya fraktur patologis atau ketidakstabilan spinal. Bone scan. Bone scan atau sintigrafi tulang, lebih sensitif dibanding foto polos, dan masih merupakan metode optimum untuk mendeteksi lesi abnormal di tulang (Hartobagyi 1984). Sintigrafi tulang terdiri dari dua fase: (1) fase vaskular dimana bila terdapat matastasis akan terlihat vaskularisasi meningkat di tulang pada awal fase vaskular tersebut (2) fase skeletal, dimana radioisotop diserap oleh osteoblas. Sebetulnya setiap metastasis menimbulkan respon osteoblastik seperti yang terlihat yaitu adanya peningkatan ambilan pada daerah tersebut. Hot-spot merupakan daerah metastasis (Makoha, Britton 1980). Tidak semua metastasis dapat dideteksi dengan sintigrafi tulang. Seperti: (1) tumor dimana tidak menimbulkan respon osteoblastik, seperti mieloma multipel dan limfoma (2)lesi yang sangat kecil, kurang dari 2 milimeter. Pada metastasis yang sangat luas dan lesi simetris, akan terlitat peningkatan ambilan yang sangat merata dan simetris. Hal ini disebut superscan dan karena merata seakan tidak ada area peningkatan ambilan. Dalam ha1 ini kadangkala diperlukan CT scan atau MRI untuk melihat arsitektur osteolitik. Computed tomography scanning (CT Scan).Pemeriksaan CT Scan tidak digunakan untuk deteksi metastasis tulang, namun sangat berguna untuk konfirmasi lesi yang meragukan. Indikasi utama adalah konfirmasi daerah lesi yang dicurigai pada skintigrafi tulang. Bila terdapat lesi dicurigai, dilakukan pemeriksaan spot foto radiologi atau CT scan untuk konfirmasi ataupun melihat arsitektur kerusakan. Hal ini dilakukan karena meskipun sintigrafi tulang sensitif untuk mendeteksi adanya ambilan yang meningkat, namun
tidak spesifik untuk metastasis saja, juga bisa terjadi pada kasus jinak seperti radang ataupun reaksi osteoblastik yang lain. Dan CT scan dapat membedakan lebih jelas metastasis, degeneratif atau peradangan (Best dl& 1979). Kegunaan lain CT scan adalah untuk melihat keterlibatan jaringan lunak disekitarnya, misalnya infiltrasi tumor ke saraf spinal, bersama-sama dengan pemeriksaan mielografi. Magnetic resonance imaging (MRI). Penggunaan MRI, merupakan metode pilihan paling sesuai untuk memeriksa tulang vertebra, karena dapat memberi gambaran yang lebih detil tentang penyebab lesi tulang pada sintigrafi tulang. Dan lebih sensitif untuk mendeteksi metastasis kecil di medula. Demikian juga halnya CT scan, dapat memberi gambaran lebih jelas pada jaringan lunak, sehingga digunakan juga untuk melihat adakah penekanan pada korda spinalis. Pada rumah sakit dengan fasilitas MRI, sebaiknya digunakan sebagai pilihan pertama untuk mendeteksi adanya penekanan korda spinalis. Meskipun demikian peran skintigrafi tulang mendeteksi metastasis ke tulang secara keseluruhan belum tergantikan karena MRI tidak bisa digunakan menilai tulang panjang (Bonner dan Lichter 1990). Karena sensitif untuk menilai medula, MRI juga digunakan untuk memeriksa ulang suatu lesi nyeri di tulang, ketika hasil sintigrafi tulang negatif (Mechta 1989). Biopsi Biopsi diperlukan bila pada suatu kanker, pemeriksaan sintigrafi tulang memperlihatkan gambaran lesi kecil dan dengan pemeriksaan pencitraan yang lain seperti foto polos, CT scan dan MRI tidak dapat mendukung diagnosis metastasis, atau apabila tumor primer tidak diketahui jenisnya.
PENGOBATAN Pengobatan Metastasis Tulang Pengobatan metastasis tulang seperti juga pengobatan metastasis lainya adalah terapi sistemik (Hortobagyi 1997). Namun juga diperlukan terapi tambahan suportif paliatif. Hal ini karena lesi tulang yang mempunyai akibat yang memerlukan tindakan khusus. seperti nyeri hebat, fraktur patologis, fraktur kompresi, kompresi korda spinalis, dan hiperkalsemia. Penilaian Sebelum dan Sesudah Pengobatan Sebelum pengobatan diperlukan beberapa pemeriksaan sebagai data dasar untuk menentukan jenis pengobatan (modalitas) serta melihat hasil respon terapi. Data dasar tersebut antara lain: 1). Diagnosis klinis (tinjauan patologi,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENATALAKSANAAN METASTASIS KANKER KE TULANC
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI status fisik) dan organ yang terkena; 2). Luas lesi, lokasi lesi: tulang penyangga atau bukan tulang penyangga dan jumlah lesi: tunggal atau multipel; 3). Jenis lesi, osteolitik atau osteoblastik; 4). Deformitas ancaman fraktur, fraktur kompresi; 5). Penilaian nyeri: ringan, sedang atau berat, gunakan skala visual analog; 6). Biomarker tulang: deoksipiridinolin, piridinolin osteokalsin, dan alkali fosfatase spesifik petanda pembentukan dan resorpsi tulang) Untuk menilai respons pengobatan metastasis ke tulang dipergunakan beberapa parameter, antara lain: Kriteria UICC, berdasarkan gambaran radiografik (Hayward dkk.1977)yaitu: - Respons komplit: menghilangnya semua lesi pada pemeriksaan radiografik untu paling sedikit beberapa minggu. - Respons parsial: ukuran lesi berkurang sebagian (parsial), atau terdapat rekalsifikasi lesi atau berkurangnya densitas lesi pada lesi blastik (prostat) atau tidak terdapat lesi baru. - Tidak ada perubahan: tidak terdapat perubahan pada lesi litik paling sedikit 8 minggu (2 bulan). *. Penilaian klinis dan petanda biokimiawi: - kemajuan klinis: rasa nyeri, perbaikan fungsi serta mobilitas. - Petanda biokimiawi. pembentukan tulang: alkali fosfatase dan osteokalsin resorpsi tulang (destruksi): kalsium serum, fosfatase alkali resisten tartrat, kalsium urin dan urin hidroksiprolin. Secara garis besar manajemen metastasis ke tulang dapat digolongkan sebagai berikut: Pengobatan sitemik (kemoterapi, hormonal dan inhibitor osteoklas inhibitor). Terapi radiasi dan radiofarmaka Terapi hiperkalsemia . Operasi . Kompresi korda spinalis. Terapi suportif paliatif. Pengobatan Sistemik Metastasis tumor ke tulang akan menghasilkan proliferasi sel tumor serta menimbulkan interaksi antara sel tumor dan sel jaringan tulang baik osteoklas atau osteoblas, yang disebabkan oleh mediator berupa faktor pertumbuhan dan sitokin. Oleh karena itu pengobatan sistemik dapat dibagi menjadi pengobatan langsung, ditujukan kepada sel tumor untuk mengurangi proliferasi dan mediatornya serta obat penghambat efek mediator ke tulang. Termasuk penghambat proliferasi tumor adalah kemoterapi, terapi endokrin dan radiofarmaka isotop. Sedang bisfosfonat, kalsitonin, mitramisin dan galium nitrat, menghambat efek mediator ke sel tulang(osteok1as).
Dengan demikian pengobatan sistemik bersifat langsung serta tidak langsung. Terdiri dari (a) sistemik anti tumor (b) inhibitor efek tumor ke osteoklas. ASCO 200 1). Anti tumor sistemik, dapat berupa kemoterapi yang sensitif terhadap tumor tersebut, misalnya protokol FAC, taksan, pada kanker payudara. Dilaporkan kemoterapi dapat mengurangi nyeri sampai 11% (Eagen dkk. 1978) sampai 54% (Scott dkk.1087)dan regimen kombinasi lebih baik dari kemoterapi tunggal (Muss dkk.1981). Dapat juga berupa terapi endokrin, bila tumor tersebut sensitif terhadap hormon, seperti tamoksifen atau inhibitor aromatase pada kanker payudara (Lerner 1976, Coleman 200 1), atau pada kanker prostat digunakan kastrasi, leuteinising hormon releasing hormone (LHRH), dan flutamid. Respons bervariasi namun dapat mencapai angka hingga 84% (Solowat 1984, Belanger dkk.1984) Inhibitor osteoklas: (1) mitramisin. Obat ini mempunyai khasiat anti osteoklas, dulu digunakan mengobati hiperkalsemia maligna dan penyakit Paget. Sekarang jarang digunakan karena toksisitasnya tidak dapat diprediksi terhadap sumsum tulang dan liver. (2) kalsitonin, secara signifikan dapat mengurangi nyeri akibat metastasis tulang (Roth dan Kolaric ,1986), namun sering mengalami resistensi (3) bisfosfonat, dapat menghambat resorpsi tulang, namun dapat juga menghambat mineralisasi tulang (khusus pada etidronat dan tidak pada lainnya). Digunakan untuk mengatasi rasa nyeri, hiperkalsemia dan mencegah fraktur. Obat yang sering digunakan klodronat, pamidronat dan terbaru asam zoledronat (Coleman 200 1). Radiasi dan Radiofarmaka Pada lesi lokal, radiasi eksternal merupakan terapi paliatif yang memberi hasil yang baik. Terapi bisa diberikan jangka pendek atau jangka panjang tergantung penilaian radioterapis. Indikasi radiasi eksternal: I). paliatif (a) nyeri tulang (b) kompresi saraf spinal (c) fraktur patologik. 2). profilaksis : (a) kompresi saraf spinal (b) fraktur patologik. Pada lesi luas atau nyeri di tempat tersebar, dapat dilakukan radiasi hemibodi eksternal, tetapi jarang dilakukan. Dewasa ini radiofarmaka atau radiasi internal digunakan untuk terapi radiasi pada lesi yang lebih luas. Terdapat duajenis: (1) Strontium, terutama digunakan pada kanker prostat karena banyak diserap di daerah tulang yang baru dibentuk, bermanfaat untuk metastasis tipe sklerotik, namun juga bermanfaat untuk kanker payudara. (2) Samarium, cocok untuk pasien rawat jalan, dapat mengurangi nyeri dan konsumsi analgetik. Yang dalam penelitian adalah kombinasi radiasi internal dengan bisfosfonat. Hiperkalsemia Hiperkalsemia merupakan kondisi kegawatan onkologi.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOGI MEDIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Pasien mengalami dehidrasi, gangguan fungsi ginja1,penurunan kesadaran sampai koma, bahkan sampai pada kematian. Nilai kalsium normal sekitar 8-10,5 mgldl. Di lapangan pemah ditemukan kadar kalsium 24 mgldl bahkan ada yang melaporkan di atas 30 mgldl.
Pencernaan Anoreksia Mual Muntah Konstipasi
Ginjal
Saraf Pusat
Poliuria Polidipsi Mulut kering
Confuse Depresi Korna Arnbang nyeri turun
Gejala umum Fatique Malaise
SH. Ralston: pathogenesis of CancerAssosiated Hypercalcaemia, 1991
Apabila pada pasien kanker dijumpai gejala seperti tersebut di atas, segera periksa kadar kalium dan bila di atas normal segera diobati. Pengobatan adalah: (1) Hidrasi dengan salin normal; (2) diuretik furosemid; (2) pemberian penghambat resorpsi tulang (antara lain: glukokortikoid, kalsitonin, mitramisin, bisfosfonat) Hidrasi denganNaCl0,9% 150-250 mujam, bahkan dapat mencapai 4-6 liter per hari (Hosking dkk. 1981). Sesudah itu hidrasi tetap diberikan ditambah diuretik natrium (furosemid). Kalsium dan natrium akan membentuk garam kompleks dan diuretik natrium akan membawa natrium dan kalsiurn keluar dari tubuh lewat urin. Di samping itu secara kompetitif menghambat resorbsi kalsium, sehingga kalsium dibuang lewat urin. Berikan steroid deksametason , berguna menghambat penyerapan kalsium dari usus, mencegah pelepasan OAF (osteoclast activating factor) dan menyebabkan lisis tumor (limfolisis). Suplemen kalium bila diperlukan dan tetap di monitor balans cairan, kadar kalsium dan kalium. Apabila dengan cara di atas kadar kalsium belum turun, artinya pelepasan kalsium sangat banyak karena pelepasan tulang, atau gangguan di ginjal disebut hiperkalsemia maligna . Dalam kasus ini kalsitonin merupakan indikasi. Kalsitonin mempakan inhibitor kuat osteoklas dalam pelepasan tulang, efek sudah dapat terlihat sesudah 2 jam, namun sering terjadi sesudah 2 hari khasiat tidak efektif lagi. Dosis kalsitonin 4 UIkgBB setiap 12jam, dapat ditingkatkan sesudah 2 hari sampai 8 UIlkgBB. Kalsitonin bisa dikombinasi dengan bisfosfonat. Hal ini untuk antisipasi bila kalsitonin menjadi tidak efektif lagi sesudah 1-2 hari. Pengobatan suportif lain ditujukan pada ginjal, otak atau yang lain, atas dasar indikasi. Hiperkalsemia juga merupakan kegawatan onkologi dengan angka mortalitas tinggi sehingga penanganan yang cermat diperlukan.
Operasi. Peran bedah ortopedi pada metastasis tulang adalah: Profilaksis pada ancaman fraktur. Tingginya risiko fraktur berhubungan dengan beratnya derajat kerusakan di korteks. Jika kerusakan kurang dari 25% risiko fraktur rendah, jika kerusakan 25-50% risiko fraktur 3,7%, jika kerusakan 50-75% risiko fraktur meningkat menjadi 6 1 %. Dan jika kerusakan di korteks mencapai lebih dari 75%, maka risiko fraktur akan menjadi 79%.(Fidler 1971). Berikut ini indikasi fiksasi profilaksis, yaitu (a) bila destruksi korteks lebih atau sama dengan 50% (b) lesi lebih dari atau sama dengan 2,5 cm di daerah proksimal femur atau humerus (c) tetap nyeri walaupun sudah dilakukan radiasi.
Fraktur Patologis. Kasus terbanyak adalah kanker payudara. Lokasi terbanyak adalah daerah femur. Pengobatan adalah tindakan ortopedik, baik operasi maupun tidak (Tabel 5,6).
Jenis Kanker -
Jumlah Pasien
- -
Jumlah Lokasi Fraktur
---
Payudara Paru-paru Prostat Mielorna
102 24 21 24
Role of the orthophaedic suregeon in the treatment of skeletal metastases (CSB Galasko 1981)
Lokasi
Jumlah
Pelvi Femur Transewikal lntertrokanter Subtrokanter Proksirnal Distal Humerus Proksirnal Shaft Distal Tibia Radius Ulna Role of the orthophaedic surgeon i n the treatment of skeletal metastases (CSB Galasko 1981)
Fraktur patologis merupakan kegawatan medis akut karena melibatkan saraf spinal dan bila mengalami kerusakan permanen bisa mengakibatkan kelumpuhan. Distribusi kejadian: vertebra sewikalis lo%, vertebra torakalis 70% dan vertebra lumbosakral20% Gejala: Nyeri dapat lokal maupun radikular. Kelemahan, kehilangan fungsi motorik dan sensorik atau disebut paraparesisdan akhirnya akan mengalami disfungsi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENATALAKSANAAN METASTASIS KANKER KE TULANG
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
autonomik yaitu kehilangan kontrol urinasi, defekasil konstipasi. Bila sudah demikian biasanya ireversibel. Pengobatan: Awalnya diberikan steroid dosis sedang atau dosis tinggi. Bila sudah terjadi paresis dan menjadi paralisis, maka dalam 48 jam sudah hams jelas diagnosis dan penekanan ke saraf (dekompresi) hams sudah dilepas. Bila tidak, kelainan dapat menjadi ireversibel. Pilihan pengobatan dapat radiasi, kemoterapi dan operasi, atau kombinasi ketiga ha1 tersebut. Pengobatan sedini mungkin akan mengurangi defisit neurologi sebanyak mungkin (Joseph F.0 Donne11 1992).
SUPORTIF DAN PALlATlF Di samping pengobatan di atas pengobatan rasa nyeri untuk mengurangi simptom sangat diperlukan. Pengobatan ini dapat diberikan dengan bermacam bahan dan cara. Medikamentosa: analgetik sederhana parasetamol, NSAID, tramadol, sampai pada narkotik dapat diberikan. Di samping itu blokade saraf kadangkala juga diberikan. Radiasi dan operasi dapat juga mengurangi rasa nyeri. Analgetik dapat diberikan oleh semua petugas medis sebagai pertolongan pertama, namun jangan dilupakan mengobati penyebabnya. Di samping itu perlu dilibatkan disiplin rehabilitasi medik atas dasar indikasi.
REFERENSI
ASCO (American Society of Cinical Oncology) Educational Book 200 1
ASCO (American Society of Clinical Oncology) Educational Book 1999
Arjono, dkk. Onkologi, ter,jemahan dari OncologieICJH. Van de Velde, FT. Bosman. Colemann RE. Skeletal complication of Malignancy. Cancer 1997, 80 ( supll. 8) p. 1588-94 DeVita VT, Cancer; Principles & Practice of Oncology, 4Ih. Edition Vol. 2.2, J.B. Lippincott Company, Philadelphia. 1993 Gregory R Mundy. ,Bone Remoddeling and Its Disorder,, Martin Dunitz 1999. Gregory R Mundy. ,Bone Remodeling and Its Disorders, second edition Martin Dunitz. 1.J.Diel . M.Kaufmann. G.Bastert. Metastatic Bone Disease, Fundamental and Clinical Aspects. Springer Verlag 1994. Joseph F.O.Donnell :ONCOLOGY for the House Officer, William & wilkins 1992. Pazdur R, Coia LR, Hoskins WJ, Wagman LD, Cancer Management: A Multidisciplinary Approach, 5Ih. Edition. PRR Melville, NY. 2001 R.D. Ruben and I fogelman , Bone Metastases , diagnosis and treatment, Springer-Verlag 1991. Wood ME, Hematology/Oncology Secrets, 2nd. Edition. Hanley&Belfus, 1NC.lPhiladelphia. 1999 p. 56 - 60 Website: Beth Israel Medical Center, Boston MA. Zometa, speaker slide preview, Novartis, December 2001.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENANGGULANGAN NYERI PADA KANKER Asrul Harsal
PENDAHULUAN Nyeri kanker sering ditemukan dalam praktek sehari-hari. Pada pasien yang pertama kali datang berobat, sekitar 30% pasien kanker disertai dengan keluhan nyeri dan hampir 70% pasien kanker stadium lanjut yang menjalani pengobatan disertai dengan keluhan nyeri dalam berbagai tingkatan. Nyeri kanker merupakan nyeri kronik yang membutuhkan penatalaksanaan yang berbeda dengan nyeri kronik lainnya, membutuhkan penilaian (assessment) dengan tingkatan akurasi yang tepat, evaluasi secara komprehensif dan waktu yang ketat terutama untuk nyeri berat, serta pengobatannya berlangsung lama. Pada kasus lanjut dan perawatan paliatif, tidak jarang pasien mendapat pengobatan nyeri sampai akhir hidupnya. Untuk mempermudah dan untuk keseragaman dalam penilaian nyeri, sering dipakai alat bantu penilaian nyeri. Ada beberapa alat bantu yang dipakai, dan satu di antaranya adalah VAS ( Visual Analog Scale/skala analog visual), yaitu penilaian nyeri dengan angka dari 0 sampai 10. No1 artinya tidak ada nyeri dan nilai 10 sangat nyeri sekali. Nyeri kanker dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu, nyeri ringan, sedang dan berat, masing-masing tingkatan ada sedikit perbedaan dalam memulai pengobatan. Berdasarkan patofisiologik yang dihubungkan dengan kepentingan klinis, nyeri dibagi 3 kelompok: nyeri somatik, viseral dan neurogenik. Yang sering ditemukan adalah gabungan dari kelompok tersebut di atas. Nyeri kanker sebagian besar (90%) dapat diatasi dengan obat-obatan, hanya sebagian kecil yang memerlukan pengobatan lain, seperti: radiasi, pemotongan saraf, operasi, dan sebagainya. Pasien kanker seharusnya diusahakan bebas dari rasa nyeri, dan ha1 ini dapat diatasi dengan obat-obatan yang
ada saat ini, mulai dari parasetamol sampai pemberian opioid yang kuat seperti morfin. Pemberian morfin yang benar dan tepat akan memberikan hasil yang baik pasien bebas nyeri dengan efek samping minimal, sehingga kwalitas hidup akan lebih baik.
Nyeri adalah sensasi yang tidak enak dan pengalaman emosi yang terutama berhubungan dengan kerusakan jaringan. Dari definisi ini tersirat laporan nyeri ini adalah kombinasi dari respons sensoris, afektif (kejiwaan) dan kognitif, sehingga hubungan nyeri dengan kerusakan jaringan tidak sama dan tidak konstan. Akibatnya rasa nyeri itu subyektif, sehingga laporanlkeluhan dari pasien merupakan penilaian yang paling mempunyai arti (gold standardhaku emas), dalam menegakkan diagnosis nyeri kanker.
JENlS NYERI Secara patofisiologik nyeri dibagi kepada 4 kategori: nosiseptif, neuropatik, psikogenik dan idiopatik, namun untuk mempermudah dalam penatalaksanaan dan pengobatan secara klinis, maka nyeri kanker dibagi menjadi 3 kelompok: Nyeri Somatik: yaitu nyeri yang timbul akibat kerusakan jaringan misalnya metastasis tulang. Nyeri Viseral: yaitu nyeri yang timbul akibat kerusakan organ atau alat dalam tubuh seperti nyeri perut karena pembesaran hati karena kanker hati atau kanker lain yang bermetastasis ke hati, atau nyeri dada karena mengenai selaput paru dan sebagainya.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1513
PENANGGULANGAN NYERl PADA KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Nyeri neurogenik: yaitu nyeri yang berhubungan dengan kerusakanlgangguan saraf.
ALAT BANTU Untuk mempermudah dalam penilaian nyeri karena penilaiannya sangat subyektif, di mana faktor manusia sangat dominan maka penilaian ini memakai alat bantu yang berguna. Untuk membantu penilaian dan alasan keseragaman, ada beberapa alat bantu yang dipaka. Yang sederhana dan sering dipakai adalah VAS (Visual Analog Scalelskala analog visual). Skala ini dimulai dari angka 0 sampai 10, dengan pengertian 0 artinya tidak ada nyeri sama sekali dan 10 artinya sangat nyeri sekali. Pasien diminta menunjuk titik tertentu. Penilaian ini akan diulang setelah mendapat pengobatan.
1 10 cm Visual Analog Scale (VAS)
!
Pain as Bad as it Could Possibly be
Pain
Gambar 1. Skala analog visual (VAS)
DERAJAT NYERl Berdasarkan alat bantu yang dipakai, maka nyeri kanker dapat dibagi 3 kelompok; yaitu: Nyeri ringan yaitu nyeri dengan nilai VAS 1-4. Nyeri sedang yaitu nyeri dengan nilai VAS 5-6. Nyeri berat yaitu nyeri dengan nilai VAS 7- 10. Hasil pemeriksaan ini akan menentukan jenis obat yang diberikan.
TATA LAKSANA NYERl KANKER Tatalaksana nyeri kanker rnembutuhkan pengkajian (~is.ve.v~sn?etit)yang tepat, terus-menerus dan berkesinambungan. Pengkajian nyeri itu sendiri memerlukan pengetahuan dasar yang harus dipelajari dengan baik agar lebih berani dalam pemberian obat morfin. Dokter sering takut memberikan morfin karena ketidaktahuan dokter mengenai morfin, efek samping yang mungkin timbul, dan cara mengatasinya. Tahapan dalam tata laksana nyeri kanker. Pengkajian/a,s.se.ssmer?t. Pengobatan dan Evaluasilreassessment.
Pengkajian (Assessment) Penilaian nyeri yang tepat merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Keluhan pasien merupakan arti sangat penting dalam pengobatan nyeri, keluhan ini harus diuraikan dengan jelas. Ada beberapa pedoman untuk menilai nyeri seperti: Kapan timbulnya nyeri. Di mana lokasi nyeri . Bagaimana kemungkinan mekanisme nyeri tersebut muncul. Bagaimana intensitas nyeri itu. Faktor apakah yang mengurangi atau menambah nyeri tersebut. Dari anamnesis yang baik, dapat diketahui jenis nyeri yang dikeluhkan oleh pasien. Dengan bantuan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti foto, zrltrasonogarfi, skintigrafi tulang, CT scanning, MRI dan lainnya, akan dapat diketahui dengan jelas jenis nyeri pasien ini, apakah nyeri neuropatik, viseral atau somatik atau gabungan dari dua atau tiga jenis nyeri ini. Pengobatan dan Evaluasi Pengobatan nyeri kanker harus bersifat multidisiplin, melibatkan banyak keahlian seperti onkologi medik, psikatrik, saraf, bedah, rehabilitasi medik, radioterapi, perawat onkologi, pengasuh rawat (caregivers), dan lain lain. Selain itu juga melibatkan anggota keluarga selain pasien itu sendiri. Pengobatan nyeri kanker terdiri dari 2 bagian, non farmakologik yaitu pengobatan bukan dengan obat seperti tindakan operasi, radiasi, tindakan oleh rehabilitasi medik dan sebagainya. Pengobatan cara ini tidak banyak dilakukan. Sedangkan farmakologik adalah pengobatan dengan memakai obat, dan dilaporkan sekitar 90% kasus nyeri kanker dapat diatasi dengan obat-obatan. Untuk memudahkan pengobatan nyeri, WHO membuat suatu pedoman penilaian nyeri yang sangat dikenal dan dipakai hampir di seluruh dunia, yaitu Step Ladder/tangga nyeri WHO. Berdasarkan pedoman ini akan lebih mudah untuk menatalaksana nyeri kanker. Tangga nyeri (Step Ladder) yang merupakan pedoman umurn untuk pengobatan nyeri kanker, ini sangat membantu pengobatan nyeri ini dan mudah untuk dimengerti. Sehingga sangat dianjurkan untuk digunakan. Obat nyeri kanker. Berdasarkan kepada kekuatan obat anti nyeri kanker, maka dikenal3 tingkatan obat yaitu: Nyeri ringan (VAS 1-4), obat yang dianjurkan; Asetaminofen, OAINS (obat anti-inflamasi non-steroid) Nyeri sedang (VAS 5-6). Obat kelompok pertama dan ditambah kelompok opioid ringan seperti kodein, tramadol. Nyeri berat (VAS 7-10). Obat yang dianjurkan adalah kelompok opioid kuat seperti morfin, fentanil dan sebagainya.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1514
ONKOLOGIMEDIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Obat Ajuvan. Selain obat nyeri di atas ada lagi obat yang bersifat ajuvan, yaitu obat yang membantu mengurangi nyeri. Obat ini dapat diberikan pada semua derajat nyeri sebagai tambahan. Obat yang termasuk kelompok ini antara 'lain : a). Kortikosteroid; b). Gabapentin; c). Amitriptilin; d). Bisfosfonat. Juga terdapat beberapa obat lain yang bisa bennanfaat. Opioid Kuat. Pengobatan untuk nyeri kanker terutama nyeri sedang dan berat sering di bawah standar. Ini terjadi bisa karena penilaian nyeri yang kurang baik atau karena ketakutan akan pemakaian morfin. Ketakutan pemakaian morfin ini disebabkan banyak hal, bisa karena faktor pasien dan keluarga yang takut akan ketergantungan obat, atau faktor tenaga dokter karena kurang mengetahui efek sarnping dan cara mengatasinya atau tidak mau repot karena adanya aturan khusus dalam pemakaian obat opioid.
1
-
Garnbar 2. Tangga nyeri (Step Ladder WHO)
Opioid kuat yang ada di Indonesia seperti morfin tersedia dalam bentuk: 1). Ampul yang diberikan untuk injeksi (suntikan); 2). Kemasan oral (tablet) dalam 2 bentuk: (2 a).Tablet kerja cepat, efektif selama 4-6 jam sehingga diberikan 4-6 kali sehari. Tablet ini bisa digerus dan dibagi. (2 b). Tablet kerja lambat, efektif selama 8-12 jam sehingga diberikan 2 kali sehari. Tablet ini tidak bermanfaat sebagai lepas lambat bila dibagildigerus; 3). Opioid kuat bentuk lain adalah Transdermal Patchlobat tempel transdermal fentanyl, yaitu golongan opioid kuat yang bekerja selama 72 jam dan cara pemberian ditempel di kulit. Obat ini sangat bermanfaat untuk orang yang sulit menelan, kegagalan fungsi saluran cerna, tidak patuhlsulit minum obat sesuai ketenkan (non compliance) dan lain sebagainya.
WHO menganjurkan pemakaian obat nyeri kanker seperti berikut: Obat dimakan melalui mulut. Tepat waktu. Harus dimakan sesuai jadwal , tiap 6 jam atau 12jam, bila sedang tidur dibangunkan untuk minurn obat nyeri. Sesuai dengan pedoman tangga nyeri WHO. Individual, pengobatan nyeri sama dengan pengobatan lain, setiap pasien punya reaksi dan respons yang mungkin tidak sama, sehingga perlakuannya bersifat individual. -. Penuh perhatian terhadap hal-ha1 kecil. Efek samping yang agak mengganggu adalah susah buang besarkonstipasi, mual, mengantuk, ha1 ini dapat ditanggulangi dengan baik, sedangkan yang agak berat adalah frekuensi napas menjadi lambat, meskipun kasus seperti ini jarang terjadi. Konstipasi harus dicegah se.jak awal, sehingga setiap membuat resep morfin maka resep laksansia juga harus dibuat. Jika konstipasi sudah timbul maka agak sulit untuk mengatasi ha1 ini. Nausea kadang kadang timbul dan dapat diberikan anti muntah. Pemberian dosis maksimal morfin lebih ditentukan oleh toleransi terhadap efek samping ini. Satu ha1 yang penting diketahui morfin tidak mempunyai dosis maksimal sehingga aman sekali dipakai dan tidak menimbulkan ketergantungan jika dipakai dengan benar. Pemberian obat ajuvan diberikan sesuai pengkajian. Jika diduga penyebabnya neuropatik maka selain obat di atas dapat ditambahkan GABAIGabapentin. Jika nyeri somatik disebabkan oleh karena metastasis tulang yang sedikit maka diberikan OAlNS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) dan dapat ditambahkan bisfosfonat. Jika metastasis relatif luas atau multipel maka pengobatan utamanya adalah radioterapi dan ditambah bisfosfonat. Tata laksana nyeri merupakan bagian dari pengobatan kanker. Jika pengobatan kausal terhadap kanker responsif, maka keb~~tuhan anti nyeri bisa berkurang dan adakalanya pemakaian morfin bisa dihentikan secara bertahap tanpa menimbulkan ketergantungan (adiksi). Jika pengobatan kausal tidak diberikan lagi maka pengobatan anti nyeri akan terus diberikan sampai pasien meninggal. Sepanjang cara pemberian morfin sesuai prosedur maka tidak terjadi addiksi dan nyeri dapat dikontrol dengan baik. Pemakaian morfin tidak ada batasan maksimal sepanjang efek samping obat tersebut tidak muncul. Bila muncul efek samping yang serius maka pengobatan dengan morfin hams ditukar dengan obat lain. Pengobatan psikiatrik seharusnya sudah dimulai sejak pasien mulai mendapat pengobatan nyeri, karena nyeri kanker biasanya nyeri kronik dan berdampak kepada psikis. Ada beberapa cara yang dikembangkan dalam bidang psikiatrik.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1515
PENANGGULANGAN NYERl PADA KANKER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI TAHAPAN SEDERHANA PENATALAKSANAAN NYERl KANKER Tentukan jenis nyeri Tentukan tingkatan nyeri Berikan anti nyeri sesuai tingkatan Pengkajian ulang dan dosis morfin dinaikkan % sampai !h dosis awal. *. Fikirkan obat tambahan,bila kurang responsif.
KESIMPULAN Penanggulangan nyeri kanker m'erupakan bagian dari pengobatan kanker dan sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien. Penanggulangan nyeri kanker hams secara interdisiplin. Untuk mencapai bebas nyeri diperlukan pengkajian yang tepat, komprehensif dan berkesinambungan. Pemberian obat morfin cukup aman asal dikerjakan dengan baik dan tidak menimbulkan ketergantungan.
REFERENSI Dinwoodie WR, La Pierre JA, Rodriquez C, Brune M. Pain management. Decision making in oncology, evidence based management. In: Djulbegovic B, Sullivan DM, editors. Philadelphia: Churchill Livicgstone; 1997. p. 385-97. Elon Eisenberg, David Borsook, Alyssa A Le Bel. Pain in the terminally ill. Massachussetts General Hospital handbook of pain Management. In: David Borsook, Alyssa A LeBel, Bucknam Mc Peek, editors. Boston: Little, Brown and Company; 1996. p. 310-25. Foley KM. Management of cancer pain, supportive care and the quality of life of the cancer patient. Cancer principle and practice of oncology. In: De Vita Vincent, Hellman Samuell, A Rosenberg S, editors. 4th edition. Philadelphia: Lippincott; 1993. p. 2417-37. Kittelberger KP,LeBel AA, Borsook D. Assessment of pain. In: Boorsok D, LeBel AA, Mc Peek B, editors. Massachusetts General hospital handbook of pain management. Boston: Little, Brown and Company; 1996. p. 26-44. NCCN. Adult cancer pain. Clinical practice guideline in oncology. Volume 1. 2005. p. 1- 27. Payne R. Opioid pharmacotherapy. Principles and practice of palliative care and supportive oncology. In: Berger AN, Portenoy RK, Weissman DE, editors. 2nd edition. Philadelphia: Lippincitt Williams and Wilkins; 2002. p. 68-83.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
SINDRO-M PARANEOPLASTIK Sugiyono Somoastro, Abdulmuthalib
DEFlNlSl DAN INSIDENS Sindrom paraneoplastik adalah gangguan klinik dengan tanda dan gejala yang mengenai jauh dari tempat tumor primer dan metastasis (remote effect). Sindrom paraneoplastik paling sering berhubungan dengan kanker paru, lambung dan payudara atau dengan keganasan darah terutama limfoma Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin. Beberapa sindrom paraneoplastik seperti cancer-related anemia dan anorexia-cachexia sering terjadi pada berbagai jenis keganasan. Insidens terjadi sindrom paraneoplastik adalah sekitar 50%. Sangat penting mengenali manifestasi klinik sindrom paraneoplastik karena sering sekali merupakan petunjuk awal adanya kanker dan pengenalan segera akan mengarah diagnosis yang lebih awal dan pada stadium yang lebih bisa ditangani. Protein yang disekresi oleh sindrom paraneoplastik mungkin bisa digunakan sebagai tumor marker. Keberhasilan penanganan tumor yang mendasari akan menghilangkan sindrom paraneoplastik. Pada beberapa keadaan tumor tidak bisa diobati tapi gejala dan komplikasi sindrom paraneoplastik bisa ditangani.
Penyebab terbanyak sindrom paraneoplastik tidak diketahui. Tapi secara umum ada 4 mekanisme, yaitu: 1). Sekresi hormon yang tidak wajar; 2). Konversi metabolik hormon steroid; 3). Produksi dan sekresi sitokin; 4). Stimulasi produksi antibodi autoimun Sindrom endokrin seperti hiperkalsemia dan SIADH (syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic hormone) umumnya disebabkan oleh produksi peptida
hormon yang tidak wajar oleh sel tumor. Banyak sel normal dan nonendokrin maligna produksi sejumlah protein hormon yang berfungsi autokrin atau parakrin. Beberapa kanker produksi dalam jumlah banyak hormon atau mempunyai kemampuan mengubah suatu molekul menjadi bentuk aktif yang mengakibatkan timbul manifestasi klinik sistemik. sarkoma dan hepatoma dapat mengekspresikan peningkatan aktivitas aromatase yang mengubah androgen menjadi estradiol, sehingga terjadi ginekomastia. Beberapa keganasan hematologi mengekspresi peningkatan vitamin D hidrolase sehingga terjadi peningkatan kalsitriol dan hiperkalsemia. Produksi dan sekresi sitokin bertanggung jawab terhadap beberapa sindrom paraneoplastik seperti lekositosis, demam, anoreksia-kakeksia. Beberapa sindrom paraneoplastik terutama dengan manifestasi neurologi umumnya akibat terbentuknya autoantibodi.
PENEMUAN KLlNlS Tanda dan gejala sindrom paraneoplastik dapat mendahului diagnosis kanker berbulan-bulan atau bertahun-tahun atau dapat timbul kapan saja dalam perjalanan kanker. Sindrom paraneoplastik umumnya berhubungan dengan gejala yang timbul cepat. Setiap sistem organ dapat terkena sindrom paraneoplastik. SIADH dan hiperkalsemia adalah contoh sindrom paraneoplastik yang berakibat fataltkematian bila tidak ditangani dengan tepat. Anemia adalah faktor utama yang berperan dalam cancer-related fatigue dan morbiditas cardio-pulmonary. Fenomena tromboemboli tidak jarang penyebab kematian pada kanker lanjut.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
SINDROM PARANEOPLASTIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Endokrin Sindom Cushing. Dengan gambaran klinis kelemahan, alkalosis, hipokalemia, hipertensi. Penyebabnya adanya produksi ACTH. Kanker yang berhubungan: kanker paru small-cell, karsinoid,timoma, tiroid medullary
SIADH. Dengan gambaran klinis hiponatremia, urin hipertonik, konfusi. Penyebabnya adalah arginin vasopresin, ANF (Atrial Natriuretic Factor). Kanker yang berhubungan : kanker gastrointestinal, esofagus, kanker paru small-cell. Hiperkalsemia. Dengan gambaran klinis hiperkalsemia, konfusi, poliuri/polidipsi. Penyebabnya adalah PTHrP (Parathyroid hormone-related peptide), Osteoclast activating factors, peningkatan hidroksilasi vitamin D. Kanker yang berhubungan: kanker paru nonsmall-cell, nasofaring, payudara, mieloma, limfoma, lekemia Hipoglikemia. Dengan gambaran klinis hipoglikemia, konfusi. Penyebabnya IGF-I1 (insulin growth factor). kanker yang berhubungan: sarkoma, hepatoma Onkogenik osteomalasia. Dengan gambaran klinis hipofosfatemia, penurunan vitamin D, osteopeni, nyeri tulang. Penyebabnya peningkatan ekskresi fosfat di ginjal. Kanker yang berhubungan: sarkoma, prostat, kanker paru small-cell. Akromegali. Dengan gambaran klinis raut muka kasar, peningkatan ukuran kakiltangan. Penyebabnya peningkatan hormon pertumbuhan, GHRH (growth hormone-releasing hormone). Kanker yang berhubungan: paru, lambung, payudara, karsinoid. Ginekomastia. Dengan gambaran klinis pembesara payudara pada laki. Penyebabnya peningkatan aktivitas aromatase. Kanker yang berhubungan: hepatoma, sarkoma. Hematologi Anemia. Dengan gambaran laboratorium penurunan hemoglobin, hematokrit, skistositosis, penurunan prekursor eritroid. Penyebabnya penurunan relatif eritropoietin, hemolisis autoimun, pure red cell aplasia. Kanker yang berhubungan semua kanker. Eritrositosis. Dengan gambaran laboratorium peningkatan hemoglobinlhematokrit. Penyebabnya peningkatan eritropoietin. Kanker yang berhubungan ginjal, hepatoma. Reaksi leukemoid. Dengan gambaran laboratorium lekositosis >20.000/mm3. Penyebabnya sitokin. Kanker yang berhubungan semua jenis kanker. Trombositopenia. Dengan gambaran laboratorium trombositopenia. Penyebabnya adanya antibodi terhadap trombosit. Kanker yang berhubungan limfoma Trombositosis. Dengan gambaran laboratorium
peningkatan jumlah trombosit. Penyebabnya mungkin produksi trombopoietin berlebihan atau dapat disebabkan oleh kelainan sekunder seperti inflamasi, perdarahan, anemia hemolitik. Kanker yang berhubungan limfoma, tumor padat. Tromboembolism. Dengan gambaran klinis migratory thrombosis, sterile valvular vegetations, emboli sistemik, CVA (Cerebrovascular accident). Penyebabnya terdapat ketidakseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis, peningkatan katabolisme fibrinogen dan trombosit, penurunan kadar AT 111, protein C dan protein S. Kanker yang berhubungan gastrointestinal, adenokarsinoma musinus. DIC (DisseminatedZntravascular Coagulopathy).Dengan gambaran klinis Peningkatan PT (protrombin time),PTT (parsial tromboplastin time), fibrinogen, trombositopenia, D-dimer. Penyebabnya peningkatan ikatan protein aneksin I1 dengan fosfolipid. Kanker yang berhubungan AML-M3, tumor padat. Neuromuskular Sindrom Guillain-Barre. Dengan gambaran ascending paralysis. Penyebabnya inflamasi, demielinisasi. kanker yang berhubungan limfoma Hodgkin. Miastenia gravis. Dengan gambaran klinis kelemahan, pandangan kabur. Penyebabnya antibodi terhadap reseptor asetilkolin. Kanker yang berhubungan timoma. Eaton-Lambert sindrom. Dengan gambaran klinis kelemahan, disfungsi otonom. Penyebabnya antibodi terhadap voltage-gated calsium. Kanker yang berhubungan kanker paru jenis small-cell. Paraneoplastik periferal neuropati. Dengan gambaran klinis penurunan simetris kemampuan sensorik dan motorik, progresif dari distal dan terberat pada tungkai.Penyebabnya adanya antigen CV2. Kanker yang berhubungan paru, payudara. Dermatologi Eritroderma. Dengan gambaran klinis eritema makular difus. Penyebabnya tidak diketahui. Kanker yang berhubungan limfoma Pruritus. Dengan gambaran gatal menyeluruh. Penyebabnya tidak diketahui. Kanker yang berhubungan limfoma. Lesi bulosa. Manifestasi tersering adalah paraneoplastik pemphigus dengan gambaran klinis lesi bulosa pada kulit, stomatitis. Penyebabnya autoantibodi terhadap desmosom plakin, lektin, desmoglein 1 dan 3. Kanker yang berhubungan limfoma, lekemia limfositik kronik, timoma. Reumatologi Dermatomositis/polymyositis. Dengan gambaran klinis
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOGI MEDIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kelemahan otot, inflamasi, ruam. Penyebabnya adanya antibodi antimiosin, antimioglobin. kanker yang berhubungan paru, ovarium, payudara, lambung. Vaskulitis. Dengan gambaran klinis vaskulitis. Penyebabnya endapan kompleks imun. Kanker yang berhubungan keganasan hematologi Pulmonary hypertrophic osteoarthropathy. Dengan gambaran klinis clubbing, nyeri tulang, sinovitis, periostitis. Penyebabnya tidak diketahui. Kanker yang berhubungan paru, mesotelioma, metastasis paru.
Ginjal Glomerulonefritis. Dengan gambaran klinis glomerulonefritis membranosa. Penyebabnya endapan kompleks imun. Kanker yang berhubungan paru, gastrointestinal, payudara, limfoma. Sindrom nefrotik. Dengan gambaran klinis glomerulonefritis minimal (lipoid nefrosis). Penyebabnya tidak diketahui. Kanker yang berhubungan. limfoma Hodgkin. Hati Sindrom Stauffer. Dengan gambaran klinis gangguan fungsi hati, demam, penurunan berat badan. Penyebabnya antibodi antihepatosit (?). Kanker yang berhubungan kanker ginjal. SlSTEMlK Anoreksia-kakeksia. Dengan gambaran klinis penurunan berat badan. Penyebabnya TNF (tumor nekrosis faktor) alfa (kakeksin). Kanker yang berhubungan semua jenis kanker. Demam. Dengan gambaran demam tanpa adanya infeksi. Penyebabnya interleukin 1 dan TNF alfa, beta.
PENGOBATAN Penanganan yang tepat sindrom paraneoplastik tergantung pada jenis, tingkat beratnya, dan respons terapi kanker yang mendasari. Tujuan pengobatan mengontrol
gejala dan kanker yang mendasari. Pada pasien dengan gejala ringan dan tumor yang kemosensitif, dengan pemberian kemoterapi cukup menghilangkan gejala. Tapi, bila gejala berat dan tumor lanjut atau tumor yang kurang sensitif, perlu terapi spesifik. Sindrom paraneoplastik akibat dari overproduksi hormon atau sitokin umumnya berhasil ditangani dengan keberhasilan terapi antikanker dan akan timbul lagi bila residif. Terapi tambahan diperlukan seperti pada sindom Cushing dengan obat penghambat produksi kortisol (aminoglutetimid atau ketokonazol), hiperkalsemia dengan hidrasi dan bifosfonat, SIADH dengan pembatasan cairan dan demeklosiklin, oncogenic osteomalacia dengan fosfat dan vitamin D adalah sering bermanfaat untuk mengurangi gejala. Sebaliknya gejala-gejala yang berhubungan dengan sindrom neurologi autoimun selalu berhubungan dengan kerusakan neuron yang umumnya ireversibel saat diagnosis ditegakkan. Perbaikan peningkatan kualitas hidup, dengan perangsang nafsu makan seperti medroksiprogesteron asetat dapat meningkatkan berat badan pada 50% pasien dengan cancer-associated anorexia-cachexia.Eritropoietin dapat mengurangi fatigue pada pasien dengan cancer-related anemia.
REFERENSI Arnold SM, Lieberman FS, Foon KA. Paraneoplastic syndromes. In: de Vita VT, et al, editors. Cancer principles & practice in oncology, 7Ih edition. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2005.' Jameson JL, Johnson BE. Paraneoplastic syndromes: endocrinologic/hematologic. In: Kasper DL, et al, editors. Harrison's principle of internal medicine. 16th edition. New York: McGraw-Hill; 2005. Kalemkerian GP. Paraneoplastic syndromes. In: Humes HD, editor. Kelley's. textbook of internal medicine. 4th edition. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2000. Macaulay VM, Smith IE. Paraneoplastic syndromes. In: Peckham M, et al, editors.Oxford textbook of oncology. Oxford: Oxford University Press; 1995. Odell WD. Paraneoplastic syndromes. In: Holland JF, et al, editors. Cancer medicine. 41h edition. Baltimore: Williams&Wilkins; 1997.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENATALAKSANAAN PASIEN KANKER TERMINAL DAN PERAWATAN DI RUMAH HOSPIS Asrul Harsal
PENDAHULUAN Pengobatan kanker lanjut dengan kondisi pasien yang kurang baik, sering ditujukan kepada perawatan paliatif. Dalam perawatan paliatif, klinisi dihadapkan kepada dua ha1 yaitu: 1). Pengenalan pelayanan perawatan paliatif itu sendiri; 2). Penjelasan mengenai perawatan paliatif yang menuju kepada kematian, yang cenderung menjadi topik yang menakutkan bagi keluarga dan pasien., dan klinisi perawatan paliatif biasanya juga menghindari pembicaraan keiatian pada awal wawancara. Deskripsi dari perawatan paliatif sering dipakai penyakit terminal, penyakit yang mengancam kehidupan, atau penyakit serius. Pengertian mengenai perawatan paliatif dan ruang lingkupnya bervariasi dalam komunitas perawatan paliatif menggambarkan bukanlah suatu lapangan yang baru, ruang lingkup itu masih diperdebatkan, mulai dari menghilangkan gejala, peningkatan kualitas hidup atau mengobati pasien yang tidak responsif terhadap penyembuhan, pertikaian ini tetap ada dan masing masing negara juga berbeda dan di Amerika ada perbedaan antara perawatan paliatif dan hospis.
PERAWATAN PALlATlFlHOSPlS Perawatan hospis adalah perawatan oleh tenaga terlatih yang dtujukan terhadap kebutuhan fisik, psikososial, dan spritual yang diperlukan oleh pasien dan keluarga, bentuk ini merupakan dasar program perawatan paliatif di seluruh dunia, program ini pertama kali diperkenalkan oleh Cicely
Saunders di St,s Christopher s hospice di London Istilah hospis tidak diterima di Perancis, sehingga dipolulerkan dengan nama perawatan paliatif. Dengan kegiatan yang sama. Perawatan paliatif dikenal juga dengan perawatan terakhir (Terwinal care) ,end oj'life care.
FlLOSOFl PALlATlFlHOSPlS Pedoman perawatan paliatif adalah: 1). Kematian adalah sesuatu yang alamiah yang merupakan bagian dari siklus kehidupan, perawatan paliatif tidak memperpanjang atau mempercepat kematian; 2). Mengatasi nyeri dan gejalat keluhan yang timbul merupakan tujuan dari perawatan; 3). Nyeri psikologis dan spritual merupakan ha1 yang nyata dari nyeri fisik dan memerlukan 3 keahlian, sehingga pendekatannya hams secara tim interdisiplin; 4). Pasien, keluarga dan seseorang yang disayangi, merupakan suatu unit dari perawatan; 5). Perawatan kesedihan suatu ha1 yang penting untuk mendukung ketahanan anggota keluarga dan teman; 6). Perawatan ini dikembangkan tanpa melihat kemampuan untuk dibayar. Tujuan utama perawatan paliatif adalah mempromosikan kesadaran, dignified dan bebas nyeri terhadap pasien sehingga dapat menghargai akan kebutuhan seseorang.
ORGANlSASl TIM HOSPIS Anggota inti dari tim perawatan paliatiflhospis adalah; Dokter yang mengunjungi pasien.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ONKOLOGI MEDlK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Ketua tim hospis. Perawat yang sudah terlatih dengan keadaan pasien menjelang meninggal. Tenaga terlatih (pekerja sosial) terhadap kondisi menjelang meninggal. Rohaniawan yang terdidik dan berpengalaman. Koordinator sukarela yang terlatih dalam organisasi dan komunikasi. Tenaga sukarela yang terlatih. Selain yang di atas ditambahkan, tenaga profesional lain, seperti terapis, ahli diet, ahli farmasi dan asisten perawat, yang akan bergabung jika diperlukan.
EVALUASI PERAWATAN Evaluasi ini agak sulit karena menyangkut saksi dan orang yang mengevaluasi setelah proses perawatan lengkap Pendekatan yang sederhana adalah mengikuti perkembangan pasien ini mingguan pada tingkat rumah sakit atau perawatan rumah hospis sehingga akan memperbaiki kejadian sebelumnya. Tipe Program Perawatan Paliatif Ada dua tipe pelayanan: Hospis yang juga dikenal dengan perawatan paliatif. Program ini dapat dikembangkan sesuai dengan tempat dimana perawatan diberikan dan apakah staf ditempat tersebut mengetahui program paliatif atau bisa juga dikonsulkan kepada staf dari anggota tim paliatif. Sekarang program perawatan paliatif umumnya terdiri dari pasien rawat inap yang dikonsultasikan kepada tim, unit yang terdidik dengan berbagai ukuran perawatan akut atau fasilitas lain yang dikembangkan, klinik perawatan ambulatoir, program rawat rumah spesial termasuk disini pelayanan rumah sakit dengan"bridge" yang berafiliasi dengan perawatan paliatifhospis. Kebanyakan perawatan rawat paliatif dikembangkan sebagai konsultasi dengan atau di bawah pengaturan dokter primer, walaupun direktur medis paliatif atau dokter hospis dapat langsung merawat dalam beberapa program. Di dalam perawatan paliatifjuga ada pilihan lain dimana penatalaksanaan perawatan dipimpin oleh dokter primer. Rawat rawat rumah yang dikembangkan. Program ini adalah rawat rumah yang dikembangkan dengan perawatan rumah sakit pada kondisi akut. Rawat rurnah dikembangkan sesuai dengan fasilitas kediaman dan, rawat rumah seperti ini termasuk perawatan singkat yang terus menerus untuk memberikan pelayanan yang intensif. Perawatan di rumah sakit hanya karena kondisi akut, diberikan pada tempat tidur yang tersebar, pada unit yang sudah terdidik dan dengan fasilitas yang dikembangkan. atau kurang dari itu. Lama perawatan fase akut ini harusnya 5% dari jumlah hari
perawatan rawat rumah. Selama 20 tahun terakhir ini, ada banyak alasan yang menyebabkan adanya transisi perawatan di rumah sakit yang dipindahkan ke rumah, seperti; biaya perawatan yang mahal, pembatasan yang ketat dalam lama perawatan rumah sakit, keberhasilan perawatan rumah hospis dan perawatan rumah lebih murah dan lebih efektif. Beberapa perawatan rutin rumah sakit dapat dikerjakan di rumah dan hasilnya juga baik.
Elemen Perawatan Paliatif Perawatan paliatif ditandai oleh beberapa hal: Sasarannya pada Kondisi Khusus, perawatan pada kondisi sakit terminal atau menjelang akhir hayat. Tahapan ini tidak membutuhkan prognosis spesifik di dalam penjelasan terhadap perawatan pasien yang menjelang ajal, eufemisme hams dihindari,tetapi definisi tidak tumpul sehingga akan menakutkan pasien dan keluarga, seperti, tidak bisa sembuh, atau terminal dan juga tidak begitu halus seperti memberi harapan seperti pada penyakit lanjut. Sedangkan untuk petugas, istilah kondisi terminal, aktif progresif dan sebagainya jadi lebih nyata. Istilah penyakit yang mengancam kehidupan lebih tepat untuk keluarga dan pasien. Menggunakan metode yang tertentu. a). Komprehensif yaitu, ditujukan terhadap semua kondisi yang dihadapi. b). Interdisiplin atau bekerja sama dengan yang lain, Kebanyakan bidang klinis tidak mempunyai perawatan spesifik, tidak ada beda nyata, kecuali antara medikal dan bedah, sering dipakai istilah bedah invasif minimal, intervensi radiologik dan sebagainya.. Perawatan yang diarahkan terhadap pasien dan keluarga dan sampai masa berkabung. Fokus terhadap penatalaksanaan spesifik yaitu mempromosikan kualitas hidup. Masalah yang dihadapi pada perawatan paliatif: kurang energi, nyeri, mulut kering, napas pendek, susah tidur, merasa mengantuk, kecemasan, merasa gugup, batuk, berat badan turun, kurang nafsu makan, mudah tersinggung, gangguan seksual. Sebetulnya kita hams tahu apa yang diharapkan oleh pasien yang sudah divonis sebagai perawatan paliatif, berdasarkan kepada laporan penelitian Voogt E et al2005, menyatakan bahwa dari 122 pasien kasus terminal dengan umur rata rata 64 tahun dan 53 % diantaranya adalah perempuan. Disini dapat dikategorikan ada 3 bentuk keinginan pasien: Berusaha untuk peningkatan kualitas hidup. Pasien lebih tua, lebih lelah berobat, atau mempunyai perasaan yang kurang positif, lebih sering mempunyai insiatif untuk mempunyai rencana lebih meningkatkan kualitas hidup. Berusaha untuk memperpanjang kehidupan. Pasien
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENATALAKSANAAN PASIEN KANKERTERMINAL DAN PERAWATAN DI RUMAH HOSPIS
1521
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dengan riwayat kanker yang kurang dari 6 bulan, cenderung lebih memilih usaha memperpanjang kehidupan dibandingkan terhadap pasien dengan riwayat kanker lebih lama, selamafollow up, tidak ada perubahan, kecuali pada pasien denga riwayat b a r - menderita kanker dan semangat untuk memperpanjang kehidupannya menurun. Tidak jelas, mana yang lebih diutamakan. Kelompok ini kurang jelas arah yang hendak dicapai. Perawatan Pasien Terminal Kematian adalah suatu perjalanan yang akan dilalui oleh semua orang, pada pasien kanker stadium lanjut, mungkin kematian itu sudah lebih dekat. Nilai dan kenyataan pada kOndisi terminal Yang dihadapi adalah penghargaan terhada~semua Perawatan Yang diberikan Yang d i c a ~ a i secara keseluruhan yang dikenal dengan istilah integritas, bukan suatu kekecewaan. Sebagian tugas para klinisi adalah memfasilitasi keadaan emergensinya. Tugas klinisi adalah: Penjelasan tentang semakin dekatnya kematian. Sehingga berbicara mengenai ha1 yang nyata (realistic) Menilai kondisi pasien. Emosional pasien, dan lain lain. Mengobati gejala. Menyembuhkan gejala. - Nyeri. Pengobatan nyeri harus bisa diberikan dengan baik.Untuk nyeri sesuai dengan pedoman yang ada tahap 1, 2 dan 3 (lihat dalam bab penatalaksanaan nyeri kanker). - Gejala saluran cerna. Mual, muntah, ha1 ini bisa akibat penyakit kanker yang lebih dihubungkan dengan faktor mekanik, atau akibat lainnya seperti hiperkalsemia, atau akibat obat-obatan yang diminum seperti digoksin pada kelainan ginjal atau infeksi. Metastasis hati sering menyebabkan mual. - Sesak napas atau gangguan napas lainnya.. Sesak napas (dyspnea) dapat disebabkan banyak hal, dengan anamnesis, pemeriksaan fisis,dan jika disebabkan cairan pada pleura yang masif, maka dapat dilakukan penyedotan dan dilanjutkan dengan pleurodesis jika memungkinkan pada minggu-minggu terakhir kehidupan. Sesak napas karena ha1 lain diobati sesuai dengan penyebabnya, seperti infeksi diberikan antibiotika, sesak karena payah jantung diobati dengan obat untuk penyakit payah jantung. Morfin dosis rendah adakalanya akan memperbaiki sesak napas yang tidak terlalu berat. P e r a w a t a n P a s i e n pada H a r i l J a m - j a m Terakhir Kehidupan Penilaian kondisi pasien, termasuk di sini klarifikasi pencapaian tujuan pengobatan dan keadaan seseorang serta harapan yang ingin dicapai pasien dan keluarga menjadi sangat penting. Jika kondisi pasien sudah
mendekati akhir kehidupan, maka prinsip dasar semua pengobatan adalah tertuju terhadap menuju ketenangan dan kenyamanan. Perawatan mulut menjadi ha1 penting, infus, makanan dan minuman tidak perlu jika pasien menolak, Jika perawatan mulut baik, sedikit dehidrasi tidak menimbulkan rasa tidak nyaman. Obat yang dipakai sebelumnya jika masih diperlukan dan tidak bisa diminum maka diberikan melalui suntikan, pemberian obat suntikan subkutan masih dapat diberikan. Obat yang tidak ada hubungan dengan perbaikan gejala saat itu, segera distop. Obat tidur dapat diberikan Cjangan morfin, karena efek sedasinya disebabkan efek samping). Obat yang bisa Midazolam 2-1 5 mg infus subkutan dapat diulang setelah 2-4 jam kemudian, klonazepam 1-2 mg subkutan atau sublingual. Perawatan Spiritual Perawatan spiritual mempunyai beberapa penjelasan, antara lain: Perawatan spiritual tidak selalu berhubungan dengan keagamaaan, tetapi lebih mengenai topik yang berhubungan dengan harapan, dan perkembangan pribadi, Kepercayaanlagama, adalah suatu pengertian manusia yang mendalam,dan dokter harus menghargai ha1 ini, yang berhubungan dengan sakit berat dan kematian. Menurut pengalaman yang dihadapi di Indonesia masalah agama menjadi sangat dominan pada kondisi terminal. Kondisi pasien pada akhir hayat diusahakan setenang mungkin dengan kualitas hidup yang relatif baik dan dalam pedoman agama dan mulia (dignity). REFERENSI Andre\\ Billings J. Definitions and models ot' palliati~e care. I'rinciples and practice of palliati\e care and supporti~concolog). In: Berger AN, Portenoy RK. Weissman DE. editors. 2"" edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins: Philadelphia; 2002. p. 635-46. Leland JY, Schonuetter RS. Hospice. Principles and practice of palliative care and supportive oncolog>. In: Berger AN, Porteno) RK, Weissman DE, editors. 2"hdition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2002. p. 647-52. Vinciguerra VD, Olimpio ST. Deliver!. of canccr care at home. Supportive care in cancer. In: Klatersk! J, Schitnpff SC. Jorg Senn H. editors. I " edition. New York: Marcel Dekker; 1998. p. 693-707. Lickiss JN. Care of the patient close to death. Supporti\e care in cancer. In: Klatersky J, Schimpft' SC. Jorg Senn H. editors. I " edition. New York: Marcel Dekker; 1998. p. 677-92. Voogt E, Heide A v d. Riet.jens SAC. Leeu\\en Af\. et al. Attitudes of patients with incurable cancer toward ~iiedicaltreatment in the last phase of life. J of Clin Oncolog). 3005;23:2012-9.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ELEKTROKARDIOGRAFI Sunoto Pratanu, M. Yamin, Sjaharuddin Harun
PENDAHULUAN Sejak Einthoven pada tahun 1903 berhasil mencatat potensial listrik yang terjadi pada waktu jantung berkontraksi, pemeriksaan elektrokardiograrn (EKG) menjadi pemeriksaan diagnostik yang penting. Saat ini pemeriksaan jantung tanpa pemeriksaan EKG dianggap kurang lengkap. Beberapa kelainan jantung sering hanya diketahui berdasarkan EKG saja. Tetapi sebaliknya juga, jangan memberikan penilaian yang berlebihan pada hasil pemeriksaan EKG dan mengabaikan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Keadaan pasien hams diperhatikan secara keseluruhan, misalnya umur, jenis kelamin, berat badan, tekanan darah, obat-obat yang diminum, dan sebagainya. EKG adalah pencatatan grafis potensial listrik yang ditimbulkan oleh jantung pada waktu berkontraksi.
KONSEP DASAR ELEKTROKARDIOGRAFI Sifat-sifat Listrik Sel Jantung Sel-sel otot jantung mempunyai susunan ion yang berbeda antara ruang dalam sel (intraselular) dan ruang luar sel (ekstraselular). Dari ion-ion ini, yang terpenting ialah ion Natrium (Na') dan ion Kalium (K'). Kadar K+intraselular sekitar 30 kali lebih tinggi dalam ruang ekstraselular daripada dalam ruang intraselular. Membran sel otot jantung ternyata lebih permeabel untuk ion negatif daripada untuk ion Na'. Dalam keadan istirahat, karena perbedaan kadar ion-ion, potensial membran bagian dalam dan bagian luar tidak sama. Membran sel otot jantung saat istirahat berada pada keadaan polarisasi,dengan bagian luar berpotensial lebih positif diban dingkan dengan bagian dalam. Selisih potensial ini disebut potensial membran, yang dalam keadaan istirahat berkisar -90 mV. Bila membran ototjantung
dirangsang, sifat permeabel membran berubah sehingga ion Na' masuk ke dalam sel, yang menyebabkan potensial membran berubah dari -90 mV menjadi +20 mV (potensial diukur intraselular terhadap ekstraselular). Perubahan potensial membran karena stimulus ini disebut depolarisasi. Setelah proses depolarisasi selesai, maka potensial membran kembali mencapai keadaan semula, yang disebut proses repolarisasi.
Potensial Aksi Bila kita mengukur potensial listrik yang terjadi dalam sel otot jantung dibandingkan dengan potensial di luar sel, pada saat sel mendapat stimulus, maka perubahan potensial yang terjadi sebagai fungsi dari waktu, disebut potensial aksi. Kurva potensial aksi menunjukkan karakteristik yang khas dan dibagi menjadi 4 fase yaitu: Fase 0: awal potensial aksi yang berupa garis vertikal ke atas yang merupakan lonjakan potensial hingga mencapai +20 mV. Lonjakan potensial dalam daerah intraselular ini disebabkan oleh masuknya ion Na+ dari luar ke dalam sel. Fase 1: masa repolarisasi awal yang pendek, di mana potensial kembali dari +20 mV mendekati 0 mV. Fase 2: fase datar di mana potensial berkisar pada 0 mV. Dalam fase ini terjadi gerak masuk dari ion Ca" untuk mengimbangi gerak keluar dari ion K'. Fase 3: masa repolarisasi cepat dimana potensial kembali secara tajam pada tingkat awal yaitu fase 4. Sistem Konduksi Jantung Pada umumnya, sel otot jantung yang mendapat stimulus dari luar, akan menjawab dengan timbulnya potensial aksi, yang disertai dengan kontraksi, dan kemudian repolarisasi yang disertai dengan relaksasi. Potensial aksi dari satu sel otot jantung akan diteruskan ke arah sekitarnya, sehingga sel-sel otot jantung di sekitarnya akan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI mengalami juga proses eksitasi, kontraksi, dan relaksasi. Penjalaran peristiwa listrik ini disebut konduksi. Berlainan dengan sel-sel jantung biasa, dalam jantung terdapat kulnpulan sel-set jantung kliusus yang rnempunyai sifat dapat menimbulkan potensial aksi sendiri tanpa adanya stimulus dari luar. Sifat sel-sel ini disebut sifat automatisitas. Sel-set ini terkumpul dalam suatu sistem yang disebut sistem konduksi jantung. Sistem konduksi jantung terdiri atas : Simpul Sinoatrial (sering disebut nodus sinus, disingkat sinus). Simpul ini terletak pada batas antara vena kava superior dan atrium kanan. Sirnpul ini mempunyai sifat automatisitas yang tertinggi dalam sistem konduksi jantung.
Gambar 3. Proses aktlvasi otot jantung Suatu stimulus lrstr~k menyebabkan aktivas~yang d~susuldengan repolar~sas~
Sistem konduksi intra atrial. Akhir-akhir ini dianggap bahwa dalam atrium terdapat jalur-jalilr khusus sistem kond~lksijantung yang terdiri dari -3 jalur internodal yang mengliubungkan simpul sino-atrial dan sirnpul atrioventrikular, dan jalur Bachnian yang menghubungkan atrium karian dan atrium kiri. Simpul ario-ventrikular (sering disebut nodus atrioventrikular disingkat nodus). Simpul ini terletak di bagian bawah atrium kanan, antara sinus koronarius dan daun katup trikuspid bagian septal. Berkas His. Berkas His adalah sebuah berkas pendek yang merupakan kelanijutan bagian bawah simpul atrioventrikular yang menembus anulus fibrosus dan septum bagian membran. Simpul atrioventrikular bersama berkas His disebut penghubung atrio-ventrikular. Cabang berkas. Ke arali distal, berkas His bercabang menjadi dua bagian, yaitu cabang berkas kiri dan cabang berkas kanan. Cabang berkas kiri rnernberikan cabangcabang ke ventrikel kiri, sedangkan cabang berkas kanan bercabang-cabang ke arah ventrikel kanan. Fasikel. Cabang berkas kiri bercabang menjadi dua bagian, yaitu fasikel kiri anterior dan fasikel kiri posterior. Serabut purkinje. Bagian terakhir dari sisteln konduksi jantung ialah serabut-serabut Purkinje, yang nierupakan anyanian halus dan berhubungan erat dengan set-sel otot jantung. Pengendalian Siklus Jantung Pengendali utama siklus jantung ialah simpul sinus yang mengawali timbulnya potensial aksi yang diteruskan melalui atrium kanan dan kiri menuju simpul AV, terus ke berkas His, selanjutnya ke cabang berkas kanan dan kiri. dan akhirnya mencapai serabut-serabut Purkinje. ltnpuls listrik yang diteruskan rnelalui atrium tnenyebabkan depolarisasi atrium, sehingga terjadi sistol atrium. ltnpuls yang kemudian tnencapai simpul AV, mengalami perlambatan konduksi, sesuai dengan sifat tisiologis simpul AV. Selanjutnya, impuls yang mencapai serabut-serabut Purkinje akan menyebabkan kontraksi otot-otot ventrikel secara bersamaan sehingga terjadi sistol ventrikel. Karena merupakan pengendali iltama siklus jantung, sirnpul sinus disebut pemacu jantung utama. Gambaran Siklus Jantung pada Elektrokardiogram Elektrokardiograni (EKG) adalah rekaman potensial listrik yang tinibul sebagai akibat aktivitas jantung. Yang dapat direkam adalah aktivitas listrik yang timbul pada waktu otot-otot jantung berkontraksi. Sedangkan potensial aksi pada sisteln konduksi jantung tak terukur dari luar karena terlalu kecil.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Rekaman EKG biasanya dibuat pada kertas yang berjalan dengan kecepatan baku 25 mmldetik dan defleksi 10 mm sesuai dengan potensial 1 mV. Gambaran EKG yang normal menunjukkan bentuk dasar sbb: Gelombang P. Gelombang ini pada umurnnya berukuran kecil dan merupakan hasil depolarisasi atrium kanan dan kiri. Segmen PR. Segmen ini merupakan garis isoelektrik yang menghubungkan gelombang P dan gelombang QRS. Gelombang Kompleks QRS. Gelombang kompleks QRS ialah suatu kelompok gelombang yang merupakan hasil depolarisasi ventrikel kanan dan kiri. Gelombang kompleks QRS pada umumnya terdiri dari gelombang Q yang merupakan gelombang ke bawah yang pertama, gelombang R yang merupakan gelombang ke atas yang pertama, dan gelombang S yang merupakan gelombang ke bawah pertama setelah gelombang R. Segmen ST. Segmen ini merupakan garis isoelektrik yang menghubungkan kompleks QRS dan gelombang T. Gelombang T. Gelombang T merupakan potensial repolarisasi ventrikel kanan dan kiri. Gelombang U. Gelombang ini berukuran kecil dan sering tidak ada. Asal gelombang ini masih belum jelas. Gelombang yang merupakan hasil repolarisasi atrium sering tak dapat dikenali karena berukuran kecil dan biasanya terbenam dalam gelombang QRS. Kadang-kadang gelombang repolarisasi atrium ini bisa terlihat jelas pada segmen PR atau ST, dan disebut gelombang Ta.
Elektroda TKa selalu dihubungkan dengan bumi untuk menjamin potensial no1 yang stabil.
LKa
I
LKi
1
Gambar 6. Elektroda-elektroda ekstremitas
Elektroda-elektroda prekordial diberi nama-nama V 1 sampai V6, dengan lokalisasi sebagai berikut : V1 : garis parasternal kanan, pada interkostal IV W : garis parasternal kiri, pada interkostal IV, V3 : titik tengah antara V2 dan V4, V4 : garis klavikula tengah, pada interkostal V, V5 : garis aksila depan, sama tinggi dengan V4, V6 : garis aksila tengah, sama tinggi dengan V4 dan VS. Kadang-kadang diperlukan elektroda-elektroda prekordial sebelah kanan, yang disebut V3R, V4R, VSR dart V6R yang letaknya berseberangan dengan V3, V4, V5 dan V6.
Gambar 5. Bentuk dasar EKG dan nama-nama interval
Sandapan-sandapan pada Elektrokardiografi Untuk menibuat rekaman EKG, pada tubuh dilekatkan elektroda-elektroda yang dapat meneruskan potensial listrik dari tubuh ke sebuah alat pencatat potensial yang disebut elektrokardiograf. Pada rekaman EKG yang konvensional dipakai 10 buah elektroda, yaitu 4 buah elektroda ekstremitas dan 6 buah elektroda prekordial. Elektrodaelektroda ekstrernitas masing-masing dilekatkan pada: lengan kanan (LKa), lengan kiri (LKi), tungkai kanan (TKa), tungkai kiri (TKi).
Gambar 7. Elektroda-elektroda prekordial
Sandapan Standard Ekstremltas Dari elektroda-elektroda ekstremitas didapatkan 3 sandapan dengan rekaman potensial bipolar yaitu : I = Potensial LKi -Potensial LKa II = Potensial LKa -Potensial TKi Ill = Potensial TKi -Potensial LKi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Untuk lnendapatkan sandapan unipolar, gabungan dari sandapan I, 11 dan 111 disebut Terminal Sentral dan dianggap berpotensial nol. Bila potensial dari suatu elektroda dibandingkan dengan terminal sentral, lnaka didapatkan potensial mutlak elektroda tersebut dan sandapan yang diperoleh disebut sandapan unipolar. Sandapan-sandapan berikut ini semuanya adalah sandapan unipolar yaitu: Sandapan prekordial. Sesuai dengan nalna-nalna elektrodanya, sandapan prekordial disebut: V 1,V2,V3.V4,V5. dan V6. Sandapan ekstremitas unipolar. Sandapan ini men~tniukkan potensial mutlak dari masing-masing ekstremitas. yaitu : aVR = Potensial LKa aVL = Potensial LKi aVF = Potensial Tungkai
KONSEPVEKTOR PADA ELEKTROKARDiOGRAFl Karena gaya listrik mernpunyai besar dan arah. tilaka ia adalah sebuah vektor. Suatu vektor dapat diriyatakan dengan sebuali anak panah dengan arah anak panali menunjukkan arah vektor dan panjang anak panah lnenyatakan besarnya vektor. Dalanl satu siklus jantung, terjadi gaya listrik pada saat depolarisasi atrium. ventrikel. dan repolarisasi ventrikel. Pada rekaman disebut sebagai gelombang P,QRS dan T. Yang sebenarnya gelombang P, QRS, dan T ini adalah vektor-vektor ruang \.ang selalu berubah-ubah besar dan arahnya sehingga disebut vektor P, vektor QRS, dan vektor T. Untuk mempelajari vektor pada umumnya dipakai suatu sistem sumbu. Untuk vektor ruang. dipakai sistem sumbu ruang yang terdiri dari tiga buah bidang yang saling tegak IU~LIS. Untilk me~npelajarivektor-vektor listrik pada jantung, ketiga bidang berikut ini dipilih : bidang Horisontal. ( H ) , bidang Frontal (F) dan bidang Sagital (S). Untuk keperluan elektrokardiograti yang konvensional, cukup dipakai dua bidang saja yaitu bidang H dan bidang F . Selanjutnya vektor-vektor yang proyeksinya pada bidang F dan H dapat diproyeksikan lagi pada garis-garis sumbu yang dibuat pada bidang F dan bidang H. Dari sandapan-sandapan konvensional, ternyata sandapan-sandapan yang diperoleh itu terletak dalaln bidang frontal dan bidang horizontal sebagai berikut : I. Pada bidang frontal: I, 11,111, aVR, aVL,, aVF 11. Pada bidang horisontal : V 1, V2.V3,V4, V5, V6
Sistem Sumbu pada Bidang Frontal Sesuai dengan nama sandapan, Inaka sumbu-sumbu pada bidang frontal disebut sumbu 1, 11, Ill, aVR, aVL. dan aVF.
Gambar 8. Vektor V dengan proyekslnya pada bidang F (VF) dan pada bldang H (VH) Selanjutnya VH dan VF dapat dlproyeksikan lag1 pada sumbu-sumbu yang dlbuat pada bidan H dan F
Penelitian menunjukkan bahwa letak sumbu-sumbu itu ialah sebagai berikut : 0 = pusat jantung I = garis mendatar 00 n = lnelnbuat sudut 60" dengan I, searah jarurn jam, yaitu +60° 111 =+120" aVR = -150" aVL = -30" aVF = +90°
Gambar 9. Sistem sumbu pada bidang frontal
Sistem Sumbu pada Bidang Horisontal Sesuai dengan nama sandapan, maka sumbu- sumbu pada bidang horisontal disebut sebagai berikut : V6 = garis mendatar 0" V5 =+22" v3=+47" V3 =+58" V2 =t94' V1 =+I 15"
Gambar 10. Slstern sumbu pada tdang horisontal
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Bila selama siklusjantung kita tinjau vekltor-vektor listrik yang timbul, maka selama depolarisasi atrium, terjadi vektor P dalam ruang yang dimulai dari nol, muncul dengan besar dan arah yang berubah-ubah dan akhimya menjadi no1 lagi. Bila vektor P ini diproyeksikan pada bidang H dan bidang F, maka terdapat garis tertutup yang mulai dari titik awal 0 dan kembali lagi pada titik 0. Garis tertutup yang menggambarkan perjalanan dari vektor P ini disebut bulatan P. Jadi depolarisasi atrium menghasilkan bulatan P pada bidang F dan juga pada bidang H. Demikian juga selama depolarisasi ventrikel, timbul bulatan QRS pada bidang F dan bidang H. Pada repolarisasi dari ventrikel titnbul juga bulatan T. Dari ketiga bulatan vektor itu, bulatan vektor QRS ialah yang terpenting dan terbesar ukurannya. Suatu vektor yang menjalani bulatan vektor, besar dan arahnya selalu berubah-ubah. Tetapi selama perubahan itu, dapat ditentukan satu vektor yang merupakan ratarata atau sumbu listrik. Secara pendekatan, sumbu listrik ialah vektor yang membagi bulatan vektor menjadi dua yang sama. Sumbu listrik merupakan sifat penting dari masing-masing ruang jantung.
Gambar 11. Bulatan vektor QRS pada b~dangF. 1, 2, 3, dan 4 adalah beberapa kedudukan vektor dalam perjalanannya membentuk bulatan QRS M adalah vektor rata-rata atau surnbu listrik
SUMBU LlSTRlK VEKTOR QRS Surnbu listrik vektor QRS dapat disingkat dengan sumbu QRS saja. Sunibu QRS dapat ditentukan dari hasil rekaman EKG konvensional.
Menentukan Sumbu QRS pada Bidang Frontal Dari 6 sandapan yang ada pada bidang F, 2 sandapan sudah cukup untuk menentukan sumbu QRS. Untuk praktisnya penentuan sumbu QRS dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain : 1). Pilih 2 sandapan yang termudah yaitu saling tegak lurus inisalnya I dan aVF. Tentukan jumlah aljabar defleksi pada masing-masing sandapan dan gambarkan sebagai vektor pada masingmasing sumbu. Dari kedua vektor ini dapat dibuat resultante yang menggambarkan sumbu QRS; 2). Pilihlah
(bila ada) satu sandapan yang mempunyai jumlah aljabar defleksi no1 (defleksi positif sama dengan defleksi negatif). Maka sumbu QRS adalah tegak lurus pada sandapan ini. Dalam menentukan arah sumbu QRS, dapat ditinjau salah satu dari sandapan lainnya, untuk memilih satu dari dua arah.
Gambar 12. Menentukan sumbu l~strikQRS pada bidang frontal dengan menggunakan sandapan I dan aVF. V adalah surnbu QRS
Untuk lebih tepatnya, yang diukur bukan tingginya defleksin, tetapi dari luas area yang berada di bawah defleksi itu.
Kelainan Sumbu QRS pada Bidang Frontal Sumbu QRS pada bidang frontal yang dianggap normal bervariasi antara -300 hingga +90". 1. Sumbu QRS antara -30" hingga -90" disebut deviasi suinbu ke kiri (DSKi) 2. Sumbu QRS antara +90° hingga - 180" disebut deviasi sumbu ke kanan (DSKa) 3. Sumbu QRS antara +180" hingga -90" disebut sumbu superior. M e n e n t u k a n S u m b u QRS pada B l d a n g Horisontal Pada dasarnya menentukan sumbu QRS pada bidang horisontal adalah sama dengan sumbu QRS pada bidang frontal. Yang umum dipakai ialah cara 11, yaitu mencari sandapan yang jumlah aljabar defleksinya nol. Dari sini didapatkan arah vektor yaitu tegak lurus pada sadapan ini. Suatu kebiasaan, bahwa sumbu QRS pada bidang horisontal tidak dinyatakan dalam derajat, tetapi cukup ditentukan sadapan yang tegak lurus pada sumbu itu. Jadi cukup ditentukan sadapan yang mempunyai jumlah aljabar defleksi nol. Sadapan ini disebut daerah transisi pada bidang prekordial. Dianggap bahwa daerah transisi yang normal ialah V3 dan V4. Bila daerah transisi berpindah ke arah jaruln jam (dilihat dari arah tungkai), misalnya di V5 atau V6, maka dikatakan bahwa sutnbu QRS mengalami rotasi searah jarum jam. Bila daerah transisi berpindah ke arah V2, maka dikatakan terjadi rotasi lawan arahjarurn jam.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI -
R = +4 mm. lebar 1 mm luas ('lr)x4xl=+4 S = -4 mm. lebar 2mm Luas (K)x4x2 = -8
-
80omlah= d
-
R = +7 mm, lebar 1 mm luas ('X)x7xl= -7 S = -3 mm, lebar lmm Luas (%)x3x2= -3
-
~Umlah= +4
Gambar 13. Seperti pada gambar 12, tetapi lebar defleksi tidak sama, yaitu di sandapan I. Di sini dipakai perhitungan luas Karena bentuk segitiga, maka luas defleksi ialah 112 x tinggi x lebar. Faktor 112 dapat dihilangkan karena yang dipakai adalah perbandingan
Gambar 17. Sumbu listrik QRS pada bidang horisontal. Daerah transisi di V5, yang menunjukkan rotasi searah jarum jam
SUMBU LlSTRlK VEKTOR P
Cara menentukan sumbu P pada dasarnya sama dengan penentuan surnbu QRS. Karena defleksi gelombang P kecil, rnaka cara menentukan sumbu P sering tak bisa terlalu tepat, dan biasanya dipakai cara 11.
Gambar Menentukan sumbu l~strikQRS pada bidang frontal dengn n arl sandapan yang jumlah defleksinya nol, dalam contoh in1 aVL. Maka sumbu listrik ialah tegak lurus pada aVL. Selanjutnya untuk menentukan arah ke atas atau ke bawah, diperhatikan jumlah defleksi pada I; karena defleks~nyapositif, maka arah sumbu ialah ke kanan
Sumbu P pada Bidang Frontal Gelombang P yang berasal dari simpul sinus mempunyai sumbu yang bervariasi antara 0 hingga +75O. Gelombang P yang berasal dari penghubung AV mempunyai sumbu antara 180' dan -90%. Dikatakan sumbu P ini mempunyai arah lawan-arus. Gelombang P yang berasal dari atrium, arahnya tergantung dari letak pemacu ektopik di atrium. Sering sumbunya mempunyai arah antara +90° dan 180". Sumbu P pada Bidang Horisontal Gelombang P yang berasal dari sirnpul sinus mempunyai sumbu yang arahnya sekitar di tengah-tengah antara V1 dan V6. Sumbu P yang bukan berasal dari simpul sinus mempunyai arah yang tergantung dari letak pemacu ektopik dari gelombang P.
Gambar 15. Kelainan sumbu QRS pada bidang frontal. Sumbu listrik yang mendekati O0 sering disebut "jantung horisontal" yang mendekati 90°disebut 'Tantung vertikal" Gambar 18. Menentukan vektor P pada bidang frontal. Karena total defleksi no1terdapat pada sandapan Ill, maka vektor P harus tegak lurus pada sandapan Ill dan arahnya ke kanan, karena total defleksi di sandapan I iaalah positif
Gambar 16. Sumbu listrik QRS pada bidang horisontal yang normal. Dari sandapan-sandapan prekordial ditentukan sandapan yang jumlah defleksinya nol, dalam ha1 ini didapatkan V3. Maka sumbu listrik QRS ialah tegak lurus pada V3. V3 disebut daerah transisi (T)
Gambar 19. Menentukan vektor P pada bidang horisontal. Karena total defleksi no1 terdapat pada V2, maka vektor P harus tegak lurus pada V2 dan arahnya searah dengan V6, karena defleksi P pada V6 positif
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gambar 20. Vektor P slnus Pada b~dangfrontal. antara 0°-75O Pada b~danghor~sontalantara V1 dan V6 Gambar 23. Kal~braslstandard: Defleks~10 mm = 1 rnV, kecepatan kertas 25 mmldetlk 1 mrn = 0,04 detik, 5 mm = 0,20 detik, 10 mm =0,40 det~k
Gelombang P Gelombang P ialah defleksi pertama siklus jantung yang menunjukkan aktivasi atrium. Gelombang P bisa positif, negatif, bifasik, atau bentuk lain yang khas. Gambar 21. Sumbu P bukan dari sinus, pada bidang frontal. Sumbu P dari penghubungAV (Pp), mempunyai arah lawan arus, yaitu berlawanan dengan arah sumbu P dari sinus. Sumbu P dari atrium (Pa), sering mempunyai arah antara 90°-180°
Gambar 24. Gelombang P sinus, dengan sumbu +30°
Gambar 22. Sumbu T yang normal mempunyai arah yang hampir sama dengan sumbu QRS. Bila ada gangguan konduksi ~ntraventrikular,maka sumbu T juga berubah, yang disebut perubahan T yang sekunder. Dalam ha1 ini sumbu T dan sumbu QRS berlawanan arah
Sumbu Listrik Gelombang T Pada umumnya sumbu vektor T jarang diperhatikan karena morfologi gelombang T mempunyai ciri-ciri khas di luar sumbu vektornya. Secara umum dapat dikatakan bahwa sumbu T yang normal lebih kurang mempunyai arah yang sama dengan sutnbu QRS. Bila ada kelainan depolarisasi ventrikel, gelombang T mengalami kelainan juga, yang disebut kelainangelombang T yang sekunder. Dalam ha1 ini T adalah terbalik dibanding defleksi QRS, atau vektor T dan vektor QRS berlawanan arah.
INTERPRETASI ELEKTROKARDIOGRAM Bila kita membuat rekaman sebuah elektrokardiogram, pada awal rekaman kita hams metnbuat kalibrasi, yaitu satu atau lebih detleksi yang sesuai dengan 1 milivolt (mV). Secara baku, detleksi 10 mm sesuai dengan 1 mV. Kecepatan kertas perekam secara baku adalah 25 mmldt. Garis rekaman mendatar tanpa ada potensi listrik disebut garis isoelektrik. Detleksi yang arahnya ke atas disebut defleksi positifdan yang ke bawah disebut defleksi negatif.
Gambar 25. Gelombang P dari penghubung AV, dengan sumbu -10o0
Gambar 26. Gelombang P dri atrium dengan sumbu +150°
Gelombang Kompleks QRS Kompleks ini menunjukkan depolarisasi ventrikel. Istilahistilah tentang bagian-bagian kompleks QRS ialah : 1). Gelombang Q yaitu defleksi negatifpertama; 2). Gelombang R yaitu defleksi positif pertama. Defleksi berikutnya disebut gelombang R', R" dan seterusnya; 3). Gelombang S yaitu defleksi negatif pertama setelah R. Gelombang S berikutnya disebut S', S" dan seterusnya.
Gambar 27. Istilah-istilah untuk berbagai bentuk gelombang kompleks QRS
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
QRS yang monofasik terdiri dari satu defleksi saja yaitu R atau defleksi tunggal negatif yang disebut QS. Untuk defleksi yang lebih dari 5 mm, dipakai huruf-huruf besar Q, R dan S. Sedangkan untuk defleksi yang kurang dari 5 mm dipakai huruf kecil q,r, dan s.
Gelombang T Gelombang ini menunjukkan repolarisasi ventrikel. Gelombang T bisa positif, negatif atau bifasik. Gelombang U Gelombang U adalah gelombang kecil yang mengikuti gelombang T yang asalnya tidak jelas. Pengukuran Waktu Penentuan frekuensi. Frekuensi jantung (atrial atau ventrikular) dapat dihitung berdasarkan kecepatan kertas. Karena kecepatan kertas ialah 25 mmldetik, maka kertas menempuh 60 x 25 mm = 1500 mm dalam 1 menit. Jadi frekuensi jantung adalah1500 yaitu sama dengan jarak siklus dalam mm (yaitujarak R-R atau P-P). Penentuan interval-interval. Untuk pengukuran suatu interval, maka dengan kecepatan baku 25 mmldetik terdapat 1 mm = 1125 detik = 0,04 detik, atau 5 mm = 0,20 detik. Interval PR : interval PR diukur dari awal gelombang P hingga awal kompleks QRS. Interval QRS : interval ini diukur dari awal kompleks QRS hingga akhir dari kompleks QRS. Interval QT : Interval ini diukur dari awal QRS hingga akhir dari gelombang T.
ELEKTROKARDIOGRAMNORMAL Gelombang P Bentuk gelombang P pada sandapan konvensional dapat diperoleh dengan 1,II dan aVF dan negatif di aVR. Sedangkan di aVL dan 111bisa positif, negatif, atau bifasik. Pada bidang horisontal biasanya bifasik atau negatif di V 1 dan V2, dan positif di V3 hingga V6. Gelombang P dari sinus yang normal tidak lebih lebar dari 0 , l l detik dan tingginya tak melebihi 2,5 mm. Kompleks QRS Impuls listrik yang datang dari simpul AVmelanjutkan diri melalui berkas His. Dari berkas His ini keluar cabang awal yang mengaktivasi septum dari kiri ke kanan. Ini mengawali vektor QRS yang menimbulkan gelombang Q di I, 11,111, aVL, V5 dan V6, tergantung dari arah vektor awal tersebut. Selanjutnya impuls berlanjut melalui cabang berkas kiri (CBKi), cabang berkas kanan (CBKa), dan mengaktivasi ventrikel kiri dan kanan. Karena dinding ventrikel kanan jauh lebih tipis daripada ventrikel kiri, maka gaya listrik
yang ditimbulkan ventrikel kiri jauh lebih kuat dari pada ventrikel kanan. Gambaran kompleks QRS pada bidang horisontal yang normal mempunyai corak khas. Sandapan VI dan V2 terletak paling dekat dengan ventrikel kanan sehingga disebut kompleks ventrikel kanan. Di sini gaya listrik dari ventrikel kanan menimbulkan gelombang R yang selanjutnya diikuti gelombang S yang menggambarkan gaya listrik dari ventrikel kiri. Sebaliknya, sandapan V5 dan V6 paling dekat dengan ventrikel kiri sehingga sandapan ini disebut kompleks ventrikel kiri. Di sini gelombang Q menggambarkan aktivasi ventrikel kanan atau septum, sedangkan gelombang R menggambarkan aktivasi ventrikel kiri. Dengan demikian gambaran kompleks QRS pada bidang horisontal ialah gelombang R meningkat dari VI ke V6, sedangkan gelombang S mengecil dari V 1 ke V6.
Gelombang T Pada orang dewasa, biasanya gelombang T adalah tegak di semua sandapan kecuali di aVR dan V1. Gelombang U Gelombang U biasanya tegak dan paling besar terdapat di V2 dan V3. Sering gelombang U tak jelas karena bersatu dengan gelombang T. Nilai Normal untuk Interval-Interval Interval PR (durasi) : kurang dari 0,12 detik Interval PA : 0, 12 -0,20 detik Interval QRS (durasi) : 0,07 -0, I0 detik Interval QT Interval ini tergantung dari frekuensi jantung, yang dapat ditentukan dengan suatu rumus atau tabel. Untuk praktisnya, diberikan 3 nilai sebagai berikut: frekuensi 601 menit : 0,33-0,43 detik, 80 kalilmenit: 0.29-0,38 detik, dan 100 kalilmenit :0,27-0,35 detik.
ABNORMALITAS ATRIUM Akhir-akhir ini dianggap bahwa konduksi impuls dari simpul sinus ke arah simpul AV melibatkan jalur-jalur khusus yaitu jalur-jalur intemodal. Sedangkan atrium kiri dicapai melalui jalur Bachman. Bila terjadi gangguan konduksi intra-atrial, maka bentuk gelombang P mengalami kelainan yang disebut abnormalitas gelombang P. Abnormalitas gelombang P tidak selalu disebabkan pembesaran atau hipertrofi atrium seperti yang dianggap di masa lalu. Aktivasi atrium kanan terjadi lebih dulu daripada atrium kiri sehingga suatu abnormalitas gelombang P dapat menunjukkan suatu abnor- malitas atrium kiri atau abnormalitas atrium kanan. Dalam ha1 ini "abnormalitas"
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI merupakan kelainan konduksi dengan atau tanpa pembesaran atau hipertrofi. Abnormalitas Atrium Kanan (AAKa) Tijauan vektor : 1. Pada bidang frontal: sumbu P bergeser ke arah kanan 2. Pada bidang horisontal :sumbu P bergeser ke arah lawan jarumjam. Kriteria EKG untukAAKa : 1. P tinggi dan lancip di 11,111 dan aVF : tinggi > 2,5 mm dan interval >,O,l l detik 2. Defleksi awal di VI >I ,5 mm. Bentuk gelombang P pada AAKa sering disebut P pulmonal
Gambar 28. Abnormalitas atrium kanan
Abnormalltas Atrium Kiri (AAKi) Tinjauan vektor : I. Pada bidang frontal: sumbu P bergeser ke arah kiri 2. Pada bidang horisontal : sumbu P bergeser ke arah jarum jam. Kriteria EKG untukAAKi : Interval P di 11melebar (> 0, 12 detik). Sering gelombang P berlekuk, karena mempunyai 2 puncak. Defleksi terminal V 1 negatif dengan lebar > 0,04 detik dan dalam > 1 mm. Kriteria ini disebut kriteria Morris. Bentuk Ppada AAKi sering disebut p mitral.
Gambar 29. Abnormalitas atrium kiri
dalam di I,II,III, aVL, V5 dan V6, dan gelombang R yang lebih besar di V 1. Pada sumbu QRS tejadi pergeseran sebagai berikut : 1). Pada bidang frontal: sumbu QRS bergeser ke arah kiri; 2). Pada bidang horisontal: sumbu QRS bergeser ke arah lawan janun jam. Waktu Aktivasi Ventrikel Waktu yang berlangsung antara awal QRS hingga puncak gelombang R disebut Waktu Aktivasi Ventrikel (WAV). Defleksi tajam ke bawah yang mulai dari puncak R disebut defleksi intrinsikoid. WAV menggambarkan waktu yang diperlukan untuk depolarisasi masa otot jantung yang ada di bawah elektroda prekordial. Jadi makin tebal otot jantung (ventrikel), makin panjang waktu yang diperlukan untuk depolarisasi. Dengan demikian WAV memanjang pada M i . Kriteria EKG untuk HVKi 1. Kriteria Voltase :Voltase ventrikel kiri meninggi Ada macam-macam criteria dan dapat dipilih salah satu yaitu : 1. R atau S di sandapan ekstremitas > 20 mm, atau S di kompleks VKa > 25 mm. atau R di kompleks VKi > 25 mm, atau S di VKa+ R di VKi > 35 rnm. 2. Depresi ST dan inversi T di kompleks VKi Ini sering disebut strain pattern 3. AAKi 4. Sumbu QRS pada bidang frontal > - 15" 5. Interval QRS atau WAV di kompleks VKi memanjang: * Interval QRS > 0,09 detik * WAV > 0,04 detik ' 1 Beberapa catatan tentang HVKi antara lain : 1). Gambaran HVKi pada EKG terutama berkorelasi dengan masa otot ventrikel kiri, dan kurang berkorelasi dengan tebal otot atau volumenya; 2). Pada HVKi yang disebabkan karena beban volume, gambaran EKG terutama menunjukkan aktivasi septa1 awal yang menonjol, yaitu adanya gelombang Q di 1, aVL,V5 dan V6, dan gelombang R yang menonjol di V1 dan V2; 3). Pada HVKi yang
HlPERTROFl VENTRIKEL Hipertrofi Ventrikel Kiri (HVKi) Hipertrofi ventrikel kiri memberikan tanda-tanda yang cukup jelas pada EKG Meskipun demikian, akurasinya tak dapat dianggap mutlak. Berbagai kriteria telah disusun untuk mempertinggi sensitivitas dan spesifisitas diagnosis HVKi pada EKG. Tinjauan vektor pada HVKi : Pada umumnya vektor QRS membesar dalam ukurannya. Penebalan septum menyebabkan vektor QRS awal membesar, sehingga terlihat gelombang Q yang lebih
Gambar 30. Hipertrofi ventrikel kiri, beberapa kriteria:
A. Kriteria votase, S di V1, V2, yang dalam dan R di V5, V6 yang tinggi B. Depresi ST dan invers~T di V6 (V5) C. Waktu aktivasi ventrikel memanjang di V6 (V5)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
disebabkan karena beban tekanan, gambaran EKG terutama menunjukkan R yang tinggi disertai depresi ST dan inversi T pada sandapan ventrikel kiri (V5 dan V6).
Hipertrofi Ventrikel Kanan (HVKa) Karena dinding ventrikel kanan jauh lebih tipis dari pada dinding ventrikel kiri, niaka HVKa barn nampak pada EKG bila HVKa sudah cukup menonjol untuk dapat mempengaruhi gaya-gaya listrik ventrikel kiri yang besar. Tinjauan vektor : 1. Pada bidang frontal: sumbu QRS bergeser ke kanan 2. Pada bidang horisontal : sumbu QRS bergeser searah jarum jam. Kriteria EKG untuk HVKa : 1. Rasio R/S yang terbalik : WSdiV1>1 R/SdiV6<1 2. Sumbu QRS pada bidang frontal yang bergeser ke kanan, meskipun belurn mencapai DSKa. 3. Beberapa kriteria tambahan yang tidak begitu kuat. misalnya: WAV di VI > 0,035 detik, depresi ST dan inversi Tdi V1, S,di I,II,dan 111. Beberapa catatan tentang HVKa : 1. Diagnosis HVKa pada EKG mempunyai sensitivitas yang rendah tapi spesifisitas yang tinggi. 2. Kriteria EKG untuk HVKa yang paling kuat ialali rasio R/S di VI. Berdasarkan konfigurasi QRS di V 1, maka HVKa dibagi menjadi 3 tipe: 1). Tipe A: di sini terdapat R yang tinggi. Sering disertai depresi ST dan inversi T di V1 dan V2. Tipe ini menunjukkan beban tekanan yang tinggi; 2). Tipe B: di sini terdapat bentuk RS, yang menunjukkan HVKa yang sedang; 3). Tipe C: di sini terdapat bentuk rsR', yang merupakan blok cabang berkas kanan yang inkomplit. Bentuk ini biasanya menunji~kkanadanya hipertrofi jalur keluar dari ventrikel kanan.
Garnbar 31. Hlpertrofi ventrlkel kanan. Krlterra terpentlng raslo RIS terballk dl V1 (V2) dan V6 (V5)
DEFEK KONDUKSI INTRAVENTRIKULAR Gangguan penghantaran impuls rnelalui suatu jalur disebut blok. Yang dimaksudkan dengan konduksi intraventrikular ialah konduksi melalui cabang berkas kanan (CBKa), cabang berkas kiri (CBKi), fasikel-fasikel dan serabutserabut Purkinje.
Menurut tempatnya, blok intraventrikular dapat dibagi : Blok Cabang Berkas Kanan (BCBKa) Blok Cabang Berkas Kiri (BCBKi) Blok Intraventrikular Nonspesifik Blok Fasikular : I). Blok fasikular kiri anterior; 2). Blok fasikular kiri posterior.
Blok Cabang Berkas Kanan (BCBKa) Bila CBKa mengalami blok, maka depolarisasi ventrikel karian mengalanii kelambatan, dan septum mengalami depolarisasi disusul oleh ventrikel kiri lebih dulu. Pada fase yang terakhir, vektor berasal dari ventrikel kanan, yang mengarah ke depan (pada bidang H) dan ke kanan (pada bidang F). Dari sini didapatkan ganibaran EKG pada BCBKa : 1 ). Interval QRS memanjang > 0, I0 detik; 2). S yang lebar di I dan V6; 3). R' yang lebar di V1. Bila interval QRS 0, 10-0,12 detik, maka disebut BCBKa inkomplit. Bila interval QRS > 0,12 detik, maka disebut BCBKa komplit.
Garnbar 32. Blok cabang berkas kanan QRS melebar, S yang lebar dan dalam di I dan V6 (V5),dan berbentuk RR' dl V1 (V2)
Blok Cabang Berkas Kirl (BCBKi) Bila CBKi niengalami blok, maka depolarisasi ventrikel kiri mengalanii kelambatan. Pada awal depolarisasi ventrikel, QRS inisial liienggarnbarkan depolarisasi ventrikel kanan dan septum, kemudian menyusul depolarisasi ventrikel kiri. Jadi pada BCBKi vektor terminal berasal dari ventrikel kiri yang kuat, yang bergeser ke arah kiri (pada bidang F) dan ke arah belakang (pada bidang H). Dari sini didapatkan gambaran EKG pada BCBKi : I. Interval QRS melebar > 0, I0 detik 2. Gelombang R yang lebar, sering berlekuk di I, V5 dan V6, dengan WAV > 0,08 detik 3. rS atau QS di Vl, disertai rotasi searah jarum jam. Bila interval QRS 0,lO-0,12 detik, maka disebut BCBKi inkornplit Bila interval QRS > 0,12 detik, rnaka disebut BCBKi komplit. Blok lntraventrikular Nonspesifik Istilah ini dipakai bila interval QRS melebar (> 0,10 detik) , tetapi tidak khas untuk BCBKa atau BCBKi. Blok Fasikular Blok Fasikular sering disebut juga hemiblok.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI qR di 11, I11 dan aVF. Blok Fasikular Kiri Posteriorjauh lebih jarang dari pada blok fasikular kiri anterior.
Garnbar 33. Blok cabang berkas k ~ QRS r ~ yang melebar, bentuk R dl I dan V6 (V5), dan S yang dalam dl V1 (V2, V3)
Blok fasikular kiri anterior. Fasikel kiri anterior menghantarkan impuls dari puncak septum ke muskulus papilaris anterior. Bila terjadi blok padajalur ini, maka bagian posterior-inferior mengalami depolarisasi lebih dulu dari pada bagian anterior-superior. Vektor QRS awal selama 0.02 detik mengarah ke bawah dan ke kanan, sehingga terbentuk r kecil di 11,111, dan aVF, dan q kecil di 1, aVL dan kadang-kadang di V5 dan V6. Vektor QRS awal selama 0,04 detik mengarah ke kin dan ke atas, sehingga terbentuk R tinggi menyusul q di 1, dan aVL, dan S dalam menyusul r di 11,111, dan aVF (bentuk QISIII). Surnbu QRS mengalami deviasi ke kiri hingga > -45' Sebagai ringkasan, gambaran EKG pada 8 1ok Fasikular Kiri anterior ialah : 1 ).Interval QRS sedikit memanjang 0,090,l 1 detik; 2). Sumbu QRS deviasi ke kiri > -45". Ini disebut kriteria yang paling kuat; 3). Di I danaVL terdapat R tinggi, dengan atau tanpa q; 4). Di 11,111 dan aVF terdapat rS, dengan S yang dalam.
Gambar 35. Blok fasikular kiri posterior. Tanda terpenting ialah sumbu QRS pada bidang frontal: deviasi ke kanan lebih dari +110°, tanpa adanya penyebab lain dari deviasi sumbu ke kanan
Sindrom Pre-eksitasi Sindrom pre-eksitasi ialah suatu sindrom EKG di mana ventrikel mengalami depolarisasi lebih awal dari biasa. Hal ini disebabkan karena adanya jalur-jalur lain di samping jalur-jalur pada sistem konduksi jantung. Jalur-jalur ini disebut jalur-jalur aksesori. Ada 3 macam jalur aksesori, yaitu : 1). Jalur Kent. Jalur ini ialah yang terpenting di antara jalur-jalur aksesori. Jalur ini menghubungkan atrium langsung dengan ventrikel, tanpa melalui simpul -AV. Jalur ini menembus cincin AV di tempat-tempat yang berbeda. 2). Jalur James. Jalur ini berawal dari atrium dan berakhir di berkas His. 3). Jalur Mahaim. Jalur ini berawal di berkas His dan berakhir di ventrikel. Jalur-jalur aksesori dianggap sebagai kelainan kongenital dan terdapat pada 1-2 permil dari populasi umum. Jalur aksesori bisa bersifat non fungsional pada waktu lahir dan manifes pada masa kanak atau dewasa.
Gambar 34. Blok fasikular kiri anterior. Tanda terpenting ialah sumbu QRS pada bidang frontal: deviasi ke kiri lebih dari -45O
GAMBARAN EKG PADA SlNDROM PRE-EKSITASI
Blok fasikular kiri posterior. Fasikel kiri posterior menghantarkan impuls dan CBKi ke muskulus papilaris posterior dari ventrikel kiri. Suatu blok pada jalur ini mengakibatkan bagian anterior-superior dari ventrikel kiri mengalami depolarisasi lebih dahulu dari pada bagian posterior-inferior. Vektor QRS awal selama 0,02 detik mengarah ke kiri dan superior, sehingga terbentuk r kecil di I dan aVL, dan 1 kecil di 11,111, dan aVF. Vektor QRS awal selama 0,06 detik mengarah ke bawah, sehingga terbentuk R tinggi di 11,111, dan aVF dan S di I dan aVL.Sumbu QRS bergeser ke kanan >+1 10". Sebagai ringkasan, gambaran EKG pada blok fasikular kiri posterior ialah : Interval QRS memanjang 0,09 -0,ll detik Sumbu QRS bergeser ke kanan > + 1 10" rS di 1 dan aVL
Pre-eksitasi pada Jalur Kent Pre-eksitasi pada jalur Kent disebut juga sindrom Wolf Purkinson White (WPW). Gambaran EKG pada sindrom WPW menggambarkan kompleks fusi antara aktivasi ventrikel melalui jalur normal dan melalui jalur aksesori. Impuls dari atrium yang melalui jalur Kent lebih cepat sampai di ventrikel karena tidak melewati simpul AV yang mempunyai sifat memperlambat impuls. Impuls yang melalui jalur Kent ini mengawali depolarisasi ventrikel di suatu tempat di ventrikel, yang menyebabkan timbulnya suatu gelombang khas pada awal kompleks QRS, yang disebut gelombang delta. Gelombang delta merupakan bagian landai pada awal kompleks QRS. Adanya gelombang delta ini menyebabkan kompleks QRS melebar. Waktu konduksi atrio-ventrikular yang memendek menyebabkan interval PR yang memendek. Dengan demikian gambaran EKG pada sindrom W-P-W
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ialah: 1). Interval PR memendek < 0,12 detik; 2). Adanya gelombang delta; 3). Kompleks QRS melebar (karena gelombang delta).
Dengan demikian gambaran EKG pada sindrom L-G-L ialah 1). Interval PR memendek (0, I2 det); 2). Tak ada gelombang delta, kompleks QRS normal.
Pre-eksitasi pada Jalur Mahaim Karenajalur Mahaim dimulai dari berkas His, maka interval PR tidak terpengaruh. Jalur Mahaim mengawali aktivasi pada sebagian ventrikel, sehingga terjadi gelombang delta. Dengan demikian garnbaran EKG pada sindrom preeksitasi melalui ialur Mahaim ialah: 1 ). Interval PR normal; 2). Terdapat gelombang delta, kompleks QRS rnelebar. Gambar 36. Jalur-jalur aksesori
- interval PR memendek - tak ada gelombang delta,
Gambar 37. Pre-eks~tas~ pada jalur Kent s~ndromWPW lmpuls dar~slnus menempuh dua jalur jalur 1 ~alahjalur normal, jalur 2 melalu~jalur Kent lmpuls yang melalu~jalur 2 mencapal ventr~kel leb~hawal dan mengakt~vasrsuatu daerah D dl ventr~kel,yang ventr~kel pada EKG menggambarkan gelombang delta (D) Akt~vas~ melalur jalur 2 menyusul seh~nggabentuk akhlr EKG ~alahfus~ antara akt~vas~ melalu~jalur 1 dan jalur 2
Meskipun letak jalur Kent sangat bervariasi, pada garis besarnya dapat dibedakan 2 tipe, yaitu : SindromW-P-W tipe A. Di sinijalur Kent terletak di sebelah kiri, sehingga aktivasi dini terjadi di ventrikel kiri. Gambaran EKG menyerupai bentuk BCBKa, dengan R yang tinggi di Vl danV2. Sindrom WPW tipe B. Di sinijalur Kent terletak di sebelah kanan, sehingga aktivasi dini terjadi di ventrikel kanan. Gambaran EKG menyerupai bentuk BCB& dengan def-leksi QRS yang negatif di V1 dan V2. Pre-eksitasl pada Jalur James Pre-eksitasi pada jalur James disebut juga sindrom Lo~zrnGunong-Levine(L-G-L). Gambaran EKG pada sindrom LG-L menggambarkan interval PR yang memendek karena impuls yang melalui jalur ini mencapai ventrikel lebih cepat karena tidak diperlambat oleh simpul-AV. Tetapi aktivasi ventrikel ini berpangkal dari berkas His sehingga jalur aktivasi ini tidak berbeda dari aktivasi normal. Ini menghasilkan kompleks QRS yang normal, tanpa gelombang delta.
Gambar 38. Pre-eks~tas~ jalur James S~ndromLown Ganong Lev~nelmpuls dar~sinus menempuh dua jalur jalur 1 ~alahjalur normal, jalur 2 melaluljalur James lmpuls melalul jalur 2 rnencapal berkas HIS leb~hawal karena t~dakmengalam1 perlarnbatan dl s~mpulAV, seh~nggaInterval PR memendek, sedangkan bentuk kompleks QRS normal Akt~vas~ melalu~ jalur 2 tak mempunyalefek karena ventr~keldalam perlode refakter mutlak
jalur Maha~mlmpuls dar~slnus h~ngga Gambar 39. Pre-eks~tas~ s~rnpulAV beqalan b~asa,seh~nggatak ada pengaruh terhadap Interval PR lmpuls mela11jalur 2 yang berawal darr berkas HIS, leb~hawal dar~ mencapal suatu daerah D dl ventr~kel(sed~k~t) sehrngga pada EKG pada aktlvsl ventr~kelmelalu~jalur b~asa(I), terdapat gelombang delta Selanjutnya terjadl fus~dar~akt~vas~ melalu~kedua jalur tersebut
PENYAKIT JANTUNG KORONER
Elektrokardiografi ialah sarana diagnostik yang penting untuk penyakit jantung koroner.Yang dapat ditangkap oleh EKG ialah kelainan miokard yang disebabkan oleh terganggunya aliran koroner. Terganggunya aliran koroner menyebabkan kerusakan miokard yang dapat dibagi menjadi 3 tingkat : 1). Iskemia,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kelainan yang paling riigan dan masih reversibel; 2). Injuri, yaitu kelailian yang lebih berat, tetapi masih reversibel; 3). Nekrosis, yaitu kelainan yang sudah ireversibel, karena kerusakan sel-sel miokard sudah pennanen.
kiri, maka adalah penting untuk menentukan lokalisasi bagian-bagian dinding ventrikel kiri pada EKG. Pada umumnya dipakai istilah-istilah sebagai berikut : 1. Daerah anteroseptal : V 1 -V4 2. Daerah anterior ekstensif : V 1-V6, I dan aVL 3. Daerah anterolateral: V4-V6, I dan aVL 4. Daerah anterior terbatas :V3-V5 5. Daerah inferior: 11,111dan aVF 6. Daerah lateral tinggi : I dan aVL 7. Daerah posterior murni memberikan bayangan cermin dari V1, V2 dan V3 terhadap garis horisontal. Proyeksi dinding-dinding ventrikel kanan pada umumnya terlihat pada V4R-V6R. Sering bersamaan dengan 11,111, dan aVF.
Garnbar 40. Berbagai derajat iskernia pada infark miokard
Masing-masing kelainan ini mempunyai ciri-ciri yang khas pada EKG. Pada umumnya iskemia dan injuri menunjukkan kelainan pada proses repolarisasi miokard, yaitu segmen ST dan gelombang T. Nekrosis miokard menyebabkan gangguan pada proses depolarisasi, yaitu gelombang QRS. lskemia Depresi ST. Ini ialah ciri dasar iskemia miokard. Ada 3 macam jenis depresi ST, yaitu : a). Horisontal, b). Landai ke bawah, c). Landai ke atas Yang dianggap spesifik ialah a dan b. Depresi ST dianggap bermakna bila lebih dari 1 rnrn,makin dalam makin spesifik. Inversi T. Gelombang T yang negatif (vektor T berlawanan arah dengan vektor QRS) bisa terdapat pada iskemia miokard, tetapi tanda ini tidak terlalu spesifik. Yang lebih spesitik ialah bila gelombang T ini simetris dan berujung lancip. Inversi U. Gelombang U yang negatif (terhadap I ) cukup spesifik untuk iskemia miokard.
Garnbar 41. Depresi ST pada iskemia miokard
a. Depresi ST horisontal, spesifik untuk iskemia b. Depresi ST landai ke bawah, spesifik untuk iskemia c. Depresi ST landai ke atas. kurang spesifik unt~lkiskemia
'i
I]
I'
Garnbar 42. Depresi T pada rskernia rniokard
lnjuri Ciri dasar injuri ialah elevasi ST dan yang khas ialah konveks ke atas. Pada umumnya dianggap bahwa elevasi ST menunjukkan injuri di daerah subepikardial, sedangkan i n j ~ ~dir i daerah subendokordial menunjukkan depresi ST yang dalam.
a
b
untuk ~skernla lnvers~T pada urnurnnya kurang spes~f~k lnvers~T yang berujung lancip dan s~metrls(sepertl ujung anak panah), spes~fikuntuk
iskemia
Nekrosis Ciri dasar nekrosis miokard ialah adanya gelombang Q patologis yaitu Q yang lebar dan daJam, dengan syaratsyarat: lebar > 0,04 detik dalarn >4 mm atau > 25% tinggi R Lokalisasi Dinding Ventrikel pada EKG Karena iske~niamiokard sebagian besar mengenai ventrikel
Garnbar 43. lnversi U, cukup spesifik untuk iskernia
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gambar 44, lnjuri rniokard a. Elevasi ST cernbung ke atas, spesifik untuk injur~(epikard) b. Elevasi ST cekung ke atas, tidak spesifik c. Depresi ST yang dalarn, rnenunjukkan injuri subendokardial
Gambar 45. Nekros~srn~okard Pada umurnnya d~anggap Q rnenunjukkantebalnya nekrosrs, R menunjukkan slsa rn~okardyang rnas~hhidup a Bentuk qR nekros~sdengan slsa rnlokard sehat yang cukup b Bentuk Qr nekros~stebal dengan slsa rn~okardsehat yang t~pls c Bentuk QS nekros~sseluruh tebal rn~okard,yaltu transmural
Anterior ek?.tenstf
4ntemr teroalas
I.-
-
fase sebagai berikut: Fase awal atau fase hiperakut: 1). Elevasi ST yang nonspesifik, 2).T yang tinggi dan melebar. Fase evolusi lengkap : 1 ). Elevasi ST yang spesifik,konveks ke atas, 2). T yang negatif dan simetris, 3). Q patologis. Fase infark lama: 1). Q patologis, bisa QS atau Qr. 2). ST yang kembali iso-elektrik, 3). T bisa normal atau negatif Beberapa catatan tentang EKG pada infark miokard : 1 ). Timbulnya kelainan-kelainan EKG pada infark miokard akut bisa terlambat, sehingga untuk menyingkirkan diagnosis infark miokard akut, diperlukan rekarnan EKG serial; 2). Fase evolusi berlangsung sangat bervariasi, bisa beberapa jam hingga 2 minggu. Bila elevasi ST bertahan hingga 3 bulan, maka dianggap telah terjadi aneurisma ventrikel; 3). Selama evolusi atau sesudahnya, gelombang Q bisa hilang sehingga disebut infark miokard non-Q. Ini terjadi 20-30% kasus infark miokard; 4). Gambaran infark miokard subendokardial pada EKG tidak begitu jelas dan memerlukan konfirmasi klinis dan laboratoris. Pada umumnya terdapat depresi ST yang disertai inversi T yang dalam yang bertahan beberapa hari; 5). Pada infark miokard pada urnumnya dianggap bahwa Q menunjukkan nekrosis rniokard. sedangkan R menunjukkan miokard yang masih hidup, sehingga bentuk Qr menunjukkan infark non-transmural sedangkan bentuk QS menunjukkan infark transmural. Pada infark miokard non-Q, berkurangnya tinggi R ~nenunjukkannekrosis miokard; 6). Pada infark miokard dinding posterior murni, gambaran EKG menunjukkan bayangan cermin dari infark miokard anteroseptal terhadap garis horisontal, jadi terdapat R yang tinggi di VI, V2, V3 dan disertai T yang simetris.
-
Gambar 46. Lokalisas~u~lidingverltll~elpada EKG
Gambar 47. Garnbaran EKG pada lnfark rniokard akut evolusi
Gambar 48. Contoh lokas~lnfark rn~okard
a Fase h~perakut b. Fase ovulasi lengkap c Fase infark lama
a lnfark akut anteroseptal b lnfark akut posterlor rnurnl
GAMBARAN EKG PADA INFARK MIOKARDAKUT Umumnya pada infark miokard akut terdapat gambaran iskemia, injuri dan nekrosis yang timbul menurut urutan tertentu sesuai dengan perubahan-perubahan pada miokard yang disebut evolusi EKG Evolusi terdiri dari fase-
ANEKA KELAINAN ELEKTROKARDIOGRAFI Hiperkalemia Bila kadar kalium darah meningkat, berturut-turut akan nampak kelainan: 1).T menjadi tinggi dan lancip, 2). R menjadi lebih pendek, 3). QRS menjadi lebar, 4). QRS bersatu
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dengan T, sehingga segmen ST hilang, 5). P mengecil dan akhirnya menghilang. Hipokalemia Bila kadar kalium darah menurun, berturut-turut akan tampak kelainan-kelainan: 1). U menjadi prominen, 2).T makin mendatar dan akhirnya terbalik, 3). Depresi ST, 4). Interval PR memanjang. Sering U yang prominen dikira T sehingga seolah-olah interval QT memanjang.
LlAl Hipokalsemia
Hiperkalsernia
Garnbar 51. Gambaran EKG pada hip0 dan hiperkalsemia Hipokalsemia : QT memanjang terutama karena perpanjangan ST Hiperkalsemia : QT memendek,terutama karena pemendekan ST
Hiperkalsemia Kelainan EKG yang terpenting ialah interval QT yang memendek. Hipokalsemia Kelainan EKG yang terpenting ialah perpanjangan segmen ST, sehingga interval QT memanjang.
Gambar 52. Efek digitalis. QT yang memendek, depresi ST yang menurun landai dan kemudian naik dengan curam dan T yang rendah
Digitalis Digitalis dapat mempengaruhi bentuk QRS-T, yang disebut efek digitalis: I ). Memperpendek interval QT, 2). Depresi ST, mulai dengan menurun landai disusul bagian akhir yang naik dengan curam. 3). Sering menjadi rendah. Selain itu bisa'terjadi gangguan pembentukan dan penghantar impuls. Garnbar 53. Perikarditisakut. Elevasi ST kurang dari 5 mm, bentuk cekung ke atas, tidak timbul Q
I
K+ normal
b K+ mentngkat
I
Gambar 49. Gambaran EKG pada hiperkalemia. Bila kadar K' makin meningkat: a. T meninggi dan lancip, R menjadi pendek b. QRS melebar dan bersatu dengan T c. P merendah dan hilang
I
K+ menurun
K* normal
Gambar 50. Gambaran EKG pada hipokalemia. Bila K' makin menurun: a. U prorninen, T mendatar b. Depresi ST, T terbalik, PR memanjang
Perikarditis Pada perikarditis, biasanya teriadi peradangan pada epikard, sehingga gambaran EKG menyerupai gambaran iniuri pada epikard berupa elevasi ST. Pada perikarditis yang hanya sedikit menimbulkan peradangan pada epikard maka EKG bisa normal. Kelainan EKG yang khas untuk perikarditis ialah sebagai berikut: 1. Elevasi segmen ST : a). Biasanya luas kecuali Vl dan aVR, b).Bentuk konkaf ke atas, c). Kurang dari 5 mm 2. T menjadi terbalik, terutama setelah segmen ST kembali ke garis isoelektrik. 3. Tidak timbul Q. Pada efusi perikardial, tanpa adanya peradangan epikardial,tidak terdapat elevasi ST. Dalam ha1 ini gambaran EKG hanya menunjukkan voltase yang rendah pada QRS dan T. Mengenai gambaran EKG pada kelainan irama jantung (aritmia) dibahas khusus pada topik khusus di bagian lain buku ini.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
REFERENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Arrhytmia -a Guide to Clinical Electrocardiology. Erik Sandoe, Bjarne Sigurd. Publishing Partners Verlags GmbH., 1991. Arrhytmia. Diagnosis and Management. Erit Sandoe, Bjarne Sigurd Fachmed AG-Verlag fur Fach-medien, 1984. Castellanos A, Kessler KM, Meyerburg RJ. The resting electrocardiogram. In: Hurst, The Heart, Eight Edition, McGrawHill1 nc. 1994, 321-52, Fish C. Electrocardiography and vectocardiog- raphy. In: Braunwald, Heart Disease, Fourth Edition, WB Saunders Company. 1992: 1 16-60. Hein J.J. Wellens, Mary B. Conover. The ECG in Emergency Dedsion Making WB. Saunders Com- pany.1992.
Mark Silverman E. Myerburg RJ. Willis HurstJW. Electrocardiography, Basic Concepts and Clinical Application. McGraw-Hill Book Company, 1983. Thomas Bigger, J.Jr. The electrical activity of the heart. In :Hunt .The Heart, , Eight Edition, 1994: 645-57. Waldo AL, Wit AL. Mechanism of cardiac arrhythmias and conduction disturbances. In: Hurst, The Heart, Eight Edition, McGrawHilllnc. 1994: 656-97. WHO ISFC Task Force. Classification of cardiac arrhytmias and conduction disturbances. Am Heart J, 1979; 98(2): 263-7. WHOIISFCTaskForce. Definition of terms related to cardiac rhytm. Am Heart J, 1978; 95(6): 796-806.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
RADIOLOGI JANTUNG Idrus Alwi
RADlOLOGl DADA NORMAL
Pada pembacaan foto rontgen dada, pendekatan secara sistematis adalah penting, berdasarkan penilaian pertama pada anatomi dan selanjutnya fisiologi. Pendekatan ini tentu saja didasarkan pada pemahaman mengenai apa yang dimaksud dengan normal. Pada pemeriksaan rontgen dada PA standar, diameter keseluruhan jantung yang normal adalah kurang dari setengah diameter tranversal toraks. Jantung pada daerah toraks kisarannya tiga perempat ke kiri dan seperempat ke kanan dari tulang belakang. Mediastinum lebih sempit, dan biasanya aorta descendens dapat didefinisikan dari arkus ke kubah diafragma di sisi kiri. Di bawah arkus aorta, dapat dilihat hilus pulmonal, sedikit lebih tinggi pada bagian kiri dibandingkan dengan bagian kanan. Pada foto lateral, arteri pulmonalis utama kiri dapat terlihat superior dan posterior dibandingkan dengan yang kanan. Pada penampakan frontal sekaligus lateral, aorta asendens (akar aorta) biasanya terhalang oleh arteri pulmonalis utama dan kedua atrium. Lokasi pulmonary outj7ow tract biasanya jelas pada foto lateral.
RUANG JANTUNG DAN AORTA
Pada pandangan PA, kontur bagian kanan mediastinum berisi atrium kanan, aorta asendens dan vena kava. Ventrikel kanan, setengahnya menutupi ventrikel kiri pada penampakan frontal sekaligus lateral. Atrium kiri terdapat inferior dari hilus pulmonal kiri. Pada kondisi normal, terdapat cekungan pada tingkat ini, yaitu pada left atrial appendage. Atrium membentuk sebagian atas kontur posterior jantung pada foto lateral namun tak dapat dipisahkan dari ventrikel kiri. Ventrikel kiri membentuk apeks jantung pada pandangan frontal seperti halnya
sloping bagian inferior mediastinum pada foto lateral. Jantung mudah dibedakan dari paru-paru karena jantung lebih mengandung darah dengan densitas air lebih besar dibandingkan dengan udara. Karena darah melemahkan x-ray lebih h a t dibandingkan dengan udara, jantung relatiftampak benvarna putih (namun h a n g putih dibandingkan dengan tulang) dan paru-paru relatif hitam (kurang hitam dibandingkan dengan ujung-ujung film di mana tidak adajaringan yang menghalangi). Bantalan lemak dengan ketebalan yang berbeda mengelilingi apeks jantung. Lemak memiliki kepadatan yang lebih besar dibandingkan dengan udara dan sedikit lebih kecil dibandingkan dengan darah. Kantong perikardium tidak dapat didefinisikan secara normal. Pinggiran dari siluet jantung biasanya cukup tajarn namun konturnya tidak tajam secara keseluruhan. Meskipun waktu pajanan terhadap sinar x sangat singkat (kurang dari 100milidetik), biasanya terdapat gerakan jantung yang cukup mengakibatkan agak buramnya siluet tersebut. Jika sebagian pinggiran jantung tidak bergerak, seperti dalam kasus aneurisma ventrikel kiri, pinggirannya nampak tajam. Arkus aorta biasanya terlihat, karena aorta mengalirkan darah secara posterior dan dikelilingi oleh udara. Sebagian besar aorta desendens juga dapat terlihat. Posisi dan ukuran masing-masing dapat dievaluasi dengan mudah dengan pandangan frontal dan lateral.
PARU DAN VASKULARISASI PARU
Ukuran paru-paru bervariasi sebagai fbngsi inspirasi, usia, bentuk tubuh, kandungan air, dan proses-proses patologis intrinsik. Dengan adanya peningkatan disfbngsi ventrikular kiri, cairan interstisial dalam paru-paru meningkat dan ekspansi paru-paru menurun. Di sisi lain, paru-paru nampak lebih besar dan lebih gelap jika disertai penyakit paru
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
obstruktif kronis dengan pembentukan bula. Jika ekspansi paru-paru menurun, jantung nampak sedikit lebih besar meskipun jantung sebenarnya tidak berubah ukurannya. Namun, jantung tersebut tidak melebihi setengah diameter transversal dada pada foto PA yang berkualitas baik kecuali jika benar-benar ada kardiomegali. Penting untuk diingat bahwa pembesaran yang nyata kemungkinan disebabkan oleh pembesaran jantung secara keseluruhan, pelebaran satu ruang jantung atau lebih, atau cairan perikardial. Pada pasien-pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis, jantung seringkali nampak berukuran kecil atau normal pada kondisi disfungsi jantung. Pada subyek normal, arteri pulmonalis biasanya dapat terlihat dengan mudah pada hilus dan secara bertahap berkurang lebih perifer. Arteri-arteri pulmonalis kanan dan kiri utama biasanya tak dapat diidentifikasi secara terpisah, karena mereka terletak dengan mediastinum. Jika paru-paru diandaikan terbagi menjadi tiga bagian, arteri utama adalah sentral, arteri-arteri kecil yang mudah dibedakan dengan jelas di zona tengah, dan arteri-arteri kecil dan arteriol yang biasanya di bawah batas resolusi pada zona luar. Dalam keadaan standar, pandangan frontal berdiri, arteri-arteri pada zona yang lebih rendah lebih besar dibandingkan dengan yang berada di zona yang lebih tinggi, pada jarak yang sama dari hilus. Penampakan tersebut sehubungan efek gravitasi pada sirkulasi paru-paru bertekanan rendah yang normal. Hal tersebut terjadi demikian, jika gravitasi mengarah pada volum intravaskular yang sedikit lebih besar pada dasar-dasar paru-paru dibandingkan dengan pada zona-zona yang lebih tinggi. Sudut yang dibuat oleh paru-paru dengan diafragma biasanya sangat tajam dan dapat ditandai dari dua sisi pada penampakan frontal dan lateral. Kontur yang dibentuk oleh vena kava inferior dengan jantung terlihat jelas pada foto lateral. Jika pasien diletakkan pada sisinya dengan sisi kiri menghadap film, bagian kanan relatif sedikit diperbesar dibandingkan dengan yang kiri.
jantung yang menyempit, meningkatkan diameter transversal, sehingga jantung mungkin nampak membesar pada penampakan frontal namun diameter AP yang sempit yang terlihat pada penampakan lateral dapat menjelaskan ha1 ini. Kifosis atau skoliosisjuga dapat menyebabkan jantung atau mediastinum nampak abnormal. Oleh karena itu penting halnya untuk memeriksa tulang belakang dan struktur tulang lainnya secara sistematis saat memperhatikan radiografi dada.
EVALUASI FOTO RONTGEN DADA PADA PENYAKIT JANTUNG Penyakit kardiovaskular menyebabkan perubahanperubahan yang beragam dan kompleks dalam gambaran foto rontgen dada. Kardiomegali secara keseluruhan dapat ditentukan dengan akurat pada penampakan frontal dengan mencatat apakah diameter jantung melebihi setengah diameter toraks atau tidak. Kardiomegali paling sering terlihat karena kardiomiopati iskemia yang mengikuti infark miokard. Dalam penilaian foto rontgen dada secara sistematis, langkah pertama adalah untuk menetapkan tipe film apa yang akan dievaluasi-PA dan lateral, PA saja, atau AP (entah portabel atau satu diambil dalam pandangan AP karena pasien tidak mampu berdiri). Langkah berikutnya adalah menentukan apakah foto-foto sebelumnya tersedia untuk perbandingan.
VARlASl NORMAL Variabel anatomis dan penuaan merupakan tantangan dalam evaluasi foto rontgen dada karena penurunan compliance paru. Aorta dan pembuluh darah besar biasanya menyempit dan menjadi lebih berliku (tourtuous) dan lebih jelas seiring bertambahnya usia, mengarah pada pelebaran mediastinum superior. Jantung nampak lebih besar karena penurunan komplaiens paru kecuali jika memang ada penyakit jantung, jantung ukurannya kurang dari setengah diameter transversal dada pada pandangan PA. Pasien yang obes lebih mungkin memiliki derajat hambatan ekspansi paru-paru maksimal, sehingga mungkin akan membuat jantung normal nampak sedikit lebih besar. Pasien dengan pektus ekskavatum memiliki diameter AP
Gambar 1. A). Proyeksi frontal jantung dan pembuluh darah; 0 ) . Gambar garis pada proyeksi frontal menunjukkan hubungan katup jantung, cincin, dan sulci ke garis rnediastinal. A= ascending aorta; AA= aortic arch; Az= azygous vein; LA= left atrial appendage; LB= left lower border of pulmonary artery; LV= left ventricle; PA= main pulmonary artery; RA= right atrium; S= superior vena cava; SC= subclavian artery
PARU DAN VASKULARISASI PARU Pemeriksaan terhadap pola vaskularisasi paru merupakan ha1 yang sulit namun sangat penting. Pemeriksaan tersebut
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
RADIOLOGIJANTUNG
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI bervariasi tergantung posisi pasien (berdiri versus berbaring) dan berubah secara mendasar oleh penyakit paru yang mendasarinya. Cara terbaik untuk menilai vaskularisasi paru adalah dengan memperhatikan zona tengah paru-paru (misalnya sepertiga dari paru-paru di antara daerah hilus dan daerah perifer lateral) dan membandingkan daerah pada lapangan paru atas dengan daerah pada daerah yang lebih rendah pada jarak yang sebanding dari hilus. Pembuluh darah harus lebih besar pada paru-paru bagian bawah namun berbeda dengan jelas pada zona-zona atas dan bawah. Pada kondisi normal, pembuluh-pembuluh menyempit dan bercabangcabang dan sulit ditemukan pada sepertiga luar dari paru-paru. Dalam kondisi normal tak terlihat di dekat pleura. Pada pasien dengan high-output state (misalnya kehamilan, anemia berat seperti pada penyakit sickle cell, hipertiroidisme) atau shunt kiri ke kanan, karena aliran arteri pulmonalis meningkat, pembuluh-pembuluh pulmonalis dapat terlihat lebih jelas dibandingkan dengan biasanya pada paru-paru perifer. Pada keadaan tekanan arteri pulmonalis yang meningkat, batas-batas pembuluh menjadi tidak jelas, pembuluh-pembuluh pada zona rendah menyempit dan yang berada pada zona lebih tinggi membesar, dan pembuluh-pembuluh menjadi lebih jelas ke arah pleura, pada sepertiga luar paru-paru. Dengan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (left ventricular end-diastolic pressure =LVEDP) atau left atrial pressure yang meningkat, edema interstisial meningkat dan akhirnya muncul edema paru. Biasanya terdapat korelasi pola vaskular paru dan pulmonary capillavy wedge pressure (PCWP). Pada PCWP yang lebih kecil dari 8 mm Hg, pola vaskular adalah normal. Sementara PCWP meningkat menjadi 10 sampai 12 mm Hg, diameter pembuluh-pembuluh pada zona lebih rendah nampak sebanding atau lebih kecil dari pembuluhpembuluh pada zona yang lebih tinggi. Pada tekanan 12 sampai 18 mm Hg batasan-batasan pembuluh menjadi lebih buram secara bertahap karena meningkatnya ekstravasasi cairan ke dalam interstisium. Efek ini terkadang mudah dikenali sebagai Kerley B lines, yang horizontal, basis pada pleura, densitas linier perifer. Bersamaan dengan meningkatnya PCWP melebihi 18 sampai 20 mm Hg, muncul edema paru dengan adanya cairan interstisial dalam jumlah cukup untuk mengakibatkan gambaran bat wing perihilar. Gambaran khas tersebut dapat berubah untuk beberapa hal. Pada pasien fibrosis paru luas atau bula multipel, terdapat pola vaskular abnormal pada baseline dan jika terdapat peningkatan PCWP, tak ada perubahan yang dapat diprediksi. Pada pasien gaga1 jantung kronis, terdapat perubahan-perubahan kronis pada pola vaskular paru yang tidak berhubungan dengan perubahan yang muncul pada pasien dengan tekanan ventrikel kiri yang normal pada baseline.
RUANG-RUANGJANTUNG DAN PEMBULUHBESAR Evaluasi terhadapjantung harus dilakukan secara sistematis. Setelah menilai ukuran keseluruhan dan pola vaskular paru sebagai refleksi status fisiologisjantung bagian kiri-ruang jantung harus diperiksa. Seperti telah disebutkan, tidak mungkin untuk menunjukkan ruang jantung dengan jelas pada sebuah foto rontgen dada normal. Pada penyakit valvular yang didapat dan pada banyak jenis penyakit jantung kongenital, ditemukan pembesaran ruang jantung.
ATRIUM KANAN Perbesaran atrium kanan biasanya tak pernah terbatas (isolated) kecuali dengan adanya atresia trikuspid kongenital atau kelainan Ebstein, keduanya jarang terjadi meskipun pada kelompok usia anak. Atrium kanan dapat melebar dengan adanya hipertensi pulmonal atau regurgitasi trikuspid, namun pelebaran ventrikel kanan biasanya melebihi atau menghalangi atrium. Kontur atrium kanan bergabung dengan vena kava superior, arteri pulmonalis utama kanan dan ventrikel kiri.
VENTRIKEL KANAN Tanda klasik pembesaran ventrikel kanan adalah jantung "boot-shaped' dan pemenuhan (filling in) ruang udara retrosternal. Pemenuhan tersebut disebabkan oleh pergeseran letak tranversal apeks ventrikel kanan saat ventrikel kanan melebar. Karena pada orang dewasa ventrikel kanan jarang melebar tanpa pelebaran ventrikel kin secara bersamaan, bentuk boot ini seringkali tidak jelas. Bentuk tersebut paling sering terlihat pada penyakit jantung kongenital, biasanya pada tetralogi Fallot. Bersamaan dengan melebarnya ventrikel kanan, ventrikel tersebut meluas secara superior juga secara lateral dan posterior, memenuhi ruang udara retrosternal.Ajaran yang klasik adalah pada foto rontgen dada lateral, pada pasien normal densitas jaringan lunak terbatas pada kurang dari sepertiga jarak dari suprasternal notch sampai ke ujung xyphoid. Jikajaringan lunak tersebut memenuhi lebih dari setengah jarak ini, ha1 tersebut merupakan indikasi pembesaran bilik kanan yang dapat dipercaya. Pembesaran ventrikel kanan paling sering ditemukan pada penyakit katup mitral, setelah terjadi hipertensi pulmonal. Yang lebih jarang adalah karena hipertensi pulmonal primer.
ATRIUM KlRl Terdapat beberapa tanda klasik yang menunjukkan pembesaran atrium kiri. Yang pertama adalah pelebaran
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
kanan. Ventrikel kiri tetap berukuran normal. Pada regurgitasi mitral, atrium dan ventrikel kiri keduanya bertambah besar karena meningkatnya aliran. Redistribusi vaskular paru lebih bervariasi pada regurgitasi mitral dibandingkan dengan stenosis mitral, seperti halnya pelebaran ventrikel kanan.
VENTRIKEL KlRl
-*r& rl
w*
+-
Gambar 2. A). Radiografi dada lateral; B). Gambaran anatomis ruang jantung dan pembuluh darah; C). Diagram proyeks~lateral pada ruang jantung, clncln katup dan sulci
lej? atrial appendage di mana biasanya tampak sebagai cembungan fokal dalam keadaan normal terdapat cekungan di antara arteri pulmonalis utama kiri dan batas kiri ventrikel kiri pada penampakan frontal. Yang kedua, dikarenakan lokasinya, bersamaan dengan membesamya atrium kiri, ha1 tersebut akan mengangkat left main stem bronchus sehingga akan melebarkan sudut karina. Yang ketiga bersamaan dengan membesarnya atrium kiri secara posterior, ha1 tersebut mungkin menyebabkan membengkoknya aorta torakalis tengah sampai yang rendah ke arah kiri. Pembengkokan ini dapat dibedakan dari liku (tourtuous) yang terlihat pada aterosklerosis, yang melibatkan aorta torasik desendens pada bagian atasnya atau keseluruhan. Selanjutnya, dengan pembesaran atrium kiri yang khas, densitas ganda dapat dilihat pada penampakan frontal, karena atrium kiri memberikan proyeksi secara lateral ke arah kanan juga secara posterior dan dikelilingi oleh paru-paru. Yang terakhir, pada foto lateral, pembesaran atrium kiri nampak sebagai tonjolan khas yang mengarah ke posterior. Pembesaran atrium kiri yang terbatas pada orang dewasa paling sering terlihat pada stenosis mitral, dan pembesaran atrium kiri merupakan ciri penyakit katup mitral. Pada stenosis mitral, atrium kiri membesar, terdapat bukti redistribusi vaskular paru (seringkali dengan Kerley B lines), dan pada akhimya terdapat pembesaran ventrikel
Pembesaran ventrikel kiri dicirikan dengan kontur apeks yang jelas dan mengarah ke bawah, yang dibedakan dari pergeseran letak transversal seperti yang terlihat pada pembesaran ventrikel kanan. Kontur keseluruhan jantung biasanya juga membesar, meskipun ha1 ini tidak spesifik. Juga penting mengevaluasi ventrikel kiri pada posisi lateral, di mana tampak sebagai tonjolan posterior, di bawah tingkatan anulus mitral. Pembesaran ventrikel kiri fokal pada orang dewasa paling sering terlihat pada insufisiensi aorta atau regurgitasi mitral (dengan pelebaran atrium kiri). Pelebaran ventrikel kiri lebih jarang pada stenosis aorta, meskipun ha1 tersebut dapat terjadi, bersamaan dengan gaga1 jantung kongestif.
ARTERI PULMONALIS Arteri pulmonalis utama dapat terlihat abnormal pada banyak keadaan. Pada stenosis pulmonal, arteri pulmonalis utama dan arteri pulmonalis kiri melebar. Pelebaran ini dianggap disebabkan oleh efek jet melalui katup stenotik. Pembesaran ini dapat terlihat dengan hilus kiri yang jelas pada penampakan frontal dan prominent pulmonary outflow tract pada penampakan lateral. Penting halnya untuk mengingat bahwa katup pulmonal berada lebih tinggi dan perifer dari outflow tract dibandingkan dengan katup aorta. Katup tersebut juga terletak di depan katup aorta pada penampakan lateral.
AORTA Pada foto dada frontal, pelebaran aorta terlihat sebagai tonjolan mediastinum tengah ke arah kanan. Juga terdapat sebuah tonjolan pada anterior mediastinum pada penampakan lateral, di belakang dan superior terhadap pulmonary outflow tract. Pelebaran aortic root paling sering terlihat pada hipertensi sistemik lama yang tak terkontrol. Pembesaran aortic root juga ditemukan pada penyakit katup aorta. Pada stenosis aorta, biasanya terdapat pelebaran fokal aortic root yang seringkali jelas, dan seringkali tanpa disertai pembesaran ventrikel kiri. Ventrikel kiri biasanya menjadi hipertrofi sebagai respons terhadap peningkatan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
RADIOLOG1 JANTUNG
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI resistensi terhadap outflow dibandingkan dengan melebar seperti yang terjadi sebagai respons terhadap peningkatan volume aliran yang terjadi karena insufisiensi aorta. Penebalan dinding ventrikel pada hipertrofi dapat dilihat dengan pemeriksaan ekokardiografi, CT atau MRI, namun ventrikel mungkin tampak normal pada pemeriksaan foto rontgen dada walaupun terdapat stenosis katup aorta berat. Pada keadaan di mana sudah terjadi dekompensasi ventrikel kiri, terdapat pembesaran aortic root dan ventrikel kiri. Pada regurgitasi aorta, keterlibatan aorta biasanya lebih difus dibandingkan dengan stenosis aorta dan lebih mudah terlihat. Pada regurgitasi aorta mumi, atrium kiri biasanya tidak membesar. Namun, seiring dengan waktu, mungkin muncul pelebaran anulus mitral sekunder terhadap pelebaran ventrikel kiri dengan hasil regurgitasi mitral dan pelebaran atrium kiri. Meskipun regurgitasi aorta secara klasik muncul pada demam reumatik (dengan penyakit katup mitral yang terkait), defek kongenital, atau penyakit katup degeneratif, mungkin juga disebabkan oleh penyakit pada aortic root, termasuk cystic medial necrosis, dengan atau tanpa sindrom Marfan. Pada cystic medial necrosis, keterlibatannya difus, dan biasanya terdapat pelebaran aorta pada tingkatan katup setidaknya melalui arkus. Pada sifilis tersier, sekarang jarang terlihat, penemuan khasnya adalah pelebaran khas aorta dari akar sampai ke arkusnya, namun mendadak menjadi normal diameternya pada tingkatan ini. Pelebaran aneurisma aorta asendens juga terjadi pada cystic medial necrosis. Kelainan aorta lainnya, seperti diseksi akut atau kronis dan ruptur traumatik atau pseudoaneurisma, lebih baik dilihat dengan CT.
PLEURA DAN PERIKARDIUM
dapat dilihat. Pada efusi berat, perikardium viseral dan parietal akan terpisah. Karena terdapat bantalan lemak yang berhubungan dengan masing-masing, terkadang mungkin untuk membedakan dua garis lucent yang paralel pada foto lateral, biasanya pada daerah puncak (apeks) jantung, dengan kepadatan (cairan) di antaranya. Biasanya, siluet jantung tersebut memiliki bentuk "water bottle" jika terdapat efusi perikard berat, namun bentuk seperti itu sendiri tidak memastikan diagnostik. Kalsifikasi pleura sekaligus perikard dapat muncul, namun seringkali tidak jelas. Kalsifikasi perikardial berhubungan dengan riwayat perikarditis dan paling sering berhubungan dengan tuberkulosis dan juga karena etiologi lainnya, seperti infeksi viral, biasanya tipis dan linear dan mengikuti kontur perikardium. Karena kalsifikasi tersebut tipis, ha1 tersebut seringkali hanya terlihat pada satu sisi.
REFERENSI Bettmann MA. The chest radiograph in cardiovascular disease. In: Braunwald E, Zipes DP, Libby P, eds. Heart disease: a textbook of cardiovascular medicine. 7th ed. Philadelphia: WB Saunders;2005.p.271-86. Boxt LM. Radiology of the right ventricle. Radiol Clin North Am. 1999;37:379 Lipton MJ, Coulden R. Valvular heart disease. Radiol Clin North Am. 1999;37:3 1. Murray JG, Brown AL, Anagnostou EA, et al. Widening of the tracheal bifurcation of chest radiographs:value as a sign of left atrial enlargement.AJR 1995; 164: 1089. Thomas JT, Kelly RF, Thomas SJ et al: Utility of history, physical examination, electrocardiogram, and chest radiograph for differentiating normal from decreased systolic function in patients with heart failure. Am J Med 2002;112:437.
Perikardium jarang dapat dibedakan pada pemeriksaan foto rontgen dada. Terdapat dua keadaan di mana perikardium
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ELEKTROKARDIOGRAFI PADA UJI LATIH JANTUNG Ika Prasetya Wijaya
PENDAHULUAN Uji latih jantung dengan menggunakan treadmil sering dikenal dengan tes treadmil. Uji latih ini sudah sering dilakukan sebagai cara untuk mengetahui adanya gangguan pada pembuluh darah koroner, gangguan irama serta menjadi bahan referensi untuk pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui adanya kelainan jantung. Ada dua cara yang dikenal sebagai uji latih yakni dengan treadmil atau dengan sepeda ergometri. Sebelurn pelaksanaan tes semua alat dan perlengkapan guna tindakan kedaruratan hams tersedia dalam jangkauan tenaga pelaksana. Defibrilator, oksigen dan obat-obat untuk mengatasi terjadinya gangguan pada jantung merupakan ha1 yang wajib tersedia. Tenaga yang melaksanakan harus mengerti tatalaksana tindakan kedaruratan kardiak dan sudah menjalani pelatihan sebelumnya. Alat treadmil sebaiknya mempunyai jalur aman di sisinya untuk menjaga keamanan pasien. Lengan pasien juga harus bebas dari alat agar mudah dilakukan pemeriksaan tekanan darah oleh pemeriksa.
PERSIAPAN SEBELUM TES Pasien disarankan untuk tidak makan, minum dan merokok dua jam sebelum tes. Lakukan anamnesis tentang riwayat penyakit pasien dan kemampuan aktivitas fisik pasien terakhir untuk melengkapi status. Laksanakan pemeriksaan awal dalam keadaan istirahat pada pasien dalam posisi yang nyaman. Semua ini untuk mengetahui apakah pasien memiliki gejala yang menjadi kontnaindikasi mutlakmaupun relatiftes ini. (Tabel 1)
Mutlak lnfark miokard akut dalam 2 hari Angina tak stabil yang risiko tinggi Aritmia jantung tak terkontrol dengan gejala dan gangguan hernodinamik Stenosis aorta berat dengan gejala lnfark paru atau emboli paru akut Perikarditis atau miokarditis akut Diseksi aorta akut Relatif Stenosis di pembuluh koroner left main Penyakit jantung katup stenosis yang sedang Gangguan elektrolit Hipertensi berat Takiaritmia dan bradiaritmia Kardiomiopati hipertrofi dan bentuk lain harnbatan aliran ke luar jantung Gangguan fisik dan mental yang mengganggu jalannya perneriksaan Blok atrioventrikular derajat tinggi
Pelaksana tes wajib pula mengetahui obat-obat yang dikonsumsi pasien sebelum melaksanankan tes. Penggunaan obat penghambat D sebaiknya tidak dihentikan bila memang sangat diperlukan pasien walau dapat mempengaruhi hasil tes. Persiapan juga dilakukan terhadap kebersihan kulit agar tidak menimbulkan banyak artefak pada rekaman EKG Pemeriksaan EKG 12 lead wajib dilakukan sebelum tes baik pada posisi berbaring dan berdiri. Pemasangan elektroda sebaiknya menghindari daerah lengan agar tidak menimbulkan gangguan rekaman. Jadi elektrode l e n g a ~sebaiknya diletakkan di bahu, elektroda hijau (ground) di spina pinggang dan untuk kaki kanan di bawah umbilikus, atau modifikasi lainnya.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ELEKTROKARDIOGRAFI PADA UJI LATIH JANTUNG
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI PELAKSANAANTES Komplikasi dapat diketahui segera bila kita tetap melakukan pengawasan pada tekanan darah, mengawasi hasil rekaman EKG, bertanya pada pasien tentang gejala yang dialami dan gejala keletihan dan melakukan penilaian terhadap semua gejala atau tanda yang muncul saat tes. Selama tes berlangsung sebaiknya lengan pasien tidak memegang dengan kencang pada tempat pegangan agar tidak menimbulkan hasil yang tidak sesuai dengan kemampuan pasien. Target frekuensi nadi sebaiknya tidak terlalu bergantung pada umur agar tidak mengacaukan kemampuan yang dimiliki pasien, karena kemampuan yang ada bersifat individual. Walau demikian sebagai patokan pencapaian kerja fisik dapat digunakan. Kapan kita melakukan penghentian tes dapat dilihat di Tabel 2.
Mutlak Tekanan darah sistolik turun drastis > 10 mmHg dari hasil pemeriksan sebelum uji latih disertai bukti lain adanya gejala iskemia Angina sedang ke berat Gejala sistem saraf meningkat (seperti ataksia, mengantuk dan gejala sinkop) Tanda rendahnya perfusi (sianosis dan pucat) Sulit untuk evaluasi EKG dan tekanan darah Pasien meminta berhenti Takikardia ventrikel menetap Elevasi ST (>1.0 mm) tanpa ada diagnosis gelombang Q (selain lead Vlatau aV) Relatif Tekanan darah sistolik turun drastis > 10 mmHg dari hasil pemeriksaan sebelumnya namun tanpa disertai gejala iskemia Perubahan ST dan QRS seperti menurunnya ST (>3 mm penurunan segmen ST baik horisontal maupun downsloping) atau perubahan aksis tetap Aritmia selain aritmia ventrikel sustained Lemas, sesak napas, timbul mengi, kram kaki atau gejala klaudikasio Terjadi bundle branch block pada konduksi intraventrikular yang tidak dapat dibedakan dengan takikardia ventrikel Nyeri dada yang meningkat Hi~ertensiyanq rneninqkat
Untuk mengetahui kemampuan pasien sesungguhnya, dapat digunakan skala Borg.
mengurangi terjadinya perubahan gambaran EKG. Setelah dianggap cukup, pasien duduk atau dapat pula berbaring sambil tetap dilakukan pengawasan dan rekaman 10 detik pertama setelah kaki berhenti. Pengawasan pasca tes dilakukan selama 5 menit walau terkadang dilakukan lebih lama sampai gejala atau gambaran perubahan EKG berkurang atau hilang .
PROTOKOLYANG DIGUNAKAN Ada beberapa macam protokol. Yang sering digunakan adalah protokol Bruce dan Naughton. Pada metode Bruce, selama menjalani uji latih, pasien akan mendapatkan beban dari alat dengan menaikkan ban berjalan beberapa derajat disertai penambahan kecepatan setiap peningkatan stage. Metode Naughton hanya ada peningkatan kecepatan perlahan saja.
15-Grade Scale Very, very light Very light Faidy light
1.11-Grade Scale 0 0.5 1 2 3 4 5
Somewhat hard
6 7
Hard
8 9 10
Very, very hard
Nothing Very, very weak oust .. Very weak Weak (light) Somewhat strong Strong (..) Very strong Very, very strong (hampir maksimum) Maksimum
* From berg GA. Med Sport. 1982;14:377-381. Reproduced with permission
FREKUENSI NADl Target denyut jantung yang akan dicapai sebaiknya bukan menjadi masalah untuk tidak memastkan bahwa hasil tes tidak dapat diolah. Semua hasil tes disimpulkan sesuai dengan gejala atau garnbaran rekaman yang terjadi selama pelaksanaan tes.
PEMULIHAN DENYUT JANTUNG FASE PEMULIHAN SETELAH TES Setelah mencapai kemampuan maksimal, maka pasien diminta untuk berhenti secara teratur. Setelah alat teadmil berhenti sempurna, pasien tetap menggerakkan kakinya seperti jalan di tempat dengan santai. Hal ini untuk
Denyut Jantung atau frekuensi nadi akan berkurang dengan cepat setelah tes dihentikan. Apabila berkurangnya denyut jantung kurang dari 20 kalilmenit pada menit pertama dan kedua, maka ini menjadi prediktor meningkatnya risiko kematian.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1546
KARDIOLOGI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
TEKANAN DARAH
Tekanan darah sistolik seharusnya naik saat tes berlangsung. Bila terjadi penurunan tekanan darah di bawah tekanan darah sebelum tes, bisa menjadi kriteria yang diwaspadai. Bila terjadi aktivitas yang menyebabkan terjadinya hipotensi, maka dianggap terjadi disfungsi ventrikel kiri, iskemia atau obstruksi aliran keluar. Peningkatan tekanan darah yang cepat saat tes berlangsung menjadi penilaian adanya kemungkinan timbulnya iskemia.
I
r rolnt
'
'
1
Exercise Induced ST depresslo or at PQ level !.It.
A.resting ST elevation+
I(
, I 1
-
I
Measured ST demsston
-
Standing pro- exerclse Exerclse response
A B. When the ST level begins below the isoelectric line:
I
1
~ta~din~~exercise] Exerase response
KAPASITAS FUNGSIONAL
Kemampuan mencapai kapasitas maksimal saat aktivitas menjadi salah satu penilaian. Untuk mengetahui dapat disesuaikan dengan skala MET. (Tabel 4)
'
- +A - --A- --.
- lsoelektnc lhne -------[W Polnt' J-Junct'on
Maximum Exercise
10 METs 13 METs 18 METs 20 METs
'
Measured ST depress~on Kestlng ST depression wlth Exerctse ~nducedSt deoressim
Resting ST depresbn mspasmorI n d u d ST devaHon
Tabel 4. Cl~nicallySignificant Metabolic Equivalent for
1 MET 2 METs 4 METs <5 METs
--
'\
Resting Level walking at 2 miWhour Level walking at 4 mil/hour Poor prognosis: peak cost of bas~c activities of daily living Prognosis with med~caltherapy as good as coronary artery bypass surgery Excellent prognosis regardless of other exercise responses Elite endurance athletes Word-class athletes
E.Wall motion abnormality (Not ischemia) St elevalion with tachycardia over diagnosis Q waves
--
INTERPRETASI EKG
Depresi ST segmen menunjukkan iskemia subendokardial. Digunakan gambaran pada leud V5, serta I1 dan aVF. Gambaran EKG pada kemampuan maksimal (excercise nzu.rii?tul)dan masa 3 menit saat recovery menjadi waktu yang perlu diwaspadai. Aktivitas tes yang menimbulkan elevasi atau depresi segmen S T menunjukkan adanya iskemia. Elevasi menggambarkan terjadinya iskemia transmural yang bersifat aritmogenik, biasa berhubungan dengan spasme dan lesi yang jelas pada arteri. Elevasi juga bisa menjadi patokan lokasi lesi. Depresi biasanya berhubungan dengan iskemia subendokardial yang tidak aritmogenik dan tidah berhubungan dengan spasme maupun lokasi lesi. Uji latih jantung juga dapat menimbulkan timbulnya aritmia. Yang sering terjadi adalah kontraksi ventrikular prematur (PVC). Biasa terjadi pada orang usia lanjut dengan penyakit kardiovaskular, PVC saat istirahat maupun akibat iskemia. Baik akibat aktivitas lnaupun istirahat, PVC menjadi prediktor timbulnya perburukan.
Measured ST depression
PQ Point
-
Standing pro- exercise Exercise response
1I
Gambar 1.
SKOR TES AKTlVlTAS
ACCIAHA menganjurkan untuk menggunakan skor guna meningkatkan kemampuan tes untuk mencapai hasil yang sesuai denga keadaan penyakit pasien. Dapat digunakan nomogram berikut. (Gambar 2) Skor yang sering digunakan adalah skor Duke's Skor treadmil= lama excercise (5 kali deviasi ST (4 kali indeks angina TM)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1547
ELEKTROKARDIOGRAFI PADA UJI LATlH JANTUNG
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI EXERCISE CAPACITY PLnf normal in r~ferralmaleal
Men llB
4 0=
Exerclsc ST Depression
Law Probabolity
46-60 = Intermediate Probability
Angina History
I
,.I
--
.
4
-
--
-,.
-
I
Hypercholesterol emia ? Diabetes ' Exercise Test ~nducedangina ?
Yes = 5 Ocmmed- 3
-zEz
NO
-
High Probability
Total Score =
Garnbar 1.
Lama excercise dalam menit, deviasi ST dalam mm dan indeks angina TM (treadmil) adalah: 0 untuk tidak ada angina, 1 ~ ~ n t uangina k yang tidak mempengaruhi e.vcerci.se, 2 untuk angina yang menyebabkan hambatan excercist.. Bila skor kurang atau sama dengan -1 1 maka risiko meningkat. Sedangkan skor lebih atau sama dengan +5 risiko rendah. Sebelum melakukan tes aktivitas sebaiknya kita mengetahui kira-kira pasien perlu menjalani pemeriksaan angiografi atail tidak. Dapat digunakan tabel berikut. Bila pasien telah menjalani uji latih jantung maka untuk tindakan lanjut yang diperlukan pasien dapat diprediksi melalui tabel-tabel di bawah ini:
Women
47=
Law PrebaboUry >2mm=lO
*5p-25 50ts65p-15 Angina History
DehitelIjpical= 10 Pmbablelaryprcal= 6 Nan-cardropam= 2 Ye$ = 110
Hypere h o i t t r d d?
37-75 = Intermediate Probability 257 High Probability
Yes = 10 Oocutrceb= 9
D~abetes? Exacise T W induced aagill~l?
R e a s c n t f o r a ~ e g =19 Poslt~ve= -5, negattve =
5
Total Score
Chaitman BK. Exercise stress testing. Dalam Braunwald's et al editor, Heart disease. a textbook of cardivascular medicine Edisi 7. Nett York. 2005. 153-85 Engel G et al ECG exercise testing. Dalam: Fuster V et al editor. Hurst's the heart Edisi l I. New York, McGraw-Hill. 2004. 467-80.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PEMANTAUAN IRAMA JANTUNG (HOLTER MONITORING) M. Yamin, Daulat Manurung
PENDAHULUAN Ada tiga ha1 penting yang hams diketahui oleh seorang dokter yang dihadapkan pada kasus ganggdan irama jantung (aritmia) yaitu jenis aritmia, gejala yang berkaitan dengan aritmia tersebut, dan penyebab atau penyakit yang mendasarinya. Rekaman EKG permukaan 12 sandapan sering tidak dapat memberikan informasi tersebut secara lengkap. Untuk tujuan ini pemantauan irama jantung ambulatori yang non-invasif (Holter Monitoring) telah digunakan secara luas. Selain untuk mendeteksi aritmia HM kerap dipakai untuk membantu diagnosis penyebab sinkop. Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh Holter pada tahun 1950-an. Komponen pada Holter Monitoring (HM) terdiri dari alat perekam (recorder) 24 jam yang berbentuk kaset, penanda waktu internal, catatan aktivitas dan gejala, dan tombol penanda gejala (symptom-indicator button). Sistem ini dihubungkan dengan elektrode dua sadapan untuk mendapatkan gambaran EKG yang optimal. HM biasanya digunakan pada pasien dengan gejala aritmia yang muncul setiap hari karena hanya dipasang selama 24 jam. Untuk pasien dengan aritmia yang jarang (muncul dalam dua atau tiga hari sekali), digunakan modifikasi HM yaitu alat perekam kejadian (eventrecorder) yang merekam EKG secara terns-menerns pada pita dan hanya kejadian 30 sampai 90 detik terakhir yang dapat diputar ulang. Saat pasien merasakan gejala aritmia maka ia dapat mengaktifkan tombol dan menghentikan rekaman serta mengirim data melalui telepon ke pusat penerima data. Modifikasi HM yang tercanggih adalah ILR (implanttable loop recorder) yang ditanam di bawah kulit seperti pacu jantung. Alat ini merekam EKG secara berkesinambungan selama 24 jam dan menghapusnya kembali. Bila pasien
mengalami gejala maka dapat dilakukan interogasi dengan alat khusus yang disebut programmer. ILR dapat dipakai selama satu tahun. Alat ini bermanfaat untuk diagnosis aritmia yang sangat jarang muncul yang biasanya disertai sinkop.
Indikasi penggunaan HM adalah: Menilai gejala yang mungkin berkaitan dengan aritmia: - Pasien dengan sinkop atau near-syncope yang tidak dapat diterangkan atau gejala pusing dengan penyebab yang tidak jelas - Pasien dengan palpitasi berulang dan tidak dapat diterangkan Menilai Terapi antiaritrnia *. Menilai fungsi alat pacu jantung dan implantable cardioverter defibrillator (ICD)
Beberapa ha1 penting yang harus diperhatikan dalam interpretasi hasil HM adalah aritmia muncul intermiten, variasi diurnal terhadap irama jantung, adanya pengaruh aktivitas fisik dan tekanan emosi (stress emotional) terhadap aritmia. Hasil rekaman data dianalisis secara otomatis oleh komputer. Teknisi akan membantu pelacakan (scanning) dan menyunting data. Sistem komputer akan menghitung laju jantung, premature atrial dan ventricular beat, dan takikardia lainnya. Dokter yang melakukan penafsiran hams mengaitkan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1549
PEMANTAUAN IRAMA JANTUNG (HOLTER MONITORING)
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI data rekaman dengan gambaran klinis dan gejala yang dirasakan pasien. Sering didapatkan kelainan irama pada pasien dengan jantung normal dan tidak bergejala seperti sinus bradikardia berat (laju nadi kurang dari 40 ximenit), sinzls pause, prernature atrial dan ventricular beat, bahkan blok atrioventrikular tipe Wenckebach (terutama saat tidur). Adanya sinus aritmia dan sinus bradikardia berat dalam keadaan istirahat pada atlit terlatih adalah normal. Sebaliknya bila didapatkan irama sinus normal pada saat pasien merasakan gejala yang berat maka harus dipikirkan penyebab non-aritmia. Jenis aritmia yang ditemukan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berikut ini: Risiko tinggi: - Takikardia ventrikel - Fibrilasi ventrikel - Blok AV total dengan escape heut yang tidak memadai - Wolf-Parkinson-White dengan konduksi cepat saat fibrillasi atrial (AF) Risiko sedang: - Premature Ventricular Contruction (PVC) kompleks yang disertai penyakit jantung - Blok AV derajat 2 - Blok AV derajat 3 dengan escape heat yang memadai Risiko rendah - Premutzrre atri~llcomplex- PVC - Disfungsi sinus node - Takikardia supraventrikel - Blok AV derajat 1 - PVC kompleks tanpa kelainan jantung Setelah menentukan jenis aritmia yang didapat. langkah selanjutnya adalah mencari gejala yang berkaitan dengan aritmia tersebut. Secara umum gejala yang dikeluhkan pasien adalah palpitasi, pusing, hampir pingsan, dan kehilangan kesadaran (sinkop). Aritmia yang disertai kehilangan kesadaran menandakan adanya gangguan
hemodinamik. Bradiaritmia atau takiaritmia seperti ini berisiko tinggi untuk terjadinya kematian mendadak. Gejala tersebut dikelompokkan menjadi: 1. Risiko tinggi: hampir pingsan, pingsan, dan aborted sudden death 2. Risiko sedang: pusing, palpitasi berat, perburukan gejala gaga1 jantung 3. Risiko rendah: pusing ringan, palpitasi.
Gambar 1 memperlihatkan rekaman HM pada pasien dengan keluhan utama berdebar dan hampir pingsan. Data berikutnya yang hams dicari adalah penyakit yang mendasari aritmia tersebut. Ditemukannya PVC kompleks pada pasien dengan jantung normal tidak memberikan nilai prognostik yang bermakna. Sebaliknya PVC kompleks pada pasien dengan penurunan fungsi ventrikel kiri memberikan implikasi yang bermakna untuk terjadinya kematian mendadak. Dengan semua informasi di atas maka dapat ditentukan strategi penanganan yang tepat: menghilangkan gejala atau mencegah kematian mendadak.
Diagnosis aritmia tidak selalu dapat ditegakkan dengan rekaman EKG permukaan sesaat. Apalagi untuk menghubungkan antara aritmia dengan gejala yang dirasakan pasien. Holter Monitoring (HM) merupakan alat sederhana yang bersifat noninvasif yang dapat memberikan jalan keluar atas kesulitan tersebut. lnterpretasi hasil HM harus dilakukan secara holistik dengan mengintegrasikan gejala, jenis aritmia yang ditemukan, dan penyakitlkelainan jantung yang mendasarinya. Berdasarkan itu dilakukan stratifikasi risiko rendah, sedang, dan tinggi. Penanganan aritmia secara umum diarahkan untuk mengurangi gejala dan mencegah kematian mendadak akibat aritmia fatal.
Gambar 1. Rekarnan Holter monitoring pada pasien dengan keluhan utarna palp~tasi dan harnpir plngsan Terekarn aritrn~aberupa fibrilasi atr~aldan henti sinus (smus
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI REFERENSI Dougherty AH and Naccarelli GV. Noninvasive evaluation in patient with cardiac arrhythmias. In: Vlay SC. A practical approach to cardiac arrhythmias. 2ndEd, Liitle, Brown and Company, 1996 Fogoros RN. Electrophysiologic testing. 3rd Ed, Blackwell Science, 1999 Lee H. Ambulatory electrocardiography and electrophysiology testing. In: Zipes DP, Libby P, Bonow RO, et al. Heart disease: a textbook of cardiovascular rnedi~ine.7~ Ed, Elsevier Saunders, 2005. Wrought RA and Wagner GS. Electrocardiographic monitoring. 1n:Waught RA, Ramo BW, Wagner GS (Eds). Cardiac arrhythmias: a practical guide for clinician. 2ndEd, FA Davis Company, 1994.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENGANTAR DIAGNOSIS EKOKARDIOGRAFI Ali Ghanie
PENDAHULUAN Ekokardiografi merupakan alat diagnostik di bidang kardiovaskular dengan prinsip dasar gelombang suara frekuensi tinggi. Dengan transmisi gelombang suara, diharapkan terjadi pantulan gelombang yang akan memberikan kontur yang sesuai dengan jaringan yang memantulkan transmisi gelombang. Sehingga dengan alat ekokardiografi akan diperoleh kontur dinding pembuluh darah, ruang-ruang jantung, katup-katup jantung serta selaput pembungkus jantung. Pencitraan akan tergambar dalam bentuk satu dimensi (m-mode) dua (2-D) bahkan dimensi tiga(3-D) atau empat (4-D). Adanya dopler pada alat eko yang menggunakan prinsip transmisi pantulan gelombang suara oleh sel darah. merah, akan memungkinkan pengukuran kecepatan (velositas) dan arah aliran darah dalam jantung dan pembuluh. Oleh karena itu dapat dipakai untuk pengukuran hemodinamikjantung seperti isi sekuncup, curahjantung, tekanan, dan 'pressure gradien'. Sementara sistem warna pada eko (color flow mapping) memungkinkan untuk menentukan arah dan sifat aliran darah baik yang 'stream line' atau turbulen. Oleh karena itu dengan modalitas tersebut pengukuran dopler dapat diarahkan melalui bimbingan aliran yang benvama (color guided dopler), selain dapat dengan mudah melihat adanya aliran-aliran turbulen akibat regurgitasi, stenosis maupun aliran abnormal melalui defek pada septum atrial atau ventrikel. Pada awalnya pemeriksaan eko bersifat noninvasif, karena pemeriksaan dilakukan dengan transduser (sumber: dan penerima gelombang suara) melalui dinding dada, dikenal sebagai pemeriksaan eko transtorakal (ETT). Namun ada beberapa keterbatasan ETT pada keadaan tertentu seperti pasien emfisema, gemuk, serta tidak mampu dalam evaluasi ruang seperti apendik atrium. Untuk
mengatasi ha1 tersebut belakangan muncul eko transesofageal (ETE) yang bersifat invasif, di mana transduser dilekatkan pada ujung alat endoskopi. Dengan cara ini transduser dimasukkan melalui esofagus sampai kelambung, dan evaluasijantung dilakukan dari belakang, sehingga limitasi ?TE dapat diatasi karenajarak yang lebih dekat dengan target, serta jaringan pemisah antara transduser dan target dapat diabaikan. Selain daripada itu dikenal beberapa prosedur eko invasif yang lain yaitu intraoperatif, dengan meletakkan transduser langsung ke permukaan jantung pada saat operasi jantung, serta pemeriksaan eko intravaskular (intra vascular ultrasound=IVUS) di mana transduser diletakkan pada ujung kateter pada prosedur angiografi koroner. Dengan perkembangan teknologi di bidang ultrasound belakangan dikenal pula pemeriksaan eko dengan kontras untuk melihat adanya defek pada sekat maupun dalarn evaluasi kinesis gerakan dinding jantung, sementara itu pemeriksaan tissue dopler lebih diarahkan untuk mendeteksi kinesis jantung yang dapat dikaitkan dengan penyakit jantung iskemia, clan diastologi. Dalarn bab diagnosis ekokardiografi ini hanya akan dibicarakanbeberapa basis modalitas eko seperti M-mode, eko 2 dimensi, eko warna, eko dopler sederhana, dan eko transesofageal yang sering ditemukan dalam praktek sehari-hari.
Transduser Merupakan kelengkapan alat eko berupa sumber: gelombang suara ultra yang berasal dari kristal piezoelektrik, sehingga memungkinkan terjadinya
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pencitraan. Melalui transduser, gelombang suara dapat diarahkan secara elektronik atau mekanikal ke arah target sasaran yang dikehendaki. Pilihan transduser tergantung dengan frekuensi, semakin tinggi frekuensi semakin besar kemampuan resolusi (kemampuan memisahkan dua objek yang berdekatan), namun ke dalaman penetrasi akan berkurang. Oleh karena itu dalam pemeriksaan eko diupayakan menggunakan frekuensi yang paling tinggi tetapi masih mempunyai kemampuan penetrasi yang maksimal. Biasanya pada satu transduser telah dilengkapi dengan multi frekuensi, sementara ke dalaman dapat diatur. Dikenal dua macam transduser yaitu transduser untuk pemeriksaan melalui dinding toraks, dan transduser untuk pemeriksaan melalui esofagus. (Gambar 1 dan 2)
Gambar I. A Transduser h e a r untuk pemer~ksaanvaskular B Transduser Eko Transtorakal (Sumber A Ghanie Div Cardiology Dept int Med F a c ~ i l t yof Medicine Sriwilaya University Palemhdng)
OSKILOSKOP Merupakan layar dengan berbagai ukuran, menampilkan hasil proses pengolahan gelombang suara yang diterima oleh transduser setelah melalui berbagai proses perubahan sifat gelombang suara, amplifikasi serta prosedur teknis lain yang tidak menjadi topik dalam bab ini.
Printer Dapat dilakukan dokumentasi dengan printer hitam putih, berwarna, dengan video maupun sistem digital. Pada rekaman gambarlfoto ('stop picture') terdapat beberapa kendala kelengkapan gambar yang barangkali tidak dianggap penting oleh ekokardiografer. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan dokumentasi dengan video sehingga diperoleh kondisi yang menyerupai 'real time', akan tetapi menyita waktu dan terjadi penurunan gradasi kualitas gambar. Sistem digital dapat mengatasi masalah kualitas gambar sama dengan aslinya dan memudahkan sistem arsip.
Hasil gambar eko sangat subjektif tergantung keterampilan dan pengalaman dari ekokardiografer. Oleh karena itu seorang ekokardiografer dituntut mempunyai kompetensi pengetahuan dasar mengenai gelombang suara ultra dan karakteristik kemampuan mesin eko dalam pengaturan gambar, sehingga dapat dibuat gambar yang standar, informatif dan dapat diulang dengan kualitas gambar yang sama. Selain itu dibutuhkan pengetahuan anatomi jantung normal beserta varian normal, kelainan yang berhubungan dengan anatomi maupun hemodinamik akibat kelainan yang didapat maupun kongenital.
MODALITAS EKO DAN PERANNYA DALAM DIAGNOSIS KARDIOVASKULAR
Gambar 2. Transduser Ekoardiografikardiografi transesofageal (Surnber : A. Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
E kokardiografi M-Mode Merupakan eko satu dimensi, di mana dilakukan pencitraan satu garis dari anterior sampai ke posterior bidang jantung yang kemudian dengan waktu akan tampak pada layar sebagai gerakan dari kiri ke kanan (motion mode=M-mode). Walaupun merupakan modalitas yang pertama di bidang eko, kemampuan resolusi spatial jelek, namun mempunyai kelebihan dalam resolusi temporal karena 'fi.umerate' yang cepat, oleh karena itu sangat baik untuk objek yang bergerak. Agar gambar dan pengukuran akurat, dibutuhkan potongan tegak lurus terhadap struktur yang akan diambil. Saat ini dengan adanya sistem digital, potongan tegak lurus
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1553
PENGANTAR DIAGNOSIS EKOKARDIOCRAFI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dapat dilakukan pasca pengambilan gambar, walaupun dengan posisi yang kurang baik. Beberapa informasi yang dapat diperoleh dengan modalitas M-mode ini antara lain: Pengukuran dimensi ventrikel, tebal dinding ventrikel atau septum, atrium, aorta Pengukuran fungsi jantung dengan fraksi ejeksi, bila kondisi gambar memungkinkan untuk melakukan potongan yang perpendikuler. Estimasi masa ventrikel kiri dengan menggunakan formula, misalnya 'formula Pen' Gambaran perikardium Kejadian waktu di jantung, misalnya waktu relaksasi isovolemik, waktu ejeksi Bersarna dengan eko wama dapat menentukan gambaran aliran. Beberapa rujukan parameter ukuran normal pada pemeriksaan M-mode dapat dilihat pada Tabel 1,2, demikian pula beberapa contoh kasus yang dapat dievaluasi dengan modalitas M-mode.
Parameter Ekokardiografi EDD ESD IVS PW FS EF A0 LA LVM LVMl RWT BW H BSA
Range
Rata-rata
Standar deviasi
3.20 - 4.60 1.50 - 3.30 0.60 - 1.OO 0.50 - 0.90 27.00 - 57.00 61 .OO - 90.00 2.00 - 3.10 1.80 - 3.00 35.01 - 157.85 23.34 - 108.82 0.30 - 0.45 48.00 - 70.00 153.00 - 180.00 1.42 - 1.77
3.9353 2.1324 0.8147 0.7176 46.0294 81.2941 2.7088 2.2324 95.0418 61.1988 0.3761 55.6029 163.4412 1.5718
0.3549 0.3607 8.214E-02 8.338E-02 7.2007 5.9520 0.2927 0.4290 29.4444 18.8395 4.199E-02 7.1 189 7.2329 8.266E-02
Sumber , A.Ghanie. Parameter echo normal. Unpublished
abel 1. Parameter Ekokardiografi Normal Laki-laki 79)
1 (n =
Parameter Ekokardiografi
Range
Rata-rata
Standar deviasi
3 10 - 4.90 4.02 0.4580 1.50 - 3.30 2.069 0.3799 0.70 - 1.OO 0.844 0 07 0.70 - 0.90 0.772 0.078 28.0 - 58.0 48.25 7.93 63.0 - 90.0 80,307 4.07 A0 2.20 - 3.60 2.867 0.245 LA 1.70 - 3.00 2.21 7 0.412 LVM 53.53 - 177.41 106.087 29 5619 LVMl 36.42 - 101.12 67.4192 17.5942 RWT 0.23 - 0.53 0.388 0.05326 BW 47.0 - 72.00 59.33 8.033 H 154 0 - 179.0 163.359 5.98 BSA 1.34- 1 8 0 1.6213 0.1 042 Sumber : A.Ghanie. Parameter echo normal. Unpublished
EDD ESD IVS PW FS EF
Gambar 3. Ekokardiografikardiografi M-mode pada orang normal dengan birnbingan 2-D melalui katup mitral menunjukkan titik pembukaan katup mitralfase cepat (E), plateu (F), pembukaan fase lambat (A), penutupan mitral (CD). Ventrikel kanan (RV), septum ventrikel (IVS), ventrikel kiri (LV). (Sumber : A.Ghanie, DiK Cardiology, Dept.int.Med. Faculty o f Medicine. Sriwijaya University Palembang)
Keterangan : EDD: End Diastolic Diameter, ESD: End Systolic Diameter, IVS: Interventricular Septum, PW: Post Wall, FS: Fractional Shortening, E: Ejection Fraction. AO: Aorta, LA: Left Atrium, LVM: Left Ventricular Mass, LVMI: Left Ventr~cular Mass Index, RWT: Relative Wall Thickness, BW: Body Weight, H: Height, BSA: Body Survace Area
EKO DUA DlMENSl (EKO 2-D) Lebih marnpu melihat struktur dan fungsi secara 'red rime', m e mn~ u n v a iresolusi s ~ a s i a llebih baik dari M-mode. T~~~~~adalah jaringan, sehingga lebih berperan dalam evaluasi morfologi jantung. Mencerminkan gerakan dan anatomi jantung. 2
Gambar 4. Ekokardiografi M-mode dengan bimbingan 2-D menunjukkan gambaran katup aorta yang normal berupa gambaran jajaran genjang pada saat sistol dan berupa garis pada saat diastol Di sini terlihat atrium kiri rnernbesar 4.7 cm. (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gambar 5. Ekokardiografi M-mode dengan bimbingan 2-0 pada pasien gagaljantung kongesti (kardiomiopatidilatasi), terlihat dilatasi ventrikel kiri pada saat diastol dan sistol, septum dan dinding belakangventrikelterlihat hipokinesis (tidak ada perubahan ketebalan septum dan dinding belakang sepanjang fase). (Sumber . A.Ghanie. Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medrclne. Sriwijaya University Palembang)
Gambar 6. Ekokardiografi M-mode dengan bimbingan 2-D pada pasien efusi perikardium, hipertensi dan gagal ginjal kronik, terlihat daerah posterior yang bebas ekokardiografi, penebalan septum ventrikel (IVS) dan dinding posterior ventrikel kiri (LVPW).(Sumber : A.Ghanie. DIV. Cardiology Dept.int.Med. Faculty of Medicine. Sriwijaya University Palembang)
Gambar.8. EkokardiografiM-mode dengan bimbingan 2-D pasien hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri. Septum ventrikel (IVSD=2.27 cm) normal
I
I
Gambar 9. EkokardlografiM-Mode dengan bimblngan 2-D paslen stenosls mltral EF slope mendatar, katup posterior bergerak ke anterlor sejajar dengan katup anterlor (Sumber A Ghanle, DIV Cardlology dept ~ n Med t Faculty o f Medicme Sriwljaya Unlverslty Palembang)
1
spaa ~kt~f, jerakan katup mitral ke anterior pads saat sistol (SAM= 'systolic antenor motion'). (Sumber : A.Ohanie, Dtv. Cardiology, Dept.mt.Med. Faculty of Medicine, Sriwbsya University Palembang) Csam~ar.7.U(OK~I pasien dengan kar
M-m
ti hi^
Gambar 10. EkokardiografiM-mode dengan bimbingan2-D melalui aorta terlihat separasi daun katup aorta anterior (AAC) dan posterior (PAC) aorta Stenosis. (Sumber; A.Ghanie. Div Cardiology, Dept int. Med. Faculty o f Medicine, Sriwijaya University Palembang)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1555
PENGANTAR DIAGNOSIS EKOKARDIOCRAFl
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI -
Gambar 11. Ekokardiografi M-Mode dengan bibingan 2-D dari katup pulmonal normal (Sumber :A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int. Med. Faculty of Medicine. Sriwijaya University Palembang)
Bidang Penyitraan Pengambilan gambar eko dilakukan melalui suatu celah sempit yang disebut 'acoustic windows' atau jendela eko pada sela iga I11 garis para sternal kanan, apeks, melalui suprasternal, atau subkostal. Pada dasarnya ada tiga bidang utama dalam pengambilan gambar eko: Sumbu panjang ('long axis'), merupakan bidang tegak lurus dengan permukaan anteroposterior dada dan sejajar dengan sumbu panjang jantung. Pada bidang ini secara anatomi akan tergambar dinding depan ventrikel kanan, ventrikel kanan, septum ventrikel, ventrikel kiri, serta dinding posterior ventrikel kiri (Gambar 13)
Gambar 12 Ekokardlagrafi M-mode dengan brmblngan 2-D paslen regurgitssi mifral potongan perpe?ndicular sernpurna melalui ujung katup mitfal, tetlihat hipertrofi septum dan diliitasi ventrikel kiri dengan fungsi pampa yancJ masih baik. (Surnber A.Ghanie, Div Oklrd~oIOg~ Bept.intMbtd. Faculty of Medklne, SrEwjaya Unlversity Palernbang)
Gambar 13. Ekokardlografl 2-D sumbu panjang menunjukkan potongan ventrlkel kanan (RV), ventrlkel klrl (LV), septum ventrikel (IVS), Aorta (Ao), Atrium klrl (LA) katup mltral dalam ha1 In1 stenosls (MV) (Sumber A G h a n ~ e , Drv Card~ology, Dept rnt Med Faculty of Medlclne, Srrwrjaya Unrverslty Palembang)
Pengukuran ventrikel kiri dan tebal dinding pada keadaan eti mana M-made tidak memenuhi syarat. Pengukmn id sekuncup Pengulcuran fiaksi ejeksi $an volume Pengukuran area mitral dengan planimetri.
Sumbu pendek ('short u~is'), merupakan bidang tegak lurus pennukaan anteroposterior dada dan tegak lurus dengan bidang sumbu panjang jantung. Pada bidang ini akan terganlbar struktur jantung sesuai dengan daerah potongan. Pada dasar jantung akan tergambar atrium, sekat atrium, pembuluh darah besar, katup trikuspid serta pulmonal. (Cambar 14) Pada bagian tengah akan talnpak katup mitral, ventrikel kanan, septum ventrikel, dan ventrihel kiri, dan katup mitral. (Ganibar 15) Sedangkan potongan sc/it?g,qlupeks akan menampilkan ventrikel kiri, septum ventrikel, sebagian ventrikel kana11dan muskulus papilaris. (Gambar 16)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Terlihat aorta (ao), rnuara ventrikel kanan ke pulmonal (mot), arteri pulmonalis utama (mpa), atrium kiri (la), atrium kanan (ra), katup tricuspid (tv). (Surnber :A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palernbang)
Gambar 16. Ekokardiografi 2-D suhu pendek setinggi m. papilaris. (Sumber A.Ghanie. Div Cardiology. Dept int Med Faculty of Mediciiie. Snwuaya University Palernbang)
Ada juga bidang-bidang lain yang dipergunakan dalam pemeriksaan sehari-hari seperti bidang dua ruang yang rnenggambarkan atrium, katup mitral dan ventrikel kiri. (lihat gambar). Bidang lain yang juga sering dipakai adalah bidang lima ruang sama seperti empat ruang dengan tambahan aorta (Gambar 17 B) Namun adakalanya pada pasien tertentu dibutuhkan posisi lain yang tidak standar untuk dapat memberikan infonnasi yang kita kehendaki. Dengan kemajuan dibidang teknologi ('second harmonic imuging'), dimungkinkan untuk membuat galnbar itu nienjadi lebih baik, sehingga delineasi endokardiuln menjadi lebih tegas. (Gambar 18)
Gambar 15. Ekokardlografikardlografi 2-D surnbu pendek setinggl katup mitral Terlihat area rnltral yang kecrl (stenosls), ventrlkel klfl (LV), septum ventrlkel (IVS), ventrlkel kanan (RV). (Sumber A Ghanie, Div Cardiology, Dept mt Med Faculty of Medicme, Srrwyaya University Palembang)
Bidang empat ruang ('trpicai ,fozir chamhc.r'), merupakan bidang sejajar dengan permukaan anteroposterior melalui potongan dari apeks ke dasar jantung. Pada bidang ini akan tereambar kedua ventrikel. atrium, sekat atrium dan venrrikel, serta kedua katup mitral dan trikuspid. (Gambar 17 A)
Gambar 17. A ) Ekokardlografi 2-D potongan apeks 4 ruang paslen normal, terl~hatventrikel kiri (LV), serambi kiri (LA), ventrikel kanan (RV). serarnbl kanan (RA), septum ventrikel (IVS), septum atrial (IAS). B). Ekokardiografikardiografi 2-D potongan apeks 5 ruang sama seperti garnbar A dengan tarnbahan aorta (Ao) (Suniber A Ghanie. Div Cardiology, Dept ini.Med. Faculty of Medicine. Snwijaya University Palernbang)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1557
PENGANTAR DIAGNOSIS EKOKARDlOGFLWl
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Garnbar 18. Ekokardiografi2-D potongan 4 ruang menunjukkan kemampuan teknologi harmonik dalam meningkatkan kemampuan pencitraan ekokardiografi (A. tanpa tissue harmonic, B. dengan harmonik terlihat deliniasi endokardium lebih jelas) (Sumber : A.Ghanie. Div Cardiology. Dept.int.Med. Faculty of Medicine. Sriwijaya University Palembang)
Gambar 19. Pengukuran fraksi ejeksi dengan pengukuran area, pada kondisi di mana pemeriksaan dengan M-modetidak memenuhi syarat. Terlihat fraksi ejeksi 32%. (Sumber : A Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine. Sriwijaya University Palernbang)
Garnbar 20. Ekokardiografi 4 ruang apical pada gagal jantung kongestif jantung kanan menunjukkan trombus multipel pada ventrikel kanan (tanda panah). (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty o f Medicine. Sriwijaya University Palembang)
Garnbar 21. Ekokardiografi 2-0 sumbu panjang melalui apeks pada pasien hipertrofi kardiomiopatl obstruktif, terlihat katup mitral bergerak menutup 'left ventricle out flow tract' (LVOT) (tanda panah) (Sumber : A.Ghanie. Div Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicme. Sriwuaya University Palembang)
Garnbar 22. Ekokardiografi 2-D sumbu panjang pasien stenosis mitral berat, terlihat penebalan daun katup (A), pada potongan pendek terlihat area mitral secara planimetri sangat sempit 0.57 crnVB). (Sumber : A Ghanie, Div. Cardiology, Dept ~ n tMed . Faculty of Medicine. Sriwijaya University Palembang)
Gambar 23. Ekokardiografi 2-D potongan pendek setinggi mitral pasien gagal jantung dan infark anteroseptal, terlihat aklnesis dari daerah anter~orpada saat sistol (tanda panah) (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.Int Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gambar 24. Ekokardiografi 2-D sumbu panjang pasien miksoma pada atrium kiri yang bergerak keluar masuk ventrikel kiri melalui mitral pada setiap siklus (M) (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology. Dept.int.Med. Faculty of Medicine. Sriwijaya University Palembang)
Garnbar 25. Ekokardiografikardiografi 2-D sumbu panjang pasien miksoma atrium kiri dengan tangkai yang jelas (tanda panah) (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine. Sn'wijaya University Palembang)
G I ~~,e!Mrr,~tral. dengan meletakkan 'sample volume' (dua garls sejajar) pada daerah m~tral,terl~hatfase penglslan cepat (E) dan fase penglslan lambat kontraks~atr~um(A) (Sumber A Ghan~eDrv Cardrology, Dept rnt M e d Faculty o f Medrcrne Srrwrjaya Unrversrty Palembang)
Gambar 27. Dopler PW normal rnelalu~katup aorta dengan b~mb~ngan 2-D ekokard~ograf~ warna sarnple volume dlletakkan pada daerah katup aorta d~perolehvelosltas 1 2 mlsec (Sumber A Ghan~e DIV Cardlology Dept lnt Med Faculty of Medlctne Snwrjaya Urirversity Palembang)
EKO DOPLER Seperti disebutkan pada pendahuluan, konsep eko dopler adalah menangkap sinyal yang dipantulkan oleh sel darah merah, sehingga dapat ditentukan adanya aliran darah, arah, kecepatan, dan karakteristik aliran. Dikenal dua modalitas dopler yaitu, *. Dopler spectrun~('spectral dopler') yang terdiri dari 'pztlsed 12.uve doplerl(dopler gelombang pulsasi) dan 'continuous wave dopler' (dopler gelombang kontinu). Color flow dopler. Pada saat ini satu transduser memiliki kema~npuan sebagai clopler gelombang pulsasi, sekaligus gelombang kontiny~~ dan h p l e r aliran berwarna. Belakangan dikenal 'tr.r.suc cioplcr', bukan seperti dopler yang menangkap pantulan sinyal sel darah merah tetapi sinyal yang dipantulkan oleh kinesis jaringan, oleh karena itu dipergunakan untuk mengukur kinesis jaringan.
Gambar 28. Dopler PW rnelalu~area m~tralpada paslen h~pertens~ dengan d~sfungs~ d~astollk,terl~hatgelombang E leb~hrendah d~band~ngkan dengan gelombang Adengan ratlo EA 0 67 ( normal 2 1) (Sumber A Ghan~e DIV Cardlology Dept ~ nMed t Faculty of Med~c~ne Srlw~ayaU~iiversityPalerl~barig)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1559
PENCANTAR DIAGNOSIS EKOKARDlOGRAFl
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Lr
Gambar 29. Dopler PW melalui area mitral pada pasien regurgitasi mitral, doplelr tidak sernpurna menuju kedua arah garis Nyhquist dan terputus tanpa arnplop, dikenal sebagai aliasing (Sumber : A. Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
Gambar 32. Eko dopler CW rnelalui katup mitral yang stenosis, pengukuran area dengan 'pressure half time' diperoleh area seluas 0,66crn2 lebih kurang sama dengan pengukuran secara planimetri pada garnbar 22. (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang
Gambar 30. Eke dopier CW pads pasien yang sama dengan di atas, tetapi dopler terarnbil dengan amplop yang sernpurna dengan velositas 5.31 mlsec. (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int. Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
Garnbar 33. Eko dopler CW pasien dengan stenosis mitral terl~hat cm2(Sumber: A.Ghanle. Wadien 9 mrnHg dengan area rnitral 1 Div. Cardiology, Dept.int Med. Faculty of Medrclne. Sriwijaya Un/verslt~Palembang)
I
*:,
.. . ' 7',a*,.'-
,
- , : ; : , 5 - ~ T y Y-.
.. .
L
:_I"
,
..
I . .
-.
.
..
,
,
..
.
".
.
.&
,mu-. ..- --....,.......J..,i.. .. ,. *.
--?-..-
,;
,
. .. . ~BI -. - .. -';A: . .%'
1
,,c,... i
'
'
I
,
A,.
dan regurgitas~mitral dengan amplop yang sernpurna (Sumber A.Ghan~e,DIV Cardrology, Dept rnt Med Faculty of Medrone, Snwljaya Unrversrty Palembang)
I.-'II
,, b!*T,-
.
.'+'% .
';
-:
.>
.
1
.;.,,,,p-
-a
Gambar 34. Eko dopler warna pada pasien regurgitasi trikuspid, menunjukkan velositas 5 rnlsec dengan gradient 123 rnmHg, dengan asurnsi tek ventrikel kanan 10 mrnHg, maka diperkirakan tekanan pulmonal 133 rnHg (hipertensi pulmonal). (Sumber : A. Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PULSED WAVE DOPLER ( PW )
Dengan PW transmisi sinyal gelombang suara dikirim dalam bentuk pulsasi ('pulse'). Oleh karena itu dapat dilakukan pemeriksaan pada area tertentu dari suatu area aliran dengan menggunakan yang disebut 'sample volume', yang merupakan marka dari daerah yang diinginkan, pada alat ekokardiografi ditandai dengan dua garis sejajar. Informasi yang dapat diperoleh berupa: Pengukuran fungsi diastolik Pengukuran area mitral atau orifisium aorta Pengukuran isi sekuncup dan curah jantung Mengukur besarnya shunt. Dalam prakteknya pengukuran-pengukuran itu dapat dilakukan oleh alat eko secara otomatis hanya dengan meletakkan marka-marka pada gambar yang dibuat.
Gambar 35. Ekokardiografi warna pada orang normal, wema merah menunjukkan arah altran darl atrium k~rike ventrikel klri pada saat diastol (mengarah ke transduser), sementara warna biru rnenunjukkan altran dari ventrikel k ~ ke n aorta pada saaf sistol (menjauhi transduser) (Sumber A.GhanEe, D n Cardiology, Dept mt Med Faculfy of Medmne, Snwr~ayaUnrvers~ty Palembang)
CONTINUOUS WAVE DOPLER (CW)
Tidak seperti pulsed wave dopler di sini transmisi gelombang suara berlangsung kontinu, sehingga spektrum lebih luas dari semua area yang dilewati gelombang suara. Karena tidak mempunyai 'samplevolume', tidak bisa melokalisir sinyal aliran sehingga tidak spesifi, dan sering terjadi kontaminasi aliran dari area yang tidak kita kehendaki. Narnun karena gelombang kontinyu dapat menangkap aliran darah kecepatan tinggi dengan baik tanpa terjadi 'uliasing', yaitu suatu keadaan gambar dopler terputus akibat terlampauinya batas maksimal kecepatan yang dapat diukur dengan dopler. (Gambar.29) Karena sifatnya, maka CW sangat bermanfaat untuk menangkap sinyal dari aliran frekwensi tinggi seperti stenosis katup, dan pengukuran semi kuantitatif dari regurgitasi.
Gambar 36. Ekokardiografi warna pada paoien regurgitasi m~tral,teriihat gangguan koaptasi katup mftral (pada gambar kiri, a), dan adanya garnbaran aliran balik dengan warna biru mosaik (menjauhi transduser, b) melalui katup mitral pada saat s~stol. (Sumber A.Ghanle, DV I Card~ology,Dapt lnt Med Faculty of Medicme, Sriwfaya Unrversrty Palernbang)
EKO DOPLER WARNA
Prinsip eko dopler warna adalah sama dengan 'pulsed dopler' tetapi menangkap sinyal pada beberapa beberapa titik sepanjang garis penyitraan. Dengan kesepakatan diberikan warna merah untuk aliran darah yang mendekati transduser, dan warna biru untuk aliran yang menjauhi transduser. (Gambar 35 ) Pada keadaan tertentu di mana aliran bersifat turbulen terjadi campuran warna merah dan biru atau mosaik. (Gambar 36 dan 37) lnformasi yang diperoleh: Menentukan arah dan waktu aliran Menentukan sifat aliran laminar atau turbulen
Gambar 37 Ekokardiografi dopler warna pasien regurgitasi trikuspid berat, menunjukkan gambaran aliran mozaik melalui tricuspid pada saat sistol. (Sumber: A.Ghanle, Div Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Snwljaya University Palernbang)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Garnbar. 38 Ekokardrografr 2-D dengan warna pada pasren &%nosis rnitral, aliran turhulen rnernberikan warna rnosaik (kiri) melalui katup rnitral yang sempft (kanan) (Sumber :A Ghanie, Drv Cardtology, Depf int.Med. Faculty of Medrcine, Sriwijaya Unrvefsil'y Palembang)
Gambar 40. Ekokardiograf transesofageal pasien dengan endokarditis, terlihat vegetasi yang jelas melekat pada katup rnitral anterior. (Surnber : A Ghanie, Diw CanlMagy, Dept.fntMed. Faculty of Medrc~ne,Sriwbaya UnivgrsTy Pelembang)
TISSUE DOPPLER Dengan majunya tehologi dapat dilakukan pengukuran kecepam dopier darijaringan miokardim, bukan sel darah merah seperti pada dopler biasa. Dengan madalitas ini dapat diperoleh informasi mengenai relaksasi abnormal, pseudonormal, dan kondisi restriktif dari miokardium.
EKOKARDIOGRAFITRANS ESOFAGEAL (ETE)
Dengan ETE, trarrsdmer dilengkapi dengan hkuensi yang relatif lebih tinggi, karena jarak bukan masaiahmaka kualitas gambar lebih baik dan jendela eka lebih luas. Oleh karena itu beberapa informasi dapat diperoleh sebagai tambahan terhadap inforrnasi yang tic%& bisa didapat dengan TTE. Bebelapa contoh pencitraan dengan ETE yang sulit didapat dengan ETTdapat dilihat pada Gambar 39,40,41.
Gambar 41 Ekokard~ografitransesofageal paslen klrnts dengan regurgitasi rnitral, terlihat ruptur daun katup rnitral anterior (panah tunggal, koaptasi rnitral due panah). (Sumbe: A.Ghanie, Div. GerdioEogy, Dept.int.Med Faculty of Medicine, Sriwijaya Univwsity Palembang)
REFERENSI
Gambar 39. Ekokardiografi transesofageal pasien stenosis rnitral dengan strok, terlihat trornbus di daerah apendik atrium kiri yang tidak terlihat dengan eko trastorakal (TH, panah besar) (Sumber: A.Ghanie, Div Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palernbang)
Anderson, B. Echocardiopmphy: the normal examination and Echocardigraphic measurements. MGA Graphics, Manly, Queensland, Australia. First edition. 2000 Chambers, J. Echocardiography in clinical practice. The parthenon publishing group, Spain. 2002. Feigenboum. H. Echocardiography. Lea & Febiger, Malvern, Pennsylbania, LISA. FiRb edition. 1994. Feigenbaum, H. Echocardiography. Lea L Febiger, Malvem, Pennsylvania, USA. Sixth edition. 2005. C3hanie.A. arsip ekokardlogafi, Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Penyakit Dalarn Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya 1 KS. Dr. Mohammad Hoesin Palembang. 1987 - 2006. Ghrtnie, A. Parameter ekokardiografi normal. Unpublished. 2005.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
EKOKARDIOGRAFI TRANS ESOFAGEAL (ETE) Lukman H. Makmun
TEKNIK PEMERIKSAAN
PENDAHULUAN Pemeriksaan Ekokardiografi Trans Esofageal (ETE) merupakan pemeriksaan lanjutan Ekokardiografi Trans Torakal (ETT). Letak perbedaan antara kedua cara pemeriksaan ini adalah pada ETE dengan meletakkan transduser dibelakang organ jantung dengan cara memasukkannya melalui esofagus seperti melakukan pemeriksaan esofago-gastroskopi. Hasil yang didapat adalah gambaran (imaging) struktur jintung lebih jelas dibandingkan dengan hasil ekokardiografi trans torakal dengan transduser berukuran 5 MHz. Transduser terletak pada ujung pipa fiber yang dapat diputar-putar dengan modus biplane atau multiplane. Biplane berarti transduser hanya dapat digerakkan untuk mendapatkan horizontal dan vertikal view saja yang berbeda 90". Sedangkan pada multiplane dapat digerakkan secara bebas dalam perubahan setiap derajat sehingga didapat gambaran yang diinginkan oleh pemeriksa artinya dapat melihat view semua arah. Dengan ETE ini sesuai dengan standar pemeriksaan ekokardiografi, dapat dilakukan Eko color dan Dopler untuk melihat dan mengukurflow.
Gambar 1 Gambar alat probe transduser
Persiapan Alat Alat transduser Trans Esofageal (probe) sebelumnya dibersihkan lebih dahulu dengan air kemudian disterilkan dalam cairan kimia (misa1:Cidex) selama 20 menit. Seterusnya dibilas dengan air (biasanya dengan cairan infus dekstrosa) dan dikeringkan. Disiapkan Jelly xylocain dan dengan kain kasa dioleskan padaprobe mulai dari ujung sampai sepanjang 30-40 cm. Atau kalau memungkinkan dibuatkan sarung karet (seperti kondom panjang) untuk menyarungi probe; jelly dimasukkan ke dalam ujung sarung karet supaya terdapat kontak yang baik antara transduser dengan sarung karet dan pada bagian luar sarung karet diolesi juga jelly tadi untuk memudahkan masuknya probe ke dalam esofagus. Elektroda EKG dipasang untuk melihat EKG di monitor mesin eko. Probe dihubungkan dengan mesin eko dan di set untuk pemeriksaan ETE. Persiapan pasien: Dilakukan pemeriksaan HBsAg bila alat TEE hanya ada satu, k a ~ e n a takut ' bahaya penularan. Kalau memungkinkan untuk pasien HBsAg dipergunakan sarung karet untuk probe. Pasien dipuasakan terlebih dahulu selama 6 jam supaya tidak muntah. Cara kerja Pasien dibaringkan dengan posisi miring ke kiri, bagian atas badan agak tinggi, tanpa bantal dan leher diganjal dengan pengganjal. Gigi palsu dilepas dahulu. Faring disemprot dengan Xylocain spray beberapa kali. Bila pasien agak takut dapat disuntikkan midazolam (DormicumR) 0.07 - 0.1 mgkgBB iv. Hati-hati pada pasien
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
EKOKARDIOGRAFI TRANS ESOFAGEAL (ETE)
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI usia lanjut karena dapat terjadi depresi napas. Mouth piece disuruh gigit. Badan pasien bagian distal agak melengkung ke dalarn dan kepala agak menekuk dan melihat kakinya sendiri. Probe diatur sehingga ujungnya agak fleksi (melekuk ke dalam) sesuai dengan bentuk faring dan ditahan. Gerakan menyamping probe supaya dikunci. Probe dimasukkan secara perlahan ke dalam mulut, lidah pasien di dalam dan kalau perlu ditekan. Sesampainya probe di faring, kondisi fleksi probe yang tadi ditahan dengan tangan supaya dilepaskan sehingga probe tadi bebas dan menyesuaikan diri dengan bentuk keadaan esofagus. Pasien disuruh mengambil napas dalam supaya tenang dan disuruh menelan. Sambil pasien menelan, probe didorongkan perlahan dengan lembut ke dalam. Bila ada tahanan jangan dipaksakan, tetapi cabut sedikit, kemudian arah disesuaikan lagi. Biasanya kalau sudah melewati laring, probe dengan mudah dapat didorongkan ke distal esofagus. Kemudian dilihat melalui monitor posisi transduser. Biasanya setelah melewati 30 cm, transduser sudah berada di belakang jantung. Bila lebih dalam lagi akan masuk ke dalam lambung dan akan terlihat ventrikel kanan dan kiri. Kemudianprobe ditarik lagi sampai terlihat semua ruang jantung. Dengan memanipulasi tomb01 pengarah, pemeriksa dapat mengamati bagian-bagian strukturjantung termasuk LAA (Left Atrial Appendage). Setelah selesai pemeriksaan,probe ditarik pelan-pelan sambil melihat kembali struktur aorta. Kemudian pasien dipuasakan tidak makan dan minum selama 3 jam, karena efek xylocain spray tadi.
Mitral valve prolaps (MVP) Gambaran vegetasi pada katup. Fungsi protese katup Kelainan katup mitral, aorta, trikuspid Penonjolan foramen ovale pada strok non hemoragik Kelainan pada aorta torakalis, misal plak atau aneurysma. Pada pasien obesitas, emfisema paru dan deformitas dada kadang-kadang sulit untuk mendapatkan gambaran s t b jantung dengan TTE biasa, karena itu diperlukan pemeriksaan dengan ETE ini untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas. Kontra indikasi: Kontra indikasi pemeriksaan ETE ini adalah sebagai berikut: kelainan esofagus aritmia berat trombo tes yang sangat rendah, takut bahaya pendarahan hipertensi maligna.
Gambar 3. Garnbaran ETE dengan strukturjantung yang normal, di mana dimensi ruang-ruang jantungnya normal.
Gambar 2. Cara rnemasukkan alat probe
Indikasi: Indikasi pemeriksaan ETE ini adalah untuk melihat struktur jantung dengan lebih jelas, yaitu: dugaan trombus di LAA misal pada kasus strok non hemoragik dugaan trombus di ventrikel. ASD dan VSD dengan melihat aliran shunt. Foramen ovale persistent
Gambar 4. Garnbaran trombus di LAA, di mana di lokasi ini tidak bisa di deteksi dengan pemeriksaan TTE biasa. Keadaan patologis ini merupakan penyebab utama strok non hemoragik.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gambar 5. Gambaran septum inter atrial, tampak intak dengan tidak ada defek.
Gambar 8. Tampak vegetasi pada daun katup trikuspid dan septum ventrikel.
Perlu diperhatikan kemungkinan terjadin)a refleks vagal, sehingga perlu disiapkan juga sulfas atropin ampul. Pemeriksaan ETE ini kurang mengenakkan pasien karena hams menelan probe, meskipun sudah diberikan anestesi lokal.
GAMBARAN ETE PADA KEADAAN NORMAL DAN DENGAN KELAINAN KLlNlS Tampak disini gambarannya lebih jelas daripada hanya bila dilakukan dengan TTE biasa.
REFERENSI
Gambar 6. VSD. Tampak celah pada septum ventrikel. Kondisi seperti ini saat ini dapat dilakukan penutupan dengan teknik kateterisasi.
Hatle L, Angelsen B.Doppler Ultrasound in Cardiology. Philadelphia : Lea & Fabiger. 2nd ed.1985. Oka Y., Konstadt SN.Clinical Transesophageal Ekokardiografi cardio graphy. Philadelphia Lippincott-Raven. 1996. Siglow V.,Schofer J, Mathey D. Transoesophageale Ekocardiographie. Thieme Verlag Stuttgart.1993.
Gambar 7. MVP (Mitral valve prolaps) Di sini terlihat dengan jelas katup mitral tidak menutup dengan rapat.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PEMERIKSAAN KARDIOLOGI NUKLIR Ika Prasetya Wijaya
PENDAHULUAN
PENlLAlAN FUNGSI VENTRIKEL
Pemeriksaan pencitraan jantung dengan radionuklir invasif bermula di tahun 1970-an, dengan pemeriksaan aliran darah miokardial. Seiring dengan perkembanganjaman maka saat ini pencitraan dengan radionuklir sudah mampu menganalisis fisiologi dan patofisiologi kerja jantung. Pemeriksaan dimaksud adalah aliran darah miokard, metabolisme miokard serta fungsi ventrikel.
Angiografi radionuklir dalam kesetimbangan atau multiplegated bloodpool imaging sangat sering digunakan sebagai salah satu cara untuk menilai fungsi ventrikel yang bersifat tak invasif. Teknik yang digunakan adalah dengan memberi label 99mTcpada albumin atau sel darah merah yang secara seragam akan didistribusikan ke seluruh pembuluh darah. Untuk mendapatkan hasil optimal pada pemeriksaan saat istirahat maka sebaiknya tidak ada gangguan irarna jantung. Pemeriksaan ini sangat akurat. Hasil lain dari pemeriksaan ini adalah dengan didapatkannya ukuran dan fungsi ventrikel kanan, ukuran ruang atrium dan pembuluh darah besar, parameter pengisian diastolik, dan tingkatan berat ringannya regurgitasi katup. First-pass radionuclide angiography adalah metode lain yang juga dapat digunakan untuk menilai fungsi ventrikel di dalamnya terdapat rekaman perjalanan bolus radionuklir dalam darah dari saat pemberian hingga mencapai pembuluh darah pusat. Metode ini tidak memerlukan sela darah merah yang dilabel dengan. Penggunaan 99mTcpada pemeriksaan ini karena biaya murah dan waktu paruh yang pendek. Selama pemeriksaan, perjalanan radioisotop melalui atrium kanan, ventrikel kanan, pembuluh paru kemudian atrium kiri, ventrikel kiri dan aorta direkam dengan kamera khusus (high-count cumera). Kelemahan pemeriksaan ini dibandingkan dengan pemeriksaan dalam kesetimbangan adalah rendahnya resolusi dari -pergerakan otot ventrikel. Gated single-photon emission computed tomography (SPECT) dapat digunakan untuk menilai fraksi ejeksi dan pergerakan otot ventrikel regional dengan mengambil manfaat dari pemeriksaan perfusi miokard SPECT. Pemeriksaan ini bisa menggunakan 20'T1,tetapi yang sering digunakan adalah karena bersifat higher count rate adalah 99mTc sestamibi. Aritrniajuga menjadi faktor yang dihindari pada pemeriksaan ini.
