352 MANIFESTASI KLINIK DAN PENDEKATAN PADA PASIEN DENGAN KELAINAN SISTEM PERNAPASAN ZulkifliAmin
Gangguan napas sering merupakan keluhan mengapa seseorang datang berobat ke dokter. Di sini akan bahas tentang diagnosis dan tatalaksana empat keluhan utama sistim pernapasan: dispnea/rasa sesak, batuk, nyeri dada dan batuk darah.
DISPNEA(RASASESAK)
Gejala yang menyertal a). Nyeri dadayang disertai dengan sesak kemungkinan disebabkan oleh emboli paru, infark miokmd atau penyakitplerna; b). Batukyang disertai dengm sesak, khususnya sputum purulen rmmgkin disebabkan oleh infeksi napas atau proses radang laonik (misalnya bronkitis atau radangmukosa saluran napas lainnya); c). Demam dan menggigil mendukung adanya suatu infeksi; d). Hernoptisis mengisyaratkan rupttrr kapiler/vaskular, misahya karena emboli paru, tumor atatradamg saluran napas.
Dispnea (breathlessness) adalah keluhan yang sering memerlukan penanganan darurat tetapi intensitas dan tingkatannya dapat berupa rasa tidak nyaman di dada yang bisa membaik sendiri: yang membutuhkan bantuan napas yang serius (severe air hunger) sampai yang fatal. Tabel di bawah mencantumkan sebagian besar penyebab sesak-
Hal ini dapat diketahui dengan anamnesis teliti, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang foto toraks dan spirometri.
Terpajan keadaan lingkungan atau obat tertentu' a). Alergen seperti settuk, jamur ata,u zatt'tmiamengakibatkan terjadinya bronkospasme dengan berhlk keluhan sesak. Anamnesis harus mencakup riwayat terpapar penyebab alergi; b). Debu, asap, dan bahan kimia yang menimbulkan iritasi jalan napas berakibat te{adinya bronkospasme pada pasien yang sensitif. Menghindari penyebab alergi tersebut mencegah terjadinya penyakit ini; c). Obat-obatan yang
dimakan atau injeksi dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang menyebabkan sesak'
DIAGNOSIS Penyakit Saluran Napas
Anamnesis Keluhan awal. Keluhan awal akut mungkin disebabkan adanya gangguan fisiologis akut, seperti serangan asma bronkial, emboli paru, pneumotoraks atau infark miokard. Serangan berkepanjangan selama berjam-jam hingga berhari-hari lebih sering akibat eksaserbasi penyakit paru yang kronik atau perkernbangan proses sedikit demi sedikit seperti pada efusi pleura atau gagal jantung
kongestif.
Asma Bronkitis kronis Emfisema Sumbatan laring Tertelan benda asing
Penyakit Parenkimal Fneurnonia Gagal jantung kongestif Ad u lt Re spi ratory d i stre ss syndrome (ARDS) P u I mona ry infiltrate s w ith eosinophilia (PIE)
Penyakit Vaskular Paru Emboti paru Kor pulrnonal Hipertensi paru Primer Penyakit veno-oklusi Paru
Penyakit Pleura Pneumotoraks Eftsi pleura, hemotoraks Fibrosis Penyakit Dlnding Paru Trauma Penyakit neurologik Kelainan tulang
2190
Riwayat gangguan yang sama dapat menyingkat daftar penyebab penyakit, khususnya bila pasien tahu nama penyakitnya dan dapat menceritakan bentuk pengobatan terdahulu. Riwayat penyakit pada tabel berikut sebaiknya otomatis ditanyakan karena mungkin pasien tidak khusus menceritakan kecuali bila dokter menanyakannya.
Pemeriksaan Fisik Tanda Vital. Tekanan darah, temperatur, frekuensi nadi dan frekuensi napas menenhrkan tingkat keparahan penyakit. Seorang pasien sesak dengan tanda-tanda vital normal
biasanya hanya menderita penyakit kronik ata.u ringan, sementara pasien yang memperlihatkan adanya perubahan vital b iasanya menderita gangguan
ny a|a p ada tanda-tanda
akut yang memerlukan evaluasi dan pengobatan segera. a Temperatur di bawah 35"C (95'F) atau di atas 4loC (105.8 'F) atau tekanan darah sistolik di bawah 90 mm Hg menandakan keadaan gawat darurat.
h
PtJLI'ONOIIIGI
Tekanan vena jugularis harus dicatat. Peninggiannya menandakan adanyapeningkatan tekanan atrium kanan. Palpasi. a). Tertinggalnya pengembangan suatu hemitoraks yang dirasakan dengan palpasi bagian lateral bawah rib cage p aru bers angkutan menunj ukkan adany a gang guan pengembangan pada hemitoraks tersebut. Hal ini bisa akibat obstnrksi salah satubronkus utama, pneumotoraks atau efusi pleura; b). Fremitus taktil. Menurunnya fremitus taktil yang diperoleh dengan memerintahkan pasien menyebutkan tujuh puluh tujuh (77) berulang-ulang terpalpasi pada areayatg mengalami atelektasis seperti yang terjadi pada bronkus yang tersumbat atao area yang ada efusi pleura. Meningkabrya fremitus disebabkan oleh konsolidasi parenkim pada suatu area yang mengalami inflamasi.
Perkusi. a). Hipersonor akan ditemukan pada hiperinflasi paru seperti teq'adi selama serangan asma akut, emfisema, juga pada pneumotoraks. b). Redup (dullness) padaperkusi
Pulsus paradoksus-pada fase inspirasi terjadi
menunjukkan konsolidasi paru atau efusi pleura.
peningkatan tekanan arterial lebih besar dari 10 mm Hg-
tanda ini bermanfaat dalam menentukan adanya kemungkinan udara terperangkap (air trapping) pada
Auskultasi. a). Berkurangnya intensitas suara napas pada kedua bidang paru menunjukkan adanya obstruksi saluran napas. Keadaan ini dapat terdengar pada konsolidasi, efusi
keadaan asma dan PPOK eksaserbasi akut. Ketika
pleura atau pneumotoraks. b).Ronki kasar dan nyaring
obstruksi saluran napas memburuk, variasi itu meningkat; dan ketika obstruksi membaik, pulsus
atau penyempitan saluran napas. c). Ronki basahhahs (fine,
paradoxus menurun.
c. Frekuensi napas kurang dari 5 kali/menit mengisyaratkan hipoventilasi dan kemungkinan besar
respiratory aruest. Bila lebih dari 35kali/menit menunjukkan gangguan yang parah, frekuensi yang lebih cepat dapat terlihat beberapa jam sebelum otototot napas menjadi lelah dan te{adi gagal napas.
Pemeriksaan Umum Tampilan umum. Pasien dapatmemberikan isyarat atas diagnosis tersebut. Seorang pasien yang mengantuk dengan
napas yang lambat dan pendek bisa disebabkan: obat tertentu, retensi CO, atao gangguan sistem saraf pusat (misalnya strok, edema serebral, pendarahan subaraknoid). Seorang pasien yang gelisah dengan napas yang cepat dan dalam bisa disebabkan hipoksemia berat karena primer
penyakit paru/saluran napas, jantung atau bisa juga serangan cemas (awiety attack), histerical attack. Kontraksi otot bantu napas. Dapat mengungkapkan adanya tanda obstruksi saluran napas. Otot bantu pernapasan (accessory muscles) di leher dan otot-otot interkostal akan berkontraksi/digunakan pada keadaan adany a obstruksi saluran napas moderat hingga parah. Asimetri gerakan dinding dada atau deviasi trakeal dapat pula dideteksi
selama pemeriksaan otot-otot napas. Pada tension pneumothorax- suatu keadaan gawat darurat-sisi yang terkena akan membesar pada setiap inspirasi dan trakea akan terdorong kesisi yang sebelahnya.
(coarse rales andwheezing) sesuai dengan obstuksi parsial moist rales) terdengar pada parenkim paru yang berisi cairan. Ronki bilateral (bilateral rales) disertai dengan irama gallop
sesuai dengan gagal jantung kongestif. Ronki setempat sesuai dengan adanya konsolidasi paru di tempat itu. d). Adanya egofoni (diucapkan huruf 'll' seperti "e" datar) menandakan konsolidasi. e). Pada pasien dengan sesak dan rasa sakit di dada harus dipikirkan kemungkinan adanya friction rub,bila 2 komponen merupakan ciri pleuritis dan suara 3 komponen seperti perikarditis.
Evaluasi Laboratorium Pemeriksaan dahak . pemeriksaan dahak harus mencakup pemeriksaan bilasan sputum gram (gram-stained smear) trnhrk membuktikan adanyarudang saluran napas bawah dan penentuanjenis gram patogen. 2. Analisis gas darah arterial. Pengukuran gas darah arterial dilakukan pada evaluasi awal seluruh pasien sesak yang memperlihatkan
tekanan darah sistolik kurang dari 90 mm Hg, suatu frekuensi napas lebih dari 35 kali/menit atau kurang dari
l0
kali/menit atau sianosis. Apabila gas darah arterial tidak diukw pada tahap awal dan kondisi pasien memburuk di bawah perawatan; analisis gas darah tersebut harus tetap
perlu diperiksa. Nilai ini berguna sebagai petunjuk penggunaao suplemen oksigen dan keputusan untuk penggunaan ventilasi mekanis. 3. Spirometri/Pe ak F low Meter (Peak Expiratory Flow Rate- PEFR). Pada pasien yang mengalami eksaserbasi asma atau PPOK, spirometri memberi kita informasi beratnya obstruksi dan dapat digunakan untuk menentukan seriusnya keadaan penyakit
2l9l
MANIFESTASIKLIMKDANPENDEKAf,ANPADAPASIENDENGANKELAINAT{SISTEMPERNAPASAN
tersebut. Pengukuran PEFR bisa menggantikan
telinga atau gangguan perut yang mengakibatkan iritasi
pengukuran spirometri unflrk menenhrkan berat ringannya obstruksi, hasilnya dinyatakan dalam liter per menit. Nilai
diafragma.
normal ditentukan untuk setiap individu menurut jenis kelamin, usia dan tinggibadan. Nilai kurangdan50% dan yang diperkirakan menunjukkan obstruksi yang parah.
Diagnosis Batuk Anamnesis. Di sini dijelaskan deskripsi mengenai
Pemeriksaan PEFR ini harus diulangi setiap 30 menit untuk menentukan perj alanan penyakit.
lingkungan, toksin atau alergen dan gejala terkait' Anamnesis penyakit sebelumnya dapat mengarahkan
Pencitraan (imaging). Pembuatan foto toraks posteroanterior dan lateral dilakukan apabila dicurigai adanya kelainan pada pleura, parenkim paru atau jantung. Adanya bula, kista, paru emf,rsematus atau diafragma yang mendatar (/lattened diagrapft) mendukung diagnosis PPOK. Adanya kardiomegali mendukung kemungkinan penyebab sesak
yang berkaitan dengan jantung.
permulaan, lamanya dan ada dahak atau tidak, paparan
diagnosis telinga, hidung te atau sakit perut
sePerti sakit
pada
, nYeri ulu hati
temPat iritasi
tersebut. Batuk yang terjadi kadang-kadang dan berhubungan dengan paparat sesuatu keadaan lingkungan (hawa dingin, debu, asap, angin dan lainnya) akan menggiring kita kepada penyebab batuk itu' Batuk berdahak (sputum mukopurulen) menunjukkan adanya kelainan saluran napas bawah.
TATALAKSANA SESAK NAPAS Penanganan sesak pada dasarnya mencakup tatalaksana yang tepat atas penyakit yang melatarbelakanginya. Akan tetapi, apabila kondisi pasien memburuk hingga mungkin
terjadi gagal napas akut, maka lebih baik perhatian ditujukan pada keadaan daruratnya dulu sebelum dicari penyebab yang melatar belakanginya. Diagnosis gagal napas akut dengan anal,isis gas darah ditentukan ketika PaO, kurang dari 50 mm Hg atau PaCO, lebih besar dari 50
mm Hg denganpH dibawahnormal.
Saluran Napas Periksalah orofaring untuk memastikan salurarl napas tidak tersumbat karena pembengkakan (edema) atau suatu benda asing. Intubasi endotrakeal dapat dilakukan apabila pasien mengalami henti napas atau mengarah kepada gagal
Penyakit Saluran NaPas Akut Faringitis Laringitis Bronkitis Bronkiolitis
Penyakit Saluran NaPas Kronis Bronkitis Bronkiektasis
Penyakit Parenkimal Pneumonia Abses Parasit Penyakit interstisial granulomas fibrosing alveolitis alveolar proteinosis
Penyakit Kardiovaskular Edema paru lnfark paru
lritan Lingkunga-n^ gas debu perubahan temPeratur
Benda Asing Saluran naPas Membran timPanik
Neoplasma Karsinoma Paru Metastasis tumor
Alergi
Demam karena alergi jerami Rinitis vasomotor Asma bronkial
napas progresif.
Oksigen Oksigen harus diberikan kecuali apabila ada bukti bahwa
0-70 mm Hg dengan kenaikan minimal pada PaCOr. Ventilasi mekanis. Pasien yang diintubasi untuk sementara
dapat diberi oksigen melalui Ambu bag sambil mempersiapkan suatu ventilator sebagai kelanjutannya '
Pemeriksaan Fisis. 1). Telinga. Periksalah adanya benda asing pada saluran telinga luar. Periksa jugaadanyatadang
membran timpani; 2). Nasofaring' Sinus harus dipalpasi untuk mencari nyeri dan ostia diperiksa untuk mencari adanya ingus yang menyumbat. Edema mukosa hidung dan rinorea dapat disebabkan infeksi, alergi atau rinitis vasomotor yang kemudian dapat menyebabkan batuk karena drainase posterior di hipofaring. Faring dan encariperadanganatau hipofaring gnya vena-vena leher masa; 3). terlihat pada pasien dengan (neckvein karena tekanan Pada saraf masa med
BATUK
Batuk adalah suatu refleks napas yang terjadi karena adanya rangsangan reseptor iritan yang terdapat di seluruh saluran napas. Batuk juga dapat merupakan akibat penyakit
hiperekspansi atau kontraksi otot-otot bantu napas'
2192
PI.JLI'OIU.OGI
Auskultasi pada keadaan ini akan terdengar suatu ekspirasi
napas yang memanjang; ronki kasar atau mengi (wheezing). b. Penyakit parenkim seperti pneumonia, fibrosis interstisial dan edema paru biasanya menimbulkan
suara ronki. Pneumonia jluga dapat menyebabkan melernahnya suara napas, pekak (dullness) pada perkusi dan fremitus yang mengeras. Edema paru dan fibrosis interstisial biasanya menyebar meluas di kedua parenkim paru dan menimbulkan bunyi ronki; 5). Abdomen. adanya masa atau peradangan subdiafragma dapat menyebabkan iritasi pada diafragma. Banrk pada keadaan ini biasanya subakut atau kronis. Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan teliti agar tak terlewatkan kelainan ini.
Pemeriksaan dahak. l).Pewamaan gram dan pemeriksaan basil tahan asam (BTA) adalah suatu tindakan rutin;2). Kultur mikobakteri dan jamur. Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang didapatkan adanya kelainan foto toraks berupa infilfrat di apeks atau kavitas atau pada pasien imunokompromis; 3). Pemeriksaan sitologi dilakukan pada pasien batuk yang dicurigai juga menderita kanker paru;
4). Pewarnaan silver pada dahak untuk mencari Pneumocystis carinii pada pasien imunokompromis.
Pencitraan. l.Foto toraks dilakukan pada setiap kasus dimana dicurigai adanya kelainan di pleura, parenkim atau mediastinum. 2. Foto sinus dianjurkan dibuat pada pasien yang merasa nyeri pada palpasi sinus atau adanya ingus purulen dari ostium. Hal ini juga harus dilakukan ketika mencari sinusitis kronik pada pasien dengan bronkospasme karena sinusitis kronik sering memicubronkospasme yang menetap karena mekanisme yang belum diketahui.
Tatalaksana Batuk Akut Bila bahrk diperkirakan bisa berkomplikasi (Tabet 2), maka pemberian obat penekan batuk dapat diberikan misalnya
kodein fosfat l5-30 mg dan dapat diulangi setiap
6
bermanfaat mencairkan sekret yang kental. Tiga hingga 5 mL larutan 20%o dapat diuapkan dengan nebulizer setiap 4-6 jam. Satu hingga 2 rnllarutan20% dapat diinfus secara
langsung ke dalam selang trakeostomi atau dengan bronkoskopi untuk membantu melarutkan plak mukus. Berhati-hati dengan pasien hiperreaktif bronkus karena asetilsistein bersifat mengiritasi dan dapat menyebabkan bronkospasme akut.
Hidrasi secara oral (minum air) atau melalui infus amat membantu mengencerkan dahak sehingga mudah dibatukkan.
Ekspektoran
secara luas tersedia sebagai obat yang dapat
dibeli tanpa resep.
Muskuloskeletal Patah iga Ruptur M. rektus abdominis Peninggian kreatin kinase serum Paru Pneumotoraks Pneumomediastinum
Kardiovaskular Bradiaritmia Sinkop Ruptur pembuluh darah supervisial
Lain-Lainnya lnkontinen urin dan feses Disrupsi luka bedah lritasi mukosa saluran nafas
HEMOPTISIS Batuk darah (hemoptisis) atau dahak bercampur darah harus dibedakan dari muntah darah (hematemesis), hematemesis disebabkan lesi pada saluran cerna (tukak peptik, gastritis, varises esofagus); sedangkan hemoptisis lesi di paru-paru atau bronkus/bronkioli.
jam.
Klasifikasi/Berat Ringan nya Tatalaksana Batuk Kronik Pengobatan terhadap penyebabnya adalah terapi terbaik,
Didasarkan dari perkiraan jumlah darah yang dibatukkan: B er cak (Str e a king). D ar ah bercampur dengan sputum hal
mengurangi pasienan pasien.
yang sering terjadi, paling umum pada bronkitis. Volume darah kurang dari 15-20 mll24 jam.
Antitusif.
Hemoptisis. Hemoptisis dipastikan ketika total volume
tetapi menekan batuknya untuk sementara akan I
). Obat yang beket'a di sentral, bekerja dengan
menekan batuk di bidang integratif medula alau area yang lebih tinggi. Obat yang paling sering dipakai adalah kodein
fosfat, diberikan 15-30 mg secara oral setiap 6 jam. Dekstrometorfan, 15-30 mg setiap 4-6 jam, juga dapat diberikan. 2). Obaf yang bekerja di perifer, menaikkan ambang-rangsang reseptor iritan di saluran napas dengan menganestesi atau menutupnya (coating). Agen ini
(benzonatat, anestetik topikal
) tersedia sebagai obat-
obatan tanpa-resep, tetapi hanya dianjurkan untuk mengontrol batuk yang parah.
Mukolitik. Pemberian asetilsistein telah terbukti
darah yang dibatukkan 20-600 mL di dalam waktu 24 jam. Walaupun tidak spesifft untuk penyakit tertentu, hal ini berarti pendarahan dari pembuluh darah lebih besar dan
biasanya karena kanker paru, pneumonia (necrotizing pneumonia),TB atau emboli paru. Hemoptisis Masif . Darahyang dibatukkan dalamwaktu24 lebih dari 600 mL- biasanya karena kanker paru, kavitas pada TB atau bronkiektasis.
j am
Pseudohemoptisis. Pseudohemoptisis adalah batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas laring) atau dari saluran cema atas (gastrointestinal) atau hal ini dapat
2t93
MANIFESTASIKLINIKDANPENDEKAf,ANPAT'APASIENDENGANI(ELAINANSISTEMPERNAPASAN
berupa pendarahan buatan (factitious). Perdarahan yang terakhir biasanya karena luka disengaja di mulut, faring atau rongga hidung.
Diagnosis Anamnesis. 1). Volume dan frekuensi batuk darah menentukan kegawatannya dan hal tersebut dapat mengarahkan ke suatu penyebab spesifft; 2). Sumber paling umum berupa nasofaring (mimisan). Darah menetes ke faring, mengiritasi laring dan dibahrkkan. Pasien sering dapat menjabarkan rangkaian ini, maka kesan pasien atas sumber perdarahan umumnya benar. Misalnya, ketika darah berasal dari salah satu paru, maka pasien akan menunjukkan bagian paru tersebut dan dapat merasakannya seolah-olah darah
berasal dari paru kanan atau
kiri. Pastikan pasien bisa
membedakan dibatukkan dengan dimuntahkan; 3). Riwayat penyakit sebelumnya yang dapat mempengaruhi perdarahan
konsolidasi (disebabkan pneumonia, infark paru atau atelektasis pascaobstruksi dari benda asing atau kanker
. .
paru)-
Pleural friction rub dapat didengar pada area di atas infarkparu.
Ronki merata( difus), kardiomegali dan nyaring menunjukkan adanya kemungkinan edema paru kardiogenik.
Laboratorium. l).Pemeriksaan darah tepi lengkap. Peningkatan hemoglobin dan hematokrit menunjukkan adanya kehilangan datahyang akut. Jumlah sel darah
putih yang meninggi mendukung adatya infeksi' Trombositopenia mengisyaratkan kemungkinan koagulopati; trombositosis mengisyaratkan kemungkinan kanker paru; 2). Kajian koagulasi, pemeriksaan hemostase berupa waktu protrombin (PT) dan waktu tromboplastin parsial (aPTT) dianjurkan apabila dicurigai adanya
Timbul tiba-tiba karena sesak dan sakit di dada
koagulopati atau apabila pasien tersebut menerima warfarin/heparin; 3). Analisis gas darah arterial harus diukur apabila pasien itu sesak yang jelas dan sianosis; 4). Pemeriksaan dahak- Pasien dengan
mengindikasikan kemungkinan emboli paru atau infark miokard yang disertai dengan gagaljantung kongestif. c). Kehilangan berat badan yang signifftan mengisyaratkan kanker paru atau infeksi kronik seperti tuberkulosis atau
darah bercampur dahak, pewarnaan gram, BTA atau preparasi kalium hidroksida dapat mengurilkapkan penyebab infeksi dan pemeriksaan sitopatologik untuk kanker.
bronkieldasis.
Pencitraan (Imaging). 1). Radiografi dada akan
Pemeriksaan fisis. Tanda-tanda penting' Ketidakstabilan sirkulasi dengan tanda hipotensi dan takikardia merupakan suatu tanda darurat. Sebabnya dapat berupa kehilangan
menunjukkan adanya massa paru, kavitas atau infiltrat yang
saluran napas juga dicari; 4). Gejala lainnya yang berhubungan/terkait dapat membantu dalam mendiagnosis : a). Demam dan batuk produktif mengisyaratkan infeksi. b).
darah yang akut pada hemoptisis masif atau penyakit yang menyebabkan/menyertainya: emboli paru, sepsis, infark miokard dengan edema paru.
Perneriksaan nasofaring ditujukan untuk untuk rnencari sumber perdarahan dan pada hemoptisis masif untuk memastikan bahwa saluran napas masih paten (terbuka)-
Pemeriksaan j antung dibutuhkan untuk mengevaluasi kemungkinan adanya hipertensi paru akut (terdapat peninggian komponen paru suara jantung kedua) ,kegagalan ventrikel kiri alart (adanya srz mmation gallop) atau penyakit katup jantung seperti stenosis mitral. Endokarditis sebelah kanan dapat dideteksi dengan adanya bunyi desiran karena insufisiensi trikuspid, sering pada penyalah guna obat
intravena dan dapat menyebabkan hemoptisis karena
mungkin menjadi sumber pendarahan; 2). Arteriografr bronkial selektif dilakukan bila bronkoskopi (lihat bawah)
tidak dapat menunjukkan lokasi pendarahan masif' Embolisasi arteri bronkial selektif untuk mengendalikan perdarahan dapat berfungsi sebagai terapi yang defrnitif atau sebagai tindakan antara hingga torakotomi dapat dilalarkan.
Bronkoskopi. Saluran napas dapat divisualisasi dengan menggunakan bronkoskop kaku atau fiberoptik. 1)' Bronkoskopi frberoptik dengan anestesia topikal paling sering digunakan karena instrumen fleksibel ini dapat memvisualiasi bronki subsegmental dan saluran napas sentral serta lebih rryarflan bagi pasien. Satu kelemahan alat ini adalah diameter tempat menghisap c akatperdaruhan (suction port)yang kecil (<2 mm). Jika pendarahan itubesar,
maka sistem ini tidak dapat mengevakuasi darah dengan cepat untuk mempertahankan sistem lensa ini tetap bersih.
emboli septik. Pemeriksaan dinding dan rongga dada. Kelainan disini secara tersendiri jarang menjadi penyebab hemoptisis; akan
tetapi, temuan tertentu bisa jadi petunjuk.
.
.
Traumadindingdada,cobacariadanyamemarparenkim paru (pulmonary contusion) atau laserasi bronkial. Adanya ronki setempat, berkurangnya suara napas dan perkusi redup/peka (dullness) menunjukkan adanya
Hemoptisis Darah yang dibatukkan Darah biasanya merah muda Darah bersifat basa Darah dapat berbusa Didahului dengan perasaan ingin batuk
Hematemesis dimuntahkan biasanya hitam bersifat asam tidak pernah berbusa Didahult+i dengan rasa mual dan muntah
Darah Darah Darah Darah
2194
lnfeksi: Tuberkulosis, abses paru, bronkitis, bronkiektasis, infeksi jamur, parasil, necrotizing pneumon@. Neoplasma: Karsinoma bronkogenik, lesi metastatis, adenoma bronkus Penyakit kardiovaskular: emboli paru, stenosis mitral, malformasi arteriovena, aneurisme aorta, edema paru Lain-lainnya: Bronkolitiasis, hemosiderosis idiopatik, sindrom Goodpasture, terapi antikoagulan, adenoma bronkus
PT,JIIUOiU.OGI
600/o
20%
operasi. Pada pasien yang toleransi operasinya buruk, intubasi merupakan terapi yang definitif di samping embolisasi arteri bronkial selektif. B. Streaking dan Hemoptisis Ringan Terapi dasar. Pasien harus istrirahat total, dengan posisi
l.
5-10%
5-t0%
Kebanyakan benda asing tidak bisa dipindahkan dengan
2.
paru yang mengalami pendarahan di bawah. Refleks batuk ini harus ditekan dengan kodein fosfat 30-60 mg intra mulkular setiap 4-6 jam selama 24 jam. Terapi spesifik. Terapi spesifik adalah pengobatan atas penyakit dasar penyebab perdarahan tersebut.
NYERIDADA
instrumen ini; 2). Bronkoskopi kaku perlu bagi pasien dengan hemoptisis masifdan ketika dicurigai terjadi aspirasi benda asing. Kekurangarmya adalah biasanya dibutuhkan anestesia umum dan hanya saluran napas sentral dapat divisualisasikan.
Nyeri dada dapat disebabkan oleh penyakitjantung, paru atau nyeri alih dari abdomen. Ada dua jenis nyeri dada karena penyakit paru: pleuritik dan trakeobronkial.
Tatalaksana Darurat Hemoptisis
Berupa nyeri tajam, menusuk, pada umumnya terlokalisir ke suatu titik di toraks dan makin memburuk dengan bernapas dalam ataupun batuk. Penyebab nyeri dada dirangkum dalam Tabel di bawah.
Nyeri Pleuritik A. Hemoptisis Masif Risiko utama hemoptisis masif adalah aspiksia dari darah di dalam saluran napas. Eksanguinasi jarang terjadi.
Terapi umum. a). Mempertahankan terbukanya saluran kita melakukan pengisapan darah dari saluran napas dan dan napas. Pemasangan selang endotrakeal memungkinkan
kemudian menghubungkamya dengan suatu ventilator. Yang ideal adalah selang endotrakeal dengan lumen-ganda; b). Apabila diketahui lokasi pendarahan, maka pasien harus
ditempatkan dengan paru yang mengalami pendarahan di bawah untuk melindungi paru yang baik; c). Menekan batuk dengan kodein fosfat 30-60 mg secara intramuskular; d). Mempertahankan tekanan darah dengan darah segar dan plasma ekspander. Apabila dicurigai terjadi koagulopati,
maka dapat diberikan plasma segar beku (fresh-frozen plasma).
Terapi bedah. Apabila pendarahan pada pasien tersebut
tidak berhenti, maka biasanya diperlukan torakotomi darurat. Operasi ini tidak bisa dilakukan apabila penyebabnya adalah karsinoma yang tidak dapat direseksi
atau apabila cadangan/sisa parenkim paru yang baik (pulmonary reserve) tidak memadai andai dilakukan pneumonektomi. Pasien dengan perkiraan volume ekspirasi paksa waktu I detik (FEV,,,) pasca operasi kurang dari 800 mL biasanya tidak dapat mentolerir pneumonektomi.
Terapi adj uvantibus. Bronku s utarna (main-st em bronchus) paru yang terkait dapat tersumbat karena intubasi selektif
atau dengan memakai kateter Carlen. Darah yang menggumpal di belakang kateter akan berflrngsi sebagai hemostasis. Hal ini dapat berfungsi sebagai suatu langkah darurat sementara, sambil pasien dipersiapkan untuk
Gangguan Mekanis Pneumotoraks Hemotoraks
Gangguan Peradangan lnfeksi lnfark paru
Neoplasma Paru Primer Metastasis
Penyakit Otoimun Lupus eritematosus sistemik
Artritis reumatoid Skleroderma
Diagnosis Anamnesis. a). Nyeri pleuritik yang terjadi tiba-tiba terutama setelah batuk atau bersin menandakan kemungkinan te{adi pneumotoraks. Kejadian ini sering disertai sesak; b). Demam dan baflrk produktifyang mendahului nyeri dada menandai terjadinya infeksi parenkim dan pleura; c). Hemoptisis yang
terjadi tiba-tiba dicurigai adanya emboli paru, sedangkan nyeri semakin meningkat pasca hemoptisis lebih cenderung kepada kanker paru; d). Penyakit autoimun sering dikaitkan dengan radang pleura non-spesifik yang mengarah ke
pleuritis. Pemeriksaan fisik. a). Melemahnya bunyi napas; pekald redup pada perkusi dan melemahnya fremitus merupakan tanda efusi pleura; b). Adanyafriction rub pada inspirasi dan ekspirasi menandakan tefadinya peradangan pleura.
\
Pencitraan (imaging). Pneumotoraks, efusi pleura atau penebalan pleura dapat diidentifrkasi dengan foto toraks posterioanterior, lateral dan dekubitus lateral. Sedangkan
MANIFESTASI KLINIK DAT{ PENDEKATAN PAT'A PASIEN DENGAN KELAIII,AN SISTEM PERNAPASAN
2t95
diagnosis etiologi efusi pleura memerlukan pemeriksaan
Tatalaksana nyeri frakeobronkial. Pengobatan
lebihlanjut.
penyebabnya adalah terapi utama. Terapi simptomatik dapat diberikan penekan batuk dengan kodein fosfat l5-30 mg,
Tatalaksana nyeri pleuritik. Nyeri dapat dikurangi dengan indometasin 25 mg, oral, 3 kali sehmi. Sedangkan cara terbaik
atas
3-4 kali sehari.
untuk menghilangkan nyeri adalah mengobati penyakit dasarnya.
Nyeri Trakeobronkitis Nyeri trakeobronkitis adalah sensasi terbakar di daerah substernal yang makin memburuk dengan batuk. Hal ini disebabkan oleh radang akut pada cabang trakeobronkial.
REFERENSI Bourke SJ dan Brewis RAL. Symptoms and Signs in Respiratory Diseases. In: Lectures Notes on Respiratory Medicines. Blackwell
Sciences. Hongkong 2000. 8-17 Fishman AP. Approach to the patient. In: Fishman AP, Elias JA, Grippi MA,Kaiser LR, Senior RM ed'Fishman's manual of Pulmonary diseases and disorders. Mc Graw-Hill. New York'2002'
3-30.
Diagnosis Rasa Sakit Trakeobronkitis Ananmnesis. Nyeri dapat berlangsung bet'am-jam hingga berhari-hari. Perburukan nyeri karena batuk dan lokasinya pada daerah substernal yang membedakan dengan nyeri pleuritik.
Pemeriksaan fisis biasanya tidak ditemukan apa-apa kecuali berupa ronki kasar pada auskultasi.
Friedman PJ dan Stark P. Radiographic evaluation of lung disease. In: Bordow RA, Ries AI, Morris TA eds. Manual of Clinical Problems in h-rlmonary Medicine. 6b ed. Lippincott Williams&Wilkins,
Philadelphia.2005.3 -6.
Harris GD.Common Pulmonary Symptoms. In: Stein JH, ed. Internal Medicine. Norwalk, Connecticut 1993' 90-9. Yernault JC dan Pison CH. Approach to respiratory patienns: Hystory, symptoms and physical examinations. In: Grassy D dkk eds. McGraw-Hill Intemational(UK)Ltd, London, 1999. 316.
353 PNEUMONIA ZulDahlan
PENDAHULUAN
tahap lanjutan manifestasi ISNBA lainnya misalnya sebagai perluasan bronkiektasis yang terinfeksi. Pneumonia adalah
Pada masa yang lalu pneumonia diklasifikasikan sebagai pneumonia tipikal yang disebabkan oleh Str pneumoniae dan atipikal yang disebabkan kuman atipik seperti halnya
peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
M. pneumoniae. Kemudian ternyata manifestasi dari patogen lain seperti H. influenzae, S. aureus dan bakteri
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Pada pemeriksaan histologis terdapat pneumonitis
Gram negatif memberikan sindrom klinik yang identik dengan pneumonia oleh Str. Pneumoniae, danbakteri lain
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi
atau reaksi inflamasi berupa alveolitis dan pengumpulan
eksudat yang dapat ditimbulkan oleh berbagai
dan virus dapat menirnbulkan gambaran yang sama dengan pneumonia oleh M. pneumoniae. Sebaliknya Legionella spp. dan virus dapat memberikan gambaran
penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi.
pneumonia yang bervariasi luas. Karena itu istilah tersebut tidak lagi dipergunakan. Pada perkembangannya pengelolaan pneumonia telah
oleh proses infeksi akut yang merupakan penyebabnya yang tersering, sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk proses non infeksi. Bila proses infeksi teratasi, terjadi resolusi dan biasanya struktur paru
dikelompokkan pneumonia yang terjadi di rumah sakit-Pneumonia Nosokomial (PN) kepada kelompok pneumonia yang berhubungan dengan pemakaian ventilator (PBV) (v entil ator as s o ciated pneumonia-y.Lp) dan yang didapat di pusat perawatan kesehatan (ppK)
Istilah pneumonia lazim dipakai bila peradangan terjadi
normal kembali. Namun pada pneumonia nekrotikans yang disebabkan anlaralain oleh staphylococcus atau kuman
gram negatif terbentuk jaringan parut atau fibrosis. Diagnosis pneumonia harus didasarkan kepada pengertian
(healthcare-associated pneumonia-HCAP) (2005).
patogenesis penyakit hingga diagnosis yang dibuat
Dengan demikian pneumonia saat ini dikenal 2 kelompok utama yaitu pneumonia di rumah perawatan (pN) dan
mencakup bentuk manifestasi, beratnya proses penyakit dan etiologi pneumonia. Cara ini akan mengarahkan dengan baik kepada terapi empiris dan pemilihan antibiotik
Pneumonia Komunitas (PK) (2001) yang didapat di masyarakat. Di samping kedua bentuk utama ini terdapat
yang paling sesuai terhadap mikroorganisme
pula pneumonia bentuk khusus yang masih sering
penyebabnya.
dijumpai.
PK adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi diluar RS, sedangkan PN adalah pneumonia yang terjadi >48 jam atau lebih setelah dirawat di RS, baik di ruang rawat umum ataupun ICU tetapi tidak sedang memakai ventilator. PBV adalah pneumonia yang te{adi setelah 48 - 72 jam ataulebth setelah intubasi tracheal. Pada PPK termasuk pasien yang dirawat oleh perawatan akut di RS selama 2 hari atau lebih dalam waktu 90 hari dari proses infeksi, tinggal dirumah perawatan (nursing home atau long-term care facility), mendapat AB intravena, kemoterapi, atau perawatan luka
DEFINISI Infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA) menimbulkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi serta kerugian produktivitas kerja. ISNBA dapat dijumpai dalam berbagai
bentuk, tersering adalah dalam bentuk pneumonia. Pneumonia ini dapat terjadi secara primer atau merupakan
2196
2r97
PNEINilOI{IA
dalam waktu 30 hari proses infeksi ataupun datang ke RS atau klinik hemodialisa.
klinik
Di bawah ini disampaikan uraian pneumonia secara umum yang kemudian diikuti dengan uraian dari kedua
PATOGENESIS Proses patogenesis pneumoni terkait dengan 3 faktor yaitu keadaan (imunitas) inang, mikroorganisme yang menyerang
kelompok pneumonia tersebut. Kemudian disampai uraian mengenai pneumonia bentuk khusus.
pasien dan tingkungan yang berinteraksi satu sama lain.
EPIDEMIOLOGI
prognosis dari pasien.
lnsidens Penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80%
dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat
(PK) atau di dalam rumah sakit/ pusat perawatan (pneumonia nosokomial/PN atau pnuemonia di pusat perawaatan/PPP). Pneumonia yang merupakan bentuk infeksi saluran napas bawah akut di parenkim paru yang serius dijumpai sekitar 15-20%. Kejadian PN di ICU lebih sering daripada PN di ruangan umum, yaitu dijumpai pada h ampilr 25Yio dari semua infeksi di ICU, dan9}%olerjadi pada saat ventilasi mekanik. PBV didapat pada 9-27o/o dari pasien yang diintubasi. Nsiko PBV tertinggi pada saat awal masukke ICU. Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan imunitas yang jelas. Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia didapati adanya
satu atau lebih penyakit dasar yang mengganggu daya tahan tubuh. Pneumonia semakin sering dijumpaipada orang orang lanjut usia (lansia) dan sering terjadi pada penyakit paru obstmktif kronik (PPOK). Juga dapat te{adi pada pasien dengan penyakit lain seperti diabetes mellitus @M), payah jantung, penyakit arteri koroner, keganasan, insufisiensi renal, penyakit syaraflaonik, dan penyakit hati kronik. Faktor
predisposisi lain antara lain berupa kebiasaan merokok, pasca infeksi virus, Diabetes melitus, keadaan imunodefisiensi, kelainan atau kelemahan struktur organ dada dan penurunan kesadaran. Juga adanya tindakan invasif seperti infus, intubasi, hakeostomi, atau pemasangan ventilator. Perlu diteliti faktor lingkungan khususnya tempat kediaman misalnya di rumah jompo, penggunaan antibiotik (AB) dan obat suntik IY serta keadaan alkoholik yang meningkatkan kemungkinan terinfeksi kuman gram negatif' Pasien-pasien PK juga dapat terinfeksi oleh berbagai jenis patogen yang baru. Anamnesis epidemiologi haruslah mencakup keadaan
Interaksi ini akan menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi dari pneumotia, betat ringannya penyakit, diagnosis empirik, rencana terapi secara empiris serta Cara terjadinya peuularan berkaitan dengan jenis kuman, misalnya infeksi melalui droplet sering disebabkan Streptococcus pneumoniae, melalui slang infus oleh S/aphylococcus aureus sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh Paeruginosa dan Enterobacter. Padamasa kini terlihat perubahan pola mikroorganisme penyebab ISNBA akibat adanya perubahan keadaan pasien seperti
gangguan kekebalan dan penyakit kronik, polusi lingkungan, dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat yang menimbulkan perubahan karakteristik kuman. Dijumpai peningkatan patogenitas/jenis kuman akibat adanyaberbagai mekanisme, terutama oleh S. aureus, B. catarrhalis, H. inJluenzae dan Enterobacteriacae. Juga oleh berbagai bakteri enterik gram negatif.
Patogenesis PK Gambaran interaksi dari ketiga faktor tersebut tercermin pada
kecendrungan terjadinya infelsi oleh kuman tertentu oleh faktor perubah (modifying factor), seperti terlihat pada
TabelL.
Pneumokokkus yang resisten penisilln dan obat lain Usia > 65 tahun Pengobatan B-lactam dalam 3 bulan terakhir Alkoholisme Penyakit imunosupresif (termasuk terapi menggunakan kortikosteroid) Penyakit penyerta yang multiPel Kontak pada klinik lansia
Patogen gram negatif Tinggal di rumah jompo Penyakit kardiopulmonal penyerta Penyakit penyerta yang jamak Baru selesai mendapatkan terapi antibiotika
Pseudomonas aeruginoasa Penyakit paru struktural (bronchiektasis) Terapi kortikosteroid (>10m9 prednisone /hari) Terapi antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan sebelumnYa
Malnutrisi
lingkungan pasien, tempat yang dikunjungi dan kontak dengan orang ataubinatang yang menderita penyakit yang serupa. Pneumonia diharapkan akan sembuh setelahterapi 2-3 minggu. Bila lebih lama perlu dicurigai adanya infeksi
kronik oleh bakteri anaerob atau non bakteri seperti oleh jamur, mikobakterium atau parasit.
Patogenesis PN Patogen yang sampai ke trakhea terutama berasal dari aspirasi bahan orofaring, kebocoran melalui mulut saluran endotrakheal, inhalasi, dan sumber bahan patogen yang mengalami kolonisasi di pipa endotrakeal. PN terjadi akibat
2198
REI,'MTTIOI.OGI
proses infeksi bila patogen yang masuk saluran napas
kini terjadi perubahan pola mikroorganisme penyebab
bagian bawah tersebut mengalami kolonisasi setelah dapat
ISNBA akibat adanya perubahan keadaan pasien seperti gangguan kekebalan dan penyakit kronik, polusi
meliwati hambatan mekanisme pertahanan inang berupa
daya tahan mekanik (epitel cilia dan mukus), humoral (antibodi dan komplemen) dan selular (lekosit polinuklir, makrofag, limfosit dan sitokinnya). Kolonisasi te{adi akibat adanya berbagai faktor inang dan terapi yang telah dilakukan yaitu adanya penyakit penyerta yang berat, tindakan bedah, pemberian antibiotik, obat-obatan lain dan tindakan invasif pada saluran pernapasan. Mekanisme lain
adalah pasasi bakteri pencernaan ke paru, penyebaran hematogen, dan akibat tindakan intubasi. Faktor risiko terjadinya PN dapat dikelompokkan atas 2 golongan yaittyang tidak bisa dirubah yaitu berkaitan dengan inang (seks pria, penyakit paru kronik, ata:u gagal organjamak), dan terkait tindakan yang diberikan (intubasi atau slang nasaogastrik). Pada faktor yang dapat dirubah
lingkungan, dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat hingga menimbulkan perubahan karakteristik kuman. Te{adilah peningkatan patogenitas /jenis kuman. terutama S. aureus, B. cataruhalis, H. influenzae dan Enterobacteriacae oleh adanya berbagai mekanisme. Juga dijumpai pada berbagai bakteri enterik gram negatif. Etiologi pneumonia berbeda-beda pada berbagai tipe dari pneumonia, danhal ini berdampak kepada obat yang akan diberikan. Mikroorganisme penyebab yang tersering adalah bakteri, yangjenisnya berbeda antar rregara, anlara satu daerah dengan daerah lain pada satu negara, di luar RS dan di dalam RS, antara RS besar/ tersier dengan RS yang lebih kecil. Karena itu perlu diketahui dengan baik pola kuman di suatu tempat. Indonesia belum mempunyai
dapat dilakukan upaya berupa mengontrol infeksi,
data mengenai pola kuman penyebab secara umum, karena
disinfeksi dengan alkohol, pengawasan patogen resisten (multidrug resistent -MDR), penghentian dini pemakaian alat y ang invasif, dan pengatur an tatacara pemakaian AB. Faktor risiko kritis adalah ventilasi mekanik > 48 jam, lamanya perawatan di ICU, skorAPAClIE, adanyaARDs (acute respiratory distress syndrome). PN dan PBV onset dini terjadi dalam 4 hari pertama masuk RS, biasanya disebabkan oleh bakteri yang sensitif terhadap AB, kecuali bila telah pernah sebelumnya
itu meskipun pola kuman di luar negeri tidak sepenuhnya cocok dengan pola kuman di Indonesia, maka pedoman yang berdasarkan pola kuman diluar negeri dapat dipakai sebagai acuan secara umum.
mendapatAB atau dirawat di RS dalam waktu 90 hari. PN dan PBV onset lanjut (hari ke 5 atau lebih) lebih mungkin disebabkan oleh patogen MDR yang berkaitan dengan
mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Faktor risiko terjadinya infeksi pada PBV dapat dilihat pada Tabel 2.
Terapi dalam 90 hari sebelumnya Perawatan RS dalam 5 hari atau lebih
Frekuensi tinggi kuman resistens
Etiologi Pneumoni Komunitas Diketahui berbagai patogen yang cendrung dijumpai pada faktor risiko tertentu misalnya H. inJluenza pada pasien perokok, patogen atipikal pada lansia, gram negatifpada pasien dari rumahjompo, dengan adanya PPOK, penyakit
penyerta kardiopulmonal/ jamak, atau pasca terapi antibiotika spekrum luas. Ps. Aeruginosa pada pasien dengan bronkiektasis, terapi steroid (>10 mg/ hari), malnutrisi dan imunosupresi dengan disertai lekopeni. Pada PK rawat jalan jenis patogen tidak diketahui pada 40olo kasus. Dilaporkan adanya Str Pneumoniae pada 9-20o/o), M. pneumoniae (13-37%), Chlamydia pneumoniae
(sp t7%).
AB di RS atau
lingkungan pasien Faktor risiko PPK: o rawat di RS 2 hari atau lebih dalam 90 hari terakhir o berdiam di rumah jompo o terapi infus dirumah (termasuk antibiotika) o dialisis kronik dalam 30 hari o perawatan luka di rumah o anggota keluarga terinfksi patogenmultiresisten Penyakit imunosupresif +/- terapi
Patogen pada PK rawat inap diluar ICU. Pada2}- 70%o tidak diketahui penyebabnya. Str Pneumoniae dijvrnpai pada20-60Yo, H. influenzae (3-10%), dan oleh S. aureus, gram negatif enterik, M. pneumoniae, C. pneumoniae Legionella dan virus sebesar sp l0%. Kejadian infeksi kuman atipikal mencapai 40- 60%.Infeksi patogen gram
negatif bisa mencapai l0%o terutamapada pasien dengan
komorbiditas penyakit lain seperti disebut di atas. Ps.
Aeruginosa dilaporkan sebesar
4ol0.
lloh dari PK dirawat di ICU, 50-60% tidak diketahui Patogen pada PK Rawat Inap di ICU. Sebanyak
ETIOLOGI
eari-te4adlnya penularan berkaitan pula dengan jenis kq(nan, misalnya infeksi melalui droplet sering disebabkan pneumoniae, melalui slang infus oleh aureus sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh P aeruginosa dan Enterobacter. Padamasa
penyebabnya, sekitar 33% disebabkan Str. pneumoniae. Di samping patogen yang didapatkan pada paBien rawat inap non ICU, didapatkan peningkatan infeksi patogen Gram negatif. Enterobacteriacae dijttrnpai pada 20Yo, l020% di antaranya oleh Ps. Aeruginosa terutama pasien dengan bronkiektasis. Pada rumah jompo lebih sering dijumpai S. aureus yalg
2199
PNEI.N'ONIA
resisten methisilin (Methycilline resistant S. aureusMRSA), bakteri Gram negatif, M. tuberculosrs dan virus tertentu.(adenovirus, cyncytial virus (RSV) dan influenza. Secara in vitro di negara barat dilaporkan adanya resisten pneumokokkus terhadap penisillin (drug resistant Str. Pneumoniael DRSP) sampai sebesar 40olo kasus, yang biasanya disertai juga resisten terhadap sefalosporin, makrolid, doksisiklin, dan trimethoprim/sulpametoksazol.
Berbagai
AB lain aktif terhadap DRSP ini yaitu
fluoroquinolone antipneumokokus yang baru (seperti gatifloksasin, levofloksasin, atau moksifloksasin), juga ketolide, vankomisin atau linezolid. Patogen tertentu yang sering mengenai tiap kelompok di USA dan sekaligus terapinya dapat dilihat pada tabel 6. Penelitian PK rawat
inap di Asia misalnya Indonesia atau Malaysia mendapatkan patogen yang bukan Str. pneumoniae
sebagai penyebab tersering PK, antara
lain Kl.
pneumoniae.
Etiologi Kelompok Pneumonia Nosokomial Etiologi tergantun gpada 3 faktor yaitu: tingkat berat sakit, adanya risiko untuk jenis patogen tertentu, dan masa menjelang timbul onset pneumonia. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Anamnesis. Ditujukan untuk mengetahui kemungkinan kuman penyebab yang berhubungan dengan faktor infeksi:
a. Evaluasi faktor pasien/predisposisi: PPOK (H. influenzae),penyakit kronik (kuman jamak), kejang/tidak sadar (aspirasi Gram negatif, anaerob), penurunan imunitas
(kuman Gram negatif), Pneumocystic carinii, CMY, Legionella,jamur, Mycobacterium), kecandtan obat bius (St ap hy I o c o c cus). b. B edakan lokasi infeksi : PK (S tr ept o coccus pneumoniae, H. inJluenzae, M. pneumoniae), nxnah jompo, PN (Srap hylococcus aureus), Gram negatif. c. Usia pasien: bayi (virus), muda (M. pneumoniae), dewasa (S. pneumoniae). d. Awitan: cepat, akut dengar, rusty coloured sputum (5. Pneumoniae);perlahan dengan batuk, dahak sedikit (M. pneumoniae).
Pemeriksaan fisis. Presentasi bervariasi tergantung etiologi, usia dan keadaan klinis. Perhatikan gejala klinis yang mengarah pada tipe kuman penyebab/ patogenitas kuman dan tingkat berat penyakit: a). Awitan akut biasanya oleh kuman patogen seperti S. pneumoniae. Streptococcus spp, Staphyloccus. Pneumonia virus ditandai dengan mialgia, malaise, batuk kering dan nonproduktif; b). Awitan lebih insidious dan ringan pada orang tua,/imunitas menurun akibat kuman yang kurang patogerVoporhrnistik, nlisalnya;
Klebsiella, Pseudomonas, Enterobacteriaceae, kuman anaerob, jamur; c). Tanda-tanda fisis pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan berupa demam, sesak napas, tanda-
Faktor Risiko
Patogen Staphylococcus
aureus
Methicillin resisten
aureus
S.
Ps. aeruginosa
Anaerob Acinobachter
spp.
Koma, cedera kepala,influenza, pemakaian obat lV, DM, gagal ginjal Pernah dapat antibiotik, ventilator > 2 hari Lama dirawat di lCU, terapi steroid/ antibiotik, Kelainaan struktur Paru (bronkiektasis,kistik fibrosis), malnutrisi Aspirasi, selesai operasi abdomen Antibiotik sebelum onset pneumonia dan ventilasi mekanik
tanda konsolidasi paru (perkusi paru yang pekak, ronki nyaring, suara pernapasan bronkial). Bentuk klasik pada PK primer berupa bronkopneumonia, pneumonia lobaris atau pleuropneumonia. Gejala atau bentuk yang tidak khas dijumpai pada PK yang sekunder (didahului penyakit dasar paru) ataupun PN. Dapat diperoleh bentuk manifestasi lain
infeksi paru seperti efusi pleura, pneumotoraksi hidropneumo toraks. Pada pasien PN atau dengan gangguan imun dapat dijumpai gangguan kesadaran oleh
hipoksia; d). Warna, konsistensi dan jumlah sputum penting untuk diperhatikan
Pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan radiologis. Pola radiologis dapat berupa pneumonia alveolar dengan
DIAGNOSIS
airspace disease) misalnya oleh Streptococcus pneumoniae, bronkopneumonia (segmen-
Penegakan Diagnosis
tal disease) oleh antara lair. staphylococcus, virus atau mikoplasma; dan pneumonia interstisial (interstitial
gambaran airbronkhogram
Penegakan diagnosis dibuat dengan maksud pengarahan
kepada pemberian terapi yaitu dengan cara mencakup bentuk dan luas penyakit, tingkat berat penyakit, dan
perkiraan jenis kuman penyebab infeksi. Dugaan mikroorganisme penyebab infeksi akan mengarahkan kepada pemilihan terapi empiris antibiotik yang tepat (Tabel 6). Seringkali bentuk pneumonia mirip meskipun disebabkan oleh kuman yang berbeda' Diagnosis pneumonia didasarkan kepada riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisis yang teliti dan pemeriksaan penunj ang.
(
disease) oleh virus dan mikoplasma. Distribusi infiltratpada segmen apikal lobus bawah atau inferior lobus atas sugestif untuk kuman aspirasi. Tetapi pada pasien yang tidak sadar, lokasi ini bisa di mana saja. Infiltrat di lobus atas sering ditimbulkan Klebsiella spp, tuberkulosis atau amiloidosis. Pada lobus bawah dapat terj adi infiltrat at'rbat St ap hy lo c o c cus atau bakteriemia.
Bentuk lesi berupa kavitasi dengan air-fluid level sugestif untuk abses paru, infeksi anaerob, Gram negatif atau amiloidosis. Efusi pleura dengan pneumonia sering ditimbulkan S. pneumoniae. Dapat juga oleh kuman
2200
REI,'MANqOGI
anaerob, S. pyogenes,
E. coli dan Staphylococcus
(pada anak). Kadang-kadang oleh K. pneumoniae, P.pseudomallei.
Pembentukan kista terdapat pada pneumonia nekrotikans/ supurativa, abses dan fibrosis akibat terjadinya nekrosis jaringan paru oleh kuman S. aureus, K. pneumoniae dan kuman-kuman anaerob (Streptococcus
anaerob,
B acteroides, Fus
obacterium). IJlangan foto perlu
dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya infeksi sekunder/tambahan, efu si pleura penye rta y angterinfeksi atau pembentukan abses. Pada pasien yang mengalami
perbaikan klinis ulangan foto dada dapat ditunda karena resolusi pneumonia berlangsung 4-12 mingga.
Pemeriksaan laboratorium. Leukositosis urnumnya menandai adanya infeksi bakteri; leukosit normaVrendah dapat disebabkan oleh infeksi virus/mikoplasma atau pada infeksi yang berat sehingga tidak terjadi respons leukosit, orang tua atau lemah. Leukopenia menunjukkan depresi imunitas, misalnya neutropenia pada infeksi kuman Gram negatifatau S. aureus pada pasien dengan keganasan dan gangguan kekebalan. Faal hati mungkin terganggu. Pemeriksaan bakteriologis. Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal, aspirasi jarum transtorakal, torakosentesis, bronkoskopi, atau biopsi. Untuk tujuan terapi empiris dilakukan pemeriksaan apus Gram, Burri Gin, QuellungtestdanZ. Nielsen. Kumanyang
predominan pada sputum yang disertai PMN yang kemungkinan merupakan penyebab infeksi. Kultur kuman merupakan pemeriksaan utama pra terapi dan bermanfaat untuk evaluasi terapi selanjutnya.
Pemeriksaan khusus. Titer antibodi tertiadap virus, legionella, dan mikoplasma. Nilai diagnostik bila titer tinggi atau ada kenaikan titer 4 kali. Analisis gas darah dilakukan
untuk menilai tingkat hipoksia dan kebutuhan oksigen.
Pada pasien PN/PK yang dirawat nginap perlu diperiksakan analisa gas darah, dan kultur darah.
Pneumonia Komunitas
Stratifikasi pada pneumonia komunitas. PORT (Pneumonia Patient Outcome Research Team) mengajt*arr faktor risiko berkaitan yang berkaitan dengan peningkatan angka mortalitas atau komplikasi yang dapat terjadi. Faktor risiko tersebut adalah: l). Usia di atas 65 tahun 2). Adanya infeksi pada paru yang multilober/nekrotikans, pasca obstruktif, atau aspirasi; 3). penyakit penyerta seperti PPOK, bronkiektasis, keganansan, DM, gagal ginjal, kronik,
gagal jantung, sirosis hepatic, penyakit serovaskular, alkoholik, malnutrisi, gangguan imun dan pasca spelektomi; 3). Manifestasi infeksi organ jamak atau komplikasi organ
ekstrapulmoner; 4). Tanda fisik yang memprediksi mortalitas, peningkatan mobiditas, dan komplikasi, berupa: Respirasi >30x/menit; tekanan diastolik <60 atau sistolik <90 mmHg nadi > l25x/m; suhu < 350C atau > 4ffC, bingung
atau penurunan kesadaran; and bukti adanya infeksi ekstraparu. 4. Hasil laboratorium lekosit < 4.000 atau >30.000/mm3;PaO2 <60 mmHg atauPaCO2>50 mmHg; kreatinin >1,2 mgo/o atau BUN >20 mg%o; gambaran foto torak terlihat lesi lobus jamak, adanya rongga, perluasan yang cepat atau adanya efusi pleura; hematokrit <3 |Yo atau
Hb < 9 gf/o; adanya tanda sepsis atau disfungsi organ berupa asidosis metabolik atau koagulopati; pH arterial <7 15
Indikasiperawatan diRS. Hal-hal di atas merupakan dasar unhrk perawatan di rumah sakit. Pasien berindikasi dirawat di ICU menurut American Thoracic Sociaty adalah bila pasien PK sakit berat yaitu bila terdapat I dan 2 kreteria rnayor,atat2 dari 3 kreteria minor. Kreteria mayor adalah: kebutuhan akan ventilator dan syok septik, kreteria minor berupa tensi sistolik <90 mmHg, mengenai multilobar,PaO2/
FI 02 ratio >250. Kreteria rawat ICU dari British Thoracic Society adalah Frekuensi napas > 30/m, tensi diastolik <60 mmHg, BUN >19, 1 mg/dl, dan adanya birrgung (confusion). Pasien dibagi atas 4 kelompok berdasarkan kepada tempat perawatafi (rawat jalan, rawat inap, perawatan di
unit intensif/ ICU); adanya penyakit penyerta
KLASIFIKASI Klasifikasi pneumonia yanglazim dipakai adalah seperti terlihat pada Tabel 4 yang didasarkan kepada faktor inang dan lingkungan. Klasifikasi ini membantu pelaksanaan terapi pneumonia secara empirik.
kardiopulmonal - PKP (PPOK, payah jantung); adanya "faktor perub ah" (modifiingfactor-MF) yailtt faktor risiko oleh pneumokokkus resisten, faktor risiko infeksi Gram negatif (termasuk di rumah perawatan flrmah jompo), dan adanya faktor risiko PAeruginosa-RPA (terutama pada rawat di ICU). Pada cara pendekatan stratifikasi ini tempat terapi merupakan refleksi dari beratnya sakit dengan
Pneumonia
komunitas
Pneumonia
nosokomial
Pneumoniarekurens
aspirasi pada lmun
Pneumonia Pneumonia gangguan
keharusan rawat inap dan rawat ICU ditentukan Sporadis atau endemik; muda atau orang tua Didahului perawatan di RS Terjadiberulangkali,berdasarkan penyakit paru kronik Alkoholik, usia tua pada pasien transplantasi, onkologi, AIDS
berdasarkan kreteria terteritu. Secara garis besar pasien dibagi atas Rawat jalan dan rawat inap. Rawat inap dibagi atas a). Sakit berat sampai sedang, dengan atau tanpa risiko PKP atau "faktor perubah" dan b). Sakit berat, dengan ata;.ltanpa disertai risiko P Aeruginosa.
Stratifftasi berdasarkan faktor- faktor tersebut 4 kelompok
2201
PNEI.IMOI{IA
pasien didefinisikan sebagai berikut:
Kelompokl. Rawat Jalan yang tidak disertai riwayat penyakit kardiopulmonal ataupun "faktor perubah" Jalan yang disertai riwayat penyakit kardipulmon al danJ atau "faktor perubah" (faktor unnrk DRSP atau bakteri Gram negatif Kelompok III. Rawat Inap RS non ICU, yang disertai a.riwayat penyakit kardipulmonal dan/ atau "faktor perubah" (termasuk asaldari rumahjompo) KelompoklV Rawat di ICU yalg a.tidak disertai risiko Ps.Aeruginosa- RPA, b. disertai risiko Ps. Aeruginosa- RPA
Kelompokll. Rawat
Untuktiap kelompok diidentifikasi jenis patogen secara bertingkat yang paling sering menjadi penyebab pneumonia.
Patogen penyebab pada rumah jompo lebih sering disebabkan oleh patogen seperti disebutkan pada uraian
etiologi.
menjadi penyebab seperti tercantum padabagan 1. Bila telah ada hasil kultur dilakukan penyesuaian obat. Di luar negeri terhadap semua pasien dianjurkan kemungkinan terapi patogen atipik yang berdasarkan faktor risikonya disertailtanpa AB lain. Pada pasien rawat inap AB harus diberikan dalam 8 jam pertama di rawat di RS. Stratifikasi kelompok ini menjadi dasar dari pengarahan pemberian terapi pada PK. (Tabel 6) Pada prinsipnya terapi utama pneumonia adalah
pemberian antibiotik (AB) tertentu terhadap kuman tertentu pada sesuatu tipe dari ISNBA baik pneumonia ataupun bentuk lain, dan AB ini dimaksudkan sebagai terapi kausal terhadap kuman penyebab temaksud. Berdasarkan perbedaan tempat perawatan (rawat jalan, rawat ruang umum dan di ruang intensif), adanya penyakit kardiopulmoner dan "faktor perubah" (modifying factor) maka PKterbagiatas4 grup dengan kumanpenyebab yang berbeda. Pada tabel 6 terlihat grup-grup termaksud dan antibiotika yang dianjurkan untuk diberikan. Faktor- faktor yang dipertimbangkan pada pemilihanAB:
Pneumonia Nosokomial
Faktor Pasien. Yaitu urgensilcara pemberian obat berdasarkan tingkat berat sakit ISNBA dan keadaan umum/
Kreteria pneumonia nosokomial Mengingat gambaran PN
kesadaran, mekanisme imunologis, urnur, dtfi siensi
yang tidak khas dan berbeda dari PK, maka untuk diagnosis PN digunakan kriteria diagnosis PN yang diajukan oleh Centers for Disease Control and
genetik/organ, kehamilan, alergi. Pasien berobatjalan dapat
Prevention (CDC), USA, seperti terlihat pada Tabel 5.
Ronki atau dullness pada perkusi torak. Ditambah salah satu: a. Onset baru sputum purulen atau perubahan karakteristiknya b. lsolasi kuman dari isolasi kuman dari bahan yang didapat dari aspirasi transtrakeal, biopsi atau sapuan bronkus Gambaran radlologis berupa infiltrat baru yang progresif, konsolidasi, kavitasi, atau efusi pleura. dan salah satu dari a, b, atau c diatas a. lsolasi virus atau deteksi antigen virus dari sekret resprrasr.
b.
4
Titer antibodi tunggal yang diagnostik (lgM), atau peningkatan 4x titer lgG dari kuman c. Bukti histopatologis pneumonia Pasien sama atau< 12 tahun dengan 2 dari gejala- gejala berikut: apnea, takipnea, bradikardia, wheezing, ronki, atau batuk, disertai salah satu dari: a. Peningkatan produksi sekresi respirasi atau salah satu dari kriteria no. 2 di atas. Pasien sama alau <12 tahun yang menunjukkan infiltrat baru atau ogresif, kavitasi, konsolidasi atau efusi pleura pada foto torak. Ditambah salah satu dari kriteria No.3 di atas.
diberikan obat oral, pasien sakit berat diberikan obat intravena
Faktor Antibiotik. Tidak mungkin mendapatkan
1
jenis
antibiotik yang ampuh untuk semua jenis kuman. Karena itu penting dipahami berbagai aspek tentang AB untuk efisiensi pemakaian AB. Secara praktis dipilih AB yang ampuh dan secara empirik telah terbukti merupakan obat pilihan utama dalam mengatasi kuman penyebab yang paling mungkin pada pneumonia atau bentuk lain ISNBA berdasarkan data antibiogram miiaobiologi dalam 6- 1 2 bulan terakhir. Efektivitas AB tergantung kepada kepekaan kuman terhadap AB ini, penetrasinya ke tempat lesi infeksi, toksisitas, Interaksi dengan obat lain dan reaksi pasien misalnya alergi atau intoleransi. Faktor Farmakologis. FarmakokinetikAB mempertimbangkan proses bakterisidal dengan Kadar Hambat Minimal (MIC) yang sama dengan Kadar Bakterisidal Minimal (KBM), dan bakteriostatik dengan KBM yang jauh lebih tinggi daripada KHM. Untuk mencapai efektivitas optimal, obat yang tergolong mempunyai sifat dose dependent
(misalnya sefalosporin) perlu diberikan dalam 3-4 PENATALAKSANAAN
pemberian/hari sedangkan golongan conc entration dependent (misalnya aminoglikosida, kuinolon) cukup 1-2 kali
sehari namun dengan dosis yang lebih besar.
Indikasi Perawatan
Farmakodinamik menilai kemampuan AB rurtuk melakukan penetrasi ke lokasi infeksi di jaringan dan keampuhannya AB hingga obat ini ampuh untuk dipakai terhadap patogen
Pasien pada awalnya diberikan terapi empirik yang ditujukan pada patogen yang paling mungkin
seperti makrolid akan lebih efektif dalam membunuh kuman
Pneumonia Komunitas Antibiotik empirik.
penyebab. Obat dengan kadar intraselular yang tinggi
2202
REI,MIIilI)II)GI
PFR KPP PA
KelompoU Ruang Rawat
Patogen
Str M VC lnf L S H GrAn M H pn pn Res pn G eg au inf G) ae cat inf
l.
Rawat Jalan ll. Rawat Jalan
llla. Rawat
+l-
+l
+
+l-
tb
+l-
+l-
+l-
Terapi My
+
+l-
++++3)+
+/-2)
D R S P
+l-
+l-
lnap RS
lllb. Rawat
+i- +3)
+
+l-
+
lnap RS
lV
Rawat ICU: a.
+ +
+ +
+l+l-
+l+
++3)+ ++
+ +
+ +
]r/akrolid baru atau doaksisiklin Laktam(sefuroksim, amoksisilin dosis tinggi, amoksisilin-klafualanat; atau seftriakson iv diteruskan sefodoksim po); ditambah makrolid baru. Atau Fluoroquinolon saja Laktam lV (sefotaksim, ampi/sulbaktam, eftriakson); Ditambah makrolid lV/ po; atau Azytromisin lV atau doksisiklin dan laktam. Atau fl uoroquinolon saja Laktam antipseudomonas lV; ditambah: siprofloksasin iv; Atau laktam lV ditambah aminoglikosida ditambah salahsatu azitrhromisin lV atau siprofloksasin iv
Keterangan: RJ: rawat jalan. Rl: rawat inap RICU rawat ICU PKP: penyakit kardiopulmonal. FP: faktor perubah. RPA: risiko Ps. Aeruginosa Str. Pn: Sfr. Pneumoniae. M pn: M. Pneumoniae Ch pn: C pneumoniae /n/i G: infeksi jamak V Res: Virus respirasi H infl : H influenzae Gr C): Gram (-) An.ae: anaerob. M. cat. : M. catarrhalis. Legi Legionella. Mtb:M. tuberculosts 1).pada perokok 2)rumah jompo: E. coli, Klebsiella spp. 3) pada PK berat dgn pasca influenza, DM, gagal ginjal
intraselular. AB dengan C.u* /MIC Rasio >8- 10, atau AUC: MIC Ratio yang semakin >25 sernakin efektif dan bila AUC: MIC Ratio di atas 100, akan dapat menekan terjadinya perkembangan resistensi patogen. Hal ini penting terutama pada pengobatan pasien dengan imunokompromais.
CaraPemilihanAB Pilihan AB dapat berupa: a. AB tunggal. Dipilih yang paling cocok diberikan pada pasien PK yang asalnya sehat dan gambaran klinisnya sugestif disebabkan oleh tipe kuman tertentu yang sensitif; b. Kombinasi AB. Diberikan dengan maksud unhrk mencakup spektrum kuman-kuman yang dicurigai, untuk meningkatkan aktivitas spektrum,
dan pada infeksi jamak. Bila perlu diusahakan pula perbaikan penetrasi obat, misalnya drainase sputum pada bronkiektasis terinfeksi. Bila telah didapat hasil kultur dan tes kepekaan maka hasil ini dapat dijadikan pertimbangan untuk memberikanAB yang lebih terarah atau monoterapi.
Dalam rangka pemberian terapi PK dimasukkan shatifikasi atas 4 kelompok berdasarkan kepada tempat perawatan (rawal jalary rawat inap biasa atau ICfD, adalya
terhadap pneumokokkus resisten, infeksi patogen gram negatif dan infeksi Ps. aeruginosa. Kelompok I. Pasien berobat jalan tanpa riwayat penyakit jantung paru dan tanpa adanya " faktor perubah" (faktor risiko untuk Sh. Pneumonia resisten AB. Atau Gram negatif. Kelompok Il.Pasien berobat jalan dengan penyakit jantung paru, dengan/tanpa "faktor perubah". Kelompok IIIa. Pasien rawat RS diluar ICU, yang menderita penyakit jantungparu dan/ atau faktor "perubah".RS. Kelompok IIIb. Pasien tidak disertai penyakit jantung paru atau faktor perubah lainnya. IV. Pasien dirawat di ICU a. tanpa risiko untuk Ps. Aeruginosa dan b. dengasn risiko terhadap Ps. Aerugininoca. Pada pendekatan stratifikasi ini acuan terapi adalah cerminan dari beratnya sakit, indikasi rawat inap atau rawat di ICU. (lihat Tabel2). Pada prinsipnya sistim ini menunjukkan patogen yang umum dijumpai secara berurutan. Kelompok I. Pasien Rawat jalan tanpa riwayat penyakit kardiopulmonal dan'faktor perubah'. AB yang diberikan adalah AB dengan spektrum luas, yang kemudian sesuai hasil kultur dirubah menjadi AB
spektrum sempit. Lama pemberian terapi ditentukan
penyakit penyerta kardiopulmonal @POK penyakit jantung
kongestif), dan berdasarkan "faktor perubah"
berdasarkan adanya penyakit penyerta dan/atau bakteriemi, beratnya penyakit pada onset terapi dan perjalanan penyakit pasien. Umumnya terapi diberikan selama 7- 10 hari. Untuk
(modifying factor) yang mencakup adanya faktor risiko
infeksi M. pneumoniae dan C. pneumoniae selama 10- 14
2203
PNEI,'MONIA
hari, sedangkan pada pasien dengan terapi steroidjangka
SUSPEK PN, PBV,.atau PPK
panjang selama l4hai atau lebih. Pada terapi PK rawat inap, proses perbaikan akan terlihat 3 tahap yaitu tahap I . pada saat pemberian AB IV selama 3 hari akan terlihat pasien stabil secara klinik; kemudian terlihat perbaikan keluhan dan tanda fisik serta nilai laboratorium. Pada fase ke 3 terlihat penyembuhan
Dimulai Terapi Empirik AB Berdasarkan Algoritme bagan a dan pola patogen lokal
dan resolusi penyakit. Keterlambatan perbaikan klinik dapat disebabkan patogen yang resisten atau bakteriemi' Di samping itu faktor inang berupa usia tua, penyakit penyerta jamak atau progresifitas penyakit. Dapat pula disebabkan oleh alkoholik, pneumonia multilober, atau
Hari ke 2- 3: Evaluasi Klinis dan Oata Lab. igenasi, sputum Purulent, ik dn fungsi organ)
(Suhu,
Perbaikan klinik dana 48- 72 jam
empiema. Bila keadaan klinik membaik dengan berkurangnya batuk, afebril dalam2 x 8 jam berturutan, lekositosis menurun dan fungsi saluran cerna membaik, maka dilakukan alih terapi ke AB per oral yang dianggap cocok dengan patogen penyebabnya. Kepulangan pasien dari rawat inap tergantungjuga kepada kondisi pasien dan adanya penyakit penyerta. Bila belum ada respons yang baik dalam 72 jam (tetladi pada l\oh pasien), lakukan evaluasi terhadap adanya kemungkinan patogen yang resisten, komplikasi atau
lain? Komplikasi, D/ lain Lokasi infeksi lain
Pikirkan menyetop AB
B,
Cari patogen
lain,
'l'ingkatkan AB TeraPi 7- I hari, Evaluasi ulang
D/ lain, Lokasi infeksi lain
Gambar 1. Startegi tatalaksana suspek PN, PBV, ATAU PPK
penyakitnya bukan pneumonia. Reevaluasi ditujukan kepada faktor predisposisi dari terjadinya infeksi. Telah diketahui bahwa kuman penyebab berbeda pada pneumonia komunitas dengan pneumonia nosokomial, dan antara satu kasus dengan kasus lainnya. Dengan demikian
tidak ada patokan tetap dalam pemilihan jenis AB. Berdasarkan pengetahuan dan perkiraan jenis kuman penyebab tingkat berat sakit PK atau PN dapat dipilih
S. pneumoniae H.
terapi awaljenisAB, yang kemudian diikuti pemberianAB lanjutan dengan mempertimbangkan hasil bakteriologi dan respons klinis. Ketentuan untuk memberikan makrolid pada pasien PK berat di daerahAsia perlu diteliti lebih lanjut. Penelitian di Malaysia terhadap pasien PKyang diberikan makrolid dan tidak diberikan makrolid tidak didapat perbedaanmanfaat
Escherichia K.
yang bermakna khususnya mengenai mortalitas, penggunaan venltilator, ataupun lamanya rawat inap. Hal
dengan perbedaan jenis dan kepekaan patogen penyebab PK.
ini berkaitan
Antibiotika yang Disarankan
Patogen Potensial
influenzae
Gram (-) sensitif
:
antibiotik
Seftriakson Atau
Levofloksasin, moksifloksasin atau Ciprofloksasin
Atau coli pneumonias Ampisilin/sulbaktam o Enterobacter spp. Atau . Serratia marcescens Ertapenem
.
Catatan: Karena S. pneumoniaeyang resisten penisilin semakin sering terjadi maka Levofloksasin, moksifloksasin lebih dianjurkan
tidak ada risiko MDR. Hal ini untuk mencegah terjadinya resistensi patogen pada saat terapi terhadap P. Aeruginosa, dan pada saat memberikan sefalosporin gen ke-3 terhadap Enterobakter. Diberikan terapijangka pendek dalam 7 hari bila didapat respons yang baik, dan penyebabnya bukan P. Aeruginosa.
Strategi terapi pada PN berdasarkan keadaan klinik dan
Pada umumnya spektrum aktivitas AB apapun tidak mencakup semua kuman penting yang biasa menjadi
bakteriologik pasien seperti tercantum pada Bagan
penyebab PN, kecuali sefpirom dankarbapenem' Sefpirom
Pneumonia Nosokomial 1.
Berdasarkan pertimbangan adaltidak adanya onset lambat > 5 hari dan adanya faktor risiko patogen MDR, diberikan terapi empirik awal dengan terapi AB spektrum terbatas (Tabel 7), ata.u spektmm luas AB untuk patogen MDR (lhbet 8). Dosis untuk dapat dilihat pada Tabel9. Terapi
segera diberikan karena keterlambatan terapi dapat mengakibatkan peningkatan mortalitas. Pasien diberikan terapi empirik didasarkan kepada risiko infeksi MDR dan gram negatif dalam bentuk kombinasi, dan monoterapi bila
merupakan sefalosporin generasi ke-4 yang spektrumnya
mencakup sebagian besar kuman penyebab infeksi nosokomial di ruangan umum/IAJ @rffn$Jk Staplrylococcas
aureus dan Staphylococcus coagulase negatif. Seperti halnya sefalosporin lain dan karbapenern, sefoirom kurang aktif terhadap Methicillin Resistant Staplrylococcus Aureus (MRSA). Untuk MRSA yang diperkimkan terjadi pada2}Yodari infeksi Stap hylococcus dapat dipergunakan
vankomisin atau linezolid.
2204
REUMIIIOLJOGI
(switch therapy) kepada bentuk oral. ModifikasiAB perlu dilakukan bila telah didapat hasil bakteriologik dari bahan sputum atau darah. Respons terhadap AB di evaluasi dalam 72 jam. Kegagalan terapi
Suspek Patogen
Antibiotika yang Disarankan
Patogen seperti di Tabel b dair Patogen Resisten AB jamak:
Sefaloseporin antipseudomonas (cefeime, ceftazidime) Atau Carbepenem antipseudomonas (imipenem atau meropenem)
Ps. aeruginosa K. pneumoniae
Acinobachter spp Methicilin sensitif aureus Gram negatif sensitif antibiotik Escherichia coli K. pneumoniae Enterobacter spp. Proteus spp. Senatia marcescens :
-
Atau B- laktam/R- laktamase
inhobitor (piperasilin- tazobaktam) Plus
Kuinolon antipseudomonas (Ciprofloaksasin atau levofloksasin) Atau
-
methicillin resisten Staph. Aureus Legionella fi ika dicurigai)
@ffi
dapat disebabkan kesalahan diagnosis, kesalahan sangkaan patogen, atau komplikasi. Kesalahaan diagnosis karena terdapat penyakit lain berupa atelektasis, emboli paru, ARDS, penyakit dasar neoplasma. Patogen penyebab mungkin berupa MDR (bakteri, mikobakteri, virus, jamur) atau karena salah terapi misalnya dosis yang tak adekuat ata.u cara pemberian yang salah. Komplikasi yang mungkin terjadi misalnya empiema, abses paru, superinfeksi atau demam akibat obat (drugfever).Dapat juga karena faktor inang berupa berupa respons imun yang menurun, obstruksi saluran napas.
Bila telah ada hasil kultur, AB dimodifikasi bila
Aminoglikosida (amikasin, gentamisin, atau tobramisin)
didapatkan kuman yang resisten yang tidak tercakup dalam
Plus Linezolid atau vankomisin
spektrum Ats yang sedang diberikan, atau sebaliknya dipakaiAB dengan spektmmyang lebih sempit atau lebih ringan bila Ps. Aeruginosa dan Asinobakter tidak
makrolid (azithromisin) atau
ditemukan.
Meminimalkan Resistensi Patogen
terjadi maka Levofloksasin, moksifloksasin lebih dianjurkan
Secara teoritis pemilihanAB berdasarkan farmakodinamik akan meningkatkan eradikasi kumandan dengan demikian
membatasi timbulnya resistensi patogen. Pencegahan resistensiAB berdasarkan tes DNAmerupakan cara yang memberikan harapan.Di samping itu perlu dilaksanakan program penelitian dan pengawadan resistensi patogen Suspek Patogen
terhadap AB.
Antibiotik yang Disarankan
Sefaloseforin antipseudomonas Cefepime Ceftazidime Carbapenem: lmipenem
-
1-2 gram tiap 8- 12 jam 2 gram tiap 8 jam
-
0,5 gram tiap 6 jam atau gram tiap '12 jam 1 gram tiap 8 jam
- Meropenem B laktami B laktamase inhibitor: - Pipreasilin- tazobaktam Aminoglikosida Gentamisin Toramisin Amikasin
-
pengenceran dahak yang kental, dapat disertai nebulizer
untuk pemberian bronkodilator bila 1
4,5 gram tiap 6 jam
terdapat
bronkospasme; 3). Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk batuk dan napas dalam.
Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untnk melancarkan ekspirasi dan pengeluaran COr. Posisi tidur
setengah duduk untuk melancarkan pernapasan; 4).
:
Kuinolon antipseudomonas Levofloksasin Ciprofloksasin Vancomisin Linezolid
-
Terapi suportif. 1). Terapi 02 untuk mencapai PaO, 80-100 mmHg atau saturasi 95-96% berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah; 2). Humidifft asi derrgar, nebulizer wfiik
7 mglkgl hari
Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu
7 mg/kg/ hari 20 mg/kg/ hari
pada pneumonia, dan paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bi-
750 mg/ hari 400 g/ 8 jam '15 mg/ kg/ 12 jam 600 mg/ 12 jam
lateral. Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik, termasuk pada keadaan gangguan sirkulasi dan gagat ginjal. Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
Dosis berdasarkan fungsi ginjal dan hati yang normal.
Pada PN dengan imunitas yang normal terapi AB biasanya diberikan selama 2 minggu, dapat diperpanjang
bila terdapat gangguan daya tahan tubuh. Pasien ini biasanya menyelesaikan terapi AB parenteral di RS dan tidak ada kesempatan untuk dilakukan pengalihan obat
diperkenankan; 5). Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan.Terapi ini tidak bermanfrat pada keadaan renjatan septik; 6). Pertimbangkan obat inotropik
seperti dobutamin atau doparnin kadang-kadang diperlukan bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal; 7). Ventilasi mekanis. Indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah: a). Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan Orl00%
2205
PNEl.rIlrlOllIA
dengan menggunakan masker. Konsentrasi O, yang tinggi
menyebabkan penunrnan kompliens paru hingga tekanan inflasi meninggi. Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP
untuk memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO, menjadi 50Yo atau lebih rendah; b). Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan COrdidapat asidosis, henti napas, retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif. 8). Drainase empiema bila ada; 9). Bila terdapat gagalnapas,
diberikan nutrisi yang cukup kalori terutama didapatkan dari lemak (50Yo),hnggadapat dihindari produksi COryang berlebihan.
KOMPLIKASI Dapat terjadi komplikasi pneumonia ekstrapulmoner,
misalnya pada pneumonia pneumokokkus dengan bakteriemi dijumpai pada l0%" kasus berupa meningitis. arthritis, endokarditis, perikarditis, peritonitis dan empiema.
Terkadang dijumpai komplikasi ekstrapulmoner non infeksius bisa dijumpai yang memperlambat resolusi gambaran radiologi paru, antara lain gagal ginjal, gagal
Faktor lnang
- Nukisi adekuat, makanan enteral dengan slang nasaogastrik - Reduksi/ penghentian terapi imunosupresif - Cegah ekstubasi yang tidak direncanakan (tangan diikat, beri sedasi) - Tempat tidur yang kinetik - Spirometer incentif,nafas dalam, kontrol rasa nyeri - Mengobati penyakit dasar - Menghindari penghambat histamin tipe 2 dan antasida Faktor Alat - Kurangi obat sedatif dan paralitik - Hindari overdistensi lanbung - Hindari intubasi dan reintubasi - Pencabutan slang endotrakheal dan nasogastrik yang -
terencana
/.duduk (30- 40 derajat) Jaga saluran ventilator bebas dari kondensasi Tekanan ujung slang endotrakheal > 20 cmHzO (menjaga kebocoran patogen ke saluran nafas bawah) Aspirasi sekresi epiglottis yang kontinyu Posisi
Faktor Lingkungan
-
Pendidikan Menjaga prosedur pengontrol infeksi oleh staf Program pengontrolan infeksi Mencuci tangan, desinfektasi peralatan
jantung, emboli paru atau infark paru, dan infark miokard akut. Dapat terj adi komplikasi lain berupa a cute respiratory distress syndrome (ARDS), gagal organ jamak, dan komplikasi lanjut berupa pneumonia nosokomial.
PROGNOS!S PENCEGAHAN
Pneumonia Komunitas Di luar negeri dianjurkan pemberian vaksinasi influenza dan pneumokokus pada orang dengan risiko tinggi, dengan gangguan imunologis, penyakit berat termasuk penyakitparukronik, hati, ginjal danjantung. Di samping itu vaksinasi juga perlu diberikan untuk penghuni rumah jompo atau rumah penampungan panyakit kronik, dan usia
di atas 65 tahun.
Pneumonia Nosokomial Pencegahan PN ditujukan kepada upaya program
pengawasan dan pengontrolan infeksi termasuk pendidikan staf pelaksana, pelaksanaan tehnik isolasi dan praktek pengontrolan infeksi. Pada pasien dengan gagal organ ganda,, skoTAPACIIE yang tinggi danpenyakit dasar
yang dapat berakibat fatal perlu diberikan terapi pencegahan. Terdapat berbagai faktor terjadinya PN. Dari berbagai risiko tersebut beberapa faktor penting tidak bisa
dikoreksi. Beberapa faktor dapat dikoreksi untuk mengurangi terjadinya PN, yaitu antara lain dengan pembatasan pemakaian selang nasogastrik atau endotrakeal atau pemakaian obat sitoprotektif sebagai pengganti antagonis H2 dan antasid. (Tabel 10)
Pneumonia Komunitas Kejadian PK di USA adalah 3.4- 4 juta kasus pertahun, dan 20o/o di afiaranya perlu dirawat di RS. Secara umum angka kematian pneumonia oleh pneumokokkus adalah sebesar 5olo, namun dapat meningkat pada orang tua dengan kondisi yang buruk. Pneumonia dengan influenza di USA
merupakan penyebab kematian no. 6 dengan kejadian sebesar 5 9olo. Sebagian besar pada lanjut usia yaitu sebesar 89%. Mortalitas pasien CAP yang dirawat di ICU adalah sebesar 20o/o.Mortalitas yang tinggi ini berkaitan dengan "faktor perubah" yang ada pada pasien.
Pneumonia Nosokomial Angka mortalitas PN dapat mencapai 33- 50yo, yang bisa
mencapai 70% bila termasuk yang meninggal akibat penyakit dasar yang dideritanya. Penyebab kematian biasanya adalah akibat bakteriemi terutama oleh Ps. Aeruginosa atau Acinobacter spp.
REFERENSI America Thoracic Society Documents. Guidelines for the with Hospital- acquired, Ventilator- associated, and Healthcare- associated Pneumonia. The Offcial Statement of America Thoracic Society and Infectious Doseases
Management of Adults
2206
REI,JMAIOI.OGI
Society of America. Am J Respir Crit Care Med 2005; 171: 3gg-
416. American Thoracic Society. Guidelines for the management of Adults with Community - Acquired Pneumonia. Diagnosis, Assessment of severity, Antimicrobial, Therapy and pevention, A J Respir
Crit Med Crit Care Med. 2001; 163: l73O-54. Bemstein MJ. Treatment of community-Acqufued pneumonia-IDSA Guidelines. Am College Chest Phys 1999; 115:9S-13S. Brannan PJ. Nosocomial pneumonia.
In: Fishman Ap (ed). Pulmonary Diseases and Disorders. Companion Book. Second Ed. New York: McGraw-Hill Int. Ed,. t994;39:325-3t.
CK Lim, KH Lim, and CMM Wong. Community acquired- pneumonia in patients requiring hospitalization. Respirology 2001; Sept, 6(3):2s9- 64.
BA. Pneumonia, Community (lan. 2);3(1): 1-35.
Cunha
Farber MO. Managing cmmunity
-
Acquired. eMedicine J 2002
- acquired pneumonia. Factors to
consider in outpatient care. h@://wwwpostgradmed.com/issues/ 1994104 _99 I farber.htm. Post graduate Medicine 1 999; 1 05(4)
(April).
Guthrie RM, Jacobs M, Low DE, Mandell, L. Slama T. How to Combat Escalating Resistance: Lessons Learned From MRSA. Treating Resistant Respiratory Infections in the Primary Care Setting: The Role of the Now Quinolone. Medscape, CME Circle 2001 :7 -47 . http://www.medscape.com./viewprograml 204 1nt Kohno S, Matsushima T, Saito A, Nakata K, Yamaguchi K, et al. The Japanese Respiratory Society Guidelines for the management of hospital-acquired pneumonia in adults. Japanese Respiratory Society. Respirology. 2004;9: S 1-555. Lim WS, Macfarlane JT, Boswell TCJ, Harrison TG, Rose D, Leinonen M, Saikku P. Study of community acquired pneumonia aetiology (SCAPA) in adults admitted to hospital: implications for management guidelines. Thorax 2001 ;56.296301. Loh LC, Quah SY,Khoo SK, Vijayasingham P and Thayaparan T.
Addition of Macrolide in treating adult hospitalized community-acquired pneumonia. Respirology. 2005; l0: 37 7-7. Tarsia P, Aliberti S, Cosentini R, dan Blasi F. Hospital acquired pneumonia. Breathe 2005 (June); l(4): 297-301. Winterbauer RlI. Atypical pneumonia syndrome. In: Clinics in Chest Medicine. Philadelphia: WB Saunders Co.: 1991; VoLl2 (2).
354 PNEUMONIA BENTUK KHUSUS ZulDahlan
PENDAHULUAN Pneumonia dapat memberikan gambaran yang berbeda dari pneumonia bakterial akut dan dapat terjadi di lingkungan masyarakat ataupun di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena latar belakang patofisiologinya berbeda dengan
. .
pembiusan, cedera kepala, tumor otak) Disfagia sekunder akibat penyakit esofagus atau saraf (kanker nasofaring, skleroderma) Kerusakan shngter esofagus oleh selang nasogastrik. Juga berperan jumlah bahan aspirasi, higienegigi yang tidak baik, dan gangguan mekanisme klirens saluran napas.
pneumonia bakterial akut.
Luas dan beratnya kondisi pasien sering tergantung kepada volume dan keasaman cairan lambung. Jumlah asarn
PNEUMONIAASPIRASI Aspirasi merupakan proses terbawanya bahan yang ada di orofaring pada saat respirasi ke safruan napas bawah dan dapat menimbulkan kerusakan parenkim paru. Kerusakanyang terjadi tergantung jumlah danjenis bahan yang teraspirasi serta dayatahantubuh. Sindrom aspirasi dikenal dalam berbagai bentuk berdasarkan etiologi dan patofisiologi yang berbeda dan cata terapi yang juga berbeda. Di Amerika pneumonia aspirasi yang terjadi pada komunitas (PAK) adalah sebanyak 1200 per 100.000 penduduk per tahun, sedangkan pneumonia aspirasi nosokomial (PAN) sebesar 800 pasien per 100.000 pasien rawat inap per tahun. PA lebih sering dijumpai pada pria daripada perempuan, terutama usia anak atau usia lanjut.
lambung yang banyak dapat menimbulkan gangguan pernapasan akut dalam waktu I jam setelah obstruksi sebagai akibat dari aspirat atau cairan yang masuk ke saluran
napas. Namun biasanya aspirasi sedikit hingga hanya menimbulkan sakit ringan. Pneumonia aspirasi (PA) sering
dijumpai pada keadaaan emergensi yaitu pada pasien dengan gangguan kesadaran dengan atau tanpa gangguan menelan. Karena itu perlu diwaspadai risiko terjadinya PA pada pasien dengan infeksi, intoksikasi obat, gangguan metabolisme, strok akut dengan atattanpa massa di otak
atau cedera kepala. Aspirasi cairan lambung dapat menimbulkan pneumonitis kimia (Sindrom Mendelson) dan pneumonitis bakteril sering tedadi akibat flora orofaring.
ETIOLOGI PATOFISIOLOGI
Infeksi terjadi secara endogen oleh kuman orofaring yang
Pneumonia aspirasi dapat disebabkan oleh infeksi kuman,
biasanya polimikrobial namun jenisnya tergantung kepada lokasi, tempat terjadinya, yaitu di komunitas atau di RS.
pneumonitis kimia akibat aspirasi bahan toksik, akibat aspirasi cairan inert misalnya cairan makanan atau lambung,
Pada PAK, kuman patogen terutama berupa kuman anaerob
obligat (41-46%) yang terdapat di sekitar gigi dan
edema paru, dan obstruksi mekanik simpel oleh bahan padat.
dikeluarkan melalui ludah, mi salnya Peptococcus yarrg juga
dapat disertai Klebsiella pneumoniae dan Stafilokokus,
atau Fusobacterium nucleatum,
Faktor predisposisi terj adinya aspirasi berulangkali adalah:
.
Bacteriodes
melaninogenicus, dan Peptostreptococcus. Pada PAN pasien di RS kumannya berasal dari kolonisasi kuman
Penurunan kesadaran yang mengganggu proses
penutupan glotis, refleks batuk (kejang, strok,
2207
2208
PULNilONO.OGI
anaerob fakultatif, batang Gram negatif, pseudomonas, proteus, serratia dan S. aureus di samping bisa juga
hasil terapi dan resolusi terhadap terapi berdasarkan
disertai oleh kuman anaerob obligat di atas. pada pasien yang berasal dari rumah perawatan (nursing home) dapat terinfeksi patogen seperti halnya pada infeksi nosokomial.
penggantian atau penyesuaian antibiotik (AB).
Manifestasi pneumonia aspirasi dapat berupa bronkopneumonia, pneumonia lobar, pneumonia nekrotikans, atau abses paru dan dapat diikuti terjadinya emprema.
DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang menyokong adanya kemungkinan aspirasi yaitu pada pasien yang berisiko untuk mengalami pneumonia aspirasi yaitu pasien yang mendadak batuk dan sesak napas sesudah makan atau minum. Awitan umumnya insidious, walaupun pada infeksi anaerob bisa memberikan gambaran akut seperti pneumonia pneumokokus berupa sesak napas pada saat istirahat, sianosis Umumnya pasien datang l-2 minggu sesudah aspirasi, dengan keluhan demam menggigil, nyeri pleuritik, batuk, dan dahakpurulen berbau (pada 50% kasus).
Kemudian bisa ditemukan nyeri perut, anoreksia, dan penurunan berat badan. Dengan pewarnaan Gram terhadap bahan sputum saluran napas dijumpai banyak neutrofil dan kuman campuran. Terdapat leukositosis dan Lanju Endap Darah (LED) meningkat. Pada foto toraks terlihat gambaran infilhat pada segmen paru unilateral yang dependen yang mungkin disertai kavitasi dan efusi pleura. Lokasi tersering adalah lobus kanan tengah dan/ ata:o lobus atas, meskipun lokasi ini tergantung kepadajumlah aspirat dan posisi badan pada saat aspirasi. Perlu diperiksakan elektrolit, Blood t_Irea Nitrogen (BUN) dankreatinin, analisis gas darah, dankultur darah.
TERAP! Pasien dibaringkan setengah duduk. Pada pasien dengan disfagi dan atau gangguan refleks menelan mungkin perlu dipasang selang nasogastrik. Pada PAK terapi empirik haruslah mencakup patogen anaerob, sedangkan pada PAN harus pula mencakup patogen Gram negatif dan S. qureus sampai hasil kultur sputummemberikan hasil untuk penentuan terapi antibiotika. Pneumonia aspirasi (PA) dengan tipe yang didapat di masyarakat diberikan penisilin atau sefalosporin generasi ke 3, ataupun klindamisin 600 mg ivl8 jam bila penisilin tidak mempan atau alergi terhadap penisilin. Bila PA didapat di rumah sakit diberikan antibiotik spektrum luas terhadap
kuman aerob dan anaerob, misalnya aminoglikosida dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ke-3 atau4, atau klindamisin. Perlu dipertimbangkan pola dan resistensi kuman di rumah sakit bersangkutan. Dilakukan evaluasi
gambaran
klinis bakteriologis untuk memutuskan
Tidak ada patokan pasti lamanya terapi. Antibiotik perlu diteruskan hingga kondisi pasien baik, gambaran radiologis bersih atau stabil selama 2 minggu. Biasanya diperlukan terapi 3-6 minggu. Pada empiema perlu dipasang water scaled drainase (WSD), dan pada pasien yang pada foto toraks memberikan gambaran abses paru yang diduga disertai penyumbatan saluran napas atau bekuan mukus perlu dilakukan bronkoskopi terapeutik. Bedah terhadap abses tidak diperlukan kecuali bila respons terapi kurang dan terjadi relaps infeksi di tempat yang sama.
Kortikosteroid diberikan sebagai obat tambahan bila terdapat bronkokonstriksi reaktif.
KOMPLIKASI DAN MORTALITAS Dapatteqadi gagal napas akut dengan/tanpa disertai reaktif saluran napas, empiema, abses paru dan superinfeksi paru.
Angka mortalitas PAK adalah sebesar menjadi20%pada PAN.
5olo
yang meningkat
PROGNOSIS
Angka mortalitas pneumonitis yang tidak disertai komplikasi adalah sebesar
5olo,
sedangkanpada aspirasi
masifdengan/tanpa disertai Sindrom Mendelson mencap ai7 0%o.
PNEUMONIA PADA GANGGUAN IMUN Pada pasien dengan gangguan imun terdapat faktor predisposisi berupa kekurangan imunitas akibat proses penyakit dasamya atau akibat terapi. Gangguan ini terdapat dalam berbagai kategori abnormalitas yaitu mekanisme pertahanan tubuh, misalnya gangguan dari imunoglobulin, defek sel granulosit, defek fungsi sel T. Benhrk pneumonia yang terjadi tergantung pada defek imunitas tersebut.
Pemberian kemoterapi merusak ketahanan mukosa sehingga memudahkan terjadinya invasi kuman. Infeksi merupakan penyebab kematian yang tersering terutama pada pasien leukemia akut. Lokasi infeksi yang utama adalah di saluran napas bawah. Infeksi pada pasien ini sulit didiagnosis, sulit diterapi, serta buruk prognosisnya. Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh kuman patogen atau mikroorganisme yang biasanya nonvirulen, berupa bakteri, protozoa, parasit, virus,jamur, dan cacing. Perubahan flora kuman orofaring dan saluran napas atas pada gangguan imun cepat terjadi hingga terutama dijumpai kuman Gram negatif dan setelah terapi antibiotik
atau steroid juga didapatkan kandidiasis. Tindakan pengisapan, intubasi atau bronkoskopi menyebabkan
2209
PNEI'IUONIA BENTUK KHUSUS
PNEUMONIA PADA USIA LANJUT
adanyakolonisasi kuman di saluran napas bawah. Pasien granulositopenia dan gangguan granulosit cenderung peka untuk infeksi oleh kuman Gram negatif batang, S. aureus, atau jamur aspergilus dan zigomisetes. Sebaliknya pasien dengan gangguan imunitas selular cenderung terinfeksi oleh infeksi virus terutama grup virus herpes (CMV, Herpes simplex) dar, adenoviras, mikobakterium,
Pneumonia komunitas pada usia lanjut (di atas 60 tahun) terutama terjadi pada 2 kelompok yaitu usia lanjut yang tinggal di rumah dan yang tinggal di rumah perawatan.
carinii, toksoplasma, kriptokokus,
di antara pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial.
Pneumocystic
aspergilus, dan nokardia.
Diagnosis ditegakkan atas dasar adanya faktor predisposisi, status epidemiologi, tingkat awitan dan progresivitas penyakit. Gambaran klinis bervariasi, awitan akut mungkin oleh bakteri atau aspergilus; subakut yaitu dalam beberapa hari oleh P. carinii atat nokardia, dan dalam beberapa minggu mungkin oleh mikobakteria, atau jamur. Gambaran konsolidasi pada foto toraks mungkin
minimal atau tidak ada pada infeksi bakteri dengan granulositopenia berat, suatu hal yang tidak sesuai dengan beratnya proses patologi. Pemeriksaan invasif diperlukan bilamana diagnosis sulit ditegakkan. Bila setelah terapi
empiris febris timbul lagi, perlu dipertimbangkan kemungkinan terjadinya rekurensi atau infeksi oleh kuman lain, dan perlu dilakukan pemeriksaan ulangan. Diagnosis etiologi ditegakkan berdasarkan kepada 2 hal: . Gangguan imun yang mendasarinya. Gangguan imun tertentu merupakan predisposisi tipe infeksi tertentu. Misalnya gangguan imunitas humoral yang berperan terhadap infeksi kuman akan cenderung terinfeksi oleh
kuman, sedangkan gangguan imunitas selular cenderung terinfeksi oleh virus, jamur, mikobakterium dan protozoa. Keadaan neutropenia dan leukemia akut, pemberian kemoterapi, metaplasia mieloid merupakan predisposisi untuk terj adinya infeksi Staphyloc occus aureus, aspergilus, bakteri Gram negatif,, dan kandida Gambaran radiologi. Infiltrat difus biasanya didapat pada pneumonia oleh P carinii atatvirus. Infiltrat yang
Kelompok kedua ini bila ditinjau dari flora orofaring dan besarnya kontak dengan antibiotika dapat dianggap berada Gambaran klinik yang ditemukan umumnya berbeda daripada gambaran pada usia lebih muda, yaitu dengan onset yang insidius, sedikit batuk dan demam yang ringan, dan sering disertai dengan gangguan status mental atau bingung, dan lemah. Kelainan fisik paru biasanya ringan.
Patogen penyebab tersering adalah Slr. pneumonia (30-60%), H. InJluenza (20%), dan M. catarhalis. Dapat terjadi pneumonia aspirasi oleh campuran kuman aerob dan anaerob dari faring akibat adanya gangguan refleks menelan atau gangguan saraf motorik faring. Pada usia lanjut di rumah perawatan yang baru selesai rawat inap di
rumah sakit dengan pemberian antibistik dijumpai peningkatan kolonisasi kuman Gram negatif. Bila terjadi aspirasi maka akan dijumpai pneumonia oleh patogen K. pneumonia, E. coli, Enterobakteria lain danP aeruginosa. Pada usia lanjut dari rumah perawatan penyebab pneumonia adalah kuman Gram negatif (20-40%), S. a ureus (10%),
pneumonia menjadi penyebab pneumonia pada9 kasus yang berusia >65 tahun.
dan M. o/o
PNEUMONIAKRONIK Pneumonia kronik dapatberupa pneumonia karena infeksi dan bukan karena infeksi. Pneumonia yang non infektif
dapat dilakukan pemeriksaan secara invasif misalnya
antara lain pada pneumonia interstitial kronik yang disebabkan oleh proses degeneratif yang menyebabkan terjadinya inflamasi dan proses fibrosis pada alveoler yang diikuti indurasi dan atrofi paru. Pneumonia akibat infeksi merupakan pneumonia yang berkembang dan berlangsung berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Pneumonia ini dapat disebabkan bakteri (aktinomises, nokardia, P. pseudomallei, anaerob). mikobakterium (M. tuberculosis, M. kansasii, M. avium atau M. intracellulare), jamur (blastomyces, histoplas' m o s i s), protozoa (E. his t o ly t ic a), atau cacing. Pneumonia kronik yang disebabkan campuran patogen aerob dan anaerob dapat menimbulkan pneumonia nekrotikans berupa lesi infiltrat multipel dan rongga di paru' Diagnosis ditegakkan berdasarkan persangkaan lokasi
bronkoskopi untuk melakukan cuci bronkus, biopsi
kediaman
transtorakal, dan biopsi paru dengan cara video assisted thoracoscopy. Gambaran infiltrat paru pada foto torak perlu dipikirkan kemungkinan penyebab lain selain infeksi seperti edema paru, reaksi obat, infark paru, kanker paru, dan pneumonitis radiasi. Terapi empiris segera dimulai bila tindakan di atas dianggap kurang menguntungkan.
predisposisi/gangguan imunitas pasien (penyakit kronik atau penyakit dasar), gambaran manifestasi klinis di paru/ ekstra paru, hasil pemeriksaan radiologis dan bakteriologi. Didapatkan adanya gejala panas badan yang ringan,
. .
terlokalisasi oleh bakteri dan jamur.
Waktu terjadinya penyakit. Awitan akut biasanya disebabkan bakteri sedangkan awitan insidiouS oleh virus, jamur, protozoa atau mikobakteria. Pneumonia yang terjadi dalam 2-4 minggu setelah transplantasi biasanya disebabkan oleh bakteri, sedangkan bila beberapa bulan lebih mungkin oleh P carinii, virus (CMV), j amur (asp ergilus). Perlu diperiksa bahan dari sputum, darah atau cairan
terhadap kemungkinan penyebab tersebut. Bila diperlukan
di daerah endemik infeksi, adatya faktor
penurunan betatbadaq dan batuk yang lama dengan atau tanpa disertai hemoptisis. Foto toraks sering menunjukkan
2210
gambaran rongga tunggal atau multipel, dengan peningkatan corakan yang menghubungkan lesi dengan
hilus sepanjang saluran limfatik. Perlu dipikirkan diagnosis banding dengan penyakit noninfeksi seperti proses keganasan, sarkoidosis, vaskulitis, pneumonitis reaktifatau alergik. Terapi diberikan bila telah ditegakkan diagnosis pasti, kecuali pada dugaan kuat adanya infeksi anaerob atau mikobakterium. Pada keadaan ini dapat diberikan terapi empiris sementara menunggu hasil bakteriologi.
PI.JLMONOIOGI
Manifestasinya dapat sebagai penyakit yang terbatas pada paru atau sebagai penyakit sistemik. Hiperosinofilia mungkin tidak terdapat pada daerah perifer. Bentuk yang tersering adalah eosinofrlik paru yang simpel, pneumonia eosinofi lik akut, pneumonia eosinofilik kronik, pneumonia eosinofilik akut, Sindrom Churg-Strauss, Sindrom eosinofilik idiopatik, aspergilosis bronkopulmoner eosinofilik, granulomatosis bronkosentrik, akibat infeksi parasit atau akibat reaksi obat. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada gambaran klinik, hasil laboratorium, gambaran radiologik, hasil cucian bronkus, dan bilamana diperlukan dilakukan biopsi paru. Terapi diberikan terhadap penyebabnya.
PNEUMONIA BENTUK LAIN
Pneumonia Rekurens Disebut pneumonia rekurens (PR) atau berulang bila dijumpai 2 atau lebih episode infeksi paru non TB dengan berjarakwaku lebih dari I bulan, dan disertai adanya febris, gambaran infrltrat paru dan umumnya disertai sputum purulen, leukositosis dan respons terhadap antibiotik yang baik. Pneumonia rekurens perlu dibedakan dari Pneumonia Relaps yaitu dengan adanya 1 episode infeksi yang sama dan terjadi pada 2 waktu atau lebih serta berturutan dengan interval waktu yang lebih pendek. Pada pneumonia relaps ini perlu dicari kelainan dasar paru, apakah terdapatnya lokal atau pada beberapa tempat. Bila bersifat umum kelainan ini bisa dalambentukkelainan kongenital, herediter atau didapat yang berhubungan dengan adanya kelainan paru, jantung, gastrointestinal, gangguan imunitas, ataupun sebab lainnya. Pneumonia rekurens sering berhubungan dengan keadaan patologik intratoraks dan ekstratoraks. Penyakit intratoraks yang tersering dijumpai berhubungan dengan PR adalah PPOK, gagal jantung kongestif, gangguan imunitas lokal seperti bronkiektasis, benda asing pada bronkial, tumor endobronkial, TB paru, asma, dan pascaoperasi paru. Sedangkan penyakit ekstratoraks adalah
alkoholik, DM, sinusitis kronik, epilepsi, penyakit hematologi (misalnya leukemia limfositik kronik), penyakit keganasan dan terapi steroid sistemik. Di samping itu juga Sindrom lobus tengah kanan (right middle lobe syndrome) merupakan suatu bentuk infeksi rekurens lokal pada paru
oleh atelektasis lobus media kanan yang diakibatkan adany a perbe saran kelenj ar p eribronkial, gang guan ventilasi dan kelainan anatomis. Diagnosis penyakit dasar PR sering telah diketahui dari pemeriksaan klinis, namun kadang- kadang memerlukan pemeriksaan khusus.
PNEUMONIA RESOLUSI LAMBAT Dikatakan bila pneumonia mengalami resolusi lambat yaitu
bila pengurangan gambaran konsolidasi pada foto toraks lebih kecil dan5\%o dalam2 minggu dan berlangsung lebih
dan2lhari.
REFERENSI
N. In : Baum's textbook of pulmonary diseases. Eosinophilic lung diseases. 7'h edition. Philadephia:Lippincott W&W;
Allen
2004;27:27 511-37
.
Bihari DJ, Spencer RC. Bacterial infection in
intensive
care.UK:Medicom Excel; 1995. Brennan PJ. Nosocomial pneumonia. In: Fishman AP editor. Pulmonary diseases and disorders. Companion book. 2^d edition. New York: McGraw-Hill; 1994;39. 325-31. Conte PL et al. Pneumonia, aspiration. E medicine. 2005: April 7. http :/iwww.emedicine.com/EMERG/topic464.htm Cunha BA. The antibiotic treatment of community acquired, atypical and nosocomial pneumonias. Med Clin North Am 1995; '79:581-97. Fishman AP. Fishman's pulmonary diseases and disorders. 3'd edi-
tion. 1 998:
1
92
1
-5.
Goh Lee Gan. Treatment of pneumonia in general practice. Medical Progress. 1991; May: 33.-42, Hendro Wahjono. Penggunaan antibiotika secara rasionalpada penyakit infeksi. Medika. 1994; 2:42-7. Levison ME. The pneumonias. Clinical approaches to-infectious diseases
of the lower respiratory tract. Boston: JohnWright;
1984.p.3 8-
13 5.
Niederman MS. Clinics in chest medicine. Philadelphia: WB Saunders; 1987 .p.393 -404,467 -80, 529 -42. Soemantri ES, Dahlan Z. Buku pedoman pengelolaan dan penelitian
infeksi saluran pernapasan bawah akut.Bandung: Subunit Pulmonologi, Bagian/UPF IP Dalam FKUnpad,{RS Hasan Sadikin,
1992. Suchai Charoenratanakul. Community-acquired pneumonia.Medical
PENYAKIT PARU EOSINOFILIK Merupakan penyakit paru akibat kelompok gangguan paru yang beragam yang ditandai oleh adanya infiltrasi eosinofil
pada bronkus, alveoli dan interstitium dari paru.
Progress. I 993.p.5-10. Tatterfleld AE, McNicot MW. Respiratory disease. London: Springer veriag; 1 987.p.88-107. Thomas RL. Chronic interstitial pneumonia. The eclectic practice
of medicine.2005. http://www.ibiblio.org/herbmed/eclectic/ thomas/pneumonia-chr-int.html.
355 TRANSPLANTASI PARU ZulkifliAmin
INDIKASI, PROGNOSIS DAN ANGKA OPERASI
PENDAHULUAN Selama lebih dari 2 dekade,transplantasi paru telah menjadi
Transplantasi Paru (Unilateral dan Bilateral)
pilihan pengobatan yang sukses untuk pasien kelainan
Sejak tahun 1994, jumlah operasi yang berhasil dilalokan
parenkim dan pembuluh darah paru. Selamajangka waktu
tiap tahun, antara 1300-1500 operasi. Indikasi untuk
itu telah terjadi banyak perkembangan dalam hal
transplantasi paru adalah PPOK, fibrosis kistik, emfisema akibat defrsiensi al-antitripsin dan hipertensi paru primer. Sepuluh tahun terakhir transplantasi untuk hipertensi paru primer menurun dan B% 0990) menjadi 4% (2000) karena perkembangan ilmu kedokteran. Sebaliknya, transplantasi unhrk PPOK dan fibrosis paru idiopatik menin dkat darlzl% (1990) menjadi 42% (2000). Transplantasi paru unilateral dilakukan pada pasien dengan PPOK dan fibrosis paru idiopatik sedangkan pasien dengan PPOK dan fibrosis kistik akan mendapat transplantasi bilateral. Transplan paru bilati1l rlnpatbertahanhingga4,9 tahun (waktuparuh organ "ru1 transplan). Transplan paru unilateral dapat bertahan hingga 3.7 tahun. Sarkoidosis, hipertensi paru primer dan fibrosis paru idiopatik memiliki prognosis lebih buruk.
transplantasi paru. Sebagaimana diketahui transplantasi paru pertama dilakukan di Universitas MissisipiAmerika, dan pasiennya hanya bertahan hidup selama 18 hari.
Keberhasilan terapi imunosupresif (siklosporin) pada transplantasi ginjal danjantung mendorong para ahli untuk mulai mengembangkan lagi transplantasi paru pada awal tahun 1980-an. Sebelumnya pada tahun 1970-an pernah dicoba untuk melakukan transplantasi paru, namun terapi imunosupresif saat itu (azathioprine dan kostikosteroid) tidak mampu mengurangi komplikasi jalan napas pasca
transplantasi. Transplantasi j antung-paru selanjutnya yang berhasil dilalcukan terjadi pada tahun 1982. Saat itu kasusnya adalah
hipertensi paru primer lanjut. Kemudian para ahli mengembangkan transplantasi paru unilateral untuk penyakit paru interstisial. Sesuai dengan laporan dari
Transplantasi Jantung-Paru
ISHLT (International Society of Heart Lung transplantation),lebih dari 15.000 transplantasi paru dilakukan di seluruh dunia, Angka keberhasilan hidup mereka untuk 1,2 dan 5 tahun berhrrut-turut: 73yo,57yo dan45o/o. Teknik operasi selalu diperbaiki untuk menghasilkan metode transplantasi terbaik. Transplantasi paru bilateral secara sekuensial merupakan pilihan untuk mengatasi fibrosis kistik dan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) stadium akhir. Dengan banyaknya metode transplantasi tersebut maka transplantasi jantung-paru hanya dilakukan pada keadaan tertentu seperti penyakit j antung kongenital yang
Dari tahun 1998-2000 terjadi penurunan jumlah transplantasi jantung-paru dari 250 (1988) menjadi 105 (2000) . Selr;rtax 20% transplantasi jantung-paru dilakukan pada pasien usia < 18
tahun. Indikasi transplantasi jantung-paru
ini lebih
adalah
Kriteria Umum dan Kontraindikasi Transplantasi Paru Serta Transplantasi Jantung-paru
tidak bisa dikoreksi dengan tindakan bedah serta hipertensi
paru yang terkait dengannya. Hal ini disebabkan karena
prognosis jangka panjang metode
ini
penyakit jantung kongenital (seperti Sindrom Eisenmenger yang tidak dapat dikoreksi secara bedah) dan hipertensi paru primer serta fibrosis kistik. Prognosis transplantasi jantung-paru lebih buruk daripada transplantasi paru. Waktu paruh transplantasi jantung-paru adalah 2,8 tahun.
rendah
Pasien/kandidat resipien transplantasi paru sebelumnya harus sudah mendapat terapi medis optimal dan selama
dibanding metode lain.
22tt
2212
PIJLIUONOI.OGI
itu terbukti penyakit terus memburuk. Batas usia untuk transplantasi jantung-paru, transplantasi paru unilateral dan transplantasi paru bilateral adalah 55 tahun, 65 tahun dan 60 tahun. Selain itu, penyakit medis non paru yang adapada pasien harus diterapi adekuat dan pasien juga mendapat perlindungan dari penyakit yang umum dengan cara vaksinasi influenza dan vaksinasi pneumokok. Tabel 1 dan 2 merangkum kontraindikasi relatif dan absolut transplantasi paru. Donor dan resipien juga
diperiksa kecocokan ABO-nya. Biasanya donor yang CMV+ akan diberikan kepada resipien yang CMV+ Juga.
Penilaian Klinis Klasifikasi New York Heaft Association Klas fungsional lll&lV Klas I dan ll Klas lll Klas lV Penurunan kapasitas latihan Sinkop Hemoptisis Tanda gagal ventrikel kanan Pengukuran hemodinamik Saturasi oksigen arteri pulmoner < 63%
. . .
. .
>63%
.
<2.1
ideal.
Pasien harus bebas dari penyalahgunaan zat selama 6 bulan termasuk nikotin, alkohol, dan narkotik. Masalah psikososial yang ada harus diselesaikan sebelum operasi. Kebutuhan ventilasi invasif merupakan kontraindikasi relatif.
Pasien dengan kolonisasi jamur dan mikrobakteria bukan merupakan kontraindikasi absolut namun perlu perawatan dan perhatian lebih untuk transplantasi paru unilateral
5 tahun 2.5 tahun 0.5 tahun
3 tahun (55%) 3 tahun (17olo)
< 630/o lndeks jantung < 2.1 Ll(min.m2)
Osteoporosis simptomatik dan asimptomatik yang sudah ditegakkan diagnosisnya harus diterapi sebelum transplantasi. Penyakit muskuloskeletal berat daerah dada merupakan kontraindikasi relatif sedangkan penyakit neuromuskular progresif merupakan kontraindikasi absolut Pasien yang sedang mendapat terapi kortikosteroid bukan halangan untuk transplantasi namun dosisnya harus dikurangi < 20 mg/hari. Obesitas dan kakeksia adalah kontraindikasi. Berat badan pasien harus antara 70-130% berat badan
Survivaf.
17 bulan
Tekanan atrium kanan > 10 mmHg < 10 mmHg > 20 mmHg Respon vasodilatasi paru
. .
4 tahun 1 bulan
Pasien dengan hipertensi paru primer klas fungsional lV < 300 meter yang sudah mendapat terapi medis optimal. Pasien dengan terapi bosentan oral selama 3 bulan dan prostasiklin lV selama 3 bulan tetap gagal memperbaiki/menstabilkan klas fungsional, jarak berjalan selama 6 menit, dan hemodinamik. Pasien diatas ternyata mengalami efusi perikardium, peningkatan kadar natriuretik tipe B dan desaturasi dan jarak berjalan selama 6 menit
)
oksigen arteri (> 20%) selama tes latihan.
PPOK Dan Emfisema (Defisiensi o1 -antitripsin) Sama seperti hipertensi paruprimer, pasien dengan PPOK/ emfisema sebelumnya sudah mendapat terapi optimal dan tidak menderita asma bronkial. Kriteria yang harus dipenuhi adalah FEV I < 25%o dai nllai prediksi dan atau PaCO, >55
mmHg (7.3 kPa) dan atau terdapat peningkatan tekanan
. . .
Adanya gagal organ lainnya seperti hati atau ginjal HtV (+)
Hepatitis B Antigen (+) dan Hepatitis C dengan penyakit
arteri pulmonal. Transplantasi cenderung dilakukan pada pasien dengan PaCO, tinggi yang membutuhkan terapi O, jangka panjang.
hati.
Fibrosis Paru ldiopatik Masalah seputar fibrosis paru idiopatik adalah KAN DIDAT PEI.IYAKIT
U
Nru
K TRANSPI.ANTASI PARU
perkembangan penyakit yang cepat dan respons yang
buruk terhadap kortikosteroid; pasien usia tua; dan
Hipertensi Paru Primer Pasien dengan hipertensi paru primer yang tidak diterapi medis diperiksa kemampuan fungsionalnya (berdasarkan kriteria klas New York Heart Assosiation (NYHA) dan
keadaan hemodinamik) sehingga diperoleh prognosis untuk tiap keadaan (Tabel3). Kemudian pasien tersebut dapat menjalani transplantasi paru jika tidak berespon terhadap terapi medis dengan kriteria seperti tercantum dalamThbel4.
banyaknya komorbiditas penyakit. Karena itu, jika diagnosis fibrosis paru idiopatik telah ditegakkan sebaiknya rujuk pasien ke pusat transplantasi untuk evaluasi dan
follow-up. Transplantasi cenderung dilakukan j ika pasien semakin sesak napas, kapasitas vital < 60Yo dankoefisien difu si karbonmonoksida <60%.
Fibrosis Kistik Kriteria pasien untuk transplantasi adalah FEVI <30%
2213
TRANSPIJ\NTASI PARU
prediksi, PaCO, >50mmHg(6.5 kPa), PaOr<55 mmHg (7.3 kPa). Pasien dengan bakteri multiresisten serta pasien
saat latihan fisik. Kurang leb1h40% pasien dapat kembali bekerja penuh/paruh waktu setelah 5 tahun pasca operasi'
perempuan usia muda dapat menjadi kandidat untuk transplantasi.
Transplantasi paru unilateral. Operasi dilakukan dengan insisi torakotomi lateral dan tidak memerlukan pintas jantung-paru. Kemudian dilakukan anastomosis bronkus
Penyakit Jantung Kongenital Dengan Hipertensi Pulmonal Pasien digolongkan sesuai kriteria klas NYIIA dan terutama dilakukan transplantasi pada kelas III dan IV.
end to end yang dibungkus dengan omentum yang
KRITERIADONOR Mencari donor transplantasi paru lebih sulit dibanding donor organ padat lainnya. Jika paru diambil maka akan terjadi mati otak akibat ketidakstabilan hemodinamik, edema
paru nonkardiogenik atau aspirasi. Kriteria donor untuk transplantasi dapat dilihat pada Tabel 5.
ditembuskan melalui diafragma. Selanjutrya arteri pulmonal
dihubungkan kembali dan potongan atrium
kiri
donor
dihubungkan dengan atrium kiri resipien. Keuntungan teknik ini adalah dari I donor dapat digunakan untuk 2 resipien paru dan 1 resipien jantung. Perbaikan frrngsi paru kurang nyata dibanding transplantasijantungparu karena paru resipien masih ada. Pada beberapa kasus
terjadi bronkiolitis obliteratif pada transplan paru unilateral sehingga menyebabkan pertukaran gas yang abnormal akibat paru asli resipien mendapat perfusi sedikit sementara paru transplan yang mengalami obstruksi jalan napas berat hanya mendapat sedikit ventilasi. Masalah ini kemudian mendorong perkembangan transplantasi paru
bilateral sekuensial.
. o . o
Tidak merokok
Transplantasi paru bilateral sekuensial. Teknik ini
berslh
dilakukan dengan 2 sekuen transplantasi paru unilateral dan tidak memerlukan pintas jantung-paru. Operasi dilakukan dengan insisi torakostemotomi anterior. Donor
PaCO2 (dengan oksigen inspirasi 100%) > 300 mmHg (pre-removatlpreoperasi) dan PEEP 5 mmHg, foto toraks dan sputum bronkoskopi tidak purulen.
Ukuran paru kurang lebih sama dengan ukuran paru resipien Sudah mendapat preterapi dengan prostasiklin
paru kiri dan kanan memiliki vaskularisasi dan anastomosis bronkus yang berbeda. Teknik operasi ini merupakan pilihan
untuk fibrosis kistik karena kedua paru yang terinfeksi diangkat.
Tfansplantasi lobus bilateral dari donor hidup. Teknik ini
Teknik Operasi Transplantasi jantung paru. Paru dan jantung resipien diangkat seaara en bloc dan trakea donor dianastomosis
digunakan pada anak dengan fibrosis kistik. Donor biasanya berasal dari keluarga karena itu kemungkinan penolakan organ dan bronkiolitis obliteratif sedikit'
dengan trakea resipien pada karina bagian atas. Daerah
anastomosis akan tersambung kuat karena mendapat banyak perdarahan dari arteri kolateral cabang arteri koronaria. Keuntungan transplantasi j antung-paru adalah
PERAWATAN PASCA OPERASI
curah jantung akan kembali normal. Sedangkan kerugiannya
Perawatan pasca operasi dilakukan oleh tim multidisiplin
adalah dapat terjadi penolakan tubuh terhadapjantung baru sehingga terjadi oklusi pembuluh darah koroner dan menyia-nyiakan sumber donor karena dari I donor dapat
transplantasi, pulmonologis, terapis/fisioterapis dan ahli
diberikan kepada 2 resipien penyakit paru dan I resipien penyakit jantung. Untuk mengatasi yang terakhir ini dilakukan operasi "domino" dimana jantung resipien diberikan kepada resipien jantung lainnya. Pada
transplantasi jantung-paru dilakukan operasi pintas jantung-paru sehingga batas atas usia resipien adalah 65 tahun.
Waktu paruh organ transplan jantung-paru adalah2.8 tahun. Kebanyakan pasien mencapai (nilai FEVI, kapasitas vital dan kapasitas paru total) normal sesudah 3 bulan pasca operasi. Toleransi latihan pasien tidak akan seperti
orang normal karena jantung mengalami denervasi sehingga tidak dapat merespons peningkatan kebutuhan
terdiri dari dokter bedah, perawat ICU, koordinator gizi. Perawatan pasca operasi rutin meliputi tanda vital, pencatatan asupan dan luaran, foto toraks harian, kadar siklosporin/takrolismus, nutrisi dini.
Penanganan hemodinamik. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya edemaparu akibat gangguan drainase limfatik dan kerusakan kapiler. Edema juga dapat disebabkan
oleh reaksi penolakan dan infeksi.
Penanganan
hemodinamik pada transplantasi paru unilateral lebih sulit daripada transplantasi paru bilateral karena te{adi edema
reperfusi yang menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik.
Ventilasi mekanik. Jenis ventilasi mekanik yang banyak digunakan tergantung dari penyakit, teknik operasi dan
2214
PULMONOI.OGI
kestabilan pasien. Sebagai contoh pasien PPOK yang
dan reaksi penolakan akut. Kemudian diikuti oleh penyakit
menj alani transplantasi paru unilateral hanya membutuhkan
proliferatif pasca transplantasi dan sindrom obliterans
ventilasi mekanik minimal/jenis non positive
bronkiolitis. Untuk membedakan infeksi dan reaksi penolakan akut dipakai indikator Transbronchial lung biopsy (TBB} Reaksi penolakan akut ditandai oleh adanya infiltrat perivaskular limfositik sedangkan pada infeksi
end-expiratory dan volume tidal yang rendah.
Bronkoskopi. Bronkoskopi digunakan saat operasi, sebelum ekstubasi, dan pada pasien dengan ventilasi mekanik jangka panjang, untuk membersihkan lendir serta mendapatkan spesimen mikrobiologi. Pencegahan infeksi. Pencegahan infeksi ditujukan untuk bakteri, CN[Y, Pneumocystis carinii dan Tbxtplasma gondii. Pasien fibrosis kistik harus menjalani pemeriksaan kultur sputum preoperatif agar dapat diberikan antibiotik yang sensitif pasca operasi.
Terapi imunosupresif. Terapi imunosupresif yang digunakan dapat berupa anti-limfosit poliklonaVglobulin anti-timosiVantagonis reseptor interleukin-2. Azatioprin diberikan preoperasi dengan dosis 2 mg/kg dan diturunkan sesuai dengan jumlah sel darah putih 5000/kurang. Metil-prednisolon diberikan intravena dengan dosis 500 mg sebelum reperfusi paru yang dihansplantasi. Selanjutnya diberikan sebanyak 125 mgiap l2jam selama 48 jam. Setelah itu metil-prednisolon diubah menjadi prednison oral 20 mgl
hari, diturunkan hingga l0 mg/hari selama 6 bulan berikutnya. Saat ini Mikofenolat mofetil digunakan sebagai pengganti azatioprin. Kombinasi terapi imunosupresif yang digunakan dirangkum dalam
ditemukan eksudat intraalveolar yang spesifik. Infeksi yang sering terjadi adalah pneumonitis sitomegalovirus yang diterapi dengan gansiklovir. Sedangkan penyakit proliferatif pasca transplantasi disebabkan oleh infeksi virus Epstein-Barr yang diterapi dengan asiklovir. Sindrom
bronkiolitis obliterans merupakan komplikasi jangka panjang dari transplantasi paru. Hingga saat ini belum ada metode untuk deteksi dini yang tepat (Tabel 7) sehingga revisi klasifikasi sindrom bronkiolitis obliterans yang baru
diharapkan dapat mendeteksi dini penyakit dan segera diberikan terapi imunosupresif.
Klasifikasi Baru
Klasifikasi Lama BOS
O
FEV1 > 80
%
BOS
O
BOS 0-p
BOS BOS BOS
'l 2 3
% % %
FEV1 66-80 FEV1 51-65 FEV1 < 50
BOS
1
BOS 2 BOS 3
FEV'I > 90
o/o
dan
FEF25-75o/o > 75 o/o FEVI 81-90 % dan atau FEF25-75 o/o < 75o/o
FEV1 66-80 % FEV'I 51-65 % FEVI < 50 %
BOS 0-p : stadium pre obliteransyang harus diwaspadai berkembang menjadi BOS
Thbel6. CO ST-BEN EFIT TRANS PLANTASI PARU
-
Siklosporin (inhibitor kalsineurin) dan mikofenolat mofetil (inhibitor siklus sel) Siklosporin dan azatioprin (inhibitor siklus sel) Takrolismus (makrolid) dan inikofenolat mofetil Takrolismus dan mikofenolat mofetil
Efek samping dari obat imunosupresif meliputi nefrotoksik, hipertensi, hipertrikosis, gangguan gastrointestinal, neurotoksik, hipertrofi gingival,
Transplantasi paru merupakan prosedur mahal dan membutuhkan perawatan terus-menerus berupa terapi
imunosupresif, monitor fungsi paru dan prosedur diagnostik. Hingga saat ini belum ada penelitian randomized control trial mengenai kemungkinan transplantasi paru untuk memperpanjang hidup resipien. Terdapat satu penelitian kohort pada sindrom Eisenmenger kemampuan hidup non tranplantasi lebih lama dari transplantasi. Sedangkan yang kemampuan hidup lebih baik pada pihak
hiperglikemik dan hiperkalemia. Takrolismus tidak memiliki kesamaan secara kimia dengan siklosporin namun memiliki efek yang sama. Keduanya dimetabolisme oleh sitokrom P450 34. dan berinteraksi dengan obat tertentu, Reaksi anafilaksis dapat terjadi baik pada takrolismus maupun siklosporin. Kedua obat ini bersifat nefrotoksik sehingga harus dipantau terus fungsi ginjal. Dibanding transplantasi organ lain, transplantasi paru sering disertai penunrnan
transplantasi adalah pasien dengan penyakit fibrosis kistik, PPOK, Fibrosis Paru Idiopatik, Hipertensi paru primer dan
flrngsi ginjal.
berkembang walaupun kemungkinan infeksi dan reaksi penolakan akut pada anak lebih tinggi. Jenis imrurosupresif yang digunakan pada anak sama dengan dewasa. Pada tahun 1990-an kurang lebih terdapat 60-80 operasi tiap tahunnya. Indikasi transplantasi pada anak sama seperti dewasa dengan jenis kasus fibrosis kistik yang
TATALAKSANA KOM
P LI
KASI
Komplikasi pasca operasi yang tersering adalah infeksi
bronkiektasis.
TRANSPLANTASI PARU PADA ANAK Tranplantasi paru pada anak selama 20 tahun terakhir terus
2215
TRAI{SPL/INTASI PARU
paling banyak. Komplikasi kematian pasca transplantasi disebabkan oleh bronkiolitis obliterans (60Yo) pada anak usia 3-6 tahun. Sedangkan pada anakusia < 1 tahun lebih sedikit kejadian bronkiolitis obliterans. Hal ini diperkirakan karena semakin muda usia anak maka toleransi terhadap organ transplan semakin baik.
PERKEMBANGAN TRANSPLANTASI PARU D! MASAAKAN DATANG
REFERENSI Bourke SJ dan Brewis RAL. Lung Transplantation. In: Lectures Notes on Respiratory Medicines. Blackwell Sciences. Hongkong 2000. 189-92. Higgenbottam T. Lung transplantation. In: Crapo JD dkk eds. Baum's
textbook of Pulmonary diseases. 7'\ ed. Lippincott Williams&Wilkins, Philadelphia. 2004, I 127 -38. Kaiser RL dan Wain JC. Lung transplantation. In: Fishman AP, Elias JA, Grippi MA,Kaiser LR, Senior RM ed.Fishman's manual of Pulmonary diseases and disorders. McGraw-Hill. New York1
Karena keterbatasan sumber donor, para ahli mulai memikirkan cara mendapatkan donorparu lainnya sepedi menggunakan sel induk untuk memperbaiki paru yang
rusak dan menggunakan organ dari binatang (xenotransplantasi). Organ dari binatang terpilih adalah babi. Namun donor ini memiliki banyak kekurangan berupa tingginya angka penolakan transplant dan zoonosis (transmisi retrovirus babi endogen ke manusia). Selain itu, anatomi paru babi berbeda dari paru manusia.
023-8.
Levine SM. Lung transplantation. In: ACCP Pulmonary board Review. American College of Chest Physician. Illinois 2003- 2138. Zuckerman A dan Klepetko W. Lung transplantation' In: Grassy D
dkk eds. McGraw- Hill International(UK)Ltd, London, 1999. 567 -7
l.
356 OBSTRUKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT Bambang Sigit Riyanto, Barmawi Hisyam
Saluran napas dapat mengalami obstruksi akut. Obstruksi bisa terjadi pada saluran napas bagian atas (supraglotik/di atas pita suara), tengah (intra glotik) atau bawah (infra glotik/ di bawah pita suara ) (Gambar 1). Pada saluran napas bagian bawah obstruksi bisa terjadi oleh karena penyakit Asma dan PPOK, sedangkan di bagian tengah obstruksi bisa terjadi oleh karena proses maligna dan benigna, seperti
daerah hipofaring pada dasar lidah danjuga pada pita suara asli atau palsu.
Etiologi Obstruksi saluran napas atas akut bisa disebabkan oleh karena fungsional atau mekanis. Sebab-sebab frrngsional yang biasanya menyebabkan kelainan ini adalah kelainan pada sistem saraf pusat dan disfungsi neuromuskuler
pertumbuhan tumor di dalam lumen endobronkhial atau
penekanan dari luar lumen yang disebabkan oleh pembesaran nodus limponodi atau neoplasma. Pada obstruksi di saluran napas tengah ini yang biasa
(Tabel 1).
menyebabkan obstruksi akut adalah adanya benda asing yang menyumbat saluran napas tengah tadi. Pada saluran napas atas yang sering memberikan gejala obstruksi akut
Penyebab obstruksi oleh karena gangguan fungsional Depresi sistem saraf pusat
ini adalah infeksi, edema laring, aspirasi benda asing.
Trauma kepala, kecelakaan serebrovaskuler, gagalnya sistem kardiorespiratori, syok, hipoksia, overdosis obat, ensepalopati oleh karena proses metabolik.
Abnormalitas neuromuskuler dan sistem saraf tepi
Har d pa
Recurrent laryngeal nerve palsy (pasca operasi, inflamasi atau infiltrasi tumor), obsfructive sleep apnoeae, spasme laring, miastenia gravis, Guillain-Bare polineuritis, spasme pita suara oleh karena hipokalsemi.
late
Soft palate Tonsil Palatin
Penyebab obstruksi oleh karena gangguan mekanis Aspirasi benda asing
Lidah
lnfeksi
Epiglotis Pita Suara
Epiglotitis, selulitis retropharin geal alau abses, Ang i n a Ludwig's, difteri dan tetanus, trakeitis bakterial, laringotrakeobronkitis. Edem laring Allergic laryngeal oedema dan hereditary angioneurotic oedema.
Lidah Esofagus
Gambar 1. Anatomi saluran pernapasan
Perdarahan dan haematom Pasca operasi, terapi antikoagulan
Trauma Luka Bakar
OBSTRU KSI SALU RAN PERNAPASAN ATAS AKUT
Neoplasma Karsinoma laring, faring dan trakheobronkhial, poliposis pita suara.
Pendahuluan
Kongenital
Saluran napas atas dimulai dari hidung dan mulut dan
Lain-lain
Vascular ings, laryngeal webs, laryngocele
berakhir pada carina. Obstruksi mungkin terjadi pada daerah yang secara stnrktur anatomi mengalami penyempitan seperli
Artritis Krikoaritenoid, akalasia, stridor histerikal, miksedema
2216
22t7
OBSTRUISI SALURAN PERNAPASAN AKUT
Gejala klinis
retroparingeal dan epiglotis. Foto lateral dilakukanpada saat
Tanda obstruksi komplet saluran napas atas yang mendadak sangat jelas. Pasien tidak dapat bernapas, berbicara atau
inspirasi dengan leher yang sepenuhnya dalam posisi
batuk dan pasien mungkin memegang kerongkongannya seperti mencelok(choking) (Gambar 2). Agitasi , panik dan
napas yang tersengal-sengal dan diikuti sianosis' Selanjutnya akan terjadi gagal napas diikuti dengan
ekstensi. Pembengkaan jaringan lunak epiglottis dan supra glottis dan ' 'ballooning " hipoparing merupakan tanda klasik adanya epiglotitis, tetapi tidak selalu muncul . CT:'scan dapat melihat tiroid, cricoid dan kartilago cricoid serta lumen
saluran pemapasan pada kondisi pasien yang stabil.
hilangnya kesadaran dan apabila sumbatan tidak segera ditangani akan menyebabkan kematian dalam waktu 2-5 hari.
Penatalaksanaan Al goritme penatalaksanaan sumbatarVobstruksi komplet dan obstruksi sebagian dari saluran napas atas bisa dilihat pada Gambar 3 dan 4.
@
@
ln@mplete UAO
Oxygen lV access Pulse oximetry Doctor in Continuous attendance
Gambar 2. Gambaran pasien seperti gerakan mencekik (choking)
Tanda adanya sumbatan saluran napas sebagian di antaranya adalah perasaan tercekik, tersumbat, batuk, stridor inspirasi serta disponi. Kemungkinan juga terjadi retraksi dinding inter kosta dan supra klavikula. -Gagalnya kekuatan inspirasi dapat menyebabkan ekimosis dermal
dan emfisema subkutan. Kegagalan respirasi bisa berlangsung cepat dan berkembang menjadi obstruksi/ sumbatan komplet. Letargi, gagal napas dan hilangnya kesadaran merupakan tanda akhir dari hipoksemia dan hiperkarbi. Bradikardi dan hipotensi merupakan pertanda ancaman terjadinya gagal jantung.
Soecial investigations lndirect laryngoscopy Fibreoptic endos@py Neck radiogEph CT scan
Skilled fibreoptic Bronchoscopy and
Special investigations lndirect laryngoscopY Fibreoptic endoscoPY
t\.4Rr
Flow/volume loop
intubatim
CT scan
( Diagnosis
I Deflnitive medical and Surgical management
st"ot"
@ Elective intubation
@ ./-
lvlanage as @mplete UAO (gambar 4)
Fibreoptic Orotracheal (LA or GA) retrograde TracheostomY
Gambar 3. Manajemen Obstruksi Parsial Saluran Napas Atas (UAO=upper airway obstruction, lY=intravenous, Cf =computed tom og ra ph y,MRl=m ag n eti c re so n a n ce i m ag i ng, LA=l o ca I a n a e s ffi esla, GA=ge neral anaesthesia).
LARINGOSKOPI DAN BRONKOSKOPI Laringoskopi indirek. Dilakukan pada kondisi pasien yang stabil dan kooperatifuntuk adanya benda asing dan massa retropharingeal dar laringeal. Penggunaan bronkoskopi fiber optik atau laringoskop memungkinkan untuk melihat secara langsung fungsi dan anatomi saluran napas atas.
Laringoskopi direk. Pemakaian alat ini memungkinkan untuk mengambil benda asing yang menyumbat dan membersihkan darah, muntahal ata\hasil sekret lainnya. Intubasi endohakheal juga bisa dilakukan untuk melihat secara langsung.
Orotracheal intubation ( 15-20s )
Surgical airway
Ciicothyroidotomy TTJV
PEMERIKSAAN RADIOGRAFI Foto sinar X leher dengan posisi anterior-posterior dan lateral dapat dilalarkan untuk mendeteksi adanya benda asing yang memberikan gambaran radio opaque, masa
Gambar 4. Manajemen Obstruksi Komplet Saluran Napas Atas (UAO=upper airway, pemasangan intubasi orotrakheal tidak boleh
lebih dari 15-20 detik, FB=foreign body,ffJV=transtracheal jet ventilation).
2218
PI,JLIilOI.IOLOGI
Pasien Tidak Sadar Jika saluran pernapasan atas tersumbat oleh lidah pada pasien yang tidak sadar, laringoskopi direk dapat dilakr:kan
untuk melihat sesuatu yang menyebabkan sumbatan supra glotik dan intubasi endotrakhea dapat juga
cocctts aureus. Mortalitas berkisar antara 6-7
dilakukan. Intubasi bisa dilakukan dengan: l). Intubasi fiber optik; 2). Intubasi retroged, 3). Intubasi nasotakheal,. 4). Intubasi laringoskopi direk dengan anestesi umum. Selain tindakan intubasi, tindakan pembedahan bisa dilakukan pada pasien ini. Tindakan pembedahan pada saluran napas ini bisa berupa: l). Ventilasi jet transtrakeal perkutan; 2).Krikotiroidotomi 3).Trakeostomi
Obstruksiyang Disebabkan oleh Benda Asing Obstruksi oleh karena benda asing merupakan kasus terbanyak yang dapat menyebabkan hambatan saluran napas akut. Diagnosis harus ditentukan pada kondisi gagal napas akut ketika pasien tidak dapat bemapas. pengeluaran
benda asing yang menyumbat saluran napas tadi dapat diusahakan dengan manuyer Heimlich.
Kompresi di Luar Saluran Napas Lesi pada ruang yang berdekatan dengan saluran napas dapat menyebabkan sumbatan saluran napas. Kompresi
yang disebabkan oleh adanya hematom mungkin berhubungan dengan hauma, pembedahan daerah leher, kateterisasi vena sentral, anti koagulan dan koagulopati. Hematom yang menyertai tindakan bedah harus segera dievakuasi. Sumbatan atau obstruksi sebagian saluran napas yang disebabkan oleh abses retroparingeal dapat diatasi dengan melakukan drainage abses tersebut dengan anestesi lokal.
Kompresi di Dalam Saluran Napas Jejas inhalasi. Pasien dengan luka bakar daerah wajah dan jejas inhalasi akan berkemb ang cepat menjadi edem supra glotik dalam waktu 24 jam. Sebagian besar pasien memerlukan tindakan intubasi trachea dengan segera. Penilaianjejas dan intubasi trakea dapat dilakukan dengan anestesi umum. Intubasi dengan laringoskopi fiber optik atau trakheostomi dengan anestesi lokal merupakan tindakan alternatif yang lebih baik.
Epiglotitis. Tadinya merupakan penyakit yang jarang dijumpai, tetapi kasusnya semakin hari semakin nleningkat.
Haf ini melibatkan epiltottis dan laring supra gtitfis lang menyebabkan pembengkakan dengan akibat sumbatan saluran napas. Organisme yang sering menyebabkan infeksi epiglottis ini adalah-FI inJluenzae, H.parainJluenzae, Streptococcus pneumoniae, S.haemolytic dan Staphylo-
yatg
Timbul rasa pedih/nyeri yang mendadak di kerongkongan Nyeri di daerah kerongkongan yang lebih sakit dari perkiraan tampilan gejala klinis Nyeri telan Terdapat perubahan suara Stridor Respiratory distress Sysfemlc toxaemia Nyeri pada perabaan di daerah laring
(v
KONDISI KLINIS YANG SERING MENYEBABKAN OBSTRUKSI SALURAN NAPAS ATAS AKUT
%o
disebabkan oleh karena diagnosis yang keliru dan pengobatan yang tidak sesuai. Gambaran klinis penyakit ini bisa dilihat pada Tabel2.
Untuk konfirmasi diagnosis bisa dilakukan dengan laringoskopi indireh sinar X leher lateral atau taringoskopi fiber optik. Intubasi trakea dan trakeostomi merupakan tindakan yang boleh dilakukan tetapi intubasi trakea mungkin memberikan hasil jangka lama yang lebih baik. Posisi pasien sangat penting, oleh karena perubahan dari posisi duduk ke posisi telentang (supine) dapat memicu terjadinya obstruksi komplit. Pada kebanyakan pasien yang dalam kondisi stabil dan sadar, intubasi dengan menggunakan fiber optik memungkinkan untuk dilakukan jika operator mempunyai keahlian. Intubasi endotrakeal dalam kondisi anestesi umum dengan menggunakan induksi per inhalasi, direkomendasikan untuk dilakukan. Obstruksi bisa terjadi dan prosedur ini hanya boleh dilakukan oleh ahli anestesi yang mempunyai keahlian dan dilakukan di kamar operasi serta didampingi
oleh dokter bedah yang siap untuk melakukan tindakan trakeostomi. Induksi secara cepat dengan menggunakan muscle-relaxan sangat berbahaya. Trakeostomi dengan menggunakan anestesi lokat jauh lebih aman.
Antibiotik yang sering digunakan sebagai terapi empirik pada kasus ini adalah sefuroksim 1,5 gram intra 8 jam, ampisilin 1-2 gram l-2 gramnnavena tiap jam sambil menunggu hasil kultur dari hasil usapan epiglottis dan kultur darah. Penatalaksanaan lainnya termasuk di antaranya adalah sedasi yang adekuat dan toilet tracheobronchial. Bila didapatkan adanya abses
vena tiap
6
harus dilakukan drainage. Manifestasi alergi. Respons alergi yang melibatkan saluran napas atas mungkin hanya bersifat local atau merupakan
bagian dari reaksi anafilaksis sistemik. Angioedem pada bibir, supra glottis, glottis dan infra glottis akan menyebabkan obstruksi saluran napas. Reaksi sistemik lainnya yang biasanya menyertai adalah beberapa gejala seperti urtikaria (79%), spasme bronkus (70%), syok, kolaps kardiovaskular dan nyeri abdomen. Penyebab terbanyak dari reaksi alergi ini adalah sengatan Hymenoptera, mengkonsumsi makanan jenis kerang-
2219
OBSTRUKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT
kerangan dan obat. Angioedem yang disebabkan oleh penggunaan angiotensin converting enziminhibitor akhir-akhir ini kasusnya juga semakin banyak. Penatalaksanaannya terdiri dari segera terjaminnya saluran napas yang adekuat dan pemberian oksigen, adrenalin dan
steroid.
Penatalaksanaan Penatalaksanaan obstruksi saluran pernapasan tengah akut ini ada dua tahap. Tahap pertaria adalah tahap stabilisasi sedangkan tahap ke dua adalah tahap intervensi.
Tahap Stabilisasi Pada pasien dalam kondisi stabil, tes fungsi paru bisa
Edema Laring Setelah Tindakan Ekstubasi Edema laring segera setelah tindakan ekstubasi lebih banyak terjadi pada anak-anak. Kasus ini biasanya dihubungkan dengan manipulasi dan traumatik yang mengenai saluran napas serta pemakaian intubasi trakeal jangka lama. Penatalaksanaan kasus ini pada orang dewasa
bersifat konservatif dengan pengawasan ketat dan pemberian oksigen. Steroid dan nebuliser boleh diberikan pada kasus ini.
OBSTRUKSI SALURAN PERNAPASAN TENGAH AKUT Obstruksi saluran napas tengah dapat terjadi oleh karena proses malignansi atau benigna seperti pertumbuhan tumor endobronkhial yang terdapat di dalam saluran napas itu sendiri atau kompresi dari saluran napas oleh karena pembesaran limponodi atau neoplasma. Gejala bisa berkembang secara perlahan-lahan seperti pada kasus obstruksi saluran napas oleh karena proses keganasan atau memberikan gejala akut seperti pada kasus oleh karena
aspirasi benda asing.
Gejala Klinis dan Diagnosis Belum ada penelitian secara prospektif yang melaporkan tentang manfaat diagnosis secara klinis maupun kelainan gambaran radiologis pada seseorang yang dicurigai terdapat adanya aspirasi benda asing. Penelitian biasanya dilakukan secara retrospektif. Sesak napas dilaporkan
hanya terjadi pada 25%o pasier. pada satu penelitian. Gejala batuk didapatkan pada 80% pasien. Gejala lainnya
bisa berupa demam, batuk darah, nyeri dada dan wheezing.
Diagnosis aspirasi benda asing memiliki kesulitan tersendiri karena pasien tidak selalu menceritakan adanya riwayat perasaan seperti tercekik. Diagnosis seringkali susah ditemukan kecuali pasien menceritakan adanya episode perasaan seperti tercekik yang sangat khas atau ditemukannya gambaran benda asing yang terlihat radio
dilakukan. Pasien dengan obstruksi berat diharapkan mendapat jaminan ventilasi dan oksigenasi.
Intubasi endotrakea: dapat dan aman dilakukan pada pasien yang sadar atau dengan menggunakan obat sedasi
ringan. Pada kasus dengan obstruksi trakea berat, penggunaan "open ventilating rigid bronchoscope" dapat dipakai sebagai metode kontrol saluran pemapasan.
Tahap lntervensi Setelah diagnosis aspirasi benda asing ditegakkan perlu dipikirkan waktu dan tindakan yang tepat untuk mengatasi masalah tadi. Obstruksi bronkial oleh karena benda asing
dapat memberikan komplikasi yang serius termasuk di antaranya asf,rksia, batuk darah, infeksipos/ obstruksi dan bronkiekhasis. Benda asing yang teraspirasi, terutaura yang
mengandung kadar minyak tinggi seperti kacang, dapat menyebabkan inflamasi mukosa yang berat dan akumulasi jaringan granulasi dalam waktu beberapajam setelah diagnosis ditegakkan. Ekstraksi benda asing harus segera dilalcukan sebelum terlambat. Pengambilan benda aisng bisa
dilakukan dengan menggunakan "rigid bronchoscopy" ata;r- "flexible bronchoscopy". Pada kasus benda asing terbungkus dalam jaringan granulasi yang besar , tindakan pengambilan ini sangat sukar untuk dilalarkan. Pada kasus ini ekstraksi sebaiknya ditunda dan dapat diberikan injeksi intra vena kortikosteroid (l-2 mgkg prednisolon), sambil menunggu kondisi klinis pasien menjadi stabil.
Teknik Pada umumnya bronkhoskopi diperlukan untuk pengambilan benda asing, pada pasien yang mengalami aspirasi benda asing. Pada anak-anak atau orang dewasa dengan proporsi tubuh yang kecil, aspirasi benda asing yangberupabiji buah atau manik-manik, bronkoskopi bisa dilakukan dengan posisi tertentu (lateral decubitus atau
tredelenburgh). Ked:ua posisi
ini mungkin akan
menyebabkan keluarnya benda asing secara spontan atau benda asing tersebut akan berpindah ke posisi yang lebih proksimal.
bronchoscope Akan memberikan jalan masuk yang
opaq pada foto rontgen.
Rigi.d
Bronkoskopi fiber optik merupakan pilihan prosedur diagnosis untuk kasus aspirasi benda asing pada pasien dewasa. Tindakan bronkoskopi ini juga harus dapat pula sekaligus melakukan dengan segera prosedur tindakan pengambilan benda asing yang menyumbat saluran
baik ke ahrran pemapasan sr,l b glotic,memberikanjalan masuk pertukaran gas, dan dapat digunakan sebagaijalan lintasan untuk bermacam-macam instrumen term asttk gr a sp ing for ceps da;n suction catheter . Anestesi umum dengan aksi ke{ a
pemapasan tadi.
pendelq termasuk propofol, aman dipakai unh-rk tindakan ini, yangjarang membuhrhkan waktu sampai lebih dari 10 menit.
2220
Optical forceps dapat memberikan gambaran secara langsung terhadap benda asing. Sebagai altematif, rigid telescope danforceps dapat dipakai melalui bronkoskopi. Selama prosedur tindakan pengambilan benda asing, hal yang sangat penting adalah jangan sampai mendorong
benda asing ke arah distal pada saat melakukan bronkhoskopi, forceps atat suction catheter. Jika terdapat darah dan secret di proksimal benda asing tadi, dapat dibersihkan dengan suction secara hati-hati. Ephinephrin (0,25 mg) mungkin bisa disuntikkan untuk hemostasis dan agar mengurangi pembengkakan mukosa yang membungkus benda asing ta di. Optical forceps lalu masuk ke dalam sumbu bronkus beberapa milimeter proksimal benda asing. Pada kasus pengambilan benda asing yang besar dan
keras, pemecahan benda asing menjadi 2 atau 3 bagian mungkin akan memudahkan ekstraksi. Berlda asing yang berat seperti halnya logam, mungkin akan makin bergerak ke arah distal oleh karena gravitasi. Pada kasus ini posisi tredelenburgh mungkin akan membantu. F lexible broruch o s c opy. Angka rata-rata kesuksesan fiberoptic bronchoscopic untuk pengambilan benda asing berkisar antara 60-90%. Meskipun demikian ekstraksi
PI.JLMOT{OI.OGI
saluran pernapasan yang dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatas an aliranudara yang revers ible dan gejala pernapasan. Di Amerika kunjungan pasien asma pada pasien berjenis kelamin perempuan di bagian gawat darurat dan akhimyamemerlukanperawatan di rumah sakit dua kali lebih banyak dari pada pasien pria. Data penelitian mennnjukkan bahwa 40%o dari pasien yang dirawat tadi terjadi selama fase premenstmasi. Di Australia, Kanada dan Spanyol dilaporkan bahwa kunjungan pasien dengan asma akut di bagian gawat darurat berkisar antara l-l2Yo. Rata-rata biaya tahunan yang dikeluarkan pasien yang mengalami serangan adalah $ 600, sedangkan yang tidak mengalami serangan biaya berkisar $ 170. Patofisiologi Triger (pemicu) yang berbeda-beda dapat menyebabkan eksaserbasi asma oleh karena inflamasi saluran napas atau bronkhospasme akut atau keduanya. Sesuatu yang dapat memicu serangan asma ini sangat bervariasi antara safu individu dengan individu yang lain dan dari satu waktu ke
waktu yang lain. Beberapa hal di antaranya adalah
dengan menggunakan fiberoptic bronchoscopic
allergen, polusi udara, infeksi saluran napas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat atau ekspresi emosi yang
mempunyai beberapa risiko, di antaranya : . Ketika benda asing yang terjepit menyumbat batang pipa bronkus, secara tidak sengaja akan berpindah ke
bakterial, poliposis, menstruasi, refluks gastro esopageal
paru sisi kontra lateral, yang disebabkan oleh ketidakmampuan daya cengkeram forcep fiber optic, yang kemungkinan besar akan menyebabkan
.
kematian. Lesi inflamasi yang membungkus benda asing gampang
pecah dan berdarah saat tersentuh. Semenjak alat
penjepit/cengkeram dimasukkan melalui pintu suction fiber optic bronchoscopy, suctioning dan manipulasi benda asing secara simultan tidak mungkin
dilakukan saat flexible bronchoscope sedang
.
digunakan.
Usaha yang tidak berhasil mungkin malah akan mendorong benda asing lebih ke arah distal, masuk ke dalam posisi yang lebih sempit.
OBSTRUKSI SALURAN PERNAPASAN BAWAH AKUT
berlebihan. Faktor lain yang kemungkinan dapat menyebabkan eksaserbasi ini adalah rinitis, sinusitis dan kehamilan. Mekanisme keterbatasan aliran udara yang
bersifat akut ini bervariasi sesuai dengan rangsangan. Allergen akan memicu terjadinya bronkhokontriksi akibat dari pelepasan Ig-E dependent dari mast sel saluran pemapasan dari mediator, termasuk di antaranya histamin, prostaglandin, leukotrin sehingga akan terjadi kontraksi otot polos. Keterbatasan aliran udara yang bersifat akut
ini
kemungkinan juga terjadi oleh karena saluran
pernapasan pada pasien asma sangat hiper responsif terhadap bermacam-macam jenis rangsangan. Pada kasus asma akut mekanisme yang menyebabkan bronkhokontriksi terdiri dari kombinasi antara pelepasan mediator sel inflamasi dan rangsangan yang bersifat lokal atau refl eks saraf pusat. Akibatnya keterbatasan aliran tdara timbul oleh karena adanya pembengkakan dinding saluran napas dengan atau tanpa kontraksi otot polos. Peningkatan permeabilitas dan kebocoran mikrovaskular berperan terhadap penebalan dan pembengkaanpada sisi luar otot polos saluran pernapasan.
pada saluran napas bawah ini yaitu asma akut dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) eksaserbasi akut.
Penyempitan saluran pernapasan yang bersifat progresif yang disebabkan oleh inflamasi saluran pernapasan dan atau peningkatan tonus otot polos
ASMAAKUT
berperan terhadap peningkatan resistensi aliran, hiperinfl asi pulmoner dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi (V/
Ada dua keadaan yang sering menyebabkan obstruksi
bronkhioler merupakan gejala serangan asma akut dan
Q). Apabila tidak dilakukan koreksi terhadap obstruksi
Pendahuluan Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis
saluran pernapasan
ini, akan terjadi gagal napas yang
merupakan kosekuensi dari peningkatan kerja pernapasan,
2221
OBSTRUKST SALURAN PERNAPASAN AKUT
inefisiensi pertukaran gas dan kelelahan otot-otot pernapasan. Interaksi kardiopulmoner dan sistem kerja paru sehubungan dengan obstruksi saluran napas Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asma akut. Gangguan ini akan menghambat aliran udara selama inspirasi dan ekspilasi dan dapat dinilai
dengan tes fungsi paru yang sederhana seperti peak expiratoryJlow rate (PEFP.) dan FEV, (Forced expiration volume). Ketika terjadi obstruksi aliran udara saat ekspirasi yang relatif cukup berat akan menyebabkan pertukaran aliran udara yang kecil untuk mencegah kembalinya tekanan alveolar terhadap tekanan atmosfer maka akan
terjadi hiperinflasi dinamik. Besarnya hiperinflasi dapat dinilai dengan derajat penumnan kapasitas cadangan fungsional danvolume cadangan. Fenomena ini dapatpula terlihat pada foto toraks, yang memperlihatkan gambaran volume paru yang membesar dan diafragma yang mendatar. Hiperinfl asi dinamik terutama berhubungan dengan peningkatan aktivitas otot pernapasan, mungkin sangat
berpengaruh terhadap tampilan kardiovaskular. Hiperinflasi paru akan meingkatkan after load pada
perkembangan laju serangan asma. Ketika yang dominan adalah proses inflamasi saluran pemapasannya, pasien memperlihatkan perburukan gejala klinis dan fungsional tipe I atau serangan asma akut tipe lambat. Data penelitian menunjukkan bahwa sekitar 80-90% pasien asma yang berkunjung ke bagian gawat darurat adalah pasien dengan serangan asma tipe I ini. Infeksi saluran pernapasan atas
sering juga menjadi pemicu serangan dan pasien memperlihatkan respon terapetik yang lambat. Kemungkinan pasien ini juga mempunyai reaksi inflamasi akibat reaksi alergi dengan diketemukannya eosinofil pada saluran pernapasannya. Pada serangan tipe 2, y ang dominan adalah terj adinya bronkhospasme dan pasien memperlihatkan serangan asma yang muncul tiba-tiba atau mendadak (aspiksia atau asma hiper akut) yang ditandai dengan obstruksi saluran napas yang berkembang sangat cepat (sesak muncul < 3-6 jam setelah serangan). Allergenyang terhirup, latihan fisik dan stres psikis yang sering menjadi pemicu serangan ini. Dalam saluran pernapasannya yar'g dominan adalah sel netrofil
(Tabel3).
ventrikel kanan oleh karena peningkatan efek kompresi langsung terhadap pembuluh darah paru.
Pertukaran Gas Hipoksemia tingkat ringan-sedang, hipokapnea dalam jangka lama dan alkalosis respiratori merupakan hal yang umum dijumpai pada pemeriks aan analisa gas darah (AGD)
pada pasien dengan serangan asma akut berat. Jika obstruksi aliran udara sangat berat dan tak berkurang, mungkin akanberkembang cepat menjadi hiperkapnea dan asidosis metabolik. Awalnya akan timbul kelelahan otot dan ketidakmampuan untuk mempertahankan ventilasi alveolar secara adekuat. Akhirnya akan terjadi produksi laktat.
Ketika pasien asimptomatis, FEV, cenderung menjadi sekurang-kurangnya 40-50% dari prediksi. Ketika tandatanda fisik menghilang FEV, berkisar antara 60-700/o dari prediksi atau lebih tinggi lagi. Karena frrngsi paru danAGD menilai dua perbedaan mekanisme patofisiologis, sehingga tidak aneh bahwa hubungan antara FEV, dan PaCO, atau PaOrsangat lemah.
Kombinasi antara hiperkapnea akut dan tingginya tekanan intrathorakal pada pasien dengan asma akut berat akan menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial yang bermakna. Beberapa penulis melaporkan terjadinya gejala neurologis seperti midriasis unilateral atau bilateral dan kuadri paresis selama episode akut serta perdarahan sub arakhnoid dan sub konjungtiva
EVOLUSI SERANGAN ASMA
Tipe 1. Perkembangan Lambat
Tipe 2. Perkembangan Cepat
Asma akut berkembang lambat Laju perburukan: > 6jam (biasanya dalam hari/minggu) 80-90% pasien asma yang dating ke GD Kebanyakan dialami oleh wanita Kebanyakan dipicu oleh infeksi saluran pernapasan atas
Onset cepat, aspiksi, brltfle,
Obstruksi yang muncul tidak begitu berat Respon lambat terhadap pengobatan dan banyak yang memerlukan perawatan di RS Mekanisme:
infl amasi saluran
pernapasan
asma hiperakut Laju perburukan: < 6jam 10-20% pasien asma yang datang ke GD Kebanyakan pada laki-laki Kebanyakan oleh karena alergen, exercise, stres psikis Obstruksi yang muncul lebih berat Respon cepat terhadap
pengobatan dan sedi kit yang memerlukan perawatan di RS Mekanisme: perburukan bronkhospastik
Kematian Akibat Asma Kematian kebanyakan terjadi di rumah, saat kerja atau selama perjalanan ke RS. Petanda yang dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya kematian akibat asma adalah riwayat seringnya pasien memerlukan perawatan di RS, terutama jika memerlukan ventilator. Ada dua kemungkinan yang dapat menyebabkan kematian pada pasien asma ini. Aritrnia berperan terhadap beberapa kasus kematian yang telah diamati terutama pada pasien dewasa. Aritmia bisa terjadi oleh karena peningkatan hipokalemia dan terjadinya pemanjangan segmen QT akibat
penggunaan p2-agonis dosis tinggi. Kematian juga bisa
terjadi oleh karena aspiksia yang disebabkan oleh Terdapat dua mekanisme yang berbeda dalam hal
keterbatasan aliran udara dan hipoksemia.
2222
PI.JLMONOT.OGI
Diagnosis
dada
Asma akut merupakan kegawatdaruratan medis yang harus
kardiovaskular atau suara napas yang asimetris), pada pasien yang secara klinis dicurigai adanya pneumoni atau pasien asma yang setelah 6-12 jam dilakukan pengobatan secara intensiftetapi tidak respons terhadap
segera didiagnosis dan diobati. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
pleuritik, emfisema sub kutis, instabilitas
terapi.
Riwayat Penyakit Tujuannya untuk menentukan waktu saat timbulnya
serangan dan beratnya gejala, terutama untuk
Monitor irama jantung. Elektro kardiografi tidak diperlukan secara rutin, tetapi monitor secara terus
membandingkan dengan eksaserbasi sebelumnya, semua
menerus sangat tepat dilakukan pada pasien lansia dan pada pasien yang selain menderita asma juga menderita
obat yang digunakan selama ini, riwayat di RS sebelumnya,
penyakit jantung. hama jantung yang biasanya
kunjungan ke gawat darurat, riwayat episode gagal napas sebelumnya (intubasi, penggunaan ventilator) dan gangguan psikiatrik atau psikologis. Tidak adanya riwayat asma sebelumnya terutama pada pasien dewasa, harus dipikirkan diagnosis banding lainnya seperli gagal jantung kongestif, PPOK dan lainnya.
Pemeriksaan Fisis Perhatian terutama ditujukan kepada keadaan umum pasien. Pasien dengan kondisi sangat berat akan duduk tegak. Penggunaan otot-otot tambahan untuk membantu bernapas juga harus menjadi perhatian, sebagai indicator
adanya obstruksi yang berat. Adanya retraksi otot sternokleidomastoideus dan supra sternal menunjukkan adanya kelemahan fungsi paru. Frekwensi pernapasan Respiratory Rale (RR) > 30X/ menit, takikardi > l20)Omenit atatpulsus paradoxus > 12 mmHg merupakan tanda vital adanya serangan ama akut berat. Lebih dari 50%o pasien dengan asma akut berat, frekwensi jantungnya berkisar antara 90-120 X/menit. Umumnya keberhasilan pengobatan terhadap obstruksi saluran pernapasan dihubungkan dengan penurunan frekwensi denyut jantung, meskipun beberapa pasien tetap mengalami takikardi oleh karena efek bronkotropik dari bronkodilator. Pulse oximelry, Pengukuran saturasi oksigen dengan puls e oximetry (SpOr) perlu dilakukan pada seluruh pasien dengan asma akut untuk mengeksklusi hipoksemia. Pengukuran SpO, diindikasikan saat kemungkinan pasien j atuh ke dalam gagal napas dan kemudian memerlukan penatalaksanaan yang lebih intensif. Target pengobatan ditentukat agar SpO, > 92Yo tetap teqaga.
Analisa gas darah (AGD). Keputusan untuk dilakukan pemeriksaan AGD jarang diperlukan pada awal penatalaksanaan. Karena ketepatan dan kegmaan pulse oximetry,harrya pasien dengan terapi oksigenasi yang SpO, tak membaik sampai > g|yo,perlu dilalarkan pemeriksaan AGD. Meskipun sudah diberikan terapi oksigen tetapi oksigenasi tetap tidak adekuat perlu dipikirkan kondisi lain yang memperberat seperti adanya pneumoni.
Foto toraks. Foto toraks dilakukan hanya pada pasien dengan tanda dan gejala adanya pneumothoraks (nyeri
ditemukan adalah sinus takikardi dan supra ventrikular
takikardi. Jika gangguan irama jantung ini hanya disebabkan oleh penyakit asmanya saja, diharapkan gangguan irama tadi akan segera kembali ke irama normal dalam hitunganjam setelah ada respons terapi terhadap penyakit asmanya. Respons terhadap terapi. Pengukuran terhadap perubahan PEFR atau FEVr yang dilakukan setiap saat mungkin merupakan salah satu cara terbaik untuk menilai pasien asma akut dan untuk memperkirakan apakah pasien perlu dirawat atau tidak. Respon terhadap terapi awal di IGD merupakan prediktor terbaik tentang perlu tidaknya pasien
dirawat, bila dibandingkan dengan tampilan beratnya eksaserbasi. Respon awal terhadap pengobatan (PEFR atau FEV, pada 30' pertama), merupakan prediktor terpenting terhadap hasil terapi. Variasi nilai PEFR di atas 50 L/menit dan PEF > 40o/o normal yang diukur 30 menit setelah dimulainya pengobatan, merupakan prediktor yang baik bagi hasil akhir pengobatan yang baik pula.
Penatalaksanaan Target pengobatan asma meliputi beberapa hal, di antaranya adalah menjaga saturasi oksigen arteri tetap adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi saluran pernapasan dengan pemberian bronkhodilator inhalasi kerja cepat (p2-agonis dan anti kolinergik) dan mengurangi inflamasi saluran pernapasan serta mencegah kekambuhan dengan pemberian kortikosteroid sistemik yang lebih awal.
Oksigen
Karena kondisi hipoksemia dihasilkan
oleh
ketidakseimbangan V/Q, hal ini biasanya dapat terkoreksi dengan pemberian oksigen 1-3 L/menit dengan kanul nasal atau masker. Meskipun demikian, penggunaan oksigen
dengan aliran cepat tidak membahayakan dan direkomendasikan pada semua pasien dengan asma akut.
Target pemberian oksigen ini adalah
dapat
mempertahankan SpO, pada kisarun> 92oh.
p2 - agonis Inhalasi p2-agonis kerja pendek merupakan obat pilihan untuk pengobatan asma akut. Onset aksi obat tadi cepat
2223
OBSTRUKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT
dan efek sampingnya bisa ditoleransi. Salbutamol merupakan obat yang banyak dipakai di instalasi gawat darurat (IGD). Onset aksi obat ini sekitar 5 menit dengan lama aksi sekitar
6
jam. Obat lain yang juga sering digunakan
adalah metaproterenol, terbutalin dan fenoterol. Obat dengan aksi kerja panjang tidak direkomendasikan,
Kortikosteroid Pemberian kortikosteroid secara sistemik harus diberikan pada penatalaksanaan kecuali kalau derajat eksaserbasinya ringan. Agen ini tidak bersifat bronkodilator tetapi secara ekstrem sangat efektif dalam menurunkan inflamasi pada saluran napas. Pemberian hidrokortison 800 mg atau 160
untuk pengobatan kegawatdaruratan. Levalbuterol
mg metilprednisolon dalam 4 dosis terbagi setiap
mempunyai efikasi yang lebih baik dan efek toksik yang minimal bila dibandingkan dengan albuterol racemik. Pemberian ephineprin sub kutan jarang dilakukan oleh karena memicu timbulnya efek samping pada jantung. Obat ini hanya berfungsi sebagai cadangan saat pasien tidak mendapatkan keuntungan dengan pemakaian obat
harinya, umunnya sudah memberikan efek yang adekuat
pada kebanyakan pasien. Perbandingan pemberian kortikosteroid secara sistemik dan per inhalasi bisa dilihat pada Tabel 4.
secara inhalasi. Pemakaian secara inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dengan efek samping yang lebih sedikit serta lebih
Anti-inflamasi Timbulnya efek
Perbaikan fungsi paru sangat lambat (> 6 jam)
Mekanisme
Kortikosteroid akan mdmicu efek transkriptional -+ mensin- tesis protein yang baru
efektif bila dibandingkan pemakaian secara sistemik. Penggunaan p2-agonis secara intravena pada pasien dengan asma akut diberikan hanya jika respon terhadap obat per-inhalasi sangat kurang atau jika pasien batuk berlebihan dan hampir meninggal. Pemberian obat perinhalasi secara terus menerus diperkirakan lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan pemberian secara berkala. Meskipun penelitian metaanalisis yang dilakukan secara acakpadapasien asma akut, tidak memberikan perbedaan yang bermakna dalam hal fungsi paru dan lamanya dirawat di rumah sakit tetapi
pemberian nebulizer secara berkesinambungan memberikan efek samping yang lebih sedikit. Efek samping dan ketergantungan dosis dapat terjadi pada semua cara pemberian, tetapi umumnya ditemukan pada pemakaian secara oral atau intravena. Efek samping pemakaian selektif p2-agonis diperantarai
melalui reseptor pada otot polos vaskular (takikardi dan takiaritmia), otot rangka (tremor, hipokalemi oleh karena masuknya kalium ke dalam sel otot) dan keterlibatan sel dalam metabolisme lipid dan karbohidrat (peningkatan
Topikal Perbaikan fungsi paru lebih cepat (< 3 jam) Kortikosteroid-+pera ngs
angan reseptor adrenergik pasca sinap -+ vasokonstrtriksi mukosa saluran pernapasan -) menurunkan aliran darah mukosa saluran pernapasan --) mucosadecongestion
Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian' kortikossteroid per inhalasi akan menurunkan lama perawatan di rumah sakit pada pasien asma akut, bila dibandingkan dengan placebo. Penelitian lain menemukan bahwa pemberian kortikosteroid oral yang setara dengan
dosis 40-60 mg prednison atau prednisolon per hari selama '7-14 hai, lebih efektif, murah dan aman. Bagaimanapun juga dari beberapa penelitian, pemberian kortikosteroid tunggal dosis tinggi per inhalasi, lebih efektif dari pada kortikosteroid oral untuk mengatasi serangan asma ringan pada pasien yang berkunjung ke IGD.
kadar asam lemakbesar dalam darah, insulin, glukosa, dan
piruvat). Stimulasi p2-adrenoreseptor juga berperan terhadap patogenesis asidosis laktat selama serangan asma akut berat, terutama pada pasien yang mendapatkan p2-agonis secara intravena.
Teofilin Penggunaan
teofilin sebagai obat monoletapi,
efektivitasnya tidak sebaik obat golongan p2-agonis. Pemberian aminophilin dikombinasi dengan p2-agonis per
inhalasi, tidak memberikan manfaat yang bermakna.
Antikolinergik Penggunaan antikolinergik berdasarkan asumsi terdapatnya peningkatan tonus vagal saluran pernapasan
pada pasien asma akut, tetapi efeknya tidak sebaik p2-agonis. Penggunaan ipratropium bromida (IB) secara
inhalasi digunakan sebagai bronkho dilator awal pada pasien asma akut. Kombinasi pemberian IB dan p2-agonis diindikasikan sebagai terapi pertamapada pasien dewasa dengan eksaserbasi asma berat. Dosis 4 X semprot (80 mg) tiap 10 menit dengan MDI atau 500 mg setiap 20 menit dengan nebulizer akan lebih efektif.
Pemberian obat ini malah akanmeningkatkan efek samping seperti tremor, mual, cemas dan taki aritmia. Berdasarkan beberapa hasil penelitian akhimya dibuat kesepakatan dan
keputusan untuk tidak merekomendasikan pemberian teohlin secara rutin untuk pengobatan asma akut. Obat ini boleh digunakan hanya jika pasien tidak respon dengan terapi standar. Pada kasus ini pemberian loading doses 6 mglkg dan diberikan dalam waktu > 30 menit dilanjutkan secara per infus dengan dosis 0,5 mglkg BB/jam. Kadar teofilin dalam darah yang direkomendasikan berkisar antara 8-12mg/rnl.
2224
PULMOIiIoI.OGI
Magnesium sulfat Penggunaan obat ini untuk asma akut pertama kali dilaporkan oleh dokter di negara Urugay pada tahun 1936. Mekanisme obat ini kemungkinan melalui hambatan kontraksi otot polos akibat kanal kalsium terblokir oleh magnesium. Obat ini murah dan aman. Dosis yang biasa diberikan 1,2 -2 g intravena, diberikan dalam waktu > 20 menit. Dari hasil penelitian secara meta analisis, pemberian obat ini pada pasien asma akut tidak dianjurkan untuk diberikan secara rutin. Pemberian obat ini secara per inhalasi tidak memberikan efek yang bermakna. Penelitian
akhir melaporkan bahwa pemberian magnesium sulfat secara intravena hanya akan
memperbaiki fungsi paru jika
diberikan sebagai obat tambahan pada obat yang telah ditentukan sebagai standarterapi (nebulizer p2-agonis dan
terhadap pembentukan dan pelepasan mediator alergi dari sel-sel paru. Data penelitian juga memperlihatkan bahwa eksaserbasi asma dihubungkan dengan adanya infeksi
bakteri, terutama bakteri Chlamydia pneumoniae. Pada kebanyakan kasus, penggunaan antibiotik tidak diperlukan.
Antibiotik sering diberikan bila terdapat peningkatan volume dan purulensi sputum. Padahal sputum yang terlihat purulen mungkin banyak mengandung eosinofil dan bukan leukosit polimorfonuklear. Sputum yang terdiri atas eosinofil ini merupakan asma akut tipe inflamasi saluran pemapasan dan biasanya tidak didapatkan adanya infeksi. Antibiotik diberikan unhrk pasien dengan gejala panas dan pada sputumnya didapatkan adanya lekosit polimorfonuklear. Antibiotik juga diberikan jika dari gejala klinis mengarah ke diagnosis pnemoni atau sinusitis akut.
kortikosteroid intravena) pada pasien dengan FEV, < 20oA prediksi.
untuk terapi asma akut, tetapi belum banyak penelitian
Heliox
yang dilakukan adalah obat anestesi umum per inhalasi, lidokain dan furosemide per inhalasi. Obat mukolitik per
Serangan asma akut dapat menyebabkan turbulensi aliran udara..Turbulensi aliranudara ini dapat dikurangi pemberian
gas yang mempunyai densitas lebih rendah serta mempunyai viskositas yang lebih tinggi dari udara. Heliox (helium dan oksigen) merupakan campuran gas yang dapat
diberikan pada pasien asma akut untuk mengurangi turbulensi aliran udara. Beberapa penelitian melaporkan bahwapemberian gas heliox sebagai terapi tambahanpada terapi standar untuk kasus asma akut tidak lebih efektif dalam hal perbaikan fungsi parubila dibandingkan dengan oksigen atau udara.
Obat lain yang kemungkinan juga memberikan manfaat
inhalasi tidak memberikan manfaat dalam pengobatan asma akut. Obat ini malah dapat memperburuk obstruksi saluran pernapasan dan meningkatkan gejala batuk. Obat yang memberikan efek sedasi, harus diberikan secara hati-hati pada pasien asma akut, karena memberikan efek depresi
pernapasan. Hasil penelitian menemukan bahwa ada hubungan ar,tara pemakaian obat sedasi ini dengan kamatian pada pasien asma. Penatalaksanaan awal pasien asma akut di IGD secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 5.
FEVr atau PEFR < 50%
FEV1 atau PEFR > 50%
Antagonis Leukotrin Ada beberapa penelitian yang dilakukan untuk menguji efektivitas penggunaan obat ini. Pada satu penelitian, pemberian dua macam obat zafirlukast secan oral (20 mg dan 160 mg) pada pasien asma akut yang dating ke IGD, memperlihatkan adanya perbaikan fungsi paru dan skor sesak napasnya menjadi berkurang. Pada pasien asma akut refrakter yang sudah mendapatkan terapi B2-agonis, pemberian montelukast inta vena akan meningkatkan FEV, secara cepat, meskipun perubahannyahanya sedikit bila dibandingkan dengan plasebo.
Terapi Lain Banyak penelitian yang menemukan bahwa infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus dapat memicu
terjadinya serangan asma. Virus common cold seperti halnya rhinoviruses dapat memicu terjadinya mengi pada remaja dan dewasa. Virus ini dapat memicu serangan asma melalui beberapa mekanisme. Infeksi virus kemungkinan dapat menyebabkan kerusakan epithelial dan inflamasi saluran pernapasan. Kerusakan epithelial dan saluran
inflamasi ini kemungkinan juga bertanggung jawab
Oksigenasi'1-3 l/menit melalui nasal kateter atau pemakaian masker oksigen dengan konsentrasi rendah sampai SpO2 mencapai > 92% p2-agonis inhalasi: albuterol 4X semprot (400 microgram) setiap 10 menit dengan MDI atau 2,5 mg albuterol dalam 4 ml larutan salin dengan nebulizer Oz (6-8 L/menit) setiap 20
Oksigenasi 1-3 l/menit melalui nasal catheter atau pemakaian masker oksigen dengan konsentrasi rendah sampai SpO2 mencapai > 92%.
p2-agonis inhalasi + antikolinergik; albuterol + lpratropium bro mide 4X semprot (400 pg dan 80 pg) setiap 10 menit dengan MDI
menit
Antikolinergik untuk pasien dengan respon a wal yang minimal kortikosteroid sistemik jika tidak segera memberikan respon terhadap bron kodilator
lnhalasi kortikosteroid dosis tinggi kortikostreroid sistemi: hidrokortikortison 200 mg iv atau metilpred nisolon 40 mg tiap 6 Jam
Keputusan untuk Memulangkan atau Merawat Pasien Spirometri dan gejala klinis dipakai untuk mengambil keputusan ini. Pasien harus dirawat jika meskipun sudah diberikan penatalaksanaan intensif selama 2-3 jam di IGD,
2225
OBSTRUKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT
tetapi masih didapatkan adanya mengi yang nyata, penggunaan otot-otot bantu pernapasan, masih memerlukan pemberian oksigen untuk menj aga SpO r> 92o/o
dan fungsi paru yang masih belum membaik (FEV, atau
< 40%o predlksi). Kondisi lain yang perlu dipertimbangkan untuk mera\Mat pasien adalah bila pada pasien tersebut didapatkan adanya faktor risiko yang tinggi dan untuk terjadinya kematian oleh karena asma (tidak tersedianya akses untuk mendapatkan pengobatan/ke rumah sakit, kondisi rumah yang menyulitkan, sulitnya transportasi ke rumah sakit bila sewaktu-waktu terjadi PEF
perburukan gejala). Jika pasien bebas dari gejala dan fungsi parunya > 60% prediksi, pasien dapat dipulangkan. Pasien dengan
fungsi palrt 40-60Yo prediksi setelah mendapatkan pengobatan dapat melanjutkan pengobatan lagi. Pasien ini kemungkinan dapat dipulangkan dengan anggapan bahwa tersedianya tempat untuk pengawasan lanjutan yang adekuat. Umumnya 3-4 jam di IGD sudah cukup waktu untuk menentukan jika pasien asma akut dapat membaik gejalanya dan aman untuk dipulangkan. Berdasarkan penelitian terakhir relap dalamjangka waktu dekat jarang terjadi pada pasien asma akut
Keputusan untuk Memasukkan Pasien ke ICU (lntensive Care Unitl Pasien dengan obstruksi aliran udara derajat berat yang
memburuk atau hanya mengalami perbaikan minimal meskipun sudh diberikan terapi harus masuk ICU. Pertanda
klinis untuk memasukkan ke ICU adalah distress pernapasan, tingginya pulsus paradoksus atau hilangnya denyrt nadi pada pasien denganfatigue atau pasien yang secara subjektifmerasakan adanya ancaman gagal napas. Indikasi lain untuk memasukkan pasien ke ICU adalah bila didapatkan ad anya gagal napas, status mentalnya berubah, SpOr< 90% meskipun sudah mendapatkan oksigenasi dan
kenaikan PaCO, disertai dengan keadaan klinis yang tak mengalami perbaikan.
PPOK EKSASERBASI AKUT
Akhir-akhir ini chronic obstructive pulmonary disease (COPD) atau penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)
Organization (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat. Akibat sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya akan meningkat dari ke duabelas menjadi ke lima dan sebagai penyebab kematian akan meningkat dari ke enam menjadi ke tiga. Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Dep.
Kes.
Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat
serebro vaskular. Biaya yang dikeluarkan unhrk penyakit
ini mencapai $ 24 milyar per tahunnya. World Health
1992, PPOK bersama asma bronkial
lainnya seperti polusi udara, faktor genetik dan lainlainnya.
Diagnosis PPOK Eksaserbasi Akut Penyakit paru obstruksi kronik sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi akut. Pasien PPOK dikatakan mengalami
eksaserbasi akut
bila kondisi pasien mengalami
perburukan yang bersifat akut dari kondisi sebelumnya yang stabil dan dengan variasi gejala harian normal sehingga pasien memerlukan perubahan pengobatan yang
sudah biasa digunakan. Eksaserbasi akut ini biasanya disebabkan oleh infeksi (bakteri atau virus), bronkospasme, polusi udara atau obat golongan sedatif. Sekitar sepertiga penyebab eksaserbasi akut ini tidak diketahui. Pasien yang mengalami eksaserbasi akut dapat ditandai dengan gejala yang khas seperti sesak napas yang semakin bertambah, batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi sputum, atau dapat juga memberikan gejalayatglidak khas seperti maloxi, fitigue dan ganggrtan susah tidur. Roisin membagi gejala klinis PPOK eksaserbasi akut menjadi gejala respirasi dan gejala sistemik. Gejala respirasi yaitu berupa sesak napas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume dan purulensi sputum, batuk yang semakin sering dan napas yang dangkal dan cepat. Gejala
sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyrt nadi serta gangguan status mental pasien.
Pemeriksaan yang diperlukan untuk menilai tingkat keparahan pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi akut
adalah: . Tesfungsiparu(mungkinsukardilakukanuntukpasien yang kondisinya parah) - PEF < 100 L/menit atau FEVr < 1 L mengindikasikan adanya eksaserbasi yang Parah. . Pemeriksaan analisis gas darah. - PaO, < 8,0 kPa (60 mmHg) dan atau Sa O, < 90% dengan atau tanp aPaCOr> 6,7 kPa (50 mmHg), saat bernapas dalam udara ruangan, mengindikasikan adanya gagal napas.
semakin menarik untuk dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka mortalitas yang terus meningkat. Di Amerika kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka 1, 5 jut a, 7 26.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan I 19.000 meninggal selama tahun 2000.
ke empat setelah penyakitjantung, kanker dan penyakit
RI tahun
menduduki peringkat ke enam. Merokok merupakan faktor risiko terpenting penyebab PPOK di samping faktor risiko
PaO, < 6,7 kPa (50 mmHg), PaCO, > 9,3 kPa (70 mmHg) dan pH < 7,30, memberi kesan episode yang mengancam jiwa dan perlu dilakukan monitor ketat serta penanganan intensif. Fototoraks. Dilakukanuntukmelihatadanyakomplikasi
-
. .
seperti pnemoni.
Elektrokardiografi (EKG). Pemeriksaan EKG dapat
2226
PI,JLII'ONOI.OGI
membantu penegakan diagnosis hiperhopi ventrikel kanan, aritmia dan iskemia.
.
Kultur dan sensitivitas kuman Diperlukan untuk mengetahui kuman penyebab serta
resistensi kuman terhadap antibiotik yang dipakai. Pemeriksaan ini juga diperlukan jika tidak ada respons terhadap antibiotik yang dipakai sebagai pengobatan pada permulaan penyakit. Kuman penyebab eksaserbasi akut yang paling sering ditemukan adalah Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis dan H.influenzae. Pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi akut dengan
kondisi seperti terlihat pada Tabel 6, perlu dilakukan perawatan di rumah
sakit.
\
Peningkatan gejala yang nyata, seperti sesak napas mendadak waktu istirahat. a
Riwayat PPOK bearat
a
Munculnya gejala fisik yang baru, (siamiosis, edema
a a a a a
perifer) Eksaserbasi tidak responsif terhadap pengobatan Komorbiditas signifikan Aritmia baru Diagnosis Usia lanjut Perawatan rumah tidak memadai
MANAJEMEN PPOK EKSASERBASI AKUT
Manajemen di Rumah
Antibiotik. Diberikan jika gejala sesak napas dan batuk disertai dengan peningkatan volume dan purulensi sputum. Antibiotik hendaknya diberikan dengan spektrum luas yang bisa menghadapi H.influenzae, S.pneumoniae dan M.catarrhalis sambil menunggu hasil kultur sensitivitas
kuman. Berdasarkan penelitian, ketiga kuman di atas merupakan kuman penyebab eksaserbasi akut yang paling sering ditemukan. Antibiotik yang sering digunakan pada kasus akut eksaserbasi ini bisa dilihat pada tabel 3.
Manajemen di Rumah Sakit Terapi farmakologi pada PPOK akut eksaserbasi di rumah sakit adalah : . Bronkodilator kerja cepat : pr-agonis dan anti kolinergik dosis ditinggikan dan frekuensi pemberian dinaikkan. . Steroid : oral atau intra vena . Antibiotik : oral atau intra vena
. .
Pertimbangkan teofilin oral atau intra vena (masih kontroversial) Pertimbangkan ventilator mekanik invasif Pada keadaan berat seperti ancaman gagal napas akut,
kelainan asam basa berat atau perburukan stafus mental, maka pemasangan ventilator mekanik invasif dapat dipertimbangkan.
Obat-obat Tambahan Lainnya
. .
Bronkodilator. Bronkodilator utama yang sering digunakan adalah : br-agonis, antikolinergik dan metilxantin. Obat tadi
dapat diberikan secara monoterapi atau kombinasi.
o,, antitripsin : diberikan pada pasien emphisema muda, bilaterdapat defisinsi zat ini. Obat ini agak mahal dan belum banyak tersedia di beberapa negara. Mukolitik: secara keseluruhan pemberian mukolitikpada pasien dengan sputum kental hanya memberi sedikit keuntungan, terutama pada keadaan akut eksaserbasi, sehingga jarang dipakai secara rutin. Antioksidan: hanya bermanfaat pada keadaan akut eksaserbasi dan tidak dipakai pada penggunaan secara rutin. Imunoregulator : terdapat penelitian yang menyatakan bahwaobat-obat ini dapat menurunkan beratnya akut
Pemberian secara inhalasi (MDI) lebih menguntungkan dari pada cara oral atau parenteral karena efeknya cepat pada organ paru dan efek sampingnya minimal. Pemberian secara
.
MDI lebih disarankan dari pada
pemb erian cara nebulizer. Obat dapat diberikan sebanyak 4-6kali,2-4 hirup sehari. Bronkodilator ke{a cepat (fenoterol, salbutamol, terbutalin)
.
lebih menguntungkan dari pada yang kerja lambat
. Antitusif dan narkotik : penggunaan
(salmeterol, formeterol), karena efek bronkodilatomya sudah dimulai dalam beberapa menit dan efek puncaknya terjadi setelah l5-20 menit dan berakhir setelah 4-5 jam. Bila tidak
segera memberikan perbaikan, bisa ditambah dengan pemakaian anti kolinergik sampai dengan perbaikan gejala.
Obat-obat bronkodilator yang sering digunakan untuk penanganan PPOK bisa dilihat pada Tabel 7.
eksaserbasi.Penggunaan secara rutin belum dianjurkan.
secara rutin
merupakan kontra indikasi.
Stop Merokok Menghentikan kebiasaan merokok pada pasien PPOK sebenamya merupakan usaha yang mudah dan ekonomis dalam rangka mengurangi progresivitas penyakit. Bila pasien dapatberhenti merokok makaprogresivitas penurunan FEV,-
Glukokortikosteroid. Jika FEV, < 50yo prediksi, dapat
nya dapat diperkecil. Pasien PPOK yang merokok akan
diberikan 40 mg prednisolon (oral) per hari selama 10-14
mengalami penurunan FEV, > 50 ml per tahun (pada orang normal yang tidak merokok, penurunan FEV, hanya 18 ml per tahun). Bila pasien dapat menghentikan merokok, maka pemrrunan FEVr yang drastis ini dapat dicegah seperti penurunan normal orang yang tidak merokok.
hari bersamaan dengan pemberian bronkodilator. Budesonid nebulizer bisa dipakai sebagai altematif terapi selain oral. Glukokosteroid dipakai untuk pengobatan yang non asidosis.
2227
OBSTRUKITI SALURAN PERNAPASAN AKUT
lnhaler (pg)
Antikolinergik lpratropium brom Tiotropium p2.agonis Fenoterol Salbutamol Terbutalin Procaterol Formoterol Salmeterol
'40
- 80 (MDl)
Nebuliser (mg/ml)
Oral (mg)
6-8 24
0,25-0,5
18 (DPl)
100-200 (MDl) 100-200 (MDl & DPI) 250 - 500 (DPl)
4-6
0,5 - 2,0 2,5 - 5,0 5 - 10
2,5-5 0,25
10
10
-
4-6 12-24
5 - 60 (pil) 4, 8, 16 (pil)
2000 mg
lnhaler (pg)
Glukokortikosteroid lnhaler
Triamsinolon
12 12
200
Prednison
Flutikasone
0,5
100 - 400
Glukokortikosteroid Sistemik
Budesonide
-
- 24 (MDl & DPI) 50 - 100 (MDl & DPI) 12
Metilxantin
Beklometason
4-6 4-6 6-8
2-4
Aminofilin Teofilin SR
Metilpred nisolon
Lama kerja 0am)
100,250,400 (MDl & DPI) 100, 200, 400 (DPr) 50 - 500 (MDl & DPI) 100
(MDl)
Nebulizer (mg/ml)
Oral
(mg)
Lama kerja (jam)
0,2-0,4 0,2 ; o,25 ; 0,5
40
Kombinasi Pz agonis lshod-actingl dengan antikolinergik dalam satu inhaler
Fenoterol/ lpratropium Salbutamol/
(MDl) 75115 (MDl)
200/80
1,25 I 0,5
6-8
O'75 I 4,5
6-8
lpratropium
Kombinasi 0z agonis (long-actingl dengan glukokortikosteroid dalam satu inhaler
Formoterol/ Budesonide Salmeterol/ Flutikasone
4,5/80,160(DPl) (e/320) (DPl) 50/100, 250, 500 (DPl) 25150,125,250 (MDl)
Strategi yang dianjurkan oleh Public Health Service Report USA adalah '.
. .
. . .
Ask:lalokan identifftasi perokokpada setiap kunjungan Advice:terangkantentangkeburukan/dampakmerokok sehingga pasien didesak mau berhenti merokok ,4ssess: yakinkan pasien untukberhenti merokok Assist: bantu pasien dalam program berhenti merokok Arrange'. jadwalkankontakusahaberikutnyayang lebih intensif, bilausaha pertama masih belum memuaskan
Beberapa usaha untuk berhenti merokok seperti: pemakaian nikotin gum, patch, spray/inhaler' obat-obat klonidin, bupropion tidak ada salahnya untuk dicoba.
Pilih laringoskop yang ukurannya sesuai dengan besar pasien. Pada anak besar dan dewasa lebih mudah menggunakan laringoskop berdaun lengkung. Mulut dibuka dengan jari-jari tangan kanan, tangan
kiri daun ujung memegang laringoskop kemudian
laringoskop dimasukkan di atas lidah pada sudut mulut sebelah kanan. Daun laringoskop didorong ke dalam mulut ke arah orofaring sambil menggeser lidah ke sebelah kiri ruang mulut.
Rahang bawah didorong ke bawah dengan menarik
laringoskop sesuai dengan sumbu pegangnya, sehingga terlihat ePiglottis.
Apabila digunakan laringoskop berdaun lengkung, INTUBASI ENDOTRAKEA DAN TRAKEOSTOMI
ePiglottis dan engan menarik
pita suara dan
Intubasi Endotrakea Caranya'.
lubang tenggorok. Dengan tangan kanan masukkan pipa endotrakheal
2228
PTJLMONOI.OGI
secara tumpul untuk memisah-misahkan
Eksaserbasi Ringan sampai Sedang*
LS
Eksaserbasi Sedang sampai Berat +
(Vibramycin), xlhari
,1-2gtV thari ,lglVtiap8-12
im-
satu tablet2x/hari sulfametoksazol,
Amoksisilin-klavulanat
mg mg sehari
Satu 500 mg/125 tablet3xsehari atau satu 875 mg/125 tablet 2 x
Makrolides Klarithromisin (Biaxin),
500mg2xsehari Azitrommisin (Zithromaks), 500 mg pertama, selanjutnya 250 mg /hari Fluoroquinolones Levofloksasin, 500
.
mg/hari
Gatifloksasln, 400
jaringan; 8). Kulit,
jaringan sub kutan, dan strap muscles (sterno hioidea,
Ceflazidime, 1 -2 g lVtiap 8 -
12jam
pen pi
al 3.375 g
Ticarcillin-clavulanate potassium, 3.1 g lV tiap 4 - 6 Jam
Fluoroquinolones Levofloksasin, 500 mg lV 1 x / hari
Gatifloksasin, 400 mg lV 1 x / hari
Aminoglikosid ToQramisin, 1 mg per kg lV tiap I - 12 jam, atau 5 mg per kg lV / hari
dan sternotiroidea) diretraksi ke lateral untuk memaparkan ismus tiroid. Venajugularis anterior dapat ditemukan, jika ada harus dipotong dan diikat. Ismus tiroid harus diretraksi ke atas atau ke bawah atau dipotong di antara dua ikatan,
tergantung mana yang paling mudah dan memberikan pandangan terbaik. (Gambar 7, 9). Sebelum mengiris hakea sebaiknya dipungsi dulu danjika yang keluar udara berarti
trakea; 10). Cincin trakea yang sering dipotong adalah cincin trakea III/IV, selain itu dapat juga pada cincin V/VI (trakeostomi suprastemal) (Gambar 8); l0). Kanul trakea hendaknya dipilih dengan diameter dan bentuk yang sesuai, biasanya sebesar jari kelingking pasien, sebab kanul trakea yang tidak sesuai dapat merusak jaringan atau dinding hakea; I I ). Sebelum kanul trakea dipasang, terlebih
dahulu ditetesi dengan 1-2 tetes pantokain untuk
mengurangi rangsangan pada mukosa trakea oleh gesekan kanul trakea; 12). Kanul trakea dimasukkan dari samping kiri pasien dan setelah ujungnya masuk kemudian diputar
searah jarum
jam. Setelah kanul trakea dipasang,
mg/hari
Moksifloksasin, 400 mg/hari
lV = lntraveana : Untuk antibiotik oral, lama pemberian umumnya 5 .10 hari + : Obat umumnya dikombinasi untuk mendapatkan efek
"
sinergi
(ukuran sesuai dengan pasien) ke dalam laring. Untuk orang dewasa dan anak usia di atas 6 tahun, gunakan pipa endotrakheal dengan balon (cuffl yang besar dan lunak serta bertekanan rendah. Pengisian balonjangan
berlebihan, karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Gambar 5. Posisi intubasi pada pasien
Trakheostomi Carunya:. 1). Posisi pasien tidur telentang dengan kantong pasir di bawah bahu untuk membantu mengekstensikan leher. Dagu
harus difiksasi tepat pada garis tengah; 2). Desinfeksi daerah operasi;3). Lakukan anestesi lokal infiltrasi, dapat juga tanpa anestesi terutama pada kasus yang sangat darurat; 4). Lakukan insisi di daerah segitiga yang bebas dari pembuluh darah, dengan batas-batas, kranial: kartilago krikoidea, lateral: m. sternokleido-mastoideus, kaudal : fosa supra stemal;5). Insisi dapat ditakukan secara tranversal atau vertikal. Insisi tranversal memberikan hasil kosmetik yang lebih baik, tetapi insisi vertical memberikan pemaparan yang lebih baik dan perdarahalyarlglebih sedikit; 6). Insisi
vertikal di garis media mulai tepi bawah kartilago krikoid sampai fosa supra sternal. (Gambar 6, 7). Insisi diper dalam sampai ke permukaan trakea. Jangan terlalu banyak memotong pembuluh darah. Oleh karena itu bekerjalah
Gambar
6
lnsisi vertikal di garis media mulai tepi bawah
kartilago krikoid sampai fosa supra sternal.
2229
OBSIRUKIiI SALURAN PERNAPASAN AKUT
Carotid artery Jugular vein
obturator segera diangkat. Antara kanul dan luka iris diberi
Thyroid cartilage Thyroid gland
Recurrent laryngoal nerve lnnominato artory Gambar 7
kasa yang telah diolesi salep steril (Gambar 9); 13). Luka insisi yang masih tersisa di atas dan di bawah kanul trakea
ditutup dengan jahitan benang catgut, tetapi tidak perlu terlalu rapat untuk menghindari terjadinya emfisema sub akut; l4). Kanul trakea luar difiksasi dengan tali pita melingkar leher. Lubang kanul trakea ditutup dengan kasa tipis yang basah, untuk menghindari masuknya partikelpartiket kecil ke dalam trakea dan melembabkan udara pernapasan.
REFERENSI Asril-Bahar, 2003. Penyakit Paru Obstruksi Kronik: Pedoman Penatalaksanaan Terbaru d al am W igtno-Prodj osudj adi el a/. Pertemuan Ilmiah Nasional I (PB PAPDD 2003, Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit dalam FK-UI ha1. 34-45Buist, S., 2004. Diagnosis and Management of COPD. Head Pulmonary and Critical Care Medicine, Oregon Health Sciences, Uni-
versity Portland, Oregon. A.; Herth, F.; Becker, H., 2005. Overview of the management of central airway obstruction ln Rose (ed) Up To Date
Ernst,
13.1
Hunter, M.H.
& King, D.E., 2001. COPD: Management bf Acute
Exacerbations and Chronic Stable Disease. Am. Fam. Physician
2001; 64: 603-12, 621-22 Joynt, G.M., 1997. Acute upper airway obstruction in Teoh (ed) Intensive Care Manual 4'h Edilion, Butter Worth Heinnemann Marquette, C.,2005. Airway foreign bodies in Rose (ed) Up To date
Gambar 8.