PRlNSlP DASAR KARDIOLOGI NUKLIR Pemeriksaan kardiologi nuklir bergantung kepada penyuntikan isotop yang mengandung foton ke dalam darah pasien. Hasil dari adanya foton tadi akan keluar sinar gamma yang kemudian ditangkap oleh kamera khusus, dinamakan kamera gamma. Kelemahan dari pemeriksaan ini adalah foton yang disuntik dapat memancar ke segala penjuru, menyebar, melemahkan serta dapat diserap. Semakin tinggi energi dari isotop, semakin rendah kemungkinan untuk menyebar dan penyerapan. Ada dua isotop yang sering digunakan saat ini, talium 201 (201T1) dan teknetium 99m (99mTc), teknetium 99m sendiri terbagi atas beberapa bahan: sestamibi, tetrofosmin dan teboroksim.
Thallium 201
Technetium 99m sestamibi
Waktu paruh fisik 73 jam Biaya radiofarmasi rendah Digunakan untuk mengukur ambilan paru Baik pada pemeriksaan iskemia saat istirahat
Waktu paruh fisik 6 jam Hasil pencitraan yang lebih baik Untuk menilai fungsi ventrikel Waktu pencitraan yang pendek Protokol pencitraan yang cepat Dapat dilakukan pada IMA dan angina pektoris tak stabil Kuantifikasi baik terutama untuk mengukur luas iskemia saat istirahat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pemeriksaan pencitmn radionuklir dengan metode SPECT myocurdialperfusior~banyak digunakan penyakit jantung iskemia. Penyuntikan radioisotop pada saat istirahat dan saat aktivitas dilakukan untuk menghasilkm gambaran eitra dari hasil dar aliran darah setempat. Terkadang untuk mendapatkan keadaan dengan abivitas dapat diberikan dipiridamol dan adenosin Bila terdapat kontra indikasi pada kelainan paru terutama bronkospasme maka dapat diganti dengan menggunakan dobutamin.
TOMOGRAFI EMlSl POSITRON (POSITRON EMISSION TOMOGRAFI)
Pemeriksaan ini berbeda dengan dua pemeriksaan terdahulu di atas. Dengan menghirup positron, maka elnisi yang dihasilkan sangat tinggi. Berguna untuk memeriksa aliran darah di miokard dan lain-lain. Bahan yang dapat digunakan saat ini adalah: amonia nitrogen- 13, air oksigen15, dan rubidium. Aplikasi klinis pemeriksaan PET adalah untuk menilai kehidupan dari otot-otot ventrikel jantung (n~vocardiial viability). Selanjutnya dapat diketahui manfaat dari tindakan PTCA atau CABG dengan membandingkan hasil sebelum dan sesudah tindakan. Dengan adanya hasil ini maka diketahui apakah CABG ataupun PTCA yang sudah atau akan dikerjakan dapat memberikan hasil optimal.
REKOMENDASIPEMERIKSAAN
Perneriksaan kardiologi nuklir ini direkomendasikan dikerjakan pada: Angina pektoris tak stabil dan infark miokard tanpa peningkatan segmen ST untuk menilai beratnya iskemia dan menilai fungsi ventrikel. Penyakit iskemiajantung kronis untuk menilai perluasan dan beratnya gangguan arteri koroner pada pasien. Pada pasien yang tidak mampu melakukan aktivitas tisik dengan baik maka dapat dibantu dengan menggunakan adenosin atau dipiridamol. Walau demikian uji latih jantung dengan EKG lebih diutamakan. Pada gagal jantung digunakan untuk mengetahui fungsi ventrikel. Pada pasien penyakit jantung koroner lama yang menderita gagal jantung namun tanpa nyeri dapat dilakukan pemeriksaan kardiologi nuklir untuk persiapan revaskularisasi. Pasca tindakan revaskularisasi yang menunjukkan gejala adanya iskemia berulang.
iambar I.
Pemeriksaan tidak direkomendasikan pada lnfark miokard akut dengan peningkatan segrnen ST apalagi digunakan untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan ini hanya digunakan untuk mengukur luasnya daerah infark. Sebagai pemeriksaan utama tetap uj i latih jantung dengan EKG. Pasien yang diduga menderita sakit jantung tanpa gejala, pemeriksaan ini tidak direkomendasikan digunakan sebagai alat untuk mendiagnosis penyakit jantung. Tetapi dapat digunakan untuk memastikan diagnosis dari hasil uji latih jantung yang positif. Persiapan menjalani pembedahan rutin yang bukan berkenaan dengan pembedahan vaskular karena risikonya rendah, Tetapi pada pasien penyakit jantung iskemia kronis sebaiknya dilakukan untuk rnenilai h g s i vcntrikel maupun viabilitas otot ventrikel. Pasien passa tindakan revaskularisasi yang tidak bergejala.
Nishimura RA et a]. Non-invasif. Cardial imaging: ekohrdiografi. Dalam Kasper. Dalam Harrison's principle 6f internal medicine. New York. McGraw-Hill. 2005. Sabharwal NK et al. role of myocardial perfusion imaging for risk stratification in suspected or known coronary artery disease. Heart, 2003; 89: 1291-7. Udeison JE et al. Nuclear cardiologq. Dalam Btaunwald's editor. Heart disesase a textbook of cardiovascular medicine. Philadelphia. Elsevier saunders. 2005.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENYADAPAN JANTUNG (CARDIAC CATHE TERIZATION) Hanafi B. Trisnohadi
PENDAHULUAN Walaupun banyak kemajuan dalam teknik pemeriksaan jantung dengan cara non-invasif seperti dengan pemeriksaan ekokardiografi, multislice CTscan, kardiologi nuklir dan sebagainya, penyadapan jantung masih memegang peranan penting untuk mengevaluasi anatomi dan fisiologi jantung dan pembuluh darah. Penyadapan jantung ialah suatu tindakan invasif, di mana kateter dimasukkan ke dalam vena atau arteri perifer dan kemudian didorong sampai ke berbagai tempat di jantung atau pembuluh darah. Melalui kateter tersebut dapat diukur tekanan darah baik di arteri, vena, serambi jantung (atrium) baik kiri atau kanan, bilik jantung (ventrikel) kiri atau kanan maupun pembuluh darah besar seperti aorta, arteri pulmonalis, tergantung apa yang mau diperiksa. Melalui kateter tersebut dapat diperiksa saturasi oksigen di ruangan jantung maupun pembuluh darah tadi. Melalui kateter tersebut juga dapat disuntikkan bahan kontras yang radio opak, sehingga pembuluh darah besar dan ruanganjantung dapat di visualisasi secara radiologis. Dengan penyadapan jantung dapat diperoleh data hemodinamik maupun data radiologis (angiografi) untuk tujuan diagnostik. Ada dua macam cara untuk memasukkan kateter ke dalam pembuluh darah, yaitu dengan cara Seldinger di mana kateter dimasukkan secara perkutan ke dalam pembuluh arteri atau vena baik di daerah femoral (arteri femoralis atau vena femoralis). Kateter juga dapat dimasukkan melalui arteri brakialis dan vena cubiti; akhirakhir ini mulai banyak dipakai arteri radialis untuk kateterisasi jantung kiri. Yang kedua dengan insisi terutama untuk pembuluh darah lengan, tapi akhir-akhir ini cara insisi pembuluh darah hampir tidak pernah dipakai. Hampir
semua pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan kateter secara perkutan. Untuk penyadapan jantung dibutuhkan alat image intensiJier dan cine angiography, kateter, transduser untuk mengukur tekanan jantung dan oksimeter untuk mengukur saturasi oksigen. Tindakan penyadapan dilakukan dengan anestesi lokal dan sedikit obat penenang, tetapi pada anak seringkali dibutuhkan anestesi umurn.
INDlKASl PENYADAPAN JANTUNG
'
Untuk memastikan dan menentukan beratnya penyempitan, lokasi penyempitan dan banyaknya penyempitan pembuluh koroner pada penyakitjantung koroner yang membutuhkan tindakan operasi bypass atau tindakan intervensi. Untuk menentukan beratnya kelainan katupjantung, baik beratnya stenosis ataupun beratnya insufisiensi katup jantung, sebelum dilakukan pembedahan jantung, sehingga bisa ditentukan sebelumnya apakah pasien membutuhkan penggantian katup atau perbaikan katup saja. Untuk menentukan faal ventrikel kiri. Untuk menentukkan perubahan anatomi jantung pada penyakit jantung kongenital yang akan dilakukan tindakan operasi.
KOMPLlKASl PENYADAPAN JANTUNG Komplikasi yang dapat terjadi misalnya perdarahan atau hematoma pada tempat masuknya kateter, infeksi, reaksi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
pirogen, hipotensi, reaksi vagal, hipertensi, trombosis, emboli, perforasi pembuluh darah, perforasi miokardium, alergi terhadap kontras, mual sampai muntah tapi dengan kontras non-ionik yang banyak dipakai sekarang, komplikasi makin berkurang. Bahkan akhir-akhir ini dari pengalaman kami komplikasi dapat dikatakan sangat minimal. Gangguan irama jantung juga dapat terjadi seperti takikardia sinus ,bradikardia sinus , ekstrasistol ventrikel, takikardia ventrikel , fibrilasi ventrikel ,ekstrasistol atrial dan fibrilasi atrial. Komplikasi urnumnya ringan dan tidak membahayakan; dikatakan angka kematian bervariasi dari 0,07% sampai 0,14%.
PENYADAPAN JANTUNG KANAN Kateter dimasukkan melalui vena femoralis ataupun melalui vena di lengan secara per kutan (metoda Seldinger), dan dengan kontrol fluoroskopi kateter dapat didorong ke vena kava inferior superior, atrium kanan, ventrikel kanan, arteri pulmonalis, sampai ke posisi wedge. Tekanan darah dan saturasi oksigen tiap ruangan dapat diperiksa. Kateter dari atrium kanan dapat masuk ke atrium kiri melalui foramen oval atau bila ada defek septal atrial. Melalui kateter juga dapat disuntikkan bahan kontras radio-opaque untuk melihat ruangan jantung kanan dan pembuluh darah paru.
PENYADAPANJANTUNG KlRl Pada penyadapan jantung kiri kateter dapat dimasukkan ke dalam pembuluh arteri melalui arteri femoralis atau arteri brakialis secara per kutan. Kateter dengan kontrol fluoroskopi dapat didorong ke aorta lalu ke dalam ventrikel kiri melalui katup aorta. Melalui kateter dapat diukur tekanan dan saturasi oksigen di aorta dan ventrikel kiri. Melalui kateter dapat disuntikkan kontras radio-opaque dan dilakukan pemotretan aorta dan ventrikel kiri secara radiologis. Pernotretan aorta atau aortografi digunakan untuk melihat apakah ada kelainan aorta atau katup aorta.misalnya apakah ada insufisiensi aorta, dilatasi aorta, aneurisma aorta dan koarktasio aorta. Sedangkan pemotretan ventrikel kin atau lefi ventriculography (ventrikulografi kiri)dilakukan dengan menyuntikkan kontras radiologi di ventrikel kiri dan pemotretan dalam projeksi right anterior oblique (RAO) dapat dipakai untuk mengevaluasi faal ventrikel kiri. (Gambar 5,7) Dalam keadaan normal 50% sampai 80% darah dalam ventrikel kiri dapat dipompa keluar, fraksi ejeksi (ejection ji-action) antara 50% sampai 80%. Dari left ventriculograj dalam posisi RAO juga dapat dilihat adanya aneurisma ventrikel kiri, trombus di ventrikel kin, biasanya terletak didaerah apeks, dan adanya insufisiensi mitral di mana tampak aliran darah dari ventrikel ke atrium pada masa sistol.
(Gambar5). Ventrikulografi kiri dalam projeksi left anterior oblique (LAO) untuk melihat adanya defek septal ventrikel. (Gambar 6) ARTERIOGRAFI KORONER: (GAMBAR 2,3)
Pemeriksaan arteriografi koroner untuk menentukkan letak dan beratnya stenosis dari pembuluh darah koroner. Kateter didorong sampai di muara arteri koroner, dan secara selektif disuntikkan bahan kontras radio-graphic ke dalam pembuluh koroner dan dilakukan pemotretan dengan alat cine-angiografi, sehingga pembuluh koroner sampai ke cabang-cabangnya dapat divisualisasi. Setiap pembuluh koroner dilihat dari berbagai projeksi untuk mengurangi overlapping dan lebih akurat dalam menentukan beratnya penyempitan. Projeksi yang lazim dipakai left anterior oblique (LAO), right anterior oblique cranial (RAO kranial), posteroanterior caudal (PA caudal) untuk pembuluh darah koroner kiri sedangkan urituk pembuluh darah koroner kanan dipakai projeksi LAO, RAO dan PA kranial. Ada 2 macam cara melakukan arteriografi koroner yaitu metode Sones dengan memakai kateter Sones biasa dilakukan melalui arteri brakialis sedangkan metode Judkins dengan kateter Judkins melalui arteri femoralis. Belakangan melalui arteri brakialis juga dipakai kateter Judkins maupun kateter multipurpose. Akhir-akhir ini banyak juga dipakai arteri radialis. Dengan arteriografi koroner, lokasi, beratnya dan morfologi tempat penyempitan dapat dianalisis dengan baik, dan hasilnya penting untuk menentukan apakah pasien membutuhkan bedah pintas koroner atau tindakan intervensi dengan memakai dasar kateter. (Gambar 2 dan 3)
INDlKASl ARTERlOGRAFl KORONER lndikasi arteriografi koroner di unit karni: Pasien dengan angina pektoris stabil ataupun tak stabil Pasien dengan exercise test yang positif Pasien dengan infark jantung akut maupun infark lama
PENGUKURANCURAH JANTUNG (CARDIAC OUTPUT) Curah jantung secara rutin dapat diukur pada waktu penyadapan jantung kiri. Pengukuran curah jantung tidak saja penting untuk menentukan faal ventrikel kiri, tapi juga penting untuk menghitung luas katup jantung. Tetapi akhirakhir ini dengan kemajuan pemeriksaan ekokardiogarfi, tindakan untuk mengukur curah jantung secara non invasif cukup dapat diandalkan. Cara memeriksa curah jantung pada waktu penyadapan jantung adalah sebagai berikut:
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENYADAPANJANTUNG (CARDIAC CATHETERIZATION
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Metoda Fick: Curah jantung diperoleh dengan memeriksa konsumsi oksigen dibagi dengan perbedaan oksigen (oksigen content) di arteri dan vena. Curah jantung normal sampai 4.8 L/min/m2. Metoda dengan termodilusi maupun dengan indocyanide green sudah jarang dipakai Angiografi Paling banyak dipakai karena dapat dilakukan pada waktu melakukan penyadapan jantung kiri. Pada waktu membuat ventrikulografi kiri dapat diukur aksis yang panjang dan pendek dari ventrikel kiri pada masa sistol dan diastol, sehingga volume ventrikel kiri pada masa sistol atau diastol dapat dihitung sehingga curah jantung juga dapat diketahui.
LUAS KATUP Luas katup dapat dihitung dengan menggunakan rumus dari Gorlin: Untuk menggunakan rumus Gorlin perlu diketahui: Cardiac output Perbedaan tekanan (pressure gradient) pada katup yang mau dihitung luasnya. S~stolicejection period atau diastolic Jilling period tergantung dari katup yang mau diukur luasnya. Rumus untuk menghitung luas katup:
Luas katup (atrioventrikular)= Cardiac output DiastolicJillingperiod x heart rate K ( 3 1 ) x mean diastolic gradient
I Luas katup semilunar) = Cardiac ouput Systolic ejection period x heart rate K(44.5) x mean systolic Gradient.
I
SHUNT Pada penyakit jantung kongenital, dilakukan pemeriksaan oksigen saturasi di vena kava, atrium kanan, ventrikel kanan, dan arteri pulmonalis sedangkan untuk sistem jantung kiri juga diperiksa saturasi di aorta dan ventrikel kiri. Akan ada kenaikan saturasi oksigen pada tempat yang ada shunt dari kiri ke kanan, makin besar kenaikan saturasi menunjukkan shunt juga makin besar. Misalnya adanya kenaikan saturasi oksigen di atrium kanan sebesar 4% atau lebih menunjukkan adanya shunt dari kin ke kanan di tingkat atrium karena defek septal atrial, sedangkan adanya kenaikan saturasi di ventrikel kanan sebesar 3% atau lebih menunjukkan adanya shunt dari kiri ke kanan di tingkat ventrikel seperti pada defek septal ventrikel. Adanya
kanaikan saturasi oksigen sebesar 2% di arteri pulmonalis menunjukkan ada shunt dari aorta ke arteri pulmonalis seperti padapatent duktus arteriosus. Sedangkan bila ada penurunan saturasi oksigen di sistem jantung kiri maka ada shunt dari kanan ke kiri. Besarnya shunt biasanya didasarkan atas perhitungan: Pulmcnary flmv = Systemic antery 0 2 sahnasi - Systanic venous 0 2 sahnasi
Systemicflow Pu!m~ciliayOZsatumi-PubncmyvemtsOZs&nasi i . .. ..--- ----.--. --.. .-.... .. -.-... ..- ..-.J
Contoh data yang diperoleh dari penyadapan jantung pada pelbagai macam kelainan jantung Stenosis mitral. Pada stenosis mitral tekanan di atrium kiri lebih tinggi dari ventrikel kiri pada masa diastol, sehingga ada perbedaan tekanan di atrium kiri dan ventrikel kiri yang disebut "gradient katup mitral". (lihat gambar 1)Makin tinggi perbedaan tekanan tersebut makin berat stenosis katup mitral. Luas katup mitral dapat dihitung dengan rurnus Gorlin. Dari ventrikulografi kiri dapat dilihat pergerakan katup mitral, adanya kalsifikasi pada katup mitral dan apakah ada kebocoran pada katup mitral. Faal ventrikel kiri juga dapat dinilai dan kadang dapat dinilai apakah ada trombus di atrium kiri. Adanya hipertensi pulmonal juga dapat dinilai dengan mengukur tekanan di arteri pulmonalis. Insufisiensi mitral (Gambar 10). Adanya insufisiensi mitral dapat diduga bila dari pemeriksaan grafik rekaman tekanan di posisi wedge dari arteri pulmonalis yang menggambarkan tekanan di atrium kiri menunjukkan adanya gelombang v yang besar. Kebocoran dari katup mitral dapat dengan mudah dilihat dari pemeriksaan ventrikulografi kiri, di mana akan tampak aliran kontras dari ventrikel kiri ke atrium kiri pada waktu sistol. Dari ventrikulografi juga dapat dinilai besamya dan faal ventrikel kiri. Stenosis aorta (Gambar 4). Diagnosis stenosis aorta ditegakkan bila ada perbedaan tekanan sistolik di ventrikel kiri dibandingkan dengan tekanan sistolik di aorta (tekanan sistolik di ventrikel kiri lebih tinggi dari tekanan sistolik di aorta, dalam keadaan normal tekanan sistolik di ventrikel kiri dan aorta sama) Makin tinggi perbedaan tekanannya makin besar stenosisnya. Luas katup aorta dapat dihitung dengan rumus Gorlin. Dari pemeriksaan aortografi dapat dilihat bentuk katup aorta, pergerakannya, adanya kalsifikasi dan apakah ada insufisiensi aorta. Insufisiensi aorta: (Gambar 8,9). Pada insufisiensi aorta adanya kebocoran katup aorta dapat dilihat dari pemeriksaan aortografi. Bentuknya katup aorta, dan beratnya insufisiensi juga dapat ditentukan. Faal ventrikel kiri juga dengan mudah dapat dilihat. Defek septal ventrikel: (Gambar 6). Adanya defek septal ventrikel (VSD) dapat diketahui karena adanya kenaikan saturasi oksigen di ventrikel kanan dibandingkan dengan atrium kanan. Dari pemeriksaan ventrikulografi kiri tampak adanya aliran kontras dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
melallai septum intementrikularis (posisi JefJ anterior oblique). (Gambar 6) Lokasi VSD juga dapat ditentukan. Ftow ratio dapat dinilai dan tekanan di arteri pulrnonalis dapat diukur apakah sudah ada hipertensi pulmonal. Biasanya dianjurkan tindakan operasi penutupm VSD bila flow ratio lebih dari 1.5.
I
-
Tabel 1. Nilai Normal Tekanan (mm Hg) dan Parameter m , ,.i
Atr~urnkanan Mean (rerata) Gelombang a Gelombang v Ventrikel kanan Sistolik Diastolik akhir A. pulmonalis Sistolik Diastolik Rerata Atrium kiri Sistolik Diastolik akhir Cardiac index Stroke volume Systemic vascular resistance Stroke volume index Total pulmonary vascular resistanc
Gambar 2 Left coronary anglogram menunjukkan penyempiian 90% 61pembuluh CAD (LeR antenor descend~ng)
= 100- 140 =3-12 = 2.6 - 4.2 11minlrn = 30 - 65 m1/m2 = 700 - 1600 dynes sec m5 = 30 - 65 ml/m2 = 100 - 300 dynes sec m5
Gambar 3. Gambar menunjukkan angiogram pmbuluh koroner kanan (RCA=rrgllf coronary artery), menudukkan 100% blok. Angiografi dilakukan pada pasien infark akut bagian inferior kurang dari 6 jam. Pasirn juga mendapat pacujantung sementara karena ada AV blok
Gambar 1. Pada gambar dl atas dapat dlllhat kurva tekanan dl posls~wedge (PCWP= pulmonary cap~llarywedge pressure) dan kurva tekanan dl ventr~kelk l r ~yang dlrekam bersama-sama Tampak tekanan dl posls~wedge leb~htlnggl dar~ventr~kelklr~ pada masa d~astol,dengan perbedaan tekanan pada akhlr d~astol ( gradlent katup m~tral) sebesar 20 mmHg Tekanan dl posls~ wedge ( PCWP ) menggambarkantekanan dl atr~umklr~Adanya perbedaan tekanan antara PCWP dan ventr~kelklr~menunjukkan adanya stenos~skatup m~tral,makln tlngg~perbedaannya makln berat derajat stenos~skatup m~tral
Oambr 4. Gambar menunjukkan kuwa tekanan di ventfikel kiri dan di aorta, dj mana tekanan sistolik di ventrikei tinggi jauh lebih tinggi dari tekanan sistolik di aorta, didapatkan perbedaan tekanan sarbesar 130 mmHg (tekanan sistolik di ventrikel k n 140 mmHg dan di @orb110 mmHg). Kurva tekanan diatas menunjukkanaorta stenos~sbewt. Perbedaan tekanan di katup aorta menunjukkn adanya aorta stenesis, makin besar beda tekanan makin berat stenosisnya.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENYADAPAN JANTUNG (CARDIAC CATHETERIZATION)
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gambar 5. Ventrikulografi kiri menunjukkan adanya hlpokinetik didaerah anteroapical Gambar 9. Aortografi dalam posisi LAO menunjukkan aorta asendens yang melebar dan tampak adanya kontras yang mengalir dari aorta ke ventrikel kiri pada masa diastol, menunjukkan adanya insufisiensi aorta.
Gambar 6. Ventrikulografi kiri pada pos~siLAO menunjukkan kontras yang disuntikkan di ventr~kelklri ada yang mengalir ke ventrikel kanan melalu~defek septa1 ventrikel Gambar 10. Ventrikulografi kiri pada posisi RAO menunjukkan ventrikel kiri agak membesar dan faal sistolik masih baik, dan didapatkan insufisiensi mitral, dapat dilihat kontras mengalir dari ventrikel kiri ke atrium kir~pada masa sistol.
REFERENSI
Gambar 7. Ventrikulografi kiri pada posisi RAO pada pasien dengan faal ventr~kelyang normal
Bairn 1)s. (irocvnail W:
G a m b a r 8. Aortografi pada poslsi RAO menunjukkan aorta mempunyai 3 daun dan tidak ada insufisiensi aorta.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1571
PENYADAPAN JANTUNG (CARDIAC CATHETERIZATION)
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
I
didasrah anteroaoical
Gambar 9. Aortoarafi dalam posisi LAO menunjukkan aorta asendens yang melebar d a n tampak adanya kontras yang menaalir dari aorta ke ventrikel kiri pada masa diastol, menunjukkan adanya insufisiensi aorta.
-
Gambar 6. Ventrikulografi kiri pada posisi LAO menunjukkan kontras yang disuntikkan di ventrikel kiri ada yang mengalir ke ventrikel kanan melalui defek septa1 ventrikel Gambar 10. Ventrikulografi kiri pada posisi RAO menunjukkan ventrikel kiri agak membesar dan faal sistolik masih baik, dan didapatkan insufisiensi mitral, dapat dilihat kontras mengalir dari ventrikel kiri ke atrium kiri pada masa sistol.
REFERENSI Ventrikel kid, pada saat diastole
Vcntrlkel ktri. pada mas8 sistole
Gambar 7. Ventrikulografi kiri pada posisi RAO pada pasien dengan faal ventrikel yang normal
Baim DS, Grossman W: Grossman's Cardiac Catheterization, Angiography and Intervention. 61h edition Baltimore. Lippincot, William Wilkins 2000. Davidson CJ et al: Cardiac catheterization, in Heart Disease, 6Ih ed. E Braunwald (ed), Philadelphia, Saunders, 2001.
Gambar 8. Aortografi pada posisi RAO menunjukkan aorta mempunyai 3 daun dan tidak ada insufisiensi aorta.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
INTERVENSI KORONER PERKUTAN T. Santoso
ANGIOPLASTI KORONER PERKUTAN Angioplasti koroner diperkenalkan oleh Andreas Gruentzig sebagai tindakan revaskularisasi koroner non-bedah pada tahun 1977. Tindakan angioplasti koroner ini lazim dinamakan percutaneous transluminal coronary angioplasfy (PTCA). Pada waktu itu teknik yang dipakai hanyalah menggunakan balon yang dimasukkan ke pembuluh koroner yang stenotik, setelah itu balon dikembangkan dan dengan demikian stenosis menghilang atau amat berkurang, lalu balon dikempiskan dan dikeluarkan. Teknik ini dapat amat efektif, tetapi kadangkadang dapat menyebabkan komplikasi seperti oklusi arteri mendadak akibat diseksi dan infark jantung akut5.Teknik angioplasti koroner berkembang pesat sejak diperkenalkannya penggunaan "alat-alat baru" yang bukan hanya menaikkan angka keberhasilan angioplasti koroner tetapi juga amat menurunkan risiko tindakan. Dengan perkembangan ini maka istilah PTCA menjadi diperluas dan pada saat ini lazim disebut "intervensi koroner perkutan" atau percutaneous coronary intewention (PCI). Salah satu "alat baru" yang amat bermanfaat adalah stent. Pada masa sekarang, PTCA mumi sudah jauh lebih jarang dilakukan, karena pada umumnya dilakukan pemasangan stent.
STENT
PTCA selalu menyebabkan trauma pada dinding arteri, terutama dapat menyebabkan robekan dinding pembuluh atau diseksi. Makin besar alat atau tekanan dipakai, maka trauma yang diakibatkannya makin besar, bukan hanya sebatas intima atau plak, tetapi dapat lebih dalam mencapai media atau bahkan adventisia. Trauma ini akan mencetuskan terjadinya proses penyembuhan dan
akhimya dinding pembuluh akan dilapisi endotel normal kembali. Akan tetapi pasca PTCA, reaksi penyembuhan ini dapat terjadi dalam bentuk remodelling, elastic recoil danlatau hiperplasia neointima. Negative remodelling, elastic recoil dan hiperplasia neoinitma ini akan menyebabkan terjadinya restenosis. Karena itu dikembangkan penggunaan stent. Stent dapat dipakai untuk mengatasi komplikasi akut seperti hasil dilatasi yang suboptimal, diseksi oklusif dan infark jantung akut yang dapat terjadi sebagai akibat dari' ini. Stent dapat pula menghambat negative remodeling dan elastic recoil, sehingga penggunaan stent akan mengurangi restenosis. Stent pertama kali dipakai pada manusia oleh Puel di Toulouse dan Sigwart di Lausanne. Stent merupakan struktur metal yang dapat menyangga pembuluh darah supaya tetap terbuka. Secara garis besar, ada stent dalam bentuk self-expanding stent di mana dent terbungkus dengan membran dimasukkan ke lesi stenotik dalam bentuk belum terkembang, lalu dengan menarik membran, maka stent terbuka. Kemudian dapat dilakukan optimalisasi dengan balon. Akan tetapi kebanyakan stent yang sekarang dipakai adalah bentuk balloon expandable stent. Di sini stent dalam keadaan belum terkembang ditempel pada balon sedemikian sehingga profilnya kecil dan dapat dimasukkan ke lesi stenotik. Setelah sampai di tempat target, stent dipasang dengan mengembangkan balon. Kemudian balon dikempiskan dan stent ditinggal di dalam. Sering diperlukan preparasi lesi stenotik untuk memudahkan penempatan dan pemasangan stent di tempat lesi, urnumnya dengan melakukan predilatasi dengan balon (balon biasa atau balon khusus seperti cutting balloon) atau tindakan ajungtif lain seperti rotablasi atau aterektomi. Pasien yang menjalani pemasangan stent umumnya diberi 2 jenis obat antiplatelet untuk mencegah trombosis stent, minimal satu bulan. Pada waktu stent pertama kali dipakai pada manusia,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
INTERVENSl KORONER PERKUTAN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI penggunaan stent ternyata dapat menyebabkan komplikasi trombosis akut atau subakut, yang dapat mengakibatkan terjadinya infark jantung akut dan kematian. Kemudian diketahui, bahwa terjadinya trombosis amat tergantung pada hasil pemasangan stent. Karena itu pada waktu pemasangan stent haruslah diyakini bahwa hasilnya hatus optimal. Colombo membuktikan, bahwa komplikasi ini dapat amat dikurangi dengan melakukan dilatasi balon dengan tekanan tinggi, dan dibuktikan dengan intravascular ultrasound (IWS). Penggunaan stent terbukti dapat menekan terjadinya restenosis akibat PTCA. Selain itu stent juga amat berguna untuk mencegah oklusi pembuluh akut seperti misalnya akibat diseksi, serta untuk menyempurnakan hasil PTCA yang masih suboptimal. Penyelidikan BENESTENT dan STRESS membuktikan, bahwa penggunaan stent lebih superior dibandingkan PTCA dalam kaitan dengan restenosis dan "eventfiee survival". Sejak itu minat orang terhadap pemasangan stent menjadi amat besar (stent frenzy). Stent menjadi amat sering dipasang dengan indikasi yang amat luas untuk tatalaksana stenosis yang bahkan tidak termasuk dalam lesi yang diselidiki pada penyelidikan-penyelidikan tersebut. Restenosis setelah pemasangan stent lebih kecil daripada restenosis pasca PTCA, yaitu sekitar 10-18%, walaupun untuk lesi-lesi kompleks angka ini dapat lebih tinggi lagi. Berbagai faktor berpengaruh terhadap terjadinya restenosis. Faktor klinik seperti diabetes melitus, atau angina tak stabil akan menaikkan angka restenosis. Faktor tindakan antara lain pemasangan stent yang kurang sempurna (misalnya aposisi stent ke dinding kurang sempurna), atau diseksi yang tak diatasi juga mempermudah terjadinya restenosis. Morfologi lesi juga amat berpengaruh, termasuk yang menaikkan kecenderungan restenosis misalnya lesi yang panjang atau difus, oklusi total, diameter pembuluh kecil, lesi ostial, lesi restenotik, serta lesi pada pembuluh gra3 saphena. Untuk menilai apakah pemasangan stent sempurna dapat dilakukan pemeriksaan I W S , angioskopi,fiactionalflow reserve (FFR) atau coronaryJow reserve (CFR), akan tetapi pemeriksaan ini tidak mutlak lagipula menaikkan biaya tindakan. Perbandingan antara PC1 dan operasi pintas koroner (coronavy artery bypass surgery, CABG) diselidiki pada 13 penyelidikan yang mencakup 7964 pasien. Pada kurun waktu pemantauan 1, 3 sampai 8 tahun, tidak ditemui perbedaan angka kematian antara kedua kelompok terapi revaskularisasi tersebut. Penggunaan stent ternyata banyak memberi manfaat. Pada penyelidikan-penyelidikan terdahulu di mana stent belum dipakai, ditemui kecenderungan bahwa CABG lebih baik daripada PC1 pada tahun ketiga; ha1 mana tidak ditemui lagi setelah dipakai stent. Kecenderungan bahwa CABG lebih baik daripada PC1 hilang walaupun mortalitas akibat CABG menurun dari
5.2% menjadi 3.5% padapenyelidikan-penyelidikandi mana stent sudah mulai dipakai. Penggunaan stent menurunkan risko tindakan revaskularisasi ulang (target lesion revascularization, TLR) sampai setengahnya. Selain itu baik stent maupun CABG sama baik memperbaiki keluhan pasien (angina). Untuk kelainan banyak pembuluh ("multivessel disease". MVD) ada beberapa penyelidikan penting perbandingan PC1 dengan stent dan CABG. Pada penyelidikan ARTS (Arterial Revascularization Therapy Study) diacak 1205 pasien untuk menjalani pemasangan stent atau CABG. Setelah satu tahun, tidak ada perbedaan dalam angka kematian atau infark jantung, walaupun demikian kelompokstent lebih sering menjalani TLR. Pada penyelidikan ERACI I1 (Argentine Randomised Study of Stents versus CABG in Multivessel Disease) angka harapan hidup bahkan lebih baik pada kelompok stent (97.4 vs 92.5 persen; p<0.015) dan pula angka bebas serangan infark jantung juga lebih baik pada kelompok stent (97.7 vs 93.4 persen; p<0.017), tetapi kebutuhan TLR lebih sering diperlukan pada kelompok stent, walaupun biaya keseluruhan untuk kedua kelompok sama. Pada penyelidikan SoS (Stent assisted PC1 versus CABG in multivessel coronary artery disease), angka mortalitas dan infarkjantung sama banyak pada kedua kelompok PC1 atau CABG TLR diperlukan lebih sering pada kelompok PCI.
DRUG-ELUTING STENT Dengan makin luasnya pemakaian stent, problem utama PC1 yang sulit dipecahkan adalah restenosis. Stentmemang menurunkan kekerapan restenosis, tetapi hiperplasia neointima tetap terjadi. Penggunaan obat sistemik ternyata tidak memberi hasil baik. Salah satu usaha untuk mengatasi ini adalah dengan memberikan radiasi intrakoroner. Tindakan ini lazim dinamakan brakiterapi (brachytherapy). Upaya lain yang kemudian ternyata memberi hasil amat memuaskan adalah penggunaan drug-eluting stent (DES). Pada prinsipnya, DES merupakan stent yang bersalut obat. Obat yang dipakai harus mempunyai efek antiproliferatif dan antiinflamasi, sehingga dapat menekan hiperplasia neointima. Dengan demikian secara teoretis, obat yang potensial toksik bila diberikan secara sistemik dapat diberi secara lokal dalam konsentrasi yang amat kecil, tetapi efektif dan lebih aman. Supaya obat dapat menempel pada stent diperlukan polimer. Polimer berfungsi sebagai pengangkut obat dan setelah stent dipasang obat akan mengalami difusi secara perlahan masuk ke dinding pembuluh. Hasil jangka panjang tergantung dari reaksi tubuh (pembuluh) terhadap polimer dan obat dan juga terhadap stent itu sendiri. Penyelidikan-penyelidikan terdahulu dengan stent bersalut emas, juga dengan QuaDS stent, aktinomisin, dan batimastat, ternyata gaga1 karena
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI DES ini lebih menyebabkan reaksi prolifersi, peradangan (inflamasi), atau lebih trombogenik daripada stent biasa (bare metal stent, BMS) DES yang kemudian ternyata memberikan hasil baik adalah sirolimus-eluting stent (SES) dan paclitaxel-elutingstents (PES). Hal ini terbukti dari banyak penyelidikan seri kasus atau penyelidikan acak yang telah dilakukan dan dipublikasi. (Tabel 1) Penyelidikan pertama pada manusia dengan SES dilakukan pada 45 pasien di Sao Paolo, Brazilia dan Rotterdam, Negeri Belanda. SES ternyata dapat hampir sempurna menghambat proliferasi neointima pada pemantauan setelah 4 bulan. Selanjutnya pemantauan setelah 1 dan 2 tahun menunjukkan bahwa penekanan hiperplasia neointima ini menetap, dibuktikan baik dengan I W S atau "quantitative coronary angiography (QCA). Pada penyelidikan Randomized Study With the Sirolimus-Eluting Bx Velocity Balloon-Expandable Stent (RAVEL) trial, 238 pasien secara acak mendapat stent biasa (BMS) atau SES. Setelah 6 bulan, restenosis temyata 26% pada kelompok BMS dan 0% pada kelompok SES. Selain itu tak ditemui trombosis subakut dengan kombinasi 2 obat anti-platelet. Pada pemantauan 1 tahun kekerapan kejadian koroner mayor (major adverse cardiac events, MACE) 29% pada kelompok BMS dan hanya 5,8% pada kelompok SES. Perbedaan ini terutama disebabkan oleh rendahnya kebutuhan revaskularisasi ulang pembuluh target ("target vessel revascularization", TVR). Pada RAVEL, setelah 3 tahun dapat dipantau 114 pasien pada kelompok BMS dan 113 pasien pada kelompok SES. Dilaporkan TVR 11,4% pada kelompok SES dibandingkan dengan 33,6% pada kelompok BMS. Data ini jelas membuktikan bahwa hasil baik pemasangan SES dapat dinikmatijangka panjang serta menurunkan kebutuhan tindakan revaskularisasi ulang. Penyelidikan SIRIUS (Sirolimus-Eluting Balloon Expandable Stent in the Treatment of Patients With De Nova Native Coronary Artery Lesions) melibatkan 1058 pasien yang diacak menjalani pemasangan stent biasa (BMS) atau SES pada 53 senter. Kohort ini melibatkan juga pasien diabetes melitus (26%), kelainan yang lebih panjang (rerata 14,4 mm)dan diameter pembuluh lebih kecil (rerata2,8 mm) dibandingkan dengan populasi RAVEL. Sekali lagi terbukti bahwa kelompok SES mengalami MACE pada kurun waktu pemantauan 270 hari yang lebih rendah dari kelompok BMS (7,1% vs 18,9%), dan ha1 ini terutama karena kebutuhan untuk TLR lebih rendah pada kelompok SES dibandingkan kelompok BMS (4,1% vs 16,6%). Dengan evaluasi QCA dan IVUS dibuktikan bahwa mekanisme efek baik tersebut adalah karena proses hiperplasia neointima dapat ditekan. Selanjutnya penyelidikan RESEARCH dan T-SEARCH (Rapamycin-Eluting and TAXUS Stent Evaluated At Rotterdam Cardiology Hospital) pada Thoraxcenter, Rotterdam, Negeri Belanda, membuktikan keamanan penggunaan SES pada pasien sindrom koroner akut,
termasuk STEMI. Penyelidikan di Rotterdam tersebut juga menunjukkan bahwa SES potensial juga baik dipakai untuk memperbaiki restenosis setelah pemasangan stent ("instent restenosis"). Pada penyelidikan lain di mana 368 pasien dengan 735 lesi stenotik menjalani pemasangan 841 stent, restenosis >50% hanya ditemui pada 11 pasien dan pada semua pasien dalam bentuk fokal (bentuk restenosis paling ringan dan paling mudah diperbaiki). Harus ditambahkan bahwa pada seri ini stent dipasang pada lesi yang relatif panjang (17,?8 + 12,19 mm) dan anatomi lesi yang lebih kompleks, di mana biasanya angka restenosis dengan BMS arnat tinggi. Untuk PES, penyelidikan pertama yang dilakukan adalah TAXUS-I di mana dipakai "paclitaxe1,polymer;NIR stent system". Sejumlah 61 pasien diacak mendapat BMS atau PES. Setelah dipantau 12 bulan, angka MACE adalah 3% (1 kejadian) pada kelompok TAXUS dan 10% (4 kejadian pada 3 pasien) pada kelompok BMS dan tidak ditemui trombosis stent subakut. Walaupun perbedaan ini tidak mencapai kemaknaan statistik, diameter lumen minimal ("minimal luminal diameter", MLD) secara bermakna lebih baik pada kelompok TAXUS. Penyelidikan ASPECT melibatkan 177 pasien dengan lesi pendek (kurang dari 15 mm), dan "ideal" (diameter pembuluh 2.25 sampai 3.5 mm) dan secara acak mendapat BMS Cook Supra-G atau PES di mana dipakai 2 macam dosis. Penilaian penyelidikan ini agak sulit karena dipakai 3 macam regimen obat anti-platelet. Restenosis terjadi sebesar 4% pada kelompok PES dosis tinggi, 12% pada kelompok PES dosis rendah dan 27% pada kelompok BMS. Pada evaluasi IVUS, terbukti bahwa pada kelompok PES hiperplasi neointima dapat ditekan. Penyelidikan TAXUS IV merupakan penyelidikan prospektif, acak ganda tersamar "slow-release; polymer-basedpaclitaxel-NIRstent system pada 73 senter di Amerika. Sejumlah 1314 pasien dengan lesi pembuluh koroner berdiameter antara 2,5 sampai 3,75 mrn dan panjang 10 sampai 28 mm diacak untuk mendapatkan BMS atau PES. Pada pematauan 9 bulan, walaupun angka kematian, infark jantung, atau trombosis stent subakut tak berbeda antara kelompok BMS dan PES (0,8% vs. 0,6%), restenosis pada angiografi amat menurun dengan penggunaan PES dibandingkan BMS (7,9% dibandingkan 26,6%). Atas dasar hasil baik ini FDA menyetujui penggunaan PES di Amerika. TAXUS I11 merupakan penyelidikan registri yang memperlihatkan bahwa PES ini potensial dapat dipakai untuk pengobatan instent restenosis. Penyelidikan perbandingan (REALITY, SIRTAX) antara SES dan PES tidak memperlihatkan perbedaan bermakna (M.C. Morice, presentasi oral, American College of Cardiology Scient$c Session, Orlando, Fla, Maret 2005; S. Windecker, presentasi oral, American College of Cardiology Scientific Session, Orlando, Fla, Maret 2005). Harus diingat, bahwa kebanyakan penyelidikan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1575
INTERVENSI KORONER PERKUTAN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI melibatkan pasien dengan angina stabil atau tak stabil, stenosis 5 1-99%, diameter pembuluh 2,75-3,5 mm, panjang lesi 15-30 mm. Pada kebanyakan penyelidikan tidak dimasukkan pasien dengan infark akut kurang dari 48 jam, fraksi ejeksi kurang dari 0,25, riwayat atau dalam rencana akan dilakukan brakiterapi, riwayat PC1 pada'lesi sama, kelainan atau penyakit lain yang akan memperpendek umur, kontraindikasi aspirin, tienopiridin, atau substansi stent, insufisiensi ginjal atau kelainan hematologi. Selain itu termasuk dalarn kondisi yang secara angiografk umumnya dimasukkan dalam kriteria eksklusi adalah: lesi ostium, lesi bifurkasi, lesi unprotected left main, lesi pembuluh graft vena saphena, kalsifikasi berat, trombus, tortuositas berat, dan oklusi pembuluh. Untuk mengevaluasi apakah DES dapat dipakai pada subset kelainan angiografik yang beragam tersebut, Sermys dkk. telah menyelidikinya pada registri RESEARCH dan T-SEARCH. Pada pasien sindrom koroner akut penggunaan DES pada 198 pasien dibandingkan dengan penggunaan BMS pada 301 pasien. MACE termasuk kematian (3,0% vs 3,0%), infark jantungnonfatal(3,0% vs 1,ON), dan TLR (1,0% vs 2,7%) tak berbeda untuk SES dan BMS (total 6,1% vs 6,6%). Lemos menyelidiki penggunaan SES pada 186 pasien STEMI dan dibandingkan dengan 183 pasien STEMI yang mendapat BMS. Pada kurun waktu pemantauan 30 hari, MACE (7,5% vs 10,4%) dan trombosis stent (0% vs 1,6%) tak berbeda antara kelompok SES dan BMS. Setelah 300 hari, TLR (1,1% vs 8,2%) dan MACE (9,4% vs 17,0%) menurun pada pasien yang mendapat SES. Suatu penyelidikan kuantitatif oleh Saia melaporkan angka restenosis 0% pada 6 bulan pada 96 pasien STEMI, dan angka "late loss" turun sampai sebanding dengan angka pada penyelidikan pada pasien stabil dan mempunyai kelainan anatomi yang kurang kompleks. Penggunaan SES pada oklusi total diselidiki oleh Hoye dkk pada 56 kasus yang mendapat SES dibandingkan dengan 28 pasien yang mendapat BMS. Setelah 12 bulan, kekerapan bebas MACE 96.4% pada kelompok SES dan 82.1% dengan BMS (<0,05 dengan log-rank test). Untuk graft vena safena ("saphenous vein g r a y , SVG) lama yang berdegenerasi diselidiki 19 pasien denagn 2 1 lesi yang diberi SES. Temyata TLR dibutuhkan pada 0% dan angka bebas MACE tahun adalah 84%. Penyelidikan-penyelidikan lebih luas penggunaan DES untuk segala macam indikasi dan berbagai subset pasien dan beraneka ragam morfologi lesi ("real world cases") makin banyak dilakukan. Hasilnya memang sebagian masih kita tunggu, akan tetapi dalam praktek karena sebegitu jauh penggunaan DES memberikan hasil begitu baik, DES sering dipakai untuk indikasi diluar dari indikasi yang telah dilakukan pada penyelidikan yang telah selesai (of-label use). Dengan demikian di seluruh dunia pada saat ini kecenderungan untuk operasi pintas koroner telah menurun dengan pesat.
BRAKITERAPI Instent restenosis umumnya terjadi di dalam stent dan sering pula terjadi pada tepi stent. Walaupun angioplasti . balon herupakan cara paling mudah dan aman untuk memperbaiki ha1 ini, angka kekambuhan kembali arnat tinggi. Banyak faktor memudahkan terjadinya restenosis instent : lesi yang panjang (>30 mrn), penggunaan stent panjang, diameter pembuluh kecil(<2,5 mm), diameter pembuluh pasca tindakan kecil, buntu total kronis, lesi ostium atau bifurkasi, adanya diabetes melitus. Pada beberapa penyelidikan, penggunaan brakiterapi intrakoroner dan intra-SVG memberikan hasil yang baik pada penilaian klinik maupun angiografik cukup memuaskan (GAMMA-I,WRIST, LONG-WRIST, START, INHIBIT, SVG-WRIST). Restenosis pada tepi stent merupakan penyulit yang kurang menyenangkan, tetapi dapat dikurangi dengan penggunaan sumber radiasi yang lebih panjang (atau teknik sekuensial, pull-back technique) di mana segment of interest dapat secara efektif diradiasi. Manfaat klinik jangka panjang radiasi dengan penggunaan sinar beta (STARTS')terbukti sama dengan pengunaan sinar gamma (SCRIPS-I, GAMMA-I, WRIST). Untuk radiasi sinar gamma, hasil baik setelah 3 dan 5 tahun telah dilaporkan. Untuk mencegah oklusi pembuluh setelah pemantauan jangka panjang, disarankan penggunaan klopidogrel untuk 1 tahun. Penggunaan brakiterapi amat berkurang sejak diperkenalkannya drug-eluting stent.
CUTTING BALLOON Cutting balloon adalah balon yang mempunyai 3 sampai 4 pisau pemotong tipis yang ditempel secara longitudinalpada balon. Dengan demikian bila dikembangkan, maka plak akan mengalami insisi longitudinal dan diharapkan akan terjadi redistribusi plak yang lebih baik pada dilatasi dengan tekanan yang lebih rendah dibandingkan angioplasti balon biasa. Penyelidikan "cutting balloon global randomized trial" melibatkan 1238pasien dengan de novo stenosis.Akan tetapi hasil ')primary endpoint" dan angka restenosis tidak berbeda antara cutting balloon dibandingkan balon konvensional biasa (3 1,4% vs 30,4%). Dengan demikian hipotesis bahwa dilatasi terkendali dengan cutting balon akan menurunkan angka restenosis tidak terbukti. Pada beberapa penyelidikan dilaporkan bahwa penggunaan cutting balloon mungkin dapat dipakai untuk terapi instent restenosis. Hal mana ternyata tidak terbukti pada penyelidikan RESCUT. Cutting balloon mungkin masih berguna dipakai pada restenosis instent untuk mengurangi terjadinya pergeseran balon waktu dilakukan dilatasi (balloonslippage), sehingga mengurangi trauma. Hal mana berguna untuk menghindari geographical miss bila digunakan bersama dengan brakiterapi.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Ateroma dapat "dihancurkan" menjadi mikropartikel lebih kecil dari eritrosit dengan menggunakan rotablasi. Mata bor dibuat dari platinum dan berlian dan kecepatan yang dipakai umumnya amat tinggi, yaitu antara 140.000-180.000 rpm. Karena dapat terjadi spasme koroner dan "no/slow flow phenomenon", operator hams tahu dengan baik cara menggunakan alat ini (CARAFE Study). Pada penyelidikan COBRA, untuk lesi de novo, penggunaan rotablasi ternyata terbukti tidak mempunyai kelebihan dibandingkan dengan angioplasti balon. Pada penyelidikan STRATAS, rotablasi yang lebih agresif juga tidak terbukti lebih bermanfaat, dan pada penyelidikan CARAT bahkan dilaporkan bahwa tindakan yang lebih agresif dengan bor berukuran lebih besar malahan menyebabkan angka komplikasi lebih tinggi dibandingkan dengan bila dipakai bor ukuran lebih kecil. Rotablasi juga pernah dianggap berguna untuk pengobatan in-stent restenosis, karena difikirkan bahwa ablasi jaringan dengan bor akan lebih efektif dibandingkan dengan hanya kompresi jaringan dengan angioplasti biasa. PenyelidikanARTISTjustru sebaliknya melaporkan bahwa hasil rotablasi pada kondisi ini lebih buruk dibandingkan dengan angioplasti balon biasa. Dipihak lain, penyelidikan ROSTER melaporkan hasil yang lebih baik dan penurunan kekerapan kejadian kardiovaskular buruk (major adverse cardiovascular events) dengan rotablasi dibandingkan dengan angioplasti balon Pada masa sekarang indikasi rotablasi adalah untuk lesi fibrotik atau lesi kalsifikasi yang dapat dilewati dengan guide wire tetapi tak dapat dilewati balon atau tak dapat didilatasi dengan balon sebelum dilakukan pemasangan stent.
DIRECTIONAL CORONARYATHERECTOMY(DCA) Konsep untuk mengeluarkan plak ateroma dengan DCA merupakan konsep yang menarik (daripada hanya sekedar melakukan kompresi plak sebagaimana yang diperoleh bila dilakukan angioplasti balon atau pemasangan stent) dan ha1 ini memicu dilakukannya berbagai penyelidikan. Pada penyelidikan CAVEAT-I dilaporkan angka komplikasi serta biaya yang lebih tinggi bila dilakukan DCA dibandingkan dengan angioplasti balon. Pada CAVEAT-I1 di mana dibandingkan DCA dan angioplasti balon pada SVG tidak didapatkan perbedaan dalam angka restenosis seleah 6 bulan. Pada penyelidikan BOAT, CCAT, dan OARS juga tidak ditemui perbedaan hasil klinik pada kurun waktu pemantauan 18 bulan setelah DCA. Pada penyelidikan AMIGO terdapat perbedaan hasil yang diperoleh bila DCA dilakukan pada institusi yang berbeda, ha1 mana mungkin dapat menerangkan mengapa pada beberapa penyelidikan didapat hasil negatif. Pada saat ini DCA merupakan satu-
satunya cara perkutan untuk mengeluarkan plak ateroma dan jaringan restenosis. Pada era DES indikasi penggunaan DCA amat berkurang, mungkin hanya untuk lesi ostium dan bifurkasi bila dilakukan oleh intervensionis terampil.
ALAT PROTEKSI EMBOLI Pasien yang menjalani PC1 potensial dapat mengalami emboli distal, terutama bila intervensi dilakukan pada SVG. PC1 pada stenosis SVG hams dinilai sebagai tindakan dengan risiko tinggi. Pada meta-analisis 5 penyelidikan, penggunaan obat penghambat glikoprotein IIb/IIIa (GPIIbI IIIa) pada PC1 stenosis pembuluh SVG ternyata tidak terbukti mempunyai manfaat. Demikian pula penggunaan stent bermembran ("membrane-covered stent") tidak menurunkan kejadian klinis akibat emboli distal (STING, RECOVERS, SYMBIOTm). Fenomena no--ow ditandai oleh adanya aliran darah pada jaringan yang tidak mencukupi walaupun pembuluh epikardial telah terbuka. Hal ini dapat disebabkan oleh karena gangguan mikrovaskular, disfimgsi endotel, edema miokardial, atau embolisasi debris ateroma atau trombus. Sebagai akibat dapat terjadi pemburukan hemodinamik. Untuk mengatasi ha1 ini telah diselidiki penggunaan berbagai alat filter atau aspirasi partikel embolik pada pembuluh target.
Alat Proteksi Distal Alat proteksi distal yang terdiri dari balon yang oklusif dan ditempatkan distal dari lesi dan kateter untuk aspirasi (Guard- Wire, PercuSurge) terbukti dapat memperbaiki derajad perfusi miokardium pada PCI-SVG. Pada penyelidikan SAFER '>rimary endpoint" (kematian, infark jantung, operasi pintas koroner darurat, dan TLR pada hari ke-30) amat dikurangi dari 16.5% menjadi 9.6%. Penurunan MACE 42% ini disebabkab terutama karena penurunan infark jantung (14,7% menjadi 8,6%) dan fenomena no-flow (9% menjadi 3%). Jenis lain alat proteksi distal berbentuk filter. Alat seperti ini akan tetap mempertahankan aliran darah selama dipakai karena mempunyai lubang-lubang mikropor. Penyelidikan FIRE membandingkan kedua konsep alat proteksi distal ini pada PC1 SVG, dinilai dengan konsep non-inferioritas. Endpoint gabungan kematian, infarkjantung dan TLR ternyata sama pada kelompok Filterwire EX (9.9%) dibandingkan kelompok GuardWire (1 1.6%). Pada penyelidikan CAPTIVE, alat proteksi emboli Cardioshield tak terbukti mempunyai manfaat non-inferior dibandingkan GuardWire dalam menurunkan emboli pada waktu melakukan PC1 SVG Sistem triaktif merupakan alat proteksi distal yang dikombinasikan dengan alat penghisap. Pada penyelidikan PRIDE, alat ini terbukti tidak inferior dibandingkan dengan GuardWire dan Filter Wire.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1577
INTERVENSIKORONER PERKUTAN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Sayangnya banyak pasien dengan kelainan SVG mempunyai kondisi anatomik yang tidak memungkinkan dipakainya alat proteksi emboli distal. Hasil baik pada PC1 SVG ternyata tak terbukti pada primary PC1 untuk infark jantung akut. Pada penyelidikan EMERALD, luas infark diturunkan menjadi 17% pada kelompok alat proteksi distal dan 16% pada kelompok PCI. Secara singkat, alat proteksi distal dapat disarankan dipakai pada PC1 SVG dan PC1 sindrom koroner akut di mana terdapat beban trombus banyak. Alat Proteksi Proksimal (Alat Penghisap [Suction], Trombektomi)
Salah satu keterbatasan alat proteksi dengan sistem balon atau filter adalah keharusan untuk memasukkan alat tersebut melewati lesi dan ha1 ini dengan sendirinya dapat menyebabkan emboli. Selain itu diperlukan adanya landing zone untuk balon atau filter tersebut. Sebagai alternatif, dapat dipakai alat penghisap atau alat proteksi dengan balon oklusif proksimal. Tindakan paling sederhana tentunya adalah aspirasi trombus dengan guiding catheter yang kadang-kadang dapat dilakukan
Penyelidikan
Tahun
N DESIBMS
::zL2 :
Stent
Dosis
untuk aspirasi trombus dekat dengan ostium. Penggunaan alat AngioJet dinilai pada penyelidikan acak dengan pembanding infus urokinase pada PC1 SVG di mana secara angiogafikjelas tampak trombus (VeGAS-2). Ternyata tidak ditemukan perbedaan dalam kekerapan MACE. Pada penyelidikanAiMI alat AngioJet ini juga tak terbukti dapat mengurangi luas infark. Alat X-Sizer merupakan alat penghisap lain, yang mungkin berguna untuk kasus infark jantung akut. Pada penyelidikanX-Tract, pasien SVG atau pasien dengan lesi trombotik pada pembuluh koroner diacak untuk menjalani pemasangan stent dengan atau tanpa sebelumnya menjalani aspirasi trombus dengan alat X-Sizer. Kekerapan infark jantung pada hari ke-30 adalah 15,8% pada kelompok X-Sizer dan 16,6% pada kelompok kontrol (tak bermakna). Pada analisa subkelompok, tampaknya trombektomi dengan X-Sizer dapat membatasi luas, tetapi tidak mencegah terjadinya mionekrosis. Harapan hidup jangka pendek maupun jangka panjang ternyata tidak dipengaruhi oleh penggunaan alat ini. Pada saat ini alat proteksi distal dapat disarankan dipakai pada lesi dengan kemungkinan emboli besar. Untuk penangan perforasi, disarankan penggunaan PTFE covered stent (graft stents).
Kematian DESIBMS
lnfark jantung DESIBMS
(%I
(%I
Bx-velocity
140 pglcm2
TAD
TAD
15 Rotterdam
Ex-velocity
110 pglcm2
TAD
TAD
2002
1201118
Ex-velocity
140 pglcm2
1.711.7
SIRIUS
2004
5331525
Bx-velocity
140 pg/cm2
C-SIRIUS
2004
50150
Ex-velocity
E-SIRIUS
2003
1751177
RESEARCH Registry total
2004
RESEARCH registry ACS RESEARCH Registry STEM1
TLR DESIBMS
("/.I
(%I HNI minimal
O%11 th
dim A th
0%12 th
HNI minimal dlm 2 th
3.314.2
0126'6 pd 6 bln (pcO.001)
0122.9 pd 6 bln (pcO.001)
0.910.6
2.813.2
8'9136'3 pd 8 bln (pcO.001)
4.9120 pd 1 th (pcO.001)
140 pg/cm2
010
2.014.0
2.3151.1
4.0118.0 pd 9 bln (pc 0.001)
Ex-velocity
140 pglcm2
1.110.6
4.612.3
5.9142.3
4.0120.9 pd 9 bln (pc0.001)
5081450
Ex-velocity
140 pglcm2
1.612.0 pd 30 hari
0.811.6 pd 30 hari
TAD
1.011.8 pd 30 hr
2003
1981301
Ex-velocity
140 pg/cm2
3.013.0 pd 30 hari
TAD
2004
1861183
Ex-velocity
140 pglcm2
8.318.2 pd 300 hari
3.011.0 pada 30 hari 0.512.2 pada 300 hari
1.012.7 pd 30 hr 1.118.2 pd 300 hr
2004
56128
Ex-velocity
140 pg/cm2
010 di rumah sakit
TAD
TAD
FIM
2001
FIM
2002
RAVEL
RESEARCH Registry CTO
Restenosis DESIBMS
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TAD
MACE5.6.117.2 pd 12 bln
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Penyelidikan
Tahun
N
DESIBMS
Dosis
Kematian DESIBMS
lnfark Restenosis jantung DESIBMS DESIBMS
(%I
("w
TAD
13.3 pd 6 bln, 61.5 pf 1 th
(%I 2400-3200 mcg dosis total ASPECT
2003
59 dosis tinggi, 58 dosis rendah. 59 kontrol
TAD
0.910
TLR DESIBMS
2.611.7
NIR
010
4112127 pd 4-6 bln (dosis tinggi vs control) (p
NIR
010.8
3,115,3
7.1121.9 pd 6 bln
NIR
TAD
TAD
TAD
EXPRESS
PENGOBATAN PADA PCI: OBAT-OBATANANTI PLATELET DAN ANTITROMBOTIK
1.411.1
3.513.7
Kematian DESIBMS
(XI 20 pd 6 bln, 60 pada 1 th
21212 pd 1-6 bln
0110 pd 1 th (p=0.237) 10.4121.7 pd 12 bln
7.9126.6 pd 9 bln (p<0.001)
-
Pasien yang telah makan aspirin menahun hams makan 75-325 mg aspirin sebelum tindakan PCI. Pasien yang belum makan aspirin, disarankan diberi 300-325 mg aspirin minimal 2 jam sebelum PC1 atau lebih baik 24 jam sebelum PCI. Setelah tindakan PCI, pada pasien tanpa resistensi atau alergi terhadap aspirin, atau tidak mempunyai kecenderungan perdarahan, maka aspirin harus diberikan minimal 1 bulan setelah pemasangan BMS, 3 bulan setelah pemasangan SES dan 6 bulan setelah pemasangan PES, setelah itu aspirin diteruskan seterusnya dengan dosis 76- 162 mghari. Untuk klopidogrel, dosis pemula 300 mg disarankan diberi sebelum PCI, sebaiknya minimal 6 jam sebelumnya. Klopidogrel diteruskan 75 mghari minimal 1 bulan setelah implanttasi BMS (kecuali bila risiko perdarahan besar, dalam keadaan ini pemberian minimum 2 minggu), 3 bulan setelah implanttasi SES, dan 6 bulan setelah implanttasi PES, dan idealnya sampai 12 bulan pada pasien yang tidak dalam risiko tinggi untuk perdarahan. Pada pasien angina tak stabil atau infarkNSTEM1 yang menjalani PC1 tanpa pemberian klopidogrel, penghambat GPII/IIIa harus diberi. Pada pasien angina tak stabil, NSTEMI yang menjalani PC1 dengan pemberian k!opidogrel, pemberian penghambat GPIIbIIIIa)juga tetap disarankan. Pemberian penghambat GPIIbIIIIa juga disarankan pada pasien STEM1 yang menjalani PCI. Pada PC1 umumnya diberikan heparin. Sebagai
lndikasi Tanda objektif iskemia luas Oklusi total kronis Risiko operasi tinggi, termasuk EF < 35% Penyakit banyak pembuluh / DM Unprotectedleft main tanpa opsi tindakan revaskularisasilain Stent rutin pada lesi (( de novo )) pembuluh koroner asli Stent rutin pada SVG *European Society of Cardiology 2005
Tingkat Rekomendasi* IA Ila C Ila B Ilb C Ilb C
alternatif dapat diberi heparin berat molekul rendah atau bivaluridin. Pada pasien dengan trombositopenia akibat heparin, dapat diberi bivaluridin atau argatroban sebagai penggantinya.
Indikasi PC1 secara singkat dapat dilihat pada tabel 3 dan gambar 1 dan 2. Untuk lebih mendetail disarankan dibaca dua panduan terbaru dari European Society of Cardiology 2005 dan Amerian College of Cardiology/American Heart Association/Society of Cardiac Angiography and Intervention 2005
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1579
INTERVENSI KORONER PERKUTAN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pasien dengan NSTEMIsindrom koroner akut
ASA/klopidogrellhepar~n Nitrat, @locker
&
&
Risiko tlnggi
Risiko rendah
\1,
1
.1
Rx strategl lnvaslf I
Rx strategi konservatrf
Rx ang'O segera (2.5lam): Inhibitor GPllblllla tunda
\
L. PC1 + abciximab atau ept~fibatid
JI Rx angio din1 (48 jam) lnh~bitorGPllbllll3a berl (tirofibanatau eptofibatide)
1 Rx Btses non-invasif
I - - 7 -PC17provisronal
PC1 + tiroflban atau eptifibatid d~teruskan
Terapi medlk abciximab atau eptlfibatid -
Gambar 1. Algoritme PC1 pada Non-ST elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) ISindrom Koroner Akut
ASAlklopidogrellheparin Nitrat, P-blocker
Gambar 2. Algoritme PC1 pada S T Elevation Myocardial lnfarction (STEMI) Isindrom Koroner Akut Keterangan Dalam 3 jam pertama setelah timbul nyeri dada, trombolisis dapat dilakukan sebagai alternatif PCI. "Bila trombolisis terkontraindikasi, atau penderitadalam risiko tinggi, amat disarankan penderita untuk ditransfer ke senterdengan fasilitas PCI. Tujuan utama lebih dipilih PC1daripada trombolisis pada 3 jam pertama adalah untuk pencegahan strok. Sedangkan pilihan PC1 pada jam 3-12 adalah untuk menyelamatkan miokardium dan mencegah strok. Bila dilakukan trombolisis, ha1ini tidak boleh dinilai sebagai terapi final. Walaupun trombolisis berhasil, angiografi dan bila perlu PC1 disarankan dilakukan dalam 24 jam pertama.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
REFERENSI
HANYA DI SCAN UNTUKde Feyter dr. PRIYO PANJI PJ, van Suylen RJ, de Jaegere PP, et al. Balloon angioplasty
Abizaid A, Komowski R, Mintz GS, et al. The influence of diabetes mellitus on acute and late clinical outcomes following coronary stent implanttation. J Am Coll Cardiol 1998;32:584-9. Albiero R, Silber S, Di Mario C, et al. Cutting balloon versus conventional balloon angioplasty for the treatment of instent restenosis: results of the restenosis cutting balloon evaluation trial (RESCUT). J Am Coll Cardiol 2004; 43:943-9. Angelini A, Rubartelli P, Mistrorgio F, et al. Distal protection with filter device during coronary stenting in patients with stable and unstable angina. Circulation 2004; 1 1 0 5 15-21 Baim DS, Cutlip DE, Sharma SK, et al. Final results of the balloon vs optimal atherectomy trial (BOAT). Circulation 1998;97:32231 Beran G, Lang 1, Schreiber W, et al.Intracoronary thrombectomy with the X-sizer catheter system improves epicardial blood flow and accelerates ST-segment resolution in patients with acute coronary syndrome: a prospective, randomized, controlled study. Circulation 2002; 105:2355-60 Baim DS, Wahr D, George B, et al Randomized trial of a distal embolic protection during percutaneous intervention of saphenous vein coronary bypass grafts. Circulation 2002;105:1285-90 Colombo A, Hall P, Nakamura S, cs. Intracoronary stenting without anticoagulation accomplished with intravascular ultrasound guidance. Circulation 1995;91: 1676-88 Colombo A, Orlic D, Stankovic G, et al. Preliminary observations regarding angiographic pattern of restenosis after rapamycineluting stent implanttation. Circulation 2003;107:2178-80. Colombo A, Drzewiecki J, Banning A, et al. Randomized study to assess the effectiveness of slow- and moderate-release polymerbased paclitaxel-eluting stents for coronary artery lesions. Circulation 2003;108:788-94 Cohen BM, Weber VJ, Blum RR, et al. Cocktail attenuation of rotablation flow effects (CARAFE) study: pilot. Cathet Cardiovasc Diagn 1996;(suppl 3):69-72 Cohen EA, Sykora K, Kimball BP, et al. Clinical outcomes of patients more than one year following randomization in the Canadian Coronary Atherectomy Trial (CCAT) Can J Cardiol 1997;13:825-30 Detre KM, Holmes DRJ, Holubkov R, et al. Incidence and consequences of periprocedural occlusion: the 1985-1986 National Heart, Lung, and Blood Institute Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty Registry. Circulation 1990;82:739-50. Degertekin M, Serruys PW, Foley DP, et al. Persistent inhibition of neointimal hyperplasia after sirolimus-eluting stent implanttation: long-term (up to 2 years) clinical, angiographic, and intravascular ultrasound follow-up. Circulation 2002; 106: 16 10-3. Degertekin M, Serruys PW, Foley DP, et al. Persistent inhibition of neointimal hyperplasia after sirolimus-eluting stent implanttation: long-term (up to 2 years) clinical, angiographic, and intravascular ultrasound follow-up. Circulation 2002; 106: 16 10-3. Dussaillant GR, Mintz GS, Pichard AD, et al. Small stent size and intimal hyperplasia contributing to restenosis: a volumetric intravascular ultrasound analysis. J Am Coll Cardiol 1995;26:7204 Dill T, Dietz U , Hamm CW, et al. A randomized comparison of balloon angioplasty versus rotational atherectomy in complex lesions (COBRA Study). Eur Heart J 2000;21:1759-66
for the treatment of lesions in saphenous vein bypass grafts. J Am Coll Cardiol 1993;2 1:1539-49 Exaire JE, Brener SJ, Ellis CG, et al. Guardwire emboli protection device is associated with improved myocardial perfusion grade in saphenous vein graft intervention. Am Heart J 2004; 148: 1003-6 Fischman DL, Leon MB, Baim DS: A randomized comparison of coronary stent placement and balloon angioplasty in the treatment of coronary artery disease. N Engl J Med 1994;331:496-501 Fajadet J, Morice MC, Bode C, et al. Maintenance of long-term clinical benefit with sirolimus-eluting coronary stents: threeyear results of the RAVEL trial. Circulation 2005;lll: 1040-4. Fasseas P, Orford JL, Panetta CJ, et al. Incidence, correlates, management, and clinical outcome of coronary perforation: analysis of 16,298 procedures. Am Heart J 2004;147:140-5 Gruntzig AR, Senning A, Siegenthaler WE. Nonoperative dilatation of coronary-artery stenosis: percutaneous transluminal coronary angioplasty. N Engl J Med 1979;301:61-8. Gmbe E, Silber S, Hauptmann KE, et al. TAXUS I: six- and twelvemonth results from a randomized, double-blind trial on a slow-release paclitaxel-eluting stent for de novo coronary lesions. Circulation 2003;107:38-42. Grise MA, Massullo V, Jani S, et al. Five-year follow-up after intracoronary radiation: results of a randomised clinical trial. Circulation 2002;105:2737-40 Grube E, Gerkens U, Yeung AC, et al. Prevention of distal embolization during coronary angioplasty in saphenous vein grafts and native vessels using porous filter protection. Circulation 2001 :I 04:2436-41 Holmes DR Jr, Topol EJ, Califf RM, et al. A multicenter, randomized trial of coronary angioplasty versus directional atherectomy for patients with saphenous vein bypass graft lesions. CAVEAT I1 Investigators. Circulation 1995;91: 1966-74 Hong MK, Mehran R, Dangas et al. Creatine kinase-MB enzyme elevation following succesful saphenous vein graft intervention is associated with late mortality. Circulation 1999;100:2400-05 Hoffman SN, TenBrook JA, Wolf MP, et a],. A meta-analysis of randomized controled trials comparing coronary arery bypass graft with percutaneous transluminal angioplasty: one- to eightyear outcomes. J Am Coll Cardiol 2003;41:1293-304 Hong MK, Mintz GS, Lee CW, et al. Paclitaxel coating reduces instent intimal hyperplasia in human coronary arteries: a serial volumetric intravascular ultrasound analysis from the Asian Paclitaxel-Eluting Stent Clinical Trial (ASPECT). Circulation 2003;107:517-20. Hoye A, Lemos PA, Arampatzis CA, et al. Effectiveness of the sirolimus-eluting stent in the treatment of saphenous vein graft disease. J Invasive Cardiol 2004;16:230-3. Holmes DR Jr, Leon MB, Moses JW, et al. Analysis of I-year clinical outcomes in the SIRIUS trial: a randomized trial of a sirolimus-eluting stent versus a standard stent in patients at high risk for coronary restenosis. Circulation 2004;109:63440. Hoye A, Tanabe K, Lemos PA, et al. Significant reduction in restenosis after the use of sirolimus-eluting stents in the treatment of chronic total occlusions. J Am Coll Cardiol 2004;43:1954-8. Kent KM, Bentivoglio L 4 Block PC, et al. Percutaneous transluminal coronary angioplasty: report from the Registry of the National Heart, Lung, and Blood Institute. Am J Cardiol 1982;49:201120. Kobayashi N, Finci L, Ferraro M, cs. Restenosis after coronary
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1581
INTERVENSI KORONER PERKUTAN
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI stenting: Clinical and angiographic predictors in 1906 lesions. J Am Coll Cardiol 1999;33(suppl A):32A Kastrati A, Schomig A, Elezi S, et al. Predictive factors of restenosis after coronary stent placement. J Am Coll Cardiol 1997;30:1428-36 Kuntz RE, Baim DS, Cohen DJ, et al. A trial comparing rheolytic thrombectomy with intracoronary urokinase for coronary and vein graft thrombus (the Vein Graft AngioJet Study [VEGAS 21. Am J Cardiol 2002;89:326-30 Kornowski R, Ayzenberg 0 , Halon DA, et al. Preliminary experiences using X-Sizer catheter for thrombectomy of thrombuscontaining lesions during acute coronary syndromes. Cathet Cardiovasc Interv 2003;58:443-8 Lemos PA, Serruys PW, van Domburg RT, et al. Unrestricted utilization of sirolimus-eluting stents compared with conventional bare stent implanttation in the "real world": the RapamycinEluting Stent Evaluated At Rotterdam Cardiology Hospital (RESEARCH) registry. Circulation 2004;109:190-5 Lemos PA, Saia F, Hofma SH, et al. Short- and long-term clinical benefit of sirolimus-eluting stents compared to conventional bare stents for patients with acute myocardial infarction. J Am Coll Cardiol 2004;43:704-8. Lemos PA, Lee CH, Degertekin M, et al. Early outcome after sirolimus-eluting stent implanttalion in patients with acute coronary syndromes: insights from the Rapamycin-Eluting Stent Evaluated At Rotterdam Cardiology Hospital (RESEARCH) registry. J Am Coll Cardiol 2003;41:2093-9. Liistro F, Stankovic G, Di MC, et al. First clinical experience with a paclitaxel derivate-eluting polymer stent system implanttation for in-stent restenosis: immediate and long-term clinical and angiographic outcome. Circulation 2002;105: 1883-6. Leon MB, Teirstein PS, Moses JW, et al. Localised intracoronary gamma-radiation therapy to inhibit the recurrence of restenosis after stenting. N Engl J Med 2001;344:250-6 Miller DD, Verani MS. Current status of myocardial perfusion imaging after percutaneous transluminal coronary angioplasty. J Am Coll Cardiol 1994;24:260-6. Morice MC, Serruys PW, Sousa JE, et al. A randomized comparison of a sirolimus-eluting stent with a standard stent for coronary revascularization. N Engl J Med 2002;346:1773-80. Moses JW, Leon MB, Popma JJ, et al. Sirolimus-eluting stents versus standard stents in patients with stenosis in a native coronary artery. N Engl J Med 2003;349: 13 15-23. Mehran R, Dengas G, Abizaid AS, et al. Angiographic patterns of in-stent restenosis:classification and implications for long-term outcome. Circulation 1999;100:1872-8 Mauri L, Bonan R, Weiner BH, et al. Cutting balloon angioplasty for the prevention of restenosis: results of the Cutting Ballloon Global Randomized Trial. Am J Cardiol 2002;90:1079-83 Matthew V, Lennon RJ, Rihal CS, et al. Applicability of distal protection for aortocoronary vein graft interventions in clinical practice. Cath Cardiovasc Interv 2004;63:148-51 Park SJ, Shim WH, Ho DS, et al. A paclitaxel-eluting stent for the prevention of coronary restenosis. N Engl J Med 2003;348: 1537-45. Popma JJ, Suntharalingham M, Lansky AJ, et al. Randomised trial of 90Srl90Y beta-radiation versus placebo control for treatment of in-stent restenosis. Circulation 2002; 106: 1090-6 Plokker HW, Meester BH, Serruys PW. The Dutch experience in percutaneous transluminal angioplasty of narrowed saphenous veins used for aortocoronary arterial bypass. Am J Cardiol 1991 ;67:361-6 Rodriguez A, Palacios IF, Navia J, cs. Argentine randomised study:
Coronary angioplasty with stenting versus coronary artery bypass surgery in patients with multiple vessel disease (ERACI 11): 30 day and long term follow-up results. Circulation 1999;1OO(suppl I):1-234 Roffi M, Mukherjee D, Chew DP, et al. Lack of benefit from intravenous platelet glycoprotein IIb/IIIa inhibition as adjunctive treatment for percutaneous interventions of aortocoronary bypass grafts: a pooled analysis of five randomized trials Resnic FS, Wainstein M, Lee MK, et al. No-reflow is an independent predictor of death and myocardial infarction after percutaneous coronay intervention. Am Heart J 2003;145:42-6 S e m y s PW, van Hout B, Bonnier H, cs. Randomised comparison of implanttation of heparin-coated stents with balloon angioplasty in selected patients with coronary artery disease (Benestent 11). Lancet 1998;352:673-81 Serruys PW, Unger F, Sousa JE, et al. Comparison of coronary artery bypass surgery and stenting for the treatment of multivessel disease. N Engl J Med 200 1 ;344: 1 117-24. Sousa JE, Costa MA, Abizaid AC, et al. Sustained suppression of neointimal proliferation by sirolimus-eluting stents: one-year angiographic and intravascular ultrasound follow-up. Circulation 2001;37:1335-43. Stone GW, Ellis SG, Cox DA, et al. One-year clinical results with the slow-release, polymer-based, paclitaxel-eluting TAXUS stent: the TAXUS-IV trial. Circulation 2004;109:1942-7. Schampaert E, Cohen EA, Schluter M, et al. The Canadian study of the sirolimus-eluting stent in the treatment of patients with long de novo lesions in small native coronary arteries (CSIRIUS). J Am Coll Cardiol 2004;43: 1110-5. Schofer J, Schluter M, Gershlick AH, et al. Sirolimus-eluting stents for treatment of patients with long atherosclerotic lesions in small coronary arteries: double-blind, randomised controlled trial (E-SIRIUS). Lancet 2003;362: 1093-9. Sousa JE, Costa MA, Abizaid A, et al. Lack of neointimal proliferation after implanttation of sirolimus-coated stents in human coronary arteries: a quantitative coronary angiography and threedimensional intravascular ultrasound study. Circulation 2001;103:192-5. Saia F, Lemos PA, Lee CH, et al. Sirolimus-eluting stent implanttation in ST-elevation acute myocardial infarction: a clinical and angiographic study. Circulation 200311 08: 1927-9. Stone GW, Ellis SG, Cox DA, et al. A polymer-based, paclitaxel eluting stent in patients with coronary artery disease. N Engl J Med 2004;350:221-31. Silber S, Popma J, Suntharalingham M, et al. Two-year follow-up of 90Sr/90Y beta-radiation versus placebo-control for the treament of in-stent restenosis. Am Heart J 2005 (in-press) Safian RD, Feldman T, Muller DW, et al. Coronary angioplasty and rotablator atherectomy (CARAT): Immediate and late results of a prospective multicentre randomized trial. Cathet Cardiovasc Intervent 2001 ;53:213-20 Simonton CA, Leon MB, Baim DS, et al. Optimal directional coronary atherectomy :final results of the optimal atherectomy restenosis study (OARS). Circulation 1998;97:332-9 Stankovic G, Colombo A, Bersin R, et al. Comparison of directional coronary atherectomy and stenting versus stenting alone for the treatment of de novo and restenotic coroanry narrowing. Am J Cardiol 2004;93:953-8 Schachinger V, Hamm CW, Munzel T, et al. A randomized trial of polytetrafluoroethylene-membrane-covered stents in aortocoronary saphenous vein grafts. J Am Coll Cardiol 2003;42: 1360-9 Stankovic G, Colombo A, Presbitero P, et al. Randomized
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI evaluation of polytetrafluoroethylene-covered stents in saphenous vein grafts: the Randomized Evaluation of polytetrafluoroethylene-Covered stents in Saphenous vein grafts (RECOVERS) Trial.Circulation 2003;108:37-42 Sharma SK, Kini A, Mehran R, et al. Rotational atherectomy versus balloon angioplasty for diffuse in-stent restenosis (ROSTER). Am Heart J 2004;147:16-22 Stone GW, Rogers C. Hermiller J, et al. Randomized comparison of distal protection with filter-based catheter and a balloon occlusion and aspiration system during percutaneous intervention of diseased saphenous vein aorto-coronary bypass grafts. Circulation 2003;108:548-53 Stone GW, Webb J, Cox D, et al. Primary angioplasty in acute myocardial infarction with distal protection of the microcirculation:Principal results from the prospective, randomized EMERALD trial 2005 (in press). Stone 4 Cox DA, Babb J, et al. Prospective, randomized evaluation of thrombectomy prior t o percutaneous intervention in diseased saphenous vein grafts and thrombus-containing coronary areries. J Am Coll Cardiol 2003;42:2007-13 Silber S, Albertsson P, Aviles FF, et al. Guidelines for percutaneous coronary interventions. The task force for percutaneous coronary interventions of the European Society of Cardiology. Eur Heart J 2005;26:804-47. Smith SC, Antman EM, Smith SC, et al. ACCIAHAISCAI 2005 Guideline Update for Percutaneous Coronary Intervention A Report of the American College of CardiologyIAmerican Heart Association Task Force on Practice Guidelines (ACCIAHAISCAI Writing Committee to Update the 2001. Guidelines for Percutaneous Coronary Intervention). www.acc.org The SoS Investigators. Stent assisted PC1 versus CABG in multivessel coronary artery disease. Lancet 2002;360;965-70 Tanabe K, Serruys PW, Gmbe E, et al. TAXUS I11 Trial: in-stent restenosis treated with stent-based delivery of paclitaxel incorporated in a slow-release polymer formulation. Circulation 2003;107:559-64. Topol El, Leya F, Pinkerton CA, et a1.A comparison of directional atherectomy with coronary angioplasty in patients with coronary artery disease. The CAVEAT Study Group. N Engl J Med 1993;329:221-7 Topol EJ, Nissen SE. Our preoccupation with coronary luminology: the dissociation between clinical and angiographic findings in ischemic heart disease. Circulation 1995;92:2333-42 Teirstein PS, Massullo V, Jani S, et al. Two-year follow-up after catheter-based radiotherapy to inhibit coronary restenosis. Circulation 1999;99:243-7 Teirstein PS, Kuntz RE. New frontiers in interventional cardiology : intravascular radiation to prevent restenosis. Circulation 2001 ;104:2620-6
Teirstein PS, Massullo V, jani S, et al. Three-year clinical and angiographic follow-up after intracoronary radiation: results of a randomised clinical trial. Circulation 2000;101:360-5 Topol EJ, Yadav JS, Recognition of the importance of embolization in atherosclerotic vascular disease. Circulation 2000;101:57080. Tanabe K, Sermys PW, Grube E, et al. TAXUS 111 Trial: in-stent restenosis treated with stent-based delivery of paclitaxel incorporated in a slow-release polymer formulation. Circulation 2003;107:559-64. vom Dahl J, Dietz U, Haager PR, et al. Rotational atherectomy does not reduce recurrent instent restenosis: results of the rotational atherectomy versus balloon angioplasty for treatment of diffuse in-stent restenosis trial (ARTIST). Circulation 2002;105:583-8 von Kom H, Scheinert D, Bmck M, et al. Initial experience with the Endicor X-Sizer thrombectomy device in patients with ST segment elevation myocardial infarction. Z Kardiol 2002;91:466-71 Williams DO, Riley RS, Singh AK, Most AS. Restoration of normal coronary hemodynamics and myocardial metabolism after percutaneous transluminal coronary angioplasty. Circulation 1980;62:653-6 Waksman R, White RL, Chan RC, et al. Intracoronary gammaradiation therapy after angioplasty inhibits recurrence in patients with instent restenosis (WRIST). Circulation 2000; 10 1:2 165-7 1 Waksman R, Cheneau E, Ajani AE, et al. Intracoronary radiation therapy improves the clinical and angiographic outcomes of diffuse in-stent restenotic lesions: results of the Washington Radiation for In-stent Restenosis Trial for Long lesions (long WRIST) Studies. Circulation 2003;107:1744-9 Waksman R, Raizner AE, Yeung AC, et al. Use of localised intracoronary beta radiation in treatment of in-stent restenosis: the INHIBIT randomised controlled trial. Lancet 2002;359:551-7 Waksman R, Ajani A, White RL, et al. Intravascular gamma radiation for in-stent restenosis in saphenous-vein bypass grafts. N Engl J Med 2002;346:1194-99 Waksman R, Ajani AE, White RL, et al. Two-year follow-up after beta and gamma intracoronary radiation therapy for patients with diffuse in-stent restenosis. Am J Cardiol 2001;88:425-8 Waksman R, Ajani AE, Pnnow E, et al. Twelve versus six months of clopidogrel to reduce major cardiac events in patients undergoing gamma-radiation therapy for in-stent restenosis: Washington Radiation for In-Stent restenosis Trial (WRIST) 12 versus WRIST PLUS. Circulation 2002;106:776-8 Whitlow PW, Bass TA, Kipperman RM, et al. Results of the study to determine rotablator and transluminal angioplasty strategy (STRATAS). Am J Cardiol 2001;87:699-705.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
GAGAL JANTUNG Marulam M. Panggabean
DEFlNlSl GAGAL JANTUNG
Gagal jantung (GJ) adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai oleh sesak napas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung.
PARADIGMA LAMA (MODEL HEMODINAMIK)
Dulu GJ dianggap merupakan akibat dari berkurangnya kontraktilitas dan daya pompa sehingga diperlukan inotropik untuk meningkatkannya dan diuretik serta vasodilator untuk mengurangi beban (un-load).
PARADIGMA BARU (MODEL NEUROHUMORAL)
Sekarang GJ dianggap sebagai remodelling progresif akibat bebadpenyakit pada miokard sehingga pencegahan progresivitas dengan penghambat neurohumoral (neurohumoral blocker) seperti ACE-Inhibitor, Angiotensin Receptor-Blocker atau penyekat beta diutamakan di samping obat konvensional (diuretika dan digitalis) ditarnbah dengan terapi yang muncul belakangan ini seperti biventricular pacing, recyncronizing cardiac teraphy (RCT), intra cardiac defibrllator (ICD), bedah rekonstruksi ventrikel kiri (LV reconstruction surgery) dan mioplasti. BEBERAPA ~ S T ~ L ADALAM H GAGAL JANTUNG Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan tidak
dapat dibedakan dari pemeriksaan jasmani, foto toraks atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan eko-Doppler. Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkankelemahan,fatik,kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya. Gagaljantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel.Gaga1 jantung diastolik didefenisikan sebagai gaga1 jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan Doppler-ekokardiografialiran darah mitral dan aliran vena pulmonalis. Tidak dapat dibedakan dengan pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan jasmani saja. Ada 3 macam gangguan fungsi diastolik: *. Gangguan relaksasi, Pseudo-normal Tipe restriktif. Penatalaksanaan ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi penyebab gangguan diastolik seperti fibrosis, hipertrofi, atau iskemia. Di samping itu kongesti sistemik/pulmonal akibat dari gangguan diatolik tersebut dapat diperbaiki dengan restriksi garam dan pemberian diuretik. Mengurangi denyut jantung agar waktu untuk diastolik bertambah, dapat dilakukan dengan pemberian penyekat beta atau penyekat kalsium nondihidropiridin. Low output dan High output Heart Failure Low output HF disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi,-kelainan katup dan perikard. High out put HF ditemukan pada penurunan resistensi vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A-V, beri-beri dan penyakit Paget. Secara praktis, kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gagal Jantung Akut dan kronik Contoh klasik gagal jantung akut (GJA) adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat endokarditis,traumaatau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara tiba tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer. Contoh gagal jantung kronis (GJK) adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan multivalvular yang terjadi secara perlahan 1ahan.Kongesti perifer sangat menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.
Gagal Jantung Kanan dan Gagal Jantung Kiri Gagaljantung kiri akibat kelemahan ventrike1,meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan ortopnea. Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primerlsekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada miokard kedua ventriel, maka retensi cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi berbeda.
PATOGENESIS GAGAL JANTUNG SlSTOLlK GJ sistolik didasari oleh suatu bebanlpenyakit miokard (underlying HD/index of events) yang mengakibatkan remodeling struktural, lalu diperberat oleh progresivitas bebanlpenyakit tersebut dan menghasilkan sindrom klinis yang disebut gagal jantung. Remodeling struktural ini dipicu dan diperberat oleh berbagai mekanisme kompensasi sehingga fungsi jantung terpelihara relatif normal (gagal jantung asimtomatik). Sindrom gagal jantung yang simtomatik akan tarnpak bila timbul faktor presipitasi seperti infeksi, aritmia, infark jantung, anemia, hipertiroid dan kehamilan, aktivitas berlebihan,emosi atau konsumsi garam berlebih, emboli paru, hipertensi, miokarditis, virus, demam reuma, endokarditis infektif. Gagal jantung simtomatikjuga akan tampak kalau terjadi kerusakan miokard akibat progresivitas penyakit yang mendasarinyalunderlying HD. Skema di bawah ini dapat menerangkan patogenesis tersebut:
Gambar 1. Patogenesis gagal jantung
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif.
Kriteria Major Paroksismal nokturnal dispnea Distensi vena leher Ronki paru Kardiomegali Edema paru akut Gallop S3 Peninggian tekanan vena jugularis Refluks hepatojugular Kriteria Minor Edema ekstremitas Batuk malam hari Dispnea d'efort Hepatomegali Efusi pleura Penurunan kapasitas vital 113 dari ormal Takikardia(>120lmenit) Major atau minor Penurunan BB >4.5 kg dalam 5 hari pengobatan Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor
PENATALAKSANAANGAGALJANTUNG
DIAGNOSIS Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan jasmani, elektrokardiografilfoto toraks, ekokardiografiDoppler dan kateterisasi seperti terlihat pada bagan di bawah ini
Pada tahap simtomatik di mana sindrom GJ sudah terlihat jelas seperti cepat capek (fatik), sesak napas (dyspnea in efort, orthopnea),kardiomegali,peningkatan tekanan vena jugularis, asites, hepatomegalia dan edema sudah jelas, maka diagnosis GJ mudah dibuat. Tetapi bila sindrom tersebut belum terlihat jelas seperti pada tahap disfungsi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ventrikel kiri/LV dysfunction (tahap asimtomatik), maka keluhan fatik dan keluhan di atas yang hilang timbul tidak khas, sehingga hams ditopang oleh pemeriksaan foto rontgen, ekokardiografi dan pemeriksaan Brain Natriuretic Peptide. Diuretik oral maupun parenteral tetap merupakan ujung tombak pengobatan gagal jantung sampai edema atau asites hilang (tercapai euvolemik). ACE-inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal. Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diuretik dan ACE-inhibitor tersebut diberikan. Digitalis diberikan bila ada aritmia supra-ventrikular (fibrilasi atrium atau SVT lainnya) atau ketiga obat di atas belurn memberikan hasil yang memuaskan. Intoksikasi digitalis sangat mudah terjadi bila fungsi ginjal menurun(ureumkreatinin meningkat) atau kadar kalium rendah ( h a n g dari 3.5 meqL). Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada pasien dengan hipokalemia,dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan mortalitas dengan pemberian jenis obat ini. Pemakaian obat dengan efek diuretik-vasodilatasi seperti Brain Natriuretic Peptide (Nesiritide)masih dalam penelitian. Pemakaian alat Bantu seperti Cardiac Resychronization Theraphy (CRT) maupun Pembedahan, pemasangan ICD (Intra-Cardiac Defibrillator) sebagai alat mencegah mati mendadak pada gagal jantung akibat iskemia maupun non-iskemia dapat memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup, namun mahal. Transplantasi sel dan stimulasi regenerasi miokard,masih terkendala dengan masih minimalnya jurnlah miokard yang dapat diturnbuhkan untuk mengganti miokard yang rusak dan masih memerlukan penelitian lanjut.
Gambar 2. Langkah-langkah penatalaksanaan gagal jantung sesuai beratnya penyakit
Braunwald E.Heart Failure and Cor Pulmonal. In: Kasper DL,Braunwald E,Fauchi AS et.al, eds. Harrison's principles of internal medicine 16 ed,2003 :1367-77 Francis GS.Systolic dysfunction and pathogenesis:two coceptual pathways. humora1,neurogenic and hemodynarnic pathways.The 37Ih Annual New york Cardiovascular Symposium:Major Topics in Cardiology Today,New York Hilton and Towers,New York,December 10- 12,2004: 149-63 Maisel Alan, B-type natriuretic peptide:a marker with two clinical applications.cardiac failure diagnosis and prognosis. The 371h Annual New york Cardiovascular Symposium:Major Topics in Cardiology Today,New York Hilton and Towers,December 1012,2004.p.188-201.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
CACAL JANTUNC AKUT Daulat Manurung
PENDAHULUAN Heart Failure (HF) atau gaga1 jantung (GJ) adalah suatu sindroma klinis kompleks, yang didasari oleh ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah keseluruh jaringan tubuh secara adekuat, akibat adanya gangguan struktural dan fungsional dari jantung. Pasien dengan HF hams memenuhi kriteria sebagai berikut: Gejala-gejala (symptoms) dari HF berupa sesak nafas yang spesifik pada saat istirahat atau saat beraktivitas dan atau rasa lemah, tidak bertenaga Tanda-tanda (signs) dari HF berupa retensi air seperti kongesti paru, edema tungkai . dan objektif, ditemukannya abnormalitas dari struktur dan fungsional jantung (Tabel 1)
,
Symptoms typical of heart failure (breathlessness at rest or on exercise, fatique, tiredness, ankle swelling) and Sings typical of heart failure (tachycardia, tachypnoea, pulmonary rates, pleural effusion, raised jugular venous pressure, peripheral oedema, he~at~megaly) and Objective evidence of a structural or functional abnormality of the heart at rest (cardiomegaly, third heart sound, cardiac murmurs, abnormality on the echocardiogram, raised natriuretic peptide concentration)
HF dapat memberikan spektnun klinis yang luas, mulai dari ukuran jantung LV yang masih normal, dengan Ejection Fraction (EF) yang masih cukup, sampai LV dilatasi berat, denganl atau EF yang sangat buruk. Manifestasi klinis utama dari HF sesak nafas, mudah capek yang
mengakibatkan toleransi aktivitas berkurang retensi air yang dapat memicu edema paru dan edema perifer. Perlu diingat bahwa keluhan dan gejala bisa berbeda pada setiap individu,ada sesak nafas, belum tentu ada edema perifer dan sebagainya. Untuk menilai derajat gangguan kapasitas fungsional dari HF, pertama kali diperkenalkan oleh New York Heart Association (NYHA) tahun 1994, yang membagi HF menjadi 4 klasifikasi, dari kelas 1 sampai kelas 4 tergantung dari tingkat aktivitas dan timbulnya keluhan, misalnya sesak sudah timbul saat istirahat menjadi kelas 4, sesak timbul pada aktivitas ringan kelas 3, sesak timbul saat aktivitas sedang menjadi kelas 2, sedangkan kelas 1 sesak timbul saat beraktivitas berlebih. K l a s i f h i menurut NYHA lebih banyak atau pada umumnya berdasarkan keluhan subyektif. Klasifikasi terbaru yang dikeluarkan American College of CardiologyIAmercan Heart Association (ACCIAHA) pada tahun 2005 yang menekankan pembagian HF berdasarkan progressivitas kelainan struktural dari jantung dan perkembangan status fungsional. Klasifikasi dari ACC?AHA ini, perkembangan HF dibagi juga menjadi 4 stages, A,B,C dan D. Stage A dan B jelas belum HF, hanya mengingatkan pelaksana pelayanan kesehatan (health care provider) bahwa kondisi ini kedepan dapat masuk kedalam keadaan HF. Stage A menandakan ada faktor risiko HF (diabetes, hipertensi, penyakit jantung koroner) namun belum ada kelainan struktural dari jantung (cardiomegali, LVH, dll) maupun kelainan fingsional. Sedangkan pada stage B ada faktor-faktor risiko HF seperti pada stage A dan sudah terdapat kelainan struktural, LVH cardiomegali dengan atau tanpa gangguan fungsional, namun bersifat asimptomatik. Stage C, sedang dalam dekompensasi dan atau pernah HF, yang didasari oleh kelainan struktural dari jantung. Stage D adalah yang benar-benar masuk ke dalam refractory HF, dan perlu advanced treatment strategies.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GAGAL JANTUNG AKUT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Juga apabila dilihat dari segi onset nya, maka HF dapat dibagi menjadi new onset HE transient HF dan chronic HF New onset HF merujuk ke presentasi klinis pertama HF transient HF merujuk ke HF simptomatik terbatas pada periode waktu tertentu, walaupun pengobatan jangka panjang masih diperlukan, misalnya HF karena myokarditis ringan dan sembuh secara baik. HF karena ischemia, dilakukan revaskularisasi dan berhasil. HF pada infark akut yang tidak memerlukan terapi diuretik jangka panjang. Chronic HF dapat berupa persisten atau perburukan HF atau mengalami dekompensasi akut dari chronic HF. Perburukan HF yang didasari chronis HF (dekompensasi) merupakan HF terbanyak dari seluruh bentuk HF yang dirawat di rumah sakit yaitu sekitar 80% dari semua kasus. Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai diagnose dan penatalaksanaan GJA meliputi new onset HF, dan dekompensasi akut dari chronic HF mengacu pada tatalaksana yang dikeluarkan oleh European Society of Cardiology (ESC) yaitu ESC guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008 dun ACCF/AHA guidelines for the Diagnosis and Management of Heart Failure in Adult 2009focus up date incorporated into the ACC/AHA 2005.
GAGALJANTUNGAKUT Gagal Jantung Akut (GJA) didefinisikan sebagai serangan cepatl rapid 1 onset atau adanya perubahan pada gejalagejala atau tanda-tanda (symptoms and sign) dari gagal jantung (GJ) yang berakibat diperlukannya tindakan atau terapi secara urgent. GJA dapat berupa serangan pertama GJ, atau perburukan dari gagaljantung kronik sebelumnya. Pasien dapat memperlihatkan kedaruratan medik (medical emergency) seperti edema paru akut. (acute pulmonary oedema). Disfungsi jantung dapat berhubungan dengan atau diakibatkan ischema jantung, irama jantung yang abnormal, disfungsi katup jantung, penyakit perikard, peninggian dari tekanan pengisian ventrikel atau peninggian dari tahanan sirkulasi sistemik. Dengan demikian berbagai faktor kardiovaskulardapat merupakan etiologi dari GJA ini, dan juga bisa beberapa kondisi (comorbid) ikut berinteraksi. Ada banyak kondisi kardiovaskular yang merupakan kausa dari GJA ini dan juga faktor-faktor yang dapat mencetuskan (precipitating factors) terjadinya GJA. Semua faktor-faktor ini sangat penting untuk diidentifikasi; dan dihimpun untuk mengatur strategi pengobatan. Gambaran klinis khas dari GJA adalah kongesti paru, walau beberapa pasien lebih banyak memberikan gambaran penurunan cardiac output dan hipoperfusi jaringan lebih mendominasi penampilan klinis. Penyakit kardiovaskular dan non kardiovaskular dapat mencetuskan GJA. Contoh yang paling sering antara lain.
I. Peninggian afterload pada penderita hipertensi sistemik atau pada penderita hipertensi pulmonal 11. Peninggian preload karena volume overload atau retensi air III. Gagal sirkulasi (circulatory failure) seperti pada keadaan high output states antara lain pada infeksi, anemia atau thyrotoxicosis. Kondisi lain yang dapat mencetuskan GJA adalah ketidakpatuhan minum obat-obat GJ, atau nasehat-nasehat medik, pemakaian obat seperti NSAIDs, cyclo-oxygenare (COX) inhibitor, dan thiazolidinediones.GJ berat juga bisa sebagai akibat dari gagal multi organ (multiorganfailure). (Tabel 2)
Penyakit jantung iskemik Sindrom koroner akut Komplikasi mekanik dari infark akut lnfark ventrikel kanan
Valvular Stenosis valvular Regurgitasi valvular Endokarditis Diseksi aorta Miopatia Post-partum kardiomiopati Miokarditis akut
Gagal sirkulasi Septikemia Hygrotoxicosis Anemia Pirai Tamponade Emboli paru Dekompensasi pada gagal jantung kronik Tidak patuh minum obat Volume overload Infeksi, terutama pneumonia Cerebrovaskular insult Operasi Disfunsi renal AsmaIPPOK Penyalahgunaan obat ~enyalahgunaanalkohol
Hipertensilaritmia Hipertensi Aritmia akut
Simptom gagal jantung bisa juga dicetuskan oleh faktor-faktor non kardiovaskular seperti penyakit paru obstruktif, atau adanya penyakit organ lanjut (end-organ disease) terutama disfungsi renal. Pengobatan inisial yang tepat dan pengobatan jangka panjang yang sesuai sangat diperlukan. Bila mungkin, koreksi kelainan anatomis yang mendasarinya seperti penggantian katup atau revaskularisasi, dapat mencegah episode GJA dan memperbaiki prognose jangka panjang.
Klasifikasi Klinis Manifestasi klinis GJA memberikan gambaranl kondisi spectrum yang luas dan setiap klasifikasi tidak akan dapat menggambarkan secara spesifik. Pasien dengan GJA biasanya akan memperlihatkan salah satu dari enam bentuk GJA. Edema paru tidak selalu menyertai semua ke enam bentuk GJA.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI GJA
Hipertensif
Gambar 1. Klasifikasi Klinis gagal jantung akut
Gambar 1 dapat memperlihatkan kemungkinan terjadinya tumpang tindih dari ke enam bentuk GJA ini. Keenam bentuk dari PJA ini, adalah: 1. Perburukan atau gagal jantung kronik (GJK) dekompensasi, adanya riwayat perburukan yang progresif pada penderita yang sudah diketahui dan mendapat terapi sebelumnya sebagai penderita GJK dan dijumpai adanya kongesti sistemik dan kongesti paru. Tekanan darah yang rendah pada saat masuk RS, merupakan petanda prognose buruk. 2. Edemaparu. Pasien dengan respiratory distress yang berat, pernafasan yang cepat, dan orthopnea dan ronchi pada seluruh lapangan pam. Saturasi 0 2 arterial bisaanya < 90% pada suhu mangan, sebelum mendapat terapi oksigen. 3. Gagal jantung hipertensif, terdapat gejala dan tandatanda gagal jantung yang disertai dengan tekanan darah tinggi dan bisaanya fungsi sistolik jantung masih relatif cukup baik, juga terdapat tanda-tanda peninggian tonus simpatitik dengan takhikardia dan vasokonstriksi. Pasien mungkin masih eu volemia atau hanya hipervolemia yang ringan. Umumnya memperlihatkan kongesti paru tanpa tanda-tanda kongesti sistemik. 4. Syok kardiogenik, didefinisikan sebagai adanya bukti tanda-tanda hipoperfbsi jaringan yang disebabkan oleh gagal jantung, walau sesudah preload dan aritmia berat sudah dikoreksi secara adekuat. Tidak ada parameter hemodinamik diagnostik yang pasti. Akan tetapi cirikhas dari syok kardiogenik adalah tekanan darah sistolik yang rendah (tekanan darah sistolik <9OrnrnHg, atau penurunan dari tekanan arteriol rata-rata (mean arterialpressure >3OmmHg), dan tidak adanya produksi urin, atau berkurang (<0,5ml/kg/jam). Gangguan iramajantung sering ditemukan. Tanda-tanda hipopefisi organ dan kongesti paru timbul dalam waktu cepat. 5. Gagal jantung kanan terisolasi, ditandai dengan adanya
sindroma "low out put" tanpa disertai oleh kongesti paru dengan peninggian tekanan vena jugularis dengan atau tanpa hepatomegali dan tekanan pengisian ventrikel kiri yang rendah. 6. Sindroma koroner akut dan gagal jantung. Banyak penderita GJA timbul bersamaan dengan SKA yang dibuktikan dari gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Kira-kira 15% penderita SKA memperlihatkan gejala dan tanda-tanda GJ. Episode GJA bisaanya disertai atau dipresipitasi oleh aritmia (bradikardia, AF, VT) Di samping itu, ada beberapa klasifikasi GJA yang bisaa dipakai di ICCU, antara lain: 1. Klasifikasi Killip, berdasarkan tanda-tanda klinis sesudah infark jantung akut, 2. Klasifikasi Forester yang juga berdasarkan tanda-tanda klinis dan karakteristik hemodinamik pada infark akut.
Prognosa Data yang diperoleh dari beberapa registry terbaru dari GJA dan beberapa survey yang telah dipublikasikan seperti the Euro-Heart Failure Survey 11, the ADHERE registry di Amerika Serikat dan survey Nasional dari Italia, Perancis dan Finlandia . Namun banyak dari pasien-pasien yang masuk dalam registry ini adalah penderita-penderita dengan usia lanjut dengan faktor-faktor cormobid cardio vaskuler dan Non cardiovaskuler yang sangat banyak, dengan prognose jangka pendek dan jangka panjang yang buruk. Sindroma koroner akut merupakan kausa yang paling sering dari gagal jantung akut yang baru. Kematian di RS yang tinggi didapatkan pada pasien dengan shok kardiogenik berkisar antara 40-60%. Sangat berbeda dengan pasien gagal jantung akut hipertensif angka kematian di rumah sakit rendah dan kebanyakan pulang dari rumah sakit dalam keadaan asimptomatik. Rata-rata perawatan di RS akibat GJA dari the Euro Heart Survey adalah 9 hari. Dari studi registry yang dirawat karena GJA, hampir separuh diantaranya dirawat kembali paling tidak sekali dalanl 12 bulan pertama. Estimasi koaibinasi kematian dan perawatan ulang untuk 60 hari sejak perawatan diperkirakan berkisar antara 30-50%. Indikator prognostik selanjutnya sama dengan yang dijumpai pada gagal jantung kronik lainnya. Diagnosis GJA Diagnosis GJA adalah herdasarkan simptom-simptom yang ada dan penemuan-penemuan klinis. Konfirmasi dan pemantauan dari diagnosis diperoleh dari anamnesa yang teliti, pemeriksaanjasmani, E K 4 foto thorax, ekokardiografi, dan penemuan laboratorium dan analisa gas darah dan Biomarker spesifik. Algoritme diagnose sama dengan untuk GJA yang timbul akibat "de novo" atau episode dekompensasi dari GJK. (Gambar 2)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
CAGAL JANTUNG AKUT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Evaluasi Awal Penilaian secara sistematik presentasi klinik adalah sangat penting, meliputi riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang teliti. Penilaian perfbsi perifer ,suhu kulit, peninggian tekanan pengisian vena adalah sangat penting, adanya sistolik murmur dan diastolik murmur, demikianjuga irarna gallop sangat perlu dideteksi pada auskultasi bunyi jantung. Mitral ineffrsiensi sangat sering ditemukan pada fase akut. Adanya stenosis aorta atau inefisiensi aorta juga hams dideteksi. Kongesti paru dideteksi dengan auskultasi dada dimana ditemukan ronchi basah pada kedua basal paru dan konstriksi bronchial pada seluruh lapangan paru sebagai petanda peninggian dari tekanan pengisian ventrikel kiri. Tekanan pengisian jantung kanan dapat dinilai dari evaluasi pengisian vena jugularis. Efusi pleura umumnya ditemukan pada dekompensasi akut dari GJH. Berikut ini adalah beberapa pemeriksaan yang dianjurkan pada penderita dengan GJA
EKG abnormal 7 Anallsa gar darah abnormal ? Kongest~pada fota thorax "
Gambar 2. Evaluasi pasien dengan persangkaan GJA
Elektrokardiogram (EKG) Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi yang sangat penting, meliputi frekuensi debar jantung, irama jantung, sistem konduksi dan kadang etiologi dari GJA. Kelainan segmen ST; berupa ST segmen elevasi infark miokard (STEMI) atau Non STEMI. Gelombang Q petanda infark transmural sebelumnya.Adanya hipertropi, bundle branch block, disinkroni elektrikal, interval QT yang memanjang, disritmia atau perimiokarditis hams diperhatikan. (I C) Foto Toraks Foto toraks hams diperiksakan secepat mungkin saat masuk pada semua pasien yang diduga GJA, untuk menilai derajat
kongesti paru, dan untuk mengetahui adanya kelainan paru dan jantung yang lain seperti efusi pleura, infiltrat atau kardiomegali. (I C)
Analisa Gas Darah Arterial Analisa gas darah arterial, memungkinkan kita untuk menilai oksigenasi ( p 0 2 ) fungsi respirasi (pC02) dan keseimbangan asam basa (pH) dan hams dinilai pada setiap 'pasien dengan respiratory distress berat. Asidosis petanda perfusi jaringan yang buruk atau retensi C02 dikaitkan dengan prognose buruk. Pengukuran dengan pulse oxymetry dapat mengganti analisa gas darah arterial. Tetapi tidak bisa memberikan informasi pC02 atau keseimbangan asam basa, dan tidak bisa dipercaya pada sindroma low output yang berat atau vasokonstriksi dan status syok. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, urea, cretinin, gula darah, albumin, enzyme hati dan INR hams merupakan pemeriksaan awal pada semua penderita GJA. Kadar sodium yang rendah, urea dan creatinin yang tinggi memberikan prognose buruk pada GJA. Peninggian sedikit dari cardiac troponin bila terlihat pada GJA, walau tidak ada SKA. Peningkatan dari Troponin yang disertai dengan SKA merupakan petanda prognosa yang tidak baik. Natriuretic Peptide B-type natriuretic peptides (BNP dan NT-pro BNP) yang diperiksa pada fase akut dapat diterima sebagai prediktif negative untuk meng-eklusi GJ, walau tidak sepenting pada GJK dalam praktik sehari-hari. Belum ada kesepakatan mengenai referensi nilai BNP atau NT-pro BNP pada GJA. Pada saat serangan Cflash) edema paru atau mitral regurgitasi akut, kadar natriuretic peptide bisa masih normal saat masuk RS. Namun pemeriksaan BNP atau NT pro BNP saat masuk dan sebelum pulang, akan memberikan informasi prognostic yang penting. (IA) Ekokardiografi Ekokardiografi memegang peranan yang sangat penting untuk evaluasi kelainan struktural dan fungsional dari jantung yang berkaitan dengan GJA. Semua penderita GJA harus dievaluasil ekokardiografi secepat mungkin. Penemuan dengan ekokardiografi bisa langsung menentukan strategi pengobatan. (IC) Pencitraan echo/ dopler harus diperiksakan untuk evaluasi dan memonitor fungsi sistolik ventrikel kiri dan kanan secara regional dan global, fungsi diastolik, struktur dan fungsi valvular, kelainan perikard, komplikasi mekanis dari infark akut, adanya disinkroni,juga dapat menilai semi kuantitatif, non invasive, tekanan pengisian dari ventrikel kanan dan kiri, stroke volume dan tekanan arteri pulmonalis, yang dengan demikian bisa menentukan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
strategi pengobatan. Echoldopler dapat diulang sesuai kebutuhan, dan dapat mengganti pemeriksaan atau m onitoring invasif
lnstrumentasi dan Monitoring Pasien dengan GJA Monitoring pasien dengan GJA harus dimulai secepat mungkin sesudah sampai di RS atau unit darurat medis, bersamaan juga pemeriksaan-pemeriksaan yang menunjang diagnose etiologi primer dan juga bagaimana respons terhadap terapi awal. (IC) Monitoring Non lnvasif Semua pasien sakit berat hams dimonitor hal-ha1 yang mendasar seperti suhu, laju pernafasan, laju detak jantung, tekanan darah, oksigenasi, produksi urine dan pemeriksaan EKG. Perlu oximeter harus dipasang secara continue, dan dinilai secara regular interval. (IC)
Managemen GJA Kebanyakan GJA didasari oleh adanya PJK. Oleh sebab itu identifikasi PJK ini harus dipikirkan dari sejak awal untuk memilih terapi yang tepat. Target terapi awal adalah secepatnya memperbaiki gejala-gejala atau keluhan dan menstabilkan kondisi hemodinamik. Penanganan GJA selama perawatan memerlukan strategi pengobatan yang sudah terbukti manfaatnya, dan dipertimbangkan dengan realitas objektif, dan sebelum dipulangkan harus direncanakan tentang pengobatan lanjutan. Penanganan GJA sebaiknya dilakukan menurut program management GJ, apabila tersedia, seperti yang di gariskan oleh panduan ini (class I LoE B).Berikut ini adalah beberapa opsi yang diperkirakan tepat pada pasien dengan GJA, walau kebanyakan berasal dari opsi consensus dari para ahli, oleh sebab itu taraf kemaknaan adalah C (level of evidence O. Oxygen Diberikan secepat mungkin pada penderita hipoksemia
Monitoring lnvasif Arterial line : Di indikasikan apabila memerlukan analisa secara kontinu tekanan darah arterial pada penderita dengan hemodinamik yang tidak stabil, atau untuk kebutuhan pengambilan sampel darah arterial yang sering. (IIa C)
Segera Isaat perawatan di ruang intensif (ED, ICU, CCU) Immediate Mernperbaiki keluhan-keluhan Mernperbaiki oksigenisasi - Memperbaiki perfusi organ dan hernodinarnik , - Mencegah kerusakan jantung dan ginjal Perawatan di ruang intensif sesingkat rnungkin. Saat perawatan di ruang perawatan (Intermediate) - Stabilkan pasien dan optimalkan strategi terapi Mulai pengobatan terapi farrnakologi yang tepat untuk penyelarnataan (life I saving) - Pertirnbangkan pemasangan alat bantu (device therapy) untuk pasien yang tepat. Perawatan di RS sesingkat rnungkin Jangka panjang dan penangan saat berobat jalan Rencanakan strategi perawatan lanjut - Diingatkan untuk penyesuaian pola hidup yang tepat. Penjelasan rnengenai pencegahan sekunder Pencegahan perawatan ulang - Mernperbaiki kualitas hidup dan harapan hidup.
Central Venous Line Untuk mendapatkan alkes sirkulasi sentral, dipakai untuk pemberian cairan dan obat-obatan dan memonitor Central Venous Pressure (CVP). Dapat juga dipakai untuk mengukur saturasi oxygen vena (SV02) yang merupakan evaluasi dari konsumsi oksigenl delivery ratio (IIa C). Kateter Arteri Pulmonali Pemasangan kateter arteri pilmonal (pulmonary artery catheter (PAC) untuk diagnose GJA biasanya tidak diperlukan. PAC biasanya diperlukan untuk membedakan antara mekanikal kardiogenik atau non kardiogenik pada penderita yang komplek. Kemungkinan bersamaan sakit jantung dan penyakit paru, terutama apabila dengan ekokardiografil Doppler sangat sulit untuk diperoleh. PAC juga berguna pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil, walau sudah mendapat terapi convensional. (IIb B) Angiografi Koroner Pada pasien GJA yang didasari iskemia seperti angina tak stabil atau SKA, maka angiografi koroner sangat diperlukan kecuali ada kontraindikasi kuat. Opsi revaskularisasi (PCIJCABG) harus dipertimbangkan apabila secara teknis memungkinkan, clan risiko tindakan masih bisa diterima. Reperfusi yang berhasil akan memperlihatkan prognose yang baik (I B).
Terap~slmptomat~k Segera
(
Kongesti paru
vasod~lator
NI PPV, Vent~las~ mekanls lrama jantung dan debar jantung normal
Tidak
, Pacu jantung ant1 antmia elektroversi
1
Gambar 3. Algoritme terapi awal dari GJA
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1591
GAGAL JANTUNC AKUT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI yang lama Hiperkapnia Ansietas dan claustrophobia Pnemotoraks Aspixia.
untuk memperoleh saturasi 0 2 arterial > 95%, atau >90% pada penderita PPOK. Harus hati-hati pada penderita obstruktif saluran napas berat untuk mencegah hiperkapnia O B).
Ventilasi Non lnvasive (Non lnvasive Vantilation = NIV) Indikasi. Ventilasi non invasif merujuk ke semua upaya untuk membantu pernapasan, tanpa memakai endotrakeal tube, tetapi lebih jauh dari pemasangan masker penutup wajah. NIV dengan positif end-expiratory pressure (PEEP) harus dipertimbangkan secepat mungkin pada semua pasien dengan edema paru kardiogenik akut (acute cardiogenic pulmonary oedema) dan GJA hipertensif, akan segera memperbaiki parameter klinis termasuk gagal nafas. NIV dengan PEEP akan memperbaiki fbngsi ventrikel kiri, karena dapat mengurangi after load dari ventrikel kiri. Pemakaian NIV harus hati-hati pada syok kardiogenik dan gagal jantung kanan.
Morfin dan Analog Morfin pada GJA Morfin harus dipertimbangkan pada stadium awal GJA, terutama bila pasien gelisah, sesak nafas, ansietas atau nyeri dada (14). Morphine diberikan bolus 2,5 - 5 mg IU dan dapat diulang seperlunya. Respirasi hams dimonitor, kadang timbul nausea dan bila perlu boleh pakai anti emetic. Hati-hati pada hipotensi, bradikardia AV block lanjut dan retensi C02. Loop Diuretika Pemberian diuretic intravena direkomendasikanpada GJA bila ada symptom akibat kongesti atau volume overload (I B). (Tabel.4) Beberapa ha1 yang perlu diingat : Manfaat simptomatik diuretic sudah terbukti dan sudah diterima dan sudah diterima secara universal Pasien dengan hipotensi (sistolik <90 mmHg) hiponatremia berat dan acidosis tidak sama responsifnya terhadap terapi diuretika. Dosis tinggi diuretika dapat memicu hipoalbuminemia dan hiponatremia dan meningkatkan kemungkinan hipotensi apabila bersamaan dengan ACE I atau ARB.
Kontra Indikasi Pasien tidak kooperatif (tidak sadar, gangguan kognitif berat ,ansietas) Diperkirakan perlu segera pemakaian intubasi endotrakial karena hipoksia yang progresif) Hati-hati pada penyakit obstruksi saluran napas berat. Efek yang tidak diinginkan Perburukan dari gagal jantung kanan Mukosa membran yang jadi kering akibat pemakaian
Retensi air Sedang
Duretika furosemide atau Bumetanide atau torasernide
Dosis Harian (ma) . -, 20-40 0,5 - 1 10-20
Perkalian
- Oral atau IV sesuai klinis - Dosis dititrasi - Monitor K, Na, creatinin, tekanan darah,
Berat
Furosemide Furosemide infus
40-100 5-40 mgljam
- i.v ditinggikan - Lebih baik daripada bolus dosis tinggi
Refraktor terhadap diuretika
Dengan Alkalosis Refraktor terhadap diuretika dan HCT
Bumetanide Torasemide Tarnbah HCT
1-4 20-100 50 -100
Atau metolazone
2,5-10
Atau spironolaktone
25-50
Acetazolamide
03
Tarnbah dopamine atau dobutamine
- Oral atau intravena - Oral - Kombinasi lebih baik daripada loop diuretikdosis tinggi - Lebih poten bila CCT
- Pertimbangkan ultrafiltrasi dan HD apabila ada gangguan renal dan Hiponatremia
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Opsi terapi alternatif seperti pemakaian vasodilator IV dapat mengurangi keluhan dan mengurangi pemakaian diuretic dosis tinggi. Bagaimana cara pemberian loop diuretika pada GJA. Dosis awal yang dianjurkan adalah 20-40mg 1.V (0,5 - 1 mg bumetadine; 10-20 mg torasemide) atau hams sama atau lebih dari dosis sehari-hari yang biasa didapat. Pada fase awal ini pasien hams sering diawasi terutama mengenai produksi urine. Pemasangan kateter urine umumnya perlu untuk memonitor produksi urine, dan mengetahui secara cepat respons pengobatan.(I C) Pada pasien dengan bukti adanya volume overload dosis furosemide IV dapat ditingkatkan,sesuai dengan fungsi renal dan pemakaian oral diuretika yang sudah lama sebelumnya. Pada pasien seperti ini, pemakaian furosemide IV secara continous (IV drips) dapat dipertimbangkan sesudah pemberian initial. Pemakaian kosemide tidak boleh melebihi 100 mg untuk 6 jam pertama, dan 240 mg pada 24 jam pertarna. Kombinasi dengan diurtetika lain Diuretik thiaride dapat dikombinasi dengan furosemide (loop diuretika). Pada pasien yang resisten terhadap diyretika. Pada GJA dengan volume overload, dapat diberikan hidrochlorothiazide (HCT) 25 mg per oral dan aldosteron antagonis (spironolaktone, eplerenone 25-50 mg per oral), dapat diberikan, disamping furosemide kombinasi dengan dosis rendah, kadang lebih efektif dengan efek samping yang kurang, ketimbang obat tunggal dengan dosis tinggi. Netrofiltrasi dapat diterima apabila kongesti refrakter terhadap terapi medikamentosa (IIa B).
Efek Samping Diuretika Hipokalemia,hiponatremia,hiperuricemia Hipovolemia,dehidrasi,produksi urine hams dimonitor. Aktivasi neurohormonal Dapat memicu hipotensi apabila sebelumnya dapat ACEVARB.
VASODILATOR Vasodilator direkomendasikan pada stage awal dari GJA apabila tidak ada tanda-tanda hipotensi yang simptomatik, tekanan sistolik <90 mmHg atau penyakit valvuler obstruktif yang serius (1.B) Vasodilator dapat berupa nitroglycerine (NGT) isosorbide dirutrate (ISDN) nitroprusside dan nesiritide. Indikasi: Pemberian IV nitrat atau nitroprusside direkomendasikan bila tekanan sistolik >I10 mmHg dan hati-hati bila tekanan darah sistolik antara 90 dan 110 mmHg.
Vasodilator dapat menurunkan tekanan sistolik, mengurangi tekanan pengisianjantung sisi kiri dan sisi kanan dan tekanan vaskuler sistemik dan memperbaiki sesak napas. Aliran darah koroner bisaanya masih baik apabila tekanan darah diastolik masih baikl tidak terlalu rendah. Beberapa ha1 yang perlu diingat: Vasodilator mengatasi kongesti paru tanpa mempengaruhi strok volume atau meningkatkan konsumsi oksigen pada miokardium, terutama pada penderita SKA Calcium antagonis tidak direkomendasikan pada GJA. Vasodilatorjangan diberikan apabila sistolik <90 mrnHg, dapat mengurangi perfusi organ. Hipotensi hams dicegah terutama bila ada disfungsi renal. Hati-hati pada stenosis aorta. Nitrat (introgliserin dan ISDN). Sodium nitroprusside, dan nesiritide biasanya diberikan dengan cara intravena, per infuse. Nitroglycerine, merupakan ha1 yang sering dipakai pada GJA, dengan efek utama adalah venodilator. Nitroprusside memiliki balans vasodilator yang poten, antara penurunan preload dan afterload. Nesiritide memiliki efek vasodilator dan arterial venodilator. Juga efek sedang (modest) sebagai diuretik dan efek natriuretik Efek samping yang potensial adalah sakit kepala pada pemberian nitrat, Tachipilaxis sering sesudah pemberian 24-48 jam, diperlukan peningkatan dosis dengan nitrat. Nitroprusside harus hati-hati pada penderita SKA, dapat menyebabkan tekanan darah turun dengan tibatiba.
Nesiritide (human BNP) dapat menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri, namun efek terhadap cardiac output produksi urin, ekskresi natrium, adalah bervariasi. Sesak napas yang berat bias lebih cepat teratasi ketimbang hanya dengan diuretik saja. Nesiritide mempunyai efek yang lama dan juga waktu paruhnya (halflife) dari nitroglycerin atau nitroprusside,maka efek samping seperti hipotensi berlangsung lebih lama. Bisa diantisipasi dengan pemberian dosis rendah dan tanpa bolus. Efek samping yang tidak diinginkan, berupa gangguan renal, sehingga perlu monitoring fungsi ginjal. Efek nesiritide terhadap mortalitas masih perlu dibuktikan, menunggu investigasi klinis yang sedang berjalan. Obat-obat inotropik Inotropik agent harus harus dipertimbangkan pada keadaan low output states, adanya tanda-tanda hipoperfusi atau kongesti, walaupun pemberian vasodilator dan atau diuretika dapat memperbaiki symptom.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
C A W JANTUNG AKUT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI lndikasi Pemberian Terapi lnotropik Obat inotropik hanya boleh diberikan pada penderita dengan tekanan sistolik yang rendah, atau cardiac index yang rendah dengan adanya tanda-tanda hipoperfusi atau kongesti. Tanda-tanda hipoperfusi seperti, kulit dingin, basah (claming skin) pada pasien yang disertai vasokonstriksi dengan asidosis, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati atau gangguan kesadaran, terutama bila pasien dengan dilatasi dan hipokinetik dari ventrikel. Bila memang diperlukan harus diberikan sedini mungkin. Pasien harus dalam monitoring EKG (IIa B).
phospodiesterase inhibitor tipe I11 (PDEIs) yang dipakai dalam klinis sehari-hari.Obat ini mencegah pemecahan dari cyclic AMP dan memiliki efek inotropik dan efek vasodilator perifer dengan meningkatkan cardiac output dan volume sekuncup, bersamaan dengan penurunan tekanan arteri pulmonalis, tekanan baji paru ('pulmonary wedge pressure) resistensi sistemik dan sirkulasi paru. Milrinone dan enoximone diberikan secara infuse intravena, bisa didahului oleh bolus pada penderita dengan tekanan darah yang masih cukup baik. Hati-hati pemberian PDEIs pada pasien dengan PJK, dapat meningkatkan kematian jangka menengah (IIb B).
DOBUTAMINE
Levosimendan Levosimandan merupakan salah satu dari calcium sensitizer yang dapat memperbaiki kontrolisitas jantung secara berikatan dengan troponin C didalam kardiomiosit. Levosimendan memiliki vasodilator yang signifikan yang dimediasi ATP sensitive potassium channels dan juga mempunyai efeW kerja seperti PDEi yang ringan. Pemberian levosimendan infuse pada GJA dekompensasi akan meningkatkan cardiac output dan volume sekuncup mengurangi tekanan baji paru, tahanan vaskuler sistemik dan tahanan vaskuler paru mengurangi tekanan vaskuler paru. Respons hemodinamik pada pemberian levosimendan dapat bertahan berhari-hari. Levosimendan dapat efektif pada GJ kronik dekompensasi. Levosimendan dapat meningkatkan detak jantung dan penurunan dari tekanan darah, terutama bila sebelumnya mendapat bolus pembebanan (loading dose). Levasimendan dapat diberikan bolus (3- 12 mglkg) selama 10 menit, kemudian diikuti drip intravena (0,05-0,2 mg/kg/menit untuk 24 jam). Kecepatan infuse dapat ditingkatkan sampai tekanan darah stabil. Apabila tekanan sistolik kurang dari lOOmmHg, infuse dams dimulai tanpa pemberian bolus sebelumnya untuk mencegah hipotensi. (IIA B)
Dobutamine adalah obat inotropik positif, bekerja melalui stimulasi B1-reseptor untuk menginduksi efek inotropik positif dan efek chronotropik. Efek stimulasi ini sebanding dengan dosis yang diberikan. Dosis awal antara 2-3 p a d m e n i t secara infus intravena, tanpa didahului oleh bolus, atau loading dose. Dosis boleh naikkan secara progressif tergantung symptom response diuretlka, clan gambaran klinisnya. Efek hemodinamik sejajar dengan dosisnya dan dapat ditingkatkan sampai 15 pgkgl menit. Apabila sebelumnya mendapat beta blocker, maka dosis bisa ditingkatkan jadi 20 pglkglmenit, untuk memperbaiki efek inotropiknya. Tekanan darah hams dimonitor secara invasive atau non invasif. Eliminasi obat berlangsung cepat apabila infuse dihentikan. Oleh sebab itu harus hati-hati apabila dobutamine akan dihentikan. Penurunan dosis secara gradual secara bertahap misalnya 2pg/kg/menit, dan secara bersamaan pemakaian oral harus dioptimalkan (IIa B).
Dopamine Dopamine juga menstimulasi reseptor B-adrenergik, secara langsung dan tidak langsung, dengan akibat meningkatkan kontraklilitas miokardium dan cardiac output, merupakan efek inotropik tambahan. Infus dopamine dosis rendah (<2-3 pglkglmenit) akan menstimulasi reseptor dopaminergik, tetapi sedikit efek terhadap diuresa Dosis tinggi dopamine dapat dipakai untuk mempertahankan tekanan darah sistolik, tetapi dapat meningkatkan risiko tachikardi, aritmia, dan stimulasi a adenergik. Dopamine dan dobutamin harus hati-hati bila frekuensi denyut jantung >lo0 kali permenit. Stimulasi a adenergik pada pemakaian dosis tinggi dapat menyebabkan vasokonstriksi dan peninggian resistensi vaskuler sistemik. Dosis rendah dopamine sering dikombinasi dengan dobutamin dosis tinggi (IIbC). Milrinone dan Enoximone Milrinone dan enoximone
keduanya
adalah
Vasopressor Vasopressor (Norepinephrine) tidak direkomendasikan sebagai terapi awal (first line agents) pada GJA, dan hanya diberikan pada penderita dengan syok kardiogenik apabila kombinasi obat-obat inotropik dan pengaturan cairan, gaga1menaikkan tekanan darah sistolik lebih dari 90mmHg, dengan perfusi perifer yang tidak adekuat, meskipun ada perbaikan cardiac output (IC). Pasien dengan sepsis yang menyebabkan GJA mungkin memerlukan vasopressor, sementara syok kardiogenik biasanya disertai oleh tahanan vaskuler sistemik yang tinggi. Semua vasopressor pemakaiannya harus hati-hati dan harus dihentikan secepat mungkin. Noradrenalin bisa dikombinasi dengan inotropik lain pada syok kardiogenik, walau idealnya diberikan lewat "central line". Epinephrine tidak direkomendasikan sebagai inotropik atau vasopressor pada pasien syok kardiogenik, dan hanya dibatasi sebagai
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
terapi penyelamatan (rescue therapy) pada pasien dengan henti jantung (cardiac arrest) (IIb C). Glikosida Jantung Pada GJA glikosida jantung hanya menaikkan sedikit kardiak output dan penurunan dari tekanan pengisian mungkin bermanfaat untuk menurunkan laju ventrikel pada keadaan rapid atrial fibrilasi (IIb C)
ALUR PENANGANANGJA Sesudah penilaian awal, semua pasien harus diberikan terapi oksigen, dan NIV. Target terapi pada fase prehospital atau ruang emergency adalah segera memperbaiki oksigenasijaringan dan mengoptimalkan hemodinamik dan saat bersamaan segera memperbaiki simptom-simptom dan memungkinkan untuk intervensi. Strategi terapi spesifik harus berdasarkan ciri khas kondisi klinis yang terutama seperti berikut ini. GJK Dekompensasi Direkomendasikan pemberian vasodilator bersamaan dengan loop diuretic. Pertimbangkan pemakaian dosis tinggi dari diuretic pada penerita yang sudah mendapat diuretika lama sebelumnya dan penderita dengan disfungsi ginjal. Obat-obat inotropik dapat diberikan pada penderita hipotensi, dan pasien dengan hipoperfusi. Edema Paru Morphine biasanya diindikasikan, terutama apabila sesak disertai rasa nyeri dan ketakutan. Vasodilator dapat direkomendasikan asal tekanan darah normal atau tinggi dan diuretika apabila ada volume overload atau retensi air. Inotropik diperlukan apabila ada hipotensi dan tandatanda hipoperfusi organ. Intubasi atau ventilasi mekanik meungkin diperlukan untuk memperoleh oksigensasi yang adekuat. GJ Hipertensif Direkomedasikan vasodilator dengan monitoring yang ketat dan terapi diuretic dosis rendah pada penderita dengan volume overload, atau edema paru. Syok Kardiogenik Pembebanan cairan apabila secara klinis diperlukan (250 mll 10 menit) diikuti obat inotropik, apabila tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg. Apabila dengan inotropik gagal menaikkan tekanan darah dan tanda hipoperfusi organ masih menetap, norepineptrian boleh ditambahkan dengan sangat hati-hati, Pompa intraaortic ballon (iABP) dan intubasi harus dipertimbangkan. Alat bantu jantung
(LVADs) mungkin dipertimbangkan apabila potensial kausa dari GJA adalah reversibel, dan dapat sebagai jembatan (bridge) untuk tindakan selanjutnya. (misalnya operasi). GJ Kanan Pembebanan cairan biasanya tidak efektif, ventilasi mekanikal hams dihindari. Obat-obat inotropik diperlukan apabila ada tanda-tanda hipoperfusi jaringan. Harus dipikirkan adanya emboli paru atau infark akut ventrikel kanan.
GJA pada SKA Semua pasien dengan SKA dan tanda-tanda GJ hams diperiksakan echocardiografi dan menilai fungsi sistolik dan diastolic. Fungsi katup dan menyingkirkan gangguan jantung lainnya atau komplikasi mekanis dari infarkjantung akut (IC). Pada penderita SKA dengan komplikasi GJA, reperfusi dini dapat memperbaiki program (ada guidelines tersendiri) Apabila PC1 atau bedah (CABG) belum tersedia boleh juga dicoba dengan fibrinolitik pada pasien dengan STEMI. CABG secepatnya diindikasikan pada penderita dengan komplikasi mekanikal pada penderita infark jantung akut. Syok kardiogenik pada SKA harus dipasang IABP, corangiografi koroner, dan revaskularisasi primer (PCI) harus dipertimbangkan secepat mungkin (I C). Pemakaian beta blocker dan ACE IIARB pada dekompensasi akut gagal jantung kronik. ACE I tidak diindikasikan untuk menstabilkan awal dari GJA. Akan tetapi pasien dengan risiko tinggi pasien masuk pada keadaan GJK,ACE VARB memegang peranan penting pada fase awal GJA pasien infark jantung akut, terutama bila dijumpai tanda-tanda gagal jantung atau bukti gangguan fingsi sistolik ventrikel kiri. Kedua obat ini dapat mencegah remodeling, mengurangi morbiditas dan mortalitas. Belum ada kesepakatan kapan memulai obatobat ACE il ARB pada penderita GJA. Pada umumnya disetujui pemberiannya sebelum pulang dari RS. Apabila terjadi perburukan dari gagal jantung pada pemberian ACE iIARB, obat ini harus diteruskan selama mungkin (I A). Pada pasien gagal jantung dekompensasi akut, dosis beta blocker mungkin perlu diturunkan sementara, atau dihentikan, walaupun umumnya pengobatan jangan dihentikan sampai pasien secara klinis belum stabil dengan tanda-tanda low out put. Pengobatan mungkin bisadihentikan dulu apabila terdapat komplikasi bradikardia. AV Block derajat tinggi, bronchospasme atau syok kardiogenik, atau pada kasus GJA berat dan respons tidak adekuat pada terapi initial. Pasien infark jantung akut dengan tanda-tanda gagal jantung atau disfungsi ventrikel kiri, B Blocker harus dimulai sedini mungkin paling tidak sebelum dipulangkan dari RS. Pasien yang dirawat dengan GJA, B blocker hams dipertimbangkan apabila klinis sudah
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1595
CACAL JANTUNC AKUT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI stabil dengan ACE I atau ARB dan dimulai sebelum pasien dipulangkan dari RS (IIaB).
The Criteria Committee of The New York Heart Association. Nomenclature and criteria for Diagnosis of Disease of the Heart and Great Vessels. 9th ed. Little Brown & Co;1994. 3333253-256. Hunt SA, Abraham WT, Chin MH,et al. ACCIAHA 2005 Guideline update for the diagnosis and management of chronic heart failure in the adult: a Task Force on Practice Guidelines. Circulation 2005;112:e154-e235. Kenneth Dickstein, Alain Cohen-Solal, Garasimos Filippatos, et al. The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008 of the European Society of Cardiology. European Heart Journal (2008) 29, 2388-2442. Sharon Ann Hunt, Abraham WT., Marshall H.Chin, et al. 2009 Focused Update Incorporated Into the ACCIAHA 2005 Guidelines for the Diagnosis and Management of Heart Failure in Adults. (Full Text). Circulation. 2009; 119:e391-e479). Nieminen MS, Bohm M, Cowie MR, et al. Executive summary of the guidelines on the diagnosis and treatment of acute heart failure: the Task Force on Acute Heart Failure of the European Society of Cardiology. Eur Heart J 2005;26:384-416. Fillipatos G, Zannad F. An introductionto acute heart failure syndromes: definition and classification. Heart Fail Rev 2007;12:8790. Killip T 3rd, Kimball JT. Trereatment of myocardial infarction in a coronary care unit. A two year experience with 250 patients. Am J Cordiol 1967:20:457-464. Forrester JS. Diamond GA, Swan HJ. Correlative classification of clinical and hemodynamic function after acute myocardial infarction. Am J.Cardio1 1977;39:137-145. Maisel AS, Bhaila V, Braunwald E. Cardiac biomarkers: a contemporary status report. Nature Clin Pract.2006;3:24-34. Maisel AS, Krishnaswarny P, Nowak RM,et al. Rapid measurement of B-type natriuretic peptide in the emergency diagnosis of heart failure. N Engl J Med 2002;347:161-167. Moe GW, Howlett J, Januzzi JL, et al. N-terminal pro-B-type natriuretic peptide testing improves the management of patients with suspected acute heart failure: primary results of the Canadian prospective random- ized multicenter IMPROVED-CHF study Circulation. 2007;115:3103-10. Bassand JP, Hamm CW. Ardissino D,et al. Guidelines for the diagnosis and treatment of non ST-segment elevation acute coronary syndromes. Eur Heart J 2007;28:1598-1660.
Peter JV, Moran JL. Philips-Hughes J, Graham P.Bersten AD. Effects of non invasive positive pressure ventilation (NIPPV) on mortality in patients with acute cardiogenic pulmonary oedema: a meta-analylis. Lancet 2006;367:1155-1163. Lee G.DeMaria AN, Amsterdam EA, et al. Comparative effects of morphine, meperidine and pentazocine on cardiocirculatory dynamic in patients with acute myocardial infarction. Am J Med 1976;60:949-955. Mebazaa A, Gheorghiade M, Pina IL, et al. Practical recommendations for prehospital and early in -hospital management of patients presenting with acute heart failure syndromes. Crit Care Med.2008;36:S129-39. Costanzo MR, Johannes RS, Pine M, et al. The safety of intravenous diuretics alone versus diuretics plus parenteral vasoactive therapies in hospitalized patients with acutely decompensated heart failure: a propensity score and instrumental variable analysis using the Acutely Decompensated Heart Failure National Registry (ADHERE) database. Am Heart J. 2007;154:267-77. Costanzo MR, Guglin ME, Saltzberg MT, et al. Ultrafiltration versus intravenous diuretics for patients hospitalized for acute decompensated heart failure. J Am Coll Cardiol. 2007;49:67583. Elkayam U, Bitar F, Akhter MW,et al. Intravenous nitroglycerin in the treatment of decompensated heart failure: potential benefits and limitations. J Cardiovasc Pharmacol Ther 2004;9:227241. Sackner-Bernstein JD, Skopicki HA, Aaronson KD. Risk of worsening renal function with nesiritide in patients with acutely decompensated heart failure. Circulation. 2005; 1 11 : 1487-9 1 . Bayram M, De Luca L, Massie MB,Gheorghiade M. Reassessment of dobutamine, dopamine, and milrinone in the management of acute heart failure syndromes. J Am CON Cardiol 2005;96:47G5 8G. Galley HF. Renal dose doparnine: will the message now get through? Lancet 2000;356:2112-2113. Felker GM, Benza RL, Chandler AB, et al. Heart failure etiology and response to milrinone in decompensated heart failure: results from the OPTOME-CHF study. J Am CON Cardiol 2003;41:9971003. Cuffe MS, Califf RM, Adams KF, et al. Short-term intravenous milrinone for acute exacerbation of chronic heart failure: a randomized controlled trial. JAMA. 2002;287:1541-7. Mebazaa A, Nieminen MS, Packer M, et al. Levosimendan vs dobutamine for patients with .acute decompesated heart failure: the SURVIVE Randomized Trial. J A M 2007;297: 1883- 1891.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
GAGAL JANTUNG KRONIK Ali Ghanie
PENDAHULUAN Definisi Gagal Jantung Kronik Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiologi, di mana terdapat kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Suatu definisi objektif yang sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung kronik hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas pada disfungsi ventrikel. Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang komplek yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik dalam keadaan istirahat atau latihan, edema dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat. Epidemiologi Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4%-2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Ramalan dari gagal jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki. Setengah dari populasi pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50% akan meninggal dalam tahun pertama. ETlOLOGl DAN FAKTOR PENCETUS Penyebab dari gagal jantung antara lain disfungsi miokard, endokard, perikardium, pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Di Eropa dan Amerika disfungsi miokard paling sering terjadi akibat penyakit jantung koroner biasanya akibat infark miokard, yang merupakan penyebab paling sering pada usia kurang dari 75 tahun, disusul hipertensi dan diabetes. Sedangkan di
Indonesia belum ada data yang pasti, sementara data rumah sakit di Palembang menunjukkan hipertensi sebagai penyebab terbanyak, disusul penyakit jantung koroner dan katup.
Pencetus Sebagaimana diketahui keluhan dan gejala gagal jantung, edema paru dan syok sering dicetuskan oleh adanya berbagai faktor pencetus. Hal ini penting diidentifikasi terutama yang bersifat reversibel karena prognosis akan menjadi lebih baik.
TATALAKSANAGAGAL JANTUNG KRONIK Dalam 10-15 tahun terakhir terlihat berbagai perubahan dalam pengobatan gagal jantung. Pengobatan tidak saja ditujukan dalam memperbaiki keluhan, tetapi juga diupayakan pencegahan agar tidak terjadi perubahan disfungsi jantung yang asimtomatik menjadi gagal jantung yang simtomatik. Selain dari pada itu upaya juga ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan diharapkan jangka panjang terjadi penurunan angka kematian. Oleh karena itu dalam pengobatan gagal jantung kronik perlu dilakukan identifikasi objektif jangka pendek dan jangka panjang. Dalam tulisan ini karni mengacu kepada petunjuk atau guidelines dari European Society of Cardiology (ESC) tahun 2001 dan 2005 serta American Heart Association 2001. Tingkat rekomendasi (Class) dan tingkat kepercayaan (evidence)mengikuti format petunjuk atau guidelines dari ESC 2005, di mana untuk rekomendasi: Class I Adanya buktikesepakatan umum bahwa tindakan bermanfaat dan efektif
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
GAGAL JANTUNG KRONIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Class 11 1I.a
Bukti kontroversi Adanya bukti bahwa tindakan cenderung bermanfaat Manfaat dan efektivitas kurang terbukti IIb Class 111 Tindakan tidak bermanfaat bahkan berbahaya sedangkan tingkat kepercayaan: A data berasal dari uji random multipel, atau metaanalisis B data berasal dari satu uji random klinik C Konsensus, pendapat para pakar, uji klinik kecil, studi retrospektif atau registrasi
Upaya Pencegahan Pencegahan gagal jantung, harus selalu menjadi objektif primer terutama pada kelompok dengan risiko tinggi. Obati penyebab potensial dari kerusakan miokard, faktor risiko jantung koroner Pengobatan infark jantung segera di triase, serta pencegahan infark ulangan Pengobatan hipertensi yang agresif Koreksi kelainan kongenital serta penyakit jantung katup Memerlukan pembahasan khusus Bila sudah ada disfungsi miokard, upayakan eliminasi penyebab yang mendasari, selain modulasi progresi dari disfungsi asimtomatik menjadi gagal jantung.
PENANGANANGAGAL JANTUNG KRONIK Pendekatan terapi pada gagal jantung dalam ha1 ini disfungsi sistolik dapat berupa: Saran umum, tanpa obat-obatan Pemakaian obat-obatan Pemakaian alat, dan tindakan bedah
Penatalaksanan Umum, Tanpa Obat-obatan Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab, dan bagaimana mengenal serta upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, edukasi aktivitas seksual, serta rehabilitasi Edukasi pola diet, kontrol asupan garam, air dan kebiasaan alkohol Monitor berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan yang tiba-tiba Mengurangi berat badan pada pasien dengan obesitas Hentikan kebiasaan merokok. Pada perjalanan jauh dengan pesawat, ketinggian, udara panas dan humiditas memerlukan perhatian khusus Konseling mengenai obat, baik efek samping, dan menghindari obat-obat tertentu seperti NSAID, antiaritmiaklas I, verapamil, diltiazem, dihidropiridin efek cepat, antidepresan trisiklik, steroid
Pemakaian Obat-obatan Angiotensin-converting enzyme inhibitorlpenyekat enzim konversi angiotensin Diuretik Penyekat beta Antagonis reseptor aldesteron Antagonis reseptor angiotensin I1 Glikosidajantung Vasodilator agents (nitratlhidralazin) Nesiritid, merupakan peptid natriuretik tipe B Obat inotropik positif, dobutamin, milrinon, enoksimon Calcium sensitizer, levosimendan Antikoagulan Antiaritmia Oksigen Pemakaian Alat dan Tindakan Bedah Revaskularisasi (perkutan, bedah) Operasi katup mitral Aneurismektomi Kardiomioplasti External cardiac support Pacu jantung, konvensional, resinkronisasi pacu jantung biventrikular Implantable cardioverter dejbrillators (ZCD) Heart transplantation, ventricular assist devices, art$cial heart Ultrafiltrasi, hemodialisis. Terapi Farmakologi Angiotensin-converting enzyme inhibitordpenyekat enzim konversi angiotensin (Tabel ldan 2). Dianjurkan sebagai obat lini pertama baik dengan atau tanpa keluhan dengan fraksi ejeksi 40-45% untuk meningkatkan survival, memperbaiki simtom, mengurangi kekerapan rawat inap di rumah sakit (I, A) Hams diberikan sebagai terapi awal bila tidak ditemui retensi cairan. Bila disertai retensi cairan hams diberikan bersama diuretik. (I, B) Hams segera diberikan bila ditemui tanda dan gejala gagal jantung, segera sesudah infark jantung, untuk meningkatkan survival, menurunkan angka reinfark serta kekerapan rawat inap. Harus dititrasi sampai dosis yang dianggap bermanfaat sesuai dengan bukti klinis, bukan berdasarkan perbaikan gejala. Diuretik Loop diuretic,tiazid, metolazon (Tabel 3) Penting untuk pengobatan simtomatik bila ditemukan beban cairan berlebihan, kongesti paru dan edema perifer.(I, A) Tidak ada bukti dalam memperbaiki survival, dan hams
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Mortalitas Penelitian Obat Penelitian pada Gagal jantung kronik Consensus Trial Study Group, 1978 Cohn et al. (VHeFT 11,1991) The SOLVD Investigators, 1991 ATLAS
Target Dosis
Dosis Harian Rerata
Enalapril
20 mg b.i.d
18.4 mg
Enalapril
10 mg b.i.d
15.0 mg
Enalapril
10 mg b.i.d
16.6 mg
Dosis tinggi: 32.5 - 35 rng perhari Dosis 2.5 - 5 mg perhari rendah: Penelitian pasca IM dengan disfungsi LV dengan atau tanpa GJ Lisinopril
Pfeffer et al Captopril 50 rng t.i.d (tidak ada) (SAVE, 1992) AlRE Ramipril 5 mg b.i.d (tidak ada) TRACE Trandolapril 4 mg daily (tidak ada) LV = Left Ventriculac MI = Myocardial Infarction; HF = Heart failure
Obat
Dosis inisial
Dosis pemeliharaan
Benazepril Captopril Enalapril Lisinopril Quinapril Perindopril Ramipril Cilazapril Fosinopril Trandolapril
2.5 mg 6.25 mg t.i.d 2.5 rng perhari 2.5 rng perhari 2.5-5 mg perhari 2 rng perhari 1.25 - 2.5 mg perhari 0.5 mg perhari 10 mg perhari 1 rng perhari
5 - 10 mg b i d 25 - 50 rng t.i.d. 10 mg b.i.d. 5 - 20 rng perhari 5 - 10 rng perhari 4 mg perhari 2.5 - 5 mg b.i.d 1 - 2.5 rng perhari 20 rng perhari 4 rng perhari
* Manufacture's or regulatory recommendations
dikombinasi dengan penyekat enzim konversi angiotensin atau penyekat beta.
p-
Blocker (Obat Penyekat Beta) Direkomendasi pada semua gagal jantung ringan, sedang, dan berat yang stabil baik karena iskemi atau kardiomiopati non iskemi dalam pengobatan standar seperti diureti atau penyekat enzim konversi angiotensin. Dengan syarat tidak ditemukan adanya kontra indikasi terhadap penyekat beta. Terbukti menurunkan angka masuk rumah sakit, meningkatkan klasifikasi fungsi (I, A) Pada dishngsi jantung sistolik sesudah suatu infark miokard baik simtomatik atau asimtomatik, penambahan penyekat beta jangka panjang pada pemakaian penyekat enzim konversi angiotensin terbukti
menurunkan mortalitas.(I.B) Sampai saat ini hanya beberapa penyekat beta yang direkomendasi yaitu bisoprolol, karvedilol, metoprolol suksinat, dan nebivolol(1,A) (Tabel 4)
Antagonist Reseptor Aldosteron (Tabel 5) Penambahan terhadap penyekat enzim konversi angiotensin, penyekat beta, diuretik pada gagal jantung berat (NYHA 111-IV) dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas (1, B) Sebagai tambahan terhadap obat penyekat enzim konversi angiotensin dan penyekat beta pada gagal jantung sesudah infark jantung, atau diabetes, rnenurunkan morbiditas dan mortalitas (I, B) Antagonis Penyekat Reseptor Angiotensin I1 Masih merupakan alteinatif bila pasien tidak toleran terhadap penyekat enzim konversi angiotensin Penyekat angiotensin I1 sama efeketif dengan penyekat enzim konversi angiotensin pada gagal jantung kronik dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas (IIa, B) Pada infark miokard akut dengan gagal jantung atau disfungsi ventrikel, penyekat angiotensin I1 sama efektif dengan penyekat enzim konversi angiotensin dalam menurunkan mortalitas (I, A) Dapat dipertimbangkan penambahan penyekat angiotensin I1 pada pemakaian penyekat enzim konversi angiotensin pada pasien yang simtomatik guna menurunkan mortalitas (IIa, B)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1599
GACAL JANTUNG KRONIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI - -
Dosis lnisial
Rekomendasi Harian Maksimum (ms)
20 - 40 0.5 - 1.0 5 - 10
250 - 500 5 - 10 100 - 200
Hipokalemia, hipomagnesernia, hiponatrernia Hiperurikemia, intoleransi glukosa Gangguan asarn basa
25 2.5 2.5
50 - 75 10 2.5
Hipokalemia, hipomagnesaernia, hiponatrernia Hiperuricaemia, intoleransi glukosa Gangguan asam basa
Loop diuretics Furosemid Bumetanid Torasemid Tiazid Hidroklorotiazid Metolazon lndapamid
Potassium-sparing diuretic Amilorid Triamteren Spironolacton
+ACE1 2.5 25 26
-ACE1 5 50 50
+ACE1 20 100 50
-ACE1 40 200 100-200
Efek Samping Utama
Hiperkalemia, rash Hiperkalernia Hiperkalemia, ginaekornastia
increments
Target dose
(ms.day-'l
(mg.day-l)
1.25
2.5, 3.75, 5, 7.5, 10
10
Minggu-Bulan
5
10, 15, 30, 50, 75,100
150
Minggu-Bulan
Carvedilol
12.5125
25, 50, 100, 200
200
Minggu-Bulan
Nebivolol
3.125
6.25, 12.5, 25, 50
50
Minggu-Bulan
Beta-blocker Bisoprolol Metoprolol suksinat CR
dose (rng)
Titration period
Frekuensi pemberian harian seperti pada penglihatan rujukan diatas.
1. Pertimbangkan apabila gagal jantung berat (NYHA Ill - IV) meskipun telah menggunakan penyekat enzym konversi .angiotensinldiuretik 2. Periksa potasium serum ( ~ 5 . mmol.~.') 0 dankreatini ( ~ 2 5 0 l~mo~.~-') 3. Tambahkan 25 mg spironolacton per hari 4. Periksa serum potassium dan kreatinin setelah 4 - 6 days 5. Jika serum potassium > 5 - 5.5 c mmol.~.',kurangi dosis sampai 50%, dan hentikan bila serum potassium ;5.5 mmol.l-'. 6. Jika setelah 1 bulan keluhan menetap tanpa kenaikan serum potasium, naikkan dosis sarnpai 50 rng perhari. Ulangi perneriksaan serum potassiumlkreatinin sesudah 1 minggu
Glikosida Jantung (Digitalis) Merupakan indikasi pada fibrilasi atrium pada berbagai derajat gagal jantung, terlepas apakah gagal jantung bukan atau sebagai penyebab.(I,B) Kombinasi digoksin dan penyekat beta lebih superior dibandingkan bila dipakai sendiri-sendiri tanpa kombinasi.
Tidak mempunyai efek terhadap mortalitas, tetapi dapat menurunkan angka kekerapan rawat inap. (Ha, A) Vasodilator Tidak ada peran spesifik vasodilator direk pada gaga1 jantung kronik (111, A) Hidralazin-isosorbid Dinitrat Dapat dipakai sebagai tambahan, pada keadaan di mana pasien tidak toleran terhadap penyekat enzim konversi angiotensin atau penyekat angiotensin I1 (1,B). Dosis besar hidralazin (300 mg) dengan kombinasi isosorbid dinitrat 160 mg tanpa penyekat enzim konversi angiotensin dikatakan dapat menurunkan mortalitas. Pada kelompok pasien AfrikaAmerika pemakaian kombinasi isosorbid dinitrat 20 mg dan hidralazin 37.5 mg, tiga kali sehari dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas dan memperbaiki kualitas hidup.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Obat Terbukti rnenurunkan rnortalitas dan rnorbiditas Candesartan Valsartan Lain - lain Eprosartan Losartan lrbesartan Telrnisarlan
Dosis (mg)
4 - 32 80 - 320
400 - 800 50 - 100 150 - 300 40 - 80
Nitrat Sebagai tambahan bila ada keluhan angina atau sesak (Ila, C), jangka panjang tidak terbukti memperbaiki simtom gagal jantung. Dengan pemakaian dosis yang sering, dapat terjadi toleran (takipilaksis), ole11 karena itu dianjurkan interval 8 atau 12 jam, atau kombinasi dengan penyekat enzim konversi angiotensin Obat Penyekat Kalsium Pada gagal jantung sistolik penyekat kalsium tidak direkomendasi, dan dikontraindikasikan pemakaiaan kombinasi dengan penyekat beta (111, C) Felodipin dan amlodipin tidak memberikan efek yang lebih baik untuk survival bila digabung dengan obat penyekat enzim konversi angiotensin dan diuretik. (II1,A) Data jangka panjang menunjukkan efek netral terhadap survival, dapat dipertimbangkan sebagai tambahan obat hipertensi bila kontrol tekanan darah sulit dengan pemakaian nitrat atau penyekat beta. Nesiritid Merupakan klas obat vasodilator baru, merupakan rekombinan otak manusia yang dikenal sebagai natriuretik peptida tipe B. Obat ini identik dengan hormon endogen dari ventrikel, yang mempunyai efek dilatasi arteri, vena dan koroner, dan menurunkan pre dun afterload, meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropik. Sejauh ini belum banyak data klinis yang menyokong pemakaian obat ini. lnotropik Positif Pemakaian jangka panjang dan berulang tidak dianjurkan karena meningkatkan mortalitas (111, A) Pemakaian intravena pada kasus berat sering digunakan, namun tidak ada bukti manfaat, justru komplikasi lebih sering muncul. (I1 b, C) Penyekat fosfodiesterase, seperti milrinon, enoksimon efektif bila digabung dengan penyekat beta, dan mempunyai efek vasodilatasi perifer dan koroner. Namun disertai juga dengan efek takiaritmia amal dan
ventrikel, dan vasodilatasi berlebihan dapat menimbulkan hipotensi Levosimendan, merupakan sensitisasi kalsium yang baru, mempunyai efek vasodilatasi namun tidak seperti penyekat fosfodiesterase, tidak menimbulkan hipotensi. Uji klinis menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan dobutamin. Anti Trombotik Pada gagal jantung kronik yang disertai fibrilasi atrium, riwayat fenomena tromboemboli, bukti adanya trombus yang mobil, pemakaian antikoagulan sangat dianjurkan (1, A) Pada gagal jantung kronik dengan penyakit jantung koroner, dianjurkan pemakaian antiplatelet. (IIa, B) Aspirin hams dihindari pada perawatan rumah sakit berulang dengan gagal jantung yang memburuk.
Anti Aritmia Pemakaian selain penyekat beta tidak dianjurkan pada gagal jantung kronik, kecuali pada atrial fibrilasi dan ventrikel takikardi Obat aritmia klas I tidak dianjurkan Obat anti aritmia klas I1 (penyekat beta) terbukti menurunkan kejadian mati mendadak (1,A) dapat dipergunakan sendiri atau kombinasi dengan amiodaron (IIa, C) Anti aritmia klas 111, amiodaron efektif untuk supraventrikel dan ventrikel aritmia (1,A) amiodaron rutin pada gagal jantung tidak dianjurkan. Suatu data survei di Eropa menunjukkan bahwa pemakaian obat-obat pada gagaljantung kronik masih belum maksimal, demikian juga yang terjadi dalam praktek seharihari di Indonesia. Sebagai acuan praktis dari ESCguidelnes 2005, strategi pemilihan kombinasi obat pada berbagai keadaan gagal jantung secara sistematis dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8.
Telah dibahas suatu tatalaksana gagal jantung terkini yang mengacu pada ESC guidelines, di mana terlihat bahwa penanganan pasien gagal jantung kronik mengalami perkembangan yang signifikan. Tatalaksana gagal jantung kronik harus disesuaikan bagi setiap individu dan daerah, karena perbedaan sosial ekonomi, sarana dan modalitas kesehatan yang berbeda. Terlihat perlunya pelayanan holistik terpadu mulai dari pusat pelayanan primer, dokter umum di daerah, dokter spesialis di pusat-pusat pelayanan sekunder dan pusat rujukan.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1601
GACAL JANTUNG KRONIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Inhibitor
~;ce~tor Blocker
~ldoseron
Jantung
Disfungsi LV asimtomatik dysfunction GJ simtomatik (NYHA II)
lndikasi
If ACE intolerant
Not indicated
Pasca lnfark
lnfark baru
Dengan fibrilasi atrial
lndikasi
lndikasi dengan atau tanpa ACEinhibitor
Indicated if fluid retention
lndikasi
lnfark baru
GJ memburuk (NYHA Ill-IV)
lndikasi
lndikasi dengan atau tanpa ACE inhibitor
Indicated, combination of diuretics
lndikasi
GJ tahap akhir (NYHA IV)
indikasi
lndikasi dengan atau tanpa ACE-inhibitor
Indicated, combination of diuretics
lndikasi (di bawah pengawasan spesialis) lndikasi (di bawah pengawasan spesialis)
a.when atrial fibrillation b.when improved from more severe HF in sinus rhythm lndikasi
lndikasi
lndikasi
Untuk suwivallmorbiditas
Untuk gejala
- -
NYHA I
Lanjutkan ACE inhibitor IARB jika intoleran ACE inhibitor, lanjutkan antagonis aldosteron jika pasca-MI Tarnbah penyekat beta jika pasca MI.
Pengurangan I
NYHA I1
Ace inhibitor sebagai terapi lini pertarna ARB jika intoleran ACE inhibitor tarnbah penyekat beta dan antagonis aldosteron jika pasca MI
+I- diuretik tergantung pada retensi cairan
NYHA Ill
ACE inhibitor + ARB atau ARB Jika intoleran ACE sendiri Penyekat beta Tambah aldosteron Antagonis
+ diuretik + digitalis jika rnasih simtornatik
NYHA IV
Lanjutkan ACE inhibitor I ARB Penyekat beta Antagonis aldosteron
+ diuretik + digitalis + consider suport inotropis sernentara
REFERENSI Chodilawati,R., Ghanie,A. Pola etiologi gagal jantung di RSMH Palembang. Kopapdi Menado 2003. Francis, GS, Gassler, JP, Sonnenblick, EH. Pathophysiology and diagnosis of heart failure. In The Heart. Fuster V, Alexander, RW., O'Rourke, AR. 10Ih edition. Volume 1 . Mc. Graw Hill. p.655. Gibbsons, RJ., Antman, EA., Alpert, J.S., et al. Guidelines for the evaluation and management of chronic heart failure in the adult. ACCIAHA Practice guidelines-Full text. American College of Cardiology and the American Heart Association, Inc. 2001.
Remme, W.J., Swedberg, K. Guidelines for the diagnosis and treatment of chronic heart failure : Task force for the diagnosis and treatment of chronic heart failure. Euro Heart J. 200 1 ;22: 1527-55 Swedberg, K., Chairperson. Guidelines for the diagnosis and treatment of chronic heart failure: full text (update 2005). The European Society of Cardiology 2005.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
MEKANISME DAN KLASIFIKASI ARITMIA A. Muin Rahman
PENDAHULUAN Bila yang dimaksud dengan irama jantung normal adalah irama yang berasal dari nodus SA, yang datang secara teratur dengan frekuensi antara 60- 100 lmenit, dan dengan hantaran tak mengalami hambatan pada tingkat manapun, maka irarnajantung lainnya dapat dikatakan sebagai aritmia. Jadi yang dapat didefinisikan sebagai aritmia adalah: Irama yang berasal bukan dari nodus SA. Irama yang tidak teratur, sekalipun ia berasal dari nodus SA, misalnya sinus aritnlia. Frekuensi kurang dari 60ximenit (sinus bradikardia) atau lebih dari 1OOxImenit (sinus takikardia). Terdapatnya hambatan impuls supra atau intra ventrikular. Jelaslah bahwa untuk membaca irama jantung, disamping frekuensi dan teratur atau tidaknya, hams dilihat juga tempat asal (fokus) irama tersebut. Nodus SA merupakan fokus irama jantung yang paling dominan, sehingga pada umumnya irama jantung adalah irama sinus. Bila nodus SA tidak dapat lagi mendominasi fokus lainnya, maka irama jantung akan ditentukan oleh fokus lainnya itu. Fokus irama jantung ini menjadi dasar dari klasifikasi aritmia. Klasifikasi aritmia masih bisa ditentukan pula oleh kecepatan hantaran impuls melalui berkas penghantar seperti berkas His dan percabangannya (Bundle Branch), yang bisa mendapat berbagai bentuk hambatan dari parsial sampai total (komplit).
MEKANISME TERJADINYAARITMIA Dalam jantung terdapat sel-sel yang mempunyai, automatisitas, artinya dapat dengan sendirinya secara teratur melepaskan rangsang (impuls). Sel-sel ini'setelah
repolarisasi fase 1, 2 dan 3, akan rnasuk ke fase 4 yang secara spontan perlahan-perlahan akan mengalami depolarisasi, dan apabila telah meliwati ambang batasnya akan timbullah impuls. Impuls in; kemudian akan merangsang sel-sel sekitarnya, selanjutnya disebarkan keseluruh jantung sehingga menghasilkan denyut jantung spontan. Kelompok-kelompok sel yang ~nempunyaiautomtisitas, misalnya terdapat pada nodus SA ,kelompok sel-sel yang terdapat di atrium dan ventrikel, AVjzmction, sepanjang berkas (bundle) His dan lain-lain. Pada keadaan normal yang paling dominan adalah yang berada di nodus SA. Bila ia mengalami depresi dan tak tak dapat mengeluarkan impuls pada waktunya, maka fokus yang berada di tempat lain akan mengambil alih pembentukan impuls sehingga terjadilah irama jantung yang baru yang kita katakan sebagai aritmia. Kadang-kadang fokus lainnya secara aktif mengambil alih dominasi nodus SA dan menentukan irama jantung tersebut, dengan frekuensi yang lebih cepat, misalnya pada ventrikular atau supraventrikular takikardia. Selain dari itu, sudah diutarakan di atas, bahwa kecepatan perjalanan impuls menuju keseluruh jantung juga dapat menimbulkan aritmia. Maka dapat disimpulkan bahwa aritmia bisa timbul melalui mekanisme berikut: *. Pengaruh persarafan autonom (simpatis dan para simpatis) yang mempengaruhi HR. Nodus SA mengalami depresi sehingga fokus irama jantung diambil alih yg lain. Fokus yang lain lebih aktif dari nodus SA dan mengontrol irama jantung. Nodus SA membentuk impuls, akan tetapi tidak dapat keluar (Sinus arrest) atau mengalami hambatan dalam perjalanannya keluar nodus SA (SA block). Terjadi hambatan perjalanan impuls sesudah keluar nodus SA, misalnya di daerah atrium, berkas His,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1603
MEKANISME DAN KLASlFlKASl ARITMllA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI ventrikel dan lain-lain. Hambatan yang terjadi dapat unit bi direksional atau dapat pula parsial s/d komplit, sehingga terjadi blok AV dari derajat 1, derajat 2 tipe 1 atau 2, derajat 3 atau komplit. Namun dapat pula menjadi dasar terjadinya aritmia lain, terutama takiaritmia, yaitu melalui mekanisme reentry. Fokus lain dapat mendominasi nodus SA dan mengambil alih irama jantung selain karena nodus SA tertekan, juga dapat karena fokus lainnya itu lebih aktif dengan frekuensi yang lebih tinggi. Terjadinya peningkatan frekuensi fokus lainnya dapat timbul dengan berbagai cara: - Pengaruh persarafan yang menekan nodus SA seperti telah dijelaskan di atas atau mengaktifkan kelompok-kelompok sel automatisitas di dalamldi luar nodus SA. - Timbulnya reentry takikardia di salah satu tempat penghantar baik supra atau ventrikular karena timbulnya hambatan parsial ataupun komplit, uni atau bi direksional, maupun hambatan masuknya impuls (entrance block) setempat. - Selain reentry tachycardia dan berbagai derajat blok AV seperti telah disebutkan pada 2 di atas, hambatan yang timbul pada penghantar dapat menjadi dasar terjadinya berbagai aritmia, seperti bundle branch block (BBB), rate dependent BBB/aberrant conduction, extra systole baik single, consequtive hingga Salvo/run, bahkan parosismal takikardia, parasistol,, fusion beat, dan lain-lain.
D
B
Gb. Unidirectional block pd ACB, tapi tidak pada ADB. lmpi~lsdari A ke B ~nelaluiD, kemudian dari B diteruskan ke distal, tapi ada yang kembali ke BCA ( block hanya arall ACB ), yang diteruskan lagi ke ADB dst, berputar tcrus. sehingga timbul takikardia melalui B. sampai ada impuls dari A y a y dapat memadarnkannya atau unidireksional block pulih kembali. Gambar blok parsial dari A ke B sehingga impuls dari A ke B me ngalami perlambatan tiba di B (AVB derajat I). sedangkan impuls berikutnya dari A dapat mengalaini hambatan yang lebih lama (interval PR lebih panjang). dan akhirnya impuls berikutnya dari .4 mengalami harnbatan total (AVB 2 tipe I). Bila impuls dari A mengalami hambatan total timbullah AVB3. Dapat pula impuls 1 dan 2 dari A tak mengalami hambatan. tapi impuls berikutnya mengalami hambatan total (AVB 2 tipe 2). Sebetulnya ilnpu Is 1 dan 2 telah men gal am^ harnbatan yang barn terlihat pada impuls berikutnya (concealed hlock). Bila impuls di Adatang dengan frekuensi lebih cepat, maka ia tiba di B, lalu mengalami barnbatan parsial dengan manifestasi QRS yg lebih lebar (aberantia). Bila impuls dari atas A (SV) dan dari samping A (ventrikel) masuk ke A pada saat yang hampir bersamaan ~nakaQRS yang dikeluarkan A bentuknya merupakan gabungan kedua impulstersebut Viision). Bila kedua impuls tsb tak dapat masuk ke A (entrance hlock), sedangkan A matnpu mengeluarkan impuls sendiri tiap? 1000 ms misalnya, maka impuls ini akan tetap keluar tanpa dipengarubi impuls lain (parasistol).
Gambar 1.
ETlOLOGl ARlTMlA Seperti telah dijelaskan di atas, Aritmia dapat tejadi karena hal-ha1 yang mempengaruhi kelompok sel-sel yang mempunyai automatisitas dan sistem penghantamya: Persarafan autonom dan obat-obatan yang mempengaruhinya. Lingkungan sekitamya seperti beratnya iskemia, pH dan berbagai elektrolit dalam serum, obat-obatan. Kelainanjantung seperti fibrotis dan sikatriks, inflamasi, metabolit-metabolit dan jaringan-jaringan abnormal1 degeneratif dalarnjantung seperti amiloidosis, kalsifikasi dan lain-lain. Rangsangan dari luar jantung seperti pace maker. Berbagai etiologi ini dapat saling memberatkan, artinya bila telah ada hipertrofi otot jantung misalnya, kemudian timbul pula iskemia dan gangguan balans elektrolit maka aritmia akan lebih mudah timbul, sedangkan mengontrolnyapun lebih sulit pula. Karena itu sebaiknya sudah ada data struktur jantung pasien waktu ia dirawat, sehingga sudah dapat diantisipasi atau bahkan sudah dapat mulai diberikan pencegahan timbulnya aritmia.
KLASlFlKASlARlTMlA Dari mekanisme terjadinya irama jantung dan aritmia maka dapatlah kita buat klasifikasi irarnajantung sebagai berikut: Irama berasal dari nodus SA. - Irama sinus normal, yaitu irama jantung normal pada umumnya. - Sinus aritmia, baik yang disebabkan pemapasan ("respiratory") ataupun tidak. - Sinus takikardia, peningkatan aktivitas node SA 100 kalitmenit atau lebih. Aritmia Atrial. - Fibrilasi atrial (AFi) dengan respons ventrikel cepat, normal atau lambat. - Fluter atrial (AFi). - Atrial takikardia, biasanya paroksismal (PAT, Paroxysmal Atrial Tachycardia). Ada juga yang disertai dengan blok hantarannya, dan disebut sebagai PAT dengan blok (PAT dengan blok). -. Ekstrasistol atrial yaitu bila denyut dari Atrial tersebut hanya datang satu per-satu, mungkin dari satu fokus (unifokal) atau lebih (multi fokal). Aritmia AV Jungsional. Ada yang timbul pasif, yaitu karena nodus SA kurang aktif sehingga diambil alih: - Irama AV Jungsional, biasanya bradikardia; bisa tinggi, sedang atau rendah. - AV Jungsional takikardia non paroksismal, yaitu irama ad 1 dg HR yang cepat (70- 130lmenit). Tapi ada pula yang secara aktif mendominasi nodus SA dan fokus-fokus lainnya:
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
,
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
- AV Jungsional ekstrasistol (uni-multi focal). - AV Jungsional takikardia paroksismal, seperti PAT.
Seringkali sukar membedakan antara irama yang berasal dari Atrial atau AV Jungsional, sehingga disebut saja sebagai irama supra ventikular, karena memang keduanya berasal dari atas ventrikel dan penatalaksanaannyapun tak jauh berbeda. Tetapi AFI dan AFi tidak mungkin dari AV Jungsional, sebagaimana irama AV Junctional pasif (non paroksismal) dapat dikenali bukan Atrial. Aritmia Supra Ventrikular (SV) lainnya. - Aritmia SV multifokallwanderingpacemaker. - Multifokal SV takikardia. - Multifokal SV takikardia dengan blok. - SV ekstrasistol "non conducted'. Aritmia Ventrikular. - Irama Idio Ventrikular, biasanya non paroksismal, dan idio ventrikular takikardialnon paroksismal ventrikular takikardia (non PVT). - Paroksismal ventrikular takikardia (PVT). - Fluter ventrikular (VFl) serta Fibrilasi ventrikular mi). - Parasistol ventrikular . Gangguan hantaran pada sekitar berkas His dan percabangannya (Bundle Branch). - Blok AV (AVB) derajat l , 2 (tipe 1 Wenkebach serta tipe2) dan 3 (total). - Bundle Branch Block (BBB), mungkin kanan (RBBB) atau kiri (LBBB), bisa parsial (incomplete) atau total (complete) dan bisa juga tergantung pada HR sehingga disebut sebagai "rate dependent Bundle Branch Block". Dalam suatu rekaman dari seorang pasien bisa ditemukan irama jantung sinus dengan ekstrasistol ventrikel (VES) atau SVES unifokal atau multifokal, multi fokal SVES dengan aberantia, atau irama jantung yang berganti-ganti ke aritmiaAVjungsional
atau atrial atau ventrikular, tergantung kondisi dan faktor etiologi yang ada. Tidakjarang kita mengalami kesukaran dalam mengenali irama ventrikular atau supraventrikular yang umumnya terapinya sangat berbeda. Kunci dari pembedaan ini adalah menemukan ada tidaknya gelombang P dan menentukan posisinyalhubungannya terhadap QRS. Irama ventrikular tidak didahului P atau tak ada hubungan antara P dan QRS. REFERENSI Damato AN, Lau SH, Helfant R, et al. A study of heart block in man using His bundle recordings. Circulation. 1969;39:297-305. Goldreyer BN, Damato AN. The essential role of atrioventricular conduction delay in the initiation of paroxysmal supraventricular tachycardia. Circulation. 1971;43:679-87 Horowitz LN, Josephson ME, Farshidi A, et al. Recurrent sustained ventricular tachycardia, 3: role of the electrophysiologic study in selection of antiarrhythmic regimens. Circulation. 1978;58:986-97. Lie KL,Wellens HJJ, Schuilenburg RM. Bundle branch block and acute myocardial infarction. In: Wellens HJJ, Lie KI, Janse MD,editors. The Conduction System of the Heart: Structure. Functionand Clinical Implications. Philadelphia (PA): Lea & Febiger, 1976:662-72. Josephson ME, Horowitz LN, Farshidi A, et al. Recurrent sustained ventriculartachycardia,l :mechanisms.Circulation. 1978;57:43 I-40. Lie KL,Wellens HJJ, Schuilenburg RM. Bundle branch block and acute myocardial infarction. In: Wellens HJJ, Lie KI, Janse MD,editors. The Conduction System of the Heart: Structure, Functionand Clinical Implications. Philadelphia (PA): Lea & Febiger, 1976:662-72. Mandel W, Hayakawa H, Danzig R, et al. Evaluation of sino-atrial node function in man by overdrive suppression. Circulation. 197 1;44:59-66. Narula OS, Scherlag BJ, Samet P, et al. triov ventricular block: localization and classification by His bundle recordings. Am J Med. 1971;50:146-65.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
GANGGUAN IRAMA JANTUNG YANG SPESIFIK Hanafi B. Trisnohadi
PENDAHULUAN Gangguan irama jantung (disritmia atau aritmia) tidak hanya terbatas pada denyut jantung yang tidak teratur, tetapi juga termasuk kecepatan denyut jantung yang abnormal dan gangguan konduksi. GANGGUAN PADA NODUS SINUS Sinus Bradikardia Sinus bradikardia ialah irama sinus yang kurang dari 60 kali per menit. (Gambar 1) Hal ini sering diketemukan pada olahragawan yang terlatih. Pada pasien usia Ianjut bradikardia sinus dapat disebabkan oleh gangguan faal nodus sinus. Bradikardia sinus dapat juga disebabkan karena miksedema (hipotiroidisme), hipotermia, vagotonia dan tekanan intrakranial yang meninggi. Umumnya bradikardia sinus tidak perlu diobati bila tidak ada keluhan. Tetapi bila denyut kurang dari 40 kali per menit dan pasien merasa gelap (black oz~t),mendapat serangan sinkop, lelah, hipotensi karena curah jantung yang sangat menurun, maka sebaiknya diobati dengan sulfas atropin, yang dapat diberikan secara intravena. Bila tidak berhasil dengan terapi medikamentosa, kadang-kadang perlu pemasangan pacu jantung.
I
1
Gambar 1. EKG menunjukkan brad~kard~a slnus dl mana tampak gelombang P normal dan t~apgelombang P dl~kut~ kompleks QRS yang normal, Interval PR juga normal ( 0.16 det~k) tap1 frekuenst gelombang P sangat lambat hanya 38 k a l ~per men~t
Blok Sinoatrial Blok sinoatrial ialah keadaan di mana pembentukan impuls di nodus sinus masih normal tapi impuls dari nodus sinus tidak dapat mencapai atrium secara lengkap sehingga pada gelombang P pada EKG tidak muncul pada waktunya dan jarak interval P-P menjadi dua kali jarak interval PP yang normal. Keadaan ini dapat disebabkan oleh stimulasi vagus yang berlebihan, miokarditis, penyakit jantung koroner, terutama infark jantung bagian inferior, keracunan digitalis atau obat anti aritmia yang lain. Blok sinoatrial dapat menimbulkan serangan sinkop pada pasien. Pengobatan ditujukan pada penyakit dasarnya disertai pemberian sulfas atropin, atau perangsang beta adrenergik, seperti efedrin, isoproterenol, alupen. Pasien yang resisten terhadap pengobatan perlu dilakukan pemasangan pacu jantung Sinus Aritmia Sinus aritmia ialah kelainan irama jantung di mana irama sinus menjadi lebih cepat pada waktu inspirasi dan menjadi lebih lambat pada waktu ekspirasi. Keadaan ini menjadi lebih nyata ketika pasien disuruh menarik napas dalam. Aritmia ini hilang kalau timbul takikardia pada pasien karena melakukan kegiatan olahraga atau pasien menderita demam. Keadaan ini dapat ditemukan pada individu sehat dan tidak membutuhkan pengobatan. Sinus Takikardia Sinus takikardia ialah irama sinus yang lebih cepat dari 100 kali per menit (Gambar 2) Keadaan ini biasa ditemukan pada bayi dan anak kecil dan takikardia sinus juga sering ditemukan pada beberapa keadaan stres fisiologis maupun patologis seperti kegiatan fisik (olahraga), demam, hipertiroidisme, anemia, infeksi,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
sepsis, hipovolemia, penyakit paru kronik. Obat-obatan seperti atropin, katekolamin, kafein, horlnon tiroid dapat menimbulkan takikardia sinus. Takikardia sinus dapatjuga disebabkan karena gagal jantung. 'Terapi ditujukan pada kelainan dasarnya. Pemberian digitalis lianya pada gagal jantung. Pada hipertiroidisme kadang-kadang p e r l ~ ~ diberikan pengharnbat beta.
pada bola lnata ( q . r h~rI1/~t.r\.szit-e)atau mav.sugc~sinus karotikus. Bila tak berhasil dapat diberikan verapaniil secara intravena. Obat lain yang dapat dipakai adenosin, diltiazem, digitalis dan penyekat beta secara intravena. Bila obatobatan tidak berhasil menghentikan takikardia perlu dipertimbangkan tindakan defibrilasi dengan DC ((lit-vcat t r~rrcnt)corrntcJr shock.
KELAINAN IRAMA JANTUNG YANG BERASAL DARI ATRIUM
Ekstrasistol Atrial Ekstrasistol atrial disebut juga prc~mutlrretrtrlcrl h a t \ . Hal ini terjadi karena adanya impuls yang berasal dari atrium yang tirnbul secara prematur. Keadaan ini biasanya tidak mempunyai arti klinis qang penting, tetapi kadang-kadang dapat menjadi pencetus tilnbulnya takikardia supraventrikular dan fibrilasi atrial. Pemeriksaan EKG menunjukkan adanya gelombang P yang tilnbul prematur diikuti komplek QRS yang normal. Ekstrasistol atrial tidak membutuhkan pengobatan (Gambar 2).
Gambar 2. EKG menunjukkan taklkardra slnus dengan kecepatan 104 kali per menlt, tampak adanya ekstraslstol atr~al(SVES=
supraventncular extrasystole atau premature atrral beat)
-
Takikardia Atrial Paroksismal Tak~hard~a atrial paroks~smaldisebut juga takihard~a wpraventrikular parokslsmal. Takikardra alrial paroksismal ~ a l a h suatu takikardia yang berasal dari atrium atau nodus AV, Bia\anya karena adanya t.r-entt:~baik di atrium atau nodus AV. Pasien dengan takikardia atrial merasa jantung berdebar cepat sekali, dapat disertai keringat dingin dan pasien akan lnerasa lemah. Kadang-kadang timbul sesak napas dan hipotensi. Pada pasien dengan penyakit jantung koroner bila mendapat serangan takikardia akan tilnbul serangan angina. Pada pemeriksaan EKG akan terlihat gambaran seperti ekstrasistol atrial yang berturut-turut lebih dari enam. Pada EKG kadang-kadang sukar dibedakan antara takikardia atrial dan takikardia ventrikel terutama bila gelombang P tidak jelas dan ada aberansi kompleks QRS. Takikardia atrial dapat berlangsung sebentar atau lnenetap saliipai beberapa hari . Penatalaksanaan takikardia atrial paroksismal harus dilakukan segera, yaitu dengan rnemberikan penekanan
Post isoptin. 5 mg i.v
Gambar di atas menunjukkan tak~kardlasupraventrikular paroks~smal,dengan kecepatan 160 kal~per rnenlt dan kompieks Q R S t~dakmelebar. Gambar dl bawahnya menunjukkan lrama a n u s stelah d~benobat ~soptlnsecara lntravena Gambar 3
Fibrilasi Atrial Pada fibrilasi atrial terjadi eksitasi dan recover?, yang sangat tidak teratur dari atriurn. Oleh karena itu ilnpuls listrik yang tilnbul dari atrium juga sangat cepat dan sama sekali tidak teratur. Pada pemeriksaan EKG akan tampak adanya gelombang fibrilasi (fihrillatioti ultrve) yang berupa gelombang yang sangat tidak teratur dan sangat cepat dengan frekuensi dari 300 salnpai 500 kali per menit. Bentuk gelombang fibrilasi dapat kasar (tatr~vr trtrirrl fibrillutiotz) (gambar 5) dengan amplitude lebih 1 mm, atau halus (fine trtt-iul .fibrillation) sehingga gelombangnya tidak begitu nyata. (ganibar 4). Biasanya I~anyasebagian kecil dari impuls tersebut yang salnpai di ventrikel karcna dihanibat oleh nodus AV untuk melindungi ventrikel, supaya denyut ventrikel tidak terlalu cepat, sehingga akan menimbulkan d e n y ~ventrikel ~t antara 80- 150 per menit. (Gambar 4 dan 5) Pada pemeriksaan klinis ditemukan iralna jantung yang sama sekali tidak teratur dengan buriqi jantung yang intensitasnya tidak sama. Seringkali didapatkan adanya defisit pulsus. Diagnosis dapat dengan mudah dilakukan dengall pemeriksaan EKG. Fibrilasi atrial dapat berlangsung sebentar (paroksismal) atau menetap. Fibrilasi atrial dapat disebabkan karena penyakit katup mitral, seperti stenosis mitral atau insufisiensi mitral, penyakit jantung iskemia. infark miokard akut, tirotoksikosis, dan infeksi akut pada jantung.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1607
GANGGUAN IRAMAJANTUNG YANG SPESIFIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gambar 4. EKG menunjukkan fibrilasi atrial yang halus, di mana tampak gelombang fibrilasi yang cepat dan sarna sekali tidak teratur, kompleks QRS juga tidak teratur.
Gambar 5. EKG rnenunjukkan fibrilasi atrial yang kasar, dengan gelombang f~brllasileb~hdari 1 rnrn, juga cepat dan tidak teratur dengan kecepatan leblh dari 300 per menit, drikut~kompleks QRS juga tidak teratur dengan kecepatan sekitar 100 kali per men~t
Pengobatan tergantung pada cepatnya denyut jantung, penyebab dan keadaan pasien. Bila denyut jantung cepat sekali, lebih dari 150 per menit dan pasien dalam keadaan .shock, mungkin perlu segera dilakukan kardioversi dengan direct currer~tcounter shock (DC shock). Bila denyut jantung cepat sekali dan pasien dengan gagal jantung, dapat diberikan digoksin secara intravena bersama-sama dengan pelnberian furosemid dan amiodaron secara intravena. Bila denyut jantung tidak terlalu cepat dapat diberikan digoksin secara oral untuk mengontrol denyut jantung, kadang-kadang perlu diberikan bersama penyekat beta ~ n i s a l n y apada tirotoksikosis atau dapat diberikan verapamil kalau ada kontraindikasi pemberian penyekat beta. Untuk mengkonversi fibrilasi menjadi irama sinus dapat diberikan amiodaron secara intravena, i-l~.vthnzonom propafenon per oral atau disopiramid secara oral. Akhirakhir ini ada obat baru yang lebih efektif untuk konversi fibrilasi atrial seperti dofetilid dan ibutilid.
ARITMIAYANG DISEBABKANOLEH PEMBENTUKAN RANGSANG EKTOPIK Dl NODUSAV Ekstrasistol Nodal Irarna ektopik dapat berasal dari nodus AV. Seperti ekstrasistol atrial biasanya bersifat jinak. Secara klinis ekstrasistol nodal tidak dapat dibedakan dengan ekstrasistol ventrikular atau atrial. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan EKG, yang menunjukkan gambaran seperti ekstrasistol atrial, kecuali gelombang P dari ekstrasistol berbent~~k negatif di hantaran 11 atau gelombang P tak nampak, atau gelombang P muncul setelah kotnpleks QRS. lrama Nodal (nodal rhythm) Pada irama nodal (izrnctionrrl 117~~hrn atau AV noriul
escape rliytl~ni),maka nodus atrioventrikularis bertindak sebagai pusat ektopik yang memacu jantung dan pada gambaran EKG tampak irama jantung dengan gelombang P berasal dari nodus AV diikuti kompleks QRS biasa dengan kecepatan 50-60 per menit. Keadaan ini dapat terjadi karena iskemia jantung atau intoksikasi digitalis. Kelainan ini belum tentu memerlukan pengobatan khusus, kecuali bila frekuensi jantung menjadi sangat lambat, kurang dari 40 kali per menit atau meniinbulkan gangguan hemodinamik, maka perlu terapi dengan atropin sulfat secara intravena, kadang-kadang perlu pemasangan pacu jantung sementara.
Taki kardia Nodal (AV junctional tachycardia atau nodal tachycardia) Ada dua macam takikardia nodal yaitu jirnctionnl tucl!~.curoiiu dengan kecepatan 100-140 per menit dan e.utru~.\rolic AV junctiorlul t u c l ~ j ~ . ( ~ rdengan diu deny ut ventrikel 140-200 per menit. Pada yang pertama terdapat percepatan jzinctionul rl7j~thni.yang menjadi nyata bila kecepatannya melebihi kecepatan nodus sinus. Hal ini dapat disebabkan oleh intoksikasi digitalis, infark miokard akut atau demani reumatik akut. Pada intoksikasi digitalis harus diobati secepatnya karena dapat berkembang menjadi takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel. Digitalis harus dihentikan dan diberikan difenilhidantoin. Takikardia AViur~ctionulsangat mirip dengan takikardia atrial, baik dalani diagnosis, gambaran klinis mailpun pengobatannya.
Gambar 6. EKG menunjukkan tiap kompleks QRS diikuti dengan dengan gelombang P, sesuai untuk irama nodal, disini frekwensi kompleks QRS 70 per menit jadi lebih cepat dari irama nodal biasa, dan disebut takikardia idionodal.
ARITMlAYANG DISEBABKANOLEH PEMBENTUKAN RANGSANG EKTOPIK Dl NODUS AV Ekstrasistol Ventrikel Ekstrasistol ventrikel ialah gangguan iralna di mana timbul denyut jantung prelnatur yang berasal dari fokus yang terletak di ventrikel. Ekstrasistol ventrikel dapat berasal dari satu fokus atau lebih (multifokal). Ekstrasistol ventrikel merupakan kelainan irama jantung yang paling sering ditemukan dan dapat timbul pada jantung yang normal. Biasanya frekuensinya bertambah dengan bertambahnya
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI usia, terlebih bila banyak minwn kopi, merokok, atau emosi (Gambar7). Ekstrasistol ventrikel dapat disebabkan oleh iskemia miokard, infark miokard akut, gagal jantung, sindrom QT yang memanjang, prolaps katup mitral, cerebrovascular accident, keracunan digitalis, hipokalemia, miokarditis, kardiomiopati. Pengobatan ditujukan pada penyakit dasarnya atau pengobatan perlu diberikan pada ventrikel ekstrasistol yang dapat berkembang menjadi aritmia ventrikel yang lebih berbahaya, seperti takikardia ventrikel. Pada pasien dengan infark jantung akut terapi perlu diberikan bila ekstrasistol dianggap maligna, karena dapat berkembang menjadi aritmia ventrikel yang berbahaya seperti takikadia atau fibrilasi ventrikel. Ekstrasistol yang maligna yaitu yang jumlahnya lebih dari 5 kali per menit, ekstrasistol ventrikel yang timbul secara berturut-turut (consecut~ve),ekstrasistol ventrikel yang multifokal. ekstrasistol yang timbul pada gelombang T (R on T). Obat yang paling sering dipakai pada ekstrasistol ventrikel yang maligna pada infark jantung akut ialah xilokain yang diberikan secara intravena dengan dosis bolus 1-2 mg per kg berat badan, dilanjutkan dengan infus 1-2 mg per menit. Dosis dapat dinaikkan sampai 4 mg per menit. Obat lain yang dapat dipakai amiodaron, meksiletin, dilantin. Pada pasien yang tak ada kelainan jantung organik lain maka pengobatan ekstrasistol ditujukan pada terapi non farmakologi seperti menghentikan kebiasaan minum kopi, merokok, menghindari obat-obat simpatomimetik seperti adrenalin, efedrin dan lain-lain. Kadang-kadang perlu pemberian trunquilizer pada pasien yang banyak ketegangan.
Garnbar 7. EKG rnenunjukkan irarna dasar rnasrh lrarna srnus, tapi tarnpak ada beberapa ekstraslstol ventrlkel, yaltu kornpleks QRS ke 2,4 dan 9 yang tirnbulnya prernatur, bentuknya lebar dan brzarre dan t~dakd~dahulurgelornbang P.
Takikardia Ventrikel Takikardia ventrikel ialah ekstrasistol ventrikel yang timbul berturut-turut 4 kali atau lebih. Kelainan iratna ini berbahaya dan membutuhkan pengobatan segera. Takikardia ventrikel mudah berkembang menjadi fibrilasi ventrikel dan dapat menyebabkan henti jantung (curdiuc urrrst). Penyebab takikardia ventrikel antara lain penyakit jantung koroner, infark miokard akut, gagal jantung, keracunan digitalis. Takikardia ventrikel umumnya
menunjukkan adanya penyakit jantung yang berat. Diagnosis takikardia ventrikel ditegakkan bila ditemukan takikardia dengan kecepatan 150-2 10 per menit, umumnya teratur tapi kadang-kadang sedikit tak teratur. Biasanya timbul tiba-tiba dan tidak pernah terjadi sebelumnya. Penekanan pada bola mata atau penekanan pada arteri karotis tidak ada efek apa-apa. Intensitas bunyi jantung kadang-kadang berubah-ubah karena adanya disosiasi AV (Gambar8).
I
Gambar 8. EKG rnenunjukkan taklkardra ventrlkel, tampak kornpleks QRS lebar, bizarre sepertl ekstrasrstol ventrlkel, yang tirnbul berturut-turut dan terus rnenerus, dengan kecepatan lebrh dar~150 per rnenit.
Kepastian diagnosis dengan melakukan pemeriksaan EKG di mana didapatkan adanya takikardia dengan kornpleks QRS yang lebar, lebih dari 0.12 detik dan tak ada hubungan dengan gelombang P. Kadang-kadang sukar dibedakan dengan takikardia atrial paroksismal disertai konduksi aberan. Sehingga kadang-kadang diperlukan t~~ pemeriksaan His htrndle e l t . c r r o c a r d i o ~ r ~ i~lntuk menegakkan diagnosis yang pasti. Pengobatan dengan memakai qlocuin 1-2mg per kg berat badan dilanjutkan dengan pemberian infus 1-2 mg per menit seperti pada pengobatan ekstrasistol ventrikel yang maligna. lnfus diberikan paling sedikit selama 24 jam, selanjutnya dapat diberikan amiodaron, meksiletin atau sotalol secara oral. Dalam keadaan akut selain .qdoctriw juga dapat diberikan amiodaron per infus. Bila pasien dalam keadaan distres, gagal jantilng atau syok harus segera dilakukan defibrilasi dengan direct czirrerit coztiitc~r~l~oc~k dengan dosis 50- 100 Joules.
Fibrilasi Ventrikel Fibrilasi ventrikel ialah iratna ventrikel yang chuo~dan sama sekali tidak teratur. (Gambar 9) Hal ini menyebabkan ventrikel tak dapat berkontraksi dengan cukup sehingga curah jantung sangat menurun, bahkan sama sekali tidak ada, sehingga tekanan darah dan nadi tak bisa diukur, pasien tidak sadar dan bila tidak segera ditolong akan menyebabkan kematian. Fibrilasi ventrikel paling sering karena penyakit jantung koroner, terutama iiifark iniokard akut, penyebab lain intoksikasi digitalis, sindrom QT yang memanjang. Pada pasien harus secepatnya dilakukan resusitasi jantung paru, yaitu pemapasan buatan dan pijat jantung dan secepatnya dilakukan direct current eozrntevshock dengan dosis 400 Joules. Pasien juya diberikan rilocuin atau amiodaron secara intravena. Pertolongan harus diberikan dalam 2-4 menit, bila tidak terlambat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1609
GANGGUAN IRAMA JANTUNG YANG SPESIFIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI prognosis cukup baik. Bila sudah lebih dari 5 lnenit dapat terjadi kerusakan otak, sehingga walaupun irama jantung kembali normal, inungkin kesadaran pasien tidak dapat kembali.
Gambar 9. EKG rnenunjukkan f~brrlasrventrrkel , dapat drlrhat gelombang yang sarna sekalr trdak teratur dan chaos
Takikardia ldioventrikular Pada takikardia idioventrikular, galnbaran EKG tnelnperlihatkan adanya kolnpleks QRS yang berasal dari ventrikel (lebar dan hizuue) berturut-turut 3 atau lebih dengan kecepatan 60-100 kali per menit. Keadaan ini disebut juga .\lo\z ~,rntriculur.~ N C ~ ? ~ ~ Natau I Y /uccelrrILI LI~CLI ~dioventricul~~r. rhj-thm. (Gambar 10) Kelainan ini paling sering disebabkan oleh infark iniokard akut. Takikardia idioventrikular biasanya tidak berbahaya dan tidak rnemerlukan pengobatan. Bila terjadi terus-menerus dan ditemukan tanda hipoperfusi jaringan. tnaka perlu diberi terapi dengan atropin sulfat 0.5-1 mg secara intrak ena.
Gambar 10. EKG menunjukkan sernula rrama srnus dengan kecepatan sekrtar 100 per rnenrt dan drarnbrl alrh oleh rrama ~d~oventrrkular (rnular kornpleks QRS ke 5) dengan kecepatan sekrtar 100 kalr per menlt, kompleks QRS rnenjadr lebrh lebar karena berasal darr ventrrkel, kernungkrnan karena lrama slnus menjadr larnbat
Gangguan Konduksi Heart block (blok jantung). lstilah blok jantung menunjukkan suatu keadaan di mana terjadi gangguan kotiduksi di nodus AV. Interval PR ialah waktu yang dibutulikan oleh irnpuls listrik untuk lnenjalar dari atrium ke nodus AV dan His hutidle serta cabang-cabangnya salnpai ke ventrikel. lntewal PR yang normal berkisar antara 0.12-0.20 detik. Berdasarkan petneriksaan EKG blok AV dibagi 3 yaitu: Blok AV tingkat I: Pada blok AV tingkat I interval PR memanjang lebih dari 0.20 detik. Blok AVtingkat 11: Terjadi kegagalan ilnpuls dari atrium untuk tnencapai ventrikel secara intenniten, sehingga denyut ventrikel berkurang. Blok AV tingkat 111: (blokjantung yang komplit = complcte heor/ block)
Terjadi blok total di nodus AV sehingga impuls dari atrium sama sekali tidak dapat sampai ke ventrikel, sehingga ventrikel berdenyut sendiri karena stitnulasi impuls yang berasal dari ventrikel sendiri.
Blok AV Tingkat I Blok AV tingkat I umumnya disebabkan karena gatigguan konduksi di proksilnal His bundle. (Gambar 11) Hal ini disebabkan karena intoksikasi digitalis, peradangan. proses degenerasi atau variasi normal. Biasanya tidak membutuhkan terapi apa-apa dan prognosisnya baik.
Gambar 11. EKG menunjukkan rrarna srnus dan rnterval PR rnernanjang rnenjad10.30detrk karena ada blok AV t~ngkat1, pada EKG diatas juga tarnpak QRS rnelebar karena nght bundle branch block(RBBB)
Blok AV Tingkat II Dibagi 2, yaitu Mobitz tipe I (Wenckebach block) dan Mobitz tipe 11. Pada Mobitz tipe I interval PR secara progresif bertambali panjang satnpai suatu ketika impuls dari atrium tidak dapat sampai ke ventrikel dan denyut ventrikel (kompleks QRS ) tidak tatnpak atau gelombang P tidak diikuti oleh kompleks QRS (Gambar 12). Pada petneriksaan His bl117tlleelectroc~rrc/iogru~~i (elektrokardiogram bundel His) biasanya lokasi dar blok proksilnal dari bundel His. Mobitz tipe I dapat disebabkan karena tonus vagus yang meningkat, keracunan digitalis atau iskernia. Bila tidak tnenimbulkan kelulian dan tidak ada gangguan hemodinamik tidak ~nemerlukanpengobatan. Pada Mobitz tipe 11, interval PR tetap sama tetapi didapatkan denyut ventrikel yang berkurang (d~.opl)~'d beat) (Gambar 13). Kekurangan denyut ventrikel dapat teratur atau tidak seperti 2:1, 4:1, 4:3 dan sebagainya. Penieriksaan elektrokardiograln bundel His tnenunjukkan gangguan konduksi distal dari bundel His. Etiologinya ialah infark miokard akut, rniokarditis, proses degenerasi (penyekat Lev's atau Lenegre). Kelainan dapat titnbul sementara dan kenlbali normal, tnenetap, atau berkembang jadi blok yang kotnplit. Pasien dengan Mobitz tipe I1 dapat tilnbul serangan sinkop dan sebaiknya dilakukan peinasangan pacu jantung.
r-
Gambar 12. EKG menunjukkan blok AV tingkat II tipe Wenckebach (atau Mobitz tipel), di mana tarnpak interval PR makin mernanjang, dan pada P ke 5 tidak diikuti kompleks QRS
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gambar 13. EKG rnenunjukkan blok AV tlngkat II tlpe Mob~tzII dl mana Interval PR t~dakrnernanjang tapi pada gelornbang P ke 3 tidak drlkut~kompleks QRS. j a d ~ada dropped beat tanpa pernanjangan Interval PR
Blok AV Tingkat Ill Blok AVtingkat Ill disebutjuga blok jantung komplit. Pada blok AV tingkat I l l impuls dari atrium tidak bisa sampai di ventri kel. Kontraksi ventrikel karena rangsangan oleh fokus di nodus AV atau fokus di ventrikel, sehingga ventrikel berdenyut sendiri tidak ada hubungan dengan denyut atrium (Cambar 14). Gambaran EKG memperlihatkan adanya gelombang P teratur denpan kecepatan 60-90 kali per menit, sedangkan kecepatan kompleks QRS hanya 4060 kali per menit. Blok AV tingkat 111 disebabkan oleh proses degenerasi. peradangan, intoksikasi digitalis. infark miokard akut. Blok AV tingkat 111 pada inhrk biasanya hanya sementara dan akan kernbali normal setelah infark sudah tenang, walaupun ada yang menetap. Bila blok AV tingkat 111 nienetap sebaiknya dilakukan pemasangan pacu jantung. Blok AV tingkat 111 biasanya meninibulkan gangguan hemodinalnik dan menimbulkan keluhan lelah. sinkop. seslk dan angina pada usia lanjut.
Pasien dengan LBBB seringkali tak ada keluhan dan tidak membutuhkan pacu jantung. Kalau ada sinkop atau timbul gangguan konduksi lebih berat seperti blok AV tingkat 11 atau 111, niaka seringkali perlu dilakukan pemasangan pacu jantung. Bila cabang kanan yang terganggu disebut right hzinclle bl~117ch block(RBBB). Pada pemeriksaan EKG akan tampak adanya kompleks QRS yang melebar lebih dari 0, I2 detik dan akan tampak gambaran rsR' atau RSR' di V I, V2, seliientara itu di I, aVL, V5 dan V6 didapatkan S yang melebar karena depolarisasi ventrikel kanan yang terlambat (Gambar 16). RBBB dapat diketemukan pada jantung yang normal, dapat juga pada kelainan kongenital seperti utriul ~ ~ ~ p r u l defect (ASD), pada infark miokard maupun iskemia miokard atau pada penyakit degenerasi sistem konduksi (penyakit Lenegre atau Lev) Pasien dengan RBBB seringkali tak ada keluhan dan memb~ltuhkanterapi. Tapi bila terjadi sinkop dan ada tanda gangguan konduksi yang lain seperti blok AV tingkat 11 atau 111, maka perlu dipertimbangkan pemasangan pacu jantung. Sindrom Brugada ialah kelainan EKG berupa RBBB dengan elevasi ST di V1-V3 dan biasanya tak ada gelombang S yang lebar. Pasien dengan sindrom ini terancam kematian mendadak. Sindrom ini diterapi dengan Quinidin dosis tinggi atau amiodaron. Akliir-akhir dianjurkan pemasangan ICD (iniplm~tuhlec.ur.tlio~'er.tcrcI~~fibr.ill~toi~).
Gambar 14. EKG pada blok AV tlngkat Ill dl mana dapat dlllhat gelombang P tak ada hubungan dengan kornpleks QRS, gelombang P kecepatan 60 kal~per rnen~tsedangkan kornpleks QRS hanya 42 kal~per.menlt
Bundle Branch Block (BBB): Btindle branch block menunjukkan adanya gangguan konduksi di cabang kanan atau kiri sistem konduksi, atail divisi anterior atau posterior cabang kiri. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan EKG di niana diteniukan kompleks QRS yang melebar lebih dari 0.1 1 detik disertai perubahan bentuk kompleks QRS dan aksis QRS. Bila cabang kiri yang terganggu disebut left bundle brancll block (LBBB). Pada pemeriksaan EKG akan talnpak bentuk rsR' atau R yang lebar di I, aVL, V5 dan V6. (Gambar 15) Gangguan konduksi yang terjadi pada divisi anterior cabang kiri akan menyebabkan perubahan aksis menjadi deviasi ke kiri yang ekstrim dan disebut left anterior herniblock, sedangkan bila divisi posterior cabang kiri terganggu akan menimbulkan aksis yang deviasi ke kanan yang ekstrim dan dinamakan left posterior hemiblock.
Gambar 15. EKG rnenunjukkan lrama slnus dan LBBB, dl rnana dapat dillhat kompleks QRS rnelebar sampal 0 20 det~k,dengan R yang lebar dl I, aVL, V5 dan V6 DI V1-V3 gelombang r kecll dengan S yang dalarn dan lebar EKG d a r ~paslen dengan kardlorn~opatrdllatasl tanpa lnfark jantung
Sindrom Praeksitasi Sindrom ini ditandai dengan adanya depolarisasi ventrikel yang prematur. Termasuk dalam golongan ini ialah sindrom Wolff Parkirrso~iWlzite (WPW)dan sindrom Lawn G~ri7ong Levinc (LGL). Pada WPW gambaran EKG menunjukkan adanya gelonibang P pang normal, interval PR yang memendek, kurang dari 0,11 detik, kompleks QRS melebar karena adanya gelombang delta (adanya defleksi permulaan kompleks QRS yang dini dan ~1ui.r.etl). Perubalian kompleks QRS disertai perubahan gelombang T pang sekunder. (Gambar 17) Gambaran EKG ini
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1611
GANGGUAN IRAMA JANTUNG YANG SPESIFIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
G a m b a r 16. EKG menunjukkan RBBB (right bundle branch block), di mana dapat dilihat kompleks QRS lebar lebih dari 0,12 (mungkin 0,18) detik dengan gambaran rsR' di V1 dan S lebar di I aVL. V5 dan V6.
Disosiasi AV Pada disosiasi AV, atrium dikontrol oleh fokus di atrium, seringkali oleh nodus AV sedangkan ventrikel dikontrol oleh pacemaker di ventrikel sendiri. Disosiasi AV dapat disebabkan karena aktivitas nodus sinus berkurang atau nodus AV menjadi lebih cepat sehingga mendominasi ventrikel atau kombinasi keduanya. Disosiasi AV dapat karena keracunan digitalis atau komplikasi infark miokard akut atau karena peradangan seperti penyakit demam reumatik yang aktif. Keadaan ini hams dibedakan dengan blok AV tingkat 111 karena disosiasi AV mempunyai prognosis lebih baik dan seringkali tidak membutuhkan obat aritmia dan juga tidak membutuhkan pacu jantung. Pengobatan terutama untuk penyakit dasamya.
REFERENSI disebabkan karena adanyajalur asesori atau jalur anomalus yang menghubungkan atrium dengan ventrikel, sehingga sebagian ventrikel akan diaktivasi sangat dini. WPW lebih sering ditemukan pada pria dan dapat ditemukan pada pasien tanpa kelainan jantung lain. WPW umumnya jinak tapi dapat menimbulkan takiaritmia seperti reciprocating tuchycardia atau paroxysmal flutter atau fibrilasi. Pengobatan diberikan bila ada takiaritmia dengan digitalis, propanolol atau amiodaron. Kadang-kadang perlu dilakukan tindakan ablasi jalur anomalus. Pada LGL garnbaran EKG menunjukkan gelombang P normal, interval PR memendek kurang dari 0,11 detik, kompleks QRS normal. Pada LGL dapat terjadi serangan takikardia supraventrikular. Keadaan ini karena adanya jalur asesori yang menghubungkan atrium dengan bundel His. Kelainan ini lebih sering pada perempuan; aritmia yang sering terjadi selain takikardia supraventrikular juga fibrillasi dan.jlutter atrium. Pengobatan dengan propanolol, amiodaron, verapamil. Bila hasil kurang memuaskan perlu dilakukan pemeriksaan elektrofisiologi dan dilakukan tindakan ablasi jalur yang abnormal tadi.
Atrial Fibrillation: Current understanding and research imperatives: The National Heart, Lung and Blood Institute Working Group of atrial fibrillation. 3 Am Coll Cardiol 1993: 22: 1830-4 Akhtar M, Shenasa M, Jazayeri M et al. Wide QRS complex tachycardia: Reappraisal of a common clinical problem. Ann Intern Med 1988; 109: 905-12. Boriani C i Capucci A, Lenzi T, et al. Propafenon for Copversion of Recent Onset Atrial Fibrllation. A Controlled Comparison Between Oral Loading Dose and Intravenous Administration. Chest 1995; 108: 355-8 Bar FW, Den Duik K, Wellens HJJ. Atrioventricular dissociation. In Comprehensive Electrocardiography; Theory and Practice in Health and Disease, MacFarlane PW, Lawrie TDV, Pergamon Press, New York 1989, page 933. Chung EK. WolE Parkinson White syndrome: Current views. Am J Med 1977;62:252-66. Decdwania PC, Singh BN, Ellenbogen K et al. Spontaneous Conversion and Maintenance of Sinus Rhythm by Amiodarone in Patients With Heart Failure and Atrial Fibrillation: Observations From Veteran Affairs Congestive Heart Failure Survival Trial of Antiarrhythmic therapy ( CHF-STAT). The Department of Veterans Affairs CHF-STAT Investigators. Circulation 1998; 98: 2574-9. Denes P, Levy L, Pick A et al : The incidence of typical and atypical A-V Wenckebach periodicity. Am Heart J 1975; 89: 26-31 Knight BP. Michaud GF, Strickberger SA, Morady F: Electrocardiographic differentiation of atrial flutter from atrial fibrillation by physicians. J Electrocardiol 1999;32:3 15-9. Rotman M. Triebwasser JH.. A Clinical and follow up study of right and left bundle branch block . Circulation 1975; 51: 447. Rosenbaum M. Elizari MV. Lazzari JO. The hemiblocks. Tampa Tracings, Tampa 1970. Spodick DH. Normal sinus heart rate: Sinus tachycardia and sinus bradycardia redefined. Am Heart J 1992; 124: 1 1 19.
G a m b a r 17. EKG menunjukkan WPW (Wolff Parkinson White syndrome) ditandai adanya gelombang delta (delta wave) sehingga kompleks QRS melebar dan interval PR memendek
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
FIBRILASI ATRIAL Sally Aman Nasution, Ryan Ranitya
PENDAHULUAN Fibrilasi atrial (FA) merupakan aritmia yang paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan paling sering menjadi penyebab seorang hams menjalani perawatan di rumah sakit. Walaupun bukan merupakan keadaan yang mengancam jiwa secara langsung, tetapi FA berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 2,2 juta pasien FA dan setiap tahun ditemukan 160.000 kasus baru. Pada populasi umum prevalensi FA terdapat k 1-2% dan meningkat dengan bertambahnya umur. Pada umur di bawah 50 tahun prevalensi FA kurang dari 1% dan meningkat menjadi lebih dari 9% pada usia 80 tahun. Lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan wanita, walaupun terdapat kepustakaan yang mengatakan tidak terdapat perbedaan jenis kelamin. FA merupakan faktor risiko independen yang kuat terhadap kejadian strok emboli. Kejadian strok iskemik pada pasien FAnon valvular ditemukan sebanyak 5% per tahun, 2-7 kali lebih banyak dibandingkan pasien tanpa FA. Pada studi Framingham risiko terjadinya strok emboli 5,6 kali lebih banyak pada FA non valvular dan 17,6 kali lebih banyak pada FA valvular dibandingkan dengan kontrol.
PENYEBAB FA FA mempunyai hubungan yang bermakna dengan kelainan struktural akibat penyakit jantung. Diketahui bahwa sekitar 25% pasien FA juga menderita penyakit jantung koroner. Walaupun hanya 10% dari seluruh kejadian infark miokard akut yang mengalami FA, tetapi kejadian tersebut akan meningkatkan angka mortalitas sampai 40%. Pada pasien yang menjalani operasi pintas koroner, sepertiganya mengalami episode FA terutama pada tiga hari pasca
operasi. Walaupun seringkali menghilang secara spontan, FA pasca operatif tersebut akan memperpanjang lama tinggal di rumah sakit. Sedangkan hubungan antara FA dengan penyakit katup jantung telah lama diketahui. Penyakit katup reumatik meningkatkan kemungkinan terjadinya FA dan mempunyai risiko empat kali lipat untuk terjadinya komplikasi tromboemboli. Pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri, kejadian FA ditemukan pada satu di antara lima pasien. FAjuga dapat merupakan tampilan awal dari perikarditis akut dan jarang pada tumor jantung seperti miksoma atrial. Aritmia jantung lain seperti sindroma Wolff-Parkinson-White dapat berhubungan dengan FA. Hal yang menguntungkan adalah apabila dilakukan tindakan ablasi pada jalur aksesori ekstranodal yang menjadi penyebab sindroma ini, akan mengeliminasi FA pada 90% kasus. Aritmia lain yang berhubungan dengan FA misalnya takikardia atrial, AVNRT (AtrioVentricular Nodal Reentrant Tachycardia) dan bradiaritmia seperti sick sinus syndrome dan gangguan fungsi sinus node lainnya. FA juga dapat timbul sehubungan dengan penyakit sistemik non-kardiak. Misalnya pada hipertensi sistemik ditemukan 45% dan diabetes melitus 10% dari pasien FA. Demikian pula pada beberapa keadaan lain seperti penyakit paru obstruktif kronik dan emboli paru akut. Tetapi pada sekitar 3% pasien FA tidak dapat ditemukan penyebabnya, atau disebut dengan lone FA. Lone FA ini dikatakan tidak berhubungan dengan risiko tromboemboli yang tinggi pada kelompok usia muda, tetapi bila terjadi pada kelompok usia lanjut risiko ini tetap akan meningkat. Untuk mengetahui kondisi yang kemungkinan berhubungan dengan kejadian FA tersebut hams dicari kondisi yang berhubungan dengan kelainan jantung maupun kelainan.di'luar jantung. Kondisi-kondisi yang berhubungan dengan kejadian FA dibagi berdasarkan:
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
FIBRILAS1 ATRIAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Penyakit Jantung yang Berhubungan dengan FA: Penyakit Jantung Koroner Kardiomiopati Dilatasi Kardiomiopati Hipertrofik Penyakit Katup Jantung : reumatik maupun nonreumatik Aritmia jantung :takikardia atrial, fluter atrial, AVNRT, sindrom WPW, sick sinus syndrome. Perikarditis Penyakit di luar Jantung yang Brhubungan dengan FA: Hipertensi sistemik Diabetes melitus Hipertiroidisme Penyakit paru: penyakit paru obstruktif kronik, hipertensi pulmonal primer, emboli paru akut Neurogenik : sistem saraf autonom dapat mencetuskan FA pada pasien yang sensitif melalui peninggian tonus vagal atau adrenergik.
FA paroksismal bila FA berlangsung kurang dari 7 hari. Lebih kurang 50% FA paroksismal akan kembali ke irama sinus secara spontan dalam waktu 24 jam. FA yang episode pertamanya kurang dari 48 jam juga disebut FA paroksismal. FA persisten bila FAmenetap lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 7 hari. Pada FA persisten diperlukan kardioversi untuk mengembalikan ke irama sinus. FA kronik atau permanen bila FA berlangsung lebih dari 7 hari. Biasanya dengan kardioversi pun sulit sekali untuk mengembalikan ke irama sinus (resisten).
Aktivasi fokal: Fokus diawali biasanya dari daerah vena pulmonalis Multiple Wavelet Reentry: timbulnya gelombang yang menetap dari depolarisasi atrial atau wavelets yang dipicu oleh depolarisasi atrial prematur atau aktivitas aritmogenik dari fokus yang tercetus secara cepat.
FA dapat simptomatik dapat pula asimptomatik. Gejalagejala FA sangat bervariasi tergantung dari kecepatan laju irama ventrikel, lamanya FA, penyakit yang mendasarinya. Sebagian mengeluh berdebar-debar, sakit dada terutama saat beraktivitas, sesak napas, cepat lelah, sinkop atau gejala tromboemboli. FA dapat mencetuskan gejala iskemik
pada FA dengan dasar penyakit jantung koroner. Fungsi kontraksi atrial yang sangat berkurang pada FA akan menurunkan curah jantung dan dapat menyebabkan terjadi gagal jantung kongestif pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri.
EVALUASI KLlNlK FA Evaluasi klinik pada pasien FA meliputi : Anamnesis : - Dapat diketahui tipe FA dengan mengetahui lama timbulnya (episode pertama, paroksismal, persisten, permanen) - Menentukan beratnya gejala yang menyertai: berdebar-debar, lemah, sesak napas terutama saat aktivitas, pusing, gejala yang menunjukkan adanya iskemia atau gagal jantung kongestif - Penyakit jantung yang mendasari, penyebab lain dari FA misalnya hipertiroid. Pemeriksaan Fisis: - Tanda vital: denyut nadi berupa kecepatan dan regularitasnya, tekanan darah - Tekanan vena jugularis - Ronki pada paru menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif - Irama gallop S3 pada auskultasi jantung menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif, terdapatnya bising pada auskultasi kemungkinan adanya penyakit katup j antung - Hepatomegali :kemungkinan terdapat gagal jantung kanan - Edema perifer :kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif Laboratorium: hematokrit (anemia), TSH (penyakit gondok), enzim jantung bila dicurigai terdapat iskemia jantung. Pemeriksaan EKG: dapat diketahui antara lain irama (verifikasi FA), hipertrofi ventrikel kiri, pre-eksitasi ventrikel kiri, sindroma pre-eksitasi (sindroma WPW), identifikasi adanya iskemia Foto rontgen toraks Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup, ukuran dari atrium clan ventrikel, hipertrofi ventrikel kin, fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow dan TEE (Trans Esophago Echocardiography) untuk melihat trombus di atrium kiri. Pemeriksaan fungsi tiroid. Pada FA episode pertama bila laju irama ventrikel sulit dikontrol. Uji latih : identifikasi iskemia jantung, menentukan adekuasi dari kontrol laju irama jantung Pemeriksaan lain yang mungkin diperlukan adalah holter monitoring, studi elektrofisiologi.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI FA dapat mengakibatkan terjadi beberapa komplikasi yang dapat meningkatkan angka morbiditas maupun mortalitas. Pada pasien dengan sindroma WPW dan konduksi yang cepat melalui jalur ekstranodal yang memintas nodus atrioventrikular, dimana pada saat terjadi FA disertai preeksitasi ventrikular, dapat berubah menjadi fibrilasi ventrikel dan menyebabkan kematian mendadak. Pada keadaan seperti ini ablasi dengan radiofrekuensi sangat dianjurkan. FA yang disertai dengan laju irama ventrikel yang cepat serta berhubungan dengan keadaan obstruksi jalur keluar dari ventrikel atau terdapat stenosis mitral, dapat menyebabkan terjadinya hipotensi dan perubahan keadaan klinis. Beberapa komplikasi lain dapat terjadi pada flutter atrial dengan laju irama ventrikel yang cepat. Laju ventrikel yang cepat ini bila tidak dapat terkontrol dapat menyebabkan kardiomiopati akibat takikardia persisten. Di antara komplikasi yang paling sering muncul dan membahayakan adalah tromboemboli, terutama strok.
PENATALAKSANAANFA Tujuan yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan FA adalah mengembalikan ke irama sinus, mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan komplikasi tromboemboli. . Dalam penatalaksanaan FA perlu diperhatikan apakah pada pasien tersebut dapat dilakukan konversi ke irama sinus atau cukup dengan pengontrolan laju irama ventrikel. Pada pasien yang masih dapat dikembalikan ke irama sinus perlu segera dilakukan konversi, sedangkan pada FA permanen sedikit sekali kemungkinan atau tidak mungkin dikembalikan ke irama sinus, alternatif pengobatan dengan menurunkan laju irama ventrikel harus dipertimbangkan.
7 hari setelah terjadinya FA. Klasifikasi obat anti aritmia dan obat-obat yang dianjurkan dapat dilihat pada Tabel 1. Dalam pemberian obat anti aritmia efek samping obatobat tersebut harus diperhatikan. Salah satu efek samping obat anti aritmia adalah pro-aritmia. Untuk mengurangi timbulnya pro-aritmia maka dalam memilih obat perlu diperhatikan keadaan pasien.
Kardioversi Elektrik Pasien FA dengan hemodinamik yang tidak stabil akibat laju irama ventrikel yang cepat disertai tanda iskemia, hipotensi, sinkop perlu segera dilakukan kardioversi elektrik. Kardioversi elektrik dimulai dengan 200 Joule. Bila tidak berhasil dapat dinaikkan menjadi 300 Joule. Pasien dipuasakan dan dilakukan anestesi dengan obat anestesi kerja pendek.
MEMPERTAHANKAN IRAMASINUS FA adalah penyakit kronis dan rekurensi sering terjadi baik pada FAparoksismal maupun pada FApersisten. Bila telah terjadi konversi ke irama sinus maka ha1 ini perlu dipertahankan dengan pengobatan profilaktik.
PENGOBATAN PROFlLAKTlK DENGAN OBAT ANTlARlTMlA UNTUK MENCEGAH REKURENSI FA yang berlangsung lebih dari 3 bulan merupakan salah satu prediktor terjadinya rekurensi. Obat antiaritmia yang sering dipergunakan untuk mempertahankan irama sinus dapat dilihat pada Tabel 1.
PEMlLlHAN OBAT-OBAT ANTlARlTMlA PADA PASIEN DENGAN KELAINANJANTUNG ,
Pengembalian ke irama sinus pada FA akan mengurangi gejala, memperbaiki hemodinamik, meningkatkan kemampuan latihan, mencegah komplikasi tromboemboli, mencegah kardiomiopati, mencegah remodeling elektroanatomi dan memperbaiki hngsi atrium. Kardioversi dapat dilakukan secara elektrik atau farmakologis. Kardioversi farmakologis kurang efektif dibandingkan dengan kardioversi elektrik. Risiko tromboemboli atau strok emboli tidak berbeda antara kardioversi elektrik dan farmakologi sehingga rekomendasi pemberian antikoagulan sama pada keduanya.
Kardioversi Farrnakologis Kardioversi farmakologis paling efektifbila dilakukan dalam
Pemilihan obat-obat antiaritmia disesuaikan dengan keadaan penyakit jantung yang diderita untuk mencegah timbulnya pro aritmia. Pada sindrom WPW digoksin tidak boleh diberikan oleh karena dapat menimbulkankenaikan paradoksal laju ventrikel selama FA. Penyekat beta tidak menurunkan hantaran pada jalur aksesori selama periode pre-eksitasi dari FA.
PENGONTROLAN LAJU IRAMAVENTRIKEL Obat-obat yang sering dipergunakan untuk mengontrol laju irama ventrikel adalah digoksin, antagonis kalsium (verapamil, diltiazem) dan penyekat beta. Laju irama yang dianggap terkontrol adalah di antara 60-80 kalilmenit pada saat istirahat dan 90-1 15 kalilmenit pada saat aktivitas.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
FIBRlLASl ATRIAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Obat Amiodaron
Disopyramide Dofetilide Flecainide
Procainamide Propafenon
Quinidine Sotalol
Dosis Harian
Efek Samping Fotosentivitas, toksisitas paru, polineuropati, kel GI, bradikardia, torsade de pointes (jarang), hepatotoksis, disfungsi tiroid Torsade de pointes, gagal jantung, glaukoma, retensi urin, mulut kering Torsade de pointes Takikardia ventrikular, gagal jantung kongestif, konduksi nodal AV berubah (konversi menjadi fluter atrial) Torsade de pointes, lupus like syndrome, gejala GI Takikardia ventrikular, gagal jantung kongestif, konduksi nodal AV berubah (konversi menjadi fluter atrial) Torsade de pointes, keluhan sal cerna, konduksi nodal AV berubah Torsade de pointes, gagal jantung kongestif, bradikardia, penyakit paru bronkospastik yang merupakan eksaserbasi dari obstruksi kronik, bradikardia
PENCEGAHANTROMBOEMBOLI Pencegahan komplikasi tromboemboli merupakan salah satu tujuan yang penting dalam pengobatan FA. Risiko tromboemboli 7 kali lebih tinggi pada FA. Menurut studi Framingham risiko terjadinya emboli 5,6 kali lebih tinggi pada FA non valvular dan 17,6 kali pada FA valvular dibandingkan dengan kontrol. Risiko terjadinya strok emboli pada FA meningkat pada orang usia lanjut. Pada golongan umur antara 50-59 tahun kejadian strok emboli 6,7% dan 36,2% pada golongan umur antara 80-89 tahun. Tidak ada perbedaan risiko terjadinya strok antara pasien dengan FA paroksismal dan FA kronik. Kopeky melaporkan risiko strok emboli pada Lone AF 2,7%. Lone AF pada umur kurang dari 60 tahun bukan merupakan faktor risiko strok emboli. Risiko relatif terhadap strok iskemik pada beberapa keadaan dapat dilihat pada tabel 1. CHADs (Cardiacfailure, Hypertension, Age, Diabetes, Stroke) untuk pasien tanpa kelainan katup jantung. Ekokardiografi sangat bermanfaat untuk evaluasi penyebab FA yaitu pad paien dengan penyakit jantung rematik dimana terdapat kelainan katup jantung seperti stenosis mitral. Gambaran ekokardiografi tranesofageal (TEE) yang mempunyai risiko tromboemboli yang tinggi yaitu adanya disfungsi sistolik ventrikel kiri, tromus,
Kriteria risiko CHADs
skor
Riwayat strok atau TIA 2 Usia > 75 tahun 1 Hipertensi 1 Diabetes Melitus 1 Gagal jantung 1 Keterangan: TIA = transien ischemic attack (adaptasi dari ACC/AHA/ESC 2006 Guideline for the management of patients with atrial fibrillation, Circulation 2006; 114: 700-52)
gambaran spontaneous echo contrast, kecepatan aliran darah yang menurun < 20 cmtdetik dan plak aterom kompleks pada aorta torakalis.
PATOFlSlOLOGlPEMBENTUKAN TROMBUS PADA FA Pada FA aktivitas sistolik pada atrium kiri tidak teratur, terjadi penurunan atrialflow velocities yang menyebabkan stasis pada atrium kiri dan memudahkan terbentuknya trombus. Pada pemeriksaan TEE, trombus pada atrium kiri lebih banyak dijumpai pada pasien FA dengan strok emboli dibandingkan dengan FA tanpa strok emboli. Dua pertiga sampai tiga perempat strok iskemik yang terjadi pada pasien dengan FA non valvular karena strok emboli. Beberapa penelitian menghubungkan FA dengan gangguan hemostasis dan trombosis. Kelainan tersebut mungkin akibat dari stasis atrial tetapi mungkin juga sebagai kofaktor terjadinya tromboemboli pada FA. Kelainan-kelainan tersebut adalah peningkatan faktor von Willebrand (faktor VII), fibrinogen, D-dimer, dan fragmen protrombin 1,2. Sohaya melaporkan FA akan meningkatkan agregasi trombosit, koagulasi dan ha1 ini dipengaruhi oleh lamanya FA.
PENGOBATAN ANTITROMBOTIK UNTUK MENCEGAH KOMPLlKASl STROK EMBOLI Banyak laporan mengenai efektivitas anti trombotik dalam pencegahan komplikasi tromboemboli pada FA. Pada Atrial Fibrillation Investigator (AFI), didapatkan bahwa warfarin secara bermakna menurunkan risiko strok dari 4 3 % per tahun menjadi 1,45%. Terdapat penurunan risikosebesar 68%. Warfarin menurunkan risiko strok ada wanita 89% dan pada laki-laki 60%. Pada studi AFASAK pemberian aspirin 75 mg akan menurunkan risiko 18% (95% CI 60-58%) sedangkan pada SPAF, pemberian aspirin 325 mg menurunkan risiko 44% (95% CI 7-66%). Kombinasi dari kedua studi tersebut menurunkan risiko 36% (95% CI 4-57%). Pada metaanalisis warfarin menurunkan kejadian
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
strok 62% (95% CI 48-72%) penurunan risiko absolut 2.7% per tahun pada pencegahan primer dan 8,4% per tahun pada pencegahan sekunder. Warfarin lebih baik dari pada aspirin dengan penurunan risiko relatif 36% (CI 14-52%). Warfarin dan aspirin menurunkan kejadian strok pada pasien dengan FA dan warfarin jauh lebih efektif dibandingkan aspirin. Dosis optimal yang efektif dan aman untuk pencegahan komplikasi tromboemboli pada FAadalah INR 2,5 dengan rentang antara 2-3. Pada pasien dengan usia lebih dari 75 tahun target INR 2 dengan rentang antara 1,6-2. Ada beberapa faktor risiko pada pasien fibrilasi atrial yang direkomendasikan untuk mendapatkan terapi antitrombotik aspirin atau warfarin untuk pencegahan emboli. Tabel berikut merukan rekomendasi antitronibotik pada pasien dengan FA.
Faktor risiko rendah Gender wan~ta Usla 65 -74 tahun PJK T~rotoksikos~s
risiko moderat
usla 7 75 tahun
risiko tinggi r~wayatstrok,TIA Atau emboll stenosis m~tral katup protese
warfarin akan mempercepat proses organisasi trombus, penempelan pada dinding atrium dan resolusi trombus. Pada pasien FA yang timbul lebih dari 48jam atau tidak diketahui lamanya dianjurkan pemberian warfarin dengan target INR 2-3 diberikan 3 minggu sebelum kardioversi dan dilanjutkan 4 minggu pasca kardioversi. Manning tnenganjurkan pemeriksaan TEE sebelum kardioversi. Pasien diberikan heparin bila tidak ditemukan trombus, dilakukan kardioversi dan diberikan antikogulan sainpai 4 lninggu pasca kardioversi. Pada studi multisenter Asse.s,smcnt of C'urdiover~ion U,$ing firmseLso/7/~ugeul Echocardiogruph\, ( A C U T E ) kejadian tromboemboli 0,8% pada strategi dengan pemeriksaan TEE, sedangkan pada strategi konvensional 0.5% tidak ada perbedaan yang bermakna. W a k t ~yang ~ diperlukan untuk kardioversi lebih pendek dengan pemeriksaanTEE. Pada FA yang berlangsung kurang dari 48 jam kemungkinan terjadinya tromboetnboli pasca kardioversi sangat rendah (0,8%). Pada beberapa kasus pembentukan trombus dapat terjadi pada FA yang kurang dari 48jam dianjurkan pemberian antikoagulan selama periode peri kardioversi.
hlpertensl gagal jantung EF 7 35% Diabetes Melttus Keterangan PJK = penyak~tjantung koroner, EF = fraks~ejeksl (adaptas1dar~ACC/AHA/ESC 2006 Guideline for the management of patients with atr~alfibrillation, C~rculat~on 2006, 114 700-52 )
KARDIOVERSIDAN TROMBOEMBOLI Tromboemboli merupakan komplikasi yang dapat terjadi setelah kardioversi baik kardioversi elektrik, farmakologis, maupun kardioversi spontan. Kejadian tromboemboli setelah kardioversi pada pasien FA tanpa pemberian antikoagulan antara 1,s-3%. Byerkeland dan Orning melaporkan insiden tromboemboli pasca kardioversi tanpa pemberian antikoagulan 5,3% sedangkan yang mendapatkan antikoagulan 0,8%. Setelah kardioversi kontraksi mekanik atrium kiri masih belum pulih (utriul .vtzinnin,q) sanipai 2-4 minggu setelah kardioversi sehingga ada kemungkinan terbentuknya trombus baru yang dapat lepas pada periode pasca kardioversi. Oleh karena itu antikoagulan diberikan sampai empat minggu pasca kardioversi untuk mencegah pembentukan trombus baru selama periode clrriul .vtzlnnirtg dan mencegah pembent~lkantrombus apabila setelah kardioversi, FA tirnbul kembali. Trombus yarig terbentuk di atrium kiri memerlukan waktu kurang lebih 2 minggu untuk mengalami organisasi dan melekat erat pada dinding atrium sehingga tidak mudah lepas bila atrium berkontraksi setelah kembali ke irama sinus. Pemberian
ICV Gambar 1. Algorltma tatalaksana paslen dengan f~brilas~ atr~al yang baru terd~agnos~s
ALGORITME PENATALAKSANAAN FA Dalam penatalaksanaan FA perlu diketahui apakah FA tersebut paroksismal, persisten atau permanen. Hal tersebut penting untuk penatalaksanaan selanjutnya apakah perlu dilakukan kardioversi atau cukup dengan pengendalian laju irama ventrikel. FAyang b a n ditemukan atau episodepertama FA. Kadangkadang sulit menentukan apakah FA yarig baru pertama ditemukan merupakan episode pertama FA. Apalagi bila gejala minimal atau asimptomatik. Pada FA paroksismal yang secara spontan kembali ke irama sinus tidak perlu pemberian
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1617
FIBRILAS] ATRIAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Antikoagulan dan kontrol sesuai rlsiko tro~nboemboli
Antikoagulan dan kontrol laju sesuai ris~kotromboemboli
Gambar 2. Algoritma tatalaksana pasien dengan FA paroksismal berulang
>'
obat antiaritmia untuk pencegahan rekurensi, kecuali bila FA dengan gejala-gejala hipotensi, iskemia miokard atau gagal jantung. Pemberian antikoagulan tergantung dari adanya faktor risiko tromboemboli. Pada FA persisten ada 2 pilihan dalam penatalaksanaannya. Pilihan pertama pada pasien tersebut tidak dilakukan kardioversi dan membiarkan progresivitas FA tersebut ke arah FA permanen. Pada pasien tersebut dilakukan pengontrolan laju irama ventrikel dan pemberian obat antikoagulan. Dasar pemikiran pilihan tersebut karena pemberian obat-obat antiaritmia pada pasien tersebut lebih banyak ruginya. Pilihan kedua adalah dilakukan kardioversi dan mempertahankan ke irama sinus. Sebelum dilakukan kardioversi, diberikan antikoagulan dan pengontrolan laju irama ventrikel. Pada FA yang berlangsung lebih dari 3 bulan biasanya timbul rekurensi awal setelah kardioversi maka perlu pemberian obat antiaritmia sebelum kardioversi (setelah dapat obat antikoagulan) dan diberikan selama 1 bulan. FA paroksismal rekuren. Pada FA paroksismal yang mengalami rekurensi bila gejala-gejala minimal dan berlangsung singkat tidak perlu diberikan obat-obat antiaritmia, tetapi bila gejala-gejala tersebut mengganggu maka perlu diberikan obat-obat antiaritmia. Pada pasien tersebut dilakukan pengontrolan laju irama ventrikel dan pemberian obat antikoagulansia. FA persisten rekuen. Pasien dengan gejala minimal dan paling sedikit pernah dicoba untuk mengembalikan ke irama sinus tetapi kembali ke FA maka dilakukan pengontrolan laju irama ventrikel dan pemberian antikoagulan. Sebaliknya bila gejala mengganggu maka dilakukan kardioversi dengan pemberian obat antiaritmia (di samping obat untuk mengontrol laju irama ventrikel dan antikoagulansia) sebelum kardioversi.
REFERENSI Fuster V, Ryden LE, Asinger RW, et al. ACCIAHAIESC Guidelines for the Management of Patients with Atrial Fibrillation : execu-
tive summar Task Force on Practice Guidelines and the European Society of Cardiology Committee for Practice Guidelines and Policy Conferences (Committee to Develop Guidelines for the Management of Patients with Atrial Fibrillation). A report of the American College of Cardiology/American Heart Association. Circulation 2006; 114: 700-52. ' ' Hart RG, Halperin JL. Atrial fibrillation and thromboembolism : a decade of progress in stroke prevention. Ann Intern Med 1999; 131: 688-95. Haissaguerre M, Jais P, Shah DC et al. Spontaneous initiation of atrial fibillation by ectopic beats originating in the pulmonary veins. N Engl J Med 1998; 339: 659-66. Julian DG, Prescott RJ, Jackson FS et al. Controlled trial of sotalol for one year after myocardial infarction. Lancet 1982; 1: 11427. Kopecky SL, Gersh BJ, McGoon MD et al. The natural history of lone atrial fibrillation. A population-based study over three decades. N Engl J Med 1987; 3 17: 669-74. Kannels WB, Abbott RD, Savage DD, Mc Namara PM. Coronary heart disease and atrial fibrillation : the Framingham Study. Am Heart J 1983; 106: 389-96. Kannel WB, Wolf PA, Benjamin EJ et al. Prevalence, incidence, prognosis, and predisposing conditions for atrial fibrillation : Population based estimates. Am J Cardiol 1998;81: 40D-46D. Krahn AD, Manfreda J, Tate RB, Mathewson FA, Cuddy TE. The natural history of atrial fibrillation : incidence, risk factors, and prognosis in the Manitoba Follow-up Study. Am J Med 1995; 98: 476-84. Lanzarotti CJ. Thromboembolism in chronis atrial fibrillation : is the risk underestimated ? J Am Coll Cardiol 1997; 30: 1506-1 1. Lee SH, Chen SA, Tai CT et al. Comparisons of quality of life and cardiac performance after complete atrioventricular junction ablation and atrioventricular junction modification in patients with medically refractory atrial fibrillation. J Am Coll Cardiol 1998; 31 : 637-44. Manning WJ, Silverman Dl, Gordon SP et al. Cardioversion from atrial fibrillation without prolonged anticoagulation with use of transesophageal achocardiography to exclude the presence of atrial thrombi. N Engl J Med 1993; 328: 750-55. Prystowsky EN, Katz AM. Atrial Fibrillation. In : Topol ES, ed. Textbook of Cardiovascular Medicine. Philadelphia: LippincottRaven, 1998: 1827-61. Psaty BM, Manolio TA, Kuller LH et al. Incidence of and risk factors for atrial fibrillation in older adults. Circulation 1997; 96: 2455-61. Page RL, Wilkinson WE, Clair WK et al. Asymptomatic arrhythmias in patients with symptomatic paroxysmal atrial fibrillation and paroxysmal supraventricular tachycardia. Circulation 1994; 89: 224-7 Peterson P, Boysen G, Godtfredsen J et al. Placebo controlled, randomised trial of warfarin and aspirin for prevention of thromboembolic complication in chronic atrial fibrillation. The Copenhagen AFASAK study. Lancet 1989; 1 : 175-9. Singer DE, Hughes RA, Gress DR et al. The effect of aspirin on the risk of stroke in patientswith nonrheumatic atrial fibrillation : the BAATAF Study. Am Heart J 1992; 124: 1567-73. Sakata K, Kurihara H, lwamori K et al. Clinical and prognostic significance of atrial fibrillation in acute myocardial infarction. Am J Cardiol 1997;80: 1522-7 Vaziri SM, Larson MG, Benjamin EJ, et al. Echocardiographic predictors of nonrheumatic atrial fibrillation. Circulation'l994; 89: 724-30.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ARITMIA SUPRA VENTRIKULAR Lukman H. Makmun
PENDAHULUAN Aritmia dapat merupakan kelainan sekunder akibat penyakit jantung atau ekstra kardiak, tetapi dapat juga merupakan kelainan primer. Kesemuanya mempunyai mekanisme yang sama dan penatalaksanaan yang sama juga. Kelainan irama jantung ini dapat terjadi pada pasien usia muda ataupun usia lanjut. Aritmia dapat dibagi menjadi kelompok aritmia supraventrikular dan aritmia ventrikular berdasarkan letak lokasi yaitu apakah di atrial termasuk AV node dan berkas His ataukah di ventrikel mulai dari infra his 1~4ndle.Selain itu aritmia dapat dibagi menurut denyut jantung yaitu bradikardia ataupun takikardia, dengan nilai normal berkisar antara 60-00Jmenit. Tergantung dari letak fokus, selain menyebabkan VES (Ventriczilar E.rtra Svstole), dapat terjadi Supra Ventricular Extra s>.stole (SVES) atau Supra Ventriculare Tachycar~(~~ (SVT) di mana fokusnya berasal dari berkas Hls ke atas. AVNRT ( A VNoclrrl Reentry Tacl?,rardia) merupakan salah satu dari SVT di mana terjadi proses reentry mechuni,sm di sekitar nodus AV. Pada bab ini akan membahas tentang aritmia dengan fokus di supra ventrikel yang bersifat takikardia.
Ada beberapa teori yang menerangkan mekanisme takiaritmia, yang biasanya dipicu oleh premature hear. Mekanisme ini tergantung dari peran ion-ion natrium, kalium, kalsium, khususnya mengenai fungsi kana1 ion, sehingga berpengaruh terhadap potensial aksi dan juga konduksi elektrisnya. Gangguan ini dibagi menjadi gangguan fungsi pembentukan impuls (rangsang) dan gangguan perbanyakan (propagatzon) impuls. Pembentukan rangsang bertambah (enhanced
impulsed formation) yang dapat disebabkan oleh peningkatan otomatisitas (enhanced automaticity) dan aktivitas pemicu (triggered uctivig).
Peningkatan automatisitas: Aktivitas pacemaker otomatis selain pada nodus SA, juga didapat pada serabut atrial khusus, serabut AV junction dan serabut Purkinje. Sel miokard pada keadaan normal tidak mempunyai aktivitas sebagai pacemaker. Peningkatan automatisitas serabut pacemaker laten karena terjadi depolarisasi parsial pada resting membrane. Terjadi perubahan kecepatan depolarisasi pada fase diastolik yaitu percepatan fase 4 sehingga automatisitas meningkat. Bila mencapai ambang rangsang, akan terjadi aksi potensial baru sehingga dengan demikian mengakibatkan peningkatan frekuensi denyut jantung. Keadaan ini didapat pada:(l) peningkatan katekolamin endogen dan eksogen, (2) gangguan elektrolit (misal hipokalimia), (3) hipoksia atau iskemia, (4) efek mekanis dan (5) obat-obatan (misal digitalis).
\
Perrumnan otomatisasi (perlambatanfast
Garnbar 1. Pada fase 4 potensial aksi dapat terjadi kenaikan potensial membran sehingga terjadi pemendekan atau percepatan fase 4 (fase repolarisasi diastolic) karena lebih mendekati ambang rangsang dengan akibat mudah terjadi rangsangan baru (enhanced automaticity= accelerated). Dapat juga terjadi pelambatan fase 4, sehingga irama melambat (decreased automaticity = depressed).
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ARITMIA SUPRAVENTRIKULAR
-
-
1619
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gambar 2. Pada gambar atas Ambang rangsang A normal (TP= Threshold potentrale) Sedangkan pada B potential membrane mendekatl ambang rangsang sehrngga mudah drrangsang Pada gambar bawah A = normal Pada B Ambang rangsang menurun sehrngga mendekatr potensral drastolrc Keduanya In1memudahkan ttmbul perangsangan baru
Aktivitas pemicu (triggered activity): Dapat disebabkan oleh eur(13 uficr tie~~oltrrizcrtior7, yang terjadi pada fase 2 dan fase 3 potensial aksi atau pada after depolarisasi terlambat (clelu13ed). Karena itu nlekanisme ini teyjadi tidak secara spontan, tetapi sudah ada gangguan elektris jantung. Setelah hiperpolarisasi akhir (lcrtc), Na dan Ca yang masuk ke dalatn sel meningkat, sehingga terjadi gelombang sesudah (c!ftcr) depolarisasi dan bila mencapai ambang rangsang maka akan terjadi ekstrasistol. Mekanisn~eini telah diobservasi terjadi di atrial, ventrikel dan jaringan His-Purkirqe di mana kadar katekolamin meningkat, hiperkalsemia, intoksikasi digitalis atau pada bradikardia, hipokalimia. Se~nuakeadaan ini menghasilkan akumulasi Cb intrusellrlor.
Gambar 3. Pada A Potensral aksr yang terjadr drrkuti oleh hrperpolarrsasr yang terlambat (delayed hyperpolamatlon) atau rdentrk dengan early after depolanzabon (panah 1) dan pasca depolar~sasiterlambat (delayed affer depolar~zahon)(panah 2) B Potens~alaksr yang terjadr drrkutr pasca depolarrsasr terlambat (delayed after depolarrza tlon) yang mencapal ambang rangsang dan nondr~venpotensral aks~(panah 3) yang muncul darr puncak pasca depolar~sasr(after depolarrzatron) menyebabkan terjad~ ekstra s~stolbaru
Mekanisme reentry. Teori ini banyak dipakai untuk menerangkan terjadinya takiaritmia paroksismal menetap (.\zrst~~itl). Persyaratan terjadinya inekanisme ini adalah: ( 1 ) adanya h l o k ~ r n i c l i r . e c t i o n a l pada salah satu jalan
konduksi, baik sementara maupun menetap, (2) adanya jalan tambahan sehingga membentuk sirkuit tertutup, (3) Konduksi perangsangan cukup lambat, sehingga pada saat rangsang sampai di titik blok, titik tersebut sudah berada dalam fase rqfrtrktcr r r l u t i v e kembali, (4) ada extra beur sebagai pemicu terjadinya mekanistne reentri. Secara matematis panjang gelombang = kecepatan konduksi x masa refrakter. Perjalanan ber~~lang dari impuls tersebut mengakibatkan timbulnya takiaritmia menetap. Contoh yang jelas mekanisme ini adalah pada sindrom WPW (Wotff Pcirkin.\on Whit?) di mana terdapat jalan tambahan lnisal dari atrium ke ventrikel, di samping jalan normal nodus AVHis-P~lrkitje.
Perlambatan konduksi terjadi, jika terjadi fibrosis patologis karena jaringan parut (SL'LI~)akibat infark miokard. Blok unidirektional terjadi karena perubahan arsitektur jaringan sehingga tidak homogen sehingga menyebabkan refrakter yang inhomogen tnisal karena infark miokard. Sinus takikardia Frekuensi nadi melebihi 100Imenit dan biasanya bukan merupakan kelainan jantung primer, tetapi akibat sekunder karena berbagai stres, yaitu demam, kehilangan cairan, khawatir, latihan, tirotoksikosis, hipoksemia, hipotensi atau gagal jantung konyestif. Pada gambaran EKG terlihat gelombang P masih jelas dan masih diikuti oleh gelombang kompleks QRS. Masase sinus karotis bisa memperlambat takikardia.
Gambar 4. skematrk mekanrsme reentry A= jalan normal B = jalan ekstra Rangsang mengal~rdarr atas melalul tangan A dan B Pada waktu sampal dr B terdapat blok satu arah sehrngga rangsang tersebut trdak dapat lewat Kemud~anrangsang awal tadr, ketrka sampal dl zona blok, area tersebut trdak lagr dalam keadaan terblokade (refrakter absolute) tetapr sudah dalam keadaan refrakter relatrve, sehrngga dapat melrwat~nya Beg~tu seterusnya, rangsang melalur c~rcuittersebut
Pengobatan: ditujukanpada penyakit primer. Lain halnya bila terdapat pada kasus gagal jantung kongestif, yaitu pemberian penyekat beta haruslah bersama dengan inllihitor ACE atau Angiotctrsirr Rec,t>,t>tor.Blocker.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gambar 5. Mathematical Reentry Mechanism(LH Makmun,1982)
Jika suatu massa mengelilingi suatu circuit, akan membentuk suatu bentuk gelombang. Misal: panjang jalan = panjang lingkaran = 1atau AB cm. Waktu tempuh = T sek atau = AD sek. Kecepatan (V) vcmfsek. I = V x T (la = anatomis). Syarat untuk reentry: Minimal T = PR (Period Refrakter). la= V x PR (la= 1,)
Contoh: Panjang AB = 5 cm V = 50 cmlsek -+T atau AD = 0.1 sek. A, = 50 x 0.1 =5 cm Syarat untuk terjadi reentry: ' min.T = RP. A, = 50x 0.1=5 crn
1
--
A L
j_ : A
;
, I
:
jm
Gambar 6. Cara penghitungan matematik untuk terjadinya mekanisme reentiy. (Makmun LH,1982)
- Rangsang dari bawah ti&
p d a area dalsm fa= refralitw rebatrf, sehmgga dapat latan t m s 0 Reentty
Gambar 7. Bagan terrjad~mekanisme reentiy setelah dip~cuoleh aksi ekstra
Fibrilasi Atrial: (FA) Kelainan ini sering didapat dan dibagi menjadi paroksismal, persisten dan permanen tergantung dari cara timbul dan lamanya bertahan. Bila timbul secara mendadak dan hilang spontan dalam waktu 2 x 24 jam. disebut paroksisn~al.Bila terus lnenerus menetap nlenjadi kronik disebut permanen. Sedangkan persisten adalah bila bertahan sampai 7 hari. Dapat terjadi pada manusia normal terutama karena stres emosional atau sesudah operasi, latihan, intoksikasi alkohol akut atau karena peningkatan tonus vagal. Dapat juga terjadi pada pasien jantung atau paru dengan hipoksia. hiperkapnia atau gangguan metabolik atau gangguan hemodinamik. FA persisten sering terdapat pada pasien jantung. yaitu reuma jantung, penyakit katup mitral non reuma, penyakit hipertensi kardiovaskular. penyakit paru kronik, defek septa1 atrial, juga pada tirutok.\ikosi.s. Sedangkan lone FA bila pasien tidak mengidap penyakit jantung. Fibrilasi atrial dapat menin~bulkanko~nplikasiyang berkaitan dengan ( I ) frekuensi veritrikel yang sangat cepat sehingga terjadi hipotensi. edema paru, angina pektoris dan dapat juga men) ebabkan kardiomiopati yang disebabkan oleh takikardia (trrc~l~~~~c.ur.ciiu-n1e~iiuted. (2) Bila terlalu lambat dapat meniinbi~lkansinkop. (3) emboli sistemik yang biasanya terjadi pada pasien dengan demarn reuma jantung dan sebagai penyebab tersering stroh no11 hemoragik. (4) Hilangnya kontraksi atrial sehingga mengurangi curah jantung olrtpzit dengan akibat ter-jadi furi,qzic (5) rasa khawatir (ansietas) dengan palpitasi. Pada gambaran EKG gelombang P tidak terlihat dengan jelas. Respons aksi ventrikel (gelombang kompleks QRS) tidak teratur (iregularj. Hal ini tejadi karena dari sekian banyak ahsi atrial, tetapi hanya sebagian impuls yang dapat meliwati nodus AV, sehingga frekuensi aksi ventrikel lebih lambat daripada aksi atrial. Pengobatan: penyakit primer harus diobati, seperti tirotoksikosis, panas dan lainnya. Bila keadaan klinis buruk. misal hemodinamik menurun, dapat dilakukan kardioversi. Bila keadaan masih cukup baik, dapat diberikan obat penyekat beta atau antagonis kalsium, di mana keduanya memblokade di nodus AV yaitu pada .slow conductiorr porhwuv, dengan memperpanjang masa refrakternya. Pemberian antikoagulan sainpai I N R minimal 1,8 untuk mencegah emboli. Pada pasien FA kronik tujuan pengobatan adalah untuk kontrol rwtr yaitu dengan penyekat beta, atau antagonis kalsium atau digitalis. Sedangkan pada pasien yang telah kembali ke irama sinus dapat diberikan obat-obatan golongan IC, sotalol, amiodaron untqk ~empertahankaniramanya, yaitu sebagai kontrol ritme. Penatalaksanaan Farmakologis Penyakit dasarnya seharusnya diobati juga di samping penatalaksanaan terhadap aritmianya sendiri, seperti gaga1 .jantung, PJK, perbaikan elektrolit dan lainnya.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ARITMlA SUPRA VENTRIKULAR
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pada pasien usia lanjut harus diperhatikan efek samping, berkenaan dengan sudah menurunnya fungsi hepar, renal, distribusi dengan berkurangnya volume cairan tubuh. Selain itu dilihat juga interaksi obat-obat dan juga dihindari polifamaka. Obat-obatan antia aritmia yang digunakan pada pengobatan AF adalah: (A). (1) kelompok kontrol rate untuk mengatasi denyut nadi, yaitu golongan penyekat beta (class 11), (2) golongan antagonis kalsium yaitu verapamil, diltiazem (kelas IV). Di samping itu dapat dipergunakan juga digitalis. (B) adalah kelompok rythme control untuk mengkonversi dari AF ke irama sinus dan juga untuk mempertahankannya bila telah kembali ke irama sinus, yaitu : (1). Golongan yang memblokade kanal ionNa (kelas IA, IC) yaitu antara lain kuinidin, propafenon. (2) kelas I11 yang memperpanjang masa refrakter potensial aksi dengan menghambat kanal ion K, yaitu antara lain amiodaron, sotalol. Intewensi Invasif Yang paling sederhana adalah dengan menggunakan defibrilator untuk mengatasi VT dan VF yang termasuk dalam resusitasi jantung paru. Ablasi biasanya dilakukan pada AF paroksismal. Biasanya tipe ini dipicu oleh fokus otomatis yang berlokasi di vena pulmonalis. Dengan menggunakan teknik kateterisasi sampai ke atrium kiri mencapai vena pulmonalis kemudian setelah didapat signal fokus, dilakukan ablasi. Selain itu adajuga teknik bedah MAZE dengan membentuk multipel scars di atria kanan dan kiri sehingga mencegah penjalaran gelombang fibrillasi. FluterAtrial (FIAT) Aritrnia ini biasanya berkaitan dengan penyakit jantung organik. Fluter ini dapat terjadi secara paroksismal dengan faktor presipitasi seperti perikarditis, gaga1 napas akut. Dapat juga terjadi dalam minggu pertama setelah operasi jantung terbuka. FlAT dapat berubah menjadi AF dan jarang menimbulkan emboli sistemik. FlAT mempunyai kekhasan berupa gambaran gelombang P seperti gigi gergaji (saw teeth), mempunyai frekuensi atrial sekitar 250-350lmenit. Sedangkan frekuensi ventrikel adalah setengahnya karena terjadi blok 2:l di nodus AV. Pengobatan. Yang paling efektif adalah dengan kardioversi dengan low energy (25-50Ws). Selain itu bila frekuensi ventrikel meningkat dapat diturunkan dengan antagonis kalsium atau penyekat beta atau digitalis yang memblokade di nodus AV. Kemudian setelah itu dapat diberikan anti aritmia golongan IA atau IC atau Amiodaron untuk merubah menjadi irama sinus. Untuk menjaga jangan sampai kembali ke FlAT dapat diberikan golongan IA, IC atau golongan 111. Ablasi dengan radiofrekuensi biasanya dilakukan di lokasi sekitar katup trikuspidal yaitu pada daerah isthmus yang sempit. Keberhasilan cukup tinggi sampai 85%.
AV Nodal Reentrant Tachycardia (AVNRT) Termasuk Paroksismal supra takikardia ventrikular. Letak kelainan adalah di nodus AV dan lebih sering terjadi pada perempuan. Kompleks QRS langsing dengan frekuensi berkisar antara 120-250lmenit dan dipicu oleh atrial ekstra sistol dan berkaitan dengan PR memanjang karena terjadi keterlambatan konduksi di dalam AV node. Dalam AV node terdapat dua pathway yaitu fast dan slow pathway yang disebut dualpathway. Fastpathway memberikan konduksi yang cepat serta mempunyai periode refrakter panjang sedangkan slow pathway memberikan konduksi lambat dengan periode refrakter pendek. Pada irama sinus konduksi rangsang hanya melaluifastpathwaj~sehingga interval PR normal. Dengan adanya atrial ekstra sistol, terjadi blokade di fast pathway sehingga konduksi rangsang berikutnya dialirkan melalui slow pathway dan selain itu kecepatan rambat menurun, sehingga memenuhi persyaratan untuk terjadi reentyAVnoda1 dan terjadilah takikardia dan disebut AV nodal reentrant tachycardia. Aktivasi atrial retrograd dan ventrikel antegrad terjadi bersamaan sehingga gelombang P tak terlihat di EKG
Gambaran klinis berupa palpitasi, dapat terjadi sinkop dengan hipotensi. Pengobatan Tindakan pijat sinus karotikus sebagai manipulasi vagal dapat dicoba untuk menghentikan aritrnia. Bila tak berhasil dapat diberikan Adenosin intravena. Selain itu dapat dilakukan dengan verapamil atau penyekat beta. Sedangkan digitalis, awitan aksinya lebih lambat sehingga tidak dianjurkan pada keadaan akut. Bila tak berhasil dapat dilakukan dengan pacing di atrial atau ventrikel melalui intravena. Dalam keadaan hemodinamik jelek dengan hipotensi atau iskemia berat, dipertimbangkan untuk dilakukan kardioversi. Non reentrant tachycardia: Multifocal Atrial Tachycardia (MAT). Biasanya terjadi karena intoksikasi digitalis atau hipokalimia atau efek teofilin atau obat adrenergik Garnbaran EKG adalah lebih dari tiga gelombang P consecutive dengan gambaran berbeda-beda. Interval R-R irreguler: Pengobatan dapat diberikan penyekat beta, antagonis kalsium, dan digitalis yang bekerja di nodus AV untuk menghentikan respons ventrikel.
OBAT ANTlARlTMlA Obat-obatan antiaritmia dibagi menjadi beberapa golongan yaitu: Klas I. yang berfungsi memblokade kanal Na pada membran sel sehingga menurunkan kecepatan maksimal depolarisasi (Vmaks) pada fase 0, sehingga tidak terjadi potensial aksi baru yang berarti mencegah timbulnya ekstrasistol. Tergantung dari intensitasnya memblokade
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
kanal Na tersebut, Klas I dibagi menjadi: Klas IA. Kinetik kerjanya intermediate, memperpanjang masa repolarisasi potensial aksi. Menurunkan Vmaks pada semua heart rate. Contoh: kuinidin, prokainamid, disopiramid. Klas I B. kinetik kerjanya cepat dan memperpendek repolarisasi potensial aksi hanya ringan saja. Mempunyai efek yang ringan terhadap kasus dengan heart rate rendah, tetapi mempunyai efek lebih besar pada kasus dengan heart rate tinggi. Contoh: lidokain, meksiletin, fenitoin, tokainid. Klas I C. kinetik kerjanya lambat dan mempunyai efek kecil terhadap repolarisasi potensial aksi. Contoh: Propafenon, flekainid, lorkainid. Pada penelitian-penelitian obat-obatan kelas I ini tidak menunjukkan penurunan angka kematian secara signifikan dibandingkan dengan kontrol. Bila diberikan pada pasien usia lanjut dengan penyakit jantung sering terjadi proaritrnia. Klas 11. Obat anti simpatik: menurunkan otomatisasi nodus SA, memperpanjang refrakter nodus AV, menurunkan kecepatan konduksi nodus AV. Golongan ini adalah penyekat beta, misal propranolol dan lainnya. Pemberian penyekat beta pada pasien pasca IMA menunjukkan penurunan angka mortalitas secara signifikan, dengan mencegah terjadinya suddent cardiac death dan IMA berulang. Golongan ini menurunkan kejadian terjadinya Entricular Activity (VA) complex termasuk VT. Klas 111. Golongan ini memblokade kanal kalium sehingga repolarisasi potensial aksi diperpanjang dan pada EKG dapat dilihat dengan perpanjangan QT. Obat ini menekan terjadinya VA kompleks, dengan memperlama periode refrakter. Contoh: amiodaron, bretilium, sotalol (sebetulnya termasuk golongan penyekat beta). Amiodaron sangat efektif dalam menurunkan kejadian VA kompleks yang berkaitan dengan penyakit jantung. Namun mesti diperhatikan efek sampingnya yang antara lain terhadap paru, saluran cema dan lain-lain.
Klas IV. Antagonis kalsium. Memperlambat kecepatan konduksi dan memperpanjang masa refrakter dari jaringan dengan potensial aksi yang slow respons misal di nodus AV. Contoh: verapamil, diltiazem. Golongan ini tidak bermanfaat pada Ventricular Arrhytmia (VA) kompleks. Pada pasien dengan VT bila diberikan verapamil intravena dapat menyebabkan kolaps hemodinamik. Angka kematian menunjukkan kenaikan tidak signifikan dibanding kontrol. Karena itu tidak diberikan pada pasien dengan VT. Digitalis dan Adenosin tidak termasuk golongan anti aritmia. Efek Digitalis: memperlambat ventrikular rate sehingga dapat dipakai pada FA, FlAT dan atrial takikardia lain. Adenosin: menterminasi SVT reentrant yaitu AVNRT dan bekerja di nodus AV.
ACE INHIBITOR Pada pasien dengan gaga1 jantung kongestif menurut beberapa penelitian golongan obat ini dapat menurunkan kejadian VA kompleks termasuk VT, sehingga angka suddent cardiac death juga akan menurun.
REFERENSI Josephson ME, Zimetbaum P. The Tachyarrhytmias. In: Harrison's Principle of Internal Medicine. Editor: Kasper, Braunwald, Fauci, Hauser, Longo, Jameson. 16Ih. Ed. New York: McGraw Hi11;2005.p. 1342-9. Jossephson. Clinical Cardiac Electrophysiology. 2nd. Lea & Fabiger; 1993 Khan MIG. Cardiac Drug Therapy. 1" ed.London. Bailliere Tindall; 1984.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
,
ARITMIA VENTRIKEL M. Yamin, Sjaharuddin Harun
PENDAHULUAN
Aritmia ventrikel memiliki spektrum yang luas mulai dari premature ventricular contraction (PVC, dikenal juga sebagai ventricular extrasystole atau VES), takikardia ventrikel (selanjutnya disebut VT), fibrilasi ventrikel (selanjutnya disebut VF), sampai torsades de pointes (selanjutnya disebut TDP). Tantangan utama bagi klinisi adalah mengindentifikasi aritmia ventrikel yang berpotensi fatal pada kelompok pasien tertentu (misalnya PVC frekuen pada pasien pasca infark miokard dengan penurunan fungsi ventrikel kiri) karena dapat menimbulkan kematian mendadak. Dalam tulisan ini akan diulas etiologi, gambaran EKG, kepentingan klinis dan tatalaksana aritmia ventrikel yang sering dijumpai dalam praktek sehari hari yaitu PVC, takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel, dan torsades de pointes. Pembahasan lebih mendalam diberikan pada VT.
ETlOLOGl DAN MEKANISME ARlTMlA VENTRIKEL
Secara umum terdapat empat mekanisme terjadinya aritmia, termasuk artimia ventrikel, yaitu automaticity, reentrant, dan triggered activity. Automaticity terjadi karena adanya percepatan aktivitas fase 4 dari potensial aksi jantung. Aritmia ventrikel karena gangguan automaticity biasanya tercetus pada keadaan akut dan kritis seperti infark miokard akut, gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan asam basa, dan tonus adrenergik yang tinggi. Oleh karena itu bila berhadapan dengan aritmia ventrikel karena gangguan automaticity, perlu dikoreksi faktor penyebab yang mendasarinya. Aritrnia ventrikel yang terjadi pada keadaan akut tidaklah memiliki aspek prognostik jangka panjang yang penting. Mekanisme aritmia ventrikel yang tersering adalah
reentvy dan biasanya disebabkan oleh kelainan kronis seperti infark miokard lama atau kardiomiopati dilatasi (dilated cardiomyopathy ). Jaringan parut (scar tissue) yang terbentuk akibat infark miokard yang berbatasan dengan jaringan sehat menjadi keadaan yang ideal untuk terbentuknya sirkuit reentry. Bila sirkuit ini telah terbentuk maka aritmia ventrikel reentrant dapat timbul setiap saat dan menyebabkan kematian mendadak. Triggered activity memiliki gambaran campuran dari kedua mekanisme di atas. Mekanismenya adalah adanya kebocoran ion positif ke dalam sel sehingga terjadi lonjakan potensial pada akhir fase3 atau awal fase 4 dari aksi potensial jantung. Bila lonjakan ini cukup bermakna maka akan tercetus aksi potensial baru. Keadaan ini disebut afterdepolarization.
PREMATURE VENTRICULAR CONTRACTION (PVC)
PVC timbul bila karena adanya fokus ektopik pada ventrikel yang muncul lebih awal dari irama dasamya. Pada EKG akan terlihat kompleks QRS yang lebar, terdapat perubahan segmen ST-T sekunder, dan terdapat pause kompensasi penuh (fiully compensatovypause) seperti pada Gambar 1. Berdasarkan frekuensi dan bentuknya PVC dapat dibagi menjadi: PVC Jarang (infiepent): kurang dari lima kali per menit PVC Sering wequent): lebih dari lima kali per menit PVC Repetitif: bila muncul pada tiap denyutan (beat) kedua dari irama dasar disebut PVC bigemini (gambar 2), bila timbul pada denyutan ketiga dari irama dasar disebut PVC trigemini. PVC berkelompok: bila dua PVC muncul berkelompok disebut PVC salvo. Bila tiga atau lebih PVC disebut VT PVC Multifokal: Bila bentuk PVC dalam satu sandapan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
bentuknya berlainan. Ini menandakan fokus ektopik berasal lebih dari satu tempat Fenomena Ron T: PVC muncul pada periode repolarisasi ventrikel yang rentan untuk terjadinya VF yaitu pada lio~n-slopegelombang T Secara klinis PVC yang terjadi pada pasien dengan
-
TAKlKARDl VENTRIKEL (VT)
C~npencatoryVS Non Compencatory Pauses
.-' I
Premature
Ventricular '1
I
1
I
,,---
r'
Premature
1
TO
measure a full cornpnsetoty
kematian mendadak yang tinggi. Kelompok pasien ini sebaiknya dirujuk untuk pemeriksaan elektrofisiogi untuk menentukan apakah perlu dipasang ~ m p l u t ~ t t u b l e curdiol~erterdefibrillator. ( ICD ).
1
1 Tandai 3 siklus normal 2 Beri tanda gelombang P slklus EKG n m l yang berada tepat sebelum komplekskontraksl premalur 3 Tanda gelambang P ke-3 haNSjatuh tepat p%dagelombang P yang saharusnya seharusnya setelah kompleks prematur d~sebutwmpensatwy pause
Gambar 1. Rekaman EKG PVC dengan clrl kompleks QRS lebar dan adanya fully compensatory pause y a ~ t u~ntervalantara gelombang P lrama dasar sebelum PVC dengan sesudah PVC adalah dua k a l ~~ n t e r v a lP-P lrama dasar ( D ~ k u t ~dpa r ~ www ekglearnlng com)
Gambar 2. PVC bigemini.Tampak PVC muncul secara bergantian dengan denyut (beat) normal
jantung normal tidak memiliki faktor prognostik yang penting. Pada keadaan ini tidak diperlukan terapi. Bila pasien merasa tidak nyaman dapat diberikan nlinor truny~rilizerdan menghindarkan faktor yang memperberat seperti kopi dan rokok. Bila gejala tidak berkurang dapat diberikan obat penyekat beta. Pada keadaan akut seperti infark miokard akut, terutama PVC bigemini, multifokal, atau R on T, dapat diberikan lidokain, prokainamid, atau amiodaron. Bila PVC yang sering (fhequent) muncul pada pasien pasca infark dengan penurunan fungsi LV (fraksi ejeksi <35%) atau kardiomiopati dilatasi, maka nilai prognostiknya menjadi penting karena kelompok pasien ini memiliki risiko
Takikardi Ventrikel (untuk kemudahan selanjutnya disebut VT) adalah terdapat tiga atau lebih pretnutlire ve~itrrclrltri, contruction (PVC) atau vmti.ic.zilur ertru.s~:\tole.s(VES) dengan laju lebih dari 120 kali per menit. Fokus takikardi dapat berasal dari ventrikel (kiri atau kanan) atau akibat dari proses rcentt?, pada salah satu bagian dari berkas cabang (hzmdle brunch reenty, VT). Dari rekaman EKG permukaan VT umumnya memberikan gambaran EKG dengan ciri kompleks QRS yang lebar (>0,12 detik). Namun tidak semua takikardi dengan kompleks QRS lebar adalah VT karena takikardi supraventrikel (SVT)dengan kond~tksi aberan atau dengan konduksi melalui jaras tambahan (acce.\sor:v puthtc-trj.)juga akan memberikan gambaran takikardi dengan komplek QRS lebar. Oleh karena itu pengenalan VT menjadi penting dalam keadaan kegawatan karena pemberian obat untuk SVT dapat membahayakan pada pasien dengan VT. Pengenalan VT juga h a r ~ ~ s rnencakup identifikasi etiologi, sumber fokus, terapi, dan prognosisnya. VT idiopatik misalnya, dapat diterapi secara definitif dengan ablasi kateter, sangat jarang menyebabkan kematian mendadak, dan memiliki prognosis yang baik. Sebaliknya VT iskemia (VT akibat penyakit jantung koroner) memberikan risiko tinggi untuk terjadinya kematian tnendadak (.\zid~/en cal-dials clecrtl~) akibat aritmia fatal (VT yang berdegenerasi menjadi 1.~i7trrc'~lur. fibrillation ).
Klasifikasi Secara umum VT dapat dibagi menjadi lnonornortik dan polimorfik. VT monomorfik rnemiliki kompleks QRS yang sama pada tiap denyutan (heat) dan menandakan adanya depolarisasi yang berulang dari tempat yang sama. Umumya disebabkan oleh adanya fokus atau substrat aritn~iayang mudah dieliminasi dengan teknik ablasi kateter. Sedangkan VT polimorfik ditandai dengan adanya kompleks QRS yang bervariasi (berubah) dan rnen~mj~~kkan adanya urutan depolarisasi yang berubah dari beberapa tempat. Biasanya VT jenis ini berkaitan dengan jaringan parut (scar tissue) akibat infark miokard (ischemic VT). Bila VT berlangsung lebih dari 30 detik disebut s~~stuitzed dan sebaliknya bila kurang dari 30 detik disebut non.\ ~ ~ ~ t u r t z e d . Berdasarkan etiologi VT dikelornpokkan menjadi: VT Idiopatik (Idiopathic VT): - VT Idiopatik Alur Keluar Ventrikel Kanan (Rlght k~nhiculrrrOutflow Putt VT=R L'OT VT)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI -
VT Idiopatik Ventrikel Kiri (Idiopathic Lefi Ventricular VT) VT pada Kardiomiopati Dilatasi Non-Iskemia - Bundle Branch Reentrant VT - Arrhythmogenic Right Ventricular Dysplasiu (ARvD) *. VT iskemia (Ischemic Vi") Diagnosis Takikardia Ventrikel Diagnosis VT didasarkan pada gambaran berikut ini: Durasi dan morfologi kompleks QRS, pada VT urutan aktivasi tidak mengikuti arah konduksi normal (terganggu) sehingga bentuk kompleks QRS akan kacau dan durasi kompleks QRS menjadi panjang (biasanya lebih dari 0,12 detik). Pedoman umum yang berlaku adalah semakin lebar kompleks QRS semakin besar kemungkinannya suatu VT, khususnya bila lebih dari 0.16 detik. Pengecualian adalah VT yang berasal dari fasikel posterior berkas cabang kiri (i~/io/?athiclefl ~ ~ e n r i ( . ltuchycardia) ~l~~r yang memiliki kompleks QRS kurang dari 0,12 detik karena pada VT jenis ini lokasi reentv dekat dengan septum interventrikel seperti konduksi normal. Morfologi kornpleks QRS bergantung pada asal fokus VT. Bila berasal dari ventrikel kanan akan memberikan gambaran morfologi blok berkas cabang kiri (left bundle hrtrnch hlock rnor/~holoLqy) dan jika berasal dari ventrikel kiri akan menunjukkan gambaran blok berkas cabang kanan (right bundle branch block morphologp,). Kalau morfologi QRS adalah RBBB maka takikardi adalah VTjika morfologi kompleks QRS adalah monomorfik atau bitasik (QR atau RS). Jika morfologi QRS adalah LBBB maka akan menguatkan diagnosis VT jika adanya takik (notching) gelombang S atau nadir S yang lambat (>70 milidetik). Laju dan irama, laill (rcite)VT berkisar antara 120-300 kali per menit dengan irama yang teratur atau hampir teratur (variasi antar denyut adalah <0,04 detik). Jika takikardi disertai irarna yang tidak teratur (il.regzrlur) maka hams dipikirkan adanya AF dengan konduksi aberan atau preeksitasi. Aksis kompleks QRS, aksis kompleks QRS tidak hanya penting untuk diagnosis tapi juga untuk menentukan asal fokus. Adanya perubahan aksis lebih dari 40 derajat baik ke kiri rnaupun ke kanan umumnya adalah VT. Kompleks QRS pada sandapan aVR berada pada posisi -2 10 derajat dengan kompleks QRS negatif. Bila kompleks QRS menjadi positif saat takikardi sangat menyokong adanya VT yang berasal dari apeks mengarah ke bagian basal ventrikel. Aksis ke superior pada takikardi QRS lebar dengan morfologi RBBB sangat rnenyokong kearah VT. Adanya takikardia QRS lebar dengan aksis inferior dan morfologi LBBB mendukung adanya VT yang berasal dari right \7errtric~rlar outfk,,rr trcrct. Dissosiasi antara atrium dan ventrikel (Atrio-Ventricular
Dissociation), pada VT nodus sinus terus memberikan impuls secara bebas tanpa ada hubungan dengan aktivitas ventrikel (atrium dikontrol oleh nodus sinus dan ventrikel dikontrol oleh fokus takikardi dengan laju lebih cepat) sehingga gelombang P yang muncul tidak berkaitan dengan kompleks QRS (dikenal dengan A V dissociation) seperti terlihat pada Gambar 3. Adanya disosiasi AV sangat khas untuk VT walaupun adanya asosiasi (hubungan) AV belum dapat menyingkirkan VT. Secara klinis disosiasi AV dapat dikenal dengan adanya variasi bunyi jantung satu dan variasi tekanan darah sistolik.
Gambar 3. Gambaran disosiasi AV pada idiopathic left ventricular tachycardia. Perhat~kansandapan II dan terlihat gelombang P di depan kompleks QRS ke-3, ke-6, ke-8, ke-15, ke-21, dan ke-24 (tanda panah) yang tidak berkaitan dengan kompleks QRS yang mengikutinya
Capture beat dan Fusion beat, Kadang-kadang saat berlangsungnya VT, impuls dari atrium dapat mendepolarisasi ventrikel melalui sistem konduksi normal sehingga memunculkan kompleks QRS yang lebih awal dengan ukuran normal (sempit). Keadaan ini disebut capture beat (Gambar 3). Fusion beat terjadi bila impuls dari nodus sinus dihantarkan ke ventrikel melalui nodus atriovenhikel (nodus AV) dan bergabung dengan impuls dari ventrikel. Jadi ventrikel sebagian didepolarisasi dari nodus sinus dan sebagian dari ventrikel sehingga kompleks QRS berbentuk antara kompleks normal dan VT (Gambar 4). Capture dan jusion heat jarang ditemukan dan sangat khas untuk VT walaupun tidak adanya mereka bukan berarti VT dapat disingkirkan. Konfigurasi kompleks Q R S , adanya concordance (kesesuaian) dari kompleks QRS pada sandapan dada sangat menyokong diagnosis VT. Kesesuaian positif (positive concordunc.e) kompleks QRS pada sandapan dada dominan positif menunjukkan asal fokus takikardi dari dinding posterior ventrikel. Kesesuaian negatif (negat~ve concordance) kompleks QRS pada sandapan dada dominan negatif menunjukkan asal fokus dari dinding anterior ventrikel. Kedua gambaran tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. - PRIYO . -- - .PANJI - .-
Kriteria untuk diagnosis VT yang telah dibahas tadi. tidak selalu didapatkan dan tidak jarang hanya satu atau dua kriteria saja yang ditemukan. Oleh karena itu Brugada mernbuat kriteria pendekatan yang sederhana seperti yang terlihat pada Gambar 6. Pedoman tersebut lebih mudah dan praktis untuk di pakai dalam praktek sehari-hari. Selain rekaman EKG, anamnesis, pemeriksaan fisik, data penunjang lainnya (foto toraks, dan ekokardiografi) dapat membantu. Pada pasien yang pernah mengalami infark miokard dengan gangguan fungsi ventrikel misalnya, maka diagnosis VT lebih diutamakan bila pasien tersebut mendapat takikardi dengan kompleks QRS lebar. Penting diingat untuk selalu membuat EKG lengkap r2 sandapan saat dan sesudah takikardi.
I I
i
.-.
..
.
-
.-
- .
I
Kompieks RS tak diternukan pada semua sandapan prekardral?
I I
I
4 Interval R ke S 4 0 0 rns pada satu sandapan prekordial?
I
i
I
I I
Disosiasi AV ?
I Pertanyaan selanjutnya
,
Kfiteria Morfologi for VT ditemukan pada
Gambar 4. Pada sadapan II, kompleks QRS ke-2, ke-9, I I ~ r r i -16 menunjukkan capture beat dengan n ini kompleks sempit dan muncul lebih awal dari seharusnya. Fusion beat terlihat pada kompleks QRS ke-7
aberan I
Gambar 6. Kriteria Brugada untuk diagnosis V7 (Dikutip dari Brculat~on1991,83 1649-59)
DIAGNOSIS BANDING
Gambar 5. A. Menunjukkan kesesuaian negatif (negative concordance) dan gambar B menunjukkan kesesuaian positif (posit~veconcordance)
Tidak semua takikardi dengan kompleks QRS lebar adalah VT meskipun 70% takikardi jenis ini adalah VT. Takikardi dengan kompleks QRS lebar bisa terjadi pada: Takikardia supraventrikel (SVT) dengan konduksi aberan, pada keadaan SVT biasa maka konduksi dari atrium ke ventrikel melalui jalur konduksi normal sehingga kompleks QRS akan normal. Namun secara fisiologis dapat terjadi hambatan (blok) pada salah satu berkas cabang (kiri atau kanan) karena adanya perbedaan masa refrakter di antara keduanya. Kedaan ini disebut konduksi aberan (aberrunt conduction). Karena adanya hambatan berkas cabang maka kompleks QRS akan lebar seperti keadaan LBBB atau RBBB biasa. Takikardia supraventrikel (SVT) dengan konduksi melalui jaras tarnbahan (accessogrpatl~way), Bila terdapat jaras tambahan yang memintas jalur konduksi normal dari
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ARlTMlA VENTRIKEL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI atrium ke ventrikel, maka pada saat takikardi supraventrikel (SVT), ventrikel diaktivasitidak melaluijalur konduksi normal sehinggaventrikel mengalami aktivasi dini (preeksitasi). Akibatnya kompleks QRS akan terlihat lebar. Takikardia supraventrikel(SVT) pada keadaan hambatan berkas cabang yang sudah ada, bila pada keadaan irama sinus sudah terdapat gambaran hambatan berkas cabang (kiri atau kanan) maka saat timbul S W kompleks QRS akan terlihat lebar seperti pada keadaan sinus. Oleh karena itu sangat penting untuk membandingkan EKG sebelum dengan pada saat takikardia. KEPENTINGANKLlNlS TAKlKARDlA VENTRIKEL Takikardia Ventrikel ldiopatik Dijumpai pada pasien dengan jantung normal (tidak ada kelainan struktural). Umumnya VT tidak berbahaya, tidak mengganggu hemodinamik, dan tidak menyebabkan kematian mendadak (suddent cardiac death). Namun bila VT timbul dengan laju yang cepat dapat menyebabkan sinkop. Karena disebabkan oleh fokus ektopik yang terbatas pada satu lokasi maka umumnya sangat mudah dihilangkan dengan cara ablasi kateter. VT Idiopatik alur keluar ventrikel kanan (right fokus VT berasal dari RVOT ventricularoutflow tract W), dan jenis VT ini merupakan 90% dari VT idiopatik. Pasien umumnya adalah perempuan muda. VT dapat dicetuskan oleh ketegangan, emosi, dan aktivitas fisik. Manifestasi klinisjenis ini dapat berupa VT yang dicetuskan oleh latihan (exercised-inducedV T )atau VT monomorfik yang berulang (repetitive monomorphic VT) yang timbul saat istirahat. Pada beberapa pasien kerap dijumpai dalam bentukpremarure ventricular contraction (PVC) bigemini atau VT nonsustained yang simptomatik dan mengganggu. Pemeriksaan ekokardiografi dan angiografi koroner biasanya normal. Gambaran elektrokardiogram (EKG) menunjukkan suatu takikardi dengan kompleks QRS lebar, morfologi kompleks QRS left bundle branch block (LBBB) pada sandapan V 1, dengan aksis kompleks QRS ke arah inferior (right axis deviation) atau normal (Gambar 7). Umumnya VT jenis ini disebabkan oleh proses otomatisasi, triggered activity, dan takikardi dengan perantaraan siklik-AM yang dirangsang oleh sistem saraf adrenergik dan sensitif terhadap peningkatan kalsium intrasel. Oleh karena itu dapat diberikan pengobatan dengan obat penyekat kalsium (calcium channel blocker) seperti verapamil. Sedangkan pada VT jenis lain obat ini adalah kontraindikasi. Karena salah satu jenis VT ini dicetuskan okeh latihan (exercise induced) maka obat penyekat beta (beta blocker ) juga efektif. Dapat diberikan metoprolol sampai dosis optimal 2 x 100 mg per hari. Bila pasien tetap bergejala maka dapat diberikan terapi definitif
Garnbar 7. VT ldiopatik dari RVOT. Rekarnan EKG mernperlihatkan takikardi dengan kornpleks QRS lebar, rnorfologi left bundle branch block (LBBB) pada V1, aksis kompleks QRS normal.
dengan ablasi kateter (Gambar 8). Keberhasilan tindakan ini berkisar 70-85% dengan angka komplikasi yang rendah (misalnya perforasi). Diagnosis banding VT tipe ini adalah jenis VT lainnya. Hanya saja perlu diperhatikan jenis VT yang paling mirip dengan VT ini yaitu Arhytmogenic Right Ventricular Dysplasia (ARVD). Pebedaannya adalah pada ARVD didapatkan adanya infiltrasi lemak pada ventrikel kanan (terdapat kelainan struktural). VT Idiopatik dari Ventrikel Kiri (Idiopathic left
Gambar 8. Ablasi kateter pada RVOT VT dari berbagai posisi. ABL (kateter ablasi) yang ditempatkan pada RVOT. RVA adalah kateter yang diternpatkan di apeks ventrikel kanan.
ventricular tachycardia=ZL VT), istilah lain untuk VT jenis ini adalah takikardia fasikular karena adanya proses reentry pada fasikel anterior dan posterior sebagai penyebab takikardi. Ada tiga sub-kelompok pada VT ini yaitu kelompok yang sensitif terhadap verapamil (verapamil sensitive), sensitif terhadap adenosin (adenosine sensitive), dan sensitif terhadap propanolol (propanolol sensitive). Yang terbanyak adalah kelompok sensitif terhadap verapamil. VT jenis ini umumnya diderita oleh pria usia muda. Pada rekaman EKG permukaan terlihat takikardi dengan morfologi kompleks QRS berbentuk blok berkas cabang kanan (RBBB), dengan aksis superior (gambar 2). Kompleks QRS tidak begitu lebar karena fokus takikardi dekat dengan septum (lokasi jaringan konduksi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI normal). Takikardia ini sering dikelirukan dengan SVT karena kompleks QRS tidak terlalu lebar dan sensitif terhadap verapamil sehingga dapat diterminasi dengan verapamil seperti urnumnya SVT. Pada pasien yang simptomatik dapat diberikan terapi obat-obatan. Bila gagal dapat dilakukan eliminasi dengan ablasi kateter dengan angka keberhasilan rata-rata 87%. Ablasi kateter juga diindikasikan pada pasien yang tidak ingin ~ninumobat dalam jangka waktu lama. Takikardia Ventrikel pada Kardiomiopati Dilatasi Non-iskernia Bundle branch reentrant ventricular tacliycardia, VT jenis ini (Garnbar 9) ditemukan sekitar 40% pada pasien kardiomiopati dilatasi idiopatik (non-iskemia) dan 6% dari seluruh jenis VT yang dirujuk ke laboratorium elektrofisiologi. Secara klinis VT jenis ini bersifat berbahaya sehingga menyebabkan sinkop atau henti jantung. Pada EKG biasanya ditandai oleh kolnpleks QRS dengan morfologi blok berkas cabang kiri (LBBB).Takikardi dapat dihilangkan dengan melakukan ablasi kateter pada berkas cabang kanan tapi kesintasan pasien menurun karena adanya disfungsi ventrikel kiri sebagai penyerta.
Gambar 9. Mekanisme dan gambaran EKG permukaan dan intrakardiak pada bundle branch reentry VT.
Arrl~ytlimogenicright ventricular dysplasia (AR VD), kelainan ini sangat jarang, biasanya diderita oleh kelo~iipok usia muda, di mana terdapat infiltrasi lemak dan jaringan parut pada miokard ventrikel kanan. Karakteristik VT adalah kompleks QRS dengan morfologi blok berkas Cabang kiri (LBBB). Tatalaksana VT jenis ini harnpir sama dengan VT iskeinia dengan peran ICD (implunttuhle curdio~,erterci
Takikardia Ventrikel lskemia VT iskemia disebabkan ole11 penyakit jantung koroner seperti infark miokard akut. Secara prognostik VT jenis ini sangat penting karena dapat menyebabkan kematian jantung mendadak. VT iskemia terjadi karena adanya reentr:v akibat adanya jaringan parut di sekitar jaringan sehat. Secara uinum, semakin luas jaringan infark seinakin besar peluang ter-jadinya reerztytl. VT iskemia cenderung bersifat fatal karena dapat berdegenerasi menjadi fibrilasi ventrikel dan keiiiatian mendadak. Prediktor kenlatian jantung mendadak adalah adanya riwayat serangan jantung sebelumnya, penutunan fungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi <40%), dan adanya prc7nlatur.c2I~L>IIII.IC,II~LII. C.OII~I.UCtior1 yang sering. Terapi VT iskernia pada ulnutnnya adalah dengan obatobatan. Sedangkan ablasi kateter pada VT iskemia belum memberikan hasil yang mernadai. TATALAKSANA UMUM Tatalaksana pada Keadaan Akut Bila keadaan hemodinamik stabil, terminasi VT dilakukan derigan penlberian obat-obatan secara intravena seperti amoidaron, lidokaine, dan prokainamid. Dua obat yang pertama tersedia di Indonesia. Amiodaron dan prokainamid lebih unggul dibandingkan dengan lidokain. Alniodaron dapat diberikan dengan dosis pembebanan (louding dose) 15 mglmenit diberikan dalam 10 menit dan diikuti dengan i n h s kontinu 1 md~iienitselama 6 jam, dan dosis pemeliharaan 0,5 niglmenit dalam 18jam berikutnya. Bila gagal dengan obat, dilakukan kardioversi elektrik yang dapat dimulai dengan energi rendah ( 10joule dan 50 joule). Dalam tatalaksana akut perlu dicari faktor penyebab yang dapat dikoreksi seperti iskemia, gangguan elektrolit, hipotensi, dan asidosis. Bila keadaan hemodinamik tidak stabil (hipotensi, syok, angina, gagal jantung, clan gejala hipoperfusi otak) maka pilihan pertama adalah kardioversi elektrik. Tatalaksana Jangka Panjang Tujuan terapi jangka panjang adalah rnencegah kematian mendadak. Pada pasien dengan VT non-slistuined dan bergejala dapat diberikan obat penyekat beta. Bila tidak efektif dapat diberikan sotalol atau amiodaron. , Pada pasien dengan riwayat infark nliokard akut dan penurunan fungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi <35%), terdapat VT yang dapat dicetuskan dan tidak dapat dihilangkan dengan obat, maka ICD lebih unggul dalam menurunkan mortalitas (The Multicenter Automatic Dtlfihrzllutor TriuI=MADIT). Untuk pencegahan sekunder kematian mendadak (pasien yang berhasil diselamatkan dari aritinia fatal) pada pasien pasca infark miokard dengan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1629
ARITMIAVENTRIKEL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI penurunan fungsi ventrikel kiri, ICD telah terbukti lebih unggul daripada amiodaron.
FIBRILAS1VENTRIKEL (VF) Fibrilasi ventrikel (VF) merupakan keadaan terminal dari aritmia ventrikel yang ditandai oleh kompleks QRS, gelombang P, dan segmen ST yang tidak beraturan dan sulit dikenali (disorganized) seperti pada Gambar 10. VF merupakan penyebab utama kematian mendadak. Penyebab utama VF adalah infark miokard akut, blok AV total dengan respons ventrikel sangat lambat, gangguan elektrolit (hipokalemia dan hiperkalemia), asidosis berat, dan hipoksia. Salah satu penyebab VF primer yang sering pada orang dengan jantung normal adalah sindrom Brugada. Pada keadaan ini terjadi kelainan genetik pada gen yang mengatur kana1 natrium (SCNSA) sehingga tercetus VF primer. Angka kejadiannya tinggi pada populasi Asia dan kelompok laki-laki usia muda. Pada EKG permukaan saat irama sinus ditemukan adanya gambaran RBBB inkomplit dengan elevasi segmen ST di sandapan V 1-V3. VF akan menyebabkan tidak adanya curah jantung sehingga pasien dapat pingsan dan mengalami henti napas dalam hitungan detik. VF kasar (coarse VF) menunjukkan aritmia ini baru terjadi dan lebih besar peluangnya untuk diterminasi dengan defibrilasi. Sedangkan VF halus (fine VF') sulit dibedakan dengan asistol dan biasanya sulit diterminasi. Penanganan VF harus cepat dengan protokol resusitasi kardiopulmonal yang baku meliputi pemberian unsynchronized DC shock mulai 200 J sampai 360 J dan obat-obatan seperti adrenalin, amiodaron, dan magnesium sulfat.
G a m b a r 10. Contoh g a m b a r a n EKG VF. Tampak g a m b a r a n kompleks Q R S yang s a n g a t tidak beraturan d a n tidak terlihat g e l o m b a n g P d a n s e g m e n S T y a n g j e l a s . (Dikutip d a r i www.ekglearning.com)
TORSADES DE POlNTES (TDP) Istilah TDP (dalam bahasa Perancis berarti berputar-putar mengelilingi satu titik) adalah suatu bentuk takikardi ventrikel yang ditandai oleh perubahan bentuk dan arah (aksis) kompleks QRS dalam satu beberapa denyutan (beat) seperti pada Gambar 11. Penyebab tersering TDP adalah adanya pemanjangan interval QT akibat pengaruh obat-obatan antiaritmia (misalnya amiodaron, sotalol, dan flekainid), dan penyakit sindrom QT panjang (long QTsyndrome), bradikardia berat, dan sindrom Brugada. Tatalaksana TDP adalah pemberian magnesium sulfat, pemasangan pacu jantung sementara (pada keadaaan bradikardia), dan obat penyekat beta.
G a m b a r 11. Rekaman EKG TDP dengan karateristik kompleks QRS yang berubah bentuk dan arah dalam beberapa denyutan. P a d a denyut awal sebelum TDP terlihat adanya pemanjangan interval QT
REFERENSI Brugada P, Brugada J, Mont L, et al. A new approach to the differential diagnosis of regular tachycardia with wide QRS complex. Circulation 1991 ;83:1649-59) Davis DW. Catheter ablation of ventricular tachycardia: are there limits? Heart 2000;84:585-6 Edhouse J and Morris . Broad complex tachycardia part I. BMJ 324:719-22 Edhouse J and Morris F. Broad complex tachycardia part 11. BMJ 324:776-9. Farzanh A. Lerman BB. Idiopathic outflow tract ventricular tachycardia. Heart 2005;9 1 :136-8 Fogoros RN. Electrophysiologic testing. 3rd Ed, Blackwell Science, 1999 Huszar KJ. Basic dysrhythmias: interpretation and management. 7'" Ed, Mosby, 2002 Lemola K, Brunckhorst C, Helfenstein U , et al. Predictors of adverse outcome in patients with arrhythmogenic right ventricular dysplasia/cardiomyopathy: long-term experience of a tertiary centre. Heart 2005;91:1 167-72 Miles WM and Mitrani RL. Ablation of idiopathic left ventricular tachycardia, right ventricular outflow tract tachycardia, and bundle branch reentry tachycardia. In: Singer I (Ed). lnterventional electrophysiology.2""'~d, Lippincort Williams & Wilkins, 2002. Morgan JM. Patients with ventricular arrythmias: whom should be referred to an electrophysiolgist? Heart 2002;88:544-550. Stevenson WG and Delacretaz E. Radiofrequency catheter ablation of ventricular tachycardia. Heart 2000;84:553-9
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
BRADIKARDIA M. Yarnin, A. Muin Rachrnan
PENDAHULUAN Bradikardia merupakan temuan klinis yang kerap dijumpai dalam praktek sehari-hari. Secara elektrokardiografi manifestasinya dapat berupa sinus bradikardia, sinus arrest, atau hambatan konduksi di nodus atrioventrikular (atrioventicular node=AV node)). Karena bradikardia dapat menurunkan curah jantung maka gejala yang dirasakan pasien berkaitan gejala hipoperfusi seperti pusing, lemas, hampir pingsan (near syncope), pingsan (syncope), dan kadang-kadang dapat menyebabkan kematian. Namun sering bradikardia tidak memberikan gejala samasekali (asimptomatik). Secara umum bradikardia disebabkan oleh kegagalan pembentukan impuls oleh nodus sinoatrial (sinoatrial node=SA node) atau kegagalan penghantaran (konduksi) impuls dari nodus SA ke ventrikel (hambatan pada A V node). Identifikasi penyebab yang akurat akan memberikan arah terapi dan penentuan prognosis yang tepat. Dalam tulisan ini akan diuraikan etiologi, patofisiologi, gambaran klinis, dan tatalaksana kelainan ini..
atrium kiri melalui Bachman 's bundle, dilanjutkan ke nodus AV, His bundle, berkas cabang kanan dan kiri, serabut Purkinje, dan berakhir di miokard. Secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1. Nodus AV mendapatkan pasokan darah dari arteri desenden posterior yang merupakan cabang dari arteri koroner kanan pada 80% populasi. Maka infark miokard inferior paling sering menimbulkan komplikasi gangguan hantaran pada nodus AV (blok AV).
Sinoatrial
,
Purkinje fibers
--.1
ETlOLOGl DAN PATOFlSlOLOGl Nodus SA adalah pembangkit impuls alamiah pada sistem konduksi jantung dengan laju 60-100 kali per menit. Struktur ini terletak di atrium kanan pada pertemuan vena kava superior dengan atrium kanan. nodus SA mendapatkan pasokan darah dari arteri nodus SA yang merupakan cabang dari arteri koroner kanan (pada 65% populasi) atau cabang dari arteri koroner sirkumfleks (pada 25% populasi). Oleh karena itu infark miokard inferior (biasanya akibat stenosis di arteri koroner kanan) bisa disertai komplikasi bradikardia. Selanjutnya impuls diteruskan ke atrium kanan dan ke
Gambar 1. Sistem konduksi (hantaran)jantung normal.
Nodus SA dan nodus AV dipengaruhi oleh sistem persarafan simpatis dan parasimpatis. Rangsangan simpatis akan meningkatkan otomatisasi dan konduksi nodus SA dan nodus AV. Sebaliknya rangsangan parasimpatis menekan otomatisasi nodus SA dan menurunkan kecepatan konduksi nodus AV. Jadi dalam menilai keadaan bradikardia faktor sistem persarafan ini hams dipertimbangkan.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Penyebab bradikardia adalah sebagai berikut: Penyebab lntrinsik 1. Proses degeneratif (penuaan) 2. lnfeksi atau iskemia 3. Penyakit infiltratif (amiloidosis, sarkoidosis) 4. Penyakit kolagen (SLE, reumatoid artritis) 5. Trauma bedah (penggantian katup, koreksi penyakit jantung bawaan)
diulang seperlunya. Bila tidak membaik atau SB cenderung berulang maka hams dipasang pacu jantung sementara (temporary pacing).
Penyebab Ekstrinsik 1. Obat-obatan (penyekat beta, digoksin, antiaritmia) 2. Hipotiroid 3. Gangguan elektrolit 4. Hipotermia 5. Kelainan neurologis 6. Gangguan saraf otonom (sinkop neurokardiogenik, hipersensitif sinus karotis)
GAMBARAN KLlNlS DAN TATALAKSANA Secara klinis bradikardia dapat ditemukan dalam bentuk sinus bradikardia, sindrom sinus sakit (sick sinus .v>~ndron~c), dan ganggauan hantaran pada nodus AV (blok AV). Sinus Bradikardia Sinus bradikardia (SB) biasanya disebabkan stimulasi vagal yang berlebihan dan atau penurunan tonus simpatis. Penyebab tersering lainnya adalah pengaruh obat-obatan. SB asimptomatik kerap dijumpai pada atlit terlatih. SB juga dapat terjadi saat muntah atau sinkop vasovagal, operasi mata, peningkatan tekanan intrakranial, tumor servikal, dan hipoksia berat. Gambaran EKG (Gambar 2) SB adalah bila laju nadi kurang dari 60 kalitmenit dengan bentuk gelombang P normal di depan setiap kompleks QRS dan interval PR yang tetap (konstan). Umumnya SB tidak berbahaya bahkan kadang-kadang berman faat untuk memperpanjang waktu pengisian ventrikel. Pada infark miokard akut dapat terjadi SB dan bila tidak disertai gangguan hemodinamik umwnnya tidak memerlukan terapi khusus. Yang terpenting adalah memastikan hubungan antara gejala dengan bradikardia. Hal ini dapat dilakukan dengan pemantauan irama jantung 24 jam (holter nronitor-itzg), event recorder (perekam irama jantung yang dapat diaktifkan setiap saat ada gejala), dan loop recorder (alat perekam iramajantung yang ditanam di bawah kulit) Tatalaksana SB tidak diperlukan bila tidak terdapat gejala dan gangguan hemodinamik. Dalam keadaan infark miokard akut dan disertai gangguan hemodinamik dapat diberikan sulfas atropin (SA) 0,5 mg intravena dan dapat
Gambar 2. Rekarnan EKG sinus bradikardia dengan laju kurang dari 60 kaliimenit, jarak antar kornpleks QRS teratur, dan intenrat PR konstan.
Sindrom Sinus Sakit (Sick Sinus Syndrome) Gangguan atau penyakit pada nodus SA merupakan penyebab bradikardia tersering. Sindrom sinus sakit (SSS) adalah gangguan fungsi nodus SA yang disertai gejala. SSS. Gambaran EKG dapat berupa sinus bradikardi persisten tanpa pengaruh obat, sinus arrest atau sinus exit block, AF (atrial fibrillasi) respons lambat, atau suatu braditakikardia yang bergantian (Gambar 3). Penanganan SSS tergantung pada irama dasamya. Umumnya diperlukan pemasangan pacu jantung permanen (Gambar 4). Pada keadaan braditakikardia diperlukan kombinasi obat antiaritmia dan pacu jantung permanen (PPM).
Gambar 3. Rekaman irama jantung 24 jam (Holter monitonng) dari seorang pasien dengan gambaran SSS. Terlihat episode AF dengan sinus arrest saat terminasi AF (brady-tachyahythmia).
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pemanjangan interval PR yang progresif sebelurn terjadinya hambatan total (Gambar 6). Lokasi kelainan ini biasanya di tingkat nodus AV. Sedangkan pada tipe Mobizt I1 terdapat hambatan impuls dari atrium yang intermiten di mana ilnpuls dari atrium tiba-tiba tidak dapat dihantarkan ke ventrikel (Gambar 7). Pada tipe ini lokasi hambatan adalah ir7fianoclul (pada sistem His-Purkinje). Gejala yang muncul sangat bergantung pada besaniya laju ventrikel. Jarang blok AV derajat 2 menirnbulkan gejala.
gambar 5. Rekaman EKG pad blok AV derajat 1. Semua gelombang dapat drteruskan ke ventrikel dengan waktu hantaran lebrh panjang ( r n t e ~ aPR=0,32 l detrk)
Gambar 4. Pasren pasca operas1 bedah pintas koroner yang mender~taSSS dan menjalanr pemasangan pacu jantung permanen kamar ganda (dual chamber pacemaker) Terlrhat juga electrode w~repacu jantung sementara yang bewarna h~tam terang
Hambatan Atrioventrikular (Atrioventricular Block) Hambatan atrioventrikuler (blok AV) kerap menjadi penyebab bradikardia meskipun lebih jarang dibandingkan dengan kelainan fungsi nodus SA. Penyebab terserintg blok AV adalah obat-obatan, proses degeneratif, penyakit jantung koroner, dan efek samping tindakan operasi janh~ng.Gejala yang ditimbulkan sama seperti gejala akibat bradikardi lainnya yaitu pusing, lemas, hampir pingsan, pingsan. dan kadang-kadang kematian mendadak. Keputusan apakah perlu pemasangan pacu jantung atau tidak ditentukan ole11 tiga hal: pertaina adalah ge.jala, kedua adalah lokasi hanibatan (blok), dan ketiga adalah derajat hambatan tersebut. Gangguan ini dibagi men-jadi blok AV derajat 1, blok AV derajat 2, dan blok AV derajat 3 (total). Blok AV derajat 1, blok AV derajat 1 bila semua impuls dari atrium dapat dihantarkan ke ventrikel dengan waktu hantaran yang lebih lama (pada EKG interval PR> 0,20 detik seperti pada gambar 5). Kelainannya biasanya pada tingkat nodus AV dan jarang pada sistem His-Purkinje. Karena semua impuls dari atrium dapat dihantarkan ke ventrikel maka tidak menimbulkan gejala. Blok AV derajat 2, pada keadaan ini tidak selnua impuls dari atrium dapat dihantarkan lnelalui nodus AV dan sistem His-Purkinje ke ventrikel. Berdasarkan rekaman EKG kelainan ini dapat dikelompokkan menjadi tipe Mobizt I (tipe Wenckebach) dan tipe Mobizt 11. Pada tipe Mobizt I terdapat
Gambar 6. Pada blok AV derajat 2 trpe Wenckebach terlrhat pemanjangan rnterval secara progressrf (dari 0,16 detrk menjadi 0,24det~kpada gelombang P pertama dan kedua) dan gelombang P ketrga t~dakdapat dlhantarkan (blok)
Gambar 7 Blok AV derajat 2 tipe Mobrzt II Tampak hambatan hantaran rmpuls dari atrrum ke ventrrkel yang rntermrten
Blok AV derajat 3 (complete lteart block), bila hantaran impuls dari atrium satnasekali tidak dapat lnencapai ventrikel disebut blok AV dera-jat 3 (blok AV total). Pada keadaan ini laju ventrikel tergantung pada pucrrnuker cadangan (J~~~SIL~I~ L ILI :[\C ~ ~ I ? I Uyang ~ C I tnengambil .) alih. Bila lokasi hambatan berada di AVNode rnaka laju ventrikel biasanya cukup urltuk mempertahankan curah jantung. Namun bila lokasi hambatan berada di bawah nodus AV (infranodal) kerap menimbulkan gangguan hemodinamik karena lajunya sangat pelan (< 40 kali per menit) Karena pada blok AV total atrium dari ventrikel dikendalikan oleh pacemaker yang berbeda dan tidak berkaitan inaka pada EKG permukaan akan terlihat gambaran disosiasi atrioventrikuler ( A V dissociation). Contoh disosiasi AV dapat dilihat pada Gambar 7. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa salah satu pertimbangan keput~isanapakah perlu pemasangan pacu jantung pennanen adalah lokasi hambatan (blok). Rekaman EKG permukaan dapat inembantu ha1 ini. Kornpleks QRS yang lebar dengan laju 20-40 kali per rnenit nienuiljukkan lokasi hambatan ~ I ~ I . ~ / I ~Sedangkan O~LI/.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kompleks QRS yang normal (sempit) dengan laju sekitar 40-60 kali per menit menandakan lokasi hambatan pada nodus AV. Karena nodus AV dipersarafi oleh sistem saraf otonom (terutama parasimpatis) yang dominan sedangkan jaringan infranodal (sistem His-Purkinje) tidak, maka manuver yang merangsang atau menghambat sistem saraf tersebut dapat dipakai i~ntukmenentukan lokasi gangguan hantaran. Jika lokasi hambatan ada di nodus AV maka atropin atau latihan fisik akan mengurangi atau bahkan menghilangkan blok. Sebaliknyajika lokasi gangguan hantaran ada di infianodal, maka pemberian atropin atau latihan fisik tidak akan mengurangi blok bahkan kadang-kadang dapat memperbumk. Umumnya blok infranodal menimbulkan gejala yang bermakna sehingga memerlukan pemasangan pacu jantung permanen. Umumnya blok AV derajat 1 tidak memerlukan terapi PPM kecuali pada pemeriksaan elektrofisiologi didapatkan interval HV (dari His ke ventrikel) >I00 milidetik. Untuk blok AV derajat 2 apapun tipe dan lokasi gangguan memerlukan PPM jika bergejala (simptomatik). Pada blok AV derajat 3 indikasi PPM adalah: Bila disertai bradikardi yang simptomatik Bila disertai pcrzisr >3 detik atau laju ventrikelc40 kali per menit pada saat terjaga, walaupun tidak bergejala Blok AV pasca pembedahan yang diperkirakan tidak dapat pulih kembali Pasca ablasi nodus AV
Bradikardia adalah gejala klinis yang kerap didapatkan dalam praktek sehari-hari. Pengaruh obat-obatan dan proses degeneratif merupakan penyebab bradikardia tersering. Gangguan fungsi nodus S A adalah jenis bradikardi yang paling banyak dijumpai, terutama pada orang tua. Sedangkan blok AV lebih jarang didapat. Penyebab blok AV tersering selain proses degenaratif adalah infark miokard akut dan proses pembedahan. Pengenalan etiologi, patofisiologi, dan gambaran EKG yang baik akan mempermudah diagnosis etiologi dan tatalaksana yang baik.Umumnya bradikardi yang bergejala, apapun sebabnya, memerlukan terapi definitif yaitu pemasangan pacu jantung permanen.
REFERENSI Fogoros RN. Electrophysiologic testing. 3rd Ed, Blackwell Science, 1999
Gold MR. Permanent pacing:new indications. Heart 2 0 0 / , 8 6 35560 Huszar RJ. Basic dysrhythmias: interpretation and management. 7'h Ed, Mosby, 2002. Magrum JM and DiMarco JP. The evaluation and management of bradycardia. N Eng J Med 2005;lO 703-9 Moses HW, Miller BD, Moulton KP, et al. Practical guide to cardiac pacing. 5Ih Ed. Lippincott Williams, 2000. Munawar M. Yuniadi Y, Yamin M (Eds). Minicourse on arrhythmia, 16Ih Weekend Course on Cardiology. 2004 Olgin JE and Zipes DP. Specific arrhythmias: diagnosis and treatment. In: Zipes DP, Libby P, Bonow RO, et al. Heart disease: a texthook of cardiovascular medi~ine.7'~ Ed, Elsevier Saunders, 2005. Rowlands DJ. (Jnderstanding the electrocardiogram. Imperial Chemicals Industries, 1987. Simmons JD. Chakko SC, Myerburg RJ. Arrhythmias and conduction disturbances. In: O'Rourke RA, Fuster V, Alexander RW, et al (Eds). The heart manual of cardiology. I lth Ed. Mc Graw H111, 2005.
G a m b a r 8. Drsosrasr atrroventrrkuler pada blok AV derajat 3 (complete heart block) P a d a garnbar pallng a t a s terl~hatlaju atrrurn (gelornbang P) adalah 8 0 drnenrt sedangkan laju ventr~kel (kornpleks QRS) sekrtar 30x/menrt Inr rnenunjukkan pacemaker cadangan yang rnengambrl alih adalah ventrrkel karena lajunya dr bawah 4 0 x/ rnenrt dan kornpkes QRS lebar (>0,12detrk) Darr gambaran Inr dapat pula d~tentukanbahwa lokasr hambatan adalah rnfranodal
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
KARDIOVERSI M. Yamin, A. Muin Rachman
PENDAHULUAN
lNDlKASl KARDIOVERSI
Kardioversi ialah suatu tindakan elektif atair emergensi untuk mengobati takiaritmia di mana diberikan aliran listrik, biasanya dengan energi yang rendah dan disinkronkan dengan gelombang R, di mana aliran listrik diberikan pada puncak gelombang R. Kardioversi secara elektrik dilakukan dengan DC ( direct c~irrent)cozinter .shock yang .sj$nchr.o17iied. Direct c~irrer7t(DC)counter. shock iulul~impuls listrik energi tinggi yang diberikan melalui dada (ke jantung) untuk waktu yang singkat. DC cozintel-skock dilakukan dengan alat defibrilator.
MEKANISME KERJA KARDlOVERSl Pada kardioversi diberikan aliran listrik ke miokardium pada puncak gelombang R. Hal ini menyebabkan terjadinya depolarisasi seluruh miokardium, dan masa refrakter memanjang, sehingga dapat lnenghalnbat dan menghentikan terjadinya rv-entr:~:dan memungkinkan nohis .sinlts ~nengambilalih irama jantung men.iadi irama sinus. Pada fibrilasi ventrikel shock listrik menyebabkan hiperpolarisasi membran sel sehingga fibrilasi dapat dihentikan dan ke~nbalike irarna sinus. Kardioversi elektrik paling efektif dalam menglientikan takikardia karena r.e-cntr:l: seperti fluter atrial, fibrilasi atrial, takikardia nodal AV, ~-~~cijn.oc.uting tucl~jnirdiukarena sindrom Woiff Purkin.son White (WPW), takikardia ventrikel. Takiaritmia dapat juga karena pembentukan irnpuls (uzitonl~/tic.it~.) yang bertambah seperti pada parasistol atau takikardia ideoventrikular. Gangguan irama seperti itu tidak perlu dilakukan kardioversi listrik karena akan kernbali lagi dalarn waktu singkat.
Fibrilasi ventrikel Takikardia ventrikel, bila pengobatan ~nedika~nentosa yang adekuat tidak berhasil menglientikan takikardia tersebut atau pasien dengan keadaan hernodinarnil\ yang buruk. Takikardia supraventrikular yang tidak bisa dihentikan dengan pelnberian obat-obatan atau keadaan Ilemodinamik yang buruk. Fibrilasi atrial yang tidak bisa dikonversi inell-jadiirania sinus dengan obat-obatan. Fluter atrial yang tidak bisa dikonversi menjadi irama sinus dengan obat-obatan.
PERSIAPAN KARDIOVERSI Anti koagulan Pada fibrilasi atrial kronik perlu diberikan antikoagulan seperti koulnadin selama dua minggu sebelum tindakan, untuk rnenghindari terjadinya emboli sistemik. Bentuk takikardia yang lain tidak membutulikan antikoagulan. Pada fibrilasi ventrikel. DC kardioversi harus segera dilakukan, disertai dengan pemberian pernapasan buatan dan mu.ssuge kardiak, jadi riierupakan bagian dari resusitasi jantung paru Anestesia Perlu diberikan obat anestesia karena proseciur DC defibrilasi menimbulkan rasa sakit yang cukup berat. Obat anestesi diberikan secara intravena, biasanya golongan barbiturat ker.ia pendek atau fentanil.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
KARDIOVERSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Jumlah Energi untuk Kardioversi Jumlah energi yang dibutuhkan biasanya dimulai rendah, lalu dapat dinaikkan tergantung macamnya takikardia. Pada fluter atrial biasanya cukup 25-50 Joule. Takikardia supraventrikular membutuhkan energi sebesar 50-100 Joule, sedangkan fibrilasi atrial dan takikardia ventrikular membutuhkan 100-200 Joule. Pada henti jantung (cardiac urrest) dengan fibrilasi ventrikel energi yang dibutuhkan 200-400 Joule.
Kardioversi dapat mengembalikan irama sinus sampai 95%, tergantung tipe takiaritmia. Tetapi kadang-kadang gangguan irama timbul lagi kurang dari 12 bulan. Oleh karena itu mempertahankan irama sinus perlu diperhatikan dengan memperbaiki kelainan jantung yang ada dan memberikan obat anti-aritmia yang sesuai. Bila irama sinus sudah kembali maka atrium kiri dapat mengecil dan kapasitas fungsionil akan menjadi lebih baik.
PROSEDUR KARDIOVERSI LlSTRlK Sebelum dilakukan tindakan kardioversi secara elektif, dilakukan pemeriksaan fisis yang menyeluruh dan pemeriksaan EKG lengkap. Pasien sebaiknya dalam keadaan puasa selama 6- 12 jam dan tidak ada tanda-tanda intoksikasi obat seperti digitalis. Pasien juga dipantau tekanan darah, irama jantung dan saturasi oksigen dengan piil.ve o.yynieter: Setelah diberikan obat sedatif secara intravena. Paddle pertama diberi Jel1.v secukupnya dan diletakkan di dada bagian depan sedikit sebelah kanan sternum di sela iga 111, puddle kedua setelah diberi,ielly diletakkan di sebelah kiri apeks kordis; alat defibrilator dinyalakan dan dipilih tingkat energi yang ditentukan, alat untuk sinkronisasi gelombang R juga dinyalakan lalu kedua puddle diberi tekanan yang cukup dan alat dinyalakan dengan energi yang dibutuhkan, misalnya untuk fluter dimulai dengan 50 Joule sedangkan untuk fibrilasi atrial dimulai 100 Joule dan untuk fibrilasi ventrikel diberikan energi 200 Joule. Bila belum berhasil dinaikkan menjadi 300 Joule sampai 400 Joule. Pasien yang menderita C U I - ~ ~ Uarrest C paling sedikit harus dicoba 3 kali, sebagai awal tindakan resusitasi. Pemberian shock listrik yang disinkronkan pada komplek QRS atau pada puncak gelombang R, biasanya dipakai pada semua kardioversi secara elektif kecuali pada fibrilasi ventrikel atau fluter atau takikardia ventrikel yang sangat cepat dan keadaan hemodinamik pasien kurang baik. Pada waktu dilakukan shock biasanya terjadi spasme otot dada dan juga otot lengan.
Aritmia dapat timbul sesudah kardioversi secara listrik karena sinkronisasi terhadap gelombang R tidak cukup sehingga shock listrik terjadi pada segmen ST atau gelombang T dan dapat menimbulkan fibrilasi ventrikel (dalam ha1 ini dapat dilakukan DC countershock sekali lagi). Juga dapat timbul bradiaritmia atau asistol sehingga perlu disiapkan obat atropin dan pacu jantung sementara. Peristiwa tromboemboli dilaporkan terjadi 1-3% pada pasien fibrilasi atrial kronik yang dikonversi menjadi irama sinus, oleh karena itu pada pasien dengan fibrilasi atrial yang sudah lebih dari 2-3 hari sebaiknya diberi antikoagulan selama 2 lninggu sebelum dilakukan tindakan kardioversi, Hal ini terutama untuk pasien dengan stenosis mitral dengan atrium kiri yang membesar dan terjadi fibrilasi atrial yang baru. REFERENSI E\\\ GA:Optimal technique forelectrical cardioversion of atrial fibrillation. Circulation 1986: 1645-7 Prystowsky EN, Benson W, Fuster Vet al : Managements of patients with atrial fibrillation. Circulation 1993:1262-77 Kerber RE.Transthoradc cardioversion and defibrillation. In : Zipes DP, JalitTe J. editors. Cardiac Electrophqsiology: From the Cell to Bedside, :3'"d, Philadelphia: WBSaunders; 2000 Kerber RE. Transthoracic cardioversion of atrial fibrillation and flutter: Standard technique and new advances. Am J Cardiol 1996;78:22 Wacott GP, Knisleq SB, Zhou x, et al: On the mechanism of ventricular fibrillation. Pacing Clin Electrophysiol 1997;20(2pt 2):4?2.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PACU JANTUNG SEMENTARA A. Muin Rachman
PENDAHULUAN Di dalam jantung terdapat kelompok-kelompok sel yang dapat mengeluarkan impuls listrik ke otot jantung untuk merangsang terjadinya kontraksi dan denyut jantung. Bila kelompok sel ini gagal atau membutuhkan waktu terlalu lama untuk mengeluarkan impuls atau impuls yang dikeluarkan abnormal atau terhambat hantarannya sehingga tidak atau terlalu lambat menghasilkan denyut jantung. maka harus ada alat yang dapat mengeluarkan impuls listrik untuk menggantikannya. Alat ini disebut pacu jantung buatan. Pacu jantung buatan ini dibedakan menjadi 2 macam berdasarkan lama pemakaiannya, yaitu yang dipakai hanya untuk sementara waktu saja, disebut temporary puce muker (TPM), dan yang dapat dipakai seterusnyal menetap. disebut permanent pace maker (PPM). TPM ditempatkan di luar badan pasien. sedangkan PPM yang harus dipakai seumur hidup ditempatkan di dalam badan, biasanya diletakkan di bawah kulit pada dinding dada (di atas m. Pectorulis mayor) atau perut. Dewasa ini, teknik elektrofisiologi pacu jantung mengalami kemajuan pesat. sehingga kesulitan yang ditimbulkan oleh pemakaian PPM diperkecil, sedangkan indikasi penggunaannya diperluas, bahkan dipakai pula sebagai pengontrol takiaritmia.
SEJARAH PERKEMBANGAN PEMAKAIAN PACU JANTUNG Percobaan untuk memacu jantung dengan arus listrik telah dimulai se-jak tahun 1935 oleh Hyman dan kemudian oleh Callaghan dan Bigelow tahun 195 1 . Peneliti-peneliti ini menggunakan elektroda yang ditanamkan langsung pada jantung Iepikal-di~~~nl~iiiokardiu~i~) sehingpa memerlukan
sarana yang cukup untuk pemasangannya dan sangat tidak praktis untuk menolong pasien yang mengalami henti jantung. Zoll { 1952), setelah mencobanya pada anjing, dengan menggunakan elektroda yang ditempatkan secara subkutan pada dinding dada, berhasil menolong pasien sindrom Adam-Stokes. Sayangnya arus listrik yang dipakai dengan cara Zoll ini jauh lebih besar dibandingkan dengan bila elektroda tersebut ditempatkan langsung pada jantung. Karena itu pada pemakaian pacu jantung tetap, elektroda sebaiknya ditempatkan langsung pada endokardium ventrikel kanan melalui vena (transvenous). Cara ini lebih praktis dan dapat dilakukan tanpa melakukan operasi torakotomi. Pacu jantung eksternal telah mengalami banyak perubahan dan dapat dibuat dalam ukuran lebih kecil sehingga dapat dibawa ke mana-mana oleh pasien. Akan tetapi pada pacu jantung transvenous, bahaya infeksi tetap besar karena adanya hubungan langsung antara jantung pasien dengan dunia luar {melalui elektroda) .Untuk mengatasi ha1 tersebut, kemudian diusahakan pacu jantung steril yang ditanam di bawah kulit. Arrne Larson dari Swedia adalah orang pertama yang memakai pacu jantung steril yang ditanam dalam badannya di bawah kulit oleh Elquist dan Senning. Sayang isi muatan listrik pacu jantungnya tak dapat bertahan cukup lama meskipun dapat diisi lagi (rechargeable). Pada tahun 1960, Chardack, Gege dan Greatbach mencoba menanamkan pacu jantung yang memakai baterai agar dapat bertahan lebih lama. Metode ini akhirnya merupakan cara yang lazim dipakai sampai sekarang. Pacu jantung berkembang pesat sekali dalam waktu 20 tahun ini, seperti terlihat pada perubahan-perubahannya. Di samping yang menyangkut elektrodanya, juga perubahan mengenai bentuk atau ukuran serta sistem sirkuit listrik dalam alat pacu jantung itu. Di Indonesia pada tahun 1972, pacu jantung
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1637
PACU JANTUNG SEMENTARA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI transvenous permanen pertama kali ditanamkan oleh Nurhay dkk pada seorang perempuan yang menderita sick sinus syndrome (SSS) .Kemudian pada tahun yang sama di Surabaya ditanamkan pacu jantung memakai elektroda epikardial pada seorang anak. Setelah itu semakin banyak penggunaan pacu jantung tetap pada pasien di Indonesia. Di antaranya terdapat juga pasien yang memakai pacu jantung yang dapat diatur beberapa parameternya dari luar (programmable). Akhirnya pada bulan Januari 1984, Santoso dkk memasang pacu jantung fisiologis (dual demand) yang pertama di Indonesia.
MACAM-MACAM PACU JANTUNG Pacu jantung mungkin hanya dipakai untuk sementara (TPM) untuk mengatasi gangguan yang biasanya berlangsung tidak lama. TPM ini dapat dibiarkan terpasang untuk waktu kurang dari 30 hari. Setelah itu elektrodanya harus diangkat dan kalau perlu diganti dengan elektroda yang lebih permanen. Pacujantung yang dipakai lebih lama atau mungkin selamanya, adalah pacu jantung permanen (PPM) .Di samping itu masih dikenal pembagian bennacammacam pacu jantung dengan berbagai klasifikasi.
ELEKTRODA Seperti diketahui pacu jantung terdiri atas dua bagian penting, yaitu sumber listriknya (pulse generator) dan elektroda yaitu penghubung antara sumber listrik dengan jantung (endokardium, epikardium atau miokardium). Ada dua macam elektroda yaitu unipolar dan bipolar. Pada yang unipolar, elektroda di dalam jantung hanya ada 1, yaitu kutub negatif (katoda). Ssedangkan elektroda indiferennya bipolar, di dalam jantung ada 2 elekhoda, yaitu bagian distal katoda (negatif) dan sedikit di proksimalnya terdapat anoda (positif). Dengan demikian terdapat pacu jantung unipolar dan bipolar. Ada beberapa keuntungan dan kerugian antara keduanya, akan tetapi pacu jantung bipolar dapat diubah menjadi unipolar. Penempatan elektroda dalam jantung dapat menentukan pula jenis pacu jantung. Elektroda dapat ditempatkan pada endokardium, epikardium atau miokardium dari: Atrium, disebut atrial pacing. Ventrikel, disebut ventricular pacing. Atrium dan ventrikel disebut atrio-ventricular pacing (dual-chamber pacing). Sinus koronarius: coronary sinus pacing. Kemudian dari cara penempatan elektroda berbeda yaitu: dalam jantung juga disebut: . Trans venouspacing, penempatan elektroda melalui vena.
Transthoracic pacing, penempatan elektroda melalui dinding dada, dengan cara pungsi langsung ataupun operasi.
PULSE GENERATOR
Adapulsegenerator yang hanya ditempatkan di luar badan (eksternal) yang biasanya dipakai pada TPM; tapi ada juga yang ditanam dalam badan (implantted), yaitu pada pacu jantung permanen (PPM). Di samping untuk mengeluarkan impuls (stimulator), pulse generator juga mempunyai unit untuk mendeteksi impuls yang dikeluarkan oleh jantung (sensor) baik yang berasal dari a t r i m (P) maupun dari ventrikel (QRS). Impuls dari pulse generotor yang memacu jantung dikeluarkan berdasarkan kerja sama antara unit sensor dan stimulator tersebut. Berdasarkan cara pengeluaran impuls dari pulse generator itu (modus), terdapat bermacam-macam pacu jantung, misalnya: pacu jantung asynchronous yaitu pacu jantung yang mengeluarkan impuls secara tetap ke jantung menurut frekuensi tertentu fixed rate), tidak bergantung pada ada atau tidaknya impuls jantung itu sendiri. Apabila jantung mengeluarkan impulsnya juga, dan mungkin saja impuls dari pulse generator tersebut jatuh pada fase bahaya (vulnerableperiode) sehingga dapat timbul aritmia berat. Pacu jantung synchronous ialah pacu jantung yang mengeluarkan impuls sesuai dengan impuls yang dikeluarkan oleh atrium (atrial synchronous) atau ventrikel (ventricular synchronous). Bila impuls jantung tidak ada, maka dengan sendirinya pacu jantung itu mengeluarkan impuls menurut frekuensi tertentu fixed rate). Pacu jantung on demand (stand by) ialah pacu jantung yang mengeluarkan impuls ke ventrikel (ventricular demand) atau atrium (atrial demand) apabila frekuensi venhikel atau atrium kurang dibandingkan fiekuensi impuls pacu j antung. Dulu, elektroda untuk atrium hanya bisa ditanam di epikardium atau miokardium. Sekarang, dengan kemajuan teknologi, elektroda telah dapat dipasang di endokardium, baik pada ventrikel maupun atrium. Dengan demikian secara transvenous telah dapat dipasang elektroda dalam atrium dan ventrikel sekaligus sehingga atrium dan ventrikel dapat disensor dan distimulasi. Pulse generator-nya sendiri ada yang dapat diatur dari luar untuk berbagai parameternya (programmable), seperti frekuensi, voltase, sensitivitas, modus pacunya (synchronous menjadi asynchronous dll), katup elektrodanya (bipolar menjadi unipolar), interval AV, masa refrakter. Yang sederhana adalah hanya dapat diatur frekuensi dan voltase saja (simple programmable), tetapi ada pula yang lebih dari 2 parameternya dapat diatur
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI (multiprogrammable). Mula-mula pengaturannya secara invasif, tapi sekarang sudah dapat dilakukan dari luar (noninvasif), bahkan dengan telemetri. Pada pacu jantung yang digunakan untuk pengobatan takikardia, bentuk impuls yang dikeluarkan berbeda dengan pacu jantung yang biasa. Impuls yang dikeluarkan ada yang berfrekuensi cepat dan sekaligus banyak (burst). ada pula yang berfrekuensi biasa (normal) sehingga terjadi kompetisi dengan frekuensi jantungnya sendiri (misalnya berupa pacu jantung synchronous yang diletakkan magnit di atasnya sehingga menjadi asynchronous); dan ada lagi pacu jantung dengan kemampuan scanning sampai ditemukannya waktu yang tepat untuk mengeluarkan impulsnya guna memutus siklus "reentry tachycardia " jantung yang mengalami takikardia tersebut. Dengan demikian terdapat bemacam-macam pacu jantung bila ditinjau dari cara pengeluaran impulsnya (modus) dan bagian jantung yang disensorldipacunya. Komisi istilah telah menyusun suatu cara untuk pemberian nama pada pacu jantung tersebut menurut modusnya dengan singkatan 5 huruf sebagai berikut. Huruf pertama (I) Bagian jantungnya disensor (Chamber-paced) V-ventrikel A-atrium D-double S-single
Huruf kedua (11) Bagian jantungnya dipacu (Chamber-sensed) V-ventrikel A-atrium D-double S-single
Huruf ketiga (Ill) Respons (mode of response) T-trigger I-inhibitor D-double 0-one R-reverse
Huruf keempat (IV) Kemampuan pemrogram P-simple M-multi programmable T-multiprogrammable telemetri
Huruf kelima (V) Khususnya fungsi takiarit~nia(special tachyarrytrnias ,fitnction) B-burst N-normal rate competition S-scanning E-external Jadi suatu pacu jantung menurut cara kerjanya disebut dengan sekurang-kurangnya 3 huruf, dapat juga 4 atau 5 huruf. Setelah humf ke 3, diberikan tanda koma (,) baru dilanjutkan ke 4 dan 5.
CONTOH: VOO Pacu jantung dengan impuls ke ventrikel M, sedang
sensor: tidak ada (O), dan keluarnya impuls tak bergantung ada sensor (0) .Pacu jantung ini mengeluarkan impuls ke ventrikel, menurut frekuensi tertentu (fixedrate), jadi suatu pacu jantung asynchronous. Di sini tidak dinyatakan apakah pacu jantung ini dapat diprogram atau tidak; bila hendak disebutkan maka hams ditambah satu huruf lagi: VOO, 0 tak dapat diprogram VOO, P dapat diprogram sederhana (frekuensiloutput). VOO, M dapat diprogram lebih dari 2 parameternya VOO, T dapat diprogram lebih dari 2 parameternya dengan telemetri.
VVI Pacu jantung dengan impuls ke ventrikel (V), sedangkan sensor dari ventrikel (V), dan impuls dihambat oleh tanda sensor (I). Bila ventrikel mengeluarkan impuls (QRS) maka jantung tidak mengeluarkan impuls sampai waktu tertentu. Bila dalam waktu tersebut QRS tak keluar lagi, maka jantung mengeluarkan impulsnya. Jadi ini suatu pacujantung ventricular demand. Sekarang banyak jenis pacu jantung ini yang dapat diprogram secara sederhana misalnya VVI, P dari Medtronic,Teletronic, Siemens dan lain-lain; dan, juga yang dapat diprogram multipel misalnya VVI, M dari Medtronics.
AAI Seperti VVI mengenai atrium. Pacu jantung VVI atau AAI sebetulnya pulse generutornya sama yaitu bergantung pada penempatan elektroda apakah di atrium (AAI) atau ventrikel (VVI). Pacu jantung ini disebut single chcmiber pacing (SSI). Contoh dari Medtronic adalah SSI, M atau Spectrax SXT: SSI, T. VAT Pacu jantung dengan impclls ke ventrikel (V), sensor di atrium (A), dan impuls dikeluarkan bila ada tanda dari sensor (T). Bila ada impuls dari atrium (gelombang P) maka pacu jantung mengeluarkan impulsnya ke ventrikel setelah selang waktu tertentu (sesuai P-R interval). Bila tidak ada gelombang P maka picu jantung mengeluarkan impuls ke ventrikel secara spontan. Jadi suatu pacu jantung atriul synchonous. Contoh pacu jantung demikian adalah Omni Stanicor (Cordis) dan Siemens 625. DVI Pacu jantung dengan ilnpuls ke atrium dan ventrikel (Ddouble)),sensor di ventrikel (V), dan impuls dihambat bila ada tanda sensor (I). Bila ventrikel mengeluarkan impuls, maka pacu jantung tak rnengeluarkan impuls. Bila tak ada impuls dari ventrikel rnaka pacu jantung rnengeluarkan impuls ke atrium dan ventrikel dengan interval sama dengan interval PR yang normal. Suatu pacu jantung dzlol denland (A-V seqz~entiul);tak disebut apakah prog1-c~n1-
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PACU JANTUNG SEMENTARA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI muble atau tidak. Contoh pacu jantung demikian adalah Medtronic; Byrel dan Versatrax. Versatrax adalah suatu pacu jantung multiprogrammable: DVI, M. Pacu iantung ini dapat dipakai untuk mengontrol takikardia supraventrikular paroksimal dengan cara kompetisi; jadi dalam ha1 ini adalah suatu .DVI, MN (N = normal rate competition).
VDD Pacu jantung dengan impuls ke ventrikel (V), sensor di atrium dan ventrikel (D), sedangkan impuls bisa dihambat atau dikeluarkan bila ada tanda dari sensor (D) ,jadi bisa bekerja seperti VVI atau VAT. Contoh pacu jantung demikian adalah Medtronic: Enertrax. Pacu jantung ini n~ultiprog~ammable, iadi suatu VDD, M. DDD Pacu jantung dengan impuls ke atrium dan ventrikel (D), sensor di atrium dan ventrikel (D) dan impuls dihambat atau dikeluarkan bila ada tanda dari sensor (D) sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian pacu jantung ini berfungsi sebagai AAI, VVI dan VAT. Selain itu dapat pula berfungsi sebagai DVI, VDD. Jelas bahwa pacu jantung ini multipro~rammahle,jadi suatu DDD, M. Pacu jantung ini disebut juga pacu jantung universal. Contoh pacu jantung demikian adalah Medtronic: Versatrax; Cordis: Sequicor dan Biotronic: Di plos.
INDlKASl PEMAKAIAN PACU JANTUNG Seperti telah disebutkan di atas, pacu jantung dapat dipakai sementara (TPM, kurang dari 30 hari) atau menetap (PPM) bergantung pada gangguan yang timbul apakah sementara atau menetap. Pada keadaan akut yang belum pasti biasanya dipasang dulu TPM, sedang pada keadaan tertentu yang sudah pasti, langsung dipasang PPM. TPM dapat juga dipasang tidak untuk langsung dipakai, melainkan hanya untuk persiapan kalau-kalau ternyata diperlukan (profilaksis). Pemasangan pacu jantung dimaksudkan untuk menghilangkan gejala klinis gangguan irama jantung, seperti pusing-pusing sampai sinkop, berdebar sampai meninggal mendadak atau dekompensasi jantung. Pacu jantung sementara dipakai juga untuk mengatasi keadaankeadaan sementara waktu anestesia umum, operasi jantung, tindakan-tindakan jantung (kateterisasi, PTCA dan lain-lain), waktu penggantian generator pacu jantung, dan lain-lain. Keadaan yang memerlukan pemakaian pacu jantung adalah:
Keadaan I Blok A-V derajat 3 atau derajat 2 permanen atau
intermiten diikuti dengan: takikardialbradikardia simtomatis, atau gaga1 jantung, atau keadaan-keadaan yang memerlukan pemakaian obat yang menekan automatisitas iantung, atau adanya asistol 3 detik atau lebih. Keadaan ini mungkin pula diikuti adanya atrial flutter paroxysmal. Blok A-V derajat 2 yang berat (advanced) atau derajat 3 yang persisten sesudah infark jantung akut (paling sering anterior). Blok bifasikular dengan blok A-V intermiten derajat 3 atau derajat 2 tipe 2, dengan gejala-gejala. Dysfungsi A-V node (SSS) dengan bradikardia simtomatis (tanpaldengan terapi dan tak ada obat alternatif lain). Sindrom karotis hipersensitif. Sinkop berulang yang timbul spontan ataupun dengan rangsangan karotis atau pasien yang menunjukkan asistol selama 3 detik atau lebih pada rangsangan karotis minimal.
Keadaan I1 Blok A-V derajat 3 atau 2 tipe 112 asimtomatis, permanen atau intermiten, dengan frekuensi ventrikel 40lmenit atau lebih. Blok A-V deraiat 1 menetap dengan BBB yang baru atau blok A-V derajat 2 berat (advanced) meski sementara, disertai BBB. Blok biltri fasikular dengan sinkop tanpa sebab lain, atau dengan blok A-V derajat 2 yang berat meski asimtomatis. Dysfungsi sinus node (SSS) spontan atau karena terapi yang diperlukan, dengan HR kurang dari 40 kalilmenit, simtomatis. Pada sindrom karotis hipersensitif dengan sinkop yang berulang walaupun adanya rangsangan karotis tak jelas. Pada keadaan-keadaan I jelas diperlukan PPM, sedangkan pada keadaan I1 biasanya diperlukan PPM, meskipun ada yang menganggap hanya diperlukan TPM, selanjutnya bisa dilepas bila tetap stabil. Keadaan Ill Ada pula PPM yang dipakai sebagai defibrilator automatis, suatu alat menyerupai pacujantung yang memantau irama jantung dan bila tiba-tiba muncul takiaritmia ventrikel atau fibrilasi ventrikel maka alat ini akan mengeluarkan arus listrik cukup besar dan berlaku sebagai defibrilator internal untuk mengoreksinya. Sampai dengan tahun 1990 di Sub-bagian Kardiologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah ditanamkan 187 pacu jantung permanen pada 109 pasien. Di antara indikasi pemakaian PPM pada pasien-pasien tersebut, adalah (menurut urutan terbanyak) sebagai berikut:
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Gangguan hantaran pada 98 pasien: blok AV total. Blok A V derajat 2 dengan bradikardia (simtomatik). Brftr.sc~rcultriblock (sirntomatis) Sick .srr111.5 y\.ndroinc pada 89 pasien, satu pasien dl antaranya dengan gangguan hemodinamik sehingga dipasang pacu jantung DDD, M. Banyaknya macaln pacu jantung menyebabkan perlunya melakukan seleksi pasien dengan hati-hati. halau perlu secara elektrofisiologi supaya pasien tersebut mendapat pacu jantung yang sesuai. Hal ini tidak akan dibicarakan lebih jauh di sini. Gambar I. Teknik psmasukan eiektroda ke dalam vena
TEKNIK PEMASANGAN
Pungsi vena mernakai jarum cukup besar sehingga gur& wire dapat rnasuk B Guide wire dinasvkkan Ialu jarurn dikeluarkan dari gurde wrre C Dilator dimasukkan ke guide wire diikuti oleh sheath D. gulde wire dan d~latordikeluarkan dari sheath dan ekktroda dtmasukkan melalul sheafh
A
Mene~npatkanelektroda ke dalalnjantung dapat dilakukan dengan cara: Transtorakal Fungsi langsung lilelalui dinding dada ke dalam jantung. kemudian elektroda di~nasukkanmelalui jarurn pungsi tersebut. Dahulu cara ini dipergunakan untuk menolong pasien dalam keadaan gawat darurat, tetapi sekarang sudah ditinggalkan. Torakotomi. membuka dinding dada atau dari banah lnelalui diafraglna ditananikan elektroda ke epikardlmiokard (prosedur operatif). Transvenous, Melalui Pembuluh Vena Elektroda didorong ke dalaln j a n t ~ ~ nsa~npai g lnencapai endokard atrium (trppeilclcrge)atau ventrikel kanan (apeks). Vena qang biasanya dipakai adalah: v. Femoralis, v. Subklavia, v. Brakhialis, \. Sefalika. v.Jugularis eksterna dan lain-lain. Pelnasukan elektroda ke dalam vena dilakukan dengan cara seperti terlihat pada gambar (Cambar 1 dan 2). Pungsi langsung perkutan, biasanya melalui vena-vena yang besar seperti v. Femoralis. v. Subklavia atau v. Jug~llarisckstema. Caranya sama seperti melakukan kateterisasi jantung (v. Femoralis) atau melnasang CVP. Dengan sayatan pada vena kemudian dibuka sedikit untuk memasukkan elektrodanya. Hal ini dilakukan terutama pada vena-vena yang lebih kecil dan tak mungkin dilakukan fungsi misalnya v. Brakialis, v. Sefalika dan lain-lain. Untuk pacu jantung tetap (PPM), biasanya dipakai v. Sefalika atau 'v. Subkla'via atau v. Jugularis ekstema kanan, kadang-kadang kiri. Sedangkan untuk TPM biasanya paling mudah dipakai v. Femoralis, kadang-kadang dipakai v. Brakialis atau v. Subklavia. Harus diperhatikan bahwa apabila seorang pasien kirakira ~nemerlukanPPM, lnaka sebaiknya pada TPM tak dipakai vena-vena yang perlu untuk PPM, yaitu v.
Subklavia atau v. Sefalika kanan atau kiri. Karena itulah sebaiknya pernasangan TPM dilakukan pada v. Femoralis saja. Apabila elektroda telah masuk vena niaka didorong terus sampai masuk ke atrium kanali. Dari sini kemudian diusahakan masuk RV dengan sedikit manipulasi (memutar). Bila tidak dapat segera masuk, dibuat sedikit lengkungan yang menghadap ke dinding luar atrium kanan,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PACU JANTUNG SEMENTARA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI lalu kemudian diputar sehingga lengkungan itu mengarah ke katup trikuspid dan kemudian didorong masuk ke ventrikel kanan. Elektroda ditempatkan pada apeks ventrikel kanan. Setelah diperkirakan posisi elektroda sudah baik, dilakukan beberapa uji seperti EKG intra-kardiak (untuk melihat adanya elevasi ST, pertanda bahwa elektroda berkontak pada endokardium dengan baik, sedang voltage QRS lebih dari 4,O mV supaya mekanisme sensor berjalan dengan baik), pengukuran ambang rangsang (threshold), perubahan posisi pasien seperti batuk, tarik nafas dalam dan sebagainya. Paling mudah ambang rangsang dan voltase QRS diukur dengan alat PSA (pacing system analyzer). Stimulasi dilakukan dengan pulse width 0.5 ms dan voltase 5V dan frekuensi di atas frekuensi jantung sendiri sehingga terlihat respons ventrikel yang konsisten (bila tidak berarti posisi eletktroda sama sekali tak baik). Kemudian voltase diturunkan perlahan-lahan bertingkat sampai didapat voltase terendah yang dapat memberikan respons ventrikel konsisten, bila dikurangi lagi sebagian respons ventrikel hilang. Inilah ambang rangsang tersebut. Sebaiknya pada saat permulaan ini ambang rangsang adalah 0,6 MAl0.3 volt atau paling tidak kurang dari 1,O volt. Berarti tahanan elektroda sekitar 250 -1000 ohms. Bila tidak didapatkan demikian maka posisi elektroda harus diperbaiki lagil dicarikan tempat yang baru.
MENANAM PULSEGENERATOR Pulse generator paling sering ditanam di dinding dada kanan, kadang-kadang di kiri. Pada prosedur torakotomi, melalui diafragma, biasanyapulse generator di tanam di dinding perut. Pulse generator ditanam di antara jaringan kulit (subkutan) dan otot, bukan di jaringan lemak bawah kulit, untuk mengurangi erosi. Untuk dinding dada insisi transversal dilakukan di daerah dada melengkung ke bawah, di bagian lateral ke arah sulkus deltoideus pektoralis. Dengan insisi inilah dicari v. Sefalika bila elektroda akan dimasukan melalui vena ini. Di lapisan antara subkutan dan otot dibuat kantong yang agak besar secara tumpul. Pulse generator ditanamkan di dalam kantong ini, dengan tempat hubungan elektroda dan pulse generator mengarah ke atas. Bila perlu dilakukan fiksasi di dua tempat. Kemudian lengkungan elektroda diatur melewati bagian bawah pulse generator. Setelah dilakukan irigasi dengan antibiotik, kantong ditutup. Semua prosedur pemasangan pacu jantung dilakukan dengan anestesi lokal, kecuali prosedur dengan torakotomi, yang sudah jarang dilakukan pada saat ini. Karena itu pemasangan pacu jantung sebetulnya hanya suatu operasi kecil saja.
Berbagai komplikasi dapat terjadi sehubungan dengan pemakaian pacu jantung sementara atau tetap (TPM atau PPM) ini. Komplikasi pada TPM tentu lebih sedikit dibanding PPM, karena periode pemakaiannya yang pendek dan prosedur pemasangannya sederhana, sedangkan intervensi terhadap komplikasi pun mudah dilakukan, meskipun sebetulnya TPM lebih sering digunakan dalam keadaan darurat pada pasien-pasien dengan keadaan yang lebih berat. Komplikasi yang mungkin terjadi dapat digolongkan sebagai berikut: Berhubungan dengan teknik operasi seperti: perdarahan, infeksi, perforasi, pneumotoraks, post cardiotomy syndrome dll. Berhubungan dengan pacu jantungnya. - Elektroda: dislokasi/malposisi yang terjadi dini atau lambat, fraktur, diskoneksi dengan pulse generutor: trombosis tromboemboli,erosi karena penekanan jaringan setempat oleh lengkungan stimulasi diafragma atau dinding dada dan lain-lain. - Pulse generator: eros.i, aritmia, gangguan hemodinamik dan lain-lain. - Sirkuit listrik pacu jantung, baik terjadi dengan sendirinya atau karena lingkungan seperti tegangan listrik yang tinggi atau medan magnit yang besar dari luar. Kesulitan yang terjadi misalnya exit block sehingga bisa timbul bradikardia sampai dengan asistol, run away pacing dll. Meskipun generator pacu jantung telah diusahakan untuk terlindung dari hal-ha1 tersebut, sedapat-dapatnya kontak dengan tempat-tempat dihindarkan. Dengan teknik operasi yang baik dan pemilihanp~rlse generator yang sesuai. komplikasi dapat ditekan serendahrendahnya sehingga pemasangan pacu jantung betul-betul merupakan prosedur yang aman. Di Subbagian Kardiologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ternyata terdapat komplikasi sebagai berikut: dislokasi dini 13% dislokasi lambat 0% stimulasi diafragma 4% infeksi 3% perdarahan 2% erosi 3% run away pacing baru terjadi pada 1 kasus (sampai dengan rate 145/menit). Pemasangan pacu jantung melalui torakotomi baru dilakukan dua kali, sedangkan pemasangan elektroda dengan pungsi perkutan pada vena subklavia baru akhir-akhir ini dikembangkan sehingga komplikasi berat seperti post cardiotomy syndrome dan pneumotoraks belum pernah ditemukan. Aritmia yang berat seperti endless loop tacl~-vcardia, danpacemaker syndrome belum pernah ditemukan.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
EVALUASI DAN PENGGANTIAN GENERATOR
Setelah pacu jantung ditanam, perlu dievaluasi keadaan pasien dan pacu jantungnya untuk mendeteksi kemungkinan adanya komplikasi. Pasien dikembalikan ke ruangan untuk pemantauan satu atau beberapa hari, kemudian dilakukan mobilisasi dan akhirnya dipulangkan. Satu minggu setelah dipulangkan, pasien hams kembali untuk reevaluasi. Kemudian tiga bulan pertama, pasien diperiksa ulang setiap bulan dan setelah itu bila ternyata tak ada kesulitan barulah observasi ditangguhkan menjadi setiap 2 atau 3 atau 6 bulan. Enam bulan sebelum usia pacu jantung (pulse generator) habis (usia pacu jantung dinyatakan oleh pabriknya), pasien diobservasi dengan ketat lagi. Evaluasi ulangan dilakukan setiap bulan atau 2 minggu sekali, sampai saatnya pacu jantung hams diganti. Observasi yang ketat iuga dilakukan pada pasien yang pada pemeriksaan EKG menunjukkan tanda-tanda tidak efektifnya impuls pada jantung atau sensornya sehingga timbul aritmia yang mungkin membahayakan. Penggantian pacu jantung tidak didasarkan atas usia pacu jantung yang disebutkan oleh pabriknya. Penggantian dilakukan atas dasar evaluasi ulang terhadap keadaan klinis pasien dan fungsi jantung tersebut. Usia pacu jantung yang disebut oleh pabrik hanya dipakai sebagai pegangan. Yang diganti hanyalah sumber impuls (pulse generator), sedangkan elektroda ;Itau lead tetap dipakai, dihubungkan dengan sumber .:. ~ n gbaru. Biasanya selalu sesuai hubungannya dan kalau diperlukan selalu ada adaptor untuk menyesuaikannya sehingga hubungan dengan elektroda mudah dan baik. Pada tiap-tiap evaluasi ulang biasanya dilihat: EKG, untuk melihat apakah impuls pacu jantung tetap efektif dengan frekuensi yang tetap sesuai dengan keadaan pemasangan pertama. Untuk maksud ini kecepatan mesin EKG hams tetap utuh 25 mmldetik. Hal ini supaya tidak terdapat salah penafsiran bahwa seolah-olah frekuensi impuls pacu jantung telah berubah. Selain itu, dapat dilihat adanya aritmia dan fungsi mekanisme sensor pacu jantung. Bila yang ditanamkan adalah pacu jantung synchronous maka adanya impuls intrinsik dari jantung mungkin akan menyebabkan impuls pacu jantung tidak keluar sehingga frekuensi impuls tidak dapat dinilai. Untuk mengeluarkan pacu jantung secara tetap, pacu jantung synchronous tersebut harus diprogram menjadi asynchronous atau diletakkan magnit di atasnya sehingga ia menjadi asynchronous. Dengan demikian frekuensi dan stabilitas keluamya impuls dapat dilihat dengan baik. Hal ini merupakan indikasi penting dari berkurangnya baterai pacu jantung. Bila
frekuensi berkurang 10% atau lebih, generator harus segera diganti. Parameter lain, untuk impuls yang dikeluarkan oleh jantung, adalah terutama lebamya impuls (pulse width), bentuk dan amplitudonya. Hal ini diperiksa dengan alat khusus yang mempunyai osciloscope untuk membuat gambaran output impuls tersebut. Sekarang ada alat sederhana yang dapat digunakan untuk memeriksa frekuensi dan lebarnya impuls pacu jantung sekaligus. Untuk pasien-pasien yang jauh lebih dari pusat-pusat pacu jantung dapat diperiksa EKG melalui telpon (transtelephonic ECG).
PENGARUH LUAR TERHADAP PACU JANTUNG Pacu jantung adalah suatu sirkuit listrik. Karena itu setiap perubahan potensial listrik atau gelombang elektro magnetik dari luar dapat mempengaruhinya. Pertama-pertama, gangguan dapat timbul karena miopotensial pada waktu kontraksi otot-otot dinding dada, perut dan diafragma. Pacu jantung yang diproduksi akhirakhir ini telah diusahakan untuk tidak begitu dipengaruhi oleh miopotensial ini. Kemudian gangguan dapat juga ditimbulkan elektromagnit (EM) dari luar. Akan tetapi sebetulnya pacu jantung sendiri begitu ditanamkan, dengan sendirinya akan terlindung dari pengaruh EM tersebut. Selain itu pacu jantung yang diproduksi akhir-akhir ini juga telah dibuat lebih kebal terhadap pengaruh EM dengan pelindung elektronik dan kapsulasi metal dan pulse generator. Kalau gelombang EM tersebut masuk juga ke dalam pacu jantung maka pacu jantung tersebut berubah modusnya menjadi asynchronous sehingga tetap bekerja. Laporan-laporan tentang adanya gangguan yang terjadi karena EM dari luar kebanyakan mengenai pacu jantung model lama atau pacu jantung eksternal. Yang masih mungkin berpengaruh adalah: Sumber listrik yang berkekuatan besar, seperti yang dipakai dalam industri. Kauter bedah elektronik (electro surgical cautery) yang dapat menimbulkan fibrilasi ventrikel. Kalau terpaksa hams digunakan, usahakan letaknya sejauh mungkin dari pulse generator atau elektroddleadnya. Alat-alat diatemi untuk fisioterapi dan defibrilator dapat dipakai dengan aman, tetapi sebaiknya dijauhkan dari elektroddlead, sekurang-kurangnya 5 inci. Pasien dengan PPM sebaiknya jangan menjalani pemeriksaan MRI. Listrik dan alat-alat elektronik rumah tangga yang berjalan normal, begitu pula kebanyakan alat-alat listrik di mmah sakit dan alat keamanan di lapangan terbang tak berpengaruh pasca pacu jantung.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1643
PACU JANTUNC SEMENTARA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dreifus LS and Brest AN (Eds). Pacemaker Therapy. Philadelphia FA Davis Go, 1983. little Ford PO. Method for the rapid and a traumatic insertion of permanen endocardia1 pacemaker electrodes through the subclavian vein. Am Cardiol 1979; 43: 980. Personet v dkk. Implanttable cardiac pacemakers. Status report and resource guideline. Pacemaker Study Group. Girc 50, 1974 : Supplll, A 21. Mond HG and Sloman JG. The malfunctioning pacemaker system. Part I. Pace 1981; 4:49. Mirowski M. The automatic implanttable defibrillator. Am Heart J 1980; 1 DO: 1089.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ELEKTROFISIOLOGI M. Yamin, Sjaharuddin Harun, Lukman H. Makmun
PENDAHULUAN
DASAR SISTEM KONDUKSI DAN KELlSTRlKAN JANTUNG
Elektrofisiologi adalah prosedur pemeriksaan sistem listrik jantung dengan tujuan utama untuk rnengetahui mekanisme dan terapi aritmia . Prosedur pemeriksaan ini meliputi penempatan kateter dengan elektroda multipolar melalui vena dan atau arteri pada beberapa tempat di dalam jantung untuk perekaman dan pemacuan. Dengan kata lain dilakukan perekaman dan pemacuan pada bagian yang spesifik pada sistem listrik jantung misalnya atrium, ventrikel, sinus koronarius dan HI.\ hzmdle. Umumnya peineriksaan elektrofisiologi dilanj~~tkan dengan prosedur ablasi kateter yaitu suatu tindakan mernutus (tennlnasi) sirkuit atau fokus aritmia dengan menggunakan energi ublatiorz ). gelombang (r~~diiofrequ~,ncv Secara umum ada tiga tujuan utarna pemeriksaan elektrofisiologi yaitu meneritukanjenis aritmia, memastikan mekanisme aritmia, dan memilih jenis terapi yang paling tepat untuk aritmia tersebut, termasuk ablasi radiofrekuensi. Jadi pemeriksaan elektrofisiologi umumnya met~jadisatu kesatuan dengan prosedur terapi ablasi radiofrekuensi yang dikenal juga sebagai elektrofisiologi intervensi. Bidang ini menjadi satu sitbspesialisasi kardiologi yang mengkhususkan pada terapi aritmia yang kompleks dengan intervensi kateter d m alat-alat ( d e v ~ c ~). > \ Sebelum rnemahami elektrofisiologi secara lebih baik diperlukan peniahaman dasar tentang sistem listrik dan konduksi jantung, dan inekanisrne terjadinya gangguan irama (aritmia) baik takiaritmia (gangguan irama dengan laju Janturig yang cepat) maupun bradiaritmia (gangguan irama dengan laju jantung lambat). Selanjutnya akan dibahas cara. prinsip, dan indikasi pemeriksaan elektrofisiologi. Pada akhir dari tulisan ini diulas pula secara ringkas peranan terapi ablasi radiofrekuensi untuh beberapa jenis aritmia yang kerap dijumpai dalam praktek sehari-hari.
Sistem kelistrikan jantung bersumber dan dimulai dari Nodus Sinoatrial (NSA) yang terletak di antara pertemuan vena kava superior dan atrium kanan seperti ang terlihat pada Gambar 1. Sinyal listrik ketnudian disebarkan ke seluruli atrium melalui nodus interatrial (anterior, media, dan posterior) dan ke atrium kiri melalui hzoi~lledari Bachman. Di antara atrium dan vcntrikel pada sulkus atrio~entrikularterdapat suatu stri~kturjaringan ikat ( c . ~ i r d [ ~\ikcc. l e t o n ) yang berfungsi sebagai teinpat melekatnya katup Jantung. Secara elektris, komponen ini bersifat sebagai penyekat (insulator) sehingga sinyal listrik tadi tidah dapat iewat ke ventrikel kecuali inelalui Nodus Atriok entrikular (NAV).NAV terletak di atrium kanaii pada bagian bawah septum interatrial Saat niernasuhi NAV, iiiipuls mengalami perlambatan yang tergannbar sebagai
Gambar 1. Anatornl ststern konduks~jantung Penjelasan ter~nci l~hatteks (D~kut~p dar~Huszan RJ Basic dysrhythrn~as.7thEd. Mosby 2002)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI interval PR pada EKG permukaan. Selanjutnya impuls masuk ke bundle His, yang merupakan bagian pangkal (proksimal) dari sistem His-Purkinje yang bersifat menghantarkan listrik dengan sangat cepat. Kemudian sinyal listrik ini diteruskan ke berkas cabang kanan dan kiri dan berakhir pada serabut Purkinje dan miokard untuk membuat otot jantung berkontraksi. NSA merupakan pembangkit listrik alamiah yang dominan (automatisasi dengan laju yang paling cepat) sehingga mengendalikan seluruh pacuan. Bagian lain dari jantung terutama jaringan konduksi, pada dasamya juga mampu membangkitkan impuls listrik. Bila NSA tidak dapat membangkitkan ilnpuls karena satu dan lain ha], maka akan diambil alih oleh bagian lain seperti atrium, NAV, atau bundk His. Demikian pula bila terjadi blok atrioventrikel (keadaan bila impuls dari NSA tidak dapat diteruskan ke ventrikel) maka NAV atau brmde His akan menjadi pembangkit listrik cadangan tentu,dengan laju yang lebih lambat dari NSA.
POTENSIAL AKSl JANTUNG (CARDIAC ACTION POTENTIAL) Semua sel hidup, termasuk sel jantung, pada saat istirahat memiliki muatan positif di luar sel dan muatan negatif di dalam sel dan perbedaan potensial yang timbul akibat ha1 ini disebut potensial transmembran istirahat. Besamya perbedaan potensial berkisar antara -90 sampai -60 mV. Bila sel tersebut dirangsang akan menimbulkan pergerakan ion dari luar sel ke dalam sel. Pergerakan ini akan menimbulkan potensial listrik dan bila digambarkan berdasarkan waktu akan terlihat sebagai sebuah grafik yang dikenal sebagai Potensial Aksi Jantung (PAJ). Jadi PAJ merupakan gambaran EKG dari satu sel jantung yang bisa direkam dengan meletakkan electrode tnikro di dalam sel. PAJ terdiri dari lima fase yaitu fase 0 (depolarisasi cepat), fase 1 (repolarisasi cepat dini), fase 2 (pluteu), fase 3 (repolarisasi akhir), dan fase 4 (potensial membran istirahat) seperti terliliat pada Gambar 2.
Pada fase 0 (depolarisasi cepat) terjadi pembukaan kanal natrium cepat (rapid sodium channel) sehingga terjadi pergerakan ion natrium dari luar sel ke dalam sel dan membuat potensial trans membran menjadi lebih positif. Hasil akhir (resultan) dari peningkatan puncak voltase ini yang dikenal sebagai depolarisasi. Setelah fase depolarisasi ini maka sel akan kembali ke dalam potensial membran istirahat yang dikenal dengan istilah repolarisasi. Pada fase 1 dan 2 sel tetap mengalami depolarisasi walaupun sudah mulai memasuki fase repolarisasi. Pada saat ini sel sama sekali tidak dapat dirangsang yang dikenal dengan periode rejrukter efektij (rjfective refructor2y perioclr). Peran kanal kalsium lambat amat menonjol pada fase ini yaitu dengan memompa kalsium masuk kembali ke dalam sel secara perlahan sehingga memperlambat fase repolarisasi. Selama fase 3 repolarisasi terus berlangsung dan sel mulai kembali ke keadaan istirahat dan pada saat ini sel sudah dapat dirangsang tetapi dengan energi yang lebih besar (periode refrakter relatit). Fase 4 adalah fase akhir saat sel kembali dalam keadaan istirahat penuh dan siap untuk menerima rangsangan kembali.
Gangguan irama jantung (dikenal sebagai aritmia) dapat dikelompokkan menjadi takiaritmia (gangguan irama dengan laju cepat) dan hradiuritmiu (gangguan irama dengan laju lambat). Terjadinya aritmia (uriyhthmo,qene.~~.\) disebabkan oleh tiga mekanisme utama yaitu gangguan pembentukan impuls, gangguan hantaran impuls, dan kombinasi kedua-duanya. Yang termasuk gangguan pembentukan impuls adalah otomatisasi yang tidak normal (ubnormal uutornuticity), aktivitas yang dicetuskan (triggered activity), dan setelah depolarisasi lambat (deluyed ufterdepolclrizution). Yang tergolong gangguan hantaran impuls adalah blok satu atau dua arah tanpa reentry (blok AV, blok SA, dan blok berkas cabang), blok satu arah dengan reentry (resiprokal takikardia pada sindrom Wolf-Parkinson-White), reentrv nodus AV, dan takikardia ventrikel karena reentry berkas cabang. Pada tulisan ini pembahasan akan disederhanakan pada penyebab yang paling sering yaitu gangguan pembentukan (inisiasi) impuls yang lebih dikenal dengan otomatisasi dan gangguan hantaran impuls yang lebih dikenal dengan reentry.
AUOTOMATISASI (AUTOMATICITY) Garnbar 2. Potenslal Aksl Jantung (PAJ) dlmulal b ~ l arangsangan yang d~ber~kan melampaui ambang batas (threshold) yaltu -60 mV (D~kut~p dart Huszan RJ Baslc dysrhythmlas 7Ih Ed, Mosby
2002)
Autoniatisasi yang meningkat (enkmzced azitomcrticity) disebabkan oleh percepatan (akselerasi) pada fase 4 dan dapat terjadi di atrium, bundle His, dan ventrikel sehingga
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
muncul istilah takikardi atrial, junctional, dan ventrikel otomatis. Struktur lain yang dapat menjadi sumber fokus otomatisasi adalah vena pulmonal dan vena kava superior. Contoh takikardi otomatis yang normal adalah sinus takikardi. Ciri khas takiaritmia ini adalah adanya fenomena warm-up dan warm-down yaitu peningkatan laju nadi secara perlahan dan kemudian laju nadi berkurang secara perlahan sebelum akhimya takiaritmia berhenti. Takiaritmia karena automatisasi sering berkaitan dengan gangguan metabolik seperti hipoksia, hipokalemia, hipomagnesemia, dan asidosis.
REENTRY Ini adalah mekanisme yang terbanyak sebagai penyebab takiaritmia dan paling mudah dibuktikan pada pemeriksaan elektrofisiologi. Prasyarat mutlak untuk timbulnya t.eentt?3 adalah sebagai berikut: Adanya dua jalur konduksi yang saling berhubungan baik pada bagian distal maupun proksimal Salah satu jalur tersebut hams memiliki periode refrakter yang lebih panjang dari yang lain *. Jalur dengan periode refrakter yang lebih pendek harus memiliki kecepatan konduksi yang lebih lambat dari yang lain Inisiasi reentry memerlukan adanya hanlbatan pada salah satu jalur tersebut (unidirectional block). Secara skematis mekanisme tersebut dapat dilihat pada Gambar3.
Gambar 3. Mekanisme terjadinya reentry. Jalur A adalah jalur dengan periode refrakter pendek tapi kecepatan konduksi iambat sedangkan jalur B adalah jalur dengan kecepatan konduksi cepat tapi masa refrakter lebih panjang. Mekanisme terinci dapat dilihat pada teks.( Dikutip dari Fogoros RN. Electrophysiologic testing. 3" Ed, Blackwell Science, 1999)
Pada Gambar 3 jalur A adalah jalur dengan periode refrakter lebih pendek tapi melniliki kecepatan konduksi yang lambat sedangkan jalur B adalah jalur dengan periode refrakter panjang tapi kecepatan konduksi cepat. Kedua
jalur ini saling berhubungan baik di bagian distal lnaupun proksimal seperti yang disyaratkan di atas. Pada gambar 3 B, bila impuls prematur tiba di jalur B pada saatjalur tersebut masih refiakter karena stimulasi sebelumnya (ingat jalur B memiliki masa refrakter yang relatif lebih panjang), maka impuls tadi tidak bisa melewati jalur tersebut dan beralih ke jalurA. Pada saat impuls tadi beralih dari jalur B ke jalur A, saat itu jalur A sudah pulih dari masa refraktemya karena ia memiliki masa refrakter yang lebih pendek daripada jalur B. Oleh karena itu impuls tadi dapat turun ke distal melalui jalur A. Karena kecepatan konduksi di jalurA lebih lambat maka saat impuls tiba di bagian distal. jalur B telah pulih dari masa refrakternya sehingga impuls dapat melewati jalur B secara retrograd dan kembali ke jalur A dan demikian seterusnya dan timbullah sirkuit reentrv..
PELAKSANAANPEMERJKSAANELEKTROFlSlOLOGl
Pemeriksaan elektrofisiologi jantung merupakan suatu cabang spesialisasi kardiologi yang memerlukan fasilitas dan alat yang khusus, staf yang terampil, dan ekspertise yang akurat. Persiapan pemeriksaan elektrofisiologi meliputi persiapan alat, staf dan pasien. Peralatan yang paling utarna diperlukan adalah: Alat fluoroskopi (biasanya sudah tersedia di laboratorium kateterisasi) Alat khusus elektrofisiologi yang meliputi: - stimulator jantung (cardiac stimularor) - piranti lunak untul
Patient
Isolatio!@:. Gontrol ba& intcarfa&nplifiers etc]
-
-,
Gambar 4. Skema tata letak semua peralatan utarna yal d~perlukandalam pemeriksaanelektrofisiologi (D~kutlpdari ESI f Training material)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Persiapan pasien dilakukan sama seperti untuk prosedur invasif lainnya yaitu puasa sekitar 6 jam dan memberikan surat persetujuan tindakan (informed consent). Obat-obat antiaritrnia hams dihentikan paling tidak empat kali waktu paruh (rata-rata 2-3 hari sebelumnya). Yang agak problematik adalah amiodaron karena waktu paruhnya sangat panjang. Obat antikoagulan juga harus dihentikan. Akses (jalan masuk) kateter yang akan ditempatkan di dalam ruang jantung dapat dimasukkan melalui vena femoralis, vena jugularis interna, vena subklavia, dan vena basilika. Sering pula diperlukan akses melalui arteri femoralis dan pungsi septum interatrium (transeptal puncture) untuk mencapai atrium kiri. Kateter selanjutnya ditempatkan di atrium kanan, apeks ventrikel kanan, His bundle, dan sinus koronarius (Cambar 5). Kadang-kadang diperlukan penempatan kateter di ventrikel kiri, right ventriculur ou(flow tract (R VOT), dan vena pulmonalis untuk studi khusus seperti ablasi pada fibrilasi atrium.
Gambar 6. Contoh pengukuran intervaldasar dari EKG permukaan dan intrakardiak (elektrogram). Dan EKG permukaan diiampilkan sandapan I, AVF, dan V1. RV=right ventrick, HRA=high right atrium, HBE D=his bundle electrogram distal, HBE P=his bundle electrogram proximal, CS 9-10= coronary sinus proximal, CS 12=u~ronarysinus distal. (Dikutip dari Mwrgatroyd FD, Krahn AD, Klein GJ, et al. Handbook of cardiac electrophysiology: a practical guide to invasive EP studies and catheter ablation. Remedica Publishing, 2002)
-
penilaian konduksi dan masa refraktori sistern His-Purkinje - induksi aritmia atrial Pemacuan ventrikel - penilaian konduksi retrograd - induksi aritmia ventrikel Uji-coba efek obat Pada tulisan ini hanya diterangkan cara pengukwan interval dasar saja sedangkan protokol lainnya tidak. PENGUKURAN INTERVAL DASAR
Garnbar 5. Posisi kateter di dalarn jantung masing-masing di ventrikel kanan, atrium kanan, bundle dari His, dan sinus koronarius.
Langkah selanjutnya adalah inelakukan perekaman sinyal listrik dalam jantung (dikenal dengan elektrogram) dari masing-masing lokasi khusus dalam jantung (atrium kanan, ventrikel kanan, His bundle, dan sinus koronarius). Gambar 6 memperlihatkan contoh elektrogram dari tempat tersebut di atas. Secara mum ada empat protokol utama dalam pemeriksaan elektrofisiologi yaitu: Pengukuran interval sistem konduksi pada saat awal (huseline) Pemacuan atrium: - penilaian sifat konduksi dan otomatisasi NSA - penilaian konduksi dan masa refraktori NAV
Sebelum dilakukan stimulasi dilakukan perekaman dan penghitungan interval dasar (Cambar 6) yaitu: Dari EKG permukaan: - interval PR (dari mulai gelombang P sampai awal kompleks QRS) - durasi kompleks QRS - interval QT (dari mulai gelombang sampai akhir gelombang T) Dari EGM (Elektrogram) - panjang siklus dasar (Busic Cycle Length) yang mencerminkan laju irama dasar (intrinsik) - interval PA - interval AH - interval HV
PEMERIKSAAN ELEKTROFlSlOLOGl PADA TAKlKARDlA SUPRAVENTRIKEL (TSV) Takikardia supraventrikel (TSV) adalah aritmia yang diderita
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
sekitar 1% populasi, paling sering ditemukan dalam praktek sehari-hari, dan digunakan untuk menggantikan istilah lama untuk puro.~ysmalatrial tuch~~curdiu. TSV merupakan suatu kelompok aritmia yang melibatkan struktur di atas bundel dari His dengan atau tanpa melibatkan ventrikel . TSV dapat dibagi lagi menjadi yang tidak teratur (iregular) yaitu fibrillasi atrial dan yang teratur (regular) yaitu: Takikardia reentri nodal atrioventrikuler (Atriomtric11lor Nodal Reentrant Tachycardia) Sirkuit reentri berada di dalam nodus atrioventrikel dan ventrikel tidak ikut serta dalam mempertahankan aritmia (Gambar6A) Takikardia reentri atrioventrikuler (Atrior*cntriculur. reentrant tacl?ycurdia) Takikardia ini amat bergantung pada keberadaan jaras tambahan (uccr.s.sory puth~lu-v)dan melibatkan ventrikel dalam sirkuit takikardia Takikardia atrial. Takikardia ini sama sekali tidak melibatkan struktur bundle dari His (AV jzdnction). Contohnya adalah takikardi atrial ektopik dan flutter atrial. Dari ketiga jenis TSV yang teratur tersebut. yang paling kerap ditemukan adalah takikardi reentri nodus atrioventrikular yang meliputi 90% dari seluruh TSV dan 25% TSV yang datang ke laboratorium elektrofisiologi. Oleh karena itu jenis ini akan dibahas lebih rinci dibandingkan dengan yang lainnya.
lnasuk melalui jalurcepat karena impuls melalui jalur lambat terhambat akibat jalur tersebut masih dalam masa refrakter dari depolarisasi melalui jalur cepat. Karakteristik jalur ganda pada NAV (dual AV nodal p u t h ~ * u adalah ~ . ) adanya jalur lambat ( a )dan jalur cepat (P). Jalur lambat mempunyai masa refrakter singkat tapi kecepatan konduksi yang lambat. Sedangkan jalur cepat memiliki masa refrakter lebih panjang tapi kecepatan konduksi yang cepat. Ini adalah syarat mutlak utnuk memungkinkan terjadinya remtri. Pada gambar A, i m p ~ ~ l s dari atrium masuk ke NAV dan ventrikel melalui jalur cepat (P). Pada gambar B, impuls prematur dari atrium yang masuk ke jalur cepat ( p ) terhambat karena pada saat itu jalur P masih dalam masa refrakter. Akibatnya impuls akan beralih ke jalur lambat ( a ) dan karena konduksi di jalur ini lambat maka tercermin pada EKG permukaan sebagai pemanjangan interval PR. Pada gambar C, impuls yang lewat melalui jalur lambat tadi naik kembali secara retrograd ~nelaluijalur a dan turun kembali secara antegrad melalui jalur P dan membentuk sirkuit rccnty di dala~nNA. Pemanjangan interval PK ini menandakan adanya lompatan impuls dari jalur cepat ke jalur lambat yang merupakan salah satu karakteristik inisiasi pada takikardi rentri nodus atrioventrikuler. Jenis TRNA ini disebut tipe biasa (common/typical tjpe). Recntr:~dapat pula terjadi sebaliknya yaitu antegrad melalui jalur cepat dan retrograd melalui jalur lambat (tipe tidak umumluncommon type). Karena NAV memegang peranan penting dalarn sirkuit reentri ini maka perasat vagal (vilgc71maneuver) dan obatobat yang menghambat konduksi NAV (penyekat beta, digoksin, dan antagonis kalsium) dapat memutus aritmia ini. Pada Gambar 8 diperlihatkan gambaran rekaman intrakardiak (elektrogram) saat inisiasi TRNA tipe biasa (commotr/~piculQpe). Ablasi TRNA merupakan tindakan terapi kuratif dengan angka keberhasilan 95-97%. Pendekatan ablasi TRNA adalah dengan memutus jalur lambat (slolz. /7utllwaj~). Gambar 9 metnperlihatkan skema lokasi ablasi dan rekaman elektrogram yang spesifik dari jalur lambat (slow /7~ltll~t~u~).
Gambar 7. Tiga jenls takikard~asupraventr~kelyang tersering A Takikardi reentrl nodal atr~oventr~kulerB Tak~kard~ reentr~ atr~oventrikuler.C Tak~kardiatr~al Untuk penjelasan rrncl dapat dlllhat pada teks (D~kut~p dar~Fogoros RN Electrophys~olog~c testrng 3* Ed. Blackwell Sctence, 1999)
TAKlKARDlA REENTRINODUSATRIOVENTRIKULAR (TRNA)
. . Pada kebanyakan pasien terdapat dua jalur masuk (dllul AV nodulpathw~!~)dari atrium ke nodus atrioventrikulcr (NA) yaitujalur cepat (fastpathway) dan jalur lambat ( s l o ~ . p a t h ~ ~ uPenelitian ~ ~ ) . terkini mendapatkan adanya tiga jalur masuk dari atrium ke NA yaitu jalur lambat, jalur menengah, dan jalur cepat. Umumnya pada saat irama sinus, i m p ~ ~ l s
Gambar 8. Mekan~smeterjadlnya takikardia reentr~nodus atrioventrlkuler. penjelasan rlncl dapat d~lihatpada teks (Dikutip dari Fogoros RN Hectrophys~ologictest~ng ardEd, Blackwell Sc~ence,1999)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gambar 10. Takikardia Reentran Atrioventrikular (TRA). Atrium Kanan dan kiri (RAILA) dan ventrikel kanan dan kiri (RILV) secara normal tidak dapat menghantarkan impuls listrik karena adanya skeleton kardiak (membentuk annulus tricuspid dan mitral) yang bersifat sebagai insulator. Satu-satunya penghubung secara elektris adalah NAV. Jika pasien rnemiliki penghubung tambahan dalam ha1 ini accessory pathway, maka kriteria sirkuit reentri terpenuhi. (Dikutip dari: Schilling RJ. Which patient should be referred to an electrophysiologist: supraventricular tachycardia. Heart 2002;87:299-304.)
Gambar 9. (A) Skema ablasi pada jalur lambat (slow pathway) pada TRNA. Kateter ablasi diletakkan di depan ostium sinus koronarius (B) Gambaran elektrogram tempat ablasr yang baik:terlihat defleksi ventrikel yang lebih besar dari defleksi atrium yang diikuti oleh defleksi potensla1 jalur lambat (slow pathway potential) Diperlihatkan juga elektrogram atrium dan ventrikel kanan, dan bundel dari His. (Dikutip dari Culkins H. Radlofrequency ablation of supraventricular arrhythmias Heart 2001;85,594-600)
TAKlKARDlA REENTRY ATRlOVENTRlKULER (TRA) Pasien detigan TRA dilahirkan memiliki jaras tambahan (accessory pathway) yang biasanya memiliki karakteristik konduksi yang berbeda dengan NAV sehingga takikardi dapat muncul pada usia neonatus, kanak-kanak, dan dewasa. Jaras tambahan tersebut menghubungkan permukaan epikardial atrium dengan ventrikel sepanjang sulkus atrioventrikuler. Jaras tambahan dapat dikelompokkan berdasarkan lokasinya di sepanjang anulus katub trikuspid dan mitral, sifat konduksinya (detrimental atau non-detrimental), dan apakah ia mampu melakukan konduksi antegrad saja, retrograd saja, atau kedua-duanya. Bila jaras tambahan ini hanya mampumelakt~kankonduksi secara retrograd saja maka disebut sebagi jaras yang tersembunyi (concealed pathway). Sedangkan yang mampu melakukan konduksi secara antegrade disebut munijest , tercermin dengan adanya preeksitasi pada EKG permukaan (gelombang delta). Jadi istilah sindrom Wolf Parkinson White hanya diberikan kepada pasien dengan preeksitasi dan takiaritmi yang bergejala. Mekanisme terjadinya TRA dapat dillhat pada Gambar 10.
TRA dapat dibagi menjadi antidromik dan ortodromik. Pada TRA antidromik konduksi antegrad terjadi melalui jaras tambahan sedangkan konduksi retrograd melalui NAV sehingga pada rekaman EKG permukaan akan memberikan gambaran takikardia dengan kompleks QRS lebar (contoh pada Gambar 11). Pada TRA ortodromik konduksi antegrad melalui NAV dan retrograd melalui jaras tambahan sehingga gambaran EKG permukaan terlihat sebagai takikardi dengan kompleks QRS sempit (normal). TRA merupakan jenis aritrnia yang sangat diindikasikan untuk tindakan kuratif dengan ablasi radiofrekuensi dengan angka keberhasilan 99% dan komplikasi I$%. Pada tulisan tidak dibahas tentang elektrofisiologi pada takikardia ventrikuler (TV) karena akan dibahas pada topik
Tv.
Gambar 11. Takikardra Reenfran Atrioventrikuler (TRA) tipe ortodromik dengan gambaran kompleks QRS lebar. (Dikutip dari Wellen HJJ Ventricular tachycardia: diagnosis of broad QRS complex tachycardia. Heart 2001;86:579-585)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PEMERIKSAAN ELEKTROFISIOLOGI PADA BRADlARlTMlA
Penyebab bradiaritmia yang kerap didapatkan di klinik adalah penyakit pada NSA dan blok atrioventrikular (Al' block). Kelainan pada NSA dapat bermanifestasi berupa sinus bradikardia, sinus arrest, atau bradikardia yang bergantian dengan fibrilasi atrial (FA) paroksismal. Evaluasi otomatisitas (automaticity) NSA dilakukan dengan menilai Waktu pemulihan nodus sinoatrial (Sinus Node Recover), Time). Caranya adalah dengan meletakkan kateter pada atrium kanan di dekat NSA, dan dilakukan pemacuan dengan laju sedikit lebih tinggi dari irama dasar selatna 30 detik. Pemacuan selanjutnya dihentikan secara mendadak. Lnterval pemulihan (diukur dari saat pacuan atrial terakhir sampai munculnya irama sinus spontan) mencerminkan normal tidaknya fungsi NSA. Umumnya bila nilai interval ini melebihi 1500 milidetik dianggap tidak normal. Penilaian gangguan konduksi pada NAV umumnya tidak memerlukan prosedur invasif. Prosedur elektrofisiologi lebih menekankan pada penilaian lokasi harnbatan hantaran: pada NAV, pada His-Purkinje, atau distal dari His-Purkinje (infrahis). Gangguan pada tingkat NAV urnumnya bersifat sementara seperti pada iskemia dan infark miokard akut. Umumnya gangguan pada NAV bersifat jinak karena laju nadi berkisar 55 kali per menit sehingga jarang menyebabkan gangguan hemodinamik. Gangguan pada His atau pada bagian distalnya kerap menimbulkan gangguan hemodinamik yang signitikan. Infark miokard akut yang melibatkan arteri koroner kiri desendens adalah penyebab tersering karena daerah ini diperdarahi oleh arteri tersebut. Miokarditis kerap juga mengenai jaringan konduksi ini. Pada pemeriksaan elektrofisiologi untuk menilai gangguan hantaran pada NAV adalah dengan melihat rekaman dari His (His elcctrogram). Berdasarkan gambaran elecktrogram tersebut dapat ditentukan tingkat hambatan pada NAV.
ABLASI KATETER (CATHETER ABLATION) SEBAGAI TINDAKAN KURATIF PADATAKIARITMIA Prosedur elektrofisiologi hampir selalu diikuti oleh tindakan kuratif berupa ablasi kateter. Sebelum tahun 1989 ablasi kateter dilakukan dengan sumber energi arus langsung yang tinggi (high energy direct current) berupa DC shock. Karena pemberian energi dengan jumlah tinggi dan tidak terlokalisasi maka banyak timbul komplikasi. Saat ini ablasi kateter dilakukan dengan energi radiofrekuensi sekitar 50 watt (W) yang diberikan sekitar 30-60 detik. Energi terseb~~t diberikan dalam bentuk gelombang sinusoid dengan frekuensi 500.000 siklus per detik (Hertz). Selama prosedur ablasi radiofrekuensi (ARF) timbul pemanasan resistif akibat agitasi ionik. Jadi jaringan di
bawah kateter ablasilah yang tnenjadi sumber energi panas, bukan kateter itu sendiri. Thermal injury adalah mekanisme utalna kerusakan jaringan selama prosedur ARF. Kerusakan jaringan permanen timbul pada temperatur sekitar 50 derajat Celcius (Gambar 12).
Gambar 12.. Kerusakan jaringan permanen (daerah berwarna putih) akibat ablasr radlofrekuensi (Dikutip dari ESI training material)
Prosedur ARF adalah prosedur invasif minimal dengan memasukkan kateter ukuran 4-8 mm secara intravaskular (umumnya ke jantung kanan) dengan panduan sinar X. Biasanya prosedur ini bersamaan dengan pemeriksaan elektrofisiologi. Prosedur elektrofisiologi bertujuan untuk niencetuskan aritmia dan memahami mekanismenya. ~ e l a n j u t n ~kateter a ablasi diletakkati pada sirkuit yang penting dalam merpertahankan kelangsungan aritmia tersebut di luarjaringan konduksi normal. Bila lokasi yang tepat sudah ditemukan maka energi radiofrekuensi diberikan lnelalui kateter ablasi. Umumnya pasien tidak merasakan adanya rasa panas tapi kadang-kadang dapat juga dirasakan adanya rasa sakit. Bila tidak terjadi komplikasi pasien hanya perlu dirawat selama satu hari bahkan bisa pulang hari.
KAPAN HARUS MERUJUK PASIEN UNTUK PROSEDUR ELEKTROFlSlOLOGl DAN ABLASI KATETER? Indikasi untuk ARF bergantung pada banyak ha1 seperti lama dan frekuensi takikardi, toleransi terliadap gejala, efektivitas dan toleransi terliadap obat antiaritmia, dan ada tidaknya kelainan strukturjantung. Untuk TSV yang tcratur (regrrlrrrsz~pi.r11~e17tric.i1lar. rtrc~/7j~c~urcr'iu), banyak penelitian yang menunjukkan bahwa ARF Iebih efektif'daripada obat dala~iiaspek peningkatan kualitas hidup pgsien dan pengliematan biaya daripada obat antiaritmia. Kelornpok pasien berikut ini sebaiknya d i r ~ ~ j uukn t ~ ~ k prosedur elektrofisiologi dan ARF:
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pasien dengan aritmia yang mengancarn jiwa: Pasien Fibrilasi Atrial (FA) dengan sindrom WolfParkinson- White dengan masa refrakter antegrad jaras tambahan yang pendek Pasien dengan aritmia yang menimbulkan gaga1jantung: - takikardia atrial incessant - TRA dengan menggunakan jaras tarnbahan dengan sifat penghantaran yang lambat dari ventrikel ke atrium - fluter atrial - fibrilasi atrial - * Pasien dengan takiaritmia bergejala meskipun telah mendapat terapi obat: - takikardia atrial - fluter atrial - fibrilasi atrial - TRNA - TRA - takikardia ventrikel idiopatik Pasien seperti pilot, supir bis, atlit professional dengan jaras tambahan (atrioventricular accessory pathway) dengan periode refrakter antegrad yang pendek sehingga dapat membahayakan jiwa orang lain. Dari beberapa meta analisis didapatkan angka keberhasilan rata-rata ARF pada TSV adalah 90-98% dengan angka kekambuhan sekitar 2-5%. Angka penyulit rata-rata adalah sekitar 1%. Oleh karena itu ARF dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama dibandingkan dengan obat-obatan. Seandainya diperlukan tindakan ulang biasanya angka keberhasilannya jauh lebih tinggi lagi.
REFERENSI Calkins H. Radiofrequency ablation of supraventricular arrhythmias . Heart 2001;85:594-600. Chauhan VS, Krahn AD, Klein GJ, et al. Supraventricular tachycardia, Medical Clin of North Am;85:196-223. Fogoros RN. Electrophysiologic testing. 3rd Ed, Blackwell Science, 1999 Friedman PA. Novel mapping techniques for cardiac electrophysiology. Heart 2002;87:575-82 Huszan RJ. Basic dysrhythmias. 7Ih Ed, Mosby, 2002 Lundqvist CB, Scheinman MM, Aliot EM, et al. ACCIAHAIESC guidelines for the management of patients with supraventricular arrhythmias. Circulation 2003 ;108:187 1-909 Miller JM and Zipes DP. Diagnosis of cardiac arrhythmias. In: Zipes DP, Libby P, Bonow RO, et al. Heart disease: a textbook of cardiovascular medicine.7Ih Ed, Elsevier Saunders, 2005. Murgatroyd FD, Krahn AD, Klein GJ, et al. Handbook of cardiac electrophysiology: a practical guide to invasive EP studies and catheter ablation. Remedica Publishing, 2002. Ramo BW and Wagner GS. The Physiology of normal and abnormal rhythms. In: Waugh RA, Ramo BW, Wagner GS, et al. Cardiac arrhythmias : a practical guide for clinician. 2ndEd, FA Davis Company, 1994. Rubart M and Zipes DP. Genesis of cardiac arrhythmias: electrophysiological consideration. In: Zipes DP, Libby P, Bonow RO, et al. Heart disease: a textbook of cardiovascular medicine.7Ih Ed, Elsevier Saunders, 2005. Schilling RJ. Which patient should be referred to an electrophysiologist: supraventricular tachycardia. Heart 2002;87:299-304. Singer I (Ed). Interventional electrophysiology. 2ndEd, Lippincort Williams and Wilkins, 2001 Wellen HJJ. Ventricular tachycardia: diagnosis of broad complex QRS tachycardia. Heart 2001;86:579-85 Wellen HJJ. Catheter ablation for cardiac arrhythmias. N Eng J Med 2005;12:1172-4
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PACU JANTUNG MENETAP (PERMANEN) M. Yamin
PENDAHULUAN Pacu jantung permanen (PJP) adalah suatu sirkuit di mana sebuah generator mengeluarkan arus listrik yang mengalir ke otot jantung (miokard) melalui sebuah kabel (wire) penghantar untuk merangsang jantung berdenyut, dan selanjutnya kembali ke generator (sirkuit berakhir). Jadi PJP umumnya diindikasikan pada kelainan irama jantung yang lambat (bradikardia), baik oleh karena kelainan pembentukan impuls misalnya sindrom sinus sakit (SSS) maupun kelainan hantaran impuls (misalnya blok atrioventrikel total). PJP akan mengembalikan sistem pemacuan jantung ke keadaan fisiologis sehingga dapat meningkatkan curah jantung dan memperbaiki sirkulasi otak dan organ tubuh lainnya. Hasil akhirnya adalah menghilangkan keluhan pasien yang mengalami bradikardia. seperti mudah lelah, sinkop, dan sesak napas. Teknologi PJP telah mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat sejak pemasangan PJP pertama pada manusia yang dilakukan oleh Ake Senning, seorang dokter bedah toraks dari Swedia, pada tahun 1958. Pada waktu itu indikasi pemasangan PJP masih sangat terbatas pada kasus bradikardia seperti hambatan atrioventrikel total dan proses pemasangan melalui prosedur torakotomi yang dilakukan oleh seorang ahli bedah toraks. Saat ini perkembangan PJP semakin luas dari segi indikasi dan penempatan pacing lead. Terobosan terkini dari segi indikasi adalah untuk mencegah takiaritmia seperti fibrilasi atrium (FA). Lokasi penempatan pacing lead pun mengalami perubahan dari yang klasik (apeks ventrikel kanan dan apendiks atrium kanan) menjadi septum ventrikel kanan atau, Right Ventricular Outflow Tract (RVOT) untuk lead ventrikel dan septum bagian bawah atrium kanan untuk lead atrium untuk mengurangi kejadian FA. Demikian pula dengan prosedur implant yang semakin sederhana dan dilakukan oleh seorang kardiolog dengan
anestesi lokal dan masa perawatan singkat (satu hari). Para dokter umum, peserta program pendidikan spesialis penyakit dalam atau kardiologi, spesialis penyakit dalam, atau spesialis jantung baik pada saat pendidikan maupun melaksanakan praktek tidak jarang berhadapan dengan pasien yang mernerlukan pemasangan PJP atau yang sudah terpasang PJP. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan dasar tentang PJP, terutama indikasi pemasangan dan tindak lanjut Cfollo~~-up) sederhana dan praktis. Dalam tulisan ini akan dibahas prinsip kerja PJP, terminologi yang dipakai pada PJP, indikasi pemasangan dan pemilihan jenis PJP, dan kernajuan terkini di bidang PJP.
ANATOMI DAN FlSlOLOGl SISTEM KONDUKSI JANTUNG Jantung memiliki pembangkit listrik (ger7erutor) sendiri yaitu nodus sinoatrial (NSA) yang bekerja menghasilkan impuls listrik secara otomatis (Gambar 1).Impuls listrik ini diteruskan ke sistem konduksi lain yaitu jaras interatrial dan bundle dari Bachman ke atrium kiri. Di antara atrium dan ventrikel terdapat jaringan kartilago yang dikenal sebagai cardiac skeleton (Gambar 2). Struktur ini berfungsi sebagai insulator (penyekat hantaran impuls listrik) sehingga setelah terjadi depolarisasi atrium semua impuls listrik akan masuk ke Nodus Atrioventrikuler (NAV). Di sini impuls listrik mengalami perlambatan untuk memberikan kesempatan pengisian darah dari atrium ke ventrikel secara optimal. Selanjutnya impuls akan diteruskan ke berkas His yang kemudian bercabang menjadi Berkas Cabang Kiri (BCK) dan Berkas Cabang Kanan (BCKa) dan berakhir di serabut Purkinje dan otot jantung (miokard) dan membuat bilikjantung berkontraksi. Gangguan pada salah satu komponen sistem konduksi ini dapat berupa gangguan pembentukan impuls pada NSA
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1653
PACU JANTUNC MENETAP (PERMANEN)
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dan atau ganggwan hantamn impuls yang riteara klinis btrdampak timbulnya gejala hampir pingsan (nearsyncope).atau pingsan (syncope). Keadaan klinis inilah yang menjadi indikasi utama pernasangan pacu janbmg.
I
branch \
Purkinjefibers
-
Left bundle branch
KONSEP DASAR DAN PRlNSlP KERJA PACU JANTUNG PERMANEN PJP pada dasarnya terdiri dari dua komponen utama yaitu pulse generator (Gambar 3) danpucingIead(Gambar 4). Pulse generator terbuat dari lithium iodine battery yang merupakan sumber energi utama untuk menghantarkan impuls ke miokard. Fungsi tambahannya adalah sebagai pusat pengaturan fungsi PJP. Rata-rata generator mempunyai lama kerja sekitar 4-1 0 thn (tergantung apakah pasien sepenuhnya tergantung pada PJP atau tidak). Generator dihubungkan dengan endokardium jantung melalui pacing lead. Pacing leud merupakan suatu insulated-wire yang berfungsi menghantarkan impuls dari pulse generutor ke otot jantung dan melakukan deteksi (sensing) sinyal depolarisasi (kontraksi) jantung. Secara umum pacing lead dibagi dua yaitu pacing leud yang dimasukkan secara intravena ke dalam endokardium (transvenous lead) dan yang dipasang di atas epikardium (epicardiul lead). Yang paling sering dipakai adalah jenis yang pertanla. Transvenous lead terdiri dari dua jenis yaitu untuk fiksasi pasif (tine lead) atau untuk fiksasi aktif (screw-in lead) seperti terlihat dalam Gambar 4.
I
Gambar 1. Sistem konduksijantung. Pembentukan impuls dimulai secara otornatis dl Nodus Sinoatrial (Sinoafrial Node) dan dihantarkan ke seluruh atrlum untuk mendepolarlsasi atrlum. Selanjutnya lmpuls diteruskan ke Nodus Atrioventrikel (Atrioventricular Node), berkas darl Ha,Berkas Cabang Kanan dan Kiri, serabut Purkinje, dan berakhlr di otot jantung.(D~kutipdarl AHA ECG tutorial)
b erl~hatkancontoh uenerator dari berbagai merek d i n model. ( ~ i k u tdari l ~ www.medGonic~onnect com dan www.guidant.com)
F~brousskeleton
Gambar 4. Gambar dl sebelah klrl adalah jenls lead fiksasl pas~f (bne lead) dengan tonjolan sepertl durl pada ujungnya untuk rnemudahkan perlekatandengan trabekel endokardlum Sedangkan gambar sebelah kanan adalah lead flksasl aktlf (screw-in) dengan screw pada ujungnya (Dlkutlp darl St Jude Medlcal Teachlng Material) Gambar 2. Cardlac skeleton Jarlngan kartllago yang menyokong struktur katup jantung dan berfungsl sebagal penyekat lmpuls llstrlk darl Nodus Slnoatrlal agar tdk menyebar ke jartngan lam tap1 terkumpul dl Nodus Atrloventrlkuiar (Dlkut~pdarl Fogoros RN Electrophys~olog~c testlng 2"O Ed. Blackwell Sclence, 1999)
Lerrd untuk fiksasi aktif lebih stabil dan jarang lepas (dislokasi) pada fase akut pasca implant karena ujung lead di tanam melalui screw ke dalam septum atau endokardiurn dan mudah ditanam di mana saja di dalam ruang jantung.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Sedangkan tine lead melekat pada trabekel endokardium sehingga relatif lebih mudah mengalami perubahan posisi pada fase akut pasca irnpIantt apalagi bila terdapat kelairtan regurgitasi katub trihspid. Di samping itu pacing lead juga ada yang dilapisi obat steroid dan ada yang tidak. Jadi arus listrik yang dikeluarkan oleh generator akan dihantarkan ke otot jantung melalui pacing lead dan kembali ke generator dan demikian seterusnya.Pada u-jung pacing lead terdapat elektroda bermuatan negatif (katoda) yang kontak langsung miokard. Sedangkan elektroda yang menerima impuls listrik setelah terjadi depolarisasi disebut anoda. Pada sistem kutub tunggal (unipolar) maka katodanya terletak di ujung pacing lead dan anodanya di generator. Sedangkan pada sistem kutub ganda (bipolar) katoda terletak di ujung pacing lead yang kontak langsung dengan miokard dan anoda terletak pada bagian proksimal pacing lead (terdapat dua elekroda). Jadi saat terjadi pemaeuan maka impuls lisfrik akan keluar dari generator dialirkan melalui lead dan katoda dan kembali ke anoda. Untuk PJP kamar tunggal (single chamber) maka hanya dipakai satu lead yang biasanya ditempatkan pada apeks ventrikel kanan (Gambar 5). Pada PJP kamarganda (double chamber) lead ditempatkan di atrium kanan dan ventrikel kanan.
Garnbar 5. Pada pacu jantung kamartunggal maka lead umumnya d~letakkanpada ventr~kelkanan Pada ind~kas~ tertentu lead dapat pula dlletakkan pada atr~umkanan. (D~kut~p dar~www gu~dantcorn1 cond~t~onlarrhythm~a/ Image)
Prinsip kerja PJP terkait erat dengan konsep dan hukum elektrodinamik terutama hukum ohm. Hukum ohm menyatakan bahwa tegangan listrik (V) adalah berbanding lurus dengan perkalian kuat arus (I] dan resistensi (R). Semakin besar resistensi dalilm sirkuit PJP maka semakin besar tegangan yang diperlukan untuk mengalirkan arus listrik dalam sirkuit tersebut. Penerapan hukum ini pada sistem PJP amat penting untuk menilai keutuhan sistern PJP baik pada saat pemasangan (implant) maupun pada
saat tindak lanjut. Pada tahanan (impedance)yang tinggi maka arus yang dikeluarkan akan berkurang sehingga kelangsungan generator akan lebih panjang. Beberapa konsep dasar yang perlu dipahami adalah ambang rangsang (stimulation ~hre~shold) dan sensing. Ambang rangsang (threshold)adalah energi minimal yang diperlukan untuk membuat kontraksi otot jantung (depolarisasi). Agar ambang rangsang dapat membuat kontraksi ototjantung (capture)maka diperlukan besarnya arus yang diberikan oleh pacu jantung ke miokard (an?plitu& dan lamanya stimulus diberikan bzrlse width). Amplitude (yang dinyatakan dalam volt) yang diberikan hams memiliki nilai yang cukup untuk depolarisasi miokard. Demikian pula denganpulse width (yang dinyatakan dalam milisekon) hams mempunyai durasi yang cukup agar dapat membuat otot jantung kontraksi. Kombinasi kedua komponen inilah yang menentukan apakah stimulasi dari pacu jantung dapat mendepolarisas miokard (capture). Pada Gambar 6 (diambil dari hasil uji rhreshold salah satu pasien penulis saat tindak lanjut di Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit DalamiPJT RSUPN Cipto Mangunkusumo) diperlihatkan contoh gambaran EKG pada saat capture dan lost cupture.
Gambar 6. Garnbarar~EKG yany o ~ a m bdar~ ~ l programer paoa saat tindak lanjut pasien dengan PJP.Dengan ampl~tude2,4 volt terlihat stimulus pacu jantung dapat membuat depolar~sas~ ventr~kel kanan (capture) yang terlihat pada EKG sebaga~kompleks QRS dengan morfologi Blok Berkas Cabang KI~I(Left Bundle Branch Block Morphology). Arnpl~tudeterus diturunkan secara bertahap dan pada angka 0.6 volt st~mulusini t~dakdapat mendepolarisas~ ventrikel (lost capture).Berart~threshold (energ1 m~n~rnal yang diperlukan untuk mendepolarisasi ventrikel) pada pasien in1adalah 0.9 volt
Komponen lain yang penting adalah sensing yaitu kemampuan pacu jantung untuk mengenali adanya irama intrinsik jantung (intrinsic rhythm) sehingga bila irama tersebut rnuncul maka pacu jantung tidak akan memberikan stimulus (inhibited).Sensing yang akurat memungkinkan pacu jantung untuk mengetahui a ~ a k a hjantung dapat n~embentukiramanyasendiri. Jadi pacu jantung hanya &an bekerja bila jantung tidak dapat membentuk atau menghantarkan impuls. Pada Gambar 7 berikut ini disajikan contoh penilaian sensing oleh pacu jantung (diambil dari salah satu pasien penulis):
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1655
PACU JANTUNG MENETAP (PERMANEN)
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gambar 9. Kompleks QRS yang ke-7 tidak dapat dikenali (undersensing) oleh pacu jantung sehingga stimulus tetap diberikan (tanda garis lurus, spike, setelah QRS kompleks). Seharusnya pada saat tersebut pacu jantung tidak memberikan stimulus (Dikutip dari St Jude Medical Teaching Material) Gambar 7. Sensing yang dilakukan oleh pacu jantung mendapat nilai gelombang R (irama intrinsik pada ventrikel) adalah 8,4 milivolt (mV). Nilai ini cukup baik untuk ventrikel (minimal 5 mV).
Dalam kaitan ini dikenal istilah undersensing dan oversensing. Yang pertama berarti jantung tidak dapat mengenali irama intrinsik pasien baik di atrium maupun di ventrikel sehingga tetap memberikan pacuan (stimulus) walaupun jantung tidak memerlukannya. Sedangkan yang kedua berarti jantung terlalu berlebihan dalam mengenali aktivitas di luar jantung (aktivitas otot di daerah dada) sebagai irama intrinsik jantung atau mengenali gelombang T sebagai kompleks QRS sehingga pacu jantung tidak memberikan stimulus yang diperlukan (dihambat). Faktorfaktor yang mempengaruhi sensing adalah polaritas lead (unipolar atau bipolar), integritas lead (retak pada insulasi atau patah pada wire), dan interferens elektromagnetik. Pada Gambar 8 ditampilkan contoh keadaan oversensing dan Gambar 9 untuk undersensing. Untuk mendapat kedua komponen (threshold dan sensing) yang ideal maka pacing lead harm diposisikan di lokasi yang tepat pada atrium dan atau ventrikel.
TERMlNOLOGl DALAM PJP Untuk memudahkan dalam komunikasi dan penamaan PJP maka oleh North American Society of Pacing a n d Electrophysiology (NASPE) dan British Pacing a n d Electrophysiology Group (BPEG) dibuatlah pedoman istilah yang dipakai pada PJP sebagai berikut: Posisi I menggambarkan ruangan dipacu untuk mengatasi bradikardia. Posisi I1 menggambarkan ruang tempat deteksi irama spontan (intrinsik) untuk tujuan mencetuskan atau menghambat pacuan. Sedangkan posisi 111menggambarkan reaksi terhadap posisi 11. Posisi IV agak unik karena menggarnbarkan apakah PJP tertentu memiliki kemampuan untuk menyesuaikan laju pacuan (rate adaptive) sesuai dengan kebutuhan aktivitas pasien. Ini penting pada pasien dengan chronotropic incompetence. Sedangkan posisi V menggambarkan apakah ada pemacuan lebih dari satu tempat pada ruang yang sama (biatrial utazr biventriclepacing). Umumnya empat posisi pertama yang kerap dipakai dalam praktek sehari hari. Berikut ini disajikan berbagai contoh istilah tersebut: VOO Ruang yang dipacu adalah ventrikel (V) tanpa ada ruang yang dideteksi (0)dan tentu tidak ada respons terhadap deteksilsensing (0).Jenis ini dikenal sebagai pemacuan ventrikel tidak sinkron VVI Ruang yang dipacu adalah ventrikel (V) dan ruang tempat deteksi adalah ventrikel juga (V) dan respons bila terdapat sensinglirama intrinsik adalah inhibisi (I)/ penghambatan.
Gambar 8. Keadaan oversensing pada gambar A terjadi setelah kompleks QRS ketiga akibat adanya aktivitas otot dada (miopotensial). Aktivitas otot ini ditangkap oleh pacu jantung sebagai irama intrinsik ventrikel sehingga pacu jantung tidak memberikan stimulus pada saatnya yaitu di antara kompleks QRS ketiga dan keempat. Pada gambar B pacu jantung salah mengenali gelombang T sebagai kompleks QRS sehingga tidak memerikan stimulus pada saat seharusnya (tanda panah) (Gambar A dikutip dari buku The Medtronic ECG Workbook dan gambar B dikutip dari St Jude Medical Teaching Material).
VVlR Sama seperti di atas tetapi pada jenis ini terdapat kemampuan adaptasi laju pacuan (R=rute udaptive) sesuai dengan kebutuhan aktivitas pasien. Biasanya dipasang pada pasien FA dengan blok AV total DDD Pemacuan dan deteksi kamar ganda (D) dengan respons inhibisi bila terdapat sensing irama intrinsik baik pada atrium dan ventrikel pada nilai AV tertentu dan akan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Posisi
Kategori
I Ruang yang dipacu
II Ruang yang mendeteksi (sensing)
111 Respons terhadap sensing
IV Pengaturan Laju Pacuan (rate modulation)
0 = Tidak ada A = atrium V = ventrikel D = atrium dan ventrikel
0 = tidak ada A = atrium V = ventrikel D = atrium dan vetrikel
0 = tidak ada
0 = tidak ada R = rate modulation
memberikan pemicuan (trigger)pada ventrikel bila terdapat sensingldeteksi pada atrium pada interval VA tertentu DDDR Sama seperti di atas ditambah kemampuan adaptasi laju pemacuan. Inilah jenis PJP yang paling fisiologis dan ideal.
HEMODlNAMlK PADA PACU JANTUNG Tujuan yang paling ideal dalam pemasangan PJP adalah tercapainya pemacuan yang fisiologis (physiologicalpacing) untuk mendapatkan efek hemodinamik yang optimal. Konsep pemacuan fisiologis ini telah berkembang seiring dengan bertambahnya pemahaman tentang hemodinamik yang berkaitan dengan pacu jantung dan kecanggihan sistem pacu jantung itu sendiri. Adanya keselarasan antara pemacuan atrium dan ventrikel (AV synchrony) adalah amat penting untuk memberikan efek hemodinamik yang positif. Seperti diketahui bahwa atrium menyumbang sekitar 30% terhadap curah jantung (atrial kick). Pada pemacuan kamar tunggal (single chamberpacing) maka ha1 ini tidak dapat dicapai. Pemacuan kamar tunggal juga dapat memberikan efek samping berupa peningkatan angka rawat-inap karena gagal jantung dan peningkatan kejadian fibrilasi atrium. Sebaliknya pada pemacuan kamar ganda (dual chamber pacing) tujuan ini dapat dicapai secara maksimal. Tekanan darah sistemik dan curah jantung adalah dua parameter yang menjadi perhatian utama pada pemacuan fisiologis. Pada uji klinis The Mode Selection Trial in Sinus-Node Dysfunction didapatkan pemacuan kamar ganda menyebabkan adanya penurunan risiko fibrilasi atrial, pengurangan gejala gagal jantung, dan sedikit perbaikan angka kesintasan (survival).
INDlKASl PEMASANGAN PACU JANTUNG PERMANEN Secara umum indikasi pemasangan PJP adalah keadaan laju jantung lambat yang bergejala (symptomatic
I = inhibisi T = trigerred D = inhibisi dan trigened
v Pemacuan Banyak Tempat (multisite pacing) O=tdk ada A=atrium V=ventrikel D=atrium dan ventrikel
bradycardia). Secara terinci indikasi pemasangan PJP menurut pedoman bersama dari American College Cardiology, American Heart Association, dan Nortl~ American Society of Pacing and Electrophysiology, terutama untuk indikasi kelas I, adalah sebagai berikut:
Blok Atrioventrikel Didapat ( A c q u i r e d Atrioventricular Block) Blok AV derajat 3 atau blok AV derajat dua yang lanjut pada lokasi anatomi manapun yang disertai: - Bradikardi yang bergejala (termasuk gagal jantung) yang berkaitan dengan blok AV - Aritmia dan keadaan lain yang memerlukan obat yang menyebabkan bradikardi bergejala - Adanya asystole yang terdokumentasi dengan durasi 3 detik atau lebih atau laju irama escape yang kurang dari 40 kali per menit pada pasien sadar meskipun tanpa gejala (symptom-free) - Setelah prosedur ablasi pada Atrioventricular junction - Blok AV pasca operasi yang tidak dapat pulih kembali - Penyakit neuromuskular dengan blok AV seperti distrofi muskular miotonik Blok AV derajat dua pada tingkatan manapun yang diserta bradikardi bergejala. Pemacuan pada Blok Bifasikular dan Trifasikular Kronis Blok AV derajat tiga yang hilang timbul (intermittent) Blok AV derajat dua tipe I1 Blok berkas cabang yang bergantian (alternating bundle branch block) Pemacuan pada Blok AV pada lnfark Miokard Akut (IMA) Blok AV derajat dua menetap dengan blok berkas cabang bilateral atau blok AV derajat tiga pada IMA Blok AV (derajat dua atau tiga) sesaat yang disertai blok berkas cabang. Jika lokasi blok tidak jelas maka diperlukan pemeriksaan elektrofisiologi. Blok AV derajat dua atau tiga yang menetap dan simtomatik
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PACU JANTUNG MENETAP (PERMANEN)
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pemacuan pada Disfungsi Nodus Sinus (sinus node dysfunction) Disfungsi nodus sinus dengan bradikardi yang terdokumentasi, termasuk sinus pauses yang sering. Pada kebanyakan pasien ha1 ini disebabkan oleh obatobatan yang penting dengan indikasi kuat dan tidak ada pilihan pengganti obat tersebut Inkompetensi kronotropik (laju nadi yang tidak dapat naik saat kebutuhan meningkat mislanya latihan) yang simtomatik P e n c e g a h a n dan Terminasi Takiaritmia dengan Pemacuan (indikasi kelas Ila) Takikardia supraventrikel yang berulang dan bergejala serta terbukti dapat diterminasi dengan pemacuan dan ablasi atau obat akan memberikan efek samping yang tidak dapat ditoleransi. Fluter atrium dan takikardia supraventrikel yang terbukti dapat diterminasi dengan pemacuan dan obat atau ablasi tidak efektif Pemacuan pada Sinkop Neurogenik dan Sindrom Sinus Karotis Hipersensitif Sinkop berulang akibat stimulasi pada sinus karotis, atau penekanan minimal pada nodus sinus karotis yang menimbulkan asistol ventrikel selama 3 detik atau lebih tanpa adanya obat-obat yang menekan fungsi nodus sinus karotis Pemacuan pada Anak dan Orang Dewasa dengan Penyakit Jantung Bawaan Blok AV derajat dua atau tiga yang berkaitan bradikardi asimptomatik, disfungsi ventrikel, dan penurunan curah jantung Disfungsi nodus sinus yang bergejala dan berkaitan dengan bradikardi yang tidak sesuai dengan usia Blok AV derajat dua atau tiga pasca operasi yang tidak pulih setelah tujuh hari Blok AV bawaan dengan irama pengganti tipe kompleks QRS lebar, irama ektopik ventrikel, dan disfungsi ventrikel kiri Blok AV total pada bayi dengan irama ventrikel kurang dari 50-55 kali per menit atau disertai penyakitjantung bawaan dengan irama ventrikel kurang dari 7 0 kali per menit Takikardia ventrikel yang bergantung pada pause (pause-dependent VT) dengan atau tanpa pemanjangan interval QT dan manfaat pacing terbukti efektif. Pemacuan pada Keadaan Khusus (spesifik) Pemacuan pada kardiomiopati obstruktif hipertrofi, indikasi kelas I pada kelainan ini adalah adanya disfungsi nodus sinus dan blok AV seperti pada keadaan
lain yang telah dijelaskan di atas. Sedangkan indikasi kelas I1 adalah keadaan kardiomiopati obstruktif hipertrofi yang simptomatik dan gaga1 dengan terapi obat dengan adanya bukti obstruksi alur keluar ventrikel kiri baik saat istirahat maupun dengan provokasi Pemacuan pada Kardiomiopati Dilatasi, indikasi kelas I adalah pada keadaan yang disertai disfungsi nodus sinus. Sedangkan indikasi kelas I1 adalah pemasangan pacu jantung ventrikel ganda (biventricular pacing) pada pasien kardiomiopati iskemia atau dilatasi yang bergejala, fungsional klas New York Heart Association (NYHA) 111atau IV, tidak membaik dengan obat, durasi kompleks QRS memanjang (130 milidetik atau lebih), diameter diastolik akhir ventrikel kiri sama atau lebih dari 55 mm, dan fraksi ejeksi kurang atau sama dengan 35% Pemacuan pasca Transplantasi Jantung, adanya disfungsi nodus sinus dan inkompentensi kronotropik yang tidak dapat pulih setelah transplantasi jantung.
TEKNIK DAN PROSES PEMASANGAN PACU JANTUNG Pemasangan PJP saat ini tidaklah sesulit pada masa dulu dan dapat dilakukan dengan anestesi lokal serta oleh seorang kardiolog saja. Persiapan pasien adalah puasa sekitar 6 jam sebelum prosedur. Antibiotika intravena diberikan sebelum dan 24 jam sesudah prosedur dilaksanakan. Selama tindakan pasien hanya diberikan sedasi ringan tanpa anestesi umum. Akses yang umumnya dipakai adalah dengan cephalic vein cut-down atau punksi vena subklavia. Pada teknik pertama dilakukan insisi di atas sulkus deltopektoralis, dan dengan pemisahan jaringan secara tumpul, dicari vena sefalika yang umumnya berjalan sejajar dengan sulkus deltopektoralis. Pada saat yang sama dibuat kantung (pocket) untuk generator. Bila vena ditemukan, dilakukan cut-down untuk memasukkan lead atau wire ke dalam atrium dan atau vetrikel kanan. Teknik lain adalah dengan langsung melakukan punksi pada vena subklavia untuk mendapatkan akses ke ventrikel dan atau atrium kanan. Setelah akses didapat dimasukkan wire dan disusul dengan peel-away sheath Cjenis sheath yang dapat disobek). Setelah lead dimasukkan, peel-away sheath dikeluarkan dengan cara merobeknya. Penempatan lead untuk ventrikel umumnya adalah di apeks ventrikel kanan. Namun berdasarkan studi terkini tempat alternatif seperti RVOT, adalah lebih baik karena aktivasi antara ventrikel kanan dan kiri lebih sinkron. Telah pula dibuktikan bahwa pemacuan pada apeks ventrikel kanan berdampak buruk secara jangka panjang berupa remodeling dan dilatasi ventrikel kiri serta penurunan kapasitas fungsional. Pada pacu jantung kamar tunggal, setelah lead berada di posisi yang dimaksud, dilakukan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pengujian parameter berupa threshold, sensing, dan impedance. Untuk penempatan lead atrium yang konvensional adalah pada right atrial appendage. Namun saat ini untuk mencapai sinkronisasi antara atrium kanan dan kiri dan mengurangi dispersi elektris antara kedua atrium, posisi lead diletakkan pada right atrial high septum dan right atrial low septum (pada ostium sinus koronarius). Gambar 10 merupakan salah satu contoh pasien penulis yang dipasang PJP kamar ganda (dzral chamber pacemaker). Selanjutnya lead difiksasi secara baik dan dihubungkan ke generator. Kulit ditutup lapis demi lapis secara jahitan berkesinarnbungan. Antibiotika diberikan sehari sebelum dan sampai sehari pasca pemasangan. Segera setelah selesai dilakukan pemograman dan pengecekan akhir dengan memakai alat yang disebutprogrammer. Pemeriksaan rutin dengan programmer ini diul;ngkembali tiga bulan kemudian untuk mengubah acute threshold menjadi chronic threshold dan secara berkala setiap 6 bulan. Parameter baku untuk atrium dan ventrikel dapat dilihat pada Tabel 2. Komplikasi yang mungkin timbul saat dan setelah pemasangan PJP adalah pneumotoraks, hemotoraks, emboli udara, hematoma, trombosis intravaskular, erosi dan infeksi.
PEMlLlHANJENlS PJP Yang menjadi pegangan utama dalam pemilihan PJP adalah jenis kelainan dalam sistem konduksi jantung dan aspek sosial ekonomi pasien. Pada kelainan berupa blok AV maka
Gambar 10. PJP kamar ganda dengan penempatan lead atrium pada appendiks atrium kanan dan lead ventrikel di apeks ventrikel kanan. Jenis yang dipakai adalah fiksasi aktif (screw-in lead) yang pada ujungterlihat adanya screw (gamber diambil dar'i Laboratorium Kateterisasi Divisi Kardiologi Dept llmu Penyakit Dalam FKUIIPelayanan Jantung Terpadu RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta)
pemilihan PJP bergantung pada beberapa ha1 seperti yang terlihat pada Gambar 11. Pada prinsipnya pada blok AV yang disertai oleh aritmia atrial yang kronik maka dipilih pacu jantung kamar tunggal di ventrikel. Sebaliknya bila tidak disertai aritrnia atrial kronik dan diperlukan adanya keselarasan antara atrium dan ventrikel ~~~~~~~~~~~~v) maka dipilih jenis pacu jantung kamar ganda. Faktor penentu lainnya adalah kompetensi kronotropik (chronotropic competence). Pada kelainan atau penyakit nodus sinus (sinus node dysfunction) maka faktor penentu pemilihan jenis pacu jantung adalah ada tidaknya kelainan konduksi nodus AV.
AV Block
G I Chronic atrial tachyarrhythmia reversion to sinus rhythm not anticipated Desire for
dual chamber
Gambar 11. Pemilihan jenis pacu jantung pada kelainan blok atrioventrikuler (Dikutip dari Gregoratos G, Abraham J, Epstein AE et al. ACCl AHAINASPE guideline update for implanttation of cardiac pacemakers and antiarrhythmia devices.Circulation 2002;106:2145-61.)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1659
PACU JANTUNG MENETAP (PERMANEN)
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Evidence for impa~redAV conduction or concern over future development of AV block
1
NO
I
Yes
Desire for rate response
Atrial
Desire for AV syncrony
Desire for
Desire for
Gambar 12. Pemilihan pacu jantung pada kelainan nodus sinus. (Dikutip dari Gregoratos G, Abraham J, Epstein AE et al. ACCIAHNNASPE guideline update for implanttation of cardiac pacemakers and antiarrhythmia devices.Circulation 2002;106:2145-61.)
TINDAK LANJUT (FOLLOW-UP) PASIEN DENGAN PACU JANTUNG PERMANEN Tuiuan < pokok . tindak laniut pada -pasien dengan - PJP adalah menilai sistem dan kinerja PJP secara menyeluruh untuk menjamin adanya fungsi pemacuan yang optimal dan sesuai dan mendeteksi serta mencegah masalah yang berkaitan dengan PJP. Yang lebih penting lagi adalah merangkum semua informasi yang diperoleh dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisis, data kejadian yang tersimpan di dalam pacu jantung, dan hasil penilaian yang kesemuanya diramu dalam satu "resep pacu jantung". Pada prinsipnya tindak lanjut dimulai segera setelah implant dan sampai sepanjang hayat pasien. Pada fase akut pasca pemasangan PJP, tindak lanjut awal dilakukan satu minggu setelah prosedur untuk menilai keadaan luka. Hal penting lain yang hams diinformasikan ke pasien adalah agar tidak mengangkat sisi tangan yang dipasang pacu jantung melebihi bahu dan tidak mengangkat beban berat >5 kg pada selama 1 bulan. Pasien tidak perlu kuatir akan pengaruh alat-alat elektronik di rumah. Yang perlu dihindari adalah alat generator besar di pabrik yang dapat menghasilkan gelombang elektro magnetik yang besar. Kemudian dilakukan tiga bulan berikutnya dengan tujuan utama untuk mengubah acute threshold (nilai amplitude yang diprogram pada saat pemasangan dan biasanya lebih tinggi untuk menjamin adanya capture karena masih adanya edema antara ujung lead dan endokardium) ke chronic threshold (nilai amplitude yang diprogram lebih rendah dari acute "
I.