13.1
Morgan, M.D.L. & Britton, J.R., 2003. Chronic Obstructive Pulmonary Disease.S Non-pharmacological management of COPD.
Thorax, 2003; 58: 453-457 & Steiner, M.C.,2004. COPD Pharmacological Management. Hospital Pharmacist 2004; ll: 367-372 Pauwels, R. Et al., 2003. Global Initiative for Chronic Obstructive
Murphy, A.C.
Lung Disease, Pocket Guide To COPD Diagnosis, Management and Prevention (Updated, July 2003). Practical Pointers. What's in The New COPD Guidelines? 2004. www.nice.org.uk Rodrigo, G.J.; Rodrigo, C.; Hall, J.B., 2004. Acute asthma in Adult (A review). CHEST 2004; 125: 1081-1102 Snider, G.L., 2004. Diagnosis of chronic obstructive pulmonary disease. 1n Rose, B.D., Up To Date 12.1 Stoller, J.K., 2004. Overview of management of acut exacerbations of chronic obstnrctive pulmonary disease. 1n Rose, B.D., Up 7o
Date 12.1 Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1992. Kerja sama Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI dengan Biro Pusat Statistik RI 1994. Sutherland, E.P & Cherniack, R.M., 2004. Current Consepts : Management of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. N Engl J
Med 2004; 350: 2689-9'7.
Gambar 9.
357 TUBERKULOSIS PARU Zulkifl i Amin, Asril Bahar
PENDAHULUAN
hampir seluruh tubuh manusia dapat terserang olehnya tetapi yang paling banyak adalah organ paru.
Tuberkulosis
paru (TB)
adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat lama dikenal pada manusia, misalnya dia dihubungkan dengan tempat tinggal didaerah urban, lingkun gan yangpadat, dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan tulang vertebra torak yang khas TB dari kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan zaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding piramid di Mesir kuno pada tahun 20004000 SM. Hipokrates telah memperkenalkan terminologi
Pada permulaan abad 19, insidensi penyakit tuberkulosis di Eropa dan Amerika Serikat sangat besar.
Angka kematian cukup tinggi yakni 400 per 100.000 penduduk, dan angka kematian berkisar 15-30% dari semua kematian. Di antara yang mening gal lercatat orang-orang terkenal seperti: Voltaire, Sir Walter-Scott, EdgarAllan Poe, Frederick Chopin, Laenec, Anton-Chekov, dll. Usaha-usaha
untuk mengurangi angka kematian dilakukan seperti menghirup udara segar di alam terbuka, makan/minum makanan bergizi, memberikan obat-obat seperti tuberkulin (sebagai upaya terapi), digitalis, minyak ikan dan lain-lain, tetapi hasil-nya masih kurang memuaskan. Tahun 1840 George Bodingto dari Sutton Inggris mengemukakan konsep sanatorium untuk pengobatan TB tetapi ia tidak
phthisis yang diangkat dari bahasa Yunani yang menggambarkan tampilan TB paru ini. Bukti yang lain dari Mesir, pada mummi-mummi yang berasal dari tahun 3500 SM, Jordania (300 SM), Scandinavia (200 SM), Nesperehan (1000 SM), Peru (700), United Kingdom (200-400 SM) masing-masing dengan fosil tulang manusia yang melukiskan adanya Pottb disease atau abses paru yang berasal dari tuberkulosis, atau terdapatrya lukisan orang-orang dengan bongkok tulang belakang karena sakit spondilitrs TB. LiteraturArab: Al Razi (850-953 M) dan Ibnu Sina (9801037M) menyatakan adanya kavitas pada paru-paru dan hubungannya dengan lesi di kulit. Pencegahannya dengan
mendapat tanggapan pada waktu itu. B aru pada tahun I 85 9 Brehmen di Silesia Jerman, mendirikan sanatorium dan
berhasil menyembuhkan sebagian pasiennya.
Sejak itu banyak sanatorium didirikan seperti di Denmark, Amerika Serikat dan kemudian terbanyak di
Inggris yakni di Wales, England, Skotlandia. Setelah sukses dengan sanatorium, barulah dipikirkan usaha pencegahan seperti memusnahkan sapi yang tercemar TB,
makan-makanan yang bergizi, menghirup udara yang bersih dan kemungkinan (prognosis) dapat sembuh dari penyakit ini. Disebutkan juga bahwa TB sering didapat pada usia muda ( I 8-30 th) dengan tanda-tanda badan kurus dan dada yang kecil. Baru dalam tahun I 882 Robert Koch menemukan kuman penyebabnya semacam bakteri berbentuk batang dan dari
memberikan pendidikan kesehatan dan perbaikan lingkungan pada penduduk seperti makan/minum yang
baik, tidak menghirup udara buruk, menghindari lingkungan hidup yang terlalu padat, mengurangi pekerj aan yang meletihkan.
Sejak awal abad 19, angka kesakitan dan kematian pertahun dapat diturunkan karena program perbaikan gizi
sinilah diagnosis secara mikrobiologis dimulai dan
dan kesehatan lingkungan yang baik serta adanya
penatalaksanaannya lebih terarah. Apalagi pada tahun I 896
pengobatan lain/tindakan bedah seperti
Rontgen menemukan sinar
X
sebagai alat bantu
menegakkan diagnosis yang lebih tepat.
Penyakit ini kemudian dinamakan Tuberkulosis, dan
c o I I ap s
e th er apy.
Robert Koch mengidentifikasi basil tahan asam M.tuberculosls untuk pertama kali sebagai bakteri penyebab TB ini. Ia mendemontrasikan bahwa basil ini
2230
2231
TUBERKULOSISPARU
bisa dipindahkan kepada binatang yang rentan, yang akan memenuhi kriteria postulat Koch yang merupakan prinsip
utama dari patogenesis mikrobial. Selanjutnya ia menggambarkan suatu percobaan yang memakai guinea lunt.tk memastikan observasinya yang pertama yang menggambarkan bahwa imunitas didapat mengikuti infeksi primer sebagai suatu fenomena Koch. Konsep dari pada
pig,
imunitas yang didapat (acquired immunity) diperlihatkan dengan pengembangan vaksin TB, satu vaksin yang sangat sukses, yaitu vaksin Bacillus Calmette Guerin @CG) dibuat dari suatu strain Mikobakterium Bovis, vaksin ini ditemukan olehAlbert Calmette dan Camille Guerin di Institut Pasteur Perancis dan diberikan pertama kali kemanusia pada tahun 1921. Sejarah eradikasi TB dengan kemoterapi dimulai pada tahun 1944 ketika seorang perempuan umur 21 tahun denganpenyakit TB paru lanjut menerima injeksi pertama Streptomisin yang sebelumnya diisolasi oleh Selman Waksman. Segera disusul dengan penemuan asam para
amino salisilik (PAS) .Kemudian dilanjutkan dengan penemuan Iso niazid y angsignifikan yang dilaporkan oleh Robitzek dan Selikoff 1952. Kemudian diikuti penemuan berturut-turut pirazinamid tahun 1 954 dan Etambutol 19 52, Rifampisin 1963 yangmenjadi obatutamaTB sampai saatini.
berkembang. Di antara mereka 75 %oberada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun. Karena penduduk yangpadat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 650/o dari kasuskasus TB yang baru dan kematian yang murcul terjadi diAsia Alasan utama munculnya atau meningkatnya beban TB global ini antara lain disebabkan : 1. Kemiskinanpada berbagai penduduk, tidak hanya padanegatayang sedang berkembang tetapijuga pada penduduk perkotaan tertentu dinegara maju.2. Adanya perubahan demografik dengan
meningkatnya penduduk dunia dan perubahan dari struktur usia manusia yang hidup. 3. Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi pada penduduk di kelompok yang rentan terutama dinegeri-negeri miskin. 4.Tidak memadainya pendidikan mengenai TB di antara para dokter. 5.Terlantar dan kurangnyabiaya untuk obat, sarana diagnostik, dan pengawasan kasus TB dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat. 6. Adanya epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia.
EPIDEMIOLOGI TB DI INDONESIA Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi
di dunia setelah China dan India. Pada tahun
1998 diperkirakan TB di China, India dan Indonesia berhrrut turut I . 828. 000,
EPIDEMIOLOGIGLOBAL
000, dan
5
9I
.000 kasus. Perkiraan kej adian
Indonesia. Prevalensi nasional terakhir TB paru diperkirakan 0,24 yo. Sampai sekarang angka kejadian TB di Indonesia relatifterlepas dari angka pandemi infeksi HIV karena masih relatif rendahnya infeksi HIV, tapi hal ini mungkin akan
berubah dimasa datang melihat semakin meningkatnya laporan infeksi HIV dari tahun ketahun. Suatu survei mengenai prevalensi TB yang dilaksanakan di 15 propinsi
kasus TB ini (95 %) dan
Indonesia tahun
kematiannya (98 %) terjadi dinegara-negaru yarrg sedang
1979 Jawa Tengah '1980 Bali 1980 DKI Jaya 1980 Dl Yogyakarta 1980 Jawa Timur 1980 Sumatra Utara 1980 Sulawesi Selatan '1980 Sumatra Selatan '1980 Jawa Barat '1980 Kalimantan Barat 1980 Sumatra Barat 198'l Aceh 1981 Kalimantan Timur 1981 Sulawesi Utara 1982 Nusa Tenggara Timur
4.
1985 dan survai kesehatan nasional 2001, TB menempati
mendeklarasikan TB sebagai global health emergency.TB dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang l/3 penduduk dunia terinfeksi oleh mikobakterium TB. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB yang tercatal diseluruh dunia.
Tahun Survei
1
ranking nomor 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di
dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993 WHO
dar-i-
.4
tahun 1998. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga
Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih tetap menjadi problem kesehatan
Sebagian besar
1
BTA di sputum yang positif di Indonesia adalah 266.000
197 9
-1982 diperlihatkan pada Tabel 1.
Jumlah Penduduk th 1982 (juta)
Prevalensi Positif Hapusan BTA Sputum (%)
26.2 2.5 7.0 2.8 30.0 8.8 6.2 4.9 28.9
0.13 0.08 0.16
z.o
0.14 0.38 0.15 0.52 0.30 o.74
3.5 2.7 1.3
2.2 2.8
0.31
0.34 0.53 0.45 0.42 0.31
Modiflkasi dari Aditama : Rata - rata prevalensi TB pada 15 propinsi : 0 29%, prevalensi tertinggi ada di NTT 0]4o/oyangtercndahdi Bali 0,08%.Padatahun 1990prevalensi di Jakarta0,'16%
2232
PI.JIltrcNq.OGI
CARAPENULARAN
PATOGENES!S
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman
di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah
mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang
paling sering dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA). Pada TB kulit atau jaringan lunak penularan bisa melalui inokulasi langsung. Infeksi yang disebabkan oleh M
boujs dapat disebabkan oleh susu yang kurang disterilkan dengan baik atau terkontaminasi. Sudah dibuktikan bahwa lingkungan sosial ekonomi yang baik, pengobatan teratur dan pengawasan minum obat ketat berhasil mengurangi angka morbiditas dan mortalitas di Amerika selama tahun 1950-1960.
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobaclerium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan
ukuran panjang l-4lum dan tebal 0,3-0,6/um. Yang tergolong dalam kuman Mycobacterium tuberculosae complex adalah: l). M. tuberculosae,2). Varian Asian, 3). Varian African I, 4. Yarian African II, 5. M. bovis. Pembagian tersebut adalah berdasarkan perbedaan secara epidemiologi. Kelompokkuman Mycobacteria Other Than TB (MOU atypical adalah; l. M. kansasi, 2. M. avium, 3. M. intra
cellulare, 4. M.scrofulaceum, 5. M. malmacerse, 6. M. xenopt. Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak
Tuberkulosis Primer Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama U.-jErm, tergantung pada ada tidaknya sinar ulhaviotet, yqqllllasi yang buruk dan kelembaban. Daldm suasana lembab dan gelap kuman
aapatffierhari-hari s ampai b erbulan-bulan. B ila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh uputrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau
dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sito-plasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan ber-bentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek priiner atau sarang (foku$ Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagianjaringanparu. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masukke arteripulmolalis maka te{adi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjaf getah bening hilus (limfadenitis
(ipid), kemudian pg{iclo€llkqn dan q&binoaalaqn. lQid inilah yang membuat kuman lehihlahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam
regional). Sarang primer limfangitis lokal + limfadenitis regional : kompleks primer (Ranke). Semua proses ini
(BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada @La kel_rng maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-
.
tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada
dalam
sifat.4lorW!.Dari sifat dormant ini kuman dapat
bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi.
Di dalam jaringan,
yakni-d-diIm yang semulamemfagosit intraselular
ai parasit Makrofag
enanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalahqerob. Sifat ini menunjukkan
bahwa kuman lebih menyenifti iaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.
memakan
Kompleks primer ini
selanjutnya Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang
banyakterjadi. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapatpadqlesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan
+ l0% di antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.
Berkomplikasi dan menyebar secara
: a). per
kontinuitatum, yakni menyebarke sekitamya, b). secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke
[email protected] limfogen, ke organ tubuh lain-lainnya,@ secara hematogen, ke organ tubuh lainnya.
Semua kejadian
di
tuberkulosis primer.
atas tergolong dalam perjalanan
2233
TUBERKULOSISPARU
Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder) Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer : TB pasca primer : TB sekunder). Mayoritas reinfeksi
mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti graLulElsi, alkoho.l penvakit gagal ginjal. Tuberkulosis pascasa1i884, diabr.lqs, S primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumoniakecil. Dalam 3.10 minggu sarang ini menjadi tuberkel
oleh fungus seperti Aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma; c. bersih dan menyembuh, disebut op en heal ed cavity. Dapatjuga menyembuh dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk seperti bintang disebut
stellate shaped. Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni: 1). Sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi;2). Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap dan sempuma; 3). Sarang yang berada antara aktif dan sembuh' Sarang bentuk ini dapat sembuh spontan, tetapi mengingat kemungkinan terj adinya eksaserbasi kembali, sebaiknya diberi pengob atar, yang sempurna juga.
yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh 93-l-selliry:lgit dan berbagai jaringan ikat. TB pasca primerjuga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menj adi TB usia tua (elderly tuberculosis) . Tergantung dari jumlah kuman, virulensi-nya dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi: . Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
.
KLASIF!KASI TUBERKU LOSIS Sampai sekarang belum ada kesepakatan di anlatapata klinikus, ahli radiologi, ahli patologi, mikrobiologi dan ahli kesehatan masyarakat tentang keseragaman klasifikasi tuberkulosis. Dari sistem lama diketahui beberapa klasifrkasi seperti:
.
Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granu-
loma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitamya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentukjaringan keju. Bilajaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltasi j aringan fibroblas dalam jurnlah
besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh ensim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkijuan lain yang jarang adalah cryptic disseminateTB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut. sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas dapat: a. Meluaskembali danmenimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas ini masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB milier. Dapat
Di sini lesi
juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan selanjutnya ke usus jadi TB usus. Sarang ini selanjuhrya mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan
terdahulu. Bisa juga terjatli TB endobronkial dan TB
endotrakeal atau empiema bila ruptur ke pleura; b. memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah kolonisasi
. ..
Pembagian secara patologis
-
Tuberkulosis primer (childhood tuberculosis) Tuberkulosis post-primer (adult tuberculosis) Pembagian secara aktivitas radiologis Tuberkulosis paru (Koch Pulmonum) aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh). Pembagian secara radiologis (luas lesi) - Tuberkulosis minimal. Terdapat sebagian kecil
infiltrat nonka-vitas pada satu paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidakmelebihi satu lobus paru.
-
Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru' Bila bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga
-
Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan
bagian satu paru. kavitas yang melebihi keadaan pada moderately advanced tuberculosis.
Pada tahun 1974 American Thoracic Society memberikan klasifrkasi baru yang diambil berdasarkan aspek
kesehatan masyarakat. . Kategori 0 : Tidakpemahterpajan, dantidakterinfeksi, riwayat kontak negatif, tes tuberkulin negatif. . Kategoril: Terpajan tuberkulosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Di sini riwayat kontak positif, tes tuberkulin negatif. . Kategori II : Terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak sakit. Tes hrberkulin positif, radiologis dan sputum negatif' . Kategori III : Terinfeksi tuberkulosis dan sakit.
Di
Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai
adalah berdasarkan kelainan klinis, radiologis, dan mikro
biologis:
2234
. . .
PULMOIIDI.OGI
Tuberkulosis paru Bekas tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam: a.) Tuberkulosis paru tersangka yang diobati. Di sini sputum BTA negatif, tetapi tanda-tanda lain positif. b). Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Di sini sputum BTA negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan.
Dalam 2-3 bulan, TB tersangka
ini
sudah harus
dipastikan apakah termasuk TB paru (aktif) atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan : 1. Status
bakteriologi, 2. Mikroskopik sputum BTA (langsung), 3. Biakan sputum BTA, 4. Status radiologis, kelainan yang relevan untuk tuberkulosis paru, 5. Status kemoterapi, riwayat pengobatan dengan obat anti tuberkulosis. WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni:
Kategori I, ditujukan terhadap : . Kasus baru dengan sputum positif. . Kasus baru dengan bentuk TB berat. Kategori II, ditujukan terhadap :
. .
Kasus kambuh Kasus gagal dengan sputum BTA positif Kategori III, ditujukan terhadap :
. .
Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I Kategori IV, ditujukanterhadap : TB kronik.
GEJALA.GEJALA KLINIS Keluhan yang dirasakan pasien tuberku-losis dapat bemacam-macam atau malah banyak pasien ditemukan TB
paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan :
Demam. Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-
4loC. Serangan demam pertama dapat sembuh
Sesak napas. Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas, Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
Nyeri dada. Gejala ini agakjarangditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.
Malaise. Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
PEMERIKSAAN FISIS
Kasus BTAnegatifdengankelainanparuyang tidakluas.
kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa bahrk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
sebentar,
tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya
hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pemah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.
Batuk/Batuk Darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan unhrk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatrya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau
berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena aneniia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun.
Pada pemeriksaan
fisis pasien sering tidak
menunjukkan suatu kelainan pun terutama pada kasuskasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisis, karena hantaran getarun/starayang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisis, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa. Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru. Bila dicurigai adanya
infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang .e1fup dan auskUltasi suara napas bronkial. Akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi v_esl$lar melernah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan su*u u-EF Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukanell€ dan 1g$Si otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat menjadi leb Bila jaringan fibrotik amat luas yakni lebih umlahjaringanparu-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya
2235
TUBERKULOSISPARU
meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi
(oneumotoraks).
pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Di sini akan didapatkan tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikaslia,
macam bayangan sekaligus (pada tuberkulosis yang sudah
sianqis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham-Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites, dan edema. Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pka( Auskultasi
Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-
lanjut) seperti !g[][gt, gggseeri€-f,b+otrk, kalsifikasi, kanitas-(non sklerotik/sklerotik) maupun atelgklasis dan
-/
emfisema.
Tuberkulosis sering memberikan gambar-an yang anehaneh, terutama gambaran radiologis, sehingga dikatakan tuberculosis is the greatest imitator Gambaran infrltrasi
memberikan suara napas yang le{nah sampai tidak
dan tuberkuloma sering diartikan sebagai pgguo.6ia, lglEllrs+aru, k@gmE-hronkus atau kqlq@elasta-
terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimtomatik
Di samping itu perlu diingat juga faktor kesalahan dalam
sis. Gambaran kavitas sering diartikan sebagai abses paru.
kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif.
membaca foto. Faktor kesalahan ini dapat mencapai25%o. Oleh sebab itu untuk diagnostik radiologi sering dilakukan juga foto lateral, top lordotik, oblik, tomografi dan foto dengan proyeksi densitas keras.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan adanya aktivitas pe-nyakit, kecuali suatu infiltrat yang betul-betul nyata. Lesi penyakit yang sudah
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakancara
non-aktif, sering menetap selama hidup pasien. Lesi yang
yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih
berupa
dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya
E$8, k4jfikasi, y
dijumpai pada orang-orang
te, sering r..
dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal ia memberikan keuntungan seperti pada tuberkulosis anak-anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal di atas diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah brn&g!1fi, yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan oleh tuberkulosis. Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila
dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu
pasien akan menjalani pembedahan paru. Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah banyak dipakai di rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography Scanning (CT Sc4n). Pemeriksaan ini lebih superior dibanding ruiioEffiasa. Perbedaan densitas jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat transversal.
negatif. Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah aggls paru (segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada
tuberkulosis endobronkial). Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarangsarang p!!umon@ gambaran radiologis berupa bercakbercak seperti ryn dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan U*a1gS_JgErcCCS. Lesi ini dikenal sebagai tu@lglorlra. Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mulamula berdinding tipis. Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menehal. Bila terjadifibrosjs terlihat bayangar.yarrg bSfggru:ggfts. Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercakpadat dengan densitas tinggi. Pada
Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT Scan, tetapi dapat mengevaluasi
proses-proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan dada-perut. Sayatan bisa dibuat transversal, sagital dan koronal.,
PEM ERI KSAAN LABORATORI UM
Darah
atelektasis terlihat seperti Ebfqrls yang !I@ disertai Leaciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau salu
Pemeriksaan
lobus maupun pada satu bagian paru. Gambaran Erberkulosis milier terlihat berupa b-Elcak-
hasilnya kadang-kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru mulai
@aak helus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan -paru.
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah penebalan BIs.qIA (pleuritis), Eas sg_gggp di bagian
hasahl4El (etrg!-pleurdqnpiema), di pinggir paru/pleura
bayangan hitam radiolusen
ini kurang mendapat perhatian,
karena
(aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit ureninsgi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah lr-forit masih di bawah normal. Iajryglap darah mulai rn@gktrt. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi L_gjg "qdep darah mulai Ullur ke arah normallagi.
2236
Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga:
l). Anemia ringan
dengan gambaran portrrckrom dan normositer; 2). Gama globulin meningkat; 3). Kadar natrium darah menurun. Pemeriksaan tersebut di atas nilainya juga
tidak spesifik. Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah reaksi &kah€hi. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau tidak. Kdteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer l/128. pemeriksaan ini juga kurang mendapat perhatian karena angka-angka positif palsu dan negatif palsunya masih besar. Belakangan ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak juga dipakai yakni Peroksidase Anti peroksida (PAP-TB) yang oleh beberapa peneliti mendapatkan nilai sensitivitas dan spesihsitasnya cukup tinggi (85-95%), tetapi beberapa peneliti lain meragukannya karena
mendapatkan angka-angka yang lebih rendah.
PI,JLMOIIIoI.GI
alveolar lavage). BTA dari sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar mungkin.
Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadangkadang sulit ditemukan. Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar. Diperkirakan di Indonesia t efiapat 50o/o pasien BTA
positif tetapi kuman tersebut tidak ditemukan dalam spufummereka.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurangkurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam
I
mL sputum. Untuk pewamaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan
Sungguhpun begitu PAP-TB ini masih dapat dipakai, tetapi kurang bermanfaat bila digunakan sebagai sarana tunggal untuk diagnosis TB. Prinsip dasar uji PAP-TB ini adalah
Thiam Hok yang merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet.
menentukan adanya antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen M. tuberculos ae. Sebagaiantigen dipakai polimer sitoplasma M tuberculin yar bovis BCG yang dihancurkan secara ultrasonik dan dipisahkan secara ultrasentrifus.
.
Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah
.
:
Pemeriksaan sediaan langsung dengan mi-kroskop biasa.
Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewamaan khusus) Pemeriksaan dengan biakan (kultur)
Hasil uji PAP-TB dinyatakan patologis bila pada titer l:10.000 didapatkan hasil uji PAP-TB positif. Hasil positif palsu kadang-kadang masih didapatkat pada pasien
. .
reumatik, kehamilan danmasa 3 bulanrevaksinasi BCG. Uji serologis lain terhadap TB yang hampir sama cara
Pemeriksaan dengan mikroskop fluoresens dengan sinar ultra violet walaupun sensitivitasnya tinggi sangat
dan nilainya dengan uji PAP-TB adalah uji Mycodot. Di sini dipakai antigen LAM (Lipoarabinomannan) yang dilekatkan pada suatu alat berbentuk sisir plastik. Sisir ini dicelupkan ke dalam serum pasien. Antibodi spesifik anti LAM dalam serum akan terdeteksi sebagai perubahan warna pada sisir yang intensitasnya sesuai dengan jumlah
Pemeriksaan terhadap resistensi obat.
jarang dilahkan, karena pewamaan yang dipakai (auraminrho-damin) dicurigai bersifat karsinogenik. Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu penanaman sputum dalam medium biakan, koloni kuman
tuberkuiosis mulai tampak. Bila setelah 8 minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan dinyatakan
antibodi.
negatif. Medium biakan yang sering dipakai yaitu
Sputum
Lowenstein Jensen, Kudoh atau Ogawa. Saat ini sudah dikembangkan pemeriksa-an biakan sputum BTA dengan cara Bactec (Bactec 400 Radio metric System), di mana kuman sudah dapat dideteksi
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dike{akan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum
pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak + 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik eks-pektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkos-kopi diambi'l dengan
brushing atat bronchial washing atau BAL (broncho
dalam 7-10 hari. Di samping itudengantefuikPolryerase Chain Reactior (PCR) dapat dideteksi DNA kuman TB
dalam waktu yang lebih cepat atau mendeteksi M.tuberculosae yang tidak tumbuh pada sediaan biakan. Dari hasil biakan biasanya dilakukan juga pemeriksaan terhadap resistensi obat dan identifikasi kuman.
Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman BTA (positif) , letapi pada biakan hasilnya negatif. Ini terjadi pada fenomen dead bacilli atat non culturable bacilli yang disebabkan keampuhan panduan obat antituberkulosis jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA dalam waktu pendek. Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan biakan, bahan-bahan selain sputum dapat juga diambil dari bilasan bronkus, jaringan paru, pleura, cairan
pleura, cairan lambung, jaringan kelenjar, cairan serebrospinal, urin, dan tinja.
Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pelnberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak ditemui daripada positif palsu.
Tes Tuberkulin Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkuiosis terutama pada anakanak (balita). Biasanya dipakai tes Mantouxyakni dengan menl.untikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D. (Purified Protein D erivative) intrakutan berkekuatan5 T.lJ. (intermediate stretgth). Bila ditakutkan reaksi hebat
dengan 5 T.U. dapat diberikan dulu I atau 2 T.U (first strength). Kadang-kadang bila dengan 5 T.U. masih memberikan hasil negatif dapat diulangi dengan 250 T.U. (second strength). Blla dengan 250 T.U. masih memberikan
hasil negatif, berarti tuberkulosis dapat disingkirkan. Umumnya tes Mantouks dengan 5 T.U. saja sudah cukup berarti. Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang
Hal-hal yang memberikan reaksi tuberkulin berkurang (negatifpalsu) yakni:
. . .
Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis.
Anergi, penyakit sistemikberat (Sarkoidosis, LE). Penyakit eksantematous dengan panas yang akut: morbili, cacar air, poliomielitis.
.
Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit
. .
limforetikular (Hodgkin) Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obatobat imunosupresi lainnYa. Ijsia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan.
Untuk pasien dengan HIV positif, test Mantoux
*
5 mm, dinilaipositif.
individu sedang atau pemah mengalami infeksi M. tuberculosae, M. bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Pada penularan dengan kuman patogen
baik yang virulen ataupun tidak (Mycobacterium tuberculosae atau BCG) tubuh manusia akan mengadakan
reaksi imunologi dengan dibentuknya antibodi selular pada permulaan dan kemudian diikuti oleh pembentukan antibodi humoral yang dalam perannya akan menekankan antibodi selular. Bila pembentukan antibodi selular cukup misalnya pada penularan dengan kuman yang sangat virulen dan jumlah kuman sangat besar atau pada keadaan di mana pembentukan antibodi humora'l amat berkurang (pada
DIAGNOSIS Dari uraian-uraian sebelumnya tuberkulosis_ Piry .lryp mudah dikenal mulai dari keluhan-keluhan klinis, gejalagejala, kelainan fisis, kelainan radiologis sampai dengan kelainan bakteriologis. Tetapi dalam prakteknya tidaklah selalu mudah menegakkan diagnosisnya - ildentrrut American Thoracic Society dan WHO 1964 diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah dengan menemukan kuman My cob acterium tub ercul os ae dalam sputum atau j aringan
pam secara biakan. Tidak semua pasien memberikan sediaan atau biakan sputum yang positif karena kelainan paru yang belum berhubungan dengan bronkus
hipogama-globulinemia), maka akan mudah terjadi
atau pasien tidak bisa membatukkan sputumnya
penyakit sesudah penularan.
dengan baik. Kelainan baru jelas setelah penyakit berlanjut sekali.
Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kem erahan yatglerdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi perse nyawaan antara antibodi selular
dan antigen tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan antibodi selular dan antigen tuberkulin amat dipengaruhi oleh antibodi humoral, makin besar pengaruh
antibodi humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, hasil tes
: 1)' Indurasi 0-5 mm (diameternya) i Mantoux negatif : golongan no sensitiv-
Mantoux ini dibagi dalam
il1l. Di sini peran antibodi humoral paling menonjol; 2). Indurasi 6-9 mm : hasil meragukan: golongan low grade sensitivity. Di sini peran antibodi humoral masih menonjol; 3). Indurasi 10-15 mm: Mantoux positif : golongannormal sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang; 4). Indnrasi lebih dari 15 mm : Mantoltxpositifkuat: golongan
hypersensitivity.
Di sini peran antibodi selular paling
menonjol.
Biasanya hampir seluruh pasien tuberkuiosis memberikan reaksi Mantoux yang positif (99,8%).
Di Indonesia agak sulit menerapkan diagnosis di atas karena fasilitas laboratorium yang sangat terbatas untuk
pemeriksaan biakan. Sebenarnya dengan menemukan kuman BTA dalam sediaan sputum secara mikroskopik
biasa, sudah cukup untuk memastikan diagnosis tuberkulosis paru, karena kekerapan Mycobacterium atypic di Indonesia sangat rendah. Sungguhpun begitu hanya 30-70oh saja dari seluruh kasus tuberkulosis paru yang dapat didiagnosis secara bakteriologis. Diagnosis tuberkulosis paru masih banyak ditegakkan berdasarkan kelainan klinis dan radiologis saja. Kesalahan
diagnosis dengan cara
ini
cukup banyak sehingga
memberikan efek terhadap pengobatan yang sebenarnya
tidak diperlukan. Oleh sebab itu dalam diagnosis tuberkulosis paru sebaiknya dicantumkan status klinis,
status bakteriologis, status radiologis dan status kemoterapi. WHO tahun I 99 1 memberikan kriteria pasien tuberkulosis paru. . Pasien dengan sputum BTA positif: 1. pasien yang
2238
PI.JLMOI(X.oGI
pada pemeriksaan sputum-nya secara mikroskopis
ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada {3 pemeriksaan, atau2. satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif, atau 3. satu sediaan sputumnya
.
positif diserrai biakan yang positif.
(Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan
parenkim berat-> fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.
Pasien dengan sputum BTAnegatif: l. pasien yang pada pemeriksaan sputum-nya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sedikitnya pa da 2 x pemerlksaan tetapi gambaran radiologis sesuai dengan TB aktif atat, 2. pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif.
Brunei Darussalam and the Philippines. Tubercle 7991;72:25560. Bames Pfl Barrow SA. Tuberculosis in the 1990s. Am Intern Med.
Di samping TB paru terdapatjuga TB ekstraparu, yakni
Batoeah HD. Beberapa pedoman pemberantasan tuberkulosis
REFERENSI Aditama TY. Prevalence of tuberculosis in Indonesia, Singapore,
1993;119:400-10.
pasien dengan kelainan histologis atauldengan gambaran klinis sesuai dengan TB aktif atau pasien dengan satu
sediaan dari organ ekstra parunya menunjukkan hasil bakteri M. tuberculosae.
Di luarpembagian tersebut di atas pasien digolongkan lagi berdasarkan riwayat penyakihrya, yakni : . kasus baru, yakni pasien yang tidak mendapat obat anti TB lebih dari I bul . kasus kambuh, yakni pasien yang pernah dinyatakan sembuh dari TB, tetapi kernudian timbul lagi TB aktifnya. . kasus gagal (smear positive failure), yakni: - Pasien yang sputum BTA-nya tetap positif setelah mendapat obat anti TB lebih dari 5 bulan, atau - Pasien yang menghentikan pengobatannya setelah mendapat obat anti TB 1-5 bulan dan sputum BTAnya masih positif. . kasus kronik, yakni pasien yang sputum BTAnya tetap
positif setelah mendapat pengobatan
ulang
(retreatment) lengkap yang disupervisi dengan baik. Hal lain yang agak jaratgditemukan adalah oyptic tuDi sini pemeriksaan radiologis dan laboratorium/ sputum menunjukkan hasil negatif dan kelainan klinisnya sangat minimal (biasanya demam saja dan dianggap sebagai fever of unknown origin. Diagnosis diberikan berdasarkan berculosi;is.
percobaan terapi dengan obat anti tuberkulosis seperti INH + Etambutol selama 2 minggu. Bila keluhan membaik terapi
dengan obat anti tuberkulosis diteruskan sebagaimana mestinya. Bila tidak ada perbaikan maka obat-obat di atas dihentikan.
KOMPLIKASI Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.
.
Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema,
.
Komplikasi lanjut: Obstruksi jalan napas ->SOPT
laringitis, lsus, Poncet b arthropathy
di Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia 1969;5:158-61-. Bothamley GH, Grange JM. The Koch phenomenon and delayed hypersensitivity . Tubercle 1997 ;72 : 7-ll Collins FM. Pathogenecity of M.tuberculosis in experimental animal. In: Rom GN,Garay S.Tuberculosis. Little, and Brorvn Company. Boston. I 996:259-268. Dannenberg AM Jr, Rook GAW. Pathogesesis of pulmonary tuberculosis; an interplay of tissue-damaging and macrophage-activating immune responses-dual mechanisms that control bacillary multiplication. In: BR Bloom, ed. Tuberculosis: pathogenesis, protection and control. Washington DC: ASM Press,1994 Depkes Republik Indonesia. Proposed national health research priorities: the view of National Institute of Health Research and Development (NIHRD). lakarta: Depkes RI, 1999.
Depkes Republik Indonesia. Survai Kesehatan Rumah Tangga. Jakarta: Depkes Republik Indonesia. 1995. Depkes Republik Indonesia. Survai kesehatan nasional. Jakarta: Depkes Republik Indonesia. Indonesia, 2001. Ditjen P4M Depkes RI, Press Conference. Jakarta, 2000. Daniel TM, Bates JH, Downes KA. History of tuberculosis. In : Bloom BR, ed. Tuberculosis : Pathogenesis, Protection and Control. lSt ed. Washington DC: ASM Press, 1994;: Ij. Fishman AP. Pulmonary Disease and Disorder. 1* ed. New York:
McGraw
Hill;
1980.1229 -323.
Good RG, Mastro TD. The modem mycobacteriology laboratory. How it can help the clinician. Clinics in Chest Medicine, 1989; 10(3): 3Ls-22.
Handoyo
I. Uji
peroksidase anti peroksidase pada penyakit
tuberkulosis paru. Disertasi doktor FK Un-Air Surabaya. 1988.1-
47. Hinshaw HC, Munay JF. Disease of the chest kjaku. Shoin/Saunders
International Edition: 4" ed, 1980.298-355. Home N, Tuberculosis, respiratory disorders. Medicine Intemational.
1986;2(r2): 1490-8. Iseman, MD. How is Tuberculosis transmitted? In: A Clinician,s Guide to Tuberculosis. Lippincott Williams & Wiikins, Philadelphia, USA, 2000,51-62 Iseman, M..D. Extrapulmonary tuberculosis in adults. In: A Clinician's Guide to Tuberculosis. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, USA, 2000.145-197 Iseman, M,.D.. Clinical presentation pulmonary tuberculosis in adults. In: A Clinician's Guide to Tuberculosis. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, USA, 2000.129-144 ZS. lseman MD. Treatment of multidrug-resistant tuberculosis. N Engl J Med 1993; 329:784-91.
2239
TI,'BERKUI.OSISPARU
Iseman
M D. Immunity and Pathogenesis. In: Iseman MD, ed. A Clinician guide to tuberculosis. Philadelphia: Lippincott Will-
Snider DE. Tuberculosis: The world situation. History of the diseases and efforts to combat it. In: Porter JDH, McAdam PWJ. Tuber-
iams & Wi1kins.2000; 63-96. Kanai K. Introduction to tuberculosis and mycobacteria. SEAMIC
culosis back to the future. Chichester England: John Wiley & Sons;1994.13-31. Waksman SA' The conquest of tuberculosis. Berkeley, University of
Publication No.60,1990, Tokyo, 105-59. Manaf A. Kebijaksanaan baru pemerintah dalam penanggulangan tuberkulosis paru. Simposium Tuberkulosis Paru Kembali. Jakarta
23-t0-1993. Mitchison DA. Basic Concepts in the Chemotherapy of Tuberculosis. In (Gangadharam PRJ and Jenkns PA, eds) Mycobacteria II Chemotherapy, Chapman & Hall, 1998. 15-50. New Jersey Medical School National Tuberculosis Center. Brief History of Tuberculosis. Newark: Tuberculosis Centre, I 996: 1 -4. Ormerod LP. Respiratory tuberculosis. In: Davies PDO, Eds. Clinical Tuberculosis. London: Chapman and Hall; 1994.73-92. Prihatini S . D.O.T.S. Directly Observed Treatment Shortcourse. Proceeding of the Integrated Tuberculosis Symposium. Faculty of Medicine, Universiy Of Indonesia Jakarta, 1998. Robitzek EH, Selikoff IJ.Hydrazine derivatives of isonicotinic acid (Rimfon,Marsilid) in the treatment of active progressive caseouspneumonic tuberculosis. Am Rev Ttberc 1952;65:402-28 Sakula A. BCG: Who were Calmette and Guerin ? Thorax 1983; 38 i 806-12
California 1964. World Health Organization. Guidelines for tuberculosis treatment in adult and children in National Tuberculosis Programmes 1991.123. World Health Organization . Global Tuberculosis control . WHO report Geneva: WHO,2000.
World Health Organization. Tuberculosis control and medical schools. Report of WHO Workshop. Rome, Italy : WHO, 1997 World Health Organization. Tuberculosis control and research s trategies for the 1990s: Memorandum from a WHO meeting. WHO Bull. 1992;70:11 -21. World Health Organization. Global tuberculosis control. WHO Report 1999. Geneva: WHO, 1999. World Health Organization. Framework of effective tuberculosis control.WHO tuberculosis program. Geneva: WHO,1994
Yusuf A, Tjokronegoro A. Tuberkulosis Paru. penatalaksanaan diagnostik dan terapi.
Pedoman
FKUI, Jakarta,
1985.
358 PENGOBATAN TUBERKULOSIS MUTAKHIR Zulkifl i Amin, Asril Bahar
SEJARAH PENGOBATAN TU BERKULOSIS
PRINSIP PENGOBATAN TUBERKU LOSIS
Sepanjang sejarah penyakit tuberkulosis ini, berbagai cara sudah dilakukan untuk mengobati pasien. Mulai dari era sebelum dan sesudah ditemukan bakteri penyebab dan obat antituberkulosis, pengobatan tuberkulosis mengalami beberapa tahapan yakni :
Aktivitas Obat
Health ResoftEra Setiap pasien tuberkulosis harus dirawat di sanatorium, yakni tempat-tempat yang berudara segar, sinar matahari yang cukup, suasana yang menyenangkan dan makanan
Terdapat 2 macam sifaVaktivitas obat terhadap tuberkulosis
yakni
:
Aktivitas bakterisid. Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut membunuh atau melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil yang negatif(2 bulan dari permulaan pengobatan).
yargbergizitinggi.
Aktivitas sterilisasi. Di sini obat bersifat membunuh
BedrestEra Dalam hal ini pasien tidak perlu dirawat di sanatorium, tetapi cukup diberi istirahat setempat terhadap fisiknya saja, di samping makanan yang bergizi tinggi. Usaha pengobatan pada health resort and bed rest era, masih bersifat pemberantasan terhadap gejala yang timbul.
kuman-kuman yang perhrmbuhannya lambat (metabolisme kurang aktif). Aktivitas sterilisasi diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan.
Dari hasil percobaan pada binatang dan pengobatanpada manusia ternyata: . Hampir semua obat antituberkulosis mempunyai sifat bakterisid kecuali etambutol dan tiasetazon yang hanya
bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk
CollapseTherapy Era
.
Di sini cukup paru yang sakit saja diistirahatkan dengan melakukan pneumonia artifisial. Paru-paru yang sakit
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat,
Rifampisin dan pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan streptomisin menempati urutan yang lebih bawah. Dalam aktivitas
dibuang secara wedge resection, satu lobus atau satu bagian paru.
Di sini revolusi dalam pengobatan tuberkulosis, yakni dengan ditemukannya streptomisin suatu obat
bakterisid: - RifampisindanlNHdisebutbakterisidyanglengkap (complete bactericidal drug) oleh karena kedua obat ini dapat masuk ke seluruh populasi kuman. Kedua obat ini masing-masing mendapat nilai
antituberkulosis mulai tahun 1944 danbermacam-macam obat lainnya pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun
-
Chemotherapy Era
satu.
Pirazinamiddanstreptomisinmasing-masinghanya
mini
mendapat nilait s etengah, kar era ptr azinamid hanya
revolusi dalam kemoterapi terhadap tuberkulosis, karena jangka waktu pengobatan dapat dipersingkat menjadi 6-9
bekerja dalam lingkungan asam sedangkan
1964 dengan ditemukannya rifampisin terjadi semacam
-
bulan.
2240
streptomisin dalam lingkungan basa. Etambutol dan tiasetazon tidak mendapat nilai.
PENGOBITTAT{ TUBERKUI.OSIS
2241
MUTAI(HIR
dapat dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan tubuh Program Pengobatan
1950's-1969 JangkaPanjang (> 12 bulan)
1
1
1
969-1 982 982-1 986
986-1 995
'1995-1997
1
997-skrg
Resimen Pengobatan TB Fase
lnisial
2-3 HSPAS 2-3 HSPAS 2-3 HS 2.3 HS 2-3 HPAS
Jangka panjang (1 2 bulan) Jangka panlang (12 bulan) Jangka pendek (6-9 bulan) Jangka pendek (6 bulan) Jangka pendek (6-8 bulan) : Kategori 1 Kategori 2
1HS
Kategori 3 Jangka pendek (6-8 bulan) :
1HE 1HS 1HE 1 HRE 1 HSZ ,I
HRE
manusia itu sendiri.
Fase Lanjutan
I
-10HS
9 - 10 HPAS
KEMOTERAPITB
12 HPAS
12H 12H 11 H2S2 11 H2E2
11 H2S2 11 H2E2 11 H2E2 5-8 H2S2S2 5 H2R2
Kronologis Program Pengobatan Program nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah dilaksanakan sejak tahun 1950-an. Ada 6 macam obat esensial yang telah dipakai sbb; Isoniazid (H), para amino
salisilik asid (PAS), Streptomisin (S), Etambutol (E), Rifampisin (R), dan pirazinamid (P). Semenjak tahun 1994 program pengobatan TB di
2HRZE
4 H3R3
Indonesia sudah mengacrt pada program Directly
2 HRZES/1 HRZE
5 H3R3E3
Obsertted Treatment Short Course strateg) (DOTS) yang
2HRZ
4 H3R3
didasarkan pada rekomendasi WHO, strategi ini
Metode DOTS
Modifikasi dariAbdul Manaf dkk 1984 dan Batuah dkk 1989 Contohnya: 1 HS/1 1 H2S2 ini adalah regimen yang didisain untuk 1 bulan penuh isoniazid dan streptomisin, keduanya diberikan setiap hari kemudian diikuti dengan program 1 1 bulan berikutnya yang terdiri dari: isoniazid dan streptomisin 2 x semrnggu
FAKTOR KU MAN TUBERKULOSIS
Penelitian Mitchison telah membagi
memasukkan pendidikan kesehatan, penyediaan obat anti TB gratis dan pencarian secara aktif kasus TB. Sampai tahun 2000 cakupan dari program DOTS baru mencapai 28 Yo dari 206.000juta penduduk, dengan hasil pengobatan yang masihbelum memuaskan. Adabeberapa daerah yang sukses antara lain: Sulawesi. Pengobatan yang sukses di bawah program DOTS tetap tinggi walaupun turun dai 9l% menjadi 8lo/o di antara tahun 1985 -1996 kunci permasalahan dengan pengobatan sistem DOTS ini adalah rendahnya penemuan kasus-kasus
kuman
baru.
M.tub erculo s ae dalambeberapa populasi dalam hubungan
Faktor-faktor risiko yar^g sudah diketahui
antara pertumbuhannya dengan aktivitas obat yang membunuhnyayakni:
menyebabkan tingginya prevalensi TB di Indonesia al: kurangnya gizi, kemiskinan dan sanitasi yang buruk.
Populasi A. Dalam kelompok ini kuman twnbuh berkembang biak terus menerus dengan cepat. Kuman-kuman ini banyak terdapat pada dinding kavitas atau dalam lesi yang pH-nya netral. INH bekerja sangat baik pada populasi ini karena
Pengobatan tuberkulosis memiliki dua prinsip dasar.
aktivitas bakterisid segera kerjanya adalah tertinggi. Rifampisindan Streptomisin juga dapat bekerj a pada
dua macam obat yang basilnya peka terhadap obat tersebut,
populasi ini tetapi efeknya lebih kecil daripada INH.
Populasi B. Dalam kelompok ini kuman tumbuh sangat lambat dan berada dalam lingkungan asam (pH rendah). Lingkungan asam ini melindungi kuman terhadap obat antituberkulosis tertentu. Hanya pirazinamid yang dapat bekerja di sini. Populasi C. Pada kelompok ini kuman berada dalam keadan dormant (trdakada aktivitas metabolisme) hampir sepanj ang waktu. Hanya kadang-kadang saja kuman ini mengadakan metabolisme secara aktif dalam waktu yang singkat. Kuman jenis ini banyak terdapat pada dinding kavitas.Di stnt hanya rifampisin yang dapat bekerj a karena obat ini dapat segera bekerja bila kontak dengan kuman selama 20 menit.
Populasi D. Dalam kelompok ini terdapat kuman-kuman yang sepenuhnya bersifat dormant (complete dormant), sehingga sama sekali tidak bisa dipengaruhi oleh obat anti tuberkulosis. Jumlah populasi ini tidak jelas dan hanya
Dasar Teori Pengobatan TB Pertama. Bahwa terapi yang berhasil, memerlukan minimal dan salah satu daripadanya harus bakterisidik. Karena suatu resistensi obat dapat timbul spontan pada sejumlah
kecil basil, monoterapi memakai obat bakterisidik yang terkuatpun dapat menimbulkan kegagalan pengobatan dengan terjadinya pertumbuhan basil yang resisten. Keadaan ini lebih banyak dijumpai pada pasien dengan populasi basil yang besar, misalnya pada tuberkulosis paru dengan kavitas, oleh karena dapat terjadi mutasi I basil resisten dari l0 basil yang ada. Kemungkinan terjadinya resistensi spontan terhadap dua macam obat merupakan hasil probabilitas masingmasing obat, sehingga penggunaan dua macam obat yang aktif umumnya dapat mencegah perkembangan resistensi sekunder. Obat antituberkulosis mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mencegah terjadinya resistensi terhadap obat lairmya. Obat H dan R merupakan obat yang paling efektif, E dan S dengan kemampuan
menengah, sedangkan terkecil.
Z
adalah yang efektifitasnya
2242
PULTilONCX.OGI
Kedua. Bahwa penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan yang baik setelah perbaikan gejala klinisnya,
perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeliminasi basil yang persisten. Basil persisten ini merupakan suatu populasi kecil yang metabolismenya inaktif. Pengobatan yang tidak memadai akan mengakibatkan bertambahnya kemungkinan kekambuhan, beberapa bulan-tahun mendatang setelah seolah tampak sembuh. Resimen padapengobatan sekitar tahun I 950- I 960 memerlukan waktu 18-24 bulan untuk jaminan menjadi sembuh. Dengan adanya cara pengobatan pada masa kini (metode DOTS) yang menggunakan paduan beberapa obat, pada umumnya pasien tuberkulosis berhasil disembuhkan secara baik dalam waktu 6 bulan. Kegagalan menyelesaikan
program masa pengobatan suatu kategori merupakan penyebab dari kekambuhan.
Berdasarkan prinsip tersebut, program pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase, yaitu: fase bakterisidal awal (inisial) dan fase sterilisasi (lanjutan). Obat yang bersifat bakterisidal aktif belum tentu merupakan obat sterilisator terbaik dan obat yang efektifpada fase sterilisasi belum tentu obat bakterisidal yang paling aktif. Telah diketahui bahwa obat H merupakan bakterisidal yang paling poten, sedangkan obat R dan Z merupakan sterilisator yang paling efektif. Pada binatang percobaan, obat H dapat menghambat aktivitas sterilisasi dari obat R
danZ. Daftar efek obat yang digunakan untuk terapi jangka pendek berdasarkan data dari laboratorium dan penetian klinis. Populasi basil yang terbesar terdiri dari: a. basil yang
metabolismenya aktif yang cepat terbunuh oleh obat berkemampuan bakterisidal terutama H, b. obat R terutama
efektif terhadap basil yang'dorman dan yang muncul berlipat ganda secara periodik, c. populasi lain, yang terdiri dari basil yang terdapat di lingkungan asam (basil intrasel dan basil yangterdapat di dalam lokasi perkijuan), yang
terutama peka terhadap efek obat Z, d. rrltrrgkin suatu populasi basil yang metabolismenya inaktif yang tidak dapat dipengaruhi oleh obat apapun, dan banya dapat dieliminasi oleh respons imun pejamu. (Gambar 1)
Keterangan : basil tumbuh aktif, terutama dibunuh oleh isoniazid
A: B: C: D:
basil semi-dorman, kadang-kadang metabolisme aktif basil semi-dorman dalam suasana asam, dibunuh oleh pirazinamide
basil dorman murni, tidak dapat dibunuh oleh obat
Kemoterapi Bertujuan: Mengobati pasien dengan sesedikit mungkin
.
mengganggu aktivitas hariannya, dalam periode pendelq
tidak memandang apakah dia peka atau resisten
. . . .
terhadap obat yang ada.
Mencegah kematian atau komplikasi lanjut akibat penyakitnya. Mencegah kambuh
Mencegah munculnya resistensi obat Mencegah lingkungannya dari penularan
Obat-obatan TB dapat diklasifrkasi menjadi dua jenis resimen,yaitu obat- lapis pertama dan lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarbhkan ke penghentian pertumbuhan
basil, pengurangan basil dorman dan petcegahan terjadinya resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari
Isoniazid (INH), Rifampicin, Pyrazinamide, Ethambutol dan Streptomycin. Obat-obatan lapis kedua mencakup
Rifubutin, Ethionamide, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine, Aminoglycosides di luar Streptomycin dan Quinolones. Isoniazid (NH) mempunyai kemampuan bakterisidal TB yang terkuat. Mekanisme ke{anya adalahmenghambat cell-wall biosynthesis pathway. INH dianggap sejenis obat yang aman; efek samping utamanya antara lain hepatitis dan neuropati perifer karena interferensi fungsi biologi vitamin 86 atau piridoksin. Rifampisin juga merupakan obat anti TB yang ampuh, dia menghambat polimerase DNA-dependent ribonucleic acid (RNA) M tuberculosis. Efek samping yang sering diakibatkannya antara lain hepatitis, flu-like syndromeis dan trombositopenia. Rifampisin meningkatkan metabolisme hepatik kontrasepsi oral sehingga dosis kontrasepsi oral
harus ditingkatkan. Pirazinamid merupakan obat bakterisidal untuk organisme intraselular dan agen antituberkulos ketiga yang juga cukup ampuh. Pirazinamid hanya diberikan untuk 2 bulan pertama pengobatan. Efek
,/.HlR,s'M\ Tumbuh aktif
I
/*
ffFi1r-
l,Dorman I
I
t;-
,/'
| ,".0"o"
l I
asam
l
Gambar 1. Hipotesis populasi M. Tuberctttosis. Bagian-bagian populasi basil yang dibunuh oleh obat tertentu (Mitchison, 1998. Mycobacteria ll, '1. ed.; p. 34)
samping yang sering diakibatkannya adalah hepatotoksisitas dan hiperurisemia. Etambutol satusatunya obat lapis pertama yang mempunyai efek bakteriostatis, tetapi bila dikombinasikan dengan INH dan Rifampisin terbukti bisa mencegah te{adinya resisten obat. Streptomisin merupakan salah satu obat antituberkulos pertama yang ditemukan. Streptomisin ini suatu antibiotik golongan aminoglikosida yang harus diberikan secara parenteral dan bekeq'a mencegah pertumbuhan organisme ekstraselular. Kekurangan obat ini adalah efek samping
toksik pada saraf kranial kedelapan yang dapat
2243
PENGOBAf,AN TI,'BERKI,'LOSIS MI,'IIAIGIIR
menyebabkan disfungsi vestibular dan/atau hilangnya pendengaran. Obat tuberkulosis yang aman diberikan pada
perempuan hamil adalah isoniazid, rifampisin dan etambutol. Obat lapisan kedua dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus resistan multi-obat.
Pengobatan TB memerlukan waktu sekurangkurangnya 6 bulan agar dapat mencegah perkembangan resistensi obat. Oleh karena itu, WHO telah menerapkan strategi DOTS dimana terdapat petugas kesehatan tambahan yang berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan kepatuhannyanya. WHO juga telah menetapkan resimen pengobatan standar yang membagi pasien menjadi empat kategori berbeda menurut def,rnisi kasus tersebut (Tabel 2).
bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila sputum BTA menjadi negatif, fase lanjutan bisa segera 3
dimulai. Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan I bulan lagi. Bila akhir bulan ke-4 sputum BTA masih positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hai dan dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan. obat dilanjutkan memakai resimen fase lanjutan, yaitu 5H3\E3 atau 5HRE. 3. Pasien TBP dengan sputum BTAnegatif tetapi kelainan paru tidak luas dan kasus ekstra-pulmonal (selain dari kategori I). Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ
Kategori
atau 2
H,\E, Z,
y ang diteruskan dengan fase lanj utan
Kategori 4. Tuberkulosis kronik. Kategori
Pasien TB TBP sputum BTA positif baru Bentuk TBP berat, TB ekstra-paru (berat),
TBP BTA-negatif Relaps Kegagalan pengobatan Kembali ke default TBP sputum BTA-
Resimen Pengobatan' Fase Awal SHRZ (EHRZ) SHRZ (EHRZ) SHRZ (EHRZ)
HRZE 1 HRZE
SHZE/'I SHZE/
2 HRz atau
Fase Laniutan 6 4
HE HR
4
HsRs
5 5
HgR:ET
2 H3&Zr 6
2 2
HRE
HE
negatif TB ekstra-paru (menengah berat)
2HRZatau2 HtRoZe 2HRZalau2 H3R3Z3
Kasus kronis (masih BTA-positif setelah pengobatan ulang yang disuperuisi)
Tidak dapat diaplikasikan (mempertimbangkan menggunakan obatobatan badsan kedua)
HN4H H3R3/4H
2HR
atauHrRr. Pada pasien
ini mungkin
mengalami resistensi ganda, sputumnya harus dikultur dan ujikepekaan obat. Untuk seumurhidup diberiH saja (WHO)
atau sesuai rekomendasi WHO untuk pengobatan TB resistensi ganda (mulfidrugs resistant tuberculosrs (MDR-TB). Kortikosteroid diberikan untuk tuberkulosis yang mengenai sistem saraf pusat (meningitis) dan perikarditis namun tidak dianjurkan untuk diberikan sebagai tambahan
terapi pada tuberkulosis jenis lainnya. Pepgobatan tuberkulosis pada pasien dengan HIV positif pada dasarnya tidak berbeda dengan pengobatan pada pasien dengan HIV negatif. Hal yang perlu diperhatikan adalah Rifampin tidak diberikan pada pasien HIV positif yang
Singkatan: TB = TB; TBP = Tuberkulosis paru; S = Streplomisini H = lsoniazid: R = Rifampisin; Z = Pirazinamide; E = Etambutol
menggunakan obat protease inhibitor (kecuali obat ritonavir) atau obat non nucleoside reverse transcriptase
lHlTnLT :1"*JH:',;1ili"::%1ffi I L:"8[: Iil:t"ll',fi"* ;::"iX"H",Jfi:",
inhibitorlNNRTl (kecuali obat efavirenz). Untuk
diberikan setiap hari yang diikuti dengan 4 bulan isoniazid dan rifampisin yang diberikan tiap hari atau 3 kali seminggu
Resimen Pengobatan Saat lni (metode DOTS)
mengatasinya dengan menggunakan rifabutin sebagai pengganti rifampin. Rifabutin dapat diberikan bersamaan dengan protease inhibitor (kecuali obat saquinavir) dan NNRTI (kecuali obat delavirdin) dengan penyesuaian dosis. Sebaiknya tatalaksana tuberkulosis pada pasien
HIV
dilakukan oleh ahlinya. Pasien HIV yang mendapat obat
Keterangan Lengkap Kategori I. Pasien tuberkulosis paru (TBP) dengan sputum BTA positif dan kasus baru, TBP lainnya dalam keadaan TB berat, seperti meningitis tuberkulosis, miliaris,
perikarditis, peritonitis, pleuritis masif atau bilateral, spondilitis dengan gangguan neurologik, sputum BTA negatiftetapi kelainan di paru luas, tuberkulosis usus dan saluran kemih. Pengobatan fase inisial resimennya terdiri dari 2 HRZS (E), setiap hari selama dua bulan obat H,R, Z dan S atau E. Sputum BTA awal yang positif setelah dua bulan diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan 4HR atau 4HrR3 atau 6HE. Apabila sputum
BTA masih tetap positif setelah dua bulan, fase intensif
tuberkulosis dan antiretroviral dapat menunjukkan gejala dan tanda eksaserbasi tuberkulosis (reaksi paradoks).
Keadaan
ini disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas
lambat dan meningkatnya antigen kuman setelah pemberian antituberkulosis bakterisidal. Pasien HIV dengan CD4 < 100 tidak boleh diberikan pengobatan dengan resimen 2 kali seminggu.
Pengobatan tuberkulosis pada anak-anak tidak mengikutsertakan etambutol (kecuali terjadi resistensi INH atau anak tersebut menunjukkan gej ala tuberkulosis dewasa seperti infiltrat pada lobus atas dan kavitas). Pemberian obat pada fase lanjutan akan diperpanjang
menjadi 7 bulan (total pengobatan 9 bulan) jika tidak
diperpanjang dengan 4 minggu lagi, tanpa melihat apakah sputum sudah negatif atau tidak.
diberikan pirazinamid pada fase inisial. Salah satu masalah utama pengobatan TB ini adalah munculnya strairt M. tuberculosis yang bersifat resistensi
Kategori 2. Pasien kasus kambuh atau gagal dengan sputum BTA positif. Pengobatan fese insial terdiri dan
ganda terhadap obat primer. Resistensi ganda dapat berkembang dengan salah satu dari dua cara berikut ini yaitu resisten obat primer dan resistensi obat sekunder.
2HRZES/lHRZE, yaituR denganH,Z,E setiap hari selama
2244
R'LIIilONOT.OG,I
Resistensi obat primer berkembang pada seseorang yang belum menerima pengobatan TB sebelumnya, yaitu mereka yang terinfeksi dengan strain resistan, sedangkan resistensi sekunder atau yang diperoleh (acquired resistance) merujuk ke resistensi yang berkembang selama periode pengobatan.
Jenis resistensi sekunder khususnya merupakan akibat resimen atau lama pengobatan yang kurang memadai. Agar dapat dicegah, penemuan atau penambahan modus pengobatan lain yang lebih ampuh sangat dibutuhkan dengan salah satu tujuannya dapat mengurangijangkawaktu pengobatan. Pada akhirnya, mungkin beberapa obat yang
berperan sebagai imunomodulator berpotensi untuk memperbaiki hal ini. Tujuan jenis terapi ini adalah meningkatkan respons imun pejamu menuju proteksi optimal.
etambutol (fase lanjut).
Paduan ini selanjutnya berkembang menjadi terapi jangka pendek, dengan memberikan INH + rifampisin + streptomisin atau etambutol atau pirazinamid (Z) setiap hari sebagai fase initial selama l-2 bulan dilanjutkan dengan NH + rifampisin atau etambutol atau streptomisin 2-3 kali seminggu selama 4-7 bulan, sehingga lama pengobatan keseluruhan menjadi 6-9 bulan. Paduan obat yang dipakai di Indonesia dan dianjurkan juga oleh WHO adalah : 2 RIIZI4 RH dengan vaiasi 2 RHS/4RH, 2 Rrzl4\r1, 2 RHS/4R H,.
Untuk tuberkulosis paru yang berat (milier) dan tuberkulosis ekstraparu, terapi tahap lanjutan diperpanjang menjadi 7 bulan sehingga paduannya menjadi 2 RIIZIT RH, dll. Dengan pemberian terapi jangka pendek akan didapat beberapa keuntungan seperti waktu pengobatan
lebih singkat, biaya keseluruhan untuk pengobatan
PANDUANOBAT Dalam riwayat kemoterapi terhadap tuberkulosis dahulu dipakai satu macam obat saja. Kenyataannya dengan pemakaian obat tunggal ini banyak te{adi resistensi karena sebagian besar kuman tuberkulosis memang dapat dibinasakan tetapi sebagian kecil tidak. Kelompok kecil yang resisten ini malah berkembang biak dengan leluasa.
Untuk mencegah terjadinya resistensi ini, terapi tuberkulosis dilakukan dengan memakai paduan obat, sedikitnya dib eikan2 macam obat yang bersifat bakterisid. Dengan memakai paduan obat ini, kemungkinan resistensi awal dapat diabaikan karena : . Jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam obat atau lebih. . Pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah terhadap INH.
Tetapi belakangan
initial) dan diteruskan dengan INH + rifampisin atau
ini di beberapa
negara banyak terdapat resistensi terhadap lebih dari satu obat (multi drug resistance) terutama terhadap obat yang dipakai:
INH dan rifampisin.
menjadi lebih rendah, jumlah pasien yang membangkang menjadi berkurang, dan tenaga pengawas pengobatan menj adi lebih hemat/efisien.
Oleh karena itu Departemen Kesehatan Rl dalam rangka program pemberantasan penyakit tuberkulosis paru lebih menganjurkan terapi jangka pendek dengan paduan obat HRE/5 HaRa (isoniazid + rifampisin + etambutol setiap hari selama satu bulan, dan dilanjutkan dengan isoniazid + rifampisin 2 kali seminggu selama 5 bulan), daripada terapi jangka panjang }JSZ1ll H2Z2 (INH + streptomisin + pirazinamid2kali seminggu 11 bulan).
Di hegara-negara yang sedang
berkembang,
pengobatan j angka pendek ini banyak yang gagal mencapai kesembuhan yang ditargetkan (cure rate) yakni 85% karena
program pengobatan yang kurang baik, kepatuhan berobat pasien yang buruk, sehingga menimbulkan populasi tuberkulosis makin meluas, resistensi obat makin banyak.
Jenis
Obat Primer (obat antituberkulosis tingkat satu): isoniazid, rifampisin, pir aztnamid, streptomisin, etambutol
Obat Sekunder (obat antituberkulosis tingkat dua): kanamisin, pas (para amino salicylic acid), tiasetazon, etionamid, protionamid, sikloserin, viomisin, kapreomisin,
DOSIS OBAT Tabel 3 menunjukkan dosis obat yang dipakai (di Indonesia) secara harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien.
amikasin, ofloksasin, siprofloksasin, norfloksasin, levofl oksasin, klofazimin.
Sebelum ditemukan rifampisin, metode terapi tuberkulosis paru adalah dengan sistem jangka panjang (terapi standar) yakni : INH (H) + streptomisin (S) + PAS atau etambutol (E) tiap hari dengan fase initial selama 1-3 bulan dan dilanjutkan dengan INH + etambutol atau PAS selama 12-18 bulan. Setelah Rifampisin ditemukanpaduan obat menjadi
INH
+ rifampisin + streptomisin atau etambutol setiap hari (fase
Nama Obat lsoniazid Rifampisin Pirazinamid Streptomisin Etambutol Etionamid PAS
Dosis Harian BB < 50
kg
BB > 50
kg
300 mg
400 mg
450 mg
600 mg 2.000 mg 1000m9 1000m9 750 mg
1000m9 750 mg 750 mg 500 mg 99
1og
Dosis Berkala 3 x Seminggu 600 mg 600 mg 2-3 g 1000m9 1-1 ,59
2245
PENGOB'If,AN TUBERKUI.OSIS MIITAKHIR
EFEKSAMPING OBAT Dalampemakaian obat-obat anti tuberkulosis tidak jarang
diiemukan efek samping yang mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin obat anti tuberkulosis yang bersangkutan masih dapat diberikan dalam dosis terapeutikyang kecil, tetapi bila efek samping ini sangat mengganggu, obat antituberkulosis yang bersangkutan harus dihentikan pemberiannya, dan pengobatan tuberkulosis dapat diteruskan dengan obat lain. Perlu diketahui bahwa semua obat anti tuberkulosis mempunyai efek samping yang kadamya berbeda-beda padatiap-tiap individu. Adapun efek samping tiaptiap obat dapat dilihat pada Tabel 4.
kemudian dapat diberikan kembali sendiri-sendiri secara desensitisasi (dosis obat dimulai dari yang paling kecil
dan dinaikkan perlahan-lahan sambil menilai adakah kelainan toksik ialergi terjadi. Desentisasi dengan INH, dimulai dengan 25 mg dan dinaikkan 2 kali dosis sebelumnya seti ap 3 han Q5-50- I 00-200-300400 mg). Untuk rifampisin sama seperti INH dan dimulai dengan dosis 75 mg (hari pertama 75 mg, hari ke-475 mg,haike-7 150 mg, harike-10 150 mg, harike-13 450 mg, hari ke-16 450 mg, hari ke-19 600 mg). Untukmencegah terjadinya efek samping OAI perlu dilakukan pemeriksaan kontrol seperti:
.
Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai obat
. .
etambutol Tes audiometri bagi yang memakai obat Streptomisin Pemeriksaan darah terhadap enzim hati, bilirubin, ureum/ kreatinin, darah perifer dan asam urat (untuk pemakai pirazinamid)
neuropati perifer dapat dicegah dengan
INH Rifampisin
Streptomisin Etambutol Etionamid PAS Cycloserin:
pemberian vitamin B6, hepatotoksik sindrom.fl u, hepatotoksik. nefrotoksik, gangguan nervus Vlll kranial. neuritis optika, nefrotoksik, skin rash/dermatitis. hepatotoksik, gangguan pencernaan. hepatotoksik, gangguan pencernaan seizure / kejang, depresi, psikosis
EVALUASI PENGOBATAN Klinis. Biasanya pasien dikontrol dalam I minggu pertama, selanjutnya setiap 2 minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhirpengobatail' Secara
klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan Ternyata sebagian besar obat-obat anti tuberkulosis yang banyak dipakai adalah hepatotoksik. Kelainan yang ditimbulkan mulai dari peningkatan kadar transminase
darah (SGOT/ SGPT) yang ringan saja sampai pada
pasien seperti batuk-batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat, dll'
Bakteriologis. Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan
hepatitis fu lminan. Hepatitis karena obat antituberkulosis banyak terj adi karena pemakaian INH + rifampisin. Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa INH memproduksi hidrazin yakni suatu metabolik yang hepatotoksik. Hidrazin
ini lebih banyak lagi diproduksi bila pemberian INH dikombinasikan dengan rifampisin. Insidensi hepatitis ini tidak banyak, penelitian di RS Dr. Cipto Mangunkusumo (1987) mendapatkan 2,3oh dan kebanyakan terjadi pada usia tua. Biasanya bila kadar SGOT/SGPT meningkat tetapi angkanya tidak lebih dari 2 x nilai normal, INH-rifampisin masih dapat diteruskan. Bila
kadarnya meningkat terus, INH+rifampisin harus dihentikan pemberiannya. Bila memungkinkan hendaknya diperiksakan antibodi terhadap rifampisin. Jika ternyata
antibodi ini positif, pemberian INH masih dapat dipertimbangkan kelanjutannya. Untuk mencegah terjadinya hepatitis karena obat anti tuberkulosis, dianjurkan agar memilih paduan obat yang tidak terlalu berat efek hepatotoksiknya, dan diperlukan evaluasi yang cermat secara klinis dan laboratoris terhadap pasien pada minggu-minggu pertama pengobatan. Bila sudah terjadi hepatitis karena obat ini, biasanya hepatitis ini sembuh
sendiri
jika obat-obat hepatotoksik tadi dihentikan
pemberiannya, dan diganti dengan obat-obat yang tidak hepato-toksik. Pemberian steroid pada hepatitis karena
OAT dapat dipertimbangkan. Rifampisin atau INH
BTAdilakukan pada permulaan, akhirbulan Pemeriksaan resistensi dilak*all pengobatan. ke 2 dan akhir 5, dan 8. Biakan
untuk kontrol pada kasus-kasus yang dianggap selesai pengobatan/sembuh. Sewaktu-waktu mungkin terj adi silent bacterial shedding, yaitu terdapat sputum BTA positif tanpa disertai keluhan-keluhan tuberkulosis yang ielevan pada kasus-kasus yang memperoleh kesembuhan' Bila ini terjadi yakni BTApositif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3 bulan), berarti pasien mulai kambuh lagi'
Radiologis. Evaluasi radiologis juga diperlu-kan untuk melihat kemajuan terapi. Beberapa ahli kedokteran
2246
PT.JIJI'OI{OI.GI
berkurang (misainya tetap batuk-batuk), dengan
sudah sembuh. Kegagalan pengobatan ini dapat mencapai 50%o pada terapi Jangka panjang, karena sebagian besar
pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan tuberkuiosis parunya atau adakah penyakit lain yang menyertainya. Karena perubahan gambaran radiologis tidak secepat
pasien tuberkuiosis adalah golongan yang tidak mampu sedangkan pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu
perubahan bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan
lama dan biaya banyak.
Untuk mencegah kegagalan pengobatan ini perlu
setiap 3 bulan sekali.
Bila secara bakteriologis ada perbaikan tetapi klinis dan radiologis tidak, harus dicurigai penyakit lain di samping tuberkuiosis paru. Bila secara klinis, bakteriologis dan radiologis tetap tidak ada perbaikan padahal pasien sudah diobati dengan dosis yang adekuat serta teratur, perlu dipikirkan adanya gangguan imunologis pada pasien tersebut, attara lain AIDS.
kerjasama yang baik dari dokter dan paramedis lainnya
serta motivasi pengobatan tersebut terhadap pasien. Penanggulangan terhadap kasus-kasus yang gagal ini adalah:
.
Pasien yang gagal pengobatan dapat diberikan resimen pengobatan yang dimodifikasi dengan menambahkan sedikitnya 3 obat baru (dimana kuman masih sensitif terhadap obat tersebut). Aturan utama untuk terapi gagal pengobatan adalah tidak pernah memberikan hanya satu obat tambahan pada resimen yang telah ada. Pasien dengan MDR diterapi dengan 4-6 obat (dimana
.
Terhadap pasien yang sudah berobat secara teratur. - Menilai kembali apakahpaduan obat sudah adekuat mengenai dosis dan cara pemberiannya. - Lakukan pemeriksaan uji kepekaan/tes resistensi kuman terhadap obat. - Bila sudah dicoba dengan obat-obat yang masih peka, tetapi temyata gagal juga, maka pertimbangkan terapi dengan pembedahan terutama pada pasien dengan kavitas atau destroyed lung.
Terhadap pasien dengan riwayat pengobatan tidak teratur.
kuman masih sensitive) selama l8-24 bulan fiika terdapat
resistensi terhadap etambutol dan pirazinamid maka pengobatan diberikan selama 24 bulan). Semua pasien tuberkulosis harus diperiksa terhadap kemungkinan menderita HIV. Pasien dengan faktor risiko terkena hepatitis B atau C juga harus diperiksa.
-
Teruskan pengobatan lama selama
-
evaluasi bakteriologis tiaptiap bulan. Nilai kembali tes resistensi kuman terhadap obat. Bilaternyataterdapatresistensi terhadap obat, ganti dengan paduan obat yang masih sensitif.
* 3 bulan
dengan
PASIEN KAMBUH
KEGAGALAN PENGOBATAN Sebab-sebab kegagalan pengobatan, antara
lain
:
Obat : I ). Paduan obat tidak adektat. 2). Dosis obat tidak cukup. 3).Minum obat tidak teranxlidak sesuai dengan petunjuk yang diberikat 4). Jangka waktu pengobatan kurang dari semestinya. 5). Terjadi resistensi obat. 6). Resistensi obat sudah harus diwaspadai yakni bila dalam l-2 bulan pengobatan tahap intensif, tidak terlihat perbaikan.
Di Amerika Serikat prevalensi pasien yang resisten terhadap OAT makin meningkat dan sudah mencapai9o/o. Di negara yang sedang berkembang seperti di Afrika, diperkirakan lebih tinggi lagi. BTA yang sudah resisten terhadap OAI saat ini sudah dapat dideteksi dengan cara PCR-SSCP (Polymerase Chain Reqction-Single Stranded
Confirmation Polymorphism) dalamwaktu I hari.
Drop out: 1. Kekurangan biaya pengobatan. 2. Merasa sudah sembuh. 3. Malas berobat/kurang motivasi.
Penyakit : l). Lesi paru yang sakit terlalu luas/sakit berat. 2). Penyakit lain yang menyertai tuberkuiosis seperti diabetes
melitus, alkoholisrae. 3). Adanya gatggoan imunologis. Sebab-sebab kegagalan pengobatan yang terbanyak adalah karena kekurangan biaya pengobatan atau merasa
Pasien kambuh adalah pasien yang telah menjalani pengobatan secara teratur dan.adekuat sesuai dengan rencana, tetapi dalam kontrol ulangan ternyata sputum BTAkembali positif baik secara mikroskopik langsung
ataupun secara biakan. Frekuensi kekambuhan ini adalah antara 2-l0oh tergantung pada jenis obat yang dipakai.
Umumnya kekambuhan terjadi pada tahun pertama setelah pengobatan selesai, dan sebagian besar kumannya
masih sensitif terhadap obat-obat yang dipergunakan semula. Penanggulangan terhadap pasien kambuh ini adalah:
. .
. . . .
berikan pengobatan yang sama dengan pengobatan peftama, lakukan pemeriksaan bakteriologis optimal yakni periksa sputum BTAmikroskopis langsung 3 kali, biakan, dan
resistensi, evaluasi secara radiologis luasnya kelainan paru, identifikasi adakah penyakit lain yang memberatkan tuberkulosis seperti diabetes melitus, alkoholisme atau pemberian kortikosteroid y atglama,
sesuaikan obat-obat dengan hasil tes kepekaan/ resistensi, nilai kembali secara ketat hasil pengobatan secara klinis, radiolo gis, dan bakteriolo gis tiap-tiap bulan.
2247
PENGOBr'If,AN TUBERKUI.OSIS MLMAKHIR
PENGOBATAN PEMBEDAHAN Pasien kambuh adalah pasien yang telah menjalani terapi
TB adekuat dan sudah dinyatakan sembuh oleh dokter secara
klinis, mikrobiologis maupun radiologis, kemudian
pada evaluasi berikutnya terdapat gejala klinis tuberkulosis
positif (mikrobiologi positif). Terapi bedah, banyak dilakukan dalam upaya penyembuhan pasien tuberkulosis
Lama profilaksis yang optimal belum diketahui, tetapi banyak peneliti menganjurkan waktu antara 6-12 btlan, antara lain dari American Thoracic Society dan US Centers for Diseases Control terhadap tersangka dengan hasil uji tuberkulin yang diametemya lebih dari 5-10 mm. Yang mendapat profilaksis 12 bulan adalah pasien HIV positif dan pasien dengan kelainan radiologis dada. Yang lainnya seperti kontak tuberkulosis dan sebagainya cukup
paru yang kambuh. Pada saat ini dengan banyaknya obatobat yang bersifat bakterisid, terapi bedah jarang sekali dilakukan terhadap pasien tuberkulosis paru. Indikasi terapi bedah saat ini adalah : a. pasien dengan sputum BTA tetap positif (persisten) setelah pengobatan diulang; b. pasien dengan batuk darah masif atau berulang;
6 bulan saja. Pada negara-regara dengan populasi tuberkulosis tinggi sebaiknya profilaksis diberikan terhadap semua pasien HIV positif dan pasien yang
c. Terapi fistula bronkopleura, d. Drainase empiema
REFERENSI
tuberkulosis ; d. Untuk mengatasi gangguan mekanik yang timbul pada tuberkulosis tulang (seperti stabilisasi tulang vertebra pada penyakit pott) Di samping syarat toleransi operasi (spirometri, analisis
gas darah dll) diperlukan juga syarat adanya obat-obat
antituberkulosis yang masih sensitif. Obat-obat antituberkulosis ini tetap diberikan sampai 6 bulan setelah operasi. Hasil operasi pasien dengan sputum BTA tetap positif, sebagian besar BTA menjadi negatif di samping perbaikan keluhan-keluhannya, sehingga dapat dikatakan tindakan bedah sangat berarti dalam penyembuhan pasien.
USAHA PREVENTIF TERHADAP TUBERKU LOSIS
VaksinasiBCG Dari beberapa peneliti diketahui bahwa vaksinasi BCG yang
telah dilakukan pada anak-anak selama ini hanya memberikan daya proteksi sebagian saja, yakni 0-80%. Tetapi BCGmasihtetap dipakai karena ia dapatmengurangi
kemungkinan terhadap tuberkulosis berat (meningitis, tuberkulosis milier dll) dan tuberkulosis ekstra paru lainnya.
Kemoprofilaksis Kemoprofilaksis terhadap tuberkulosis merupakan masalah tersendiri dalam penanggulangan tuberkulosis paru di samping diagnosis yang cepat dan pengobatan yang adekuat. Isoniazid banyak dipakai selama ini karena harganyamurah dan efek sampingnya sedikit (terbanyak hepatitis dengan frekuensi 1ol0, sedangkan yang berusia lebih dari 50 tahun adalah2%). Obat alternatif lain setelah Isoniazid adalah Rifampisin.
Beberapa peneliti pada I DNI (International Union Against Tuberculosis) menyatakan bahwa profilaksis
NH diberikan selama 1 tahun, dapat menurunkan insidens tuberkulosis sampai 55-83o/o, dan yang kepatuhan minum obatnya cukup baik dapat mencapai penurunan dengan
90Yo.Yang minum obatnya tidak teratur (intermittent), efektivitasnya masih cukup baik.
mendapat terapi imunosupresi.
American Thoracic Society, Centers for Disease Control and Prevention, Infectious Diseases Society of America. Treatment of tuberculosis. MMWR. 2003; 52 (RR-l 1):1. Bamer PF, Barrow SA. Tuberculosis in the 1990s. Ann Intem Med. 1993; ll9: 400-10. Batoeah HD. Beberapa pedoman pemberantasan tuberkulosis di Indonesia.Majalah Kedokteran Indonesia 1969;5:158-67. Chan ED, Laurel V, Strand MJ, et al. Treatment and outcgme analysis of 205 patients with multidrug-resistant tuberculosis. Am J Respir Cri: Care Med. 2004;169:1103 - 1109. Centers for Disease Control and Prevention. Prevention and Treatment of Tuberculosis among patients infected with human immunodeficiency virus: principles of therapy and revised recommendations. Fishman AP. Pulmonary disease and disorder. New York: 1't ed. McGrawHill; 1990, 1229'323. Havlir DV, Bames PF. Tuberculosis in patients with human immunodeficiency virus infection. N Engl J Med. 1999; 340:367. Hinshaw HC, Murray JF. Disease of the chest. 4'h ed, Igaku-Shoin/ Saunders International Edition; I 980,298-3 5 5. Holland, S.M. 2000. Cytokine therapy of mycobacterial infections. Acta.Intern. Med. 2000;45:431-452. Home N. Tuberculosis, Respiratory Disorders. Medicinelntemational.
t986; 2(12): 1490-1498. MD. Treatment of multidrug-resistant tuberculosis. N. Engi J Med 1993; 329:784-91. Kanai K. Introduction to tuberculosis and mycobacteria. Tokyo;
Iseman
SEAMIC Publication no.60; 1990' 105-59. Lobue PA.Tuberculosis treatment of disease. In: Manuai of Clinical Problems in Pulmonary Medicine. 6b ed, Bordow RA,Ries AL and Morris TA eds.Lippincott Wi[iams & Wilkins, Philladelphia 2005; 1 95-200 Manaf A. Kebijaksanaan baru pemerintah dalam pe-nanggulangan
tuberkulosis paru. Simposium Tuberku-losis Paru Kembali, Jakarta, 23-10-1993. Manaf A. National Pulmonary Tuberculosis eradication Program.
of the Integrated Tuberculosis Symposium. Faculty of Medicine University of Indonesia . Jakarta, 1998. Mitchison DA. Basic Concepts in the Chemotherapy of Tuberculosis. In (Gangadharam PRJ and Jenkns PA, eds) Mycobacteria II Chemotherapy, Chapman & Hall, 1998. l5-50. Narita M, Ashkin D, Hollender ES, et al' Paradoxical worsening of tuberculosis following antiretroviral therapy in patients with Proceeding
AIDS. Am J Respair Crit Care Med. 1998; 158:157.
2248
PtTIJUOi{CIrOGI
Ormerod LP. Respiratory tuberculosis. Clinical Tuber-culosis, Davies PDO, Ed. London: Chapman and Hall; 1994.73-92. Patterson PE, Kimerling ME, Bailey WC, and Dunlap NE. Chemo-
World Health Organization. Guidelines for tuberculosis treatrnent.in adult and children in National Tuberculosis Programmes 1991.
therapy of tuberculosis In; Schlossberg, D ed. Tuberculosis and non tuberculosis mycobacterial infections. 4th ed. W.B. Saunder Co. USA. 2000,71-82. Prihatini S . D.O.T.S. Directly Observed Treatment Shortcourse. Proceeding of the Integrated Tuberculosis Symposium. Faculty of Medicine, Universiy Of Indonesia Jakarta, 1998. Snider DE. Tuberculosis: The world situation. History of the diseases and efforts to combat it. Tuberculosis back to the future. Portor JDH and Me Adam PWJ, Ed. Chichester England: John Wiley & Sons, 1994. 13-31.
World Health Organization. Framework of effective tuberculosis control.WHO tuberculosis program. Geneva: WHO,1994 World Health Organization. 1993. Treatment of tuberculosis: Guidelines for national programmes. WHO, 1993.Geneva. WHO, . Guidelines for the Management of Drug-Resistant Tuberculosis. (Crofton Chaulet P, Maher D, Grosset J, Harris W, Home
l-23.
N, Iseman M and Watt B eds). 2 ed. l997,Geneva.
35e PENYAKIT MEDIASTINUM ZulkifliAmin
Terdapatnya penyakit mediastinum biasanya ditandai dengan ditemukan kelainan pada foto torak atau CT torak (chest computed tomograpfty). Penemuan ini dapat secara kebetulan atau sebagai bagian evaluasi rutin torak atau sebagai evaluasi keluhan spesifft, (misalnya pada kesulitan menelan) atau setelah trauma torak (misalnya, risiko pembedahan aorta torakalis)' Gejala yang muncul bisa terkait dengan proses penyakit primer atau akibat efek kompresi yang berhubungan dengan desakruang regional' Akan tetapi suatu gejala atau tanda pada satu sistem organ tertentu tidak dapat langsung dicap sebagai penyakit primer pada sistem tersebut. (Contohnya, disfagia mungkin terjadi akibat kelainan di esofagus atau kondisi
ekstrinsik). Walaupun belum bisa diperkirakan prevalensinya, kelainan struktur dalam mediastinum sangat bervariasi' Secara anatomi, mediastinum adalah rongga tertentu dalam
tubuh yang dibatasi oleh inlet toraksdi superior, diafragma di inferior, sternum di anterior, dan kolumna vertebralis serta pleura di posterior (Gambar 1)
Pembagian mediastinum ke dalam rongga anterior, superior, medial, dan posterior, adalah maya karena tidak ada sekat yang membagi anlaru satu rongga dengan rongga yang lainnya. Lokasi mediastinum di rongga torak
dapat bervariasi sebagai akibat proses di hemitorak (tekanan pneumotorak atau efusi pleura), yang dapat menyebabkan deviasi mediastinum dan menyebabkan pendorongan isinya dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai catatan, penggabungan rongga anterior dan superior menjadi rongga anterior-superior mediastinum terkadang bermanfaat dalam proses penyakit yang meluas dari satu tempat ke tempat yang lain.
Berbagai penyakit bisa timbul atau melibatkan mediastinum. Bisa berupa tumor primer, metastasis, kista atau infeksi akut dan kronik. Rongga anterior-superior berisi beberapa struktur penting termasuk pembuluh
darah besar, aortic root,kelenjar timus, trakea inferior,
kelenjar limfe dan esofagus. Mungkin juga terdapat tiroid substernal dan paratiroid sebagai varian yang umum. Massa yang paling umum di mediastinum superior adalah tiroid substernal. Sedangkan massa yang paling sering ditemukan di mediastinum anterior adalah tumor
germ cell, limfoma Hodgkin's dan non-Hodgkin's' Mediastinum posterior berhadapan langsung dengan sulkus paravertebral dan kolumna vertebral anterior termasuk akar saraf spinal, yang bergabung membentuk
saraf interkostal, rantai saraf simpatis, dan duktus torasikus serta aorta desendens. Neurinomas, tumor saraf perifer yang hampir selalu jinak, adalah lesi yang paling umum ditemukan di rongga ini. Mediastinum medium, termasuk ruang yang dibatasi oleh pericardium di anterior, vertebra di posterior, diafragma di inferior, dan pleura di lateral, merupakan rongga mediastinum yang sebenarnya, dia berisi saktrs perikardial, kelenjar/ saluran limfe, saluran napas proksimal, esofagus, N.vagus (termasuk cabang laryngeal), N.phrenicus, dan pembuluh darah termasuk arteri pulmonari, vena cavae
superior dan inferior. Kelainan berupa tumor/kista jantung, perikardium, ttakea, bronkus utama, dan esophagus bila ada, juga bisa menempati rongga ini. Bila terjadi penimbunan lemak (mediastinum lipomatosis), yang dikaitkan dengan pemakaian steroid, dapat mendesak/memenuhi seluruh rongga mediastinum. Ada beda frekuensi relatif kelainan dalam rongga mediastinum pada anak-anak dan dewasa. Pada dewasa, sekitar 65% lesi ditemukan di anterior, 25% di posterior, dan lO% di mediastinum medium. Pada anak-anak hanya sekitar 25oh lesi yang ditemukan di anterior dan sebagian besar (65%) di mediastinum posterior' Lesi yang paling umum ditemukanpadadewasa adalah jinak (75%), sedangkan hampir separuhnya pada anak-anak adalah maligna.
2249
2250
Pr.rurfloNol.ocr
SymFthetic
laryngeal n
I BrachiocephalicW i L.pulminary a.
R hemidiaphragm
Tumor dan kista mediastinum
Anterior: Timoma Limfoma Gem cell neoplasma (teratoma) semi noma
Medial Posterior
Tumor endokrin (tiroid), pamtiroid carcinoid Karsinorma primer Tumor Mesenkimal : Kista Perikardial, Limfoma Kista bronkogenik Kista enterik
:
Berbagai tumor neurogenik (Schwanoma,
Neurofibroma dan lainJain) Limfoma
Gambar'1.
TUMOR MEDIASTINUM Tumor mediastinum sebagian besar adalah metastasis akibat dari tempat lain (yang paling sering karsinoma bronkogenik), kemudian limfoma, sebagian kecil lagi tumorneurogenik,teratoma, timoma dan lipoma. Tumorneurogen adalah salah satu tumor primer mediastinum yang
tersering (+19%), biasanya terletak di mediastinum posterior dekat lekukan paravertebra, neurogenik tumor ini umumnya bersifat jinak antara lain neurofibroma
neurilemmoma, Schwannoma dan ganglioneuroma. Sebagian ganas yaitu neurogenik sarkomas (malignant Schwannoma). Biasanya tak menyebabkan gejala apapun,
bila ada nyeri biasanya tumor berasal dari saraf interkosta atau bila massa besar bisa menimbulkan sesak dan bisa mengikis tulang. Neurofibroma bisa merupakan bagian dari sindrom Von Recklinghausen's dan tulang berubah jadi
sarkoma. Ganglioneuroma yang berasal dari trunkus simpatis, bersama dengan neuroblastoma dapat memproduksi hormon yang bisa menyebabkan diare, hipertensi, paraplegia dan sindrom Homer, nyeri dan muka
merah. Biasanya di urin bisa dideteksi adanya Vinil Mandelic Acid (VMA). Neuroblastoma mediastinum biasanya terdapat pada anak-anak, responsif terhadap
radiasi, prognosisnya lebih baik daripada neuroblastoma di abdomen atau intraperitoneal.
Meningoceles dan myelomeningoceles jarang. meningoceles isinya hanya cairan serebrio spinalis sedangkan myelomeningoceles juga berisi elemen saraf. Penampakannya pada foto dada seperti massa yang homogen dan biasanya ada hubungan dengan anomali vertebra toraka dan iga didekatnya.
Feokromositoma bisa terjadi di mediastinum tapi kasusnya jarang. Tumor akan mensekresi katekolamin. Gambaran klinis menyerupai feokomositoma di abdomen. Pengobatan definitif tumor neurogenik ini adalah operasi dan khusus untuk neuroblastoma harus ditambah radiasi
sesudah operasi. Kadang-kadang didapatkan tumor berupa abses paravertebral di mediastinum posterior. Biasanya gejala infeksi menyertai keadaan ini dan amat
membantu dalam menegakkan diagnosis. Abses paravertebral diobati dengan insisi abses serta antibiotik. Terato dermoid, umumny a ter dap at
di mediastinum
anterior, *l3o/o dari semua tumor mediastinum. Sering pada dewasa muda, Bisa terdiri atas kista derrnoid jinak sampai
teratoma ganas dan seminoma. Secara histologis mirip dengan tumor testis atau ovarium. Kadar B-human chori-
2251
PETIYAKIT MEI'IASTINruM
onic qonadotropin dan alfa feto protein biasanya meningkat 10-20% berkembang menjadi ganas ada asosiasi dengan sindrom klinefilter. Foto dada menampakkan garis-garis kalsihkasi pada tepi kista. tulang dan gigi Pengobatannya
emergensi yang cepat sekali mengancam keselamatan jiwa.
Terdiri dari : 1). Perforasi esofagus : akibat komplikasi
harus dengan eksisi.
endoskopi, dilatasi esofagus karena strikhrr, intubasi, benda asing dan trauma, 2). Ruptur esofagus : akibat reflek imunitas berlebihan (B oer Heave's syndrome),3). Sobekan dari trakea
Timoma, biasa terdapat di mediastinum superior dan ante-
Ulserasi karsinoma esofagus, 4. Supurasil abses orofarink.
rior, merupakan lebih kurang 12 o/o hxnor mediastinum primer.
bronkial sering sesudah trauma atau bronkoskopi, 4'
Lebih kurang seperempatnya adalah ganas tapi jarang
Infeksi kronik. Sering disebabkan tuberkulosis, histoplas-
bermetastasis. Gejala miastenia gravis timbul pada kurang lebih 50 % pasien timoma ini, tetapi anehnya sebagian besar pasien miastenia gravis tidak mempunyai tumor kelenjar timoma. Kelainan yang didapat pada timoma ini ar/tarulain adalah hypogama globulinemia aplasia sel darah merah,
adekuat.
SLE, inflamatory bowel disease dan polymiositis. Pada possi terlentang, tumor ini dapat menekan trakea sehingga
menimbulkan gejala sesak. Gejala bisa timbul karena perjalanan.lokal atau penekanan terhadap jaringan
sekitarnya foto bisa normal, tetapi CT scan jelas menunjukkan massa berbatas jelas terkadang dengan kalsifftasi. Pengobatan adalah eksisi. Timoma ganas bersifat radiosensitif. sebagian besar tumbuh di mediastinum superior anterior. Dengan CT scan mudah terdeteksi.
Lipoma
Limfadenopati. Muncul dari mediastinum anterior dan medius. Biasanya disebabkan oleh tuberkulosis, sarkoidosis, limfoma Hodgkin dan non Hodgkin, metastasis kanker paru (sebagian besar). Mungkin juga timbul
giant lymph node hyperplasia disease (Cistelman's disease), ditemui pada beberapa pasien terinfeksi HIV. retoostemal pada usia di atas 50 tahun terjadi + 6 % dari seluruh-massa-mediastinal. Biasanya tanpa gejala, dapat juga dengan batuk berulang, atat sesak/stridor bila massa membesar. Biasanya berhubungan dengan kelenjar
Tiroid. Tiroid
tiroid di leher yang memperlihatkan gambaran fibrotik hemoragik, kistik dan kalsifftasi yang terlihat jelas dengan
CT scan. Ultrasonografi daerah leher memperlihatkan hubungan tiroid di leher dengan lesi di mediastinum. Diagnosis ditegakkan dengan scanning.
Kista mediastinum. Kista bronkogenik sering ditemukan di paratrakea atau dekat karina. Dindingnya terdiri otot polos dan tulang rawan, berisi cairan. Biasanya tak ada hubungan langsung dengan trakea dan bronkus tapi bisa terkena infeksi.
Kista enterik, berada disepanjang esofagus, bisa terinfeksi dan membentuk abses. Apabila kista ini mengandung acid secreting cells bisajuga terbentuk ulkus perdarahan dan perforasi seperti saluran cema lain.
Kista perikardial adalah suatu anomali dalam proses pertumbuhan yang melekat ke perikardium tapi jarang membentuk lumen ke rongga perikardium.
Infeksi di mediastinum. Infeksi akut suatu keadaan
mosis, sarkoidosis, yang melibatkan kelenjar getah mediastinum atau sisa akut infeksi yang tak diobati dengan
Sindrom vena kaYa superior (VKS). Penekanan atau sumbatan terhadap VKS sebagian disebabkan oleh karsinoma bronkogenik dan sebagian lagi oleh limfoma. Penyebab lain sedikit sekali, seperti struma retro sternal, aneurisma aorta dan fibrosis mediastinitis yang idiopatik atau sekunder karena histoplasmosis maupun akibat tertelan metilsergid. Efek sumbatan karena penekanan atau infrltrasi terhadap VKS oleh massa di bagian superior mediastinum mengakibatkan gejala klinis yang khas berupa pelebaran vena kolateral di dada bagian atas, leher, edema
muka, konjungtiva dan sakit kepala, serta gangguan penglihatan dan perubahan kesadaran. Penekanan ke arah esofagus dan trakea menyebabkan sulit menelan, dan gangguan bernapas. Pemeriksaan yang invasif dengan risiko pendarahan seperti bronkoskopi, esofagoskopi dan mediastinoskopi untuk melakukan pengambilan jatingan/ biopsi adalah kontra indikasi pada sindrom VKS ini. Suatu tindakan diagnostik pengambilan jaringan harus didahului
radioterapi atau kemoterapi untuk mengecilkan/ menenangkarVmengurangi
risiko. Pemberian kortikosteroid
dengan tujuan mengurangi edema kadang-kadang diperlukan sebelum melakukan suatu tindakan. Pengobatan definitif tergantung dari hasil pemeriksaan histopatologis yang didapat.
Hernia diafragma ke mediastinum. Hernia ini akan membentuk massa di rongga mediastinum yang mungkin saja terisi udara dari saluran cerna. Biasanya terbentuk dari hiatus esofagus. Sebagian lagi karena defek di dinding
posterior lateral diafragma (disebut foramen Bochdalek)
serta melalui foramen Morgagni membentuk hernia retrosternal di mediastinum.
Emlisema Mediastinum. Udara dalam mediastinum bisa tejadi akibat trauma di dada, perforasi esofagus, trakea dan alveolars, penyebaran udara dari lapisan fasia leher atau faring atau dari diseksi udara rongga retroperitoneal. Bisa juga spontan dan disebut pneumo mediastinum spontan' Udara diperkirakan berasal dari alveoli terus ke rongga interstisial dar. ke lapisan adventisia pembuluh darah lalu
ke hilus, Dari sini ke mediastinum, leher atau rongga intraperitonal. Faktor predisposisi antara lain peninggian tekanan dalam rongga dada pada batuk, muntah dan manuver Valsalva serta dekompresi yang terlalu cepat pada
.
2252
saat naik ke permukaan pada olah raga menyelam. pernah juga dilaporkan pneumomediastinum timbul saat serangan
asma. Biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri rehostemal atau sulit bemapas, tetapi bisa ju ga tanpa gejala. Pada pemeriksaan didapatkan krepitasi subkutis di dada
atas dan bunyi gesekan yang seirama dengan denyut jantung di daerah prekardial disebutllammanb sign.pada pnemomediastinum y ang tanpa komplikasi biasanya didapatkan demam dan lekositosis. Biasanya gangguan fungsi jantung tergantung dari berat ringan tamponade
jantung yang timbul. Harus dibuat foto torak pA dan lateral dan akan tampak udara mengitari trunkus arteri pulmonalis, pangkal aorta dan mengarah ke leher. Pnemomediastinum yang timbul karena perforasi esofagus
sesudah endoskopi/sesudah muntah disebut sindrom Boerhaave. Gejalanya antara lain nyeri yang bertambah
setiap menelan/demam. Pada foto dada didapatkan pembesaran mediastinum ke kiri dan kanan serta efusi pleura
PUI.MONOIOGI
ganas cenderung sama kemungkinan menjadi simptomatik atau asimptomatik. Lesi yang simptomatik cenderung untuk meqjadi ganas. Gejala tertentu biasanya berasal dari kelainan
mediastinum tertentu. Timbulnya suara serak mengindikasikan terjadinya penekanan N. laringeus oleh tumor. Edema daerah muka dan lengan adalah tanda
superior vena kava sindrom yang diakibatkan oleh penekanan vena kava superior oleh tumor atau fibrosis
mediastinum kronis. Nyeri torak terlokalisir biasanya merupakan invasi tumor ke dinding torak atau kelainan neulogi murni. Batuk, batuk darah, sesak mengindikasikan
adanya suatu gangguan saluran napas. Regurgitasi,
refluks, disfagia, atat odynophagia mengarah pada kelainan esofagus. Adanya penurunan berat badan, demam, atau berkeringat di waktu malam menindikasikan kemungkinan terjadinya limfoma. Hipotensi dan nyeri dada berat, mengarah ke diagnosis aorta disekans. Hipotensi dan pulsus paradoksus mengarah adanya
di kiri. Hal ini bersifat darurat dan memerlukan drainase, penutupan perforasi dan perlu antibiotik yang
tamponade perikardium. Hipertensi paroksismal
berspektrum luas karena keadaan ini selalu diikuti mediastinitis akut.
terjadi akibat penyakit ekstramediastinum yang tidak
TATALAKSANA
esofagogram dan terakhir tomogram jika perlu. Penentuan
biasanya akibat feokromositoma. Gejala di atas bisa juga
spesifik. Investigasi suatu massa di mediastinum harus dfunulai
dengan foto dada posterior anterior, lateral, oblik,
Pembagian mediastinum ke dalam rongga-rongga yang berbeda dapat membantu secara praktis proses penegakan diagnosis, sedangkan pendekatan dengan orientasi sistem mempermudah pemahaman patogenesis proses patologi di mediastinum. Pertimbangan untuk diagnosis
. .