Parameter implant akut (segera setelah implant sampai dengan 3 bulan): A. Threshold 1. Voltage: < 1 V, tapi lebih disukai -=0,5V 2. Current 5 mV 2. Gelombang P: s 2 mV
II. Parameter pada saat kronis A. Threshold 1. Voltage: <3 mV 2. Current< 6 mA 3. lmpedance sekitar 500 ohm 6. Sensing 1. Gelombang R: > mV . 2. Gelombang P:> 1,5 mV, sebaiknya 2,O-3,O mV
Bila kelainan nodus sinus disertai dengan blok AV maka diperlukan pacu jantung di ventrikel dan bila diperlukan keselarasan antara atrium dan venrikel maka dipilih pacu jantung kamar ganda. Berdasarkan uji klinik MOSD (Mode Selection in Sinus-node Dysfucntion) didapatkan bahwa pada pasien dengan disfungsi nodus sinus yang dipasang PJP kamar ganda dibandingkan kamar tungal, kelompok yang mendapatkan PJP kamar ganda mempunyai risiko kejadian fibrilasi atrial yang lebih rendah, gejala gaga1 jantung berkurang, dan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik. Pemilihan secara rinci dapat dilihat pada Gambar 12.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
a
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI threshold dan minimal dua kali threshold). Tindak lanjut rutin selanjutnya adalah tiap 6 bulan. Penilaian dan pemeriksaan rutin yang dikerjakan saat tindak lanjut adalah menilai sensing dan capture, memantau integritas sistem, memantau keadaan baterai generator, dan memodifikasi pemrograman sesuai kebutuhan pasien. Untuk itu setiap pasien datang dilakukan pengambilan riwayat penyakit, pemeriksaan EKG 12 sadapan, dan pemeriksaan dengan programmer untuk menilai parameter yang telah disebutkan di atas. Dalam memodifikasi semua parameter tersebut maka keselamatan pasien menjadi prioritas utama.
KEMAJUAN TERKlNl DALAM BIDANG PACU JANTUNG Beberapa tahun belakangan ini bidang pacu jantung mengalami kemajuan yang pesat dalam ha1 indikasi. PJP tidak hanya digunakan untuk indikasi yang konvensional seperti bradikardi tapi dikembangkan pula untuk pemakaian pada pasien gagal jantung ( c a d i a c resvnchroriizution therapy) dan untuk pencegahan FA. Cardiac Resvnchronization Therapy (CRT) adalah istilah yang dipakai untuk menyelaraskan (sinkronisasi) kontraksi antara dinding ventrikel kiri dengan septum interventrikel dalam usaha memperbaiki efisiensi ventrikel kiri dan selanjutnya berdampak kepada perbaikan klas fungsional. CRT memiliki 3 buah pacing lead yang masing-masing diletakkan di atrium kanan, ventrikel kanan, dan sinus koronarius untuk pemacuan pada dinding ventrikel kiri (Gambar 11). Dengan demikian pemacuan akan menyelaraskan kontraksi antara venrikel kiri dan kanan dan ini memberikan perbaikan hemodinamik berupa penurunan tekanan baji arteri pulmonal dan peningkatan curah jantung. Braun MU dan kawan-kawan mendapatkan adanya penurunan aktivasi neurohormonal, perbaikan klas fungsional, dan kapasitas latihan paru jantung pada pasien gagal jantung klas fungsional 111-IV, fraksi ejeksi <35%, blok berkas cabang kiri dengan lebar kompleks QRS >I 50 ms yang mendapat CRT selama < 24 bulan. Bahkan Cleland dan kawan-kawan dalam Cardiac Resynchronization and Heart Failure (CARE-HF) Stzidy mendapatkan adanya perbaikan gejala dan kualitas hidup pada pasien gagal jantung yang diberikan CRT. Saat ini CRT kerap dil
Gambar 11. Pada CRT terdapat tiga buah lead yang dipasang di atrium kanan (kiri atas) ventrikel kanan (paling bawah), dan sinus koronarius (kanan atas). Gambar dikutip dari Cardiac Resynchronization Therapy for heart failure management, Medtronic Inc 2002)
lndikasi pemakaian CRT menurut pedoman ACCIAHAI NASPE (indikasi kelas Ila) untuk pemasangan CRT adalah: pasien gagal jantung kelas funsional 111-IV simptornatik tidak membaik dengan obat yang optimal penyebab gagal jantung oleh karena kardiomiopati iskemia atau idiopatik *. durasi kompleks QRS > 130 ms fiaksi ejeksi < 35% dimensi akhir diastolik ventrikel kiri > 55 mm Pacu jantung telah dicoba untuk mencegah takiaritmia atrial termasuk FA. Alasannya berdasarkan pengamatan bahwa denyut atrial prematur atau takikardi atrial muncul pada saat sinus bradikardi, sinus pause, atau saat laju atrial menurun. Selanjutnya denyut atrial premature ini mencetuskan FA (focally-initiated AF). Oleh karena itu, dengan pacu jantung, sinus bradikardi dan pause dapat dicegah sehingga denyut atrial prematur sebagai pemicu dapat ditekan. Hasil uji klinis Atr-ial Dynamic Overdrive Pacing Trial (ADOPT) pemacuan pada atrium dapat mengurangi beban FA (AF burden). Jadi untuk pasien FA paroksismal dengan kecendrungan bradikardi dan FA yang dicetuskan oleh denyut atrial prematur maka PJP dengan kemampuan penekanan FA (AF suppression ability) ada tempatnya dalam pilihan terapi.
REFERENSI Berstein AD. Dauber1 JC, Fletcher ED. et al. The revised NASPEI BPEG generic code for antibradycardia. adapti~e-rate,and ~nultisitepacing. PACE 2002:25:260-4.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1661
PACU JANTUNG MENETAP (PERMANEN)
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Braun MU. Rauwolf T. Zerm T, et al. Long term biventricular resynchronization therapy in advanced heart failure: effect on neurohormones. Heart 2005;91:60 1-5. Cleland JG. Daubert JC, Erdman E, et al. The effect of cardiac resynchronization on morbidity and mortality in heart failure. N Eng J Med 2005;352:62. Cooper JM, Katcher MS. Orlov MV. lmplanttable devices for treatment of atrial fibrillation. N Eng J Med; 2002;346:2062-8. Ellenbogen KA. Cardiac pacing. Blackwell Scientific Publications, 1992 Gregoratos (3, Abraham J, Epstein AE et al. ACCIAHANASPE guideline update for implanttation of cardiac pacemakers and antiarrhythmia devices.Circulation 2002; 106:2 145-6 1. Hayes Dl, Zipes DP. Cardiac pacemakers and cardioverterdefibrilators. In: Zipes DP, Libby P, Bonow RO, et al. Heart Disease: a textbook of cardiovascular medicine. 7th Ed. Elsevier Saunders, 2005. Jeffrey, K, Parsonnet, V. Cardiac pacing, 1960-1985, a quarter century of medical and industrial innovation. Circulation 1998;97:1978-91. Knight BP, Gesrh BJ, Carlson MD. et al. Role of permanent pacing to prevent atrial fibrillation. Circulation 2005;111:240-5 Lamas GA, Lee KL, Sweeney MO, Silverman R. Ventricular pacing or dual chamber pacing for sinus node dysfunction. N Eng J Med 2002:346: 1854-2.
Lekine PA. Guidelines to the routine evaluation. programming and follou-up of the patient with an implantted dual-chamber ratemodulated pacing system. St Jude Medical Inc. 2004 Linde C, Leclercq C, Rex S, et al. Long-term benefits of biventricular pacing in congestive heart failure. Results from the MUSTIC (multisite stimulation in cardiomyopathy) stud). J Am Coll Cardiol 2002;40: 1 1 1-1 8. Moses HW. Miller BD, Moulton KP, et al. Practical guide to cardiac pacing. 5'h Ed. Lippincott Williams, 2000. Reynods DW. Hernodynamics of cardiac pacing. In: Ellenbogen KA, Wood MA. Cardiac pacing and ICDs. 3rd Ed. Blackwell Science, 2002. Schoenfeld MH. Follow-up assessments of pacemaker patient. In: Ellenbogen KA, Wood MA. Cardiac pacing and ICDs. 3rd Ed. Blackwell Science, 2002. Sweeney MO. Hellkamp AS, Ellenbogen KA. Adverse effect of ventricular pacing on heart failure and atrial fibrillation among patients with normal QRS duration in a clinical trial of pacemaker therapy for sinus node dysfunction. Circulation 2003; 107:2932-7. Thambo JB, Bordachar P. Garrigue S. et al.Detrimenta1 ventricle remodeling in congenital complete heart block and chronic right ventricle apical pacing. Circulation 2004;l 10:3766-37. Turner MS. Bleasdale RA, Mumford CE. et al.Left ventricular pacing improves haemodynamics variables in patients with heart failure with a normal QRS duration. Heart 2004;90:502-5.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
DEMAM REUMATIK DAN PENYAKIT JANTUNG REUMATIK Saharman Leman
PENDAHULUAN Latar Belakang Berdasarkan pola etiologi penyakit jantung yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP dr.M.Djami1Padang tahun 1973- 1977 didapatkan 3 1,4% pasien Demam Reumatikl Penyakit Jantung Reumatik (DR/PJR ) pada usia 10-40 tahun, dengan mortalitas 12,4% (Hanif, Saharman Leman, 1978). Diagnosis kerja terhadap seorang pasien DRIPJR menentukan sekali, apakah benar-benar kita akan membantu pasien meningkatkan kualitas hidup yang baik atau sebaliknya, yang membebani pasien yang berat, baik mental, fisik ataupun sosioekonomi untuk seumur hidup bagi pasien ataupun keluarganya. Batasan DR merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non supuratif yang digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan ikat (Stollerman, 1972). Proses reumatik ini merupakan reaksi peradangan yang dapat mengenai banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan sistem saraf pusat. Manifestasi klinis penyakit DR ini akibat kuman Streptokokus Grup-A (SGA) beta hemolitik pada tonsilofaringitis dengan masa laten 1-3 minggu (Morehead, 1965). Sedangkan yang dimaksud dengan PJR adalah kelainan jantung yang terjadi akibat DR, atau kelainan karditis reumatik (Taranta A dan Markowitz, 1981). DR akut adalah sinonim dari DR dengan penekanan saat akut, sedangkan yang dimaksud dengan DR inaktif adalah pasien-pasien dengan DR tanpa ditemui tandatanda radang, sinonim dengan riwayat DR (Taranta A dan
Spagnuolo, 1962).DR dapat sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan, tetapi manifestasi akut dapat timbul kembali berulang-ulang, yang disebut dengan kekambuhan (recurrent). Dan biasanya setelah peradangan kuman SGA, sehingga dapat menyebabkan DR tersebut berlangsung terus-menerus melebihi 6 bulan. DR yang demikian disebut DR menahun (TarantaA, 1981 ). Meskipun sendi-sendi merupakan organ yang paling tersering dikenai, tetapi jantung merupakan organ dengan kerusakan yang terberat. Sedangkan keterlibatan organorgan lain bersifat jinak dan sementara.("Rheumatic fever lips the joints, but bites the hearts"). Kuman SGA adalah kuman yang terbanyak menimbulkan tonsilofaringitis, di mana juga yang menyebabkan demam reumatik. Hampir semua Streptokokus grup A (SGA) adalah beta hemolitik,.(Bisno, 1977 & Bravo 1979). Dikatakan bahwa DR dapat ditemukan diseluruh dunia, dan mengenai semua umur, tetapi 90% dari serangan pertama terdapat pada umur 5-1 5 tahun, sedangkan yang terjadi dibawah umur 5 tahun adalah jarang sekali (Taranta dun Markowitz, 1981, Stollerman. 1990.) Yang sangat penting dari penyakit demam reumatik akut ini adalah dalam ha1 kemampuannya menyebabkan katupkatup jantung menjadi fibrosis, yang akan menimbulkan gangguan hemodinamik dengan penyakit jantung yang kronis dan berat. Demam reumatik merupakan kelainan jantung yang biasanya bukan kelainan bawaan, tetapi yang diperdapat. Walaupun angka morbiditas menurun tajam pada negara yang berkembang tetapi pada negara yang sedang berkembang penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan yang utama. Kepastian sebab-sebab naik turunnya insidensi penyakit ini masih belum jelas. Meskipun demam reumatik ini telah diteliti secara luas
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
DEMAM REUMATIK DAN PENYAKIT JANTUNC REUMATIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI (ekstensif) tetapi patogenesisnya masih belum jelas (Taranta, 1976). Penyakit Demam Reumatik dapat mengakibatkan gejala sisa (sequele) yang amat penting pada jantung sebagai akibat berat ringannya karditis selama serangan akut demam reumatik. Dari beberapa penelitian tentang insidens karditis dan PJR yang menetap adalah akibat kekambuhan DR tanpa PJR sebelumnya adalah sebagai berikut:6-14% Kekambuhan yang terbanyak dan terpenting adalah akibat perjalanan penyakit demam reumatik itu sendiri. Cukup banyak dilaporkan insidens dari kekambuhan demam reumatik yang yang berlanjut dan mengakibatkan Penyakit Jantung Ruematik. Pencegahan primer DR dapat diatasi dengan antibiotika Penisilin - V atau benzatin penisilin parentral yang adekuat terhadap kuman SGA betahemolitikus. Atau dapat juga dengan makrolid lainnya, bila biakan hapusan tenggorok merupakan diagnostik untuk kuman SGA tersebut (Stollerman, 1955; Siegel, 1961 ). Dajani A. dan kawan-kawan 1995 melaporkan bahwa pasien DR adalah berisiko tinggi untuk terjadi kekambuhan kembali oleh kuman SGA, sehingga diperlukan pencegahan yang berkelanjutan dengan antibiotika sebagai pencegahan sekunder terhadap kekarnbuhan tersebut. "American Heart Asscosiation 1988" merekomendasikan perlunya dilakukan pencegahan sekunder yang berkelanjutan dengan protokol seperti yang dianjurkan oleh "Irvington House Group" ( U.K and U.S, 1965), tetapi yang sukar adalah menetapkan untuk berapa lama pencegahan sekunder ini dilakukan. Walaupun risiko kekambuhan berkurang dengan bertambahnya umur dan juga interval kekambuhan makin panjang tetapi kekambuhan ini bisa terjadi selama 5-1 0 tahun. Hanya akan berkurang atau menghilang bila dilakukan pengobatan pencegahan sekunder secara teratur untuk waktu yang cukup lama (Barrent, 1975). Maka dari itu disamping pencegahan primer perlu dilanjutkan dengan pencepallan sekunder untuk jangka waktu tertentu. Karena it11 eradikasi untuk pencegahan sekunder dengan "Benzatin Penisilin G yang long acting" sangat diperlukan dalatn mencegah terjadinya kelainan hemodinarnik pada sirkulasi darah jantung (Stollennan, 1955). Seperti diketahui bahwa pencegahan detnaln reumatik ada 2 cara: Pencegahan primer: yaitu ilpaya pencegahan infeksi St~.eptokokl~s hrtcr he1lio1itikz1.c gvl/p A sehingga tercegah dari penyakit denlam reumatik. Pencegahan sekunder: yaitu upaya mencegah menetapnya infeksi Stvq~tokokiisheta he~l~olitiku.\ p ~ l Ap pada bekas pasien demam reumatik. Program pencegahan primer sangat sukar dilaksanakan karena sangat banyaknya penduduk yang dicakup dan juga adanya infeksi Stve/~okokii.s/lc/~iolitikg/*up A (SGA) yang
tidak memperlihatkan gejala-gejala yang khas (Wood dkk 1964, Krause 1975, Straser 1978), (Ramelikamp, 1958). (Krause 1975). Sedangkan kekambuhan demam reumatik + 30% bila terserang infeksi SGA (Spagnuolo dkk 1971) Majeed H.A dkk 1998, menganjurkan cara pengobatan pencegahan sekunder tersebut sbb: (Penicillin long acting) Bila DR dengan karditis dan atau PJR (kelainan katup) dilaksanakan pencegahan sekunder tersebut selama 10 tahun sesudah serangan akut salnpai umur 40 tahun dan kadang-kadang diperlukan selama hidup. DR dengan karditis tanpa PJR dilakukan pengobatan pencegahan sekunder selama 10 tahun. DR saja tanpa karditis dilakukan pengobatan pencegahan selama 5 tahun sampai umur 2 1 tahun. Secara umum Committee on Rhezrmatic Fever tahun 1995 menganjurkan pencegahan sekunder ini sampai umur 2 1 tahun dan 5 tahun lagi setelah terjadi serangan ulangan, yang dilakukan tiap 4 minggu. Tetapi Lue H.C dkk 1986 dan 1994 pada daerah dengan insidens DR yang tinggi atau pasien dengan gejala PJR menganjurkan pencegahan sekunder ini tiap 3 minggu. Majeed H.A (1992) melaporkan bahwa selama 12 tahun pencegahan sekunder ini didapatkan kekambuhan DR ini sebanyak 0.003% pasien pertahun dibandingkan tanpa melakukan pencegahan sekunder yaitu sebanyak 0.2% pasien pertahun, juga melaporkan bahwa kekambuhan yang dicegah dengan cara diatas ternyata 70% pasien dengan karditis menghilang bising jantungnya serta dengan irama jantung yang normal. Maka dari itu di Bagian Illnu Penyakit Dalam FKUnandlRSUP dr.M.D.jamil Padang dilaksanakan suatu program pencegahan sekunder yang dapat rnengurangil rnenghilangkan perjalanan penyakit Demanl Reumatik (DR) dan PJR yang cukup dahsyat ini. Protokol tetap yang dilaksanakan sejak tahun 1978 salnpai sekarang adalah sebagai berikut: Untuk pasien <20 tahun, mendapat suntikan Benzatin Penisilin G 1,2juta unit tiap 4 minggu salnpai umur 25 tahun. Bila ulnur pasien >20 tahun, harus mendapatkan suntikan Benzatin Penisilin G (long-~rcting)selama 5 tahun. Bila pasien telah selesai dengan protokol 1 dan 2 sedangkan terjadi kekambuhan lagi maka akan mendapatkan kembali suntikan Benzatin Penisilin G dengan dosis 1,2juta unit tiap 4 minggu.untuk selalna 5 tahun berikutnya. Bila kasus berat tiap 3 minggu Selarna 20 tahun, sejak Agustus 1978 sampai Agi~stus 1998 di bagian Penyakit Dalatn FK-UNANDIRSUP Dr M Jatnil Padang telah dilakukan analisis kesintasan dari hasil prograrnlprotokol tetap di atas, dengan hasil kekambuhan dapat dicegah sebanyak 80.2% dengan p<0,001. Kesernbuhan yang datang teratur adalali 92.4% dengan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI odds rasio 11,61 di mana p <0,000 1 dan RR 1,81. yang datang dengan kepatuhanltaat. Sedangkan pengobatan serangan akut demam reumatik dipergunakan protokol tetap yang direkomendasikan oleh TarantaA (1970 ) sebagai berikut: Ditujukan pada manifestasi klinis yang didapat pada serangan akut (Tabel 1). Pencegahan primer ditujukan langsung pada SGA pada saat serangan akut. Untuk pengobatan dari bermacam-macam manifestasi klinis sewaktu pasien datang berobat maka pada fase akut ini dilakukan pengobatan sebagai berikut (Tabel 1) (Frankish, 1975; Taranta & Markowitz, 1981, Committee on Rheumatic Fever, 1995).
Manifestasi klinis Artralgia Artritis saja danlatau karditis tanpa Kardiomegali Karditis dengan kardiomegali atau Gagal jantung
Pengobatan Salisilat saja Salisilat 100 mglkgBBlhari selama 2 minggu dan diteruskan dengan 75 mglKgbblhr selama 4-6 rninggu Prednison 2 mglkgbblhari se lama 2 minggu dan tapering selama 2 minggu dengan ditambahkan salisilat 75 mgllkgbblhari untuk 6 rninaau
Untuk program pencegahan primer dipergunakan obat Penisilin V 2 juta Unithari selama 10 hari atau Eritromisin 40 m g k g bb /hari selama 10 hari.
EPlDEMlOLOGl DAN INSIDEN Meskipun individu-individu segala umur dapat diserang oleh DR akut, tetapi DR ini banyak terdapat pada anakanak dan orang usia muda (5- 15 tahun) (Rosenthal, 1968). Ada dua keadaan terpenting dari segi epidemiologik pada DR akut ini yaitu kemiskinan dan kepadatan penduduk. Tetapi pada saat wabah DR tahun 1980 di Amerika pasienpasien anak yang terserang juga pada kelompok ekonomi menengah dan atas. (Majeed, 1984). Setelah perang dunia kedua dilaporkan bahwa di Amerika dan Eropah insiden DR menurun, tetapi DR masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang. (Syed G.A, 1966; Shiokawa, 1977; Padmavati, 1978; Shrestha, 1979) Pada penelitian dibawah ini terlihat insiden DR dan PJR di Eropah dan Amerika menurun (Pinsky, 1977), sedangkan di negara tropis dan sub tropis masih terlihat peningkatan yang agresif, seperti kegawatan karditis dan payah jantung yang meningkat. Majeed 1992 melaporkan insiden DR di beberapa negara tercantum pada Tabel 2. Temyata insiden yang tinggi dari karditis adalah pada anak muda dan terjadinya kelainan katup jantung adalah
Negara
Tahun
,
Kel. "Inur (th)
lnsidenl 100.000 populasi
--
* lnggris & Wales ' Kuwait * Saudi Arabia * Swedia USA * Iran * Cekoslowakia ' Hongkong * Indonesia
1963
1-14
1984-1988 5 - 1 4 1980-1984 5 - 14 1971-1980 0 - 1 5 1978 0 - 14 1975 sernua urnur 1972 1- 15 1972 semua umur (belum ada laporan)
"dikutip dari Majeed HA. 1992.
sebagai akibat kekurangan kemampuan untuk melakukan pencegahan sekunder DR dan PJR. Taranta A dan Markowitz M, 1984 melaporkan bahwa DR adalah penyebab utalna terjadinya penyakit jantung untuk usia 5-30 tahun. DR dan PJR adalah penyebab utama kematian penyakit j a n t u ~ g untuk usia dibawah 45 tahun, juga dilaporkan 25-40% penyakit jantung disebabkan oleh PJR untuk semua umur.
Meskipun sampai sekarang ada hal-ha1 yang belum jelas, tetapi ada penelitian yang mendapatkan bahwa DR yang mengakibatkan PJR terjadi akibat sensitisasi dari antigen Streptokokzrs sesudah 1-4 minggu infeksi Streptokokiis di faring. Lebih kurang 95% pasien menunjukkan peninggian titer antistreptoksin 0 (ASTO), antideoksiribonukleat B (anti DNA-ase B) yang merupakan dua macam tes yang biasa dilakukan untuk infeksi kuman SGA. (Pattaroyo, 1979) Faktor-faktor yang diduga terjadinya komplikasi pasca Streptokokus ini kemungkinan utalna adalah pertama Virulensi dan Antigenisitas Streptokokus, dan kedua besarnya responsi umum dari "host" dan persistensi organisme yang menginfeksi faring (Morehead, 1965). Risiko untuk kambuh sesudah pernah mendapat serangan Streptokokus adalah 50-60%. Robbins dkk. 198 1 mendapatkan tidak adanya predisposisi genetik. Sedangkan Moreheid 1965 mengganggap pada mulanya faktor predisposisi genetik mungkin penting. Penelitian-penelitian lain kebanyakan menyokong mekanisme autoimunitas atas dasar reaksi antigen antibodi terhadap antigen Streptokokus. Salah satu antigen tersebut adalah protein-M Streptokokus. Pada serum pasien DR akut dapat ditemukan antibodi dan antigen. Antibodi yang terbentuk bukan bersifat kekebalan. Dan reaksi ini dapat ditemukan pada miokard, otot skelet dan sel otot polos. Dengan imunofloresensi dapat ditemukan imunoglobulinnya dan komplemen pada sarkolema miokard
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
DEMAM REUMATIK DAN PENYAKITJANTUNG REUMATIK
MORFOLOGI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Lesi yang patognomonik DR adalah Badan Aschoff sebagai diagnostik histopatologik. Sering ditemukan juga pada saat tidak adanya tanda-tanda keaktifan kelainan jantung, dan dapat bertahan lama setelah tanda-tanda gambaran klinis menghilang, atau masih ada keaktifan laten. Badan Aschoff ini umumnya terdapat pada septumfibrosa intervaskular, dijaringan ikat perivaskular dan didaerah subendotelial. Pada PJR biasanya terkena ketiga lapisan endokard miokard dan perikard secara bersamaan atau sendiri-sendiri atau kombinasi. Pada endokard yang terkena utama adalah katup-katup jantung dan 50% mengenai katup mitral. Pada keadaan dini DR akut katup-katup yang terkena ini akan merah, edema dan menebal dengan vegetasi yang disebut sebagai Vermceae. Setelah agak tenang katup-katup yang terkena menjadi tebal, fibrotik, pendek dan tumpul yang rnenimbulkan stenosis. (Morehead, 1965).
DRPJR yang kita kenal sekarang merupakan kumpulan gejala terpisah-pisah dan kemudian menjadi suatu penyakit DRPJR. Adapun gejala-gejala itu adalah:
Artritis Artritis adalah gejala major yang sering ditemukan pada DR akut (Majeed H.A 1992). Sendi yang dikenai berpindahpindah tanpa cacat yang biasanya adalah sendi besar seperti lutut, pergelangan kaki, paha, lengan, panggul, siku dan bahu. Munculnya tiba-tiba dengan rasa nyeri yang meningkat 12-24 jam yang diikuti dengan reaksi radang. Nyeri ini akan menghilang secara perlahan-lahan. Radang sendi ini jarang yang menetap lebih dari satu minggu sehingga terlihat sembuh sempurna. Proses migrasi artritis ini membutuhkan waktu 3-6 minggu. Sendi-sen& kecil jari tangan dan kaki juga dapat dikenai. Pengobatan dengan aspirin dapat merupakan diagnosis terapetik pada atritis yang sangat bermanfaat. Bila tidak membaik dalam 24-72 jam, maka diagnosis akan diragukan. Karditis Karditis merupakan manifestasi klinis yang penting dengan insidens 40-50% (Majeed HA 1992), atau berlanjut dengan gejala yang lebih berat yaitu gagal jantung. Kadangkadang karditis itu asimtomatik dan terdeteksi saat adanya nyeri sendi. Karditis ini bisa hanya mengenai endokardium saja. Endokarditis terdeteksi saat adanya bising jantung. Katup mitrallah yang terbanyak dikenai dan dapat bersamaan dengan katup aorta. Katup aorta sendiri jarang dikenai. Adanya regurgitasi mitral ditemukan dengan bising sistolik yang menjalar ke aksila, dan kadang-kadang juga
disertai bising mid-diastolik (bising Carey Coombs). Dengan dua dimensi ekokardiografi dapat mengevaluasi kelainan anatomi jantung sedangkan dengan Doppler dapat menentukan fungsi dari jantung. (Massel, 1958) .Miokarditis dapat bersamaan dengan endokarditis sehingga terdapat kardiomegali atau gagal jantung. Perikarditis tak akan berdiri sendiri, biasanya pankarditis.
Chorea Chorea ini didapatkan 10% dari DR (Strasser, 1978) yang dapat merupakan manifestasi klinis sendiri atau bersamaan dengan karditis. Masa laten infeksi SGA dengan chorea cukup lama yaitu 2-6 bulan atau lebih. Lebih sering dikenai pada perempuan pada umur 8-12 tahun. Dan gejala ini muncul selama 3-4 bulan. Dapat juga ditemukan pada anak ini suatu emosi yang labil di mana anak ini suka menyendiri dan kurang perhatian terhadap lingkungannya sendiri. Gerakan-gerakantanpa disadari akan ditemukan pada wajah dan angota-anggota gerak tubuh yang biasanya unilateral. Dan gerakan ini menghilang saat tidur. Eritema Marginatum Eritema marginatum ini ditemukan kira-kira 5% dari pasien DR, dan berlangsung berminggu-minggu dan berbulan, tidak nyeri dan tidak gatal. Nodul Subkutanius Besarnya kira-kira 0.5-2 cm, bundar, terbatas clan tidak nyeri tekan. Demam pada DR tidak khas, dan jarang menjadi keluhan utama oleh pasien DR ini (Strasser, 1981) Pada penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti-peneliti di berbagai negara, dari manifestasi klinis DR yang dilaporkan oleh CommitteeofRematic Fever tahun 1992 dan penelitian sendiri dapat dilihat seperti Tabel 3.
UPAYA PEMERlKSAAN LABORATORIUM Pemeriksaan adanya infeksi kuman Streptokokusus Grup A sangat membantu diagnosis DR yaitu: Pada saat sebelum ditemukan infeksi SGA. Pada saat ditemukan atau menetapnya proses infeksi SGA tersebut. Untuk menetapkan ada atau pernah adanya infeksi kurnan SGA ini dapat dideteksi: Dengan hapusan tenggorok pada saat akut. Biasanya kultur SGA negatif pada fase akut itu. Bila positif inipun belum pasti membantu diagnosis sebab kemungkinan akibat kekambuhan dari kuman SGA itu atau infeksi Streptokokus dengan strain yang lain. Tetapi antibodi Streptokokus lebih menjelaskan adanya infeksi Streptokokus dengan adanya kenaikan titer ASTO dan anti DNA-se
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Di Negara
Artritis
Carditis
Korea
Eriterna Marginaturn
Nodul Subkutan
Mortalitas
* S. Arabia,1984 (30) * Iraq, 1988 (86) * Tunisia, 1982 (324) Kuwait, 1992 (445) * USA. 1962 (275) India. 1974 (102) Indonesia: - Asikin H 1984 - Saharrnan L 1999 Keterangan: NI= tidak ada laporan Data ini dikutip dari Majeed AH untuk negara diluar Indonesia
Terbentuknya antibodi-antibodi ini sangat dipengaruhi oleh umur dan lingkungan. Titer ASTO positif bila besarnya 210 Todd pada orang dewasa dan 320 Todd pada anak-anak, sedangkan titer pada DNA-se B 120 Todd untuk orang dewasa dan 240 Todd untuk anakanak. Dan antibodi ini dapat terdeteksi pada minggu kedua sampai minggu ketiga setelah fase akut DR atau 4-5 minggu setelah infeksi kuman SGA di tenggorokan (Whitnack F dkk 1985). Untuk inilah pencegahan sekunder dilakukan tiap 3-5 minggu (Stollerman, 1961). Pada fase akut ditemukan lekositosis, laju endapan darah yang meningkat, protein C-reactive, mukoprotein serum. Laju endapan darah dan protein C-reactive yang tersering diperiksa dan selalu meningkat atau positif saat fase akut dan tidak dipengaruhi oleh obat-obat antireumatik. (Taranta & Moody, 1971 ) Anemia yang ringan sering ditemukan adalah anemia normositer normokrom karena infeksi kronis DR. Dengan kortikosteroid anemia dapat diperbaiki.Tidak ada pola yang khas dari EKG pada DR dengan karditis. Adanya bising sistolik dapat dibantu dengan kelainan EKG berupa interval PR yang memanjang atau perubahan patern ST-T yang tidak spesifik (Wahab, 1980)
UPAYA-UPAYA DlAGNOSTlK
Diagnosis DR akut didasarkan pada manifestasi klinis, bukan hanya pada simtom, gejala atau kelainan laboratorium patognomonis. Pada tahun 1944 Jones menetapkan kriteria diagnosis atas dasar beberapa sifat dan gejala saja. Setelah itu kriteria ini dimodifikasi pada tahun 1955 dan selanjutnya direfisi 1965, 1984 dan terakhir 1992 oleh AHA. (Tabel 4) Ditambah: bukti-bukti adanya suatu infeksi Streptokokus sebelumnya yaitu hapusan tenggorok yang positif atau kenaikan titer tes serologi ASTO dan anti DNA-
Gejala major:
Gejala minor:
- Poliatritis
- Klinis: - suhu tinggi
- Karditis - Korea
- Sakit sendi (artralgia) - Riwayat pernah rnenderita DRlPJR
- Eriterna rnarclinaturn
- Lab.: "reaksi fase akut" :
- Nodul subkutaneus
se B. Terutama pada anaktdewasa muda aloanamnesa pada orang tua dan keluarga sangat diperlukan. Bila terdapat adanya infeksi Streptokokus sebelumnya maka diagnosis DWPJR didasarkan atas adanya: 1. Dua gejala mayor atau 2. Satu gejala mayor dengan dua gejala minor Sedangkan penyediaan fasilitas pemeriksaan kuman Streptokokus belum meluas m'zka manifestasi klinis diatas hams dijadikan pegangan diagnosis suatu DWPJR. Tentu perlu dibedakan dengan gejala-gejala penyakit-penyakit lain seperti rematoid artritis, pegal-pegal kaki infeksi virus, kelainan jantung bawaan dan lain-lain.
PERJALANAN PENYAKIT
Manifestasi DR sangat bervariasi, tetapi umumnya muncul dengan bermacam-macam manifestasi klinis. Dan biasanya dengan berbagai manifestasi klinis yang sukar ditentukan pada saat pasien datang pertama kali berobat. Masa laten infeksi Stveptokokus dengan munculnya DR akut cukup singkat bila ada atritis dan eritema marginatum dan akan lebih lama dengan chorea, sedangkan karditis dengan nodul subkutan diantaranya. Lamanya DR akutjarang melebihi 3 bulan. Tetapi bila ada karditis yang berat biasanya klinis DR akut akan berlangsung 6 bulan atau lebih. (Taranta, 1964; Majeed, 1992 Gejala karditis akan ditemukan pada tiga bulan pertama dari 93% pasien DR akut. (Mc Intosch dkk. 1935,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
DEMAM REUMATIK DAN PENYAKIT JANTUNG REUMATIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Rossentha, 1968) Kadang-kadang karditis dapat juga terjadi pertama kali serangan DR akut pada umur >25 tahun. Bila ringan akan sembuh, tetapi bila karditis yang disertai demam dan takikardia sering berlanjut dengan (3) kardiomegali dan menetap dan bising-bising katup akan terdengar. Dan (4) dekompensatio kordis dapat terjadi selama karditis masih aktif.
PROGNOSIS DR tidak akan kambuh bila infeksi Streptokokus diatasi. Prognosis sangat baik bila karditis sembuh pada saat permulaan serangan akut DR. Selama 5 tahun pertama perjalanan penyakit DR dan PJR tidak membaik bila bising organik katup tidak menghilang, (Feinstein AR dkk, 1964). Prognosis memburuk bila gejala karditisnya lebih berat, dan temyata DR akut dengan Payah jantung akan sembuh 30% pada 5 tahun pertama dan 40% setelah I0 tahun. Dari data penyembuhan ini akan bertambah bila pengobatan pencegahan sekunder dilakukan secara baik. Ada penelitian melaporkan bahwa stenosis mitralis sangat tergantung pada beratnya karditis, sehingga kerusakan katup mitral selama 5 tahun pertama sangat mempengaruhi angka kematian DR ini.(lrvington House Group & U.K and U S 1965).Penelitian selama 10 tahun yang mereka lakukan menemukan adanya kelompok lain terutama kelompok perempuan dengan kelainan mitral ringan yang menimbulkan payah jantung yang berat tanpa diketahui adanya kekambuhan DR atau infeksi Streptokokus. (Stresser, 1978)
KEKAMBUHAN Serangan pertama DR biasanya terjadi pada daerah wabah faringitis Streptokokus yaitu sebanyak 3%, sedangkan pasien yang pernah mendapat serangan DR akut sebelumnya akan didapatkan 15% (Taranta dkk, 1970). Dari "Irvington House Study" (Wood dkk, 1964,American Heart Asscosiation" 1988) melaporkan bahwa serangan reumatik pada tiap infeksi Streptokokus pada anak-anak menurun sebnyak 23% menjadi 11% selama 1-5 tahun sesudah serangan pertama DR. Kekambuhan akan berkurang tergantung pada lamanya serangan terakhir. Faktor yang mendasar yang menyebabkan meningkatnya serangan reumatik juga tergantung pada gejala sisa dari pada PJR. Studi ini melaporkan PJR dengan kardiomegali 43% sedangkan PJR tanpa kardiomegali 27% dan tanpa kelainan jantung 10%. (Taranta, 1964). Faktor lain yang mempengaruhi kekambuhan ini sangat tergantung pada reaksi imun dengan infeksi Streptokokus yang dibuktikan dengan meningkatnya titer ASTO.
Umumnya serangan DR dibuktikan juga dengan ditemukan rematogenik strain Streptokokus grup A.(Stollerman dkk., 1990). (Bisno dkk, 1977). Studi Framingham (Goetzner dkk, 1985).selama 30 tahun dengan penelitian "cohort -control study group" dari kasus-kasus PJR terdapat penurunan yang tajam dari kematian pada'studi karena serangan yang berulang dari PJR yang diobati dengan cara pencegahan sekunder. Pada PJR angka kehidupan hanya kurang 40% sedangkan pada DR tanpa PJR lebih dari 40%. Di Amerika kelainan klinis DRJPJR akan bertambah baik bila pencegahan sekunder dilaksanakan seumur hidupnya. Karena mereka melaporkan dari Amerika masih ditemukan kasus DRIPJR pada usia tua sehingga menjadi kelompok penyakit lanjut usia. (Denny dkk, 1950; W.H.O,1966,1988). Pengalaman kami di Bagian Ilmu Penyakit Dalam 1978-1998 (20 tahun) didapatkan penurunan insidensi DRJPJR dari 3 1,4% menjadi 12,2% dari 182 pasien DWPJR.
UPAYA PENCEGAHAN SERANGAN ULANG DR Bila seorang pasien DR akut telah sembuh, maka masalah utama adalah pencegahan sekunder. Kita tidak mempersoalkan bagaimanapun ringan atau beratnya serangan pertama, namun kerentanan penyakit ini sangat tinggi sehingga serangan berulang-ulang dapat timbul kembali. Kekerapan penyakit ini sudah menurun dalam 25 tahun terakhir ini di Amerika dan Eropah. Di mana keadaan ini sebahagian besar disebabkan oleh pencegahan sekunder yang telah dilaksanakan. Dari penelitian "Irvington House" 1954 diketahui bahwa dengan parentral Penisilin G lah yang paling baik diantara tiga obat pencegahan yang dicobakan yaitu Sulfadiazin, Oral penisilin G dan suntikan benzatin penisilin G setiap bulan. (W.H.O,1966) Keunggulan cara ini (Markowitz ,1985) mungkin disebabkan oleh: Kunjungan sekali sebulan yang mendapat pencegahan sekunder itu dipatuhi dan kesediaan obat lebih terjamin dalam depot obat. (Wannamaker, 1951 ) Absorpsi obat dari otot mungkin lebih lengkap dari pada di usus. Yang terpenting kadar terapetik penisilin cukup untuk menghilangkan setiap "intercurrent " Streptokokus selama satu minggu dari tiap interval 4 minggu. Sesuai dengan laporan dari "Intersociaty Commition for Heart Disease Resources" (AHA, 1988) bahwa semua pasien yang sembuh dari DR akut diberikan suatu pencegahan sekunder dengan atau tanpa karditis. Sehingga serangan ulang dapat dicegah. Tentang lamanya pencegahan belum ada kata sepakat sampai saat ini. Temyata bahwa kekerapan serangan-serangan berulang pada usia dewasa, tetapi serangan akut ini masih ditemukan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
pada usia 20 dan 30 tahunan. Tentu tidaklah bijaksana bila mengandalkan pengobatan infeksi Streptokokus dengan antibiotika saja, sedangkan pencegahan sekunder terusmenerus dipertahankan untuk waktu yang tidak ditentukan (Taranta, 1981). Dari itu pencegahan sekunder perlu disesuaikan dengan lingkungan, cuaca, umur, pekerjaan, keadaan rumah tangga, dan keadaan jantung itu sendiri yang sangat berpengaruh terhadap timbulnya resiko serangan berulang. (Charney, 1968; Bravo, 1979; Brown, 1951; Davies, 1973)
pendidikan orang tua merupakan faktor penting akan ketaatan melakukan pencegahan ini. keadaan sosioekonomi bagi pasien atau keluarga jarak antara tempat tinggal dan Rumah sakit. manifestasi klinis waktu pasien masuk ke Rumah Sakit juga mempengaruhi ketaatan untuk melakukan pencegahan. terhadap semua dokter, tenaga kesehatan dapat mengenal dan melaksanakan pencegahan sekunder ini.
SARAN UPAYA PENGENDALIAN DfUPJWERADlKASl Untuk ini perlu dipahami riwayat alamiah penyakit ini, walaupun ada beberapa aspek patogenesis DR yang belum dapat diterangkan seluruhnya (Reyes, 1975). Di mana perlu diajukan suatu konsep sehingga pencegahan sekunder ini dilaksanakan. Dari cara ini dapat dilakukan interfensi siklus reinfeksi Streptokokus pada pasien dengan atau pernah menderita DRIPJR. (Committee on Rheumatic Fever, 1995).Untuk pengendalian dan pelaksanaan pencegahan sekunder DR dan atau PJR dilapangan maka diperlukan konsep intervensi siklus reinfeksi Streptokokus dari tiap pasien yang datang berobat.
Menegakkan diagnosa demam reumatik dan penyakit jantung reumatik sebaiknya didasarkan pada kriteria Jones yang telah dimodifikasi dan dengan pertimbangan klinis. Melaksanakan protokol tetap pencegahan sekunder demam reumatik dan penyakitjantung reumatik haruslah sesegera mungkin setelah eradikasi kuman S.GA dengan penisilin selarna 10 hari. Meyakinkan adanya infeksi kuman S.G.A sebelumnya diperlukan sarana laboratorium untuk pemeriksaan titer ASTO dan Anti DNA-se B, dengan kemungkinan tidak Saudara miliki.
REFERENSI
G a m b a r 1. Skema pencegahan sekunder DR danlatau PJR.
Pencegahan sekunder adalah usaha mencegah terjadinya infeksi kuman SGA pada pasien-pasien yang pernah DR dan PJR. Pencegahan ini dilakukan dalam jangka lama, yang memerlukan kesabaran baik pasien, petugas kesehatan ataupun dokter. Mengingat DR dan PJR menyebabkan cacat seumur hidup pada jantung. Dan cacat tersebut menyebabkan umur harapan hidup akan berkurang. Untuk menunjang keberhasilan pengendalian atau eradikasi DRIPJR yaitu dengan pencegahan sekunder sangatlah tergantung pada: cara pemberian obat diperlukan keyakinan dan ketaatan pasien untuk pencegahan sekunder ini secara spontan dan penuh pengertian.
Ad hoc Committee to Revise the Jones criteria (Modified) of the councill on Rheumatic Fever And Congetudinal Heart Disease 1967 Jones criteria (revised) for quidence in the diagnosis of rheumatic fever. American Heart Asso-ciation. Abraham M.T, Ghersam G,: Rheumartic fever. Dalam ParmleyW.W, Chateryee K : Cardiology vol. 2, Phyladelphia: J.B Lippincoot Company;l988. Albam B, Epstein J.A, Feinstein, A.R et.al : Rheumatic fever in children and adolescents A long-tern epidemiologic study of subsequent rophylaxis, streptococcal infections, and clinical sequelae. Ann. Intern. Med. 1964; 60(supp1.5), No.2 part 11. Heart Association, Committee on Rheumatic Fever and America% Bacte I Endo carditis: Prevention of rheumatic fever. Cieculation 1988; 78: 1082. Barrent A.L, Ferry E.E, Perselin R.M: Acute rheumatic fever in adults JAMA, 1975: 232. Bladd E.F,Jones T.G, : Rheumatic fever and Rheumatic heart disease. A 20 years report on 1000 patients followed since childhood,. Circulation 195 1, 4. Brown E.E, 1951 : Cause of rheumatic fever chronic sinusitis. Arch. Pediat. 68 (21): 565-76. Bisno A.L, Pearce I.A, and Stollerman G.H: Streptococcal infections that fail to cause recurences of rheumatic fever. J.Infect. Dis. 1977; 136:278. Bravo L.C, et.al: Streptococcal infections and rheumatic recurrences in subjects on secondary prophylaxis. Philipp. J. Intern. Med.1979; 17: 12. Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis and Kawasaki Disease of AmaericanHeart Association. Guidelines for Diagnosis
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
DEMAM REUMATIK DAN PENYAKITJANTUNC REUMATIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
of Rheumatic Fever: Jones criteria, 1992 Update : JAMA 1992; 268 : 2069-73. Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis and Kawasaki Disease of American Heart Association. Treatment of Acute Streptococcal Pharyngitis and Prevention of Rheumatic Fever: Pediatrics 1995; 96:758-64. Denny F.W. Wannamaker L.W, Brink W.R : Prevention of rheumatic fever, Treatment of the proceeding streptococcal infection. JAMA 1950; 143 : 151. Dajani A.S. : Current status of pharing complication of group A streptococci. Pediatatrics Heart J 1991; 10 : 225. Feinstein A.R and Spagnuolo M: The clinical patterns of acute rheumatic fever : A reappraisal. Medicine 1962; 41: 279. Feinstein A.R, Wood H.F, Spagnoulo M, Taranta A, Jones S, Kleinberg E, and Tursky E,: Rheumatic fever in children and adolescent VII, Cardiac changes and sequele. Ann. Intern. Med 1964; 60 (2) supll. 5. Frankish J.D : Management of rheumatic fever. Med. Prog. 1975; Dec.: 27 - 33. Friemer E.H. and Mc Carty M.C: Rheumatic fever. Sience. Am. 1965; 213 : 67 - 74. Gupta R.C , Bahdiwar A.K, Bisno A.L : Detection of Creative protein, Streptolysin 0 , antistreptolysin 0 antibodies in immune complexis related form sera of patients with acute rheumatic fever. Immunol. J 1986; 137: 2173. Gordis L, : Effectiveness of comprehensive care programs in preventing rheumatic fever. N. Enggl. J. Med. 1973; 289: 331. Hanafiah A : Diagnosis Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik. Berita Klinik IDA1 1976; Jakarta. Hanif, Saharman Leman, Chairul Safri : Pola etiologik Penyakit Jantung di Bagian Penyakit Dalam RSUP dr.M.Jamil Padang 1973-1977. Naskah Lengkap KOPAPDI IV, 1978. Jones T.D: The diagnosis of rheumatic fever. J. Am. Med.Associa. 1944; 126 : 481. Lue H.C, et. al: The natural history of rheumatic fever and rheumatic heart disease in the Orient. Jpn. Heart. J 1979; 20 : 237. Krause R.M : Prevention of streptococcal sequele by penicillin prophylaxis : a resses-sement. J. Infec. Dis. 1975; 131 (5): 592601. Markowitz M, : The decline of rheumatic fever, role of medical intervention. J. Pediatr. 1985; 106: 545. Massel B.V. Fyler D.C, and Roy S.B : The clinical picture of rheumatic fever. Diagnosis Immediate prognosis, course and therapeuic implications. Am.J. Cardio1.1958; 1: 436. Majeed H.A, Batnager S, Yousof A.M et.al : Acute Rheumatic Fever and the Evaluation of Rheumatic Heart Disease: A Prospective 12 year Follow-up Study. J.Clin.Epidemiol. 1992; 45:871-5. Majeed H.A. Shaltout A, Yousof A.M : Recurrences of Acute rheumatic Fever. AJDC 1984; 138:541-5. Majeed H.A: Acute Rheumatic Fever medicine streptococcal. Them Medicine Publishing Company Inter. 1991; 40 (11):lOO-5. Morehead : Collagen Diseases and granule matrics Carditis in thema Pathology publish. Mebrano-hall Book Co., 1965: 491. Padmavati S, : Rheumatic fever and rheumatic heart disease in developing countries. Bull. WHO 1978; 56 : 543. Pinsky W.W, Pinsky K.M. and Mc Namara 0.G : A current view of acute rheumatic fever. Texas Med. 1977; 73 : 5 1 55. Pattaroyo M.E, Winchester R, Vejerano A et.al: Association of Bcell alloantigen with Susceptibility to rheumatic fever. Nature 1979; 278: 173. Reyes A.L : Management of rheumatic fever in South Asia. Med. Prog. 1975; 14 Dec. Roy S.B, et. al: Juvenile mitral stenosis in
India. Lancet 1963; 2 : 1193. Rosenthal A, Czoniczer G and Massel B.F : Rheumatic fever under three years of age. A Report of ten cases. Pediatrics 1968; 41:612. Saharman Leman : Rheumatic fever and rheumatic heart diseases eradication with secondary prophylaxis prevention Benzanthine penicillin G long acting 1,2 million unit in M.Djamil Hospital Padang, 1978-1998. Abstract 1 3Ih Asian Congress of Cardiology, Singapore, June 2000, 182-3. Saharman Leman : Perjalanan Penyakit Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik di Lab./UPF Penyakit Dalam FKUnandlRSUP dr.M.Djamil Padang. Analisis "survival".Naskah Lengkap KOPAPDI VIII, Yogjakarta, 1990, 153-60. Siegel A.C, Johnson E.E, and Stollerman G.H: Controlled studies of streptococcal pharyngitis in pediatric population. New Engl. J. Med . 1961; 24 :25 7 -264. Shrestha N.K, and Padmavati S, : Prevalence of rheumatic heart disease in Delhi school Children. Indian J Med. Res. 1979; 69: 821. Spagnoulo M, Postemcak B,Taranta A: Risk of rheumatic fever recurrence after streptococcal infection. Prospective study in clinical and social factors. New Eng. J. Med.1971; 12: 641-647. Strasser T. : Recent advances in rheumatic fever control and future prospects. Bull. WHO 1978; 56 : 887. Strasser T. : Community control of rheumatic heart disease in developing countries. WHO Chron. 1980; 34 : 336. Strasser T, Dondog N, Al Kholy A, et.al: The community control of rheumatic fever and Rheumatic heart disease: Report of a WHO International cooperative project. WHO Bull. 1981; 59 : 2. Stollerman G.H: Rheumatogonic group A streptococci and the return of rheumatic fever.Adv.lntern. Med. 1990, 35: 1. Stollermen G.H : Streptococci and Rheumatic Heart Disease. in Devries, RRP, Cohen. I.R, and van Rood J.J: The Role of Microorganisms in noninfectious disease. London Springer-Verlag 1990; pp. 9-20. Stollerman G.H : Connective tissue disease in Barnett H.1, et al. : Pediatrics 1972; 5Ihed. New York, Appleton-Century-Crofts. Taranta A, A. Markowithz M : Rheumatic Fever. MTB Press Ltd. 1981. Taranta A : Rheumatic fever in children and adolescents. A longterm epidemiologic study of subsequent prophylaxis, streptococcal infections, and clinical sequele IV. Relation of the rheumatic fever recurrence rate per streptococcal infection to the titers of streptococcal antibodies. Ann. Intern. Med. 1964; 60 (supp1.5):47 Taranta A, Kleinberg E, Feinstein A.R: et.al: Rheumatic fever in children and adolescents. A long-term epidemiologic study of subsequent prophylaxis, streptococcal infections, and clinical sequelae: V.Relation of the rheumatic fever recurrence rate per streptococcal infection to pre-existing clinical features of the patients. Ann. Intern. Med. 1964; 60 (suppl.5): 58. Taranta A, Spagnuolo M. Feinstein A.R : "Chronic" rheumatic fever Ann Intern. Med. 1962; 56 : 367. Taranta A: Rheumatic fever made difficult. A critical review of pha togenetic theories. Paediatrician 1976; 5 : 74. Taranta A, et.al : lntersociaety Commission for Heart Disease Resoources.:Prevention of rheumatic fever and rheumatic heart disease. Circulation 1970; 41 : A 1-15. Taranta A, and Moody M : Diagnosis of streptococcal pharyngitis and rheumatic fever. Pediatr. Clin. N. Am. 1971; 18 : 125. Toompkins D, et.al: Long term programs of rheumatic fever patients receiving regular inramuscular benzanthiine penicillin.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Circulation 1972; 45 : 543. U K and IJS. Joint Report. The natural history of rheumatic fever and rheumatic heart disease: cooperative clinical trial of ACTH, cortisone and aspirin. Circulation 1967; 32 : 457. United Kingdom and United States Joint Report on Rheumatic Heart Disease: The natural History of the rheumatic fever and rheumatic heart disease. Ten-year report of a cooperative clinical trial of ACTH. corsitone and aspirin. Circulation. 1965; 32: 457. Walker C.H.M : Rheumatic fever and rheumatic heart disease in Watson (ed.) Pediatric Cardiology. The C.V Mash) Co. Saint Louis. 1968. W.ti.0 : Preventice of rheumatic fever. Report of W.H.O Expert. Committee Geneve. 1966. W.tl.0 : Rheumatic fever and rheumatic heart disease. Report of W.H.0Stud!. Group. Cicneve, 1988.
Wood H.F et al: Rheumatic fever in children and adolescents. A long-term epiden~iologicstud!. Ann. Intern. Med. 1964; 60 (suppl.5); 3 1. Whitnack E. and Stollermen G.H: Antistreptococcal antibodies in the diagnosis of rheumatic fever: In Cohen A.S (eds.): Lab. Diagnostic Procedures in Rheumatic Iliseases. 3rd Ed. Boston. Little, Brown and Co. 1985; pp. 273-92. Wood H.F. Simpson R, Feinstein A.R. Taranta A. Tursk) E. and Stollerman : Rheumatic Fever in children and adoloscent. a long epidemiologic study of subsequent prophylaxis, strepto coccal infection and clinical sequele. Description of the investigative techniques and of population studied. Ann. Intern. Med. 1964; 60 (2) supll. 5. Wannamaker L.W, Rammelkamp C.H Jr. Denny F.W. et.al:Prophylaxis of acute rheumatic fever by treatment of the preceding streptococcal infection with various amounts of depot penicillin Am. J. Med. 1951; 10: 673.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
STENOSIS MITRAL Taufik Indrajaya, Ali Ghanie
PENDAHULUAN Stenosis mitral merupakan kasus yang sudah jarang ditemukan dalam praktek sehari-hari terutama di luar negeri. Sebagaimana diketahui stenosis mitral paling sering disebabkan oleh penyakit jantung reumatik yang menggambarkan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Oleh karena itu di negara maju seperti Amerika, penyakit ini sudah jarang ditemukan, walaupun ada kecenderungan meningkat karena rneningkatnya jumlah imigran dengan kasus infeksi streptokokus yang resisten. Sedangkan di Indonesia walaupun kasus baru juga cenderung menurun, namun kasus stenosis mitral ini masih banyak kita temukan. Angka yang pasti tidak diketahui nnlnun dari pola etiologi penyakit jantung di poliklinik Rumah Sakit Moehammad Hoesin Palembang selama 5 tahun ( 1 990- 1994) didapatkan angka 13.94% dengan penyakitjnntung katup. Seperti di luar negeri maka kasus stenosis mitral memang terlihat pada orang-orang dengan umur yang lebih tua, dan biasanya dengan penyakit penyerta baik kelainan kardiovaskular atau yang lain sehingga lebih merupakan tantangan. Dengan perkembangan di bidang ekokardiografi diagnosis stenosis mitral, derajat berat ringannya dan efek terhadap hipeflensi pulmonal sudah dapat diambil alih, yang sebelumya hanya dapat dilakukan dengan prosedur invasif kateterisasi.
Merupakan suatu keadaan di mana terjadi gangguan aliran darah dari atrium kiri melalui katup mitral oleh karena obstruksi pada level katup mitral. Kelainan struktur mitral ini menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul gangguan pengisian ventrikel kiri pada saat diastol.
Penyebab tersering adalah endokarditis reumatika, akibat reaksi yang progresif dari demam reumatik oleh infeksi streptokokus. Penyebab lain walaupun jarang dapat juga stenosis mitral kongenital, deformitas parasut mitral, vegetasi systemic lupus erythematosus (SLE), karsinosis sistemik, deposit amiloid, akibat obat fenfluramin1 phentermin, rhematoid arthritis (RA), serta kalsifikasi annulus maupun daun katup pada usia lanjut akibat proses degeneratif. Beberapa keadaan juga dapat menimbulkan obstruksi aliran darah ke ventrikel kiri seperti Cor triatrium, miksoma atrium serta trombus sehingga menyerupai stenosis mitral. Dari pasien dengan penyakit jantung katup ini 60% dengan riwayat demam reumatik, sisanya menyangkal. Selain daripada itu 50% pasien dengan karditis reurnatik akut tidak berlanjut sebagai penyakit jantung katup secara klinik (Rahimtoola). Pada kasus kami di klinik (data tiduk dipublikasi) juga terlihat beberapa kasus demam reumatik akut yang tidak berlanjut menjadi penyakit jantung katup, walaupun ada di antaranya memberi manifestasi chorea. Kemungkinan ha1 ini disebabkan karena pengenalan dini dan terapi antibiotik yang adekuat.
Pada stenosis mitral akibat demam reumatik akan terjadi proses peradangan (valvulitis) dan pembentukan nodul tipis di sepanjang garis penutupan katup. Proses ini akan menimbulkan fibrosis dan penebalan daun katup, kalsifikasi, fusi komisura, fusi serta pemendekan korda atau kombinasi dari proses tersebut. Keadaan ini akan menimbulkan distorsi dari aparatus mitral yang normal,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI mengecilnya area katup mitral menjadi seperti bentuk mulut ikan (:fish motrth') atau lubang kancing (htmor?hole) (Gambar 1). Fusi dari komisura akan menimbulkan penyempitan dari orifisium primer, sedangkan fusi korda mengakibatkan penyempitan dari orifisium sekunder. Pada endokardiris reumatika, daun katup dan khorda akan mengalami sikatrik dan kontraktur bersarnaan dengan pemendekan korda sehingga meni~nbulkanpenarikan daun katup menjadi bentuk ji~nnelskup.cd. Kalsifikasi biasanya terjadi pada usia lanjut dan biasanya lebih sering pada perempuan dibanding pria serta lebih sering pada keadaan gaga1 ginjal kronik. Apakah proses degeneratif tersebut dapat menimbulkan gangguan h g s i masih perlu evaluasi lebih jauh, tetapi biasanj a ringan. Proses perubahan patologi sampai terjadinya gejala klinis (periode laten) biasanya rnemakan waktu bertahuntahun ( 10-20 tahun).
Gambar 1. Ekokardlograf~2-D sumbu pendek (kanan) yang menunjukan bentuk mulut ~kan('fish mouth') atau lubang kanctng (buffon hole), dan sumbu panjang yang menunjukan 'doommng' area rnitral dan fusi dari k ~ r d a(Sumber A. Ghanre. Dfvrsr Kardiotogr. Dept. Int. Med FK. UNSRl / RSMH Palembang;).
Pada keadaan normal area katup mitral mempunyai ukuran 4-6 cm'. Bila area orifisium katup ini berkurang sampai 2
cm', maka diperlukan upaya aktif atrium kiri berupa peningkatan kkanan atrium kiri agar aliran transmitral yang normal tetap terjadi. Stenosis mitral kritis terjadi bila pembukaan katup berkurang hingga menjadi 1 cm'. Pada tahap ini, dibutuhkan suatu tekanan atrium kiri sebesar 25 mmHg untuk mernpertahankan curdiuc outpz~tyang nonnal (Swain,2005). Gradien transmitral merupakan 'hull murk' stenosis mitral selain luasnya area katup mitral, walaupun Rahimtoola berpendapat bahwa gadien dapat terjadi akibat aliran besar melalui katup normal, atau aliran normal melalui katup sempit. Sebagai alcibatnya kenaikan tekanan atrium kiri akan diteruskan ke v. pulmonalis dan seterusnya mengakibatkan kongesti paru serta keluhan sesak (e?rerr.tionuld~:spr~eu). Dera.iat berat ringannya stenosis mitral, selain berdasarkan gradien transmitral, dapat juga ditentukan oleh luasnya area katup ~nitral,serta hubungan antara lamanya waktu antara penutupan katup aorta dan kejadian opening sraup. Berdasarkan luasnya area katup mitral derajat stenosis mitral sebagai berikut: I. Minimal : bila area >2.5 em' 2. Ringan : bila area 1.4-2.5 cm' 3. Sedang :bila area 1-1.4 ~m' 4. Berat :bila area Cl .O cm2 5. Reaktif :bila area < 1 .O cm2 Keluhan dan gejala stenasis lnitral mulai akan muncul bila luas area katup mitral menurun sampai seperdua normal (<2-2.5 em'). Hubungan antara gradien dan luasnya area katup serta waktu pembukaan katup mitral dapat dilihat pada Tabel 1.
Derajat Stenosis Ringan Sedang Berat
A2-OS interval
Area
Gradien
=-I 10 msec 80-1 10 msec < msec
> 1.5 cm2 > dan I < 1 5 cm2 < 1 cm2
< 5 mmHg 5-10 mmHg > I 0 mmHg
A2-OS :Waktuantara penutupan katup aorta dan pembukaan katup rnitral
Gambar 2. Ekakardiografikardiografitransesofageal Potongan 4-mang, menunjukan penebalan daun katup mitral dengan fusl khorda mengakibatkan penyempitan dari orifisium sekunder. (Sumber . A Ghan~eDiv Kardrologi Dept Inf. Med. FK UNSRl RSMH Palembang)
Kalau kira lihat fungsi lama waktu pengisian dan besarnya pengisian, gejala/simtorn &an muncul bila waktu pengisian menjadi pendek dan aliran transmitral besar, sehingga terjadi kenaikan tekanan atrium kiri walaupun area belum terlalu sempit (>1.5 cm2).Pada stenosis mitral ringan simtom yang muncul biasanya dicetuskan oleh faktor yang meningkatkan kecepatan aliran atau curah jantung, atau menurunkan periode pengisian diastol, yang akan meningkatkan tekanan atrium kiri secara dramatis. Beberapa keadaan antara lain: ( 1) latihan. (21 stres emosi,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI (3) infeksi, (4) kehamilan, dan (5) fibrilasi atrium dengan respons ventrikel cepat. Dengan bertambah sempitnya area mitral maka tekanan atrium kiri akan meningkat bersamaan dengan progresi keluhan. Apabila area mitral
Perjalanan Penyakit Stenosis mitral merupakan suatu proses progresif kontinyu dan penyakit seumur hidup. Merupakan penyakit 'a disease ofplareaus' yang pada mulanya hanya ditemui tanda dari stenosis mitral yang kemudian dengan kurun waktu (10-20 th) akan diikuti dengan keluhan, fibrilasi atrium dan akhirnya keluhan disabilitas. Di luar negeri periode laten bisa berlangsung lebih lama sampai keluhan muncul, sedangkan dinegara kita manifestasi muncul lebih awal, ha1 ini dapat karena tidak atau lambatnya terdeteksi, pengobatan yang kurang adekuat pada fase awalnya. Angka 10 tahun survival pada stenosis mitral yang tidak diobati berkisar 50%-60%, bila tidak disertai keluhan atau minimal angka meningkat 80%. Dari kelompok ini 60% tidak menunjukkan progresi penyakitnya. Tetapi bila simtom muncul biasanya ada fase plateu selama 5-20 tahun sampai keluhan itu benar-benar berat, menimbulkan disabilitas. Pada kelompok pasien dengan kelas 111-IV prognosis jelek di mana angka hidup dalam 10 tahun < 15%. Apabila timbul fibrilasi atrium prognosisnya kurang baik (25% angka harapan hidup 10 th) dibanding pada kelompok irama sinus (46% angka harapan hidup 10 th). Risiko terjadinya emboli arterial secara bermakna meningkat pada fibrilasi atrium.
Riwayat Kebanyakan pasien dengan stenosis mitral bebas keluhan, dan biasanya keluhan utania berupa sesak napas, dapat
juga fatigue. Pada stenosis mitral yang bermakna dapat mengalami sesak pada aktivitas sehari-hari, paroksismal nokturnal dispnea, ortopnea atau edema paru yang tegas. Hal ini akan dicetuskan oleh berbagai keadaan meningkatnya aliran darah melalui mitral atau menurunnya waktu pengisian diastol, termasuk latihan, emosi, infeksi respirasi, demam, aktivitas seksual, kehamilan serta fibrilasi atrium dengan respons ventrikel cepat. Fatig juga merupakan keluhan umum pada stenosis mitral. Wood menyatakan bahwa pada kenaikan resistensi vaskular paru lebih jarang mengalami paroksismal nokturnal dispnea atau ortopnea, oleh karena vaskular tersebut akan menghalangi (sumbatan) sirkulasi pada daerah proksimal kapiler paru. Hal ini mencegah kenaikan dramatis dari tekanan v.pulmonalis tetapi tentunya dalam situasi curah jantung rendah. Oleh karena itu simtom kongesti paru akan digantikan oleh keluhan fatig akibat rendahnya curah jantung pada aktifitas dan edema perifer. Aritmia atrial berupa fibrilasi atrium juga merupakan kejadian yang sering terjadi pada stenosis mitral yaitu 3040%. Kejadian ini sering terjadi pada umur yang lebih lanjut atau distensi atrium yang menyolok akan merubah sifat elektrofisiologi dari atrium kiri. Hal ini tidak berhubungan dengan derajat stenosis. Fibrilasi atrium yang tidak dikontrol akan menimbulkan keluhan sesak atau kongesti yang lebih berat, karena hilangnya peran kontraksi atrium dalam pengisian ventrikel (114 dari isi sekuncup) serta memendeknya waktu pengisian diastol. Dan seterusnya akan menimbulkan gradien transmitral dan kenaikan tekanan atrium kiri. Kadang-kadang pasien mengeluh terjadi hemoptisis yang menurut Wood dapat terjadi karena: (1) apopleksi pulmonal akibat ruptumya vena bronkial yang melebar, (2) sputum dengan bercak darah pada saat serangan paroksismal nokturnal dispnea,(3) sputum seperti karat (pinkfrothy) oleh karena edema paru yang jelas, (4) infark paru, (5) bronkitis kronis oleh karena edema mukosa bronkus. Di luar negeri keluhan hemoptisis sudah jarang diketemukan dan biasanya merupakan stadium akhir, sedangkan di Indonesia sering ditemukan dan didiagnosa secara keliru sebagai tuberkulosis paru pada awalnya. Nyeri dada dapat terjadi pada sebagian kecil pasien dan tidak dapat dibedakan dengan angina pektoris. Diyakini ha1 ini disebabkan oleh karena hipertrofi ventrikel kanan dan jarang bersamaan dengan aterosklerosis koroner. Manifestasi klinis dapat juga berupa komplikasi stenosis mitral, seperti tromboemboli, infektif endokarditis atau simtom karena kompresi akibat besarnya atrium kiri seperti disfagia dan suara serak. Emboli sistemik terjadi pada 10%-20% pasien dengan stenosis mitral dengan distribusi 75% serebral, 33% perifer dan 6% viseral. Risiko embolisasi tergantung umur dan ada tidaknya fibrilasi atrium, 80% kejadian emboli terjadi pada fibrilasi atrium. Sepertiga dari kejadian emboli terjadi dalam 3 bulan dari fibrilasi atrium, sedangkan 213 terjadi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
dalani 1 tahun. Jika embolisasi terjadi pada pasien dengan irama sinus, harus dipertimbangkan suatu endoharditis inf'ektif. Ke-iadian emboli talnpaknya tidak tergantung dengan berat rinpannya stenosis, curah jantung. ~ikuran atrium kiri scrta ada tidahnya gaga1 jantung. Oleh karena itit kejadian emboli dapat berupa manifestasi awal stenosis mitral. Pada kejadian enlboli angka rekuren dapar snmpai 15-40 kejadian dalam I00 pasienlbulan. Dapat juga terjadi trornbus mastf d i ~ l a ~atrium n k~ri 'pedu~zculrrtedhall-i-ul\*c throtllhir\ ' yanp clapat mernperberat keluhan obstruksi bahkan dupat ~eriadi kematian mendadak (dihatakdn jarang, tettapi pada seri kami oukup banyak) (Cambar 4) Endokarditis infektifjarang terjadi dengan insiden 3% dali11111 tallun (pnda kasus tanpa operasi ).
Gambar 3. Ekokardiografi 2-13 potongan 4 ruang melalu~apek. tarnpak vegetasl dl katup rnitral yang blsa menjadi surnber emboli (tanda panah). (Sumber A Ghar~re Drv Karilrologi Dcpt Int Med FK UNSRl / RSMH Palembang)
Gambar 4. Ekokardiografi 2-D menunjukan trornbus di drnding posterlor atrium klri dan muara apendiks atr~urnkiri (Sumber A Ghanre Drv Kardrologr. Dept Int Med FK UNSRl / RSMH Palembang)
DIAGNOSIS
Pemeri ksaan Fisis Temuan klasik pada stenosis mitral adalah 'open~ng snap' dan bising diastol kasar ('diustolic rumble') pada daerah mitral. Tetapi sering pada pemeriksaan rutin sulit balkart tidak ditemilkan rumbel diastol dengan nada rendah, apalagi bila tidak dilakukan dengan hati-hati. Diluar negeri kasus stenosis lnitral ini jarang yang berat, sehi~~gga gambaran klasik tidak diternukan, sedangkan di Indonesia kasus berat tnasih banyak. Walaupun demikian pada kasus-kasus ringan harus dicurigai stenosis mitral ini bila teraba dan lerdengar S l yang keras. S 1 mengeras oleh karena peugisian yarig lama mernbuat tekanan ventrikel kiri meningkat dan menutup katup sebelum katup itu kembali ke posisinya. Di apeks rumbel diastolik ini dapat diraba sebagai thrrll. Dengan lain perkataan katup rnitral ditutup dengan tekanan yang keras secara mendadak, Pada keadaan di mana katup mengalami kalsifikasi dan kaku maka pcnutupan katup mitral tidak menilnbulkan bunyi S I yang keras. Demikian pula bila terdengar bunyi P2 yang mengeras sebagai petu~ijukhipertensi pulmonal, harus dicurigai adanya bising diastol pada mitral. Relxrapa usaha harus dilakukan untuk mendengar bising diastol aritara lain posisi lateral dekubitus, gerakanperakan atau latihan ringan, menahan napas dan menggunakan beN dengan meletakkan pada dinding dada tanp tekanan keras. Derajat dari bising diastol tidak menggambarkan beratriya stenosis tetapi waktu atau lamanya bising dapat menggambarkan dera,jat stenosis. Pada stenosis ringan bising halus dan pendek, sedangkan pada yang berat holodiastol dan aksentuasi presistolik. Waktu dari A2-OS juga dapat ~nenggatnbarkanberat riuganuya stenosis, bila pendek stenosis lebih berat. Bising diastol pada stenosis mitral dapat menjadi halus oleh karena obesitas, PPOM, edema paru, atau status curah jantung yang rendah. Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan bising diastol antara lain aliran besar melalui trikuspid seperti pada ASD, atau aliran besar melal~~i mitral seperti pada VSD, atau regurgitasi mitral. Pada AR juga dapat terjadi bising diastol pada daerah mitral akibat tertutupnya katup mitral anterior oIeh aliran balik dari aorta (murmur Austin-Flint). Bising diastol pada MR atau AR '&an menurun intensitasnya bila diberikan amil nitrit karena menurunnya trftc>t.lout/ dan berkurangnya derajat regurgitasi. Pemeriksaan Foto Toraks Gambaran klasik dari fbto toraks adalah pembesaran atrium kiri serta pembesaran arteri pulmonalis.(terdapat hubungan yang berrnakna antara besarnya ukuran pembuluh darah
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dan resistensi vaskular pulmonal).(Gambar 4) Edema intertisial berupa garis Kerley terdapat pada 30% pasien dengan tekanan atrium kiri <20 mrnHg, pada 70% bila tekanan atrium kiri >20 mmHg. Temuan lain dapat berupa garis Kerley A serta kalsifikasi pada. daerah katup mitral. Ekokardiografi Doppler Merupakan modalitas pilihan yang paling sensitif dan spesifik untuk untuk diagnosis stenosis mitral. Sebelum era ekokardiografikardiografi, kateterisasi jantung merupakan suatu keharusan dalam diagnosis. Dengan ekokardiografik dapat dilakukan evaluasi struktur dari katup, pliabilitas dari dam katup. ukuran dari area katup dengan planimetri ('mitral valve area'), struktur dari aparatus subvalvular, juga dapat ditentukan fungsi ventrikel. (Gambar 1)
Ekokardiografi Transesofageal Merupakan pemeriksaan ekokardiografi dengan menggunakan tranduser endoskop, sehingga jendela ekokardiografi akan lebih luas, terutarna untuk struktur katup, atrium kiri atau apendiks atrium. Dari data kami dengan ekokardiografi transesofagus lebih sensitif dalam deteksi trombus pada atrium kiri atau terutama sekali apendiks atrium kiri (Gambar 6).
Gambar 6. Ekokardiografi transesofageal potongan 4-ruang yang memperlihatkan spontan eko kontras di atrium kin yang tidak terlihat pada TTE. (Sumber : A. Ghanie. Div. Kam'iologi Dept. Int. Med. FK. UNSRl / RSMH Palembang)
L
Selama ini eko transesofageal bukan merupakan prosedur rutin pada stenosis mitral, namun a& prosedur valvulotomi balon atau pertimbangan antikoagulan sebaiknya dilakukan.
Gambar 5. Foto polos dada menunjukkan pembesaran segmen pulmonal dan atrium kiri, sehingga pinggang jantung hilang (Surnber :A. Ghanie. Div. Kardiologi Dept. Int. Med. FK. UNSRl / RSMH Palembang)
Sedangkan dengan doppler dapat ditentukan gradien dari mitral, serta ukuran dari area mitral dengan cara mengukur 'pressure halfrime' terutama bila struktur katup sedemikianjelek karena kalsifikasi, sehingga pengukuran dengan planimetri tidak dimunglunkan. Selain dari pada itu dapat diketahui juga adanya regurgitasi mitral yang sering menyertai stenosis mitral Derajat berat ringannya stenosis mitral berdasarkan eko doppler ditentukan antara lain oleh gradien transmitral, area katup mitral, serta besarnya tekanan pulmonal. Selain itu dapat juga ditentukan perubahan hemodinamik pada latihan atau pemberian beban dengan dobutamin, sehingga dapat ditentukan derajat stenosis pada kelompok pasien yang tidak menunjukkan beratnya stenosis pada saat istirahat.
Kateterisasi Seperti disebutkan di atas dulu kateterisasi merupakan standar baku untuk diagnosis dan menentukan berat ringan stenosis mitral. Walaupun demikian pada keadaan tertentu masih dikerjakan setelah suatu prosedur eko yang lengkap. Saat ini kateterisasi dipergunakan secara primer untuk suatu prosedur pengobatan intervensi non bedah yaitu valvulotomi dengan balon. PENATALAKSANAAN Pendekatan Klinis Pasien dengan Stenosis Mitral Pada setiap pasien stenosis mitral anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap harus dilakukan. Prosedur penunjang EKG, foto toraks, ekokardiografi seperti yang telah disebutkan diatas harus dilakukan secara lengkap. Pada kelompok pasien stenosis mitral yang asimtomatik, tindakan lanjutan sangat tergantung dengan hasil pemeriksaan eko. Sebagai contoh pasien aktif
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI asimtomatik dengan area > 1,5 cm', gradien <5 mmHg, maka tidak perlu dilakukan evaluasi lanjutan, selain pencegahan terhadap kemungkinan endokarditis. Lain halnya bila 5 pasien tersebut dengan area mitral ~ 1 . cm2. Balon tnitral valvuloplasty (lihat skema di bawah ini)
antagonis kalsium. Penyekat beta atau anti aritmia juga dapat dipakai untuk mengontrol frekuensi jantung, atau pada keadaan tertentu untuk mencegah terjadinya fibrilasi atrial paroksismal. Bila perlu pada keadaan tertentu di mana terdapat gangguan hemodinamik dapat dilakukan kardioversi elektrik, dengan pemberian heparin intravenort.~sebelum pada saat ataupun sesudahnya.
Relationship of MY4 to Gradient I
Anamnests PemerlksaanFlsls Foto toraks, elektrokard~ografi
Stenosis sedang alau berat
2
4
6
8
I0
12
14
16
Mean Cradien
namnesls pemenksaan fists foto tomks. ekokardlografi
Gambar 7. Hubungan antara gradien transmitral area mitral (MVA) pada pasien stenosis Pemerlksaan tahunan anamnesls pemerlksaan flsls foto toraks ekokardlograf~
Pendekatan Medis Prinsip umum. Stenosis mitral merupakan kelainan mekanik, oleh karena itu obat bersifat suportif atau simtomatik terhadap gangguan fungsional jantung, atau pencegahan terhadap infeksi. Beberapa obat-obatan seperti antibiotik golongan penisilin, eritromisin, sulfa, sefalosporin untuk demam reumatik atau pencegahan ekdokarditis sering dipakai. Obat-obat inotropik negatif seperti P-blocker atau Cablocker, dapat memberi manfaat pada pasien dengan irama sinus yang memberi keluhan pada saat frekuensi jantung meningkat seperti pada latihan. Retriksi garam atau pemberian diuretik secara intermiten bermanfaat jika terdapat bukti adanya kongesti vaskular paru. Pada stenosis mitral dengan irama sinus, digitalis tidak bermanfaat, kecuali terdapat disfungsi ventrikel baik kiri atau kanan. Latihan fisik tidak dianjurkan, kecuali ringan hanya untuk menjaga kebugaran, karena latihan akan meningkatkan frekuensi jantung dan memperpendek fase diastole dan seterusnya akan meningkatkan gradient transmitral. Fibrilasi atrium. Prevalensi 30-40%.akan muncul akibat hemodinamik yang bermakna karena hilangnya kontribusi atrium terhadap pengisian ventrikel serta frekuensi ventrikel yang cepat. Pada keadaan ini pemakaian digitalis merupakan indikasi, dapat dikombinasikan dengan penyekat beta atail
PAP > 50 mmHg 7
Tolerane latihan bumk
Perttmbangkan PMVB (smgklrkan bekuan atrlum klr?
--
Gambar 8. Algoritme pada pasien stenosis rnitral (from Bonow R, et al. ACCIAHA Task Force report on guidelines for valvular heart disease MVR, penggantian katup mitral; LA atrium kiri,MR, regurgitasi rnitral; PMBV, percutaneous mitral ballon valvotomy. *Terdapat variabilitas pengukuran area katup mitral dan gradien rata-rata transrnitral, dan tekanan pulrnonar yang seharusnya menjadi pertimbangan. + Terdapat kontroversi tentang apakah pasien dengan stenosis mitral berat dan hipertensi pulrnonar berat harus menjalani penggantian katup mitral untuk mencegah gagal ventrikel kanan.
Pencegahan ernbolisasi sistemik. Antikoagulan warfarin sebaiknya dipakai pada stenosis mitral dengan fibrilasi atrium atau irama sinus dengan kecenderungan pembentukan trombus untuk mencegah fenomena tromboemboli. Valvotomi mitral perkutan dengan balon. Pertama kali
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
STENOSIS MITRAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI diperkenalkan oleh Inoue pada tahun 1984 dan pada tahun 1994 ditermia sebagai prosedur klinik. Mulanya dilakukan dengan dua balon, tetapi akhir-akhir ini dengan perkembangan dalam teknik pembuatan balon, prosedur valvotomi cukup memuaskan dengan prosedur 1. balon.
Smptomalik kelas fungslonal II NYHA Stenos~snngan
StenoSiS berat sedang MVA < .5Icm'
I
I
II
Latihan
1
I PAP > 60 mmHg PAWP r 30 mmHg Grad~en> 15 mHg
Morfologt katup yang layak untuk PMBV 1
Pemerlksaan tahunan
(angk~rkanbekuan atnum kln.
Gambar 9. Algoritme pasien dengan stenosis mitral dengan simtom klasifikasi II. (From Bonow R, et al. ACCIAHA Task Force report on guidelines for valvular heart disease. J Am Coll Cardiol (in press). MVA, Area katup mitral; PAP, tekanan sistolik arteri pulmonar; PAWP, tekanan baji arteri pulmonar; MV, mitral valve. MVR, penggantian katup mitral; LA, atrium kiri; MR, regurgitasi mitral; PMBV, percutaneous mitral balloon valvotomy.
MOlfol~gl katup yang layak untuk PMBV Gradlen mmHg
Pwbalkankawp meal atau penggantlan katup rnttral I
Intervensi bedah, reparasi atau ganti katup. Konsep komisurotomi mitral pertama kali diajukan oleh Brunton pada tahun 1902, dan berhasil pertamakali pada tahun 1920. Sampai dengan tahun 1940prosedur yang dilakukan adalah komisurotomi bedah tertutup. Tahun 1950 sampai dengan 1960 komisurotomi bedah tertutup dilakukan melalui transatrial serta transventrikel. Akhir-akhir ini komisurotomi bedah dilakukan secara terbuka karena adanya mesin jantung-paru. Dengan cara ini katup terlihat dengan jelas, pemisahan komisura, atau korda, otot papilaris, serta pembersihan kalsifikasi dapat dilakukan dengan lebih baik. Juga dapat ditentukan tindakan yang akan diambil apakah itu reparasi atau penggantian katup mitral dengan protesa. Perlu diingat bahwa sedapat mungkin diupayakan operasi bersifat reparasi oleh karena dengan protesa akan timbul risiko antikoagulasi, trombosis pada katup, infeksi endokarditis, malfungsi protesa serta kejadian trombo emboli.
Sesuai dengan petunjuk dari 'American College of Cardiology/American Heart Association (ACCJAHA) dipakai klasifikasi indikasi diagnosis prosedur terapi, sebagai berikut: Klas I : keadaan di mana terdapat bukti atau kesepakatan umum bahwa prosedur atau pengobatan itu bermanfaat dan efektif. Klas 11: keadaan di mana terdapat konfliktperbedaan pendapat tentang manfaat atau efikasi dari suatu prosedur atau pengobatan. 1I.a. Bukti atau pendapat lebih kearah bermanfaat atau efektif 1I.b. Kurang / tidak terdapat bukti adanya manfaat atau efikasi Klas 111: keadaan di mana terdapat bukti atau kesepakatan umum bahwa prosedur atau pengobatan itu tidak bermanfaat bahkan pada beberapa kasus berbahaya.
regurgntasj mltral 3 4 1
I
Gambar 10. Algoritme pasien dengan stenosis mitral dengan simtom klasifikasi Ill-IV. (From Bonow R, et al. ACCIAHA Task Force report on guidelines for valvular heart disease. J Am Coll Cardiol (in press). MVA, Area katup mitral; PAP, tekanan sistolik arteri pulmonar; PAWP, tekanan baji arteri pulmonar; MV, mitral valve. MVR, penggantian katup mitral; LA, atrium kiri; MR, regurgitasi mitral; PMBV, percutaneous mitral balloon valvotomy.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 1.
2.
3. 4.
5.
6.
7.
lndikasi
Klas
Diagnosis stenosis mitral, evaluasi berat ringannya (gradient rata-rata, area katup, tekanan arteri pulmonalis), serta ukuran dan fungsi ventrikel kanan Evaluasi morfologis katup, guna menentukan kelayakan tindakan balon katup Diagnosis dan evaluasi kelainan katup yang menyertai Re-evaluasi stenosis rnitral dengan perubahan gejala dan tanda Evaluasi respons hemodinamik dari gradient rata-rata pada latihan, bila terlihat perbedaan gambaran klinis dengan hemodinamik pada latihan Re-evaluasi pasien stenosis sedang-berat asimtomatik untuk menentukan tekanan arteri pulmonalis Evaluasi rutin stenosis ringan dan klinis stabil
I
lndikasi
1.
Untuk menentukan ada tidaknya trombus atrium kiri pada pasien dengan rencana balon valvotomi atau kardioversi 2. Evaluasi morfologis katup bila data transtorakal kurang optimal 3. Evaluasi rutin morfologis katup mitral bila data transtorakal cukup optimal
1. 2. 3. 4.
1. 2.
3.
4.
5.
1.
I I
2.
I Ila
lndikasi
Klas
Pasien simtomatik klasifikasi NYHA Il-IV, stenosis mitral sedang atau berat dengan area < 1.5 crn2, morfologis katup memenuhi syarat untuk valvotomi balon, tanpa adanya thrombus atrium kiri atau regurgitasi mitral sedang-berat Pasien asimtomatik dengan gradasi sedangberat (area < 1.5 cm2), morfologis katup memenuhi syarat dengan hipertensi pulmonal (>50 mmHg pada istirahat, 60 mmHg dengan latihan), tanpa adanya trombus di atrium kiri atau regurgitasi mitral sedang-berat
I
Il a
3.
Pasien dengan klasifikasi NYHA It-IV, gradasi sedang-berat (area 4 . 5 cm2), katup tidak pliable disertai kalsifikasi dengan risiko tinggi operasi, tanpa adanya trombus diatrium kiri atau regurgitasi mitral sedang dan berat
II a
111
4.
Pasien asirntomatik, gradasi sedang-berat (area < 1.5 cm2), rnorfologi katup memenuhi syarat untuk valvotomi balon, disertai onset atrial fibrilasi yang baru, tanpa adanya trombus diatriurn kiri atau regurgitasi mitral sedang-berat
Il b
Klas
5.
Klasifikasi NYHA Ill-IV, gradasi sedang - berat (area
II b
Ilb
Ila 6.
111
Ila Ill
lndikasi
Klas
Fibrilasi atrial paroksismal atau kronik Riwayat kejadian emboli sebelumnya Stenosis berat dengan dimensi atrium kiri > 55 mm Seluruh pasien dengan stenosis mitral
I I 11 b
lndikasi
Klas
Pada pasien secara selektif Menentukan gradasi stenosis pada rencana balon valvotomi, dimana gambaran klinis dan eko tidak sesuai Evaluasi arteri pulmonal, atrium kiri, tekanan diastoliK ventrikel kiri jika simtom tidak sesuai dengan 2-D echo dan doppler Evaluasi respons hemodinamik arteri pulmonal dan tekanan artrium kiri terhadap stres bila simtom klinis dan hemodinamik pada istirahat tidak sesuai Evaluasi hemodinamik katup mitral bila data 2-0 dan doppler sesuai dengan temuan klinis
I II a
Ill
II a
II a
Bruce, C.J., Nishimura, R.A. Newer Advances in the Diagnosis and Treatment of Mitral Stenosis In Current Problems in Cardiology. Mosby 1nc.Vol. 23, Number 3, March 1998, p.125-96. Braunwald, E. Mitral Stenosis. In Valvular heart disease. In Horrison's Principles of Internal Medicine. Kasper, D.L., Braunwald, E.. Fauci, A.S., Hauser, S.L., Longo, D.L., Jameson, J.L. 16"' edition. Vol. 1I.McGraw-hill. 2005. p.1390-92. Dalen, J.E.. Fenster, P.E. Mitral Stenosis. In : Valvular heart disease. Alpert, J.S., Dalen, J.E., Rahimtoola, S.H. Third edition. Philadelphia Lippincott Williams & walkins, USA. 2000. p. 75-1 12. Bonow R, et al. ACCiAHA Task Force report on guidelines for valvular MV, mitral valve replacement Ghanie,A. Arsip ekokardiografikardiografi, Divisi Kardiologi Bagian llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwi,jaya/ RS. Dr. Mohammad Hoesin Palembang. 1987 - 2006. Ghanie, A. Comparative study of transesophageal to transthoracal in detecting thrombus and spontaneous ekokardiografi contrast in mitral stenosis. Acta Medica Indonesiana. Vol. XXXIV. No. 2. edition April - June 2002. p. 52-4. Swain,2005. Mitral Stenosis. McNamara rt 01, eds. eMedicine. httpi iwww.eMedicine.com/emerg.topic.3 15.htm.
111
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
REGURGITASI MITRAL Daulat Manurung
PENDAHULUAN Regurgitasi mitral sama dengan mitral regurgitation (MR) adalah suatu keadaan di mana terdapat aliran darah balik dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri pada saat sistol, akibat tidak dapat menutupnya katup mitral secara sempurna. Dengan demikian aliran darah saat sistol akan terbagi dua, disamping ke aorta yang seterusnya k& aliran darah sistemik, sebagai fungsi utama, juga akan masuk ke atrium kiri. Akan tetapi daya pompa jantung jadi tidak efisien dengan berbagai tingkat klinisnya, mulai dari yang asimtomatis sampai gaga1 jantung berat. Dari segi proses terjadinya mitral regurgitasi dapat dibagi menjadi mitral regurgitasi yang akut, transient atau bersifat sementara, dan kronik. ~edangkanetiologi regurgitasi mitral sangat banyak.
STRUKTUR DAN FUNGSI KOMPONEN KATUP MITRAL Katup mitral terdiri dari empat komponen utama yaitu: Anulus katup mitral. Terdiri dari bagian yang kaku ("fixed")yang berhubungan dengan annulus katup aorta. Terdiri dari jaringan fibrosa dan merupakan bagian dari pangkal katup mitral bagian anterior, Bagian annulus mitralis yang lain yaitu bagian yang dinamik, bagian yang terbesar dan tempat pangkal dari daun katup mitral bagian posterior. Kedua daun katup. Terdiri dari daun katup anterior dan posterior. Keduanya asimetris. Celah dari kedua katup ini disebut komisura, bagian antero medial dan poster0 lateral. Chordae tendinea.Terdiri dari dua berkas, berpangkal pada muskulus papilaris. Berkas chordae tendinea ini menempel
pada masing-masing daun katup, yang berfungsi untuk menopang daun katup mitral dalam berkoaptasi. Setiap berkas chovda terdiri dari beberapa serabut yang 'fflexible ". Muskulus papillaris. Terdiri dari dua buah, tempat berpangkalnya kedua chordae tendinea, dan berhubungan langsung dengan dinding ventrikel kiri. Berfungsi untuk menyanggah kedua chordae. "Muskulus papillaris ' adalah bagian dari endokardium yang menonjol, satu di medial, dan satu lagi di dinding lateral. Kelainan pada apparatus mitral ini pada keadaan regurgitasi bisa saja hanya satu dari keempat komponen tadi, misalnya pada anulus yang melebar, pada penyakit jantung degeneratif seperti penyakit jantung koroner, namun bisa saja mengenai dua atau lebih, seperti katup mitral memendek, mengapur dan kelainan pada chordae, fusi dan memendek seperti pada penyakit jantung rematik. Pada akut infark, dapat terjadi muskulus papilaris.
Etiologi regurgitasi mitral (MR) sangat banyak, erat hubungannya dengan klinisnya MR akut atau MR kronik. MR akut secara garis besar ada tiga bentuk: MR primer akut non iskemia yang terdiri dari: - ruptur korda spontan - endokarditisinfektif - degerasi miksomatous dari valvular - trauma - hipovolemia pada mitral valve prolapse (MVP) MR karena iskemia akut MR yang terjadi karena iskemia akut dapat dijelaskan sebagai berikut. Akibat adanya iskemia akut, maka akan terjadi gangguan fungsi ventrikel kiri, annular geometri
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
atau gangguan fingsi muskulus papilaris. Pada infark akut, dapat terjadi ruptur dari muskulus papilaris, satu atau keduanya. Selanjutnya timbul edema paru, syok dan kematian. Namun apabila hanya satu muskulus papilaris yang ruptur, biasanya walau klinisnya berat, namun kemungkinan masih bisa diatasi. Ruptur muskulus papilaris pada infark akut biasanya timbul antara hari kedua sampai hari kelima, klinisnya berat, biasanya perlu tindakan operasi. MR juga bisa timbul sebagai kelanjutan dari infark akut, di mana terjadi remodeling miokard, gangguan fungsi muskulus papilaris, dan dilatasi annulus, gangguan koaptasi katup mitral, selanjutnya timbul MR. MR akut sekunder pada kardiomiopati. Pada kardiomiopati terdapat penebalan dari miokard yang tidak proporsional dan bisa asimetris, yang berakibat kedua muskulus papilaris berobah posisi, akibatnya tidak berfungsi dengan sempurna, selanjutnya penutupan katup mitral tidak sempuma.
ETlOLOGl DAN MEKANISME MR KRONIK Etiologi MR kronik sangat banyak. MR kronik dapat terjadi pada penyakit jantung valvular yang berlangsung secara
Etiologi Pascainflamasi Rematik Lupus eritematosus Sistemik Sindrom antikardiolipin Pasca radiasi Degeneratif Mitral valve prolapse ruptur korda idiopatik Sindrom Marfan's Sindrom Ehlers-Danios Traumatik MR Penyakit Miokardial lskemik (kronik) Kardiomiopati Penyakit lnfiltratif Penyakit arniloid Penyakit Hurler's Encasing disease Sindrorn hipereosinofilik Fibrosis endomiokardial Penyakit karsinoid Lesi egot Diet-drug lesions Endokarditis Kongenital
"slowly progressive", seperti pada penyakit jantung rematik. Dapat juga terjadi sebagai konsekuensi lesi akut seperti perforasi katup atau ruptur korda yang tidak pernah memperlihatkan gejala-gejala akut, namun dapat diadaptasi sampai timbul bentuk kronis dari MR. Beberapa jenis etiologi MR kronik terdiri dari hal-ha1 sebagai berikut (Tabel 1).
MR karena Reumatik Biasanya disertai juga dengan stenosis mitral berbagai tingkatan dan fusi dari "commisura", hanya sekitar 10% kasus rematik mitral murni MR tanpa ada stenosis. MR berat karena rheuma yang memerlukan tindakan operasi masih sering ditemukan pada negara-negara yang sedang berkembang, tetapi sudah jarang di negara-negara yang sudah maju. Biasanya lesi rematik dapat berupa retraksi fibrosis pada apparatus valvuler, yang mengakibatkan koaptasi dari katup mitral tidak berhngsi secara sempurna. Pada kasus-kasus MR yang mengalami koreksi operasi, terdapat 3-40% karena atas dasar reumatik. MR Degeratif Yang paling sering penyebabnya adalah mitral valve prolapse (MVP), di mana terjadi gerakan abnormal dari
Mekanisme
Gambaran Ekokardiografi
Retraksi Penebalan
Penebalan korda/leaflets Gerakan restriksi atau normal
Prolaps leaflets Ruptur korda
ProlapsVFlail leaflets Redundant tissue Ruptur korda
Dilatasi anulus Tenting of leaflets
Normal leafleats Penurunan gerakan leaflets
Penebalan leaflets Hilangnya koaptasi
Penebalan leaflets Penurunan gerakan
lmobilisasi leaflets Penebalan leaflets
Penebalan leaflets dan korda Gerakan restriksi
Destructive lesions Cleff leaflets Transposed valve
Perforasi Flail leaflets Cleft leaflets Tricuspid valve
MR = Mitral Regurgitation
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
daun katup mitral ke dalarn atrium kiri saat sistol, diakibatkan oleh tidak adekuatnya sokongan ("support") dari korda, memanjang atau ruptur, dan terdapat jaringan valvular yang berlebihan Di negara-negara maju, lesi MVP merupakan lesi yang terbanyak didapatkan, 20-70% dari kasus-kasus MR yang mendapat tindakan koreksi. dengan operasi.
MR karena Endocarditis Infective "Infective endocarditis" dapat menyebabkan destruksi dan perforasi dari daun katup. MR karena lskemia atau MR Fungsional Timbul sebagai akibat adanya dishngsi muskulus papilaris yang bersifat transient atau permanen akibat adanya iskemia kronis. Iskemia kronik dan MR fungsional dapat juga terjadi akibat dilatasi ventrikel kiri, aneurisms ventrikel, miokardiopati atau miokarditis. Penyebab Lain MR Kronik Masih sangat banyak, walau sangat jarang ditemukan, seperti penyakit jaringan ikat ("connective tissue disorders"), seperti sindrom Marfan, sindrom antikardiolipin, sindrom SLE dan lain-lain. PATOFlSlOLOGl MR AKUT Pada MR primer akut, atrium kiri dan ventrikel kiri yang sebelumnya normal-normal saja, tiba-tiba mendapat beban yang berlebihan ( "severe volume overload "). Pada saat sistol atrium kiri akan mengalami pengisian yang berlebihan, disamping aliran darah yang biasa dari venavena pulmonalis, juga mendapat aliran darah tambahan dari ventrikel kiri akibat regurgitasi tadi. Sebaliknya pada saat diastol, volume darah yang masuk ke ventrikel kiri &an mengalami peningkatan yang berasal dari atrium kiri yang mengalami volume overload tadi. Dinding ventrikel kiri cukup tebal tidak akan sempat berdilatasi, narnun akan mengakibatkan mekanisme Frank-Starling akan berlangsung secara maksimal, yang selanjutnya pasien masuk dalam keadaan dekompensasi jantung kiri akut. Tekanan atau volume ventrikel kiri yang berlebih diteruskan ke atrium kiri, selanjutnya ke vena-vena pulmonalis dan timbullah edema paru yang akut. Pada saat yang bersamaan pada fase sistol di mana ventrikel kiri mengalami volume overload dan tekanan di ventrikel kiri meningkat, tekanan after load berkurang akibat regurgitasi ke atrium kiri yang bisa mencapai 50% dari strok volume ventrikel kiri. Aliran darah ke aorta (sistemik) akan berkurang karena berbagi ke atrium kiri. Akibatnya cardiac output akan berkurang walaupun fungsi ventrikel kiri sebelumnya masih normal atau bahkan diatas normal.
Pada keadaan seperti ini, pasien akan memperlihatkan gejala-gejala gaga1 jantung kiri akut, kongesti paru, dan penurunan cardiac output.
PATOFlSlOLOGl MR KRONIK Tidak sempumanya koaptasi dari kedua daun katup mitral pada fase sistol, menimbulkan ada pintulcelah terbuka ("regurgitantorifice") untuk aliran darah balik ke atrium kiri. Adanya "systolicpressuregradient " antara ventrikel kiri dan atrium kiri, akan mendorong darah balik ke atrium kiri. Volume darah yang balik ke atrium kiri disebut "volume regurgitant ",dan presentase regurgitan volume dibanding dari total ejection ventrikel kiri, disebut sebagai fraksi regurgitan. Dengan demikian pada fase sistole, akan terdapat beban pengisian atrium kiri yang meningkat, dan pada fase diastol, beban pengisian ventrikel kiri juga akan meningkat, yang lama kelamaan akan memperburuk performance ventrikel kiri ( "remodeling"). Pada MR kronis, terjadi dilatasi ventrikel kiri, walau lebih ringan ketimbang pada regurgitasi aorta (AR), pada tingkat regurgitasi yang sarna. Tekanan volume akhir diastol ( "enddiastolic volume ") dan regangan dinding ventrikel ( "wallstress ") akan meningkat. Volume akhir sistol akan meningkat pada MR kronik, meskipun demikian, regangan akhir sistole dinding ventrikel kiri biasanya masih normal. Selanjutnya massa ventrikel kiri pada MR akan meningkat sejajar dengan besamya dilatasi ventrikel kiri. Fungsi ventrikel kiri sulit dinilai karena ada perubahan pada preload dan after load. After load lebih sulit lagi dinilai karena ada aliran darah regurgitasi ke atrium kiri, yang sedikit banyak akan mengurangi tahanan pengeluaran darah dari ventrikel kiri, padahal pengukuran after load dan regangan akhir dinding ventrikel kiri masih dalam batas normal. Bagaimanapun juga, terdapat korelasi terbalik antara tekanan akhir dinding ventrikel dengan fraksi ejeksi pada MR. Petunjuk yang cukup komplek dengan memakai after load seperti regangan akhir sistolik dinding ventrikel kiri atau elastan maksimum yang disejajarkan dengan volume ventrikel kiri ,dapat dipakai sebagai pengukur perubahan fungsi ventrikel kiri yang cukup sensitif. Disfungsi ventrikel kiri akibat MR merupakan pertanda prognase yang tidak baik. Fungsi diastolik pada MR sangat sulit dianalisis akibat peningkatan volume pengisian. Relaksasi ventrikel kiri biasanya memanjang dan kekakuan ( "stzflness") ventrikel kiri juga biasanya berkurang akibat bertambahnya diameter rongga ventrikel kiri. Pada pasien MR fungsional akibat penyakit jantung koroner atau kardiomiopati, kelainan primer terdapat pada ventrikel kiri, di mana kontraktilitas dinding ventrikel sangat berkurang, padahal daun katup mitral itu sendiri
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
masih normal. MR kebanyakan tidak sejajar dengan derajat disfungsi ventrikel kiri, tetapi lebih berhubungan dengan remodeling ventrikel kiri secara regional. MR fungsional agak berbeda dengan MR organik ( "valvular "). Pada MR fungsional, volume regurgitasi biasanya sedikit dan dilatasi ventrikel kiri biasanya tidak proporsional dengan derajat MR. Tetapi MR fungsional punya arti klinis yang penting, berhubungan dengan peninggian volume dan tekanan di atrium kiri, dan suatu pertanda penyakit miokardium yang sudah lanjut. MR hngsional sangat efektif diobati dengan vasodilator.
MANlFESTASl KLlNlS Pasien MR berat akut hampir semuanya simtomatik. Pada beberapa kasus dapat diperberat oleh adanya ruptur chordae, umumnya ditandai oleh sesak napas dan rasa lemas yang berlebihan, yang timbul secara tiba-tiba. Kadang ruptur korda ditandai oleh adanya nyeri dada, orthopnea, paroxysmal nocturnal dispnea dan rasa capai kadang ditemukan pada MR akut. Dari anamnesis juga kemungkinan dapat diperoleh perkiraan etiologi dari MR akut. MR akut akibat iskemia berat, dapat diperkirakan pada kasus dengan syok atau gagal jantung kongestif pada pasien dengan infark akut, terutama bila didapatkan adanya murmur sistolik yang barn, walau kadang tidak ditemukan murmur sistolik pada MR akut akibat iskemia, karena dapat terjadi keseimbangan tekanan darah di dalam ventrikel kiri dan atrium kiri, yang dapat menimbulkan lamanya murmur memendek sehingga pada auskultasi sulit dideteksi (Tabel 2).
Akut Gejala Palpasi jantung
s1
Murmur Elektrokardiogram Foto toraks
Ekokardiografi Tera~i
Kronik
Hampir selalu ada, biasanya berat Unremarkable Soft Early systolic to holosystolic Normal Jantung normal silhouette; edema paru Normal LA and LV vasodilators
Mungkin tak ditemukan Displaced dynamic apical impulse Soft or normal Holosystolic LVH dan fibrilasi atrial sering Enlarged heart: normal lung fields Endlarged LA and Bedah
LA = atrium kiri, LV = ventrikel kiri, LVH = VHL = Hipstofi ventrikel kiri
MANlFESTASl KLlNlS Manefestasi klinis MR kronik, termasuk simtom, pemeriksaan fisis, perekaman EKG dan perubahan radiologi sangat tergantung dari derajat dan kausa dari MR, dan bagaimana performa atrium dan ventrikel kiri. (Tabel 3).
Pasien dengan MR ringan biasanya asimtomatik. MR berat dapat asimtomatik atau gejala minimal untuk bertahun-tahun. Rasa cepat capai karena cardiac output yang rendah dan sesak napas ringan pada saat beraktivitas, biasanya segera hilang apabila aktivitas segera dihentikan. Sesak napas berat saat beraktivitas, paroxysmal nocturnal dyspnea atau edema paru bahkan hemoptisis dapat juga terjadi. Gejala-gejala berat tersebut dapat dipicu oleh fibrilasi atrial yang. baru timbul atau karena peningkatan derajat regurgitasi, atau ruptur korda atau menurunnyaperformance ventrikel kiri. Sedangkan periode transisi dari akut menjadi kronik MR, dapat juga terjadi misalnya dari gejala akut seperti edema paru dan gagal jantung dapat mereda secara progresif akibat perbaikanperformance ventrikel kiri atau akibat pemberian diuretika.
Tekanan darah biasanya normal. Pada pemeriksaan palpasi, apeks biasanya terdorong ke laterallkiri sesuai dengan pembesaran ventrikel kiri. Thrill pada apeks pertanda terdapatnya MR berat. Juga bisa terdapat right ventricular heaving, bisa juga didapatkan pembesaran ventrikel kanan. Bunyi jantung pertama biasanya bergabung dengan murmur. Umumnya normal, namun dapat mengeras pada MR karena penyakit jantung rematik. Bunyi jantung kedua biasanya normal. Bunyi jantung ketiga terdengar terutama pada MR akibat kelainan organik, di mana terjadi peningkatan volume dan dilatasi ventrikel kiri. Murmur diastolik yang bersifat rumbling pada awal diastolik bisa juga terdengar akibat adanya peningkatan aliran darah pada fase diastol, walau tidak disertai oleh adanya stenosis mitral. Namun perlu diingat bahwa bunyi jantung ketiga dan murmur diastolik ini biasanya bunyinya bersifat "low pitch ",sulit dideteksi, perlu auskultasi yang hati-hati, lebih jelas terdengar pada posisi dekubitus lateral kiri, dan pada saat ekspirasi. Gallop atrial biasanya terdengar pada MR dengan awitan yang masih baru dan pada MR fungsional atau iskemia serta pada irama yang masih sinus. Pada MR karena MVP dapat terdengar mid systolic click yang merupakan petanda MVP, bersamaan dengan murmur sistolik. Hal ini terjadi sebagai akibat peregangan yang tiba-tiba dari chordae tendinea. Petanda utama dari MR adalah murmur sistolik, minimal derajat sedang, berupa murmur holosistolik yang meliputi bunyi jantung pertama sampai bunyi jantung kedua. Murmur biasanya bersifat blowing, tetapi bisa juga bersifat kasar ("harsh") terutama pada MVP. Pada MR karena penyakit jantung valvular dan MVP dari daun katup anterior, punctum maximum terdengar di apeks, menjalar ke aksila. Sedangkan pada MVP katup posterior arah 'yet " dari murmur menuju superior dan medial. Akibatnya
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Sindrom MVP
MR Oraanik
MR Funasional
Gejala Pemeriksaan fisis
Nyeri dada Mid-systolic click, dan- murmur sistolik perubahan ST-T
Lelah Loud holosystolic murmur, S3 Fibrilasi atrial
EKG Foto dada
Pectus excavatum
Kardiomegali, LA enlargement
CHF Soft early systolic murmur S4, s3 Gelombang Q, LBBB Kardiomegali, Edema paru
MR, mitral regurgitation; MVP, mitral valve prolapse; CHF, congestive heart failure; ECG, electrocardiogram; LBBB, left bundle branch block; CXR, chest X-ray; LA, left atrium
murmur menjalar ke basis jantung dan sulit dibedakan dengan murmur karena stenosis aorta atau kardiomiopati obstruktif. Murmur juga bisa terdengar di punggung. Murmur biasanya paralel dengan derajat MR, narnun tidak demikian pada MR karena iskemia atau fiingsional.
ELEKTROKARDIOGRAFI Gambaran EKG pada MR tidak ada yang spesifik, namun fibrilasi atrial sering ditemukan pada MR karena kelainan organik. MR karena iskemia, Q patologis dan LBBB bisa terlihat sedangkan pada MVP bisa terlihat perubahan segmen ST-T yang tidak spesifik. Pada keadaan dengan irama sinus, tanda-tanda dilatasi atrium kiri (LAH) dan dilatasi atrium kanan (RAH) bisa ditemukan apabila sudah ada hipertensi pulmonal yang berat. Tanda-tanda hipertropi ventrikel kiri (LVH) bisa juga ditemukan pada MR kronik.
FOTO TORAKS Bisa memperlihatkan tanda-tanda pembesaran atrium kiri dan ventrikel kiri. Juga tanda-tanda hipertensi pulmonal atau edema paru bisa ditemukan pada MR kronik. Sedangkan pada MR akut, biasanya pembesaran jantung belum jelas, walaupun sudah ada tanda-tanda gaga1 jantung kiri.
Ekokardiografi Doppler saat ini merupakan alat diagnostik yang utama pada pemeriksaan pasien dengan MR. Dengan Eko Doppler, dapat diketahui morfologi lesi katup mitral, derajat atau beratnya MR. Juga mengetahui beratnya MR. Juga mengetahui fungsi ventrikel kiri dan atrium kiri. Dengan eko bisa diketahui etiologi dari MR. Color Flow Doppler imaging merupakan pemeriksaan
non-invasive yang sangat akurat dalam medeteksi dan estimasi dari MR. Atrium kiri biasanya dilatasi, sedangkan ventrikel kiri cenderung hiperdinamik. Dengan quided Mmode diameter, dapat diukur besarnya ventrikel kiri, massa ventrikel kiri dan tekanan dinding ventrikel, dan fraksi ejeksi dapat dikalkulasi atau diestimasi. Volume ventrikel juga dapat diukur dengan Ekokardiografi dua dimensi (2 D Ekokardiograjicardiography). PENATALAKSANAAN TERAPl Terapi Medikamentosa Terapi MR akut adalah secepatnya menurunkan volume regurgitan, yang seterusnya akan mengurangi hipertensi pulmonal dan tekanan atrial dan meningkatkan strok volume. Vasodilator arterial seperti sodium nitroprusid merupakan terapi utama untuk tujuan ini. Vasodilator arterial dapat mengurangi resistensi valvuler, meningkatkan aliran pengeluaran ( "jorward flow") dan bersamaan dengan ini akan terjadi juga pengurangan dari aliran regurgitasi. Pada saat bersamaan dengan berkurangnya volume ventrikel kiri dapat membantu perbaikan kompetensi katup mitral. Sodium nitroprusid diberikan secara intravena, sangat bermanfaat karena halflife sangat pendek, sehingga mudah dititrasi, apalagi bila diberikan dengan pemasangan SwanGanz catheter. Pada pasien MR berat dengan hipotensi, sebaiknya pemberian sodium Nitroprusid harus dihindari. Intra Aortic Balloon Counter Pulsation dapat dipergunakan untuk memperbaiki mean arterial bloodpressure, di mana diharapkan dapat mengurangi afterload dan meningkatkan forward output (pengeluaran darah dari ventrikel kiri). Pengantian katup mitral baru bisa dipertimbangkan sesudah hemodinamik stabil. Terapi Medikamentosa pada MR Kronik Prevensi terhadap endokarditis infektif pada MR sangat penting. Pasien usia muda dengan MR karena penyakit
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
jantung rematik harus mendapat profilaksis terhadap demam rematik. Untuk pasien dengan AF perlu diberikan digoksin dan atau beta blocker untuk kontrol frekuensi detak jantung ("rate control"). Antikoagulan oral harus diberikan pada pasien dengan AF. Penyekat beta merupakan obat pilihan utama pada sindrom MVP, di mana sering ditemukan keluhan berdebar dan nyeri dada. Diuretika sangat bermanfaat untuk kontrol gaga1 jantung, dan untuk kontrol keluhan terutama sesak napas. ACE inhibitor dilaporkan bermanfaat pada MR dengan disfungsi ventrikel kiri, memperbaiki survival dan memperbaiki simtom. Juga MR fungsional sangat bermanfaat dengan ACE inhibitor ini.
perlu penilaian aparatus mitral secara cermat, dan performance dari ventrikel kiri. Namun kadang saat direncanakan rekonstruksi, sesudah dibuka, temyata harus diganti atau di replacement. Penggantian katup mitral, dipastikan apabila dengan rekonstruksi tidak mungkin dilakukan. Apabila diputuskan untuk replacement, maka pilihan adalah apakah pakai katup mekanikal di mana ketahanan dari valve mechanical ini sudah terjamin, namun terdapat risiko tromboemboli dan harus minum antikoagulan seumur hidup atau katup bioprotese ("biologic valve ") di mana umur valve sulit diprediksi, namun tidak perlu pakai antikoagulan lama. Kapan tindakan penggantian katup diakukan masih banyak para ahli yang belum sepaham, namun ada kecenderungan semakin cepat semakin baik, sebelum terjadi disfungsi ventrikel kiri. Disfungsi ventrikel kiri . biasanya irreversible, walau katupnya sudah diganti. Sebagai pegangan, AHA ( "AmericanHeart Association") dan ACC ("American College of Cardiology") telah menerbitkan guidelines (panduan) tentang management dari MR kronik (Gambar 1).
Terapi dengan Operasi Ada dua pilihan yaitu rekonstruksi dari katup mitral dan penggantian katup mitral ( "mitral valve replacement"). Ada beberapa pendekatan dengan rekonstruksi valvular ini, tergantung dari morphologi lesi dan etiologi MR, dapat berupa valvular repair misalnya pada MVP, annuloplas@, memperpendek korda dan sebagainya. Sebelum rekonstruksi ataupun sebelum replacement
Regurgitasi mitral berat kronik
I ranpatelala
I
Giala
1
Ekokardiografi
I Fraksi ejekii ventrikular >0,60 dan dimensi sistolik akhir <45mm
I
4 Tidak ada fibrilasi atrial atau hipertensi pulrnonal
dan ekokariografi
Fraksi ejekii ventrikel kiri 5 0.60
Ekokardiografi
1
Katup mitral dapat direparasi
i
Katup mitral tidak dapat direparasi
Fraksi ejeksi
i Fibrilasi atrial atau hipertensi pulrnonal
jika teknis rnernungkinkan
katup rnitral
Terapi rnedis
Gambar 1. Bagan tatalaksana regurgitasi rnitral berat kronik. Dimodifikasi dari The American College of Cardiology-American Heart Association guidelines.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI REFERENSI ACAIAHA guidelines for the management of patient with valvular heart disease: a report of the American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on Practice Quidelines (Committee on Management of Patient with Valvular Heart Disease). J Am. Coll Cardiol 1998:32:1486-588. Barry M Massie Thomas M Amidon : Mitral regurgitation in Current medical diagnosis & treatment 2003. Edited by Tierney LM, McPhee J/ Hapadakis MA. Lange Medical Books/ McGraw Hill. The Heart. 42nd Ed. Current Medical Diagnosis & Treatment 2003.p. 322-8. Carabello BA. Acute mitral regurgitation. 3rd Ed. Valvular Heart Disease by Lippincott William & Wilkin 2000;143-55.
Catherine M Otto. Evaluation and management of chronic mitral regurgitation. N Engl J Med, 2001; 345 ; 740-5. Eugene Brauwald. Valvular heart disease. 16 ed. Harrison's Principles of Internal Medicine. 2005 Mc Graw-Hill; 1390-5. Edited by Kaspen et al. J.S. Fleming. Lecture notes on cardiology. (Chapter 7 : Mitral Valve Disease). Sarano ME, Hanzell VS, Abdul Jamil T, Robert LF. Chronic mitral regurgitation. 3d Ed. Valvular Heart Disease 2000 by Lippincott William & Wilkin;115-55. Sjahbudin HR, Maurice ES, Hartzel et all. Mitral regurgitation . loth ed. 2001; in Hursts the Heart Ed. By Fuster V, et al. Internal edition Mc Graw Hill Medical Publish Divisi; 1708-27.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
STENOSIS AORTA Marulam M. Panggabean
ETlOLOGl STENOSIS AORTA Etiologi stenosis aorta adalah kalsifikasi senilis, variasi kongenital, penyakit jantung rematik. Di negara maju, etiologi terutama oleh kalsifikasi-degeneratif dan seiring dengan prevalensi penyakit jantung koroner dengan faktor risiko yang sama, sedang di negara kurang maju didominasi oleh penyakit jantung rematik
DIAGNOSIS STENOSIS AORTA Pada tahap asimtomatik, stenosis aorta ditandai oleh murmur sistolik ejeksi di basis jantung yang menyebar ke leher, paling keras di daerah aorta dan apeks. Pada awalnya karena curah jantung masih baik, murmur ini keras dan kasar puncak mid-sistol dan disertai thrill. Pada perkembangannya di mana curah jantung mulai menurun, murmur ini menjadi lebih halus dengan puncak di akhir sistole. Pada stenosis aorta kongenital, murmur ini biasanya didahului oleh klik sistolik. Perabaan amplitude nadi menurun (pulsus parvus et tardus). Bunyi jantung kedua melemah atau terdengar hanya satu komponen saja. Bila disertai regurgitasi aorta akan ditemukan early diastolik tnurmur. Foto toraks dapat normal tahap awal karena hipertrofi konsentrik ventrikel kiri. Kalsifikasi aorta dapat terlihat pada flouroskopi. Pada tahap lanjut akan ditemukan dilatasi post stenotik aorta asendens, dilatasi ventrikel kiri, kongesti paru, pembesaran atrium kiri dan rongga jantung kanan. Elektrokardiografi menunjukkan pembesaran ventrikel kiri. Pada kasus lanjut akan ditemukan depresi segmen ST dan inversi gelombang T(L V Strain) di sandapan I , AVL dan prekordial. Namun beratnya AS tidak bisa disingkirkan walaupun tanpa hipertrofi ventrikel kiri pada EKG. Ekokardiografi sangat membantu untuk menunjukkan penebalan dan kalsifikasi daun katup aorta.
Gerak dan jenis katup bikuspid (kongenital) atau trikuspid, hipertrofi ventrikel kiri, fraksi ejeksi yang menggambarkan hngsi sistolik ventrikel kiri dapat pula dinilai. Kecepatan aliran darah di katup aorta (transvalvular aortic velocity disingkat If) dapat diukur dengan Doppler-Ekokardiografi. Gradien katup aorta dapat dikalkulasi dengan memakai rumus Bernoulli Gradien = 4 x V2. Treadmill Exercise Test dulu dianggap kontraindikasi pada stenosis aorta.Sekarang perlu bagi pasien stenosis aorta asimtomatik dengan velocity transvalvular antara 34 mldetik. Dobutamin stres echo dapat pula dipakai untuk memastikan beratnya penyakit pada stenosis aorta dengan gradien transaorta rendah atau fungsi sistolik yang menurun. Kateterisasi jantung dan angiografi koroner diperlukan oleh ahli bedah jantung bila direncanakan tindakan operasi katup untuk menilai beratnya stenosis (Gradien katup dan area katup aorta), menilai anatomi katup, fungsi sistolik ventrikel kiri dan menilai ada tidaknya penyakit jantung koroner. Indikasi kateterisasi adalah: pasien dengan 1 ) AS serta tanda iskemia miokard untuk memastikan keterlibatan arteri koronaria, 2) Kelainan multivalvular untuk memastikan kelainan di masing-masing katup, 3) Pasien AS muda asimtomatik dan non-kalsifikasi di mana tindakan valvotomi balon masih dapat dilakukan, 4) Kecurigaan obstruksi infra valvular seperti kardiomiopati hipertrofik obstruktif.
PERJALANANPENYAKIT Stenosis aorta asimtomatik mengalami periode normal yang laten dan lamanya tergantung etiologi. Pada masa laten ini akan terjadi fibrosis dan kalsifikasi katup. Periode laten ini lebih pendek pada stenosis aorta karena aorta bikuspid serta reumatik dibandingkan dengan sklerotik aorta. Gejala
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
STENOSIS AORTA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI yang paling sering muncul adalah angina (35%), sinkop (15%) dan gagal jantung (50%). Begitu gejala muncul, ratarata hanya 25% yang bertahan hidup 3 tahun. Pasien dengan angina hanya 50% bertahan hidup 5 tahun, kecuali dilakukan operasi ganti katup. Pasien dengan sinkop hanya 50% yang bertahan hidup 3 tahun.Pasien dengan gagal jantung hanya 50% yang bertahan hidup 2 tahun(2). Risiko mati mendadak pada pasien asimtomatik hanya sekitar 2% sehingga pembedahan hams segera dilakukan pada pasien stenosis aorta simtomatik. Pasien asimtomatik akan mengalami mati mendadak sebesar O,S%/tahun. Pasien yang sudah dioperasi akan mengalami re-operasi sebesar 1% pertahun dengan risiko kematian operasi sebesar 1% Gradasi stenosis asimtomatik dapat diukur dengan Doppler dan dapat dipakai sebagai penentu timbulnya gejala. Hanya 3% pasien dengan Transvalvular velocity '>4m/detik yang bertahan asimtomatik dalam 2 tahun.Sedangkan 85% pasien asimtomatik dengan kecepatan <3m/detik dapat tetap hidup tanpa keluhan dalam 5 tahun.Beratnya kalsifikasi katup oarta, peningkatan jet velocity yang progresif serta adanya penyakit jantung koroner mempercepat timbulnya gejala dan memperbumk prognosis.
Hambatan aliran darah di katup aorta (progressive pressure overload of left ventricle akibat stenosis aorta) akan merangsang mekanisme RAA (Renin-AngiotensinAldosteron) beserta mekanisme lainnya agar miokard hipertrofi. Penambahan massa otot ventrikel kiri ini akan meningkatkan tekanan intraventrikel agar dapat melampaui tahanan stenosis aorta tersebut dan mempertahankan wall stress berdasarkan rumus Laplace: Stress= (pressure x radius): 2x thickness. Namun bila tahanan aorta bertambah, maka hipertrofi akan berkembang menjadi patologik dengan gejala sinkop, iskemia sub-endokard yang menghasilkan angina dan berakhir dengan gagal miokard (gagal jantung kongestif).
PENATALAKSANAAN
Tidak ada pengobatan medikamentosa untuk AS asimtomatik, tetapi begitu timbul gejala seperti sinkop, angina atau gagal jantung segera hams dilakukan operasi katup, tergantung pada kemampuan dokter bedah jantung(repair atau replace). Pasien asimtomatik perlu dirujuk untuk pemeriksaan Doppler-Ekokardiografi.
Trans-valvular velocity lebih dari 4mldetik dianjurkan untuk menjalani operasi seperti pasien simtomatik. Transvalvular-velocity kurang dari 3mldetik tetap diobservasi saja dan dibuat Doppler-ekokardiografi tiap 6 (bagi mereka yang disertai penyakit jantung koroner atau kalsifikasi sedang dan berat) atau tiap tahun bila tidak ditemukan ha1 dimuka. Bila transvalvular velocity antara 3-4mldetik dianjurkan Treadmil Exercise Test protokol Bruce dengan pengawasan ketat dilakukan untuk menentukan saat operasi. Bila timbul gejala saat tes, tekanan darah turun saat tes atau kemarnpuan yang sangat rendah (digambarkan dengan waktu exercise yang sangat pendek), maka pasien dianjurkan untuk operasi katup seperti pada pasien simtomatik. Karena patogenesis stenosis aorta akibat sklerosis aorta dianggap sama seperti aterosklerosis, maka semua tindakan untuk pencegahan aterosklerosis hams diberikan untuk mencegah progresivitas stenosis.
PENATALAKSANAAN
Aktivitas fisik berat dihindarkan pada pasien AS berat(<0,5cm2/m2walaupn masih asimtomatik. Nitrogliserin diberikan bila ada angina. Diuretik dan digitalis diberikan bila ada tanda gaga1 jantung. Statin dianjurkan untuk mencegah kalsifikasi daun katup aorta. Operasi dianjurkan bila area katup <1cm2 atau 0.6cm/ m2permukaan tubuh), disfbngsi ventrikel kiri (stress test), dilatasi pasca stenostik aorta walaupun asimtomatik. Stenosis aorta karena kalsifikasi biasanya terjadi pada orang tua yang telah pula mengalami penurunan fbngsi ginjal, hati dan paru. Evaluasi dari organ-organ ini diperlukan sebelum operasi dilakukan.
PROGNOSIS
Survival rate 10 tahun pasien pasca operasi ganti katup aorta adalah sekitar 60% dan rata rata 30% katup artifisial bioprotesis mengalami gangguan setelah 10 tahun dan memerlukan operasi ulang. Katup metal artifisial hams dilindungi dengan antikoagulan untuk mencegah trombus dan embolisasi. Sebanyak 30% pasien ini akan mengalami komplikasi perdarahan ringan-berat akibat dari terapi tersebut. Valvuloplasti aorta perkutan dengan balon dapat dilakukan pada pasien anak atau anak muda dengan AS kongenital non-kalsifikasi. Pada orang dewasa dengan kalsifikasi, tindakan ini menimbulkan restenosis yang tinggi.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
REFERENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Brauwald E.Valvular Heart Disease. In Kasper DL,Braunwald E,Fauchi AS et.al(editor),Harrison's Principles of Internal Medicine 16 ed.2003.p. 1390-403 Carabello,BA,Is it time to Operate on Asymptomatic Aortic Stensosis?ACCEL.November 2004,vol 36,110 I I ,Disc 1 Fuster V, Aortic Valve Sclerosis.The 37th Annual New york Cardiovascular Symposium:Major Topics in Cardiology Today,New York Hilton and Towers,New York,December 1012,2004 Otto,CM,Aortic Stenosis:even mild disease is significant.Eur J Card 2004;25:185-7 Rosenhek R,Klaar U,Schemper M etal,Mild and moderate aortic stenosis.Eur J Card 2004;25:199-205 Stewart WJ and Carabello BA,Aortic Valve Disease.ln:Topol EJ(Editor),Textbook of Cardiovascular Medicine,edZ. Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2002.p. 50916.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
REGURGITASI AORTA Saharman Leman
dalam 2 macam kelainan artifisial yaitu:
PENDAHULUAN
Abnormalitas katup jantung yang dibahas dalam bab ini menyangkut katup aorta, baik segi etiologi, patofisiologis, gambaran klinis serta penatalaksanaannya. Kelainan ini merupakan penyakit jantung yang masih cukup tinggi insidensinya.Beberapa jenis pemeriksaan dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis seperti fonokardiografi, kateter-isasi kardiak, serta angiografi, seperti yang sudah dibahas pada bab sebelumnya.
Karl et al melakukan penelitian terhadap 246 pasien yang menderita regurgitasi aorta yang berat, didapatkan angka kematian lebih tinggi dari yang diharapkan (10 tahun, 34 5%, p <0,00 1) dan angka kesakitan meningkat tinggi pada pasien yang diterapi secara konservatif. Prediksi angka harapan hidup pasien tergantung dari umur, kelas fungsional, index comorbidity, fibrilasi atrium, diameter sistolik akhir ventrikel kiri. Dari penelitian prospektif di Eropa terhadap pasien dengan kelainan katup jantung, didapatkan bahwa pasien dengan kelainan katup ini masih perlu tindakan intervensi yang segera. Jenis kelainan katup yang sering didapatkan adalah stenosis aorta 43,1% dari 1197 pasien, regurgitasi mitral 31,5 % dari 877 pasien, regurgitasi aorta 13,3 % dari 369 pasien, stenosis mitral 12,l % dari 336 pasien. Kelainan degeneratif masih merupakan penyebab tersering regurgitasi aorta. Dari studi Framingham didapatkan 4,9% angka kejadian regurgitasi aorta dan 10% dari strong heart study terhadap 250 pasien.
-. Dilatasi pangkal aorta seperti yang ditemukan,pada: - Penyakit kolagen - Aortitis sifilitika - Diseksi aorta Penyakit katup artifisial. - Penyakitjantung reumatik - Endokarditisbakterialis - Aorta artijkial congenital - Ventricular septa1 defect (VSD) - Ruptur traumatik - Aortic left ventricular tunnel Genetik - Sindrom marfan - Mukopolisakaridosis
*
Regurgitasi darah dari aorta ke ventrikel kiri dapat terjadi
Dilatasi ventrikel merupakan kompensasi utama pada regurgitasi aorta, bertujuan untuk mempertahankan curah jantung disertai peninggian tekanan artifisial ventrikel kiri. Pada saat aktivitas, denyut jantung dan resistensi vaskular perifer menurun sehingga curah jantung bisa terpenuhi. Pada tahap lanjut, tekanan atrium kiri, pulmonary wedgepressure, arteri pulmonal, ventrikel kanan dan atrium kanan meningkat sedangkan curah jantung menurun walaupun pada waktu istirahat
GEJALA KLlNlS
Ada 2 macam gambaran klinis regurgitasi yang berbeda yaitu: Regurgitasi aorta kronik. Biasanya terjadi akibat proses kronik seperti penyakit jantung reumatik, sehingga artifisial
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gambar 1. Diagram berrnacam-macarn kasus regurgitasi aorta (Braunwald, 2001)
kardiovaskularsempat melakukan mekanisme kompensasi. Tapi bila kegagalan ventrikel sudah muncul, timbullah keluhan sesak napas pada waktu melakukan aktivitas dan sekali-sekali timbul artijkial nocturnal dyspnea. Keluhan akan semakin memburuk antara 1 -10 tahun berikutnya. Angina pektoris muncul pada tahap akhir penyakit akibat rendahnya tekanan artifisial dan timbulnya hipertrofi ventrikel kiri. Pemeriksaanjasmani menunjukkan nadi, selar dengan tekanan nadi yang besar dan tekanan artifisial rendah, gallop dan bising artifisial timbul akibat besarnya curah sekuncup clan regurgitasi darah dari aorta ke ventrikel kiri. Bising artifisial lebih keras terdengar di garis sternal kiri bawah atau apeks pada kelainan katup artifisial, sedang pada dilatasi pangkal aorta, bising terutama terdengar di garis sternal kanan. Bila ada ruptur dam katup, bising ini sangat keras dan musikal. Kadang-kadang ditemukan juga bising sistolik dan thrill akibat curah sekuncup meningkat (tidak selalu merupakan akibat stenosis aorta). Tabrakan antara regurgitasi aorta yang besar dan aliran darah dari katup mitral menyebabkan bising mid/late diastolik (bising Austin Flinr).
Gambar 2. Patofisiologi regurgitasi aorta sehingga terjadi gagal jantung kiri melalui diastolik regurgitasi. LV : Leff Ventricle, LVET Leff Ventricle Ejection Time, Ao: Aortic, LVEDP : Leff Ventride End Diastolic Pressure (Braunwald, 2001)
Elektrokardiografi menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kiri dengan strain. Foto dada memperlihatkan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
RECURGITASI AORTA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI adanya pembesaran ventrikel kiri, elongasi aorta. dan pembesaran a t r i ~ ~kiri. ~ n Ekokardiografi menunjukkan adanya v o l ~ ~ m berlebih e pada ventrikel kiri dengan dimensi ventrikel kiri yang sangat melebar dan gerakan septum dan dinding posterior ventrikel kiri yang hiperkinetik. Kadang kadang daun katup mitral anterior atau septum interventrikular bergetar halus (fllittuing). Tanda kebocoran perifer yang dapat ditemukan pada regurgitasi aorta adalah: tekanan nadi yang melebar nadi (~lfifici :Y nadi yliincke :v tanda hill :v pistol sl~otso~ind tanda trulihe :s tanda dziroziez i tanda c/e I ~ ~ ~ I . F . Y L ~ ~ - tanda ~ n ~ l l:v ~ . r - tanda rosenh~lch - tanda gerhuradt 6 - tanda lundolfi :v Regurgitasi aorta akut. Berbeda dengan regurgitasi kronik, reg~lrgitasiakut biasanya timbul secara mendadak dan banyak, sehingga belum sempat terjadi mekanisme ko~npensasiyang sempurna. Gejala sesak napas yang berat akibat tekanan vena pulmonal yang meningkat secara tibatiba. Dengan semakin beratnya gagal jantung peninggian tekanan artifisial ventrikel kiri menyamai tekanan artifisial aorta, sehingga bising artifisial makin melemah. Hal ini akan menyulitkan diagnosis. Pemeriksaan elektrokardiografi dan foto rontgen bisa normal karena belum cukup waktu untuk terjadinya dilatasi dan hipertrofi, tetapi pada ekokardiografi terlihat kelebihan volume ventrikel kiri (ventricular\-o/z/nleo ~ ~ p ~ l o upenutupan d). artifisial katup mitral dan kadang kadang endokarditis bakterialis dapat diagnosis dengan katup vegetasi.
sehingga dapat me~nperla~nbat progresivitas dari disfungsi miokardium. Pengobatan Pembedahan. Hanya pada regurgitasi aorta akibat diseksi aorta, reparasi katup aorta bisa dipertimbangkan. Sedang pada regurgitasi aorta akibat penyakit lainnya, katup aorta umumnya harus diganti dengan katup artifisial. Timbulnya keluhan, terutama sesak napas, merupakan indikasi operasi. Tapi pasien dengan regurgitasi beratpun bisa asimtomatik, padahal ventrikel kiri sudah dilatasi dan hipertrofi sehingga bisa mengakibatkan fibrosis otot jantung apabila dibiarkan. Bila ekokardiografi menunjukkan dimensi sistolik ventrikel kiri 55 mm atau fiactiond skortening 25% dipertimbangkan untuk tindakan operasi, sebelum timbul gagal jantung. Studi jangka panjang terhadap pasien dengan regurgitasi aorta dengan pembedahan memberikan hasil yang baik. Dari 125 pasien yang diikuti selama 13 tahun, didapatkan t n o r t u l i ~rute ~ 2.5 % per pasien setahun. Prediksi yang baik didapatkan pada pasien dengan umur muda, index end .svstolic angiografi kurang dari 120 ml/m2 sebelum operasi, dan dimensi end diastolic berkurang pasca operasi lebih dari 20%.Dari data yang ada ternyata hasil akhir pembedahan pada perempuan dengan mengganti katup aorta lebih jelek dibandingkan pria. Sebagai contoh dari suatu studi terhadap 5 1 perempuan dan 198 pria, didapatkan tindakan
A CC-AHA Guidelines*
I
Sirntorn NYHA kelas Ill atau IV Simtorn NYHA kelas II dengan dilatasi ventrikel kiri progresif, fraksi ejeksi rnenurun atau penurunan toleransi latihan angina CCS kelas II Operasi diindikasikan untuk katup lain atau by pass koroner. Sirntorn NYHA kelas II terbatas (IIA)
Left ventricular diastolic diameter > 70 mrn Left ventricular systolic diameter > 55 rnrn atau > 25 mrn/m2of body-surface area Ascending aortic dilatation > 55 rnrn
II
Dilatasi ventrikel kiri asirntornatik > 75 rnrn saat diastol dan > 35rnrn saat sistol (Ila) Fraksi ejeksi < 25% (lib) Dilatasi ventrikel asirntornatik 70 - 75 mrn saat diastol dan 50-55 rnrn saat sistol (lib) Asirntornatik, penurunan fraksi ejeksi dengan latihan (Ilb)
Peningkatan cepat left ventricular diameters. Bicuspid aortic valve atau Marfan syndrome dengan diameter aorta > 50 rnrn
PENATALAKSANAAN Pengobatan medikamentosa. Digitalis harm diberikan pada regurgitasi berat dan dilatasi jantung walaupun asimtornatik. Regurgitasi aorta karena penyakit jantung reumatik harus mendapat pencegahan sekunder dengan antibiotik. Juga terhadap kemungkinan endokarditis bakterialis bila ada tindakan khusus. Mortalitas operasi pada regurgitasi aorta akibat sindrom Mur:fun cukup tinggi ( 1 0%). Beberapa pusat penelitian menganjurkan penggilnaan propranolol pada dilatasi aorta akibat sindrom Mu1:fun untuk mengurangi pulsasi aorta yang begitu kuat.Pengobatan dengan vasodilator seperti nifedipine, felodipine, dan ACE inhibitor dapat mempengaruhi ~ ~ k u r adan n fungsi dari ventrikel kiri dan mengurangi beban di ventrikel kiri,
European Society of Cardiology Guidelines
Indication Class*
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI bedah lebih sering terhadap perempuan dengan gejala yang berat, tetapi proporsi kematian setelah tindakan bedah pada perempuan dan pria adalah sama. Secara umum rekomendasi untuk tindakan pengobatan dan pembedahan adalah pasien dengan pembesaran ventrikel kiri (L V end diastolic dimention besar dari 65 mm) dan normal fungsi sistolik, dapat diterapi dengan vasodilator, dan nifedipin merupakan pilihan yang baik. Pembedahan dilakukan terhadap pasien dengan pembesaran ventrikel kiri yang progresif, dimensi diastolik akhir lebih dari 70 mm,.dimensi sistolik50 rnm dan EF 50%. Pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang simtomatis, harus dilakukan penggantian katup setelah periode pengobatan intensif dengan digitalis, diuretik, dan vasodilator untuk mencegah timbulnya gejala gaga1 jantung.
G a m b a r 3. P e r u b a h a n hemodinamik p a d a regurgitasi aorta. A.Normal. B.Regurgitasi aorta akut. C.Regurgitasi aorta kronik. D.Regurgitasi a o r t a kronik d a l a m Dekornpensasi. E . S e g e r a s e s u d a h replacement katup aorta. (Kutip Braunwald, 2001)
Braunwald E (ed). Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. Philadelphia: WB Saunders Company; 1980.p. 1 12747. Brliunwald E. I leart Disease. A Textbook of' Cardiovascular Medicine. Philadelphia : W B Saunders Company; 1980.p. 1153-5 Braunwald E. tleart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. Philadelphia : WB Saunders Company; 2001 .p. 167 1-89 Bernard Lung et al. A Prospective survey of patients with valvular hcart disease in Europe : The Euro Heart Survey on Valvular Heart Disease, Euro Heart J. 2003324: 1131-43 [la\ id Daniel. Chin C. Chen and Joel Morganroth. Ekokardiografi cardiography in the diagnosis and quantification of valvular heart disease. In : Nobel 0 f:owler (ed), Non Invasive Diagnostic Methods in Cardiology, Philadelphia : FA Davis. Company: 1983.p. 67 115. Emmanouillidies, George C and Barry G. Baylen. Pulmonary stcnosis in moss. In: Heart Disease in Infants. Children and Adolescents, 1983: 234. Fuster Valentine. Robert 0 Braudenhurg. Emillio R Giuliani and Dwight C Mc Goon. Clinical approach and management of acquired valvular heart disease. In : Robert 0. Brandenburt I Ed. Oftice Cardiology. Philadelphia: FA Davis Company; 1980.p. 1 3 - 5 9 , Joseph S A, Valvular heart decease in manual of cardiovascular diagnosis and therapy, little brown and company, fourth edition, 1996: 228-36 Karl .S.D.MD, Mortality and Morbidity of Aortic Regurgitation in Clinical Practice, Circulation. 1999; 99: 185 1-7 Maurice Enriquez. S. MD. Aortic Regurgitation in N Enpl J Med. 2004;35 1 : 1539-46 Panggabcan, Marulaln M dan kawan kawan : Penyakit jantung kongenital pada orang dewasa, KOPAPDI V: Jakarta, 1984 (in Press). Quinones Miguel A, Davis A. MokotofC Sorya Nouri, William Winters and Rochard R Miller. Non invasive quantification of left ventricular wall stress.Validation of method and application to assessment of chronic pressure overload. Am J Cardiol. 1980: 45: 782-90. Wilcos W Dean. Indication for surgery for aortic valve disease in children. In : J. Willis Hurst (ed), Clicinal Essay on The Heart. Vol. I , New York Graw Hill Book Company. 1983: 249-69. William H
G a m b a r 4 . Perbaikan katup aorta pada pasien dengan regurgrtast aorta berat (Kutip Braunwald, 2001)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
KELAINAN KATUP PULMONAL Bambang Irawan M
Berbagai faktor sangat berpengaruh terhadap kelainan katup jantung, di antaranya faktor genetik, infeksi, trauma dan faktor yang lain. Kelainan katup bisa berupa stenosis (katup membuka tidak sempurna) ataupun regurgitasi (katup menutup tidak sempurna). Kelainan katup pulmonal relatif jarang terdapat dan bisa merupakan kelainan yang baik kongenital ataupun didapat. Dengan pemeriksaan bayi saat lahir secara rutin, kelainan ini sudah dapat didiagnosis secara dini dan biasanya sudah dilakukan tindakan operatif untuk koreksi. Walaupun demikian masih ada beberapa kasus kongenital yang masih luput dari diagnosis dan baru ditemukan setelah dewasa. Kelainan katup pulmonal akibat jantung reumatik sangat jarang terdapat dan kalau terjadi biasanya disertai dengan kelainan katup-katup yang lain seperti katup aorta dan mitral. Kelainan katup pulmonal biasanya masih bisa ditoleransi oleh pasien tanpa keluhan yang nyata. Namun demikian, kelainan ini bisa pula mengakibatkan gaga1 jantung dan bahkan kematian pada pasien. Oleh karena itu diagnosis awal dan pengawasan pada mereka yang terdiagnosis sangat penting dalam pengelolaan kelainan katup pulmonal ini.
malformasijantung ini 10 kali lebih banyak dari bayi yang dilahirkan hidup dan banyak lagi kasus-kasus abortus spontan disertai dengan kelainan kromosom ha1 tersebut mengakibatkan insidens yang tercatat masih lebih kecil dibandingkan dengan ha1 yang sesungguhnya. Data studi baik secara klinis maupun secara histopatologis dari 23 10 kasus dengan malformasijantung saat lahir didapatkan stenosis pulmonalis terdapat pada 6,9%.Kalau persoalan ini telah diketahui dan ditanggulangi secara awal, baik angka kematian maupun kesakitan akan sangat menurun. Beberapa kelainan kongenital menunjukkan kecenderungan perbedaan jenis kelamin. Patent ductus arteriosus dan atrial septa1 defect lebih banyak diderita oleh perempuan, sementara stenosis aorta, koartasio aorta, tetralogi Fallot dan transposisi arteri besar lebih banyak pada pria. Sementaraitu stenosis pulmonal reumatik relatif sangat jarang dan kalaupun terdapat, biasanya dengan karditis reumatik yang berat dan mengenai keempat katup jantung. Regurgitasi pulmonal biasanya terjadi oleh karena disfungsi katup akibat hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal itu sendiri dapat terjadi akibat penyakit reumatik katup mitral (pada auskultasi terdengar bising Graham Steel),penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) dan lainnya.
Walaupun banyak kelainan dapat mengakibatkan stenosis katup pulmonal secara didapat, namun kelainan ini lebih sering disebabkan. kelainan sejak lahir atau kongenital. Yang disebut kelainan kongenital adalah abnormalitas dari struktur kardiovaskular atau fungsinya yang terdapat sejak lahir, walaupun baru diketemukan dikemudian hari. Insidens yang sesungguhnya kelainan kardiovaskular kongenital sangat sulit dideteksi, pada "Stillborn" kejadian
Stenosis pulmonalis dapat disebabkan oleh kelainan kongenital maupun didapat. Kelainan didapat di antaranya disebabkan oleh reumatik jantung, tuberkulosis, malignant circinoid tumor endocarditis, miksoma dan sarkoma. Kelainan sejak lahir merupakan kelainan yang paling banyak pada stenosis pulmonalis. Kelainan sejak lahir di antaranya: Tak terbentuknya katup pulmonal. Kelainan ini bisa
PENDAHULUAN
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
merupakan kelainan tersendiri, akan tetapi lebih sering disertai dengan defek septum ventrikel dan sumbatan jalan keluar ventrikel kanan. Di sini regurgitasi pulmonal dapat pula terjadi. Atresia pulmonal dengan septum ventrikel yang intak. Disini katup pulmonal tidak sempuma dan hanya berupa jaringan fibrosa, ruang ventrikel kanan biasanya kecil sedangkan dindingnya hipertrofi. Pada kelainan ini selalu ada komunikasi atrium kanan dan kiri sehingga kalau terjadi aliran balik dari atrium kanan ke kiri akan terjadi sianosis. Stenosis pulmonal dengan septum ventrikel yang intak. Kelainan ini lebih sering terjadi dibandingkan dengan dua kelainan di atas. Pada bentuk yang ringan merupakan fusi sebagian, dua atau ketiga daun katup. Pada kasus yang berat komisura hampir tak terbentuk dan dengan katup membentuk diafragma berbentuk kubah dengan lubang kecil di tengah. Defek septum ventrikel dengan obstruksi jalan keluar ventrikel kanan. Defek septum ventrikel dapat mengalami komplikasi obstruksi jalan keluar ventrikel kanan baik di tingkat sub valvular maupun valvular. Kadang-kadang didapatkan hipertrofi krista supraventrikularis atau stenosis pulmonal. Tetralogi Fallot. Di sini defek septum ventrikel biasanya terletak di bawah krista supraventrikularis. Sumbatan jalan keluar ventrikel kanan biasanya disebabkan oleh sempitnya inhndibulum disertai dengan hipertrofi otot. Sebagai tambahan mungkin didapatkan stenosis katup pulmonal, hipoplasi annulus pulmonalis atau kontriksi pada tempat arteria pulmonalis kanan atau kiri berpangkal. Transposisi arteri besar yang sempurna. Aorta berpangkal pada ventrikel kanan sedangkan arteria pulmonalis berpangkal pada ventrikel kiri. Kelainan ini dapat disertai dengan malformasi jantung yang lain misalnya stenosis pulmonal, koartasio aorta dan adanya hanya satu ventrikel. Regurgitasi pulmonal biasanya disebabkan oleh dilatasi cincin katup sebagai akibat hipertensi pulmonal, (oleh sebab apapun), atau dilatasi arteria pulmonal, baik idiopatik atau akibat kelainan jaringan ikat seperti pada sindrom Marfan, yang kedua sebagai akibat endokarditis infeksi dan yang paling jarang adalah iatrogenic dan dapat juga akibat tindakan operatif dari stenosis pulmonal ataupun tetralogi Fallot. Hal lain yang bisa juga mengakibatkan regurgitasi pulmonal antara lain sindrom karsinoid, akibat tindakan kateterisasi jantung, lues dan trauma dada.
PATOGENESIS DAN PATOFlSlOLOGl Stenosis pulmonal dengan septum ventrikel intak bisa disebabkan oleh stenosis valvular, infundibular atau
keduanya. Obstruksi infundibular atau jalan keluar ventrikel kanan disebabkan oleh jaringan fibrosa yang seakan mengikat atau oleh hipertrofi otot. Secara normal, area lubang katup pulmonal pada saat lahir sebesar 0,5 cm dan akan ikut membesar seiring dengan pertumbuhan badan. Sebagai akibat stenosis pulmonal baik derajat ringan, sedang maupun berat, terjadi perbedaan tekanan fase sistolik antara ruang ventrikel kanan dan arteria pulmonalis. Pada stenosis pulmonal, puncak perbedaan tekanan sistolik bisa mencapai I50 sampai 240 mmHg atau bisa lebih tinggi lagi walaupun jarang. Gangguan hemodinamik bisanya baru terjadi kalau obstruksi katup pulmonal sudah mencapai 60% atau lebih. Stenosis pulmonal ringan yang disertai aliran darah yang tinggi dapat mengakibatkan perbedaan tekanan yang nyata, sebaliknya pada stenosis yang berat dengan aliran darah yang rendah akibat gagal jantung perbedaan tekanan yang dihasilkan dapat rendah. Pasien dengan perbedaan tekanan puncak pada saat istirahat kurang dari 50 mmHg termasuk stenosis ringan, antara 50 sampai dengan 100 mmHg termasuk stenosis sedang dan di atas 100 mmHg termasuk stenosis berat. Pada stenosis pulmonal berat, ventrikel kanan mengalami gagal jantung sehingga isi semenit turun walaupun pada saat istirahat. Keadaan ini diikuti dengan kenaikan baik tekanan akhir diastolik ventrikel kanan dan tekanan rata rata atrium kanan. Sebaliknya pada pasien dengan stenosis ringan sampai sedang tekanan sistolis ventrikel kanan bisa tidak berubah dengan pertumbuhan anak sampai bertahun-tahun. Ini menunjukkan lubang daun katup ikut membesar dengan pertumbuhan anak. Tekanan atrium kanan yang tinggi dapat menimbulkan gejala dan tanda bendungan vena sistemik dan pada saat yang sama akan mengakibatkan foramen oval terbuka dan terjadi aliran darah shunting dari atrium kanan ke atrium kiri. Hal ini akan mengakibatkan unsaturation arteri dan sianosis. Pada stenosis pulmonal berat sianosis dapat pula terjadi tanpa adanya pintasan tersebut. Hal ini disebabkan aliran darah perifer menurun akibat rendahnya isi semenit. Dalam ha1 ini saturasi arteria normal. Pada saat yang sama terjadi fibrosis endokardium ventrikel kanan dan mengakibatkan gagal jantung kanan dan kenaikan tekanan diastolik. Regurgitasi pulmonal sering sekali terjadi akibat disfungsi valvular yang sekunder pada pasien dengan hipertensi pulmonal kronik akibat stenosis mitral rematik [dengan bising Graham Steel],penyakit jantung pulmonal dan sebab lain hipertensi pulmonal. Regurgitasi pulmonal hngsional ini dipikirkan terjadi akibat dilatasi cincin katup pulmonal. Walaupun jarang, regurgitasi pulmonal dapat pula terjadi pada kelainan kongenital tersendiri, endokarditis infeksiosa yang mengenai katup pulmonal dan penyakit jantung reumatik. Pada regurgitasi katup pulmonal sangat berat, tekanan arteri pulmonalis dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
KELAINAN KATUP PULMONAL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI ventrikel kanan pada akhir fase diastolik sama atau mendekati sama. Regurgitasi pulmonal akibat kelainan kongenital [primer] biasanya tanpa disertai hipertensi pulmonal menimbulkan bising diastolik dengan nada rendah dan sifatnya crescendo-decrescendo. Sebaliknya pada pasien regurgitasi pulmonal sekunder [dengan hipertensi pulmonal] sifat bising diastolik yang terjadi mempunyai nada tinggi, meniup dan decrescendo. Pada pasien yang muda, isolated pulmonary regurgitation ini biasanya masih bisa ditoleransi dengan baik tanpa hipertensi pulmonal.
Klasifikasi Stenosis pulmonal dapat dibedakan menurut penyebabnya, kongenital atau didapat. Menurut obstruksi jalan ke luar ventrikel kanan, bisa valvular atau subvalvular. Pada mereka yang disebabkan kelainan kongenital bisa stenosis pulmonal tersendiri dengan septum ventrikel yang utuh stenosis pulmonal dengan defek septum ventrikel misalnya pada tetralogi Fallot. Juga bisa dibedakan mereka yang dengan shunting atrium kanan ke atrium kiri sehingga menimbulkan sianosis dan unsaturation arterial atau yang tanpa shunting yang walaupun bisa terjadi sianosis kalau terjadi gagal jantung saturasinya tetap normal. Atas dasar perbedaan puncak tekanan sistolik antara ventrikel kanan dan arteri pulmonalis bisa dibedakan menjadi derajat ringan pada mereka yang dengan perbedaan tekanan sistolik kurang dari 50 mmHg, derajat sedang pada mereka yang dengan perbedaan tekanan sistolik antara 50 sampai dengan 100 mmHg dan derajd berat pada mereka yang dengan perbedaan tekanan sistolik lebih dari 100 mmHg. Pada regurgitaasi pulmonal dapat dibedakan akibat kelainan primer, biasanya tanpa hipertensi pulmonal, atau akibat kelainan sekunder, yaitu adanya hipertensi pulmonal oleh sebab apapun.
Penyakit jantung kongenital dengan akibat obstruksi atau stenosis dan regurgitasi katup jantung umumnya gejalanya sama dengan penyakit jantung valvular yang didapat. Walaupun demikian pada kelainan jantung kongenital ada beberapa tanda khas yang perlu diperhatikan. Pada kebanyakan remaja dengan stenosis pulmonal kongenital yang nyata, isi sekuncup pada saat istirahat tetap normal, akan tetapi kenaikan isi semenit pada saat olah raga mengalami gangguan, sedangkan pada anak-anak toleransi terhadap olah raga cukup baik. Pada tetralogi Fallot [defek septum ventrikel dan stenosis pulmonal] baik tidaknya toleransi pasien ini tergantung pada besarnya defek septum ventrikel dan rasio antara tahanan aliran darah yang masuk aorta dan tahanan darah yang lewat stenosis pulmonal. Pada kebanyakan anak dan dewasa, lubang pada septum ventrikel biasanya cukup besar dan tekanan
ventrikel kiri dan kanan kira-kira sama. Kalau tahanan jalan keluar ventrikel kanan tidak terlalu berat, aliran pulmonal bisa dua kali dari aliran sistemik dan saturasi arterial normal [acyunotic tetralogi Fallot]. Sebaliknya kalau tahanan jalan keluar ventrikel kanan berat, aliran pulmonal akan sangat turun dan terjadi pintasan dari kanan ke kiri dengan unsaturation arterial dan sianosis walaupun dalam keadaan istirahat. Adanya lubang yang besar pada septum ventrikel dapat menyebabkan tekanan sistolik ventrikel kanan tidak bisa melebihi ventrikel kiri. Hal ini melindungi ventrikel kanan terhadap kerja yang berat dan oleh karenanya gagal jantung jarang terdapat pada masa kanak-kanak. Pada tetralogi Fallot sering terjadi sianosis atau sianosis menjadi lebih berat kalau anak menangis. Hal ini disebabkan oleh kombinasi manuver Valsalva, menahan napas dan perangsangan simpatis. Pasien dewasa dengan stenosis pulmonal ringan sampai sedang biasanya tidak mempunyai keluhan, pasien ditemukan karena ada bising sistolik pada pemeriksaan fisis biasa. Bahkan pasien dengan stenosis pulmonal berat pun kadang tanpa keluhan. Kalau ada keluhan biasanya berupa dyspnoe d'efort, rasa lelah yang berlebihan. Kedua keluhan ini sehubungan dengan kenaikan isi sekuncup yang tidak adekuat pada saat olah raga. Tak ada keluhan ortopnea karena tekanan vena pulmonal normal pada stenosis pulmonal. Gagal jantung kanan bisa terjadi pada stenosis yang berat. Sinkop bisa terjadi akan tetapi kematian mendadak [seperti pada stenosis aorta] tidak terjadi. Nyeri dada menyerupai angina pektoris dapat terjadi pada stenosis pulmonal yang berat. Tanda fisis pada stenosis pulmonal di antaranya terdapat habitus sindrom Noonan berupa badan yang pendek dengan dada seperti perisai dan leher berselaput. Terdapat sianosis pada pasien stenosis pulmonal berat dan defek septum atrial atau patent foramen ovule. Pulsasi karotis bisa normal atau volumenya sedikit menurut dengan pulsasi vena jugularis. Teraba getaran [thrillJ sistolik pada spasium interkostal ke 3 atau 4 linea para sternalis kiri. Teraba impuls ventrikel kanan di para sternal. Suara ejection, bising sistolik bersifat ejeksi. Suara jantung kedua yang pecah dengan lemahnya komponen pulmonal. Regurgitasi pulmonal biasanya dapat ditoleransi pasien dan jarang terlihat dengan gagal jantung kanan atas dasar regurgitasi pulmonal saja. Keluhan lelah dan tanda gagal jantung kanan ringan kadang terdapat pada pasien ini. Bising diastolik yang meniup atau kasar terdengar di sternum bagian kiri atas. Bising pada regurgitasi pulmonal ini terdengar lebih keras saat inspirasi. Dan kalau bising ini terjadi akibat hipertensi pulmonal, disebut bising Graham Stell. Bising ini terdengar dengan nada tinggi mirip dengan bising regurgitasi aorta, sedangkan bising regurgitasi pulmonal organik terdengar dengay,nada rendah dan kasar. Bising diastolik ini disertai dengan'bising sistolik. Denyutan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ventrikel kanan terasa sepanjang dada sebelah kiri. Ada bunyi sistolik click dengan suara dua yang pecah secara fisiologis.
PEMERIKSAANPENUNJANG Dengan pemeriksaan elektrokardiogram, stenosis pulmonal yang ringan biasanya normal, sedang pada yang berat terdapat gambaran hipertrofi atrium dan ventrikel kanan. Beratnya stenosis pulmonal berhubungan dengan rasio antara gelombang R/S di V 1. Makin berat kelainan makin tinggi gelombang R di V 1. Ada deviasi aksis jantung ke kanan pada rekaman elektrokardiogram. Sedangkan pada regurgitasi pulmonal, gambaran elektrokardiogram bisa normal atau adanya gambaran hipertrofi ventrikel kanan. Pemeriksaan radiologis, pada stenosis pulmonal gambaran vaskularisasi paru perifer normal, arteri pulmonalis tampak membesar akibat dilatasi pasca stenosis. Gambaran pembesaran ventrikel kanan tampak pada stenosis pulmonal sedang sampai berat. Walaupun jarang pada stenosis pulmonal bisa tampak klasifikasi katup pulmonal. Sedangkan pada regurgitasi pulmonal gambaran radiologis bisa normal atau tampak gambaran pembesaran ventrikel kanan dan pembesaran arteria pulmonalis. Pemeriksaan fungsi paru, pada stenosis pulmonal dewasa sering abnormal dengan penurunan volume, jalan udara dan kapasitas difusi paru yang sangat mungkin disebabkan ketidaksempurnaan perkembangan paru pada masa kanak-kanak. Pemeriksaan ekokardiografi pada stenosis pulmonal berat menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kanan. Pada pemeriksaan langsung di katup pulmonal terlihat kenaikan gelombang katup atrial [a]. Pemeriksaan radioisotop dengan radioangiografi pada stenosis pulmonal berguna untuk melihat tidak adanya pintasan dari kiri ke kanan. Pemeriksaan kateterisasi dan angiografi pada stenosis pulmonal dapat mengukur adanya perbedaan tekanan sistolik melalui katup pulmonal. Ukuran lubang katup pulmonal yang mengalami stenosis dapat ditentukan dengan kateterisasi jantung sekalian mengukur perbedaan tekanan katup pulmonal saat sistolik dan isi semenit. Tak ada shunt dari kiri ke kanan, sedangkan dari kanan ke kiri kadang ada walaupun hanya kecil pada pasien dengan defek septum atrial atau patent foramen ovule. Pada regurgitasi pulmonal, dengan angiografi bisa terlihat adanya aliran kembali kontras ke ventrikel kanan pada fase diastolik.
DIAGNOSIS Biasanya diagnosis stenosis pulmonal dapat ditegakkan
atas dasar pemeriksaan fisis disertai dengan pemeriksaan penunjang seperti elektrokardiografi, radiologis dan ekokardiografi. Kriteria untuk membuat diagnosis, pada stenosis pulmonal baik dengan ataupun tanpa keluhan terdengar bising sistolik ejeksi sepanjang sternum bagian kiri dan sering disertai dengan ejection click pada fase awal sistolik. Pembesaran ventrikel kanan dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisis [pulsasi jantung di parasternal kiri], pemeriksaan elektrokardiografi, foto rontgen dada dan ekokardiografi. Diagnosa regurgitasi pulmonal ditegakkan atas dasar pemeriksaan fisis, elektrokardiografi foto dada, ekokardiografi dan terutama dengan pemeriksaan angiografi pulmonal di mana didapatkan aliran balik cairan kontras dari arteri pulmonalis ke ventrikel kanan pada fase diastolik.
Pada stenosis pulmonalis yang berat bisa terjadi gagal jantung kanan. Demikian juga infark miokard kanan dapat terjadi pada stenosis pulmonal berat dengan pembesaran ventrikel kanan. Walaupun jarang, endokarditis dapat terjadi sebagai komplikasi stenosis pulmonal. Sedangkan komplikasi regurgitasi pulmonal selain gagal jantung, bisa juga mengakibatkan terjadinya endokarditis walaupun jarang.
PENGOBATAN Stenosis pulmonal yang ringan sampai sedang dapat dikelola tanpa tindakan operasi. Pada pasien yang membutuhkan tindakan operasi ataupun pencabutan gigi dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis. Untuk stenosis pulmonal tanpa keluhan oleh sebagian ahli dianjurkan pengobatan konservatif saja, tanpa tindakan valvulotomi, sedangkan sebagian ahli yang lain menganjurkan valvulotomi. Pada stenosis pulmonal berat dengan gagal jantung kanan, semua menganjurkan tindakan valvulotomi. Pada keadaan di mana pasien menolak operasi atau kondisi pasien tidak memungkinkan untuk operasi, dianjurkan pemberian digitalis. Pemberian diuretika secara hati-hati dapat pula dicoba, akan tetapi dapat menurunkan isi sekuncup menit sehingga menimbulkan kelelahan yang berat. Pengelolaan regurgitasi pulmonal biasanya terbatas pada pemberian profilaksis antibiotik pada tindakan dental atau operasi. Gagal jantung sangat jarang terjadi pada regurgitasi pulmonal sehingga tidak banyak pengalaman tindakan pengobatan ataupun operasi pada kasus tersebut.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1697
ICELAINAN KATUP PULMONAL
REFERENSI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Altrichter PM. Olson LJ, Edwards WD, et al. Surgical pathology of the pulmonary valve: a study of 1 16 cases spanning 15 years. Mayo Clin Proc 1989;64; 1352. Brickner ME, Hillis LD. L a n g RA.Congenital heart disease in adults. N E1ig1 J Mrd. 2000;342:256-63. Balk H: Congenital malformations of the heart and great vessels: synopsis of patholog). embryology and natural history. Baltimore-Munich: Urban & Schwarzenberg;l977. Brayshau JR. Perloff JK.Congenital pulmonary insufficient), complicating idiopathic dilatation of the pulmonary artery. Ant J Cardiol. 1962; 10:282. Cassling RS, Rogler WC, McManus BM.lsolated pulmonic valve infective endocarditis. a diagnostically elusive entity. Am Heart J. 1985;109;558. Balaguer JM, Byrne JG. Cohn LH. Orthotopic pulmonic valve replacement with a pulmonary homograft as an interposition graft. J Card Strrg. 1996: 1 1 ; 4 17.
DePace NL, Nestico PF, lskandrian AS, Morganroth J. Acute severe pulmonic valve regurgitation: Pathophysiology , diagnosis and treatment. Am Heart J. 1984; 108;567. Fontana RS, Edwards JE.Congenital cardiac disease: a review of 357 cases studied Pathologically. Philadelphia: WB Saunders; 1962. Gerlis LM: Covert congenital cardiovascular malformations discovered in an autopsy series of nearly 5000 cases. Cardiovasc Pathol. 1996;5; 1 1 Hoffman JIE: Congenital heart disease. Pediatr. Clin North Am. 37;45, 1990. kirshenbaum HD: Pulmonary valve disease. In: Dalen JE and Alpen JS eds. Valvular heart disease. 2nd ed. Boston: Little. Brown; 1987.p.403-38. Samanek M.Boy : Girl ratio in children born with different forms of cardiac malformation: A population-based study. Pediatr Cardiol. 1994;15;53. 0 Toole JD. Wurtzbacher JJ, Weearner NE, Jain AC.Pulmonary valve injury and insufficiency during pulmonary-artery catheterization. N Engl J Med. 1979;301; 1 167.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT KATUP TRlKUSPlD Ali Ghanie
PENDAHULUAN Dalam pembicaraan katup trikuspid penting diketahui peran sirkulasi paru. Sistem sirkulasi paru merupakan sirkuit dengan resistensi yang rendah, kira-kira seperdelapan dari resistensi sistemik. Hal ini disebabkan karena: ( I ) tidak terdapat arterior muskular yang mempunyai resistensi yang tinggi; (2) anastomosis kapiler bed yang difus; ( 3 ) kapasitas cadangan yang besar, dengan resistensi yang rendah terhadap distensi pasif akibat kenaikan aliran darah pulmonal. Tekanan darah arteri pulmonalis adalah 2218 mmHg, dengan tekanan rata-rata 13 mmHg. Kalau kita lihat tekanan rata-rata atrium kiri sebesar 7 mmHg, maka perbedaan tekanan 6 mmHg saja sudah cukup untuk mengalirkan darah ke paru-paru. Daun katup trikuspid yang merupakan bagian dari sirkuit tekanan rendah, akan mengakibatkan toleransi terhadap beban tekanan akan sangat kurang. Selain itu daun katup trikuspid tidak setebal katup mitral, demikian pula anulus fibrosisnya tidak sekuat katup mitral. Oleh karena itu sangat mudah melebar pada keadaan kenaikan beban atau stres.
REGURGlTASl TRlKUSPlD Etiologi dan Patologi Regurgitasi trikuspid adalah suatu keadaan kembalinya sebagian darah ke atrium kanan pada saat sistolik. Keadaan ini dapat terjadi primer akibat kelainan organik katup, ataupun sekunder karena hipertensi pulmonal, perubahan fungsi maupun geometri ventrikel berupa dilatasi ventrikel kanan maupun anulus trikuspid. (Tabel 1) Penyakit jantung reumatik, dapat mengenai katup trikuspid secara langsung walupun lebih sering disertai
Anatomis katup abnormal Penyakit jantung reumatik Bukan reumatik : - Endokarditis infektif - Anomali Ebstein's - Prolaps katup trikuspid - Kongenital, defek atrio-ventrikular kanan - Karsinoid (dengan hipertensi pulmonal) - lnfark rniokard, iskemialruptur muskulus papilaris - Trauma - Kelainan jaringan ikat (sindrom Marfan) - Artritis reumatoid - Radiasi, dengan akibat gagal jantung - Fibrosis endorniokard Anatomis katup normal Kenaikan tekanan sistolik ventrikel kanan oleh berbagai sebab (dilatasi anulus) Lain - lain Kawat pacu jantung (jarang) Hipertiroidisme Endokarditis Loeffler Aneurisms sinus valsava
dengan katup jantung lain. Biasanya bila penyebabnya penyakit jantung reumatik, selain regurgitasi disertai pula dengan stenosis.
Hemodinamik Pada regurgitasi trikuspid baik organik maupun sekunder, akan terjadi kenaikan tekanan akhir diastolik pada atrium dan ventrikel kanan. Tekanan atrium kanan akan meningkat mendekati tekanan ventrikel kanan sesuai dengan kenaikan tekanan .ventrikel kanan, yaitu sesuai dengan kenaikan derajat regurgitasi trikuspid. Tekanan sistolik arteri pulmonalis dan ventrikel kanan dapat dipakai sebagai petunjuk kasar terhadap regurgitasi primer atau sekunder. Bila tekanan kurang dari 40 mmHg, lebih menunjukkan kelainan primer dibandingkan bila tekanan lebih dari 40 mmHg.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1699
PENYAKIT KATUP TRIKUSPID
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Curah jantung biasanya sangat menurun, dan saat sistolik tekanarl atrium tidak akan menunjukkan x descent, tetapi gelombang yang mencolok dari c-v dan 1) descent yang cepat (pada venotis wuve).
Elektrokardiogram Biasanya tidak spesifik, dapat berupa blok cabang bundle kanan, tanda pembesaran atrium dan ventrikel kanan, dan seringjuga terjadi fibrilasi atrium.
Manifestasi Klinis Riwayat. Regurgitasi trikuspid tanpa hipertensi pulmonal biasanya tidak memberikan keluhan dan dapat ditoleransi dengan baik. Rasio perempuan terhadap pria adalah 2 : 1, dengan rata-rata umur 40 tahun. Oleh karena lebih sering bersamaan dengan stenosis mitral, maka gejala stenosis rnitral biasanya lebih dominan. Riwayat sesak napas pada latihan yang progresif, mudah lelah dan juga batuk darah. Bila keadaan lebih berat akan timbul keluhan bengkak tungkai, perut membesar. maka kelelahan(firtig dan anoreksia merupakan keluhan yang paling mencolol,. Adanya asites dan hepatomegali akan menimbulh'i~~ keluhan kurang enak pada perut kanan atas &an titnbul pulsasi pada leher akibat pulsasi regurgitasi vena. Pada keadaan ini justru pasien dapat tidur berbaring dengan rata. Pemeriksaan fisis. Pada inspeksi selalu terlihat adanya gambaran penurunan berat badan, kakeksia. sianosis dan ihterus. Biasanya selalu dijumpai pelebaran venajugularis, gambaran gelombang x dan x' yang nonnal akan menghilang, sedangkan y clrsc.enf akan menjadi nyata, terutama pada inspirasi. Akan terlihat juga impuls ventrikel kanan yang mencolok. Pada saat sistolikjuga dapat teraba impuls atrium kanan pada garis sternal kiri bawah. Biasanya pada fase aha1 dapat teraba pulsasi sistolik pada permukaan hati, namun pada keadaan s~rosiskongestif pulsasi menghilang karena hati menjadi tegang dan keras. Selain itu terlihat juga asites dan edema. Pada auskultasi dapat terdengar S3 dari ventrikel kanan yang terdengar lebih keras pada inspirasi, dan bila disertai hipertensi pulmonal suara P2 akan mengeras. Bising pansistolik dengan nada tinggi terdengar paling keras di sela iga 4 garis parasternal kiri dan dapat pula sampai ke subxifoid. Bila regurgitasi ringan, bising sistolik pendek, tetapi bila ventrikel kanan sangat besar bisingdapat sampai ke apeks dan sulit dibedakan dengan regurgitasi mitral. Perlu diingat bahwa derajat bising pada regurgitasi trikuspid akan meningkat pada inspirasi (Rivern-Car\rNo :\ sign).Adanya kenaikan aliran melalui katup trikuspid dapat menimbulkan bising diastolik padadaerah parasternal kiri.
Ekokardiografi Pulsed color doppler echoc~~rdioprupl~j-, merupakan sarana yang mempunyai akurasi, sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalaln menentukan adanya regurgitasi trikuspid. Di sini dapat dilihat morhlogi katup mitral, sehingga dapat diketahui berbagai penyebab yang mendasari regurgitasi trikuspid ini. Demikian pula &pat dilakukan pemeriksaan semikuantitatif terhadap tekanan ventrikel kanan maupun uteri pulrnonalis.
Gambaran Radiologis Adanya kardiomegali yang nlencolok akibat pembesaran ventrikel kanan. Kadang-kadany akibat tingginya tekanan ventrikel kanan yang akan berlangsung lama dapat terjadi kalsifikasi pada anulus trikuspidalis. Dapat terjadi gambaran hipertensi pulmonal, dan pada fluoroskopi terlihat pulsasi sistolik pada atrium kanan.
Gambar 1. Pemerlksaan eko 2 dlmensl pada penderlta mltral stenosls, yang juga dlsertal tr~kuspldstenosls
Gambar 2. Eko 2 dirnensi pada penderita DSA sekundum yang dlsertai trikuspid regurgitasi (warna biru)
Kateterisasi Dengan kateterisasi berupa ventrikulogafi ventrikel kanan dapat diketahui adanya regurgjtasi. namun adanya kateter pada katup dapat juga menimbulkan regurgitasi positif palsu
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pengobatan Konservatif. Ditujkan terutama bila terdapat tanda-tanda kegagalan fungsi jantung berupa istirahat, pemakaian diuretik dan digitalis. Pembedahan. Tanpa suatu tanda hipertensi pulmonal biasanya tidak diperlukan suatu tindakan pembedahan. Tetapi pada keadaan tertentu dapat dilakukan tindakan anuloplasti dan pada yang lebih berat dilakukan penggantian katup dengan prostesis.
Gambar 3. Eko 2 dimensi pada penderita DSA sekundum dengan trikuspid stenos~sdan mitral stenosis (tanda panah)
Gambar 4. Eko - - .. -..;i pada pende .--- ,an DSA sekundum (hnda panah) yang disertai dengan ganggwan koaptasi katup trikuspid
Stenosis trikuspid terisolasi merupakan kelai,,an katup yang relatifjarang ditemukan, dan paling sering merupakan penyakit jantung reumatik yang menyertai kelainan katup mitral atau aorta. Pada autopsi ditemukan 15 persen stenosis trikuspid pada pasien penyakit jantung reumatik, dan hanya 5 persen yang memberi arti klinis. Kejadian stenosis trikuspid lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan dengan pria, dengan umur 20-60 tahun.
Etiologi dan Patologi Stenosis trikuspid selalu disebabkan oleh penyakitjantung reumatik. Keadaan lain walaupun jarang, yang dapat menimbulkan obstruksi terhadap pengosongan atrium kanan adalah a ~ e s i trikuspid, a tumor atrium kanan, sindrom karsinoid dan vegetasi pada daun katup. Perubahan aiatomik yang paling sering diternukan sebagailnana stenosis mitral berupa fusi dan pemendekan korda tendinea dan fusi pinggiran katup, sehingga terjadi bentukan diafragma dengan celah yang terfiksasi. Sebagaimana pada katup mitral, selain stenosis sering terjadijugs regurgitasi. Atrium kanan akan melebar dengan dinding yang tebal. Patofisiologi Gambaran hemodinamik ditentukan oleh besarnya prrssuvegmdient antara atrim dan ventrikel kanan, yang akan meningkat pada saat latihan atau inspirasi, dan menurun pada saat istirahat atau ekspirasi. Hal ini disebabkan perubahan besarnya volume pada latihan dan pemapasan. Pada keadaan normal pressure gradient itu hanya I rnmHg. Bila meningkat sarnpai 2 mmHg sudah dapat menunjukkan suatu stenosis trikuspid, sedangkan 5 m H g merupakan gambaran stenosis berat dengan tanda kongesti sistemik.
Oambar 5. Pemeriksaan doppler eko berwarna pada OSA sekundum menunjukkan regurgitas~tr~kuspld(warna b~ru)dan doppler menunjukkan dengan tekanan yang tinggi
Manifestasi Klinis Rendahnya curah jantung akan menimbulkan keluhan mudah lelah, dan adanya kongesti sistemik dan hepatomegali menimbulkan keluhan tidak enak pada perut, perut membesar dan bengkak umum. Beberapa pasien
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT KATUP TRIKUSPID
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
mengeluh denyut pada leher akibat besarnya gelombang 'a' pada vena jugularis.
Pemeriksaan Fisik Oleh karena sering menyertai kelainan katup lain, maka stenosis trikuspid ini tidak terdiagnosis, kecuali memang sengaja dicari. Suatu stenosis berat akan menimbulkan bendungan hati yang berat sehingga terjadi sirosis, ikterus, malnutrisi yang berat, edema dan asites yang berat bahkan splenomegali. Vena jugularis akan melebar dengan gelombang 'a' yang besar, sedangkan gelombang 'v' tidak jelas dan y descent menjadi lambat. Dapat ditemukan pulsasi presistolik yang jelas pada permukaan hati yang membesar. Pada auskultasi dapat terdengar opening snap pada daerah garis sternal kiri sampai pada daerah xifoideus, terutama presistolik. Bising ini akan menjadi lebih keras pada inspirasi, dan melemah pada ekspirasi dan manuver valsava karena menurunnya aliran darah melalui trikuspid. Pemeriksaan Non lnvasif Adanya gambaran pembesaran atrium kanan pada EKG berupa gelombang p yang tinggi dan tajam pada sandapan 11, demikian pula pada Vl. tidak adanya hipertrofi ventrikel kanan pada pasien yang dicurigai sebagai stenosis mitral, sangat mungkin disertai dengan stenosis trikuspid. Pada pemeriksaan foto dada didapatkan pembesaran atrium kanan dan vena kava superior tanpa pembesaran arteri pulmonalis. Lain halnya dengan stenosis mitral, pada stenosis trikuspid tidak didapatkan tanda bendungan paru Ekokardiografi menunjukkan penebalan daun katup trikuspid dengan gambaran dooming dan adanya gradient transvalvular pada pemeriksaan dopler. Ekokardiografi merupakan pemeriksaan yang 100% sensitif dan 90% spesifik.
Pemeriksaan lnvasif Dengan kateterisasi dapat ditentukan gradient transvalvular antara atrium dan ventrikel kanan, sehingga dapat ditentukan gradasi stenosis guna tindakan selanjutnya.
Pengobatan Pengobatan konservatif ditujukan untuk mengurangi kongesti sistemik yang merupakan kondisi yang dominan, dalam ha1 ini dibutuhkan diuretik atau restriksi konsumsi garam, Keadaan ini dibutuhkan untuk memperbaiki fungsi hati yang sangat dibutuhkan pada saat operasi. Selain itu pemakaian antibiotik juga penting pada keadaan tertentu untuk mencegah terjadinya endokarditis infektif. Tindakan Operasi Tindakan operatif dapat berupa komisurotomi, tetapi bila disertai regurgitasi dapat juga dilakukan anuloplasti secara bersamaan. Penggantian katup dilakukan bila kelainan katup lanjut yang disertai regurgitasi berat yang tidak dikoreksi dengan anuloplasti.
REFERENSI Braunwald E. Valvular heart disease. In : Heart Disease a Textbook of Cardiovascular Medicine third edition 1988. Feigenbaum H. Ekokardiograficardiograhy fisth edition 1994 Ockene IS. Tricuspid valve disease. In : Valvular Heart Disease edited by Dalen JE and Alpert JS, Little, Brown and Company, Boston, 1981. Rackle CE. Tricuspid and pulmonary valve disease. In : Hurst's The Heart eight edition 1994.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ENDOKARDITIS Idrus Alwi
PENDAHULUAN Endokarditis infektif (EI) adalah infeksi mikroba pada permukaan endotel jantung. Infeksi biasanya paling banyak mengenai katup jantung, namun dapat juga terjadi pada lokasi defek septal, atau korda tendinea atau endokardium mural. Lesi yang khas berupa vegetasi, yaitu massa yang tediri platelet, fibrin, mikroorganisme dan sel-sel inflamasi, dengan ukuran yang bervariasi. Banyak jenis bakteri dan jamur, mycobacteria, rickettsiae, chlamydiae dan mikoplama menjadi penyebab EI, namun streptococci, staphylococci, enterococci dan cocobacilli gram negatif yang berkembang lambat Vhstidious)merupakan penyebab tersering. Terminologi akut dan subakut sering dipakai untuk menggambarkan EI. EI akut menunjukkan toksisitas yang nyata dan berkembang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu, mengakibatkan destruksi katup jantung dan infeksi metastatik, dan penyebabnya khas yaitu Staphylococcus aureus. Sebaliknya, EI subakut berkembang dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan dengan penyebabnya biasanya Streptococcus viridans, enterococci, staphylococci koagulase negatif atau coccobacilli gram negatif.
KLASlFlKASl DAN TERMlNOLOGl Berbeda dengan klasifikasi lama yang membedakan akut, subakut dan kronik, klasifikasi baru merujuk kepada: Aktivitas penyakit dan rekurensi: membedakan aktif dan sembuh terutama penting untuk pasien yang menjalani operasi. EI aktif jika kultur darah positif dan demam ada pada saat operasi, atau kultur positif saat operasi atau morfologi inflamasi aktif ditemukan intraoperatif, atau
operasi dikerjakan sebelum terapi antibiotik lengkap selesai. Akhir-akhir ini direkomendasikan menyebut El aktif jika diagnosis ditetapkan <2 bulan sebelurn operasi Status diagnosis: definite, suspected dan possible (lihat kriteria Duke pada Tabel 2) Patogenesis: endokarditis pada katup asli (native valve endocarditis), endokarditis katup prostetik ( prostethetic valve endocarditis) dan endokarditis pada penyalahguna narkoba intravena (intravenous drug abuse). Lokasi anatomis: EI pada sisi kanan jantung (right sided endocarditis) dan EI pada sisi kiri jantung (left sided endocarditis) Mikrobiologi:jika organisme penyebab dapat diidentifikasi. Jika tidak ditemukan secara mikrobiologi disebut EI mikrobiologi negatif.
lnsidens di negara maju berkisar antara 5,9 sampai 11,6 episode per 100.000 populasi. El biasanya lebih sering terjadi pada pria dibandingkan perempuan dengan rasio 1,6 sampai 2,5. Sekitar 36-75 % pasien dengan El katup asli (native valve endocarditis) mempunyai faktor predisposisi; penyakit jantung reumatik, penyakit jantung kongenital, prolaps katup mitral, penyakit jantung degeneratif, hipertrofi septal asimetrik atau penyalahguna NARKOBA intravena (PNIV). Sekitar 7-25% kasus melibatkan katup prostetik. Faktor predisposisi tidak dapat diidentifikasi pada 25 sampai 47% pasien. Epidemiologi endokarditis infektif selama 50 tahun terakhir ini telah banyak berubah. Kalau dulu sebagian besar pasien endokarditis infektif mempunyai penyakit dasar penyakit jantung reumatik, penyakit jantung kongenital atau sifilis sebagai penyebab kelainan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ENDOKARDITIS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
endokard, namun dengan meningkatnya intervensi medis, surgikal dan yang terpenting adalah meningkatnya angka PNIV, maka kejadian endokarditis infektif karena penyebab di atas semakin meningkat. Di Amerika Serikat hampir 25% pasien EI adalah PNIV. Walaupun insidens EI belum diketahui secara pasti, diperkirakan kejadian EI pada PNIV berkisar antara 1,520 kasus per 1000 PNIV pertahun. EI memberikan risiko tinggi terhadap morbiditas dan mortalitas. Risiko EI pada PNIV 25 % perpasien pertahun, beberapa kali lebih tinggi dari pasien penyakit jantung reumatik atau katup prostetik. Meskipun mortalitas EI pada PNIV yang terutama melibatkan sisi kanan jantung tidak setinggi EI pada sisi kiri jantung, namur. komplikasi kardiopulmonar, neurologis, ginjal, mata, abdomen dan ekstremitas dapat mengakibatkan morbiditas yang bermakna. Mortalitas EI pada PNIV berkisar antara 7- 15%.
Mekanisme terjadinya EI pada pasien dengan katup normal belum diketahui dengan pasti. Mikrotrombi steril yaiig menempel pada endokardium yang rusak diduga merupakan nodus primer untuk adhesi bakteri. Faktor hemodinamik (stres mekanik) dan proses imunologis mempunyai peran penting pada kerusakan endokard. Adanya kerusakan endotel, selanjutnya akan mengakibatkan deposisi fibrin dan agregasi trombosit, sehingga akan terbentuk lesi nonbacterial thrombotic endocardia1(NBTE). Jika terjadi infeksi mikroorganisme, yang masuk dalam sirkulasi melalui infeksi fokal atau trauma, maka endokarditis non bakterial akan menjadi endokarditis infektif. Faktor-faktor yang terdapat pada bakteri seperti dekstran, ikatan fibronektin dan asam teichoic berpengaruh terhadap perlekatan bakteri dengan matriks fibrin-trombosit pada katup yang rusak. Tahapan patogenesis endokarditis dapat dilihat pada Tabel 1.
Kerusakan endotel katup Pembentukan trombus fibrin-trombosit Perlekatan bakteri pada plak trombus- trornbosit Proliferasi bakteri lokal denaan ~envebaranhematoaen Frontera JA dan Gradon JD
Patogenesis El pada PNlV Beberapa teori mengemukakan adanya kerusakan endotel (endothelial injury), karena bombardir secara terus menerus oleh partikel yang terdapat pada materi yang diinjeksikan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya granulasi talk subendotel pada katup trikuspid pasien EI yang diautopsi. Karena materi yang diinjeksikan secara intravena, katup jantung yang pertama menyaring partikel
adalah sisi kanan jantung. Di samping kerusakan mekanis secara langsung, faktor lain yang juga berperan adalah diluent (pelarut) yang dipakai dapat menyebabkan vasospasme, kerusakan intima, dan pembentukan trombus. Selain itu obat adiktif sendiri dapat menyebabkan kerusakan endotel. Pada PNIV kuman dapat berasal dari kulit yang tak steril maupun jarum yang tak sterillspuit yang terkontaminasi kuman dan berfungsi sebagai reservoir pada penggunaan berikutnya. Oleh karena Staphylococcus aureus merupakan kuman flora kulit normal, maka kuman ini merupakan kuman penyebab tersering, berkisar antara 50-60%.
RESPONS IMUN PADA ENDOKARDITIS Patogenesis Vegetasi Jantung Penelitian terhadap peran respons imun pejamu (host), dalam proteksi terhadap endokarditis menunjukkan hasil yang beragam. Pada beberapa kasus, imunisasi aktif dapat mencegah terjadinya endokarditis, tanpa memicu laju klirens bakteri dalam sirkulasi. Diduga terdapat mekanisme yang berhubungan dengan penghambatan perlekatan bakteri terhadap vegetasi. Perkembangan endokarditis, tergantung pada keseimbangan antara kemampuan organisme untuk melekat pada vegetasi dan menolak respons pejamu. Kompleks lmun Penelitian nekropsi menunjukkan adanya glomerulonefritis pada sejumlah besar kasus endokarditis pada manusia, dan pada penelitian imunofluoresens, ditemukan lesi khas yang merupakan deposisi kompleks imun. Deposisi kompleks imunjuga ditemukan pada organ lain seperti limpa dan kulit. Pemeriksaan yang mendeteksi adanya kompleks imun dalam sirkulasi, menunjukkan korelasi antara konsentrasi kompleks imun dalam sirkulasi dengan lamanya penyakit, manifestasi di luar katup dan rendahnya kadar komplemen dalam darah. Kadar kompleks imun dalam sirkulasi, juga menurun sebagai respons terhadap terapi. Antibodi spesifik terhadap kuman penyebab infeksi dan dinding sel bakteri sudah dapat diidentifikasi pada kompleks imun tersebut. Dalam keadaan normal kompleks antigen-antibodi ini akan larut dan difagositosis. Pada endokarditis, terdapat faktor yang menghambat larutnya kompleks ini, sehingga mengalami deposisi dalam jaringan. Bukti menunjukkan, faktor rheumatoid yang terdeteksi paaa 50% kasus endokarditis, menutupi reseptor untuk fagositosis dan akan menghambat klirens kompleks imun. Hal ini dapat menjelaskan mengapa pasien endokarditis mengalami bakteremia yang cukup lama walaupun terdapat antibodi IgG spesifik yang cukup tinggi, kadar komplemen yang cukup dan neutrofil yang masih berfungsi.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Antibodi Terhadap Protein Miokard Gambaran klinis lain pada endokarditis yang menarik perhatian adalah adanya disfungsi miokard yang lebih berat daripada lesi katup yang ada, bahkan tanpa adanya destruksi katup yang bermakna. Maisch melaporkan terdapat respons antibodi poliklonal pada endokarditis yang terdiri dari antibodi antisarkolema dan antibodi antimiolema. Antibodi antimiolema bersifat sitolitik terhadap sel jantung in vitro jika terdapat komplemen. Aktivitas sitolitik serum pada beberapa pasien, hanya ada jika ditemukan antibodi antimiolema dan berhubungan dengan titer antibodi antimiolema.
Aktivitas Limfosit Analisis fungsi leukosit pada endokarditis menunjukkan peningkatan jumlah monosit dan granulosit, namun terdapat penurunan jumlah dan aktivitas sel T helper, sel T suppressor dan natural killer cells selama infeksi. Pada beberapa penelitian, aktivitas sel T suppressor: sebagian mengalami perbaikan setelah terapi. Hal ini memperkuat dugaan bahwa faktor predisposisi endokarditis, merupakan hasil penurunan fungsi limfosit pada pasien, daripada disfungsi limfosit murni akibat infeksi (risiko EI meningkat pada individu dengan supresi imun). Mekanisme lnflamasi dan Sitokin Terdapat peningkatan ekspresi interleukin-8 pada makrofag, di dalam endokard yang mengalami inflamasi, pada pasien dengan endokarditis karena S. aureus. Selanjutnya asam lipoteichoic, yang berasal dari dinding sel bakteri gram positif dan diketahui mempunyai efek stimulasi sangat penting terhadap makrofag, merupakan perangsang produksi sitokin yang kuat. Interleukin-6, suatu sitokin yang terlibat dalam stimulasi sel B dan produksi antibodi serta pelepasan protein fase akut, didapatkan meningkat pada endokarditis karena streptokokus dan Q fever. Aktivitas proinflamasi tzrmour necrosis factor (TNF), yang menginduksi respons fase akut mungkin berperan pada manifestasi sistemik El.
PATOLOGI ENDOKARDlTlS Patologi EI katup asli dapat lokal (kardiak) mencakup valvular dan perivalvular atau distal (non kardiak) karena perlekatan vegetasi septik dengan emboli, infeksi metastatik dan septikemia. Vegetasi biasanya melekat pada aspek atrial katup atrioventrikular dan sisi ventrikular katup semilunar, predominan pada garis penutupan katup. Patologi intrakardiak pada El katup prostetik berbeda bermakna dengan EI katup asli. Jika katup mekanik terlibat, lokasi infeksi adalah perivalvular dan komplikasi yang biasa adalah periprosthetic leaks dan dehiscence, abses cincin dan fistula, disrupsi sistem konduksi dan perikarditis
purulenta. Pada katup bioprotese, elemen yang bergerak berasal dari jaringan, mungkin menjadi lokasi infeksi dan perforasi katup serta vegetasi. Abses cincin juga dapat ditemukan.
Manifestasi klinis EI merupakan akibat dari beberapa mekanisme antara lain: *. Efek destruksi lokal akibat infeksi intrakardiak. Koloni kuman pada katup jantung dan jaringan sekitarnya dapat mengakibatkan kerusakan dan kebocoran katup, terbentuk abses atau perluasan vegetasi ke perivalvular. Adanya vegetasi fragmen septik yang terlepas, dapat mengakibatkan terjadinya tromboemboli, mulai dari emboli paru (vegetasi katup trikuspid) atau sampai ke otak (vegetasi sisi kiri), yang merupakan emboli septik. Vegetasi akan melepas bakteri secara terus menerus ke dalam sirkulasi (bakteremia kontinus), yang mengakibatkan gejala konstitusional seperti demam, malaise, tak nafsu makan, penurunan berat badan dan lain-lain. Respons antibodi humoral dan selular terhadap infeksi mikroorganisme dengan kerusakan jaringan akibat kompleks imun atau interaksi komplemen-antibodi dengan antigen yang menetap dalam jaringan. Manifestasi klinis EI dapat berupa; petekie, Osler 's node, artritis, glomerulonefritis dan faktor reumatoid positif.
Demam merupakan gejala dan tanda yang paling sering ditemukan pada EI. Demam mungkin tak ditemukan atau minimal pada pasien usia lanjut atau pada gagal jantung kongestif, debilitas berat, gagal ginjal kronik dan jarang pada EI katup asli yang disebabkan stafilokokus koagulase negatif. Murmur jantung ditemukan pada 80-85% pasien EI katup asli, dan sering tidak terdengar pada EI katup asli. Pembesaran limpa ditemukan pada 15-50% pasien dan lebih sering pada EI subakut. Ptekie, merupakan manifestasi perifer tersering, dapat ditemukan pada konjungtiva palpebra, mukosa palatal dan bukal, ekstremitas dan tidak spesifik pada EI. Splinter atau szrbungual hemorrhages merupakan gambaran merah gelap, linier atau jarang berupaflame-shaped streak pada dasar kuku atau jari, biasanya pada bagian proksimal. Osler nodes biasanya berupa nodul subkutan kecil yang nyeri yang terdapat pada jari atau jarang pada jari lebih proksimal dan menetap dalam beberapa jam atau hari, dan tak patognomonis untuk EI. Lesi Janeway berupa eritema kecil atau makula hemoragis yang tak nyeri pada tapak tangan atau kaki dan merupakan akibat emboli septik. Roth spots,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI perdarahan retina oval dengan pusat yang pucat jarang ditemukan paha EI. Gejala muskuloskletal sering ditemukan berupa artralgia dan mialgia, jarang artritis dan nyeri bagian belakang yang prominen. Emboli sistemik merupakan sequellae klinis tersering EI, dapat terjadi sampai 40% pasien dan kejadiannya cenderung menurun selama terapi antibiotik yang efektif. Gejala dan tanda neurologis terjadi pada 30-40% pasien EI dan dikaitkan dengan peningkatan mortalitas. Strok emboli merupakan manifestasi klinis tersering. Manifestasi klinis lain yaitu perdarahan intrakranial yang berasal dari ruptur aneurisma mikotik, ruptur arteri karena arteritis septik, kejang dan ensefalopati.
ENDOKARDITISPADA PENYALAHGUNANARKOBA INTRA VENA (PNIV) Pada pasien PNIV, lokasi keterlibatan katup pada EI biasanya paling sering mengenai sisi kanan jantung, sesuai dengan patogenesis penyakit yang dikaitkan dengan infeksi dari kulit, kemudian melalui suntikan intravena akan dibawa mengikuti aliran darah vena menuju sisi kanan jantung. Penelitian di Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIIRSUPN CM mendapatkan vegetasi hanya pada katup trikuspid pada 80,8% kasus, vegetasi hanya pada katup mitral atau hanya pada katup aorta masing-masing sebesar 7,7% dan vegetasi campuran pada katup mitral dan aorta 3,8%. Endokarditis infektif pada PNIV memberikan gambaran klinis, mikrobiologi dan prognosis yang berbeda daripada EI non PNIV. Diperkirakan lebih dari 76% kasus kasus EI pada PNIV terjadi pada sisi kanan jantung, dibandingkan hanya 9% pada non PNIV, dan rnelibatkan katup trikuspid pada 40-69% kasus. Stafilokokus merupakan kuman penyebab tersering EI pada PNIV.
DIAGNOSIS Diagnosis EI ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisis yang teliti, pemeriksaan laboratoriurn antara lain: kultur darah dan pemeriksaan penunjang ekokardiografi. Investigasi diagnosis hams dilakukan jika pasien demam disertai satu atau lebih gejala kardinal; ada predisposisi lesi jantung atau pola lingkungan, bakteremia, fenomena emboli dan bukti proses endokard.aktif, serta pasien dengan katup prostetik. Pada anamnesis, keluhan yang paling sering ditemukan adalah demam (80-85%). Keluhan lain dapat berupa menggigil, sesak napas, batuk, nyeri dada, mual, muntah, penurunan berat badan dan nyeri otot atau sendi.
Pemeriksaan fisis yang cukup penting adalah ditemukannya murmur yang merupakan petunjuk lokasi keterlibatan katup (80-85 %). Pada EI dengan keterlibatan katup trikuspid murmur ditemukan pada 30-50% kasus pada presentasi awal. Murmur yang khas adalah blowing holosistolik pada garis sternal kiri bawah dan terdengar lebih jelas pada saat inspirasi (Rivello-Carvallo maneuver). Sedangkan EI pada katup jantung kiri, murmur ditemukan pada lebih dari 90%. Tanda EI pada pemeriksaan fisis yang lain adalah kelainan kulit antara lain fenomena emboli, splenomegali, clubbing, petekie, Osler "s node dan lesi Janeway, lesi retinalRoth spots. Diagnosis EI perlu diwaspadai pada PNIV yang disertai gejala demam. Marantz el al, mendapatkan diagnosis EI pada 13% pasien PNIV yang menderita demam yang datang ke Instalasi Gawat Darurat. Kecermatan dalam menentukan diagnosis secara cepat, sangat membantu dalam penatalaksanaan pasien secara optimal, sehingga terapi terhadap EI dan komplikasinya dapat dilakukan sedini mungkin.
Kultur Darah Kultur darah yang positif merupakan kriteria diagnostik utama dan memberikan petunjuk sensitivitas antimikroba. Beberapa peneliti merekomendasikan kultur darah diambil pada saat suhu tubuh tinggi. Dianjurkan pengambilan darah kultur 3 kali, sekurang kurangnya dengan interval 1 jam, dan tidak melalui jalur infus. Pemeriksaan kultur darah terdiri atas satu botol untuk kuman aerob dan satu botol untuk kuman anaerob dan diencerkan sekurangkurangnya 1:5 dalam broth media. Minimal jumlah darah yang diambil5 mi, lebih baik 10 ml pada orang dewasa. Jika kondisi pasien tidak akut, terapi antibiotika dapat ditunda 2-4 hari. Peran Ekokardiografi Pemeriksaan ekokardiografi sangat berguna dalam menegakkan diagnosis terutama jika kultur darah negatif. Demikian juga pada diagnosis bakteremia persisten di mana sumber infeksi belum dapat diketahui. Deteksi ekokardiografi transtorakal (TTE) pada pasien yang dicurigai EI sekitar 50%. Pada katup asli sekitar 20% TTE memperlihatkan kualitas suboptimal. Hanya 25% vegetasi <5 mm dapat diidentifikasi, persentase meningkat sampai 70% pada vegetasi >6 mm. Jika bukti klinis EI ditemukan, ekokardiografi transesofageal (TEE) meningkatkan sensitivitas kriteria Duke untuk diagnosis pasti EI. Sensitivitas TEE dilaporkan 88- 100% dan spesifisitas 91100%. Pada kasus yang dicurigai terdapat komplikasi, seperti pasien dengan katup prostetik dan kondisi tertentu seperti penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), atau terdapat deformitas pada dinding dada, ekokardiografi transesofageal lebih terpilih daripada transtorakal.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kriteria Endokarditis lnfektif Mengingat manifestasi klinis EI yang cukup beragam, maka diperlukan suatu strategi diagnosis yang sensitif untuk mendeteksi penyakit dan spesifik untuk menyingkirkan penyakit lain. Durack et al, dari Universitas Duke mengajukan kriteria, yang terdiri dari berbagai aspek baik secara klinis maupun histopatologis, dengan mempertimbangkan dan memasukkan hal-ha1 yang tersebut di atas. Kriteria Duke ini dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.
El Definite Kriteria Patologis Mikroorganisme : ditemukan dengan kultur atau histologi dalam vegetasi, dalam vegetasi yang mengalami emboli, atau dalam suatu abses intrakardiak, Lesi patologis : vegetasi atau terdapat abses intrakardiak, yang dikonfirmasi dengan histologis yang menunjukkan endokarditis infektif. Kriteria Klinis, menggunakan definisi spesifik (lihat pada tabel 2) Dua kriteria mayor, atau Satu mayor dan 3 kriteria minor, atau Lima kriteria minor El Possible Temuan konsisten dengan El, turun dari kriteria definite tetapi tidak rnemenuhi kriteria rejected. El Rejected Diagnosis alternatif tidak memenuhi manifestasi endokarditis atau Resolusi manifestasi endokarditis dengan terapi antibiotika selama 5 4 hari, Atau Tidak ditemukan bukti patologis El pada saat operasi atau autopsi, setelah t e r a ~antibiotika i selama < 4 hari. --
Durack, dkk
Kriteria Duke ini terbukti mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi dan lebih efektif dalam menegakkan diagnosis klinis dibandingkan kriteria von Reyn. Kedua kriteria di atas pada mulanya berkembang untuk riset klinis dan epidemiologis. Karena El merupakan penyakit yang heterogen dengan presentasi klinis yang sangat beragam, penggunaan kriteria seperti di atas saja tidaklah cukup. Penilaian klinis tetap penting pada evaluasi pasien yang dicurigai El. Dokter dapat secara tepat dan bi.jak memutuskan untuk mengobati atau tidak pasien, tanpa melihat apakah dapat memenuhi atau gagal memenuhi kriteria definite atau possible berdasarkan skema Duke. Dalam praktek di lapangan kita sering mendapatkan kriteria yang tak memenuhi dejinite. Misalnya hanya ditemukan adanya riwayat PNIV ( 1 kriteria minor), demam >38" C ( 1 kriteria minor) dan vegetasi di katup jantung ( 1 kriteria mayor). Berdasarkan kriteria Duke, maka pasien di atas hanya memenuhi kriteria possible. Namun pertimbangan diagnosis klinis El dan penatalaksanaannya
Kriteria Mayor I. Kultur darah positif untuk E l A. . Mikroorganisme khas konsisten untuk El darl 2 kultur darah terpisah seperti tertul~sdi bawah ini (I) Streptococci viridans, Streptococcus bov~satau grup HACEK. atau (ii) Community acquired Staphylococcus aureus atau enterococci, tanpa ada fokus primer, atau B Mikroorganisme konsisten dengan El dari kultur darah positif persisten di definisikan sebagai : (i) 2 2 kultur dari sampel darah yang diarnbil terpisah 12 jam, atau (ii) Semua dari 3 atau mayoritas dari 2 4 kultur darah terpisah ( dengan sampel awal dan akhir dlarnbil terpisah 2 I jam ) 2. Bukti keterlibatan endokardial A. Ekokardiogram positif untuk El didefinisikan sebagai (i). Massa intrakardiak oscillating pada katup atau struktur yang menyokong, di jalur aliran jet regurgitasi atau pada material yang di implantasikan tanpa ada alternatif anatomi yang dapat menerangkan, atau (ii) Abses, atau (iii) Tonjolan baru pada katup prostetik atau B.
Regurgitasi valvular yang baru terjadi (rnernburuk atau berubah dari murmur yang ada sebelumnya tldak cukup
Kriteria Minor 1. Predisposisi : predisposisi kondisi jantung atau pengguna obat intravena 2. Demam : suhu 2 38 C 3. Fenomena vaskular . emboli arteri besar, infark pulmonal septik aneurisma mikotik, perdarahan intrakranlal, perdarahan konjungtiva dan lesi Janeway. 4. Fenomena lmunologis : glomerulonefritis. Osler's nodes. Roth Spots, dan faktor rheumatoid 5. Bukti mikrobiologi : kultur darah positif tetapi tidak mernenuhi kriteria mayor seperti tertulis di atas atau bukti serologis infeksi aktif oleh mikroorganisme konsisten dengan El. 6. Temuan ekokardiografi . konsisten dengan El tetapi tidak rnemenuhi kriteria seperti tertulis di atas.
tetap harus mempertimbangkan ,judgemPnt klinis. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa kriteria Duke ini juga mempunyai keterbatasan, khususnya pada pasien PNIV yang sudah mendapat terapi antibiotika sering ditemukan kultur darah yang negatif, kemungkinan lain adalah teknis pengambilan kultur darah yang salah, sehingga diagnosis El dcffinitc sulit ditegakkan. Kriteria Duke hanya merupakan petunjuk klinis untuk diagnosis El tentunya tidak harus menggantikan jzrdgetnent klinis.
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan kasus El biasanya berdasarkan terapi empiris, sementara menunggu hasil kultur. Pemilihan antibiotika pada terapi empiris ini dengan melihat kondisi pasien dala~nkeadaan akut atau subakut. Faktor lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah riwayat penggunaan antibiotika sebelumnya, infeksi di organ lain dan resistensi obat. Seyogyanya antibiotika yang diberikan pada terapi empiris berdasarkan pola kuman serta resistensi obat pada daerah tertentu yang eviclenc.c~htr.~etl.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ENDOKARDITIS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pada keadaan EI akut, antibiotika yang dipilih haruslah yang mempunyai spektrum luas yang dapat mencakup S. aureus, Streptokokus dan basil gram negatif. Sedangkan pada keadaan EI subakut regimen terapi yang dipilih hams dapat membasmi streptokokus termasuk E. faecalis. Terapi empiris ini biasanya hanya diperlukan beberapa hari sambil menunggu hasil tes sensitivitas yang akan menentukan modifikasi terapi. Untuk memudahkan dalam penatalaksanaan EI, telah dikeluarkan beberapa guidelines (pedoman) yaitu: American Heart Association (AHA) dan European Society of Cardiology (ESC). Rekomendasi yang dianjurkan kedua pedoman ini pada prinsipnya hampir sama. Penelitian menunjukkan bahwa terapi kombinasi penisilin ditarnbah aminoglikosida membasmi kuman lebih cepat daripada penisilin saja. Regimen terapi yang pernah diteliti antara lain: seftriakson 1 x 2 gram IV selama 4 minggu, diberikan pada kasus EI karena Streptococcus. Pemberian regimen ini cukup efektif dan aman, praktis karena pemberiannya satu kali dalam sehari, dan dapat diberikan sebagai terapi rawat jalan. Beberapa penelitian lain juga melaporkan efektivitas regimen terapi oral: siprofloksasin 2 x 750 mg dan rifampisin 2 x 300 mg selama 4 minggu dan dapat diberikan pada pasien rawat jalan Regimen terapi vankomisin merupakan terapi pilihan pada kasus El dengan methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA), walaupun demikian respons klinis yang lambat masih cukup sering ditemukan. Infeksi HIV sering ditemukan pada pasien EI yang disebabkan PNIV, sekitar 75%. Penatalaksanaannya pada prinsipnya sama, terapi antibiotika diberikan secara maksimal dan tidak boleh dengan regimen terapi jangka pendek.
Intervensi surgikal dianjurkan pada beberapa keadaan antara lain: Vegetasi menetap setelah emboli sistemik: vegetasi pada katup mitral anterior, terutama dengan ukuran > 10 mm atau ukuran vegetasi meningkat setelah terapi antimikroba 4 minggu. Regurgitasi aorta atau mitral akut dengan tanda-tanda gagal ventrikel Gagal jantung kongestif yang tidak responsif terhadap terapi medis Perforasi atau ruptur katup Ekstensi perivalvular: abses besar atau ekstensi abses walaupun terapi antimikroba adekuat Bakteriemia menetap setelah pemberian terapi medis yang adekuat.
American Heart Association ( AHA ) (2005) Katup Asli ( Native Valve ) Ampicillin-sulbaktam 12 grl24 jam dalam 4 dosis terbagi + gentamisin sulfat 3 mglkg124 jam IV dalam 3 dosis terbagi atau vankomisin 30 mglkg124jam IVllM dalam 2 dosis terbagi + gentamisin sulfat 3 mglkg124jam IVIIM dalam 3 dosis terbagi + siprofloksasin 1000 mg124 jam per oral atau 800 mg124 jam IV dalam 2 dosis terbagi Katup Prostetik ( < I tahun ) Vankomisin 30 mglkg124 jam dalam 2 dosis terbagi + gentamisin sulfat 3 mglkg124 jam IVIIM dalam 3 dosis terbagi + sefepim 6 grl24 jam IV dalam 3 dosis terbagi + rifampisin 900 mgl24 jam peroralllv dalam 3 dosis terbagi
4-6 minggu 4-6 minggu 4-6 minggu 4-6 minggu 4-6 minggu
6 minggu 2 minggu 6 minggu 6 minggu
European Society of Cardiology ( ESC ) (2004) Katup Asli ( Native Valve ) Vankomisin 15 mglkg IV tiap 12 jam + gentamisin 1 mglkg IV tiap 8 jam Katup Prostetik Vankomisin 15 mglkg IV tiap 12 jam + rifampisin 300-450 mg per oral tiap 8 jam + gentamisin 1 mglkg IV tiap 8 jam
4-6 minggu 2 minggu 4-6 minggu 4-6 minggu 2 minggu
Komplikasi EI dapat terjadi pada setiap organ, sesuai dengan patofisiologi terjadinya manifestasi klinis (lihat patofisiologi): Jantung: katup jantung: regurgitasi, gagal jantung, abses Paru :emboli paru, pneumonia, pneumotoraks, empiema dan abses. Ginjal: glomerulonefritis Otak: perdarahan subaraknoid, strok emboli, infark serebral
PENCEGAHAN ENDOKARDITIS INFEKTIF Beberapa kondisi jantung dikaitkan dengan risiko endokarditis lebih besar dari populasi normal. Kondisi ini dikelompokkan pada 3 kategori; risiko tinggi, risiko sedang dan risiko rendahkanpa risiko (Tabel 8). Kondisi non kardiak yang meningkatkan risiko EI adalah penyalahguna narkoba intravena (PNIV) yang dikalkulasikan 12 x lebih tinggi daripada non PNIV. Kondisi lain yang menjadi predisposisi EI adalah hiperkoagulasi,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Regimen
Lama Minggu
Dosis dan Cara
Kekuatan Rekomendasi
Highly Penicillin-Susceptible Aqueous crystalline 12-18 juta Ul24 jam IV secara kontinyus Penicillin G sodium atau dalam 4 atau 6 dosis terbagi sama Atau Ceftriaxone sodium 2 grl24 jam IVIIM dalam 1 dosis Aqueous crystalline 12-18 juta Ul24 jam IV secara kontinyus Penicillin G sodium atau dalam 6 dosis terbagi sama Atau Ceftriaxone sodium 2 grl24 jam IVIIM dalam 1 dosis Ditambah 3 mglkg per 24 jam IVIIM dalam 1 dosis atau dalam 3 dosis terbagi sama Gentamisin sulfat 30 mglkg per 24 jam IV dalam 2 dosis terbagi tidak lebih dari 2 grl24 jam Vankomisin Relatively Resistant to Penicillin 24 juta Ul24 jam IV secara kontinyus Aqueous crystalline atau dalam 4 atau 6 dosis terbagi sama Penicillin G sodium Atau 2 grl24 jam IVIIM dalam 1 dosis Ceftriaxone sodium Ditambah 3 mglkg per 24 jam lVllM dalam 1 dosis atau dalam 3 dosis terbagi sama Gentamisin sulfat 30 mglkg per 24 jam IV dalam 2 dosis terbagi tidak lebih dari 2 grl24 jam Vankomisin
Regimen
Dosis dan Cara
Oxacillin-susceptible strains Nafcillin atau 12 grl24 jam IV oxacillin dalam 4-6 dosis terbagi sama Ditambah Tambahan 3 mglkg per 24 opsional jam IVllM dalam Gentarnisin 2 atau 3 dosis sulfat terbagi sama Untuk pasien alergi penisilin Cefazolin 6 gr124 jam IV dalam 3 dosis terbagi sama Ditambah Tambahan 3 mglkg per 24 opsional jam lVllM dalam Gentamisin 2 atau 3 dosis sulfat terbagi sama Oxacilin-resistant strains Vankomisin 30 mglkg per 24 jam IV dalam 2 dosis terbagi sama
Lama
6 minggu
Kekuatan Rekomendasi
IA
3-5 hari
6 minggu
3-5 hari
6 minggu
IB
penyakit kolon inflamasi, lupus eritematosus sistemik, pengobatan steroid, diabetes melitus, luka bakar, pemakaian respirator, status gizi buruk dan hemodialisis. Target primer pencegahan pada prosedur yang melibatkan rongga mulut, saluran pernapasan atau esofagus adalah Streptococcus viridans, yang merupakan penyebab sering katup asli dan katup jantung prostetik onset akhir. Prosedur yang melibatkan traktus genitourinari
Regimen
Dosis dan Cara
Oxacillin-susceptiblestrains Nafcillin 12 grl24 jam IV atau dalam 6 dosis oxacillin terbagi sama Ditambah Rifampin 900 mg per 24 jam IVIPer oral dalam 3 dosis terbagi sama Ditambah Gentamisin 3 mglkg per 24 jam lVllM dalam 2 atau 3 dosis terbagi sama Oxacilin-resistantstrains Vankomisin 30 mglkg per 24 jam IV dalam 2 dosis terbagi sama Ditambah Rifampin 900 mg per 24 jam IVIPeroral dalam 3 dosis terbagi sama Ditambah Gentamisin 3 mglkg per 24 jam IVIIM dalam 2 atau 3 dosis terbagi sama
->6
Kekuatan Rekomendasi
IB
>6
2
>6
2
dan gastrointestinal sering mendahului berkembangnya endokarditis enterokokkal sehingga target kumannya adalah enterokokkus. Jika dilakukan insisi dan drainage kulit dan jaringan lunak yang terifeksi, profilaksis difokuskan pada S.aureus.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Risiko Tinggi Relatif Katup jantung prostetik
Endokarditis infektif sebelumnya
Penyakit jantung kongenital sianotik Duktus arteriosus paten ( PDA ) Regurgitasi aorta Stenosis aorta
Regurgitasi mitral
Stenosis mitral dan regurgitasi
Defek septum ventrikular (VSD)
Koartasio aorta Lesi intakardiak yang sudah dioperasi dengan abnormalitas hemodinamik atau device prostetik Shunt pulmonal sistemik yang dio~erasi
Risiko Sedang Prolaps katup mitral dengan regurgitasi atau penebalan katup Stenosis mitral
Risiko Sangat Rendah atau Tak Ada Prolaps katup mitral tanpa regurgitasi atau penebalan katup Regurgitasi katup trivial pada ekokardiografi tanpa abnormalitas struktural
Penyakit katup trikuspid
Defek septum atrial (sekundurn)
Stenosis pulmonal
Plak arterisklerotik
Hipertrofi septa1 asimetris Katup aorta bikuspid atau sklerosis aorta kalsifikasi dengan gangguan hemodinamik minimal Penyakit valvular generatif pada usia lanjut
Penyakit arteri koroner sebelumnya Pacu jantung, defibrilator implant
Lesi intrakardiak yang dioperasi dengan tanpa 1 minimal abnormalitas hemodinamik pasca operasi < 6 bulan
Lesi intrakardiak yang dioperasi dengan tanpal minimal abnormalitas hemodinamik, pasca operasi > 6 bulan (ASD, VSD, PDA, stenosis pulmonal ) Operasi graft pintas koroner sebelumya
Penyakit Kawasaki sebelumnya atau demam reumatik tanpa disfungsi valvular
Setting
Regimen
Arnoksisilin 3 gram per oral 1 jam sebelum prosedur, kemudian 1,5 gram 6 jam setelah dosis inisial Pasien allergi penisilin Eritromisisn etilsuksinat 800 mg, atau eritromisisn stearat 1 gram, 1amoksisilin peroral 2 jam sebelum prosedur, kemudian setengah dosis 6 jam setelah dosis inisial Ampisilin 2 gram IM atau IV 30 Pasien tak bisa menit sebelum prosedur, kemudian mendapat terapi oral arnpisilin 1 gram IM atau IV, atau amoksisilin 1,5 gram per oral 6 jam setelah dosis inisial Pasien alergi penisilin I Klindarnisin 300 mg IV 30 menit sebelum prosedur, kemudian 150 amoksisilin I mg 6 jam setelah dosis inisial Ampisilin tak bisa mendapat terapi oral Gunakan regimen standar untuk Pasien dianggap prosedur genitourinari dan sebagai risiko sangat gastrointestinal Tinggi dan bukan kandidat untuk regimen standar Pasien dianggap risiko Gunakan regimen untuk pasien alergi yang menjalani prosedur sangat tinggi genitourinari dan gastrointestinal Alergi penisilinlamoksilinl ampisilin Regimen standar
Settina
Antibiotik
Regimen
Pasien risiko tinggi
Ampisilin plus gentamisin
Ampisilin 2 gram IVllM plus gentamisin 1,5 mglkg dalam 30 menit prosedur, ulangi ampisilin 1 gram IVllM atau diberikan amoksisilin 1 gr peroral 6 jam kemudian
Pasien risiko tinggi, Allergi penislin
Vankomisin plus gentamisin
Pasien risiko sedang
Amoksisilin atau ampisilin
Pasien alergi penisilin, risiko sedang
Vankomisin
Vankomisin 1 gram IV diinfus dalam 1-2 jam dan selesai dalam 30 menit prosedur plus gentamisin 1,5 mglkg IMIIV. Tidak direkomendasikan dosis kedua. Amoksisilin 2 gram peroral 1 jam sebelum prosedur atau ampisilin 2 gram IMIIV 30 menit sebelum prosedur Vankomisin 1 gram IV dinfus dalam 1-2 jam dan selesai dalam 30 menit ~rosedur
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUKDurack dr. DT. PRIYO PANJI Infective and non-infective
Prosedur di mana pencegahan endokarditis infektif direkomendasikan dapat dilihat pada tabel 9,lO. Prosedur dianjurkan pada semua pasien dengan semua risiko yang menjalani prosedur gigi yang menyebabkan perdarahan, namun ekstraksi merupakan risiko yang paling kuat terjadinya EI. Profilaksistidak rutin direkomendasikan pada prosedur endoskopi dengan atau tanpa biopsi, karena kejadian EI jarang dilaporkan. Profilaksis tidak direkomendasikan secara rutin pada kateterisasi jantung atau TEE.
Alwi I, Rahman AM, Madjid A, Ismail D, Harun S, Suryadipradja RM. Endokarditis infeksi pada penyalahgunaan obat intravena: spektrum ekokardiografi pada 26 kasus. Makalah Bebas Oral KOPAPDI XI, Surabaya, 2000. Baddour LM, Wilson WR, Bayer AS, et al. Infective endocarditis. Diagnosis, antimicrobial therapy, and management of complications. A Statement for Healthcare Professionals From the Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis, and Kawasaki Disease, Council on Cardiovascular Disease in the Young, and the Councils on Clinical Cardiology, Stroke and Cardiovascular Surgery and Anesthesia, American Heart Association. Circulation 2005;111 :e394-e433. Bayer AS, Bolger AN, Taubert KA, Wilson W, Steckelberg J, Karchmer AW et al. AHA Scientific Statement. Diagnosis and management of infective endocarditis and its complications. Circulation 1998;98:2936-48. Brown M, Griffin GE. Immune responses in endocarditis. Editorial. Heart 1998;79:1-2. Chambers HE, Korzenioski OM, Sande MA. Staphylococcus aureus endocarditis: clinical manifestations in addicts and nonaddicts. Medicine 1983;62:170-7. Cheitlein MD, Alpert JS, Armstrong WF, Aurigemma GP, Beller GA, Bierman FZ et al. ACCIAHA Guidelines for the Clinical Application of Ekokardiograficardiography. A report of the American College of CardiologyIAmerican Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee on Clinical Application of Ekokardiograficardiography). Circulation 1997;95: 1686-744. Durack DT, Lukes AS, Bright DK. New criteria for diagnosis of infective endocarditis: utilization of spesific ekokardiograficardiographic findings. Am J Med 1994;96:200-9. Dworkin RJ, Lee BI, Sande MA, Chambers HF. Treatment of right sided Staphyloccus aureus endocarditis in intravenous drug users with ciprofloxacin and rifampicin. Lancet 1989:1071-3.
endocarditis. In : Schlant RC, Alexander RW, O'Rourke RA, Robert R, Sonnenblick EH. The Heart.8 th Eds. New York , Mc Graw Hill Inc. 1994 p.1681709. Francioli P, Etienne J, Hoigne R, Thys JP, Gerber A. Treatment of streptococcal endocarditis with a single daily dose of ceftriaxone and outpatient treatment feasibility. JAMA 1992;267:264-7. Horstkotte D, Follath F, Gutschik E, et al. Guidelines on prevention, diagnosis and treatment of infective endocarditis. The Task Force on Infective Endocarditis of the European Society of Cardiology. Eur Heart J 2004;OO:l-37 , Heldman AW, Hartert TV, Ray SC, Daoud EG, Kowalski TE, Pompili EJ et al. Oral antibiotic treatment of right sided staphylococcal endocarditis in injection drug users : prospective randomized comparison with parenteral therapy. Am J Med 1996;101:6876. Heeht SR, Berger M. Right sided endocarditis in intravenous drug users. Ann Intern Med 1992;117:560-6. Habib G, Derumeaux G, Avierinos JF, Casalta JP, jamal F, Volot F et al. Value and limitations of the Duke criteria for the diagnosis of infective endocarditis. J Am Coll Cardiol 1999;33:2023-9. Karchmer AW. Infective endocarditis. In : Braunwald's. Heart Disease. A Textbook of Cardivascular Medicine. 7 th Eds. Philadelphia, Elsevier Saunders. 2005.p.1633-58. Levine DP, Fromm BS, Reddy BR. Slow response to vancomycin or vancomycin plus rifampin in methicillin-resistant Staphylococcus aureus endocarditis. Ann Intern Med 199 1 ;1 15:674-80. Mathew J, Addai T, Anan A, Morrobel A, Maheshwari P, Freels S. Clinical features, site of involvement, bacteriologic findings, and outcome of infective endocarditis in intravenous drug users. Arch Intern Med 1995;155:1641-8. Nahass RG, Weinstein MP, Bartels J, Gocke DJ. Infective endocarditis in intravenous drug users : a comparison of human immunodeficiency virus tipe-l negative and positive patients. J Infect Dis 1990; 162:967-70. Ribera E, Miro JM, Cortes E, Cruceta A, Merce J, Marco F et al. Influence of human immunodeficiency virus-] infection and degree of immunosuppression in the clinical characteristics and outcome of infective endocarditis in intravenous drug users. Arch Intern Med 1998;158:2043-9. Roberts R, Slovis CM. Endocarditis in intravenous drug abusers. Emergency Med Clin North Am. 1990;8:665-81. Shanson DC. New guidelines for the antibiotic treatment of streptococcal, enterococcal and staphylococcal endocarditis. J Antimicrobial Chemotherapy 1998;42:292-6. Wilson WR, Karchmer AW, Dajani AS, Taubert KA, Bayer A, Kaye D et al. Antibiotic treatment of adult with infective endocarditis due to streptococci, enterococci, staphylococci, and HACEK microorganisms. JAMA 1995;274: 1706-13.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
MIOKARDITIS Idrus Alwi, Lukrnan H. Makrnun
PENDAHULUAN Miokarditis merupakan penyakit inflamasi pada miokard, yang bisa disebabkan karena infeksi maupun non infeksi. Patofisologi miokarditis belum sepenuhnya dimengerti. Miokarditis primer diduga karena infeksi virus akut atau respons autoimun pasca infeksi viral. Miokarditis sekunder adalah inflamasi miokard yang disebabkan patogen spesifik. Patogen ini mencakup bakteri, spiroseta, riketsia, jamur, protozoa, obat, bahan kimia, obat fisika dm penyakit inflamasi lain seperti lupus eritematosus sjstemik. Etiologi miokarditis karena infeksi yang terbanyak adalah infeksi viral, terutama enterovirus koksaki B. Pada sebagian besar pasien, miokarditis tak dapat diduga karena disfungsi jantung bersifat subklinis, asimtomatik dan sembuh sendiri (selflimited).Oleh karena miokarditis biasanya asimtomatik, maka data epidemiologi yang ada berasal dari penelitian pasca mortem. Pada pemeriksaan pasca mortem miokarditis ditemukan sekitar 1-9%, sehingga diduga miokarditis adalah penyebab utama kematian mendadak.
MlOKARDlTlS VIRAL
Patogenesis Infeksi oleh virus kardiotropik merupakan hipotesis awal bahwa infeksi viral dapat menimbulkan kerusakan miokard. Beberapa peneliti melaporkan bahwa disfungsi miokard membaik setelah eradikasi penyebab infeksi dan menduga bahwa patogenesis miokarditis mungkin disebabkan 2 fase berbeda kerusakan sel miokard; pertama akibat infeksi virus langsung dan kedua akibat respons imun pejamu. Pengertian respons imun spesifik yang mengakibatkan kerusakan miokard sebagian besar berasal dari model
penelitian miokarditis pada hewan oleh virus kardiotropik. Garis waktu penelitian eksperimental miokarditis viral dapat dilihat pada gambar 1. Setelah masuk tubuh melalui saluran cerna (enterovirus) atau melalui saluran napas (adenovirus dan enterovirus), virus kadiotropik ini akan mengikat coxsackie adenoviral receptor ( C A R ) , untuk penggabungan genom virus ke dalam miosit. Pada fase akut miokarditis viral (hari 0-3), tikus yang diinjeksi dengan virus koksaki menunjukkan bukti sitotoksisitas virus langsung, dengan nekrosis miokard tanpa infiltrasi sel inflamasi. Makrofag yang teraktivasi mulai mengekspresikan interleukin (1L)- 1a , IL-2, TNF-a dan interferon gamma (IFN-a). Pada fase subakut (hari 4- 14) terdapat infiltrasi sel natural killer (sel NK) yang memproduksi neutralizing antibody dan sel patogen yang dimediasi imun. Gelombang pertama infiltrasi sel terutama terdiri dari sel NK yang mempunyai 2 peran penting yaitu menghambat replikasi virus (protektif) dan melepaskan perforin dan granzymes yang membentuk lesi inti sirkular pada permukaan membran sel yang terinfeksi virus (menimbulkan kerusakan miosit). Sitokin merupakan mediator utama aktivasi imun. Kadar IL- 1, IL-2 dan IL-6 meningkat pada pasien miokarditis akut, seperti juga TNF-a dan ekspresi protein. Nitrik oksida yang bermanfaat mempertahankan tonus vaskular, mungkin mempunyai efek buruk pada miokarditis akut dan berperan pada progresivitas kerusakan miosit. Pada fase kronik (hari 15-90)terjadi eliminasi virus dan kerusakan miokardial yang terus berlanjut. Jantung tikus yang terinfeksi mengalami hipertrofi dan fibrosis miokard menetap. Sel inflamasi tak tampak lagi. Mekanisme yang melibatkan transisi stadium ini menjadi kardiomiopati dilatasi belum sepenuhnya dipahami (Gambar 1). Apoptosis atau kematian sel terprogram, mungkin merupakan mekanisme patogenesis ketiga yang mengakibatkan miokarditis menjadi kardiomiopati dilatasi.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI lnfeksl vtrus
t
Nekrosts mloslt Aktlvs~ makrofag
'-""raw
Ekspresi s~tok~n - Interleukln-1 - Interleuktn-2 - Tumor necros~s factor - Interferon-P
L
&turd
F
Lirnfos~t T sitatoksik Limt B
Nltnt oksrda
NWtmlt~lng
r-I
-
J.
'Rbtosie hiatas1 jantung Eagal jantung
antlbodie -
teri Pembsnihan virus I
Gambar 1. Perjalanan waktu rn~okard~t~s vlral eksperlmental (Adaptasi d a r ~Kawar)
Manifestasi Klinis Manifestasi klinis miokarditis bervariasi, mulai dari asimptomatik (self-limited tli.sc~a\c~) sampai s > o k kardiogenik. Keterlibatan jantung biasanya muncul 7 sampai 10 hari setelah penyakit sisternik. Ge-jala paling jelas yang menunjukkan miokarditis adalah sindroni infeksi viral dengan demani, nyeri otot, nyeri sendi, dan malaise. Sebagian besar pasien tidak lnelnpunyai keluhan kardiovaskular yang spesifik namun mungkin memiliki kelainan segmen ST dan gelombang T pada elektrokardiogram (EKG). Nyeri dada ditemukan salnpai dengan 35 persen pasien dan mungkin berupa iskeniia yang khas, atau pada umumnya perikardial. Nyeri dada biasanya menunjukkan perikarditis yang terkait, namun terkadang dikarenakan adanya iskemia miokard. Kardiomiopati dilatasi akut pada miokarditis limtbsitik dapat menyebabkan gagal jantung ringan, sedanp, atau gagal jantung berat. Sebagian besar pasien dengan gejrtla ringan mengalami tahap penyembulian spontan fungsi ventrikular dan nonnalisasi pada ukuran jantung. Pasien dengan gagal jantung New York Hetrrr .4.\\oc.icrtio11 (NYHA) kelas 111 atau IV umumnya memiliki derajat pelebaran ventrikular dan disfungsi ventrikel yang lebih besar. Meskipun sebagian sembuh dengan spontan. diperkirakan bahwa separuh akan dihadapkan dengan gejala sisa disfungsi miokarditis dan seperempatnya akan meninggal atau membutuhkan transplantasi jantung. Pasien dengan miokarditis berat seringkali disertai dengan kolaps sirkulasi dan tanda-tanda disfungsi organ. Pasien seringkali mengalami demam, disf~mgsimiokard global berat, dan peningkatan minimal dimensi ventrikular kiri dan dimensi pada akhir diastolik. Dibutuhkan szcpyort sirkulasi mekanik sebagai jembatan untuk transplantasijantung atau penyembuhan.
Kadang-kadang pasien mengalami sindroni klinis yang serupa de,lgan infark miokard akut, dengan nyeri dada iskemia dan elevasi segmen ST pada EKG. Disfungsi pada ventrikel kiri mungkin muncul pada kurang dari setengah pasien dan cenderung bersifat difiis. Pada autopsi, arteri koroner biasanya masih paten, meskipun arteritis koroner viral pernah dilaporkan. Vasopasme koroner juga pernah dihubungkan dengan miokarditis akut. Pasieri mungkiti mengalami sinkop atau palpitasi dengan blok atrioventrikular (AV) atau aritmia ventrikular. Blok AV lengkap unium dijumpai, dan sebagian pasien mengalami serangan Stokes-Adams. Blok jantung lengkap umumnya bersifat selnentara dan jarang membi~tuhkannlat bantu jantung pennanen. Pada evaluasi selama 20 tahun terhadap kenlatian mendadak pada anggota-anggota ,4ir Force baru, tercatat 30 persen yang mengalaini miokarditis saat diautopsi. Pada beberapa pasien dengan aritmia bentrikel refrakter. biopsi endomiokardial atau autopsi rnenuli.jukkan adanya miokarditis. Penyakit tromboeniboli sistemik juga terkait dengan miokarditis. Kecendelungan familial pada niiokarditis dapat terjadi. Pada beberapa laporan, terdeteksi adanya defek sel supresor, rnenjadi predisposisi perkembangan ke arah miokarditis aktif.. Pasien dengan kardioriiiopati peripartum memiliki frekuensi ~niokarditisyang lebili tingpi pada biopsi endomiokardial. Perubahan-perubahan imunoregulasi pada saat kehamilan dan setelahnya mungkin meningkatkan miokarditis viral, dan pa-janan terhadap antigen trofoblastik mungkin akan menyebabkan kerusakan miokard yang dimediasi imun.
Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya sindrom seperti flu atau mimgkin asimtomatik. Pemeriksaan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI lnfeksi Virus Coxsackievirus, echovirus, HIV, virus Epstein-Barr, influenza, cytomegalovirus, adenovirus, hepatitis (A dan B), mumps, poliovirus, rabies, respiratory syncitial virus, rubella, vaccinia, varicella zoster, arbovirus Bakteri Corynebacterium diphteriae, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Haemophiluspneumoniae, Salmonella spp., Neisseria gonorrhoeae, Leptospira. Borrelia burgdorferi, Treponema pallidum, Brucella, Myobacterium tubercolosis, Actinomyces, Chlamydia spp., Coxiella burnetti. Mycoplasma pneumoniae, Rickettsia spp. Jamur Candida spp., Aspergillus spp., Histoplasma, Blastomyces, Cryptococcus, Coccidioidiomyces Parasit Trypanosoma cruzii. Toxoplasma, Schistosoma, Trichina Noninfeksi Obat-obatan yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas Antibiotik: sulfonamida, penisillin, kloramfenikol, amfoterisin B, tetrasiklin, streptomisin Antituberkulosis: isoniazid, para-aminosalicylic acid Antikonvulsan: ~enindion,fenitoin, karbamazepin Anti-inflamasi: indometasin, fenilbutazon Diuretik: asetazolamid, klortalidon, hidroklorotiazid, spironolakton Lain-lain: amitriptilin, metildopa, sulfonilurea Obat-obatan yang tidak rnenyebabkan reaksi hipersensitivitas Kokain, siklofosfamid, litium, interferon alpha Penyebab selain obat-obatan Radiasi, giant- cells, myocarditis
laboratorium dapat menunjukkan leukositosis, eosinofilia, laju endap darah yang meningkat atau peningkatan MB harid oj'creatine plzo.sphokinase (CKMB). Peningkatan CKMB ditemukan pada kurang lebih 10 persen pasien, namun pemeriksaan troponin lebih sensitif untuk mendeteksi kerusakan miokard pada kecurigaan miokarditis. Dapat dijumpai peningkatan titer virus kardiotrofik. Dibutulikan peningkatan empat kali lipat pada titer IgG setelah lebih dari 4-6 lninggu untuk mendokumentasikan infeksi akut. Peningkatan titer antibodi IgM mungkin menunjukkan infeksi akut secara lebih spesifik dibandingkan peningkatan pada titer antibodi IgG. Sayangnya, peningkatan pada titer antibodi hanya menangkap respons infeksi virus yang masih baru dan tidak menunjukkan keberadaan miokarditis aktif. Dilaporkan kelainan pada hitung limfosit T and B, namun tidak konsisten dan tidak dapat digunakan sebagai penentu diagnostik. Tiga ha1 klinis yaitu infeksi viral sebelumnya, perikarditis, dan kelainan laboratorium terkait yang digunakan untuk mendiagnosis miokarditis karena coxsackie B dijumpai pada kurang dari 10 persen kasus yang terbukti secara histologis.
Elektrokardiografi EKG hampir selalu abnormal pada pasien miokarditis. EKG paling sering menunjukkan sinus takikardia. Lebih khas adalah perubahan gelombang ST-T. Dapat ditemukan perlambatan interval QTc, voltase rendali ( l o ~voltuge), r dan bahkan pola infark miokard akut. Aritmia jantung seringkali ditemukan, termasuk blok jantung total, takikardia ventrikular dan aritmia supraventrikular terutama dengan adanya gaga1 jantung kongestif atau inflamasi perikard. Foto Rontgen Dada Rasio kardiotorasik biasanya normal, terutama pada fase awal penyakit sebelum terjadi kardiomiopati. Fungsi ventrikel kiri y a n g menurun progresif dapat mengakibatkan kardiomegali. Dapat ditemukan manifestasi gagal jantung kongestif seperti sefalisasi atau edema paru. Ekokardiografi Ekokardiografi dapat menunjukkan disfi~ngsisistolik ventrikel kiri pada pasien dengan dimelrsi ventrikel kiri yang berukuran normal. Kelainan gerakan dinding segmental mungkin ditemukan. Ketebalan dinding jantung mungkin bertambah, terutama saat permulaan penyakit, saat inflamasi sedang liebat. Trombus ventrikel terdeteksi sekitar 15 persen. Gambaran ekokardiografi pada miokarditis aktif dapat lneniru restriktif, hipertropik, atau kardioniiopati dilatasi. Biopsi Endomiokardial Karena tidak adekuatnya pemeriksaan non invasif dalarn menetapkan diagnosis miokarditis, diagnosis histologis dianggap perlu untuk memastikan diagnosis. Biopsi endomiokardial merupakan tes yang penting untuk membuktikan diagnosis tersebut. Spesimen miokard ventrikel kanan bisa didapatkan dengan mengakses vena jugularis interna kanan atau vena femoralis. Biopsi intravaskular dari ventrikel kiri jarang dilakukan dikarenakan arigka kematian yang lebih tinggi. Bioptom ventrikular kanan yang tepat diletakkan di bawah fluoroskopi atau ekokardiografi untuk mengambil salnpel septum interventrikel. Karena miokarditis dapat terjadi setempat, maka sampel diambil minimal empat salnpai enam fragmen. Dengan menggunakan bioptom Stanford, sampelsampel pada umurnnya memiliki diameter maksimal2 sampai 3 mm dan berat basah 5 mg. Sampel-sampel tersebut diproses, diternpel pada parafin, diletakkan dan diwarnai dengan hemutoc~~lin-eosin dan trichrome. Beberapa peneliti melakukan biopsi endomiokardial pada pasien dengan gagal jantung kongestif yang tak jelas danlatau aritmia venrikular.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kriteria Histologis Miokarditis Persentase pasien dengan hasil biopsi yang diinterpretasi sebagai miokarditis bewariasi has. Hal ini pada dasamya karena adanya perbedaan kriteria diagnosis untuk miokarditis aktif yang digunakan oleh peneliti. Ketidakpastian kriteria biopsi endomiokardial ini menyebabkan adanya pertemuan bagi patologi jantung untuk mencapai kesepakatan umum definisi patologis miokarditis, yang sekarang dikenal sebagai kriteria Dallas. Kriteria ini membagi hasil biopsi menjadi miokarditis, miokarditis borderline, atau tidak ada miokarditis. Miokarditis aktif didefinisikan sebagai infiltrat inflamasi pada miokard dengan nekrosis dan atau degenerasi miosit, tidak khas adanya kerusakan iskemia yang terkait dengan PJK. Miokarditis borderline digunakan jika infiltrat inflamasi terlalu ringan atau saat kerusakan miosit tidak tampak. Frekuensi miokarditis aktif yang tinggi dikonfirmasi dengan pengulangan biopsi pada pasien yang sampel histologis terdahulunya menunjukkan miokarditis borderline. Meskipun knteria Dallas menyamakan deskripsi sampel biopsi, gambaran histopatologis sendiri mungkin tidak cukup untuk mengidentifikasi keberadaan miokarditis aktif. Skema klasifikasi altematif sudah dianjurkan, termasuk satu yang menggabungkan kriteria histopatologis dan klinis. Miokarditis terbagi menjadi empat sub-grup fulminan (hat), akut, kronik aktif, dan kronik persisten. Penggunaan petanda inflamasi imunohistologis, seperti histocompatibility leukoc,vte antigens (HLAs) pada miosit atau pendeteksian terhadap autoantibodi, mungkin membantu diagnosis. Biopsi endomiokardial harus dilaksanakan secepat mungkin untuk memaksimalkan hasil diagnosis. Resolusi miokarditis aktif dapat dijumpai dalam waktu 4 hari dari biopsi awal, dengan penyembuhan progresif dalam waktu beberapa minggu pada biopsi serial. Perkembangan miokarditis aktif menjadi kardiomiopati dilatasi didapatkan saat biopsi serial dilakukan. Studi Noninvasif Meskipun skintigrafi technetium 99m-pyrophosphate telah terbukti berguna dalam mendeteksi miokarditis pada model murin, namun tidak efektif dalam mendiagnosis miokarditis pada manusia. Proses penggambaran dengan gallium 67, radioisotop inflammation-avid, cukup menjanjikan sebagai metode shining untuk miokarditis aktif, dengan spesifisitas dan sensitivitas sebesar 83 persen dan nilai prediksi negatif sebesar 98 persen pada miokarditis yang terbukti dengan biopsi. Scan dengan Indium 111 - labeled antimyosin antibody dapat digunakan untuk mendeteksi nekrosis miosit. Penggunaan teknik ini pada pasien miokarditis menunjukkan sensitivitas 83 persen, spesifisitas 53 persen, dan nilai prediksi negatif scan normal sebesar 92 persen. Pada pasien-pasien yang antibodi antimiosin positif dan
Gambar 2. Gambaran Histopatologis Miokardium Normal (A,X100), Miokarditis Borderline (B,X100 ,C,X350), Miokarditis Aktif (D,XIOO,E,X300), Menurut Kriteria Dallas (Dikutipdari Feldman AM, et al. N Engl J Med 2000;1388-98).
biopsi negatif, kemungkinan tidak terdeteksinya inflamasi dapat terjadi. Proses penggambaran antimiosin dapat mendeteksi kerusakan miosit tanpa membutuhkan etiologi, dan penyebab kerusakan otot jantung non inflamasi. Pada pasien muda dapat terjadi scan positif palsu. Kegunaan skintigrafi dalam mendiagnosis miokarditis terbatas oleh rendahnya spesifisitas dan pajanan terhadap radiasi. Perubahan jaringan sehubungan dengan miokarditis mungkin bisa diidentifikasi dengan menggunakan magnetic resonance imaging ( M R I ) . Hasil-hasil awal menunjukkan inflamasi miokard mungkin menyebabkan intensitas sinyal dinding miokard abnormal. Penggunaan T2-weighted images untuk memvisualkan edema jaringan telah dilaporkan dalam beberapa laporan kasus pasien dengan miokarditis aktif. Baru-baru ini, contrast mediumenhanced MRI telah digunakan untuk mendeteksi perubahan miokardial pada miokarditis. Obat kontras dalam proses pencitraan MRI yaitu gadopentetate dimeglumine berkumpul pada lesi-lesi inflamasi. Bahan tersebut bersifat hidrofilik yang berkumpul pada ruang ekstraselularjaringan yang mengandung air. Gadolinium meningkatkan sinyal TI-weighted images. Pada sejumlah 19 pasien dengan dugaan miokarditis secara klinis dan 18 subyek normal melalui contrast-enhanced MRI, menunjukkan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kriteria Histologis Miokarditis Persentase pasien dengan hasil biopsi yang diinterpretasi sebagai miokarditis bervariasi luas. Hal ini pada dasarnya karena adanya perbedaan kriteria diagnosis untuk miokarditis aktif yang digunakan oleh peneliti. Ketidakpastian kriteria biopsi endomiokardial ini menyebabkan adanya pertemuan bagi patologi jantung untuk mencapai kesepakatan umum definisi patologis miokarditis, yang sekarang dikenal sebagai kriteria Dallas. Kriteria ini membagi hasil biopsi menjadi miokarditis, miokarditis borderline, atau tidak ada miokarditis. Miokarditis aktif didefinisikan sebagai infiltrat inflamasi pada miokard dengan nekrosis dan atau degenerasi miosit, tidak khas adanya kerusakan iskemia yang terkait dengan PJK. Miokarditis borderline digunakan jika infiltrat inflamasi terlalu ringan atau saat kerusakan miosit tidak tarnpak. Frekuensi miokarditis aktif yang tinggi dikonfirmasi dengan pengulangan biopsi pada pasien yang sampel histologis terdahulunya menunjukkan miokarditis borderline. Meskipun kriteria Dallas menyamakan deskripsi sampel biopsi, gambaran histopatologis sendiri mungkin tidak cukup untuk mengidentifikasi keberadaan miokarditis aktif. Skema klasifikasi alternatif sudah dianjurkan, termasuk satu yang menggabungkan kriteria histopatologis dan klinis. Miokarditis terbagi menjadi empat sub-grup fulminan (hat), akut, kronik aktif, dan kronik persisten. Penggunaan petanda inflamasi imunohistologis, seperti histocompatibility leukocyte antigens (HLAs) pada miosit atau pendeteksian terhadap autoantibodi, mungkin membantu diagnosis. Biopsi endomiokardial harus dilaksanakan secepat mungkin untuk memaksimalkan hasil diagnosis. Resolusi miokarditis aktif dapat dijumpai dalam waktu 4 hari dari biopsi awal, dengan penyembuhan progresif dalam waktu beberapa minggu pada biopsi serial. Perkembangan miokarditis aktif menjadi kardiomiopati dilatasi didapatkan saat biopsi serial dilakukan.
@ambbr 2. ~m-i,wrwrHWg&@l@@aMioKardiarm 'Normal MXIOO), MiokPnHthr [email protected],~)' AM, ilpt al. N En# J Msd 20Ot&1388;98).
m-
b i q i neatif, kem ti& &pat terjadi. hoses penggmbmm
mendateksi kerusskan miasit t a p inbtmasi. Pada misn m a dapat t&&i swm pasitif palsa. Kegu k i n t i p f i dalarn mendiamadr i ~ l i a w t i st oieh mdakaya msifi9~iWdm pjanrul tmk* rdiasi. Peftsbshm j h g m sehdmgan den* mi-&
Studi Noninvasif Meskipun skintigrafi technetium 99m-pyrophosphatetelah terbukti berguna dalarn mendeteksi miokarditis pada model murin, narnun tidak efektif dalam mendiagnosis miokarditis pada manusia. Proses penggambaran dengan gallium 67, radioisotop infammation-avid, cukup menjanjikan sebagai metode skrining untuk miokarditis aktif, dengan spesifisitas dan sensitivitas sebesar 83 persen dan nilai prediksi negatif sebesar 98 persen pada miokarditis yang terbukti dengan biopsi. Scan dengan Indium 111 - labeled antimyosin antibody dapat digunakan untuk mendeteksi nekrosis miosit. Penggunaan teknik ini pada pasien miokarditis menunjukkan sensitivitas 83 persen, spesifisitas 53 persen, dan nilai prediksi negatif scan normal sebesar 92 persen. Pada pasien-pasien yang antibodi antimiosin positif dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI peningkatan global relatif lebih tinggi pada pasien dibandingkan dengan kontrol. MRI kontras dan pemrosesan gambar ekokardiografi digital dapat memvisualkan area inflamasi dan berapa besar inflamasi tersebut, dan juga terbukti berguna sebagai teknik dalam diagnosis dan pemantauan aktivitas penyakit. Meskipun teknik-teknik noninvasif cukup menjanjikan, biopsi endomiokardial tetap menjadi standar baku dalam diagnosis. Penatalaksanaan Perawatan suportif merupakan terapi lini pertama pada pasien miokarditis akut. Pada pasien dengan gejala gagal jantung, terapi mencakup diuretik untuk menurunkan tekanan pengisian ventrikel; inhibitor angiotensinconverting enzyme untuk menurunkan resistensi vaskular; penyekat beta jika kondisi klinis sudah stabil, dan antagonis aldosteron. Karena digoksin telah terbukti dapat meningkatkan ekspresi sitokin inflamasi dan mortalitas pada model murin miokarditis viral, maka obat tersebut harus digunakan secara hati-hati dan dalam dosis rendah. Pada pasien dengan keluhan hebat, seperti kolaps hemodinamik, perawatan suportif mencakup terapi inotropik intravena dan alat support sirkulasi mekanis yang dapat digunakan untuk menjembatani pasien yang akan dilakukan transplantasi jantung. Adanya aritmia atrial atau ventrikular dapat diberikan antiaritmia yang tepat atau mungkin implantasi defibrilator.
Antiinflamasi Diterimanya hipotesis immune-mediated injury telah mendorong penelitian untuk membuktikan apakah terapi anti-inflamasi dapat memberikan keuntungan klinis tambahan pada pasien dengan kardiomiopati dilatasi inflamasi yang dirawat dengan regimen gagal jantung konvensional. Parillo mempelajari 102 pasien dengan kardiomiopati dilatasi dan mengklasifikasikannya sebagai "reaktif", dengan bukti endomiokardial atau laboratorium inflamasi yang berlanjut, atau "nonreaktif." Titik akhir primer studi tersebut adalah peningkatan pada fraksi ejeksi ventrikel kiri sebesar atau lebih besar dari 5 persen. Pada pemantauan setelah 3 bulan, 67 persen pasien reaktif yang menerima prednison mencapai titik akhir ini, dibandingkan dengan hanya 28 persen pada kelompok kontrol reaktif. Setelah 9 bulan pemantauan, peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang disebabkan oleh prednison sudah tidak ditemukan. Pasien-pasien nonreaktif tidak mengalami peningkatan dengan prednison. Meskipun didapat hasilhasil negatif tersebut, para pengamat menyimpulkan bahwa terapi prednison dapat memberikan peningkatan yang cukup dalam titik akhir klinis, tapi hanya pada subpopulasi reaktif tertentu.
lmunosupresif Keberhasilan terapi imunosupresan pada miokarditis viral aktif mengarah ke Mvocarditis Treatment Trial yang besar. Dalam studi ini, 1 1 1 pasien dengan miokarditis yang terbukti dengan biopsi dan dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri < 45% diacak untuk menerima terapi konvensional saja atau terapi imunosupresan dengan prednison yang dikombinasikan dengan azatioprin atau siklosporin. Titik akhir primer penelitian tersebut adalah perubahan pada fraksi ejeksi setelah 28 minggu. Untuk semua pasien, ratarata peningkatan fraksi ejeksi di atas keadaan awal adalah 9 persen. Studi yang lebih baru mengamati penggunaan terapi imunosupresif pada pasien-pasien dengan kardiomiopati dilatasi dan bukti imunohistokimia inflamasi. Delapan puluh empat pasien dengan kardiomiopati dilatasi setidaknya 6 bulan yang telah mengalami peningkatan ekspresi HLA pada spesimen biopsi endomiokardial diacak untuk menerima terapi gagal jantung standar atau yang dikombinasikan dengan prednison dan azatioprin. Setelah pemantauan selama 2 tahun, tidak ada perbedaan pada titik akhir primer gabungan kematian, transplantasi, atau perawatan ulang di rumah sakit. Pasien yang dirawat dengan terapi imunosupresif mengalami peningkatan fraksi ejeksi bermakna pada bulan ke-3 dan ke-24. lmunoglobulin lntravena Intravenous imn~uneglobulin (IVIG) dosis tinggi memiliki sekaligus efek modulasi imun dan antivirus. Pemberian IVlG untuk anak-anak dengan kardiomiopati onset baru dan untuk perempuan dengan kardiomiopati peripartum terkait dengan peningkatan signifikan pada fungsi ventrikular. Sayangnya, saat IVIG diuji pada penelitian prospektif yang dikontrol dengan plasebo pada 62 pasien dengan kardiomiopati dilatasi onset baru dan fraksi ejeksi <40%, hasilnya mengecewakan. Meskipun fraksi ejeksi meningkat 16 persen dalam 1 tahun pada kelompok yang mendapat IVIG, peningkatan ini pada dasarnya sama dengan mereka yang menggunakan plasebo. Maka tidak ada keuntungan pemberian obat imunomodulator. Secara keseluruhan, penelitian yang ada tidak mendukung penggunaan rutin terapi imunosupresif pada miokarditis. Data kini menunjukkan bahwa sub-grup dengan miokarditis berlanjut mungkin dengan imunosupresi, meskipun belum ada metodologi serupa untuk mengidentifikasi mereka. Antivirus Penggunaan terapi antivirus kini sedang dipertimbangkan di European Study of Epidemiology and Treatment of Cardiac Injlammatory Disease. Pasien-pasien dengan titer enteroviral positif diacak dengan terapi interferon alfa atau plasebo, sementara miokarditis sitomegalovirus (CMV) mendapat terapi immunoglobin intravena atau
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
plasebo. Titik akhir primer (primary endpoint) penelitian ini adalah peningkatan fraksi ejeksi sebesar atau lebih besar dari 5 persen.
Prognosis Sekitar sepertiga karditis klinis yang sembuh akan memiliki beberapa kelainan jantung, mulai dari perubahan ringan pada EKG sampai gagal jantung. Kurang lebih 40 persen dari seluruh pasien akan sembuh total. Pada saat ini tidak ada kriteria klinis yang dapat memprediksi dengan tepat siapa yang akan sembuh, meskipun sebagian besar pasien dengan penurunan ringan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan gagal jantung NYHA kelas I atau I1 sembuh secara total. Anehnya, pasien-pasien dengan miokarditis berat memiliki kesembuhan jangka panjang yang sangat baik, tak terpengaruh oleh pengalaman kolaps sirkulasi sebelumnya. Dalam sebuah studi, kemampuan bertahan jangka panjang tanpa transplantasi adalah 93 persen, jika dibandingkan dengan 45 persen untuk mereka yang memiliki miokarditis akut. Prognosis miokarditis tergantung pada bahan kausatifnya, namun jika gagal jantung klinis berlanjut, ratarata angka kematian 5 tahun adalah sekitar 50 sampai 60 persen. Inflamasi kronis, persistensi virus, atau keduanya mungkin mempengaruhi perkembangan penyakit dan prognosis. Terapi di masa mendatang perlu mengidentifikasi faktor predominan target perawatan dan diharapkan meningkatkan ketahanan hidup. Human Immunodeficiency Virus Human immunodeficiency virus (HIV) dikenal luas sebagai penyebab kardiomiopati dilatasi. Etiologi kardiomiopati mungkin berasal dari infeksi sel-sel miokardial oleh HIV atau koinfeksi dengan virus-virus kardiotropik lainnya, respons autoimun pasca viral atau keracunan jantung oleh obat-obat terlarang atau terapi obat. Barbaro et al. mempelajari perkembangan kardiomiopati dilatasi pada 952 pasien HIV-positif tanpa gejala. Pasien-pasien dengan catatan penggunaan obat-obatan terlarang, penyakit jantung yang lebih awal, penatalaksanaan sebelumnya dengan obat-obatan antiretroviral atau imunomodulator, atau fraksi ejeksi 6 0 persen dikeluarkan dari studi prospektif. Dalam 60 bulan perawatan lanjutan, 8 persen pasien mengalami kardiomiopati, dengan rata-rata angka kejadian pertahun 16 kasus per 1000 pasien. Faktor yang memungkinkan perkembangan kardiomiopati adalah CD4 cell count di bawah 4001mL. Infeksi koeksisten dengan coxsackievirus grup B, CMV, dan virus Epstein-Barr dapat dideteksi pada sebagian kecil pasien. Penelitian lainnya menunjukkan lama penyakit dan penggunaan obat-obatan terlarang sebagai faktor yang berperan dalam perkembangan penyakit. Karena gejala-gejala gagal jantung dan HIV bisa jadi sangat mirip (misalnya kelelahan, wasting, dll) mungkin
perawatan lanjutan yang hati-hati untuk pasien-pasien ini diindikasikan untuk mendeteksi perkembangan awal disfungsi ventrikel kiri. Tatalaksana gagal jantung secara konvensional dapat meringankan gejala-gejala yang berhubungan dengan jantung.
Sitomegalovirus CMV mungkin akan mengarah ke miokarditis dalam populasi pada umumnya, tapi umumnya miokarditis adalah self-limited dan tak memiliki gejala. Pada resipien transplantasi jantung, miokarditis CMV mungkin menjadi penyakit yang lebih serius, yang akan menyebabkan disfungsi jantung. Perawatan untuk miokarditis CMV adalah ganciclovir intravena, yang secara efektif menyingkirkan virus tersebut. Infeksi CMV dini berhubungan dengan perkembangan allograji penyakit jantung koroner, yang menjadi penyebab utama kematian setahun setelah transplantasi jantung. lnfeksi fibroblas subintimal atau sel-sel endotel akan menyebabkan kerusakan imunologis yang mengarah ke kondisi yang fatal.
Penyakit Chagas' American tripanosomiasis, atau penyakit Chagas' , rnerupakan penyebab paling umum gagal jantung kongestif di dunia. Kondisi ini disebabkan oleh gigitan reduviid bug, yang diikuti dengan infeksi oleh Trypanosoma cruzi, dan endemis pada daerah pedesaan di Amerika Selatan dan Tengah. Patogenesis Patogenesis kardiomiopati kagasik kronik masih kontroversial karena parasit tersebut jarang muncul pada miokardium. Seperti pada model kardiomiopati maka cedera jantung dianggap melalui mediasi proses imunologis. Respons kekebalan selular dan humoral keduanya sudah diimplikasikan pada cedera miokardial. Biopsi miokardial menunjukkan, infiltrat inflamasi pada penyakit Chagas' kronis sebagian besar terdiri dari sel-sel CD8+ T. Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa tingkatan depresi imunologis pada induk, sehubungan aktivasi sel-sel Thelper dikenal sebagai mekanisme pertahanan paling efektif terhadap parasit. Beberapa peneliti mengusulkan ekspresi terbatas sel-sel CD4+ T selama infeksi 7: cruzi akut mungkin berhubungan dengan mekanisme toleransi yang disebabkan oleh parasit tersebut. Bukti ha1 ini dapat dilihat pada penelitian yang menunjukkan penambahan IL-1 invitro mengembalikan fungsi sel T helper, sehingga diduga terdapat defek makrofag dalam proses ini. Lebih lanjutnya, IL-2 dan reseptor IL-2 tidak ditemukan atau hanya ada sedikit dalam infiltrat inflamasi, membuktikan peran subset T-helper yang tidak besar pada penyakit ini.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Manifestasi Klinis Penyakit parasit ini memiliki fase akut, di mana penyebaran hematogenous parasit tersebut akan menginvasi jaringan dan sistem organ. Invasi tersebut diikuti dengan reaksi inflamasi hebat dengan sel-sel mononuklir dan manifestasi klinis demam, berkeringat, mialgia, miokarditis, hepatosplenomegali, dan casefatality rate sekitar 5 persen. Sebagian besar pasien sembuh dari fase akut dan memasuki fase laten tanpa gejala, namun 20 sampai 30 persen akan menjadi kronis sampai dengan 20 tahun sejak infeksi pertama. Tahap kronis adalah hasil penghancuran jaringan yang bertahap. Saluran cerna dan jantung merupakan lokasi keterlibatan yang tersering, dengan penyebab kematian utama adalah gagal jantung. Di dalam abdomen, penghancuran pleksus mienterik menyebabkan pembentukan megaesofagus dan megakolon. Pada jantung, miofibril dan serat-serat Purkinje digantikan oleh jaringan fibrosa, yang akan menyebabkan kardiomegali, gagal jantung kongestif, blok jantung, dan aritmia. Penemuan-penemuan mikroskopis menunjukkan adanya fibrosis luas, tapi seringkali ada infiltrat selular kronik yang terdiri dari limfosit, sel-sel plasma, dan makrofag, dan ditemukan parasit-parasit pada sekitar seperempat pasien.
Penatalaksanaan Perawatan untuk penyakit Chagas' kronis adalah simtomatik dan termasuk alat pacu jantung untuk blok jantung total, implanttable cardioverter-defibrillator (ICD) untuk aritmia ventrikel rekuren, dan terapi standar untuk gagal jantung kongestif seperti pada bentuk miokarditis lainnya. Obat antiparasit seperti Nifurtimoks dan benzimidazol menghilangkan parasitemia selama fase akut dan biasanya menyembuhkan. Obat tersebut hams dipertimbangkan jika penyakit tersebut belum pernah dirawat sebelumnya dan mungkin dapat dipergunakan sebagai profilaksis jika kemungkinan besar penyakit muncul kembali, misalnya mengikuti terapi imunosupresif. Peran terapi imunosupresif untuk miokarditis chagas masih kontroversial, dan transplantasi jantung efektif untuk penyakit jantung refrakter tahap akhir. Lyme Carditis. Penyakit Lyme disebabkan oleh infeksi spiroseta Borrelia burgdorferi, dikenali dengan gigitan kutu. Gejala awal yang menyertai pasien-pasien dengan penyakit ini yang berlanjut ke keterlibatanjantung seringkali adalah blok jantung total. Disfungsi ventrikel kiri dapat dijumpai tapi jarang. Biopsi endomiokardial mungkin menunjukkan miokarditis aktif. Spirosetesjarang ditemukan pada biopsi. Pemberian kortikosteroid sangat membantu mengatasi Lyme carditis sebagai tambahan terapi tetrasiklin.
Diagnosis Diagnosis penyakit akut tergantung pada ada-tidaknya tripomastigotes dalam darah individu yang terinfeksi. Pada infeksi yang kronis, diagnosis langsung kurang berguna karena tripomastigotes yang beredar dalam sirkulasi darah lebih sedikit. Xenodiagnosis (di mana pasien digigit dengan reduviid bugs y a n g dikembangkan di laboratorium, lalu parasit itu akan diidentifikasi dalam pencernaan serangga tersebut) adalah tes yang paling berguna, yang akan mendeteksi adanya infeksi pada sekitar separuh pasien. Tes fiksasi komplemen (tes Machado-Guerreiro) juga memiliki sensitivitas dan spesifisitas untuk mengidentifikasi penyakit Chagas' kronis. Tes laboratorium lainnya, tergantung pada tes serologi positif (seperti indirect immunofluorescent antibody, enzyme-linked immunosorhent assay, dan tes hemaglutinasi) bersamaan dengan gejala-gejala dan tanda-tanda yang cocok dengan penyakit Chagas'. Biopsi endomiokardial mungkin menunjukkan miokarditis aktif menggunakan kriteria Dallas. Penilaian noninvasif umumnya menunjukkan kelainan gerakan dinding segmental, khususnya aneurisma apikal. Penemuan pada EKG termasuk blok jantung lengkap, blok atrioventrikular, atau blok cabang berkas kanan, dengan atau tanpa blok fasikular pada 1 1 persen individu yang terinfeksi. Aritmia ventrikular mungkin memerlukan obatobatan antiaritmia.
Penyebab lnfeksi Kardiomiopati Lainnya Di antara sekian banyak etiologi infeksi lainnya adalah Toxoplasma gondii, yang dapat disembuhkan dengan pirimetamin dan sulfadiazin dan paling sering muncul pada pejamu dengan defisiensi imun. Leptospirosis adalah penyebab umum lainnya pada kasus miokarditis fatal. Lima puluh persen kasus memiliki perubahan gelombang ST dan T pada EKG. Karditis Reumatik Salah satu jenis miokarditis yang menurun secara mendadak kejadiannya pada setengah akhir dari abad dua puluh adalah karditis reumatik. Tersedianya antibiotik dan perubahan-perubahan pada virulensi dan serotip Streptokokkus grup A mungkin menjelaskan penurunan kejadian penyakit saat ini. Demam reumatik akut dapat terjadi pada anak kecil dan remaja. Penyakit tersebut umumnya merupakan kelanjutan dari faringitis karena streptokokkus grup A. Karditis reumatik bisa disebabkan oleh efek langsung beberapa produk streptokokkus versus mekanisme kekebalan. Streptokokkus grup A memiliki komponen struktur yang mirip dengan struktur jaringan manusia. Antibodi terhadap streptokokkus bereaksi silang dengan glikoprotein katup jantung. Serum pasien demam reumatik mengandung autoantibodi untuk miosin dan sarkolema. Nodul ini dapat bertahan bertahun-tahun setelah sebuah serangan akut.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Makrofag yang mengandung miosin pernah diidentifikasi dalam nodul tersebut. Diagnosis klinis dibuat menggunakan kriteria Jones. Manifestasi utama adalah karditis, poliartritis, korea, eritema marginatum, nodul subkutan, dan bukti infeksi streptokokkal yang akan muncul (misalnya kultur tenggorok positif, riwayat demam, peninggian titer antistreptolisin). Kriteria minornya adalah penemuan nonspesifik misalnya demam, artralgia, demam reumatik sebelumnya atau penyakit jantung reumatik. Peninggian laju endap darah atau Creactive protein, dan interval PR memanjang. Diagnosis dibuat berdasarkan adanya dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor. Dua pertiga pasien yang mengalami faringitis, akan diikuti dengan gejala-gejala demam reumatik dalam 1 sampai 5 minggu, dengan rata-rata presentasi 1X,6 hari. Karditis berat yang mengakibatkan kematian dapat terjadi, namun jarang. Gagal jantung kongestif ditemukan hanya sebanyak 5 sampai 10 persen kasus. Biasanya karditis tersebut ringan, dengan efek predorninannya adalah jaringan parut pada katup jantung. Demam dan murmur jantung, menggambarkan valvulitis akut. Keterlibatan katup mitral tiga kali lebih sering daripada katup aorta; karena itu munnur pada katup mitral lebih sering dijumpai. Regurgitasi mitral adalah penemuan yang paling sering. Murmur midsistolik pada apeks terkadang dapat didengar, disebut murmur Care-y Coombs dan keberadaanya hampir selalu memastikan adanya valvulitis mitral. Tidak ada penemuan EKG yang khas, meskipun interval PR memanjang dan perubahan gelombang ST-T nonspesifik seringkali dijumpai. Biopsi endomiokardial menunjukkan nodul Aschoffdan juga infiltrat interstisial selular difus termasuk limfosit, sel polimorfonuklear, histiosit, dan eosinofil. Tes laboratorium yang menunjukkan demam reumatik termasuk antibodi antistreptolysin 0 (ASTO) dan anti-DNAase B, peninggian LED, dan peningkatan C-reuctive protein. Manifestasi di luar jantung umumnya muncul sebagai poliartritis migrasi pada sendi besar. Aspirin dan penisilin merupakan terapi terpenting. Kortikosteroid juga dapat meredakan gejala. Perbaikan katup mitral selama karditis akut berkaitan dengan risiko kematian yang lebih tinggi dan hams dilakukan hanya saat gagal jantung refrakter terhadap terapi antiinflamasi optimal. Begitu demam reumatik didiagnosis, diperlukan antibiotik profilaksis untuk mencegah kekambuhan penyakit dengan memberikan injeksi benzatin penisilin G 1,2 juta unit intramuskular sekali sebulan sampai usia 2 1 tahun.
Hipersensitivitas Miokarditis hipersensitivitas adalah sebuah contoh fase awal miokarditis eosinofilik dan dianggap karena reaksi
alergi terhadap macam-macam obat (Tabel 1). Metildopa, penisilin, sulfanomida, tetrasiklin, dan obat-obat antituberkulosis adalah obat-obatan yang paling sering terkait dengan ha1 ini. Penyakit tersebut mempunyai ciri adanya eosinofilia perifer dan penyusupan eosinofil ke dalam miokardium, multinucleated giant cells, dan leukosit. Penatalaksanaan dengan menghentikan bahanbahan penyebab dan menggunakan kortikosteroid. Sayangnya, kondisi ini seringkali tidak disadari dan manifestasi pertama dari keterlibatan jantung adalah kematian mendadak disebabkan oleh aritmia.
Giant-cell Myocarditis Giant-cell niyocarditis sangat jarang namun merupakan bentuk miokarditis yang agresif miokarditis, umumnya progresif dan tidak respons terhadap terapi medis. Penyakit ini paling umum terjadi pada remaja, dengan usia rata-rata saat onset 42 (dan berkisar antara 16 sampai 69 tahun). Hubungan dengan kelainan-kelainan autoimun lainnya dilaporkan pada kurang lebih 20 persen kasus. Diagnosis dibuat berdasarkan biopsi endomiokardial. Nekrosis multifokal atau luas dengan infiltrat inflamasi campuran termasuk limfosit dan histiosit dibutuhkan untuk diagnosis histologis. Eosinofil seringkali ditemukan, seperti halnya multinucleated giant cells sebagai ganti granuloma. Imlliunophenotyping infiltrat selular menunjukkan populasi limfosit terdiri dari T-helper atau pada beberapa kasus sel-sel T-supressor: Manifestasi klinis biasanya berupa gagal jantung kongestif progresif dan seringkali berhubungan dengan aritmia ventrikular refrakter. Angka harapan hidup buruk. Laporan kasus dari the Giant Cell Myocarditis Registry menunjukkan bahwa penatalaksanaan dengan regimen imunosupresif tertentu, bukan hanya steroid, dapat memperpanjang kemungkinan bertahan tanpa transplantasi sampai beberapa bulan. Beberapa pasien mungkin membutuhkan support sirkulasi mekanis sebelum transplantasi. Transplantasi jantung merupakan pilihan penatalaksanaan yang terbaik meskipun ada kemungkinan rekuren pada jantung yang ditransplantasi. Giant cells dapat dideteksi pada pengamatan biopsi rutin sampai dengan 9 tahun setelah transplantasi.
REFERENSI Aretz HT, Billingham ME, Edwards WD, et al. Myocarditis: a histopathologic definition and classification. Am J Cardiovasc Pathol 1987; 1 :3-14. Anandasabapathy S. Frishman WH. Innovative drug- treatments for viral and autoimmune myocarditis. J Clin Pharmacol 1998;38:295-308. Baughlnan KL, Wynne .I. Myocarditis. In : Zipes et al. Braunwald's Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. 7 th ed. Philadelphia. Elsevier Saunders. 2005.p.1697-7 17
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI B o \ \ l c Nl:. Richardson PJ. Olsen 1lG.l. Archard L.C. Detection of Coxsaclie-B-virus-specific RNA sequences in m!ocardial biop\! \ample\ from patient\ with m!ocarditis and dilated cardiom) opathy. Lancet 1986: 1 : 1 120-3. l3arbaro (;. Di I.orenzo G. Grisorio H. Barharini G. Incidence of dilatcd cardiom!opath) and detection of HIV in mqocardial cells of I llVpositi\e patients. N Ilngl J Med 1998;339: 1093-9. Bo/kurt H. Villancu\a FS. Holubko\ R. ct al. Intravenous immune globulin in the therap) of peripartum cardiomyopath!. J Am Coll Cardiol 1999:34: 177-80. Burke AI'. Saenger J. Mullick F. Vir~naniR. Hypersemiti\ it) myocarditis. Arch Pathol Lab Med 1991:115:764-9. Cathrio AL. McKenna WJ. Recognition and optimum management of 1n)ocarditis. Drugs 1996;52:5 15-25. Caforio ALP. Goldman Jtl, Baig MK, et al. Cardiac autoantibodies in dilated cardiomyopathy become undetectable with disease progression. Heart 1997;77:62-7. Catbrio ALP. Keeling PJ. Zachara I:. et al. Evidence from famil) studies for autoimmunit! in dilated cardiomyopathy. Lancet 1994;344:773-7. Cooper LT Jr, Berr) (;.I. Shahetai R. Idiopathic giant-cell mlocarditis-natural history and trcatment. N Engl J Med 1997;336: 18606. Dec GW Jr, Palacios IF, Fallon JT, et al. Active myocarditis in the spectrum of acute dilated cardiomyopathies: clinical features, histologic correlates. and clinical outcome. N Engl J Med 1985;3 12:885-90. Drory Y, Turetz Y, Hiss Y. et al. Sudden unexpected death in persons less than 40 years of age. Am J Cardiol 1991;68:1388-92. Da\ ies MS. Ward DE. Ho\r can myocarditis be diagnosed and should it be treated? Br Heart J 1992;68:346-7. Feldman AM, McNamara D. Myocarditis. N Engl J Med 2000:343: 1388-98. Fenoglio JJ Jr. llrsell PC, Kellogg CF, Drusin RE, Weiss MB. Diagnosis and classification of ~nyocarditisb) endomyocardial biops). N Engl J Med 1983;308:12-8. Fairweather D. Lawson CM, Chapman AS. et al. Wild isolates of murine cytomegalovirus induce myocarditis and antibodies that cross-react with virus and cardiac myosin. immunology 1998;94:263-70. Fenoglio JJ Jr, McAllister HA Jr, Mullick FG Drug related myocarditis. I. Hypersensitivity myocarditis. Hum Pathol 1981;12:900I.
Gore I, Saphir 0. Myocarditis: a classification of 1402 cases. Am Heart J 1947;34:827-30. Higuchi ML, Reis MM, Aiello VD, et al. Association of an increase in CD8+ T cells with the presence of Tny?unosorna cruzi antigens in chronic, human, chagasic myocarditis. Am J Trop Med Hyg 1997;56:485-9. Heart Failure Society of America (HFSA) practice guidelines: HFSA guidelines for management of patients with heart failure caused by left ventricular systolic dysfunction pharmacologic approaches. J Card Fail 1999;5:357-82. [Erratum, J Card Fail 2000;6:74.] Huber SA. Autoimmunity in myocarditis: relevance of animal models. Clin Immunol lmmunopathol 1997;83:93-102.
Kauai C. From m)ocarditis to cardiomyopath): ~ncchanismsof infla~nrnationand cell death: learning from the past for the future. Circulation 1999;99:1091-100. Knowlton KU. Badorff C. The immune system in viral myocarditis: maintaining the balance. Circ Res 1999;85:559-61. Liu P, Martino T, Opavsky MA, Penninger J. Viral m~ocarditis: balance between viral infection and immune response. Can J Cardiol 1996; 12:935-43. Lauer B, Niederau C. Kuhl U, et al. Cardiac troponin T in patients with clinicall) suspected myocarditis. J Am Coll Cardiol 1997;30: 1354-9. Lieback E. Hardouin I. Meyer R. Bellach J, tletzer R. Clinical value of ekokardiograficardiographic tissue characterization in the diagnosis of myocarditis. Eur Heart J 1996; 17: 135-42. Lie JT. Mlocarditis and endomyocardial biopsy in unexplained heart failure: a diagnosis in search of a disease. Ann Intern Med 1988;109:525-8. Mason JW. O'Connell JB, Herskowitz A. et al. A clinical trial of immunosuppressive therapy for myocarditis. N Engl J Med 1995;333:269-75. Mason JW. Techniques for right and left ventricular endomyocardial hiops!. Am J Cardiol 1978;41:887-92. McNamara DM. Rosenblum WD, Janosko KM, et al. Intravenous immune globulin in the therap) of m!ocarditis and acute cardiomyopathy. Circulation 1997;95:2476-8. McCarthy RE 111, Boehmer JP, Hruban RH, et al. Long-term outcome of fulminant myocarditis as compared with acute (nonfulminant) my0carditis.N Engl J Med 2000;342:690-5. McNamara DM, Starling RC, Dec GW, et al. Intervention in myocarditis and acute cardiomyopathy with immune globulin: results from the randomized placebo controlled IMAC trial. Circulation 1999;100:Suppl 1: 1-21. abstract. Midei M G DeMent SH, Feldman AM. Hutchins GM, Baughman KL. Peripartum myocarditis and cardiomyopathy. Circulation 1990;8 1 : 922-8. McCormack JG, Bowler SD, Donnelly JE, Steadman C. Successful treatment of severe cytomegalovirus infection with ganciclovir in an immunocompetent host. Clin Infect Dis 1998;26:10078. Maisch B, Hufnagel G Schonian U, Hengstenberg C. The European Study of Epidemiology and Treatment of Cardiac Inflammatory Disease (ESETCID). Eur Heart J 1995;16: 173-5. Pinney SP, Mancini DM. Myocarditis in : Fuster et al. The Heart. l l th ed. New York, McGraw-Hill. 2004.p.1949-74. Parrillo JE, Cunnion RE, Epstein SE, et al. A prospective, randomized, controlled trial of prednisone for dilated cardiomyopathy. N Engl J Med 1989;321: 1061-8. Singal PK, Iliskovic N. Doxorubicin-induced cardiomyopathy. N Engl J Med 1998;339:900-5. Smith SC, Ladenson JH. Mason JW, Jaffe AS. Elevations of cardiac troponin I associated with myocarditis: experimental and clinical correlates. Circulation 1997;95:163-8. Tomioka N, Kishimoto C, Matsumori A. Kawai C. Effects of prednisolone on acute viral myocarditis in mice. J Am Coll Cardiol 1986;7:868-72.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
KARDIOMIOPATI Sally Aman Nasution
PENDAHULUAN Kelompok penyakit ini beberapa kali mengalami perubahan dalam ha1 klasifikasi kelainannya. Bila dilihat dari definisi dapat disebutkan bahwa kardiomiopati merupakan suatu kelompok penyakit yang langsung mengenai otot jantung atau miokard itu sendiri. Kelompok penyakit ini tergolong khusus karena kelainan yang ditimbulkannya bukan terjadi akibat penyakit perikardium, hipertensi, koroner, kelainan kongenital atau kelainan katup. Walaupun untuk menegakkan diagnosis perlu menyingkirkan faktor-faktor etiologi tersebut, gambaran dari kardiomiopati itu sendiri sangat khusus baik secara klinis maupun hemodinamik. Dengan meningkatnya kewaspadaan terhadap kondisi penyakit ini serta teknik dan prosedur diagnostik yang semakin canggih saat ini kardiomiopati diketahui sebagai penyebab morbiditas dan mortalitas yang bennakna. Akhir-akhir ini, insidens kardiomiopati semakin meningkat frekuensinya. Dengan bertambah majunya teknik diagnostik, ternyata kardiomiopati idiopatik merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang utama. Di beberapa negara, penyakit ini bahkan merupakan penyebab kematian sampai sebesar 30% atau lebih dari pada semua kematian akibat penyakit jantung. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk membuat klasifikasi yang tepat dari penyakit ini. Klasifikasi yang saat ini telah dikenal luas adalah pembagian yang dibuat oleh kerjasama antara World Health Organization (WHO) dan International Sociey and Federation of Cardiologv (ISFC). Pada klasifikasi ini kardiomiopati diklasifikasikan berdasarkan gambaran patofisiologi yang dominan. Bila kardiomiopati diklasifikasikan berdasarkan etiologi maka dikenal dua bentuk dasar, yaitu (1). Tipe primer, apabila terdapat penyakit pada otot jantung dengan penyebab yang tidak diketahui. Tennasuk di dalamnya adalah idiopatik kardiomiopati, familial kardiomiopati,
penyakit eosinofilik endomiokardium dan fibrosis endomiokardium, (2). Tipe sekunder, apabila ditemukan penyakit miokardium dengan penyebab yang dapat diketahui, termasuk bila berhubungan dengan penyakit yang melibatkan sistem organ lain. Sedangkan bila klasifikasi berdasarkan klinis dan patofisiologi, maka kardiomiopati dibagi menjadi dilatasi, restriktif dan hipertrofik. Perbedaan kelainan yang ditemukan antara ketiga klasifikasi kardiomiopati tersebut dapat dilihat secara skematis pada Gambar 1.
Gambar 9. Perbandingan antara tiga klad~fikasikardiorniopati. Aa, Adrtg; LA Left Atrium; LV, Left Ventricle (Dmi BF Wller : J Am Soc Ekoh ,~rn'rograficardiogra1:4, 7998)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI KARDIOMIOPATI DlLATASl CARDIOMYOPATHY/DCM)
(DILATED
Merupakan jenis kardiomiopati yang paling banyak ditemukan. Dengan deskripsi kelainan yang ditemukan: dilatasi ventrikel kanan dan atau ventrikel kiri, disfungsi kontraktilitas pada salah satu atau kedua ventrikel, aritmia, emboli dan seringkali disertai gejala gagal jantung kongestif. Satu dari tiga kasus gagal jantung kongestif terjadi pada kardiomiopati dilatasi, dan yang lainnya merupakan konsekuensi dari penyakit jantung koroner. Dulu kelainan ini sering disebut dengan kardiomiopati kongestif, tetapi saat ini terminologi yang dipergunakan adalah kardiomiopati dilatasi karena pada saat awal abnormalitas yang ditemukan adalah pembesaran ventrikel dan disfungsi kontraktilitas sistolik, dengan tanda dan gejala gagal jantung kongestif yang timbul kemudian. Apabila hanya ditemukan disfungsi kontraktilitas dengan dilatasi minimal ventrikel kiri, maka varian dari kardiomiopati dilatasi ini digolongkan ke dalam kelompok kardiomiopati yang tidak dapat diklasifikasikan (menurut klasifikasi WHOIISFC). Sebaliknya, pada atlit sehat sering ditemukan. Klasifikasi penyakit ini dapat mengenai segala usia, tetapi kebanyakan mengenai usia pertengahan dan lebih sering ditemukan pada pria dibandingkan perempuan. Insidens kejadian dilaporkan 5-8 kasus per 100.000 populasi pertahun dan kejadian ini terus meningkat jumlahnya. Kejadian pada pria dan kulit hitam dikatakan tiga kali lebih sering dibandingkan populasi kulit putih dan perempuan. Dan angka kelangsungan hidup pada kulit hitam dan pria lebih buruk dibandingkan kulit putih dan perempuan. Etiologi Etiologi kardiomiopati dilatasi tidak diketahui pasti, tetapi kemungkinan besar kelainan ini merupakan hasil akhir dari kerusakan miokard akibat produksi berbagai macam toksin, zat metabolit atau infeksi. Kerusakan akibat infeksi viral akut pada miokard yang akhirnya mengakibatkan terjadi kardiomiopati dilatasi ini terjadi melalui mekanisme imunologis. Hal ini banyak ditemukan pada populasi pria usia pertengahan, terutarna yang berasal dari Amerika Afrika dibandingkan yang berkulit putih. Prevalensinya semakin lama makin meningkat. Pada kardiomiopati dilatasi yang disebabkan oleh penggunaan alkohol, kehamilan, penyakit tiroid, penggunaan kokain dan keadaan takikardia kronik yang tidak terkontrol, dikatakan kardiomiopati tersebut bersifat reversibel. Obesitas akan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung, sebagaimana juga gejala sleep apnea. Kira-kira 20-40% pasien memiliki kelainan yang bersifat familial akibat dari mutasi genetik. Kelainan tersebut dapat terjadi pada sitoskeletal gen (seperti gen distrofin dan desmin), kontraktilitas dan membran sel (seperti gen lamin AIC) dan protein-protein lainnya. Penyakit ini bersifat
genetik heterogen tetapi kebanyakan transmisinya secara autosomal dominan, walaupun dapat pula secara autosoma1 resesif danx-linked inheritance. Sampai saat ini belum diketahui bagaimana menentukan seseorang akan memiliki predisposisi kardiomiopati dilatasi apabila tidak diketahui riwayat kejadian penyakit ini dalam keluarganya. Hal yang cukup menjanjikan adalah melalui teknik molekular genetik untuk identifikasi petanda kerentanan pada pembawa sifat yang asimptomatik sebelum timbul gejala klinis yang jelas dari kardiomiopati dilatasi tersebut. Sebagai contoh salah satu petanda yang menjanjikan adalah pemeriksaan enzim konversi angiotensin genotip DD yang berhubungan dengan kejadian klinis pasien kardiomiopati dilatasi. Pada keadaan jantung yang lemah, walaupun tidak terdapat riwayat keluarga ditemukan variasi dari perubahan gen dan ekspresi protein pada beberapa protein kontraktilitas. Displasia ventrikel kanan (Right Ventricular Dysplusia) merupakan kardiomiopati familial yang menarik karena ditandai dengan dinding ventrikel kanan yang digantikan secara progresif menjadi jaringan adiposa. Seringkali berhubungan dengan kejadian aritrnia ventrikel, gejala klinis sangat bervariasi, tetapi kejadian kematian mendadak akibat kelainan ini selalu merupakan ancaman yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Sehingga penggunaan modalitas terapi seperti ablasi kateter dari fokus-fokus aritmia atau bahkan implantasi alat defibrilator kardioversi kemungkinan dibutuhkan. Gejala Klinis Gejala klinis yang menonjol adalah gagal jantung kongestif, yang timbul secara bertahap pada sebagian besar pasien. Beberapa pasien mengalami dilatasi ventrikel kiri dalam beberapa bulan bahkan sampai beberapa tahun sebelum timbul gejala. Pada beberapa kasus sering ditemukan gejala nyeri dada yang tidak khas, sedangkan nyeri dada yang tipikal kardiak tidak lazim ditemukan. Bila terdapat keluhan nyeri dada yang tipikal, dipikirkan kemungkinan terdapat penyakit jantung iskemia secara bersamaan. Akibat dari aritmia dan emboli sistemik kejadian sinkop cukup sering ditemukan. Pada penyakit yang telah lanjut dapat pula ditemukan keluhan nyeri dada akibat sekunder dari emboli paru dan nyeri abdomen akibat hepatomegali kongestif. Keluhan seringkali timbul secara gradual, bahkan sebagian besar awalnya asimptomatik walaupun telah terjadi dilatasi ventrikel kiri selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Dilatasi ini kadangkala diketahui bila telah timbul gejala atau secara kebetulan bila dilakukan pemeriksaan radiologi dada yang rutin. Pemeriksaan Fisis Pembesaran jantung dengan derajat yang bervariasi dapat ditemukan, begitu pula dengan gejala-gejala yang menyokong diagnosis gagal jantung kongestif. Pada penyakit yang lanjut dapat ditemukan tekanan nadi yang
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
sempit akibat gangguan pada isi sekuncup. Pulsz~s ulternans dapat terjadi bila terdapat gagal ventrikel kiri yang berat. Tekanan darah dapat normal atau rendah. Jenis pernapasan Cheyne-Stokes menunjukkan prognosis yang buruk. Peningkatan tekanan vena jugularis bila terdapat gagal jantung kanan. Bunyi jantung ketiga dan keempat dapat pula terdengar, serta dapat ditemukan regurgitasi mitral ataupun trikuspid. Hati akan membesar dan seringkali teraba pulsasi, edema perifer serta asites akan timbul pada gagal jantung kanan yang lanjut. Pada pemeriksaan fisis jantung dapat ditemukan tandatanda sebagai berikut: prekordium bergeser ke arah kiri impuls pada ventrikel kanan impuls apikal bergeser ke lateral yang menunjukkan dilatasi ventrikel kiri gelombang presistolik pada palpasi, serta pada auskultasi terdengar presistolik gallop (S4) split pada bunyi jantung kedua gallop ventrikular (S3) terdengar bila terjadi dekompensasi jantung Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan radiologi dada akan terlihat pembesaran jantung akibat dilatasi ventrikel kiri, walaupun seringkali terjadi pembesaran pada seluruh ruang jantung. Pada lapangan paru akan terlihat gambaran hipertensi pulmonal serta edema alveolar dan interstitial. Elektrokardiografi akan menunjukkan gambaran sinus takikardia atau fibrilasi atrial, aritmia ventrikel, abnormalitas atrium kiri, abnormalitas segmen ST yang tidak spesifik dan kadang-kadang tampak gambaran gangguan konduksi intraventrikular dan low voltage. Sedangkan dari pemeriksaan ekokardiografi dan ventrikulografi radionuklir menunjukkan dilatasi ventrikel dan sedikit penebalan dinding jantung atau bahkan normal atau menipis, gangguan fungsi sistolik dengan penurunan fraksi ejeksi. Dapat pula ditemukan peningkatan kadar brain natriuretic peptide dalam sirkulasi akan membantu diagnostik pasien dengan gejala sesak napas yang tidak jelas etiologinya. Pemeriksaan kateterisasi jantung dan angiografi koroner seringkali dibutuhkan untuk dapat menyingkirkan penyakit jantung iskemia. Pada angiografi akan terlihat dilatasi, hipokinetik difus dari ventrikel kiri dan regurgitasi mitral dalam derajat yang bervariasi. Modalitas pemeriksaan lain seperti biopsi endomiokardial transvena tidak diperlukan untuk kardiomiopati dilatasi yang familial atau idiopatik. Tetapi pemeriksaan dibutuhkan untuk diagnostik kardiomiopati sekunder seperti amiloidosis dan miokarditis akut. Pengobatan Karena penyebab dari kardiomiopati dilatasi idiopatik
tersebut sesuai definisi tidak diketahui sehingga pengobatan khusus tidak dapat dilakukan. Pengobatan ditujukan sesuai gambaran klinis yang timbul, di mana sebagian besar timbul gejala gagal jantung kongestif. Sehingga pengobatan standar untuk gagal jantung kongestif tersebut yang diberikan, seperti diuretika untuk mengurangi gejala, ACE Inhibitor; dan penghambat beta. Digoksin merupakan pilihan pengobatan lini kedua, di mana dosis optimal yang akan dicapai adalah bila kadar dalam serum mencapai 0,5-0,8 ng/mL. Pengobatan farmakologis bertujuan untuk modifikasi secara langsung akibat dari aktivasi yang lama sistem adrenergik dan renin angiotensin. Sedangkan pengobatan non-farmakologis seperti pengaturan diet, latihan fisik dan pengobatan farmakologis seperti yang telah disebutkan di atas bertujuan untuk membantu mengontrol gejala yang mungkin timbul. Latihan fisik yang teratur sesuai dengan toleransi masing-masing individu akan meningkatkan kapasitas latihan dengan memperbaiki disfungsi endotel dan meningkatkan aliran darah di otot-otot skeletal. Kematian seringkali terjadi akibat gagal jantung kongestif atau bradi-takiaritmia. Risiko terjadi emboli sistemik juga hams dipertimbangkan untuk pemberian antikoagulan. Sedangkan modalitas pengobatan yang terbukti dapat memperpanjang usia harapan hidup dengan menurunkan hampir 50% mortalitas akibat gagal jantung pada waktuwaktu terakhir ini adalah: transplantasi jantung dan pengobatan farmakologis spesifik seperti vasodilator hidralazin ditambah nitrat, ACE Inhibitor (enalapril), penghambat beta (karvedilol dan metoprolol) serta penghambat aldosteron (spironolakton). Angiotensin I1 Receptor Blocker dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi terhadap golongan ACE inhibitor: Golongan calcium antagonist tidak dianjurkan untuk dikombinasi pemberiannya dengan pengobatan standar seperti di atas, dan bukan merupakan pengobatan lini pertama. Kemungkinan terdapatnya hubungan antara kardiomiopati dilatasi dengan abnormalitas sirkulasi mikrovaskular, gangguan pada kana1 kalsium merupakan alasan pertimbangan pemberian golongan obat ini sebagai salah satu pilihan pengobatan. Secara umum penggunaan obat-obat golongan ini dapat ditoleransi dengan baik, walaupun efek depresi miokardium yang merupakan efek samping penting yang harus dipertimbangkan dalam pilihan pengobatan. Prognosis Secara urnum prognosis penyakit ini jelek. Beberapa variasi klinis yang dapat menjadi prediktor pasien kardiomiopati dilatasi yang mempunyai risiko kematian tinggi antara lain: terdapatnya gallop protodiastolik (S3), aritmia ventrikel, usia lanjut dan kegagalan stimulasi inotropik terhadap ventrikel yang telah mengalami miopati tersebut. Walaupun akurasi dan gambaran pada masing-masing individu akan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI berbeda dalam menentukan prognosis tersebut, tetapi dikatakan bahwa semakin besar ventrikel yang disertai disfungsi yang semakin berat berhubungan erat dengan prognosis yang semakin buruk. Khususnya bila terdapat dilatasi ventrikel kanan disertai gangguan fungsinya. Uji latih kardiopulmonal juga berguna sebagai gambaran prognostik. Keterbatasan yang bermakna dari kapasitas latihan yang digambarkan dengan penurunan ambilan oksigen sistemik maksimal merupakan prediktor mortalitas dan dipergunakan sebagai indikator dan pertimbangan untuk transplantasi jantung.
KARDlOMlOPATlHlPERTROFlK D
Kardiomiopati hipertrofik ada 2 macamlbentuk, yaitu: Hipertrofi yang simetris atau konsentris Hipertrofi septal simetris - Dengan left venticular outjlow tract obstruction atau disebut juga idiopathic hypertropic subaortic stenosis (IHSS,, atau hypertrophis obstructive cardiomyopathy (HOCM). - Tanda left ventricular outjlow tract obstruction. Kardiomiopati hipertrofik adalah hipertrofi ventrikel tanpa penyakit jantung atau sistemik lain yang dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel ini. Perubahan makroskopik ini dapat ditemukan pada daerah septum, interventrikularis. Hipertrofi asimetris pada septum ini, bisa ditemukan di daerah distal katup aorta. di daerah apeks. Hipertrofi yang simetris tidak sering ditemukan. Kardiomiopati hipertrofik di daerah apikal biasanya disertai dengan kelainan EKG, gelombang T negatif yang dalam.
Etiologi Etiologi kelainan ini tidak diketahui. Di duga disebabkan katekolamin, kelainan pembuluh darah koroner kecil, kelainan yang menyebabkan iskemia miokard, kelainan konduksi atrioventrikular dan kelainan kolagen. Penyakit ini dapat ditemukan pada kedua jenis kelamin dalam frekuensi yang sama, serta dapat menyerang semua umur. Gangguan irama sering terjadi dan menyebabkan berdebar-debar, pusing sampai sinkop. Tekanan darah sistolik dapat pula menurun, banyak kasus kardiomiopati hipertrofik tidak bergejala/asimtomatis. Orang tua dengan kardiomiopati hipertrofik sering mengeluh sesak napas akibat gagal jantung dan angina pektoris yang mengganggu disertai fibrilasi atrium. Pada kasus-kasus yang sudah lanjut, malah bisa terdapat pengerasanlkekakuan katup mitral, sehingga dapat memberikan gejala-gejala stenosis atau regurgitasi mitral. Pemeriksaan Fisis Pasien kardiomiopati hipertrofik biasanya fisisnya baik,
berumur muda. Denyut jantung teratur. Bising sistolik dihubungkan dengan aliran turbulensi pada jalur keluar ventrikel kiri. Bising sistolik dapat berubah-ubah, bisa hilang atau mengurang bila pasien berubah posisi dari berdiri lalu menjongkok atau dengan melakukan olah raga isometrik. Pada pemeriksaan fisis akan ditemukan pembesaran jantung ringan. Pada apeks teraba getaran jantung sistolik dan kuat angkat. Bunyi jantung ke-4 biasanya terdengar. Terdengar bising sistolik yang mengeras pada tindakan valsava.
Pemeriksaan Penunjang Pada foto rontgen dada terlihat pembesaran jantung ringan sampai sedang, terutama pembesaran atrium kiri. Pada pemeriksaan elektrokardiografi ditemukan hipertrofi ventrikel kiri, kelainan segmen ST dan gelombang T, gelombang Q yang abnormal dan aritmia atrial dan ventrikular. Pada pemeriksaan ekokardiografi Ten Cate menemukan tiga jenis hipertrofi ventrikel kiri yaitu: Hipertrofi septal saja (4 1%) Hipertrofi septal disertai hipertrofi dinding lateral (53%) Hipertrofi apikal distal (6%) (septum dan dinding lateral, kedua-duanya). Pada pemeriksaan radionuklir akan ditemukan ventrikel kiri mengecil atau normal. Fungsi sistolik menguat dan hipertrofi septal asimetrik. Dengan pemeriksaan pencitraan nuclear magnetic resonance (M.R.I.) berbagaijenis hipertrofi apikal ventrikel kiri dapat dibedakan. Pada sadapanjantung akan ditemukan compliance ventricular outflow tract obstruction. Pengobatan Pengobatan yang utama adalah menggunakan penghambat beta adrenergik, yag efeknya di samping mengurangi peninggian obstruksi jalan pengosongan ventrikel kiri, juga untuk mencegah gangguan irama yang sering menyebabkan kematian mendadak. Akhir-akhir ini dilaporkan adanya khasiat yang baik golongan antagonis kalsium seperti verapamil. Obat-obat lain tidak dianjurkan untuk diberikan, karena dapat memperburuk keadaan penyakit. Operasi miomektomi juga dilakukan pada keadaan tertentu. Prognosis Prognosis penyakit ini ternyata sekarang ini cukup jinak. Angka mortalitas hanya 1% per tahun, dibanding penelitian sebelumnya yang 2-4 x lebih tinggi. Ada beberapa pasien yang keadaannya stabil atau malah membaik dalam jangka waktu 10 tahun. Sebagian besar pasien akan bertambah berat penyakitnya, pasien mengalami gagal jantung kongestif; kardiomiopati hipertrofi ini berubah menjadi kardiomiopati kongestif sekali pun sudah
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
dilakukan mimektomi. Kematian mendadak sering terjadi pada orang muda.
Kardiomiopati restriktif merupakan kelainan yang amat jarang dan sebabnya pun tidak diketahui. Tanda khas untuk kardiomiopati ini adalah adanya gangguan pada fungsi diastolik, dinding ventrikel sangat kaku dan menghalangi pengisian ventrikel. Pada pemeriksaan patologi-anatomis ditemukan adanya fibrosis, hipertrofi atau infiltrasi pada otot-otot jantung yang menyebabkan gangguan fungsi diastolik tersebut. Etiologi Etiologi penyakit ini tidak diketahui. Kardiomiopati restriktif sering ditemukan pada amiloidosis, hemokromatosis, deposisi glikogen, fibrosis endomiokardial, eosinofilia, fibroelastosis, dan lain-lain. Gejala Klinis Pasien merasa lemah, sesak napas. Ditemukan tanda-tanda gaga1jantung sebelah kanan. Juga ditemukan tanda-tanda serta gejala penyakit sistemik seperti amiloidosis, hemokromatosis. Pemeriksaan Fisis Pada pemeriksaan fisis ditemukan adanya pembesaran jantung sedang. Terdengar bunyi jantung ke-3 atau ke-4 dan adanya regurgitasi mitral atau trikuspid.
Kardiomiopati Restriktif
Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan elektrokardiografi ditemukan low voltage. Terlihatjuga gangguan konduksi intra-ventrikular dan gangguan konduksi atrio-ventrikular. Pada pemeriksaan ekokardiografi tampak dinding ventrikel kiri menebal serta penambahan massa di dalam ventrikel. Ruangan ventrikel normal atau mengecil dan fungsi sistolik yang masih normal. Pada pemeriksaan radionuklir terlihat adanya infiltrasi pada ototjantung. Ventrikel kiri normal atau mengecil, dan fungsi sistolik yang normal. Pada sadapan jantung ditemukan complience ventrikel kiri mengurang dan peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan kanan. Diagnosis Banding Perikarditis konstriktif adalah penyakit jantung yang secara klinis dan hemodinamik sukar dibedakan dengan kardiomiopati restriktif. Kedua kelainan ini perlu dibedakan karena implikasi pengobatan dan prognosisnya berbeda.
Pengobatan Pengobatan pada umumnya sukar diberikan, karena panyakit ini tidak efisien untuk diobati dan lagi pula bergantung pada penyakit yang menyertainya. Obat-obat anti-aritmia diberikan bila ada gangguan irama. Umumnya aritmia dapat menyebabkan kematian mendadak. Pemasangan alat pacu jantung untuk gangguan konduksi yang berat dapat diberikan. Dengan ekokardiografi transesofagus dapat dibedakan antara kardiomiopati restriktif dan perikarditis konstriktif secara jelas dengan mengevaluasi perubahan aliran vena pulmonalis pada pernapasan.
Perikarditis Konstriktif
Tekanan permulaan diastolik di dalam ventrikel kanan
Di atas 0
di bawah 0
Tekanan akhir diastolik di dalam ventrikel kiri dan kanan
berbeda
Sama
Hipertensi pulmonal
ada
tidak ada
Ekokardiografi
Dinding ventrikel kiri menebal serta massanya ber tambah
dinding ventrikel normal serta pergerakan septum yang ~aradoksal
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PERIKARDITIS Marulam M. Panggabean
PENDAHULUAN Perikardium terdiri dari perikardium viseralis yang melekat ke miokardiwn dan bagian luar yaitu perikardium parietalis yang terdiri dari jaringan elastik dan kolagen serta villivilli penghasil cairan perikard dan membungkus rongga perikard. Rongga perikard normal berisi 15-50 ml cairan perikard yang mengandung elektrolit, protein dan cairan limfe dan berfungsi sebagai lubrikan Spektrum penyakit perikard mencakup defek kongenital, perikarditis, neoplasma dan kista. Etiologi terdiri dari perikarditis infeksi, perkarditis pada penyakit autoimun sistemik, sindrom pasca infark miokard atau perikarditis kronik Perikarditis adalah peradangan perikard parietalis, viseralis atau keduanya. Respons perikard terhadap peradangan bervariasi dari akumulasi cairan atau darah (ehsi perikard), deposisi fibrin, proliferasi jaringan fibrosa, pembentukan granuloma atau kalsifikasi. Itulah sebabnya manifestasi klinis perikarditis sangat bervariasi dari yang tidak khas sampai yang khas Klasifikasi Perikarditis Variasi klinis perikarditis sangat luas mulai dari efusi perikard tanpa tanda tamponad, tamponad jantung, perikarditis akut, dan perikarditis konstriktif.
Salah satu reaksi radang pada perikarditis akut adalah penumpukan cairan (eksudasi) di dalam rongga perikard yang disebut sebagai efusi perikard. Efek hemodinamik efusi perikard ditentukan oleh jumlah dan kecepatan pembentukan cairan perikard. Efusi yang banyak atau timbul cepat akan menghambat pengisian ventrikel,
penurunan volume akhir diastolik sehingga curah jantung sekuncup dan semenit berkurang. Kompensasinya adalah takikardia, tetapi pada tahap berat atau kritis akan meyebabkan gangguan sirkulasi dengan penurunan tekanan darah serta gangguan perfusi organ dengan segala akibatnya yang disebut sebagai tamponad jantung. Bila reaksi radang ini berlanjut terus, perikard mengalami fibrosis, jaringan parut luas, penebalan, kalsifikasi dan juga terjsi eksudat,yang akan menghambat proses diastolik ventrikel, mengurangi isi sekuncup dan semenit serta mengakibatkan kongesti sistemik (perikarditis konstriktifa) Perikarditis Akut Perkarditis akut adalah perdangan primer maupun sekuder perkardium parietalis/viseralis atau keduanya. Etiologi bervariasi luas dari virus, bakteri, tuberkulosis, jamur,uremia, neoplasia, autoimun, trauma, infark jantung sampai ke idiopatik. Keluhan paling sering adalah sakiunyeri dada yang tajam, retrosternal atau sebelah kiri. Bertambah sakit bila bernapas, batuk atau menelan. Keluhan lainnya rasa sulit bernapas karena nyeri pleuritik di atas atau karena efusi perikard. Pemeriksaan jasmani didapatkan friction r u b presistolik, sistolik atau diastolik. Bila efusi banyak atau cepat terjadi,akan didapatkan tanda tamponad. Elektrokardiografi menunjukkan elevasi segmen ST. Gelombang T umumnya ke atas, tetapi bila ada miokarditis akan ke bawah (inversi) Foto jantung normal atau membesar (bila ada efusi perikard). Foto paru dapat normal atau menunjukkan patologi (misalnya bila penyebabnya tumor paru, TBC, dan lain-lain). Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan : leukosit, ureum, kreatinin, enzim jantung, mikrobiologis parasitologis, serologis, virologis, patologis dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
imunologis untuk mencari penyebab peradangan dari sediaan darah, cairan perikad atau jaringan biopsi perikard. Ekokradiografi diharapkan untuk: 1. Menunjukkan efusi perikard, perkiraan jumlah dan lokasinya. 2. Menilai kontraktilitas ventrikel kiri (akan teganggu bila ada miokarditis) 3. Membedakan perikarditis dengan infark jantung. .
PENATALAKSANAAN Semua penderita perikarditis akut harus dirawat untuk menilailobservasi timbulnya tamponad (1 dalam 10 perikarditis akut) dan membedakannya dengan infark jantung akut. Ekokardiografi diperlukan untuk mengira banyaknya efusi perikard. OAINS (obat anti inflamasi nonsteroid) dipakai sebagai dasar pengobatan medikamentosa (mengurangi rasa sakit dan anti-inflamasi). Kortikosetroid (prednisolon oral 60mg/ hari) diperlukan bila sakitnya tidak teratasi dengan 0AINS.Pungsi perikard dilakukan untuk tindakan diagnostik. Bila timbul tamponad, maka pungsi perikard dilakukan sebagai tindakan terapi. Perikarditis rekurens (non-bakteriallvirus yang dibuktikan dengan PCR) dapat diobati dengan kolkisin lmg-2mghari
TAMPONAD Tamponad terjadi bilajumlah efusi perikard menyebabkan hambatan serius aliran darah ke jantung (gangguan diastolik ventrikel). Penyebab tersering adalah neoplasma, idiopatik dan uremia. Perdarahan intraperikard juga dapat terjadi akibat dari kateterisasi jantung intervensi koroner, pemasangan pacu jantung,tuberkulosis, dan penggunaan antikoagulan. Keadaan umum penderita tampak burukherat. Tekanan darah turun, peninggian tekanan vena jugularis + tanda kusmaule (penurunan tekanan V jugularis pada saat inspirasi), takikardia, nadi lemah dengan tekanan nadi kecil, bunyi jantung yang lemah, serta napas yang cepat. Pelebaran area pekak prekordial, pulsus paradoksus (penurunan tekanan sistolik >lOmg pada inspirasi). Pulsus paradoksus terjadi karena pembesaran ventrikel kanan akibat inspirasi, menekan septum dan rongga ventrikel kiri, hingga mengurangi volume ventrikel kiri dan menurunkan curah jantung sekuncup. Foto toraks menunjukkan paru yang relatif bersih kecuali bila penyebabnya tumor parulradang paru, bayangan jantung yang besar bentuk kendi (bila cairan >250ml) dengan pulsasi yang sangat minimal pada flouroskopi. EKG menunjukkan pengurangan voltase QRS (low
voltage) dan electrical alternans. Ekokardiografi menunjukkan efusi perikard moderat atau berat (echo free spase di ruang depan jantung di bawah sternum dan dinding belakang jantung), swinging heart dengan kompressi diastolik vena cava, atrium kanan atau ventrikel kanan. Kateterisasi menununjukkan peninggian tekanan atrium kanan dengan gelombang X yang prominen serta gelombang Y yang berkurang atau menghilang. Tanlpak pula kesamaan tekanan diastolik keempat ruang jantung (atrium kanan, ventrikel kanan, atrium kiri dan ventrikel kiri). Pulsus alternans tampak pula lebih jelas. Tamponad jantung merupakan keadaan darurat dan hams diatasi dengan pungsi perikard. Etiologi harus dicari seperti pada perikarditis lainnya dan diobati sesuai penyebabnya. Perikarditis Konstriktif Kronik Peradangan kronik perikard menyebabkan penebalan, fibrosis, fusi viseral dan parietal perikard yang mengurangi rongga perikard. Etiologi mulai dari idiopatik, pasca perikardiotomi, tuberkulosis, radiasi, keganasan, bekas perikarditis purulen,lain lain seperti uremia, reumatoid artritis, lupus eritematosus sistemik, dan obat. Penderita tampak seperti mengalami gagal jantung kronik. Keluhan disebabkan oleh penurunan curahjantung seperti lelah, takikardia dan bengkak. Pemeriksaan jasmani menunjukkan tanda gagal jantung kanan seperti tekanan vena jugularis meninggi dengan tanda kusmaule (peninggian tekanan V. jugularis saat inspirasi), pembesaran hati, asites, dan edema tungkai. Foto toraks menunjukkan perkapuran pada setengah pasien (terutama pada etiologi TBC). Elektrokrdiografi menunjukkan voltase rendah (low voltage) atau gelombang T yang datar (generalized T waveflatteing). Ekokardiografi menunjukkan penebalan perikard, ada tidaknya cairan perikard dan gerak septum interventrikel yang abnormal. Ekokardiografi Doppler menunjukkan variasi aliran darah yang besar saat diastolik melalui katup mitral dengan gambaran konstriktif. Bila tersedia CT scan/MRI akan tampak penebalan dan kalsifikasi perikardium. Bila dilakukan kateterisasi jantung maka akan ditemukan kesamaan tekanan akhir diastolik dari keempat ruang jantung dengan gelombang Y yang dominan Penatalaksaan dapat dimulai dengan diuretik untuk mengurangi gejala sesak dan retensi cairan. Reseksi perikard (perikardiektomi) merupakan terapi kausal dan umumnya akan memperbaiki keluhan dan memperbaiki prognosis. Bila penyebabnya radiasi atau miokard yang telah mengalami fibrosis atau atrofi, maka prognosisnya sangat buruk.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Grub NR and Newby DE. Pericardial Disease.Churchil's Pocketbook of Cardiology, London: Chuchil Livingstone; 2000.p. 172-77 Guidelines on Diagnosis and Management of Pericardial Diseases. Executive Summary. The Task Force of the European Society of Cardiology Eur Heart J 2004;25:585-610 Artom G,Koren-Morag N, Spodik DH et a1,Pretreatment with corticosteroids attenuates the efficacy of colchicines in preventing recurrent pericarditis:a multi-centre all-case analysis. Eur Heart J,2005;26:723-27 Braunwald E, Pericardial disease.ln Kasper DL, Braunwald E, Fauchi AS et.al (editor), Harrison's Principles of Internal Medicine 16 ed.2003.p.1414-20
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ANGINA PEKTORIS TAK STABIL Hanafi 0. Trisnohadi
Di Amerika Serikat setiap tahun 1 juta pasien dirawat di rumah sakit karena angina pektoris tak stabil; di mana 6 sampai 8 persen kemudian mendapat serangan infark jantung yang tak fatal atau meninggal dalam satu tahun setelah diagnosis ditegakkan. Yang dimasukkan ke dalam angina tak stabil yaitu: 1. pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, di mana angina cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per hari. 2. pasien dengan angina yang makin bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu serangan angina timbul lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan faktor presipitasi makin ringan. 3. pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat. Pada tahun 1989 Braunwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya ada keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik. Beratnya angina: Kelas I. Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya nyeri dada. Kelas 11. Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi tak ada serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir. Kelas 111. Adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara akut baik sekali atau lebih, dalam waktu 48jam terakhir. Keadaan klinis: Kelas A. Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain atau febris. Kelas B. Angina tak stabil yang primer, tak ada faktor ekstra kardiak. Kelas C. Angina yang timbul setelah serangan infark jantung. Intensitas pengobatan: Tak ada pengobatan atau hanya mendapat pengobatan minimal
Timbul keluhan walaupun telah dapat terapi yang standar. Masih timbul serangan angina walaupun telah diberikan pengobatan yang maksimum, dengan penyekat beta, nitrat dan antagonis kalsium. Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan America Heart Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI=non ST elevation myocardial infarction ) ialah apakah iskemia yang timbul cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada miokardium, sehingga adanya petanda kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemia sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk iskemia, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi yang sebentar atau adanya gelombang T yang negatif. Karena kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12jam, maka pada tahap awal serangan, angina tak stabil seringkali tak bisa dibedakan dari NSTEMI.
Ruptur Plak Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami ruptur sebelumnya mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan pada 97% pasien dengan angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik wbrotic cap). Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANGINA PEKTORIS TAK STABIL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease yang dihasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding plak fibrous cap). Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat loo%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.
Trombosis dan Agregasi Trombosit Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa @am cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin. Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi dan pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang intermiten, pada angina tak stabil. Vasospasme Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada angina Printzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme seringkali terjadi pada plak yang tak stabil, dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus. Erosi pada Plak tanpa Ruptur Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat
menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia.
GAMBARAN KLlNlSANGINA TAK STABIL
*
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah, kadangkadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaanjasmani seringkali tidak ada yang khas. PEMERIKSAAN PENUNJANG Elektrokardiografi (EKG) Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukkan kemungkinan adanya iskemia akut. Gelombang T negatifjuga salah satu tanda iskemia atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST dan T yang nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0.5 mm dan gelombang T negatif kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk iskemia, dan dapat disebabkan karena ha1 lain. Pada angina tak stabil4% mempunyai EKG normal, dan pada NSTEMI 1-6% EKG juga normal. Uji Latih Pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan menunjukkan tanda risiko tinggi perlu pemeriksaan exercise test dengan alat treadmill. Bila hasilnya negatif maka prognosis baik. Sedangkan bila hasilnya positif, lebih-lebih bila didapatkan depresi segmen ST yang dalam, dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan angiografi koroner, untuk menilai keadaan pembuluh koronernya apakah perlu tindakan revaskularisasi (PC1 atau CABG) karena risiko terjadinya komplikasi kardiovaskular dalam waktu mendatang cukup besar. Ekokardiografi Pemeriksaan ekokardiografi tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak stabil secara langsung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya insufisiensi mitral dan abnormalitas gerakan dinding regional jantung, menandakan prognosis kurang baik. Ekokardiografi stresjuga dapat membantu menegakkan adanya iskemia miokardium. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI telah diterima sebagai petanda paling penting dalam diagnosis SKA. Menurut European Society of Cardiology (ESC) dan ACC dianggap ada mionekrosis bila troponin T atau I positif dalam 24 jam. Troponin tetap positif sampai 2 minggu. Risiko kematian bertambah dengan tingkat kenaikan troponin. CK-MB kurang spesifik untuk diagnosis karena juga diketemukan di otot skeletal, tapi berguna untuk diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam 48 jam. Kenaikan CRP dalam SKA berhubungan dengan mortalitas jangka panjang. Marker yang lain seperti amioid A, interleukin-6 belum secara rutin dipakai dalam diagnosis SKA. PENATALAKSANAAN Tindakan Umum Pasien perlu perawatan di rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner, pasien perlu diistirahatkan (bed vest), diberi penenang dan oksigen; Pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin. Terapi Medikamentosa
OBAT ANTI ISKEMIA Nitrat Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer, dengan efek mengurangipreload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen (oxygen demand). Nitrat juga menambah oksigen suplai dengan vasodilatasi pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat diberikan secara sublingual atau melalui infus intravena; yang ada di Indonesia terutama isosorbid dinitrat, yang dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1-4 mg per jam. Karena adanya toleransi terhadap nitrat, dosis dapat dinaikkan dari waktu ke waktu. Bila keluhan sudah terkendali infus dapat diganti isosorbid dinitrat per oral. Penyekat Beta Penyekat beta dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Data-data menunjukkan penyekat beta dapat memperbaiki morbiditas dan mortalitas pasien dengan infark miokard, Meta analisis dari 4700 pasien dengan angina tak stabil menunjukkan penyekat
beta dapat menurunkan risiko infark sebesar 13%. (P<0,04). Semua pasien dengan angina tak stabil hams diberi penyekat beta kecuali ada kontraindikasi. Berbagai macam beta-bloker seperti propranolol, metoprolol, atenolol, telah diteliti pada pasien dengan angina tak stabil, yang menunjukkan efektivitas yang serupa. Kontra indikasi pemberian penyekat beta antara lain pasien dengan asma bronkial, pasien dengan bradiaritmia. Antagonis Kalsium Antagonis kalsium dibagi dalam 2 golongan besar: golongan dihidropiridin seperti nifedipin dan golongan nondihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil. Kedua golongan dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan tekanan darah. Golongan dihidropiridin mempunyai efek vasodilatasi lebih kuat dan penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit, dan efek inotropik negatif juga lebih kecil. Meta analisis studi pada pasien dengan angina tak stabil yang mendapat antagonis kalsium, menunjukkan tak ada pengurangan angka kematian dan infark. Pada pasien yang sebelumnya tidak mendapat antagonis pemberian nifedipin menaikkan infark dan angina yang rekuren sebesar 16%, sedangkan kombinasi nifedipin dan metoprolol dapat mengurangi kematian dan infark sebesar 20%, tapi kedua studi secara statistik tak bermakna. Kenaikan mortalitas mungkin karena pemberian nifedipin menyebabkan takikardia dan kenaikan kebutuhan oksigen. Verapamil dan diltiazem dapat memperbaiki survival dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan afterload memberikan keuntungan pada golongan nondihidropiridin.pada pasien SKA dengan faal jantung normal. Pemakaian antagonis kalsium biasanya pada pasien yang ada kontraindikasi dengan antagonis atau telah diberi penyekat beta tapi keluhan angina masih refrakter.
OBAT ANTlAGREGASl TROMBOSIT
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina tak stabil maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga golongan obat anti platelet seperti aspirin, tienopiridin dan inhibitor GP IIbIIIIa telah terbukti bermanfaat. Aspirin Banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun non fatal dari 5 1 % sampai 72% pada pasien
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANGINA PEKTORlS TAK STABIL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dengan angina tak stabil. Oleh karena itu aspirin dianjurkan untuk diberikan seumur hidup dengan dosis awal 160 mg per hari dan dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg per hari. Tiklopidin Tiklopidin suatu derivat tienopiridin merupakan obat lini kedua dalam pengobatan angina tak stabil bila pasien tidak tahan aspirin. Studi dengan tiklopidin dibandingkan plasebo pada angina tak stabil ternyata menunjukkan bahwa kematian dan infark non fatal berkurang 46,3%. Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek samping granulositopenia, di mana insidennya 2,4%. Dengan adanya klopidogrel yang lebih aman pemakaian tiklopidin mulai ditinggalkan. Klopidogrel Klopidogrel juga merupakan derivat tienopiridin, yang dapat menghambat agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari tiklopidin dan belurn ada laporan adanya neutropenia. Klopidogrel juga terbukti dapat mengurangi strok, infark dan kematian kardiovaskular.Klopidogrel dianjurkan untuk diberikan pada pasien yang tak tahan aspirin. Tapi dalam pedoman ACCIAHA klopidogrel juga dianjurkan untuk diberikan bersama aspirin paling sedikit 1 bulan sampai 9 bulan. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg per hari dan selanjutnya 75 mg per hari. Inhibitor Glikoprotein llblllla Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIbIIIIa pada platelet ialah ikatan terakhir pada proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP IIbIIIIa menduduki reseptor tadi maka ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi. Pada saat in ada 3 macam obat golongan ini yang telah disetujui untuk pemakaian dalam klinik yaitu: absiksimab, suatu antibodi monoklonal; eptifibatid, suatu siklik heptapeptid; dan tirofiban, suatu nonpeptid mimetik. Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak stabil maupun untuk obat tambahan dalam tindakan PC1 terutama pada kasus-kasus angina tak stabil. Suatu metaanalisis dari 12,296 pasien didapatkan pengurangan mortalitas dan infark miokard secara relatif sebesar 34% selama 24 jam terapi medikamentosa tanpa revaskularisasi. (2.5% vs 33%; p = 0,001). Keuntungan lebih nyata pada pasien risiko tinggi, dan lebih tampak pada pasien dengan PC1 karena strategi invasif dini. Penelitian pada pasien SKA tanpa elevasi segmen ST dan mendapat tindakan PCI, kematian dan infark miokard dalam 30'hari berkurang dari 30-70%. Tirofiban dan eptifibatid harus diberikan bersama aspirin dan heparin pada pasien dengan iskemia terus menerus atau pasien risiko tinggi dan pasien yang direncanakan untuk tindakan PCI. Abciximab disetujui untuk pasien dengan
angina tak stabil dan NSTEMI yang direncanakan untuk tindakan invasif dini di mana PC1 direncanakan dalarn 12 jam.
OBAT ANTITROMBIN Unfractionated Heparin Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagai rantai polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin 111, bila terikat dengan heparin, akan bekerja menghambat trombin dan faktor Xa. Heparin juga juga mengikat protein plasma yang lain, sel darah dan sel endotel, yang akan mempengaruhi bioavailibilitas. Kelemahan lain heparin adalah efek terhadap trombus yang kaya trombosit dan heparin dapat dimsak oleh platelet faktor 4. Metaanalisis dari 6 penelitian menunjukkan bahwa pemberian heparin bersama aspirin dapat mengurangi risiko sebesar 33% dibandingkan dengan aspirin saja. Karena adanya ikatan protein yang lain dan perubahan bioavailabilitas yang berubah-ubah maka pada pemberian selalu perlu pemeriksaan laboratorium untuk memastikan dosis pemberian cukup efektif. Activated partial thromboplastin time(APTT) hams 1-5-2.5 kali kontrol dan dilakukan pemantauan tiap 6jam.setelah pemberian. Pemeriksaan trombosit juga perlu untuk mendeteksi adanya kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT). Low Molecular Weight Heparin (LMWH) Low molecular Weight Heparin (LMWH) dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai polisakarida heparin. Kebanyakan mengandung sakarida kurang dari 18 dan hanya bekerja pada faktor Xa, sedangkan heparin menghambat faktor Xa dan trombin. Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH mempunyai ikatan terhadap protein plasma kurang, bioavailabilitas lebih besar dan tidak mudah dinetralisiroleh faktor 4, lebih besar pelepasan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dan kejadian trombositopenia lebih sedikit. Low molecular weight heparin (LMWH) yang ada di Indonesia ialah dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux. Dalteparin sama efektifnya dengan heparin sedang penelitian dengan enoksaparin menunjukkan berkurangnya mortalitas atau infark sebesar 20% pada pasien yang mendapat enoksaparin dibandingkan heparin. Keuntungan pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat disuntikkan secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
DIRECT THROMBININHIBITORS
Direct tromhin inhibitor secara teoritis mempunyai kelebihan karena bekerja langsung mencegah pembentukan bekuan darah, tanpa dihambat ole11 plasma protein maupun platelet faktor 4. Activated partial tkromhopla.stin time dapat dipakai untuk memonitor aktivitas antikoagulasi, tetapi biasanya tidak perlu. Hirudin dapat menurunkan angka kematian dan infark miokard, tetapi komplikasi perdarahan bertambah. Bivalirudin juga menunjukkan efektivitas yang sama dengan efek samping perdarahan kurang dari heparin. Bivalirudin telah disetujui untuk menggantikan heparin pada pasien angina tak stabil yang menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat menggantikan heparin bila ada efek samping trombositopenia akibat heparin (HIT).
TINDAKAN REVASKULARlSASl PEMBULUH KORONER Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan iskemia berat, dan refrakter dengan terapi medikamentosa. Pada pasien dengan penyempitan di left main atau penyempitan pada 3 pembuluh darah, bila disertai faal ventrikel kiri yang kurang tindakan operasi bypass (CABG) dapat memperbaiki harapan hidup, kualitas hidup dan mengurangi inasuknya kembali ke rumah sakit. Pada tindakan bedah darurat mortalitas dan morbiditas lebih buruk dari pada bedah elektif. Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan penyempitan pada satu pembuluh darah atau 2 pembuluh darah atau bila ada kontra-indikasi tindakan pembedahan PC1 merupakan pilihan utama. Pada angina tak stabil apa perlu tindakan invasif dini atau konservatif tergantung dari stratifikasi risiko pasien; pada risiko tinggi, seperti angina terus-menerus, adanya depresi segmen ST, kadar troponin yang meningkat, faal ventrikel kiri yang buruk, adanya gangguan irama jantung yang maligna seperti takikardia ventrikel, perlu tindakan invaSif dini.?.55.56.57
Delapan puluh persen pasien dengan angina tak stabil dapat distabilkan dalam 48 jam setelah diberi terapi medikamentosa secara agresif. Pasien-pasien ini kemudian membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut dengan treadmill test atau ekokardiografi untuk menentukan apakah pasien cukup dengan terapi medikamentosa atau pasien membutuhkan pemeriksaan angiografi dan selanjutnya tindakan revaskularisasi.
Pasien yang termasuk risiko rendah antara lain pasien yang tidak mempunyai angina sebelumnya, dan sudah tidak ada serangan angina, sebelumnya tidak memakai obat anti angina dan ECG normal atau tak ada perubahan dari sebelumnya; enzim jantung tidak meningkat termasuk troponin dan biasanya usia masih muda. Risiko sedang bila ada angina yang baru dan makin berat, didapatkan angina pada waktu istirahat, tak ada perubahan segmen ST, dan enzim jantung tidak meningkat. Risiko tinggi bila pasien mempunyai angina waktu istirahat, angina berlangsung lama atau angina pasca infark; sebelumnya sudah mendapat terapi yang intensif, usia lanjut, didapatkan perubahan segmen ST yang baru, didapatkan kenaikan troponin, dan ada keadaan hemodinamik tidak stabil. Bila manifestasi iskemia datang kembali secara spontan atau pada waktu pemeriksaan, maka pasien sebaiknya dilakukan angiografi. Bila pasien tetap stabil dan termasuk risiko rendah maka terapi medikamentosa sudah cukup. Hanya pasien dengan risiko tinggi yang membutuhkan tindakan invasif segera, dengan kemungkinan tindakan revaskularisasi.
REFERENSI G r a ~ e sE. National Hospital Discharge Survey. Annual survey 1996. Series 13, no. 4. Washington, D.C.: National Center for Health Statistics, 1998. Braunuald E. Unstable angina. A classification. Circulation 1989; 80: 410 Little WC, Constantinescu M, Applegate RJ, et al. Can coronary angiographypredict the site of a subsequent myocardial infarction in patients with mild-to-moderate coronary artery disease? Circulation 1988;78:1 157-66. Fishbein MC, Siegel RJ. HON big are coronary atherosclerotic plaques that rupture? Circulation 1996;94:2662-6. A ~ n b r o ~JA, e Winters SL, Arora RR, et al. Angiographic evolution of coronary artery morphology in unstable angina. J Am Coll Cardiol 1986;7:472-8. Ambrose JA, Tannenbaum MA, Alexopoulos D, et al. Angiographic progression of coronary artery disease and the development of myocardial infarction. J Am Coll Cardiol 1988;12:56-62. Richardson PD, Davies MJ, Born GVR. Influence of plaque configuration and stress distribution on fissuring of coronary atherosclerotic plaques. Lancet 1989;2:941-4. Fuster V, Lewis A. Conner Memorial Lecture: mechanisms leading to myocardial infarction: insights from studies of vascular biology. Circulation 1994;90:2126-46. [Erratum, Circulation 1995;91:256. ThCroux P, Fuster V. Acute coronary syndromes: unstable angina and non-Q-wave myocardial infarction. Circulation 1998;97: 1 195-206. Cheng GC, Loree HM, Kamm RD, Fishbein MC, Lee RT. Distribution of circumferential stress in ruptured and stable atherosclerotic 1esions:a structural analysis with histopaihological correlation. Circulation 1993;87:1179-87. Fernandez-Ortiz A, Badim6n JJ, Falk E, et al. Characterization of
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1733
ANGINA PEKTORISTAK STABIL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI the relative thrombogenicity of atherosclerotic plaque components: implicationsfor consequences of plaque rupture. J Am Coll Cardiol 1994;23: 1562-9. Moreno PR, Bernardi VH, Lopez-Cuellar J, et al. Macrophages,smooth muscle cells, and tissue factor in unstable angina: implications for cell-mediated thrombogenicity in acute coronary syndromes. Circulation 1996;94:3090-7. Wilcox JN, Smith KM, Schwartz SM, Gordon D. Localization of tissue factor in the normal vessel wall and in the atherosclerotic plaque. ProcNatl Sci U S A 1989;86:2839-43. Patrono C, Renda G. Platelet activation and inhibition in unstable coronary syndromes. Am J Cardiol 1997;80: 17E-20E. Cermak J, Key NS, Bach RR. Balla J, Jacob HS. Vercellotti GM. Creactive protein induces human peripheral blood monocytes to synthesize tissue factor. Blood 1993;82:513-20. Ridker PM, Glynn RJ, Hennekens CH. C-reactive protein adds to the predictive value of total and HDL cholesterol in determining risk of first myocardial infarction. Circulation 1998;97:200711. Ridker PM, Cushman M, Stampfer MJ, Tracy RP, Hennekens CH.Plasma concentration of C-reactive protein and risk of developing peripheral Cannon CP, McCabe CH, Stone PH. et al. Circadian variation in the onset of unstable angina and non-Q-wave acute myocardial infarction (theTIM1 Registry and TIMI IIIB). Am J Cardiol 1997;79:253-8 Alpert JS. Coronary vasomotion, coronary thrombosis, myocardial infarction and the camel's back. J Am Coll Cardiol 1985;5:6178. Meredith IT, Yeung AC, Weidinger FF. et al. Role of impaired endothelium-dependent vasodilation in ischemic manifestations ofcoronary artery disease. Circulation 1993;87:Suppl V:V-56V-66. Wieczorek I, Haynes WG Webb DJ, Ludlam CA, Fox KAA. Raised plasma endothelin in unstable angina and non-Q wave myocardial infarction: relation to cardiovascular outcome. Br Heart J 1994;72:436-41. Watanabe T. Suzuki N, Shimamoto N. Fu.jino M. lmada A. Contribution of endogenous endothelin to the extension of myocardial infarct size in rats. Circ Res 1991;69:370-7. Ross R. The pathogenesis of atherosclerosis - an update. N Engl J Med 1986;314:488-500. Nobuyoshi M, Tanaka M, Nosaka H, et al. Progression of coronary atherosclerosis: is coronary spasm related to progression? J Am Coll Cardiol 1991 ;I 8:904-10 Farb A, Burke AP, Tang AL, et al. Coronary plaque erosion withoutrupture into a lipid core: a frequent cause of coronary thrombosis in sudden coronary death. Circulation 1996;93:135463. Flugelman MY, Virmani R, Correa R, et al. Smooth muscle cell abundance and tibroblast growth factors in coronary lesions of patients with nonfatal unstable angina: a clue to the mechanism of transformation from the stable to the unstable clinical state. Circulation 1993;88:2493-500. Cannon CP, McCabe CH, Stone PH, et al. The electrocardiogram predicts one-year outcome of patients with unstable angina and non-Q wave myocardial infarction: results of the TIMI 111 Registry ECG Ancillary Study. J Am Coll Cardiol 1997;30: 13340. Savonitto S, Ardissino D, Granger CB. et al. Prognostic value of the admission electrocardiogram in acute coronary syndromes. JAMA 1999;281:707-13.
Pettijohn TL, Doyle T, Spiekerman AM. Watson LE. Riggs MW,Lawrence ME. Usefulness of positive troponin-T and negative creatine kinase le\,els in identifying high-risk patients \\it11 unstable angina pectoris. Am J Cardiol 1997;80:5 10- 1. Lindahl B, Venge P. Wallentin L. Relation between troponin T and the risk of subsequent cardiac events in unstable coronar) artery disease.Circulation 1996:93: 165 1-7. Antman EM, Sacks DB, Rifai N. McCabe CH. Cannon CP, Braun~ald E. Time to positivity of a rapid bedside assay for cardiac-specitic troponin T predicts prognosis in acute coronar). s) ndromes: a Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) I IA substud!. J Am Coll Cardiol 1998;31:326-30. Karlberg KE, Saldeen T, Wallin R. et al. Intra~enousnitrogl)cerin reduces ischaemia in unstable angina pectoris: a double-blind placebo-controlled study. J Intern Med 1998; 243:25. Curfman, GD, Heinsimes. JA. Lozner. EC. Fung. HL. Intravenous nitroglycerin in the treatment of spontaneous angina pectoris: A prospective randomized trial. Circulation 1983; 67276. Horowitz, JD. Role of nitrates in unstable angina pectoris. Am J Cardiol 1992; 70:64B. Yusuf S. Wittes J, Friedman L. Overvie\v of results of randomized clinical trials in heart disease. 11. llnstable angina. heart failure. primary prevention with aspirin. and risk factor modification. JAMA 1988;260:2259-63. Ferrari R. Prognosis of patients with unstable angina or acute m!ocardial infarction treated \\ith calcium channel antagonists. Am J Cardiol 1996;77:22D-25D. Held PH, Yusuf S, Furberg CD. Calcium channel blockers in acute myocardial infarction and unstable angina: an o\er\ ieu. BMJ 1989299: 1 187-92. Thiroux P. Taeymans Y. Morissette D. Bosch X. Pelletier GB. Waters DD. A randomized stud! comparing propranolol and diltiazem in the treatment of unstable angina. J Am Coll Cardiol 1985;5:717-22 Lewis HD Jr. Davis JW. Archibald DG. et al. Protective effects of aspirin against acute myocardial infarction and death in liicn with unstableangina: results of a Veterans Administration cooperative study. N Engl JMed 1983;309:396-403. Cairns JA, Gent M, Singer J. et al. Aspirin. sultinpyrazone, or both in unstable angina: results of a Canadian multicenter trial. N Engl J Med 1985;3 13: 1369-75. Antiplatelet Trialists' Collaboration. Collaborative o \ e r \ ie\\ of randomised trials of antiplatelet therapy. I. Pre\ention of death. myocardial infarction-and stroke bq prolonged antiplatelet therapy in various categories of patients. BMJ 1994;308:81106. [Erratum, BMJ 1994;308: 1540.1 Balsano F, Rizzon P. Violi F, et al. Antiplatelet treatment \\ith ticlopidine in unstable angina: a controlled multicenter clinical trial. Circulation 1990;82:17-26. CAPRIE Steering Committee. A randomised. blinded. trial ot' clopidogrel versus aspirin in patients at risk of ischaemic e\ents (CAPRIE). Lancet 1996;348: 1329-39. The CAPTURE Investigators. Randomised placebo-controlled trial of abciximab before and during coronar! interjention in refractor) unstable angina. The CAPTURE stud). Lancet 1997: 349: 1429-35 Platelet Receptor Inhibition in Ischemic S!ndro~nes Management in Pateints Limited by Unstable Signs and Symptoms (PRISMPLUS ) Stud) In\estigators. Inhibition of the platelet glycoprotein llblllla receptor uith tiroiiban in unstable angina and non Q wave myocardial infarction. N Engl J Med 1998: 338: 1488-97.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
The PURSUIT Trial Investigators. Inhibition of platelet glycoprotein Ilb/llla with eptifibatide in patients with acute coronary syndromes. N Engl J Med 1998; 339: 436-43 Boersma E, Akkerhuis KM, Theroux P, et al. Platelet glycoprotein liblllla receptor inhibition in non ST elevation acute coronary syndromes: early benefit during medical therapy only, with additional protection during percutaneous coronary intervention. Circulation 1999; 100:2045-2048 The PARAGON Investigators. An international, randomized, controlled trial of lamifiban (a platelet glycoprotein IIb/IIIa inhibitor), heparin, or both in unstable angina. Circulation 1998;97:2386-95. Oler A, Whooley MA, Oler J, Grady D. Adding heparin to aspirin reduces the incidence of myocardial infarction and death in patients with unstable angina: a meta-analysis. JAMA 1996;276:811-5. Klein LW, Wahid F, VandenBerg BJ, Parrillo JE, Calvin JE. Comparison of heparin therapy for < or = 48 hours to > 48 hours in unstable angina pectoris. Am J Cardiol 1997;79:259-63. Warkentin TE, Levine MN, Hirsh J , et al. Heparin-induced thrombocytopenia in patients treated with low-molecular-weight heparin or unfractionated heparin. N Engl J Med 1995;332:13305. Cohen M, Demers C, Gurfinkel EP, et al. A comparison of low
molecular-weight heparin with unfractionated heparin for unstable coronary artery disease. N Engl J Med 1997;337:447-52. Antman EM, McCabe CH, Gurfinkel EP, et al. Enoxaparin prevents death and cardiac ischemic events in unstable anginahon-Qwave myocardial infarction: results of the Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) 11B trial. Circulation 1999;100:1593-601. Organisation to Assess Strategies for Ischemic Syndromes (OASIS2) Investigators. Effects of recombinant himdin (lepimdin) compared with heparin on death, myocardial infarction, refractory angina, and revascularisation procedures in patients with acute myocardial ischaemia without S'l' elevation: a randomised trial. Lancet 1999;353:429-38. Luchi RJ, Scott SM, Deupree RH, Principal Investigators and Their Associates of Veterans Administration Cooperative Study No. 28. Comparison of medical and surgical treatment for unstable angina pectoris: results of a Veterans Administration cooperative study. N Engl J Med 1987;316:977-84. Braunwald E, Mark DB, Jones RH, et al. Unstable angina: diagnosis and management. Clinical practice guideline. No. 10. Rockville, Md.: Department of Health and Human Services, 1994. (AHCPR publication no.94-0602.) Braunwald E, Antman EM, Heasky JW, et al. ACCIAHA Guideline Update for the Management of Patients with Unstable Angina and Non ST segment Elevation Myocardial Infarction 2002. Summary Article: A report of the American College of Cardiology1 American Heart Association Task Force on Practice Guidelines ( Committee on the Management of Patients With Unstable Angina) Circulation 2002; 106:1893900 the stable to the unstable clinical state. Circulation 1993;88:2493-500.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ANGINA PEKTORIS STABIL
Angina pektoris (AP) adalah rasa nyeri yang timbul karena iskemia miokardium. Biasanya mempunyai karakteristik tertentu: Lokasinya biasanya di dada, substernal atau sedikit di kirinya, dengan penjalaran ke leher, rahang, bahu kiri sarnpai dengan lengan dan jari-jari bagian ulnar, punggunglpundak kiri. Kualitas nyeri biasanya merupakan nyeri yang tumpul seperti rasa tertindihlberat di dada, rasa desakan yang kuat dari dalam atau dari bawah diafragma, seperti diremas-remas atau dada mau pecah dan biasanya pada keadaan yang berat disertai keringat dingin dan sesak napas serta perasaan takut mati. Biasanya bukanlah nyeri yang tajam, seperti rasa ditusuk-tusukldiiris sembilu, dan bukan pula mules. Tidak jarang pasien mengatakan bahwa ia hanya merasa tidak enak di dadanya. Nyeri berhubungan dengan aktivitas, hilang dengan istirahat; tapi tak berhubungan dengan gerakan pernapasan atau gerakan dada ke kiri dan kekanan. Nyeri juga dapat dipresipitasi oleh stres fisik ataupun emosional. Kuantitas: Nyeri yang pertama sekali timbul biasanya agak nyata, dari beberapa menit sampai kurang dari 20 menit. Bila lebih dari 20 menit dan berat maka hams dipertimbangkan sebagai angina tak stabil (unstable anginapectoris = UAP) sehingga dimasukkan ke dalam sindrom koroner akut = "acute coronary syndrome" = ACS, yang memerlukan perawatan khusus. Nyeri dapat dihilangkan dengan nitrogliserin sublingual dalam hitungan detik sarnpai beberapa menit. Nyeri tidak terusmenerus, tapi hilang timbul dengan intensitas yang makin bertambah atau makin berkurang sampai terkontrol. Nyeri yang berlangsung terus-menerus sepanjang hari, bahkan sarnpai berhari-hari biasanya bukanlah nyeri angina pektoris.
Gradasi beratnya nyeri dada telah dibuat oleh "Canadian Cardiovascular Society" sebagi berikut: Klas I. Aktivitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga 1-2 lantai dan lain-lain tak menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada baru timbul pada latihan yang berat, berjalan cepat serta terburu-bum waktu kerja atau bepergian. Klas 11. Aktivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya AP timbul bila melakukan aktivitas lebih berat dari biasanya, seperti jalan kaki 2 blok, naik tangga lebih dari 1 lantai atau terburu-bum, berjalan menanjak atau melawan angin dan lain-lain. Klas 111. Aktivitas sehari-hari nyata terbatas. AP timbul bila berjalan 1-2 blok, naik tangga 1 lantai dengan kecepatan yang biasa. Klas IV. AP bisa timbul waktu istirahat sekalipun. Hampir semua aktivitas dapat menimbulkan angina, termasuk mandi, menyapu dan lain-lain. Nyeri dada ada yang mempunyai ciri-ciri iskemik miokardium yang lengkap, sehingga tak meragukan lagi untuk diagnosis, disebut sebagai nyeri dada (angina) tipikal; sedangkan nyeri yang meragukan tidak mempunyai ciri yang lengkap dan perlu dilakukan pendekatan yang hati-hati, disebut angina atipik. Nyeri dada lainnya yang sudah jelas berasal dari luar jantung disebut nyeri non kardiak. Untuk membantu menentukan nyeri tipikal atau bukan maka baiknya anamnesis dilengkapi dengan mencoba menemukan adanya faktor risiko baik pada pasien atau keluarganya seperti kebiasaan makan/kolesterol, DM, hipertensi, rokok, penyakit vaskular lain seperti strok dan penyakit vaskular perifer, obesitas, kurangnya latihan dan lain-lain. Pada AP stabil, nyeri dada yang tadinya agak berat, sekalipun tidak termasuk UAP, berangsur-angsur turun kuantitas dan intensitasnya dengan atau tanpa
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
pengobatan, kemudian menetap (misalnya beberapa hari sekali, atau baru timbul pada bebanlstres yang tertentu atau lebih berat dari sehari-harinya). Pada sebagian pasien lagi nyeri dadanya bahkan berkurang terus sampai akhirnya menghilang, yaitu menjadi asimtomatik, walaupun sebetulnya adanya iskemia tetap dapat terlihat misalnya pada EKG istirahatnya, keadaan yang disebut sebagai "silent iskhemia" sedangkan pasien-pasien lainnya lagi yang telah menjadi asimtomatik, EKG istirahatnya normal pula, dan iskemia baru terlihat pada stres tes.
PEMERIKSAAN FlSlS Tak ada hal-ha1 yang khususlspesifik pada pemeriksaan fisik. Sering pemeriksaan fisis normal pada kebanyakan pasien. Mungkin pemeriksaan fisis yang dilakukan waktu nyeri dada dapat menemukan adanya aritmia, gallop bahkan murmur, split S2 paradoksal, ronki basah dibagian basal paru, yang menghilang lagi pada waktu nyeri sudah berhenti. Penemuan adanya tanda-tanda aterosklerosis umumnya seperti sklerosis A. Carotis, aneurisma abdominal, nadi dorsum paedisltibialis posterior tidak teraba, penyakit valvular karena sklerosis, adanya hipertensi, LVH, xantoma, kelainan fundus mata dan lainlain, tentu amat membantu.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM Beberapa pemeriksaan lab diperlukan disini: hemoglobin, hematokrit, trombosit dan pemeriksaan terhadap faktor risiko koroner seperti gula darah, profil lipid, dan penanda inflamasi akut bila diperlukan, yaitu bila nyeri dada cukup berat dan lama, seperti enzim CKJCKMB, CRPIhs CRP, troponin. Bila nyeri dada tidak mirip suatu UAP maka tidak semuanya pemeriksaan-pemeriksaan ini diperlukan.
Pedoman yang disusun oleh AHA telah cukup lengkap untuk melakukan pemeriksaan dan penatalaksanaan yang efektif dan efisien pasien PJK, sehingga ia dipakai sebagai dasar penyusunan pedoman-pedoman yang diusulkan berikut ini. Untuk memastikan bahwa memang ada iskemia miokardium sebagai penyebab nyeri dada maka diperlukan beberapa pemeriksaan: EKG Waktu lstirahat Dikerjakan bila belum dapat dipastikan bahwa nyeri dada adalah non kardiak. Bila angina tidak tipikal, maka EKG ini
hanya positif pada 50% pasien. Kelainan EKG 12 leads yang khas adalah perubahan ST-T yang sesuai dengan iskemia miokardium. Akan tetapi perubahan-perubahan lain ke'arah faktor risiko seperti LVH dan adanya Q abnormal amat berarti untuk diagnostik. Gambaran EKG lainnya tidak khas seperti aritmia, BBB, bi atau trifasikular blok, dan sebaginya. EKG istirahat waktu sedang nyeri dada dapat menambah kemungkinan ditemukannya kelainan yang sesuai dengan iskernia sampai 50% lagi, walaupun EKG istirahat lnasih normal. Depresi ST-T 1 mm atau lebih merupakan pertanda iskemia yang spesifik, sedangkan perubahan-perubahan lainnya seperti takikardia, BBB, blok fasikular dan lain-lain, apalagi yang kembali normal pada waktu nyeri hilang sesuai pula untuk iskemia. Foto Toraks Pemeriksaan ini dapat melihat misalnya adanya kalsifikasi koroner ataupun katup jantung, tanda-tanda lain, misalnya pasien menderita juga gagal jantung, penyakit jantung katup, perikarditis, dan anurisma dissekan, serta pasienpasien yang cenderung nyeri dada karena kelainan paruparu. EKG Waktu AktivitaslLatihan Penting sekali dilakukan pada pasien-pasien yang amat dicurigai, termasuk kelainan EKG seperti BBB dan depresi ST ringan. Begitu pula pada pasien-pasien dengan angina vasospastik; sedangkan pada pasien-pasien dengan kemungkinan iskemianya rendah, LVH, minum obat digoksin, dengan depresi ST kurang dari 1 mm boleh saja dikerjakan, meskipun sebenarnya tak terlalu perlu. Kontra indikasi: IMA kurang dari 2 hari, aritmia berat dengan hemodinamik terganggu, gagal jantung manifes, emboli paru dan infark paru, perikarditis dan miokarditis akut, diseksi aorta. Kontra indikasi relatif: stenosis LM, stenosis aorta sedang atau obstruksi "outflow" lainnya, elektrolit abnormal, hipertensi sistolik >200 dan diastolik >lo0 mm Hg, bradi atau takiaritmia, kardiomiopatia hipertrofik, UAP (kecuali yang berisiko rendah dan sudah bebas nyeri), dan gangguan fisik yang menyulitkan melakukan tes ini. Treadmill exercise test memiliki sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 68% +/-I6 % dan 77% +/-17%. Tes ini ternyata sensitivitasnya lebih rendah dari stress test lainnya. Ekokardiografi Pemeriksaan ini bermanfaat sekali pada pasien dengan murmur sistolik untuk memperlihatkan ada tidaknya stenosis aorta yang signifikan atau kardiomiopati hipertrofik. Selain itu dapat pula menentukan luasnya iskemia bila dilakukan waktu nyeri dada sedang berlangsung. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk menganalisis hngsi miokardium segmental bila ha1 ini telah
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANGINA PEKTORIS STABIL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI terjadi pada pasien AP stabil kronik atau bila telah pernah infark jantung sebelumnya, walaupun ha1 ini tidak dapat memperlihatkan iskemia yang baru terjadi. Bila ekokardiografi dilakukan dalam waktu sampai 30 menit dari serangan angina, mungkin sekali masih dapat memperlihatkan adanya segmen ~niokardiumyang mengalami disfungsi karena iskemia akut. Segmen ini akan pulih lagi setelah hilangnya iskemia akut. Kuantitas iskemia dapat diperlihatkan dengan sistem skor. Bila daerah disfungsi iskemik itu sukar terlihat, maka sensitivitas dapat ditambah dengan memakai alat eko yang menggunakan harmonic imaging atau dapat dipakai juga eko kontras memakai gelembung-gelembung mikro (micro bubbles) yang terjadi waktu injeksi 1V larutan kontras. Pada saat terjadi iskemia dapat timbul MR, yang dapat diperlihatkan pula dengan eko doppler. Stress Imaging, dengan Ekokardiografi atau Radionuklir Pemeriksaan stres ekokardiografi ini bermanfaat dikerjakan pada pasien yang dicurigai menderita APS sedangkan EKG istirahatnya menunjukkan ST depresi 1 mm atau lebih atau memperlihatkan adanya sindrom WPW. Kedua tes ini berguna juga pada pasien pre revaskularisasi atau pasienpasien dengan pacu jantung atau LBBB. Ekokardiografi stres dengan memakai obat-obatan bermanfaat sekali dilakukan pada pasien-pasien yang tak dapat melakukan stres dengan latihan ataupun yang akan dilakukan revaskularisasi (dengan PC1 atau CABG).Tes-tes ini kurang bermanfaat bila dikerjakan pada pasien-pasien yang sudah hampir pasti atau sama sekali belum jelas menderita iskemia miokardium. Pemeriksaan-pemeriksaan stres tes ini dapat diterapkan juga bagi pasien-pasien asimtomatik, terutama pada pasien-pasien asimtomatik yang berisiko tinggi. Sensitivitas d a n spesifisitas pemeriksaan stres ekokardiografi berkisar pada 60-85%, sedangkan pemeriksaan dengan radionuklir kira-kira berkisar antara 80-90%. Selain untuk diagnostik, tes-tes ini dapat dimanfaatkan juga untuk stratifikasi prognostik serta evaluasi pasien-pasien yang telah dilakukan revaskularisasi dengan PC1 atau CABG. Sampai dengan dilakukannya pemeriksaan noninvasif ini dapatlah digolongkan pasien-pasien ke dalam risiko ringan, sedang dan tinggi. Angiografi Koroner Pemeriksaan ini diperlukan pada pasien-pasien yang tetap pada APS klas 111-IV meskipun telah mendapat terapi yang cukup, atau pasien-pasien dengan risiko tinggi tanpa mempertimbangkan beratnya angina, serta pasien-pasien yang pulih dari serangan aritmia ventrikel yang berat sampai cardiac arrest, yang telah berhasil diatasi. Begitu pula perlunya pemeriksaan ini pada pasien-pasien yang mengalami gagal jantung dan pasien-pasien yang
karakteristik klinisnya tergolong risiko tinggi. Pemeriksaan ini diperlukan juga bagi pasien-pasien yang diketahui mernpunyai disfungsi ventrikel kiri (EF kurang dari 45%) walaupun dengan angina klas 1-11 dan pemeriksaan non invasif tidak menunjukkan risiko tinggi, serta pasien-pasien yang tidak dapat ditentukan status koronernya dengan pemeriksaan non invasif. Keterbatasan angiografi koroner misalnya adalah bahwa ia tak dapat menentukan perubahan fungsi miokardium berdasarkan stenosis koroner yang ada dan insensitif dalam menentukan adanya trombus. Lagipula ia juga tak dapat menunjukkan plak sklerosis yang akan menyebabkan berkembangnya menjadi UAP, yang tergantung pada isi dan kapsul plak tersebut. Tidak jarang plak yang demikian biasanya hanyalah menunjukkan stenosis 50%. Dengan tambahan beratnya disfungsi LV, angiografi koroner bermanfaat sekali untuk stratifikasi prognostik, yang berkorelasi dengan jumlah pembuluh darah yang mengalami stenosis, yaitu 1, 2, 3 pembuluh atau LM. Szn-viva112 th untuk pasien dg 0,1.2,3 pembuluh adalah masing-masing 9 1%, 74%, 59% dan 40%, sedangkan LV fungsi sistolis dengan EF 50- loo%, 35-49% dan <35% berturut-turut adalah 73%. 54% dan 2 1%.
Mortal~tas D~sfungs~ LV (angjo) TMTlStress test Disfungsi LV Defek perfusi pd stres Stres Eko
1 - 3 % Ith EF 35-49 %
>3%lth EF < 35%
low risk
Intermediate
High risk
Tidak ada Nonelterbatas Normal
dosis tinggi moderat
besar
Normal
iskemia terbatas
multipell besar
mencapai < 35%
Dengan Pemeriksaan-pemeriksaan Noninvasif dan lnvasif Didapat Klasifikasi Pasien Menjadi Pasien-pasien yang asimtomatik diberlakukan menyerupai APS juga, hanya dengan skala yang lebih ringan; misalnya bila EKG istirahatnya nonnal, tidak memerlukan stres eko lagi, apalagi adanya PJK sudah dibuktikan sebelumnya. Apabila ia termasuk high risk pada pemeriksaanpemeriksaaan non invasif, maka pemeriksaan invasif mungkin diperlukan juga.
PENATALAKSANAAN Tujuan pengobatan terutama adalah rnencegah kematian dan terjadinya serangan jantung (infark). Sedangkan yang lainnya adalah mengontrol serangan angina sehingga memperbaiki kualitas hidup.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pengobatan terdiri dari farmakologis dan non farmakologis seperti penurunan BB dan lain-lain, termasuk terapi reperfusi dengan cara intervensi atau bedah pintas (CABG). Bila ada 2 cara terapi yang sama effektif mengontrol angina, maka yang dipilih adalah terapi yang terbukti lebih efektif mengurangi serangan jantung dan mencegah kematian. Pada stenosis LM misalnya, bedah pintas koroner lebih dipilih karena lebih efektif mencegah kematian. Memang kebanyakan terapi farmakologis adalah untuk segera mengontrol angina dan memperbaiki kualitas hidup, tetapi belakangan telah terbukti adanya terapi farmakologis yang mencegah serangan jantung dan kematian juga, misalnya statin sebagai obat penurun lemak darah.
FARMAKOLOGIS Aspirin. Penyekat beta. Angiotensin converting enzyme, terutama bila disertai hipertensi atau dishngsi LV. Pemakaian obat-obatan untuk penurunan LDL pada pasien-pasien dengan LDL >130mg/dI (target <1OOmg/ dl). Nitrogliserin semprot/sublingual untuk mengontrol angina. Antagonis kalsium atau nitrat jangka panjang dan kombinasinya untuk tambahan beta bloker apabila ada kontra indikasi penyekat beta, atau efek samping tak dapat ditolerir atau gagal. Klopidogrel untuk pengganti aspirin yang terkontraindikasi mutlak. Antagonis Ca nondihidropiridin long acting sebagai pengganti penyekat beta untuk terapi permulaan. Terapi terhadap faktor risiko. Penurunan kolesterol LDL pada pasien yang jelas menderita PJK atau amet dicurigai menderita PJK dengan LDL antara 100- 129 mgldl, dengan target LDL adalah di bawah 100 mg/dl. Ada beberapa pilihan terapi untuk ini, yaitu: - Gaya hidup atau dengan obat-obatan. - Penurunan BB dan peningkatan latihan pada sindrom metabolik. - Pengobatan terhadap peninggian lipid lainnya atau faktor risiko nonlipid lainnya; pemakaian asam nikotinat atau asam fibrat untuk peninggian trigliserid atau HDL yang rendah. - Penurunan BB pada obesitas meskipun pasien tidak menderita hipertensi, dislipidemia ataupun DM. Sudah disebutkan di atas bahwa dalam terapi APS ataupun PJK asimtomatik, maka tujuan yang utama adalah pencegahan seranganjantung (infark) dan kematian; setelah
itu barulah menghilangkan simtom dan perbaikan kualitas hidup Maka diantara obat-obatan ini yang berguna untuk mengurangi angka kematian dan serangan jantung adalah aspirin, penurunan kolesterol darah terutama dengan statin, penyekat beta dan ACE inhibitors. Obat-obatan lainnya berguna untuk mengurangi angina dan merperbaiki kualitas hidup.
NON FARMAKOLOGIS Di samping pemberian oksigen dan istirahat pada waktu datangnya serangan angina misalnya, maka hal-ha1 yang telah disebut di atas seperti perubahan life style (termasuk berhenti merokok dan lain-lain), penurunan BB, penyesuaian diet, olahraga teratur dan lain-lain, merupakan terapi non farmakologis yang dianjurkan. Semuanya ini, termasuk pula perlunya pemakaian obat secara terus menerus sesuai yang disarankan dokter dan mengontrol faktor risiko, serta bila perlu mengikutsertakan keluarganya dalam pengobatan pasien, dapat dimasukkan juga ke dalam pendidikan (educations).
REPERFUSIMlOKARDlUM Reperfusi miokardium dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti intervensi koroner dengan balon dan pemakaian stent sampai operasi CABG. Terapi ini pun haruslah mengutamakan tujuan penurunan mortalitas serta mengurangi serangan jantung akut, bukan hanya untuk mengurangi simtom dan memperbaiki kualitas hidup. Misalnya pasien APSIasimtomatik dengan kelainan 1-2 pembuluh koroner, haruslah diberikan terapi farmakologis yang intensif dulu sebelum dikatakan bahwa terapi yang diberikan telah gagal; sedangkan pasien dengan kelainan pembuluh Left Main (LM) sebaiknya langsung dilakukan reperfusi karena memang terbukti menurunkan mortalitas. Keadaan-keadaan yang memerlukan repefisi miokardium pada APS: Coronary artery bypass graft (CABG) pada stenosis LM. Coronary artery bypass graft pada lesi 3 pembuluh terutama bila ada disfungsi LV. Coronary artery bypass graft pada pasien lesi 2 pembuluh dan proksimal LAD dan disfungsi LV atau terdapat iskemia pada tes non invasif. Percutaneous coronary intervention pada pasienpasien dengan lesi 2 pembuluh dan proksimal LAD yang anatomis baik untuk PCI, apalagi bila LV h g s i normal dan tidak diobati untuk DM. Percutaneous coronary intervention atau CABG pada pasien-pasien dengan lesi 1 atau 2 pembuluh, tanpa
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANGINA PEKTORIS STABIL
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI proksimal LAD yang bermakna, tetapi terdapat "viable" miokardium cukup luas atau pada tes noninvasif termasuk risiko tinggi. Coronary artery bypass graft pada pasien-pasien dengan lesi 1-2 pembuluh tanpa proksimal LAD, yang pulih dari aritrnia ventrikel yang beratlcardiac arrest. Percutaneous coronary intervention atau CABG pada pasien yang sebelumnya sudah reperfusi PC1 tapi mengalami restenosis, sedangkan terdapat miokardium "viable" luas ataupun pada tes noninvasif termasuk high risk Percutaneous coronary intervention atau CABG pada pasien-pasien yang tak berhasil baik dengan terapi konservatif, sedangkan reperfusi dapat dikerjakan dengan risiko cukup baik Reperfusi transmiokardial secara operatif de'ngan menggunakan laser Terapi lain yang dapat dipertimbangkan pula pada pasien-pasien APS atau asimtomatik PJK adalah: Pemberian hormon pengganti pada pasien perempuan posmenopos, bila tak ada KI. Penurunan BB pada obesitas, sekalipun tak ada hipertensi, DM dan hiperlipiemia. Terapi asam folat pada pasien dengan peninggian homosistein. Suplemen vit E dan C. Identifikasi adanya depresi dan pengobatannya yang adekuat.
PENATALAKSANAANLANJUTAN Belum tersedia pedoman yang jelas mengenai evaluasi lanjutan pasien-pasien APS dan asimtomatik PJK yang telah berhasil distabilkan dengan pengobatan ataul dilakukan terapi revaskularisasi. Beberapa pedoman yang tersusun berikut ini merupakan hasil pengalaman, namun dapat dipakai untuk pegangan. Yang lebih dulu perlu dievaluasi antara lain adalah bagaimana keluhan-keluhan AP nya, apakah bertambah lagi atau tetap stabil, apakah timbul tanda-tanda disfungsi LV yang baru, apakah terapi yang ada dapat ditolerir dengan baik dan bagaimana kontrol faktor risikonya serta adanya komorbid baru yang memerlukan terapi tapi mengganggu stabilitas AP nya. Setelah anamnesis yang teliti mengenai perubahan dan perkembangan simtom, maka pemeriksaan hams dilakukan dengan hati-hati pula mengeani adanya tanda-tanda gagal jantung, aritmia, perubahan-perubahan pada pembuluh darah tepi lainnya, perubahan-perubahan pada jantung dan lain-lain. Pemeriksaan laboratorium terutama ditujukan pada faktor risiko, seperti gula darah dan glikosilat Hb pada DM, profil lipid, fungsi ginjal,dan lain-lain. Profil lipid mula-
mula diperiksa 4-8 minggu, lalu tiap 4-6 bulan. Dalam penatalaksanna lanjutan (jhllow up) pasienpasien APS/asimtomatik mungkin diperlukan lagi tes-tes noninvasif, seperti direkomendasikan sebagai berikut: 1. Foto toraks bila terdapat tanda-tanda CHF yang baru atau pemburukannya. 2. Penilaian kembali fungsi sistolis LV ataupun analisa segmental LV dengan cara eko ataupun radionuklir pada pasien-pasien dengan CHF yang baru timbul maupun perburukannya ataupun timbulnya tanda-tanda infark jantung. 3. Ekokardiografi pada pasien-pasien dengan tanda-tanda kelainan katup yang baru atau perburukan kel. Katup yang ada, U j i treadmill pada pasien-pasien yang belum dilakukan revaskularisasi, yang menunjukkan perubahan-perubahan klinis yang cukup berarti dan mampu melakukan stres tes dengan exercise, sedangkan pada yang tak mampu melakukan exercise test dilakukan pemeriksaan radionuklir, dan tak menunjukkan perubahan-perubahan EKG seperti WPW, electricalpacing rhythme dan ST depresi lebih dari 1 mm pada EKG istirahat.
REFERENSI Chatterjee K. Recognition and management of patients with stable angina pectoris. In: Goldman L, Braunwald E, eds. Primary Cardiology. Philadelphia: WB Saunders, 1998:234-56. Levine HJ. Difficult problems in the diagnosis of chest pain. Am Heart J 1980; 100: 108-1 8. Diamond GA. A clinically relevant classification of chest discomfort[letter]. J Am Coll Cardiol 1983;1:574-5. Wise CM, Semble EL, Dalton CB. Musculoskeletal chest wall syndromes in patients with noncardiac chest pain: a study of 100 patients. Arch Phys Med Rehabil 1992;73:147-9. Campeau L. Grading of angina pectoris [letter]. Circulation 1976;54:522-3. Alonso J, Permanyer-Miralda G, Cascant P, Brotons C. Prieto L. Soler-Soler J. Measuring functional status of chronic coronary patients. Reliability, validity and responsiveness to clinical change of the reduced version of the Duke Activity Status Index (DASI). Eur Heart J 1997;18:414-9. Wexler L, Brundage B, Crouse J, et al. Coronary artery calcification: pathophysiology, epide miology, imaging methods, and clinical implications. A statement for health professionals from the American Heart Association Writing Group. Circulation 1996;94: 1 175-92. Califf RM, Armstrong PW, Carver JR, D'Agostino RB. Strauss WE. Stratification of patients into high, medium and low risk subgroups for purposes of risk factor management. J Am Coll Cardiol 1996;27: 1007-1 9. Peels CH, Visser CA, Kupper AJ, Visser FC, Roos JP. Usefulness of two-dimensional cardiography for immediate detection of myocardial iskhaemia in the emergency room. Am J Cardiol 1990;65:687-91. Roger VL, Pellikka PA, Oh JK, Miller FA. Seward JB, Tajik AJ. Stress echocardiography. Part I . Exercise cardiography:
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
techniques,implementation. clinical applications. and correlations. Mayo Clin Proc 1995;70:5-15. Marwick TH. Use of stress ekokardiograficardiography for the prognostic assessment of patients with stable chronic coronarL artery disease. Eur Heart J 1997;18(Suppl D):D97-I 01. Chuah SC. Pellikka PA. Roger VL. McCully RB, Seward JB. Role of dobuta~ninestress ekokardiograficardiography in predicting outcome in 860 patients with known or suspected coronar) artery disease. Circulation 1998;97: 1474-80. Severi S. Picano E, Michelassi C. et al. Diagnostic and prognostic value of dipyridamole cardiography in patients with suspected coronar) arter) disease. Comparison with esercise electrocardiograph?. Circulation 1994;89:1160-73 Berman DS. ~ a c l i : h o v i t c h R. Risk assessment in patients with stable coronar) artery disease: incremental value of nuclear imaging. J Nucl Cardiol 1996;3:S41-9. McTavish D, Faulds D. Goa KL. Ticlopidine. An updated review of its pharmacology and therapeutic use in platelet-dependent disorders. Drugs 1990;40:238-59. Hirsh J. Dalen JE, Fuster V. Harker LB, Patrono C. Roth G. Aspirin and other platelet-active drugs. The relationship among dose, effectiveness, and side effects. Chest 1995;108:247S-578. Antiplatelet Trialists Collaboration. Collaborative overview of randomised trials of antiplatelet therapy. I: prevention of death, m~ocardialinfarction and stroke by prolonged antiplatelet therapy in \ arious categories of patients. BMJ 1995;308:81 106. Hansson L, Lindhol~nLH. Niskanen L, et al. Effect of angiotensinconverting-enzyme inhibition compared with conventional therapy on cardiovascular morbidity and mortality in hy pertension: the Captopril Prevention Project (CAPPP) randomized trial. Lancet 1999;353:611-6. Pitt B. Waters D. Brown WV. et al. Aggressive lipid-lowering therapy compared with angioplasty in stable coronary artery disease.Atorvastatin versus Revascularization Treatment Investigators. N Engl J Med 1999;341:70-6. Serruys PW, Unger F. Sousa JE. et al. Comparison of coronary artery bypass surgery and stenting for the treatment of multivessel disease. N Engl J Med 2001;344:1 117-24. Mosca L, Collins P. Herrington DM, et al. Hormone replacement therapy and cardiovascular disease: a statement for healthcare professionals from the American Heart Association. Circulation 2001 ;104:499-503. Heart Protection Study Collaborative Group. MRCIBHF Heart Protection Study of antioxidant vitamin supplementation in 20536 high-risk individuals: a randomised placebo-controlled trial. Lancet 2002;360:22-33. Marie YP, Danchin N, Durand JF, et al. Long-term prediction of
major ischemic events by exercise thallium-201 single-photon emission computed tomography. J Am Coll Cardiol 1995;26:87986. Hachamovitch R, Berman DS, Shaw LJ, et al. Incremental prognostic value of myocardial perfusion SPECT for the prediction of cardiac death: differential stratification for risk of cardiac death and myocardial infarction [published erratum appears in Circulation 1998;98:120]. Circulation 1998;97:533-43. Geleijnse ML, Elhendy A, van Domburg RT, et al. Prognostic value of dobutamine-atropine stress technetium-99m sestamibi perfusion scintigraphy in patients with chest pain. J Am Coll Cardiol 1996;28:447-54. Stratmann HG, Tamesis BR. Younis LT, Wittry MD, Miller DD. Prognostic value of dipyridamole technetium-99m sestamibi myocardial tomography in patients with stable chest pain who are unable to exercise. Am J Cardiol 1994;73:647-52. Margolis JR, Chen JT, Kong Y, Peter RH, Behar VS, Kisslo JA.The diagnostic and prognostic significance of coronary artery calcification: report of 800 cases. Radiology 1980; 137:609-16. Prkor DB, Shaw L. McCants CB, et al. Value of the history and physical examinations in identifying patients at increased risk for coronary artery disease. Ann Intern Med 1993; 118:8 1-90. Chaitman BR, Bourassa MG, Davis K, et al. Angiographic prevalence of high-risk coronary artery disease in patient subsets (CASS). Circulation 1981;64:360-7. Evans AT. Sensitivity and specificity of the history and physical examination for coronary artery disease [letter; comment]. Ann Intern Med 1994; 120:344-5. Lonn EM.Yusuf S, Jha P, et al. Emerging role of angiotensin-converting enzyme inhibitors in cardiac and vascular protection. Circulation 1994;90:2056-69. Miranda CP, Lehmann KG, Froelicher VF. Correlation between resting ST segment depression, exercise testing, coronary angiographq, and long-term prognosis. Am Heart J 1991;122:161728. Aronow WS. Correlation of ischemic ST-segment depression on the resting electrocardiogram with new cardiac events in 1,106 patients over 62 years of age. Am J Cardiol 1989;64:232-3. Diamond GA, Staniloff HM, Forrester JS, Pollock BH, Swan HJ.Computer-assisted diagnosis in the noninvasive evaluation of ptients with suspected coronary disease. J Am Coll Cardiol 1983; 1 :444-55. Morise AP. Diamond GA. Comparison of the sensitivity and specificity of exercise electrocardiography in biased and unbiased populations of men and women. Am Heart J 1995;130:741-7. Taylor HA, Deumite NJ, Chaitman BR, Davis KB, Killip T, Rogers WJ. Asymptomatic left main coronary artery disease in the Coronary Artery Surgery Study (CASS) registry. Circulation 1989;79: 1 17 1-9.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST Idrus Alwi
PENDAHULUAN
PATOFlSlOLOGl
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju. Laju mortalitas awal(30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai Rumah Sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekitar 1 di antara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama setelah IMA. Infark miokard akut dengan elevasi S T (ST elevation myocardial infarction = STEMI) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST (Gambar 1 dan 2).
Infark mikard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskular, di mana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyaifibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri darijhrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respons terhadap terapi trombolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, di mana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.
Anglna penoris tldak stab11
--=4 -
Spektrum derajat m Nekros~smiosit
-
1>1,0g
1 1
:
lnfark mtokard
1
>log
'25g
Petanda: Tn 8 CK-MB tdk terdeteksi EKG. ST L atau T 1 atau ST T sernentara atau normal
t
s
T, t +,CK.MB 8
R ~ s ~ kkernattan. o 5.8%
meningkat
ST T atau ST b atau inveni T dapat berkembang menladl glornbang Q 12.15%
++
Patologi: disrupsi plak. trombus tntrakomher mikmemboli Oklusi koroner sebagian Oklusi koroner lengkap
I
Fungsl ventnkel kin Disfungsi iwukur NT Pro BNP meningkal
Disfungsi sistolik, dilatasi LV
I
i Gambar 1. Rentang sindrom koroner akut mulai dari angina pektoris tak stabil tanpa nekrosis miokard yang terdeteksi sampai infark miokard ekstensif (Dikutip dari Fox Heart. 2004;90:698706).
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Pada kondisi yang jarang, STEMl dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit intlamasi sistemik.
Garnbar 3. Pembentukan trombus dan ~ n t e ~ e n farmakolog~s s~ dalam kaskade koagulasr (Dikut~pdar~ Brouwer, et al Heart. 2004,90 581-8) Garnbar 2. Patogenesis Sindrom koroner akut (Dikutip dari Antman, et al) antara paslen dan Garnbar 2 menunjukkan kronolog~s~nteraks~ dokter sepanjang progresl pernbentukan plak, onset dan kompl~kas~ STEMl dengan relevansl tatalaksana pada maslngmastng tahap Potonganlongltudrnalarter~menggambarkant~mel~ne (2) Lesl ~ n ~ s ~dan asi proses aterogenes~sdar~arter~normal (I), akumulas~l ~ p ~ekstraselular d dalarn ~ntrma,(3) evolusr stad~um frbrofatty; (4) lesi progresi dengan ekspresi prokoagulan dan lemahnya fibrous cap. Sindrom koroner akut berkembang j ~ k a plak vulnerabel dan risiko tinggi mengalamr disrups~pada fibrous cap (5) disrupsi plak adalah rangsangan terhadap trombogenesis Resorps~trornbus d~lanjutkandengan akumulas~kolagen dan ~ pertumbuhan sel otot polos (6) Selanjutnya d ~ s r u p splak vulnerabel atau plak r ~ s ~tk~on g gmengak~batkan ~ paslen rnengalam~ nyerl rskemia ak~batpenurunan allran arterl koroner ep~kard~al yang terl~bat Reduks~allran dapat menyebabkan oklus~trombus total (bawah kanan) atau oklus~trombus subtotal (bawah k ~ r ~ ) Pas~endengan nyerl rskem~adapat berupa elevas~ST atau tanpa elevas~segrnen ST pada EKG Pas~endengan elevas~ST sebag~an besar berkembang menjadl ~nfarkm~okardgelombang Q, sebag~an kec~lberkembang rnenjad~rnfark m~okardgelombang nonQ Pasren tanpa elevas~segmen ST dapat mengalam1 angina pektor~stak stab11atau rnfark m~okardakut tanpa elevasr ST Sebaq~anbesar pasren dengan NSTEMI berkembang menjadr ~nfarkmGkard non Q, dan sebaqran kecrl menladl ~nfarkm~okardgelombang Q Dx = d~agnos~s, NQMI, non-Q-wave myocardial infarchon, Q ~ M =I Qwave myocardial ~nfarct~on, CK-MB = MB isoenzyme of creatine kinase
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan risszte .fuctor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Pernbentukan trombus pada kaskade koagulasi dapat dilihat pada Garnbar 3. Arteri koroner yang terlibat (czilpr'it)kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin.
lnteraksr agregasl trornbos~t(fibr~nogen,gl~koprote~n Ilblllla) dan akt~vasrkaskade koagulasi menghasilkantrornb~nyang meng~nduksr pembentukanbekuan yang kaya fibrin F~brrnakan benkatan dengan faktor Xlll yang men~ngkatkankekuatan bekuan (clot) Antrkoagulan oral mengharnbat produks~faktor koagulas~,obat larn menghambat aks~faktor pembekuan yang teraktlvasl Target fibrlnolls~sadalah degradasr fibr~n,melalu~plasm~nFDP,s fibnn degradation products. LMWH, low molecular weight heparrn, OAC, oral anbcoagulans, PT, prothromb~n(II),,T, Thrombrn (Ila). UFH, unfractionated heparm, vWF, von Wrllebrand factor
Garnbar 4. Garnbar potong lintafig arteri koroner pada pasien dengan atemrna eksknsif (Dikut~pdari: Fox Heart. 2004;90:698786)
DIAGNOSIS Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST >2mm, minimal pada 2 sandapan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1743
INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI prekordial yang berdampingan atau >I mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana IMA, prinsip utama penatalaksanaan adalah time is muscle.
Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI. Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes melitus dan usia lanjut.
ANAMNESIS Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, merokok, stres serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga. Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia danlatau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia danlatau hipotensi) Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38OC dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.
NYERl DADA Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang salah, dalam jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Seorang dokter hams mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut: Lokasi: substernal, retrostemal, dan prekordial. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir. Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat. Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin, dan sesudah makan. Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas.
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5- 10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan hams diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan. Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pektoris tak
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI stabil atau non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elebasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakanjika EKG menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard non transmural j ~ k aEKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T. namun ternyata tidah selalu ada horelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi inFark (mural/transmural) sehingga terrninologi IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA m~tral/nontransniural. Pada ganibar 5 dapat dilihat EKG yang menyebabkan STEMl anterior ekstensif
dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMl yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi repertusi diberikan segera tilungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas nonnal menunjukkan ada nekrosisjantung (intbrk miokard). CKMB: meningkat setelah 3jam bila ada inlarh miokard dan niencapai puncak dalam 10-24 jam dan kelnbali normal dalarn 2 3 hari. Operasijantung, miokarditis dan kardioversi elehtrik dapat meningkatkan CKMB. cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cl'n I. E~izimini meningkat setelah 2 jam bila ada infarh miohard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan c7'n I' masill dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-1 0 liari.
Pemeriksaan laboratori~imharus dilakukan sebagai bagian dalaln tatalaksana pasien STEMI namiln tidak boleh menghambat implementasi terapi repefusi.
Penieriksaan enziln jantung yang lain yaitu: Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam. Cre~rtinillkitru.\c, (CK): Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jani dan kembali normal dalam 3-4 hari. L.trc tic.( / ~ I ~ ~ ~ ~ / (LDH): ~ . ~ ~ ~meningkat C ~ I I L setelall I ~ L ~ 24-48 jam bila ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali nonnal dalaln 8- 14 hari. Ciarib horizo~ital~nenunjukkan~rppei.r.c1fc1rc1i7c~c~ /~i~irt (URL) biomarker jantung pada laboratorium kilnia klinis. U K L adalah nilai yang memprcsentasikan 9Ytli po-centilc. kelompok kontrol tanpa STEMI. Reaksi non spesifik terhadap iniuri miokard adalah leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalani beberapa jam setelah oi7\et nyeri dan menetap selalna 3-7 hari. 1-eukositdapat mencapai 12.000-15.000/ul.
PETANDA (BIOMARKER)KERUSAKAN JANTUNG
PENATALAKSANAAN
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creutii~irirkinase i i i )T atau cTn I (CK)MB dan L ' L I I Y ~ ~\ pU (~~ ' i f i (t'~ ~ ) p o r z(cTn
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada data-data dari c,vtdence ho\cw' berdasarkan penelitian
Gambar 5. EKG menunlukkan STEMl antenor ekstensrf.
Berat Molekul, Da Sering Digunakan di Praktek Klinik CK-MB 86 000 cTnl 23 500 cTnT 33 000 Biornarker
Rentang waktu untuk rneninakat
Rerata Waktu Elevasi Puncak INon reoerfusi)
3-12 jam 3-12 jam 3-12 jam
24 jam 24 jam 12 jam-2 harr
48-72 jam 5-10 harr 5-14 harr
6-7 jam 18 jam 12 jam
24 hari Tak diketahui 38 jam
..
Jarang Digunakan di Praktek Klinik 1-4 jam 17 800 Myoglobin 2-6 jam CK-ME tissue isoform 86 000 CK-MM tissue isoform 1-6 jam 86 000
Waktu Kernbali ke Rentang
Da = Daltons; CK-MB = MB isoenzyme of creatine kinase; cTnl = cardiac troponin I;eTnT = cardiac troponin T; CK-MM = MM isoenzime of creatine kinase (Modifikasi dari Adams et al. Circulatron 1993;88:750)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1745
INFARK MlOKARD AKUT DENGAN ELEVASl ST
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
50
-
-
Cardlactroponln -no repodmk-n ca&cetwponin-r~pifwm CKUB oortpeziuslon
2
-
rr
: m6 . 2
-
-
-
0
1
2
3
-
4
-
1upper reference llmlt
5
6
Days After Onset of STEM!
7
8
URL =99th % Ule of Reference Control Gmup
Garnbar 6. Biornarker jantung pada infark rniokard akut dengan elevasi ST (STEMI).
rmdomized clinical trtal yang tems berkembang ataupun konsensus dari para ahli sesuai pedoman (guideline). Tujuan ulama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACCIAHA tahun 2009 d m ESC tahun 2008. Walaupun demikian perlu disesualkan dengan kondisi sarandfasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang kardiologi intervensi).
TATALAKSANA AWAL Talaksana Pra Rumah Sakit Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelornpok komplikasi umum yaitu :komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik ( p l i n ~ pfililzire). Sebagian kematian d i luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak. sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset ytxjala. Dan lebih dari separuhnya te~jadipadajam pertama. Sehingga elemen utalna tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain: Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis Segera memanggil tim tiledis ernergensi qang dapat melakukan tindakan resusitasi Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mernpunyai iasilitas ICCUIICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih. Melakukan terapi reperfusi
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya bukan selama transportasi ke Rurnah Sakit, namun karena lama waktu tnulai onsetnyeri dada sampai kepiitusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa ditanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini. Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedis di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan kendali komando lnedis onlirle yang bertanggungjawab pada pernberian terapi. Di Indonesia saat ini pemberian h-ombolitik pra hospital ini belum bisa dilakukan.
Panel A: Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil9-11: Reperfusi pada pasien STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau pendekatan kateter (PC1 primer). Implementasi strategi ini bervariasi tergantung cara transportasi pasien dan kemampuan p e r h a a n nunah sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu transport ke rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu iskemia total adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan: I ) Jika EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien memenuhi syarat terapi, fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30 menit sejak EMS t i h . 2) Jika EMS tidak mampu memberkan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasjen dibawa ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospital door to needle rime hams dalam 30 menit untuk pasien yang mempunyai indikasi fibrinolitik. 3) Jika EMS tidak mmnpu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah s k i t d m pasien dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospiral door-to-balloon time harus dalam waktu 90 menit. Tatala ksana di Ruang Emergensi Tuluan tatalaksana di IGD pads pasien yang dicurigai STEM1mencakup: mengurangilmenghilangkan nyeri dad& identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi risiko rendah ke ruangan reperfusi segera, triase ndari pemulangan repat di rlllnah sakit dan pasien dellgan STEMI.
Zepat
TATALAKSANA UMUM
Oksigen Suplemen oksigen harm dikrikan pada pasien dengan sarurasi oksigen arteri <90%. Pada semua pasien STEM1 tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Nitrogliserin (NTG) Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NTG intravena. NTG intravena juga diberikan untuk mengendalikan liipertensi atau edema paru. Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga hams dihindari pada pasien yang menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.
MengurangilMenghilangkan Nyeri Dada Mengurangilmenghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung. Morfin Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropin 0,5 mg IV. Aspirin Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-1 62 mg. Penyekat Beta Jina morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian
penyekat beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah sistolik > l o 0 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam. Terapi Reperfusi Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna. Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-balloon (atau medical contact-to-balloon) time untuk PC1 dapat dicapai dalam 90 menit. (Gambar 7)
Beberapa ha1 hams dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi antara lain: Waktu Onset Gejala Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan trombus sangat tergantung dengan waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis menurunkan angka kematian. Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark menjadi paten, kurang banyak tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukkan tidak ada pengaruh keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PC1 dikerjakan setelah 2 sampai 3 jam setelah gejala. The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infarction of the European Society of Cardiology dan ACCIAHA merekomendasikan target medical contact-to-balloon atau door-to-balloon time dalam waktu 90 menit. Risiko STEM1 Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai risiko mortalitas pada pasien STEMI. Jika estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1747
INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Panel A
Hospital Rbrinolysis : Door-to-needle within 30 min
I Onset of symptomt of STEM1
EMS on-scene
9-1-1
EMS
- Encourage 12-lead ECGs
- Consider prehosp~talfibrrnolytrc if
7
-I.!
Triage
capable and EMS-to-needle w~thrn30 mrn 'Ian
Dispatch
Goalst capable D&W FI
min a W
,Dispatch
EMS on scene
EMS Transpor t
EMS transport: EMS-to-Balloon within 90 mrn
0-0
I mrn
symptom anset
Withrn 8 min
Prehospital fibrinolysrs: EMS-to-Needle within 30 mln
Palent self-trasport: Hospital Door-to-Baloon within 90 min
s
b
T Wkhmk
r:
Wihim 120 min*
*Gold Hour= First 60 minutes
Gambar 7. Pilihan transportasi pasien dengan STEMl dan terapi reperfusi awal (Dikutip dari: Antrnan , et al)
Langkah 2: Tentukan apakah fibrinolisis atau strategi invasif lebih disukai Jika presentasi kurang dari 3 jam dan tidak ada keterlambatan untuk strarategi invasif, tidak ada preferensi untuk strategi lain.
seperti pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PC1 lebih baik. Risiko Perdarahan Pemilihan terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapi reperfusi bersama-sama tersedia PC1 dan fibrinolisis), semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PC1 tak tersedia, manfaat terapi reperfusi fannakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko. Waktu yang Dibutuhkan untuk Transport ke Laboratorium PC1 Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PC1 dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian menunjukkan PC1 lebih superior dari reperfusi farmakologis. Jika composite en~lpointkematian, infark tniokard rekuren non fatal atau strok dianalisis, superioritas PC1 terutama dalam ha1 penurunan laju infark ~niokardnon fatal berulang. Langkah-langkah Penilaian dalam Memilih Terapi Reperfusi pada Pasien STEMI. Langkah 1 :Nilai waktu dan risiko Waktu sejak onset gejala Risiko STEMI Risiko fibrinolisis Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi ke laboratorium PC1 yang mampu.
.
Fibrinolisis umumnya lebih disukai jika: Presentasi awal <3 jam atau kurang dari onset gejala dan keterlambatan ke strategi invasif. Strategi invasif bukan merupakan pilihan Laboratorium kateterisasi belurn tersedia Kesulitan akses vaskular Tidak ada akses ke laboratorium PC1 yang mampu. Terlambat untuk strategi invasif: - Transport jauh - (Door-to-bu1loon)-(door-to-needle) time lebih dari 1jam. - Medical contact-to-balloon atau door-to-bullon time lebih dari 90 tnenit. Strategi invasifumumnya lebih disukai jika: Laboratorium PC1 yang mampu tersedia dengan backup surgical Medical contact-to-balloon atau door-toballoon time <90 menit - (Door-to-hul1oon)-(door-to-needle) time <1 jam. Risiko tinggi STEMI - Syok kardiogenik - Klas Killip lebih atau sa&a dengan 3 Kontraindikasi fibrinolisis, termasuk meningkatnya risiko perdarahan dan pergarahan intrakranial. Presentasi terlambat - 0ti.set gejala >3 jam yang lalu Diagnosis STEMI tidak yakin.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
I
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kualitatif sederhana disebut tlzromhoi~~.si.~ in myocardiul I
Panel 6 .
it?furctzon
2$*
Fibrinolisis
Stratifikasi risiko noninvasif
t
k"
'A
I
I
Receivi~tg
.Hospital
I
,w
I
PC1 atau CABG J ' ~ xr+;. .m
Late Hosp Care & pencegahan sekunder
.d -
4
Gambar 8. Strateg~terap~reperfus1 pada STEMl (D~kut~p dar~ Antman, et al)
PERCUTANEOUS CORONARY INTERVENTION (PC11 Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti daniatau stenting tanpa didahului fibrinolisis disebut PC1 primer. PC1 ini efektif dalam rnengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertalna infark miokark akut. PC1 primer lebih efektif dari fibrinolisis dalam tnembuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan ozrtcor~~e klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. Dibandingkan trombolisis, PC1 primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutania pasien <75 tahun), risiko perdaralian meningkat, atau gejala sudali ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat tibrinolisis. Narnun demikian PC1 lebih lnahal dalatn ha1 personil dan fasilkas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, lianya di beberapa Rumah Sakit.
REPERFUSI FARMAKOLOGIS Fibrinolisis Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalain 30 nienit sejak lnasuk (door-to-needle. tir~rc < 30 menit). Tujuan utalna fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat beberapa macaln obat ti brinoii tik antara lain: n.s.\ uc /7lu.trnrnoge~zacrivutor.( tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rPA). Seniua obat ini beker-ja dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin. yang selanjutnya inelisiskan trombus tibrin. Terdapat 2 keloinpok yaitu: golongan spesitik tibrin seperti tPA dan non spesifik fibrin seperti streptokinase. Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat (c-ulprit)digambarkan dengaii skala
(TIMI) grading sqatem: Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang terkena infark. Crude 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi tetapi tanpa perfitsi vaskular distal. Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh y a n g mengalami infark ke bagian distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan aliran arteri normal. Crude 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan aliran nonnal
Farget terapi reperhsi adalah aliran TIM1 grade 3, karena perfilsi penuh pada arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam menibatasi luasnya int'ark, mempertahankan fungsi venhikel kiri dan menurunkan laju mortalitas jangka pendek dan jangka panjang. Terapi fibrinolitik dapat tnenurunkan risiko relatif kematian di rumah sakit sainpai 50% jika diberikan dalam jam pertama on.\ct ge-jala STEMI, dan nianfaat ini dipcrtahankan sampai 10 tahun. Setiap liitungan menit dan pasien yang tnendapat terapi dalam 1-3 jam on.\rt gejala akan mendapat manfaat yang terbaik. Walaupun laju mortalitas lebih tinggi jika dibandingkan terapi dalaln 1-3 jam, kontraindikasi terapi fibrinolitik pada STEM1 dapat dilihat pada tabel 3. terapi ~nasilitetap bermanfaat pada banyak pasien 3-6 jam setelah onscJtinfark, dan beberapa manfaat tampaknya nzasih ada sampai 12jam, terutania jika nyeri dada rnasih ada dan segnien ST masih tetap elevasi pada sandapan EKG yang belum menunjukkan gelombang Q yang baru. Jika dibandingkan dengan PC1 pada STEM1 (PC1 primer), fibrinolisis secara iilnuln nierupakan strategi reperfusi yang lebih disukai pada pasien pada jam pertama ge.jala, jika perhatian terhadap tnasalah logistik seperti transportasi pasien ke pusat PC1 yang baik, atau ada antisipasi keterlambatan sekurang-kurangnya 1 jam antara waktu trombolisis dapat dimulai dibandingkan implementasi PCI. Ti.v.vue pltrsmiilogm nctir.trtor. (tPA) dan aktivator plasminogen spesitik fibrin lain seperti rPAdan TNK lebih efektif daripada streptokinase dalaln lnengembalikan perfusi penuh, aliran koroner TIMI grade 3 dan memperbaiki survival sedikit Iebih baik.
OBAT FlBRlNOLlTlK Streptokinase (SK) Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak boleli diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat rnencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan intrakranial yang rendah, manfaat pertama diperlihatkan pada GISSI-1 t/.iol.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1749
INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Streptokinase T % ( menit ) Alergenik Spesifik fibrin Resisten PAI-1 Bolus Dosis
15-25 Ya
Tidak 1,5 juta unit lebih dari 3060 rnenit
Alteplase Irt-PA,
Reteplase (r-PA) . ,
Tenecteplase (TNK-PA )
4-8 Tidak
11-14 Tidak
17-20 Tidak
+
Tidak 15 rng bolus, dilan jutkan dengan 0,75 rnglkg (rnax 50 rng) lebih dari 30 menit, dilanjutkan 0,5 rngl kg (rnaks 35 mg) lebih dari 1 jam
Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) Global Use qf Strategies to Open Coronary Arteries-1 (GUSTO- I) trial menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapat tPA dibandingkan SK. Namun tPA harganya lebih mahal daripada SK dan risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi. Reteplase (Retavase) INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO 111 trial, dengan dosis bolus lebih rnudah karena waktu paruh yang lebih panjang. Tenekteplase (TNKase) Keuntungannya mencakup memperbaiki spesifisitas fibrin dan resistensi tinggi tehadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIM1 10 B menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIM1 3flow dan komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan dengan tPA. lndikasi Terapi Fibrinolitik Klas I 1. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dilakukan pada pasien STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan elevasi ST >0,1 mV pada sekurang-kurangnya 2 sandapan prekordial atau sekurang-kurangnya 2 sandapan ekstremitas. 2. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik hams diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan LBBB baru atau diduga baru. Klas II a 1. Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi fibrinolitik pada pasien STEMI dengan
+
++ +
Dobel 10 U bolus, dua kali, interval 30 rnenit
Satu berdasarkan BB < 60 kg 30rng 60-69 kg 35 rng 70-79 kg 40 rng 80-89 kg 45 rng > 90 kg 50 rng
onset gejala < 12 jam dan EKG 12 sandapan konsisten dengan infark miokard posterior. 2. Jika tidak terdapat kontraindikasi. dipertimbangkan pemberian terapi fibrinolitik pada pasien dengan gejala STEM mulai dari <12jam sarnpai 24jam yang mengalami gejala iskemia yang terus berlanjut dan elevasi ST 0,l mV pada sekurang-kurangnya 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau sekurang-kurangnya 2 sandapan ekstremitas. Trombolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan elevasi ST >50% dalam 90 menit pemberian trombolitik. Trombolitik tidak menunjukkan hasil pada graji vena, sehingga jika pasien pasca CABG datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah perczitaneolts coronary. intervention (PCI)
TATALAKSANA Dl RUMAH SAKlT ICCU
Aktivitas. Pasien harus istirahat dalam 12jam pertama. Diet. Karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard, pasien hams puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4- 12jam pertama. Diet mencakup lemak <30% kalori total dan kandungan kolesterol<300 mglhari. Menu hams diperkaya dengan makanan yang kaya serat, kalium, magnesium dan rendah natrium. Bowels. Istirahat di tempat tidur dan efek penggunaan narkotik untuk menghilangkan nyeri sering megakibatkan konstipasi. Dianjurkan penggunaan kursi komod di samping tempat tidur, diet tinggi serat dan penggunaan pencahar ringan secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat (200 mghari). Sedasi. Pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5 mg, oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam 0.5-2 mg, diberikan 3 atau 4 kali sehari biasanya efektif.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kontraindikasi absolut Setiap riwayat perdarahan intraserebral Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV) Terdapat neoplasma intrakraniai ganas (primer atau metastasis) Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam Dicurigai diseksi aorta Perdarahan aktif atau diatesis berdarah ( kecuali mens ) Trauma muka atau kepala tertutup yang berrnakna dalam 3 bulan Kontraindikasi relatif Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali Hipertensi berat tak terkendali saat masuk (TDS > 180 mgHG atau TDD > 110 mmHG) Riwayat strok iskemik sebelumnya > 3 bulan, demensia, atau diketahui patologi intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi Resusitasijantung paru traumatik atau lama (> 10 menit) atau operasi besar (< 3 minggu) Perdarahan internal baru (dalam 2-4 minggu) Pungsi vaskular yang tak terkompresi Untuk streptaselanisreplase:riwayat penggunaan > 5 hari sebelumnya atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini. Kehamilan Ulkus peptikum aktif Penggunaan antikoagulan baru: makin tinggi INR makin tinggi risiko perdarahan
-
TDS = tekanan darah sistolik TDD = tekanan darah diastolik
TERAPI FARMAKOLOGIS Antitrorn botik Penggunaan terapi antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI berdasarkan bukti klinis dan laboratoris bahwa trombosis mempunyai peran penting dalam patogenesis. Tujuan primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi trombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Manfaat antiplatelet terutama aspirin pada STEMI dapat dilihat pada Antiplatelets Trialists ' Collaboration. Data dari hampir 20.000 pasien dengan infark miokard yang berasal dari 15 randomised trial dikumpulkan dan menunjukkan penurunan relatif laju mortalitas sebesar 27%, dari 14,2% pada kelompok kontrol dibandingkan 10,4% pada pasien yang mendapat antiplatelet. Pada penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskular sebesar 23% dan infark nonfatal sebesar 49%. Klopidogrel harus diberikan segera mungkin pada semua pasien STEMI yang mengalami PCI. Pada pasien yang mengalami PC1 dianjurkan dosing loading 600 mg. Sedangkan yang tidak menjalani PC1 dosis loading 300 mg dilanjutkan dosis pemulihan 75 mglhari. Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi trombosis pada pasien STEMI yang
menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan abciximab dan stenting dengan plasebo dan stenting. Hasilnya menunjukkan penurunan kematian, reinfark atau revaskularisasi segera pada 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stent. Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah unfvactionated heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif (tPA, rPA atau TNK), membantu trombolisis dan memantapkan dan mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U k g (maksimum 4000 U) dilanjutkan inhs inisial 12 U k g perjam (maksimum 1000 Uljam). Activatedpartial thromboplastin time selama terapi pemeliharaan hams mencapai 1,5-2 kali. Antikoagulan alternatif pada pasien STEMI adalah low-molecular-weight heparin (LMWH). Pada penelitian ASSENT-3 enoksaparin dengan tenektepl'ase dosis penuh memperbaiki mortalitas, reinfark di Rumah Sakit dan iskemia refrakter di Rumah Sakit. Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gaga1 jantung kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik. Pada keadaan ini harus mendapat terapi antitrombin kadar terapeutik penuh (UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin sekurang-kurangnya 3 bulan. Pada penelitian OASIS-6, faondaparinux dosis rendah, suatu obat anti-Xa tak langsung, lebih superior dibandingkan dengan plasebo atau heparin dalam mencegah kematian dan reinforce pada 5436 pasien yang mendapat terapi fibrinolitik. Pada subset pasien yang menjalani PCI, fondaparinux dikaitkan dengan insiden kematian atau infark berulang dalam 30 hari lebih tinggi (1%) yang tidak bermakna. Hal ini dikaitkan dengan terjadinya trombosis kateter, sehingga perlu diberikan tambahan bolus heparin intra vena, untuk mencegah trombosis kateter Pada pasca STEMI dengan onset <12 jam yang tidak diberikan terapi reperfusi, atau pasien STEMI dengan onset > 12 jam aspirin, klopidogren dan obat anti trombin (heparin, enoksapirin atau fondaparinux) hams diberikan sesegera mungkin. Penyekat Beta Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi: yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius. Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
INFARK MlOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI sebagian besar pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE. Kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik atau riwayat asma).
Inhibitor ACE Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, danlatau fungsi ventrikel kiri menurun global), namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan hemodinamik stabil pada STEMI pasien dengan tekanan darah sistolik >I00 mmHg). Mekanisme yang melibatkan penurunan remodeling ventrikel pasca infark dengan penurunan risiko gagal jantung. Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark. Inhibitor ACE hams diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE hams dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif. Penelitian klinis dalam tatalaksana pasien gagal jantung termasuk data dari penelitian klinis pada pasien STEMI menunjukkan bahwa angiotensin receptor blockers (ARB) mungkin bermanfaat pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri menurun atau gagal jantung klinis yang tak toleran terhadap inhibitor ACE.
Disfungsi Ventrikular Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk, ukuran dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodeling ventrikular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut, hasil ini berasal dari ekspansi infark al; slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan dalam zona nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen noninfark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang
nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk. Progresivitas dilatasi dan konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain. Pada pasien dengan fraksi ejeksi <40%, tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor ACE hams diberikan.
Gangguan Hemodinamik Gagal pemompaan (pumpfailure) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen sering dijumpai kongesti paru.
TATALAKSANA EDEMA PARUAKUT Terapi 0 2 untuk mempertahankan saturasi oksigen >90%. Morfin sulfat: diberikan 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap 5-1 0 menit sampai dosis total 20 mg. InhibitorACE, mulai dengan titrasi inhibitorACE jangka pendek dengan dosis awal rendah (6,25 mg captopril) diberikan pada pasien edema paru kecuali tekanan darah sistolik 30 mmHg di bawah baseline. Pasien dengan edema paru dan tekanan darah rendah sering membutuhkan support sirkulasi dengan inotropik dan vasopressor danlatau intra-aortic balloon counterpulsation untuk menghilangkan edema pant dan mempertahankan perfusi adekuat. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin diberikan per oral 0,4-0,6 mg tiap 5- 10 menit, kemudian intravena 10-20ug/menit kecuali tekanan darah sistolik < 100 mmHg atau >30 mmHg di bawah baseline. Pasien dengan edema paru dan tekanan darah rendah sering membutuhkan support sirkulasi dengan inotropik dan vasopressor danlatau intra-aortic ballonon counterpulsation untuk menghilangkan edema paru dan mempertahankan perfusi adekuat. Diuretik: firosemid 40-80 mg bolus intravena, dapat diulang atau dosis ditingkatkan setelah 4 jam, atau dilanjutkan dengan drip kontinyu sampai mencapai produksi urin 1 ml/kgBB/jam. Penyekat beta hams diberikan sebelum pulang untuk pencegahan sekunder. Pada pasien yang tetap mengalami gagal jantung selama perawatan, dosis kecil dapat dimulai, dengan titrasi bertahap pada saat rawat jalan. Antagonis aldosteron jangka panjang harus diberikan pada pasien STEMI tanpa disfungsi ginjal bermakna (kreatinin harus <2,5 mg/dl pada pria dan < 2 mgldl pada perempuan) atau hiperkalemia (K harus < 5 mEq1 liter) yang sudah mendapat inhibitor ACE dosis terapi,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri <40% dan mengalami gagal jantung simtomatik atau diabetes. Ekokardiografi hams dilakukan dengan segera untuk memperkirakan fungsi ventrikel kin dan ventrikel kanan dan menyingkirkan komplikasi mekanis.
SYOK KARDlOGENlK Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk, sedangkan 90% terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.
Tatalaksana Syok Kardiogenik Terapi 0 2 . Jika tekanan darah sistolik < 70mmHg dan terdapat tanda syok diberikan norepinefrin. Jika tekanan darah sistolik <90mmHg dan terdapat tanda syok diberikan dopamin dosis 5- 15 uglkgBB1menit. Jika tekanan darah <90 mmHG namun tidak terdapat tanda syok diberikan dobutamin dosis 2-20 ug/kgBB/ menit. Revaskularisasi arteri koroner segera, baik PC1 atau CABG direkomendasikan pada pasien <75 tahun dengan elevasi ST atau LBBB yang mengalami syok dalam 36 jam IMA dan ideal untuk revaskularisasi yang dapat dikerjakan dalam 18 jam syok, kecuali jika terdapat kontraindikasi atau tidak ideal dengan tindakan invasif. Terapi trombolitik diberikan pada pasien STEMI dengan syok kardiogenik yang tak ideal untuk terapi invasif dan tidak mempunyai kontraindikasi trombolisis. Intra aortic ballon pump (IABP) direkomendasikan pasien STEMI dengan syok kardiogenik yang tidak membaik dengan segera dengan terapi farmakologis, bila sarana tersedia
INFARK VENTRIKEL KANAN Sekitar sepertiga pasien dengan infark inferoposterior menunjukkan sekurang-kurangnya nekrosis ventrikel kanan derajat ringan. Jarang pasien dengan infark terbatas primer pada ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan secara klinis meyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul's, hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi. Elevasi segmen ST pada sandapan EKG sisi kanan, terutama sandapan V4R, sering dijumpai dalam 24 jam pertama pasien infark ventrikel kanan. Terapi terdiri dari ekspansi volume untuk mempertahankan preload ventrikel kanan yang adekuat dan upaya untuk meningkatkan tampilan dengan reduksi Pulmonary Capillary Wedge (PCW) dan tekanan arteri pulmonalis.
Tatalaksana lnfark Ventrikel Kanan Pertahankan preload ventrikel kanan: Loading volume (inhs NaC10,9 %): 1-2 liter cairan jam I selanjutnya 200 mlljam (target tekanan atrium kanan >lO mmHg(13,6 cmH2O). Hindari penggunaan nitrat dan diuretik Pertahankan sinkroni A-V dan bradikardia harus dikoreksi. Pacu jantung sekuensial A-V pada blok jantung derajat tinggi simtomatik yang tidak respons dengan atropin. Diberikan inotropik jika curah jantung tidak meningkat setelah loading volume Kurangi afterload ventrikel kanan sesuai dengan disfungsi ventrikel kiri. Pompa balon intra-aortik Vasodilator arteri (nitropruspid, hidralazin) Penghambat ACE Reperfusi Obat trombolitik Percutaneous coronary intervention (PCI) primer Coronary artery bypass graft (CABG) (pada pasien tertentu dengan penyakit multivesel)
ARlTMlA PASCA STEMl Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset gejala. Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemia dan perlambatan konduksi di zona iskemia miokard.
EKSTRASISTOL VENTRIKEL Depolarisasi prematur ventrikel sporadis yang tidak sering, dapat terjadi pada hampir semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMl dan pencegahan fibrilasi ventrikel, dan harus diberikan rutin kecuali terdapat kontraindikasi. Hipokalemia dan hipomagnesimia merupakan faktor risiko fibrilasi ventrikel pada pasien STEMI, konsentrasi kalium serum diupayakan mencapai 4,5 mmol/liter dan magnesium 2,O mmollliter.
TAKlKARDlA DAN FlBRlLASl VENTRIKEL Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardia dan fibrilasi ventrikular dapat terjadi tanpa tanda bahaya aritmia sebelumnya.
Takikardia Ventrikel (ventricular tachycardia = VT) Takikardia ventrikel (VT) polimorfik yang menetap (lebih
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
INFARK MIOKARDAKUT DENCAN ELEVASl ST
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
dari 30 detik atau menyebabkan kolaps hemodinamik) harus diterapi dengan DC shock unsynchoronized menggunakan energi awal 200 J; jika gagal harus diberikan shock kedua 200-300 J , dan jika perlu shock ketiga 360 J . Takikardia ventrikel (VT) monomorfik, menetap yang diikuti dengan angina, edema paru atau hipotensi (tekanan darah <90 mmHg) hams diterapi dengan DC shock s~vr~chorot~ized energi awal 100 J. Energi dapat ditingkatkan jika dosis awal gagal. Takikardia ventrikel (VT) monomorfik yang tidak disertai angina, edema paru atau hipotensi (tekanan darah <90 mmHg) diterapi dengan salah satu regimen berikut: - Lidokain: bolus 1-1,5 mglkg. Bolus tambahan 0,50,75 mglkg tiap 5-10 menit sampai dosis loading total maksimal 3 mglkg. Kemudian loading dilanjutkan dengan infus 2-4 mglmenit (30-50 ugl kglmenit). - Disopiramid: bolus 1-2 mgkg dalam 5- 10 menit, dilanjutkan dosis pemeliharaan 1 mgkgljam. - Amiodaron: 150 mg infus selama 10-20 menit atau 5 mlkgBB 20-60 menit, dilanjutkan infus tetap 1 mgl menit selama 6 jam dan kemudian inhs pemeliharaan 0,5 mglmenit. - Kardioversi elektrik syzchoronized dimulai dosis 50 J (anestesi sebelumnya). Fibrilasi Ventrikel Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless diberikan terapi DC shock unsynchoronized dengan energi awal200 J jika tak berhasil hams diberikan shock kedua 200 sampai 300 J dan jika perlu shock ketiga 360 J (Klas I). Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless yang refrakter terhadap syok elektrik diberikan terapi amiodaron 300 mg atau 5 mglkg, IV bolus dilanjutkan pengulangan shock unsynchoronized. (Klas Ila) Fibrilasi Atrium Fibrilasi atrial sustained dan fluter atrial pada pasien dengan gangguan hemodinamik atau ongoing iskemia hams diterapi dengan 1 atau lebih cara berikut: Kardioversi synchronized dengan shock 200 J untuk fibrilasi atrial dan 50 J untuk fluter atrial, didahului dengan anestesi umum singkat atau sedasi jika memungkinkan. Fibrilasi atrial yang tak respons terhadap kardioversi elektrik atau berulang setelah periode ritme sinus, dianjurkan penggunaan terapi antiaritmia yang ditujukan untuk penurunkan respons ventrikel. Satu atau lebih obat farmakologi berikut dapat dipakai : - Amiodaron IV - Digoksin IV untuk pengendalian laju respons ventrikel (rate control) terutama untuk pasien
dengan disfungsi ventrikel kiri berat dan gagal jantung. - Fibrilasi atrial sustained dan fluter atrial pada pasien ot7going iskemia tetapi tanpa gangguan hemodinamik diberikan terapi dengan satu atau lebih obat berikut: - Penyekat beta lebih disukai, kecuali ada kontraindikasi - Diltiazem atauverapamil1V - Kardioversi synchronized dengan shock 200 J untuk fibrilasi atrial dan 50 J untuk fluter, didahului anestesi umum singkat atau sedasi jika memungkinkan. - Fibrilasi atrial atau fluter sustained tanpa gangguan hemodinamik atau iskemia, diindikasikan rate control. Pasien dengan fibrilasi atrial atau fluter sustained harus diberikan antikoagulan.
Aritmia Supraventrikular Takikardia supraventrikular reentrant diberikan terapi menumt urutan berikut: Massage sinus karotis Adenosin IV 6 mg dalam 1-2 detik; jika tak respons setelah 1-2 menit dapat diberikan 12 mg IV; diulang 12 mg jika diperlukan. Penyekat beta IV dengan metoprolol2,5-5 mg tiap 2-5 menit sampai dosis total 15 mg lebih dari 10- 15 menit atau atenolol 2,5-5 mg lebih dari menit sampai dosis total 10 mg dalam 10-15 menit. Diltiazem IV 20 mg (0,25 mglkg) lebih dari menit dilanjutkan i n h s 10 mgljam Digoksin IV, mungkin ada perlambatan sekurangkurangnya 1jam sebelum efek farmakologis muncul(815 mcglkg (0,6- 1 mg pada pasien dengan berat badan 70 kg). Asistol Ventrikel Resusitasi segera mencakup kompresi dada, atropin, vasopresin, epinefrin dan pacu antung sementara hams diberikan pada asistol ventrikel Bradiaritmia dan Blok Bradikardia sinus simtomatik, sinus pauses >3 detik atau bradikardia dengan frekuensi jantung <40 kalilmenit disertai hipotensi dan tanda gangguan hemodinamik sistemik diberikan terapi atropin 0,5- 1 mg. Jika bradikardia menetap dan dosis atropin sudah mencapai 2 mg, hams diberikan pacu jantung transkutaneus atau transvenous.
Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ruptur dinding ventrikel. Penatalaksanaan: operasi
Faktor Risiko (Bobot)
Aspirin (160-325 mgihari): merupakan pengobatan terpilih. Indometasin, ibuprofen Kortikosteroid.
PROGNOSIS Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA: Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisis bedside sederhana; S3 gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik Klasifikasi F o r r e s t e r berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP) TZMZrisk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisis yang dinilai pada pasien STEM1 yang mendapat terapi trombolitik.
Klas
Definisi
Mortalitas
I
Tak ada tanda gagal jantung kongestif + S 3 danlatau ronki basah edema paru syok kardiogenik
6 17 30-40 60-80
II Ill IV
Klas
l n d e k s Kardiak f~lminlm~)
(%I
PCWP lmmHal
PCWP: pulmonary capillary wedge pressure
Mortalitas(%,
Skor RisikolMortalitas 30 hari (%)
Usia 65-74 tahun (2 poin) Usia > 7 5 tahun ( 3 poin) Diabetes mellituslhipertensi atau angina (1 poin) Tekanan darah sistolik < 100mm Hg (3 poin) Frekuensi jantung > 100 mm Hg (2 poin) Klasifikasi Killip Il-IV (2 poin) Berat < 6 7 kg (1 poin) Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin) Waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin) Skor risiko =total poin (0-14)
REFERENSI Van de Werf, Bax.J., Betriu.A, et al. Management of acute myocardial infrction in patients presenting with persistent STsegment elevation. Eur Heart J 2008;29:2909-45 Antman EM, Anbe DT, Armstrong PW et al, ACCIAHA Guidelines for the Management of Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction A Report of the American College of CardiologyIAmerican Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee to Revise the 1999 Guidelines for the Management of Patients With Acute Myocardial Infarction). Circulation 2004;l 10:588-636 Antman E, Braunwald E. ST elevation myocardial infarction: management In: Braunwald E, Zipes DP, Libby P, eds. Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. 7th ed. Philadelphia, Pa: WB Saunders;2005:1 167-226. Rogers WJ, Canto JG, Lambrew CT, et al. Temporal trends in the treatment of over 1.5 million patients with myocardial infarction in the US from 1990 through 1999: the National Registry of Myocardial Infarction 1 , 2 and 3. J Am Coll Cardiol. 2000;36:2056-63. Wiviott SD, Morrow DA, Giugliano RP, et al. Performance of thethrombolysis in myocardial infarction risk index for early acute coronarysyndrome in the National Registry of Myocardial Infarction: a simple risk index predicts mortality in both ST and non-ST elevation myocardial infarction. J Am Coll Cardiol 2003;41:365A-366A. National Cholesterol Education Program. Third Report o f t h e Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Chole.stero1 in Adults (Adult Treatment Punel 111).NIH publication No. 02-5125. Bethesda, Md: National Heart, Lung. and Blood
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
INFARK MlOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Institute, 2002. Guidelines, Related Tools, and Patient Information, available at: hnp://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/cholesterol/ index.htm. Accessed April 12, 2003. Eisenberg MJ, Topol EJ. Prehospital administration of aspirin in patients with unstable angina and acute myocardial infarction. Arch Intern Med. 1996;156: 1506-1 0. Fibrinolytic Therapy Trialists' (FTT) Collaborative Group. Indications for fibrinolytic therapy in suspected acute myocardial infarction: collaborative overview of early mortality and major morbidity results from all randomized trials of more than 1000 patients. Lancet. 1994;343:311-22. Gruppo ltaliano per lo Studio della Streptochinasi nell'lnfarto Miocardico (GISSI). Effectiveness of intravenous thrombolytic treatment in acute myocardial infarction. Lancet. 1986; 1 :397402. The American Heart Association in collaboration with the International Liaison Committee on Resuscitation. Guidelines 2000 for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care: Part 7: the era of reperfusion: section 1: acute coronary syndromes (acute myocardial infarction). Circulation. 2000; 102(~uppl1):I-172-1-203. Antithrombotic Trialists' Collaboration. Collaborative meta-analysis of randomized trials of antiplatelet therapy for prevention of death, myocardial infarction, and stroke in high risk patients. BMJ. 2002;324:71-86. De Luca G, Suryapranata H, Zijlstra F, et al, for the ZWOLLE Myocardial lnfarction Study Group. Symptom-onset-to-balloon time and mortality in patients with acute myocardial infarction treated by primary angioplasty. J Am Coll Cardiol. 2003;42:9917. Boersma E, Mercado N, Poldermans D, et al. Acute myocardial infarction. Lancet. 2003;361:847-58. De Luca G, Suryapranata H, Ottervanger JP. et al. Time delay to treatment and mortality in primary angioplasty for acute myocardial infarction: every minute of delay counts. Circulation. 2004; 109: 1223-5. The Task Force on the Management of Acute Myocardial lnfarction of the European Society of Cardiology. Management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation. Eur Heart J. 2003;24:2866. Morrow DA, Antman EM, Charlesworth A, et al. TIMI risk score for ST-elevation myocardial infarction: a convenient, bedside, clinical score for risk assessment at presentation: an intravenous nPA for treatment of infarcting myocardium early I1 trial substudy. Circulation. 2000; I 02: 203 1-7. Lee KL, Woodlief LH, Topol EJ, et al, for the GUSTO-I Investigators. Predictors of 30-day mortality in the era of reperfusion for acute myocardial infarction: results from an international trial of 41,021 patients. Circulation. 1995;91: 1659-68. Bonnefoy E, Lapostolle F, Leizorovicz A, et al., for the Comparison of Angioplasty and Prehospital Thrombolysis in Acute Myocardial Infarction study group. Primary angioplasty versus prehospital fibrinolysis in acute myocardial infarction: a randomised study. Lancer. 2002;360:825-9. Steg PG Bonnefoy E, Chabaud S, et al. Impact of time to treatment on mortality after prehospital fibrinolysis or primary angioplasty: data from the CAPTIM randomized clinical trial. Circulation. 2003;108:285 1-6. Widimsky P, Budesinsky T, Vorac D, et al. Long distance transport for primary angioplasty vs immediate thrombolysis in acute myocardial infarction: final results of the randomized national
multicentre trial: PRAGUE-2. Eur Heart J. 2003:24:94-104. Lincoff AM, Califf RM, Van de Werf F, et al, for the Global Use of Strategies To Open Coronary Arteries (GUSTO) Investigators. Mortality at 1 year with combination platelet glycoprotein IlbJ Illa inhibition and reduced-dose fibrinolytic therapy vs conventional fibrinolytic therapy for acute myocardial infarction: GUSTO V randomized trial. JAMA. 2002;288:2130-5. Widimsky P, Groch L, Zelizko M, et al. Multicentre randomized trial comparing transport to primary angioplasty vs immediate thrombolysis vs combined strategy for patients with acute myocardial infarction presenting to a community hospital without a catheterization laboratory: the PRAGUE study. Eur Heart J. 2000;21:823-3 1. Grines CL, Browne KF. Marco J, et al, for the Primary Angioplasty in Myocardial Infarction Study Group. A comparison of immediate angioplasty with thrombolytic therapy for acute myocardial infarction. N Engl J Med. 1993;328:673-9. Schomig A, Kastrati A, Dirschinger J, et al. for the Stent versus Thrombolysis for Occluded Coronary Arteries in Patients with Acute Myocardial lnfarction Study Investigators. Coronary stenting plus platelet glycoprotein IIb/Illa blockade compared with tissue plasminogen activator in acute myocardial infarction. N Engl J Med. 2000;343:385-91. Andersen HR, Nielsen TT, Rasmussen K, et al, for the DANAMI-2 Investigators. Thrombolytic therapy vs primary percutaneous coronary intervention for myocardial infarction in patients presenting to hospitals without on-site cardiac surgery: a randomized controlled trial. JAMA. 2002;287: 1943-5 1. Andersen HR, Nielsen TT, Rasmussen K, et al, for the DANAML-2 Investigators. A comparison of coronary angioplasty with tibrinolytic therapy in acute myocardial infarction. N Engl J Med. 2003;349: 7 3 3 4 2 . Hochman JS, Sleeper LA, Webb JG, et al, for the Should We Emergently Revascularize Occluded Coronaries for Cardiogenic Shock (SHOCK) Investigators. Early revascularization in acute myocardial infarction complicated by cardiogenic shock. N Engl J Med. 1999;341: 625-34. Keeley EC, Boura JA, Grines CL. Primary angioplasty versus intravenous thrombolytic therapy for acute myocardial infarction: a quantitative review of 23 randomised trials. Lancer. 2003;36 1 :13-20. Berger PB, Ellis S G Holmes DR, et al. Relationship between delay in performing direct coronary angioplasty and early clinical outcome in patients with acute myocardial infarction: results from the Global Use of Strategies To Open Occluded Arteries in Acute Coronary Syndromes (GUSTO-Ilb) trial. Circztlation. 1999; 100: 14-20. Juliard JM, Feldman LJ, Golmard JL, et al. Relation of mortality of primary angioplasty during acute myocardial infarction to door-to- Thrombolysis In Myocardial lnfarction (TIMI) time. Am J Curdiol. 2003;91:1401-5. Suryapranata H, Ottervanger JP, Nibbering E, et al. Long term outcome and cost-effectiveness of stenting versus balloon angioplasty for acute myocardial infarction. Heart. 2001 ;85:667-7 1. Stone GW, Grines CL. Gox DA, et al, for the Controlled Abciximab and Device Investigation to Lower Late Angioplasty Complications (CADILLAC) Investigators. Comparison of angioplast) with stenting, with or without abciximab, in acute myocardial infarction. N Engl J Med. 2002;346:957-66. The TIMI Research Group. Immediate vs delayed catheterization and angioplast) following thrombolytic therapy for acute myocardial infarction: TIMI 11 A results. JAMA. 1988;260:2849-
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
58. Hochman JS, Sleeper LA, White HD, et al, for the SHOCK Investigators: Should We Emergently Revascularize Occluded Coronaries for Cardiogenic Shock: one-year survival following early revascularization for cardiogenic shock. J A M A . 2001 ;285:190-2. Dzavik V. Sleeper LA, Cocke TP, et al, for the SHOCK Investigators. Early revascularization is associated with improved survival in elderly patients with acute myocardial infarction complicated by cardiogenic shock: a report from the SHOCK Trial Registry. Eur Heart J. 2003;24:828-37. Montalescot G Barragan P, Wittenberg 0 , et al, for the ADMIRAL (Abciximab before Direct Angioplasty and Stenting in Myocardial Infarction Regarding Acute and Long-Term Follow-up). Investigators. Platelet glycoprotein llblllla inhibition with coronary stenting for acute myocardial infarction. N Engl J Med. 2001 ;344: 1895-903. Braunwald E, Antman E, Beasley J, et al. ACCIAHA 2002 guideline updatefor the management of patients with unstable angina and non-ST-segment elevation myocardial infarction: summary article: a report of the American College of Cardiology1 American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee on the Management of Patients With Unstable Angina). J Am Colt Cardiol. 2002;40: 1366. Gupta M. Chang WC, Van de Werf F, et al, for the ASSENT I1 Investigators. lnternational differences in in-hospital revascularization and outcomes following acute myocardial infarction: a multilevel analysis of patients in ASSENT-2. Etrr Heart J. 2003;24: 1640-50. Gibson CM, Karha J, Murphy SA, et al, for the TIM1 Study Group. Early and long-term clinical outcomes associated with reinfarction following fibrinolytic administration in the thrombolysis in myocardial infarction trials. J Am Coll Cardiol. 2003;42:7-16. ISIS-2 (Second lnternational Study of Infarct Survival) Collaborative Group. Randomised trial of intravenous streptokinase, oral aspirin, both, or neither among 17,187 cases of suspected acute myocardial infarction: ISIS-2. Lancet. 1988;2:349-60. Bertrand ME. Rupprecht HJ, Urban P, et al. Double-blind study of the safety of clopidogrel with and without a loading dose in combination with aspirin compared with ticlopidine in combination with aspirin afier coronary stenting : the Clopidogrel Aspirin Stent lnternational Cooperative Study (CLASSICS). Circtrlation. 2000; 102:624-9. Mehta SR, Yusuf S, Peters RJ. et al, for the Clopidogrel in Unstable angina to prevent Recurrent Events trial (CURE) Investigators. Effects of pretreatment with clopidogrel and aspirin followed by long-term therapy in patients undergoing percutaneous coronary intervention: the PCI-CURE study. Lancet. 2001 ;358:527-33. Steinhubl SR, Berger PB, Mann JT 111, et al, for the CREDO (Clopidogrel for the Reduction of Events During Observation) Investigators. Early and sustained dual oral antiplatelet therapy following percutaneous coronary intervention: a randomized controlled trial. JAMA. 2002; 288:241 1-20. Patrono C, Bachmann F, Baigent C, et al. Expert consensus document on the use of antiplatelet agents: The Task Force on
the Use of Antiplatelet Agents in Patients With Atherosclerotic Cardiovascular Disease of the European Society of Cardiology. Eur Heart J. 2004;25:166-81. Levine GN, Kern MJ, Berger PB, et al, for the American Heart Association Diagnostic and lnterventional Catheterization Committee and Council on Clinical Cardiology. Management of patients undergoing percutaneous coronary revascularization. Ann Intern Med. 2003; 139: 123-36. Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel Ill) final report. Circulation. 2002;106:3 143-42 1 . Pitt B, Zannad F, Remme WJ, et al, for the Randomized Aldactone Evaluation Study Investigators. The effect of spironolactone on morbidity and mortality in patients with severe heart failure. N Engl J Med. 1999;341:709-17. Pfeffer MA, McMurray JJ, Velazquez EJ, et al, for the Valsartan in Acute Myocardial lnfarction Trial Investigators. Valsartan, captopril, or both in myocardial infarction complicated by heart failure, left ventricular dysfunction, or both. N Engl J Med. 2003;349: 1893-1 906. Yusuf S, Zhao F, Mehta SR, et al, for the Clopidogrel in Unstable Angina to Prevent Recurrent Events Trial Investigators. Effects of clopidogrel in addition to aspirin in patients with acute coronary syndromes without ST-segment elevation. N EngI J Med. 2001 ;345:494-502. Brouwer MA, van den Bergh PJ, Aengevaeren WR, et al. Aspirin plus coumarin versus aspirin alone in the prevention of reocclusion after fibrinolysis for acute myocardial infarction: results of the Antithrombotics in the Prevention of Reocclusion In Coronary Thrombolysis (APRICOT)-2 Trial. Circulation. 2002;106:659-65. Yusuf S, Sleight P, Pogue J, et al, for the Heart Outcomes Prevention Evaluation Study Investigators. Effects of an angiotensin-convertingenzyme inhibitor, ramipril, on cardiovascular events in high-risk patients. N Engl J Med. 2000;342: 145-53. Fox KM, for the EURopean trial On reduction of cardiac events with Perindopril in stable coronary Artery disease Investigators. Efficacy of perindopril in reduction of cardiovascular events among patients with stable coronary artery disease: randomised, double-blind, placebocontrolled, multicentre trial (the EUROPA study). Lancer. 2003;362: 782-8. Granger CB, McMurray JJ, Yusuf S, et al, for the CHARM Investigators and Committees. Effects of candesartan in patients with chronic heart failure and reduced left-ventricular systolic function intolerant to angiotensin- converting-enzyme inhibitors: the CHARM-Alternative trial. Lancet. 2003;362:772-6. McMurray JJ. Ostergren J, Swedberg K, et al, for the CHARM Investigators and Committees. Effects of candesartan in patients with chronic heart failure and reduced left-ventricular systolic function taking angiotensin-converting-enzyme inhibitors: the CHARM-Added trial. Lancet. 2003;362:76771. Yusuf S, Pfeffer MA, Swedberg K, et al, for the CHARM Investigators and Committees. Effects of candesartan in patients with chronic heart failure and preserved left-ventricular ejection fraction: the CHARMPreserved trial. Luncet. 2003;362:77781. Seventh report of the Joint National Committee on the Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7): resetting the hypertension sails. Hypertension. 2003;4 1 :1 178 -9.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST Sjaharuddin Harun, Idrus Alwi
PENDAHULUAN Angina pektoris tak stabil (unstable angina = UA) dan infark miokard akut tanpa elevasi ST (non ST elevation myocardial infarction = NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UA menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri dada, yang menjadi salah satu gejala yang paling sering didapatkan pada pasien yang datang ke IGD, diperkirakan 5,3 juta kunjunganltahun. Kira-kira 113 darinya disebabkan oleh UANSTEMI, dan merupakan penyebab tersering kunjungan ke rumah sakit pada penyakit jantung. Angka kunjungan RS untuk pasien UAINSTEMI semakin meningkat, sementara angka infark miokard dengan elevasi ST (STEMI) menurun. Penatalaksanaan UAI NSTEMI telah disusun dalam pedoman ( g u i d e l i n e s ) oleh American College of Cardiology (ACC) dan American Heart Association (AHA). Guidelines untuk tatalaksana UANSTEMI juga dibuat oleh European Society of Cardiology dan memiliki kemiripan dengan guidelines Amerika. Perlu diingat bahwa prinsip penatalaksanaan sangat tergantung kepada saranat prasarana yang tersedia di tempat pelayanan masingmasing khususnya untuk tindakan intervensi koroner.