. . . .
Pada umunmya kelainan yang terjadi di mediastinum adalah j inak dan asimtomatik.
Pembagian mediastinum ke dalam "rongga" anterior, superior, medial, dan posterior bertujuan memudahkan dalam menegakkan diagnosis. Lebih dari60%o lesi pada dewasa ditemukan di rongga anterior-superior mediastinum, sedangkan pada anak2,60yo lesi ditemukan di posterior mediastinum. Pada 75Yo dewasa dan 50Yo anak-anak massa yang
lokasi yang tepat amat penting untuk langkah diagnostik lebih lanjut. CT scan torak dengan kontras atau angiografi sirkulasi pulmonum./aorta mungkin pula diperlukan untuk membedakan apakah lesi berasal dari vaskular-bukan vaskular. Hal ini perlu menjadi pertimbangan bila biopsi akan dilakukan. Selain itr CT scan }uga berguna untuk menentukan apakah lesi tersebut bersifat kistik/tidak. Pada langkah selanjutnya untuk membedakan apakah masa tersebut adalah tumor metastasis, limfoma atau tuberkulosis/sarkoidosis maka mediastinoskopi dan biopsi perlu dilakukan. Massa di belakang trakea di sebelah kiri
di bawah arkus aorta sulit dicapai dengan biopsi/ mediastinokopi. Biopsi kelenjar limfe scalene bisa membantu menegakkan diagnosis bila tidak ada pembesaran kelenjar limfe di tempat lain. Bronkoskopi
te{adi adalahjinak. Massa ganas yang paling umum terjadi di rongga anterior-superior adalah timoma, penyakit Hodgkin, limfoma nonHodgkin, dan tumor ge rm cell. Neurinoma adalah tumor yang paling sering terjadi di rongga posterior dan mudah dikenali dari bentuknya yang klasik seperti dumbel (classic dumbetl-shaped
membantu. Sementara ittt, radionuklida Scintigraphy bermanfaat
conlour).
untuk evaluasi tiroid substernal
GEJALA KLINIS Gejala klinis penyakit mediastinum bervariasi tergantung dari diagnosis yang spesifik dan sistem sekitarnya yang terlibat. Secara umum, lesi jinakumumnya asimptomatik. Lesi
umumnya tak bermanfaat pada tumor mediastinum ini, kecuali bila ada tanda tanda proses di endobronkial (hemoptisis) kolaps lobus paru, konsolidasi paru/adanya massa di parenkim paru. Jika diperkirakan tiroid restrotemal sebagai penyebab, scan tiroid iodium 131 akan sangat
(131I
atau
r23I),
feokromositoma (13rI metaiodobenzyl-guanine), atau limfoma (galium). Emisi positron tomography (PET)
belum dapat dimanfaatkan, namun diperkirakan berguna untuk evaluasi metastatik dan lesi karena meradang. Pengukuran serum penanda biokimia dapat bermanfaat dalam beberapa kondisi. Penentuan SerumAFP dan p-HCG
2253
PETIYAKITMEDIASTINUM
harus dilaksanakan jika pasien dicurigai mempunyai tumor germ sel. Kadar katekolamin urin, asam vanillylmandelic, dan asam homovanilik biasanya meningkat
yang tepat dan tindakan bedah. Teknik pembedahan vaskular yang baru sangat efektifmengatasi berbagai lesi vaskular.
dengan adanya feokrromositoma atau tumor neurogenik.
te{ adinya berbagai kelainan mediastinum beragam.
Besarnya variasi individual penyakit mengakibatkan
Biopsi untuk kanker yang dicurigai harus di pertimbangkan secara individu. Adapun pertimbangannya meliputi gejala
yang nampak, status klinis pasien, peningkatan kadar penanda serum, bukti invasi secara radiologis, dan ada
KOMPLIKASI
tidaknya lesi ekstratorak, sebagai alternatif untuk biopsi. Reseksi total harus dipertimbangkan pada keadaan
Komplikasi dari kelainan mediastinum merefleksikan
misalnya suatu manipulasi feokromositoma dapat menyebabkan keadaan krisis hipertensi. Reseksi dapat juga dilakukan pada timoma apabila tindakan FNA dikawatirkan dapat menyebabkan penyebaran tumor. Histopatologis spesimen yang didapatkan secara FNA
dengan panduan CT atau ultrasound membantu menentukan rencana pembedahan yang pasti. Panduan CT pada pemeriksaan FNA cukup aman dan memberikan nilai diagnostik sampai 75%. Biopsi hilus atau kelenjar getah bening mediastinum dapat juga dilaksanakan secara
patologi primer yang utama dan hubunganantara stmktur anatomik dalam mediastinum. Tumor atau Infeksi dalam mediastinum dapat menyebabkan timbulnya komplikasi melalui: perluasan dan penyebaran secara langsung, dengan melibatkan struktur-struktur (sel-sel) bersebelahan,
dengan tekanan sel-sel bersebelahan, dengan menyebabkan sindrom paraneoplastik, atau melalui metastasis di tempat lain. Empat komplikasi terberat dari penyakit mediastinum adalah 1. Obstruksi trakea,2. Sindrom VCS, 3. Invasi vaskular dan catastrophic hemorrhage, dan 4. ruptur esofagus.
transbronchial. Teknik pembedahan yang mungkin digunakan untuk pelaksanaan biopsi jaringan maupun bagian tertentu yang dapat dibedah mencakup anterior mediastinotomi, servikal mediastinoskopi, dan video assited thoracoscopy.
PENGOBATAN Secaraumum, fumor ganas mediastinum seperti limfoma, tumor germ sel, atau timoma berespon baik terhadap terapi yang dilakukan secara agresif yang mencakup perawatan, radiasi, dan kemoterapi. Infeksi akut dengan jaringan
nekrotik/abses sering memerlukan intervensi bedah di samping pemberian antibiotik berspekhum luas. Infeksi kronis umumnya juga berespon baik terhadap pemberian terapi antibiotik. Tumor jinak terkadang dapat lebih mudah diatur penanganannya jika pasien asimptomatik. Pasien dengan massa di mediastinum berisiko untuk terjadinya kolaps/obstruksi saluran napas atau dan gangguan hemodinamik jika menjalani anestesi umum, keadaan ini memerlukan bronkoskopi preoperatif sebagai komponen penatalaksanaan perioperatif
REFERENSI
...
Bradley SP.Mediastinal mass. In: Bordow SA, Ries AL, Morris TA eds. Manual of Clinical problems in Pulmonary Medicine. Lippincott Williams & Wilkins. Phyladelphia. 2005: 607-12. Crausman RS, DePalo VA, Sid RL. Disease of the Mediastinum. In. Hanley ME, Welsh CH eds. Current D/T in Pulmonary Medicine. Lange Medical Books,{vlcGraw-Hi1ls, New York' 2003: 241-9.
Fishman AP. Nonneoplastic disorder of the mediastinum ' In : Fishman AP ed. Pulmonary Diseases and Disorder, 2'd ed. Mc Graw - Hill New York ;1994 ;259 Hudson MM, Donaldson SS: Hodgkin's disease. Pediatr Clin North
Am 1997;44:891. Light RW. Diorders of the pleura, mediastinum and diaphragma. In : Isselbacher, Braunwall Wilson et al (eds). Harrison's Principles of Internal Medicine, vol 2, 13h ed. Mc Graw-Hill ; New York ; 1994
;
1229.
Maki DD, Getter WB, Alavi A: Recent advances in pulmonary imaging. Chest 1999; 16:1388. Musani
AI
and Srerman DH. Tumors of the mediastinum, Pleura,
wall and diaphragma. In: Crapo JD, Glassroth J, Ikrlinsky J and King jr TE eds. Baum's textbook of Pulmonary diseases. 7'h ed. Lippincott Williams&Willkins, Phyladelphia 2004: 883-912. Robertson R, Muers M. mediastinum mass. Medicine lnt. 19951'369 Shad A, Magrath I: Non-Hodgkin's lymphoma. Pediatr Clin North chest
Am 1997;44:863.
PROGNOSIS Prognosis tumor mediastinum jinak cukup baik, terutama pada pasien dengan tumor mediastinum ganas, dimana hasil diagnosis spesifik, derajat keparahan penyakit, dan keadaan spesifik
jika tanpa gejala. Berbeda variasi prognosisnya
pasien yang lain (komorbid) akan mempengaruhi. Kebanyakan tumor mediastinum ganas berespon baik terhadap terapi konvensional. Umumnya penyakit infeksi berespons baik dan cepat terhadap pemberian antibiotik
Strollo DC, Rosado-de-Christenson ML, Jett JR: Primary mediastinum tumors. Part 1. "Tumor anterior mediastinum. Chest 1997 ll2:511. Strollo DC, Rosado-de-Christenson MI, Jett JR: Primary mediastinum tumors. Parr II. Tumor of the middle dan posterior mediastinum. Chest 1997 ;l12:1344. Walker R. Tumor and cyst of the mediastinum. In: Fishman AR ed.Pulmonary Diseases and Disorder, 2'd ed Mc Graw-Hill New
York;1994 ;245. Wood DE: Tumor germ cel mediastinum. Semin Thorac Cardiovase
Swg 2000;,12:278,
360 KANKER PARU ZulkifliAmin
PENDAHULUAN
in situ, atypical adenomatous hyperplasia, Dffise
Prevalensi kanker paru di negara maju sangat tinggi, di USA tahun 2002 dilaporkanterdapat 169.4OO kasus baru
(merupakan l3oh dari semua kanker baru yang terdiagnosi s) dengan
I
5
4. 9
00 kematian (merupakan 28yo
dari seluruh kematian akibat kanker), di Inggris prevalensi kejadiannya mencapai 40.0OOl tahun, sedangkan di Indonesia menduduki peringkat 4 kanker terbanyak, di RS Kanker Dharmais Jakarta tahun 1998 menduduki urutan ke 3 sesudah kanker payudara dan
idiopathic pulmonary neuroendocrine cell hyperplasia.
Malignant:
-
-
Squamous cell carcinoma: papillary, clear cell, basaloid, Small cell carcinoma: combined small cell carci-
-
Adenocarcinoma:
noma,
leher rahim. Angka kematian akibat kanker paru di
-
mengkonsumsi 30% rokok dunia. Sebagian besar kanker paru mengenai pria (65%) life time risk l:13 dan pada perempuan 1:20.
JENIS TUMOR PARU
papilary,
Bronchoalveolar : nonmucinots, mucinous,
mixed mucinous and nonmucinous or
seluruh dunia mencapai kurang lebih satu juta penduduk
tiap tahunnya. Karena sistem pencatatan kita yang belum baik prevalensi pastinya belum diketahui tapi klinik tumor dan paru di Rumah Sakit merasakan benar peningkatannya. Di negara berkembang lain dilaporkan insidennya naik dengan cepat anlara lain karena konsumsi rokok berlebihan seperti di China yang
acmar,
-
-
indeterminate cell type), Solid carcinoma with mucin formation, Adenocarcinoma with mixed subtypes, Yariants.
Large cell carcinoma : Large cell neuroendocrine carcinoma, Basaloid carcinoma, Lymphoe-
pithelioma-like carcinoma, Clear cell
-
carcinoma, Large cell carcinoma with rhabdoid phenotype. Adenosquamous curcinomu
Carcinoma with pleomorphic sarcomatoid or sarcomatous elemenls.
Carcinoid tumor
:
typical carcinoid, atypical
carcinoid, Pembagian praktis untuk tujuan pengobatan: a). small cell
-
cancerlkarsinoma skuamosa, adeno karsinoma, karsinoma
Carcinomas of salicary gland type : mucoepi dermoid carcinoma, adenoid cystic carcinoma Others : Soft tissue tumors
sel besar).
Mesothelial turnors : Benign, Malignant meso
lung cancer (SCLC), b). NSCLC (non small cell lung
Klasifikasi histologis WHO 1999 untuk tumor paru dan fumorpleura:
Epithelial tumors
. .
Benign: papiloma, adenoma. Prcinvasive lesions : Squamous dysplasia/carcinoma
thelioma Miscellaneous tumors Lymp hopr o I ifer atiy e d is eas e s Secondary tumors Unclassified tumors Tumor-like lesions
2255
KANIGRPARU
PATOLOGI
Small Cell Lung Cancer(SCLC) Gambaran histologinya yang khas adalah dominasi selsel kecil yang hampir semuanya diisi oleh mukus dengan
sebaran kromatin yang sedikit sekali tanpa nukleoli' Disebut juga " oat cell carcinoma"katerrabentuknya mirip dengan bentuk biji gandum, sel kecil ini cenderung berkumpul sekeliling pembuluh darah halus menyerupai
pseudoroset. Sel-sel yang bemitosis banyak sekali ditemukan begitu juga gambaran nekrosis. DNA yang terlepas menyebabkan wam a gelap sekitar pembuluh darah
Non Small Cell Carcinoma (NSCLC) Karsinoma sel skuamosa/karsinoma bronkogenik. Karsinoma sel skuamosa berciri khas proses keratinisasi dan pembenitkan "bridge" intraselular, studi sitologi memperlihatkan perubahan yang nyata dari displasia skuamosa ke karsinoma insitu.
Adenokarsinoma. Khas dengan bentuk formasi glandular dan kecendenrngan ke arah pembentukan konfigurasi papilari. Biasanya membentuk musin, sering tumbuh dari bekas kerusakan jaringan paru (scar). Dengan penanda tumor CEA (Carcinoma Embrionic Antigen) karsinoma ini
terkena kanker paru. Anak-anak yang terpapar asap rokok selama 25 tahun pada usia dewasa akan terkena risiko kankerparu duakali lipat dibandingkan denganyang tidak
terpapat, dan perempuat yang hidup dengan suami/ pasangan perokokjuga terkena risiko kanker paru 2-3
bersifat karsinogen terhadap organ tubuh tersebut' Zat-zat yargbersifat karsinogen (C), kokarsinogenik (CC), tumor promoter (TP), mutagen (M) yang telah dibuktikan terdapat dalam rokok dapat dilihat pada Tabel {..
bisa dibedakan dari mesotelioma
Karsinoma Bronkoalveolar. Merupakan subtipe dari adenokar-sinoma, dia mengikuti/meliputi permukaan alveolar tanpa menginvasi atau merusak jaringan paru.
Karsinoma Sel Besar. Ini suatu subtipe yang gambaran histologisnya dibuat secara ekslusi. Dia termasuk NSCLC tapi tak ada gambaran diferensiasi skuamosa atau glandular, sel bersifat anaplastik, tak berdiferensiasi, biasanya disertai oleh inhltrasi sel netrofil.
ETIOLOGIKANKER PARU Seperti umumnya kanker yang lain penyebab yang pasti daripada kanker paru belum diketahui, tapi paparan atau
kali
lipat. Diperkirakan25o/o kanker paru dari bukan perokok adalah berasal dari perokok pasif. Insiden kanker paru pada perempuan di USA dalam 10 tahun terakhir ini juga naik menjadi 5%o per tahun, antara lain karena meningkatnya jumlah perempuan perokok atau sebagai perokok pasif. Efek rokok bukan saja mengakibatkan kanker paru, tapi dapat juga menimbulkan kanker pada organ lain seperti mulut, laring dan esofagus. Laporan dari NCI (National Cancer Institute) di USA tahw 1992 menyatakan kanker pada organ lain seperti ginjal, vesika urinaria, ovarium, uterus, kolon, rekfum, hati, penis dan lain-lain lebih tinggi pada pasien yang merokok daripada yang bukan perokok. Diperkirakan terdapat metabolit dalam asap rokok yang
Substance Particulate Phase Neutral Fraction - Benzo (a) pyrene - Dibenz (a) anthracene B. Basic Fraction - Nicotene - Nitrosamine C. Acidic Fraction - Cathecol
A.
D.
- Unidentified Residue - Nickel - Cadmium - 210PO
- Gaseous Phase - Hydrazine - Vinyl chloride
C
Rodents
c
C
c CC+TP
TP
c C
c c c+M
C M
Dikutip dari; Cancer: Principte and Pructical Oncology
Mice Ames 4th
ed, 1989
inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama di samping adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh,
Etiologi lain dari kanker paru yang pernah dilaporkan
genetik dan lain-lain. Dari beberapa kepustakaan telah dilaporkan bahwa
Yang berhubungan dengan paparan zat karsinogen,
etiologi kanker paru sangat berhubungan dengan kebiasaan merokok. Lombard dan Doering (1928), telah melaporkan tingginya insiden kanker paru pada perokok dibandingkan dengan yang tidak merokok. Terdapat hubungan antara rata-ratajumlah rokok yang dihisap per hari dengan tingginya insiden kanker paru. Dikatakan bahwa, I dari 9 perokok berat akan menderita kanker paru. Belakangan, dari laporan beberapa penelitian
mengatakan bahwa perokok pasif pun akan be risiko
adalah:
seperti: . Asbestos, sering menimbulkan mesotelioma . Radiasi ion pada pekerja tambang uranium . Radon, arsen, kromium, nikel, polisiklik hidrokarbon,
vinilklorida Polusi udara. Pasien kanker paru lebih banyak di daerah urban yang banyak polusi udaranya dibandingkanyarl.g tinggal di daerah rural.
2256
Pl,L^niloMxocr
Genetik. Terdapat perubahan/mutasi beberapa gen yang berperanan dalam kanker paru, yakni : Proto oncogen, Tumor supressor gene, Gene encoding enzyme
Diet. Beberapa penelitian melaporkan bahwa rendahnya konsumsi terhadap betakarotene, selenium dan vitamin
Teori onkogenesis. Te{adinya kanker paru didasari dari perubahan tampilnya gen supresor tumor dalam genom
paru.
(onkogen). Adanya inisiator mengubah gen supresor tumor dengan cara menghilangkan (delesi/del) atau penyisipan (insersi/inS) sebagian suunan pasangan basanya, tampilnya gen erbB
I
dan atau neu/erbB 2berperan dalam anti apoptosis
(mekanisme sel untuk mati secara alamiah /programmed cell death)Perubahan tampilan gen kasus ini menyebabkan sel sasaran dalam hal ini sel paru berubah menjadi sel kanker dengan sifat pertumbuhan yang otonom. Thmpilan kromosom
A
GAMBARAN KLINIS KANKER PARU Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan
gejala-gejala klinis. Bila sudah menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut. Gej ala-gej ala dapat bersifat
.
gen pada pasien kanker paru yang sudah tercatat dapat dilihat pada Thbel 2.
Reaffangement
Gen
Reanangement
Gen
terlibat Dell p36 Dell p32 Dell pl 1-13 Del1q22-qter Del'1q32-qter Dell q32
Del12-12 Del3q14,2 Del3p25 Del5q
7p11-13
terlibat
Fgr
del 8p
L-myc N-ras
del9p21 delp'l 1p13 delpl 1p15 delpl 3p12-1 5
ski Trk
menyebabkan tingginya risiko terkena kanker
.
cdkn2
-
saluran napas
Kadang terdapat kavitas seperti abses paru Atelektasis
Invasilokal: - Nyeri dada
H-ras
-
Dispnea karena efusi pleura
-
Sindrom vena cava superior Sindrom Homer (facial anhidrosis, ptosis, miosis) Suara seralg karena penekanan pada nerws laryn-
Fhit Fhit Fhit
delpl 3p14-23
Raf
del/ins17p13
p53
Fms
'17q12-22
neu/erbB2
erbBl
del22q
sis
delpl3q delpl3q
, Gen supresor tumor Predisposisi
lnisiator
Promoror
:
Lokal (tumorhrmbuh setempat) : - Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis. - Hemoptisis - Mengi (wheezing, slridor ) karena ada obstruksi
o"'"U"*'
Invasi ke perikardium -+ tedadi tamponade atau aritnia
geal recurrent Sindrom Pancoast, karena invasi pada pleksus
brakialis dan saraf simpatis servikalis. Gejala Penyakit Metastasis : - Pada otak, tulang, hati, adrenal - Limfadenopati servikal dan supraklavikula (sering menyeriai metastasis) Sindrom Paraneoplastik : Terdapat pada l0%o kanker paru, dengan gejala :
-
Sistemik: penurunan berat badan, anoreksia, demam
Prosresor
Tumor /otonomi
+ Ekspansi/imetastasis
Gambar 1. Kaskade onkogenesis
-
Rokok selain sebagai inisiator juga merupakan promotor dan progresor, dan rokok diketahui sangat berkaitan (terbesar) dengan te{adinya kankerparu Dengan demikian kanker merupakan penyakit genetik yang pada permulaan terbatas pada sel sasaran kemudian menjadi agresif pada jaringan sekitamya bahkan mengenai organ lain.
-
Hematologi: leukositosis,anemia,hiperkoagulasi
Hiperhofiosteoarhopati Neurologik : dementia, ataksia, tremor, neuropati perifer Neuromiopati
Endokrin : sekresi berlebihan hormon paratiroid (hiperkalsemia) Dermatologik : eritemamultiform, hiperkeratosis,jari
tabuh
Renal : syndrome of inappropriate andiuretic hormone(SIADH)
Asimtomatik dengan kelainan radiologis
.
Sering terdapat pada perokok dengan PPOK / COPD
.
yang terdeteksi secara radiologis. Kelainan berupa nodul soliter.
2257
KANKERPARU
DETEKSI DINI KANKER PARU
menemukan 61olo tumor paru terdeteksi dalam pemeriksaan
Anamnesis yang lengkap danpemeriksaan fisikyang teliti, merupakan kunci terhadap diagnosis yang tepat. Selain gejala klinis yang telah disebutkan di atas, beberapa faktor
pemeriksaan sitologi sputum hanya bisa mendeteksi I 9%. Kelainan pada foto dada untuk kanker paru dapat dilihat
perlu diperhatikan pada pasien tersangka kanker paru, seperti: faktor umur, kebiasaan merokok, adanya riwayat kanker dalam keluarga, terpapar zat karsinogen atau
Pada kankerparu, pemeriksaan foto rontgen dadaulang
terpaparjamur, dan infeksi yang dapat menyebabkan nodul soliter paru. Menemukan kanker paru pada stadium dini sangat sulit karena pada stadium ini tidak ada keluhan atau gejala. Ukuran tumor pada stadium dini relatif kecil (< I cm) dan tumor masih berada pada epitel bronkus. Foto rontgen dadajuga tidak dapat mendeteksi kanker tersebut.
Keadaan
ini disebut sebagai tumor in sitz (Tr.). Untuk
mendapatkan sel tumor tersebut hanya bisa dengan pemeriksaan sitologi sputum dengan bantuan bronkoskopi. Angka keberhasilan diagnosis pemeriksaan sitologi sputum ini pada pasien tanpa kelainan klinis dan radiologis relatif kecil, dan bila ditemukan maka juga sulit
rutin dengan foto rontgen dada biasa, sedangkan pada Tabel 3.
diperlukan juga untuk menilai doubling timetya. Dilaporkan bahwa, kebanyakan kanker paru mempunyai doubling time antara 37 -465 hari . Blla doubling time > 18 bulan, berarti tumornya benigna' Tanda-tanda tumor benigna lainnya adalah lesi berbentuk bulat konsentris, solid dan adanya kalsifikasi yang tegas. Pemeriksaan foto rontgen dada dengan cara tomografi lebih akurat menunjang kemungkinan adanya tumor paru,
bila dengan cara foto dada biasa tidak dapat memastikan keberadaan tumor. Pemeriksaan penunjang radiologis lain yang kadang-kadang diperlukan juga adalah bronkografi
,
fluoroskopi, superior vena cavogtafi, ventilation/ perfus ion s canning,ultras ound s onography.
menentukan asal sel tumor tersebut dalam traktus respiratorius. Untuk mempermudah penemuan dini ini dianjurkan melakukan pemeriksaan skrining dengan cara memeriksa sitologi sputum dan foto rontgen dada, secara
berkala. National Cancer institute (NCI) di USA menganjurkan skrining dilakukan setiap 4 bulan dan
terutama ditujukan pada laki-laki > 40 tahun, perokok >l bungkus perhari dan atau bekerja dilingkungan berpolusi yang memungkinkan terjadi kanker paru (pabrik cat, plastik, asbes dll). Penelitian yang dilakukan oleh NCI pada 3 pusat riset kanker selama > 20 tahun terhadap lebih dari 30.-000 sukarelawan laki-laki perokok berat, dimana setengahnya menjalani skrining intensif dengan pemeriksaan sitologi sputum tiap 4 bulan dan foto rontgen dada (PA dan lateral) tiap tahun dan setengah lainnya sebagai kelompok kontrol. Hasil penelitian ini menunjukkan angka positif tumor stadium awal pada kelompok pertama 45%o dan kelompok kontrol l5%. Pasien dengan kanker paru tersebut memiliki angka S-year survival sebesat 35%o dibandingkan kelompok kontrol l3oh. Dalam studi ini, pemeriksaan sel ganas dengan pemeriksaan sitologi sputum lebih mudah
menemukan karsinoma sel skuamosa, sedangkan foto rontgen dada lebih banyak menemukan adenokarsinoma dankarsinoma sel skuamosa. Small cell carcinoma jatang
terdeteksi pada stadium dini ini. Keseluruhan studi menyimpulkan bahwa terdapat nilai positif (manfaat) dalam deteksi dini kanker paru.
PROSEDUR DIAGNOSTIK
Sguamous
cell carctnoma
Small
cell
Adeno' carcrnoma
Large
cell
17Yo
Masa hilar atau perihilar Lesi parenkim < 4,0 cm > 4,0 cm
9Yo 19o/o
Obstruksi,pneumo
31%
21o/o 9Yo
45% 260/o
18% 41Yo
3204
nitis, kolaps atau konstriksi daerah peripleural Mediastinal enlargement
2Yo
13Yo
lOYo
3Yo
Pemeriksaa n Computed Tomography dan Magnetic
Resonance lmaging. Pemeriksaan CT Scan pada torak, lebih sensitif daripada
pemeriksaan foto dada biasa, karena bisa mendeteksi kelainan atau nodul dengan diameter minimal 3 mm'
walaupun positif palsu untuk kelainan sebesar itu mencapai 25-60%. Bila fasilitas ini memungkinkan, pemeriksaan CT Scan bisa sebagai pemeriksaan skrining
kedua setelah foto dada biasa. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MF.I) tidak rutin dikerjakan, karena ia hanya terbatas untuk menilai kelainan tumor yang menginvasi kedalam vertebra, medula spinal, mediastinum, di samping biayanya juga cukup mahal.
Pemeriksaan
MRI torak tidak lebih superior
ini
Pemeriksaan awal sederharra yang dapat mendeteksi
CT dikembangkan tekni Positron Emission
adanya kanker paru. Studi dari Mayo Clinic USA,
membedakan tumor j inak dan ganas berdasarkan perbedaan
Foto Rontgen Dada Secara Posterior-anterior (PA)
dan Lateral.
dibandingkan
Saat
sedang
g lebih akurat yakni
(PET) yang dapat
2258
PI,Li,OIIUJOG,I
biokimia dalam metabolisme zat-zat seperti glukosa, oksigen, protein, asam nukleat. Contoh zatyangdipakai ;
methionine 11C dan F-l8 fluorodeoxyglucose (FD6). Tumor yang kurang dari 1 cm, agak sulit dideteksi karena ukuran kecil tersebut kurang diresolusi oleh PET
Scanner. Sensitivitas dan spesifisitas cara PET ini
Bronkoskopi. Modifikasi dari bronkoskopi serat optik dapat berupa: . Trans bronchial lung biopsy (TBLB) dengan tuntunan
.
fluorescence bronchoscopy detgan memakai fluorescence exchancing agent seperti Hp D (hemato porphyrin derivative) memberikan konsentrat
dilaporkan 83-93% sensitif dan 60-90% spesifik.
Beberapa positif palsu untuk tanda malignan ditemukan juga pada lesi inflamasi dan infeksi seperti aspergilosis dan tuberkulosis. Sungguhpun begitu dari
fluoresensi pada jaringan kanker. Teknik yang lebih baru
lagi adalah dengan auto fluoresence bronchoscopy. Hasil pemeriksaan ini menunjukkan 50% lebih sensitif daripada white light bronchoscopy untuk deteksi
beberapa studi diketahui pemeriksaan PET mempunyai nilai akurasi lebih baik daripada pemeriksaan CT Scan.
Pemeriksaan Bone Scanning. Pemeriksaan ini diperlukan bila diduga ada tanda-tanda metastasis ke tulang. Insiden btrrror Non Small Cell Lung Cancer Q{SCLC) ke tulang dilaporkan sebesar 15ol0.
PEMERIKSAAN SITOLOGI Pemeriksaan sitologi sputum rutin dikerjakan terutama bila
pasien ada keluhan seperti batuk. Pemeriksaan sitologi tidak selalu memberikan hasil positif karena ia tergantung
fluroskopi, atau ultrasonografi Belakangan ini sedang dikembangkan pemeriksaan
.
karsinoma in situ dan displasia berat Ultrasound bronchoscopy, juga dikembangkan pada
.
endobronkial, kelenjar getah bening mediastinum dan lesi daerah hilus. Hasil positif dengan bronkoskopi ini dapat mencapai : 95% untuk tumor yang letaknya sentral dan70 - 80 % untuk tumor yang letaknya perifer
saat
ini untuk mendeteksi tumor perifer, tumor
. Trans-bronchial Needle-Aspiration
(TBNA).
Dikerjakan terhadap nodul getah bening dihilus atau mediastinum. Hasilrrya akan lebih baik bila dituntun dengan CT Scan.
dari:
. . . . .
Letak tumor terhadap bronkus. Jenis tumor Teknikmengeluarkansputum Jumlah sputumyang diperiksa. Dianjurkanpemeriksaan 3-5 hari berhrrut-turut
Waktu pemeriksaan sputum (sputum harus segar)
Pada kanker paru yang letaknya sentral, pemeriksaan sputum yang baik dapat memberikan hasil positif sampai
67-85% pada karsinoma sel skuamosa. Pemeriksaan sitologi sputum dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin dan skrining untuk diagnosis dini kanker paru, dan saat ini sedang dikembangkan diagnosis dini pemeriksaan sputum memakai immune staining dengan MAb dengan antibodi 624H12 untuk antigen SCLC (small cell lung cancer) dan antibodi 703D4untuk antigenNSCLC (non small cell lung cancer). Laporan dari National Cancer Institute USA teknik ini memberikan hasil9l% sensitif dan 88% spesifik. Pemeriksaan sitologi lain untuk diagnostik kanker paru dapat dilalnrkan pada cairan pleura, aspirasi kelenjar getah
bening servikal, supraklavikula, bilasan dan sikatan
Trans Torakal Biopsi (TTB). Biopsi dengan TTB terutama untuk lesi yang letaknya perifer dengan dengan ukuran > 2 cm sensitivitasnya mencapai 90-95%. Komplikasi pneumotorak dapat mencapai
20-25% dan hemoptisis sampai 20
o/o.
Dengan persiapan
yang lebih baik, komplikasi ini bisa diperkecil. Hasil pemeriksaan akan lebih balk bila ada tuntunan CT Scan, USG atau fluoroskopi. Biopsi terhadap kelenjar getah bening yang teraba, dapat dilakukan secara Daniel's biopsi
yakni pada kelenjar-kelenjar getah bening scalaneus supraklavikular.
Torakoskopi Biopsi tumor didaerahpleura memberikan hasil yang lebih baik dengan cara torakoskopi daripada cara membuta (blind). Untuk tumor yang letaknya dipermukaan pleura
visceralis biopsi dengan cara Video Assisted Thorascoscopy memiliki sensitivitas dan spesifisitas hingga 100%, sedangkan komplikasi yang terjadi amat kecil
bronkus pada bronkoskopi.
Mediastinoskopi Lebih dari 20 % kanker paru bermetastasis ke mediastinum, P EM
ERI
KSAAN
H
ISTOPATOLOGI
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas diagnosis kanker paru untuk mendapatkan spesimennya dapat dengan cara biopsi melalui:
terutama Small Cell Ca dan Large Cell Ca. Untuk mendapatkan tumor metastasis atau kelenjar getah bening yang terlibat dapat dilakukan dengan cara mediastinoskopi di mana mediastinoskopi dimasukkan melalui insisi supra
sternal. Hasil biopsi memberikan nilai positif 40%.
2259
KAITIKERPARU
Dari studi lain nilai negatif palsu pada mediastinoskopi didapat sebesar 8-12 (diikuti dengan torakotomi).
Torakotomi Torakotomi untuk diagnostik kanker paru dikerjakan bila berbagai prosedur non invasif dan invasif sebelumnya gagal mendapatkan sel tumor.
P
EM ERIKSAAN S ERO LOGI/TU MOR M
ARKER
Sampai saat ini belum ada pemeriksaan serologi penanda tumor-tumor ( tumor- marker) unnrk diagnostik kanker paru yang spesifitasnya tinggi. Beberapa tes yang dipakai adalah : a). CEA (Carcinoma Embryonic Antigen), b). NSE (Neuron-spesific enolase).
DIAGNOSIS KANKERPARU
Langkah pertama adalah secara radiologis dengan menentukan apakah lesi intra torakal tersebut sebagai tumor jinak atau ganas. Bila fasilitas ada dengan teknik Positron Emission Tomography (PET) dapat dibedakan antara tumor jinak dan ganas serta untuk menentukan staging penyakit. Kemudian tentukan apakah letak lesi sentral atau perifer, yang bertujuan untuk menentukan bagaimana cara pengambilan jaringan tumor. Untuk lesi yang letaknya perifer, kombinasi bronkoskopi dengan biopsi, sikatan, bilasan, transtorakal biopsi/aspirasi dan tuntunan USG ata.o CT Scan akan memberikan hasil yang lebih baik. Sedangkan untuk lesi letak sentral, langkah pertama sebaiknya dengan pemeriksaan sitologi sputum diikuti bronkoskopi fleksibel. Secara radiologis dapat
2l-l (Cytokeratinfragments 19). NSE diketahui spesifik wntk Small Cell Carcinoma dan sensitivitasnya dilaporkan S2%o,sedangkan Cyfta 2l I mencapal 50% untuk kelompok LD (limited disease)' SCrc. Pada kelompok ED (extensive disease) SCLC,
ditentukan ukuran tumor (T), kelenjar getah bening torakal (N) dan mestasis ke organ lain (M).
sensitivitas NSE 42%dan Cyfra 21-1 mencapai 50%' Bila pemeriksaan ini digabung maka sensitivitas jadi
Staging yang dibuat oleh The International System for Staging Lung Cancer, serta diterima oleh The American Joint Committee on Cancer (AJCC) dan The Union
c). Cyfra
78% untuk kelompok LD dan 82o/o kelompok ED. Uji serologis tumor marker tersebut di atas sampai saat ini lebih banyak dipakai untuk evaluasi hasil pengobatan kankerparu.
Occult Ca
klasifikasi kanker paru pada tahun 1973 dan kemudian direvisi 1986 dan terakhir pada tahun I 997.
BARU 1997
Tx No Carcinoma NO
Mo
N1
N0-1
Mo Mo
14
N2 N0-3
Mo Mo
Stage Stage Stage Stage Stage
T1-3
N3
Mo
Stage lllB
T1-4
N't-3
M1
Stage lV
Tis T1-2 T1-2 T3 T1-3
Stage lllB
Stage lV
Internationale Contrele Cancer (UICC), membuat
in situ
Stage 0 Stage Stage ll Stage lll A I
STAG'NG KANKER PARU
lA
T1 NOMO
lB
llA
T2NOMO T1N1MO
llB
T2N,1MO
lllA
T1-3N2M0 T3 NlMO T4 Any NMO Any TN3MO Any T Any NM,I
Keterangan
Tx : Tis
Tt
r2 T3
14 No N1
N2 N3
: : : : : : : : :
Mo : Ml :
:
1). Tumor terbukti ganas didapat dari s€kret bronkopulmoner, tapi tidak terlihat secara
bionkoskopis dan radiologis. 2). Tumor tidak bisa dinilai pada staging retreatment. carcinoma in situ ( pre invasive cdrcinoma) tumor, diameter < 3 cm tumor, diameter > 3 cm atau terdapat atelektasis pada distal hilus turnor ukuran apapun meluas ke pleura,dinding dada,diafragma, perikardium, < 2 cm dari carina, terdapat atelektasis total. tumor ukuran apapun invasi ke mediastinum atau terdapat efusi pleura malignan tidak ada kelenjar getah bening (KGB) yang terlibat metastasis KGB bronkopulmoner atau ipsilateral hilus metastasis KGB mediastinal atas sub carina metastasis KGB mediastinal kontra lateral atau hilus atau KGB skaleneus atau supraklavikular tidak ada metastasis jinak metastasis jinak pada organ (otak, hati' dll)
2260
PI.'LMONOI.OGI
Stagingka*er paru dapdt dilakukan secara : l). Diagnosis klinis (c TNM), 2). Reseksi surgikal-patologis (p TNM), 3). Evaluasi surgikal (s TNM), 4). Retreatment (r TNM), 5). Autopsi (a TNM).
Untuk staging kanker paru, sedikitnya diperlukan pemeriksaan CT Scan torak, USG abdomen (atau CT Scan abdomen), CT Scan otak dan bone scanning.
NSCLC Staging TNM yang didasarkan ukuran tumor (T) ketenjar getah bening yang terlibat (N) dan ada tidaknya metastase bermanfaat sekali dalam penentuan tatalaksana NSCLC ini. Staging dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang teliti dengan perhatian khusus kepada keadaan sistemik, kardio pulmonal, neurologi dan skeletal. Hitung tepi dan pemeriksaan kimia darah diperlukan
j enis sel darah
KANKER PARU SEKUNDER Kanker paru sekunder adalah kanker yang bermetastasis ke paru-paru, sedangkan primernya berasal dari luar paru. Insiden kanker paru sekunder adalah 9.7oh dari seluruh kankerparu. Diperkirakan 300/o dari semuaneoplasma akan
bermetastasis ke paru. Insiden tumor yang banyak bermetastasis ke paru-paru berturut-turut adalah, Chorio Carcinoma (80%); Osteo sarcoma (75%); kanker ginjal
(70%), kanker tiroid (65%), melanoma. (60%); kanker payrdara (55%), kanker prostat (4s%),kanker nasofaring (20%) dankanker lambung (20%).
unfuk mencari kemungkinan adanya metastase ke sumsum tulang, hati dan tengkorak. Pengobatan NSCLC. Terapi bedah adalah pilihan pertama pada stadium I atau II pada pasien dengan sisa cadangan parenkim palunya yang adekuat. Reseksi paru biasanya ditoleransi baik bila prediktif "post reseksi FEV" yang didapat dari pemeriksaan spirometri preoperatif dan kuantitatif ventilasi perfusi scanning melebihi 1000 ml. Luasnya penyebaran intra torak yang ditemui saat operasi menjadi pegangan luas prosedur operasi yang dilaksanakan. Lobektomi atau pneumonektomi tetap sebagai standar di mana segmentektomi dan reseksi baji bilobektori atau reseksi sleeve jadi pilihan pada situasi tertentu.
Sedangkan gambaran yang ditimbulkannya bisa
Survival pasien yang dioperasi pada stadium I
sebagai nodul soliter yang sering terdapat pada kanker
mendekati 6002, pada stadium n26-37 % danlI a 17 -36,3%o.
kolon, kanker ginjal, kanker testis, kanker payudara,
Pada stadium
sarkoma dan melanoma. Tetapi gambaran terbanyak (7 5Yo) adalah lesi multipel. Metastasis ke paru jarang memberikan
keberhasilan operasi bila kelenjar mediastinum ipsilateral atau dinding torak terdapat metastasis. Pasien stadium III b dan IV tidak dioperasi Combined
keluhan atau gejala, misalnya batuk atau hemoptisis, karena lesi metastasis jarang menginvasi bronkus. Keluhan yang sering terjadi adalah sesak. Masalah bisa timbul bila didapatkan nodul soliter pada pasien yang diketahui menderlta kanker pada tempat lain.
Biasanya nodul soliter tersebut dianggap kanker paru primer, apalagi bila pasien berusia lebih dari 35 tahun dan faktor risikonya tinggi.
PENGOBATAN
Tujuan Pengobatan Kanker . Kuratif : menyembuhkan atau memperpanjang
masa
bebas penyakit dan meningkatkan angka harapan
hidup
. . .
pasien
Paliatif : mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup Rawat rumah (Hospice care) pada kasus terminal : mengurangi dampak fisik mauprur psikologis kanker baik pada pasien maupun keluarga Suportif : menunjang pengobatan kuratif paliatif dan terminal seperti pemberian nutrisi, transfusi darah dan komponen darah, growth factors obat anti nyeri dan obat anti infeksi
Terdapat beda fundamental perangai biologis Non Small Cell Lung Cance (NSCLC) denganSzall Cell Lung Cance (SCLC) sehingga pengobatannya harus dibedakan :
III A masih ada kontroversi mengenai
modality therapy yaitu gabungan radiasi, khemoterapi dengan operasi (dua atau tiga modalitas) dilaporkan memperpanjang survival dari studi-studi yang masih berlangsung.
Radioterapi Pada beberapa kasus yang inoperable, radio terapi dilakukan sebagai pengobatan kuratif dan bisa juga sebagai terapi adjuvanlpaliatif pada tumor dengan komplikasi seperti mengurangi efek obsrtruksi /penekanan terhadap pembuluh darah,/bronkus. Efek samping yang sering adalah disfagia karena esofagitis post radiasi, sedangkan pneumonitis post radiasijarang terjadi
(<10%\ Radiasi dengan dosis paruh yang bertujuan kwatif secara teoritis bermanfaat pada kasus yang inoperabel tapi
belum disokong data percobaan klinis yang sahih. Keberhasilan memperpanjang strvival sampai 20%o dengan cara radiasi dosis paruh ini didapat dari kasus-kasus
stadium
I usia lanjut, kasus dengan penyakit
penyerta
sebagai penyulit operasi ataupasien yang menolak dioperasi.
Pasien dengan metastasis sebatas N1-2 atau saat operasi terlihat tumor sudah merambat sebatas sayatan operasi maka radiasi post operasi dianjurkan untuk diberikan. Radiasi preoperasi untuk mengecilkan ukuran tumor agar misalnya pada reseksi lebih komplit pada pancoast tumor atat stadium III b dilaporkan bermanfaat dari beberapa sentra kanker. Radiasi paliatif. pada kasus
2261
KAI\IKERPARU
sindrom vena cava superior atau kasus dengan komplikasi dalamrongga dada akibat kanker seperti hemoptisis, batuk refrakter, atelektasis, mengurangi nyeri akibat metastasis kranium dan tulang, jugaamat berguna.
Kemoterapi Prinsip kemoterapi. Sel kanker memiliki sifat perputaran daur sel lebih tinggi dibandingkan sel normal. Dengan demikian tingkat mitosis dan proliferasi tinggi. Sitostatika kebanyakan efektif terhadap sel bermitosis. Ada beberapa
hal yang dapat mempengaruhi kegagalan pencapaian target pengobalan antara lain: a). resistensi terhadap sitostatika; b). penurunan dosis sitostatika di mana penurunan dosis sebesar 20%o akan menurunkan angka harapan sembuh sekitar 50 %; c). pemrmnan intensitas obat dimanajumlah obat yang diterima selama kurun waktu tertentu kurang. Untuk mengatasi hal tersebut di atas, dosis obat harus diberikan secara optimal dan sesuai jadwal pemberian. Kecuali terjadi hal-hal yang
jika diberikan
sitostatika akan lebih membahayakan iwa. Penggunaan resimen kemoterapi agresif (dosis tinggi) j
harus didampingi dengan rescue sel induk darah yang berasal dari sumsum tulang atau darah tepi yang akan menggantikan sel induk darah akibat mieloablatif. Penilaian
respons pengobatan kanker dapat dibagi menjadi lima golongan seperti : a). remisi komplit, tidak tampak seluruh tumor terukur atau lesi terdeteksi selama lebih dari 4 minggu; b). remisiparsial, tumormengecil> 50% tumorterukur atau > 50% jumlah lesi terdeteksi menghilang; c). stable disease pengecilan 50o/o atat < 2|%omembesar; d). progresiftampak beberapa lesi b aruatau> 25ohmembesar; e). Lokoprogresif tumor membesar di dalam radius tumor (lokal). Penggunaan kemoterapi pada pasien NSCLC dalam dua dekade terakhir ini sudah diteliti. Untuk pengobatan
kuratif
kemoterapi dikombinasikan secara terintegrasi dengan modalitas pengobatan kanker lainnya pada pasien dengan penyakit lokoregional lanjut. Kemoterapi digunakan sebagai terapi baku untuk pasien mulai dari stadium III A dan untuk pengobatan paliatif Kemoterapi neoadjuvan diberikan mulai dari stadium II dengan sasaran lokoregional tumor dapat direseksi lengkap. Cara pemberian diberikan setelah terapi lokal. Terapi definitif dengan pembedahan ,radioterapi, atau keduanya diberikan di antara siklus pemberian kemoterapi.
Kemoradioterapi konkomitan, bertujuan untuk meningkatkan kontrol lokoregional, radioterapi mulai dari s t age III ((Jnr e s e c t ab I e I o c o r e gi o n al). P emberian
respons yang akan berdampak pada harapan hidup.
Mula mula resimen CAMP yang terdiri dari siklofosfamid, doksorubisin, metotreksat dan prokarbasin, tingkat respons regimen ini 26% . Beberapa protokol resimen lainnya kemudian dikembangkan dan diperbandingkan dengan CAMP, seperti CAP membsrikan tingkat respons 260lo.
Obat lain. Obat obat baru
ini telah banyak dihasilkan
dan dicobakan sebagai obat tunggal seperti Paclitaxel' Docetaxsel, Vinorelbine, Gemcitabine, dan Irenotecan dengan hasil yang cukup menjanjikan, begitu juga bila dimasukkan ke regimen lama membentuk regimen baru.
Kemoterapi ajuvan dengan atau tanpa radioterapi. Mula-
mula yang dikembangkan adalah protokol CAP (siklofosfamid, doksorubisin, dan cisplatin)
Kemoradioterapi konkomitan. Mula-mula protokol yang digunakan adalah protokol dengan basis cisplatin misalnya FP (5-Fluorouracil dan cisplatin), selanjutnya dikembangkan dengan memasukkan etoposide menjadi protokol EFP.
Hasilnya dengan FP 68% menjadi komplit resectable sedangkan dengan EFP komplit resectable menjadi 76Y" sementara pa daEP 65Yo menjadi komplit resectdble. Terapi biologi. BCG levamisole, interferon dan interleukin, penggunaannya dengan kombinasi modalitas lainnya hasilnya masih kontroversial. Terapi gen. Akhir-aktrir ini dikembangkan penyelarasan gen (Chimeric) dengan cara transplantasi stem sel dari darah tepi maupun sumsum tulang alogenik
SMALL CELL LUNG CANCER (SCLC) SCLC dibagi menjadi dua, yaitu: l.limited-stage disease yang diobati dengan tujuan kuratif (kombinasi kemoterapi o% dan radiasi) dan angka keberhasilan terapi sebesar 20 serta 2. extensive-stage disease yang diobati dengan kemoterapi dan angka respon terapi inisial sebesar 60-70 Yo danangkarespon terapi komplit sebesar 20-30%. Aagka median-survival time urlttuk limited-stage disease adalah 18 bulan dan untuk extensive-stage disease adalah9 bulan.
PROGNOSIS
.
Small Cell Lung Cancer (SCLC)
-
kemoterapi bersama-sama radioterapi.
Dengan adanyaperubahanterapi dalam 15-20 tahun belakangan ini kemungkinan hidup rata-rata (me'
dian survival time) yang tadinya < 3 bulan
Pemilihan obat. Kebanyakan obat sitostatik mempunyai aktivitas cukup baik pada NSCLC dengan tingkat respons artara l5-33%o, walaupun demikian penggunaan obat tunggal tidak mencapai remisi komplit. Kombinasi beberapa sitostatik telah banyak diteliti untuk meningkatkan tingkat
saat
-
meningkat menjadi 1 tahun. Pada kelo mpok Limited D is e as e kemtxtgkinan hidup rata-rata naik menjadi l-2 tahttn, sedangkan 20o/o daripadanya tetap hidup dalam2 tahun.
30%meninggal karenakomplikasi lokal dari tumor
2262
.
PULIITOI,0LOGI
70Yo meninggal karena karsinomatosis
50% bermetastasis ke otak (autopsi)
Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC) - Yang terpenting pada prognosis kanker paru ini adalah menentukan stadium dari penyakit. - Dibandingkan dengan jenis lain dari NSCLC,
karsinoma skuamosa tidaklah seburuk yang lainnya. Pada pasien yang dilakukan tindakan
-
bedah, kemungkinan hidup 5 tahun setelah operasi adalah30%o Survival setelah tindakan bedah, 70o/o pada occult
carcinoma;35-40% pada stadium l; l0-15%o pada stadium II dan kurang dai l0% pada stadium III.
75% karsinoma skuamosa meninggal akibat komplikasitorakal,25%okarcnaekstratorakal,2olo di antaranya meninggal karena gangguan sistem
-
saraf sentral.
40% adenokarsinoma dan karsinoma sel besar meninggal akibat komplikasi torakal, 55%o karena ekstra torakal. 15% adenokarsinoma dan karsinoma sel besar bermetastasis ke otak dartS-9a/o meninggal karena kelainan sistem saraf sentral.
Kemungkinan hidup tata-rala pasien tumor metastasis bervariasi, dari 6 bulan sampai dengan I tahun, dimana hal ini sangat tergantung pada : 1 s tatus (skala Kamofsky), 2. Luasnya penyakit, 3. Adanya pemrmnan berat badan dalam
P erformance 6
bulan terakhir.
PENCEGAHAN
.
Pencegahan yangpaling penting adalah tidak merokok sejak usia muda. Berhenti merokok dapat mengurangi
yang berhasil.
A-litrir-akhir ini pencegahan dengan chemoprevention banyak dilakukan, yakni dengan memakai derivat asam retinoid, carotenoid, vitamin C, selenium, dan lain-lain. Jika seseorang berisiko terkena kanker paru maka penggunaan betakaroten, retinol, isotretinoin ataupun N- ac ety I - cy s t ein dap at meningkatkan risiko kanker paru pada perokok.
FKUI /RSUPNCM.
Bunn PA, Jr. Lrmg Cancer: Cunent Understanding of Biology, Diagnosis, Staging and Treatnent. Bristol -Myers Co, Evarsvitle-lndiana, 1988.
Bordow W, Moser KM. Manual of Clinical Problems in Pulmonary Medicine. Little Brown Co, Boston, 6th ed. 2003, 457-481.
Cancer : Principles and Practice of Oncology. Curtailing The Tobacco Pandemic. Devita-Hellman-Rosenberg Eds. JB Lippincott Co, Philadelphia, 1989, 4M ed, 480-91. Givanella L, Piantanida R, Ceriani L,et al. Immunoassay of Neuron Specific Enolase (NSE) and Serum Fragments of Cyokeratin 1S (Cyfra 21-l) as Tumor Markers in Small Cell Lung Cancer : Clinical Evaluation and Biological Hypotesis. National Cancer Institute, Cancer.Lit, topic searches, 1997, Hoffman PC et al : Lung Cancer. Lancet 2000;355:479. nternational Union Against Cancer. Current Treatment of Cancer, Lung Tumors. Ed. Hoogstraten, Addis, Hanzen, Maltini, Spiro Springer-Verlag, Berlin, I 988,
Kvale, PA. Lung Cancer and Solitary Pulmonary Nodule. In: llth National American College of Chest Physician (ACCP). Pulmonary Board Review, 2003,41-56. Karlinsky JB, Lau J, Goldstein RH. Decision Making in Pulmonary Medicine. Neoplastic and Neoplastic Related Diseases of The Lung BC Decker, Philadelphia, 1991,25-49. Lazaar l, Pilewski J. Lung Cancer . Fishman AP, Kottloff RM. Eds. In: Pulmonary Diseases and Disorders. McGraw-Hill. Int. Editions. Singapore.1994 Leslie A Litzsky. Neoplasma of the lung. ln Fishman AP: Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. McGraw-Hill New York 1998. Minna JB. Neoplasms of The Lung. Harrison's Principles of intemal Medicine MC Graw-Hill Co, New York 14th ed. 1998, 552-62. Miller YE. Pulmonary Neoplasma. Cecil Textbook of Medicine Ed. Bennet Plum WB Saunders Co, Philadelphia 20th ed, 1996, 436-442. Pass-HI, Mitchell JB, Jhonson DH, Turrisi AT. Lung Cancer: Principles and Practice. LippincotlRaven Publisher, Philadel-
phia, 1996, 305-508. Pieterman RM et al : Preoperative staging of non-srrrall cell lung
risiko terkena kanker paru. Penelitian dari kelompok perokok yang berusaha berhenti merokok, hanya30Yo
.
Siang Klinik Bag.Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Juni 1998.
Untr* itu, penggunaan kemopreventif ini
masih memerlukan penelitian lebih lanjut sebelum akhimya direkomendasi untuk digunakan. Hingga saat ini belum ada konsensus yang diterima oleh semua pihak.
cancer with positron-emission tomography. N Engl J Med 2000;343:254. Pretreatment evaluation of non-small-cell lung cancer. Consensus Statement of the American Thoracic Society and the European Respiratory Society. Am J Respir Crit Care Med 1997;156:320.
Reksodiputro
American College of Chest Physician. Lung Cancer Guideline Consensus.2003. Asril Bahar dan Zulkifli Amin. Pendekatan diagnosis kanker paru.
Tambunan
K,
Atmakusumah
D
dkk:
Klinik Bag.Ilmu
Penyakit Dalam FKUI/RSUPNCM. Jakarta Juni 1998. Reif MS et al : Evidence-based medicine in the treatment of non small cell lung cancer. Clin Chest Med 2000;21:107. Rom WN et al : Molecular and genetic aspects of lung cancer. Am J Respir Crit Care Med 2000;161:1355. Schiepers, C. Role of Positron Emission Tomography in The Staging of Lung Cancer Lung Cancer, June 1997, Vol 17 supp, S.29-S.35. Smith RA et al : Epidemiology of lung cancer. Radiol Clin North Am 2000;3 8:45 3.
Turner-Warmick M, Hudson ME, Canin B, Ken lH. Clinical Atlas, Respiratory Diseases. JB Lippincott Co. Philadelphia, 1989, 7
REFERENSI
AH,
Penatalaksanaan terpadu kanker paru. Siang
.2-7 .43.
Zulkifli Amin.
Ketepatan Diagnosis Keg.anasan Paru Secara Fiberoptik Bronkoskopi KOPAPDI X, Padang, Juni 1996. Zulkifli Amin, Aryanto Suwondo: Tumor Paru. Dalam : Suparman , Waspaji Buku Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Balai Penerbit FKUI,
Jakarta 1990,
361 PENYAKIT PARU I(ARENA MIKOBAKTERIUM ATIPIK Azhar Tanjung, E.N Keliat
PENDAHULUAN Kuman mikobakterium adalah golongan kuman berbentuk batang yang agak sulit diwarnai, tetapi sekali berhasil diwarnai, sulit pula dihapus dengan zat asam. Oleh karena itu disebut juga basil (kuman) tahan asam (BTA). Saat ini dikenal ada 4l spesies yang diakui oleh ICSB (International Committee on Systematic Bacteriology). Sebagian
besar bersifat saprofit, dan yang bersifat patogen bagi manusia hanya sebagian kecil, misalnya Mycobacterium
tuberculosae, Mycobacterium leprae, dan lainnya yang dapat menyebabkan infeksi kronik. Golongan saprofit ini dikenal juga dengan nama Mikobakterium atipik.
Mikobakterium atipik disebut juga dengan
mikobakterium non tuberkulosis, banyak dijumpai disekitar
pertumbuhan, pembentukan pigmen, tes biokimia dan suhu pertumbuhan. Di antara tes biokimia yang dilakukan adalah tes merah netral, percobaan niasin, tes nikotinarttida, tes arilsulfatasa, reduksi nitrat, hidrolisis Tween 80 selama 10 hari, pertumbuhan pada tiasetazon. Emest Runyon (1959), dapat langsung membedakan golongan mikobakterium atipik, hanya berdasarkan waktu
pertumbuhan, pembentukan pigmen, morfologi koloni. Runyon membagi mikobakterium atipik menjadi 4 grup, yaitu: Grup I @otokromogen). Pada grup ini wama koloni menj adi tebih tua bila terkena cahaya.Ada 3 spesies yang patogen, yaitu : M.kansasii, M. simiae, M.marinum. Spesies ini dapat menimbulkan penyakit paru, kulit, limfadenitis.
lingkungan seperti di tanah, air, makanan, dan lainlain. Mulanya dianggap tidak patogen. Pada permulaan t ahun 1950 baru mikobakterium atipik diakui sebagai
Grup tr (Skotokromogen). Pada grup ini wama koloni tidak dipengaruhi cahaya. Contoh yang paling dikenal adalah M,scrofulaceum, yang lain adalah M.szulgai.
penyebab penyakit pada manusia. Sejak itu golongan
Grup III (Nonfotokromogen). Padagrup ini kolonikuman tidak berwarna. Yang masuk grup ini adalah pasangan
kuman
ini
disangkutkan dengan penyakit paru,
limfadenitis, infeksi kulit dan jaringan lunak, infeksi yang dihubungkan dengan kateter, infeksi luka operasi dan
penyakitAIDS.
Tulisan ini selanjutnya lebih difokuskan pada mikobakterium atipik yang berhubungan dengan penyakit paru.
M.avium (patogen terhadap burung) dan M.intracellulare. Karakteristikbiakankedua spesies kuman ini hampir sama. Oleh beberapa ahli bakteriologi kedua spesies kuman ini dianggap tidak terpisah sehingga disebut dengan M. avium-intracellulare complex. Spesies yang lain adalah M.xenopi dan M.ulcerans. Spesies tersebut dapat menyebabkan infeksi paru, kulit dan jaringan lunak.
KLASIFIKASI
Grup IV (ftap id Growers). Grup ini pertumbuhannya cepat
Tidak semuakuman BTAyang dapat diisolasi dari medium Lowenstein-Jensen serupa Mikobakterium tuberkulosa. Harus dilakukan identifikasi untuk dapat membedakan spesiesnya. Dasar pemeriksaan identifftasi adalah waktu
bisa menimbulkan penyakit paru yaitu M.fortuitum,
(3-7 hari) pada media sederhana. Kami telah mendapatkan sebanyak 0,4oh grup IV ini dari pemeriksaan dahak dan cairan pleura dengan metode Kubica' Ada 3 spesies yang
M.chelonei dan M.abscessus.
2263
2264
PI.'LIUONOIOGI
PATOGENESIS DAN EPTDEM]OLOGI Mikobakterium atipik terdapat di seluruh dunia. Umumnya dijumpai di sekitar lingkungan misalnya di tanah, air, makanan, tumbuhan dan hewan. Tumbuh optimal pada
temperatur yang beragam sehingga mempengaruhi distribusinya. Misalnya M.avium dan M.intracellulare sering diisolasi dari sumber air hangat yang diminum, sedangkan M.marinum didapati di air lebih dingin seperti tangki penyimpanan ikan. Pasien yang lahir diAS penyakit paru yang disebabkan oleh basil tahan asam kelihatannya
lebih banyak disebabkan oleh mikobakterium atipik daripada M.tuberkulosis. Di Indonesia, dari Bandung didapat spesimen dari dahak, kelenjar getah bening dan cairan pleura, sebanyak 50,77%o adalahmkobakterium atipik dan 49,3Yo M.tuberkulosis kompleks.
Mikobakterium atipik ini bisa didapat melalui pernapasan, saluran cerna,
kulit, atau (yang jarang)
parenteral. Penyakit pada paru timbul oleh karena inhalasi kuman dalam bentuk aerosol. Pada pasien dengan status imun yang menurun, setelah kuman mengadakan infasi
M.szulgai, M.xenopi, M.simiae dan M.melmoense jarang menimbulkan infeksi paru. Belakangan ini ternyata MAI merupakan kuman patogen penting pada pasien AIDS, dimana infeksi MA disseminatamerupakan infeksi bakteri paling sering pada AIDS, yaihr 20-40 Yo. Adanya infeksi dengan MAI menandakan manifestasi lanjut penyakit AIDS, danbiasanyamunculbilajumlah CD4 tuun di bawah 100/mm.
MANIFESTASI KLINIS Gejala paru yang disebabkan infeksi mikobakterium atipik sama dengan yang disebabkan M.tuberculosae. Gejala yang ditimbulkannya bervariasi dan tidak spesifft, misalnya batuk produktif, sesak, malaise, lemah, batuk darah. Gejalagejala konstitusional seperti demam, keringat malam, berat badan menurun kurang menonjol. Pemeriksaan fisis dan
hasil laboratorium tidak spesifik. Kelainan fisis yang
didapat sering hanya dari penyakit paru yang
melalui mukosa usus halus dapat terjadi penyebaran.
mendasarinya. Gambaran radiologis juga tidak spesifik. Bisa dijumpai rongga berdinding tipis yang menyerupai
Penyebaran kuman dari binatang ke manusia atau dari manusia ke manusia lainnya tampaknya dapat diabaikan.
tuberkulosis paru, atau inf,rltrat difus, nodular tanpa rongga
Tidak ada bukti bahwa terdapat infeksi laten dari mikobakterium atipik yang mana ini tanda khas dari M.tuberkulosis. Kuman ini di dalam tubuh dimakan oleh
makrofag dan dapat hidup di dalam sel ini untuk berkembang biak dan menyebabkan infeksi yang sistemik.
Manifestasi penyakit pada orang yang imunokompeten adalah oleh karena respon imun selular dan pembentukan granuloma. Untuk membunuh kuman ini di dalam sel tersebutuntuk mengendalikan infeksinya, diperlukan peran mekanisme imun selular seperti proliferasi CD4+ limfosit I pelepasan g interferon dan interleukin 12. Defisiensi
dan berupa bronkiektasis. Paru yang terkena sering bilateral dan jarang mengenai pleura. Pada pasien AIDS yang terinfeksi MAI gambaran klinisnya berbeda dengan pasien tanpaAIDS. Pada pasien AIDS gejala bersifat diseminata dengan gejala paru tidak jelas. Dalam keadaan ini kuman sering menyerang kelenjar limfe intra abdominal, hati, limpa, sumsum tulang dan saluran gastrointestinal. Gejala yang menonjol berupa sakit
perut dan mencret. Secara radiologis biasanya normal, walaupun kuman bisa dijumpai di saluran napas. Pada gambaran radiologis dijumpai infiltrat yang nodular dan konsolidasi.
fungsi CD4+ sel T karena infeksi HIV dan defisiensi produksi atau respons g interferon berkaitan dengan infeksi mikobakterium atipik disseminata. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Centre for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 1980 diAS, didapat prevalensi mikobakterium atipik 1,8 kasus per 100.000.Prevalensi M.avium intracellulare (MAI) adalah terbanyak yaitu l,l kasus per 100.000. Tampak adanya variasi geografis, misalnya golongan M.kansasii lebih banyak ditemukan di AS bagian Tengah atau Selatan, Inggris dan Eropah daratan. MAI paling sering ditemukan di AS bagian Timur dan Selatan, Australia Barat, dan Jepang. Penyakit parv yatg disebabkan M.kansasii dan MAI nmnrnnya timbul pada usia dekade 5 atatpadausia lebih lanjut. Umumnya pasien tersebut mempunyai penyakit dasar, berupa penyakit paru obstruktif menahun, pneumokoniosis, bronkiektasis, atau tuberkulosis. Penyakit paru yang disebabkan oleh M.fortuitum dat M.chelonei lebih sering didapati pada pasien perempuan yang tidak merokok dan
tidak mempunyai penyakit dasar. Spesies kuman dari
DIAGNOSIS Penyakit paru yang disebabkan infeksi M.atipik secara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan radiologis tidak dapat
atau sukar dibedakan dengan yang disebabkan M.tuberkulosae, sehingga menyulitkan diagnosis di samping bisa dijumpai kuman M.atipik di sputum sebagai kolonisasi dari saluran napas bawah, sehingga diagnosis harus didasarkan atas kriteria yang valid dari klinis, temuan khas dari CT Scan, temuan berulang M.atipik dari dahak atau pertumbuhan M.atipik dari biopsi paru. (Tabel 1) Bila spesimen berasal dari jaringan, maka diagnosis berdasarkan gambaran histologis yang sesuai dengan gambaran penyakit disebabkan mikobakterium dan secara
kultur didapat adanya pertumbuhan kuman.
Tes laboratorium tambahan (misalnya pemeriksaan imunologi) tidak berguna untuk diagnosis.
2265
PENYAKIT PARU I(ARENA MIKOBAKTERIUM ATIPIK
Kategori
Temuan Gejala yang cocok (misalnya demam, batuk), dan perburukan keadaan klinis (bila penyakit
Klinis
paru yang
mendasarinya
ada),
dan
penyingkiran penyakit lain. Radiologis
X foto toraks
:
infiltrat dengan atau tanpa nodul, baik persisten (> 2 bulan) atau progresif atau kavitas atau nodul-nodul multipel sendiri.
:
CT scan resolusi tinggi : nodul-nodul kecil multipel ; atau bronkiektasis multifokal,
dengan atau tanpa nodul-nodul kecil. Bakteriologis
Dahak/bilasan bronkus : paling sedikit 3 kultur positif dalam 1 tahun Hanya bilasan bronkus : paling sedikit 'l kultur positif dengan pertumbuhan sedang atau pengecatan basil tahan asam positif Biopsi paru : Kultur positif
diisolasi dan s ecura in vitro sensitif terhadap hampir semua OAT. ATS (1997) memberikan rekomendasi pengobatan yaitumemberikanlNH (300 mg), Rifampisin(600 mg) dan etambutol (25 mglkguntuk 2 bulan pertama, selanjutnya 15 mg&g) diberikan setiap hari selama 18 bulan dengan paling sedikit 12 bulan kultur sputum negatif. Dengan regimen pengobatan ini didapat konversi dahak hampir l00o/o
setelah 4 bulan. Sedangkan (BTS) merekomendasikan dengan Ritumpisin (600 mg), etambutol (15 mglkg) dibedkan
setiap hari selama 9 bulan dengan penambahan Klaritromisin (500-750 mg) setiap hari selama 2 bulan awal pengobatan, memberikan angka kesembuhan 90%. Bila kuman resisten terhadap Rifampisin atau pasien tidak bisa
mentolerir Rifampisin, pengobatan kembali sebaiknya berdasarkan tes resistensi dan pertimbangkan reseksi dengan tindakan bedah.
'
Diagnosis memerlukan criteria klinis tambah 1 kriteria radiologis dan 1 kriteria bakteriologis CT = Computed Tomography (Dikutip dari Non Tuberculous Mycobacteria, Harrison's Principles of lnternel Medicine, 16th Ed, 2oos)
PENGOBATAN
Penyakit yang disebabkan M.atipik tanpa pengobatan cenderung berkembang secara perlahan-lahan, meskipun ada juga yang menetap untuk waktu lama. Dibandingkan dengan tuberkulosis paru, pada M.atipik ini didapat adanya
korelasi yang kurang sesuai antara hasil tes resistensi secara in vitro denganhasil pengobatan. Hasil pengobatan ternyata lebih baik dibandingkan hasil uji resistensi. Bila hasil yang dicapai dengan kemoterapi tidak memuaskan maka bisa dilakukan operasi secara reseksi. Tindakan
Mikobakterium Avium-intraselu Iar (MAl) Kuman ini juga merupakan M.atipikyang sering dijumpai. Pada pengobatan penyakit yang disebabkan kuman ini, laporan terdahulu menyebutkan bahwa obat-obatan saja hanya memeberikan hasil konversi dahak 20-25Yo saja. Beberapa peneliti menganjurkan penggunaan gatiungan 4 atau 5 macam obat sekaligus dan dengan ini didapat hasil konversi dahak sampai 7 5Yo. ATS (1997) merekomendasikanpemberian Klariftomisin (2 kali 500 mg sehari), atau Azitromisin (600 mg 3 kali seminggu), Rifampisin (600 mg sehari) atau Rifabutin (300
mg sehari) dan etambutol(2S mgkgperhari pada 2 bulan
pertama
diikuti l5 mg/kg perhari). Pertimbangkan
dapat menimbulkan penyakit fistula
penambahan Streptomisin 500-1000 mg 2 atau 3 kali seminggu untuk 2 bulan pertama. Lama pengobatan 18 bulan atau sampai 12 bulan setelah konversi sputum negatif
bronkopleural, terutama bila dahak dengan BTA masih positifpada waktu operasi dilakukan. Lobektomi misalnya lebih baik daripada reseksi segmental dan bila keadaan
20%. Reseksi bedah adalah suatu pilihan untuk pasien dengan penyakit terlokalisasi yang tidak toleran atau tidak
reseksi
ini
dengan kultur. Rata-rata terjadi kegagalan terapi atau relaps
memungkinkan dapat ditangguhkan sampai dahak negatif. Sampai sat ini belum ada kesepakatan tentang regimen pengobatan mana yang paling ampuh dalam pengobatan infeksi paru yang disebabkan M.atipik ini. Bila infeksinya
respon terhadap terapi banyak obat tersebut.
tidak menimbulkan gejala atau secara klinis stabil, pemberian obat antituberkulosis (OAT) dapat
mg sehari, etambutol 15 mg/kg sehari, dengan atautanpa Rifabutin (150-300 mg) sehari. Rifabutin bisa berinteraksi dengan obat antiretroviral. Pengobatan diberikan selama paling sedikit 12 bulan dan jumlah sel T CD4 > 100/ml
ditangguhkan dengan pengobatan hanya ditujukan pada penyakit yang mendasari saja. Bila penyakit menjadi progresif atau pasien dengan gejala menjadi lebih hebat maka diberikan OAT. Salah satu dari beberapa regimen pengobatan yanglazim dapat dipilih sesuai dengan situasi dan kondisi pasien. Hendaknya dipertimbangkan bahwa
infeksi yang disebabkan mikobakterium atipik membutuhkan seni tersendiri dalam pemilihan regimen pengobatan.
Pada pasien AIDS yang mendapat infeksi MAI diseminata (ATS 1997) menganjurkan terapi dengan Klaritromisin (500 mg 2 kali sehari) atatAzitromisin 500
selama
> 6 bulan sewaktu dapat pengobatan highly
active antiretroviral therapy (HAART)
Mikobakterium Fortuitum dan Mikobakterium Chelonae Kuman ini termasuk ke dalam M.atipik yang rapid growers, yang resisten terhadap semua OAT standard. Tetapi kuman M.fortuitum biasanya sensitif terhadap amikasin,
Micobakterium Kansasii
siprofloksasin, sefositin, imipenem, sulfonamida dan
M.kansasii merupakan mikobakterium atipik yang sering
doksisiklin. Sedang M.chelonae subspecies abscessus
2266
hanya sensitif terhadap amikasin, sefositin dan kira-kira 30o/o terhadap eritromisin. M.chelonae subspesies chelonae lebih sensitif terhadap eritromisin dan kadangkadang berespons terhadap doksisiklin. Oleh karena 90% dari kuman yang diisolasi akan sensitif terhadap amikasin dan sefositin, maka pada pasien yang pamnya diinfeksi oleh kedua kuman di atas, saat ini
iv amikasin (5-7,5 mglkgtiap l2jam) dan sefositin (3 g tiap 6 jam) dengan kalaritromisin oral (2 kali 500 mg sehari) dan pengobatan diteruskan selama 6-12 bulan. dianjurkan
REFERENSI
PI,'LMOIIOI.OGI
Dahlan Z. Mycobacteriosis and Phyllanthus Herba, dalam kumpulan Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional ke-7 PERALMUNI Bandung, 2004, C.2.1-C.2.10. Iseman MD. Enviromental Mycobacteria. In: Hanley ME, Welsh C editors. Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary Medicine, McGraw Hill, Inc; 2003, 409-13. O'Brien RJ. The epidemiology of nontuberculous mycobacterial disease. In: Clinics in Chest Medicine 1988; 10 (3).407-16. Rosihan A, Tanjung A. Penyakit paru yang disebabkan Mikobakteria atipik (Diagnosis Pengobatan). Medika; 1987. 687-93. Tanjung A, Rosihan A. Pemeriksaan basil tahan asam dengan metode Kubica di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UISU. Dalam: J. Suharno, R.Utji, Warsa CH (eds). Mikrobiologi di Indonesia. Kumpulan Makalah Konas III. 1981. 167-69. Utji R, Harun H. Kuman tahan asam. Buku Ajar Mikrobiologi
Kedokteran. 1993. l9l-99. American Thoracic Socief. Diagnosis and treatment of disease caused
by non-tuberculosis mycobacteria. Am Rev Respir Dis 1990; 142:940-53
American Thoracic Society. Diagnosis and treatment of disease caused by non-tuberculosis mycobacteria. Am J Respir Crit Care 1997; 156:S1-S25. 972-7 6.
Von Reyen CF. Nontuberculous Mycobacteria. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL editors. Harrison's Principles of Intemal Medicine 16s ed, Vol.l, McGraw
Hill, Inc; 2005, Ztrckerman JM, Brennam PJ. Infection due to Mycobacterium other than tuberculosis. In: Fishman A (ed). Pulmonary disease and Disorders. 2"d ed Companion Handbook. McGraw Hill, Inc; 1994. 366-7 4.
362 PENYAKIT PARU I(A.RENA JAMUR Azhar Tanjung, E.N. Keliat
PENDAHULUAN
Secara klinis gejala mikosis paru sangat bervariasi, mulai dari tanp a gejalaberarti sampai dengan gejala paling
Perhatian terhadap penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur makin hari makin meningkat. Kasus-kasus infeksi jamur juga makin banyak ditemukan. Hal ini disebabkan karena perhatian dan teknik pemeriksaan laboratorium
berat yang bisa menimbulkan kematian. Gejala utama yang sering dijumpai adalah sama dengan gejala penyakit paru
yang makin maju. Makin banyak antibiotik yang ditemukan dan dipergunakan dalam pengobatan, ternyata di samping
dada, demam.
yang lainnya yaitu berupa batuk, batuk kronik dengan dahak, kadang-kadang sesak napas, batuk darah, sakit
bermanfaat untuk mengobati dan mencegah penyakit infeksi, juga menimbulkan makin berkembangnya jamur
KLASIFIKASI
saprofit dalam tubuh manusia. Hal ini juga dapat menimbulkan gangguan dan penyakit. Faktor predisposisi antara lain pemakaian obat-obat kortikosteroid, imunosupresif, dan sitostatika. Dengan
Di alam ini sebenarnya dijumpai sekitar 50.000-200.000 spesies jamur, dan sebagian besar umumnya bersifat saprofit. Jamur patogen dijumpai 175 spesies dan hanya 20 spesies saja sebagai penyebab mikosis sistemik.
penggunaan obat-obat tersebut bukan hanya jamur patogen yang lebih mudah menginfeksi, tetapi juga jamur saprofit. Belakangan dengan makin meningkatnya jumlah pasien AIDS, maka pasien AIDS yang mendapat infeksi
Berdasarkan jamur penyebab, Riddell membuat klasifikasi mikosis paru : 1). Aktinomisetes (aktinomikosis,
jamurjugameningkat. Penyakit paru karena jamur (mikosis paru) termasuk ke dalam mikosis sistemik. Kekerapan dan masalah yang ditimbulkan mikosis paru ini juga meningkat. Di Medan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tenyata dijumpai 3,35olo mikosis paru pada pasien dengan gejala batuk kronik dan berdahak. Penyebab terbanyak adalah C an di da a I b i c an s 3 6,67 %o, kem.odrarr A sp e r gil I us fu m i gat u s 27,3 3yo, C an d i d a sp. dan A.fl avzs mas ing-m asing I l,6Yo, Rhizopus sp. 5,5 6%q A.niger 3,7 0o/o, Mucor sp. 1,8 5Yo dan Nocardia sp. 1,85o/o.Berbagai faktor predisposisi timbulnya mikosis paru pada penyelidikan tersebut umumnya terdiri atas beberapa gabungan faktor pencetus, di antararrya adalah tuberkulosis, penyakit paru obstruktif kronik, diabetes melitus, keganasan, gagal ginjal laonik dan obat antibiotik, kortikosteroid, dan sitostatika. Pada penelitian lain, dtdapat72,Slo/o jamrtr dari 13 I pemeriksaan dahak dan pada waktu itu tidak dinyatakan apakah jamur tersebut sebagai penyebab infeksi.
2267
nokardiosis), 2). Ragi dan jamur menyerupai ragi (kriptokokosis, kandidosis), 3). Jamur berfilamen (aspergillosis, mukormikosis), 4). Jamur dimorfik (histoplasmosis, koksidiodomikosis, blastomikosis, sporotrikosis)
Berdasarkan apakah mikosis paru disebabkan jamur patogen atau oporhrnistis dibagi : . Mikosis paru yang disebabkan jamur patogen, bisa bersifat: - Endemik yaitu histoplasmosis, blastomikosis, koksidioi-domikosis dan parakoksidioidomikosis.
.
-
Nonendemikyaitukriptokokosis
Disebabkan jamur oprtunis yaitu aspergilosis, kandidosis, nokardiosis, mukormikosis.
Infeksi jamur oprhrnis, yang umrmrnya didapati pada pasien dengan defisiensi sistim pedahanan tubuh temyata lebih sering terjadi dibandingkan infeksi jamur patogen. Blastomikosis, parakoksidio-domikosis, koksidiodomikosis
2268
PI,'LMOIiOI.OGI
belum pernah dilaporkan di Indonesia. Tulisan ini selanjutnya lebih difokuskan kepada mikosis paru yang mungkin dijumpai dan pernah dilaporkan di Indonesia.
HISTOPLASMOSIS
Histoplasmosis disebabkan jamur Histoplasma kapsulatum, bersifat dimorfft, hidup dalam tanah yang
mengandung kotoran burung, ayam, kelelawar. Histoplasmosis hidup dan tumbuh sangat baik pada suhu antara 22"C-29oC, dengan kelembaban udara berk:tsar 67 %o87%. Manusia mendapat inferksi dengan cara terhirup spora
jamur histoplasmosis. Tidak ditularkan dari manusia ke manusia lainnya maupun dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Di Amerika Serikat, H.capsulatum adalah penyebab paling banyak mikosis paru. Di beberapa negara
bagian, penyakit endemik, ditunjukkan dengan tes histoplasmin positif mencap ai 80%o-9 5%. Infeksi dengan jamur ini telah dilaporkan dari banyak negara,Di Indonesia Irma SM telah mencatat ada 17 pasien histoplasmosis sejak tahun 1932 sampaidengan I 988.
H
istoplasmosis Paru Kronik
Biasanya dijumpai pada orang dewasa denganumurparuh baya riwayat penyakit paru kronik, misalnya tuberkulosis paru. Juga didapati pada pasien dengan diabetes melitus dan penyakit mikosis paru lainnya. Pada foto dada, kedua lobus atas paru sering terlibat, dengan adanya kaveme. Sering disangka tuberkulosis paru.
Histoplasmosis Diseminata Histoplasmosis diseminata biasanya timbul pada pasien dengan penyakit yang disertai gangguan fungsi sel T (misalnya penyakit Hodgkin), pasien yang mendapat sitostatik, kortikosteroid, pasien AIDS dan transplantasi organ. Secara klinis sering didapati seperti penyakit demam sistemik dan tidak spesifik. Dijumpai demam tinggi, hepatosplenomegali, limfadenopati, pansitopenia, dan lesi di mukosa dapat terjadi berupa lesi ulseratif di mulut, lidah, orofaring. Organ lain yang bisa kena adalah meningen dan endokardium. Pada pemeriksaan radiologis, foto dada kemungkinan dapat normal, walaupun kadang-kadang didapati gambaran
infiltrat difus.
Manifestasi klinis penyakit histoplasmosis ini merupakan penyakit endemik, dan kebanyakan tidak memberikan gejala. Masa inkubasi sekitar l4haridengan gambaran klinis kadang-kadang menyerupai tuberkulosis.
Gambaran klinis histoplasmosis paru dibagi atas : l). Asimtomatik, 2).Histoplasmosis akut, 3). Histoplasmosis kronik, 4). Histoplasmosis diseminata
DIAGNOSIS
.
Kasus histoplasmosis primer banyak yang belum
.
terdiagnosis. Pada histoplasmosis akut, pemeriksaan kultur jamur sangat sulit.
. Histoplasmosis Asimtomatik Pada daerah endemik 6isa dijumpai sekitar 90% penduduk
yang terinfeksi H.capsulatum, tidak menimbulkan gejala, walaupun tes histoplasmin positif.
Histoplasmosis Paru Akut Infeksi primer bisa terjadi misalnya pada sekelompok orang yang berkunjung ke daerah endemik. Setelah masa inkubasi bisa lebih 90%o dari mereka menunjukkan gejala klinis tidak khas, dan dianggap sebagai flu biasa. Bila spora
jamur yang terhirup cukup banyak, akan menimbulkan sesak napas, sianosis, sakit dada, rash, eritema multiforme, dan sakit pleura. Stadium akut ini akan berakhir dalam 3
minggu dengan terjadi penyembuhan sempurna. Hipersensitivitas kulit timbul 4-8 minggu setelah gejala pertama. Young (1975) telah menganalisis gejala 45 kasus
histoplasmosis paru akut
di
Panama yaitu berupa
demam(93%o),malaiseumum(77%),sakttdada(45%o),baik
(35%), menggigil (22%), sakit kepala (20%), sakit otot 07YiA.
Pemeriksaan radiologis bisa berupa gambaran infiltrat kecil yang tersebar, pembesaran kelenjar hilus, dan bila sudah lama bisa dijumpai kalsifikasi.
Pemeriksaan langsung dari dahak tidak banyak membantu. Tes kulit histoplasmin berguna untuk kepentingan epidemiologi. Tes serologik membantu diagnosis yang dilakukan secara fiksasi komplemen atau imunodifusi untuk mengukur antibodi terhadap H.capsulatum sangat berguna, tetapi negatif palsu terjadi pada pasien imunokompromais dan positif palsu pada pasien dengan blastomikosis, koksidioidomikosis
dan parakoksidioido-mikosis di samping antibodi terbentuk lama (4-8 minggu) setelah infeksi akut. Deteksi antigen dari polisakarida histoplasmosis merupakan pendekatan penting untuk diagnosis kasus
yang berat seperti histoplasmosis diseminata dan histoplasmosis paru akut ekstensif, dimana dijumpai di urinnya 90Yo dan 75%o berntrut dari pasien tersebut. Tetapi sensitivitas tes ini turun menjadi l0-25Yo pada kasus kronik dan subakut yang terlokalisasi. Antigen ini bisajuga dijumpai di serum, cairanbilasanbronkus, tetapi sensitivitas dan spesifitasnya lebih tinggi di urin daripada serum. Negatif palsu dapat terjadi pada
blastomikosis, parakoksidioidomikosis dan infeksi Penicillium mameffei. Antigen histoplasma ini menurun bila ada perbaikan terhadap terapi dan suatu peninggian menunjukkan penyakit yang kambuh kembali, sehingga
2269
PEI\TYAKIT PARU KARENA JAMUR
bisa digunakan sebagai monitor pengobatan.
Aspergilosis
Diagnosis dengan pendeteksian antigen tersebut perlu
Aspergilosis merupakan penyakit yang disebabkan jamur Aspergillus. Di alam ini banyak dijumpai spesies aspergilus dengan Konidia atau spora yang berhamburan diudara sehingga gampang dihirup melalui saluran napas. Dijumpai lebih dari 300 spesies jamur ini, tetapi yang sering menimbulkan infeksi pada manusia adalah A. fumigatus, kadang -kadang A.niger, A.flavus, A.clavatus dan A. nidulans jugabisa menimbulkan infeksi. Jamur ini tumbuh dalamjaringan sebagai hifa, sama seperti yang timbul dalam media laboratorium. Spora jamur secara teratur dihirup oleh manusia dan kemudian jamur ini mengadakan kolonisasi dipermukaan mukosa. Jamur dapat menembus jaringan hanya bila ada gangguan sistem imun baik lokal atau sistemik. Dengan demikian aspergilus ini tidak dapat menembus jaringan pada orang normal. Bergantung kepada status imunologis dan genetik A.fumigatus dapat menimbulkan berbagai manifestasi di paru, di antaranya berupa kolonisasi saprofit, menimbulkan infeksi dan manifestasi alergi imunologi.
dipastikan dengan kultur atau histopatologi karena adanya positif palsu tersebut. Pada histoplasmosis kronik dengan kaverne, kultur
jamur dari dahak biasanya positif. Tes serologik juga sering positif. Pada histoplasmosis diseminata, diagnosis sulit, karena
gambaran penyakit tidak spesifik. Yang membantu adalah antigen di urin dijumpai 90%o dari pasiennya. Kultur darah atau sumsum tulang positif leblh 75% kasus, dan tes serologi disini kurang berguna dengan adanya imunosupresi yang mendasarinya. Pada pasien dengan status imun menurun, tes serologi tidak banyak membantu. Pada pasien AIDS yang disertai histoplasmosis diseminata, bronchoalveol ar lav age (BAL) penting untuk pemeriksaan dahak langsung dan kultur.
Diagnosis pasti histoplasmosis dibuat dengan pemeriksaan langsung dengan pengecatan dan kultur yang positif dari spesimen jaringan.
Cryptococcus Penyakit ini disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformans, suatujamur berkapsul golongan ragi, yang telah dikenal sebagai jamur patogen bagi manusia sejak Bussse dan Busckhe dapat mengisolasi jamur ini pada
ini
didapat diseluruh dunia.
Pada tahr.rn 1950 Emmons di
Amerika Serikat telah berhasil
tahun 1894. Jamur mengisolasi jamur
ini dari tanah, terutama
MANIFESTASI KLINIS Al lergic Bronchopu I m o nary Aspergi I losi s (ABPA) Ini merupakan penyakit yang sering muncul dan ternyata lebih banyak dari dugaan semula. Penyakit ini dijumpai pada 8% pasien asma dan sampai2Oo/opasien asma kronik
yang
yang masuk rumah sakit di Inggris. Kasus pertamaABPA
Di Indonesia, Jan Susilo
dilaporkan pada tahun 1952 oleh Hinson di Inggris,
juga telah dapat mengisolasi jamur ini dari tanah yang mengandung kotoran merp ati di Jakarta. Sedangkan kasus Cryptococcus juga telah dilaporkan di Indonesia
sedangkan dari Amerika baru dilaporkan padaa tahun I 965 . Mulanya penyakit ini jarang terjadi di Amerika, tetapi sejak I 5 tahun kasus semakin meningkat baik pada orang dewasa
pada tahun 1917, 1926,1948 walaupun berakhir dengan kematian.
maupun anak-anak. Di Medan (Indonesia) ABPA ini juga
Biasanya infeksi jamur ini terjadi melalui alat pernapasan. Infeksi primer di paru jarang menimbulkan
A pada tahun 1987, kemudian dilaporkan beberapa kasus lagi. Patogenesis penyakit ini belum sepenuhnya dimengerti. Mungkin reaksi imunologis tipe I dan III
mengandung kotoran merpati.
gejala klinis. Gejala yang timbul menyerupai infeksi paru subakut dengan batuk. Kebanyakan akan menimbulkan meningitis subakut atau kronik. Sekurangnya 50% pasien adalah dengan status imun memrnrn. Di antara pasienAlDS
yang mendapat infeksi oportunis, jamtr Cryptococcus neoformans ini merupakan penyebab ketiga sesudah Pneumocystis dan Candida. Foto dada menunjukkan tidak spesifik dan bervariasi, bisa berupa infiltrat, konsolidasi lobus, abses, nodul,
bentuk milier, adenopati hilus, atau efusi pleura. Diagnosis ditegakkan dengan terlihatnya Crypto
co
ccus
pada pemeriksaan histopatologi atau terisolasinya Cryptococcus dari dahak, cairan bilasan bronkus, atau jaringan paru tetapi kultur dahak ini hanya I 0% kasus yang positip, dan tes antigen serum Cryptococcus hanya
sepertiga yang positip, sedangkan tes mempunyai arti.
kulit tidak
dijumpai dan pertama sekali dilaporkan oleh Tanjung
mempunyalperan.
Dengan meningkatnya kewaspadaan terhadap penyakit ini, di samping adanya perbaikan serta kemajuan kriteria diagnosis dan teknik tes serologi, penyakit ini sudah mempunyai kriteria secara klinis, imunologis, radiologis yang tingkatnya dapat dari asma ringan sampai timbulnya fibrosis paru. Manifestasi klinis ABPA sangat bervariasi, berupa badan tidak enak, demam, sesak, sakit dada, wheezing, dahak yang purulen dan batuk darah. Berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratories dan serologis sudah dikenal 5 macam staging ABPAyaitu akut, remisi,
eksaserbasi berulang, asma dependen terhadap kortikosteroid dan fibrosis paru. Pada staging akut, pasien memberikan gejala demam, batuk, sesak, dan sulit mengeluarkan dahak. Laboratorium menunjukkanpeninggian serum IgE dan eosinofilia. Secara
2270
radiologi dapat dijumpai infiltrat di paru. Pada keadaan akut ini diberikan kortikosteroid sampai timbul remisi. Pada staging remisi, pasien tidak rriemberikan gejala sedangkan secara laborotorium menunjukkan penurunan
IgE dan eosinofil darah. Pemeriksaan radiologis menunjukkan resolusi infiltrat di paru. Tidak diperlukan kortikosteroid pemeliharaan. Pada staging eksaserbasi berulang, pasien dapat memberikan gejala asma yang memerlukan kortikosteroid jangka panjang. Laboratorium menunjukkan peningkatan
PIJLN'ONOI.OGI
sering tidak bisa sebagai diagnosis karena infeksi lain atau keadaan-keadaan lain dapat memberikanm gambaran yang sama. High resolution CT s can ja:uhlebih membantu untuk
diagnosis. Pada awal bisa dijumpai suatu nodul kecil di dasar pleura dengan suafu "halo sign" yaifu suatu area yang atenuasinya lemah mengelilingi lesi noduler tersebut.
Temuan selanjutnya berupa rongga dari lesi noduler tersebut berupa radiolusen seperti bulan sabit yang
menggambarkan jaringan paru yang
infark
dan
Aspergilosis Kronik Nekrotizing Penyakit ini merupakan bentuk antara aspergiloma
dan
kontraksi.
IgE sedangkan gambaran radiolo gis berubah-ubah. Pada staging fibrosis paru, pasien memberikan gejala sesak napas dan manifestasi fibrosis paru. Faal paru menunjukkan adanya obstruksi dan atau restriksi yang reversibel. Peninggian IgE menunjukkan aktivitas penyakit
masih berlanjut. Pemeriksaan radiologis menunjukkan ad,anya fibrosis paru. Pada staging ini diperlukan kortikosteroid j angka panj ang.
Aspergiloma
aspergilosis invasif. Pada penyakit ini, jamur tumbuh dan berkembang dalam suatu rongga udara yang tidak normal pada organ paru yang juga tidak normal. Infeksi menyebar secara perlahan, menembus dan menghancurkan daerah paru yang berdekatan, dijumpai lesi yang berongga pada lobus atas paru menyerupai gambaran tuberkulosis atau bisa infrlhat kronik yang berlanjut membentuk aspergiloma atau suatu lesi mulai sebagai aspergiloma dan menjadi
Aspergiloma ini biasanya terjadi pada pasien yang sudah mempunyai kelainan anatomis pada paru, misalnya ada kavitas karena tuberkulosis paru, bronkiektasis, abses paru, tumor paru. Pada penyakit ini temyata jamur tidak menembus sampai ke jaringan parenkimparu. Secara klinis,
invasifsecara lokal. Gejala yang ditimbulkannya dapat berupa sesak napas, batuk kronik, berdahak, berat badan menurun, keringat malam, demam, dan batuk darah intermiten
hemoptisis (batuk darah) merupakan gejala utama yang dapat masif sehingga mengancam jiwa pasien. Selain batuk darah dapat juga dijumpai gejala penyakit
DIAGNOSIS ASPERGILOSIS
dasarnya. Secara radiologis tampak kelompok hifa dan sporajamur
memberikan bayangan radioopak, sedangkan rongga kavitas radiolusen. Dengan demikian akan terlihat suatu bayangan bulat lonjong radioopak yang dikelilingi bayangan radiolusen yang disebut fungus ball.
Aspergilosis lnvasif Aspergilosis pneumonia merupakan penyakit infeksi jamur paru yang banyak dijumpai pada pasien yang mempunyai kelainan sel neutrofil baik dalam jumlah, fungsi atau keduanya. Apabila spora jamur terhirup oleh seseorang dengan gangguan sistim imun, maka dalam keadaan ini jamur dapat menimbulkan jaringan nekrosis yang tersebar di paru. Di samping itu timbul pula jaringan infark yang
multipel. Hal demikian menggambarkan adanya kecenderungan jamur aspergilus menyerbu pembuluh darah sehingga bisa menimbulkan abses di otak, hati, lesi dikulit, dan lainnya, tetapi 60Yo pasiennya penyakitnya hanya terlokalisasi di paru. Karena yang diserangnya pembuluh darah, bisa menyebabkan hemoptisis ringan atau perdarahan paru yang fatal. Secara klinis penyakit ini seperti infeksi paru akut, misalnya berupa demam, batuk dan sesak napas, kadangkadang disertai batuk darah dan nyeri pleura. Radiografr dada tidak normal pada 90% pasien, tetapi
Aspergilosis Bronkopulmoner Alergik (ABPA) ditegakkan berdasarkan kriteria yang terdiri atas : 1). asma, 2). eosinofilia (> 1000/mm3), 3). tes kulit positip terhadap A.Fumigatus, 4). presipitin antibodi terhadap Aspergilus, 5). radiologis adanya infi lhat, 6). serum Ig E total meninggi, 7). bronkiektasis proksimal dan 8. Ig E dan Ig G spesifik meninggi terhadap A.Fumigatus. Gambaran lain termasuk hasil kultur positip terhadap Aspergilus Fumigatus dan reaksi tes kulit tipe lambat positip.
Asperhgiloma, diagnosisnya ditegakkan secara radiologis. Dimana kelompok hifa dan spora jamur memberikan b ayanganradioopak, sehingga terlihat suatu
bayangan bulat lonjong radioopak yang dikelilingi bayangan radiolusen yang disebut fungus ball. Dengan CT scan, aspergiloma lebih mudah terlihat. Ig G antibodi terhadap antigen aspergilus di serum pasiennya hampir
semuanya positip. Diagnosis dugaan aspergilosis invasive sering dibuat berdasarkan dugaan klinis dan temuan radiologi terutama high resolution CT scan atau terdeteksinya antigen galactomannan di serum, tetapi
sensitivitasnyh rendah pada permulaan penyakit
dan positip palsu bisa terjadi terutama
pada
anak-anak. Diagnosis pasti dijumpainya hifa pada pemeriksaan histopatologi dan dipastikan dengan kultur dari spesimen tersebut.
227t
PEITYAKIT PARU KARENA JAMUR
Kandidosis
Infeksi pada paru diperkirakan terjadi setelah inhalasi
Penyakit ini disebabkan oleh jamur spesies kandida. Jamur kandida ini dapat hidup sebagai komensal dalam mulut, saluran cerna dan vagina, tetapi pada keadaan tertentu
jamur, kemudian terjadi trombosis pada pembuluh darah paru dan infark. Penulis telah mengisolasi 4 Mucor dan Rhizopus dari 60 pasien yang disangka mikosis paru,
dapat berubah menjadi patogen dan menyebabkan
sedang Pradono dkk di Jakarta telah mengisolasi dari dahak 2 Mucor dari254 kasus mikosis paru.
kandidosis. Di antara semuajamurkandida (7 spesies yang
terdapat pada manusia), Candida albicans dianggap
paling patogen dan menjadi penyebab terbanyak kandidosis. Di Medan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, juga didapatkan Candida albicans ini sebagai penyebab terbanyak mikosis paru. Bahkan pada pasien tuberkulosis paru yang diselidiki dijumpai sampai 36,36Yo, sedangkan dalam dahak pasien penyakit paru dijumpai
40,45oh, Oleh karena
itu sudah sepantasnya
mempertimbangkan adanya infeksi jamur (C.albicans) yang
menyertai pasien tuberkulosis paru. Infeksi jamur ini terbanyak terjadi secara endogen, walaupun infeksi eksogen dapat juga terjadi melalui inhalasi spora.
Manifestasi klinis kandidosis paru bisa berupa : . Jamur dapat hidup sebagai saprofit di saluran napas, misalnya pada penyakit paru kronik. . Kandidosis primer, timbul karena aspirasi jamur dari rongga mulut. Manifestasi klinis dapat berupa pneumonia atau dapat menyebar ke berbagai organ.
.
. .
Infeksi sistemik yang melibatkan berbagai organ. Primer umumnya berasal dari ekstra paru misalnya dari saluran pencemaan yang menyebar secara hematogen ke paru. Kelainan di paru berupa nodul dengan diameter sangat kecil sampai l0 mm. Selain ke paru, jamur dapat menyebarke hati, jantung, limpa, dan ginjal. Kadang-kadang berupa misetoma. Kandidosis bronkopulmoner alergi. Penulis di Medan baru mendapatkan I kasus dengan manifestasi sebagai
asma, tes kulit positip terhadap C.albicans, IgE meninggi, IgE spesifik terhadap C.albicans meninggi dan dijumpai C.albicans dalamjumlah banyak di dalam
Nokardiosis Penyakit ini disebabkan oleh Nocardia sp. N.astroides dijumpai diseluruh dunia di dalam tanah. Jamur ini bersifat aerob, gram positif, dan bakteri berfilamen yang bersifat tahan asam parsial. Kasus nokardiosis ini tidak banyak. Di Amerika Serikat kurang lebih 500- 1000 kasus per tahun, yang terbanyak disebabkan N.astroides. Sedangkan di
Indonesia tampaknya kasus ini juga sangat jarang dijumpai, terbukti Pradono dan Rasmin Rasyid berdasarkan survei yang dilakukan selama I tahun hanya mendapatkan I kasus. Sedangkan di Medan juga hanya didapatkan I kasus selamapenelitian 5 tahun. Baikkasus yang dijumpai oleh Pradono dan di Medan sama-sama telah diobati
sebagai tuberkulosis untuk bertahun-tahun. Ternyata dengan pengobatan selama beberapa bulan dengan obat sulfa tampak perbaikan. Diagnosis bisa dite gakkan berdasarkan dijumpainya Nokardia dalam dahak. Dan sekret bronkus pasien.
PENGOBATAN JAMUR PARU
. . .
dahak. Secara radiologis bisa dijumpai bercak-bercak segmental
atat adajuga berupa gambaran abses. Diagnosis dapat
.
dipastikan dengan biopsi paru. Namun, oleh karena biopsi paru berupa tindakan invasif yang berbahaya, maka dengan
ini anti jamur yang digunakan pada pengobatan mikosis sistemik adalah amfoterisin B, flusitosin, ketokonasol, itrakonasol dan flukonasol. Untuk infeksi jamur sistemik yang tidak mengancam jiwa, pilihan jatuh pada flukonasol. Bila flukonasol tidak aktif terhadap jamur penyebab, dipilih itrakonasol. Untuk infeksi jamur sistemikberat, mula-mula diberikan amfoterisin B sebagai terapi awal, kemudian baru diteruskan dengan flukonasol atau itrakonasol. Khusus terhadap aspergilosis bronkopulmoner alergik dan kandidosis bronkopulmoner alergik diberikan kortikosteroid oral. Pengobatan hendaknya dilanjutkan untuk beberapa bulan. Aspergilomatidakmemerlukanpengobatan,tetapibila terjadi batuk darah yang hebat dengan cadangan fungsi paru cukup memadai dilakukan operasi berupa reseksi Pada saat
dijumpainya kandida dalam jumlah banyak dan berulang dalam dahak dan sekret bronkus sudah memberi dugaan kuat bahwa jamur ini merupakan penyebab.
.
Mukormikosis
. Terapi histoplasmosis paru akut
paru.
Mukormikosis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh orde Mucorales yang terdiri atas Rhizopus, Absidia, Mortierella dan Mucor. Di alam, jamur ini cukup tersebar luas. Jamur ini jarang menimbulkan infeksi pada orang normal. Infeksi baru terjadi bila ada faktor predisposisi, berupa penyakit diabetes melitus, leukemia, gagal ginjal, atau luka bakar.
pada pasien
imunokompeten umumnya tidak diperlukan karena sembuh sendiri, kecuali pasien dengan demam persisten
lebih 3 minggu, gejala-gejala lebih I bulan, kelainan radiografi difus, arau hipoksemia bisa diberikan itrakonasol oral (200-400 mglhari), selama 6-l2minggu. Untuk histoplasmosis paru kronik atau diseminata lebih cocok dengan amfoterisin B deoksikolat (0,7-1,0 mgl
2272
PULMONOI.OGI
kf,han). Setelah terjadi perbaikan klinis ganti dengan itrakonasol oral 12-18 bulan. Pasien HIV atau
.
.
imunosupresi perlu terapi pemeliharaan itrakonasol oral (200 mg/hari). Formula lipid dari amfoterisin B (3 mg/kg,trari) bisa dipakai pada pasien tidak toleran terhadap amfoterisin B konvensional (Tabel 1). Pengobatan untuk aspergilosis dapat dilihat pada Tabel2.
Untuk penyakit paru karena kriptokokkosis pada pasien dengan imunosupresi beri amfoterisin B (0,7-1,0 mg/kg sehari) atau liposomal amfoterisin B (4-5 mgkgsehari) secara iv selama 2 minggu dan sampai gejala membaik, dilanjutkan flukonasol (400 mg,lhari) selama 8 minggu kemudian flukonasol (200 mg/hari) seumurhidup, atau sebagai altematifberi itrakonasol400 mglhari selama 8
minggu setelah pemberian amfoterisin B, kemudian 200 mg,/hari itrakonasol sebagai pemeliharaan, sedangkan
pada pasien yang normal sebelumnya bisa respon dengan flukonasol (400 mg/hari) selama 6-12 btlan, Jenis Penyakit Pulmonari akut Pulmonari kronik Diseminata Penderita imunokompeten, penyakitnya kurang berat Perburukan cepat, penyakit berat, terlibat susunan saraf pust, infeksi HIV atau imunokompromais lain
Pengobatan Lebih Cocok Tidak ada Itrakonazol Itrakonazol
Amfoterisin
Alternatif Amfoterisin Amfoterisin
B
. B B
Ganti ke itrakonazol setelah 2 minggu bila membaik dan stabil secara klinik
* Amfoterisin B diberikan i.v. : 0,5 mg/kg tiap hari selama 10-12 minggu. Dapat juga dipakai liposomal amfoterisin B i v (3-5 mg/kg tiap hari) Itrakonazol diberikan 2kali200 mg sehari selama 6-12 bulan, kecuali pada penderita AIDS diberikan seumur hidup. Pada histoplasmosis paru akut dapat diberikan itrakonazol (200 mg/hari) dengan maksud memperpendek perjalanan penyakit, walaupun efeknya belum teruji. (Dikutip dari Harrison's Principles of lnternal Medicine 16th ed,2005).
Jenispenyakit ["Jlfl""At:[ Fungus ball di paru Aspergilosis bronkopulmoner
Pembedahan
Glukokortikoid jangka pendek
Alternatif Untuk hemoptisis embolisasi Profi laksis itrakonasol
alergik
Aspergilosis invasif *
Varikonasol, liposomal atau amfoterisin B
Amfoterisin B koloidal dispersi atau kompleks lipid, itrakonasol, atau
konvensional
kaspofungin
'Dosis varikonasol i.v : 6 mg/kg 2 kali sehari untuk 2 dosis, kemudian 4 mg/kg 2 kali sehari kemudian 2 kali 200 mg oral. Dosis liposomal amfoterisin B i.v : 5 mg/kg sehari. Dosis Amfoterisin B konvensional i.v: 1,0-1,5 mg/kg sehari. Dosis amfoterisin B koloidal dispersi i.v:6 mg/kg sehari. Dosis amfoterisin B lipid kompleks i.v. : 5 mg/kg sehari Dosis itrakonasol i.v : 200 mg 2 kali sehari untuk 4 dosis, kemudian 200 mg sehari. Dosis kaspofungin : 70mg 1 kali, kemud-ian 50 mg sehari. (Dikutip dari Harrison's principle of internal medicine 16'" ed, 2005)
sebagai alternatifbisa dengan itrakonasol (400 mg/hari). Untuk kandidosis paru diberikan amfoterisin B i.v : 0,50,7 mgkgsehari selama 2-4 minggt,atau flukonasol.
REFERENSI Arth Nana. Pulmonary mycosis. Medical Progress 1995 ;22:75-23. Aini S. Antijamur sistemik. Farmakologik dan penggunaan terapi. Konas III PMKI Jakarta 1995.1-9. Bennet JE. Fungal and Algal Infectious in Kasper DL, Fauci AS, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, Harrison's Principles of Intemal Medicine editors, 16h ed, vol 1, The McGraw-Hill Companies, Inc USA, 2005;1176-86. Dietrich PJ, Pugin. Ragamey C. Disseminated histoplasmosis and AIDS in Switzerland. Lancet 1986;27:752 Fraser RG, Pare JAP, Pare PD, Fraser RS, Genereux GP Mycotic and antimycotic pleuropulmonary infection. In: Diagnosis of Disease ofthe Chest: 3d ed. Philadelphia: WB Saunders Co;1989.94010 16. Fishman JA. Fungal infections of the lung in Fishman AP, Ellas JA,
Fishman JA, Grippi MA, Kaisar LR, Senior RM editors, Fishman's Manual of Pulmonary Diseases and Disorders, 3'd ed, The McGraw-Hill Companies,Inc USA,2002;820-63. Frey D, Oldfield R, Britger RC. Colour Atlas of Pathogenic Fungy.l979.12-6.
Hy RC. Fungal infection. In: Medicine Intemational 1988;3: 22039
Horan TC, Culfer D, Jarvis W et al. Pathogens causing nosocomial infection. Preliminary data from the national nosocomial infection surveillance system. The Antimicrobe News Letters. September 1988;3:2-5.
Halde C, Hollander H. Infectious disease. Mycotic. In: Schroeder S, IGupp MA, Tierney R, McPhees (eds). Current Medical Diag-
nosis
&
Treatment. Int.Ed.Lange Medical Book;1989.995-
003. Irma SMD.Berbagai kasus histoplasmosis di Indonesia tahun 19321
Lama pengobatan yang optimal untuk aspergilosis invasiftidak diketahui, tetapi direkomendasikan sampai penyakitnya secara klinis sembuh. Dengan profilaksis itrakonasol oral2kali 200 mg sehari pada aspergilosis
bronkopulmoner alergik mengurangi pemakaian glukokortikoid dan eksaserbasi berkurang. Khusus terhadap aspergilosis bronkopulmoner alergik dan kandidosis bronkopulmoner alergik, diberikan kortikosteroid oral, pengobatan hendaknya diberikan beberapa bulan.
1988.Medika 1990,4(16) l2-8. Jan Susilo.Mikosis sistemik;penyakit yang semakin menonjol.Konas III PAMKI.Jakarta 1995 Pradono G, Chandrasasmita G, Soeprihatin SD, Sulaeman JR, Kartane gara D. Nocardiosis pulmonum. MKl. I 97 4 ;l -2 :2'7 2 - 5 Pradono Q Rasmin R, Soprihatin SD, Sulaeman JR, Kartanegara D. A survey on lung mycosis.MKl 1976 ;3-4:862-7 Pradono G Dumilah S.Jamur paru-paru dan pengobatarurya.KPPlK
X FKUI
1979;514-8
Proia LA, Fungal Pneumonias in Hanley ME, Wels CH, Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary Medicine, The McGrawHill Companies, Inc USA,2003 ;385-397.
2273
PENYAKIT PARU KARENA JAMUR
Rosihan
A, Tanjung A, Nasution K.Candida albicans dalam
dahak
yang disangka menimbulkan infeksi paru. Naskah lengkap KOPAPDI VI Jakarta 1984:1943-7 Susilo J, Kartanegara D. Isolasi histoplasma capsulatum dari kelelawar di Jawa barat.MKl, 1973;78:-122-3 Soubani AO, Chandrasekar PH. The clinical specfrum ofPulmonary
Aspergillosis, Chest 2002;
121 : 1988-99.
UCLA Conference:Mucormycosis.Ann
Intern Med I 980;
93
(Part
1):93-1 68. Tanjung A, Rosihan A, Janis J.Jamur dalam dahak pasien tuberculosiS paru.Naskah lengkap KOPAPDI VI Jakarta 1984:2001-5
Tanjung A.Mikosis paru infeksi jamur sistemik yang layak diperhatikan.Suatu penelitian deskriptif selama 5 tahun di Medan.Dalam briku Simposium Penetalaksaan Infeksi Jamur Terbaru: Medan;1993.1-12
Tanjung A, Rosihan A, Kamarul N.Penelitian jamur dari dahak pasien selama 3 tahun (1980-1982).Dalam: Kumpulan naskah lengkap
KONAS III IDPI;1983.178-82 Tanjung A.Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis.Dalam
:
Simposium Penyakit Alergi:Medan;1991.34-46. Tanjung A.Aspergillosis bronkopulmoner allergic'Dalam: Simposium Penatalaksaan Asma Secara Holistik dan Makalah Bebas:Manado; 1991. p.72-81. Tanjung A. Allergic bronchopulmonary aspergillosis earlier diagnosis is needed for preventing end stage fibrotic lung.In press l 995. Yonng RV, Atcom CZ, Eleve EA, Masterrali AV' Acute pulmonary
histoplasmosis
in the Isthmus of Panama. Arch Int
Med. I 957; 100:430-5
363 FIBROSIS KISTIK (CTSTIC FIBROSIS) Alwinsyah A, E.N. Keliat, Azhar Tanjung
heterogen dengan gambaran patobiologik yang
Kadar klor dalam keringat pasien Fibrosis Kistik > 60 mmoVl, dimana pada pasien non-klasik kadarnya lebih rendah (60-90 mmoVl) dibandingkan pada pasien yang klasik (90-l l0 mmol/l). Lebih dari itu, hasil tes kadang-
mencerminkan mutasi pada gen regulator transmembrana frbrosis kistik (cystis fibros is transmembrane conductance regulator: CFTR). Kelainan ini ditemukan sebagai penyakit multisistem. Keluhan dan gejala pertamanya secara khas terjadi
kadang borderline (40-59 mmoVl) atau normal (<40 mmol,4) pada bentuk yang non-klasik. Setahu kami di Indonesia fibrosis kistik ini belum pemah dilaporkan kasusnya, dan tulisan ini lebih difokuskan pada keterlibatan saluran napas.
PENDAHULUAN Fibrosis kistik adalah kelainan genetik yang bersifat resesif
masa anak-anak, tetapi sekitar 7oh pasiennya di AS didiagnosis dengan penyakit ini adalah orang dewasa. Karena perbaikan terapi, lebih dari 38o/o pasien saat ini dapat mencapai usia dewasa (usia 18 tahun) dan l.3o/o melewati umur 30 tahun. Rata-rata dapat hidup lebih 32 tahun untuk perempuan dan 29 tahun untuk laki-laki, sehingga fibrosis kistik ini tidak lagi hanya merupakan penyakit pediatri, tetapi internis juga harus siap mengenali dan menangani komplikasi yang banyak dari penyakit ini. Penyakit ini ditandai dengan infeksi saluran napas
PATOGENESIS Dasar genetika. Fibrosis kistik merupakan penyakit auto-
somal resesif akibat mutasi gen yang terletak pada kromosom 7. Mutasi gen tersebut menyebabkan hilangnya fenilamin pada rantai asam amino 508 (A F508) gen fibrosis
kistik, yang dikenal sebagai regulator transmdmbrana fibrosis kistik (CFTR). Prevalensinya bervariasi menurut asal etnik populasi. Di Amerika Utara dan Eropa Barat dari penduduk Kaukasia ditemui I dalam 3000 kelahiran hidup, dan I dalam 7000 kelahiran hidup orang AfrikaAmerika, dan I dalam 90000 kelahiran hidup orang Asia di Hawai.
kronik yang akhimya akan menimbulkan bronkiektasis serta bronkiolektasis, insufisensi kelenjar eksokrin pankreas dan disfungsi intestinal, fungsi kelenjar keringat yang abnormal dan disfungsi urogenital. Fibrosis kistik yang klasik mencerminkan kehilangan 2 fungsi mutasi pada gen CFTR dan mempunyai karakteristik adanya infeksi bakteri kronik pada saluran napas dan si-
Protein CFTR Protein CFTR merupakan rantai asam amino yang berfungsi sebagai saluran Ct diaturAMP siklik. Proses pembentukan CFTR seluruhnya ditemukan pada membran plasma epitel normal. Mutasi DF508 menyebabkan proses yang tidakbenar danpemecahan protein CFTR intraselular,
nus-sinus, gangguan percernaan lemak oleh karena kekurangan enzim eksokrin pankreas, kekurang-suburan pada laki-laki oleh karena azoospernia obstruktif dan peningkatan konsentrasi chlor dalam keringat.
sehingga tidak ditemukannya protein CFTR pada lokasi selular.
Pasien dengan fibrosis kistik yang non-klasik, mempunyai paling sedikit I salinan (copy) dari gen mutant yang memberikan sebagian dari fungsi protein CFTR dan pada beberapa pasien selalu tidak mempunyai tandatanda gangguan pencernaan yang nyata oleh karena adanya cadangan dari fungsi eksokrin pankreas.
Disfungsi epitel. Epitel yang dirusak oleh fibrosis kistik memperlihatkan f,rngsi yang berbeda, misalnya bersifat volume absorbsi (epitel saluran napas dan usus distal), bersifat volume sekretoris (pankreas) dan bersifat garam absorbsi tetapi tidak volume absorbsi (saluran keringat)
2274
2275
FIBROSIS KISTIK (CTS TIC EIAROSIS)
dimana pada kelenjar keringat konsentrasi Na* dan Cldisekresikan ke lumen kelenjar normal, tetapi epitel yang melapisi duktus kelenjar tidak permeabel terhadap Cl-. Keringat bergerak menuju ke permukaan, reabsorbsi normal Cl- melalui CFTR yang diikuti kation Na* terjadi kegagalan. Inilah yang bertanggung jawab terhadap konsentrasi NaCl yang tinggi di keringat pasien fibrosis kistik. Karena bermacam aktivitas ini, maka terjadilah efek berbeda terhadap penghantaran elektrolit dan air, tetapi semuajaringan yang rusak memperlihatkan aktivitas sahnan Cl- diat:tx camp yang abnormal.
Gambaran Patobiologik Obstruksi mukosa kelenjar eksokrin adalah kontributor utama untuk morbiditas dan mortalitas dari pasien dengan fibrosis kistik. Pada paru manusia, sekret yang tebal dan
lengket menyumbat saluran napas distal dan kelenjar submukosa. Pelebaran dari saluran kelenjar (dihubungkan dengan sumbatan oleh mucus) dan ditutupinya permukaan saluran napas oleh debris yang tebal, kental dan berupa mukopurulen yang mengandung banyak neutrofil adalah
merupakan gambaran patologi yang khas. Hiperplasia kelenjar submukosa sangat menonjol dan dikelilingi oleh inflamasi peribronkhial dan jaringan parut. Pelebaran lumen oleh mucus adalah satu dari perobahan awal pada paru bayi dan anak. Kuman patogen seperti Pseudomonas aeruginosa,
Burhholderia cepac{a, Staphylococcus aureus dan Haemophilus influenzae dapat berkembang dengan baik dalam secret saluran napas tersebut dan tidak mudah untuk di eradikasi. Radang paru adalah penyebab utama yang lain dari menunrnnya fungsi paru pada pasien fibrosis kistik dan mungkin akan menyebabkan infeksi kronis. Peningkatan kadar interleukin-8, interleukin-6, tumor nekrosis faktor cr dan leukotrien B4, bersamaan dengan menunrnnya kadar anti-inflamasi sitokin dan protease dijumpai pada saluran napas pasien dengan frbrosis kistik.
Tidak adanya aktivitas CFTR normal pada pasien fibrosis kistik juga membuat penyumbatan pada organorgan lain. Sekret yang tebal dalam saluran pankreas menyebabkan fibrosis kronik dan kelenjar ditempati oleh lemak atau keduanya. Kira-kira 10% pasien lahir dengan obstruksi usus (meconium ileus), suatu kondisi yang fatal apabila terlambat diobati. Laki-laki dengan penyakit ini sering menjadi mandul oleh karena obstruksi kelenjar darivas deferens sewaktu dalam rahim, yang mana menyebabkan involusi dari duc-
Obstruksi bile canaliculi sering menyebabkan kerusakan hati dan pada beberapa pasien dijumpai sirosis. Telah ada kesepakatan yang luas bahwa defek pada
transport ion, homeostasis garam atau keduanya mempunyai kaitan yang erat untuk terjadinya kerusakan organ pada fibrosis kistik. Dasar molekuler yang pasti untuk hubungan ini belum diketahui. Sebaliknya, kelenjar keringat pada pasien fibrosis kistik yang selalu tidak mengalami obstruksi atau menunjukkan kelainan patologis utama, telah menunjukkan bahwa kelainan homeostasis NaC 1 telah dimengerti dengan baik. Pada kelenj ar keringat manusia, setelah dihasilkan oleh kelenjar, lalu disalurkan ke saluran keringat dan kemudian muncul di atas permukaan kulit. Dalam kondisi normal, Na (diikuti oleh
ion Cl) diabsorbsi kembali dari lumen saluran, melalui channel Na dan CFTR. Pada pasien fibrosis kistik, tidak berfungsinya CFTR, mencegah reabsorbsi Cl, oleh karena itu mambatasi jumlah garamyatgdapat diambil kembali. Oleh karena tidak adanya jalan lain untuk reabsorbsi Cl secara efektif dalam saluran, inaka Na juga diabsorbsi secarajelek, dan keringat yang muncul di atas permukaan kulit berisi garam yang berkadar tinggi. Denganjalan yang sama, pada fibrosis kistik, beda potensial antar epitel yang melintasi saluran keringat (voltase antar epitel lumen adalah negatif) adalah 2 sampai 3 kali dari nilai normal. Peningkatan
tegangan permukaan negatif lumen disebabkan oleh ketidak mampuan untuk mengabsorbsi kembali Cl di samping keberadaan yang terus menerus dari mekanisme untuk pengambilan Na. Kelainan dari metabolisme garam dan cairanjuga telah
diuji
secara invivo pada manusia. Knowles dkk, mempopulerkan satu metode untuk mengukur beda potensial antar epitel yang melewati saluran napas pada manusia dengan memakai superperfusi mukosa. Dalam keadaan kondisi basal, beda potensial antar epitel oleh karena pengambilan Na, 2 sampai 3 kali lebih besar pada pasien fibrosis kistik dari pada orang yang tanpa penyakit ini. Epitel permukaan paru pada fibrosis kistik mempunyai keadaan yang berbeda dengan saluran keringat. Dalam keadaan tidak adanya CFTR menyebabkan absorbsi Na menjadi sangat aktif melalui channel Na epitel. Tegangan permukaan mukosa mdadi lebih negatif oleh karena secara
keseluruhan permeabilitas Cl lebih rendah dari Na. Walaupun demikian, oleh karena permeabilitas ion Cl (melalui jalurpengambilan ion Cl, bukan CFTR) yangada
di paru, maka hasilnya adalah peningkatan yang relatif dari absorpsi Na, Cl dan cairan. Peningkatan ini menyebabkan dehidrasi dari permukaan saluran napas, yang berakibat transport mukosiliernya terganggu.
tus wolffian-, vas deferens dan organ-organ yang berhubungan. Mutasi CFTR juga dapat menyebabkan kemandulan pada laki-laki normal yang lain sebagai akibat dari varian fibrosis kistik yang disebut dengan tidak adanya
MANIFESTASI KLINIS
vas deferens bilateral yang dibawa lahir (congenital bilateral absence ofthe vas deferens).
Manifestasi klinis dari fibrosis kistik merupakan gambaran
dari kelainan multisistem, walaupun keterlibatan paru
2276
PUIIUONOIOGI
adalah dominan, dan sering dihubungkan dengan kematian pada pasien ini. Pasien mengeluh batuk yang kronik dan
berdahak, dan sering berulang, mengambarkan infeksi saluran napas yang memburuk. Selama fase eksaserbasi ini, batuk menjadi lebih parah dan dahak makin banyak dan purulen dan kadang-kadang bercampur darah. Pada keadaan ini, juga sering dijumpai anoreksia, berat badan menurun dan demam. Faal paru terganggu dan dijumpai sesak napas. Akhirnya, keadaan ini akan menyebabkan hipertensi paru dan kor pulmonal, diikuti gagal napas dan
Pasien yang tidak khas sering tidak mempunyai keluhan
gastrointestinal yang khas dan mungkin tanpa keluhan paru. Mereka menunjukkan gejala pankreatitis, tidak adanya vas deferens secara kongenital dengan azoospermia dan polip hidung. Untuk pasien yang diduga fibrosis kistik, maka diagnosis harus dipastikan dan konseling genetik harus dilakukan. Pada pasien yang lain diagnosis fibrosis kistik harus disingkirkan semampu mungkin, walaupun ini sering sangat sulit dan kadang-kadang tidak mungkin.
kematian.
Masalah paru yang lain yang dapat dijumpai pada pasien ini adalah pneumotoraks dan hemoptisis. Allergic bronchopulmonary asp ergllosls (ABPA) sering dijumpai pada pasien ini; adanya mengi dan bukti adanya obstruksi
Uji keringat. Pemeriksaan konsentrasi Cl dalam keringat adalah merupakan pemeriksaan standar. Uji yang
saluran napas yang reversibel pada tes faal paru
menunjukkan positif kuat (Cl' 80 mmoUl), bersama dengan
merupakan kunci penting adanya ABPA. Komplikasi saluran napas bagian atas termasuk sinusitis dan polip hidung sering dijumpai pada pasieq dewasa. Manifestasi kelainan diluar paru yang sering dijumpai adalah malabsorbsi oleh karena kekurangan eksokrin pankreas. Kelainan lain yang dapat dijumpai adalah diabetes melifus, pankreatitis, obstruksi usus, intususepsi, kolelitiasis, sirosis bilier dan azoospermia.
manifestasi klinis yang khas, memastikan diagnosa.
Pemeriksaan Fisis Pasien biasanya kurus. Toraks sering berbentuk tong (barrel chest), menggambarkan keadaan paru yang hiperinflasi. Secara auskultasi dijumpai adanya ronkhi terutama pada
bagian apex. Mengi mungkin dijumpai, disebabkan oleh sumbatan mekanis saluran napas oleh mukus atau oleh karena spasme bronkus. Pasien terlihat memakai otot-otot bantu pernapasan, sianosis, bukti adanya hipertensi paru dan tanda dari gagal jantung kanan, menunjukkan kelainan paru sudah sangat lanjut.
DIAGNOSIS FIBROSIS KISTIK
Kriteria diagnosis yang baku untuk fibrosis kistik yang klasik telah dibakukan, yakni : peningkatan konsentrasi yang menetap dari elektrolit pada kelenjar keringat ditambah
dengan gambaran klinis yang khas (tipe gastrointestinal atau tipe paru dan kadang-kadang azoospermia obstruktif) ata.u adanya
riwayat famili. Beberapa pasien dengan
gambaran klinis yang disangkakan dan ada 2 gen CFTR dengan fungsi yang tak normal terlihat seperti fibrosis kistik tapi dengan kriteria klasik yang tak lengkap (contoh : uji keringat, normal). Jika seluruh kriteria dijumpai, maka
diagnosis dapat ditegakkan, walaupun demikian, bila seluruh kriteria tidak dijumpai, maka diagnosis belum dapat disingkirkan. Pada banyak pasien dengan penyakit yang tidak khas, termasuk yang dijumpai pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, diagnosis menjadi lebih sulit.
Uji Laboratorium
Kebanyakan pasien dengan kadar Cl 60-79 mmol./I, kadangkadang dengan kadar abnormal yang minimal (40-59 mmoU I pada anak-anak dan sedikit lebih tinggi pada dewasa), dan kadang-kadang beberapa dengan kadar yang normal mungkin juga menderita fibrosis kistik. Keadaan-keadaan lain yang juga harus dibedakan dari fibrosis kistik yang juga dapat meningkatkan elektrolit keringat, antara lain hipotiroid, insufi siensi adrenal, dan malnutrisi. Foto toraks. Foto toraks menunjukkan hiperinflasi, dengan diafragma yang mendatar. Dinding bronkus menebal, yang dalam potongan melintang terlihat seperti cincin, dan dalam posisi longitudinal terlihat seperti garis yang paralel. Pada penyakit yang lebih lanjut, perubahan-perubahan kistik akan dijumpai dan sering dijumpai pada lobus atas. Jika kista penuh berisi pus, gambaran kista akan terlihat sebagai
nodul.
Uji faal paru. Gambaran obstruktif merupakan gambaran yang khas. Sering, volume residu meningkat, mencerminkan
udara yang terperangkap. Kapasitas difusi tetap normal dan akan menurun bila penyakit sudah dalam tahap lanjut. Analisa gas darah arteri normal pada penyakit yang ringan, tapi akan muncul hipoksemia yang progresif oleh karena garggtan faal parq hiperkapnia dijumpai dalam fase lanjut.
Genotyping. Walaupun dapat menambah bukti penting, genotyping sendiri tidak menetapkan atau menyingkirkan diagnosis. Telah diketahui, paling sedikit 500 mutasi CFTR telah dihubungkan dengan fibrosis kistik. Uji komersial yang tersedia hanyauntuk 70 mutasi. Walaupun mutasi yang 70 ini dapat dipakaiuntukmengidentifikasi lebih dari 90% dari seluruh gen fibrosis kistik, kegagalan untuk menemukan 2 gen abnormal tidak menyingkirkan penyakit, karena kirakira I % dari mereka yang menderita penyakit ini tidak dapat dijumpai genyang abnormal, danpadakira-kira 18% lebih, hanya 1 gen abnormal yar,gdapatdiidentifikasi. Jadi, fibrosis kistik tidak dapat didiagnosis tanpa adanya manifestasi klinis yang khas atau adanya riwayat
2277
FTBRGItrI IgSTtr(
keluarga. Kombinasi dari 2 mutasi fibrosis kistik ditambah kadar yang abnormal dari elektrolit keringat, secara umum diterima untuk menegakkan diagnosis'
adanya infeksi walau kultur negatif.
Analisa semen. Azoospermia obstruktif adalah bukti yang
elektrode yang dipasang di lengan dan di cavum nasi. Tes ini tidak boleh dilakukan bila ada infeksi akut. Diukur voltase (normal -24,7 t 0,9 mY;abnormal -53 + 1,8 mV) dihubungkan dengan perpindahan Na melewati selaput sel, yang menjadi tidak normal kalau ada mutan
kuat dari fibrosis kistik. Lri harus dikonfirmasi dengan dengan
biopsi testis, dan harus tidak ada penjelasan lain untuk keadaan azoospermia tersebut (misalnya vasektomi). Pada kasus-kasus yangjarang, meskipun demikian, pasien dengan
fibrosis kistik mempunyai penyakit tipe paru tetapi mempunyai spermayang normal atau oligospermia. Sebagai
tambahan, Sindrom Young dapat juga menyebabkan penyakit paru dan azoospermia.
Foto sinus. Pansinusitis adalah sering dijumpai pada
kisti(
oleh karena ini tidak biasapada anak-anak atau dewasa muda, keadaan ini sangat menyokong diagnosis fibrosis kistik atau kelainan imunologi lain. Sinus yang normal pada foto adalah sangat kuat walau bukan absolut, bukti bahwa tidak dijumpainya fibrosis kistik.
fibrosis
Uji fungsi kelenjar eksokrin. Klinisi
sering menjumpai
Pengukuran beda potensial nasal. Pengukuran ini dilakukan dengan mengukur beda potensial attara
dari CFTR. Pemeriksaan diulang setelah perfusi mukosa dengan amiloride, yang akan memblok channel Na epitel, menyebabkan beda potensial turun secara tajam,
yakni lebih besar pada pasien fibrosis kistik (73%) dari pada orang normal (s3%).Perfusi cairanbebas Cl dan isoproterenol secara noflnal akan meningkatkan secara tajam beda potensial (kira-kira 30 mV) tetapi mempunyai
efek yang kecil pada pasien dimana fungsi CFTR tidak normal. Pengukuran beda potensial nasal (termasuk respons terhadap amiloride, cairan bebas Cl, dan isoproterenol) yang menunjukkan fungsi CFTRyang tidak normal lebih dipercaya dari pada uji keringat.
pasien dengan keluhan dan tanda malnutrisi pada pasien fibrosis kistik dan respon pasien sangat baik dengan pemberian enzim pankreas. Hal ini menjadi bukti
PENGOBATAN
tambahan tentang adanya kekurangan eksokrin pankreas. Hasil uji tidak langsung (absorbsi asam paraaminobenzoat,kadar enzim dalam feses, kadar karoten serum, kadar kuantitatif lemak dalam feses dan USG pankreas) dapat menolong diagnosis. Meskipun demikian, standar emas (intubasi, isolasi saluran pankreas dan analisa dari sekresi sebelum dan
sesudah perangsangan dengan sekretin dan
kolesistokinin) mungkin diperlukan untuk mendeteksi kelainan yang lebih detail.
Antibiotika. Pasien fibrosis kistik sering mengalami infeksi yang berulang, yang dapat dilihat dengan peningkatan keluhan dan gejala. Antibiotika yang benar dengan dosis yang tepat yang biasanya terdi i dai 2 antibiotika diberikan secara parenteral selama 14-21 hari, ditambah dengan pembersihan saluran napas dan pemberian bronkodilator' Respon terhadap pengobatan terlihat dengan membaiknya faal paru, menurunnya jumlah bakteri dalam dahak dan pasien merasa lebih baik. Karena Pseudomonas aeroginosa sering merupakan
Bronchoalveolur Lavage (BAL). Inflamasi dari saluran
kuman penyebab, maka antibiotika pilihan adalah
napas umrumya dijumpai pada bayi dan anak yang lebih tua pada pasien fibrosis kistik, dimana tidak ada bukti yang lain
kombinasi penisilin semi sintetik atau sefalosporin generasi
selalu menunjukkan persentase yang
tinggi
dari infeksi. BAL dari neufiofil () 50% pada pasien frbrosis kistih dibandingkan dengan kira-kira 3%o pada oratgnormal) dan jumlah neutofil sangat tinggi. Diagrosis BAL tidak perlu dilakukan pada pasien dengan keluhan yang berat. Meskipun demikian, pada
pasien yang klinisnya yang tidak khas (pankreatitis atau azoospermia) tetapi tanpa penyakit paru y angnyata, adanya neutrofil dalam jumlah besar dalam cairan lavage, walaupun tidak dijumpainyabakteri patogen, adalah bukti kuat adanya
fibrosis kistik. Ditemukannya Pseudomonas aeroginosa, yang mana mungkin pertama kali dideteksi dalam BAL, juga
menyokong diagnosis. Tes tidak langsung untuk inflamasi saluran napas tidak berguna, walaupun kadar IgG terhadap pseudomonas dan kompleks-kompleks yang lain dalam serum, mungkin berguna. Kadar antibodi terhadap pseudomonas yang meninggi dalam serum dapat dipakai untuk menduga
III
dan aminoglikosida.
Banyak pasien dengan fibrosis kistik, diberikan antibiotika dalam jangka patjang untuk menurunkan frekwensi berulangnya infeksi paru dan menurunkan progresivitas dari obstruksi paru. Antibiotika diberikan secara oral dan siprofloksasin sering dipakai.
Bronkodilator. p2-agonis dan anti-kolinergik memperbaiki ekspirasi, dan kalau diberikan secara bersamaan, akatr memberikan efek potensiasi' Obat-obat ini juga diberi pada keadaan eksaserbasi.
Steroid. Pada anak usia l-12 tahun, ada manfaat dengan pemberian prednison dosis tinggi (3 mg/kgBB). Tetapi oleh
karena efek samping seperti gangguan pertumbuhan,
gangguan metabolsme glukosa, maka pengobatan jangka panjang tidak dianjurkan, walau untuk jangka pendek masih ada tempat. Pemberian selama 12 minggu prednisolon, memperbaiki faalparu.
2278
Menurunkan Kekentalan Dahak. Kekentalan sekresi saluran napas pada fibrosis kistik disebabkan pertama-tama
oleh karena banyaknya PMNL (neutrohl) dan hasil-hasil pemecahannya. DNA dari neutrofil yang mati juga akan
meningkatkan kekentalan dahak. Recombinant human desoxyribonuclease I (rhDNase I) yang dapat memakan DNA ekstraselular menurunkan kekentalan spufum secara in vitro. Pemberian selama l0 hari, akan memberikan perbaikan FEV I pada I 4yo pasien dibanding plasebo. Juga pemberian rhDNase sekali sehari
dihubungkan dengan menurunnya risiko eksaserbasi yang memerlukan antibiotika iv pada 28oZ kasus danpada3Toh kasus yang mendapat dua kali sehari. Pengobatan gen. Fibrosis kistik adalah kelainan gen resesif
yang merupakan target potensial untuk pengobatan penggantian gen. Uji-uji klinis telah dilakukan untuk hal ini, tapi hasilnya belum memuaskan.
Modulasi farmakologi dari transport ion. Hasil defek fisiologis yang dihubungkan dengan gen CFTR yang abnormal adalah kombinasi dari kurang baiknya sekresi Cl yang diatur dan absorbsi yang berlebihan dari Na yang mengakibatkan absorbsi air secara pasif dari saluran napas
manusia. Dua pendekatan farmakologi-menghambat absorbsi Na dan mengaktifkan channel Cl altematif -telah ditemukan untuk menormalkan defek transporl. Menghambat absorbsi Na. Amiloride yakni suatu
antagonis channel Na, menghambat absorbsi Na yang berlebihan. Obat ini hanya bekerja dengan baik didaerah apeks dibanding bagian paru yang lain.Untuk itu, obat ini diberikan secara aerosol untuk mencapai apeks. Oleh karena amiloride ini cepat dibersihkan dari saluran napas manusia, maka harus diberikan paling sedikit 4 kali sehari, untuk rnempertahankan konsentrasi efektif dipermukaan saluran napas apeks paru.
Aktivasi dari channel Cl alternatif. Obat-obat yang merangsang sekresi CI lewat jalan yang tidak tergantung pada oAMP juga dapat digunakan pada pasien fibrosis
kistik. Untuk mengaktifl
Pt,,I.MqtU.GI
mencapai permukaan sel saluran napas apeks paru. Hasil yang maksimal akan didapat bila diberikan secara bersaman dengan amiloride.
Beberapa nucleotide triphosphate (UTp : uridine triphosphat dan AIP) merangsang sekresi Cl dengan mengaktifkan reseptor P2. Pada pasien fibrosis kistik, pemberian amiloride pada selaput hidung yang diikuti oleh peningkatan konsenlrasi UTP danAIP akan menginduksi sekresi Cl dan meningkatkan beda potensial transepitel.
Fisioterapi. Dahak yang purulen dan kental pada pasien fibrosis kistik akan membuat obstruksi salurannapas. Untuk
membersihkan sekret pada saluran napas ini, dapat dilakukan dengan fisioterapi dengan cara drainase postural, perkusi dinding dada, latihan napas dan olahraga.
Walaupun hal
ini
dapat memperbaiki faal paru tetapi
memerlukan waktu dan harus dilakukan oleh tenagayang
terlatih.
REFERENSI Boucher RC. Cystic Fibrosis. In: Kasper DL, Fouci AS, Longo DL. Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL editors. Harrison's principles of Intemal Medicine 16s ed, Vo1.2, McGraw Hill, Inc;2005. 1s43 - 46. Field S. Cystic Fibrosis In : Fishman AP editor. Pulmonary Disease and Disorders, 2nd ed, McGrow-Hill; 2000, 192 - 9g Greening AP. Cystic Fibrosis. In : Seaton A, Seaton D, Leitch AG editors Crofton and Douglas's Respiratory Disease II., 5,b ed, Blackwell Sciences; 2000, 839 - 58.
Knowles MR, Durie PR . What is cystic fibrosis. N Eng J Med;
2002;347:439
42.
Kumar V, Cotran R, Robbin SL. Genetic and Pediatric Diseases. In : Basic Pathology, 6,h ed, WB Saunders Company, USA, 1997: 207 - 08. Stern RC. The diagnosis of cystic fibrosis. N Eng JMed 1997; 336:
487
91.
Ramsey BW. Management of pulmonary disease in patient with cystic fibrosis. N Eng JMed 1996; 335: t79 - 87. Rowe SM, Miller S, Sorscher EJ. Cystic fibrosis. N Eng J Med
1996;352:1992.2O01.
364 PNEUMONITIS DAN PENYAKIT PARU LINGKUNGAN Pasiyan Rahmatullah
DEFINISI
Istilah pneumonitis perlu dibedakan pengertianty
a
dengan pneumonia. Pneumonia adalah proses radang pada
parenkim paru, bagian distal bronkiolus terminalis, mencakup bronkiolus respiratorius, alveolus dan intersti-
tium, serta menimbulkan konsolidasi dan gangguan pertukaran gas setempat. Pada pemeriksaan histologis menunjukkan gambaran pneumonitis atau reaksi inflamasi berupa alveolitis dan pengumpulan eksudat oleh berbagai
dan nonmacam penyebab (mikroorganisme .dalam
j angka waktu mikroorganisme) dan berlangsung apabila proses lazim dipakai pneumonia bervariasi. Istilah (penyebabnya akut infeksi oleh radang tadi disebabkan apabila dipakai pneumonitis sedangkan mikroorganisme), non-mikroorganisme oleh proses radang disebabkan (proses noninfeksi) meskipun tidak selalu demikian. Pada proses infeksi akut, bila infeksinya teratasi akan terjadi resolusi dan struktur paru normal kembali' Pada pneumonia nekrotikans (disebabkan oleh Stafrlokokus atau kuman gram negatif) agak lain, sesudah resolusi meninggalkan
sisa jaringan parut atau fibrosis. Pneumonitis bisa berlangsung akut maupun kronis, umurnnya berlangsung
kronis dan bila pengobatannya tidak tuntas dapat timbul fibrosis interstitial.
Penyakit paru lingkungan adalah berbagai jenis
dan mempunyai ciri dimana penyakit tersebut mengalami eksaserbasi atau memberat saat individu berada di tempat ke{a dan berkurang atau hilang saat meninggalkan tempat kerja disebut penyakit paru kerja. Contoh, serangan asma
bronkial selalu timbul saat individu berada di tempat kerja dan hilang (berkurang) setelah meninggalkan tempat tersebut, disebut asma kerja (occupational asthma). Ada yang mengusulkan nama Penyakit Paru Lingkungan Kerja (PPLK) atau Penyakit Paru Kerja Lingkungan @PKL), yaitu penyakit paru yang disebabkan atau menjadi memberat apabila individu mendapat paparar. udara yang tercemar di tempat kerja atau lingkungan. Ada berbagai cara untuk mengklasifikasikan penyakit paru ligkungan, misalnya pembagian menurut tipe paparan bahan-bahan yang mencemari udara lingkungan : 1). debu mineral (asbes, silika, batu bara), 2). debu metal (berilium,
nikel, kobalt, aluminium), 3). gas inorganik (karbon monoksida, klorin, nitrogen oksida), dan 4). faktor-faktor biologis/organik (serpih binatang, kuman, jamur dan
sebagainya). Klasifikasi menurut tipe paparan bahan pencemar menggambarkan bahan penyebab (c aus ative agents) penyakit paru lingkungan yang dihadapi. Bagi klinisi yang penting adalah klasifikasi penyakit paru lingkungan berdasarkan manifestasi klinik penyakit serta menentukan faktor penyebabnya. Klasifikasi klinik penyakit paru lingkungandapat dilihat pada Tabel 1.
penyakit paru yang terjadi akibat individu-individu yang hidup di area lingkungan tertentu menghirup udara ambien yang telah tercemari oleh bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan (beberapa macam gas, partikel, bahan-bahan toksis, berbagai macam debu dan sebagainya). Lingkungan tertentu tadi termasuk tempat kerja bagi para pekerja suatu pabrik dimana pabrik tersebut mengeluarkan bahan-bahan yang mencemari lingkungankerja' Penyakit paru tertentu
RIWAYAT DAN KELAINAN FISIK
Individu yang bisa terkena atau menderita penyakit paru lingkungan adalah semua individu yang tinggal di sekitar pabrik atau sebagai pekerja pabrik menghirup udara yang sudah tercemari oleh berbagai polutan yang dikeluarkan
2280
RJIil(NIoI.OGI
Jenis Penyakit Paru lritasi saluran napas atas Gangguan saluran napas Asma kerja Sensitisasi : Berat molekul rendah Berat molekul tinggi OIeh iritan Byssinosis Efek debu padi Jejas inhalasi akut : Pneumonitis toksik Demam uap logam Demam uap polimer lnhalasi asap Pneumonitis hipersensitif
-
-
Agent Penyebab yang Tepat gas iritan, pelarut (so/vent) :
diisosianat, anhidrid, debu kayu alergen asal binatang, lateks gas - gas iritan debu kapas debu padi, gandum gas - gas iritan, debu logam metal oksida (Zn, Co) plastik produk pembakaran bakteri, jamur, protein hewan
lnfeksi paru Pneumoconiosis
tuberkulosis, virus, bakteri asbes, silika, batu bara, kobalt.
Keganasan : Kanker sinonasal Kanker paru Mesotelioma
debu kayu asbestos, radon asbestos
-
oleh pabrik tersebut selama aktivitas produksi. Respons paru terhadap pencemaran udara napas tadi bervariasi karena ada berbagai faktor (risiko) ikut berpengaruh. Demikianpula perjalanan penyakit maupun kelainan fisik yang terj adi juga bervariasi tergantung beberapa. faktor. Seperti diketahui bahwa ada beberapa faktor determinan etiologi dari penyakit paru lingkungan : l). Jenis polutan (gas, asap, debu inorganik dan organik, bahan toksis dan sebagainya), 2). Intensitas dan lamanya paparan dan 3). Konsentrasi bahan polutan di udara lingkungan/tempat
kerja. Pada pneumokoniosis sebagai determinan etiologinya ialah : l).ukuran partikel debu, yaitu hanya partikel debu yang mempunyai ukuran 0,3 sampai 0,5 Fm yang bisa mencapai alveoli, 2). struktur kimiawi debu, 3). Konsentrasinya di udara lingkungan, 4). Lamanya paparan
dan 5).Suseptibilitas individu terhadap debu inorganik tertentu yang menjadi penyebab. Umumnya penyakit paru lingkungan berlangsung kronis menetap kadang-kadang sulit diketahui kapan mulainya, terpapar oleh polutan jenis apaatau saat pekerja bekerja dibagian mana dari tempat kerjanya mendapatkan paparan. Lebih-lebih kalau pekerjajuga seorang perokok. Pasien umumnya mengeluh sesak napas, batuk-batuk, mengi, batuk mengeluarkan dahak. Pasien penyakit paru ke{a umumnya mengeluh penyakit paru (asma) timbul atau makin berat apabila ia berada di tempat kerja dan mengurang lagi apabila keluar dari tempat tersebut. Karena polutan berefek tidak hanya pada paru tetapi juga pada organ di luar paru, maka pasien juga bisa mengeluh akibat proses-proses di luar paru yang mungkin timbul. Kelainan fisis paru yang dijumpai pada pemeriksaan fisis pasien adalah bervariasi, mengingat perubahan fisis individu terpapar debu inorganik dapat bervariasi. Hal ini
jelas karena debu inorganik yang dikeluarkan oleh suatu pabrik suatu saat dapat bermacam-macam komposisinya, dan suatujenis polutanjuga dapat direspons olehjaringan paru juga dapat bermacam-macam kelainannya. Kelainan fisis yang ditemukan pada pasien penyakit paru lingkungan yang sering dijumpai misalnya: . Suara mengi, ekspirasi diperpanjang, ronki kering
menggambarkan adanya obstruksi saluran napas
. .
(misalnya pada PPOK, asma). Ronki basah, batuk dan demam, menggambarkan adanya infiltrat (pneumonia/pneumonitis). Keredupan sebagian toraks, retraksi interkosta, suara napas mengurang, mungkin terdapat fibrosis paru.
PENDEKATAN DIAGNOSIS Pendekatan diagnosis pada pasien dengan penyakit paru
lingkungan maupun penyakit paru kerja memerlukan aktivitas proses diagnosis yanglazim, yaitu meliputi anamnesis secara sistematik, lengkap dan terarah, pemeriksaan fisis dan beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan.
Anamnesis Dalam penegakan diagrosis penyakit paru lingkungan atau
penyakit paru kerja, maka anamnesis tentang riwayat pekerjaan atau lingkungan merupakan suatu alatyallrg amat berguna dalam menentukan apakah suatu problem respirasi ada hubungannya dengan suatu paparan debu tertentu.
Pertanyaan pada anamnesis harus sistematis, lengkap (detil), kronologis. Anamnesis meliputi pertanyaan tentang : . Riwayat penyakit paru dan kesehatan umum - Adanya keluhan : sesak napas, batuk-batuk, batuk berdahak, napas berbunyi (mengi), kesulitan napas. - Adanyariwayatmerokolgjenis rokok, jurnlahrokok yang dikonsumsi rerata tiap hari. - Problempemapasan sebelumnya, obat-obatanyang dikonsumsi. - Bagi pekerja apakah ada hari-hari tidak dapat masuk kerja dan apa alasannya.
-
.
ada hubungan dengan pekerjaan.
Riwayat penyakit dahulu
-
.
Kapan keluhan-keluhan di atas mulai dan apakah
Apakah sebelumnya menderita : asma, atopi, penyakit kardiorespirasi. Paparan bahan-bahan yang pernah diterimanya : kebisingan, getaran, radiasi, zat-zatkimiawi, asbes dan sebagainya.
Riwayatpekerjaan - Daftar pekedaan yang pernah dialami sejak awal (kronologis). - Aktivitas kerja dan material yang digunakan tiap
FIBROSIS KISTIK
(CYS
posisi (bagian tugas).
-
Lama dan intensitas paparan bahan pada tiap posisi kerja.
-
2281
T'C IIBROSIS)
Alat proteksi kerja yang digunakan (respirator, sarung tangan, baju pelindung kerja dan sebagainya). Kecukupan ventilasi ruang ke{a. Selain seorang pekerja apakah pekerja-pekerja lain
juga terkena papatan' dan berefek pada kesehatannya. Tugas tambahan lain yang dialami. Paparan lain (yaug dialami) di luar tempat ke{a Penyakitpenyakit yang pemah diderita (laonologis) yang ada hubungannya dengan paparan bahan di tempat ker{a atau lingkungan.
Tes provokasi untuk menentukan diagnosis asma kerja mengunakan paparan bahan yang dicurigai sebagai pemicu serangan merupakan baku emas diagnosis asma kerja. Uji latih jantung paru dapat dilakukanuntuk menilai gangguan fungsi dan progresivitas penyakit pada pasien dengan penyakit paru kerja tertentu. Selain itu juga dapat dipakai untuk menentukan penyebab sesak napas, apakah dari paru, jantung atau penyebab lainnya.
Bronkoskopi. Yang dilakukan adalah bronkoskopi dengan transbronkial biopsi atau lavase bronkoalveolar dapat membantu dalam diagnosis penyakit paru kerja. Biopsi transbronkial untuk mengambil spesimen untuk diagnosis pneumonitis atau fibrosis interstitial, proses granulomatosa interstitial (sarkoidosis, beriliosis, pneumonitis hipersensitif, proses keganasan dan sebagainya). Bahan dari lavase
bronko-alveolar dapat dipakai untuk mendeteksi (enis)
Pemeriksaan Fisis
partikel debu penyebab penyakit paru kerja.
Periksalah seluruhtubuh, termasuk: a). Paru :suara mengi, ekspirasi diperpanjang, ronki kering, ronki basah dan ada daerah dadayang retraksi (saat inspirasi), b)' Jantung
Tes khusus. Tes serologis ataupun tes
icoronary artery disease, gagaljantung kongestif, c). Lainnya : obesitas, keadaan neuromuskuloskeletal, jari
hipersensitif dan berylliosis bukan penyakit atopi.
kulit
sering
diperlukan pada diagnosis pneumonitis hipersensitif dan
berylliosis kronis, meskipun pneumonitis hipersensitif
tabuh.
Pemeriksaan Penuniang Foto toraks. Merupakan tes diagnostik yang amat penting terutama untuk pneumokoniosis. Dalam beberapa keadaan diagnosis penyakit paru sudah dapat ditegakkan dengan foto toraks dan riwayat paparan yang tepat (silikosis, coal workers' pneumonkoniosis ataupun asbestosis dengan
kelainan pleural), meskipun ada penumonkoniosis
PAPARAN DEBU INORGANIK Penyakit paru lingkungan yang disebabknn oleh inhalasi kronis debu inorganik ataupun bahan-bahan partikel yan! berasal dari udara lingkungan atau tempat kerja disebut pneumokoniasis. Yang menimbulkan pneumokoniosis kebanyakan adalah debu: asbes, silika, batu bara, berilium, bauksit, besi/baja dan lain-lain.
simtomatis tetapi foto toraks normal.
Computed Tomogruphy (CT) Scanning. Penggunaan tes diagnostik ini sekarang meningakt utamanya untuk deteksi asbestosis. Hal ini karena hasil deteksi adanya asbestosis dengna foto toraks konvensional kurang sensitif, kesalahan
sekitar lO-15%. Lebih tepat lagi hasilnya apabila menggunakan High-res olution computed tomographic (HRCT) Scanning, dapat lebih baik dalam mengevaluasi kelainan pada pleura maupun parenkim paru. Tes fungsi paru. Tes fungsi paru saat istirahat (spirometri,
volume paru, kapasitas difusi), merupakan tes diagnostik yang penting untuk menentukan status frrngsi paru pasien dengan penyakit paru kerja, terlebih pada proses interstitial. Meskipun hasil tes fungsi paru tidak spesifft unhrk beberapa penyakit paru kerja, tetapi amat penting untuk : evaluasi sesak napas, membedakan adanya kelainan paru
tipe restriktif atau obstruktif dan mengetahui tingkat gangguan frrngsi paru. Selain itu tes fungsi paru dapat dipakai untuk diagnosis adanya kelainan obstruksi saluran napas (adanya hiperreaktif bronkus dengan tes bronkodilator atau tes provokasi memakai paparan bahanbahan yang diambil dari tempat kerja atau lingkungannya).
Patogenesis Pneumokoniosis Sesudah debu inorganik dan bahan pertikel terinhalasi akan melekat pada permukaan mukosa saluran napas (bronkiolus respira-torius, duktus alveolaris dan alveolus) karena tempat
tersebut basah sehingga mudah ditempeli debu. Pada awalnya paru memberikan respons berupa inflamasi
dan fagositosis terhadap debu tadi oleh makrofag alveolus' Makrofrag memfagositosis debu dan membawa partikel debu
ke bronkiolus terminalis. Di situ dengan gerak mukosiliar debu diusahakan keluar dari paru. Sebagian partikel debu diangkut ke pembulub limfe sampai limfonodi regional di
hilus paru. Bila paparan debu banyak, di mana gerak mukosiliar sudah tidak mampu bekerja, maka debu/partikel akan tertumpuk di permukaan mukosa saluran napas' akibatnya partikel debu akan tersusun membenhtk anyaman kolagen dan fibrin dan akibatnya paru (saluran napas) menj adi kaku sehingga compliance paru menunrn. Penyakit paru akibat tertimbunnya debr'r/partikel diparu atau saluran napas disebut pneumokoniosis. Sesudah terjadi pneumokoniosis, misalnya paparan debu sudah berhenti, maka fibrosis paru yang telah terjadi tidak dapat hilang.
2282
Debu silika mempunyai sifat yang lain. Debu silika yang terhirup udara napas sampai di mukosa saluran napas yang terfagositosis oleh makrofag dapat memberikan efek toksis pada makrofag yarrg memfagositosis debu silika tadi. Makrofag tadi mengalami desintegrasi dan mengeluarkan bahan-bahan kimia yang dapat mengaktifkan makrofag yang lain. Bila makrofag baru (aktif) dan memfagositosis
partikel debu silika, dia akan mengalami proses serupa dan seterusnya. Karena makrofag banyak rusak, menyebabkan
dayatahan individu berkurang, dan mungkin inilah yang menyebabkan pasien silikosis mudah terinfeksi kuman tuberkulosis dan terbentuk siliko-tuberkulosis. Beberapa partikel debu (asbes, silika, batu bara) mempunyai kemampuan menembus interstitium. Dengan
lanjutnya penyakit, alveolus dan kapiler paru yang berdekatan menjadi rusak dan diganti fibrosis atau struktur
seperti kista. Beberapa kista yang terbentuk, masingmasing berdiameter 1 cm, membentuk bangunan seperti sarang lebah. Pada kasus berat dan umumny a y ang terladi pada asbestosis terjadi penebalan fibrotik dan kalsifikasi pleura memb entttkfibro calcifi c pleural p laques.Kelainan
patologis ini sering juga mengenai diafragma. Beberapa bahan iritan dalam lingkungan ada pula yang bersifat karsinogenik. Secara umum dapat dikatakan bahwa pneumokoniosis menimbulkan penyakit paru restriktif. Oleh karena debu inorgahik dan baban-bahan partikel dapat tertumpuk di saluran napas kecil, yang dapat menimbulkan inflamasi kronis, atau pembengkakan di situ, maka dapat terjadi obstnrksi bronkus atau timbul penyakit paru obstruktif. Dapat pula pada suatu kasus pneumokoniosis terdapat kombinasi kelainan obstruktif dan restriktif.
BEBERAPA PENYAKIT PARU AKIBAT PAPARAN DEBU INORGANIK Beberapa penyakit paru akibat paparan debu. inorganik, meliputi: asbestosis, silikosis, coal workers' pneumokoniosis, beryl-llosls, bauxite pneumokoniosis, siderosis dan
lainJain.
Asbestosis Penyakit ini timbul merupakan respons paru (berupa fibrosis/pneumonitis interstitialis) sebagai akibat inhalasi debu (serabut) asbestos, Umumnya asbestosis berupa fibrosis interstitialis paru. Manifestasi paru lainnya : fibrosis dan efusi pleura, pleural plaques, mesotelioma pleura/peritoneum, karsinoma paru, karsi-noma laring, karsinoma saluran cerna dan sebagainya. Paparan debu asbestos sering terjadi pada pekerja pabrik yang menggunakan bahan baku atau peralatan yang mengandung asbestos. Sesudah seorang (pekerja) terpapar debu asbestos, ada periode laten (bervariasi satu
P(,I.tt,ONq.oGI
sampai beberapa tahun), baru timbul perubahan pada saluran napas atau paru. Individu yang bisa terkena paparal debu asbestos ialah pekerja atau orang di sekitar pabrik tersebut atau isteri di rumah yang mencuci baju suami yang terpapar debu asbestos di tempat kerja. Nilai ambang batas debu asbestos di udara adalah 2 serabutl cm3lberat badan/8 jam. Menentukan nilsi umbang batas ini sangat sulit. Sesudah debu asbestos terhirup oleh seseorang akan terdeposisi di dinding bronkus (dari cabang bronkus utama sampai bronkiolus respiratorius dan alveoli). Makrofag
akan memfagositosis debu asbestos, tetapi bila pembersihannya tidak sempurna, timbul reaksi berupa
pembentukan fibrosis di dinding bronkus. Tingkatan timbulnya fibrosis tergantung pa dabanyaknyadebu yang terpapar. Bila timbunan debu asbestos sedikit, reaksi jaringan terbatas dan penyakit yang timbul (asbestosis) dapat ringan atau tidak progresip. Bila banyak debu tertimbun, maka reaksi jaringan amat hebat, sehingga
timbul penyakit paru kronis progresif. Kelihatannya terdapat hubungan antara dosis paparan debu dengan respons paru yang timbul. Prevalensi timbulnya asbestosis parenkimalparu meningkat sebanding dengan lamadan intensitas paparan debu asbestos. Kelainan paru yang sering terjadi adalah pada lobus bawah paru. Mekanisme ' selular timbulnya fibrosis atau karsinoma paru tidak jelas.
Reaksi pleura dapat berupa : reaksi eksudatif difus, pleural plaques pada pleura parietalis atau mesotelioma maligna.
Manifestasi klinik asbestosis adalah sebagai berikut. Gejala awal berupa sesak napas saat aktivitas dan batuk nonproduktif. Penyakit berkembang lanjut dan terdapat kelainan fisik berupa ronki basah di basal kedua paru dan pada keadaan lanjut terdapat jari tabuh. Gambaran radiologis saat awal penyakit berupa adanya gambaran garis-garis opasitas kecil di basis paru dan dapat meluas sampai pleura. Pada keadaan lanjut tampak gambaran bervariasi (distorsi arsitektur paru, pleural plaques) yang tampak jelas dengan CT scan paru. Uji faal paru hasilnya juga dapat bervariasi : kelainan restriktif (khas untuk fibrosis paru), kelainan obstruktif (pengaruh rokok atau penyakit lanjut), dan terdapat pemrmnan volume paru, compliance paru dan kapasitas difusi. Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini diperlukan data : 1). riwayat paparan debu asbestos,2). adanya
gambaran radiologis berupa garis-garis opasitas di lapangan bawah paru, perubahan atau kerusakan pada pleura, 3). adanya kelainan faal paru tipe restriktif, dan4). kalau perlu dilengkapi data biopsi paru (PA) untuk menyingkirkan kelainan paru interstitial yang lain. Perlu dipantau secara klinis adanya karsinoma paru, laring, saluran cerna dan lain, terutama pasien yang berusia lebih dari 50 tahun. Penyakit ini tidak dapat diobati dan pengobatarlyarrg diberikan berupa pengobatan simtomatik. Pencegahannya
FIBROSIS KISTIK
2283
fr BROSIS'
dilakukan dengan 1). mencegah paparan debu asbestos, 2). pekerja tidak merokok, dan 3). tidak mendekati pabrik, terutama bagi pekerja yang tidak dapat berhenti merokok.
silikosis simpel, bila penyakit mengalami progresivitas atau
menderita infeksi tuberkulosis atau jamur paru. Pada keadaan ini noduls silikosis yang sebelumnaya terpisah
dapat bergabung menjadi satu (membentuk massa
Silikosis Silikosis merupakan suatu penyakit parenkim paru berupa fibrosis paru difus akibat inhalasi, retensi dan reaksi parenkim paru terhadap debu atau kristal silika (SiOr). Debu silika yang bisa terhirup udara napas mempunyai ukuran
partikel debu 0,5-5 um, berasal dari berbagai aktivitas, misalnya pemotongon batu, pabrik keramik, tambang batu kapur, dan lain-lain. Bentuk debu silika misalny a : l). quartz (silika bebas, paling banyak di alam), dan2). crystalline (crystobalite dan tridymite), sangat jarang di alam, tetapi sering terbentuk karena pekerjaan pabrik. Dikenal ada tiga macam bentuk silikosis, 1). Silikosis kronis, biasanya paparan debu silika terjadi lebih dari l5 tahun sebelum timbul gejala atau perubahan radiologis, 2). Silikosis cepat, perubahan terjadi dalam waktu 5-15 dan 3). Silikosis akut, perubahannya terjadi dalam waktu 5 tahun atau kurang. Pada silikosis kronis terdapat kelainan
patologis berupa nodul (khas untuk silikosis), terdiri : jaringan hialin tersusun konsentris, dikelilingi kapsul selular (makrofag, sel plasma, dan fibroblas), isi nodul adalah silika. Lokasi nodul ialahjaringan interstitial sekitar bronkiolus terminalis, dengan ukuran 2-6 mm. Nodul dapat
bersatu, membenfuk massive conglomerate lesion, jarang
membentuk kavitas (kecuali bila ada infeksi tuberculosis bersama). Nodul merupakan bentuk akhir respons paru (pertahanan makrofag alveolus terhadap paparan debu silika di jaringan paru. Pada silikosis cepat, perkembangan penyakit sama dengan pada silikosis kronis tetapi jalannya lebib cepat. Sering terjadi infeksi tuberkulosis, dan juga sering terjadi autoimun dis e as e (skleroderma). Pada silikosis akut terjadi gambaran klinik kurang dari 5 tahun sesudah paparan masif debu siiika' Gejala predominan pada paru bagian bawah. Histopatologis mirip
fibrosis yang besar), dapat menyebabkan distorsi paru. Silikosis kompleks dapat menjadi fibrosis masif progresif, sering menimbulkan kelainan faal paru tipe campuran (restriktif dan obstruktif). Reaksi pleura dapat timbul dekat nodul yang besar tadi. Kelenjar limfe hilus dapat membesar
dankalsifftasi. Diagnosis ditegakkan atas dasar : 1). Adanya riwayat inhalasi debu silika, 2). Adanya gambaran radiologis abnormal, dan 3). Adanya kelainan faal paru (restriktif, obstruktif atau campuran). Problem diagnostik adalah bila timbul komplikasi (timbulnya infeksi pyogenik, jamur atau
tuberkulosis) dan pada keadaan lanjut dapat timbul penyakit kolagen (skleroderna, rematoid artritis)' Pengobatan definitif tephadap silikosis tidak ada. Bila terdapat infeksi sekunder berikan terapi yang sesuai. Infeksi piogenik berikan antibiotik yang sesuai secara empirik, int'eksi jamur paru berikan obat anti jamur, dan terhadap tuberkulosis paru berikan obat antituberkulosis dosis dan lamanya disesuaikan dengan kategori-qya. Prognosisnya jelek, lebih-lebih kalau ada infeksi tuberkulosis (diagnosis sukar dan tentunya berakibat pengobatan tidak tuntas). Usaha pencegahan penyakit dilakukan dengan menghindari paparan debu silika dan para pekerj a sulit bekerj a memakai masker basah.
Coal Workers' Pneumoconiosis, Black Lung Penyakit ini merupakan penyakit paru akibat deposisi (penimbunan) debu batu bara dalam paru atau respons paru terhadap debu batu bara yang tertimbun dan menetap dalam paru. Karena debu batu bara berwama hitam, maka paru yang tertimbun debu tadi berwarna hitam. Debu batu bara tidak sepenuhnya mineral, tetapi tercampur dengan sejenis karbon dan bila dibakar keluar energi (panas).
Manifestesi klinik silikosis ada dua bentuk, yaitu 1).
Respons paru kurang menimbulkan fibrosis paru dibanding silika, tetapi bersama dengan silika yang ada dalam debu secara radiologis memberikan bayangan (opasitas) bervariasi. Berdasarkan bentuk dan ukuran opasitas radiologis tadi dikenal dua jenis coal workets' pneumoconiosis,yaiit simple darr complicated coal work-
Silikosis simpel (simple silicosis) dan 2). Silikosis kumpleks. Silikosis simpel, biasanya asimtomatik, bila ada spuhuni
ers' pneumolanionis (simple CWP dan complicated CWP). Pada simple CWP opasitas kecil, bulat dan ukuran kurang
batuk mungkin karena pengaruh rokok atau debu lain. Kelainannya pada basal paru. Gejalanya dapat progresif adanya batuk, sesak napas, serta kelainan faal paru tipe restriktif. Pasien mempunyai risiko tinggi terjadi infeksi (terutama infeksi tuberkulosis). Mekanisme timbulnya
dari satu cm dan pada complicated CWP opasitas satu atau multipel, ukuran lebih dari I cm. Pada simple CWP terdapat lesi paru berupa coal
infeksi tuberkulosis belum jelas. Bila penyakitnya memberat dapat timbul sesak napas saat aktivitas. Nodul silikosis terjadi terutama di lobus atas paru dan dapat mengalami
mikroskopis nodul terdiri atas makrofagyang memuatdebu, hbroblas ekstraselular, sisa sel, serabut retikulin dan sedikit
dengan pulmonary alveolar proteinosis. Kelainan ekstrapulmonal dapat mengenai ginjal dan hati. Penyakit dapat mengalami progresivitas dan timbul gagal napas dan berakhir kematian.
kalsifikasi. Silikosis kompleks merupakan lanjutan dari
macula dengan ciri makroskopis suatunodul diskret, kecil,
hitam, tersebar rata di lobus atas paru. Sedangkan kolagen, coal macula dapat terletak di sekitar bronkus atau bronkiolus dan sering berhubungan dengan
2284
PUI.Ii'OITTOIOGI
timbulnya emfisema. Pada complicated CWF juga terdapat coal moculabesar, wama hitam dan ukuran lebih dari satu cm.Letakcoal macula di segmenposterior lobus atas dan segmen superior lobus bawah. Bila ukuran coal macula lebih dari 3 cm disebut lesi masif atau progressive masive fibrosis (PMF), dengan inti terdiri dari debu, jaringan kolagen dan protein dan tepinya ada lapisan kapsul. Manifestasi klinis coal workers' pneumokoniosis ada 3 jenis, yaitu simple CWP, complicated CWp dan sindrom
Caplan. Pada simple CWP biasanya asimtomatis, progresivitas pelan-pelan dan diagnosis didasarkan pada opasitas radiologis dan faal paru masih normal.pada complicated CWP biasanya sudah terdapat sesak napas saat aktivitas dan dapat berlanjut menjadi insufisiensi paru,
kor pulmonal kronik, hipertensi pulmonal
ata:u payah
jantung kanan. Sindrom Caplan terdapat pada pekerja tambang batu bara disertai rematoid arhitis dengan nodul paru (opasitas radiologis) besar, bulat, di daerah tepi paru.
Ada nodul sering ditemukan kavitas dan nodul timbul sebelum ada gejala sendi.
Diagnosis c o al workers' pneumokoniosls ditegakkan atas dasar adatya riwayat paparan debu batu bara dan adanya abnormalitas gambaran radiologis. pada pasien dengan kavitas paru dan ada dugaan terdapat infeksi tuberkulosis, maka diagnosis tuberkulosis harus dilakukan secara intensif. Insidens karsinoma parupadapada simple maupnn complicated CWP adalahkecil. Gambaran klinis mengarah pada PMF ialah bila : l).Ada opasitas radiologis dengan densitas bervariasi, 2). Adanya opasitas reguler daerah tepi paru, 3). Adanya kalsifikasi dalam lesi dan 4). Ada riwayat melanoptysis (batuk sputum sedikit dan wama hitam).
Pengobatan spesifik tidak ada.
Bila ada infeksi
tuberkulosis harus diobati secara tuntas. Pencegahan perlu
paparurrrya hebat dapat timbul bronkitis dan pneu-
.
monitis kemikal (bronkopneumonitis kemikal).
Penyakit beriliosis kronis, timbul 6-18 bulan sesudah paparan partikei berilium. Gejala awal biasanya asimtomatik. Kemudian timbul gejala berupa sesak napas saat aktivitas, batuk-batuk. Bila penyakit tambah berat timbul gejala penyakit paru interstitital meliputi
batuk nonproduktifa, nyeri dada dan sesak napas saat aktivitas. Pada pemeriksaan fisis ditemukan ronki kering pada kedua paru bagian bawah. Bita penyakit bertambah progresif timbul gejala kelemahan, cepat lelah, sesak napas saat istirahat, anoreksia dan berat badan turun. Pemeriksaan fisis dapat ditemui akrosianosis, jari tabuh dan kor pulmonal kronik. Gambaran radiologis bentuk akut mula-mula paru bersih kemudian timbul bercak infiltrat. Pada bentuk kronis tampak nodul-nodul kecil, bila penyakit lanjut tampak nodul-nodul besar, gambaran retikular difus dan tidak tampak adenopati
hilus. Diagnosis beriliosis kronis ditegakkan bila ditemukan
reaksi granulomatosa pada paru dan hipersensitivitas terhadap berilium. Untuk itu perlu biopsi paru dan diperiksa
histopatologis. Hipersensitivitas terhadrap berilium diketahui dengan memeriksa cairan lavase bronko-alveolar dan ditemukannyajumlah sel makrofag yang bertambah. Juga tes respons proliferatif limfosit darah tepi terhadap berilium bila hasilnya positif dapat. membantu diagnosis
beriliosis kronis. Pada bentuk akut pengobatatyang diberikan adalah menyingkirkan pasien dari paparat berilium, istirahat, terapi oksigen, bantuan ventilasi mekanik (bila perlu) dan kortikosteroid. Pada bentuk kronis pengobatanaya belum ada yang; spesifik.
dilakukan dengan menganjurkan pekerja saat bekerja memakai masker basah.
POLUSI UDARA LINGKUNGAN
Berylliosis Suatu kelainan paru akibat paparan debu berilium. Debu berilium merupakan debu paling halus dari sejenis metal.
Debu timbul pada tiap pekerjaan membuat campuran berilium dengan logam (alumtnium, nikel, tembaga),pada industri lampu fluoresens, industri nuklir (reaktor) dan senjatamiliter. Efek debu berilium pada paru ada dua macam, efek akut dan efek kronis. Efek akut berupa bercak infiltrat paru, bronkopneumoni. Efek kronis bisa timbul beberapa kerusakan paru (granulom pada septum alveoli dan timbul nodul halus, fibrosis, kerusakan jaringan elastis dan timbul emfi sema paru, adenopati hilus tidak dijumpai). Manifestasi kliniknya juga ada dua bentuk, yaitu benffi akut dan bentuk kronis.
.
Penyakit beriliosis akut, suatu keadaan toksis, do s er e I a t e d b e ry I I i o s i s inj ury syn dr o m e, rrm.umny a menyerang saluran napas bagian atas, dan bila
Definisi
Polusi udara lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya zat-zat, energi dan atau kamponenkomponen lain ke dalam udara lingkungan hidup oleh kegiatan manusia (kebakaran hutan, emisi kendaraan, kegiatan industri, merokok aktiD dan aktiyitas alam (letusan
gunung berapi, gas alam), sehingga kualitas udara lingkungan manusia (udara ambien) menurun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan atau mempengaruhi kesehatan manusia. Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi (pada lapisan troposfer), yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur-unsur lingkungan hidup lainnya. Polusi udara lingkungan telah menjadi masalah lingkungan hidup, tidak hanya di rregara berkembang, tetapi juga di negara maju. Apabila udara ambien yang tercemar tadi terinhalasi dapat mempengaruhi paru atau
2285
FTBROSIS KTSTTK (CrS r/C TTBROSTS)
penrapasan bahkan dapat masuk ke dalam peredaran darah
dan .dapat mempengaruhi selurub jaringan/organ tubuh-
Ada enam determinan yang secara langsung atau'tidak langsung berkaitan dengan kualitas udara lingkungan dan
dan demografi. dan kemiskiran karena
kisis ekonomi.
Sumber Polusi Udara Lingkangan
(naxi ous agent s), Bahan y ang dapat merusak'stiuktur anatomis'se1/organ dan' fungsi paru, B-enda'buang dalam lingkungan kerja,r,d6p41 berbentuk:' I ). Debri' organik (industri perlanian/hewan), 2), Debu'anorganik atair min.
eral, dan 3), Bahan,hirup'lain yang'berbentuk uap; asap dan aerosol: Benda-benda buang'dati kegiatan'industri tadi dapat menirrrbulkanpenyakit Pam Kerja bagi pekerja pabrik, dan Penyakit Paru Lingkungan bagi 'iadiVidu yang tinggal'di sekitar pabrrk; serta penyakil'penyakit lain'selain penyakit paru.
Polusi udara lingkungan yang membahayakan kesehatan mengan-dung komponpn-kornponen : karbon monoksida ,), asaP, timbal (Pb), bahan ozon (Or) dan bahan toksis sebagainya).
Polusi udara lingkungan dapat berasal dari berbagai sumber dengan aktivitasnya masing-masing atau bisa'bersarria
menghasilkan komponen-komponen polutan. Beberapa sumber polusi udara lingkungan antara lain :
Kebakaran hutan., Hutan terdiri atas'tumbuhan dari berbagai jenis kayu apabila terbakar akan,terjadi asap bahkan kabut: asap yang jumlahnya tergantung pada luas hutan yang terbakar, Asap yang, timbul dapat menccmari daerah sekitarnya, dan kalau dibawa angin akar'lebih l'uas lagi daerah yang.menderita. Asap y,ang timbul dari,
kebakaran berbagai maeam tar.amafl hutan'teqseb'ut mcmpunyai komponen maewn-maaam : karbon dioksida, karbon monokda, rflalar-, ksida, amonia, QEgSr bahan parrikel, aldehid da Emlgfl: kendaraanr Di kota"kotc besat aegara atqiu emisi kendaraan bcnnotsr ffi czup akan sumbm ut arna penecmwm eO pada udara anibien- Hal ini tentti terganhrngpada jumlah
kendaraan bermotordan'luas kota. Selain CO komponen lain,lang keluar daii asap knalpot adalah NO atau NOl; hidrokarbon, timah hitam (Pb) dan lainJain. Urbanisasi
setiap tahun semakin bertambah membutuhkan alat transportasi yang'bert'anibah; rnaka diperkirakaii emiii kendaraan juga semakin bertambah.
Kegiatan industri. Kegiatan industri yang' dapa! menimtulkan pencemaran udara lingkungan ada berbagai macanf, misalnya : proses pertambagan (batu kapur, batu bara, gas alam), industri keramik, indntri logam'(baja,'seng, aluminiun, dan lain-lain),, i4dustri patrokimin (terj adi :gas irit4n), industri obot-obatan, industri plastik dan lain-.lainr
Tgrgantung,pada jenis kegiatan industrinya,, maka akan dihasilkan benda buang (asapi gas, debu atau bahan,partikel polutalr lainnya) yang akan pencemari udare lingkungan (ternpat kerja dan tempat tinggal). i: ,. . :
,
Benda buang: dari .pabrik yang kolpponen[ya
bermacam-mac amr dapat mencemari udara' lingkungan (tempat kerj a di pabrik, sqkitar pabrik atau pemukiman dan mungkinjugaudara dalam ruangan tempad tinggal). Benda
buang tadi dapal dikategorikan sebagai bahan toksis
Letuean gunung berapl dan semburan gas alam,,tetrsan
gunung berapi dan scmburan gas alam potensial mcnirnbulkan polusi rrdara di eekitamya. Belum ada data analisis komponen dari.bahan yang keluar dari letusan gunung berapi atau: semburan gas alam'Palingtidakpasti terdapat unsur gas. belerang, hidrokarbon, CO dan lainlain, sehingga.akibat atau dampak yang bisa dirasakan oleh yang terkena polusi udara sudahjelas. ,
Patogenesis Timbulnya Kelainan Paru Pencemdian udara lingkurtgan mengakibatkdn paparan bahan-bahan berbahaya'bagi kesehhtan individu-individu yang terkena paparan. Ada berbagai mekanisme yang bisa terj adi untuk tlmbulnya berbagai kelainan yar-rg, terjadi dan tergantung pada sifat-sifal polutan yang bersangkutan. Mekanisme-mekanisme tersebut antara lain sebagai berikut: .. ' Bahan.bahan yang berbentuk gas toksis sesudah masuk menefiibus atau ditahan (retensi) mukosa saluran napas.
' Dapat'menembus ataupun diretenSi mukosa tadi tergantung pada : 1). Sifat fisis ga3 (kelarutarmya),2). Konsentrasi' gas dalam udara inspirasi, 3).Kecepatan dan dalamnya ventilasi; dan 4), Reaktivasi gas. Gas yang mudah larut (misalnya SOr) sesudah masuk saluran'napas hampir lengkap diserap oleh mukosa
2286
PTJIIMIU€GI
saluran flapaebaSLffi atae aaat terjadl peparan, Bagi
manueia apabila konsentrasinya maeih dalam batas aman, pada Tbbcl 2.
Nilai ctaadar kualitac udara ambien bisa dilihat
earepal
a b
dl alveoll akan berdlfuci lewat w dwecgera
ltrocltdelamp
membraa g1o.
Polutrn SOa
dan
alam daruh dapat taga (yarry bcrartl
pergantlan napao olahruga (oedaag aampalberat) kurang efektlf dalam rangka membuang
0,14 ppm (366 yg/mr)
24lan
0,03 ppm (80 pgh/ms)
1 tahun
150 pg/ms
24 Jam
60 pg/mo
1 tahun
NOa
0,053 ppm (100 pg/ms)
1 tahun
c0
35 ppm (40 yg/mr)
PMro
polutan,
9 ppm (10 ;rglmr Oo
L..d (Pb)
mg/ms
Jam
E Jam
)
0,12 ppm (235 yg/mo) 1,5
l
lam (maka ) 3 bulan (makr) 1
Menuntt WHO rieiko kesehatan akibat polusi udara
lingkuugan adalah timbulnya penyakit bcrikut (kemungkinannya) : 1), Infeksi pernapasan akut (ISPA), ukuran kurang 1.2 pra dapat terdeposici di alveoli, Partlkel kurang dari 0,5 pm dengan gerakan Brown
2), penyakit paru obotnrktif kerje, 3), asma bronkial, 4), kar*er pan1 5 ), f.rberkulosis, 6). penyaki t j anhrng i skemik,
ltu, Paftikcl.partikelyang
7), penyakit serebrovackulcr, den 8) akibat atau penyakit pada perinatal,
mc tcr (dl
.
pac dan dihilangkaa ukogllier dalam waktu
beberapa jam oeoudah depooisl, Sedangkan partikel. partlkel yang melekat pada dinding alveoluo akan dlberoitrkan oleh makofag dalam beberapa hari oampai bulan, Mekaalsme kenmakan paru oleh gaa ataapartikel yang terlnhalasl adabcrbagal oara, Mloalnya, gao okoidan
meny eb P
(O, daa NO,) dengan eara
memben
,
n inflamasi pada epitel ldan tokcic dan mediator dapatmanbe yang terikat d
dan larut pada ealraajarlngan dapat menglndukci
Uraha
- u!!ha Pencegahan
Salah satu eara yang gampang untuk menghindari akibat polusi udata adalah membatasi keluar rumah pada saat
terjadinya episode polusi udara, Bagi individu yang suoeptibel atau menderita akibat dari polusi udara (pasien asma bronkial, emfrsema, penyakit jantung koroner, anakaaak, oraRg tua) hanrs kontrol penyakitnya dengan baik,
POLUII UDARA DALAM RUANGAN
lnflamasl,
Pafrlkel organh Jaga dapat menlmbulkan infl amasi di salufan flapae ataa berl*u sebagai earelnogenle lnltlator,
Efrk Blologlr Polutl Udrrr Llngkungrn Sebelumnya perlu dlkatakan bahwa polutan akan memberikan efek kuraag batk bagi kecehatan manusia apablla polutan tercebut konocntrasiny a dI .udaru ambiea telab meleblhl kontenffacl atardar yangdlbolchkan, Udara amblen dlanggap kualltaonya balk ialah apabila adaru tadi aman uatuk dlhlrup rr) memberl perllndungan te yang mempunyal oueeptlbilltao tlnggi, Meoklpun udara amblen mengaadung bahan potenalal bcrbahaya bagi kecehatan manucla, udara tersebut maeih aman untuk
le
udara ccmu
Drflnlrl Polusi udara dalam ruangan adalah adanya perubahan kualitas udara (atmosfer) dalam ruangan tempat tinggal maausia akibat masuk atau terbentuknya gas-gas dan pafiikel-partikel dalam ruangan itu dan membahayakan kehidupan manusia tersebut, Sumber polutau umumnya adalah dari asap rokok sampingan (dari perokok penghuni
rumah/tamu), gas dari nyala kompor, anglo, tungku pemaaas fuangan, pembakaran kayu di dapur, dan cebagainya, Penguapau bahan-bahan organis yang mudah
meaguap dari bahan-bahan yang terbakar tersebut dan juga bahan-bahan lain yang terbentuk dari pembakaran tadi akan meneemari udara dalam ruangan tempat tinggal.
Selain gas-gas dan bahan-bahan yang tcrbentuk beracal dari pem-bakaran bahan-bahan tercebut di atas,
2287
FIBROSI g XISTI,( (C,/.ITIC FIDROSI S'
tercakup sebagai polutan dalam nrangan tempat tiuggal lainnya ialah : asbestos (dari bahan bangunan rumah), biologic agents,radon, asap rokok sartrpingan dan polutan udara lingkungan yang masuk ke dalam rumah tinggal' Konsenffasi polutan dalam ruangan besarnya tergantung pada kekuatan sumber polutan, kecepatan pembebasan polutan, volume ruangan tempat tinggal, keeepatau
pertukaran udara ruangan (ventilasi ruangan), Gas-gas hasil pembakaran. dan menjadi polutan dalam
ruangan kebanyakan adalah : CO (karbon monuksida), ampingan, asap kayu NOr(nitrogen dalam ruang, radon, yanig aiUakar, serabut-serabut asbes, dan sebagainya, Bahan-bahan polutan yang mercemari udara ambien dapat berbahaya bagi manusia apabila konsentrasinya melebihi nilai ambang yang diboletrkan. Unhrk iflr perlu monitoring kualitas udara di lingkungnn tempat tinggal dan mengukur konsentrasi polutan'polutan yang potensial
yang tidak mcrokok (perokok pasiQ' yaitu timbulflya keganasan dan penyakit lain non koganasan,
yang melaporkan efek toksik dari asap
dui
ka1ru
baku,
Bahan-bahen lkatan organlk, Bahan'bahan ikatan organik berada dalun ruangan tempat tinggal berasal dari poralatan,
dioksid bahan
risiko kesehatan terjadi efek karsinogencsis maupur mu' tagenesis, selain mungkin timbul efek iritasi, neuotoksisitaE
yang disebut stck-buildtng syndrome, Radon. Radon 222 merupakan hasil uraian uranium 238. Dalam uraian men-jadi rado n222 niterbeutuk partikel alfa
berbahaya,
ke dalanr DNA sel dan membentuk karsinoma palu, Radon
Efek lGsehatan Efek kesehatan atau efek-efek biologis masing'masing polutan dalam ruangan adalah sebagai berikut :
juga dapat terbenttil< secara alami dari gas yang keluar dari
Karbon monokslda. Efek utama gas CO terhadap
Partlkel asbes. Asbes merupakan bahan yang banyak
tanah.
kesehatan ialah apabila konsentrasinya di udara ruangan melebihi nilai ambang batas (20 ppn/8 jam), di mana udara
dipakai untuk berbagai macam bahan bangunan rumatr/ gedung (atap, dinding, langit'langit, keramik, cat, pelapis
yang terhirup pada pernapasan sesudah masuk
pipa dan sebagainya), Adanya
peredaran darah segera mengikat hemoglobin. Afinitas CO untuk mengikat Hemoglobin (Hb) lebih besar dibanding O,
dan terjadi HbCO, akibatnya HbO, jumlahnya sedikit sehingga terjadi hipoksia jaringan (keracunan CO), Jaringan tubuh yang banyak dipengaruhi oleh keracunan CO adalah jaringan yang memerlukan oksigen terbanyak ialah jaringan otak dan otot jantung' Keracunan gas CO dapat dideteksi dengan melakukan pemeriksaan kadar HbCO darah, Keracunan CO akan lebih mudah timbul
pada pekerja berat, perempuan hamil, temperatur lingkungan tinggi dan di tempat ketinggian melebihi 2000 kaki di atas permukaan laut.
Nitrogen dioksida (NOr). Sumber gas NO, adalah penggunaan kompor gas untuk rnemasak, ruang karosen untuk pemanas nrangan (di luar negeri)' Konsentrasi akan meninggi saat memasak (mencapai 1000 ppm saat sedang memasak dan ruangan dalam keadaan tertutup rapat (karena sedang memakai alat pendingin/pemanas). Efek biologis dari NO, adalah bervariasi, meliputi penurunan daya tahan tubuh individu, eksaserbasi asma atau PPOK dan inflamasi
salwan
napas.
t,
Asap rokok lingkungan. Asap rokok lingkungan merupakan campuran antara asap rokok utama dan asap
rokok sampingan yang dihembuskan keluar mulut oleh perokok. Efek biologis asap rokok lingkungan ini dapat dialami oleh perokoknya sendiri (perokok aktif) dan keluarga
p dalam bahan-bahan bangunan
serta
bagi
penghuni rumatr, yaitu timbulnyamesotelioma atau kanker paru,
Substansi blologis. Substansi biologis dalam ruangan tempat tinggal termasuk jamur, spora jamur, bakteri (dalam ruang berpendingin), tturgau, alergen dari anjing dan kucing
dalarn rumah menjadi persoalan kesehatan. Substansi biologis tadi sampai dalam ruangan sebagian berasal dari luar ruangan, atau penggunaan alat pelembab, penguap
dan pendingin nrangan yang terkontaminasi dengan jamur
atau spora atau alergen tertenfu.
Substansi biologis dalam ruangan tempat tinggal tergantung pada bahannya, dapat memberikan efek : toksisitas langsung, infeksi atau hiperresponsif imun'
PAPARAN DEBU ORGANIK Debu organik berasal dari bahan'bahan organik umumnya
dari tanaman atau hewan. Pengolahan bahan'bahan tersebut secara mekanis dapat menimbulkan debu dan mencemari udara lingkungan, apabila terhirup oleh manusia
yang suseptibel dapat mendatangkan penyakit paru lingkungan. Yang menimbulkan penyakit sebenarnya bukan hanyapartikel organis dari tanaman atau hewan itu saja, dapat pula dari jamur/spora atau oleh produk bakteri
z?f,s
yang mengkontaminasi partikel dbbir orgariik.,,Debu organik yang i teriflhdtraSi. berlaku sebagai 'ahtigen atau .
penggiling, tebi.r);, byssinosis (f ada, p'ekerja patrik tekstil)
Sailr:sglsgal1y6;: : ,,.1 I i:, .,,t...i..: , ..,, Prevalensi penyakit ini: amat.bervariasi pada tempatt6lnpat berbeda tergantung'rpada ;intehsitix; frekUensi dan lamanl{a' p aparani, il u atu, bahan per4zebab, serrta oard :
pengolahan sumbet bah,a*
te.rsebuf, ;. Suatu contoh, Fevalensi. simt om firmers I lurrg,,rnenirruft pada paraTtetani )raflg rnenggunalianrmetodo pengeringan rgandurn,tedebih dahulu sebelum diolah (kulit dikupas; dittmibtik),dibanding langsung rnengolah tanpb dikeringkan, lebih, dahulu. Belurrr &d,a
I
:lahgkaiangk4, yang pasfi. tentang, pbnyakitr rirri, di
mabyarakat;' meskipuni p-otensiel dan risiko, pbksrj e (penggilingan padi, penggihngan tebu, paernak unggas) untuk: terkena penyakit,cukup besar.
PNEI' MONITIS HIPER,SENSITI F
Deffhi5l Pneumon
aldigikek
penyakit imunologis,,paru, terhad4p.. inhq,la gi bahan,,etau, qnti gan dqa keln ikql . F e nyakit, ini, m erup akan,sindror-rr
b i o I o gi q,
:
;
reqpirasi,akut,pada p9k9rj,a.peke.rj a y,ang nrcnangani, sec34a
ak benqt, de,b.u,gandUm,, (s eba gai antiggn). : g.,nti g en. antigen lain diketahui dapat pula mendatangkan penyakit ti
d
kebanyakan berbenfuk alveolitis dan bronkiolitis, Sediaan patologis berasal dari pasien pneumonitis.hipersensitif lff oni'sr rneilunjukkan, adanya infl amas i intersti'sial kon is dengan sebu{tdnsel plasrha, sel naasg rnakrofagdan limfosit
sesudah bergabung dengan protcin tubuh pejamu (&ost):
Antigenr yang' terinhalesir khususnye,yang berukur,an um, mcflimbulkan Sejas (tn|ury):pada,ealuraR riapas tepi dan alveolus., Kemarnpuan.antiggt untuk merangsang.dan raenimbulkan responS imun,torganfung pada,ke16rr,*n r, ketahanannya,, dirus ak (fagos itosis) oleh : makro f-ag dan sifat-.sifatny-a; sebagai ajuvan imunologis" Kenyatqanyang ada,bahwa.'pada individu..yang,irngudapalkpn : paparan anti gen s ec ara p enuh, hanya 50 |/o day,tny, a ylael g ter.b entuk antibodi. terhadap, antigen, torsebut; dan,hanya sebagian kecil dari yang terbentuk antibodi tadi,terj;4di;pneqmonitis ,
tr.S
:
hipersensitif.
l
lorn4 . no.1 49kros..is,,S.c h o u m op n b P 9 d i g atay,,q 1 ! qr gi d b9dje; ygng lerletak di,inteistitiq!, di,lyul .q!au.dt, dqlem grpnglolna, r-ngrypak4! pgrupqhaq higloJogiq,spesifi k da,n
n diagnosis..Depgan penyebab. biasanya
ratori bronkiolitis menghilang dan gambaran histologis yang ditemui hanya tinggal irtfl amasi inter3tisibl. ddrf fi$1e$.igr.r i, I I i.' i:
Epidemiologi Pneumonitis hipersensitif 'tirnbrll'rtkibat' inhalhs$tahani bahan biologik atau kemikal yang dapat berlaku sebagai antigen :atau hapten ke, dalamr tubuh,suatur individu, yang serisitif:,,Bahan-bahan, antigen/hapten tadi beradar dalam ,lingkungan, hidup, individu, ; Iingkungan,pekerj aan atau 'akibat samping ddri pekerj a antya, (avocational).,Perryakit pneumonitis, hipersensitif ,yang ,banyak ditemukan ;di Indonesia mis alnya'; farmbrs: lung(oleh Thierrutphilic aetinomy eetes ; pada,petani padi;'gandurn) ; pigeon.breeder b lun g (pada.peteiaak hx-ung/unggas), ;bagassosis, (pekerj a
b
e
rp
era:na[, rrarnuni
b
e
r da
sarkan pgnel itian,'t erakhit
ir.nunitas selular lebih domiaa$:peraqaryya, Bahanpaparan
fang :merupekan hppten;sesud?h
.masuk,
t-trblft terlebih
d4hulu,hanrs, larika! pad4r Brotqin plgoma tubuh,kemudian
baru dapatrbergifat gebagai anJigen,..
,.,
.. i : : : i
:
e289
,FIBROSIS-.KISTIK (CTS rIC FIBROSIS)
' Pnpurnonitts' hip,etsqnqitif dapat liimbul dalarn.bentlrk
tersebut.
Apabila bahan biologis atau ferylkalryaag bprlaku sebagai antigeq teriqhalaqi sampai 'di alvqqlus, tgriadi kqnrp,leks .antigen dengan antibodi tqrhadap bahan teisebut kernudian mengendap di ralveqli d4q inlgrstisium membentuk alveolitis akut. Karena proses inflamasitgrsblrl mefupakah retpons inrunolo gis,tipg, III,, rnaka, (gmpleks
irnunl (kompleks,aqtigenlaqtibodi) akan, menga\tifkan
,kqdua,paru, dan,kadangrkadang, terdapat,staltqsi$,,Wheez-
paparan serta sensitivitas individu terhadap bahan'telqebut' ,., : Bentuk :kronis atau s+bakut: terjadi, karpna :adanya apafart
. '
:riuggn
Pelan-
pelan. Fapar.an dengan irltppqitas, dngan,bila be-rlangsulg iama juga dapat timbul sesak napas, batuk, anoreksia dan
kornpoqen kofi,rplgnleq, Komponeo kornplgmen y44g telah aktif berqfek meningkatkan permeabilitas vaskular dan menambah keterlibatan,qel-sql, inflam4si lainnya' dan
menjadi aktif. Misalnya; makrof4g menjadi lebih altif dan mensekresi, sitokin proinflamasi (TNF -q, II'- I dar .Id.-2)'
pula IL-10, tampaknya berefek meringankan respons inflamasi terhadap antigen danlL-L2 berefek nqmbantu
timbulnya pneumonitis hipersensitif tadi. Yang lebih
i,,:il
':, i
"
,hubqnga4nya: ,
dengan. I
'IgE 'ataupun
eosinof,rlia; Garnbatan
it sangat tidak
,asma.,brpnk-ia1 menghil4ng qe
ini cenderung elr,bg{hPntir
i r,..i. ,'r'l ,ri.
,G3;qb,ara-n,'Klinis i ,::'ii:i-;.,, ,i :i..!i. r,,l,r :; Teldapat .dua :b entuk,. g amb aran klinikl'pneumoniti s hiporsensitif; ialah'bentukrakut, dan kronis atau sirbakuf' : r
l.j,Yang paling umum:adalah.bentukakut;,terjadi'sesredhh
j :suatu'' indi\tidur yang' sensitif'j(t€lah tersensitisasi i oleh
paparan bahan' anti geni sebe'lumrrya):' terpapar I secara irihalasi,oleh baharl antigen fang :garlrai Dalarn waktu 2=9
jam
sesudah paparan, timb
flulike syndrome :
sesak
demam, menggigil, myalgi
badan, sakit kepala dan malaise.' Funcak gejalatteriadi pada
papalan hntigen dan dapat menghilang waktu.l.;3. hari'berikulnya, pengobatanispesifik,dalain tarlpa rapabila: intensitas pbparan:lebih lama dalat lebih: 'bahkhrr :hebat. i',Pada:rpemeriksaan : fisis;l :pasien' terdapat"'demam, takiphba,i,taltikardib;'"adanyai ftnki .tiasah' halu$ di' basal
16.24' jamr sdsu$ah,
',alitefiiukan menurljirkkan adanya fibrcisis akibat:serangan
2290
PuLlt OI'SJOGI
alart stbolurmya, Gambaran konsolidasi atau radiodeusitas
conderung ilang sesudah ian paparan antigen, I seorang pasieu serangart akut dan s resolusi dapat mempunyai ologis iou jarang ditem : efusi lan pleua, kalsi atelek tau di
atas
Iimadenopati,
hiotologis sesuai, dan 5), Uji paparan (inhalasi) antigen positif. Hasil uji paparan (inhalasi) antigen yang dicurigai
Dlagnoclr Bandlng
Pada bentuk kronis, gambaraa radiologis tampak
adanya garis-garis difus dan radiodensitas nodular, meuyebar pada basal kedua panr dan predominan pada kedua lobue atas dan tordapatjuga peogurangan volume paru, Jarang ditemukan ofusipleura atau penebalan pleura,
Apabila menghadapi pasien dengan keluhan dan gejala pneumonitis hipersensitif, oleh karena memang gejalanya tidak spesifik, maka harus diingat diagnosis banding sebagai berikut, Pada pneumonitis hipersensitif bentuk akut, harus
l,
dipertimbangkan kemungkinan penyakit lain
:
Dlagnorlr
pneumonitis atipikal atau viral, penyakit kolagen
Diagnosis penyakit ini harus didaearkan atas anamnesis,
vaslorlar, organic dust toxic syndrome, dan beberapa traumaparu akibat inhalasi alart,
2, Bila
berhadapan kasus pneumonitis hipersensitif dengan wheezing, maka pikirkanlah adanya : asma bronkial, allergic bronc hopulmonary aspergilosis dan byssinosis,
mungkin agak mudah diduga, tetapi apabila paparannya terjadi secara kronic dengan intensitas rendah, maka mungkin sulit menduga adanya paparan,
3.
Pada pneumonitis hipersensitif kronis, harus
dipikirkan
penyakit laonis lain : tr,rberkulosis miliaris, sarkoidosis, infeksi jamur, granuloma eosinofilik, dan fibrosis paru
idiopatik,
Pongelolaan Pasicn diafrurkan untuk menghindari adanya ulangan
paparun antigen yang dieurigai cebagai pcnycbab
i ulangan
Pada pcmcrlksaan flels dlpmiksa adanya kelalnankelainan pada paru: takipne a, wheezing,ronki basah halus di basal kedua paru dan adanya demam, takikardia dan sebagainya. Selain itu diamati apakah terdapat tanda klinik
kor pulmonal lronik, jari tabuh dan sebagainya. Semua gejalayangtimbul pada pasien umumnya tidak spesifik.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat membantu dalam diagnosis, antara lain : pemeriksaan radiologis, laboratorium darah rutin, analisis cairan lavase bronkus, biopsi paru daerah lesi untuk pemeriksaan
inhalasi dicurigai, Tes kulit tidak banyak m histopatologis dan
uji
yang is.
Oleh karena gejala klinis yang tidak spesifik, ada ahli
yang mengajukan kriteria diagnosis untuk penyakit ini. Diajukan ada enam kriteria diagnosis yang diajukan, dan diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan apabila terdapat empat dari enam lciteria yang diajukan. Enam kriteria diagnosis yang diajukan tadi ialah : l). Keluhan dan tanda klinis yang dihadapi cocok dengan gejala dari paparan suatu bahan antigen, 2). Adanya paparun bahan antigen yang sesuai gejala, 3). Gambaranradiologis yang dijumpai selalu konsisten, 4). Adanya limfositosis pada analisis
cahan lavase bronkus, 5). Hasil biopsi paru secara
paparun artti1en, mcmakai masker di tempat Apabila terdapat paparun antigen terus menerus dan sulit dihindari, maka pantauan kondisi paru pasien secara serial (uji faal paru, pemeriksaan radiologis) perlu dilakukan. Kadang- kadang memang
dijumpai pasien yang mempunyai toleransi, meskipun
terdapat paparan terus menerus tanpa disertai progresivitas penyakit. Pada bentuk akut, penggunaan kortikosteroid dapat
mempercepat penyembuhan atau pengurangan gejala. Diketahui pula bahwa pemberian kortikosteroid pada kasus akut dapat mencegah timbulnya fibrosis pasca sorangan
akut. Biasanya digunakan preparat prednison atau prednisolon dosis 40-60 mg/hari selama dua minggu kemudian dosis diturunkan pelan -pelan untuk jangka pengobatan selama l-2 bulan.