Non ST elevation myocardial infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat
oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner diawali dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, ,fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktorjaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNF a, dan IL-6. Selanjutnya IL-6 akan merangsang pengeluaran hsCRP di hati.
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala di epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahwa mereka yang memiliki gejala dengan onset baru angina beratlterakselerasi memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki nyeri pada waktu istirahat. Walaupun gejala khas rasa tidak enak di dada iskemia pada NSTEMI telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.
EKG Gambaran elektrokardiogram (EKG), secara spesifik berupa
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
deviasj segmen ST merupakan ha1 penting yang menentukan risiko pada pasien. Pada Thrombolysis in adanya depresi segmen [email protected] (TIM) III Registrystrv ST baru sebanyak 0,05 mV merupakan prediktor ourcome yang buruk. Kaul et al. menunjukkan peningkatan risiko outcome yang buruk meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi segmen ST, d m baik depresi segmen ST maupun perubahan troponin T keduanya memberikan tambahan inforrnasi prognosis pasien-pasien dengan NSTEMI.
BIOMARKER KERUSAKAN MIOKARD
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard ymg lebih disukai, karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisonal seperti CK dan CKMB. Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3 4 jam d m dapat menetap sampai 2 minggu. Pada garnbar 1 dapat dilihat kinetik biomarker jantung seperti mioglobin, CKMB dan traponin.
STRATlFlKASl RlSlKO
Penilaian Minis dan EKG, keduanya merupakan parameter u t a m dalam pengenalan dan penilaian risiko NSTEMI. Jika ditemukan risiko tinggi, maka keadaan hi memerlukan terapi awal yang segera. Penablaksanaan sebaiknya terkait dengan faktor risikonya (Gambar 1). Terdapat beberapa pendekatan untuk stratifikasi risiko pada NSTEMI.
dengan skor risiko 0-I, sampai 4 1% dengan skor risiko 6-7. Skor risiko ini berasal dari analisis pasien-pasien pada penelitian TIM1 11B dan telah divalidasi pada empat penelitian tambahan dan satu registry. Dengan meningkatnya skor risiko, telah diobservasi manfaat yang lebih besar secara progresif pada terapi dengan LMWH versus UFH, dengan Platelet GP IIb/lllu receptor blocker tirofiban versus plasebo, dan stratepi invasjf versus konservatif. Pada pasien untuk semua level skor risiko TIMI, penggunaan klopidogrel menunjukkan penurunan outcome yang buruk relatif sama. Skor risiko juga efektif dalam rnemprediksi ozltcome yang buruk pada pasien setelah pulang.
SERUM KREATININ Terdapat banyak bukti yang menunjukkan disfungsi ginjal berhubungan dengan peningkatan risiko outcome yang buruk. Beberapa penelitian seperti Platelet Receptor inhibition in Ischentic Syndrorne Management in Patients Lirnirea' by Unstable Sign and Symptom (PRISM-PLUS), Treat Angina with Aggrastat und Deternzine Cosr of Therap-))with Invasive or Conser\,ative Strategy (TACTICS)-TIM1 18, d m Glohul I / . Y ~Strategie.~fo Open Occluded Coronary Arteries (GUSTO) IV-ACS, kesemuanya menunjukkan pasien-pasien dengan kadar klirens kreatinin yang lebih rendah memiliki gambaran risiko tinggi yang lebih besar dan outcome yang kurang baik. Walaupun strategi invasif banyak bemanfaat pada pasien dengan disfungsi ginjal, namun mempunyai risiko perdarahan yang lebih banyak. Karena "molekul kecil" inhibitor GP nb/ILIa dan LMWH diekskresikan lewat ginjal, terapi ini seharusnya diberikan dengan perhatian khusus pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Walaupun disfungsi ginjal dapat mengganggu klirens troponin, narnun tetap merupakan prediktor keluaran yang benilai pada pasien tersebut.
PETANDA BlOLOGlS (BIOMARKER) MULTIPEL UNTUK PENlLAlAN RlSlKO
Oambar 1. Kinetik berbawi petanda biokimia jantung
SKOR RlSlKO TIMI
Skor risiko merupakan suatu metoda sederhana untuk stratifikasi risiko, dan angka faktor risiko. Insidens uutcome yang buruk (kernatian, (re) infark miokard, atau iskemia berat rekuren) pada 14 hari berkisar antara 5%
Newby et al. mendemonstrasikan bahwa strategi bedside menggunakan mioglobin, creatinin kirzase-MB dan troponin I menunjukk-anstratifikasi risiko yang lebih akurat dibandingkan jika mcnggunakan petanda tunggal berbasis laboratorium. Sabatine et al. mempertimbangkan 3 faktor patofisiologi yang terjadi pada UA/NSTEMI yaitu : Ketidakstabilan plak dan nekrosis otot yang terjadi akibat mikroembolisasi, lnflamasi vaskular, - Kerusakan ventrikel kiri.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1759
INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Masing-masing dapat dinilai secara independen berdasarkan penilaian terhadap petanda-petanda seperti cardiac-spesific troponin, C-reactive protein dan brain natrivretic peptide, berturut-turut. Pada penelitian TACTICS-TIM1 18, di mana risiko relatif, mortalitas 30 hari pasien-pasien dengan biomarker 0, 1, 2, dan 3 semakin meningkat berkali lipat 1; 2,l; 5,7; dan 13,O berturut-turut. Pendekatan dengan berbagai petanda laboratorium ini sebaiknya tidak digunakan sendiri-sendiri tapi seharusnya dapat memperjelas penemuan klinis.
Untuk menghilangkan nyeri dada dan mencegah nyeri dada berulang, dapat diberikan terapi awal mencakup nitrat dan penyekat beta. Terapi anti iskemia terdiri dari nitrogliserin sub lingual dan dapat dilanjutkan dengan intravena, dan penyekat beta oral (pada keadaan tertentu dapat diberikan intravena). Antagonis kalsium nondihidropiridin diberikan pada pasien dengan iskemia refrakter atau yang tidak toleran dengan obat penyekat beta. - Usia z 65 tahun - > 3 faktor risiko PJK
PENATALAKSANAAN
-
Pasien NSTEMI harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG untuk deviasi segmen ST dan irama jantung. Empat komponen utama terapi harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu : *. Terapi antiiskemia, Terapi antiplateletlantikoagulan, Terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi), Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS.
-
Stenosis sebelumnya 2 50 % Deviasi ST -> 2 kejadian angina 5 24 jam Aspirin dalam 7 hari terakhir Peninqkatan petanda iantung
Nitrat pertama kali harus diberikan sublingual atau spray bukal jika pasien mengalami nyeri dada iskemia. Jika nyeri
Jalur lskemik Akut lskemia berulang danlatau perubahan segmen ST atau inversi gelombang T dalam atau
Aspirin Penyekat reseptor beta Nitrat Regimen ant~trornbin Penghambat GP Ilblllla Monitoring (ritme dan Iskernla)
Strategi invasi awal
Angiografi dalam
Strategi terapi konsewatif awal
Gejalallskemia berulang Gagal jantung aritmia berat
I
stabi'
,' /
I
Evaluasi fungsi ventrikel kiri
EF<.40
i Tindak lanjut
Braunwald et al. Circulation 2002;106:1893-900 Gambar 2. Jalur iskemia akut
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
menetap setelah diberikan nitrat sublingual 3 kali dengan interval 5 menit, direkomendasikan pemberian nitrogliserin intravena (mulai 5-10 uglmenit). Laju infus dapat ditingkatkan 10 uglmenit tiap 3-5 menit sampai keluhan menghilang atau tekanan darah sistolik < 100 mmHg. Setelah nyeri dada hilang dapat digantikan dengan nitral oral atau dapat menggantikan nitrogliserin intravena jika pasien sudah bebas nyeri selama 12-24jam. Kontraindikasi absolut adalah hipotensi atau penggunaan sildenafil atau obat sekelasnya dalam 24 jam sebelumnya.
PENYEKAT BETA Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 50-60 kalilmenit. Antagonis kalsium yang mengurangi frekuensi jantung seperti verapamil atau diltiazem direkomendasikan pada pasien dengan nyeri dada persisten atau rekuren setelah terapi nitrat dosis penuh dan penyekat beta dan pada pasien dengan kontraindikasi penyekat beta. Jika nyeri dada menetap walaupun dengan pemberian nitrogliserin intravena, morfin sulfat dengan dosis 1-5 mg dapat diberikan tiap 5-30 menit sampai dosis total 20 mg.
Obat
Selektivitas
Aktivitas Agonis Parsial
Propranolol
Tidak
Tidak
Metoprolol
Beta1
Tidak
Atenolol Nadolol Timolol Asebutolol
Beta1 Tidak Tidak Beta1
Tidak Tidak Tidak Ya
Betaksolol Bisoprolol Esmolol (intravena) Labetalol*
Beta1 Beta1 Beta1
Tidak Tidak Tidak
Tidak
Ya
Pindolol
Tidak
Ya
Dosis Umum untuk Angina 20-80 mg 2 kali sehari 50-200 mg 2 kali sehari 50-200 mglhari 40-80 mglhari 10 mg 2 kali sehari 200-600 mg 2 kali sehari 10-20 mglhari 10 mglhari 50-300 mcg Ikg1 menit 200-600 mg 2 kali sehari 2.5-7.5 mg 3 kali sehari
'Labetalol adalah kombinasi penyekat alfa dan beta Gibbons, et al. J Am Coll Cardiol 1999;33:2092-197.
TERAPI ANTITROMBOTIK Oklusi trombus sub total pada koroner mempunyai peran utama dalam patogenesis NSTEMI dan keduanya mulai dari agregasi platelet dan pembentukan thrombinactivatedfibrin bertanggung jawab atas perkembangan klot. Oleh karena itu, terapi antiplatelet dan anti trombin menjadi komponen kunci dalam perawatan.
TERAPI ANTIPLATELET Aspirin Peran penting aspirin adalah menghambat siklooksigenase-1 yang telah dibuktikan dari penelitian klinis multipel dan beberapa meta-analisis, sehingga aspirin menjadi tulang punggung dalam penatalaksanaan UANSTEMI. Sindrom "resistensi aspirin" dapat terjadi pada pemberian aspiran. Sindrom ini dideskripsikan dengan bervariasi sebagai kegagalan relatif untuk menghambat (inhibisi) agregasi platelet danlatau kegagalan untuk memperpanjang waktu perdarahan, atau perkembangan kejadian klinis sepanjang terapi aspirin. Pasien-pasien dengan resistensi aspirin mempunyai risiko tinggi kejadian rekuren. Walaupun penelitian prospektif secara acak belum pernah dilaporkan pada pasien-pasien ini, adalah logis untuk memberikan terapi klopidogrel, walaupun aspirin sebaiknya juga tidak dihentikan. Alexander et al. mendemonstrasikan tingginya kejadian (event rate) dan efek terapi yang besar dengan eptifzbatide pada pasien sindrom koroner akut meskipun sebelumnya diterapi aspirin.
Klopidogrel Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine diphospate P2Y,, pada permukaan platelet dan dengan demikian menginhibisi aktivasi platelet. Penggunaannya pada UAINSTEMI terutama berdasarkan penelitian Clopidogrel in Unstable Angina to Prevent Recurrent Ischemic Events (CURE) dan Clopidogrel for the Reduction of Events During Observation (CREDO). Dilakukan randomisasi terhadap 12.562 pasien dengan UAINSETMI (semuanya mendapat terapi aspirin) ditambahkan klopidogrel (dosis awal300 mg dilanjutkan dengan 75 mglhari) atau plasebo. Setelah di pantau ratarata 9 bulan, h a r d e n d point primer (kematian kardiovaskular, infark miokard dan strok) menurun secara bermakna yaitu 20% yaitu 11,5 % pada kelompok plasebo menjadi 9,3 % pada kelompok klopidogrel. Penurunan kejadian iskemia rekuren mulai terlihat dalam 6 jam randomisasi. Efek bermanfaat ditemukan untuk semua subkelompok, termasuk kelompok tanpa deviasi segmen ST atau pelepasan troponin dan kelompok yang memiliki skor risiko TIM1 rendah. Keuntungan terbesar adalah penurunan kejadian infark miokard, walaupun kecenderungan kematian dan strok tidak bermakna secara statistik. Namun, klopidogrel dikaitkan dengan peningkatan perdarahan mayor (3,7% versus 2,7%) dan minor, sejalan dengan kecenderungan peningkatan perdarahan yang mengancam nyawa (lifethreatening bleeding). Perdarahan yang berlebihan banyak ditemukan pada pasien dengan aspirin dosis tinggi atau pada mereka yang menjalani CABG selama 5
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
hari penghentian klopidogrel. Telah dibuktikan peningkatan risiko perdarahan pada pemakaian kombinasi aspirin dan klopidogrel pada pasien-pasien yang menjalani CABG Pada sub studi pengamatan penelitian CURE yang melibatkan 2.658 pasien yang menjalani PCI, dengan median 10 hari setelah randomisasi (PCI-CURE study), kebanyakan pasien mendapat thienopyridine yang selama 4 minggu setelah menjalani prosedur. menunjukkan penatalaksanaan dengan klopidogrel dikaitkan dengan risiko relatif 30 % lebih rendah terhadap kematian kardiovaskular, infark miokard atau revaskularisasi selama 30 hari (6,4% vs 4,5%). Manfaat klopidogrel telah diteliti selama 8 bulan pada penelitian tersamar (klopidogrel atau plasebo) dengan kesimpulan yang ditentukan 1 bulan setelah PCI. Keuntungan pengobatan sebelumnya dan pemantauan terapi jangka panjang dengan klopidogrel juga diamati pada penelitian CREDO, pada sekitar 2.1 16 pasien, 55% pasien dengan UA/NSTEMI yang hendak menjalani PCI. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut, maka klopidogrel direkomendasikan sebagai obat lini pertama first-line drug) pada UAJNSTEMI dan ditambahkan aspirin pada pasien dengan UA/NSTEMI, kecuali mereka dengan risiko tinggi perdarahan dan pasien yang memerlukan CABG segera. Klopidogrel sebaiknya diberikan pada pasien dengan UAJNSTEMI pada pasienpasien: Yang direncanakan untuk mendapat pendekatan non invasif dini. Yang diketahui tidak merupakan kandidat operasi koroner segera berdasarkan pengetahuan sebelurnnya tentang anatomi koronerl memiliki kontraindikasi untuk operasi, Kateterisasi ditundalditangguhkan selama > 24-36 jam.
Pada Pasien-pasien yang direncanakan untuk kateterisasi diagnostik dalam 24-36 jam presentasi, menjadi alasan untuk tidak memberikan klopidogrel sampai dengan temuan angiogram koroner meniadakan kebutuhan operasi bypass segera. Dosis awal klopidogrel dapat diberikan di laboratorium kateterisasi sebelum PC1 atau dimulai secepatnya setelah kateterisasi. Klopidogrel (seperti aspirin) adalah inhibitor fungsi platelet yang ireversibel, maka direkomendasikan juga agar obat ini dihentikan selama 5 atau lebih disukai 7 hari sebelum operasi elektif, termasuk CABG Risiko perdarahan berlebihan dapat ditoleransi pada pasien yang belum dilakukan angiografi, dan dapat mencegah kejadian iskemia selama periode menunggu. Pandangan ini didukung oleh pengamatan pada penelitian CREDO bahwa terapi sebelumnya >6 hari sebelum PC1 cenderung memperkuat manfaat obatnya dan kombinasi klopidogrel dan inhibitor GP IIbAIIa tampaknya menarnbah manfaat tanpa meningkatkan risiko perdarahan.
Antagonis GP llblllla Terdapat bukti kuat pada penelitian multipel bahwa antagonis GP IIaIIIIb mengurangi insidens kematian atau infark miokard pada pasien UANSTEMI yang menjalani PC1 dan penggunaannya pada keadaan ini diindikasikan secarajelas. Pada penelitian GUSTO IV-ACS yang didesain khusus untuk menguji manfaat abciximab pada pasien UANSTEMI di mana PC1 tidak dianjurkan, tidak didapat adanya manfaat, termasuk endpoint sekunder, misalnya kematian dalam 48 jam. Antagonis GP IIbIIIIa eptifibatid atau tirofiban manfaatnya masih kurangjelas. Suatu analisis retrospektif penelitian PRISM-PLUS menunjukkan bahwa tirofiban mengurangi insidens outcome yang buruk pada pasien risiko tinggi (skor risiko TIM1 > 4) yang tidak menjalani PCI. Meta-analisis terhadap antagonis GP IIbIIIIa dari 6 penelitian besar yang melibatkan 31.402 pasien UAI NSTEMI yang tidak dijadwalkan menjalani PC1 menunjukkan penurunan yang bermakna (-9% relatif, - 1% absolut), pada rasio odd untuk gabungan endpoint kematian atau infark miokard pada kelompok antagonis GP IIbIIIIa, sedangkan perdarahan meningkat secara bermakna dari 1,4 % pada kelompok plasebo menjadi 2,4 % pada kelompok antagonis GP IIbIIIIa. Dalam analisis tambahan ditemukan bahwa 5.847 dari 3 1.402 (19 %) pasien sebenarnya menjalani revaskularisasi dini (dalam waktu 5 hari) dan pengamatan manfaat antagonis GP IIbIIIIa misalnya, pengurangan kematian atau infark miokard sebagian besar terbatas ke dalam sub grup ini (-21%). Penemuan ini termasuk dan diperkuat oleh analisis terperinci penelitian PURSUIT di Amerika Serikat. Pada penelitian itu strategi invasif dini cukup sering digunakan. Guideline ACCIAHA menetapkan pasien-pasien risiko tinggi terutama pasien dengan troponin-positif yang menjalani angiografi, mungkin sebaiknya mendapatkan antagonis GP IIbIIIIa. Dua agen molekul kecil, eptifibatid dan tirofiban, mungkin dimulai "upstream" misalnya 1 atau 2 hari sebelumnya dan dilanjutkan selama menjalani prosedur. Salah satu dari 3 antagonis GP IIbIIIIa yang ada dapat dimulai secepatnya sebelum atau selama menjalani prosedur. Berdasarkan temuan GUSTO-IV ACS, abciximab tidak diindikasikan pada pasien-pasien yang tidak direncanakan menjalani PCI. Tak ada satupun antagonis GP IIbIIIIa terlihat efektif atau diindikasikan secara rutin untuk penatalaksanaan pasien risiko rendah, pasien-pasien dengan troponin-negatif yang tidak menjalani angiografi dini. Berdasarkan pengamatan pada penelitian PCI-CURE dan CREDO, klopidogrel tidak terlihat menambah risiko perdarahan terhadap antagonis GP IIbIIIIa. Efikasi thienopyridine dan antagonis GP IIbIIIIa tampaknya perlu ditambahkan dan terapi platelet tripe1 (aspirin, klopidogrel dan antagonis GP IIbhIIa) diindikasikan pada pasien risiko tinggi yang direncanakan untuk menjalani PC1 dan tidak mempunyai risiko perdarahan berlebihan.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
TERAPI ANTIKOAGULAN
Holter selanjutnya menurun hampir separuhnya pada kelompok enoxaparin.
U F H (Unfaractionated Heparin) Manfaat UFH jika ditambah aspirin telah dibuktikan dalarn tujuh penelitian acak dan kombinasi UFH dan aspirin telah digunakan dalam tatalaksana UA/NSTEMI untuk lebih dari 15 tahun. Penelitian sebelumnya menunjukkan keuntungan klopidogrel dan inhibitor GP IIbIIIIa. Namun demikian terdapat banyak kerugian UFH, termasuk di dalarnnya ikatan yang non spesifik dan menyebabkan inaktivasi platelet, endotel vaskular, fibrin, platelet faktor 4 dan sejumlah protein sirkulasi. Produksi antibodi antiheparin mungkin berhubungan dengan l~eparin-induced thromhocytopeniu. Ikatan ini menimbulkan efek antikoagulan yang tak menentu, memerlukan monitor lebih sering terhadap activated partial thromboplastin time (aPTT), pengaturan dosis dan membutuhkan infus intravena kontinyu. LMWH (Low Molecular Weight Heparin) Akhir-akhir ini perhatian lebih difokuskan pada LMWH, dan kerugian-kerugian pada penggunaan UFH sebagian besar dapat diatasi. Pentingnya pemantauan efek antikoagulan tidak diperlukan dan kejadian trombositopenia yang diinduksi heparin berkurang. LMWH adalah inhibitor utama pada sirkulasi trombin dan juga pada faktor X a sehingga obat ini mempengaruhi tidak hanya kinerja trombin dalam sirkulasi (efek anti faktor IIanya), seperti juga UFH, tapi juga mengurangi pembentukan trombin (efek anti faktor X a-nya). Keuntungan praktis LMWH lainnya adalah absorbsi yang cepat dan dapat diprediksi setelah pemberian subkutan. Dua penelitian acak tersamar ganda, Efficacy and Safety of Subcutaneous Enoxaparin in Nun-Q- Wave Coronary Events (ESSENCE) dan TIM1 1 1B, yang melibatkan 7.08 1 pasien menunjukkan keuntungan enoxaparin di atas UFH secara bermakna, dan suatu meta-analisis menunjukkan pengurangan kematian atau infark miokard secara bermakna. Karena ditemukan kesulitan untuk menentukan level antikoagulan, maka perlu dipikirkan dosis LMWH yang sesuai untuk pasien-pasien yang menjalani PC1 dan keamanan LMWH pada pasien yang mendapat terapi inhibitor GP Ilb/IIla. Pada penelitian yang membandingkan enoxaparin dengan UFH pada 746 pasien UA/NSTEMI yang mendapat aspirin dan eptifibatid yaitu penelitian lntegrilin and Enoxaparin Randomized Assessment of Acute Coronary Syndrome Treatment (INTERACT), didapatkan outcome utama perdarahan mayor yang dikaitkan non CABG lebih rendah secara bermakna pada kelompok enoxaparin dibandingkan dengan kelompok UFH ( 1 3 % Vs 4,6 %), walaupun insiden relatif perdarahan minor adalah sebaliknya. Juga angka kematian atau infark miokard non fatal pada 30 hari dan iskemia pada monitor
STRATEGI INVASIF DIN1VS KONSERVATIF DIN1 Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membandingkan strategi invasif dini (arteriografi koroner dini dilanjutkan dengan revaskularisasi sebagaimana diindikasikan sesuai temuan arteriografi) dengan strategi konservatif dini (kateterisasi dan jika diindikasikan revaskularisasi, hanya pada yang mengalami kegagalan terhadap terapi orallobatobatan). Lima penelitian besar telah dilakukan secara prospektif dan acak; dua di antaranya dilakukan sebelum stenting rutin digunakan. Penelitian TIM1 IlIB menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna outcome pada kedua strategi ini, walaupun analisis retrospektif mengidentifikasi faktor-faktor risiko tinggi yang dapat digunakan untuk memprediksi kegagalan strategi konservatif dan superioritas strategi invasif. Penelitian dini lainnya, The VeteransAflairs Non Q- Wave Infarction Strategies in Hospital (VANQWISH), menunjukkan kematian lebih banyak sejalan dengan kematian atau infark miokard dengan strategi invasif.
Terapi Antiplatelet Dosis awal 160-325mg formula nonenterik Aspirin dilajutkan 75-160mglhari tormula enterik atau nonenterik. Dosis loading 300 mg dilajutkan 75 mglhari Klopidogrel (Plavix) Terapi Antiplatelet lntravena 0,25mglkg bolus dilanjutkan infus 0,1251kg Abciximab per menit (maksimum 10 uglmenit) untuk 12(Reopro) 24 jam 180 uglkg bolus dilanjutkan infus 2 uglkg Eptifibatid (Integrilin) permenit untuk 72-96jam Tirofiban 0,4uglkg permenit untuk 30 menit (Aggrastat) dilanjutkan infus 0,luglkg permenit untuk 48-96jam Heparin Dalteparin 120 IUIkg SC tiap 12 jam (maksimum 10.000 (Fragmin) IU 2 kali sehari ) Enoksaparin 1 mglkg SC tiap 12 jam; dosis awal boleh (Lovenox) didahului bolus 30 mg intravena Heparin Bolus 60-70Ulkg (maksimum 5000 U) IV dilanjutkan infus 12-15Ulkg perjam (UFH) (maksimum awal 1000 Uljam) dititrasi sampai aPTT 1,5-2,5 kali kontrol
Terdapat tiga penelitian sejalan dengan "era stenf', dan semua penelitian itu menunjukkan superioritas strategi invasif. Penelitian Fragmin and Fast Revascularization during Instability in Coronary Artery Disease (FRISC) I1 menunjukkan penurunan yang bermakna mortalitas total dan kematian atau infark miokard dalam I tahun pada pasien
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI yang mendapat strategi invasif. Pasien-pasien pada kelompok invasif (invasive arm) pada penelitian ini telah diterapi di RS dengan regimen intensif yang termasuk di dalamnya LMWH untuk rata-rata 6 hari sebelum kateterisasi. Pada penelitian TACTICS-TIM1 18, semua pasien mendapatkan tidak hanya aspirin dan UFH tapi juga "up-front" misalnya pemberian inhibitor tirofiban GP IIbl IIIa segera. Berlawanan dengan FRISC 11, kateterisasi jantung pada kelompok invasif dilakukan relatif dini, misalnya rata-rata 22 jam setelah randomisasi. Kematian atau infark pada 6 bulan menurun secara bermakna dari 23% menjadi 9 3 % pada kelompok konservatif dan menjadi 7,3% pada kelompok invasif. Keuntungan terbatas hanya untuk pasien dengan risiko tinggi dan sedang, yang didefinisikan sebagai skor risiko TIM1 3, semua peninggian troponin T (> 0,01 mglml) atau deviasi segment ST. Pada pasien tanpa gambaran risiko ini outcome dengan kedua strategi adalah sama. Lamanya perawatan di RS juga menurun dengan strategi invasif dan keseluruhan biaya penggunaan kedua strategi ini sama. Penelitian Randomized Intervention Trial of Unstable Angina (RITA)3 dilakukan pada pasien UANSTEMI, dan semua telah di terapi aspirin dan enoxaparin. Pada pasienpasien yang masuk untuk kelompok invasif, dilakukan angiografi koroner rata-rata 2 hari setelah randomisasi. Setelah 4 bulan, terdapat reduksi 34% end point primer kematian, (re) infark atau angina refrakter (dari 14,5% menjadi 9,6%) dengan strategi invasif, dan waktu 12 bulan terdapat perbedaan bermakna. Hard end point kematian atau (re) infark sebagaimana telah didefinisikan oleh European Society of Cardiologylkriteria ACC, juga menunjukkan penurunan bermakna sebesar 27% dalam 1 tahun dengan strategi invasif. Pada kondisi tidak ditemukan kontraindikasi spesifik, strategi invasif saat ini direkomendasikan pada pasien UAI NSTEMI dengan risiko tinggilsedang. Pasien itu sebaiknya mendapatkan aspirin dan heparin atau mungkin enoksaparin. Sebagaimana disebutkan di atas, klopidogrel sebaiknya dimulai segera, jika kateterisasi diundur >24 36 jam, dan angiogram awal menyingkirkan indikasi untuk CABG segera.
PERAWATAN UNTUK PASIEN RlSlKO RENDAH
Tes stres noninvasif sebaiknya dilakukan pada pasien risiko rendah, dan pasien yang hasil tesnya menunjukkan gambaran risiko tinggi sebaiknya segera menjalani arteriografi koroner dan berdasarkan temuan anatomis, revaskularisasi dapat dilakukan. Arteriografi koroner dapat dipilih pada pasien-pasien dengan tes positif tapi tanpa temuan risiko tinggi.
jantung
Djkelualkan dari Prolokol
Koroner
1 or 2 vessel D~sease
2 Vessel Dfsease dengan
Disfungsi ventrikel k~rt atau Diabetes dalam terapi'
+
I
-
PC1 atau CABG
1
-
Terapt Medik PC1 atau CABG
PC1 atau CABG
Gambar 3. Strategi revaskularisasi pada NSTEMIIUAP
1
lndikasi Klas I(level of evidence : A) - Angina rekuren saat istirahaff aktivitas tingkat rendah walaupun mendapat terapi - Peninggian troponin I atau T - Depresi segmen ST baru - Anginaliskemia rekuren baru dengan gejala gagal jantung kongestif, ronki, regurgitasi mitral - Tes stres positif - Fraksi ejeksi kurang dari 40% - Penurunan tekanan darah - Takikardia ventrikel sustained - PC1 < 6 bulan, CABG sebelumnya
TATAMSANA PREDISCHARGEDANPENCEGAHAN SEKUNDER
Tatalaksana terhadap faktor risiko antara lain mencapai berat badan yang optimal, nasihat diet, menghentikan merokok, olahraga, pengontrolan hipertensi dan tatalaksana intensif diabetes melitus dan deteksi adanya diabetes yang tidak dikenali sebelumnya. Terdapat satu penelitian besar double-blind, placebocontrolled, The Myoacrdial Ischemia Reduction with Aggressive Cholesterol Lowering (MIRACL), yang menunjukkan manfaat penggunaan statin secara dini. Pasien-pasien UANSTEMI sebaiknya diterapi, sesuai National Cholesterol Education Program (NCEP 111), dan konsentrasi kolesterol LDL sebaiknya tereduksi hingga kurang dari 100mgIdl.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI of Patients with Unstable Angina). Obat antiiskemik dan Antitrombotikl Antiplatelet Aspirin Klopidogrel* atau tiklodipin Penyekat beta lnhibitor ACE
Antagonis kalsium (antagonis dihidropiridin kerja singkat harus dihindari)
Warfarin intensitas rendah dengan Atau tanpa aspirin Dipiridamol Obat lnhibitor HMG-CoA reduktase lnhibitor HMG-COA reduktase Gemfibrozil Niasin Niasin atau gemfibrozil Folat Antidepresan Terapi hipertensi HRT (inisiasi)t HRT (lanjutan)?
Kerja O b a t
Antiplatelet Antiplatelet Jika kontraindikasi Aspirin Anti-iskemik Fraksi ejeksi < 4 0 atau Gagal jantung kongestif Fraksi ejeksi > 4 0 Antianginal untuk gejala iskemik Antiangina
KlaslLevel o f Evidence
I Untuk gejala iskemik (harus dihindari) jika penyekat beta tidak berhasil (level of evidence: B) atau kontraindikasi atau menyebabkan efek samping yang tak dapat diterima (level of evidence: C) l l blB
Antitrombotik Antiplatelet Faktor Risiko
Klas I Level of Evidence
Kolesterol LDL > I 3 0 mg/dL Kolesterol LDL 100130 mgIdL Kolesterol HDL <40 mgld Kolesterol HDL <40 mgldL Trigliserida >200 mg/dL Homosistein meningkat Pengobatan depresi Tekanan darah >I 35/85 mm Hg Kondisi pascamenopause Kondisi pascamenopause
REFERENSI Braunwald E, Antman EM, Beasley JW, et al. ACCIAHA guidelines for the management of patients with unstable angina non-ST segment elevation myocardial infarction: A report of the American College of CardiologyIAmerican Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee on the Management
J Am Coll Cardiol. 2000;36:970-1062 Braunwald E. Antrnan EM. Beasley JW. et al. ACCIAHA guideline update for the management of patients with unstable angina and non-ST-segment elevation m)ocardial infarction-2002: Summary article. Circulation. 2002; 106: 1893-900. Bertrand ME, Simoons ML, Fox KAA. et al. Management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation. Task Force of the European Societ) of Cardiology. Eur Heart J. 2002; 23: 1809-40. Braunwald E. Application of current guidelines to the management ofunstable angina and non-ST elevation myocardial infarction. Circulation.2003;108(suppl lI1):111-28-111-37. Scirica BM, Cannon CP. McCabe CH, et al. Prognosis in the Thrombolysis in Myocardial Ischemia 111 Registry according to the Braunwald unstable angina pectoris classification. Am .I Cardiol. 2002; 90: 821-6. Cannon CP, McCabe CH, Stone PH, et al., for the TIMI I l l Registr! ECG Ancillary Study Investigators. The electrocardiogram predicts one-year outcome of patients with unstable angina and non-Q wave myocardial infarction: Results of the TIMI 111 Registry ECG Ancillary Study. J Am Coll Cardiol. 1997; 30: 133-40. Kaul P. Newby LK, Fu Y , et al. Troponin T and quantitative STsegment depression offer co~iiplementary prognostic information in the risk stratification of acute coronar) syndrome patients. J Am Coll Cardiol. 2003; 41: 371-80. Boersma E, Pieper KS, Steyerberg EW, et al. Predictors of outcome in patients with acute coronary s\.ndromes without persistent ST segment elevation: Results from an international trial of 9461 patients. The PURSUIT investigators. Circulation. 2000: 101: 2557-67. Antman EM, Cohen M, Bernink PJLM, et al. The TIMI risk score for unstable anginalnon-ST elevation MI: A method for prognostication and therapeutic decision making. JAMA. 2000: 284: 835-42. Morrow DA, Antman EM. Snapinn S, et al. An integrated clinical approach to predicting the benefit of tirofiban in non-ST elevation acute coronary syndromes: Application of the TIMI Risk Score for UAmSTEMI in PRISM-PLUS. Eur Heart J. 2002; 23: 223-9. Cannon CP, Weintraub WS, Demopoulos LA, et al. Comparison ot' early invasive and conservative strategies in patients with unstable coronary syndromes treated with the glycoprotein llbi llla inhibitor tirotiban. N Engl J Med. 2001; 344: 1879-87. Buda,i A, Yusuf S, Mehta SR. et al. Benefit of clopidogrel in patients with acute coronary syndromes without ST-segment elevation in various risk groups. Circulation. 2002; 106: 1622-6. Scirica BM, Cannon CP. Antman EM. et al. Validation of the Thro~nbolysisin Myocardial Infarction (TIMI) Risk score tbr unstable angina and non-ST-elevation m!ocardial infarction in the TIMI 111 registry. Am J Cardiol. 2002; 90: 303-5. James SK, Lindahl B, Siegbahn A, et al. N-terminal pro-brain natriuretic peptide and other risk ~iiarkersfor the separate prediction of mortality and-subsequent myocardial infarction in patients with unstable coronary artery disease: A global utilization of strategies to open occluded arteries (GUSTO)-IV substudy. Circulation. 2003; 108: 275-81. Januzzi JL, Cannon CP, DiBattiste PM. et al. Effects of renal insutficiency on early invasive management in patients nith acute coronary syndromes (The TACTICS-TIM1 18 Trial). Aln J Cardiol. 2002; 90: 1246-9.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASl ST
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Aviles RJ, Askari AT, Lindahl B, et al. Troponin T levels in patients with acute coronary syndromes, with or without renal dysfunction. N Engl J Med. 2002; 346: 2047-52. Sabatine MS, Morrow DA, deLemos J, et al. Multimarker approach to risk stratification in non-ST elevation acute coronary syndromes: Simultaneous assessment of troponin 1, C-reactive protein, and B-type natriuretic peptide. Circulation. 2002; 105: 1760-3. Morrow DA, Braunwald E. Future of biomarkers in acute coronary syndromes: Moving toward a multimarker strategy. Circulation. 2003; 108: 250-2. Antithrombotic Trialists' Collaboration. Collaborative meta-analysis of randomised trials of antiplatelet therapy for prevention of death, myocardial infarction, and stroke in high risk patients. BMJ. 2002; 324: 71-86. Yusuf S, Zhao F, Mehta SR, et al. Effects of clopidogrel in addition to aspirin in patients with acute coronary syndromes without ST-segment elevation. N Engl J Med. 2001; 345: 494-502. Yusuf S, Mehta SR, Zhao F, et al. Early and late effects of clopidogrel in patients with acute coronary syndromes. Circulation. 2003; 107: 966-72. Hongo RH, Ley J, Dick SE, Yee RR. The effect of clopidogrel in combination with aspirin when given before coronary artery bypass grafting. J Am Coll Cardiol. 2002; 40: 231-7. Mehta SR, Yusuf S, Peters RJ, et al. Effects of pretreatment with clopidogrel and aspirin followed by long-term therapy in patients undergoing percutaneous coronary intervention: The PCI-CURE study. Lancet. 2001; 358: 527-33. Steinhubl SR, Berger PD, Mann JT 111, et al., for the CREDO Investigators. Early and sustained dual oral antiplatelet therapy following percutaneous coronary intervention: A randomized controlled trial. JAMA. 2002; 288: 241 1-20. Simoons ML. Effect of glycoprotein IIb/IIIa receptor blocker abciximab on outcome in patients with acute coronary syndromes without early coronary revascularization: The GUSTO IV-ACS randomized trial. Lancet. 2001; 357: 1915-24. Boersma E, Harrington RA, Moliterno DJ, et al. Platelet glycoprotein Ilb/IlIa inhibitors in acute coronary syndromes: A meta-analysis of all major randomised clinical trials. Lancet. 2002; 359: 189-98. Lincoff AM, Harrington RA, Califf RM, et al. Management of patients with acute coronary syndromes in the United States by platelet glycoprotein IIb/IIIa inhibition: Insights from the Platelet Glycoprotein IIb/IIIa in Unstable Angina Receptor Suppression Using Integrilin (PURSUIT) trial. Circulation. 2000; 102: 1093-1 00. Wong GC, Giugliano RP,Antman EM. Use of low-molecular-weight heparins in the management of acute coronary artery syndromes and percutaneous coronary intervention. JAMA. 2003; 289: 331-42. Cohen M, Demers C, Gurfinkel EP, et al., for the Efficacy and Safety of Subcutaneous Enoxaparin in Non-Q-Wave Coronary Events Study Group. A comparison of low-molecular-weight heparin with unfractionated heparin for unstable coronary artery disease. N Engl J Med. 1997; 337: 447-52. Antman EM, McCabe CH, Gurfinkel EP, et al., for the TIM1 11B Investigators. Enoxaparin prevents death and cardiac ischemic events in unstable anginalnon-Q-wave myocardial infarction: Results of the Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) 1 1 B Trial. Circulation. 1999; 100: 1593-601. Antman EM, Cohen M, Radley D, et al. Assessment of the treatment effect of enoxaparin for unstable anginahon-Q wave
myocatdial infarction: TlMI 1111 ESSENCE meta-analysis. Circulation. 1999; 100: 1602-8. Kereiakes bJ,Montalescot G, Antman EM, et al. Low-molecularweight heparin therapy for non-ST-elevation acute coronary syndromes and during percutaneous coronary intervention: An expert consensus. Am Heart J. 2002; 144: 615-24. Goodman SG, Fitchett D, Atmstrong PW, et al. Randomized evaluation of the safety and efficacy of enoxaparin versus unfractionated heparin in high-risk patients with noh-ST-segment elevation acute coronarysyndromes receiving the glycoprotein IlblIIla inhibitor eptifibatide. Circulation. 2003; 107: 238-44. The SYNERGY ExecCtiVe Committee. Superior yield of the new sttategy bf enoxaparid, revascu/arizat~~n and glycoprotein IIb/ IIIa inhibitots. Am Heart J. 2002; 143: 952-60. TIM1 111 'study Group. Effects of tissue plasminogen activator and a comparlsod of early invasive and conservative strategies in unstable angina atid non-Q-wave myocardial infarction: Results of the TIM1 IIIB trial. Circulation. 1994; 89: 1545-56. Solomon DH, Stone PH, Glynn w, et a). Use of risk stratification to identify patients with unstable angina likeliest to benefit from an invasive versus conservative management strategy. J Am Coll Cardiol. 2001; 38: 969-76. Boden WE, O'Roueke RA, Crawford MH, et el. Outcomes in patients with acute non-Q-wave myocardial infarction randomly assigned to an invasive as compared with a conservative management strategy. Veterans Affairs Non-Q-Wave Infarction Strategies in Hospital (VANQWISH) Trial Investigators. N Engl J Med. 1998; 338: 1785-92. Wallentin L, Lagerqvist B, Husted S, et al. Outcome at 1 year after an invasive compared with a non-invasive strategy in unstable coronary artery disease: The FRISC I1 invasive randomized trial. Lancet. 2000; 356: 9-16. Mahoney EM, Jurkovitz CT, Chu H, et al. Cost and cost-effectiveness of an early invasive vs conservative strategy for the treatment of unstable angina and non-ST-segment elevation myocardial infarction. JAMA. 2002; 288: 1905-7. Fox KAA, Poole-Wilson PA, Henderson RA, et al. Interventional versus conservative treatment for patients with unstable angina or non-ST-elevation myocardial infarction: The British Heart Foundation RITA 3 randomised trial. Lancet. 2002; 360: 7435 1. The Joint European Society of CardiologyIAmerican College of Cardiology Committee. Myocardial infarction redefined: A consensus document of the Joint European Society of CardiologyIAmerican College of Cardiology Committee for the Redefinition of Myocardial Infarction. Eur Heart J. 2000; 21: 1502-13. Stone PH, Thompson B, Anderson HV, et al., for the TIM1 111 Registry Study Group. Influence of race, sex and age on management of unstable angina and non-Q-wave myocardial infarction. The TIM1 I11 Registry. JAMA. 1996; 275: 110412. Hochman JS, McCabe CH, Stone PH, et al., for the TIM1 Investigators. Outcome and profile of women and men presenting with acute coronary syndromes: A report from TIM1 IIIB. J Am Coll Cardiol. 1997; 30: 141-8. The PURSUIT Trial Investigators. Inhibition of platelet glycoprotein IIb/IIIa with eptifibatide in patients with acute coronary syndrome. N Engl J Med. 1998; 339: 4 3 6 4 3 . Aronow HD, Topol EJ, Roe MT, et al. Effect of lipid-lowering therapy on early mortality after acute coronary syndromes: An
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI observational study. Lancet. 2001; 357: 1063-8. Newby LK, Kristinsson A, Bhapkar MV, et al. Early statin initiation and outcomes in patients with acute coronary syndromes. JAMA. 2002; 287; 3087-95. Schwartz G G Olsson AG Ezekowitz MD, et al. Effects of atorvastatin on early recurrent ischemic events in acute coronary syndromes: The MIRACL study, a randomized controlled trial. JAMA. 2001; 285: 171 1-8. Cannon CP, McCabe CH, Belder R, et al. Pravastatin or atorvastatin evaluation and infection therapy (PROVE IT) -.TIMI 22 trial: Rationale and design. Am J Cardiol. 2002; 89: 860-1. Executive summary of the Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel 111). JAMA. 2001; 285: 2486-97. Heart Protection Study Collaborative Group. MRClBHF Heart Protection Study of cholesterol lowering with simvastatin in 20,536 high-risk individuals: A randomized placebo-controlled trial. Lancet. 2002: 360: 7-22.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ANTITROMBOTIK DAN TROMBOLITIK PADA PENYAKIT JANTUNG KORONER Iwang Gumiwang, Ika Prasetya W, Dasnan Ismail
PENDAHULUAN Melalui bukti berbagai studi autopsi, pembedahan dan angiografi, konsep tromboemboli pada lesi stenotik (plak aterosklerotik) merupakan dasar pada mayoritas kejadian penyakit jantung koroner (PJK) dengan berbagai tingkatan klinis. Dalam rangka penanggulangan masalah lesi stenotik dan trombosis ini, upaya dapat dibedakan sebagai usaha preventif (primer atau sekunder) dan usaha terapeutik pada seluruh tingkatan klinis PJK. Sebagai contoh misalnya penanggulangan fase akut sindrom koroner, maka manajemen terapi yang logis adalah melisiskan trombus, "membereskan" vaskular yang stenotik, dan mencegah berulangnya kedua gangguan utama tersebut di masa datang. Obat antitrombus (=antitrombotik) berperan sangat penting. Obat antitrombotik terdiri atas golongan obat trombolitik (misalnya streptokinase, urokinase), golongan antikoagulan (misalnya heparin, low molecular weight heparin, kumarin, warfarin), antitrombin direk (misalnya hirudin, bivalirudin), dan golongan antiagregasi trombosit (selanjutnya disebut antiplatelet) misalnya aspirin, tiklopidin, klopidogrel, dan penghambat GPIIb/IIIa.
PERAN ANTITROMBOTIK PADA PJK Konsep patofisiologi trombosis arteri perlu selalu mempertimbangkan tiga faktor yaitu abnormalitas dinding vaskular termasuk endotel, masalah hemoreologi, dan masalah aliran yang melambat (trias Virchow) selain faktorfaktor lain yang belum diketahui pasti. Pada PJK patogenesis didahului oleh terbentuknya plak ateroskeloris. Plak yang semakin berkembang dan tumbuh menyebabkan diameter lumen arteri koronaria menyempit
(lesi stenotik). Karena terjadi suatu trauma (faktor pencetus) pada plak maka plak mengalarni erosilruptur dan menjadi tak stabil yang kemudian akan diikuti oleh respons koagulasi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (extrinsicpathway)dan aktivasi trombosit sehingga sebagai hasil akhir terbentuklah trombus. Hal tersebut di atas merupakan dasar dari patofisiologi sindrom koroner akut (SKA). Bentuk klinis SKA adalah serangan angina tak stabil (unstable angina), IMA gelombang non-Q, dan IMA gelombang Q. Paham yang dianut saat ini adalah bahwa ketiga bentuk SKA tersebut mempunyai patofisiologi yang sama dengan perbedaan terletak pada bentuk trombosis yang menyertainya. Angina tidak stabil ditandai oleh terbentuknya trombus mural, IMA gelombang non-Q oleh trombus inkomplet/nonoklusif sedangkan pada kasus IMA gelombang Q terjadi tromboemboli dengan trombus komplet/oklusif pada plak aterosklerotik yang mengalami erosilruptur tersebut. Terbentuknya trombus ini menyebabkan iskemia dan hipoksemia kardiak dengan segala konsekuensinya. Tugas antitrombotik trombolitik adalah sebagai aktivator plasminogen untuk menjadi plasmin yang akan melisiskan fibrin menjadifibrin degradation product. Antikoagulan mempunyai peran mencegah aktivasi koagulasi misalnya heparin membentuk kompleks dengan antitrombin I11 yang menghambat aktivasi faktor IIa, Xa, dan IXa. Antiplatelet mempunyai peran inaktivasi trombosit dengan berbagai cara, misalnya aspirin dosis rendah bekerja menghambat aktivitas siklooksigenase (COX-1) dalam siklus prostaglandin sehingga terbentuknya prostasiklin lebih tinggi yang bersifat menghambat agregasi dan bersifat vasodilator pula.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Dalam artikel ini akan dibahas ringkasan peran obat antikoagulan dan antiplatelet pada berbagai tingkat klinis PJK yaitu untuk upaya pencegahan primer terhadap morbiditas PJK (primary prevention), angina tak stabil, infark miokard akut (IMA), angioplasti koroner, dan pascabedah pintas. FARMAKOLOGI
Antikoagulan ~ e b e r a ' ~aspek a farmakologis antikoagulan telah diterangkan pada tulisan terdahulu. Secara ringkas obat antikoagulan dibedakan menjadi yang diberikan parenteral dan oral. Antikoagulan parenteral yang dianggap standar adalah heparin (unfractinated heparin) yang dapat diberikan secara intravena atau subkutan. Heparin masih direkomendasikan untuk beberapa keadaan klinis PJK, meski perlu pemantauan ketat untuk menilai efektivitasnya Dalam lima tahun terakhir, telah dipasarkan heparin baru yang dikenal dengan Low Molecular Weight Heparin (LMWH) yang lebih superior karena lebih stabil, cara pemberian mudah (hanya subkutan), tidak memerlukan monitoring APTT, tetapi lebih mahal dibandingkan heparin standar. Antitrombin Direk Obat pada golongan ini yang telah banyak diteliti adalah bivalirudin selain Hirudin yang telah ada sebelumnya. Hirudin sendiri adalah polipeptida 65-asam amino yang berasal dari lendir pacet atau lintah namun saat ini di buat dari bahan rekombinan berasal dari ragi. Hirudin adalah penghambat spesifik pada trombin. Proses yang pengahambatan ini berlangsung perlahan namun terkadang ireversibel. Antitrombin direk lain adalah Argatroban dan Melagatran. Argatroban diberikan 2 mgkg per menit dalam continuous infusion. Evaluasi dengan memperhatikan aPTT dan tidak melebihi dosis 10 mglkg per menit. Melagatran sendiri dapat diberikan subkutan dan ada preparat oral namun hams mendapatkan prodrug yang memperbaiki bioavailabilitasnya dengan penambahan H376195 (ximelagatran). Obat ini dianjurkan pada DVT. Jenis lain' antitrombin yang bekerja langsung pada penghambat faktor Xa sehingga menghambat pembentukan trombin adalah Fondaparinux yang memiliki waktu paruh pendek. Hasil rekombinan pentasakarida heparin dan bukan berasal dari hewan ini baru direkomendasikan untuk mencegah DVT pasca operasi ortopedi.. Pemberian antitrombin direk ini dilakukan bila terjadi trombositopenia akibat penggunaan heparin.
Antikoagulan Oral Warfarin merupakan obat jenis ini yang paling banyak dipakai di Amerika. Obat ini terpilih karena mula kerja dan lama kerja yang mudah diprediksi. Obat ini bekerja mengganggu konversi siklik vitamin K sehingga akan menginaktivasi prokoagulan yang tergantung dengan vitamin K (faktor 11, VII, IX, dan X).
Antiplatelet Dalam proses trombogenesis ada tiga mekanisme yang berkaitan dengan agregasi trombosit yaitu pertama aktivasi trombosit menyebabkan dinding menjadi siap, kedua adalah produksi dan sekresi ADP dan serotonin, dan ketiga terbentuknya tromboksan A2. Obat antiplatelet saat ini ditujukan untuk mempengaruhi mekanisme tersebut agar trombosit tidak beragregasi satu sama lain. Sampai tulisan ini dibuat, obat antiplatelet yang telah dipasarkan dan dipertimbangkan untuk direkomendasikan adalah aspirin sebagai obat standar, kemudian tiklopidin, klopidogrel, dipiridamol, sulfinpirazon, dan terbaru adalah golongan GPIIbIIIIa (abciksimab, tirofiban, eptifibatid). Aspirin menghambat pembentukan tromboksan A2. Tiklopidin dan klopidogrel mempunyai struktur yang mirip, berasal dari golongan tienopiridin dengan efek yang juga sama-sama menghambat reseptor ADP. Efek samping tiklopidin yang dilakporkan adalah terjadinya neutropenia. Penghambat GPIIaIIIIb menahan proses bridging yang merupakan jalur terakhir ('final p a t h w a y ) antar trombosit. Mekanisme kerja dipiridamol belum jelas benar, mungkin memblok ambilan adenosin. Sulfinpirazon mungkin bekerja mirip seperti aspirin. Trombolitik Trombolitik bekerja dengan merubah proenzim plasminogen menjadi enzim plamin aktif melalui pelepasan ikatan peptida arginin-valin. Plasmin dapat melisiskan bekuan fibrin dan merupakan suatu serum protease nonspesifik yang mampu merusak plasminogen dari faktor V dan VIII, juga dapat bertindak sebagai penghambat agregasi trombosit pada stenosis arterial. Aksi plasmin dapat dinetralisir oleh penghambat plasma dalam pembuluh seperti, a-antiplasmin. Pencarian obat antitrombotik baru masih terus dilakukan. Saat ini strategi pemikiran dalam rangka pencarian obat antitrombotik tersebut ditujukan sebagai berikut. Menghambat reaksi trombosit - Menghambat adhesi - Menghambat rekruitmen - Memblok agregasi Menghambat koagulasi '
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANTITROMBOTIK DAN TROMBOLlTlK PADA PJK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI - Mencegah terbentuknya trombin
-
Mencegah aktivasi trombin Meningkatkan aktivitas antikoagulan naturallsendiri - Modulasi alur protein C Meningkatkan fibrinolisis endogen - Memblok penghambat aktivator plasminogen tipe 1 (plasminogen activator inhibitor type 1) - Menghambat prokarboksipeptidase B REKOMENDASI APLlKASl KLlNlS ANTITROMBOTIK DAN TROMBOLlTlK PADA PJK Pencegahan Primer (Primary Prevention) Pemberian rutin aspirin pada kasus usia < 50 tahun, tak pernah ada riwayat IMA, strok, TIA tidak direkomendasikan. Pada kasus seperti di atas tetapi mempunyai risiko yang meningkat terhadap coronary events misalnya memiliki satu faktor risiko utama (merokok, diabetes, hipertensi, dislipidemia) direkomendasikan aspirin 80-325 mghari. Bila tak bisa dengan aspirin, dapat diberikan warfarin untuk sasaran INR 1.5. Angina Stabil (Stable Angina) Direkomendasikan semua kasus ini, mendapat aspirin 160325 mglhari seumur hidup. Angina Tidak Stabil (Unstable Angina) Antiplatelet Aspirin diberikan sesegera mungkin dengan dosis 160325 mg. Bila tak tahan dengan aspirin dapat diberikan tiklopidin 2 x 250 mglhari atau klopidogrel 75 mglhari (50-100 mg). Pasien yang mempunyai kontraindikasi terhadap aspirin, tiklopidin, dan klopidogrel dianjurkan sejak awal diberikan heparin dilanjutkan warfarin untuk beberapa bulan. Sulfinpirazon tidak dianjurkan. Antikoagulan Heparin direkomendasikan pada semua pasien dengan dosis bolus 75 UlkgBB n!dilanjutkanpemeliharaan1250 Uljam dengan sasaran APTT 1,s-2 x kontrol selama minimal 48jam atau sampai keadaan stabiVmendapat terapi definitif Altematif Lain LMWH (enoxiparin, dalteparin) dapat menggantikan heparin. Penghambat GIIbIIIIa direkomendasikan terutama pada UAP yang resisten dengan terapi standar atau pasien disiapkan untuk angioplasti
lnfark Miokard Akut Antikoagulan dan trombolitik Direkomendasikan pada seluruh pasien IMA mendapat terapi antikoagulan. Pada kasus yang mendapat terapi trombolitik: 1. RtPA atau alteplase harus mendapat heparin: Bolus 75U/KgBB iv lalu dosis pemeliharaan 1000- 1200 Uljam sampai 48 jam dengan sasaran APTT 1,5-2 x normal. Pada kasus dengan risiko tinggi trombus sistemik, dosis pemeliharaan diteruskan > 48 jam untuk selanjutnya dipertirnbangkan antikoagulan oral jangka panjang. 2. Streptokinase atau APSAC Heparin IV hanya diberikan pada kasus dengan risiko tinggi terhadap trombosis vena atau sistemik seperti IMA anterior, CHF,riwayat emboli sebelumnya, dan AF. Pemberian heparin bila APTT setelah < 2 x kontrol. Setelah lewat 48 jam diberikan subkutan 2 x sehari untuk sasaran APTT 1,5-2 x kontrol dan dilanjutkan antikoagulan oral. Bila terdapat trombositopenia disebabkan heparin pada penerima streptokinase atau alteplase, maka dapat diberikan hirudin IV (lepirudin 0,l mgkg bolus dilanjutkan dengan 0,15 mg/jam infus). Pemberian fibrinolisis direkomendasikan dengan gambaran: Gejala iskemiajelas IMA dengan segrnen ST meningkat atau LBBB pada EKG serta kurang dari 12jam kejadian diberikan terapi fibrinolisis intravena (perhatikan kontraindikasi pemberian). Gejala jelas IMA selama 12-24jam dengan segmen ST meningkat atau LBBB pada EKG dapat diberikan terapi fibrinolisis. Terdapat riwayat perdarahan intrakranial, strok setahun terakhir atau perdarahan aktif maka terapi fibrinolitik tidak boleh diberikan Setiap pasien yang mendapatkan terapi fibrinolisis sebaiknya diberikan pula aspirin 160-325 mg saat tiba di rumah sakit maupun pada perawatan selanjutnya. Semua pasien yang akan menerima terapi fibrinolisis seharusnya mendapatkan terapi tersebut paling lambat 30 menit setelah tiba di rumah sakit. Jenis obat fibrinolisis pilihan disesuaikan dengan waktu sebagai berikut: Gejala muncul kurang dari 12jam diberikan streptokinase (atau reteplase), anistreplase atau alteplase. Gejala muncul kurang dari 6 jam diberikan alteplase. Bila ada alergi terhadap streptokinase diberikan alteplase, tenekteplase atau reteplase. Pada kasus yang tidak mendapat terapi trombolitik: Heparin diberikan pada kasus yang berisiko tinggi. Diberikan bolus 75 UKgBB IV lalu dosis pemeliharaan 1000-1200Uljarn.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Antikoagulan oral hingga 3 bulan, kecuali pada AF diberikan selamanya. Di atas dari kasus-kasus tersebut pada semua IMA dianjurkan heparin low dose subkutan 2 x 7500 U per hari sampai berobat jalan.
~ntiplatelet Aspirin diberikan sesegera mungkin dengan dosis 160325 mg. Aspirin diteruskan meski pasien mendapat terapi trombolitik dan atau heparin. Bila pasien akan mendapat antikoagulan oral aspirin dihentikan sementara. Disarankan aspirin tidak diberikan bersamaan dengan warfarin kecuali pada kasus risiko emboli sangat tinggi atau kasus yang gagal bila hanya diberi salah satunya. Aspirin jangka panjang lebih diutamakan dibandingkan warfarin karena efektif, aman, dan murah. Pada kasus yang risiko trombosis dapat dipilih memberikan antikoagulan oral hingga 1-3 bulan yang selanjutnya disambung dengan aspirin. Pasien yang tak tahan dengan aspirin direkomendasikan dengan klopidogrel. Sulfinpirazon, tidak dianjurkan pada pasca-IMA. Dipiridamol secara sendiri atau bersama aspirin tidak dianjurkan pada pasca-IMA. Pasca-IMA Risiko Tinggi Pasca-IMA risiko tinggi, yaitu kasus dengan usia > 75 tahun, gagal jantung klinis, gangguan fungsi sistolik (LVEF < 40%), riwayat emboli kiri atau kanan, riwayat strok dan TIA, pasca-IMA anterior luas, dan atrial fibrilasi. Antikoagulan oral jangka panjang, menurunkan risk ratio 68% dibandingkan dengan kontrol)) dengan target INR 2,5 (rentang 2,O-3,O). Aspirin dosis rendah, menurunkan risk ratio 21% dibandingkan dengan kontrol. Pada kasus risiko tinggi ini antikoagulan oral lebih direkomendasikan dibandingkan dengan aspirin.
Penghambat GIIbIIIIa (abciximab, eptifibatid, atau tirofiban) direkornendasikan pada semua kandidat PTCA terutama yang berisiko tinggi. Tidak diberikan rutin karena alasan mahal. Pada kasus angioplasti primer, abciximab direkomendasikan. Heparin diberikan untuk target ACT (activated clotting time) 300- 350 detik. Dosis heparin diberikan bolus 70- 150 Ulkg dan sheath dicabut bila ACT < 150 detik. Bila penghambat GIIbIIIIa diberikan, dosis heparin diturunkan 70 UIKgBB. Heparin pascatindakan tidak diberikan secara rutin. Kasus yang dipasang stent Aspirin diteruskan pascatindakan 160-325mg. Dipiridamol tidak lagi direkornendasikan. klopidogrel dengan dosis muatan 300 mg dilanjutkan dengan 75 mg/hari atau tiklopidin 2x 250 mglhari, mulai 24 jam sebelum PTCA atau tiklopidin 250-500 mghari diberikan paling tidak selarna 14 hari dan hingga 30 hari pada kasus risiko tinggi terhadap stent trombosis. LMWH dapat diberikan sebagai tambahan. Warfarh tak direkomendasikan. Penghambat GIIbAIIa direkomendasikan. Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
Pasca CABG Aspirin 325 rnghari, dimulai 6 jam pascaoperasi sampai selama setahun untuk menurunkan risiko terjadinya penutupan vena safena graft. Aspirin tidak direkomendasikan diberikan > 12 bulan untuk tujuan mempertahankan grafrpatency, meskipun aspirin disarankan tetap dipakai seumur hidup pada pasien CAD. Bila tak bisamenerima aspirin, dapat diberikan tiklopidin 2 x 250 mghari dimulai 48 jam pascaoperasi. Pada CABG dengan arteri mamaria intema, aspirin hanya optional.
REFERENSI Percutaneous Tranluminal Coronary Angioplasty (PTCA) Waktu tindakan dan pascatindakan: Sebelum tindakan aspirin 80-325 mg diberikan minimal 2 jam sebelumnya. Aspirin jangka panjang (long term aspirin) 160-325 mg per hari untuk selamanya kecuali ada penyulit. Dipiridamol tak diberikan rutin. Untuk pasien yang tak bisa mendapat aspirin, diberikan klopidogrel dengan dosis muatan 300 mg dilanjutkan dengan 75 mg/hari atau tiklopidin 2x 250 mghari, mulai 24 jam sebelum PTCA bila tidak ditemukan kontra indikasi
DeWood MA, Spores J, Notske R, et al. Prevalence of total coronary occlusion^ during the early hours of transmural myocardial infarction. N Engl J Med 1980; 303:897-902. Falk E. Unstable angina with fatal outcome: dynamic coronary thrombosis leading to infarction andlor sudden death: autopsy evidence of recurrent mural thrombosis with peripheral embolization culminating in total vascular occlusion. Circulation 1985; 71:699-708. Fifth ACCP consensus conference on antithrombotic therapy. Chest 1998; 1 14(suppl). Braunwald E. Unstable angina. An etiologic approach to management (editorial). Circulation 1998;98:2219-22. Ambrose JA, Dangas G. Unstable angina current concepts of pathogenesis and treat-ment. Arch Intern Med 2000;160:25-37.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
ANTITROMBOTIKDAN TROMBOLITIKPADA PJK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Gumiwang G. Antikoagulan pada penyakit jantung koroner. kapan diberikan dan bagaimana pemantauannya?. http:// www.interna.fk.ui.ac.id1 Antman EM, Fox KM for the international cardiology forum. Guidelines for the diagno-sis and management of unstable angina and non-Q-wave myocardial infarction: proposed revisions. Am Heart J 2000;139:461-75. Ryan TJ. 1999 Update ACCIAHA guidelines for the management of patients with acute myocardial infarction. A report of the American College of CardiologyIAmerican Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee on Management of Acute Myocardial Infarction). Circulation 1999;lOO: 1016-30. Frishman WH et al. Antiplatelet and antithrombotic drugs. Dalam Frishman WH et al editor. Cardivascular pharmacotherapeutics manual. Edisi 2. New York. McGraw-Hi11.2004
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1771
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
277 EDEMA PARU AKUT Sjaharuddin Harun, Sally Aman Nasution
PENDAHULUAN Edema paru akut (EPA) adalah akumulasi cairan di paruparu yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat. Pada sebagian besar edema paru secara klinis mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan tekanan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk menetapkan faktor mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan. EPA adalah keadaan gawat darurat dengan tingkat mortalitas yang masih tinggi. Berikut ini akan dibahas mengenai mekanisme, klasifikasi dan aspek klinis EPA, sedangkan penatalaksanaan lebih difokuskan pada EPA kardiak.
Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru: Membran Kapiler Alveoli Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan normal terjadi pertukaran cairan, koloid dan solute dari pembuluh darah ke ruang interstitial. Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik.
di mana; Q = Kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang interstitial. Pi" = T'ekanan hidrostatik intravaskular. Pint= Tekanan hidrostatik interstisial. lliY = Tekanan osmotik koloid intravaskular. llint= Tekanan osmotik koloid interstisial 6, = Koeffisien refleksi protein. K, = Konduktans hidraulik. Sistem Limfatik Sistem pembuluh ini dipersiapkan untuk menerima larutan, koloid dan cairan balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah interstisial peribronkial dan perivaskular dan dengan peningkatan kemampuan dari interstisium nonalveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika kemarnpuan memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam ha1 jumlah cairan maka akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg dalam keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20 mll jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200 mlljam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah yang lebih besar sehingga dapat mencegah terjadinya edema. Sehingga sebagai konsekuensi terjadinya edema interstitial, saluran napas yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
EDEMA PARU AKUT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus Ketidakseimbangan "Starling Force" Peningkatan tekanan vena pulmonalis. Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal meningkat sampai melebihi tekanan osmotik koloid plasma, yang biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai terjadinya edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain : (1) Tanpa gagal ventrikel kiri (mis : stenosis mitral), (2) Sekunder akibat gagal ventrikel kiri, (3) Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder akibat peningkatan tekanan arterial paru (sehingga disebut edema paru overperfusi). Penurunan tekanan onkotik plasma. Hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang sedikit saja pada hipoalbuminemia akan menimbulkan edema paru. Hipoalbuminemia dapat menyebabkan perubahan konduktivitas cairan rongga interstitial, sehingga cairan dapat berpindah dengan lebih mudah di antara sistem kapiler dan limfatik. Peningkatan negativitas dari tekanan interstisial. Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural. Keadaan yang sering menjadi etiologi adalah : (1). Perpindahan yang cepat pada pengobatan pneumotoraks dengan tekanan negatif yang besar. Keadaan ini disebut 'edema paru re-ekspansi'. Edema biasanya terjadi unilateral dan seringkali ditemukan dari gambaran radiologis dengan penemuan klinis yang minimal. Jarang sekali kasus yang menjadikan 'edema paru re-ekspansi' ini berat dan membutuhkan tatalaksana yang cepat dan ekstensif. (2). Tekanan negatif pleura yang besar akibat obstruksi jalan nafas akut dan peningkatan volume ekspirasi akhir (misalnya pada asma bronkial). Gangguan Permeabilitas Membran Kapiler Alveoli: (ARDS = Adult Respiratory Distress Syndrome) Keadaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kapiler dan alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgikal tertentu yang berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan Starling Force. Pneumonia (bakteri, virus, parasit) Terisap toksin (NO, asap). Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi Aspirasi asam lambung. Pneumonitis akut akibat radiasi Zat vasoaktif endogen (histamin, kinin) Disseminated intravascular coagulation
Immunologi :pnemonitis hipersensitif Shock-lung pada trauma non toraks. Pankreatitis hemoragik akut. lnsufisiensi Sistem Limfe Pasca transplantasi paru. Karsinomatosis, limfangitis Limfangitis fibrotik (silikosis) Tidak Diketahui atau Belum Jelas Mekanisme nya High altitude pulmonary edema. Edema paru neurogenik. Over dosis obat narkotik Emboli paru. Eklampsia Pasca kardioversi. Pasca anastesi Pasca operasi pintas jantung paru
EDEMA PARU KARDIOGENIK Secara patofisiologi edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hipoksemia dan sesak nafas. Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda. Dikatakan pada stage 1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru akibat peningkatan tekanan di atrium kiri dapat memperbaiki pertukaran udara di paru dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik, dan disertai ronki inspirasi akibat terbukanya saluran pernafasan yang tertufup. Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edema interstitial diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstitial yang longgar dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, ha1 ini akan mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dari petanda vaskular paru, hilangnya demarkasi dari bayangan hilus paru dan penebalan septa interlobular (garis Kerley B). Pada derajat ini akan terjadi kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh darah, saluran nafas dan peningkatan jumlah cairan di daerah interstisium yang longgar tersebut, dan akan terjadi pengisian di lumen saluran nafas yang kecil yang menimbulkan refleks bronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi akan mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI EPK Anamnesis Acute cardiac event Penemuan Klinis Perifer
S3 gallop I kardiomegali JVP Ronki Laboratoriurn EKG Foto toraks Enzim kardiak PCWP Shunt intra pulmoner Protein cairan edema
EPNK
(+)
Jarang Penyakit dasar I B-C, II, IV
Dingin (low flow state) (+I Meningkat Basah
Hangat (high flow state) Nadi kuat (-1 Tak meningkat Kering Tanda penyakit dasar
Iskernia I infark Distribusi perihiler Bisa meningkat > 18 rnmHg. Sedikit < 0.5
Biasanya normal Distribusi perifer Biasanya normal < 18 rnmHg. Hebat >0.7
JVP: jugular venous pressure PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure
semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya hipoksemia berhubungan dengan tingkat peningkatan tekanan baji kapiler paru. Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis takipnu. Pada proses yang terus berlanjut, atau meningkat menjadi stage 3 edema paru tersebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia yang berat dan seringkali bahkan menjadi hipokapnea. Alveolar yang sudah terisi cairan ini terjadi akibat sebagian besar saluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh si pasien. Secara keseluruhan kapasitas vital dan volume paru semakin berkurang di bawah normal. Terjadi pirai dari kanan ke kiri pada intrapulmonar akibat perfusi dari alveoli yang telah terisi oleh cairan. Walaupun hipokapnea yang terjadi pada awalnya, tetapi apabila keadaan semakin memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea dengan asidosis respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya telah menderita penyakit paru obstruktif kronik. Dalam ha1 ini terapi morfin, yang diketahui memiliki efek depresi pada pernafasan, bila akan dipergunakan harus dengan pemantauan yang ketat. Diagnosis dan Etiologi Edema paru kardiogenik akut merupakan gejala yang dramatik kejadian gaga1jantung kiri yang akut. Hal ini dapat diakibatkan oleh gangguan pada jalur keluar di atrium kiri, peningkatan volume yang berlebihan di ventrikel kiri, disfungsi diastolik atau sistolik dari ventrikel kiri atau obstruksi pada jalur keluar dari ventrikel kiri. Peningkatan tekanan di atrium kiri dan tekanan baji paru mengawali terjadinya edema paru kardiogenik tersebut. Akibat akhir
yang ditimbulkan adalah keadaan hipoksia berat. Bersamaan dengan ha1 tersebut terjadi juga rasa takut pada pasien karena kesulitan bemafas, yang berakibat peningkatan denyut jantung dan tekanan darah sehingga mengurangi kemampuan pengisian dari ventrikel kiri. Dengan peningkatan rasa tidak nyaman dan usaha bernapas yang hams kuat akan menambah beban pada jantung sehingga fungsi kardiak akan semakin menurun, dan diperberat oleh keadaan hipoksia. Bila kejadian ini tidak diatasi dengan segera, tingkat mortalitas edema paru akut kardiogenik masih tinggi. Manifestasi Klinis Anamnesis. Edema paru akut kardiak berbeda dari ortopnea dan paroksismal nokturnal dispnea, karena kejadiannya yang sangat cepat dan terjadinya hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena mereka merasakan ketakutan, batuk-batuk dan seperti seorang yang akan tenggelam. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi, atau sedikit membungkuk ke depan, sesak hebat, mungkin disertai sianosis, sering berkeringat dingin, batuk dengan sputum yang benvama kemerahan (pinkJi.othy sputum). Pemeriksaan fisis. Dapat ditemukan frekuensi nafas yang meningkat, dilatasi alae nasi, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negatif intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi. Pemeriksaan pada paru akan terdengar ronki basah kasar setengah lapangan paru atau lebih, sering disertai wheezing. Pemeriksaan jantung dapat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
EDEMA PARU AKUT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ditemukan protodiastolik gallop, bunyi jantung I1 pulmonal mengeras, dan tekanan darah dapat meningkat. Radiologis. Pada foto toraks menunjukkan hilus yang melebar dan densitas meningkat disertai tanda bendungan paru, akibat edema interstisial atau alveolar. Laboratorium. Kelainan pemeriksaan laboratorium sesuai dengan penyakit dasar. Uji diagnostik yang dapat dipergmakin untuk membedakan dengan penyakit lain misalnya asma bronkial adalah pemeriksaan kadar BNP (brain natriureticpeptide) plasma. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan dapat menyingkirkan penyebab dyspneu lain seperti asma bronkial akut. Pada kadar BNP plasma yang menengah atau sedang dan gambaran radiologis yang tidak spesifik, hams dipikirkan penyebab lain yang dapat mengakibatkan terjadinya gagal jantung tersebut, misalnya restriksi pada aliran darah di katup mitral yang harus dievaluasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti ekokardiografi. EKG. Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia atau infark pada infarks miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran elektrokardiografi biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non-iskemik biasanya menunjukkan gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu. Penyebab dari keadaan non-iskemik ini belum diketahui tetapi ada beberapa keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain : iskemia sub-endokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolik atau katekolamin.
Penatalaksanaan Penatalaksanaan terutama untuk edema paru akut kardiogenik. Terapi EPA harus segera dimulai setelah diagnosis ditegakkan meskipun pemeriksaan untuk melengkapi anamnesis dan pemeriksaan fisis masih berlangsung. Pasien diletakkan pada posisi setengah duduk atau duduk, harus segera diberi oksigen, nitrogliserin, diuretik i.v., morfin sulfat, obat untuk menstabilkanhemodinamik, trombolitik dan revaskularisasi, intubasi dan ventilator, terapi aritmia dan gangguan konduksi, serta koreksi definitif kelainan anatomi. Terapi oksigen. Oksigen (40-50%)diberikan sampai dengan 8 Llmenit, untuk mempertahankanPaO,, kalau perlu dengan masker. Jika kondisi pasien makin memburuk, timbul sianosis, makin sesak, takipneu, ronki bertambah, PaO, tidak bisa dipertahankan > 60 mmHg dengan terapi 0, konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO,, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat,
maka perlu dilakukan intubasi endotrakheal, suction dan penggunaan ventilator. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin diberikan peroral 0,4 - 0,6 mg tiap 5 - 10 menit. Jika tekanan darah sistolik cukup baik (> 95 mmHg). Nitrogliserin intravena dapat diberikan dimulai dengan dosis 0.3 - 0.5 mglkg BB. Jika nitrogliserin tidak memberi hasil yang memuaskan, maka dapat diberikan nitroprusid. Morfin Sulfat. Diberikan 3 - 5 mg i.v., dapat diulangi tiap 15 menit. Sampai total dosis 15 mg biasa cukup efektif. Diuretik i.v. Diberikan furosemid 40-80 mg i.v. bolus, dapat diulangi atau dosis ditingkatkan setelah 4 jam, atau dilanjutkan dengan drip kontinyu sampai dicapai produksi urine 1mltkg BBljam. Obat untuk Menstabilkan Klinis Hemodinamik Nitroprusid i.v.: dimulai dosis 0,l mgkg BBlmenit. diberikan pada pasien yang tidak memperlihatkan respons yang baik dengan terapi nitrat atau pada pasien dengan regugitasi mitral, regurgitasi aorta, hipertensi berat. Dosis dinaikkan sampai didapat perbaikan klinis dan hemodinamik, atau sampai tekanan darah sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah yang normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital. Dopamin 2 - 5 pg /kg BBlmenit :atau dobutamin 2 - 10 mg k g BBImenit. osis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis, dan kedua obat ini bila diperlukan dapat diberikan bersama-sarna. Digitalisasi bila ada fibrilasi atrium (AF) atau kardiomegali. Obat trombolitik ; atau revaskularisasi (urgent PTCA, CABG) pada pasien infark miokard akut. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis atau tidak berhasil dengan terapi oksigen. Terapi terhadap artirnia atau gangguan konduksi. Koreksi definitif misalnya penggantian katup atau repair pada regurgitasi mitral berat bila ada indikasi dan keadaan klinis mengizinkan.
PROGNOSIS
Hingga saat ini mortalitas akibat edema paru akut termasuk yang disebabkan kelainan kardiak masih tinggi. Setelah mendapatkan penanganan yang tepat dan cepat pasien dapat membaik dengan cepat dan kembali pada keadaan seperti sebelum serangan. Kebanyakan dari mereka yang selamat mengatakan sangat kelelahan pada saat serangan tersebut. Diantara beberapa gejala edema paru ini terdapat tanda dan gejala gagal jantung. Prognosis jangka panjang dari edema paru akut ini
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
,
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
sangat tergantung dari penyakit yang mendasarinya, misalnya infark miokard akut serta keadaan komorbiditas yang menyertai seperti diabetes melitus atau penyakit ginjal terminal. Sedangkan prediktor dari kematian di rumah sakit antara lain adalah : diabetes, disfungsi ventrikel kiri, hipotensi atau syok dan kebutuhan akan ventilasi mekanik.
REFERENSI ACCIAHA Task Force Report : Guidelines for the Evaluation and Management of Heart Failure. Circulation 1995;92:2764-2784. Braundwauld E, Colucci WS and Grossman W : Clinical Aspect of Heart Failure : Pulmonary Edema in : Braundwauld E : Heart Disease, A Textbook of Cardiovascular Medicine, 7th ed. Philadelphia : WB Saunders Company; 2005.p. 539-68. Goldberger E, Wheat MV : Treatment of Cardiac Emergency: Cardiopulmonary Emergencies 5Ih ed, St Louis: The CV. Mosby Company; 1990.p. 194-21 0. Galloway JM, Fenster PE : Acute Pulmonary Edema in : Green HL, Johnson WP, Maricic MJ : Decision Making in Medicine. St Louis: Mosby Year Book Inc; 1993.p. 70-71.
-
Gandhi SK, Powers JC, Nomeir AM et al. The pathogenesis of acute pulmonary edema associated with hypertension. N Engl J Med 2001; 344: 17. Hunt SA, Baker DW, Chin MH et al. ACCIAHA guidelines for the evaluation and management of chronic heart failure in the adult: Executive Summary. A report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee to Revise the 1995 Guidelines for the Evaluation and Management of Heart Failure). Circulation 2001 ; 104: 2996. Kawanishi DT, Rahimtoola S.H. Acute Pulmanary Edema in Hurst J.W. Current Therapy in : Cardiovascular Disease, 3rd ed. Philadelphia: B.C. Decker Inc; 1991.p. 3-7. Pitt B, Zannad F, Remme WJ et al. The effect of spironolactone on morbidity and mortality in patients with severe heart failure. N Engl J Med 1999; 341: 709-17. Schlant RC, Sonnenblick EH : Phatophysiology of Heart Failure in: Schlant RC, Alexander RW : The Heart Arteries and Veins 8Ih ed, New York: McGraw-Hill, Inc; 1994.p. 515-55. Schuller D, Lynch JP, Fine D. Protocol-guided diuretic management: Comparison of furosemide by continuous infusion and intermittent bolus. Critical Care Med 1997;25: 1969-75.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI Marutam M. Panggabean
PENDAHULUAN Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10% sedangkan tercatat pada tahun 1978proporsi penyakit jantung hipertensi sekitar 14,3% dan meningkat menjadi sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai penyebab penyakit jantung di Indonesia. Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau Idiopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder).Tidak ada data akurat mengenai prevalensi hipertensi sekunder dan sangat tergantung di mana angka itu diteliti. Diperkirakan terdapat sekitar 6% pasien hipertensi sekunder sedangkan di pusat rujukan dapat mencapai sekitar 35%. Hampir semua hipertensi sekunder didasarkan pada 2 mekanisme yaitu gangguan sekresi hormon dan gangguan fungsi ginjal. Pasien hipertensi sering meninggal dini karena komplikasi jantung (yang disebut sebagai penyakit jantung hipertensi). Juga dapat menyebabkan strok, gaga1 ginjal, atau gangguan retina mata.
PATOGENESISPENYAKITJANTUNG HlPERTENSl Hipertrofi ventrikel kiri (HVK) merupakan kompensasi jantung menghadapi tekanan darah tinggi ditambah dengan faktor neurohumoral yang ditandai oleh penebalan konsentrik otot jantung (hipertrofi konsentrik). Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri (hipertrofi eksentrik). Rangsangan simpatis dan aktivasi sistem RAA memacu mekanisme FrankStarling melalui peningkatan volume diastolik ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi gangguan kontraksi miokard (penurunan lgangguan fungsi
sistolik) Iskemia miokard (asimtomatik, angina pektoris,infark jantung dll) dapat terjadi karena kombinasi akselerasi proses aterosklerosis (lihat patogenesis aterosklerosis atau penyakit jantung koroner) dengan peningkatan kebutuhan oksigen miokard akibat dari HVK. HVK, iskemia miokard dan gangguan hngsi endotel merupakan faktor utama kerusakan miosit pada hipertensi. Evaluasi pasien hipertensi atau penyakitjantung hipertensi ditujukan untuk: meneliti kemungkinan hipertensi sekunder, menetapkan keadaan pra pengobatan, menetapkan faktor faktor yang mempengaruhi pengobatan atau faktor yang akan berubah karena pengobatan, menetapkan kerusakan organ target, dan menetapkan faktor risiko PJK lainnya.
KELUHAN DAN GEJAIA Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya kebanyakan pasien tidak ada keluhan. Bila simtomatik, maka biasanya disebabkan oleh 1. Peninggian tekanan darah itu sendiri, seperti berdebar debar,rasa melayang (dizzy) dan impoten 2. Penyakit jantunglhipertensi vasksular seperti cepat capek, sesak napas,sakit dada (iskemia miokard atau diseksi aorta), bengkak kedua kaki atau perut. Gangguan vaskular lainnya adalah epistaksis, hematuria, pandangan kabur karena perdarahan retina, transient serebral ischemic. 3. Penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder: polidipsia, poliuria, dan kelemahan otot pada aldosteronisme primer, peningkatan BB dengan emosi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Trigliserida, HDL dan kolesterol LDL
yang labil pada sindrom Cushing. Feokromositoma dapat muncul dengan keluhan episode sakit kepala, palpitasi, banyak keringat dan rasa melayang saat berdiri (postural dizzy).
PEMERIKSAAN FlSlS Pemeriksaan fisis dimulai dengan menilai keadan umum: memperhatikan keadaan khusus seperti: Cushing, feokromasitoma, perkembangan tidak proporsionalnya tubuh atas dibanding bawah yang sering ditemukan pada pada koarktasio aorta.Pengukurantekanan darah di tangan kiri dan kanan saat tidur dan berdiri. Funduskopi dengan klasifikasi Keith-Wagener-Barker sangat berguna untuk menilai prognosis. Palpasi dan auskultasi arterikarotis untuk menilai stenosis atau oklusi. Pemeriksaan jantung untuk mencari pembesaran jantung ditujukan untuk menilai HVK dan tanda-tanda gagal jantung. Impuls apeks yang prominen. Bunyi jantung S2 yang meningkat akibat kerasnya penutupan katup aorta. Kadang ditemukan murmur diastolik akibat regurgitasi aorta. Bunyi S4 (gallop atrial atau presistolik) dapat ditemukan akibat dari peninggian tekanan atrium kiri. Sedangkan bunyi S3 (gallop vetrikel atau protodiastolik) ditemukan bila tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat akibat dari dilatasi ventrikel kiri.Bila S3 dan S4 ditemukan bersama disebut summation gallop. Paru perlu diperhatikan apakah ada suara napas tambahan seperti ronki basah atau ronki keringlmengi. Pemeriksaan pemt ditujukan untuk mencari aneurisma, pembesaran hati, limpa, ginjal dan asites. Auskultasi bising sekitar kiri kanan umbilikus (renal artery stenosis). Arteri radialis, Arteri femoralis dan arteri dorsalis pedia hams diraba.Tekanan darah di betis hams diukur minimal sekali pada hipertensi umur muda (kurang dari 30 tahun).
Kalsium dan fosfor Foto toraks Ekokardiografi dilakukankarena dapat menemukan HVK lebih dini dan lebih spesifk (spesifisitas sekitar 95-100%). Indikasi ekokardiografi pada pasien hipertensi adalah: - Konfirmasi gangguan jantung atau murmur - Hipertensi dengan kelainan katup - Hipertensi pada anak atau remaja - Hipertensi saat aktivitas,tetapinormal saat istirahat - Hipertensi disertai sesak napas yang belum jelas sebabnya (gangguan fimgsi diastolik atau sistolik) Ekokardiografi-Doppler dapat dipakai untuk menilai fungsi diastolik (gangguan fungsi relaksasi ventrikel kiri, pseudo-normal atau tipe restriktif).
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan umum hipertensi mengacu kepada tuntunan umum (JNC VII 2003, ESHIESC 2003). Pengelolaan lipid agresif dan pemberian aspirin sangat bermanfaat. Pasien hipertensi pasca infarkjantung sangat mendapat manfaat pengobatan dengan penyekat beta , penghambat ACE atau antialdosteron Pasien hipertensi dengan risiko PJK yang tinggi mendapat manfaat dengan pengobatan diuretik, penyekat beta dan pengharnbat kalsium. Pasietl hipertensi dengan gangguan fungsi ventrikel mendapat manfaat tinggi dengan pengobatan diuretik, penghambat, ACEIARB, penyekat beta dan antagonis aldosteron. Bila sudah dalam tahap gagal jantung hipertensi, maka prinsip pengobatannya sama dengan pengobatan gagal jantung yang lain yaitu diuretik, penghambat ACEIARB, penghambat beta, dan penghambat aldosteron.
PEMERIKSAAN PENUNJANG REFERENSI Pemeriksaan laboratoriurn awal meliputi: Urinalisis:protein,leukosit,eritrosit,dan silinder Hemoglobin/hematokrit Elektrolit darah:Kalium Ureumkeatinin Gula darah puasa Kolesterol total Elektrokardiografi menunjukkan HVK pada sekitar 2050% (kurang sensitif) tetapi masih menjadi metode standar. Apabila keuangan tidak menjadi kendala,maka diperlukan pula pemeriksaan: TSH Leukosit darah
Boedi-Darmojo et a1,61hAsean Congress of Cardiology,Jakarta,l986 Chobanian AV,Bakris GL,Black HR et al.The seventh report of the joint national committee on prevention,detection ,evaluation and tratment of high blood pressure:the JNC 7 report.JAMA. 2003;289:2560-72. Fisher NDL, Williams GH.Hipertensive vascular disease.1n: Kasper DL,Braunwald E,Fauchi AS, et.al.editors.Harrison's principles of internal medicine. 16 ed.2003 :1463-81. Guidelines Committee.2003 European Society of HypertensionEuropean Society of Cardiology guidelines for the management of arterial hypertensi0n.J Hypertens. 2003;21 :I01 1. Panggabean MM.Diagnosis dan penatalaksanaan penyakit jantung hipertensi. 1n:Bawazir LA, Alwi I, Fahrial Syarn A, et al.Prosiding simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular 23 Februari-25 Februari 2001.Jakarta:Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian 1.P.Dalam FKUI.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL PADA DEWASA Ali Ghanie
PENDAHULUAN Definisi Penyakit jantung kongenital merupakan kelainan struktur atau fungsi dari sistem kardiovaskular yang ditemukan pada saat lahir, walaupun dapat ditemukan di kemudian hari. lnsiden Kejadian yang sebenarnya dari kelainan kardiovaskular sulit ditentukan secara akurat, oleh karena ada beberapa ha1 yang tidak terdeteksi pada saat kelahiran, misalnya stenosis aorta bikuspidalis dan prolaps katup mitral, padahal keduanya merupakan kelainan paling sering ditemukan. Demikian pula beberapa kelainan lain seperti sindrom Marfan dan anomali Ebstein. Frekuensi relatif kejadian malformasi jantung pada persalinan 30.5 % Defek septum ventrikel Defek septum atrium 9.8 % Duktus arteriosus persisten 9.7 % Stenosis pulmonal 6.9 % Koarktasio aorta 6.8% Stenosis aorta 6.1 % Tetralogi Fallot 5.8 % Transposisi pembuluh darah besar 4.2% Trunkus arteriosus persisten 2.2 % Atresia trikuspid 1.3 % Dalam 20-30 tahun terjadi kemajuan pesat dalam diagnosis dan pengobatan penyakit jantung kongenital pada anak-anak. Sebagai akibatnya anak-anak dengan penyakit jantung kongenital bertahan hidup sampai dewasa.
Di Amerika penyakit jantung kongenital baik yang dikoreksi maupun yang tidak diperkirakan meningkat 5 % pertahun. Insiden penyakit jantung kongenital diperkirakan sebesar 0.8 %, di mana 85 % di antaranya bertahan hidup sampai dewasa muda. Pada dasarnya kelainan jantung kongenital dikelompokkan atas dua kelompok besar yaitu kelompok tanpa sianosis, dan yang disertai sianosis. Kelompok sianosis secara rinci lebih banyak dibicarakan dalam kardiologi anak, sebagian di antaranya dilakukan tindakan reparasi, sebagian lagi hanya paliasi. Sedangkan sembuh pada beberapa kasus masih jauh dari memuaskan, sehingga tetap menjadi pasien sesudah suatu tindakan, karena sebagian tindakan bersifat bukan kuratif. Sementara itu kelainan kongenital yang mencakup katup dibicarakan pada bab penyakit jantung katup. Cakupan dalam buku ajar ini hanya kelompok nonsianosis sebelum tindakan intervensi yang bertahan sampai dewasa, antara lain defek septum atrium (DSA), defek septum ventrikel (DSV), duktus arteriosus persisten (DAP), koarktasio aorta (KA), tetralogi Fallot (TF), serta transposisi pembuluh darah besar (TPB) Etiologi Sulit ditentukan, terjadi akibat interaksi genetik yang multi faktorial dan sistem lingkungan, sehingga sulit untuk ditentukan satu penyebab yang spesifik.
DEFEK SEPTUM ATRIUM (DSA) Definisi dan Morfologi Defek septum atrium merupakan keadaan di mana terjadi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
defek pada bagian septum antar atrium sehingga tejadi komunikasi langsung antara atrium kiri dan kanan. Septum atrium yang sesungguhnya adalah dalam lingkaran fosa ovalis. Menurut lokasi defek DSA dikelompokkan menjadi : Defek septum atrium (DSA) sekundum, defek terjadi pada fosa ovalis, meskipun sesungguhnya fosa ovalis merupaka~iseptum primum. (Gambar 1)
Gambar 4. Defek septum primum
Gambar 1. Defek septum atrium sekundum
Gambar 2. Jantung normal
Pada keadaan tertentu di mana defek cukup besar dapat keluar dari lingkaran fosa ovalis. Umumnya defek bersifat tunggal tetapi pada keadaan tertentu dapat terjadi beberapa fenestrasi kecil, dan sering disertai dengan aneurisma fosa ovalis. Defek septum atrium dengan defek sinus venosus superior, defek terjadi dekat muara vena kava superior, sehingga terjadi koneksi biatrial. (Gambar 3) Sering vena pulmonalis dari paru-paru kanan juga mengalami anomali, di mana vena tersebut bermuara ke vena kava superior dekat muaranya di atrium. Dapat juga terjadi defek sinus venosus tipe vena kava inferior, dengan lokasi di bawah foramen ovale dan bergabung dengan dasar vena kava inferior.
-
w
Gambar 3. Defek septum atr~umsinus venasus
Defek septum atrium primurn, merupakan bagian dari defek septum atrioventrikular dan pada bagian atas berbatas dengan fosa ovalis sedangkan bagian bawah dengan katup atrioventrikular. (Gambar 4.)
FisiologilHemodinamik Akibat yang timbul karena adanya defek septum atrium sangat tergantung dari besar dan lamanya pirau serta resistensi vaskular paru. Ukuran defek sendiri tidak banyak berperan dalani menentukan besaran dan arah pirau. Sebagaimana diketahui tidak terdapat gradien antara atrium kiri dan kanan, aliran darah akan tergantung dengan besarnya resistensi. Oleh karena ventrikel kanan lebih tipis dan Iehih ukomod~rij.arah aliran dari atrium kiri dan atrium kanan akan menuju ventrikel kanan. Terjadi beban volume berlebihan pada atrium dan ~entrikelkanan. sementara volume di atrium dan ventrikel kiri tetap atau rnenurun. Trrjadi perubahan konfigurasi diastol di ventrikel kiri, karena septum ventrikel akan mencembung ke arah kiri Manifestasi dan Pemeriksaan Fisis Defek septum atrium sekundum lebih sering terjadi pada perempuan dengan rasio 2 : 1 aritara perempuan dan pria, sedangkan pada tipe sinus venosus rasio I : 1. Defek septum atrium (DSA) sering tidak terdeteksi sampai dewasa karena biasanya asimtomatik, dan tidak memberikan gambaran diagnosis fisik yang khas. Lebih sering ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan rutin foto toraks (gambar 7,8,9,10,1 1 ) atau ekokardiografi. Walaupun angka kekerapan hidup tidak seperti normal, cukup banyak yang bertahan hidup sampai usia lanjut. Oleh karena itu DSA tipe sekundum merupakan kelainan jant~mgkongenital yang paling sering ditemukan pada dewasa. Sesak napas dan rasa capek paling sering nierupakarl keluhan awal, deliiikian pula infeksi napas yang berulang. Pasien dapat sesak pada saat aktivitas. dan berdebardebar akibat takiaritmia atrium. Pada pemeriksaan tisis dapat ditemukan pulsasi ventrikel kanan pada daerah para sternal kanan, wi(r'~~,fixed splittirig bunyi jantung kedua walaupun tidak selalu ada, bising sistolik tipe ejeksi pada daerah pulmonal pada garis sternal kiri atas, bising mid diastolik pada daerah trikuspid, dapat menyebar ke apeks. Bunyi jantung kedua lnengeras di daerah pulmonal, oleh karena kenaikan tekanan pulmonal, dan perlu diingat bahwa bising-bising yang terjadi pada DSA lnerupakan bising fungsional akibat adanya beban vol~~lne yang besar
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL PADA DEWASA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pada jantung kanan. Sianosis jarang ditemukan, kecuali bila defek besar atau common atrium, defek sinus koronarius, kelainan vaskular paru, stenosis pulmonal , atau bila disertai anomali Ebstein. Elektrokardiografi Elektrokardiografi menunjukkan aksis ke kanan, blok bundel kanan, hipertrofi ventrikel kanan, interval PK memanjang, aksis gelombang P abnormal, aksis ke kanan secara ekstrim biasanya akibat defek ostium primum. (Garnbar 5 dan 6) Gambar 8. Foto rontgen dada pada perneriksaan rutin, rasio jantung-toraks rnembesar, segrnen pulmonal menonjol, dan arteri pulrnonal kanan juga rnelebar dan tappered. P e m e r i k s a a n ekokardiografi rnenunjukkan suatu DSA sekundum
Gambar 5. Elektrokardiogram seorang perempuan 17 tahun, rnenderita DSA II yang menunjukan garnbaran incomplete RBBB
Gambar 6. Elektrokardiogram seorang perempuan 33 tahun, menderita DSA II yang rnenunjukan garnbaran complete RBBB
Foto Rontgen Dada Pada foto lateral terlihat daerah retrostemal terisi, akibat pembesaran ventrikel kanan. Dilatasi atrium kanan Segmen pulmonal menonjol, corakan vaskular paru prominen
Gambar 7. Pada foto rontgen dada secara kebetulan diternukan adanya pernbesaran segrnen pulrnonal, dan pada pemeriksaan ekokardiografi terbukii sebagai DSA sekundurn
Gambar 9. Foto rontgen dada atas indikasi kelainan paru , terlihat f~brosispada kedua lapangan paru, segmen pulrnonal terlihat rnernbesar, walaupun pinggang jantung juga terlihat rnenghilang, tetapi akibat tarikan fibrosis pada daerah hilus. Ekokardiografi rnenunjukkan DSA sekundum.
Gambar 10. Foto rontgen dada seseorang yang rnemang diketahui sebagai penderita DSA sekundurn berat tanpa tindakan, setelah 7 tahun terlihat kardiornegali dengan segrnen pulmonal dan arteri pulrnonalis kanan yang sangat rnenonjol.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gambar 11. Foto rontgendada seorang laki-laki, 49 tahun, dengan keluhan sesak napas, splitting bunyi kedua, menunjukkan rasio jantung- thorak membesar dengan segmen pulmonal yang rnenonjol, terbukti sebagai DSA II pada perneriksaan ekokardiografi pulmonal rnenonjol dan pembesaran arteri pulmonalis kanan.
Ekokardiografi Dengan menggunakan ekokardiografi transtorakal (ETT) dan doppler benvarna dapat ditentukan lokasi defek septum, arah pirau, ukuran atrium dan ventrikel kanan, keterlibatan katup mitral misalnya prolaps yang memang sering terjadi pada DSA (gambar 12 sld 18) Ekokardiografi transesofageal (ETE) sangat bermanfaat bila, dengan cara ini dapat dilakukan pengukuran besar defek secara presisi, sehingga dapat membantu dalam tindakan penutupan DSA perkutan, juga kelainan yang menyertai (garnbar. 15,16,17,18)
Gambar 14. Ekokardiografi 2-D transtorakal rnenunjukan adanya defek septum atrium dan ventrikel (slnus venosus, defek atrioventrikulo septum)
Gambar 15. Eko transesofageal rnenunjukkan defek septum primurn dan adanya defek septum ventrikel (tanda panah)
Gambar 12. Ekokardiografi 2-D seorang laki-laki 49 th menunjukkan defek atrium sekundum dengan pirau dari atrium kiri ke kanan.(secara kebetulan dicurigai dari foto rontgen dada pada garnbar 10 sebagai DSA).
Gambar 13. Ekokardiografi warna 2-D yang diambil pada tahun 1998 menunjukkan defek septum sekundum dengan pirau dari atrium kiri ke atrium kanan (warna merah). Foto terakhir pada tahun 2005 menunjukkan adanya hipertensi pulmonal yang berat (gambar 9)
Gambar 16. Seorang laki-laki 63 tahun diketahui menderita DSA sekundum, menolak tindakan penutupan defek. Setelah beberapa tahun terjadi kenaikan tekanan hipertensi pulmonal sedemikian (sindrom Eisenmenger). Pada perneriksaan ekokardiografi 2-D transtorakal, terlihat defek septum namun pada ekokardiografi warna tidak jelas terlihat arah pirau. Pada pemeriksaan ekokardiografi transesofageal terlihat defek cukup besar dengan pirau dua arah (warna biru berupa pirau dari atrium kanan ke atrium kiri dan merah berupa pirau dari atrium kiri kekanan, tanda panah).
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1783
PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL PADA DEWASA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Gambar 17. Pemeriksaan eko transesofageal rnenunjukkan kelalnan berupa stenosis katup tr~kusp~d, dan stenosrs katup pulrnonal yang menyertai kelainan DSA sekundum
Gambar 18. Perneriksaan eko transesofageal menunjukkandefek septum atrium sekundum dan adanya stenos~stricuspid.
Kateterisasi Jantung Pemeriksaan ini diperlukan guna Melihat adanya peningkatan saturasi oksigen di atrium kanan Mengukur rasio besamya aliran pulrnonal dan sistemik (QpIQs) Menetapkan tekanan dan resistensi arteri pulmonalis Evaluasi anomali aliran vena pulnlonalis Angiografi koroner selektif pada kelompok umur yang lebih tua, sebelum tindakan operasi penutupan DSA. Mugnetic Resonance Imuging Sebagai tambahan dalam menentukan adanya dan lokasi DSA Evaluasi anomali aliran vena, bila belum bisa dibuktikan dengan modalitas lain Dapat juga dipakai untuk estimasi QpiQs
Penatalaksanaan Pada dewasa sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor tennasuk keluhan, Lrniur, irkuran dan anatomi defek, adanya kelainan yang menyertai, tekanan arteri pulmonal serta resistensi vaskular paru.
lndikasi penutupan DSA : Pembesaran jantung pada foto toraks, dilatasi ventrikel kanan, kenaikan tekanan arteri pulmonalis 50% atau kurang dari tekanan aorta, tanpa mempertimbangkan keluhan. Prognosis penutupan DSA akan sangat baik dibanding dengan pengobatan medikamentosa. Pada kelompok umur 40 tahun ke atas hams dipertimbangkan terjadinya aritrnia atrial, apalagi bila sebelumnya telah ditemui adanya gangguan irarna. Padqkelompok ini perlu dipertimbangkan ablasi perkutan atau ablasi operatif pada saat penutupan DSA. Adanya riwayat iskemik fransienf atau strok pada DSA atau foramen ovale persisten Operasi merupakan kontraindikasi bila terjadi kenaikan resistensi vaskular paru 7-8 unit, atau ukuran defek kurang dari 8 mm tanpa adanya keluhan dan pembesaran jantung kanan. Tindakan penutupan dapat dilakukan dengan operasi terutama untuk defek yang sangat besar lebih dari 40 mm, atau tipe DSA selain tipe sekundum. Sedangkan untuk DSA sekundurn dengan ukuran defek lebih kecil dari 40 rnrn harus dipertimbangkan penutupan dengan kateter dengan menggunakan amplafzer septa1 occluder. Masih dibutuhkan evaluasi jangka panjang untuk menentukan kejadian aritmia dan komplikasi tromboemboli. Pemantauan Pasca Penutupan DSA Pada an&-an& tidak bermasalah, dan tidak memerlukan pernantauan Pada dewasa atau umur yang lebih lanjut perlu evaluasi periodik, terutama bila pada saat operasi telah ada kenaikan tekanan arteri pulrnonal, gangguan irama atau disfungsi ventrikel Profilaksis untuk endokarditis diperlukan pada DSA primum, regurgitasi katup, juga dianjurkan pemakaian antibiotik selama 6 bulan pada kelompok yang menjalani penutupan perkutan. C
DEFEK SEPTUM VENTRIKEL (DSV) Definisi dan Morfologi Merupakan kelainan jantung di mana terjadi defek sekat antarventrikel pada berbagai lokasi. (Gambar 18) Merupakan kelainan kongenital yang tersering sesudah kelainan aorta bikuspidalis, sekitar 20 % ( 1.5 - 2.5 dalam 1000 persalinan, tidak ada perbedaan kejadian antara laki-laki dan perempuan) Klasifikasi defek septum ventrikel ditentukan oleh lokasi defek relatif pada empat komponen lokasi septum. (ekokardiograti gambar 19.20) Perimembrano~ls.merupakan tipe yang paling sering
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
(80?4), menggatnbarkan def'isiensi dari membran septum langsung di bawah katup aorta (Gambar 19). Muskular, di mana defek dibatasi oleh daerah otot ( 5 20%). (gambar 20) Double comtnitted suhurteriul ventricular septul dqfect, sebagian dari batas defek dibentuk oleh terusan jaringan ikat katup aorta dan pulmonal(6%).
Gambar 19. Defek septum ventrikel
Gambar 20. Eko transesofageal seorang perempuan 40 tahun dengan bising s~stoliktipe ejeksl menunjukkan t DSV besar permembran dengan arah plrau dar~apek ventr~kelk ~ (warna r~ merah) menuju ventrikel kanan (warna blru)
Ukuran dan besarnya aliran melalui defek merupakan faktor yang penting dalam menentukan akibat fisiologis serta tambahan klasifikasi DSV. Ekokardiografi dapat dipakai untuk rnengukur besarnya defek dan menghitung perbandingan besar defek terhadap ukuran annulus aorta. Pada DSV kecil ('maladie de Roger 7 , ukuran defek lebih kecil dari 113 anulus aorta, terjadi gradien yang signifikan antara ventrikel kiri dan kanan (>64 mmHg). Defek seperti ini disebut restriktif, dengan berbagai variasi aliran dari kiri ke kanan, tekarian sistol ventrikel kanan dan resistensi pulmonal normal.(gambar ekokardiografi 20) Defek septum ventrikel rnoderat dengan restriksi, gradien berkisar 36 mmHg, besar defek sekitar '/z anulus aorta. Awalnya derajat aliran dari kiri ke kanan bersifat sedang berat. Resistensi vaskular paru dapat meningkat, tekanan sistolik ventrikel kanan dapat meningkat walaupun tridak melampaui tekanan sistemik. Ukuran atrium dan ventrikel kiri dapat membesar akibat bertambahnya beban volume. Pada DSV besar non restriktif, tekanan sistol ventrikel kiri dan kanan sama. Sebagian besar pasien akan mengalami perubahan vaskular paru yang menetap dalam waktu satu atau dua tahun kehidupan. Dengah waktu terjadi penurunan aliran dari kiri ke kanan, bahkan terjadi aliran dari kanan ke kiri, yang kita kenal sebagai fisiologi Eisenmenger. (gambar ekokardiopati 19) Gambaran Klinis Tergantung ukuran defek dan urnur saat ditemukan, pada DSV kecil terdengar bising pansistolik. Defek kecil bersifat benigna, dan dapat menutup spontan tergantung tipenya, dan biasanya tidak mengganggu pertumbuhan. Pada DSV besar dapat disertai sesak napas dan gangguan pertumbuhan oleh karena meningkatnya aliran pulmonal Pemeriksaan fisis Oksimetri, saturasi oksigen normal, kecuali bila ada konipleks Eisenmenger.
Garnbar 21. Eko transesofageal penderita dengan DSV pada pars membranous
Fisiologi Pada DSV terjadi aliran darah dari ventrikel kiri menuju ventrikel kanan, terjadi percampuran darah arteri dan vena tanpa sianosis.
Elektrokardiografi Biasanya dapat ditemukan gelombang rnelebar P pada atrium kiri yang membesar, atau gelombang Q dalam dan R tinggi pada daerah lateral. Adanya gelombang R tinggi di V1 dan perubahan aksis kekanan menunjukkan hipertroti ventrikel kanan dan hipertensi pulmonal. Foto Rontgen dada Bisa normal pada DSV kecil, bisa juga terjadi pembesarq segmen pulmonal dengan kardiomegali.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1785
PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL PADA DEWASA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Ekokardiografi Dapat menentukan lokasi defek, ukuran defek, arah dan gradien aliran, perkiraan tekanan ventrikel kanan dan pulmonal, gambaran beban volume pada jantung kiri, keterlibatan katup aorta atau trikuspid serta kelainan lain (lihat Gambar 19,20) Magnetic Resonance Imaging Memberikan gambaran yang lebih baik terutama DSV dengan lokasi apikal yang sulit dilihat dengan ekokardiografi. Juga dapat dilakukan besarnya curah jantung, besaran pirau, dan evaluasi kelainan yang menyertai seperti pada aorta asendens dan arkus aorta. Kateterisasi Menentukan tekanan serta resistensi arteri pulmonalis, reversibilitas resistensi dengan menggunakan oksigen, nitric oksid, prostaglandin atau adenosin. Evaluasi aliran intrakardiak, kelainan yang menyertai seperti regurgitasi aorta, menyingkirkanDSV multipel, serta evaluasi koroner pada usia yang lebih lanjut. Penatalaksanaan Tujuannya untuk mencegah timbulnya kelainan vaskular paru yang permanen, mempertahankan hngsi atrium dan ventrikel kiri, serta mencegah kejadian endokarditis infektif. Defek kecil biasanya disertai thrill pada garis sternal kiri sela iga keempat. Bising bersifat holosistolik, tetapi dapat juga pendek. Perjalanan Penyakit Defek septum ventrikel dapat menutup dengan bertambahnya usia, kecuali defek sub aortik, sub pulmonik, atau defek tipe kanal. Defek septum ini dapat menutup secara spontan pada 25 - 40 % saat umur pasien 2 tahun, 90 % pada saat umur 10 tahun. Pada pasien yang tidak dioperasi, prognosis baik bila terjadi penutupan spontan DSV, demikian pula DSV kecil yang asimtomatik. Dengan angka kekerapan hidup 25 tahun sebesar 95.9 %. Sedangkan pada DSV non-restriktif apalagi disertai komplek Eisenmenger prognosis jelek, dengan angka kekerapan hidup 25 tahun 41.7 %. Pada pasien yang dioperasi tanpa hipertensi pulmonal mempunyai angka keker~psnhidup yang normal.
fetal, tetap paten sampai lahir, pertama kali ditemukan oleh Galen (13 1 AD) Lokasi muara duktus terletak lebih ke kiri percabangan arteri pulmonalis, sedangkan ujung aorta duktus terletak pada bagian bawah aorta setinggi arteri subklavia kiri. Bentuk duktus mengecil pada lokasi arteri pulmonal, sehingga berbentuk kerucut karena penutupan dimulai dari daerah pulmonal. (Gambar 21) Hemodinamik (akibat fisiologis) tergantung dari beberapa faktor, ukuran dari komunikasi tersebut, resistensi pembuluh darah paru, derajat prematuritas, dan kemampuan fungsional ventrikel kiri yang mengalami beban volume. Bila duktus kecil, resistensi vaskular paru normal. Terdapat gradien tekanan antara aorta dan arteri pulmonalis sepanjang siklus kardiak, dan bertanggung jawab terhadap aliran darah aorto-pulmonal. Aliran tidak besar dan gangguan hemodinamik tidak signifikan. Bila duktus besar tetapi restriktif, aliran pulmonal meningkat, sehingga terjadi beban volume pada ventrikel kiri, tetapi resistensi pulmonal tetap normal. Atrium kiri dan ventrikel kiri akan mernbesar, tetapi tanpa disertai hipertrofi ventrikel kanan. Bila duktus tidak restriktif, tekanan aorta akan diteruskan langsung ke trunkus pulmonal, sehingga terjadi hipertensi pulmonal dengan konsekuensi beban tekanan pada ventrikel kanan Gradasi dari DAP dapat dikelompokkan sebagai berikut : Silent, berupa DAP kecil yang biasanya ditemukan secara kebetulan pada saat ekokardiografi, tidak terdengar bising. Kecil, terdengar bising bersifat ejeksi panjang, atau kontinu, tidak ditemui perubahan hemodinamik, pulsasi perifer normal, tanpa perubahan ukuran atrium dan ventrikel kiri, juga tanpa disertai hipertensi pulmonal. Moderat, tekanan nadi besar seperti pada regurgitasi aorta, bising kontinu, ditemukanpembesaran atrium dm ventrikel kiri, dan hipertensi pulmonal yang biasanya # masih reversibel Besar, biasanya pada dewasa disertai dengan Eisenrnenger, bising kontinu tidak ditemukan. Akan terjadi sianosis setempat akibat saturasi oksigen dibagian bawah tubuh lebih rendah dibanding lengan kanan, dan pada kaki dapat terjadi jari tabuh.
DUKTUS ARTERIOSUS PERSISTEN (DAP) Definisi dan Morfologi Merupakan suatu kelainan di mana vaskular yang menghubungkan arteri pulmonal dan aorta pada fase
Gambar 22. Duktus Arteriosus Persisten (DAP)
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PEMERIKSAAN PADA NATlF ATAU RESIDUAL DAP Pemeriksaan Fisis Tekanan nadi yang besar menunjukkan DAP yang signifikan Adanya hiperdinamik ventrikel kanan, terabanya suara kedua menunjukkan hipertensi pulmonal. Bising kontinu pada garis sternal kiri atas. rnenyebar ke belakang. Ada kalanya bising bersifat ejeksi panjang bukan kontinu. Pada DAP besar dan komplek Eisenmenger, tidak ditemukan bising kontinu, tetap tanda-tanda hipertensi pulmonal, sianosis tubuh bagian bawah dail jari tabuh pada tungkai Elektrokardiogram Dapat ditemukan gelombang P yang melebar, komplek QRS yang tinggi akibat beban tekanan pada atrium dan ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kanan dapat terlihat akibat hipertensi pulmonal. Foto Rontgen Adanya dilatasi arteri pulmonal, meningkatnya corakan vaskular, dilatasi atrium kiri, menunjukkan adanya aliran dari kiri ke kanan yang signifikan. Dapat terlihat adanya kalsifikasi pada posisi anteroposterior dan lateral pada pasien yang lebih tua.
Ekokardiografi (Gambar 23) Dapat diukur ukuran dari DAP, pada dewasa biasan) a sukar dan kurang tepat. Dapat ditentukan ukuran a t r i ~ ~ m dan ventrikel kiri sebagai petanda aliran dari kiri ke kanan yang signifikan. Juga dapat diukur tekanan arteri pulmonalis, adanya gradien lebih dari 64 mmHg pada daerah DAP menunjukkaan tidak adanya hipertensi pulrnonal Kateterisasi Dilakukan apabila ada keragu-raguan dalam penentuan tekanan pulmonal dan kernungkinan reversibilitas dari tekanan pulmonal, dengan menggunakan tes oklusi balon. Penatalaksanaan Penutupan DAP, dianjurkan dengan alasan hemodinamik, mencegah endarteritis, dan mencegah terjadinya hipertensi pulmonal. Intervensi dengan kateter, merupakan pilihan dalam penutupan DAP, terutama bila terdapat kalsifikasi pada duktus, karena akan meningkatkan risiko pada operasi. Operasi dianjurkan pada DAP yang besar, atau terdapat distorsi seperti aneurisma.
Garnbar 23. Foto (A) menunjukkan ekokardiografi 2-D tanpa warna dengan potongan sumbu pendek setinggi aorta, terlihat hubungan antara aorta dan a.pulmonalis kiri. Sedangkan foto (B) menunjukkan arah aliran (rnerah) dari aorta dengan velositi pada doppler yang kontinyu pada fase sistol dan diastol
KOARKTASIO AORTA (KA) Definisi dan Morfologi Merupakan stenosis atau penyempitan lokal atau segmen hipoplastib )any panjang. Pertama kali ditemukan oleh Morgagni pada tahun 1760 pada autopsi dari seorang rahib, kemudian di.jelaskan secara rinci patoanatominya oleh Jordan ( 1827) dan Reynaud (1 828). Pada dewasa lokasi tersering KA ditemukan pada pertemuan arkus aorta dan aorta desenden, segera sesudah rnuara dari arteri subklavia kiri. Pada keadaan tertentu, tetapi jarang dapat juga ditemukan pada aorta abdominalis. Koarktasio Aorta dapat berupa kelainan tersendiri (KA sin~ple),tanpa kelainan jantung lain. Dapat berupa KA kompleks yang disertai kelainan intra kardiak seperti katup aorta bukuspid, defek septum ventrikel, kelainan katup mitral, serta ekstra kardiak berupa aneurisma sirkulus dari Willisi atau sindrom Turner. Manifestasi Klinis Sangat tergantung pada derajat KA dan adanya kelainan kardiovaskular penyerta. Pada pasien yang tidak diobati, 60% KA berat tanpa penyerta dan 90% yang disertai kelainan jantung penyerta. akan meninggal pada tahuntahun pertama kehidupan. Walaupun ekspektasi umur rata-
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT JANTUNC KONCENITAL PADA DEWASA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI rata KA adalah 35 tahun, ada yang bertahan hidup sampai umur lanjut. Pasien yang bertahan hidup sampai dewasa tanpa diobati biasanya mempunyai kelainan KA pasca duktal yang ringan, umumnya asimtomatik dalam waktu lama. Sering tidak ditemukan tekanan darah yang tinggi , oleh karena itu diagnosis baru ditegakkan sesudah umur dewasa. Masalah yang mungkin timbul nantinya dapat berupa dan mungkin sebagai penyebab kematian adalah gaga1 jantung kiri (28%), perdarahan intrakranial (12%), endokarditis bakterialis (18 %), ruptur atau diseksi aorta (21%), dan penyakit jantung koroner yang lebih awal. Gejala Pasien dewasa biasanya hipertensi, dan dapat ditemukan bising, walaupun pada dewasa sering asimtomatik. Gejala yang khas akibat tekanan darah tinggi pada badan bagian atas dapat berupa sakit kepala, perdarahan hidung, melayang, tinitus, tungkai dingin, angina abdomen, kelelahan tungkai pada latihan bahkan perdarahan intrakranial. Klaudikasio tungkai dapat menggambarkan KA abdominalis. Pemeriksaan Fisis Tekanan darah sistolik lebih tinggi pada lengan dibanding tungkai, tetapi tekanan diastolik sama, oleh karena itu tekanan nadi di lengan akan besar. Pulsasi arteri fernoralis lemah dan terlambat dibanding arteri radialis. Dapat teraba thrill sistolik pada pada daerah suprasternal. Bila disertai aorta bikuspid, dapat terdengar bising sistolik tipe ejeksi, dan suara kedua mengeras. Bising sistolik kasar tipe ejeksi dapat terdengar sepanjang garis sternal kiri dan belakang, terutama didaerah koarktasio. Adanya kolateral dapat menimbulkan bising kontinyu.
Ekokardiografi Tidak terlalu mudah untuk mendeteksi isthmus aorta, pengambilan sudut dari supra sternal dapat membantu. Dengan ekokardiografikardiografi dapat dilihat kelainan akibat koarktasio atau adanya kelainan intra kradiak yang menyertai. Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed Tomography Dapat memberikan gambaran seluruh aorta, dan merupakan pemeriksaan pilihan non invasif untuk KA. Dengan MRI dan CT dapat ditentukan lokasi dan derajat penyempitan aorta. Kateterisasi Merupakan baku emas untuk evaluasi anatomi KA serta pembuluh supraaortik, dapat ditentukan gradien tekanan yang menggambarkan derajat KA, fungsi ventrikel kiri, dan status arteri koroner. Penatalaksanaan Tindakan operatif, dengan tujuan menghilangkan stenosis dan regangan pada dinding aorta, serta mempertahankan patensi dari aorta. Reparasi segera sesudah diagnosis pada usia muda mempunyai risiko yang lebih kecil dibanding usia yang lebih lanjut. Sesudah 30 40 tahun mortalitas intra-operatif tinggi akibat akibat adanya proses degenerasi pada dinding aorta. Tindakan intervensi berupa angioplasti dengan atau tanpa implanttasi stent mempakan pengobatan alternatif baik pada anak-anak maupun dewasa. Pada kondisi rekoarktasio, terdapat kesepakan bahwa pilihan lebih kepada tindakan angioplasti baik dengan atau tanpa stent .
TETRALOG1 FALLOT (TF) Elektrokardiografi Dapat memberikan gambaran berbagai derajat beban tekanan pada atrium dan ventrikel kiri, secara fungsional akibat hipertensi, berupa hipertrofi atrium dan ventrikel kiri. Foto Rontgen Dada Ukuran jantung pada radiografi toraks bisa normal, dilatasi aorta asenden, kinking atau gambaran double contour di daerah aorta desenden, sehingga terlihat gambaran seperti angka tiga dibawah aortic knob ('figure 3' sign), serta pelebaran bayangan jaringan lunak arteri subklavia kiri. Rib notching dari daerah posteroinferior kosta ketiga dan keempat, terjadi akibat kolateral arteri sela iga, jarang terlihat sebelum umur 50 tahun.
DefinisilMorfologi Pertama kali dijelaskan oleh Nicholas Steno (1673), dan pada tahun 1888 Etienne-Louis Arthur Fallot menjelaskan hubungan klinis dengan perubahan patologis. Secara anatomis malformasi terdiri dari stenosis katup pulmonal (umumnya stenosis subinfundibular), defek septum ventrikel, deviasi katup aorta ke kanan sehingga kedua ventrikel bermuara ke aorta (overriding aorta), hipertrofi ventrikel kanan. Defek septum ventrikel, defek biasanya tunggal, besar dan bersifat non restriktif, 80% bersifat perimembran. Stenosis pulmonal, pada sebagian besar kasus stenosis subinfundibular, katup biasanya abnormal, walaupun biasanya bukan sebagai penyebab utama obstmksi. Dapat juga terjadi atresia dari infundibulum atau katup, serta hipoplasia dari arteri pulmonal. Aorta
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI overriding, derajat override aorta terhadap ventrikel kanan bervariasi dari 5 - 95%. Oleh karena itu Tetralogi Fallot bisa sebagai double outlet ventrikel kanan bila lebih dari 50 % muara aorta berada di ventrikel kanan. Hal ini penting saat tindakan koreksi di mana diperlukan penutup yang lebih besar. Lesi yang menyertai, penting diketahui karena mempunyai nilai pada saat tindakan koreksi bedah. Dapat berupa DSA, DSV tipe muskular, defek septum atrioventrikular anomali arteri koroner.
Gambaran Klinis Perubahan fisiologis yang terjadi tergantung dua variabel, derajat obstruksi pulmonal, dan resistensi vaskular sistemik. Sebagian besar pasien dengan TF akan mengalami gangguan pertumbuhan, kadang terjadi sirkulasi kolateral ke paru sehingga dapat mempertahankan pertumbuhan. Sianosis yang terjadi simetris, akibat pirau dari ventrikel kanan ke kiri melalui defek besar yang non-restriktif. Hipertrofi ventrikel kanan biasanya tidak terlalu berat, lain halnya pada hipoplasi arteri pulmonal, sehingga tidak sampai terjadi obliterasi rongga ventrikel kanan. Sehingga masih dimungkinkan tindakan reparasi Bila obstruksi pulmonal tidak terlalu berat maka derajat sianosispun ringan, dikenal sebagai acyanotic Fallot atau pink tetralogy, dan kadang-kadang ditemui pada dewasa muda. Cepat Lelah Hypoxic spells, merupakan ha1 penting berupa paroksismal hiperpnea, hipoksia, anoksia, biru atau serangan sinkop. Riwayat jongkok pada keadaan tertentu, akan menurunkan aliran darah balik yang kurang kandungan oksigennya, meningkatkan resistensi sistemik sehingga aliran darah ke paru akan besar, saturasi oksigen akan meningkat. Adanya gelombang pada dinding dada pada bagian bawah sternum akibat gerakan hiperdinamik ventrikel kanan yang mengalami hipertrofi. Suara jantung I normal, bising sistolik akibat aliran darah melalui daerah stenosis bukan melalui defek septum, terdengar di sela iga 11, 111 garis sternal kiri. Bunyi jantung I1 keras dan tunggal bukan karena komponen pulmonal tetapi aorta yang biasanya melebar, pada keadaan ini dapat terdengar bising ejeksi sistolik . Dapat terdengar bising kontinu yang berasal dari kolateral aortopulmonal, merupakan tanda penting dari atresia pulmonal. Elektrokardiogram, menunjukkan gelombang P tajam dengan amplitudo yang normal, dapat disertai dengan hipertrofi ventrikel kanan. Foto Rontgen toraks menunjukkan ukuran jantung bisa normal, paru oligemik, aorta asenden prominen, segmen pulmonal cekung, apek terangkat keatas memberikan gambaran seperti sepatu bot.
Penatalaksanaan Operasi reparasi biasanya dilakukan pada masa anak-anak, namun dapat saja ditemukan TF pada dewasa muda tanpa tindakan operatif sebelurnnya. Bila ditemukan pada dewasa operasi masih dianjurkan karena hasilnya bila dibandingkan dengan operasi pada masa anak-anak sama baiknya. Bentuk operasi adalah penutupan DSV dan menghilangkan obstruksi pulmonal. Upaya menghilangkan obstruksi ini dapat melalui valvulotomi pulmorial, reseksi otot infimdibulum pada muara pulmonal, implanttasi katup pulmonal baik homogra8 atau bioprotese katup babi, atau operasi pintas ekstra kardiak antara ventrikel kanan dan arteri pulmonalis dan dapat pula dilakukan angioplasti pada arteri pulmonalis sentral. Sedangkan terapi medikamentosa, mencakup pemakaian antibiotika untuk mencegah endokarditis, penghambat beta untuk menurunkah frekuensi denyut jantung sehingga dapat menghindari spell, dan bila diperlukan dapat dilakukan flebotomi. TRANSPOSISI PEMBULUH DARAH BESAR (TPB) Definisi Kelainan ini pertama kali dijelaskan oleh Baillie pada tahun 1797, dan kemudian oleh Farre pada tahun 1814. Biasanya 50 % disertai oleh kelainan kongenital lain .Defek septum ventrikel paling sering menyertai TPB, disusul obstruksi muara aorta dan koartasio aorta. Anatomis Dikenal ada dua macam TPB, 1. Transposisi pembuluh darah besar lengkap Merupakan kondisi anatomi di mana aorta keluar dari ventrikel kanan, dan arteri pulmonal keluar dari ventrikel kiri, hubungan ini disebut sebagai ventriculo-arterial discordance. Sementara hubungan antara atrium dan ventrikel normal yang kita kenal sebagai atrioventricular concordance. Oleh karena itu transposisi ini dikenal sebagai transposisi lengkap dan secara fisiologis tak terkoreksi 2. Transposisi pembuluh darah besar terkoreksi, di sini terjadi atrio ventricular dan ventriculoarterial discordance. Posisi ventrikel terbalik, ventrikel yang secara morfologis ventrikel kanan berada dikiri, sebaliknya ventrikel yang morfologis ventrikel kiri berada di kanan. Gambaran Klinis I Diagnosis Transposisi pembuluh darah besar komplit jarang bertahan sampai dewasa kecuali bila disertai DSV atau DSA. Sedangkan TPB terkoreksi bisa bertahan sampai dewasa
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL PADA DEWASA
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
namun biasanya mengalami gaga1 jantung kiri akibat kegagalan ventrikel yang secara morfologis merupakan ventrikel kanan. Klinis ditemukan sianosis, gambaran radiologis berupa meningkatnya corakan vaskular paru, dan identifikasi ventriculoarterial discordance dengan ekokardiografi
Gatzoulis, MA. Tetralogy of fallot. In: Gatzoulis, MA., Webb, GD., Daubeney, PEF, editors. Diagnosis and management of adult congenital heart disease. 2003; p.3 15. Hornung, T. Transposition of the great arteries. In: Gatzoulis, MA., Webb, GD., Daubeney, PEF. editors Diagnosis and management of adult congenital heart disease. 2003; p.349. Prasad S. Ventricular septal defect. In: Gatzoulis, MA., Webb. GD.. Daubeney,PEF. editors. Diagnosis and management of adult congenital heart disease. 2003; p. 17 1. Perloff, JK. The clinical recognition of congenital heart disease. Clinical recognition of congenital heart disease. 3Id edition. 1987. Shinebourne, WA., Ho, SY. Atrioventricular septal defect: complete and partial (ostium primum atrial septal defect). In: Gatzoulis, MA., Webb, GD., Daubeney, PEF, editors. Diagnosis and management of adult congenital heart disease. 2003; p.179.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1789
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT JANTUNG PADA USIA LANJUT Lukman H. Makmun
PENDAHULUAN Perubahan yang terjadi pada usia lanjut (usila) adalah terjadi proses menua, di mana secara struktur anatomi maupun fungsional terjadi kemunduran, yaitu terjadi proses degenerasi. Pada usila berusia 80-90 tahun terjadi penurunan fungsi pada banyak organ dan sistem, sehingga yang tersisa adalah sebagai berikut: kecepatan konduksi saraf tinggal 85%, Basal metabolic rate menjadi 80%, Volume cairan tubuh juga menjadi SO%, sehingga mudah terjadi dehidrasi bila ada infeksi, indeks kardiak menurun, tinggal 70%, sehingga mudah terjadi sesak bila beraktivitas kapasitas vital paru pun menurun, menjadi 68%, vital capacity maksimum menjadi 40%, glomerularfiltration rate turun menjadi 67%, renalplasmaflow tinggal: 40 - 47% Pada sistem kardiovaskular, proses menua menyebabkan: basal heart rate menurun, respons terhadap stres menurun, LV compliance menurun: karena terjadi hipertrofi, senile amyloidosis, pada katup terjadi sklerosis dan kalsifikasi yang menyebabkan disfungsi katup, A V node dan sistem konduksi fibrosis, komplains pembuluh darah perifer menurun, sehingga afterload meningkat, dan terjadi proses aterosklerotik. Pada penyakit jantung koroner (PJK) yaitu IMA (infark miokard akut) pada usila hanya 50% memberikan gejala nyeri dada. Perbedaan yang terjadi pada pasien usia lanjut ini adalah karena perubahan fisiologis, ataupun terkena suatu penyakit penyerta lain, sehingga akibat ataupun efeknya akan berbeda juga. Penyakit jantung yang sering terdapat pada usia lanjut adalah : penyakit jantung koroner, aritmia, gaga1jantung di samping hipertensi.
PENYAKITJANTUNG KORONER (PJK)
Natural history sama seperti dengan pasien muda. Dimulai
dari proses aterosklerosis awal, yang dipicu dengan adanya berbagai faktor risiko baik yang konvensional maupun yang novel (barn). Pada usia lanjut perempuan dengan menurunnya kadar estrogen, prevalensi PJK meningkat, menyamai prevalensi pada pria. PJK ini sangat sering didapatkan pada populasi usia lanjut, karena progresivitas proses aterosklerosis akibat proses menua. Di Indonesia, menurut WHO-Community study of the elderly di Jawa Tengah tahun 1990 angka morbiditas karena penyakit kardiovaskular pada usia lanjut menduduki tempat kedua setelah rematisme. Manifestasi klinis antara pasien PJK usia lanjut dan pasien usia dewasa muda berbeda, sehingga PJK pada usia lanjut kadang-kadang tidak atau salah terdiagnosis. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh adanya penyakit penyerta (superimposed). Selain itu pada pasien usila, karena sudah menurunnya aktivitas fisik, keluhan sakit dada yang biasanya terpicu oleh aktivitas fisik, tidak akan terasa. Karena itu keluhan sesak napas (dyspnea) akan lebih banyak terasa daripada nyeri dada sebagai keluhan utama, baik pada kasus angina pektoris ataupun pada infark miokard. Hal ini mungkin karena sudah terjadi perubahan pada miokard dan kelenturan perikard (compliance) karena proses menua sehingga terjadi gangguan fungsi diastolik ventrikel. Di samping itu dengan adanya penyakit penyerta seperti emfisem paru akan lebih memperkuat timbulnya keluhan sesak napas dibanding nyeri dada sendiri. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan khusus. Kelainan seperti gallop S4 ataupun bising sistolik sering didapat juga pada pasien usila tidak dengan kalainan jantung akibat proses menua. Pemeriksaan penunjang test treadmill dapat dipergunakan pada pasien dengan dugaan PJK, tetapi perlu diperhatikan keterbatasannya, misal pengaruh obat antara lain digitalis ataupun kemampuan durasi latihan. Pemeriksaan cardiac imaging dengan thallium scanning dapat menolong, bila hasil tes treadmill negatif, sedangkan pasien tersebut
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1791
PENYAKIT JANTUNG PADA USIA LANJUT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI sangat dicurigai menderita PJK. Pemeriksaan angiografi koroner bukan merupakan kontra indikasi untuk dilakukan pada pasien usila, tetapi tetap dengan memperhitungkan cost and benefit setiap tindakan. Pengobatan pada iskemia kronik. Sebenarnya sarna seperti pada usia muda. Semua faktor risiko yang dapat dimodifikasi hams diatasi. Penyakit-penyakit seperti anemia, hipertensi dan gagal jantung sering didapat pada usila, sehingga hams diperhatikan, begitu juga dengan kepatuhan minum obat. Farmaka yang diberikan sama seperti pada pederita muda, tetapi hams diperhatikan adalah mencegah polifarmasi, interaksi obat, efek samping dan pengaturan dosis obat mengingat daya metabolisme dan daya sekresi obat sudah menurun untuk mencegah intoksikasi, yang kesemuanya ini karena sudah terjadi proses menua pada semua organ. Seandainya dengan pengobatan konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan, PTCA (percutaneous trans coronary angioplasty) dapat dipertimbangkan. Lebih lanjut tindakan operasi By-pass arteri koroner (CABG) pada usila juga masih dapat dipertimbangkan dengan lebih hatihati mengingat angka mortalitas, morbiditas akan lebih tinggi. Pada infark miokard akut (IMA). Kemungkman komplikasi yang perlu diperhatikan adalah edema paru, gagal jantung kongestif, ruptur ventrikel . Meningkatnya insidens ini belum diketahui dengan pasti patofisiologinya, ada kemungkinan karena sudah berkurangnya fkngsi miokard yang masih sehat, kerusakan miokard sebelumnya,turunnya respons terhadap katekolamin, efek hipertensi atau luasnya infark. Perubahan karena proses menua terjadi perubahan pada tebal dinding ventrikel, impendans di perifer meningkat, muatan kolagen berkurang, ataupun sudah adanya proses inflamasi miokard yang kesemuanya ini mempengaruhikerja miokard sendiri. Pengobatanjuga tidak berbeda dengan pasien dewasa muda. Perlu diperhatikan efek samping dari obat tertentu, misal pemberian heparin
dapat lebih mudah menimbulkan pendarahan sehingga perlu lebih ketat pengawasannya dan juga efek lidokain terhadap susunan saraf pusat yang dapat menurunkan kesadaran.
Aritmia Karena insidens PJK dan hipertensi tinggi, aritmia lebih sering didapat dan dapat berpengaruh terhadap hemodinamik. Bila curah jantung dan tekanan darah turun banyak, berpengaruh terhadap aliran darah ke otak, dapat juga menyebabkan angina, gagal jantung. Perlu diperiksa faktor presipitasi seperti kadar elektrolit darah, efek digitalis, hipertiroidisme, anemia, emboli paru dan gagal jantung. Pengobatan dengan anti aritmia tergantung dari beratnya simtom dengan memperhatikan kekhususan pada usila seperti efek samping, dosis dan juga mengobati penyakit dasamya, serta mengatasi faktor presipitasinya. Bradiaritmia sering didapat pada usila, meskipun tak ada penyakit jantungnya. Hal ini berkaitan dengan perubahan pada sinus node, hipersensitif refleks sinus caroticus atau pengaruh obat seperti digitalis, penyekat beta, antagonis kalsium dan obat anti hipertensi lain. Pengobatan tergantung simtom yang timbul, dan dapat diberikan sulfas atropin, isoproterenol. Bila berat, dapat dipertimbangkan untuk pemasangan pace maker baik sementara maupun permanen.
REFERENSI Cardiovascular Disease in the Elderly. Editor: Aronou WS, Fleg JL.New York. Marcel Dekker Inc. Ed.3. 2004 Weisfeldt ML, Lakatta EG, Gerstenblith G. Aging and cardiac disease. In: Braunwald E, editor : Heart Disease. A textbook of cardiovascular medicine. Philadelphia. WB Saunders co. 1998. Ed.3. p. 1650-60.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
MANIFESTASI KLINIS JANTUNG PADA PENYAKIT SISTEMIK Idrus Alwi
DIABETES MELITUS Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian pada DM, diperkirakan dua pertiga dari semua kematian. Tiga perempat dari penyebab kematian ini karena penyakit jantung koroner ( PJK ). Penelitian menunjukkan pasien DM tipe 2 tanpa riwayat infark miokard mempunyai risiko terjadinya infark sama dengan pasien non DM yang mempunyai infark miokard sebelumnya sehingga DM saat ini dianggap sebagai coronary risk equivalent.
PENYAKITJANTUNG KORONER Angka kejadian aterosklerosis pada pembuluh darah besar dan infark miokard meningkat pada pasien diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2. Diabetes melitus juga merupakan faktor risiko independen untuk penyakit jantung koroner dan angka kejadian penyakit jantung koroner berhubungan dengan lama menderita diabetes. DM tipe 2 meningkatkan risiko terjadinya PJK sebanyak 2 kali lebih besar. Diabetes melitus dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian karena PJK pada pria maupun perempuan dan peningkatan mortalitas pasca infark miokard akut. Pada pasien diabetes melitus, infark miokard tidak hanya terjadi lebih sering namun juga cenderung lebih berat dan cenderung mengakibatkan komplikasi seperti gagal jantung, syok, dan kematian. Pada pasca infark miokard akut, fatalitas pasien DM lebih tinggi daripada pasien non DM. Pasien DM dengan angina pektoris tak stabil menunjukkan mortalitas 2 kali lebih besar dibandingkan kelompok non-DM. Pasien diabetes melitus mungkin tidak mempunyai respons nyeri terhadap adanya iskemia miokard,
kemungkinan karena disfungsi sistem saraf autonom menyeluruh. Pemantauan EKG holter menunjukkan sampai 90% episode iskemia tidak dikeluhkan (silent)pada pasien diabetes dengan penyakit jantung koroner; presentasi iskemia mungkin berupa sesak saat aktivitas atau episodik, edema paru, aritmia, blok jantung, atau sinkop. Karena penyakit jantung koroner lebih sering ditemukan pada pasien dengan diabetes melitus dan seringkali tidak berhubungan dengan gejala-gejala angina yang khas, maka threshold diagnosis harus rendah, terutama jika penyakit sudah berlangsung lama dan terdapat faktor risiko terkait untuk penyakit jantung koroner (misalnya hipertensi, merokok, hiperlipidemia).
Penelitian epidemiologi, autopsi, penelitian hewan dan klinis menduga adanya penyakit jantung diabetik atau kardiomiopati diabetik sebagai entity klinis yang berbeda yang tidak berhubungan dengan hipertensi dan penyakit jantung koroner. Pasien diabetes melitus mungkin mengalami difungsi miokardial berupa kardiomiopati restriktif tanpa adanya penyakit jantung koroner, dengan relaksasi abnormal miokard, dan dibuktikan secara klinis dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang meningkat. Mekanisme yang mendasari terjadinya kardiomiopati diabetik adalah multifaktorial antara lain gangguan metabolik berupa deplesi glucose transporter 4, peningkatan asam lemak bebas, perubahan metabolisme energi miokard, defisiensi karnitin dan perubahan homeostasis kalsium; fibrosis miokard dikaitkan dengan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
MANIFESTAS1 KLINIS JANTUNC PADA PENYAKIT SISTEMIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI peningkatan angiotensin 11, IGF-I, dan sitokin inflamasi; penyakit pembuluh kecil (mikroangiopati, penurunan cadangan aliran koroner dan disfungsi endotel), resistensi insulin (hiperinsulinemia dan penurunan sensitivitas insulin) dan neuropati autonom jantung (denervasi dan perubahan kadar katekolamin miokardial). Manifestasi klinis kardiomiopati diabetik awalnya berupa disfungsi diastolik, mulai dari disfungsi diastolik ringan sampai berat dan berlanjut menjadi disfungsi sistolik. Prevalensi disfungsi diastolik pada pasien DM tipe 2 dengan menggunakan ekokardiografi Doppler dilaporkan cukup tinggi. Prevalensi disfungsi diastolik pada pasien DM tipe2 yang terkendali sebesar 60%. Penelitian pada pasien DM tipe2 tanpa kelainan kardiovaskular (hipertensi, hipertrofi ventrikel kiri, penyakit jantung koroner dan penyakit jantung valvular) mendapatkan prevalensi disfungsi diastolik 73,3%. Penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara mikroalbuminuria dengan disfungsi sistolik dan diastolik. Penelitian lain dengan menyingkirkan penyakit kardiovaskular menunjukkan tidak ada hubungan antara mikroalbuminuria dengan difungsi diastolik. Secara histologis, pasien-pasien ini memiliki fibrosis interstisial dengan jumlah kolagen, glikoprotein, trigliserida, dan kolesterol yang meningkat pada interstisium miokard. Pada beberapa kasus ditemukan penebalan intima, deposisi hialin, dan perubahan inflamasi pada arteri-arteri intramural kecil. Insidens gagal jantung yang tinggi dan prognosis yang buruk pada pasien DM, selain karena faktor hipertensi dan penyakit jantung koroner, dikaitkan juga dengan adanya kardiomiopati diabetik. Gagal jantung dapat terjadi pada pasien DM tanpa adanya koeksistensi dengan hipertensi dan atau stenosis arteri koroner yang bermakna. Pasien diabetes melitus memiliki risiko lebih besar mengalami gagal jantung klinis, bahkan setelah koreksi penyakit jantung koroner, hipertensi, dan kegemukan, dan mungkin kardiomiopati diabetik memberi kontribusi pada angka kesakitan dan angka kematian kardiovaskular yang meningkat pada pasien DM. Ada beberapa bukti menunjukkan terapi insulin memperbaiki disfungsi miokardial. Mengingat prevalensi kardiomiopati diabetik diketahui cukup tinggi pada pasien DM tipe 2 yang asimtomatik, maka untuk mencegah progresivitas menjadi gagal jantung perlu ditegakkan diagnosis secara dini. Deteksi dini kardiomiopati diabetik dapat dilakukan dengan pemeriksaan ekokardiografi Doppler baik untuk melihat disfungsi diastolik dengan berbagai stadiumnya yaitu; abnormalitas relaksasi (disfungsi diastolik ringan), pseudonormal (disfungsi diastolik sedang), gangguan restriksi (disfungsi diastolik berat), maupun disfungsi sistolik. Penatalaksanaan kardiomiopati diabetik adalah dengan
pengendalian gula darah. Pengobatan lain yang mungkin efektif dalam mencegah atau menghambat kardiomiopati diabetik antara lain : inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE ) dan antagonis reseptor angiotensin. Obat lain yang menunjukkan manfaat pada penelitian hewan antara lain antagonis kalsium, terapi penurun lipid, antioksidan dan obat insulin sensitizer
Penelitian klinis dan epidemiologi menunjukkan obesitas mempunyai hubungan kuat dengan semua faktor risiko kardiovaskular. Obesitas berat, terutama jika terjadi pada distribusi tubuh bagian atas, berhubungan dengan peningkatan angka kesakitan dan kematian kardiovaskular. Meskipun obesitas itu sendiri tidak dianggap sebuah penyakit, namun jelas terdapat peningkatan prevalensi hipertensi, intoleransi glukosa, dan penyakitjantung koroner aterosklerotik pada pasien-pasien yang obes. Jaringan adiposa merupakan sumber beberapa molekul yang potensial patogenik seperti : kelebihan asam lemak nonesterifikasi, sitokin (tumor necrosisfactor-a), resistin, adiponektin, leptin dan PAI-1. Kadar CRP yang tinggi juga ditemukan pada obesitas yang menunjukkan kondisi proinflamasi. Mekanisme yang mendasari hubungan antara obesitas abdominal (sebagian obesitas viseral) dan sindrom metabolik belum sepenuhnya diketahui dan tampaknya kompleks. Diduga jaringan adiposa obes melepas kelebihan asam lemak dan sitokin yang menginduksi resistensi insulin. Pasien mempunyai abnormalitas sistem kardiovaskular yang berbeda, dengan ciri peningkatan volume darah total and sentral, curah jantung dan tekanan pengisian ventrikel kiri. Tekanan pengisian ventrikel kiri seringkali berada di batas atas normal dan meningkat secara berlebihan dengan latihan. Sebagai hasil overload volume kronik, dapat terjadi hipertropi jantung eksentrik dengan dilatasi dan fungsi ventrikel yang abnormal. Secara patologis, terdapat hipertrofi ventrikel kiri dan pada beberapa kasus, hipertrofi ventrikel kanan dan dilatasi jantung menyeluruh, yang bukan hanya karena infiltrasi lemak pada miokardium. Meskipun pasien-pasien ini mungkin mengalami kongesti paru, edema perifer dan intoleransi latihan, kesadaran terhadap temuan-temuan ini mungkin tidak dipikirkan pada sebagian besar pasien obes. Penurunan berat badan merupakan terapi yang paling efektif dan menghasilkan pengurangan volume darah dan kembalinya curah jantung menjadi normal. Namun, penurunan berat badan secara mendadak mungkin berbahaya, karena pernah dilaporkan aritmia jantung dan kematian mendadak dikarenakan ketidakseimbangan elektrolit.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Cirmbrr t. Mekanii~cWngsi jentung pad8 obesitas
#ALNUTRISI DAN DEFlSlENSl VITAMIN
Pada @en
di mana a s u p protein, kaiosi, atau keduatlya sangat k m g *jantmgnya rnungkh menjadi kecil, pucat, dm lemah d q m atrofi miofibril dan edema interstisial. Tekanan sistolik dan curah jantungnya rendah, dan tekanea Raai sempit. Edema genedisata sering dijumpai dan discbabkan karena kombinasi beberapa faktor, rnmasuk pentekanan onkotik serum $tm disfungsi miokardiol. Keadaan malnutrisi berat. pada kasus kekurangan kafori disebut marasnus dan pada kasus kekurangan protein yang relatif disebut kwashiorkor. sangat m i n g dijumpai di negara-negara yang kurang berkembang. Namun penyakit jantung nutrisioual yang bennakne mungkin juga terjadi di negara-negara maju, terutama pada pasien dengan penyakit kronis seperti AIDS, pa& pasien dengan anoreksia nervosa, d m pada pasien dengan gagal jantung berat di mana terdapat hipoperfusi gastrointestinal dan kongesti vena yang mungkin mengarah kepada anoreksia dan malabsorpsi. Opemi jantung terbuka mempunyai risiko ymg lebih hesar pada pasien kekurangan gizi, dan pasien mungkin bermanfaat dengan pemberian hipcralimentasi praoperatif. DEFlSlENSlTIAMIN ( BERI-BERI )
Pada banyak kasus, malnutrisi diikuti dengan kekurangan
tiamin, I-t~eskipun hipovitaminosis ini mungkinjuga muncul dengan keberadaan protein dan asupan kalori yang cukup, terutama di Timur, di mana nasi yang kekurangan tiamin menjadi komponen makanan utama. Di negara-negara Barat, penggunaan tepung yang luas yang diperkaya dengan tiamin menghambat adanya kekurangan tiamin terutama pada pecandu alkohol dan ,foocl,faddi,st. Pengukuran thiamine-pyrophusphareeffect (TPPE) secara biokilnia dapat menghitung cadangan tiamin. TPPE yang meninykst, merupakan indikasi kekurangan tiamin. ditemukan pada 20 sampai 90% pasien dengan gagal jantung kronis. Kekurangan tersebut nampaknya disebabkan oleh asupan rnakanan yang dikurangi dan peningkatan ekskresi tiamin urin qang dinduksi obat. Peinberian tiamin akut pada pasien-pasien ini akan meningkatkan fi-aksiejeksi ventrikel kiri dan pembuangan garam dan air. Secara klinis, biasanya terdapat bukti malnutrisi umum, neuropati perifer, glossitis, dan anemia. Sindrom kardiovaskular khas adalah gagal jantung dengan peningkatan curah jantung. takikardia, dan seringkali tekanan pengisian bagian kiri dan kanan jantung meninggi. Penyebab utama keadaan jantung high-ourput ini adalah depresi vasomotor, mekanisme yang tepat belum diketahui namun mengarah pada penurunan resistensi vaskular sistemik. Pemeriksaan jantung inenunjukkan trkanan nadi melebar, takikardia, bunyi jantung ketiga (gcrllop) dan, seringkali rerdengar murmur sistolik apikdl.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
MANIFESTAS1 KLlNlS JANTUNG PADA PENYAKIT SlSTEMlK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI EKG mungkin menunjukkan voltase yang menurun, interval QT yang memanjang, dan kelainan-kelainan gelombang T. Pemeriksaan foto Rontgen dada umumnya menunjukkan jantung membesar dengan tanda-tanda gagal jantung kongestif. Respons pada tiarnin seringkali diamati, dengan peningkatan resistensi vaskular sistemik., penurunan curah jantung, hilangnya kongesti paru, dan penurunan dimensi jantung yang sering terjadi dalaml2 sampai 48 jam. Meskipun respons pada pemberian digitalis dan diuretik mungkin buruk sebelurn terapi tiamin, obat tersebut mungkin penting setelah diberikan tiamin, karena ventrikel kiri mungkin tidak mampu mengatasi beban kerja yang meningkat yang dikarenakan kembalinya tonus vaskular.
DEFISIENSI VITAMIN B,, B,,, DAN FOLAT Vitamin-vitamin ini merupakan kofaktor pembantu dalam metabolisme homosistein yang mungkin memberikan kontribusi dalam sebagian besar kasus hiperhomosisteinemia pada populasi umum. Hiperhomosisteinemia dihubungkan dengan meningkatnya risiko aterosklerosis. Namun, keuntungan klinis menormalkan peninggian kadar homosistein masih belum terbukti.
Hormon tiroid memberikan pengaruh yang besar pada sistem kardiovaskular dengan sejumlah mekanisme langsung atau tidak langsung. Efek kardiovaskular penting pada hipo- dan hipertiroidisme. Hormon tiroid menyebabkan peningkatan pada metabolisme dan konsumsi oksigen seluruh tubuh yang secara tidak langsung memberikan beban kerja tambahan pada jantung. Selain itu, meskipun mekanisme yang jelas belum didefinisikan, hormon tiroid memberikan efek langsung inotropik, kronotropik, dan dromotropik yang mirip dengan apa yang terlihat dengan stimulasi adrenergik (misalnya takikardia, peningkatan curah jantung). Hormon tiroid meningkatkan sintesis miosin dan Na+, K+-ATPase, seperti halnya dengan densitas reseptor miokardial a-adrenergik.
Manifestasi kardiovaskular hipertiroidisrne termasuk berdebar, hipertensi sistolik, lelah atau, pada pasien-pasien dengan penyakit jantung tersembunyi, angina atau gagal jantung. Takikardia sinus ditemukan pada sekitar 40% pasien dan fibrilasi atrial pada sekitar 15% pasien. Penemuan-penemuan lainnya termasuk prekordium
hiperdinamik, tekanan nadi melebar, peningkatan pada intensitas bunyi jantung pertama dan komponen pulmonik pada bunyi jantung kedua, dan bunyi jantung ketiga. Peningkatan angka kejadian prolaps katup mitral berhubungan dengan hipertiroidisme, dan pada beberapa kasus mungkin ada murmur mid sistolik yang terdengan paling jelas pada left sternal border dengan atau tanpa systolic ejection click. Means-Lerman scratch adalah suara sistolik yang kasar, terdengar pada ruang interkostal kedua kiri selama ekspirasi; karena pergesekan perikardium hiperdinamik pada pleura. Pasien lanjut dengan hipertiroidisme, yang disebut apathetic hyperthyroidism, mungkin muncul hanya berupa manifestasi kardiovaskular tirotoksikosis, seperti fibrilasi atrial, yang mungkin resisten terhadap terapi sampai hipertiroidisme dapat terkendali. Angina pektoris dan gagal jantung kongestif jarang terjadi kecuali ada penyakit jantung yang tersembunyi, dan pada banyak kasus gejalagejala akan hilang dengan pengobatan hipertiroidisrne.
Manifestasi kardiak hipotiroidisme termasuk penurunan curah jantung, volume sekuncup (stroke volume),frekuensi jantung, tekanan darah, dan tekanan nadi. Pada sekitar sepertiga pasien terdapat efusi perikardial yang jarang menimbulkan tamponad. Permeabelitas kapiler yang meningkat menyebabkan efusi perikard dan pleura. Tandatanda klinis lainnya mencakup kardiomegali, bradikardia, denyut nadi melemah dan bunyi jantung menjauh. Meskipun tanda-tanda dan gejala miksedema mungkin mengarah ke diagnosis gagal jantung kongestif, tanpa adanya penyakit jantung lainnya, kegagalan miokard jarang dijumpai. EKG umumnya menunjukkan sinus bradikardia dan voltase rendah dan mungkin menunjukkan interval QT memanjang, penurunan voltase gelombang P, waktu konduksi AV memanjang, gangguan-gangguan konduksi intraventrikular dan kelainan gelombang ST-T nonspesifik. Foto rontgen dada mungkin menunjukkan kardiomegali, seringkali dengan konfigurasi "water bottle", efusi pleura, dan, pada beberapa kasus, terdapat gagal jantung kongestif. Secara patologis, jantungnya pucat, dilatasi, dan flabby, seringkali dengan pembengkakan miofibril, hilangnya, dan fibrosis interstisial. Pasien hipotiroidisme seringkali mengalami peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida, dan penyakit aterosklerosis arteri koroner berat. Sebelum pengobatan dengan hormon tiroid, pasien hipotiroidisme seringkali tidak mengalami angina pektoris, kemungkinan karena kebutuhan metabolik yang rendah. Angina dan infark miokard mungkin terjadi selama permulaan penggantian hormon tiroid, terutama pada pasien-pasien berusia lanjut dengan penyakit jantung yang tersembunyi. Oleh karena
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
itu, penggantian harus dilaksanakan dengan hati-hati, dimulai dengan dosis rendah yang ditingkatkan secara berkala.
KARSlNOlD GANAS Tumor-tumor ini terdiri dari sejumlah amin vasoaktif (misalnya serotonin), kinin, indol, dan bahan-bahan lain yang dipercaya mengakibatkan diare,jlushing, dan tekanan darah yang labil. Lesi kardiak, karena karsinoid gastrointestinal, hampir hanya ditemukan pada sisi kanan jantung dan hanya muncul saat ada metastasis ke hati, menunjukkan bahwa substansi yang mengakibatkan lesi tersebut diinaktivasi oleh jalur yang melalui hati dan paruparu. Lesi-lesi yang serupa muncul pada sisi kiri jantung saat terdapat shunt kanan ke kiri atau ketika terdapat tumor pada paru-paru. Lesi-lesi ini berupaJibrousplaques pada endotelium ruang jantung, katup, dan pembuluh besar jantung. Plak-plak ini, yang mengakibatkan distorsi pada katup-katup jantung, terdiri dari sel-sel otot halus yang tertanam pada stroma dari mukopolisakarida asam dan kolagen dan kemungkinan disebabkan oleh penyembuhan luka endotel. Gejala klinisnya seringkali berupa regurgitasi trikuspid, stenosis pulmonal, atau keduanya. Pada beberapa kasus keadaan jantung high-output mungkin terjadi, kemungkinan akibat penurunan resistensi vaskular sistemik yang disebabkan oleh substansi vasoaktif yang dilepaskan oleh tumor. Progresi lesi-lesi kardiak tampaknya tidak terpengaruh oleh antagonis serotonin, dan, pada pasien yang memiliki gejala berat, diindikasikan penggantian katup. Spasme arteri koroner, kemungkinan disebabkan oleh substansi vasoaktif dalam sirkulasi, mungkin ditemukan pada pasien sindrom karsinoid.
FEOKROMOSITOMA Selain menyebabkan hipertensi labil atau menetap, kadar katekolamin dalam sirkulasi yang tinggi yang disebabkan oleh peokromositomajuga munglun menyebabkan kerusakan miokard langsung. Nekrosis miokard fokal dan infiltrasi sel inflamasi ditemukan pada sekitar 50% pasien yang meninggal karena peokromositoma dan mungkin berperan dalam gagal ventrikel kiri yang bermakna dan edema pam. Selain itu, hipertensi menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri. Fungsi ventrikel kiri dan gagal jantung kongestif mungkin menghilang setelah pengangkatan tumor.
AKROMEGALI Efek hormon pertumbuhan yang berlebihan pada fungsi jantung mengakibatkan gagal jantung kongestif yang
mungkin disebabkan oleh curah jantung yang tinggi, disfungsi diastolik yang disebabkan oleh hipertrofi ventrikel (dengan peningkatan pada ukuran atau ketebalan dinding ruang ventrikel kiri), atau disfungsi sistolik global. Hipertensi muncul pada sampai sepertiga pasien dengan ciri supresi aksis renin aldosteron dan peningkatan pada jumlah sodium tubuh dan volume plasma. Penyakit jantung muncul pada sekitar sepertiga pasien akromegali, dan berhubungan dengan penggandaan risiko kematian karena penyakit jantung. Manifestasi kardiovaskular pada penyakit sistemik lain seperti penyakit kolagen akan dibahas dalam bab tersendiri.
REFERENSI Lee WL, Cheung AM, Cape D, Zinman B. Impact of diabetes on coronary artery disease in women and men. A meta-analysis of prospective studies. Diabetes Care 2000; 23:962-8. Goldberg RB. Cardiovascular disease in diabetic patients. Med Clin North Am 2000; 84:81-93. Colucci WS, Price DT. Cardiac tumors, cardiac manifestations of systemic diseases, and traumatic cardiac injury. In: Kasper et al. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16 th Ed.New York. McGraw Hi11.2005.p.1420-5. Haffner SM, Lehto S, Ronnemaa T, Pyorala K, Laakso M. Mortality from coronary heart disease in subjects with type 2 diabetes and nondiabetic subjects with and without prior myocardial infarction. N Engl J Med 1998; 339:229-34. James RW. Diabetes and other coronary heart disease risk equivalents. Curr Opin Lipidol 2001 ; 12:425-3 1. Haffner SM. Coronary heart disease in patients with diabetes. N Engl J Med 2000; 342:1040-2. Cho E, Rimm EB, Stampfer MJ, Willet WC, Hu FB. The impact of diabetes mellitus and prior myocardial infarction on mortality from all causes and from coronary heart disease in men. J Am Coll Cardiol 2002; 40:954-60. Hu FB, Stampfer MJ, Solomon CG, Liu S, Willet WC, Speizer FE, et al. The impact of diabetes mellitus on mortality from all causes and coronary heart disease in women. 20 years of follow up. Arch Intern Med 2001; 161:1717-23. Mukamal KJ, Nesto RW, Cohen MC, Muller JE, Maclure M, Shenvood JB, et al. Impact of diabetes on long-term survival after acute myocardial infarction. Diabetes Care 2001; 24:1422-7. Miettinen H, Lehto S, Salomaa V, et al. Impact of diabetes on mortality after the first myocardial infarction. Diabetes Care 1998; 21 :69-75. Fava S, Azzopardi J, Agius-Muscat H: Outcome of unstable angina in patients with diabetes mellitus. Diah Med 1997; 14:209-13. Nichols GA, Gullion CM, Koro CF, Ephross SA, Brown JB. The incidence of congestive heart failure in type diabetes. An update. Diabetes Care 2004;27: 1879-84. NHLBI Working Group on Cellular and Molecular Mechanism of Diabetic Cardiomyopathy. 1998 Bloomgarden ZT. Cardiovascular disease and diabetes. Diabetes Care 2003;26:230-7. Bell DSH. Heart failure. The frequent, forgotten, and often fatal complication of diabetes. Diabetes Care 2003;26:2433-41. Mizushige K, Yao L, Noma T, Kiyomoto H, Yu Y. Hosomi N,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
MANIFESTAS1 KLlNlS JANTUNC PADA PENYAKIT SISTEMlK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Ohmori K, Matsuo H. Alteration in left ventricular diastolic filling and accumulation of myocardial collagen at insulinresistant prediabetic stage of type I1 diabetic rat model. Circulation 2000;101:899-907. Alwi I. Deteksi dini dan tatalaksana kardiomiopati diabetik. In: Alwi I, Widjaya IP, Nasution SA. Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular IV. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FKUI. 2005.p. 128-38. Bertoni AG, Tsai A, Kasper EK, Brancati FL. Diabetes and idiopathic cardiomiopathy. A nationwide case-control study. Diabetes Care 2003;26:2791-5. Bell DSH. Diabetic cardiomiopathy. Diabetes Care 2003;26:294951 Francis GS. Diabetic cardiomyopathy: fact or fiction? Heart 2001; 85:247-8. Fein FS, Sonnenblick EH. Diabetic cardiomyopathy. Cardiovasc Drugs Ther 1994; 8:65-73. Porier P, Bogaty P, Garneau C, Marois L, Dumesnil JG. Diastolic dysfunction in normotensive men with well-controlled type 2 diabetes. Diabetes Care 2001 ; 2 4 5 - 10. Nugroho BS, Rahman AM, Suryadipradja RM, Waspadji S. Diastolic dysfunction in type diabetes mellitus without cardiovascular abnormality. Acta Med lndones 2003; 35:131-5. Alwi I, Harun S, Soehardjono et al. Left ventricular diastolic dysfunction in type 2 diabetes mellitus patients without cardiovascular disease: the association with microalbuminuria. Med J Indones 2005;14: 169-72 Fang ZY, Prins JB, Marwick TH. Diabetic cardiomyopathy: evidence, mechanism, and therapeutic implications. Endocrine Reviews 2004; 25(4):543-67.
Gmndy SM, Howard B, Smith S, Eckek R, Redberg R, Bonow RO. Diabetes and cardiovascular disease. Executive summary. Conference Proceeding for Healhcare Professionals from a Special Writing Group of the American Heart Association. Circulation 2002; 105:223 1-9. Feuvray D. Diabetic cardiomyopathy. Arch Mal Coeur 2004; 97:2615. Young ME, McNulty P, Taegtmeyer H. Adaptation and maladaption of the heart in diabetes: Part 11. Potential mechanisms. Circulation 2002;105:1861-70. Diamant M, Lamb HJ, Groeneveld Y et al. Diastolic dysfunction is associated with altered myocardial metabolism in asymptomatic normotensive patients with well-controlled type 2 diabetes mellitus. J Am Coll Cardiol 2003; 42:328-35. Mottram PM, Manvick TH. Assesment of diastolic function: what the general cardiologist needs to know. Heart 2005; 91:681-95. Nesto RW. Diabetes and heart disease. Braunwald's Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. 7 th Eds. In: Zipes, Libby, Bonow, Braunwald. Eds. Philadelphia, Elsevier Saunders. 2005. p. 1355-66. The Heart Outcomes Prevention Evaluation Study Investigators. Effects of an angiotensin-converting-enzyme inhibitor, ramipril on cardiovascular events in high-risk patients. N Engl J Med 2000; 342: 145-60. Alwi I. Sindrom metabolik sebagai faktor risiko penyakit jantung koroner. 1n:Setiati S, Alwi I, Simadibrata M et al Eds. Proceeding Simposium Curent Diagnosis and Treatment in Internal Medicine 2004. Jakarta; Pusat lnfoimasi dan Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FKU1..2004.p.213-24 Grundy SM. Obesity, metabolic syndrome and cardiovascular disease. J Clin Endocrinol & Metab. 2004; 89(6):2595-600.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT JANTUNG TIROID Dono Antono, Yahya Kisyanto
PENDAHULUAN
Pmmgkatan termogmesls
Janngan
Hormon tiroid mempunyai banyak efek pada proses metabolik di semua jaringan, terutama di jantung yang paling sensitif terhadap perubahannya. Gangguan fungsi kelenjar tiroid dapat menimbulkan efek yang dramatik terhadap sistem kardiovaskular, sering kali menyerupai penyakit jantung primer. Pengaruh hormon tiroid pada jantung digolongkan menjadi 3 kategori, efek terhadap jantung langsung, efek hormon tiroid pada sistem saraf simpatis dan efek sekunder terhadap perubahan hemodinamik.
-
Ptnurunan resistms~ vaskuler s~stemik
1
Penmum pengis~san Volume arten Efektlf
T
Penlngks Output
Peningkstnn lwtropik dnn kmnotropik kardiak
Gambar 1. Efek hormon tiroid terhadap hemodinamik kardiovaskular.
EFEK HORMON TlROlD TERHADAP SISTEM KARDIOVASKULAR Hormon tiroid sangat mempengaruhi sistem kardiovaskular dengan beberapa mekanisme baik secara langsung ataupun tak langsung. Pada keadaan hipotiroid maupun hipertiroid sangat mempengaruhi kardiovaskular. Hormon tiroid meningkatkan metabolisme tubuh total dan konsumsi oksigen yang secara tidak langsung meningkatkan beban kerja jantung. Mekanisme secara pasti belum diketahui, hormon tiroid menyebabkan efek inotropik, kronotropik, dan dromotropik, yang mirip dengan efek stimulasi adrenergik (takikardia, peningkatan kardiak output). Hormon tiroid meningkatkan sintesis myosin dan Na', K+ATPase, mirip seperti pada reseptor P- adrenergik miokard. Efek hemodinamik hipotiroid berlawanan dengan hipertiroid, dengan manifestasi klinis yang lebih kurang jelas. Tiroid mensekresi 2 macam hormon biologis aktif yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Banyak penelitian yang mendukung hipotesis bahwa T3 adalah mediator akhir dan T4 adalah prohormonal, terutama karena reseptor
nukleus T3 dan bukan T4, pada jaringan berespons terhadap hormon tiroid, terutama jantung. Efek hormon tiroid terhadap sel nuklear, terutama dijembatani melalui perubahan penampilan gen yang responsif. Proses ini dimulai dengan difusi dari T4 and T3 melintasi membran plasma karena mudah larut dalam lemak. Dalam sitoplasma, T4 dirubah menjadi T 3 oleh 5- monodelodinase, konsentrasinya bervariasi darijaringan ke jaringan, merupakan hubungan yang tidak langsung respons jaringan terhadap hormon tiroid. Kemudian T 3 sirkulasi dan T3 yang barn disintesis melalui membran nukleus untuk berikatan dengan reseptor hormon tiroid spesifik (THRs). THR merupakan bagian dari protein superfamili reseptor nuklear, termasuk protein yang bekerja seperti reseptor untuk steroid, vitamin D dan asam retinoik.
Hipertiroid merupakan keadaan klinis akibat dari produksi T, ,T, atau keduanya. Penyebab terbanyak adalah struma
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENYAKITJANTUNG TIROID
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI difus toksik (penyakit Grave). Etiologinya belum diketahui , kelebihan produksi T, dan T, diduga karena IgG autoantibodi berikatan dengan reseptor tirotropin pada kelenjar tiroid. Penyebab terbanyak kedua hipertiroid adalah struma nodosa toxic, suatu keadaan di mana daerah yang terlokalisir pada kelenjar dan otonomi. Hipertiroid relatif lebih sering mengenai 4 - 8 kali pada perempuan dibanding pria, dengan insiden terbanyak pada dekade ke tiga atau ke empat. Gejala yang sering ditemukan adalah kelelahan, hiperaktif, insomnia, kepanasan, palpitasi, sesak napas, nafsu makan meningkat, berat badan turun, nokturia, diare, oligomenorrhoea, kelemahan otot, tremor, emosi labil, denyut jantung meningkat, hipertensi sistolik, hipertermia, kulit lembab dan hangat, kelopak mata turun, dan refleks halus. Serum T, meningkat dan serum TSH rendah. Manifestasi klinis kardiovaskular hipertiroidisme adalah palpitasi biasanya merupakan salah satu keluhan awal pasien untuk pergi berobat ke dokter. Di samping itu dapat berupa hipertensi sistolik, kelelahan, atau dengan dasar penyakit jantung yang sudah ada, angina atau gagal jantung. Sinus takikardi dijumpai pada 40 % pasien dan 15 % dengan fibrilasi atrial pada pasien hipertiroid. Dapat dijumpai gambaran hiperdinamik pada prekordial, peningkatan tekanan nadi, intenkitas suara jantung pertama, suara jantung ke dua komponen pulmonal, suara jantung ketiga meningkat. Hipertiroid meningkatkan insidensi prolaps katup mitral, dan beberapa kasus dapat didengar mid sistolik mur-mur yang baik terdengar pada batas sternal kiri dengan atau tanpa sistolik klik ejeksi. Means-Lerman scratch adalah suara gesekan sistolik yang terdengar pada sela iga ke dua kiri selama ekspirasi. Ini merupakan hasil dari gesekan perikardium dengan jantung yang hiperdinamik terhadap pleura. Index kardiak dan strok volume, rasio ejeksi.sistolik rata-rata, velositi dan extent of wall shortening , dan aliran darah koroner semuanya meningkat. Waktu ejeksi sistolik dan preejeksi singkat. Tekanan nadi meningkat dan resistensi vaskular sistemik menurun. Perubahan penampilan ventrikel kiri dirangsang oleh peningkatan hormon tiroid sekunder terjadi peningkatan kontraktilitas dan denyut jantung akibat peningkatan metabolisme jaringan perifer. Pada pasien usia lanjut dengan hipertiroid, yang disebut hipertiroid apatetik, pada tirotoksikosis dapat hanya terlihat manifestasi kardiovaskularnya saja, antara lain atrial fibrilasi, mungkin resisten terhadap terapi sampai hipertiroidnya terkontrol. Angina pektoris dan gagal jantung kongesti jarang terjadi kecuali berhubungan dengan dasar penyakit jantungnya sendiri dan banyak kasus gejala berkurang setelah terapi hipertiroidnya teratasi. Garnbaran foto dada dan elektrokardiografi dapat terjadi perubahan ,walaupun tidak spesifik pada hipertiroid. Pada foto sinar X ventrikel kiri, aorta, arteri pulmonalis biasanya tidak berubah, hanya pada beberapa kasus dapat terjadi
Efek Langsung Hormon Tiroid
Efek Seperti Adrenergik Beta
Denyut jantung saat istirahat >90 x/ menit. (90%) Palpitasi (85%) Fibrilasi atrial (10%) Edema pedis (30%) Peningkatan konsumsi oksigen. (metabolisme basal) Penurunan berat badan Miopati otot skeletal Peningkatan bone turnover (pada keadaan steoporosis atau hiperkalsemia). Kulit pucat Rambut halus dan rapuh. Kuku keras dan rapuh. Oligimenorrhoea atau amenorrhea. Diarel sering BAB.
Denyut jantung saat istirahat > 90 x/ menit (90%) Palpitasi (85%) Dyspnea d'effod (80%). Peningkatan tekanan nadi. (hipertensi sistolik ) lmpuls apikal aktif. Suara jantung kesatu keras dan komponen suara jantung kedua. Murmur midsistolik, biasanya di basal. Suara jantung ketiga. (kadang-kadang) Means-Lerman scractch (jarang) Tremor. Refleks halus, Perspirasi meningkat. lntoleransi panas. Insomnia. Ansietas. Lid lag.
Peningkatan volume darah total Peningkatan LVEDV Peningkatan relaksasl diastolik
Peningkatan ~ ssekuncup i
Pen~ngkatan kontraktilitas
Peningkatan reslstensl vaskular sistemik
Peningkatan denyut jantung
Penurunan LVESV
Peningkatan curah jantung
1
Gambar 2. Efek hipertiroidisme pada sistem kardiovaskular.
Keterangan : LVESV =Left ventricle end systolic volume, LVEDV = Left ventricle end diastolic volume. pembesaran jantung. Pada pasien dengan sinus ritme, manifestasi klinis takikardi secaraumum sebanding dengan beratnya penyakit. Sinus takikardia terjadi pada 40 % pasien dengan hipertiroid dan lebih sering timbul pada kelompok usia muda dan sering timbul pada malam hari. Sepuluh sarnpai 15 % dapat terjadi fibrilasi atrial persisten. Terjadi pemendekan waktu konduksi AV dan periode refiakter fungsional yang menyebabkan peningkatan frekuensi pada sistem konduksi AV membangkitkan impuls atrial cepat. Kekacauan konduksi intraatrial, ditandai dengan pemanjangan atau pelebaran gelomblng P dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
pemanjangan interval PR walaupun tanpa terapi dengan digitalis, terlihat 15 dan 5 % pada pasien dengan hipertiroid. Walaupun sangat jarang, dapat juga terjadi blok jantung derajat 2 atau 3. Penyebab gangguan konduksi AV belum diketahui. Tirotoksikosis terselubung dapat merupakan penyebab atrial fibrilasi kronik atau paroksismal. Pada suatu studi yang luas ditemukan bahwa kurang dari 1% kasus serangan baru fibrilasi atrial disebabkan oleh hipertiroid. Pada suatu studi didapatkan 13% dari pasien dengan fibrilasi atrium ditemukan bukti biokimia hipertiroid, walaupun gejala klinis tidak jelas. Pada suatu studi lain 6 10 pasien hipertiroid, fibrilasi atrial merupakan faktor resiko utama terjadinya emboli. Nakazawa melaporkan 11.345 pasien dengan hipertiroid 288 kasus disertai fibrilasi atrium, 6 kasus mengalami emboli sistemik, 4 diantaranya mengalami gagal jantung, 5 orang diantaranya berusia lebih dari 50 tahun. Hipertiroid subklinis ditandai dengan konsentrasi serum tirotropin yang rendah (< 0.1 mU/liter) dan konsentrasi hormon tiroid yang normal pada usia 60 tahun atau lebih, ada kemungkinan 3 kali lipat menjadi fibrilasi atrial dalam 10 tahun. Angina pektoris dan gagal jantung dapat timbul pada pasien dengan hipertiroid. Hal ini sejak lama diasumsikan karena penyakit jantung yang mendasarinya. Akhir-akhir ini dilaporkan gagal jantung kongesti dapat terjadi pada percobaan binatang yang diberikan T,. Gagal jantung kongesti dapat timbul pada anak dengan tirotoksikosis tanpa penyakit jantung yang mendasarinya. Angina pektoris pernah dilaporkan terjadi pada pasien hipertiroid dengan hasil corangiografi normal. Kemungkinan sekunder tiroid menyebabkan spasme arteri koroner. Ebisawa melaporkan kasus kardiomiopati pada pasien tirotoksikosis kemungkinan akan terus menetap. Empat kasus seperti ini terjadi peningkatan LVEDV (left ventricel end diastolic volume) dan penurunan fraksi ejeksi, walaupun telah diterapi hipertiroidnya selama 13 - 15 tahun. Biopsi miokard menunjukkan tidak ada kelainan mikroskopik yang spesifik. Pada sepertiga kasus hipertiroid ditemukan prolaps katup mitral.
Pasien hipertiroid dengan penyakit kardiovaskular biasanya resisten terhadap terapi. Telah banyak dilaporkan gagal jantung dan aritmia resisten terhadap dosis konvensional golongan glikosida. Terapi dasar efek hipertiroid berupa takikardi adalah obat golongan penghambat adrenergik beta, walaupun keadaan hipermetabolik belum teratasi. Bersama-sama dengan obatobat anti tiroid atau radioiodin sebelum tindakan operasi. Penyekat beta mengontrol takikardi, palpitasi, tremor, kecemasan, dan mengurangi aliran darah ke kelenjar tiroid.
Pada krisis tiroid, propanolol intravena dapat diberikan 1 mglmenit, dengan catatan fungsi sistolik ventrikel kiri normal. Diagnosis hipertiroid dipastikan dengan rendahnya kadar TSH dengan akibat peningkatan hormon tiroid darah. Pada usia lanjut dengan hipertiroid apathetik, manifestasi kardiovaskular lebih menonjol, khususnya fibrilasi atrium dan atau gagal jantung kongesti. Terapi terhadap hipertiroid adalah operasi pengangkatan kelenjar tiroid atau radiasi dengan yodium radioaktif. Pada penyakit jantung tirotoksik, tirotoksikosis dengan fibrilasi atrial, langkah pertama harus dibuat sedapat mungkin menjadi eutiroid, di mana secara umum masih dapat mengurangi fibrilasi atrial. Pada umumnya antikoagulan diperlukan untuk mencegah terjadinya tromboemboli, apalagi disertai dengan gagal jantung. Terapi hipertiroid kadang-kadang dapat mengembalikan ke ritme sinus. Hal ini dibuktikan dari suatu studi 62 % dari 163 pasien setelah 8 sampai 10 minggu dalam keadaan eutiroid kembali spontan ke irama sinus. Jika fibrilasi atrial belum teratasi, perlu dilakukan kardioversi setelah 16 minggu telah menjadi eutiroid. Perlindungan antikoagulan terus diberikan sampai 4 minggu setelah konversi.
Diagnosis hipotiroid ditandai dengan peningkatan serum TSH. Hipotiroid merupakan akibat dari penurunan sekresi T, dan T,, kasus tersering disebabkan karena destruksi dari kelenjar tiroid itu sendiri. Biasanya disebabkan karena proses inflamasi. Penyebab utama di Amerika adalah tiroiditis Hashimoto. Penyebab yang lebih jarang adalah sekunder karena penurunan sekresi TSH disebabkan karena penyakit kelenjar hipofise atau hipothalamus. Pada hipotiroid sekunder keluhan dan gejala klinis berhubungan dengan defisiensi hormon hipofise yang lain juga bisa muncul. Insiden hipotiroid puncaknya pada usia antara 30 - 60 tahun, dua kali lebih sering pada perempuan dari pada laki-laki. Keluhan dan gejala yang tersering adalah gangguan toleransi dingin, kulit kering, lemah, gangguan mengingat, perubahan kepribadian, sesak napas, konstipasi, suara parau, menorrhagia dan bentuk lain gangguan menstruasi, dan bisa terjadi gagal jantung. Manifestasi jantung hipotiroid adalah penurunan kardiak output, volume sekuncup, denyut jantung, tekanan darah dan tekanan nadi. Sepertiga pasien terjadi efusi perikard, tetapi jarang terjadi tamponad. Peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan efusi pleura dan perikard. Gejala klinis yang lain adalah kardiomegali, dilatasi jantung, bradikardia, tekanan nadi arteri lemah, hipotensi, edema nonpitting pada wajah dan perifer, dan suara jantung jauh. Myxedema (edema non pitting) berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler dan karena kebocoran protein ke ruangan interstitial.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT JANTUNG TIROID
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kelainan ini menyebabkan efusi perikard. Efusi dapat menghilang dengan terapi pengganti tiroid. Dilaporkan myxedema dapat menyebabkan syok kardiogenik walaupun jarang terjadi, dan respons perbaikan setelah mendapat terapi pengganti tiroid. Walaupun tanda dan gejala myxedema disangka bagian dari diagnosis gagal jantung kongesti, dan tidak ada penyakit jantung lain, gagal jantung jarang terjadi. Tekanan pengisian jantung kiri dan kanan biasanya dalam batas normal, meningkat karena adanya e h s i perikard. Ventrikular isovolumetrik relaxation time memanjang dan normal setelah pemberian terapi T,. Pada percobaan yang dibuat keadaan hipotiroid pada otot jantung kucing, didapatkan hasil penurunan kontraktilitas yang ditandai dengan penurunan kurva velositi miokard paksa, penurunan kemampuan denyut jantung dan pemanjangan respons kontraktilitas.
Penurunan volume sskuncup Penutunan cardlac oulput
Penurunan Heart rate Penlngkatan reststens#slslerntk YBSCUI.~
pembuluh darah
, Pen8ngkatao tekanan darah
Efusl pericatd
Gambar 3. Efek hipotiroid pada sistem kardiovaskular
Gambaran elektrokardiografi umumnya berupa sinus bradikardia dan low voltage. Dapat terjadi pemanjangan interval QT, penurunan voltase gelombang P, pemanjangan waktu konduksi AV, gangguan konduksi intraventrikel dapat berupa aritmia ventricular reentrant, incomplete atau complete right bundle branch block dan abnormalitas gelombang S - ST tak spesifik. Foto dada dapat ditemukan kardiomegali, sering dengan bentuk botol air, efusi pleura, dan beberapa kasus dilaporkan gagal jantung kongesti dan kelainan primer miokard yang dicurigai kardiomiopati. Patologi dapat ditemukan jantung pucat ,dilatasi, lembek, sering ditemukan pembengkakkan miofibrilar, dan fibrosis interstisial. Pasien dengan hipotiroid sering ditemukan peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida, dan penyakit atherosklerotik arteri koroner yang berat. Sebelum diterapi dengan hormone tiroid, pasien dengan hipotiroid sering kali tidak ada gejala angina pektoris, kemungkinan karena kebutuhan metabolik rendah tergantung dari kondisi masing-masing. Angina dan infark miokard dapat timbul selama pemberian hormon tiroid , khususnya pada pasien usia lanjut dengan dasar penyakit jantugg. Untuk itu pemberian terapi hormon harus dilakukan dengan hati-
hati, dimulai dari dosis rendah biasanya hanya 25 % dari dosis yang dianjurkan dan ditingkatkan bertahap dengan interval 6 sampai 8 minggu. Kadar katekolamin tidak menurun pada hipotiroid. Demikian juga kepekaan kemampuan kerja jantung terhadap rangsangan saraf simpatis atau respons dari adenilsiklase jantung ke norepineprin. Jumlah total reseptor beta miokard menurun. Pada hipotiroid eksperimen kontraktilitas yang dirangsang oleh isoproterenol, akumulasi siklik adenosin monofosfat, kalsium pada partikel retikulum sarkoplasmik miokard menurun pada jantung tikus hipotiroid. Data klinis untuk kardiomiopati dilatasi idiopatik yang disebabkan hipotiroid sedikit, pada penelitian tersebut tidak ditemukan bukti klinis atau biokimia yang menandakan hipotiroid maupun hipertiroid. Pasien dengan hipotiroid mempunyai risiko peningkatan kejadian aterosklerosis karena terjadi perubahan metabolisme lipid hiperkoleterolemia dan hipertrigliserida. Hal ini berhubungan dengan kejadian penyakit jantung koroner yang timbul dini. Pengobatan hipotiroid akan memperbaiki pola metabolisme lipid menjadi normal. Sebagai contoh Arem dan Patsch melaporkan penurunan kadar LDL (low density lipoprotein) sebanyak 22% setelah terapi tiroid selama 4 bulan. HDL (high density lipoproterin) tidak berubah. Data yang mendukung hubungan hipotiroid dengan aterosklerosis telah dilaporkan dari beberapa sumber, pasien dengan myxedema akan meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan yang berhubungan dengan kontrol umur dan jenis kelamin. Infark miokard dan angina pektoris relatifjarang terjadi pada pasien dengan hipotiroid. Hal ini disebabkan karena rendahnya metabolisme miokard pada hipotiroid. Terapi gagal jantung kongesti pada pasien myxedema biasanya sulit, karena ada efek lain akibat pemberian hormon tiroid dan glikosida jantung. Pasien dengan angina pektoris yang berat dan myxedema yang belum diterapi akan mendapat dilema dalam penatalaksanaannya. Hal ini disebabkan karena angina dapat dieksaserbasi oleh pemberian hormon tiroid itu sendiri. Penggunaan beta bloker untuk angina akan menyebabkan bradikardia yang berat. Angiografi koroner dapat ditemukan kelainan penyakit jantung koroner yang berat. Biasanya dosis hormon tiroid diberikan minimal sampai dengan dilakukan revaskularisasi. Setelah berhasil dilakukan revaskularisasi, pemberian dosis hormon tiroid dapat diberikan dosis maksimal tanpa disertai keluhan angina berulang.
AMIODARON DAN TlROlD
Penggunaan amiodaron secara luas untuk aritmia jantung, saat ini merupakan salah satu penyebab ufama kelainan tiroid pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Amiodaron mempunyai struktur yang mirip dengan T, dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
T, dan juga banyak mengandung yodium. Amiodaron menurunkan konversi perifer T, ke T, , jadi akan meningkatkan kadar T, sirkulasi dan menurunkan T, sirkulasi. Sejak ha1 ini terjadi kelenjar hipofise akan meningkatkan sementara kadar TSH pada awal terapi, dan biasanya akan kembali normal kembali setelah 3 bulan terapi. Perubahan tes laboratorium ini sering terjadi dan tidak selalu berhubungan dengan manifestasi klinis disfungsi tiroid. Di Amerika dan Inggris, hipotiroid merupakan manifestasi klinis tersering dari disfungsi tiroid akibat amiodaron. Insidennya mencapai 13% dari pasien. Mekanismenya belum jelas, diduga berhubungan dengan efek sejumlah besar yodium pada saat menghambat pelepasan hormon tiroid dan sintesisnya tumpang tindih dengan penyakit autoimun tiroid. Selain itu juga diduga amiodaron itu sendiri dapat menyebabkan gangguan autoimun tiroid dengan mempengaruhi fungsi sel T. Gejalanya sama dengan hipotiroidisme, diagnosisnya dipastikan dengan peningkatan kadrlt. TSH. Sekelompok pasien fungsi tiroid akan menjadi normal beberapa bulan setelah terapi amiodaron, kelompok lain akan menjadi hipotiroidisme permanen.
Pada daerah-daerah dengan defisiensi iodin sering terjadi hipertiroidisme yang dipengaruhi oleh amiodaron. Pasien-pasien memperlihatkan gejala-gejala khas hipettiroidisme seperti penurunan berat badan, gangguan tdleransi panas, dan tremor. Dapat juga timbul aritmia jantung yang berulang. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan tes fungsi tiroid dengan gambaran TSH yang rendah dan peningkatan kadar T, dapat terlihat pada saat fase awal terapi amiodaron, tanpa gejala. Pada fase awal terapi dengan amiodaron kadar T, menurun. Pada saat hipertiroidisme kadar T, meningkat. Ada 2 mekanisme amiodaron menyebabkan hipertiroidisme. Tipe I (hipervaskular) terlihat pada kelenjar tiroid yang tidak normal dan disebabkan karena iodin merangsang peningkatan sistesis hormon tiroid pada pasien dengan struma nodosa atau penyakit Graves yang lanjut. Tipe I1 (hipovaskular) terlihat pada kelenjar tiroid yang normal. Penyebabnya adalah sekunder karena proses destruksi tiroid oleh iodin atau oleh amiodaron itu sendiri. Pada kasus selanjutnya amiodaron dapat merangsang terbentuknya antibodi reseptor tirotropin. Untuk membedakan kedua tipe ini dapat menggunakan color
Skrining pdkieh dalam tetaoi amiodaron .-
TSH 0 35-4 3 mUlL (Ftrendah N.FT4 tlnaai Nltlnaal
TSH >4.3 mUlL
4
4
TSH 80 mUlL
TSH ~0.03 mUlL
Pendah N;
Uiang tiap 6
1 F f 4 tinggi Nltinggl
I
FT4 rendah Nlrendah I
I
Tidak ada antibodi
sick atau tirotoksikosis subkiinis
0 ulangi 6 minggu
Hipotitoldisme
Tanpa gejala
Ulang TSH tlap 6 mlnggu,dan t~ap3 bulan
G a m b a r 4. Algoritma untuk mengevaluasi status tiroid pada pasien yang memakai amiodaron
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TSH >20 mUlL
Ada antibodi
PENYAKIT JANTUNG TIROID
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI flow doppler sonografi. Kadar serum interleukin-6 meningkat pada tipe 11. Pasien dengan tipe I1 responsnya sangat baik dengan pemberian glukokortikoid. Penghentian terapi dengan amiodaron dapat mengurangi keadaan hipertiroidisme, walaupun kembali normal dapat memakan waktu beberapa bulan. Bilamana terapi amiodaron tidak dapat dihentikan, modalitas pengobatan lain hams diberikan. Dua modalitas utama adalah pemberian obat thionamide dan operasi. Propiltihiourasil atau methrnazol mungkin dapat berhasil, tetapi tidak pada semua kasus. Jika medikamentosa gagal, mungkin tiroidektomi dapat menjadi pilihan. Terapi iodin radioaktif tidak dianjurkan. Karena sering terjadi gangguan fhgsi tiroid selama pemakaian terapi amiodaron, dianjurkan untuk pengawasan mtin tes fungsi tiroid.
Cooper DS. Subclinical Hypothyroidism. N Engl J Med. 2001;345;4: 260-5. Colucci WS, Prize DT. Cardiac Tumors, Cardiac Manifestastions of Systemic Diseases, and Traumatic Cardiac Injury. In Harrison et al (ed) : Principles of Internal Medicine, 161h ed . New York , McGraw-Hill, 2005. 1423. Fuster V et al. Guideline For The Management of Patient With Atrial Fibrilation. JACC. 2001; 38: 1266 I - ixx. Forfar JC, Feek CM, Miller HC, Toft AD. Atrial Fibrillation isolated suppression of the Pituitary-thyroid axis : respons to specific antithyroid therapy. Int J Cardiol 1981;1:43-8. Klein I, Ojamaa K. Thyroid Hormone and the Cardiovascular System. N Engl J Med. 2001;344;7: 501-1 1. Ladenson PW, Singer PA, Ain KB, et al. American Thyroid Association Guidelines for Detection of Thyroid Dysfunction. Arch Inter Med 2000;160: 1573-5. Seely EW, Williams GH. The Heart in Endocrine Disorder. In Braunwald (ed) : Heart Disease Textbook of Cardiovascular Disease. 61hed. Philadelphia, WB Saunders Company, 2001, 215460. Toft AD. Subclinical Hyperthyroidism. N Engl J Med. 2001;345;7: 512-16. Weetman AP. Graves Disease. N Engl J Med. 2000;343; 17: 1236 48.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINGAN IKAT Idrus Alwi
LUPUS ERITEMATOSUS SlSTEMlK
diduga berperan penting pada patogenesis berbagai bentuk serositis (seperti pleuritis dan perikarditis), miokarditis dan endokarditis pada LES. Hal ini didukung berdasarkan pengamatan sebagai berikut: terdapat kompleks imun, ANA, antibodi anti dsDNA dan sel LES yang khas pada cairan perikard pasien LES. ditemukan deposit kompleks imun pada pembuluh darah perikard pada penelitian imunopatologijaringan jantung pada kasus LES fatal yang diautopsi serta IgG, IgM dan C3 pada arteriol perikard pasien LES yang mengalami perikarditis konstriktif. konsentrasi komplemen hemolitik cairan perikard pasien LES menurun dan ditemukan komplemen spesifik C 1q, C4, dan C3 pada cairan perikard. Terdapat aktivasi komplemen jalur klasik (melalui IgM) dan alternatif (melalui IgA) in vivo pada cairan perikard pasien LES. ditemukan deposit imunoglobulin granular dan komponen komplemen pada dinding pembuluh darah miokard. lesi endokarditis Libman-Sacks mengandung imunoglobulin dan komplemen.
Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang sangat bervariasi. Komplikasi pada jantung merupakan salah satu manifestasi klinis LES yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas. Mortalitas karena kelainan kardiovaskular menempati urutan ketiga setelah infeksi dan gagal ginjal. Salah satu laporan menunjukkan mortalitas karena perikarditislmiokarditis pada pasien LES sebesar 15%. Kelainan kardiovaskular sering dijumpai pada penelitian klinis dan post mortem pada pasien LES. Gambaran patologis adalah pankarditis yang melibatkan perikard, miokard, endokard, katup jantung, dan pembuluh darah. Perikarditis (efusi perikard) merupakan kelainan jantung yang paling sering ditemukan yaitu 21-54%, kelainan valvular 28-44%, dan kelainan miokard 5-20%. Seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup pasien LES dan teknik diagnostik, penyakit jantung pada LES menjadi lebih sering ditemukan. Dengan menggunakan ekokardiografi 2-D, Doppler, dan ekokardiografi transesofageal prevalensi kelainan jantung p a d a ~ ~ ~ Spektrum Kelainan Jantung pada LES cukup tinggi di mana sebagian besar kasus secara klinis Penelitian ekokardiografi pasien LES yang dilakukan di tidak tampak. Divisi Kardiologi Departemen Penyakit Dalam Faktor yang diduga berhubungan dengan kelainan menunjukkan efusi perikard ditemukan pada 13 pasien jantung pada pasien LES antara lain aktivitas penyakit, (36,l I%), masing-masing 3 pasien (8,33%) dengan efusi lama penyakit, lama penggunaan steroid dan antibodi perikard sedang dan berat dan 8 pasien (27,78%) dengan antikardiolipin. efusi perikard ringan. Hanya pasien dengan efusi perikard berat menunjukkan gambaran EKG low voltage tanpa gejala Patofisiologi klinis perikarditis. Spektrum kelainan jantung yang Patofisiologi komplikasi pada organ pada pasien LES belum didapatkanpada pemeriksaan ekokardiografi36 pasien LES jelas. Diduga terdapat deposit kompleks imun pada organ dapat dilihat pada Tabel 1. disertai dengan aktivasi komplemen. Faktor imunologis Penelitian mengenai hubungan aktivitas penyakit LES
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINGAN IKAT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dengan kejadian efusi perikard menunjukkan e h s i perikard lebih sering ditemukan pada LES aktif dibandingkan LES yang tidak aktif. Pada gambar 1 dapat dilihat efusi perikard masif pada LES dengan pemeriksaan ekokardiografi.
Efusi perikard
- Ringan - Sedang - Berat
Angka kejadian tamponad jantung pada LES dilaporkan kurang dari 10%. Pada penelitian terhadap 395 pasien LES, ditemukan kejadian perikarditis pada 75 pasien (19%), dengan episode tamponad jantung pada 10 pasien (1 3% dari kasus perikarditis, 2,5% dari seluruh kasus LES). Laporan penelitian lain secara retrospektif terhadap 88 pasien LES selama enam tahun didapatkan kejadian perikarditis pada 29,5% pasien, di mana perikarditis merupakan manifestasi pertama pada 9 pasien (10,2%). Dua dari sembilan pasien perikarditis tersebut (2,3% dari seluruh kasus LES) mengalami tamponad sebagai manifestasi pertama penyakit. Manifestasi Klinis Gambaran klinis perikarditis lupus biasanya khas, dengan keluhan nyeri substernal atau perikardial yangdiperberat oleh gerakan napas dan batuk yang berkurang bila membongkok ke depan. Dapat terdengar suara gesekan perikard (pericardial friction rub). Terdapat hubungan yang bermakna antara keluhan nyeri dada dengan pericardial friction rub dan efusi perikard. Suara friction rub yang khas ditemukan hanya pada 5% dari 520 kasus LES. Keluhan-keluhan ini bisa berat dan menetap atau hanya ringan dan sesaat. Keluhan dapat menghilang dalam beberapa jam atau minggu dan sering berulang dalam periode beberapa tahun. Namun demikian, perikarditis mungkin ditemukan dalam keadian tanpa nyeri dan secara klinis tanpa gejala. Pada keadaan tamponad dapat ditemukan pulsus paradoks, tekanan vena jugularis (JVP) meningkat, hipotensi dan pembesaran hati, selain gejala dan tanda perikarditis lain. Salah satu laporan menunjukkan nieri dada, sesak napas, dan pericardial rub ditemukan masing-masing pada 40% pasien tamponad. Sedangkan pulsus paradoks hanya ditemukan pada satu di antara empat kasus tamponad yang diperiksa.
Pembesaran ruang jantung - Dilatasi atrium kiri - Dilatasi ventrikel kiri Hipertrofi ventrikel kiri Disfungsi sistolik ventrikel kiri Disfungsi diastolik ventrikel kiri Hipokinetik global Hipokinetik segmental Kelainan valvular
- Prolaps katup mitral lsmail dkk.
Gambar 1. Efusi perikard berat pada pemeriksaan ekokardiografi (Parasternal Long Axis View)
Perikarditis dan Efusi Perikard pada LES Keterlibatan perikard pada LES pertama kali dilaporkan oleh Keefer dan Felty, pada 1924 dan merupakan kelainan jantung yang paling sering ditemukan. Perikarditis yang tampak secara klinis dilaporkan berkisar antara 23-30%. Data dari beberapa penelitian mendapatkan keterlibatan perikard secara klinis, ekokardiografis, dan histopatologis masing-masing 29%, 37%, dan 66%. Pada beberapa penelitian baik dengan atau tanpa kontrol menunjukkan prevalensi efusi perikard berkisar antara 2 1-54%.
Elektrokardiografi (EKG) Perubahan elektrokardiografi (EKG) dapat mengkonfirmasi diagnosis klinis perikarditis akut pada pasien LES. Perubahan EKG pada perikarditis terjadi dalam beberapa jam atau beberapa hari setelah awitan nyeri dada. Gambaran EKG yang khas pada fase akut yaitu ditemukannya gelombang T yang tinggi dan elevasi ST yang konkaf. Pada keadaan di mana terdapat efusi perikard dapat ditemukan penurunan voltage QRS (low voltage) dan gelombang T datar. Jika terdapat gambaran electrical alternans, mungkin ditemukan efusi perikard masif dan tamponad jantung. Foto Toraks Pada perikarditis akut yang disertai adanya efusi perikard dapat terlihat kardiomegali dan perubahan konfigurasi silhoutte jantung. Gambaran pembesaran silhoutte ini baru
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
terjadi jika cairan yang terkumpul dalam ruang perikard sekurang-kurangnya 250 ml.
Laboratorium Perikarditis umumnya terjadi selama periode aktifpenyakit sehingga biasanya ditemukan tanda aktivitas penyakit pada pemeriksaan darah antara lain kadar komplemen rendah, anti dsDNA meningkat, dapat ditemukan sel LE, dan kadar LED meningkat. Ekokardiografi Diagnosis efusi perikard ditegakkan berdasarkan adanya gambaran area bebas eko (ekokardiograJ free space) di antara gambaran eko epikard dan perikard posterior. Adanya efusi perikard dapat diperiksa pada parasternal long axis, short axis, dan apical four chamber view. Pemeriksaan dilakukan pada tingkat muskulus papilaris atau apeks ventrikel kiri. Dengan pemeriksaan ekokardiografi 2-D, perkiraan jumlah cairan lebih akurat, identifikasi struktur jantung lebih jelas, dan efusi berkantong (pocket) dapat dideteksi lebih baik.
Perikardiosentesis diagnostik hanya dilakukan pada keadaan di mana dipikirkan perikarditis purulenta. Analisis Cairan Perikard Cairan perikard pada LES benvarna kekuning-kuningan sampai kemerahan, eksudatif, danjumlah sel leukosit tinggi, dengan dominasi sel PMN. Sel LE yang khas mungkin ditemukan pada sedimen sel yang disentrifugasi, yang menyokong diagnosis LES sebagai penyebab perikarditis. Analisis cairan perikard pada 10 episode tamponad menunjukkan volume cairan bervariasi antara 300-1400 ml. Cairan efusi khas eksudat dengan kadar protein rata-rata 4,8 mg/dl(2,7-4,8). Secara keseluruhan, analisis cairan perikard menunjukkan leukositosis dengan neutrofil > 90%. Hasil analisis ini menyerupai gambaran analisis perikard perikarditis bakterial, yang dapat ditemukan juga pada pasien LES yang mendapat terapi steroid. Beberapa laporan lain menunjukkan penurunan aktivitas komplemen dan ANA meningkat. Gambaran Histopatologi Gambaran patologi perikard pada pasien LES dipengaruhi oleh terapi steroid. Pada penelitian autopsi terhadap 28 pasien LES didapatkan bahwa sebelum masa terapi steroid, kasus-kasus autopsi menunjukkan perikarditis fibrinosa difus atau fokal. Dengan penggunaan steroid yang luas untuk pengobatan, perikarditis fibrosa lebih
sering ditemukan.
Diagnosis Diagnosis perikarditis akut ditentukan bila ditemukan nyeri dada yang khas danlatau suara gesekan perikard dan perubahan EKG yang khas. Diagnosis efusi perikard juga dapat ditegakkan jika pada pemeriksaan ekokardiografi M mode ditemukan pemisahan epikard dan perikard, baik pada fase sistolik maupun diastolik. Selain itu, pada pemeriksaan ekokardiografi 2-D tampak gambaran daerah bebas eko posterior di antara dinding ventrikel kiri. Diagnosis tamponad ditentukan bila pada pemeriksaan ekokardiografi ditemukan kolaps atrium kanan dan kolaps diastolik ventrikel kanan, yang menunjukkan spesifisitas 100% pada pasien tamponad yang dikonfirmasi dengan kateterisasi. Ini merupakan teknik diagnostik non-invasif terbaik untuk diagnosis tamponad. Untuk menentukan etiologi efusi perikard pada pasien LES dilakukan analisis cairan perikard, pemeriksaan ANA anti dsDNA, komplemen, dan sel LE pada cairan perikard. Untuk menyingkirkan kemungkinan perikard septik, dilakukan pemeriksaan kultur cairan perikard. Karena risiko komplikasi pada tindakan perikardiosentesis cukup besar, diagnosis etiologi ditegakkan secara klinis. Bila pasien LES dalam keadaan aktif, maka efusi perikard pada LES secara klinis dianggap sebagai bagian dari serositis LE. Tetapi jika efusi perikard merupakan satu-satunya manifestasi aktivitas LES dan terdapat kecurigaan perikarditis septik dapat dilakukan perikardiosentesis diagnostik. Penatalaksanaan Penatalaksanaan perikarditis lupus terutama tergantung pada beratnya kondisi perikarditis dan memperhatikan aktivitas penyakit LES di luar jantung. Pasien perikarditis simtomatik akut harus dirawat di rumah sakit karena perkembangan efusi ke arah tamponad jantung tidak dapat diprediksi. Pasien perlu istirahat sampai nyeri dada dan demam hilang karena aktivitas akan memperburuk gejala. Pasien LES dengan gejala ringan dan dengan efusi perikard ringan atau tanpa efusi perikard dapat diterapi dengan salisilat 1 gram setiap 4 jam sampai tercapai kadar terapi 20-30 mglhari. Atau dapat juga diberikan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) lain seperti indometasin 100-150 mgl hari. Jika tidak ada respons, dapat ditambahkan antimalaria hidroksiklorokuin sulfat 200 mg sehari (5-7mgl kgBBIhari), klorokuin fosfat 250 mglhari, atau kuinakrin hidroklorida 100 mglhari. Bila perlu, dapat diberikan prednison 2,510 mglhari. Pada keadaan yang lebih berat, dapat diberikan prednison 20-40 mglhari. Efusi perikard masif diberikan terapi prednison dosis tinggi 60- 100 mgl hari. Pada pasien yang sangat kritis, steroid dosis tinggi (1 g metil prednisolon intravena) yang diberikan secara parenteral, dapat mengurangi gejala dengan cepat dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1807
PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINGAN IKAT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
mengurangi tingkat efusi secara bertahap.
MlOKARDlTlS DAN ABNORMALITAS MIOKARD Pada evaluasi klinis pasien LES, prevalensi miokarditis dilaporkan berkisar antara 8-25%. Pada penelitian prospektif manifestasi kardiovaskular pada 100 pasien LES, kejadian miokarditis didapatkan 14%.
Manifestasi Klinis Manifestasi klinis miokarditis pada LES sama dengan miokarditis yang berasal dari infeksi viral atau beberapa penyebab lain. Tanda paling awal adalah takikardia yang tak sesuai dengan demam. Pasien dapat mengalami sesak atau berdebar. Pada pemeriksaan fisis, sering ditandai titik impuls maksimal pada linea aksilaris anterior, dapat ditemukan juga murmur, irama gallop danlatau manifestasi gagal jantung kongestif. Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan takikardia sinus atau aritmia ventrikular. Pemeriksaan foto toraks dapat terlihat jantung membesar secara difus. Enlei Per lkal ti Rirtgntt
- + klar ~kuin - Prodnlson 2 , s10 mgfhar~
Gambaran Histopatologi Abnormalitas patologis bervariasi sesuai beratnya miokarditis, biasanya terdiri atas fokus kecil sel plasma interstisial dan infiltrasi limfosit dan jarang terjadi inflamasi interstisial difus. Dapat ditemukan juga perubahan fibrinoid dan hematoxyllin bodies. Pada pasien yang mendapat terapi steroid sering ditemukan fibrosis miokard.
Diagnosis Diagnosis miokarditis LES sering sulit ditegakkan secara klinis karena faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan gagal jantung kongestif mungkin ditemukan seperti anemia, hipertensi yang tak terkontrol, infeksi sistemik, penyakit valvular atau retensi garam dan air yang berasal dari penyakit ginjal atau penggunaan kortikosteroid sistemik. Diagnosis klinis miokarditis LES ditegakkan berdasarkan kombinasi keadaan sebagai berikut 1. Takikardia saat istirahat yang tak sesuai dengan suhu tubuh 2. Perubahan ST-'T nonspesifik pada pemeriksaan EKG 3. Satu atau lebih keadaan berikut: kardiomegali pada pemeriksaan rontgen dada tanpa adanya ehsi perikard, irama derap (gallop), gagal jantung kongestif, aritmia ventrikular dan peningkatan kadar enzim CKMB Penatalaksanaan Pasien LES dengan miokarditis akut diterapi dengan prednison sekurang-kurangnya 1 mg/kgBB/hari. Obat sitotoksik seperti azatioprin dan siklofosfamid juga pernah digunakan pada beberapa pasien.
ENDOKARDITIS DAN PENYAKIT JANTUNG VALVULAR
I
I
Gambar 2. Algoritme penatalaksanaan efusi perikard pada LES
Biopsi Endomiokardial Biopsi endomiokardial telah digunakan untuk diagnosis miokarditis LES pada sejumlah kecil pasien LES. Tindakan ini tidak hanya menunjang diagnostik tetapi juga menentukan perluasan miokarditis pada LES.