Prognosis Prognosis penyakit ini bervariasi tergantung pada bentuk penyakit (akut atau kronis) dan lokasi kejadian paparan antigen. Contoh,farmers' lung disease prognosisnya baik di Quebec (Kanada), tetapi kasus yang sama di Finlandia prognosisnya kurang baik, sering timbul gangguan fungsi paru dan kematian. Penyebab dari keadaan seperti ini belum
FIEROSIS XISTIS
2291
ICyIIIC FIDRoEI'I
jelas ;' mungkin, adanya pcrbedaan dtmktur antigen daa eara
paparannya,
BvssrNos,s Bysslnosls
ronkitie leonic
diketahui bahwa pada 1% pekcria pabrlk yaag tcrpapar debu kapaa mcnderlta obetrukgl Ealuran flapae yaflC
sebagai akibat
bu kaPao, rami'
ireverclbel,
Deflnlrl
adalah terp nenBg, sisafatau
diderita oleh
penyakit panrksrja,
Epldemlologl Pekerja-pekerjayangbekerjadiling yang mengolah kapas
sejak
pabrik
aian
,
dinding bronkuc'
,
terJadinya bysslnosls,
pada paelen byssinosis berupa bronkitis adang- kadang disertai wheezing, diduga erat hubungannya dengan adanya endotoksin (suatu lipopolisakarida) yang dikeluarkan oleh bakteri yang mingkontaminasi partikel debu kapas. Endotoksin inilah yang diduga sebagai penyebab timbulnya kelainan paru iadi, para ahli telah yakin bahwa endotoksin ini adalah
sebagai penyebabnya dikuatkan oleh percobaan-
p"t.obu", simulasi yang telah dikerjakan pada pekerja
FAH'I,'ERT' &UTV6 D'OEAEE EAN EAEASEOC'E
Definisi
jerami pasca panen kurang baik
dan
jamur tadi berkembang
atau hewan coba di laboratorium.
Gambaran Klinis Ciri gambaran klinis penyakit ini adalah para pekerja pabrik tekstil yang sensitif akan merasakan sesak napas (napas pendek) setiap kembali ke tempat kerja sesudah beberapa hari tidak bekerja atau tiap hari Senin sesudah satu hari sebelumnya (Minggu) libur. Biasanyatimbul demam selain sesak napas, dan kadang-kadang gejala menetap untuk hari-hari berikutnya. Telah diketahui bahwa pada para pekerja yang terdapat lebih banyak gejala (paru) yang dialami akan mempercepat penurunan fungsi parunya' Selain itu lama kerja dan tingkat kadar debu kapas yang memberikan paparan terdapat korelasi dengan timbulnya byssinosis.
uk Pneumonitis s
(erami Padi dan
nimbulkan reaksi sensitisasi pada tubuh terPaPar'
Gambaran Klinik
yang akibatiapa terjadi
Gejala klinik
lung atatbagassosis organikpadajerami
2292
PULMONO.OGI
MEROKOI( PASIF DAN AKTIF, DAN TERAPI HENTI MEROKOK
Pengantar kepalp. Pada pemeriksaan f,isis ditemukan takikardia; takipnga,.si4nosis,.lonki basah di basal kedua paru, Gejala
tersebut umumnya menetap selama l2-1g.jarn. daa spontan bi1,a paparan terhenJi. Serangan
seftai,dengan anoreksia,, belat badan rrlenutun, Pada waktu,demam ,dap4t disertai kenaikau hgmoglobia, leukositosis dan kenaikan teter, antibodi P,ada pgnyakit, yang rlngaq ;gambaranrfoto toraks masih,lgrnrql. Pada penya.kit ;iang.bera{,,bisa ditemukan
dqS,bentuk, gambara! radiologis. Bentuk pertama :. il tgrpenc ar di ke dq"q, lapangan paru dan agak kurang pada bagian apek dan basal. Nodul-nodul kecil tadi ukurannya bervariasi dari
. ',.
, "r..,
::,..
i:,:
Sudah sejak lama, mungkin bersamaan dengan adanya peradaban manusia tembakau sudah dikenal manuSia; Tembakau dikonsumsi manusia dengan berbagai cara : dimakan (nginang : biasanya dimakan bersama kapur, sirih dan pinang); di.bau saj a,(snuff),. .rnerokok (dalam.bentuk cerutu, pipa dengan tembakau, rokok sigaret) dan lain sebagainya.: Yang paling unillm ditemui:ialah tembakau
, Jenis rokok juga ada beberapa macam antara lain : rokok dengan atau tanpa filter, tembakau yang digunakan dicampur atau tidak dengan bahan pencampur (sdos
t4mpak, gambaran :nodul,uodul kec
yang terjadi adalah
:
nilai VEP./KVP
han
nil
etspirast tAprt'aai, ventilasi/perfuri t".gurggr, kapasitas difusi menurun dan hipoksemia. Pada beberap apasienfarmers' lung rnaU$unr bagas I osis, dtapatr rnenjadi, kronis menyerupai',bronkitis paparan, debu,ferris berlhngsung akan kondisi: ponyakit; me.njadl :irrevers ib el (&btosisparu).:ill,;:, ;;;:1 ;, 1.-,-',; j-; .'rr,,!, :
:
r
asap rokok utama dan asap rokok sampingan, pada asap rokokjuga terdapat bahan atau ko fI yand
rnudah,rne+gtap
(vap,o.r-pha
.,yar7g
bprdifusi kelaq dari,tqrnbakau lewat ke-(as penggulung r,o,kok, ke ,qdara, di, e ekitarnya:.. Asa:p, rgkak,,ya4g Eranimbu|f
DdfiniSir Individu yang tidak merokok'tetapi mdnghisaii udara riapeis dari lingkung arrtya yatrgmengandung asap rokok disebut sebagai perokok pasif. Mereka ini tanpa,rneqo\ok tetapi
2?93
FIBROSIS KISTIK (CTS rIC TTBROSIS)
r
Individu yaqg rnenghisap rokok yang'lelah,dibakar
salah -satu u.jungnya dan dari ujung,yang lain dihispp asapnya ke dalam'paru atau; ditelannya,disebut perokok akfif ,B.agi p.€rakok aktif ini, selain dia,r-n€nghisap,,asap ro-kok utaEa sgcara pgnuh;.maka dra j.uga akan nrenghisap udara napas.yang berasal dari udara.di sekitarnya,yaqg
qepgandqng asqr rokok li.ngkungan.
.
,,.
, ;.
eembTrtT p?ru'
risiko laktor 'Tel41 o$ik(PIOK)
:
ti:
Kom'posisiAsap Rokok
aterosklerosis.'Dengan demikian, penghentian:'mbrokok akan men gqrangi' pro gresivitas' aterosklerosis serta morbiditas dan mortalitasnya.
Sigarclt
i
serta menurunkall qilai VIP ,, perpepatan h.rla4gp. y4 fungq! ventilasi paru, {neningk4tkan siprtorq resp.uasi @atuk dan
Untuk mendapatkan gambaran mengenai komposisi dan (pdal masing rnasing kompolrqn {ql4q aqap pkok, dapa!
ARS/ARIJ Komponen:gas Karbon monoksida :
Hidrogen sianida
Dimetilnitrosainin' .Komponen patikel
l, 'Toluen
'r
Bdrizo (d) Hidrazin
Keterangan :
r
i.:1
j.
.
27pg
0;8
8o pg 430 pg 10 - 65 pg
73 0,25
52.
" ,'
piien i '
: ARU
ARS :',,,,.
-
2,5 mg
108 pg 20= 15Qpg
i5,6
,2,8 ttg
,10
32 ttg
30
?,Q ,,,
'20:40ug' = asap rokok utama = asap rokok sampingan
' i:.:rr,11;,,.:r.,
kesehatan ad4lah sebagai,bgrikut, Beberapa penyakit yang berhqbtrngan dengan.merokok pasif atau berhubungau deugan paparaq :asap rokok,lingkungal adalah ,: l).. Peningkatan infeksi paru .dan telinga,,,serta. eksaser,basi akut penyakit paru kronih 2)r Gangguanpertumbuhanparu
pada anak,.)). Penilrgkatan rtsiko kematiaa,pada, anak (sudden. infant death syndrome ; SIDS),, 4). Peningkatan
kemungkiqap :peflyakit kardiovaskular dan gangguan
1-40m9
:
'Naftaien" '
8,1 3,1
'l
Nikotin
:
'1,3 mg
;
Tar
'
.2,5
,
, ,, Asetilen Amonia
,
10 = 20 mg
20-60m9
Karbon dioksida
buruk pada'kesehaian' badan. Merokok pasifpun dapat membrjrikan efek ybrtg'sarria. Beberapa brikti bahwa merokok pasif dapat mernberika;n:, damp.ak burukr pada
12'd'
.r;;1,,, .1,1;1,-, ,1;;,,r r:l iti r': ,;t, :t: :,
perilaku neurologis apabila si anak turnbuh m,enjadidewasa; 5). Asap rokok lingkunga,n:merupakan penyebab petyakit p"?da,bukan perokok, 6), :Paparau,asap r@kokllingkungal
dapai
psplerikall
bqlrerapa efek ,iritasi.,akut; rdan 7)t
Paparan asap rokok lingkungan pada,Qraqg dewasa'buka4
pelokok dapat meningl@tkan,risiko untuk tunbulnya k-ar-rke+ pafll danpeny,pkiljaptuag i.skemlk i,,i::i ; :.ir; ,,i , .. ,,, i .i.,'i'
.t tril!'-.: j-,,
, :1,
a
i l - .: lltlli
2294
invasif, Kekerapan dan intensitas kejadian penrbahan tersebut tcrgantung pada jumlah rokok yang dikonsumsi tiap hari. Perubahan pada saluran napas tepl. Penrbahan morfologis terjadi pula pada saluran napas tepi, Pada perokok aktif kronis yang terjadi obstruksi lconikberat saluran napas, di situ diketahui terjadi inflamasi, atrofi, metaplasia sel gobIet, metaplasia skuamosa dan sumbatan leudir pada bronkiolus temrinal dan bronkiolus respiratorius,
Perubahan pada alveoli dan kapiler. Pada perokokjuga terjadi kerusakan jaringan peribronkiolar alveoli pada perokok yang mengalami emfisema paru, Selain penrbahan
pada alveoli, terjadi pula pengurangan jumlah kapiler perialveolar dan terdapat penebalan intima dan tunika media pada pembuluh darah ukuran kurang dari 200 pu:r,
Perubahan fungsl imunologls. Hasil penelitian para ahli tidak seragamo namun dapat diketahui bahwa pada perokok terdapat perubahan fungsi imunologis dan inflamasi, Misalnya ditemukan :jumlah lekosit darah tepi meningkat (leukosit polimorfonuklear, limfosit T maupun eosinofil) dan beberapa kasus dengan peningkatan IgE, Efek merokok kronis selain terjadi perubahan struktur dan fungsi tersebut di atas terjadi pula perubahan yang
digolongkan pada timbulnya penyakit paru. Selain timbulnya kersinomna in sltu ataupun karsinoma bronkogenik invasif, penyakit paru yang umum timbul akibat menrkok aktif konis edalah Penyakit Paru Obshr*tif Kronis (PPOK), Pada individu normal terjadi perubahan (nilai) fungci paru seema ficiologic sesuai dengan
perkembangan umur dan pprtumbuhan parunya (lung grawth), Mulai pada fasc anak sampai umur kira= kira22-24 tahun terjadi perhrmbuhan paru sehinggapada
waktu itu nilai fungsi paru semakin besar bersamaan dengan pertambahan umur dan nilai firngsi paru mencapai
maksimal pada umur 22-24lahtn. Beberapa waktu nilai fungsi paru menetap (stasioner) kemudian menurun secara gradual (pelan-pelan), biasanya umur 30 tahun sudah mulai penumnan, berikutnya nilai fungsi paru (KVP = kapasitas vital paksa dan VEP, = volume ekspirasi paksa satu detik pertama) mengalami pemrmnan rerata sekitar 20 ml tiap pertambahan satu tahun umur individu. Apabila seorang individu mulai merokok terus menerus, maka pengaruhnya pada perubahan nilai fuagsi paru tergantung pada kapan mulainya merokok, apakah saat pertumbuhan paru, saat stasioner atau saat sudah mulai terjadi penurunan fungsi paru. Prinsipnya seorang perokok mempunyai nilai fungsi
paru (persentase prediksinya) lebih kecil dibanding individu normal untukumur, jenis kelamin dan tinggi badan yang sama. Besarnya penurunan fungsi paru (VEP,)
berhubungan langsung dengan jumlah rokok yang dikonsumsi pertahun dan lamanya paparan asap rokok. Dilihat dari hasil-hasil penelitian para a$i tercermin bahwa tidak semua individu yang terpapar,asap rokok mengalami perubahan pada pamnya, apakah timbul kanker
Pul.ttildrl(,tCEI
paru ataupun PPOK, Artinyahanya sekianpersen (tertenfu) saja yang mengalami adanya efek asap rokok pada panr,
Akhirnya diketahui bahwa bagi mereka yang suseptibel terhadap asap rokok sajayang akantimbul efekpadaparu, Determinan yaug telah diketahui utamanya adalah kondisi defisiensi alfe-l antitripsin, selain itu adalah : faktor debu,
bau-bauan (uap), kondisi sakit paru berat yang diderita
saat anak, dan faktor bombesin-lifte peptida yang diproduksi oleh sel-sel neuroendokin pada epitel saluran napas,
Lebih lanjut perlu ditambahkan bahwa mekanisme timbulnya kelainan paru pada perokok, antara lain adalah lewat: Timbulnya inflamasi saluran napas (senfal dan perifer), atkan resistensi saluran napas,
. .
da.pat mening
VEP'
Timbulnya hyperresponsiveness saluran napas, dapat
pula meningkatkan resistensi saluran
. .
napas,
meningkatkan nilai VEP, , Gangguan keseimbangan protease-antiprotease, Asap rokok dapat meningkatkan produksi protease dan menurunkan antiprotease, aktirnya timbul kerusakan dinding saluran napas perifer (emfisema),
Peranan sel neuroendokrin pada saluran napas dan pembentukan bombasin-llke pepfid,a sebagai deterrninan penyakit paru akibat asap rokok (masih hipotesic), Perokok yang suseptibel saja yang akan timbul PPOK atau smoklng-related dlsorders lainnya,
Efck Nlkotln Aaap Rokok Asap rokok yang dihlrup oleh perokok (aktif atau pasif) telah diketahui mempunyai beberapa efek antara lain timbulnya kanker, efek pada kardiovaskular (fisiologis dan patologis), metabolik, hematologis, metabolik dan paru. Sulit menyebutkan efek-efek tersebut ditimbulkan oleh komponen yang mana dari asap rokok tadi. Nikotin dihirup bersama asap rokok oleh perokok, sebagian diabsorbsi oleh mukosa mulut saat asap rokok sementara masih dalam rongga mulut. Sebagian yang lain masuk bersama udara napas ke dalam saluran napas dan paru mencapai alveolus. Di membran a/veol-kapiler nikotin mengalami difusi dan cepat masuk ke peredaran darah. Dalam waktu yang singkat sesudah asap rokok terhirup, nikotin dapatmencapai otak dan ditimbun disitu selebihnya
lagi ditimbun di jaringan otot (skelet, jantung)
dan
sebagainya.
Efek primer nikotin pada manusia antara lain adalah : rasa bahagia (kesenangan), keguncangan (arousal), kesigapan, perbaikan kemampuan bertugas (pedormance), mengurangi kegelisahan, kadarnya meningkat dalam darah
(katekolamin, vasopresin, hormon pertumbuhan, ACTH, kortisol, prolaktin, beta-endorfin), metabolisme meningkat, lipolisis (asam lemak bebas meningkat), vasokonstriksi
pembuluh darah kulit dan koroner, frekuensi jantung
FIBROSTs XISTIK (CI6 T'C
2295
FIIRAS'S)
meningkat, isi semenit janf,rng meningkat, tekanan darah meningkat dan relaksasi otot rangka. Apabila terjadi penghentian merokok (angka lama) akan timbul gejala : iritabel, rasa kelemahano iasa ngantuk (drowsiness), sulit konsentrasi, kemampuan bertugas
kelompok-kelompok dan menj alani program hentinterokok berdasarkan program yang telah disiapkan dengan baik, Suatu contoh di Amerika Serikat, ACS Helping Smoker Suit Clinic,merupakan klinik henti merokok menerapkan pendekatan edukasional terstandarisasi dengan pemandu
mengurang, gelisah, rasa lapar, beratbadan naik, gangguan tidur, ketagihan nikotin (merokok lagi), penurunan selresi
henti merokok khusus, petunjuk tercetak, film dan presentant terlatih sukarela,
katekolamin, dan denyut jantung melambat. Gejala ini penting diamati atau dinasehatkan pada pasien yang
Metode medikasi (Pengobatan). Di sini obat'obatan
diterapi henti merokok.
perokok-perokok agar dapat mencapai keberhasilan berhenti merokok. Tahap intervensi yaitu melakukan
mengatasi akibat merokok. Misalnya penggunaan obat Lobelin untuk henti merokok disertai dengan program edukasi atau kerjasama dengan klinik henti merokok tertentu. Lobelin adalah obat untuk substitusi nikotin bisa dalam bentuk tablet, lozenges, permen atau injeksi, Pada metode ini yang terkenal adalah nicotine replacemenl therapy, Terapi ini dipakai untuk mengatasi sementara akibat dari henti merokok (efek psikologis dan ketergantungan nikotin). Contoh, Nico tine polacrilex gum, obat berisi 2 mg nikotin yang dapat mengeluarkan nikotin bertahap (slow release of nicotine). Penggunaannya hanya dalam waktu 3 bulan, Bentuk obat lainyang mengeluarkan nikotin adalah : bentuk plester (pemberian transdermal), nikotin hirtp, nasal nicotine solution dan set'againya' Hendaknya penggunaan nikotin ini atas petunjuk dokter berhubungan adanya indikasi ataupun keterbatasan (indikasi kontra),
beberapa usaha (atau kombinasi usaha) untuk membantu
Metode p€rllaku merokok. Terapi
Terapl Hentl Merokok Tujuan terapi henti merokok adalah mengusahakan agar supaya perokok aktifberhenti merokok saat ini juga, bagi yang belum merokok dan bekas perokok tidak mulai merokok agar supaya paparan asap rokok pada individu perokok aktif maupun perokok pasif tidak terjadi lagi. Tujuan lanjut adalah membuat agar supaya asap rokok tidak menjadi polutan udara napas tiap-tiap individu, untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas PPOK dan penyakit-penyakit lain akibat merokok, Terapi henti merokok terdiri atas tiga tahapan : persiapan, intervensi dan mempe(ahankan (maintenance). Tahap persiapan bertujuan untuk meningkatkan motivasi
perokok agar dapat berhenti merokok,
Tahap
mempertahankan tetap berhenti merokok, meliputi dukungan berbagai pihak, adanya undang.undang atau pgrra#an pelindung, misalnya peraturan untuk tidak merokok di tempat umum, dan eontoh tidak merokok atau menjadi panutan untuktidak merokok. Tahap terakfiir amat penting untuk bisa berhenti merokok pennanen. Dalam kepustakaan dijelaskan ada berbagai metode berhenti merokok, yang dapat dilaksanakan oleh diri sendiri (perokok), organisasi sukarela, organisasi formal, klinik berhenti merokok dan sebagainya, yang telah banyak dilakukan di luar negeri. Di Indonesia terapi henti merokok masih terbatas dan dilakukan atas inisiatifperokok sendiri. Beberapa metode terapi henti merokok
:
Pengobatan mandiri (sely' care).Perokok tentunya sudah
inisiatif sendiri atau atas hasil motivasi lingkungannya. Pihak lain hanya membantu dengan alat-alat bantu agar perokok berhenti merokok. Alat bantu tadi misalnya: sistem filter rokok, buku petunjuk henti merokok, kit henti merokok, audiotapes, video dan program komputer untuk diikuti perokok dan sebagainya. ada keinginan untuk berhenti merokok, atas
Metode klinik dan kelompok. Ini merupakan metode henti merokok secara formal, dilaksanakan oleh unit-unit tertentu, adayang dasarnya sukarela, dan ada yang melakukannya dengan program komersial. Peserta umumnya terdiri atas
diperlukan untuk membantu perokok berhenti merokok dan
mo d
merokok wrhrk menghentikm merokok
oi perilaku mengubah
p*ilaku merokok, yang dapat dilakukan oleh perokok sendiri (self-management teehnlqae). Gontoh, misalnya perokok mengkonsumci rokok dengan kandungan nikotin dikurangi bertah ap '.30%o,60% dan90% dalam jangka waktu 3 minggu, kemudian berhenti tidak merokok. Hasilnya kurang memuaskan.
Nasehat oleh dokter. Perokok diharapkan berhenti merokok dengan bantuan nasehat dokter, yaitu terhadap perokok-perokok yang kebetulan menjadi pasiennya. Dalam hal ini dokter selain mempunyai kemampuan juga motivasi untuk mempengaruhi, mendidik pasiennya sehingga mau berhenti merokok, Selain itu, perawat, dokter
gigi, farmasis, atau respiratory therapist juga dianggap mempunyai kemampuan membantu pasiennya untuk berhenti merokok. Metode prograrn mass media dan komunitas. Ini merupakan carayangpenting untuk motivasi sejumlah besar perokok untuk berhenti merokok dengan bantuan radio dan televisi,
ataupun koran. Anjuran- anjuran bagi perokok dapat ditampilkan pada media tersebut. Program komunitas untuk mengajak para perokok untuk tidak atau berhenti merokok misalnya dilakukan dengan kampanye anti merokok, membuat larangan merokok di tempat umum dan kalau dilanggar terkena denda dan sebagainya.
2296
REFERENSI'jr i ..),, i;'i itr.;1,,,,.., :, r:r:! :,:r.r,:r, ;r,:.,1 j :j, ; 1, 1,, 1;.,,i ,,,i',1 ,i, ":,.1: ,, , .: .;:,,;tt :1,.1:.i ::ii:.:.. i.r--l:,1,),i, l,i ir.l.., i::.:,i AditaEa TY, Peni.laian PoluFl-Udaie. ;Edilqriah.
,:
..
B :i
dioksida di Udara Jakd4lq
p?dp,
Penaernara* Gas;Nitrogen jTit[(.Np.l,l'rptpf,Sa4,.ll0.,p1qlep
.I iB.egpjr ,Ipdo :1999;
4;,1!99Y,e1f,.\a;gr.3w,r
:1
;Iili,dui gulistyanir:bl.,Korldisi.
Ntara5no
i
iib'aaaiatoii:'rtrrio'ci"i
,, lr..r.ii.:i: i., ,.,
ByrdiJC.rEhf{idrn{brtai,Tritcoi'Sniolie.iMedi'cir.I ainil.Ldgzil IsSues. -. r, : Medi0liri ;N, A.mer, il992; j75 i {2f,j tg'l i1,.94 : :.. .,.. ) : Daaurrdi Y-:,.kqrpehm6il &iBqvirq-npiertili i Lun g rDis0rders!, S ehuah .
Kawaryl.Y.a4g,p.glp:pisa!.i {,R:ppir,-Icdq ?gQ4; 24 {3)
.::
Gstio -BDi: Lipsdt :MJ,i i\4dnn' JK; .Wii,rer :Md, an6 : gi6111, 11 16i1$5i ,,rr AirPoilutionland,lAsthrla.r,Results:frorn a,Pandl Studyi ,Arn.lJ Cnt ,,i,::Qare Med;199,,4; ,149,,:t1,40Q-,96_; ,1 ,;,,1,: .;;;:;i.;;t" ;,r l Ray C S. Asbestos-Related Disease. 1n B.o1{9w, }$,u.l1.,Ypgir, f,$ (eds). Manual of Clinical Problems in Pulmonary Medicine. 5th ed, Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2001, p. 424-8. S oew ara DKS. Rokok dan Permasala[-L-cni.6 "di,Ifi dQfl 'esib] Editqcb{. ,,,,,,J Rqspi;1,trp.d9,,1?95;q[Q.{!),:;,F9:91,.,,r ,,r,,,:] j., j : j jij,:.,;
tl6-33,
75 (?)1:.,451,,12. ,::,,, t,,:. ,, :1,.: .; r, i:;..,;lj ;r..lli,: ; StatE,of;$d,Art:: Haaltli Effests::of Orir.ldqor,Air,.Po]-Iuliql,rBatt,l,. ',:, ,:1992;,
Feliwed dim Jwuf rd::Mentkdk,Pasif. iJ;Respir Indo' 1999;119 (l) : 22-26t Fiei SB;:Puknou?4y; Dise4se. .ft, Mygrs\4.R, (ed.): .Medicinq,;2lir .ed.;
,, :p,',Elpdslph:1u, I{a1wq!,!u!J.$\|og1;L\)4,;p,t,8!-9Q.,.i:, :::r :;., Sud Ec -Fa
,',.,,44. IiR;eqpj1;Qrri1,6g1q:Msd;1996;: l!,Q1:,3,;10.,. .,, rir i i :: ji: of the Art : Health !Seg1,qf.Og.l$ogp Ai1,P9|tq!ion. Pert z.
State
ph' llassah'W Kbrbofl ,honokbida Polutin yang Semakin Men$aniiami Majalah Kedokteran Nusantara 2004; 37 (4);:1204-6.; ,::'..;:,, ,l3l,L=YI#
New York, McGrawrl{ill, 2002,,p 205-16. , Tanous.e LI., AsbestosiRelated,Lungr prlease..1z-
:r:,,rJ4r
{is,bq+l,I.{r
Mrirfual'of
,
rl;i:ri r :'-,ri HUgFrbcrnilil/Gr'ebal.Wcirkof.sriPfleuinocirrdiosjS,:i.I.;rr,'Bdi.d{rw
,,'i
j,::.;M.edlpr4q::5:tl,tp,;,Ph{a.de$i$
200!, Jaidin TD Respir ;,tr
1.925;:
,
Mq!i1*
-HilJi,?',a.9?r
[iie'
tiisdure.'i,
iil. (ea*)i,Fisiiniifr 'd'Mdiidil
.i :'
i,6i
pfu
5i166ag rDisais{*.hnilDi3ordeid.
ir!:ijHil1,":2I02!:p!.t,i}il,I:i' I
}gi6[i Ndi, ]volk,'McGra*r
.
t
:-.:. .j I
.-';-'.:''.',,,r:-l
Tmouse,tfi; :eo4t.iVqrkersr,Iru+e iDiqeaEe.ial4;$ilnosist;.az1E!$-hrn:+
:
AB
Elias,,JA",E1p!qg4; J$,,
gt,el,,(9#); IilEo1a*'l,.Vqq*+l:,ef
se. 3'd ed. St Louis,
tt,i:, :ii.,.:.:-t
,l
.-i:.,frir_,1.,
ii,,,l,:, .::.;i:;;1,,.
/'Q,,Ep{ilqgi..{.!,a14,[q?fT,,.,Il,. T]:"
r
" 'T9 '13
Leader
dence for Advirse
'
.&i}'Vjl!f+.c
GG Clinical Manifes
pr,3F5r;14,
SPlql P,,Ptlip
,!!p.9!n.pq.t1 ,,Wi}l!eeei
",$,
,a-M.t"r'
i*,{,,rand
lr[orr'rs,{,{r(pd--s,)" Mr*ual,o-.fiClinicg{;Psg.}lqi,qqirsrPulmbrfary
11
.4P, : ElLias
M*r,tt.ql.qi P.glmo4qy
,:l:e1., (94p).,:Flshmqqlt
'ir"atreiiitl
'
f ishmaq
;:150.r:i 1'216j!ll8:.,i
Itlpgprv
ResPl''P' lt'1?'99i
AdUlts : New EviE fl"ectS.'
Edk{iriats. :tu11 J
Ciit Care Med
,'i:.!::i ,i;r-,.,:':;,ii,;t',.,: i-ri:
Ma-rgo1\a gPi, gsaha.Penghbnti&q,Meiskpk
I,
a:ii:j
jl
-, ,
S94;
,, i;:r,!i.::,;;
r,, ;1,;; i r-.:l I i
:,:. : )':
"
W,iA.q{taMi,At}$/ro4i jdflr-rrYug+tft:Bengaruh:Dhburfutpfier.{!ad-aplFplgqi Paru Peke{a P"buk,rggH,i.1,
.'
&pspir.Iudqr lg96tr l:6
,, ,(l) I 118:?L:1. .;i;s;,.i::-. , ,,.. : ,. r.
r'-d.'Ei*ioiders.'
3d,eii. jNc*, Yrirk;'lvicc*it+-r+in, zooz, rl;,.;pr:,12,73180;;ii.i::-:'.-,;:::".,:':,ira:i;i; i,-.t',lr"i:;:-'liiriri.::r;,1::iij.r :l i, rr g,'nE"!u'r
: Il-21 ,Yurrus: E ;Psnyeh1,{P,+ru
TT,F:'?19,,{,1?'.p,{
Akibat,r6orja dr
J-lerft
l??%,1?.,(P
qbureli;I Rsspjl :lqd9
:,;
:11
f9p,
i,:ii, ;:i;i1il.l::r:t:i
i;,r,i, ii,-:i:ii
ilt_,,j
i.:r ;;i:rtr::
,-;j
r, lii;.: i,r :-; i iit,i-i .':::',;- i;. :l t:r'-iar ii'ri.t i I i li::ii. l i rintr:: :i;i,iiii:>;t:i jf;;. i;11,:;:;-j :i 1-; ,r,',-.,,,, :
jtr,ir::'..,i': tlr;: :!, I jtili:
..ii : ii
ii :ir, ..r.;,!
ltl l'r.liji-1i.lt;.,!
:
ii,i;
l.' .ri:ii
,
t":r.t;lIi',)::it,.' i_,,i rli:r ii ,l: ,.
:il;; ri';ia.::rii:; -iili;i:i
j.,itjil
::,ri!l!rirl::
:i.l;l:j';lrita trr: ,.!;-rti::il,ri'.i;:r1;.,.i,2
:,r'.:.';;i:-'i;l,i;r.
,l;,.';ti:,
'i1;;il,i':il,l:;:;i
.ii'.;::; :l ::,,;:r:r.l;::;;l:;':1-,';:
:;ljr ir :li]tii ,,r::t .,':i::,,1..!,;l,t :r','Ii:r,r:i;i-: ;-;'1.; j :j::: it,
jl t i
r'.r,.- ..
:;
i
r'i ;-;.:;, ;1-;.,f
at
itt,'t:i_r-ii:
jj
il;
j j".,i-l
litl.' -il
-.1;t:'1
:til,,
i i:' ' ,,i';tr.:!
iit{itil,
fl1"l. :1'il
':ii;i,:
:ll,i'rlf:t!
dalam,kand,:qlpgarl.:4Ictprrgp,etikata,EfakJotp.egqnrbuhatr
dan perkembangan fetus memegang peran'penting; Bronkiektasis yang timbul kongenital mempunyai ciri ktaej.amsnc,engi.lpgii sat,r dtirii liedua paru' s
s
Kedua; r,broalciektasi&r kongebital seri'*g"irhe1rybr'tai penyakit.pdnyakit',kongeni'taI i']aiinhya;1 rnisalnya, ; Mueavis aidqsid:,(eybfici p ulmonatg'frbras ts); sind'rom Kartbge n et, :(Br d rylei e k t'asis, k on g e h,it al; ;', s i nws i tis ; par andsat', :rrdan; i:si / ers :', inu erdila) r',', hip o' r, &t&ti r
i
;
agamaglobulinereia;, bronkicktasic p-ada an€tk,kembar satu telurr, (anak :. yang,satu dengan l bronkiektasis'.' tcrnyata s audara kcmbarnya, iuge @coderita, bronki cktas is),
KglainanrDidapat,,;,:',:rr,:,,t'r,::ii":, r;,'. : Di Indonesia belum
ada laporan tentang anglld:arigkb
yang,pasli mengenpi pgnyakil ini, [gnyalq4nnya pen-yakit ini cukup sering ditemu\agdi kliqik klinikdap didqrila,oleh uan. dii'"& t,
::
Bronkiektasis sering merupakan kelainan didapat'dan kebanyakan merupakan akibat proses berikut : .r
'
.
Inft kii:'Btorekiektasi's r,sering,terjadi:
.
;
sospdah;lseseorang
aqak::mendbritarprieurnbnia,yangr;sering
kambuhi,dan
berlangsung, l-arfu c; Prm:urnp-1i4,'inii umtrrirnyar :flIetrupakah komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita semasa i anak, tuberkulosis paru, dan sebagaifiya;i ji: 'i:" '' r: ':
:
, ::.'i-,.r:1,,:
::\|,.,.1:1...::t
ETlOtOGf.,,,ii,i i
I
.'
:,i
.t:;.:
i i:',),ri
:liaii,,:r' j
luar lainnya terhadap bronkus. Menurut penelitian p ara ah l i:i dikbtahil i ibahwd i adany e, infeks,i : dtauptui
Penyebab bronkiektasis sampai sekarang masih'belum
dikelahq! . ensgl jglqg.,Pq4q Fsqyat??gnya.k?-sug;.\+9ug bronkiektasip dap4! ti{nbul secara konggnilalmaqp.uu i',:
i.,,'
;:,;t-,r,
i
Keiainan"Kohgenitaf; 1,,,
.
,,,, ',:, ::','..i
oo-strirksi bronkijs i tidak :selalu, secaia,'hyata: (arrtoniatis)
d&put i;r
i
] :1.:
rnenimbirlkan, bronkiektrisis I :Olehr :karenanya' diduga mnngkin rir'asih ada:faktor instrinsik (yang'sainpai Sekarang b e lum, dlketahui) :ikut,.bgrp eraft ,terhildap timbulnya :
,
..i
bronkiektasis.,
Ddlam hal ini brbntitektbsii tefjbdi' sejak individu masih I
2297
2298
PIJIfiONIoLOGI
PERUBAHAN PATOLOGI ANATOM IS
kronik. b), Bentuk kantong (Saecular bronchiectasis), Bentuk ini merupakan bentuk bronkiektasis yang klasik,
Terdapat berbagai variasi bronkiektasis, baik mengenai
ditandai dengan adanya dilatasi dan penyempitan bronkus yang bersifat iregular Bentuk ini kadang-kadang berbenftd<
jumlah atau luasnya bronkus yang terkena maupun
kista (eystic bronchieetasis), c),
beratnya penyakit,
Tempat Predlsposlsi Bronklektasls
bro difus
Bronkiektasis dapat mengenai satu se paru, bahkan dapat secara kedua Bagian paru yang sering terkena dan merupakan tempat
lobus bagian lingula paru kiri lobus atas, s predisposisi bronkiektasis adalah
anan; 'pada
lobus bawah kedua paru,
Bronkus yang Terkena Bronkus yang terkena umumnya adalah bronkus ukuran sedang (medium sLe), sedangkan bronkus besar jarang terkena, Bronkus yang terkena dapat hanya pada satu segmenparu saja (lokal) maupun difus mengenai bronkus kedua paru.
Perubahan Morfologis Bronkus yang Terkena Dinding bronkus. Dinding bronkus yang terkena dapat mengalami perubahan berupa proses inflamasi yang sifatnya dekstrutif dan reversibel, Pada pemeriksaan patologi anatomi sering ditemukan berbagai tingkatan keaktifan proses inflamasi serta terdapat proses fibrosis. Jaringan bronkus yang mengalami kerusakan selain ototototpolos bronkus juga elemen-elemen elastis, pembuluhpembuluh darah dan tulang rawan bronkus. Mukosa bronkus. Mukosa bronkus permukaannya menjadi abnormal, silia pada sel epitel menghilang, terjadi perubahan
metaplasia skuamosa, dan terjadi sebukan hebat sel-sel inflamasi, Apabila terjadi eksaserbasi infeksi akut, pada mukosa akan terjadi pengelupasbn, ulserasi, dan pernanahan.
Jaringan paru peribronkial. Pada parenkim paru peribronkial dapat ditemukan kelainan antara lain berupa pneumonia, fibrosis paru atau pleuritis apabila prosesnya dekat pleura. Pada keadaan yangberat, jaringan paru distal bronkiektasis akan diganti oleh jaringan fibrotik dengan kista- kista berisi nanah. Arteri bronkialis di sekitar bronkiektasis dapat mengalami pelebaran (aneurysma Rasmussen) atau membentuk anyamanl anastomosis dengan pembuluh sirkulasi pulmonal.
Variasi kelainan anatomis bronkiektasis Telah dikenal ada 3 variasi bentuk kelainan anatomis bronkiektasis, yaitu: a). Bentuk tabung (Tubular, Cylincdrical, Fusifurm bronchiectasls). Variasi ini merupakan bronkiektasis yang paling ringan, dan sering ditemukan pada bronkiektasis yang menyertai bronkitis
Varieose bronehieelasu,Bentuknya merupakan bentuk antara di antara bentuk tabung dan kantong. Istilah ini digunakan ,karena perubahan bentuk bronkus menyerupai varises ,pembuluh vena, Adanya variasi bentuk-bentuk anatomis bronkus tadi g, karena kelainan-kelainan
al dari etiologi yang sama dan tidak mcmpengaruhi gejala klinis, dan manajemen pengobatannya sama saja, Bahkan beberapa bentuk kelainan tadi bisa terdapat pada satu pasien,
Pseudobronklektasls Bentuk ini tidak termasuk bronkiektasis yang sebenarnya,
karena terdapat pelebaran bronkus yang bersifat sementara, umumnya benruk silindris dan tidak terdapat kerusakan dinding bronkus, Kelainan ini bersifat sementara karena dalam beberapa bulan akan menghilang. Bentuk ini
biasanya merupakan komplikasi pneumonia,
PATOGENESIS
Patogenesis bronkiektasis tergantung faktor penyebabnya. Apabila bronkiektasis timbul kongenital, patogenesisnya tidak diketahui, diduga erat hubungannya dengan faktor genetik serta faktor pertumbuhan dan perkembangan fetus dalam kandungan, Pada bronkiektasis yang didapat, patogenesisnya diduga melalui beberapa
mekanisme. Ada beberapa faktor yang diduga ikut berperan, antara lain : l), faktor obstruksi bronkus, 2).faktor infeksi pada bronkus atau paru, 3). faktor adanya beberapa penyakit tertentu seperti fibrosis paru, asthmatic pulmonary eosinophilia, dan4). faktor instrinsik dalam bronkus atau paru. Patogenesis pada kebanyakan bronkiektasis yang didapat, diduga melalui dua mekanisme dasar.
Permulaannya didahului adanya faktor infeksi bakterial. Mula-mula karena adanya infeksi pada bronkus atau paru, kemudian timbul bronkiektasis. Mekanisme kej adiannya sangat rumit. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa infeksi pada bronkus atau paru, akan diikuti proses destruksi dinding bronkus daerah infeksi dan kemudian timbul bronkiektasis.
Permulaannya didahului adanya obstruksi bronkus. Adanya obstruksi bronkus oleh beberapa penyebab (misalnya tuberkulosis kelenjar limfe pada anak; karsinoma
bronkus, korpus alienum dalam bronkus) akan diikuti terbenhrknya bronkiektasis. Pada bagian distal obstruksi
2299
BRONIIIEKIAIIII
biasanya akan terjadi infeksi dan destruksi bronkus, kemudian terjadi bronkiektasis, Mekanisme kejadiannya sangat rumit, Pada bronkiektasis didapat, pada keadaan yang amat jarang, dapat terjadi atau timbul sesudah masuknya bahan
kimia korosif (biasanya bahan hidrokarbon) ke dalam
oleh kuman anaerob, Contoh kuman anaerob ini misalnya: s ifornis fus i/ormis, Tlep o nem a vine enti, anaero b ic streptaeocei dan sebagainya. Kuman-kuman aerob yang sering ditemukan dan meng-infeksi bronkiektasis misalnya t Streptoeoeeus pneumoniaen Haemophilus inJluenzae, Klcbsiella ozaena, dan sebagainya.
Fu
saluran napas, dan karena terjadinya aspirasi berulang bahan/eairan lambung ke dalam paru, Seperti diketahui, bronkiektasis merupakan penyakit pam yang mengenai bronkus dan sifaalya kronik, Keluhankeluhan yang timbul juga berlangsung kronik dan menetap, Keluhan-keluhan yang timbul berhubungan erat dengan :
l),
luas atau banyaknya bronkus yang terkena, 2), tingkatan beratnya penyakit, 3), lokasi broukus yang terkena, dan 4), ada atau tidak adanya komplikasi lanjut, Pada bronkiektasis, keluhan - keluhan timbul umumnya sebagai akibat adanya beberapa hal berikut : l), adanya kerusakan dinding bronkus, 2), adanya kerusakan fungsi bronkus, dan 3), adanya akibat lanjut bronkiektasis atau komplikasi dan sebagainya, Kerusakan dinding bronkus berupa dilatasi dan distrosi dinding bronkus, kerusakan elemen elastis, tulang rawan, otot-otot polos, mukosa dan silia, kerusakan tersebut akan menimbulkan stasis sputum, gangguan ekspektorasi, gangguan refleks batuk dan sesak napas.
Mengenai infeksi dan hubungannya dengan
PERUBAHAN FAALPARU
Kelainan fungsi paru yang terjadi pada pasien bronkiektasis sangat bervariasi dan tingkatan beratnya tergantung pada luasnya kerusakan parenkim paru dan seberapa jauh beratnya komplikasi yang telah terjadi, Akibatnya dapat dijumpai pasien bronkiektasis ringan tanpa kelainan fungsi pam atau hanya kelainan ringan saja,
bronkiektasis sedang dengan kelainan fungsi paru derajat sedang dan bronkiektasis berat dengan kelainan fungsi paru berat, Selain itu perlu dinyatakan bahwa kelainan fungsi paru (faal ventilasi) yang terjadi selain jenisnya
tidak sama (artinya bisa tipe obstruktif, restriktif atau campuran), jenis kelainannya juga tidak khas, Janis kelainan fungsi paru tadi tergantung pada macam kerusakan jaringan paru atau saluran napas yang terjadi,
sehingga pengaruhnya pada fungsi paru dapat berbeda-beda.
patogenesis bronkiektasis, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Infeksi pertama Qtrimer\, Kecuali pada bentuk bronkiektasis kongenital, tiap bronkiektasis kej adiannya didahului oleh infeksi bronkus (bronkitis) maupun jaringan paru (pneumonia), Masih menjadi pertanyaan, apakah infeksi yang mendahului terjadinya bronkiektasis tersebut disebabkan oleh bakteri atau virus. Menuntt hasil penelitian
para ahli terdahulu ditemukan bahwa infeksi yang mendahului bronkiektasis adalah infeksi bakterial, yaitu mikroorganisme penyebab pneumonia atau bronkitis yang mendahuluinya. Dikatakan bahwa hanya infeksi bakteri saja y ang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding bronkus sehingga terjadi bronkiektasis, sedangkan infeksi virus tidak dapat, Boleh jadi bahwa pneumonia atau bronkitis yang mendahului bronkiektasis tadi didahului oleh infeksi virus (misalnya adenovirus tipe 21, virus influenza, campak, dan sebagainya),
GAMBAMN KLINIS Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada luas dan beratnya penyakit,
lokasi kelainannya dan ada atau tidak adanya komplikasi lanjut. Ciri khas penyakit ini adalah adanya batuk kronik disertai produksi sputum, adanya hemoptisis dan pneumonia berulang, Gejala dan tanda klinis tersebut dapat demikian hebat pads penyakit yang berat, dan dapat tidak nyata atau tanpa gejala pada penyakit yang ringan. Bronkiektasis yang mengenai bronlars pada lobus atas sering dan memberikan gejala.
Keluhan-keluhan Batuk. Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain batuk produktif berlangsung konik dan frekuens mirip
konik (bronchitic-like
Infeksi sekunder. Tiap pasien bronkiektasis tidak selalu
seperti pada bronkitis
disertai infeksi sekunder pada lesi (daerah bronkiektasis), Secara praktis apabila sputum pasien bronkiektasis bersifat mukoid dan putih jernih, menandakan tidak atau belum ada infeksi sekunder, Sebaliknya apabila sputum pasien yang semula berwarna putih jemih kemudian berubah wamanya menjadi kuning atau kehijauan atau berbau busuk berarti telah terjadi infeksi sekunder. Untuk menentukan jenis kumannya bisa dilakukan pemeriksaan mikrobiologis,
jumlah sputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak
Sputum berbau busuk menandakan adanya infeksi sekunder
symptoms),
terutama pada pagi hari sesudah ada perubahan posisi tidur atau bangun dari tidur, Kalau tidak ada infeksi sekunder sputumnya mukoid, sedang apabila terjadi infeksi sekunder sputumnya purulen, dapat memberikan bau mulut yang tidak sedap (fetor ex ore), Apabilaterjadi infeksi sekunder oleh kuman anaerob, akan menimbulkan sputum sangat berbau busuk. Pada kasus yang ringan, pasien dapat tanpa batuk atau hanya timbul batuk apabila ada infeksi sekunder.
2300
T,UHUONOT.oGI
Fada kasus,yafl g sudah
bera!,nrisalnya pad a,saceular typ e tirimehleetesis, sgfumjumlahnya banyaft ssftali,rputulen; dan ' aliabila ,ditampung, .beb erapa .larna, tarnpak ,terpisah merij adi,3' iapisari :, a)i Lapisan,teratas, hgak leruh, terdiri atas.rmtkus, b).. Lapisan. tengah,jemih; terdiri atas. saliva (ludah), dan c). Lapisan.terbawah ker.uh;.terdiri atirs nanah dan jaringan nekrosis dari bronkus yang rusak (cellular debris). Hemoptisis. Hemopti sis atau
he
m op to
e terladi kira-kira pada
;
l(el6i1in paru yangi timbul tergantung I
;
pa;da
r
beratnyd
kelainanbionkiektasis terjadi,' dan kelainannyri apakah lokal atau difus. Pada pemeriksaan,fisis.paru, serta toinp-at
kelainaanya' harus dicari pada ter,rrpat-tempat predisposisi. Pada bronkiektasis biasanya ditemukan, ronki basahiyang jelaspada lobuS,bawah paru yangterkena dan keadaannya menetap dari waktu ke waktu, atau ronki basah,ini hilang sesudah pasien mengalami 'drainase. postural ,dan timbul lagi di waktu yang lain. Apabila bagian paruyang diserang amdt; luas s erta kerusakannya hebat; : dapat menimbulkan kelainan berikut : 'terjadi retraksi rdil{l1g.dad6: da1 berkurangnya gqrakan,dada daerah, yang' terkena : sdrta dapat nedadi penggeseran mediastinum ke daerah paru yang terl{ena,' Bila :terdapat komplikasi pneumonia akan diternukan kelairan fisis sesuai dengan pneumonia. Wheezir8: sering tditemukan, hphbila terjadi obstruksi bronkus.
j elas hendakn y a
diingat dry b r onahi e etas is ini, Hemoptisis pada bronkiektasis walaupun kadang-ka danghebat jarang rkulosis gr.),ini
fatal, mcru
panr ycbabulama
,:
Bronkolltlasls. Kelainan ini merupakan kalsiflrkasi kelenjar
rr-;'
Sesak napae (Dlopnea).. Pade oebagianlbesar pasicn!(50% kasug) ditcmukan kcluhan ,sesak napes
, Timbul dan beratnya tcrgantung ,peda seberapa luasnya: bronkitis kronik yang terjadi serta seberapa jauh timbulnya kolaps paru,dan destr.uksi jaringan.paru yang teladi sebagai akibat inf,eksi; berulang (ISPA);, yang biasanya :menirnbulkan fih.rosis,paru dan gmf,rsemayang menimbulkan,sesak napas
Bqsak, napas,
tadi. Kadang-kadang,ditQmukan pula. suara mengi (wheezing)
; akibat,adanya obstruksi bronkus.,
Whe
ezing
dapat lokal atau tersebar tergantung,pada distribusi kelainannya. Demam berulang. Bronkiektasis merupakart penyakit yaxg mengalami infeksi berulang pada qeqilCCa sering timbul demam
lru,
., :t:..:..,. t: ... -,
; ,
.
Kelainan Fisis
rio.gan gambaran. darahnya norrnal, Sering-sering ditemukan anemia,,yang menunjukkan adanya infeksi kronik, atau ditemukannya leukositosis yang mgnunjuk(an adanya infeksi supuratif.
Urin umumnya normal. kecuali bila sudah ada komplikaSi amiloidosis akan ditemukan proteinuria. P6rneriksaan sputum .dengan pengecatan langsung dapat dilakukaii untuk menentukan kuman apa yafg'terdapat :
pemeriksaan fi sis,, mungkin, p asien sedang mengalanair :batukibatuk dengan, pengeluaran sputum, Pada, rsaat
Kelainan: Laboratorium Kelainan laboratorium pada pasien ini umumnya tidak khas, Pada keadaan lanjut dan sudah,r.nulai ada insufisiensi paru dapat, ditemukan polisitemia sekunder, : Bila penyakitrrya
r
sesak,napas, dematr, atau sedang batuk,darah. Tandatanda fisis umurn yrang dapat ditemukan meliputi sianosis; jari tabuh, manifestasilJinis komplikaSi bronkiektasis: Pada kasus yang berat dan lanjut dapat ditemukantanda.tanda kor pulmonal kronik maupun payah jantung,kanatr.
dalam sputumi' Pemeriksaan' kultur sputurn {an uji
sensitivitas terhadap rarrlibiotik perlu dilakukan i apabila ada'kecuriga&n adanya, infeksi,'sekunder.,Perlu' segera dicurigai adanya infeksi sekunder apabila r;risalnya dijurnpai sputum pada hari.hari sebslumnya wamanya putihjemih,ryang berubah menjadi wama kuning atau hijau.
2301
BRONKIEX$ASIS
Gambaran foto dada @lain film) pasien bronkiektasis posisi berdiri sangat bervariasi, tergantung berat ringannya kelainan serta letak kelainannya. Dengan gambaran foto
sianosis ata's tanda kegagalan paru. Umumnya pasien mempunyai keadaan umum kurang baik. Sering ditemukan infeksi piogenik pada kulit, infeksi mata dan sebagainya. Pasien mudah timbul pneumonia, septikemia, abses me-
dada tersebut kadang-kadang bapat ditentukan
tastasis, kadang-kadang terjadi amiloidosis. Pada
kelainannya, tetapi kadang-kadang sukar. Gambaran
pemeriksaan fisis dapat ditemukan ronki basah kasarpada daerah yang terkena. Pada gambaran foto dada ditemukan kelainan : 1). penambahan bronchovascular marking,2).
Kelainan Radiologis
radiologis khas untuk bronkiektasis biasanya menunjukkan kista-kista ke cil denganfluid level, mirip seperti gambaran sarang tawon (honey comb appearance) pada daerahyang terkena. Gambaran seperti ini hanya dapat ditemukan pada 13 %o kasus. Kadang-kadang gambaran radiologis paru pada bronkiektasis menunjukkan adanya bercak-bercak
pneumonia, fibrosis atau kolaps (atelektasis), bahkan kadang-kadang gambaran seperti pada paru normal (pada
multiple cysts contai-ning Jluid levels (honey comb appea-rance).
Perjalanan Klinis Penyakit Sesudah seseorang menderita bronkiektasis, perj alanan
bronkogram.
klinis penyakit selanjutnya tergantung pada luasnya penyakit, efektivitas drainase sputum dan efektivitas pengobatan infeksi berulang yang terjadi. Kalau
Kelainan Faal Paru
penyakitnya luas atau pengobatannya tidak memuaskan, dapat timbul beberapa komplikasi lanjut yang tidak
7% kasus). Gambaran bronkiektasis akan jelas pada
Kelainan faal paru yang terjadi tergantung pada luas dan beratnya penyakit. Fungsi ventilasi dapat masih normal bila kelainannya ringan. Pada penyakit yang lanjut dan difus, kapasitas vital (KV) dan kecepatan aliran udara ekspirasi satu detik pertama (VEPr) terdapat tendensi penurunan, karena terjadinya obstruksi aliran udara pernapasan. Pada bronkiektasis dapat terjadi perubahan gas darah berupa penurunan PaO, derajat ringan sampai
menyenangkan.
Apabila penyakit ini berlanjut terus, keadaan umum pasien dapat menjadi sangat menurun. Sebagai akibat daya tahan tubuh yang memrrun mudah timbul infeksi berulang,
nafsu makan berkurang menimbulkan malnutrisi dan sebagainya. Dalam keadaan yang sangat jarung, pada pasien dapat timbul perubahan degeneratif yaitu terjadi amiloidosis.
berat, tergantung pada beratnya kelainan. Penurunan PaO, ini menunjukkan adanya abnormalitas regional (maupun difus) distibusi ventilasi, yang berpenganrh pada perfisi paru).
Tingkatan Beratnya Penyakit Tingkatan beratnya penyakit bervariasi mulai dari yang ringan sampai berat. Brewis membagi tingkatan beratnya bronkiektasis menjadi derajatringan, sedang, dan berat.
Bronkiektasis ringan. Ciri klinis : batuk-batuk dan sputum wama hijau hanya terjadi sesudah demam (ada infeksi
sekunder), produksi sputum terjadi dengan adanya
DIAGNOSIS Diagnosis bronkiektasis kadang-kadang sukar ditegakkan
walaupun sudah dilakukan pemeriksaan lengkap. Diagnosis penyakit ini kadang-kadang mudah diduga, yaitu hanya dengan anamnesis saja. Diagnosis pasti bronkiektasis dapat ditegakkan apabila
telah ditemukan adanya dilatasi dan nekrosis dinding bronkus dengan prosedur pemeriksaan bronkografi, melihat bronkogram yang didapatkan dan CT scan.
perubahan posisi tubuh, biasanya ada hemoptisis sangat ringan, pasien tampak sehat dan frrngsi paru normal. Foto
bronkiektasis, karena terikat oleh adanya indikasi,
dadanormal.
kontraindikasi, syarat- syarat kapan melakukannya dan
Bronkiektasis sedang. Ciri klinis : batuk-batuk produktif terjadi tiap saat, sputum timbul setiap saat (umumnyawana hijau dan jarang mukoid, serta bau mulut busuk), sering-sering ada hemoptisis, pasien umumnya masih
sebagainya.
tampak sehat dan fungsi paru normal, jarang terdapat jari tabuh. Padapemeriksaan f,rsis paru sering ditemukanronki basah kasar pada daerah paru yang terkena, gambaran foto dada boleh dikatakan masih normal.
Bronkiektasis berat. Ciri klinis : batuk-batuk produktif
Bronkografi tidak selalu dapat dikerjakan pada tiap pasien
Computed tomography (CT) Scan paru, menjadi altematif pemeriksaan penunjang yan[ paHng sesuai untuk evaluasi bronkiektasis, karera sifatnya non in vasif dan hasilnya akurat bila menggunakan potongan yang lebih tipis dan mempunyai spesifisitas dan sensitivitas lebih dari 95 %. Oleh karena pasien bronkiektasis umunnya
memberikan gambaran klinis yang dapat dikenal, penegakan diagnosis bronkiektasis dapat ditempuh
dengan sputum banyak berwama kotor dan berbau. Sering ditemukan adanya pngumonia dengan hemoptisis dan nyeri
melewati proses diagnostik yang lazim dikerjakan di bidang kedokteran, meliputi : 1). Anamnesis, 2). Pemeriksaan fisis,
pleura. Sering ditemukan jari tabuh. Bila ada obstruksi saluran napas akan dapat ditemukan adanya dispnea,
3). Pemeriksaan penunjang, terutarna pemeriksaan radiologik (bronkograJi) don CT scan paru.
2302
PI.JLMOI{OT.OGI
.
DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit yang
. .
degeneratif, sebagai komplikasi klasik danjarang te{adi. Pada pasien yang mengalami komplikasi amiloidosis
perlu diingat
atau dipertimbangkan kalau berhadapan dengan bronkiektasis ; . Bronkitis lconik (ingatlah defrrisi klinik bronkitis kronik). . Tuberkulosis paru (penyakit ini dapat disertai kelainan anatomis paru berupa bronkiektasis). . Abses paru (terutama bila telah ada hubungan dengan bronkus besar).
Penyakit paru penyebab hemoptisis, misalnya
:
karsinoma paru, adenomaparu, dan sebagainya.
Fistulabronkopleuraldenganemplema.
KOMPLIKASI
Amiloidosis. Keadaan ini merupakan perubahan sering ditemukan pembesaran hati dan limpa serta proteinuria.
PENGOBATAN Pengelolaan pasien bronkiektasis terdiri atas dua kelompok
:
Pengobatan konservatif dan pengobatan pembedahan. Pengobatan konsevatif terdiri atas : pengelolaan umum, pengelolaan khusus, pengobatan simtomatik.
Pengobatan Konservatif
Ada beberapa komplikasi bronkiektasis yang dapat
Pengelolaan umum. Pengelolaan umum ini ditujukan
dijumpai pada pasien, antar a lain . Bronkitiskronik.
terhadap semua pasien bronkiektasis, meliputi
:
. Pneumonia dengan atau tanpa
Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi
.
pasien. Contoh : - membuat ruangan hangat, udara ruangan kering. - mencegah/menghentikanmerokok. - mencegah/menghindari debu, asap dan sebagainya. Memperbaiki drainase sekret bronkus.
atelektasis. Bronkiektasis sering mengalami infeksi berulang,
. . . .
biasanya sekunder terhadap infeksi pada saluran napas bagian atas. Hal ini sering terjadi pada mereka yang drainage sputumnya kurang baik. Pleuritis. Komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya pneumonia. Umumnya merupakan pleuritis sicca pada daerah yang terkena. Efusi pleura atau empiema (arang). Abses metastasis di otak. Mungkin akibat septikemia oleh kuman penyebab infeksi supuratifpada bronkus. Sering menjadi penyebab kematian. Hemoptisls. Terjadi karena pecahnya pembuluh darah cabang vena (arteri pulmonalis), cabang arteri (arteri
Carayangbaik dikerjakan sebagai berikut
tindakan ini merupakan cara yang paling efektif untuk mengurangi gejala, tetapi harus dikerjakan secara terus-menerus. Pasien diletakkan dengan posisi tubuh sedemikian rupa sehingga dapat dicapai
drainase sputum secara maksimal. Tiap kali melakukan drainase postural dikerjakan selama 10-20 menit dan tiap hari dikeqakan 2 sampai 4 kali. Prinsip drainase postural ini adalah usaha mengeluarkan sputum (sekret bronkus) dengan bantuan gaya gravitasi. Untuk keperluan tersebut, posisi tubuh saat dilakukan drainase postural harus
Komplikasi.hemoptisis hebat dan tidak terkendali merupakan tindakan bedah gawat darurat (indikasi pembedahan). Sering pula hemoptisis masif yang sulit
.
diatasi ini rnerupakan penyebab kematian utama pasien bronkiektasis. Sinusitis. Keadaan ini sering ditemukan dan merupakan bagian dari komplikasi bronkiektasis pada saluran napas. Korpulmonalkronik(KPK). Komplikasi ini seringterjadi pada pasien bronkiektasis yang berat dan lanjut atau mengenai beberapa bagian paru. Pada kasus ini bila
disesuaikan dengan letak kelainan bronkiektasisnya.
Tujuan membuat posisi tubuh seperti yang dipilih
tadi adalah untuk menggerakkan sputum dengan pertolongan gaya gravitasi agar menuju ke hilus parubahkan mengalir sampai ke tenggorok sehingga mudah dibatukkan ke luar. Drainase postural tiap kali dikerjakan selama 10-20 menit atau sampai sputum tidak keluar lagi. Apabila dengan mengatur posisi tubuh pasien seperti tersebut di atas belum diperoleh drainase sputum secara maksimal dapat
terjadi anastomosis cabang-cabang arteri dan vena pulmonalis pada dinding bronkus (bronkiektasis), akan
.
:
- Melakukan,drainase postural
bronkialis) atau anastomosis pembuluh darah.
.
:
.
terjadi arterio-yenous shunt, terjadi gangguan
dibantu dengan tindakan memberikan ketukan
oksigenasi darah, timbul sianosis sentral, selanjutnya te{adi hipoksemia. Pada keadaan lanjut akan terjadi hipertensi pulmonal, kor pulmonal kronik. Selanjutnya dapat terjadi gagal jantung kanan. Kegagalan pernapasan. Merupakan komplikasi paling akhir yang timbul pada pasien bronkiektasis yang berat dan luas.
dengan ja;:,pada punggung pasien (tabotage). Mencairkan sputum yang kental. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan, misalnya : inhalasi uap air panas atau dingin (menurut keadaan), menggunakan obat-obatan mukolitik dan perbaikan hidrasi tubuh. Mengaturposisitempattidurpasien. Posisitempat
-
-
tidur pasien sebaiknya diatur sedemikian rupa
2303
BRONKIEKTPsIS
sehingga posisi tidur pasien dapat memudahkan drainase sekret bronkus. Hal ini dapat dicapai misalnya dengan mengganjal kaki tempat tidur
bronkodilator. Sebailmya sewaktu dilalorkan uji faal paru dan diketahui adanya tanda obstruksi saluran napas sekaligus dilakukan tes terhadap obat bronkodilator.
bagian kaki pasien (disesuaikan menurut kebutuhan) sehingga diperoleh posisi pasien yang sesuai untuk
Apabila hasil tes bronkodilator positif, pasien perlu
memudahkan drainase sputum.
-
.
Mengontrol infeksi saluran napas. Adanya infeksi saluran napas akut (ISPA) harus diperkecil dengan Apabila telah ada infeksi (ISPA) harus diberantas deagan antibiotik yang sesuai agar infeksi tidakberkelanjutan. Apabila ada sinusitis harus disembuhkan.
j alan mencegah pemaj anan kuman.
.
Pengelolaan Khusus.
sulit menghentikan perdarahan ini. Telah banyak dilaporkan oleh para peneliti hasil pengobatan hemoptisis ini dengan obat-obat hemostatik. Dicatat hasilnya sangat baik (memuaskan), walaupun sulit
Kemoterapi pada bronkiektasis. Kemoterapi pada bronkiektasis dapat digunakan : 1). Secara kontinyu untuk mengontrol infeksi bronkus (ISPA), 2). Untuk pengobatan eksaserbasi infeksi akut pada bronkus/paru, atau 3). Keduanya. Kemoterapi di sini menggunakan obat antibiotik tertentu (terpilih). Pemilihan antibiotik mana yang harus dipakai sebaiknya harus berdasarkan hasil uji sensitivitas kuman terhadap anfbiofk atau menggunakan pengobatan antibiotik secara empirik.
Walaupun kemoterapi jelas kegunaannya pada pengelolaan bronkiektasis, tidak setiap pasien harus diberikan antibiotik. Antibiotik hanya diberikan kalau diperlukan saja, yaitu apabila terdapat eksaserbasi infeksi akut. Antibiotik diberikan selama 7 -l}hai,terapi tunggal atau kombinasi beberapa antibiotik, sampai kuman penyebab infeksi terbasmi atau sampai terjadi konversi wama sputum yang semula berwama kuninglhijau menjadi
mukoid(putihjemih). Selanjutnya ada yang memberikan dosis pemeliharaan.
Ada yang berpendapat bahwa kemoterapi dengan antibiotik ini apabila berhasil akan dapat mengurangi gejala batuk, jumlah sputum dan gejala lainnya terutama pada
diketahul mekanisme kerja obat-obatan tersebut dalam menghentikan perdarahan. Apabila perdarahan cukup banyak (masif), mungkin
merupakan perdarahan arterial yang memerlukan
tindakan operatif segera untuk menghentikan
.
perlu ditambahkan obat antipiretik seperlunya.
Pengobatan Pembedahan
.
.
dipertimbangkan untuk operasi.
-
.
Pengobatan simtomatik. Pengobatan lain yang perlu ditambahkan adalah pengobatan simtomatik. Sesuai
.
Pengobatan Obstruksi Bronkus. Apabila ditemukan tanda obstruksi bronkus yang diketahui dari hasil uji faal paru (% VEPr < 70%) dapat diberikan obat
Pasien bronkiektasis yang terbatas, tetapi sering mengalami infeksi berulang atau hemoptisis yang
berasal dari daerah tersebut. Pasien dengan
obstruksi tadi (misalnya pada pengobatan atelektasis paru).
membahayakan pasien.
Tujuan pembddahan : mengangkat (reseksi) segmer/ lobus paru yang terkena (terdapat bronkiektasis). Indikasi pembedahan : - Pasien bronkiektasis yang terbatas dan resektabel, yang tidak berespons terhadap tindakan-tindakan
konservatif yang adekuat. Pasien perlu
dikerjakan terutama pada permulaal perawatar, pasien. Keperluanny a antaralain adalah untuk I ). menentukan dari
ini hanya diberikan kalau timbul simtom yang mungkin mengganggu atau
Pengobatan demam.Pada pasien yang mengalami
perlu diberikan antibiotik yang sesuai, dosis cukup,
Drainase sekret dengan bronkoskop. Cara ini penting
dengan namanya, pengobatan
perdarahannya, dan sementara harus diberikan transfusi darah untuk mengganti darahyang telah hilang. eksaserbasi infeksi akut sering terdapat demam, lebihlebih kalau terjadi septikemia. Pada keadaan ini selain
saat ada ekasarbasi infeksi akut, tetapi keadaan ini hanya bersifat sementara.
mana asal sekret (sputum), 2).mengindentifikasi lokasi stenosis atau obstruksi bronkus, dan 3).menghilangkan obstruksi bronkus dengan suction drainage daerah
diberikan obat bronkodilator tersebut. Pengobatan hipoksia. Pada pasien yang mengalami hipoksia (terutama pada waktu terjadinya eksaserbasi infeksi akut) perlu diberikan oksigen. Apabila pada pasien telah terdapat komplikasi bronkitis kronik, pemberian oksigen harus hati-hati, harus dengan aliran rendah (cukup I liter/menit). Pengobatan hemoptisis. Apabila terjadi hemoptisis, tindakan yang pedu segera diberikan adalah upaya menghentikan perdarahan tersebut. Kadang-kadang
hemoptisis masif seperti ini mutlak perlu tindakan operasi.
Kontraindikasi. - Pasien bronkiektasis dengan PPOK. - Pasien bronkiektasis berat.
- Pasien bronkiektasis dengan
.
komplikasi
korpulmonal kronik dekompensata. Syarat-syaratoperasi
-
Kelainan (bronkiektasis) harus terbatas dan resektabel.
-
Daerah paru yang terkena telah mengalami perubahan y ang irev ers
ib
el.
2304
.
PI.JLIIIIOIU.GI
Bagian paru yang lain harus masih baik, misalnya tidak boleh ada bronkiektasis atau bronkitis kronik.
Cara operasi
-
Operasi elektif : pasien-pasien yang memenuhi indikasi dan tidak terdapat kontraindikasi, yang gagal dalam pengobatan konservatif dipersiapkan secara baik untuk operasi. Umumnya operasi
berhasil baik apabila syarat dan persiapan operasinya baik.
- Operasi paliatif : ditujukan pada pasien bronkiektasis yang mengalami keadaan gawat darurat paru, misalnya terjadi hemoptisis masif
.
(perdarahan arterial) yang memenuhi syarat-syarat dan tidak terdapat kontraindikasi operasi. Oleh karena persiapan kurang baik, biasanya cara ini jarang memberikan hasil yang baik. Persiapan operasi
-
Pemeriksaan faalparu : pemeriksaan spirometri, analisis gas darah (kalau perlu), pemeriksaan bronkospirometri (uji fungsi paru regional). Scanning dan USG (bila ada fasilitasnya). Meneliti ada tidaknya kontraindikasi operasi pada pasren.
-
Memperbaikikeadaanumumpasien.
PROGNOSIS Prognosis pasien bronkiektasis tergantung pada berat ringannya serta luasnya penyakit waktu pasien berobat
pertama
kali. Pemilihan pengobatan secara tepat
(konservatif ataupun pembedahan) dapat memperbaiki prognosis penyakit.
Pada kasus-kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnyajelek, survivalnya tidak akan lebih dari 5-15
tahun. Kematian pasien tersebut biasanya karena pneumonia, empiema, payah jantung kanan, hemoptisis dan lainJain. Pada kasus-kasus tanpa komplikasi bronkitis kronik berat dan difus biasanya disabilitasnya yang ringan.
REFERENSI Brewis RAL. Lecture Note on Respiratory Disease. 2'd ed. Singapore: P.G. Publishing Pte. Ltd; 1983. Crofton J and Douglas A. Respiratory Disease. 2'd ed. Singapore: Blackwell Scientific Publications. Medical Book Center, 1975. Des Jardins and Burton GG. Clinical Manifestations & Assessment of Respi-ratory Disease. 3'd ed. St. Louis, Mosby-Year Book,
Inc.,1995. DG and Studdy PR. A Color Atlas of Respiratory Disease.
James
PENCEGAHAN
Timbulnya bronkiektasis sebenarny a dapat dicegah, kecuali pada bentuk kongenital tidak dapat dicegah. Menurut kepustakaan dicatat beberapa usaha untuk pecegahan terjadinya bronkiektasis, antara lain : . pengobatan dengan antibiotikatau cara-caralain secara tepat terhadap semua bentuk pneumonia yang timbul
pada anak, akan dapat mencegah (mengurangi)
.
timbulnya bronkiektasis.
tindakan vaksinasi terhadap pertusis dan lain-lain (influenza, pneumonia) pada anak dapatpula diartikan
sebagai tindakan preventif terhadap timbulnya bronkiektasis.
Weert. Netherlands: Wolfe Medical Publication Ltd; 1981. Major RH and Delp MH. Physical Diagnosis. 6t ed. Philadelphia:
WB Sounders Comparry; 1962. Mitchell RS. Bronchiectasis. In : Mitchell RS (ed). Synopsis of Clinical Pulmonary Disease. Saint Louis: The CV Mosby Company; 19'79. Murry JF. Bronchiectasis and Bronchiolitis. 1n Harrison's Principles of Internal Medicine 2 llh ed. Braunwald E, et al (eds). New York: McGraw-Hill Book Company; 1987. Lichter JP. Bronchiectasis .In Bordow RA, Ries AL and Morris TA (eds). Manual of Clinical Problems in Pulmonary Medicine. 5'h ed. Philadelphia, Lippincot Wlliams & Wilkins, 2001. Staufer JL. Pulmonary Disease. ln: Schoeder SA et al. (eds). Cunent Medical Diagnosis & Treatment 1980. London: Practise-Hall International Inc; 1989. 131-91.
366 TROMBOEMBOLI PARU Pasiyan Rahmatullah
PENDAHULUAN
Faktor-faktor predisposisi terj adinya emboli paru menurut Virchow 1856 atau sering disebut sebagai
Emboli paru merupakan keadaan terjadinya obstruksi
physiological riskfactors,meliputi l). Adanya aliran darah
sebagian atau total sirkulasi arteri pulonalis atau cabangcabang akibat tersangkutnya emboli trombus atau emboli yang lain. Bila obstruksi tadi akibat tersangkubrya emboli trombus disebut tromboemboli paru Qrulmonsty thrombo-
lambat (stasis), 2). Kerusakan dinding pembuluh darah vena, dan 3). Keadaan darah mudah membeku (hipe*;igulasi).
embolism). Pada bahasan
ini istilah emboli paru
disamaartikan dengan tromboemboli paru. Akibat lanjut dari emboli paru dapat terjadi infark paru, yaitu keadaan terjadinya nekrosis sebagian jaringan parenkim paru akibat tersumbatnya aliran darah yang menuju jaringan paru tersebut oleh tromboemboli. Oleh karena jaringan parenkim paru memperoleh aliran darah dari dua jenis peredaran darah (cabang-cabang arteri pulmonalis dan cabang arteri bronkialis), maka emboli paru jarang berlanjut menjadi
infarkparu.
Aliran darah lambat (stasis) dapat ditemukan pada beberapa keadaan, misalnya pasien yang mengalami tirah baring cukup lama, kegemukan, varises, dan gagal jantung
kongestif. Darah yang mengalir lambat memberi kesempatan lebih banyak untuk membekt (trombus). Kerusakan dinding pembuluh darah vena terjadi misalnya
akibat operasi, trauma pembuluh darah (suntikan, kateterisasi jantung) dan luka bakar. Adanya kerusakan endotel pembuluh vena menyebabkan dikeluarkan bahan yang dapat mengaktifkan faktorpembekuan darah (faktor Hageman) dan kemudian dimulailah proses pembekuan darah. Keadaan darah mudah membeku (hiperkoagulabel)
juga merupakan faktor predisposisi terjadinya trombus, ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI
misalnya keganasan, polisitemia vera, anemia hemolitik, anemia sel sabit, trauma dada, kelainan jantung bawaan,
Penyebab emboli paru semula belum jelas, tetapi hasilhasil penelitian dari autopsi paru pasien yang meninggal karena penyakit ini menunjukkan dengan jelas bahwa
splenektomi dengan trombositosis, homosistinuria, penggunaan obat kontrasepsi oral (estrogen), dan trombositopati. S elain hal-hal di atas, trombosis vena juga lebih mudah terjadi pada keadaan dengan peningkatan
penyebab penyakit tersebut adalah trombus pada
faktor Y VIII, fibrinogen abnormal, defisiensi antitrombin
pembuluh darah. Umumnya tromboemboli berasal dari
III, menurunnya kadar aktivator plasminogen
lepasnya trombus di pembuluh vena di tungkai bawah atau dari jantung kanan. Sumber emboli paru yang lain misalnya
tumor yang telah menginvasi sirkulasi vena (emboli
pada endotel vena atau menuunnya pengeluaran aktivator plasminogen akibat berbagai rangsangan, defisiensi protein C, defisiensi protein S dan sebagainya.
tumor), amnion, udara, lemak, sumsumtulang, fokus septik
(pada endokarditis) dan lain-lain. Kemudian material emboli beredar dalamperedaran darah sampai di sirkulasi pulmonal dan tersangkut pada cabang-cabang arteri pulmonal, memberi akibat timbulnya gejala klinis. Emboli paru karena trombus di arteri pulmonalis (in situ) sangat
Penyakit ini sering terjadi, namun jarang terdiagnosis, sehingga laporan mengenai penyakit ini di Indonesia
Jarang.
jarang ditemukan.
KEKERAPAN PENYAKIT
2306
Survei epidemiologis di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kira-kira terdapat 50.000 kasus penyakit ini tiap
tahunnya. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa kurang dari llYo pasien tromboemboli paru meninggal karena penyakit ini. Oleh karenanya di Amerika Serikat dapat diperkirakan insidensi penyakit ini lebih dari 500.000 kasus tiap tahunnya. Penentuan diagnosis emboli paru (pada survei tersebut) didapat berdasarkan hasil autopsi pasien yang meninggal oleh penyakit int (post mortem). Emboli paru sering mengalami pen caian (tr omb o I is is endogen) dan tidak ditemukan pada autopsi, sehingga perkiraan jumlah pasien emboli paru hanya berdasarkan
jumlah pasien emboli paru yang mati dan berhasil ditemukan pada autopsi saja, jauh lebih kecil daripada angka sebenarnya. Lebih sulit lagi untuk menentukan angka kekerapan penyakit ini karena diagnosis emboli paru
antemortem sulit ditegakkan walaupun kenyataan-nya seorang pasien betul-betul menderita penyakit ini tetapi
tidak terdiagnosis.
PI.'LMONOT.OGI
bawah, terutama paru kanan. Infark paru biasanya terletak pada lobus bawah, terutama paru kanan. Infark paru biasanya terletak pada jaringan paru perifer, cenderung berbentuk kerucfiltaji (wedge-shaped),
pada potongan melintang dengan puncak menuju ke tromboemboli dan dasar pada pleura. Daerah ini berwarna merah gelap dan merah coklat dan biasanya
berbatas tegas. Pada infark paru, jaringan nekrosis selalu hemoragis dan stmktur paru asli rusak atau tidak ada. Pada perjalanannyu warr,a infark paru berubah dari merah gelap menjadi coklat bila eritrosit rusak dan pigmen hemosiderin difagositosis makrofag, kemudian warna berubah menjadi keabu-abuan bila terjadi fibrosis dan infark paru berubah menjadi jaringan parut. Retraksi
daerah
fibrotik ini menyebabkan cekungan
pada
permukaan pleura. Pada infark paru septik, warnanya putih keabu-abuan karena lisis eritrosit dengan pengumpulan sel granulosit polimorfonuklear. Infark paru septik dapat disebabkan karena emboli terinfeksi stau proses infeksi di paru. Sebaliknya infark paru septik dapat menyebabkan abses paru.
KELAINAN PATOLOGI ANATOMIK Emboli paru biasanya multipel dan bilateral, ditemukan terbanyak pada lobus bawah, terutama paru kanan. Jaringan parenkim paru diperdarahi oleh dua peredaran darah, sehinggahanya sebagian kecil pasien dengan emboli paru berlanjut mengalami infark paru. Infark paru tampaknya banyak terjadi pada keadaan infeksi dan gagal jantung kiri, tetapi banyak dijumpai pula pasien infark paru tanpa didahului dengan infeksi, penyakitjantung, ataupun penyakit paru. Gambaran mikroskopis infark paru menunjukkan adanya nekrosis koagulasi pada dinding alveoli dan alveoli penuh
dengan eritrosit dan sedikit reaksi inflamasi. Kelainan patologis ini secara radiologik tampak sebagai infiltrat,
berlangsung kira-kira satu minggu dan kemudian menyembuh, meninggalkan garis-garis fibrosis (scar). Pada infark yang terjadi tidak lengkap, timbul ekstravasasi eritrosit ke dalam alveoli tanpa nekrosis, secara radiologis tampak sebagai infiltrat, yang akan menyembuh dalam wakfi 2-4 hai, tanpa meninggalkan sisa garis-garis fibrosis pada gambaran radiologis. Pada infark paru terjadi nekrosis jaringan paru, tetapi nekrosis tidak selalu merupakan kurangnya aliran darah. Iskemia ringan sepintas pada jaringan paru mengakibatkan dilatasi kapiler, arteriol dan venula dan juga menimbulkan
peningkatan permeabilitas vaskular dengan kebocoran cairan dan eritrosit. Hal ini terjadi karena sel endotel
pembuluh darah sangat peka terhadap hipoksemia. Perdarahan paru yang terjadi menyerupai infark paru, tetapi
struktur jaringan paru dipertahankan dan arsitektur sebelumnya kembali lagi setelah resorbsi darah. Perdarahan paru yang disebabkan oleh tromboemboli paru atau infark
paru dapat multipel dan banyak ditemukan pada lobus
PATOGENESIS Trombus dapatberasal dari pembuluh arteri danpembuluh
vena. Trombus arteri terjadi karena rusaknya dinding pembuluh arteri (lapisan intima). Trombus vena terjadi terutama karena aliran darah vena yang lambat, selain dapat pula karena pembekuan darah dalam vena bila ada kerusakan endotel vena. Trombus vena dapat berasal dari
pecahan trombus besar yang kemudian terbawa aliran vena. Biasanya trombus vena berisi partikel-partikel fibrin (terbanyak), eritrosit, dan trombosit. llkurannya bervariasi, bisa dari beberapa milimeter sampai sebesar lumen venanya sendiri. Biasanya trombus makin bertambah besar
oleh tumpukan trombus lain yang kecil-kecil. Adanya perlambatan aliran darah vena (slasis) akan makin mempercepat terbentuknya trombus yang lebih besar. Adanya kerusakan dinding pembuluh vena (misalnya operasi rekonstruksi vena femoralis) jarang menimbulkan
trombus vena.
Kondisi darah yang mudah membeku juga amat berpengaruh pada pembentukan trombus. Faktor-faktor penting yang berperan adaiah diaktifkannya faktor-faktor pembekuan darah oleh kolagen, endotoksin, dan
prokoagulan dari jaringan maligna, selanjutnya tromboplastin dilepaskan ke dalam peredaran darah dan pembekuan darah intravaskular (trombus) mudah terjadi. Keadaan ini sering ditemukanpadapersalinan, operasi dan trauma pada organ-organ tubuh. Secara umum dapat dikatakan bahwa tromboemboli paru merupakan komplikasi trombosis vena dalam pada tungkai bawah atau di tempat lain (antung kanan, vena besar di pelvis, dan lain-lain). Trombus yang lepas ikut
2307
BRONKIEI(IASTSi
aliran darah vena ke jantung kanan dan sesudah mencapai sirkulasi pulmonal tersangkut pada beberap a cabang arteri pulmonalis, dapat menimbulkan obstruksi total atau sebagian dan memberikan akibat lebih lanjut. Trombus pada vena dalam tidak seluruhnya akan lepas dan menjadi tromboemboli, tetapi kira-kira 8}Yo-nya akan mengalami pencairan spontan (lisis endogen).Trombus primer pada aliran arteri pulmonalis atau cabang-cabangnya sangat
jarangterjadi. Dari penelitian klinis dan eksperimental pada binatang diketahui bahwa infark paru jarang terjadi pada pasien yang mengalami trbmboemboli paru. Diketahui bahwa hanya l0o/o kasus emboli paru pada manusia diikuti terj adiny a infark paru. Mengapa pada paru j arang terj adi infark paru sesudah ada emboli paru, karena j aringan paru
memperoleh oksigen lewat tiga cara, yai1rt
: 1). Dari
sirkulasi arteri pulmonalis, 2). Dari sirkulasi arteri bronkialis, dan 3). Dari saluran udara pernapasan. Infark paru akan lebih mudah terjadi apabila terdapat gangguan
pada arteri bronkialis disertai gangguan pada saluran udara pernapasan. Mekanisme terjadinya infark paru sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas. Infark paru sering terjadi pada gagal jantung, penyakit paru obstruktif kronik dan renjatan yang berlangsung lama. Gagaljantung
dan renjatan yang berlangsung lama akan diikuti dengaa menurunnya aliran darah ke dalam arteri bronkialis,
yang kemudian memudahkan terjadinya infark paru.
Pada pasien penyakit paru obstruktif kronik terjadi perubahan atau hilangnya struktur normal arteri bronkialis, yang selanjutnya juga memudahkan terj adinya infark paru. Infark paru dapat juga terjadi pada pasien vaskulitis dan emboli septik. Vaskulitis (1teri-arteritis nodosa) yang terjadi pada arteri bronkialis menimbulkan peradangan dan trombosis dan kemudian terjadi infark paru. Pada emboli septik, infark paru terjadi karena proses radang yang ditimbulkan oleh mikroorganisme yang dapat menimbulkan nekrosis inflamasi. Pada infark paru, hemoptisis timbul setelah 12 jam terjadinya emboli paru dan sesudah 24 jam daerah infark menjadi terbatas dikelilingi oleh daerah paru yang sehat karena adanya konsolidasi perdarahan dan
atelektasis. Selanjutnya sel-sel septum interalveoli lnengalami nekrosis dengan pembengkakan dan menghilangnya struktur histologi. Dua minggu sesudahnya mulai terjadinya perubahan dengan adanya penetrasi kapiler-kapiler baru dari daerah paru yang sehat ke arah paru yang terkena infark. Perdarahan secara pelan-pelan mulai terserap dan jaringan yang nekrosis di-ganti dengan jaringan ikat yang selanjutnya menjadi jaringan parut ffibrosis). Waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya jaringan parut berganhrng pada luasnya infark. Makin luas infark makin lama terjadinya jaringan parut.
PATOFISIOLOGI Trombus pada tempat asal terjadinya (misalnya trombus vena dalam di vena femoralis atau darijantung kanan) lepas dan ikut aliran darah vena sebagai tromboemboli di arteri
pulmonalis, tersangkut di situ, menimbulkan obstruksi total atau parsial, selanjutnya menimbulkan akibat atau konsekuensi 2 hal : Gangguan Hemodinamik
:
timbul vasokonstriksi. Emboli
paru menimbulkan obstrrksi me-kanis total atau parsial pada cabang-cabang arteri pulmoralis (pulmonary vascular bed) akan menimbulkan refleks neurohumoral dan menyebabkan
vaso-konstriksi pada cabang-caban
g arteri
pul-monalis
yang terkena obstruksi tadi. Terjadilah dua keadaan, ialah : a).peningkatan resistensi vaskular paru (pulmonary vascular resistance), danb).pada kasus yang berat akan terjadi
hi-pertensi pulmonal sampai mengakibatkan terj adinya gagal jantung kanan.
Gangguan Respirasi : timbul bronko-konstriksi. Adanya obstruksi total atau parsial oleh tromboemboli paru akan
menimbulkan:
.
. . .
refleks bronkokonstriksi yang terjadi seter4pat pada daerah paru yang terdapat emboli (pneumokonstriksi), wasted ventilation (suatu peninggian physiological dead space),ventilasi paru daerah terkena tidak efektif, hilang atau menururmya surfakatan paru pada alveoli daerah paru yang terkena dan
hipoksemiaarteial. Reaksi bronkokonstriksi setempat yang terjadi bukan
saja akibat berkurangrrya aliran darah (obstruksi total atau
partial) tetapi juga karena berkurangnya bagian aktif permukaan jaringan paru, dan terjadi pula akibat pengeluaran histamin dan 5-hidroksi isoptamin yang dapat membuat vasokonstriksi dan bronko-konstriksi bertambah berat. Wasted ven-tilation terjadi karena adanya obstruksi
oleh emboli paru yang menimbulkan suatu zoua paru dengan ventilasi parv yang cukup tetapi tidak terdapat perfusi, sehingga menimbtlkan dead space di dalam paru. Bagian paru ini tidak ikut mengalami proses pertukaran gas.
Hilang atau menurunnya produksi surfaktan paru menyebabkan stabilitas alveoli menurun, yang berakibat atelektasis pada daerah paru yang terkenh. Hipoksemia arterial disebabkan oleh karena adanya gangguan ventilasi/ perfusi daerah paru yang terkena.
GAMBARAN KLINIS Gambaran klinis emboli paru bervariasi, dari yang paling ringan tanpa g ejala (as imt omatik) sampai yang paling berat
dengan gejala yang kompleks. Variasi gambaran klinis
emboli paru tergantung pada beratnya obs-truksi pembuluh darah, jumlah emboli paru (tunggal atau
2308
PT,JLIIft)II(X'GI
multipel), ukurannya (kecil, sedang atao masif), lokasi
gerakan napas mengurang, fremitus menurun, suara
emboli, umur pasien, dan penyakit kardiopulmonal yang ada. Selain itu gejala klinis yang timbul merupakan gangguan lebih lanjut karena adarrya obstruksi arteri pulmonalis oleh emboli paru, yaitu timbulnya gangguan hemodinamik berupa gej ala-gej ala akibat vasokonstriksi arteri pulmonalis, dan timbulnya gangguan respirasi berupa gejala-gejala akibat bronkokonstriksi daerah paru yang
perkusi pekak, dan suara napas mengurang atau
terkena emboli paru tadi.
menghilang). Bila terdapat nyeri tekan di atas daerah efusi pleuramungkin terdapat empiema. Apabila terdapat infark paru, dapat ditemukan adanya demam, leukositosis dan ikterus ringan. Wheezing jarang ditemukan, tetapi pada I 5% kasus dapat ditemukan wheezing.
Emboli paru ukuran sedang dapat terjadi berulang dalam beberapa bulan atau tahun berikutnya, terutama pada pasien usia lanjut yang harus tirah baring lama. Gejala
Gambaran Klinis Emboli Paru Masif
tromboemboli ini hanya berupa takipnea, atau asimtomatik.
Emboli paru masifmemberikan gejala karena tersumbatnya
arteri pulmonalis atau cabang pertama. Pasien akan
Gambaran Klinis Emboli Paru Ukuran Kecil
mengalami pingsan mendadak (sinkop), renjatan, pucat dan berkeringat, nyeri dada sentral atau sesak napas. Napas sangat cepat. Kesadaran mungkin hilang untuk sementara. Denyut nadi kecil dan cepat. Tekanan darah hrrun. Bagian perifer menjadi pucat dan dingin. Ditemukan tanda sianosis tipe sentral, yang mungkin tidak responsif
Tromboemboli paru ukuran kecil sering luput dari perhatian, karena sumbatan mengenai cabang-cabang kecil arteri pulmonalis. Baru sesudah sebagian besar sistem sirkulasi pulmonal (vascular bed) tersumbat, muncullah gejalanya. Gejalanya ialah sesak napas waktu bekerja mirip dengan keluhan pasien gagal jantung kiri. Apabila emboli paru terjadi berulang kali dan berlangsung sampal berbulanbulan akan mengakibatkan hipertensi pulmonal. Hipertensi
terhadap pemberian oksigen. Apabila pasien menj adi sadar,
dia akan merasakan nyeri dada yang hebat. Pemeriksaan terhadap jantung, selain adanya hipotensi
akan ditemukan tanda-tanda beban jantung kanan berlebihan, misalnya dapat ditemukan venajugularis terisi
penuh, hepato jugular refluks (+), adanya tanda-tanda hipertrofi ventrikel kanan (iktus jantung bergeser ke kiri, melebar, adanya pulsasi para stemal, stemum kuat angkat), bunyi jantung P, mengeras, a right-sided gallop rhythm, bising sistolik akibat insufisiensi katup trikuspid. Bila gangguan hemodinamik hebat, dalam waktu dua
jam pasien dapat meninggal, dar, sering didiagnosis
pulmonal ini akan mengakibatkan ventrikel kanan membesar. Adanya keluhan mudah lelah, pingsan waktu kerja (sinkop) dan angina pektoris memrnjukkan bahwa curah jantung sudah terbatas. Sebagian pasien mengalami mikroemboli (emboli ukuran kecil) bersama-sama dengan
kehamilan atau bersamaan dengan penggunaan pil kontrasepsi oral.
Gambaran Klinis lnfark Paru
Gambaran KIinis Emboli Paru Ukuran Sedang
Gambaran klinis infark paru menyerupai emboli paru. Mungkin dijumpai sesaknapas mendadak, takipnea, batukbatuk, hemoptisis, nyeri pleuritik (dirasakan di dinding dada daerah paru yang terkena atau menjalar ke tempat lain misalnya daerah bahu ipsilateral). Nyeri pleuritik tadi menyebabkan pergerakan dada daerah yang terkena
Biasanya emboli paru akan menyumbat cabang arteri
menjadi berkurang. Gejala umum lainnya misalnya terdapat
pulmonalis segmental dan subsegmental. Pasien biasanya mengeluh adanya nyeri pleura, sesak napas, demamdi atas
demam dan takikardia. Apabila sumbatan emboli paru mengenai arterlcabang
37,5oC, hemoptisis. Tidak ditemukan sinkop atau hipotensi,
besar, maka landa-tanda gangguan hemodinamik akan lebih menonjol, misalnya tekanan vena jugularis meninggi, renjatan, atau hipotensi, sianosis sentral, dan tanda-tanda kegagalan jantung kanan lainnya. Apabila sumbatan emboli paru mengenai arterr/cabatg (kecil), yang mencolok tanda klinisnya ialah gangguan respirasi (bronkokonstriksi). Hilangnya surfaktan dari sebagian besar alveoli paru karena iskemia paru akan menyebabkan timbulnya atelektasis paru yang progresif. Tanda-tanda fisis paru sebenarnya terdiri atas tiga bagian : 1). Pleuritis, 2). Elevasi diafragma daerah yang terkena, dan 3). Tanda-tanda konsolidasi daerah paru yang
sebagai henti jantung. Fibrilasi ventrikel mungkin muncul, mungkin juga tidak. Pijat jantung dapat dicoba dilakukan,
tetapi biasanya tidak berhasil.
kecuali apabila telah ada kelainanjantung dan paru yang diderita sebelumnya. Pada pemeriksaan jantung tidak ditemukan tanda-tanda
lielainan yangnyata,kecuall pada pasien yang menderita emboli paru berulang, dapat timbul korpulmonal dengan hipertensi pulmonal berat dan bedanjut timbul gaga)
jantung kanan. Pada pemeriksaan paru ditemukan : 1). tanda-tanda pleu-
ritis (nyeri pleura, suara gesek pleura daerah terkena), 2). area konsolidasi paru (gerak napas daerah paru yang terkena berkurang, fremitus raba mengeras, perkusi redup pada daerah paru yang terkena, suara bronkial dan egofoni mengeras, dan sebagal-nya), 3). tanda-tanda fisis adanya
efusi pleura (dada daerah yang terkena mencernbung,
terkena. Keikutsertaan pleura pada infark paru hampir pasti
ada, sehingga selalu dijumpai keluhan nyeri pleuritik, adanyatanda-tanda efusl pleura, adanya suara gesek pleura
2309
BRONISEK'IASIS
dan sebagainya. Elevasi diafragma karena tarikan ke atas oleh atelektasis daerah infark paru menunjukkan area
konsolidasi.
Kelainan Laboratorium Kelainan laboratorium (darah tepi, kimia darah, analisis
gas darah, elektrokardiografi, dan radiologik) yang ditemukan pada pasien emboli paru merupakan kelainan
yang tidak spesifik, serta tidak dapat membantu menegakkan diagnosis. Pemeriksaan laboratorium tersebut penting dilakukan dengan tujuan atau dapat dimanfaatkan untuk menyingkirkan penyakit lain.
Pemeriksaan darah tepi. Kadang-kadang ditemukan leukositosis dan laju endap darah yang sedikit meninggi.
Kimia darah. Pada emboli paru masif dapat ditemukan peningkatan kadar errzimscoT, LDH; dan CPKyang arti klinisnya belum jelas. Terdapat peningkatan kadar FDP (Fr-
brin/fibrinogen degradation product), yang mencapai puncaknya pada hari ketiga serangan. Parameter laboratorium ini (FDP) lebih mempunyai arti klinis mengingat angka negatif atau positif palsunya relatif kecil (kurang dari7 %).
Analisis gas darah. Biasanya didapatkan PaO, rendah (hipoksemia), tetapi tidak jarang ditemukan pasien dengan serangan emboli paru mempunyai PaO, lebih dari 80 mmHg.
Menurunnya PaO, disebabkan karena gagalnya fungsi perfusi dan ventilasi paru. PaCO, umumnya di bawah 40 mm Hg, dan penurunan PaCO, ini terjadi karena reaksi
berhubungan dengan adanya kelainan penyakit tr
didapatkan adalah pembesaran arteri pulmonalis desendens, peninggian diafragma bilateral, pembesaran jantung kanan, densitas paru daerah terkena dan tanda Wester-mark Pembesaran arteri pulmonalis desendens disebabkan karena peningkatan tekanan arteri tersebut dan menyebabkan dilatasi pembuluh darah di atas obstruksi. Pembesaran jantung kanan bervariasi besarnya, seringsering sulit dideteksi. Tanda Weslermark, yaitu suatu
hiperlusen paru, dan
ini
dianggap paling khas pada
emboli paru, meskipun hanya ditemukan pada 15oZ kasus. Peninggian diafragma bilateral sering terdapat dan khas pada emboli paru, terutama apablTa berhubungan dengan
adanya densitas paru dan atelektasis (plate like atelectasis).
Densitas paru yang sesuai dengan infark paru terdapat pada 25-30oh kasus dan tampak sebagai kesuraman pada
sudut kosto frenik, atau sebagai densitas bulat dengan batas tidak jelas di atas diafragma, disebut Hamptonb
hump. Biasanya gambaran khas untuk infark paru (Hamptonb hump) yang berbentuk kerucut (wedgeJike density) dengan basis pada pleura dan puncak menunjuk pada hilus, jarangditemukan. Gambaran lain yang dapat ditemukanpada emboli paru adalah efusi pleuraunilateral atau bilateral, dan menghilang beberapa hari setelah perfusi membaik.Hasil pemeriksaan radiologis berperan penting dalam evaluasi hasil sidikan perfusi/ventilasi paru.
kompensasi hiperventilasi se-kunder.
Elektrokardiografi. Kelainan yang ditemukan pada elekhokardiogram juga tidak spesifik untuk emboli paru, tetapi paling tidak dapat dipakai sebagai petanda pettama dugaan adanya emboli paru, teriebih kalau digabungkan dengan keluhan dan gambaran klinis lainnya.
Pada emboli paru masif, kira-kira 77Yo kasus akan menunjukkan gambaran EKG seperti pada pasien korpulmonal akut, sebagai berikut:
'
.
Adanya strain ventrikel kanan (misalnya terdapat
.
gelombang T terbalik pada sandapan prekordial kanan (V', sampaiVr/Vu). Perputaran searah jarum jam, dan ditemukan gambaran rS atau RS pada V, sampal Vr/Vu dan juga qR pada Vt
. . . .
danVr. Terdapat tanda klasik kor pulmonal akut : S,Q, atau S,Q3T3 , juga QR pada aVF dan III, serta elevasi semen ST menyerupai infarkmiokard akut. Terdapat RBBB komplet atau in komplet. Gelombang P pulmonal padp ll, Ill dan aVF Lain-lain : aritmia, takikardia dan gelepar atrial (flutter)
Kelainan radiologis.
Pada pemeriksaan foto rontgen dada
pasien emboli paru, biasanya ditemui kelainan, yang sering
DIAGNOSIS Diagnosis emboli paru maupun infark paru seharusnya ditegakkan melewati proses diagnosis yanglazim dalam
klinis, yaitu berdasarkan anamnegis untuk mendapatkan informasi tentang riwayat penyakit, pemeriksaan fisis unflrk mengetahui kelainan klinis yang ada,dan hasil pemeriksaan penunjang untuk memperkuat data yang ada. Menegakkan diagnosis emboli paru atau pun infark paru secara klinis seperti disebutkan di atas tadi agak sulit. Dengan adanya gejala klinis tertentu misalnya adanya keluhan sesaknapas mendadak, nyeri dada (nyeri pleuritik)
ataupun hemoptisis, dikemukakan terlebih dahulu kecurigaan adanya emboli paru atau infarkparu. Kecurigaan makin besar bila ditemukan juga kelainan EKG, foto dada dan hasil analisis gas darah. Kecurigaan dapat lebih besar lagi jika ditemukan trombus vena perifer atau pada pasien yang dihadapi ditemukan adanya satu atau beberapa faktor
risiko klinis timbulnya emboli paru, antara lain trombosis vena dalam (vena ileo-femoral), fraktur tulang femur atau koksa, tirah baring lama atau inaktivitas, pembedahan abdomen/pelvis, strok, infark jantung, gagal jantung
2310
PT.JLMONOT'GI
kongestif, obesitas, dan faktorumur (lebih dari40 tahun).
Angiografi paru merupakan tindakan diagnostik invasif,
Sesudah menaruh kecurigaan bahwa seseorang pasien
kurang ideal dan mahal. Untuk pengerjaannya perlu mengingat adanya faktor indikasi dan kontraindikasi, sehingga tidak dapat dilakukan sebagai pemeriksaan
mungkin menderita emboli paru atau infark paru (tersangka emboli paru), kemudian baru dilengkapi informasi atau data
lain untuk memperkuat diagnosisnya. Untuk keperluan mendiagnosis adanya trombosis vena perifer (trombosis vena dalam) diperlukan pemeriksaan penunjang berupa : Doppler ultra sound blood velocity detector, impedance plethysmography QPG), isotop I t25 atau fibrinogen tes. Diagnosis def,rnitif emboli paru dapat dilakukan dengan pemeriksaan penunjang
:
penyaring untuk setiap pasien.
DIAGNOSIS BANDING Apabila ada kecurigaat adanya emboli paru atau infark paru pada seorang pasien, sedangkan pemeriksaan
definitif
untuk memastikan diagnosisnya belum dilakukan, perlu
Sidikan paru perfusi dan ventilasi. Pemeriksaan sidikan paru perfusi menggunakan albumin yang ditanda dengan Teee'. Bahan kontras radioaktif tadi disuntikkan intravena. Beberapa saat kemudian daerah perfusinya dibaca dengan
diingat diagnosis banding terhadap kelainan yang dihadapi ini. Pemeriksaan dehnitif yang dimaksudkan di sini ialah pemeriksaan sidikan perfusi/ventilasi paru dan angiografi
kamera gamma. Efek sidikan paru (cold nodule) menunjukkan adanya gangguan perfusi, menentukan kemungkinan letak emboli panr/infark paru. Hasil positif
.
palsu dijumpaipada pneumonia atau karsinoma. Apabila hasil sidikan paru memrnjukkan normal (distribusi bahan radioaktif homogen dengan batas tepi tegas serta sesuai topografi jaringan paru), maka telah memastikan bahwa tidak ada emboli paru. Pemeriksaan sidikan perfusi paru mempunyai sensitivitas cukup baik, tetapi spesifi sitasnya merupakan problem (kurang baik) karena terdapat nilai positif palsu. Untuk menghilangkan kekurangan tersebut,
hasil sidikan perfusi paru sebaiknya dikombinasikan dengan pemeriksaan sidikan ventilasi paru dengan gas radioaktif gas Xenon diinhalasikan pada pasien yang telah dilakukan sidikan perfusi dan distribusi bahan radioaktif telah dibaca dengan kamera gamma.
pulmonal. Diagnosis banding emboli paru masif, disertai adanya
nyeri dada mendadak dan hipotensi adalah infark
. .
miokard akut, aneurisma aorta disekan, gagal jantung kiri berat dan ruptur esofagus. Diagnosis banding emboli paru ukuran sedang, tanpa ada infark paru adalah sindrom hiperventilasi, asma bronkial, alveolitis alergik, dan sebagainya. Diagnosis banding emboli paru akut dengan infarkparu adalah pneumonia, sumbatan bronkus oleh lendir pekat,
karsinoma paru dengan pneumonia pascaobstruksi, empiema dan tuberkulosis paru dengan efusi pleura.
Xenon133. Bahan
PENGOBATAN TROMBOEMBOLI PARU DAN INFARK PARU
Pasien tersangka emboli paru sebaiknya menjalani
pemeriksaan sidikan ventilasi/perfusi (V/Q Scan),
Penyakit emboliparu terutama emboli parumasifdan infark
meskipun hanya 50oZ pasien dengan radiologis normal dan
paru merupakan keadaan gawat darurat, sehingga
sidikan ventilasilperfusi abnormal terdapat emboli paru positifpada angiografi . Sidikan ventilasi/perfusi parujuga dapat abnormal pada penyakit paru lainnya. Klasifikasi hasll V/Q Scan dapat: normal, probabilitas tinggi dan probabilitas rendah.
memerlukan tindakan yang cepat, tepat dan seksama. Pengobatan emboli paru maupun infark paru boleh dikatakan mempunyai prinsip-prinsip terapi yang sama, sehingga dalam uraian ini keduanya sudah dicakup.
Angiografi paru. Angiografi paru merupakan satu-satunya sarana untuk memberikan informasi anatomi pembuluh darah paru paling akurat. Pemeriksaan ini dilalarkan dengan
cara menyuntikkan bahan kontras radioopak, lebih baik
rtrelalui kateter jantung ke dalam arteri pulmonalis. Pemeriksaan ini lebih berisiko dibandingkan prosedur yang lain, tetapi dapat memberikan visualisasi pembuluh darah paru dan data hemodinamik. Gambaran diagnostik emboli
paru berupa penghentian mendadak aliran kontras yang menunjukkany' lling defect. Angiografi tidak perlu dilakukan
apablla hasil sidikan perfusi ventilasi paru normal.
Karena keadaan gawat darurat tadi dan karena pasien memerlukan tindakan yangcepat, tepat dan seksama tadi, maka sejak awal menghadapi pasien dengan kecurigaan terhadap adanya emboli paru atau infark paru, tindakan yang bersifat preventif ataupun terapeutik sudah dilaksanakan sejak penegakan diagnosis dilalcukan. Untuk keperluan ini biasanya dokter yang menangani pasien menggunakan bagan atau algoritma diagnosis atau penatalaksanaan emboli paru tertentu yang dianutnya. Pada uraian ini dilampirkan contoh dua bagan diagnostik dan penatalaksanaan pasien dengan emboli paru (Bagan I : untuk pasien emboli paru dengan kondisi hemodinamik
Angiografi mutlak perlu dilakukan apabila akan dilalarkan embolektomi paru, dan sangat dianjurkan jika pasien akan diterapi dengan risiko perdarahan (terapi fibrinolitik atau terapi dengan antikoagulan). Angiografi dapat dilakukan
stabil, dan bagian 2 : untuk pasien emboli paru dengan kondisi hemodinamikjelas tidak stabil). Pengobatan yang diberikan kepada pasien emboli paru
satu minggu sesudah episode akut.
memperbaiki keadaan umum pasien; 2). Pengobatan atas
atau infark paru, terdiri atas
: l).
Tindakan untuk
23tl
BRONKIEI$ASIS
dasar indikasi khusus; 3). Pengobatan utama terhadap emboli panr/infark p aru; 4). pengobatan lainnya. Tindakan untuk memperbaikikeadaan umum pasien. Oleh karena kebanyakan pasien emboli paru (khususnya emboli paru masif) merupakan keadaan gawat darurat, tindakan pertama pada pasien ini adalah memperbaiki keadaan umum pasien untuk mempertahankan fungsi-fungsi vital tubuh. Hal-hal yang perlu dilakukan misalnya : a). memberikan oksigen untuk mencegah terjadinya hipoksemia, b). memberikan cairan infus untuk mempertahankan kestabilan keluaran venhikel kanan dan aliran darah pulmonal, c)' intubasi (bila diperlukan).
Pengobatan atas dasar indikasi khusus. Kembali pada persoalan bahwa emboli paru terutama emboli paru masif merupakan keadaan gawat darurat, sedikit atau banyak menimbulkan gangguan terhadap fungsi jantung, maka perlu dilakukan tindakan pengobatan terhadap gangguan pada jantung tadi, yang dengan sendirinya diberikan atas dasar indikasi khusus sesuai dengan masalahnya. Contoh, misalnya ada indikasi untuk pemberian obat vasopressor, obat inotropik, anti aritmia, digitalis dan sebagainya. Pengobatan utama terhadap emboli paru/infark paru. Pengobatan utama terhadap emboli paru atau infark paru sampai sekarang yang dilakukan ialah : a) pengobatan anti koagulan dengan heparin dan warfarin, dan b) pengobatan trombolitik. Tujuan pengobatan utama ini ialah a). segera menghambat pertumbuhan tromboemboli, b). melarutkan tromboemboli, dan c). mencegah timbulnya emboli ulang. Pengobatan antikoagulan. Heparin, sekarang ini merupakan
pengobatan standar awal pada pasien dengan tromboemboli vena, mengingat kebaikannya : 1). karena dapat mencapai tujuan pertama (di atas), 2). mempermudah tujuan kedua dengan membuat pelarutan trombus oleh sifat fibrinolitik tetapi tidak dihambat oleh pertumbuhan trombus, 3). heparin membantu mencegah emboli ulang, dan 4). heparin dapat juga menghambat agregasi trombosit dan karena itu dapat menghambat penglepasan tromboksan dan
serotonin pada tempat emboli lagi pula efek heparin reversibel. Pemberian heparin dapat dengan berbagai cara menurut keadaan pasien: 1). drip heparin dengan infus intravena,
2). suntikan intravena intermiten, dan 3)' suntikan subkutan. Pemberian drip heparin lewat infus kontinu intravena lebih disukai dibandingkan pemberian intravena intermitten, karena efek samping perdarahan kurang sering.
Dosis heparin : bolus 3000-5000 unit intravena diikuti sebanyak 30.000-35.000 unit/hari dalam infus glukosa 5% atau NaCl 0,9o/o ata:u disesuaikan, sampai dicapai hasil pengobatan heparin, dengan target pemeriksaan PTT Qtartial thromboplastin time) men-capai 1,5-2 kali nilai normal. Lamapengobatan diberikan 7-10 hari, selanjutnya obat antikoagulan oral. Pada emboli paru yang tidak masif,
heparin diberikan 5.000 unit tiap 4 jam, sesudah 48 jam diberikan pula obat antikoagulan oral. Sedangkan pada emboli paru masif, dosis heparin ditingkatkan menjadi 10.000 unit tiap 4 jam. Pemberian heparin subkutan lebi.h menguntungkan karena pemberiannya lebih mudah, mobilisasi lebih cepat dan bisa untuk pasien rawat jalan. Dosis mulai dengan suntikan bolus intravena 3.000-5.000 unit bersama suntikan
subkutan pertama, kemudian suntikan subkutan diberikan 5.000uniV4jam, atau 10.000uniV8 jam atau I5.000-20.000 unit tiap 12 jam sampai dicapai PTT 1,5 - 2,5 kali nilai
normal. Heparin tidak boleh diberikan intramuskular karena dapat menimbulkan hematom pada tempat suntikan. Keberhasilan pengobatan heparin ini dapat mencapai 92oh, danheparin dapat diberikan padaperempuan hamil karena heparin tidak dapat melewati plasenta.
Warfarin, obat
ini bekerja
dengan menghambat
aktivitas vitamin K, yaitu dengan mempengaruhi sintesis prokoagulan primer (faktor II, VII, dan X). Karena awal
kerjanya lambat maka pemberian warfarin dilakukan sesudah pemberian heparin. Warfarin diberikan pada pasien
dengan trombosis vena atau emboli paru beruLang dan
pada pasien dengan faktor risiko menetap. Dosis yang biasa diberikan ialah I 0- 1 5 mgikg BB, dengan target gampai terjadi pemanjangan (lebih dari l5-25Yo) dari nilal normal waktu protombin yang maksimum. Pemberian warfarin adalah secara oral. Lama pemberian biasanya sekitar 3 bulan (12 minggu) terus menerus. Warfarin diberikan terus pada pasien dengan defisiensi antitrombin III, defisiensi protein C atau S, pasien dengan antikoagulan lupus atau antibodi antikardiol ipin. Pengobatan trombolitik. Cara ini merupakan pengobatan definitif, karena bertujuan untuk menghilangkan sumbatan mekanik karena tromboemboli. Cara kerja obat ini adalah mengadakan trombolisis. Obat yang tersedia ada dua sediaan yaitu streptokinase dan urokinase. Streptokinase
merupakan protein nonenzim, disekresi oleh kuman Streptokokus beta hemolitik grup C. Sedangkan urokinase merupakan protein enzim, dihasilkan oleh parenkim ginjal manusia. Urokinase sekarang dapat diproduksi lewat kultur jaringan ginjal (rekayasa genetik). Streptokinase dan Urokinase sebagai obat trombolitik, kerjanya akan memperkuat aktivitas frbrinolisis endogen
dengan lebih mengaktifkan plasmin. Plasmin dapat langsung melisiskan dan mempunyai efek sekunder
sebagai antikoagulan. Terapi trombolitik selain mempercepat resolusi emboli paru, juga dapat menuunkan
tekanan di arteri pulmonalis dan jantung kanan, serta memperbaiki flrngsi ventrikel kiri dan kanan pada kasuskasus yang jelas menderita emboli paru. Terapi trombolitik sering diindikasikan untuk pasien emboli paru masif akut, trombosis venadalam, emboli paru
dengan gangguan hemodinamik dan terdapat penyakit
2312
PIJLMONOI.OGI
jantung atau paru tetapi belum mengalami perbaikan dengan terapi heparin. Terapi trombolitik boleh diberikan bila gejala-gejala yang timbul (emboli paru) kurang dari 7 hari. Selama pengobatan trombolitik tidak boleh melakukan
suntikan intra arteri, intravena atau intramuskular pada pasien. Demikian juga selama pengobatan trombolitik
jangan rrremberikan obat antikoagulan, anti-platelet bersama.
Dosis awal streptokinase 250.000 unit dalam larutan garam fisiologis atau glukosa 5%o, dlberikan intravena selama 30 menit. Dosis pemeliharaan streptokinase : 100.000 unit/jam diberikan selama24-72jam. Dosis awal urokinase : 4.400 unit/kgBB, dalam larutan garam fisiologis atau glukosa 5oZ, diberikan intravena selama 15-30 menit. Dosis pemeliharan urokinase 4.400 unii4
apabila dalam l0 hari terakhir atau kurang terdapat tindakan/biopsi di daerah yang sulit dievaluasi, tumor intra kranial, cerebro vascular accident, hipertensi maligna, dan perdarahan aktif di traktus gastrointestinal. Evaluasi terapi trombolitik dilakukan sebelum, selama dan
sesudah terapi, dan parameter yang diukur adalah waktu trombin, PT! waktu protombin dan FDP (fibrin degeneralion pro-duct).
Komplikasi terapi trombolitik yang sering terjadi adalah perdarahan dengan insidensi 5-7%.
Pengobatan Lainnya. Yang terpenting adalah pengobatan pembedahan. Pengobatan pembedahan pada emboli paru diperuntukkan bagi pasien yang tidak adekuat atau tidak
dapat diberikan terapi heparin. Dengan tindakan pembedahan ini dapat dilakukan : l). venous interruption, dan 2). embolektomi paru. Tujuan yenous interruption adalah mencegah emboli
ulang dari trombus vena dalam tungkai bawah. Sekarang yang banyak dikerjakan ialah pemasangan filter di vena kava inferior secara intravena, yang tidakmenlumbat aliran vena, dapat mencegah emboli yang lebih besar dari 2 mm dan jarangmengalami trombosis di filter tersebut. Tindakan embolektomi ini dulu banyak dikerjakan jika terdapat kontraindikasi terhadap pemakaian antikoagulan
atau pada pasien emboli paru kronik. Karena risiko kematian cukup besar, maka tindakan embolektomi sekarang ditinggalkan, lebih-lebih karena telah adanya kemaj uan terapi trombolitik.
EMBOLI PARU DIGURIGAI PADA PASIEN DENGAN KONDISI HEMODINAMIK STABIL Anamnesis dan p#;iit;;;l#ani -f
I
EKG' analisis sas darah
emboli paru r;ndah / sedanO
Kemungkinan kecurigaan
Kaji risiko penggunaan antikoagulan
Kaji risiko penggunaan antikoagulan
+ Pertimbangkan diagnosis lain
+
Risiko tinggi
Risiko iendah
Positif
+ Positif
Negatif
+
Pert mbangkan diagnos
tinggi
s
an
rendah
Gambar 1. Bagan diagnostik/penatalaksanaan emboli paru, dengan kondisi hemodinamik Stabil
2313
BRONISEI$ASIS
EMBOLI PARU DICURIGAI PADA PASIEN DENGAN KONDISI HEMODINAMIK LABIL Anamnes s dan pemer ksaan Jasmanl
kard
Pengobatan suportif O, cairan intravena intubasi, vasopresor bila Perlu
+
AS
stabil J Arteribgrafl oulmonal elektif Pasien
l-t
F-t Positif +
Teruskan antikoaoulan ' pert |
I
Negatif
+
Pertimbangkan diagnosis lain
I
.. no"[-*;',, rtrT + + IVC pi Embolektomi litik
=ilter
Pulmonal filter IVC
ai",
I Pertimbanokan Filter
Positif i Kaji ulang kondisi klinis
stabil + Arteriografl pulmonal darurat
Pasien tidak
lVt
Pertimbangkan fllter IVC dan teruskan antikoagulan
Gambar2. Bagan diagnostik penatalaksanaan emboli paru, dengan kondisi hemodinamik labil
PENCEGAHAN Pencegahan terhadap timbulnya trombosis vena dalam dan
tromboemboli paru dilakukan dengan tindakan-tindakan fisis, suntikan heparin dosis kecil dan obat antiplatelet (antitrombosit) pada pasien-pasien risiko tinggi. Tindakan-tindakan fi sis, misalnya pemasalgar, stocking elastik dan kompresi udara intermiten pada tungkai bawah. Pemasangan s tocking elastikmungkin efektifuntuk mencegah timbulnya trombosis vena dalam. Pemasangan alat kompresi udara intermiten pascaoperasi pada tungkai
PROGNOSIS Prognosis emboli paru jika terapi yang tepat dapat segera diberikan adalah baik. Emboli paru juga dapat menimbulkan kematian mendadak. Prognosis emboli paru tergantung
pada penyakit yar.g mendasarinya, juga tergantung ketepatan diagnosis dan pengobat at y ang diberikan' Umumnya prognosis emboli paru kurang baik' Pada emgi,karcna70%o 2 jam sesudah Pasien emboli
bawah dianjurkan pada pasien sesudah pembedahan saraf,
paru kronik dan yang serin Resolusi emboli paru daPat
mencegah trombosis vena dalam misalnya mobilisasi dini sesudah pembedahan, kaki letaknya ditinggikan pada
yang progresif. Umumnya resolusi dapat dicapai dalam waktu 30 jam. Resolusi komplet terjadi dalam waktu 7-19
prostat, atau lutut. Tindakan-tindakan lain untuk pasien tirah baring, dan latihan aktif dan pasif menggerakkan kaki pada pasien tirah baring. Suntikan
hari, variasinya tergantung pada kapan mul aiterapi, adekuat tidaknya terapi dan besar kecilnya emboli paru yang terjadi'
heparin dosis rendah, 5.000 unit subkutan diberikan tiap 8-12 jamdimulai 2 jam sebelum operasi. Monitoring sama seperti pengobatan heParin.
Pencegahan dengan obat antitrombosit dalam mencegah trombosis vena dalam belum ada bukti keberhasilannya.
REFERENSI Brewis RAL. Lecture Note on Respiratory Disease' PG Publishing Pte Ltd; 1983.
2"d
ed
Singapore:
2314
A. Emboli Paru. dalam Buku : llmu penyakit Dalam Jilid II, Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1990. Crofton J and Douglas A. Respiratory Disease. 2"d ed. Blackwell Scientific Publications, Medical Book Center; 1975. Crowley M. Pulmonary Embolism. 1n Dugdale DC and Eisenberg Bahar
MS (eds), Medical Diagnosis. philadelphia, WB Ssunder
Company 1992. Des Jardin T. and Burton GG. Clinical Manifestations & Assesment of Respiratory Disease. St. Louis, Mosby;year Book Inc., 1995. Fishman AP. Pulmonary Embolic Disease. In Fishman Ap at al.(eds), Fishman's Manual of Pulmonary Disease and Disorders. 3d ed. New York, McGraw-Hitl, 2002. Goldman MJ. Principles of Clinical Electrocardiography. gth ed. Japan : Maruzen Asian Edition, Lange Medical publication Manuen Company Ltd: 191-3.
PI.JLMONOI.OGI
Karlisky JB, Lau J and. Goldstein RH. Decision Making In pulmo_ ,nary Disease. Philadelphia : BC Decker; 1991. Major RH and Delp MH. Physical Diagnosis. 6th ed. philadelphia:
WB Saunders Company; 1962. Moser KM. Pulmonary Thromboembolism. In. Braunwald E, et al. (eds). Harrison's Principles of Internal Medicine. 15s ed. New York : McGraw-Hill Book Company; 2005.
Neff TA. Pulmonary Thromboembolism. In : Mitchell RS.
Ed. Synopsis of Clinical Pulmonary Disease. Saint Louis CV Mosby;
t979. Staufer JL. Pulmonary Disease.In
:
Schroeder et al. (eds). Current
Medical Diagnostic & Treatment 1989. London : prenticeHall International Inc; 1989. 131--1991.
III JE. Pulmonary Embolism. In Wyngaarden JB and Smith LH (eds). Cecil Textbook ofMedicine vol.l, l6th ed. Tokyo:
Wilson
WB Saunders;
1982.
367 PENYAKIT PARU INTERSTISIAL Ceva WicaKono PitoYo
Penyakit paru interstisial (PPI) ata',t interstitial lung disease (ILD) adalah kelompok berbagai penyakit yang melibatkan dinding alveolus, jaringan sekitar alveolus dan jaringan penunjang lain di paru-paru. Kelompok ini terdiri dari lebih dari I 50 penyakit yang antara lain adalah Fibrosis paru idiopatik, Sarkoidosis, Pneumonitis hipersensitivitas,
Pneumonitis radiasi, berbagai pneumonia eosinofilik, Histiositosis X paru, Limfangioleiomio-matosis, Tub erous sclerosus, serta berbagai kelainan paru akibat penyakit vaskular kolagen. Lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid, skleroderma, spondilitis ankilosa, sindrom Sj o gr
en, polimio sitis-dermatomiositis serta mixed c onne c -
tive tissue disease (penyakit dengan gejala campuran dari berbagai penyakit vaskular kolagen) adalah beberapa penyakit vaskular kolagen yang dapatmenyebabkan PPI' Penyakit paru interstisial bukanlah keganasan' juga bukan penyakit infeksi oleh organisme yang selama ini
Fungsi respirasi menunjukkan gambaran restriktif' Terdapat pula gradien alveolar-arteri yang abnormal dan penurunan kapasitas difusi paru (DLco)' Gambaran gejala histopatologi umum yang dimiliki oleh semua penyakit
dalam kelompok
ini adalah : campuran antara-infiltrat
peradangan alveolus (aktif/akut) dengan daerah berparuV fibrotik (kronik). Pada stadium lanjut akan tampak kistik, gambaran sarang lebah. Gambaran ini disebut sebagai
usual interstitial Pneumonia. Walaupun High Resolution CT scar (HRCT) dapat membantu, namun foto toraks biasa sulit membedakan berbagai penyakit dalam kelompok ini. Akibatrya klasifikasi
penyakit-penyakit dalam PPI tidak mudah dilakukan, apalagi ada ratusan penyakit yang bisa melibatkan interstisial paru, baik sebagai primer maupun sebagai bagian dari gambaran multi organ suatupenyakit, misalnya pada berbagai penyakit-penyakit vaskular kolagen' Yang
sudah dikenal. Walaupun sering kali ada varian akutnya namun umunnya penyakit ini berkembang perlahan-lahan secara kronik. Kelainan ini dimulai dari perlukaan dinding epitel yang menyebabkan peradangan dinding alveolus
paling mudah adalah membagi atas kelompok yang dik"tuh.ri penyebabnya dan yang tidak diketahui penyebabnya. Setiap grup tersebut selanjutnya dapat dibagi atas subgroup berdasarkan ada tidaknya
atau alveolitis. Apabila penyakit berkembang menjadi kronik, peradangan akan meluas ke jaringan dan pembuluh darah di interstitium serta sering kali menyebabkan fibrosis. Akibat dari parut dan distorsi jaringan paru yang ditimbulkannya, dapat terjadi gangguan pertukaran gas dan fungsi ventilasi yang serius. Peradangan dari alveolus juga dapat melibatkan saluran napas kecil (bronkiolus
Fibrosis paru idiopatik (FPD, sarkoidosis, pneumonitis
terminalis dan bronkiolus respiratorius), sehingga bronkiolitis obliterans yang berhubungan dengan peradangan interstisial paru saat ini merupakan spektrum
dariPPI.
Kelompok ini terdiri atas berbagai penyakit yang memiliki kemiripan dalam gejala, perubahan fisiologi, gambaran radiologi, dan gambaran histopatologinya' Gejala umumnya berupa sesak napas saat beraktivitas'
granuloma di interstisial atau sekitar vaskularnya' Golongan terbesar PPI yang diketahui penyebabnya merupakan penyakit paru kerja dan lingkungan, termasuk di dalamnya akibat inhalasi debu inorganik, organik, serta berbagai gas beracun dan iritatif. Jumlah PPI yang tidak diketahui penyebabnya juga besar. Di antaranya adalah
hipersensitivitas, dan berbagai hal yang diduga berhubungan dengan penyakit vaskular kolagen. Karena tidak adanya gambaran yang patognomonik dari berbagai penyakit dalam PPI, sering terjadi berbagai istilah tercampur aduk, misalnya karena FPI dapat dianggap sebagai prototip PPI, seringkali secara keliru istilah FPI dipakai untuk menyebut PPI. Demikian pula istilah-istilah untuk gambaran histopatologi sering kali
2316
PI.'I.MONOIOGI
terpakai untuk entitas atau diagnosis klinis. Di bawah ini ada beberapa istilah yang sering dipakai pada ppl. Dari istilah-istilah tersebut di bawah, no. 7 sampai dengan 1l adalah nama gambaran histopatologi yang dapat timbul pada penyakit-penyakit yang tergolong ppl. Sedangkan no.l sampai dengan 7 adalah nama penyakit atau entitas klinik yang merupakan bagian dari ppl. Masing-masing
entitas klinik tersebut dapat memiliki gambaran hitopatologi yang tersebut pada no.7 sampai I l. Istilahistilah tersebutantara lain adalah : l. Respiratory bronchiolitis-associated interstitial lung disease (RBILD)Suatu peradangan idiopatik dari
bronkiolus repiratorius dan struktur alveolus disekitamya yang timbul relatif hanya pada perokok sigaret.
Z
Cryptogenic Fibrosing Alveolitis (CFA) arau ldio-
3.
pathic pulmonaryfibrosis (IPF) nama lain dari FpI. Pneumonia (atau Pneumonitis) interstisial akut tanpa sebab yang jelas atau sindrom Hamman-Ricft. Suatu varian dari FPI yang memiliki perjalanan penyakit fulminan dan menjadi gagal napas dalam 4-6 bulan.
4. Bronchiolitis obliterans (BO). Suatu
5. 6.
keadaan
bronkiolitis dimana brokiolus terobliterasi. Kelainan ini hanya pada dinding saluran napas kecil (bronkiolus) dan alveolus tidak terlibat. Secara fisiologis ditandai dengan obstruksi saluran udara. BO dapat disebabkan oleh infeksi (bakteri atau virus) dan hipersensitivitas atau keracunan obat, kokain, maupunpolutan kimiawi di udara. BOjuga dapat disebabkan penyakitjaringan ikat. Akan tetapi sering kali juga ditemukan BO tanpa diketahui penyebabnya secara jelas. Bronchiolitis obliterans syndrome (BOS). Suatu entitas klinik yang dipakai khusqs untuk menyebut kejadian BO pada pasca transplatasi paru Idiopathic BOOP atau lone COP . Suatu keadaan BOOP yang tidak jelas penyebabnya.
7. Bronchiolitis obliterans with organizing
pneumonia
(BOOP) atau cryptogenic organizing pneumonia (COP). Suatu keadaan serupa BO akan tetapi terdapat
peradangan alveolus. Pada BOOp terjadi proses
'
8.
peradangan eksudatifdan fibrosis pada saluran napas kecil. Sebagaimana pada BO, BOOP dapat timbul pada berbagai keadaan klinik termasuk penyakit paru akibat kelainan vaskular kolagen atau penyakit akibat obat atau polusi lingkungan. BOOP adalah satu gambaran histopatologi yang memiliki gejala klinis yang khas sehingga dapat dikatakan suatu entitas kliniktersendiri pula.
Usual interstitial pneumow, (UIP). Suatu gambaran histopatologi dimana terdapat berbagai derajat infiltrasi sel mononuklir dan prolifarasi fibroblastik, sehingga terjadi deposisi kolagen dalam interstitial alveolus. Dengan berkembangnya penyakit, reaksi fibrotik akan meluas dan menyebabkan distorsi arsitektur paru. yang tampak akibat distorsi tersebut adalah rongga-rongga
kistik 2-3 mm yang dibatasi epitel yang metaplasia dan
9.
disebut sebagai paru sarang lebah./tawon. Desqumative interstitial pneumonia (DIp). Disebut
jtga Giant-cell interstitial pneumonia (GIp), yaitu
suatu gambaran histopatologi dimana terdapat agregasi fokal makrofag alveolar. Gambaran ini umumnya terdapat pada fase dini dari FPI. 10.
Lymphocytic interstitial pneumonia (LIp). Suatu gambaran histopatologi dimana tampak infiltrasi interstisium oleh limfosit matang secara monoton (tidak bervariasi sel muda dan matang). Infrltoasi ini cenderung
membentuk pusat germinal di interstisium. Apabila gagal diobati LIP bisa berkembang menjadi UIp atau paru sarang tawon lanjut. 71. Diffuse alveolar damage. Suatu gambaran histopatologi
yang dikenali dengan campuran antara infiltrat peradangan interstisial, edema interstisial dan deposisi fibrin serta pembentukan membrane hyalin intraalveolar yang sangat khas. Gambaran histopatologi ini dapat ditemukan pada adult respiratory distress syndrome (ARDS), pneumonitis interstisial akut idiopatik (sindrom Hamman-Rich), berbagai sitotoksisitas karena obat,
pneumonia akut pada SLE atau polimiositisdermatomiositis.
PENDAKATAN KLINIK DAN DIAGNOSIS DIFERENSLqL
Pasien yang ditemukan dengan kecurigaan
ppl
harus
dievaluasi lengkap untuk kemungkinan penyakit lain, karena infeksi (terutama pada imunodefisiensi dan transplantasi) bisa mempunyai gambaranyang mirip ppl. Demikian pula metastasis keganasan yang difus serta gagal
jantung kongestif harus difikirkan bila latar belakang kliniknya mendukung. Dengan banyaknyajenis penyakit yang tergolong ppl, dimana masing-masing memiliki gambaran yang mirip, serta adanya teknik diagnostik yang selalu berkembang, batasan
diagnosis penyakit-penyakit PPI juga berkembang terus. Oleh karena itu sungguh tidak mudah menegakkan diagnosis penyakit dalam kelompok PPI secara pasti dan akurat.
Bahkan terkadang dengan teknik diagnosis yang paling invasifpun diagnosis pasti PPI bisa tak dapat ditegakkan. Apabila diagnosis dapat ditegakkan, terapi yang efektif sering kalijuga tidak tersedia. Proses diagnostikpada PPI dimulai dari riwayat faktor lingkungan, paparun pekerjaan, penggunaan obut, du.t riwayat keluarga. Riwayat penyakit sekarang harus dieksplorasi progresifitasnya, serta hubungannya dengan batuk darah, demam dan gejala-gejala di luarparu lainya. Gejala yang kurang dari 4 minggu dengan demam mengarah
pada BOOP, pneumonitis hipersensitif atau akibat obat. Sebaliknya gambaran akut seperti ini tidak ditemukan pada FPI, histiositosis paru, dan PPI akibat penyakit jaringan ikat. Pasien dengan sarkoidosis dan sindrom Lofgrenjuga
2317
PENYAKIT PARU II{TERIiTISIAL
bisa terdapat demam sebentar, eritema nodosum dan artritis. Evaluasi umur, status merokok, dan jenis kelamin juga bisa membantu. PPI umumnya terjadi pada dewasa,
terutama >50 tahun. Sarkoidosis paru umumnya terjadi pada dewasa muda atau paruh baya.Granulomatosis sel Langerhans (disebutjuga histiositosis X paru atau granuloma eosinofilik) secara khas muncul pada perokok muda. RBILD muncul hanya pada perokok. Limfangiomiomatosis, suatu kelainan jarang yang ditemukan, terjadi hanya pada perempuan usia subur. Riwayat pekerjaan bisa mengarahkan pada kecurigaan
inhalasi. Kecurigaan akan pneumonitis hipersensitivitas
kecurigaan granulomatosis sel Langerhans, sementara epilepsi dan retardasi mental menunjukkan adanya kemungkinan tuberous s cleros is.
Pemeriksaan laboratorium pada dugaan PPI harus meliputi pemeriksaan darah perifer lengkap, hitung jenis leukosit, laju endap darah, fungsi ginjal dan fungsi hati, elektrolit (Na, K, Cl, Ca), urinalisis dan tes penapisan untuk penyakit vaskular kolagen. Apabila diperlukan dapat pula diperiksa kadar Angiotensin Converting Enzyme (ACE) dan Creatinin Kinase (CK)
GAMBARAN RADIOLOG!
umumnya timbul setelah ada riwayat pekerjaan yang berisiko terhadap paparar' zat inhalasi. Riwayat obat-obat yang diminum perlu dicari, karena banyak PPI merupakan imbas obat. Tidak pula boleh dilupakan obat-obat alternatif dan obat-obat yang dijual bebas. Riwayat disfagia atau aspirasi mengarahkan pada pneumonia aspirasi, scleroderma ataa mixed connective tissue disease. Sinusitis berulang mengarahkan pada granulo-
matosis Wagener. Pneumotoraks bisa terjadi pada granuloma eosinofilik dan limfangioleiomiomatosis, walaupun bisa terjadi pula
Seluruh foto yang pernah dibuat harus dibandingkan. Dengan membandingkan kita bisa mendapatkan keterangan
tentang awitan, kronisitas, progresifitas, maupun stabilitas penyakit. Walaupun jarang, bisa saja ditemukan foto toraks yang normal pada PPI. Bila terdapat kelainan, distribusi dan gambaran kelainan dapat membantu mempersempit
diagnosis diferensial. Gambaran kelainan yang didominasi daerah apeks/atas,
mengarahkan pada sarkoidosis, beriliosis, granqlgmatosis sel Langerhan, fibrosis kistik, silikosis, dan anlqt I o s ing
spondilitis.
pada penyakit PPI lainnya. Batuk darah menunjukkan ke
Gambaran kelainan yang didominasi di tengah dan
arah sindrom perdarahan alveolar seperti pada sindrom Goodpasture, lupus eritematosus sistemik, granulomatosis Wagener, kapilaritis paru.
bawah menunjukkan FPI, karsinomatosis limfangitik,
Artritis mencurigakan ke arah berbagai penyakit vaskular kolagen atau sarkoidosis. Gejala pada kulit dan otot mengarahkan pada dermatomiositis atau polimiositis. Sicca syndrome (mala dan mulut kering) mencurigakan akan sarkoidosis, sindrom Sj6gren, atau penyakit vaskular
kolagen lainnya. Berdasarkan kecurigaan-kecurigan
di atas, dokter selanjutnya harus menentukan pemeriksaan penunjang untuk lebih memastikan tersebut
diagnosisnya. Pemeriksaan fisik pada sistem pernapasan sering kali tidak menolong penegakan diagnosis. Sebaliknya temuan fisik di luar toraks sering membantu memperjelas penyakit yang terjadi. Misalnya kelainan kulit disertai limfadenopati dan hepatosplenomegali mengarahkan pada sarkoidosis. Nyeri otot dan kelemahan otot proksimal mencurigakan adanya polimiositis. Adanya artritis mengarahkan pada sarkoidosis dan penyakit vaskular kolagen. Artralgia juga bisa terjadi pada FPI tetapi jarang sampai menyebabkan
sinovitis atau artritis akut. Sklerodaktili, fenomena Raynaud dan lesi telangiektasia adalah gambaran khas skleroderma dan sindrom CREST. Iridosiklitis, uveitis, at2u konjungtivitis, mungkin berhubungan dengan skleroderma dan sindrom vaskular kolagen. Kelainan sarafpusat disertai
diabetes insipidus atau disfungsi kelenjar pituitary anterior mengarahkan pada sarkoidosis' Diabetes insipidus tanpa gangguan saraf pusat membangkitkan
pneumonia eosinofilik subakut, asbestosis, sklerodema dan artritis reumatoid. Adanya adenopati hilus bilateral sekaligus paratrakeal mencurigakan ke arah sarkoidosis. Adanya kalsifftasi "kulit telur" memungkinkan adanya sarkoidosis atau silikosis. Karsinomatosis limfangitik ditandai attara lain dengan garis Kerley B tanpa kardiomegali sementara gambaran paru adalah gambaran PPI.
Gambaran
infiltrat di lobus atas dan tengah yang
cenderung ke tepi sehingga bagian tengan atau hilus lebih bersih, atau sering disebutbayangan hlmnegatif dari edem paru, adalah sangat mengarah ke pneumonia eusonofilik kronik. Infiltrat bilateral pada saat dan lobus yang sama mencurigakan ke arah BOOR pneumonia eosinofilik konik,
PPI imbas obat, pneumonitis radiasi kambrthanlrecall. Sebaliknya infiltrat yang selalu bermigrasi mengarahkan
pada sindrom Churg-Strauss (angitis alergi dengan granulomatos is), al I ergi c as p ergil I o s is (ABPA), BOOP, pneumonia eosinofilik tropikal, atau sindrom Loeffler.
Adanya plak atau penebalan lokal pleura pada gambaran umum PPI membuat dugaat asbestosis. Penebalan pleura yang difus bisa juga pada pleurisy asbestos, tetapi bia juga akibat atritis reumatoid, skleroderma atau keganasan. Adanya efusi pleura mencurigakan kemungkinan artritis reumatoid, lupus eritematosus sistemik, reaksi obat, penyakit paru akibat asbestos, amiloidosis, limfangioleiomiomatosis, atau karsinomatosis limfangitik. Dalam konteks PPI, gambaran
2318
PI.JI.IIilONqOGI
volume paru yang relatif normal atau bahkan membesar, membangkitkan kecurigaan adanya obstruksi saluran napas dan ini dapat terjadi pada limfangiomiomatosis, granuloma eosinofilik, pneumonitis hipersensitiv itas tuberous sclerosis, dan sarkoidosis. Dalam menafsirkan temuan ini, harus disadari bahwa foto toraks hanya memberikan penilaian semikuantitatif dari volume paru dan seringkali tidak mencerminkan keadaan fungsional dan
histologis yang terjadi. Walau bagaimanapun juga kombinasi foto toraks dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium, diagnosis bisa sangat mengarah.
TES FUNGSI PARU Apapun sebabnya, gangguan restiktif paru dan pemrrunan kapasitas difusi paru adalah gambaran yang dominan pada PPI. Akibatnya umumnya tes fungsi paru menunjukkan adanya PPI dan menunjukkan beratnya penyakit, tetapi tak bisa membedakan berbagai penyebab PPI. FEV l% umunnya normal karenabaik FEV maupun FVC sama-sama turun. Selisih tekanan oksigen di alveolus dengan di arleri (PAO2 - PaO2) bisa normal atau meninggi tergantung berafirya penyakit. Walaupun sangat tidak spesifik, DLco diyakini sebagai parameter yang sensitif untuk menilai adanya disfungsi paru terutamapada stadium dini. DLco juga berguna untuk pengawasan perkembangan penyakit
adalah batuk tak produktif, sesak yang progresif, ronki kering di akhir inspirasi, terutama di basal paru (walaupun pada stadium lanjut bisa sampai ke apeks). Bila terjadi konsolidasi alveolus, bisa terdengar suara napas bronkial. Jari tabuh terdapat pada sepertiga dari seluruh pasien. Gambaran klinik lain pada stadium lanjut dapat ditemui sianosis, korpulmonale, P2 (bunyi jantung ke-2 dari katup pulmonalis jantung) mengeras. Gambaran foto toraks menunjukkan bayangan retikular atau retikulonodular di bagian bawah kedua paru. Ukuran paru biasanya mengecil.
Pada HRCT akan tampak gambaran infiltrat alveolar fokal (ground glass) detganukuran heterogen, cenderung melibatkan daerah tepi (subpleural) dan basal. Terdapat ruang udara kistik menyerupai sarang lebah, bronkogram udara lebih jelas, permukaan pleura tampak kasar, dinding bronkus atau pembuluh darah menebal. Gambaran HRCT berhubungan dengan manifestasi histopatologi dari penyakit ini. Gambaran ground glass alveolar umumnya (65%) adalah akibat alveolitis aktif
walaupun bisa juga (35%) disebabkan oleh fibrosis. Gambaran retikular berupa persilangan garis-garis halus dan kasar, merupakan akibat adanya fibrosis, kista-kista
kecil (< 5 mm) atau peradangan septa (dinding) alveolus dan duktus. Gambaran histopatologi bisa dijadikan pegangan untuk menentukan prognosis FPI. Gambaran peradangan aktif
masih bisa diharapkan berhasil bila diterapi dengan steroid, sedangkan gambaran kronik seperti fibrosis dan
dan hasil pengobatan. Perubahan PAO2-PaO2 saat istirahat, FVC,dan DLco dalam I tahun, akan
kista umumnya merupakan petanda kurang baik.
menggambarkan prognosis PPI. Penyakit seperti polimiositis, scleroderma, dan lupus eritematosus sistemik harus dipikirkan bila uji pada pasien
Strategi pengobatan pada FPI didasarkan pada penghentian atau penekanan komponen peradangan dari penyakit. Kortikosteroid, imrurosup resan/ zat sitotoksik,
yang kooperatif menunjukkan penurunan maximal voluntary ventilation (MVV) yang lebih besar dari penurunan FEVl dan penurunan tekanan inspirasi
sendiri maupun kombinasi dapat diberikan. Respon
maksimal (maximal inspiratory pressure
:
MIP)
sehubungan dengan kelemahan otot. Bila terdapat kelainan obstruktif saluran napas, harus dipikirk al adaty a PPOK,
asma atau bronkiektasis yang menyertai PPL Sindrom Churg-Strauss, ABPA, sarkoidosis endobronkial dan
eosinofilia interstisial paru tropic adalah PPI yang berhubungan dengan asma atau bronkospasme berulang. Evaluasi fungsi paru saat latihan, baik tunggal maupun serial dapat membantu penatalaksanaan PPL Beratnya
hipoksemia imbas latih dan perbedaan tekanan 02 alveolus-arteri (gradient A-oO2) berhubungan dengan beratnya fibrosis paru. Selanjutnya di bawah ini akan dibahas beberapa contoh kelainan yang tergolong PPI.
FIBROSIS PARU IDIOPATTK Fibrosis Paru Idiopatik (FPI) sering juga disebut Cryptogenic Fibrosing Alveolitis (CFA). Gambaran umum FPI
dan zat anlifrbrotik
ftolkhisin
atau penisilamin), baik secara
pengobatan hanya terjadi pada tak lebih dari 30% pasien. Respons pengobatan yang terjadi umunnya juga hanya
parsial (tidak sembuh sempurna) dan sementara waktu (kambuhan). Harus pula diingat saat memberikan terapi, bahwa obat-obat yang digunakan memiliki berbagai efek samping. Kortikosteroid dimulai dari l-l%mgkgBB/hari (40 -80 mg) prednison selama 2-4 bulan, selanjutnya diturunkan secara betahap (tapering ffi. Lamanya waktu tapering hingga kini tidak adayang penelitian bakunya, namun umumnya hingga mencapai 6 bulan. Prednisolon dapat pula diberikan dengan dosis 0,8 dari prednison dengan jangka waktu yang sama. Bila ada responnya, maka hasil
baru tampak setelah 2-3 bulan. Terapi pemeliharaan selanjutnya, dengan dosis rendah, hanya diberikan bila jelas terdapat respon pada pengobatan dosis tinggi. Terapi pemeliharaan ini diberikan lebih dari 1-2 tahun. Pengawasan terhadap efek samping steroid jangka lama harus terus di lakukan selama pemberian terapi. Pada pasien yang gagal dengan steroid atau memiliki
kontraindikasi pemberian steroid, obat imunosupresan
2319
PET{YAKIT PARU IITMEBTTISIAL
seperti azatioprit atau siklofosfamid
harus
dipertimbangkan. Siklofosfamid diberikan I -2 mglkgBBl hari. Respon pengobatan dengan siklofosfamid umumnya lebih lambat dari steroid, karena itu simpulan kegagalan/ keberhasilan terapi baru bisa dibuat setelah 4-6 bulan. Anemia, trombositopenia, lekopenia, infeksi oporhrnistik (seperti herpes zoster dan pneumositis karinii), keganasan hematologi, sistitis hemoragika dan infertilitas adalah
berbagai keadaan yang perlu diwaspadai sebagai efek samping pengobatan dengan siklofosfamid. Azatioprin telah dicoba pada FPI dengan hasil yang
tidak konsisten. Penggunaan azatioprin baik sendiri maupnn dikombinasi dengan prednison hendaknyahanya menjadi altematif bila gagal dengan steroid. Dosis yang diberikan mulai 100 mg/hari dan dapat dinaikkan hingga 200 mg selama tak ada efek samping. Lekopenia, anemia, trombopenia adalah efek samping azatiopirt' yang harus dipantau 2 kali seminggu dalam 6 minggu pertama dan selanjutnya sekali sebulan. Evaluasi hasil terapi dilakukan setelah 4-6 bulan.
Secara teoritis pemberian kolkhisin bertujuan untuk menghambat pembentukan kolagen atau fibrosis. Efektifitas pemberian kolkhisin pada FPI, hingga kini belum dapat dibuktikan, namun efek samping berat kolkhisinjuga relatif jarang. Oleh karena itu kolkhisin tetap dicoba diberikan pada kasus-kasus gagal kortikosteroid dengan dosis oral | 2 x 0,6 mg. Pemberian kolkhisin bisa dikombinasi atau
-
tidak dengan imunosupresan.
secara intradermal. Setelah 1 - I 4 minggu, bila po sitif akan terbentuk papul keras yang bila dibiopsi akan menunjukkan adanya granuloma. Sayangnya reagen untuk uji ini tidak luas diperjualbelikan.
Dua per tiga pasien sarkoidosis tidak bergejala dan ditemukan secara tak sengaja ketika foto rdntgen toraks. Gejala tersering adalah batuk dan sesak napas' Batuk umumnya tidak produktif dan bisa berat. Sesak napas biasanya progresif perlahan-lahan. Bila batuk produktif bisanya sudah terjadi keadaan fibrokistik yang merupakan suatu keadaan yang berhubungan dengan bronkiektasis dan infeksi berulang. Pada sarkoidosis bisa terjadi keadaan akut dimana terjadi eritema nodosum, dan adenopati hilus yang disebut dengan sindrom Sjorgen Sindrom Sjorgen biasanya disertai demam, poliartritis, dan uveitis. Eritema nodosum
yang terjadi berupa nodul merah, nyeri berdiameter beberapa sentimeter. Poliartritis seringkali menyerang kaki,
mata kaki, lutut dan terkadang mengenai pergelangan tangan serta siku.
Pada sarkaoidosis dapat ditemui anergi kulit yang menyebabkan negatifpalsu pada uji yang didasarkan pada hipersensitivitas tipe lambat, termasuk uji tuberkulin. Terapi sarkoidosis masih mengandalkan kortikosteroid hingga sekarang. Pada sarkoidosis paru prednisone dapat diberikan 40 mglttari selama 2 minggt lalu diturunkan 5 mglhari setiap 2 minggu hingga mencapai 15 mg/hari. Dosis l5 mg/hari dipertahankan hingga 6-8 bulan, lalu diturunkan lagi 2,5 mg lhari tiap 2-4 minggu sampai obat dapat dihentikan. Selama dosis obat dihrrunkan bertahap, evaluasi
SARKOIDOSIS PARU
terhadap kernungkinan kekambuhan harus selalu dilalorkan.
Sarkoidosis adalah penyakit granulomatosa sistemik yang bisa mengenai semua organ. Dari semua organ, sarkoidosis paru dan kelenjar limfe intratoraks adalah yang tersering. Berbeda dengan granuloma karena tuberkulosis, granuloma pada sarkoidosis tidak ditemukan perkijuan. Penyebab
bronkiektasis, misetoma, dan hemoptisis. Aspergilus fumigatus adalah koloni yan tersering ada, akan tetapi umunnya sembuh sendiri dan tak memerlukan terapi anti jamur. Ada yang menganjurkan pemberian steroid dosis
Sarkoidosis fibrokistik dapat berkomplikasi
rendah dan antibiotik kronik dengan menggilirkan jenisnya
sarkoidosis hingga saat ini belum jelas betul. Diduga sarkoidois disebabkan oleh beberapa faktor sekaligus. Faktor genetik tampaknya berperan karena sarkoidosis
untuk mengurangi gejala bronkiektasis dan hemoptisis. Sarkoidosis paru dapat mengakibatkan korpulmonale. Terapi yang diberikan pada keadaan ini mencakup
sering ditemukan pada kelompok (cluster) keluarga' Kembar monozigot lebih sering terkena secara bersamasama, dari pada kembar heterozigot. Faktor gangguan pengaturan sistem imun tampaknya berpetankatena antinuclear antibody (ANA), rheumatoid factor (RF),
bronkitis atau bronkiektasis yang mencetuskan
hipergamaglobulinemia, dan berbagai kompleks imun bisa ditemukan pada sarkoidosis. Faktor lingkungan, termasuk
infeksi, diduga sebagai pencetus sarkoidosis karena ditemukan kecenderungan pengelompokan kejadian pada
waktu atau musim yang sama, juga pekerjaan yang sama' Walaupun hingga kini belum adayang terbukti, di antara
suplementasi oksigen, diuretik dan bronkodilator. Antibiotik harus segera diberikan bila terdapat infeksi kekambuhan. Pada kasus yang refrakter dengan steroid, metotreksat menjadi alternatif dengan cara perberian dosis rendah sekali seminggu. Azatioprin, klorambusil dan siklofosfamid telah
dicoba untuk sarkoidosis dengan hasil yang tak menentu. Penelitian dengan siklosporin telah terbukti mengecewakan dalam terapi sarkoidosis.
infeksi yang dicurigai adalah mikobakteria dan berbagai virus. Sebagai mana pada infeksi tuberkulosis ada uji kulit
Transplantasi paru atau transplantasi jantung-paru menjadi altematifterbaru yang masih harus dikembangkan protokolnya bagi sarkoidosis paru lanjut. Pada sedikit
dengan tuberkulin, pada sarkoidosis ada uji kulit KveimStilzbach. Pada uji ini disuntikkan suspensi jaringan sarkoid
telah ditransplantasi.
kasus, granuloma masihbisa timbul kembali padapatuyatg
2320
PUIJtilqtOIIrcI
PN EUMONITIS HIPERSENSITIVITAS
kriteria minor serta penyakit lain yang serupa telah disingkirkan.
Pneumonitis hipersensitivitas (PH) adalah peradangan interstitial paru akibat hipersensitivitas terhadap berbagai
paparan lingkungan. Pneumonitis hipersensitivitas ditandai dengan kelainan yang terjadi pada satu kelompok (cluster) orang yang memiliki lingkungan atau pekerjaan yang sama. Oleh karena itu pneumonitis hipersensitivitas bukanlah reaksi idiosinkrasi orang tertentu akibat paparan zat tertefltu. Peradangan paru akibat masuknya zat ke
saluran napas secara individual, seperti misalnya hipersentifitas pada satu orang tertentu akibat cairan bilas bronkus saat bronkoskopi, tidak digolongkan pada pneumonitis hipersensitivitas. Beberapa contoh pneumanitis hipersensitivitas antara lain adalah bagassosis di Lousiana Amerika Serikat, penyakit paru operator mesin (machine
operatorb lung), penyakit paru petani (farmers'lung
Kriteria Mayor Ada bukti paparan antigen yang sesuai, baik dari anamnesis maupun pemeriksaan antibodi serum Gejala yang sesuai dengan PH Kelainan radiologi atau histologi yang sesuai PH
Kriteria Minor Ronki ke-2 basal paru Kapasitas difusi paru menurun Hipoksemia arteri, baik karena latihan atau saat istirahat Kelainan histologi paru yang sesuai PH Adanya peningkatan suhu, leukosit, perubahan radiologi atau peningkatan gradient arteri-alveolar (ditandai dengan penurunan PaO2) setelah adanya paparan alamiah dengan antigen yang diduga. Limfositosis dari cairan lavase bronkus
: FLD), penyakit penggemar
burun g(birdfancier b disease: BFD) di Eropa danAmerika, penyakitpeternak merpati Qtigeon breeder b disease: PBD) di Meksiko dan
prognosis dari PH. Misalnya penyakit peternak merpati di
hipersensitivitas musim panas Jepang (J ap an e s e summer-
Eropa memiliki prognosis yang baik, tetapi di Meksiko penyakit yang sama memiliki kematian dalam 5 tahun
disease
Amerika Serikat, paru ventilator, pneumonitis type hypersensitivity pneumonitis).
Gambaran klinik PH bisa akut atau kronik. Pada kondisi
akut, sesak napas, batuk kering, mialgia, menggigil, diaforesis, sakit kepala dan malaise dapat timbul 2 sampai 9 jam pasca paparan. Puncak gejala akan tampak antara 6 sampai 24 jam dan akan berkurang sendiri tanpa terapi umumnya dalam l-3 hari. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai demam, takipnu, ronki di ke-2 basal dan bisa
sianosis. Sebagaimana umumnya pada PPI, pada PH akut
gambaran radiologi didominasi oleh gambaran radiodensitas nodular tidak berbatas tegas, dengan daerah ground-glass atau bahkan konsolidasi. Sedangkan pada PH kronik, garis-garis radiodensitas yang menggambarkan fibrosis lebih menonjol dan bercampur dengan bayzrrgan
Jenis PH dan lokasi geografis PH membedakan
mencapai30o/o Penatalaksanaan penyakit ini dimulai dari menjauhkan
pasien dari paparan. Bila belum terjadi frbrosis yang luas, kelainan umumnya akan membaik dalam beberapa hari hingga sebulan. Belum ada penelitian formal akan manfaat steroid, tetapi prednion atau prednisolon sering digunakan pada PH dengan dosis 40-60 mg lhai sampai 2 minggu
lalu diturunkan bertahap dalam waktu l-2 bulan. Penggunaan steroid tampaknya mempercepat pengurangan peradangan aktif sehingga perbaikan klinis lebih cepat. Tetapi steroid tidak berguna bagi proses kronik (fibrosis) yang sudah terjadi, sehingga setelah 6 bulan, saat tanpa steroidpun peradangan aktifsudah berkurang, keadaan paru tidak akan berbeda antarayang mendapat steroid dan tidak mendapat steroid.
nodular. Gambaran ini terutama ada di lobus atas. Pada CT scan terutama
HRCI
pasien dengan PH kronik
akan menunjukkkan nodul sentrilobular multipel berdiameter 2-4 mm dengan daerah-daerah ground-glass. Daerah ground glass inilebih mendominasi di lobus bawah. Berbeda dari sarkoidosis, nodul pada PH tidak menempel pada pleura atau berkas bronkovaskular.
'Bisa ditemukan lekositosis dengan netrofilia dan limfopenia di darah tepi. Pada bilasan bronkus terdapat
netrofilia. Walaupun disebut hipersensitivitas atau reaksi alergi tetapi pada PH tidak terdapat eosinofilia ata:u peningkatan IgE. Tanda peradangan tak spesifik seperti LED atau CRP bisa meningkat. Terdapat peningkatan IgG,
IgM dan IgA terhadap zat yang
PNEUMONITIS RADIASI
Peumonitis radiasi sering terjadi pada radioterapi keganasan. Pada keganasan, kemoterapi seringkali juga
menimbulkan efek toksik pada paru-paru sehingga kombinasi radio-kemoterapi akan meningkatkan risiko perlukaan paru. Bahkan fenomena yang disebut sebagai "radiation recall" bisa terjadi. Fenomena ini adalah kejadian peradangan paru yang terjadi pada pemberian adriamisin atau aktinomisin bahkan beberapa bulan setelah
radioterapi.
perangsangan di dalam serum dan cairan bronkus. Untuk menegakkan diagnosis PH digunakan kriteria mayor dan minor (Tabel 1). Diagnosis PH tegak bila semua
Manifestasi toksisitas paru akibat radiasi dapat dibedakan atas akut dan kronik. Reaksilmanifestasi akut umumnyabaru terjadi pada dosis terapi yang tinggi (50-60 Gy). Kelainan yang timbul umumnya hanyapada saluran
kiteria mayor harus terpenuhi dan minimal terdapat 4
napas berupa mukosa yang meradang. Gejala yang timbul
menimbulkan
2321
PENYAKIT PARU INTERIITISIAL
adalah batuk kering. Terapi antitusif seperti kodein dan banyakminum umumnya dapat mengatasi masalah ini. PPI akibat radiasi adalahmanifestasi laonik dari kelainan paru akibat radiasi. Pneumonitis akibat radiasi biasanya baru tampak pada 2-6 bulan setelah radioterapi. Pada umumnya pneumonitis radiasi tak bergejala walaupun tampakkelainanpada foto toraks. Bilabergejala maka akan terdapat demam (bisa mendadak tinggi), batuk dan sesak napas. Gejala umumnya berhubungan dengan besamya dosis radiasi. Dosis radiasi yang diberikan terbagi kecilkecil akan memperkecil risiko dan gejala pneumonitis
menjaga suplai oksigen ke arteri, terapi PLA adalah
radiasi.
ARTRITIS REUMATOID
mengikuti terapi lupus sistemiknya. PPI Lupus timbul setelah pasien menderita lupus beberapa tahun. Pasien PPI Lupus akan mengalami sesak napas yang perlahan-lahanmemberat, batuk dan gambaran infiltrat pada foto ke-2 paru. Respon terhadap obat seperti
kortikosteroid atau siklofosfamid atau azatioprin tergantung apakah masih ada gambaran aktif (cellular interstisial pneumonitis) pada pemeriksaan histologinya.
Komplikasi pleuropneumonia pada artritis reumatoid PENYAKIT PARU INTERSTISIAL AKIBAT PENYAKIT
VASKULAR KOLAGEN Berbagai kelainan paru bisa mrurcul pada berbagai penyakit vaskular kolagen. Disfungsi otot pernapasan, pneumonia aspirasi, vaskulitis paru, hipertensi pulmonar, bronkiolitis, bronkiliotis obliterans, efusi pleura, penyakit paru intertisial (PPI), hingga nodul di parenkim paru bisa terjadi pada
penyakit vakular kolagen. PPI terjadi pada dua per empat pasien skleroderma, sedangkan sekitar seperempat pasien spondilitis ankilosa akan mengalami PPI. Pada arhitis reumatoid, sindrom
Sjorgen, polimiositis-dermatomiositis, serta lupus eritematosus sistemik, PPI bisa terjadipada lebih dari3}o/o paslen.
Sebagai contoh kasus PPI pada penyakit vaskular kolagen di bawah ini akan disinggung PPI pada lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid dan skleroderma.
LU PUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
Ada dua bentuk PPI pada lupus, yaitu bentuk akut dan bentuk kronik. Bentuk akut disebut Pneumonitis lupus akut (PLA), sedangkan bentuk kronik disebut Penyakit paru intertisial lupus (PPI lupus). Gambaran histologi dari PLA
adalah diffuse alveolar damage, BOOP, cellulqr interstisial pneumonitis atau kombinasi antara ketiganya. Gambaran histologi PPI lupus adalah UIP, atau senrpa dengan FPI.
PLA sering kali sulit dibedakan dari pneumonia infeksi. Pada lupus memang sering pula terjadi infeksi baik karena lupus sendiri menyebabkan gangguan sistem imun, juga pada lupus sering diberikan terapi imunsupresan. Kadang kala hanya kultur dari cairan lavase bronkoalveolar yang dapat membedakan PLA dari pneumonia infeksi. Pada PLA terdapat sesak napas, ronki, lekositosis, peningkatan laju
umurnnya terjadi pada kasus yang lanjut atau berat. PPI muncul pada 540% pasien artritis reumatoid. Gejalaklinisnya adalah sesak dan baflrk. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ronki pada ke-2 basal paru dan jari tabuh. Bila terdapat hipertensi pulmonar akibat vasokonshiksi hipoksik bisa terjadi korpulmonal. Foto toraks dan CT scan loraks
menrnjukkan infiltrat interstisialis terutama di basal dan tepi paru-paru. Pada kasus lanjut dapat terlihat gambaran sarang
tawon. BOOP dapat muncul dengan gejala klinis yang mirip dengan UIP dan dapat muncul bahkan sebelum gejala artritis muncul. Apabila artritis reumatoid berkomplikasi dengan sindrom Sjogren dapat pula ditemukan gambaran LIP. Pasien dengan BOOP atau LIP umumnya lebih responsifterhadap terapi dari pada yang bergambaran UIP. Akan tetapi walaupun gambaran histopatologinya BOOP atau LIP, kekambuhan sering terjadi dan pada akhirnya bisa berkembang menjadi UIP. Demikian pulapasien dengan BOOP dengan penyebab yang idiopatik sering kali memiliki respon terapi yang lebih baik lagi dibanding dengan yang diakibatkan oleh penyakit vaskular kolagen. Terapi yang diberikan adalah steroid dan bila tidak berespons dapat
dikombinasi dengan sitotoksik. Garam emas sering dipakai sebagai terapi pada artritis reumatoid dan sering pula menyebabkan pneumonitis. Gambaran hitopatologi pada PPI akibat reumatoid sering kali serupa dengan yang diakibatkan oleh emas, sehingga membedakannya harus dilakukan secara klinis. Sesak dan batuk timbul 4 sampai 6 minggu setelah pemberian terapi emas. Pada beberapa kasus bisa terdapat eosinofilia di
hitung jenis lekosit darah tepi. Walaupun bisa
bermanifestasi di basal, namun pneumonitis karena emas cenderung lebih ke atas dari pada infiltrat paru akibat
artritis reumatoid. Seperti akibat langsung artritis reumatoid, pneumonitis karena emas kadang kala juga membaik dengan steroid, namun yang khas adalah perbaikan langsung terjadi dengan dihentikannya terapi
endap darah dan infiltrat alveolar bilateral pada foto toraks. PLA bisa kambuh berulang serta bisa terjadi gagal napas
emas.
hingga membutuhkan ventilator mekanik. Pada kehamilan kejadian PLA cenderung meningkat. Selain supodif dengan
karena artritis reumatoidnya atau karena PPI reumatoidnya) juga bisa menyebabkan pneumonitis. Kejadian pneumoni-
Selain emas, terapi metotreksat (yang bisa diberikan
2322
tis karena metoheksat adalah jarung(I -11%) namun bila terdapat pneumonitis/PPl saat metroteksat diberikan, maka obat ini harus dihentikan.
PI.JLMOITIOI.OGI
Gambaran radiologi menunjukkan infiltrat intertisial ke-2 basal yang makin lama makin menyeluruh, volume parumengecil, kista-kista sarang tawon danberbagai tanda hipertensi pulmonar.
SKLERODERMA Skleroderma adalah penyakit fibrotik-inflamatif pada
matriks ekstraselular kulit dan berbagai organ dalam. Dilaporkan 70-100 % pasien skleroderma mengalami keterlibatan paru walau gejalanya belum tampak.
Gambaran histopatologi utama pada scleroderma paru adalah UIP dan sarang tawon, seperti yang ditemukan pada FPI, Gambaran sarang tawon adalah gambaran dari keadaan kronik atau lanjut. UIP paling sering muncul pada skleroderma kulit yang menyeluruh, walaupun bisa juga ditemukan pada skleroderma kulit yang terlokalisir, yang dulu disebut sebagai sindrom CREST. Pada kasus yang disertai dengan sindrom Sjdgren dapat ditemukan LIP. Gejala klinis yang menonjol adalah batuk dan sesak napas yang memberat dengan aktivitas. Ronki ditemukan di ke-2 basal. Jari tabuh jarang ditemukan. Tes fungsi paru menunjukkan restriksi, hipoksemia, serta gradient O, alveolar-arteri melebar.
Parut skleroderma di paru-paru dilaporkan berhubungan dengan kanker paru (adenokarsinoma atau karinoma sel alveolar).
Terapi empirik kelainan ini adalah dengan kortikosteroid yang bila gagal dapat dipertimbangkan siklofosfamid atau penisilamin.
REFERENSI Lynch III JP. Idiopathic pulmonary fibrosis, nonspecific interstitial pneumonia,/fibrosis, and sarcoidosis. In : ACCP pulmonary board review 2005 course syllabus. Illinois : American college of chest
phycisian; 2005. p. 467 - 510. III JP Rare interstitial lung disease: pulmonary Langerhans cell histiocytosis, lymphangioleiomyomatosis, and crytogenic organizing pneumonia. In : ACCP pulmonary board review 2003 course syllabus. Illinois : American college of chest phycisian; 2003. p. 523 - 54. Tanoue LT. Immunologic and intertitial lung disease. In : Fishman AP, Elias JA, Fishman AJ, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM, eds. Fishman's manual of pulmonary diseases and disorders. 3'd ed. New York : McGraw-Hill;2002. p. 339 - 422.
Lynch
368 ABSES PARU Ahmad Rasyid
PENDAHULUAN Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih. Abses paru harus dibedakan dengan kavitas pada pasien tuberkulosis paru. Abses paru lebih sering te{adi pada laki-laki dibanding perempuan dan
umumnya terjadi pada umur tua karena terdapat peningkatan insidens penyakit periodontal dan peningkatan prevalensi aspirasi. Kemajuan ilmu kedokteran saat ini menyebabkan kejadian abses paru menurun (arang ditemukan) karena adanyaperbaikan risiko terjadinya abses paru seperti teknik operasi dan anestesi
yang lebih baik dan penggunaan antibiotik lebih dini, kecuali pada kondisi-kondisi yang memudahkan untuk terjadinya aspirasi dan pada populasi dengan immunocompromised. Karena angka harapan hidup yang
lebih baik pada pasien HIV maka pada tahun-tahun belakangan ini kasus abses paru tampak mengalami
pasien bronkitis kronik karena banyaknya mukus pada saluran napas bawahnya yang merupakan kultur media yang sangat baik bagi organisme yang teraspirasi. Pada
perokok usia lanjut keganasan bronkogenik bisa '
merupakan dasar untuk terjadinya abses paru. ' Secara hematogen, yang paling sering terjadi adalah akibat septikerni atau sebagai fenomena septik emboli, sekunder dari fokus infeksi dari bagian lain tubuhnya
seperti tricuspid vqlve endocarditis. Penyebaran hematogen ini umumnya akan berbentuk abses multipel dan biasanya disebabkan oleh stafilokokus. Penanganan abses multipel dan kecil-kecil adalah lebih sulit dari abses singel walaupun ukurannya besar. S ecara umum diameter abses paru bervariasi dari beberapa mm sampai dengan 5 cm atau lebih.
Disebut abses primer bila infeksi diakibatkan aspirasi
atau pneumonia yang terjadi pada orang normal, sedangkan abses sekunder bila infeksi terjadi pada orang
yang sebelumnya sudah mempunyai kondisi seperti
adalah kelompok abses paru bronkogenik yang termasuk akibat aspirasi, stasis sekresi, benda asing, tumor dan
obstruksi, bronkiektasis dan gangguan imunitas. Selain itu abses paru dapat terjadi al
striktur bronkial. Keadaan ini menyebabkan obstruksi bronkus dan terbawanya organisme virulen yang akan menyebabkan terjadinya infeksi pada daerah distal obstruksi tersebut. Abses jenis ini banyak terjadi pada
terjadilah abses paru. Abses hepar bakterial atau amubik bisa mengalami ruptur dan menembus diafragma yang akan menyebabkan abses paru pada lobus bawah paru kanan dan rongga
peningkatan lagi.
PATOFIS!OLOGI Bermacam-macam fbktor yang berinteraksi dalam terj adinya
tipe dari penyebab' yang patogen menjadi mikroorganisme abses paru seperti daya tahan tubuh dan
Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara yaitu aspirasi dan hematogen. Yang paling sering dijumpai
2324
PULMONOI.OGI
pleura.
Ab Yang b pasr€n
(singel), tapi bisa multipel satu paru, yang terjadi pada
.
melalui aspirasi transtrakheal. Kelompokbakteriaerob:
-
yangjelekataupasienyang mengalami penyakit menahun seperti malnutrisi, sirosis hati, gangguan imunol o gi s yang menyeb abkan day a tahan
tubuh menurun, atau penggunaan sitostatika. Abses akibat aspirasi paling sering terjadi pada segmen posterior lobus atas dan segmen apikal lobus bawah, dan sering te{adi pada paru kanan, karena bronkus utama kanan lebih
-
.
umum, penyalahgunaan obal intravena, koma, trauma, sepsis Gangguan esofagus dan saluran cerna lainnya Gangguan motilitas - Fistulatrakeoesopageal Sebab-sebab Iatrogenik Penyakit-penyakit periodontal Kebersihan mulut yang buruk
-
. . . . . . . . .
:
Pencabutan gigi Pneumonia akut Immunosupresi
Bronkiektasis Kankerparu Infeksi saluran napas atas dan bawah yang belum teratasi. Pasien HIV yang terkena abses paru pada umnrfllya mempunyai status immunocompromis ed yang sangat jelek (kadar CD4<50/mm3), dan kebanyakan didahului oleh infeksi terutama infeksi paru.
Staphylococcus aureus Streptococcus microaerophilic Streptococcus pyogenes
Streptococcuspneumonia
Gram negatif : biasanya merupakan sebab
-
isinya diekspektorasikan keluar dengan meninggalkan kavitas yang berisi air dan udara. Kadang-kadang abses ruptur ke rongga pleura sehingga terjadi empiema yang bisa diikuti dengan terjadinya fistula bronkopleura.
.. Kondisi-kondisi yang memudahkan te{adinya aspirasi: - Gangguan kesadaran : Alkoholisme, epilepsi / kejang sebab lain, Gangguan serebrovaskular, anestesi
-
nosokomial
lurus dibandingkiri. Abses bisa mengalami ruptur ke dalam bronkus, dengan
Faktor predisposisi terjadinya abses paru:
Grampositif : skunder oleh sebab selain aspirasi
Klebsiellapneumoniae Pseudomonas aeruginosa
Escherichia coli Haemophilus InJluenza Actinomyces Species
Nocardia Species Gram negatif bacilli
Kelompok:
-
jamur: mucoraceae, aspergilus species parasit, amuba mikobakterium
Studi yang dilalcrkan Bartlettetal. (1974) mendapatkan 46Yo abses paru disebabkan hanya oleh bakteri anaerob, sedangkan 43%o campwanbakteri anaerob dan aerob. Spektrum kuman patogen penyebab abses paru pada pasien immunocompromised sedlkit berbeda. Pada pasien
AIDS kebanyakan kumannya adalah bakteri aerob, P. carinii dan jamur termasuk Cryptococcus neoforman dan mycobacterium tuberculos is.
GAMBARAN KLINIS Onset penyakit bisa berjalan lambat atau mendadak/akut. Disebut abses akut bila terjadinya kurang dari 4-6 minggu. Umumnya pasien mempunyai riwayat perjalanan penyakit I -3 minggu dengan gejala awal adalah badan terasa lemah, tidak nafsu makan, pemrnrnan berat badan, batuk kering, keringat malam, demam intermitten bisa disertai menggigil dengan suhu tubuh mencapai 39,40C atau lebih. Tidak ada demam tidak menyingkirkan adarrya abses paru. Setelah
beberapa hari dahak bisa menjadi purulen dan bisa
ETIOLOGI
mengandung darah.
Abses paru dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme yaitu:
.
Kelompok bakteri anaerob, biasanya diakibatkan oleh pneumonia aspirasi - Bacteriodes melaninogenus
-
Bacteriodes
fragilis
Peptostreptococcus species Bacillus intermedius Fusobacteriumnucleatum Microaerophilic streptococcus Bakteri anaerobiK meliputi 89%o penyebab abses paru dan 85%-100% dari spesimen yang didapat
Kadang-kadang kita belum curiga adanya abses paru sampai dengan abses tersebut menembus bronkus dan mengeluarkan banyak sputum dalam beberapa jam sampai dengan beberapa hari yang bisa mengandungjaringan paru yang mengalami ganggren. Sputum yang berbau amis dan
bewafna anchovy menunjukkan penyebabnya bakteri anaerob dan disebut denganputrid abscesses, tetapi tidak
didapatkannya sputum dengan
ciri di atas tidak
menyingkirkan kemungkinan infeksi anaerob. Bila terdapat nyeri dada menunjukkan keterlibatan pleura. Batuk darah bisa dijumpai, biasanya ringan tetapi ada yang masif. Pada beberapa kasus penyakit berjalan sangat akut
2325
ABSESPARU
dengan mengeluarkan sputum yang berjumlah banyak dengan lokasi abses biasanya di segmen apikal lobus atas. Seringkali ditemukan adanya faktor predisposisi seperti disebutkan di atas. Sedangkan abses paru sekunder seperti yang disebabkan oleh septic emboii paru dengan infark, abses sudah bisa timbul hanya dalam waktu 2-3 hari' Pemeriksaan fisis yang ditemukan adalah suhu badan meningkat sampai 40"C, pada paru ditemukan kelainan seperti nyeri tekan lokal, pada daerah terbatas perkusi terdengar redup dengan suara napas bronkial. Bila abses
Bronkoskopi Bronkoskopi dengan biopsi sikatan yang terlindung dan bilasan bronkus merupakan cara diagnostik yang paling baik dengan akurasi diagnostik bakteriologi melebihi 80%. Cara ini hendaknya dilakukan pada pasien AIDS sebelum dimulai pengobatan karena banyaknya kuman yang terlibat dan sulit diprediksi secara klinis.
Selain
itu l\%-zs%dari penyebab abses paru
pada
orang dewasa adalah karsinoma bronkogenik, dan 60% di antaranya dapat didiagnosa dengan memakai bronkoskopi'
luas dan letaknya dekat dengan dinding dadakadangkadang terdengar suara amforik. Suara napas bronkial atau
amforik terjadi bila kavitasnya besar dan karena bronkus masih tetap dalam keadaan terbuka disertai oleh adanya konsolidasi sekitar abses dan drainase abses yang baik' Biasanyajuga akan terdengar suara ronkhi. Bila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piotoraks (empiema torakis) sehinggapada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan dinding dada tertinggal pada tempat lesi, fremitus vokal menghilang, perkusi redup/pekak, bunyi napas menghilang dan
terdapat tanda-tanda pendorongan mediastinum terutama pendorongan jantung ke arah kontra lateral tempat lesi. Pada abses paru bisa dijumpai jari tabuh, yang proses terjadinya berlangsung cepat.
Aspirasi Jarum Perkutan Cara ini mempunyai akurasi tinggi untuk diagnosis bakteriologis, dengan spesifisitas melebihi aspirasi transtrakeal.
Radiologi Foto dada PA dan lateral sangat membantu unhrk melihat lokasi lesi dan bentuk abses paru. Pada hari-hari pertama penyakit, foto dada hanya menunjukkan gambaran opak dari satu atau lebih segmen paru, atau hanya berupa
gambaran densitas homogen yang berbentuk bulat' Kemudian akan ditemukan gambaran radiolusen dalam bayangan infiltrat yang padat. Selanjutnya bila abses tersebut mengalami ruptur sehingga terjadi drainase abses yang tidak sempurna tampakkavitas irregul
udara(airfluid level) DIAGNOSTIK
Laboratorium Hitung leukosit umumnya tinggi berkisar 10.000-30.000/ mm3 dengan hitung jenis bergeser ke kiri dan sel polimorfonuklear yang banyak terutama netropil yang immatur. Bila abses berlangsung lama sering ditemukan adarrya anemia. Pemeriksaan dahak dapat membantu
dalam menemukan mikroorganisme penyebab abses, namun dahak tersebut hendaknya diperoleh dari aspirasi transtrakheal, transtorakal atau bilasan/sikatan bronkus,
karena dahak yang dibatukkan akan terkontaminasi dengan organisme anaerobik normal pada rongga mulut dan saluran napas atas. Prosedur invasif ini tidak biasa dilakukan, kecuali bila respons terhadap antibiotik tidak adekuat. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dari dahak adalah pewarnaan langsung dengan teknik gram, biakan mikroorganisme aerob, anaerob, jamur, Nokardia, basll mikobakterium tuberkulosis dan mikobakterium lain. Dahak bisa mengandtng Spirochaeta, fustfurm bacilli atau sejumlah besar bakteri baik yang patogen maupun flora manusia seperti Streptococcus viridan. Klostridium dapat ditemukan dari aspirasi transtrakeal. Kultur darah
dapat membantu menemukan etiologi, sedangkan pemeriksaan serologi juga dapat dilakukan untuk jamur dan parasit.
bila Kha er) y infeksi paru primer, sedangkan abses paru sekunder (aerobik, nosokomial atau hematogen) lesinya bisa
disertai dengan disertai dengan dan empiema. Empiema yang terlokalisir
multipel. Sepertiga kasus
abses paru bisa
fistula bronkopleura akan sulit dibedakan dengan gambaran abses paru. Untuk suatu gambatan abses paru simpel, noduler dan disertai limfadenopati hilus makaharus dipikirkan sebabnya adalah suatu keganasan paru.
CT Scan bisa menunjukkan tempat lesi yang
menyebabkan obstruksi endobronkial, dan gambaran abses tampak seperti massa bulat dalam paru dengan kavitasi sentral. CT Scanjuga bisa menunjukkan lokasi abses berada dalam
parenkim paru yang membedakannya
dari empiema.
LesiJesi yang bisa mengakibatkan terjadinya abses paru bakterial meliputi karsinoma bronkogenik dengan kavitas, bronkiektasis, empiema sekunder dari fistula bronkopleura, tuberkulosis paru, cocciodomycosis dan udara Yang
JJ-1i.:l* akibat amuba atau hidatid yang menembus ke bronkus dan Wagener b granulomafosls. Pemeriksaan diagnostik secara seksama seperti yang disebutkan di atas harus
2326
dilakukan untuk membedakannya dari abses paru biasa (simpel).
Klinisi harus tetap waspada bahwa kavitas paru yang ada bukan suatu abses paru.
Diagnosa banding dari abses parv arrtara lain sebagai berikut: . Penyebab infeksi: tuberkulosis,bulla infeksi, emboli septik,
.
Penyebab bukan infeksi: kavitas oleh karena keganasan, Wagener's granulomalosis,nodul reumatoid, vaskulitis, sarkoidosis, infark paru, kongenital (bulla, kista, bleb)
PUI.^tt,oItIOI.oGI
beberapa bakteri anaerob seperti Prevotella, Bakterioides
Spp. dan Fusobacterium karena memproduksi beta-laktamase, resisten terhadap penisilin. Kombinasi
p-laktam dan p-laktamase inhibitor seperti tikarkilin
klar,ulanat, amoksisilin + asam klavulanat atau piperasilin
*
tazobaktam juga aktif terhadap kebanyakan bakteri
anaerob dan pada kebanyakan strain basil gram negatif. Kombinasi ini biasanya digunakan pada pasien dengan sakit yang serius dan pasien abses paru nosokomial. Dosis
pengobatan tunggal metronidazol (Flagyl) diberikan dengan dosis I 5 mg/QBB intravenous dalam waktu lebih dari l jam, kemudian diikuti 6 jam kemudian dengan infus 7,5 mg/kgBB 3 -4 x/hai, tetapi pengobatan tunggal dengan
metronidazole ini tidak dianjurkan karena b eberapa anaero-
PENANGANAN
Tujuan utama pengobatan pasien abses paru adalah eradikasi secepatnya dari patogen penyebab dengan pengobatan yang cukup, drainase yang adekuat dari empiema dan pencegahan komplikasi yang terjadi. Pasien abses paru memerlukan istirahat yang cukup. Bila abses paru pada foto dada menunjukkan diameter 4
cm atau lebih sebaiknya pasien dirawat inap. posisi berbaring pasien hendaknya miring dengan paru yang terkena abses berada di atas supaya gravitasi drainase lebih baik. Bila segmen superior lobus bawah yang terkena, maka hendaknya bagian atas tubuh pasier:/kepala berada di bagian terbawah (posisi trendelenberg). Diet biasanya bubur biasa dengan tinggi kalori tinggi protein. Bila abses telah mengalami resolusi dapat diberikan nasi biasa. Penyembuhan sempurna abses paru tergantung dari pengobatan antibiotik yang adekuat dan diberikan sedini mungkin segera setelah sampel dahak dan darah diambil untuk kultur dan tes sensitivitas. Kebanyakan kasus abses paru yang disebabkan bakteri anaerob kumannya tidak
dapat ditentukan dengan pasti, sehingga pengobatan diberikan secara empirik. Kebanyakan pasien mengalami
perbaikan hanya dengan antibiotik dan postural drainage, sedangkan kira-kira l0% harus dilakukan tindakan operatif. Antibiotik yang paling baik adalah klindamisin oleh karena mempunyai spektrum yang lebih baik pada bakteri anaerob. Klindamisin di berikan mula-mula dengan dosis 3x600 mg intravenous, kemudian 4 x 300 mg oral/hari. Regimen altematif adalah penisilin G 2- 10 juta uniVhari, ada yang memberikan sampai dengan 25 jfia unit atau lebih/hari dikombinasikan dengan streptomisin, kemudian dilanjutkan dengan penisilin oral 4 x 500-750 mglhai.
Antibiotik parenteral diganti ke oral bila pasien tidak panas lagi dan merasa sudah baikan. Kombinasi penisilin l2-18 juta uniVhari dan metronidazol2 gramlhari dengan dosis terbagi (untuk penyebab bakteri anaerob) yang diberikan selama 10 hari dikatakan sama efektifnya dengan
klindamisin, walaupun begitu harus diingat bahwa
bic cocci dan kebanyakan microaerophilic streptococci sudah resisten. Pengobatan terhadap penyebab patogen aerobik kebanyakan dipakai klindamisin + penisilin atau klindamisin + sefalosporin. Cefolaitin 3-4 x2 gram/hari intravena yang merupakan generasi kedua sefalosporin,
aktif terhadap bakteri gram positif, gram negatif resisten penisilinase dan bakteri anaerob, diberikan bila
abses paru tersebut diduga disebabkan oleh infeksi polimikrobial. Kemudian antibiotik diberikan sesuai dengan hasil tes sensitivitas. Abses paru yang disebabkan stafilokokus harus diobatai dengan penicillinase-resistant penicilin atau sefalosporin generasi pertama, sedangkan untuk Staphylococus aureus yang methicillin resistant seperti yang disebabkan oleh emboli paru septik nosokomial,
pilihannya adalah vankomisin. Abses paru yang disebabkan nocardia pilihannya adalah sulfunamid 3xl gram oral . Abses paru amubik diberikan metronidazol 3x750 mg, sedangkan bila penyakitnya serius seperti teq'adi
ruptur dari abses harus ditambahkan emetin parentralpada 5
hari pertama.
Artibiotik diberikan sampai dengan pneumonitis telah mengalami resolusi dan kavitasnya hilang, tinggal berupa lesi sisa yang kecil dan stabil dalam waktu lebih dari 2-3 minggu. Resolusi sempurna biasanya membutuhkan waktu pengobatan 6-10 minggu denganpemberian antibiotik oral sebagai pasien rawat jalan. Pemberian antibiotik yang kurang dari waktu ini sering menyebabkan kekambuhan dengan melibatkan organisme yang'resisten terhadap antibiotik yang diberikan sebelumnya. Perbaikan klinis berupa berkurang atau hilangnya demam tercapai dalam 3-4 sampai dengan 7-10 hari. Demam yang resisten menunjukkan kegagalan pengobatan. Pada
kasus begini bila diperiksa lebih lanjut akan ditemukan adanya obstruksi bronkus oleh benda asing, neoplasma
atau disebabkan infeksi bakteri yang resisten, mikobakteria, parasit atau jamur. Respons yang lambat atau tidak respons sama sekali juga bisa dijumpai pada beberapa keadaan yaitu kavitas yang besar (lebih dari 6 cm), keadaan umumpasienyangjelek, seleksi anti mikrobial yang salah, diagnosa salah, ada empiema, abses yang memerlukan
2327
ABSESPARU
drainase, komplikasi pada organ yangjauh seperti abses otak dan demam obat. Bronkoskopi juga mempunyai peranan penting dalam penanganan abses paru seperti pada kasus yang dicurigai karsinoma bronkus atau lesi obstruksi, pengeluaran benda asing dan untuk melebarkan striktur. Di samping itu dengan bronkoskopi dapat dilakukan aspirasi dan pengosongan abses yang tidak mengalami drainase yang adekuat, serta
dapat diberikannya larutan antibiotik melewati bronkus langsung ke lokasi abses. Drainase dengan tindakan operasi jarang diperlukan karena lesi biasanya respons dengan antibiotik. Bila tidak respons, apalagi bila kavitasnya besar maka harus dilakukan drainase perkutan ultuk mencegah kontaminasi pada rongga pleura.
Tindakan operasi diperlukan pada kurang dati l0-20o/o kasus. Indikasi operasi adalah sebagai berikut :
. . '
Abses paru yang tidak mengalami perbaikan
Komplikasi : empiema, hemoptisis masif, fistula bronkopleura Pengobatan penyakit yang mendasari : karsinoma obstnrksi primer/metastasis, pengeluaran benda asing,
bronkiektasis, gangguan motilitas gastroesopageal, malformasi atau kelainan congenital Abses paru yang berkembang cepat antara lain yang terjadi pada pasien immunocompromised dengan etiologi seperti mucoraceae membufuhkan reseksi paru dengan
Abses paru yang resisten (kronik), yaitu yang resisten dengan pengobatan selama 6 minggu, akan menyebabkan
kerusakan paru yang permanen dan mungkin akan menyisakan suatu bronkiektasis, kor pulmonal, dan amiloidosis. Abses paru kronik bisa menyebabkan anemia, malnutrisi, kakeksia, gangguan cairan dan elektrolit serta gagal jantung terutama pada manula.
PENCEGAHAN Perhatian khusus ditujukan kepada kebersihan mulut'
Kebersihan mulut yang jelek dan penyakit-penyakit periodontal bisa menyebabkan kolonisasi bakteri patogen orofaring yang akan menyebabkan infeksi saluran napas sampai dengan abses paru. Setiap infeksi paru akut harus segera diobati sebaik mungkin terutama bila sebelumnya diduga ada faktor yang memudahkan te{adinya aspirasi seperti pasien manula yang dirawat di rumah, batuk yang disertai muntah, adanya benda asing, kesadaran yang menurun dan pasien yang memakai ventilasi mekanik' Menghindari pemakaian anestesi umum pada tonsilektomi, pencabutan abses gigi dan operasi sinus para npsal akan
menurunkan insiden abses Paru
PROGNOSIS
antibiotik. Reseksis paru juga yang responsnya minimal paru diindikasikan pada abses ukuran yang besar paru dengan dengan antibiotik, abses dan infark paru.
Prognosis abses paru simpel terutama tergantung dari
Lobektomi merupakan prosedur paling sering,
Angka mortalitas pasien abses paru anaerob pada era antibiotik kurang dai l0%o, dmkira-kira 10- I 5olo memerlukan
segera di samping pemberian
sedangkan reseksi segmental biasanya cukup untuk lesilesi yang kecil. Pneumoektomi diperlukan terhadap abses multipel atau gangren paru yang refrakter terhadap penanganan dengan obat-obatan. Angka mortalitas setelah
keadaan umum pasien, letak abses serta luasnya kerusakan
paru yang terjadi, dan respons pengobatan yang kita berikan.
Di
zaman era antibiotik sekarang angka penyembuhan mencapai 90-95% (Bartley, 1992). Blla pengobatan diberikan dalam jangka waktu cukup lama
operasi.
pneumoektomi mencapai 5%'10%. Pasien dengan risiko tinggi untuk operasi maka untuk sementara dapat dilakukan drainase perkutan via kateter secara hati-hati untuk mencegah kebocoran isi abses ke dalam rongga pleura.
angka kekambuhannya rendah. Faktor-faktor yang membuat prognosis menjadi jelek adalah kavitas yang besar (lebih dari 6cm), penyakit dasar yang berat, statts immunocompromised, umur yang sangat tua, empiema, nekosis paru yang progresif, lesi obstruktif,
KOMPLIKASI
abses yang disebabkan bakteri aerobik (termasuk Staphylococcus qereus dan basil gramnegatif), dan abses paru yang belum mendapat pengobatan dalam jangka
Komplikasi lokal meliputi penyebaran infeksi melalui
waktu yang lama. Angka mortalitas padapasien-pasien ini bisa mencapai 75% dan bila sembuh maka angka
aspirasi lewat bronkus atau penyebaran langsung melalui jaringan sekitamya. Abses paru yang drainasenya kurang baik, bisa mengalami ruptur kesegmen lain dengan
kekambuhannya tinggi.
kecendrungan penyebaran i nfeksi staphyl oc o ccus, sedang ypng ruptur ke rongga pleura menjadi piotoraks (empiema). Komplikasi sering lainnya berupa abses otak, hemoptisis
REFERENSI
masif, ruptur pleura viseralis sehingga terjadi piopneumotoraks dan fistula bronkopleura.
Campbell GD. Overview of community acquired pneumonia, prognosis and clinical features.Med Clin North Am 1994; 78:1035-48' Finegoltl S M, Fishman J A. Empyema and lung abscess' In: Fishman's
2328
pulmonary disease and diborders.
PULII'C'NU.oGI
3.d
edition. Mc. Graw Hill;
1998.p.2021-33. Gilbert VE. Detection of pneumonia by auscultation of the lungs in the lateral decubitus positions. Am. Rev. Resp Dis. l9g9; 140:
t0t2-6 Ilinshaw HC. Pulmonary abcess. In:Diseases of the chest. 4n edition. Tokyo : Saunders Company; 1980.p.197-210. Halim H. Abses paru. In:Buku ilmu penyakit dalam II.Edisi ketiga. Jakarta: Balai penerbit FKUI;200 1.p.30g_ g60. Halim H. Berbagai antibiotika pilihan yang tahan terhadap beta laktamase.Simposium Nasional penggunaan
Altimikroba dalam
Bidang Respirologi. Bandung, 14-15 Desember 1996.
Levi I, Rubinstein E. Lung abcess, bacterial infections. In: pulmonary disease. England: Graw-Hill International; I 9 99.p.143-9. Lung abscess. The Merck Manual of Diagnosis and Therapy-17 th.Edition (l 999), Medical Reference Winter2OO 1. www.merck. com/mrkshared/ mmanual/sect ion6/ chaptefl 4 I 7 4 a.jsp. Mandeell.Antibiotic for pneumonia: pathogenesis, diagnosis and management.Med Clin Nort Am. 1994: j8: 997-1014. Sharma, S. Lung abscess.
www E-medicine.com. updated November
tt.2004 Tattersfi eld,McNicol. Lower respiratory tract infections.treatment. In: Clinical medicine respiratory disease: Berlin: Springer.Vertag;
1987.p.88-97. Woodhead M. Pneumonia respiratory disorders.Medicine International. 1995; 9: 313-8.
369 PENYAKIT.PENYAKIT PLEU RA HadiHalim
PENDAHULUAN Pleura adalah membran tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura viseralis dan pleura parietalis. Kedua lapisan ini bersatu di daerah hilus arteri dan mengadakan penetrasi dengan cabang utama bronkus, arteri dan vena bronkialis, serabut saraf danpembuluh limfe. Secarahistologis kedua lapisan ini terdiri dari sel mesotelial, jaringan ikat, pembuluh darah kapiler dan pembuluh getah bening. Pleura seringkali mengalami patogenesis seperti terjadinya efusi cairan, misalnya hidrotoraks dan pleuritis eksudativa karena infeksi, hemotoraks bila rongga pleura berisi darah, kilotoraks (cairan limfe), piotoraks atau empiema thoracis bila berisi nanah, pneumotoraks bila berisi udara. Penyebab dari kelainan patologi pada rongga pleura bermacam-macam, terutama karena infeksi tuberkulosis atau non tuberkulosis, keganasan, trauma dan lain-lain.
PATOFIS!OLOGI
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein dalam rongga
Proses terjadinya pneumotoraks karena pecahnya alveoli dekat pleura perietalis sehingga udara akan masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada daerah tersebut yang kurang elastis lagi seperti pada pasien emhsema paru.
Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis peritoneum, hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva, keganasan, atelektasis paru dan pneumotoraks. Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat
atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Sebab
lain seperti
parapneumonia, parasit (amuba,
paragonimiosis, ekinokokkus), jamur, pneumonia atipik (virus, mikoplasma, fever, legionella), keganasan paru,
proses imunologik seperti pleuritis lupus, pleuritis rematoid, sarkoidosis , radang sebab lain seperti pankreatitis, asbestosis, pleuritis uremia dan akibat radiasi'
pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara
lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini terj adi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan jaringan interstisial submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura. Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat
DIAGNOSIS l
Diagrrosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik
dan pemeriksaan fisis yang
teliti, diagnosis
pasti
ditegakkan melalui pungsi percobaan, biopsi and analisa
disebabkan oleh peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga terjadi empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai
cairaan pleura.
pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan
hemotoraks.
Foto Toraks (X Rayl
2329
2330
PI.JLMOIIOI.GI
daerah lateral lebih tinggi dari pada bagian medial. Bila permukaannya horizontal dari lateral ke medial, pasti terdapat udara dalam rongga tersebut yang dapat berasal dari luar atau dalam paru-paru sendiri. Kadang-kadang sulit membedakan antara bayangan cairan bebas dalam pleura
sela iga garis aksilaris posterior dengan memakai jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap kali
foto dada dengan posisi lateral dekubitus. Cairan bebas
aspirasi. Aspirasi lebih baik diket'akan berulang-ulang dari pada satu kali aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan plewa shock (hipotensi) atau edema paru akut. Edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat.
akan mengikuti posisi gravitasi.
Mekanisme sebenarnya belum diketahui betul, tapi
dengan adhesi karena radang (pleuritis). Perlu pemeriksaan
Cairan dalam pleura bisajuga tidak membentuk kurva, karena terperangkap atau terlokalisasi. Keadaan ini sering terdapat pada daerah bawah paru-paru yang berbatasan dengan permukaan atas diafragma. Cairan ini dinamakan juga sebagai efusi subpulmonik. Gambarannyapada sinar tembus sering terlihat sebagai diafragma yang terangkat. Jika terdapat bayangan dengan udara dalam lambung, ini cenderung menunjukkan efusi subpulmonik. Begitu juga dengan bagian kanan di mana efusi subpulmonik sering
terlihat sebagai bayangan garis tipis (fisura) yang berdekatan dengan diafragma kanan. Untuk jelasnya bisa
dilihat dengan foto dada lateral dekubitus, sehingga gambaran perubahan efusi tersebut menjadi nyata.
Cairan dalam pleura kadang-kadang menumpuk mengelilingi lobus paru (biasanya lobus bawah) dan
diperkirakan karena adanya tekanan intra pleura yang
tinggi dapat menyebabkan peningkatan aliran darah melalui permeabilitas kapiler yang abnormal. Komplikasi lain torakosentesis adalah: pneumotoraks
(ini yang paling sering udara masuk melalui jarum), hemotoraks (karena trauma pada pembuluh darah interkostalis) dan emboli udara yang agak jarangte{adi. Dapatjuga terjadi laserasi pleura viseralis, tapi biasanya cepat. Bila laserasinya cukup dalam, dapat menyebabkan udara dari alveoli masuk ke vena pulmonalis, sehingga terjadi emboli udara. Untuk mencegah emboli udara ini terjadi emboli pulmoner atau emboli sistemik, pasien dibaringkan pada sisi kiri di bagian bawah, posisi kepala lebih rendah dari leher, sehingga
ini akan sembuh sendiri dengan
terlihat dalam foto sebagai bayangan konsolidasi parenkim
di atrium kanan. Menegakkan diagnosis cairan pleura dilakukan
lobus, bisa juga mengumpul di daerah paramediastinal dan
pemeriksaan:
terlihat dalam foto sebagai fisura interlobaris, bisa juga terdapat secara paralel dengan sisi jantung, sehingga
Warna cairan. Biasanya cairan pleura berwarna agak
terlihat sebagai kardiomegali.
Cairan seperti empiema dapat juga terlokalisasi. Gambaran yang terlihat adalah sebagai bayangan dengan
densitas keras
di
atas diafragma, keadaan
ini sulit
dibedakan dengan tumor paru.
Hal lain yang dapat terlihat dari foto dada pada efusi pleura adalah terdorongnya mediastinum pada sisi yang berlawanan dengan cairan.Di samping itu gambaran foto dada dapat juga menerangkan asal mula terjadinya efusi pleura yakni bila terdapat jantung yang membesar, adanya masa tumor, adanya densitas parenkim yang lebih keras pada pneumonia atau abses paru. Pemeriksaan dengan ultrasonografi pada pleura dapat
menentukan adanya cairan dalam rongga pleura. Pemeriksaan ini sangat membantu sebagai penuntun waktu
melakukan aspirasi cairan terutama pada efusi yang terlokalisasi. Pemeriksaan CT scanl dada dapat membantu. Adanya perbedaan densitas cai-ran dengan jaringan
sekitarnya, sangat memudahkan dalam menentukan adanya efusi pleura. Pemeriksaan ini tidak banyak dilakukan karena biayanya masih mahal.
udara tersebut dapat terperangkap
kekuning-kuningan (serous-santokrom). Bila agak kemerahmerahan, dapat terjadi trauma, infark paru, keganasan dan adanya kebocoran aneurism a aofia. Bila kuning kehij auan dan agakpurulen, ini menunjukkan adanya empiema. Bila merah coklat ini menunjukkan adanya abses karena amuba.
Biokimia. Secara biokimia efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang perbedaatlya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Di
samping pemeriksaan tersebut
di atas, secara
biokimia diperiksa juga cairan pleura:
. .
Kadar ph dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit-penyakit infeksi, artritis reumatoid dan neoplasma. Kadar amilase. Biasanya meningkat pada pankreatitis dan metastasis adenokarsinoma.
Transudat. Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah transudat. Transudat te{adi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik
dan koloid osmotik menjadi terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi reabsorpsi oleh pleura lainnya.
Biasanya hal ini terdapat pada: 1). Meningkatnya
Torakosentesis Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) berguna sebagai
tekanan kapiler sistemik, 2). Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner, 3). Menurunnya tekanan koloid osmotik dalam
sarana untuk diagnostik maupun terapeutik.
pleura, 4). Menurunnya tekanan inha pleura.
Pelaksanaanya sebaiknya dilakukan pada pasien dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru
Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah: 1 ). Gagal j antung kiri (terbany aD, 2). Sindrom nefr otik, 3).
PENYAKIT-PEIYYAKIT
2331
PLEURA
Obstruksi vena cava superior, 4). Asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek diafragma atau masuk
Transudat
melalui saluran getah bening), 5). Sindrom Meig
Kadar protein dalam
(asites dengan tumor ovarium), 6). Efek tindakan dialisis
efusi
(s/dl) Kadar protein dalam efusi
peritoneal, 7). Ex vacuo effusion, karena pada
<3
>3
< 0,5
> 0,5
< 200
> 200
< 0,6
> 0,6
< 1,016
> 1,016 Positif
Kadar Protein dalam serum
pneumotoraks, tekanan intra pleura menjadi sub-atmosfir
Kadar LDH dalam efusi
sehingga terdapat pembentukan dan penumpukan
(t.u) Kadar LDH dalam efusi
transudat.