Endokarditis pertama kali dilaporkan oleh Libman dan Sacks pada tahun 1924, jauh sebelum hubungannya dengan LES diketahui. Lesi endokarditis ini secara patologis berbeda dengan endokarditis karena etiologi lain, dan dipercayai karakteristik untuk LES, yaitu berupa vegetasi verrucous, non-bakterial, 3-4 mm pada katup d a d atau permukaan endokard mural. Vegetasi ini dapat tunggal atau berkelompok berupa kluster seperti mulberry. Katup yang sering terkena adalah katup mitral. Vegetasi Libman Sacks ditemukan 35-65% pada penelitian autopsi awal pasien LES, namun tidak ditemukan gejala secara klinis (silent) dan pengaruhnya terhadap hemodinamik kecil. Penelitian post mortenz selanjutnya menunjukkan kejadian dan ukuran vegetasi menjadi lebih kecil. Penyakit jantung valvular pada beberapa penelitian dilaporkan berhubungan dengan antibodi antiposfolipid.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK(morning dr. PRIYO PANJI stiffness), artralgia atau artritis terutama pada
Ekokardiografi Dengan pemeriksaan ekokardiografi, penebalan katup mitral yang diduga verrucae dilaporkan pada 3-4% kasus, namun vegetasi biasanya terlalu kecil untuk dideteksi. Penelitian dengan menggunakan ekokardiografi transesofageal (TEE) pada 69 pasien LES yang dilakukan pemantauan selama 57 bulan menunjukkan abnormalitas valvular sering ditemukan, baik pada saat awal dan tindak lanjut masing-masing 61% dan 53%. Abnormalitas katup tersebut antara lain:
Fase awal Tindak lanjut Penebalan katup 51% 52% . Vegetasi 43% 34% Regurgitasi valvular 25% 28% Stenosis 4% 3% Pada penelitian tersebut, penyakitjantung valvular tidak berhubungan dengan lama penyakit, aktivitas penyakit, beratnya lupus atau pengobatan yang diberikan. Gambaran Hispatologi Secara mikroskopis vegetasi terdiri atas proliferasi dan degenerasi sel, fibrin, jaringan fibrosa, dan jarang hernatoxyllin bodies. Terdapat pula deposit imunoglobulin dan komplemen sepanjang dinding verrucae, yang menyokong dugaan adanya kompleks imun dalam sirkulasi yang berperan dalam pertumbuhan dan proliferasi vegetasi verrucous Libman-Sacks. Diagnosis Sebelum ditemukan ekokardiografi, sulit menegakkan diagnosis klinis. Pemeriksaan fisis dan ekokardiografi dapat menduga adanya verrucae, tetapi tidak diagnostik. Murmur dapat disebabkan demam, takikardia, hipertensi atau anemia. Diagnosis endokarditis Libman-Sacks primer ditegakkan berdasarkan pemeriksaan autopsi. Penatalaksanaan Penatalaksanaan endokarditis dan abnormalitas valvular pada LES, tergantung pada aktivitas LES secara keseluruhan. Pada pasien lupus yang stabil, penyakit valvular yang baru didiagnosis, tidak merefleksikan peningkatan aktivitas atau beratnya penyakit, sehingga mungkin tidak memerlukan modifikasi terapi antiinflamasi. Pada keadaan di mana ditemukan stenosis berat atau regurgitasi berat yang biasanya mengenai katup mitral, dilakukan tindakan operatif penggatian katup.
REUMATOIDARTRlTlS Artritis reumatoid adalah penyakit inflamasi kronik yang dimediasi imun dengan ciri kekakuan pada pagi hari
metakarpopalangeal atau sendi interpalang proksimal, nodul reumatoid, faktor reumatoid IgM atau IgG serum dan erosi artikular pada pemeriksaan foto rontgen. Penyebab kematian tersering adalah komplikasi artikular dan ekstraartikular seperti subluksasi atlantoaksial, sinovitis krikoaritenoid, sepsis, komplikasi jantung paru dan vaskulitis difus. Penyakit kardiovaskular reurnatoid disebabkan karena inflamasi imun nonspesifik, vaskulitis atau deposisi granulomatous pada perikardium, miokardium, katup jantung, arteri koroner, aorta atau sistem konduksi. Penyakit jantung reumatoid secara klinis ditemukan pada sepertiga pasien, dibandingkan sampai 80% pada pemeriksaan autopsi. Penyakit jantung reumatoid dapat berupa perikarditis, miokarditis, penyakit jantung valvular, gangguan konduksi, arteritis koroner, artitis atau kor pulmonal. Penelitian kohort prospektif yang membandingkan insidens infark miokard dan bencana serebrovaskular antara pasien RA dan non RA menunjukkan pasien RA mempunyai insiden bencana vaskular dan mortalitas lebih tinggi. Aterosklerosis juga menunjukkan laju akselerasi pada RA. Terdapat korelasi yang kuat antara adanya petanda biokimia inflamasi dan plak aterosklerosis karotis pada RA. Prediktor penyakit kardiovaskular secara klinis mencakup jenis kelamin laki-laki, usia lanjut, awitan penyakit, hipertensi, terapi kortikosteroid dini, penyakit yang lama, manifestasi ekstraartikular yang aktif, poliartikular erosif dan penyakit nodular, vaskulitis sistemik dan kadar faktor reurnatoid serum yang tinggi. Pasien yang mengalami bencana kardiovaskular mempunyai LED yang tinggi, kadar haptoglobin, kadar faktor von Willebrand dan plasminogen activator inhibitor yang lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa penyakit kardiovaskular. Hal ini menunjukkan bahwa proses inflamasi dan protrombotik mengakibatkan penyakit kardiovaskular.
Keterlibatan jantung jarang pada RA, namun terjadi dalam berbagai bentuk. Perikarditis fibrofibrinous non spesifik difus terjadi pada sekitar 50 % pasien RA, biasanya secara klinis silent dan tertutupi oleh pleuritis atau nyeri sendi. Penyakit perikard cenderung benigna, namun efusi berat dapat terjadi dan memerlukan tindakan perikardiosentesis, dan konstriksi perikarditis konstriktif jarang memerlukan tindakan perikardiektomi. Perikarditis konstriktif terjadi pada 4 dari 47 pasien RA yang kasusnya dipantau selama periode 10 tahun. Prevalensi perikarditis ditemukan lebih tinggi pada pasien dengan penyakit aktif yang dirawat. Terdapat hubungan kuat antara perikarditis dan faktor reumatoid
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINGAN IKAT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
IgM atau Ig G yang positif, penyakit nodular reumatoid clan LED > 55 mrnljam. Perikarditis reumatoid terjadi melalui 3 mekanisme: proses inflamasi imun nonspesifik, vaskulitis dan jarang penyakit nodular atau granulomatous.
Manifestasi Klinis Perikarditis reumatoid umumnya tanpa komplikasi dan sangat sering dengan tanda nyeri pleuritik, fibrilasi atrial atau fluter. Sepertiga pasien asimtomatik. Pada pemeriksaan fisis dapat didengar pericardial rub. Tamponad dan perikarditis konstriktif jarang dijumpai, biasanya pada pasien dewasa yang aktif dan berat yang lama dan pasien dengan keterlibatan ekstrartikular. Keluhan lain seperti dispnu, ortopnu, edema, distensi vena jugularis, ronki, pulsus paradoksus, tanda Kusmaull dan distensi vena hepatojugular sering dijumpai jika terjadi kompresi jantung. Pemeriksaan Penunjang EKG sering menunjukkan perubahan gelombang T dan segmen ST nonspesifik, demikian juga elevasi segmen ST difus yang klasik. Pada efusi perikard yang banyak dapat ditemukan low voltage atau electrical alternans. Pemeriksaan foto rontgen dada biasanya normal, Kardiomegali ditemukan pada pasien dengan ehsi perikard yang berat. Kalsifikasi perikard jarang dijumpai. Pemeriksaan ekokardiografi merupakan teknik diagnostik yang sangat penting yang kelainan tersering dijumpai adalah efusi perikard dan penebalan perikard. Kompresi diastolik ventrikel kanan dan atrium kanan dapat ditemukan pada efusi perikard berat yang menunjukkan adanya tamponad. Tidak dijumpai abnormalitas perikard pada pemeriksaan ekokardiografi tidak menyingkirkan adanya perikarditis pada pasien dengan gejala khas atau pericardial rub. Pemeriksaan laboratoriurn sering menunjukkan LED meningkat > 55 mmljam. Cairan perikard eksudatif dan serosanguineus dan kadar protein dan LDH yang tinggi, tapi kadar glukosa rendah dan dapat mengandung faktor reumatoid. Hitung jenis sel biasanya > 2000, dengan neutrofil predominan. Pada biopsi perikard dapat ditemukan deposit granular IgG, IgM, C3 dan C l q pada interstisium dan dinding pembuluh darah perikard. Penatalaksanaan Pada perikarditis reumatoid ringan tanpa komplikasi dianjurkan istirahat di tempat tidur dan pemberian antiinflamasi non steroid. Pada kasus yang berat dan tak respons dengan terapi OAINS dapat diberikan steroid. Pada efusi perikard masif atau tamponad dilakukan perikardiosentesis atau perikardiotomi. Pada perikarditis konstriktif dilakukan perikardiektomi. Penggunaan steroid intraperikard saat perikardiosentesis masih kontroversial.
PENYAKITJANTUNG VALVULAR REUMATOID
Penyakitjantung valvular reumatoid diakibatkan oleh proses inflamasi akut nonspesifik, kronik atau rekuren, vaskulitis atau deposisi granulomata pada katup. Proses inflamasi ini terdiri dari infiltrasi sel plasma, histiosit, limfosit dan eusinofil yang mengakibatkan fibrosis, penebalan dan retraksi katup. Granulomata katup yang merupakan nodul reumatoid, ditemukan pada katup, cincin katup, puncak musculus papilaris dan endokardium atrial atau ventrikular. Katup jantung yang sering terlibat adalah katup mitral dan aorta. Granulomata tersering dijumpai pada basal melekatnya katup, biasanya fokal dan biasanya tidak mengakibatkan d i s h g s i katup. Penyakit katup reumatoid terjadi pada pasien dengan penyakit reumatoid yang sudah lama dan berat dengan penyakit nodular dan poliartikular erosif, vaskulitis sistemik dan kadar faktor reumatoid yang tinggi. Penyakit katup mitral atau aorta reumatoid biasanya ringan dan asimtomatik, akut atau kronikjarang berkembang menjadi berat. Valvulitis akut dan berat atau ruptur ganulumata katup yang mengakibatkan regurgitasi berat dan gaga1 jantung jarang dijumpai. Aortitis yang menyebabkan dilatasi aorta (aortic root) dan regurgitasi aorta juga jarang ditemukan. Regurgitasi aorta reumatoid lebih berkembang cepat jika dibandingkan dengan penyebab lain. Manifestasi Klinis Pada pemeriksaan fisis penyakit jantung reumatoid mungkin tak tampak kelainan karena sebagian besar kasus ringan. Pada kasus yang jarang berupa regurgitasi mitral atau aorta akut atau kronik, dapat ditemukan auskultasi yang klasik dan tanda-tanda yang berhubungan dengan kegagalan ventrikel dapat ditemukan. Diagnosis Pemeriksaan EKG dan foto rontgen dada mempunyai nilai diagnostik yang terbatas. Pada kasus penyakit katup berat dapat menunjukkan pembesaran ruang jantung. Ekokardiografi transtorakal dengan Dopler benvarna merupakan pemeriksaan tersering yang digunakan untuk mendeteksi dan menilai beratnya penyakit katup reumatoid. Katup mitral dan aorta yang tersering terlibat dapat menunjukkan penebalan nodular lokal atau difus, dengan atau tanpa kalsifikasi. Pada pemeriksaan ekokardiografi transesofageal, regurgitasi mitral atau aorta pada semua derajat ditemukan masing-masing pada 80 % dan 33 % pasien. Nodul katup reumatoid biasanya berukuran kecil < 0,5 cm2, berbentuk oval yang homogen, biasanya tunggal. Penatalaksanaan Tak ada terapi antiinflamasi khusus pada penyakit katup reumatoid. Penggunaan steroid dan imunosupresif lain
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA UNTUKjika dr.adaPRIYO pada beberapa kasus valvulitis berat DI akut SCAN ,menunjukkan keluhan PANJI dan pemantauan jantung sekurangperbaikan yang nyata. Penggantian katup mitral atau aorta kurangnya 48-72 jam. Pada beberapa kasus berat steroid berhasil dilakukan pada regurgitasi berat akut atau kronik. oral atau IV dosis tinggi menunjukkan manfaat. MlOKARDlTlS REUMATOID
PENYAKITJANTUNG KORONER REUMATOID
Miokarditis reumatoid ditemukan sebanyak 30% pada pasienpost mortem namun jarang pada laporan klinis dan ekokardiografi. Biasanya lebih sering dijumpai pada pasien RA aktif dan penyakit ekstraartikular, faktor reumatoid positif yang tinggi, ANA, dan vaskulitis sistemik. Miokarditis reumatoid dapat berasal dari proses autoimun, vaskulitis, atau deposisi granulomata, jarang karena infiltrasi amiloid. Kecuali granulomata, miokarditis reumatoid sukar dibedakan pada pemeriksaan histopatologi dari eosinofilik, toksik atau infeksi.
Prevalensi PJK pada pasien RA pada penelitian post mortem sekitar 20%. Terdapat 2 tipe etiologi: 1. Yang tersering adalah aterosklerosis koroner yang mungkin diakselerasi steroid dan episod arteritis koroner berulang. 2. Yang jarang karena arteritis koroner sendiri Pasien arteritis koroner biasanya mempunyai nodul reumatoid, vaskulitis, penyakit reumatoid progresif cepat, titer faktor reumatoid yang tinggi dan peningkatan mortalitas kardiovaskular.
Manifestasi Klinis Manifestasi klinis miokarditis reumatoid adalah sama dengan miokarditis karena sebab lain. Yang sangat sering ringan, asimtomatik dan tak dikenali secara klinis. Jika simtomatik, gejala nonspesifik seperti lelah, sesak, palpitasi dan nyeri dada dapat ditemukan. Nyeri dada biasanya pleuritik, dan mungkin menggambarkan adanya mioperikarditis. Miokarditis akut berat dengan disfungsi ventrikel kiri dengan manifestasi gagal jantung kongestif atau aritmia atrial 1 ventrikular jarang dijumpai. Pada pemeriksaan fisis sering dijumpai demam dan takikardia sinus. Bunyi jantung I dan I1 normal, bunyi jantung I11 dan IV jarang terdengar. Murmur sistolik fungsional dapat terdengar. Jika terdapat mioperikarditis, dapat ditemukan pericardial rub.
Manifestasi Klinis Sebagian besar pasien artritis reumatoid dengan PJK asimtomatik. Penyakit koroner aterosklerotik dapat bergejala angina pektoris stabil kronik, angina pektoris tak stabil atau infark miokard akut, di mana arteritis koroner lebih sering muncul sebagai angina pektoris tak stabil dan jarang sebagai infark miokard akut. Pada pemeriksaan fisis selama sindrom iskemia akut dapat ditemukan takikardia, bunyi jantung ketiga atau keempat dan ronki basah pada paru jika terdapat gagal jantung kiri.
Diagnosis Pada pemeriksaan EKG biasanya menunjukkan abnormalitas gelombang T dan segmen ST non spesifik. Dapat ditemukan juga gangguan konduksi atrioventrikular dan ektopi atrial atau ventrikular. Ekokardiografi dapat menunjukkan abnormalitas gerakan dinding segmental atau disfungsi kontraksi ventrikel kiri difus dan dilatasi ruang jantung pada kasus miokarditis fokal berat atau difus. Namun pada sebagian besar pasien miokarditis ringan, pemeriksaan ekokardiografi tidak menunjukkan kelainan. Scanning radionuklid dengan indium 11 1, galium 67 atau technitium 99 dapat menunjukkan uptake miokardial fokal atau difus yang menunjukkan inflamasi miokard, nekrosis atau keduanya. Pemeriksaan laboratorium pada kasus berat, menunjukkan peningkatan ringan CKMB atau LDH. Penatalaksanaan Pasien perlu istihat di tempat tidur, diberikan analgesik
Diagnosis Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan gelombang Q yang menunjukkan infark miokard sebelumnya, elevasi atau depresi segmen ST menunjukkan kerusakan iskemia subendokard atau epikard, atau inversi gelombang T yang menunjukkan iskemia. Pemeriksaan ekokardiografi selama iskemia berat dapat menunjukkan abnormalitas gerakan dinding atau jariangan parut miokard jika terdapat infark miokard sebelumnya. Juga dapat ditentukan ada tidaknya serta beratnya disfungsi ventrikel kiri. Pemeriksaan laboratorium CKMB, troponin, dan LDH dapat meningkat jika terjadi nekrosis miokard. Angiografi koroner dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan tinggi adanya PJK atau pemeriksaan treadmill yang dicurigai PJK. Diagnosis arteritis koroner dicurigai jika teradapat lesi stenosis multipel pada arteri koroner epikardial. Penatalaksanaan Jika terdapat kecurigaan arteritis koroner simtomatik dan berat dapat diberikan terapi steroid dosis tinggi dan siklofosfamid sebagai tambahan dengan heparin, aspirin, nitrat, penyekat beta atau antagonis kalsium. Tak ada data
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINGAN IKAT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI penggunaan PC1 pada arteritis koroner reumatoid. Aterosklerosis koroner simtomatik dapat diberikan terapi medis atau revaskularisasi koroner. Gangguan Konduksi Prevalensi gangguan konduksi atrioventrikular atau intraventrikular pada pasien artritis reumatoid mungkin tak berbeda dengan populasi umum. Mekanismenya antara lain inflarnasi akut pada nodus AV atau berkas His, vaskulitis pada arteriol yang mensuplai jalur konduksi, deposisi granulomata pada sistem konduksi dan infiltrasi amiloid. Manifestasi Klinis Rerata usia pasien dengan gangguan konduksi biasanya > 60 tahun, dan sebagian besar mempunyai gambaran penyakit berat dengan penyakit nodular yang membutuhkan terapi steroid. Gangguan konduksi biasanya ringan dan asimtomatik dan didiagnosis secara kebetulan pada pemeriksaan EKG. Pada kasus yang jarang di mana terdapat blok AV derajat tinggi dapat ditemukan keluhan pusing, lelah, prasinkop atau sinkop. Walaupun jarang, blok AV total mungkin asimtomatik karenas penyakit sendi berat membatasi aktivitas pasien. Blok AV selintas dan kembali normal setelah terapi antiinflamasijarang dijumpai. Diagnosis Metode diagnosis terbaik adalah pemeriksaan EKG rutin, pemantauan EKG 24 jam (Holter) atau keduanya. Penatalaksanaan Penatalaksanaan blok AV derajat tinggi simtomatik atau blok intraventrikular terdiri dari pacu jantung sementara dan steroid dosis tinggi. Pasien yang tak responsif hams mendapatkan pacu jantung permanen.
HlPERTENSl PULMONAL REUMATOID Penyebab hipertensi pulmonal dengan tekanan vena pulmonal normal mencakup hiperviskositas serum, fibrosis interstisial, bronkiolitis obliteratif dan vaskulitis pulmonal. Prevalensinya masih belum jelas, tetapi rendah. Manifestasi Klinis Sesak merupakan manifestasi yang biasa dijumpai pada hipertensi pulmonal dan kor pulmonal. Hipertensi pulmonal sedang yang tak berhubungan dengan kor pulmonal dapat asimtomatik. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan heaving parastemal, bunyi jantung I1 split, regurgitasi trikuspid, gallop S3 sisi kanan dan jarang hepatomegali dan edema.
Diagnosis Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan pembesaran atrium dan ventrikel kanan dan blok cabang berkas. Pemeriksaan ekokardiografi dapat menunjukkan pembesaran atrium dan ventrikel kanan, hipertrofi atau disfungsi, regurgitasi trikuspid dan bukti tekanan sistolik arteri pulmonal yang tinggi. Biopsi paru terbuka dan lavage bronkoalveolar merupakan metoda yang dikerjakan jika vaskulitis paru berat atau bronkolitis obliterans dicurigai sebagai penyebab hipertensi pulmonal. Penatalaksanaan Penalatalaksanaan hipertensi pulmonal karena vaskulitis pulmonal adalah imunosupresan atau steroid, namun prognosis buruk dan sebagian besar pasien meninggal dalam satu tahun sejak diagnosis.
SKLERODERMA Skleroderma atau sklerosis sistemik adalah penyakit sistemik dengan ciri akurnulasi jaringan ikat berlebihan, fibrosis dan perubahan degeneratif pada kulit, otot skeletal, sinovium, pembuluh darah, saluran cerna, ginjal, paru dan jantung. Penyakit paru terutama hipertensi pulmonal dan penyakit ginjal merupakan penyebab utama mortalitas, diikuti penyakit jantung, dengan suwival kumulatif hanya 20 % dalam 7 tahun. Penyebab kematian karena jantung yang utama adalah penyakit jantung iskemia, kemudian gaga1 jantung refrakter, kematian mendadak dan perikarditis. Penyakit jantung skleroderma manifestasinya predominan sebagai PJK, miokarditis dan hipertensi pulmonal dengan atau tanpa kor pulmonal. Perikarditis, gangguan konduksi dan aritmia jarang dijumpai. Penyakit jantung skleroderma yang nyata secara klinis dilaporkan kurang dari seperempat pasien, kejadiannya meningkat sampai 80 % pada pemeriksaan autopsi. Penyakit jantung skleroderma umumnya kurang sering dan kurang berat pada tipe limited (terbatas) dibandingkan tipe difus.
PENYAKIT JANTUNG KORONER Walaupun arteri koroner epikardial biasanya normal, arteri koroner intramural dan arteriol sering menunjukkan penyempitan, fibrosis, nekrosis fibrinoid dan hipetrofi intima. Kerusakan endotel yang dimediasi imun, stimulasi fibroblas, deposisi kolagen dan peningkatan produksi platelet derived growth factor dapat menurunkan respons endotel terhadap trombosis, inflamasi dan vasodilatasi. Selanjutnya degranulasi sel mast melepas zat vasoaktif seperti histamin, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
D3 yang dapat menyebabkan vasospasme. Hampir semua pasien dengan bukti PJK intramiokardial mempunyai fenomena Raynaud's perifer.
Manifestasi Klinis Nyeri dadajarang ditemukan; jika ada, dikaitkan lebih sering dengan perikarditis atau refluks esofageal daripada iskemia miokard. Sebagian besar pasien, bahkan dengan defek pada pencitraan perhsi miokard yang dinduksi latihan atau istirahat adalah asimtomatik. Walaupun vasospasme koroner intramiokardial dapat ditemukan, vasospasme berat arteri koroner epikardial yang menyebabkan infark miokard transmural jarang dilaporkan. Diagnosis Pemeriksaan tes treadmill merupakan metode dengan sensitivitas terbatas karena prevalensi PJK epikardial pada pasien skleroderma rendah. Pada pemeriksaan radionuklid, abnormalitas perhsi multisegmental yang dinduksi latihan atau istirahat sering ditemukan. Keadaan ini sering kembali normal atau membaik dengan nifedipin atau dipiridamol yang menunjukkan episode vasospasme berulang yang meyebabkan iskemia miokard atau fibrosis. Pada pemeriksan ekokardiografi infark miokard transmural yang khas biasanya tidak ditemukan. Pasien biasanya menunjukkan disfungsi diastolik atau sistolik global. Jarang dijumpai infark miokard transmural karena vasospasme koroner epikardial. Angiografi koroner biasanya menunjukkan arteri koroner epikardial normal, aliran yang lambat menunjukkan resistensi koroner intramiokardial yang meninggi dan penurunan aliran darah sinus koronarius menunjukkan cadangan aliran koroner abnormal.
pasien skleroderma dengan penyakit kutaneus difus, antibodi antiScl70 dan usia > 60 tahun. Miokarditis secara klinis jarang dijumpai, namun pada penelitian post mortem menunjukkan prevalensi yang tinggi. Fibrosis miokardial difus atau fokal dan nekrosis pita kontraksi (contraction-band)sering ditemukan.
Manifestasi Klinis Penyakit fibrosis miokardial difus atau fokal dapat mengakibatkan dishngsi diastolik atau sistolik ventrikel kiri yang bermakna, aritmia dan gangguan konduksi. Pasien dengan miopati skletal dan dengan miokarditis lebih sering mengalami gagal jantung klinis yang sering intraktabel. Gejala yang muncul perlahan seperti dispnu, ortopnu dan edema perifer merupakan gejala yang paling sering ditemukan. Gejala akut gagal jantung dan mati mendadak jarang dijumpai. Pada pemeriksaan fisis dapat menunjukkankardiomegali, gallop S3 atau S4, murmur sistolik, penurunan intensitas bunyi jantung, ronki paru dan edema perifer.
Penatalaksanaan Walaupun antagonis kalsium seperti nifedipin dan nikardipin jelas menunjukkan perbaikan jangka pendek dalam jumlah dan beratnya defek perfusi, manfaat jangka panjang belum diketahui. Kaptopril menunjukkan manfaat . yang sama.
Diagnosis Jika terdapat bukti miokarditis secara klinis atau laboratorium, penapisan diagnosis keterlibatan jantung yang asimtomatik hams dilakukan. Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan pola infark septal pada beberapa pasien, berhubungan dengan abnormalitas perfusi thalium anteroseptal atau septal, walaupun arteri koroner epikardial normal. Keadaan ini diduga menunjukkan fibrosis septal. Pada pemeriksaan ekokardiografi sebagian besar pasien menunjukkan fimgsi sistolik ventrikel kiri yang masih baik. Dapat dijumpai abnormalitas gerakan dinding ventrikel kiri regional atau global dan jarang abnormalitas gerakan dinding ventrikel kanan dan lebih sering tampak pada pasien dengan penyakit jantung secara klinis. Biopsi endomiokardial merupakan pemeriksaan pemeriksaan yang jarag, digunakan untuk diagnosis penyakit miokardial skleroderma, namun pola keterlibatan yang heterogen dan nonspesifik membatasi sensitivitas dan spesifisitas teknik ini.
Terdapat 2 tipe penyakit miokardial skleroderma. Yang tersering karena iskemia intramiokardial berulang yang mengakibatkan fibrosis; yang kedua jarang di mana patogenesisnya tak diketahui adalah miokarditis inflamasi akut. Pasien skleroderma dengan miopati skeletal aktif mempunyai prevalensi penyakit niokardial sampai 2 1 %, dibandingkan hanya 10 % pada pasien tanpa miopati perifer. Penyakit miokardialjuga lebih sering dan berat pada
Penatalaksanaan Jika ditemukan disfungsi sistolik ventrikel kiri asimtomatik, terapi bersifat nonspesifik dan terdiri dari diuretik, digitalis dan vasodilator. Penggunaan metilprednisolon intravena pada miokarditis inflamasi akut masih kontroversial. Adanya gallop S3 menunjukkan disfungsi sistolik ventrikel kiri dan meningkatkan risiko kematian lebih dari 500%. Pasien dengan gagal jantung mempunyai laju mortalitas 100% dalam 7 tahun, dengan angka tertinggi (82 %) terjadi dalam tahun pertama diagnosis.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINCAN IKAT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI GANGGUAN KONDUKSl DAN ARlTMlA Defek konduksi terjadi sampai 20% pasien skleroderma. Prevalensi tertinggi pada ditemukan pada pasien miokarditis atau defek perfusi miokardial. Penggantian fibrosa pada nodus SA dan AV, cabang berkas dan miokardium tampak pada pemeriksaanpost mortem pasien dengan gangguan konduksi.
Manifestasi Klinis Aritmia sering dijumpai dan dikaitkan dengan miokarditis aktif. Kontraksi ventrikel dan atrial prematur, takikardia supraventrikular dan takikardia ventrikular non sustained juga sering dijumpai. Aritmia ventrikular dan supraventrikular lebih sering terjadi pada pasien dengan penyakit kutaneus difus daripada pasien dengan tipe terbatas. Palpitasi terjadi pada 50 % pasien. Sinkop dapat terjadi dan dikaitkan dengan blok AV derajat tinggi atau aritmia ventrikular;jarang merupakan manifestasi pertama skleroderma. Sinkop dapat juga terjadi pada pasien hipertensi pulmonal berat. Sekitar40-70 % kematian jantung pada pasien skleroderma yang mempunyai miopati skeletal aktif dan miokarditis mungkin tiba-tiba dan terkait dengan aritmia ventrikular. Diagnosis Mayoritas pasien mempunyai EKG normal, yang mempunyai prediksi tinggi fungsi ventrikel kiri normal. Adanya blok cabang berkas kiri dan kanan atau bifasikular umumnya berhubungan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri saat istirahat atau yang diinduksi latihan. Terdapat peningkatan frekuensi aritrnia atrial dan vetrikular atau abnormalitas konduksi pada pemeriksaan EKG dan berhubungan dengan disfungsi ventrikel kiri. Penatalaksanaan Pacu jantung diindikasikan pada gangguan konduksi derajat tinggi yang simtomatik dan terapi antiaritmia diberikan pada aritmia simtomatik. Belurn diketahui apakah supresi aritmia menurunkan risiko mati mendadak pada pasien skleroderma.
Patogenesis penyakit perikardial skleroderma tak diketahui dan biasanya secara klinis silent. Perikarditis akut simtomatik jarang dijumpai, kontras dengan prevalensi penyakit perikard yang tinggi pada pemeriksaan post mortem. Perikarditis fibrinosa, perikarditis fibrosa kronik, adhesi perikardial dan efusi perikardial adalah tipe patologis yang dijumpai. Penyakit perikardial lebih sering terjadi pada pasien dengan bentuk kutaneus terbatas.
Manifestasi Klinis Bukti klinis pada penyakit perikard ditemukan 5- 15 % pasien dan lebih sering pada pasien dengan tipe kutaneus terbatas. Manifestasi klinis tersering adalah efusi perikard kronik dengan sesak, ortopnu dan edema; dan jarang tampak sebagai perikarditis akut dengan demam, nyeri dada pleuritik, dispnu dan pericardial rub. Tarnponad jantung atau perikarditis konstriktifkronik jarang dijumpai. Diagnosis Ekokardiografi sering menunjukkan efusi perikard ringan asimtomatik dan penebalan dan dapat mengkonfirmasi tamponad jantung yang dicurigai secara klinis. Penatalaksanaan Perikarditis simtomatikatau efusi perikard bermakna dapat diterapi dengan obat antiinflamasi nonsteroid. Jika dicurigai tamponad, perikardiosentesis atau perikardiektomi biasanya bermanfaat. Steroid tidak efektif pada pasien efusi perikard kronik yang berat.
PENYAKIT JANTUNG VALVULAR Prevalensi sebenarnya tak diketahui, dan jarang dijumpai secara klinis. Prevalensi pada penelitian post mortem dilaporkan sampai 18 %. Pada pemeriksaan ekokardiografi, frekuensi regurgitasi mitral pada pasien skleroderma dilaporkan 67 % dibandingkanhanya 15 % pada kelompok kontrol. Dapat dijumpai penebalan nonspesifik pada katup mitral dan aorta tanpa disertai regurgitasi bermakna.
PENYAKITJANTUNG SKLERODERMASEKUNDER Penyebab sekunder penyakit jantung skleroderma dikaitkan dengan hipertensi sistemik dan pulmonal. Fibrosis paru dapat terjadi sampai 80 % dan hipertensi pulmonal dengan kor pulmonal sampai 40-50% pasien. Hipertensi pulmonal sekunder karena vaskulopati inflamasi atau vasospasme pulmonal jarang terjadi dan lebih sering dikaitkan dengan tipe kutaneus terbatas (limited cutaneus) dan sindrom overlap. Hipertensi pulmonal dikaitkan dengan 50 % mortalitas dalam 8 tahun. Oksigen, antagonis kalsium dan inhibitor ACE menunjukkan manfaat jangka panjang. Hipertensi dan penyakit jantung hipertensi biasanya dikaitkan dengan penyakit renovaskular. Prognosis dikaitkan dengan beratnya penyakit jantung.
Spondilitis ankilosing merupakan penyakit inflamasi yang
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
asalnya tak diketahui yang melibatkan predominan pada vertebra dan sendi sakroiliaka. Manifestasinya sebagai nyeri pinggang bawah dan hambatan gerakan bagian belakang dan pengembangan dada. Jarang melibatkan sendi perifer dan organ ekstrartikular seperti jantung. Manifestasi kardiovaskular umumnya mengikuti sindrom artritis setelah 10-20 tahun, kadang-kadang mendahulai artritis. Manifestasi kardiovaskular terpenting adalah aortitis dengan atau tanpa regurgitasi aorta, gangguan konduksi, regurgitasi mitral, disfungsi miokardial dan penyakit perikard. Prevalensi penyakit kardiovaskular secara klinis bervariasi luas. Prevalensinya lebih tinggi pada pasien dengan lama penyakit >20 tahun, pasien dengan usia >50 tahun dan keterlibatan artikular perifer.
anterior. Regurgitasi katup yang tampak pada hampir 50 % pasien adalah sedang pada sepertiga kasus. Penyakit aorta dan katup dikaitkan dengan lama penyakit spondilitis ankilosing tapi tidak terhadap aktivitas penyakit, berat penyakit dan terapi.
Penatalaksanaan Belum ada data mengenai peran terapi medis dengan antii'nflamasi spesifik seperti kortikosteroid.Terapi dengan diuretik dan vasodilator dapat digunakan pada regurgitasi aorta yang bermakna. Profilaksis antibiotik pada endokarditis infektif diindikasikan pada penyakit katup aorta dengan regurgitasi.
GANGGUAN KONDUKSI AORTlTlS DAN REGURGITASIAORTA Patogenesis aortitis belum diketahui. Meningkatnya aktivitas agregasi trombosit dan platelet-derived growth factor dipercayai sebagai faktor yang berperan pada patogenesis. Proses inflamasi juga dimediasi oleh sel plasma dan limfosit.
Manifestasi Klinis Manifestasi penyakit jantung yang terkait spondilitis ankilosing tersering adalah aortitis proksimal dengan atau tanpa regurgitasi. Penyakit katup mitral yang terkait juga sering dijumpai. Aortitis dan regurgitasi aorta umumnya ringan sampai sedang, secara klinis silent dan kronik. Jarang terjadi regurgitasi aorta berat berasal dari aortitis kronik atau akut berat atau valvulitis atau komplikasi endokarditis infektif. Penyakit katup aorta silent secara klinis dengan atau tanpa regurgitasi aorta dapat terjadi pada sepertiga pasien sebelum manifestasi penyakit sendi. Walaupun penyakit aorta dan regurgitasi katup dapat ditemukan pada pemeriksaan ekokardiografi pada 60 % pasien, karena biasanya ringan sampai sedang, hanya sedikit yang terdeteksi secara klinis. Diagnosis Pada pemeriksaan foto rontgen dada siluet jantung dan pembuluh darah besar biasanya normal. Jika terdapat penyakit aorta berat atau regurgitasi aorta, aorta asenden dapat menunjukkan dilatasi atau elongasi dan pembesaran atrium dan ventrikel kiri dapat ditemukan. Pada pemeriksaan ekokardiografi transesofageal, penebalan aorta, peningkatan kekakuan dan dilatasi didapatkan masing-masing 60 %, 60 % dan 25 % pasien. Penebalan katup aorta pada 40 % pasien,manifestasi predominan sebagai nodularitas katup aorta. Penebalan katup mitral yang tampak pada 30 % pasien, manifestasi predominan sebagai penebalan basal katup mitral
Gangguan konduksi merupakan penyakit jantung terkait spondilitis ankilosing kedua tersering ditemukan dan patogenesisnya belum diketahui. Gangguan konduksi dapat merupakan akibat proses fibrosis subaortik yang meluas ke septum basilar, mengakibatkan destruksi atau disfungsi nodus atrioventrikular, bagian proksimal berkas His, cabang berkas dan fasikel.
Manifestasi Klinis Prevalensi gangguan konduksi bervariasi sangat luas, sekurang-kurangnya 20 %. Blok atrioventrikular (derajat satu, derajat dua dan jarang derajat tiga) tersering ditemukan, diikuti disfungsi nodus sinus (aritmia sinus, blok sinoatrial, henti sinus, dan sick sinus syndrome) dan blok fasikular dan cabang berkas. Pasien dengan gangguan konduksi umumnya asimtomatik dan dapat dideteksi sebelum manifestasi secara klinis pada kurang dari seperlima pasien. Prevalensi penyakit aorta dan regurgitasi katup tinggi pada gangguan konduksi. Jarang terjadi, gangguan konduksi berat yang berhubungan dengan gejala pusing, prasinkop atau sinkop dan membutuhkan pacu jantung mendahului diagnosis spondilitis ankilosing. Pada pemeriksaan fisis bradiaritmia berat dapat secara klinis dideteksijika pasien simtomatik.Gangguan konduksi umumnya insidental dideteksi dengan EKG. Diagnosis EKG mencakup pemantauan ambulatori 24 jam, dapat secara mudah mendeteksi adanya gangguan konduksi. Penatalaksanaan Terapi antiinflamasi tidak menunjukkan manfaat pada pasien dengan gangguan konduksi. Pacu jantung dapat dilakukan dengan sukses dengan indikasi terbanyak adalah blok jantung total dan sick sinus syndrome.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINGAN IKAT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT KATUP MITRAL
Prevalensi penyakit katup mitral sekitar 30%, namun secara umum tak bermakna dan sering tak diketahui. Penyakit katup mitral umumnya asimtomatik dan sering secara insidentil dideteksi dengan ekokardiografi.Patogenesisnya dikaitkan dengan perluasan fibrosis aorta sampai bagian basilar subaortik dari katup mitral anterior, mengaibatkan subaortic bump. Regurgitasi mitral berasal dari mobilitas katup anterior yang menurun yang disebabkan subaortic bump basilar atau jarang akibat dilatasi ventrikel karena regurgitasi aorta. Kecuali profilaksis antibiotik untuk pencegahan endokarditis infektif pada pasien dengan regurgitasi mitral, tak ada terapi lain yang direkomendasikan.
PENYAKIT MIOKARD, PENYAKIT PERIKARD DAN ENDOKARDITIS BAKTERlALlS
Penyakit miokard primer jarang dijumpai. Patogenesisnya belum diketahui, diduga karena peningkatan jaringan ikat interstisial miokardial yang difus dan serat retikulum. Manifestasinya dapat berupa disfimgsi sistolik dan dilatasi ventrikel kiri sampai seperlima pasien. Fungsi diastolik ventrikel kiri abnormal dengan pemerikasaan ekokardiografi Doppler dan ventrikulografi radionuklid dilaporkan sebanyak 50 % pasien. Disfungsi diastolik tidak terkait dengan usia, lama penyakit atau aktivitas penyakit. Disfungsi miokard sekunder terkait dengan overload volume kronik pada regurgitasi mitral dan aorta. Dapat didengar bunyi jantung ketiga dan keempat dan ronki paru jika terdapat disfungsi sistolik atau diastolik ventrikel kiri yang bermakna. Ekokardiografi merupakan metode diagnostik terbaik untuk melihat disfungsi ventrikel kiri primer atau sekunder. Tak ada terapi spesifik untuk penyakit miokardial primer. Prevalensi penyakit perikardial talc diketahui, danjarang ditemukan pada spondilitis ankilosing. Patogenesisnya belum diketahui dengan pasti. Umumnya asimtomatik dan tak ada gangguan hemodinamik bermakna. Biasanya secara insidental terdeteksi pada pemeriksaan ekokardiografi berupa penebalan perikard atau efusi perikard ringan. Tak ada terapi spesifik.
Polimiositis atau dermatomiositisadalah miopati inflamasi kronik, didapat yang penyebabnya tak diketahui dengan manifestasi klinis kelelahan otot proksimal yang simetri pada ekstremitas, tulang belakang dan leher. Dermatomiositis berbeda dengan polimiositis dengan adanya rash pada muka, leher, dada dan ekstremitas,
terbanyak pada permukaan ekstensor, terutama punggung tangan dan jari. Penyebab utama mortalitas adalah keganasan, sepsis dan penyakit kardiovaskular. Indikator .prognosis yang buruk mencakup usia >45 tahun, penyakit kardiopulmoner dan lesi nekrotik kutaneus. Manifestasi Klinis Penyakit jantung yang terkait polimiositis Idermatomiositis tidak jarang dijumpai dan manifestasinya predominan sebagai aritmia atau gangguan konduksi dan miokarditis. Kardiomiopati dilatasi, perikarditis, vaskulitis koroner, hipertensi pulmonal dengan kor pulmonal, prolaps katup mitral dan sindrom jantung hiperkinetik pernah dilaporkan. Penyakit jantung yang nyata secara klinis jarang dibandingkan pada penemuan post mortem. Penyakit jantung klinis lebih sering ditemukan pada polimiositis dan sindrom overlap daripada dermatomiositis. Adanya penyakit jantung tidak berhubungan dengan usia, aktivitas ,berat atau lamanya penyakit dan tak berbeda antara pria dan perempuan.
ARlTMlA DAN GANGGUAN KONDUKSI
Abnormalitas gelombang T dan segmen ST non spesifik ditemukan pada separuh pasien. Gangguan lain mencakup blok cabang berkas kanan, blok fasikular anterior kiri, blok bifasikular, perlambatan konduksi intraventrikular nonspesifik, bok cabang berkas kiri, blok AV derajat satu dan blok AV derajat tinggi. Gangguan konduksi jarang berkembang menjadi lebih berat, meskipun pada beberapa kasus memerlukan pacu jantung permanen. Aritrnia yang tersering ditemukan adalah komplek atrial dan ventrikel prematur. Takiaritmia supraventrikular dan takikardia ventrikularjarang terjadi. Miokarditis aktif atau degenerasi miokardial dan fibrosis yang meluas ke sinoatrial, nodus AV dan cabang berkas menjelaskan adanya aritmia dan abnormalitas konduksi.
Pada penelitian, miokarditis ditemukan pada separuh pasien, dengan manifestasi sama sebagai miokarditis aktif atau fibrosis miokardial fokal. Sekitar 10-20% mengalami kardiomiopati dilatasi. Terdapat korelasi kuat antara miokarditis dan miositis aktif. Miokarditis dapat bermanifestasi secara klinis sebagai gaga1 jantung kongestif atau kardiomiopati dilatasi.
ARTERlTlS KORONER
Prevalensi klinis tak diketahui. Salah satu penelitianpost
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
mortem menunjukkan adanya arteritis koroner pada 30 % pasien, manifestasi sebagai vaskulitis aktif dengan proliferasi intima atau nekrosis medial dengan kalsifikasi.
PENYAKIT JANTUNG VALVULAR Prevalensi prolaps katup mitral dilaporkan lebih dari separuh pasien. Tidak ada penyakit katup spesifik ditemukan. Penyebab prolaps katup mitral belum dapat ditentukan.
Perikarditis akut tanpa komplikasi dengan efusi perikard ringan sampai sedang pernah dilaporkan. Perikarditis akut dengan tarnponad dan perikarditis konstriktif kronis jarang dijumpai. Perikarditis melibatkan < 20% pasien dewasa dan sedikit lebih sering dari anak-anak. Ekokardiografi menunjukkan prevalensi efusi perikard biasanya sedikit pada 25% pasien dewasa dan sampai 50 % pada anak-anak.
HlPERTENSl PULMONAL, KOR PULMONAL DAN SINDROM JANTUNG HlPERKlNETlK Dapat ditemukan hipertensi pulmonal sekunder sampai penyakit paru interstisial dan vaskulopati paru primer yang memyebabkan kor pulmonal.
MIXED CONNECTIVE TISSUE DISEASE (MCTD) Pasien dengan MCTD adalah pasien dengan manifestasi klinis LES, artritis reumatoid, skleroderma dan polimiositis. Keterlibatan jantung primer pada MCTD jarang dijumpai dibandingkan penyakit jaringan ikat lain. Manifestasi Klinis Penyakit perikardial dengan manifestasi perikarditis, efusi perikard ringan atau penebalan perikard merupakan yang tersering ditemukan. Perikarditis lebih sering pada anakanak, melibatkan hampir separuh pasien. Pada kasus yang jarang, perikarditis dapat merupakan presentasi awal penyakit. Dapat ditemukan penebalan verrucous dan regurgitasi katup mitral dan tidak dapat dibedakan dengan LES. Aritmia supraventrikular dan ventrikular dan gangguan konduksi jarang ditemukan. Walaupun hiperplasia intima pada arteri koroner, perivaskular dan infiltrasi leukositik miokardial dilaporkanpada pemeriksaan postmortem, arteritis koroner klinis atau miokarditis jarang dijumpai.
Manifestasi klinis penyakit jantung primer, hipertensi pulmonal dan kor pulmonal yang terkait MCTD tidak berbeda dengan penyakit jaringan ikat lain.
Diagnosis Metode yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit jantung yang terkait MCTD sama dengan penyakit jaringan ikat lain. Penatalaksanaan Data yang ada masih sedikit dalam ha1 penatalaksanaan penyakit jantung yang terkait MCTD. Perikarditis umumnya memberikan respons baik dengan kortikosteroid. Nifedipin 30 mglhari menunjukkan penurunan resistensi vaskular pulmonal akut dan menetap pada pasien hipertensi pulmonal.
Abdurahman N, Alwi I, Hakim L, Ismail D, Soelistijo H. Association of disease activity and pericardial effusion on systemic lupus erythemathosus patients. Med J Univ Indones 1998;7:89-93. Alwi I, Hakim L, Abdurahman N. Perikarditis dan efusi perikard pada pasien lupus eritematosus sistemik. Medika 1998;6:38695. Ansari A, Larson PH, Bates HD. Cardiovascular manifestations of systemic lupus erythematosus. Prog Cardiovasc Dis 1985;27:421-34. Badui E, Garcia-Rubi D, Robles E. Cardiovascular manifestations in systemic lupus erythematosus. Prospestive study of 100 patients. Prog Cardiovasc Dis 1985;27:421-34. Bahl VK, Vasan RS, Aradhye, Malaviya AN. Prevalence of cardiac abnormalities early in the course of systemic lupus eryt hematosus. Am J Cardiol 1991;68: 1540-1. Boumpas DT, Austin I1 HA, Fessler BJ et al. Systemic lupus erythematosus: emerging concepts. Renal, neuropsychiatric, cardiovascular, pulmonary, and hematologic disease. Ann Intern Med 1995;122(Pt 1):940-50. Cervera R, Font J, Pare C, et al. Cardiac diseases in systemic lupus erythematosus: prospective study of 70 patients. Ann Rheum Dis 1992;51:156-9. Cohen MG, Li EK. Mortality in systemic lupus erythematosus: active disease is the most important factor. Aust NZ J Med 1992;22:5-8. Crozier IG, Li E, Milne MJ, Nicholls MG. Cardiac involvement in systemic lupus erythematosus detected by echocardiography Am J Cardiol 1990;65:1145-8. Cujec B, Sibley 3, Haga M. Cardiac abnormalities in patients with systemic lupus erythematosus. Can J Cardiol 1991;7(8):343-9. Doherty I11 NE, Feldman G, Maurer G, Siegel U. Ekokardiografi findings in systemic lupus erythematosus. Am J Cardiol 1988;61 :I 144. Doherty NE, Siegel RJ. Cardiovascular manifestations of systemic lupus erythematosus. Am Heart J 1985:1257-65. Ehrenfeld M, Asman A, Shpilberg 0.Pericarditis in SLE: a retrospective analysis [abstract]. Lupus Avis International Journal; Jerusalem, Israel; 1995 March 26-31; 1995.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1817
PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINCAN IKAT
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Enomoto K, Kaji Y, Mayumi T, et al. Frequency of valvular regurgitation by color Doppler echocardiography in systemic lupus erythematosus. Am J Cardiol 1991;67:209-11. Galve E, Candell-Riera J, Pigrau C, et al. Prevalence, morphologic types, and evolution of cardiac valvular disease in systemic lupus erythematosus. N Engl J Med 1988;3 19:817-23. Gleason CB, Stoddard MF, Wagner SG, Longaker RA, Pierangeli, Harris EN. A comparison of cardiac valvular involvement in the primary antiphospholipid syndrome versus anticardiolipinnegative systemic lupus erythematosus. Am Heart J 1993;125:1123-9. Hojnik M, George J, Ziporen L, Shoenfeld Y. Heart valve involvement (Libman-Sacks endocarditis) in the antiphospholipid syndrome. Circulation 1996;93:1579-87. Ismail D, Alwi I, Hakim L, Soelistijo H, Abdurahman N. Gambaran ekokardiografi pasien lupus eritematosus sistemik. Maj Kedokt Indon 1999;49:350-3. Jouhikainen T, Pohjola SS, Stephanssou E. Lupus anticoagulant and cardiac manifestations in systemic erythematosus. Lupus 1994;3(3): 167-72. Kahl LE. The spectrum of pericardial tamponade in systemic lupus erythematosus. Report of ten patients. Arthritis-Rheum 1992;35:1343-9. Klinkhoff AV, Thompson CR, Reid GD, Tomlinson CW. M-mode and two dimensional echocardiography abnormalities in systemic lupus erythematosus. JAMA 1985;253:3273-7. Khamashta MA, Cervera R, Asherson RA, et al. Association of antibodies against phospholipids with heart valve disease in systemic lupus erythematosus. Lancet 1990;335: 1541-4. Leung WH, Wong KL, Lau CP, Wong CK, Cheng CH. Cardiac abnormalities in systemic lupus erythematosus: a prospective M-mode cross sectional and Doppler ekokardiografi study. Int J Cardiol 1990;27(3):267-75. Levine JS, Branch DW, Raugh J. The antiphospholipid syndrome. N Engl J Med 2002;346:752-63. Leung WH, Wong KL, Lau CP, Wong CK, Liu HW. Association between antiphospholipid antibodies and cardiac abnormalities in patients with systemic lupus erythematosus. Am J Med 1990;89:411-9.
Lolli C, Foscoli M, Giofre R, Tarquinii M, Pasquali S, Toschi GP. Cardiac anomalies in systemic lupus erythematosus: their , prevalence and relation to duration, disease activity and the presence of antiphospholipid antibodies. G ltal Cardiol 1993;23(11): 1 125-34. Lorell BH, Braunwald E. Pericardial disease. In: Braunwald, editor. Heart disease: a textbook of cardiovascular medicine. 4th ed. Philadelphia: WB Saunders Co.; 1992. p. 1465-1 5 16. Mandell BF. Cardiovascular involvement in systemic lupus erythematosus. Semin Arthritis Rheum 1987; 17: 126-4 1 . Nihoyannopoulos P, Gomez PM, Jostn J, Loizou S, Walport MJ, Oakley CM. Cardiac abnormalities in systemic lupus erythematosus. Circulation 1990;81:369-75. Ong ML, Veerapen K, Chambers JB, Lim MN, Manisavagar M, Wang F. Cardiac abnormalities in systemic lupus erythematosus: prevalence and relationship to disease activity. Int J Cardiol 1992;34(1):69-74. Qiusmorio FP. Systemic corticosteroid therapy in systemic lupus erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH, Qiusmorio FP, Klienberg JR, editors. Dubois' Lupus Erythematosus. 4th ed. Philadelphia: Lea & Febiger; 1993. p.574-8. Quismorio Jr. FP cardiac abnormalities in systemic lupus erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH, editors. Dubois' Lupus Erythematosus. 4th ed. Philadelphia: Lea & Febiger; 1993. p.332-42. Roldan CA, Shively BK, Lau CC, Gurule Fr, Smith FA, Crawford MH. Systemic lupus erythematosus valve disease by transesophageal echocardiography and the role of antiphospholipid antibodies. J Am Coll Cardiol 1992;20:112734. Roldan CA, Shively BK, Crawford MH. An echocardiography study of valvular heart disease associated with systemic lupus erythematosus. N Engl J Med 1996;335:1424-30 Steven MB. Systemic lupus erythematosus and the cardiovascular system: the heart. In: Lahita R G editor. Systemic lupus Erythematosus. 2nd ed. New York: Churchill Livingstone; 1992. p.70717. Ward MM, Pyum E, Studenski S. Causes of death in systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 1995;38: 149-9.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
TUMOR JANTUNG Idrus Alwi
TUMOR PRIMER
yang dapat disembuhkan dengan operasi, penting halnya diagnosis ditegakkan secara dini bila ada kecurigaan.
Tumor jantung primer jarang dijumpai. Insidennya antara 0,00 17-0,19 % pada pasien yang diautopsi. Kurang lebih tiga perempatnya jinak secara histologis, dan sisanya, yang hampir dalam seluruh kasus merupakan sarkoma, adalah tumor ganas. Hampir separuh tumor jantung jinak adalah miksoma dan mayoritas sisanya adalah lipoma, fibroelastoma papiler dan rabdomioma. Sebelum tahun 195 1, diagnosis tumor intrakardiak dibuat hanya saat pemeriksaanpost mortem. Pada saat itu diagnosis tumor atrium kiri dikonfirmasi dengan pemeriksaan angiokardiografi. Penemuan ekokardiografi memungkinkan diagnosis tumor jantung antemortem. Metode pencitraan diagnostik tambahan mencakup computed tomography (CT) dan nuclear magnetic resonance imaging (MRI). Karena seluruh tumor jantung memiliki potensi komplikasi yang mengancam jiwa, dan sekarang banyak
Tipe Jinak (Benigna) - Miksorna - Rabdorniorna - Fibroma - Hernangioma - Nodal atrioventrikular - Sel granular - Liporna - Paragangliorna - Harnartorna rniositik - Kardiorniopati histiositoid - Pseudoturnor inflarnasi - Tumor jinak lain Ganas (Maligna)
- Sarkorna - Lirnforna
Jumlah
Persen
Manifestasi Klinis Tumor jantung mungkin muncul dengan berbagai jenis manifestasi kardiak dan nonkardiak. Lokasi dan ukuran tumor merupakan penentu utama gejala-gejala dan tandatanda khusus. Sebagian besar muncul dalam manifestasi penyakit jantung yang lebih umum, seperti nyeri dada, sinkop, gaga1jantung, murmur, aritmia, gangguan konduksi, dan efusi perikard dengan atau tanpa tamponad.
Miksoma adalah tipe tumor jantung primer yang paling sering dijumpai pada seluruh kelompok usia, terhitung sepertiga sampai setengah kasus pada pemeriksaan postmortem dan sekitar tiga perempat tumor ditangani dengan operasi. Dapat muncul di segala usia, paling sering pada dekade ketiga sampai keenam, dengan predileksi pada perempuan. Miksoma biasanya muncul sporadis, namun sebagian berhubungan dengan transmisi dominan autosomal atau merupakan bagian dari sindrom yang melibatkan sekelompok kelainan termasuk lentigines ataupigmented nevi, penyakit korteks adrenal nodular primer dengan atau tanpa sindrom Cushing's, fibroadenoma mammae miksomatosa, tumor testikular, danlatau adenoma pituitari dengan gigantisme atau akromegali. Pasien-pasien dengan kompleks Carney memiliki pigmentasi kulit yang tidak merata, miksomas, overaktivitas endokrin, dan schwannomas yang disebabkan oleh mutasi gen encoding protein kinase A tipe I-a regulatory submit. Berbagai penemuan tertentu dirujuk sebagai sindrom NAME (nevi, atrial myxoma, myxoid neurojibroma, and
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
TUMOR JANTUNG
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI ephelides) atau sindrom LAMB (lentigines, atrial myxoma, and blue nevi). Kurang lebih 7% miksoma jantung berhubungan atau merupakan bagian dari sindrom miksoma dengan sekelompok kelainan yang digambarkan di atas. Secara patologis, miksoma adalah neoplasma yang berasal dari endokardial. Miksoma mempunyai struktur gelatin yang terdiri dari sel-sel miksoma yang terletak pada stroma yang kaya akan glikosaminoglikan. Umumnya polipoid, sering pedunculated pada jibrovascular stalk dan memiliki diameter berkisar antara 1- 15 cm, sebagian besar 5-6 cm. Sebagian besar soliter dan terletak pada atrium, khususnya bagian kiri, di mana mereka muncul dari septum interatrial kurang lebih darifossa ovalis. Kebalikan dari tumor-tumor sporadis, tumor familial atau tumor sindrom miksoma cendemng muncul pada individu yang lebih muda, multipel atau ventrikular, dan memiliki kekambuhan yang lebih sering pasca operatif, mungkin menunjukkan asal yang multisentrik. Miksoma jantung biasanya berkembang di atrium. Sekitar 75% berasal dari atrium kiri dan 15-20% di atrium kanan. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis miksoma ditentukan oleh lokasi, ukuran dan mobilitas. Miksoma umumnya muncul dengan tandatanda dan gejala yang obstruktif, embolik, atau konstitusional. Manifestasi klinis yang paling umum menunjukkan penyakit katup mitral seperti stenosis karena prolaps tumor ke dalam orifisium rnitral, atau regurgitasi karena trauma valvular yang disebabkan tumor. Miksoma ventrikular mungkin menyebabkan penyumbatan aliran ke luar (outflow) yang mirip dengan stenosis subaortik atau subpulmonik. Gejala-gejala dan tanda-tanda miksoma mungkin karena onset mendadak atau posisional yang pada dasamya, merefleksikan perubahan dalam posisi tumor karena gaya gravitasi. Penemuan auskultasi, disebut "tumor plop", merupakan suara rendah yang khusus yang mungkin terdengar selama diastol awal atau mid-diastol dan dianggap karena berhentinya tumor secara mendadak begitu tumor menabrak dinding ventrikular. Karena sebagian miksoma berlokasi di atrium kiri, emboli sistemik sering ditemukan. Miksoma juga mungkin muncul sebagai emboli perifer atau emboli Pam. Gejala dan tanda-tanda konstitusional termasuk demam, turunnya berat badan, kakeksia, malaise, mialgia, artralgia, rash, hipergammaglobulinemia, Karena sebagian miksoma berlokasi di atrium kiri, emboli sistemik sering ditemukan. Anemia umumnya normokrom atau hipokrom, namun anemia hemolitik mungkin juga ditemukan karena destruksi mekanik eritrosit oleh tumor. Tanda lain yang lebih jarang seperti leukositosis, trombositopenia, sianosis, clubbing dan fenomena Raynaud's. Miksoma seringkali salah didiagnosis sebagai endokarditis, penyakit vaskular kolagen, atau tumor nonkardiak.
Pemeriksaan Penunjang Ekokardiografi transtorakal atau transesofageal berguna dalam menentukan diagnosis.miksoma jantung dan memungkinkan penentuan tempat menempelnya tumor dan ukuran tumor, yang merupakan pertimbangan penting dalam perencanaan eksisi bedah. Computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging ( M R I ) khusus mungkin memberikan informasi penting sehubungan dengan ukuran, bentuk, komposisi, dan karakteristik permukaan tumor. Karena miksoma mungkin familial, penapisan dengan ekokardiografi pada keturunan generasi pertama penting, khususnya jika pasien masih muda dan memiliki tumor berganda atau terdapat sindrom miksoma. Meskipun kateterisasi jantung dan angiografi sebelumnya telah dipraktekkan secara rutin sebelum operasi, kateterisasi ruang di mana tumor tersebut berasal membawa risiko emboli tumor. Kateterisasi tidak lagi dianggap penting jika ada informasi noninvasif yang cukup dan tidak difikirkan penyakit-penyakit jantung lain (misalnya penyakit jantung koroner). Penatalaksanaan Penatalaksanaan terpilih pada miksoma adalah operasi, dan biasanya kuratif. Jika diagnosis sudah ditegakkan, operasi hams segera dikerjakan, karena kemungkinan komplikasi emboli atau mati mendadak. Pada sebagian besar kasus, miksoma jantung dapat dibuang dengan mudah karena pedunculated.
R e y n e n N Engl J Mcd 1995.3331610-7
Gambar 1. Ekokardiografi mode M dan 2-D menunjukkan miksoma atrium kiri
TUMOR JlNAK LAINNYA Lipoma jantung meskipun relatif sering, biasanya merupakan penemuan insidental pada pemeriksaan postmartem. Tumor ini mungkin tumbuh sampai sebesar 15 cm dan mungkin muncul dengan gejala karena interferensi mekanik dengan fungsi jantung, aritmia, atau gangguan konduksi, atau sebagai abnormalitas siluet jantung pada periksaan foto rontgen dada.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Fibroelastoma papiler, relatif merupakan penemuan sering pada katup-katup jantung atau adjacent endothelium padapostmortem, namun jarang menyebabkan gejalagejala klinis. Terkadang, perkembangannya mungkin menyebabkan interferensi mekanik dengan fungsi katup. Rabdomioma dan fibroma, merupakan tumor-tumor yang paling sering muncul pada bayi dan anak-anak, paling sering muncul pada ventrikel dan karena itu menunjukkan tanda-tanda dan gejala obstruksi mekanik yang mungkin mirip dengan stenosis valvular, gagal jantung kongestif, kardiomiopati hipertrofik atau restriktif, dan konstriksi perikard. Rabdomioma mungkin merupakan pertumbuhan hamartomatous; multipel pada 90% kasus; dan mungkin berhubungan dengan tuberous sclerosis, adenoma sebaseum, dan tumor ginjal jinak pada kurang lebih 30% pasien. Adanya kalsifikasi tumor kardiak sangat menyokong adanya fibroma, meskipun miksoma dan sarkoma juga mungkin mengalami kalsifikasi. Hemangioma dan mesotelioma umumnya adalah tumor yang kecil, paling sering lokasinya intramiokardial, dan mungkin menyebabkan gangguan konduksi atrioventrikular dan bahkan kematian mendadak karena kecendemngan muncul pada regio nodus AV. Tumor jinak lain yang muncul dari jantung termasuk teratoma, chemodectoma, neurilemoma, mioblastoma sel granular, dan kista bronkogenik.
SARKOMA Hampir semua keganasan jantung primer adalah sarkoma, yang mungkin terdiri dari beberapa tipe histologis. Umumnya, tumor-tumor ini dicirikan dengan memburuknya keadaan dengan cepat yang mengarah ke kematian pasien dalam beberapa minggu atau bulan mulai dari presentasi awal karena gangguan hemodinamik, invasi lokal, atau metastasis jauh. Sarkoma umumnya melibatkan sisi kanan jantung, dan karena pertumbuhan yang sangat cepat, invasi ke mang perikardial dan penyumbatan jantung atau vena kava sering dijumpai. Sarkomajuga mungkin muncul pada bagian kiri jantung dan mungkin disalahartikan sebagai miksoma.
leukemia dan limfoma. Dalam jumlah yang absolut, lokasi asal utama yang paling sering pada metastasis jantung adalah karsinoma payudara dan paru-pam, merefleksikan angka kejadian kanker ini yang tinggi. Metastasis jantung hampir selalu muncul pada penyakit primer yang menyebar, dan seringkali penyakit primer atau penyakit metastasis muncul di suatu tempat di rongga dada. Metastasis jantung terkadang merupakan manifestasi awal tumor di suatu tempat dalam tubuh. Metastasis jantung mencapai jantung dari aliran darah, limfa, atau invasi langsung. Umurnnya metastasis ini adalah nodul-nodul kecil dan padat. Infiltrasi difus juga mungkin terjadi, terutama pada sarkoma atau neoplasma hematologis. Perikardium seringkali terlibat, diikuti dengan keterlibatan miokard dari ruang jantung, dan,jarang dengan keterlibatan endokardium atau katup-katup jantung. Metastasis jantung menyebabkan manifestasi klinis hanya sekitar 10% dan jarang merupakan penyebab kematian. Pada sebagian besar keadaan metastasis bukanlah penyebab gambaran klinis yang nampak namun muncul sebagai neoplasma ganas yang dikenal sebelumnya. Meskipun metastasis jantung mungkin muncul dengan sebagian besar tanda-tanda dan gejala non-spesifik, yang paling umum adalah sesak, tanda-tanda perikarditis akut, tamponad jantung, peningkatan siluet jantung mendadak pada pemeriksaan foto rontgen dada, takiaritmia ektopik atau blok AV yang baru, dan gagal jantung kongestif. Seperti tumor jantung primer lainnya, presentasi klinisnya terkait dengan lokasi dan ukuran tumor dibandingkan dengan tipe histologis. Banyak tandatanda dan gejala-gejala juga muncul bersama miokarditis, perikarditis, atau kardiomiopati yang diakibatkan radioterapi atau kemoterapi. Penemuan elektrokardiografi tidak spesifik. Pada foto rontgen dada siluet jantung paling sering normal namun mungkin menunjukkan efusi perikard atau kontur yang aneh. Ekokardiografiberguna untuk diagnosis efusi perikard dan visualisasi metastasis yang lebih besar. Computed tomography (CT), MRI, dan penggambaran radionuclide dengan galium atau talium mungkin memberikan informasi anatomis yang berguna. Angiografi dapat menggambarkan lesi-lesi yang jelas, dan perikardiosentesis memungkinkan diagnosis sitologis spesifik.
TUMOR METASTASIS PADA JANTUNG REFERENSI Tumor metastatis pada jantung jauh lebih sering dibandingkan dengan tumor primer, dan rata-rata kejadiannya kemungkinan meningkat karena harapan hidup pasien dengan berbagai bentuk neoplasma ganas diperpanjang dengan terapi yang lebih efektif. Meskipun metastasis jantung muncul pada 1 sampai 20% dari seluruh tipe tumor, rata-rata kejadiannya relatif tinggi terutama pada melanoma ganas dan, dalam skala yang lebih kecil, pada
Blondeau P. Primary cardiac tumors -French studies of 533 cases. Thorac Cardiovasc Surg 1990;38:Suppl 2: 192-5. Colucci WS, Price DT. Cardiac tumors, cardiac manifestations of systemic diseases, and traumatic cardiac injury. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, et al. Eds. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16 th Ed. 2005.p.1420-5. Di.0 T, Cantelmo NL, Haudenschild CC, Watkins MT. Atrial myxoma with remote metastasis: case report and review of the literature. Surgery 1992;l 1 1 :352-6.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1821
TUMORJANTUNC
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Lane GE, Kapples EJ, Thompson RC, Grinton SF, Finck SJ. Quiescent left atrial myxoma. Am Heart J 1994;127: 1629-3 1. Lie JT. The identity and histogenesis of cardiac myxamas: a controversy put to rest. Arch Pathol Lab Med 1989;113:7246. Pochis WT, Wingo MW, Cinquegrani MP, Sagar KB. Echocardiographic demonstration of rapid growth of a left atrial myxoma. Am Heart J 1991; 122:1781-4. Reynen K. Cardiac myxomas. N Engl J Med 1995;333:1610-7. Sharma SC, Kulkarni A, Bhargava V, Modak A, Lashkare DV. Myxoma of tricuspid valve. J Thorac Cardiovasc Surg 1991;101:938-40. Wada A, Kanda T, Hayashi R, Imai S, Suzuki T, Murata K. Cardiac myxoma metastasized to the brain: potential role of endogenous interleukin-6. Cardiology 1993;83:208-11. Wrisley D, Rosenberg J, Giambartolomei A, Levy I, Turiello C, Antonini T. Left ventricular myxoma discovered incidentally by echocardiography. Am Heart J 1991;121:1554-5.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
KEHAMILAN PADA PENYAKIT JANTUNG Sally Aman Nasution, Ryan Ranitya
PENDAHULUAN Kehamilan berhubungan dengan perubahan fisiologis yang membutuhkan penyesuaian sistem kardiovaskular, karena perubahan ini merupakan kejadian yang dramatis dan reversibel pada hemodinamik kardiovaskular. Jantung yang normal akan dapat beradaptasi dengan perubahan yang mendadak ini, tetapi pada jantung yang sakit kehamilan dapat mengakibatkan perburukan pada kelainan atau gangguan yang ada. Masa kehamilan, persalinan, melahirkan maupun masa pasca melahirkan merupakan periode yang erat hubungannya dengan perubahan sirkulasi kardiovaskular. Perubahan hemodinamik yang perlu mendapat perhatian pada seorang perempuan hamil yang telah atau baru diketahui menderita masalah kardiovaskular adalah: denyut jantung, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, isi sekuncup, curah jantung, resistensi vaskular sistemik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri jantung. Cukup banyak perempuan dengan kelainan jantung bawaan maupun yang didapat, mampu melalui masa-masa reproduksi dengan baik. Para dokter yang mengetahui dan merawatnya mempunyai peran penting untuk mewaspadai kesulitan-kesulitan yang kemungkinan besar dapat mereka hadapi selama kehamilan tersebut. Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit jantung merupakan komplikasi pada 1-4% perempuan hamil tanpa kelainan atau gangguan kardiovaskular sebelumnya.4 Bila memungkinkan perempuan yang diketahui memiliki kelainan atau gangguan kardiovaskular terlebih dahulu berkonsultasi kepada ahlinya mengenai segala ha1 termasuk risiko kehamilan terhadap diripya dan janin yang dikandungnya. Hal ini juga berhubungan dengan konsultasi perkawinan, kehamilan, persalinan, kontrasepsi dan bila diperlukan konsultasi genetika. Pengetahuan yang baik mengenai fisiologi normal pada
kehamilan sangat membantu penatalaksanaan pasien dengan penyakit jantung tersebut. Beberapa penyakit jantung yang sering ditemukan pada perempuan hamil baik yang sebelumnya telah diketahui menderita penyakit jantung maupun yang baru terdiagnosis saat hamil antara lain: penyakit jantung bawaan maupun yang didapat, penyakit jantung koroner, kardiomiopati, endokarditis infektif dan aritmia. Sedangkan ha1 lain yang tidak boleh dilupakan apabila menghadapi pasien hamil dengan penyakit jantung adalah pemilihan obat-obatan kardiovaskular termasuk antikoagulan.
PERUBAHANHEMODlNAMlKSELAMA KEHAMILAN Selama kehamilan sampai saat setelah melahirkan akan terjadi perubahan fisiologis hemodinamik. Perubahan ini akan dimulai pada awal minggu ke-5 sampai minggu ke-8 dan mencapai puncaknya pada akhir trimester kedua kehamilan. Pada masa-masa ini perubahan hemodinamik tersebut dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis pada jantung yang telah sakit sebelumnya. Atau dapat pula terjadi bahwa diagnosis kelainan atau penyakit jantung baru diketahui saat kehamilan terjadi.
VOLUME DARAH Perubahan hormonal saat kehamilan yaitu aktivasi estrogen oleh system renin aldosteron, di mana terjadi relaksasi otot polos yang diikuti pembentukan plasenta dan sirkulasi fetus, dan retensi air serta natrium akan meningkatkan volume darah 40% yang dimulai pada awal minggu kelima dari kehamilan tersebut. Peningkatan ini akan mencapai 50% sampai akhir masa kehamilan. Peningkatan volume darah tersebut akan lebih besar pada
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
*
KEHAMLLAN PADAPENlWaTJANNNC
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kehamilan ganda dibandingkan kehamilan dengan janin tunggal. Pada kehamilan normal peningkatan volume darah tersebut dapat mencapai 20-1 00% dengan rata-rata SO%, ha1 ini berarti terdapat 1200- 1600 mL volume darah lebih banyak dibandingkan dalam keadaan tidak hamil. Peningkatan volume ini lebih besar dibandingkan peningkatan massa sel darah merah, sehingga terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin. Mekanisme ini yang mendasari5e rjadinya anemia pada kehamilan.
Selama kehamilan curah jantung akan mengalami peningkatan 30-50% dibandingkan sebelumnya dan mencapai puncaknya pada minggu ke-24 kehamilan atau akhir trimester kedua, kemudian menetap atau bahkan mengalami penurunan sampai saat melahirkan. Beberapa penyebab perubahan pada curah jantung ini adalah: 1. Peningkatan preloud akibat bertambahnya volume darah 2. Penurunan afterload akibat menurunnya resistensi vaskular sistemik 3. Peningkatan denyut jantung ibu saat istirahat sampai 10-20 kali permenit. Peningkatan curah jantung ini terutama dicapai dengan peningkatan isi sekuncup. Apabila terjadi kegagalan untuk mencapai keadaan ini akan terlihat dengan terjadinya takikardia pada saat istirahat, ha1 ini menunjukkan rendahnya kemampuan dalam pengisian ventrikel kiri.
IS1SEKUNCUP Isi sekuncup akan meningkat 20-30% selama trimester pertama dan kedua di mana ha1 ini akan meningkatkan curah jantung. Kemudian akan menurun pada trimester ketiga akibat kompresi pada vena cava akibat uterus kehamilan. Efek langsung kehamilan pada kontraktilitas jantung masih kontroversial. EVALUASI KARDIOVASKULAR SELAMA KEHAMILAN Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis Evaluasi kardiak pada pasien hamil seringkali sukar karena sulit membedakan antara proses fisiologis dengan patologis. Kebanyakan perempuan hamil mengalami gejala palpitasi, bengkak, sesak napas saat beraktivitas, atau lelah walaupun tanpa diketahui menderita penyakit jantung. Beberapa gejala seperti nyeri dada saat aktivitas atau
pingsan relatifjarang ditemukan pada kehamilan, sehingga hams dilakukan evaluasi kardiak. Pertambahan volume plasma total akan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan vena jugularis dan edema tungkai bawah pada > 80% perempuan dengan keharnilan normal. Perkembangan ukuran uterus sesuai bertambahnya masa kehamilan akan mengakibadcan pergerakan diatiagma lebih ke atas sehingga menwunkan volume paru. Elevasi diafragma dan volume darah yang bertambah juga menyebabkan bergesemya letak impuls ventrikel kearah lateral pada inspeksi dan palpasi prekordiurn. Peningkatan isi sekuncup menyebabkan mengerasnya suara saat penutupan katup di aorta dan pulmonal, sehingga akan terdengar murmur earlv systolic yang kngsional di daerah pulmonal. Secara umum, murmur diastolic dan irarna gallop tidak normal ditemukan selama kehamilan. Apabila ditemukan kelainan tersebut hams dipikirkan adanya abnormalitas kardiak secara struktur maupun fungsional yang mendasarinya. Pada sekitar 15% perempuan, murmur diastolik fisiologis seringditemukan di batas stemalis kiri. Murmur ini terjadi akibat meningkamya aliran darah melalui arteri mamaria interna, di mana aliran tersebut menuju payudara yang dipersiapkan selama kehamilan. Murmur akan menetap pada saat laktasi. Tekanan nadi yang meningkat sering ditemukan selama kehamilan, dapat pula menimbulkan Q ~ t i :c. nsign ~ pada dasar kuku perifer, dan sering membingungkan antara aliran mamaria dan regurgitasi aorta. Pemeriksaan penunjang seperti ekokardiografi kemungkinan dibutuhkan untuk meinbedakan proses fisiologis dengan patologis tersebut. Pemeriksaan Penunjang Elektrokardiografi : terdapat beberapa gambaran EKG pada perempuan dengan kehamilan normal, di antaranya: Deviasi axis QRS, gelombang Q, kecil dan inversi gelombang P pada lead 111 (menghilang saat inspirasi), perubahan pada segmen ST dan gelombang T, sinus takikardia yang terus menerus, insidensi yang tinggi terjadinya aritmia, peningkatan rasio R/S pada lead V2 dan V 1 Radiograti Dada: Beberapa perubahan yang dapat ditemukan selama kehamilan normal, di antaranya :Batas kiri atas jantung yang mendatar, posisi jantung lebih mendatar, corakan paru yang meningkat, efusi pleura minimal pada awal periode post partum Ekokardiograti Doppler: Gambaran ekokardiografi dan Doppler pada kehamilan normal, antara lain :Peningkatan minimal dari dimensi ventrikel kiri saat sistolik dan diastolik (bila pasien diperiksa dalam posisi lateral), fungsi sistolik ventrikel kiri yang tidak berubah atau sedikit mengalami perbaikan, peningkatan ukuran yang moderate dari atrium kanan, ventrikel kanan dan atrium kiri, dilatasi progresif dari annulus katup-katup
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pulmonar, trikuspid dan mitral, regurgitasi fungsional dari pulmonar, trikuspid dan mitral, efusi perikardial minimal Uji Latih Radiasi MRI Kateterisasi Arteri Pulmonal Kateterisasi Jantung
pada saat konseling sebelum terjadinya kehamilan. Pada studi kohort lain, di antara 64 perempuan dengan penyakit katup jantung, kebanyakan efek buruk pada ibu, seperti gagal jantung dan aritmia, terjadi pada pasien dengan klinis bermakna stenosis mitral atau stenosis aorta ( luas katup < 1,s cm2 ).
PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL PENYAKITKATUPJANTUNG DENGAN KEHAMllAN Penyakit katup jantung pada perempuan usia muda paling banyak disebabkan oleh penyakit jantung reumatik, kelainan congenital atau riwayat endokarditis sebelumnya. Kelainan ini dapat meningkatkan risiko ibu dan janin sehubungan dengan kehamilan. Risiko ibu dan janin tersebut berbeda-beda tergantung dari jenis dan berat kelainan katup jantung yang diderita si ibu, dan hasil akhir dari gangguan kapasitas fungsional, fungsi ventrikel kiri dan tekanan pulmonal. Beberapa lesi katup spesifik yang sering ditemukan adalah : stenosis mitral, regurgitasi mitral, stenosis aorta, regurgitasi aorta dan katup jantung protesa. Walaupun prevalensi klinis kejadian penyakit jantung pada perempuan hamil cukup rendah (*< I%), tetapi ha1 ini dapat meningkatkan risiko morbiditas maupun mortalitas pada ibu, janin dan neonatus yang akan dilahirkan. Hal-ha1 buruk terhadap ibu yang tidak diinginkan antara lain : edema paru, bradiaritmia yang menetap atau takiaritmia yang membutuhkan terapi, strok, henti jantung bahkan sampai kematian), dapat terjadi 13% di antara kehamilan aterm. Kejadian tersebut lebih sering mengenai perempuan dengan keadaan: fungsi sistolik ventrikel kiri yang menurun (Fraksi Ejeksi < 40%), obstruksi jantung kiri (stenosis aorta dengan luas area katup < 1,5 cm2 atau stenosis mitral dengan luas area katup < 2,O cm2), riwayat gangguan kardiovaskular (gagal jantung, transient ischemic attack, atau strok) atau penurunan kapasitas fungsional yang bermanifestasi NYHA klas I1 atau di atasnya. Prediktor komplikasi neonatus seperti kelahiran prematur, IUGR (intrauterine growth retardation), sindrom distres pernapasan, perdarahan intraventrikular dan kematian. Petunjuk lain mengenai kemungkinan terdapatnya efek buruk pada neonatus adalah: penggunaan obat antikoagulan selama kehamilan, merokok saat hamil dan kehamilan ganda. Dikatakan bahwa mortalitas janin 4% di antara perempuan hamil dengan satu atau lebih factor risiko, dibandingkan dengan 2% di antara perempuan hamil tanpa factor risiko. Risiko pada janin ini juga lebih besar pada perempuan yang berusia lebih dari 35 tahun atau lebih muda dari 20 tahun, dibandingkan dengan perempuan pada usia tersebut tanpa faktor risiko. Perkiraan risiko ini dapat dipergunakan
Pasien dengan Risiko Tinggi Semua pasien yang mengalami gangguan kapasitas fungsional jantung sesuai NYHA klas 111 atau IV selama kehamilan merupakan risiko tinggi, tanpa tergantung apapun penyebabnya. Beberapa keadaan yang merupakan kehamilan dengan risiko tinggi adalah pasien dengan kelainan: Hipertensi Pulmonal : Penyakit vaskular pulmonal berat apakah dengan (sindrom Eisenmenger) atau tanpa defek septa1telah dikenal mempunyai risiko yang sangat tinggi terhadap kematian maternal (30-50%). Hal ini terutama disebabkan oleh peningkatan resistensi vascular paru akibat trombosis pulmonal atau nekrosis fibrinoid yang berkembang dengan cepat pada saat menjelang kelahiran dan setelah melahirkan, dan dapat mengakibatkan kematian walaupun pada pasien dengan keluhan minimal sebelumnya. Pada sindrom Eisenmenger, pintas dari kanan ke kiri yang meningkat selama kehamilan akibat vasodilatasi sistemik dan beban berlebih di ventrikel kanan dengan meningkatnya kejadian sianosis serta penurunan aliran darah di pulmonal. Obstruksi berat LVOT (left ventricular outflow tract) : resistensi pada jalur keluar dari jantung (terutama Aorta) tidak akan mampu mengakomodasi peningkatan curah jantung akibat meningkatnya volume plasma. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung, dengan peningkatan tekanan di ventrikel kiri dan pembuluh kapiler paru, curah jantung menurun dan bendungan di paru. Penyakit jantung sianotik : dari seluruh kematian maternal akibat penyakit jantung sianotik ini diperkirakank 2% dengan komplikasi risiko tinggi (30%) seperti endokarditis infektif, aritmia dan gagal jantung kongestif. Prognosis pada janin juga tidak terlalu baik dengan risiko tinggi terjadinya abortus spontan (50%), kelahiran premature (30-50%) dan bayi dengan berat badan kurang akibat hipoksemia pada ibu yang menghambat pertumbuhan dan perkembagan janinnya. Penatalaksanaan Pasien dengan Risiko Tinggi Pada pasien yang termasuk dalam risiko tinggi, tidak dianjurkan untuk hamil. Tetapi bila kehamilan telah terjadi,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1825
KEHAMILAN PADA PENYAKIT JANTUNG
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
sangat dianjurkan untuk dilakukan terminasi mengingat risiko terhadap ibu yang masih tinggi (mortalitas 8-35%, morbiditas 50%). Dan perlu diingat tindakan terminasi kehamilan pun mengandung risiko tinggi terhadap ibu karena akan terjadi vasodilatasi dan depresi dari kontraktilitas miokard akibat tindakan pembiusan. Pembatasan aktivitas fisik dan tirah baring di tempat tidur sangat dianjurkan apabila timbul gejala-gejala. Pemberian oksigen apabila terjadi hipoksemia. Pasien dengan risiko tinggi tersebut dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit mulai dari akhir trimester kedua dan diberikan LMWH (low molecular weight heparin) subkutan sebagai pencegahan terjadinya tromboemboli terutama pada pasien sianotik. Pada kasus stenosis aorta, sangat penting untuk dilakukan pemantauan tekanan sistemik dan elektrokardiografi, dan apabila terjadi perubahan merupakan indikasi timbul atau memburuknya beban di ventrikel kiri. Tindakan valvotomi dengan balon dapat dipertimbangkan pada kasus yang berat bila keadaan katup masih dapat dimanipulasi, misalnya tidak terlalu kaku. Prosedur ini menjadi kontraindikasi apabila keadaan katup sudah mengalami kalsifikasi atau terjadi regurgitasi yang berat. Apabila memungkinkan tindakan ini paling baik dilakukan pada trimester kedua kehamilan di mana embriogenesis telah sempurna dan mencegah efek negatif dari kontras ionic terhadap kelenjar tiroid janin bila dilakukan pada akhir kehamilan. Penyakit jantung sianotik yang berat, membutuhkan pemantauan saturasi oksigen yang ketat. Kadar hematokrit dan hemoglobin tidak dapat menjadi indicator yang sesuai untuk keadaan hipoksemia oleh karena terjadi hemodilusi pada kehamilan. Bila terjadi hipoksemia berat pada ibu, dianjurkan untuk segera dilakukan terminasi kehamilan dan diharapkan dapat mengurangi beberapa pintas yang terjadi dan akan memperbaiki oksigenisasi. Pasien dengan Risiko Rendah Pasien dengan pintas yang kecil atau menengah tanpa hipertensi pulmonal atau regurgitasi katup ringan dan sedang biasanya akan mendapatkan keuntungan dari menurunnya resistensi vascular sistemik yang terjadi selama kehamilan. Pasien dengan obstruksi LVOT (left ventricular outflow tract) ringan atau sedang biasanya juga dapat mentoleransi kehamilan dengan baik. Pada beberapa kasus gradien tekanan akan meningkat sesuai dengan peningkatan isi sekuncup. Walaupun biasanya pada obstruksi RVOT (right ventricular out'ow tract) yang berat seperti stenosis pulmonal juga dapat mentoleransi kehamilan dengan baik dan sedikit sekali yang membutuhkan tindakan intervensi selama kehamilan. Evaluasi Fetus Pada setiap perempuan hamil dengan penyakit jantung
kongenital perlu dilakukan evaluasi kardiak terhadap janinnya. Evaluasi ini menjadi sangat penting karena pada janin tersebut mempunyai risiko 1-2% untuk menderita penyakit jantung congenital. Waktu dan Cara Melahirkan Pada sebagian besar pasien, diindikasikan untuk melahirkan secara spontan dengan mempergunakan pembiusan epidural sehingga dapat menghindari stres karena nyeri selama proses persalinan. Pasien dengan risiko tinggi, sebaiknya dilakukan operasi Caesar yang terencana, ha1 ini bertujuan agar keadaan hemodinamik dapat dijaga tetap stabil. Walaupun curah jantung meningkat baik pada pembiusan umum maupun epidural, tetapi peningkatannya masih di bawah (30%) kenaikan selama kelahiran spontan (50%). Apabila pasien harus dilakukan operasi jantung, maka tindakan operasi Caesar dapat dilakukan segera sebelumnya. Selama proses persalinan hams dilakukan pemantauan keadaan hemodinamik dan analisis gas darah. Pasien hamil dengan penyakit jantung congenital sebaiknya ditangani oleh tim dari berbagai disiplin ilmu, seperti ahli jantung, ahli bedah jantung, ahli anestesi, ahli kebidanan, ahli neonatology, untuk meminimalisasi risiko yang mungkin terjadi pada ibu dan janin.
PENYAKIT KATUP JANTUNG YANG DIDAPAT
Penyakit katup jantung reurnatik merupakan masalah utama di masyarakat terutama di Negara berkembang. Walaupun di Negara Barat prevalensi demam reumatik sudah menurun, tetapi penyakit jantung reumatik masih dapat ditemukan, terutama di kalangan kaum imigran. Masalah lain yang sering menimbulkan kesulitan dalam penanganannya terutama apabila perempuan tersebut hamil adalah seseorang dengan protesa katup jantung, berkaitan dengan pemberian antikoagulan yang harus dikonsumsi seurnur hidup. Penyakit Katup Regurgitasi Regurgitasi mitral atau aorta berat pada perempuan usia muda biasanya disebabkan penyakit jantung reumatik. Perempuan dengan prolaps katup mitral mempunyai prognosis yang baik bila hamil, kecuali bila terdapat regurgitasi berat. Peningkatan volume darah dan curah jantung akan meningkatkan beban volume, demikian pula halnya pada katup yang mengalami regurgitasi. Tetapi penurunan resistensi vascular sistemik akan mengurangi fraksi regurgitasi tersebut sehingga akan terjadi mekanisme kom~ensasi. Pada regurgitasi katup aorta pemendekan diastolik akibat takikardia akan menurunkan volume regurgitan. Hal ini dapat menjelaskan mengapa kehamilan seringkali dapat
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pada kadar terapi mid-interval APTT atau anti faktor
ditoleransi dengan baik bahkan pada keadaan regurgitasi yang cukup berat. Gangguan toleransi hemodinamik kadangkala terjadi pada kasus regurgitasi akut tanpa disertai dilatasi ventrikel kiri. Gaga1jantung progresif pada pasien dengan regurgitasi dapat saja terjadi, terutama pada trimester ketiga. Bila tejadi gagal jantung, dibutuhkan diuretic dan vasodilator untuk menurunkan after load walaupun tekanan darah pasien tersebut rendah. Vasodilator yang dapat dipergunakan pada kehamilan seperti golongan nitrat dan calcium channel blocker dihidropiridin. Golongan angiotensin receptor antagonist dan ACE Inhibitor merupakan kontraindikasi untuk diberikan, sedangkan pada pemberian golongan hidralazine terutama pada trimester pertama dan kedua, sering terjadi efek withdrawal. Pembedahan sebaiknya dihindari selama kehamilan karena mengandung risiko terhadap janin dan tindakan ini hanya dipertimbangkan apabila terdapat gagal jantung yang refrakter, walaupun ha1 ini jarang ditemukan pada kelainan katup regurgitasi. Perbaikan katup mitral dapat dipertimbangkan apabila memungkinkan untuk dilakukan, tetapi perbaikan katup aorta jarang yang berhasil (kecuali pada Sindrom Marfan).
Penyakit Katup Stenotik Peningkatan jumlah curah jantung akan melalui katup yang mengalami stenotik, sehingga menimbulkan peningkatan tajam dari gradient transvalvular. Hal ini akan menyebabkan toleransi terhadap kehamilan menjadi buruk pada pasien dengan stenosis katup mitral maupun aorta yang berat. Kejadian perburukan fungsional seringkali terjadi selama trimester kedua kehamilan. Kehamilan pada Perempuan dengan Protese Katup Jantung Beberapa ha1 yang direkomendasikan harus dilakukan untuk evaluasi dan tatalaksana pada perempuan usia reproduksi dengan protesa katup jantung mekanik yang mendapatkan terapi antikoagulan adalah : Sebelum Konsepsi : Evaluasi klinis mengenai status hngsional jantung dan riwayat gangguan kardiak yang pernah dialami Pemeriksaan ekokardiografi untuk evaluasi fungsi ventrikel, katup dan tekanan pulmonal Diskusikan dengan pasien risiko yang berhubungan dengan kehamilan Diskusikan dengan pasien risiko dan manfaat yang berhubungan dengan terapi antikoagulan Rencana mengenai pernikahan dan kehamilan Masa Konsepsi Terapi antikoagulan oral diganti menjadi suntikan sejak saat diketahui telah terjadi kehamilan sampai minggu ke-12 (dosis heparin disesuaikan dengan titrasi sampai
Xa) Akhir Trimester Pertama Kehamilan : Terapi warfarin, minggu 12-36 kehamilan Minggu ke-36 Kehamilan : Warfarin dihentikan Ganti dengan heparin (titrasi dosis sampai kadar terapi APTT atau anti faktor Xa) Persalinan : Mulai kembali terapi heparin 4-6 jam setelah melahirkan bila tidak terdapat kontraindikasi Berikan terapi warfarin pada malam hari setelah melahirkan bila tidak terdapat kontraindikasi Apabila persalinan dimulai saat perempuan sedang mendapatkan terapi warfarin, antikoagulan ditunda sementara dan dianjurkan persalinan dilakukan melalui operasi sesar.
PENYAKITJANTUNG KORONER
Walaupun kemungkinan terjadinya penyakit arteri koroner pada perempuan hamil dapat meningkat karena semakin tinggi usia perempuan hamil dan fertilisasi, tetapi angka kejadian infark miokard masih dapat dikatakan jarang di antara perempuan usia reproduksi, bahkan kejadian pada periode peripartum. Dari beberapa factor-faktor risiko yang terdapat bersamaan, dikatakan bahwa kadar kolesterol total, kadar kolesterol LDL dan kadar trigliserida akan meningkat secara bermakna selama kehamilan. Dan sebagai prediktor paling kuat untuk terjadinya infark miokard dikatakan adalah kombinasi antara perokok berat atau hipertensi dengan penggunaan kontrasepsi oral. Demikian pula perempuan dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah atau kelahiran preterm dapat meningkatkan risiko penyakit arteri koroner. Infark miokard pada kehamilan dilaporkan terjadi pada usia antara 16-45 tahun. Insidens tertinggi terjadi pada trimester ketiga dan pada perempuan dengan usia lebih dari 33 tahun. Dikatakan pula bahwa kejadian infark miokard tersebut lebih sering terjadi pada multigravida dengan lokasi infark yang tersering di dinding anterolateral. Kebanyakan kematian maternal terjadi saat terjadinya infark atau dalam waktu 2 minggu. Penatalaksanaan infark miokard selama kehamilan sebaiknya mempertimbangkan keselamatan ibu dan janin. Beberapa obat-obatan seperti morfin sulfat sebagai antinyeri tidak menyebabkan defek kongenital. Tetapi karena obat tersebut melewati sawar plasenta, sehingga dapat menyebabkan terjadinya depresi pernapasan pada neonatus bila diberikan sebelum persalinan. Sedangkan laporan pada pemberian trombolitik selama kehamilan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
KEHAMILAN PADA PENYAKIT JANTUNC
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dikatakan tidak mempunyai efek teratogenik tetapi dari hasil terapi beberapa kasus ditemukan kejadian perdarahan pada ibu, terutama bila pemberian dilakukan pada saat persalinan. Sehingga dengan pertimbangan beberapa ha1 tersebut, pilihan terbaik pada saat kehamilan adalah dengan pemberian obat golongan penghambat beta. Sedangkan pemberian golongan aspirin dosis tinggi masih diperdebatkan karena dapat menyebabkan perdarahan pada neonatus dan ibu. Penggunaan aspirin dosis rendah dikatakan aman selama kehamilan. Untuk penatalaksanaan difokuskan untuk mengurangi stres kardiovaskular selama kehamilan dan periode peripartum. Terminasi kehamilan dianjurkan pada pasien yang mengalami iskemia berat atau gagal jantung pada awal kehamilan.
A. Kardiomiopati Peripartum Epidemiologi. Kejadian gagaljantung pada keharnilan telah dikenal sejak pertengahan abad ke-19, tetapi istilah kardiomiopati disebut-sebut mulai sekitar tahun 1930-an. Pada tahun 1971, Demakis dan kawan-kawan menemukan pada 27 pasien yang pada masa nifas menunjukkan gejala kardiomegali, gambaran elektrokardiografi yang abnormal dan gagal jantung kongestif, kemudian disebut sebagai kardiomiopati peripartum. Kesepakatan dari European Society of Cardiology menetapkan definisi dari kardiomiopati periparturn tersebut sebagai salah satu bentuk kardiomiopati dilatasi dengan tanda-tanda gagal jantung pada bulan terakhir kehamilan atau dalam 5 bulan pasca melahirkan. Pasien dengan kardiomiopati peripartum biasanya bermanifestasi gagal jantung dengan retensi cairan, aritmia atau tromboemboli. Pasien dengan gagal jantung ditatalaksana dengan terapi standar gagal jantung dan evaluasi berkala fungsi ventrikel. Terapi antikoagulan kadang-kadang diperlukan karena risiko tromboemboli tinggi. Biasanya kondisi jantung akan membaik dalam satu atau beberapa tahun tapi ada pula yang mengalami perburukan. Kardiomiopati peripartum ini relatifjarang tetapi dapat mengancam jiwa. Di Negara maju seperti Amerika Serikat saja, diketahui diperkirakan terdapat pada 1 dari setiap 2.289 kelahiran hidup. Dan keadaan ini lebih sering mengenai wanita Afiika Amerika. Angka kejadian pastinya sendiri sangat bervariasi, angka tertinggi dapat ditemukan di Haiti, dengan kejadian 1 dari 300 kelahiran hidup, yang mana 10 kali lebih tinggi dari Amerika Serikat. Etiologi. Kardiomiopati peripartum ini merupakan salah satu bentuk dari penyakit miokardial primer idiopatik yang berhubungan dengan kehamilan. Meskipun beberapa kemungkinan mekanisme etiologi dari penyakit tersebut
yang diperkirakan selama ini, tetapi tidak satupun yang dapat menjelaskan dengan pasti. Beberapa keadaan yang diperkirakan dapat menjadi penyebab ataupun mekanisme terjadinya kardiomiopati peripartum, adalah : 1. Miokarditis : Melvin dkk pernah membuktikan adanya miokarditis dari biopsy endomiokardial pada pasien dengan kardiomiopati peripartum. Dikatakan bahwa hipotesis menurunnya system imunitas selama hamil, dapat meningkatkan replikasi virus dan kemungkinan untuk terjadinya miokarditis akan meningkat. 2. Infeksi viral yang bersifat kardiotropik 3. Chimerism 4. Apoptosis dan inflamasi 5. Respon abnormal hemodinamik pada kehamilan : perubahan hemodinamik selama kehamilan dengan meningkatnya volume darah dan curah jantung serta menurunnya ajlerload ,sehingga respons dari ventrikel kiri untuk penyesuaian menyebabkan terjadinya hipertrofi sesaat . 6. Faktor-faktor penyebab lain: efek tokolisis yang lama, kardiomiopati dilatasi idiopatik, abnormalitas dari relaxine, defisiensi selenium dll. Wanita yang berisiko. Sedangkan faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan seorang wanita mengalami kardiomiopati peripartum, di antaranya adalah: a. Multiparitas b. Usia maternal yang lanjut (walaupun penyakit ini dapat mengenai semua usia, insidensi akan meningkat pada wanita berusia > 30 tahun) c. Kehamilan multifetal d. Pre-eklampsia e. Hipertensi Gestasional f Ras Afiika Amerika Manifestasi klinis. Keadaan kardiomiopati peripartum melibatkan disfimgsi sistolik dari ventrikel kiri pada seorang wanita hamil yang tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Diagnosis ini hanya dapat dibuat apabila penyebab lain dari kardiomiopati tidak ditemukan. Kriteria diagnostik dari kardiomiopatiperipartum adalah (semua hams ditemukan) adalah: 1. Kriteria klasik : - Gagal jantung yang terjadi pada bulan terakhir kehamilan atau dalam 5 bulan setelah melahirkan - Tidak ditemukan penyebab lain dari gaga1 jantung - Tidak diketahui adanya penyakit jantung sebelum bulan terakhir kehamilan tersebut 2. Kriteria tambahan : - Gambaran ekokardiografi yang menunjukkan : disfungsi sistolik ventrikel kiri dengan fraction shortening yang menurun atau nilai fraksi ejeksi yang juga menurun. Gejala dari gagal jantung seperti sesak nafas, sakit kepala, edema tungkai dan orthopnea dapat ditemukan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
bahkan pada kehamilan yang normal. Sehingga seringkali seorang wanita dengan kardiomiopati peripartum menganggap ha1 tersebut sebagai keadaan normal pada kehamilan. Keadaan lain yang seringkali ditemukan adalah : Edema pulmonal: dikatakan sebagian besar, bahkan ada yang mengatakan seluruh pasien menunjukkan gejala edema pulmonal. Gejala klinis sebenarnya menyerupai gagal jantung pada umumnya, tetapi lebih bemariasi. Pada periode antepartum didiagnosis sekitar 17% kasus, sedangkan pada periode post partum didiagnosis sekitar 83% kasus. Fungsi sistolik ventrikel kiri ratarata kembali normal pada sekitar 5 1% kasus yang hidup. Tromboembolisme: dapat ditemukan pada keadaan ini. Aritmia: pada beberapa kasus malah dapat menyebabkan terjadinya kematian mendadak. Pre-eklampsia: seharusnya dapat disingkirkan pada awal diagnosis, karena tatalaksana akan berbeda. Penegakan diagnosis yang terlambat akan menyebabkan tingkat morbiditas penyakit yang meningkat bahkan mengakibatkan kematian. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan ekokardiografi : sangat membantu dalam membuat diagnosis awal, dan sebaiknya selalu dilakukan pada kecurigaan kardiomiopati peripartum Cardiac MRI (Magnetic Resonance Imaging): merupakan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis dan dapat menjelaskan mekanisme terjadinya kardiomiopati peripartum tersebut. Pada pemeriksaan ini dapat dilakukan pengukuran kontraksi miokard secara global dan segmental. Penatalaksanaan Tatalaksana selama kehamilan: - dapat menyebabkan defek pada janin, walaupun obat-obat tersebut merupakan terapi standar pada gagaljantung umumnya. Efek teratogenik umumnya timbul pada trimester kedua dan ketiga. - Digoksin - Beta blockers - Loop diuretic - Hydralazine dan nitrat : obat-obatan yang dapat menurunkan aj?erload.Cukup aman untuk diberikan selama kehamilan Tatalaksana post partum - ACE dan ARB dapat diberikan post partum, dosis diberikan dengan target setengah dari dosis antihipertensi - Diuretika - Spironolakton atau digoksin - Beta blockers: direkomendasikan untuk kardiomiopati peripartum, dikatakan dapat memperbaiki gejala klinis, fraksi ejeksi dan angka kelangsungan hidup. Pilihan beta blockers yang dianjurkan: carvedilol dan metoprolol.
- Antikoagulan: karena kejadian tromboembolisme
akan meningkat pada kasus-kasus kardiomiopati peripartum akibat: a. dilatasi dimensi ruang-ruang jantung, b. gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri dan c. seringkali disertai fibrilasi atrial. Sehingga pemberian antikoagulan sangat dianjurkan, yang dilanjutkan sampai fungsi sistolik ventrikel kiri kembali normal. Transplantasi Jantung: pasien dengan gagal jantung yang berat bahkan terminal dan telah mendapatkan terapi medikamentosa yang maksimal, tetapi tidak menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna, seharusnya dilakukan transplantasi jantung untuk kelangsungan hidupnya dan memperbaiki kualitas hidup mereka. Ventricular assist device: dibutuhkan sebagai terapi antara sebelum dilakukan transplantasi kardiak Implantable Cardioverter Defibrillator (CD): dilakukan bila pada pasien ditemukan aritmia ventrikel yang simtomatik Obat-obat baru: - Pentoksifilin - Immunoglobulin Intravena - Terapi imunosupresif - Bromocriptine - Obat-obat lain yang dapat dipergunakan : Antagonis kalsium, monoclonal antibodies, interferon beta, terapi aferesis, statin Prognosis. Beberapa faktor yang diketahui mempunyai pengaruh terhadap prognosis pasien kardiomiopati peripartum adalah: Kadar Troponin T : kadar yang tinggi pada 2 minggu post parturn dapat menggambarkanfraksi ejeksi ventrikel kiri pada 6 bulan. Durasi kompleks QRS pada rekaman elektrokardiografi: dapat menjadi predictor kematian mendadak, yaitu pada durasi QRS yang memanjang > 120ms. Dimensi ruang jantung dan nilai fraksi ejeksi Risiko relaps. Pada beberapa studi terbukti bahwa, walaupun seorang wanita yang mengalami kardiomiopati peripartum, risiko untuk mengalami ha1 yang sama pada kehamilan berikutnya tetap ada walaupun terjadi pemulihan sempurna dari fungsi ventrikel kiri. Bahkan pada studi di Haiti yang melibatkan 99 pasien kardiomiopati peripartum, 15 dari mereka menjalani kehamilan berikutnya, 8 dari 15 tersebut kembali mengalami gagal jantung yang lebih berat daripada sebelurnnya, dan disfungsi sistolik yang menetap. B. Kardiomiopati Dilatasi Kardiomiopati dilatasi jarang ditemukan pada saat sebelumkehamilan. Pada kebanyakan kasus, gejala ditemukan pada trimester pertama atau kedua kehamilan. Pasien dengan kardiomiopati dilatasi hams dianjurkan untuk tidak hamil karena risiko tinggi. Bila kehamilan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
KEHAMILAN PADA PENYAKITJANTUNG
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
berlangsung, disarankan terminasi bila pada pemeriksaan ekokardiografi fraksi ejeksi < 50 % dan dimensi ventrikel melebihi normal. Bila pasien menolak terminasi, harus dilakukan pengawasan ketat fungsi ventrikel. Disarankan untuk perawatan mmah sakit lebih dini karena obat-obatan gagal jantung seperti ACE inhibitor pada kehamilan tidak dapat diberikan sehingga pilihan terapi yang aman bagi janin sangat terbatas.
C. Kardiomiopati Hipertrofik Pasien dengan kardiomiopati hpertrofik biasanya mentoleransi kehamilan karena ventrikel jantung beradaptasi secara fisiologis.Kematian biasanya jarang terjadi. Terapi penyekat beta hams dilanjutkan dan dosis kecil dieretik dapat mengurangi gejala. Pasien tanpa riwayat keluarga kardiomiopati hipertrofik atau kematian mendadak biasanya mempunyai risiko rendah dan dapat melanjutkan kehamilan. Pasien dengan fungsi diastolik yang buruk disarankan untuk prawatan rumah sakit.Kongesti pulmonal biasanya muncul pada trimester 3 dan pasien sebaiknya direncanakan untuk dirawat sebelum persalinan.
D. Endokarditis lnfektif Endokarditis infektif biasanya jarang pada kehamilan tapi dapat menimbulkankesulitan dalam tatalaksanya.Pemilihan antibiotik hams hati-hati tanpa membahayakan janin tapi tetap bermanfaat bagi ibu. Antibiotik profilaksis haru diberikan untuk pencegahan bakteremia. Insidens bakteremia pada persalinan normal 0-5%. Pasien dengan katup protese atau riwayat endokarditis sebelumnya juga diindikasikanantibiotik profilaksis yang diberikan sebelum persalinan atau tindakan operatif. E. Aritmia Kecenderungan untuk terjadinya aritmia pada kehamilan sebagian disebabkan oleh aktivasi humoral neuroendokrin akibat gagal jantung. Irama ektopik atau aritmia menjadi lebih sering ditemukan pada kehamilan. Aritmia dapat merupakan manifestasi dari kardiomiopatiperipartum. Pada pasien dengan gangguan hemodinamik dapat ditemukan berbagai macam gambaran aritmia seperti fibrilasi atrial, takikardia supraventrikular (SVT), atau bahkan takikardia ventrikel (VT). Obat antiaritmia bisanya dapat melewati sawar plasenta. Aritmia dengan gangguan hemodinamik hams dilakukan kardioversi elektrik. Pemberian penyekat beta adalah pilihan pertama untuk profilaksis. Amiodaron dapat menyebabkan hipotiroidism pada janin. Bila terapi farmakologis tetap gagal maka pemasangan ICD dapat dipertimbangkan. Pemasangan ICD bukan kontraindikasi untuk kehamilan berikutnya. Alat pacu jantung untuk bradikardia simtomatik dapat di pasang dengan tuntunan ekokardiografi pada usia kehamilan berapa pun.
Pada trimester ketiga dapat ditemukan peningkatan cairan perikard dan dilaporkan pada 40% wanita hamil. Biasanya ha1 ini tidak menimbulkan gejala dan disebabkan retensi cairan dan penambahan berat badan yang biasa terjadi pada kehamilan. Tidak diketahui hubungan yang jelas antara kehamilan dengan kelainan perikard. Penyakit autoimun seperti Lupus Eritematosus sistemik (SLE) lebih sering ditemukan sebagai penyebab efusi perikard pada kehamilan. Pada efusi perikard ringan dapat diatasi dengan diuretik sedangkan untuk efusi perikard yang lebih berat diperlukan pungsi atau bahkan perikardiektomi.
REFERENSI Avila WS, Grinberg M, Snitcowsky R, Faccioli R, Da Luz PL, Bellotti G, Pileggi F. Maternal and fetal outcomes in pPregnant women with Eisenmenger's syndrome. Eur Heart J 1995; 16 (4): 460-4. Baugman KL. The Heart and Pregnancy. In: Textbook of Cardiovascular Medicine. Topol EJ (ed). Lippincott Williams and Wilkins, 2nd ed, 2002 : 733-51. Bonow RO, Carabello B, De Leon AC Jr, Edmunds LH Jr, Fedderly BJ, Freed MD, Gaasch WH, McKay CR, Nishimura RA, O'Gara PT, O'Rourke RA, Rahimtoola SH. ACCIAHA guidelines for the management of patients with valvular heart disease : a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee on Management of Patients with Valvular Heart Disease). J Am Coll Cardiol 1998; 32: 1486-588. Cellarier G, Laurent P, Bonal J, Jego C, Talard P, Bouchiat C. Low molecular weight heparin : a guide to their optimum use in pregnancy. Drugs 2000; 62 (9): 463-77. Chan WS, Anand S, Ginsberg JS. Anticoagulation of pregnant women with mechanical heart valves : a systematic review of the literature. Arch Intern Med 2000; 160: 191-6. Elkayam U. Pregnancy and cardiovascular disease. In : Braunwald's Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. Zipes DP, Libby P, Bonow RO, Braunwald E (eds). Elsevier Saunders, Philadelphia,7th ed, 2005 : 1965-71. Felker MG, Baughman KL. Approach to the pregnant patient with heart disease. In : Kelley's Textbook of Internal Medicine. Humes HD (ed). Lippincott Williams and Wilkins, 4th ed, 2000 : 40615. Elkayam UR. Pregnancy through a prosthetic heart valve. J Am Coll Cardiol 1999; 33: 1642-5. Elkayam UR. Anticoagulation in pregnant women with prosthetic heart valves : a double jeopardy. J Am Coll Cardiol 1996; 27: 1704-6. Elkayam UR, Tumala P, Rao K, Akhter MW, Karaalp IS, Wani OR, Hameed A, Gviazda I, Shotan A. Maternal and fetal outcomes of subsequent pregnancies in women with peripartum cardiomyopathy. N Engl J Med 2001; 344: 1567-71. Martinez-rios MA, Tovar S, Luna J, Eid-Lidt G. Percutaneous Mitral Commissurotomy. Cardiol Review 1997; 7: 108-16. Oakley C et al. Expert Consensus Document on Management of Cardiovascular Diseases During Pregnancy. Eur Heart J 2003; 24: 761-81.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Presbitero P, Somemile J, Stone S, Amta E, Spiegelhalter D, Rabajoli F. Pregnancy in cyanotic congenital heart disease : Outcome of mother and fetus. Circulation 1994; 89 (6): 2673-6. Siu SC et al. Prospective multicenter study of pregnancy outcomes in women with heart disease. Circulation 2001; 104: 5 15-21. Teerlink JR, Foster E. Valvular heart disease in pregnancy. Cardiol Clin 1998; 16: 573-95. Vitale W, De Feo M, De Santo LS, Pollice A, Tedesco N, Cotrufo M. Dose-dependent fetal complications of warfarin in pregnant women with mechanical heart valve prostheses. Heart 1999; 82: 23-6. Warnes CA. Congenital heart disease and pregnancy. In : Cardiac Problems in Pregnancy, Elkayam U, Gleicher N (eds). John Wiley and associates, New York, 1998. Oakley C. Peripartum cardiomyopathy, other heart muscle disorders and pericardial diseases. In: Oakley C, Warnes C (eds). Heart disease in Pregnancy. 2007. 2" edition. Blackwell Publishing company. 186-200.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT ARTERI PERIFER Dono Antono, Dasnan Ismail
KELAINAN PADAARTERI PERIFER Yang dimaksud dengan penyakit arteri perifer adalah semua penyakit yang terjadi pada pembuluh darah setelah ke luar dari jantung dan aortailiaka. Jadi penyakit arteri perifer meliputi ke empat ekstremitas, arteri karotis, arteri renalis, arteri mesenterika dan semua percabangan setelah ke luar dari aortoiliaka. Penyakit arteri perifer dapat mengenai arteri besar, sedang maupun kecil, antara lain tromboangitis obliterans, penyakit Buerger's, fibromuskular displasia, oklusi arteri akut, penyakit Raynaud, arteritis Takayasu, frostbite dan lain lain Penyebab terbanyak penyakit oklusi arteri pada usia di atas 40 tahun adalah aterosklerosis. Insiden tertinggi timbul pada dekade ke enam dan tujuh. Prevalensi penyakit aterosklerosis perifer meningkat pada kasus diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, hipertensi, hiper homo sisteinemia dan perokok.
Mekanisme terjadinya atherosklerosis sama seperti yang terjadi pada arteri koronaria. Lesi segmental yang menyebabkan stenosis atau oklusi biasanya terjadi pada pembuluh darah berukuran besar atau sedang. Pada lesi tersebut terjadi plak aterosklerotik dengan penumpukan kalsium, penipisan tunika media, destruksi otot dan serat elastis di sana-sini, fragmentasi lamina elastika interna, dan dapat terjadi trombus yang terdiri dari trombosit dan fibrin. Lokasi yang terkena terutama pada aorta abdominal dan arteri iliaka (30% dari pasien yang simtomatik), arteri femoralis dan poplitea (80 - 90%), termasuk arteri tibialis dan peroneal (40 - 50%). Proses atherosklerosis lebih sering terjadi pada percabangan
arteri, tempat yang turbulensinya meningkat, kerusakan tunika intima. Pembuluh darah distal lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut dan diabetes melitus.
GEJALA KLlNlS Kurang dari 50 % pasien dengan penyakit arteri perifer bergejala, mulai dari cara berjalan yang lambat atau berat, bahkan sering kali tidak terdiagnosis karena gejala tidak khas. Gejala klinis tersering adalah klaudikasio intermiten pada tungkai yang ditandai dengan rasa pegal, nyeri, kram otot, atau rasa lelah otot. Biasanya timbul sewaktu melakukan aktivitas dan berkurang setelah istirahat beberapa saat. Lokasi klaudikasio terjadi pada distal dari tempat lesi penyempitan atau sumbatan. Pada penyakit aortoiliaka (sindrom Leriche) memberikan gejala rasa tak nyaman pada daerah bokong, pinggang, dan paha. Klaudikasio pada daerah betis timbul pada pasien dengan penyakit pada pembuluh darah daerah femoral dan poplitea. Keluhan lebih sering terjadi pada tungkai bawah dibandingkan tungkai atas. Insiden tertinggi penyakit arteri obstruktif sering terjadi pada tungkai bawah, sering kali menjadi berat sehingga timbul iskemia kritis tungkai bawah (critical limb ischemia). Dengan gejala klinis nyeri pada saat istirahat dan dingin pada kaki. Sering kali gejala tersebut muncul malam hari ketika sedang tidur dan membaik setelah posisi dirubah. Jika iskemia berat nyeri dapat menetap walaupun sedang istirahat. Kira-kira 25% kasus iskemia akut disebabkan oleh emboli. Sumber emboli biasanya dapat diketahui. Emboli paradoksikal merupakan salah satu penyebab yang tidak dapat terlihat dengan cara angiografi disebabkan karena lesi ulseratif yang kecil atau karena defek septum atrial. Penyebab terbanyak kedua penyakit arteri iskemia akut adalah trombus.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pemeriksaan fisis yang terpenting pada penyakit arteri Emboli yang berasal dari jantung menyumbat perifer adalah penurunan atau hilangnya perabaan nadi percabangan arteri besar, sehingga diameter lumen di pada distal obstruksi, terdengar bruit pada daerah arteri bagian distal mengecil mendadak. Biasanya diameter arteri yang menyempit dan atrofi otot. Jika lebih berat dapat tersebut lebih dari 5 mm. Ateroemboli yang berasal dari terjadi bulu rontok, kuku menebal, kulit menjadi licin dan debris dari lesi ateromatous proksimal arteri, biasanya lebih mengkilap, suhu kulit menurun, pucat atau sianosis kecil dan menyumbat pembuluh darah diameter kurang dari merupakan penemuan fisik yang tersering. Kemudian 5 mm. Berdasarkan ukuran arteri yang tersu~nbatdapat dapat terjadi gangren dan ulkus. Jika tungkai diangkath T%. @etahui asal emboli, berasal dari jantung atau dari aorta -*,* '&<5* elevasi dan dilipat, pada daerah betis dan telapak kakiF$ .,,a,:. %@U dari arteri iliaka komunis. Sebagai contoh emboli yang akan menjadi pucat. Secara klinis penyakit arteri perifer menyangkut pada arteri femoralis biasanya berasal dari $3 77. .I i tr*2 .. tb7jaqtung.Epl i x a n + m w b p P k a n infark pada daerah dibagi menjadi : .& ,. . : -F,t&t bj&a$&d~.asBl~ ~ ~ i ~distal 1. Insufisiensi arteri akd.: L,.L '$ t "3 a & - ,z < e 8aorta 1 1atau arteri 2. Insufisiensi arteri kronik. iliaka komunis. Embolus yang menyangkut pada arteri akan iliembehtuk trombus yang menyumbat aliran darah, distal dari suinbatan menjadi spasme. Terbentuk bekuan darah INSUFlSlENSl ARTERI AKUT pada proksimal sumbatan. Hal ini terjadi tergantung dari adekuat atau tidaknya kolateral. Pada bagian distal yang Iskemia arterial akut disebabkan oleh emboli atau spasme dalam 8 jarnL&an F b n t w k bekuap bakmenjalar trombosis akut mengikuti obstruksi parsial kronik. . . .. ke bawah menyumbat seluruh kolateral yang ada, Emboli dapat berqsal dari jantung atau bukan jantung. memperburuk iskewia, akhi,mya kulit menjadj biru, kaku Penyebab oklusi arterial akut yang disebabkm karena jantung adalah fibrilasi atrium, penyakit jantung katup dan licin. , Otot skeletal dan jaraf per?fer dapat bertahan dalam 8 (penyakit jantung reumatik atau endokarditis), infark jam iskemia tanpa kerusakan permanen. Kulit dapat miokard (dengan atau tanpa a n e u r i s ~ ~ y 8 ~ t r i k&a*, t;l)~ bertahan d e k a n iskemia berat selama 24 jarn.,Kerusakan jantung prostetik yang tidak minum antikoagulan, jaringan tergantung dari sirkulasi kolateral yang adekuat, miksooma pada atrium kiri, emboli, pqradoksik, keadaan fungi jantung, viskositas darah, kadar oksigen kardiomiopati konge~tif,kardiomiopati hipertropik, darah, menjalarnya b e k u 4 darah sampai ke rnikrovaskula~, kalsifikasi anulus katup mitral, prolaps katup mitral. cktn efektivitas da,ketepatan pengobatan. ~ i k aGkemia Emboli yang berasal dari ,pembqluh darah arteri perifer pada otot berkembang menjadi nekros'is, otot menjadi adalah lesi ulkus ateroskerosis, aneurisms (aorta, iliaka, paralisis, mengeras dan konsistensi kaku. Pada saraf perifer femoral, poplitea, subclavia, aksilaris), komplikasi terjadi penurunan fungsi dan menjadi anestasia. Kulit kateterisasi arteyi. Penyebab lain adplah trombosis pads meujadi sianosis, pucat dengan ditekan, dan terjadi arteri pada sqgmep ateroskl,erosis,,,yang menjepit, perdarahan di dalam ,plak, penyalahgunaiin obat. gangren. Reperhsi pada daerah ekstremitas yanp iskemia, harus diikuti dengan evaluasi organ lain pada seluruh tubuh karena metabolisme anaerob menghasilkan asam ,sel mati mengeluarkan kalium dan mioglobin, pembentukan Emboll F~br~las~ atr~um mikrotrombus pada area yang stasis dan asidosis. Terjadi Penyakit b t u p gntung (penyakit jantuhg rem%tikAtau akumulasi produk inflamasi, prokoagulan d q agregas! I endokard~t~s) trombosit. Dengan adanya reperfusi faktor-fak?or tokGk lnfark mrokard (dengan atau tanpa aneurisms ventr~kel) Katup jantung prosthetik tersebut akan masuk ke sirkulasi sistemik dan dapat terjadi Miksoma atrium kir~ kegagalan fungsi organ seperti paru, ginjal, jantung dan Embolus ~ r a d o k s i k status mental pasien. Tetapi ha1 tersebut tergautung dari Kardromiopati kongestif Kard~om~opati h~pertropik derajat nekrosis, cepat atau lavbatnya revaskularisasi yang Kalsifikasi annulus katup mitral adekuat dan kondisi dasar organ-organ terkebut. Perifer Manifestasi kliniS insufisiensi arterial akut disebibkai Lest ulkus attenosklerosls karena emboli kardiak dapat mengenaittempatlain, antara Aneurisma (Aorta, rltaka, femoralrs, poplitea, subclav~a, axiilaris) lain i~kemia~ekstremitas atas, iskern@s&ebral dan iskemia Komplikasi kat&erisas~atr~ai viseral. Prinsip terapi iskemia ekstremitas atas sama i , ' Trombosis dengan iskemia ekstremitas dawah. Kolateral biasanya Ateroskleros~spqda segmen penyernpltan (dengan atau tanpa gangguan ahran) lebih baikdibandingkan ekstremitas bawah. Dengan terapi Perdarahan ~ntraplak heparin dosis tinggi sering kali efektif. Emboli serebral Penyalahgunaan obat merupakan 20 - 30% penyebab infark serebral. Insiden s ,
. ;
..:.
'+
.
I
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
,
1833
PENYAKIT ARTERI PERIFER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Klinis Kategori
Deskripsil Prognosis
Sinyal Doppler
Sensorik
Lemah Otot
Arteri
Vena
Viable Terancam Marginal
tidak terancam segera
normal
tak ada
audible
Audible
dapat diselamatkan jk diobati segera.
ujung jari kaki minimal
tak ada
lnaudible (sering)
audible
segera
dapat diselamatkan jk revaskularisasi cito kematian jaringan umum, kerusakan saraf permanen
Inaudible (selalu) inaudible
Audible
lreversibel
anestesia
Paralisis (rigor)
inaudible
Ket : SVSllSCVS : Society for Vascular Surgery / International Society for Cardiovascular Surgery.
strok meningkat 5 kali lipat jika ada fibrilasi atrial. Iskemia viseral akut sering mengenai arteri mesenterika superior, tersumbat oleh embolus atau trombosis. Mortalitas mencapai 80% dan terapi biasanya reseksi dibanding revaskularisasi.
INSUFlSlENSlARTERI KRONIK
Manifestasi klinis yang paling sering adalah klaudikasio, dengan definisi serangan nyeri otot dan kelemahan karena iskemia berulang. Klaudikasio biasanya timbul setelah aktivitas fisik dan berkurang atau menghilang setelah istirahat beberapa saat. Timbulnya nyeri berhubungan dengan aliran darah yang tidak adekuat. Klaudikasio intermiten adalah tanda insufisiensi arteri. Penumpukan asam laktat dan metabolisme lain pada otot yang iskemia menyebabkan nyeri kram pada otot. Lokasi yang paling sering terkena adalah daerah betis, tetapi bisa juga pada daerah paha jika terjadi obstruksi pada arteri iliaka ekstema atau arteri femoralis komunis, atau pada daerah bokong karena ada penyempitan pada aorta atau arteri iliaka komunis. Gejala klaudikasio atipikal bisa muncul yaitu berupa nyeri pada telapak kaki atau rasa terbakar. ~ e j a l tersebut a sering kali membingungkan klinisi dalam mendiagnosis. .
DIAGNOSIS Gejala Klinis lnsufisiensi Arteri Akut Ditandai dengan perubahan suhu yang mencolok pada distal ektremitas yang tersumbat. Jika telapak kaki masih dapat bergerak dorsofleksi dan plantarfleksi menandakan otot-otot masih hidup. Jika telapak kaki tak dapat bergerak menandakan adanya ancaman nekrosis paling tidak pada beberapa bagian otot. Timbulnya kekakuan pada otot, mengeras, dibanding sisi yang normal menandakan otot nekrosis luas. Parastesi dan anestesi pada ekstremitas menandakan iskemia pada persarafan. Waxy ( berlilin ), kulit
berwarna putih merupakan tanda yang khas spasme pembuluh darah dan masih ada arteriola yang mengaliri. Bercak-bercak sianosis yang tidak memudar dengan penekanan menandakan trombosis pada kapiler subkutikular dan terjadi nekrosis kulit. Dari pemeriksaan fisis dicari kelainan jantung yang dapat menyebabkan sumber emboli. Tanda-tanda iskemia kronik pada ekstremitas bawah adalah kuku yang hipertrofi, atrofi kulit, dan bulu kaki rontok. Tanda dari insufisiensi arteri akut biasanya perubahan temperatur yang mencolok pada distal obstruksi. Ketidak mampuan telapak kaki untuk bergerak dorsifleksi dan plantarfleksi menandakan aliran darah ke daerah betis terganggu dan terjadi ancaman nekrosis dari otot tersebut. Jika betis menjadi mengeras, otot spasme dibandingkan dengan sebelahnya yang normal, menandakan nekrosis lanjut pada otot. Parastesia dan anestesia menandakan keadaan iskemi pada saraf. Kulit seperti berlilin, kulit menjadi putih
Evaluasi Jantung lnfark miokard
Evaluasi Vaskular Anamnesis
Aritmia - sinkop Angina Palpitasi Medikamentosa Gagal jantung kongestif Operasi ganti katup jantung
Transient Ischemic attack Amaurosis fugax Klaudikasi lmpotensi Angina intestinal Riwayat operasi
Pemeriksaan Fisis Nadi dan irama Murmur dan gallop Tekanan darah Kardiomegali Edema tungkai Peningkatan tekanan vena jugularis
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
Tidak ada pulsasi Aneurisma pembuluh darah Bruit lskemia akut lskemia kronik Dehidrasi
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pemeriksaan anggota tubuh (dibandingkan dengan sebelahnya), antara lain : Bulu rontok Pertumbuhan kuku terganggu Kulit kering, licin, atrofi Rubor Kaki menjadi pucat setelah diangkat elevasi setinggi 60 derajat selama 1 menit, (warna kembali normal dalam 10 - 15 detik. Jika kembali normal dalam waktu lebih dari 40 detik, menandakan iskemik berat) Ulkus pada jaringan iskemik. (terkelupas, nyeri, perdarahan sedikit), gangren. Tidak ada atau mengecil pulsasi a. Femoralis atau a. dorsalis pedis (terutama Setelah jalan-jalan) Bruit arterial Pemeriksaan tambahan dengan palpasi dan auskultasi untuk mencari kelainan aorta (aneurisma atau bruit)
lskemia akut Ekstremitas pucat pada posisi istirahat. Perubahan temperatur dengan garis batas yang sangat jelas. Nyeri dan parastesia Sensasi menurun Sianotik dengan batas tegas dan jika ditekan menjadi pucat. Sianotik dengan batas tegas dan jika ditekan tidak pucat. Parese sampai paralisis Muskulus spastik dan keras. lskemia kronik Muskulatur atrofi Bulu kaki rontok Kuku hipertrofi dan pertumbuhan lambat Nadi lemah Temperatur Vena supertisial menciut Pengisian kapiler lambat Pucat lebih lama dengan elevasi Rubor
Derajat I Ila Ilb
111 IV
Gejala Asimtomatik Klaudikasio intermiten Tak ada nyeri, klaudikasio jika jalan > 200 m. Nyeri istirahat dan nokturnal. Nekrosis, gangren.
merupakan tanda dari spasme dan dapat dilihat ada arteriola yang mengalir ke kulit. Sianosis pada kulit yang tidak berubah warna jika ditekan menandakan trombosis kapiler pada daerah subkutis dan terjadi nekrosis kulit.
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisis, untuk mendiagnosis PAD diperlukan pemeriksaan objektif.
Derajat
Kategori
0
0
Asimtomatik
1
klaudikasio ringan
2
klaudikasio sedang
3
klaudikasio berat
4
nyeri iskemik saat istirahat
5
kematian jaringan minor, ulkus tak sembuh, gangren dengan iskemi pedal difus. kematian jaringan menjalar ke atas transmetatarsal, fungsi kaki tak dapat diselamatkan
6
Klinis
Kriteria objektif treadmill/ stress test normal treadmill komplit, tekanan ankle setelahnya < 50 mrnHg Tapi > 25 mmHg lebih rendah dari brachial antara kategori 1 dan 3. Treadmill tak selesai dan tekanan engkel setelahnya < 50 mmHg tekanan engkel saat istirahat < 60 mmHg; nadi engkel dan metatarsal datar atau sangat lemah tekanan engkel saat istirahat < 40 mmHg; nadi engkel dan metatarsal datar atau sangat lemah
Pemeriksaan ultrasonografi Doppler dengan menghitung ankle brachial index (ABI) sangat berguna untuk mengetahui adanya penyakit arteri perifer. Sering kali PAP tidak ada keluhan klasik klaudikasio. Hal tersebut bisa terjadi karena penyempitan terbentuk perlahan-lahan dan sudah terbentuk kolateral dan untuk mengetahuinya diperlukan pemeriksaan sistem vaskular perifer, pengukuran tekanan darah segmental (pada setiap ekstremitas), diperiksa ultrasonografi Doppler vaskular dan diperiksa ABI pada setiap pasien yang berisiko PAP. Selain itu juga dapat diperiksa rekaman volume nadi secara digital, oximetri transkutan, tes stres dengan mengguankan treadmill, dan tes hiperemia reaktif. Jika pada pemeriksaan tersebut ditemukan tanda PAD, aliran atau volume darah akan berkurang ke kaki, sehingga gambaran velocity Doppler menjadi mendatar, pada ultrasonografi duplex dapat ditemukan lesi penyempitan pada arteri atau graft bypass. Tekanan arteri dapat direkam di sepanjang tungkai dengan memakai manset spygmomanometrik dan menggumakan alat Doppler untuk auskultasi atau merekam aliran darah. Normal tekanan sistolik di semua ekstremitas sama. Tekanan pada pergelangan kaki sedikit lebih tinggi dibandingkan tangan. Jika terjadi stenosis yang signifikan,
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1835
PENYAKIT ARTERI PERIFER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Takansn ankle kanan tertinggi =IKANAN Tekanan tangan terlmgg~
-
0.01 1.30 Nonnal 0,41 0.90 PAP Ringan
0.00 0,40 PAP berat
- sedang
Gambar 1. Pengukuran Ankle - Brachial Index (ABI). Tekanan darah sistolik diukur dengan manometer air raksa atau USG Doppler pada setiap lengan dan arteri dorsalis pedis (DP) dan posterior tibia1 (PT) pada setiap engkel.
,
tekanan darah sistolik di kaki akan menurun. Jika dibandingkan rasio tekanan arteri pergelangan kaki dan tangan, yang populer dengan nama ankle: brachial index (ABI), pada keadaan normal ABI > 1 ,dengan kelainan PAD ABI < 1, dan dengan iskemia berat ABI < 0,4. Tes treadmill dapat menilai kemampuan fungsional secara objektif . Penurunan rasio anklebrachial segera setelah latihan mendukung untuk diagnosis untuk PAD, tentunya disertai dengan keluhan klinis yang sebanding. Pemeriksaan laboratoriurn dievaluasi kondisi hidrasi, kadar oksigen darah, fungsi ginjal, fungsi jantung dan kerusakan otot. Diperiksa foto toraks untuk melihat kardiomegali, hematokrit untuk melihat polisitemia, analisa urine untuk melihat protein dan pigmen untuk melihat mioglobin di urine. Kreatinin fosfokinase untuk menilai nekrosis otot. Elektrokardiografi untuk menilai aritmia atau kemungkinan infark lama. Ekokardiografi 2 dimensi untuk menilai ukuran ruang jantung, fraksi ejeksi, kelainan katup, evaluasi gerak dinding ventrikel, mencari trombus atau tumor, defek septum atrial. Ultrasonografi abdomen untuk mencari aneurisma aorta abdominal. Arteriografi dapat mengetahui dengan jelas tempat sumbatan dan penyempitan.
bahan sintetis yang berventilasi. Hindari penggunaan bebat elastik karena mengurangi aliran darah ke kulit. Pengobatan terhadap semua faktor yang dapat menyebabkan aterosklerosis hams diberikan, berhenti merokok, merubah gaya hidup, mengontrol hipertensi tetapi jangan sampai terjadi hipotensi.
Latihan fisik (exersise), merupakan pengobatan yang paling efektif. Hal tersebut telah dibuktikan pada lebih dari 20 penelitian. Latihan fisik meningkatkan jarak tempuh sampai terjadinya gejala klaudikasio. Setiap latihan fisik berupa jalan kaki kira-kira selama 30 sampai 45 menit atau sampai terasa hampir mendekat nyeri maksimal. Program ini dilakukan selama 6 - 12 bulan. Hal ini disebabkan karena peningkatan aliran darah kolateral, perbaikan fungsi vasodilator endotel, respons inflamasi, metabolisme mukuloskeletal dan oksigenasi jaringan lebih baik dengan perbaikan viskositas darah.
Hematokrit, PT, APTT, trombosit. Elektrolit, ureum, kreatinin, gula darah Analisa urine, tes untuk mioglobin. CPK dengan isoenzim. Foto dada Elektrokardiografi 2 D ekokardiografi Duplex ultrasonografi Tes stres dengan treadmill Arter~ogram. Magnetic resonance angiography
TERAPI FARMAKOLOGIS Terapi farmakologis ,dapat diberikan aspirin, klopidogrel, pentoksifilin, cilostazol, dan tiklopidin. Obat-obat tersebut dalam penelitian dapat memperbaiki jarak berjalan dan mengurangi penyempitan. Mengelola faktor risiko, menghilangkan kebiasaan merokok, mengatasi diabetes melitus, hiperlipidemia, hipertensi, hiperhomosisteinemia dengan baik.
INSUFlSlENSl ARTERI AKUT TERAPI Macam-macam terapi terdiri dari terapi suportif, farmakologis, intervensi non operasi, dan operasi. Terapi suportif meliputi perawatan kaki dengan menjaga tetap bersih dan lembab dengan memberikan krem pelembab. Memakai sandal dan sepatu yang ukurannya pas dan dari
Obat terpilih adalah heparin, sebab bekerja cepat dan cepat dimetabolisme. Dosis 100 - 200 unit I kilogram berat badan bolus, diikuti 15 - 30 unit 1 kilogram berat badan /jam ,jika perlu 300 unit1 kilogram berat badan bolus, diikuti 60 - 70 unit I kilogram berat badan I jam dengan infus kontinu. Dengan pemantauan APTT 1,5 - 2,5 kontrol atau waktu pembekuan darah. Penggunaan dosis tinggi dengan tujuan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI supaya distal penyumbatan pada daerah iskemia dan kolateral tidak terjadi pembekuan darah yang meluas. Jika iskemia baru terjadi 4 sampai 6 jam dan masih vital yang ditandai dengan nyeri, paralisis atau parastesia, merupakan indikasi untuk tindakan intervensi revaskularisasi. Jika iskemi lebih dari 8 jam tidak dilakukan revaskularisasi karena sudah terjadi nekrosis otot. Hal ini tergantung dari kolateral arteri distal dari obstruksi. Intervensi revaskularisasi dapat dilakukan dengan cara: Operasi. Angioplasti translurninal perkutan. Trombolitik. Operasi dilakukan dengan teknik embolektomi dengan balon Fogarty dengan anestesi lokal atau regional. Untuk penyakit aortoiliaka dan femoral-poplitea ditentukan oleh lokasi dan lamanya sumbatan dan kondisi pasien. Operasi tersebut dengan bypass aortobifemoral bypass, axillofemoral bypass, femoral-femoral bypass clan aortoiliakendarterektomi. Keberhasilan operasi ditentukan dari yang diperoleh pada angiografi dan saat operasi. Paling sedikit 24 jam pertama setelah operasi hams dirawat di ruang rawat intensif agar sirkulasi distal, waspada terhadap gangguan paru, jantung dan ginjal dapat diawasi. Jika ditemukan tanda-tanda retrombosis dan emboli berulang hams dilakukan operasi segera. Heparin diberikan sampai 48 - 72 jam dengan dosis tinggi yang direkomendasikan, kemudian dosis diturunkan sesuai kondisi pasien selama 7 hari dan dilanjutkan dengan antikoagulan oral atau heparin dosis rendah suntik subkutan. Jika masih vital setelah lebih dari 48 jam sejak gejala timbul, diperlakukan sebagai penyakit obstruksi kronik berat. Hal ini karena ekstremitas survive karena terbentuk aliran kolateral. Diberikan antikoagulan oral warfarin atau heparin suntik subkutan jangka panjang. Alternatif lain selain operasi dan konservatif adalah terapi trombolitik dengan kateter arterial selektif perkutan pada trombus yang menyumbat. Ini akan mengurangi komplikasi perdarahan dibandingkan diberikan intra vena. Dapat diberikan tissueplasminogen activator dosis rendah atau streptokinase dosis rendah intra arteri 5000 - 10.000 IU/ jam selama 12 - 48jam dengan monitor efek terapi baik secara klinis atau serial arteriografi. Dapat juga diberikan urokinase 240.000 IUIjam selama 4 jam, diikuti 120.000IUI jam sampai maksimurn 48 jam, atau rekombinan tPA diinfus 1 mgljam atau 0,05 m g k g per jam. Dilanjutkan antikoagulan intravena heparin dan diikuti warfarin per oral. Terapi angioplasti transluminal perkutan segera mengikuti terapi trombolitik intra arterial, pemasangan stent dan aterektomi, memberikan hasil yang baik terhadap patensi arteri yang tersumbat.
Kelainan ini mengakibatkan hiperplasi pada arteri berukuran sedang dan kecil. Lebih sering terjadi pada
perempuan dan biasanya mengenai arteri renalis dan karotis, tetapi dapat juga terjadi pada arteri ekstremitas seperti arteri iliaka dan subklavia. Kelainan histologi terjadi displasia pada tunika intima, media dan periadventitia. Tipe yang terbanyak adalah tipe media displasia yang khas ditandai dengan atau tanpa fibrosis pada membran elastika. Secara angiografi ditandai dengan gambaran seperti benang karena penebalan lapisan fibromuskular. Jika mengenai arteri ekstremitas gejalanya dapat menyerupai seperti aterosklerosis, termasuk klaudikasio dan nyeri pada saat istirahat. Jika gejalanya berat dan iskemia tungkai mengancam, terapi dapat dengan perkutaneus transluminal angioplasti atau operasi.
Perdarahan Trombosis Emboli rekuren Emboli paru Mikroemboli acute respiratory distress syndrome. Edema ekstremitas Gagal ginjal akut Disfungsi jantung - infark miokard, aritmia. lnfark mesenterik.
Penyakit ini disebut juga penyakit Buerger's, yang merupakan kelainan vaskular berupa inflamasi dan penyumbatan. Yang mengenai pembuluh darah ukuran sedang dan kecil dan juga vena distal pada ekstremitas atas dan bawah. Dapat juga mengenai pembuluh darah otak, viseral dan koroner. Lebih sering terjadi pada lakilaki di bawah umur 40 tahun. Prevalensinya lebih tinggi pada orang asia dan eropa timur. Penyebabnya beluin diketahui ,tetapi ljerhubungan dengan kebiasaan merokok. Pada tahap awal lekosit polimorfonuklear menginfiltrasi dinding pembuluh darah arteri dan vena. Lapisan elastika interna terkena dan terbentuk trombus pada lumen pembuluh darah. Pada tahap lanjut neutrophil akan digantikan oleh sel mononuklir, fibroblast dan sel giant. Ditandai dengan adanya fibrosis perivaskular dan rekanalisasi
DIAGNOSIS Gambaran klinis tromboangitis obliterans sering kali berupa trias klaudikasiooo yang melibatkan ekstremitas, fenomena Raynaud, dan tromboplebitis vena superfisial yang berpindah-pindah. Klaudikasiooo biasanya terjadi pada betis dan kaki atau pada lengan bawah dan tangan, karena memang terutama mengenai pembuluh darah daerah distal. Kelainan yang ditemukan dapat berupa iskemi digital yang berat, perubahan kuku, ulkus yang nyeri dan
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT ARTERI PERIFER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Obat
Dosis
Aspirin
81 - 325 mglhari
Klopidogrel
75 mglhari PO
Pentoxifylline
1,2 grlhari PO 100 mg 2 xlhari
Cilostazol
Tiklopidin
500 mglhari
Terapi eksperimen
Dosis
Nafridrofuryl
600 mglhari
Propionyl levocarnitine Prostaglandin (beraprost, ilo~rost
2 grlhari
ekstrak ginko biloba Geneinduced Angiogenesis dengan Endothelial growth Factor Oksigen hiperbarik
120 mcglhari po atau 60 mcglhari parenteral
Direkomendasi oleh American College Of Chest Physicians untuk PAP Efek samping lebih ringan dibandingkan Aspirin pada CAPRIE trial, resiko TTP lebih sedikit dibanding tiklopidin Efek terhadap kemampuan berjalan lebih kecil Hati-hati pada pasien gagal jantung; dosis dikurangi 50 mg 2x1 hari jika minum obat calsium channel blockers; menyebabkan diare dan gangguan lambung Harus diawasi risiko TTP
Antagonis serotonin; meningkatkan jarak tempuh berjalan pada beberapa penelitian, pemakaian masih kontroversi; digunakan di Eropa bukti tidak signifikan Hasil tidak menetap pada penelitian terakhir
Efektif, tetapi metodologi penelitian dipertanyakan. Hasil menjanjikan
Tidak ada pengobatan yang spesifik, kecuali berhenti merokok. Prognosis memburukjika tidak berhenti merokok. Operasi pintas arteri dari pembuluh darah yang lebih besar mungkin ada gunanya pada keadaan tertentu. Demikian juga dengan debridemen lokal ,tergantung dari gejala dan beratnya iskemia. Antibiotika mungkin berguna, antikoagulan dan glukokortikoid tidak ada gunanya. Jika semua usaha gagal, pilihan terakhir adalah amputasi.
Vaskulitis adalah proses klinikopatologi yang ditandai dengan peradangan dan kerusakan pembuluh darah. Vakulitis dapat disebabkan karena kelainan primer dari suatu penyakit atau merupakan komponen sekunder dari penyakit primer. Vaskulitis dapat mengenai satu organ, seperti kulit atau dapat melibatkan beberapa sistem organ. Vaskulitis umumnya lebih sering terjadi pada penyakitpenyakit rematik yang kemudian mengenai sistem kardiovaskular. Gambaran utama sindrom vaskulitis dapat dibagi menjadi sindrom vaskukitis primer atau sekunder. Penyakit-penyakit yang dapat menyerupai vaskulitis sitemik adalah sepsis, khususnya endokarditis. Keracunan obat, koagulopatilangiopati trombotik (sindrom antibodi antifosfolipid dan thrombotic thrornbositopenicpurpura), keganasan, miksoma kardiak, sarkoidosis, sindrom Goodpasture, amiyloidosis, migren dan emboli multifokal dari aneurisma pembuluh darah besar. Diagnosis pasti tergantung dari lesi vaskulitis yang timbul dengan biopsi pada lokasi kulit yang abnormal. Jika kelainan vaskulitis mengenai organ-organ visceral atau pembuluh darah besar, yang terbaik adalah angiografi.
Mahal, hasil equivocal
ARTERlTlS TAKAYASU
gangren dapat timbul pada ujung jari atau tumit. Pada pemeriksaan klinis nadi arteri brakialis dan poplitea normal, tetapi nadi dapat berkurang atau hilang pada arteri radialis, ulnaris dan tibialis. Pemeriksaan ultrasonografi dulplex dan arteriografi sangat membantu untuk menegakkan diagnosis. Gambaran perubahan lesi segmental pembuluh darah dari yang normal bertahap menjadi halus pada pembuluh darah distal merupakan gambaran yang khas, dan terdapat pembuluh darah kolateral disamping pembuluh darah yang tersumbat. Pada pembuluh darah proksimal biasanya tidak ditemukan arterosklerosis. Diagnosis pasti dapat ditentukan dengan biopsi eksisi dan pemeriksaan histopatologi.
Arteritis Takayasu (AT) adalah vaskulitis pada pembuluh darah besar yang penyebabnya idiopatik dan terjadi pada usia muda. Dapat mengenai aorta dan cabang-cabang utamanya. Secara histologis AT khas berupa infiltrasi lekosit mononuklir dan sel raksasa (Giant cell). Lebih sering mengenai perempuan , 10 kali dibanding laki-laki. Kematian biasanya karena stenosis arteri dan iskemi organ. Terjadi aneurisma khususnya pada pembuluh darah aorta yang dapat terjadi regurgitasi aorta. Penyebab kematian tersering karena hipertensi atau jantung, ginjal dan mengenai sistem pembuluh darah otak. Gejala dari abnormalnya pembuluh darah besar adalah hipertensi, khususnya bila dijumpai pada usia muda hams diperiksa secara teliti pada nadi dan tekanan darah seluruh ektremitas dan dicari apakah ada bruit pada pembuluh
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Penatalaksanaan Penyakit Arteri Perifer.
4
I
4
Faktor risiko kardiovaskular
beratnya klaudikasi
1
Evaluasi : hemoglobin, serum kreatinin, Merokok, profil lipid, hipertensi, diabetes, Hemostasis, kadar homosistein, LDL
1
Modifikasi faktor risiko : Diabetes, ( Ac <7 %), berhenti merokok, hipertensi, LDL kolesterol < 100 mgldl, terapi antitrombosit
1 Treadmill
1
Latihan berjalan dengan pengawasan, farmakoterapi. I
4
4
Perbaikan gejala
1 ~
i
1 I Gejala memburuk
1
t
~Cari ~lesi dengan ~ ~' k ~ Duplex scanning, lokalisasi hemodinamik, MRA, angiografi.
~
Gambar 2. Algoritme evaluasi dan penatalaksanaan pasien dengan penyakit arteri perifer.
darah. Tanda jika penyakit tersebut masih aktif adalah perburukkan iskemia pada ekstremitas atau pada organ viseral, malaise, mialgia, artralgia, keringat malam, dan demam. Pada darah dapat dijurnpai peningkatan laju endap darah. Diagnosis dapat dengan pemeriksaan angiografi atau dengan teknik MRI (magnetic resonance imaging). Sekuele pada jantung biasanya karena pengobatan yang tidak adekuat dari hipertensi, regurgitasi aorta, dan arteritis yang mengenai pembuluh darah koroner.
Sindrom Vaskulitis Primer
Sindrom Vaskulitis Sekunder
GranulomatosisWegener's Sindrom Churg-Strauss Poliarteritis nodosa
Drug induced vasculitis Serum sickness Vaskulitis yang berhubungan dengan penyakit primer lnfeksi Keganasan Penyakit reumatik
Poliangiitis mikroskopik Giant cell arteritis Arteritis Takayasu Purpura Henoch- Schonlein Vaskulitis cutaneus idiopatik Cryoglobulinemia esensial campuran Sindrom Behcet't Sindrom Cogan Penyakit Kawasaki
Kira-kira 60% pasien dengan AT respons terhadap terapi kortikosteroid prednison 1 mglkglhari, dan penatalaksanaan temuan kelainan pembuluh darah pada angiografi. Jika tidak respons dengan kortikosteroid dapat diberikan siklofosfamid2 mgkg atau dapat diberikan methotrexate sampai dosis 20 mg per minggu. Kira-kira 40% terapi dengan obat sitotoksik dan kortikosteroid dapat
remisi. Stenosis arteri subklavia sering terjadi dengan insiden mencapai 90% dari kasus. Jika pembuluh darah aorta terlibat dapat terjadi insufisiensi katup, angina dan gaga1 jantung pada 20% kasus. Penatalaksanaannya dengan operasi reparasi atau ganti katup aorta.
SINDROM KOMPRESI TORAKS OUTLET Gejala ini merupakan akibat kompresi dari pembungkus neurovaskular (arteri,venadan saraf) pada jalan keluar dari thrak melalui leher dan bahu. Pada iga servikal, kelainan otot skalenus antikus proksimal dari klavikula dan iga pertama, atau insersi abnormal dari otot pektoralis minor dapat menekan arteri subklavia dan pleksus brakialis sesuai denganjalur dari thorak ke tangan. Gejala yang timbul dapat berupa nyeri bahu dan tangan, kelemahan, parastesia, klaudikasio, fenomena Raynaud, dan dapat juga terjadi kematianjaringan karena iskemia dan gangren.Pemeriksaan fisik biasanya normal, sehingga diperlukan pemeriksaan provokasi. Pada keadaan tertentu dapat ditemukan penurunan atau hilangnya denyut nadi sampai terjadi iskemia dan sianosisjari-jari. Dapat ditemukan nyeri tekan pada fossa supraklavikula. Gejala dapat timbul dengan menggerakan abduksi tangan 90°dan rotasi eksternal bahu. Pemeriksaan yang lain dengan cara manuver scalene, yaitu ekstensi leher dan rotasi kepala ke daerah yang sakit, gerakan kostoklavikular (rotasi posterior bahu) dan gerakan hiperabduksi (menaikkan tangan 180°), akan menyebabkan bruit pada arteri subklavia dan hilangnya nadi tangan. Pemeriksaan foto dada dapat melihat keberadaan iga servikal. Bila pleksus brakialis terkena elektromiografi dapat menunjukan kelainan.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT ARTERI PERIFER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Penatalaksanaan lebih sering konservatif, hanya dianjurkan menghindari posisi tertentu yang dapat menimbulkan gejala. Latihan rotasi melingkar pada daerah bahu dapat mengurangi gejala. Jika gejalanya berat dapat dengan tindakan operasi mengangkat iga ke satu atau reseksi otot antikus skalenus.
dengan bahan hemostatik seperti gelatin spon atau silikon, digunakan untuk mengerutkan fistula. Fistula arteriovena yang didapat biasanya mudah untuk diobati dengan cara operasi eksisi pada fistula. Kadang-kadang diperlukan graft autogenik atau sintetis untuk menyambung arteri dan vena.
FISTULA ARTERI VENA
FENOMENA RAYNAUD
Hubungan abnormal antara arteri dan vena ,tanpa melalui pembuluh kapiler dapat disebabkan karena kongenital atau didapat. Fistula arteriovena kongenital merupakan pembuluh darah embrionik persisten yang gaga1 berdiferensiasi menjadi arteri dan vena. Kelainan seperti ini dapat ditemukan pada bayi yang sering disebut tanda lahir. Dapat timbul pada seluruh organ tubuh dan sering timbul pada ekstremitas.Fistula arterivena didapat ,seperti pada akses pembuluh darah (cimino ) pada pasien hemodialisis, pada luka tembak atau luka tusuk ,komplikasi kateterisasi arteri, atau diseksi pada operasi. Kasus yang lebih jarang adalah rupturnya aneurisma arteri ke vena menjadi fistula arterivena. Gambaran klinis tergantung dari lokasi dan ukuran dari fistula. Sering kali terdapat masa yang berdenyut jika diraba dan dapat ditemukan thrill dan bruit terasa pada saat sistolik dan diastolik pada fistula. Pada fistula yang sudah berlangsung lama, manifestasi klinisnya seperti insufisiensi vena kronik, yaitu edema perifer, varises vena yang besar dan tourtous , dan pigmentasi stasis muncul karena tekanan vena yang tinggi. Iskemi dapat timbul pada distal ekstremitas. Suhu kulit pada fistula arteriovena lebih tinggi.
Fenomena Raynaud ditandai dengan episode iskemia akral dengan manifestasi klinis pucat, sianosis, dan rubor pada jari-jari tangan dan kaki setelah terpapar dengan dingin dan penghangatan. Stres emosi juga dapat mempresipitasi fenomena Raynaud. Perubahan warna biasanya mudah terlihat pada jari tangan dan kaki. Yang khas adalah satu atau lebih jari tampak putih sewaktu terkena udara dingin atau menyentuh benda dingin. Pucat menandakan fase iskemia dari fenomena tersebut, akibat spasma arteri jari. Selama fase iskemi kapiler dan venula dilatasi, dan sianosis akibat dari darah yang miskin oksigen. Rasa dingin, baa1 dan semutan jari-jari biasanya timbul bersamaan pada keadaan pucat dan sianosis. Dengan penghangatan mengurangi spasme pembuluh darah dan aliran darah akan meningkat dengan dramatis ke arteriola dan kapiler yang dilatasi. Hiperemia reaktif ini memperlihatkan warna merah terang pada jari-jari. Pada waktu fase hiperemia biasanya timbul nyeri yang berdenyut. Respons warna trifasik ini merupakan tanda yang khas dari fenomena Raynaud. Kadang-kadang beberapa pasien hanya timbul pucat dan sianosis, atau sianosis saja.
DIAGNOSIS Diagnosis lebih sering didapatkan dari pemeriksaan fisik. Kompresi pada fistula arteriovena yang besar dapat menyebabkan reflex memperlambat denyut jantung, yang disebut tanda Nicoladoni-Branham. Arteriografi dapat membuktikan diagnosis dan menentukan besarnya fistula arteriovena.
Penatalaksanaan fistula arteriovena dapat dengan operasi, radioterapi, atau embolisasi. Fistula arteriovenakongenital sulit untuk diobati karena banyak dan saling berhubungan satu sama lain, sering kali terbentuk satu yang baru setelah dilakukan ligasi. Terapi terbaik adalah konsevatif dengan memberikan perban elastis . Untuk mengempiskan fistula arteriovena dapat dengan cara embolisasi, dengan bahan dari tubuh sendiri, contohnya seperti lemak dan otot, atau
Episode iskemia digital karena rangsangan dingin adalah sekunder dari reaksi vasokonstriksi refleks simpatis. Teori ini didukung oleh obat penyekat adrenergik a jika diberikan akan menurunkan frekuensi simpatis dan beratnya fenomena Raynaud pada beberapa pasien. Fenomena Raynaud dibagi menjadi dua kategori, yaitu idiopatik yang disebut penyakit Raynaud dan sekunder yang berhubungan dengan penyakit lain atau penyebab yang dapat menyebabkan vasospasme.
PENYAKIT RAYNAUD Istilah ini digunakan jika penyebab sekunder fenomena Raynaud sudah disingkirkan. Lebih dari 50 % pasien dengan fenomena Raynaud adalah penyakit Raynaud. Mengenai lima kali lebih banyak pada perempuan dibanding dengan laki-laki. Timbul pada umur 20 - 40 tahun. Jari tangan lebih sering terkena dibandingjari kaki.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Awalnya hanya mengenai satu sampai dua ruas jari, kemudian dapat menjalar menjadi satu jari, bahkan dapat seluruh jari. Walaupun jarang, daun telinga dan ujung hidung dapat terkena. Fenomena Raynaud sering timbul pada pasien dengan sakit kepala karena migren atau varian angina. Kelainan ini berhubungan dengan spasme pembuluh darah. Pada pemeriksaan fisik biasanya normal tak ditemukan kelainan nadi radial, ulnar dan pedis. Pada waktu serangan, jari tangan dan kaki menjadi dingin. Pada 10 % kasus dapat timbul penebalan dan pemadatan jaringan subkutan jarijari, yang disebut sklerodaktili. Pemeriksaan angiografi untuk diagnostik tidak dianjurkan. Pada umumnya pasien dengan penyakit Raynaud klinisnya ringan. Kurang dari 1% pasien kehilangan jarinya.
Primer atau fenomena Raynaud idiopatik: Penyakit Raynaud Fenornena Raynaud sekunder Penyakit vaskular kolagen: skleroderma, sistemik lupus eritematosus, artritis reumatoid, dermatomiositis, polimiositis Penyakit arterial oklusi: aterosclerosis ekstremitas, tromboangitis obliterans, oklusi arterial akut, sindrom thoracic outlet. Hipertensi pulmonal Gangguan neurologist: penyakit discus intewertebralis, siringomielia, tumor medulla spinalis, strok, poliomielitis, sindrom tunnel carpal. Kelainan darah: cold agglutinin, kriglobulinemia, kriofibrinogenemiagangguan mieloproliferatif, makroglobulinernia. Trauma: luka vibrasi, sindrom hammer hand, syok elektrik, sengatan dingin, mengetik, main piano. Obat-obatan: derivat ergot, rnetisergid, reseptor penyekat p - adrenergik, bleomisin, vinblastin, cisplatin.
PENYEBABSEKUNDER FENOMENA RAYNAUD
Fenomena Raynaud timbul pada 80 - 90 % pasien dengan skleroderma dan yang bergejala 30 %. Kelainan pembuluh darah jari-jari pada kasus ini akan menyebabkan timbulnya fenomena Raynaud. Dapat terjadi ulkus di ujung jari-jari karena iskemia dan dapat terjadi gangren dan auto amputasi. Kira-kira 20 % pasien dengan SLE (sistemik lupus eritematosus) terdapat fenomena Raynaud. Kadangkadang dapat terjadi iskemia jari-jari persisten dan dapat terjadi ulkus dan gangren. Fenomena Raynaud dapat timbul pada dermatomiositis, polimiositis, dan arthritis rematoid. Athrosklerosis pada ekstremitas sering menjadi penyebab terjadinya fenomena Raynaud pada laki-laki diatas umur lebih dari 50 tahun. Tromboangitis obliterans jarang terjadi fenomena Raynaud, pada usia muda dapat terjadi terutama jika perokok. Dapat juga karena mengikuti
oklusi akut pembuluh arteri besar atau sedang karena trombus atau emboli. Jika emboli berupa debris dapat menyebabkan distal iskemia dari jari-jari. Dapat timbul juga pada hipertensi pulmonal primer.
Pada keadaan ini terjadi vasokonstriksi arteri dilatasi sekunder kapiler dan venula dan mengakibatkan sianosis persisten pada tangan, dan kadang-kadang pada kaki. Sianosis terjadi jika terpapar dengan udara dingin. Perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki dan timbul pada usia kurang dari 30 tahun. Umumnya tanpa gejala, tapi karena ada perubahan warna jari- jari menjadi sianosis pasien pergi memeriksakan diri. Pada pemeriksaan klinis biasanya nadi normal, ditemukan sianosis perifer dan telapak tangan menjadi lembab. Kelainan ini harus dibedakan dengan fenomena Raynaud karena persisten dan perubahan warna mulai dari proksimal jari-jari. Tidak ditemukan sianosis sentral dan penurunan saturasi 0, arteri. Dianjurkan untuk memakai baju hangat dan menghindari udara dingin. Terapi farmakologis tidak perlu diberikan.
Pada lokasi tertentu pada ekstremitas timbul gambaran bercak jarring-jaring benvarna kemerahan sampai kebiruan. Bercak tersebut bertambah jika terkena udara dingin. Penyebabnya idiopatik, laki-laki dan perempuan insidennya sama, lebih sering timbul pada umur dekade ke 3. Biasanya tak bergejala , sering dikeluhkan karena alasan kosmetik. Livedo retikularis dapat timbul setelah ateroemboli, jarang timbul ulkus. Dianjurkan menghindari udara dingin. Terapi farmakologis tak diperlukan. REFERENSI Beckman JA, Creager MA, Libby P. Diabetes and atherosclerosis, epidemiology, pathophysiology, and management. JAMA 2002;287; 2570 - 81. Creager MA, Dzau VJ. Vascular diseases of extremities, In Harrison's principles of internal medicine. 161hed. Kasper DL et al (ed) ; NY: McGraw-Hill; 2005.p.1486-94. Creager MA, Libby P. Peripheral arterial diseases, I n Heart Disease a Textbook of Cardiovascular Medicine. 6Ih ed. Braunwald, Zipes, Libby (ed); WB Saunders Company; 2001.p. 1457-78 Gaylis H. Diagnosis and treatment of peripheral arterial disease. JAMA 2002; 287; 313 - 16. Gey DC, Lesho EP, Manngold J. Management of peripheral arterial disease. American Family Physician 2004;Feb;l-12. Holcroft JW. Blaisdell FW. Acute arterial insuffisiency In : Vascular Surgery Principles and Practice, 2nded, Veith FJ et al (ed). NY, McGraw-Hill, 1994; 381-87.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1841
PENYAKIT ARTERI PERIFER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Hiatt WR. Medical treatment of peripheral arterial disease and claudication. N Engl J Med.2001;344;1608-21. Jackson MR. Clagett P, Antithrombotic therapy in peripheral arterial occlusive disease. CHEST 2001; 119; 283 - 99. Mandell BF, Hoffman GS. Rheumatic diseases and the cardiovascular system, In Heart Disease a Textbook of Cardiovascular Medicine. 6th ed. Braunwald, Zipes, Libby (ed); WB Saunders Company; 2001.p 2199 - 208. Ouriel K. Detection of peripheral arterial disease in primary care. JAMA 2001; 286: 1380 - 1.
Rosenfield K, Vale PR, Isner JM, Disease of peripheral vessels, In Textbook of cardiovascular medicine. 2nded. Topol EJ et al (ed); Philadelphia: Lippincott Williams R Wilkins; 2002.p. 210937. Sneller MC, Langford CA, Fauci AS. The vasculitis syndrome. In Harrison's principles of internal medicine. 16thed. Kasper DL et al (ed). N Y McGraw-Hill; 2005 .p.2002 - 10.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
KOR PULMONAL KRONIK Sjaharuddin Harun, Ika Prasetya Wijaya
PENDAHULUAN Kor pulmonal adalah hipertrofildilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh darah paru yang tidak berhubungan dengan kelainan jantung kiri. Istilah hipertrofi yang bermakna patologis menurut Weitzenblum sebaiknya diganti menjadi perubahan struktur dan fungsi ventrikel kanan. Untuk menetapkan adanya kor pulmonal secara klinis pada pasien gagal napas diperlukan tanda pada pemeriksaan fisis yakni edema. Hipertensi pulmonal "sine qua non " dengan kor pulmonal maka definisi kor pulmonal yang terbaik adalah: hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit yang mengenai struktur dan atau pembuluh darah paru; hipertensi pulmonal menghasilkan pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan atau dilatasi) dan berlanjut dengan berjalannya waktu menjadi gagal jantung kanan. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan penyebab utama insufisiensi respirasi kronik dan kor pulmonal, diperkirakan 80 - 90% kasus. Kor pulmonal akut adalah peregangan atau pembebanan akibat hipertensi pulmonal akut, sering disebabkan oleh emboli paru masif, sedangkan kor pulmonal kronis adalah hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang berhubungan dengan penyakit paru obstruktif atau restriktif. Pada PPOK, progresivitas hipertensi pulmonal berlangsung lambat.
dinding dada; (4) Penyakit yang mengenai aliran udara paru, alveoli, termasuk PPOK. Penyakit paru lain adalah penyakit paru interstisial dan gangguan pernapasan saat tidur.
Penyakit paru kronis akan mengakibatkan: ( 1 ) berkurangnya "vascularbed' paru, dapat disebabkan oleh semakin terdesaknya pembuluh darah oleh paru yang mengembang atau kerusakan paru; (2) asidosis dan hiperkapnia; (3) hipoksia alveolar, yang akan merangsang vasokonstriksi pembuluh paru; (4) polisitemia dan hiperviskositas darah. Keempat kelainan ini akan menyebabkan timbulnya hipertensi pulmonal (perjalanan lambat). Dalam jangka panjang akan mengakibatkan hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan dan kemudian akan berlanjut menjadi gagal jantung kanan.
GEJALA KLlNlS Tingkat klinis kor pulmonal dimulai PPOK kemudian PPOK dengan hipertensi pulmonal dan akhirnya menjadi PPOK dengan hipertensi pulmonal serta gagal jantung kanan.
DIAGNOSIS Etiologi kor pulmonal dapat digolongkan dalarn 4 kelompok: (1) Penyakit pembuluh darah paru; (2) Tekanan darah pada arteri pulmonal oleh tumor mediastinum, aneurisma, granuloma atau fibrosis; (3) Penyakit neuro muskular dan
Diagnosis kor pulmonal pada PPOK ditegakkan dengan menemukan tanda PPOK; asidosis dan hiperkapnia, hipoksia, polisitemia dan hiperviskositas darah; hipertensi pulmonal, hipertrofildilatasi ventrikel kanan dan gagal j antung kanan.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
KOR PULMONAL KRONIK
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI PPOK
ASIDOSIS, HIPERKAPNIA, HIPOKSIA, POLISlTEMlA DAN HlPERVlSKOSlTAS DARAH
volume paru turun mendadak akibat reseksi paru demikian pula pada restriksi paru ketika pembuluh darah mengalami kompresi dan berubah bentuk. Aferload meningkat pada ventrikel kanan juga dapat ditimbulkan pada vasokonstriksi paru dengan hipoksia atau asidosis. Perubahan hemodinamik kor pulmonal pada PPOK dari normal menjadi hipertensi pulmonal, kor pulmonal, dan akhimya menjadi kor pulmonal yang diikuti dengan gagal jantung.
Kelainan ini dapat dikenal terutama dengan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan klinis.
TATALAKSANA
Adanya PPOK dapat diduga I ditegakkan dengan pemeriksaan klinis (anamnesis dan pemeriksaanjasmani), laboratorium, foto torak, tes faal paru.
HlPERTENSl PULMONAL Tanda hipertensi pulmonal bisa didapatkan dari pemeriksaan klinis, elektrokardiografi dengan P pulmonal dengan deviasi aksis ke kanan dan hipertrofi ventrikel kanan, foto toraks terdapat pelebaran daerah cabang paru di hilus, ekokardiografi dengan ditemukan hipertrofi ventrikel kanan (RV) dan kateterisasi jantung.
HlPERTROFl DAN DlLATASlVENTRIKEL KANAN
Tujuan pengobatan kor pulmonal pada PPOK ditinjau dari aspek jantung sama dengan pengobatan kor pulmonal pada umumnya untuk: (1) Mengoptimalkan efisiensi pertukaran gas; (2) Menurunkan hipertensi pulmonal; (3) Meningkatkan kelangsungan hidup; (4) Pengobatan penyakit dasar dan komplikasinya. Pengobatan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk menurunkan hipertensi pulmonal, pengobatan gagal jantung kanan dan meningkatkan kelangsungan hidup. Untuk tujuan tersebut pengobatan yang dapat dilaksanakan diawali dengan menghentikan merokok serta tatalaksana lanjut adalah sebagai berikut:
Dengan pemeriksaan foto toraks, elektrokardiografi (EKG), ekokardiografi, Radionuclide ventriculography, thalium Imaging: CTscan dan magnetic resonance imaging (MRI)
GAGALJANTUNGKANAN Ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, biasanya dengan adanya peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali, asites maupun edema tungkai.
PERJALANAN PENYAKIT HlPERTENSl PULMONAL PADA PPOK Curah jantung dari ventrikel kanan seperti pula di kiri disesuaikan dengan preload, kontraktilitas dan afterload. Meski dinding ventrikel kanan tipis, namun masih dapat memenuhi kebutuhan saat terjadi aliran balik vena yang meningkat mendadak (seperti saat menarik napas). Peningkatan afterload akan menyebabkan pembesaran ventrikel kanan yang berlebihan. Hal ini terjadi karena tahanan di pembuluh darah paru sebagai akibat gangguan di pembuluh sendiri maupun akibat kerusakan parenkim paru. Peningkatan afterload ventrikel kanan dapat terjadi karena hiperinflasi paru akibat PPOK, sebagai akibat kompresi kapiler alveolar dan pemanjangan pembuluh darah dalam paru. Peningkatan ini juga dapat terjadi ketika
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup belum diketahui. Ditemukan 2 hipotesis: (1) Terapi oksigen mengurangi vasokonstriksi dan menurunkan resistensi vaskular paru yang kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan; (2) Terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan hantaran oksigen ke jantung, otak dan organ vital lain. Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12jam (National Institute of HealthlNIH, Amerika); 15 jam (British Medical Research Council 1 MRC dan 24 jam (NIH) meningkatkan kelangsungan hidup dibandingkan dengan pasien tanpa terapi oksigen. Indikasi terapi oksigen (di rurnah) adalah: (a) Pa02 < 55 mmHg atau Sa02 < 88%; (b) Pa02 55-59 mmHg disertai salah satu dari: (b.1) Edema disebabkan gagal jantung kanan; (b.2) P pulmonal pada EKG; (b.3) Ertrositosis hematokrit > 56%).
VASODILATOR Vasodilator (nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis alfa adrenergik, inhibitor ACE, dan postaglandin sampai saat ini belum direkomendasikan pemakaiannya secara
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
rutin. Rubin menemukan pedoman untuk menggunakan vasodilator bila didapatkan 4 respons hemodinamik sebagai berikut: (a) resistensi vaskular paru diturunkan minimal 20%; (b) curah jantung meningkatkan atau tidak berubah; (c) tekanan arteri pulmonal menurunkan atau tidak berubah; (d) tekanan darah sistemik tidak berubah secara signifikan. Kemudian hams dievaluasi setelah 4 atau 5 bulan untuk menilai apakah keuntungan hemodinamik di atas masih menetap atau tidak. Pemakaian sildenafil untuk melebarkan pembuluh darah paru pada Primary Pulmonary Hypertension, sedang ditunggu hasil penelitian untuk kor pulmonal lengkap.
Terapi optimal kor pulmonal karena PPOK hams di mulai dengan terapi optimal PPOK untuk mencegah atau memperlambat timbulnya hipertensi pulmonal. Terapi tambahan baru diberikan bila timbul tanda-tanda gagal jantung kanan.
DIGITALIS
REFERENSI
Digitalis hanya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal jantung kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri normal, hanya pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri yang menurunkan digoksin bisa meningkatkan fungsi ventrikel kanan. Di samping itu pengobatan dengan digitalis menunjukkan peningkatkan terjadinya komplikasi aritmia.
Benisty Jacques I. Pulmonary hypertension. Circulation 2002; 106: 192-4 Braunwald E, Heart failure and cor pulmonale, dalam Kasper DL et al (editor) Harrison's Principles Internal Medicine, edisi 16, New York, McGraw-Hill, 2005.p.: 1377-89. Lenfant C, Khaltaev N, Global Strategy for the Dignosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease: NHLBI / WHO Workshop. National Institutes of Healt and National Heart, Lung and Blood Institute, Publication Number 2701 April 2001. Macnee. W, Pathophysiology of cor pulmonale in chronic obstructive pulmonary disease: bagian pertama ke Am J. Respir Crit Care med 1994; 833-52. Macnee. W, Pathophysiology of cor pulmonale in chronic obstructive pulmonary disease: part two. Am J. Respir Crit Care Med 1994; 150:I 158-68 Matthay RA, Niederman MS and Weiderman HP. Cardiovascularpulmonary disease with special reference to the pathogenesis and management of cor pulmonale. Med Clin North Am. 1990; 74: 571-618 MC Laughin VV, Rich S. cor pulmonale dalam Braunwald E., editor. Heart Disease: A text book of cardiovascular medicine, 6th ed Philadelphia; WB Saunders, 2001 .p. 1936-54. Restrepo Clara I, Tapson Victor F. Pulmonary hipertension and cor pulmonale in Topol Eric J, eds. Text book of Cardiovascular Medicine 2" ed Philadelphia: Lippincott William & Wilkins 2002: 649-65. Rich S et al, Pulmonary hypertension, dalam Braunwald E, Heart Disease: A Text book of Cardiovascular Medicine, edisi ke-7. Philadelphia, Elsevier Saunders, 2005. p. 1807-42. Weitzenblum E. Chronic cor pulmonale Heart 2003; 89:225-30.
Diuretika diberikan bila ada gagal jantung kanan. Pemberian diuretika yang berlebihan dapat menimbulkan alkolosis metabolik yang bisa memicu peningkatan hiperkapnia. Di samping itu dengan terapi diuretik dapat terjadi kekurangan cairan yang mengakibatkan preload ventrikel kanan dan curah jantung menurun.
FLEBOTOMI Tindakan flebotomi pada pasien kor pulmonal dengan hematokrit yang tinggi untuk menurunkan hematokrit sampai dengan nilai 59% hanya merupakan terapi tambahan pada pasien kor pulmonal dengan gagal jantung kanan akut.
Di samping terapi di atas pasien kor pulmonal pada PPOK harus mendapat terapi standar untuk PPOK, komplikasi dan penyakit penyerta.
PENUTUP
Pemberian antikoagulan pada kor pulmonal didasarkan atas kemungkinan terjadinya tromboemboli akibat pembesaran dan disfungsi ventrikel kanan dan adanya faktor imobilisasi pada pasien.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
HIPERTENSI PULMONAR PRIMER Muhammad Diah, Ali Ghanie
PENDAHULUAN Hipertensi pulmonal primer (HPP) atau idiopatik adalah suatu penyakit yang jarang didapat namun progresif oleh karena peningkatan resistensi vaskular pulmonal, yang menyebabkan menurunnya fungsi ventrikel kanan oleh karena peningkatan a/terZoudventrikel kanan. HPP sering didapatkan pada usia muda dan usia pertengahan, lebih sering didapatkan pada perempuan dengan perbandingan 2 ; 1, angka kejadian pertahun sekitar 2-3 kasus per 1 juta penduduk, dengan mean stirviva1 dari awitan penyakit sampai timbulnya gejala sekitar 2-3 tal~un. Kriteria diagnosis untuk hipertensi pulmonal merujuk pada Nutionul Institute o j Health (NIH); bila tekanan sistolik arteri pulmonalis lebih dari 35 mmHg atau meun tekanan arteri pulrnonalis lebih besar dari 25 mmHg pada saat istirahat atau lebih 30 mmHg pada aktivitas, dan tidak didapatkan adanya kelainan valvular pada jantung kiri, penyakit miokardium, penyakit jantung kongenital, dan tidak adanya kelainan paru, penyakit jaringan ikat atau penyakit tromboemboli kronik, sehinga HPP juga disebut sebagai une.xplained pulrnonacv Izypertension.
Arteri pulmonal normal merupakan suatu struktur compluint dengan sedikit serat otot, yang memungkinkan fungsi pulmonary vasczrlar bed sebagai sirkuit yang low pressure dan high jlow. Gambaran patalogi vaskular pada HPP tidak patognomonis untuk kelainan ini, karena menyerupai gambaran arteriopati pada hipertensi pulmonal dari berbagai macam sebab, kelainan vaskular di sini termasuk hiperplasia otot polos vaskular, hiperplasia intima, dan trombosis insitu. Kelainan yang terjadi pada HPP ini mengenai ateri-arteri pulmonalis kecil dengan
diameter antara 40 sampai 100 mm dan arteriol. Evolusi vaskular pada PPH ini tergantung progresivitas penipisan arteri pulmonalis, yang secara gradual meningkatkan resistensi pulmonal yang pada akhirnya menyebabkan strain dan gaga1 ventrikel kanan.
Gambar I.Karakteristik patologi pada hipertensi pulrnonal Kiri Muskulus arterl pulmonaris pada paslen HPP hipertrofi media (panah put~h)dan penyepitan lumen oleh karena prollferasl lntlma (panah h~tarn) dan proliferasl adventisla (X)
Kiri Lesi plex~formyang karakterlstik, obstruks~rnuskulus paplllar~s(panah)
Pada stadium awal HPP, peningkatan tekanan arteri pulmonalis .menyebabkan peningkatan kerja ventrikel kanan, dan terjadi trombotik arteriopati pulmonal. Karakteristik trombotik arteriopati pulmonal ini adalah trombus insittl pada muscularis arteri dari vaskulatur pulmonal. Pada stadium lanjut, di mana tekanan pulmonal meningkat secara terus menerus dan progresif, lesi berkembang menjadi bentuk arteriopati fleksogenik pulmonal yang ditandai dengan hipertrofi media, fibrosis laminaris intima konsentrik, yang menggantikan struktur endotelial pulmonal normal (Gambar 1 ). Secara patologis HPP dapat di kelompokkan secara 3 sub-tipe:
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Primary Arteriopati Fleksogenik (30-80% dari HPP) Secara patologis lesi fleksogenik adalali disorganisasi kapiler pulmonal. Beberapa keadaan lesi mengandung proleferasi monoklonal sel-sel endotelial. Lesi tleksiform merupakan suatu bentuk hipertensi pulmonal berat, dengan insiden I-2ljuta penduduk perbandingan pria dan perenipuan 1,7: 1 dan usia saat diagnostik tipe ini antara 20-50 tahun. Kelainan ini tampaknya inempunyai komponen genetik, di mana 7% kasus adalah familial.
Tromboembolik Arteriopati (45-50% dari HPP) Secara patologis subtipe ini ditandai dengan fibrosis eksentrik tunika intima dan gambaran rekanalisasi trombosis insitu (jaringan dan septum dalam lumen arterial). Subtipe tromboembolik hipertensi pulmonal terdapat 2 bentuk: bentuk makrotromboembolik, yang biasanya didapatkan pada tipe hipertensi pulmonal skunder dan berisi gumpalan besar di tengah lumen, dan kedua bentuk mikrotromboembolik dengan trombus didistal yang menyumbat pembuluh-pembuluh darah kecil. Bentuk makro biasa biasanya respons terhadap tromboenarterektomi. Sementara bentuk mikro berhubungan dengan trombosis insitu dan secara klinis tumpang tindih dengan arteriopati fleksognik primer. Oklusif Vena Pulmonal Bentuk yang jarang didapat, disebabkan oleh penipisan tunika intima vena pulmonal HPP secara patologis dapat digradasikan dalam 6 poin berdasarkan severitas penyakit: dimulai dari hipertropi medial (grade I ) sampai dan di grade 6 nekrosis arteritis, namunftidak ada korelasi antara gradasi patologis dengan tekanan pulmonalis. Rasio ketebalan tunika media dan intima terhadap total cross-sectional area dihubungkan dengan respons terhadap vasodilator, semenara artropati fleksogenik dihubungkan dengan szrrvival time yang pendek. (Gambar 2)
Etiologi dan Patogenesis Penyebab HPP belum diketahui dengan pasti. Beberapa konsep patogenesis mempertimbangkan kepekaan inidividu dan rangsangan pemicu sebagai faktor pemula terhadap kerusakan dan perbaikan vaskular pulmonal. Hanya sebagian kecil kelompok dengan risiko tinggi (seperti obat penekan nafsu makan dan pasien HIV-1) yang menjadi hipertensi pulmonal. Kejadian HPP dalam satu keluarga menunjukkan kepekaan genetik. Bentuk kelainan bawanan adalah autosomal dominan dengan rasio perempuan dan pria 2 banding 1. Meskipun melibatkan gen dalam HPP familial belum dapat diidentifikasi, kemungkinan lokasi pada tangan panjang (long arm) dari kromosom 2 (q3 1 ). Lokasi ini mengandung 7 juta base dan suatu pendekatan telah dicoba untuk mengidentifikasi gen potensial dengan vasoaktif, proliferatif atau aktivitas trombotik, namun tidak didapatkan kandidat gen sampai saat ini. Stimulus yang dapat merangsang HPP adalah: bahanbahan yang dapat dicerna, seperti oabat penekan nafsu makan, ekstrak monokrotalie, bahan pelarut inhaler, metamfetamin, kokain, L-tryptophan; infeksi, terutama HIV1; and penyakit inflamasi (seperti HPP yang dihubungkan dengan penyakit tiroid autoimun dan antinuclear anti-Kzi antibody. Walaupun bentuk rangsangan berbeda, namun bentuk kerusakan dan perbaikannya sama. Vasokonstriksi dan hipertrofi media terjadi pada awal HPP. Keadaan ini adalah sekunder terhadap kerusakan sel endotelial, yang dapat menyebabkan berkurangnya produksi endotheliurn-derived vasodilator atau meningkatkan vasokonstriktor. (Gambar 3).
Kerusakan endotel paru lpelepasan
NO, Kerusakan sal K'
H~pertens~ pulmonal
tpelepasan PDGF, VEGF, TGF-1
Garnbar 3. Patogenesis hipertensi pulmonal
Campwan normal dun abnormal
-
,
,
Lesl flek
Garnbar 2. Les~vaskular pada h~pertensrpulmonal prlmer Lesl fleks~formmerupakan petanda hrstolog~h~pertensipulmonal prlmer
Pas~endengan pred~spos~s~ genet~k,kerusakan endotel dapat men~mbulkans~klusganas perkembangan h~pertensipulrnonal Pertama kerusakan endotel menyebabkan ~mbalansmed~atot vasoaktlf vasokonstr~ks~ Kemud~anterjad~pelepasan growth factoryang menyebabkan penrplsan d~dlngpembuluh darah (remodellng) Hal In1 merangsang f~brrnol~s~s dan gangguan koagulas~ yang mempres~pitas\trombos~s ~ n s ~ t u TB=tromboxan, PG=prostagland~n ET= endothel~n, N O = n ~ t r ~ oxlde c PDGF=platelet-denved growth factor VEGF=vascular endotheIra1 growth factor TGF=transformmg growth factor
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HlPERTENSl PULMONAR PRIMER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Penelitian imunohistokimia, menunjukkan ekspresi etidotheliul NO s~*tithetuse (eNOS; NOS 111) menurun pada arteri pulmonalis pasien dengan HPP, dan sekesi metabolit prostakiklin melalui urin juga rendah. Kosentrasi endotelin 1 (suatu vasokonstriktor pulmonal poten) darah meningkat baik pada hipertensi pulmonal primer ataupun sekunder, j,ang pada pengecatan dengan imunohistokimia mernperlihatkan peningkatan ekspresi endotelin pada arteri pulmonalis pada pasien ini. Mediator vasoaktif sirkulasi lain juga berperan pada HPP. Kadar plasma serotonin meningkat pada pasien dengan HPP, dan tetap meningkat setelah transplantasi jantung. Obat penekan nafsu makan: fenfluramin dan deksfenfluramin yang menghambat reuptake seretonin, dapat mencetuskan HPP pada individu yang peka melalui peningkatan kosentrasi platelet-derived serotonin (suatu vasokonstriktor pulmonal, yang merangsang pertumbuhan vaskular). Kerusakan saluran ion pada sel otot polos arteri pulmonal juga dapat menambah vasokonstriksi. Kalsium intra selular berperan penting dalam regulator kontraksi dan dan proliferasi otot polos vaskular, dan kanal kalium yang menentukan konsentrasi kalsium bebas sitoplasma mungkin terganggu pada pasien dengan hipertensi pulmonal primer. Vasokonstriksi diikuti oleh proliferasi dan fibrosis intima, trombosis insitu, dan perubahan plexogenik. Peningkatan ekspresi vascular endotheliul growtli factor (VEGF), suatu mitogen sel endothelial spesifik yang dihasilkan oleh makrofag dan otot polos vaskular, suatu mitogen spesifik sel endotelial yang dihasilkan oleh makrofag dan sel otot polos, berperan dalam remodeling vaskular.
Klasifikasi Klinik dan Fungsional Hipertensi Pulmonal Selama beberapa tahun hipertensi pulmonal diklasifikasikan sebagai hipertensi pulmonal primer (idiopatik) dan hipertensi pulmonal sekunder. Pada tahun 2003, pada Word Symposium 111 mengenai hipertensi pulmonal di Venice, dilakukan revisi klasifikasi klinik, di mana hipertensi pulmonal di kelompokkan dalam 5 kelompok, dan hipertensi pulmonal primer atau hipertensi pilllnonal idiopatik dimasukkan dalam kelompok hipertensi arteri pulmonal. (Tabel 1). WHO juga mengusulkan klasifikasi fungsional hipertensi pulmonal dengan memodifikasi klasifikasi fungsional dari New York Heurt Association (NYHA) .s!:c.retli (Tabel 2).
GAMBARAN KLlNlS Hipertensi pulmonal sering tidak menunjukkan gejala yang
Hipertensi arteri pulmonal ldiopatik atau primer Familial Hipertensi yang berhubungan dengan: Penyakit kolagen pada pembuluh darah Shunt kongenital sistemik ke pulmonal Hipertensi portal lnfeksi HlV Toksin dan obat-obatan Penyakit lain (kelainan tiroid, kelainan penyimpanan glikogen, penyakit Gaucher, hemoragik telangiektasis herediter, hemoglobinopati, kelainan mieloproliferatif, splenektomi Yang berhubungan dengan kerterlibatan vena atau kapiler Penyakit oklusi vena pulmonal Hemangiomatosis kapiler pulmonal = Hipertensi pulmonal dengan penyakit jantung kiri Penyakit atrium atau ventrikel kiri jantung Penyakit katup jantung kiri Hipertensi pulmonal yang dihubungkan dengan penyakit paru adan atau hipoksia Penyakit paru obstruksi kronik Penyakit jaringan paru Gangguan napas saat tidus Kelainan hipoventilasi alveolar Tinggal lama di tempat yang tinggi Perkembangan abnormal Hipertensi pulmonal oleh karena penyakit emboli dan trombotik kronik Obstruksi tromboembolik arteri pulmonalis proksimal Obstruksi tromboembolik arteri pulmonalis distal Emboli pulmonal non trombotik (tumor, parasit, benda asing) Lain-lain Sarcoidosis, histiositosis-X, limfangiomatosis, penekanan pembuluh darah paru (adenopati, tumor, fibrosis mediastinitis)
Kelas I
Kelas II
Kelas Ill Kelas IV
Pasien dengan hipertensi pulmonal tanpa keterbatasan dalam melakukan aktivitas seharihari Pasien dengan hipertensi pulmonal, dengan sedikit keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Pasien dengan hipertensi pulmonal, yang bila melakukan aktivitas ringan akan merasakan sesak dan rasa lelah yang hilan bila istirahat Pasien dengan hipertensi pulmonal, yang tidak mampu melakukan aktifitas apapun (aktivitas ringan akan merasakan sesak), dengan tanda dan qeiala qaqal iantunq kanan.
sepesifik. Gejala-gejala tersebut sering sulit dibedakan dengan HPP sekunder atau oleh karena kelainan jantung, kesulitan utama adalah gejala umumnya berkembang secara gradual. Gejala yang paling sering adalah : dispnu saat aktivitas,fatique dan sinkop, refleksi ketidak mampuan menaikkan curah jantung selama aktivitas. Angina tipikal juga dapat terjadi meskipun arteri koroner normal, tetapi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI nyeri dada disebabkan oleh karena stretching arteri pulmonal atau iskemia ventrikel kanan. Hemoptisis oleh karena pecahnya pembuluh darah parit yang tnengalami distensi jarang terjadi, namun hemoptisis pada pasien dengan HPP suatu keadaan yang berbahaya. Fenomena Raynaud's terjadi kira-kira 2% dari pasieri dengan HPP tetapi sering terjadi pada hipertensi pultnonal yang berhubungan dengan penyakit jaringan ikat. Gejalagejala yang lebih spesifik dapat oleh karena penyakit yang mendasari hipertensi pulmonal. Pada pemeriksaan fisik relatif tidak sensitif untuk menegakkan diagnosis hipertensi pulmonal primer, nalnun dapat membantu meniadakan berbagai penyebab lain dari hipertensi pulmonal (hipertensi pulmonal sekunder). Pemeriksaan auskultasi paru pasien HPP umwnnya bersih. Bila ditemukan wheezingdan ronki, kemungkinan kelainan oleh karena penyakit paru yang lain seperti: asma bronkial, bronkitis atau fibrosis. Ronki basah seperti pada gagal jantung kongestif menunjukkan penyakit jantung kiri, bukan hipertensi arteri pulmonal. Bunyi jantung I1 pada daerah pulrnonal kadang dapat ditemui pada hampir 90% pasien dengan hipertensi pulmonal, pada stadium lanjut di mana telali terjadi gagal jantung kanan, gejala dan tanda seperti gallop ventrikel kanan (S4 kanan), distensi vena jugularis, pembesaran hapar atau limpa, asites atau edema perifer dapat ditemui (Tabel3).
Gejala
Tanda
Dispnu saat aktivitas Fatique Sinkop Nyeri dada angina Hernoptisis Fenomena Raynaud's
Distensi vena jugularis lrnpuls ventrikel kanan dorninan Kornponen katup paru rnenguat (P2) S3 jantung kanan Murmur trikuspid Hepatornegali Edema perifer
tersebut terrnasuk pernbesaran atrium dan ventrikel kanan, dan septum yang cembung atau rata. Adanya efusi perikard nienunjukkan beratnya penyakit dan prognosis yang kurang baik. Elektrokardiografi Elektrokardiograni (EKG)juga harus dilakukan pada pasien yang dicurigai HPP, meskipun tidak spesifik untuk HPP. Gatnbaran tipikal pada EKG berupa .struin ventrikel kanan, hipertrofi ventrikel kanan dan pergeseran aksis ke kanan dapat membantu nienegakkan diagnosis hipertensi pulmonal (Garnbar5)
Gambar 4. Foto toraks paslen dengan hlpertensl pulrnonal memperllhatkan pelebaran alter1 pulrnonal sentral bilateral
TES DIAGNOSIS E kokardiografi Pada pasien yang secara klinis dicurigai hipertensi pulnional, ~intukdiagnosis sebaiknya dilakukan ekokardiografi. Ekokardiografi tidak hanya membantu menetaphan diagnosis, namun juga dapat menilai etiologi dan prognosis. Ekokardiografi dapat mendeteksi kelaian katup. dishngsi ventrikel kiri, .shz1,7tjantung.Untuk menilai tekanan sistolik ventrikel kanan dengan ekokardiografi hams ada regurgitasi trikuspid (TR). (Garnbar4) Bila pada pasien dengan hipertensi pulmonal tidak ada regurgitasi trikuspid untuk menilai tekanan ventrikel kanan secara kuantitatif, dapat dipakai nilai kualitatif pada pemeriksaan ekokardiografi dapat membantu menegakkan diagnosis hipertensi pulmonal. Tanda-tanda kualitatif
Gambar 5. Gambaran EKG paslen h~pertenslpulmonal menunjukkan devlas~aksls ke kanan dan h~pertrofiventrlkel kanan
Radiologi Gambaran has parenkiln pant pada hipertensi pulmonal primer bersih. Foto toraks dapat metnbantu diagnosis, atau melnbantu tnenernukan penyakit paru lain yang nlendasari hipertensi pulmonal (membedakan hipertensi primer dengan hipertensi sekunder). Gambaran khas foto thoraks pada hipertensi pulmonal ditemukan pembesaran hilar.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI aktivitas yang berlebihan. Penggunaan digoksin saat ini masik kontroversial, k@enxbelum ada data terhadap I keuntungan atau zkerugian penggunaan digoksin pada hipertensi pulmonal. Penggunaarl diretika untuk Pemeriksaan Angioarafi mengurangi aesak clan edema pada pereifer, dapat Kateterisasi jantung merupakan baku enias untuk bermanfaat untuk mengurangi kelebihan cairan terutarna diagnosis hiperwipatq?jrp~lw~45b.::&qt$te~iqasj bila ada regurgitasi trikuspid. Saat ini banyak penelitian me'mbantu diagaosia d e n w rpengingkirkan etiologi lain untuk pengobatan hipertensi pulmonal telah dilakukan; seperti penyakit jantung kiri ,dan mnnberiEran i n f o m s i golongan vasodilator, prostanoid, nitric oxide, penghambat penting uqtuk. dugaan pragnostik pa& pasien dengan fosfodiesterase, anragonis reseptor endotelin dan hipfiensi pulmanali Tes vasodilator dengan obat keja antikoagulan. siagkat (sepertj: .i$denosi~,inttalasi nitric oxide qtau epoprosknd) &pat dilakulew wlam&.kateterisasi, respQns a. Terapi vasodilator vasodilati posifif bila didapatkan penwunaq ttakanm @eqi penggunaan penghambat kalsium telah banyak diteliti dan pulmonalis $an resistensi vaskulq ,paru sedikitnya 2Q% digunakan sebagai terapi pada hipertensi pulmonal, dari tekaapn,awal. , perbaikanterjadipada kira-kira 2530% kasus terntarha pada Konlsensus European Society of Cardiology, pasien yang tes'vasodilator akut positif, pada kelompok naendefi9nisikanrespopvasdlatasi akut positif bila terjadi ini dapat (lipertihbahgkdd dengguriaannya dalam jangka penurunan "mean" tekanan arteri pulmepalis paling s e m i t laha, dan penggutlaan golongan obat ini pada pasien 10 mmHg sampqi ,f40 mrflHgdewan peningkatan curah hipertensi pulmonal sebaiknya dibatasi terutama pada jantpng atau tjdak ada perubahan pada cwqh jjanhmg pasien dengan gaga1 jantung kanan. dibMmgkaq dengan nilai w f l i sebelum dilakukan ttes. Nifedipin 120-240mglhari atau diltiazem 540-900 mgl Pasien dengan hipestepi arteri pulmonal yang kresgons hari merupakan obat yang swing digunakan, sementara positif dengan vasodilator akut ,pada pemeriksaan verapa~riilmemperlihatkan efek inotropik negatif. Namun kateterisasi, sstrvivqclnya akan meningkat dengan obat-obat tersebut inenyebabkan efek samping yang pengobatan blokade saiuran kiflsiumjangka Iwna. Deagnn bettnaknd, sepeiti hipothsi yang mengantam hidu'p pasien katemisasi jantung jyga &pat memherikap infotrnasi dengan cnnfp'~ornisedfungsi 'ventrikel kanan yang berat, mmge;naisaturasj qk~igelzpada vena sentral, a n r i m $an untuk ini dipertukan monitoring ketat terhadap weatrjkel Lcanan,, dan at;ceri,pulf~~onal yang berguna W a m hemodinarnik pasien. manilai prognostik hipertensi,pulyqnal. Vasodilator lain yang telah dievaluasi adalah peranan angiotensin converting cwzyme pada patofisiologi hipertensi pulmonal, namun enzim ini tidak bermanfaat secara signifikan, di samping belum ada studi yang luas yang telah dilaknkan.
lapangan arteri pulmonalis dan pada foto taaks lateral . terdapat pembefiaran ventrikel kanan (Gambar4). I
8
8
>:
- .
kt. -E G
Garnbar 6. Garnbaran ekokqrd~ograf~ pasleo h~pertensrpulrnonal
b. ~ r o s t a n o i d Epoprostenol. Epoprostenol IV pertama kali disetujui oleh FDA mtuk terapai hipertensi pulmonal pada tahun 1995. Pemakaian epopostrenol jangka panjang mernperbaiki hemodiqamik, toleransi latihan, kIas fungsional NYHA, dpn s ~ m i v arafegenderia f hipertensi pulmonal. Namun karqya waktu paruh singkat.diperlqkan bentuk infus IV yang konstan melalui kateter dengan portable p u m p , penggunaannya rumit ~ehinggadiperlukan rujukan ke nwah sakjt atau klinik 3jang canggih. Karena m i t p y a pemakaian epqproitenal,, .dikembangkan produk prostasiklin yang lain, dan yang saat ini juga sudh diakui oleh FDA sebagai obat untuk hipertensi pulmonal adalah: treprostinil dan inhalasi iloprost. ,-, Treprostinil. Treprostinil memiliki waktu paruh,yanglebi'h lama dan dapat digdnakan subkutan. Pada penelitian povital dengan treprostinil dengan 470 pasien selama 12 rpinggu (randomized pluceho controlled trial), pada 58% 3 ,
Medikamentosa Resisten vaskular p4monol secarF &;upatis w m & a p d a saat lawan, @waktiyitas pada,pasien hiperterzsi, daat pasien sebikya h q s rnemperbat:hW wernb-i
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
hipertensi pulmonal primer, 27% hipertensi pulmonal dengan penyakit jaringan ikat, dan 25% hipertensi pulmonal dengan penyakit jantung kongenital, dan dengan keparahan penyakit: NYHA I1 (12%)NYHA I11 (81%)danNYHA IV (7%). Didapatkan perbaikan indek hemodinamik dan kapasitas latihan yang diukur dengan katetarisasi dan latihan berjalan 6 menit. Tidak ada pengaruh treprostinil pada kelompok penyakit jantung bawaan, mungkin kerena singkatnya penelitian. Treprostinil subkutan juga menyebabkan rasa nyeri pada tempat suntukan yang juga membatasi penggunan obat ini pada pasien t'ertentu. lloprost inhalasi. lloprost adalah prostasiklin dengan bentuk kimia stabil yang tersedia dalam bentuk intravena, oral, dan aerosol, dengan waktu paruh 20 sampai 25 menit. Bentuk inhalasi dalam pengobatan hipertensi pulmonal adalah konsep yang baik praktis dalam pengunaan klinik. Pada idiopatik hipertensi pulmonal iloprost inhalasi memberikan efek vasodilatasi yang lebih efektif dibandingkan dengan inhalasi NO . Untuk penggunaan jangka panjang karena waktu paruh pendek dapat digunakan 6 sampai 9 kali inhalasi per hari. Penelitian terbuka selama 3 bulan pada 19 pasien dengan berbagai bentuk hipertensi pulmonal, dengan inhalasi iloprost dengan dosis 50-200 pg 6 sampai 12 inhalasi per hari, memperbaiki klas fungsional, kapasitas latihan dan hemodinamik paru. Pada penelitian lain selama 1 tahun juga penelitian terbuka tanpa kelompok kontrol, pada 24 pasien dengan dosis 100 - 150 pg 6 sampai 8 kali inhalasi perhari memberikan hasil yang sama. Dan secara umum pengobatan ditoleransi dengan baik kecuali pada beberapa pasien mengalami batuk ringan, sakit kepala ringan dan nyeri rahang. Penelitian randomized, double-blind, placebo-controlled European multicenter, dengan dosis iloprost 2.5 pg atau 5 pg 6 sampai 9 kali perhari (dosis maksim 45 pg/ hari; dosis median, 30 pglhari). terhadap 203 pasien dengan hipertensi pulmonal primer (50,5%), hipertensi pulmonal dengan tromboemboli kronik (33%) dan hipertensi pulmonal dengan penyakit jaringan ikat (13%) dengan NHYA I1 59% dan NYHA IV 41 % ,didapatkan perbaikan kapasitas latihan (waktu berjalan 6 menit meningkat 36 m pada kelompok iloprost), perbaikan klas NYHA, perbaikan klinis dan kualitas hidup yang bermakna pada kelompok ilopros dibanding kelompok plasebo. Secara umum pengobatan dengan iloprost ditoleransi dengan baik kecuali pada beberapa pasien mengalami batuk ringan, flushing, sakit kepala dan nyeri rahang dan berlangsung singkat dan ringan. c. Nitrik Oksid Merupakan suatu vasodilator pulmonal selektif, diberikan secara inhalasi dengan waktu paruh singkat, ha1 ini bermanfaat sebagai screening vasodilator pada pengobatan hipertensi pulmonal.
Efek inhalasi NO pada pasien hipertensi pulmonal primer memperlihat perbaikan dalam parameter hemodinamik, efek jangka panjang belum diteliti namun beberapa pasien tampak menunjukkan manfaat dengan terapi tersebut untuk jangka lama.
d. Penghambat Fosfodiesterase Mekanisme yang memodulasi cyclic guunosine 3 '-5 ' nionophosphate (cGMP) didalam otot polos berperan dalam meregulasi tonus, pertumbuhan dan struktur vaskular. Efek vasodilator N O tergantung pada kemampuannya meningkatkan isi cGMP di dalam otot polos vaskular. Sekali diproduksi NO langsung mengaktifkan soluble guat7j~late cyctase yang meningkatkan produksi cGMP, kemudian cGMP mengaktifkan cGMP kinase, membuka kanal potasium dan menyebabkan vasorelaksasi. Efek cGMP intraselular bertahan singkat, menyebabkan degradasi cepat cGMP oleh fosfodiesterase. Fosfodiesterase merupakan famili enzim yang menghidrolisa cyclic nucleotide, cyclic adenosine nionophosphate (CAMP)dan cGMP, dan membatasi sifat sinyal intraselulermereka dengan menghasilkan produk inaktif (5 'adenosine monophosphate dati 5'-guanosine nronop11o.sphate). Sedangkan penghambatan CAMP spesijic phosphodiesterase (type 3) berperan dalam pengobatan asma (mis : teofilin) dan disfungsi miokardial (mis : milrinon dan amrinon), obat-obat yang secara spesifik menghambat cA MP-spesificphosphodiestera.~e memiliki efek yang lemah terhadap sirkulasi pulmonal. Sebaliknya obat-obat yang menghambat secara selektif cGMP-spesifik fosfodiesterase (phosphodiesterase type 5 inhibitor)meningkatkan respons vaskular terhadap NO inhalasi dan endogen pada hipertensi pulmonal. Fosfodiesterasetipe 5 mempengaruhi paru dengan kuat dan phosphodiesterase type 5 gene expression dan aktivitasnya meningkat pada hipertensi pulmonal kronik. Beberapa fosfodiesterase type 5 inhibitor, termasuk dipiridamol, zaprinast, dan lainnya, menyebabkan vasodilatasi pulmonal kuat pada paru hewan percobaan yang menderita hipertensi pulmonal akut dan kronik. Dipiridamol. Dipiridamol dapat menurunkan resistensi vaskular paru, vasokontriksi pulmonal hipoksik, menurunkan hipertensi pulmonal dan meningkatkan atau memperpanjang efek inhalasi NO pada anak dengan hipertensi pulmonal. Beberapa pasien yang gaga1 merespons NO inhalasi membaik dengan terapi kombinasi NO inhalasi + dipiridamol. Ini menunjukkan bahwaphosphodiesterase type 5 inhibitor merupakan strategi klinis yang efektif dalam mengobati hipertensi arteri pulmonal, tetapi masih terbatas karena potensi dan selektivitasnya masih kurang dan efek samping sistemiknya besar. Sildenafil. Sildenafil merupakan phosphodiesterase type 5 inhibitor yang potensial dan sangat spesifik. Studi klinis yang meneliti efek hemodinamik akut sildenafil dan perannya
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HIPERTENS1 PULMONAR PRIMER
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
pada pengobatan jangka panjang pada pasien hipertensi arteri pulmonal oleh Michelakis dkk, pada 13 pasien didapatkan penurunan mean tekanan arteri pulmonal dan resistensi vaskular pulmonal, dengan peningkatan cardiac index. Dibandingkan dengan NO inhalasi, sildenafil memiliki efek yang sama dalam mereduksi mean tekanan arteri pulmonalis, berbeda dengan NO, sildenafil juga memiliki efek hemodinamik. Bila dikombinasikan dengan NO, sildenafil meningkatkan dan memperpanjang efek NO inhalasi. Sildenafil dengan NO inhalasi menurunkan tekanan arteri pulmonari dan meningkatkan cardiac index, dan menurunkan resistensi vaskular pulmonal lebih besar dari pada satu obat masing-masing. Sildenafil mencegah vasoconstriksi pulmonal yang berulang setelah gaga1 dengan inhalasi NO. Pada penelitian vasoreactivity,sildenafil dikombinasikan dengan inhalasi NO, efek terpisah dan kombinasi dari sildenafil dan iloprost dilaporkan penurunan lebih besar mean tekanan arteri pulmonari. Iloprost aerosol menyebabkan penurunan mencolok pada mean tekanan arteri pulmonal dan resistensi vaskular paru daripada sildenafil, tetapi terapi kombinasi menyebabkan penurunan lebih besar dan lebih lama dari pada preparat tunggal. Bharani dkk mengobati 10 pasien dengan sildenafil dan 10 pasien dengan plasebo selama 2 minggu. Setelah 2 minggu pengobatan, pasien mengalami perbaikan bermakna pada tes berjalan 6 menit dan indeks dispnea, dengan penurunan tekanan arteri pulmoanal sistolik secara ekokardiografik. Pada penelitian lain 29 pasien diterapi dengan sildenafil (25-100 mg) selama 5-20 bulan, didapatlkan perbaikan klas fungsional NYHA, tes berjalan 6 menit dan dispnea index dan menurunnya tekanan sistolik arteri pulmonalis. Banyak penelitian menunjukkan efektivitas terapi dengan sildenafil pada penatalaksanaan jangka panjang pasien dengan hipertensi arteri pulmonal kronik. Terapi sildenafil dilaporkan dapat menurunkan mean tekanan arteri pulmonalis 15% dan resistensi vaskular pulmonal 30% , meningkatkan kardiak index 17% dan meningkatkan jarak berjalan 6 menit. Tak ada efek samping yang berarti yang dilaporkan, hanya sakit kepala, kongesti nasal, nausea, dan gangguan penglihatan ringan
e. Antagonis Reseptor Endotelin Pada penelitian terakhir menunjukan antagonist reseptor endotelin (ERAs) efektif dalam mengobati hipertensi pulmonal. Antagonist reseptor endotelin (ERAs) tampaknya berperan dalam pengobatan karena meningkatnya bukti peranan endotelin-1 dalam patogenik pada hipertnsi pulmonal. Endotelin-1 adalah suatu vasokonstriktor poten dan mitogen otot polos yang berperan dalam meningkatkan tonus vaskular dan hipertrofi vaskular paru yang dihubungkan dengan hipertensi pulmonal. Pada pasien
.
dengan hipertensi arteri pulmonal didapatkan peningkatan endotelin-1 dan produknya dalam plasma, dan kadar ini berhubungan dengan severitas penyakit. Reseptor endotelin telah diidentifikasi mempunyai 2 bentuk isoform: ETA dan ET, Aktivasi reseptor ETA menyebabkan vasokonstriksi dan proliferasi otot polos vaskular, sebaliknya aktivasi reseptor ET, menyebabkan vasodilatasi dan pelepasan NO. Ini menimbulkan kontroversi apakah lebih baik diblok keduanya ETAdan ET, atau hanya terhadap ETAsaja. Namun bosentan oral suatu antagonis nonpeptida terhadap dua subtipe endotelin (ETA and ET,) aktif, dapat mencegah dan memperbaiki perkembangan hipertensi pulmonal, remodeling vaskular paru hipertrofi ventrikel kanan, yang tidak terikat dengan mekanisme yang mencetuskannya. Bosentan. Penelitian pertama ra;?domized, double-blind, placebo-controlled, multisenterdengan bosentan dosis 62,5 mg 2 kali sehari selama 4 minggu pertama, diiqiutkan sarnpai dosis 125 mg 2 kali sehari. Pasien pada penelitiari ini adalah hipertensi pulmonal berat idiopatik, atau hipertensi pui~nonal dengan sklerodermadengan NYHAklas I11 atau IV, meskipun telah diobati sebelumnya vasodilator, antikoagulan,diuretik, glikosida jantung, atau suplemen oksigen. Pada penelitian ini memperlihatkan bosentan memperbaiki cardiac index, hemodinamik kardiopulmonal dan klas fungsional, menurunkan resistensi vaskular pulmonal, mean tekanan arteri pulmonalis,pulmonary capillary wedgepressure, dan mean tekanan atrium kanan. Selama 12 minggu tidak didapatkan efek samping yang bermakna, namun didapatkan kenaikan arninotransferase hati yang asimtomatik pada 2 pasien dan normal kembali tanpa perubahan dosis. Jadi sebaiknya sebelum terapi dengan bosentan dimulai dilakukan pemeriksaan fungsi hati. Banyak penelitia lain juga menunjukkan hasil yang sama. Sitaxentan. Penelitian dengan sitaxentan dengan dosis 100 mg - 300 mg oral 3 kali sehari pada pasien dengan hipertensi arteri pulmonal fungsional klas NYHA 11,111, IV selama 12 minggu memperbaiki klas fungsional, kapasitas latihan (memperjarak jalan pada uji 6 menit jalan), menurunkan resistensi vaskular paru secara bermakna, memperbaiki cardiax index, dan memperbaiki hemodinamik. Insiden abnormalitas fungsi hati selama 12 minggu pengobatan hanya didapatkan 10% pada pengunaan dosis 300 mg di mana didapatkan peningkatan aminotransferase 3 kali lipat dari normal dan dilaporkan hepatitis fatal dapat terjadi pada pengunaan sitaxsentan dengan dosis yang lebih tinggi. Gangguan laboratorium lain yang sering terjadi adalah peningkatan INR atau waktu protrombin (dihubungkan dengan efek sitaxentanteehdapad inhibisi enzyme CYP2C9 P450, sustu enzim hepar yang berperan dalam metabolisme warfarin). Efek samping yang sering didapatakan pada pengobatan dengan sitaxentan adalah sakit kepala, edema perifer, nausea, kongesti nasal, dan dizziness
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Ambrisentan. Ambrisentan suatu antagonis endothelin ke tiga, saat ini masih dalam fase 111penelitian klinik dengan hipertensi arteri pulmonal. Antagonis ETA-selektifini sedikit berbeda secara biokimia. Antikoagulan. Pemakaian antikoagulan direkomendasikan pada pengobatan hipertensi pulmonal sehubungan dengan meningkatnya risiko trombosis insitu. Suatu uji klinik nonrandomisasi prospektif memperlihatkan peingkatan ketahanan hidup penederita hipertensi pulmonal yang mendapatkan terapi antikoagulan, obat antikoagulan yang dianjurkan pada hipertensi pulmonal adalah warfarin, meskipun heparin memperlihatkan efek inhibisi pada proleferasi otot polos vaskular pada binatang percobaan. TERAPI INTERVENSI (BEDAH) Atrial Septosotomi Blade ballon atrial septostomy dilakukan pada pasien dengan tekanan RV yang berat dan volume overload yang refrakter dengan terapai medikamentioasa yang maksimal. Tujuan atau goal prosedur ini adalah dekompresi overloadjantung kanan dan perbaikan output sistemik ventrikel kiri. Terdapat perbaikan fungsi latihan dan tanda disfungsi jantung kanan berat seperti asites dan sinkop. Septastomi atrial harus dilakukan di fasilitas yang memadai dan operator yang berpengalaman.
mempunyai suatu kapasitas yang besar dalam perbaikan keadaan disfungsi yang berat sekalipun, afterload membaik oleh karena membaiknya keadaan abnormal pembuluh darah paru. Transplantasi tunggal paru dilakukan pada pasien parenkim paru, kecuali mereka dengan penyakit suppuratif seperti fibrosis kistik, di mana pada kasus tersebut transplantasi bilateral lebih dianjurkan. Sebagian besar pusat-pusat pelayanan lebih menyukai melakukan tindakan transplantasi paru bilateral pada pasien dengan hipertensi pulmonal primer karena hasilnya lebih baik. Terdapatnya penurunan fungsi ventrikel kanan yang sangat mencolok bukan suatu kontraindikasi untuk dilakukan transplantasi paru tunggal ataupun bilateral oleh karena fungsi ventrikel kanan akan segera membaik setelah dilakukan transplantasi. Bentuk ventrikel kanan juga terlihat menjadi normal setelah dilakukan transplantasi tunggal paru ataupun transplantasi bilateral. Kemampuan hidup tahun pertama bagi pasien rata-rata mendekati 80% pada pasien dengan transplantasi paru. Bronkiolitis obliterasi (kronik rejeksi) merupakan komplikasi jangka panjang bagi pasien yang mendapat transplantasi. Terdapat kekambuhan dari gangguan primer paru-paru pada pasien transplantasi dapat terjadi pada beberapa keadaan akan tetapi belum pernah dilaporkan pada pasien dengan hipertensi pulmonal primer.