Kadar LDH dalam serum Berat jenis cairan efusi Rivalta
Negatif
Kegagalan aliran protein getah bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosa) akan menyebabkan penin gkatan 1
Pada keadaan over hidrasi FiltEsi meningkat, pengeluaran tertahan EIusi (+)
konsentasi protein cairanpleur4 sehinggamenimbulkan eksudat.
Sitologi viscera pleura
Pleura space
Parieta Pleura
Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau dominasi sel-sel tertentu. . Selneutrofil: menunjukkan adanyainfeksi akut. . Sel limfosit menunjukkan adanya infeksi kronik seperti pleuritis tuberkulosa atau limfoma maligna. . Selmesotel: bilajumlahnyameningkat, inimenunjukkan adanya infark paru. Biasanya juga ditemukan banyak sel eritrosit. . Selmesotelmaligna:padamesotelioma.
. . .
Viscera pleura
Pleura space
Parieta
pleura
Sel-sel besar dengan banyak inti: pada artritis reumatoid. Sel L.E: pada lupus eritematosus sistemik. Sel maligna: pada panr/metastase.
Bakteriologi Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat mengandung mikroorganisme, apalagi bila cairannya purulen, (menunjullcan empiema). Efusi yang purulen dapat mengandung kuman-kuman yang aerob atau anaerob. Jenis kumanyang sering ditemukan dalam cairanpleura adalah:
3
Pneumokokokus, E.coli, klebsiela, pseudomonas,
Pada keadaan gagal jantung kongestif, cairen tidak keluar karenapeningkatan tekanan secara sistemik
enterobacter. Pleuritis tuberkulosa, biakan cairan terhadap kuman tahan asam hanya dapat menunjukkan yang positif sarnpai20o/o-30%o.
viscera pleura Gambar
PlguE space
Parlgta Pleura
1. Skema Pertukaran Cairan Pleura dalam KeadaanAbnormal
Eksudat. Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membran kapiler yang permeabelnya abnormal dan berisi
protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudat. Terj adinya perubahan permeabilitas membran adalah karena adanya peradangan pada pleura: infeksi, infark paru atau neoplasma. Protein yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening.
Biopsi Pleura Pemeriksaan histopatologi satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus-kasus pleuritis tuberkulosis dan tumor pleura. Bila ternyata hasil biopsi pertama tidak memuaskan, dapat dilakukan beberapa biopsi ulangan. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.
Pendekatan pada Efusi yang tidak terdiagnosis Analisa terhadap cairan pleura yang dilakukan satu kali
2332
PT.JLII'ONOI.OGI
kadang-kadang tidak dapbt menegakkan diagnosis. Dianjurkan aspirasi dan analisisnya diulang kembali sampai diagnosis menjadi jelas. Efusi yang menetap dalam waktu
tersisa. Selang kemudian dicabut. Jika dipakai zat korinebakterium paryum, masukkan 7 mg yang dilarutkan dalam2D cc garam fisiologis dengan cara seperti tersebut
empat minggu dan kondisi pasien tetap stabil, siklus
di atas.
pemeriksaan sebaiknya diulang kembali.
Jika fasilitas memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan tambahan seperti:
l). Bronkoskopi,
Komplikasi tindakanpleurodesis ini sedikit sekali dan biasanya berupa nyeri pleuritik atau demam.
pada
kasus-kasus neoplasma, korpus alienum dalam paru, abses
paru dan dilakukan beberapa biopsi. 2). Scanning isotop, pada kasus-kasus dengan emboli paru. 3). Torakoskopi
PENYAKIT. PENYAKIT DENGAN EFUSI PLEURA
(/iber-optic pleuroscopy), pada kasus-kasus dengan
Pleuritis Karena Virus dan Mikoplasma
neoplasma atau tuberkulosis pleura.
Efusi pleura karena virus atau mikoplasma agak jarang.
Cara: Dilakukan sedikit insisi pada dinding dada (dengan risiko kecil terjadinya pneumotoraks). Cairan dikeluarkan dengan memakai penghisap dan udara dimasukkan supaya bisa melihat kedua pleura. Di eropa terdapat + 20Yo kasus efusi pleura yang tak dapat terdiagnosis bahkanjuga setelah penyelidikan yang intensif. Kasus ini dianggap sebagai neoplasma atau penyakit kolagen pada negara-negara dengan populasi tuberkulosis yang tinggi, efusi pleura yang tetap tidak
Bila tef adi jumlahnya tidakbanyak dan kejadiannya hanya selintas saja. Jenis-jenis virusnya adalah : echo virus, Coxsackie group, chlamidia, rickettsia dan mikoplasma. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-6.000 per cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala, demam, malaise, mialgia, sakit dada,
terdiagnosis (terutama pada anak-anak dan dewasa muda) dianggap sebagai pleuritis tuberkulosis dan diberi terapi dengan obat anti tuberkulosa.
sakit perut. Kadang-kadang ditemukan juga gejala-gejala perikarditis. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan
virus dalam cairan efusi, tapi caratermudah adalah dengan mendeteksi antibodi terhadap virus dalam cairan efusi.
Pleuritis Karena Bakteri Piogenik Permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri yangberasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara hematogen,
PENGOBATAN EFUSI PLEURA Efusi yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan memakai pipa intubasi melalui sela iga. Bila cairan pusnya
kental sehingga sulit keluar atau bila empiemanya multilokular, perlu tindakan operatif. Mungkin sebelumnya dapat dibantu dengan irigasi cairan garam fisiologi atau larutan antiseptik (betadine). Pengobatan secara sistemik hendaknya segera diberikan, tetapi ini tidak berarti bila tidak diiringi pengeluaran cairan yang adekuat. Unhrk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi (pada efusi pleura maligna), dapat dilakukan pleurodesis yakni melengketrya pleura viseralis dan pleura
dan jarang yang melalui penetrasi diafragma,
dinding dada
atau esofagus.
Aerob : Streptokokus pneumonia, Streptokokus mileri, Stafilokokus aureus, Hemofilus spp, Eschericia koli, Klebsiella, Pseudomonas spp.
Anaerob z Bakteroides spp, Peptostreptokokus, Fusobakterium. Pemberian kemoterapi dengan Ampisilin 4xl gram dan Metronidazol 3x500 mg hendaknya sudah dimulai sebelum kultur dan sensitivitas bakteri didapat. Terapi lain yang lebih penting adalah mengalirkan cairan efusi yang terinfeksi tersebut keluar dari rongga pleura dengan efektif.
parientalis. Zat-zat yang dipakai adalah tetrasiklin (terbanyak dipakai) bleomisin, korinebakterium panum, Tio-tepa, 5 Fluorourasil.
Piosedur Pleurodesis Pipa selang dimasukkan pada ruang antar iga dan cairan efusi dialirkan ke luar secara perlahanJahan. Setelah tidak ada lagi cairan yang keluar, masukkan 500 mg tetrasiklin (biasanya oksitetrasiklin) yang dilarutkan dalam 20 cc garam fisiologis ke dalam rongga pleura, selanjutnya diikuti dengan 20 cc garam fisiologis. Kunci selang selama 6 jam dan selama itu pasien diubah-ubah posisinya, sehingga tetrasiklin dapat didistribusikan kesaluran rongga pleura. Selang antar igakemudian dibuka dan cairandalamrongga pleurakembali dialirkankeluar sampai tidak ada lagi yang
Pleuritis Tuberkulosa Permulaan penyakit ini terlihat sebagai efusi yang serosantokrom dan bersifat eksudat. Penyakit ini kebanyakan te{adi sebagai komplikasi tuberkulosis paru melalui fokus subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat juga dari robeknya perkijuan ke arah saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga atau kolumna vertebralis (menimbulkan penyakit Pott). Dapat juga secara hematogen dan menimbulkan efusi pleura
bilateral. Cairan efusi yang biasanya serous, kadangkadang bisa juga hemoragik. Jumlah lekosit antara 500-2.000 per cc. Mula-mula yang dominan adalah sel polimorfonuklear, tapi kemudian sel limfosit. Cairan efusi sangat sedikit mengandung kuman tuberkulosis, tapi
2333
PEITYAKN-PENYAKIT PLEURA
adalah karena reaksi hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein. Pada dinding pleura dapat ditemukan adanya granuloma.
Diagnosis utama berdasarkan adanya kuman tuberkulosis dalam cairan efusi (biakan) atau dengan biopsi jaringan pleura. Pada daerah-daerah di mana frekuensi tuberkulosis paru tinggi dan terutama pada pasien usia muda, sebagian besar efusi pleura adalah karena pleuritis tuberkulosa walaupun tidak ditemukan adanya granuloma pada biopsi jaringan pleura.
Pengobatan dengan obat-obat anti tuberkulosis (Rifampisin, NH, Pirazinamid/EtambutoVStreptomisin) memakan waktu 6- 12 bulan. Dosis dan cara pemberian obat
seperti pada pengobatan tuberkulosis paru. Pengobatan ini menyebabkan cairan efusi dapat diserap kembali, tapi untuk menghilangkannya eksudat ini dengan cepat dapat dilakukan torakosentesis. Umumnya cairar diresolusi dengan sempurna, tapi kadang-kadang dapat diberikan kortikosteroid secara sistematik. (Prednison I mg/kg BB selama 2 minggu kemudian dosis diturunkan secara perlahan).
Pleuritis Fungi Pleuritis karena funsi amat jarang. Biasanya terjadi karena penjalaran infeksi fungi dari jaringan paru. Jenis fungi penyebab pleuritis adalah: Aktinomikosis, Koksidio-
imikosis, Aspergilus, Kriptokokus, Histoplasmo-lisis, Blastomikosis, dll. Patogenesis timbulnya efusi pleura adalah karena reaksi hipersensitivitas lambat terhadap organisme fungi. Penyebaran fungi ke organ tubuh lain alamat jarang. Pengobatan dengan Amfoterisin B memberikan respons yang baik. Prognosis penyakit ini relatifbaik.
yang mengandung enzim pankreas ke rongga pleura melalui saluran getah bening. Efusi ini bersifat eksudat serosa,
tapi kadang-kadang bisa juga hemoragik. Kadar amilase dalam efusi lebih tinggi daripada dalam serum. Efu si pleura juga sering setelah 48-7 2 jam pasca operasi
abdomen seperti splenektomi, operasi terhadap obstruksi intestinal atau pasca operasi atelektasis. Biasanya terjadi unilateral dan jumlah efu si tidak banyak (lebih j elas terlihat
pada foto lateral dekubitus). Cairan biasanya bersifat eksudat dan mengumpul pada sisi operasi, efusi pleura operasi biasanya bersifat maligna dan kebanyakan akan sembuh secara spontan. Sirosis hati. Efusi pleura dapat terjadi pada pasien dengan sirosis hati. Kebanyakan efusi pleura timbul bersamaan dengan asites. Secara khas terdapat kesamaan antara cairan
pleura dan asites, karena terdapat hubungan fungsional attararonggapleura dan rongga abdomen melaui saluran
getah bening atau celah jaringan otot diafragma. Kebanyakan efusi menempati pleura kanan (70%) dan efusi bisa
juga terj adi bilateral.
Torakosentesis kadang-kadang diperlukan untuk mengurangi sesak napas, tapi bila asitesnya paflat sekali, cairan pleura akan timbul lagi dengan cepat. Dalam hal ini perlu dilakukan terapi peritoneosintesis di samping terapi dengan diuretik dan terapi terhadap penyakit asalnya.
Sindrom meig. Tahun 1937 Meig dan Cass menemukan . penyakit tumor pada ovarium (inak atau ganas) disertai asites dan efusi pleura. Patogenesis terjadi efusi pleura ini masih belum diketahui betul. Bila tumor ovarium tersebut dioperasi, efusi pleura dan asitesnya pun segera hilang. Adanya massa di rongga pelvis disertai asites dan eksudat cairan pleura sering dikirakan sebagai neoplasma dan metastasisnya.
Pleuritis Parasit
Dialisis peritoneal. Efusi pleura dapat terjadi selama dan
Parasit yang dapat menginfeksi ke dalam rongga pleura
sesudah dilakukannya dialisis peritoneal. Efusi terjadi pada
hanyalah amuba. Bentuk tropozoitnya datang dari
salah satu paru maupun bilateral. Perpindahan cairan dialisat
parenkim hati menembus diafragma terus ke parenkim paru dan rongga pleura. Efusi pleura karena parasit ini terjadi karena peradangan yang ditimbulkannya. Di samping ini dapat juga terjadi empiema karena amuba yang cairannya berwarna khas merah coklat. Disini parasit masuk ke rongga pleura secara migrasi dari parenkim hati. Bisa juga karena adanya robekan dinding abses amuba pada hati ke arah rongga pleura. Efusi parapneumonia karena amuba dari abses hati lebih sering terjadi daripada empiema amuba.
dari ronggaperitoneal ke ronggapleura te{adi melalui celah
Efusi Pleura Karena Kelainan lntra Abdominal Efusi pleura dapat terjadi secara steril karena reaksi infeksi dan peradangan yang terdapat di bawah diagfragma seperti pankreas atau eksaserbasi akut pankreatitis kronik, abses
diafragma. Hal ini terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura dengan cairan dialisat.
Efusi Pleura Karena Penyakit Kolagen Lupus eritematosus. Pleuritis adalah salah satu gejalayang timbul belakangan pada penyakit lupus eritematosus sistemik (SLE). Dengan terjadinya efusi pleura yang kadangkadang mendahului gejala sistemik lainnya, diagnosis SLE inimenjadi lebihjelas. Hampir 55% dari SLE disertaipleuri-
tis dan 25%o daipadanya juga dengan efusi pleura.
Artritis reumatoid (RA). Efusi pleura terdapatpada 5Yo RA selama masa sakit. Cairan efusi bersifat eksudat serosa
hati, abses limpa. Biasanya efusi terjadi pada pleura kiri tapi dapat juga
yang banyak mengandung limfosit. Faktor reumatoid
bilateral. Mekanismenya adalah karena berpindahnya cairan
untuk RA, karena juga terdapat pada karsinoma,
ginjal,
abses
mungkin terd apat dalam cairan efu si tapi tidak
p ato
gnomik
2334
tuberkulosis ataupun pneumonia. Kadar glukosa biasanya sangatlah rendah (kurang dari 20%o mgo/o), malah tidak terdeteksi sama sekali (demikian juga pada tuberkulosis dankarsinoma).
PI.JLMOIiOI.OGI
banyak dan biasanya sembuh secara spontan, asal tidak terjadi emboli pulmonal lainnya. Efusi pleura dengan infark paru jumlah cairan efusinya lebih banyak dan waktu penyembuhan juga lebih lama.
Kadar kolesterol dalam cairan efusi juga sering
Pengobatan ditujukan terhadap embolinya yakni
meningkat. Biopsi paCa jaringan pleura bisa mendapatkan granuloma yang seolah-olah seperti nodul reumatik perifer. Umumnya efusi pleura pada RA sembuh sendiri tanpa
dengan memberikan obat antikoagulan dan mengontrol keadaan hombositnya.
diobati, tapi kadang-kadang diperlukan juga terapi kortikosteroid. Demam reumatik akut sering juga ditemukan efusi pleura dengan sifat eksudat. Jumlah cairan efusi biasanya sedikit dan segera menghilang bila demam reumatiknya
Ilipoalbuminemia. Efusi pleura juga terdapat pada keadaan hipoalbuminemia seperti sindrom nefrotik, malabsorbsi atau keadaan lain dengan asites serta edema anasarka.
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein caian pleura dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan bilateral dan
berkurang.
cairan bersifat transudat.
Skleroderma. Efusi pleura juga didapatkan pada penyakit
Pengobatan adalah dengan memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam. Pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.
skleroderma. Jumlah cairan efusinya tidak banyalq tapi yang menonjol disini adalah penebalan pleura atau adhesi yang ter dap at p ada 7 5o/o p asien skleroderma.
Efusi Pleura Neoplasma Efusi Pleura Karena Gangguan Sirkulasi Gangguan kardiovaskular. Payah jantung (decompens atio cordis) adalah sebab terbanyak timbulnya efusi pleura. Penyebab lain: perikarditis kontritiva dan sindrom vena kava
superior. Patogenisnya adalah akibat terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler pulmonal akan menurunkan kapasitas reabsorbsi pembuluh darah subpleura dan aliran getah bening juga akan menurun
(terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongga pleura dan paru-paru meningkat.
Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada dapat juga menyebabkan efusi pleura yang bilateral, tapiyang agak sulit menerangkan adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering terjadi pada sisi kanan. Terapi ditujukanpada payahjantungnya. Bila kelainan jantungnya teratasi dengan istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga segera menghilang. Kadang-kadang torakosentesis diperlukan juga bila pasien amat sesak.
Neoplasma primer ataupun sekunder (metastasis) dapat menyerang pleura dan umumnya menyebabkan efusi pleura. Keluhan yang paling banyak ditemukan adalah sesak napas dan nyeri dada. Gejala lain adalah akumulasi cairannya kembali dengan cepat walaupun dilakukan torakosentesis berkali-kali. Efusi bersifat eksudat, tapi sebagian kecil (10%) bisa
sebagai transudat. Warna efusi bisa sero-santokrom ataupun hemoragik (terdapat lebih dari 100.000 sel eritrosit per cc). Didalam cairan ditemukan sel-sel limfosit (yang dominan) dan banyak sel mesotelial. Pemeriksaan sitologi terhadap cairan efusi atau biopsi pleura parietalis sangat menentukan diagnosis terhadap
terhadap j enis-j enis neoplasma. Terdapat beberapa teori tentang timbulnya efusi pleura pada neoplasma yakni:
.
Memimpuknya sel-sel tumor akan meningkatkan
.
Emboli pulmonal. Efusi pleura dapatterjadipada sisi paru yang terkena emboli pulmonal. Keadaan ini dapat disertai infark paru ataupun tanpa infark. Emboli menyebabkan menunmnya aliran darah arteri pulmonalis, sehingga terjadi iskemia maupun kerusakan parenkim paru dan memberikan peradangan dengan efusi yang berdarah
permeabilitas pleura terhadap air dan protein. Adanya massa tumor mengakibatkan tersumbatnya aliran pembuluh darah vena dan getah bening, sehingga
.
rongga pleura gagal dalam memindahkan cairan dan protein. Adanya tumormembuat infeksi lebih mudah terjadi dan selanjutnya timbul hipoproteinemia.
(wamamerah).
bisajuga bilateral karena obstruksi saluran getah bening,
Pada bagian paru yang iskemik terdapat juga kerusakan
pleura viseralis, keadaan ini kadang-kadang disertai rasa
sakit pleuritik yang berarti pleura parietalis juga ikut terkena. Di samping itu permeabilitas antara satu ataupun kedua bagian pleura akan meningkat, sehingga cairan efusi mudah terbentuk. Adanya nyeri pleuritik dan efusi pleura pada emboli pulmonal tidak berarti infark paru juga harus terjadi. Cairan efusi biasanya bersifat eksudat, jumlahnya tidak
Efusi pleura karena neoplasma biasanya unilateral, tetapi adanya metastasis dapat mengakibatkan pengaliran cairan dari rongga pleura via diafragma. Keadaan efusi pleura dapat bersifat maligna. Keadaan ini ditemukan I 0-20% karsi-noma bronkus, 8% dari limfoma maligna dan leukemia. Jenis-jenis neoplasma yang menyebabkan efusi pleura adalah:
Mesotelioma. Mesotelioma adalah tumor primer yang berasal dari pleura. Tumor ini jarang ditemukan, bila tumor
masih terlokalisasi, biasanya tidak menimbulkan efusi
233s
PEIiTYAKIT-PE$IYAKIT PLEURA
pleura, sehingga dapat digolongkan sebagai tumorjinak. Sebaliknya bila ia tersebar (difu$ digolongkan sebagai tumor ganas karena dapat menimbulkan efusi pleura yang maligna.
Karsinoma bronkus. Jenis karsinoma ini adalah yang
Seperti pada neoplasma lainnya, efusi pleura yang berulang (efusi maligna) pada limfoma maligna kebanyakan tidak responsif terhadap tindakan torakostomi dan instilasi dengan beberapazatkimia. Keadaan dengan efusi maligna ini mempunyai prognosis yang buruk.
terbanyak menimbulkan efusi pleura. Tumor bisa ditemukan
dalam permukaan pleura karena penjalaran langsung dari paru-paru melalui pembuluh getah bening. Efusi dapat juga terjadi tanpa adanya pleura yang terganggu, yakni dengan cara obstruksi pneumonitis atau menurumya aliran getah bening. Terapi operasi terhadap tumomya masih dapat
dipertimbangkan, tetapi bila pada pemeriksaan sitologi sudah ditemukan cairan pleura, pasien tidak dapat dioperasi
lagi. Untuk mengurangi keluhan sesak napasnya dapat dilakukan torakosentesis secara berulang-ulang. Tapi sering
timbul lagi dengan cepat, sebaiknya dipasang pipa torakotomi pada dinding dada (risikonya timbul empiema). Tindakan lain untuk mengurangi timbulnya lagi cairan
adalah dengan pleurodesis, memakai zat-zat seperti tetrasiklin, talk, sitostatka, kuinakrin. Neoplasma metastatik. Jenis-jenis neoplasma yang sering bermetastasis ke pleura dan menimbulkan efusi adalah: karsinoma paludara (terbanyak), ovarium, lambung, ginjal, pankreas dan bagian-bagian organ lain dalam abdomen. Efusi dari pleura yang terjadi dapat bilateral. Gambaran foto toraks mungkin tidak terlihat bayarganmetastasis di jaringan paru, karena implantasi tumor dapat mengenai pleura viseralis saja. Pengobatan terhadap neoplasma metastatik ini sama dengan karsinoma bronkus yakni dengan kemoterapi dan penanggulangan terhadap efusi pleuranya.
Limfoma maligna. Kasus-kasus limfoma maligna (non-Hodgkin dan Hodgkin) temyata
30o%
ke pleura danjuga menimbulkan efusi pleura.
bermetastasis
Di dalam cairan
efusi tidak selalu terdapat sel-sel ganas seperti pada neoplasma lainnya. Biasanya ditemukan sel-sel limfosit karena sel ini ikut dalam aliran darah dan aliran getah bening melintasi rongga pleura. Di antara sel-sel yang bermigrasi inilah kadang-kadang ditemukan sel-sel yang ganas limfoma malignum. Terdapat beberapa jenis efusi berdasarkan penyebabnya
yakni: . Bila efusi terjadi dari implantasi sel-sel limfoma pada
. . .
permukaan pleura, cairannya adalah eksudat, berisi sel limfosit yang banyak dan sering hemoragik. Bila efusi pleura terjadi karena obstruksi saluran getah bening, cairannya bisa transudat atau eksudat'dan ada
limfosit.
Bila efusi terjadi karena obstruksi duktus torasikus, cairannya akan berbentuk kilus.
Bila efusi terjadi karena infeksi pleura pada pasien limfoma maligna karena menurunnya resistensi terhadap infeksi, efusi akanberbentuk empiema akut ataukronik.
Efusi PIeura Karena Sebab Lain-lain Trauma. Efusi pleura dapat terjadi akibat trauma yakni trauma tumpul, laserasi, luka tusuk pada dada, rupfur esofagus karena muntah hebat atau karena pemakaian alat
waktu tindakan esofagoskopi. Jenis cairan dapat berupa serosa (eksudat/transudat), hemotoraks, kilotoraks dan empiema.
Analisis cairan efusi dapat menentukan lokalisasi trauma, misal pada ruptura esofagus kadar pH nya rendah (+ 6,5) karena terkontaminasi dengan asam lambung, kadar amilase dalam cairan pleura meningkat karena adanyaair ludah (saliva) yang tertelan dan masuk ke dalam rongga pleura.
Uremia. Salah satu gejala penyakit uremia lanjut adalah poliserositis yang terdiri efusi pleura, efusi perikard dan efusi peritoneal (asites). Mekanisme penumpukail'cairan ini belum diketahui betul, tapi diketahui dengan timbulnya eksudat terdapat peningkatan permeabilitas jaringan pleura,
perikard atau peritoneum.
Yang agak unik adalah cairan masih juga terjadi walaupun pasien menjalani hemodialisis kronik (uremianya berkurang). Disini cairan malah dapat berubah dari serosa menjadi hemoragik dan seterusnya terjadi kontriktifpleura/ perikardium. Asal darah tidakjelas betul, tapi diperkirakan karena efek antikoagulan treparin pada pleura/perikardium.
Bila sudah terjadi kontriktif pleura/perikardium, penatalaksanaannya adalah dengan dekortikasi.
Sebagian besar efusi pleura karena uremia tidak memberikan gejala yang jelas seperti sesak napas, sakit dada, atau batuk. Jumlah efusi bisa sedikit atau banyak, unilateral atau bilateral. Kadang-kadang dengan dialisis
yang teratvr, efusi dapat terserap perlahan-lahan. Torako sentesis sewaktu-waktu masih diperlukan.
Miksedema. Efusi pleura dan efusi perikard dapat terjadi sebagai bagian dari penyakit miksedema. Efusi dapat terjadi
tersendiri maupun secara bersama-sama. Cairan bersifat eksudat dan mengandung protein dengan konsentrasi tinggi. Limfedema. Limfedema secara kronik dapat tdadi pada tungkai, muka, tangan dan efusi pleura yang berulang pada satu atau kedua paru. Beberapa pasien terdapat juga kuku jari yang berwarna kekuning-kuningan. Patogenesis efusi
pleura yang bersifat eksudat ini belum diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya kegagalan aliran getah bening. Demam familial mediteranian. Penyakit ini banyak terdapat
2336
di daerah Timur Tengah terularna pada bangsa Yahudi.
PI.JLMONOI.OGI
REFERENSI
Penyakit diturunkan secara autosomal resesif dari orang tua ke anaknya. Gej ala penyakit berupa serangan demam yang berulang,
rasa sakit abdominal dan pleuritis. Pleuritis disini dapat
memberikan rasa nyeri pleuritik dan efusi pleura. Pengobatan bersifat suportif saja dan operasi sebaiknya
dihindarkan. Reaksi hipertensifterhadap obat. Pengobatan dengan ni-
trofurantoin, metilsergid, praktolol kadang-kadang memberikan reaksi/perubahan terhadap paru-paru dan pleura berupa radang dan kemudian juga akan menimbukan efusi pleura. Bilaproses menjadi kronikbisa terjadi fibrosis paru atau pleura. Pengobatan dengan hidrazin, prokainamid dan kadang-
kadang dengan definilhidatoin dan isoniazid sering juga
menimbulkan pleuritis dan perikarditis (drug induced lupus syndrome). Radang dan efusi yang timbul dapat menghilang bila pemberian obat-obatan tersebut dihentikan.
Sindrom dressler. Pleuritis dan perikarditis dapat terjadi setelah 1-6 minggu serangan infarkjantung akut, tindakan resusitasi jantung atau operasi kardiotomi. Cairan pleura/ perikardium yang timbul bersifat eksudat, steril, berwarna serosa atauhemoragik. Keadaan ini disebabkan olehreaksi hipersensitivitas otot jantung dan perikard terhadap tindakan/pengobatan. Terapi hanya simtomatik saja karena penyakit ini tergolong selJlimited .
Sarkoidosis. Efusi pleura sebenamya jarang ditemukan pada sarkoido sis. Efu si biasanya unil ater al tapi dapat juga bilateral. Cairan bersifat eksudat atau serosa tapi bisajuga hemoragik dengan banyak sel-sel limfosit. Diagnosis untuk sarkoidosis ialah dengan tuberkulin negatif, biopsi pleuranya mengandung granulomata nonkaseosa dan hasil biakan negatifuntuk mikobakterium dan organisme mikosis lainnya.
Efusi pleura idiopatik. Sebagian efusi pleura, walaupun telah dilakukan prosedur diagnostik secara berulang-ulang (pemeriksaan radiologis, analisis cairan, biopsi pleura dll, kadang'-fta6arg masih belum bisa didapatkan diagnostik
yang pasti. Keadaan ini dapat digolongkan dalam efusi pleura idiopatik. Hasil pemeriksaan dengan operasi pun ,kadang-kadang hanya menunjukkan pleura yang menebal karena pleuritis yang non-spesifik. Analisa cairan pleura umumnya bersifat eksudat dan berisi beberapa jenis sel. Penyebab efusi pleura ini banyak yang belum jelas, tapi diperkirakan karenaadanya infeksi, reaksi hipersensitivitas, kontaminasi dengan asbestos dll. Daerah-daerah dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi
(Negara-Negara yang sedang berkembang), efusi pleura idiopatik ini kebanyakan dianggap sebagai pleuritis tuberkulosa, sedangkan pada negara-Le3ara yang maju sering dianggap sebagai pleuritis karena penyakit kolagen atau neoplasma.
Alexandrikis MG, Passam FH, Kyriakou DS, et.al. Pleural effusion
in hematologic malignancies. Chest. 2004;125:1546-55. Azoulay E. Pleural effusion in the intensive care unit. Current Opin Pulm Med. 2003;9:291-7 Asril Bahar. Penyakit-penyakit Pleura. Buku Ilmu Penyakit Daiam, Jilid II. Jakarta, Balai Penerbit.FKUI. 1990:773-98 Cugell DW. Kamp DW. Asbestos and the pleural. Chest. 2004;125:1103-17. A great recent review of history, mineralogy, and clinical significance of asbestos related pleural disease. Davies PD. Tuberculosis respiratory disorders. Med inteml. 1995:9 (3 1). Fuad Bakry, Peranan analisis cairan dan biopsy pleura pada pleuritis eksudativa tuberkulosa. Karya Tulis akhir Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FK UNSRI/RSUP Palembang, 1990. Goto M, Noguchi Y, Koyama H, Diagnostic value of adenosine deaminase in tuberculous pleural effirsions : a meta-analysis. Am
Clin Biochem. 2003;40:374-81. Adenosine deaminase may bq useful and could allow avoidance of pleural biopsy, especially in countries where tuberculosis prevalence is high. Hefhner JE, Highland K, Browl LK. A meta-analysis derivation of continuous likelihood retios for diagnosing pleural fluid exudates. Am J Respir Crit Care Med. 2003;167:1591-9. Herbert A. Pathogenesis of pleurisy, pleural fibrosis and mesothelial proliferation, Thorax I 986;47 :17 6-89 Hinshaw HW, Murray JF. Disorders of the pleural diseases of the chest. Igaku-Shoin/Saunders Intemational edition. 4n ed. 1980. 883-918. Ida Parwati. Berbagai metode pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis penyakit paru. Simposium Nasional penggunaan Antimikroba dalam bidang Respirology, Bandung,
14-15 Desember 1996. Jones PW, Moyers JP, Rogers
tesis: is
it
J!
et.al. Ultrasound-guided thoracen-
a safer method? Chect. 2003;123:418-423. Prospective descriptive study of 941 thoracenteses performed by interventional radiologists using ultrasound guidence resulted in fewer complications that those reported with non-image-guided thoracentesis. Where were the pulmonologist ? Karlinsky JB, Lau J, Goldstein RH. Decision making in pulmonary medicine. Mosby-year book, 1991. Lee P, Colt HG, using diagnostic thoracoscopy to optimal effect. J Resp Illness. 2003;24:503-9. A review of therapeutic modalities and indications, especially geared to no surgeon thoracoscopists. Maskell NA, Butland RJA. BTS guidelines fot the investigation of a unilateral pleural effusion in adults. Thorax. 2003;58:8-17. An incredibly informative recent "state of the art" review of pleural effusion : clinical workup, algorithms, differential diagnosis. Sallach SM, Sallach JA, Vasquez E, et.al. voiume of pleural fluid required for diagnosis of pleural malignanvy. Chest. 2002;122:7913-7. Retrospective review' of 282 patients showed that the sensitivity for diagnosis of pleural malignancy was not dependent on volume of fluid removed by thoracentesis. Wallis J, Wells FC, Chest injuries. Diagnosis and management. Medicine digest Asia. 1988 ; 6(4) : 8-20. World health Organization. Treatment of tuberculosis. Guidelines for National Programmes. 2003.
370 HIPERTENSI PULMONAL PRIMER (HPP) Zulkarnain Arsyad
PENDAHULUAN Hipertensi pulmonal primer (HPP) adalah kelainan paru yang jarang, di mana didapatkan peningkatan tekanan arteri pulmonalis jauh di atas normal tanpa di dapatkan penyebab
yang jelas. Tekanan arteri pulmonal normal pada waktu istirahat adalah lebih kurang 14 mm Hg. Pada HPP tekanan arteri pulmonal akan lebih dari 25 mm Hg saat istirahat, dan 30 mmHg saat aktivitas HPP akan meningkatkan tekanan darah pada cabang-cabang arteri yang lebih kecil
di paru, sehingga meningkatkan tahanan (resistensi) vaskular dari aliran darah di paru. Peningkatan tahanan arteri pulmonal ini akan menimbulkan beban pada ventrikel kanan sehingga harus bekerja lebih kuat untuk memompakan darah ke paru.
cabang-cabang kecil arteri pulmonalis yang menyebabkan penyempitan lumen pembuluh darah tersebut. Dipercayai HPP dimulai dengan adanyakerusakanpada endotel, yang
akan berinteraksi dengan otot polos pada dinding pembuluh darah dan sebagai hasilnya terjadi kontfaksi dari otot polos tersebut yang menimbulkan penyempitan dan peningkatan tekanan pembuluh darah pulmonal. Semakin lama terjadi penambahanjaringan ikat yang menyebabkan pembuluh darah pulmonal menjadi kaku dan menebal' Beberapa pembuluh dapat tersumbat total. Di samping itu
juga dapat terjadi bekuan darah(blood clots) dalamattei yang lebih kecil.
Sebagai respons terhadap hipertensi pulmonal, ventrikel kanan bekerja lebih kuat sehingga terjadi hipertrof,r dan dilatasi dari ventrikel kanan. Ventrikel kanan ini makin lama kontraksinya makinlemah, sehingga terjadi kegagalan ventrikel kanan rurtuk memompakan darah ke paru.
ETIOPATOGENESIS HPP
.
Tak diketahui, kemungkinan akibat hipeneaksi dan
.
vasokonstriksi dari arteriol pulmonal, fromboembolisme, atau reaksi autoimun. Dikaitkan dengan obat anorektik, (aminoreks fumarat,
.
Amfetamin.
fenfluramin dan deksfenlluramin). Studi dengan binatang percobaan belum memuaskan.
Diperkirakan beberapa individu yang menderita HPP
GEJALA HPP Gejala yang paling sering didapatkan dari HPP terkait dengan gangguan napas seperti : l). Sesak napas yang bertambah terutama waktu beraktivitas; 2). Hiperventilasi (napas cepat dan dalam); 3). Keletihan yang semakin bertambah; 4). Pusing-pusing; 5). Batuk berdarah; 6). Sianosis (pada bibir, jari-jari tangan dan kaki); 7). Sinkop.
mempunyai kecenderungan hiperreaktor. Orang ini rentan terhadap bahan-bahan yang menyebabkan konstriksi, atau penyempitan pembuluh darah. Penyakit ini kadang-kadang terjadi secara familial, menunjukkan adanya kecenderungan faktor hiperreaktif yang diturunkan. Perubahan yangterjadi adalah penebalan pada dinding arteri pulmonal yang kecil, kemudian terjadi
Kelainan frsik dari HPP Dapat ditemukan: I ). Pelebaran dan peningkatan tekanan vena di leher; 2). Edema pada tungkai dan lengan; 3). Hepatomegali.
balutan jaringan ikat pada dinding bagian dalam dari
kanan.
Kelainan fisik ini berhubungan dengan terjadinya peningkatan kerja jantung kanan untuk memompakan darah ke paru melalui resistensi arteri pulmonal yang meningkat,
sehingga terjadi hipertrofi dan dilatasi dari ventrikel
2337
2338
PTJLMONOI.OGI
DIAGNOSIS HPP
pada HPP mudah terjadi oleh karena aliran darah pulmonal
HPP adalah kasus yang jarang ditemukan pada
yang lamban, dilatasi ventrikel kanan, insufisiensi aliran vena dan f,rsik yang relatif inaktif. Kegagalan ventrikel kanan dapat diberikan obat digoksin (lanoksin)
pemeriksaan medis rutin. Penyakit ini menyerupai hipertensi pulmonal oleh penyebab lain seperti PPOM, tromboemboli
paru, atau beberapa kelainan jantung kongenital. Diagnosis dipikirkan setelah menyingkirkan penyebab
lain. Tindakan diagnostik:
l).
Elektrokardiogram
memperlihatkan pembesaran ventrikel kanan (RVH); 2). Rontgen toraks, RVH dan segmen pulmonal menonjol; 3). Ekokardiogram. Terlihat pembesaran ventrikel kanan dan
kadang-kadang dapat memperkirakan tekanan arteri pulmonal dan ventrikel kanan; 4). Kateterisasi jantung,
TRANSPLANTASI PARU HPP biasanya terus berlanjut dan akhimyaberakibat fatal. Transplantasi paru dapat menjadi pilihan pada pasien usia muda dan tidak respons dengan pengobatan konservatif.
adalah merupakan "baku emas" untuk mendiagnosis HPP. Kateterisasijantung dapat mengukur dengan tepat tekanan
PROGNOSIS
di ventrikel kanan dan mengukur resistensi pembuluh darah
PENGOBATAN HPP
Lama hidup rata-rata (median duration of surt ival) setelah diagnosis HPP ditegakkanadalah2,S tahun. Sebagai hasil pengobatan yang mutakhir pasien dengan tanpa disfungsi ventrikel kanan dapat bertahan hidup sampai lebih dari I 0 tahun.
Sampai saat ini belum ada obat yang benar benar efektif untuk mengatasi HPP. Namun dapat dicoba beberapa obat
REFERENSI
diparu.
yang dapat menurunkan tekanan arteri pulmonal dan memperbaiki performan dari jantung pada pasien HPP. Obat-obatan penghambat jalur kalsium atau calcium channel blocker drugs dapat mengurangi vasokonstriksi pulmonal, dan dapat memperpanjang harapan hidup pasien HPP. Epoprostenol (Folan), atau Prostasiklin, adalah obat yang cukup baik dalam pengobatan HPP. Obat ini adalah
vasodilator kerja singkat dan menghambat agregasi platelet yang disebabkan oleh kerusakan endotel pembuluh darah. Warfarin sebagai antikoagulasi jangka lama, diberikan untuk mencegah trombosis dan telah terbukti dapat memperpanjang harapan hidup pada HPP. Tromboemboli
Cremona G, Higenbottom T : Role of prostacyclin in the treatment of pulmonary hypertension. AF Cardio 1995;75(3):61A - 71A.
National Institutes of Health National Heart, Lung and Blood Insti-
tute,1988. Nauser TD, Stites SW. Diagnosis and treatment of pulmonary hypertension, Am Fam Physician. 2000; 63 : 1789 - 98. Olschewski H, Walmrath D, Schermuly R, Ghofrani A, Grimminger F, Seeger W Aerosolized prostacyclin and iloprost in severe pulmonary hypertension. Ann Intern Med,. 1996;124:820-4. Rich S. Primary pulmonary hypertension In:Iseilbachsr KJ, et al eds. Harrison's principles of intemal medicine 13 th editor. New York: Mc Graw-Hill;1994. Ricciardi MJ, Rubenfire M. How to manage primary pulmonary hypertension. Postgraduate Med.1999; 105 :97 - 100.
37t PNEUMOTORAKS SPONTAN Barmawi Hisyam, Eko Budiono
PENDAHULUAN Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura. Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada. Pneumotoraks dapat terjadi secara
spontan atau traumatik. Pneumotoraks spontan dibagi
200j). Penelitian epidemiologi pada 15.204 orang yang bertempat tinggal di kota Stockholm, Swedia mendapatkan insidens pneumotoraks spontan sebesar 18/100.000 untuk
pria dan 6/100.000 untuk wanita. Dilaporkan adanya pneumotoraks spontan familial dalam suatu keliiirga (23 anggota keluarga), 6 di antaranya mengalami serangan pneumotoraks dan lernyata insidensi tersebut
menjadi primer dan sekunder, primerjika penyebabnya tidak diketahui, sedangkan sekunder j ika ler dapat latar belakang
berhubungan dengan dijumpainya HLA haplotlpe A2,
penyakit paru. Pneumotoraks traumatik dibagi menjadi
Pneumotoraks familial sering menimbulkan pneumotoraks
pneumotoraks traumatik iatrogenik dan bukan iatrogenik.
Insidens pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak diketahui, pria lebih banyak
dari wanita dengan perbandingan 5:1. Pneumotoraks spontan primer (PSP) sering juga dijumpai pada individu
sehat, tanpa riwayat penyakit paru sebelumnya. Pneumotoraks spontan primer banyak dijumpai pada pria dengan usia antara dekade 3 dar. 4. Salah satu penelitian menyebutkan sekitar 81olo kasus PSP berusia kurang dari
45 tahun. Seaton dkk, melaporkan bahwa pasien tuberkulosis aktif mengalami komplikasi pneumotoraks sekitar l,4Yo danjika terdapat kavitas paru komplikasi pneumotoraks meningkat lebih dari 90%. Di Olmested Country, Minnesota, Amerika, Melton et al melakukan penelitian sel ama25 tahun (tahun 1950-197 4) pada pasien yang terdiagnosis sebagai pneumotoraks atau pneumomediastinum, didapatkan 75 pasien karena trauma, 1 02 pasien karena iatrogenik dan sisanya 1 4 I pasien karena
B40 dan alpha-1 antitrypsin phenotype MlM2. spontan dan terbanyak didapatkan justru pada wanita daripada pria. Sesuai perkembangan di bidang pulmonologi telah banyak dikerjakan pendekatan baru berupa tindakan torakostomi disertai video (video-assissted thoracoscopy surgery : VATS),temyata memberikan banyak keuntungan pada pasien-pasien yang mengalami pneumotoraks relaps dan dapat mengurangi lamarawatinap di rumah sakit. Dengan teknlk Wdeo-Assisted Thoracos copy Surgery (VATS), dapat dilakukan reseksi bulla (wedge resection)
dengan endoscopic stapler dan juga dapat dilakukan
tindakan pleurodesis pada saat yang sama. Tingkat rekurensi pneumotoraks setelah tindakan tersebut kurang
dan5%(Lidrfi,2002).
KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI PNEUMOTORAKS
pneumotoraks spontan sekunder (PSS). Pada pasien-
Pneumotoraks dapat te{adi secara spontan atau traumatik dan klasifikasi pneumotoraks berdasarkan penyebabnya adalah sebagai berikut:
pasien pneumotoraks spontan didapatkan angka insidensi sebagai berikut : PSP terjadi pada7,4 - &6/100.000 per tahun untuk pria dan I ,2/ I 00.000 per tahun untuk wanita; sedangkan insidensi PSS 6,3/100.000 per tahun untuk pria dan 2,0/100.000 per tahun untuk wanita. (Loddenhemper,
Pneumotoraks spontan adalah setiap pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba tanpa adarrya suatu penyebab (trauma ataupun iatrogenik), ada 2 jenis yaitu :
pneumotoraks spontan. Dari 141 pasien pneumotoraks
spontan tersebut 77 pasien PSP dan 64 pasien
Pneumotoraks Spontan
2339
2340
PULMOTIOIOGI
Pneumotoraks spontan primer. Pneumotoraks spontan primer (PSP) adalah suatu pneumotoraks yang terjadi tanpa ada riwayat penyakit parv yalg mendasari sebelumnya, umumnya pada individu sehat, dewasa muda, tidak berhubungan dengan aktivitas fisik yang berat tetapijustru terjadi pada saat istirahat dan sampai sekarang belum diketahui penyebabnya. Pneumotoraks spontan sekunder. Pneumotoraks spontan sekunder (PSS) adalah suatu pneumotoraks yang terjadi karena penyakit paru yang mendasarinya (tuberkulosis paru, PPOK, asma bronkial, pneumonia, tumor paru, dan
.
Trauma pada bronkus (emfisema mediastinum, emfi sema interstisialis)
. Ruptur alveoli (emfisema interstisialis) . Robekan pada pleura viseralis (pneumotoraks) . Ruptur dari bulla maupun bleb (pneumotoraks spontan) . Trauma dinding dada dan pleura parietalis . .
(pneumotoraks, emfisema subkutis)
Ruptur esophagus (emfisema mediastinum, emfisema subkutis)
Robeknya diafragma (emfisema mediastinum, pneumotoraks)
sebagainya).
Berdasarkan kejadiannya pneumotoraks traumatik dibagi 2
Pasien PSS bilateral dengan reseksi torakoskopi dijumpai adanya metastase paru yang primernya berasal dari sarkoma jaringan lunak di luar paru.
Jenls yaltu:
Pneumotoraks traumatik bukan iatrogenik. Adalah pneumotoraks yang teq'adi karenajejas kecelakaan, misalnya
jejas pada dinding dada baik terbuka maupun terhrtutp,
Pneumotoraks Traumatik Pneumotoraks traumatik adalah pneumotoraks yang terjadi akibat suafu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru. Pneumotoraks traumatik diperkiraan 40olo dari semua kasus pneumotoraks. Pneumotoraks traumatik tidak harus disertai dengan fraktur iga maupun luka penetrasi yang terbuka. Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada
barotrauma.
Pneumotoraks traumatik Iatrogenik. Adalah pneumotoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun masih dibedakan menjadi
2yaitul.
.
juga dapat menimbulkan pneumotoraks. Beberapa
tindakan parasentesis dada, biopsi pleura, biopsi transbronkial, biopsi/aspirasi paru perkutaneus,
penyebab trauma penetrasi pada dinding dada adalah luka tusuk, luka tembak, akibat tusukan jarum maupun pada
saat dilakukan kanulasi vena sentral (Gambar 1) (Loddenkemper,2003).
Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental, adalah pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan/komplikasi tindakan tersebut, misalnya pada
.
kanulasi vena sentral, barotrauma (ventilasi mekanik). Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate), adalah pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisi udara ke dalam rongga pleura melalui jarum dengan suatu alat Maxwell box. Biasanya untuk terapi tuberkulosis (sebelum era antibiotik), atau untuk menilai permukaan paru.
Berdasarkan jenis fistulanya pneumotoraks dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
Pneumotoraks tertutup (simple pneumothorax). Pneumotoraks tertutup yaitu suafu pneumotoraks dengan tekanan udara di rongga pleura yang sedikit lebih tinggi
dibandingkan tekanan pleura pada sisi hemitoraks True traumatic causes
Gambar 1. Pneumotoraks Traumatik (Sumber : Loddenkemper,R, dan Frank, 2003, W, Pleural Disease, dalam G.J. Gibson, D.M. Geddes, U. Costabel, P.J. Sterk, B. Corrin, Respiratory Medicine,
third edition, pg : 1907-'1937. Saunders)
Keterangan gambar : . Trauma jaringan lunak pada region subklavia (emfisema
.
subkutis) Traumapadatrakea(emfisemamediastinum, emfisema subkutis)
kontralateral tetapi tekanannya masih lebih rendah dari tekanan atmosfir. Pada jenis ini tidak didapatkan defek atau luka terbuka dari dinding dada.
Pneumotoraks terbuka (open pneamothorax). Pneumotoraks terbuka terjadi karena luka terbuka pada dinding dada sehingga pada saat inspirasi udara dapat keluar melalui luka tersebut. Pada saat inspirasi, mediastinum dalamkeadaan normal tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser kearah sisi dinding dada yang terluka
(sucking wound). Tension pneumotorafts. Tension pneumotoraks terjadi karena mekanisme check valve yaitu pada saat inspirasi
2341
PNEUMOIORAKS
udara mauk ke dalam rongga pleura, tetapi pada saat ekspirasi udara dari rongga pleura tidak dapat keluar. Semakin lama tekanan udara di dalam rongga pleura akan meningkat dan melebihi tekanan atmosfir. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas. Pneumotoraks ini juga sering disebut pneumotoraks ventil.
PATOGENESIS Pleura secara anatomis merupakan satu lapis sel mesotelial,
ditunjang oleh jaringan ikat, pembuluh darah kapiler dan pembuluh getah bening. Rongga pleura dibatasi oleh 2 lapisan tipis sel mesotelial, terdiri atas pleura parietalis dan pleura viseralis. Pleura parietalis melapisi otot-otot dinding dada, tulang dan kartilago, diafragma dan mediastinum, sangat sensitif terhadap nyeri. Pleura viseralis melapisi paru dan menyusup ke dalam semua fisura dan tidak sensitif terhadap nyeri. Rongga pleura individu sehat
terisi cairan (10-20 ml) dan berfungsi sebagai pelumas di antara kedua lapisan pleura. Patogenesis pneumotoraks spontan sampai sekarang belum jelas.
Pneumotoraks Spontan Primer (PSP) PSP terjadi karena robeknya suatu kantong udara dekat pleura viseralis. Penelitian secara patologis membuktikan
bahwa pasien pneumotoraks spontan yang parunya direseksi tampak adarrya satu atau dua ruang berisi udara dalam bentuk bleb dan bulla. Bulla merupakan suatu
kantong yang dibatasi sebagian oleh pleura fibrotik yang menebal, sebagian olehjaringan fibrosa paru sendiri dan sebagian lagi oleh jaringan paru emfisematous. Bleb terbentuk dari suatu alveoli yang pecah melalui jaringan interstisial ke dalam lapisan fibrosa tipis pleura viseralis
ruang udara di bagian distalnya. Obstruksi jalan napas bisa diakibatkan oleh penumpukan mukus dalam bronkioli baik oleh karena infeksi atau bukan infeksi. Bayi aterm mampu menampung tekananpleura antara 40 sampai-l00 cm HrO. Apabila tekanan udara melebihi
nilai ambang tersebut dapat menimbulkan pecahnya alveoli, misalnya akibat aspirasi mekoneum' Penelitian pada I 1 pasien bukan perokok yang sembuh dari pneumotoraks
spontan, dengan ventilation-perfusion scintigraphy tenyata didapatkan gambaran obstruksi saluran napas'
Pneumotoraks Spontan Sekunder (PSS) PSS terjadi karena pecahnya bleb viseralis atau bulla subpleura dan sering berhubungan dengan penyakit paru
yang mendasarinya. Patogenesis PSS multifaktorial, umumnya terjadi akibat komplikasi penyakit PPOK (penyakit paru obstruktif kronik), asma, fibrosis kistik, tuberkulosis paru, penyakit-penyakit paru infiltratif lainnya (misalnya pneumonia supuratif dan termasuk pneumonia P. carinii). PSS umumnya lebih serius keadaanyya daripada
PSP, karena pada PSS terdapat penyakit paru yang mendasarinya. Pneumotoraks katamenial (endometriosis pada pleura) adalah bentuk lain dari PSS yang timbulnya berhubungan dengan menstruasi pada wanita dan sering berulang. Artritis rheumatoid juga dapat menyebabkan pneumotoraks spontan karena terbenfuknya nodul rheumatoid pada paru.
MANIFESTASI KLINIS
Keluhan Subyektif Berdasarkart anamnesis, gej ala- gej ala yang sering muncul
adalah:
. .
yang kemudian berkumpul dalam bentuk kista. Mekanisme
terjadinya bulla atau bleb belum jelas, banyak pendapat menyatakan terjadinya kerusakan bagian apeks paru berhubungan dengan iskemia atau peningkatan distensi pada alveoli daerah apeks paru akibat tekanan pleura yang lebih negatif. Apabila dilihat secara patologis dan radiologis pada pneumotoraks spontan sering didapatkan bulla di apeks paru. Obsevasi klinis yang dilakukan pada pasien PSP ternyata angka kejadiannya lebih banyak dijumpai pada pasien pria yang berbadan tinggi dan kurus. Kelainan intrinsik jaringan konektif seperti pada sindrom Marfan, prolaps katup mitral, kelainan bentuk tubuh mempunyai kecenderungan terbentuknya bleb atau bulla. Belum ada hubungan yang jelas antara aktivitas yang berlebihan dengan pecahnya bleb atau bulla karena pada keadaan tanpa aktivitas (istirahat) ju ga dapatterladi pneumotoraks'
Pecahnya alveoli berhubungan dengan obstmksi checkvalve pada saluran napas kecil sehingga timbul distensi
. .
Sesaknapas, yang didapatkanpada 80-100% pasien Nyeri dada, yang didapatkan pada75-90% pasien. Lindskog dan Halasz menemukan 69% dai72 pasien mengalami nyeri dada. Batuk-batuk, yang didapatkan ,pada25-35o/o pasien Tidakmenunjukkan gejala (silent) yang terdapat sekitar 5-10%dan biasanya pada PSP (Loddenkemper, 2003).
Gejala-gejala tersebut dapat berdiri sendiri maupun kombinasi dan menurut Mills dan Luce detajat gangguannya bisa mulai dari asimtomatik atau menimbulkan
gangguan ringan sampai berat.
Pemeriksaan Fisis Suara napas melemah sampai menghilang, fremitus melemah sampai menghilang, resonansi perkusi dapat normal atau meningkat/hipersonor. Pneumotoraks ukuran kecil biasanyahanya menimbulkan takikardia ringan dan gejala yang tidak khas. Pada pneumotoraks ukuran besar biasanya didapatkan suara napas yang melemah bahkan
2342
PULMOITUOGI
kiri, inverse dari diafragma kiri
sampai menghilang pada auskultasi, fremitus raba menurun dan perkusi hipersonor. Pneumotoraks tension dicurigai apablla didapatkan adanya takikardia berat, hipotensi dan pergeseran mediastinum atau trakea.
mediastinum kearah kanan. Pemeriksaan C o mput e d To m o gr aphy (CT-scan) mungkin diperlukan apabila dengan pemeriksaan foto dada diag-
Pemeriksaan Penunjang
nosis belum dapat ditegakkan. Pemeriksaan ini lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa
Analisis gas darah arteri memberikan gambaranhipoksemia meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada sebuah penelitian didapatkan lTYo denganP02 < 55 mmHg, 4o/o dengdnPO2 < 45 mmHg ,16%o denganPco2 > 50 mmHg dar4oh dengan PCO2 > 60 mmHg. Padapasien PPOK lebih mudah te{adi pneumotoraks spontan. Dalam sebuah penelitian 51 dari 17l pasien PPOK (30%) dengan FEV I < l,0liter dan 3 3 % dengan FEV I EY C < 4}yoprediksi (Light, 2003). Penelitian lain menyebutkan bahwa gagal napasyangberat(PO2 < 50 mmHgdanPCO2> 50 mmHg, atau disertai dengan syok) terdapat pada 16%o pasien dan secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 100/o
.
Pneumotoraks primer paru kiri sering menimbulkan perubahan aksis QRS dan gelombang T prekordial pada rekaman elektrokardiografi (EKG) dan dapat ditafsirkan sebagai infark miokard akut (IMA). Pemeriksaan foto dada garis pleura viseralis tampak putih, lurus atau cembung terhadap dinding dada dan terpisah dari garis pleura parietalis. Celah antara kedua garis pleura tersebut tampak lusens karena berisi kumpulan udara dan tidak didapatkan corakan vaskular pada daerah
iga
dan pergeseran
dengan pneumotoraks, batas antaraudara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner serta unhrk membedakan antara pneumotoraks spontan primer atau sekunder. Sensitivitas
pemeriksaan CT-scan untuk mendiagnosis emfisema subpleura yang bisa menimbulkan pneumotoraks spontan primerantara 80-90%. Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi) merupakan pemeriksaan invasive, tetapi memiliki sensitivitas yang lebih besar dibandingkan pemeriksaan CT-scan. Menurut Swierenga dan Vanderschueren, berdasarkan analisa dari 126 kasus pada tahun 1990, hasil pemeriksaan endoskopi dapat dibagi menjadi 4 derajatyaitu: Derajat
I
pneumotoraks dengan gambaran paru yang
mendekatinomal(4}%)
DerajatII
pneumotoraks dengan perlengketan diserati
hemotorak(12%)
DerajatIII
pneumotoraks dengan diameter bleb atau
buJla<2cm(31%) DerajatIV
neumotoraks dengan banyak bulla yang besar, diameter >
2un (17%\ (Loddenkernper,
2m3)
tersebut. Pada tension pneumotoraks gambaran foto dadanya tampakjumlah udara pada hemitoraks yang cukup besar dan susunan mediastinum yang bergeser ke arah kontralateral (Gambar 2).
CARA MENENTUKAN UKURAN (PERSENTASE) PNEUMOTORAKS Volume paru dan hemitoraks dihitung sebagai diameter kubus. Jumlah (isi) paru yang kolaps ditentukan dengan rata-rata diameter kubus paru dan toraks sebagai nilai perbandingan (rasio). Misalnya : Diameter kubus rata-rata hemitoraks l0 cm dan diameter kubus rata-rata paru yang kolaps 8 cm, maka rasio diameter kubus adalah 83/103 : 51211000, sehingga diperkirakan ukuran pneumotoraksnya 5U/o.
Cara lain untuk menentukan luas atau persentase pneumotoraks adalah dengan menjumlahkan jarak te4'auh antara celah pleura pada garis vertikal ditambah dengan jarak terjauh celah pleura pada garis horizontal ditambah denganjarak terdekat celah pleura pada garis horizontal, kemudian dibagi 3 dan dikalikan 10 (Gambar 3). Gambar 2. Tension pneumotoraks (Sumber : Stark, P,2002, lmaging of Pneumothorax, Uptodate 12.1)
DIAGNOSIS BANDING
Gambar tersebut merupakan salah satu contoh tension pneumotoraks kiri pada pasien tuberkulosis yang lanjut.
Pneumotoraks dapat memberi gejala seperti infark miokard,
Pada hemitoraks
kiri
tampak kumpulan udara yang
hiperlusen tanpa disertai corakan vaskular, pelebaran celah
emboli paru dan pneumonia. Pada pasien muda, tinggi,
pria dan perokok jika setelah difoto diketahui ada pneumotoraks, umumnya diagnosis kita menjurus ke
2343
PNEI,N'C'NORAKS
pneumotoraks spontan primer. Pneumotoraks spontan
Observasi Dan Pemberian Tambahan Oksigen
dengan bulla atau bleb yang dari suatu pneumotoraks terlokalisasi
Tindakan ini dilakukan apabrla luas pneumotoraks <
subpleura.
telah menutup, udara dalam rongga pleura perlahanJahan akan diresorbsi. Laju resorbsinya diperkirakan 1,25%o dati sisi pneumotoraks per hari. Laju resorbsi tersebut akan meningkat jika diberikan tambahan oksigen. Pemberian oksigen lO\Yo pada kelinci percobaan yang mengalami pneumotoraks temyata meningkatkan laju resorbsi enam kali lipat. Observasi dilakukan dalam beberapa hari (minggu) dengan foto dada serial tiap 12-24 jam selama 2 hari bisa dilakukan dengan atau tanpa harus dirawat di rumah sakit.
sekunder kadang-kadang sulit dibedakan
Average intrapleural distance (Rhea et a|.1982)
rhl2-
-
15olo
dari hemitoraks. Apabila frstula dari alveoli ke rongga pleura
Jika pasien dirawat di rumah sakit dianjurkan untuk memberikan tambahan oksigen. Pasien dengan luas pneumotoraks kecil unilateral dan stabil, tanpa gejala diperbolehkan berobat jalan dan dalam 2-3 hari pasien harus
% pneumothorax= A:Ele-Ied
x ro
kontrol lagi.
Gambar 3. Cara Menentukan Luas Pneumotoraks (Sumber : Loddenkemper,R, dan Frank, 2003, W, Pleural Disease, dalam
Aspirasi dengan Jarum dan Tube Torakostomi Tindakan ini dilakukan seawal mungkin pada pasien
G.J. Gibson, D.M. Geddes, U. Costabel, P.J. Sterk, B. Corrin, Res-
pnenmotoraks yang luasnya> l5Yo. Tindakan ini berhrjuan
piratory Medicine, third Edition, pg : '1929, Saunders)
KOMPLIKASI Pneumotoraks tension (terjadi pada 3-5o/o pasien pneumotoraks), dapat mengakibatkan kegagalan respirasi
akut. pio-pneumotoraks,
hidro-pneumotoraks/
hemo-pneumotoraks, henti jantung paru dan kematian (sangat jarang terjadi); pneumomediastinum dan emf,rsema
subkutan sebagi akibat komplikasi pneumotoraks spontan,
biasanya karena pecahnya esophagus atau bronkus, sehingga kelainan tersebut harus ditegakkan (insidensinya
mengeluarkan udara dari rongga pleura (dekompresi). Tindakan dekompresi dapat dilakukan dengan cara : 1). Menusukkan jarum melalui dinding dada sampai masuk rongga pleura, sehingga tekanan udara positifakan keluar melalui jarum tersebut. 2).Membuat hubungan dengan udara luar melalui saluran kontra ventil, yaitu dengan : . Jarum infus set ditusukkan ke dinding dada sampai masuk rongga pleura, kemudian ujung pipa plastik di pangkal saringan tetesan dipotong dan dimasukkan ke dalam botol berisi air kemudian klem dibuka, maka akan
timbul gelembung-gelembung udara di dalam botol (Gambar4).
I o%),
pneumotoraks simultan bilateral, insidensinya sekitar 2o/o, pneumotoraks kronik, bila tetap ada selama lebih dari 3 bulan, insidensinya sekitar 5%.
sekitar
,*** PENATAI.AKSANAAN Tindakan pengobatan pneumotoraks tergantung dari luasnya pneumotoraks. Tujuan dari penatalaksanaan tersebut yaitu untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura
dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Brilish Thoracic Society dan American College of Chest Physicians telah memberikan rekomendasi untuk penanganan pneumotoraks. Prinsip-prinsip penanganan pneumotoraks adalah : . Observasi dan pemberian tambahan oksigen . Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi dengan atalu tanpa pleurodesis
.
Torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan
.
terhadap adanya bleb atau bulla Torakotomi
Bottle lnitially primed with about 200 ml saline
Gambar 4. Aspirasi udara dari rongga pleura (Sumber : Netter, 1979. Respiratory system, The Ciba Collection of Medical lllustration, vol 7.
2344
PUI.MONOIOGI
Jarum abbocath no. 14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah mandrin dicabut, dihubungkan dengan pipa infuse set, selanjutnya dikerjakan seperti (a). Water Sealed Drainoge (WSD) : pipa khusus (kateter urine) yang steril dimasukkanke ronggapleura dengan perantaraan trokar atau klem penjepit. Sebelum trokar dimasukkan ke rongga pleura, terlebih dahulu dilakukan insisi kulit pada ruang antar iga ke enam pada linea aksilaris media. Insisi kulit juga bias dilakukan pada ruang antar iga keduapada linea mid-klavikula. Sebelum melakukan insisi kulit, daerah tersebut harus diberikan cairan disinfektan dan dilakukan injekdi anestesi lokal dengan xilokain atau prokain 2Yo dankemtdian ditutup dengan kain duk steril. Setelah trokar masuk ke dalam
rongga pleura, pipa khusus (kateter urine) segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian trokar dicabut sehingga hanya pipa khusus tersebut yang masih tertinggal di ruang pleura. pemasukan pipa khusus tersebut diarahkan ke atas apabila lubang insisi kulit di ruang antar igakeenam dan diarahkanke bawah jika lubang insisi kulitnya ada di ruang antar iga kedua.
Pipa khusus atau kateter tersebut kemudian dihubungkan dengan pipa yang lebih panjang dan terakhir dengan pipa kaca yang dimasukkan ke dalam air di dalam botol. Masuknyapipakaca ke dalam air sebaiknya 2 cm dari permukaan air, supaya gelembung udara mudah keluar. Apabila tekanan rongga pleura masih tetap positif, perlu dilakukan penghisapan udara secara aktif (continuous suction) dengan memberikan
tekanan -10 cm sampai 20 cmH2O agar supaya paru cepat mengembang. Apabila paru sudah mengembang penuh dan tekanan rongga leura sudah negatif, maka sebelum dicabut dilakukan uji coba dengan menjepit
Menurut Asril penatalaksanaan pneumotoraks spontan dibagi dalam:
.
PSP, yang te{adi pada usia muda dengan fungsi paru normal, maka akan sembuh sendiri. Evaluasi selanjutnya
perlu berhati-hati sampai pengembangan paru sempurna. PSP ukuran besar, bila pada aspirasi pipa kecil tidak mengembang dal am24-48 jam, perlu dipasang
pipa interkostal besar, dengan Water Sealed Drainage (WSD) atau pengisapan secara perlahanJahan memakai katup flutter (continuous suction). Bila paru sudah mengembang, biarkan pipa rongga pleura di tempatnya dengan diklem alirannya dan dievaluasi selama24 jam.
Apabila udara masih menetap dalam rongga pleura
.
selama 1 minggu, perlu dilakukan torakotomi. PSS : sebelum melakukan pemasangan pipa rongga pleura, perlu diyakini lagi adanyapneumotoraks pada pasien-pasien emfisema, karena tindakan t".r"6u1 depat berakibat fatal. Pengeluaran udara biasanya secara terus-menerus (continuous su c tion) sampai beberapa
hari hingga fistula bronkopleura (Broncho pleural Fistel : BPF) menghilang. Bila gagal mengembang sempurna, dapat dipasang pipa rongga pleura kedua 1 minggu, perlu operasi torakotomi. Untuk mengetahui adanya BpF dan bila gagal juga mengembang setelah
dapat dilakukan cara-cara sebagai berikut : Mengukur PO2 dan PCO2 gasyangberpindah. Bila PO2 > 50 torr dan PCO2 < 40 torr, tersangka ada BpF persisten. BilaPO2 <40 torrdanPCO2 >45 torr, BpF
-
menghilang.
-
Mengukur tekanan udara intrapleura. pada keadaan normal tekanan tdara pada rongga pleura adalah negatif dan pada akhir ekspirasi tekanan udaranya masih di bawah atmosfir. Bila ada BPF artinya
pipa tersebut selama 24 jam. Tindakan selanjutnya
tekanan intrapleura pada akhir ekspirasi sama
adalah melakukan evaluasi dengan foto dada, apakah paru mengembang dan tidak mengempis lagi atau
dengan tekanan atmosfir.
tekanan rongga pleura menjadi positif lagi. Apabila tekanan di dalam ronggapleura menjadi positif lagi maka pipa tersebut belum dapat dicabut. Di RS persahabatan, setelah WSD diklem selama 1-3 hari dibuat foto dada.
Bila paru sudah mengembang maka WSD dicabut. Pencabutan WSD dilakukan waktu pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal. Pada wanita muda dengan alasan kosmetika maka insisi kulit dapat dilalarkan pada
ruang antar iga empat atau lima linea mid-klavikula. Pemasangan WSD tersebut bisa dengan sistem 2 botol ata:u
3 botol (Gambar 5). Apabila akan dilakukan
pleurodesis, dari pipa tersebut dapat diinjeksikan suatu derivate dari tetrasiklin sehingga risiko untuk kambuh dapat dikurangi. Pada sebuah penelitian secara random
pada 229 PSP, ternyata tingkat kekambuhan pada kelompok yang dilakukan pleurodesis sebesar 25ol0,
sedangkan pada kelompok control tingkat kekambuhannya4l%o.
dengan tekanan dalam alveolat yang berarti sama
-
Mengukur jumlah udara yang dikeluarkan selama aspirasi. Pada keadaan normal BPF negatif artinya udara yang keluar jumlahnya terbatas, BpS positif artiny a tdarayang keluar jumlahnya tidak terbatas.
Torakoskopi Torakoskopi adalah suatu tindakan untuk melihat langsung
ke dalam rongga toraks dengan alat bantu torakoskop. Torakoskopi dilakukan pertama kali oleh Dr. Hans Christian Jacobeus dari Stockholm Swedia pada tahun 1919, dengan menggunakan alat sistoskop. pada waktu itu torakoskopi dilakukan untuk memotong adhesi pleura (pneumolisis) dan menghasilkan pneumotoraks artificial pada pasien tuberkulosis paru oleh karena belum ada obat
antituberkulosis (Embran, 200 1 ).
Torakoskopi yang dipandu dengan video (Video Assisted Thoracoscopy Surgery : VATS) memberikan .kenyamanan dan keamanan baik bagi operator maupun
2345
PNEI'MOTORAXS
pasiennya karena akan diperoleh lapangan pandang yang
lebih luas dan gambar yang lebih bagus. Tindakan ini sangat efektif dalam penanganan PSP dan mencegah berulangnya kembali. Dengan prosedur ini dapat dilakukan
reseksi bulla atau bleb dan juga bisa dilakukan untuk pleurodesis. Tindakan ini dilakukan apabila : . tindakan aspirasi maupun WSD gagal . parutidakmengembang setelah3 haripemasangantube
. . .
torakostomi terjadinya fistula bronkopleura timbulnya kembali pneumotoraks setelah tindakan pleurodesis padapasien yang berkaitan dengan pekerjaannya agar tidak mudah kambuh kembali seperti pada pilot dan penyelam (Light, 2003).
Tindakan torakoskopi yang dikerjakan pada 25 pasien pneumotoraks spontan yang berulang, menunjukkan di parunya terdapat bleb di daerah apek paru serta pernah dilakukan pleurektomi apical, setelah dievaluasi lebih dari 2,5 tahun temyata hanya didapatkan angka komplikasi3Yo dan hanya terbatas sekitar luka tersebut. Pengambilan bleb atau bulla dengan torakoskopi disertai pleurodesis pada 82 pasien pneumotoraks spontan yang berulang atau persisten, ternyata yang mengalami komplikasi hanya 6 pasien (7,3yo), terdiri 3 pasien (4%) dengan kelainan paru berupa bulla yang merata dan mengalami intubasi yang cukup lama (berturut-turut 9, 1l dan 12hai),2 pasien (3%o) mengalami kebocoran udara yang menetap berlangsung sekitar 10-14 hari, dan I pasien mengalami kerusakan parenkim paru setelah batuk kuat 2
hari. Pada 69 pasien (83%) ternyala pada parunya didapatkan bleb atau bulla. Hasil tindakan tersebut menunjukkan pengembangan paru yang cukup baik setelah operasi dan setelah 22 bulan pengamatan tidak mengalami
kekambuhan. Video Assisted Thoracoscopy Surgery (VATS) masih merupakan pilihan yang tepat untuk pneumotoraks spontan, lamanya operasi sekitar 45 menit, rasa tak enak setelah operasi sangat minimal dan lamanya rawat inap di rumah sakit setelah operasi rala-tata 4 - 6 hari. Rata-rata rawat inap pasien pneumotoraks spontan di rumah sakit setelah dilakukan torakoskopi video dengan pleurodesis talk sekitar 5,7 hari dan jika dengan bullektomi sekitar 6 hari. Pasien dengan luas pneumotoraks > 20oh biasanya membutuhkan waktu > 10 hari untuk berkembangnya paru kembali. Pada pasien PSP sekitar 50Vo akar, mengalami kekambuhan. Tindakan torakoskopi atau torakostomi yang disertai dengan abrasi pleura akan mencegah kekambuhan hampir 100%. Pada hampir semua pasien PSS aktrirnya
diterapi dengan torakostomi disertai pemberian obat sklerosing. Pasien-pasien PSP maupun PSS yang diketahui ada udara yang persisten di rongga pleura dan parunya
belum mengembang setelah 6 hari pemasangan pipa torakostomi, maka diharuskan torakotomi terbuka.
Jika didapatkan adanya bleb atau bulla, maka yang bisa dilakukan adalah: . lesi ukuran kecil, bleb atau bulla < 2 cm, dikoagulasi dengan pleurodesis talk. . Bleb atal_bulla> 2 cm, reseksi torakoskopi dengan suatu alat EndoGIA, kemudian diikuti skarifikasi (electrocoagulation) pada pleura parietalis. Pada 43 pasien yang dikerj akan tersebut temyata didapatkan I 5 kasus (34%) tidak dijumpai bleb/bulla, 6 kasus (14%)hanyableb < 2 cm, 23 kasus (52%) dljmpai bleb/bulla > 2 cm.Pada44 kasus tersebut, 2l kasus (a8%) dikerjakan pleurodesis
talk dan 23 kasus (52o/o) dkerjakanbullektomi' Hasil semua tindakan di atas sebagian besar tanpa
komplikasi.
Torakotomi Tindakan pembedahan ini indikasinya hampir sama dengan
torakoskopi. Tindakan ini dilakukan jika dengan
torakoskopi gagal ataujika bleb atau bulla terdapat di apek paru, maka tindakan torakotomi ini efektif untuk reseksi bleb atau bulla tersebut.
PROGNOSIS Pasien dengan pneumotoraks spontan hampir separuhnya
akan mengalami kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube thoracos' tomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien pneumotoraks yang dilakukan torakotomi terbuka. Pasien-
pasien yang penatalaksanaanya cukup baik, umunnya tidak dijumpai komplikasi. Pasien pneumotoraks spontan sekunder tergantung penyakit paru yang mendasarinya, misalkan pada pasien PSS dengan PPOK harus lebih berhati-hati karena sangat berbahaya.
PNEUMOTORAKS SPONTAN PADA KEADAAN KHUSUS
Pneumotoraks pada Pasien HIV Lebih dari 80% kasus pneumotoraks pada pasien HIV terjadi karena adanya infeksi Pneumocystis Carinii Pneu' monia (PCP). Penyebab yang lain biasanya karena sar-
coma kaposi, pemakaian obat-obat intravena, toksoplasmosis, infeksi bakterial, jamur maupun virus. Kasus pneumotoraks pada pasien HIV dilaporkan pertama kali pada tahun 1984. Sejak itu lebih dari 250 kasus yang
dilaporkan dan diperkirakan l0%o dari pasien yang terinfeksi PCP akan terjadi pneumotoraks dengan tingkat mortalitas lebih dari 50%. Patogenesis pneumotoraks pada pasien HIV belum jelas. Hipotesis yang dikembangkan adalah akibat nekrosis jaringan dan penggunaan pentamidine aerosol. Invasi dari PCP bisa pada septum interalveoler, pleura atau pembuluh
2346
PT.JLNilONOI.OGI
darah. Invasi tersebut bisa menimbulkan nekrosis akibat respon inflamasi dari penjamu, kerusakan jaringan secara
langsung akibat toksin dari pneumocystis dan infark jaringan akibat kerusakan pembuluh darah pada jaringan
tersebut. Akibat nekrosis jaringan tersebut dapat terbentuk suatu kavitas atau terjadinya pneumotoraks. Penggunaan pentamidine aerosol diduga dapat
menimbulkan kavitasi, kista maupun pneumotoraks meskipun patogenesisnya belum jelas. Pentamidin secara langsung tidak menimbulkan reaksi toksik terhadap pam,
I kasus dengan pneumotoraks yang kasus dengan dugaan pneumotoraks. Insidensi pneumotoraks spontan pada pilot-pilot militer hanya terdapat
definitif dan
I
tampaknya lebih tinggi. Dari tahun 1952-1964 di angkatan udara Amerika dilaporkan 47 -7 8/ 1 00. 000 orang pertahun.
Terdapat dua faktor penting yang berperanan pada patogenesis pneumotoraks pada perjalanan udara yaitu air traping (udara yang terkumpul) akibat obstruksi saluran napas oleh lendir dan ekspansi dari udara yang terjebak
tersebut akibat berkurangnya tekanan atmosfir.
tetapi secara tidak langsung dimungkinkan memacu
Berdasarkan hukum Boyle, volume gas berbanding terbalik
timbulnya kavitasi atau pneumatokel akibat pneumosistis dan dapat menimbulkan pneumotoraks spontan. Kavitasi oleh PCP terjadi pertama kali pada lobus superior dan
dengan tekanannya. Pada ketinggian 35.000 kaki di atas permukaan air laut, tekanan atmosfir akan menurun secara drastis sehingga volume udara paru akan meningkat 4,3 kali dibanding volume awal. Peningkatan volume udara paru ini bisa menyebakan ruptumya bleb, bulla maupun kista kongenital dan menimbulkan pneumotoraks.
jiringan paru perifer karena distribusi pentamidine aerosol lebih banyak pada jaringan paru di dekat hilus pada lobus inferior. Deposisi pentamidine yang tidak
adekuat pada jaringan paru perifer memungkinkan timbulnya infeksi pneumositis dan pemb"entukan pneumatocoele pada jaringan paru perifer yang bisa menimbulkan pneumotoraks. Pengobatan atau management pasien pneumotoraks
spontan pada pasien HIV pada prinsipnya sama. Jika pneumotoraks < l5%o dan asimtomatik hanya dilakukan observasi. Pada pasien dengan luas pneumotoraks > 15oZ
dan simtomatik dapat dilakukan pemasangan tube torakostomi. Tindakan pleurodesis dengan talk, tetrasiklin,
doksisikline dan bleomisin dapat mencegah rekurensi pneumotoraks dan dapat menutup fistula bronkopleura.
Pneumotoraks pada Perjalanan Udara Insidensi pneumotoraks pada perjalanan udara komersial
belum diketahui karena belum adatya standarisasi kegawatan medis pada penerbangan. Dalam pengamatannya selama Av i at
i
o
n
2 tahun (1986-1988) Federal n (F AA) memer lks a 2.3 22
A ds m i n i s t r a t i o
kegawatan yang terjadi selama penerbangan, ternyata
REFERENSI Embran, P, 2001. Torakoskopi Medis, Pertemuan Ilmiah Paru Milenium 2001, Malang, hal : 136-143. Frye, M.D dan Sahn, S.A, 1999, Pneumothorax and Air Travel, Uptodate 12.2. Light, R.W, 2002, Primary Spontaneous Pneumothorax, Uptodate 12.2.
Light, R.W 2003 Causes and Management of Secondary Spontaneous Pneumothorax, Uptodate 72.2. Loddenkemper, R dan Frank, W 2003, Pleural Disease, dalam G.J. Gibson, D.M. Geddes, U. Costabel, P.J. Sterk, B. Corrin, Respiratoru Medicine, third edition, vol 2 pg : ll84-I937, Saunders.
Netter, F.H., 1979. Respiratory System, dalam Matthew B. Divertie, The Ciba Collection of Medical Illustration, vol. 7. Stark, P, 2002, lmaging of Pneumothorax, Uptodate 12.2. Tietjen, P.A dan Sahn, S.A, 2002, Pneumothorax in HlV-infected Patients, Uptodate 12.2.
372 SLEEP APNEA (GANGGUAN BERNAPAS SAAT TIDUR) Sumardi, Barmawi Hisjam, Bambang Sigit Ryanto, Eko Budiono
Tidur dan bernapas merupakan bagian proses fisiologis yang mendasar dalam kehidupan manusia sehari-hari' Bila
Tipe campuran (Mixed Sleep Apnea/MSlt). Kejadian MSA ini dimulai dengan CSA kemudian diikuti OSA. (Gambar 1)
proses bemapas berhenti sementara dalam beberapa menit, kehidupan manusia juga berhenti. Tidur merupakan bagian
lain dari proses fisiologis tersebut, bila terjadi gangguan pada proses tidur akan berakibat gangguan pada kualitas hidup
Apnea Obstruktif Aliran Udara
Gerakan Dada Gerakan Perut
Aliran Udara
DEFINISI
Sleep apnea adalah timbulnya episode abnormal pada frekuensi napas yang berhubungan dengan penyempitan saluran napas atas pada keadaan tidur, dapat
berupa henti napas (apnea) atau menurunnya ventilasi (hypopnea). Ada tiga tipe apnea/hipopnea yaitu:
Tipe obstruktif (Obstructive Sleep Apnea/OSL)' Tipe ini paling sering terjadi. Keadaan ini terjadi bila ventilasi menurun atau tidak ada ventilasi yang disebabkan oklusi parsial atau oklusi total pada saluran napas atas selama paling tidak 10 detik tiap episode yang terjadi. Episode henti napas (apnea) sering berlangsung antara 10 detik sampai 60 detik.
Tipe sentral (Central Sleep Apnea/CSA). Tipe ini lebih jarang terjadi. Ciri khas dari tipe ini adalah menurunnya frekuensi napas atau henti napas akibat menurunnya ventilasi atau tak ada ventilasi selama paling tidak 10 detik atau lebih. Keadaan ini abnormal bila terjadi lebih dari 5 kali perjam. Penyebab utamanya adalah kelainan pada sistem
Apnea Sentral
Gerakan Dada Gerakan Perut apnea syndrc_me,N
jl9l
J M"j_2992t31].
.-1T!:1.9ra "-lJtvlseep Gambar 1. Polisomnogram OSAdan CSA, Diikuti Arousal pada Keadaan Tidur Tipe Apnea Obstruktif (Obstructive Sleep Apnea/ _.
osA) EPIDEMIOLOGI Pada bangsa kaukasia, pria usia pertengahan prevalensi sebesar 4olo danperempuar.2o/o.Bangsa cina di Hongkong pria usia pertengahan sebesar 4o/o dan petemptat 2oh' iopulasi di atas usia 65 tahun prevalensinya lebih dari t0%.
PATOFISIOLOGI OSA merupakan hasil dari proses dinamik penyempitan atau lumpuhny a (collaps) saluran napas Tempat paling sering terjadi obstruk dewasa adalah di belakang ovula dan ve
molle), kemudian pada oropharynx, atau kombinasi
saraf pusat yang mengatur sistem kardiorespirasi. Pada keadaan ini, sistem sarafpusat gagal mengirim impuls saraf pada sarafotot diafragma dan otot-otot pernapasan di dada'
keduanya. Patensi saluran napas atas sebagian besar diatur oleh otot-otot farin E, Yaa1diklasifikasikan menj adi
2347
2348
PTJLII'ONOOGI
2bagian: l. Otot fase inspirasi, misalnya musculus genio_
glossus yang mengatur kontraksi regular dengan menyesuaikan pada gerakan pernapasan. Fungsinya seperti diafragma. Tonus otot pada kelompok ini diatur selama periode tidur; 2. Otot yang tonus ritmiknya konstan, misalnya musculus palatinus tensi. Tonus otot ini konstan, yang dapat hilang atau menurun tonusnya pada keadaan
tidur. Tahanan pada saluran napas atas meningkat bermakna
selama tidur, dan dapat lebih meningkat bila ada faktor predisposisi yang mendukung terjadinya penutupan
adalah menentukan Indeks Massa Tubuh (IMT). Obesitas merupakan salah satu faktor risiko tet'adinya sleep apnea. Obesitas sentral perlu diukur, karena dengan IMT normal,
obesitas senhal juga salah satu dari faktor risiko sleep apnea.
Morfologi saluran napas atas dan bentuk anatomis
kraniofasial perlu diperiksa untuk ditentukan kemungkinannya menj adi faktor risiko
s
I eep
apnea. Leher
yang pendek, mikrognatia, retrognatia, ukuran skor
Mallampati sangat berhubungan dengan OSA (Gambar2).
saluran napas, atau terjadi peningkatan beban pada otototot dilator faringeal. Lumpuhnya (collaps) saluran napas atas terjadi bila tekanan negatif yang dibuat oleh otot-
otot pernapasan lebih besar dari kemampuan otot_otot yang berfungsi melebarkan saluran napas atas. Periode apnea (tak bernapas), biasanya diakhiri dengan bentuk arousal dari tidur, di mana otot-otot yang berperan pada dilatasi saluran napas atas mulai bekerja normal dan aliran udara pernapasan kembali normal. proses arousal selama periode tidur berakibat proses tidur mengalami fragmentasi, kadang pasien bisa terbangun mendadak. Saturasi oksigen dapat menurun lebih dari 3oh, akrbat obstruksi saluran napas lebih dari 80%o. pada hipopnea, obstruksi jalan napas berkisar antara 3Ooh sampai 50% dengan penurunan saturasi oksigen lebih dari 3%. Kebanyakan pasien mengalami keadaan henti napas (apnea) antara 20 sampai
3
0 kej adian perj am dan bisa
lebih
dai 200 kali permalam. Keadaan ini menjadi penyebab utama hipersomnolen pada pasiennya. Faktor risiko OSA,
Sumber lt/allampati SR. Clinj€l dgns to pedid diffidlt tredreal intubation Can Anaesth Soc J 1983;30(3
pt 1 ):316-3i
7
Gambar 2. Klasifikasi mallampati tentang kelainan orofaring
Pengukuran saturasi oksigen selama tidur malam dengan oksimetri, dapat digunakan untuk menguji apakah te4adi sleep apneapada seorang pasien dengan gangguan
tidur. Walaupun demikian, sepertiga pasien OSA tidak terjadi penurunan saturasi oksigen (Gambar 3).
antara lain: obesitas, pria, usia lanjut, pemakaian obat depresan sarafpusat seperti alkohol dan sedatif, saluran
napas atas yang sempit; seperti mikrognathia dan retrognathia, hipotiroidisme atau akromegali, serta genetik dan
familial.
100
oxvoen saturition
90 19
("k) ;; 50
Snoring
GAMBARAN KLINIS
Supine
Position
o
s
Kebanyakan pasien dikirim ke
klinik oleh karena mendengkur keras, gangguan tidur (sleep choking),
Sumber : Flemons WW Obstructive steep apnea,N Engl J Med 2OO2;347:499-5Os
dilaporkan keluarganya ada henti napas (apnea) saat tidur,
Gambar 3. Pola saturasi oksigen pada seep apnea berat
dan gerakan-gerakan abnormal saat tidur, nokturia. Keluhan yang sering terjadi antara lain rasa kantuk terus menerus pada siang hari (hipersomnolen), gangguan
dengan Polisomnografi nokturnal yang dilakukan di
konsentrasi, sakit kepala pagi hari, gangguan intelektual,
gangguan personalitas dan pergaulan, depresi dan penurunan libido.
DIAGNOSTIK
Skala tidur dari Epworth sering digunakan untuk mengetahui kuantitas dari derajat gangguan tidur pada seorang pasien sleep apnea. Pemeriksaan fisik yang penting
Diagnostik baku untuk menentukan OSA adalah klinik sleep apnea. Alat ini menggunakan kombinasi dari elektroensefalografi untuk mencatat gelombang listrik saraf pusat, elektro-okulografi untuk mencatat gerakan mata, oksimetri untuk mencatat saturasi oksigen, monitor holter unhrk mencatat rekaman jantung, dan elektromiografi untuk mencatat gerakan otot pernapasan selama keadaan tidur malam, dan monitor posisi tidur. Parameter yang dihasilkan adalah hasil dari penghitungan terjadinya periode apnea
dan hipopnea disebut Indeks Apnea Hipopnea (AHI). Indeks normalnya adalah kurang dari 5 kejadian perjam.
2349
SIEEP APNH, (GANGGUAN BERNAPAS SAAT TIDUR)
Dinyatakan OSA bila AHI lebih dari 5 kali perjam. Polisomnografi dengan pelalatan monitor yang lebih sederhana dapat dilakukan di rumah. Alat ini digunakan selama 4 jam tidurmalam. Penilaian polisomnogram meliputi berhentinya aliran udara minimal l0 detik dengan gerakan napas masih berjalan (OSA), berhentinya aliran udara dengan diikuti juga berhentinya gerakan napas (CSA), dan campuran keduanya.
Derajat
Osa
Gangguan
lndeks
Saturasi Oz (%)
ResPirasi (lgr) Ringan Sedang Berat
5-1 5 1
6-30 >30
>85 65-84 <65
IGR = rerata jumlah apnea dan hypopnea perjam selama tidur (Menurut America n Academy of Sleep Medicine, 1999\
MANAJEMENOSA
adany
a penyakit serebrovaskular (hipertensi, strok,
penyakit jantung koroner), memerlukan terapi CPAP.
Manajemen dengan Alat Penopang Mulut (ora, appliancel American Academy of Sleep Medicine, merekomendasikan alat ini untuk OSA derajat ringan sampai sedang, apabila pasien tidak dapat menggunakan CPAP. Prinsip alat ini adalah untuk tetap menjaga patensi saluran napas atas.
Penggunaan alat penopang mulut ini tidak menjamin keberhasilan terapi OSA secara bermakna.
Manajemen Secara Pembedahan Tindakan bedah yang dilakukan untuk terapi OSA adalah ululopalatofaringoplasti, olulopalatoplasti dengan sinar
laser, tonsilektomi, ablasi atau reseksi parsial lidah, rekonstruksi rahang atas atau bawah, sampai dengan tindakan trakeostomi. Hasil maksimal dengan tindakan bedah ini adalah 40olo, untuk mengatasi OSA.
Manajemen ditujukan terutama pada risiko terjadinya gangguan kardiovaskular dan kondisi hipersomnolen pada
pasien OSA. Hipersomnolen pada siang hari dapat menyebabkan pasien OSA kehilangan kewaspadaan, yang dapat berakibat gangguan sosial, kecelakaan kerja dan
kecelakaan lalu lintas. Penyakit kardiovaskulat yang berhubungan dengan kejadian OSA adalah hipertensi,
strok, penyakit jantung iskemia, hipertensi pulmonal. Menurut penelitian dari Sleep Hearth Health Study, Sindrom metabolik seperti dislipidemia, resistensi insulin, obesitas sentral, intoleransi glukosa dapat merupakan kej adian yang mempengaruhi OSA.
Pengobatan Konservatif Manajemen konservatif termasuk perubahan posisi tidur miring ke samping kanan atau kiri, tergantung pada perbaikan IGR. Mengurangi berat badan, menghindari minuman mengandung alkohol dan mengurangi konsumsi
Central Sleep Apnea (CSA) CSA lebih jarang didapatkan dibanding OSA. ABpea yang terjadi sebagai akibat hilangnya rangsangan impuls saraf dari sistem pusat pernapasan pada otot pernapasan. Untuk
membedakan
dari OSA diperlukan pemeriksaan
polisomnogram.
Penyebab CSA.
l). Neurologik:
gangguan pada
kemoreseptor CO di medula oblongata, kerusakan medula oblongata karena infeksi ensefalitis, disfungsi saraf otonom (Sindrom Shy-Drager), distrofi muskular otot dada (Duchene mus cul ar dystrophy),2). Pemapasan Cheyne-Stoke: gagal
jantung kongestif, lesi bilateral saraf pusat, ketinggian ekstrim (lebih dari 3000 m dari permukaan laut), 3). Sindrom CSA idiopatik: CSA hiperkapnea (gagal napas), CSA non hiperkapnea (hipersomnolen)
Manajemen CSA. Manajemen lebih ditujukan pada
mengurangi IGR sebesar 26%.
penyebab utama dari CSA. Prinsipnya adalah merangsang terjadinya impuls pemapasan, memberikan ventilasi yang adekuat, dan tidak menggunakan obat sedatif. Pengobatan
Pengobatan dengan Continuous Positive Airway
dapat digunakan pada pengobatan CSA idiopatik'
obat-obat sedatif termasuk juga pada manajemen konservatif. Penurunan berat badan sebesar llYo akan
Pressure(GPAP) Penggunaan CPAP berguna untuk mempertahankan patensi saluran napas atas selama keadaan tidur- Tekanan oksigen disalurkan melalui masker hidung (nasal mask)'
CSA ini dapat dimulai dengan oksigen nasal sampai dengan intermitten positive pressure ventilation (IPPV). CPAP
Mixed Sleep Apnea (MSA) Pada MSA perlu ditentukan apakah dominan OSA atau
Masker dihubungkan dengan tekanan oksigen yang
CSA. Apabila dominan OSA, dapat dicoba pengobatan
dipompakan secara berkala, sesuai dengan frekuensi
dengan CPAP.
pemapasan dengan prinsip pneumatik. CPAP diindikasikan terutama pada pasien dengan IGR lebih dari 30 kejadian perjam. Pasien dengan IGR antara 5 sampai dengan 30
KESIMPULAN
kejadian perjam, yang disertai tanda dan gejala hipersomnolen siang hari, gangguan konsentrasi dan
Meningkatnya risiko penyakit serebrovaskular akibat dari
2350
PULMONOI.OGI
Sleep Apnea, memerlukan deteksi dini kejadian dari penyakit Sleep Apnea. Polisomnogram merupakan alat untuk diagnostik baku untuk menenitkankejadian Sleep Apnea. Pengobatan ditentukan oleh jenis dari Sleep Apnea. Manajemen tipe OSA menggunakan CpAp, sedangkan CSA memerlukan diagnosis yang tepat untuk menentukan etiologinya.
REFERENSI American Academy of Sleep Medicine Task Force. Sleep-related breathing disorders in adults: recommendations for syndrome definition and measurement techniques in clinical research. S1eep.1999; 22:667 -89. Alcanatis M, Tourkohorili G, Kakouros, et al. Daytime pulmonary hypertension in patients with obstructive sleep apnea. The ef-
fect of continuous positive airway pressure on pulmonary haemody-namics. Respiration.200l;68:566-72. Berry RB, Kouchi K, Bower J, Prosise G, Ligh RW. Triazolam in patients with obstructive sleep apnea. Am J Respir Ctir Care Med.1995;151;450-4. Bennett LS, Davies RJ, Stradling JR. Oral appli-ances for the man-
agement of snoring and obstructive sleep Thorax. 1998;53(Suppl
apnea.
2): 558-S64.
Chervin RD, Aldrich MS. The epworth sleepinessness scale may not reflect objective measures of sleepiness or sleep apnea. Neurology.1999;52:125-31. Coughlin SR, Mawdsley L, M:ugarza JA, et al. Obstructive sleep apnea is independently associ-ated with an increased prevalence of metabolic syndrome. Eur heart 1.2004;25:735-41. Clinical Respiratory, Medicine. 2nd ed. Hong Kong: Division of Respiratory and Critical Care Medicine, Department of Medic1ne, The
University of Hong Kong; 2000. Douglas NJ. Clinicians' guide to sleep medicine. London: Arnold;
2002. Fernandez JE, Esparcia
tional
NM, Garcia DFJ, et al. Clinical and func-
analysis of
long-term results
uvulopalatopharyngoplasty. Acta
of
Otorrinolaringol
8sp.2002;5 3 :2 69-8 0. Franklin KA, Eriksson B Sahein C, Lundgren R. Reversal of central sleep apnea with oxygen. Chest.1997;l I 1:163-9. Friedman M, Tanyeri H, La Rosa M, Landsberg R. Clinical predictors of obstructive sleep apnea. Laryngoscope. 1 999; 1 09: 1 90 1 '7.
Hanly PJ. Mechanisms and management of central sleep apnea.
Ltng.l992;170:l-17 . Hudgel DW. Treatment of obstructive sleep apnea: a review. Chest. 1 996; 1 09:1 346-5 8.
Hung J, Whitford EQ Parsons RW, et al. Associ-ation of sleep apnea with myocardial infarction in men. Lancet 1990;336:261-4. Ip MSM,Lam B, Lauder IJ. Community of sleep disordered breathing in middle-aged Chinese men in Hongkong. Chest.
2001;l19:62-9. Ip MSM,Lam B. Community of sleep disordered breathing in middleaged Chinese men in Hongkong: prevalence and gender differences. Chest. 2004;125:127 -34 Ip MSM, Lam KSL, Ho CM, Tsnag KW! Lam WK. Serum leptin and
vascular risk factors in obstruc-tive sleep
apnea.
Chest.2000; I I 8:580-6. R Sjoi A. Epidemiology of snoring and OSA in a Danish population, age 30-60. J Sleep Res. 1,992;I:240-4 Kribbs NB, Pack AI, Kline LR, et al. Effects of one night without nasal CPAP treatment on sleep and sleepiness in patients with obstructive sleep apnea. Am Rev Respir Dis.1993;147:1162-8. Liistro G, Rombaux P, Belge C, Dury M. High Mallampati score and nasal obstruction are associ-ated risk factors for obstructive sleep apnea. Eur Respir J.2003;21:248-52. Leung RS! Bradley TD. Sleep apnea and cardio-vascular disease. Am J Respir Crit Care Med. 2001; 164:2147-65. Lam B, Ip MSM. Obstructive sleep apnea and cardiovasculat diseases. Clin Pulm Med 2002;9: 171-6. Loube DI, Gay PC, Strohl KP, et al. Indications for positive airway pressure ffeatment of adult obstructive sleep apnea patients: a consensus statement. Chest.1999;l 15:863-6. Naegele B, Thouvard V, Pepin JL. Deficits of cognitive executive Jennum
functions in patients with sleep apnea
syndrome.
Sleep. 1 995;1 8:43-52.
Newman AB, Nieto FJ. Relation of sleep-disor-dered breathing to cardiovascular disease risk factors: the sleep heart health study.
Am JEpidemiol. 2001; 154:50-9. Namyslowski G, Scierski W. Laser assisted uvu-lopalatoplasty (LAUP) in the treatment of snoring and obstructive sleep apnea syndrome. Otolaryngol Pol. 2001;55:363-8. Nieto FJ, Young TB, Lind BK, et al. Association of sleep-disordered breathing, and hypertension in a large community-based study. JAMA 2000; 283:1829-36. Oksenberg A, Silverberg DS, Arons E, Radwan H. Positional vs nonpositional obstructive sleep apnea patients : anthropometric, nocturnal polysomno-graphic, and multiple sleep latency test data. Chest. 1997;1 12:629-39. Ostlund RE, Yang JW, Klein S, et al. Relation between plasma leptin concentration and body fat, gender, diet, age, and metabolic covariates. J Clin Endocrinol Metab. 1996;81:3909-13. Peppard PE, Young I Palta M, Dempsey J, Skareud J. Longitudinal study of moderate weight change and sleep-disordered breathing. JAMA.200O;284:30 I 5 -21. Parsons PE, Heffner JE. Pulmonary/respiratory therapy secrets. 2nd ed. Philadelphia: Hanley and Belfus; 2002.
Palomaki H. Snoring and the risk factor of brain infarction. Stroke. I 99 I ;22:1021 -5. Redline S, Adams N, Strauss ME, et a1. Improve-ment of mild sleepdisordered breathing with CPAP compared with conservative therapy. Am J Respirrd for diagnosing OSA. Split-ni ith limited laboratory resources.Crit Care Med 1998;157:858-65. Riley RW, Powell NB, Guilleminault C. Obstruc-tive sleep apnea syndrome: a surgical protocol for dynamic upper airway reconstruction. J Oral Maxillofac Svg. 1993;51:742-7. ShimidrNowara W, Lowe A, Wiegand l, Cartwright R, Perez-Guerra F, Menn S. Oral appli-ances for the treatment of snoring and obstructive sleep apnea: a review. Sleep. 1995;18:511-3. Somers VK, Dyken ME, Clary MP, et al. Sympa-thetic neural mechanisms in obstructive sleep apnea. J Clin 'Invest.l995;96:189'7-
904. Taasan VC, block AJ, Boysen PG, Wynne JW Alcohol increases sleep
apnea and oxygen desatu-ration in asymptomatic men. Am J Med.1981; 7l:240-5. Wilcox I, Grunstein RR, Hedner JA, et al. Effect of nasal continuous positive airway pressure during sleep on 24-hour blood pressure in obstructive sleep apnea. Sleep. 1993;16:539-44. Wiltshire N, Kendrick AH, Catterall JR. Home oximetry studies for
SIEEP APNFA, (GANGGUAN BERNAPAS SAITT TIDUR)
diagnosis of sleep apnea/hypopnea syndrome: limitation of memory storage capabilities. Chest. 2001;120:384-9. Young ! Palta M, Dempsey J, Skatrud J, Weber, Badr S. The occurrence sleep-disordered breathing among middie-aged adults. N Engl J Med. 1993;328:1230-5.
2351