REFERENSI Thromboenarterectomy pulmonary Thromboendarterectomymenjadi pilihan pengobatan pada pasien hipertensi pulmonal yang berhubungan dengan penyakit tromboembolik kronik. Pulmonary thromboendarterectomy dilakukan melalui median sternotomi pada cardiopulmonary bypass. Secara keselwuhan angka kematian terus membaik dan hingga kini kurang dari 5%. Respons terhadap terapi tersebut cukup mengesankan dengan perbaikan yang dramatis pada disfungsi ventrikel kanan. Transplantasi Paru Transplantasi paru dan transplantasi jantung-paru digunakan sebagai terapi bedah pada pasien dengan penyakit perenkim paru dan gangguan pembuluh darah paru. Pasien dipertimbangkan untuk transplantasi jika berada pada kelas NYHA I11 atau kelas IV. Pasien hipertensi pulmonal primer atau hipertensi arteri pulmonal yang disebabkan penyakit scleroderma hams menjalani terapi prostasiklin yang diberikan secara i n h s yang terus-menerus sebelum dilakukan tindakan transplantasi paru karena obat tersebut telah menunjukkan keberhasilan (efektivitas) pada keadaan tersebut. Baik transplantasi paru bilateral atau single, dan juga transplantasi jantung paru, pemilihan prosedur dilakukan dengan melihat kemampuan organ. Ventrikel kanan
Badesch DB, Abman SH, Ahearn, GS at al. Medical therapy for pulmonary arterial hypertension. ACCP Evidence-Based Clinical Practice Guidelines, Chest. 2004;126:35S-623 Fuster V, Alexander RW, O'Rourke RA. The Heart, lofhed, McGrawHill, New York. 2001: 1616- 21. Gaine SP, Rubin LJ. Primary pulmonary hypertension. Lancet 1998; 352: 719-25 Hofmann LV. Lee DS. Gupta A, Arepally A, Sood S. Safety and hemodynamic effects of pulmonary angiography in patients with pulmonary hypertension: 10-year single-center experience. Am J Roentgenol 2004; 183(3):779-85 Hofmann LV. Pulmonary angiography in patients with pulmonary hypertension. Am J Roentgenol 2004; 183(3):779-85 Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS. Harrison's principles of internal medicine, 16Ih ed, McGraw-Hill, New York. 2005: 1403-6. Kerstein D, Levy PS, Hsu DT, at al. Blade balloon atrial septostomy in patients with severe primary pulmonary hypertension. Circulation. 1995;91:2028-35. Kothari SS, Yusuf A, Juneja R, Yadav R, Naik N. Graded balloon atrial septostomy in severe pulmonary hypertension. Indian Heart J 2002; 54: 164-9 Lee SH, Channick RN. Endothelin antagonism in pulmonary arterial. Hypertension Semin Respir Crit Care Med. 2005;26(4):402-8 Rich S, MD, Rubin L, Walker AM, at al. Anorexigens and pulmonary hypertension in the United States, CHEST. 2000;117(3):870-4 Rubin LJ. Primary pulmonary hypertension. N Engl J Med 1997;336: 111-17.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT JANTUNG DAN OPERAS1 NON JANTUNG Sjaharuddin Harun, Abdul Majid
PENDAHULUAN Tindakan operasi non jantung cukup sering dilakukan pada pasien yang menderita penyakit jantung ataupun pasien dengan risiko penyakit jantung. Komplikasi kardiovaskular dapat terjadi pada perioperatif, yaitu infark miokard non fatal, angina tidak stabil, iskemia miokard, gaga1jantung kongestif (congestive heart failure/CHF), disritmia, kematian mendadak karena jantung dan hipertensi. Pada pasien yang mempunyai penyakit kardiovaskular kejadian tersebut lebih tinggi dibandingkan orang sehat, misalnya insidens penyakit jantung koroner (PJK) meningkat lebih kurang tiga kali lipat dibandingkan orang sehat. Oleh karena itu penilaian risiko kardiovaskular penting dilakukan pada pasien yang menjalani operasi non jantung. Dalam melaksanakan evaluasi kardiologi prabedah perlu diperhatikan jenis penyakit jantung yang diderita pasien, kapasitas fungsional pasien, jenis operasi yang akan dilakukan, dan penyakit penyerta yang dapat memperberat risiko kardiovaskular.
HUBUNGAN PENYAKIT KARDIOVASKULAR DENGANANESTESI DAN PEMBEDAHAN Tindakan pembedahan maupun pascabedah dapat mengakibatkan beban iskemia dan dapat mengancam pasien, baik yang diduga ataupun yang tidak diduga mempunyai penyakit kardiovaskular. Pada pembedahan dapat terjadi perdarahan yang tidak terduga, asidosis, gangguan ventilasi, hiperkapnia, resistensi sistemik menurun, kontraksi dan konduktivitas jantung menurun, aritmia, dan hipotensi (dengan atau tanpa perdarahan). Hal itu akan mengganggu fungsi jantung.
Obat anestesi opiat pada dosis tinggi dihubungkan dengan ventilasi pasca-bedah, penurunan denyut jantung dan tekanan darah (TD). Suksinilkolin menyebabkan takikardia ataupun bradikardia, tetapi lebih sering timbul respons bradikardia (sinus bradikardia berat, ritme nodal dan bahkan asistol). Obat anestesi inhalasi (halotan, enfuran, isofluran) dapat menyebabkan depresi kontraksi miokard, mengurangi a-erload. Obat-obat baru seperti desfluramin dan sevofluran belum terbukti kearnanannyaterhadap sistem kardiovaskular. Anestesi spinallepidural dapat menyebabkan hipotensi dan bradikardia. Belum ada satu pun teknik maupun obatobat anestesi yang benar-benar dapat melindungi jantung. Oleh karena itu pilihan anestesi dan pemantauan intraoperatif diserahkan pada tim anestesi.
EVALUASI KLlNlS PRABEDAH Dalam mengevaluasi pasien yang dicurigai atau telah terbukti mempunyai kelainan kardiovaskular, perlu diperhatikan hal-ha1 berikut: Pada Tindakan Bedah Emergensi Pada tindakan bedah emergensi (pada kasus yang dapat menyebabkan kematian bila operasi ditunda), misal: aneurisma aorta robek, perforasi usus, pendarahan yang mengancam jiwa, ileus, dan lain-lain, dan dapat menyebabkan kematian bila operasi ditunda, evaluasi prabedah dilakukan secara cepat untuk menilai tanda-tanda vital kardiovaskular, status hidrasilvolume intravaskular dan EKG. Pemeriksaan lebih lanjut dapat dilakukan setelah pembedahan. Usaha yang hams dilakukan adalah untuk memperbaiki kondisi pasien semaksimal mungkin.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Pada Tindakan Bedah yang Non Emergensi Evaluasi prabedah hams dilakukan seoptimal mungkin, sehingga dari hasil evaluasi akan dapat ditentukan apakah tindakan bedah dapat dilakukan, ditunda atau dibatalkan. Evaluasi prabedah meliputi: Jenis penyakit kardiovaskular, kapasitas fungsional, faktor yang mempengaruhi kemampuan jantung dan risiko operasi. - Anamnesis lengkap, pemeriksaan fisis, dan EKG (elektrokardiografi). - Pemeriksaan penunjang: laboratorium, foto dada, pemeriksaan noninvasif, dan invasif sesuai indikasi. (lihat 1V) - Tetapkan kapasitas fungsional pasien (dengan anamnesislexercise stress test). - Faktor-faktor yang bisa mempengaruhi kemampuan jantung dan risiko operasi, seperti : demam, hematokrit <30%, gangguan elektrolit, hipoksia, hiperkardia, hipervolemia, merokok, DM (diabetes melitus), kelainan paru, gangguan fungsi ginjal, kelainan hati, dan lain-lain. Jenis operasi yang akan dilakukan: operasi besar, sedang atau kecil. Risiko jantung perioperatif ditentukan dari hasil analisis dan pemeriksaan di atas.
EVALUASI PRAOPERATIF LANJUTAN Rekomendasi untuk melakukan evaluasi praoperatif lanjutan melihat pada keadaan dan kondisi pasien. Pemeriksaan Noninvasif Pemeriksaan noninvasif dilakukan untuk menetapkan diagnosis ataupun memperkirakan prognosis ataupun memperkirakan prognosis terutama pada pasien dengan risiko tinggi danlatau yang mempunyai kapasitas fungsional yang buruk. Berbagai jenis pemeriksaan antara lain : Exercise stress testing. Untuk mendeteksi iskemia miokard dan menentukan kapasitas fungsional. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dikerjakan secara mtin sebelum operasi. Untuk prediksi kelainan kardiovaskular perioperatif, penggunaan Exercise ECG stress testing (rekomendasi ACCIAHA) yang telah disepakati adalah sebagai berikut: Membantu untuk diagnosis PJK pada laki-laki dengan nyeri dada atipikal. Menentukan kapasitas fungsional dan membantu dalam menentukan prognosis pasien PJK. Evaluasi prognosis dan kapasitas hngsional pasien dengan PJK segera setelah infark miokard tanpa komplikasi.
Nonexercise (Pharmacologic) Stress Testing. Pemeriksaan ini untuk menentukan risiko jantung pada bedah non jantung, terutama pada pasien yang tidak dapat melakukan exercise ECG stress testing, kelainan pada EKG istirahat (left ventricular hypertrophylLVH, left bundle branch block ILBBB). Jenis pemeriksaan yaitu : dypiridamole-thallium dan dobutamine stress echocardiography. Monitor EKGAmbulatoar. Pemeriksaan ini terutama untuk pasien dengan risiko tinggi yang mungkin diperlukan tindakan intervensi sebelum bedah non jantung. Pasien dengan sinkop yang tidak diketahui penyebabnya, nyeri dada, palpitasi, dan lain-lain. Ekokardiografi. Dengan ekokardiografi dapat diketahui penyebab dari gaga1 jantung dan fungsi ventrikel kiri. Penilaian ejection fraction (EF) ventrikel kiri penting dilakukan oleh karena adanya hubungan yang positif antara penurunan EF prabedah dan mortalitas-morbiditas pascabedah. Risiko komplikasi terbesar pada pasien dengan EF <35%. RekomendasiACCIAHA untuk penilaian h g s i sistolik ventrikel kiri sebelum tindakan operasi non jantung adalah: Pemeriksaan eko disepakati dilakukan pada pasien CHF yang baru atau kontrol yang jelek. Untuk pasien dengan riwayat CHF, sesak yang penyebabnya tidak diketahui masih terdapat perbedaan pendapat. Sedangkan untuk pemeriksaan rutin penilaian hngsi ventrikel kiri tidak diindikasikan untuk pasien tanpa riwayat CHF. Pemeriksaan invasif Secara umum dapat dikatakan bahwa indikasi angiografi koroner prabedah adalah sama seperti pasien non operasi (Tabel 1)
Kelas I (kondisi di mana telah terbukti memberikan manfaat dan sudah merupakan kesepakatan): Pasien dengan dugaan atau terbukti PJK risiko tinggi (hasil tes non invasif) angina pektoris yang tidak respons dengan pengobatan medis adekuat angina pektoris tidak stabil (unstable angina pectoris) terutama pada bedah non kardiak risiko sedang dan tinggi pada pasien yang akan dilakukan tindakan bedah non kardiak risiko tinggi di mana tes non invasif tidak diagnostik pada pasien risiko tinggi
PENENTUAN RlSlKO JANTUNG PERIOPERATIF Untuk memprediksi risiko perioperatif dapat digunakan berbagai cara antara lain:
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENYAKIT JANTUNG DAN OPERAS1 NON JANTUNG
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Indeks risiko jantung multifaktorial Goldman, Detsky dan Larsen melakukan modifikasi kriteria Goldman (lihat lampiran 1). AHAIACC joint task force on guidelines for perioperatif cardiovaskular evaluation for noncardiac surgery 2002. Risiko jantung perioperatif menurut AHAIACC guidelines, ditentukan oleh : petanda klinis, kapasitas fungsional, dan risiko pembedahan spesifik.
Petanda klinis Data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisis dan EKG sudah dapat mengestimasi risiko jantung. Pada Tabel 2 dapat dilihat prediktor klinik yang dapat meningkatkan risiko IMA, CHF dan kematian berdasarkan analisis multivarian dari berbagai penelitian. Dari tabel dapat dilihat 3 kategori prediktor yaitu : Prediktor mayor: bila ada, perlu penanganan yang intensif dan operasi dapat ditunda atau dibatalkan, kecuali dalam keadaan emergensi. Prediktor intermediate: dapat meningkatkan risiko perioperatif dan perlu penilaian keadaan status pasien yang terakhir. Prediktor minor: pertanda yang telah dikenal untuk penyakit kardiovaskular dan belum terbukti meningkatkan risiko perioperatif.
Mayor = sindrorn koroner tak stabil o IMA baru (>7hari dan <30 hari) dan adanya risiko iskernik secara sirntom klinis ataupun perneriksaan non invasif o Unstable angina atau angina pektoris berat (Canadian Class 111atau IV) gagal jantung kongestif stadium dekornpensasi = aritrnia signifikan o blok AV derajat tinggi o aritrnia ventrikular sirntornatik yang didasari kelainan jantung o aritrnia supraventrikular yang tidak terkontrol o penyakit katup yang berat Intermediate = angina pektoris ringan (Canadian Class Iatau 11) riwayat infark rniokard atau gelornbang Q-patologis gagal jantung stadium kornpensasi diabetes melitus Minor usia lanjut EKG abnormal (LVH, LBBB, ST-T abnormal) Ritrne bukan sinus (rnisal fibrilasi atrial) = Kapasitas fungsional rendah (rnisal tidak sanggup naik satu trap anak tangga dengan beban) Riwayat strok Hipertensi sisternik yang tidak terkontrol
Kapasitas Fungsional Kapasitas fungsional merupakan prediktor dalam penilaian risiko jantung. Pengukuran kapasitas fungsional bisa dengan exercise test ataupun dapat ditaksir dari aktivitas sehari-hari (secara anamnesis, lihat Tabel 3). Kapasitas fungsional dinyatakan dalam metabolik ekuivalen (MET). Klasifikasi kapasitas fungsional: 4 METs: buruk; 4-7 METs: sedang; > 7 METs: baik. Pada pasien yang tidak dapat mencapai 4 MET, risiko jantung perioperatif menjadi meningkat. Hal ini penting untuk evaluasi risiko jantung secara keseluruhan dan perencanaan pemeriksaan prabedah.
1 METs
.l
Apakah dapat mengurus diri sendiri? Makan, berpakaian, ke toilet? Brjalan dari rurnah? Berjalan 1 atau 2 blok pada jalan datar 3,2-4,8 krnljam. Dapat mengerjakan pekerjaan rurnah seperti rnembersihkan debu atau mencuci piring.
4 METs
Naik 1 trap anak tangga atau jalan rnendaki? Jalan datar 6,4 krnljarn? Lari jarak pendek? Mengerjakan pekerjaan berat seperti rnenyikat lantai, mengangkatlrnenggeser perabot yang berat? Mengikuti aktivitas seperti golf, bowling, rnenari, tenis ganda, rnelernpar base ball atau bola kaki? > 10 METs Olahraga renang, tenis tunggal, bola kaki, bola basket atau main ski?
Risiko Pembedahan Spesifik Jenis operasi yang akan dilakukan dapat mempengaruhil menambah risiko bagi pasien yang menderita kelainan jantung. Operasi emergensi mempunyai risiko jantung 2-5 kali dibanding operasi elektif. Stratifikasi risiko dari berbagai jenis tindakan bedah non jantung dapat dilihat pada Tabel 4.
-
Tinggi (risiko kardiak > 5%) operasi emergensi, major terutama pada usia tua aorta dan vaskular major lainnya vaskular perifer tindakan bedah yang lama dan terjadi pergeseran cairan danlatau darah hilang yang banyak Sedang (risiko kardiak < 5%)
- carotid end arterectomy - kepala dan leher
-
intra peritoneal dan intratorak
- ortopedi -
-
prostat Rendah (risiko kardiak < 1%) prosedur endoskopi preosedur superficial katarak payudara
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ALGORITME EVALUASI KARDIOVASKULAR PRABEDAH
Algoritma evaluasi kardiovaskular yang akan dibicarakan di bawah ini, diambil dari The AHA/ACC joint task force on Guidelines for Perioperative Cardiovascular Evaluation for Noncardiac Surgery 2002. Pada algoritma ini ditekankan pentingnya untuk mengidentifikasi prediktor klinis risiko perioperatif, terutama untuk pasien yang tampaknya mempunyai kelainan koroner yang lanjut ataupun kelainanan jantung lainnya. Tujuannya adalah untuk mengenal pasien dengan kelainan koroner tersembunyi ataupun yang jelas dan melakukan cara untuk mengurangi risiko jantung perioperatif maupun risiko jangka panjang. Dengan demikian pemeriksaanpemeriksaan yang dilakukan benar-benar rasional sehingga dapat menekan biaya. Pada gambar dapat dilihat pasien-pasien mana yang perlu dilakukan pemeriksaan kardiovaskular. Perlu dipertimbangkan berbagai interaksi variabel sehingga diberikan bobot yang sesuai. Algoritme I Langkah 1. Tentukan apakah tindakan bedah non jantung ini sifatnya elektif, urgensi atau emergensi. Pada operasi emergensi tidak dapat dilakukan evaluasi jantung prabedah mengingat waktu yang mendesak. Bagi pasien yang sebelumnya tidak pernah mengalami pemeriksaan kardiovaskular, dilakukan stratifikasi risiko pasca operasi. Langkah 2. Pada operasi elektif, pasien yang telah dilakukan revakularisasi koroner dalam 5 tahun yang lalu dan secara klinis tetap stabil tanpa serangan ulang keluhan maupun tanda iskemia, pemeriksaan lanjut biasanya tidak diperlukan. Langkah 3. Pasien yang telah dilakukan evaluasi koroner 2 tahun terakhir, dan penilaian risiko koroner hasilnya baik, biasanya tidak perlu tes ulang. Pemeriksaan ulang dilakukan bila ada keluhan iskemia koroner yang baru. Bila evaluasi koroner belum pernah dilakukan atau hasilnya buruk, maka evaluasi selanjutnya tergantung kepada prediktor klinis. Algoritma II Langkah 4. Pasien dengan prediktor klinis mayor (CHF dekompensasi, aritmia simtomatik danlatau penyakit katup jantung yang berat) maka biasanya operasi dapat ditunda atau dibatalkan sampai keadaan ini dapat diidentifikasi dan diobati. Bila tidak stabil, maka dapat dipertimbangkan revakularisasi koroner. Langkah 5. Untuk pasien dengan prediktor klinis intermediatedan minor, maka tentukan kapasitas fimgsional pasien. Pemeriksaan noninvasif lanjutan dilakukan dengan melihat kapasitas fimgsional dan risiko bedah spesifik.
Algoritme Ill Langkah 6. Pasien dengan risiko prediktor klinis intermediate dan kapasitas fungsional baik atau sedang, kemungkinan terjadinya kematian atau infark miokard adalah kecil bila dilakukan operasi (risiko sedang). Sebaliknya pemeriksaan noninvasif dipertimbangkan pada pasien dengan kapasitas fungsional buruk atau sedang tetapi risiko operasi lebih tinggi dan terutama untuk pasien yang mempunyai dua atau lebih prediktor klinis intermediate. Algoritme IV Langkah 7. Operasi non jantung umupnya aman pada pasien tanpa risiko prediktor klinis mayor atau intermediate dan kapasitas fungsional baik atau sedang (4 METs atau lebih). Pemeriksaan lanjut dipertimbangkan pada pasien dengan kapasitas fimgsional buruk yang akan dilakukan tindakan operasi tinggi, terutama bila didapati beberapa risiko prediktor klinis minor dan pasien yang akan mengalami operasi vaskular. Langkah 8. Hasil pemeriksaan noninvasif akan menentukan penatalaksanaan prabedah selanjutnya. Penatalaksanan antara lain adalah pengobatan intensif atau pertimbangan kateterisasijantung (algoritma I11 dan IV).
PENGOBATAN RlSlKO KARDIOVASKULAR PRABEDAH Penyakit jantung koroner (PJK) Gaga1jantung kongestif (CHF) Aritmia dan gangguan konduksi Penyakit katup jantung Pasien dengan pacu jantung Pencegahantpengobatan tromboemboli vena Pencegahan endokarditis bakterial Hipertensi
RIWAYAT JANTUNG KORONER Menghadapi pasien dengan PJK (dengan diagnosis klinis angina, riwayat infark miokard, atau angiografi koroner positif) sikap yang diambil sebagai berikut: 1. PJK tidak diketahui, status fungsional jantung baik (kelas I atau awal kelas I1- dapat menaiki satu trap anak tangga membawa beban 15 sampai 30 kg tanpa simtom jantung). prosedur diagnosis khusus prabedah tidak dilakukan pengobatan khusus tidak diperlukan 2. Pasien PJK stabil, status fimgsional baik (kelas I atau kelas 11). Prosedur diagnosis khusus prabedah tidak
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1857
PENYAKITJANTUNG DAN OPERASI NON JANTUNG
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
I Araoritma I ..
I
Stratfikasl' pasca oper8si dan pengurangan faktor risiko
Bedah urgensilelektif Keluhan atau tanda kambuh kembali
koroner dalam 5 tahun?
Has11bark 8 Angiogram koroner keluhan (-) atau tes stress b terakhir
Mayor
t Intermediate
J
LI
Argoritma II
Predlktor klinisl
I
Predjktor kl~nismayor Prediktor klinis intermediate
3-(
t
3 .
Operas/'non-kardiak ditunda atau dibatalkan
1
I
(Tanap5)
+
+ a
+ Minor
+
Prediktor kllnls (-) I minor
1
Pertimblngan anglografi koroner
Lanjut algor~tma 111
1
Tatalaksana medis dan Pengawasan selanjutnya* modifikasi faktor risiko atas dhsar hasil temuan dan pengobatan
1
Lanjut algor~tma IV
Prediktor kllnls major: - Sindrom koroner kOroner 'Idakstabil - CHF dekompensasi - Aritmia signifikan - Penyakit katup jantung
Gambar 1. Algoriime tahaphn evaluasi kard~olog~ prabedah
dilakukan. Pengobatan kon diteruskan pada masa perioperatif. Rekomendasi: 'EKG hari pertama pascaoperatif dan pada saat keluar dari rumah sakit Teliti apakah terjadi IMA bila ,ada ha1 yang , mencurigakan. 3. Pasien PJK jelas, status fbngsional tidak jelas. Prosedur diagnosis khusus prabedah: monitor iskemia ambulatoar, ekokardiografi, stress echocardiography, exercise thallium testing, dan dypiridamol thulium, Rekomendasi: bila tes negatif: pengobatan konservatif bila tes positif: pengobatan medis agresif. Obat PJK prabedah diberikan, cari faktor risiko non PJK (antara lain usia 70 tahun, DM, CHF, aritmia ventrikular/ atrial yang penting, penyakit vaskular atau tindakan bedah abdomen dan
-
dada), dan pertirnbangan tes non irivasif ulang (bila tes negatif: pengobatan konservatif; bila tes positif: lanjut ke b dan c. Pemantauan intensif perioperatif untuk kontrol tekanan darah dan denyut jantung atau - Angiografi koroner dan revaskularisasi sesuai indikasi. 4. Pasfen IMA + tindakan operasi emergensi. Sikap : - Kerjasama tim dengan ah1i anestesi dan ahli bedah untuk meminimalkan risiko. Hindari hal-ha1 yang dapat meningkatkan kebutuhan 0, maupun masalah ritme jantung. - Monitor hemodinamik secara menyeluruh. Obat anti iskemia diteruskan baik sebelum, sewaktu atau sesudah operasi. - Pemantauan ritrne secara teliti dan segera obati bila ada aritmia. Pasien dengan gangguan sistem konduksi yang dapat berlanjut menjadi blok jantung
-
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
komplit dilakukan pemasangan pacu jantung sementara (TPM). 5. Riwayat infark miokard atau gelombang Q patologis, termasuk prediktor intermediate. IMA barn (7 hari dan kurang dari 30 hari), termasuk prediktor mayor dan tindakan bedah ditunda. Pembagian interval infark miokard 3 atau 6 bulan tidak digunakan lagi. Pada IMA bila tes stres tidak menunjukkan risiko miokardium residu, kemungkinan untuk timbulnya reinfark pada pembedahan non jantung adalah rendah. Dianjurkan tindakan pembedahan dilakukan 4-6 minggu pasca IMA. 6. Indikasi revaskularisasi prabedah. Bedah pintas koroner (CABG) Pasien dengan operasi elektif yang mempunyai risiko tinggi dan akan dilakukan tindakan operasi non jantung risiko tinggi dan intermediate, maka CABG dilakukan sebelum tindakan bedah. Indikasi untuk CABG (sesuai rekomendasi ACC/ AHA task force) - left main stenosis dan miokard cukup baik - three vessel CAD dengan disfungsi ventrikel . kiri - two vessel disease termasuk obstruksi berat dari left arterial descending artery proximal - iskemia koroner intractable walaupun pengobatan medis sudah maksimal. Intervensi koroner perkutan (PCI) lndikasi PC1 pada prabedah sesuai dengan guidelines ACCI AHA untuk PCI. Kapan sebaiknya dilakukan tindakan bedah pasca- PCI? - Belum ada ketentuan berapa lama jarak antara pasca-PC1 dengan bedah nonkardiak. - Dianjurkan tindakan bedah ditunda sekurangkurangnya 1 minggu pasca angioplasti balon, untuk memungkinkan penyembuhan luka pembuluh darah. - Pasca pemasangan sten koroner, tindakan bedah ditunda sekurang-kurangnya 2 minggu dan sebaiknya 4-6 minggu agar pengobatan anti trombosit optimal dan terjadi reendotelisasi sten. - Bagi pasien pasca-PC16 bulan sampai 5 tahun dan asimtomatis dan aktif, diharapkan masih mendapat perlindungan terhadap komplikasi iskemia perioperatif, mengingat pasca-PC1 lebih dari 6 bulan jarang terjadi restenosis. 7. Penggunaan obat perioperatif Penyekat beta, antagonis kalsium tidak perlu dihentikan prabedah. Regimen pengobatan yang agresif yaitu penggunaan penyekat beta dan nitrat dapat mengurangi kejadian iskemia pada pasien dengan iskemia perioperatif asimtomatik.ACCIAHA merekomendasikan pengobatan perioperatif dengan penyekat beta sebagai berikut:
Kelas I: penyekat beta digunakan untuk kontrol keluhan angina ataupun pasien dengan aritmia simtomatik dan hipertensi. Kelas 11: pada penilaian prabedah diidentifikasi hipertensi yang tidak diobati, adanya PJK, atau faktor mayor PJK. Berbagai jenis penyekat beta seperti metoprolol, labetalol, atenolol, bermanfaat dalam mengurangi kejadian iskemia perioperatif. Pada satu studi,pemberian atenolol pada 200 pasien dapat mengurangi angka mortalitas dan komplikasi kardiovaskular perioperatif pada pasien dengan PJK ataupun mempunyai risiko untuk PJK (sekurang-kurangnya dua dari lima kriteria: usia > 65 tahun, hipertensi, perokok, serum kolesterol >240 mgldl dan DM) yang dilakukan operasi non jantung.
GAGAL JANTUNG KONGESTIF Pasien gagal jantung yang hams dilakukan operasi non jantung mempunyai prognosis yang buruk. Pasien dengan gagal jantung kongestif yang harus dilakukan operasi emergensi mempunyai risiko tinggi morbiditas dan mortalitas tanpa memandang etiologi gagal jantung. Risiko yang terjadi adalah gagal jantung, edema paru, aritmia dan kematian. Risiko komplikasi meningkat bila NYHA bertambah bumk. Pada CHF NYHA IV, kematian mencapai 70% Gaga1 jantung hams diobati secara adekuat sebelum dilakukan tindakan operasi, sebaiknya setelah kondisi pasien stabil paling sedikit satu minggu sebelum pembedahan dan diupayakan agar jangan terjadi intoksikasi digitalis dan hipokalemia akibat diuretika. Persiapan Prabedah cari penyebab gagal jantung atasi faktor predisposisi yang dapat mencetuskan gagal jantung seperti demam, anemia, gangguan elektrolit, gangguan asam-basa, hipoksia, hiperkarbia, hipovolemia, hipertensi dan aritmia jantung. Penggunaan obat-obatan - diuretik: pemberian diuretik yang agresif dapat menyebabkan hipovolemia dan pengaruh anestesi (general dan spinal) dapat mengakibatkan hipotensi intraoperatif. Dosis diuretik (hrosemid) disesuaikan berdasarkan status klinis dan fungsi ginjal. Diuretik biasanya tidak diberikan pada pagi hari operasi dan penilaian klinis dilakukan pascaoperasi. - Digitalis (digoksin) - Pasien gagal jantung yang telah mendapat digoksin diteruskan pemberiannya. Biasanya digoksin tidak diberikan pada pagi hari operasi
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1859
PENYAKIT JANTUNG DAN OPERASI NON JANTUNG
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI untuk mengurangi risiko toksisitas.
ARlTMlA DAN GANGGUAN KONDUKSI
jantung prabedah, diberikan digitalisasi beberapa hari sebelum operasi. Profilaksis digitalis tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan aritmia pasca operatif. Vasodilator: penggunaan ACE (angiotensin converting enzyme) inhibitor diteruskan sampai pada hari operasi dan selanjutnya. Bila diperlukan dapat diberi nitroprussid i.v., hidralazin i.v.
Aritmia dan gangguan konduksi jantung selalu dijumpai pada masa perioperatif terutama pada pasien usia tua. Adanya aritmia supraventrikular maupun ventrikular hams dicari penyakit yang mendasarinya yaitu penyakit kardiopulmonal, intoksikasi obat, ataupun kelainan metabolik. Pada pasien dengan gangguan hemodinamik danlataupun aritmia simtomatik diperlukan pemantauan EKG ambulatoar ataupun studi elektrofisiologi jantung dengan penggunaan obat-obat yang munculnya kembali
- Bila digitalis diperlukan pada pasien gaga1
-
Argoritma Ill
Prediktor klinis
1 + (~ahap G)IPledlktw1~rediktorklin + Buruk Kapasitas fungsional
Sedang atau baik
(< 4 METs)
+
(-)
Risiko operasi Pemeriksaan noninvasif
Risiko operasi tinggi
I
+
v
Risiko operasi sedang
Risiko operasi rendah Stratifikasi risiko pascabedahdan mengurangi faktor risiko
Tes no
Pertimbangkan angiografi koroner
Prediktor klinis intermediate: -Angina pektoris ringan -Riwayat infark miokard -CHF kompensasi Pengawasan selanjutnya atas dasar temuan dan hasil pengobatan -DM
1
Argoritma IV
Sedang atau baik
+
(T.hap8)
+
Risiko operasi Risiko operasi tinggi sedang atau rendah
Pemeriksaan noninvasif Tes non-invasif
, Pertimbangkan angiografi koroner Pemeriksaan invasif
1
Pengawasan selanjutnya atas dasar temuan dan hasil pengobatan
Stratifikasi risiko pasca bedah dan mengurangi faktor risiko
Prediktor klinis minor:
- Usia lanjut - EKG abnormal - Ritme selain sinus - Kapasitas fungsional rendah - Riwayat strok - Hipertensi tak terkontrol
Gambar 2. Lanjutan tahapan evaluasi kardiologi prabedah
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
aritmia. Pengobatan aritrnia sama dengan pasien yang tidak mengalami operasi non jantung.
Aritmia Supraventri kular Bila simtom (+)/gangguan hemodinamik, dilakukan kardioversi secara elektris atau farmakologis. Bila kardioversi tidak memungkinkan, beri obat oral atau digitalis intravena, penyekat beta, atau penghambat saluran kalsium. Pasien fibrilasi atrial disertai CHF pilihan adalah digitalis atau amiodaron. Bila pasien fibrilasi atrial memakai antikoagulan maka antikoagulan dihentikan beberapa hari sebelum operasi. Bila waktu mendesak dan pasien harusnya tidak memakai antikoagulan, maka efek warfarin dapat diatasi dengan vitamin K parenteral atau plasma beku segar e e s hfiozen plasma). Aritmia Ventrikular ekstrasistol ventrikular, VES kompleks, atau takikardi ventrikular (nonsustained)biasanya tidak memerlukan pengobatan, kecuali bila ditemukan iskemia miokard dan disfungsi ventrikel kin. Takikardia ventrikular simtomatik ataupun menetap harus mendapat terapi prabedah dengan lidokain i.v. atau amiodaron (terutamabila disertai CHF) atau prokainamid. Gangguan Konduksi Pasien dengan intraventricular conduction delay (IVCD) segera EKG dan jika tanpa simtom atau bukti blok jantung lanjut secara elektris, tampaknya tidak berisiko untuk berlanjut menjadi blok jantung yang komplit pada masa perioperatif. Pasien dengan IVCD, blok bifasikular (right bundle branch block dengan left anterior atauposterior hemiblock),atau left bundle branch block, dengan atau tanpa first degree antrioventricular block tidak memerlukan implantasi temporary pace maker bila tidak ada sinkop atau blok atrioventrikular lanjut. Bila timbul blok konduksi derajat tinggi, diatasi dengan pemasangan pacu jantung sementara.
pada masa perioperatif. Pasien regurgitasi aorta sensitif terhadap bradikardia (interval diastolik bertambah dan meningkatkan volume regurgitasi). Pengobatan : perlu pemantauan status volume pasien, obat untuk mengurangi after load seperti: penghambat ACE (ACE inhibitor),penghambat saluran kalsium atau nitrogliserin dan hidralazin.
Stenosis Mitral Pasien dengan stenosis mitral ringan atau sedang : Kontrol denyutjantung selama masa perioperatif karena peningkatan denyut jantung mengakibatkan masa diastol menjadi lebih singkat pada siklus jantung. Hal . ini mengakibatkan timbulnya kongesti pulmonal yang dipresipitasi oleh takikardia (kebalikan dari regurgitasi aorta yang sensitif terhadap bradikardia): Hindari obat yang meningkatkan denyut jantung. Pasien dengan stenosis mitral berat dan operasi non jantung risiko tinggi dilakukan percutaneous ballon mitral valvulotomy, surgical commisurotomy atau penggantian katup mitral. Regurgitasi Mitral Berbagai penyebab regurgitasi mitral (MR) antara lain disfungsi muskulus papilaris, prolaps katup mitral (MVP), penyakit jantung iskemia, penyakit jantung kongenital, endokarditis dan lain-lain. Pasien regurgitasi mitral dapat menyebabkan volume overload dan kongesti pulmonal secara signifikan. Pengobatan: Regurgitasi mitral: untuk mengurangi after load, diberikan diuretika sebelum operasi. Bila perlu pasien dirawat di unit intensif (ICU) untuk pemantauan tekanan arteri pulmonalis dengan menggunakan kateter. Pasien dengan katup prostesis, diperlukan profilaksis antibiotika (lihat lampiran 3) dan penyesuaian terapi antikoagulan. PASIEN DENGAN PACU JANTUNG
PENYAKIT KATUP JANTUNG Stenosis Aorta Stenosisaorta berat mempunyai risiko sangat tinggi sehingga tindakan bedah efektif haruslah ditunda atau dibatalkan. Pengobatan dilakukan dengan penggantian katup aorta atau percutaneous ballon aortic valvuloplasty. Regurgitasi Aorta Pasien-pasien dengan regurgitasi aorta signifikan mempunyai kecenderungan terjadi volume overload
Pacu Jantung Permanen Hal-ha1 yang perlu dievaluasi, yaitu: Pada prabedah diteliti apakah alat pacu berfungsi dengan baik. Bila pada pembedahan digunakan alat kauter elektris, alat kauter diletakkan sejauh mungkin dari alat pacu (untuk mengurangi gangguan elektromagnetik).Hams tersedia magnit di karnar bedah untuk merubah alat pacu dari demand menjadifuced rate. Kauterisasi juga dapat mengganggu monitor EKG Sebaiknya kauterisasi tidak dilakukan secara kontinu.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
PENYAKITJANTUNC DAN OPERAS1 NON JANTUNC
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pacu Jantung Sementara Indikasi pemasangan pacu jantung temporer profilaksis prabedah: Bradikardia simtomatik pada kondisi berikut : sick sinus syndrome, fibrilasi atau fluter atrial dengan blok AV derajat tinggi, dan blok AV total. Takikardia simtomatik: takikardiaventrikular intermiten dan fibrilasi ventrikular intermiten. Malfungsi pacu jantung permanen Sinkop sinus karotis
PENCEGAHAN TROMBOEMBOLI Tindakan operasi dapat merupakan predisposisi timbulnya deep vein thrombosis (DVT) pada ekstremitas bawah dan emboli paru (PE) sekunder. Dari berbagai hasil penelitian di Eropa dan USA, dilaporkan bahwa insiden DVT berkisar 7-25% pada pasien usia di atas 40 tahun yang dilakukan operasi abdomen mayor. Pencegahan DVT sesudah operasi dapat mengurangi angka kejadian sebesar 1946%. Prabedah direncanakan pada pasien-pasien yang kemungkinan dapat terjadi risiko tromboemboli pasca bedah, antara lain imobilitas lama, usia tua, paralisis, riwayat tromboemboli vena, proses keganasan, operasi mayor (terutama abdomen, pelvis, ekstremitas bawah), obesitas, vena varikosa, CHF, infark miokard, strok, fraktur pelvis, pinggul atau kaki, gangguan koagulasi dan penggunaan dosis tinggi estrogen. Pencegahan DVT didukung antara lain dengan kompresi stoking elastis, heparin subkutan dosis rendah, kompresi pneumatik intermiten, dan heparin berat molekul rendah.
PENCEGAHANENDOKARDlTlS INFEKTIF Pasien dengan kelainan katup ataupun katup jantung buatan perlu diberikan profilaksis antibiotika bila dilakukan tindakan operasi. Antibiotika yang dianjurkan: Standar:Amoksisilin 2,O gr oral 1jam sebelum tindakan Bila oral tidak bisa :Ampisilin 2,O gr IM atau IV Alergi penisilin: Klindamisin atau 600 mg oral 1 jam sebelum tindakan. Sepaleksin atau sefadroksil atau 2,O gr oral 1 jam sebelum tindakan. Azitromisin atau klaritromisin 500 mg oral 1jam sebelum tindakan. Alergi penisilin: Klindamisin atau 600 mg IV 30 menit sebelum tindakan dan tidak bisa oral : Sefazolin 1,O gr IM 30 menit sebelum tindakan
Hipertensi (HT) tanpa disertai penyakit koroner atau disfungsi miokard yang nyata, tidak menambah risiko kardiovaskular yang berarti pada bedah non jantung. Demikian juga HT tanpa komplikasi, walaupun disertai hipertrofi ventrikel kiri (LVH), dapat mentolerir pembedahan tanpa meningkatkan mortalitas yang nyata bila tidak ada tanda-tanda PJK, CHF dan bila fungsi ginjal normal. Namun di sisi lain dilaporkan bahwa adanya riwayat hipertensi prabedah dapat meningkatkan mortalitas perioperatif dan pemberian obat anti HT dapat mengurangi risiko. Pasien hipertensi pada prabedah cenderung mempunyai fluktuasi tekanan darah yang signifikan pada intraoperatif dan mengalami iskemia miokard. Hal-ha1yang perlu diperhatikanpada pasien dengan riwayat hipertensi: Tindakan bedah tidak perli ditunda atau dibatalkan pada pasien dengan hipertensi ringan atau sedang tanpa komplikasi. Obat anti hipertensi yang digunakan pasien sebelumnya dapat diteruskan pada perioperatif. Tekanan darah dipertahankan mendekati nilai tekanan darah prabedah untuk mengurangi risiko iskemia miokard. Bedah elektifpada hipertensi berat (tekanan darah >I801 1 10): kontrol tekanan darah sebelum pembedahan (efektivitas regimen pengobatan dapat dicapai dalam beberapa hari s/d beberapa minggu). Bedah urgensi pada hipertensi berat: obati dengan anti hipertensi kerja cepat (dalam beberapa menit sampai beberapa jam, misalnya penyekat beta intravena. Perhatian khusus untuk pasien hipertensi dengan tindakan bedah vaskular karena pada keadaan ini selalu terjadi hipertensi pasca operasi. Hindari penghentian obat penyekat beta dan klonidin secara tiba-tiba (karena reboundphenomena). Pengobatan : pada umumnya sama dengan hipertensi pada nonbedah; pilihan pertama lebih diutamakan penyekat beta kardioselektif.
Risiko jantung perioperatif pada pasien jantung yang mengalami operasi nonjantung berhubungan dengan kelainan jantung, kapasitas fungsional pasien, penyakit penyerta, jenis operasi dan jenis anestesi. Dalam upaya mengurangi risiko jantung perioperatif ini diperlukan evaluasi yang tepat oleh dokter klinisi (spesialis penyakit dalamljantung)untuk menetapkan jenis kelainan jantung, kapasitas fungsional, prevensi dan pengobatan yang diperlukan prabedah. Informasi yang diberikan oleh dokter klinisi dapat digunakanldiperlukan oleh spesialis anestesi dan spesialis
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Lampiran 1
Faktor Risiko Goldman dkk Usia > 70 tahun IMA dalam 6 bulan terakhir Gallop S3 atau distensi vena jugular Stenosis aorta lrama selain sinus atau kompleks atriol prematur pada EKG terakhir praoperatif Kompleks ventrikel prematur 5lmenit ditemukan pada setiap saat sebelum operasi PO2 < 60 atau Pa02 > 50 mmHg; K' < 3 atau HC03< 20 mEqlL; BUN > 50 atau CR > 3 mgldl; AST abnormal, tanda penyakit hati kronis, -atauOperasi intraperitoneal, intra toraks, atau aorta. Operasi darurat Detsky dkk IMA dalam 6 bulan terakhir Ima > 6 bulan Angina Canadian Cardiovaskular Society Klas Ill Klas IV Angina tidak stabil dalam 6 bulan terakhir Edema paru alveolar dalam 1 minggu Ever Dicurigai stenosis aorta kritis lrama selain sinus atau sinus dengan kompleks atrial premature pada EKG terakhir praoperatif Kompleks ventrikel premature pada saat sebelum operasi Status medis umum buruk Usia > 70 tahun Operasi darurat Larsen dkk Gagal jantung kongestif Kongesti paru persisten Riwayat edema paw Riwayat gagal jantung Penyakit jaritung iskemi IMA dala 3 bulan terakhir lnfark lama atau angina pektoris Diabetes melitus Kreatinin serum > 1,6 mg/dL Operasi darurat Prosedur bedah mayor Operasi aorta Operasi intraperitoneal atau intraleura lain
Poin 5 10 11 3 7 7
10 5
lnterorestasi Klas I : 0-5 poin = risiko rendah Klas 11 :6-12 poin = risiko sedang Klas Ill : 13-25 poin Risiko tinggi Klas lV : > 26 poin
< 15 poin = risiko rendah > 15 poin = risiko tinggi
5 5 10 12 8 4 11
< 15 poin = risiko rendah 5-8 poin = risiko sedang > 8 poin = risiko tinggi
Key : AST = aspartate aminotransferase; BUN = blood urea nitrogen; Cr = creatinine; ECG = electrocardioaram: - . K' = ootassium: MI = mvocardial infarction: PAC = premature atrial contracion; PVC = premahre ventricular contraction
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1863
PENYAKIT JANTUNG DAN OPERASI NON JANTUNG
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI bedah dalam melaksanakan tindakan operasi. Kerjasarna yang harmonis dan professional antara spesialis klinis dengan spesialis anestesi serta spesialis bedah sangat diperlukan pasien untuk mencapai hasil yang optimal.
REFERENSI ACCIAHA Task Force On Practice Guidelines: Guidelines for perioperative cardiovaskular evaluation for non cardiac surgery. Circulation, 2002; 105: 1257. ACCIAHA task force report: guidelines for coronary angiography. Circulation 1999; 99: 2345-57. ACCIAHA task force report: guidelines for the clinical application of echocardiography, 2003. ACCIAHA task force report: guidelines for implantation of cardiac pacemakers and antianythmia devices. JACC 1991; 181: 1- 13. AHA Scientific statement: Prevention of bakterial endocarditis, recommendations by the American Heart Association, Circulation 1997; 96: 358-66. Bartels C, Bechtel M, Hossmann V, Horsch S: Cardiac ris stratification for high risk vaskular surgery. Circulation, 1997; 95: 247375. Clagett GP, Anderson FA, Levine MN, et al: Prevention of venous thromboembolism. Chest 1992; 102: 4, 391s-402s. Eagle KA, Rihal CS, Michel MC, et al: Cardiac risk of non cardiac surgery influence of coronary disease and type of surgery in 3368 operations. Circulation, 1997; 96: 1882-7. Falcone RA, Ziegelstein RC: Cardiovaskular disease and hypertension in: Richards JG, Gregory MC Eds Kammerer and Gross'
Medical Consultation. The internist on surgical, Obstetric and Psychiatric Services 31d ed. Williams & Wilkins, 1998; 149-70. Foxwell M, Meyerson M: Cardiovascular assessment and management. In: Wolfsthal'S a Lange Clinical Manual's Medical Perioperative Management 89/90, 1989: 84-90. Froehlich JB, Karavite D, Erdmm N, et al: Implementation of ACCI AHA guidelines for preoperative cardiac risk assessment before aortic surgery: Implications for resource utilization. J Am Coll Cardiol, 1997; 29: 392 (abstract). Goldman L: General anesthesia and non-cardiac surgery in patients with heart disease in Braunwald's Heart Disease. A textbook of cardiovaskular medicine, 71h ed, 2005; 2021-2038. Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure. The sixth report of the Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of high blood pressure (JNC VI). Arch Intern Med 1997; 157. Kaplan NM: Clinical Hypertension, 81h edition, 2002; 317. Magallanes M: Cardiac concerns. In : Perioperative pocket manual 2005, 31d edition. Mangano DT, Layug EL, Wallace A, Tareo I: Effects of atenolol on mortality and cardiovaskular morbidity after non-cardiac surgery. The multicenter study of perioperatif ischemic research group. N Engl J Med 1996; 335: 1713-20. Mangano DT: Perioperative cardiac morbidity. Anestesiology, 1990; 72: 153-84. Palda AV, Detsky AS: Clinical guidelines part 11, perioperative assessment and management of risk from coronary artery disease. Ann Intern Med, 1997; 127: 3 13-28. Smith WT, Kelly RA, Stevenson, Braunwald E: Management of heart failure in Braunwald's heart disease. A Teaxtbook of Cardiovascular Medicine, 7Ih edition, 2005.
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
a salt and pepper appearance 2686 a l -antitrypsin, 545 A l c 1891 AA (sekunder atau amiloidosis reaktif) 975 Abciximab 1731, 1761. 1768 Abdomen 583 Aberasi
kromosotn 151. 152 tnosaik kromosom 153 Ablasi 1650 iodium radioaktif 13 1-1 2034 Ablasio retina 41 Abnormalitas Ileum 1 146 Abrasi 922 Abruptio plasenta 1 100 Abses
kripti, 594 paru 499, 2230, 2235, 2256, 2323 perineliik 1013 peritonsil 45 retrofaring 45 subfrenik, 500 submandibula 45 Absorpsi 776 kalsium fraksional 183 Acanthosis nigricans 2040 Accelerated idioventricular rhythm 1609 Accessory cholera exotoxin 2845 ACE inhibitor 540, 900, 901, 1087, 1583, 1684 Acetylcholine 460 Acid brake. 506 Acoustic windows 1555 Acquired irnrnunodefiency syndrome (AIDS). 549,2858 ACTH 2039 Actin 2375 Activator protein 269, 2750 Activities of daily living 921, 927 Acute
confusional state 907 fatty liver of pregnancy 702 injury lung. 234 mental status change 907 respirator) distress syndrome (AKDS) 2205, 2792 Acyanotic fallot 1788 Acylation stimulating protein (ASP) 1976 ADA 1880. 1883 Adalimumab 2762 Adam stokes attack 905 Addison 1902 Adenokarsinoma 576. 578 esofigus, 500 Adenoma 557, 573 adrenal 2066 fhlikuler 2023
heterotropik, 576 hiperplastik, 576 tffbular, 557, 573 villosa, 557 papiloma, 2254 Adenomektomi 2042 Adenosin deaminase activity 728 Adenosinetriphosphate (ATP) 19 17 Adenosquamous carcinoma. 2254 ADH 962 Adhesi 579 Adhesin 502, 524 Adiksi 2746 ADL 907. 910, 932 Admimy 155 Adrenarche 94, 2070 ' prematur 97 Adrenergik 776 Adrenocorticotrophic hormone (ACTH) 1 IS, 2749 Adrenopause 2078 Adson test 2700 Adult
protective service 922 respiratory dystress syndrome 608, 1773 Advanced
gastric cancer 577 glycation end-products 979 glycosylation end products (AGES) 1938, 1939 Adverse drug reaction 776 Aferesis 1205 terapeutik 1206 AFP dan p-HCG 2252 Agamaglobulinemia 2297 Age related metabolic adaptation 1971 Agen 885 biologik 276 1 sekresi tubulus 943 AGES 2036 Aging 758 Agitasi 842 Agranulositosis 520 Agregasi
neuron, 205 platelet 1729 trombosit 1892 AHA tipe hangat 1 178 Ahli
farmasi, 769 gizi, 769 Air kemih 1027 Air-fl uid level. 499 Airway 253, 896 Akalasia
primer, 488
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUKAlzheimer dr. PRIYO PANJI 837
sekunder, 489 Akinesia 853 Akondroplasia 150, 2729 Akromegali 1796, 2040, 2348, 2687, 2701 Akromia kongenital 34 Akroosteolisis 2620, 2708, 2727 Akrosefali 36 Akrosefalosindaktili 36 Akrosenris 148 Aktivasi komplemen jalur alternatif. 1 152 komplemen jalur klasik 1 152 selular 1 152 sistem komplemen 1 152 trombosit 1741 Aktivitas jasmani I880 hidup sehari-hari (AHS) 780 kontrol elcktrik 461 Aktin 2374, 2375 Aktinomisetes (aktinomikosis. nokardiosis) 2267 Aktivator 896 Akupunktur Akut dan subakut 1702 Alarm symptom. 526 Albendazol 2953 Albert calmette 223 1 Albinisme 150 Albright's hereditary osteodystrophy 2692 Albumin 776, 1196 Aldolase 2630 reductase inhibitor 1950 Aldosteron 193. 2053 renin ratio=ARR 1094 Aldosteronisme, 2062 primer 1777 Alendronat 2683 Alergi 777 Alfa fetoprotein 1426 ALG 1075 Aliran plasma ginial 904 Alkali 493 Alkaline fosfatase 2681 spesifik tulang 268 1 Alkaloid vinka 1172 Alkalosis metabolik, 195 Alkohol 1892, 1908 Alkoholisme 2324 kronik 2066 Allergan humphrey 2041 Allergic bronchopulmonar) aspergillosis (ABPA) 2269, 2290 Aloantibodi 1 199 Alodinia 51 Aloimunisasi 1199 Alopesia areata 37 totalis 37 universalis 37 Alop~~rinol2559 Alpha Lipoic Acid 1950 subunit glycoprotein 2041 -I antitrypsin 2339 ALS 1075 Alteplase 1769 Altered mental status 907 Alternating da) therap) 2752 Alveolitis 2288
Ambeien 587 Ambulasi 814 Ambulatory Blood PressureMonitoring-ABPM Amebiasis 621 American rheumatisms association 983 AMES 2035 Amforik 63 Amilase 2330 Amilin 1938 A~nilnitrat 2746 Amiloidosis 2302, 2696, 2701 Aminoasciduria 2694 Aminofusin 495 Aminoglikosida 2902 Aminoglutetimid 2067 Aminoglycosida-modifying enzyme 2902 Aminoguanidin 1950 Aminosteril 495 Amiodaron 911, 1607, 1608, 1801, 2019 Induced Thyrotoxicosis (AIT) 2008 Amiparen 495 Amitriptilin 91 1 , 2746 Amoebiasis 594 Ampisilin 2860 Amplatzer septa1 occluder 1783 AMS 2081 Amuba 2325 ANA 2361 Anafilaksis 257 Anakinra 2763 Analgesia 51 Analgetik 524 Analisis semen 2277 gas darah 887, 909 kromosom 158 -meta 900 Analog somatostatin 2042 Anamnesis 44 1 Anaphase lag 144 Anatomi 884 ANCA 1005 Ancylostoma duodenale. 625 Androgen adrenal 2053 Andropause 124 Anemia 520, 1109, 1138, 1177, 2236 aplastik 1 1 16 aplastik herediter 1125 besi detisiensi, 499. 526, 1 127. 1 178 hemolisis didapat 1157 hemolisis herediter 1 157 hemolisis non imun 1 157 hemolisisis imun 1 157 hemolitik aloimun 1156 hemolitik autoimun 1152, 1178 hemolitik autoimun tipe hangat 1154 hemolitik imun diinduksi obat 1155 hemolitik imun tipe dingin 1155 megaloblastik yang refrakter 1148 pada penyakit kronik 1178 pernisiosa, 577 sel sabit 1 178 sel spur 1 164 Anestesi 1853 inhalasi 1853 spinallepidural 1853 dolorosa, 51
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1081
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Aneuploidi Instabilitas mikrosatelit 568 Aneurisms 893 aorta, 905, 914 sirkulus dari Willisi 1786 Angelman syndrome 154 Angina Ludovici 45 pektoris 904, 1735, 1940 angina pektoris tak stabil 1757, 1940 plaut vincent 44 Printzmetal 1729 tak stabil 1728 Angiodisplasia 454 Angiografi 1569, 1689 radionuklir 1565 terapeutik, 456 Perkutan 1092 Angiotensin converting enzyme 1087 converting enzyme inhibitors 972 1 1087 11 193, 1087 receptor blocker 979, 1087, 1585, 1945 Angka disabilitas, 897 Angka kematian 897, 2230 Anion gap 1919 Ankilosing spondilitis 2358, 2722 Ankle brachial index, 1964 Anomali Ebstein 1779 Anonikia 52 Anoreksia 498 Nervosa 99 Anorektoskop 587 Anoskopi 588 Ansietas 27 11 depresi 271 1 An tagonis aldosteron 949 GP IlbIlIla 1761 interleukin-1 2763 kalsium 900, 896, 901, 1730 antagonis reseptor H2lARH2 484, 519 Antalgik, 2447 Antasida 484, 519, 527, 2693 Anterior mediastinotomi, servikal mediastinoskopi, 2253 Scalene Syndrome 27 19 Anti aritmia., 905 depresan trisiklik 2746 DNA-histone-complex 2622 Dotum, 292 hipertensi, 905 inflamasi, 524 kolinergik, 905 konvulsi, 905 LAM 2236 mikroba, 887 Parkinson, 905 piretik, 524 PM-Scl 2622 rheumatoid drugs 2753 RNA polimerase 1 2622 SCI-70 2622 , topoisomerase 1 2622 Ul-RNP 2622 CD20 (rituksimab) 2763, 2765 D intravena 1 172
\
double-stranded DNA 984 GBM antibody disease 998 1L-l (anakinra) 2765 La (SS-B) 25 14 RO (SS-A) 2514 TNFa (etanercept, infliksimab dan adalimumab) 2765 TPO antibodi 2018 aggregasi trombosit 896, 1361 biotika 2896 depresi 848, 896, 905 gen 885 hipertensi 902 inflammatory 263 koagulan 896, 897, 1359, 1722, 1800 koagulan antitrombolitik 1434 . kolinergik 225, 585, 909, 911, 914 neutrophilic cytoplasmic anti bodies 2622 nuclear antibodies 2622 septik lemah, 589 spasmodik 585 tiroglobulin antibodi 2018 trombin 111 1360 trombosit antibodi 1366 trombotik 524, 1750, 1767 Antibodi 885 anti-kolagen 2622 antifosfolipid 1181, 1345 antimitokondrial 2622 antisentromer. 2622 humoral 2237 monoklonal OKT3 1073 selular 2237 anti trombosit 1168 Antraks 2966 Antrasiklin 2998 Antrum predominant gastritis 524 Anxietas 909 Aorta. 2053 Aortic click 68 knob 1787 root 1542 Aortitis 1814 Apathetic hyperthyroidism 1795 Apatite like crystal 2561 Apendisitis 604, 1908 Apnea 2347 hipopneu index, 806 Apo A, Apo B, Apo C, 1984 Apopleksi hipofisis 2040 Apoprotein C-I1 1975 Apoptosis 852, 1415, 2419 pada artritis reumatoid 2418 pada sle 2420, 2421 Apparatus jukstaglomerular 2056 AR 2354, 2365, 2366, 2367, 2368 Araknodaktili 2725 ARB 900 Ardiopulmonary bypass, 609 ARDS 236, 2204 Area katup mitral 1672 Argatroban dan Melagatran 1768 Arge-volume paracentesis (LVP) 747 Arginin vasopresin 2049 Ariboflavinosis 43 Aritmia 211, 1618, 1914 Atrial. 1603 AV jungsional 1603 ~
~
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Aset sosial, 769
supra ventrikular (SV) 1604, 1618 ventrikel 1623 ventrikular 161 8 Arteri phrenicus inferior 2053 renalis 1090, 2053 pulmonari 2249 Arteriografi 545, 1964 Arterioloklerosis Mockenberg 2727 Artralgia 2647 Artritis 593, 905, 1665, 2353, 2356, 2366, 2367, 2517 rematoid juvenile 2519 bakterialis 2639 baru 2367 gonoroika (disseminated gonococcal invent) 2640 gout akut 2558 gout 2354 idiopatik juvenil 2519 pirai (gout) 2556 psoriatik 2647, 2722 artritis reumatoid 23 15, 2440, 2354, 2333, 2355, 2365, 2709, 2710, 2719, 2741, 2764 septik akut 2639 sistemik 2521 terinfeksi., 886 tuberkulosis 2642, 2644 Artro-oftalmopati 2726 Artrokalasia 2727 Artropati kristal 2561 Arus puncak ekspirasi (APE) 2292 AS 2519 Asam 493 amino 198, 1896, 1902 asetat, 493 asetil salisilat 524 asetoasetat (AcAc) 1907 basal, 515 deoksiribonuleat 144 etakrinat 2686 fibrat, 1987 nikotinik 1987 folat 1142 folinat 2758 HCL, 493 hialuronat 2547 homovanilik 2253 laktat 1917 lambung, 523 lemak bebas 1907 lemak omega 3 1892, 1989 lemak tidak jenuh 1892 nalidiksik 2860 Nikotinik 1988 nukleat 144 para amino salisilik (PAS) 2231 ribo-nukleat 144 salisilat 2737 salisilat amino, 596 sitrat, 493 urat 1026, 2354, 2361 Asap 2287 rokok. 2294 Asbes 2287 Asbestos 2255, 2282 Ascaris lumbricoides, 622, 625 Ascenden 2926 ASD 1563 Aseptic necrosis 2696
Asetilkolin 840, 909, 2747 Aseton 1908 Asian esophageal cancer belt 498 Asidosis hiperglikemia dan ketosis 1906 laktat 1920 metabolik, 194, 906 tubular renal 2677, 2678 Asites 705, 2331 Asma 906, 2279 Aspergillus 2233 fumigatus 2267 Aspergiloma 2270 Aspergilosis 2269 Aspirasi 2207, 2323 Aspirin 1362, 1730, 1738, 1760, 1769, 2737 Assisted-Controlled, Volume Ventilation 169 Assisted-ventilation controlled mode 168 Asthmatic pulmonary eosinophilia 2298 Astigmatisme; 40 ASTO 1665 Astrogliosis 901 Asuhan paliatif, 91 6 Asupan yang Tak Memadai 1147 Asymmetric sensorineural hearing loss 829 asynchronous 1642 AT I11 1371 Atabrin 2953 Ataksia 905 Ataktiklserebelar 2447 Atelektasis 2235 Aterosklerosis 518, 892, 899, 906, 1790, 1792, 2355 Atetosis 50 ATG 1075 ATP 1896, 1907, 1920, 2633 Atresia pulmonal 1694, 1788 Atrial flutter paroxysmal 1639 natriuretic peptide 2059 septa1 defect 1610 Atrioventricular 1788 concordance 1788 Atrofi otot, 860 Attaque cerebrale, 892 Automatisasi 1645 Auranofin 2758 Auro sodium Tiomalat 2757 Auskultasi 2235 Autoantibodi 25 14 Autoimune expcrinopathy 25 14 Autoimunitas 1883 Automated axternal defibrillator 229 Autonomously Functioning Thyroid Nodule 2023 Autoregulasi 895, 901 Autosom dominan 150 2725 Autosom resesif 150, 2727 AV Nodal Reentry Tachycardia 1618 Ayunan postural, 81 3 Azatioprin 1074, 2584, 2631, 2756, 2758 Azitromisin 2265 Azoospermia 2274
B-IIIulceratif 5 17 B-IIIIinfiltratif, 5 17 B-IV plastikallinitis 5 17
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Babesiosis 1164 Bachman's bundle 1630 Bacillus 2966 anthracis 2966 Calmette Guerin 223 1 Bacterial overgrowth, 540, 545, 593 Bacteriophage 2902 Bagassosis 2288, 229 1 BAJAH 2024 Bakteriostatik 2240 Bakterisid 2240 BAL (broncho alveolar lavage) 2236 Balismus 50 ballotement 71, 74 Balon mitral valvuloplasty 1676 pneumatik, 495 sign 2448 Bangsal geriatri akut 783 kronis 784 Barbiturat 5 19 Bare metal stent 1574 Barium enema kontras ganda 544 follow through 544 meal kontras ganda 517 Barognosia 52 Barorefleks 902 Barotrauma 2340 Barret's esophagus (gastritis esofa Bartonellosis 1 164 Basal heart rate 906, 1790 metabolit, 904 Basaloid carcinoma, Lymphoe-pithelioma-like carcin 2254 Basic calcium phosphate 2561, 2564 Basil tahan asam (BTA) 2263 Hoffman 2956 Basiluria asimtomatik 1012 Batang otak, 894 Batas jantung atas 67 kanan 66 kiri 66 Batu kalsium oksalat 1026 saluran kemih 1025 urat 2550 Batuk 2251, 2299 berdarah 2337 kronik dan berdahak 2267 Darah 2234 r Bell's palsy 37 Bence Jones 960 Benda keton 1907, 1908, 1909 Bendungan Splenomegali 1 183 Benign Prostate Hypertrophy 905 recurrent cholestasis of pregnancy 703 Benzalkonium klorida, 493 Benzodiazepin 91 1 Berat jenis plasma 2847 Bercak koplik 43 Berg balance scale 821 Berkas His 1524, 1602 Berkontraksi 2376
Bermusuhan 929 Bersihan total 136 Berylliosis 2284 Bestialisme 121 B (Beta) amiloid. 838, 2632 endorphin 2059 glucuronidase 721 2 glikoprotein 1 2582 2-Microglobulin 1427 blockers, 102, 540, 1087 adrenergik 225 biakan 2236 sputum 2237 Bidang empat ruang ('apical four chamber') Bifosfonat 2727 Biguanid 1920 Bilasan lambung 2236 Bile acid breath 545 acid pool 540 acid sequestran, 1987 Bilharziasis 2986 Bilier 2677 Bio-psiko-sosial 769 -spiritual 778 Bio-transformasi 776 Bioavailab~litas 135 Biofeedback 871 Biokimiawi 2681 Biologik 769 limfoproliferatif 1245 Biomarker 1744 Biopsi aspirasi 1408 aspirasi jarum halus 752 eksisi 1408 ginjal 943 hati perkutan 751 insisi 1408 mukosa kolon 584 pleura 2331 truncut 1408 tularlg 2681 biopsy urease test (BUT ) 505 Bioptom 1713 Stanford 17 13 Bisfosfonat 2361, 2682 Bising austin flint 1690 jantung 68 sistolik tipe ejeksi 1780 Bitionol 2953 Bitot 39 Black Cohosh 2080 Black snakeroot 2080 Black-liver jaundice, 7 15 Bladder training, 871 tumor antigen 1427 bleb 2345, 2346 blefaritis 39 Blok AV 1609 AV derajat l 1549 AV derajat 2 1549, 1639 AV derajat 3 1549, 1639 AV tingkat 1 1609
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1556
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
AV tingkat ll 1609 AV tingkat Ill 1609 bifasikular 1639 jantung 1609 Sinoatrial 1605 unidirektional 1619 Body mass index (BMI) 1977 Bone age 2044 density 2079 Scanning. 2258 turnover 2035 Bormann 577 Borrela bugdorferi 2645 Boutonniere 245 1 Bovis M. 2232 Bowing legs, 2693 BPH 2080 Brachytherapy 1573 Bracing 2725 Bradikardia 1630 relatif 32 Bradikinesia 85 1 Bradikinin 2737 Brahyolmia 2731 Brain Natriuretic Peptide 1585 Brakidaktili 2692 Brakisefalus 36 Brakiterapi 1575 Breathing 896 Bridging therapy. 2752 Bromokriptin 2042 Bromsulphthalein 715 Bronchial washing 2236 Bronchiolitis obliterans 23 16 obliterans organizing pnemunia 2792 obliterans syndrome 23 16 obliterans with organizing pneumonia 2316 Bronchoalveolar Lavage (BAL) 2277 Bronkial 63 Bronkiektasis 2274, 2297, 2324 Bronkiolektasis 2274 Bronkiolitis 2288, 2289 obliterans 2315 Bronkitis kronik 2323 Bronkodilator 224, 2277 Bronkografi 2235 Bronkolitiasis 2300 Bronkopneumonia 897 Bronkoskopi 499, 2236, 2325, 2332, 2258 Bronkospasme 2691 Bronkovesikular 63 Brucella abortus 2970 melitensis 2970 suis 2970 Bmselosis 2970 Brushing 517 Buffalo hump 2063 Bulge sign 2448 Bulimia Nervosa 99 Bulla 35, 2323, 2345, 2346 Bullektomi. 2345 BUN 1056 Bundle branch block 1603, 1610 Bunyi Jantung Tambahan 67 Bursitis 2354, 2358, 2698
anserina 2702 llliopsoas (Illiopectinial) ischial 2702 olekranon 2700 Prepatelar (Housemaid's Trokanterik 2701 Busi Hurst, 495 karet air raksa (merkuri) Maloney, 495 Butterfly rash 37 Button hole 1672 By pass gastric (Roux-en Y) Byssinosis 2288, 2290
2702
knee) 2702
495
1981
C-20 Hidrosilase 2069 C-21 Hidroksilase 2069 C-3b-dehidrogenase 2069 C-reactive protein, 593, 1915 Ca 125, 777 prostat, 905 Cacing dewasa 2989 hati (liver fluke) 2943 Cadmium 2708 cag pathogenicity island 503 Cairan intraselular, 199 serebro spinal 2927 tubuh, 904 Calcitonin-gen-regulated peptide (CGRP) 1948 Calcium Channel Blocker 1087 pyrophosphate dehidrogenase crystal 2561 Calicivims 510 CAM 911 Camille Guerin 2231 Campuran 908 Campylobacter 5 16, 621 Campylobacter jejuni, 543 Canadian cardiovascular society 1735 Cancer Antigen 125 1426, 1427, 1428 Candida albicans 2267 Canicola L. 2808 Capture 1654 beat 1625 Carbidopa 856 Carbonate subtituted apatite 2561 Carbonated dressing, alginate dressing 1964 Carbonic anhydrase inhibitor 949 Carcino embryonic antigen 1426 Carcinoid tumor 2254 Carcinoma medullere thyroid. 1994 Carcinomas of salicary gland type 2254 Cardiac cardiac arrest 1635 cardiac output 747, 1569, 1681, 1682 resynchronization therapy 1660 skeleton 1644 stimulator 1646 Cardiovascular Function, 896 Carter-Robbins test 2050 Catastrophic APS 261 3 CAVH 1059 CD 55 1175 CD 59 1175 CD4+ 2264
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1-7
INDEKS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI CEA 741, 2259 Cedera Paru Akut 1186 Cell surface marker 2763 T growth factor, IL-2 2058 mediated 1883 mediated immunity 969 Central and bilateral lateral node dissection. 2034 sleep apnea 805, 2347 Venous presiure 553 Cereal bran, 604 Cerebro vascular accident 905 Cervical collar 2718 syndrome 27 15 Chagas 1716 Chain of Survival 228 Charcot 893 Charcot-like arthropathy 275 1 Chemoprevention 2262 Cheyne Stokes 33, 60 CHF 905 Chinese liver fluke 2945 Chlamydia trachomatis 1012 Chlorpromazin 909 Cholera sec 2848 Cholestasis of pregnancy 702 Cholesterol Ester Transfer Protein (CETP) 1980, 1986 Chondrocalcinosis 2561 Chondroprotective agent 2538, 2547 Chorea 1665, 1671 Chorio Carcinoma (80%) 2260 Chorionic somato mammotrophic hormone 92 Chromatography, thin-layer urine 546 Chronic overuse syndrome 2706 Chronological age 2044 Churg-Strauss syndrome 1004 Cincin Kayser-Fleischer 39 Circulating immune complex 969, 2648 Cisapride 484 Citalopram 2747 CKMB 1713 Claudicatio intermitten. 2542 Clicking. 2449 Cloncking 2449 Clonorchiasis 2943, 2945 Clonorchis sinensis 2943, 2945 Clostridium diff~cile, 552, 565 Coal Workers' Pneumoconiosis, Black Lung 2283 Coarse facial features 2040 Coats disease 2636 Coherence 205 Colchicine 540 Cold nodule 2024 Colin McLeod 141 Collecting duct 2052 Colon in loop 476 Colony forming units 1008 Color flow doppler imaging 1558, 1683 Committee on rheumatic fever 1663 Community based geriatric service 782 based gerontologic 93 1 physician, 917 Comparative genomic hybridization (CGH) 159 Complete halo 2025 Complete heart block 1609
Compliance 906, 2281 Comprehension 205 Comprehensive geriatric assessment 769, 909 Computed Tomography Scanning (CT Scan) 830, 2281, 2235, 2927 Con-joint care, 782 Confusion 842, 905 assessment methode 908 Confusional state, 205 Congenital heart block 2583 Congestive Heart Failure 906 Conjugatif transposons 2903 Conjugation 2902 Continous ambulatory peritoneal dialysis 1055 Continuous wave dopler 1558 Continuum of care 772 Contour jantung 67 Contraction 195 Contraction-band 1812 Contrast-enhanced MRI 17 14 Control points 2712 Copper sulfate, 493 Coproporphyrin 716 Core set 2366 Coronary artery bypass grafts (CABG) 102 flow reserve (CFR) 1573 risk equivalent 1792 Corticotropin releasing factor 2056 (CRH) 118, 2062 Cortisol binding globulin (CBG), 2057 Corynebacterium diphtheriae 2955 xerosis. 2956 coryza 2791 Cost-effectiveness 773 Covert bacteriuria 1008 COX2 inhibitor 522 CPEO 155 Crack pot sign 36 Cracking 2449 Crescent sign 2697 CREST syndrome 2620, 2622, 2624, 2626 Creutzfetdt-Jakob Disease 2993 Crigler-najjar 7 15 Crohn duodenal, 5 13 Crohn's Disease Activity Index 593 Cross Bridges 2375 . resistance 2901 CRRT 1059 Crux mortis 31 Cryptic disseminate TB 2233 Cryptic tuberculosis 2238 Cryptococcus neoformans 2269 Cryptogenic fibrosing alveolitis (CFA) 2316 organizing pneumonia (COP) 23 16 Crystalline 2283 Crystals shedding 2557 C T Scan 594, 890, 895, 1098 abdomen 719, 906 toraks 499, 2249, 2252 helikal dan kontras 1029 Cumulative trauma disorders 2705, 2706 Curah jantung, 776 Curli adhesions 1010
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
INDEKS
HANYA DI SCAN UNTUK insulin dr. PRIYO PANJI absolut 1906, 1907
Curling's ulcer, 522 Cut-off 504, 1866 Cutaneous anthrax 2967, 2969 Cute emergency referral 774 Cutting balloon 1575 CVD 907 Cycle 167 Cyfra 21-1 2259 C Y P l l A 2054 C Y P l l B l 2054 Cystic fibros~s, 2046 pulmonary fibrosis 2297 fibrosis transmembrane conductance regulato 2274 Cytokine independent 1226 primed neutrophil 1005 cytoplasmic antineutrophil perinuclear 543 cytotoxic necrotizing factor-1 1010
D-dimer 1355 D-penisilamin 2756, 2757 Dada emfisema (Barrel-shape) 59 Daerah Mc Burney 476 Dakriosistitis 39 Daktilitis tuberkulosis = spina ventosa 2643 Dalteparin 1769 DAMES 2036 Danazol 1172 Daniel's biopsi 2258 Darah 1190 perifer lengkap 909, 1 19 1 samar 454 tepi 1 1 19 Day care, 785, 931 Day-hospital 782, 783 DC (direct current) counter shock 1606, 1634 DCCT 1901 Debu anorganik 2285 organik 2285 Deconditioning, efek 769 Deep vein thrombosis 906, 1001 Defect Osmoreseptor 205 1 Reglo hypoth.l.miconeurohypophyse.1ls 205 1 Respons Tubular 205 1 Jalur 1158 Jalur Embden Meyerhof 1159 Septal Ventrikel 1569 septum atrium (DSA) 1779, 1780 septum atrium dengan defek sinus venosus sup 1780 septum atrium primum, 1780 septum ventrikel (DSV) 1783 Defekasi 534 Defensif 929 Definisi 2609, 2924, 2943 dan epidemiologi 2620 kasus 2790 Defisiensi AntiTrombin 111 1337 Asam Folat 1141, 1147, 1150 C-l l b-Hidroksilase 2070 G6PD 1159 GH didapat. 2044 GH kongenital. 2044 lmun 1120
Kobalamin 511, 1141, 1145 Miofosforilase (McArdle's disease) 2633 natrium, 862 Protein C 1337 Protein S 1337 Tiamin ( Beri-beri ) 1794 Vitamin 1794 Vitamin B6, B12,,danFolat 1795 Vitamin D 184, 2690, 2693 yodium (DY) 2009 Defisit cairan 177, 2847 neurologis, 892 Deformitas cauliflower 273 1 Degeneratif 768, 779 Degradasi kartilago 2422 Dehidrasi 177, 797, 906, 907, 1906, 1908 berat, 552 hipertonik 797 isotonik 797 ringan 552 sedang 552 Dehidroepiandrosteron (DHEA) 94, 2054 . Dehiscence 1704 Dekompensasi jantung, 893 Dekompresi 225 1 Dekontaminasi 291 Kulit 291 Mata, 291 Pulmonal, 291 Dekortikasi. 2335 Dekstrosa 198 Dekubitus 884, 894, 897 Delesi 1375 Delirium 822, 905, 914 Rating Scale 908 Symptom Interview 908 Delta sleep, 803 Delusi 842, 909 Demam 11 85, 2234, 2300 familial mediteranian. 2335 katayama 2989 reumatiklpenyakit jantung reumatik I662 Demensia 837, 838, 900, 905, 907, 908, 909, 910, 921 lobus frontalis 909 vaskular, 839 Denoma villosa, 558 Deoksitimidilat Monofosfat 1142 Dependensi 2746 Deposisi kristal 271 9 Deposit kalsium 2719 Depresi 842, 845, 908, 921, 2710, 271 1 Depressed mood, 909 type), 577 Derivat aktif 1143 asam Fibrat 1988 Dermatografia 35 Dermatom 27 17 Dermatomiositis 2630 idopatik 263 1 Desipramin 2746 Deteksi dini kanker paru 2257 Determinasi seks 148 Detrusor 866 Devertikula 602
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Deviasi mediastinum 2249 trake, 499 conjugee 38 Diabetes 916 insipidus 963, 964, 2039 insipidus nefrogenik. 2048 insipidus preoperatif 2039 insipidus sentral 2048 melitus 885, 892, 118, 1792, 1937, 2701 melitus dalam pembedahan 1957 melitus pada usia lanjut 1967 melitus Juvenil 263 1 autonomic neuropathy (DAN). 1949 Diaforesis 2292 Diagnosis 2517, 2559, 2625, 2644, 2680, 2794, 2846 and statistical manual 111 908 banding 2928 dan terapi 1162 Diagnostik 1880 Dialisat 1055 Dialiser 1052 Dialisis 916 dan Kehamilan 1034 peritoneal 1053, 233 1 Diare 443, 622 akut, 444 infeksi, 549 infektif, 548 inflamatorik, 444, 549 kronik, 444 organik, 548 osmotik, 444, 534 pasca vagotomi 522 persisten, 548 sekretorik, 444, 534, 549 Diastolic 893, 1891 rumble 1674 diastolik Dicalcium phosphate dihidrate (brushite) 2561 Dicrotic pulse 32 Die tollwut 2924 Diet 555, 585, 2256 Difenhidramin 91 1 Diferensiasi sel 1245 Diffusion limitation, 222 Difteri 2955 kulit 2958 Difusi 1060 balik ion H+ 5 13 Digitalis 1585 Digoksin 91 1 Dihidrotakisterol 2696 Diklorofen 2953 Dikromat 40 Dilatasi 491 arteri pulmonal 1786 per oral 495 pneumatik, 491 Dipiridamol 1362, 1768 Diploid 1375 Diplopia oftalmoplegia, 2040 Direct cost, 774 current counter shock (DC shock). 1607, 1608 Directly observed treatment short course strategy 2241 Dissinergia pelvis, 877 Disability 781
adjusted life-expectancy 925 Discomfort 5 17 Disease 781 activity index 593 modifying 2753 modifying anti osteoarthritis drugs 2547 modifying anti rheumatic drugs 2755, 2765 Disekresi 2409 Diseksi aorta 1691, 1777 Disekuilibrium 828 Disentri basiler 562, 2857 Shigella, 551 Disestesi 51 Disfagia 442, 494, 498, 621, 2207 Disfibrinogenemia 1330, 1337 Disfungsi anorektal, 877 diastolik berat 1793 diastolik ringan 1793 diastolik sedang 1793 ereksi, 121, 2040 Seksual, 11 1, 120 sistolik. 1793 Dishormonogenesis 2001 Diskesia Rektum, 877 Diskinesia 856, 909 Diskografi 271 7 Dislokasi 922 Dismenorrhoe. 27 11 Dismorfik 936 Disomi uniparental 153 Disopiramid 1607 Disorientasi 908, 1913 Disosiasi AV 1608, 1625 Dispareunia 2079 Dispepsia 441, 516 non ulkus 501 Displasia diastrofik 273 1 epifiseal multipel 2730 fibromuskular 1090 kniest 2730 metatrofik 273 1 spondiloepifiseal 2730 spondiloepifiseal kongenital 2730 spondiloepifisial onset lambat. 2730 tanatoforik 2729 ventrikel kanan 1721 Dispnea d'effort 1584 Dispneu 32 Disseminated gonococcal invention 2640 Disseminated intravascular coagulation 1319 Distal symmetrical sensorymotor polyneuropathy (DP 1949 Distonia 293 Distorsi kripti, 594 Distribusi 776, 2924 Distrofi Becker 2635 Duchene 2635 Fasioskapulohumeral 2636 muskular Duchene 151 otot 2635 otot okulofaringeal 2636 Distrofia distal 2636 miotonika 2636 Distrofin 2635
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Diterapi 2678 Diuresis osmotik 1906 Diuretika 540, 900, 902, 1684 Tiazid 2052 diversitas genetik Hp 502 Divertikulitis 454, 465, 602, 1908 Dizziness 818, 826, 904 DLco 2315 DMARD 2354, 2365, 2366, 2523, 2755 DNA markers 1425 Polymerase 1417 topoisomerase 1 2622 DNR 916 dNTP 1417 Doksisiklin , 2968, 2972 Dolikosefalus 36 Dolikostenomelia 2725 Dolorimeter 271 1 Dominant autosom osteoarthritis 2730 Domperidon 484 Donor ginjal xenogenik 1068 hidup 1067 jenazah 1068 universal 157 Dopamin 2059, 2744 Dopler spectrum ('spectral dopler') 1558 Dormant 2232 Dosis obat 2244 Double committed subarterial ventricular septa1 de 1784 crush syndrome 2719 outlet 1788 Doubling time 2257 DR blood group 1010 Drop attacks, 818 Drop-arm sign 2450 Droperidol 909 Droplet nuclei 2232 Drowsiness 205 Drug 896 induced LE 2565 induced liver injury 702 induced lupus syndrome 2336 eluting stent (DES) 1573 DSM-IV 91 1 DTPA 2042 Dual chamber pacemaker 1658 Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DEXA) 1978 / Dubin-johnson, sindrom 715 Duktus arterios~rspersisten (DAP) 1785 Dukungan nutrisi, 240 Duodeni 513 Duodenitis 504 kronik aktif 524 Durasi 1895 DVT 1372 Dysergasticreaction 907 Dysmenorrhoe 2709 Dyssomnias 802
Early after depolarization 1619 defibrillation, 229 gastric cancer. 577 EBM 2360
Ecchymoses 2040 Edema 176, 177, 2235 anasarka 35 otak 1910 paru, 906 paru akut 1772, 2330 edema paru kardiogenik 1773 Eder Puestow, 495 Edrofonium (tendon) 2637 Efek massa, 895 rokok 2255 Samping 914, 2356, 2741, 2742, 2929 Efloresensi 35 Efusi pleura 2208, 2232, 2235, 2249, 2290 neoplasma 2334 /empiema) 2235 Ego-integrity 932 EI aktif 1702 Einthoven 1523 Eisenmenger 1784 Ejection fraction (EF) 216 EKG 887, 905, 909, 1104 Ekhodopler 1964 Eklampsia 1100 Eko transtorakal 1551 Ekokardiografi 214, 1551, 1726, 1729 stres 1729 ten cate 1723 trans esofageal (ETE) 1562 Eksantema, 36 Eksibisionisme 121 Ekskoriasi 35 Ekskresi 776 Eksokrin 739, 2514 Eksokrinopati 251 5 Eksostosis 2708 Eksotoksin Vac A 503 Ekspektoran 226 Eksteroseptif 813 Ekstrapiramidal 909 Ekstrasistol atrial 1606 nodal 1607 ventrikel 1607 Ektomorfik 92 Ektropion 39 Electrical alternans 1726, 1805 pacing rhythme 1739 Electro-hydraulic shock wave lithotripsy 724 Electrolyte 896 Elektro-okulografi 2348 Elektrodiagnostik 2717 Elektroensefalografi 2348 Elektrofisiologi 21 5 Elektroforesis 1418 Elektrokardiografi 2 14 Elektrokardiogram 229, 1523 Elektrokoagulasi 495 Elektrokonvulsi 849 Elektrolit 200, 887, 909, 1056 Elektromiografi 2701 Elevated Liver Enzyme 705 Elipsitosis Herediter 1162 ELlSA 504, 546, 552 Ellsworth-Howard, tes 2692 Elongasi 146
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1-11
INDEKS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI aorta 1691 Emboli 892 Emboli Paru 895, 906, 1356, 2305, 2334 Embolus Arteri Mesenterika akut 612 superior 606 Embryo Vaccine 2929 Emergency 895 hypertension 1103 Emfisema 2289 interstisialis 2340 mediastinum 225 1, 2340 subkutis 2340 Emisi positron tomography (PET) 2252 Empiema 499, 719, 2208, 2233, 2324 thoracis 2329 Empiris 51 8 Employment plan, 930 Encefalopati Spongioform 1204 Encephalopathy, metabolic 907 End-arterectomy 897 Endobronkial 2233 Endokarditis 1804 bakterial, 886 infektif (El) 1702 Endokrin 739 Endokrinopati 2686 Endometriosis 584 Endomorfik 92 Endoneurium sel-sel Schwan 2925 Endoscopic Retrograde Cholangi Pancreatography 467, 544, 719, 722 Endoskopi 442, 455, 561, 467 lentur, 467 dan radiografi 458 kapsul, 467 endoskopi saluran cerna 470 endoskopi saluran cerna bagian atas 469, 470 Endosonografi 545 Endotel 2379 vaskular 525, 2378 Endotoksin 1920 Enema barium, 456 kontras gand 573 Enoftalmus 38 Enoxiparin 1769 Ensefalitis 2927, 2928 akut 2925 Ensefalopati metabolik, 186 Enteric rotavirus, 510 Enteroinvasif E.coli 2859 Enterokolitis nekrotisasi neonatal 607, 619 Enterokromafin, sel 5 13 Enteroskopi 467 Enterotoksigenik 55 1 Enterotoxigenic Eschericia coli 2846 Enterovasif 55 1 Enterovirus 887 Entesopati 2699, 275 1 Enzim 1880 dehidrogenase 1917 dehidrorotat dehidrogenase 2759 endonuklease restriksi 1417 lipoksigenase 2737 lipoprotein lipase 1892 peptidase 1896 siklooksigenase 2737 sitokrom p-450 708
urease, 504 Eosinofil 2409 Kemoatraktan 241 0 Eosinofilik paru 22 10 Eosinofiluria 936 Epidemi HIV 2231 Epidemiologi 2514, 2556, 2561, 2680, 2843, 2943, 2949 dan etiologi 2520 Epikondilitis 2707 epikondilitis lateral 2698, 2699. 2700 epikondilitis medial 2699, 2700 Epilepsi 2747 Epinefrin 1901, 1907, 1908 Epiphyseal plate, 2693 Epitel 514 Epitrokleitis 2699 Epoprostenol (Folan) 2338 Eptifibatid 1731, 1768 Epworth 2348 Ergokalsiferol 2678 Ergonomi 2705, 2706, 2708 Eritema 34 marginatum 34, 1665 migrans 2645 multi forme, 2742 nodosum 34, 593, 2648 periungual 2630 Eritromisin 2959, 2968 Eritropoietin 1140 Erosi 35 Erythromycin 2901 Es pronasi-supinasi 50 Escape phenomenon 2059 Escherichia coli, 563 ESHESC 900 Esofagitis kronik refluks 500 Esofagografi dengan barium 482 Esofagogram 494 Esofagomiotomi 491 Esofagopulmonal 499 Esofagoskopi 467, 494 Esofagus Barrett, 486 Esomesoprazol 520 Esophagogastric junction, 497 Estrogen 1790, 1822, 2585 Etambutol 223 1, 2265 Etanercept 2762 Etanol 1921 Etat crible, 893 Ethacrynic acid 949 etidronat 2682 etinil estradiol 207 1 etio-patogenesis 592 Etiologi 2520, 2648, 2790, 2843, 2924, 2943 dan klasifikasi anemia 11 10 dan patogenesis 2709 disfagia, 442 dispepsia, 441 kanker paru 2255 Etionamid 2244 European Group for Study of Insulin Resistance (EG) 1866 Evaluasi pengobatan 2245 Evidence-based medicine (EBM) 227, 2360 Ex vacuo effusion 2331 Exocrinopathy 25 14 Extended family system 927 spectrum beta-IactamaseIESBL 2901, 2905
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI intermiten 3 1
Extracelular regulated protein kinase 1414 Extracorporeal shock wave lithotripsy 724 Extrasystolic AV junctional tachycardia 1607 Eye ball pressure 1606 Ezetimib 1989
FA
kronik atau permanen 1613 paroksismal 1613 persisten 1613 Faal hemostasis 1120 organ, 772 paru 2299 Facies plethora 2040 Factitious 542 Faeokromositoma b~lateral 2687 Fagositosis 2403 Failure to thrive 768 Faktor agresif, 523 defensif, 523 epitel, 525 genetik 568, 2622 hageman 2305 parakrin 2075 pertumbuhan, 5 14 preepitel, 525 risikolodds ratio 2705 faktor subepitel, 525 risiko 2541 False negative, 604 Familial Adenomatous Polyposis 568, 569, 574 Hypocalciuric Hypercalcemia 2687 juvenile gout 255 1 juvenile hyperuricaemic nephropa osteoarthritis 2730 Family living arrangement 927 Farmakodinamik 776, 2740 antimikroba 2898 Farmakokinetik 776, 2739 antimikroba 2898 Farmakoiogis 588 Farmakoterapi 585 Farmers' lung disease 2291 Fascia1 hair 2071 Fasciola hepatica 2943, 2946 Fascioliasis 2943, 2946 Fase gastrik, 5 15 imun. 2809 leptospiremia 2809 M 1414 S 1414 Fasies Hipocratic 37 Fasiitis Plantaris 2703 Fasikula 2629 Fast twitch glycolytic fibers 2629 oxydati-veglycolytic fibers 2629 Fatal Familial Insomnia 2993 Fatty 535 liver, 703 FDG-PET 2036 FDP (Fibrinlfibrinogen degradation product) 2309 Febris
--
kotinua 31 non reaksi transfusi hemolitik 1200 remiten 31 undulans 31 Fecal impaction, 905 Occult Blood Test 573 -oral 501 Felineus 0 . 2943 Female pseudo-hermaphroditism 2069 Fenilketonuria 150 Fenitoin 91 1 Fenomena Fenomena "On-Off', 856 fenomena Raynaud 1819, 2620, 2622, 2623, 2624, 2630, 2710 "wearing off' 856 Fenotip 142 Feokromositoma 1778, 1796, 2066, 2250, 2252 Feritin Serum 1132 Fermen glukosa 2956 Fertilitas 768 Feses 887 Fetishisme 121 Fever of unknown origin 890, 2238 Fiber supplement, 588 optic pleuroscopy 2332 Fibrilasi Atrial 893, 906, 1606, 1612, 1652, 1799 ventrikel 229, 1629 ventrikular, 228 Fibrinoid 1807 Fibrinolisis 1320, 1329 primer 1323, 1329 sekunder 1323 Fibrinolitik 1434 Fibrodisplasia ossifican progresif 2727 Fibroelastoma lipoma papiler 1818 Fibroma 577 Fibromialgia 2698, 2709 juvenile 2710 primer 2710 regional 2710 regional atau terlokalisasi 2710 sekunder 27 10 usia lanjut 2710 Fibromiositis 2709, 27 19 Fibrosis 2235, 2298 dinding esofagus 493 kistik 150, 2274 paru 2620 paru idiopatik (FPI), 2290, 2315 Fibrositis 2356, 2703 Fibrous cap 1757 Fiksasi kompleme, 504 Fimbriae 1010 Fimbrial adhesions 1010 Fine wrinkling 2040 Fi02 2205 First degree relatives 142 Fish mouth 1672 Fisiologis 925 Fisioterapi 896 Fistula anastomosis, 500 bronkopleura 2324, 2345
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI gastro kolik 518 Fistulasi 594 Five-years survival rate 499 Flagel H Pylori 502 Flat type, 577 Flocare 495 Flow cytometric immunophenotyping 1440 Flow ratio 1570 Fluid deprivation 2050 Flulike syndrome : sesak napas, batuk 2289 Fluoksetin 2747 Fluor 2708 Fluorescence bronchoscopy 2258 exchancing agent 2258 Fluorosis 43 Fluoroskopi 495, 2258 Flushing 34 Fluttering 1691 FNA 2253 Foetor ex ore 44 Folikel /Follicle de Graaf 95 primer 95 sekunder 95 teertier 95 stimulating hormone 94, 95 Follow through, 544 Fondaparinux 1768 Fonokardiografi 1689 Foot process 959 Foramen ovale persistent 1563 Foramina1 compression test 2454 Formula Cockcroft- Gault 939 Fosfaturia 2694 Fosfolipase 503, 524 Fosfolipid antikoagulan 1345 Fosfor 2677 Fosforilasi oksidatif 2633 Foto lateral 2235 polos abdomen 941 sinus 2277 toraks 887, 909, 2249, 2276, 2329 usus halus 478 kromogen 2263 Fractional flow reserve (FFR) 1573 Fragile X syndrome 153 Frailty 812 Fraksi ejeksi 1824 plasma 1190 protein plasma 1196 Fraktur 821, 902, 904, 922 femur, 771, 773 panggul, 921 Francis C r ~ c k 141 Free fatty acid (FFA) 1985 Free radical inhibitors 523 Frekuensi 1895 Fronto-temporal dementia, 839 Frottage 121 Frouzen shoulder syndrome 2699 Frozen section 2033 Fruktosa 198, 1892 Fructose-1-phosphate aldolase 2552, 2553 Functioning 2038 Funduskopi 41
Fungsi 2379, 2394 apoptosis dalam sistem imun 2418 utama anorektal 463 Fungsional 535 Furosemid 19 14, 2686 Fusion beat 1625
G-adhesions 10 10 G-banding 158 y-melanocyte-stimulating hormone 2059 GI 1414 G2 1414 GABA 2747 Gabapentin 2747 Gagal Gagal ginjal, 885 Gagal hati, 885 jantung 1583, 1586 jantung akut 1586 jantung diastolik 1583 jantung kanan 2235 Jantung kronik 1596 jantung sistolik 1583 napas, 234 napas hiperkapnia 218, 219, 223 napas hipoksemia 21 8 Gait 814 GAKI 201 1 Gallop 1682 atrial atau presistolik 1778 S3 1584 vetrikel atau protodiastolik 1778 Gama globulin 2236 Gambaran imunopatologis 2621 klinis 2515, 2521, 2639, 2677, 2680, 2710 klinis dan diagnosis 2648 laboratorium 2647, 2677 nonsiklik, 462 patologi 2620 radiografi 2543 radiologis 2681 ulkus, 594 Gametogenesis 143 Gamma interferon alfa 524 Gamma linoleic acid (GLA) 1950 Gangguan eliminasi, 465 fungsi ginjal 1892 fungsi sel darah putih 186 fungsi trombosit 186 ginjal akut 1033, 1041 ginjal kronik 1034 jantung, 894 klinis 1145 kognitif, 910, 921 kognitif global 91 1 konduksi 1609 konduksi dan aritmia 1813 kontinentia, 465 motilitas, 444, 583 motilitas usus halus primer 463 permeabilitas usus 549 respirasi, 894 toleransi glukosa 1969 Gangguan keseimbangan cairan 175
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI supresor tumor 157, 569
fosfor 185 kalium 181 kalsium 183 magnesium 187 natrium 178 Ganglioma 2707 Ganglioneuroma 2250 Gangliosides 1950 Garam emas 2756, 2757 Garis Ellis Damoiseau 63 isoelektrik 1525 Schuffner 70 Gas belerang 2285 Gastrektomi 2677 Gastric I gastrik 515 bleeding, 897 inhibitory polypeptide, 2063 outlet obstruction 5 17, 51 8 Gastrin 506 Gastrinoma 743 Gastritis 441, 509 akut, 524 atrofi, 577 erosi akut 606 kronik aktif 501, 524 Gastro esophageal reflux disease 5 17 Gastroduodeno-jejunoskopi 544 Gastroduodenografi, 741 Gastroesofageal., Sintigrafi 483 Gastrointestinal anthrax 2969 Gastroparesis 1908 Gastropati 509 hipertensi portal 459 kimiawi, 5 1 1 OAINS, 51 1 reaktif, 51 1 Gastroskopi 467 GATA-1 1226 Gated single-photon emission computed tomography 1565 Gatropati 5 11 Gay bowel syndrome 549 Gaya berjalan 2447 Gaya berjalan yang abnormal 2447 GCRP (good clinical research practice). 2898 Gejala klinis 2643, 2925 anemia 1131 furious 2926 gangguan otot skeletal 186 khas 11 11 khas defisiensi besi 1131 klinis dan diagnosis 2641 mayor 1666 minor 1666 penyakit dasar 1132 prodromal 2791, 2925 gejala psikologik, 773 umum 1111 umum anemia 1131 Gelombang delta 1533 lambat, 461 GenlGene polyposis adenomatous coli 569 ' caga, 502 cypl lb2 2054 erbbl 2256
supresor tumor vac a 502 resisten 2902 General check-up 1881 Genetika 1 168 kanker 157 mitokondria 154 genital ridge 2053 genito urinarius, 905 Genom 142 Genotip 142, 776, 1381 Genotyping 2276 Gentamisin 2972 Genu rekurvatum 2725 Genus Coronavirus 2790 Geographic tongue 44 GERD 481, 744 G e r i a t r i /Geriatric 758, 768, 770, 924 care, 931 Depression Scale 92 1 giants, 769, 780 home healths care 784 Germinal centers. 201 9 Geronto-seksualisme 121 Gerontologi 758, 770, 924 Gerstmann-Straussler Scheinker Syndrome 2993 GFR 776 GH 2039 Releasing Hormone 2044 GI tract, 905 Giant-cell myocarditis 1718 Gibbus 49, 2643 Gigantica F. 2943, 2946 Gigi Hutchinson 43 Gigitan coral snake 282 elapidae, 281 hydropiidae, 282 kutu, 277 laba-laba pertapa 275 rattlesnake, 282 ular berbisa 280 viperidae, 282 Ginekomastia 48 adolesen 97 Ginjal kronik 1008 Transplan dan Kehamilan 1034 Gizi pada usia lanjut 127 anak, 126 ibu hamil 126 ibu menyusui (laktasi) 127 Glibenklamid 1901, 1904 Glikogen 1907, 1913 Glikogenolisis 1898, 1901 dan proteolisis di otot 1901 Glikolisis 1907, 1917 Glikosaminoglikan 2547 Gliserol 1901, 2998 Glomerular Filtration Rate 1945 Glomerulonefritis lesi minimal 972 membranosa 972 proliferatif 972 Glomerulosklerosis fokal dan segmental 972 Glucosa 6-phosphatase 2552
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Glucose level, 896 transporter 979 transporter 2 (GLUT 2) 1896 transporter 4 1792 Glukagon 543, 1901, 1904, 1905, 1907, 1913 dan epinefrin 1902 Glukagonoma 743, 745 Glukoneogenesis 1898, 1901, 1902, 1907, 1908, 1913 di ginjal 1902 di hati 1901 Glukosa darah 1880, 1891 darah 2 jam setelah makan 1891 puasa 1891 Glukosuria 1912 GLUT-4 1898 Glycogen storage disease 2552, 2633 (Von Gierkee) 2552 tipe I 2552 tipe 111 2553 tipe 111, V dan VI 2552, 2553 Goldblatt 1091 Golfer's Elbow 2699, 2700 Golongan P-Laktam 2902 Golongan darah Bombay 156 Gonadotrophs 2040 releasing hormone (GnRH) 118, 2040 Gougerot's syndrome 25 14 Gout 2354, 2358, 2550, 2559 nefropati 2556 Gradien alveolar-arteri 23 15 Gradien transmitral 1672 Grafestesia 52 Graham Steel 1693 Granuloma 2233 eosinofilik 2290 Granulomatosis Wegener 1004 Granulosit Feresis 1194 Gravis 2956 Gregor Mendel 140 GRFoma 743 Group antigen darah Lewis B 502 Growth Chart 2044 factor-like, 503 hormone (GH) 92, 1 18, 1902, 2709 velocity 2044 Guided USG 2033 Gula darah 895, 909
H. Pylori menjadi persisten 503 H.capsulatum 2268 H2 bloker, 888 H2 breath:, 545 H2 Receptor Antagonist (H2RA) 527 Habit training, 871 Habituation 2745 Haemolytic uremic syndrome 2858 Haemophillus influenzae 2901 Hallux valgus 2728 Haloperidol 909, 1914 Halusinasi 842, 909 Hamartoma 557 Handicap 781 HAP 1898 Haploid 1375
HbAlc 1949 HDL 1984 Heart Failure 1586 Heat necrosis, 558 shock protein (HSP) 2430 stroke, 272, 792 Height age 2044 Height spurt 93 Helicobacter pylori, 481, 501, 509, 523, 621 HELLP 1101 Helminthiasis 621 Hemangioma kapilaris 36 Hematemesis 443, 526, 579 Hematogen 2232 Hematokezia 443, 453 Hematologi 1440 Hematotoksik 281 Hematoxyllin bodies 1807 Hematuria transien 952 Hemianopsia 41 Hemianopsia bitemporal 2039 Hemiparesis 1913, 2447 Hemisfer 893 Hemo-globinopati struktural 1379 Hemodia-filtrasi 1060 Hemodialisis 1052, 1060 Hemodialisis lntermiten 1063 Hemodinamik 608 hemodinamik tidak stabil 447 hemofilia a 1307 Hemofiltrasi 1060 Hemoglobin 593 Hemoglobinopati 1379 Hemokromatosis 150 Hemolisis mikroangiopatik 1 160 Hemolysis 705 Hemolytic Uremic Syndrome 1 161 Hemopatia klonal 1226 Hemoptisis 294, 906, 1673, 2256, 2300 Hemoptoe 2300 hemoragi sirkulasi saraf otak 892 Hemoroid 587, 604 eksterna, 587 interna 587 Hemorrhagic colitis, 563 Hemorrhoidalis, plexus 587 Hemostasis 1293, 1334 endoskopi, 45 1 primer. 1319 Hemostatik 895 Hemotoraks 2329 Henderson-Hasselbalch 191 Henoch-Schonlein purpura 992 Heparin 1340, 1360, 1731, 1768, 1826 Heparinoid 896 Hepatitis 887, 1201 B kronik 702 autoimun, 702 C kronik 702 E, 706 fulminan, 706 Iskemia, 606, 61 1 Non-A-B 1203 virus, 887 Hepatocyte Growth Factor 2689 Hepatomegali 499, 2235, 2337 Hepatotoksisitas
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
imbas obat 708 obat anti inflamasi non steroid 712 obat ant1 tuberkulosis 710 obat kemoterapi 71 0 HER-21neu 1428 Hereditary fructose intolerance 2553 nonpolyposis colorectal cancer 568 Hermafroditisme 150 Hernia diafragma ke mediastinum 225 1 femoralis 74 Herniasi transtentorial sentral 206 uncal. 206 Heterogen 784 Heterogenous RNA (hnRNA) 145 Heterozigos~tas 569 Hexoamine pathway 979 He) man nephritis I01 7 Hibridisasi asam nukleat 159 Hickey-Hare 2050 Hidralazine 540 Hidrasi 897 Hidroksiapatlt 2564, 2699 Hldroksiklorokuin 2756 Hidrosefalus 842, 85 1 Hidrosiklorokuin 2584 Hidroterapi 2681 Hidrotoraks 2329 higa-like toxins, 563 High Bone-turnover 2695 High out put HF 1583 High Resolution CT scan (HRCT) 2315 High Risk Foot 1962 High-output state 1541 Hiperaktif 908 Hiperaldobteronisme 2053 primer 1094 Hiperalgesia. 2710 Hiperamilasemia 61 0 Hiperekstensibilitas 2726 Hiperekstensibilitas sendi 2726 Hiperemesis 293 gravidarum, 703 Hiperfosfatemia 184, 187, 1040, 2696 Hiperglikemia 1907, 1913 Hiperhomosisteinemia 1338, 1795, 1940 H~perinsulinemia 1880 Hiperkalsemia 182, 184, 2685, 2689, 2690, 2693 Humoral 2688 Hiperkalsiuria 186, 1026, 2689, 2690, 2693, 2694 Hiperkapnia 169 Hiperkloremia 1910 Hiperkoagulasi 614, 1001, 1370 Hiperkolesterolemia 901, 2362 Hiperlipidemla dan Lipiduria 1001 Hlpermagnesemia 188, 5 19 Hipermobilitas. 2726 Hipernatremia 180, 797, 906 Hiperoksaluria 1027 Hipero~molar 198, 797, 1912, 1913 Hiperparatiroidisme 184, 525 primer 2686 sekunder 2688, 2691 tersier 2688 Hiperpasia 5 1 foveolar, 5 12
adrenal bilateral 2067 paratiroid 2687 Splenomegali 1 183 Hiperresonant 61 Hipersensltivitas viseral, 583 Hipersomnolen 2348 Hipersplenisme 1 162, 1368 Hipertensi 893, 1086 gestasional 1 101 kronik, 900 portal, 454, 705 pulmonal 1673, 1786 pulmonal primer (HPP) 2337 pulmonal reumatoid 18 1 1 . sekunder 1777 Hipertermia 27 1, 792 Hipertiroid 1799 Hipertiroidisme 185, 1795, I f 9 9 Hipertrikosis 37 Hipertrofi eksentrik 1777 konsentrik 1777 ventrikel 1786 ventrikel kanan 1786 ventrikel kiri (HVK) 1777 Hiperurikosuria 1027 Hiperurisemia 2550, 2559 miogenik 2552 Hiperventilasi 2337 Hiperviskositas 893 Hipervolemia 176, 177, 1095 Hipoaktif 908 Hipoalbuminemia 862, 1000, 1773, 2334 Hipoasiditas 5 16 Hipodiploid 1375 Hipoestesia 5 1 Hipofonia 853 Hipofosfatasia 2694, 2727 Hipofosfatemia 186, 2045, 2693, 2694 Hipoglikemia 907, 1894, 1910 Hipogonadisme 2040 Hipokalemia 1910 Hipokalsemia 184, 1910, 2691, 2696 Hipokondria 271 1 Hipokondroplasia 2729 Hipokortisolisme. 2053 Hipoksemia 169, 221 Hipoksia 221, 906, 907, 191 7 Hipomagnesemia 188, 2692 Hiponatremia 179, 797, 906, 907 akut., 179 kronik, 179 Hipoparatiroidisme 184, 2691, 2692, 2694 Hipoperfusi 607, 901 mesenterika, 607 Hipopituitarisme 2039 Hipoplasia odontoid 2730, 2731 Hipositraturia 1027 hipospadia 75 Hipotensi 2927 ortostatik, 210, 817, 899, 902 Postural, 776, 861, 905, 2709 Hipotermia 270, 1201 Hipotiroid 1800, 2701 Hipotiroidisme 1795, 2000, 2045 primer (HP) 2001 retrognathla, 2348 sentral (HS) 2000
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI sepintas. 2001 subklinis (HSK) 2003 Hipoventilasi alveolar, 21 9 Hipovolemia 176, 177, 210, 892, 893, 1908 hipovolemik 797 Hippocrates succussion 64 Hirschsprung 273 1 Hirsutisme 2040, 2753 Simpleks 2070 Hirudin 1768 His bundle 1609, 1630 electrocardiogram 1609 Histamin 543, 2737 Histaminergik 5 15 Histerikallpsikogenik 2447 Histon 147 Histopatologi 502, 504, 505, 507, 582 Histoplasmosis 2267, 2268 Asimtomatik 2268 Diseminata 2268 HIV 2324, 2345 HLA haplotipe 2018 haplotype A2, B40 2339 kelas 1 2430 -DR3 2018 -kelas I1 2430 HMG-CoA reductase inhibitor 1987, 1988 Holosistolik 1785 Holter Monitoring (HM) 1548, 1631 Home care, 837, 91 7 help servic 786 Isolation 2795 nursing, 782, 786 Homeostasis 776, 896 Homeostenosis 758 Homoseksualisme 121 Homosistinuria 2726 Hormon l h o r m o n e 1907 caunter-regulatory 1903 gonadotropin korion 95 kontra regulator insulin 1907 lipase 1907 natriuretik peptida 1086 paratiroid 193, 1056, 2074, 2256, 2394, 2685 pertumbuhan 1907 steroid 2053 tiroid 1798 releasing, Growth hormone (GHRH) 118 replacemen. 205 1 Sensitive Lipase (HSL) 1976 related, Parathyroid protein (PTHrp) 3 16 Hospice care, 916, 917, 932 Hospital based, 931 Community Geriatric Service 782 Geriatric Service 782 Host 885 Hot flushes 2079 Hot nodule 2023, 2024 Housemaid's knee. 2702 HPRT 2552 HPRT pada sindrom Lesh-Nyhan 2552 hsCRP 1757 HST 900 Hubungan antara keganasan dengan kejadian APL; 261.6 Hubungan HLA kelas I dengan penyakit teumatik 2432 Human
d~ploid cell vaccine 2929 chorion~cgonadotropin 119, 1426, 2582 genom project 141 ~mmunodeficiency virus 2647 intravenous immunoglobulin 1950 leucocyte antigen (HLA) 2430 rabies immune globulin 2929 Humoral hypercalcemia of malignant) 2688 Hunger pain food relief = HPFR 5 17 Hyalinized fibrosis tissue 2021 Hydrophilic fiber dressing 1964 Hydroxyapatite 2682 Hhydroxyprogesterone caproate, 105 Hypercoagulable states 1336 Hypertension 897 Hypoactive sexual desire I I I Hypopnea 2347 Hypothalamic-pituitary dysfunction 2065 adrenal 82 hypoxanthine phosphoribosyltranferase 2550 Hypoxic spells 1788
I/polipoid, Boorman 5 1 7 IADL 910 latrogenesis 779 latrogenik 91 3 Ibandronat 2683 IBD 475, 569 IBS pattern alternating, 584 predominan diare 584 predominan konstipasi 584 predominan nyeri perut 584 Icterohaemorrhagica L 2808 lDDM 1883 Idiopathiclidiopatik 21 0 Hypopitutary Dwarfism 97 left venricular tachycardia 1625 pulmonary fibrosis (lPF) 23 16 thrombocytopenic purpura atau Autoimune 1366 IDL 1984 IFN-.I 2289 Igamentum Treitz, 447 IglV dosis tinggi 1 172 lkterus 34, 718. 721 IL-l TNF-a dan IL-2 2289 IL-I0 2289 IL-12 2289 IL-Ira (IL-l receptor antagonist) 973 lleoskopi 544 lleus paralitik, 307 Imipramin hidroklorid 2747 lmmunocompetent 887 Immunocompromised 887, 2323 Immunological dissonance, 263 lmmunosupresif 1 172 lmobilisas~ 812. 859, 2690 Imobilitas 581 Impairment 78 1 lmpaksi feses, 879 Implantable Cardiac Defibrillator 2 12 cardioverter defibrillator (ICD) 1548, 1660 IMT 900 lmunitas adaptif 2408
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
selular, 885 lmuno genetika 155 globulin intravena 2637 modulasi 1200 patogenesis GN 969 supresan 1 7 15 supresif 596 In office Hp test 504 lincipient diabetic nephropathy 980 Incomplete halo 2025 Indeks lndeks apnea hipopnea 2348 Indeks kardiak, 904) indeks massa tubuh (IMT) 29, 1973, 2348 independen 893 Indeterminate Colitis, 591 lndikasi kuat, 182 mutlak, 182 rawat. 2794 sedang, 182 Indonesia 1866 i n f a r k 587, 1906 infeksi, 1906 miokard, 892, 1940 miokard akut 1741, 1792 miokard akut dengan elevasi ST 1741 miokard akut tanpa elevasi ST 1757 . paru (Hampton's hump) 2309 Ventrikel Kanan 1752 Infected Foot 1962 Infectious thyroiditis 201 6 lnfeksi 884, 895, 1908 di Mediastinum 225 1 Helicobacter pylori 506 Hp dengan tukak peptik 501 human immunodeficiency virus 2647 kronik, 444, 493 Mikroorganisme 1 163 nosokomial, 884, 913 pada sendi prostetik 2642 saluran kemih 862, 885, 907, 91 1, 1008 saluran kencing (ISK) 905 sendi prostetik 2642 traktus urinarius 1033 usus, 584 yang disebarkan artropoda 1203 lnfektif 535 Infertilitas 108 lnfiltrasi sel mononukleus 594 lnfiltrat 23 15 Infiltratif Splenomegali 1184 Inflamasi 905 akut divertikulitis 604 pada syok 2414, 2402 Inflammatory Bowel Disease 591, 604 polyps, 558 lnfliksimab 2762 Influenza 887 lnfus Glukosa 1958 INH 519 Inhalation Antraks 2967 Inhibitor inhibitor ACE 1751 inhibitor glikoprotein IlbIIIIa 1731 inhibitor TNF-a 2761
inisiasi 146 initial case definition 2791 lnjeksi Toksin Botulinum 492 inkompatibilitas sistem Rhesus 156 inkontinensia 885, 894 akut, 869 alvi, 880 persisten, 869 urin, 905, 919 input visual, 813 insensible water loss 799, 1052 Insersi 1374 Insestus 121 insidens 907, 2709, 2924 insidentaloma 2038 insomnia 802 lnstabilitas kromosom 568, 569 mikrosatelit, 568, 569 instent restenosis 1574 insufisien saraf otonom 902 lnsufisiensi adrenal, 185 aorta 1569 mitral 1569 otonom, 210 vaskular 606 vitamin D 2690 insulin 1865, 1896, 1901, 1908 analog rapid-acting 1901 dependent 1883 like growth factor 2023, 2710 lnsulinoma 744 Intake 897 Intensitas 1895 In teraksi aksis brain-gut 583 dalam absorpsi 138 dalam distribusi 138 dalam eliminasi 138 dalam metabolisme 138 farmakodinamik 139 farmakokinetik 138 neuro-endokrin - imun 2440 neuroimunoendokrinologi 2435 Obat 138, 2743 Interdependent 78 1 lnterdisiplin 770, 781 Interferon alfa 2928 , interferon gamma (IFNy) 503, 728 interkritikal 2558 interleukin 2737 -1 2761 -Ip, 503 -2 503 -6 1414 -6 886, 1915 -8 503 Intermediary metabolism 2057 Intermediate 2956 density lipoprotein (IDL), very low d 1984 lntermitten 572 mandatory ventilation 168 International diabetes federation (IDF) 1866 society nephrologylrenal pathology s 985 lnternis geriatri, 771
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
lntersititial lung disease 25 16 lntervensi psikologi, 585 Intestinal 5 15 antraks 2967 lntoksikasi alumunium 2696 narkotika (OPIAT) 284 vitamin-A, 185 vitamin-D, 185 lntoleransi laktosa, 540 cnakanan, 583 lntraaortic Balloon Counter Pulsation 1683 intracardiac defibrilator 1583 intravascular ultrasound=IVUS 1551 intracellular/lntraselular 896 adhesion molecule-l 970 tight junction 514 lntrafusin 495 lntrahepatic cholestasis of pregnancy 703 lntralipid 495 lntramuskular 909, 1905 Intrauterine devices, 107 Intrauterine growth retardation 1824 lntravena 909 drug user 646 Immunoglobulin 1366 lntususepsi 454 lnversi 1374 lnvestigasi biokimiawi 1029 loderma gangrenosum, 593 Ion kalsium, 896, 1896 lradiasi hipotisi~ 2067 lrama jantung 68 nodal 1607 sinus 1614 sirkadian, 803 lridosiklitis 39 lritasi kronik, 513 Iron uptake system 1010 lrosis hati 2331 Irritable bladder 27 1 1 irritable bowel syndrome 542, 583, 604, 2709, 2710, 2711 Ischemic bone necrosis, avascular necrosis 2696 Ischemic vascular disease 905 ISK 905 Bawah 1012 Rekuren 1012 lskemia 584, 892, 905 mesenterika, 475 Mesenterika Kronis 619 mesenterika non-oklusif 607, 61 7 splanknik 606 usus. 1908 usus besar 606 usus halus 606 Islet cell 1904 Isolated gastric varices 305 lsoniazid 223 1 lsotop 504 Isotope bone scanning 2681
Jaccoud's arthropathy 25 17 Jalan napas, 224 Jalur Bachman 1524
Caspase 1415 James 1534 Kent 1533 Mahaim 1533. 1534 James Watson 141 Jamur 2345 jantung gagal kongestif 6 1 1 koroner, 885 paru, resusitasi 91 7 Jaras tambahan (accessor) pathwaq ) 1624 Jari tabuh 52, 2290 Jaringan nekrosis, 582 penumbra. 896 Jatuh 812. 885, 902 Jaundice 703 Je.junum 545 Jenis 1895 JNC 7 899. 1079 Joint drainage 2640 Jumper's knee 2702 junctional tachqcardia 1607 Juvenile onset 1883 polyp, 557
KIDOQI 1066 Kadar kui serurn 593 gula darah 894 hemoglobin dan indeks eritrosit 1132 Kali diabetes 1961 Ka ku kuduk 49 ser\ ikal 27 15 Kalazion 39 Kalba~nin 495 Kalikrein-Kinin 1087 kalium 1909 Kalsifediol 2696 Kalsitonin 543, 2074, 2395, 2683, 2690 Kalsitriol 1040, 2075, 2045, 2696 Kalsium 2392, 2677. 2685 asetat 2696 glukonat, 2692 hidroksiapatit 2562 karbonat 2696 sitrat, 2692 Kambuh 2246 Kanamisin 2244 Kandidosis kriptokokosis. 2267 Kandung kemih, 581 Kanker 916, 1413, 1446 esofagus, 498 gin,jal 2260 kolon, 567 lambung 2260 nasofaring 2260 paru 2324, 2254 paru sekunder 2260 pa) udara 2260 prostat 2260 tiroid 2260 Kanul naso-gastrik, 594 Kapasitas fungsional, 779. 1855
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
vital, 904, 2301 Kapsula 893 Karakter dominan 141 kodominan 14 1 resesif 141 semi-dominan 141 Karakteristik cairan sendi 2372 Karang wredha, 785 Karbamasepin 2747 Karbamazepln 2052 Karbohidrat 541. 1892 Karbon monoksida 2285 Kardiogenik 906 Kardiomiopati 17 14, 1720, 1792, 1801 diabetik 1721, 1792 dilatasi 1714 familial 1721 hipertrofik 1723 restriktif 1724, 1792, 1937 Kardiorespirasi 895, 896 Kardiovaskular 905, 1865 Kardioversi 1634 Elektrik 16 14 Karditis 1665 Karinatum 2725 Kariotip 1375 Karnitin 2634 Karnitin palrnitiltranferase 2634 karsinogen 2255 tipe l 501 Karsinogenesis 1422 Karsinoid Ganas 1796 karsinoma anaplastik, 203 1 bronkoalveolar. 2255 bronkogenik 2325 bronkus 2335 esofagus, 500 insitu 1410 lnedulare 203 1 rnikosis paru bronkus 2235 prostat, 581 sel skualnosa 493 serviks, 581 tiroid rneduler 2687 Katabolisme 862 Katapleksi 806 Katarak 40 hipermatur 40 imatur 40 matur 40 Katastrofal vaskular, 905 Katekolamin 2053 urin 2253 Kateter intermiten. 872 Kateterisasi jantung 1783 kardiak 1689 Katup prostesis 1 162 pul~nonal 1693 Kavitas 2235, 2256 pada paru-paru 2230 Kecebolan Russel-Sil~er 2046 Kecepatan aliran darah 1060 aliran dialisat 1061
Kegemukan 2541 Keha~nilan 1100, 1822, 1893, 2580 Ke.iang 1913 Kelainan dinding 1162 ebstein 1541 gastr~jintestinal 2625 ginjal 2625 hepato bilier 905 jantung 2625 kulit 2624 monogen 150 muskuloskeletal 2625 paru 2624 poligen 15 1 pubertas 96 Kelas 1 2430 Kelebihan bikarbonat, 196 Cairan 1201 Kelenjar adrenal 2053 hipofise 1802 tiroid 1993 Kelling Madlener, 521 Keluarga Berencana, 122 Kematangan mental, 925 Kematian janin. 261 1 maternal, 1 16 Ke~nonukleolisis 272 1 Kemoprevensi kanker kolorektal 524 Kemoprofilaksis 2247 Ke~noradioterapiKonkomitan 2261 kelnoreseptor 2744 Kemoterapi 579, 1454, 2261 Ajuvan 2261 kombinasi 1 172 Kenaikan tekanan darah 894 Kenakalan Rema,ja 100 Keperluan yang meningkat 1 147 Keracunan bisa kala,jengking 278 Keratoatokunjungtivitis sicca 25 15 Kerley B lines 1541 Kern-Sayre Syndrome 155 Kerusakan fungsi sel darah merah 186 Paru Akut karena Transfusi 1200 Kesehatan maternal, 1 16 Keseirnbangan 8 12 Kesintasan 774 Ketagihan 2746 Ketamin. 2928 Ketergantungan 92 1, 928, 2746 Keteter menetap. 872 Ketoasidosis diabetikum, 906 Ketogenesis 1913 Ketokonazol 2067 Keton 936. 1903 Ketosis prone 1883 Khorea 50 KID 1329 Kifosis 49, 59 torakal 2725 Kifoskoliosis 2726 . Kilotoraks 2329 Kimia korosif 2299 Kina 2998
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1-21
INDEKS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kinidin 519 Kista 1184, 2323, 2346 mediastinum 225 1 kista popliteal (kista baker) 2702 Klaritromisin 2265 Klasifikasi 11 16, 1728, 2263, 2626, 2739, 2957 forrester 1754 killip 1754 Truelove, 593 Klaudikasio neurogenik 2720 tungkai 1787 Klebsiella pneumonia 2323 Klindamisin 2326 Klinis 2642 Klirens 1945 Kloasma gravidarum 34 Klodronat 2683 Klofibrat 2052 Klon 1375 Kloning gen (DNA) 159 Klonus 51 Klopidogrel 1731, 1738, 1760, 1768 Kloramfenikol 2859, 2968 klorokuin 2756 fosfat 2757 Klorosis 34 Klorpromasin 2998 Klorpropamid 1901, 2052 Knee bracing 2702 chest position 72 KO-morbid 885 Koagulasi intravaskular diseminata 1162, 13 19 Koagulopati 893 Koarktasio aorta (KA) 1786 Kodein 91 1 Kognitif 837, 900, 2745 Koilonikia 52 Kokarsinogenik 2255 Koksidioi-domikosis blastomikosis dan parakoksidi 2267 Kolagen 2539, 2547 Kolagenosa 2539 Kolangitis 593, 721 akut, 724 Kolaps atrium kanan 1806 diastolik ventrikel kanan, 1806 Kolekalsiferol 2678 Kolera 563 kolesistektomi konvensional, 719 laparoskopik, 7 19, 723 Kolesistitis 1908 akalkulosa, 61 1 , akut, 718, 721, 722 kronik, 719 Kolesistografi 71 8 Kolestipol 2002 Kolestiramin 2002 Kolinesterase inhibitor, 842 Kolitis 454, 560 amebik, 560 infeksi, 560, 593 Iskemia, 454, 610, 604 mikroskopik, 584 non-infeksi, 560 radiasi, 581, 582 ulseratif, 591
ulserosa, 563 Kolkisin 978, 2559 Koloid bismuth, 519 Kolon sigmoid, 602 Kolonoskopi 544, 572, 573, 582, 588 Kolostomi 582 Koma 205, 884, 905 dan kematian. 2925 diabetikum, 906 epileptik, 206 farmakologis, 206 hepatikum, 905 Kombinasi AHA hangat dan dingin 1179 antimikroba 2898 Komisurotomi 1677, 1701 Komorbiditas 907 Kompartemen besi dalam tubuh 1127 lingkungan mikro hemopoetik 1106 Kompeten 773 Kompetensi 77 1 Kompleks Histokompatibilitas Mayor 1070 imun 2289 primer (Ranke) 2232 Komplemen pada kerusakan glomerulus 970 Komplikasi 456, 459, 914, 945, 2927, 2946 aferesis 1207 akut 1906, 1912 imunologi 1198 infeksi 1201 non imunologi 1198 transfusi 1198 Komponen 1107 darah 1190 hemopoesis 1105 Komprehensif 771 Kompresi kiasma 2041 medul spinalis 905 Komunikasi 909 Kondrodisplasia Puntata 2731 Metafiseal 273 1 risomelik 2731 terkait kromosom X 2731 Kondroitin sulfat 2547 Kondrokalsinosis 2563 Kondrosit 2538 Konduksi saraf, 904 Konfusio 884 Konjugasi 776 Konsensus Nasional PGI-PEGI-PPHI 447 Konsentrasi Besi Serum 1132 Konsentrat Faktor IX 1195 VIII 1195 Konstipasi 444, 862, 876 fungsional, 877 idiopatik, 465 Konstruktif 928 Kontaminasi 1186 bakteri 1204 Kontraksi 2376 Kontraktur 861 miostatik 2716 Kontrasepsi 107
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Kontrol postural, 812 sukarela, 460 Konveksi 1060 Konvensional 773 konversi fibrilasi 1607 Konvulsi 2745 Kor Pulmonal 1816, 2235, 2290 Kornea 2925 Korosif 2299 korosif karena air abu 494 korosiflkaustik 493, 494 Korpus alienum 2298 atretikum 95 esofagus, 488 rubrum 95 Korpusitis 503 Korset lumbal 2708 korteks 893, 2053 adrenal 2749 sereberal, 205 Kortikosteroid 225, 595, 1074, 2243, 2284, 2749 reseptor 2750 Kortikotrofin releasing hormone 2749 Kortisol 862, 1902, 1907, 1908, 2053 bebas terikat protein, 2056 Kostokondritis 2703 Kranial neuropati 25 16 Kraniosinostosis 36 Kraniotabes 2693 Kreatin fosfokinase 2630 Kreatinin 887, 909, 1056, 1945 serum, 776 Krepitus 2448, 2449 Kretin Endemik 2013 Kriopresipitat 1194 kriptokokosis 2267 Kriptorkismus 97 Krisis adrenal 2072 Krisis tiroid 1800, 2006 krista 2633 Kristal 937 kalsium oksalat 1026 kalsium pirofosfat dihidrai 2699 monosodium urat 2354, 2557 Kriteria 1668, 1866, 2519, 2896 anemia 1109 Derajat Dehidrasi 2846 diagnosis 2609 Duke 1702 Framingham 1584 Jones 1668 Major 1584 Manning, 584 Minor 1584 Roma 11 441 Kromatid 148 Kromofilik 2039 Kromofobik 2039 Kromosom 147, 1120, 1883 Philadelphia 153, 157, 1413 Kronik juvenil 2519 Krusta 35 Kualitas hidup, 773 Kuinolon 2902 Kuku pso~iasis 52 Kultur 502, 2810
mikrobiologi, 504 Kumbah lambung, 449 Kuratif 773, 781, 782 Kuru 2993 Kussmaul 33, 1908, 2845 Kussmaul) 1908 KVP 2291 kwashiorkor 1794
L-high-density lipoprotein (HDL) 1984 La rabbia 2924 La rage hydrophobia, 2924 LAA (Left Atrial Appendage) 1563 Labirintitis 828 Laboratorium 442, 2644, 2927 mikrobiologi. 2639 Lactic Acidosis 155 Lagoftalmus 39 Laju Endap Darah 1120 Laju filtrasi glomerulus 904, 943,1052 Laktat. 1903 Lakuna Howship 2385, 2387, 2390 Laminektomi 2721 Langkah pelaksanaan EBM. 2361 Lansoprazol 520 Lapang pandang 40 Lapis kedua 2242 Large beefy hands and feet 2040 Large vessel vasculitis 1004 Laringitis 2238 Laringospasme 2691 Laryngeal mask airway 23 1 Laseque 2722 Laserasi 922 pleura 2330 Late onset adrenal hyperplasia 97 Latihan Inti 1895 jasmani 1894 Lavase bronkus 2290 Layar Byerrum 40 LCAT 1001 LDL 1984 LED 593 Leflunomid 2759 Left anterior hemiblock 1610 atrial appendage 1539 bundle branch block 1610 posterior hemiblock 1610 ventricle, 906 Legg-Calve-Perthes bilateral 2730 disease 2697 Leiomioma 577 Lekosit 593 Lekosituria 937 Lemak 541, 1892 tubuh 1880 Lengan Pendek Kromosom 1374 Leptin 1976 Leptospira interogans 2807 Leptospirosis 2807 LES 2355, 2580, 2709 Lesi 893 hemoragik, 895 Janeway 1704
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI striktur, 594 Letargi 1913 Leukemia 1245 granulositik kronik 1209, 1374 limfoblastik akut 1266 Limfositik Granular Besar 1121 limfositik kronik 1276 mieloblastik akut 157, 1234 Leukopenia 44, 1 180 Leukosit Esterase 936 Leukotrien 2737 Levodopa 854, 911 Levofloksasin 2973 Levotiroksin 2028 Lewy Body, 838, 909 LFG 1035 LHON 155 Libman-Sacks 1804 Lidah skrotum 44 Ligamentous snaps 2449 Ligamentum Cooper 46 treitz, 594 Ligasi varises endoskopi 301 Limadenopati. 2290 Limb-girdle dystrophy 2636 Limfadenitis 2232 Limfadenopati 499, 2232, 225 1 servikal dan supraklavikula 2256 Limfangioleiomio-matosis 23 15 Limfangitis 2232 lokal 2232 Limfatik 1772 Limfodenopati 499 Limfogen 2232 Limfoma 887, 2252 Maligna 2335 MALT., 510 non-hodgkin 1251 pankreas, 743 sel B 1245 Sel T 1245 B, 885 Limfosituria 937 Limit 167 Linea dentate, 587 Lingkungan asam 2241 Lingua bifida 44 Linkage disquilibrium 243 1 Linkosamide 2902 Lipase 524 Lipid adrenal hyperplasia. 2069 Associated Sialic Acid in Plasma 1428 Lipoarabinomannan 2236 Lipogenesis 1974 Lipolisis 1907, 1908 di jaringan lemak 1901 Lipoma 577, 2251 Lipooksogenase 2739 Lipoprotein lipase (LPL) 1975 Litium 2018 LMA 1376 Lobektomi 2327 Loeffler, 2956 Lone COP 2316 FA 1612
Long QT syndrome 212 Longevity 758 Loop diuretics 2686 Looser's zones, 2693 lordosis servikal 2719 Low Bone-turnover 2695 molecular Weight Heparin 1356, 1361, 1731, 1762, 1768 out put HF 1583 Platelet (HELLP syndrome) 705 power laser energy 2029 voltage 1713 density lipoprotein (LDL), 1984 Lowenstein Jensen, Kudoh atau Ogawa. 2236 Lower esophageal sphincter 497 motor neuron 2629, 2717 Lubricant 589 Luka bakar, 922 Luminal agents, 561 Lupus eritematosus sistemik 1180, 1804, 2315, 2354, 2565, 2764 like syndrome 984, 2757 nefritis 2581 Luteinizing Hormone (LH) 95, 118 LUTS 2080 LV compliance 1790 Lymphocyte function-associated antigen-1 970 Lymphoproliferative diseases 2254 Lymphotoxin-a 2761 Lyssa-virus 2924
M-adhesions 1010 M-mode 1551 M.kansasi 2232 M.tuberculosae 2232 M.fortuitum, M.chelonei dan M.abscessus. 2263 M.kansasii 2264 M.szulgai, M.xenopi, M.simiae dan M.melmoense 2264 MACIS 2036 Macrophage Inflammatory Protein-1 a 2689 MACTAR 2367, 2368 Macula densa 2056 Mad cow disease 2993 Magnetic Resonance Cholangio Pancreatography 545, 722 Imaging (MRI) 830, 895, 2235, 2927 Major histocompatibility complex (MHC) 156, 2430 Makroadenoma 2038 Makrofag 885 Makroglosus 44 Makrolide 888, 2902 azithromisin 2860 Makrovaskular 1937 Malabsorbsi 477, 584, 622, 1147 asam empedu 534, 549 lemak, 478, 549 Maladie de Roger 1784 Malaise 905, 2234, 2289, 2292 Malaria 887, 1163 Maldigesti 477, 584 Male escutcheon 2071 hirsutism 2070 Malformasi vaskular, 457 Maligna 493
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Malignant circinoid tumor endocarditis 1693 Malnutrisi 499, 1794, 2324 Malonyl CoA 1907 Maltase Croses Lipid 937 Mamma aberans 46 Manifestasi pencernaan. 2792 atipik 2793 hati 2793 hematologis. 2792 kardiovaskular. 2793 klinis 2562, 2558, 2611, 2645, 2791, 2845, 2957 kulit 2516 neurologis 2793 pernapasan 2792 Manometri esofagus, 483 Manuver Epley, 827 hiperabduksi 2700 Valsalva 225 1 Marasmus 1794 Marker 1375 molekuler 2544 Maroon stools, 443 Masa hidup trombosit 1 168 inkubasi 2925 persiapan pensiun (MPP) 929 Masih operabel, 579 Masokisme 121 Mass screening 1881 Massa tulang pada menopause 2396 Massage sinus karotikus 1606 Mastoiditis 41 sistemik, 525 Mata emetropia 40 hipermetropia 40 miopia 40 presbiopia 40 Mati batang otak 31, 1068 Matrix metalloproteinase-1 (MMP- 1) 1939 Maturity onset 1883 Mc Lyn McCarty 141 MDR 2203 Meals on wheels 782, 785 Mean arterial blood pressure 1683 Means-Lerman scratch 1795, 1799 Media transport carry-blair 2846 Mediastinoskopi 499, 2252, 2258 Mediastinum 2252 lipomatosis 2249 Mediator sel mast 2404 MEDICAID 932 Medical Outcome Study 36-Item Short-Form General 773 Medikamentosa 456, 518, 526 Medium Fletcher's 2807 Medium-sized vessel vasculitis 1004 Medroxyprogesterone acetate, 105 Medulla 2053 spinalis, 894 Mekanisme abortus 261 1 kerja 2737, 2739 kontraksi 2375 kontraksi otot 2375 reentry 1619 regulasi absorbsi besi 1129
takiaritmia 161 8 Melanoma 2260 M e l a ~syndrome 155 Melasma 34 Melatonin 803 Melena 443, 526, 453 Memar 922 Mernbran/Membrane Bruch's, 2727 attack complex 1010 Memori 838, 909 MEN (multiple endocrine neoplasia) 2A 2032 tipe IIA (Sindrom Sipple) 2687 2B 2032 Menarche 95 prematur 97 Mengi 2256, 2280 Meningitis 887 Meningoceles 2250 Menopause 95, 124 andropause 2078 Menstruasi 104 Mental age 2044 Menua 924 MEOS: microsomal etanol oxidizing sistem 84 Meperidin 2745 Merokok 2292 MERRF syndrome 155 Mesalazin 582 Mesin Aferesis 1207 Mesomorfik 92 Mesotelioma 2255, 2334 maligna. 2282 Messenger RNA (mRNA) 144 Metabolic age remodeling 1969 Metabolisme 212, 776, 897, 914 besi 1127 lintas pertama 134 pintas awal. 776 Metabolit kortisol. 2056 Metafase 1375 Metallic's sound, 476 Metaloproteinase 604 Metaplasia Barret 2625 intestinal, 516 Metasentris 148 Metastasis kanker luar esofagu 493 kanker 1506 tulang osteoblastik 2689 Metformin 1920 Methicillin-resistance Staphylococcus aureus (MRSA) 2901 Metildopa 91 1 Metilprednisolon 1172 Metionin 1143, 2726 Metiraponi 2067 Metoda Fick 1569 Metotreksat 2631, 2648, 2756, 2758 MHC kelas I 2430 kelas I1 2430 kelas I11 2430 MHR 1895 Miastenia gravis 2636 Mickulicz's disease 25 14 Micturating cystogram 1013
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Mid systolic click 1682 Midbrain 2925 Mielofibrosis 1225 Mielografi 1022, 1283, 2689, 2717, 2722. Migrating motor complex 460, 461, , Migration-inhibitory factor 2058, 2750 Migren 2709, 271 1 Mikobakterium atipik 2263 Mikosis paru 2267 Mikro-organisme 885, 887 Mikroadenoma 2038 mikroaerofilik 504 Mikroagregat 1201 Mikroalbuminuria 958, 1943 Mikroangiopati 1160 trombotik 1181 Mikrobiologi 562 Mikrofibril 2725 Mikroglosus 44 Mikrognathia 2348 Mikrografia 853 Mikroinfark 901 Mikroorganisme saluran kemih 1009 Mikroperforasi 603 Mikrosefalus 36 Mikroskop fluoresens 2236 Mikroskopik Urin 936 Miksedema 2335 Miksoma 1693, 1818 Miliaria 36 Milwaukee shoulder syndrome 2564 Mineral, 2285 Mineralisasi tulang 2391 Mini Mental State Evaluation 908, 921 Minimal inhibitory concentration (MIC) 2901 Miofilamen 2629 Miogelosis 2709 Mioglobulinuria 2633, 2635 Miokard. 1798 Miokarditis 171 1, 1812 Reumatoid 18 10 Miopati 2647 inflamasi 2622 metabolik 2712 mitokondria 2633 steroid 2634 Miosin 2374, 2375 aktin, 2629 Miositis badan inklusi 2632 infektif 2638 Mismatch repair 569 Misoprostol 512 Mitis 2956 Mitochondria1 Encephalomyopathy 155 Mitogen 885 activated protein kinase 1414 activated kinase 275 1 activated kinase phosphatase 2750 Mitokondria 1907 Mitotan 2067 Mitral valve valve area 1675 valve prolapse (MVP) 68, 1563, 1680 valve replacement 1684 Mitramisin 2683, 2686 Mixed connective tissue disease 18 16
ly'mphocyte culture 1071 sleep apnea/MSA 2347 MMAS 2080 MMC 155 MMSE 910 Mobilitas fungsional, 812, 814 Mobitz tipe 1 1609 tipe I1 1609 I 1632 I1 1632 Modification of Diet in Renal Disease 939 Modifikasi asia pasifik 1865 gaya hidup 483 Modulasi Respons lmun 2439 Mofetil mikofenolat 1074, 2585 Monitor holter 2348 Monitoring Markers 1424 Monokromat 40 Monosomi 152 Moon face 2063, 2753 Morbiditas 900 Morbiliformis 2757 Morfea 2626 Morfin 2745 Morning stiffness 1808, 27 10 Mortalitas 768, 774, 910 Motilitas kolon, 462 MPO 1005 MRI 890, 1098 Mual dan muntah 443 Mucin 514 mucoraceae 2324 Mucosal Associated Lymphoid Tissue (MALT) 502, 5 16 Mucus promotor 523 MUFA 1892 Mukormikosis 2271 Mukormikosis aspergillosis, 2267 Mukosa esofagus, 497 Mukus-bikarbonat 5 14 Multi organ failure 240 Multidimensi 769, 770, Multidisiplin 781, 897 Multidrugs resistant tuberculosis (MDR-TB 2243 Multifokal 1624 Multinucleated giant cells, 2028 Multiorgan 779 Multipatologi 768, 777, 846 Multipatologis 779 Multipel /Multiple mieloma, 887 endocrine neoplasia 744, 2026 sleep latency test 806 readmission, 774 Multislice CT scan 1567 Murmur Austin-Flint 1674 Muscle wasting 2040 Muscular rheumatism 2709 Musculoskeletal disorders 2705 Muskular, 1784 Mutagen 2255 MVP 1681 Myalgic encephalomyelitis 2709 Mycetoma 2233 Mycobacteria other than TB (MOTT) 2232 leprae 2263
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
tuberculosae complex 2232 tuberculosis 727, 2232 Mycophenolate mofetil 988 Myelodisplasia hiposelular 1120 Myelomeningoceles 2250 Myocardial depressant substance 253 viability 1566 Myosin 1798, 2375 Myxedema 1800
N-acetyl-cystein 2262 N-methyl-D-aspartate (NMDA) 1950 N.phrenicus 2249 N.vagus esofagus, 2249 Nailfold capilaroscopy 2620 Nalokson 2745 Napas berbunyi (Wheezing) 56 Narcolepsy 806 NARP 155 Nasal Type NK-cell Neoplasma 1246 National Cholesterol Education Program Adult Treat 1865, 1866 National Institute of Health Obesity Clinical Guid 1866 Natrium 1056 darah 2236 dioctyl sulfosuccinat 589 hidroksida, 493 hipoklorit, 493 karbonat, 493 Nausea 609, 904 NCEP-ATP 111 1990 Nearsinkop 828, 1653 Necator americanus, 625 Neck braces 2708 spraidstain 27 19 Necrotic Foot 1962 Necrotizing glomerulonephritis 1006 pneumonia 2323 vasculitis 2647 Nefrektomi 1090 Nefripati asam urat 1022 Nefritis herediter 997 interstital kronik 1021 interstitial akut 1018 radiasi. 1022 Nefropati abstruktif 1023 analgesik (NA) 1022 asimptomatik 986 cadmium 1023 diabetik 1942 gout 2354 hipokalemik 1023 Iga idiopatik 992 iskemik 1090 lead 1023 overt 981 urat 2550 nefrosis akut, 887 neglected 769 Nekrofilia 12 1 nekrosis 895 esofagus, 493 tubular yang akut 2846
tumor, 886 Neonatal Lupus Eritematosus 2583 Neoplasma 768, 1 184 endokrin 2686, 2687 kolon, 454 Nephrogenic diabetes insipidus 964 Nerve conduction velocity 27 17 growth factor 1947 growth factor-Brain-derived neurotrophic f 1950 tissue vaksin 2929 Nervus vagus, 5 15 Nesiritid 1600 NeuJerbB2 2256 Neuralgia 51 Neuritis jari-jari 2707 Neuroasthenia 2709 Neurocysticercosis 2949 Neuroendokrin 2709 Neurofibrillary tangles, 838 Neurofibroma neurilemmoma, Schwannoma dan ganglion 2250 Neurohypophyseal-renal reflex 2048 Neurologi Akut 2926 Neurologis 212, 905 fokal, 897 Neuromuscular junction 2925 Neuron motor 2629 Spesific Enolase 1428 Neuropati 2516 diabetik 1947 difus 1949 fokal 1949 optik 25 16 optik leber 141 perifer. 25 16 sensorik 25 16 trigeminal 25 16 Neuroprotektif 896 Neuroprotektor 892 Neurosecretoy granules 2049 Neurosis 27 12 Neurotoksik 28 1 Neurotransmiter asetilkolin, 907 Neutralizing antibody 2927 Neutropeni febril 1498 Neutropenia 520 Neutrophil-activating chemokine, 503 Nevus pigmentossu 36 NHNES 1079 Niclosamide 2953 NikotinlNicotine 481, 2294 replacement therapy 2295 NIDDM 1883 Nistagmus 38 Nitrat 491, 1600, 1730 Nitric Oxide 592, 1089 nitric oxide synthase 1080, 2540, 1948 Nitrit 936 Nitrogen 862 dioksida 2285 negatif 1057 Nitrogliserin 1746, 2746 Nitrous Oxide 1147 NMP22 1428 No ulcer, 523 Nocciception 2709 Nocturnal
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1-27
INDEKS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI oxygen therapy trial 161 pain 2701 Nodul reumatoid 2354 subkutanius 1665 tiroid 2022 tiroid soliter 2022 Nodus 35 AV 1609, 1630 SA 1602, 1630 Nokardia 2209 Nokardiosis 2271 NOMENKLATUR 243 1 Non functioning 2038 nerve tissue vaccine 2929 random eye movement sleep atau restorative sle 2710 REM, 802 selular 1190 ST elevation myocardial Infarction 1757 cardiac chest pain1NCCP 482 erosive reflux disease (NERD) 482 farmakologik 772 infektif 535 insulin dependent 1883 opioid 917 polyposis, Hereditary Colorectal Cancer 568 sustained 1624 weight bearing 1963 bacterial thrombotic endocardia1 (NBTE) 1703 disjunciion 143 farmakologis 588 fotokromogen 2263 Norepinefrin 2746 Normogram 9 14 Normokrom 2236 Normositer; 2236 Nortriptilin 2746 Nosisepsi 2744 NSAID 777 NSCLC (non small cell lung cancerlkarsinoma skuamo 2254 NSE 2259 Nuclear factor 503, 2750 Nuclear Magnetic Resonance Imaging 1120 Nukleonik 226 Nukleosida 144 Nukleosom 147 Nukleotida 144, 1417 Nursing homes, 782 Nyeri 917 abdomen, 585, 609, 621 abdomen akut, 474 alih 2715 dada 2234 diskogenik 271 6 fantom 51 gluteus, 2707 pinggang 2707 mediastinum 56 mielogenik 27 16 neurogenik 2716, 271 7 neuropati 2748, 2747 neuropati perifer pada diabetes 2748 pada kanker 1512 pasca herpes 2748 peritoneum parietal 445 perut, 445 phantom 2748
pinggang bawah 2715, 2720 pleura 56 pindah 51 punggung 2707 retrostemal 2252 sentral 51 servikal 27 15 servikal Non-spesifik 271 6 servikal Spesifik 2716 spinal 2715 tabetik 51 viseral, 445
OA 2354 OAT 2001 OAT cell carcinoma 2255 Obat 2240 anti inflamasi non steroid (OAINS) 51 1, 523, 574, 2356, 2559, 2563, 2737 digitalis, 519 intravena 2345 penghambat P 1904 penyekat kalsium 1600 pimtomatik, 589 lapis pertama 2242 obatan 1147 antikoagulan 1361 antitrombosis 1359 Obes 900 Obesitas 1793, 1880, 2348 sentral 1979 viseral 1793 Oblik 2235 Obstipasi 475 Obstructive Sleep ApneaJOSA 2347 Obstruksi 579, 905 berat LVOT 1824 gastric outlet 517 jalan napas atas 906 kolon, 905 mekanik, 499 strangulasi, 61 8 usus halus 905 Ocalized irradiation, 581 Occult blood, 542, 579 Occupational disease 2705 Octacalcium phosphate 2561 Octreotide 302 Ocular motor palsy 2067 Odynophagia 2252 Ofloksasin 2973 Oftalmopati Graves 2006 Oklusi 892 Oksalosis 1023 Oksida nitrit pada penyakit reumatik 2426 Oksidasi 776 Oksigen 224 Okskarbasepin 2747 Okupasi 896 Olanzapin 909 Oligoartritislpausi-artrikular.2522 Oligonukleotida 1417 Olive eder puestow, 495 Olpadronat 2683 Oomega-3 1987 Omeprazol 520 Onikauksis 52
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Overriding aorta 1787
Onikoatrofi 52 Onikogrifosis 52 Onikolisis 52 Onikomikosis 52 Onkogen 157, 1413 ABL (c-abl) 157 MOS (c-mos) 157 Onkogenesis 1413, 2256 Onkologi 1440 Opening snap 67, 1672, 1701 Operasi non jantung 1853 Opioid 777, 2744 kuat, 917 ringan, 917 Opistotonus 49 Oposthorchis 2943 Organic anion transporting polypeptide (OATP) 134 brain syndrome 907 Organisme Intestinal 1146 Orientasi 909 Orofarings 772 Oropharyngeal Anthrax 2967 Orthopedi 772 Orthopnea 1584 Ortopneu 33 Ortostatik 794 Osifikasi subkutan, 2692 Osler's node, 1704 Osmolaritas intraluminal, 549 plasma, 888 serum, 800 osteitis fibrosa 2695 cystica 2686 Osteo sarcoma 2260 Osteoartritis 2353, 2354, 2355, 2356, 2358, , 2538, 2719, 2730 osteoartrosis 2369 Osteoblas 2385, 2386, 2387, 2388, 2389, 2390, 2690, 2695 Osteodistrofi 2695 imperfects 2725 renal 1039, 2695 renal tipe campuran 2696 Osteogenesis imperfekta 2727 Osteoitis 2642 Osteoklas 2385, 2387, 2388, 2389, 2690, 2695 Osteokondritis disekan 2732 Osteokondrosis juvenil 2732 Osteomalasia 2677, 2693 Osteomielitis 2641, 2642, 2643 pelvik 2641 Osteonekrosis 2695 Osteoporosis 118, 824, 861, 2063, 2355, 2358, 2361, 2362, 2363, 2364, 2708, 2710, 2719 generalisata 2726 iuvenile idiopatik 2727 0st;osit 2385, 2390 Osteosklerosis 2695, 2697 Oswald avery 141 Otot skelet 2629 Outbreak SARS, 2792 Oval fat bodies 937 Overactive bladder, 865 Overdiagnosis 9 14 Overfilling 948 Overflow Proteinuria 958
Oversensing 1655 Ovum primordial 95 Oxygen Delivery., 223 Ozon 2285
P blood group 1010 P fimbriae 1010 P-450, sitokrom 708 P-glycoprotein (P-gp) 134 P. carinii 2209 P.aeruginosa resisten terhadap aztreonam. 2901 P.P.D. (Purified Protein Derivative) 2237 P2 2235 Pace maker 461, 1791 baik 1791 Packed red cell 302 Pacu Jantung 216, 1813, 1860 permanen 1652 Padam 2081 Paget 2680 Painful articular syndrome. 2647 Painless thyroiditis 2018 Pakionikia 52 Palmar erythem 34 Pamidronat 2682 Pan gastritis kronik 516 Panamin G, 495 Pancoast tumor 56 Pandisiplin 770 Pangastritis 503 Panhipopituitarisme) 1902 Pankarditis 1804 Pankreatitis 721, 731, 905, 1906, 2677 akut, 731 bilier, 724 iskemia 606 Pankreatitis kronik, 73 1 pansitopenia 520 Pantang berkala (ogino-knaus) 123 Panti werda, 784, 786, 885, 913, 914, 931 Pantoprazol 520 Paparan asap rokok. 2294 Papsmears 2079 Papul Gottron 2630 Papula 35 Paradisiplin 770 Paralisis periodik 2634 Parameter fisik urin 935 Kimia 935 Paraneoplastik. 2648 Paraparetik flaksid 2447 spastik 2447 Parasentesis 747 Parasomnias 802 Parathiroid hormon-related protein 316, 2075, 2395, 2688 Parestesi 51 paripurna 771, 773 Pariteal/oxyntic, Sel 515 Parkinson 85 1, 904, 905, 2447, 2712 ' Paroksetin 2747 Paromomisin 2953 Paronikia 52 Paroxysmal cold hemoglobinuri 1155
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
1-29
INDEKS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI nocturnal dyspneu 33 nocturnal haemoglobinuria 1163, 1174 orthopnea nocturnal dispnea 1682 Pam obstmksi kronik 885 Parvovirus B 19 1203 Pasca gastrektomi 1146 skleroterapi endoskopi 493 strok, 916 terapi radiasi 493 bedah transeksi esofag 493 Pasien AR 2755 kanker terminal 1519 Patofisiologi 11 10, 2514, 2988 patofisiologi dan patogenesis 1117 patofisiologi edema 946 patofisiologi proteinuria 956 Patogen 555 Patogenesis 1160, 2538, 2520, 2557, 2562, 2610, 2622, 2646, 2648, 2925 dan imunitas 2844 dan patologi 2791 Patognomosis 281 0 Patologi 2556, 2643, 2925 Patrick 2722 Pauci - immune necrotizing glomerulonephritis 984 PC 594 PCR 728, 2246 PE 1372 PEA 229 Peak height velocity 93 Pearson Syndrome 155 Pectus carinatum 59 excavatum 59, 61, 2725 Pedofilia 121 Pedunculated polyp 557 PEEP 2205 Pelepasan gastrin, 5 15 Pelvis 905 Pemanasan 1895 Pemantauan pemantauan pH 24 jam 483 pemantauan progresivitas 2544 Pembedahan 451, 579 Pembelahan sel 143 Pemberian preparat besi 1134 Pembesaran kelenjar prostat. 905 limp 1183 Pemeriksaan darah rutin 214 darah seri anemia 1 11 1 defisiensi besi 458 endokopi, 467 fisik, 442 fisis jantung 65 hngsi ginjal 938 hemoglobin, 478 histopatologi 2258 invasif 505 laboratorium 11 19, 2522, 2544, 2563 penunjang 2554, 2793 penyaring 1111 radiologi 2523, 2235, 2563, 2640 radiologis dada 2235 sitologi 2258
sumsum tulang 1111 antimikroba 2896 Penanda tumor 1409, 1422 Penanganan 2681 Penanganan rabies 2928 relaps pertama 1170 Penapisan 569 Penatalaksanaan 2559, 2617, 2640, 2641, 2642, 2645, 2647, 2648, 2846 Pencampuran vena, 221 Pencegahan 1135, 2678, 2811, 2848, 2928 Pendekatan diagnosis 441, 1112 klinis 1112 paripurna pasien geriatri (P3G) 769 probablistik 1112 terapi 1113, 1171 tradisional 1112 Pendinginan 1895 Penebalan pleura (pleuritis) 2235 Pengaruh pengenceran 1201 Pengawasan perempuan hamil 117 Pengelolaan 2518, 2523, 2546, 2712 Pengendalian Infeksi 2795 Penghambat ACE 1950 beta, 902 GPIIIIIIa 1578 kalsineurin 1074 pompa proton (PPI) 506, 523 protein kinase C 1950 reseptor alfa 902 Pengobatan 1608, 2260, 2563 pembedahan 2247 suportif 1482 tuberkulosis 2240 Pengukuran beda potensial nasal 2277 Peningkatan otomatisitas 1618 Penisilin/Penicillin 2968 prokain 2959 binding protein (pbP) 2902 Pentamidine 2345 Pentasomi 152 penukaranlketergantungan, Teori 920 Penularan 2232, 2790 Penyakit 1186 Penurunan enzim glucosa 6-phosphatase 2552 Penyakit batu empedu 721 Addison 2053 Alzheimer, 101 Behcet 2648 Caisson 2708 Crohn 525, 591, 2046 Cushing. 1914 degeneratif 271 0 donor cangkok 1200 esofagus refluks (endogan) 493 fabry 998 freiberg 2732 gamopati 1283 gaucher 2696 ginjal kronik 1035, 1066 grave 1799 graves pada wanita hamil 2007 hodgkin 887, 1262 jantung hipertensi 1777
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
jantung koroner 768, 904, 1767, 1792, 181 1, 1937 jantung koroner reumatoid 18 10 jantung reumatik 1689 jantung sianotik 1824 jantung skleroderma sekunder 1813 kolagen-aortitis sifilitika - diseksi 1689 kolagen vaskular 2290 legg-calve-perthes 2732 lyme 2645 mediastinum 2249 meniere, 828 osgood-schlater 98, 2732 osteoporosis parkinson, 2710 paget 2680, 2721 pankreato bilier 51 7 parkinson 2710 paru eosinofilik 2210 paru interstisial (PPI) 23 15 paru kerja 2285 paru lingkungan 2285 paru lingkungan kerja 2279 paru obstruksi kronik 161 paru obstruktif kronik (PPOK) 2293 perianal, 454 periodontal 2323 radang panggul pelvic 604 refluks gastroesofageal 480 reumatik lainnya 2764 menular seksual 118 scheuermann 2732 tiroid 1795 tubulointerstisial 1016 usus inflamatorik 535 vascular, 5 17 von Willebrand 1313 Wilson 39 Penyalahguna NARKOBA intravena (PNIV) 1702 Penyaring 1880 Penyebab 451, 2550 Penyekat Beta 1730, 1738, 1750 Penyesuaian 2402 Penyuntikan steroid intralesi: 495 submukosa, 45 1 Pepsinogen 5 15 Peptida-C 1896 Peran NO (nitric Oxide) pada Kerusakan Kartilago 2540 Peranan fisiologik 2392 Perawat gerontik, 769 Percutaneous coronary intervention (PCI) 1572, 1748 Ethanol Injection 2028 mitral ballon valvotomy 1676 transluminal coronary angioplasty 102,1572 Endoscopic Gastronomy 495 Perdarahan berat, 453 intraserebral, 893 masif, 499 saluran cerna 443, 621 saluran cerna bagian atas 447 samar, 456 varises gastro-esofagus 297 Peregangan (stretching). 1895 Perforasi 905 esofagus 2252 usus 1908 Performance status 14 1 1
Perhimpunan Gerontologi Indonesia (PERGEMI ) 924, 925 Peri-operatif 897 Periartritis kalsifik 2699 Pericardial friction rub 68, 1805 Perikardiosentesis 1806 Perikarditis 1808, 1813 akut 1725 konstriktif 1804, 2621 konstriktif kronik 1726 Perikolik 603 Perimembranous, 1783 Perimetri 40 Goldman 2041 periode refrakter efektif 1645 perioperatif 1853 Periprosthetic leaks 1704 Peristaltik 2745 Peristaltik usus, 885 Peritoneum viseral, 475 Peritonitis 517, 603, 905 feculen generalisata 604 Perjalanan Udara 2346 Perkarditis akut 1725 PERKENI 1880 Perkijuan 2233 Perkusi 2235 Perlambatan interval QTc 17 13 Perlemakan hati akut pada kehamilan 1366 Permanent pace maker 1636 Permissive hipercapnia, 237 Pernapasan Biot (Ataxic breathing) 60 Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB 2236 peroksinitrit 2540 peroxisome proliferator activated receptor-g. 1974 persisten 952 Personal strength limit 2708 pertumbuhan 1907 Perubahan fungsional non-anemia 1131 pada tulang rawan sendi OA 2382 tulang selama kehamilan 2397 tulang selama laktasi 2397 Perumahan khusus usia lanjut 786 usia lanjut yang terlindungi 786 Perusak eksogen, 514 endogen 514 Pes planum. 2725 PETICT 2026 Petanda tumor, 546 Peutz-Jeghers, Sindrom 557 pH-gated urea channel 502 phalen test 2701 Phallen's wrist flexion sign 2451 Phasing out, 930 Pphoribosylpyrophosphatase 2550 Phosphodiesterase inhibitor 949 Phthisis 2230 PHV 93 Piece meal, 558 Pielografi antegrad 941 intravena 941 retrograde 941 Pielonefritis akut 1008, 101 1 emfisematosa 1012
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
kronis 1008 Pigeon-breeder's lung 2288 Piknodisostosis 2727 Piles 587 Pinggang jantung 67 Pinguekula 39 Pink tetralogy 1788 Piotoraks 2325, 2329 Pipa nasogastrik, 897 Pirai 2550 Pirau kanan ke kiri 222 Pirazinamid 223 1 Pirofosfat inorganik 2562 Pirogen endogen, 886 Piruvat 1917 Pituitary-dependent adrenal hyperplasia 2062 Plagiosefali 36 Planted-antigen 969 Plasma exchange 1006 expanders. 1914 segar beku 1 194 vena 1880 Plasmaferesis 1367, 2637 Plasmid 2903 Platelet-endothelial cell adhesion molecule-1, 970 Plegmon 603 Pleiotrofi 1107 Pleksus auerbac, 461 meissner, 461 Pleomorphic sarcomatoid 2254 Pletorik 2063 Pleura 2329 parietalis 2282, 2329 shock 2330 viseralis 2329 Pleural friction rub 64 plaques 2282 Pleuritis 1804, 2308, 2330 eksudativa 2329 fungi 2333 parasit 2333 sicca 2302 tuberkulosa 2332 Pleurodesis 2346 talk 2345 Plikamisin 2683, 2686 Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP) 2209, 2345 Pneumokoniosis 2280, 2281 Pneumolisis 2344 Pneumomediastinum 2252 Pneumonia 499, 769, 862, 887, 894, 905, 906, 907, 911, 2324 aspirasi, 906, 2207 eosinofilik 2210 komunitas 2205 kronik 2209 nosokomial 2201, 2203 pada gangguan imun 2208 pneumokokus 2208 rekurens 2210 resolusi lambat 2210 Pneumonitis bakteril 2207 hipersensitif 2289 kimia 2207
Pneumoperikardium 499 Pneumotoraks 64, 906, 2235, 2249, 2329, 2339, 2345 artificial 2344 spontan primer (PSP) 2339 spontan sekunder 2339 PNH 1174 Podagra 2559 Point mutations, 569 Pola Pemberian Antimikroba 2899 Poliarthritis nodosa-like syndrome 2648 Poliartritis 2522 Polidipsi 1908 polifarmasi 777, 779, 846, 907, 914 Poliklinik geriatri 783 Polimialgia reumatika 2710 Polimiositis 1816, 2630, 2712 idiopatik 263 1 /dermatomiositis 1815, 2712 Polimorfisme 243 1 HLA 2431 Polimorfonuklear 594 Polip 594 epitelial., 557 Hiperplastik, 558 kolon, 557 non-epitelial, 557 Polipektomi 558 Polisitemia 2554 Vera 1214 Polisomnografi 2348 polisomnogram 806 Poliuria 1908 fisiologis 962 non fisiologis 962 Poloy pathway 979 Polusi udara 2255, 2284 Polymerase Chain Reaction (PCR) 159, 504, 506, 1418, 2236 Polysomnographic 803 Pomona L. 2808 Pompa balon intra-aortik 1752 Na-K-ATPase 1087 Poncet's arthropathy 2238 Porin 2633 Post epitellsub epitel 5 14 drips 44 operative cognitive dysfunction 909 mortem 609 Posterior 2252 Postulat Koch 2231 Postural dizzy 1778 Potassium-losing effect 2059 Potensial membran 1523 Pott's disease 2230 PPOK 906, 2256 Praksis 838 Pramuwerdha 837 Prazikuantel 2953, 2986 Pre epitel, 514 Pre menopause, 893 Pre-renal 1045 Predictive Markers 1424 Pprediktor 1855 Predisposisi 907 Predivertikular 602 Prednisolon 777, 2753 Preeklampsia 1 100, 1365, 2581
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
INDEKS
HANYA DI SCAN UNTUKnonhiston dr. PRIYO PANJI 148
Premature atrial beats 1606 atrial complex 1549 beat 1618 ventricular contraction (PVC) 1549 Preparat besi 1140 Preproinsulin 1896 Ppreretirement course, 930 Pressure gradient 1569 half time 1675 support ventilation 168 Prevalensi 907, 1130, 1177 anemia 1110 prevalensi gout 2550 hiperurisemia 2550 nasional terakhir TB 2231 obesitas 1865 sindrom metabolik 1865 primer, 569 Preventif 772, 781, 782 terhadap tuberkulosis 2247 Pria 1865 Primary PCI, 245 polydipsia 964 Primer 488, 1417 Prion 2993 Probe atau Pelacak DNA 1418 Procainamid 91 1 Produksi 2409 darah 1190 asam., 515 urease, 502 Profil lipid 1891, 1892 Progestogen 2586 Prognathism 2040 Prognosis 897, 9102523, 2627, 2713, 2929 dan perjalanan penyakit 1125 Prognostic Markers 1424 Programmed cell death 2256 Progresive systemic sclerosis 2620 Prokinetik 484 Proktitis radiasi, 581 Prolactin-inhibiting hormone, 1 18 Prolaktin 2709, 2710, 2750 Prolaktinoma 2039 Prolaps katup mitral 1779 Proliferasi sel, 5 14 Promotif 772, 782 Prompt endoskopi, 5 18 Prompted voiding, 871 Propositus (proband) 142 Propriosepsi 904, 8 13 Proses degenerasi., 904 keganasan, 184 Prostaglandin 519, 2737, 2740, 2741 Prostasiklin 2338 Prostate Specific Antigen 1427 Prostigmin 540 protease 5 1 1, 524, 2422 Protein 541, 1028, 1892 Bcl-2 1415 C d a n S 1371 C Teraktivasi 1337 Kinase C 979 markers 1425 membran luar 502
Proteinaceous hair-like projection from the bacter 1010 Proteinuria 1000, 1086 benigna 936 fisiologis 957 fungsional 959 glomerulus 935, 957 intermiten 959 ortostatik (postural) 959 overload 936 terisolasi 958 tubular 935 Proteksi emboli 1576 Proteoglikan 2383, 2384, 2539, 2547 Protese 886, 1826 Proto-onkogen 1413, 2256 Protokol CAP (siklofosfamid, doksorubisin, dan cis 2261 Proton pump inhibitor (PPI) 483, 485, 527 Protoporfirin 1 133 Protruded type, 577 Protrusio asetabulum 2725 PRPP synthetase 2552 Pseudo Cushing 2064 vitamin D deficiency 2693 akondroplasia. 2730 divertikular 602 fraktur 2693, 2708 gout 2561, 2562 hermafroditisme 150 hidrofobia 2928 hipertensi 899 hipoparatirodisme 184, 2045, 2692 ikterus 34 manas aeruginosa 290 1 membran 565 monas 2323 monas aeruginosa 2275 pterigium 39 ptosis 39 reumatoid 2563 santoma elastikum 2727, 2725 trombositopenia 1368 Psikiater geriatri, 771 Psikiatri 769 Psikiatris 826 Psikoanalitik/psikopatologi,Hipotesis 920 Psikologis 769, 779, 894, 896 Psikomotor 91 1 Psikoneuroendokrinologi 80 Psikoneuroimunologi 81 psikososial 2706 Psikoterapi 585 psikotropik 905, 907, 914, 2745 Psoriasis 2554, 2647 Psoriasis polisitemia, 2554 Psuedo-resistance 2901 PTCA 1572 Pterigium 39 PTI akut 1168 Kronik 1169 Ptosis 39, 2040 Pubertas Prekoks 97 Terlambat 96 Puddle sign 72 PUFA 1892
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pulau patogenesitas, 502 Pulmonary alveolar proteinosis 2283 capillary wedge 1541, 1752 hemorrhage 1006 outflow tract 1539 Pulse generator 1641 oxymeter 1635 steroid therapy 2752 Pulsed wave dopler' 1558 Pulseless 229 electrical activity 229, 232 Pulsus alternans 32 bigeminus 32 celer 32 defisit 32 magnus 32 paradoksus 32 parvus 32 tardus 32 Punctum maximum 1682 Pungsi perikard 1726 supra pubis 905 Pupil agyl Robeertson 40 . marcus-Gunn 40 Pure water diuresis 2050 Purified Vero Cell Rabies Vaccine 2929 Purin 1142, 2354 Purpura 35 pasca transfusi 1200 trombo-sitopenik trombotik 552 trombositopenik imun 1179 trombositopenik trombotik 1180, 1367 Pursed lips breathing 60 Pusat gravitasi, 8 13 Pusing 1904 Putrid abscesses 2324 PVC 1623 bigemini 1624
Q fever 1704 Q-banding 158 QpIQs 1783 Quadranopsia superior bitemporal 2041 Quartz 2283 R o n T 1624 RA 2368 Rabdomiolisis 293, 2633 Rabdomioma. 1818 Rabeprazol 520 Rabies 2924 Rachitic rosary 2677, 2693, 2045 Radiasi 579 intrakoroner. 1573 Radical neck dissection 2034 Radikal bebas, 5 11, 1948 Radikulopati 2719 Radiofrequency ablation 1644 Radiografis Sendi 2543 Radioiodine uptake 2023 Radiolabelled albumin, 545 Radiologi 442, 2644, 2681
Radionuclide Bone Marrow Imaging 1120 Radionuklida Scintigraphy 2252 Radiosensitif 500 Radioterapi 2260 Radon. 2287 Rakhitis 2045 Rangkai-X dominan 151 resesif, 151 Ranitidin 907, 91 1 Ranula 44 Rapid eye movement (REM) 802 fluorencent focus inhibition test 2928 Growers 2263 Rapidly progressive glomerulonephritis 986 Rasa diskriminasi, 52 Rash ikhtyosiformis 273 1 Rawat rumah 2260 Raynaud's phenomenon 2515, 2516, 2700 RBBB inkomplit 1629 Re-infeksi 1012 Reactive oxygen species (ROS) 503, 1948 Reaksi alergi 1185 anafilaktik, 257 hemolitik 1186 takahashi 2236 transfusi alergi 1200 transfusi hemolitik 1199 transfusi hemolitik segera 1199 Rebound 603 Receptor antagonists 972 Reciprocating tachycardia 1634 Recombinant human desoxyribonuclease I (rhDNase I) 2278 Rectal swab 2846 Recyncronizing cardiac teraphy 1583 Red clover 2080 Red-rimmed vacuoles 2632 Redundansi 1107 Reentry 1603, 1646 tachycardia 1638 Referred pain, 445, 474, 2720 Refleks achiles 50 babinsky 50 brakioradialis 50 chaddock 50 fisiologis 50 gordon 50 hoffmann-tromner 5 1 kornea 31 kremaster 50 leri 51 lutut 50 mayer 51 mendel-bechterew 5 1 okulosefalik 38 oppenheim 50 pupil 31 rossolimo 50 schaeffe 50 triseps 50 vagal 1564 Refleksi akustik, 807 Refluks 494 Regenerasi epitelial, 5 12 Regimen Essenl rekomendasi WHO 2929
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
I34
INDEKS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Regurgitasi 1825 regurgitasi aorta 1689, 1814 regurgitasi mitral 1679 regurgitasi trikuspid 1698, 1796 Rehabilitasi 896 geriatri, 784 medik, 769, 771, 772 Rehabilitatif 772, 782 Rehidrasi 202, 197, 554, 1909 Oral, 799 parenteral, 799 Rehospitalisasi 773, 774 Rejeksi Ginjal Transplan 1073 Rektosigmoid 572 Rektosigmoidoskopi 572, 582 Rektum iritable, 584 Rekurensi strok, 894 Relaps 990, 1123 Relapsing infection 1012 Relatif 1906, 1907 Rematoid artritis 527, 2283 Remifentamil alfentamil, 2745 Remodeling tulang 2387, 2388, 2389 Renal. 1045 tubular acidosis 2046 tubular acidosis tipe distal 2516 Renin 1087, 2056 angiotensin 200 angiotensinogen-aldosteron 1086 Renogram 943 kaptopril 943 Renovaskular 1090 Repeated test of sustained wakefulnes 807 Reperfusi 1746 Repetitive stress injury 2706 Replikasi 885 DNA 145 Repolarisasi 1523 Reseksi 500 ileum, 477 kuratif, 579 usus halus 477 Reseptor 776, 2406 antagonis H2 523, 527 AT1 1089 AT2 1088 estrogen, 2690 kalsium 2687 N-metil-D-aspartat 2747 TNF 2761 TSH 2020 vitamin D 2688 Resesif autosomal 2693, 2727 Resin 2677 Resipien 1069 universal 157 Resistensi 2902 terhadap pengobatan 989 insulin 1865, 1899 Resorbsi tulang, 185 Respiratory bronchiolitis-associated interstitial 2316 distress syndrome 2794 Respite-care 786 Respons 2436 Bawaan (alami) dan penyesuaian 2402 imun alamitbawaan 2405
imun penyesuaian (adaptif) 2405, 2412 stres 2436 Restenosis 1574 Restless Legs Syndrome 807 Restriction fragment length polymorphism (RFLP) 159 Resusitasi 456 jantung paru 227 Retardasi mental 2726 Retensi urin, 905 Reteplase 1749 Retikulum endoplasma 1896 sarkoplasmik 2629 Retrieval forceps, 558 Return of investment 773 Reumatik ekstra artikular 2698 Reumatism psikogenik 27 12 Reumatoid artritis 1808 Revaskularisasi 1092, 1597 Reverse-transcriptase polymerase chain reaction 2928 Reversible dementia, 907 Rh immune globulin 1197 Rhabdoid phenotype. 2254 Rhabdoviridae 2924 Rhythmonom propafenon 1607 Rib notching 1787 Ribavirin 2928 Ribosomal RNA (rRNA) 144 Rice bodies 2643 Rifabutin 2265 Rifampin 2902, 2973 Rifampisin 2231, 2265, 2968 right bundle branch block 1610, 1801 right ventricular heaving 1682 Rigiditas 853, 2745 Rigidity 851 Riketsia 2677, 2678, 2693 nutrisional 2678 Risedronat 2682 Risiko 2642 Risperidon 909 Risus sardonikus 37 Rituksimab 2763 Rivello-Carvallo maneuver 1705 sign 1699 Robekan Rotator Cuff 2700 Robert Koch 2230 Rohaniwan 917 Ron ki basah 63, 2280 basah halus 2290 kering 2280 Rontgen dada 1539 Rose Bengal Staining 2517 Rotablasi 1576 Rotator cuff tendinitis (impingement syndrome) 2699 Roth spots 1704 Roux-en-Y 52 1 Ruam heliotrop 2630 malar 37 Ruang-bikarbonat 195 Rubenstein-Taybi Marfan, 44 Ruffled border 2076 Rumah hospis 1519 Rumus Brocca. 1892 Ruptur 905
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
limpa, 905 plak 1728
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
S-100 1428 S. dysentriae, S.flexneri, S.bondii dan S.sonnei 2857 S. hematobium 2986 S. japonicum 2986 S. mansoni 2986 S. mekongki 2986 Sabershin 2045 Sadisme 121 SAHAD 2927 Sakit perut, 441 sakus perikardial 2249 Salah perlakuan, 919 Salisilat 519 Salisin 2737 Salmonelosis 563, 621 Salt and pepper 2695 loosing 2069 Saluran cema bagian bawah 460 Sample volume 1560 Sanatorium 2230 Saraf otonom, 905 Sarang (fokus) Ghon 2232 Sarcoma kaposi, 2345 Sarkoidosis 185, 1021, 2252, 2336, 2648, 2696 Sarkolema 2629 Sarkoma 1693, 1820, 2250 Sarkomer 2374, 2376 Sarkopenia 8 16 Sarkoplasma 2629 Savary-Guillard, Dilator 495 Sawar otak, 901 plasenta 1826 Scanning isotop 2332 Schuffner 74 schwarte 2235 Scintigraphy dan angiografi 455 Scissor gait 2447 Screening Markers 1423 Second degree relatives 142 messenger system 907 Secretory canalicular structure 509 Sedatif 2928 hipnotik, 905 Sefalik 515 Sefalometri 807 Segitiga Garland 63 Grocco 63 Segmentasi kolon, 603 Sekresi insulin 1865 Seksualitas abnormal, 121 Seksualoralisme 121 Sekunder 488 Sel asal darah tepi 1205 bakal terkait tugas 1106 beta 1883 beta pankreas 1865 darah merah pekat 1191 epitel permukaan 5 14 induk pluripoten 1105
parietal, 514 peptik, 515 punca (stem cell) 1401 T, 885 T-helper immatur (Th 0) 503 darah dewasa '1 106 Selang nasogastrik, 9 19 Selective Serotonin receptor inhibitor 2747 reuptake inhibitors (SSRIs) 2079, Selenium betakarotene dan vitamin A 2256 Self limited disease 555 Selman Waksman 2231 Selular 1190 Selulosa 602 Senescence 758 Sengatan hymenoptera, 276 kalajengking, 276 listrik, 272 Seranggga, 275 Senile amyloidosis 1790 Sensing 1654 Sensitivitas reseptor insulin 1891 Sepertiga atas, 497 tengah, 497 Sepsis 252, 268, 1920 berat, 268 emboli 2323 Septikemi 2323 Serabut AV junction 1618 serabut Purkinje 1524, 1618, 1630 Sereberal ataksia 2997 Serebrovaskular 1 100 Serkaria 2988 Seroepidemilogi 502 Serologi 502, 561, 2810 Serositis 1804 Serotonin 2059, 2710, 2746, 2747 selective reuptake inhibitor 848 Sesak Napas 56, 2234, 2300 Sessile polyp, 557 Severe abdominal cramp 563 acute respiratory syndrome (SARS) 2790 Sex hormone binding globulin (SHBG) 95, 2080 Sferositosis Herediter 1 162 Sfingter esofagus bagian atas 488 esofagus bagian bawah 488 uretra, 866 SGOT 909 SGPT 909 Shawl-sign rash 2630 Sheep liver fluke 2946 Shick test 2959 Shifting dullness 72 Shigellosis 2857 Shooting star 2846 Short stature 2044 wave diatermi 2699 Shunt 1563, 1569 Sialografi 25 17 Sialometri 25 17 Sianosis 2337. 2292
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr.geriatri., PRIYO 780 PANJI
Sianotik 1824 Sicca syndrome 2514 Sick sinus syndrome 1640 Sickle cell, 622 Sidik Indium 111 leukosit: 544 perut, 545 tiroid 2022 tulang 499, 2722 Sighing respiration 60 Sigmoidoskopi 544 fleksibel, 573 Significant bacteriuria 1008 Sikatriks 35 Siklofosfamid 2585 Siklooksigenase 2738 Siklosporin A 2585, 2758 Siklus berjalan, 812, 814 besi 1129 hidup 2944 Krebs 1907 reaksi seksual 119 tidur, 802 Silent iskhemia 1736 Silikosis 2283 Silinder (Cast) 937 Silver impregnated dressing 1964 Simetidin 907 Simfalangisme 273 1 Simpatoadrenal 1904 Simpatomimetik 225 Simpleks ensefalitis 2928 simtom prodromal, 904 Simtomatologi Opiat, 284 Sindrom kompresi arteri seliaka 616 abstinence 2746 adrenogenital 2069 afferent loop 521 antibodi antifosfolipid katastrofa 1348 antifosfolipid 1180, 1339, 1349 antikolinergik, 293 arteri vertebral 2719 bahu milwaukee 2564 bartter 2072 beckwith-wiedermann 153 biedl-bardet 2046 boerhaave 2252 brugada 1629 budd-chiari, 705 carpal tunnel 2698, 2701 charcot-marie-tooth 153 churg-strauss 22 10 conn 2071 cushing 1778, 2040, 2634, 2687, 2753 cushing iatrogenik 2066 delirium, 907, 91 1 diare, 563 disfungsi organ multipel 262, 615 dismielopoetik 1241 dressler 2336 dumping, 521 dwarfisme 2727 ehler-danlos 34, 44, 2725, 2726 fanconi 2678 fatique kronis. 2712 fibromialgia 2709
glomerulus progresif dan kronis 986 guillian-barre 2748 hadju-cheney 2727 hamman-rich. 23 16 sindrom hellp 1364 sindrom hemolitik uremik 1367 hiperparatiroid familial 2687 hiperplasia adrenal kongenital. 2053 holmes-ardy 40 horner 38, 58, 499, 2250 iusus ritabel 540 jantung hiperkinetik 1816 kartagener 2297 kelelahan pasca penyakit virus. 2710 kelley-seegmiller 2552 klinefelter 97, 152 klippel-feil 36 kolon iritabel 460 koroner akut 1940 korsakoff 85 laron 2044 laurence-moon-biedl 97, 2046 lesh-nyhan 2552 lofgren 2648 marfan 1691, 1779, 1826, 2725 marfan-mukopolisakaridosis 1689 meig 2331 mendelson 2207 metabolik. 1865 miastenik lambert-eaton 2637 milk-alkali, 185 miofasial 271 1 miofasial lokal 2710 miofasial regional 2698 nail-patella 998 neck torsion 2707 nefritik akut 986 nefrotik 986, 999, 2677, 2694 nefrotik kongenital 998 noonan 2046 nyeri generalisata 2698 nyeri neuropati campuran 2748 otak organik 2710 pancoast 2256 paraneoplastik 15 16, 2256 peutz-jeghers 43 prader-wili 97, 2046 pseudo-turner 97 rahang-hiperparatiroidisme 2687 reiter 2647, 2722 resistensi insulin 1865, 1937 rotor, 716 schogren 39 sendi temporomandibular 2698 sickle cell 1380 sinus sakit 1631, 1652 sjogren 2514, 2709 skapulokostal 27 19 stevens johnson 2742 stickler 2730 sticler 2726 terowongan karpal 2624, 2707 terowongan siku 2707 thoracic outlet 2698 tumor lisis, 3 11 turner 97, 152, 1786, 2046 uretra akut 1012
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
usus iritabel 465, 540, 541 vena cava superior 313, 499, 2251 virilisasi 2071 von recklinghausen's 2250 wandenburg 37 waterhouse-frederickson 2072 wermer 2687 wolf-parkinson-white 1651 x 1865 zollinger ellison. 513, 516, 2687 antibodi antifosfolipid 1345, 2609 guillain barre 2926, 2928 lynch, 569 osteogenesis imperfekta 2729 wemike's 85 lesh-nyhan 2552 Sine skleroderma 2624 Single s t r a n d binding-protein (SSB) 145 RNA 2924 Sinkop 210, 818, 905, 914, 1605, 2337 aritmia akibat, 213 ortostatik, 21 3 situasional, 213 vasovagal, 2 13 vasovagal berat 217 Sinovitis 2354 Sintasan 773 Sintesis androgen 2055 kortisol 2055 neurofisin 2048 Sinus aritmia 1605 arrest 1630 bradikardia 1602,1605 duktus tiroglosus 46 karotis, 215 paranasal 42 takikardia 1602, 1605 Siprofloksasin 907, 91 1, 2860, 2968 Siproteron asetat 2071 Sirolimus 1075 Sirosis bilier primer 707 SIRS 264 Sisplatin 500 Sistatin C serum 939 Sistationin beta-sintase 2726 Sistem imun bawaan 2402, 2408 koagulasi .darah. 1891 renin angiotensin 900 saraf enterik 460 saraf otonom 460 saraf parasimpatis 460 saraf pusat 905 simpatis, 900 t-tubule. 2629 Sistemik 892 Sistografi 941 sistolik 893 Sistosoma 2986 Sistosomiasis intestinalis 2986 vesikalis 2986 Sistosomula 2989 Sistostomi 919 Sitogenetika 1374
Sitokin 885, 907,2405, 2406, 2408 lokal, 506 Sitokrom c 2633 Sitotoksin 502 Situasional/isolasi, Teori 920 Situs inversus 2297 Sjogren's like syndrome 2648 Skafosefali 36 Skala koma Glasgow 30 tidur 2348 Skibala 862, 881 Skin tags 2040 Skintigrafi 25 17 Skintigrafi saluran empedu 719 Sklero Terapi Endoskopi 301 Sklerodaktil 2626 Skleroderma 181 1, 2283 en coup de sabre 2626 Linier 2626 Lokal 2626 proksimal: 2626 Sklerosis sistemik (skleroderma) 2620 Skleroterapi endoskopik, 45 1 Skoliosis 59, 98, 2725,2731 Skoptofilia 121 Skor APACHE I1 91 1 Daldiyono 2847 Gajah Mada 895 Mallampati 2348 Siriraj, 895 Skrining Donor 1202 Skuama 35 SLE 2354, 2355, 2356, 2361 Sleep apnea 805,2040, 2347 Slow Acting Anti acting anti osteoarthritis drugs 2547 acting anti rheumatic drugs 2755 continous ultrafiltration 1062 twitch oxydative fibers 2629 ventricular tachycardia 1609 Small cell lung cancer (SCLC) 2254 dense LDL-cholesterol (oxidized LDL) 1938 nuclear ribonucleoprotein particles (snRNP). 146 nuklear RNA (smRNA) 145 Vessel Pauce-Immune Vasculitis 1004 vessel vasculitis 1004 Sodium channel blokers 949 chloride inhibitors 949 iodide symporter (NIS) 1994, 2020 salisilat 2737 potassium chloride inhibitors 949 Sodomi 121 Soft tissue rheumatism 2709 Soliter 2022 Soluble IL-I receptor 973 TNF receptors 2761 Solut 1059 Somatisasi 27 11 Somatomedin 271 0 Somatosensory evoked response 27 17 Somatostastin 118, 450, 5 15 Somatostatinoma 743, 745 Somatotrophs 2040
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK esofagus, dr. PRIYO PANJI 495
:
Somnofluoroskopi 807 Sonor 61 SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis) 2238 Sosial-ekonomi 779 Sosio-medik 771 Southern pole disease 587 Spasme 50 karpopedal spontan 2691 Spasmofilia 37 Species, nitrogen 503 SPECT myocardial perfusion 1566 SPECTICT 2026 Spectrometer, mass 504 Speed's test 2699 Spermatic cord 74 Spider naevi 36 Spina bifida 49 Spiral CT angiography 1356 Spirochaeta 2807 spironolakton 1096 Splenektomi 1 170, 1 179 Spondilitis 2641 ankilosa 1813, 2647, 2722, 2764 skleroderma ankilosa 23 15 spondiloartropati 2648 Spondilolisis/ Spondilolistesis 2723 spondilolistesis 2720 spondilosis 271 5, 2720 Squamous dysplasia/carcinoma in situ, atypical ade 2254 St Louis-ADAM 2081 Stable 1883 Stadium dekrementi 3 1 fastigium 31 inkrementi 3 1 koma 2926 lokal 1410 metastase jauh 1410 metastase regional 1410 prodromal 31 rekonvalesensi 3 1 Staging kanker paru 2259 Staining 2039 Stance phase, 814 Staphylococcus aureus 2323 Starling Force 1773 Statement, Genval 484 Status fungsional, 773, 910 mental, 921 Steatohepatitis 702 Steatorea 535, 545, 740 Steifung 2845 Stem cell 978 Steno Diabetes Centre 982 Stenosing tenosinovitisltrigger finger Cjari pelat) 2700 Stenosis 582 aorta 1569 aorta bikuspidalis 1779 arteri karotis 897 katup pulmonal 1693 mitral 1569, 1671 pulmonal 1694, 1796 spinal 2720 subinfundibular 1787 trikuspid 1700 Stenotik 1826 Stent 1572
Step down, 484 bridge 2755 Step up, 484 Stepwise 930 Stereognosia 52 Sterilisasi 2240 Steroid 1366, 1906, 2277 Dosis tinggi 1172 enema, 582 regulated genes, 2057 Steroidogenesis, hiperkortisolisme 2053 Steroidogenic acute regulatory protein (StAR) 2054 Still's disease 251 9 sTNFR (soluble TNF receptor) 973 Stokes-Adams 17 12 Stomatitis aftosa 43 Stool osmotic gap 542, 546 softener, 588 Strabismus 38 Straight leg raising 2722 Strain E. coli 1010 Strain ventrikel kanan 2309 Stratum basale 95 fungsionale 95 Strawberry tongue 44 Streptococcus pneumoniae 2901 Streptokinase 896, 1362, 1748, 1769 Streptokokus Grup-A (SGA) 1662 Streptomisin 223 1, 2859, 2973 Stres 895, 913 fracture, 2693 pain 2'448 ulcer, 267, 897 Striae 36 Striae 2753 Strictly distinct and isolated 771 Stridor 59 Striktur uretra, 905 Strikturlstenosis esophagus, 493 Strok 892, 905, 919 hemoragik, 892 like episodes 155 Stromelisin 2539 Struktur anatomi jantung 212 Struma nodosa 45 Studi ferokinetik 1133 Suara napas 63 serak (hoarseness) 59 subacute granulomatous thyroiditis 2016 lymphocytic painless thyroiditis 2016 painful thyroiditis 201 7 Subaortic bump 1815 Subaraknoid 893, 895 Subclavian steal syndrome 210 Subdural 893, 895 Subfebril 906 Subkortikal 901 Subluksasio lentis 2725 Submetasentris 148 Substansi algogenik 51 P 2710 Substernal 494 Successful aging, 932
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Succussion splash 72 Suckling Mouse Brain Vaccine 2929 Suckling mouse vaccine 2927 Suhu 31 Sukralfat 484, 519, 582 Sukrosa 1029, 1892 Sulfametoksazol. 2860 Sulfasalazin 582, 2756, 2757 Sulfinpirazon 1768 Sulfonamid 2859 Sulfonilurea 1904 Surnber vitamin D 2393 Sumbu panjang ('long axis') 1555 pendek ('short axis') 1555 Summation gallop 1778 Sumsum Tulang 1120, 1133 Super Oxide Dismutase (SOD) 1938 Superficial type, 577 Suplementasi enzim, 479 kalsium, 479 Supra ventricular extra systole (sves) 1618 tachycardy (svt) 1618 Supra-chiasmatic, nucleus (NSC) 803 Suprasternal notch 60, 1541 Surfaktan 239 Survival 773 Sustained 1624 sustained low efficient dialysis 1059, 1064 SVT reentrant 1622 Swan neck 2451 Swan-Ganz catheter 1683 Sweaty palms 2040 Swing phase, 814 Synchronized. 1634 Synchronous 1642 intermittent mandatory ventilation 169 Syncope 1653 syndrome of inappropriate andiuretic hormone (SIAD 2256 rapidly progressive glomerulonephritis 986 Synthetase 2550 Syok 242, 905, 1906, 1908 anafilaktik, 257 hipovolemik, 242 kardiogenik, 245 sepsis, 1906 Septik, 268 Systemic lupus erythematosus 1671 Systolic ejection click 1795 ejection period 1569 hypertension in europe 900 hypertension in the elderly program 900 T-Cytotoxi 885 T-helper 885 Tabel Jagge 40 Snellen 40 Tactile fremitus 61 Taenia saginata, 622, 2949 solium 2949 Taeniasis 2949
Tajam penglihatan 40 Takiaritrnia atrium 1780 Takikardia 2290, 2342 atrial 1648 atrial paroksisrnal 1606 idioventrikular 1609 nodal 1607 reentri atrioventrikuler 1648 reentri nodal atrioventrikuler 1648 supraventrikel 1647 ventrikel 1608 ventrikel idiopatik 1627 Takikinesia 853 Takipnea 2290, 2235 Takrolimus 1075 Talamus media, 205 Talasemia 1379 Tall stature 2044 Tamponade 1726 jantung, 315, 499 Tan Thiam Hok 2236 Tanda Bmdzinski I 33 Brudzinski I1 33 Chvostek, 37, 2691, 2692 Joffroy 38 kernig 33 lasegue 33 Moebius 38 Murphy, 476 Murphy, 718 Penberton 46 Rosenbach 38 Stellwag 38 tennis elbow 2448 tine1 2451 vital, 910 von Graefe 38 Gaga1 Sirkulasi 2845 VITAL 31 Tappering off. 2752 Tapping 772 Tar 2285 Tatalaksana 2794 TB 594 ekstra paru 2234 kronik. 2234 usia tua (elderly tuberculosis). 2233 TB usus 2233 TBG (thyroxin binding globulin) 1996 Tc-99m pertechnetate 2026 Tear film break up 25 17 Technetium pertechnetate 2033 Tekanan arteri pulmonal 2337 darah (TD) 31, 905, 1891 darah diastolik 899, 1090 darah sistolik 899, 1891 vena jugularis 46, 2235 vena sentral (CVP) 2847 Teknik gen 159 Teleangiektasis 36 Tellurite 2956 Telosentris 148 Telur 2989 Temporary pace maker 1636 Tender point 2709, 271 1 Tendinitis
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Bisipital 2699 patellar 2702 pes anserinus 2699 Tendomiopati 2709 Tendonitis 2698 Achilles 2702 Tenekteplase 1749 Tenis elbow 2698, 2699, 2700 Tenosinovitis 2699 De Quervain 2699, 2701, 2707 ekstensor 2707 Tension headache 27 11 myositis 2716 pneumotoraks. 2340 Teofilin 225 Teori pembelajarn sosial 920 Terapi 2678 Terapi ajuvan, 574 angiografi, 45 1 bedah, 456, 486 besi oral 1134 besi parenteral 1 135 biologi 1478, 2261 edema 949 endoskopi, 451, 456 eradikasi, 506, 507 gen 2042, 2261 gizi medis 1891 henti merokok 2295 hormonal 147 1 imunosupresif 1122 kausal 1134 konservatif 1122 kuadripel, 521 laser, 495 medikamentosa 1 179 nefropati iga idiopatik 995 oksigen jangka panjang 162 oksigen jangka pendek 162 pengganti 1066 pengganti ginjal 1059 penyelamatan 1124 pti kronik 1171 sistemik 1446 sulih hormon (tsh) 102 suportif 1125 supresi 2028 tripel, 521 trombolitik 1357 Teratodermoid 2250 Terminasi 146, 147 Termogenesis 789 Termoregulasi 789 Termoresepsi 789 TesITest adson 2454, 271 7, 2719 antikolinesterase 2637 benzidin, 579 berbisik 41 bernstein, 483 cadangan glukokortikoid 2060 crossmatch 107 1 darah samar 458 disfagia 27 17 distraksi kepala 2717 ely 2722
fabere 2722 finkeilstein 245 1, 2701 frei 2648 hngsi ileum 545 ham 1120 ishihara 40 jari hidung 50 kompresi kepala 271 7 konfrontasi, kampimetri 40 koordinasi gerak 50 malabsorbsi asam empedu 545 mantoux 2648 mc-murray, 2453 napas, 545 oftalmologik 271 7 penala 41 permeabilitas usus 546 rinne 41 romberg 49 schillin, 545 schimer's 2517 schober 48 schwabach 41 serologi, 504 small and large bowel transit time 545 speed 2450 supresi 2060 supresi deksametason 2060 supresibilitas mineralokortikoid 2061 thomas, 2452 torniket 2701 trendelenburg 2452 tuberkulin 2237 tumit-lutut 50 urease, 504 valsava 2454 weber 41 yergasson 2450 and treat 5 18 serologic amebiasis 552 Tethering and rolling 970 Tetralogi Fallot 1541, 1694, 1788 Tetrasiklin 888, 2332, 2859, 2902, 2968, 2973 Tetrasomi 152 TGF-P 1415 TGS 2017 TGT 1899 Thai Red Cross Intradermal 2929 Thalassemia 1379 Intermedia 1387 -U 1380 -up 1380 -p 1380 -p mayor 1382 -p trait 1381 -p intermedia 1382 -Sp 1380 -7Sp 1380 Thallium scanning 1790 The american college of rheumatology 2366 The heart and estrogenlprogestin replacement study 102 The mental mini status examination 841 The national health dan medical research council 887 The study of cognition and prognosis in the elderly 901 The three big, 780 The timed up and go 820 Thelarche prematur 97 Theofilin 540
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Thermophilic actinomycetes sacchari 2291 vulgaris 2291 Thoracic outlet syndrome 2700, 2719 THR 1895 Thrill 1682, 1785 Thrombolysis in myocardial 1758 infarction 1748 Thrombotic trombocytopenia purpura 1160 Thumbprinting pattern, 564 Thyroglobulin 1428 Thyroid-binding protein 1002 Thyrotrophin-releasing hormone,(TRH) 118 Thyroxine-stimulating hormone 1002 Tiasetazon 2240 Tiazid, 1914 Tietze's Syndrome 2703 Tifoid 887 Tiklopidin 1339, 1362, 1731, 1768 Tilt-Table Testing 215 Tiludronat 2682 Timbal asap, 2285 Timektomi 2637 TIM1 risk score 1754 Timoma 2251 Tindakan minimal invasive 588 valsava 2717 Tindale agar 2956 Tingkat keganasan rendah 2032 Tinnel's sign 2701 Tionamid 2001 Tioridazin 91 1 Tipe campuran, 870 fairbank 2730 fungsional, 869 furious 2925 jansen 2731 mckusick 2731 osteomalasia. 2695 overflow, 869 paralitik. 2925 ribbing 2730 schmid 2731 stres, 869 urgensi, 869 Tipus inversus 31 Tirofiban 1731, 1768 Tiroglobulin (Tg) 1994 Tiroid 914, 2251 dan Kehamilan 1999 peroksidase (TPO) 201 7 substernal 2252 Tiroidektomi. 2005 unilateral (lobektomi) 2034 Tiroiditis 20 16 akut 2016 de quewain 2016 fibrosa (riedels thyroiditis). 2016 granulomatosa 2016 hashimoto 1800, 201 6 kronis 2016 limfositik subakut 2018 pascapartum 2001 sel raksasa 201 7 subakut 2001, 2016 supurativa, 20 16
TBC 2021 traumatika 201 6 Tiroksin (T4 1994 Tiroperoksidase (TPO) 1994 Tirostatika 2004 Tirotoksikosis akromegali, 1914 Tirotropin. 1802 Tissue dopler 1551, 1558 plasminogen activator 1362, 1749 Titik Mc Burney 70 TNF-u converting enzyme 2761 Tofi 2558 Toksemia gravidarum, 704 Toksik epidermal nekrolisis 2742 Toksin bakteri, 608 Toksoplasmosis 2345 Tolbutamide 715 Toleransi 777, 2746 Toll-like receptors 2404 Tomografi emisi positron 1566 Toni-Debre-Fanconi, De Syndrome 2694 Top lordotik 2235 Topognosia 52 Torakosentesis 2330 Torakoskopi 2258, 2344 Torakotomi 2345 Torsade de pointes 212, 909, 1623, 1629 Tortikolis 49 Toxic 907 Trakeal 63 tug, 46 Trakeoesofageal, fistula 499 Trans bronchial lung biopsy (TBLB) 2258 trans membran pressure 1059 Trans Torakal Biopsi (TTB). 2258 Trans bronchial Needle-Aspiration (TBNA) 2258 Transduction 2902 Transeksualisme 121 Transfer 814 RNA (tRNA) 144 Transferin 1133 Transformasi sel, 568 Transformation 2902 Transforming growth factor-p 1080 Transfusi 1140, 1179 darah 448, 1185 masif 1201 Transienltransient Idiopatik 959 ischemic attack 1824 Transit time, 540 Transkripsi 145 activator protein 1 503 Translasi 145, 146 Translokasi Robertson 153 Transmisi 2844, 2925 Transmissible spongioform encephalopathies 2993 Transmodulasi Reseptor 1107 Transplantasi 887, 2925 ginjal 1066 paru 2338 sumsum tulang 1124 Transposisi arteri besar 1694 pembuluh darah besar (TPB) 1788 Transudat 2330 Transverse myelitis 2928
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
Transvestisme 12 1 Trapping ion hydrogen 5 11 Trauma uretra 905 Traveler's diarrhea 539, 555, 621, 622 Treadmill 1790 Trecher-Collins. 44 Tremor 50, 851 Trendelenburg 2447, 2452 TRH (thyrotrophin releasing hormone) 1999 Triad fibro-mialgia 27 11 Virchow 1354, 1370 Whipple 1901 Trial of nonpharmacologicic interventions in the 901 Charcot. 724 Trias Virchow 1767 Tricalcium phosphate (whitlockite) 2561 Tricuspid valve endocarditis 2323 Triggerltriggered 167 finger 2707 point 2710 thumb 2701 activity 1618 Triiodotironin (T3) 1994 Trikuriasis 625 Trimetoprim-sulfametoksazol 2860, 2972 Triofusin 495 Tripomastigotes 1717 Triptopan 2710 Trisiklik 848 Trisomi 152 Troilisme 121 Trombektomi 1356 Tromboemboli 1615 vena 1369 paru 2305 Trombolbdn 2737 Trombolisis 895, 1434, 1767 Trombosis 587, 892,, 1180, 1301, 1354, 1369 Vena Mesenterika (TVM) 614 akut 1757 Arteri Mesenterika Akut 614 arterial tungkai akut 309 vena dalam 860, 895, 1354 vena mesenterika 475 Trombosit 593 dengan sedikit leukosit 1193 Pekat 1193 Trombositopenia 520, 1179, 1330, 1364 Trombositosis esensial 1220 Trombus 1355 arteri 2306 vena 2306 Tropical sprue, 622 Tropoelastin 2725 Tropomiosin 2629 Troponin 2629 I 1758 T 1758 T atau 1 1730 Trousseau 2691, 2692 True leg-length discrepancy 2452 True precocious puberty 2070 Truncal obesity 2062 Tryptophan pyrrolase 2058 TSH 1994 like substances (TSI, TSAb) 2003
Tuberkuloma 2233, 2235 Tuberkulosis 1693, 2230, 2340 miliaris 2235, 2290 paru 2230, 2340 pasca primer (tuberkulosis sekunder) 2233 peritoneal, 727 primer 2232 usus, 593 vertebra (penyakit Pott) 2643 Tuberous sclerosus 23 15 Tubuler 1045 Tubulo-villosa., Adenoma 557 Tujuan Pengobatan Kanker 2260 Tukak duodenum, 523 gaster, 513 gaster akibat keganasan 5 17 lambung, 523 peptik, 523 refrakter, 521 stres, 522 Tulang 1506 adinamik 2695 pada usia lanjut 2398 Tumor endokrin pankreas 743 kistik pankreas 743 benigna 2257 dan neoplasma 457 endokrin pankreas non-fungsional 746 esofagus, 494 ganas, 184, 576 ganas gaster 577 gaster, 576 germ sel 2253 hipofisis 2038 tumor initiators 2285 jinak, 576 jinak epitel 576 jinak non epitel 576 karsinoid, 520 kolorektal, 567 marker 1409, 2259 mediastinum 2250 nekrosis factor 524 nekrosis faktor alfa 503 neurogenik, 577 padat 1407 padat ganas 1407 pankreas, 739 tumor paru 2254 primer 1818 promoter 2255 serotonin nekrosis faktor alfa 2737 suppressor genes 740 tiroid papiler 2023 Turbiditas 935 Turnover tulang 2680 Type I., 2693 Type 11, 2693
'
Ubikuinon 2633 UBTmpSA 507 UDP glucurony1 transferase 714 Uji faal paru 2276 fungsi kelenjar eksokrin 2277
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
keringat 2276 latih 1729 mycodot. 2236 nikotin 2050 phalen 2707 tinel 2707 treadmill 1739 vasopresin 205 1 UKPDS 1901 Ulcerated Foot 1962 Ulkus 582, 895 Curling, 608 Cushing, 608 , dekubitus 861, 921 duodeni, 441 Ultrafiltrasi 1060 Ultrasonografi 442, 718, 940, 1029, 2330 (USG) doppler 1355 abdomen, 476, 544 Ultrasound 2699 bronchoscopy 2258 Uncomplicated type 1008 Underdiagnosis 914 Underfilling 948 Undersensing 1655 Unfractionated heparin 1356, 1360, 1762 Unidisiplin 770 Unit motor 2629 Universal precaution 2928 Unsalvable Foot 1962 Update Sydney System. 509 Upstream Primer 1417 Ure-I 502 Urea 198 breath test (UBT) 504 reduction ratio 1052 Urease 524 Uremia 2335 Ureum 887, 909 Urgency hypertension 1103 Urikosurik 2559 Urin 910 lengka, 909 Urinalisis 887, 935 Urogram 1029 Urokinase 1362 Urtika 35 USG 1104 Ginjal 940 Usia 1880 kronologis 925 Usual interstitial pneumonia (UIP) 23 15, 23 16 Usus halus, 461 Uveitis 593
V-sign rash 2630 Vacuolating cytotoxin, 502, 503, 524 Vaksin 2969 antirabies 2928 vaksinasi 887 BCG 2247 Post-exposure 2928 pre- exposure. 2929 Vancomycin imipenem, 2968 resistant enterococcus faecium 2905 Varises lambung 304
VAS 2367 VaskularlVascular 1045, 2726 mesenterika 606 steal syndrome 2680 Vaskulitis 1809, 2307, 2516 renal 1004 Vasoactive intestinal polypeptide (VIP) 543, 745 Vasodilator 904, 914 Vasokonstriktor 589, 896 Vasopressin 302, 449, 962 tannate 2051 Vasovagal ringan 2 17 VCAM-I (vascular cell adhesion molecule-I) 970 Vegetative state 205 Vena kava superior dan inferior 2249 kava superior 1646 pulmonalis inferior 497 Venlafaksin 2747 Venous hum 72 venouspressure 260 Ventilation-Perfusion 1355 Ventricular extrasystole 1623 Ventriculo-arterial discordance 1788 VEPl 2289 Verner-Morrison syndrome, 745 Verney.~omoreceptor cells 2048 Vertebrobasiler, Insufisiensi 819 Vertigo 827 VES (Ventricular Extra Systole) 1618 Vesikel 35 Vestibular 8 13 Vestibulopati perifer, 826 sentral, 826 Vibrasi 772 Vibrio cholerae 551, 2843 Video assisted thoracoscopy surgery = VATS 2344 endoscope, 467 Vinil klorida 2708 Mandelic Acid (VMA). 2250 Violaceous striae 2040 VIPoma 743, 745 Virilisasi prekoks 2069 Virilising tumor ovarium 2070 Virilisme adrenal 2062 Virulensi 885 Virus 1120 hepatitis A 1202 hepatitis C 1202 hepatitis D 1202 hepatitis E 1202 hepatits B 1202 human immunodeficiency 1203 human t lymphotropic 1203 RNA 2924 sitomegalo 1203 Viscosupplement 2547 Viskositas 896 Visual Analogue Scale (VAS) 2367 Visuospasial 838 Vitamin A, D, E, dan K 1892 B12 1142 C 2262 D 816, 2677
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
INDEKS
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Whole body
D-Dependent Rickets 2693 K 449, 777, 1327 VLDL 1975 Vogt-Koyanagi-Harada 39 Voltage-sensitive sodium chanel 2747 Volume assisted ventilation 168 distribusi 136 overload 1681 plasma, 900 Vox cholerica 2845 Voyeurisme 121 VSD 1563 VT 1624 Idiopatik 1624 Idiopatik alur keluar ventrikel kanan 1627 Idiopatik dari ventrikel kiri 1627 Iskemia 1625
Waddle gait 2447 Wagener's granulomatosis 2325 Waktu iskemik ginjal 1071 paruh eliminasi 136 Wandering pace maker 1604 Wanita 1865 Warfarin 777, 1339, 1361, 1768, 1826, 2338 Warm nodule 2024 Washer women hand 2845 Wasir 587 Wasting 816 Water scaled drainase (WSD) 2208 Watery 535 Weakness 905 Weaver's bottom 2702 Webbed neck 2046 Weil's disease. 2807 Wenckebach block) 1609 Westernblot 504 Wheezing 59, 2290 White matter, 901 WHO 1883, 1866, 2231
irradiation 581 scanning 2036 Wide fixed splitting 1780 Wild-type bakteri, 503 Withdrawal bleeding, 105 phenomenone 2752 Wolf-Parkinson-White 216, 1533, 1549, 1612, 1634 Women's Health Initiative (WHI) 102
X, sinar 581 X-ray abdomen, 552 Xanthoma 36 palpebrarum 36 planum 36 tendinosum 36 tuberosum 36 Xerostomia 25 15, 2625 xeroftalmia, 2648 Xerotrakea 25 15 Xylocain 1608
Yergason's sign 2699 yodium 1802 berlebihan (Iodide Excess) 201 1 radioaktif 1800, 2005
Z-line 497 Zidovudin 2647 Zigzag-Iine 497 Zoledronat 2683 Zollinger Elison, 525 Zona fasikulata 2053 glomerulosa 2053 retikularis 2053 Zonula occludens toxin 2845 Zoonosis 2807
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI
HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI