t76 HEMOPOESIS Soebandiri
3. Kompartemen ke-3
terdiri atas zat-zat yang dapat menstimulasi sel-sel darah untuk berproliferasi,
BATASAN
berdiferensiasi dan/atau berfungsi sesuai dengan tugas
Hemopoesis adalah proses pembuatan darah. Sebagaimana diketahui, darah terbagi atas:
Bagian yang Berbentuk (formed elements). Terdiri
yang sudah direncanakan. Komponen ini disebut hemopoetic growtlt factors (HGF) atau .faktor
atas
pertumbuhan hemopoetik (FPH).
sel-sel darah merah (eritrosit), sel-sel darah putih (leukosit)
dan keping-keping darah (trombosit; plateLet) yar,g bentuknya dapat dilihat dengan mikroskop. I. KOMPARTEMEN SEL.SEL DABAH
Bagian yang Tidak Berbentuk. Plasma yang terdiri atas molekul-molekul air, protein-protein, lemak, karbohidrat, vitamin-vitamin, enzim-enzim dan sebagainya, yang larut
Komparlemen sel darah terdiri atas:
dalamplasma.
A. Sel lnduk Pluripoten (SlP)
ini hanyalah proses (bagian ke-1 yaitu formed pembentukan sel-sel darah Yang dibicarakan dalam bab
Menurut teori unitarian. sel-sel darah berasal dari satu sel induk pluripoten (Pluripotent Stem Cells). Sel-sel ini jumlahnya sedikit, namun mempunyai kemampuan besar berproliferasi berkali-kali sesuai kebutuhan. Pengenalan SIP ini dipelopori oleh Till dan Mc Culloch
elements). Akan dibahas 3 komponen (kompartemen) yang berperan penting pada hemopoesis, yaitu : . Kompartemen sel-sel darah
. .
Kompartemenlingkungan-mikro
pada tahun 1960-an dengan penelitiannya yang
Komparte mefi zat-zat pemicu/perangsang (stimulator) hemopoesis
menggunakan teknologi pembiakan in-vivo pada tikus. Mereka menamakan SIP itu sebagai CFU-S (Colony Forming Unit Spleen). Selanjutnya Dexter pada dekade berikutnya mengembangkan suatu media pembiakan yang
KOMPONEN-KOMPONEN HEMOPOESIS
baik untuk pembiakan in-vitro dari SIP ini (DexterCulture). Media ini mengkaitkan juga pentingnya LMH
Hernopoesis adalah suatu proses yang kompleks yang melibatkan banyak komponen-komponen yang saling terkait antara lain: l. Komponen atau Kompartemen yang terdiri atas sel-sel darah baik sel-sel induk, sel-sel bakal dan sel-sel matur. 2. Komponen atau Kompartemen yang disebut stroma atau lingkungan mikrohemopoetik (LMH) atau
sedemikian sehingga CFU-S
menghasilkan stimulator-stimulator pertumbuhan hemopoesis yang disebut Hemopoetic Growth Factors (HGF) atau juga Colony Stimulating Factors (CSF) yang dapat menstimulasi koloni-koloni sel-sel bakal darah untuk terus berprolifrerasi dan berdiferensiasi sesuai jalur turunannya (lineage)nya. Hal ini akan dibahas berikut ini. Dengan majunya ilmu imunologi ditemukan teknologi hibridoma yang memungkinkan kita membuat antibodi
hemo po e tic - mic r o - env ir onment.
dianggap sebagai benih sedangkan dapat dianggap sebagai tanah di mana benih itu tumbuh. Kedua kompartemen ini tidak sendirisendiri tetapi berbaur.
Komponen komponen
ini dapat hidup lama dan
dinamakan Long Term Culture Initiating Cells (LTC-IC). Dalam media Dexter terdapat sel-sel lingkungan mikro yang
1 dapat
2
110
1106
HEMAIOIOGI
monoklonal (Monoc Lonal Antibody ) (MoAb) dalam jumlah banyak; kemudian dikembangkan penemuan-penemuan petanda-petanda imunologis di permukaan sel-sel darah yang dinamai menurut sistem CD (Cluster of Dffirentiation). Petanda-petanda ini dapat dideteksi dengan MoAb dan dengan teknik imunohistokimia atatt flovt cytometry. SIP mempunyai petanda imunologis CD-34. Selain itu juga belum didapatkan petanda yang mengarah ke suatu
jalur turunan yang lain. HLA-DR sering masih negatif, sehingga baik sekali untuk pencangkokan sumsum tulang (PST) yaitu pencangkokan SIP (Stem Cell Transplantation).
B. Sel Bakal Terkait Tugas (SBTT) atau Co m
itted P rogen ito r H e m o poeti c Ce I I s
Dengan stimulasi faktor pertumbuhan yang berasal dari LMH yang dinamakan faktor sel induk (Steru Cell Factor = SCF), SIP dapat berdifferensiasi menjadi sel-sel bakal darah yang terkait tugas (SBTT) yang terkait pada tugas menurunkan turunan-turunan sel-sel darah. yaitu jalur-jalur turunan mieloid dan makrofag disebtt colony forming unit g r an ul o cy t e, e ry t h r o cy t e, m e g ak a ry- o cy t e, mo n o cy t e ( CFU GEMM) dan jalur turunan limfosit (Lltmphoid Progeniror
Cells=LPC). SBTT yang bertugas menurunkan sistem granulosit, eritrosit, monosit/makrofag dan megakariosit dalam teknologi pembiakan pada tikus disebut CFU-GEMM.
lebih tua (sel-sel matur).
Hierarki pertumbuhan sel-sel darah dapat dilihat pada Gambarl.
C. Sel-sel Darah Dewasa Subkompartemen ini terdiri atas golongan granulosit (eosinofil, basofil, neutrofi l), golongan-golongan mor-rosit/ makrofag, trombosit, eritrosit dan limfosit B dan T yang perlu dibahas tersendiri.
II. KOMPABTEMEN LINGKUNGAN Di
sumsum tulang sel-sel darah berada berbaur dengan
kompartemen
II
yaitu jaringan lain yang terdiri
Stroma terdiri atas bermacam subkompartemen yaitu fibroblas, adiposit, matriks ekstraselular, monosit, makrofag dan sel-sel endotel yang dapat menghasilkan macam-macam
DARAH TEPI/ORGAN PERIFER SEL MATUR
MY+MetaMyP-
G
i
Mo#MoaMpg I
I
i
-K#Tr
I
i
CFU-E tll lll Gambar 1. Hierarki sel-sel darah
l-Batl I
poti
atas
kumpulan macam-macam sel dan matriks yang disebut stroma dari sumsum tulang.
MY+
PSC
MIKRO
HEMOPOETTK(LMH)
SUMSUM TULANG/ORGAN SENTRAL SEL.SEL MATUR
I.2.SBTT
l.1.stP
CFU-GEMM ini distimulasi oleh GEMM-CSF untuk berdiferensiasi menjadi CFU-G, CFU-M, CFU-Meg dan CFU-E (melalui BFU-E = Burst Forming Unit Erythrocyte). Seterusnya CFU-G distimulasi G-CSF ; GM-CSF dapat menstimulasi CFU-G dan CFU-MK manjadi sel-sel yang
KromatoNorm.bl
i
Eo
ERY
lRetic I
-
-
tt07
HEMOFOIESIS
Nomenklatur FPH menggunakan
zat y ar,g dapat menstimulasi peftumbuhan sel-sel induk, selsel bakal, dan sel-sel darah yang
.
lallt.Zat-zatint dinamakan
colony stimulating factors (CSF) atau jtga Hemopoetic
..
Growth Factors (HGF). CSF yang merangsang
pertumbuhan granulocyte disebut granulocyte colony stimulating facror (G-CSF), sedangkan yang monosit dan
.
makrofag disebut Monocyte/Macrophage Colony Stimulating Factors (M-CSF). Zat-zat ini akan dibahas lebih lengkap di bagian berikutnya dari bab ini. Stroma yang terdiri atas fibroblas, monosit, makrofag,
3 cara
yaitu:
Memakai akhiran CSF seperti GM-CSF, G-CSF, M-CSF
dan sebagainya.
Memakai awalan
IL
(Interleukin=senyawa yang
diproduksi suatu sel yang dapat mempengaruhi sel darah lain) seperti IL-l, IL-2 dst. Memakai nama-nama khusus seperli Stem-cell-factor (SCF), eritropoetin, trombopoetin dan seterusnya.
Stimulasi dapat berarti dua arah yaitu positif bila betul menstimulasi atau negatif bila ia menghambat
endotel dan sebagainya itu disebut juga sebagai
proses.
lingkungan mikro hemopoetik (LMH). Jadi jaringan LMH ini seakan-akan merupakan tanah yang menghidupi selsel induk dan sel-sel bakal yang dianggap sebagai benih di persemaian. Kalau stroma atau LMH ini rusak atau defisien maka pertumbuhan sel-sel darah akan terganggu (hipoplastik sampai aplastik). Awalnya sel-sel bakal darah melekat pada LMH melalui suatu molekul adhesi yang
Senyawa-senyawa FPH mempunyai 3 sifat biologis, yaitu: Pleiotrofi artinya
satu FPH dapat menstimulasi beberapa
sel-sel bakal; misalnya: IL-3 dapat menstimulasi CFU-G maupun CFU-E dan CFU-Meg, meskipun dalam derajat yang berbeda (Multi-CSF)
diproduksi oleh stroma, kemudian melalui interaksi antar sel
matriks sel bakal dirangsang untuk berdifferensiasi dan
Redundansi artinya satu sel bakal dapat distimulasi oleh 2 FPH, misalnya:CtrU-E dapat distimulasi oleh IL-3 maupun oleh E-CSF (eritropoetin) meskipun dalam derajat yang
berfungsi seperti yang sudah direncanakan.
berbeda.
KOMPONEN (KOMPARTEMEN) FPH (FAKTOR PERTUMBUHAN HEMOPOETIK), DISEBUT JUGA
T[ansmodulasi reseptor artinya reseptor sel bakal A dapat pula berfungsi sebagai reseptor sel bakal B.
HGF (HEMOPOETTC GROWTH FACTORI
Hal ini mempunyai arti klinis yang penting, karena Batasan: FPH adalah senyawa-senyawa yang dapat menstimulasi proliferasi, diferensiasi dan aktifasi
dengan demikian berarti pengobatan dengan kombinasi FPH akanjauh lebih berhasil daripada dengan satu FPH
fungsional dari sel-sel bakal darah.
(tentu bila ada indikasi), namun biayanya tentu lebih mahal juga. Proses produksi selanjutnya dari sel-sel darah seperti eritrosit, granulosit, trombosit, limfosit (kompartemen I) tidak dibahas di bab ini. Proses ini
FPH diproduksi oleh stroma (kompartemen II). Normalnya FPH hanya didapatkan dalam kadar sedikit di dalam darah. Awalnya orang membuat FPH dari sel-sel stroma yang dibiakkan (teknologi pembiakan). Dengan
disebut juga sebagai eritropoesis, granulopoesis,
jumlah banyak dan dipasarkan di seluruh dunia oleh
trombopoesis, limfopoesis dan seterusnya yang dapat terjadi di sumsum tulang maupun di sistem hemopoetik perifer, namun perlu pembahasan khusus. Makin lama makin banyak FPH baru yang ditemukan dan
industri farmasi sebagai senyawa-senyawa FPH (HGF).
diproduksi.
majunya ilmu biologi molekular gen-gen pada kromosomkromosom yang menyandi FPH dapat ditentukan, lalu di klon dan dengan teknologi rekombinan dapat dibuat dalam
Jenis Sel
G-CSF GM-CSF FGF VWF H-CAM Selektin
Cadherin
LMH Fibroblast Endotil Adiposit Matriks Ekstra Selular (ECM)
+
++
+
+++
+++
++
+ +
+
+
+++
++
++
+++
++
+
+++
+++
+++
+
+++
1108
HEIVTANOI.OGI
Lokasi gen
FPH
----tL-2 -----
Menstimulasi FPH lain ; CFU-GEMM
lL-1
lL-3
Aktivitas/ sel sasaran
FPH sel-sel T
-----
CFU-GEMM;CFU-G
CFU-M ; CFU-E dan sebagainya
(multiCSF) lL-4
-----
Sel-B;CFU-GM 3.1
r\-s
-----
Eos
differentiating factor
NK cell
_ z_J-J. 5q----------t
;
Tc
Stimulasi dan aktivasi G dan M
a4aa
Stimulasi dan aktivasi G (Granulosit)
G-CSF Epo
Stimulasi dan aktivasi BFU-E dan CFU-E
SCF
Stimulasi dan aktlvasi SIP : CFU-GEMM
factor
)
Trombopoetin
-
(Stem cell
Trombopoesis
Gambar 2, Beberapa FPH, lokasi gen dan aktivitas/ sel sasaran
REFERENSI L. Hampson IN, Dexter TM. The biology of hemopoesis. Education Programme of The 26 r' Conggress of The ISH. Singapore: 25-29 August: t996. p 399. Koury MJ, Boudurant MC. Origin and development of blood cells. In: Lee GR. et al, editors. Wintrobe's clinical hematology Volume IA. Chapter 8, 10'i'edition. Phjladelhia: Lippincott Williams & Wilkins; 1999. p. 145. Mazzl Jl Hematopoesis In : Massa JJ, editor. Manual of clinical hematology. 2"d edition. Boston: Little, Brown; 1995. p. 1. Hampson
Mollineux G, Mazanet R Hemopoetic growth factors. In: Provan D, Gribben J, editors. Molecular hematology. Oxford, London: Blackwell Science; 2000. p. 198. Soebandiri. Hemopoetic growth factors Naskah Lengkap Konas VIII PHTDI, Surabaya 11-13 Oktober 1997 (Kuliah UMUM
It).
of hemopoetic cell production. In: Hoffbrand AV, Lewis SM, Tuddenham EGD, Editors. Post graduate hematology. 4'h edition. Oxford, Boston. Singapore: Butterworth Heinemann; 1999. p. l.
Testa NG, Dexter TM. The regulation
177 PENDEI(ATAN TERHADAP PASIEN ANEMIA I Made BaKa
PENDAHULUAN
ke arah penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan penyakit dasarjuga penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang mendasari memia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus anemia tersebut.
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik (chronic debility) yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi. serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering. anemia, terutama anemia ringan seringkali tidak rnendapat perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik.
Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang patogenesis dan patofisiologi anemia, serta ketrampilan dalam memilih, menganalisis serta
merangkum hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Tulisan ini bertujuan untuk membahas pendekatan praktis dalam diagnosis dan terapi anemia yang sering dihadapi oleh dokter umum ataupun spesialis penyakit
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam.
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan
oxygen carrlting capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (.red cell courtt). Tetapi yang paling
KRITERIAANEMIA
lazrm dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan
hematokrit. Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu di mana ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan massa eritrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan akut dan kehamilan. Permasalahan yang timbul adalah berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit paling rendah yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia. jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serla keadaan fisiologis tertentu seperti misalnya kehamilan. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease entity), tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying disease) . Oleh karena itu dalam diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting karena seringkali penyakit dasar tersebut tersembunyi, sehingga apabila hal ini dapat diungkap akan menuntun para klinisi
penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi
masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanyakehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Oleh karena itu perlu ditentukan titikpemilah (czt offpoint) di bawah kadar mana kita anggap terdapat anemia. Di Negara Barat kadar hemoglobin paling rendah untuk lakilaki adalah 14 gldl dan 12 g/dl pada perempuan dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain memberikan angka yang berbeda yait:u 12 g/dl (hematokrit3SEo) untuk perempuan dewasa, I I g/dl (hematokrit 367o) untuk perempuan hamil, dan 13 g/dl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut off point anemia untuk keperluan penelitian lapangan seperti
terlihat pada Tabel 1.
110
1110
HEMIffOIOGI
disebabkan oleh karena: 1). Gangguan pembentukan Kelompok
Kriteria Anemia (Hb)
dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis). Garnbaran lebih
< 13 g/dl < 12 gldl < 1 1gldl
Laki-laki dewasa Wanita dewasa tidak hamil Wanita hamil
eritrosit oleh sumsum tulang; 2). Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan); 3). Proses penghancuran eritrosit
rinci tentang etiologi anemia dapat dilihat pada Thbel 3.
Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan negara berkembang lainnya,
Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit Anemia defisiensi besi Anemia defisiensi asam folat Anemia defisiensi vitamin 812 Gangguan penggunaan (utilisasi) besi Anemia akibat penyakit kronik Anemia sideroblastik Kerusakan sumsum tulang Anemia aplastik Anemia mieloptisik Anemia pada keganasan hematologi Anemia diseritropoietik Anemia pada sindrom mielodisplastik Anemia akibat kekurangan eritropoietin: anemia pada gagal ginjal kronik Anemia akibat hemoragi Anemia pasca perdarahan akut Anemia akibat perdarahan kronik
kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau
1
dirawat di rumah sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemialebih lanjut. Oleh karena itu beberapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai kriteria
2. 3
hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari workup anemia, atau di India dipakai angka 10-1 1 g/dl.
PREVALENSIANEMIA Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik di klinik maupun di lapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik. De Maeyer memberikan gambaran prevalensi anemia di dunia untuk tahun 1985 seperti terlihat pada Tabel 2.
a b c
a. b
a. b. c. d. e.
1 2
Anemia hemolitik
1.
Anemiahemolitikintrakorpuskular
a. b.
Gangguan membran eritrosit (membranopati) Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati) Thalassemia Hemogloblnopati struktural: HbS, HbE, dll Anemia hemolitikekstrakorpuskuler a, Anemia hemolitik autoimun b, Anemia hemolitik mikroangiopatik Lain-lain
c
Anak Anak 0-4th 5-12 th Negara maju 12% 7% Negara 51% 46% berkembang Dunia 43% 37%
Laki dewasa
3% 26% 18yo
Wanita 1 5-49 th
14% 59% 51yo
2. Wanita hamil 11% 47% 350/"
Untuk Indonesia, Husaini dkk memberikan gambaran prevalensi anemia pada tahun 1989 sebagai berikut: Anak prasekolah :30-40Vo Anak usia sekolah :25 -357o Perempuan dewasa tidak h amll : 30 - 40Vo
Perempuanhamil Laki-laki dewasa
50-1O7o :20-30Vo :
Pekeria berpenghasilan rendah : 30 - 40Vo
-
c.
D.
Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan: 1). Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg;2). Anemia normokromik normosirer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg;3). Anemiamakrositer, bilaMCV > 95 fl. Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan
Berbagai survei yang telah pernah dilakukan di Bali memberikan angka-angka yang tidakjauh berbeda dengan angka di atas.
(Tabel 4) akan sangat menolong dalam mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi
ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI ANEMIA
PATOFISIOLOGI DAN GEJALA ANEMIA
Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan
Gejala umum anemia (sindrom anemia atav anemic syndrome) adalah gejala yang timbul pada setiap kasus
oleh bermacam penyebab. Pada dasarnya anemia
anemla.
1111
PENDEKATAN TERHADAP PASIEN ANEMIA
Anemia hipokromik mikrositer Anemia defisiensi besi Thalassemia major Anemia akibat penyakit kronik Anemia sideroblastik Anemia normokromik normositer Anemia pasca perdarahan akut Anemia aplastik Anemia hemolitik didapat Anemia akibat penyakit kronik Anemia pada gagal ginjal kronik Anemia pada sindrom mielodisplastik S. Anemia pada keganasan hematologik Anemia makrositer
a. b. c. d.
a. b. c. d. e. f. a.
Bentukmegaloblastik
b.
Anemia defisiensi asam folat Anemia defisiensi B12, termasuk anemia perntstosa Bentuk non-megaloblastik Anemia pada penyakit hati kronik Anemia pada hipotiroidisme Anemia pada sindrom mielodisplastik
1.
.
Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan
.
Anemia
hepatomegali
3. Gejala
aplastik:
dan tanda-tanda infeksi
penyakit dasar. Gejala yang timbul akibat penyakit
dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut- Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang: sakit perug pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh kalena artritis reumatoid. Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fi sik sangat penting pada kasus anemia untuk mengarahkan
diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis
2.
anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.
1. 2. 3.
PEMERIKSAAN UNTUK DIAGNOSIS ANEMIA
Pemeriksaan Laboratorium anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun di bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini
Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang
timbul karena: 1). Anoksia organ; 2). Mekanisme
diagnostik pokok dalam diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari: 1). Pemeriksaan penyaring (screening test):
kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut
2). Pemeriksaan darah seri anemia;3). Pemeriksaan sumsum
oksigen.
tulang; 4). Pemeriksaan khusus.
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar hemoglobin telah turun di bawah 7 g/dl. Berat
ringannya gejala umum anemia tergantung pada: a). Derajat penurunan hemoglobin; b). Kecepatan penurunan hemoglobin; c). Usia; d). Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya. Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yartu: 1. Gejala umum anemia. Gejala umum anemia, disebutjuga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ
target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunal kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<7 g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah,
lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia bersifat
tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7gldl).
Gejala khas masing-masing anemia. Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh: 2.
. .
Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok (koilonychia). Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12
Pemeriksaan Penyaring Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis morfologik anemia tersebu! yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.
Pemeriksaan Darah Seri Anemia Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit dan laju endap darah. Sekarang
sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.
Pemeriksaan Sumsum Tulang Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang muflak
diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik, serta pada kelainan hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid.
Pemeriksaan Khusus Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada: . Anemia defisiensi besi: serum iron.TIBC (total iron
lt12 binding capacity), saturasi transferin, protoporfirin
eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan
. . .
HEMAIIOI.OGI
dan kemungkinan penyebabnya. Hasil ini dapat diperkuat dengan pendekatan probabilistik (pendekatan berdasarkan
pengecatan besi pada sumsum triang (Perl's stain). Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B 12 serum, tes supresi deoksiuridin dan tes Schiling.
pola etiologi anemia), yang bersandar pada data
Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb,
Pendekatan Probablistik atau Pendekatan Berdasarkan Pola Etiologi Anemia
elektroforesis hemoglobin dan lain-lain. Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang.
Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti misalnya pemeriksaan faal hati, faal ginjal atau faal
epidemiologi yaitu pola etiologi anemia di suatu daerah.
Secara umum jenis anemia yang paling sering dijumpai di dunia adalah anemia defisiensi besi, anemia akibat penyakit
tiroid.
kronik dan thalassemia. Pola etiologi anemia pada orang dewasa pada suatu daerah perlu diperhatikan dalam
PENDEKATAN DIAGNOSIS
membuat diagnosis. Di daerah tropis anemia defisiensi besi merupakan penyebab tersering disusul oleh anemia akibat penyakit kronik dan thalassemia. Pada perempuan hamil
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease entity), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak cukup hanya sampai pada diagnosis anemia, tetapi sedapat mungkin kita harus dapat menentukan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Maka tahap-tahap dalam diagnosis anemia adalah: . Menentukan adanya anemia . Menentukan jenis anemia . Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia . Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi hasil pengobatan
Pendekatan Diagnosis Anemia Terdapat bermacam-macam cara pendekatan diagnosis
anemia karena defisiensi folat perlu juga mendapat perhatian. Pada daerah terlentu anemia akibat malaria masih
cukup sering dijumpai. Pada anak-anak tampaknya thalasemia lebih memerlukan perhatian dibandingkan dengan anemia akibat penyakit kronik. Sedangkan di Bali, mungkin juga di Indonesia, anemia aplastik merupakan salah satu anemia yang sering dijumpai. Jika kita menjumpai
anemia di suatu daerah, maka penyebab yang dominan di daerah tersebutlah yang menjadi perhatian kita perlamatama. Dengan penggabungan bersama gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium sederhana, maka usaha diagnosis selanjutnya akan lebih terarah.
Pendekatan Klinis Dalam pendekatan klinis yang menjadi perhatian adalah: 1). Kecepatan timbulnya penyakit (arvitan anemia), 2). Berat ringannya derajat anemia. 3). Gejala yang menonjol.
anemia, altara lain adalah pendekatan tradisional, pendekatan morfologi, fungsional dan probabilistik, serta pendekatan klinis.
Pendekatan Tradisional, Morfologik, Fungsional dan Probabilistik Pendekatan tradisional adalah pembuatan diagnosis
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil laboratorium, setelah dianalisis dan sintesis maka disimpulkan sebagai sebuah diagnosis, baik diagnosis tentatif ataupun diagnosis definitif. Pendekatan lain adalah pendekatan modologi, fisiologi
dan probabilistik. Dari aspek morfologi maka anemia berdasarkan hapusan darah tepi atau indeks eritrosit diklasifikasikan menj adi anemia hipokromik mikrositer, anemia normokromik normositer dan anemia makrositer. Pendekatan fungsional bersandar pada fenomena apakah anemia disebabkan karena penumnan produksi eritrosit di sumsum tulang, yang bisa dilihat dari penurunan angka retikulosit, ataukah akibat kehilangan darah atau hemolisis, yang ditandai oleh peningkatan angka retikulosit. Dari kedua pendekatan ini kita dapat menduga jenis anemia
Pendekatan Berdasarkan Awitan Penyakit Berdasarkan awitan anemia, kita dapat menduga jenis anemia tersebut. Anemia yang timbul cepat (dalam beberapa hari sampai minggu) biasanya disebabkan oleh: l). Perdarahan akut, 2). Anemia hemolitik yang didapat seperti halnya pada AIHA terjadi penurunan Hb >1 g/dl per minggu. Anemia hemolitik intravaskular juga sering
terjadi dengan cepat. seperti misalnya akibat salah transfusi, atau episode hemolisis pada anemia akibat defisiensi G6PD, 3). Anemia yang timbul akibat leukemia akut, 4). Krisis aplastik pada anemia hemolitik kronik. Anemia yang timbul pelan-pelan biasanya disebabkan oleh: 1). Anemia defisiensi besi; 2). Anemia defisiensi folat atau vitamin Bl2;3). Anemia akibat penyakit kronik; 4). Anemia hemolitik kronik yang bersifat kongenital.
Pendekatan Berdasarkan Beratnya Anemia Derajat anemia dapat dipakai sebagai petunjuk ke arah etiologi. Anemia berat biasanya disebabkan oleh: 1). Anemia defisiensi besi; 2). Anemia aplastik; 3). Anemia pada leukemia akut; 4). Anemia hemolitik didapat atau
1113
PENDEKATAN TER}IADAP PASIEN ANEMIA
kongenital seperti misalnya pada thalasemia major;
PENDEKATAN TERAPI
5). Anemia pasca perdarahan akut; 6). Anemia pada GGK
stadium terminal. Jenis anemia yang lebih sering bersifat ringan sampai sedang, j arang sampai deraj at berat ialah: I ).Anemia akibat
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien anemia ialah: 1). Pengobatan hendaknya
penyakit kronik; 2). Anemia pada penyakit sistemik;
ditegakkan terlebih dahulu; 2). Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan; 3). Pengobatan anemia dapat berupa: a). Terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahan akut akibat anemia aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia
3). Thalasemia
Trait.
Jika pada ketiga anemia tersebut di atas dijumpai anemia berat, maka harus dipikirkan diagnosis lain, atau adanya penyebab lain yang dapat memperberat derajat anemia tersebut.
Pendekatan Berdasarkan Sifat Gejala Anemia Sifat-sifat gejala anemia dapat dipakai untuk membantu diagnosis. Gejala anemia lebih menonjol dibandingkan gejala penyakit dasar dijumpai pada: anemia defisiensi besi,
anemia aplastik, anemia hemolitik. Sedangkan pada anemia akibat penyakit kronik dan anemia sekunder Iainnl,a (anemia akibat penyakit sistemik, penyakit hati atau ginjal),
diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah
pasca perdarahan akut yang disertai gangguan hemodinamik. b), Terapi suportif, c). Terapi yang khas untuk masing-masing anemia, d). Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut; 4). Dalam keadaan di mana diagnosis definitif trdak dapat ditegakkan, kita terpaksa memberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus). Di sini harus dilakukan pemantauan yarrg ketat terhadap respon terapi dan perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan
gejala-gejala penyakit dasar sering lebih menonjol.
Pendekatan Diagnostik Berdasarkan
Hapusan darah tepi dan indeks eritrosit (MCV, N4CH, MCHC)
Tuntunan Hasil Laboratorium Pendekatan diagnosis dengan cara gabungan hasil penilaian klinis dan iaboratorik merupakan cara 1,ang ideal tetapi memerlukan fasilitas dan ketrampilan klinrs vang
Anemia normokromik normositer
Di bawah ini diajukan algoritma pendekatan diagnostik anemia berdasarkan hasil pemeriksaan cukup.
laboratorium (Gambar
1
s.d. Gambar 4)
I
ANEMI A H IPOKROMIK MIKROSITER
TIBC lJ Feritin N/l Ring sideroblast
dalam sumsum tulang
Gambar 2. Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik mikrositer
ttr4
HEMAIIOI.OGI
Enzimopati Membranopati Hemoglobinopati
Gambar 3. Algoritme diagnosis anemia normokromik normositer
B1 2 serum
rendah
Anemia defisiensi Bl asam folat dalam terapi Anemia pada
hipotiroidisme Anemia pada
hipotiroidisme
Gambar 4. Algoritme pendekatan diagnostik anemia makrositer
1115
PENDEK/IiIAN TERI{ADAP PASIEN AI\EMIA
evaluasi terus menerus tentang kemungkinan perubahan
Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U,
diagnosis; 5). Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda gangguan
Williams WJ. Approach to the patient. In: Beutler E, Coller BS,
hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jika anemia bersifat simtomatik atau adanya ancaman payah jantung. Di sini diberikan packed red cell, jangan whole blood. Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena itu transfusi diberikan dengan tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretika kerja cepat seperti furosemid sebelum transfusi.
Lichtman MA, Kipps TJ, editors. Williams hematology. 6th edition New York: McGraw Hill p 3-8. Beutler E. The common anemias. JANIA i990;259:2433-7. Boediwarsono, Adi P, Soebandiri. Diagnosis dan pengobatan anemia Surabaya: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR-RSUD Dr Sutomo; 1988.
Med Books; 1983 Conrad ME. Anemia eMedicine Journal 2002;3(2):l-25. Evatt BL. Fundarnental diagnostic hematology: anemia Atlanta & Geneva: US Department of Health and Human Services & WHO, Cawley JC. Haematology London: W. Heineman
r992. DeMaeyer
EM Preventing and controlling deficiency anemia through primary health care. Geneva: WHO; 1989 Djubelgovic B, Hadley T & Pasic RA New algorithm for diagnosis
KES!MPULAN Anemia merupakan kelainan yang sering dijumpai. Untuk penelitian lapangan umumnya dipakai kriteria anemia menurut WHO, sedangkan untuk keperluan klinis dipakai kriteria Hb < 1 0 g/dl atau hematokrrt < 30Vo. Anemia dapat diklasifikasikan menurut etioparogenesisnya ataupun berdasarkan morfologi eritrosit. Gabungan kedua klasifi kasi ini sangat bermanfaat untuk diagnosis. Dalam pemeriksaan anemia diperlukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorik yang terdiri dari: pemeriksaan penyaring, pemeriksaan seri anemia, pemeriksaan sumsum tulang: pemeriksaan khusus. Pendekatan diagnosis anemia dapat dilakukan secara klinis, tetapi yang lebih baik ialah dengan gabungan pendekatan klinis dan laboratorik. Pengobatan anemia seyogyanya dilakukan atas indikasi yang jelas. Terapi dapat diberikan dalam bentuk terapi darurar. terapi suportif, terapi yang khas untuk masing-masing anemia dan terapi kausal.
REFERENSI
Bakta IM. Hematologi ringkas. Denpasar: UPT
Penerbit
Universitas Udayana, 2001.
Bakta IM Segi-segi praktis pengelolaan anemia. Buletin Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah lndonesia
(PHTDI) 1999;1(2):67-88 Bakta IM, Lila IN, Widjana DP, Sutisna P. Anemia dan anemia defisiensi besi di Desa Belumbang, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan Bali. Naskah lengkap KOPAPDI VIII. Yogyakarta: KOPAPDI VIII; 1990. Bakta IM. Anemia kekurangan besi pada usia lanjut. Majalah Kedokteran Indonesia. 1989;39:504-6. Bakta IM, Sutjana DP & Andewi JP. Prevalensi anemia dan infeksi cacing tambang di Desa Pejaten Bali. Naskah lengkap kongres nasional MHTDI. Yogyakarta: PHTDI; 1983 Bakta IM, Soenarto, Sutanegara D. Penelitian anemia di pedesaan (suatu survei di Desa Kedisan Bali). Naskah lengkap KOPAPDI Semarang: KOPAPDI; 1981.
of anemia
Postgraduate
Medicine 1989;85:119-30.
Djulbegovic B. Reasoning and decision rnaking in hematology. New York: Churchrl Livingstone; 1992 Fairbanks VF The anemias. ln: Mazz,a JJ, editor Manual of clinical hematology 2"d editiolr. Boston: Litte Brown; 1995" p. 11-69. Glader B. Anemia: general considerations. In: Greer GM, Paraskevas
F, Glader B, editors. Wintrobe's clinical hematology 11'h edition. Philadelphia: Lippincot, Williams; 2004. p. 941-1009. Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH Essential hematology. 4'h edition. Oxford: Blackwell Science: 2001. Husaini M, Husaini YK, Siagian UL & Suhamo D. Anemia gizi: suatu
studi kompilasi informasi dalam menunjang kebijaksanaan program Bogor: Puslitbang Gizi; 1989 lsbisrer HP, Pittglio DH Clinical hematology: a problem-oriented approach. Baltimore: William & Wilkin; 1988. Kellermeyer RW, General principles of the evaluation and therapy of anemlas Med Clin N Am. 1984:66:533-43. Linker CA. Blood. In: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA, editors. Current medical diagnosis & treatment. 36'h edition. Stanford: Appleton & Lange; 1997. p.463-518. Longo DL. Oncology and hematology. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison's Principle of Internal Medicine. 15'h edition New York: McGraw Hill; 2001. p. 491-762. Mehta BC. Approach to patient with anemia. Indian J Med Sci. 2004:58:26-9 Schnall SF, Berliner N, Duffy TP, Benz EJ. Approach to the adult and child with anemia. In: Hoffman R, Benz EJ, Shttil SJ, Furie B, Cohen HJ, Silberstein LE, McGlove P, editors. Hematology: Basic Principles and Practice. 3'd edition. New York: Churchill Livingstone; 2000. p. 361 -82. Shah A. Anemia Indian J Med Sci 2004: b58:24-5. Weatherall DJ & Wasi P Anemia. In: Warren KS & Wasi P, editors. Tropical and geographial medicine New York: McGraw-Hill
Book:1985. WHO Technical Reporl Series No. 405. Nutritional Anemia. Geneva:
WHO; 1968.
178 ANEMIA APLASTIK Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder
PENDAHULUAN
EPIDEMIOLOGI
Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoiesis yang relatif jarang ditemukan namun berpotensi mengancam jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia sumsum tulang dan pertama kali dilaporkan tahun 1888
Insidensi anemia aplastik didapat bervariasi di seluruh dunia dan berkisar antara 2 sampai 6 kasus per 1 juta
oleh Ehrlich pada seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah menderita penyakit dengan
gejala anemia berat, perdarahan, dan hiperpireksia. Pemeriksaan postmortem terhadap pasien tersebut
penduduk per tahun dengan variasi geografis. Penelitian The International Aplastic Anemia and Agranulolytosis Study diawal tahun 1980-an menemukan frekuensi di Eropa dan Israel sebanyak 2 kasus per I juta penduduk. Penelitian di Perancis menemukan angka insidensi sebesar 1,5 kasus
per 1 juta penduduk per tahun. Di Cina, insidensi
menunjukkan sumsum tulang yang hiposelular (tidak aktif). Pada tahun 1904, Chauffard pertama kali menggunakan nama anemia aplastik. Puluhan tahun
dilaporkan 0,74 kasus per 100.000 penduduk per tahun dan di Bangkok 3,7 kasus per I juta penduduk per tahun. Ternyata penyakit ini lebih banyak ditemukan di belahan
berikutnya definisi anemia aplastik masih belum berubah dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakan pendapat
Timur dunia daripada di belahan Barat. Anemia aplastik didapat umumnya muncul pada usia 15 sampai 25 tahun; puncak insidens kedua yang lebih kecil muncul setelah usia 60 tahun. Umur dan jenis kelamin pun bervariasi secara geografis. Di Amerika Serikat dan Eropa umur sebagian besar pasien berkisar antara 15-24 tahun. Cina melaporkan sebagian besar kasus anemia aplastik pada perempuan berumur di atas 50 tahun dan pria di atas 60 tahun. Di Perancis, pada pria ditemukan dua puncak yaitu antara umur 15-30 dan setelah umur 60 tahun, sedangkan pada perempuan kebanyakan berumur di atas
bahwa tanda khas penyakit ini adalah pansitopenia sesuai konsep Ehrlich. Pada tahun 1959, Wintrobe membatasi pemakaian nama anemia aplastik pada kasus
pansitopenia, hipoplasia berat atau aplasia susmsum tulang, tanpa ada suatu penyakit primer yang menginfiltrasi, mengganti atau menekan jaringan hemopoietik sumsum tulang.
Selain istilah anemia aplastik yang paling sering digunakan, masih ada istilah-istilah lain seperti anemia hipoplastik, anernia refrakter, hipositemia progresif,
60 tahun. Perjalanan penyakit padapriajuga lebih berat daripada perempuan. Perbedaan umur dan jenis kelamin mungkin disebabkan oleh risiko pekerjaan, sedangkan perbedaan geografis mungkin disebabkan oleh pengaruh lingkungan.
anemia aregeneratif, aleukia hemoragika, panmieloftisis dan anemia paralitik toksik.
Anemia aplastik dapat diwariskan atau didapat. Perbedaan antara keduanya bukan pada usia pasien. melainkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium. Oleh karena itu, pasien dewasa mungkin
membawa kelainan herediter yang muncul di usia dewasa. Dalam bab ini yang dibahas terutama adalah anemia aplastik didapat sedangkan sedikit penjelasan mengenai anemia aplastik herediter diberikan di akhir
KLASIFIKASI Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik didapat diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat, atau sangat berat (Tabet 1). Risiko morbiditas dan mortalitas
bab.
1116
LttT
ANEMIAAPI.ASTIK
Klasifikasi
Kriteria
Anemia aplastik berat Selularitas sumsum tulang Sitopenia sedikitnya dua dari tiga seri sel darah
. . .
Anemia aplastik sangat berat
Sama seperti di atas kecuali hitung neutrofil < 200/pL
Anemia aplastik tidak berat
Sumsum tulang hiposelular namun sitopenia tidak memenuhi kriteria berat
. .
< 250k Hitung neutrofil < 500/pL Hitung trombosit < 20.000/pL Hitung retikulosit absolut < 60 000/pL
lebih berkorelasi dengan derajat keparahan sitopenia
dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mileran atau nitrosourea. Bahan kimia terkenal yang dapat menyebabkan anemia aplastik ialah senyawa benzena. Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia aplastik sementara atau permanen, misalnya virus Epstein-
Barr, influenza A, dengue, tuberkulosis (milier). Sitomegalovirus dapat menekan produksi sel sumsum tulang, melalui gangguan pada sel-sel stroma sumsum tulang. Infeksi oleh human im.munodeficiency virus (HIY) yang berkembang menjadr acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dapat menimbulkan pansitopenia. Infeksi pada pasien dengan defisensi imun
kronik olehparvovirus
juga dapat menimbulkan pansitopenia. Akhir-akhir ini, sindrom anemia aplastik dikaitkan dengan hepatitis
pasien anemia aplastik berat atau sangat berat mencapai
walaupun merupakan kasus yang jarang. Meskipun telah banyak studi dilakukan, virus yang pasti belum diketahui, namun diduga virus hepatitis non-A, non-B, dan non-C.
807o; infeksi jamur dan sepsis bakterial merupakan penyebab kematian utama. Anemia aplastik tidak berat
Pada kehamilan, kadang-kadang ditemukan pansitopenia disertai aplasia sumsum tulang yang
jarang mengancam jiwa dan sebagian besar tidak
berlangsung sementara. Hal ini mungkin disebabkan oleh
membutuhkan terapi.
estrogen pada seseorang dengan predisposisi genetik, adanya zat penghambat dalam darah atau lidak ada
ketimbang selularitas sumsum tulang. Angka kematian setelah dua tahun dengan perawatan suportif saja untuk
perangsang hematopoiesis. Anemia aplastik sering sembuh
PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS
setelah terminasi kehamilan, dapat terjadi lagi pada
Dahulu, aremia aplastik dihubungkan erat dengan paparan
kehamilan berikutnya. Namun, sekarang diyakini ada penjelasan patohsiologis anemia aplastik yang masuk akal, yang disimpulkan dari
terhadap bahan-bahan kimia dan obat-obatan. Anemia aplastik dianggap disebabkan paparan terhadap bahanbahan toksik seperti radiasi, kemoterapi, obat-obatan atau senyawa kimia tertentu. Penyebab lain meliputi kehamilan, hepatitis viral, dan fasciitis eosinofilik. Jika pada seorang pasien tidak diketahui faktor penyebabnya, maka pasien digolongkan anemia aplastik idiopatik. Sebagian besar kasus anemia aplastik bersifat idiopatik. Beberapa etiologi anemia aplastik tercantum dalam Tabel 2.
Anemia aplastik terkait obat terjadi karena hipersensitivitas atau dosis obat yang berlebihan. Obat yang banyak menyebabkan anemia aplastik adalah
kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering
Toksisitas langsung
. . .
latrogenik
. .
Radiasi
Kemoterapi Benzena Metabolit intermediate beberapa jenis obat
Penyebab yang diperantarai imun latrogenik: transfusion-ass ociated graft-versus-host disease Fasciitis eosinofilik Penyakit terkait hepatitis Kehamilan Metabolit intermediate beberapa jenis obat Anemia aplastik idiopatik
. . . . . .
berbagai observasi klinis hasil terapi dan eksperimen laboratorium yang sistematik. Di akhir tahun 1960-an, Mathd et al memtnculkan teori baru berdasarkan kelainan autoimun setelah melakukan transplantasi sumsum tulang kepada pasien anemia aplastik. Keberhasilan transplantasi
sumsum tulang untuk menyembuhkan anemia aplastik memperlihatkan adanya kondisi defisiensi sel asal (s/ert cell). Adanyareaksi autoimunitas pada anemia aplastik juga dibuktikan oleh percobaan in vitro yang memperlihatkan bahwa limfosit dapat menghambat pembentukan koloni hemopoietik alogenik dan autologus. Setelah itu, diketahui bahwa limfosit T sitotoksik memerantarai destruksi sel-sel asal hemopoietik pada kelainan ini. Sel-sel T efektor tampak lebihjelas di sumsum tulang dibandingkan dengan darah tepi pasien anemia aplastik. Sel-sel tersebut menghasilkan
interferon-y dan TNF-cr yang merupakan inhibitor langsung hemopoiesis dan meningkatkan ekspresi Fas pada sel-sel CD34*. Klon sel-sel T imortal yang positif CD4 dan CDS dari pasien anemia aplastik juga mensekresi sitokin T-helper-l yang bersifat toksik langsung ke selsel CD34 positif autologus. Sebagian besar anemia aplastik didapat secara patofisiologis ditandai oleh destruksi spesifik yang diperantarai sel T ini. Pada seorang pasien, kelainan respons imun tersebut kadang-kadang dapat dikaitkan dengan infeksi virus atau pajanan obat tertentu atalu zat
1118
HEMAIOLOGI
kimia terlentu. Sangat sedikit bukti adanya mekanisme lain, seperti toksisitas langsung pada sel-sel asal atau defisiensi fungsi faktor perlumbuhan hematopoietik. Lagipula, derajat
destruksi sel asal dapat menjelaskan variasi perjalanan klinis secara kuantitatif dan variasi kualitatif respons imun
Destruksi lmun Banyak data laboratorium yang menyokong hipotesis bahwa pada pasien anemia aplastik didapat, limfosit bertanggung jawab atas destruksi kompartemen sel hematopoietik. Eksperimen awal memperlihatkan bahwa
dapat menerangkan respons terhadap terapi imunosupresif.
limfosit pasien menekan hematopoiesis. Sel-sel ini
Respons terhadap terapi imunosupresif menunjukkan adanya mekanisme imun yang bertanggung jawab atas kegagalan hematopoietik.
memproduksi faktor penghambat yang akhirnya diketahui adalah inter-feron-y. Adanya aktivasi respons selT helperI (Thr) disimpulkan dari sifat imunofenotipik sel-sel T dan produksi interferon, tumor necrosis factor, dan interleukin2 yang berlebihan. Deteksi interferon-Y intraselular pada sampel pasien secara;flow c)ttometr\, mungkin berkorelasi
Kegagalan Hematopoietik Kegagalan produksi sel darah bertanggung jawab atas kosongnya sumsum tuang yang tampak jelas pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau spesimen core biopsy sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan
magnetic resonance imagin.g vertebra memperlihatkan digantinya sumsum tulang oleh jaringan lemak yang merata. Secara kuantitatif, set-sel hematopoietik yang imatur dapat
dihitung dengan flow cytomelry. Sel-sel tersebut
mengekspresikan protein c.ytoadhesive, yang disebut CD34. Padapemeriksaan.flow- cytometD,, antigen sel CD34 dideteksi secara fluoresens satu persatu, sehinggajumlah sel-sel CD34* dapat dihitung dengan tepat. Pada anemia aplastik, sel-sel CD34* juga hampir tidak ada yang berarti bahwa sel-sel induk pembentuk koloni eritroid, myeloid, dan megakaryositik sangat kurang jumlahnya. Assa-v lain untuk sel-sel hematopoietik yang sangat primitif dan "tenang" (quiescent), yang sangat mirip jika tidak dapat dikatakan identik dengan sel-sel asal, juga memperlihatkan penurunan. Pasien yang mengalami panstopenia mungkin telah mengalami penunrnan populasi sel asal dan sel induk sampai sekitar 77o atau kurang. Defisiensi berat tersebut mempunyai konsekuensi kualitatif, yang dicerminkan oleh pemendekan telomer granulosit pada pasien anemia aplastik.
L.mpositT sitotoksit
__ Resepto,4 "'-f'IFN-8
-
lnterleukin-2
\-/\--
rrrrr
dengan respons terapi imunosupresif dan dapat memprediksi relaps. Pada anemia aplastik, sel-sel CD34* dan sel-sel induk (progenitor) hemopoietik sangat sedikitjumlahnya. Namun,
meskipun defisiensi myeloid (granulositik, eritroid, dan megakariositik) bersifat universal pada kelainan ini, defisiensi imunologik tidak lazim terjadi. Hitung limfosit umumnya nornal pada hampir semua kasus, demikian pula fungsi sel B dan sel T. Lagipula, pemulihan hemopoiesis yang normal dapat terjadi dengan terapi imunosupresif yang efektif. Jadi, sel-sel asal hemopoietik tampaknl'a masih ada pada sebagian besar pasien anettiia aplastik.
Perubahan imunitas menyebabkan destruksi, khususnya kematian sel CD34 yang diperantarai ligan Fas.
dan aktivasi alur intraselular yang menyebabkan penghentian siklus sel (cell-cycle arrest). Sel-sel T dari pasien membunuh sel-sel asal hemopoietik dengan e r') yang HLA-DR- r e s t r i c t e d mel alui li gan Fas. Sel-sel asal hemopoietik yang paling primitif tidak
peri I aku (mann
atau sedikit mengekspresikan HLA-DR atau FAS, dan ekspresi keduanya meningkat sesuai pematangan sel-se1 asal. Jadi, sel-sel asal hemopoietik primitif, yang normalnya berjumlah kurang dari 107o sel-sel CD34* total, relatif tidak terganggu oleh sel-sel T autoreaktif; di lain pihak, sel-sel
,-.,
Set Set
hematopotettk
/
I
*"t"0,o, i
n"l""pro, IFN.E Ekspansi k on
sel-se T
l Gambar 1. Destruksi imun pada sel hematopoietik (Modifikasi dari Young, 1997)
rt19
AhIEMIAAPI.ASITIK
asal hemopoietik yang lebih matur dapat menjadi target utama serangan sel-sel imun. Sel-sel asal hemopoietik
perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah
primitif yang selamat dari serangan autoimun
ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan
memungkinkan pemulihan hemopoietik perlahan-lahan yang terjadi pada pasien anemia aplastik setelah terapi imunosupresif.
Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan
pasien. Hematomegali, yang sebabnya bermacam-macam,
splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. diagnosis.
MAN!FESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS Jenis Pemeriksaan Fisis
Anemia aplastik mungkin muncul mendadak (dalam beberapa hari) atau perlahanJahan (berminggu-minggu atau
Pucat
100
berbulan-bulan). Hitung jenis darah menentukan
Perdarahan Kulit Gusi Retina Hidung Saluran cerna Vagina
63 34 26 20
Demam Hepatomegali Splenomegali
16
manifestasi klinis. Anemia menyebabkan fatig, dispnea dan
jantung berdebar-debar. Trombositopenia menyebabkan mudah memar dan perdarahan mukosa. Neutropenia meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Pasien juga mungkin mengeluh sakit kepala dan demam. Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis leukosit, hitung retikulosit, dan aspirasi serla biopsi sumsum tulan g.PemeiksaanJlow cytometry darah tepi dapat menyingkirkan hemoglobinuria nokturnal paroksismal, dan karyoQping sumsum
tulang dapat membantu menyingkirkan sindrom myelodisplastik. Pasien berusia kurang dari 40 tahun perlu diskrining untuk anemia Fanconi dengan memakai obat
klastogenik diepoksibutan atau mitomisin. Riwayat keluarga sitopenia meningkatkan kecurigaan adanya
'. . . . .
7 6 J
7 0
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Tepi
kelainan diwariskan walaupun tidak ada kelainan fisik yang
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenis anemia adalah normokrom normositer.
tampak.
Kadang-kadang, ditemukan pula makrositosis,
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin. Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel 3). Pada Thbel 3 terlihat bahwa perdarahan, badan lemah, dan pusing merupakan keluhan yang paling sering ditemukan.
anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau
leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif terdapat pada leblh kasus.
dai
15Vo
Jenis keluhan Perdarahan Badan lemah Pusing
Jantung berdebar Demam
Nafsu makan berkurang Pucat Sesak napas Penglihatan kabur Telinga berdengung
B3
30 69 36 33 29 26 23 19
't3
PEMERIKSAAN FISIS Hasil pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada Thbel 4 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan
Gambar 2. Sumsum tulang normal (Kiri) dan aplastik (Kanan). (Diambil dari www ashimagebank.org)
tt20 Persentase retikulosit umumnya normal atau rendah.
retikulosit ditemukan lebih dari 27o. Akattetapi, bila nilai ini dikoreksi terhadap beratnya anemia (coruected reticulocyte count) maka diperoleh persentase retikulosit normal atau rendah juga. Adanya retikulositosis setelah dikoreksi menandakan
HEMATOLOGI
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Pada sebagian kecil kasus, persentase
bukan anemia aplastik.
Laju Endap Darah Laju endap darah selalu meningkat. Penulis menemukan bahwa 62 dari 70 kasus (89%) mempunyai laju endap darah lebih dari 100 mm dalam jam pertarna.
Faal Hemostasis Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh trombositopenia. Faal hemostasis lainnya normal.
Nuclear Magnetic Resonance lmaging Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui
luasnya perlemakan karena dapat membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum tulang berlemak dan sumsum
tulang berselular.
Radionuclide Bone Marrow lmaging (Bone Marrow Scanning) Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh setelah disuntik dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang akan terikat pada makrofag sumsum tulang alau iodium chloride yang akan terikat pada transferin. Dengan bantuan scar sumsum tulang dapat ditentukan daerah hemopoeisis aktif untuk memperoleh sel-sel guna pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel-sel
induk.
Sumsum Tulang Karena adanya sarang-sarang hemopoiesis hiperaktif
yang mungkin teraspirasi, maka sering diperlukan
DIAGNOSIS BANDING
aspirasi beberapa kali. Diharuskan melakukan biopsi sumsum tulang pada setiap kasus tersangka anemia
Adanya sumsum tulang berlemak pada biopsi
aplastik. Hasil pemeriksaan sumsum tulang sesuai kriteria diagnosis.
menunjukkan aplasia; namun hiposelularitas sumsum dapat terjadi pada penyakit hematologi lainnya. Uji diagnostik yang baru telah mempengaruhi diagnosis
Virus
banding dan pemahaman kita tentang kegagalan sumsum tulang (Gambar 3). Perbedaan antara anemia aplastik
Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus Hepatitis, HIY parvovirus, dan sitomegalovirus.
didapat dan herediter telah dipertajam dengan assal spesifik untuk kelainan kromosomal dan zat kimia tertentu
yang menandai anemia Fanconi. Meskipun biasanya
Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa Tes
ini diperlukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai
penyebab.
muncul pada anak-anak, anemia Fanconi dapat didiagnosis pada saat dewasa, walaupun tanpa kelainan skeletal atau
urogenital.
Sumsum tulang hiposelular dibutuhkan untuk
Kromosom Pada anemia aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan kromosom. Pemeriksaan sitogenetik dengan fluore sc ence in situ hybridization (FISH) dan imunofenotipik dengan
flow cytometry diperlukan untuk menyingkirkan
diagnosis banding, seperti myelodisplasia hiposelular.
Defisiensi lmun Adanya difisiensi imun diketahui melalui penentuan titer immunoglobulin dan pemeriksaan imunitas sel T.
diagnosis anemia aplastik. Namun, aspirat kadang-kadang secara mengejutkan tampak selular meskipun secara keseluruhan sumsum tulang hiposelular, sebab sebagian
besar pasien masih mempunyai sarang-sarang hemopoiesis yang masih berlangsung. Jadi, core biopsy
l-2 cm penting untuk pengkajian
selularitas.
Diseritropoiesis ringan bukan tidak lazim pada anemia aplastik, khususnya pada pasien yang juga memiliki populasi sel-sel hemoglobinuria nokturnal paroksismal kecil sampai sedang. Namun, adanya sejumlah kecil selsel blas myeloid, atau gambaran displastik seri myeloid
atau megakaryosit membantu diagnosis sindrom myelodisplatik hipoplastik.
Lain-lain Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak, dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional. Kadar eritropoetin ditemukan meningkat pada anemia aplastik.
Myelodisplasia Hiposelular Membedakan anemia aplastik dari sindrom myelodisplastik hipoplastik dapat menjadi tantangan, khususnya pada pasien yang lebih tua, karena sindrom ini lebih banyak
ttzt
AI\EMIAAPL/q'SITIK
Agranulositosis
a hiposelular hemoglobinuria nokturnal paraksismal
Gambar 3. Tumapang tindih antara kelainan anemia aplastik dan diagnosis bandingnya (Modif ikasi dari Young, 2002)
terjadi. Proporsi sel-sel CD34* di sumsum tulang mungkin membantu pada beberapa kasus. CD34 diekspresikan pada sel-sel asal/ induk hemopoietik dan bersifat fundamental
untuk patofisiologi kedua kelainan ini. Pada sindrom myelodisplastik, ekspansi klonal muncul dari sel asal CD34.; pada anemia aplastik didapat, sel-sel asal CD34. merupakan target serangan autoimun. Den-san demikian, proporsi sel-sel CD34- adalah 0,3c/c atau kurang pada pasien anemia aplastik, sedangkan proporsinya normal (0,5- I ,07o) atau lebih tinggi pada sindrom myelodisplatik hipoplastik.
Pemeriksaan sitogenetik sel-sel sumsum tulang sekarang sudah rutin dilakukan, tetapi interpretasi hasil dapat kontroversial. Klomosom umumnya normal pada
anemia aplastik, tetapi aneuploidi atau abnormalitas struktural relatif sering pada sindrom myelodisplastik. Jika
sumsum tulang normal atau hiperselular dan sel-sel hematopoietik jelas-jelas dismorfik, maka myelodisplasia mudah dibedakan dari anemia aplastik. Namun, mungkin pada sekitar 20% kasus, sumsum tulang tampak hiposelular, selain itu, perubahan morfologinya mungkin ringan atau meragukan, dan uji kromosom memberikan hasil normal
atau tidak berhasil. Diagnosis banding lebih dipersulit dengan evolusi anemia aplastik yang telah diobati menjadi myelodisplasia.
Leukemia Limfositik Granular Besar Penyakit ini juga dapat menjadi diagnosis untuk sumsum tulang yang kosong atau displastik. Limfosit granular besar dapat dikenali dari fenotipenya yang berbeda pada pemeriksaan mikroskopik darah, yaitu pola pulasan selsel khusus pada flow cytometry, dan ketidakteraturan reseptor sel T yang membuktikan adanya ekspansi monoklonal populasi sel T.
Anemia Aplastik dan Hemoglobinuria Nokturnal Paroksismal (PNH) Terdapat hubungan klinis yang sangat kuat antara anemia aplastik dan PNH. Pada PNH, sel asal hematopoietik abnormal menurunkan populasi sel darah merah, granulosit,
dan trombosit yang semuanya tidak mempunyai sekelompok protein permukaan sel. Dasar genetik PNH adalah mutasi didapat pada gen PIG-A di kromosom X
yang menghentikan sintesis struktur jangkar glikosilfostatidilinositol. Defisiensi protein ini menyebabkan hemolisis intravaskular, yang mengakibatkan ketidakmampuan eritrosit untuk menginaktivasi komplemen permukaan. Tidak adanya protein tersebut mudah dideteksi dengan flow cytometta eritrosit
dan leukosit, tes Ham dan sukrosa sekarang sudah ketinggalan j aman (obsolete). Telah lama diketahui bahwa beberapa pasien PNH akan mengalami kegagalan sumsum tulang, dan sebaliknya, PNH dapat ditemukan sebagai "peristiwa klonal lanjut" bertahun-tahun setelah diagnosis anemia aplastik. Pemeriksaan flow cytomelry memperlihatkan bahwa sejumlah besar pasien dengan kegagalan sumsum tulang mengalami ekspansi klon PNH hematopoietik pada saat datang.
PENATALAKSANAAN Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi
atau transplantasi sumsum tulang (TST). Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok (matched sibling donor), dan faktor-faktor risiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat
1122
HEMATOLOGI
(AIG) atau antilympho-
terapi imunusupresi atau TST. Pasien yang lebih muda
adalah antithymocyte globulin
umumnya mentoleransi TST lebih baik dan sedikit mengalami GVHD. Pasien yang lebih tua dan yang
cyte Blobulin (ALG) dan siklosporinA(CsA). Mekanisme kerjaAIG atauALG pada kegagalan sumsum tulang tidak
mempunyai komorbidi tas biasanya ditawarkan serangkaian
diketahui dan mungkin melalui:
terapi imunusupresif. Pasien berusia lebih dari 20 tahun dengan hitung neutrofil 200-500/ mm3 tampaknya lebih mendapat manfaat dari imunosupresi dibandingkan TST. Secara umum, pasien dengan hitung neutrofil yang sangat rendah cenderung lebih baik dengan TST, karena dibutuhkan waktu yang lebih pendek untuk resolusi neutropenia (harus diingat bahwa neutropenia pada pasien
yang mendapat terapi imunosupresif mungkin baru membaik setelah 6 bulan). Untuk pasien usia menegah yang memiliki donor saudara yang cocok, rekomendasi terapi harus dibuat setelah memperhatikan kondisi kesehatan pasien secara menyeluruh, derajat keparahan penyakit, dan keinginan penyakit. Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik (Gambar 4).
..
Koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated
.
pada sel asal, Stimulasi langasung atau tidak langsung terhadap hemopolesls.
Regimen imunosupresi yang paling sering dipakai adalah ATG dari kuda (AIGam dosis 20 mgikg per hari selama 4 hai) atau ATG kelinci (thymoglobulin dosis 3,5 mg/kg perhari selama 5 hari) plus CsA (12-15 mg/kg, bid) umumnya selama 6 bulan. Berdasarkan hasil penelitian pada pasien yang tidak berespons terhadap ATG kuda, AIG kelinci tampaknya sama efektif dengan AIG kuda. Angka respons terhadap AIG kuda bervariasi dari 70-807c dengan kelangsungan hidup 5 tahun 80-907o. ATG lebih unggul
dibandingkan CsA, dan kombinasi ATG dan CsA memberikan hasil lebih baik dibandingkan
AIG
atau CsA
saJ a.
Pen
TERAPI KONSEBVATIF
ambahan
g
ranulo
cy
t
e
co
lon
v-
-s t
imul at i n g fa
cto
r
Terapi imunosupresif merupakan modalitas terapi
(G-CSF) dapat memulihkan neutropenia tetapr tidak menambah keiangsungan hidup. Namun respons awal terhadap G-CSF setelah terapi AIG merupakan faktor prognostik yang baik untuk respons secara keseluruhan.
terpenting untuk sebagian besar pasien anemia aplastik. Obat-obatan yang termasuk dalam terapi imunosupresif
Secara umum, pasien yang berespons terhadap kombinasi ATG/ CsA mempunyai kelangsungan hidup yang sangat
Terapi lmunosupresif
Anemia Aplastik Berat Usia < 35 tahun dengan HLA
Usia > 35 tahun aiau
tidak ada HLA matched sibling
matched sibling
Transplantasi sumsum tulang
Ada respons
Tidak ada respons
Ulangi pemberian ATG / ALG
Turunkan CSA dalam 6 bulan
Tidak ada respons
Ada respons
Faktor pertumbuhan hematopoietik atau androgen atau
matched unrelated transplant
Gambar 4. Algoritme penatalaksanaan pasien anemia berat (Diambil dari Bagby, 2004)
tt23
ANEMIAAPI.A,SITIK
baik, sedangkan mereka yang refrakter mempunyai kelangsungan hidup yang kurang. Perhitungan pada 3 bulan setelah terapi AIG mempunyai korelasi yang baik dengan prognosis jangka panjang. Regimen imunosupresif
minggu pertama). Walaupun tidak terjadi remisi total transfusi komponen darah tidak dibutuhkan lagi. Kira-kira 30-50Vo dari mereka yang berhasil akan kambuh lagi dalam
2 tahun berikutnya. Pada golongan pasien ini yang
yang lebih baru memakai mycophenolate mofetil, dan dalam
kebanyakan berespons lagi bila diberiATG. Kira-kira257o
konteks toksisitas CsA, Zenapax (anti-IL-2 receptor
pasien yang semula tidak memberikan respons, terjadi respons pada pemberi an NIG 2-4bulan setelah pemberian
[CD25] monoclonal antibody) mungkin bermanfaat tetapi keampuhan obat-obat ini belum terbukti. Campath- I H saat
ini juga sedang diuji untuk keadaan-keadaan refrakter untuk mengkaji potensi pemanfaatnnya sebagai obat imunosupresif.
Kegagalan terapi imunosupresif mungkin mencerminkan unde
rt re
atment ala.u kelelahan cadangan
sel-sel asal sebelum pemulihan hematopoietik. Di samping itu, tidak adanya respons terapi mungkin juga disebabkan
salah diagnosis atau adanya patogenesis non-imun, seperti anemia aplastik herediter. Relaps dapat disebabkan
penghentian dini imunosupresi, dan hitung darah pasien sering masih tergantung CsA. Terapi induksi dengan regimen AIG masa kini atau bahkan siklofosfamid dapat pula tidak cukup untuk mengeliminasi sel-sel T autoimun. Pasien-pasien refrakter dapat diobati lagi dengan AIG multipel, yang dapat menghasilkan kesembuhan (salvage) pada sejumlah pasien. Suatu penelitian pada pasien yang refrakter dengan AIG kuda, AIG kelinci menghasilkan
pertama.
Siklosporin bekerja dengan menghambat aktivasi dan proliferasi prekursor limfosit sitotoksik. Dosisnya adalah 3-10 mglkgBB/hari per oral dan diberikan selama 4-6 bulan. Siklosporin dapat pula diberikan secara intravena. Angka keberhasilan setara dengan AIG. Pada 50% pasien yang gagal dengan AIG dapat berhasil dengan siklosporin. Kombinasi AIG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebasar 707o pada anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon angka remisi sebesar 46Vo. Dosis siklosporin yang diberikan 6 mg/kgBB peroral selama 3 bulan. Dosis metilprednisolon 5 mglkg BB per oral setiap hari selama seminggu kemudian berangsur-angsur dikurangi selama 3 minggu.
Relaps
angka respons 50Vo dan kelangsungan hidup jangka
Secara konseptual, analog dengan terapi penyakit
panjang yang sangat baik. Siklofosfamid dosis tinggi telah dianjurkan sebagai terapi lini pertama yang efektif untuk anemia aplastik. Angka respons yang tinggi dikaitkan dengan pencegahan kekambuhan dan juga penyakit klonal. Namun, sitopenia yang berkepanjangan menghasilkan toksisitas yang berlebihan akibat komplikasi neutropenik menyebabkan penghentian uji klinik. Follow-up jangka panjang pada pasien yang mendapat siklofosfamid memperlihatkan bahwa relaps dan penyakit klonal dapat terjadi setelah terapi ini. Oleh karena itu, penggunaan siklofosfamid hanya untuk kasus-kasus tertentu atau sebagai bagian dari uji terkontrol dengan spektrum indikasi yang sempit. AIG atauALG diindikasikanpada: 1). Anemia aplastik bukan berat, 2). Pasien tidak mempunyai donor sumsum
keganasan, terapi imunusupresif intensif dengan ATG dapat dipandang sebagai terapi induksi, yang mungkin
tulang yang cocok, 3). Anemia aplastik berat, yang berumur
lebih dari 20 tahun, dan pada saat pengobatan tidak terdapat infeksi atau perdarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/ mm3. Karena merupakan produk biologis, pada terapi AIG dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat, sehingga
selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid. Kortikosteroid ditambahkan untuk melawan penyakit serum intrinsik terhadap terapi AIG, yaitu prednison 1 mg/ kgbb selama 2 minggu pertama pemberian AIG. Di samping itu, neutropenia dan trombositopenia yang ada akan semakin berat. Kira-kira 40- 60Vo pasienberespons terhadap AIG dalam 2-3 bulan (hampir tidak pernah daTam 2-3
membutuhkanperiode pemeliharaan lama dengan CsA atau
bahkan re-induksi. Angka relaps stelah terapi imunusupresif adalah 35Vo dalam 7 tahun. Secara umum, relaps mempunyai prognosis yang baik dan kelangsungan hidup pasien tidak memendek. Pasien dengan hitung darah yang turun dapat menerima CsA, dan jika tidak berhasil,
harus diberikan ATG ulang. Angka respons dapat dibandingkan dengan yang tampak pada AIG inisial. Pada beberapa contoh, AIG kelinci dapat dipakai ketimbang AIG kuda. Siklofosfamid dosis tinggi telah disarankan untuk imunusupresi yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan lama respons lebih dari 1 tahun. Sebaliknya, 75% respons terhadap AIG adalah dalam 3 bulan pertama, dan relaps dapat terjadi dalam I tahun setelah terapi ATG.
Penyebab
Etiologi yang Mungkin
Kelelahan cadangan sel asal
Anemia aplastik diperantarai
lmunosupresi tidak cukup
Serangan imun persisten
tmun
Salah diagnosis Kegagalan sumsum
tulang herediter
Patogenesis non-imun
tt24
HEMIIIIOI.OGI
TERAPI PENYELAMATAN (SAIYA GE THER APIEfl
Regimen conditioning yarrg paling sering adalah
Siklus lmunosupresi BerulanE Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama
dapat berespons terhadap siklus imunosupresi AIG ulangan. Pada sebuah peneiitian, angka penyelamatan yang bermakna pada pasien yang refrakter AIG kuda tercapai dengan siklus keduaAIG kelinci. Namun, siklus ketiga tampaknya tidak dapat menginduksi respons pada pasien yang tidak berespons terhadap terapi ulangan. Upaya melakukan terapi penyelamatan dapat
menunda transplantasi sumsum tulang. Namun dampaknya masih kontroversial. Pasien dengan donor saudara yang cocok dan tidak berespons terhadap terapi
AIG/ CsA harus menjalani TST. Selain
terapi ATG
berulang, obat-obat baru seperti Campath-1H atau antibodi monoklonal anti-CD3 dapat digunakan dalam konteks uji klinik.
Faktor-faktor Pertumbuhan Hematopoietik dan Steroid Anabolik - c o lony stimulating factor (G-CSF, ig/kg/tiari) atau GM-CSF (Sargramostim dosis 250 ig/kg/hari) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil walaupun tidak bertahan lama. Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya modalitas terapi anemia aplastik. Beberapa
Pen ggunaan g ranwlocyte
Filgrastim dosis
TRANSPLANTASI SUMSUM TULANG
5
pasien akan memperlihatkan pemulihan neutropenia dengan
G-CSF, tetapi neutropenia berat karena anemia aplastik biasanya refrakter. Jika dikombinasi den gan regirnen AIG/ CsA, G-CSF dapat memperbaiki neutropenia dan respons terapi ini merupakan faktor prognostik dini yang positif untuk respons di masa depan. Peningkatan dosis G-CSF tampaknya tidak bermanfaat. Kombinasi G-CSF dengan obat lain telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasuskasus refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan
dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien. Namun, beberapa laporan mengaitkan terapi G-CSF yang
lama sebagai penyebab evolusi klonal, khususnya monosomi-7.
Steroid Anabolik Steroid anabolik digunakan secara luas untuk terapi anemia apalstik sebelum penemuan terapi imunosuresif. Androgen merangsang produksi eritropoietin dan sel-sel induk sumsum tulang. Saat ini, androgen hanya digunakan sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif. Androgen yang tersedia saat ini antara lain oxymethylone dan danazol. Obat-obat ini terbukti bermanfaat bagi sebagian pasien anemia aplastik
siklofosfamid dan AIG dan telah terbukti lebih unggul dibandingkan regimen terdahulu yaitu siklofosfamid plus
total thoracoabdominal irradiation. Perbaikan pada perawatan pasien dan terapi graft-versus-host disease telah membuatTST menjadi proseduryang jauh lebih aman dan menjadikan TST suatu pilihan bagi lebih banyak pasien
anemia aplastik. TST menyediakan alternatif terapi yang benar-benar kuratif berlawanan dengan komplikasi jangka panjang terapi IS konservatif, termasuk perkembangan MDS dan angka relaps yang tinggi. TST allogenik tersedia untuk sebagian kecil pasien (hanya sekitar 307o yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Dengan perbaikan umum, TST dapat memberikan kelangsungan hidup jangka panjang sebesar 947o (dengandonor saudara yang cocok). Hasil yang lebih
baik telah dilaporkan pada pasien anak, tetapi tidak demikian halnya pada pasien yang lebih tua. Dengan demikian, TST harus ditawarkan sebagai pilihan kepada pasien anak dan dewasa muda yang memiliki donor cocok.
Batas usia untuk TST sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia lebih tua dari 3035 tahun, lebih baik dipilih terapi imunosupresif intensif sebagai upaya pertama. Transplantasi sumsum tulang alogenik dengan saudara
kandung HLA-A,B,-DR-matched, mencapai angka keberhasilan remisi komplit permanen lebih dari 80Vo pada kelompok pasien terpilih yang berumur k-urang dari 40 tahun dan bisa hidup lama. Makin meningkat umur, makin meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang
donor yang disebut grafi-versus-host disease (GVHD). Transplantasi sumsum tulang antara umur 40-50 tahun mengandung risiko meningkatnya GVHD dan morlalitas. Transplantasi sumsum tulang dapat dikerjakan Pada umumnya, bila pasien berumur kurang dari 50 tahun yang gagal dengan ATG dan mempunyai saudara kandung sebagai donor yang cocok maka pemberian transplantasi sumsum tulang perlu dipertimbangkan. Akan tetapi dengan pemberian imunosupresif sering diperlukan transfusi selama beberapa bulan. Bila transfusi komponen darah sangat diperlukan, sedapat mungkin diambil dari mereka yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang untuk membatasi reaksi penolakan cangkokan (gray'
rejection) yang kelak dapat mengurangi keberhasilan transplantasi sumsum tulang, karena antibodi yang terbentuk akibat transfusi. Pada pasien yang belum ditransfusi, 10 tahun setelah transplantasi sumsum tulang, yang hidup mencapai 817o, sedangkan bagi yang telah mendapat transfusi sebelumnya yang hidup hanya 46Vo.
ringan. Pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Komplikasi utama adalah virilisasi dan
Kriteria Respons
hepatotoksitas.
Kelompok European Bone Marrow Transplantation
LTz5
ANEMIAAPI.A,STIK
(EBMT) mendefinisikan respons terapi sebagai berikut: . Remisi komplit: bebas transfusi, granulosit sekurangkurangnya 2000/mm3, dan trombosit sekurang-
.
kurangnya 1 00.000/mm3.
Remisi sebagian: tidak tergantung pada transfusi, granulosit di bawah 2000/mm3, dan trombosit di bawah
.
Kejadian ini mungkin merupakan riwayat alamiah penyakit walaupun komplikasi tersebut lebih jarang ditemukan pada transplantasi sumsum tulang.
ANEMIA APLASTIK HEREDITER
100.000/rnm3.
Refrakter: tidakadaperbafkan.
TERAPISUPORTIF Bila terdapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi
eritrosit berupa packed red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular. Risiko perdarahan meningkat bila trombosit kurang dari 20.000/ mm3. Transfirsi trombosit diberikan bila terdapat perdarahan atau kadar trombosit di bawah 20.000/mm3 (prohlaksis). Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya
(orang tua atau saudara kandung) atau pemberian gammaglobulln dosis terapi. Timbulnya sensitisasi dapat diperlambat dengan menggunakan donor tunggal. Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek. Pada infeksi berat, khasiatnya hanya sedikit sehingga pemberian antibiotik masih diutamakan.
Sindrom kegagalan sumsum tulang herediter antara lain meliputi anemia Fanconi, diskeratosis kongenita, sindrom Shwachman-Diamond, dan trombositopenia megakaryositik. Sebagian besar anemia aplastik (AA) bersifat didapat, namun ada juga bentuk-bentuk AA yang
diwariskan. Kelainan-kelainan ini sangat jarang, mirip dengan AA didapat tetapi jarang berespons terhadap terapi imunosupresif. Kegagalan sumsum tulang herediter biasanya muncul pada usia dekade pertama dan kerap disertai anomali fisik (tubuh pendek, kelainan lengan, hipogonadisme, bintik-bintlk cafi - au- lait pada anemia Fanconi). Beberapa pasien mungkin mempunyai riwayat keluarga dengan sitopenia. Dalam kelompok ini, anemia Fanconi adalah penyakit yang paling sering ditemukan. Anemia Fanconi merupakan kelainan autosomal resesifyang ditandai oleh defek pada DNA repair dan memiliki predisposisi ke arah leukemia dan tumor padat. Diskeratosis kongenital, adalah sindrom kegagalan sumsum tulang diwariskan yang secara klasik muncul dengan triad pigmentasi kulit abnormal, distrofi kuku, dan leukoplakia mukosa. Kelainan ini memiliki heterogenitas dan manifestasi klinik yang beragam. Terdapat bentuk-bentuk X- linke d re c e s s iv e, autosomal
dominan, dan autosomal resesif. Bentuk X-linked recessive diakibatkan oleh mutasi pada gen
DKCl, yang
menghasilkan protein dyskerin, yang penting untuk stabilisasi telomerase. Gangguan telomerase PROGNOSIS DAN PEBJALANAN PENYAKIT Riwayat alamiah anemia aplastik dapat berupa: 1). Berakhir dengan remisi sempuma. Hal ini jarang terjadi kecuali bila iatrogenik akrbat kemoterapi atau radiasi. Remisi sempurna biasanya terjadi segera. 2). Meninggal dalam 1 tahun. Hal ini terjadi pada sebagian besar kasus. 3). Bertahan hidup selama 20 tahun atau lebih. Membaik dan bertahan hidup lama namun kebanyakan kasus mengalami remisi tidak sempurna.
menyebabkan pemendekan telomer lebih cepat, kegagalan
sumsum tulang, dan penuaan dini Qtremature aging). Diskeratosis congenita autosomal dominan disebabkan mutasi pada gen TERC (yary menyandi komponen RNA telomerase) yang pada akhirnya mengganggu aktivitas telomerase dan pemendekan telomer abnormal. Sejumlah kecil pasien (kurang dari 5Vo) yangs disangka menderita
AA didapat memiliki mutasi ZERC.
Trombositopenia amegakaryositik diwariskan merupakan kelainan yang ditandai oleh trombositopenia
Jadi, pada anemia aplastik telah dibuat cara
berat dan tidak adanya megakaryosit pada saat lahir.
pengelompokan lain untuk membedakan antara anemia aplastik berat dengan prognosis buruk dengan anemia aplastik lebih ringan dengan prognosis yang lebih baik. Dengan kemajuan pengobatan prognosis menjadi lebih
Sebagian besar pasien mengalami rzissense alau nonsense
baik.
Penggunaan imunosupresif dapat meningkatkan keganasan sekunder. Pada penelitian di luar negeri dari 103 pasien yang diobati dengan ALG, 20 pasien diikuti
mutations pada gen C-MPL. Banyak dari antara mereka mengalami kegagalan sumsum tulangmultilineage di usia dua puluhan. Sindrom Shwachman-Diamond adalah kelainan autosomal resesif yang ditandai dengan disfungsi eksokrin pankreas, disostosis metafiseal, dan kegagalan sumsum tulang. Seperti pada anemia Fanconi. pasien
sindrom
ini mengalam peningkatan risiko terjadinya
jangka panjang berubah menjadi leukemia akut,
myelodisplasia atau leukemia pada usia yang sangat muda.
mielodisplasia, PNH, dan adanya risiko terjadi hepatoma.
Belum ada lesi genetik yang dianggap menjadi
Lt26
HEMANOI.OGI
penyebabnya, tetapi mutasi sebuah gen di kromosom 7 telah dikaitkan dengan penyakit ini.
REFERENSI Adamson JW and Erslev AY. Aplastic anemia. In: Williarns WJ, Beutler E, EWslev AY, Lichtman MA, editors. Hematology. 4'h edition. New York: Mc Graw-Hill; 1990. p. 158-74 Alter BP Bone marrow failure: a child is not just a sma1l adult (but an adult can have a childhood disease). Hematology. 2005:96103
.
Bagby GC. Lipton JM, Sloand EM, Schiffer. Marrow failure. Hematology. 2004:318-36 Brodsky RA, Jones RJ Aplastic anemia. Lancet. 2005;365:164156 Fibbe WE Telomerase mutations in aplastic anemia N Engl J Med. 2O05:352:1 481 -3. Gluckman E, Esperou-Bourdeau H, Baruchel A, Boogaerts M, Briere J, Donadio D, et al. Muticentre randomized study comparing
cyclosporine-A alone and antithymocyte globulin with prednisone for treatment of severe apiastic anemi. Blood. 1992:''7 9:2540-6. Gordon-Smith EC. Aplastlc anemia and allied disorders. Cun Opin Hematol. 1993:45-51 .
L. Succesful marrow recovery after eHUGMCSF treatment in a patient with idiophatic aplastic anemia. KONAS VII Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia & International scientific meeting of Haematologist from Southeast Asian Coutries, Medan, Desember 1993. Maciejewski JP, Risitano AM. Aplastic anemia: management of adult patients. Hematology. 2005: 1 10-17.
Hariman H. Soeroso
Rosenfeld S, Follmann D, Nunez O, Young NS. Antithymocyte globulin and cyclosporine for severe aplastic anemi.a. Association between hematologic response and long-term outcome. JAMA.
2003;289(9): 1 130-5. Salonder H. Gambaran klinik anemia aplastik dan kriteria ramalan pasien berumur pendek Skripsr. Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta. 1983. Thornpson LH. Unraveling the Fanconi anemia-DNA repair connection. Nat Genet. 2005;31 :921-2. Yamaguchi H, Calado RT, Ly H, Kajigaya S, Baerlocher GM, Chanock SJ, et al. Mutation in TERT, the gene for telomerase reverse transcriptase, in aplastic anemia N Engl J Med. 200s;3s2(14):1413 -24 Young NS. The pathophysiology of acquired aplastic anemia. N Engl J Med. 1991;336(19):1365-12 Young NS. Acquired aplastic anemia. Ann Intem Med. 2002;136:53'16.
t79 ANEMIA DEFISIENSI BESI I Made Bakta, Ketut Suega, Tjokorda Gde Dharmayuda
PENDAHULUAN
sebagian besar besi berasal dari sumber nabati. tetapi perangkat absorbsi besi tidak mengalami evolusi yang sama, sehingga banyak menimbulkan defisiensi besi.
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis. karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. ADB ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer dan hasil laboratorium yang menunjukkan cadangan besi kosong. Berbeda dengan ADB, pada anemia akibat
KOMPARTEMEN BESI DALAM TUBUH
Besi terdapat dalam berbagai jaringan dalam tubuh berupa: (1) senyawa besi fungsional, yaitu besi yang
penyakit kronik penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang oleh karena pelepasan besi dari sistem
membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh; (2) besi cadangan, senyawa besi yang dipersiapkan bila masukan besi berkurang; (3) besi transport, besi yang berikatan dengan protein tertentu dalam fungsinya untuk mengangkut besi dari satu kompartemen ke kompartemen lainnya. Besi dalam tubuh tidak pernah terdapat dalam bentuk logam bebas (free iron), tetapi selalu berikatan dengan protein tertentu. Besi bebas akan merusak jaringan. mempunyai sifat seperti radikal bebas. Dalam keadaan normal seorang laki dewasa mempunyai kandungan besi 50 mg/kgBB, sedangkan perempuan dewasa adalah 35 mg/ kgBB. Tabel 1 menggambarkan komposisi besi pada seorang laki-laki dengan berat badan 75 kg. Jumlah besi pada perempuan pada umumnya lebih kecil oleh karena massa tubuh yang juga lebih kecil.
retikuloendotelial berkurang, sedangkan cadangan besi masih normal. Pada anemia sideroblastik penyediaan besi
untuk eritropoesis berkurang karena gangguan mitokondria yang menyebabkan inkorporasi besi ke dalam heme terganggu. Oleh karena itu ketiga jenis anemia ini
digolongkan sebagai anemia dengan gangguan metabolisme besi. Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai, terutama di negara-negara tropik atau negara dunia ketiga, oleh karena sangat berkaitan erat dangan taraf sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia yang memberikan dampak kesehatan yang sangat merugikan serta dampak sosial
yang cukup serius.
METABOLISME BESI
Besi merupakan trace element vital yang sangat
A
dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan hemoglobin, mioglobin dan berbagai enzim. Besi di alam terdapat dalam jumlah yang cukup berlimpah. Dilihat dari segi evolusi alat penyerapan besi dalam usus, maka sejak awal manusia
Senyawa besi fungsional
Hemoglobin
Mioglobin
Enzim-enzim
B C
dipersiapkan untuk menerima besi yang berasal dari sumber hewani, tetapi kemudian pola makanan berubah di mana
Senyawa besi transportasi Senyawa besi cadangan
Hemosiderin
Total
rtz
Transferin Feritin
2300 mg 320 mg B0 mg
3 mg 700 mg 300 mg 3803 mg
1128
HEMATOLOGI
ABSOBBSI BESI Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan. Untuk memasukkan besi dari usus ke dalam tubuh diperlukan proses absorbsi. Absorbsi besi paling banyal< terjadi pada bagian proksimal duodenum disebabkan oleh pH dari asam lambung dan kepadatan protein tertentu yang diperlukan dalam absorbsi besi pada epitel usus. Proses absorbsi besi diba-qi meniadi 3 fase:
Faseluminal: besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian siap diserap di duodenum. Fase Mukosal: proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan suatu proses aktif. Fase Korporeal: meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sei yang memerlukan, dan penyir-npanan besr (storage) oleh tubuh.
metabolisme tembaga), kemudian besi (feri) diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus. Besi heme diabsorbsi melalui proses yang berbeda yang mekanismenya belurn diketahLri dengan jetras. Besi herne dioksidasi menjadi hemin, yang kemudian diabsorbsi secara intak (utuh) diperkirakan melalui suatu reseptor.
Absorbsi besi heme jauh lebih efisien dibnndingkan dengan besi non-herne. Besar kecilnya besi yang ditahan dalam enterclsit atau diloloskan ke basolateral diatur oleh "set point" yang sudah diset saat enterosit berada pada dasar kripta Lieberkuhn, kemudian pada waktu pematangan bermigrasi ke arah puncak vili sehingga siap sebagai sel
absorptif.
Dikenal adanya mLrcosal blctck. suatl fenon.rena di mana setelah beberapa hari dari suatu bolr-rs besi dalam
diet, maka enterosit resisten terhadap absorbsi besi berikutnya. Hambatan ini mungkin timbul karena akumulasi besi dalam enterosit sehingga menyebabkan
set-;toint diatur seolah-olah kebutuhan besi sudah
Fase Luminal Besi dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk yaittr:
berlebi han.
Besi heme: terdapat dalam daging dan ikan, tin-ckat absorbsinya tinggi, tidak dihambat oleh bahan pen-uhar.trbat sehingga mempunyai bioavar labilitas tin ggi.
Permukaan
Besi hon-heme: berasal dari sumber tumbuh-tumbuhan,
Apikal Fe'-
tingkat absorbsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan pemacu atau penghambat sehingga bioavailabilitasnya rendah.
Yang tergolong sebagai bahan pemacu absorbsi besi adalah "ntett .factors:' dan vitamin C, sedangkan yang tergolong sebagai bahan penghambat ialah tanat, Ph)'tat dan serat (fibre). Dalam larnbung katena pen-garLrh asaln
lambung maka besi dilepaskarr dari ikutrtnnla den-uau senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentnk
o
feri ke f'ero yang siap untuk diserup.
fo I
Fase Mukosal Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan
s
o"e
terkendali (c ar eJully r e g u at e d). B es i di pertah ankan dal am keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Sel absorptif terletak pada puncak dari vili us us (ap ic al c e ll'). P ad,a b rtts h borcler dari sel absortif, besi feri dikonversi nrenjadi besi
+
L
fero oleh enzim ferireduktase, mtrngkin dimediasi oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor
melalui membran difasilitasi oleh divaLent metal transporter (DMT 1, disebut juga sebagar Nramp 2). Setelahbesi masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan
dalam bentuk feritin, sebagian Ciloloskan melalui b as ol at e ral tr ans p o rt e r (f'erroprcti n di s eb Lrt ju ga sebagai IREG l) ke dalamkapilerusus. Padaproses ini terjadi rcduksi dari f'eri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh hephaestin, yang identik dengan seruloplasmin pada
DtilT 1 = dirralent rnetaltransporter i DIIYTB = duodenal rytt-rchr'orle f-r liko pi'urt:i Gambar
1.
n
Proses absorpsi besi pada permukaan duodenum
1129
ANEMIADEFISIENSI BESI
misalnya padar anemia hemolitik autoimun. Oleh karena itu hemokromatosis sekunder jauh lebih sering pada keadaan pertama dibandingkan dengan keadaan kedua. Akhir-akhir ini ditemukan suatu peptida hormonal kecil yaitu hepcidin
FASE KOBPOBEAL Besi setelah diserap oleh enterosit (epitel usus), melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus, kemudian
dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Transferin akan melepaskan besi pada sel RES melalui proses pinositosis. Satu molekul transferin dapat mengikat
maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada transferin (Fe.-Tf) akan diikat oleh reseptor transferin (tronsf'errirt re ceptors = TJ'r\ yang terdapat pada permukaan sel, terutama sel normoblas. Kompleks Fe,-TfTfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi oleh klatrin (clathrin-coated pit), cekungan ini mengalami invaginasi sehingga membentuk endosom. Suatu pompa proton menurunkan pH dalam endosom. menyebabkan
perubahan konformasionai dalam protein sehingga melepaskan ikatan besi den-ean transferin. Besi dalant endosom akan dikelutrrkan ke sitoplasma dengan bantuatt
DN{Tl. sedangkan ikatan apotransferin dan reseptot' transt'erin mengalami siklus kembali ke perrnukaan sel dan dapat dipergunakan kembali.
MEKANISME REGULASI ABSORBSI BESI Terdapat 3 mekanisme regulasi absorbsi besi dalam usus
:
Regulator dietetik. Absolbsi besi dipengaruhi oleh jenis cliet dimana besi terdapat. Diet dengan
biovaiiabilitas tin-egi
yaitu besi heme. besi dari sttmber hewani. serta adanl,a faktor e nhan c e rakan meni n gkatkan absorb s i besi. Sedan,gkan besi dengan bioavaibilitas rendah adalah besi non-heme, besi yang berasal dar-i sumber nabati dan banyak mengandung inhibitor akan diserlai prosentase absopsi besi yag rendah. P ada di
e
tatl
r e g ulato
r ini
1uga di ken al ada ny a muc o s' al
b
yang diperkirakan mempunyai peran sebagai soLuble regulator absorhsi besi dalam usus.
SIKLUS BESI DALAM TUBUH Pertukararn besi dalarn tubuh merupakan lingkaran yang tertutup yang diatur oleh besarnya besi yang diserap usus,
sedangkan kehilangan besi fisiologik bersifat tetap. Besi yang diserap usus setiap hari berkisar antara 1-2 mg, ekskresi besi terjadi dalam jumlah yang sama melalui eksfoliasi epitet. Besi dari usus dalam bentuk transferin akan bergabung dengan besi yang dimobilisasi dari makrofag dalam sumsum tulang sebesar 22 mg untuk dapat memenuhi kebutuhan eritropoesis sebanyak 24 mg per hzri. Eritrosit yang terbentuk secara efektif yang akan beredar melalui sirkulasi memerl ukan besi 1 7 mg, sedangkan besi sebesar 7 mg akan dikembalikan ke makrofag karena terj adi nya eritropoesis inet'ektif (hemolisis i ntramedular). Besi l,nng terdapat padir eritrosit yang beredaq .setelah mer.rgalami proses penuaan juga akan dil
Gambar2.
kt c k.
seperti yang telah diuraikan di depan.
Regulator simpanan. Penl,erapan besi diatur melalui besarnya cadangan besi daiam tubuh. Penyerapan besi rendah jika cadangan besi tinggi, sebaliknya apabila cadangan besi rendah maka absorbsi besi akan ditingkatkan. Bagaimana mekanisme regtLlasi ini bekerla belum diketahui
dengan pasti. Diperkirakan melalui cr.r'pt'cell prograrnnti.ng sehubungan dengan respon saturasi transferin plasma dengan besi.
Regulator eritropietik. Besar absorbsi besi berhubungan
kecepatan eritropoesis. Ertthropoietic regulator mempunyai kemampuan regulasi absorbsi besi lebih tinggi
dibandingkan dengan stores reguLalor. Mekanisme erythropoietic regwlator ini belum diketahui dengan pasti. Eritropoesis inefektif (peningkatan eritropoesis tetapi disertai penghancuran prekursol eritrosit dirlam sumsum tulang), seperti misalnya pada thalassetnia atau hemoglobinopati lainnya, disertai peningkatan absorbsi
Skema siklus pedukaran besi dalam tubuh
KLASIFIKASI DERAJAT DEFISIENSI BESI
besi lebih besar dibandingkan dengan peningkatan
Jika dilihat dari beratnya kekurangan bes-i dalam tubuh
eritropoesis akibat destrLLksi eritrosit di darah tepi. seperti
maka defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan:
1130
HEIIilATOI.OGI
Deplesi besi (iron depleted state): cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu
ETIOLOGI
Eritropoesis defi siensi besi (iron deficie nt erythropoie
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya masukan besi, gangguan absorbsi, serta
sis)'.
cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik.
Anemia defisiensi hesi: cadangan besi kosong disertai
kehilangan besi akibat perdarahan menahun: ' Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:
anemia defisiensi besi.
-
divertikulosis, hemoroid dan infeksi cacing
PREVALENSI
tambang.
-
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai baik di klinik maupun di masyarakat. ADB merupakan anemia yang sangat sering dijumpai di negara berkembang. Dari berbagai data yang dikumpulkan sampai saat ini, didapatkan gambaran prevalensi anemia
'
defisiensi besi seperti tertera pada Tabel 2.
' Afrika Laki dewasa
Wanita tak
Amerika
Latin
lndonesia
6%
aol o/o
20o/o
17 - 21%
25
60%
39 - 460/"
46 - 92%
16 - 50%
- 48%
hamil
Wanita hamil
saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker lambung, kanker kolon,
Belum ada data yang pasti mengenai prevalensi ADB di Indonesia. Martoatmojo et al memperkirakanADB pada lakilaki 16-507o dan25-847o pada perempuan tidak hamil. Pada pensiunan pegawai negeri di Bali didapatkan prevalensi anemia 36Vo dengan 61% disebabkan oleh karena defisiensi besi. Sedangkan pada penduduk suatu desa di Bali didapatkan angka prevalens ADB sebesar 27%.
'
saluran genitalia perempuan: menorrhagia atau metrorhagia. - saluran kemih: hematuria - saluran napas: hemoptoe. Faktor nutrisi: akibat kurangnyajumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rerdah vitamin C, dan rendah daging). Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan. Gangguan absorbsi besi: gastrektomi. tropical sprue atau
kolitis kronik.
Pada orang dewasa anemia defisiensi yang dijumpai di
klinik hampir identik dengan perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada lakilaki ialah perdarahan gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Sedangkan pada perempuan dalam masa reproduksi paling sering karena meno-metrorhagia.
Terdapat perbedaan pola etiologi ADB di masyarakat atau di lapangan dengan ADB di rumah sakit atau praktek
klinik. ADB di lapangan pada umumnya disertai anemia ringan atau sedang, sedangkan di klinik ADB pada
Perempuan hamil merupakan segmen penduduk
umumnya diserlai anemia derajat berat. Di lapangan faktor
yang paling rentan pada ADB. Di India, Amerjka Latin dan Filipina prevalensi ADB pada perempuan hamil berkisar antara35To sampai 99olc. Sedangkan di Bali, pada
nutrisi lebih berperan dibandingkan dengan perdarahan.
suatu pengunjung puskesmas didapatkan prevalens anemia sebesar 507o denganT5To anemia disebabkan oleh defisiensi besi. Dalam suatu survei pada42 desa di Bali yang melibatkan 1684 perempuan hamil didapatkan prevalens ADB sebesar 467o, sebagian besar derajat anemia ialah ringan. Faktor risiko yang dijumpai adalah
tingkat pendidikan dan kepatuhan
meminum
Bakta, pada penelitian di Desa Jagapati, Bali, mendapatkan bahwa infeksi cacing tambang mempunyai peran hanya pada sekitar 30% kasus, faktor nutrisi mungkin berperan pada sebagian besar kasus, terutama pada anemia derajat ringan sampai sedang. Sedangkan di klinik, seperti misalnya
pada praktek swasta, ternyata perdarahan kronik memegang peran penting, pada laki-laki ialah infeksi cacing
tambang (54%) dan hemoroid (21Ea), sedangkan pada perempuan menorhagia (337o), hemoroid dan cacing
pil besi.
tambang masing-masin g
DiAmerika Serikat, berdasarkan survei gizi (NHANES III) tahun 1988 sampai tahun 1994, defisiensi besi dijumpai kurang dari IVo pada laki dewasa yang berumur kurang dari 50 tahun, 2-47o pada laki dewasa yang berumur lebih dari 50 tahun, 9-117o pada perempuan
PATOGENESIS
masa reproduksi, dan 5-l 7o pada perempuan pascamenopause.
17 Vo.
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted state atalo
1131
ANEMIA DEFISIENSI BESI
negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, sefta pengecatan besi dalam sumsum tulang
besi menyebabkan berkurarrgnya penyediaan besi pada bakteri sehingga menghambat pertumbuhan bakteri yang berakibat pada ketahanan terhadap infeksi. Di pihak lain
negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka
besi dibutuhkan oleh enzim untuk sintesis DNA dan enzim
cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai : iron deficient
mieloperoksidase netrofil sehingga menurunkan imunitas
erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik
yang menderita anemia disertai peningkatan angka
ialah peningkatan reseptor ffansferin dalam serum. Apabila
GEJALA ANEMIA DEFISIENSI BESI
jumlah besi menurun terus maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai iron deficiency anemia. Pada saat inijuga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.
PERUBAHAN FUNGSIONAL NON-ANEMIA PADA DEFISIENSIBESI Di samping
pada hemoglobin, besi juga menjadi komponen
penting dari mioglobin dan berbagai ensim yang dibutuhkan dalam penyediaan energi dan transpor elektron. Oleh karena itu defisiensi besi di samping menimbulkan anemia, juga akan menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti misalnya pada (1) sistem neuromuskular yang mengakibatkan gangguan kapasitas kerja; (2) gangguan terhadap proses mental dan
kecerdasan; (3) gangguan imunitas dan ketahanan terhadap infeksi; (3) gangguan terhadap ibu hamrl danjanin
yang dikandungnya. Gangguan
ini
dapat timbul pada
anemia ringan atau bahkan sebelum anemia manifes.
Defisiensi besi menimbulkan penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom dan gliserofosfat oksidase,
menyebabkan gangguan glikolisis yang berakibat
selular.
Defisiensi besi dihubungkan dengan risiko prematuritas serta morbiditas dan mortalitas fetomatemal. Ibu hamil kematian maternal, lebih mudah terkena infeksi dan sering mengalami gangguan partus.
Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu: Gejala umum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi, gejala penyakit dasar.
Gejala Umum Anemia Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom wrcmia(anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi
besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 gldl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata
berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secaraperlahanlahan sering kali sindroma anemia tidak terlalu menyolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi
lebih cepat, oleh karena mekanisme kompensasi tubuh dapat berjalan dengan baik. Anemia bersifat simtomatik
jika hemoglobin telah turun di bawah 7 gldl.
Gejala Khas Defisiensi Besi Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak
dijumpai pada anemia jenis lain adalah: . koilonychla: kuku sendok (spoon nail),kttku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung
penumpukan asam laktat sehingga mempercepat kelelahan otot. Defisiensi besi terbukti menurunkan kesegaran
.
jasmani, sedangkan pada buruh pemetik teh terbukti
.
menurunkan produktivitas kerja. Dampak negatif ini dapat dihilangkan jika diberikan preparat besi. Defisiensi besi menimbulkan gangguan perkembangan kogn itif dan non-kognitif pada anak dan bayi sehingga dapat menurunkan kapasitas belajar. Hal ini diperkirakan karena gangguan pada enzim aldehid oksidase yang menyebabkan penumpukan serotonin, serta enzim monoaminooksidase yang menyebabkan penumpukan katekolamin dalam otak.
Pengaruh defisiensi besi terhadap infeksi masih kontroversial. Ada yang berpendapat bahwa defisiensi
Pada
pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konyungtiva dan jaringan di bawah kuku.
. . .
sehingga mirip seperti sendok (Gambar 3)
atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang. stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwama pucat keputihan
disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti: tanah liat, es, lem, dan lain-lain.
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly adalah kumpulan gejala yang terdiri dari
tt32 anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan
HEMAIOITOGI
disfagia.
eritrosit. Indeks eritrosit sudah dapat mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Hapusan darah tepi (Gambar 4) menunjukkan anemia
Gejala Penyakit Dasar
hipokromik mikrositer, anisositosis, dan poikilositosis.
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala
penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya pada anemia akibat penyakit cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut.
Makin berat derajat anemia makin berat derajat hipokromia. Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia. Jika
terjadi hipokromia dan mikrositosis esktrim, maka sel tampak sebagai sebuah cincin sehingga disebut sel cincin (ring cell), atau memanjang seperti elips, disebut sebagai sel pensil (pencil cell atau cigar cell). Kadang-kadang dijumpai sel target. Leukosit dan trotnbosit pada umumnya normal. Tetapi granulositopenia ringan dapat dijumpai pada ADB yang berlangsung lama. Pada ADB karena cacing tambang drjumpai eosinofilia. Trombositosis dapat dijumpai pada ADB dengan episode perdarahan akut.
Gambar 3. Kuku sendok (koilonychia) pada jari tangan seorang pasien anemia defisiensi besi
PEMERIKSAAN LABORATOBIUM Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi
Gambar 4. Hapusan darah tepi pasien anemia defisiensi besi, menunlukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis (A) Tampak beberapa sel pensil (panah), bandingkan dengan hapusan darah tepi normal di sebelahnya (B)
yang dapat dijumpai adalah:
Kadar Hemoglobin dan Indeks Eritrosit: didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadr hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCVdan MCH menurun. MCV < 70 fl hanya didapatkan pada anemia defisiensi besi dan thalassemia major. MCHC menurun pada
defisiensi yang lebih berat dan berlangsung lama. Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi. Peningkatan anisositosis ditandai oleh peningkatan RDW (red cell distribution width). Dulu dianggap pemeriksaan RDW dapat dipakai untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik, tetapi sekarang RDW pada kedua jenis anemia ini hasilnya sering tumpang tindih. Mengenai titik pemilah MCV, ada yang memakai angka < 80 fl, tetapi pada penelitian kasus ADB di Bagian Penyakit Dalam FK UNUD Denpasar, dijumpai bahwa titik pemilah < 78 fl memberi sensitivitas dan spesifisitas paling baik. Dijumpai juga bahwa penggabungan MCY MCH, MCHC
danb RDW makin meningkatkan spesifisitas indeks
Konsentrasi Besi Serum Menurun padaADB, dan TIBC
(total iron binding capacity) Meningkat. TIBC menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan saturasi transferin dihitung dari besi
serum dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria diagnosis ADB, kadar besi serum menurun < 50 lt gldl, total iron binding capacitt (TIBC) meningkat > 350 pg/dl, dan saturasi transferin < 1 5 7o. Ada juga yang memakai saturasi
transferin < 167a, atat < l8Vo. Harus diingat bahwa besi serum menunjukkan variasi diurnal yang sangat besar, dengan kadar puncak pada jam 8 sampai
l0 pagi.
Feritin Serum Merupakan Indikator Cadangan Besi yang Sangat Baik, Kecuali pada Keadaan Inflamasi dan Keganasan Tertentu. Titik pemilah (cut oJf point) untuk feritin serum padaADB dipakai angka < 12 p,gll, tetapi ada juga yang memakai < l5 pg/l..Untuk daerah tropik di mana
I 133
AIYEMIA DEFISIENSI BESI
angka infeksi dan inflamasi masih tinggi, titik pemilah yang diajukan di negeri Barat tampaknya perlu dikoreksi. Pada suatu penelitian pada pasien anemia di rumah sakit di Bali pemakaian feritin serum < l2ltgll dan <20 pgll memberikan
dan erythrocyte iron turn over rate (EIT) yang mengukur pergerakan besi dari sumsum tulang ke sel darah merah yang beredar. Secara praktis kedua pemeriksaan ini tidak banyak digunakan, hanya dipakai untuk tujuan penelitian.
sensitivitas dan spesifisitas masing-ma sing 68Vo dan 98Vo serta 68Vo darr 96%. Sensitivitas tertinggi (847o) justru dicapai pada pemakaian feritin serum < 40 mg/|, tatpa mengurangi spesifitas terlalu banyak (92Ea). Hercberg
Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defrsiensi besi. Antara lain pemeriksaan feses untuk
untuk daerah tropik menganjurkan memakai angka feritin serum < 20 mg/l sebagai kriteria diagnosis ADB. Jika terdapat infeksi atau inflamasi yang jelas seperli afihdtis rematoid, maka feritin serum sampai dengan 50-60 pg/l masih dapat menunjukkan adanya defisiensi besi. Feritin serum
pemeriksaan darah samar dalam feses, endoskopi, barium intake ata:u barium inloop, dan lain-lain, tergantung dari dugaan penyebab defisiensi besi tersebut.
merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis
IDA
yang paling kuat oleh karena itu banyak dipakai baik di klinik maupun di lapangan karena cukup reliabel dan praktis, meskipun tidak terlalu sensitif. Angka feritin serum normal tidak selalu dapat menyingkirkan adanya defisiensi besi, tetapi feritin serum di atas 100 mg/dl dapat memastikan tidak adanya del-rsiensi besi.
hotopoffirin merupakan bahan
antara pada pembentukan heme. Apabila sintesis heme terganggu, misalnya karena defisiensi besi, maka protoporfirin akan menumpuk dalam eritrosit. Angka normal adalah kurang dari 30 mg/dl. Untuk defisiensi besi protoporfirin bebas adalah lebih dari 100 mg/dl. Keadaan yang sama juga didapatkan pada anemia akibat penyakit kronik dan keracunan timah hitam.
Kadar reseptor transferin dalam serum meningkatpada defisiensi besi. Kadar normal dengan cara imunologi adalah pgll-. Pengukuran reseptor transferin terutama dipakai untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik. Akan lebih baik lagi apabila dipakai rasio reseptor transferin dengan log feritin serum. Rasio >1,5 menunjukkan ADB dan rasio <1,5 sangat mungkin karena anemia akibat 4 -9
cacing tambang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan semikuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz,
DIAGNOSIS Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit. Cut off point anemia tergantung kriteria yang dipilih, apakah kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap
kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebdLb dari
defisiensi besi yang terjadi.
Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi (tahap satu dan tahap dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin et al) sebagai berikut: Anemia hipokromik mikrositerpada hapusan darah tepi, atau MCV <80 fl dan MCHC <317o dengan salah satu dari a, b, c, atau d.
..
penyakrtkronik. Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia normoblastik
ringan sampai sedang dengan normoblas kecil-kecil. Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tak teratur. Normoblas ini disebut sebagai micronormoblast. Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (Perl's
stain) menunjukkan cadangan besi yang negatif (butir hemosiderin negatif). Dalam keadaan normal 40-607o normoblast mengandung granula feritin dalam sitoplasmanya, disebut sebagai sideroblas. Pada defisiensi besi maka sideroblast negatif. Di klinik, pengecatan besi pada sumsum tulang dianggap sebagai baku emas (gold standard) diagnosis defisiensi besi, namun akhir-akhir ini
. .
Dua dari tiga parameter di bawah ini:
-
Besiserum<50mg/dl TIBC>350mg/d1 Saturasitransferin: <757o,atalu
Feritinserum<20mgll,atau Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl's
stain) menttnjukkan cadangan besi (butir-butir
.
hemosiderin) negatif, atau Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x200 mgftrari (atau preparat besi lain yang setara) selama 4 minggu diserlai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari2 gldl.
Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi penyebab defisiensi besi. Tahap ini sering merupakan proses yang rumit yang memerlukan berbagai
jenis pemeriksaan tetapi merupakan tahap yang
sangat
Studi ferokinetik. Studi tentang pergerakan besi pada
penting untuk mencegah kekambuhan defisiensi besi serta kemungkinan untuk dapat menemukan sumber perdarahan yang membahayakan. Meskipun dengan pemeriksaan yang baik, sekitar 207o kasus ADB tidak diketahui penyebabnya.
siklus besi dengan menggunakan zat radioaktif. Ada dua
Untuk pasien dewasa fokus utama adalah mencari
jenis studi ferokinetik yaifi plasma iron transport rate
sumber perdarahan. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
perannya banyak diambil alih oleh pemeriksaan feritin serum yang lebih praktis.
(PIT) yang mengukur kecepatan besi meninggalkan plasma,
fisis yang teliti. Pada perempuan masa reproduksi
rt34
HEITIATIOI.OGI
anamnesis tentang menstruasi sangat penting, kalau perlu dilakukan pemeriksaan ginekologi. Untuk laki-laki dewasa di Indonesia dilakukan pemeriksaan feses untuk rnencari
telur cacing tambang. Tidak cukup hanya dilakukan pemeriksaan hapusan langsung (direct smear dengan eosin), tetapi sebaiknya dilakukan pemeriksaan semi kuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, untuk
DIAGNOSIS DIEFERENSIAL Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya seperti: anemia akibat penyakit kronik, thalassemia, anemia sideroblastik. Cara membedakan keempat jenis anemia tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
menentukan beratnya infeksi. Jika ditemukan infeksi ringan
tidaklah serta merta dapat dianggap sebagai penyebab utama ADB, harus dicari penyebab lainnya. Titik kritis
TERAPI
cacing tambang sebagai penyebab utama jika ditemukan telur per gram feses (TPG) ataLL egg per gram faeces (EPG) >2000 pada perempuan dan >4000 pada laki-laki. Dalam suatu penelitian lapangan ditemukan hubungan yang nyata antara derajat infeksi cacing tambang dengan cadangan besi pada laki-laki, tetapi hubungan ini lebih
Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi terhadap anemia defisiensi besi
lemah pada perempuan.
Anemia akibat cacing tambang (hookworm anemia) adalah anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh karena infeksi cacing tambang berat (TPG > 2000). Anemia akibat cacing tambang sering disertai pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada
pemeriksaan laboratorium di samping tanda-tanda defisiensi besi yang disertai adanya eosinofilia. Pada suatu penelitian di Bali, anemia akibat cacing tambang dijumpai pada 3,37o pasien infeksi cacing tambang atat 12,2Vo dari 123 kasus anemia defisiensi besi yang dijumpai.
Jika tidak ditemukan perdarahan yang nyata, dapat dilakukan tes darah samar (occult blood /esl) pada feses, dan jika terdapat indikasi dilakukan endoskopi saluran cerna atas atau bawah.
Anemia Defisiensi Besi Derajat anemra
MCV MCH
Besi serum
Ringan sampai berat Menurun Menurun Menurun
adalah:
a.
b.
Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan. Misalnya pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam itbuh (iron replacemen therapy):
Terapi Besi Oral. Terapi besi oral rnerupakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif, murah dan aman. Preparat yang tersedi a adalah fe r r o u s s u lp h at (sulfas ferosus ) merupakan preparat pilihan pertama oleh karena paling murah tetapi efektif. Dosis anjuran adalah 3 x 200 mg. Setiap 200 m-e
sulfas ferosus mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg mengakibatkan absorbsi besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan eritropoesis dua sampai tiga kali normal. Preparat Tain'. ferrows gluconate, feruous fumarat, ferrous lactate dartferrous ,succinote. Sediaan ini harganya lebih mahal, tetapi efektivitas dan efek samping hampir sama dengan sulfas ferosus. Terdapatjuga bentuk sediaan
Anemia Akibat Penyakit Kronik
Trait
Thalassemia
Ringan
Ringan
Menurun/N Menurun/N Menurun < 50
Menurun Menurun Normal/
<30
f
Anemia
Sideroblastik Ringan sampai berat Menurun/N Menurun/N Normal/ 1
TIBC
Meningkat >360
Menurun <300 Menurun/N 10-20Yo
Normal / J Meningkat > 200
Normali J
Saturasi transferin
Menurun < 15%
Besi sumsum tulang Protoporfirin eritrosit
Negatif
Positif
Positif kuat
Meningkat
Meningkat
Normal
Positif dgn rlng slderob/ast Normal
Feritin serum
Menurun <20 ltgll
Normal 20-200 pg/l
Meningkat >50 ps/l
Meningkat >50 pg/l
Elektrofoesis Hb.
Hb 42 meningkat
Meningkat >200k
N
1135
ANEMIADEFISIENSI BESI
enteric coated yang dianggap memberikan efek samping lebih rendah, tetapi dapat mengurangi absorbsi besi. Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung kosong, tetapi efek samping lebih sering dibandingkan dengan pemberian setelah makan. Pada pasien yang mengalami intoleransi, sulfas ferosus dapat diberikan saat
1000 mg. Dosis yang diberikan dapat dihitung melalui rumus di bawah ini:
Kebutuhan besi (mg) = (1s-Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 1000 mg
makan atau setelah makan.
Efek samping utama besi per oral adalah gangguan gastrointestinal yang dijumpai pada 15 sampai 207o,yang sangat mengurangi kepatuhan pasien. Keluhan ini dapat berupa mual, muntah, serta konstipasi. Untuk mengurangi
efek samping besi diberikan saat makan atau dosis dikurangi menjadi 3 x 100 mg. Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan, adajuga
yang menganjurkan sampai
l2
bulan, setelah kadar
Dosis ini dapat diberikan sekaligus atau diberikan dalam beberapa kali pemberian.
c.
. .
.
hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis pemeliharaan yang diberikan adalah 100 sampai 200 kambuhkembali. Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat vitamin C, tetapi dapat meningkatkan efek samping
terapi. Dianjurkan pemberian diet yang banyak mengandung hati dan daging yang banyak mengandung besi.
oral; (2) kepatuhan terhadap obat yang rendah; (3) gangguan pencernaan seperti kolitis ulseratif yang dapat kambuh
jika diberikan besi; (4) penyerapan besi
terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi; (5) keadaan
di mana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi oleh pemberian besi oral, seperti misalnya pada hereditary hemoruha gic te leangi e c to s iai
transfusi darah: ADB jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi pemberian transfusi darah pada anemia kekurangan besi adalah: - Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung - Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing yang sangat menyolok - Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada kehamilan trimester akhir atau preoperasl.
mg. Jika tidak diberikan dosis pemeliharaan, anemia sering
Terapi besi parenteral. Terapi besi parenteral sangat efektif tetapi mempunyai risiko lebih besar dan harganya lebih mahal. Oleh karena risiko ini maka besi parenteral hanya diberikan atas indikasi tertentu. Indikasi pemberian besi parenteral adalah: (1) intoleransi terhadap pemberian besi
Pengobatan lain diet: sebaiknyadiberikan makananbergizi dengan tinggi protein terutama yang berasal dari protein hewani vitamin c: vitamin c diberikan 3 x 100 mg per hari untuk meningkatkan absorposi besi
Jenis darah yang diberikan adalah PRC (packed red
cell) untuk mengurangi bahaya overload. Sebagai premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian furosemid rntravena.
Respons Terhadap Terapi Dalam pengobatan dengan preparat besi, seorang pasien dinyatakan memberikan respons baik bila retikulosit naik pada minggu pertama, mencapai puncak pada hari ke-10 dan normal lagi setelah hari ke14, diikuti kenaikan Hb 0,15 g/hari atau 2 g/dl setelah 3-4 minggu. Hemoglobin menjadi normal setelah 4-10 minggu.
(6) kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti pada kehamilan trimester tiga atau sebelum operasi; (7)
Jika respons terhadap terapi tidak baik, maka perlu
defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian
. . . .
eritropoetin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik. Preparat yang tersedia ialah iron dextran complex (mengandung 50 mg besi/ml), iron sorbitol citric acid complex dan yang terbaru adalah iron fenic gluconate dan iron sucrose yang lebih aman. Besi parenteral dapat diberikan secara intramuskular dalam atau intravena pelan. Pemberian secara intramuskular memberikan rasa nyeri dan memberikan warna hitam pada kulit. Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis, meskipun jarang(0,6Vo). Efek samping lain adalah flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut dan sinkop. Terapi besi parenteral berlujuan untuk mengembalikan kadar hemoglobin dan mengisi besi sebesar 500 sampai
.
dipikirkan: Pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum.
Dosis besi kurang Masih ada perdarahan cukup banyak Ada penyakit lain seperti misalnya penyakit kronik, keradangan menahun atau pada saat yang sama ada defisiensi asam folat Diagnosis defisiensi besi salah. Jika dijumpai keadaan di atas, lakukan evaluasi kembali dan ambil tindakan yang tepat.
PENCEGAHAN Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka diperlukan suatu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat
tt36
HEMIIiIOI.OGI
berupa: . Pendidikankesehatan: - kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian
jamban, perbaikan lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah penyakit cacing tambang
.
penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorbsi besi
Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik paling yang sering dijumpai di daerah
tropik. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat
dilakukan dengan pengobatan masal dengan
.
anthelmentik dan perbaikan sanitasi. Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan
anak balita. Di Indonesia diberikan pada perempuan hamil dan anak balita memakai pil besi dan folat.
. Fortifikasi
bahan makanan dengan besi, yaitu
mencampurkan besi pada bahan makan. Di negara Barat dilakukan dengan mecampur tepung untuk roti atau bubuk susu dengan besi.
REFERENSI Adamson
JW Iron Deficiency and others Hypoproliverative Ane-
mias. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo
DL, Jameson JL (editors). Harrison's Principle of Intemal Medicine. 15'h edition. New York: McGraw Hill, 2001. p. 491-762 Andrews NC. Iron Deficiency and Related Disorders. In: Greer GM, Paraskevas fl Glader B (editors). Wintrobe's Clinical Hematology. 11'h edition. Philadelphia: Lippincot, Williams, Wilkins, 2O04.
p 947-1009.
Brittenham GM. Disorders of Iron Metabolism: Iron Deficiency and Overload. In: Hoffman R, Benz EJ, Shttil SJ, Furie B, Cohen HJ, Silberstein LE, McGlove P (editors). Hematology: Basic Principles and Practice. 3'd edition. New York: Churchill Livingstone, 2000. p 367-382. Conrad ME. Iron Deficiency Anemia. eMedicine Joumal, Vo1 3, No 2, February 19,2002. DeMaeyer EM. Preventing and Controlling Deficiency Anemia Through Primary Health Care. Geneva: WHO; 1989. Fairbanks VF, Beutler E . Iron Deficiency In: Beutler E, Coller BS, Lichtman MA, Kipps TJ (editors). Williams Hematology. 6th edirion. New York: McGraw Hill, 2001 p 441 - 410. Flemrng RE, Sly WS Hepcidin: a putative iron-regulatory hormone relevant to hereditary hemochromatosis and the anemia of chronic disease. PNAS 2001;98:6160-8162. Frewin R, Henson A, Provan D ABC of Clinical Haematology: Iron Deficiency Anaemia BMJ. 1997;314:360 Goddard AF, Mclntyre AS, Scott BB. Guidelines for the management of iron deficiency anaemia. Gut 2000; 46(Supp1 IV):iv1-iv5. Hercberg S. Iron and Folat Deficiency Anaemias. Intemational Child Health 1991; ll:44-60 Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Essential Haematology. 4'h edition. Oxford: Blackwell Science. 2001 Hoffbrand AV, Lewis SM, Tuddenham EGD Postgraduate Haematology 4'h edition. Oxford:Butterworth Heineman, 1999
Andrews NC. Disorders of Iron Metabolism. N Engl J Med 1999;341:1986-1995.
Baker WF. Iron Deficiency in Pregnancy, Obstetrics,
and
Gynecology. Hematol/Oncol Clin N Amer 20001,14(2).
Bakta IM. Hematologi Ringkas. Denpasar : UPT Penerbit Universitas Udayana, 2001. Bakta IM. Infeksi Cacing Tambang pada Orang Dewasa dan Perannya sebagai salah satu Penyebab Anemia Defisiensi Besi: studi
imunoepidemiologik
Med Public Healrh 1994;25: 459-463. Bakta IM. The role of hookworm infection as an etiologic factor of iron dehciency anemia in Bali (Indonesia): an intervention study. Proceedings of VIIIth Congress of Asian Pacific Division International Society of Hematology. Brisbane l5-18 October 1995. Bakta IM, Wijana DP, Sutisna IP. Hookworm infeqtion and iron stores: a survey in a rural community in Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1993;25: 501. Bakta IM. The relationship between hookworm infection and iron stores: a study in adult population of Jagapati Village, Bali, Indonesia. International Journal of Hematology 1996; 64(Suppl 1): S33
di desa Jagapati, Bali
(Disertasi).
Surabaya:Universitas Airlangga, 1993.
IM. Lila IN. Widjana DP & Sutisna P. Anemia dan anemia defisiensi besi di Desa Belumbang, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan Bali. Yogyakarta : Naskah Lengkap KOPAPDI VIII, 1990. Bakta IM. Aspek epidemiologi anemia defisiensi besi. Acta Medica Bakta
Indonesiana 1993;XXV: 1054-1073. Bakta IM. Anemia defisiensi besi pada penduduk dewasa desa Jagapati,
Bali. Acta Medica Indonesiana 1993;XXY:1237-7244. Bakta IM. Anemia kekurangan besi pada usia lanjut Majalah Kedokteran Indonesia 1989; 39: 504-506. Bakta IM. Anemia Defisiensi Besi pada Praktek Swasta seorang Spesialis Penyakit Dalam di Denpasar. Majalah Kedokteran Udayana 19961'27 :ll2-118. Bakta IM, Budhianto FX. Hookworm anemia in the adult population of Jagapati Village, Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop
Hillman RS, Ault KA Hematology in Clinical Practice: A Guide to Diagnosis and Management. 3'd edition. New York: McGraw
Hiil,2002. Kandarini Y. Pemeriksaan indeks eritrosit sebagai uji saring diagnosis anemia defisiensi besi (karya tulis akhir). Denpasar: Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam ,rK Universitas Udayana/RS Sanglah, 2003
Kerlin P, Reiner R, Davies M, Sage RE, Grant AK. Iron Deficiency Anemia - A hospective Study Aust NZ Med I 1979;9:402-401 Mast AE, Blinder MA, Gronowski AM, Chumley C, Scott MG Clinical utility of the soluble transferrin receptor and compari-
.
son with serum ferritin
in
several populations.
Clin Chemistry
1998;44:45-57 Martoatmojo S, Abunain D, Muhilal, Enoch M, Sastroamidjojo S. Masalah anemia gizi pada perempuan hamil dan hubungannya
Gizi dan Makanan 79'73:3:22-41 Schmaier AH, Ptruzzelli KM. Hematology for Medical Student Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2003. Shalr A. Iron Deficiency Anemia Part-I. Indian J Med Sci 2O04;58:1981. Shah A. Iron Deficiency Anemia Part-II. Indian J Med Sci 2004',58:134-137 Shah A. Iron Deficiency Anemia Part-III. Indian J Med Sci dengan pola konsumsi makanan. Penelitian
.
2004;58:214-276.
AT{EMIA DEFISIENSI BESI
Suega K, Dharmayuda TG, Sutarga M, Bakta IM. Iron deficiency in pregnant women in Bali, Indonesia: a profile of risk factors and
epidemiology. Southeast Asian J Trop Med Public Health 2002;33:604-607
.
feritin serum sebagai sarana diagnosis anemia defisiensi besi (karya tulis akhir). Denpasar: Denpasar:
Somayana G. Pemeriksaan
Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FK .Universitas Udayana/RS Sanglah, 2005. WHO Technicai Report Series No. 405. Nutritional Anemia. Geneva:
WHO; 1968.
tl37
180 ANEMIA PADA PENYAKIT KRONIS Iman Supandiman, Heri Fadjari, Lugyanti Sukrisman
PENDAHULUAN
reumatoid merupakan penyebab terbanyak. Enteritis regional, kolitis ulseratif serta sindrom inflamasi lainnya juga dapat disertai anemia pada penyakit kronis.
Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun keganasan. Anemia ini umumnya
Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker, walaupun masih dalam stadium dini dan asimtomatik, seperti
ringan atau sedang, disertai oleh rasa lemah dan penurunan
berat badan dan disebut anemia pada penyakit kronis. Cartwright dan Wintrobe melaporkan bahwa pada tahun 1842, peneliti-peneliti di Perancis telah menemukan adanya massa eritrosit yang lebih rendah pada penderita tifoid dan cacar dibandingkan dengan orang normal. Diketahui
pada sarkoma dan limfoma. Anemia ini biasanya disebut dengan anemia pada kanker (cancer-related anemia).
a. Pemendekan Masa Hidup Eritrosit Diduga anemia yang terjadi merupakan bagian dari sindrom stres hematologik (haematological,stress syndrome), di mana terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi,
di kemudian hari bahwa penyakit infeksi
seperti pneumonia, sifilis, HIV-AIDS dan juga pada penyakit lain seperti artritis reumatoid, limfoma Hodgkin dan kanker sering disertai anemia dan disebut sebagai anemia pada penyakit kronis. Pada umumnya, anemia pada penyakit kronis ditandai oleh kadar Hb berkisar 7- I
I
inflamasi atau kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan sekuestrasi makrofag sehingga mengikat lebih banyak zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa, menekan produksi eritropoietin oleh ginjal. serta menyebabkan
gl dL,kadar Fe serum menurun
disertai TIBC yang rendah, cadangan Fe yang tinggi di jaringan serta produksi sel darah merah berkurang.
perangsangan yang inadekuat pada eritropoiesis di sumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi dapat
menyebabkan penurunan transformasi T4 (tetra-
iodothyronine) menjadi T3 (tri-iodothl,ronine), di mana terjadi penurunan kebutuhan Hb yang mengangkut 02 sehingga
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
menyebabkan hipotiroid fungsional
Laporan/data penyakit tuberkulosis, abses paru,
sintesis eritropoietin-pun akhirnya berkurang.
endokarditis bakteri subakut, osteomielitis dan infeksi jamur kronis serta HfV membuktikan bahwa hampir semua
b. Penghancuran Eritrosit
infeksi supuratif kronis berkaitan dengan anemia. Deraj at anemia sebanding dengan berat ringannya gejala, seperti
Beberapa penelitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit memendek pada sekitar 20-30Eo pasierl Defek ini terjadi di ekstrakorpuskular, karena bila eritrosit pasien
demam, penurunan beratbadan dan debilitas umum. Untuk
terjadinya anemia memerlukan waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi keseimbangan
ditranfusikan ke resipien normal, maka dapat hidup normal.Aktivasi makrofag oleh sitokin menyebabkan
anlara produksi dan penghancuran eritrosit dan Hb menjadi stabil.
peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut dan sebagai bagian dari filter Timpa (compulsive screeningl, menjadi kurang toleran terhadap perubahan/kerusakan
Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama sepefii pada infeksi kronis, tetapi lebih sulit karena terapi yang efektif lebih sedikit. Penyakit kolagen dan artritis
minor dari eritrosit.
1138
1139
ANEMIA PADA PENYAKIT KRONIS
menyebabkan anemia ringan dengan gambaran khas
c. Produksi Eritrosit Gangguan metabolisme zat besi. Kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi cukup menunjukkan adanya gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronis. Hal ini memberikan konsep bahwa anemia disebabkan oleh penurlrnan kemampuan Fe dalam sintesis Hb. Penelitian akhir menunjukkan parameter Fe yang terganggu mungkin tebih penting untuk diagnosis daripada untuk patogenesis anemia tersebut (Tabel 1).
seperti anemia penyakit kronis. Pada kultur sumsum tulang manusia ia akan menekan eritropoiesis pada pembentukan
BFU-E dan CFU-E. Penelitian terkini menunjukkan bahwa efekTNF-o ini melalui IFN-1yang diinduksi oleh TNF dari sel stroma. IL- 1 berperan dalam berbagai manifestasi inflamasi. juga
terdapat dalam serum penderita penyakit kronis. IL-1, seperti halnya TNF, akan menginduksi anemia pada tikus dan menekan pembentukan CFU-E pada kultur sumsum tulang manusia.
Kedua interferon tadi diduga dapat langsung
Anemia Normal Defisiensi Fe Fe plasma (mg/L) TIBC Persen saturasi Kandungan Fe di makrofag Feritin serum Reseptor transferin serum
70-90 250-400 30 ++
20-200 8-28
Anemia Penyakit Kronis
30
30
>450
<200
7
'15
+++ 10
150
>28
8-28
TlBC-total iron binding capacity
Pengukuran kecepatan penyerapan zat besi oleh saluran cerna pada beberapa kasus dengan kelainan kronis memberikan hasil yang sangat bervariasi. sehingga tidak
dapat disimpulkan. Pada umumnya memang terdapat gangguan absorbsi, walaupun ringan. Ambilan zat besi ke sel-sel usus dan pengikatan oleh apoferitin intrasel masih normal, sehingga defek agaknya terjadi saat pembebasan Fe dari makrofag dan sel-sel hepar pada pasien penyakit kronis. (kalimat ini dihapus)
menghambat CFU-E tanpa melalui efek TNF-cx, serta dapat
menekan progenitor non-eritroid. Walaupun demikian, bagaimana peranannya dalam patogenesis anemia secara pasti belum dapat dijelaskan, karena masih banyak faktorfaktor lain yang tak terduga yang mungkin berperan penting dalam patogenesis anemia jenis ini.
GAMBARAN KLINIS Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan sedang, sering kali gejalanya tertutup oleh gejalapenyakit dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-Il grldL umumnya asimtomatik. Meskipun demikian apabila demam atau
debilitas fisik meningkat, pengurangan kapasitas transport 02 jaringan akan memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai konjungtiva yang pucat tanpa kelainan yang khas dari anemia jenis ini, dan diagnosis biasanya tergantung dari hasil pemeriksaan laboratorium.
Fungsi sumsum tulang. Meskipun sumsum tuiang yang
nornal dapat mengkompensasi pemendekan masa hidup eitrosit, diperlukan stimulus eritropoietin oleh hipoksia akibat anemia. Pada penyakit kronis, kompensasi yang
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
terjadi kurang dari yang diharapkan akibat berkurangnya
Anemia umumnya adalah normokrom-normositer,
penglepasan atau menurunnya respons terhadap
meskipun banyak pasien mempunyai gambaran hipokrom dengan MCHC <3I gldL dan beberapa mempunyai sel mikrositer dengan MCV <80 fL. Nilai retikulosit absolut dalam batas normal atau sedikit meningkat. Perubahan pada leukosit dan trombosit tidak konsisten, tergantung
eritropoietin. Penelitian mengenai penglepasan eritropoietin menunjukkan hasil yang berbeda-beda; pada beberapa penelitian kadar eritropoietin tidak berbeda bermakna pada
pasien anemia tanpa kelainanan kronis, sedangkan penelitian lain menunjukkan penurunan produksi
dari penyakit dasarnya. Penurunan Fe serum (hipoferemia) merupakan kondisi
eritropoietin sebagai respons terhadap anemia sedangberat. Agaknya hal ini disebabkan oleh sitokin, seperti IL- I dan TNF-cr yang dikeluarkan oleh sel-sel yang cedera.
sine qua non rntlk diagnosis anemia penyakit kronis. Keadaan ini timbul segera setelah onset suatu infeksi atau
Penelitian invitro pada sel hepatoma menunjukkan bahwa sitokin-sitokin ini mengurangi sintesis eritropoietin. Terdapat 3 jenis sitokin yakni TNF-cr, IL-1, IFN-y yang ditemukan dalam plasma pasien dengan penyakit inflamasi atau kanker, dan terdapat hubungan secara langsung antara kadar sitokin ini dengan beratnya anemia. TNF-u dihasilkan
inflamasi dan mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi protein pengikat Fe (transferin) menurun menyebabkan saturasi Fe yang lebih tinggi daripada anemia defisiensi besi. Proteksi saturasi Fe ini relatif mungkin mencukupi dengan meningkatkan transfer Fe dari suatu persediaan yang kurang dari Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid
oleh makrofag aktif dan bila disuntikan pada tikus
imatur.
tt40
HEMAIIOI.OGI
Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi
c. Eritropoietin.
Data penelitian menunjukkan bahwa
lebih lambat daripada penurunan kadar Fe serum,
pemberian eritropoietin bermanfaat dan sudah
disebabkan karena waktu paruh transferin lebih lama (8- 12 hari) dibandingkan dengan Fe (90 menit) dan karena fungsi metabolik yang berbeda.
kanker, gagal ginjal, mieloma multipel, artritis reumatoid
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING Meskipun banyak pasien dengan infeksi kronik, inflamasi dan keganasan menderita anemia, anemia tersebut disebut anemia pada penyakit kronis hanya jika anemia sedang, selularitas sumsum tulang normal, kadar besi serum dan
disepakati untuk diberikan pada pasien anemi akibat dan pasien HIV. Selain dapat menghindari transfusi beserta efek sampingnya, pemberian eritropoietin mepunyai beberapa keuntungan, yakni: mempunyai efek anti inflamasi dengan cara menekan produksi TNFu dan interferon-y. Dilain pihak, pemberian eritropoietin akan menambah proliferasi sel-sel kanker ginjal serta meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan leher.
Saat ini terdapat tiga jenis eritropoietin, yakni eritropoietin alfa, eritropoietin beta dan darbopoietin.
TIBC rendah, kadar besi dalam makrofag dalam sumsum tulang normal atau meningkat, serta feritin serum yang
Masing-masing berbeda struktur kimiawi, afinitas terhadap reseptor, dan waktu paruhnya sehingga memungkinkan kita
meningkat.
memilih mana yang lebih tepat untuk suatu kasus. Dengan demikian mekanisme terjadinya anemia pada penyakit kronis merupakan hal yang harus dipahami oleh
Beberapa penyebab anemia berikut ini merupakan diagnosis banding atau mengaburkan diagnosis anemia pada penyakit kronis: 1. Anemia dilusional. Pada penyakit kronis terutama pada keganasan stadium lanjut. 2. Drug -induced marrow s uppre s s ion atat drug - induc e d hemolysis. Pada penekanan sumsum tulang akibat obat, kadar besi serum tinggi. Pemeriksaan hitung retikulosit,
haptoglobin, bilirubin LDH dan tes Coombs harus dilakukan untuk menyingkirkan hemolisis.
3. Perdarahan kronis. 4. Thalasemiaminor. 5. Gangguan ginjal.
REFERENSI Erslev AJ. Anemia of chronic disease. In: Beutler E, Lichtman MA, Col1er BS,Kipps TJ, Seligsohn U, eds. Williams Hematology 6'h ed. New-York: McGraw-Hill Medical publishing division 2001;
4l:481-7
Pada keadaan
ini umur eritrosit
memendek dan terdapat kegagalan relatif sumsum tulang.
6.
setiap dokter sebelum memberikan transfusi, preparat besi maupun eritropoietin.
Metastasis pada sumsum tulang.
PENGOBATAN
.
Gasche C, Waldhoer T, Feichtenschlager T, et al. Prediction of
response to iron sucrose
in inflammatory bowel
disease-
associated associated anemia. Am J Gastroenterol. 20O1:96:2382-'7
.
Henke M, Laszig R, Rube C. et al Erythropoietin to treat head and neck cancer patients with anaemia undergoing radiotherapy: randomised, double-blind, placebocontrolled trial. Lancet 20O3:362:1255-60.
Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah
Leyland-Jones
mengobati penyakit dasamya. Terdapat beberapa pilihan dalam mengobati anemia jenis ini, antara lain: a Tlansfusi. Merupakan pilihan pada kasus-kasus yang
terminated unexpectedly. Lancet Oncol. 2003;4:459-60. Papadaki HA, Kritikos HD, Valatas V et al Anemia of chronic disease in rheumatoid arthritis is associated with increased apoptosis of bone marrow erythroid cells: improvement following anti-tumor necrosis factor-alpha antibody therapy. Blood 2002:100:47 4-82. Spivak JL. Iron and the anemia of chronic disease. Oncology (hunting). 2002; I 6:Suppl 1 0:25-33 Stenvinkel P. The role of inflammation in the anaemia of end-stage renal disease. Nephrol Dial Transplant. 2001 ; 16:Suppll :36-40 Tilg H, Ulmer H, Kaser A, Weiss G Role of IL-10 for induction of anemia during infl ammation.J Immunol. 2002;769 :2204-9. Wilson A, Reyes E, Ofman J. Prevalence and outcomes of anemia in
diseftai gangguan hemodinamik. Tidak ada batasan yang pasti pada kadar hemoglobin berapa kita harus memberi
h
transfusi. Beberapa literatur disebutkan bahwa pasien anemia penyakit kronik yang terkena infark miokard, transfusi dapat menurunkan angka kematian secara bermakna. Demikian juga pada pasien anemia akibat kanker, sebaiknya kadar Hb diperlahankan 1 0- 1 1 grldl-. Preparat besi. Pemberian preparat besi pada anemia penyakit kronis masih terus dalam perdebatan. Sebagian pakar masih memberikan preparat besi dengan alasan besi dapat mencegah pembentukan TNF-cx. Alasan lain, pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat besi terbukti dapat meningkatkan kadar hemoglobin. Terlepas dari adanya pro dan kontra, sampai saat ini pemberian preparat besi masih belum direkomendasikan untuk diberikan pada anemia pada penyakit kronis.
B. Breast cancer trial with
erythropoietin
inflammatory bowel disease: a systematic review of the literature. Am J Med 2004;116:Supp17A:S44-S9. Weiss G, Goodnough
2005:3521 Weiss
G
I 0.1: I
LL Anemia of chronic
disease.
N Engl J Med.
0 I I -23.
Pathogenesis and treatment
of anaemia of chronic
disease.
Blood Rev. 2002:16:87 -96.
Wstenfelder C, Baranowski RL. Erythropoietin stimulates proliferation of human renal carcinoma cells. Kidney Int. 2000158: 641-51.
181 ANEMIA MEGALOBLASTIK Soenafto
Kebanyakan anemia megaloblastik disebabkan karena
PENDAHULUAN
defisiensi vitamin B 12 (kobalamin) dan atau asam folat.
Anemia megaloblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis DNA dan ditandai oleh sel megaloblastik. Kriteria anemia dan defisiensi gizi menurutWHO 1912 sebagai berikut: Dinyatakan Anemia, bila kadar hemoglobin (Hb) pada ketinggian permukaan laut lebih rendah dari nilai pada golongan umur yang ada yaitu : Anak umur 6 bulan - 6 tahun 6 tahun - 14 tahun Pria dewasa Perempuan dewasa tak hamil Perempuan dewasa hamil
119/100ml
12gll00nn t3 grl100 ntl
Berbagai macam keadaan klinik yang berkaitan dengan anemia megaloblastik dapat diklasifikasikan seperli yang tertera berikut ini.
KLASIFIKASI ANEMTA MEGALOBLASTIK
Defisiensi Kobalamin
. .
12grl100mI 11gr/100mI
Asupan tidak cukup: vegetarian (arang)
Malabsorbsi - Defek penyampaian dari kobalamin dari makanan: achlorhidria gaster, gastrektomi, obat-obat yang
Untuk anemia gizi, selain kadar Hb ditambah tolok ukur
-
kadar besi, asam Folat dan vitamin B 12.
Perlu diingat bahwa peningkatan atau penurunan Hb hematokrit (Ht) adakalanya palsu. Keadaan yang dapat meningkat palsu ialah: berkurangnya plasma darah,
mia pernisiosa, Gastrektomi total, Abnormalitas fungsional atau tak adanya faktor intrinsik yang
dan
bersifat kongenital.
.-
combusio (luka bakar), diuresis yang berlebihan, dehidrasi. Kadar rendah palsu contohnya pada keadaan hamil atau dekompensasi jantung.
Anemia megaloblastik adalah gangguan yang
(arang)
- Kompetisi pada kobalamin: fish
tapeworm
(Diphylobotrium latum), Bakteri blind loop
awal hematopoietik dan epitel gastrointestinal. Pembelahan
syndrome
-
sel terjadi lambat, tetapi perkembangan sitoplasmik
dihancurkan dalam sumsum tulang. Dengan demikian selularitas sumsum tulang sering meningkat tetapi produksi sel darah merah berkurang, dan keadaan abnormal ini disebut dengan istilah eritropoiesis yang tidak efektif (ineffe ctiv e e ry throp oi e s i s).
Gangguandariileumterminalis: spruetropikal, sprue non tropikal, enteritis regional, reseksi intestinum, neoplasma dan gangguan granulomatosa (arang), sindrom Imerslund (malabsorbsi kobalamrn selektif)
disebabkan oleh sintesis DNA yang terganggu. Sel-sel yang pertama dipengaruhi adalah yang secara relatif mempunyai sifat perubahan yang cepat, terutama sel-sel
normal, sehingga sel-sel megaloblastik cenderung menjadi besar dengan peningkatan rasio dari RNA terhadap DNA. Sel-sel awal/pendahulu eritroid megaloblastik cenderung
menghalangi sekresi asam Produksi faktor intrinsik yang tak mencukupi: ane-
.
Obat-obalan
'.
p-aminosalicylic acid, kolkisin,
neomsln.
Lain lain: NO (Nitrous oxide) anesthesia, defisiensi transkobalamin II (arang), defek enzim kongenital (arang).
Defisiensi Asam Folat Asupan yang tak adekuat: diet yang tak seimbang (sering
tl4l
tt42
HEMAIIOI.OGI
pada peminum alkohol, usia belasan tahun, beberapa bayi)
Keperluan yang meningkat : kehamilan, bayi, keganasan, peningkatan hematopoiesis (anemia hemolitik kronik), kelainan kulit eksfoliatif kronik, hemolisis
Malabsorbsi: sprue tropikal, sprue nontropikal, obat-obat: phenytoin, barbiturat (?) ethanol Metabolisme yang Terganggu: penghamb at dihydrofolat re ductas e (metotreksat, pirimetamin, triamteren. pentamidin, trimetoprin). Alkohol, Jarang defisiensi enzim (dihy drofolat reductase, dll).
Sebab-sebablain Obat-obat yang mengganggu metabolisme DNA: antagonis purin (6 merkaptopurin, azatioprin, dll). Antagonis pirimidin
(5-fluorourasil, sitosin arabinose, dll). Lain-lain
:
prokarbazin, hidroksiurea, acyclovir, zidovudin
Gangguan metabolik (iarang): asiduria urotik herediter, sindrom Lesch-Nyhan, lain lain Anemia megaloblastik dengan penyebab tak diketahui: anemia megaloblastik refrakter, Sindrom Diguglielmo, anemia diseritropoietik kongenital.
ASAM FOLAT DAN VITAMIN 812 Asam folat dan vitamin B72 adalahzatyatgberhubungan dengan unsur makanan yang sangat penting bagi tubuh.
Peran utama asam folat dan vitamin B12 ialah dalam metabolisme intraselular. Seperti yang diterangkan di depan, adanya defisiensi kedua zat tersebut akan menghasilkan tidak sempurnanya sintesis DNA pada tiap sel, di mana pembelahan kromosom sedang terjadi. Jaringan-jaringan yang memiliki pergantian sel yang sangat cepat akan mengalami perubahan yang sangat dramatis. antara lain adalah sistem hematopoiesis yang sangat
sensitif pada defisiensi dan menyebabkan anemia megaloblastik.
Asam folat adalah nama yang biasa diberikan pada asampteroylmonoglutamic. Zat ini disintesis pada banyak macam tanaman dan bakteri. Buah-buahan dan sayur merupakan sumber diet utama dari vitamin. Beberapa bentuk dari asam folat dalam diet sangat labil dan dapat menjadi rusak pada waktu dimasak. Keperluan minimal tiap hari secara normal kurang lebih 50 ug, tetapi pada keadaan tertentu akan meningkat sejalan dengan peningkatan metabolisme seperti pada kehamilan. Defisiensi folat merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penyakit usus halus karena penyakit tersebut
dapat mengganggu absorbsi folat dari makanan dan resirkulasi folat lewat siklus enterohepatik. Pada
megaloblastik. Penyakit seperli anemia hemolitik dapatpula jadi rumit oleh komplikasi defisiensi folat yang dapat terjadi. Obatobat yang menghambat dihidrofolat reduktase (antara lain metotreksat, trimetoprim) atau yang dapat mengganggu
absorbsi dan penyimpanan folat dalam jaringan tubuh (antikonvul san tertentu, kontraseptif oral) mampu mengakibatkan penurunan kadar folat dalam plasma, dan bersamaan waktunya dapat menjadi penyebab anemia megaloblastik. Hal ini karena adanya gangguan maturasi yang disebabkan oleh defek inti sel. Jadi gangguan maturasi yang timbul dalam pertumbuhan sel darah merah karena defisiensi asam folat atau vitamin B I 2 disebabkan karena timbulnya defek dari inti sel darah merah yang muda dalam sumsum tulang. Folat dalam plasma pertama ditemukan dalam bentuk dari N5-metiltetrahidrofolat, suatu monoglutamat, yang ditransport ke dalam sel-sel oleh zat pengangkut yaitu yang khusus dalam bentuk tetrahidro dari vitamin. Setelah di
dalam sel, gugus N5-metil dilepas ke dalam reaksi kobalamin yang diperlukan, dan folat kemudian diubah
menjadi bentuk poliglutamat. Konjugasi pada polyglutamate mungkin berguna untuk penyimpanan folat di dalam sel. Ikatan folat dengan protein tampak dalam plasma, susu,
dan cairan tubuh lain. Fungsi ikatan folat dan ikatan dengan membran perintisnya hingga kini belum diketahui. Baik bentuk ikatan maupun perintisnya ada kaitannya dengan pengangkutan tetrahidrofolat. Fungsi utama senyawa folat ialah memindahkan "1karbon moieties" seperti gugus-gugus metil dan formil ke berbagai senyawa organik. Sumber dari "1-karbon moi-
eties" biasanya adalah serin, yang bereaksi dengan
tetrahidrofolat menghasilkan glisin dan N5-10metilentetrahidrofolat. Sumber pilihan lain adalah asam fbrmiminoglutamat, suatu lanjutan dalam katabolisme
histidin, yang menyampaikan gugus formimino tetrahidrofolat dan asam glutamat. Derivat-derivat tersebut menyediakan tempat masuk ke dalam kelompok pemberi dan mudah saling menukar yang terdiri dari derivat-derivat
tetrahidrofolat pembawa macam-macam "1-carbon moieties".
Unsur-unsur pokok dari kelompok tersebut dapat memberikan "1-karbon moieties" mereka kepada senyawasenyawa penerima yang sesuai, guna membentuk lanjutan metabolik dengan tquan akhir mengubah pembentukan blok-blok yang digunakan untuk sintesis makromolekulmakromolekul. Yang sangat penting dalam pembentukan blok-blok tersebut adalah:
alkoholisme akut atau kronik, asupan harian folat dalam makanan akan terhambat, dan siklus enterohepatik akan
Purin-purin,
terganggu oleh efek toksik dari alkohol pada sel sel
Deoksitimidilat monofosfat (dTMP), disintesis dari N5-10 metilentetrahidrofolat dan deoksiuridilat monofosfat (dUMP);dan
parenkim hati, hal ini yang menjadi penyebab utama dari
defisiensi folat yang menimbulkan eritropoiesis
di mana atom-atomc-z dan C-8 dimasukkan
dalam reaksi ketergantungan pada folat;
Lt43
ANEMIAMEGALOBI.ASTIK
Metionin, yang dibentuk oleh peralihan dari gugus metil
segera berparti sipasi dalam siklus perpindahan 1 -karbon. Selama produksi dTMP dari dUPM fragmen l-karbon telah direduksi dari formaldehid ke gugus metil dalam perjalanan
dari N5-metiltetrahidrofolat ke homosistein. Lebih lanjut dapat dilihat pada gambar metabolisme folat sebagai berikut
dari reaksi perpindahan, yang tidak sebagai THF, tetapi sebagai dihidrofolat (DHF). Untuk partisipasi selanj utn y a
(Gambar 1).
ke dalam siklus perpindahan 1-karbon, DHF telah direduksi
menjadi THF. Reaksi
Niro - metil THF
ini dikatalisis oleh dihidrofolat
reduktase.
atau
N5 - tbnnil THF
r
+
Vitamin
812
l
cH2cH2coNH2
CONHTI C!,
H.
cH2CH2GONH2
N I
Co*
CONH,-
l"r-
NHCOCH2CHi
cH,
bn.
N
cH.
il
'cH.
t9'.
bHrcHrcoNH,
-?HcH.
Metil THF
Gambar 1. Metabolisme folat
oH-cbr
Folat sangat penting untuk sintesis de rtota purin. deoksitimidilat monofosfat (dTMP). dan metionin. seba-sai lanjutan pembawa dari fiagmen-fragmen 1-karbon 1,sng digunakan untuk biosintesis dari senyawa-senyawa tersebut. Bentuk aktifnya adalah tetrahidrofolat (THF).
_l
Gambar 3. Fumus kimia vitamin 812 Methylcobalamine, Adenosylcobalamine Coenzyme untuk methionine synthase dan L - methylmalonyl - CoA mutase.
Derifat aktif atau bentuk kofaktor. Bentuk bentuk poliglutamat dari tetrahidrofolat dengan unit karbon
Folat cooH
tambahan.
I
Fungsi utama sebagai koenzim guna satu pengangkut
CH I
CH.
l"
CH.
cI
il
r.r ,,-
cooH I
cH I
cH. I
cHz I
C-OH ll
o
l
Gambar 2. Rumus kimia lolat
THF memperoleh fragmen l-karbon, terutama dari serin, yang merubah menjadi glisin dalam rangkaian dari reaksi. Untuk sintesis purin, fragmen 1-karbon pertama dioksidasi ke tingkat dari asam formik, lalu mengirimkan ke substrat.
Untuk sintesis metionin, keperluan reaksi kobalamin, fragmen 1-karbon pertama dikurangi sampai tingkat gugus methyl, lalu dikirimkan ke homosistein. Dalam reaksi ini kofaktor tertentu dikeluarkan sebagai THF, yang dapat
karbon dalam asam nukleat. dari metabolisme asam amino. Kobalamin adalah vitamin yang mempunyai susunan komponen organometalik yang kompleks, di mana atom cobalt terletak dalam inti cincin, suatu struktur yang mirip bentuk porfirin dari mana Heme dibentuk. Tidak seperti heme, namun kobalamin tidak dapat disintesis dalam tubuh manusia dan harus di penuhi dari makanan. Sumber utama hanya dari daging dan susu. Keperluan minimum sehari untuk kobalamin kurang lebih 2,5 ug. Selama pencernaan dalam lambung, kobalamin dalam makanan dikeluarkan dalam bentuk-bentuk kompleks yang stabil dengan pengikat gaster R, salah satu keluarga gugus
yang terdekat dari glikoprotein glikoprotein yang fungsinya belum diketahui, yang terdapat dalam sekresi (misalnya, saliva, susu, cairan lambung, empedu), fagosit dan plasma.
Pada saat memasuki duodenum, ikatan kompleks kobalamin-R dicerna, dan menghasilkan kobalamin. yang
rt44
HEITiIAIOI-OGI
kemudian terikat pada faktor intrinsik (FI), suatu
cepat dibersihkan dari dar ah (lz sampai
glikoprotein dengan berat 50-kDa yang dihasilkan oleh sel-sel parietal dari lambung. Sekresi dari faktor intrinsik
pembersihan dari kobalamin yang terikat pada TC I
umumnya sejalan dengan asam lambung. Ikatan kompleks kobalamin-Fl dapat melawan untuk dicerna oleh proteolitik
dan melintas menuju ke ileum distal, dimana reseptor reseptor spesifik pada vili mukosa dan menyerap kompleks kobalamrn-Fl. Jadi FI, seperti halnya ikatan besi transferin, adalah protein sel pengatur alat pengangkut. Reseptor pengikat kompleks kobalamin-Fl akan dibawa masuk ke sel mukosa ileum. di mana FI kemudian dimusnahkan dan kobalamin dipindahkan ke lain protein pengangkut, yaitu
transkobalamin (TC)
II.
Kompleks kobalamin-Tc
II
kemudian disekresi kedalam sirkulasi, dari situ dengan cepat dibawa ke hati, sumsum tulang, dan sel lain. Jalur penyerapan kobalamin dapat disimak pada Gambar 4.
1
j
am), sedan gkan
memerlukan waktu berhari hari. Hingga kini fungsi TC I belum diketahui. Di dalam sel sel tubuh manusia, kobalamin merupakan faktor yang esensial bagi dua enzim, yaitu metionin sintase dan metil malonil-koenzimA(CoA) sintase. Kobalamin ada dalam duabentuk aktif metabolik, yang dikenal pada gugus alkil yang terikat pada enam posisi koordinasi dari atom Cobalt yaitu : metilkobalamin dan adenosilkobalamin (uga
disebut vitamin
Bl2). Sianokobalamin belum diketahui
peran fisiologisnya dan harus diubah ke bentuk biologis aktif sebelum dapat digunakan oleh jaringan jaringan. Metilkobalamin adalah bentuk yang diperlukan untuk metionin sintase, yang bertindak sebagai katalisator dalam perubahan homosistein ke metionin (Gambar 1). Bila reaksi tersebut terganggu, maka metabolisme folat menjadi kacau; dan dalam kekacauan ini yang menjadi latar belakang kerusakan dalam sintesa DNA dan pada pasien dengan
defisiensi kobalamin timbul adanya bentuk maturasi megaloblastik.
il
lleum terminal
cbt
Darah
Sel
jaringan
terkonjugasi, meskipun kadar serum folat normal atau
Gambar 4. Jalur penyerapan kobalamin
supranormal. Ini dapat pula menerangkan mengapa dengan
Dalam keadaan normal kurang lebih 2 mg kobalamin disimpan dalam hati, dan selain itu 2 mg disimpan di jaringan
seluruh tubuh. Dari sudut pandang keperluan harian minimal, kurang lebih 3 sampai 6 tahun diperlukan untuk
individu normal menjadi kekurangan kobalamin bila
II
pemberian folat besar dapat menghasilkan remisi hematologik parsial pada pasien dengan defisiensi kobalamin.
Kadar plasma hemosistein meningkat pada defisiensi folat dan kobalamin, dan kadar yang tinggi dari homosistein plasma tampaknya merupakan faktor risiko untuk kejadian trombosis vena dan arteri. Hingga kini belum diketahui
absorbsi dihentikan secara tiba tiba.
Meskipun TC
Pada dehsiensi kobalamin, maka N5 -metiltetrahidrofolat yang tak terkonjugasi, yang baru diambil dari aliran darah, tidak dapat diubah menjadi bentuk lain dari tetrahidrofolat oleh transfer metil. Ini yang disebut hipotese folat trap. Karena N5-metiltetrahidrofolat adalah substrat yang tak baik untuk enzim konjugasi, keadaan ini sebagian besar tetap dalam bentuk tak terkonjugasi dan dengan pelan pelan keluar dari sel. Karenanya defisiensi folat dijaringan akan terjadi, dan ini akan menimbulkan hematoporesis megaloblastik. Hipotesis ini dapat menerangkan mengapa simpanan folat jaringan pada defisiensi kobalamin secara substansial, maka dengan penurunan yang tidak seimbang dalam konjugasi, bila dibanding dengan folat yang tidak
adalah saatu acceptor g:lrra
bahwa hiperhomosistein yang diakibatkan oleh defisiensi
penyerapan baru dari kobalamin, dimana kebanyakan kobalamin yang beredar dalam sirkulasi diikat pada TC I, yaitu suatu glikoprotein yang sangat erat hubungannya dengan pengikat'R gaster. TC I tampaknya diturunkan sebagai bagian dari lekosit. Yang berlawanan ialah bahwa kebanyakan kobalamin yang beredar terikat pada TC I dari
folat atau kobalamin merupakan predisposisi untuk trombosis atau mengubah respons dari pengobatan.
Adenilkobalamin diperlukan untuk konversi dari metilmalonil CoA menjadi succinyl CoA. Tidak adanya
pada yang terikat pada TC II; meskipun demikian pengangkutan awalnya dari semua kobalamin yang diabsorbsi oleh intestinum, dapat diterangkan dengan
kofaktor ini yang berperan penting dalam peningkatan yang cukup besar dalam kadar jaringan dari metil malonil CoA dan pendahulunya, yaitu propionil CoA. Sebagai konsekuensi, maka asam lemak nonfisiologik yang mengandung sejumlah atom karbon yang berlebihan akan
II dengan
disintesis dan bergabung menjadi Lipid neuronal.
adanya fakta bahwa ikatan kobalamin pada TC
tl45
AI\EMIA MEGAI.OBIASTTIK
Abnormalitas biokimiawi ini dapat mempunyai sumbangan akan te{ adinya komplikasi neurologis defisiensi kobalamin.
GANGGUAN KLINIS Sebagaimana terlera dalam klasilftasi anemia megaloblastik,
kausa dari anemia megaloblastik sangat bervariasi tergantung dari keadaan wilayah di dunia ini. Di wilayah dengan udara dingin, defisiensi folat sering terjadi pada pecandu alkohol, sedangkan defisiensi kobalamin disebabkan karena anemia pernisiosa atau aklorhidria merupakan tipe yang sering dari anemia megaloblastik.
Di wilayah tropis, sprue
adil.ah endemik yang merupakan penyebab penting timbulnya anemia megaloblastik, sedangkan di Skandinavia, adanya cacing pita dalam ikan yaitu Difilobotrium latumi, mungkin sebagai
penyebabnya. Tentang infestasi cacing pita di masyarakat Bali perlu mendapat perhatian.
Defisiensi kobalamin kebanyakan selalu berkaitan dengan malabsorbsi. Asupan harian kobalamin lebih dari cukup untuk keperluan tubuh, kecuali pada vegetarian. Berbeda dengan asupan harian asam folat adalah kecil di banyak wilayah di dunia. Lebih lanjut, karena simpanan asam folat dalam tubuh relatifrendah, maka defisiensi asam folat dapat timbul mendadak selama periode berkurangnya
asupan atau meningkatnya keperluan metabolik. Dan terakhir, defisiensi asam folat dapat disebabkan oleh malabsorbsi. Sering pula dua atau lebih faktor yang berdampingan akan berakibat pada pasien. Tidakjarang kombinasi defisiensi kobalamin dan asam folat dapat terjadi. Pada para pasien " tropical sprue " sering timbul defisiensi kedua vitamin tersebut.
Lesi biokimiawi sebagai akibat dalam maturasi megaloblastik dari sel sel sumsum tulang juga dapat mengakibatkan abnormalitas fungsional dan struktural dari
sel sel epitel yang cepat berproliferasi dari mukosa intestinum. Jadi defisiensi yang berat dari salah satu vitamin dapat mengakibatkan malabsorbsi. Anemia megaloblastik dapat pula dipengaruhi oleh faktor faktor yang tak ada kaitannya dengan defisiensi vitamin. Kebanyakan dari penyebab tersebut dikarenakan obat obat yang mengganggu sintesis DNA. Meskipun kurang sering, maturasi megaloblastik dapat merupakan gambaran defek sel induk hematopoietik yang didapat. Dan sangatjarang ialah adanya defisiensi enzim spesifik yang
kongenital.
Defisiensi Kobalamin Gambaran klinis defisiensi kobalamin melibatkan darah, traktus gastrointestinal, dan sistema nervorum. Manifestasi hematologis sepenuhnya selalu berakibat
anemia, meskipun sangat jarang purpura, dapat pula tampak, karenatrombositopeni. Keluhan dari anemia dapat
terungkap seperti rasa lemah, nyeri kepala ringan, vertigo,
tinitus, palpitasi, angina dan keluhan yang berkaitan dengan kegagalan jantung kongestif. Tanda fisik dari pasien dengan defisiensi kobalamin yaitu pucat, dengan kulit sedikit kekuningan begitu juga mata. Peningkatan kadar bilirubin ada kaitannya dengan tingginya pelipat gandaan sel sel eritroid dalam sumsum tulang. Nadi denyutnya cepat, dan jantung mungkin membesar, pada auskultasi biasanya terdengar bising sistolik.
Manifestasi gastrointestinal karena defisiensi kobalamin akan ada keluhan nyeri lidah, yang pada inspeksi tampak papil lidah halus dan kemerahan. Keluhan
lain yaitu anorexia dengan turunnya berat badan, kemungkinan bersamaan dengan diare dan lain-lain keluhan gastrointestinal. Manifestasi yang terakhir ini muogkin merupakan bagian dari megaloblastosis dari epitel usus halus, yang mengakibatkan malabsorbsi.
Manifestasi gangguan neurologis,
sering
mengakibatkan gagal sepenuhnya dalam upaya pengobatan. Perubahan patologi yang awal adalah demielinasi, kemudian diikuti oleh degenerasi aksonal dan
akhirnya kematian neuronal; dan stadium akhir dari perjalanan penyakit ialah tak dapat pulih. Tempat yang menderita gangguan termasuk syaraf perifer; medula spinalis, dimana kolumna posterior dan lateral mengalami demielinasi; dan juga serebrum sendiri. Keluhan dan gejala termasuk mati rasa dan parestesia pada ekstremitas, kelemahan dan ataksia. Kemungkinan terjadi gangguan dari sfingter. Refleks-refleks mungkin hilang atau meningkat. Tanda Romberg dan Babinsky mungkin dapat
positif dan rasa sikap dan getaran biasanya hilang. Gangguan mental mulai dari sifat mudah marah yang ringan dan mudah lupa sampai demensia yang berat atau psikosis
yang sesungguhnya. Hendaklah diingat bahwa penyakit neurologik dapat pula tampak pada pasien dengan hematokrit dan indeks sel darah merah yang normal. Kemungkinan akan banyak keuntungannya dengan pemberian suplemen folat dalammakanan, yang mungkin dapat memperbaiki keadaan seperti gejala neurologis karena defisiensi kobalamin. Gangguan pelepasan kobalamin dari makanan, kejadiannya belum dapat diketahui, Seperti diketahui kobalamin dalam makanan terikat pada enzim dalam daging dan kemudian dipisahkan dari enzim tersebut oleh asam hidroklorida dan pepsin dalam lambung.
Umumnya orang orang berusia lebih dari 70 tahun mengalami aklonidria. Karenanya mereka tak mampu untuk
membebaskan kobalamin dari sumber makanan tapi memelihara kemampuan absorbsi kristalin B12, suatu bentuk yang paling sering terdapat dalam multivitamin. Ternyata hanya sebagian kecil dari orang orang usia lebih dari'70 tahun yang mengalami defisiensi kobalamin, tapi banyak yang mengidap perubahan biokimiawi, ini termasuk kadar yang rendah dari ikatan kobalamin dengan TC II
tt46
HEMAIOI.OGI
dan peningkatan kadar homosistein, yang dapat meramalkan defisiensi kobalamin Hal yang serupa yaitu para pasien yang mengalami berkurangnya produksi asam lambung karena obat-obatan, seperti omeprazol, dapat juga mengganggu pelepasan kobalamin dari makanan. Namun, "proton pump inhibrtof' tidak menghambat sekresi faktor intrinsik dari sel-sel parietal.
Anemia Pernisiosa Anemia pernisiosa, dianggap yang paling lazim sebagai penyebab defisiensi kobalamin. Ini disebabkan karena tidak adanya faktor intrinsik dan adanya atrofi dari mukosa maupun destruksi autoimun dari sel sel parietal. Untuk orang orang Asia hal tersebut jarang terjadi. Ini merupakan penyakit untuk manusia usia lanjut, jarang untuk usia di bawah 30 tahun, meskipun anemia pemisiosa yang khas dapat terjadi pada anak umur di bawah 10 tahun (Juvenile
pernicious anemia). Adanya kondisi kelainan yang diwariskan dimana keadaan histologik lambung yang normal dan mengeluarkan faktor intrinsik baik yang abnormal maupun sama sekali tidak disekresi akan mengakibatkan defisiensi pada bayi atau anak sangat muda.
Kejadian anemia pernisiosa secara substansial meningkat pada penyakit penyakit imunologik, termasuk
penyakit Grave, miksedema, tiroiditis, insufisiensi adenokortikal idiopatik, vitiligo, dan hipoparatiroidisme. Pasien anemia pernisiosa juga mempunyai antibodi dalam
sirkulasi yang abnormal, yang berkaitan dengan penyakitnya: yaitu 907o mempunyai antibodi sel antiparietal, yang langsung melawan H+, K+-AIPase, sedangkan 60Vo memp]urtyai antibodi antifaktor intrinsik.
Antibodi sel antiparietal juga dijumpai pada 50Vo para pasien atrofi gaster tanpa anemia pernisiosa, demikian pula
l0
sampai 157o dari populasi pasien yang tak diseleksi, tetapi antibodi antifaktor intrinsik biasanya tidak ada pada para pasien tersebut. Sanak keluarga dari terdapat pada
para pasien anemia pernisiosa terdapat peningkatan kejadian penyakit, walaupun keluarga yang terkena kemungkinan juga mempunyai antibodi antifaktor intrinsik dalam serumnya. Akhirnya pengobatan dengan kortikosteroid mungkin dapat memperbaiki penyakitnya. Pada anemia pernisiosa, sel sel T sitotoksis dapatjuga mempunyai andil dalam destruksi sel sel parietal. Anemia pernisiosa tidakjarang terdapat pada para pasien dengan agammaglobinemia. Hal ini menunjang peran pada sistem imun seluler sebagai patogenesisnya. Dan berbeda dengan Helicobacter pylori yang tidak mengakibatkan destruksi sel parietal pada anemia pernisiosa. Ciri yang sering dijumpai pada anemia pemisiosa adalah
atrofi lambung yang mempengaruhi bagian yang mensekresi asam dan pepsin dari lambung; terkecuali
antrum. Perubahan patologis lain adalah defisiensi kobalamin sekunder; ini termasuk perubahan megaloblastik dalam lambung dan epitel intestinum dan
perubahan neurologik. Abnormalitas epitelium gaster tampak sebagai cellular atypia dalam preparat sitologik Iambung, dapatan ini harus dibedakan dengan hati hati dari abnormalitas yang tampak pada keganasan.
Pasca Gastrektomi Setelah gastrektomi atau kerusakan mukosa lambung yang
luas karena bahan obat yang merusak, maka akan terjadi anemia megaloblastik, karena sumber faktor intrinsik telah
dibuang. Pada para pasien yang demikian absorbsi kobalamin yang diberikan oral akan terganggu. Anemia megaloblastik dapat pula timbul karena gastrektomi parsial, yang sebabnya belum jelas.
Organisme !ntestinal Anemia megaloblastik dapat tampak pada stasis dari lesi anatomik (striktur, divertikel, anastomosis, blind loops) atau pseudo obstruksi (diabetes melitus, skleroderma, amiloid). Anemia disini disebabkan oleh kolonisasi dari sejumlah besar kumpulan bakteri dalam usus halus yang mengkonsumsi kobalamin intestinal sebelum diabsorbsi. Steatorrhea mungkin juga dapat dijumpai dalam keadaan demikian, karena metabolisme garam empedu terganggu bila intestinum dihuni lebih banyak oleh kolonisasi bakteri. Respons hematologis telah diabsorbsi setelah pemberian
antibiotik oral seperti tetrasiklin dan ampisilin. Anemia megaloblastik dapat dijumpai pada orang-orang pengidap cacing pita karena adanya kompetisi dari cacing dalam memakan kobalamin. Dengan membinasakan cacing pita tersebut maka problema tersebut dapat diatasi.
Abnormalitas lleum Definisi kobalamin senng dijumpai pada "tropical sprue", sedangkan hal ini merupakan komplikasi yang diluar kebiasaan dari "nontropical sprue" (gluten- s ens i tiv e e n teropathy). Sebenarnya tiap gangguan yang bersamaan dengan kapasitas absorbsi pada ileum distal dapat menimbulkan defisiensi kobalamin. Keadaan khusus yaitu
termasuk enteritis regional, penyakit Whipple, dan tuberkulosis. Keterlibatan segmental dari ileum distal oleh suatu penyakit dapat mengakibatkan anemia megaloblastik tanpa adanya lain manifestasi dari malabsorbsi intestinal seperti steatorrhea. Malabsorbsi kobalamin dapat juga tampak setelah reseksi ileum. Sindrom Zollinger-Elison (hiperasiditas lambung yang
hebat karena tumor yang mensekresi gastrin) dapat mengakibatkan malabsorbsi kobalamin oleh pengasaman usus halus, akan menghambat transfer vitamin dari ikatan R ke faktor intrinsik dan mengganggu ikatan kobalamin-Fl komplex ke reseptor ileum. Pankreatitis kronik dapat juga mengakibatkan malabsorbsi kobalamin, tetapi ini hanya selalu ringan dan jarang menimbulkan defisiensi kobalamin secara klinis. Akhirnya, gangguan kongenital yangjarang
ll47
ANEMIA MEGALTOBLAIiTIK
dijumpai, yaitu penyakit Imerslund-Grasbeck, yang melibatkan suatu defek yang selektif dalam absorbsi kobalamin yang bersamaan dengan proteinuri. Para individu yang mempunyai suatu mutasi cubulin, yaitu suatu reseptor yang menjadi perantara absorbsi intestinal dari kompleks kobalamin-Fl.
Nitrous Oxide Menghirup nitrous oxide sebagai obat bius menghancurkan kobalamin yang endogen. Pemakaian seperti biasanya dan besarnya pengaruh obat bius tidak cukup untuk menimbulkan defisiensi kobalamin secara
klinis, tetapi pemakaian berulang atau
yang
berkepanjangan (>6 jam), utamanya pada pasien tua yang mempunyai simpanan kobalamin pada ambang batas, akan
dapat menyebabkan anemia megaloblastik dan defisit neurologik akut.
Defisiensi Asam Folat Penambahan asam folat dalam produk dari biji-bijian dan padi-padian telah disarankan oleh US Food and Drug Administration sejak Januari 1 998, maka kejadian defisiensi asam folat nyata menurun. Para pasien dengan defisiensi asam folat lebih sering kurang gizi dibanding dengan defisiensi kobalamin. Manifestasi gastrointestinal adalah serupa tetapi dapat lebih meluas dan lebih berat dari anemra perxrslosa.
Diare sering ada, dan cheilosis dan glossitis juga dialami. Namun, berlawanan dengan defisiensi kobalamin, tidak tampak adanya abnormalitis neurologik. Manifestasi hematologik dari defisiensi asam folat adalah sama dengan defisiensi kobalamin. Defisiensi asam folat secara umum berhubungan dengan satu atau lebih faktor sepefti: asupan yang tak memadai, keperluan yang meningkat, atau malabsorbsi.
Kadang kadang pada kehamilan tersebut tak dapat mendeteksi, sampai defek tersebut telah berkembang; jadi, ketentuan suplementasi folat pada perempuan setelah mereka mengetahui hamil, tidaklah efektif. Namun demikian, suplementasi makanan yang mengandung folat, dapat mengurangi defek saluran saraf sampai lebih dari 50%. Defisiensi folat dapat tampak selama masa pertumbuhan cepat bayi dan remaja. Para pasien dengan hemodialisa kronik perlu diberi suplementasi folat guna mengganti folat yang hilang.
Malabsorbsi. Defisiensi folat sering menyertai Tropical sp
rue, balk gejala gastrointestinal maupun malabsorbsi akan
membaik dengan pemberian asam folat atau dengan antibiotik oral. Pada pasien dengan nontripocal sprue (ghIen-sensitive enteropathy) dapat pula berkembang secara nyata timbulnya defisiensi asam folat yang sejalan dengan parameter dari malabsorbsi. Hal yang serupa, adalah defisiensi folat pada pecandu alkohol dapat pula karena kemungkinan dari malabsorbsi. Termasuk pula gangguan usus halus kadang-kadang bersamaan dengan defisiensi folat.
Obat- obatan Selanjutnya masalah defisiensi folat atau kobalamin yang sering menjadi penyebab anemiamegaloblastik adalah obat
obatan. Bahan obat yang mengakibatkan anemia megaloblastik, disebabkan karena mengganggu sintesis
DNA, baik secara langsung atau melawan kerja folat. Ini dapat diklasifikasi sebagai berikut: Langsung penghambat sintesis DNA, mereka termasuk analog purin (6-tioguanin, azatioprin, 6-merkaptopurin), analog pirimidin (5-fluorourasil, sitosin arabinose), dan obat yang mengganggu sintesis DNA dengan berbagai macam
mekanisme (hidroksiurea, prokarbazin). Obat antivirus zidovudin (AZT), yang digunakan untuk pengobatan HIV,
Asupan yang tak memadai. Para peminum alkohol akan
sering menimbulkan anemia megaloblastik berat.
dapat mengalami defisiensi asam folat karena sumber utama
Keperluan yang meningkat. Janngan jaringan yang relatif pembelahan selnya sangat cepat seperti sumsum tulang,
Antagonis folat. yang paling toksik dari golongan ini adalah metotreksat, suatu penghambat yang kuat pada dihidrofolat reduktase, yang digunakan untuk pengobatan keganasan tertentu dan penyakit-penyakit reumatik tertentu. Yang kurang toksik tetapi mampu untuk menimbulkan anemia megaloblastik adalah beberapa penghambat dihidrofolat reduktase yang lemah, yang digunakan untuk pengobatan berbagai macam kondisi nonmalignan. Obat-obatan tersebut temasuk pentamidin, trimetoprim, triamteren, dan
mukosa usus, memerlukan cukup besar akan folat.
pmmetamm.
Karenanya, para pasien anemia hemolitik kronik atau penyebab lain terjadinya eritropoiesis yang aktif akan mengalami defisiensi. Perempuan hamil mempunyai risiko tinggi untuk terjadi defisiensi folat karena keperluan yang rneningkat bersamaan dengan perkembangan janin. Bila defisiensi timbul pada minggu peftama kehamilan, maka dapat mengakibatkan defek saluran saraf pada neonatus.
Lain-lain. Sejumlah obat yang melawan folat dari
asupan kalori yang dikonsumsi berasal dari minuman beralkohol. Alkohol dapat mengganggu metabolisme folat.
Pecandu narkotik juga mudah menjadi defisiensi folat karena malnutrisi. Banyak individu fakir miskin dan usia lanjut yang mendapat makanan yang kurang akan menderita defisiensi folat.
mekanismenya yang sukar dimengerti, akan tetapi dipikirkan ikut serta dan menyangkut pada absorbsi dari vitamin oleh intestinum. Dalam kelompok ini adalah " ant i c onv ul s ant s"
fenitoin, primidon, dan fenobarbital. Anemia megaloblastik yang disebabkan oleh obat obat tersebut adalah ringan.
1148
HEMIIiTOI.OGI
Mekanisme Lain
perlu dipikirkan akan adanya anemia megaloblastik.
Sebab herediter. Anemia megaloblastik dapat tampak pada
Penyebab lain makrositosis termasuk hemolisis, penyakit hati, alkoholisme, hipotiroidisme, dan anemia aplastik. Bila makrositosis nyata yaitu MCV lebih dari 1 10 fl, maka pasien tersebut lebih condong pengidap anemia megaloblastik. Makrositosis jarang tampak bersamaan dengan defisiensi besi atau thalassemia. Indeks retikulosit yang rendah, dan jumlah leukosit maupun trombosit mungkin pula menurun,
beberapa penyakit herediter. "Orotic acidurict" suatt defisiensi orotidilik dekarboksilase dan foslbrilase, karena defek dalam metabolisme pirimidin dan dengan ciri adanya
perlumbuhan yang terlambat dan perkembangan maupun dari ekskresi sejumlah besar dari asarn orotik. Malabsorbsi folat yang kongenital penyebab anemia megaloblastik, bersamaan dengan ataksia dan retardasi mental. Anemia megaloblastik yang responsif dengan tiamin yang disertai dengan ketulian saraf dan diabetes melitus
pernah dilaporkan pada beberapa anak. Perubahan megaloblastik yang disertai berinti banyak dari pendahulu sel darah merah dapat dilihat dalam sumsum dari para
pasien tertentu dengan anemia dyserythropoietik kongenital, suatu golongan gangguan/penyakit yang diwariskan dengan ciri anemia ringan sampai sedang dan perjalanannya tidak ganas. Defisiensi TC II, seperti abnormalitas yang diwariskan pada absorbsi kobalamin sebagai penyebab defisiensi yang mencolok dari kobalamin pada bayi atau awal masa kanak kanak. Anemia megaloblastik tak dijumpai pada defisiensi TC I yang diwariskan.
ANEMIA MEGALOBLASTIK YANG REFRAKTER Eritropoiesis megaloblastik kadang kadang dapat tampak pada mielodisplasia. Perubahan megaloblastik terbatas
pada seri sel darah merah. Mielodisplasia sering menghasilkan perbedaan gambaran morfologik yang lebih
jelas pada normoblas ortokromatik dimana inti megaloblastik berhubungan dengan sitoplasma yang sangat hipokromik. Varian ini disebut " megaloblastoid" yang merujuk pada defek maturasi inti dan sitoplasma. " Me galoblastoid " tidakberurti " me galoblastoid ringan" . Sepefii halnya bentuk lain dari mielodisplasia, anemia megaloblastik refrakter ada hubungannya dengan
terutama pada para pasien dengan anemia berat. Dari gambaran darah perifer, tampak dengan nyata adanya anisositosis dan poikilositosis, bersamaan dengan makroovalositosis, yaitu sel darah merah dengan hemoglobinisasi penuh merupakan ciri dari anemia megaloblastik. Dapat dijumpai pula adanya beberapa bintik basofilik, dan kadang kadang ditemukan sel darah merah yang berinti. Pada seri leukosit, yaitu adanya netrofil yang tampak adanya inti dengan segmen lebih dari 5 atau 6 dan dikenal dengan istilah hipersegmen. Temuan ini merupakan ciri khas, maka hendaknya meningkatkan dugaan kearah anemia megaloblastik. Myelosit yang jarang mungkin pula tampak. Juga dapat pula ditemukan bentuk trombosit yang aneh. Dari pemeriksaan sumsum tulang ditemukan adanya hiperselular dengan penurunan rasio mieloid/eritroid dan berlimpah besi yang tercat. Perintis/pendahulu sel darah merah tampak adanya sel yang besar abnormal dan mempunyai inti yang tampaknya kebanyakan kurang matur, hal ini perlu diperkirakan dari
perkembangan sitoplasma (nuclear-cytoplasmic asynchrony). Kromatin inti lebih tersebar dari yang diduga, dan ia memadat dalam gambaran yang sangat khas sebagai
ciri dari eritropoiesis megaloblastik. Mitosis abnormal dapat tampak. Perintis granulosit juga dirusak, tampak banyak yang menjadi besar dan yang normal, termasuk
band yang sangat besar dan metamielosit. Jumlah megakariosit menurun dan tampak morfologi yang abnormal.
Diagnosis
Ciri anemia megaloblastik adalah eritropoiesis yang tak efektif. Pada pasien dengan megaloblatik berat, sebanyak 90% perintis sel darah merah mungkin dihancurkan dan mereka diedarkan dalam aliran darah, dibanding dengan 707o sampai l5%o pada individu normal. Meningkatnya penghancuran eritroblas dalam medula sumsum tulang akan berakibat peningkatan bilirubin yang tak terkonjugasi dan asam laktat dehidrogenase (isoenzim 1) dalam plasma.
Guna menegakkan diagnosis anemia megaloblastik, perlu
. Guna
menelusuri baik pemeriksaan fisis maupun pemeriksaan laboratoris darah juga sumsum tulang. Pemeriksaan laboratorium darah meliputi hemoglobin, hematokrit,
megaloblastik, sangat penting untuk menentukan apakah ada defisiensi vitamin yang spesifik dengan mengukur kadar serum kobalamin dan folat. Nilai kobalamin normal dalam serum adalah antara 300 sampai 900 pg/ml; nilai kurang dari 200 mg/ml menunjukkan adanya defisiensi yang nyata secara klinis. Tampaknya ini berbeda dengan kriteria WHO seperti yang tertera di depan. Pengukuran dari kobalamin yang terikat pada TC II, sebenarnya lebih
peningkatan kej adian leukemia akut.
Perubahan megaloblastik tampak pada mielosis eritremik dan eritrolekemia akut, di mana pendahulu sel darah merah nyata terlibat.
retikulosit, leukosit, trombosit, hitung jenis, laju endap
Bl2, serumfolat, folateritrosit, MCV dan lain-lain tes khusus yang sesuai. Pemeriksaan film/ hapusan darah perifer perlu diperhatikan bentuk bentuk sel sel darah merah, leukosit, dan trombosit. Didapatkan secara nyata makrositosis yaitu MCV lebih dari 100 fl maka darah, serumvitamin
mengevaluasi pasien dengan anemia
fisiologik guna pengukuran status kobalamin, tapi
tt49
ANEMIA MEGAIOBI-I{SiTIK
pengukuran kadar dengan cara tersebut belum dapat dilakukan secara rutin saat ini. Kadar serum normal dari asam folat berkisar antara 5 sampai 20 nglml; nilai sama
subyek guna melihat fluktuasi jangka pendek dari asupan folat dan hal ini lebih dari serum folat sebagai indeks dari simpanan folat. Saat defisiensi kobalamin telah dipikirkan, maka patogenesisnya dapat dilacak dengan menggunakan tes
syndrome") atau penyakit ileum (termasuk defek absorbsi ileum sekunder karena defisiensi kobalamin itu sendiri). Malabsorbsi kobalamin karena kelebihan pertumbuhan bakteri sering dapat dikoreksi dengan pemberian antibiotik. Tes Schilling dapat menetapkan informasi yang cukup dipercaya setelah pasien mendapat terapi yang memadai dengan kobalamin parenteral. Tes Schiiling yang normal pada pasien yang telah dibuktikan dengan defisiensi kobalamin, akan memberi petunjuk adanya absorbsi yang jelek dari vitamin bila dicampur dengan makanan. Ini dapat ditegakkan dengan mengulang tes Schilling dengan kobalamin radioal
Schilling. Pasien diberi kobalamin radioaktif oral, dan segera
juga berguna untuk diagnosis anemia megaloblastik.
diikuti setelah itu dengan penyuntikan intramuskular
Keduanya meningkat pada defisiensi kobalamin, namun peningkatan homosistein, tapi bukan asam metil malonik dapat terjadi pada defisiensi folat. Tes-tes tersebut mengukur simpanan vitamin dalam jaringan dan dapat rnenunjukkan suatu defisiensi meskipun bila pemeriksaan yang sederhana, tapi kurang dipercaya pada kadar lblat dan kobalamin yang didapatkan dan hasilnya pada ambang batas atau dalam batas normal. Pala pasien terutama nsia lanjut, tanpa anemia dan dengan kadar serum kobalamin normal, tetapi terdapat peninggian kadar serum asam metil
atau di bawah 4 ng/ml secara umum dipertimbangkan
untuk
diagnostik dari defisiensi folat. Tidak seperti serum kobalamin, kadar serum folat dapat menggambarkan adanya perubahan baru pada asupan makanan. Pengukuran kadar folat dalam sel darah merah sangat berguna untuk mendapat informasi, tetapi ini bukannya
kobalamin tanpa dilabel.
Proporsi radioaktivitas yallg diberikan akan dikeluarkan dalam urin selama 24 jam berikutnya, hal ini akan menetapkan suatu ketelitian ukuran dari absor-bsi kobalamin dan dianggap bahwa sampel urin yang menyeluruh telah dikumpulkan. Karena defisiensi kobalamin hampir selalu karena malabsorbsi, tingkat pertama dari tes Schilling harus abnormal (misal didapat sejumlah kecil radioaktivitas dalam urin). Kemudian pasien diberi kobalamin terikat pada faktor intrinsik yang dilabel. Absorbsi dari vitamin akan mencapai normal pada pasien yang menderita anemia pernisiosa atau beberapa tipe lain dari deiisiensi faktor intrinsik. Bila absorbsi kobalamin
masih tetap rendah, maka pasien mungkin terdapat pertumbuhan berlebihan dari bakteri ("blind loop
rnalonat dapat mengakibatkan abnormalitas neuropsikiatrik. Pengobatan para pasien defisiensi kobalamin yang tak
kentara biasan),& akan mencegah kemerosotan lebih lanjtrt dan rnungkin berhasil memperbaiki kesehatan pasien. Alurpikir guna menetapkan anemia rxegaloblastik dapat disimak pada Gambar 5.
Hitung Sel Darah, Jumlah Retikulosil
Mor{ologi SDM
Hemolisis/ Hemorrhagia
Normositik Normokromik
Mikro atau Makrositik
ipoproliferatif
Gangguan maturasi
H
Kehilangan darah Hemolisis intravaskular Defek metabolik Abnormalitas membran Hemoglobinopati Defek autoimun Hemolisis fragmentasi
Defek sitoplasma - Defisiensi Fe - Talasemia - Anemia side - Roblastik Defek inti - Defisiensi folate - Defisiensi vitamin B12 - Keracunan obat - Anemia refrakter
Gambar 5. Alur plkir menetapkan anemia megaloblastik
1150
Pengobatan
HEMAIIOI.OGI
Setelah diagnosis defisiensi kobalamin ditegakkan maka
Folat, terutama dalam dosis besar, dapat mengoreksi anemia megaloblastik karena defisiensi kobalamin tanpa
perlu memberikan terapi spesifik berkaitan dengan
mengubah abnormalitas neurologik. Manifestasi
penyakit dasar yang melatar belakangi, misalnya adanya pertumbuhan bakteri yang berlebihan dalam intestinum perlu diberi antibiotik, sedangkan terapi utama untuk defisiensi kobalamin adalah terapi pengganti. Sebab defek yang ada, biasanya selalu malabsorbsi, maka para pasien diberi pengobatan parenteral, terutama dalam bentuk suntikan kobalamin intramuskular. Awal pemberian terapi parenteral dengan kobalamin 1000 ug i.m, tiap minggu sampai 8 minggu, kemudian dilanjutkan suntikan i.m kobalamin 1000 ug tiap bulan dari sisa hidup pasien. Defisiensi kobalamin dapat dikelola secara efektif dengan pemberian terapi oral dengan kristalin B 12 sejumlah 2 mg per hari; namun ketidak patuhan lebih besar pada terapi oral dibanding terapi i.m. Respons terapi adalah memuaskan. Segera setelah terapi dimulai, dan beberapa hari sebelum respons hematologis tampak nyata dalam darah perifer. pasien
neurologik mungkin tetap tidak menjadi buruk oleh terapi folat. Defisiensi folat, akan terselubung pada pasien yang
merasakan kekuatan meningkat dan ada perbaikan kesehatannya. Morfologi sumsum tulang mulai kembali ke keadaan normal dalam waktu beberapajam setelah terapi dimulai. Retikulositosis mulai pada hari ke-4 sampai hari ke-5 setelah terapi dimulai dan mencapai puncak kurang lebih 7 hari, dan remisi berikutnya dari anemia setelah beberapa minggu. Bila retikulositosis tidak tampak, atau
makan folat dosis tinggi. Dalam hal yang demikian, respons
hematologis folat jangan digunakan sebagai tolok ukur untuk keberhasilan pasien dengan defisiensi kobalamin; dan defisiensi kobalamin hanya dapat disingkirkan dengan evaluasi laboratorium yang memadai. Pada pasien usia lanjut kejadian defek absorbsi
kobalamin ringan frekuensinya tinggi, dan mungkin risikonya meningkat. Defisiensi kobalamin yang berat akan memberi gejala neurologis dari pada gejala hematologis,
dan beberapa ahli menyarankan pemberian kristalin kobalamin oral dengan dosis 0,1 mg per hari guna profilaksis pada usia di atas 65 tahun.
DEFISIENSIFOLAT Seperti defisiensi kobalamin, defisiensi folat perlu diobati dengan terapi pengganti. Dosis yang lazim diberikan adalah 1 mg per hari per oral, namun dosis tinggi sampai 5 mg per
hari mungkin diperlukan pada defisiensi folat yang disebabkan karena malabsorb si. Pemberian folat parenteral
bila kurang cepat dari yang diharapkan dari kadar
jarang diperlukan. Respons hematologis sama dengan yang dapat dijumpai setelah terapi pengganti pada
hematokrit, maka perlu dicari kemungkinan faktor lain yang mengakibatkan anemia (a.1. infeksi, bersamaan dengan defisiensi besi atau folat, atau hipotiroidisme). Hipokalemia dan retensi garam dapat tampak lebih awal dalam perjalanan terapi. Trombositosis mungkin ditemukan. Pada kebanyakan kasus, terapi pengganti adalah semua yang diperlukan guna pengobatan defisiensi kobalamin. Kadang kadang pasien menunjukkan anemia yang berat disertai pula gangguan yang membahayakan keadaan kardiovaskular yang gawat maka diperlukan transfusi. Ini
defisiensi kobalamin, misalnya terjadinya retikulositosis yang nyata setelah kurang lebih 4 hari, kemudian diikuti dengan terkoreksinya anemia setelah 1 sampai 2 bulan kemudian. Lama terapi tergantung pada keadaan dasar defisiensi. Para pasien dengan keperluan yang terus menerus meningkat seperti pada pasien anemia hemolitik atau mereka yang dengan malabsorbsi atau malnutrisi kronik, hendaknya terus menerus didorong guna memelihara dan mengajarkan diet yang optimal dengan kecukupan folat.
perlu dilakukan dengan hati hati, sebab pasien yang demikian dapat berkembang menjadi gagal jantung karena adanya kelebihan cairan. Darah harus diberikan pelan pelan dalam bentuk PRC
(Packed Red Blood Cell,s), dan harus selalu dalam pengawasan. Volume PRC yang diberikan sedikit demi sedikit akan cukup guna menghindari masalah gagal kardiovaskular akut. Dengan pengobatan jangka lama selama hidupnya, para
pasien akan mengalami tidak berlanjutnya manifestasi defisiensi kobalamin, namun gejala neurologiknya tidak sepenuhnya dapat dikoreksi meskipun dengan terapi yang optimal. Pada pasien anemia pernisiosa perlu dengan cemat diawasi dan selalu diikuti perkembangannya karena adanya potensi untuk berkembang menjadi karsinoma lambung.
Penyebab Lain Anemia Megaloblastik Anemia megaloblastik karena obat obatan dapat diobati,
bila mungkin, dengan mengurangi dosis obat
atau
menyingkirkan. Efek antagonis folat yang menghambat dihidrofolat reduktase dapat dilawan oleh asam folinik (5formil tetrahidrofolat (THF) dalam dosis 100 sampai 200 mg per hari, yang akan menghambat metabolisme folat dengan cara menyediakan suatu bentuk folat yang dapat diubah menjadi 5,10 - methylene THF. Untuk bentuk megaloblastik dari anemia sideroblastik, pemberian piridoksin dengan dosis sampai 300 mg per hari dapat dicoba, karena ada anemia sideroblastik yang tidak respons dengan piridoksin. Anemia megaloblastik yang refrakter perlu dipikirkan terapi suportif.
1151
ANEMIAMEGALOBI^ASTIK
KESIMPULAN
REFERENS!
Anemia megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan oleh defek sintesis DNA dalam sel-sel terutama dari hematopoietik. Klasifikasi anemia megaloblastik dapat dikelompokkan dalam: defisiensi kobalamin, defisiensi asam folat dan sebab sebab lain.
Adamson JW, Longo DL. Anemia and polycythemia. Harrison's principles of internal medicine. l6th edition. Volume 1 New York: McGraw -Hill; 2005.p. 329-36. Babior BM, Bunn HF. Megaloblastic anemias. Harrison's principles of intemal medicine. 16'h edition. Volume 1 New York: McGrawHill; 2005. p. 601-7.
Asam folat dan vitamin B12 adalah zat yang berhubungan dengan unsur makanan yang sangat diperlukan bagi tubuh. Peran utama dari asam folat dan vitamin B 12 ialah dalam metabolisme intraselular. Bila kedua zat tersebut mengalami defisiensi, akan menghasilkan tidak sempumanya sintesis DNA. Hematopoiesis sangat sensitif pada defisiensi vitamin tersebut, dan gejala awal ialah anemia megaloblastik.
Untuk membuat diagnosis perlu diperhatikan gejala klinis dan laboratoris. Terapi ditujukan untuk penggantian atau menghilangkan defisiensi tersebut.
Hillman RS. Hematopoietic agent Growth factors, minerals and vitamins III, vitamin B12, folic acid, and the treatment of megaloblastic anemias. In: Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis of Theurapeutic, editors 10'h edition International edition. New York: Mc Graw-Hil1; 2001. p. i503-14. Lipschitz DA Anemia in the elderly. Principle of geriatric medicine and gerontology. 2"d edition. New York: Mc Grawth-Hill, Inc; 2000. p. 662-8. Russel RM. Vitamin and trace mineral defisiensi and excess. Harrison's
principtes of internal medicine. 16th edition. Volume 1. New York: McGraw-Hil1; 2005. p. 403-11. Soenarto. Permasalahan pengelolaan anemia. Kedaruratan medik
II
2001. Pertemuan Ilmiah Tahunan ke V Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Cabang Semarang. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2001.
p. 48-67.
t82 ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN Elias Parjono, Kartika Widayati Taroeno-Hariadi
mempu berikatan secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (sel duah merah berlabel antibodi). C3 juga akan membelah menjadi C3d,g, dan C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan pada membran sel darah merah dan merupakan produk flnal aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5 converlase).C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan C5b yang
DEFINISI Anemia hemolitik imun (autoimmune hemolytic otrctnid =
AIHA/AHA) merupakan
suatu kelainan di mana terdapat
antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit memendek.
berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8, dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyisip ke dalam membratt sel sebagai suatu
PATOFISIOLOGI Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini
terjadi melalui aktivasi sistem komplemen, aktifasi
aluran transmembran sehingga permeabilitas tnembran normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak dan ruptur.
mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya. 1.
aktifasi sistem komplemen. Secarakeseluruhan aktifasi
sistem komplemen akan menyebabkan hancumya membran sel eritrosit dan terj adilah hemolisis intravaskuler.yang ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuri.
h
altematif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor
Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik
B kemudian melekat pada C3b, dan oleh D faktor B
ataupun j alur alternatif. Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah lgM, IgGl,
dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin, dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membran.
IgG2,IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida padaperrnukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu
tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu
tubuh.
a
aktifasi komplemen
jalur klasik.
Reaksi diawali
aktifasi komplemen jalur alternatif. Aktifator jalur
2. Aktifasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular. Jika sel darah disensitasi dengan IgG
Cl suatu protein yang dikenal sebagai recognition unit. Cl akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan menjadi aktif serta mampu jalur klasik. Fragmen , mengkatalisis reaksi-reaksi pada Cl akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b (dkenal sebagai C3-convertase).
yang tidak berikatan dengan komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktifasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses immune adherence ini sangat penting bagi perusakan sel
C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b deur C3a.
terutama yang diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.
dengan aktivasi
C3b mengalami perubahan konformational sehingga
eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence,
tt52
1153
AI\EMIA HEMOLTTIK AUTOIMUN
I
ll
Anemia Hemolitik Auto lmun (AIHA) A. AIHA tipe hangat f . idiopatik 2. sekunder (karena cll, limfoma, SLE) B. AIHA tipe dingin 1 idiopatik 2 sekunder (infeksi mycoplasma, mononucleosis, virus, keganasan limforetikuler) C Paroxysmal Cold hemoglobinuri 1 idiopatik 2 sekunder (viral, dan sifilis) D AIHA Atipik '1 AIHA tes antiglobulin negatif 2 AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin AIHA diinduksi obat
lll. AIHA diinduksi aloantibodi
A.
B
Reaksi Hemolitik Transfusi Penyakit Hemolitik pada Bayi Baru Lahir
KLASIFIKASI Anemia Hemolitik Imun dapat diklasilikasikan sebagai berikut: (Tabel 1)
DIAGNOSIS Gambar 1. Aktifasi komplemen pada AIHA
Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit ETIOLOGI
DirectAntiglobulin Test (direct Coomb's /esl): sel eritrosit pasien dicuci dari protein-protein yang melekat dan
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif
direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoclonal terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplomen, terutama IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat
residual.
salah satu atau kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi aglutinasi.
-t
Arrti-iri'r &Sgl
Gambar 2. Skema Direct Antiglobulin Tesl
uti netrinn
Its4
HEMATOI,OGI
B h0ei
crit
l
IqB
nr5 14B
-
ls l,]G
*+
'}i
lrum
Petient Serurn
&n{.i
-sr*
Bfu
A*lqluti;catlrr
Gambar 3. lndirect Antiglobulin Test
Indirect antiglobulin test (indirect Coomb's /esl.).' untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen.
(Hmt meningkat, retikulosit meningkat, tes coombs direk
positip lemah, tes coomb indireknegatip). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke-
90. Bila ada tanda respons terhadap steroid, dosis
Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi.
diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis 10-20
mgihari. Terapi steroid dosis < 30mg/hari dapat diberikan secara selang sehari. Beberapa pasien akan
Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi bereaksi secara optimal pada suhu 370C. Kurang leblh 507o pasien AIHA tipe hangat disertai
penyakit lain. 1. Gejala dan tanda: Onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahanJahan, ikterik, dan demam. Pada
b
beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri abdomen, dan anemia berat. Urin berwama gelap karena te{adi hemoglobinuri. Ikterik
terjadi pada 4070 pasien. Pada AIHA idiopatik
untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama.
splenomegali terjadi pada 50-607o, hepatomegali terjadi pada307o, dan limfadenopati terjadi pada25Vo pasien. Hanya25Vo pasien tidak disertai pembesaran organ dan
2.
3.
Remrsi komplit pasca splenektomi mencapai 50-l5Vc, namun tidak bersifat pernanen. Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan setelah splenektomi. Imunosupresi. Azathioprin 50-200 mg/hari (80 mg/m2), siklofosfamrd 50- I 50 mgftari (60 melt::,2)
limfonodi. Laboratorium: Hemoglobin sering dijumpai di bawah 7
g/dl Pemeriksaan Coomb direk biasanya positip Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi dengan semua sel eritrosit normal. Autoantiodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh. Prognosis dan survival. Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik,
namun terkendali. Survival 10 tahun berkisar 707o. Anemia, DVT, emboli pulmo, infark lien, dan kejadian kardiovaskuler lain bisa terjadi selama periode penyakit aktif. Mortalitas selama 5-10 tahun sebesar l5-25Vo. Prognosis pada AIHA sekunder tergantung penyakit yang mendasari.
4. Terapi: a. Kortikosteroid
: 1-1.5 mg/kgBB/irari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan menunjukkan respon klinis baik
memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis rendah, namun bila dosis perhari melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar Hmt, maka perlu segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain. Splenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tapering dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa terus berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar
d
Terapi lain:
Danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid
diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol diturunkan menjadi 200-400 mg.hari. Kombinasi Danazol dan prednison memberikan hasil yang bagus sebagai terapi inisial dan memberikan respon pada 80% kasus. 'Efek danazol berkurang bila diberikan pada kasus relaps atau Evan's Syndrome Terapi immunoglobulin intravena (400 mglkgBB per hari selama 5 hari) menunjukkan perbaikan pada beberapa
pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif pada beberapa pasien lain. Menurut Flores respon hanya 4)VoJadi terapi ini diberikan bersama terapi lain dan responsnya bersifat sementara. Mycophenolate mofetil500 mg perhari sampai 1000 mg per hari dilaporkan memberikan hasil yang bagus pada
AIHArefrakter.
1155
ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN
Rituximab dan alemtuzumab pada beberapa laporan memperlihatkan respon yang cukup menggembirakan sebagai salvage therapylT. Dosis Rituximab 100 mg per minggu selama 4 minggu tanpa memperhitungkan luas
berikatan pada sel darah merah. Pada saat suhu kembali37 C, terjadilah lisis karena propagasi pada protein-protein komplemen yang lain. a. gambaran klinis;AIHA (2-57o), hemolisis paroksismal
disertai menggigil, panas, mialgia, sakit kepala, hemoglobinuri berlangsung beberapa jam. Sering
permukaan tubuh. Terapi plasmafaresis masih kontroversial.
e. Terapi transfusi: terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak. Pada kondisi yang mengancam jiwa (misal Hb g 3 g/dl) transfusi dapat diberikan, sambil menunggu steroid dan immunoglobulin untuk berefek.
disertai uflikaria
b. laboratorium: hemoglobinuria,
Landsteiner terdisosiasi dari sel darah merah.
c. ANEMIA HEMOLITIK IMUN TIPE DINGTN
sferositosis,
eritrofagositos. Coombs positif, antibodi DonathPrognosis dan survival: pengobatan penyakit yang mendasari akan memperbaiki prognosis. Prognosis pada kasus-kasus idiopatik pada umumnya juga baik dengan
survival yang panjang. Terjadinya hemolisis diperantarai antibodi dingin yaitu
aglutinin dingin dan antibodi Donath-Landstainer.
d. Terapi : menghindari faktor pencetus. glukokottikoid
dan
splenektomi tidak ada manfaatnya.
Kelainan ini secara karakteristik memiliki aglutinin dingin IgM monoklonal. Spesifisitas aglutinin dingin adalah
terhadap antigen
I/i.
Sebagian besar IgM yang punya memiliki yH4-34. Pada ummnya
ANEMIA HEMOLITIK IMUN DIINDUKSI OBAT
spesifl sitas terhadap anti-I
aglutinin tipe dingin ini terdapat pada titer yang sangat rendah, dan titer ini akan meningkat pesat pada fase penyembuhan infeksi. Antigen I/i bertugas sebagai
Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat yaitu: hapten/penyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan
reseptor mycoplasma yang akan meyebabkan perubahan
kompleks ternary(mekanisme kompleks imun tipe
presentasi antigen dan menyebabkan produksi autoantibodi. Pada limfoma sel B, aglutinin dingin ini dihasilkan oleh sel limfoma. Aglutinin tipe dingin akan
innocent bystander), induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit tanpa ada lagi obat pemicu, serla oksidasi hemoglobin. Penyerapan/adsorpsi protein nonimunologis terkait obat akan menyebabkan tes Coomb positip tanpa kerusakan eritrosit. Pada mekanisme hapten/adsorpsi obat, obat akan
berikatan dengan sel darah merah dan terjadi lisis langsung
dan fagositosis.
a.
gambaran klinik; sering terjadi aglutinisasi pada suhu dingin. Hemolisi berjalan kronik. Anemia biasanya
dibentuk dan bereaksi dengan obat pada permukaan
akrosianosis, dan splenomegali
eritrosit. Eritrosit yang teropsonisasi oleh obat tersebut akan dirusak di limpa. Antibodi ini bila dipisahkan dari
b. laboratorium: anemia ringan,
sferositosis,
polikromatosia, tes Coombs positif, anti-I, anti-I, anti -
c. d.
melapisi eritrosit.dengan kuatAntibodi terhadap obat akan
ringan dengan Hb: 9-12 g/dl. Sering didapatkan
Pr, anti- M, atau anti-P. Prognosis dan survival. Pasien dengan sindromkronik akan memiliki survival yang baik dan cukup stabil Terapi: menghindarai udara dingin yang dapat memicu
hemolisis Prednison dan splenektomi tidak banyak membantu Chl orambucil 2- 4 mglhai Plasmafaresis untuk mengurangi antibodi IgM secara teoritis bisa mengurangi emolisis, namun secara praktik hal ini sukar dilakukan.
eritrosit hanya bereaksi dengan reagen yang mengandung eritrosit berlapis obat yang sama (misal penisilin). Mekanisme pembentukan kompleks temary mellbatkwr obat atau metabolit obat, tempat ikatan obat permukaan sel target, antibodi, dan aktifasi komplemen. Antibodi melekat pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat dan sel target tersebut lemah, dan antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat ataupun membran eritrosit. Beberapa antibodi tersebut memiliki spesifisitas terhadap antigen golongan darah terlentu seperti Rh, Kell, Kidd, atau Vi. Pemeriksaan Coomb
biasanya positif. Setelah aktifasi komplemen terjadi
hemolisis intravaskuler, hemoglobinemia
dan
PAROXYSMAL COLD HEMOGLOBINUBI
hemoglobinuri. Mekanisme ini terjadi pada hemolisis akibat obat kinin, kuinidin, sulfonamide, sulfonylurea, dar,
Ini adalah bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai,
thiazide. Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit autolog, seperti contoh methyldopa. Methyldopa yang bersirkulasi dalam plasma akan menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh
hemolisis terjadi secara masif dan berulang setelah terpapar suhu dingin. Dahulu penyakit ini sering ditemukan, karena berkaitan dengan penyakit sifilis. Pada kondisi ekstrim autoandibodi Donath-Landsteiner dan protein komplemen
1156
HEMI$IOI.OGI
pada permukaan sel darah merah. Jadi yang melekat pada pennukaan sel darah merah adalah autoantibodi, obat tidak
REFERENSI
melekat. Mekanisme bagaimana induksi formasi
Thomas
autoantibodi ini tidak diketahui. Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif. Oleh karenahemoglobin mengikat oksigen maka bisa mengalami
oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat oksidatif. Eritrosit yang tua makin mudah mengalami traumaoksidatif. Tanda hemolisis karena proses oksidasi adalah dengan ditemukannya methemeglobin, sulflremoglobin, dan H e inz bodies, blister cell, bites cell dan eccentrocytes. Contoh obat yang menyebabkan hemolisis oksidatif ini adalah nitrofurantoin, phenazopyridin, aminosalicylic acid. Pasien yang mendapat terapi sefalosporin biasanya
tes Coomb positip karena adsorpsi nonimunologis, immunoglobulin, komplemen, albumin, fibrinogen dan plasma protein lain pada membran eritrosit.
a.
Gambaran klinis: riwayat pemakaian obat tertentu positip. Pasien yang trmbulhemolisis melalui mekanisme
hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi sebagai hemolisi ringan sampai sedang. Bila kompleks ternary yang berperan maka hemolis akan terj adi secara
berat, mendhdak dan disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pemah terpapar obat tersebut, maka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemaparan dengan dosis
tunggal.
b.
Laboratorium: anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes
Coomb positip. Lekopenia, trombositopenia.
c.
hemoglobinemia, hemoglobinuria sering terjadi pada hemolisis yang diperantarai kompleks te rnat). Terapi: Dengan menghentikan pemakaian obat yang
menjadi pemicu, hemolisis dapat dikurangi. Kortikosteroid dan transfusi darah dapat diberikan pada kondisi berat.
ANEMIA HEMOLITIK ALOIMUN KARENA TRANSFUSI
Hemolisis aloimun yang paling berat adalah reaksi transfusi
akut yang
disebabkan karena ketidaksesuaian
ABO eritrosit (sebagai contoh transfusi PRC golongan A pada penderita golongan darah O yang memiliki antibodi IgM anti -A pada serum) yang akan memicu aktifasi komplemen dan terjadi hemolisis intravaskular yang akan menimbulkan DIC dan infark ginjal. Dalam beberapa menit
pasien akan sesak napas, demam,nyeri pinggang, menggigil, mual, muntah, dan syok. Reaksi transfusi tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah transfusi, biasanya disebabkan karena adanya antibodi dalam kadar rendah terhadap antigen minor ertrosit. Setelah terpapar dengan
sel-sel antigenik, antibodi tersebut meningkat pesat kadarnya dan menyebabkan hemolisis ekstravaskular.
AT Autoimmune Hemolytic Anemia. In Lee GR, Foerster J, Lukens J eds. Wintrobe's Clinical Hematology. l0'h ed. Williams&Wikins, Baltimore. 1999:1233-1255 Petz LD, Allen DW, Kaplan ME. Hemolytic Anemia: Congenital and Aquired rnMazza JJ ed. Manual of Clinical Hematology
2"d
ed. Little, Brown and Co, Boston, 1995 :87-114 Rosse WF, Schrier SL. Pathogenesis of Autoimmune Hemolytic Anemia: cold agglutinin disease.Uptodate 2004 (I2) 2 Rosse WF, Schrier SL Clinical Features and Treatment of Autoimmune Hemolytic anemia: warm agglutinin.Uptodate 2004 (12) 2
of Autolmmune Hemolytic anemia: warm agglutinin and Drugs.Uptodale 2004 (.12) 2 Janeway C, Travers P, Walport M Sclomchik M. Immunobiology: the immune system in health and disease.5'h ed. Churcil Rosse WF, Schrier SL. Pathogenesis
Livingstone.2001 Dhaliwal G, Cornet PA, Tierney LM. Hemolytic Anemia. Am Fam Phy sician 2004 :69 :2599 -2606. Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Hemolytic Anemia Resulting from Warm-Reacting Antibodies. Williams Manual of Hematology. 6'h ed. McGraw Hill, 2003: l2'7-132. Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ Cryopathic Hemolytic Anemia Williams Manual of Hematology. 6'h ed. McGraw Hill. 2003: 133-136. Keiton JG, Chan h, Heddle N, Whittaker S Acquired Hemolytic Anemia. Blood and Bone Marow Pathology: 185-202 Stiene-Martin EA, Lotsoeich-Steininger CA, Koepke JA. Acquired Immune Anemias of Increased Destruction. Clinical Hematology: Principles, Procedures, Correlation. 2"d ed. Lippincott, Philadelphia, 1998 :280-292 Rosse WF. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria. Uptodate 2004 (12) 2
Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Drug induced Hemolytic Anemia Williams Manual of Hematology. 6'h ed. McGraw Hill, 2003: 137-142 Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ Transfusion of Blood and Red Cells. Williams Manual of Hematology 6d ed McGraw Hill, 2003: 513-520 Hoffman PC, Gertz MA, Brodsky RA. Immune Hemolytic AnemiaSelected Topic. Hematology 2006:1-6 Reardon JE, Marques MB. Laboratorium Evaluation and Transfusion Support of Patients with Autoimmune Hemolytic Anemia Am J Clin Pathol 2006:125(Sup1 ) : 571-S77 Shanafelt TD, Madueme HL, Wolf RC, Teferri A.. Rituximab for Immune Cytopenia in Adults: Idiopathic Thrombocytopenia, Autoimmune Hemolytic Anemia, Evan's syndrome. Mayo Clin Proc 2003:78: 1 340-1346 Provan D, Butler T, Evangelista ML. Activity and Safety Profile of Low Dose Rituxzimab for the treatment of Autoimmune Cytopenias in Adults. Haematologica 2001 ;92:1695-1698
183 ANEMIA HEMOLITIK NON IMUN Ikhwan Rinaldi, Aru W. Sudoyo
PENDAHULUAN
Purpura (TTP), Sindrom Uremik Hemolitik (SLIH), Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID)iD is s eminated
Anemia hemolisis adalah kadar hemoglobin kurang dari nilai normal akibat kerusakan sel eritrosit yang lebih cepat
I nt r av
dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya.
.
a s c ular C o a g ulat i o an (DIC), preeklampsia, eklampsia, hipertensi maligna, katup prostetik
Infeksi, misalnya: infeksi malaria, infeksi
bab"esiosis,
infeksi Clostridium
Etiologi dan Klasifikasi Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena:
1). defek molekular: hemoglobinopati atau enzimopati: 2). abnormalitas struktur dan fungsi membran-membran; 3). faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau autoantibodi. Berdasarkan etiologinya anemia hemolisis dapat dikelompokkan menj adi
:
Anemia hemolisis herediter, yang termasuk kelompok ini adalah:
.
Defekenzim/enzimopati
-
-
DefekjalurEmbdenMeyerhof
-
Defisiensi piruvat kinase Defisiensi glukosa fosfat isomerase Defisiensi fosfogliserat kinase Defek jalur heksosa monofosfat - Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase
Berdasarkan ketahanan hidupnya dalam sirkulasi darah resipien, anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi: 1). Anemia hemolisis intrakorpuskular. Sel eritrosit pasien tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang kompatibel, sedangkan sel eritrosit kompatibel normal dapat
bertahan hidup di sirkulasi darah pasien; 2). Anemia hemolisis ekstrakorpuskular. Sel eritrosit pasien dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang kompatibel, tetapi sel eritrosit kompatibel normal tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien. Berdasarkan ada tidaknya keterlibatan imunoglobulin pada kejadian hemolisis, anemia hemolisis dikelompokkan menjadi:
Anemia hemolisisis imun. Hemolisis terjadi karena keterlibatan antibodi yang biasanya IgG atau gM yang spesifik untuk antigen eritrosit pasien (selalu disebut autoantibodi).
Anemia hemolisis didapat, yang termasuk kelompok ini
Anemia hemolisis non imun. Hemolisis terjadi tanpa keterlibatan imunoglobulin tetapi karena faktor defek molekular, abnormalitas struktur membran, faktor lingkungan yang bukan autoantibodi seperti hipersplenisme, kerusakan mekanik eritrosit karena mikroangiopati atau infeksi yang mengakibatkan kerusakan eritrosit tanpa mengikutsertakan mekanisme imunologi seperti malaria, babesiosis, dan
adalah:
klostridium.
(G6PD)
.
. .
.
-
Defisiensi glutation reduktase Hemoglobinopati
-
Thalassemia
Anemia sickle cell Hemoglobinopati lain Defekmembran(membranopati): sferositosisherediter
Anemiahemolisis imun, misalnya: idiopatik, keganasan, obat-obatan, kelainan autoimun, infeksi, transfusi Mikroan giopati, misalnya: Trombotik Trombositopenia
Pada bagian ini yang dibahas hanya anemia hemolisis non imun yang bukan disebabkan oleh thalasemia dan
hemoglobinopati lain.
tr57_
1158
Patof
HEMAIIOI.OGI
isiologi
Hemolisis dapat terjadi inffavaskular dan ekstravaskular. Hal
ini tergantung pada patologi yang mendasari
suatu penyakit. Pada hemolisis intravaskular, destruksi eritrosit terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma mekanik, fiksasi komplemen dan aktivasi sel permukaan atau
infeksi yang langsung mendegradasi dan mendestruksi membran sel eritrosit. Hemolisis intravaskularjarang terjadi.
Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis ekstravaskular. Pada hemolisis ekstravaskular destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak
meningkatkan katabolisme heme dan pembentukan bilirubin tidak terkonjugasi. Hemoglobin bebas hasil hemolisis terikat dengan haptoglobin. Hemoglobinhaptoglobin ini segera dibersihkan oleh hati hingga kadar haptoglobin menjadi rendah sampai tidak terdeteksi. Pada hemolisis intravaskular kadar hemoglobin bebas dapat melebihi kadar haptoglobin sehingga hemoglobin bebas difiltrasi oleh glomerulus dan direabsorbsi oleh tubulus proksimal dan mengalami metabolisme. Hasil metabolisme di ginjal ini menghasilkan ikatan antara besi heme dengan simpanan protein (feritin dan hemosiderin). Selanjutnya
hemosiderin dikeluarkan ke urin dan terdeteksi sebagai
dapat melintasi sistem retikuloendotelial sehingga
hemosiderinuria. Pada hemolisis intravaskular yang masif,
difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.
ambang kapasitas absorpsi hemoglobin oleh tubulus proksimal terlewati, sehingga hemoglobin dikeluarkan ke urin dalam bentuk hemoglobinuria.
Manifestasi Klinis Penegakkan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pasien mungkin mengeluh lemah, pusing, cepat capek dan sesak. Pasien mungkin juga mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan, meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian obat-obatan dan terpajan toksin serla riwayat keluarga merupakan infotmasi penting yang harus ditanyakan saat anamnesis. Pada pemeriksaan fisis ditemukan kulit dan mukosa kuning. Splenomegali didapati pada beberapa anemia hemolitik. Pada anemia berat dapat ditemukan takikardia dan aliran murnur pada katup jantung. Selain hal-hal umum yang dapat ditemukan pada anemia hemolisis di atas, perlu dicari saat anamnesis dan
pemeriksaan fisik hal-hal yang bersifat khusus untuk anemia hemolisis tertentu. Misalnya, ditemukannya ulkus tungkai pada anemia sickle cell.
Pemeriksaan Laboratorium Retikulositosis merupakan indikator terjadinya hemolisis. Retikulositosis mencerminkan adanya hiperplasia eritroid di sumsum tulang tetapi biopsi sumsum tulang tidak selalu diperlukan. Retikulositosis dapat diamati segera, 3-5 hari
setelah penurunan hemoglobin. Diagnosis banding retikulositosis adalah perdarahan aktif, mielotisis dan perbaikan supresi eritropoeisis. Anemia pada hemolisis bisanya normositik, meskipun retikulositosis meningkatkan ukuran mean corpuscular volume. Morfologi eritrosit dapat menunjukkan adanya hemolisis dan penyebabnya. Misalnya sferosit pada sferositosis herediter, anemia hemolitik autoimun; sel target pada thalasemia, hemoglobinopati, penyakit hati; schistosit pada mikroangiopati, prostesis intravaskular dan lain'lain.
Jika tidak ada kerusakan jaringan organ lain, peningkatan laktat dehidrogenase (LD) terutam a LDH 2, dan SGOT dapat menjadi bukti adatya percepatan destruksi eritrosit. Baik hemolisis intravaskular maupun ekstravaskular,
ENZIMOPAT! Pada sel eritrosit terjadi metabolisme glukosa untuk menghasilkan energi (ATP). AIP digunakan untuk kerja pompa ionik dalam rangka memperlahankan milieu ionik
yang cocok bagi eritrosit. Sebagian kecil energi hasil metabolisme tersebut digunakan juga untuk penyediaan besi hemoglobin dalam bentuk ferro. Pembentukan
AIP
ini berlangsung melalui jalur Embden Meyerhof
yang
melibatkan sejumlah enzim seperti glukosa fosfat isomerase
dan piruvat kinase. Selain digunakan untuk membentuk energi, sebagian kecil glukosa mengalami metabolisme dalam eritrosit melalui jalur heksosa monofosfat dengan bantuan enzim glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD)
untuk menghasilkan glutation yang penting untuk melindungi hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidan. Defisiensi enzim piruvat kinase, glukosa fofat isomerase dan glukosa 6 fosfat dehidrogenase dapat mempermudah
dan mempercepat hemolisis. Berturut-turut prevalensi tersering kejadian defisiensi enzim tersebut adalah G6PD, piruvat kinase dan glukosa fosfat isomerase.
Defek Jalur Heksosa Monofosfat Metabolisme glukosa melalui jalur ini meningkatbeberapa kali ketika eritrosit terpajan dengan obat-obatan atau toksin
yang membentuk radikal oksigen. Dengan ini terjadi regenerasi glutation tereduksi, perlindungan gugus sulfhidril hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidasi. Jikajalur ini terganggu karena faktor herediter, maka kadar glutation tereduksi yang adekuat tidak dapat dipertahankan
sehingga gugus sulfhidril hemoblobin teroksidasi, terpresipitasi dalam eritrosit dan membentuk Heinz bodies. Terganggunya jalur
ini dapat disebabkan oleh
defisiensi G6PD dan glutation reduktase. Namun demikian,
kelainan pada glutation reduktase belum terbukti berhubungan bermakna dengan hemolisis.
1159
ANEMIA HEMOLITIK NON AUTOIMUN
Defisiensi G6PD Etiologi dan epidemiologi. Defisiensi enzim ini paLing sering mengakibatkan hemolisis. Enzim ini dikode oleh gen yang terletak di kromosom X sehingga defisiensi G6PD lebih sering mengenai laki-laki. Pada perempuan biasanya carrier dan asimptomatik. Di seluruh dunia, terdapat lebih dari 400 varian G6PD. Berbagai varian ini terjadi karena adanya perubahan subtitusi basa berupa peggantian asam
amino. Banyaknya varian
ini menimbulkan variasi
manifestasi klinik lebar, mulai dari hanya anemia hemolitik nonsferositik tanpa stres oksidan, anemia hemolitik yang hanya terjadi ketika distimulasi dengan stres oksidan ringan,
sampai pada abnormalitas yang tidak terdeteksi secara
klinis. G6PD normal disebut tipe B. Diantara varian G6PD yang bermakna secara klinik adalah tipe A-. Tipe ini terutama ditemukan pada orang keturunan Afrika. Tipe Mediteranian
relatif sering ditemukan diantara orang Mediteranian asli, dan lebih berat dari varian A- karena dapat mengakibatkan anemia hemolitik nonsferositik tanpa adanya stres oksidatif yang jelas.
Manifestasi klinis. Aktivitas G6PD yang normal menurun -507o pada waktu umur eritrosit mencapai 120 hari. Pada Tipe A- penurunan ini terjadi sedikit lebih cepat dan lebih cepat lagi pada varian Mediteranian. Meskipun umur
Diagnosis. Diagnosis defisiensi G6PD dipikirkan jika ada episode hemolisis akut pada laki-laki keturunanAfrika atau Mediteranian. Pada anamnesis perlu ditanyakan tentang kemungkinan terpajan dengan zat-zat oksidan, misalnya obat atau zatyalg telah disebutkan di atas. Pemeriksaan aktivitas enzim mungkin false negatif jika eritrosit tua defisiensi G6PD telah lisis. Oleh karena itu pemeriksaan aktivitas enzim perlu diulang dua sampai tiga bulan kemudian ketika ada sel-sel yang tua.
Terapi. Pada pasien dengan defisiensi G6PD tipe A-, hemolisis terjadr self- limited sehingga tidak perlu terapi khusus kecuali terapi untuk infeksi yang mendasari dan hindari obat-obatan ata.u zat yan g mempresipitasi hemolisis serta memperlahankan aliran ginjal yang adekuat karena adanya hemoglobinuria saat hemolisis ak-ut. Pada hemolisis berat, yang bisa terjadi pada varian Mediteranian, mungkin diperlukan transfusi darah. Yang terpenting adalah pencegahan episode hemolisis
dengan cara mengobati infeksi dengan segera dan memperhatikan risiko penggunaan obat-obatan, zat oksidan dan fava beans. Khusus untuk orang Afrika atau Mediteranian sebaiknya sebelum diberikan zat oksidan harus dilakukan skrining untuk mengetahui ada tidaknya defisiensiG6PD.
eritrosit pada tipe A- lebih pendek namun tidak menimbulkan anemia kecuali bila terpajan dengan infeksi virus dan bakteri di samping obat-obatan atau toksin yang dapat berperan sebagai oksidan yang mengakibatkan hemolisis. Obat-obatan atau zat y algdapat mempresipitasi hemolisis pada pasien dengan defisiensi G6PD adalah asetanilid, fuzolidon (furokson), isobutil nitrit, metilen blue,
asam nalidiksat, naftalen, niridazol, nitrofurantoin, fenazopiridin (piridium), primakuin, pamakuin, dapson, sulfasetamid, sulfametoksazol, sulfapiridin, tiazolsulfon, toluidin blue, trinitrotoluen, urat oksidase, vitamin K, doksorubisin. Asidosis metabolik juga dapat mempresipitasi hemolisis pada pasien defisiensi G6PD.
Hemolisis akut terjadi beberapa jam setelah terpajan dengan oksidan, diikuti hemoglobinuria dan kolaps pembuluh darah perifer pada kasus yang berat. Hemolisis biasanya self-limited karena yang mengalami destruksi hanya populasi eritrosit yang tua saja. Pada tipe A- massa eritrosit menurun hatya25-30Vo. Ketika hemolisis akut hematokrit turun cepat diiringi oleh peningkatan hemoglobin dan bilirubin tak terkonyugasi dan penurunan haptoglobin. Hemoglobin mengalami oksidasi dan membentuk
Heinz bodies yang tampak pada pewarnaan supravital dengan violet kristal. Heinz bodies tampak pada hari pertama atau sampai ketika badan inklusi ini siap dikeluarkan oleh limpa sehingga membenttk"bite ce\Is". Mungkin juga ditemukan beberapa sferosit. Sebagian kecil pasien defisiensi G6 PD ada yang sangat sensitif dengan
fava beans (buncis) dan dapat mengakibatkan krisis hemolisis fulminan setelah terpaian.
Defek Jalur Embden Meyerhof Etiologi dan epidemiologi. Enzim yang dapat terganggu pada
jalur ini dan mengakibatkan anemia hemolisis adalah
piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase dan fosfogliserat kinase. Yang terbanyak adalah defisiensi piruvat kinase (957o). Sedangkan defisiensi glukosa fosfat isomerase hanya sekitar 47o. Defek enzim glikolisis ini bisanya diturunkan secara autosomal resesif kecuali fosfogliserat kinase yang diturunkan terkait seks. Kelainan ini mengakibatkan eritrosit kekurangan AIP dan ion kalium keluar sel. Sel eritrosit menjadi kaku dan lebih cepat disekuestrasi oleh sistem fagosit mononuklir. Defisiensi piruvat kinase hanya mengenai sel eritrosit, sedangkan defisiensi glukosa fosfat isomerase dan fosfogliserat kinase juga mengenai sel leukosit meskipun tidak mempengaruhi fungsi leukosit.
Manifestasi klinis. Beratnya anemia bervariasi dan gejalanya relatif ringan karena terjadi disosiasi kurva hemoglobin ke kanan. Hemolisis berat terjadi pada masa awal kanak-kanak dengan anemia, ikterus dan splenomegali. Pada perempuan dengan defsisiensi piruvat kinase dapat sangat pucat ketika hamil sehingga sering didiagnosis pertama
kali saat itu. Anemia pada pasien ini berupa anemia normositik (makrositik ringan) normokrom dengan retikulositosis. Pada defisiensi piruvat kinase dapat ditemukan eritrosit bizar di antaranya sel prickle terutama setelah splenektomi.
Diagnosis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
1160
HEMATOLOGI
enzimatik khusus dengan menggunakan konsentrasi substrat yang sesuai untuk mendeteksi varian-varian berafinitas rendah terhadap substrat.
Terapi. Sebagian besar pasien tidak membutuhkan terapi kecuali pasien dengan hemolisis berat harus diberikan asam folat 1 mg/hari. Transfusi darah diperlukan ketika krisis hipoplastik. Splenektomi bermanfaat pada pasien dengan defisiensi
piruvat kinase dan glukosa fosfat isomerase. Dengan splenektomi retikulosit di sirkulasi meningkat.
HEMOLISIS MIKROANGIOPATIK Pada hemolisis mikroangiopatik terjadi kerusakan membran
sel eritrosit secara mekanik dalam sirkulasi darah karena adanya fibrin atau mikrotombi trombosit yang tertimbun di arteriol. Sel eritrosit terperangkap dalam jala-jala fibrin dan mengakibatkan terfragmentasinya sel eritrosit.
Hemolisis mikroangiopatik dapat terjadi pada abnormalitas dinding pembuluh darah, misalnya pada hipertensi maligna, eklampsia, rejeksi allograft ginjal, kanker diseminata, hemangioma ata.u disseminated intravas cular
coagulation (DIC), dan mikroangiopati trombotik: Trombotic Thrombocytopenia Purpura (TTP) dan Hemolytic Uremic Syndrome (HUS).
Mikroangiopati Tromboti k Mikroangipati trombotik adalah sumbatan mikrovaskular yang terjadi karena agregasi trombosit sistemik atau
intra rrral, disertai adanya trombositopenia, dan trauma mek,nik sel eritrosit. Yang termasuk kelompok kelainan ini adalah: Thrombotic Trombositopenia Purpura (TTP) dan Hemolytic Uremic Syndrome (HUS). Th rom boti c Trom bocytopen i a P u rp u ra (TTP) Kelainan ini ditandai dengan agregasi trombosit pada
arteriol berbagai organ yang
mengakibatkan
trombositopenia dan memicu kerusakan sel eritrosit yang mengalami fragmentasi (schistocytes atau sel helmet). Agregasi trombosit dapat mengakibatkan oklusi baik parsial atau total sehingga terjadi disfungsi organ yang biasanya
terjadi pada sistem saraf atau ginjal. Oklusi ini menyebabkan jaringan iskemia atau nekrotik sehingga meningkatkan kadar laktat dehidrogenase. Adapun eritrosit yang mengalami fragmentasi terjadi karena adanya aliran darah melalui area turbulen dari mikrosirkulasi mengalami oklusi parsial karena agregasi trombosit. TTP dapat terjadi pada semua usia terutama dewasa muda dan lebih sering perempuan.
Patogenesis. Pada TTP trombus tombosit/agregasi trombosit mengandung banyak faktor von Willebrand sedangkan pada DIC tombus trombosit mengandung banyak fibrin tetapi tidak mengandung faktor von
Tipe
Presentasi klinis
Sebab
Trombus tombosit sistemik
Kegagalan degradasi faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa
Thrombotic Trombocytopenia Purpura
Trombus
Pajanan dengan toksin Shiga
Klasik, kanak-kanak atau Hemolytic Uremic Syndrome yang berhubungan dengan E.
Defek faktor H
plasma
Hemolytic Uremic Synd rome (H US) familial (atau rekuren)
Transplantasi atau obat (mytomicin, cyclosporin, tacrolimus, quinine)
Hemolytic Uremic Sydrome atau Thrombotic Trombocytopenia Purpura
trombosil fibrin predominan di ginjal
Trombus renal atau sistemik
Coli
Wilebrand. Situasi ini karena agregasi trombosit pada TTP diperantarai oleh faktor von Wilebrand multimer besar yang
tidak biasa, yang lebih mudah.berikatan dengan Iba. Adanya faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa ini karena adanya defek atau defisiensi enzim metaloprotease, ADAMTS 13, yang bertugas memecah multimer faktor von Wilebrand. Defek atau dehsiensi enzim ini dapat terjadi karena mutasi gen atau adanya antibodi yang menghambat enzim tersebut. Sehingga ditemukan dua tipe TTP yaitu familial dan didapat. Pada kedua tipe ini aktivitas ADAMTS 13 kurang dari 5 persen normal.
Manifestasi klinik. Manifestasi klinik klasik TTP ada lima, yang sering disebut dengan pentad TTP yaitu anemia hemolitik dengan fragmetasi eritrosit, trombosi topenia. kelainan neurologik fokal atau difus, penurunan fungsi ginjal dan demam. Secara praktis triad TTP: trombositopenia, skis-
tositosis, dan peningkatan LDH cukup untuk menduga adanya TTP. Gejala dan tanda TTP bervariasi tergantung pada jumlah dan lokasi lesi arteriol. Anemia pada TTP bisa sangat ringan sampai sangat berat dan derajat trombositopenia biasanya paralel dengan derajat anemia. Gejala neurologi biasanya tampakjikajumlah trombosit (<20.000-30.000). Demam tidak
selalu ada. Onset TTP akut tetapi bisa berlangsung dalam hitungan bulan. Proteinuria dan peningkatan urea nitrogen darah (BUN) mungkin ditemukan dan terus meningkat jika berkembang menjadi gagal ginjal. Gej ala neurologis berkembang pada >90 Eo p asier, y ar,g penyakitnya berakhir dengan kematian. Awalnya terjadi perubahan mental seperli bingung, delinum, perubahan kesadaran. Pasien dapat mengalami kejang, hemiparesis,
afasia, dan kelainan lapang pandang mata. Gejala neurologis ini berfluktuasi dan berakhir dengan koma. Keterlibatan pembuluh darah jantung bisa mengakibatkan kematian mendadak.
Beratnya kelainan dapat diperkirakan dengan derajat
tt6t
AI{EMIA HEMOLITIK NON AUTOIMUN
anemia, trombositopenia, dan kadar serum LDH.
Masa protrombin, masa trornboplastin parsial, dan konsentrasi fibrinogen serta kadar fibrin degradation product (FDP) biasanya normal atau hanya abnormal ringan. Bila pemeriksaan koagulasi menunjukkan konsumsi faktor pembekuan yang berlebihan maka diagnosis TTP diragukan. Pada 20Vo pasien didapatkan Anti nuclear
antibody (ANA) yang positif.
titernya tinggi terapi plasma tukar mungkin tidak memperbaiki keadaan. Pada kondisi ini dapat diberikan vincristine, siklofosfamid, atau dilakukan splenektomi. Koma tidak merupakan kontraindikasi terapi karena perbaikan status neurologi pasien merupakan parameter respons terapl. Transfusi trombosit tidak boleh diberikan karena dapat mempresipitasi kejadian trombosis kecuali terbukti adanya
ancaman perdarahan intrakranial. Aspirin dapat memprovokasi perdarahan pada pasien dengan
Klasif ikasi Ada dua tipe TTP: 1). Familial. Muncul pada masa bayi
trombositopenia berat.
atau kanak-kanak dan kambuh dengan interval teratur tiga
minggu (dirujuk sebagai thrombotic trombositopenia kronik kambuh); 2). Idiopatik didapat. Muncul pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih tua dan biasanya merupakan episode akut tunggal. Hanya 17-367o yang kambuh dengan interval tidak teratur. Biasanya terjadi dalam beberapa rninggu setelah terapi awal trombosis arteri
pada pasien trombosis arteri yang mendapat tiklopidin, inhibitor adenosis disfosfat (ADP) dan sebagian kecil yang pasien yang menerima klopidogrel. Kelainan ini juga bisa terjadi pada waktu kehamilan terutama trimester akhir atau periode postpaftum.
Hemolytic Uremic Syndrome (HUS) Etiologi, epidemiologi dan patogenesis. HUS terjadi pada 9-307o anak-antk. Di Buenos Aires Argentina, dan Calgary, Canada, infeksi enterohemoragik E. Coli endemik dan HUS menjadi sebab umum gagal ginjal akut pada anak-anak.
Biasanya diawali dengan diare berdarah yang
disebabkan oleh Eschericia Coli 0157:H7 yang menghasilkan toksin Shiga 7 dan2 dan Shigela dysentriae
yang menghasilkan toksin Shiga, yang sering mengkotaminasi daging, susu, dan keju yang tidak dimasak dengan matang. Diare berdarah biasanya terjadi satu
normal, demam. kelainan neurologi dan gangguan fungsi
minggu sebelumHUS. Toksin shiga masuk ke dalam sirkulasi intestinal dan berjalan di dalam plasma dan permukaan trombosit atau monosit. Toksin berikatan dengan molekul endotel kapiler glomerular, sel mesangial, dan sel epitel glomerular dan tu-
ginjal, yang merupakan kelainan patognomonik untuk TTP.
bular, yang kemudian merusak endotel sel melalui
Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya anemia hemolitik dengan fragmentasi eritrosit, tes koagulasi
Meski tidak selalu dibutuhkan untuk diagnosis, biopsis
kulit dan otot, gusi, kelenjar getah bening, atau sumsum tulang, menunjukkan kelainan arleriol yang khas.
Terapi. Pada TTP familial, episode TTP dapat dicegah dengan pembeian fr e s h fro zen plasma y ang mengandung sedikit trombosit, plasma mengandung sedikit kriopresipitat (cryosupernatant) atau plasma yang dicampur dengan pelarut dan detergen yang berisi metaloprotease aktif yang diberikan tiap tiga mrnggu. Tidak dibutuhkan plasmaferesis. Pada TTP idiopatik didapat perlu dilakukan plasma
exchage (plasma tukar) yaitu kombinasi plasmaferesis
dengan infus FFP atau cryosupernatant, setiap hari. Plasmaferesis berlujuan untuk mengeluarkan faktor von
Wilebrand multimer besar yang tidak biasa dan autoantibodi terhadap ADMTS 13). Jika respon baik (trombosit meningkat dan LDH menurun) frekuensi plasma
tukar dapat dikurangi tetapi kadang-kadang diteruskan untuk beberapa minggu atau bulan. Lebih dari 90Vo pasien dapat bertahan hidup dengan pemberian segera terapi ini.
ADAMTS
tidak biasa.
HUS bisa familial tapi jarang (s-rcqa). Meski jarang,
Diagnosis Banding. Idiopathic trombocytopenic purpura (ITP) atau Evan's Syndrome. Pada kedua kelainan ini ditemukan juga fragmentasi eritrosit tetapi bukan eritrosit sferositik. Pada TTP tes Coombs negatif
Pada keadaan dimana autoantibodi
pembentukan faktor von Wilebrand multimer besar yang
13
mortalitas HUS familial lebih nngg. (54Vo) datpada HUS pada urak-Nrak(5Vo). Sebagian besmpasien HUS familial mengalami defisiensi atau defek faktor komplemen H yang bertugas mencegah kerusakan sel melalui jalur altematif komplemen. Defek faktor H ini terjadi karena adanya mutasi pada gen faktor H yang dapat diturunkan secara resesif dan dominan.
Herediter resesif bermanifestasi HUS pada dewasa muda
sedangkan herediter dominan bermanifestasi HUS dipresipitasi oleh infeksi atau kehamilan. Di samping dua tipe di atas, ditemukan juga HUS yang terjadi pada pasien yang diterapi dengan obat antikanker mitomycin C, bisanya dalam kombinasi dengan obat lain dan pasien yang menerima kemoterapi dosis tinggi dengan transplantasi sumsum tulang autologus.
Manifestasi klinik. Kelainan ini hampir sama dengan TTP, bercirikan lesi arteriol dan temuan laboratoriun yang sama. Lesi arteriol HUS hanya terjadi di ginjal sehingga jarang
menimbulkan kelainan neurologi. Anemia hemolitik, trombositopenia purpura, dan gagal ginjal akut oligurik. Kebanyakan pasien mengalami hemoglobinuria atau anuria.
Pemeriksaan darah tepi dan tes koagulasi tidak dapat
tt62
HEMIIiIOI.OGI
diikuti
dibedakan dengan TTP.
permukaan secara progresif
Terapi. Pada HUS ringan pada anak-anak dengan
mikrosferosit. Akibat kelainan tersebut terj adi peningkatan fragilitas osmotik eritrosit menyebabkan bentuk eritrosit
oligoanuria <24 jam, biasanya pemberian cairan dan elektrolit cukup. Pada dewasa sering teri:di gagal ginjal akut yang lebih berat sehingga membutuhkan perawatan seperti penyakit gagal ginjal terminal, dialisis. Terapi lain adalah plasmaferesis dan transfusi. Pemberian FFP yang mengandung faktor H tidak mencegah kekambuhan maupun progresivitas penyakit ginj al. Antimotilitas dan antibiotik dapat meningkatkan HUS. Efikasi glukokorlikoid, dekstran dan heparin belum jelas.
pembentukan
yang bulat dan hilangnya permukaan membran. Te4ebaknya sel eritrosit dalam limpa
Manifestasi ktinis dan laboratoris. Gejala klinis mayor sferositosis herediter adalah anemia, splenomegali dan ikterus. Ikterus dapat terjadi secara berkala sehingga luput dari perhatian orang tua saat anak masih kecil. Akibat peningkatan produksi pigmen empedu karena destruksi eritrosit, sering terbentuk batu empedu berpigmen, bahkan pada masa kanak-kanak.
Koagulasi lntravaskular Diseminata (KlD) Lebih jarang menimbulkan anemia karena derajat hemolisinya lebih sedikit dibandingkan dengan TTP dan HUS. KID terjadi karena aktivasi sistem koagulasi yang tidak sesuai yang dipicu deposisi fibrin pada dinding
pembuluh darah kecil yang dapat menyebabkan fragmentasi eritrosit pada seperempat pasien KID' Terapi sesuai terapi KID dan sebab yang mendasarinya.
Hiperplasia sel eritroid sumsum tulang sebagai kompensasi destruksi sel eritrosit terjadi melalui perluasan sumsum merah ke bagian tengah tulang panjang. Tidak
jarang terjadi eritropoiesis ekstra meduler di paravertebral, yang secara kebetulan terlihat pada foto thoraks.
Kompensasi sumsum tulang terkadang mengalami gangguan akibat keadaan hipoplasia eritroid yang dipicu adanya inf'eksi terutama oleh Panovirus.
Splenomegali merupakan hal yang umum terjadi. Kecepatan hemolisis meningkat perlahan selama
Kelainan Dinding Pembuluh Darah Lain
Trombositopenia berat dapat ditemukan pada beberapa pasien. Terapi penyakit dasarnya dapat menghentikan
terjadinya infeksi sistemik, merangsang pembesaran limpa' Pada pemeriksaan mikroskopik, didapatkan sel eritrosit yang kecil berbentuk bulat dengan bagian sentral yang pucat. Hitung MCV biasanya normal/sedikit menurun. MCHC meningkat sampai 350-400 g/dl. Untuk mengetahui secara kuantitatif sferoidisitas dilakukan pengukuran fra-
hemolisis.
gilitas osmotik eritrosit dengan menggunakan cairan
Hipertensi maligna, eklampsia, rejeksi alograf ginjal, kanker diseminata atau hemangioma dapat menyebabkan hemolisis
traumatik. Derajat hemolisisnya ringan tetapi banyak
ditemukan fragmentasi eritrosit
di darah
tepi.
hipoosmotik.
Katup Prostesis Pada I\Vo pasien dengan katup prostesis aorta terjadi framentasi sel eritrosit. Meski sedikit hal ini bisa terjadi juga pada prostesis katup mitral. Pemendekan waktu hidup eritrosit terjadi juga pada beberapa pasien dengan steno-
sis aorta kalsifikasi berat dan hampir semua lesi intrakardiak. Pasien yang menjalani bypass aortofemoral juga diamati mengalami hemolisis traumatik
Sferositosis Herediter Sferositosis herediter merupakan kelompok kelainan sel darah merah dengan gambaran eritrosit bulat seperti donat dengan fragilitas osmotik yang meningkat. Sferositosis herediter merupakan kelainan autosom dominan dengan insiden 1 : 1 000 sampai 1 :4500 penduduk. Pada lebih kurang 20Vo pasien penyakit ini merupakan kelainan autosom resesif yang diturunkan dan mutasi genetik spontan.
Etiologi dan patogenesis. Kelainan utama pada sferositosis herediter adalah terdapatnya defek pada protein pembentuk membran eritrosit, akrbat defisiers\ spectrin, ankryn dan atau protein pita 3 atau protein 4.2.Hal ini menyebabkan
defek vertikal dan kehilangan membran lemak dan luas
Diagnosis dan terapi. Sferositosis herediter harus dibedakan dengan sel sferosit pada anemia hemolitik autoimun dengan pemeriksaan uji Coombs. Sferositosis juga terjadi pada reaksi hemolisis akibat
splenomegali pada pasien sirosis hepatis, infeksi clostridium,bisa ular. Kelainan ini juga dapat terjadi pada anemia hemolitik yang lain seperti pada pasien defisiensi enzimG6PD.
Pengobatan. Splenektomi dianjurkan pada pasien dengan anemia hemolitk sedang dan berat. Meskipun pasca splenektomi, anemia tetap terjadi, namun tidak berat. Pada anemia hemolitik yang berat, perlu diberikan preparat asam folat 1 mgftrari sebagai profilaksis.
Elipsitosis Herediter Ditandai oleh eritrosit dengan bentuk oval atau elips. Insiden Elipsitosis herediter ini diperkirakan 1:1000 sampai 1:4500 penduduk. Insiden sebenamya tidak diketahui karena derajat keparahan secara klinis bervariasi kadang tanpa gejala.
Etiologi dan patogenesis. Prinsip kelainan pada elipsitosis herediter adalah kelemahan secara mekanis yang berakibat meningkatnya fragilitas osmotik membran eritrosit. Hal ini
1163
AI\EMIA HEMOLXTIK NON AUTOIMUN
disebakan adanya gangguan sintesis protein spectrin o, dan p, protein 4. 1 dan glicophoryn C pembentuk membran eritrosit. Sebagian besar kelainan ini diturunkan secara
produksi sel darah merah di sumsum tulang selama keadaan hemoglobinuria. Sel darah merah cuci dianjurkan untuk mencegah peningkatan hemolisis. Pemberian hormon an-
autosomal dominan.
drogen kadang dapat meningkatkan Hb. Pemberian preparat glukokortikoid (prednison 60 mg/hari) dapat
Gejala klinis dan laboratoris. Gejala klinis bervariasi, dari tanpa gejala sampai anemia berat. Hemolisis yang terjadi dipicu adanya infeksi, hipersplenisme, defisiensi vit B12
menurunkan kecepatan hemolisis.
atau adanya KID.
Hipersplenisme
Pada pemeriksaan laboratorik didapatkan gambaran eritrosit
Limpa normal berbagi fungsi dengan jaringan lain dalam hal pembentukan, penyimpanan dan penghancuran sel darah serta produksi antibodi. Namun limpa memiliki
bentuk elips menyerupai puntung rokok. Dapat pula dijumpai eritrosit bentuk oval, spherosit, stomasit dan fragmen.
Pengobatan. Pengobatan jarang dibutuhkan pasien. Pada beberapa kasus yangjarang diperlukan pemberian ffanfusi sel darah merah. Pada kasus yang berat, splenektomi merupakan pengobatan paliatif mencegah kerusakan dan destruksi eritrosit yang berlebihan. Pasien dengan hemolisis kronik perlu diberikan asam folat sebagai profilaksis.
Paroxysmal Nocturnal Haemoglobinuria (PNH) PNH ditandai oleh penurunan jumlah sel darah merah (anemia) serta terdapatnya darah di dalam urin (hemoglobinuria) dan plasma (hemoglobinemia), yang terjadi setelah tidur. Pasien PNH berisiko tinggi mengalami kejadian trombosis mayor, terbanyak trombosis pada aorta
abdominalis. Kebanyakan pasien rneninggal akibat trombosis ini.
Etiologi dan patogenesis. Penyebab kelainan ini adalah defisiensi ensim PIG-A (p ho sphat idy Lino s it o I g ly c an c la s s A) yang diperlukan untuk sintesis protein pengikat sel. Protein yang merupakan bagian terluar sel melekat pada
kemampuan unik untuk melakukan penyaringan terhadap sel darah serta menyingkirkan sel yang abnormal maupun benda asing. Limpa memiliki 2 fungsi dasar, yaitu: . Fungsi penyaring dan surveilan terhadap komponen darah di pulpa merah (oleh makrofag)
.
Fungsi sintesis antibodi di pulpa putih
Hipersplenisme merupakan proses penghancuran sel darah yang berlebihan oleh limpa. Hal ini terjadi ketika ukuran limpa mengalami peningkatan baik sel maupun
jaringan atau desakan pembuluh darah. Keadaan ini meningkatkan peran fungsi penyaring, sehingga sel darah normal pun akan mengalami perlambatan serta proses penghancuran sementara. Walaupun proses penghancuran granulosit dan trombosit menyebabkan neutropenia dan trombositopenia, namun ke dua jenis sel tersebut dapat beradaptasi dengan perlambatan proses penyimpanan di limpa. Berbeda dengan sel darah merah yang terperangkap akan mengalami penghancuran menyebabkan terjadinya anemiahemolitik.
membran sel dengan bantuan protein glikosilfosfa-
Dameshek berpendapat bahwa hipersplenisme
tidilinositol (GPI) dan PIG-A dibutuhkan untuk sintesis protein tersebut. Bila terdapat gangguan pembentukannya protein permukaan yang melindungi sel dari kornplemen hilang, sehingga megrudahkan penghancuran sel darah. Persentase sel darah merah yang mengalami kerusakan menentukan beratnya penyakit.
umumnya dihubungkan dengan keadaan splenomegali, menyebabkan terjadinya sitopenia yang berakibat
Manifestasi klinis dan laboratoris. Tiga manifestasi yang sering terjadi adalah anemia hemolitik, trornbosis vena dan
gangguan hematopoiesis. Hemoglobinuria dan hemosiderinuria berkala terjadi pada kebanyakan pasien.Granulositopenia dan trombositopenia sering
terjadi, menandakan adanya gangguan hematopoiesis. Gambaran sumsum tulang normoselular.
Diagnosis dan terapi. PNH perlu dicurigai pada pasien
dengan anemia hemolitik yang tidak diketahui
terjadinya kompensasi hipeplasi sumsum tulang. Kebanyakan kelainan ini harus dikoreksi dengan splenektomi.
lnfeksi Mikroorganisme Mikroorganisme memiliki mekanisme yang bermacammacam saat menginfeksi eritrosit menyebabkan terjadinya anemia hemolitik. Ada yang secara langsung menyerang eritrosit seperti pada malaria, babesiosis dan bartonellosis.
Melalui pengeluaran toksin hemolisis oleh Clostridium perfringens, pembentukan antibodi atau otoantibodi terhadap eritrosit. Dapat pula dengan deposit antigen mikroba atau reaksi kompleks imun pada eritrosit.
penyebabnya, terutama bila disertai leukopenia dan atau
trombositopenia. Serta terdapatnya tanda hemolisis intravaskular (hemoglobinemia, hemoglobinuria dan peningkatan LDH). Transfusi sel darah merah merupakan terapi terbaik, tidak hanya meningkatkan kadar Hb, tetapi juga menekan
Malaria Pada infeksi malaria, derajat anemia yang terjadi tidak sesuai dengan rasio jumlah se1 yang terinfeksi, namun penyebabnya masih belum jelas. Fragilitas osmotik pada sel yang tidak terinfeksi maupun yang terinfeksi mengalami
tt64
HEM/TffOLOGI
peningkatan. Penghancuran eritrosit pada infeksi malaria
Patogenesis. Hampir 5O-107o kolesterol terdapat pada
disebabkan lisisnya eritrosit akibat infeksi langsung,
permukaan membran, sehingga menurunkan kadar air serta
peningkatan proses penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan proses otoimun. Namun tidak satupun mekanisme di atas yang dapat menjelaskan terjadinya anemia berat pada malaria.
menyebabkan perubahan bentuk sel. Akibat bentuknya yang padat ini menyebabkan sel merah tidak dapat melewati proses penyaringan di limpa, terlebih lagi dengan adanya splenomegali kongestif akibat sirosis.
Proses penghancuran sel darah merah sebagian besar
Manifestasi klinis. Anemia yang terjadi cukup berat.
berlangsung di limpa. Splenopmegali merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria kronik.
Splenomegali didapatkan pada semua pasien sirosis
Diagnosis dan terapi. Diagnosis malaria ditegakkan dengan
dengan sel spur.Sel darah merah irreguler dengan tambahan taji di sekitarnya serta sejumlah kecil sel darah merah yang
menemukan parasit pada pulasan darah tebal atau didapatkannya sekuens parasit malaria pada analisis DNA.
terfragmentasi dengan bentuk yang aneh sering dijumpai pada preparat.
Terapi anemia pada infeksi malaria pada dasamya dengan mengeradikasi parasit penyebab. Transfusi darah segera, sangat dianjurkan pada pasien dewasa dengan Hb <7 g/dl. Preparat asam folat sering diberikan pada pasien. Pemberian besi sebaiknya ditunda sampai terbukti adanya defisiensi besi.
Diagnosis dan terapi. Pasien dengan anemia sel spur
Bartonellosis
sesaat. Obat penurun lemak juga tidak memberikan hasil
mengalami reaksi hemolisis yang berat. Gambaran sel darah merah yang khas berupa sel darah merah bertajilakantosit yang memiliki panjang yang tidak beraturan dapat dijumpai pada pulasan darah.
Transfusi darah hanya memberikan keuntungan Merupakan infeksi yang disebabkan oleh Bartonella
bacilformis yang melekat pada permukaan sel eritrosit. Eritrosit yang terinfeksi mengalami indentasi, invaginasi serta terbentuknya saluran. Eritrosit yang terinfeksi, dengan cepat dihancurkan oleh hati dan limpa. Anemia hemolitik akut terjadi pada saat demam "Oroya" di mana dengan cepat jumlah eritrosit mengalami penurunan
yang memuaskan. Splenektomi dilaporkan dapat mencegah perlambatan waktu transit sel darah merah di limpa dan penghancuran dini. Namun splenektomi sangat berisiko tinggi pada pasien sirosis hati dengan hipertensi portal serta terdapat gangguan pembekuan darah.
sampai 750.000iul.
REFERENSI
Diagnosis dan terapi. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan B bacilformis pada sel eritrosit. Dengan
Beutler E. Hemolytic anemia due to infection with microoganism. In: Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U, editors. Williams hematology. 6'h edition Nerv York: Mc Grar.i' Hill; 2001 p. 633-5. Bunn F, Rosse W Hemolytic anemias and acute blood loss In: Kasper DL, Braunwald E. Faucj AS, Hause SL, Longo DL, Jameson J, editors. Harrison's principles of internal medjcine 16'h edition. New York: Mc Graw Hill; 2005. p 601-16. Dhaliwal G Cornett PA, Tierne LM. Hemolytic anemia. Anr Fam Physician. 69:2599-606. Erslev AJ. Hypersplenism and hyposplenism. In: Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U, edltors. Williams hematology. 6h edition New York: Mc Graw Hill; 2001 p. 683-
pewarnaan Giemsa didapatkan bentuk batang berwarna merah jingga. Pengobatan dengan penisilin, streptomisin, kloramfenikol dan tetrasiklin memberikan respons sangat baik.
Babesiosis Babesia merupakan protozoa intra eritrosit, yang ditularkan melalui gigitan kutu rambut, yang dapat menginfeksi hewan ternak maupun hewan liar. Pada manusia penyakit ini tidak
hanya ditularkan melalui gigitan kutu, tetapi juga lewat ,ransfusi darah.
Diagnosis dan Terapi. Parasit ini dapat terlihat melalui
pulasan darah tebal dengan pewarnaan Giemsa. Uji serologi dengan antibodi terhadap Babesia serta uji PCR
dapat membantu penegakkan diagnosis. Pengobatan dengan klindamisin dan kuinin memberikan hasil yang memuaskan. Transfusi tukar juga memberikan perbaikan
5.
Gallagher PG, Forget BG Hereditary spherocytosis, elliptocytosis and related disorders. In: Beutler E, Lichtman MA, Coller BS,
Kipps TJ, Seligsohn U, editors. Williams hematoJogy edition. New York: Mc Graw Hill;2001. p.503-11.
6'h
Greenberg PL, Gordeuk V, Issaragrisil S, Siritanaratkul N, Fucharoen S, et al. Major hematologic diseases in the developing world-
new aspects of diagnosis and management of thalassemia. malarial anemia, and acute leukemia. Hematology (Am Soc
:talg tyata.
Hematol Educ Program) 2001 479:98. Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Haemolytic anaemias In:
A,nemia Sel Spur
Hoffbrand AV, Petit JE. Moss PAH, editors. Essential hematology London: Blackwell Science; 2001. p.51-10. Moake JL. Thrombotic microangiopathies. N Engl J Med. 347:589-
Anemia sel spur merupakan jenis anemia hemolitik dengan ,rcntuk eritrosit yang aneh, terjadi pada5To pasien dengan penyakit hepatoseluler, terutama sirosis "Laennec" tahap lanjut.
600.
Tsai HM. Advances in pathogenesis, diagnosis, and treatment thrombotic trombositopenia purpura J Am Soc Nephrol 2003:14:1072-81
.
t84 PURPURA TROMBOSITOPENIA IMUN Ibnu Purwanto
dibedakan tipe akut bila kejadiannya kurang atau sama dengan 6 bulan (umumnya terjadi pada anak-anak) dan kronik bila lebih dari 6 bulan (umumnya terjadi pada orang
PENDAHULUAN Purpura Trombositopenia Imun (PTI) yang dahulu dikenal sebagai Idiopathic thrombocytopenia purpura (ITP) dan
dewasa).
kemudian selanjutnya disebut juga sebagai Immune thrombocytopenic purpura merupakan suatu kelainan didapat yang berupa gangguan autoimun yang mengakibatkan trombositopenia oleh karena adanya penghancuran trombosit secara dini dalam sistem retikuloendotel akibat adanya autoantibodi terhadap trombosit yang biasanya berasal dari Immunoglubolin
Diperkirakan insidensi PTI teqadi pada 100 kasus per 1 juta penduduk per tahun, dan kira-kira setengahnya terjadi pada anak-anak.Purpura trombositopenia imun terjadi bila trombosit mengalami destruksi secara prematur sebagai
hasil dari deposisi autoantibodi atau kompleks imun dalam membran sistemretikuloendotel limpadan umumnya di hati.
G.
Kata trombositopenia menunjukkan bahwa terdapat angka trombosit yang rendah, sedandkan kata purpura berasal dari suatu deskripsi akan kulit yang berwama lebam karena
DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI
Purpura Trombositopenia Imun (PTI) adalah suatu
pada kulit ini disebebkan oleh merembesnya darah dibawah kulit.
symptom penyakit
ini, warna ungu
Adanya trombositopenia pada PTI
ini
gangguan autoimun yang ditandai dengan trombositopenia yang menetap (angka trombosit darah perifer kurang dari 150.000/mL) akibat autoantibodi yang mengikat antigen
akan
mengakibatkan gangguan pada sistem hemostasis karena trombosit bersama dengan sistem vaskular faktor koagulasi darah terlibat secara bersamaan dalam mempertahankan hemostasis normal. Manifestasi klinis PTI sangat bervariasi mulai dari manifestasi perdarahan ringan, sedang sampai dapat mengakibatkan kejadian-kejadian yang fatal. Kadang juga asimptomatik. Oleh karena merupakan suatu penyakit
trombosit menyebabkan destruksi prematur trombosit dalam sistem retikuloendotel terutama di limpa. Insidensi PTI pada anak antara 4,0-5,3 per 100.000, PTI akut umumnya terj adi pada anak-anak us ia arftata 2 6 tahun. I - 28 7o anak-anak dengan PTI akut berkembang menjadi kronik l5-20%o. Purpura Trombositopenia Ir4un (PTI) pada anak berkembang menjadi bentuk PTI kronik pada beberapa kasus menyerupai PTI dewasa yang khas. Insidensi PTI kronis pada anak diperkirakan 0,46 per
autoimun maka kortikosteroid merupakan pilihan konvensional dalam pengobatan PTI. Pengobatan akan sangat ditentukan oleh keberhasilan mengatasi penyakit
yang mendasari PTI sehingga tidak mengakibatkan
100.000 anak per tahun. Insidensi PTI kronis dewasa adalah 58
keterlambatan penanganan akibat perdarahan fatal, atau pun penanganan-penanganan pasien yang gagal atau relaps. Di dalam makalah ini akan disajikan pegangan mengenai diagnosis klinis dan laboratorium, epidemiologi, patofisiologi, menilai dan menentukan respon terhadap pengobatan dan penangan kasus-kasus refrakter. Berdasarkan etiologi, PTI dibagi menjadi 2 yairu primer (idiopatik) dan sekunder. Berdasarkan onset penyakit
-
66 kasus baru
per satu juta populasi peflahun (5,8-6,6 per 100.000) di Amerika dan serupa yang ditemukan di Inggris. Purpura Trombositopenia Imun (PTI) kronik pada umumnya terdapat pada orang dewasa dengan median rata-rata usia 40 - 45 tahun. Ratio antara perempuan dan laki-laki adalah 1 : 1 pada penderita PTI akut sedangkan pada PTI kronik
adalah2-3:1.
116
tt66
HEIVIATIOLOGI
Penderita PTI refrakter didefinisikan sebagai suatu PTI
akan terjadi mekanisme kompensasi dengan peningkatan
yang gagal diterapi dengan kortikosteroid dosis standar dan splenektomi yang selanjutnya mendapat terapi karena angka trombosjt dibawah normal atau ada perdarahan. Penderita PTI refrakter ditemukan kira-kira25 -30 persen dari jurnlah penderita PTI. Kelompok ini mempunyai respon jelek terhadap pemberian terapi dengan morbiditas yang cukup bermakna dan morlalitas kira-kta 16 7o .
produksi trombosit. Pada sebagaian kecil yang lain, produksi trombosit tetap terganggu, sebagian akibat destruksi trombosit yang diselimuti autoantibodi oleh makrofa g didal am sumsum tttlang ( int r ant e du I I a n' l, ata'.t
karena hambatan pembentukan megakariosit (ntegakaryocytopoiesis), kadar trombopoetin tidak meningkat, menunjukkan adanya masa megakariosit normal. Untuk sebagian kasus PTI yang ringan, hanya trombosit yang diserang, dan megakariosit mampu untuk mengkompensasi parsial dengan meningkatkan produksi trombosit. Penderita PTI dengan tipe ini dapat dikatakan menderita PTI kronik tetapi stabil dengan jumlah trombosit yang rendah pada tingkat yang aman. Pada kasus yang berat, auto antibodi dapat langsung menyerang antigen yang terdapat pada trombosit dan juga pada megakariosit. Pada tipe ini produksi trombosit terhenti dan penderita harus rnenjalani pengobatan untuk rrenghindari risiko perdarahan internal/ organ-organ dalam. Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal
PATOFiSIOLOGI Sindroma PTI disebabkan oleh autoantibodi trombosit
spesifik yang berikatan dengan trombosit autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh sistem fagosit mononuklear rnelalui reseptor Fc makrofag. Pada tahun 1982 Van Leeuwen pertama mengidentiiikasi membran trombosit glikoprotein IIb/IIIa (CD41) sebagai
antigen yang dominan dengan mendemostrasikan bahwa autoantibodi eluate dari trombosit pasien PTI berikatan dengan trombosit normal. Diperkirakan bahwa PTI diperantarai oleh suatu
dari kegagalan antibodi PTI untuk berikatan dengan trombosit yang secara genetik kekurangan kompleks
kej adian trans ient trombositopeni pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita PTI, dan perkiraan ini didukung oleh kejadian transient trombositopeni pada orang sehat yang menerima transfusi plasma kaya IgG, dari seorang penderita PTI. Trombosit yang diselimuti oleh autoanttbodi IgG akan mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati
glikoprotein
autoantibodi, mengingat
IIb/IIIa Kemudian belhasjl diidentifikasi
antibodi yang bereaksi den-san glikoprotein Ib/IX. Ia.rIIa. IV danV dan determinan trombosit yang 1ain. Juga dijumpai antibodi yang bereaksi terhadap berbagai antigen )'ang berbeda. Destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen yang cliperkirakan dipicu oleh antibodi, akan menimbulkan paclran pembentukan neoantigen, yang berakibat produksi antibodi yang cukup untuk menimbulkan trornbositopeni
setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan
(Gambarl).
oleh makrotag jaringan. Pada sebagian besar penderita,
Makrofag terakUfas
Klonlse B
Korlseij
Gambar 1. Patogenesis penyebaran epitop pada purpura trombositopenia idiopatik (PTl) (Sumber; Cines dan Blanchette, 2002\
1t67
PURPURA TROMBOSIIOPENIA IMUN
Secara alamiah, antibodi terhadap kompleks
dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian mengalami proses
glikoprotein IIb/IIIa memperlihatkan restriksi penggunaan rantai ringan, sedangkan antibodi yang berasal dai displai phage mentnjukkan penggunaan gen V,r. Pelacakan pada daerah yang berikatan dengan antigen dari antibodiantibodi ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut berasal dari klon sel B yang mengalami seleksi afinitas yang diperantarai antigen dan melalui mutasi somatik. Penderita PTI dewasa sering menunjukkan peningkatan jumlah HLADR + T cells, peningkatan jumlah reseptor interleukin 2 dan peningkatan profil sitokin yang menunjukkan aktivasi prekursor sel T helper dan sel T helper tipe 1. Pada pasienpasien ini, sel T akan merangsang sintesis antibodi setelah terpapar fragmen glikoprotein IIb/IIIa tetapi bukan karena telpapar oleh protein alami. Penurunan epitop kriptik ini secara in vivo dan alasan aktivasi sel T yang bertahan lama tidak diketahui dengan pasti. Dari gambar 1 dapat menperjelas bahwa, faktor yang
internalisasi dan degradasi (2). Sel penyaji antigen tidak
hanya merusak glikoprotein IIb/IIIa, tetapi juga memproduksi epitop kriptik dari glikoprotein trombosit yang lain (3). Sel penyaji antigen yang teraktivasi (4) mengekspresikan peptida baru pada permukaan sel dengan
bantuan kostimulasi (yang ditunjukkan oleh interaksi antara CD 154 dan CD 40) dan sitokin yang berfungsi memfasilitasi proliferasi inisiasi CD4-positif T cell clone (T-cell clone-l) dan spesifitas tambahan (T-cell clone-2) (5). Reseptor sel imunoglobulin sel B yang mengenali antigen trombosit (B-cell clone-2) dengan demikian akan menginduksi proliferasi dan sintesis antiglikoprotein I b/
IX antibodi dan juga
meningkatkan produksi anti-
glikoprotein IIb/IIIa antibodi oleh B-cell clone
1.
Metode yang saat ini digunakan untuk
memicu produksi autoantibodi tidak diketahui.
penatalaksanaan PTI diarahkan secara langsung pada berbagai aspek berbeda dari lingkaran produksi antibodi dan sensitisasi, klirens dan produksi trombosit (Gambar
Kebanyakan penderita mempunyai antibodi terhadap
2).
glikoprotein pada permukaan trombosit pada saat penyakit terdiagnosis secara klinis. Pada awalnya glikoprotein IIb/ IIIa dikenali oleh autoantibodi, sedangkan antibodi yang mengenali glikoprotein Ib/IX belum terbentuk pada tahap
ini (1). Trombosit yang diselimuti autoantibodi
akan berikatan dengan sel penyaji antigen (makrofag atau sel
Dari Gambar 2, dijelaskan bahwa pada umumnya obat
yang digunakan sebagai terapi awal PTI menghambat terjadinya klirens antibodi yang menyelimuti trombosit oleh
ekspresi reseptor Fcg pada makrofag jaringan (1). Splenektomi sedikitnya bekerja pada sebagian mekanisme ini namun mungkin pula mengganggu interaksi sel-T dan
t5Efti6;i] tu 7-
Sumsum tulang
o
Antibodv
i
(?) Staphylococoal protein A(?)
Gambar 2. Pendekatan terapi purpura trombositopenia purpura berdasarkan mekanisme kerja dari splenektomi, beberapa obat dan plasmafaresis (Cines dan Blanchette, 2002)
1168
HEMAIOI,.OGI
sel-B yang terlibat dalam sintesis antibodi pada beberapa
penderita. Kortikostel'oid dapat pula meningkatkan produksi trombosit dengan cara menghalangi kemampuan makrofag dalam sumsum tulang untuk menghancurkan trombosit, sedangkan trombopoetin berperan merangsang progenitor megakariosit (2). Beberapa imunosupresan non spesifik seperti azathioprin dan siklosforin, bekerja pada tingkat sel-T. (3). Antibodi monoklonal terhadap CD 154
yang saat ini menjadi target uji klinik, merupakan kostimul asi molekul yang diperlukan untuk mengoptimalkan sel-T mak-otag dan interaksi sel-T dan sel-B yang terlibat daiam produksi antibodi dan pertukaran
klas (4). Imunoglobulin iv mengandwg antiidiotypic antibody yang dapat menghambat produksi antibodi. Antibodi monoklonal yang mengenali ekspresi CD20 pada sel-sel B juga masih dalam penelitian (5). Plasrnaferesis dapat mengeluarkan antibodi sementata dari plasma (6). Transfusi Dari gambar 2, dapatuntuk menggambarkan
bagaimana pendekatan pengobatan dapat dilakukan sebagai terapi awal PTI dalam menghambat terjadinya klirens antibodi yang menyelimuti trombosit oleh ekspresi reseptor Fcg pada makrofag jaringan (1). Splenektomi sedikitnya bekerja pada sebagian mekanisme ini namun mungkin pula mengganggu interaksi sel-T dan seL-B yang terlibat dalam sintesis antibodi pada beberapa penderita'
Kortikosteroid dapat pula meningkatkan produksi trombosit dengan cara menghaiangi kemampuan makrofag dalam sumsum tulang untuk menghancurkan trombosit, sedangkan trombopoetin berperan merangsang pl'ogenitor megakariosit (2). Beberapa imunosupresan non spesifik seperti azathioprin dan siklosforin, bekerja pada tingkat sel-T. (3). Antibodi monoklonal terhadap CD 154 yang saat ini menjadi target uji klinik, merupakan kostimulasi molekul
yang diperlukan untuk mengoptimalkan sel-T makrofag dan interaksi sel-T dan sel-B yang terlibat dalam produksi
antibodi dan pertukaran klas (4). Imunoglobulin iv mengandung antiidiotypic antibody yang dapat n-renghambat produksi antibodi.
HLA-DRBI*1501 telah dihubungkan dengan respon yang tidak menguntungkan terhadap splenektomi. Meskipun demikian, banyak penelitian telah gagal urenunjukkan hubungan yang konsisten antara PTI dan kompleks HLA yang spesifik. dan
Antibodi-anti Trombosit Autoantibodi yang berhubungan dengan trombositopenia ditemukan pada 75 Ea pasiel PTI. Autoantibodi IgG antitrombosit ditemukan pada +50 - 857o penderita. Antibodi antitrombosit IgA serum ditemukan sesering IgG dan hampir 50 7o kasus, kedua serotipe imunoglobulin tersebut ditemukaan pada pasien yang sama. Antibodi IgM juga ditemukan pada sejumlah kecil pasien tetapi tidak pernah sebagai autoantibodi tunggal. Peningkatan jumlah IgG telah tampak di permukaan trombosit, dan kecepatan destruksi trombosit pada PTI adalah proporsional terhadap kadar yang menyerupai trombosit yang berhubungan dengan imunoglobulin. Autoantibodi dengan mudah ditemukan dalam plasma atan dalam eluate trombosit pada pasien dengan penyakit yang aktif, tetapijarang ditemukan pada pasien
yang mengalami rernisi. Hilangnya antibodi-antibodi berkaitan dengan kembalinya jumlah trombosit yang normal.
Masa Hidup Trombosit Masa hidup trombosit nonnal adalah sekitar 7 hari, tetapi memendek pada PTI menjadi berkisar dari 2 - 3 hari sainpai bebelapa menit. Pasien yang trclnbositopertir ringart sampai sedang mempunyai masa hidup terukur yang lebih lama dibandingkan dengan pasien dengan trombositopenia berat.
GAMBABAN KLINIS
Antibodi monoklonal yang
mengenali ekspresi CD20 pada sel-sel B juga masih dalam penelitian (5). Plasmaferesis dapat mengeluarkan antibodi sernentara dari plasma (6). Transfusi trombosit diperlukan pada kondisi darurat untuk terapi perdalahan. Et'ek dari
stafilokokkus protein A pada susunan antibodi masih dalam penelitian (7).
Genetik Intmune thrombocytopenic purpura telah didiagnosis
PTI Akut PTI akut lebih sering dijumpai pada anak, jarang pada umur dewasa, onset penyakit biasanya mendadzrk. riwayat infeksi mengawali terj adi ny a perdar-ahan berulang- sering dijumpai eksantem pacla auak-anak (rubeola cian rubella) dan penyakit saluran napas yang disebabkan oleh l'irus merupakan 907o dari kasus pediatrik trombositopcnirr imunologik. Virus yang paling banyak diidentitikasi adalah varisella zooster dan ebstein barr. Manif'estasi perdaral'ran
pada kembar monozigot dan pada beberapa keluarga, dan
PTI akut pada anak biasanya ringan, perdarahan
telah dikatahui adanya kecenderuangan menghasilkan
intrakranial terjadi kurang dari
autoantibodi pada anggota keluarga yang sama. Adanya peningkatan prevalensi HLA-DRW2 dan DRB*0410 pada beberapa populasi etnik telah diketahui. Alel HLA-DR4 cian DRB*0410 telah dihubungkan dengan respon yang rnenguntungkan dan merugikan terhadap kortikosteroid,
1
7o
pasien. Pada PTI dewasa,
bentuk akut jarang terjadi,
11amun dapat mengalami penyakit lebih fulminan. PTI perdarahan dan perjalanan akut pada anak biasanya selJ'limiting, remisi spontan 90 qo
pendeita ,607o sembuh dalarn 4-6 rmnggu dan lebih dari 907o sembuh daiam 3-6 bulan.
terjadi pada
PURPURA TROMBOSTTOPENIA
tt69
IMUN
PTI Kronik Onset PTI kronik biasanya tidak menentu. riwayat
oleh flow sitometri berdasarkan messenger RNA yang rnenerangkan bahwa perdarahan pada PTI tidak sejelas
perdarahan sering dari ringan sampai sedang, infeksi dan
gambaran pada kegagalan sumsum tulang pada hitung trombosit yang serupa. Salah satu diagnosis penting
pembesaran lien jarang terjadi, dan memilik perjalanan ldinis
yang fluktuatif. Episode perdarahan dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, mungkin intermitten atau bahkan terus menerus. Remisi spontan jarang terjadi dan tampaknya remisi tidak lengkap. Manifestasi perdarahan PTI berupa ekimosis, peteki, purpura. Pada umumnya berat dan frekwensi perdarahan berkorelasi dengan jumlah trombosit. Secara umum hubungan antara jumlah trombosit dan gejala antara lain bila pasien dengan AT > 50.000 /mL maka biasanya asimptomatik, AT 30.000 - 5 0.000 /mL terdapat I uka memar/ hematom, AT 10.000 - 30.000 /mL terdapat perdarahan spontan, menoragi dan perdarahan memanjang bila ada
luka, AT < 10.000 /mL terjadi perdarahan mukosa (epistaksis, perdarahan gastrointestinal dan genitourinaria) dan risiko perdarahan sistem saraf pusat. Perdarahan gusi dan epistaksis sering terjadi, ini dapai berasal dari lesi peteki pada mukosa nasal, juga dapat
ditemukan pada tenggorokan dan mulut. Traktus genitourinaria merupakan tempat perdarahan yang paling sering, menoragi dapat merupakan gejala satu-satunya dari PTI dan mungkin tampak pertama kali pada pubertas. Hematuria ju-ea merupakan gejala yang sering. Perdarahan gastrointestinal bis anya berrnanifestasi mel ena dan lebih jarang lagi dengun hemetemesis. Perdarahan intrakranial merupakan komplikasi yang
adalah fungsi sumsum tulang. Pada sumsum tulang dijumpai banyak megakariosit dan agranuler atau tidak mengandung trombosit. Secara praktis pemeriksaan sumsllm tulang dilakukan pada pasien lebih dari 40 tahun, pasien dengan gambaran tidak khas (misalnya dengan gambaran sitopenia) atatl pasien yang tidak berespon baik dengan terapi. Meskipun
tidak dianjurkan, banyak ahli pediatri hematologi merekomendasikan dilakukan pemeriksaan sumsum tulang sebelum mulai terapi kortikosteroid untuk menyingkirkan kasus leukemia akut. Pengukuran trombosit dihubungkan dengan antibodi'
secara langsung uji untuk mengukur trombosit yang berikatan dengan antibodi yakni dengan MonoclonnlAntigen-Capture A.ssav sensitivitas 45-66o/c, spesifisitasny a 7 8 - 92Vo dan diperkirakan berni lai positif 80 - 83 7o. Uji negatif tidak menyrngkirkan diagnosis deteksi yang tanpa ikatan antibodi plasma tidak digunakan' Uji ini tidak membedakan bentuk primer maupun sekunder PTI .
DIAGNOSIS BANDING
paling serius pada PTI. Hal ini mengenai hampir l%
Diagnosis banding PTI antara lain: anemia aplastik, I eukemia akut, Di s s ami nat e d int r av as cular c o a g ulatkm (DIC), T hromb otic thrombocytop enic purpura-hemol)ttic
penderita dengan trombositopenia berat. Perdarahan biasanya di subarachnoid, sering multipel dan ukuran
syndrome (APS), Myelodysplastic svndrome,
bervariasi dari peteki sampai ekstravasasi darah yang I uas
hiperspl enism e, alc o ho li c liv e r
DIAGNOSIS
kronik), pseudotrombositopenia karena ethylenediamine tetraacetc;te (EDTA), obat-obatan. Untuk menentukan
Lamanya perdalahan dapat membantu untuk membedakan PTI akut dan kronik, serta tidak terdapatnya gejala sistemik
dapirt membantu dokter untuk menyingkirkan bentuk sekunder dan diagnosis lain. Penting untuk anamnesjs
uremic syndrome (TTP-HUS),
A
ntiphospholipid antibody cli
s e
as
e, bentuk sekunder
PTI (SLE, HIV, leukemia limfositik
diagnosis banding PTI tersebut perlu meninjau kembali patofisiologi klasifikasi trombositopenia pada tahel 1 .
TERAPI
pemakaian obat-obatan yang dapat menyebabkan trombositopenia dan pemeriksaan fisik hanya didapatkan perdarahan karena trombosit yang rendah (peteki. purpure. perdarahan konjungtiva dan perdarahan selaput lendir yang lain). Purpura Thrombocytopenic Imrnune dewasa terj adi umr-rmnya pada usia I 8 - 40 tahun dan 2-3 kali lebi h sering mengenai',vanita dari pada pria. Splenomegali ringan (hanya ruang traube yangterisi), tidak ada limfadenopati . Selain trombositopenia hitung darah yang lain normal. Pemeriksaan darah tepi diperlukan untuk menyingkirkan pseudoffombositopenia dan kelainan hematologi yang lain. Megatrombosit sering terlihat pada pemeriksaan darah tepi, trombosit muda ini bisa dideteksi
Terapi PTI lebih ditujukan untuk menjaga jumlah trombosit
dalam kisaran aman sehingga mencegah terjadinya perdarahan mayor. Terapi umum meliputi hindari aktivitas fisik berlebihan untuk mencegah trauma terutama trauma
kepala, hindari pemakaian obat-obatan
yang
mempengaruhi fungsi trombosit. Terapi khusus yakni terapi farmakologis.
Terapi Awal FTI (Standar) Prednison. Terapi awal PTI dengan prednisolon
atau
prednison dosis 1,0 - 1,5 mg/kgBBftrari selama 2 minggu. Respons terapi prednison terjadi dalam 2 minggu dan pada
tt70
a)
HEMANOI,.OGI
Trombositopenia artifaktual Trombosit bergerombol disebabkan oleh a nti coa g u I a nt-d e pe n de nt i m m u nog I o b u I i n (Pseudotrom bositopen ia ) Trombosit satelit Giant trombosit Penurunan produksi trombosit
o
. .
b)
c)
. . . o
Hipoplasiamegakariosit Trombopoesis yang tidak efektif Gangguan kontrol trombopoetik
Trombositopeniaherediter
Peningkatan destruksi trombosit Proses imunologis Autoimun ldiopatik Sekunder : lnfeksi, kehamilan, gangguan vaskuler kollagen, gangguan limfoproliferatif. Alloimun Trombositopenia neonatus Purpura pasca-transfusi Proses Non lmunologis Trombosis mikroangiopati D i s se m i n ate d i ntrav a scu I a r coa g u ati o n (DIC) T h ro m boti c th ro m bocyto pe n i c pu rp u ra (ff P) H e m olyti c-u re mlc syndrome ( H U S) Kerusakan trombosit oleh karena abnormalitas permukaan vaskular lnfeksi Transfusi darah masif Lain-lain Abnormalitas distribusi trombosit atau pooling Gangguan pada limpa (neoplastik, kongestif, infiltratif, infeksi yang tidak diketahui sebabnya) Hipotermia Dilusi trombosit dengan transfusi masif
.
-
.
-
I
-
.
umumnya terjadi dalam minggu pertama, bila respon baik kortikosteroid dilanjutkan sampai 1 bulan, kemudian tapering. Kriteria respons awal adalah peningkatan AI > 30.000/pL, AT >50.000/pL setelah 10 hari terapi awal, terhentinya perdarahan. Tidak berespon bila peningkatan AT < 30.000/pL,.AT < 50.000/pL setelah terapi 10 hari. Respon menetap bila AT menetap > 50.000/ptl setelah 6 bdan follow zp. Pasien yang simptomatik persisten dan trombositopenia berat (AI < 10.000/pL) setelah mendapat terapi prednison perlu dipertimbangkan untuk splenektomi.
Imunoglobulin intravena. Imunoglobulin intravena (IgIV) dosis 1 g/kg/hari selama 2 - 3 hari berlurut-turut digunakan bila terjadi perdarahan intemal, saatAI < 5.000/pLmeskrpun telah mendapat terapi korlikosteroid dalam beberapa hari atau adanya pulpura yang perogresif. Hampir 80% penderita berespon baik dengan cepat meningkatkan AI namun perlu pertimbangan biaya. Gagal ginjal dan insufisiensi paru dapat terjadi serta syok anafilaktik pada penderita yang mempunyai defisiensj IgA kongenital. Mekanisme kerja IgIV pada PTI masih belum banyak
diketahui, namun meliputi blokade
fc reseptor, antiidiotype antibodies pada IgIV yang menghambat ikatan autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan lmunosupresl.
Splenektomi. Splenektomi untuk terapi PTI telah digunakan sejak tahun 1916 dan digunakan sebagai pilihan terapi setelah steroid sejak tahun 1950-an. Splenektomi pada PTI dewasa dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua yang gagal berespon dengan terapi kortikosteroid atau yang perlu terapi trombosit terus menerus. Efek splenektomi pada kasus yang berhasil adalah menghilangkan tempat-tempat antibodj yang tefiempel trombosit yang bersifat merusak dan menghilangkan produksi antibodi anti trombin. Indikasi splenektomi sebagai berikut:
a. Bila AT < 50.000/pL
setelah 4 minggu (satu studi
menyatakan bahwa semua pasien yang mengalami remisi komplit mempunyai AI > 50.000/pL dalam 4 minggu). b. Angka Trombosit tidak menjadi normal setelah 6 8 minggu (karena problem efek samping). c. Angka Trombosit normal tetapi menurun bila dosis diturunkan (.tapering ffi . Respon po.r/ splenektomi didefinisikan sebagai: Tak ada respons bila gagal mempertahankan AT >50.000/pL beberapa waktu setelah splenektomi, Relaps bila AI turun < 50.000 /pL. Angka 50.000 dipilih karena diatas batas ini, penderita tidak diben terapi . Respons splenektomi ben ariasi antara50Tc sampai dengan 807c.
Penanganan Relaps pertama Splenektomi perlu bagi orang dewasa pada umumnya yang relaps atau yang tidak berespon dengan kortikostroid,
immunoglobulin iv dan immunoglobulin anti-D. Dari gambar 4 dijelaskan bahwa lebih banyak spesialis menggunakan AI < 30.000/pL sebagai ambang batas untuk memulai terapi pada PTI daripada AI > 30.000/pL.
Trdak ada konsensus yang menetapkan lama terapi kortikosteroid. Penggunaan immunoglobulin anti-D sebagai terapi awal masih dalam penelitian dan hanya cocok untuk penderita Rh-positif. Apakah penggunaan IgIV atau imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal tergantung pada beratnya trombositopenia dan luasnya perdarahan mukokutaneus. Untuk memutuskan apakah terapi penderita yang mempunyai AT 30.000/pL sampai 50.000/pL bergantung pada ada tidaknya faktor risiko perdarahan yang menyertai dan ada tidaknya risiko tinggi
untuk trauma. Pada
AI
>50.000/pL perlu diberi IgIV
sebelum pembedahan atau setelah trauma pada beberapa pasien. Pada penderita PTI kronik dan AI < 30.000/pL IgIV atau metilprednisolon dapat membantu meningkatkan AI dengan segera sebelum splenektomi. Daftarmedikasi untuk terapi PTI kronik pada pasien yang mempunyai AI < 30.000/ pL dapat dipergunakan secara individual, namun danazoT atau dapson sering dikombinasi dengan prednison dosis rendah dibutuhkan untuk mencapai suatu AI hemostasis. IgIV dan anti-D imunoglobulinumumnya sebagai cadangan
untuk PTI berat yang tidak respon dengan terapi oral. Untuk memutuskan apakah perlu dilakukan splenektomi, kemudian terapi medis diteruskan atau dosis diturunkan
trTl
PURPURA TROMBOSITOPENIA IMUN
dan akhirnya terapi dihentikan pada penderita PTi kronik dengan AT 30.000/mL atau lebih, bergantung pada intensitas terapi yang diperlukan, toleransi efek samping. risiko yang berhubungan dengan pembedahan dan pilihan penderita.
ini dan refrakter terapinya serta memiliki morlalitas sekitar 1 67o. PTI kronik ditegakkan bila ditemukan 3 kriteria sebagai berikut: a. PTI menetap lebih dari 3 bulan b. Penderita gagal berespon dengan splenektomi.
morbiditas yang signifikan terhadap penyakit
c.
Terapi PTI Kronik Refrakter Pasien refrakter (+ 25% - 307o pada PTI) didefinisikan
AT<30.000/pL.
Pendekatan Terapi Konvensional Lini Kedua Untuk penderita yang dengan terapi standar kortikosteroid tidak membaik, ada beberapa pilihan terapi yang dapat digunakan sebagai berikut: (i) Steroid dosis tinggi; (ii) IVIg dosis tinggi: (iii) Anti-D Intravena; (iv) Alkaloid vinka; (v)
sebagai kegagalan terapi kortikosteroid dosis standar dan splenektomi serta membutuhkan terapi lebih lanjut karena AI yang rendah atau terjadi perdarahan klinis. Kelompok
ini memiliki respon terapi yang rendah, mempunyai
Diagram
Trombosit
Trombosit <30.000 /mms
Perdarahan
30.0 00 -50.0 00/m mr
I
I
Y
I
v
Prednison (1-1 5 mg/kg/hari) lmunoglobulin Anti-D (75 sg/kg)
Transfusi trombosit lmunoglobulin intravena (1g/kg/hari atau 2-3 hari) M etilpred n isolon (1g/hari atau 3 hari)
Trombosit >50.000/mm3
I
Prednison atau tidak diterapi
Tidak diterapi
Purpura
trombositopenia imun kronis Trombosit <30 000/mm3
Trombosit 30 000-50 000/mm3 I
t
Pradnison atau tidak diterapi
Perdaraha
Tidak ada perdarahan akt
n
aktif
i ;-- Prednison danazol (10-1 5 mg/kg/hari)
JT
I
+ lmunoglobulin intravena n isolon Metilpred Splenektomi
leraPt medis
-l-
dapson (75-'1 00 mg/hari) lmunoglobulin anti-D intravena; lmunoglobulin intravena
lmun refraktor kronis Purpura trombositopenia
Trombosit >30 000/mm3 Tidak diterapi
Tidak diterapi
Penghambat klirens trombosit Prednison lmunoglobulin lntravena Alkaloid vinka Danazol
Terapi medis
Obat-obat imunosupresif Azatioprin Siklofosfamid Sikloporin
obat-obat percobaan Antibodi penyerang CD 20
Antibodi penyerang CD 145 Transplantasi sumsum tulang Trombopoietrn
Gambar 3. Pengelolaan PTI awitan dewasa (Sumber: Cines DB, Blancheite VS, 2002)
tt72
HEMAiTOI.OGI
(vi) Obat imunosupresif; azathioprin, siklofosfamid, (vii) kemoterapi kombinasi; dan (viii)
Danazol;
Dapsone. Luasnya variasi terapi untuk terapi
lini
kedua
menggambarkan relatif kurangnya efikasi dan terapi bersifat individual. . Steroid Dosis tinggi. Terapi penderita PTI refrakter selain prednisolone dapat
berespon dengan terapi lainnya. Terapi dengan azathioprin (2 mg/kg maksimal 150 mg/hari) atau
Deksametason 40 mglhari selama 4 hari, diulang setiap 28 hari untuk 6 siklus. Dari 10 penderita dalam penelitian kecil ini semua memberi respons yang baik (dengan AI
siklofosfamid sebagai obat tunggal dapat diperlimbangkan dan responnya bertahan sampai 257o. Pada penderita yang berat, simptomatik, PTI kronik
> 100.000/pL) bertahan sekurang-kurangnya dalam
6
refrakter terhadap berbagai terapi sebelumnya.
dengan
Pemakaian siklofoslamid, vinkristin dan prednisolon sebagai kombinasi telah efektifdugunakan sepeni pada limfoma . Siklofosfamid 50-100 mg p.o atau 200 mg/iv/ bulan selama 3 bulan. Azathioprin 50- 100 mg p.o, bila 3 bulan tidak ada respon obat dihentikan, bila ada respon sampai 3 bulan turunkan sampai dosis terkecil . Dapsone Dapson dosis 75 mg p.o.per hari, respon terjadi dalam 2 bulan. Pasien-pasien harus diperiksa G6PD, karena pasien dengan kadar G6PD yang rendah mempunyai risiko hemolisis yang serius.
deksametason dosis tinggi segera diganti obat lainnya.
Metilprednisolon Steroid parenteral seperti metilprednisolon digunakan sebagai terapi lini kedua dan ketiga pada PTI refrakter. Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada PTI
anak dan dewasa yang resisten terhadap terapi prednison dosis konvensional.
Dari penelitian Weil pada penderita PTI berat menggunakan dosis tinggi metilprednisolon 30 mg/kg iv kemudian dosis diturunkan tiap 3 hari sampai 1 mg/ kg sekali sehari dibandingkan dengan penderita PTI klinis ringan yang telah mendapat terapi prednison dosis
konvesional. Penderita yang mendapat terapi metilprednisolon dosis tinggi mempunyai respon lebih cepat (4,7 vs 8,4 hari) dan mempunyai angka respon (80% vs 537o). Respon steroid intravena bersifat
.
.
sementara pada semua pasien dan memerlukan steroid oral untuk menjaga agar AI tetap adekwat.
IgIV dosis tinggi Imunoglobulin intravena dosis tinggi 1mg/kg/hari selama 2 hari berturut-turut, sering dikombinasi dengan kortikosteroid, akan meningkatkan AI dengan cepat. Efek samping, terutama sakit kepala, namun jika berhasil maka dapat diberikan secara intermiten atau disubtitusi dengan anti-D intravena.
Anti-Dintravena
Anti-D intravena telah menunjukkan peningkatan 19-90Vo pada orang dewasa. Dosis anti-D 50
.
.
Pendekatan Penderita yang Gagal Terapi Standar dan Terapi Lini Kedua Sekitar 25Vo PTI refrakter dewasa gagal berespon dengan terapi lini perlama atau kedua dan memberi masalah besar. Beberapa diantaranya mengalami perdarahan aktif namun lebih banyak yang berpotensi untuk perdarahan serta masalah penanganannya. Pada umumnya PTI refrakter kronis bisa mentoleransi tlombositopenia dengan baik dan bisa mempunyai kualitas hidup normal atau mendekati normal. Bagi mereka yang gagal dengan terapi lini pertama dan kedua hanya memilih terapi yang terbatas meliputi: (i) interferon-a, ii) anti-CD20, (iii) Campath- 1 H, (iv) mycophenolate mofetil, (v) protein A columns, dan (vi) terapi lainnya.
AI
- 75 pg/kg
perhari IV. Mekanisme kerja anti-D yakni destruksi sel
.
.
diteruskan sampai dosis maksimai sekurang-kurangnya 1 tahun dan kemudian diturunkan 200 mg/hari setiap 4 bulan. Immunosupresif dan kemoterapi kombinasi Immunosupresif diperlukan pada penderita yang gagal
digunakan deksametason oral dosis tinggi.
bulan. Pasien yang tidak berespon
.
diperiksa setiap bulan. Bila respon terjadi, dosis
REKOMENDASI TERAPI PTI YANG GAGALTERAPI LINIPERTAMA DAN KEDUA
darah merah rhesus D-positif yang secara khusus dibersihkan oleh RES terutama di lien, jadi bersaing dengan autoantibodi yang menyelimuti trombosit melalui Fc reseptor blockade.
Campath-lH dan riturimab adalah obat yang mungkin bermanfaat pada pasien tidak berespon dengan terapi lain
Alkaloid vinka
dan dibutuhkan untuk meningkatkan AT (misalnya
Semua terapi golongan alkaloid vinkajarang digunakan,
perdarahan
meskipun mungkin bernilai ketika terapi lainnya gagal dan ini diperlukan untuk meningkatkan AT dengan cepat, misalnya Vinknstin I mg atar 2 mg iv, Mnblastin 5- 10 mg, setiap minggu selama 4-6 minggu Danazol Dosis danazol 200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6 bulan karena respon sering lambat. Fungsi liver harus
pada beberapa pasien PTI refrakter tetapi studi lebih besar
akti|. Mycophenolate mofetil tampak efektif
diperlukan untuk mengkonfirmasikan efikasi dan keamanannya. Dalam hal risiko: rasio manfaat. terapi dengan interferon-cx, protein A columns, plasmapheresis dan liposomal doxorubicin tidaklah direkomendasikan. Rituximab adalah suatu antibodi monoklonal anti-CD 20 yang mendeplesi CD20+ sel B secara sementara yang
1173
PURPURA TROMBOSITOPENIA IMUN
selama ini dipergunakan sebagai pengobtan limfoma Non-
Hodgkin, telah dipergunakan untuk pengobatan PTI pada
beberapa penelitian pendahuluan dengan respon berlansung 1 2 bulan sej ak di hiyung dari onset pengobatan awal diberikan. Relaps jarang terjadi setelah 2,5 tahun dan sekitar 507o pasien diperkirakan akan terus berespon tanpa tambahan terapi untuk 5 tahun selanjutnya. Penelitian di Italia menggunakan dosis pemberian rituximab dosis tinggi 375 mgrlm2iapminggu selama4 minggu didapatkan angka respon secara keseluruhan adalah 527o. Penelitian di London, Inggris menggunakan rituximab dosis rendah 100 mg per minggu selama 4 minggu menunjukkan rituximab dosis rendah dapat menghasilkan respon yang signifikan dan bertahan lama sehubungan dengan deplesi sel B.
PELUANG PEMAKAIAN AGEN TEBKINI Beberapa agen terapi baru menjadi peluang untuk pengobatan PTI. Beberapa penelitian terkini memberi perhatian akan peluang terhadap studi yang tentang efikasi dari agen stimulai trombopoiesis. Yang pefiama melalui
Agen trombopoietin (TPO) dan yang kedua melalui inhibitor spesifik terhadap Phagocyte-mediated Comsumption of Platelet.
Cines DB, Blanchette VS Immune Thrombocytopenic Purpura. N Engl J Med. 2002;316 (13): 995-1006 Emilin G, Morcellj M, Luppi M, Longo G Marasca R, Gandini G Ferr:rra L. Long-Lerm Salvage Therapy with Cyclosporin A in
Refractory Idiopathic Thrombocytopenic Purpura. Blood 2002;99(:l): t 482--5 George JN, Rizvi MA Clinical Manifestations and Diagnosis of Idiopathic Thrombocitopenic Purpura I-II in: Up ToDate, Rose B D. editor. Up ToDate, Wellesley. MA, 2004
George, JN. Treatment and prognosis of ldiopathic
Thrombocitopenic Purpura in: Up ToDate, Rose B D (Ed). Up ToDate, Wellesley, MA, editors. 2004 Handin RI. Platelet Disorder and Vascular Wall in: KJ. Isselbacher, E. Braunwald, JD Wilson, JB. Martin, AS. Fauci, DL. Kasper editors llurison's Principles ol hrternal Medicine, 15'h ed. 2001. Levine SP Thrombocylopenia Caused by Imlnunologic Platelet Destruction in GR. Lee, J Foerster, J Lukens, F Paraskevas, JP.Greer, GM Rodgers editors. Wntrobe's Clinical Hematology 10' edition. Baltimore, Philadelphia, London.: William & Wilkins a Waverly Company; 1999. p. 1583-611. McMillan R Therapy for Adults with Refractory Chronic Immune Thrombocytopenic Purpura. Ann Int Med 1997; 1261,301-314 Provan D, Newland A Fifty Years of Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (PTI): Management of Refractory in Adults British J Hemato[ 2OO2: 118: 933-94.1. Provan D, Norfolk D. Bolton-Maggs P, Newland PA, Lilleyman JP, Greer PI, May A, Murphy M, Ouwehand W, Watson"S. Guidelines for the Investigation and Management of PTI in Adults. Children and in Pregnancy British J Hematol. 2003; 120 574596
Provan, D., Butler,
PROGNOSIS
Respon terapi dapat mencapai 50Vo-107o dengan kortikosteroid . Pasien PTI dewasa hanya sebagian kecil dapat mengalami remisi spontan penyebab kematian pada PTI biasanya disebabkan oleh perdarahan intra kranial yang berakibat fatal berkisar 2,2 7o :untu,ktrsia lebih dari 40 tahun dan sampai 41 ,8 Vo untuk usia lebih dari 60 tahun.
REFERENSI Braendstrup P, Bjerrrunr OW, Nielsen OJ, Jensen BA, Clausen Nl Hansen PB, Andersen l, Schmidt K, Andersen TM, Peterslund NA, Birgens HS, Plesner T, Pedersen BB, and Hasselbalch HC.
Rituximab Chimeric Anti - CD20 monoclonal Antibody treatment for Adult refractory Idiopathic thrombocytopenic purpura. Am J ol Hematol 2005 ;78 :275-280 Cheng \ S.M. Raymond, MB. Wong Initlal Treatment Idiopathic Thromocytopenic Purpura wlth High Dose Dexamethason N Ensl J Med 2003: 349: 831-6.
T,, Activity
Rituximab for the Treatment
and safety profile
ol
Low-dose
of
Autoimmune Cytopenia rn Adults Haematologica. 2001 92(12): 1695-98 Psaila, B., Podolanczuk, AJ., Bussel, J., 2007 Recent Advances in
the Treatment of immune Thrombocytopenic
Purpura
ww medscape com Schwarlz J, Leber MD, Gillis S, Giunta A, Eldor A, Bussel JB. Long
Term Follow-Up after Splenectomy Performed for Immune Thrombocytopenic Purpura (PTI). Am J Hematol. 2003; 12: 94-98
A, Stipa E, Amadori S Riturimab Chimeric AntiCD20 Monoclonal Antibody Treatment tbr Adult with Chronic Idiopathic Thrombocytopenia Purpura. Blood. 2001 ;98:952-
Stasi R, Pagano
9 5'7
Vcsell, g, Buchanan GR. Cohen A, Raskop G, George J. Self-reported diagnostic and management strategies in childhood idiopathic
thrombocytopenic purpura: Result of a survey of practicing, pediatric hematology/oncology specislists.J Pediatric Hematol Oncol 2000: 22: 55-61.
185 PAROXYSMAL NOCTURNAL HEMOGLOBINURIA (PNH) Made Putra Sedana
PENDAHULUAN
sering terjadi di Asia Tenggara. PNH adalah penyakit yang
jarang, dengan pemeriksaan yang tepat angka kejadian Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) adalah suatu kelainan kronis didapat (acquired) yang ditandai terjadinya
hemolisis intravaskuler dan hemoglobinuria yang
PNH hampir sama denganAnemiaAplastik. PNH biasanya terjadi pada usia muda tetapi juga bisa terjadi pada anakanak dan orang tua.
umumnya terjadi pada saatpasien tidur dimalam hari.. yang disebabkan oleh kelainan seluler karena mutasi somatic pada totipotet H ematop o etic s tem c e ll y angmenyebabkan
dengan " Median Survival " 8 - l0 tahun, umumnya sebagai penyebab kematian adalah terjadinya trombosis vena yang
Perjalanan PNH umumnya terjadi pada usia lanjut,
kerusakan intrinsic pada membrane sel darah merah
disertai dengan infeksi sekunder oleh karena Neutropenia berat dan perdarahan oleh karena trombositopenia.
sehingga lebih rentan terhadap aksi lisis dari komplemen, hal ini dapat pula menimblkan trombositopenia, lekopenia dan kegawatan akibat trombosis vena. Gambaran kelainan ini pertama kali dipublikasikan oleh
Strubbing pada tahun 1882, sedangkan karateristik klinisnya pertama kali dijelaskan oleh Marchiavafa dan Nazari pada tahun I 9 1 1 serta Micheli ditahun 193 1 , kar-ena
itulah kelainan PNH sering juga disebut MarchiavafaMicheli syndrome. Meskipun PNH umumnya terjadi pada dekade keempat dan kelima , tetapi dapat pula terjadi pada anak-anak dan orang tua.
Secara umum gambaran klinis PNH meliputi gejala
anemia, hemoglobinuria, tanda-tanda perdarahan, serta keluhan gastrointestinal. Penegakan diagnosis dapat
PATOGENESIS Patogenesis terjadinya PNH adalah akibat gangguan mutasi somatic pada totipotent haematopoetic stdm cell. Mutasi somatic ini kemudian menyebabkan terjadinya defesiensi berbagai jenis protein yang diperlukan bagi pembentukan g ly c o sy lp ho sp hati dy lino s it o I anc ho re d (GPI anchored), yakni antara lain leucocyte alkaline phosphatase, acethylcholineesterase, decay accelerating factor (DAF,CD55), membrane inhibitor of reactive lysis
(MIRL,CD59), FcgammaRlllb , c8 binding protein, lymphocyte function associated antigen 3, CD14, dan urokinase receotor Akibat defesiensi ini, GPI anchored
ditentukan melalui pemeriksaan darah, urine, sumsum tuJang
dan sitogenetik.
yaitu suatu struktur kompleks yang berfungsi mengatur protein permukaan sel haematopoetik sefla mengatur kadar complement-mediated lysls. Juga mengalami defesiensi absolute atau relative. Hal ini kemudian memberikan efek langsung terhadap proses hemolisis normal lewat dua cara. Pertama, bahwa kekurangan satu atau lebih protein GPI
EPIDEMIOLOGI
Penderita dengan kelainan PNH pertama kali dipublikasikan oleh Strubing pada tahun 1882, tetapi gambaran klinis yang khas penderita PNH pertama kali dijelaskan oleh Marchiavafa dan Micheli di Italia. Insiden PNH sangat bervariasi pada berbagai populasi dan lebih
anchored akan menimbulkan kegagalan dalam menginhibisi alternative pathway dari proses hemolisis fisiologik dan akibatnya terjadilah pengaktifan comple-
tl74
tt75
PAROXYSMAL NOCTURNAL HEMOGLOBINURIA (PNH)
Leukosit Alkalin Fosfatase rendah. Sucrose Waters Test dan Acid Hams Test: Positif. Pada pemeriksaan Urine didapatkan : Hemoglobinuria,
me nt - me di ate d hemo b, tic S ebagai akibatny a, sel eri tros it PNH ekan mengikat lebih banyak C3 aktif dari pada eritrosit normal dan banyaknya jumlah ikatan C3 ini selanjutnya berpengaruh terhadap sensitivitas lysis eritrosit. Semakin .
Hemosiderinuria. Karena itu warna urine paling berwarna gelap (seperti the) pada pagi hari waktu
besar proporsi eritrosit yang sensitive terhadap complement-mediated lysis semakin berat derajat dari
bangun tidur dan makin siang wama urine makin terang, seperti tampak pada gan'rbar berikut:
hemolisisnya. Kedua : terjadinya defisiensi dari protein-
protein anchored akan menyebabkan terganggunya struktur dan kadar protein permukaan hemopoetik serta
terjadinya kerusakan membrane sel hemopoetik, yang menyebabkan eritrosit PNH lebih peka terhadap proses Lysis dari komplemen. Berdasar sensitivitasnya terhadap komplemen, secara invitro PNH dibagi menjadi 3 type yaitu : PNH I,II,[. PNH
I : adalah sel eritrosit PNH yang memilki normal terhadap komplemen. PNH
turut memiliki sensitivitas
3
II dan III
-,1 kali serta
sensitivitas
.l:fu1+s +$-ld*4ir di#*..*
befturut25 kali dari
secara
15
-
!!4*
:+if $ j'*+t-! !lliFs :$*&s
sensitivitas normal.
Mutasi somatic yang terjadi pada PNH tidak hanya terbatas pada eritrosit, tetapi dapat juga mencakup trombosit, leukosit dan sel-sel pluripoten hematopoesis. Karena itulah, kelainan ini dapat bermanifestasi pula sebagai kelainan displasia sumsum tulang seperti : anernia aplastik, sindroma mielodisplastik dan leukemia akut.
i 1
Gambar 1. Urin tampung pada penderita dengan PNH
TANDA DAN GEJALA KLINIS
DIAGNOSIS
. .
. .
" . . . . "
Anemia . ikterus, splenomegali. Hemoglobinuria, terutama pagi hari. Sebagian besar kasus hemoglobinuria tidak tampak dengan jelas, walaupun teriadi hemolisis kronis.
Adanyaanemiahemolitikkronik.
.
Kekurangan zat besi sebagai akibat keluarnya zat besi melalui urine. Perdarahan akibat terjadinya trombositopenia.
.
Trombosis vena ditempat-tempat yang tidak biasa : vena hepatica, sindroma Budd-Chiari. vena serebral, vena lienalis, vena subklrtis , vena mesenterika
. .
Tepi : gambaran anemia hemolitik, gambaran anemia defesiensi besi, dapat disefiai sering juga menyerupai anemia aplasrik. Aspirasi Sumsum Tulang : hiperplasi eritropoesis atau hypoplasi. Flowsitometri : pemeriksaan CD 59 pada eritrosit; CD 55 atau CD 59 pada granulosit. Sucrose waters Test dan Acid Hams Test : positif. Manifestasi trombosis Pada Urine : hemoglobinuria; hemosiderinuria.
Kehamilan pada pasien PNH dapat dihubungkan dengan aborsi dan trombosis vena. Manifestasi pada ginjal : hypostenuria , kelainan fungsi tubulus, gagal ginjal akut dan kronik.
LABORATORIUM
. .
. . .
Gejala : anen-ia, hemoglobinuria. Hapr.rsan Darah
Cambaran anemia hemolitik. Hapusan darah tepi : sesuai dengan gambaran anemia hemolitik, sering disertai gambaran anemia defesiensi
DIAGNOSIS BANDING
. . . . .
Anemia Hemolitik Lun. Anemia Def'esiensi besi Anemia aplastik
Black v,ater fever. Paroxysmal cold hemoglobinuria.
besi, dapat pula menyerupai anemia aplastik.
PENGOBATAN
Retikulositosis Aspirasi sumsum tulang : hyperplasia eritropoesis atau hypoplasia.
. Bila
anemia transfusi darah dengan Washed
Ery-throcyte.
tt76 . . . . . . . .
HEMANOLOGI
Asamfolat 1 mg/hari Bila ada defesiensi besi diberi sulfas ferosus Prednison 20
-
Leukemia Limfositik Kronik: Leukemia Mielositik 3
X
1 tab.
60 mgftrari, tetapi tidak untuk pemberian
jangka panjang.. Hormon androgen : Fluoxymesteron : 5 - 30 mg/hari; Oxymetholon 10 - 50 mg/trari diberikan selama 6 - 8 minggu, bila tidak ada respon obat dihentikan.
Kronik; Polisitemia Vera dan Eritroleukemia.
Prognosis buruk bila: Usia diatas 55 tahun saat diagnosis ditegakan; adanya trombosis; perubahan menjadi : pansitopenia, sindroma mielodisplasia atau leukemia akut
Antikoagulan : tidak terbukti bermanfaat untuk mencegah terj adinya trombosi s. Streptokinase; urokinase : bila ada trombosis.
REFERENSI
Transplantasi sumsum tulang merupakan indikasi
Hilln'ren P, Young NS, Schubert J et al (2006). The Complement Inhibitor Eculizumab in Paroxysrnal Nocturnal Hemoglobinuria. N.Engl.J Mcd. 355:1233 Lichtmzrn MA, Bentlir E, Kipps TJ. Williams WJ (2003) Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuna In : Williams N'[anual ol ]{erlatology, 6 th edition. Eds : Lichtman MA. Bentlir E, Kipps TJ. Williams WJ Mc Graw Hill, Toronto. p 233. Luzatto L (1996). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. Tn Hematology 1996 Education ProgrrLmme of the 26 th Congress of International Society of Haemulology. Ed : Mc Arthur
defenitifkemudian dilanjutkan dengan imunosupresan. Perkembangan pengobatan PNH dengan obat antibody monoklonan yaitu Eculizumab yang langsung mengikat komplemen C5. Dengan memblokade kaskade C5, antibodi ini dapat mengontrol teiadinya hemolisis pada PNH yang tergantung komplemen. Pada penelitian
International "Multicenter Placebo Controlled Trial" pada 87 pendrita yang sudah ketergantungan dengan transfuse diberikan Eculizumab dengan dosis 600 mg IV tiap minggu selama 4 minggu, I minggu kemudian 900 mg IV selanjutnya 900 mg IV tiap minggu sampai,
.
.
minggu ke 26.
Untuk penderita dengan PNH-AA syndrome dapat
diberikan pengobatan imunosupresif
dengan Antilimfosit Globulin (ALG atauAIG) dan Cyclosporin.
:
JR, Sinagapore August, 2-5-26 Parker CJ, Lee GR (1999). Parox-vsmal Nocturnal Hemoglobinuria, In : Winrrobes Clinical Hematolog-v, 10 th cdition Eds : Lee GR. Foerster J. Rodger Gl4 Lipprncott William & Wilkins. Philadelphia. p 1261 Parker C. Omine M. Richards S et al (2005) Diagnosis and Management of Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. Blood 106 :
3
699
Rosse W, Bunn HF (2008). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria
In : Harrisons Principle of Internal Medicine, 17 th edition
PROGNOSIS
. . .
Eds : Fauci AS, BraunwaldE,Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J N{c Graw Hill Publishing Co, Ne\\'}brk,
p Penderita PNH rata-rata hidup 10 - 50 tahun. Kematian biasanya disebabkan oleh karena komplikasi: trombosis; pansitopenia. Penderita PNH dapat mengalami perubahan menjadi: Leukemia akut; Sindroma Mielodisplasia; Mielofibrosis;
660
Socie C. Mary JY. de Cramont A, Rio B. Lepporier M. Rose C. Heudier. Rochant H. Cahn JY, Gluckman E. Paroxysmal Nocturnal Haerroglobinuria : Long-term follow-up an Prognostic Factors. Lancet, 3ul8 : 573
186 KELAINAN HEMATOLOGI PADA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK Zubaii Djoerban
hiposelularitas menyelurrh (47,6Vo), peningkatan
PENDAHULUAN Lupus eritematosus sistemik
(sy
s te
m
proliferasi retlklJin (7 6,24o) dengan mielofibrosis pada satu pasien, dan nekrosis (I9E;). Plasmasitosis tampak.pada 26,1% pasren dan cadangan besi menurun atau tidak ada
ic lup u s e ry, the ntat o s Lts,
SLE) dapat mempengaruhi banyak organ di tubuh dan menunjukkan manifestasi klinis dan imunologis dengan
pada13,3Vo pasien.
spektrum yang luas. Kelainan hematologi seringkali ditemukan pada SLE,. Anemia dan trombositopenia,
ANEMIA
kelainan hematolo-ui yang sering terjadi pada perjalanan penyakit pasien SLE, biasanya bukan merupakan kondisi yang fatal, namun pada beberapa pasien dapat terjadi
Prevalensi
gangguan yang berat sehingga membutuhkan manajemen yang agresif. Leukopeniajuga sering terjadi, hampir selalu merupakan limfopenia, bukan granulositopenia, kondisi ini jarang menjadi predisposisi terjadinya infeksi dan biasanya
Sebagian besar pasien menderita anemia pada suatu waktu di sepanjang perjalanan penyakitnya. Prevalensinya cukup
tinggi, sekitar 5l-987o pasien pernah menunjukkan kadar hemoglobin kurang dari 12 g/dl. Pada umumnya, yang terjadi adalah anemia derajat sedang, tetapi beberapa
tidak membutuhkan terapi. Trombosis merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE,. Kriteria Diagnosis SLE dari ACR pada I 971 menyatakan bahwa leukopenia, trombositopenia, dan anemia hemolitik merupakan kriteria individual untuk SLE. Sementara pada
pasien menunjukkan anemia berat.
Etiologi
revisi tahun 1982 dinyatakan bahwa kelainan hematologi dikelompokkan menjadi satu kelompok yang terdiri dari: 1) anemia hemolitik autoimun, 2) leukopenia (<4000/pl pada dua kali atau lebih pemeriksaan), 3) limfopenia (<1500/pl
pada dua
kali atau lebih pemeriksaan) dan
Anemia pada pasien SLE dapat merupakan penyakit imun atau non-imun. Anemia yang merupakan penyakit nonimun adalah anemia pada penyakit kronik, anemia defisiensi besi, anemia sideroblastik, anemia pada penyakit ginjal, anemia diinduksi obat, dan anemia sekunder terhadap penyakit lain (misalnya anemia sel sabit). Anemia yang diperantarai imun pada pasien SLE adalah anemia hemolitik autoimun, anemia hemolitik diinduksi obat, anemia aplastik, pure red cell aplasia, dan anemia pernisiosa. Voulgarelis dkk. melaporkan pada dari 132 pasien SLE, 31 ,lVo menderita anemia pada penyakit kronlk,35,67o atemia defisiensibesi, I4,4Vo anemia hemolitik autoimun dan 12,9 Vo karera penyebab lain. Salah satu penyebab anemia pada penyakit kronik dan
4)
trombositopenia (<100.000/p1 tanpa pemberian obat). Pada
Carolina Lupus Study, dari 265 pasien SLE yang didiagnosis antara 1995 sampai 1999, frekuensi kelainan hernatologi pada diagnosis awal adalah ll%o anemia hemolitik, 187o leukopenia,2lVo limfopenia, dan llVo trombositopenia. Sumsum tulang menjadi target pada pasien SLE dengan
sitopenia. Sebuah penelitian pada pasien-pasien SLE dengan sitopenia, yang tidak menggunakan obat imunosupresif, melaporkan gambaran sumsum tulang
tt7
t178 anemia karena sebab lainnya adalah berkurangnya produksi eritropoietin dan resistensi eritropoietin pada sel eritroid. Resistensi terhadap eritropoietin dapat terjadi karena adanya autoantibodi terhadap eritropoietin (antiEpo). Voulgarelis melaporkan bahwa anti-Epo ditemukan pada2lVo pasien SLE dengan anemia dan berhubungan bermakna dengan aktivitas penyakit. Respons
peningkatan eritropoietin juga akibat penurunan hemoglobin juga tidak adekuat pada 47 ,27o pasien anemia hemolitik autoimun dan 42,4Vo pasien anemia penyakit
konik.
HEMAIIOI.OGI
dan anemia sel sabit telah dilaporkan, dan pada beberapa pasien SLE terlambat dikenali akibat manifestasi klinisnya yang serupa tersebut. Diduga bahwa abnormalitas pada jalur alternatif dari komplemen pada hemoglobinopati sel
sabit dapat menjadi predisposisi untuk menjadi kelainan kompl eks imun, termasuk SLE. Namun tidrk ada buki bahwa
SLE lebih sering ditemukan pada pasien dengan hemoglobinopati sel sabit.
Anemia yang Diperantarai lmun Anemia hemolitik autoimun. Anemia hemolitik autoimun
(AHA) merupakan penyebab anemia
pada 5-79Vo pasien
Anemia yang Tidak Diperantarai lmun
SLE. Beberapa sindrom klinik terjadi, masing-masing
Anemia pada penyakit kronik merupakan jenis anemia
kapasitas pengikatan besi total tidak berubah atau sedikit rendah. Dijumpai pula penurunan saturasi besi pada transferin. Pemeriksaan sumsum tulang memberikan hasil
diperanterai oleh autoantibodi (IgG atau IgM) yang berbeda yang menyerang sel darah merah. Akibatnya, sel darah merah lebih cepat dirusak sehingga jumlah berkurang di sirkulasi. Anemia hemolitik autoimun biasanya berkembang secara bertahap pada sebagian besar pasien, namun terkadang dapatjuga berkembang cepat sehingga terjadi krisis hemolitik yang progresif.
yang normal dengan cadangan besi yang adekuat. Anemia berkei-nbang dengan lambat jika tidak ada
dengan adanya antibodi antikardiolipin, atau dapat menjadi
komplikasi dengan faktor lain, seperti perdarahan. Hitung retikulosit rendah bila dibandingkan dengan derajat
bagian dari sindroma antifosfolipid, yang mana dihubungkan dengan adanya antibodi antifosfolipid,
anemlanya.
trombosis, trombositopenia, dan keguguran berulang.
Mekanisme anemia pada penyakit kronik masih sulit dimengerti. Hasil pada beberapa penelitian patogenesis artritis rematoid mengindikasikan bahwa banyak faktor yang terlibat seperti gangguan pelepasan besi oleh sistem
Voulgarelis juga melaporkan adanya antibodi anti-dsDNA pada hampir semua pasien dengan AHA. Adanya AHA
yang paling sering ditemukan pada pasien SLE. Gambaran apus darah tepi menunjukkan sel-sel yang normositik atau
normokrom. Konsentrasi besi serum menurun dan
fagositik mononuklear, besi terikat dengan protein pengikat, penurunan respons eritropoietin, dan efek supresif interl euki n terhadap eritropoiesis. Pengobatan anemia ini pada pasien SLE ditujukan pada proses penyakitnya, tidak dianjurkan pemberian terapi besi atau intervensi spesifik lainnya.
Anemia Defisiensi Besi biasanya ditemukan pada pasien SLE yang mendapat obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) atau mengalami menorrhagia. Ditemukan penurunan penggunaan besi. Radioaktivitas pada banyak
organ berbeda dari normal, dengan peningkatan kadar radioaktivitas pada limpa dan hati. Peningkatan jumlah besi yang diabsorpsi tidak digunakan untuk sintesis hemoglobin melainkan untuk disimpan. Di lain pihak, ttunoverbesi plasma meningkat pada sebagian besar pasien. Usia eritrosit lebih pendek tanpa adanya hemolisis. Jadi, anemia pada penyakit kronik pada pasien SLE dapat menyebabkan
terjadinya aktivitas sumsum tulang yang rendah, pemendekan umur eritrosit, dan mungkin uptake besi yang buruk.
Anemia Sel Sabit dan SLE menunjukkan manifestasi klnik yang serupa seperti artralgia, nyeri dada, efusi pleura, kardiomegali, nefropati, strok, dan kejang. Pasien dengan hemoglobinopati sel sabit juga menunjukkan peningkatan prevalensi autoantibodi. termasukANA. Ko-eksistensi SLE
Anemia hemolitik autoimun dapat dihubungkan
juga diperkirakan dapat mengidentifikasi subkelompok khusus dari pasien SLE karena adanya hubungan beberapa karakteristik serologik tersebut dengan manifestasi klinik. Kel1y dkk. melaporkan bahwa terdapat
bukti yang kuat keterlibatan gen rentan SLE, SLEHl, pada kelompok keluarga Afro-Amerika yang mempunyai paling tidak satu anggota keluarga dengan SLE dengan anemia hemolitik. Kriteria ACR tidak mendefinisikan derajat keparahan
anemia hemolitik. Anemia hemolitik yang berat (didefinisikan sebagai hemoglobin
Klasif ikasi
AHA dapat diklasjfikasikan menjadi dua tipe utama menurut antibodi yang terlibat dalam destruksi eritrosit dan suhu optimal dari reaktivitas antibodi pada permukaan eritrosit. AHA tipe hangat diperantarai oleh antiboi IgG di mana reaksi dapat berlangsung optimal pada suhu 37"C.
AHA aglutinin dingin diperantarai oleh antibodikomplemen IgM yang terikat optimal pada antigen eritrosit pada suhu 4"C.
AHA tipe hangat, Tipe ini merupakan jenis yang paling
tt79
KELAINAIY HEMATOLOGI PADA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
banyak terjadi pada pasien SLE. Sel darah merah yang dilapisi oleh antibody IgG hangat pindah ke sirkulasi,
Secara umum, splenektomi kurang efektif untukAHA tipe hangat dibandingkan trombositopenia autoimun.
terutama oleh sekuestrasi pada limpa. Sel darah merah yang dilapisi antibodi kemudian mengalami perubahan membran,
T[ansfusi. Sebaiknya transfusi darah dihindari, tidak hanya karena risiko penularan penyakit infeksi, tetapijuga karena pengamatan menunjukkan adanya isoantibodi melawan sel
sehingga terbentuk sferosit. Penelitian yang memeriksa struktur limpa pada pasien SLE dengan AHA menemukan bahwa eritrosit dilapisi dengan IgG dan komplemen yang kemudian difagositosis secara lengkap oleh makrofag limpa,
dan sebagian kecil oleh sel-sel endotelial sinus. Kebalikannya, di hati, lagositosis eritrosit tersensitisasi oleh
sel Kupfer hanya terjadi sesekali. Sehingga dapat disimpulkan bahwa limpa adalah lokasi utama destruksi efltros1t.
Gejala klinis pada AHA sangat bervariasi. Gejala disebabkan karena anemianya seperti kelelahan. pusing. dan demam.Bukti adanya hemolisis, termasuk kuning dan. urin seperti teh dapat ditemukan. AHA pada pasien SLE berkembang secara bertahap pada sebagian besar pasien. tetapi terkadang dapat muncul sebagai krisis hemolitik
progresif yang cepat.
Kombinasi AHA hangat dan dingin, Suatu penelitian melaporkan bahwa 77o pasien AHA yang mendapat transfusi mempunyai antibodi anti eritrosit IgG hangat dan IgM dingin, kedua antibodi tersebut berkontribusi terhadap terjadinya hemolisis. Sekitar 207o pasien dari kelompok tersebut menderita SLE.
Pengobatan Terapi medikamentosa. Kortikosteroid sistemik, 1 - 1,5 mg/ kg prednison setiap hari, cukup efektif. Steroid diberikan secara parenteral pada pasien dengan penyakit akut dan kemudian diganti menjadi obat oral setelah keadaannya stabil dan membaik. Dosis tersebut diberikan selama 4-6 minggu dan secara berlahap diturunkan. Pada pasien yang responsif dengan steroid, respons klinis akan terjadi dalam waktu satu minggu. Stabilisasi hematokrit terjadi dalam 30-90 hari seteiah terapi dimulai. Pasien dengan anemia hemolitik berat dan progresif cepat dapat diberikan metilprenisolon 1 g IV selama 3 hari berturut-turut, diikuti dengan dosis steroid konvensional. Hitung retikulosit dapat digunakan sebagai indikator respons terapi dan untuk mendeteksi relaps saat dosis steroid diturunkan. Hitung retikulosit yang menurun drastis dihubungkan dengan relaps proses hemolitik. Pengobatan lainnya yang telah dilakukan adalah pemberian azatioprin 2-2,5 mg/kg dikombinasikan dengan prednison 10-20 mg/hari pada pasien-pasien yang gagal dengan pernberian prednison.
Splenektomi. Splenektomi dilakukan pada pasien dengan
AHA tipe hangat idiopatik yang membutuhkan dosis
darah merah pada pasein SLE. Pasien yang mendapat transfusi berulang dapat membentuk isoaglutinin terhadap beberapa antigen eritrosit yang berbeda. Sangat sedikit indikasi untuk melakukan transfusi pada pasien SLE, di antaranya aalah perdarahan masif akut, dengan kadar hemoglobin turun sampai kurang dari 6 gl dl, atau disertai dengan penyakit jantung atau iskemia serebrovaskular yang berat. Respons pasien SLE dengan anemia hemolitik autoimun terhadap kortikosteroid secara umum sangat baik, sehingga transfusi darah biasanya tidak diperlukan. Antibodi antjeritrosit di sirkulasi dapat membuat uji cocok silang darah menjadi sulit.
TROMBOSITOPENIA DAN KELAINAN TROMBOSIT LAINNYA
Frekuensi dan Masalah Trombositopenia, didefinisikan sebagai kadar trombosit di bawah 150.000/mm3, cukup sering ditemui pada pasien SLE. Sebuah studi multisenter di Eropa melaporkan trombositopenia terjadi pada l3Vo pasien SLE, sementara angka di Asia menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi yaitu sekitar 30%. Adanya trombositopenia dapat dijadikan indikator untuk memperkirakan prognosis pasien SLE. Sebuah studi
kohort pada 408 pasien dengan waktu pemantauan median selama I I tahun menyatakan bahwa adanya trombositopenia berhubungan dengan peningkatan risiko morlalitas yang terkait SLE, sebanyak 2,36 kali. Penelitian pada 38 keluarga yang memiliki sekurang-
kurangnya
2 orang anggota keluarga
dengan SLE
melaporkan bahwa trombositopenia berhubungan dengan bentuk SLE familial yang berat dengan gangguan pada gen 1q22-23 dan 1lpl3 yang berkontribusi terhadap gambaran fenotip yang berat dan mortalitas yang tinggi.
Etiologi Penyebab trombositopenia pada SLE dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu 1) kegagalan produksi yang disebabkan oleh pengobatan atau penyakitnya sendiri, 2) distribusi abnormal, sepefii pooling di limpa, atau 3) destruksi besarbesaran seperti pada sindrom antifosfolipid, anemia hemolitik mikroangiopatik atau trombositopenia yang diperantarai antibodi.
pemeliharaan prednison yang tinggi (20 mg/hari atau lebih),
pasien dengan relaps yang sering, atau mereka yang menunjukkan efek samping yang serius dengan terapi steroid.
Purpura Trombositopenik lmun Purpura Trombositopenik Imun (.Immune Thrombocy-
1180
topenic Purpura,ITP) mempunyai hubungan yang khusus dengan SLE. Kedua penyakit ini umumnya mengenai perempuan muda, selain itu sebagian pasien ITP yang awalnya diduga merupakan penyakit idiopatik ternyata di kemudian hari menampakkan gambaran klasik SLE. Lebih jauh lagi, purpura trombositopenik, secara klinik dibedakan dari ITP, dapat terjadi sepanjang perjalanan penyakit SLE.
Manifestasi klinis, manif-estasi klinis trombositopenia pada pasien SLE secara umum serupa dengan yang terlihat pada pasien ITP atau trombositopenia akibat penyebab lain, dan tergantung pada jumlah hitung trombosit. Saat hitung trombosit di bawah 50.000/mm3, perdarahan spontan atau purpura dapat terjadi. Faktor lain yang mempengaruhi perdarahan spontan tersebut selain hitung trombosit adalah defek trombosit secara kualitatif dan usia trombosit. Perdarahan biasanya muncul sebagai petekie dan/atau ekimosis, terutama pada tungkai bawah, dengan adanya peningkatan tekanan kapiler. Perdarahan hidung, menorrhagia, epistaksis, dan perdarahan gusi dapat pula terjadi. Perdarahan spontan pada otak merupakan komplikasi yang ditakuti dan dapat berakibat fatal.
Pengobatan, umumnya dianjurkan terapi dengan kortikosteroid sistemik, yaitu prednison 1- 1 ,5 mg/kg/hari. Terapi kortikosteroid ini ekuivalen dengan "splenektomi medikal" karena mencegah sekuestrasi trombosit berlapis antibodi pada limpa. Sebagian besar pasien menunjukkan perbaikan dalam l-8 minggu.
Metilprednisolon IV dosis tinggi juga digunakan untuk
HEM/Iff]OI.OGI
pasien SLE, namun merupakan komplikasi yang mengancam jiwa. Kelainan ini ditandai dengan demam, disfungsi ginjal, anemia hemolitik mikroangiopatik, trombositopenia, dan kelainan neurologis. Pengobatannya dalah dengan kortikosteroid dan infus plasma, dengan atau tanpa plasmaferesis.
Kelainan Sel Darah Putih Leukopenia terjadi pada sekrtar l8-507o pasien SLE selama perjalanan penyakit. Neutrofil dan/atau limfosit di sirkulasi
dapat menurun akibat beberapa sebab. Pengobatan dengan kortikosteroid maupun imunosupresif dapat menekan jumlah limfosit absolut akibat sekuestrasi limfosit di limpa dan sumsum tulang. Limfopenia sering terjadi pada pasien SLE dengan penyakit yang aktif dan mempunyai arti patologis yang bermakna. Limfopenia dapat terjadi tanpa leukopenia.
Penyebabnya mungkin karena adanya antibodi limfositotoksik dan apoptosis limfosit. Seperti leukopenia, limfopenia dapat disebabkan oleh faktor selain SLE sendiri. Pengobatan dengan kortikosteroid dan obat sitotoksik, infeksi, dan perawatan di rumah sakit dapat berkontribusi terhadap penurunan hitung limfosit, yang mana mungkin bukan merupakan cetminan aktivitas
penyakit. Limfopenia dapat berkembang pada stadium akut pada 84Vo pasiet dan dihubungkan dengan peningkatan sedime nt at
i
on r at e . S aat diagnosis, lim fopenia ditemukan pada
dibanding terapi steroid konvensional belum terbukti. Pemberian yang berulang akan mengurangi respons
757o pasien, namun pada pemantauan selanjutnya. beberapa pasien kemudian juga mengalami limfopenia sehingga secara kumulatif 93Vo pasien mengalami
trombosit.
limfopenia.
trombositopenia yang berat, namun kelebihannya
Berbeda dengan ITP idiopatik, splenektomi pada pasien
SLE dengan trombositopenia yang resisten steroid tidak dianjurkan karena peningkatan risiko infeksi yang berat setelah splenektomi dan terlihat adanya manfaat efikasi pada pemberian obat-obat yang lain. Danazol dilaporkan efektif pada beberapa pasien dengan trombositopenia yang refrakter terhadap steroid, obat sitotoksik, dan/atau splenektomi. Danazol diberikan dengan dosis rata-rata 200 mg, tiga atau empat kali sehari. Siklofosfamid IV intermiten juga efektif pada pasien SLE yang refrakter terhadap steroid atau splenektomi atau
membutuhkan peningkatan dosis steroid yang tinggi. Obat lain yang dilaporkan efektif adalah azatioprin, siklosporin, dapson, dan vinkristin. Gamma globulin IV juga efektif, namun efeknya tidak dapat bertahan lama. Seperli pada ITP idiopatik, gamma globulin paling berguna untuk pengobatan perdarahan yang mengancam jiwa atau untuk mempersiapkan pasien menjalani operasi gawat-
Limfopenia absolut berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Pasien dengan hitung limfosit absolut kurang dari 1500 sel/mm3 pada saat diagnosis menunjukkan frekuensi demam, poliarlritis, dan keterlibatan susunan saraf pusat yang lebih tinggi, sementara prevalensi trombositopenia dan/atau anemia hemolitik lebih rendah.
Trombosis Trombosis merupakan salah satu penyebab kematian pada SLE selain akibatpenyakit SLE aktif, infeksi, dan keganasan.
Sebuah studi kohort di Eropa pada 1000 pasien SLE melaporkan b ahwa 12 dari 45 pasien pada 5 tahun perlama dan 6 dari 23 pasien pada 5 tahun berikutnya meninggal akibat trombosis. Yang dapat menjadi catatan adalah bahwa trombosis merupakan penyebab kematian utama pada pasien SLE setelah 5 tahun.
darurat.
Lupus Eritematosus Sistemik dan Sindrom Antifosfolipid
Purpura Trombositopenik Trombotik
Sindrom antibodi antifosfolipid didefinisikan sebagai penyakit trombofilia autoimun yang ditandai adanya
Kelainan ini merupakan kelainan yangjarang terjadi pada
1181
KELAINAT{ HEMATOLOGI PADA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
antibodi antifosfolipid yang menetap serta kejadian berulang dari trombosis vena/arteri, keguguran, atau trombositopenia. Trombosis pada pasien SLE hampir selalu dihubungkan dengan sindrom antibodi antifosfolipid. Kejadian trombotik yang sering terjadi
peningkatan sintesis tromboksan. Terikatnya antibodi atau kompleks imun dari sirkulasi juga dapat menjadi awal terbentuknya mikrotrombus, aktivasi komplemen lokal, dan kemudian kerusakan endotel.
adalah strok, oklusi arteri koronaria, dan emboli pulmoner.
Kemungkinan adanya sindrom antifosfolipid pada pasien SLE harus ditelusuri pada pasien perempuan muda (kurang dari 40 tahun) yang mengalami strok, perempuan hamil dengan keguguran berulang atau adanya riwayat
trombosis vena dalam. Pemeriksaan laboratorium ditemukan antibodi antikardiolipin IgG dan/atau IgM positif, atau antikoagulan lupus positif, biasanya disertai dengan pemanjangan masa protrombin atau masa protrombin teraktivasi. Antibodi antifosfolipid, seperli antibodi antikardiolipin (anticardiolipin antibody, ACA) dan antikoagulan lupus (lupus anticoagulant, LA), seringkali ditemukan pada SLE. Falc6o dkk. melaporkan antibodi antifosfolipid ditemukan pada507o dari T0pasien SLE di manaLAdanACAmasingmasing ditemukan pada707o dan 44,3Vo pasien. Fraksi IgG dari plasma yang mengandung ACA dan LA pada pasien
SLE dapat meningkatkan aktivasi trombosit yang dipicu oleh ADP, sementara IgG yang tidak mengandung ACA dan LA tidak menunjukkan efek tersebut. Oleh karena itu ACA dan LA diduga dapat bekerjasama untuk aktivasi platelet dan berperan dalam trombosis arlerial pada pasien SIE.
Antibodi antikardiolipin dan antikoagulan lupus berikatan dengan fosfolipid membran dengan perantaraan
I
(B2GPI), protrombin, protein C, protein S, atau annexin V. Nojima melaporkan antibodi antifosfolipid dependen B2GPI,
protein plasma seperti o,2 glikoprotein
protrombin, aprotein C, protein S, annexin V ditemukan pada masing 307o , 567o , 2l%o, 28Vo , dan 307o pasien SLE dan berhubungan dengan trombosis arteri dan/atau vena, trombositopenia, dan keguguran. Antibodi anti-B2GPI dan antiprotrombin merupakan faktor risiko bermakna untuk trombosis arterial, antibodi anti-protein S untuk trombosis vena, dan anti-annexin V untuk keguguran.
Mikroangiopati Trombotik Mikroangiopatik trombotik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi -kondisi dimana terjadi trombosis mikrovaskular terlokalisasi atau difus. Sindrom ini paling sering ditemukan padapasien dengan lupus aktif, dimana perusakan jaringan dan aktivasi komplemen sedang terjadi.
Etiologi mikroangiopati trombotik sangat sedikit diketahui tetapi sepertinya trombosit, faktor humoral (antibodi dan komplemen) dan endotelium mikrovaskular memegang peranan penting pada patogenesisnya. Cedera pada pembuluh darah kecil merangsang adhesi trombosit pada endotelium dan agregasi, menurunnya PGIl dan
REFERENSI Al-Shahi R, Mason JC, Rao R, et al. Systemic lupus erythematosus, thrombocytopenia, microangiopathic haemolytic anaemia and anti CD25 antibodies. Br J Rheumatol. 1997:'36:194-8 Castelino DJ, McNair P, Kay TW. Lymphocytopenia in a hospital population what does it signify? Aust NZ I Med 1997:.27:1104. Cervera R, Khamashta MA, Font J, et al Morbidity and mortality in systemlc lupus erythematosus during a lO-year period a comparison ol early and late manifestations in a Cohort of 1,000 patients. Medicine. 2003;82(5):299-308 Cooper GS, Parks CG, Treadwell EL, et al. Differences by race, sec, and age in the clinical and immunologic features of recently diagnosed systemic lupus erythematosus patients in the southeastern United States. Lupus. 2002;11:161-1. Falcio CA. Alves IC, Chahade WH, Duarte ALBP, Lucena-Silva N Echocardiographic abnormalities and antiphospholipid antibodies in patients with systemic lupus erythematosus. Arq Bras Cardiol. 2OO2:19:285-91 Georgescu L, Vakkalanka RK, Elkon KB, Crow MK. Interleukin-1O promotes activation-induced cell death of SLE lymphocytes mediated by Fas ligand J Clin Invest. 1997;100:2622-33. Hahn BH. Systemic lupus erythematosus. In: Kasper DL, Fauci AS, Lango DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrison's principles of internal medicine. l6'h editjon. New
York: McGraw Hill; 2005 p 1960-7. Kao AH, Manzi S, Ramsey-Goldman R. Review of ACR hematologic criteria in systemic lupus erythematosus Lupus. 2004;13:8658.
Kelly JA, Thompson K, Kilpatrick J, et al. Evidence for a susceptibility gene (SLEHI) on chromosome 11q14 for systemic lupus erythematosus (SLE) families with hemolytic anemia Proc Natl A Sci. 2002;99(l&):1 1766-71. Kokori SJ, Ioannidis J, Voulgarelis M, Tzioufas AG, Moutsopoulos HM. Autoimmune hemolytic anemia in patients with systemic lupus erythematosus. Am J Med. 2000;108:198-204 Nojima J, Suehisa E, Kuratsune H, Machii T, Koike T, Kitani T, et
al. PIatelet actjvation induced by combined effects of anticardiolipin and lupus anticoagulant IgG antibodies in patients with systemic lupus erythematosus-possible association
with thrombotic and thrombocytopenic complications. Thromb Haemost. 1999;8 1 :436-41. Nojima J, Kuratsune H, Suehisa E, et al. Association between the prevalence of antibodies to A2-Glycoprotein I, prothrombin, protein C, protein S, and annexin V in patients wirh systemic lupus erythematosus and thrombotic and thrombocytopenic complication. Clin Chem. 2001 ; 17(6):1008-15. Pereira RM, Velloso ER, Menezes
Y
Gualandro S, Vassalo J, Yoshinari
NH. Bone marrow findings in systemic lupus erythemalosus patients with peripheral cytopenias. Clin Rheumatol. 1998 ; l7(3):21
9-22. Abstrak.
FP. Hemic and lymphatic abnormalities in SLE. In: Wallace DJ, Hahn BH, editors Dubois' lupus erythematosus. 4'h ed. Pensylvania: Lea & Febiger; 1993. p. 418-30.
Quismorio
Jr
tt82
HEMIIiIOI.OGI
Scofield RH, Bruner GR, Kelly JA, et al. Thrombocytopenia
identifies a severe familial phenotype of systemic lupus ertythematosus and reveals genetic linkages at
lq22 and
llpl3.
BIood. 2003; l0 I :992-7. Sultan SM, Begum S, Isenberg DA. Prevalence, pattems of disease and outcome in patients with systemic lupus erythematosus who develop severe haematological problems. Rheumatology.
2003;42:230-4. Voulgarelis M, Kokori SIG, Ioannidis JPA, Tzioufas AG Kyriaki D, Moutsopoulos HM. Anaemia in systemic lupus erythematosus: aetiological profile and the role of erythropoietin. Ann Rheum Dis. 2000;59:217 -22. Ward MM, Pyun E, Studenski S. Mortality risk associated with specific clinical manifestations of systemic lupus erythematosus. Arch Intern Med. 1996;156:1337-44. Winfield JB. Anti-lymphocyte antibodies is systemic lupus eryhematosus. Clin Rheum Dis. 1985;11:523. Abstrak.
t87 HIPERSPLENISME BudiMuljono
PENDAHULUAN
PENYEBAB PEMBESARAN LIMP
Istilah kata hipersplenisme lebih difokuskan pada keadaan kerja limpa yang berlebihan dan dapat menyebabkan penyakit. Jadi suatu keadaan pembesaran limpa dapat akibat/bersama-sama dari suatu penyakit atau dapat menyebabkan penyakit sistemik. Keadaan limpa yang dapat menyebabkan penyakit
Proses lnflamasi Akut/sub akut: tifoid, sepsis, abses limpa, infeksi mononukleosis, endokarditis bakterial subakut
Kronik: tuberkulosis, sifilis, Felty's syndrome, rheumatoid arthritis, malaria, leishmaniasis, trypanosomiasis, (Amazonian sple nome gali dan Americ an splenome g ali e s,
dicetuskan sejak 1 866 oleh Gretsel dan 1 880 Banti dan pada
histoplasmosis), skistosomiasis, ekinokokkosis, sarkoid Boeck's, be ryllium dise as e.
tahun 1907 oleh Chuffard, kata hipersplenisme mulai diperkenalkan.
CongestivelBendungan Splenomegal
. .
DEFINISI
Hipersplenisme adalah suatu keadaan di mana: a). Anemia, lekopenia, trombositopenia atau kombinasinya; b). Normal atau hiperselular sumsum tulang; c). Pembesaran limpa; d). Klinis membaik bila
. . .
dilakukan pengangkatan limpa.
i:
Sirosis hati Trombosis.stenosis atau cavemous transformasi vena
porta
Trombosis yang dapat terjadi penghambatam vena splenika
Tidak diketahui penyebabnya Kegagalan jantung
Hiperplasia Splenomegali
. .
PATOFISIOLOGI
Hipersplenisme dapat primer atau sekunder. Primer hipersplenisme tidak diketahu penyebabnya, sedangkan sekunder hipersplenisme dapat disebabkan
Anemiahemolitikmumi Anemia kronik dengan ada/tidak ada kerusakan darah: - Anemiapernisiosa, anemiamikositik - Talasemia, hemoglobin C disease.
-
Anemia mieloftisis mielosklerosis, mielosis, megakariositis aleukemik, metaplasia mieloid
-
Penyakit hemolitik sejak bayi Lupus eritomatosus sistemik
penyakit infeksi atau parasit, penyakit-penyakit
agnogenik
Gaucher, leukemia, limfosarkoma. Begitu banyak dan luas fungsi dari limpa, diantaranya pembersihan bakteri,
. . . . .
antigen, antibodi, penggantian darah dan lain-lain. Sehingga adanya pembesaran limpa dapat menyebabkan kerja limpa berlambah atau sebaliknya. Beberapa penyakit dapat disertai pembesaran limpa dan akan menyebabkan kenaikan kerja limpa.
118
Trombositopeniapurpura
Limfatik hipersplenisme yang jinak: penyakit Grave's Polisitemia vera
Splenikneutropenia,/panhematopeniaprimer Kriptogenetik,splenomegalitropikal
1184
lnfiltratif Splenomegali . Penyakit Gaucher's . PenyakitNiemann-pick's . Amiloidosis . Diabetiklipemia . Gargoilisme Kista dan Neoplasma
. . . . . . . .
Kista limfa (epitel, endotel atau parasit, hemangioma) Kista palsu (perdarahan, serosa, inflamasi) Hamarloma
[rukemia PenyakitHodgkin's Bukan penyakit Hodgkin's Histokistosis X Metastasis keganasan
GEJALA KLINIS Gejala klinis yang sering dijumpai adalah rasa sakit di perut karena pembesaran limpa dan peregangan kapsul limpa, infark ataupun inflamasi dari kapsul limpa.
Pada anemia hemolitik, pembesaran limpa dapat mendadak sakit dan disertai infeksi sehingga dapat terjadi secara tiba-tiba penghancuran eritrosit yang berat. Gejala klinis lainnya tergantung dari penyakit yang mendasari pembesaran limpa (hipersplenisme sekunder). Demikian juga hasil pemeriksaan laboratorium selain anemia, leukopenia, trombositopenia, atau kombinasinya dan ditambah gejala-gejala dari penyakit sekundernya
HEMIIiTOI-OGI
PENGOBATAN Pada pasien hipersplenisme primer, splenektomi adalah yang terutama sedangkan pada hipersplenisme sekunder
sangat tergantung dengan penyakit penyebabnya. Tindakan splenektomi dilakukan bila pemeriksaan sumsum tulang normal atau hiperselular. Banyak keadaan penyakit
yang disertai pembesaran limpa yang masif seperti leukemia mielositik kronik, limfoma, leukemia haircell, mielofibrosis dan metaplasia mieloid, polisitemia vera, penyakit gautcher's, leukemia limfositik kronik, dl1. Selain karena trauma, tumor limpa dan penyakit limpa primer. Tindakan splenektomi biasanya dilakukan pada pasien anemia karena kelainan bentuk eritrosit, kelainan hemoglobin dan pada keadaan trombositopeni sehingga
penghancuran eritrosit dan trombosit terhambat/ berkurang. Sehingga splenektomi dapat dilakukan sebagai pilihan terakhir pengobatan penyakit-penyakit hipertensi ponal. leukemia dan lim[oma.
RISIKO Pengangkatan limpa dapar menyebabkan terjadinya infeksi
bakteri atau sepsis terutama 1 sampai 3 tahun setelah operasi. Setelah pengangkatan limpa terjadi kenaikan cepat
jumlah trombosit yang disertai jumlah eritrosit.
REFERENSI L Kasper, Eugene Braunwald, et al. Harison's principles of internal medicine. 16'h edition. 2005 p 343-8. G Richard LEE, Thomas C Bithell, et al. Wintrobe's clinical hematoiogy. 9th edition 1993. p. 1704-19.
Dennis
188 DASAR.DASAR TRANSFUSI DARAH ZubairiDjoerban
RISIKO TRANSFUSI
PENDAHULUAN Imunohematologi adalah bidang ilmu yang merupakan
Sebuah penelitian melaporkan bahwa reaksi transfusi yang
interseksi arrlara hematologi dan imunologi.
tidak diharapkan ditemukan pada 6,6Vo resipien, di mana sebagian besar (557o) berupa demam. Gejala lain,adalah menggigil tanpa demam sebanyak l4Vo, reaksi alergi (terutama urtikaria) 207o , hepatitis serum positif 6 7o, rcaksi hemolitik 4Vo, dan overload sirkulasi 17o.
Imunohematologi dapat dibagi menjadi dua, yang terkait dan tidak terkait dengan genetik. Imunohematologi yang terkait dengan genetik antara lain serologi transfusi, penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, graft versus host disea.se, imunomodulasi dan petanda genetik darah.
Imunohematologi yang tidak terkait dengan genetik
Demam
antara lain adalah autoimunitas, anemia hemolitik akrbat
Peningkatan suhu dapat disebabkan oleh antibodi leukosit, antibodi trombosit, atau senyawa pirogen. Untuk menghindarinya dapat dilakukan uji cocok silang
obat, dan anemia hemolitik yang diinduksi neuraminidase.
Istilah imunohematologi dapat diartikan sebagai penerapan prinsip-prinsip imunologi untuk mempelajari
antara leukosit donor dengan serum resipien pada pasien
yang mendapat transfusi leukosit. Cara lain adalah dengan memberikan produk darah yang mengandung
kelainan-kelainan hematologi. Namun, saat ini imunohematologi lebih difokuskan pada ilmu mengenai antigen dan antibodi pada sel darah merah yang berhubungan dengan transfusi darah dan beberapa
sedikit leukosit, leukosit yang harus dibuang pada produk ini minimal 907o dari jumlah leukosit. Transfusi juga dapat
dilakukan dengan memasang mikrofiltrasi yang
komplikasi kehamilan. Aplikasi ilmu ini biasanya dikenal sebagai Transfusion
mempunyai ukuran pori 40 mm. Dengan filterberukuran tersebut jumlah leukosit dapat berkurang sampai 60Va. Pemberian prednison 50 mg atau lebih sehari atau 50 mg korlison oral setiap 6 jam selama 48 jam sebelum transfusi atau aspirin 1 g saat mulai menggigil atau l jam sebelum
Medicine (Ilmu Kedokteran Transfusi) atau Blood Banklng (penyimpanan darah). Transfusi darah/produk darah yang aman dan konservasi darah adalah fokus utama dari Ilmu Kedokteran Transfusi. Konservasi darah adalah teknik atau usaha untuk mengurangi kebutuhan transfusi darah. Secara luas, imunohematologi juga mencakup
transfusi, dilaporkan dapat mencegah demam akibat transfusi.
imunologi transplantasi jaringan atau organ. Untuk
Reaksi Alergi
memahami kedokteran transfusi secara komprehensif maka diperlukan pengetahuan mengenai imunologi, serologi, dan genetik. Inovasi-inovasi terbaru mengenai enzim, DNA rekombinan, dan teknik biomedis lainnya
Renjatan anafilaktik terj adi
I
pada20.000 transfusi. Reaksi
alergi ringan yang menyerupai urtikaria timbul pada3Vo transfusi. Reaksi anafilaktik yang berat terjadi akibat interaksi antara IgA pada darah donor dengan anti-IgA ' spesifik pada plasma resipien.
menyebabkan meluasnya batasan pengertian imunogenetik.
118
1186
HEMATIOI.OGI
Reaksi Hemolitik
dan
Reaksi ini terjadi karena destruksi sel darah merah setelah transfusi akibat darah yang inkompatibel. Reaksi hemolitik juga dapat terjadi akibat transfusi eritrosit yang rusak akibat paparan dekstrose 57o, injeksi air ke dalam sirkulasi,
kontaminasi tersebut berhubungan langsung dengan
transfusi darah yang lisis, transfusi darah dengan
transfusi menggunakan konsentrat trombosit yang berasal dari beberapa donor dibandingkan dengan trombosit yang
pemanasan berlebihan, transfusi darah beku, transfusi dengan darah yang terinfeksi, transfusi darah dengan tekanan tinggi. Jika seseorang ditransfusi dengan darah atau janin memiliki struktur antigen eritrosit yang berbeda dengan donor atau ibunya, maka dapat terbentuk antibodi pada tubuh resipien darah atau janin tersebut. Reaksi antara antigen eritrosit dan antibodi plasma, baik yang spesifik
maupun nospesifik, menyebabkan antibodi merusak eritrosit. Destruksi eritrosit yang cepat akan melepaskan hemoglobin bebas ke dalam plasma sehingga menyebabkan kerusakan ginjal, toksemia, dan kematian. Meskipun saat ini pemahaman mengenai antigen sel darah merah dan implikasi klinisnya telah sangat maju.
namun reaksi hemolitik akibat transfusi masih dijumpai pada setiap 250 ribu - I juta transfusi. Sekitar separuh kematian akibat reaksi hemolitik tersebut disebabkan oleh inkompatibilitas ABO akibat kelalaian administratif. Sekitar 1 dari 1000 pasien secara klinis menunjukkan manifestasi
reaksi transfusi lambat dan 1 dari 260.000 pasien menunjukkan reaksi hemolitik yang nyata karena mempunyai antibodi terhadap antigen eritrosit minor yang tidak dideteksi oleh tes antibodi rutin sebelum transfusi. Reaksi ini akan lebih mudah terjadi pada populasi yang mempunyai risiko seperti penyakit anemia sel bulan sabit (sickle cell disease).
I per 65.000 unit
sel darah merah. Risiko terjadinya
lamanya penyimpanan.
Risiko sepsis yang berhubungan dengan transfusi trombosit adalah 1 per 12.000, angka ini lebih besar pada
didapatkan dengan aferesis dari donor tunggal. Bakteri
yang mengkontaminasi trombosit yang
dapat
menyebabkan kematian adalah Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Serratia marcescens, dan Staphylococcus epidermidis.
Cedera Paru Akut Risiko transfusi yang lain adalah cedera paru akut yang berhubungan dengan transfusi (transfusion- related acute lung injury, TRALD. Kondisi ini adalah suatu diagnosis klinik berupa manifestasi hipoksemia akut dan edema pulmoner bilateral yang terjadi dalam 6 jam setelah transfusi. Manifestasi klinis yang ditemui adalah dispnea, takipnea, demam, takikardi, hipo-/hiperlensi, dan leukopenia akut sementara. Angka kejadiannya dlaporkan sekitar 1 dari 1.200 sampai 25.000 transfusi; Finlay dkk memperkirakan
bahwa angka sebenarnya lebih tinggi, namun tidak dilaporkan sebagai TRALI. Beberapa mekanisme diperkirakan menjadi penyebab terjadinya kondisi ini. Salah satunya adalah reaksi antara neutrofil resipien dengan
antibodi donor yang mempunyai HLA atau antigen neutrofil spesifik; akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas kapiler pada sirkulasi mikro di paru.
INDIKASITRANSFUSI
Penularan Penyakit Selain masalah reaksi antigen-antibodi, maka transfusi yang aman juga harus memperhatikan kemungkinan penularan
penyakit yang dapat menular melalui darah, seperti HIV, hepatitis B, hepatitis C, dan virus lainnya. Bakteri juga dapat mengkontaminasi eritrosit dan trombosit sehingga dapat menyebabkan infeksi dan terjadinya sepsis setelah transfusi. Penularan HIV melalui transfusi darah pertama kali
Oleh karena transfusi mempunyai risiko yang cukup besar, maka pertimbangan risiko dan manfaat benar-benar harus dilakukan dengan cermat sebelum memutuskan pemberian transfusi. Secara umum, dari beberapa panduan yang telah dipublikasikan, tidak direkomendasikan untuk melakukan transfusi profilaksis dan ambang batas untuk melakukan transfusi adalah kadar hemoglobin di bawah 7,0 atau 8,0g/ d1, kecuali untuk pasien dengan penyakit kritis. Walaupun
dilaporkan pada tahun 1982. Kebijaksanaan untuk
sebuah studi pada 838 pasien dengan penyakit kritis
menyaring orang dengan perilaku risiko tinggi HIV untuk tidak mendonorkan darahnya serla kemudian dilakukannya
melaporkan bahwa tidak ada perbedaan laju mortalitas-30 hari pada kelompok yang ditransfusi dengan batasan kadar
tes penyaring untuk semua sampel darah donor,
hemoglobin di bawah 10,0 g/dl dan 7 ,0 g/dl, namun penelitian lebih lanjut dengan jumlah pasien lebih besar
diharapkan dapat menurunkan risiko terjadinya penularan HIV melalui transfusi darah.
Kontaminasi Kontaminasi bakteri pada eritrosit paling sering disebabkan
oleh Yersinia enterocolitica. Angka kontaminasi oleh Y.enterocolitlca di Amerika Serikat dan Selandia Baru masing-masing adalah I per 1 juta unit sel darah merah
masih diperlukan.
Kadar hemoglobin 8,0 g/dl adalah ambang batas transfusi untuk pasien yang dioperasi yang tidak memiliki faktor risiko iskemia, sementara untuk pasien dengan risiko iskemia, ambang batasnya dapat dinaikkan sampai 10,0 g/ dl. Namun, transfusi profilaksis tetap tidak dianjurkan. Pemberian transfusi untuk menambah kapasitas
tt87
DASIAR-DASAR TRANSFU SI DARAH
pengiriman oksigen, seperti yang kerap dilakukan di unit perawatan intensif, tidak dianjurkan. Sebuah studi pada
pasien sepsis melaporkan bahwa transfusi tidak
Golongan Darah
Antigen
Antibodi
A
A
B
B
Anti-B Anti-A Tidak ada Anti-A, anti-8, anti-A,B
menyebabkan perubahan kapasitas pengiriman oksigen 6 jam setelah transfusi.
AB
AdanB
o
Tidak ada
ANTIGEN DAN ANTIBODI ERITROSIT
Antigen eritrosit adalah protein atau lipoprotein yang terinkorporasi pada lapisan lipid pada membran eritrosit. Pembentukan antigen tersebut dikode oleh gen-gen tertentu yang terdapat pada lokus spesifik pada DNA. Oleh karena itu, maka seseorang yang lahir dengan anti-
Anti
Rh"(D)
Positif Negatif Positif
Kontrol Rh Negatif Negatif Positif
gen eritrosit tertentu akan memilikinya seumur
Tipe Rh D+ D- (d) Harus diulang atau diperiksa dengan Rh"(D)
typing (Saline tube test)
hidup.
Antibodi terbentuk sebagai respons adanya antigen. Antibodi dapat terbentuk sebagai reaksi imunitas tubuh terhadap adanya antigen asing atau secara natural memang ada karena stimulasi dari antigen endogen yang normal, seperti anti-A dan anti-B.
GOLONGAN DARAH Sejak ditemukannya sistem ABO oleh Landsteiner pada 1900, sampai dengan tahun 1999, menurut International Society of Blood Transfusion (ISBT) terdapat 25 sistem golongan darah dan lebih dari 250 antigen golongan darah
yang telah diidentifikasi. Sistem golongan darah terdiri dari satu atau lebih antigen yang ditentukan baik oleh gen tunggal atau sebuah cluster dari dua atau lebih gen homolog yang berkaitan erat dimana benar-benar tidak terjadi rekombinasi di antara gen-gen tersebut. Simbol untuk keduapuluh lima sistem golongan darah tersebut adalah ABO, MNS, R RH, LU (Lutheran), KEL (Ke11), LE (Lewis), FY (Dutry), JK (Kidd), DI (Diego), YT (Cafiwrigh$, XG SC (Scianna), DO @ombrock), CO (Colton), LV/, CIVRG H, XK, GE, CROM, KN, IN, OK, dAN RAPH. Antigen yang tidak/belum termasuk ke dalam sistem golongan darah dimasukkan menjadi koleksi atau seri golongan darah. Koleksi Golongan Darah adalah suatu set dari antigen yang secara genetis, biokimia, atau serologis berhubungan tetapi tidak memenuhi syarat untuk status sistem, biasanya karena antigen tersebut tidak menunjukkan ciri-ciri genetis yang benar-benar berbeda dari semua sistem golongan darah yang ada. Antigen yang tidak termasuk ke dalam sistem atau koleksi golongan darah, digolongkan menjadi Seri Golongan
Darah.
DONASI DARAH
Seleksi Donor Darah Donor darah harus memenuhi beberapa kriteria untuk dapat mendonorkan darahnya, yaitu keadaan umum baik, usia 17-65 tahun, berat badan 50 kg atau lebih, tidak demam (temperature oral < 37,5"C), frekuensi dan irama denyut nadi normal, tekanan darah 50-100/90-180 mmHg, dantidak ada lesi kulit yang berat. Persyaratan lain adalah menjadi donor terakhir minimal
8 minggu yang lalu, tidak hamil, tidak menderita tuberkulosis aktif, tidak menderita asma bronkial simptomatik, pasca pembedahan (6 bulan setelah operasi besar, luka operasi telah sembuh pada operasi kecil, minimal 3 hari setelah ekstraksi gigi atau pembedahan mulut),
tidak ada riwayat kejang, tidak ada riwayat perdarahan abnormal, tidak menderita penyakit infeksi yang menular melalui darah.
Imunisasi dan vaksinasi. Calon donor yang baru
saja
mendapat imunisasi atau vaksinasi dapat diterima sebagai donorjika tidak ada gejala setelah tindakan tersebut. Jika
yang didapat adalah vaksin dengan virus hidup yang dilemahkan, maka calon donor yang tidak menunjukkan gejala apapun dapat diterima dengan batasan waktu sebagai berikut: 1). cacar air: dua minggu setelah timbul reaksi imun atau setelah lesi bekas suntikan mereda, 2). campak, gondong, demamkuning, polio (oral): duaminggu setelah imunisasi terakhir, 3). campak Jerman: dua bulan setelah imunisasi terakh i r.
Malaria. Calon donor yang baru bepergian ke daerah endemis dapat diterima menjadi donor 6 bulan'setelah
Sistem golongan darah yang diperiksa dalam
kembali dan terbukti tidak menunjukkan gejala dan tidak
pelaksanaan transfusi darah secara rutin adalah sistem
minum obat antimalaria. Calon donor yang pemah menderita
ABO dan Rhesus yang cara penggolonggannya praktis dapat dilihat pada Tabel I dan2.
malaria dapat diterima setelah 3 tahun penyakitnya
secara
asimptomatik atau obat dihentikan.
1188
HEMIIiIOI.OGI
Pengambilan dan Pengumpulan Darah Informasi untuk donor. Semua calon donor harus
transfusi darah homolog serta penularan hepatitis dan HIV
mendapat informed consent beserla penjelasan mengenai risiko transfusi. Donor harus dijelaskan bahwa darah akan diuji terhadap penyakit infeksi sepefti hepatitis, sifilis, dan
transfusi autologus tetap memiliki beberapa kelemahan, yaitu 1). tidak menghilangkan risiko kontaminasi bakteri
HIV
administratif yang menyebabkan inkompatibilitas ABO, 3). biayanya lebih tinggi dibandingkan transfusi alogenik, 4). umumnya ada sisa darah yang tidak digunakan dan
Reaksi selama dan sesudah donasi. Reaksi pada donor jarang terjadi. Reaksi yang dapat terjadi adalah sinkop, rasa lemas, frekuensi nafas meningkat, pusing, pucat, dan mual.
Reaksi yang jarang terjadi adalah kejang, kehilangan kesadaran, atau berkemih/defekasi involunter. Masalah pada jantung, bahkan serangan jantung, dapat terjadi, walaupun sangatjarang
(l
dari l0juta donor).
Uji terhadap darah donor. Pengujian yang dilakukanpada darah donor meliputi a)penetapan golongan darah
berdasarkan
ABO, b)penetapan golongan
darah
berdasarkan Rhesus, c)uji terhadap antibodi yang tidak diharapkan, dilakukan pada darah dari donor yang pernah mendapat transfusi atau hamil, dan d)uji terhadap penyakit infeksi, yaitu HBsAg, anti HCY tes serologi untuk sifilis,
dapat dihilangkan. Walaupun memiliki keuntungan,
ata:u
overload volume, 2). tidak mengurangi risiko kesalahan
kemudian dibuang, 5). menyebabkan anemia perioperatif dan meningkatkan kemungkinan diperlukannya transfusi. Indikasi transfusi autologus adalah: 1). pasien yang menunjukkan reaksi transfusi dengan pemberian semua darah yang homolog, 2). pasien dengan golongan darah yang sangat jarang atau memiliki antibodi yang tidak diharapkan, 3). pasien yang menolak transfusi dari donor lain karena alasan kepercayaan.
Darah dapat dikumpulkan dengan prosedur konvensional atau melalui pengumpulan darah yang keluar saat operasi atau trauma. Secara umum, darah yang dapat diambil tidak lebih dari 450 ml atau 12 persen dari estimasi
dan tes antibodi HIV.
volume darah dan kadar Hb 1lg/dl atau lebih. Donasi dilakukan dengan frekuensi minimal 4 harr sekaii.
Teknik Pengambilan Darah
jam sebelum operasi besar tanpa penggantian parsial pro-
Hemaferesis. Hemaferesis adalah istilah umum yang merujuk kepada pengambilan whole blood dari seorang donor atau pasien, pemisahan menjadi komponenkomponen darah, penyimpanan komponen yang diinginkan dan pengembalian elemen yang tersisa ke
tein plasma menggunakan fraksi protein plasma dan albu-
Flebotomi predeposit sebaiknya tidak dilakukan dalaml2
donor atau pasien.
Plasmaferesis. Plasmaferesis adalah prosedur di mana
min.
Berdasarkan penelitian, sebanyak 8 unit whole blood
dapat diambil dari seseorang dalam 20 hari tanpa manifestasi klinis apapun jika diberikan suplementasi besi oral kepada donor. Darah yang 'diselamatkan' selama operasi atau setelah
sejumlah unit darah dari donor diambil untuk mendapatkan plasmanya, diikuti dengan penginfusan kembali sel-sel darah merah donor. Teknik ini dilakukan untuk mendapatkan plasma ataufre,shfrozen plasma. Plasma yang didapatkan
trauma dikumpulkan dari dalam tubuh dengan alat dan dimasukkan kembali ke pasien segera setelah filtrasi. Jika tidak ditranfusikan segera, unit darah dikumpulkan dan diproses secara steril menggunakan alat untuk koleksi
juga dapat difraksinasi menjadi produk seperti albumin
darah intraoperatif yang dicuci dengan 0,9%NaCl, selanjutnya dapat disimpan sampai dengan 6 jam pada suhu kamar, atau sampai dengan 24 jampadal-6"C.
serum dan gama globulin. Plasmaferesis biasanya dilakukan
menggunakan multibag system, namun dapat juga menggunakan separasi darah sentrifugal.
Sitaferesis. Sejumlah besar trombosit atau leukosit dapat dikoleksi dari donor tunggal menggunakan sentrifugasi aliran intermiten atau kontinyu.
Plateleferesis/trombaferesis. Plateleferesis adalah prosedur dimana trombosit dipisahkan secara sentrifugal dan whole blood.
Uji Cocok-Silang Uji cocok-siTang (crossmatch) atalu uji kompatibilitas adalah prosedur yang paling penting dan paling sering dilakukan di laboratorium transfusi darah. Uji cocok silang secara umum terdiri dari serangkaian prosedur yang dilakukan sebelum transfusi untuk memastikan seleksi
Leukaferesis/granulositaferesis. Prosedur ini mengambil
darah yang tepat untuk seorang pasien dan untuk
granulosit dan kemudian mengembalikan darah sisanya ke donor.
mendeteksi antibodi ireguler dalam serum resipien yang
Tiansfusi autologus. Transfusi autologus adalah transfusi
sel darah merah donor setelah transfusi. Terdapat 2 jenis uji cocok-silang, mayor yaitu menguji reaksi antara sel darah merah donor dengan serum resipien, dan minor yaitu menguji reaksi antara serum donor dengan sel darah merah resipien.
darah atau produk darah yang berasal dari darah resipien sendiri. Prosedurini mulai sering dilakukan setelah diketahui adanya risiko penularan penyakit, terutama infeksi HIY melalui transfusi darah. Dengan teknik ini, risiko bahaya
akan mengurangi atau mempengaruhi ketahanan hidup dari
1189
DASAR-DASAR TRANSFUSI DARAH
Uji cocok-silang mayor dilakukan pada tes prafransfusi, menggunakan metode yang akan menunjukkan antibodi aglutinasi, sensitisasi, dan hemolisis, juga tes antiglobu-
lin. Uji cocok-silang minor tidak dilakukan pratransfusi karena uji ini dilakukan sebagai tes rutin pada darah donor setelah pengumpulan darah. Kombinasi beberapa prosedur dapat dilakukan untuk melakukan uji cocok-silang. Teknik salin, albumin , enzim, antiglobulin direk dan indirek.
Secara umum, uji cocok silang harus mendeteksi sebagian besar antibodi resipien yang dapat mereaksi dengan sel darah merah donor. Namun, uji cocok-silang tidak menjamin sel darah donor tetap hidup atau mencegah
imunisasi resipien, tidak mendeteksi kesalahan penggolongan ABO., Rh-typing, atau semua antibodi ireguler pada resipien serum.
REFERENSI Ammann AJ, Cowan MJ, Wara DW, et al. Acquired immunodeficiency in an infant: possible transmission by means of blood products. Lancet. 1983;1:956-8.
Bryant NJ. An introduction to immunohematology. 3'd edition. Philadelphia: WB Saunders; 1994. Fatal Bacterial Infections Associated with Platelet Transfusions. MMWR. 2005 ;5 4('7 ) :1 68 -7 0. Finlay HE, Cassorla L, Feiner J, Troy P. Designing and testing computer-based screening system
for transfusion-related
a
acute
lung injury. Am J CIin Pathol. 2005;124(4):601-9. Goodnough LT, Brecher ME, Kanter MH, AuBuchon JP. Transfusion medicine, first of two parts - Blood transfusion. N Engl J Med. 1999;340(6):438-47 Goodnough LT, Brecher ME, Kanter MH, AuBuchon JP. Transfusion medicine, second of two parts - Blood transfusion. N Engl .
J Med. 1999;340(7):525-33. Heather Efl Cassorla L, Feiner J, Toy P. Kdrmtjczi GR Mayr WR. Milestones in immunohematology. Transp
Immunol. 2005:'14:.155-7. Possible transfusion-associated acquired immune dehciency syndrome (AIDS)- California. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 1982:31:652-4.
189 DARAH DAN KOMPONEN: KOMPOSISI, INDII(ASI DAN CARA PEMBERI.AN Harlinda Haroen
PENDAHULUAN
DEFINISI
Penggunaan darah untuk tranfusi hendaklah selalu dilakukan secara rasional dan efisien yaitu dengan
Komponen Darah ialah bagian darah yang dipisahkan
memberikan hanya komponen darah/derivat plasma yang dibutuhkan saja. Pemikiran ini didasarkan bahwa darah terdiri dari bermacam-macam elemen selular dan juga bermacam macam protein plasma dengan fungsi yang
sentrifugasi.
dengan cara fisik/mekanik misalnya de!gan cara
Fraksi Plasma adalah derivat plasma yang diperoleh dengan cara kimia/fraksinasi dengan menggunakan sejumlah besar plasma yang diproduksi di pabrik.
berbeda-beda yang tentunya dapat dipisahkan. juga
Produk Darah ialah istilah umum yang mencakup kedua
biasanya pasien hanya memerlukan komponen tertentu saja sehingga komponen komponen darah lainnya dapat diberikan pada pasien lain yang membutuhkan. Tranfusi darah pada hakekatnya adalah pemberian darah atau komponen darah dari satu individu (donor) ke
istilah komponen darah dan derivat plasma.
MACAM MACAM KOMPONEN DARAH
individu lainnya (resipien), dimana dapat menjadi
Selular
penyelamat nyawa, tapi dapat pula berbahaya dengan berbagai komplikasi yang dapat terjadi sehingga tranfusi darah hendaklah dilakukan dengan indikasi yangjelas dan tepat sehingga diperoleh manfaat yang jauh lebih besar daripada risiko yang mungkin terjadi. Dari satu unit darah lengkap donor dengan proses sentrifugasi dengan kecepatan tinggi dapat dipisahkan menjadi sel darah merahpekat (SDMP),trombosit, plasma segar beku =freshfrozen plasma (FFP), kriopresipitat dan lain lain, sedangkan dari plasma dengan proses fraksinasi akan didapat beberapa derivatnya antara lain albumin, imunoglobulin dan faktor-faktor koagulasi pekat misalnya faktor VIII pekat dan faktor IX pekat.
. .
Darah Unth (whole bboA Sel darah merah pekat Qtacked red blood cell)'.
-
. .
Sel darah merah pekat dengan sedikit lekosit (packed red blood cell leukocytes reduceS Sel darah merah pekat cuci (packed red blood cell washed'y Sel darah merah pekat beku (packed red blood cell
frozen,packed red blood cell deglyceroli1ed). Trombosit konsentrat (concentrate platelets ): - Trombosit dengan sedikit lekosit(platelets concentrate leukocytes reduced). Granulosit feresis (granulocytes pheresis)
Dengan makin majunya teknologi aferesis saat ini, maka
pelayanan tranfusi darah dapat lebih tepat memenuhi kebutuhan komponen darah melalui penggunaan mesin multikomponen dengan menggunakan donor tunggal. Hal
Non Selular
. . .
ini dilakukan untuk meminimalisasi risiko transmisi penyakit yang disebabkan oleh tranfusi darah.
Plasma segar beku (freshfrozen plasma) Plasma donor tunggal (single donor plasma)
Kriopresipitat faktor anti hemofilia (cryoprecipitate AHF)
1190
DARAH DAN KOMPTONEN: KOMP'OSISI, INDII(AIiI DAN CARA PEMBERIAN
MACAM MACAM DERIFAT PLASMA
. . . . .
ttgt
dengan kecepatan tetesan tergantung keadaan klinis pasien, namun setiap unitnya sebaiknya diberikan dalam
Albumin Imunoglobulin
4jam
VIII dan Faktor IX pekat Rh Imunoglobulin
SEL DARAH MERAH PEKAT (PACKED RED BLOOD
Plasma ekspander sintetik
cELL)
Faktor
DARAH LENGKAP (WHOLE BLOOD) Darah lengkap ini berisi sel darah merah, lekosit, trombosit dan plasma. Satu unit kantong darah lengkap berisi 450 mL darah dan 63 mL antikoagulan. Di Indonesia satu kantong darah lengkap berisi 250 mL darah dengan 31 mL antikoagulan, adajuga yang satu unit kantong berisi 350 mL darah den gan 49 mL antikoagulan. Suhu simpan antara
1"-6" Celcius. Lama simpan dari darah lengkap ini tergantung dari antikoagulan yang dipakai pada kantong darah; pada pemakaian sitrat fosfat dekstrose (CPD) lama simpan adalah 2l hari, sedangkan dengan CPD adenin (CPDA): 35 hari. Menurut masa simpan invitro ada 2 macam darah lengkap yaitu darah segar dan darah baru. Darah segar yaitu darah yang disimpan sampai 48 jam, sedang darah baru yaitu darah yang disimpan sampai
Sel darah merah pekat berisi eritrosit, trombosit, lekosit dan sedikit plasma. Sel darah merah ini didapat dengan memisahkan sebagian besar plasma dari darah lengkap, sehingga diperoleh sel darah merah dengan nilai hematokrit 60-10 7o. Volume diperkirakan 150-300 mL tergantung besamya kantung darah yang dipakai, dengan massa sel darah merah 100-200 mL. Sel darah merah ini disimpan pada suhu 1o-6o Celcius. Bila menggunakan antikoagulan CPDA maka masa simpan dari sel darah merah ini 35 hari dengan nilai hematokrit 70-80 Vo, sedangkan bila menggunakan antikoagulan CPD masa simpan dari sel darah
merahini2l
hari. Komponen sel darah merah yang disimpan dalam larutan tambahan (buffer, dekstrosa, adenin, manitol) memiliki nilai hematokrit 52-60 7o datmasa simpan 42 hari. Sediaan ini bukan merupakan sumber trombosit dan granulosit, namun memiliki kemampuan oksigenasisdperti darah lengkap.
dengan 5 hari. Pada darah segar trombosit, faktor pembekuan labil (V V[I) masih cukup untuk terjadinya pembekuan sedangkan darah baru kadar 2,3 difosfogliserat (2,3 DPG) suatu molekul yang mempermudah pelepasan oksigen dari hemoglobin mulai menurun.
lndikasi Sel darah merah pekat ini digunakan untuk meningkatkan
jumlah sel darah merah pada pasien yang menunjukkan gejala anemia,yang hanya memerlukan massa sel darah merah pembawa oksigen saja misalnya pada pasien
lndikasi
dengan gagal ginjal atau anemia karena keganasan.
Darah lengkap berguna untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan volum plasma dalam waktu yang bersamaan, misalnya pada perdarahan aktif dengan kehilangan darah lebih dari 25-307o volum darah total.
Pemberian unit
Namun demikian, pemberian darah lengkap pada keadaan tersebut hendaklah tidak menjadi pilihan utama, karena pemulihan segera volum darah pasierr jauh lebih penting
dari pada penggantian sel darah merah, sedangkan menyiapkan darah untuk tranfusi memerlukan waktu.
Kontraindikasi Darah lengkap sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan anemia kronik yang normovolemik atau yang bertujuan meningkatkan sel darah merah.
ini disesuaikan dengan kondisi klinis pasien bukan pada nilai Hb atau hematrokit. Keuntungannya adalah perbaikan oksigenasi dan jumlah eritrosit tanpa menambah beban volume seperti pasien anemia dengan gagal jantung.
Kontraindikasi Dapat menyebabkan hipervolemia jika diberikan dalam jumlah banyak dalam waktu singkat.
Dosis dan Cara Pemberian Pada orang dewasa, 1 unit sel darah merah pekat akan meningkatkan Hb sekitar 1 g/dl atau hematokrit3-4?o.
Dosis tergantung keadaan klinis pasien. Pada orang
ini harus melalui filter darah standar (170 tt). Hematokrit yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya hiperviskositas dan menyebabkan kecepatan tranfusi menurun sehingga
dewasa, 1 unit darah lengkap akan meningkatkan Hb sekitar 1 g/dl atau hematoktit3-47o. Pada anak-anak darah lengkap 8 ml/kg akan meningkatkan Hb sekitar 1 g/dl. Pemberian darah lengkap sebaiknya melalui filter darah
untuk mengatasinya maka diberikan salin normal 50100 ml sebagai pencampur sediaan sel darah merah dalam CPD atau CPDA-l tetapi harus hati hati karena dapat terjadi kelebihan beban.
Dosis dan Cara Pemberian
Pemberian sel darah
rtg2 SEL DABAH MERAH PEKAT DENGAN SEDIKIT LEUKOSIT (PACKED BED BLOOD CELL
HEMANOI.OGI
lndikasi Pada orang dewasa komponen
ini dipakai untuk mencegah
LEUCOCYTES REDUCEDI
reaksi alergi yang berat atau alergi yang berulang, dapat
Setiap unit sel darah merah pekat mengandung 1-3 x 10e
intrauteri.
lekosit. Americqn Association of Blooil Bank Standard for Tranfusion Services menetapkan bahwa sel darah merah yang disebut dengan sedikit lekositjika kandungan leukositnya kurang dari 5 x 106 leukosit/unit. Sel darah ini dapat diperoleh dengan cara pemutaran, pencucian sel
pula digunakan pada tranfusi neonatal atau tranfusi
Perhatian Hati hati terhadap kontaminasi bakteri akibat cara pembuatannya secara terbuka, masih dapat menularkan hepatitis dan infeksi bakteri lainnya. Karena masih
degliserolisasi sel darah merah yang disimpan beku.
mengandung sejumlah kecil leukosit yang viable, komponen ini tidak menjamin pencegahan terjadinya
Karena pada pembuatannya ada sel darah merah yang
GVHD
darah merah dengan garam fisiologis, dengan filtrasi atau
atau
infeksi CMV pasca tranfusi'
hilang, maka kandungan sel darah merah kurang dibandingkan dengan sel darah merah pekat biasa. Suhu simpan 10-60 Celcius, sedang masa simpan tergantung pada cara pembuatannya Bila pemisahan leukosit dilakukan dengan memakai kantong ganda (sistem tertutup) masa simpannya sama dengan darah lengkap asalnya, tapi bila dengan pencucian/filtrasi (sistem terbuka) produk ini harus dipakai secepatnya (dalam 24 jam).
Dosis dan Cara Pemberian Sebaiknya semuaproses tranfusi melalui filter darah tanpa kecuali.
SEL DARAH MERAH PEKAT BEKU YANG DICUCI
(PACKED RED BLOOD CELL FROZEN,PACKED RED BLOOD CELL DEGLYCEROLTZED)
lndikasi Produk ini dipakai untuk meningkatkan jumlah sel darah merah pada pasien yang sering mendapat/tergantung pada
tranfusi darah dan pada mereka yang sering mendapat reaksi tranfusi panas yang berulang dan reaksi alergi yang disebabkan oleh protein plasma atau antibodi lekosit.
Perhatian Komponen sel darah ini tidak dapat mencegah terjadinya graft versus host disease (GVHD ), sehingga komponen darah yang dapat diandalkan untuk mencegah hal itu ialah bila komponen darah tersebut diradiasi.
Sel darah merah beku ini dibuat dengan penambahan gliserol suatu sediaan krioprotektif terhadap darah yang usianya kurang dari 6 hari. Darah ini kemudian dibekukan pada suhu minus 650atau minus 2000 Celcius (tergantung
sediaan gliserol) dan dapat disimpan selama I0 tahun' Karena pada proses penyimpanan beku, pencairan dan
pencuciannya ada sel darah merah yang hilang maka kandungan sel darah merah minim al80Vo dari jumlah sel darah merah pekat asal, demikian pula hematokrit kurang
lebih 70-80%. Proses pencucian dapat menggunakan larutan glukosa dan salin. Suhu simpan 10-60 Celcius
dan tidak boleh digunakan lebih dari 24 iam
karena proses pencucian biasanya memakai sistem
Dosis dan Cara Pemberian
terbuka.
Pemberian komponen sel darah ini paling baik di berikan dengan menggunakan filter darah generasi
lndikasi
ketiga.
Dapat dipakai untuk menyimpan darah langka.
SEL DARAH MERAH PEKAT CUCI (PACKED BED
BLOOD CELLWASHED) Sel darah merah yang dicuci dengan normal salin memiliki hematokrit 7O-80 7o dengan volum 180 mL. Pencucian dengan salin membuang hampir seluruh
Perhatian Risiko terjadinya kontaminasi bakteri dapat terjadi karena sistem terbuka yang dipakai di mana dapat menularkan hepatitis namun tidak untuk Citomegalo virus (CMV)
Dosis dan Cara Pemberian
plasma (98 Eo), menurunkan konsentrasi leukosit, dan trombosit serta debris. Karena pembuatannya biasanya dilakukan dengan sistem terbuka maka komponen ini hanya dapat disimpan dalam24 jam dalam suhu 1-60
Pemberian komponen darah ini melalui filter darah dan sediaan ini memiliki massa eritrosit yang rendah karena
Celcius.
pembuatan.
banyak sel darah yang hilang selama proses
1L93
DARAH DAIY KOMPTONEN: KOMPOSISI, INDII(ASI DAN CARA PEMBERJAN
TROM BOSIT PE KAT ( CO NCENTRATE P LATELETq
dan antigen lainnya serta dapat terjadi refrakter yang ditandai dengan tidak adanya peningkatan trombosit.
Berisi trombosit, beberapa lekosit dan sel darah merah serta plasma. Trombosit pekat ini dapat diperoleh dengan cara pemutaran (sentrifugasi) darah lengkap segar atau
Pemberian terlalu cepat dapat menyebabkan kelebihan beban, serta penularan penyakrt dapat terjadi seperti halnya
dengan cara tromboferesis. Satu kantong trombosit pekat yang berasal dari 450 mL darah lengkap dari seorang donor
berisi kira kira 5,5 x 1010 trombosit dengan volum sekitar 50 mL. Satu kantong trombosit pekat yang diperoleh dengan cara tromboferesis seorang donor darah berisi sekitar 3 x l0rr trombosit, setara dengan 6 kantong
trombosit yang berasal dari donor darah biasa. Tergantung dari jenis mesin yang dipakai, volumberkisar antara 150-400 mL. Produk ini memungkinkan tranfusi
trombosit yang cocok pada pasien dengan antibodi terhadap trombosit. Trombosit pekat ini dapat disimpan pada suhu 200-244 Celcius dengan kantong darah biasa yang diletakkan pada rotator/agitator yang selalu berputar/bergoyang, trombosit dapat disimpan selama 3 hari, sedangkan dengan kantong
tranfusi komponen lain.
Dosis dan Cara Pemberian Dosis yang biasanya digunakan pada perdarahan yang disebabkan karena trombositopenia adalah 1 unit/10 kg BB, biasanya diperlukan 5-7 unit pada orang dewasa. Satu kantong trombosit pekat yang berasal dari 450 ml darah lengkap diperkirakan dapat menaikkan jumlah trombosit sebanyak 9000-
CCI = ( Post tx plt ct ) - ( Pre tx plt ct ) x BSA ( Plt transfused x 1011 )
trombosit dapat disimpan selama 5 hari. Produk ini daya
viability
pasca
tranfusinya lebih baik. Pada suhu 10-60Celcius trombosit
dapat disimpan selama 3 hari. Produk ini fungsi hemostatiknya lebih baik namun viability pasca
ini
tranfusinya kurang.
lndikasi Trombosit pekat ini diindikasikan pada kasus perdarahan
karena trombositopenia (trombosit <50.000/uL) atau trombositopati kongenital/didapat. Juga diindikasikan pada mereka selama operasi atau prosedur invasif dengan trombosit <50.000/uL. Profilaksis diberikan pada semua
kasus dengan trombosit 5-10.000 uL yang berhubungan dengan hipoplasi sumsum tulang akibat kemoterapi, invasi
tumor atau aplasia primer sumsum tulang. Produk ini ditranfusikan intravena dengan memakai saringan/filter darah standar. Sebaiknya diberikan trombosit pekat yang sama golongan ABO nya dengan pasien.
. . .
Post tx: pascatransfusi Pre tx: pratransfusi BSA: body surface area (htas permukaan tubuh).
Keberhasilan tranfusi trombosit dapat dipantau dengan menghitung jumlah trombosit (CCI ) 1 jam pasca tranfusi dimana CCI >7,5-10 x l}efi' atau CCI >4,5 x 10e/L yang diperiksa 1 8-24 jam pasca transfusi.
TROMBOSTT DENGAN SEDIKIT LEUKOSIT LETS LEU KOCYTES REDUCEDI
Kontraindikasi dan Perhatian dengan destruksi trombosit yang cepat seperti: ITP, TTP dan KID dan tranfusi biasanya dilakukan hanya pada
adanya perdarahan yang aktif. Pasien dengan trombositopenia yang disebabkan oleh sepsis atau hipersplenisme biasanya refrakter terhadap tranfusi trombosit.
Menggigil, panas dan reaksi alergi dapat terjadi pada tranfusi trombosit. Antipiretik yang dipilih sebaiknya bukan golongan aspirin karena dapat menghambat agregasi dan fungsi trombosit. Tranfusi berulang dari trombosit dapat menyebabkan aloimunisasi terhadap HLA
(PtArE-
Trombosit berisi leukosit sekitar 0.5-1 x 10s/unit trombosit, sedangkan trombosit dengan sedikit leukosit mengandung
leukosit hanya 8.3 x 105/unit.
lndikasi Trombosit jenis
Tranfusi trombosit biasanya tidak efektif pada pasien
.000/ul / m2luas permukaan tubuh; pada
memakairumus:
darah khusus dengan cara penyimpanan yang sama
hemostatiknya kurang, sedangkan
11
dewasa dengan berat badan 70 kg diperkirakan dapat menaikkan 5000- 10.000/ul. Penghitungan peningkatan jumlah trombosit yang dikoreksi (Corrected Count Increment = CCI) dapat dapat dihitung lebih akurat dengan
ini dipergunakan untuk
pencegahan
terjadinya alloimunisasi HLA terutama padapasien yang harus menerima kemoterapi jangka panjang.
Kontraindikasi dan Perhatian Meskipun sediaan ini dapat meniadakan reaksi febris pada pasien yang mengalami aloimunisasi terhadap HLA antigen, penggunaannya tidak dapat mempercepat terjadinya pemulihan jumlah trombosit. Untuk mendapatkan hasil yang baik sebaiknya dilakukan uji cocok serasi. Terjadinya reaksi tranfusi pada sediaan ini dihubungkan dengan lamanya penyimpanan akibat dilepaskannya sitokin sitokin seperti IL-I,IL-6,IL-8 dan TNF alfa yang dilepaskan leukosit selama penyimpanan.
ttg4
HEMANOIOGI
Dosis dan Cara Pemberian Penggunaannya dengan menggunakan filter/saringan khusus trombosit dengan sedikit lekosit.
GRANULOSIT FERESTS (GBANULOCYTES PHEBESTS)
Diperoleh dengan cara sitaferesis dari donor tunggal, berisi granulosit, limfosit, trombosit beberapa sel darah merah dan sedikit plasma. Setiap unit mengandung sekitar 1.0 x 1010 granulosit, sejumlah limfosit, trombosit,
25-50 ml sel darah merah, dan mungkin sedikit hidroksietil starch ( HES ),dengan volum 200-300 ml. Suhu simpan dari sediaan ini20-24"C dan harus segera
dari donor, disimpan pada suhu simpan minus 18'C atau lebih rendah dengan masa simpan I tahun. Volume sekitar 200-250m1.
lndikasi Plasma segar beku dipakai untuk pasien dengan gangguan proses pembekuan bila tidak tersedia faktor pembekuan pekat atau kriopresipitat, misalnya pada defisiensi faktor pembekuan multipel antara lain: penyakit hati, KID, TTP, dan dilusi koagulopati akibat transfusi rnasif.
Kontraindikasi dan Perhatian Plasma sebaiknya tidak digunakan untuk mempertahankan
ekspansi volum karena risiko penularan penyakit yang
ditransfusikan.
tinggi. Albumin, fraksi protein plasma, koloid, atau kristaloid yang tidak menularkan penyakit merupakan
lndikasi
produk yang lebih aman untuk mempertahankan volum
Komponen
ini dipakai untuk
meningkatkan jumlah
darah.
granulosit pada pasien sepsis dengan leukopenia yang
tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian antibiotik,dan pada pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan hipoplasi.
Kontraindikasi dan Perhatian Terapi antibiotik yang tepat atau penggunaan faktor
pertumbuhan hematopoietik mungkin lebih efektif dibandingkan dengan tranfusi granulosit. Efek samping yang mungkin terjadi seperti urtikaria, menggigil, demam, tidak merupakan indikasi untuk menghentikan transfusi ,
namun kecepatan tranfusi harus diperlambat. Untuk
Dosis dan Cara Pemberian Produk ini diberikan dalam 6jam setelah pencairan, dengan
memakai saringan/filter standar. Plasma harus cocok golongan ABO-nya dengan sel darah merah pasien dan tidak perlu uji silang. Jika plasma diberikan sebagai pengganti faktor koagulasi dosisnya adalah 10-20 ml/kg (4-6 unit untuk orang dewasa) dapat meningkatkan faktor koagulasi 20-307o, dapat pula meningkatkan faktorYllf 2Vo
(1unit/kg).
Efek samping yang terjadi dapat berupa menggigil, demam dan hipervolemia.
memperkecil kemungkinan terjadinya efek samping dapat
diberikan antihistamin dan steroid sebelum transfusi. Risiko penularan terhadap CMV dapat terjadi demikian pula untuk dapat terjadinya GVHD.
KRIOPRESIPITAT FAKTOB ANTI HEMOFILIK (c RY O P B E C t P |TAT E D AHFI Kriopresipitat AHF adalah konsentrat plasma protein
Dosis dan Cara Pemberian nya dengan darah pasien. Belum ada kesepakatan
tertentu, dibuat dengan mencairkan plasma segar beku pada suhu 4" C selama 12-14 jam atau pada circulating waterbath4"C selama 75 menit dan kemudian memisahkan komponen yang masih berpresipitasi pada suhu tersebut
mengenai dosis dan lamanya transfusi leukosit ini, namun
dengan cara pemutaran. Komponen yang masih
paling sedikit 4 hari pemberian transfusi ini baru
berpresipitasi tersebut adalah kriopresipitat. Suhu simpan adalah minus 18'C atau lebih rendah dengan lama simpan 1 tahun dengan volum sekitar 10-15 ml. Kriopresipitat ini berisi faktor VIII 80- 120 unit, 150-250 mg fibrinogen, sekitar 40-707o faktor Von Willebrand, 20-
Transfusi diberikan menggunakan saringan darah standar, dan harus cocok serasi sistem golongan ABO-
memperlihatkan hasil.
PLASMA SEGAR BEKU (FRESH FROZEN PLASMA = FFP)
307o
faktorXIII.
Plasma digunakan untuk mengganti kekurangan faktor
lndikasi
koagulasi. Plasma segar beku ini berisi plasma, semua faktor pembekuan stabil danlabil, komplemen dan protein plasma.
Kriopresipitat digunakan pada pasien dengan kekurangan
Plasma ini dipisahkan dari darah lengkap yang kemudian dibekukan dalam waktu 8 jam setelah pengambilan darah
VIII (Hemofilia A) bila F VIII pekat tidak tersedia, kekurangan F XIII, kekurangan fibrinogen dan untukpasien penyakit Von Willebrand. F
r.195
DARATI DAN KOMFONEN: KOMPOSISI. INDII(ASI DAN CARA PEMBERIAN
Kontraindikasi dan Perhatian Kriopresipitat tidak diberikan pada pasien yang tidak defisiensi faktor-faktor tersebut di atas.
Dosis dan Cara Pemberian Sebelum dipakai, kriopresipitat harus dicairkan terlebih
dahulu dengan menempatkannya dalam waterbath bersuhu 30-31'C. Komponen ini harus diberikan pada pasien dalam waktu 6 jam setelah pencairan atat 4 jam setelah pooling. Plasma yang diberikan hendaknya
Kontraindikasi dan Perhatian Dosis tinggi pemberian konsentrat F
VIII
dengan
kemurnian menengah dapat meningkatkan fibrinogen secara bermakna. Direct antiglobulin tes (DAT) atau hemolisis dapat terjadi karena adanya anti A atau anti B. Reaksi yang tidak diharapkan meliputi malaise, panas, mual, dan menggigil. Pada kemurnian yang tinggi, konsentrat F
VIII lebih jarang menimbulkan efek samping.
Dosis dan Cara Pemberian VIII koagulan digunakan dengan
sama golongan ABO nya dengan sel darah merah pasien,
Banyaknya aktivitas F
uji silang tidak perlu dilakukan, dan diberikan
mempergunakan International Units (IU). Satu IU adalah jumlah aktivitas F VIII koagulan dalam I mL plasma normal. Dosis permulaan untuk mencapai kadar 30-l00Vo dihitung dengan rumus:
dengan
saringan/filter standar. Dosis untuk hipofibrinogenemia adalah 10 kantong pada orang dewasa dengan berat badan 70 kg, sedang dosis pada anak anak adalah 1 kantong/10 kg dapat meningkatkan fibrinogen 60-100 mg/dl. Pada pasien Hemofilia A 1 kantong kriopresipitat yang mengandung 100 unit F VIII, 1 kantong/6 kg dapat meningkatkan F VIII 357o.Efek samping yang mungkin terjadi adalah reaksi alergi dan demam.
Plasma Volume (PV mL) = 40 mukg x BB (kg)
F Vlll yang diinginkan (unit) = 100
KONSENTRAT FAKTOR coNcENTRATq
Vlll (FACTOR Vttt Cara lain adalah: tiap unit F VIIVkgBB akan meningkatkan
27o(0.02tu/nn) dapat dibuat dari plasma manusia atau diproduksi melalui teknologi rekombinan. Konsentrat faktor VIII ini dibuat dengan proses fraksinasi dari plasma
Pemberiannya dapat melalui infus dengan menggunakan saringan/filter darah standar atau dengan jarum suntik dengan filter yang telah tersedia bersama
yang dikumpulkan dan dibekukan segera setelah
sediaannya.
Konsentrat faktor
VIII
pengambilan darah. Semua produk dibuat steril, stabil, mumi dan beku kering. Berbagai proses dipakai untuk mendapatkan F VIII yang bebas dari virus dan menurunkan risiko penularan infeksi misalnya dengan proses pasteurisasi atau memakai cairan pelarut tri(n-butil) fosfat. Sediaan ini memiliki volume yang sedikit. Produk yang tersedia dapat diklasifikasikan atas sediaan konsentrat F VtrI dengan kemumian menengah, kemumian tinggi atau bebas imunoafinitas. Konsentrat F VIII dengan kemurnian menengah memiliki l-l}Vo dari total protein terdiri dari fibrinogen dan beberapa protein lainnya. Produk yang paling mumi dibuat melalui kromatografi imunoahnitas dengan
menggunakan antibodi monoklonal. Kemurniannya mencapai lebih dari 90% sebelum ditambah albumin yang dipakai sebagai stabilisator. Faktor VIII yang dibuat dari kultur sel mamalia melalui rekombinan DNA juga sudah tersedia secara luas.
lndikasi VIII diindikasikan untuk pengobatan atau pencegahan perdarahan pada Hemofilia A dengan defisiensi F VIII sedang sampai berat atau pasien dengan Konsentrat F
inhibitor F VIII titer rendah yang kadarnya tidak lebih dari -5- I 0 Bethesda units/ml.
KONSENTRAT FAKTOR lX (FACTOR tX coNcENTRATEq Dua konsentrat F IX sekarang tersedia sebagai hasil rekombinan. Sediaan ini steril, stabil dan kering beku sebagai hasil dari fraksinasi plasma yang dikumpulkan. Kompleks F IX merupakan sediaan yang mengandung selain F IX juga sejumlah F II,
V[,
X dan beberapa protein. Selama pembuatan konsentrat ini beberapa aktivasi dari faktor koagulasi dapat terjadi. Isi dari F VII dalam beberapa produk agak bervariasi. Jumlah masing masing faktor yang terkandung dalam sediaan ini biasanya tertera pada label botol tapi paling banyak mengandung 1-5 IU F IX/mg protein. Hal sebaliknya dengan kompleks F IX, F IX koagulasi merupakan sediaan murni yang mengandung sedikit F II,
F VII dan F X. Sediaan ini dibuat dengan metode kromatografi atau antibodi monoklonal sehingga mengurangi terjadinya trombogenik. Kira kira 20-307o dart produk ini adalah F IX dimana sediaan ini mengandung 50 dan 200 IU F DUmg protein. Konsentrat F D( dibuat dengan
heat treated solvent/ detergent treated dengan teknik rekombinan untuk menurunkan risiko hepatitis, HIV dan infeksi virus lainnya.
1t96
HEM'TIOT.OGI
lndikasi
Indikasi
Konsentrat F IX ini digunakan untuk mengobati pasien dengan defisiensi F IX yang dikenal sebagai hemofilia B. Pasien dengan inhibitor dapat diobati dengan kompleks konsentrat F IX, yang mengandung bypass aktivitas inhibitor F VIII.
Albumin digunakan untuk meningkatkan volume sirkulasi,/ resusitasi misalnya pada pasien luka bakar, pasien pada keadaan hipovolemia dan hipoproteinemia misalnya pasien
dengan syok, pada sindrom nefrotik. atau untuk meningkatkan protein plasma.
Kontraindikasi dan Perhatian
Kontraindikasi dan Perhatian
Kompleks F IX sebaiknya diberikan dengan hati hati pada pasien yang mempunyai penyakit hati. Terdapat laporan terjadinya trombosis dan DIC pada adanya defisiensi anti trombin khususnya pada pasien dengan penyakit hati. Etiologi komplikasi ini mungkin berhubungan dengan
Larutan albumin 25 Vo tidakboleh diberikan pada pasien dengan dehidrasi dan hanya dapat diencerkan dengan salin normal dan dekstrosa 57o.
penurunan bersihan hati, mengakibatkan akumulasi faktor koagulasi tersebut. Konsentrat F IX koagulasi tampaknya lebih kurang trombogenik dibandingkan dengan kompleks F D(. Efek samping dari kompleks F D( bila diberikan secara cepat adalah menggigil, demam, nyeri kepala,nausea dan flushing.Pemberian cepat dari F IX koagulasi adalah reaksi
Albumin dan fraksi protein plasma tidak memerlukan filter dalam pemberiannya. Pengobatan hipotensi dengan albumin hendaklah disesuaikan dengan hemodinamik pasien. Dosis 500 mL (10-20 ml/kg pada anak anak) diberikan
Yasomotor.
Dosis dan Cara Pemberian I unit F IX setara dengan 1 ml plasma manusia.
Dosis yang diberikan tergantung gejala klinis dan kebutuhan
pasien. Sejumlah konsentrat F IX diinfuskan dengan rumus seperti menghitung penggunaan dosis F VIII, namun secara in vivo hanya sekitar 50 Vo yang dipakai karena distribusi ke ekstravaskular. Jadi setiap unit F IX yang diinfuskan per kg BB akan meningkatkan 17o F
Dosis dan Cara Pemberian
secara cepat untuk mengatasi syok. Pada pasien luka bakar dosis albumin atau fraksi plasma protein diberikan dalam dosis tertentu untuik mempertahankan kadar protein plasma 5 .2 gl il, atailebih tinggi . Albumin tidak dapat memperbaiki hipoalbuminemia kronik dan tidak digunakan untukjangka panjang.
TMUNOGLOBU LrN (IMMU N E GLOBU
LtN
Imunoglobulin biasanya dibuat melalui proses fraksinasi dengan etanol dingin dari plasma yang dikumpulkan. Berisi
imunoglobulin G (IgG) dengan sedikit IgA dan IgM. Terdapat dua sediaan yakni intramuskular (IMIG) dan
D(.
intravena (fVIG). Pada sediaan inffamuskular (IM), produk
ALBUMIN DAN FRAKSI PROTEIN PLASMA
ini
(ALBUMIN AND PT.ASMA PROTEIN FRACTIOM
pemberiannya diperlukan wakttr 4-7 hari untuk mencapai kadar puncak dalam plasma, dosis maksimum yang dapat diberikan dibatasi oleh massa otot dan pada pemberiannya menyebabkan nyeri . Sediaan IM saat ini diberikan hanya
Albumin merupakan derivat plasma yang diperoleh dari darah lengkap atau plasmaferesis, terdiri dai967o albumin dan 47o globulin dan beberapa protein lain yang dibuat dengan proses fraksinasi alkohol dingin. Derivat ini kemudian dipanaskan 60o C selama 10 jam sehingga bebas
virus.
mempunyai beberapa kelemahan yaitu pada
untuk profilaksis. Sediaan ini merupakan larutan steril dengan konsentrasi protein kurang lebih 16.5 g/dl.
Sediaan intravena gammaglobulin (MG)
meminimalisasi kelemahan dari pemberian intramuskular.
Fraksi protein plasma adalah produk yang sama dengan
Produk IVIG cepat mencapai puncak plasma begitu
albumin hanya dalam pemurniannya lebih kurang
diinfuskan. Waktu paruh dari IMIG dan IVIG bervariasi
dibandingkan dengan albumin dalam proses fraksinasi. Fraksi protein plasma ini mengandungS3Vo albumin dan 177o globulin. Albumin yang tersedia adalah larutan 257o dan 57o, sementara fraksi protein plasma yang tersedia adalah larutan 5Vo.Tiap sediaan mengandung natrium 145 mmol/
antara I 8-32 hari.
L
(145 mEq/L). Larutan albumin 5%, osmotik dan
onkotiknya sama dengan plasma sedangkan larutan albumin257o osmotik dan onkotiknya lima kali lebih besar dari plasma. Albumin memiliki waktu paruh 16 jam dan dapat disimpan lebih dari 5 tahun pada suhu 2-10" C.
lndikasi Preparat Imunoglobulin dapat digunakan untuk profilaksis
antibodi secara pasif pada orang yang rentan terhadap penyakit-penyakit tertentu dan sebagai terapi pengganti pada orang dengan imunodefisiensi primer (misalnya Sindrom WiskottAldrich). IVIG dapat digunakan sebagai
imunomodulator pada pasien-pasien dengan kelainan autoimun misalnya ITP akut dan ITP kronik pada anak
anak dan dewasa. Dapat pula digunakan untuk
Lt97
DARAH DAN KOMPONEN: KOMP'OSISI, INDIKASiI DAN CARAPEMBERIAN
trombositopenia pada HIV, purpura pasca transfusi dan sindrom Guillan Barre .Juga untuk pengobatan infeksi serta profilaksis GVHD pada pasien penerima cangkok sumsum tulang.
penuh
IM RhIG dapat diberikan. Dosis penuh juga
dianj urkan setelah dilakukan amniosentesis. Pasca persalinan, semua perempuan dengan (Rh) D negatif yang melahirkan bayi dengan D positif diberi 300 ug RhIG
Kontraindikasi dan Perhatian
secara IM atau 120 ug secara IV. Pemberian hendaknya dilakukan dal am 7 2 jam setelah melahirkan.
Orang dengan riwayat defisiensi Ig A (dengan anti Ig A) atau terjadinya'reaksi anafilaksis berat terhadap plasma sebaiknya jangan diberikan sediaan ini. Sediaan IM jangan
REFERENSI
diberikan secara IV karena mengandung agregat immuglobulin yang dapat mengaktifkan komplemen sefia sistim kinin yang dapat menyebabkan reaksi anafilaktik. Reaksi yang tidak diinginkan lainnya dari pemberian imunoglobulin adalah nyeri kepala, menggigil, kepala terasa ringan, demam, nyeri punggung, terasa panas dan mual.
Dosis dan Cara Pemberian Tergantung indikasi, karakter pasien serla sediaan yang digunakan (IM,IV). . ITP dan penyakit autoimun lainnya: IV 400mg/kg/hr selama 2-5 hari atau 0.8-1.0 g/kgftrr selamaT-2hai.
.
. . . .
Defisiensiimunoglobulinkongenital:
-
IM:0.7mllkg/bulan IV:200-800mg/kg/bulan.
Profilaksis hepatitis A: IM 0.02-0.04 mllkg. Hepatitis B: 0.06 ml/kg IM diulang satu bulan Varicella zooster: I vial (2.5 mL)/10 kg (maks 5 vial) IM dibenkan dalam7 2 lampasca paparan. Virus citomegalo: - Profilaksis: 100-150mg/kg
-
Pengobatan infeksi: 200 mg&g
(IV)
RH IMMUNEGLOBULIN
American Association of Blood Banks. Blood component therapy: a physician's handbook 6'h edition Bethesda; 1999 Boshkov LK. Platelet trurfusion. In: Goodnight SH, Hathaway WE, editors. Disorders of hemostasis and tlrombosis: a clinical guide. 2"dedition. New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p.489 94. Friedman ,KD, Menitove, JE. Preparation and clinical use of plasma and plasma fractions. In: Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, et al, editors. Williams hematology. 6'h edition. New York: Mc Craw Hill; 2001. p. 1917. Goodnight SH, Hathaway WE Plasma. Disorders of hemostasis and
thrombosis: a clinical guide 2"dedition. New York: The Mc Graw Hill Co; 2001 p. zl95-500. Goodnight SH, Hathaway WE. Cryoprecipitate. Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide. 2"d edition. New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p. 501 4. Goodnight SH, Hathaway WE. Coagulation factor concentrates. Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide. 2'd edition. New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p.505-16. Goodnight SH, Hathaway WE. Intravenous immunoglobulin. Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide. 2"dedition. New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p.523-1 .
Kruskall MS, Mandell BF. General principles of the use of intravenous immune globulin. In: Up To Date, Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004 Kruskall. Use of intravenous immune globulin in hematologic disorders. ln: UpToDate, Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004. Ljungman P. Risk of CMV transmission by blood product to immunocompromised patiens and means for reducrion Br J
Haematol. 2004:125
RhIG dibuat dari plasma yang dikumpulkan dan mengandung IgG anti D. Terdapat 2 sediaan yaitu intra muskular (IM) dan intravena (IV). Sediaan IV dosis 120 ug dan 300 ug telah disetujui oleh FDA untuk supresi imun terhadap antigen D dan untuk pengobatan ITP. Sediaan IM yang tersedia adalah dosis 300 ug dan 50 ug. Dosis 300 ug RhIG baik fV maupun IM akan melindungi efek imun lebih dari 15 m1 darah dengan D positif. Semua sediaan ini aman dari transmisi penyakit infeksi dan virus dan dipakai untuk mencegah terjadinya penyakit hemolitik pada bayi baru lahir yang disebabkan oleh antigen Rh (D).
lndikasi dan Dosis Sebelum persalinan, untuk perempian dengan (Rh) D negatif, 50 ug IM RhIG dapat melindungi terjadinya aborsi atau terminasi kehamilan ektopik yang terjadi dalam 12 minggu kehamilan. Setelah 12 minggu kehamilan, dosis
: 101
.
Mollison PL, Engelfriet CP, Conlreras M. The tranfusion of platelets, leukocytes, haemopoietic cells and plasma component. In: Mollison PL, Engelfriet CP, Contreras M, editors. Blood tranfusion in clinical medicine. 10'h edition. USA: Blackwell Science; 1991. p. 459-86. Murphy S What so bad about old platelets? Transfusion 2002;433.
Pamphilon D Viral inactivation of fresh frozen plasma. Br Haematol. 2000; 109:680
J
Secord A, Goldfinger D MD. Clinical and laboratory aspects of platelet
tranfusion therapy. In: UpToDate, Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004. Seftel, Growe GH, Petraszko T, et al. Universal prestorage leukoreduction in Canada decreased platelet alloimmunization and refractoriness. Blood. 2004:103:333. Silvergleid Al. Tranfusion of plasma components. In: UpToDate, Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004. Silvergleid AJ. Preparation of blood component. In: UpToDate. Rose BD, Wellesley MA, editors 2004. Wallas
CH Use of red blood cells. In: UpToDate,
MA, editors.
2004.
Rose BD, Wellesley
190 PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH M. Tamtoro Harmono
PENDAHULUAN
pada eritrosit, leukosit, trombosit dan protein plasma. Bila
resipien mendapat transfusi yang mengandung antigen
Sejak diterimanya transfusi sebagai cara pengobatan,
tersebut maka akan terjadi pembentukan antibodi sehingga kelak bila mendapat tranfusi dapat terjadi reaksi mediasi
pengertian bahwa darah mengalir di dalam sistem sirkulasi
dan ruang intravaskular dapat diisi cairan dari luar tubuh,perkembanganya lambat. Trasfusi itu sendiri
imunologi,misalnya reaksi hemolitik karena ketidakcocokan eritrosit, panas atau reaksi pulmonal yang disebabkan oleh antigen leukosit atau trombosit, alergi atau reaksi anafrlaksis yang disebabkan antibodi yang bereaksi dengan antigen terlarut di dalam bahan transfusi, biasanya protein plasma.
dikerjakan pertama kali pada tahun 1667. Kemudian selama perang dunia pertama dan sesudahnya, barulah transfusi sebagai alat pengobatan berkembang pesat. Pengertian adanya perbedaan genetik antar individu, yang diungkapkan oleh Landsteiner merupakan hal yang penting. Pengembangan antikoagulan,pengawetan dan
Komplikasi dapat di golongkan menurut:
teknik pengerjaan yang steril, memungkinkan
Komplikasilmunologi
.
pengumpulan dan penyimpanan darah untuk diberikan dikemudian hari. Perkembangan teknik terus berkembang kususnya dibidang penggunaan komponen dan fraksi darah donor,perbaikan cara skrining donor,pengembangan inaktivasi kuman patogen, perkembangan mecing (matching) imunologi produk darah donor dengan resipien (penerima darah), pengembangan produk rekombinan, jadilah transfusi medis (transfusion medicine) menjadi suatu spesialisasi di bidang hematologi.Adanya epidemi acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan penularan infeksi oleh bahan infeksius lain menyebabkan terjadinya revolusi kemajuan di bidang transfusi medis.
. . . . . . .
Aloimunisasi: antigen eritrosit, antigen HLA Antigen trombosit Antigen netrofil
-
Protein plasma Reaksi transfusi hemolitik : segera, terlunda (delaye$ Reaksi febris transfusi Kerusakan paru akut karena transfusi Reaksi transfusi alergi Purpura pasca transfusi Pengaruh imunosupresi Penyakit graft versus host
Komplikasi Non Imunologi . Kelebihan (overloafi volum . Transfusi masif: metabolik, hipotermi, pengenceran,
KOMPLIKASITRANSFUSI
. .
Potensi komplikasi transfusi darah itu banyak,tapi pada saat
ini masalah komplikasi hanya terdapat pada pasien yang
mikroembolisasi paru
Lainnya: plasticizer,hemosiderosis transfusi Infeksi: Hepatitis A,B,C ,delta dan lainya; Human immunodeficiency virus-7| -2; Human T lymphotropic
sejumlah darah yang banyak. Reaksi imunologi ini
virus-Il-II; Virus sitomegalo; Virus Epstein Barr; Kontaminasi bakteri; Sifilis; Parasit malaria,
disebabkan oleh rangsangan aloantigen asing yang terdapat
babesiosis, tripanosoma; organisme lain
perlu berulang-ulang mendapat transfusi atau memerlukan
1198
1
PENCEGAHAN DAI\ PENAI\GANAN KOMPLIKASII TRANSFUSI DARAH
KOMPLIKASI IMUNOLOGI
Aloimunisasi kepada Antigen Transfusi Aloantibodi bereaksi terhadap antigen eritrosit, sedikit saja
resipien dengan multitranfusi berkembang menjadi aloantibodi eritrosit. Umumnya terdapat pada mereka yang telah menerima sekitar 10 kali transfusi, biasanya antibodi terhadap sistem Rh, Kell (K), lalu Duffy (Fy),dan Kid (Jk).
Aloantibodi bereaksi terhadap antigen leukosit, terdapat pada resipien yang ditrasnfusi 2 leukosit dan trombosit, umumnya mereka ini wanita multipara dengan
multi transfusi. Aloantibodi terhadap protein plasma, misalnya reaksi anafilaksis disebabkan karena adanya anti-IgA antibodi.
Reaksi Transfusi Hemolitik Berkembangnya antibodi yang dapat bereaksi dengan
antigen eritrosit menyebabkan perusakan eritrosit, biasanya eritrosit donor. Klinis dapat berat,mengancam kehidupan atau ringan saja. Hemolisis segera terjadi di dalam sirkulasi, yang lambat terjadi di sistem retikulo endotelial. Umumnya terjadi karena kesalahan pencatatan dan 'ABO mismatching'. Dapat juga hemolisis terjadi pada darah resipien, bila plasma yang ditransfusikan mengandung antibodi. Reaksi transfusi hemolitik segera. Gejala dan keluhan transfusi hemolitik segera, terjadi segera sesudah darah yang tidak cocok dilakukan. Klinis kebanyakan berupa timbulnya panas, dapat dengan menggigil. Dapat juga dengan cemas, nyeri dada atau punggung, sesak napas, takikardia dan hipotensi. Keadaan mengancam kehidupan
pada adanya gagal ginjal akut, syok, dan koagulasi intravaskular. Reaksi hemolisis segera ini terjadi pada: 600.000 transfusi eritrosit, kematian menhgkathingga 447o bila darah transfusi meningkat mencapai 1 L. Patogenesis kelainan ini dimulai dengan interaksi
ar'tara antibodi dan membran sel eritrosit yang mengembang menjadi terbentuknya kompleks imun, aktivasi kaskade komplemen, mekanisme koagulasi lewat sitokin dan faktor XII. Mediator vasomotor disini yaitu histamin, serotonin dan sitokin. Renjatan terjadi karena pelepasan bahan vasoaktif. Gagal ginjal dipikirkan karena
iskemia disebabkan oleh kombinasi hipotensi, vasokonstriksi dan koagulasi intravaskular. Penanganan, transfusi harus segera dihentikan begitu dicurigai adanya reaksi hemolisis. Contoh darah pasca transfusi dan sisa darah dalam kantung dikirim ke bank darah (PMI) untuk diteliti penyebab terjadinya reaksi hemolisis. Beratnya reaksi berhubungan dengan volume eritrosit yang dimasukkan, walau hanya 30 cc darah yang tidak cocok mungkin mematikan. Semua reaksi yang berat memerlukan lebih dari 200cc darah donor. Hidrasi harus dimulai segera untuk mencegah gagal ginjal. Diberikan
199
infus garam fisiologis untuk memelihara tekanan darah dan meningkatkan air kencing agar mencapai 10Occ/jam. Manitol atau furosemid dapat digunakan untuk memelihara
terbentuknya kencing.
Bila terjadi oliguri karena gagal ginjal cairan
harus
dibatasi. Obat vasoaktif seperti dopamin mungkin efektif mengatasi hipotensi dan gangguan perfusi ginjal. Sekali
terbentuk gagal ginjal pengobatan suportif termasuk pembatasan cairan, memelihara kesetimbangan elektrolit dan dialisis diperlukan. Koagulopati mungkin memerlukan penanganan khusus. Pemberian heparin awal disarankan
dengan dosis moderat, bila tidak ada kontraindikasi khusus, tapi penggunaannya masih kontroversial. Pada reaksi transfusi hemolitik intravaskular yang berat mungkin
diperlukan' exchange transfusion'. Pemeriksaan pada reaksi transfusi segera. Langkahlangkah berikut harus dilakukan: Identitas pasien harus ditegaskan, semua catatan tentang pasien dan label darah donor harus diperiksa untuk menentukan adanya kesalahan pencatatan. Darah pasien harus diambil lagi, dikirim ke bank darah. Darah pasca transfusi harus dilihat adanya hemolisis. Harus diperinci kemungkinan adanya aloantibodi. Tes direk antiglobulin harus dilakukan pada saat reaksi hemolisis
terjadi. Bila tes positif darah pretransfusi jug?'harus diperiksa untuk melihat pasien mungkin mempunyai direk
antiglobulin. Pemeriksaarr 'typing ' eritrosit harus dilanjutkan. Bila sistem ABO dan Rh pasca transfusi tidak cocok dengan pratransfusi maka ada kesalahan identifikasi pasien atau ryping. Pasien dengan reaksi transfusi hemolitik mayor harus dinilai untuk kemungkinan adarrya koagulasi intravaskular dan fungsi ginjal harus dimonitor. Urin hemosiderin atau hemoglobin bebas di dalam urin harus juga
diperiksa, adanya urin berwama anggur khas pada hemolisis intravaskular. Pencegahan. Semua reaksi transfusi hemolitik segera dapat dicegah. Hampir semua sebabnya karena kesalahan manusia, misalnya kesalahan memberi label pada contoh darah pasien. Prosedur memastikan identifikasi pasien,
contoh darah atau komponen transfusi harus benar penempatannya.
Reaksi transfusi hemolitik tertunda. Biasanya lebih ringan dari yang segera dan terjadinya perusakan eritrosit terutama ekstravaskular. Terjadi pada 2-10 hari sesudah transfusi,antibodi eritrosit pratransfusi tidak ditemukan. Tes direk antiglobulin sering positif tapi reaksinya hanya sementara, tes dapat kembali negatif bila eritrosit yang tak cocok disingkirkan dari sirkulasi. Reaksi ini umumnya bersifat sekunder, terjadi sesudah
kemasukan antigen eritrosit, respons terbentuknya antibodi lambat, puncak reaksi tercapainya juga lambat. Pada reaksi transfusi hemolitik lambat ini, perusakan eritrosit donor terjadi ekstravaskular, di mana eritrosit yang terbungkus IgG dihilangkan di sistem retikulo endotelial.
t200
Pemeriksaan yang harus dilakukan disini,bila pasien dicurigai kemungkinan terjadinya hemolitik lambat, darah segar diambil untuk pemeriksaan antibodi direk. Bila positif, dokter harus memberi tahu dan memberi karlu identitas yang menunjukkan adanya antibodi. Penanganan. Umumnya tidak ada terapi khusus. tapi pasien yang dengan reaksi berat diusahakan dilakukan hidrasi.
Febris Non Reaksi Transfusi Hemolitik Terjadi pada 0,5-37o pasien yang diberikan transfusi, umumnya pada yang sudah dengan multipel transfusi. Gambaran khas berupa menggigil lalu diikuti panas, terjadi umumnya dalam waktu beberapa jam sesudah transfusi.
Pening,mual muntah dapat terjadi. Kadang reaksinya dapat berat, termasuk dengan keluhan pulmonal, tapi umumnya realisi ini ringan Reaksi ini disebabkan oleh aloimunisasi terhadap antigen leukosit dan trombosit. Sebab lain yaitu transfusi sitokin, yang berkembang di dalam trombosit asal darah segar (whole blood) yang disirnpan pada suhu kamar. Kemungkinan adanya kontaminasi bakteri pada reaksi ini harus diperlimbangkan. Pendekatan menangani febris ini harus berdasar atas pengertian pada hal yang mendasarinya.Bila terjadi reaksi panas ini maka transfusi harus dihentikan. Kemungkinan adanya reaksi hemolitik harus dipertimbangkan. Darah
donor dan contoh serum pasien harus dikirim ke bank darah. Dapat diberikan antipiretik dan hidrokortison. Pencegahan. sebaiknya diberikan darah dengan penguran gan jumlah leukosit.
HEMIIiIOI.OGI
Reaksi Transfusi Alergi Reaksi alergi pada donor sering terjadi dengan angka kejadian sekitar 1-37o, mungkin lebih tinggi lagi karena tak dilaporkan. Gambaran berupa urtikaria, 'skin rashes' ,' spasme bronkus, angio edema sampai renjatan anafilaksis. Untunglah kejadian renjatan anafilaksis transfusi yang berat sangat rendah, karena reaksi ini dapat mengancam kehidupan. Semua reaksi alergi ini dipikirkan diperantarai oleh IgE resipien terhadap protein atau bahan terlarut di dalam plasma donor, interaksi antara antigen dengan IgE merangsang dikeluarkanya antihistamin dari sel mast dan
basofil.
Untuk pasien yang dengan riwayat alergi berulang, dapat diberi antihistamin sebagai pencegahan. Bila dengan
antihistamin alergi tak terkontrol sebaiknya plasma dikurangi atau diberi eritrosit yang sudah dicuci.Pada reaksi anafilaksis berat,adanya antibodi terhadap IgA donor hendaknya diperhitungkan. Reaksi ini dicegah dengan eritrosit yang dicuci.
Purpura Pasca Transfusi
Ini
merupakan pengembangan trombositopeni yang
mengancam kehidupan, terjadi pada hari ke 5-10 sesudah transfusi. Ini disebabkan oleh berkembangnya aloantibodi
yang ditujukan kepada antigen khusus trombosit. Kebanyakan pasien didahului oleh kehamilan atau transfusi. Terapi kortikosteroid mungkin bermanfaat.
lmunomodulasi yang Berhubungan dengan Transfusi Transfusi darah alogenik tidak hanya berarti memberikan
Kerusakan Paru Akut karena Transfusi Umumnya berupa 'respiratory distress' berat yang tibatiba, disebabkan oleh sindrom edema pulmonal non kardiogenik, mirip 'adult respiratory distress sl,rtclrome' . Menggigil, panas, nyeri dada, hipotensi dan sianosis,
sebagaimana umumnya edema paru, mungkin ada. Radiologis nampak edema paru. Reaksi dapat terjadi dalam beberapa jam selama transfusi. Pada awalnya mungkin berat, umumnya akan mereda dalam 48-95 jam dengan bantuan pernapasan, tanpa gejala sisa. Reaksi ini lebihjarang daripadafebris, dengan angkakejadian 1 dalam 5000 tanfusi. Ini disebabkan transfusi antibodi di dalam plasma donor, yang bereaksi dengan granulosit
resipien. Diduga aglutinasi granulosit dan aktivasi komplemen terjadi dalam jaringan vaskular paru, menyebabkan endotel kapiler rusak sehingga terjadi kebocoran cairan kedalam alveoli. Penanganan dengan tindakan mengatasi edema paru
dan hipoksia, termasuk bantuan pernapasan bila diperlukan. Dosis tinggi kortikosteroid mungkin
menguntungkan, karena menghambat agregasi granulosit. Umumnya donor berasal dari perempuan multipara.
eritrosit,tapi juga sejumlah efektor sel imun, produk sitokin, dan berbagai bahan, yang dapat dikenali sistem kekebalan
resipien sebagai antigen asing. Substansi yang rnemodulasi sistem kekebalan host oleh bahan yang ditranslhsikan, meningkatkan kemun gkinan sindrom klinis yang umumnya dikenali dengan transfusion-related itnmunomodulation. Keuntungan dari imunomodulasi transfusi ada juga misal pada cangkok ginjal,hasilnya lebih baik bila sebelum operasi dilakukan transfusi lebih dulu, tapi bagaimana prosesnya tidak diketahui. Tapi umumnya dikatakan imunomodulasi transfusi ini banyak merugikan, misalnya kambuh kankernya atau infeksinya sesudah transfusi.
Penyakit Donor Cangkok Versus Host Semua sel darah mengandung 'immunocompetent T lymphocyte' , bila ditransfusikan ke resipien yang non imunokompeten,maka sel limtbsit T ini akan memperbanyak diri, dan menyebabkan reaksi penolakan donor transplan (reaksi penolakan). Reaksi penolakan biasanya berupa
diikuti'rash' kulit berupa eritema, makulopapula mulai dari sentral ke tepi (tubuh ke anggauta). Gangguan faal hati, nausea, diare berdarah. Leukopeni diikuti
panas,
r20t
PENCEGAHAN DAII PENANGANAT{ KOMPLII(ASiI TRANSFUSI DARAH
pansitopeni karena kegagalan sumsum tulang. Umumnya terjadi reaksi penolakan pada 2-3 minggu semenjak adanya keluhan yang pertama. Diagnosis berdasar gambaran
Plasticizer. Bila kantong plastik dibuat dari PVC yang mengandung 'phthalate' , bahan ini lipofilik maka dapat iarut kedalam cairan darah tergantung kepada suhu dan
ini
klinis, ditegakkan dengan biopsi kulit. Pengobatan
waktu penyimpanan. Bahan
dilakukan dengan pemberian kortrikosteroid, globulin anti timosit, siklosporin dan' growthfacror', tapi hasilnya tidak memuaskan.
keracunan, maka kantong plastik diganti dengan bahan lain. Hemosiderosis transfusi, terjadi karena transfusi yang berul ang ulang, misalnya anemia kronik karena kegagalan sumsum tulang. Tiap kantong darah mengandung besi
KOMPLIKASI NON IMUNOLOGI
sekrtar 0,25g.
Kelebihan Cairan Transfusi eritrosit atau plasma dapat menyebabkan kelebihan cairan di dalam sirkulasi. Pada anemia berat terjadi ekspansi volume sehingga volum cairan normal,maka pada anemia dengan gagal
jantung, transfusi harus hati-hati karena dapat menyebabkan edema paru yang berakibat fatal. Pada orang tua transfusi diberikan dengan ritme 2 ml darah/kg berat badan/jam.
KOMPLIKASI INFEKSI PADA TRANSFUSI DARAH
Sekilas Tentang Skrining Darah Donor untuk Penyakit lnfeksi Di tahun 1960, hepatitis karena transfusi mencapai30To pada pasien dengan multipel transfusi. Setelah dilakukan tes HbsAg bagi donor maka kejadian hepatitis B sangat menurun, tapi hepatitis C tidak. Kemudian diawal tahun 1980 terdapat tantangan baru sehubungan dengan
Transfusi Masif Pengaruh metabolik, komposisi darah yang disimpan lain dengan darah di dalam sirkulasi, bila sejumlah besar darah
simpanan diberikan dengan cepat maka
memungkinkan
ion
K
menyebabkan risiko pada pasien dengan gagal ginjal, syok
dengan asidosis, atau pada hemolisis. Adanya sitrat sebagai antikoagulan dapat menyebabkan hipokalsemia.
Hipotermia. Hipotermia terjadi bila sejumlah besar darah yang dingin diinfuskan. Anak dan orang tua sensitif akan hal ini. Pada pasien berat, denga transfusi masif ini dapat mengalami asidosis, hipoksemia, hipotermia, hipokalsemi, dan hipo atau hiperkalemia dapat terjadi, dengan risiko aritmiajantung. Pengaruh pengenceran. Transfusi dengan sejumlah besar
produk darah menyebabkan pengenceran trombosit dan faktor koagulasi yang labil. Sejumlah pasien dengan
munculnya penyakitAIDS, untuk ini dilakukan peme.riksaan antibodi HBc dan sel T donor untuk menurunkan risiko tertular AIDS lewat transfusi.
Selanjutnya kemajuan pemeriksaan donor untuk mencegah penularan AIDS dan hepatitis C dicapai pada tahun 1992 diAS, seterusnya komplikasi infeksi ini sangat menurun, Penyakit infeksi yang diperiksa untuk donor (di AS) ialah: Hepatitis B HbsAg,IgM dan IgG untuk HBc antigen Hepatitis C IgG untuk hepatitis C peptid Asam nukleat virus hepatitis C
HIY
-lr2
IgMdanIgGanIiHIY-ll-2 Asam nukleat IIN-I/-2
HTLV-Y-tr IgGantiHTLV-V-tr
Sipilis
IgM dan IgG
pada treponema antigen, atau
reaktivitas serologi non treponemal (rapid
sepsis, renjatan dan koagulasi intravaskular dapat memberat
plasma reagin).
dengan pengaruh transfusi ini.
Mikroagregat dan mikroembolisasi paru. Selama penyimpanan eritrosit, terbentuk agregat y algterdiri dari
Hepatitis karena Transfusi Sebelum pemeriksaan serologi dapat menentukan sebab
trombosit, leukosit dan fibrin. Semua produk darah disaring dengan saringan berlubang 170 um, tapi alat ini tidak dapat
hepatitis pada transfusi, semua hepatitis
menghilangkan mikroagregat, lalu disaring dengan saringan yang lubangnya 40 um. Seorang dengan
30Vo dari hepatitis tadi merupakan Hepatitis B, Selanjutnya dapat disingkirkan hepatitis virus A, CMV (cyto megalo virus), dan EBV (Epstein Barr virus) sebagai penyebab hepatitis pada transt'usi. Pada tahun
transfusi sejumlah besar darah simpanan lalu mengalami sindrom disfungsi pulmonal dengan hipoksia, dipikirkan karena tersebarnya obstruksi mikrovaskular karena mikroagregat,
ini
disebut
serum hepatitis. Setelah tes HbsAg ditemukan,diketahui
1988, ditemukan penyebab hepatitis NANB (non A non
jika wadah yang dipakai sebagai tempat darah
B) ialah virus hepatitis C. Sesudah tahun 1992, tes virus hepatitis C yang diperbaiki tersedia, sehingga kemudian hepatitis karena transfusi yang semua
berupa gelas (botol), tapi setelah yang dipakai plastik maka
marker tes serologi-nya negatif, disebut hepatitis non
ini terhindarkan.
ABC.
Lain-lain. Dapat saja komplikasi berupa emboli terutama
udara,
t202
HEM/TffOLOGI
Virus Hepatits B Virus ini merupakan DNA virus,dengan bungkus lipoprotein, padanya terdapat HbsAg, dan 'inner cor'l
positip untuk petanda virus (VHA
inti. Inti ini berisi DNA, DNA polimerase, protein kinase, dan di ekspresikan dengan antigenik determinan sebagai
diketahui sebagian besar hepatitis NANB memang disebabkan virus ini, VHC. Sekarang diketahui virus ini merupakan bungkus lipid RNA virus, termasuk famili Flaviviridae. Setengah kasus hepatitis C di AS karena
'hepatitis B core' (HBc) antigen. Virus utuh dapat diperlihatkan dengan mikroskop elektron sebagai benda dengan bungkus dobel berukuran 42 nm. Bungkus virus, HbsAg, di dalam serum dapat diidentifikasi dengan metode serologi. Di dalam sirkulasi, HbsAg ini dapat utuh sebagai virion atau tidak lengkap sebagai partikel 'sphere' dan tubulus. Hepatitis B ini ditularkan oleh orang yang sakit
jarum suntik (pecandu), setengahnya lagi tidak diketahui. Transmisi secara seksual diduga berperan, tapi dalam
jangka panjang sedikit saja penularan lewat hubungan seksual. Begitu juga penularan perinatal sangat rendah. Separuh dari pasien tertular karena suntikan, setengahnya
hepatitis B akut atau yang mengidap HbsAg, lewat
lagi tidak diketahui cara penularanya. Enam Efiih-ll%o
parenteral, hubungan seksual, atau pada perinatal dari ibu yang infeksius kepada bayinya. Masa inkubasi antara 1-6 bulan. Hanya sekitar 25-407o pasien hepatitis B dengan jindis, infeksi fulminan (berat) dengan resiko kematian menimpa sekirar 0,2-0,57oSemua pasien mengalami hepatitis
pasien asimptomatik, sepuluh-duapuluh persen
sub
klinis sementara,yang hanya diketahui dengan
pemeriksaan laboratorium. Sering dinyatakan infeksi pada dewasa sekitar 5-107o menjadi karier kronik,kini diduga yang menjadi kronik lebih rendah lagi, yaitu 77o.Dari l7o in\,sekitar 257o dapat berkembang menj adi hepatitis kronik, setelah bertahun-tahun dapat sembuh atau menjadi sirosis
hepatis yang fatal ataupun menjadi karsinoma hepatoselular. Setelah l2 minggu dari awal serangan, umumnya HbsAg menghilang, anti HBs muncul. Pasien yang menjadi kronik biasanya dengan HbsAg yang tinggi dan anti HBc positip, tapi anti HBs tidak.Hepatitis Be antigen (HbeAg) berhubungan dengan 'core subcomponen', merupakan protein yang larut tapi tak berhubungan
dengan struktur yang dapat dilihat, keberadaanya
keluhannya nonspesifik, yang hanya terdapat pada 20307o kasus. Pasien imunokompromiais dapat berkembang menjadi berat, hepatitis fulminan jarang. Hanya 767o-257o pasien virus hilang, sisanya menjadi infeksi kronik, dalam 20-30 tahun sekitar 10-207o menjadi sirosis hepatis, 5% menjadi karsinoma hepatoselular. Pengobatan dengan interferon dan ribavirin menekan virus pada beberapa pasien, tapi hanya minoritas saja yang dengan terus tanpa virus (sustained response). Skriningdonor. Antr IIBc dan SGOT(AST) harus dilakukan untuk menurunkan transmisi hepatitis NANB.Ditahun 1990 tes anti HCV mulai tersedia, namun kurang sensitif, pada tahun 1992 dibuat generasi kedua dengan peptide yang mewakili 'core' dan regioNS3 sehingga sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi, seterusnya dikembangkan antibodi tes versi 3, namun dipandang kurang bermanfaat. Setelah ditemukanya anti HCV maka tes AST untuk donor tak diperlukan lagi.
berhubungan dengan kadar virus yang tinggi, mempunyai
arti adanya infeksi sekarang atau masih berlangsung infeksinya dan bersifat infeksius. HbeAg ini menghilang dari serum mendalui HbsAg, lalu diikuti munculnya anti Hbe. Semua orang dengan HbsAg harus dianggap infeksius, walau dengan bervariasi tingkatannya. tapi adanya HbeAg positip berarti dengan tingkat infeksius yang tlnggr.
Skrining donor untuk hepatitis B. Dengan ditemukannya HbsAg dan tes sera yang dikembangkan, maka penurunan angka kejadian penularan lewat transfusi sangat dramatis. Sisa infeksius disebabkan oleh menghilangya HbsAg, tapi
membentuk antiHBc, bukanya anti HNs, kini dengan
Virus Hepatitis
D Virus ini mempunyai struktur hibrid,terdin dari antigen HBs tertutup sedikit genom RNA yang tidak komplit sehingga tak dapat berlahan hidup tanpa bantuan fungsi virus B. Hanya terdapat bila bersama hepatitis B. Darah transfusi yang mengandung VHD menyebabkan
seorang karier HbsAg yang benigna menjadi hepatitis fulminan atau penyakit hati berat yang progresif. Karena VHD hanya dapat ditularkan bila ada VHB, maka adanya seromarker VHB harus disingkirkan.
Virus Hepatitis A
ditemukanya reaksi rantai polimerase Qtolymerase chain reaction) yang sangat peka, pasien demikian ditemukan IIBV DNA di dalam serumnya. Kasus demikian di AS diduga
Dalam praktek transfusi,transmisi hepatitis A ini tidak meyakinkan. Darah dapat mengandung VHA bila diambil
terdapat pada lper 50000 kasus.
pada saat viremia fase asimtomatik.
Virus Hepatitis
Virus Hepatitis
C Virus ini diduga menyebabkan9}To kasus hepatitis NANB. Sebelum ditemukan sebabnya hepatitis NANB didasarkan
Menular secar a'
pada kenaikan serum transaminase tanpa reaksi yang
transfusi.
E
w at e r b o rne', menyebar seperti VHA,tidak bersifat kronik, maka tidak berisiko ditularkan lewat
t203
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KOMPLIKASiI TRANSFUSI DARAH
Pada orang dewasa normal gambaran klinis dapat mulai
Hepatitis Non-A-B Sepuluh persen Hepatitis NANB tidak termasuk hepatitis C, dengan penelitian virus tersebut,virus G SEN dan TT. Transmisi lewat transfusi relatif sering, tapi bagaimanapun kini tak terbukti virus ini menyebabkan hepatitis.
Virus Human lmmunodeficiency Tipe 1 Dan
2
HIV merupakan retrovirus, dengan RNA dibungkus lipid,
dan 'reverse transkipstase', bagian imunitas ada dibungkus darr protein core. Penularan lewat parenteral (transfusi), seksual dan perinatal, dari ibu ke anak. Sesudah
2-3 minggu terpajan virus, pasien menderita seperti influenza akut atau penyakit mirip mononukleosis. Penyakit memasuki masa laten tapi virus terus berkembang biak. Fase asimtomatik ini mencapai l0 tahun, lalu CD4 T
cell menjadi tertekan, pasien berkembang menjadi imunodefisien berat sehingga mendapat infeksi oportunis yang berat, neoplasma atau keduanya dan meninggal.
Pengobatan dengan
'highly active anti retroviral
therapy', secara dramatis menurunkan morbiditas dan mortalitas di AS.
Virus Human T Lymphotropic I Dan li V HTL L merupakan retrovirus manusia yang
pertama
ditemukan di tahun 1978 pada lifoma sel T orang dewasa, V HTL II merupakan retrovirus, ditemukan pada tahun 1982 pada pasien dengan lekemi 'hairy sel'. Kedua virus ini menginfeksi limfosit, berlangsung selama hidup. Virus HTL I dihubungkan dengan lekemia sel T dewasa atau limfoma
dan kelainan nerologi HTLV I associated myelopathy (HAM) atat tropical spastic paraparesis (TSP). Infeksi V HTL I endemik di Jepang, Karia, Brazil, Melanesia dan Afrika. Menular lewat hubungan seks, menyusui, dan pemakaian jarum bersama. Pada transfusi penularan lewat koponen sel dara, tapi tidak dari kompnen plasma yang didinginkan, Limfoma sel T dewasa muncul pada usia 40-60, menggambarkan adanya masa infeksi laten
yang lama sebelum serangan klinisnya muncul. Pada keadaan transfusi, HAM atau TSP dapat muncul dalam waktu beberapa bulan atau tahun pasca transfusi.
Skrining donor. Tes donor,dengan memeriksa antibodi pada V HTL I,tersedia ditahun 1988, ditahun 1997 FDA menginginkan tes untuk antibodi pada V HTL II. Kemudian yang dites hanya IgG dengan periodejendela agak lama, 5 t hari, perkiraan infeksi lewat transfusi sebesar I per 428
dari tanpa keluhan sampai sindrom
seperti
mononuleosis.Pada pasien dengan imunodefisiensi reaksi primer atau reaktivasi berupa trombositopeni, anemia hemolitik, penmonitis, kolitis, hepatitis, meningoensefalitis dan meninggal. Obat antivirus yang efektif telah tersedia.
Kasus pertama infeksi virus Sitomegalo dilaporkan
yahun 1960, pada pasien operasi jantung terbuka yang, memerlukan banyak darah segar. Gambaran berupa adanya
sindrom panas dengan rash, limadenopati dan splenomegali, yang dihubungkan dengan limfositosis atipik 8-12 minggu sesudah pembedahan. Keadaan ini kemudian dehnitif disebabkan oleh virus Sitomegalo. Sekarang ini insidens tertular virus Sitomegalo sangat secara serologis
rendah dengan mengunakan komponen darah yang disimpan pada pasien dengan status imunologi normal. Sitomegalo ini hanya ditularkan lewat komponen selular
darah, penularan dapat sangat ditekan dengan cara mengurangi sejumlah besar leukosit.
Virus Esptein-barr Sembilan puluh persen darah donor mempunyai antibodi terhadap v irus Ep s t e in - B a r r, kar er'a infeksi berhub un gan dengan leukosit maka nampaknya akan aman dengan menggunakan darah yang leukositnya dikurangi.
Parvovirus B
19
Virus ini merupakan virus DNAkecil tanpa bungkus,sangat
kebal terhadap pengolahan fisik untuk menonaktifkan. Infeksi seringpadaanakumur 15 tahun. Sekitar50To anak telah punya antibodi.Virus menyebarterutama lewat traktus
respiratorius. Penyakit dengan gambaran berupa eritema infeksiosum dan poliartropati. Pada orang normal virus B I 9 ini menyebabkan penghentian akut produksi eritrosit yang sembuh dengan sendirinya dalam 4-8 hari. Pada pasien yang dengan destruksi eritrosit, hal ini dapat menyebabkan krisis aplastik akut. Pada pasien dengan imunodefisien, dapat menimbulkan anemia kronik yang mungkin reversibel dengan pemberian imunoglobulin dari luar. DNA Bl9 kebanyakan terdeteksi di dalam, pooled plasma producr', dimana B 19 ini resisten terhadap proses inaktivasi virus, misalnya dengan pemberian larutan deterjen dan pemanasan; untuk menghindari ini dipakai cara menghilangkan plasma yang mengandung banyak
titerDNAB
19.
000unit.
lnfeksi yang Disebarkan Artropoda
Virus Sitomegalo Virus ini merupakan virus DNA dari keluarga virus herpes. dipikirkan menyebar lewat sekret mulut,dan kontak seksual. Dapat juga menular transplasenta, lewat darah transfusi dan organ donor. Sesudah dengan gejala infeksi dapat
bersifat laten, kemudian dapat mengalami reaktivasi.
Malaria merupakan penyakit infeksi giobal namun di AS penularan secara transfusi jarang. Donor yang melewati daerah endemi, setahun tahun tidak boleh menjadi donor, 3 tahun bila pernah tingal di daerah endemik. Babesiosis, infeksi disebabkan protozoa, menginfeksi eritrosit, disebarkan oleh kutu, keluhan mulai dari tak ada
t204
keluhan sampai yang ringan seperti influenza atau malaria, dengan anemia hemolitik, diobati dengan kinin atau klindamisin. Infeksi ini jarang yang fatal. Penyakit Lyme, disebabkan oleh Borrelia burgdorferi, tak ada catatan tentang penyakit ini pada penularan karena
HEMIIiTOI.OGI
Kontaminasi Bakteri Kontaminasi merupakan penyebab mayor fatalitas pada
transfusi. Sumber kontaminasi ini, kantong, donor bakteremia asimtomatik, pembersihan kulit tidak adekuat, Transfusi trombosit yang disimpan pada suhu kamar lebih
transfusi.
sering menimbulkan febris dibanding eritrosit yang
Tripanosoma cruzi, protozoa yang menyebabkan penyakit Chaga,ditularkan oleh kutu busuk. Infeksi akut umumnya hilang sendiri tapi dapat juga menyebabkan
didinginkan.
transfusi eritrosit antara lain yersinia, pseudomonas,
miokarditis, meningoensefalitis dan dapat fatal pada pasien dengan imunokompromais. Virus ll'esrMle, merupakan flavivirus, disebarkan oleh
termasuk stafilokokus, streptokokus, klebsila, dan salmonela. Keluhan dapat berupa seperti febris non
gigitan nyamuk, umumnya menyebabkan panas,yang berat dapat dengan meningitis, ensefalitis atau paralisis flusid, yang berat mungkin fatal. Virus ini dapat ditularkan lewat
transfusi.
Penularan Encefalopati Spongioform Penyakit Creutzfeld t-Jakob dan variannya. Penyakit infeksi ini progresif dan fatal,menyerang saraf pusat,disebabkan oleh agen yang disebut prion. Di Inggris.diketahui spongiform atau prion ini menyerang sapi sehingga disebut mad cow disease', dipikirkan orang yang terpapar oleh bahan dari sapi ini dapat terlular.
Organisme yang sering menimbulkan kontaminasi pada enterobakter. dan seratia. Pada trombosit lebih bervariasi
hemolitik sampai sepsis akut dengan panas, hipotensi dan kematian. Keluhan yang berat dihubungkan dengan mikro organisme dengan endotoksin. Pengobatan sama seperti pada sepsis karena organisme lain yang sesuai
REFERENSI
al Transfusion medicine. In: Greer JP, et al, editor Wintrobe's clincal hematology 11'h edition. Vol l. Lippincot Wiliams & Wilkins: 2001 p. 831-82, WHO. Adverse effects of transfusion, in the clinicals use of blood in Ga1el SA, et
medicine, obstetric, paediatrics, surgery and anaesthesia, trauma and burn. Malta Geneva; 2001. p 126-52.
191 AFERESIS DONOR DAN TERAPEUTIK Ronald A. Hukom
PENDAHULUAN
mulai dipakainya interleukin dan lymphocyte activated killer dalam pengobatan kanker.
Aferesis dalam bidang Hematologi-Onkologi merupakan suatu tindakan pengambilan/pengumpulan komponen darah tertentu melalui penyandapan darah, dengan
mengembalikan komponen darah lainnya ke tubuh
Jenis tindakan pada aferesis dapat berupa cytaferesis (eritrositaferesis, lekaferesis, trombaferesis), plasmaferesis, dan prosedur transplantasi sel asal darah perifer (PBSCT). Tujuan utama tindakan aferesis adalah mengeluarkan
seseorang menggunakan alat separasi sel. Tujuan tindakan
hanya sebagian komponen darah, bisa berupa sel atau
aferesis ini adalah untuk mengambil sebagian komponen darah untuk diberikan pada orang lain (aferesis donor), atau mengurangi jumlah komponen darah yang berlebihan di dalam tubuh (aferesis terapeutik).
plasma saja. Alat yang digunakan memiliki plastik disposable sebagai saluran yang dilalui darah dan memakai antikoagulan yang mengandung sitrat atau kombinasi sitrat dan heparin, tanpa menimbulkan efek sistemik. Sebagian besar alat yang digunakan dapat dioperasikan pada aliran darah 30 - 80 ml/menit dengan melalui akses vena perifer atau kateter vena sentral multi-lumen. Di RS Kanker Dharmais, dalam periode 1997 - 2004 tercatat lebih dari 2100 tindakan aferesis (sekitar 300 kali setiap tahun), di mana lebih dai9)Vo prosedur aferesis ini merupakan aferesis donor (trombaferesis).
Tindakan mengambil, mencuci, dan mengembalikan darah telah dilakukan sejak tahun 1902 di Perancis pada pasien uremia. Kata aferesis sendiri berasal dari bahasa Yunani, apo dan hareisis, dengan arti keseluruhan adalah 'suatu proses mengambil dari sesuatu'. Hemaferesis terminologi yang sekarang lebih sering digunakan - berarli
pengambilan komponen tertentu dari darah dengan menggunakan alat cell separator. Plasmaferesis untuk keperluan terapeutik digunakan pefiama kali pada tahun 1952, sebagai usaha mengatasi hiperviskositas pada penderita mieloma multipel.
AFERESIS PADA PROSEDUR TRANSPLANTASI SEL ASAL DARAH TEPI
Walaupun mula - mula digunakan untuk tujuan terapi, dalam perkembangannya sekarang aferesis lebih penting
Transplantasi sumsum iltJang (bone marow transplan-
tation, BMT) dan transplantasi sel asal darah tepi Qteripheral blood stem cell transplantation, PBSCT)
lagi untuk memperoleh komponen darah bagi transfusi (Aferesis Donor). Cell separator digunakan mula - mula untuk memperoleh granulosit dan trombosit dari donor tunggal bagi pengobatan suportifpada pasien kanker yang dalam keadaan imunosupresi. Dengan perkembangan terakhir teknologi aferesis, pelayanan transfusi darah dapat lebih tepat memenuhi kebutuhan komponen darah (sel darah merah, trombosit, dan plasma) melalui penggunaan mesin aferesis donor multikomponen yang ada. Pada lekoferesis, sel yang dapat diambil saat ini termasuk lymphocyte killer cells, macrophage-monocyte cells, dan myeloid stem cells. Hal ini berlangsung sejalan dengan
merupakan prosedur pemulihan sel asal (stem cells) dalam tubuh pasien yang hancur sesudah kemoterapi dan latat radioterapi dosis tinggi. Sebagian besar sel asal hemopoietik ditemukan di sumsum tulang, tapi ada pula yang bisa ditemukan di darah tepi (PBSC), maupun dari
tali pusat (umbilical cord) bayi yang baru lahir. Transplantasi (BMT atau PBSCT) sekarang sudah banyak
digunakan dalam terapi kanker, di mana tindakan ini memungkinkan pasien menerima radioterapi danlatau kemoterapi dengan dosis sangat tinggi, sehingga bisa
t20
I206
HEI}TATIOI.OGI
didapatkan angka keberhasilan terapi yang lebih tinggi. Beberapa contoh indikasi transplantasi adalah pada
berbagai jenis kanker darah (leukemia, sindrom mielodisplastik, limfoma non Hodgkin, penyakit Hodgkin, mieloma multiple), beberapa kanker solid (misalnya neuroblastoma dan kanker payudara), maupun kelainan
terutama menyangkut sumber dari sel asal yang digunakan. Berbagai masalah ini terutama menyangkut sel asal yang diperoleh dari embrio (embryonic stem cells, ESC). Sel asal yang didapat dari sumber lain, misalnya dari sumsum tulang, darah tepi, darah tali pusat, plasenta, dan cairan amnion, ternyatajuga dapat
hematologi lain (misalnya anemia aplastik, anemia Fanconi,
digunakan untuk penyembuhan organ tubuh secara
irnunodefisiensi congenital).
alami. Penggunaan sel asal sistem hemopoietik (hematopoietic stem cells, HSC) sudah banyak dipelajari pada berbagai kasus yang bukan keganasan atau kelainan darah, misalnya pada kelainan kardiovaskuler (kasus
Transplantasi dapat dilakukan secara autologus (pasien menerima sel asal mereka sendiri yang diambil dan
disimpan sebelum terapi dosis tingginya), syngeneic (pasien menerima se1 asal dari saudara kembar identik), atau allogenik (pasien menerima sel asal dari saudara kandung, orang tua, maupun dari orang lain). Pada beberapa tipe leukemia, penggunaan transplantasi allogenik dapat menimbulkan efek g raft -v e rs us -tumor (GVT) yang menguntungkan, di mana sel darah putih donor mengidentifikasi sel kanker yang mungkin tersisa di tubuh pasien sebagai benda asing dan menghancurkannya.
infark jantung akut, penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh darah tepi) dan berbagai penyakit autoimun. Studi terapi sel asal inijuga telah dilakukan pada kasus
strok, trauma otak dan tulang belakang, diabetes, maupun penyakit Parkinson. Penggunaan sel asal darah tepi (peripheral blood stem cells, PBSC) untuk berbagai penyakit di atas, dan cara yang dipakai untuk mobilisasi PBSC (misalnya pemakaian G-CSF untuk 3 hari) menjadi tanggung jawab dokter ahli yang
Mesin aferesis digunakan pada PBCST untuk
bersangkutan. Setelah mendapat pemberitahuan, Unit
mengambil sel asal dari darah tepi (prosedur lekaferesis). Pada donor misalnya, dapat diberikan growthfactors (5
Aferesis akan menjadwalkan prosedur tindakan,
sebelum lekaferesis dilakukan, dengan tujuan memperoleh
memastikan bahwa pasien sudah mengerli semua hal yang berkaitan dengan tindakan pengambilan sel asal (aferesis) dan bersedia menjalani pemeriksaan mikrobiologi / virologi
jumlah sel asal yang lebih banyak di darah tepi (mobilisasi
(HBsAg, anti HCY anti
PBSC). Pada pasien yang menjalani transplantasi autologus, mobilisasi PBSC dapat dilakukan dengan
diperlukan. Biasanya ada pertemuan rutin (seminggu sekali)
mcg/kg rhG-CSF per hari subkutan) selama 4-5 hari
pemberian kemoterapi bersama growth factors, di mana rhG-CSF diberikan mulai hari 5 pasca kemoterapi sampai
mulai pengambilan PBSC (lzarvesting). Lekaferesis dilakukan pada hari 10 - 1 5 pasca kemoterapi, saat jumlah lekosit sudah minimal 2 jutalml. Prosedur lekaferesis diulang hari berikutnya sampai maksimal 5-6 kali, untuk memperoleh jumlah CD34 total minimal 2 jrftakg. Semua sampel darah yang diperoleh dari prosedur lekaferesis,
HIV syphilis, HTLV)
yang
antara dokter koordinator transplantasi, petugas Unit Aferesis, dokter ahli pemilik pasien yang akan menjalani terapi se1 asal, dan dokter laboratorium yang terkait. Pemeriksaan darah lengkap dan tingkat sel CD34 perlu dilakukan dengan ketat menjelang waktu pengambilan sel
asal yang ditentukan. Biasanya juga telah dilakukan pemeriksaan vena yang akan dipakai, yang harus cukup
besaruntukjarum 16G.
diproses dalam waktu 1 jam setelah diambil untuk penghitungan jumlah lekosit total dan analisis CD34 (dengan
flow
AFERESISTERAPEUTIK
cytomet ry).
Berbeda dari pengambilan sumsum tulang dalam prosedur BMT yang harus dilakukan di kamar operasi steril, pengambilan sel asal darah tepi (PBSCT) dengan mesin aferesis tidak memerlukan anestesi umum dan dapat
Aferesis terapeutik adalah pengambilan bahan patologik atau abnormal dari sirkulasi darah pasien dengan memakai mesin aferesis. Tindakan dapat berupa plasmaferesis, leukaferesis, eritroferesis, trombaferesis, dan
dilakukan di ruang rawat biasa, dengan efek samping yang terjadi biasanya minimal, misalnya pusing, menggigil, dan
immunoadsorption (pengambilan IgG darr plasma-
kesemutan.
Indikasi aferesis terapeutik selain kelainan hematologi dan onkologi adalah berbagai kelainan neurologi, misalnya acut e inflammat o ry de my elinatin g p o ly ne urop athy dan myasthenia gravis, kelainan metabolik, beberapa penyakit
TERAPI SEL ASAL (STEM CELLS THERAPN Kemungkinan pengobatan berbagai penyakit degeneratif menggunakan sel asal (stem cells) merupakan salah satu perkembangan dalam ilmu kedokteran yang saat ini mendapat perhatian besar. Kemajuan cara pengobatan ini juga diikuti berbagai masalah moral, etik, dan politis,
circulating immune complexe s).
autoimun dan rematologi. Satu contoh terakhir LDL (low-density lipoprotein) apheresis yang digunakan pada pasien
penggunaan mesin aferesis adalah
dengan kolesterol LDL tinggi yang persisten, atau kelainan
LDL genetik yang refrakter terhadap obat. Aferesis LDL dilakukan dua kali sebulan dan rnulai dikembangkan di
t207
AFERESIS DONOR DAN TERAPEUTIK
Jepang sekitar 30 tahun lalu, dan diakui FDA di Amerika Serikat pada tahun I 996.
Leukosit
Trombosil
Sickle cell dlsease Komplikasi akut Pencegahan rekurensl strok Nyeri berat + sering Malaria dengan hiperparasitemia Leukemia + hiperlekositosis Transplantasi sel asal (PBSC) Reumatoid artritis (dalam keadaan tertentu) Trombositemia simtomatik
Saat ini sebagian besar sitaferesis terapeutik ditujukan untuk keadaan trombositosis atau lekositosis berat pada lekemia akut / kronik dengan resiko pendarahan, ffombosis,
atau lekostasis paru dan otak. Beberapa belas lahw
ABO/Rhesus tidak cocok, atau reaksi silang cocok serasi (cross matching) memberi hasil positif; darah donor terbukti mengandung HbsAg/anti HCV/HIV/VDRL/malaria, berat badan kurang, usia anak-anak atau usia tua, menderita penyakit s erius ( antun gl p ant/ ginjal dan lainnya). Kontraindikasi prosedur aferesis terapeutik untuk seorang pasien adalah bila ada gangguan hemodinamik yang nyata, atau bila keadaan umum sudah tidak baik lagi. Pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler yang harus menjalani prosedur aferesis, perhitungan cairan pengganti yang cermat dan volume cairan extra-corporeal
yang tepat terbukti dapat mencegah gangguan hemodinamik. Bila plasma dipakai sebagai cairan pengganti, reaksi alergi sering terjadi walaupun hanya ringan dan sementara, tetapi karena resiko penularan hepatitis dan HIY umumnya lebih baik digunakan albumin 5 7o in saline sebagai cairan pengganti dari pada plasma.
terakhir ini lekoferesis dikaitkan pula dengan pengambilan
stem cells bagi imunoterapi eksperimental atau transplantasi sel asal (PBSCT).
MESIN AFERESIS Pengambilan komponen darah dengan mesin aferesis saat ini makin luas dilakukan, dengan mesin aferesis yang
Paraprotein
Metabolit toksis lmunologis
Sindrom hiperviskositas Kriog lobu linemia Penyakit cold agglutinin H iperkolesterolemia fa mil ial Sindrom Goodpasture Miastenia Gravis Sindrom Guillain - Barre Pemfigus nhibitor faktor koagulasi Purpura trombositopenia imun I
Vaskulitas Defisiensi faktor koagulasi
S.L E Glomerulonefritis mesangiokapiler Purpura trombositopenia tromboiik
jenisnya makin banyak tersedia. Di Amerika Serikat, trombaferesis biasa dikerjakan dengan Fenwal CS3000, FenwalAmicus, COBE (Gambro) Spectra, Gambro Trima Version 4, dar, Haemonetics LN9000. Granulosit dapat diambil misalnya dengan Fenwal CS3000, COBE (Gambro) Spectra, Haemonetics LN9000, dan Fresenius AS 104.
Sistem aferesis Spectra merupakan salah satu alat mutakhir untuk separasi dan pengambilan komponen darah dari donor atau pasien. Dari donor, produk darah diambil
untuk ditransfusikan pada pasien, sementara untuk prosedur terapeutik pada pasien digunakan untuk penukaran atau deplesi komponen darah. Selain itu sistem
Spectra
KOMPLIKASI AFERESIS Dalam pengawasan yang baik, prosedur aferesis adalah
tindakan yang aman. Komplikasi yang dapat terjadi berhubungan dengan vascular access, perubahan
homodinamik, problem mekanik berkaitan dengan instrumentasi, deplesi komponen sel dan plasma, reaksi terhadap cairan pengganti (termasuk antikoagulan), reaksi alergi, dan infeksi. Efek samping yang paling sering terjadi pada prosedur
aferesis adalah hipokalsemia, dengan gejala yang timbul berupa kesemutan bibir dan jari tangan, dada rasa tertekan,
dan pandangan gelap. Bila timbul gejala hipokalsemia, maka perlu diberikan suntikan kalsium sampai gej ala hilang. Kontraindikasi seseorang untuk menjadi donor aferesis
antara lain adalah bila calon donor memiliki nilai Hb/Ht, lekosit, trombosit, albumin di bawah normal; golongan
ini
dapat juga digunakan dalam pengambilan
granulosit dan sel mononukleus, termasuk untuk prosedur pengambilan sel asal darah perifer (PBSC). Sistem aferesis Spectra ini terdiri dari alat disposable (preconnected separation channel and blood tubing) dan
mesin aferesis. termasuk suatu alat Return Flow Controller. Di RS Kanker Dharmais, alat ini banyak digunakan pada prosedur tromboferesis dari donor tunggal untuk ditransfusikan pada pasien kanker dengan trombositopenia yang memerlukan transfusi multipel.
REFERENSI Burgstaler EA: Blood Component Collection by Apheresis. World Apheresis Association 10d Congress, 2004, U.S.A
Burt RK, Loh Y, Pearce W, et al: Clinical Applications of Blood-Derived and Manow-Derived Stem Cells for Nonmalignant Diseases. JAMA 2008, 299(8): 925-936.
1208
HEMIfiOIJOGI
COBE Spectra Apheresis System. Operator's Manual, 1993. Huaetis DW, Bove JR, and Case J : Practical Blood Transfusion. Little, Brown and Company - Boston/Toronto, 4 Th ed.,1988. Kang HJ, Lee Hl Na SH, et al: Differential Effect of Intracoronary Infusion of Mobilized Peripheral Blood Stem Cells by Granulocyte Colony-Stimulating Factor on Left Ventricular Function and Remodeling in Patients With Acute Myocardial Infarction Versus Old Myocardial Infarction. Circulation 2O06, 714 ll45-
Il5
1.
M, et al: Concunent Comparison of the Cobe Spectra and Fenwal CS3000 for the collection of Peripheral Blood Mononuclear Cells for Autologous Peripheral Stem Cell Transplantation. J Clin Apheresis 1991,6:'17-80. Reksodiputro AH, Djoerban Z, Hukom RA: Beberapa Permasalahan Utama pada Transplantasi Sumsum Tulang. Buku Naskah Lengkap Kongres Ahli Penyakit Dalam (KOPAPDI) 1990, Padley D, Strauss RG, Wieland
Jogjakarta.
r92 LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIS Heri Fadjari, Lugyanti Sukrisman
PENDAHULUAN Leukemia granulositik kronik (LGK) merupakan leukemia yang peftama ditemukan serta diketahui patogenesisnya. Tahun 1960 Nowell dan Hungerford menemukan kelainan kromosom yang selalu sama pada pasien LGK, yaifi22qatau hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom 22, yang saat ini kita kenal sebagai kromosom Philadelphia (Ph). Selanjutnya, di tahun 1973 Rowley menemukan bahwa kromosom Ph terbentuk akibat adanya translokasi resiprokal antara lengan panjang kromosom 9 dan22,lazimnya ditulis t(9;22)(q34;q11), seperti tampak pada Gambar 1. Dengan kemajuan di bidang biologi molekular, pada tahun 1980
-*-*-:4c:-Gambar 1. Kromosom Philadelphia Sumber: Laboratorium Sitogenetika Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
diketahui bahwa pada kromosom 22 yang mengalami pemendekan tadi, temyata didapatkan adanya gabungan
dan biasanya lebih progresif. Di Jepang kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, demikian juga di Rusia setelah reaktor atom
antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9 (9$0,
yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR (break cluster region) yang terletak di lengan panjang kromosom 22
Chernobil meledak.
(22qll'5. (Gambar 2) Gabungan kedua gen ini sering ditulis sebagai BCR-ABL, diduga kuat sebagai penyebab utama terjadinya kelainan proliferasi pada LGK. Secara klasifikasi, dahulu LGK termasuk golongan
TANDA DAN GEJALA KLINIK
penyakit mieloproliferatif, yang ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi kita dapat dengan mudah melihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit (bahkan mieloblas), meta mielosit, mielosit sampai granulosit.
Dalam perjalanan penyakitnya, LGK dibagi menjadi 3 fase, yakni: fase kronik, fase akselerasi dan fase krisis blas. Pada umumnya saat pefiama diagnosis ditegakkan, pasien masih
dalam fase kronis, bahkan sering kali dragnosis LGK ditemukan secara kebetulan, misalnya saat persiapan para operasi, dimana ditemukan leukositosis hebat tanpa gejala-
gejala infeksi. Pada fase kronis, pasien sering mengeluh pembesaran
INSIDENSI
limpa, atau merasa cepat kenyang akibat desakan limpa terhadap lambung. Kadang timbul nyeri seperti diremas di
Kejadian leukemia mielositik kronis mencapai20To dari semua leukemia pada dewasa, kedua terbanyak setelah leukemia limfositik kronik. Pada umumnya menyerang usia 40-50 tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda
perut kanan atas akibat. Keluhan lain sering tidak spesifik, misalnya: rasa cepat lelah, lemah badan, demam yang tidak terlalu tinggi, keringat malam. Penurunan berat badan terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Semua keluhan
120
t2t0
HEMAiNO!.OGI
tersebut merupakan gambaran hipermetabolisme akibat
proliferasi sel-sel leukemia. Apabila dibuat urutan berdasarkan keluhan yang diutarakan oleh pasien, maka seperti terlihat pada Tabel 1.
Keluhan
tahun 1980 diketahui bahwa translokasi ini menyebabkan pembentukan gen hibrid BCR-ABL pada kromosom 22 dan gen resiprokal ABL-BCR pada kromosom 9, seperti tampak pada
Gambar 2.
Frekuensi (%)
Splenomegali Lemah badan Penurunan berat badan Hepatomegali Keringat malam Cepat kenyang Perdarahan/pu rpura Nyeri perut (infark limpa) Demam
95 80 60 50
45 40
Translokas
+
35 30
BCR
10
Setelah 2-3 tahwr, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau mengalami akselerasi. Bila saat diagnosa ditegakkan, pasien berada pada fase kronis, maka
kelangsungan hidup berkisar antara I sampai 1,5 tahun. Ciri khas fase akselerasi adalah: leukositosis yang sulit dikontrol oleh obat-obat mielosupresif, mieloblas di perifer
Gambar 2. Translokasi kromosom and Antman. N Engl J Med 2002
I
dan 22. Dikutip dari Savage
yang tadinya sudah mengecil dengan terapi kembali
Gen hibridBCR-ABL yang berada dalam kromosom Ph ini selanjutnya mensintesis protein 210 kD yang berperan dalam leukemogenesis, sedang peranan gen resiprokal ABL-BCR tidak diketahui (Silver, 1990; Diamond, 1995;
membesar, keluhan anemia bertambah berat, timbul petekie,
Melo, I 996; Verfaillie, 1998).
mencapai l5-307o, promielosit >307o, dan trombosit < 100.000/mm3. Secara
klinis, fase ini dapat diduga bila hmpa
ekimosis. Bila disertai demam, biasanya ada infeksi.
PATOGENESIS Seperti telah disinggung di atas, gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel induk pluripoten pada sistem hematopoiesis. Klon-klon ini, selain proliferasinya berlebihan juga dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal, karena gen BCR-
ABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme di atas adalah terbentuknya klon-klon
Saat
ini diketahui
q13 (Heim dan Mitelman, 1987), dengan sendirinya protein yang dihasilkanjuga berbeda berat molekulnya.
Gen-gen yang Terlibat
Karyotipik
abnormal yang akhirnya mendesak sistem hematopoiesis lainnya. Pemahanan mekanisne kerja gen BCR-ABL mutlak diketahui, mengingat besarnya peranan gen ini pada diagnostik, perjalanan penyakit, prognostik, serta implikasi terapeutiknya. OIeh karena itu perlu diketahui sitogenetik dan kejadian di tingkat molekular.
terdapat beberapa varian dari
kromosom Ph, seperli tampak pada Tabel 2. Varian-varian ini dapat terbentuk karena translokasi kromosom 22 atal kromosom 9 dengan kromosom lainnya. Varian lain juga dapat terbentuk karena patahan pada gen BCR tidak selalu di daerah ql1, akan tetapi dapatjuga di daerah ql2 ata.u
t(9:22)G3a;q12) t(9;22)(q34;q 1 3) t(9;22)(q34;q 1 1 ) t(8;22)(p11;q11) t(4;22)(q12;q11) t(9;1 2)(q34;p
Del(a)(q 12)
1
3)
BCR.JAK BCR.PDGFRB
BCR.FGFRl BCR-FGFR1 BCR-PDGFRA ABL-TEL FIP1L1PDGFRA
lstilah Klinik LGK LGK LGK LGK LGK LGK LGK
atipik atipik BCR-ABL negatif BCR-ABL negatif atipik atipik hipereosinofilia
Sitogenetik Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak terbentuknya Ph sampai menjadi LGK dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih belum diketahui secara pasti. Berdasarkan kejadian Hiroshima dan Nagasaki, diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi, sebagian ahli berpendapat akibat mutasi spontan. Sejak
BCR-ABL pada kromosom Ph (22q) selalu terdapat pada semua pasien LGK, tetapi gen BCRABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70Vo pasien LGK. Dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih Jadi sebenamya gen
rawan terhadap adanya kelainan kromosom tambahan, hal ini terbukti pada6o-807o pasien Ph+ yang mengalami fase
1,2r1
LEUKEMI,A GRANULOSITIK KRONIS
krisis blas ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang kromosom 11 i(17)q. Dengan kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain
yang berperan dalam patofisiologi LGK atau terjadi abnormalitan dari gen supresor tumor, sepefii gen p53, p16 dan gen Rb.
Biologi Molekular pada Patogenesis LGK Pada kebanyakan pasien LGK, patahan pada gen BCR ditemukan di daerah 5,S-kb atau di daerah e13-e14 pada
ekson 2 yang dikenal sebagai major break cluster region (M-bcr), kemudian gen BCR-ABL-nya akan mensintesis protein dengan berat molekul 210 kD, selanjutnya ditulis p2lQecn'rel. Patahan lainnya ditemukan di daerah 54,4-kb atau el yang dikenal sebagai
minor bcr (m-bcr) yang gen BCR-ABL-nya akan mensintesa pl90 (Melo, 1996). Saglio dkk pada tahun 1
990 menemukan satu lagi variasi patahan ini pada 3' gen
Gambar 3. Fusi Gen BCR-ABL Gen ABL (p145ABL) yang normal dikontrol oleh Exon 1a, 1b dan Exon a2. Apabila terjadi fusi dengan gen BCR, maka terjadi otofosforilasi sehingga terjadi aktivasi dari gen ABL pada gugus SHI dengan tidak terkendali. Dikutip dari Goldman and Melo. N Engl J Med 2003
BCR antara e19-e20 yang selanjutnya akan terbentuk p230. Daerah patahan ini kemudian dikenal sebagai micro bcr (yt-bcr) (Melo, 1996). Melo (1991) menemukan bahwa 3 variasi letak patahan pada gen BCR ini yaitu mayor (M-bcr), minor (m-bcr), dan mikro Q-bcr) ternyata
berhubungan dengan gambaran
klinik penyakitnya.
Pasien LGK yang patahan pada gen BCRnya diM-bcr berhubungan dengan trombositopenia, patahan di m-Dcr
berhubungan dengan rnonosirosis l ang prominen. sedang patahan dr p-bcr berhubungan dengan netrofilia dan/atau trombositosis, Pada gambar 2 tampak bahwa p21OBCR ABL mempunyai potensi leukemogenesis dengan cara sebagai berikut: gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang mempunyai aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi kedua gen ini mempunyai kemampuan untuk oto-fosforilasi yang akan mengaktivasi beberapa protein di dalam sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi I (SHl), sehingga terjadi deregulasi dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat aderen sel-sel terhadap stroma sumsum tulang, dan
Gambar 4. Proses Aktivasi Sinyal Transduksi oleh Fusi Gen BCR-ABL. Dikutip dari Goldman and Melo. N Engl J Med 2003.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
berkurangnya respon apoptosis.
Selanjutnya fusi gen BCR-ABL akan berinteraksi di dalam sitoplasma sehingga terjadilah transduksi sinyal yang bersifat onkogenik, dengan berbagai protein
seperti tampak pada Gambar 3. Sinyal ini akan menyebabkan aktivasi dan juga represi dari proses transkripsi pada RNA, sehingga terjadi kekacauan pada proses proliferasi sel dan juga proses apoptosi s.
Diagnosis Banding
Hematologi rutin. Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun, lekosit antara 20-60.000/mm3. Persentasi eosinofil dan atau basofil meningkat. Trombosit bias anya meningkat antara 5 00-600.000/mm3. Walaupun sangat jarang, pada beberapa kasus dapat normal atau trombositopenia.
Apus Darah Tepi :
.
LGK fase kronik: leukemia mielomonositik kronik,
..
trombositosis esensial. leukemia netrofilik kronik LGK fase krisis blas: leukemia mieloblastik akut. sindrom mielodisplasia
Eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering ditemukan adanya polikromasi eritroblas asidofil atau polikromatofil. Tampak seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi seri granulosit, persentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat, demrkian juga persentasi eosinohl dan atau basofil.
t2t2
HEMIIIIOI.OGI
Apus Sumsum Tulang
l2mghai. Harus dihentikan bila lekosit antara 1020.000/mm3, dan baru dimulai kembali setelah lekosit
Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio mieloid: eritroid meningkat. Megakariosit juga tampak lebih banyak. Dengan pewamaan
>50.000/rnm3.
Tidak boleh diberikan pada wanita hamil. Interaksi obat: asetaminofen, siklofosfamid, dan itrakonazol akan meningkatkan efek busulfan,
retikulin, tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis.
sedangkan fenitoin akan menurunkan efeknya.
Bila lekosit sangat tinggi, sebaiknya pemberian
Karyotipik
busulfan diserlai dengan alopurinol dan hidrasi yang baik.
Dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding technique), saat ini teknik ini sudah mulai ditinggalkan
Dapat menyebabkan fibrosis paru dan supresi
dan peranannya digantikan oleh metoda FISH (Fluorescen
Insitu Hybridization) yang lebih akurat. Beberapa aberasi kromosom yang sering ditemukan pada LGK, antara lain: +8, +9, +19,+21,i(17).
sumsum tulang yang berkepanjangan
.
Imatinib mesylate
(.GLeevec
= Glyvec)
Tergolong antibodi monoklonal yang dirancang khusus untuk menghambat aktivitas tirosin kinase dari fusi gen BCR-ABL.
Pemeriksaan laboratorium lain. Sering ditemukan hiperurikemia.
Diabsorbsi secara baik oleh mukosa lambung pada pemberian per oral
PENGOBATAN
Untuk fase kronik, dosis 400mg/hari setelah
Tujuan terapi pada LGK adalah mencapai remisi lengkap, baik remisi hematologi, remisi sitogenetik, maupun remisi
hari bila tidak mencapai respons hematologik
makan. Dosis dapat ditingkatkan sampai 600mg/ setelah 3 bulan pemberian, atau pernah mencapai respon yang baik tetapi terj adi perburukan secara hematologik, yakni Hb menjadi rendah dan/atau
biomolekular. Untuk mencapai remisi hematologis digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif. Begitu tercapai remisi hematologis, dilanjutkan dengan terapi interferon dan atau cangkok sumsum tulang. Indikasi cangkok sumsum tulang: 1. Usia tidak lebih dari 60 tahun, 2. Ada donor yang cocok, 3. Termasuk golongan risiko rendah menurut perhitungan Sokal.
lekosit meningkat dengan/tanpa perubahan jumlah trombosit. Dosis harus diturunkan apabila terjadi netropeni berat (<500/mm3) atau trombositopenia berat (<50.000/mm3) atau peningkatan sGOT/sGPT dan
bilirubin. Untuk fase akselerasi atau fase krisis blas, dapat
Obat-obat yang digunakan pada LGK adalah:
..
Hydroxyurea(Hydrea) - Merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi hematologik pada LGK.
-
-
-
sangat Jarang
klorambusil. Efek mielosupresif masih berlangsung beberapa hari sampai 1 minggu setelah pengobatan dihentikan. Tidak seperti busulfan yang dapat menyebabkan anemia aplastik dan fibrosis paru. Dosis 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Apabila leukosit > 300.000/mm3, dosis boleh ditinggikan sampai maksimal 2.5 grunlhafl. Penggunaannya dihentikan dulu bila lekosit <8.000/ rnm3 atau trombosit <100.000/mm3
Tidak boleh diberikan pada wanita hamjl
Interaksi obat dapat terjadi bila digunakan Selama menggunakan hydroxyurea harus dipantau Hb, lekosit, trombosit, fungsi ginjal,
Busulfan (Myleran)
-
Interaksi obat: ketokonazol, simvastatin dan fenitoin akan meningkatkan efek imatinib mesilat.
Selain remisi hematologik, obat
Termasuk golongan alkil yang sangat kuat. Dosis 4-8mg/hari per oral, dapat dinaikkan sampai
ini
dapat
menghasilkan remisi sitogenetik yang ditandai dengan hilangnya./berkurangnya kromosom Ph dan
juga remisi biologis yang ditandai
dengan
berkurangnya ekspresi gen BCR-ABL atau protein
yang dihasilkannya.
..
Interferon alfa-2a atau Interferon alfa-2b - Berbeda dengan imatinib mesilat, interferon tidak
bersanaan dengan 5-FU, menyebabkan
fungsi hati.
..
Dapat timbul reaksi hipersensitivitas, walaupun
Lebih efektif dibandingkan busulfan, melfalan, dan
neurotoksisitas.
-
diberikan langsung SO0mg/hari (400mg b.i.d).
-
dapat menghasilkan remisi biologis walaupun dapat mencapai remisi sitogeneti k Dosis 5 juta Iu/m'?lhari subkutan sampai tercapai remisi sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi.
Berdasarkan data penelitian di Indonesia, dosis yang dapat ditoleransi adalah 3 juta IU/m2lhari. Saat ini sudah tersedia sediaan pegilasi interferon, sehingga penyuntikan cukup sekali seminggu, tidak perlu tiap hari.
r2t3
LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIS
-
-
Diperlukan premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian interferon untuk
REFERENSI
mencergah/mengurangi efek samping interferon
Chronic Myeloid Leukemia Trialists' Collaborative Group. Interferon alfa versus chemotherapy for chronic myeloid leukemia: a meta-analysis of seven randomized trials: Chronic Myeloid Leukemia Trialists' Collaborative Group. J Natl Cancer Inst. 1997 ;89(21):1616-20. Druker BJ, Talpaz M, Resta DJ, et al. Efficacy and safety of a specific inhibitor of the BCR-ABL tyrosine kinase in chronic myeloid leukemia. N Engl J Med. 2001;344(14):1031-7. Druker BJ, Sawyers CL, Kantarjian H, et al. Activity of a specific inhibitor of the BCR-ABL tyrosine kinase in the blast crisis of
berupa flue -like syndrome.
Interaksi obat: teofilin, simetidin, vinblastin dan zidovudin dapat meningkatkan efek toksik interferon.
-
Hati-hati apabila diberikan pada usia lanjut,
gangguan faal hati dan ginjal yang berat, pasien epilepsi. Cangkok sumsum tulang
-
-
Merupakan terapi definitif untuk LGK. Data menunjukkan bahwa cangkok sumsum tulang (CST) dapat memperpanjang masa remisi sampai >9 tahun, terutama pada CST alogenik. Tidak dilakukan pada LGK dengan kromosom Ph negatif atau BCR-ABL negatif.
chronic myeloid leukemia and acute lymphoblastic leukemia
with the Philadelphia chromosome. N Engl J 200 I ;3 44(l 4)
:
1
Giles FJ, Cortes JE, Kantarjian HM, O'Brien SM. Accelerated and
ckonic myelogenous leukemia. Hematol Oncol Clin North Am. 2004;18(3):153-14. Goldman JM, Druker BJ. Chronic myeloid leukemih: current treatment options. B lood. 200 1 ;9 8 (7 ) :2O39 - 44. blastic phases of
Goldman JM and Melo JV. Chronic myeloid leukemia
PROGNOSIS Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3-5 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Saat ini dengan
ditemukannya beberapa obat baru, maka median kelangsungan hidup pasien dapat diperpanjang secara signifikan. Sebagai contoh, pada beberapa uji klinis kombinasi hidrea dan interferon median kelangsungan hidup mencapai 6-9 tahun. Imatinib mesilat memberi hasil yang lebii menjanjikan, tetapi median kelangsungan hidup belum dapat ditentukan karena masih menunggu beberapa hasil uji klinik yang saat ini masih berlangsung. Faktor-faktor di bawah ini memperburuk prognosis pasien LGK, antara lain: . Pasien: usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala
sistemik seperti penurunan berat badan, demam,
.
keringatmalam.
Laboratorium: anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia, eosinofilia, kromosom Ph
.
negatif, BCR-ABL negatif
Terapi: memerlukan waktu lama (>3 bulan) untuk mencapai remisi, memerlukan terapi dengan dosis tinggi,
waktu remisi yang singkat
Med.
038 - 42.
-
advances in
biology and new approaches to treatment. N Engl J Med. 2003;349(15): l45l-64. Italian Cooperative Study Group on Chronic Myeloid Leukemia. Interferon alfa-2a as compared with conventional chemotherapy for the treatment of chronic myeloid leukemia. The Italian Cooperative Study Group on Chronic Myeloid Leukefuia. N Engl J Med. 1994;330(12):820-5. Kantarjian H, Sawyers C, Hochhaus A, et al: Hematologic and cytogenetic responses to imatinib mesylate in chronic myelogenous leukemia. N Engl J Med 2002;346(9):645-52. Kantarjian HM, Cortes JE, O'Brien S Imatinib mesylate therapy in
newly diagnosed patients with Philadelphia
chromoso me-positive chronic myelogenous leukemia: high incidence of early complete and major cytogenetic responses. Blood.
2003;101(1):97-100. Kantarjian HM, Talpaz M. Chronic myelogenous leukemia. Hematol Oncol Clin North Am. 2004;18(3):15-6. Lee SJ, Anasetti C, Horowitz MM, Antin JH. Initial therapy for chronic myelogenous leukemia: playing the odds. J Clin Oncol. 1 998; 1 6(9):2897-903. McGlave PB, Beatty P, Ash R, Hows JM. Therapy for chronic myelog-
enous leukemia with unrelated donor bone marrow transplantation: results in 102 cases. Blood. i990;75(8):1728-32. DG and Antman KH. Imatinib mesylate-a new oral targeted therapy. N Engl J Med. 2002;346(9):683-93. Sawyers CL, Hochhaus A, Feldman E, et al. Imatinib induces hematologic and cytogenetic responses in patients with chronic myelogenous leukemia in myeloid blast crisis: results of a phase II study. Blood 2002;99(10):3530-9. Sneed TB, Kantarjian HM, Talpaz M, et al. The significance of myelosuppression during therapy with imatinib mesylate in patients with chronic myelogenous leukemia in chronic phase. Cancer. 2004;100: I 16-21. Talpaz M, Silver RT, Druker BJ. Imatinib induces durable hematologic and cytogenetic responses in patients with accelerated phase chronic myeloid leukemia: results of a phase 2 study. Blood. 2002;99(6):1928-31. Savage
193 POLISITEMIA VERA M. Darwin Prenggono
PENDAHULUAN Suku kata polisitemia (bahasa Yunani) mengandung arti
poly (banyak), cyl (sel), dan hemia (darah) sedang vera (benar) adalah suatu penyakit kelainan pada sistem mieloproliferatif di mana terjadi klon abnormal pada hemopoetik sel induk (hematopoietic stem cells) dengan peningkatan sensitivitas pada growth factors yarrg berbeda untuk terjadinya maturasi yang berakibat terjadi
peningkatan banyak sel. Ada dua istilah yang sering diarlikan sama antara polisitemia dan eritrositosis, pada polisitemia (banyak sel) menggambarkan peningkatan dari dari total kuantitas atau volurn (mass) dari sel darah pada tubuh tanapa memperdulikan jumlah leukosit atau trombosit.Sedang peningkatan jumlah dan volume saja dengan pengukuran hitung eritrosis, hemoglobin dan
hematokrit adalah lebih benar disebut eritrositosis. Eritrositosis menggambarkan peningkatan dari volume sel
darah merah atau mass (polisitemia, juga disebut eritrsitosis absolute) atau menghasilkan penurunan volume plasma (disebut polisitemia/eritrositosis relatif atau spurious). Polisitemia rubra vera atau polisitemia vera nama sinonim lainnya tercatat sebagai polisitemia splenomegalik, eritrositosis megalosplenik (Senator), penyakit Vaquez's,
eritrositosis atau polisitemia sekunder di mana eritropoietin tersebut meningkat secara fisiologis (wajar sebagai kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat) biasanya pada keadaan dengan saturasi oksigen arterial rendah, atau eritropoietin tersebut meningkat secara non irsiologis (tidak wajar) sebagai sindrom paraneoplastik yang
dijumpai daripada manifestasi neoplasma lain yang mensekresi eritropoietin. Di dalam sirkulasi darah tepi PV didapati peninggian nilai hematokrit yang menggambarkan terjadi peningkatan konsentrasi eritrosit terhadap plasma mencapai >49Vo padaperempuan (kadar Hb > 16 mg/dl) dan>52Vo pada pria (kadar Hb >17 mgldL), dan di dapati peningkatan jumlah eritrosit total (hitung eritrosit >5,5 juta/ mL pada perempuan dan >6 juta/ml pada pria). Kelainan ini terjadi pada populasi klon sel induk darah (stem cell) sehingga seringkali terjadi juga produksi yang berlebihan
dari leukosit dan trombosit. Permasalahan yang ditimbulkan berkaitan dengan massa eritrosit, basofil dan trombosit yang bertambah,
serta perjalanan alamiah penyakit menuju ke arah fibrosis sumsum tulang. Fibrosis sumsum tulang yang ditimbulkan bersifat poliklonal dan bukan neoplastik jaringan ikat.
sler's, polisitemia mielopat\ (Web er), polisitemia kiptogenik (R. C. C abot). Polisitemia vera selanjutnya disingkat PV, merupakan suatu penyakit kelainan pada sistem mieloproliferatif yang melibatkan unsur-unsur hemopoetik dalam sumsum tulang mulainya diam-diam tetapi progresif, kronik terjadi karena sebagian populasi eritrosit berasal dari satu klon sel induk darah yang abnormal. Berbeda dengan keadaan normalnya, sel induk darah yang abnormal ini tidak membutuhkan eritropoietin untuk proses pematangannya (eritropoietin
penyakit
O
EPIDEMIOLOGI Polisitemia vera biasanya mengenai pasien berumur 40-60 tahun, rasio perbandingan antara pria dan perempuan antara2:1 dan dilaporkan insiden polisitemia vera adalah
2,3 per 100. 000 populasi dalam setahun. Keseriusan penyakit polisitemia vera ditegaskan bahwa faktanya survival median pasien sesudah terdiagnosis tanpa diobati 1,5 - 3 tahun sedang yang dengan pengobatan lebih dari
serum <4 mU/mL), hal ini jelas mernbedakannya dari
10 tahun.
t2t4
tzl5
POLISITEMIAVERA
ETIOLOGI
rasa panas pada tangan atau kaki (29%), gatal (pruritus)
Penyebab terjadinya Polisitemia vera tidak diketahui, tetapi
(437o), juga terdapat perdarahan dari hidung, lambung (stomach ulcers) (247o) atar sakit tulang (26Vo).
Ada pendekatan penelitian yang didefinisikan adanya kelainan molekul. Salah satu penelitian sitogenetika menunjukkan adanya kariotipe abnormal di sel induk hemopoisis pada pasien dengan polisitemia vera dimana tergantung dari stadium penyakit, rata-rata 207o pada
pasien polisitemia vera saat terdiagnosis sedang meningkat 807o setelah diikuti lebih dari l0 tahun. Beberapa kelainan tersebut sama dengan penyakit mielodisplasia sindrom yaitu: deletion 20q (8,4Vo), deletion l3q (3Vo), trisomi 8 (1Eo), trisomi 9 (1Ea), trisomi lq(47o), deletion 5q atau monosomi 5 (3Eo), deletion 7q atau monosomi 7 (l7o).
GejalaAkhir (later symptoms) dan Komplikasi. Sebagai penyakit progresif, pasien dengan PV mengalami perdarahan (hemorrhage) atau trombosis. Trombosis adalah penyebab kematian terbanyak dari PV. Komplikasi Iain peningkatan asam urat dalam darah sekitar 10% berkembang ,menjadi gout dan peningkatan resiko ulkus pepticum (107o). Fase Spen om egali (Sp e nt pft ase ). S ekitar 307o gej al a akhir berkembang menjadi fase splenomegali. Pada tase ini te{adi
kegagalan sumsum tulang dan pasien menjadi anemia berat, kebutuhan transfusi meningkat, liver dan limpa membesar.
KLASIFIKASI DAN PENDEKATAN PADA PASIEN DENGAN ERITROSITOSIS Klasifikasi eritrositosis tergantung volume sel darah merah (red cell mass) (eritrositosis relatif atau polisilemia dengan polisitemia aktual). Polisitemia terbagi dalam polisitemia primer (polisitemia vera dan polisitemia famili primer) dan polisitemia yang dipengaruhi oleh produksi eritropoeitin (polisitemia sekunder).
tosis relatif atau p olisitemi a ( pseudoe rlrositosis) Hemokonsentrasi Polisitemia spurious (sindrom Gaisbok) P olisitem ia (eritrositosis absolut) Polisitemia primer Polisitemia vera Polisitemia familial primer Pclisitemia sekunder Sekunder oleh kerena penurunan oksigenisasi pada jaringan (P hysi ologically app ropriate po lycythemia alau hy pox ia e ryt rhocytos is) Hig h-altitude eryt rhro cytos is (M ong e dis eas e) Penyakit paru (contoh: kor pulmonal kronik, sindrom Ayerza) Cyanotb congenitalhearl disease E ritrosi
. . .
.
-
-
o
-
Sindromhipoventilasi
Hemoglobin abnormal Polisitemia familial Sekunder oleh karena penympangan respon atau produksi eritropoietin (p hysio logically inapp ropriate polycythemia)
Polisitemia idiopatik
Tanda dan gejala yang predominan terbagi dalam 3 fase:
Gejala awal (early sympto,ms). Gejala awal dari PV sangat minimal dan tidak selalu ada kelainan walaupun telah diketahui melalui tes laboratorium. Gejala awal yang terjadi biasanya sakit kepala (48Vo), telinga berdenging (43Ea), mudah lelah(47Vo), gangguan daya ingat , susah bernapas (26Vo), darah tinggi (727o), gangguan penglihatan (3l%o),
Beberapa hal yang penting berhubungan dengan gejala yaitu:
Hiperviskositas. Peningkatan jumlah total eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan menyebabkan: . Penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), leblh jauh lagi akan menimbulkan eritrostasis sebagai akibat dari penggumpalan eritrosit, dan . Penurunan laju transport oksigen. Kedua hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan.
Berbagai gejala dapat timbul karena terganggunya oksigenasi target organ (iskemia/infark) seper-ti di otak, penglihatan, pendengaran, jantung, paru, ekstremitas.
Penurunan kecepatan aliran (shear rafe). Penurunan shear rate akan menimbulkan gangguan fungsi hemosta-
sis primer yaitu agregasi trombosit pada endotel hal tersebut akan mengakibatkan timbulnya perdarahan, walaupun jumlah trombosit > 450 ribu/ml. Perdarahan terjadi pada 10-307o kasus PV manifestasinya dapat berupa epistaksis, ekimosis, dan perdarahan gastrointestinal.
Trombositosis (hitung trombosit >400.000/mL). Trombositosis dapat menimbulkan trombosis, pada PV tidak ada korelasi trombositosis dengan trombosis. Trombosis vena atau tromboflebitis dengan emboli terjadi pada 30507o kasus PV.
Basofilia (hitung basofil >65/mL). Lima puluh persen kasus
PV datang dengan gatal (pruritus) di seluruh tubuh terutama setelah mandi airpanas, danl}Vo kasus PV datang
dengan urtikaria suatu keadaan yang disebabkan oleh meningkatnya kadar histamin dalam darah sebagai akibat dari basofilia. Terjadinya gastritis dan perdarahan lambung terjadi karena peningkatan kadar histamin. Splenomegali. Splenomegali tercatat pada sekitar 707o pasien PV. Splenomegali ini terjadi sebagai akibat sekunder dari hiperaktif hemopoesis ekstra medular.
Hepatomegali. Hepatomegali dijumpai pada kira-kira sejumlah 40Vo PY. Sebagaimana halnya splenomegali,
t2t6
HEMAIOLOGI
hepatomegali juga merupakan akibat sekunder dari hiperaktif hemopoesis ekstra medular.
Laju siklus sel yang tinggi. Sebagai konsekuensi logis dari hiperaktif hemopoesis dan splenomegali adalah
megakariosit, dan mielosit. Sedangkan dari histopatologi sumsum tulang adanya bentuk morfologi megakariosit yang patologis/abnormal dan sedikit fibrosis merupakan petanda patognomonik PV.
sekuestrasi sel darah makin cepat dan banyak dengan demikian maka produksi asam urat darah akan meningkat, disisi lain laju filtrasi gromerular menurun karena penurunan shear rate. Artritis Gout dijumpaipada5-107o kasus PV Defisiensi vitamin Brr, dan asam folat. Laju siklus sel darah yang tinggi dapat mengakibatkan defisiensi asam folat dan vitamin B,r, hal ini dijumpai pada t 307o kasus PV karena penggunaan/metabolisme untuk pembuatan sel darah, sedangkan kapasitas protein tidak tersaturasi pengikat vi-
Pemeriksaan Sitogenetika Pada pasien PV yang belum mendapat pengobatan P,., atau
kemoterapi sitostatika dapat dijumpai karyotip ((lihat etiologi). Variasi abnormalitas sitogenetika dapat dijumpai selain tersebut di atas terutama jika telah mendapatkan pengobatan Pr, atau kemoterapi sitostatika sebelumnya.
tamin B,, (UB,, - Protein binding capacity) dijumpai meningkat pada>757o kasus. Seperli diketahui defisiensi kedua vitamin ini memegang peran dalam timbulnya kelainan
Anti
kulit dan mukosa, neuropati, atrofi N.Optikus, serla psikosis.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Rh.(D)
Kontrol Rh
Tipe Rh
Positif
Negatil
D+
Negatif
Negatif
D-(d)
Positif
Positif
Harus diulang atau
diperiksa dengan Rh,(D) typing (Saline tube festJ
Eritrosit Untuk menegakkan diagnosis polisitemia vera pada
saat
perjalanan penyakit ini, peninggian massa eritrosit haruslah
didemonstrasikan. Hitung sel jumlah eritrosit dijumpai >6 pada pria dan >5,5 juta/ml pada perempuan, dan sediaan apus eritrosit biasanya normokrom, normositik
DIAGNOSIS
juta/ml
kecuali jika terdapat defisiensi besi. Poikilositosis dan anisositosis menunjukkan adanya transisi ke arah metaplasia mieloid di akhir perjalanan penyakit.
Granulosit Granulosit jumlahnya meningkat terjadi pada2lrkasus PV, berkisar antara 12-25 ribu/ml tetapi dapat sampai 60 ribu/ mL. Pada dua perliga kasus ini juga terdapat basofilia.
Trombosit Jumlah trombosit biasanya berkisar antara 450-800 ribu/ mL, bahkan dapat >1 juta/ml. Sering didapatkan dengan morfologi trombosit yang abnormal.
Sebagai suatu kelainan mieloproliferatif, PV dapat memberikan kesulitan dengan gambaran klinis yang hampir sama dengan berbagai keadaan polisitemia lainnya (polisitemia sekunder).
Karena kompleksnya penyakit ini, International Polycythemio Sturly Group ke dtamenetapkan 2 kriteria pedoman dalam menegakkan diagnosis polisitemia vera dari 2 kategori
diagnostik, diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika memenuhi kriteria: a). Dari kategori: A,+Ar+A.,, atau, b). Dari kategori: A,+Ar+ 2 kategori B.
Kategori A
. .
8.,, Serum B ,, serum dapat meningkat hal ini dijumpai pada 357o kasus dan dapat pula menurun hal ini dijumpai pada + 307o kasus,
Meningkatnya massa sel darah merah, hal ini diukur dengan krom-radioaktif Cr5r . Pada pria > 36 ml/kg, dan pada perempuan > 32
ml/kg.
Saturasi oksigen arterial > 92To.Eitrositosis yang terjadi sekunder terhadap penyakit atau keadaan lainnya juga disertai massa sel darah merah yang meningkat. Salah
satu pembeda yang digunakan adalah diperiksanya
saturasi oksigen arterial, di mana pada PV tidak
dan kadarUB,rBC meningkatpada>157o kasus PV.
Pemeriksaan Sumsum Tulang
didapatkan penurunan. Kesulitan ditemui apabila pasien tersebut berada dalam keadaan: Alkalosis respiratorik, di mana kurva disosiasi pO,
Pemeriksaan ini tidak diperlukan untuk diagnostik, kecuali ada kecurigaan terhadap penyakit mieloproliferatif lainnya
-
-
akan bergeser ke kiri, dan
di
mana afinitas oksigen
meningkat sehingga kurva pO, juga akan bergeser
seperti adanya sel blas dalam hitungjenis leukosit. Sitologi
sumsum tulang menunjukkan peningkatan selularitas normoblastik berupa hiperplasi trilinier dari seri eritrosit,
Hemoglobinopati,
.
kekiri. Spenomegali.
t2t7
POLISITEMIAVERA
Kategori
B
. Trombositosis: trornbosit > 400,000/mL, . Leukositosis: leukosit > 12.000/mL (tidak ada infeksi). . I{eutrophil alkaline phosphatase (NAP) score meningkat lebih dari 100 (tanpa adanya panas atau
.
infeksi). Kadar vitamin B,. >900 pg/ml dan atau UB,,BC dalam serum> 2200 pg/ml.
. .
Spenomegali pada pemeliksaan radio isotop atau ultrasonografi Penurunan serum ertropoietin atau BFU-E growthyang karakteristrk
Diagnosis polisitemi a vera:
Kategori : Al + A2 dan A3 atau A4 atau Kategori :A1 +A2 dan 2 kriteriakatagori B.
Dalam beberapa leteratur disebutkan usulan modjfikasi
kriteria diagnostik PV sebagai berikut:
PENATALAKSANAAN
Kategori A
. . . .
Peningkatan massa eritrosit lebih dari 25Vo di atas ratarata angka normal atat Packed Cell VohLme pada lakilaki >0,6 atau pada perempuan 0,56 Tidak ada penyebab polisitemia sekunder spenomegali yang teraba Petanda klon abnonral (kariotipe abnormal)
Kategori
. .
B e/
. . . .
Trombositosis>400000permm3 Jumlah neutropil >10 x 10
Prinsip Pengobatan
.
L dan bagi perokok >12,5 x
10ell-
Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal kasLrs (individual) dan mengontrol eritropoesis dengan flebotomi. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/ polisitemia yang belum terkontrol. Menghindari pengobatan berlebihan (over treatment). Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia muda. Mengontrol panmielosis dengan dosis tertentu fosfor radioaktif atau kemoterapi sitostatika pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan:
Flebotomy untuk mempertahankan hematokrit < 0,45
Ya
----)
Terapi mielosupresi dengan " P (atau busulfan atau gen alkilating lain) aspirin dosis rendah jika ada riwayat trombosis
t dak
Adanya riwayat atau ada trombosis atau phlebotomy yang seringkali atau lumlah trombosit > 400 000 atau splenomegali yang progresif
Tanpa mielosupresi * pertimbangkan kembali jika ada komplikasi * aspirin sebagai profilaksis
Gambar 1. Manajemen terapi polisitemia vera
Terapi mielosupresi dengan hydroxiurea (pertimbangkan interferon atau anagrelid pada pasien muda) dan aspirin sebagai profilaksis
1218
-
HEMATOLOGI
Trombositosis persisten di atas 800.000/mL,
dari dosis pertama, dan diberikan sekitar 10-12 minggu
terutama jika disertai gejala trombosis.
setelah dosis pertama.
Leukositosis progresif. Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan s it o p e nia problematik. Gejala sistemik yang tidak terkontrol seperti pruri-
Dengan cara ini panmielosis dapat dikontrol pada sekitar 807o pasien untukjangka waktu sekitar l-2 bulan dan mungkin berakhir 2 tahun atau lebih lama lagi. Sitopenia yang serius setelah pengobatan ini jarang terjadi. Pasien diperiksa sekitar 2-3 bulan sekali setelah keadaan stabil. Trombositosis dan trombositemia yang mengancam (hiper aggregasi) atau terbukti menimbulkan trombosis masih dapat terjadi meskipun eritrositosis dan lekositosis dapat terkontrol.
tus yang sukar dikendalikan, penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.
Media Pengobatan Flebotomi. Flebotomi dapat merupakan pengobatan yang adekuat bagi seorang pasien polisitemia selama
bertahun-tahun dan merupakan pengobatan yang dianjurkan. Indikasi flebotomi:
. .
Polisitemia sekunder fisiologis han1,a dilakukan jika Ht >55% (targetHt<55Vo). Polisitemia sekunder non fisiologis bergantung pada
Kemoterapi sitostatika. Tujuan pengobatan kemoterapi sitostatika adalah sitoreduksi. Saat ini lebih dianjurkan menggunakan Hidroksiures salah satu sitostatika golongan obat anti metabolik, sedangkan penggunaan
hiperviskositas dan penurunan,shear rate, atau sebagai
golongan obat alkilasi sudah banyak ditinggalkan atau tidak dianjurkan lagi karena efek leukemogenik, dan mielosupresi yang serius. Walaupun demikian FDA masih membenarkan (approved) Chlorambucil dan Busulfon digunakan pada
penatalaksanaan terbatas gawat darurat sindrom
PV
paraneoplastik.
Indikasi penggunaan kemoterapi sitostatika:
derajat beratnya gejala yang ditimbulkan akibat
Pada PV tujuan prosedur flebotomi tersebut ialah mempertahankan hematokrit < 427o pada perempuan, dan <47Vo padapria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas dan penurunan shear rate.lndikasi flebotomi terutama pada semua pasien pada permulaan penyakit, dan pada pasien yang masih dalam usia subur.
Prosedurflebotomi : a).Pada permulaan, 250-500 cc darah dapat dikeluarkan dengan blood donor collection ,s€l standard setiap 2 hari. Pada pasien dengan dengan
usia >55 tahun atau dengan penyakit vaskular aterosklerotik yang serius, flebotomi hanya boleh
. .
. . .
mencegah timbulnya bahaya iskemia serebral atau jantung karena hipovolemik; b). Sekitar 200 mg besi djkeluarkan
pada tiap 500 cc darah (normal total body iron + 5 E).
Defisiensi besi merupakan efek samping pengobatan
.
(\r).
Pengobatan dengan fosfor
radioaktif
urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin, splenomegali simptomatik/mengancam rupturalimpa.
Hidroksiurea ('Hydrea 500mg/tablet) dengan dosis
dilanjutkan dengan pemberian intermitten untuk
. .
pemeliharaan.
Chlorambucil (@Leukeran 5mg/tablet) dengan dosis induksi 0,1-0,2 mg/kgBB/hari selama 3-6 minggu, dan dosis pemeliharuan0,4 mg/kgBB tiap2-4 minggu. Busulfan (@Myleran 2mgltablet) 0,06 mglkgBB/trari atau
1,8 mg/m'?/hari, jika telah tercapai target dapat dilanjutkan dengan pemberian intermitten untuk pemeliharaan.
pemberian preparat besi.
ini sangat efektif, mudah, dan relatif murah untuk pasien
sebulan. trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis,
800-1200 mg/mrftiari atau diberikan sehari 2 kali dengan dosis I 0- I 5 mg/kgBB/kali, jika telah tercapai target dapat
flebotomi berulang. Gejala defisiensi besi seperti glositis, keilosis, drsfagia, dan astenia dapat cepat hilang dengan Fosfor radioaktif
flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan >2 kali
Cara pemberian kemoterapi sitostatika:
dilakukan dengan prinsip isovolemik yaitu mengganti plasma darah yang dikeluarkan dengan cairan pengganti plasma (coloid/pLasma expander') setiap kali, untuk
hanya untuk Polisitemia rubra primer (PV),
Pasien dengan pangobatan cara ini harus diperiksa lebih sering (sekitar dua sampai tiga minggu sekali). Kebanyakan
yang tidak kooperatif atau dengan keadaan sosio-ekonomi yang tidak nrerrungkinkan untuk berobat secara teratur. P.,. perlama kali diberikan dengan dosis sekitar 2-3 mCi/m2 secara intravena, apabila diberikan per oral maka dosis
klinisi rnenghentikan pemberian obat jika hematokrit:
dinaikkan 2-57o. Selanjutnya apabila setelah 3-4 minggu
Kemoterapi biologi (sitokin). Tujuan pengobatan dengan
pemberian P,, pertama: 1). Mendapatkan hasil,
produk biologi pada PV terutama adalah untuk mengontrol trombositemia (hitung trombosi t >800.000/mm r,), produk biologi yang digunakan adalah Interferon a. Intetferon a (alntron-A 3 & 5 juta Iu, eRoveron-A 3 & 9 juta Iu) digunakan
re-evaluasi setelah 10-12 minggu. Jika diperlukan dapat
diulang akan tetapi hal ini jarang dibutuhkan. 2). Tidak mendapatkan hasil sel anj utnya dosi
s
kedua di nai kk an 25o/o
. .
lagi jika>527o, Pada perempuan <427o dan memberikannya lagi jika Pada pria 5417o danmemberikannya
A9Vo.
t2t9
POLISITEMIAVERA
terutama pada keadaan trombositemia yang tidak dapat di kontrol, dosis yang dianjurkan 2 j:utal:ulm2/s.c. atau i.m. 3 kali seminggu. Kebanyakan klinisi mengkombinasikannya dengan sitostatika Slklofosfamid (@Cytoxan 25mg & 50mg/tablet) dengan dosis lO0mg/m'zlhari, selama l0-14 hari atau sampai target telah tercapai (hitung trombosit < 800.000/mm3.1 kemudian dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1 0Omg/m'z | -2 kali seminggu.
Pencegahan Tromboemboli Peri Operatif Pencegahan tromboemboli perioperatif dapat dilakukan dengan: . Penggunaan alat-alat bantu mekanik seperti kaos kaki
.
Pengobatan Suportif
. . . .
Hiperurisemia diobati dengan alopurinol 100-600 mg/ hari oral pada pasien dengan penyakit yang aktif dengan memperhatikan fungsi ginj al. Pruritus dan urtikaria dapat diberikan antihistamin, jika diperlukan dapat diberikan Psoralen dengan penyinaran Ultraviolet ran g e A (PUY A) Gastritis/ulkus peptikum dapat diberikan penghambat reseptor Hr.
Antiaggregasi trombosit Analgrelide turunan dari Quinazolin disebutkan juga dapat menekan trombopoesis.
PEMBEDAHAN PADA PASIEN PV
elastik (elastic stocking) alat pulsatting boots. Heparin dosis rendahjika tidak ada indikasi kontra dapat diberikan. Untuk dewasa, heparin i.v drip dengan dosis I 0-20 Iu/kgBB/j am dengan target APTT 40 " -60 " sampai pasien dapat berjalan atau ambulatorik. Kemudian 501 00 Iu/kgBB/subkutan dapat diberikan setiap 8-12jam sampai pasien kembali ke aktivitas normal.
PROGNOSIS Polisitemia adalah penyakit kronis dan keseriusan penyakit
Polisitemia vera ditegaskan bahwa faktanya survival median pasien sesudah terdiagnosa tanpa diobati 1,5-3 tahun sedang yang dengan pengobatan lebih dari 10 tahun. Penyebab utama morbiditi dan mortaliti adalah: Trombosis dilaporkan pada15-607o pasien, tergantung
.
pada pengendalian penyakit tersebut dan 10-407o
.
penyebab utama kematian.
Komplikasi perdarahan timbul 15-357o pada pasien
atau garam fisiologis, suatu prosedur yang dapat digolongkan sebagai tindakan penyelamatan hidup
polisitemia vera dan 6-307o menyebabkan kematian Terdapat 3-10% pasien polisitemia vera berkembang menjadi mielofibrosis dan pansitopenia Polisitemia vera dapat berkembang menjadi leukemia akut dan sindrom mielodisplasia pada ),,5Vo pasien dengan pengobatan hanya phlebotomy. Peningkatan risiko transformasi 13,57o dalam 5 tahun dengan pengobatan klorambusil dan 7O,2Vo dalam 6-10 tahun pada pasien dengan pengobatan 32P. Terdapat jrga 5,9Vo dalam l5 tahun risiko terjadinya transformasi pada
(life-saving).
pasien dengan pengobatan hydroxyurea.
. Pembeiahan Darurat Pembedahan segera sedapat-dapatnya ditunda atau dihindarkan. Dalam keadaan darurat dapat dilakukan flebotomi agresif dengan prinsip isovolemik dengan mengganti plasma yang terbuang dengan plasmafusin 47o atau cairan plasma ekspander lainnya bukan cairan isotonis
.
Tindakan splenektomi sangat berbahaya untuk dilakukan pada semua fase polisitemia, dan harus di hindarkan karena dalam perjalanan penyakitnyajika terjadi fibrosis sumsum tulang organ inilah yang masih diharapkan sebagai pengganti hemopoesrsnya.
Pembedahan Berencana Pembedahan berencana dapat dilakukan setelah pasien terkontrol dengan baik. Lebih dari 7570 pasiendengan PV
tidak terkontrol atau belum diobati akan mengalami perdarahan atau komplikasi trombosis pada pembedahan, kira-kira sepertiga dari jumiah pasien tersebut akan meninggal. Angka komplikasi akan menurun jauh jika eritrositosis sudah di kontrol dengan adekuat sebelum pembedahan. Makin lama telah terkontrol, makin kecil kemungkinan terjadinya komplikasi pada pembedahan. Darah yang di
dapat dari flebotomi dapat disimpan untuk transfusi autologus pada saat pembedahan.
BEFEBENSI Means
RT Erytrhocytosis. In: Greer
GM, Foeerster
JF,
edition. Vo]ume 1495 505.
2.
JP, Rodgers
Paraskevas F, Lukens JN, et al, editors.
lith
Wintrobe's clinical hematology; 2004. p. Mossuz P, Girodon F, Donnard M. Diagnostic value of serum erythropoietin level in patients with absolute erythrocytosis. Haematologica. 2004;.1
19
4-8.
Person TC, Messinezy M, Westwood N, Green AR, Bench AJ, et al.
A polycythemia vera update: diagnosis, pathology,
and
treatment American Sociaety of Hematology. 2000;51-65.
Radin AI. Polycythemia rubra vera. Current therapy in hematology-oncology. 5* edition. 1995. p. 236-42. Spivak JL. Polycythemia vera. Harrison's principles of internal medicine. 16'h edition. 1997. p. 619-81. Stuart BJ, Viera AJ. Polycythemia vera. American family physician
2004.
White P. Myeloproliferative and myelodysplastic syndromes: polycythemia vera. Handbook of cancer chemotherapy. 3'h edition. In: Skeel RT. editor. Boston: Little. Brown & Co: 1991.
n
1?4-5
194 TROMBOSITOSIS ESENSIAL Irza Wahid
PENDAHULUAN Di Amerika Serikat istilah trombositosis esensial disebut primary (essential) thrombocythemia, sedangkan di Eropa disebut thrombocythemia vera. Trombositosis esensial
merupakan anggota dari kelompok gangguan mieloproliferatif. Schafer AI menggabungkan trombositosis esensial dengan gangguan mieloproliferatif lainnya dengan istilah trombositosis klonal. Dalam hal ini yang digolongkan sebagai trombositosis klonal adalah
trombositosis esensial, polisitemia primer dan mielofibrosis. Penyakit mieloproliferatif lainnya adalah leukemia granulositik kronik (BCR/ABL positif), leukemia eosinofilik kronik, leukemia netrohlik kronik serta penyakit mieloproliferatif yang tidak tergolongkan. Trombositosis esensial diperkirakan terdapat pada 400 orang dari 1.000.000 populasi. Hampir semua pasien
trombositosis esensial berusia lebih dari 50 tahun,
trombopoetin bebas di plasma dengan megakariosit. Hal inilah yang merangsang aktifnya megakariositopoetik memproduksi trombosit (Gambar 1A). Pada trombositosis reaktif, penyakit dasarnya akan merangsang peningkatan sintesis trombopoetin dengan mediator berbagai sitokin diantaranya interleukin-6 yang selanjutnya akan meningkatkan aktivitas megakariositopoetik memproduksi trombosit (Gambar 1B).
Pada trombositosis klonal, terdapat gangguan pengikatan trombopoetin terhadap trombosit dan megakariosit abnormal, sehingga terdapat peningkatan kadar trombopoetin bebas di plasma. Walaupun reseptor trombopoetin (c-Mpl) berkurang, tetapi megakariosit menjadi hipersensitif terhadap aksi trombopoetin, yang akhimya menyebabkan peningkatan megakariositopoetik dan produksi trombosit (Gambar 1 C). Mutasi somatik tunggal protein tirosin kinase JAK2 terlihat bertanggung jawab terhadap berbagai gambaran
walaupun demikian pernah dilaporkan kasus pada anak berusia 2 tahun. Kurang dari l0 Vo pasien berusia kurang dari 10 tahun. Prevalensi trombositosis esensial lebih tinggi
trombositosis klonal termasuk trombositosis esensial. Data
pada perempuan dibandingkan pria. Cortelazzo S dkk pada
Beberapa peristiwa patofisiologi yang terlihat pada pasien dengan trombositosis esensial, yaitu: 1). Adanya
penelitiannya terhadap I 00 orang pasien dengan trombositosis esensial memperlihatkan rerata usia pasien adalah 50 tahun (interval 17-82 tahun) dengan perbandingan pria dan perempuan 39 7o:61 7o.
terakhir memperlihatkan bahwa JAK2
ini berperan
terhadap berkurangnya c-MPL.
bukti perubahan endovaskular pada pasien dengan eritromelalgia. Perubahan ini meliputi pembengkakan vaskular dengan penyempitan lumen yang disebabkan proliferasi otot polos dengan vakuolisasi, pembengkakan
PATOFISIOLOGI
sitoplasma, deposisi material interselular dan fragmentasi lamina elastika intema, 2). Perubahan arsitektur dan fungsi trombosit yang meliputi heterogenitas ukuran, perubahan
Trombopoetin merupakan hormon kunci dalam pengaturan
ultrastruktur, peningkatan jumlah protein spesifik
diferensiasi dan proliferasi megakariosit. Walaupun demikian beberapa sitokin seperti interleukin-6 dan
trombosit, peningkatan tromboksan dan ekspresi epitop pada permukaan trombosit, 3). Perubahan genetika berperan penting dalam regulasi ekspresi trombopoetin, 4). Terdapat hubungan terbalik antara peningkatan jumlah trombosit dengan faktor von Willebrand multimers.
interleukin- 1 I juga berperan dalam proses ini. Dalam keadaan normal, pengaturan produksi trombosit dari megakariosit di sumsum tulang melibatkan pengikatan
t220
r22t
TR {-rrytg6 31'16515 ESENSLAL
4). Peningkatan jumlah trombosit yang menyebabkan produksi berlebihan prostasiklin (PGI.) 1,ang akan menekan penglepasan granul trombosit dan agregasi.
GAMBARAN KLINIS Sepertiga pasien trombositosis esensial mempunyai gambaran klinis yang silent. Lima puluh persen pasien trombositosis esensial, minimal mengalami sekali episode
trombosis dalam waktu 9 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Lesi oklusi vaskular merupakan gambaran klinis utama
pada trombositosis esensial yang gejalanya bervariasi mulai darl episode iskemia transient pada retina, susunan sarafpusat, sampai dengan adanya gambaran klinik yang lengkap. sekunder dari penurunan aliran darah dengan manifestasi angir-ra pektoris, infark ntiokard akut, strok dan trombosis vena dalam. Aspek klinis khusus lesi trombotik pada trombositosis
:"r
I
esensial adalah eritrornelal gia dan trombosis mikrosirkulasi. Eritromelalgia hampir dapat disebut sebagai penemuan patognomonis pada pasien dengan trombositosis esensial. Keluhan ini biasanya dimr-rlai dengan acroparestheslj atau
sensasi gatal pada kaki yiing bisanya dikuti dengan rasa nyeri/terbakar sertii kemerahan dan bendungan yan-q kadang dapat dicetuskan oleh exerci,selpanas. Trombosis mikrosirkulasi berupa lesi pada arteri dan
Gambar 1. Begulasi normal/abnormal produksi trombosit
Trombosis merupakan manifestasi klinis mayor trombositosis esensial. Patogenesis terjadinya tt'ombosis pada trombositosis esensial bersifat multifaktorial. Mekanisme trombositosis esensial dalam menimbulkan
arteriol menghasilkar gejala berupa episode iskernia yang tronsiettt dengan tranif'estasi berupa gangguan visus. clturdicatio intennittent dan infark pada jari. Karena oklusi hanya terjadi pada mikrovaskular maka denyut nadi sering masih teraba pada pada palpasi. Adanya gangren pada jari kaki dengan pulsasi urteri perifer yang masih baik pada pasien dengan peningkatan jumlah trombosit merupakan petanda kuat trombositosis esen
sial.
trombosis masih dieksplorasi secara luas. Karena
Walaupun istilah thrombohemorrhagica umum
trombosis tidak biasa terjadi pada trombositosis reaktif, maka diduga jumlah trombosit saja tidak mempakan dasar untuk terjadinya trombosis. Perubahan arsitektur megakariosit/trombosit dengan trombosit yang abnormal/membesar ditemukan pada pasien trombositosis esensial, tetapi beberapa studi gagal membuktikan hubungan ini dalam menimbulkan trombosis.
digunakan untuk gambaran klinis tlombositosis esensial, perdarahan lebih jarang muncul dibandingkan dengan trombosis. Perdarahan yang muncul biasanya ringan berupa ekimosis superfisial terutama pada ekstremitas,
Interaksi endotel dan trombosit serta peningkatan platelet J'actor (pf 4)lbeta tromboglobulin menyokong aktivasi trombosit yang berlebihan pada trombositosis esensial, merupakan mekanisme penting untuk terjadinya
trombosis. Walaupun lebih jarang manifestasi hemoragis juga dapat muncul pada trombositosis esensial. Hemoragis dapat terjadi melalui beberapa mekanisme: l). Abnormalitas
fungsi trombosit; 2). Trombosis dengan infark yang mengalami ulserasi; 3). Konsumsi laktor koagulasi;
tetapi dapat juga berupa perdarahan spontan epistaksis, ginggiva ataupun perdarahan ilngan pada gastrointestinal/genitouri narius.
Splenomegali didapatkan pada l)Vo pasien trombositosis esensial, sedangkan hipertensi didapatkan sebanyak 30olo. Trombosis vaskular plasenta dengan infark berkaitan tingginya insiden abortus pada perempuan dengan trombositosis esensial. Abortus spontan/berulang dan letardasi pertumbuhan janin terjadi pada 507c pasien perempuan dengan trombositosis esensial. Cortelazzo S dkk pada penelitiannya terhadap 100
orang pasien dengan trombositosis
esensial
memperlihatkan l67c pasien tanpa komplikasi trombosis
t222
HEMIffOIOGI
ataupun hemoragis, 20Vo dengan manifestasi trombosis, dan hanya 47o dengan manifestasi hemoragis.
Carnpbell PJ dan Green AR mengusulkan kriteria
Walaupun jarang, dalam perjalanan penyakitnya trombositosis esensial dapat mengalami transformasi
diagnosis untuk trombositosis esensial sebagai berikut: A1. Hitung trombosit >600 x I 0e/1 minimal dalam waktu 2 bulan
menjadi mielofibrosis dan leukemia mieloblastik akut.
42. Mutasi JAK2
Bl. Tidak DIAGNOSIS Peningkatan jumlah trombosit yang menetap merupakan
gambaran diagnosis utama trombositosis esensial. Walaupun demikian penyebab lain peningkatan jumlah trombosit harus disingkirkan. Trombositosis yang disertai dengan splenomegali lebih mengarahkan diagnosis kepada
trombositosis esensial dibandingkan dengan trombosis reaktif.
Kriteria diagnosis: . Hitung trombosit >450.000 ul (dikonfirmasi lebih dari
. . . . .
84. Tidak didapatkan bukti leukemia mielositik kronik 85. Tidak didapatkan bukti mielofibrosis 86. Tidak didapatkan bukti sindrom mielodisplasia
Diagnosis trombositosis esensial dapat ditegakkan apabilaA-/ + A2 + B3 - 86 (V617F- trombositosis esensial positif) atau Al + Bl - 86 (V6l7F-trontbositr.tsis esettsictl negatif ) Keadaan klinis yang berkaitan dengan trombositosis realrtif:
1
kali)
Tidak ditemukan penyebab lain peningkatan hitung trombosit Tidak ditemukan sindrorr mielodisplasia atau gangguan mieloprol iferatif lainnya. Sumsum tulang dengan:
Akut dan transient
. ..
hiperylasiamegakariositik fibrosis <1/3 bagian
Kriteria tambahan:
. .
didapatkan penyebab trombositosis reaktif
82. Tidak didapatkan bukti defisiensi besi 83. Tidak didapatkan bukti polesitemia vera
Splenomegali
Menetap (menirjam): epinefiin. berkuat Menetap (am-beberapa hari): - Kehilangan darah akut - Penyembuhan infeksi akut - Pasca (rebount[1 trombositopenia - Pasca imunisasi - Pasca kemoterapi cytoreductive - Pasca anemia megaloblastik
-
Invitro'. pembentukan koloni megakariositik spontan
Pasca trombositopenia alkoholrk
Kronik
. .
Menetap dalam waktu yang lama: kehilangan darah kronik dengan defisiensi besi, penyakit inf'lamasi klonik. penyakit inf'eksi kronik, kanker, anemia hemolitik Menetap dan potensial untuk berlangsung seumlir hidup Pasca splenektomi
---ts
DIAGNOSIS BANDING
Pada keadaan ditemukannya peningkatan jumlah trombosit (>450.000/mm3) terlebih dahulu harus disingkirkan bahwa hal ini bukanlah disebabkan oleh
Gambar 2. Gambaran Histologi Trombositosis Esensial A Gambaran darah tepi yang menunjukkan peningkatan jumlah trombosit termasuk adanya trombosit raksasa B Gambaran sumsum tulang yang menunjukkan peningkatan jumlah megakariosit
suatu keadaan trombositosis reaktif. Pada trombositosis reaktif sering ditemukan adanya penyakit dasar dan tidak ditemukan adanya keadaan trombosis/hemoragis serta splenomegali. Di samping itu fungsi trombosit, gambaran darah tepi dan gambaran sumsum tulang dalam batas normal. Selanjutnya harus dibedakan antara trombositosis esensial dengan gangguan
mieloproliferatif lainnya yakni polisitemia pri mer, mielofibrosis idiopatik, Ieukemia granulositik kronik. leukemia easinofilik kronik dan leukemia netrofilik kronik.
t223
TROMBOSITOSIS ESENSI,AL
terbukti dapat dijadikan sebagai terapi alternatif pada trombositosis esensial. Dosis dimulai dengan 2 mglhai Trombosis Klonal Penyakit dasar lskemia Digital/serebrovaskular Trombosis arteri /vena besar Hemoragis Splenomegali Gambaran darah tepi Fungsi trombosit Gambaran sum-sum tulang Jumlah Morfologi
Sering Tidak ada
Risiko tjnggi
Tidak ada
Risiko Tinggi
Tidak ada Tidak ada Trombosit normal
Ya, sekitar 40 %
Trombosit raksasa Mungkin abnormal
o
.
Trombositosis
Esensial
Leukosit (x1 o'g/l)
Trombosit (x1 os/l)
600
-
2500
Eritrosit berinti
Jarang
Alkali fosfatase leukosit
Normal
Sum-sum tulang
Fibroblast Splenomegali (%)
t1t
t) 40o/o
Meningkat Normal
111
,,
-25
12 450
-
Bervariasi 450
800
-
1
000
Umum
t
Hiperselular Cadangan Fe t
Normal - 11
Fibrosis, dry tap
ftf
-11
c)-t
-
80%
80%- 99%
-
5%- 200k
50o/o
10
blastik (%) Tes fungsi platelet abnormal
t1-
15o/o
Masa eritrosit 1
Eritropoetin
J
meminimalkan efek trombohemoragis selama terapi. Pemakaian interferon alfa dibatasi oleh beratnya efek samping yang ditimbulkannya. 20Vo pasien tidak dapat
mentoleransi efek samping ini. Pada perempuan trombositosis esensial denagn risiko tinggi yang
Mielofibrosis ldiopatik
Biasanya
Hiperselular Megakariosit
. .
inotropik positifnya. Efek samping meliputi retensi cairan, palpitasi dan aritmia. Storen EC dan Tefferi Amelaporkan pemakaian jangka panjang anagrelid berkaitan dengan penurunan efek samping yang timbul pada awal terapi.
Normalisasi jumlah trombosit dibutuhkan untuk
Vera
Jarang
Transformasi
Pemeriksaan khusus
Polisitemia
Normal / J Bervariasi
mentoleransi anagrelid karena efek vasodilator dan
Normal
Meningkat Giant, dysplastic forms with increased ploydy associated with /arges masses of platelet debris
(terbagi dalam2-4 dosis) dan dapat ditingkatkan 0,5 mg/ hari setiap 7 hari sampai tercapai target jumlah trombosit dengan dosis maksimal 10 mg/hari. 30% pasien tidak dapat
Tidak ada Karakteristik
. .
Hemoglobin
Trombosis Reaktif
Marrow imaging
PENATALAKSANAAN Hidroksiurea merupakan terapi pilihan pertama pada trombositosis esensial dengan risiko tinggi. Hal ini disebabkan oleh efektifitas serta jarangnya timbul efek samping. Hidroksiurea tidak hanya efektif dalam
berkeinginan/sedang hamil maka interferon alfa menjadi pilihan pertama. Hal ini disebabkan oleh efek teratogenik hidroksiurea dan diketahuinya anagrelid dapat melewati plasenta sehingga keamanannya menjadi tidak terjamin. Trombosit dapat dikurangi hingga <600000 /mm3 pada907o pasien dengan dosis rerata 3000.000 iu setiap hari.
Dalam pemilihan terapi cytoreductive, Spivak dkk merekomendasikan anagrelide dan interferon alfa pada pasien muda dan hidroksiurea pada pasien yang lebih tua. Aspirin sangat efektif sebagai terapi adjungflve, pasien trombositosis asensial dengan trombosis rekuren. Belum banyak ditemukan kepustakaan yang membahas antitrombosit lainnya seperti tiklopidin dan klopidogrel. Campbell PJ dan Green AR merekomendasikan penatalaksanaan pasien dengan trombositosis esesnsial sebagai berikut:
l).
Semua pasien. Pengelolaan terhadap
faktor risiko kardiovaskular lainnya seperti merokok, hipertensi, hiperkolesterolemia dan obesitas; 2). Pasien
dengan risiko tinggi yakni pasien dengan riwayat trombosis atau berusia >60 tahun atau hitung trombosit >1500 X 10efl. Aspirin dosis rendah ditambah hydroxyurea (anagrelide atau interferon alfa sebagai pilihan kedua); 3). Pasien dengan risiko menengah yakni pasien dengan usia 40-60 tahun dan tidak didapatkan gambaran risiko tinggi. Aspirin dosis rendah dan pertimbangkan terapi cytore ductiv ejika didapatkan faktor risiko kardiovaskular; 4). Pasien dengan risiko rendah yakni pasien dengan usia < 40 tahun dan tidak didapatkan gambaran risiko tinggi. Aspirin dosis rendah.
mengurangi jumlah trombosit tetapi juga dalam mengurangi
risiko timbulnya trombosis. Dosis yang digunakan adalah 15 mg/kgbb. Efek samping yang dapat timbul adalah anemia, netropenia, lebih jarang lagi dapat timbul ulkus pada kaki/mulut dan lesi pada kulit. Efek leukemogeniknya masih dalam perdebatan. Anagrelid suatu derivat quinazolin dapat menghambat proliferasi dan diferensiasi megakariosit. Anagrelid telah
REFERENSI Anagrelide Study Group. Anagrelide, a theraphy for thrombocythemic states: experience in 517 Patients. Am J Med. 1992;92:69-76.
Barbui T, F\nazzy G. When and how to treat essential thrombocythemia. N Engl J Med. 2005;353:85-6. Campbell PJ, Green AR. Management of polycythemia vera and essential thrombocythemia. Hematology. 2005:201-9.
1224
HEMAIOLOGI
Caldwell BS. Chronic myeloproliferative disorders, Harmening DM
Clinical hematology and fundamentals of hemostasis. 4'h edition In: Fratantoro C, Waltner P, Brandt J, editors Philadelphia: F.A Davis Company; 2002. p.331-5'7. Cortelazzo S, Finazzi G, Ruggeri M, et al Hydroxyurea for patients with essential thrombocythemia and high risk of thrombosis. N
Engl J Med. 1995;332:1132-6.
Frenkel EP, Mammen EF. Sticky platelet syndromeand thrombocythemia. Hematol Oncol Clin N Am 2003;17:63 Harrison CN. Platelets and thrombosis in myeloproliverative diseases. Hematology. 2005 :409-15. Kausansky KO. The molecular origins of the chronic myeloprolif90.
Spivak JL, Barosi G, Tognoni G et al. Chronic myeloproliferative disorders. Hematology. 2005:200-24. Storen EC, Teffery A. Long-term use of anagrelide in young patients with essential thrombocythemia Blood. 2001;9'7:8636.
A. Effects of anagrelide on in vivo megakaryocyte proliferation and maturation in essential thrombocythemia. Blood. 2002;99 : 1602-9.
Tomer
83
erative disorders:
Messinezy M, Pearson TC. ABC of clinical haematology: polycythemia, primary (essential) thrombocythemia and myelofibrosis. BMJ. 1997;314:587. Schafer AI. Thrombocytosis. N Engl J Med. 2004;350:72II- 9.
it all
makes sense. Blood. 2005;105:4187-
195 MIELOFIBROSIS SuradiMaryono
PENDAHULUAN
Mielofibrosis merupakan suatu kelainan yang dihubungkan dengan adanya timbunan substansi kolagen
berlebihan dalam sumsum tulang. Kelainan
ini
secara
definitif merupakan kelainan sel stem hematopoiesis klonal,
dihubungkandengan chronic myeloproliferative disorders (CMPD), dimana adanya hematopoeisis ekstramedular merupakan gambaran menyolok. Penyakit ini termasukjarang didapatkan dalam praktek sehari-hari, pertama kali dilaporkan oleh Heuck G., pada tahun I 879 (Sit. Clark dan William 2005), dengan nama lebih
30 macam, termasuk: Mielofibrosis primer, osteomielofibrosis, metaplasia mieloid agnogenik, mielofibrosis idiopatik dan lebih sering disebut sebagai Mielofibrosis dengan Metaplasia Mieloid (MMM). MMM perlu dibedakan dengan beberapa jenis lainnya, dimana mielofibrosis disini merupakan fenomena sekunder. ( Thbel 1) Terdapat kelainan bersifat familial yang j arang terdapat,
misalnya primer hyperthrophic osteoarthropathy, mielofibrosis yang terjadi primer akibat gangguan perlumbuhan fibroblas sumsum tulang.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
MMM belum diketahui dengan jelas. Tidak diketemukan adanya faktor pencetus, secara epidemiologi ada beberapa substansi diperkirakan
Kondisi Neoplastik. Gangguan mieloproliferatif kronik Metaplasia mieloid agnogenik Polisitemia rubra vera Leukemi mieloid kronik
Kondisi neoplastik lainnya. Leukemia megakarioblastik akut (M7) Fibrosis dengan mielodisplasia Agnogenik transisional Mielodisplatik metaplasia mieloid Sindrom mieloproliferatif Mieoloid akut lain Leukemia Leukemia limfoid akut Leukemia Hairy cell Mieloma Karsinoma Mastositosis sistemik
Kondisi Non Neoplastik. Penyakit granulomatosa Penyakit paget Hipoparatiroidisme Hiperparatiroidisme Osteoporosis Osteodistrofi ginjal Defisiensi Vitamin D Gray pletelet syndrome Lupus eritematosus sistemik Sklerosis sistemik Diadaptasi dari Clark dan William (Wintrobe's clinical hematology, 2005)
Penyebab
sebagai penyebab, misalnya: Toluen, benzen, radiasi ionisasi. Insidensi tertinggi MMM pada pasien akibat pemberian material kontras radiografi dengan bahan dasar torium yaitu, Torotras. Korban akibat bom atom Hiroshima juga mempunyai risiko MMM 18 kali lebih besar daripada populasi lainnya, simtom pertama muncul
6 tahun setelah eksposur.
MMM
Tefferi (2003) menemukan insidens
di Amerika utara 0,3-1,5 kasus per 100.000 populasi.
HEMATOPOIESIS KLONAL
MMM dengan CML (chronic myeloid leukemia), PY
Pada tahun 1951, Dameshak mengelompokkan
1226
HEMATOLOGI
i cy t he mi a v e r a ) dan ET ( E s s ential thr omb o cy the mi a ) seperti halnya CMPD, karena klinis dan morfologi hampir sama. Semua memperlihatkan adanya: hiperplasia sumsum
FIBBOSIS SUMSUM TULANG DAN HEMATO.
tulang, hematopoiesis yang tidak tergantung rangsangan fisiologis, suatu fase adanya kenaikan konsentrasi sel darah dalam sirkulasi, tendensi fibrosis sumsum tulang dan suatu tendensi terhadap terminasi leukemia akut.
Mielofibrosis pada MMM merupakan reaksi sekunder terhadap hemopatia klonal. Sel fibroblas mensekresi
poliklonal. Mereka distimulasi oleh sitokin yang
Semua gambaran CMPD yang muncul, adalah suatu mutasi somatik sel stem hematopiesis pluripoten. Beberapa observasi memperj elas adany a hem atopoi e-
dibebaskan dari megakariosit neoplastik dan dari klonal sel hemopoietik yang dikembangkan lainnya. Perusakan dan sintesis kolagen terjadi sehingga adanyakonsentrasi
sis klonal neoplastik pada MMM. Separuh pasien yang terdiagnosis, memperlihatkan abnormalitas sitogenetik klonal. Petanda lain klonalitas yang diobservasi adalah: neutrofil sirkulasi, eritrosit, platelet, limfosit dan beberapa prekusornya dalam sumsum tulang, meliputi distribusi isoenzim glukose-6-fosfat dehidrogenase, pola inaktivasi kromosom x pada perempuan, defek sel membran dan
prokolagen (hasil pemecahan kolagen) merupakan
(P o I
mutasi gen N-ras. Konsentrasi sel progenitor dalam sirkulasi pada MMM, 10-20 kali normal dan CD34+ sel progenitor dalam sirkulasi meningkat400 kali di atas level normal. Sel progenitor dari MMM hipersensitif terhadap sitokin dan dapat terjadi proliferasi secara in vitro tanpa rangsangan
sitokin. Sifat-sifat di atas konsisten dengan semua gambaran pada CMPD. Progenitor megakariosit pada pasien
MMM mungkin juga mengalami deferensiasi yang
tidak tergantung trombopoietin (TPO), sebagai rangsangan
POIESIS EKSTRAMEDULABE
kolagen yang akan diakumulasi, sel ini normal dan bersifat
petanda sintesis kolagen baru yang dihubungkan dengan
aktivitas penyakit tersebut. Kolagen ditimbun dalam ruang ekstraselular dan elemen vaskular dalam sumsum
tulang. Empat dari lima tipe kolagen terdapat disini. Kolagen tipe 1 dan 3 merupakan komponen fibrosis utama pada MMM, dan timbunan kolagen meningkat setara
dengan lamanya penyakit. Pada tahap awal MMM persentase kolagen tertinggi adalah tipe 3, sedangkan
pada tahap akhir kolagen tipe 1 (kolagen polimerik) tertinggi. Pada MMM sebagian kecil terdapat molekul matrik yang lebih banyak mengandung heksosamin daripada normal. Vaskularisasi juga meningkat, luasnya
neovaskularisasi
ini
berhubungan dengan luasnya
penyakit dan mungkin hal ini penting terhadap timbulnya fibrosis. Transforming growth factor (TGF)-p sebagai mediator utama terhadap akumulasi kolagen pada MMM. Sitokin ini disintesa oleh megakariosit dan sel endotel
fisiologis.
Adanya mutagen diperkirakan sebagai faktor pencetus
seperti halnya pada sistem monosit-makrofag. TGF-p lebih poten dalam mensekresi kolagen daripada grortth factor derivat platelet atal epidernml growth factor dan mungkin meregulasi kedua sitokin tersebut. TGF-p juga
yang menghasilkan hemopatia klonal pada MMM.
stimulus yang poten terhadap angiogenesis.
Abnormalitas sitogenetik temyata tidak konsisten seperti
Peningkatan angiogenesis ini sesuai penelitian Lundberg et al (2000), dengan membandingkan penyakit mieloproliferatif (PY CML dan mielofibrosis/ MF) dengan pemeriksaan biopsi sumsum tulang normal, disini terjadi peningkatan vaskularisasi secara
PERUBAHAN TINGKAT MOLEKULAR
halnya perubahan gene bcr/abl pada CML, yang
dihadirkan sebagai kandidat gen penting pada patogenesisnya. Perubahan tingkat molekular terjadinya
MMM belum jelas, sampai sekarang masih dalam penelitian. Perbedaan ekspresi panel gen kandidat telah diteliti antara sel progenitor cytokine-independent dari pasien
MMM dengan progenitor
cytokine-dependent
(diperkirakan normal). Immunophilin FKBP5 1 berekspresi berlebihan pada semua pasien yang diteliti dan fungsi ini terutama pada cytokine- independence. Faktor transkripsi GATA-1 aktif pada diferensiasi megakariosit normal. Pada
penelitian tikus terdapat kegagalan ekspresi GATA-l menghasilkan sindrom yang menyerupai MMM. Sehingga peru-bahan langsung pada GATA-1 penting untuk terjadinya MMM. Beberapa gen yang berhubungan dengan pertumbuhan lain telah diteliti, misalnya: Gen retino-blastoma yang mungkin mengalami delesi atau perubahan ekspresi dan gen kalsitonin yang mengalami metilasi. Perkembangan MMM mungkin berhubungan dengan abnormalitas gen p53 atau gen ras.
bermakna pada CML dan MF, sedikit peningkatan pada
PV dibandingkan dengan normal (Gambar 1c). Peningkatan vaskularisasi ini akibat adanya neoangiogenesis karena rangsangan faktor angiogenetik yang dipicu adanya sel ganas. Faktor angiogenetik tersebut
adalah: basic Fibroblast growth factor (bFGF) dar, vascuLar endothial cell growth factor (VEGF), yang akan memicu sel endotel untuk migrasi, proliferasi dan membentuk jaringan pembuluh darah pada tempat
tersebut. Kenaikan kadar TGF-B dapat dideteksi dengan naiknya
sirkulasi platelet dan megakariosit yang merupakan fragmen MMM. Beberapa
g
rowth.facto r lain diperkirakan
juga merangsang fibroblas pada MMM, antara lain: Platelet derived growth factor yang terdapat pada megakariosit MMM, epidermal growth factor, endothelial cell growth factor, interleukin-1 , basic fibroblast
t227
MIELOFIBROSIS
growth factor dan kalmodulin. Beberapa mekanisme bebasnya kenaikan kadar sitokin ke dalam lingkungan sumsum tulang antara lain: Sekresi sederhana dari granulao,megakariosit, megakariosit displastik yang rusak dalam sumsum tulang dan rusaknya megakariosit sitoplasma oleh
leukositPMN. Tikus percobaan yang diberi TPO konsentrasi tinggi, akan terjadi sindrom yang menyerupai MMM. Tikus yang
diinjeksi secara cepat dengan polietilen-glikolconjugated TPO untuk mempercepat hiperplasia megakariosit, trombositosis, fibrosis sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedulare. Walaupun begitu peranan TPO pada MMM belum jelas, walaupun kadar TPO pada MMM meningkat tetapi tidak berkorelasi dengan masa megakariosit. Kenaikan kadar TPO ini diperkirakan karena mekanisme klirens yang berubah. Lebih lanjut ternyata TPO menghambat proliferasi sel stem hemopoietik pada
Sangat sering ditemukan (>50% kasus) S
plenomegali
Hepato megali
Fatique Anemia Le ukosito sis
Trombositosis
Sering ditemukan (10-50% kasus) Asimtomatik Penuru nan berat badan Keringat malam Perdarahan Nyeri splenik Le ukosito penia
Trombositopenia
Kurang sering ditemukan (<10% kasus) Edema periler Hipertensi portal Lim fad enop ati
MMM.
K
Distribusi hematopoiesis ekstramedular pada MMM fetus melibatkan liver dan limpa. Model mielofibrosis dengan merusak pembuluh darah, pada pemeriksaan ultrastruktur memperlihatkan hematopoiesis yang meningkat diluar sumsum yang memadat, dan mulai melepaskan prekusor hematopoiesis. Ruangan ekstramedular ditumbuhi pindahan sel hematopoiesis. Lepasnya prekursor sumsum serupa dengankerusakan
Gout
uning
.Diad aptasi
d
ari
Cl
ark a nd W illiams (Win tro b's, 20 05)
TANDA Splenomegali yang cukup besar merupakan penemuan fisik yang utama (Tabel 2). Hepatomegali diketemukan separuh
sinusoid hasil hematopoiesis ekstramedular pada
pasien, 2-67o terdapat hiperlensi portal, mungkin diikuti
metastasis kanker dan mungkin merupakan mekanisme
komplikasi: asites, varises esofagus, perdarahan
umum.
gastrointestinal dan ensefalopatia hepatik. Juga ditemukan petekie, ekhimosis dan limpadenopati. Beberapa pasien memperlihatkan adanya detmatosis neutrofilik serupa pada
GAMBARAN KLINIS UNTUK DIAGNOSIS
sweet-syndrome
dan mengalami
hematopoiesis
ekstramedular dermal, osteosklerosis yang sebagian diikuti
MMM menyerang golongan umur menengah dan tua,
periostetis dengan nyeri tulang dan ketulian. Bila
rerata umur 60 tahun, pria dan perempuan mempunyai kemungkinan sama. MMM kurang sering mengenai umur muda dan jarang pada anak. Anak lelaki 2 kali daripada perempuan. Pada beberapa kasus dilaporkan adanya faktor
permukaan serosa terlibat dalam hematopoiesis mungkin akan terdapat efusi pleura dan perikard atau asites. Kadang diikuti komplikasi neuroplogis berupa: tekanan intrakranial meninggi, delirium, koma, perdarahan subdural, kerusakan motorik, sensorik dan paralasis.
familial.
GEJALA Pada 257o kasus MMM berpenampilan asimptomatis, diagnosis disugesti dengan adanya pemeriksaan darah
yang abnormal atau secara insidensil terdapat splenomegali. (Tabel 2)
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan sel eritrosit bentuk tear drop yang dihubungkan adanya eritrosit berinti dalam sirkulasi, leukosit neutrofil imatur dan plate-
Gejala klinis pada umumnya: kelelahan otot dan
let besar abnormal (Gambar 1a,1b). Retikulosit
penurunan berat badan (1-39Vo), sindrom hipermetabolik
meningkat; eritrosit polikromasi, fragmentasi dan sel target juga sering diketemukan. Abnormalitas morfologi ini diakibatkan adanya perubahan hematopoiesis, bebasnya sel lebih awal dari sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedular. Bagaimana perubahan ini terjadi masih belumielas.
(demam, keringat malam terdapat 5-20Vo pasien), perdarahan dan memar, kadang terdapat masa dalam perut,
Gout dan kolik renal terdapat 4-6Vo, tophi jarang didapatkan, diare dengan sebab tak jelas dan nyeri substemal kadang diketemukan.
t228
HEMATOLOGI
Anemia dengan Hb kurang
l0 grldl, ditemukan
60%
kasus, yang dapat terjadi akibat hemodilusi akibat volume
plasma yang meningkat, gangguan produksi sumsum tulang dan hemolisis.
Hapusan darah tepi pasien mielofibrosis: aniso-
poikilosrtosis. oval dari eritrosit, reaksi leukomoid (samping granulosit terdapat satu metamielosit, satu
promielosit dan satu normoblas). (SLrrrber: Atlas hematologi, Heckner & Freud, 1999)
Hasil, A: Terdapat mikrovaskular lurus, sedikit bercabang dan jarang berkelok. B: Mikrovaskular lurus.
sedikit bercabang, tidak berkelok. C: Terdapat mikrovaskular pendek, banyak bercabang dan berkelol<. D: Terdapat mikrovaskular banyak bercabang dan sedikit berkelok. (Sumber: Lunberg et al.,2000)
Sedangkan penyebab hemolisis diperkirakan: hipersplenisme, autoantibodi eritrosit, hemoglobin H
Gambar 1a. Teardrop poikilocytes dan sel darah merah berinti dari darah pasien mielofibrosis (pembesaran 400x) (Sumber: Clark
dan william, Wlntrob s 2005)
yang didapat dan adanya sensitivitas membran kornplemen yang serupa PNH (Parr.r-rlsmal noctrLLnal hemoglobin uria).
Morfologi anemia tidak khas pada umumnya normositik normokromik, makrositik bila defisiensi asam folat dan mikrositik hipokromik bila deflsiensi Fe atau perdarahan gastrointestina[. Jumlah leukosit meningkat pada 500/o kasus, diikuti eosinofilia dan basofilia, sedangkan jumlah limfbsit normal. Beberapa mieloblas ditemukan dalam sirkulasi perifer dan mungkin tidak dipikirkan adanya konversi ke arah leukemia akut, tetapi konsentrasi mieloblas >l% memberikan prognosis jelek. Juga ditemukan neutrofil hipersegmen, kenaikan enzim neutrofil, trombosit meningkat pada awal MMM, pada progresil'iras penyakit dapat terjadi trombositopenia. Platelet biasanya berrLl
lragmentasi. Fungsi platelet sering tidak norrnal,
Gambar 1b. Hapusan darah tepi pasien mielofibrosis: aniso-poikilositosis. oval dari eritrosit, reaksi leukemoid (samping granulosit terdapat satu metamielosit, satu promielosit dan satu normoblast) (Sumber:Atlas hematologi, Heckner & Freud,1999)
gangguan waktu perdarahan dan retraksi jendalan dan penurunan: kadar platelet factor 3, platelet adhesiveness dan aktivitas lipogenesis. Perubahar.r pada faktor pembekuan yang terlarut dapat terjadi pada penyakit
tersebut. Koagulasi intravaskular diseminatai D s e mi n ctt e d I ntr ay a s cu ar C o a gu a t o n (KlD I D I C' ) i
s'
I
I
i
subklinik dapat ditemui pada 159'r, pasien MMM bentul< lanjut dan defisiensi thktor V yang didapat dapat terjadi pada pasien tersebut di atas. Kadar asam urat darr enzitn
laktat dehidrogenase hampir selalu meningkat, menggambarkan adanva massa yaltg berlebihan dari sel hematopoietil< atau adanya hematopoiesis yang tidak efektifatau keduanya. juga dapat terladi kenaikan kadar cnzim alkalinetbsfastase serum yang merupal
Gambar 1c Pemeriksaan mikroskopis laser confokal hasil biopsi sumsum tulang normal
(A) PV (B),
MF (C) dan CML (D)
1229
MIELOFIBROSIS
SUMSUM TULANG Aspirasi pada sumsum tulang mungkin tidak berhasil (drytap) dan memerlukan biopsi sumsum tulang untuk menegakkan diagnosis MMM. Suatu konsensus telah dibuat oleh ltalian Society
o.f
Hemcttology.
Data morfbtogi dan klinis digabungkan untuk rnendiagnosis banding MMM dari penyakit CMPD lainnya, dan dari sindroma mielodisplasia dengan fibrosis sumsum tulang. Kriteria tersebut adalah: fibrosis sumsum tulang dan kelainan morfologi hiperplasia sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedular. Ketiga elemen tersebut di atas harus terdapat untuk diagnosis MMM. (Tabel 3) Gambar 2a. Reticulin stain dari spesimen biopsi sumsum tulang
menampilkan peningkatan kolagen (diperbesar 400x) (Sumber:Clark dan William, Wintrob's 2005)
Kriteria Mayor Fibrosis sumsum tulang difus Hilangnya t9:22 kromosom atau bcr/abl rearrangement pada sel darah perifer Splenomegali.
Kriteria Minor Anisopoikilositosis dengan tear dropred cells Sel darah merah berinti dalam sirkulasi Clustred marrow megakaryoblast dan anomalous megakariocytes Metaplasia mieloid *Catatan . Ketiga kriteria mayor ditambah dua kriteria minor manapun atau dua kriteria mayor pertama ditambah empat kriteria minor manapun harus didapatkan, untuk diagnosis
.l'"
'
i.
-+:
MMM
.Diadaptasi dari Clark and Williams (Wintrob's, 2005)
Fibrosis harus terjadi pada semua kasus MMM, dan biasanya pada pasien lanjut. Pada stadium aival 1-rbrosis minimal dan hiperplasia sLlulsum tnlang rnungkin lebih jelas. Keadaan tersebut disebut fase selular MMM. Bilarr,ana fibrosis sunlsum tulang tidak terbukti pasien yang dicurigai MMM, perlu diambil material dari tempat lain, karena penyebaran tidak rrerata.
Fibrosis mungkin perlu digradiasi menurut sistem yang telah dipublikasi dan bukti adanya osteosklerosis (Gambar
2a,2b). Bila fibrosis masif, selularitas keseluruhan akan turun, tetapi adanya hiperplasia megakariosit tetap ada. Sinusoid sumsum tulang akan meluas, disini akan terjadi
Gambar 2b. Ada fungsi sumsum tulang: Fibrosis sumsum tulang total, kegagalan hematopiesis (Sumber: Heckner & Freud, Atlas hematologi,l 999)
Granulosit dapat hipo atau hiperlobulated sehingga rnemperlihatl
hematopoiesis intravaskular (Gambar 3).
Kenaikan jumlah sel mast dapat diobservasi pada pasien menjadi fibrosis pada saat biopsi. Pada sediaan apus sumsum, sepintas tidak terlihat kelainan, tetapi sering
ABNORMALITAS KROMOSOM
didapatkan hiperplasia neutrofilik dan megakariosit.
Separuh pasien MMM terdapat abnormalitas klonal kariotipe. Hanya sedikit pasien memperlihatkan
Adanya mikromegakariosit dan makrom e gakariosit dapat ditemukan, sehingga menimbulkan nuclear-cytr,tplasmic asynchrony.
abnormalitas pada metafase, yang membuktikan pada
pasien MMM menyisakan sel
hematopoiesis
1230
HEMATOLOGI
PEMERIKSAAN PATOLOGI
MMM adalah adanya fibrosis sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedulare. Gambaran khas pada
Fibrosis sumsum tulang diikuti adanya osteosklerosis 30707o kasus, terutama mengenai kerangka aksial dan bagian
proksimal tulang panjang. Korteks tulang mengalami penebalan dan pola normal trabekula menghilang. Hematopiesis terutama terjadi di lien dengan adanya splenomegali, liver dan beberapa organ Iain juga dapat terlibat, misalnya: limfonodi, ginjal, adrenal, periosteum, usus, pleura, paru, jaringan lemak, kulit, mammae, dura, ovarium dan thimus. Gugusan hematopoiesis mungkin mengandung beberapa campuran turunan prek-usor mieloid
infiltrat mikroskopis atau tumor makroskopis. Proporsi eritroid lebih tinggi pada sisi ekstramedular daripada dalam sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedular, ada tendensi adanya indeks mitosis rendah, sel imatur dan megaloblastik yang tinggi daripada hematopiesis medular. Kerusakan organ target dapat terjadi akibat tekanan fisis sekitarjaringan normal, tetapi architektur normal tetap dapat dipertahankan. dan kemungkinan terlihat sebagai
Gambar 3. Potongan biopsi sumsum tulang dari 2 pasien metaplasia mieloid agnogenik menampilkan fase prolileratif sumsum tulang dengan hiperplasia yang melibatkan semua fibrosis cell lines dan relatif sedikit (Pembesaran 200x) (A) Fibrosis intens dengan pembentukan Iulang batu, dilated sinusoids, dan residual megakaryocytes (hematoksilin dan eosin,
pembesaran 100x) (B) (Sumber: Clark dan William, Wintrob's 2005).
HIDUP Pada
MMM rata-rata
dapat bertahan hidup 3-7 tahun dan
kurang 20 7o dapat hidup lebih 10 tahun. Prognosis ini
normal. Sering ditemukan delesi pada segmen kromosom yang dihubungkan dengan gene retinoblastoma, del l3(q13q21) dan del 20q. Kromosom yang sering terganggu adalah: 1,5,7,8,9,13,20 dan 21. Bentuk trisomi dan monosomi, delesi partial dan translokasi juga sering ditemukan. Fibroblas tidek berperan terhadap abnormalitas kromosom pada MMM.
KERUSAKAN SISTEM IMUN Secara klinis abnormalitas sistem imun sering terjadi pada MMM, hal iui kontras dengan CMPD lainnya. Sel limfosit T dan B langsung terpengaruh oleh defek sel stem pada MMM dan defek fungsional sel B dan T mungkin dapat
diperlihatkan. Variasi abnormalitas sistem imun humoral telah ditemukan. Menurunnya kadar C3 dapat terjadi dan menyebabkan naiknya kemungkinan infeksi bakterial. Autoantibodi patologis dapat ditemukan antara lain: autoantobodi antieritrosit, antibodi antiplatelet, antibodi antinuklir, antiimunoglobulin dan antibodi antifosfolilpid. Pada MMM sumsum tulang difiltrasi limfoid. Gamopati monoklonal dapat timbul l)a/o pasien MMM, pada beberapa kasus kejadian simultan plasma pernah dilaporkan.
PERKEMBANGAN ALAMI DAN KEMAMPUAN
MMM
dan diskrasia sel
diperkirakan diperkirakan sesuai dengan waktu pertengahan timbulnya krisis blastik pada CML dan kemungkinan lebih jelek dari kemampuan hidup pada ET
dan PV. Pasien dengan bukti penyakit lebih banyak memberikan suivival lebih pendek. Prognosis lebih baik bila: Tidak terdapat simptom konstitusi, Hb >10 grldl, platelet > 100 x 10e/L dan tidak adahepatomegali. Pasien lebih muda mempunyai kemampuan swvival lebih baik, seperti halnya rendahnya konsentrasi mieloblas dalam sirkulasi. Adanya abnormalitas sitogenetik termasuk single clone dengantranslokasi kromosom 1, 5q-, trisomy 8, l3qatau 20q-, mungkin dengan prognosis lebih baik, tetapi secara keseluruhan pasien dengan kromosom abnormal mempunyai prognosis lebih jelek daripada kariotipe normal. Demikian juga pasien dengan peningkatan volume
plasma atau peningkatan kadar reseptor IL-2 terlalut mempunyai surulval lebih jelek. Reilly, Snowden dan Spearing et al (1997) membuat beberapa skor prognosis meliputi: usia, kadar Hb, simptom konstitusi dan kariotipe. Pasien dikelompokan berdasar grup risiko dengan kemungkinan hidup terpendek 16 bulan
dan terpanjang 180 bulan. Dengan berjalannya waktu simptom dan sitopenia menjadi memberat walaupun secara spontan terjadi perbaikan. Beberapa masalah yang timbul
misalnya: penurunan berat badan, edema ekstremitas bawah, infeksi terutama pnemonia. Hampir semua pasien
1231
MIELOFIBROSIS
terjadi splenomegali yang semakin memberat sehingga
related donor. Pada seri Seatle, 8 dari 19 pasien donor
timbul rasa sakit dan nyeri tulang. Sebagian pasien terjadi hipertensi portal dengan varises esofagus, akibat dari: Kenaikan aliran darah splenoportal, trombosis vena hepatika, trombosis vena portal, hemokromatosis pasca transfusi dan hematopoiesis intrasinusoidal. Perdarahan dapat akibat: trombositopenia, defek platelet, Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau defisiensi faktor pembekuan. Kematian pasien MMM, bervariasi antara lain: infeksi, perdarahan, gagal jantung, cerebrovascular accidents, gagal ginjal, gagal hati dan trombosis. Konversi ke arah leukemia dilaporkan 5-20Vo kasus. Perubahan ke arah leukemia tidakjelas, beberapa kasus tanpa eksposur terapi
HLA-matched tetapi unrelated,2 dari 19 donor adalah one-antigen mismatches. Suryival keseluruhan dalam 5 tahun sebanyak 50Vo. Adanya kariotipe abnormal, anemia dan umur tua diikuti outcome yang jelek. MMM dengan umur > 45 tahun kemampuan hidup 5 tahun
sitostatika, kejadian kearah leukemia limfositik akut serupa dengan leukemia mieloid akut.
sebanyak l4Vo. Semakinmenjadi jelas, bahwa pada pasien
lebih muda dengan 2faktor risiko, dengan prediksi sarvival rendah, tanpa pengobatan kuratif, dipertimbangkan dilakukan HSCT secepatnya setelah diagnosis tegak.
Untuk pasien lebih tua dengan HSCT mungkin memberikan outcome yang rendah dan faktor risiko jelek tidak ditemukan, maka sebaiknya ditunda dahulu sampai faktor risiko muncul, walaupun data tentang hal ini belum banyak dilaporkan.
Terapi Androgen dan Kortikosteroid Hormon androgen dapat diberikan pada anemia akibat
PENATALAKSANAAN
MMM mungkin
dapat disembuhkan dengam hematopoietic stem cells Transplantation (HSCT), tetapi HSCT biasanya berhasil untuk pasien muda dan merupakan risiko kematian
yang bermakna. Tidak ada bentuk terapi lain untuk survival atau mencegah progresi
memperpanj ang mielofibrosis.
Terapi suportif diarahkan langsung terhadap komplikasi yang terjadi. Beberapa pasien asimptomatis dan memerlukan observasi. Allopurinol diberikan untuk mempertahankan urat darah tetap normal, untuk menghambat: nefropatia urat, renal kalkuli dan gout. Anemia dan trombositopenia dapat timbul, dan akan berkembang terus sampai timbul gejala. Bila beberapa
terapi gagal memperbaiki hematopoiesis, transfusi diperlukan untuk mempertahankan hitung darah. Suplemen asam folat diperlukan karena seringnya kejadian
hemolisis.
ALLOGENEIC HEMATOPOIETIC STEM CELL
MMM. Dengan respon rate 29-577a. Perbaikan spontan mungkin dapat terjadi pada MMM, sehingga respon terhadap terapi perlu dianalisa secara cernat. Perempuan dengan splenomegali minimal dan pasien dengan kariotipe normal memberikan prognosis lebih baik. Sebelumlerapi dengan androgen, pria perlu diskrining kelenjar prostat baik secara fisis maupun dengan antigen spesifik untuk prostat, pada perempuan perlu diperhatikan adanya efek virilisasi. Selama terapi dengan androgen perlu dimonitor faal hati. Beberapa skedul dosis telah memberikan hasil cukup baik, diantaranya androgen sintetik oral: fluoksimesteron, dosis: 2-3 kali 10 mg sehari. Bila tidak ada perbaikan setelah 3-6 bulan terapi, androgen harus dihentikan. Beberapa
pasien yang tidak berespon terhadap androgen, kemungkinan memberikan respon preparat lain, karena daya hidup eritrosit memendek pada MMM, kemungkinan
kortikosteroid adrenal memperbaiki daya hidup eritrosit dan memperbaiki anemianya. Prednison oral, dengan dosis: I mg/kg. berat badan sehari, memberikan respon pada 25-507o pasien. Respon paling baik dilaporkan terdapat pada pasien perempuan. Pasien dengan hemolisis perlu
diberikan suplemen asam folat. Androgen dan kortikosteroid kadang dapat dikombinasikan. Dosis
T ra n s p I a
ntafion (AHSCT)
Hampir semua pasien CMPD mungkin dapat disembuhkan dengan HSCT. Terbatasnya pendekatan ini karena faktor
dimulai dengan prednison 30 mg/ hari, dengan kombinasi fluoksimesteron 10 mg dua kali sehari, bila terdapat respons setelah satu bulan terapi, dosis prednison diturunkan
off,
umur dan kondisi pasien, dengan menggunakan donor
secara tapering
yang cocok serasi dan morbiditas serta mortalitas yang dihubungkan dengan prosedur. Adanya fibrosis sumsum tulang dan splenomegali rupanya bukan hambatan untuk
dilanjutkan.
HSCT.
Kemoterapi jarang memberikan remisi hematologis, dan tidak memberikan perubahan secara umum pada MMM, tetapi mungkin sangat memberikan perbaikan pada gejala.
Dilaporkan oleh Guardiole et al (1999) dan Jurado et al. William (2005 ) kelompok I nt e rnatio nal cooperative trial dengan 55 pasien, hampir semua umur muda, umur rerala 42 tahun, dengan HLA-identical (200 1 ) sit. Clark dan
sedangkan fluoksimestefon
Kemoterapi
Kemoterapi dapat mengurangi hepatomegali dan splenomegali sefta memperbaiki penurunan berat badan,
1232
demam dan keringat malam sampai 707o pasiery serta mengurangi leukositosis, trombositosis dan anemia. Kemoterapi yang pernah digunakan: busulfan, melfalan, 6-tioguanin dan hidroksiurea. Pada MMM pemberian kemoterapi harus lebih hati-hati karena cenderung terjadi toksik sumsum tulang daripada CMPD lainnya. Misalnya pemberian Busulfan 2-4 mg/hai sudah merupakan dosis
maksimum yang dapat diberikan dengan derajat keselamatan pada MMM. Pasien harus dimonitor secara frekuen dan kontinyu, terutama bila timbul sitopenia. Hidroksiurea dapat diberikan dosis teneduksi 500- 1000 mg
selang sehari, dengan penyesuaian dosis tergantung respons klinis dan hitung darah.
lradiasi Pasien dengan hipersplenisme mungkin dapat memberikan
respon dengan iradiasi splenik, terutama bila ada kontraindikasi untuk splenektomi. Hampir semua pasien mengalami perbaikan keluhan nyeri dan > 507o te4adi pengurangan ukuran lien. Iradiasi splenik akan memberikan perbaikan sitopenia, diberikan dengan fraksi kecil dengan
pemantauan ketat. Dosis fraksi 15-100 cGy,2-3 kali per minggu. Dosis total 700-2400 cGy dapat memberikan hasil yang nyaman dengan toleransi toksisitas. Hasil sementara baru dapat dilihat setelah beberapa bulan terakhir. Tumor hematopoiesis eksffamedular simptomatis juga memberikan respons terhadap terapi iradiasi, terutama cocok pada nyeri tulang dari tumor atau periostitis dan pada deposit susunan saraf pusat.
Splenektomi Splenektomi dipertimbangkan pada pasien refrakter terhadap terapi: Sitopenia, hipertensi portal, atau gejala akibat hipersplenisme. Dengan splenektomi memberikan
perbaikan: simptom hipersplenisme, hipertensi portal, anemia dan trombositopenia, walaupun perbaikan ini tidak selalu dapat dipertahankan setelah satu tahun tindakan.
Splenektomi pada MMM harus hati-hati, karena organomegali yang besar sehingga mungkin terjadi adhesi, naiknya aliran darah dan status compromised pasien. Adanya DIC(KID) ringan yang ditandai kenaikan kadar D-dimer sering ditemukan pada MMM, dengan nsiko perdarahan yang tidak mudah diperbaiki preoperatif. Mortalitas operasi akut dapat mencapai 38Vo, pada stadium awal penyakit, sedangkan mortalitas pada perawatan rumah sakit yang lebih modern turun <107o dan257o dalam 3 bulan. Splenektomi kadang menimbulkan
krisis aplastik, karena lien menjadi tempat hematopoeisis ekstramedular, pada fibrosis sumsum tulang berat.
Pengobatan Lain Interferon dipefiimbangkan karena dapat menekan aktivitas TGF-p dan efektivitasnya pada CML. lnterferon-o.mungkin bermanfaat menghilangkan nyeri tulang, trombositopenia
dan spenektomi, tetapi efektivitas ini menurun dengan adanyaflulike symptoms berat dan memberatnya anemia. Vitamin D beserla analognya dapat menekan prolioferasi magakariosit dan memperbaiki mielofibrosis yang dihubungkan dengan rickets. Anagrelid dapat menurunkan trombosit tetapi tidak memperbaiki kelainan klinis lainnya. Beberapa pasien dapat diberikan eritropoeitin bahkan lebih baik bila dikombinasikan dengan interferon. Pasien dengan
MMM berat dapat diberikan preparat antiangiogenik Talidomid, 20Vo kasts terjadi perbaikan dengan menurunnya simptom konstitusional, ukuran lien dan perbaikan hitung darah. Efek samping serius dilaporkan
antara lain: leukositosis dan trombositosis berat hematopoiesis ekstramedular perikardial, dan dapat terjadi pada dosis awal yang sangat rendah 50 mgihari. Beberapa peneliti memberikan kombinasi Talidomid 50 mgihari dengan prednison 0,5mg&g/h zn, 95Vo memberikan respon komplit dalam 3 bulan pengobatan. Suramin dan imatinib dilaporkan pemah diberikan pada MMM, dengan hasil yang belum jelas. Kuretase secara mekanik sejumlah jaringan fibrotik sumsum tulang iliaka, diperkirakan dapat meningkatkan hematopoiesis dan memperbaiki anemia, walaupun hal ini dengan prosedur komplek dan tidak selalu berhasil pada semua pasien. HSCT analog setelah pemberian dosis tinggi busulfan, pernah dilakukan pada sejumlah MMM lanjut yang refrakter terhadap terapi lain, walaupun dengan mortaiitas cukup tinggi (6 daril2 pasien), hampir semua pasien terjadi perbaikan simtom hipersplenisme dan separuh pasien terjadi perbaikan anemia dan trombositopenia.
Diagnosis Banding Diagnosis MMM berdasarkan triad: fibrosis sumsum tulang, hematopoiesis ekstramedular dan hematopoiesis
klonal dengan tidak diketemukannya penyakit yang mendasari. Tidak diketemukan tanda-tanda patognomonik dan bukti hematopoiesis klonal secara tidak langsung bila kariotipe abnormal tidak ditemukan. Biopsi sumsum tulang penting dilakukan untuk menentukan adanya fibrosis dan
membuktikan adanya hematopoiesis klonal dalam bentuk panhiperplasia sefta untuk menyingkirkan adanya proses infiltrasi. Untuk diagnosis memakai ltalian concensus conference (Tabel 3), walaupun mungkin tidak berlaku untuk fase awal MMM.
Dilaporkan adanya komplikasi splenektomi yang bermakna: infeksi intraabdominal, trombositosis berat
Mielofibrosis Akut
dengan trombosis dan hepatomegali yang cepat
MMM kadang sukar dibedakan dengan mielofibrosis akut. Lewis dan Szur(1983. sit Clark dan William, 2005) melaporkan adanya pasien dengan: Fibrosis sumsum
membesar. Dua terakhir tersebut mungkin memerlukan siklus kemoterapi pascaoperatif.
L233
MIELOFIBROSIS
tulang. pansitopenia, demam dan secara cepat menjadi fatal, mereka menamakan sindrom ini dengan : " M ali gnant myelosclerosls" dan hal ini yang disebut sebagai: mieloseklerosis akut atau Mielofi-brosis akut. Beberapa publikasi memasukan pasien dengan fibrosis sebagai
Suatu studi dari Mayo Clinic dari 50.277 apusan darah terdapat gambaran leukoeritroblastik sebanyak 215 atau 0,4Vo. Dua pertiga kelompok ini mempunyai riwayat keganasan (1974, Sit: Clark & William, 2005). Diagnosis mielofibrosis sekunder berdasarkan adanya
komplikasi leukemia akut, MMM dalam transisi ke
penyakit yang mendasari. Mielofibrosis sekunder
leukemia akut dan fibrosis dengan komplikasi sindrom mielodisplasia. Bahkan beberapa pasien dengan sindrom ini, secara cepat berkembang menjadi bentuk aleukemik dari leukemia megakarioblastik akut (French-American-
postpolycythemicPY dan komplikasi jarang dari Systemic lupus erythematosus danickets. Bila mielofibrosis karena
British, M7). Mielofibrosis akut harus dibedakan dengan
biasanya mudah dideteksi. TBC dan infeksi jamur biasanya
MMM, karena bentuk ini diterapi
sudah diobati sebelum muncul mielofibrosis sekunder .Hampir semua mielofibrosis sekunder merupakan metastasis keganasan. Pemeriksaan hidroksiprolin urin suatu
sebagai leukemia akut,
tidak terdapat splenomegali dan dalam sumsum tulang terdapat peningkatan megakarioblas.
Kelainan Mieloproliferatif Kronik Lain MMM juga perlu dibedakan dengan CML, ET dan PV (Polisitemia vera). Bila fibrosis sumsum tulang sebagai gambaran utama maka diagnosis menjadi sulit. PV yang berakhir dengan MMM like syndrome, adalah 15-20Vo pasien. Mielofibrosis pada PV, lebih sering terjadi setelah
beberapa tahun parjalanan penyakit. Karena pasien dengan postpolisitemik PV, menjadi simptomatik akibat
merupakan gambaran reguler dari kondisi teftentu termasuk
infeksi biasanya bentuk kronis, menyebar luas dan
metabolit dari kolagen dapat membedakan antara mielofibrosis sekunder dengan MMM. Pada MMM ekskresi normal, meningkat pada keganasan dan mielofibrosis sekunder.
Pengobatan mielofibrosis sekunder terutama pengobatan penyakit primer yang mendasarinya. Perbaikan
pengobatan fibrosis, dilaporkan setelah pengobatan berhasil pada PV, penyakit Hodgkin, metastasis prostat dan karsinoma marnmae.
ekspansi masa sel darah merah dan menjadi awal perhatian,
serta diagnosis biasanya dibuat sebelum timbul fibrosis sumsum tulang. Pasien dengan PV, pertama diketemukan adanya mielofibrosis fase postpolisitemik perj alanannya lebih progresif daripada pasien MMM. Mielofibrosis juga
dapat terjadi pada CML, tetapi untuk deferensial diagnosis dengan MMM berdasarkan pada analisa genetik. Pemeriksaan kariotipe atau dengan pemeriksaan probe hibridizasion fluorescen insitu untuk perubahan ger, bcr/ abl, dapatmelengkapi sumsum tulang dan gambaran darah tepi. Lebih kurang 95Vo pasien CML yang tipik, terdapat kromosom abnormal ,t9:22Philladelphia (Phl) dan hampir semua memperlihatkan bukti adanya kerusakan gen bcr/
abl. Beberapa kasus kadang ditemukan bersamaan translokasi 9:22 dengan atau tanpa dideteksi adanyabcr/ abl.PadaCML pembesaran lien sebanding dengan jumlah leukosit. Bila lien membesar, tetapi jumlah leukosit kurang dari 1 00 x 1 0e per L, mungkin kearah MMM daripada CML. Pada ET dengan fibrosis sumsum tulang, kondisi ini dapat meyerupai stadium awal MMM, dan untuk menentukan diagnosis memerlukan pengamatan lebih jauh.
Mielof ibrosis Sekunder Mielofibrosis mungkin dapat terj adi akibat reaksi terhadap : Keganasan, infeksi dan beberapa penyakit lain (tabel 1). Hal ini dapat dihubungkan dengan perubahan darah tepi dan hematopiesis dengan penampilan seperti MMM.
REFERENSI Bianco Paulo, et al. Bome marrow stromal stem cells: nature, biology and potential applications. Stem Cells. 2001;19:3:180-92. Clark DA, William WL. Myelofibrosis. Wintrobe's clinical hematology. 11th edition. In: Richard Lee, Foerster, Lukens, Paraskevas, Greer and Rodgers, editors. Baltimore Maryland: William & Vilkins; 2005. p. 2273-83. Heckner dan Freund. Atlas hematologi. Praktikum hematologi dengan mikroskop. In: Alih bahasa Wanandi SI, Suwono WJ, editors. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 1999. p.82-4. Lunberg LG et al. Bone marrow in polycythemia vera, chronic myelocytic leukemia and myelofibrosis has an increased vascularity. Amer J pathol. 2000;157:15-19. Mesa AR, et a1. A phase 2 ttial of combination low-dose thalidomide and prednison for the treatment of myelofibrosis with myeloid metaplasia. Blood. 2003;101:7 :1534-51.
Papaiakovon VE, et al. Thalidomide in cancer medicine. Annals
Oncology. 2004;15:
I 15 1-60.
Spirak JL. Polycythemia vera and other myeloproliferative diseases.
In: Kasper DL, Fauci AS, Braunwald E, Longo DL, et
al, editors. Harrison's principles of internal medicine. 16'h Edition. New York: Mc Graw-hill; 2005, p. 626-31. Tefferi A. The forgotten myeloproliferative disorder: myeloid metaplasia. The Oncologist, 2003;8:3:223-31. Vannocchi AM, et al. Development of myelofibrosis in mice genetically impaired for GATA-I expression (GATA-I low mice). Blood. 2002: 100t1 123-3. Wieczorek AJ, et al. Autocrine/paracrine mechanisms in human hematopoiesis. Stem Cells. 2001 19 2:99-101.
196 LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT Johan Kurnianda
PENDAHULUAN
LMA, meskipun
Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid. Bila tidak diobati, penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa minggu sampai bulan sesudah diagnosis. Sebelum tahun l960an pengobatan LMA terutama bersifat paliatif, tetapi sejak sekitar 40 tahun
ETIOLOGI Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak diketahui. Meskipun demikian ada beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor predisposisi LMA pada populasi tertentu. Benzene, suatu senyawa kimia yang banyak digunakan pada industri penyamakan kulit di negara sedang berkembang, diketahui
LMA ini dicapai dengan regimen kemoterapi yang lebih baik, kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok sumsum tulang dan terapi suportif yang lebih baik seperti anti biotik generasi baru dan transfusi komponen darah untuk mengatasi efek samping pengobatan. Selain itu sejak
merupakan zat leukomogenik untuk LMA. Selain itu radiasi
ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA. Ini diketahui dari penelitian tentang tingginya insidensi kasus leukemia, termasuk LMA, pada orang-orang yang selamat dari serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Efek leukomogenik dari paparan ion radiasi
sekitar 2 dekade tahun yang lalujuga telah dikembangkan
leukemi
a dengan
cara
immunophenotypiitg dan analisis sitogenetik yang
tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun sesudah pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun sesudah pengeboman. Faktor lain yang diketahui merupakan predisposisi untuk LMA adalah trisomi kromosom 2l yang dijumpai pada penyakit herediter
menghasilkan diagnosis yang lebih akurat.
INSIDENSI Di negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32Vo dari seluruh kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85Vo) dari pada anak (157o). Insidens LMA umumnya tidak berbeda dari masa anakanak hingga masa dewasa muda. Sesudah usia 30 tahun, insidensi LMA meningkat secara eksponensial sejalan dengan meningkatnya usia. Insidens LMA pada orang yang berusia 30 tahun adalah 0,87o, pada orang yang berusia 50 tahun 2,7Vo, sedang pada orang yang berusia di atas 65 tahun adalah sebesar 13,1Vo. Secaraumum tidak didapatkan adanya variasi antar etnik tentang insidensi
LMA
den-ean ras Kaukasia.
yang lalu pengobatan penyakit ini berkembang secara cepat dan dewasa ini banyak pasien LMA yang dapat disembuhkan dari penyakitnya. Kemajuan pengobatan
teknik diagnostik
pernah dilaporkan adanya insidens
tipe M3 yang 2,9 hingga 5,8 kali lebih besar pada ras Hispanik yang tinggal di Amerika Serikat dibandingkan
sindrom Down. Pasien sindrom Down dengan trisomi 2l mempunyai risiko 10 hingga 18 kali lebih
kromosom
tinggi untuk menderita leukemia, khususnyaLMA tipe M7. Selain itu pasien beberapa sindrom genetik seperti sindrom Bloom dan anemia Fanconi juga diketahui mempunyai
risiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal untuk menderita LMA. Faktor lain yang dapat memicu terjadinya LMA adalah pengobatan dengan kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor padat. LMA akibat terapi adalah komplikasi jangka panjang yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma
1234
1235
LEUKEMIA MIELOBI.A.STIK AKUT
multipel, kanker payudara, kanker ovarium dan kanker testis. Jenis kemoterapi yang paling sering memicu timbulnya LMA adalah golongan alkt,lating ogent dan topoisomerase lI inhibitor. LMA akibat terapi mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkant LMA de novo sehingga di dalam klasifikasi leukemia versrWorltl Health Organization (WHO) dikelompokkan tersendiri (Tabel 1).
sering dijumpai pada kasus LMA tipe M3. Infeksi sering terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah peri
rektal, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien LMA dengan demam. Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100 ribu/mm3), sering terjadi leukostasis, yaitu
sitopenia (anemia, lekopenia dan trombositopenia).
teriadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukostasis sangat bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan priapismus. Angka leukosit yang sangat tinggi juga sering menimbulkan gangguan metabolisme berupa hiperurisemia dan hipoglikemia. Hiperurisemia terjadi akibat sel-sel leukosit yang berproliferasi secara cepat dalam jumlah yang besar. Hipoglikemia terjadi karena konsumsi guJa in vitro dari sampel darah yang akan diperiksa, sehingga akan dijumpai hipoglikemia yang asimptomatik karena hipoglikemia tersebut hanya terjadi in yitro tetapi tidak in vivo pada tubuh pasien.
Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih berat sesak nafas, adanya
Infiltrasi sel-sel blasr akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi
PATOGENESIS
LMA adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel mrda (bla.st) dengan akibat terjadi Patogenesis utama
akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi blost dt dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan
hematopoesis normal dan pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tllang (.bone marrow Jailure sy-ndrome) yang ditandai dengan adanya
trombositopenia akan menyebabkan tanda-tanda
sel-sel biast di kulit akan menyebabkan leukemia kutis
perdarahan, sedang adanya leukopenia akan menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi opoltunis
yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel b/asl di jaringan lunak
dari flora bakteri normal yang ada di dalam tubuh manusia.
akan menyebabkan nodul di
Selain itu sel-sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi keluar sLlmsum tulang cian berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.
bawahkulit (kloroma). Infiltrasi sel-sel b/asr di dalam tulang akan menimbulkan nyeri
tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan. Pembengkakan gusi sering dijumpai sebagai manifestasi infiltrasi sel-sel Dlast ke dalam gusi. Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah
menings dan untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebro spinal yang diambil
TANDA DAN GEJALA Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien LMA tidak selalu dijumpai leukositosis. Ler-rkositosis terjadi pada sekitar 507o kasus LMA, sedang 157o pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35olo pasien mengalami netropenia. Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan ditemukan pada85Vo kasus LMA. Oleh karena itu sangat penting untuk memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan diagnosis pada orang yang diduga menderita
LMA. Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah,
perdarahan dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana disebutkan di atas. Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah
atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini paling
melalui prosedur pungsi lumbal.
D!AGNOSIS Secara klasik diagnosis
LMA ditegakkan
berdasarkan
pemeriksaan fisik, morfologi sel dan pengecatan sitokimia. Seperti sudah disebutkan, sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu berkembang 2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru:
immunophenotyping dananalisis sitogenetik. Berdasarkan
pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia, gabungan ahli hematologi Amerika, Perancis dan Inggris pada tahun 1976 menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri dari 8 subtipe (M0 sampai dengan M7, Tabel 2). Klasifikasi ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (FrenchAmerican British). Klasifikasi FAB hingga saat ini masih menjadi diagnosis dasar LMA. Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SBB) dan mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan hasil positif pada pasien LMA tipe Ml, M2, M3, M4 dan M6.
t236
HEMATOLOGI
teknik pengecatan modern yang dikembangkan
sitogenetik: t(15;11), inv (16), t (16;16) atau del (l6q) dan t (8;21) yang tidak disertai de1(9q) ataukelainan karyo-
berdasarkan reaksi antigen dan antibodi. Diketahui bahwa
type yang kompleks mempunyai prognosis yang baik
Pemeriksaan penentuan imunofenotip adalah suatu
permukaan membran sel-sel darah mengekspresikan antigen yang berbeda-beda tergantung dari jenis dan tingkat diferensiasi sel-sel darah tersebut. Sebagai contoh sel limfosit mengekspresikan antigen yang berbeda dengan sel granulosit maupun sel trombosit dan eritrosit. Demikian pula limfosit B mempunyai ekspresi antigen yang
berbeda dengan limfosit T. Selain
itu sel-sel b/ast
mengekspresikan antigen yang berbeda dengan sel-sel leukosit yang lebih matur seperti promielosit dan mielosit. Bila antigen yang terdapat di permukaan membran sel tersebut dapat diidentifikasi dengan antibodi yang spesifik, maka akan dapat dilakukan identifikasijenis sel dan tingkat maturitasnya yang lebih akurat. Identifikasi sel dengan teknik immunophenotyping biasanya diberi label CD (cluster ofdifferentiation). Saat ini terdapat lebih dari 200 CD yang menjadi penanda berbagai jenis dan tingkat maturitas sel-sel darah. Selain berfungsi sebagai
(favourable); pasien dengan kelainan sitogenetik +8, -Y
+6,del(l2p) atatkaryotype yang normal mempunyai prognosis yang sedang (intermediate), sedangkan pasien dengan kelainan sitogenetik-5 atau del (5q),-7 atau del (7q), inv (3q), del (9q), t (9;22) dan karyotype yarrg kompleks
mempunyai prognosis yang buruk (unfavourable). Profil kelainan sitogenetik pada pasien LMA juga mempunyai implikasi terhadap terapi sebab dewasaini, meskipun masih kontroversial, telah dikembangkan strategi terapi pada pasien LMA berdasarkan profil sitogenetik pasien (lihat terapi). Berdasarkan profil kelainan sitogetik pasien, WHO mengajukan usulan perubahan klasifikasi LMA, yang telah diadopsi di banyak negara (Tabet 1). Pada Tabel 2 dapat
dilihat kesepadanan diagnosis LMA berdasarkan klasifikasi FAB dan analisis sitogenetik.
alat diagnosis, teknik immunophenotyping juga mempunyai nilai prognostik dan terapi. Sebagai contoh, pasien LMA yang mengekspresikan CD7 mempunyai
prognosis yang jelek sedang pasien LMA yang mengekspresikan CD2 mempunyai prognosis yang lebih baik. Saat inijuga sedang dikembangkan terapi antibodi
yang secara spesifik mempunyai target terapi CD33, gemtuzumab osagamicin, yang diindikasikan bagi pasien usia lanjut yang mengekspresikan CD33. Analisis sitogenetik pada keganasan hematologi telah dimulai sejak awal 1960 dan berkembang lebih pesat sejak awal l980an. Terdapat 2 kelainan dasar sitogenetik pada
LMA
LMA: kelainan yang menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom dan kelainan menyebabkan perubahan yang seimbang tanpa menyebabkan hilang a[au bertambahnya materi kromosom. Kelainan pertama dapat berupa kehilangan sebagian dari
materi kromosom (delesi/del) atau hilangnya satu materi kromosom secara utuh (monosomi). Penambahan materi kromosom juga dapat bersifat sebagian (duplikasi/d) atau bertambahnya satu atau lebih materi kromosom secara utuh
(trisomi, tetrasomi). Kelainan kedua berupa perubahan kromosom seimbang dalam bentuk perubahan resiprokal antara dua atau lebih kromosom (translokasi/t) atau perubahan pada berbagai bagian dalam satu kromosom (inversiiinv). Kelainan sitogenetik t (8,21), t (15,17), inv (16)/t dan translokasi 11q23 merupakan kelainan sitogenetik yang dijumpai pada2lVo-28Ea pasiet LMA dewasa. Kelainan sitogenetik lain yang dijumpai dalam jumlah cukup signifikan pada pasien LMA adalah trisomi, delesi dan kelainan karyotype yang kompleks (mempunyai kelainan sitogenetik 3 atau lebih). Kelainan sitogenetik pada pasien LMA mempunyai nilai prognostik. Pasien dengan kelainan
LMA dengan translokasi sitogenetik rekuren LMA den gan t(8;21)(q22;q2), AML 1 (CB Fa)rETO A PL d en gan t(1 5
;1
7)( q22 ;q
1 1
-
1
2)
d
an vari an-varian nya,
PMLTRARA LMA dengan eosinofil sumsum tulang abnormal dengan inv (1 6)(p1 3q22) atau t( 1 6; 1 6Xp1 3;q1 1 ), CBFPI MHY1 1 LMA dengan abnormalihs 11q23 (MLL) LMA dengan multilineage dysplasia dengan sindrom mpl odi splasia tanpa sindrom myelodisplasia LMA dan sindroma myelodisplastik yang berkaitan dengan terapi akibat obat alkilasi akibat ep ipodof iloto ks n (beb erapa me rupakan kela ina n limfoid) tipe lain LMA yang tidak terspesifikasi LMA diferensiasi minimal LMA tanpa maturasi LMA dengan maturasi LMA dengan diferensiasi monositik Leukemia monositik akut Leukemia eritroid akut Leukemia megakariositik akut Leukemia basof ilik akut Panmielosis akut den gan mi elof ibrosis
TERAPI Bila memungkinkan terapi LMA direncanakan untuk tujuan kuratif. Penderita yang mempunyai peluang besar untuk mencapai tujuan kuratif adalah mereka yang berusia < 60 tahun, tanpa komorbitas yang berat serta mempunyai profil
sitogetik yang favorable (llhat bawah). Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang maksimal, sangat penting untuk melakukan skrining awal dengan teliti sebelum pengobatan dimulai. Skrining awal ini, terutama ditujukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya infeksi,
1237
LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT
Subtipe FAB
Mo
Nama Umum (% kasus)
Hasil Pengecatan Myeloper Sudan Esterase
Oksidase Black non-spesifik
Translokasi dan penyusunan kembali
(1%)
inv(3q26) dan t(3;3)
M2
Leukemia mieloblastik dengan maturasi (25-30%)
t(B:21) (40%) t(6;e) (1%)
M3
Leukemia promielositik akut (5-
t(15;17) (98%) t(1 1 ;17) (1o/")t(5,17) (1'/")
10o/.)
M4
Leukemia mielomonositik akut (20o/")
11q23 (20%) inv(3q26) &
M4Eo
Leukemiamielomonositik
inv(1 6),t(16,1 6)
(80%)
M5
dengan eosinofil abnormal (5-10%) Leukemia monositik akut
M6 M7
Eritroleukemia (3-5%) Leukemia megakariositik Akut (3-12%)
EV1
1
AMLl-ETO, DEK-CAN
t(3;3) (3%),
(2-9o/o)
terlibat
(% kasus)
Leukemia mieloblastik akut dg diferensiasi minimal (3%) Leukemia mieloblastik akut tanpa maturasi (15-20%)
M1
Gen yang
PML-RARn PLZFRARg, NPM RARcr MLL,
DEC-KAN EV1.I
cBFBMYHl 1
11q23 (20%) t(8,16) (2%)
MLL,
t(1 ,22) (5'/")
tdk diketahui
. sel positif terhadap cr-naftilasetal dan glikoprotein trombosit llb/llla atau antigen yang berkaitan dengan faktor Vlll dan negatif terhadap naftilbutirat (Sumber: Referensi no. 13)
gangguan fungsi jantung (regimen terapi standar LMA mengandung preparat golongan antrasiklin yang bersifat
kardiotoksik) dan adanya koagulopati yang sering ditemukan pada penderita LMA. Selain itu, penderita yang mempunyai angka leukosit pra-terapi yang sangat tinggi
(>100.000imm3), mungkin memerlukan tindakan leukoparesis emergensi untuk menghindari leukostasis dan sindrom tumor lisis akibat terapi induksi. Sangat penting untuk mengingatkan agar terapi LMA sebaiknya dilakukan di rumah sakit yang mempunyai tim leukemia yang bersifat multi-disiplin, sarana laboratorium mikrobiologi yang memadai, akses untuk transfusi darah yang lengkap serta ruang steril/semi-steril untuk pelaksanaan pengobatan. Tanpa prasarana tersebut angka kematian saat pengobatan akan sangat tinggi. Untuk mencapai hasil pengobatan yang kuratif harus dilakukan eradikasi sel-sel klonal leukemik dan memulihkan hematopoesis normal di dalam sumsum tulang. Survival
jangka panjang hanya didapatkan pada pasien yang mencapai remisi komplit. Dosis kemoterapi tidak perlu diturunkan karena alasan adanya sitopenia, karena dosis yang diturunkan ini tetap akan menimbulkan efek samping berat berupa supresi sumsum tulang, tanpa punya efek yang cukup untuk mengeradikasi sel-sel leukemik maupun untuk mengembalikan fungsi sumsum tulang. Eradikasi sel-sel leukemik yang maksimal, memerlukan
strategi pengobatan yang baik. Umumnya regimen kemoterapi untuk pasien LMA terdiri dari dua fase: fase induksi dan fase konsolidasi. Kemoterapi fase induksi adalah regimen kemoterapi yang intensif yang bertujuan untuk mengeradikasi sel-sel leukemik secara maksimal sehingga tercapai remisi komplit. Istilah rernisi komplit digunakan bila jumlah sel-sel darah di peredaran darah tepi kembali normal serta pulihnya populasi sel di sumsum tulang termasuk tercapainya jumlah sel-sel D/asr <5Vo.Petlu ditekankan di sini, meskipun terjadi remisi komplit tidak berarti bahwa sel-sel klonal leukemik telah tereradikasi seluruhnya, karena sel-sel leukemik akan terdeteksi secara klinik bila jumlahnya lebih dari 109 log sel. Jadi pada kasus remisi komplit, masih tersisa sejumlah signifikan sel-sel leukemik di dalam tubuh pasien tetapi tidak dapat dideteksi.
Bila dibiarkan, sel-sel ini berpotensi menyebabkan kekambuhan di masa-masa yang akan datang. Oleh karena itu, meskipun pasien telah mencapai remisi komplit perlu ditindak lanjuti dengan program pengobatan selanjutnya
yaitu kemoterapi konsolidasi. Kemoterapi konsolidasi biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi dan menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama atau lebih besar dari dosis yang digunakan pada fase induksi. Seperti yang sudah disebutkan di atas, tujuan utama pengobatan LMA adalah untuk mengeradikasi sel-sel
1238
HEMATOLOGI
leukemik di dalam sumsum tulang. Tindakan ini juga akan mengeradikasi sisa-sisa sel hematopoeisis normal yang ada di dalam sumsum tulang, sehingga pasien LMA akan mengalami periode aplasia pasca terapi induksi. Pada saat
pasien usia tua.
tersebut pasien sangat rentan terhadap infeksi dan perdarahan. Pada kasus yang berat kedua komplikasi ini
Bila terjadi relaps dapat diberikan lagi kemoterapi intensif dan/atau HSCT untuk mencapai remisi komplit
dapat berakibat fatal. Oleh karena itu terapi suportifberupa penggunaan antibiotika dan transfusi kotlponen darah (khususnya sel darah merah dan trombosit) sangat penting untuk menunjang keberhasilan terapi LMA. Terapi pada LMA dibedakan menjadi 2 yaitu terapi
kedua atau hanya diberikan perawatan suportif.
untuk LMA pada umumnya dan terapi khusus untuk leukemia promielosi
ti
k akut (LPA).
Terapi LMA pada Umumnya (Tabel 3) Terapi standar 7+3 adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan daunorubisin dengan protokol sitarabin 100 mg/m2 diberikan secara infus kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2lhari iv selama 3 hari. Sekitar 30-40Vo pasien mengalami remisi komplit dengan terapi sitarabin dan daunorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal, sedang bila diberikan sebagai kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 607o pasien. Bila
terdapat residual disease pada hari ke-28 perlu dipertimbangkan adanya gagal terapi primer dan perlu dimulai terapi alternatif dengan regimen lain.
remisi ditentukan berdasarkan usia dan laktor prognostik, terutama profil sitogenetik. Sebagian besar pasien usia muda memberikan respons yang lebih baik dibanding
Pencapaian remisi komplit kedua tidak begitu dipengaruhi karakter sitogenetik, namun lebih dipengaruhi oleh durasi remisi komplit pertama, usia, dan ada tidaknya komorbiditas aktif. Durasi median remisi komplit kedua umumnya kurang dari 6 bulan bila tanpa HSCT dengan disease-fre suryival kurang dari l0 bulan. Survival meningkat bila sebelumnya pasien telah menjalani HSCT alogenik, namun donor untuk prosedur tersebut umumnya terbatas.
Terapi Leukemia Promielositik Akut Insidensi LPA sebesar l0-157o pasien LMA. Penyakit ini ditandai dengan kelainan sitogenetik berupa t ( 1 5; 1 7) yang dijumpai pada sekitar 907o kasus. Kelainan sitogenetik t (15;17) akanmenyebabkan fusigen PML dan RAR, menjadi
gen PML-RAR. Fusi gen PML-RAR mengakibatkan blokade maturitas pada seri promielosit sehingga terjadi LPA. Kini dikembangkan suatu obat yang disebtt all-trans retinoic acid (AIRA) yang menjadikan fusi gen PMLRAR sebagai target aksi kerjanya. Pengobatan LPAdengan ATRA menghasilkan angka kesembuhan lebih daril)Vo.
LPA merupakan predisposisi untuk terjadinya Sitogenetik
Awal
Kemoterapi lnduksi
Terapi Post Remisi Donor
HLA
Tidak ada donor
ses uat
Favorable
Standar 7+3
lntermediate StandarT+3
Unfavorable StandarT+3
HDACx 3-4 siklus, atau 2-3 siklus diikuti HSCT otolog HSCT alogenik Sesegera mungkin atau HDACx 2-4 siklus HSCT alogenik Sesegera mungkin
HDACX 3-4 siklus, atau
2-3 siklus diikuti HSCT otolog HDACx 2-4 siklus + HSCT otolog
HDACx 2-4 siklus HSCT otolog
t
Pada pasien dengan gangguan fungsi jantung pemakaian antrasiklin merupakan kontra indikasi terutama bila terdapat riwayat miokerd infark dan fraksi ejeksi kurang dari 50Vo. Pilihan terapi pada kondisi ini ad,alah High futse cytarabine (ara-C)/HDAC. Regimen terapi yang dipakai pada HDAC adalah sitarabin2-3 glm2 infus iv selama 1-2 jam tiap 12 jam selama l2 dosis atau sitarabin 2-3 g/m2 selama 2jam setiap 12jampadahari 1,3, dan 5.
Pilihan untuk terapi post remisi dapat berupa kemoterapi konsolidasi, transplantasi sel stem hematopoetik (hematopoetic stem cell transplantionl HSCT) otolog, atau HSCT alogenik. Jenis terapi padapasca
koagulopati yang dalam hal ini diakibatkan oleh kombinasi antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien dengan manifestasi koagulopati harus segera mendapat terapi induksi (ATRA). Pada pasien yang mengalami perdarahan yang tidak terkendali (setelah terapi transfusi) dapat diberikan e -aminocap roic ac id (EACA) dan tranexamide
acid. Terapi induksi LPA terdiri atas kombinasi ATRA plus
kemoterapi berbasis antrasiklin. Antrasiklin dapat menginduksi remisi pada 60-907o pasien bila digunakan sebagai obat tunggal. Sel leukemik pasien LPA sensitif terhadap antrasiklin karena rendahnya ekspresi Pgp dan petanda resistensi lainnya pada sel-sel LPA dibanding dengan subtipe LMA lainnya.
AIRA
adalah suatu derivatif
vitamin Ayang mampu menginduksi remisi klinis dengan mengaktifkan maturasi sel tanpa menyebabkan hipoplasia sumsum tulang. Sebagai obat tunggal AIRA menginduksi remisi pada 72-817o pasien. Umumnya ATRA mulai diberikan dalam 2-3 hari pertama pada pasien dengan perdarahan berat untuk mengatasi koagulopati pada LPA sebelum mulai dengan terapi berbasis antrasiklin. Cara ini akan menyebabkan angka lekosit menjadi tidak terlalu tinggi lagi. Selain itu cara ini menurunkan insidens sindrom asam
retinoid (retinoic acid syndromeiRAS). Terapi induksi menggunakan ATRA 45 mg/m2lhari per oral yang terbagi dalam 2 dosis setiap hari sampai remisi
t239
LEUKEMIA MIELOBI.ASTIK AKUT
komplit plus derivat antrasiklin, daunorubisin 50-60 mg/ m2lhai selama 3 hari atau idarubisin 12 mg/m2ftrari selama
strategi pengobatan dengan sasaran yang spesifik
induksi dilanjutkan dengan terapi konsolidasi
(targeted therapy). Obat-obat ini didisain untuk mentarget protein-protein tertentu yang mempunyai peran pada
dengan kemoterapi berbasis antrasiklin dan terapi
proses leukomogenesis. Oleh karena sifatnya yang
pemeliharaan dengan menggunakan AIRA. RAS dapat terjadi pada 10-15Vo pasien dan umumnya terjadi 7 -14 hari setelah terapi AIRA. RAS jarang terjadi selama penyembuhan akibat aplasia setelah kemoterapi dan selama terapi pemeliharaan. RAS adalah suatu sindrom kebocoran kapiler dengan manifestasi demam, distres respirasi, dan munculnya infiltrat pada paru. Dapat juga terjadi peningkatan berat badan, efusi pleura atau efusi perikard, dan gagal ginjal. Lekositosis berat merupakan faktorprognostik walaupun RAS sering juga terjadi pada lekopenia. Bila angka lekosit lebih dari 5.000-10.000/uL, AIRA dan kemoterapi diberikan bersama-sama pada saat awal terapi. Bila saat monoterapi ATRA terjadi lekositosis
spesifik, obat-obat ini umumnya mempunyai profil efek samping yang lebih ringan dibandingkan kemoterapi. sehingga diharapkan dapat digunakan secara aman pada pasien LMA yang tidak mampu menghadapi terapi yang agresif, seperti pasien LMA usia geriatrik. Salah satu obat yang sedang dikembangkan saat ini adalah anti-FLT3, suatu protein trans membran yang berfungsi sebagai enzym tirosine kinase dan diekspresikan pada lebih dari 907o kasus LMA. Pada pasien LMA, sekitar 307o protein
4 hari. Terapi
lebih dari I 0.000/uL induksi kemoterapi harus
segera
dimulai. Tanpa melihat angka lekosit dan kemungkinan sepsis netropenia, bila terdapat sesak dan infiltrat paru, dengan atau tanpa demam, terapi deksametason harus segera diberikan (10 mg
iv
2
kali sehari). TerapiAIRAdapat
dihentikan sampai RAS menunjukkan perbaikan.
Sekitar 207o-30Vo pasien LPA yang mecapai remisi komplit dengan terapi berbasis AIRA akan mengalami relaps dan umumnya kelompok pasien ini juga resisten terhadap terapi ATRA yang berikutnya. Arsenik, suatu racun yang sudah digunakan sebagai obat pada pengobatan tradisional Cina sejak beberapa abad yang lalu, saat ini diketahui mempunyai efek pengobatan yang positif pada pasien ATRA yang relaps atau resisten terhadap terapi AIRA. Salah satu komponen arsen yang sering digunakan di dalam klinik untuk terapi LPA yang relaps atau resisten terhadap ATRA adalah arsenic trioxide (ATO). Sebagai terapi LPA, ATO mempunyai mekanisme kerja: memacu degradasi fusi protein PMLRAR (khususnya protein PML, menginduksi apoptosis. memacu diferensiasi sel - sel leukemik serta menghambat apaoptosis. AIO umumnya diberikan dengan dosis 0,15 mg per KG BB melalui infus 3 jam hingga tercapai remisi komplit dengan maksimal pemberian 50 hari. Pada pasien LPA relaps, terapi AIO menghasilkan respon sebesar 707a
FLT3 mengalami mutasi dan mutasi tersebut menyebabkan proliferasi yang tidak terkendali. Selain itu diketahui pasien LMA dengan ekspresi LFT3 mutan mempunyai prognosis yang lebihjelek. Pada penelitian pendahuluan terapi antiFLI3 menghasilkan respons sebesar l87o-257o dengan efek samping yang ringan. Beberapa targered the rapy lain yang
dikembangkan adalah : obat yang mentarget mutasi
protein RAS yang ditemukan pada sekitar
107o-15%o
penderita LMA, obat yang mentarget nutasi protein c-KIT yang sering ditemuakn pada penderita LMA dengan kelainan sitogenetik invl6 dan obat yang mentarget selpunca (.stem-cells) LMA. Penggunaan targeted therapy pada klinik praktis masih menunggu hasil penelitianpenelitian dengan desain yang lebih baik dan berskala besar.
REFERENSI Abraham J, Monahan
BP The acute leukemias In: Abraham
Allegra CJ, editors. Handbook of clinical
J,
oncology
Philadelphia: Lippincot Williams&Wilkins; 2001. p. 271-85. Appelbaum FR. lmpact of age on the biology of acute leukemia. Educational book of the 41st Annual A.SCO Meeting. 2005. p.
528-32. Arber DA. Steirl AS, Carter NH, et al. Prognostic impact of acute
myeloid leukemia classification. Am J Clin
Pathol.
2003;1 19(5):672-80.
DA, Van Puten WLJ, Huijgens PC, et al. Prognostic index of adult patients with acute myeloid leukemia in first relapse. J
Breems
MASA DEPAN MANAJEMEN LMA
Cli n Oncol. 2005;23 :) 969-7 8. Brunning RD, Matutes E, Harris NL, et al. Acute myeloid leukemia: introduction. ln: Jaffe ES, Hanis NL, Stein H & Vardiman JW, editors. WHO classification of tumours: pathology and genetics tumours of haematopoietic and Iymphoid tissues. Lyon: IARC
Di masa depan perkembangan ilmu di bidang biologi
Burnett AK & Knapper S Targeting treatment in AML
molekular akan sangat berpengaruh pada penatalaksanaan LMA. Informasi biologi molekular akan sangat berguna untuk menentukan prognosis dan strategi terapi yang lebih baik pada pasien LMA. Sebagai contoh, ekspresi protein yang berperan pada proses angiogenesis kini diketahui merupakan faktor prognostik yang independen pada pasien LMA. Selain itu saat ini sedang dikembangkan
Hematology, 2007 Douer D & Tallman MS. Arsenic trioxide: new clinical experience with an old medication in hematologic malignancies. J Clin Oncol. 2005:23 :2396-4 10. Evens MA and Tallman MS Acute leukemias. In: Skeel RT, editors. Handbook of cancer chemotherapy. 6th editions. Philadelphia; Lippincot Williams & Wilkins; 2003. p. 411-59. Farag SS, Rupelt AS, Mrozek K, et al. Outcome of induction and
hinggal00Vo.
Press;
2001
p
76-80
L240
HEMr'$OI.OGI
post remission therapy in younger adults with acute myeloid leukemia with normal karyotype: a cancer and leukemia group B study. J Clin Oncol. 2005;23:482-93.
Fey M and Dreyling M Acute myeloblastic leukemia in adult patients: ESMO Clinical recommendations for diagnosis, treatment and follow-up. Ann Oncol, 2009,20 (Supplement 4):
iv100-iv10l.
prognostic factor for overall survival. J Clin Oncol. 2005:,23:1109-17
.
I , Martin G et al., Tumor lysis syndrome in patients with acute myeloid leukemia: identification of risk factors and developmentof a predictive model. Hematologica,
Montesinos P, Lprenzo
2008, 93 : 67 - 74. Raffaux E, Rousselot P, Poupon J, et al. Combined treatment with
Grant BW. Acute myelogenous and lymphocytic leukemias. In: Wood
arsenic trioxide and all-trans-retinoic acid in patients with
ME, Philips GK, editors Hematology/oncology secrets. 3rd
relapse acute promyelocytic leukemia. J Clin Oncol.
edition. Philadelphia: Hanley & Belfus; 2003.
p
114-8.
2003'.21:2326-34.
& Rowe JM. Diagnosis. In: Wiernik PH, editor Atlas of clinical oncology: adult leukemias. HamiltonLondon: BC Decker Inc.; 2001. p. 63-87. Stone RM. Targeted therapy in AML. www.medscape.com. 2005.
Horwitz M. Epidemioiogy and genetic of acute and chronic
Sarkodee-Adoo C, Rapoport AP
leukemia. In: Wiernik PH, editor Atlas of clinical oncology: adult leukemias. Hamilton-London: BC Decker Inc.; 2001. p 1-18. Loges S, Heil G Bruweleit M, et al. Analysis of concerted expression
Zhen-yi Wang. Treatmet of acute leukemia by inducing
of angiogenic growth factors in acute myeloid leukemia: expression
of angiopoietin-2
represents an independent
differentiation and apoptosis. Hematology. 2003.
t97 SINDROM DISMIELOPOETIK AmiAshariati
PENDAHULUAN Sindrom djsmielopoetik (SDM) atau myelodysplastic syndrome (MDS) primer dalah suatu sindrom yang di tandai oleh displasi dari sistem hemopoetik (dysmyelopoesis, dy s e rt h o r o p oes is, dan dy s thr omb o p o e s i s ), b alk tunggal
trombositopenia dan infeksi atau panas yang dikaitkan dengan leukopenia./ neutropeni juga dapat menjadi keluhan pasien walaupun sedikit kurang sering. Pada sebagian kecil dan sangat jarang dari pasien terjadi splenomegali atau
hepatomegali.
maupun campuran, disertai dengan gangguan maturasi dan
diferensiasi. Yang sebabnya belum diketahui. Jika
DIAGNOSIS
penyebabnya diketahui disebut SDM sekunder, misalnya
defisiensi vitamin 812 atau defisiensi asam folat,
Diagnosis SDM dipertimbangkan untuk setiap pasien
pengobatan sitostatik, dan sebagainya. SDM pada umumnya terjadi pada usia lanjut dengan rerata umur 60-75 tahun; laki-laki sedikit lebih sering
dewasa yang disertai gejala-gejala sebagai berikut:
daripada perempuan dan penyebabn;ua sampai masih tidak
2.
1. Anemi dan/perdarahan-perdarahan dan/febris yang
diketahui.
SDM primer ini meliputi penyakit-penyakit yang sebelumnya disebut sebagai preleukemia, smouldering leukemia, oligoblastic leukemia, hemopoetic dysplasia sindrom mielodisplastlk, primary acquired sideroblastic anemia. Manifestasi klinisnya disebabkan karena adanya sitopeni, baik tunggal maupun kombinasi, yaitu keluhankeluhan anemi yang membangkang, perdarahan karena trombopeni, dan adanya granulositopeni dengan segala akibatnya. Klasifikasi dan kriteria-kriteria SDM ini telah diajukan oleh Bennet dan Vincent.
MANIFESTASI KLINIS SDM sering ditemukan pada pasien usia lanjut antara umur 60-75 tahun, dan pada sebagian kasus pada umur <50 tahun ; laki-laki sedikit lebih sering daripada perempuan. Keluhan dan gejala secara umum lebih dikaitkan dengan adanya sitopenia. Umumnya datang dengan keluhan cepat lelah,
lesu yang disebabkan anemia. Perdarahan karena
tidakjelas sebabnya dan refrakter terhadap pengobatan. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan adanya sitopeni dari satu atau lebih dari sistem darah - Adanya sel-sel muda"/blas dalam jumlah sedikit (<307o) dengan/tanpa monositosis di darah tepi.
-
Sumsung tulang dapat hipo, normo, atau
hiperselular dengan disertai displasi sistem hemopoesis (anomali Pelger-Huet, perubahan
-
megaloblastik, peningkatan ringan sel-sel blas dan sebagainya). Namun gambaran itu tidak dapat dimasukkan dalam
diagnosis yang jelas dan penyakit-penyakit lain seperti ITP, lekemi, anemi aplastik. Dan lain-lain. Diagnosis SDM ditetapkan bila ada butir 1 ditambah paling sedikit tiga dari butir 2. Sebenarnya untuk diagnosis SDM perlu dibantu dengan pemeriksaan pembiakan sel-sel sumsum tulang dan
pemeriksaan sitogenetik. Sitogenetik sumsum tulang dapat memberikan informasi prognosis dan adanya abnormalitas kromosom yang merupakan kunci untuk membedakan SDM primer dan sekunder. Kromosom abnormal sumsum tulang ditemukan pada 3O-50Vo pasien SDM de novo. Berbagai kelainan sitogenetik pada SDM termasuk delesi, trisome, monosomi dan anomali struktur (Tabel 1).
t241
1242
HEMAIOI-OGI
Penggolongan SDM menurut knteria FAB ( 1, 1 3) adalah Re;fractory Anemia (R \), Refractory Anemia with Ringed Sideroblcist (RARS), Refactory Anemia with Excessive
TATALAKSANA Beberapa regimen terapi telah digunakan pada pasien SDM,
B/asr (RAEB), RAEB in Tranformation to Leukimia
tetapi sebagian besar tidak efektif di dalam mengubah
(RAEB|,
perjalanan penyakitnya. Karena itu pengobatan pasien SDM
dan Chronic Myelomonocytic Leukemia
(CMML)
(Tabel2).
bergantung pada usia, berat ringannya penyakit dan
Penggolongan lain yang diusulkan WHO untuk SDM adalah Refractrory anemia (RA), Refractory anemia with ringed sideroblasts (RARS), Refractory
progresivitas penyakitnya. Pasien dengan klasifikasi RA dan RAEB pada umumnya bersrfal indolent sehingga tidak perlu pengobatan spesifik, cukup suportif saja.
cytopenia with multilineage dysplasia (RCMD),
Cangkok sumsum tulang (BM Transplantation) Cangkok sumsum tulang alogenik merupakan pengobatan utama pada SDM terutama dengan usia <30 tahun, dan merupakan terapi kuratif, tetapi masih merupakan pilihan <5Vo dari pasien.
Refractory anemiawith excess blasl (RAEB-type 1 = 597o blats in blood or marrow andRAEB- type 2 = 1079Vo blats in blood or marrow),5q- syndrome, therapyr e I at e d my e lo dy sp I a s t ic sy ndrome, darr My e I o dy sp I as ti c syndrome unclassffied. SDM seharusnya dibedakan dengan myeloproliferative disorder yang lain dan beberapa variasi dari SDM sekunder termasuk defisiensi nutrisi, proses infeksi, efek obat dan toxic exposures.
Kemoterapi SDM tidak dianjurkan untuk diberikan kemoterapi, umumnya diberikan pada tipe RAEB, RAEBT, CMML. Sejak tahun 1968 pengobatan ARA-C dosis rendah yang diberikan pada pasien SDM dapat memberikan respons rate antra 50-7 5Vo dan respons ini tetap bertahan Pada fase awal dari
2-14 bilan setelah pengobatan. Dosis ARA-C yang direkomendasi adalah 20 mglm2lhat't secara drip atau 10 mglm2 secara subkutan setiap 72 jam selama 21 hari. Delesi 5q Monosomi 7 Trisomi 8 Kehilangan kromosom Y
GM-CSFatauG.CSF Pada pasien SDM yang mengalami pansitopeni dapat diberikan GM-CSF atau G-CSF untuk merangsang diferensiasi dai hematopoetic progenitor cells. GM-CSF diberikan dengan dosis 30-500 mcg/m2lhari atau G-CSF
Delesi20q 3q rearangements
Berbagai abnormalitas kromosom 11 Berbagai abnormalitas kromosom 17p Defek kromosom kompleks lain
5
0- 1 600 mc g/m2 (0. I -0. 3 mcglkgB B/hari/subkutan selama
1-l4han.
Sumber: Fenaux P, Morel P, Lai JL (1996). Cytogenetic of myelodysplastic syndromes. Semin Hematol; 33:1 27-1 38
LainJain
Piridoksin, androgen, danazol, asam retinoat dapat digunakan untuk pengobatan pasien SDM. Piridoksin dosis 200 mgihari selama 2 bulan kadang-kadang dapat memberikan respons pada tipe RASB walaupun sangat kecil. Danazol 600 mglhailoral selama 3 bulan dapat
RA
RASB
RAEB
RAEBT
CMML
Leukosit 8/ast (%) Trombosil
N atau
N atau
<1
<1
N atau
N atau
<5
+++ Eritrosit <15 Sideroblas (%) Granulopoesis 0 + <5 Blast (%)
+++ >15
0+
Trombopoesis
<5-30
<5 N atau
Sumsum Tulang
+++
<15
0+
+++
<5
5-20
0+
+++
+++ <15 +++ 20-30 +++
*The descriptions of the syndromes are f om Bennett et al. 30 FAB de-notes F ench-American-British
Keterangan : : Refractory Anemia RASB : Refractory Anemia with Rrnged Slderob/asts RAEB : Refractory Anemia with Excesslve 8/asts RAEBT : RAEB in transformation to Leukemia CMML : Chronic Myelomonocytic Leukemia
RA
meningkatkan trombosit terutama pada SDM tipe trombopeni.
Darah Tepi Hb
++ <15 ++++
5-20
l3-cis retinoic acid dengan dosis 1.0 mg/kgBBAari/ oral dapat memberikan response rate 2l-33Vo setelah 3 minggu pengobatan.
PROGNOSIS
+++
Pada sebagian besar SDM mempunyai perjalanan klinis menjadi kronis dan secara beftahap terjadi kerusakan pada sitopeni. Survival sangat bervariasi dari beberapa minggu sampai beberapa tahun. Kematian dapat terjadi pada30Vo
pasien yang progresif menjadi AML (Acute Myelocytic Leukemia) atat bone marrow failure (Thbel 3). Indikator prognosis baik dan buruk dari SDM (Tabel4 dan 5).
1243
SINDROM DISIMIELOHOETIK
Klasifikasi WHO
Klasifikasi FAB
Prediksi Survival
Karakteristik
blasts
Refractory anemia with excess blasts-2 (RAEB-2)
10-'19% marrow < 5% peripheraFblood blasts 2/3 cylopenia
10 bulan
Myelodysplastic syndrome, unclassified (MDS-U)
1/3 cylopenia abnormal white or megakaryocyte cells < 5% marrow blasts
Not listed
MDS associated with isolated del(5q)
anemia
deleted chromosome
8 bulan
Refractory anemia with excess blasts in transformation (RAEB-D
Acute myeloid leukemia (AML) with multi-lineage dysplasia following a myelodysplastic syndrome
5q blasts
20-30% marrow > 5% peripheral-blood blasts
6 bulan
Chronic myelomonocylic leukemia (CMML)
Myelodysplastic/ myeloproliferative diseases (l\,lDS/MPD)
absence of chromosome < 200/o fildfto\N and pedpheral-blood blasts dysplasia of one cell line
Philadelphia
18 bulan
Refractory anemra
Refractory anemia
< 5% marrow blasts no peripheral-blood blasts anemra
5 lahun,
Refractory anemia with ringed sideroblasts (RARS)
Refractory anemia with ringed sideroblasts
< 5% marrow blasts no peripheraFblood blasts anemra > 1 5% marrow red-cell precursors with ringed sideroblasts
5 tahun,
Refarctory cytopenia with multilineage dysplasia (RCMD)
213 or 313 cytopenia
2 tahun,
Refarctory cytopenia with multilineage dysplasia and ringed sideroblasts
213
ot 313 cytopenia dysplasia of two cell types < 5% manow blasts > 15% marrow red-cell precursors with ringed sideroblasts
2 tahun,
Refractory anemia with excess blasts-1 (RAEB-1
5-9% marrow blasts < 5% peripheral-blood blasts 2/3 cytopenia
1 tahun,
Refarctory cytopenia with excess blasts (RAEB)
9 tahun'
9 bulan
9 bulan
I
dysplasia of two cell types < 5% marrow blasts
)
bulan
8 bulan
6 bulan
GOOD FAB Type (% of patients) RA (28) RARS (24) RAEB (23)
RAEB-T (s)
cMML (16)
. Leukemrc Evorution
Median
(%) &:Til:i
Survival Range
(Months) 1 B-64 14-76+
12
50
8
51
44
11
7-16
11
2.5-11 9-60+
60 14
q
Source: Cancer Genet Cytogenet. 1998; 32:
'1-9
Younger age Normal or moderately reduced neutrophil and platelet counts Low blasts counts in the bone marrow and no blasts in the blood No Auer rods Ringed sideroblasts Normal karyotypes or mixed karyotypes withouts complex chromosome abnormalities ln vitro bone marrow culture reveals nonleukemic growth pattern POOR Advanced age Severe neutropenia (<0.5x1 03/mm3) or thrombocytopenia (<50x'103/mm3) High blasts count in BM or blasts in peripheral blood Auer rods Absence of ringed sideroblasts
t244
HEMATOI.OGI
REFERENSI
J (1998). Allogeneic bone marrow for myelodysplastic syndromes:outcomes
Appelbaum FR,Anderson
transplantation
analysis according to IPSS score.Leukemia
; l2:Suppl 1:S25-
s29.
Bennet Jm, Catovsky D, Daniel MT, Flandrin G, GaltonDAG, Bralnick HR, Sultan C (1982). Proposals for the classification
of myelodysplastic syndrom, Brit J Haematol. 51:189-99. Greenberg P, Cox C, LeBeau MM, et al. (1997). International scoring system for evaluating prognosis in myelodysplastic syndromes. Blood; 89: 20'79-2088. Hellstrom-Lindberg E,Ahlg en T,Beguin Y,et al. (1998).Treatment of anemia in myelodysplastic syndromes with g anulocyte colony-stimulating factor plus erythropoietin:esults f om a andomized phase II study and long-term follow-up of 71 patients.Blood; 92:68 75. Hellstrom E,Roberl KH,Gahrton Get aI. (1988). Therapeutic effects of low-dose cytosine arabinoside,alpha-interferon, 1 alphahydroxyvitaminD3 and etinoic acid in acute leukemia and myelodysplastic syndromes.Eur J Haematol ; 40:449-59. HofmannWK, Ottmann OG, Ganser A, Hoelzer D (1996). Myelodysplastic syndromes:clinical features.Semin Hematol; 33:177 -85. Khouri IF,Keating M,Ktirbling M,et a1. (1998). Transplantlite:induction of graft-versus-malignancy using fl udarabine-based nonablative chemotherapy and allogeneic blood progenitorcell transplantation as treatment for lymphoid malignancies. J Clin Oncol.; 16:2817 -24. Kjeldsberg CR, Elenitoba-Johnson KSJ, et
al
(2000). Myelodysplastic
Syndromes in: Practical Diagnosis of Hematologic Disorders. 3'd edition. Editor: Kjeldsberg CR. ASCP Press (American Society of Clinical Pathologists) Chicago, Illinois. Pp 369-430. Koeffler HP,Heitjan D,Mertelsmann R,et a1. (1998). Randomized study of 13-cis etinoic acid v placebo in the myelodysplastic disorders.Bloodl 7 1 :703-8. Mark LH , and David WG (1999). Myelodysplasia. New England Journal of Medicine, May 21 , Vol. 340 No. 2 I : 1649- 1660. Michaux JL, Martiat P(1993). Chronic myelomonocytic leukemia
(CMML)-a myelodysplastic or syndrome?Leuk Lymphoma; 9:35-41.
myeloproliferative
Molldrem JJ, Caples M, Mavoudis D, Plante M, Young NS, Barett AJ. (1997). Antithymocyte globulin for patients with myelodysplastic syndrome. Br J Haematol ; 99: 699-105. Morel P,Declercq C,Hebbar M,Bauters F,Fenaux P (1996) P ognostic factors in myelodysplastic syndromes:critical analysis of the impact of age and gender and failure to identify a very-low-risk g oup using standard mortality atio techniques.Br J Haematol :
94 ll6-9. Nevill TJ,Fung
HC,Shepherd JD,et al. (1998). Cytogenetic abnormalities in primary myelodysplastic syndrome are highly predictive of outcome after allogeneic bone marow transplantation. Blood ; 92: I 9l 0-7. Neg in RS,Haeuber DH,Nagler A,et al. (1990). Maintenance treatment of patients with myelodysplastic syndromes using ecombinant human granulocyte colony-stimulating factor. Blood:76:36-,13. Oscier DG (1999). The Myelodysplastic syndromes in: Postgraduate Hematology 4'h edition. Editors : HofTbrand AY lewis SM. Tuddenham EGD. Reed Educ.and Professional Publ.
Ltd, Italy; pp 445-461. Parker JE,Pagliuca A.Mijovic A,et al. (1997) Fludarabine,cytarabine,
G-CSF and idarubicin (FLAG-IDA)for the treatment of poor-risk myelodysplastic syndromes and acute myeloid leukaemia.Br J Haematol: 99:939-44. AP Sindroma mielodisplastik (SMD) (1985) Medika 9:826.
Pradono
Saarni MJ,Linman JW (1971). Preleukemia: The hematoiogic syndrome preceeding acute leukemia. Am J Clin Pathol 55:28390. Saitoh K,Miura I,Takahashi N,Miura AB (1998) Fluorescence in situ hybridization of progenitor cells obtained by fluorescenceactivated cell sorthing for the detection of cells affected by
chromosome abnormality trisomy
8 in patients
wi th
myelodysplastic syndromes. Blood; 92:2886-92. Soebandiri. Santoso Nugrahi, Boediwarsono (1986). Perjalanan Penyakit dan Kemampuan Hidup (survival ) dari Pasien Sindrom Dismielopoetik Primer di Seksi Hematology Lab I Penyakit Dalam FK Unair / RS Dr Sutomo Surabaya. Konas PHTDI Y Semarang 14-16 Oktober
198 DASAR-DASAR BIOLOGIS LIMFOPROLIFERATIF Amaylia Oehadian, Trinugroho Heri Fadjari
PENDAHULUAN SAGEs Mature
Kelainan limfoproliferatif yaitu leukemia limfoid dan limfoma maligna merupakan keganasan sel limfoid yang
OF
NORMAL BCELL DIFFESENA
I
,j[i:1]il
,
/a\
NON
D,trerenrarinqB
strretory
B
.6)6)K) .---:O @
terjLrdi pada tahap diferensiasi yang berbeda. Pada tahap perkembangan sel pre-B dan pre-T pada sumsum tulang. ke-uanasan yang terjadi adalah limfoblastik lekemi sel
prekursor B dan T vang bermanif-estasi di sumsum tulang. Sebaliknya, pada limfoma maligna terjadi perubahan keganasan dari sel limfoid yang terdapat terutama pada jaringan limfoid. Meskipun leukemia dan limfoma keduanya melibatkan organ retikuloendotelial, mereka berbeda secala klinis dan biologis. Pengetahuan biologik tentang kelaintrn limfoprolif'eratif menj adi dasar pemahaman patogenesi s. diagnosis dan terapi.
Resung B cell anrqens: CD: 2T 22, 24 slgM slgD
lra/]8
Non - Hodgkin's Lymphomas B
CELL
MALIGNANCIES
Gambar 1. Keganasan sel limfosit B dan tahap perkembangan sel
PERKEMBANGAN LEUKEMIA DAN LIMFOMA BERDASARKAN DIFERENSIASI SEL
sel T adalah CD2 dan CD7. Pada Gambar 2 dapat dilihat hr-rbungan antara keganasan sel T dan tahapan
perkembangan sel T.
Leukemia dan Limforna Sel
B Delapan pulLrh fers,'rr lirrl.r,ruu limfoblastik dan 907c limlbma non-Hodgkrrr s berasal dari sel B. Hal ini didasarkan pada didapatkannya ekspresi antigen B-lineoge-restrictecl dan ilonal rearrangemen.ts gen imunoglobulin rantai berat dan ringan. Keganasan-keganasan ini berhubungan dengan subpopulasi sel pre-B dan sel B matur dan secara klinis dibedakan menjadi indolen dan agresif. Pada Garnbar 1 dapat dilihat keganasan sel limtbsit B dan hubungannya dengan tahap perkembangan sel.
Leukemia dan Limfoma Sel Natural Killer (NK) Neoplasma sel NK merupakan neoplasma yang jarang ditemukan. Sel NK berasal dari sel induk pluripoten dan berhubungan dengan sel limfosit T yang berkembang secara terpisah pada tahap tertentu. Sel NK dibedakan dengan sel T secara imunologis. Sel NK tidak mempunyai TCR (T cell receptor) gene rearuangement, protein TCR, CD3 dan biasanya tidak mempunyai CD5. Sel NK biasanya
Leukemia dan Limfoma Sel T
1y'K-a ssociated antigen (CD16,CD56, CD57).']Klasifikasi neoplasma sel NK dapat dilihat pada
Antigen sel T yang terbanyak diekspresi sebagai petanda
Tabel 1.
rnempunyai ekspresi
124
t246
HEMAIOI,.OGI
IMUNOGLOBULTN (rG) DAN T CELL RECEPTOR TCELL
TCELL DIFFERENTI ATION
CD:
2.
2.3.
418. 5,
Sebagian besar keganasan limfoid berasal darj sel B atau T yang telah mengalami clonal immunoglobulin atau TCR rearrangement yarrg fisiologis. Karena itu, identifikasi
[.4anority of T- ALL fi,4ajority of T- ALL
clonal Ig/TCR rearrangement (lymphoid clonality) digunakan untuk membantu diagnosis dan pemantauan
Manority of T- ALL Rare T-ALL
6, 7; TCR
l\.4ajority
Gene Bearuangement
ol
T-CII,CTCL Sezary Cell,NHL
B di sumsum tulang dimulai dengan pembentukan gen-gen rntuk variable region antibodi Perkembangan sel
CD:234567:TCR l\y'inority
rantai ringan dan berat pada progenitor sel B melalui proses
of
T-CLL NHI]
yang disebut V(D)J (Variable-Diversity-loining) recombination. Pada proses ini, DNA yang terletak di
7; TCR
antara bagian gen mengalami delesi. Gen-genpadavariable
Gambar 2. Diferensiasi dan keganasan sel T
lmatur Myeloid/NK cell precursor acute leukemia
Matur Leukemia : lndolent : Large granular lymphocyte (LGL) leukemia Agresif : NK-cell leukemia Nasal/nasal type Nl(T cell lymphoma
. .
Blastic NK-cell lymphoma
terapi.
Perkembangan Sel B dan lmmunoglobulin
PERIPHERAL
CD:2,3,4,5,6,
(TCB) REARBANGEMENT
Manority of T CellALL 7.38.71
oo
CD:
MALIGNANCIES
region immwoglobulin rantai ringan (k atau l) terbentuk dari elemen V dan J, sedangkan pada imunoglobulin rantai berat, variable regbn terbentuk dari elemen V D dan J. Proses rekombinasi ini dapat dilihat pada Gambar 3. Terdapat bermacam-macam segmen V D dan J pada gernt
llne sehingga setiap sel B memiliki gen tertentu untuk variable region yang berbeda satu sama lain dan mengkode antibodi yang berbeda. Gene rearrangement ini juga membuat setiap sel B mempunyai petanda klonal tersendiri yang penting dalam analisis limfoma sel B.
Nasal dan Nasal Type NK-cell Neoplasma, Merupakan neoplasma sel NK yang paling sering ditemukan dengan karakteristik adanya pola pertumbuhan angiosentrik/
angiodestruktif dengan nekrosis zorral. Tumor ini mempunyai predileksi pada kavitas nasal dan sinus
Light chain (K)
53
paranasal. Sering disebut }uga lethal midline granuloma atau polimorfik retikulosis. Na sal type limfoma memptny ai
gambaran histologis yang sama, tetapi berasal dari ekstranodal seperti kulit, traktus gastrointestinal, testis, ginjal, traktus respiratori bagian atas dan mata,/orbita.
,/var
VJC
\,/ \ ,/
ab e
Rearrangement
5'3 Heavy cha
n
VDJCU
s',
3',
\
53
/('t""arransement
Hodgkin's Disease Reed-Sternberg (RS) sel merupakan karakteristik penyakit Hodgkin's. Sel RS dibedakan dengan sel limfoma nonHodgkin secara imunologis dengan tidak ditemukannya T atarr B-cell associated antigens. Sel RS mempunyai ekspresi:
.
CD15
Merupakan antigen golongan darah Lewis
.
X
yang
berfungsi sebagai reseptor adhesi.
cD30(Ki-1) Sel RS dapat mempunyai monoklonal atau poliklonal globulin g ene rearuan g emenrs. Pada beberapa
immuno
kasus ditemukan juga rearrangements.
T cell receptor
b-chain
Gambar 3. V(D)J Becombination pada Perkembangan Sel B
SelB naive yang mengenali antigen melalui membranebound anibodi, terdapat pada senter germinal organ limfoid sekunder: kelenjar limfe, limpa dan MALT (mucosttas s o c iat e d ly mpho id ti s s ue). Genomik DNA sel B kemudian mengalami 3 tipe modifikasi yaitu (Gambar 4): Receptor editing. Proses pergantian rantai polypeptide antibodi dengan rantai yang lain, biasanya terjadi pada imunoglobulin rantai ringan. Class switching. Beberapa sel B pada senter germinal mengalami pergantian dari ekspresi IgM dan IgD menjadi
1247
LIMFOPROLIFER/I(IIF
Rearrangement pada Sel B Normal. Setiap sel B normal mempunyai 2 gen IgG rearrangemenr: Vr-N-Dr-N-J, dan V,_-N-J,_ yang berbeda untuk setiap sel. Masing-masing sel B berbeda satu sama lain berdasarkan rearrangement gen
IgG, IgAatau IgE. Proses ini menimbulkan perubahan fungsi efektor antibodi tanpa perubahan V(D)J region.
Hipermutasi Somatik.
Proses mutasi (terutama perubahan
delesi dan duplikasi) terj adi dengan frekuensi tinggi pada gen variable-region. Proses mutasi ini menyebabkan berkembangnya sel B mutan pada senter s
in g I e - nuc le o
tide,
fuga
IgH yang berbeda. Keadaan diversitas ini disebut poliklonalitas
Rearrangement pada Sel B Limfoma. Sel B limfoma mempunyai sekuens VH-N-DH-N-J, dan V'-N-J, yang identik. Hal ini menunjukkan bahwa sel limfoma berasal
germinal yang menghasilkan antibodi dengan peningkatan afinitas terhadap antigen tertentu. Sel B mutan yang tidak
mempunyai kemampuan berikatan dengan antigen atau tidak menghasilkan antibodi tertentu akan mengalami apoptosls.
dari sel B yang sama sehingga disebut monoklonalitas Perkembangan sel B, immunoglobulin gene rearrangemenl dan hubungannya dengan limfoma dapat dilihat pada tabel2 dan gambar 5.
Class switch ng
Somatic hypermutatlon
Gambar 4. Proses Modifikasi Molekular Gen yang Mengkode Antibodi
No mutations ln variable region
genes
Somatic mutations in variable-region genes
lvlantle
Germinal
zone B-ce
I
)saleclo'
I
sAlecl'o'
CD5+
I I I
B
\
cell
\
-
atio'
czni" CenreU
lass lass switcnrng
Bcell BLell / Geminal-
gene recombinatio-n
Variable-region
center B
/ /.+
./
--+
cell *--4
Follicular lymphomas
diffuse large-cell lymphomas, monocytoid B-cell lymphomas, MALT lymphomas,B-cell chronic lymphocytic leukemias,hair-cel
Gambar 5. Limfoma sel B dan perkembangan sel B
1248
HEMANOI-OGI
Gen
Sel B
Protein lg
imunoglobulin
Sel induk Sel pro-B
Germ line Germ line
Sel pre-B
IgH rearrangement, yt-chain (sitoplasma)
Sel B imatur
lgLllg{ rearrangement, lgM
-
(membran)
B-cell
CD34 CD19,CD79a, BSAP,CD34,CD1O. TdT CD19, CD45R, CD79A, BSAP, CD34, CD1O, TdT
lgG
lglV
(membrane)
-
lgHlL rearrangement, lgM, lgD
Mature-naiVe
I
B-CLL, MCL
mutasi somatik
lg (minimal atau tidak ada)
CD19, CD2O, CD45R,CD79a, BSAP, CD1O, BCL6
BF, FL, LPHL, DLBCL, cHL
ISM
CD19, CD2O, CD45R, CD79A, BSAP CD38, Vs38c, IVUM-1,
IVZL, B-CLL
lgHl
Sel B memori
lgHlL rearrangement
mutasi
Sel plasma
lgHlL rearrangement
mutasisomatik lgG>lgA>lgD
arrange ments, c/ass
mulai
somatik
CD19, CD2O, CD45R, CD79a, CD10, BSAP CD19, CD2O, CD45R, CD79a, BSAP, CD5
Germinal center (CB, UU)
re
B-LBL/ALL
lgM/lgD
(membran)
switch
Limfoma
Plasmasitoma/ mieloma
CD1 38
Keterangan
CB: UU: lg: B-LBL B-CLL I\4CL BL: FL:
:
centroblast
LPHL
Iy m
centrocytes
DLBCL
Diffuse large cell B -cell lymphoma
imunoglobulin :
:
:
B-cel I lym phobl astic lym ch
ronic lym phocyti c
Ie
p
homa
uke mi a
mantle cell lymphoma Burkitt lymphoma
ph ocyte-predom
in a
n
t H odg k i n Iy m ph o m a
cHL
classic Hodgkin lymphoma
MZL
marginal zone B-cell lymphoma
BSAP
B cell specific activator protein
MUIV-,1
Multiple myeloma oncogene
TdT
Terminal deoxynucleotidyl
follicle center lymphoma
Perkembangan Sel T dan T-cell Receptor
(rcR)
T-cell receptor merupakan molekul transmembran, terdiri dari alb alau, gld heterodimer. Setiap a,b,g dan d chain terdiri dari variable domain dan constant domain. Proses rearangement segmen V, D , J dan C juga terjadi pada TCR seperti pada IgH rearrangement. Pre-T cell mempunyai
imatur TCR yang terdiri dari b chain dan pre-Ta chain
gen yang dalam keadaan normal mengatur sintesis imunoglobulin rantai ringan dan berat berpindah posisi pada gen-gen yang mengatur aktivasi dan proliferasi sel. Diduga, gen-gen yang mengalami transformasi ini (onkogen) diatur oleh elemen regulatori yang dalam keadaan normal mengatur proliferasi dan diferensiasi sel.
Beberapa translokasi kromosom pada limfoma non Hodgkin dapat dilihat pada Tabel3 dan Gambar 6.
yang akan berkembang menjadi a chain dan membentuk matur TCR pada sel T.
PATOGENESIS LIMFOMA DAN LEUKEMIA CLUSLL Beberapa gen berperan dalam patogenesis limfoma dan leukemia. Abnormalitas sitogenetik telah ditemukan pada beberapa tipe limfoma dan leukemia. Translokasi kromosom merupakan genetic hallmark keganasan limfoid. Proses ini diduga berhubungan dengan antigen receptor gene rearrangement (gen Ig pada sel B dan gen TCR pada sel T). Gambaran umum translokasi gen ini adalah berubahnya letak protoonkogen pada daerah proksimal rekombinasi kromosom. Hal ini menyebabkan berubahnya pola ekspresi gen sebagai aklbatjuxtaposition regulatory sequens da:t' kromosom (deregulasi protoonkogen). Sekuens DNA dari beberapa translokasi kromosom menunjukkan bahwa gen-
@ i11i3)
MALT
3-/rrrE FL-
-'- - -:.-'-
)DLBCL
-'ir FIilmAION
Gambar 6. Translokasi gen pada limfoma
1249
DASAR-DASAR BIOLOGIS LIMFOPROLIFERATIF
Tipe histologis
Translokasi
% kasus
Mekanisme aktivasi
Protoonkogen
Fungsi protoonkogen
proto-onkogen
Limfoplasmasitik
t(9;1 4Xp1 3;q32)
50
PAX-s
Deregulasi transkripsional
Faktor transkripsi regulasi proliferasi dan diferensiasi sei B
Folikular
t(14i18)(q32iq21)
90
BCL-2
Deregulasi transkripsional
Regulasi negatif apoptosis
70
BCL-1 /cyclin
Deregulasi transkripsional
Regulator siklus sel Anti apoptosis
t(1 ;18Xp1
;q21) t(18:22)(q21 iq1 1) Mantle cell
1
t(1 1;14Xq13;q32)
D1
MALT
t(1
Diffuse large
de(3)(q27)
1 ;18\(q21 ;q21\ t(;1a)@22;q32)
50
API2/IVLT BCL-10
Protein fusi deregulasi transkripsional
35
BCL-6
Deregulasi transkripsional
jarang
B-cell
Represor
transkripsional pada pembentukan senter germinal
Burkitt
Anaplastic large
t(8; 1 4Xq24;q32)
80
t(2;8)(p11,q24)
t(8,22\G24,q11)
15 5
t(2;5)(p23;q35)
60
NPIV/ALK
Deregulasi transkripsional
Faktor transkripsi regulasi proliferasi sel
Protein fusi
ALK merupakan tirosin
T-cell
kinase
Keterangan:
PAX-5 BCL-2 BCL-1
APl2lMLT
'.
Paired homeobox family-S
:B-cellleukemiallymphoma-2 :B-cellleukemia/lymphoma-1 '.
BCL-6 NPM/ALK
.
: Nucleophosmin/ anaplastic lymphoma kinase
Apoptosis inhibitor kinase
Translokasi kromosom pada leukemia akut pre-B.
.
:B-cellleukemiallymphoma-6
BCL-10'.9-cellleukemiallymphoma-10
t(9;22) BCR-ABL (Break chain region-Abelson) rearrangement yarlg menghasilkan tirosin kinase abnormal (p190 atau p210 BCR-ABL) didapatkan pada 30 % kasus. Translokasi kromosom 1 1q23 ( gen MLL, HRX, ALL- 1) (... . . ) didapatkan pada 5Vo kasus. Translokasi ini menghasilkan abnormal DNA binding protein yang selanjutnya menimbulkan transkripsi gen abnormal. Pada sekitar 50 % kasus leukemia akut sel T. ditemukan
translokasi yang melibatkan gen reseptor antigen sel T (l4qll,7q34') yang menimbulkan ekpresi abnormal faktorfaktor transkripsi tefientu.
limfoma sering ditemukan pada masa anak-anak karena pada usia ini didapatkan banyak sel prekursor B. Mieloma sel plasma sering ditemukan pada usia dewasa tua karena pada usia ini didapatkan banyak sel plasma yang telah mengalami paparan antigen setelah melewati senter germinal. Perjalanan penyakit: tumor yang berhubungan dengan sel normal yang aktif berproliferasi seperti limfoblas dan sentroblas cenderung berkembang dengan cepat dan agresif. Tumor yang berasal dari sel-sel pada keadaan istirahat seperti CLLiSLL cenderung bersifat
indolen Letak tumor: tumor yang berasal dari sel prekursor akan
berkembang menjadi leukemia akut; sel pada senter
IMPLIKAS! KLINIS PENGETAHUAN DASAR BIOLOGIS
germinal akan berkembang menjadi tumor pada folikel limfoid di seluruh tubuh; sel pada MALT akan berkembang pada daerah ekstranodal.
Dasar biologis keganasan limfoproliferatif meliputi
Patogenesis
pengetahuan tentang diferensiasi limfosit dan molekular genetik. Pengetahuan tentang hal tersebut mempunyai implikasi yang berhubungan dengan beberapa aspek klinis
Proses genetik yang terjadi selama diferensiasi sel
antara lain:
translokasi atau mutasi gen imunoglobulin yang
melibatkan rearrangemen / dan mutasi gen imunoglobulin. Selama proses ini, dapat terjadi kelainan-kelainan genetik mengakibatkan perkembangan neoplasma. Sebagian besar
Gambaran Klinis
.
siapa yang terkena penyakit: pasien dengan populasi
sel normal yang banyak mempunyai kemungkinan mengalami transformasi neoplasma. Limfoblastik
translokasi kromosom pada neoplasma limfoid memindahkan protoonkogen ke daerah promoter gen reseptor antigen (gen imunogloblulin atau gen reseptor sel T).
1250
Klasifikasi dan Diagnosis
HEMATIOI.OGI
REFERENSI
Kombinasi morfologi, imunofenotipe, rearrangement dan
mutasi gen serta gambaran klinis digunakan untuk klasifikasi dan diagnosis keganasan limfoproliferatif.
Pengobatan Pengetahuan dasar biologis neoplasma limfoid digunakan untuk penelitian terapi. Tumor dengan proliferasi yang cepat pada umumnya berespon dengan obat-obat yang mengganggu sintesis DNA. Abnormalitas genetik dapat
menjadi target terapi seperti antisense oligonucleotida terhadap gen anti-apoptosis seperti BCL2, obat dengan target protein tusi seperti NPM/ALK atau API2IMIJII atat obat penghambat protein pengatur siklus sel seperti siklin
Dl.
Delves PJ, Roitt IM. Advanced in immunology: the immune system. N Engl J Med 2000; 343: 37-49. LM. Malignancies of lymphoid cells. In : Pauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et al. editors. Harrison's principles of internal medicine. 14'h ed. New York: McGraw-Hill; 1998. p. 695-8. Gaidano G Dalla-Fevera R. Lymphomas. In: De Vita Jr Vl Hellman S, Rosenberg SA, editors. Cancer principles and practice of oncology. 6'h ed. Philadeiphia: LippincorRaven; 2001. p.221535.
Freedman AS, Nadler
Greer JP, Kinney MC, Loughran Jr TP. T cell and NK celi lymphoproliferative disorders. Hematology 20Ol : 259 -81. Harris NL, Stein H, Coupland SE, Hummel M, Favera RD, Pasqualucci
L, et al. New approach to lymphoma diagnosis. Hematoiogy 20Ol:194-220.
Deteksi Minimal Residual Disease (MRD) Dengan tehnik PCR untuk mendeteksi Ig ,TCR gene rearrangement atau translokasi kromosom lainnya, dapat dideteksi 1 sel tumor di antara 1 05- 1 06 sel normal . PCR dapat digunakan untuk mendeteksi sel limfoma pada darah atau
sumsum tulang. Pemeriksaan ini dapat menilai remisi komplit secara lebih akurat dan sebagai pertimbangan apakah terapi harus diteruskan, dihentikan atau diganti dengan yang lebih intensif.
Macintyre E, Willerford D, Morris SW. Non-Hodgkin's lymphoma: molecular features of B cell lymphoma. Hematology 2000: I 80-94. Kuppers R, Klein U, Hansmann ML, Rajewsky K. Cellular origin of hurnan B-cell lymphomas N Engl J Med 1999;341:1520-9.
199 LIMFOMA NON-HODGKIN (LNH) A. Harryanto Reksodiputro, Cosphiadi Irawan
PENDAHULUAN
KELEN..!AR LIMFE
;imfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan primer limfosit yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T dan kadang (amatjarang) berasal dari sel NK ("natural killer") yang berada dalam sistem limfe; yang sangat heterogen. baik tipe histologis, gejala. perjalanan klinis, respon terhadap pengobatan, maupun prognosis. Pada LNH sebuah sel limfbsit berproliferasi secara tak terkendali
Untuk dapat memahami penggolongan histologis LNH,
yang mengakibatkan terbentuknya tumor. Seluruh sel
LNH
marilah kita bahas secara singkat perihal arsitektur kelenjar limfe, yaitu organisasi struktur, asal dan migrasi ljmfosit, serta tranformasi limfosit. Sistem limfe adalah jaringan tubuli tubuli yang amat tipis yang bercabang-cabang seperti pembuluh darah. PembLrluh limfe berisi cairan bening yang berisi sel limfosit dan merupakan sarana yang mengalirkan sel limfosit keseluruh tubuh.
berasal dari satu sel limfosit. sehingga semua sel dalam tumor pasien LNH sel B memiliki imunoglobulin yang sama pada permukaan selnya.
Pada tahun 2000 di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 54.900 kasus baru, dan 26.1 00 orang meninggal karena LNH. Di Amerika Serikat, 57o kasus LNH baru terjadi pada pria. dan 4Vc pada wanita per tahunnya. Pada tahun 1997, LNH dilaporkan sebagai penyebab kematian akibat kanker utama pada pria usia 20-39 tahun.
Insidensi LNH di Amerika Serikat menurut lVational Cancer Institute tahun 1996 adalah 15.5 per 100.000. LNH secara umum lebih sering terjadi pada pria. Insidensi LNH meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan mencapai puncak pada kelompok usia 80-84 tahun. Saat ini angka pasien LNH di Amerika semakin meningkat dengan pertambahan 5-l\Vc pertahunnya ,menjadikannya urutan ke Iima tersering dengan angka kejadian 12-15 per 100.000 penduduk. Di Perancis penyakit ini merupakan keganasan ketujuh tersering. Di Indonesia sendiri LNH bersama sama dengan penyakit Hodgkin dan leukemia menduduki urutan ke enam tersering .Sampai saat ini belum diketahui sepenuhnya mengapa angka kejadian LNH terus meningkat. Adanya hubungan yang erat antara penyakit AIDS dan LNH kiranya memperkuat dugaan adanya hubungan antara
LNH dengan infeksi.
Gambar 1. Struktur kelenjar getah bening. Folikel-folikel dihuni padat oleh sel- Sel B yang membentuk pusat germinal Sel B juga menghuni daerah medula sedangkan daerah parakorteks terutama
mengandung sel T. Modifikasi dari Fudenberg HH Stities DE, Caldwell JL, Wells JV Basic and Clinical lmmunology. Los Altos California : Lange Publications, 1979;82.
Gambar I memperlihatkan bagan struktur kelenjar limfe, yang terbagi dalam tiga bagian utama yaitu: korteks, para korteks dan medulla. Di dalam korleks didapati folikelfolikel yang berbentuk sferis, yang terisi penuh limfosit B. Di tengah folikel-folikel ini dapat ditemukan daerah yang berwarna agak pucat yang dinamakan pusat germinal ("centrum germinativum") yarg di dalamnya dapat ditemukan sel blast, sel besar dan makrofag; yang memberi
t252
HEMAIOI,.OGI
menjadi bersitoplasma banyak/luas pada sel plasma.
gambaran seperti "langit berbintang". Daerah parakorteks I sedang daerah medulla pada dasarnya dihuni oleh sel B.
berisi limfosit
perubahan ini terjadi pada sel limfosit B disekitar atau di dalam " c e nt rum g e mt in ctt ivarn" ; sedangkan limfb s it T' aktif berukuran lebih besar dibanding limfosit T ''tua''. (Gambar
2) Perubahan sel limfosit normal menjadi sei lin.rfoma merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang tengah berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas (ter;adi akibat adanya rangsangan imunogen). Hal yang perlu diketahui adalah proses ini terjadi di dalam kelenjar -uetah bening, dimana sel limfosit tua berada dilluar "centrmtr germinativutr" sedar.rgkan imunoblast berada di bagiart
PATOGENESIS TBANFORMASI DAN MIGRASI LIMFOSIT Berbeda dengan sel hematopoeitik yang lain, limfosit kecil (matang/tua) bukanlah merupakan sel tahap akhir dari perkembangannya, akan tetapi mereka dapat merupakan permulaan limfbpoiesis baru yang timbul sebagai reaksi terhadap rangsangan antigen yang tepat. Hal ini dibuktikan
oleh Nowell pada tahun 1960 dan peneliti lain yang memperlihatkan sel limfosit kecil (matang) mamptt mengadakan perubahan morfologi (transtbrmasi) dan berproliferasi sebagai reaksi terhadap ran-qsangan lektin tabati (plant Lectin) Seperti sel darah lainnya, sel limfosit dalam kelenjar
paling sentral dari "centrunt geminatlulm" Beberapa perubahan yang terjadi pada limfbsit tua antara lain: I Ukurannya mak-in besar; 2). Kromatin inti menjadi
limfe juga berasal dari sel-sel induk multipotensial di dalam sumsum tulang. Sel induk multipotensial pada tahap awal
yang berubah menjadi sel kanker seringkali tetair
)
lebih"haius"; 3). Nukleolinya terlihat; .1). Protern permukaan sel mengalami perubahan (reseptor ?). Hal mendasal lain yang perlu diingat adalah bahwa sel
bertransformasi menjadi sel progenitor limfosit yang kemudian berdiferensiasi melalui dua jalur. Sebagian mengalami "pematangan" dalam kelenjar thymus untuk menjadi sel limfosit T, dan sebagian lagi menuju kelenjar limfe atau tetap berada dalam sumsum tulang dan
mempertahankan sifat "dasar"nya. Misalnya sel kttnker dari limfosit tua tetap mempertahankan sifat mudah masnk aliran darah namun dengan tingkat mitosis yang rendah. sedangkan sel kanker dari imunoblas anrat jarang masuk ke dalam aliran darah, namun dengan tingkat niitosis 1'ang tmggr.
berdiferensiasi menjadi sel limfosit B. Apabila ada rangsangan oleh antigen yang "sesuai" maka limfosit T maupun B akan befiransformasi menjadi
ETIOLOGI DAN FAKTOR BISIKO
bentuk aktif dan berproliferasi. Limfosit T aktif Etiologi sebagian besar LNH tidak
diketahLri . Namun terdapat beberapa f'aktor risiko terjadinya LNH. antara lain: ImunoDefisiensiz 25Vo kelainan herediter langka 1'an-v berhubungan dengan terjadinya LNH antara lain adalah: severe combinecl immunode.ficiency, hypo gcLmntrt
menjalankan fungsi respon imunitas seluler, sedangkan limfositB aktif menjadi imunoblas yang kemudian menjadi
sel plasma yang membentuk imunoglobulin. Terjadi perubahan morfologi yang mencolok pada perubahan ini, dimana sitoplasma yang sedikit / kecil pada lirnfosit B "tua"
lnti Ti dak Me ekuk
Besar
KeciJ
Daerah Besar
follkular
im!noblas
B
5el retikulum
\
interdigitatik
Gambar 2. Transformasi limfosit B dan T menurut konsep Lukes. Modifikasi dari Lukes RJ Boerhave Committee for Postgraduate Medical Edcuation lnternational Course on Malignant Lymphomas, Noorwijkerhout, 1979, V-2
LIMF1OMA NON.HODGKIN
1253
GNH)
munoblas
t
o 5el I
t
1.
Rappaport
2 3 4 5. 6 7
Lukes Lennert Gerard Marchant Bennet Dorfman WHO Formulasi Praktis
Nama Klasifikasi
Tahun
Penulis '
'1966
dan
Modified Rappaport
1976
B.
1974 1974 1974 1974 1974 1976 1982
Lukes-Collins Lennert Kiel
BNLCDorfman
WHO.. Formulasi Praktis /
Working Formulation / WF
I Gambar 3. Transformasilimfosit B dan T menurut konsep Lenneft E= Sheep E receptor, EAC= complement receptor, S-lg= 5u63.t
lmmunoglobulin, C-lg= lntacytoplasmic lmmunoglobulin,
REAL revised 1O WHO / REAL
-
-.
1
993
1997
REAL WHO / REAL
British National Lymphoma Classification World Health Organization
Ag=Antigenic stimulation. Modifikasi dari Lennert K, Stein H, Mohri N, Katserling E, Muller-Hermelink HK.Malignant Lymphomas other
than Hogkin's disease. Berlin Springer-Verlag, 1978: 99
globulinemia, common variable immunodeficiency, Wiskott-Aldrich syndrome, dan ataxia-telang iectasia. Limfoma yang berhubungan dengan kelainan-kelainan tersebut seringkali dihubungkan pula dengan Epstein-Barr virus (EBV) dan jenisnyaberagam, mulai dari hiperplasia poliklonal sel B hingga limfoma monoklonal.
B-cell neoplasms
I
Precursor B-cell neoplasm: precursor B-acute lymphoblastic leukemia/lymphoblastic lymphoma (BALL, LBL) Peripheral B-cell neoplasms B-cell chronic lymphocytic leukemia/small lymphocytic lymphoma B, B-cell prolymphocytic leukemia Lymphoplasmacytic lymphoma/immunocytoma D Mantle cell lymphoma E. Follicular lymphoma F Extranodal marginal zone B-cell lymphoma or MALT type Nodal marginal zone B-cell lymphoma (+monocytoid B-cells) Splenic marginal zone lymphoma (+villous lymphocytes) Hairy cell leukemia Plasmacytoma/plasma cell myeloma K. Diffuse large B-cell lymPhoma Burkitt's lymphoma
ll
A
Agen Infeksius: EBV DNA ditemukan pada957o iimfoma Burkit endemik, dan lebih jarang ditemukan pada limfoma Burkit sporadik. Karena tidak pada semua kasus limfoma Burkrt ditemukan EBV, hubungan dan mekanisme EBV terhadap terjadinya limfoma Burkit belum diketahui. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa infeksi awal EBV dan faktor lingkungan dapat meningkatkan jumlah prekursor yang
G H I J. L
terinfeksi EBV dan meningkatkan risiko terjadinya kerusakan genetik. EBV juga dihubungkan dengan lymphoprolift rativ iated lymphomas.
po sttransplant
AI DS
-
as
s
oc
e
disorders ( PTLD s ) dan
Paparan Lingkungan dan Pekerjaan: Beberapa pekerjaan yang sering dihubungkan dengan risiko tinggi adalah
peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan adanya paparan herbisida dan pelarut organik.
Diet dan Paparan Lainnya: risiko LNH meningkat pada orang yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok, dan yang terkena paparan ultraviolet.
KLASIFIKASI LIMFOMA NON HODGKIN Penggolongan histologis LNH merupakan masalah yang
rumit dan sukar, yang kerap mengunakan istilah-istilah yang dimaksudkan untuk tujuan yang berbeda beda sehingga tidak memungkinkan diadakannya perbandingan yang bermakna antara hasil hasil berbagai pusat penelitian. Perkembangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
T-cell and putative NK-cell neoplasms
I
Precursor T-cell neoplasm: precursor T-acute lymphoblastic leukemia/lymphoblastic lymphoma
ll
Peripheral T-cell and NK-cell neoplasms A. T-cell chronic lymphocytic leukemia/prolymphocytic leukemia B T-cell granular lymphocytic leukemia Mycosis fungoides/Sezary syndrome D. Peripheral T-cell lymphoma, not otherwise characterized E. Hepatosplenic gamma/delta lymphoma F Subcutaneus panniculitis-like T-cell lymphoma G, Angiommunoblastic T-cell lymphoma H. Extranodal TJNK-cell lymphoma, nasal type Enteropathytype intestinal T -cell lymphoma '1+) J Adult T-cell lymphoma/leukemia (HTLV primary systemic cell lymphoma, large K. Anaplastic type L. Anaplastic large cell lymphoma, primary cutaneous type M Aggressive NK-cell leukemia
(r-ALL, LBL)
I
1254
HEMIIilOI.OGI
Perkembangan terakhir klasifikasi yang banyak dipakai dan diterima dibanyak pusat kesehatan adalah formulasi praktis ("Working Formulation"/lVF) dan REAL / WHO.
WF menjabarkan karakteristik klinis dengan deskriptif histopatologis, namun belum menginformasikan jenis sel limfosit B atau I maupun berbagai patologis klinis yang baru. WF membagi LNH atas derajat keganasan rendah, menengah dan tinggi yang mencerminkan sifat agresifitas mereka. Klasifikasi WHO/REAL beranjak dari karakter imunofenotip (sel B, sel T dan sel NK) dan analisa "lineage" sel limfoma. Klasifikasi terakhir ini diharapkan menjadi patokan baku dan cara berkomunikasi di antara ahli hematologi-onkologi medik. Hal yang perlu dicatat ridalah 257o pasien LNH menunjukkan gambaran sel limfoma yang berrnacam macam
pada satu lokasi yang sama; maka dalam hal ini pengobatannya harus berdasarkan gambaran histologis yang paling dominan. Oleh karena itu diagnosis klasifikasi LNH harus selalu berdasarkan biopsi KGB dan bukan evaluasi sitologi atau biopsi sumsum tulang semata.
PENDEKATAN DIAGNOSTIK
Anamnesis Umum:
.
Pembesaran kelenjar getah bening dan malaise umum I
l-+
, I -
geiala sistemik
tanpa sebab Keringatmalam
Keluhan anemia
Keluhan organ (misalnya lambung, nasofaring) Penggunaan obat (Diphantoine) Khusus: a
Penyakit autoimun (SLE, Sjogren, Reuma) Kelainan darah
Penyakit infeksi (toksoplasma, mononukleosis, tuberkulosis lues, penyakit cakar kucing)
Low grade lymphomas
A. B
C.
Small lymphocytic, consistent with CLL plasmacytoid
Follicular,predominantly small cleaved cell Follicular, mixed small cleaved and large cell
lntermediate-grade lymphomas
D. E. F.
G.
Follicular, large cell Diffuse, small cleaved cel Diffuse, mixed small and large cell Diffuse large cell
High-grade lymphomas
H. I J.
Large cell, immunoblastic Lymphoblastic Small, non-cleaved cell Burkitt's, Non-Burkitt's
B-cell neoplasma (REAL) Small lymphocytic CLUPLL Lymphoplasmacytoid-immunocytoma Plasmacytoma/myeloma Hairy cell leukemia
Marginal zone lymphoma
. . .
T-cell neoplasma (REAL)
WF
A A,F Other Other
CLUPLL LGL
T-cell
ATUL (chronic and smouldering types Mycosisfungoides/Sezarysyndrome
WF A,E A,E A,E
A,B,C,E,F
SPlenic Extranodal/MALT Nodal
Follicle center, follicular
. . .
Grade I Grade ll Grade lll Follicle center, diffuse small cell
Diffuse large B-cell, including T-cell rich lmmunoblastic Mediastinal
D
E,F
AB,EF
Mantle cell lymphoma
o . o
B
a
:
Precursor B-cell (lymphoblastic) Burkitt's lymphoma Burkitt's-like (High grade B-cell lymphoma)
F
Peripheral T-cell lymphoma HTLV-1) Unspecified
(+I
. . . o
Angioimmunoblastic Angiocentric
E,F,G,H,J E,F,G,H E,F,G,H E,G,H
lntestinal
G,H G,H I
J J
Anaplastic large cell lymphoma Precursor T-cell (Lymphoblatsic)
Referensi : Rosenberg SA, Berard CW, Brown BW et al. National Cancer lnstitute Sponsored study of Classification of Non-Hodgkin's Lymphomas. Cancer 1982;a9(10):2112-35. Harris NL, Jaffe ES, Stein H et al. Revised European-American Classification of Lymphoid neoplasms:a proposal from the lnternational Lymphoma study group, Blood 1994;84(5):1361-92. Shipp MA, Mauch PM, Harris NL. Non Hodgkin's Lymphoma . ln DeVita W Jr, Hellman S, Rosenberg SA, editors. Cancer : Principles and Practice of Oncology, 51h edition. Philadhelphia : Lippincott-Raven, 1 997.pp 21 65-220.
t255
LIMFOMA NON.HODGKIN (LNH)
Pemeriksaan Fisik
. . .
Pembesaran KGB
Cairan tubuh lain: cairan pleura, asites, cairan serebrospinal jika dilakukan punksi,/aspirasi diperiksa
Kelainan/pembesaran organ Performace status: ECOG atauWHO/Kamofsky
Pemeriksaan Diagnostik
a.
gastroskopi atau foto saluran cema atas dengan kontras.
f.
Laboratorium . Rutin Hematologi: - Darah perifer lengkap (DPL) - Gambaran darah tepi (GDT) Urinanalisis: - Urin lengkap
Kimiaklinik:
-
SGOT, SGPT, LDH, protein total, albumin, asam
g.
sitologi dengan cara cytospin, di samping pemeriksaan rutin lainnya. Immunophenotyping: Parafin panel: CD 20, CD 3.
STADIUM PENYAKIT Penetapan stadium penyakit harus selalu dilakukan sebelum pengobatan dan setiap lokasi jangkitan harus didata dengan cermat, digambar secara skematik dan didata
tidak hanya jumlah namun juga ukurannya. Hal ini sangat penting dalam menilai hasil pengobatan.
urat
.
-
Alkali fosfatase
-
GammaGT
Gula darah puasa dan 2jam pp
Stadium
Elektrolit: Na, K, Cl, Ca, P Khusus Cholinesterase(CIIE) LDIYfraksi Serum Protein Elektroforesis (SPE)
Imuno Elektroforese (IEP) Tes Coombs
B, Mikroglobulin
1
b. Biopsi
.
Biopsi KGB dilakukan hanya I kelenjaryang paling representatif, superhsial, dan perifer. Jika terdapat kelenj ar perifer/superf,rsial yang representatif, maka
Keterangan Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) hanya 1 regio I E: jika hanya terkena 1 organ ekstra limfatik tidak difus / batas tegas Pembesaran 2 regio KGB atau lebih, tetapi masih satu sisi diafragma ll 2: pembesaran 2 regio KGB dalam 1 sisi diafragma ll 3: pembesaran 3 regio KGB dalam 1 sisi diafragma ll E: pembesaran '1 regio atau lebih KGB dalam organ ekstra limfatik tidak sisi diafragma dan difus / batas tegas
ilt IV
1
Pembesaran KGB di 2 sisi diafragma Jika mengenai 1 organ ekstra limfatik atau lebih tetapi secara difus
tidak perlu biopsi intra abdominal atau intratorakal. Spesimen kelenj ar diperiksa:
-
Rutin
Catatan: 1. Untuk kesepakatan kode S: Spleen (ika terkena limfa)
Histopatologi: REAL-WHO dan Working
H: Hepar (jika terkena hati) P: Pulmo (ika terkena paru/pleura) C: Cerebral (ika terkena susunan syaraf pusat) O: Os (jika terkena tulang) l: lntestinal (ika terkena saluran cerna) 2.Yang dimaksud dengan organ limfatik adalah: KGB, timus, limpa, plagues payer, appendix 3. Cervical dan supraclavicula disisi yang sama adalah 1 lokalisasi 4. Aksila dan infraclavicula disisi yang sama adalah 1
Formulation
-
Khusus Imunoglobulin permukaan Histo/sitokimia . Diagnosis ditegakkan berdasarkan histopatologi dan sitologi.'FNAB dilakukan atas indikasi tertentu. . Tidak diperlukan penentuan stadium laparatomi. Aspirasi sumsum tulang (BMP)dan biopsi sumsum tulang dari 2 sisi spina iliaca dengan hasil spesimen
lokalisasi 5. Mediastinum dan hilus adalah 1 lokalisasi
6.
Pertumbuhan jaringan paru sekitar hilus atau paket KGB Mediastinal adalah ekstra nodal tetapi bukan stadium lV 7 . Bulky Mass adalah massa tumor dengan diameter terpanjang lebih atau sama dengan 10 cm dan ratio mediastinum: thoraks > 0,35. Setiap pembesaran KGB dicatat ukurannya. Stadium A bila tidak ditemui gejala sistemik dan B bila ditemui 1 atau lebih gejala sistemik.
sepanjang 2 cm. d. Radiologi
-
Rutin: - Toraks foto PAdan lateral - CT scan seluruh abdomen (atas dan bawah)
LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok prognostik:
Khusus:
Indolent Lymphoma dan Agresif Lymphoma. LNH Indolen
-
FAKTOR PROGNOSTIK
CT scan toraks
memiliki prognosis yang relatif baik, dengan median
USGAbdomen Limfografr,limfosintigrafr
survival 10 tahun, tetapi biasanya tidak dapat disembuhkan pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe Indolen adalah
Konsultasi THT: Bila cincin Waldeyer terkena, dilakukan
noduler atau folikuler. Tipe limfoma agresif memiliki
1256
HEMAIIOI.OGI
perjalanan alamiah yang lebih pendek, namun lebih dapat
disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi kombinasi intensif. Risiko kambuh lebih tinggi padapasien
dengan gambaran histologis "divergen" baik pada kelompok Indolen maupun Agresif. International Prognostik Index (IP\ digunakan untuk memprediksi outcome pasien dengan LNH Agresif Difus yang mendapatkan kemoterapi regimen kombinasi yang mengandung Antrasiklin, namun dapat pula digunakan pada hampir semua subtipe LNH. Terdapat 5 faktor yang mempengaruhi prognosis, yaitu usia, serum LDH, status performans, stadium anatomis, dan jumlah lokasi ekstra nodal. Tiap faktor memiliki efek yang sama terhadap out-
dengan terapi radiasi 3). Extended (regional) irradiasi, untuk mencapai nodal yang bersebelahan. 4). Kemoterapi saja atau "Wait and see" jika terapi radiasi tidak dapat dilakukan. 5). Sub total/total iradiasi lymphoid (arang). Radioterapi luas tak meningkatkan angka kesembuhan dan dapat menurunkan toleransi terhadap kemoterapi lanjutan
nantlnya
Indolen, Stage II/IIVIV, Pengelolaan optimal pada LNH indolen stadium lanjut masih kontroversial dan masih melalui berbagai penelitian klinis. Standar pilihan terapi: . Tanpa terapilWait and see'. pasien asimptomatik
come, sehingga abnormalitas dijumlahkan untuk mendapatkan indeks prognostik. Skor yang didapat antara 0-5. Pada pasien usia <60 " (age adjusted IPI), indeks yang digunakan lebih sederhana yaitu hanya meliputi faktor stadium anatomis, serum LDH, dan sta1uls"performance", tanpa status ekstra nodal.
Umur
.
tunggal atau kombinasi. Merupakan anti CD20 antibodi monoklonal kimera yang telah disetujui untuk terapi LNH indolen yang relaps atau refrakter. Obat ini bekerja dengan cara aktivasi antibodi-dependent sitotoksik T-
< 60 tahun = 0 > 60 tahun =
sel, mungkin melalui aktivasi komplemen dan
'1
STAGE ARBOR
TUMOR ANN
I atau
ll
=0
memperantarai sinyal intraseluler:
LDH serum
lll atau lV = Normal = 0
ECOG
Tak ada gejala
= 0--
Ada gejala
= 1--
Meningkat =
-
'1
1
=0
PERFORIVANCE
STATUS
Bedridden <
112
day
Bedridden >1l2daY
-
= 2------
=3
Chronically bedridden =
=1
-
>ltempat=1
Skor Total Key scores Low risk=01 lntermediate --
2
high intermediate= 3 high risk = 4,5
TERAPI
LNH lndolen Indolen, Stadium I dan Stadium II, Kontrol penyakitjangka panjang atau perbaikan masa bebas penyakit ("disease free survival ") secara bermakna dapat dicapai pada sejumlah pasien LNH indolen stadium I atau stadium II dengan menggunakan dosis radiasi 2500-4000 cGy pada lokasi yang terlibat atau pada lapangan yang lebih luas yang mencakup lokasi nodal yang berdekatan. (termasuk sistem KGB terkait
dengan ekstra nodal yang terlibat)
Standar pilihan terapi: 1). Iradiasi 2). Kemoterapi
Untuk LNH indolen, dihasilkan ORR 50% dengan lama respons bertahan sekitar 1 tahun. Pada large cell lymphoma, dihasilkan respons sekitar 307o. Kombinasi kemoterapi dengan rituximab bersifat sinergis. Dosis baku rituximab 37 5 mglm2lV setiap minggu selama 4 sampai 8 minggu dan dosis maksimum yang
bisa ditoleransi belum ditenrukan. Terapi ulang
4--
Keterlibatan ekstranodal
dilakukan penundaan terapi dengan observasi. Pasien stadium lanjut dapat diobservasi dan dilaporkan tidak mempengaruhi harapan hidup. Remisi spontan dapat terjadi. Terapi diberikan bila ada gejala sistemik, perkembangan tumor yang cepat dan komplikasi akibat perkembangan tumor.(misal: obstruksi atau effusi ) Rituximab (anti CD 20 monoclonal antibodi; Rituxan, Mab Thera) sebagai "first line therapy" , diberikan
memberikan respons 40%. Efek samping berupa demam @an menggigil biasa dijumpai terutama pada infus pefiama. Efek samping yang fatal (seperti anafilaksis, ARDS dan sindrom lisis tumor) pernah juga dilaporkan terutama pada pasien dengan sel limfoma dalam sirkulasi atau CLL
.
Purine nucleoside analogs (Fludarabin atau 2klorodoksiadenosin; kladribin) memberikan respons
.
Allqlating Agent Oral (dengan atau tanpa steroid)
.
sampai 507o padapasien yang telah diobati/kambuh.
-
Siklofosfamid
Klorambusil Kemoterapi Kombinasi. Terutama untuk memberikan
hasil yang cepat. Biasanya digunakan kombinasi klorambusil atau siklofosfamid plus kortrkosteroid, dan fludarabin plus mitoksantron. Kemoterapi tunggal atau kombinasi menghasilkan respons cukup baik (60-80%). Terapi diteruskan sampai mencapai hasil maksimum. Terapi " mainte nanc e" tak meningkatkan harapan hidup, bahkan dapat memperlemah respons terapi berikut dan memperting gi efek leukemo genik
1257
LIMF1OMA NON-HODGKIN (LNH)
protokol pengobatan LNH derajat keganasan menengah atau tinggi. Kemoterapi dosis tinggi dan transplantasi sel induk untuk kasus ini harus dipertimbangkan.
Beberapa protokol kombinasi antara lain:
- CVP : Siklofosfamid + Vinkristin + Prednison - C(M)OPP : Siklofosfamid + Vinkristin + Prokarbazin .
+ Prednison CHOP : Siklofosfamid + Doksorubisin + Vinkristin + Prednison FND : Fludarabin+Mitoksantron + Deksametason
Primary Cutaneous B-Cell Lymphoma (CBCL). Didefinisikan sebagai limfoma tanpa penyebaran ekstrakutan pada waktu didiagnosa dan selama paling
lain :13rI-anti CD20 (tositumomab, Bexxar@) dan eoY-anti CD20
sedikit 6 bulan berikutnya. Penyebaran ke kaki memberikan prognosis yang lebih jelek. CBCL yang terlokalisir diobati dengan radioterapi, juga untuk yang multifokal. Kemoterapi dicadangkan untuk kasus dengan lesi anatomik "non-contiguous" atau penyebaran ekstrakutan.
(Ibritumomabtiuxetan,Zevalin@), digunakan pada
Terapi eksperimental. Beberapa antibodi monoklonal
pasien relaps dengan/tanpa keterlibatan sumsum tulang
dengan target antigen CD23, CD19, CD20 ,CD22 atau untuk
Antibodi Monoklonal Radioaktif. Angka respons berkisar antara5O-807o pada kasus yang pemah diterapi.
Sediaan yang tersedia antara
.
. .
minimal (< 25%o). Suatu penelitian acak yang
beberapa antigen yang lebih umum sifatnya sepefli CD5,
membandingkan tiuxetan vs rituximab menunjukan tingkat respon pengobatan (807o vs 557o) dan remisi lengkap (307o v s 1 5 7o) untuk keuntungan radio imunokonjugasi. Kemoterapi Intensif den ganltanpa "total-body imadiation" dllktl/i dengan transplantasi sumsum lulJangl" stem cell perifer autologous atau allogenic"/ PBSCT (masih dalam evaluasi klinis). Kemoterapi dibandingkan dengan kemoterapi diikuti anti-idiotype vaccine (penelitian fase III) IFN-u. Penggunaan IFN-alpha pada limfoma folikular sampai sekarang belum jelas. Hasil beberapa penelitian
CD25,CD80,CDz10.
.
. . . . . .
menunjukkan efek potensiasi angka respons, perpanjangan waktu remisi dan kemungkinan
.
Imunotoksin Vaksin idiotipe Antisense oligonukleotida
Inhibitorselektif Transplantasi sumsumtulang autologus atau dukungan terapi sel induk perifer, setelah kemoterapi dosrs tinggi sedang diteliti secara mendalam.
Transplantasi sumsum tulang alogenik atau transplantasi sel induk. Dianjurkan pada pasien usia muda yang refrakter dengan donor yang masih ada ikatan keluarga dan digunakan sebagai cadangan
pengaruhnya pada harapan hidup.
Radioterapi paliatif. Diberikan pada kasus tumor besar (bullcy) atau untuk mengurangi obstruksi dan
terakhir.
Indolen, rekuren. Standar Pilihan terapi:
. . . .
nyeri.
Konversi histologis. LNH indolen yang bertransformasi menjadi agresif memiliki prognosis jelek dan dapat melibatkan sistem saraf pusat (terutama: meningeal). Biasanya memberikan respons terapi yang baik dengan
Number of risk Factor
Alemtuzumab (Campath -1H), antibodi terhadap CD52 untuk terapi CLL, prolimfositik leukemia dan beberapa jenis limfoma sel T.
Terapiradiasipaliatif Kemoterapi
Rituximab (anti CD 2)-monoclonal antibodies) Transplantasi sumsum tulang (masih dalam tahap evaluasi klinis)
Comolete Resotnse Patrents Raie(%)
Perce-ntage or
5-Y
free
Disease- 5-Y survival survival f/.) $l
All Patients (adverse risk factors, age >60y; performance status > 2 LDH greater than normal; Ann Arbor Stage lll or lV; > 2 extranodal sites) 0.1 Low Low intermediate High intermediate
35 27 22
87 67
70 50
51
55
4.5
16
44
49 40
43 26
22
92 78 57
86 66
83
32 32 14
46
2 3
High
Patients < 60 y old (adverse risk factors: Ann Arbor stage lll or lV, LDH greater than normal, performance status >2 Low '1 Low intermediate High intermediate
0
2 3
High
53 58
73
69 46 32
12s8
HEMIIiTOI.OGI
LNH Agresif
R dan Djumhana melaporkan di Indonesia angka angka ini
LNIJ Intermediate/High Grade Terlokalisin Non bullty
lebih rendah, belum diketahui faktor pasti penyebabnya. Penelitian secara acak terhadap protokol CHOP (generasi peftama) dibandingkan dengan beberapa protokol generasi II / m seperti: m-BACOD, MACOP-B, dan PToMACECYtaBOM oleh"The Inter Group Study" melaporkan tidak ada perbedaan bermakna dari sudut angka harapan hidup dan masa bebas penyakit. Harapan hidup aktuarial berkisar anlara4)Vo sampai45Vo. Dengan demikian protokol CHOP tetap merupakan protokol baku terapi awal LNH agresif. Selain itu, hasil GELA study (Coiffrer et al) menunjukkan
IA dan IIA, dengan keterlibatan ekstranodal (E), dapat diterapi dengan regimen yang mengandung doxorubicin (CHOP/CHVmP/BV) minimal 3 siklus, stadium
dilanjutkan dengan IFRT (ekuivalen dengan 3000 cGy dalam 10 fraksi). Kombinasi kemoterapi dan radioterapi pada
stadium awal memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan kemoterapi saja.
$adium I-tr
(B
ullq),fr
danlY.diterapi dengan CHOP siklus
CHVmP/BV 8 siklus (dalam penelirian). Untuk daerah "bullq" IFRT dapat diberikan guna meningkatkan lokalkontrol. Mc Kelvey melaporkan denganregimen CHOP 5A7o sarnpaiT lTo pasienmencapai remisilengkap danT 57o diantaranya bertahan hidup lebih dari tiga tahun. Harryanto lengkap_atau
Response Category
Physical Examinations
bahwa pasien usia tua dengan LNH agresif dengan penambahan rituximab pada setiap siklus CHOP meningkatkan oyerall surviyal dengan pengamatan 3 tahun dari 497o menjadi
62%o
blla dibandingkan dengan
CHOP saja. Selain itu, regimen yang sama dapat
Lymph node
Lymph Node Masses
Bone Marrow
CR
Normal
Normal
Normal
Normal
Cru
Normal Normal Normal Normal Decrease in Liver/Spleen Enlarging liver/Spleen, newsites
Normal
Normal >75% decrease Normal > 50% decrease > 50% decrease New or increased
lndeterminate Normal or indeterminate Positive lrrelevant lrrelevant Reappearence
PR
Relapse/Progression
Normal
Normal > 50% decrease > 50% decrease New or increased
Terapi dalam Trial LNH limfoplasmasiter makroglobulinemra LNH ektranodal Sel B zone Marginaljenis MALT
W & S, chloorambucil, fludarabine atau CVP Lambung I dan HP + Lambung I dan HP -
PiR P/R P/R
t-tv
LNH sel , zona marginal nodal
Eradikasi HP RT, chloorambucil, CVP W & S, RT, (chirurgie); chloorambucil, CVP Chloorambucil, CVP, fludarabine
P/R
LNH sel B zona marginal pada limpa LNH follicular derajat 1-2
Splenectomi, chloorambucil tiil
> 15
t/il
P
> 18
P
>65
P R
of
refractair
R-CHOP = CHOP + rituximab 'hanya bila CD 20 + t. bila residif/ refrakter pada berbagai pengobatan S dalam waktu dekat !T setelah 1 atau 2 protokol yang tanpa antrasiklin W & S Wait and see
P/R
IF-RT W & S, chloorambucil, CVP,
R
>18
LNH folikular derajat 3
EORTC 20971SIF-RT +/- low dose TBI
RT
HOVON 48* (bila CR/PR setelah 8x CVP oral / bila tidak 90y - ibritumomab tiuxetan (Zevalin) HOVON 47: chloorambucil vs2x2 Gy lF-RT EORTC 20981/ HOVON 39.fl : R-CHOP vs CHOP, +l rituximab "maintenance" Lihat LNH difus
W & S, chloorambucil, CVP, fludarabine
W & S, chloorambucil, CVP, fludarabine, RT CVP, chloorambucil, fludarabine, RT, CHOP; p m non-myeloablative allo SCT-.
I.IMFIOMA NON-HODGKIN
1259
(IJ{II)
menengah dan tinggi
sumsum tulang atau dosis pemeliharaan dengan INF-ct setelah tercapai remisi dan sitoreduksi dengan kemoterapi yang mengandung kombinasi antrasiklin
LNH infermediate/high grade yang refrakter/ relaps:
Terapi induksi I : (R-Hyper VCAD) Rituximab 375 mg/m2IV hari I dan 8 Sikiofosfamid 300mg/m2IV setiap 12 jam hari I-3
menghasilkan "disease control" (cure) sekitar 30-4O7o pada pasien stadium lanjut LNH derajat keganasan
.
Vinkristin 2mg IV hari ke 4 dan 11 Doksorubisin 25 mglm2,infus selama 24 jam hari ke 4
pasien refrakter yang gagal mencapu complete respons
diberikan terapi salvage dengan RT jika area yang terkena tidak ekstensif. Terapi pilihan bila mungkin adalah kemoterapi salvage diikuti dengan transplantasi
.
. .
dan 5 Deksametason 40 mg fV atau PO, hari I-4 dan hari ke 11-
stem cell autologus/PBSCT Kemoterapi salvage terdiri dari high-dose sitosin arabi-
t4 Granulosit
nose, kortikosteroid dan cisplatin dengan atau tanpa etoposide. Pilihan lain ICE, MINE, dan yang lain seperti CEPP/B, EVA, miniBEAM, VAPEC B dan intus EPOCH. Kemoterapi dosis tinggi dengan RT diikuti PBSCT
IV
Allogenic BMT
MCL(Mantle Celllymphoma) agresif. Hyper CVAD alternating dengan metotreksat dosis tinggi plus sitarabin dosis tinggi. Rituximab ditambahkan untuk regimen ini. Pasien <65 tahun dipertimbangkan dilakukan transplantasi
Stadium
.. umur
lony
metotreksat) Sitarabin 3000mg/m2 iv selama 1 jam setiap 12jam total
4 dosis dimulai hari ke 2 (dosis dikurangi menjadi 1000mg/m2 perdosis untuk pasien >60 tahun dengan serum kreatinin lebih dari 1,5mg/dl)
Premier/
Terapi dalam frial
Residif
<66
P
ilt/rv
<66
P
il-tv
>65
il-tv
18 - 65
,*a11YrP73V+RT HOVON 26: LDH > 1.5 x ULN) CHOP vs |-CHOP HOVON 26:
LNH sel B besar
P
HOVON 46. : (aa-lPl*. > Ll) CHOP - 14 +lrituximab HOVON 44. DHAP-VlM-DHAP +/- rituximab, diikuti SCT auto :
il-lv il-tv
B x CHVmP/BV
<66 >66
B
x CHVmP/BV
HOVON 44, lanpa rituximab p.m. non-myeloablatieve allo SCT DHAP, (CHOP), RT; P.m. nonmyeloablatieve allo SCT
6xCHVmp/BV+tF_RT
P
I
t- lv
LNH mantel sel
8 x CHVmP/BV
(LDH<15xULN)
>65 Mediastinal
t o r (G-C S F), 5 pglkg dimulaiharike 6 sampai neutropil
timul atin g fac
Terapi Induksi 2: (dimulai setelah pulih dari siklus 1) Rituximab 375mg/m2 iv infus hari 1 Metotreksat 200 mg/m'ziv bolus hari 1, diikuti 800mg/ m2 infus IV selam 24 jam; berikan larutan IV alkalin Leukovorin, 50mg PO diberikan 24 jam setelah infus metotreksat selesai diikuti l5mgPO setiap 6 jam total 8 dosis (dosis disesuaikan berdasarkan kadar serum
P/R
LNH sel B sel besar difus
-s
>4500/pL
autologus atau alogenik setelah dua atau empat siklus kemoterapi. Siklus regimen ini diulang setiap 2l hai. Protokol Leiden khususnya untuk stadium III dan IY mengikuti " European Intergroup Trial" membandingkan mieloablatif radiokemoterapi diikuti dengan transplantasi
wHo
Co
atau SC setiap hari,
P R
Lihat LNH sel B besar difus + IF-RT Lihat LNH sel B besar difus
P
HOVON 45-$: 3 x R-CHOP, HD-Ara-C + auto SCT HOVON 46-+ (lihat LNH sel B sel besar)
CHVmP/Bf + auto SCT; p.m. nyeloablatieve Pada usia muda 8 x CHVmP/BV*
8X
DHAP 'hanya apabila CD 20 + *. aa-lPl age-adjusted lPl =
$ dalam waktu dekat dibuka Y ingat criteria inklusi pada penelitian P35 ULN = upper limit of normal R-CHOP = CHOP + rituximab
1260
HEMIIiTOI.OGI
Ilmu Penyakit Dalam FKUI RSCM. Terapi Dalam Trial
Stadium LNH limfoblastik LNH Burkitt
I_ IV |
- tv
ALL-4 ALL 3-95
ALL.4 ALL 3-95
Childhood NonHodgkin's Lymphoma (PDQ@) National Cancer Institute
Coiffier B, Herbrecht R, Tilly H, Sebban C, et
a1. Gela Study Comparing CHOP and R-CHOP in elderly patients with DLCL:3year median foliow-up with an analysis according to comorbidity
factors.Presentation
Limfoblastik limfoma. Terapi sama dengan ALL (misal: protokol ALL-4 ). Pasien dengan prognosis jelek dipertimbangkan untuk transplantasi sumsum tulang awal atau regimen kemoterapi awal yang lebih intensif. Universitas Stanford mengusulkan regimen:
. . . .
Terapi induksi 1 bulan Profilaksis CNS I bulan Terapi konsolidasi 3 bulan Terapi maintenance 7 bulan.
Regimen . Siklofosfamid 400 mg/m2 PO untuk
. . . .
. .
3 hari pada minggu 1,4,9,12,15 danlS Doksorubisin 50mg/m2 iv pada minggt 1,4,9 ,12,15 darr 18
Vinkristin 2 mg IV mingg.tl,2,3,4,5,6,9,12,15,dan l8 Prednison 40 mglm2 setiap hari selama 6 minggu (tappering offi, dilatjtkan selama 5 hari pada minggu 9, 12,15,dan 18
Profilaksis CNS dengan radioterapi whole-brain (2400 cGy dalam 12 fraksi) dan metotreksat intratekal (12 mg setiap kali untuk 6 dosis) diberikan antara minggu 4 dan 9. L-asparaginase 6000 U/m2 (maximum 10.ffi0 U) untuk 5 dosis pada awal peberian profilaksis CNS.
Terapi maintenance terdiri dari metotreksat (30 mglm2 PO setiap minggu) dan 6-merkaptopurin (7 5 mg/m2PO setiap hari) dari minggu 23 sampai 52.
Difuse Small Cleaved CelllBurkitt's Limfoma.Terapi jenis ini sama dengan limfoma agresif (sel besar difuse) stadium lanjut ; mengunakan regimen kombinasi yang agresif. Pasien dengan limfomajenis ini mempunyai risiko 20-30 Vo selama perjalanan hidupnya untuk menyebar ke SSP; pemberian metotreksat intratekal (4- 6 kalD direkomendasikan untuk
semua pasien. Beberapa pusat kesehatan mempertimbangkan konsolidasi dengan transplantasi sumsum tulang.
REFERENSI
at the
39'h Annual Meeting of the jl May-3 June 2003,
American Society of ClinicaL Oncology,
Chicago, USA Complete Summary of GUIDELINE:The use of chemotherapy and growth factors in older patients with newly diagnosed, advancedstage, aggressive histology non-Hodgkins' lymphcima. 19982004 National Guideline Clearinghouse Cntczmar MS, Weaver R, Alkuzweny B, Berlfein J, Grillo-Lopez AJ. Prolonged Clinical and Molecular Remission in Patienls With Low-Grade or Follicular Non-Hodgkin's Lymphoma Treated With Rituximab Plus CHOP Chemotherapy: 9-year Follow-Up. Journal of Clinical Oncology. VoLume 22 NLtmber 23. December I 2004 Davis TA, Grillo-Lopez A, White CA, et.al. Rituximab Anti-CD20 Monoclonal Antibocy Therapy in Non-Hodgkins's Lymphoma: Safety and Efficacy of Re-Treatment. Jowrnal oJ Clinical Oncology, Vol l8 No. 17, 2000:pp 3135-43.
Emmanouillides C, Casciato DA. Hodgkin and non-Hodgkin lymphoma In Manual of clinical oncology, 5'h Ed Edited by Casciato DA. Lippincot Williams & Wilkins, 2004 : 435-56 Fisher RI, Mauch PM, Harris LN, Friedberg JW Non Hodgkins lymphomas.In Cancer priciples & practice of oncology 7'h Ed Edited by DeVita VT, Hellman S, Rosenberg SA. 2005 : 1957 93t Fisher RI, Gaynour ER, Dahlberg S et al. Comparison of standart regimen (CHOP) with three intensive chemotherapy regimen
for advanced NHL. N Engl J Med 1993;328: 1002-6. Forspointner R, Dreyling M, Repp R, et all. The summary: the addition of rituximab to a combination of fludarabine. cyclophosphamide, mitoxantrone (FCM) significantly increases the response rate and prolongs survival as compared to FCM alone in patienrs with relapsed and refractory follicular and mantle cell lymphomas - results from a prospective randomized study of the German Low Grade Lymphoma Study Group
(GLSG). Blood 2004; 104: 3064-7
1.
Ghiemilmini Michele, Schmitz Shu-Fang Hsu, Cogliatti Sergio B.et.al. Prolonged treatment with rituximab in patients with follicular
lymphoma significantly increases event-free survival and response duration compared with the standard weekly x 4 schedule. Blood, l1 June 2004.Volume 103, Number 12 Gordon LI. Non-Hodgkin lymphoma. Manual of clinical Hematology, 3'd Ed. Edited by Mazza lJ. Lippincot Williams & wilkins, 2002 : 318-33. Gutierrez Martin, Wilson WH. Non-Hodgkin lymphoma. In Bethesda handbook of clinical oncology. Edited by Abraham J, Allegra CJ. Lippincot williams & wilkins, 2001: 319-31. Hematologie klapper.Editor Ottolander GJ, Willemze R. Non-
Hodgkin lymphoma (NHL). Hematologie leids universitair Adult Non-Hodgkin's Lymphoma
Health Professional Version. National Cancer Institute.U.S. National In(PDQ@) Treatment-
stitutes of Healt Armitage J O, et al, Non Hogkin Lymphomas. Cancer, principai and practice of oncology. Editor: DeVita Vl Hellman S, Rosenberg SA. 2001;2256-303.
D. Aspek Selular dan Molekular Limfoma NonHodgkin.Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen
Atmakusuma
medisch centrum.Leiden,l999 :82-98 http://www.nci.nih.gov/ cancer: Adult Non-Hodgkin lymphoma 2004. Intemational Non-Hodgkin's Lymphoma Prognostic Factors Project A predictive model for aggressive non-Hodgkins lymphoma . N Engl J Med 1993;329 :987-94. Mclaughlin P, Grillo-Lopez AJ et. Al. Rituximab Chimeric Anti-CD
20 Monoclonal Antibody Therapy for Relapsed Indolent
t26t
LIMFOMA NON-HODGKIN CJ{H)
of Patients Respond to a Four-Dose Treatment Program. Journal of Clinical Oncology, Vol 16, No Lymphoma: Half
with IPI=0 and no bulky disease. Oral presentation at ASH 2004.
8,1998:pp2825-33 Mounier N, Brier J, Gisselbrecht C, et.al. Rituximab plus CHOP (RCHOP) overcomes bcl2-associated resistance to chemotherapy
Protokol Limfoma Non Hodgkin.Timja Kanker Darah dan KGB. Reksodiputro H, Cosphiadi I. Limfoma non-Hodgkin.Buku ajar Ilmu penyakit dalam .Jilid II.Ed 3.Balai penerbit FKUI,2001: 607-
in elderly patients with diffuse large B-cell lymphoma (DLBDCL).Blood, I June 2003. Volume l0l, number ll.
Rituximab plus chemotherapy: expanding first-line treatment
National Comprehensive Cancer Network, Clinical Practice Guidelines in Oncology-v.1.2004. Non-Hodgkin's Lymphoma Version1.2004. National Comprehensive Cancer Nenvork
Pathology and genetis tumours of haematopoeitic and lymphoid tissues. WHO classification of tumours, Edited by Jaffe ES, Haris NL, Steir H, Vardiman JW. 2001 Pettengell Ruth, Linch David. Position paper on the therapeutic use of rituximab in CD20-positive diffuse large B-cell non-
Hodgkin's lymphoma. British Journal of Haematology, 2003.12 I .44-48 M, et al. Frist Analysis of the completed MabThera@
Pfreundschuh
International (MInT) Trial in young patients with low risk diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL): Addition of rituximab to a CHOPlike regimen significantly improves outcome of all patients with the identification of a very favorable subgroup
20 .
options in indolent non-Hodgkin's lymphoma. Highlight from Ash 2003. Roche Pharmaceuticals Rituximab for Aggressive Non-Hodgkin's Lymphoma. National Institute ;for Clinical Excellence. Technology Appraisal 65. September 2003
Robinson AS and Goldstone A. Clinical Use of Rituximab in Haematological Malignancies. Britisth Journal of Cancer (2003) 89, 1389-1394 Stein RS, John PG. Non Hodgkin lymphoma. In Hand book of cancer chemotherapy, 6'h Ed. Editor Skeel RT. Lippincot williams & wilkins, 2003: 503-23 The Use of Chemotherapy and Growth Factors in Older Patients with Newly Diagnosed, Advance-Stage, Aggressive Histology Non-Hodgkin's Lymphoma. Patience Guideline Report #6-7, June 25, 2003. Program in Evidence-Based Care - A Cancer Care Ontario Program.
200 PENYAKIT HODGKIN Rachmat Sumantri
PENDAHULUAN
sumsum tulang. Keluarga dari pasien Hodgkin (adik-kakak)
juga mempunyai risiko untuk terjadi penyakit Hodgkin. Penyakit Hodgkin termasuk dalam keganasan limforetikular
yaitu limfoma malignum,yang terbagi dalam limfoma malignum Hodgkin dan limfoma lalignum non Hodgkin. Kedua penyakit tersebut dibedakan secara histopatologis, di mana pada limfoma Hodgkin ditemukan sel Reed-
Terdapat pembesaran kelenjar getah bening yang tidak
Sternberg.
nyeri.
Penyakit ini dilaporkan pertama kali oleh Thomas Hodgkin pada tahun 1832,kemudian gambaran histopatologis dilaporkan oleh Langerhans tahun 1
S72,disusul oleh laporan terpisah dari Sternberg dan Reed
yang menggambarkan suatu sel raksasa yang kemudian diberi nama Sel Reed-Sternberg. Analisis PCR menunjukkan bahwa sel Reed Sternberg berasal dari folikel sel B yang mengalami gangguan sffuktur pada imunoglobulin,sel ini juga mengandung suatu faktor transkripsi inti sel (NFkB),kedua hal tersebut menyebabkan gangguan apoptosis.
EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Di Amerika Serikat krdapat 7500 kasus baru Penyakit Hodgkin setiap tahunnya,rasio kekerapan antara laki-laki dan perempuan adalah 1,3-I,4 berbanding 1. Terdapat distribusi umur bimodal,yaitu pada usia 15-34 tahun dan
RIWAYATPENYAKIT
Gejala sistemikyaitu demam (tipe Pel-Ebstein),berkeringat
malam hari,penurunan berat badan, lemah badan Can pruritus terutama pada jenis Nodular Sklerosis.Selain itu terdapat nyeri di daerah abdomen akibat splenomegali atau
pembesaran kelenjar yang masif, nyeri tulang akibat destruksi lokal atau infiltrasi sumsum tulang
GEJALA KLINIS
. . . .
Limfadenopati dengan konsistensi rubbery dan tidak nyeri Demam,tipePel-Ebstein Hepatosplenomegali
Neuropati
Tanda-tanda obstruksi seperti edema ekstrimitas, sindrom vena cava, kompresi medulla spinalis, disfungsi
hollow viscera.
usia di atas 55 tahun.
Faktor risiko untuk penyakit ini adalah infeksi virus;infeksi virus onkogenik diduga berperan dalam
PEMER!KSAAN PENUNJANG
menimbulkan lesi genetik,virus memperkenalkan gen asing
ke dalam sel target. Virus-virus tersebut adalah virus
Laboratorium
Epstein-Barr, Sitomegalovirus, HIV dan Human Herpes Virus-6 (HHV-6). Faktorrisiko lain adalah defisiensi imun, misalnya pada pasien transplantasi organ dengan pemberian obat imunosupresif atau pada pasien cangkok
Pemeriksaan darah: anemi, eosinofilia, peningkatan laju endap darah, padaflow cytometry dapat terdeteksi limfosit abnormal atau limfositosis dalam sirkulasi. Pada pemeriksaan faal hati terdapat gangguan faal hati
1262
1263
PEITYAKITHODGKIN
yang tidak sejalan dengan keterlibatan limfoma pada hati. Peningkatan alkali fosfatase dan adanya ikterus kolestatik dapat merupakan gejala paraneoplastik tanpa keterlibatan hati. Dapat terjadi obstruksi biliaris ekstrahepatik karena pembesaran kelenjar getah bening porta hepatis. Pemeriksaan faal ginjal: peningkatan kreatinin dan
ureum dapat diakibatkan obstruksi ureter. Adanya nefropati urat dan hiperkalsemi dapat memperberat fungsi ginjal. Sindroma nefrotik sebagai fenomena paraneoplastik
dapat terjadi pada limfoma Hodgkin. Hiperurikemi merupakan manifestasi peningkatan turn-over akibat limfoma. Hiperkalsemi dapat disebabkan sekunder karena produksi limfotoksin (osteoclast activating factor) oleh jaringan limfoma.Kadar LDH darah yang meningkat dapat menggambarkan massa tumor dan turn-over. Poliklonal hipergamaglobulinemi sering didapatkan pada limfoma Hodgkin dan Non Hodgkin.
Biopsi sumsum tulang
keterlibatan 1 organ eksfranodal
@)
atau keduanya (ItrSE).
III,
Dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bening splenik, hilar,seliak atau por1al.
III,
Dengan keterlibatan kelenjar getah bening paraaorta, iliaka dan mesenterika.
Stadium IV Keterlibatan difus/diseminata padal atau lebih organ ekstranodal atau jaringan dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bemng. Keterangan yang dicantumkan pada setiap stadium:
A B X E 6 B
Tanpagejala Demam (suhu >38"C), keringatmalam, penurunanberat badan >10 7o dalamwaktu 6 bulan sebelumnya) Bullq disectse (pembesaran mediastium >113, adanya massa kelenjar dengan diameter maksimal I 0 cm) Keterlibatan 1 organ ekstranodal yang contiguous atau proksimal terhadap regio kelenjar getak bening
Clinical stage P atho lo g ic
s
(misalnya ditentukan pada laparotomi)
ta g e
Dilakukan pada stadium lanjut untuk keperluan staging, keterlibatan sumsum tulang pada limfoma Hodgkin sulit didiagnosis dengan aspirasi sumsum tulang. Limfoma non Hodgkin
Karakteristik
Radiologis Pemeriksaan foto torak untuk melihat limfodenopati hilar dan mediastinal, efusi pleura atau lesi parenkim paru. Obstruksi aliran limfotik mediastinal dapat menyebabkan
l=i.mr?Y.a
Intemediatl
llocrgx,n
Low -oracte
Nodal
Ekstranodal (10%)
Ekstranodal
Distribusi nodal
Sentripetal
Sentrifugal
Sentrifugal
Penyebaran
Contiguous
Tempat asal
efusi chylous (seperti susu). USG abdomen kurang sensitif dalam mendiagnosis adanya limfodenopati. PemeriksaatCT Scan torak untuk mendeteksi abnormalitas parenkim paru dan mediastinal
n,gn graoe (35%)
(aksial)
Noncontiguous
Noncontiguous
nodal
Keterlibatan susunan saraf pusat Keterlibatan hepar Keterlibatan sumsum tulang Keterlibatan sumsum tulang mempengaruhi
sedangkan CT Scan abdomen memberi jawaban limfodenopati retro peritoneal, mesenterik, portal, hepatosplenomegali atau lesi di ginjal.
PENTAHAPAN (STAGT JG)
Jarang
(.1
ok)
Jarang
Jarang
(.
1%)
Sering
Jarang (<10%) Jarang
(> s0 %)
Jarang (< 1o%)
Sering (>50 %)
Jarang (< 20 ok\
Ya
Tidak
ya
buruknya prognosrs
Penentuan staging sangat penting untuk terapi dan menilai prognosis. Staging dilakukan menurut Cotswolds (1990)
Sembuh dengan kemoterapi
yang merupakan modifikasi dari klasifikasi Ann Arbor (1971).
Stadium I keterlibatan satu regio kelenjar getah bening atau struktur jaringan limfoid (limpa, timus, cincin Waldeyer) atau keterlibatan 1 organ ekstralimfatik. Stadium II Keterlibatan >2 regio kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama (kelenjar hilus bila terkena pada kedua sisi termasuk stadium II); keterlibatan lokal 1 organ ekstranodal atau 1 tempat dan kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama (IIE). Jumlah regio anatomik yang
terlibat ditulis dengan angka (contoh :IIr). Stadium III Keterlibatan regio kelenjar getah bening pada kedua sisi diafragma (III), dapat disertai lien (IIIs), atau
KLASIFIKASI LIMFOMA HODGKIN Biopsi kelenjar secara eksisi biasanya memberi hasil gambaran histopatologis lebih jelas dari biopsi cucukjarum
(Fine Needle Biopsy);
Klasifikasi Rye:
' . . .
Lymphocyte Predominant
Nodular sclerosis Mixed cellularity Lymphocyte depletion
1264
Jackson and Parker
HEMANOLOGI
Lukes and Butler
WHO classification
REAL classification
Rye Conference
-
Paragranuloma
Lymphocytic or histiocytic, nodular Lymphocytic or histiocytic, diffuse
Lymphocytepredominant
Nodular lymphocyte-predominant classic HD Lymphocyte -rich classic HD
Lymphocyte predominant,nodular HD Lymphocyte-rich classic HD
Granuloma
Nodular sclerosis Mixed cellurarity
Nodular sclerosis Mixed cellularity
Nodular sclerosis Mixed cellularity
Nodular sclerosis Mixed cellularity
Sarcoma
Diffuse fibrosis Reticular
Lymphocyte-depleted
Lymphocyte-depleted
Lymphocyte -depleted Unclassifiable classic HD
KlasifikasiWHO:
imunotoksin anti CD 25, bispesifik monoklonal antibodi
. Nodular lymphocyte
predominance Hodgkin Lymphoma (Nodular LPHL):Saat ini dikenal sebagai
CD 16/CD 30 bispesifik antibodi dan
radio
immunoconjugates.
indolent B-cell Non Hodgkin Lymphoma dan bukan true Hodgkin Disease. Tipe ini mempunyai sel limfosit
.
dan histiosit, CD 20 positif tetapi tidak memberikan
PENYAKIT HODGKIN DAN KEHAMILAN
gambaran sel Reed-Stenberg. Classic Hodgkin Limphoma: Lymphocyte rich, Nodular sclerosis, Mixed cellurarity, Lymphocyte depleted.
Penyakit Hodgkin dapat dijumpai pada kehamilan, beberapa hal penting yang perlu diketahui: . Tidak ada transmisi penyakit Hodgkin ke bayi
.
Bila memerlukan radiasi sebaiknya ditunda sampai
.
melahirkan kecl.lal:. pada" Bullcy Disease" dan dibenkan dengan pelindung. Bila diperlukan radiasi pada semester pertama dapat dipertimbangkan abortus terapeutik. Malformasi fetus terjadi pada 157o kasus bila kemoterapi diberikan pada
TERAPI Pengobatan limfoma Hodgkin adalah radioterapi ditambah kemoterapi, tergantung dari staging (Clinical s/age = CS) dan faktor risiko.
Radioterapi meliputi Extended Field Radiotherapy (EFRT), Inyolved Field Radiotherapy (IFRT) dan radioterapi (RT) pada Limfoma Residual ata:u Bulky
semester pertama, tidak terjadi pada semester
.
berikutnya.
Hindarkan kemoterapi dalam 3 minggu sebelum melahirkan untuk menghindari netropeni pada bayi.
Disease.
Faktor risiko untuk terapi menurut German Hodgkin's Lymphoma Study Group (GHSG) meliputi: . Massa mediastinal yang besar . Ekstranodal . Peningkatan laju endap darah, > 50 untuk tanpa gejala atau > 30 untuk dengan gejala (B) . Tiga atau lebih regio yang terkena
Menurut EORTC/GEL A (European Organization
for
Research and Treatment of Carcinoma/Groupe d'Etude des Lymphomes de I'Adulte) faktor risiko yaitu: . Massa mediastinal yang besar . Usia 50 tahun atau lebih . Peningkatan laju endap darah
.
4 regio atau lebih
Dalam guideline yang dikeluarkan oleh National Comprehensive Cancer Network (2004) kemoterapi yang direkomendasikan adalah ABVD dan Stanford V sebagai kemoterapi terpilih. Terapi lain Penyakit Hodgkin yang masih diteliti adalah: Imunoterapi dengan antibodi monoklonal anti CD 20,
Kelompok
Stadium
dini CS l-llA /B tanpa (favorable) faktor risiko
Stadium
dini
69
lanjut
CS llB +RF;CS
Stadium (unfavorable) Stadium
1-11
PriS + RF
ilttuB CS IV A/B
Rekomendasi EFRT (30-36 Gy) atau 4-6 siklus kemoterapi + IFRT 20-36 cy 4-6 siklus kemoterapi + IFRT 20-36 Gy 6-8 siklus kemoterapi + RT 20-36 cy pada limfoma residual dan bulky disease
PROGNOSIS Ada tujuh faktor risiko independen untuk memprediksi masa bebas progresi penyakit FFP. (Freedom From Progression), yaitu : 1). Jenis Kelamin, 2). Usia >45 tahun; 3). StadiumIV;4). Hb <10 grVo;5). Leukosit> 15000/mm3; 6). Limfosit <600/mm3 atau <8 % leukosit; 7). Serum
albumin<4
grVo
t265
PEhTYAKITHODGKIN
Dosis
Regimen
(mg/m2)
MOPP - Mechloretamine - Oncovin - Procarbazine - Prednisone COPP - Cyclophosphamide - Oncovin - Procarbazine - Prednisone
PemDerlan
Jadwal (hari)
Siklus (hari) 21
1,8 1,8
6
1,4 100
40
PO PO
1-14 1-14
PO PO
'l,8 'l,8 1-14 1-14
28
650 1,4 100
40
zo
ABVD - Adriamycin - Bleomycin - Vinblastine - Dacarbazine
25
1
,15
'I,15
10 6
1,15 1,15
375
12 minggu
Stanford V - Mechlorethamine - Adriamycin - Vinblastine - Vincristine - Bleomycin - Etoposide - Prednisone - G-CSF
6
ZJ 6 1,4
IV
5
60x2 40
Pasien tanpa faktor risiko FFP = 847c, dengan satu faktor risiko FFP = 71Vo, dengandua faktor risiko FFP = 61Vc,tiga
faktor risiko FFP = 607c. empat faktor risiko FFP = 517c. lima faktor risiko atau lebih FFP = 127c.
PO Q'
minggu 1,5,9 minggu 1,3,5,9,11 minggu 1,3,5,9,11 minggu 2,4,6,8,10,12 minggu 2,4,6,8,10,12 minggu 3,7,1 1 minggu 1-9, tappering minggu 10 - 12
REFEBENSI Hodgkin's Disease ; National Comprehensive Cancer Network, Clinical Practice Guidelines in Oncology, Version 1, 2004 Diehl V Mauch PY Harris NL : Hodgkin's Disease in Vincent T Devita Jr Eds Cancer, Princlples and Practice of Oncology' Lippincot Williams & Wilkins, 6'h Ed., 2001, pp 2339-81 .
Terapi
Relaps Relaps setelah radioterapi Nodal relaps CS tanpa gejala B, tanpa radioterapi sebelumnya Progresif primer Relaps dini Relaps lanjut
l-
Kemoterapi ll
Radioterapi salvage
High dose chemotherapy (HDCT) diikuti oleh transplantasi sel asal "Autologous Stem Cell T ranspla ntation" (ASCT)
Stein RS and Morgan DS : Hodgkin's Disease in Wintrobe's Clinical Hematology, Lippincott Williams & Wilkins, 11'h Ed, 2004, pp 252t-s4. Iman Supandiman, Rachmat Sumantri, Heri Fadjari, Pandji Irani Fianza, Amaylia Oehadian : Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematolog - Onkologi Medik, Bandung, 2003.
201 LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT Panjilrani Fianza
DEFINISI
di atas 60 tahun; 4). Obat kemoterapi; 5). Infeksi virus Epstein Barr berhubungan kuat dengan LLA L3; 6). Pasien dengan sindroma Down dan Wiskottpada usia
Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor limfoid. Lebih dari 807o kasus, selsel ganas berasal dari limfosit B, dan sisanya merupakan leukemia sel T. Leukemia ini merupakan bentuk leukemia yang paling banyak pada anak-anak. Walaupun demikian, 2O7o dari kasus LLA adalah dewasa. Jika tidak diobati, leukemia ini bersifat fatal.
Aldrich mempunyai risiko yang meningkat untuk menjadi LLA.
PATOGENESIS MOLEKULAR Kelainan sitogenetik yang paling sering ditemukan pada LLAdewasaadalaht(9;22)IBCR-ABL(20-307o)dant(4;ll)/
ALLl-AF4 (67o). Kedua kelainan sitogenetik ini
EPIDEMIOLOGI
L,erhubungan dengan prognosis yang buruk. Fusi gen BCR-ABL merupakan hasil dari translokasi kromosom 9 dar 22 lt(9;22)(q34;q11)l yang dapat dideteksi hanya dengan pulse-field gel electrophoresis atau reverse-
Insidensi LLA adalah 1/60.000 orang per tahun, dengan 757o pasien berusia kurang dari 15 tahun. Insidensi puncaknya usia 3-5 tahun. LLA lebih banyak ditemukan pada pria daripada perempuan. Saudara kandung dari pasien LLA mempunyai risiko empat kali lebih besar untuk berkembang menjadi LLA, sedangkan kembar monozigot dari pasien LLA mempunyai ri sko 207o untuk berkembang
transcriptase poltmerase chain reaction. ABL adalah nonreceptor tyrosine protein kinase yang secara enzimatik mentransfer molekul fosfat ke substrat protein, sehingga terjadi aktivasijalur transduksi sinyal yang penting dalam regulasi proliferasi dan pertumbuhan sel.
menjadiLLA.
Kelainan yang lain yaitlu -7 , +8, dan karyotipe hipodiploid berhubungan dengan prognosis yang ETIOLOGI
buruk; sedangkan t(10;14) dan karyotipe hiperdiploid tinggi berhubungan dengan prognosis yang baik.
Penyebab LLA pada dewasa sebagian besar tidak diketahui. Faktor keturunan dan sindroma predisposisi
Mekanisme umum lain dari pembentukan kanker adalah hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor yang mempunyai peranan penting dalam mengontrol progresi siklus sel, misalnya p16(INK4A) dan p15(INK4B). Kejadian yang sering adalah delesi, mikrodelesi, dan penyusunan kembali gen (gene rearrangement) yang melibatkan pl 6(INK4A) dan p16(INK4B). Kelainan ekspresi dari gen supresor tumor Rb dan p53 ternyata lebih sering terjadi. Kelainan yang melibatkan dua atau lebih gen-gen ini ditemukan pada sepertiga pasien LLA
genetik lebih berhubungan dengan LLA yang terjadi pada anak-anak. Beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis yang berhubungan dengan LLA adalah : 1). Radiasi ionik.
Orang-orang yang selamat dari ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki mempunyai risiko relatif keseluruhan 9,1 untuk berkembang menjadi LLA:-2). Paparan dengan benzene kadar tinggi dapat menyebabkan
aplasia sumsum tulang, kerusakan kromosom, dan leukemia; 3). Merokok sedikit meningkatkan risiko
LLA
dewasa.
t266
t267
LEUKEMIA LIMFOBI.ASiTIK AKUT
Klasifikasi Morfologi the French-AmericanBritish (FAB): . Ll: Sel blas berukuran kecil seragam dengan sedikit
KLASIFIKASI
Klasifikasi lmunologi
.
. '
Precursor B-Acute LymphobLastic Leukaemia (ALL))Va'. common ALL (50Vo), null ALL, pre - B ALL T-ALL(25Vo)
J
" .
B-ALL(5a/o)
Definisi subtipe imunologi ini berdasarkan atas ada atau tidak adanya berbagai antigen permukaan sel. Subtipe imunologi yang paling sering ditemukan adalah common ALL. Null cell ALLberusal dari sel yang sangat primitif dan lebih banyak pada dewasa. B-ALLm:erupakan penyakit yang jarang, dengan mofologi L3 yang sering berperilaku sebagai limfoma agresif (varian Burkitt).
sitoplasma dan nukleoli yang tidak jelas L2: Sel blas berukuran besar heterogen dengan nukleoli yang jelas dan rasio inti-sitoplasma yang rendah L3'. Sel blas dengan sitoplasma bervakuola dan basofilik Kebanyakan LLA pada dewasa mempunyai morfologi
L2, sedangkan tipe L1 paling sering ditemukan pada anak.' Sekitar 95% dari semua tipe LLA kecuali sel B mempunyai ekspresi yang meningkat dari terminal deoxynucleotidyl transferase (TdT), suatu enzim nuklear yang terlibat dalam pengaturan kembali gen reseptor sel T dan imunoglobulin.
Peningkatan ini sangat berguna dalam diagnosis. Jika konsentrasi enzim ini tidak meningkat, diagnosis LLA dicurigai.
GAMBARAN KLINIS Presentasi klinis LLA sangat bervariasi. Pada umumnya gejala klinis menggambarkan kegagalan sumsum tulang
atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel limfoblas ganas di sumsum tulang
menyebabkan kurangnya sel-sel normal di darah perifer dan gejala klinis dapat berhubungan dengan anemia, infeksi, dan perdarahan. Demam atau infeksi yang jelas dapat ditemukan pada separuh pasien LLA, sedangkan gejala perdarahan pada sepertiga pasien yang baru didiagnosis LLA. Perdarahan yang berat
(a)
jarang terjadi. Gejala-gejala dan tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan: . Anemia: mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada
. .
Anoreksia Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang
. .
oleh sel-sel leukemia) Demam, banyak berkeringat (gejala hipermetabolisme) Infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah, selulitis,
atau sepsis" Penyebab yang paling sering adalah stafilokokus, streptokokus, dan bakteri gram negatif
(b)
. . . . . .
. Gambar 1" Morfologi sel blas LLA (a) Tipe Tipe L3
L1
; (b) Tipe L2; (c)
usus. serta berbagai spesies jamur. Perdarahan kulit (petechiae, atraumatic ecchymosis), perdarahan gusi, hematuria, perdarahan saluran cerna, perdarahan otak Hepatomegali Splenomegali
Limfadenopati Massa di mediastinum (sering pada LLA sel T) Leukemia sistem saraf pusat: nyeri kepala, muntah (gejala tekanan tinggi intrakranial), perubahan dalam status mental, kelumpuhan saraf otak terutama saraf dan VII, kelainan neurologik fokal
VI
Keterlibatan organ lain: testis, retina, kulit, pleura, perikardium, tonsil
1268
HEI\TAIIOLOGI
.
GAMBARAN LABORATOBIUM Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk konfirmasi diagnostik LLA, klasifikasi prognostik dan perencanaan terapi yang tepat, yaitu :
Hitung Darah Lengkap (Complete Blood Countl dan Apus Darah Tepi Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis. Hiperleukositosis (> 1 00.000/mm3) terj adi pada kira-kira 1 5 7o pasien dan dapat melebihi 200. 000/mm3.
Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia. Proporsi sel blas pada hitung leukosit bervariasi dari 0 sampai lO)Vo. Kfu a-V,tra sepertiga pasien mempunyai hitung trombosit kurang dari 25.000/mm3.
Aspirasi dan Biopsi Sumsum Tulang Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasi diagnosis dan klasifikasi, sehingga semua pasien LLA harus menjalani prosedur ini. Spesimen yang didapat harus diperiksa untuk analisis histologi, sitogenetik dan
immunophenotyping. Apus sumsum tulang tampak hiperselular dengan limfoblas yang sangat banyak, lebih
dai9lVo
sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsum tulang seluruhnya digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint dat', jaingan biopsi penting untuk evaluasi gambaran
sitologi.
Untuk
se1
T: CDLa,CD2,CD3, CD4, CD5, CD7 ,CDS dan
TdT
.
Untuk sel B: kappa atau lambda, CD19, CD20, danCD22
Pada sekitar l5-547o LLA dewasa didapatkan ekspresi antigen mieloid. Antigen mieloid yang biasa dideteksi adalah CD13, CD15, dan CD33. Ekspresi yang bersamaan dari antigen limfoid dan mieloid dapat ditemukan pada leukemia bifenotip akut. Kasus ini jarang, dan perjalanan penyakitnya buruk.
Sitogenetik Analisis sitogenetik sangat berguna karena beberapa kelainan sitogenetik berhubungan dengan subtipe LLA tertentu, dan dapat memberikan informasi pro gn ostik ( tabel 1 ). Translokasi t( 8 ; I 4), t(2 ; 8), dan t( 8 ;22'1 hany a ditemukan pada LLA sel B, dan kelainan kromosom ini menyebabkan disregulasi dan ekspresi yang berlebihan dari gen c-myc pada kromosom 8. Beberapa kelainan sitogenetik dapat
ditemukan pada P hi I a d e lp h i a, t(9
LLA
atau
;22) (q3 4 ;q
LMA, misalnya kromosom
11)
yan g khas
untuk leukemi
a
mielositik kronik dapat juga ditemukan pada <5Vc LI|/A dewasa dan 207o-3OVo
LLA
dewasa.
Biologi Molekular Teknik molekular dikerjakan bila analisis sitogenetik rutin gagal, dan untuk mendeteksit(l2t2l) yang tidak terdeteksi dengan sitogenetik standar. Teknik ini juga harus dilakukan untuk medeteksi gen BCR-ABL yang mempunyai prognosis buruk.
Sitokimia Gambaran morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum tulang kadang-kadang tidak dapat membedakan LLA dari leukemi mieloblastik akut (LMA). Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan mieloperoksidase akan memberikan hasil yang negatif. Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari prekursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blas
LMA. Sitokimia juga berguna untuk
Pemeriksaan Lainnya Parameter koagulasi biasanya normal dan koagulasi intravaskular diseminatajarang terjadi. Kelainan metabolik seperti hiperurikemia dapar terjadi terutama pada pasien dengan sel-sel leukemia yang cepat membelahdan tumor
burden yang tinggi. Pungsi lumbal dilakukan pada saat diagnosis untuk memeriksa cairan serebrospinal. Perlu atau
membedakan
precursor B dan B-ALL dari T-ALL. Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang ganas, sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan periodic acid Schiff (PAS). TdT yang diekspresikan oleh
limfoblas dapat dideteksi dengan
pewarnaan
Hiperdiploidi tinggi (lebih dari 50 Hiperdiploidi
(47-50)
imunoperoksidase atau flow cytometry).
Hipodiploidi (kurang dari
cytometry) Pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi LLA. Reagen yang dipakai untuk diagnosis dan identifikasi subtipe imunologi adalah antibodi terhadap:
. Untuk sel prekursor B: CD10 (common ant
n),CD 19, CD7
chain, danTdT
9 A, CD22,
cyt op
kromosom)
eait Sedang
Pseudodiploidi(46denganperubahanstruktur/numerik Sedang
lmunofenotip (dengan sitometri arus/Flow
ig e
Prognosis
Kelainan Perubahan numerik
I as
mi
c
m -h
ALL e
avy
46)
Kelainan struktur Kromosom Philadelphia t (12;211-t (1;19) t (4;1 1 )... t (8;14)
'
Buruk Gen yang terlibat
t(9i22\* BCR-ABL TEL-A|VL1 E2A-PBX1 MLL-AF4 IVYC
Buruk Baik BaiK
Buruk Baik
Harus dibedakan dari krisis blas limfoid dari leukemia mieloid kronik
''. Terjadi pada 30% kasus LLA anak.
Terdapat pada LLA sel B dengan morfologi L3
1269
LEUKEMIA LIMfICBI.ASTIK AKUT
tidaknya tindakan ini dilakukan pada pasien dengan banyaknya sel blas yang bersirkulasi masih kontroversi. Definisi keterlibatan susunan sarafpusat (SSP) adalah bila ditemukan lebih dari 5 leukosit/ml cairan serebrospinal dengan morfologi sel blas pada spesimen sel yang disentrifugasi.
.
imunofenotip, analisis molekular BCR-ABL
DIAGNOSIS BANDING
. PENDEKATAN DIAGNOSIS Pendekatan diagnosis
. . .
. .
LLA dewasa
Aspirasi dan biopsi sumsum tulang : - Pewarnaan sitokimia, analisis sitogenetik, analisis
.
Limfositosis, limfadenopati dan hepatosplenomegali yang berhubungan dengan infeksi virus dan limfoma Anemia aplastik
:
Anamnesis Pemeriksaan fisik
TERAPI
Pemeriksaan laboratorium : - Hitung darah lengkap, apus darah tepi, pemeriksaan koagulasi, kadar fibrinogen, kimia darah, golongan darah ABO dan Rh, penentuan HLA Foto toraks atau computed tomography Pungsi lumbal
Kelompok
Tahun
n
(pasien)
Umur*
lnduksi
28
V,P,A,D,C, AC, M,MP
Keberhasilan terapi LLA terdiri dari kontrol sumsum tulang dan penyakit sistemiknya, juga terapi atau pencegahan SSP. Hal ini dapat tercapai dengan kombinasi pemberian
kemoterapi dan terapi pencegahan SSP (kemoterapi intratekal dan/atau sistemik dosis tinggi, dan pada
Konsolidasi
Pemeliharaan
CR
Studi dengan > 500 pasien GMALL
02184
1993
562
XA MRC/ECOG
'1993 .1997 1999
GMALI. 05/93
2001
1163
35
V,P,A,D,C, AC,M,MP
2002
794
28
V,P,A,D,C, lHDAC,Mil
FGTALL MRC-UKALL
GTMEMA
0288
Total (% = mean)
581
618
33 >
i.
920
V,P,D/R,C[ AD,AC] V,P,A,D V,P,D,A,C, AC,MP
DX,AD,AC,C,T G,VM AD,AC,A
MP,M
75%
39% pd 7th
IVP,M,V,C,P,AD
76Yo
30% pd
MP,M,V,P MP,M,V,P
82Yo
28% Pd 5th
MP,M
83%
,AC
[AC,VP,D,TG] HDM,A lAC,VP,V,DX,D, C,TG] t SCT V,DX,AD,AC,C, TG,VM,AC,HD M,A,C lHDAC,Mrl V,HDM,HDAC, DX,VM
MP,M,V,[AC,Mi, VM,HDAC,HDM ,DX]
weight.d
4638
1
oth
89o/o
82%
29%
pd
gth
82% 31o/o
Studi terbaru dengan > 100 pasien Pethema ALL-93
1
998
'108
2a
V,P,D,A,C
CALGB
1
998
198
35
Sweden
1999
120
44
HDAC,
V,P,D,A,C
MDACC Lombardia
2000 2001
204 121
39
C,D,V,BX V,AD,DX,C
35
r,v,A,P,[c]
Netherlands
2001
193
33
Standar
HDM, V,D,P,A,C,VM,A
MP,M
C
AC] MP,M,V,P
C,MP,AC,V,A,M, AD,DX,TG,P AD,HDAC,V,BX, C,D,VP SCT HDM,HDAC,C,P I,V,C,VM,HDAC, HDM,DX t SCT HDAC, VP 16 + allo/auto SCT
l
86% 41%pd4th
lv,P,Mi,A,c,vM,
Tidak dilaporkan MP,M,V,P MP,M
85%
36% pd 3th
85%
36% pd 3th
91o/o
38% pd 5th 49% pd 3th
84%
B2o/o 35% pd Sth
86% 38% 944 Total (% = weighted mean\ * median umur atau rentang Singkatan: CR complete remission; LFS, leukemia free survival: V, vinkristin; P, prednison; A, asparaginase; D, daunorubisin; C, cyclophosphamide; AC, cytarabine;M, methotrexate;MP, mercaptopurine; DX, deksametason; AD, adriamisin; TG, tioguanin; VM, fentposlde; R, rubidazone', VP, etoposlde; HDAC, high dose AC; HDM, hlgh dose M; SCT, sfem cell transplantation; Mi, mitoxantrone; BX, betametasoni l, idarubisin
1270
HEMIIiTOI.OGI
beberapa kasus dengan radiasi kranial). Lama rata-rata terapi LLA bervariasi antara 1,5-3 tahun dengan tujuan untuk eradikasi populasi sel leukemia. Terapi LLAdibagi menjadi : . Induksi remisi
. . .
Intensifikasi atau konsolidasi Profilaksis susunan sarafpusat (SSP) Pemeliharaan jangka panjang
Sebelum terapi dimulai harus diperhatikan hal-hal berikut dari paslen:
Metabolik Hiperurisemia, hiperfosfatemi,a dan hipokalsemia sekunder dapat terjadi pada pasien dengan jumlah sel leukemia yang sangat banyak. Hal ini memerlukan hidrasi intravena,
dan pemberian faktor perlumbuhan (granulocyte colonystimulating factor/GSCF). GSCF tidak memperbaiki CR tapi mempersingkat lama neutropenia 5-6 hari dan menurunkan
insidens infeksi. Penambahan L-asparginase tidak memperbaiki frekuensi dan durasi CR.
Terapi lntensifikasi atau Konsolidasi Setelah tercapai remisi komplit, segera dilakukan terapi (e ar ly int e n s ifi c at i o n) yang bertuj uan untuk mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah relaps danjuga timbulnya sel yang resisten obat. Terapi inijuga dilakukan 6 bulan kemudian (.late intensification). Sfidi
intensifikasi
Cancer and Leukemia Group B menunjukkan durasi remisi dan kelangsungan hidup yang lebih baik pada pasien LLA
alkalinisasi urin, dan pemberian alupurinol untuk
yang mencapai remisi dan mendapat 2 kali terapi intensifikasi (early dan late intensification) daripada
mencegah akumulasi asam urat.
pasien yang tidak mendapat terapi intensifikasi. Berbagai
lnfeksi
tergantung protokol yang dipakai.
dosis mielosupresi dari obat yang berbeda diberikan Selain mielosupresi, terapi
LLA dapat menekan imunitas
seluler sehingga ada yang memberikan pencegahan
Profilaksis SSP
terhadap infeksi virus herpes dan Pneumonytis carinii.
Profilaksis SSP sangat penting dalam terapi LLA. Sekitar 50Vo-l 5Vo pasien LLA yang tidak mendapat terapi profilaksis ini akan mengalami relaps pada SSP. Profilaksis SSP dapat terdiri dari kombinasi kemoterapi intratekal,
Hematologik Batas untuk pemberian transfusi sel darah merah tergantung dari keadaan fisiologik pasien. Transfusi sel darah merah harus dihindari pada pasien dengan hiperleukositosis karena dapat meningkatkan secara mendadak viskositas darah dan mempresipitasi leukostasis. Pada keadaan hiperleukositosis (leukosit > 1 00.000/mm) dilakukan leukoferesis atau pemberian prednison selama 7 hari atau vinkristin sebelum terapi induksi remisi dimulai.
Terapi lnduksi Remisi
radiasi kranial dan pemberian sistemik obat yang mempunyai bioavaliabilitas SSP yang tinggi seperti metotreksat dosis tinggi dan sitarabin dosis tinggi. Pemberian ketiga kombinasi terapi ini ternyata tidak memberikan hasil yang superior, sedangkan kemoterapi intratekal saja atau kemoterapi sistemik dosis tinggi saja tidak memberikan proteksi SSP yang baik. Kemoterapi intratekal dengan radiasi kranial (antara 1800-2400 cGy) memberikan angka relaps SSP yang sama dengan kemoterapi intratekal + kemoterapi sistemik dosis tinggi tanpa radiasi kranial yaitu antara )Vo-llTo.
Tujuan dari terapi induksi remisi adalah mencapai remisi
komplit hematologik (hematologic complete remission/ CR), yaitu eradikasi sel leukemia yang dapat dideteksi secara morfologi dalam darah dan sumsum tulang dan kembalinya
hematopoiesis normal. Tulang punggung terapi induksi remisi adalah prednison dan vinkristin. Terapi ini biasanya terdiri dari prednison, vinkristin, dan antrasiklin (pada
umumnya daunorubisin) dan juga L-asparginase. Tambahan obat seperti siklofosfamid, sitarabin dosis
Pemeliharaan Jangka Paniang ini terdiri dari 6-merkaptopurin tiap hari
Terapi
metotreksat seminggu sekali selama 2-3 tahun. Pada
anak terapi
ini
dan
LLA
memperpanjang disease-free suryival,
sedangkan pada dewasa angka relaps tetap tinggi. Tabel 2 memperlihatkan hasil terapi LLA dewasa dari berbagai studi.
konvensional atau tinggi, merkaptopurin dapat diberikan pada beberapa regimen.
Transplantasi Sumsum Tulang
Terapi dengan prednison dan vinkristin menghasilkan CR pada sekitar 507o pasien LLA de novo. Penambahan antrasiklin memperbaiki CR menjadi 70-85%. Daunorubisin
Padapasien LLA yang mempunyai risiko tinggi untukrelaps
biasanya diberikan seminggu sekali, tapi beberapa
yartu:
penelitian memberikan dosis intensifikas i (30-60mg/rfr 2-3 hari). Dosis intensifikasi berhubungan dengan mortalitas yang tinggi, sehingga diperlukan terapi suportif intensif
dilakukan transplantasi sumsum tulang alogenik pada remisi komplit yang pefiama. Risiko tinggi untuk relaps
. . .
Kromosom Philadelphia Perubahan susunan gen
Hiperleukositosis
MLL
L27t
LEUKEMIA LIMFIOBI.ASiTIK AKUT
.
Gagal mencapai remisi komplit dalam waktu 4 minggu
Pasien LLA dewasa yang mengalami relaps setelah mencapai remisi komplit harus menjalani transplantasi sumsum tulang alogenik begitu remisi kedua tercapai.
. .
Terapi untuk B-ALL Kebanyakan B-ALL tidak dapat diterapi dengan regimen
LLA konvensional. Karena kecepatan proliferasi sel-sel leukemia-nya tinggi, maka diberikan terapi hyperfractionation dari siklofosfamid dosis tinggi dan metotreksat dosis tinggi. Saat ini tidak ada terapi yang efektif untuk B-ALL yang refrakter atau relaps.
frozen plasma. Dosis pemeliharaan:
. . .
Pilihan Terapi dan Pengelolaan Baru untuk LLA Dewasa:
.
.
. .
Inhibitor tirosin kinase STI571, inhibitor farnesil
transferase Terapi antibodi: supresi target sel blas leukemia sesuai dengan ekspresi antigennya
-
CD19:antiCD19 CD20:Rituximab
dan strafikasi risiko_(MRD= sel blas leukemia residual yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan mikroskopis sumsum tulang. MRD
diperiksa dengan metode Polymerase Chain
.
pemeliharaan disesuaikan dengan target leukosit 30003500/mm3, jika leukosit meninggi, dosis metotreksat
dinaikkan. Pencegahan infiltrasi ke SSP Dilakukan pada keadaan remisi lengkap.
. . .
Reaction)
Analisis microarray: Analisis profil ekspresi gen dan seleksi gen yang diekspresikan secara berbeda: - Identifikasi faktor prognostik dan gen target untuk terapi baru.
BEBERAPA PROTOKOL YANG DIPAKAI UNTUK TERAPI LLA DEWASA ADALAH:
Protokol OPAL (modified) Induksi remisi : . Vinkristin 1,5 mg/m2 IV, hari I (max. 2 mg). . Daunorubisin 30 mg/m2ry hari I,2, 14,27,28. . Prednison 40 mg/m2 PO, hari 1-28 lalu tappering off2 mlnggu. . L-asparaginase 10.000 U/m2 IV diberikan pada saat mendekati remisi komplit selama 4 hari sebelum radiasi kranial.
Radiasi kranial 2400 rud dalam dosis terbagi (200 radl kali)
Metotreksat intratekal 10 mg/m2, 2 kali seminggu sebanyak 5 dosis.
CD52: Campath
Transplantasi sumsum tulang non-mieloablasi: Penggunaan efek graft -v ersus-leukemia ) ekstensi indikasi transplantasi sumsum tulang untuk pasien tua Evaluasi minimal residual disease (MRD): evaluasi jndividual terhadap respon terapi: - Penilaian elemen terapi yaitu induksi, terapi baru,
6MP70-90mg/m'zPOtiaphari. Metotreksat 15 mg/m2 PO tiap minggu. Pemeliharaan diteruskan sampai 3 tahun, lalu periksa apus sumsum tulang, cairan spinal, biopsi testis. Bila
terdapat remisi, obat-obatan distop. Dosis
Terapi molekular: inhibisi direk aberasi molekular yang terlibat dalam patogenesis
-
Biasanya diperlukan 4 dosis vinkristin (tiap minggu) dan 5 dosis daunorubisin. Pemberian metotreksat intratekal sesuai dengan protokol biasa. Aspirasi sumsum tulang dilakukan sekitar minggu ke 5 jika trombosit >100.000/mm3 dan neutrofil > 1000/mm3 untuk konfirmasi respons komplit. Selama pemberian asparaginase harus dipenksa kadar fibrinogen. Bila fibrinogen < I 00 mgl dL bet'rkan fre s h
Modifikasi Dosis:
. .
Mnkristin 1 mgbilabilirubh>2mg%o Doksorubisin: dosis diturunkan 25To,bilabilirubin 2-3 mgVo , 50Vob11a
. .
bilirubin 3 -4 mg%o , 7 5Vo bila bilirubin >4
mg%o
Metotreksat: dosis diturunkan: 25Tobllakreatinin 1,5-2 mg%, 5 07o blla W e atinin >2 mgTo HIDAC 1 gram/m?: bila: - Usia >60 tahun - Kreatinin >2mg7o - Kadarmetotreksat >20 mmoL/L
PROGNOSIS Kebanyakan pasien LLA dewasa dapat mencapai remisi
tapi tidak sembuh dengan kemoterapi saja, dan hanya 307o yang bertahan hidup lama. Kebanyakan pasien yang sembuh dengan kemoterapi adalah usia 15-20 tahun dengan faktor prognostik baik lainnya. Harapan sembuh untuk pasien LLA dewasa lainnya tergantung dari terapi yang lebih intensif dengan transplantasi sumsum tulang. Overall disease-free survival rate untuk LLA dewasa kira-kira 30%. Pasien usia >60 tahun mempunyai disease-free survival rate llVo setelah remisi komplit.
Faktor prognostik TabelT.
LLA
dewasa dapat dilihat pada
t272
HEMISIOI.OGI
Obat A. Kemoterapi dosis intensif Hyper - CVAD (siklus 1, 3, 5, 7) Siklofosfamid
1
Mesna
300 mg/m'z lV 3 jam tiap 12 jam (6 dosis) 300 mg/m'z lV kontinu sampai 6 jam setelah dosis siklofosfamid terakhir 2mg lV 50 mg/m2 lV
Vinkristin Doksorubisin Deksametason
4-11 4
1-4,11-14
40 mg / hari
MetotreksaVsitosin arabinoside dosis tinggi (MTX / HIDAC) (siklus 2, 4, 6, 200 mg/m'z lV 2 jam Metotreksat 800 mg/m' lV 24 jam '15 mg setiap 6 jam (B dosis) Lekovorin mulai 24 jam setelah selesai metotreksat 3 gram/m2 lV 2 jam, tiap Ara-C jam (4 dosis) 50 mg lV, 2kali lhari
2.
-3 1-3 '1
12
Metilprednisolon
B) 1
2,3
1-3
3. Profilaksis SSP
Metotreksat Ara-C
12 mg intratekal (lT)
100m9
Tinggi 16 lT Rendah 4 fi Tidak diketahui I lT
Penderita dengan risiko
4
2
I
:
Profilaksis antibiotik Siprofloksasin atau Levofloksasin Flukonazol Asiklovir atau Valasiklovir
500 mg/hari PO 500 mg/hari PO
200 mg/hari PO
2x200mglhari
PO
500 mg/hari PO
B. Terapi Pemeliharaan
Kromosom Philadelphia
)
(+)
)
transplantasi sumsum tulang alogenik atau
IFN +
ara-C selama2tahun
tanpa terapi pemeliharaan Mature B - cell ALL terapi POMP selama 2 tahun Sub tipe lain 1. POMP (Oral 6 merkaptopurine (6 MP), vinkristin, metotreksat, prednison)
)
6MP
3x50mg PO/hari
Metotreksat Vinkristin Prednison
200mg/hari
20 mglm' PO / minggu 2 mg lV / bulan
-
5x/bulan
(bersama vinkristin)
2
Profilaksis antibiotik (selama 6 bulan pertama)
Trimetoprim-sulfametoksazol 2xlhari Asiklovir
atau
Valasiklovir
200 mg PO 500 mg PO
Pada akhir minggu 3 hari / minggu 3 hari / minggu
1273
LEUKEMIA LIMFIOBI.ASITIK AKUT
Dosis
Obat lnduksi
1lv 6lv 6 5lv 1tv
Vinkristin Siklofosfamid Prednison
Daunorubisin atau Zorubisin Metotreksat
12
1
1,8
1-21
tv/Po
1-3 1-3
I,8,
mg lT
Salvage (hari ke 28) Amsacrine Sitosin arabinosid
,8, 15,22
15,22
120 mg/m2 lV
1-3
500mg/m2 (12jam) lV
'1
-3
Konsolidasi (3 siklus tiap 4 minggu)
Daunorubisin atau Zorubisin Sitosin arabincsid Asparaginase
60 mg/m'.lV '120 mg/m' lV
1 1
60 mg/m'z S-C / lM 1000 lU / m' lV / lM
1
B-12
Konsolidasi sebelum transplantasi sumsum tulang alogenik (1 siklus) 60 mg/m'? lV Siklofosfamid 'I Vinkristin ,5 mg/m'z lV 60 mg/m2 lV atau Po Prednison
P
n Terapi A (siklus '1. 3. 5 dan isin
atau
B
1
1-5
1-8
60 mq/m' PO '1,5 mg/m2 lV 60 mg/m'z lV 120 mglm2 lv 60 mq/m' PO 15 mg/m2 Po 1000 6 / m'z lV
at Doktinomisin Terapi
7)
1
1,8 15 15
28-54 35,42,49,56 64
(siklus 2, 4, 6, 8)
Prednison
1-8
Vinkristin
1,8 15
Siklofosfamid Karmustin
'15
28-54
6MP
35,42,49,56
Metotreksat
64
1000 6 / m'z lV
Daktinomisin
Karakteristik pasien
Faktor
prognostik
Usia (tahun) Praterapi
Siklofosfamid Prednison Blok A
lV ^
Vinkristin
2mg
l\4etotreksat
1500 mq/m' i^fus24 800 mg/m2 infus 1 100 mg/m2 infus 1 150 mg/m' infus 1
lfosfamid VMr6 (Ien,poslde) Sitosin arabinosde
jam jam jam jam,
1
'1, diikuti lekovorin 1
4 4
tiap 12 jam
Deksametason
Metotreksat Ara-C
Deksametason
Blok
B (setelah istirahat
n'l Metotreksat
Ara-C
Deksametason
- 5' -5 -5
10 mg/m'z PO 15 mg lT 40 mg lT 4 mg lT
1-5
16 hari) 2
1
1 2 2
15
mg
lus24iam
1, diikuti
15 menit)
4,5
1-5
-5
Profilaksis SSP : radiasi kranial24 Gy setelah terapi Blok B Terapi pada CNS involvement: radiasi kranial dan neuroaksis Metotreksat, Ara - C, deksametason lT
Jumlah lekosit (x106/ml) < 30.000 > 30.000 (> 100.000 untuk sel T) lmmunophenotype T-cell ALL Mature B-cell ALL, early T-cell ALL Sitogenetika Kelai nan 12p; t(1 0;1 4)G2a;q1 1 ) Normal; hiperdiploid t(9;22), t(4 ;1 1), t( 1 ; 1 9), hipodiploid, -7,+8
1-5
lT
40 mg lT 4 mg lT
<30 >30
1-5 1-5
200 mg/m2 lV 60 mg/m'z PO
lekovorin
Respons terapi Remisi komplit dalam 4 minggu Minimal residual dlsease persisten
Baik
Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Sedang Buruk Baik Buruk
1274
HEMATIOI.OGI
Obat
Dosis
Fase I : lnduksi (4 minggu) Siklofosfamid . Daunorubisin * Vinkristin Prednison " L - asparaginase (E - coli)
lV lV 1,2,3 mg lV 1, B, 15,22 tV 1 - 21 6000tu/m'zsc/tM 5,8, 11, 15, 18,
1200 mg/m'z 45 mg/m' 2 60 mg/m2 PO /
1
22 Fase ll A:lntensifikasi dini (4 minggu, ulang lagi 1 kali untukfase ll B) Metotreksat 15 mg 1000 mg/m'z lV 6 60 mg/m'z PO -14 75 mg/m'z SC -4,8-11 2 mg lV 15,22 L - asparaginase (E 6000 lU /m'z SC / lM 15, 18,22,25
intratekal Siklofosfamid MP Sitarabin Vinkristin coli) lll : Profilaksis SSP Radiasi Metotreksat
Fase
dan pemeliharaan (12 minggu)
kranial intratekal
MP Metotreksat Fase lV : lntensifikasi lanjut (B 6
1-12 1 - 8, 15 -22,29 1-70
2400 cGy 15 mg
60 mg/m'z PO 20 mg/m'z PO
36, 43, 50, 57, 64
minggu)
Doksorubisin Vinkristin Deksametason Siklofosfamid 6 - Tioguanin Sitarabin
1,8,15
30 mg/m'z lV 2 mg lV
1, 8, 15
1-14
10 mg/m2 PO 10OO mg/m'? lV
29
60 mg/m2 PO 75 mg/m' SC
29-42 29-32,36-39
Fase V : Pemeliharaan jangka panjang (sampai 24 bulan setelah diagnosis) 'l Vinkristin 2mg lV ,tiap4minggu Prednison 60 mg/m2 PO
1-5,tiap4
mrnggu
6MP
:':
1-28
60 mg/m'z Po 20 mg/m'z Po
Metotreksat
1
,8, 15,22
untuk penderita > 60 tahun 800 mg/m2, hari 1 30 mg/m', hari 1,2,3 60 mg/m2, hari 1 G - CSF 5 pg/kg SC / hari diberikan pada hari ke 4 sampai netrofil > 1000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak > 24 jam. Keterangan
:
Siklofosfamid Daunorubisin
Prednison
REFERENSI Baxter Oncology. Selected schedules of therapy for malignant tumours Part 1: Haematologic Malignancies, lO'h ed; 2001. Cao TM, Coutre SE. Acute lymphoblastic leukemia in adults. In: Greer JP Foerster J, Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader
B, editors. Wintrobe's Clinical Hematology. 11th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wi,lkins; 2004. p 2071-96. Charrin C. Cytogenetic abnormalities in adult acute lymphoblastic leukemia: correlations with hematologic findings and outcome.
A collaborative study of the Groupe Francais de Cytogenetique Hematologigue. Blood. 1996;87 :3135-42. In: Schmaier AH. Petruzzelli LM, editors. Hematology for the medical student. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2003. p. 173-84. Freedman AS, Nadler LM. Malignancies of lymphoid cells. In: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al, editors. Harrison's Principles of Intemal Medicine. 14th edition. New York: Mc GrawHill; 1998. p. 695-712. Erba HP Acute leukemia.
-7
Garcia-Manero G, Kantarjian HM. The Hyper-CVAD regimen in adult acute lymphocytic leukemia. In: Kantarjian HM, Hoelzer D, Larson RA, editors. Hematology/oncology clinics of North
America. Advances in the treatment of adult
acute
lymphocytic leukemia, Part I. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 2000. p. 1381-96. Hallbook H, Simonsson B, Bjorklolm M, et al. High dose ara-c as upfront therapy for adult patients with acute lymphoblastic leukemia (ALL). B1ood. 79991,94:1327 a. Hoelzer D, Gokbuge N, Ottmann O, et a1. Acute lymphoblastic leukemia. Hematology. 2002: 162-92. Howard MR, Hamilton PJ. Haematology: An illustrated colour text. Second edition. Edinburgh: Churchill Livingstone; 2002. Larson RA, Dodge RK, Linker CA, et al. A randomized controlled
trial of filgrastim during remission induction consolidation chemotherapy for adults with acute lymphoblastic leukemia: CALGB study 9111. Blood. 1998;92:1556-64. Larson RA, Dodge RK, Burns CP, et al. A five-drug remission induction regimen with intensive consolidation for adults with
t275
LEUIGMIA LIMF1OBIASTIK AKUT
acute lymphoblastic leukemia: cancer and leukemia group B study 8811. Blood. 1995;85:2025-37. Larson RA. Recent Clinical trials in acute lymphocytic leukemia by the cancer and leukemia Group B. In: Kantarjian HM, Hoelzer D, Larson RA, editors. Hematology/oncology clinics of North America. Advances in the treatment of adult acute lymphocytic leukemia, Part I. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 2000. p. 1367-79. Mandelli F, Annino L, Rotoli B. The GIMEMA ALL 0183 trial: analysis of l0-year follow-up. GIMEMA Cooperative Group, Italy. Br J Haemotol. 7996;92: 665-12. Supandiman I, Sumantri R, Fadjari H, Irani P, Oehadian A. Pedoman diagnosis dan terapi hematologi onkologi medik. Bandung: Q-
Communication;2003.
Treatment statement for Health professionals. Adult acute lymphoblastic leukemia. Available from:URL:http ://www.meb. unibonn.de/cancer. gov/CDR0000062864.html Thiebaut A, Vernant JP, Degos L, et al. Adult acute lymphocytic leukemia study testing chemotherapy and autologous and allogeneic transplantation: A follow-up report of the French Protocol LALA 87. In: Kantarjian HM, Hoelzer D, Larson RA, editors. Hematology/oncology clinics of North America. Advances in the treatment of adult acute lymphocytic leukemia, Part I. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 2000. p. 135366.
Wetzler M, Dodge RK, Mrozek K, et al. Prospective karyotype
in adult acute lymphoblastic leukemia: The cancer and leukemia group B experience. Blood. 1999;93: 3983-93. analysis
202 LEUKEMIA LIMFOSITIK KRONIK Linda W.A. Rotty
DEFINISI
menunjukkan keterlibatan gen bcl-1 dan bcl-2 pada5-15Vo pasien sedangkan gen bcl-3 hanya kadang-kadang terlibat.
Leukemia limfositik kronik (LLK) adalah suatu keganasan
Protoonkogen lcr dan c-fgr, yang mengkode protein kinase tirosin diekspresikan pada limfosit yang terkena LLK tetapi tidak pada sel B mumi yang normal. Saat ini
hematologik yang ditandai oleh proliferasi klonal dan penumpukan limfosit B neoplastik dalam darah, sumsum tulang, limfonodi, limpa, hati dan organ-organ lain. LLK
LLK didapatkan delesi homozigot dari regio genom telomerik gen retinoblastoma tipe-1 dl3s25. Hal ini pasien
ini masuk dalam kelainan limfoproliferatif. Tanda-tandanya meliputi limfositosis, limfadenopati dan splenomegali. Kebanyakan LLK (95Eo) adalah neoplasma sel B, sisanya
menunjukkan bahwa gen supresor tumor baru terlibat dalam
LLK
neoplasma sel T.
Sel B darah tepi normal adalah subpopulasi limfosit B CD5+ matur (sama dengan Sel B-1a) yang terdapat pada zona mantel limfonodi dan dalam jumlah kecil di darah. Sel
B LLK mengekspresikan imunoglobulin membran
EPIDEMIOLOGI Usia rerata pasien saat diagnosis 65 tahun, hanya l}-l5Vo kurang dari 50 tahun. Angka kejadian di negara Barat3l 100.000. Pada populasi geriatri, insidens di atas usia 70 tahun sekitar 50/ I 00. 000. Risiko terj adinya LLK meningkat seiring usia. Perbandingan risiko relatif pada pria tua adalah 2,8: I perempuan tua. Kebanyakan pasien memiliki ras Kaukasia dan berpendapatan menbngah. Perjalanan penyakit bervariasi. Kondisi penyakit sel B dapat diramal kelangsungan hidupnya antara lebih dari 10 tahun sampai kurang dari 19 bulan, dan 9 tahun untuk seluruh populasi pasien LLK. Beberapa pasien dengan
LLK mempunyai
masa hidup normal dan yang lain
meninggal dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis. Beberapa tahun terakhir kemajuan penting dicapai dalam pemahaman biologi, perjalanan alami dan pengobatan.
PENYEBAB
permukaan yang umumnya rendah kadarnya, kebanyakan IgM, IgD dibandingkan sel B darah tepi normal, dan single light chain (kappa dan lambda). Juga mengekspresi antigen sel T CD5, antigen HLA-DR dan antigen sel B (CD19 dan CD20) mempunyai reseptor untuk sel darah merah tikus, dan menghasilkan autoantibodi polireaktif. Ekspresi gen VH dan VL terbatas pada sel-sel tersebut. Berdasarkan karakteristik tersebut, LLK kemungkinan merupakan akibat dari suatu proses bertahap, dimulai dengan ekspansi poliklonal yang ditimbulkan oleh antigen terhadap limfosit B CD5+ yang di bawah pengaruh agen mutasi pada
akhimya ditransformasi menjadi proliferasi monoklonal. Limfosit B CD5+ neoplastik menumpuk akibat hambatan apoptosis (kematian sel terprogram). Meskipun genbcl-2
jarang mengalami translokasi, tetapi terus menerus diekspresikan secara berlebihan, yang mengakibatkan bertambah panjangnya kelangsungan hidup sel LLK. Selain itu sitokin terlibat dalam pengaturan pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel tersebut. Pada LLK, TNF alfa dan IL-10 berperan sebagai growthfactor. Dalam perjalanan
masih belum diketahui. Kemungkinan yang berperan adalah abnormalitas kromosom, onkogen dan
penyakit ekspresi berlebihan CD38, onko gen c-myc, delesi gen RB-1, dan mutasi gen supresor tumor p53 juga terjadi.
retrovirus (RNA tumour virus) Penelitian awal
Sekitar 507o pasien LLK mempunyai abnormalitas
Penyebab
LLK
t276
1277
LEUKEMIA LIMF1OSITIK KRONIK
sitogenik, khususnya trisomi 12, kelainan kromosom 13 pada lajur q14 ( lokasi gen supresor RB-1), 14q+, delesi kromosom 6 dan delesi kromosom 1 1. Hal ini baik dideteksi melalui fluoresensi in situ, hibridisasi dibandingkan analisis
limfosit). Infiltrasi limfosit ke sumsum tulang bervariasi
sitogenik konvensional. Belum jelas makna kelainan
infiltrasi limfosit ke sumsum tulang belum berarti pasti LLK. LLK dapat didiagnosis jika ditemukan peningkatan absolut limfosit di dalam darah (>5000/uL) dan morfologi serta imunofenotipnya menunjukkan gambaran khas.
tersebut pada tingkat molekular. Kelainan kariotipik bertambah pada LLK stadium lanjut
dan menunjukkan abnormalitas yang didapat. Evolusi kariotipik umumnya berhubungan dengan perjalanan penyakit, terjadi pada 15-40% pasien LLK.
DIAGNOSIS
Manifestasi Klinis Pada awal diagnosis, kebanyakan pasien LLK tidak menunjukkan gejala (asimptomatik). Pada pasien dengan gejala, paling sering ditemukan limfadenopati generalisata, penurunan berat badan dan kelelahan. Gejala lain meliputi hilangnya nafsu makan dan penurunan kemampuan latihan/olahraga. Demam, keringat malam dan infeksi jarang
terjadi pada awalnya, tetapi semakin menyolok sejalan dengan perjalanan penyakitnya. Akibat penumpukan sel B neoplastik, pasien yang asimptomatik pada saat
dalam 4 gambaran yaitu interstisial(337o), nodular (10%), campuran interstisial dan nodular (25Vo) serta infiltrasi difus (25Vo). Meskipun telah didapatkan limfositosis dan
Klasifikasi France-America-British fAB) membagi tiga tipe morfologi berdasarkan perbandingan limfosit atipikal di dalam darah, yaitu: . LLK tipikal terdiri dari lebih 907o limfosit kecil
. .
LLK tipe prolimfositik
LLK atipikal
20-307o pasien tidak menunjukkan kelainan fisik. Kelainan
fisik yang sering dijumpai adalah limfadenopati. Sekitar 50Vo pasien mengalami limfadenopati datlatal hepatosplenomegali. Pembesaran limfonodi dapat terlokalisir atau merata dan bervariasi dalam ukuran. Splenomegali dan/atau hepatomegali ditemukan pada 2550% kasus. Infiltrasi pada kulit, kelopak mata, jantung, pleura, paru dan saluran cerna umumnya jarang dan timbul pada akhir perjalanan penyakit. Sejalan dengan perjalanan
prolimfositikll-54%o)
yang heterogen tetapi proporsi prolimfosit kurang dari IjVo.
Kriteria ini tidak selalu menetap. Pada kasus LLK atipikal, gangguan limfoproliferatif lainnya harus dipertimbangkan dulu sebelum membuat diagnosis LLK atipikal; oleh karena itu analisis imunofenotip sel B neoplastik, data sitogenetik dan molekular dapat bermanfaat.
diagnosis pada akhirnya akan mengalami limfadenopati, splenomegali dan hepatomegali.
Pemeriksaan Fisis
(sel
yang ditandai dengan morfologi sel limfosit
Risiko rendah Jenis kelamin Stadium Klinik
Wanita
Pria
Binet A
Binet B / C RAt il, ilt, tv
RAt O, Morfologi limfosit Gambaran dari infiltrasi sumsum tulang Waktu penggandaan limfosit Penanda serum Ekspresi CD 38 Abnormalitas gen
Risiko Tinggi
I
Tipikal Non diffuse
> 12 bulan Normal < 20
Atipikal Diffuse < 12 bulan Meningkat > 20 -30% Delesi 1 1q23 Loss/ mutation
- 30o/o
Tidak ada
p
53
Status gen lgVH
Mutasi
Mutasi (-)
penyakit, limfadenopati masif dapat menimbulkan obstruksi lumen termasuk ikterus obstruktif, disfagia uropati obstruktif, edema ekstremitas bawah, dan obstruksi
usus parsial. Timbulnya efusi pleura atau asires
STADIUM
berhubungan dengan prognosis yang buruk.
KRITERIA DIAGNOSIS
Stadium
Gejala klinis dan
laboratorium
Median
survival (bulan)
Tanda patognomonik LLK adalah peningkatan jumlah lekosit dengan limfositosis kecil sekitar 95Vo. IJntuk menegakkan diagnosis sebaiknya dilakukan pemeriksaan
o
gambaran darah tepi secarahati-hati dan cermat. Gambaran
il
darah tepi tampak limfositosis dengan gambaran limfosit kecil matur dan smudge cell yang dominan; imunofenotip khas limfosit (CD5+, CD19+, CD20+, CD23+,FMC7-/+, DAN CD22-l+); dan infiltrasi limfosit ke sumsum tulan g (>30Vo
IV
Limfositosis darah tepi dan
sumsum
> 150
tulang I
ilt
Limfositosis + Pembesaran Limfonodi Limfositosis + Splenomegali / Hepatomegali Limfositosis + anemia (Hb < 11 gr/dl) Limfositosis + trombositopenia (trombosit < 1 00.000/uL)
101
>71 19 19
1278
Stadium
HEMIIilOI.OGI
Gejala klinis dan
laboratorium
Median
survival (bulan)
Limfositosis darah tepi dan sumsum
>7
tulang + < 3 daerah limfoid yang membesar Limfositosis darah tepi dan sumsum tulang + > 3 daerah limfoid yang mebesar Stadium B + anemia (Hb < 11 g/dl pd pria dan < 10 gr/dl pada perempuan atau trombositopenia (<1 00.000/uL)
<5 <2
Catatan: 5 area limfoid : KGB servikal, aksila, inguinal, hati, limpa
limfositosis perifer dan LDH secara cepat. Pasien-pasien ini mempunyai kelangsungan hidup rata-rata 6 bulan. Pasien dengan transformasi ke arah leukemia prolimfositik
manunjukkan anemia progresif, trombositopenia, limfadenopati, prolimfosit pada darah tepi (>557o), w astin g
syndrome dan meningkatnya
resistensi terhadap terapi. Transformasi LLK yang lain meliputi LLA, leukemia sel plasma, mieloma multipel dan limfomaHodgkin.
Komplikasi Akibat Penyakit Autoimun meliputi tes anti globulin direct yar,g positif (Coomb's test), anemia hemolitik, trombositopenia, neutropenia dan aplasia sel
Leukemiaprolimfositik (Selprolimfosit>54%o)
Hairy cell leukemia Limfomalimfositikkecil Mantle cell lymphoma
darah merah murni (aplasia pure red cell) atal agranulositosis. Tes antiglobulir dire ct positif lttngga 207o LLK selama pe{alanan penyakitnya. Hemolisis klinis dijumpai pada 50% kasus. Trombositopenia autoimun terjadi
Leukemialimfoplasmasitik
pasien
makroglobulinemiaWaldenstrom mieloma sel plasma Leukemia sel T kronik
pada2Vo pasien
-
. . . .
limfadenopati dan hepatosplenomegali yang progresif, demam, nyeri abdomen, penurunan berat badan, anemia dan trombositopenia progresif, dengan peningkatan
hepatosplenomegali,
DIAGNOSIS BANDING
. . . . .
Thansformasi Meniadi Keganasan Limfoid yangAgresif. Terjadi sekitar l0-757o. Yang tersering adalah sindroma Richter (57o) dan leukemia prolimfositik. Pasien dengan sindroma Richter (limfoma sel besar) sering didapatkan
-
LLK.
Keganasan sekunder. [,okasi tersering meliputr kulit (mela-
l-eukemial-Gl-
noma dan karsinoma), paru dan saluran cerna. Hal ini dianggap sebagai konsekuensi terapi imunosupresi yang poten. Gangguan atau keganasan hematologi lainnyajuga dilaporkan mempunyai hubungan dengan LLK.
Leukemia sel T dewasa
Limfoma sel T kutan/kulit
KOMPLIKASI Pasien dengan
LLK dapat menunjukkan
berbagai
komplikasi akibat progresivitas penyakitnya.
Infeksi, Merupakan komplikasi daq penyebab utama kematian. S. pneumoniae, S. aureus dan H. influenzae merupakan organisme yang sering dijumpai pada pasien LLK yang tidak diberikan terapi imunosupresi. Telah terjadi perubahan spektrum penyakit dan bakteri penyebab pada pasien-pasien yang diberikan preparat imunosupresan. Yaitu meliputi baik bakteri gram negatif maupun bakteri
oportunistik seperti Candida, Mycobacterium tuberculosis, Listeria, P. carinii, Cytomegalovirus, Aspergillus dan virus herpes. Pasien LLK yang berusia lebih dari 65 tahun dan/atau dengan stadium lanjut mempunyai risiko lebih tinggi terhadap infeksi dan biasanya membutuhkan terapi suportif untuk profilaksis.
Hipogamaglobulinemia dijumpai lebih dai 66Vo pasten pada akhir penyakit ini. Semua kelas imunoglobulin (IgG IgA dan IgM) biasanyamemrrun, meskipunjuga dijumpai hanya satu atau dua imunoglobulin saja yang turun. Penurunan
gamaglobulin dan neutrofil yang sangat bermakna menyebabkan kerentanan pasien terhadap infeksi bakteri.
PENATALAKSANAN Diagnosis LLK tidak menandakan perlunya pengobatan. Saat ini tidak terdapat terapi kuratif untuk LLK. Tujuan terapi pada kebanyakan pasien LLK adalah meredakan gejala dan memperpanjang kelangsungan hidup. Tetapi pada pasien lebih muda dengan faktor risiko buruk, pendekatan eksperimental dengan tujuan penyembuhan yang dipilih.
Indikasi terapi adalah:
.
. . . . .
Kegagalan sumsum tulang yang progresif yang ditandai dengan memburuknya anemia dan atau trombositopenia. Limfadenopati yang progresif (>10 cm) Splenomegali masif (>6 cm) atau nyeri pada limpa Limfositosis progresif (dalam 2 bulan meningkat 507o) Gejala sistemik yaitu penurunan berat badan >ljVo dalam 6 bulan, suhu badan >380C selama >2 minggu,
fati gue, keringat malam Sitopenia autoimun
Kemungkinan terapi terkini menurut faktor prognostik dan variabel lainnya sebagai berikut:
LEUKEMTA LIMFOSTTIK
t279
KROMK
LLK STADIUM DINIYANG STABIL
KEMOTERAPI KOMBINASI
ini tidak diperlukan terapi kecuali timbul gejala atau penyakitnya berlanjut. Hal ini didasarkan pada: Pasien
Kemoterapi kombinasi yang diberikan adalah kemoterapi yang biasanya diberikan pada pasien limfoma non Hodgkin atau mieloma multipel . Diindikasikan pada pasien LLK
sama.
yang gagal terhadap terapi tunggal klorambusil atau siklofosfamid dengan atau tanpa prednison.
Pada pasien
. .
LLK stadium dini yang stabil bertahan hidup sebagai mana subyek normal dengan usia yang
Pengobatan pada pasien dengan stadium dini (Binet stadiumA atau Rai stadium 0) dengan klorambusil, baik
kontinu maupun intermiten memperlambat rasio progresivitas penyakit tetapi tidak memperbaiki kelangsungan hidup. Selain itu dalam satu penelitian terapi kontinu dengan klorambusil berhubungan
Kemoterapi yang direkomendasikan adalah: . Siklofosfamid, vinkristin dan prednison (COP) Dosis: - Siklofosfamid30Omg/rrPperoralhari 1-5 atau750mg/
nf IVhariI.
dengan kelangsungan hidup yang lebih pendek karena
tingginya insidens kanker epitel.
LLK STADIUM LANJUT DENGAN BATAS
.
-
Vinkristin
2 mg
lVhari I
Prednison 40 mg/m2 per oral hari 1-5 COP dan doksorubisin Dosis: - Doksorubisin 25-50 mg/m'? IV hari I.
TUMOR LUAS DAN GAGAL SUMSUM TULANG
SITOPENIA AKIBAT MEKANISME IMUN ATAU
Kemoterapi Tunggal Klorambusil. Mula-mula 2-4 mg kemudian dinaikkan 6-8 mg per oral setiap hari atau pemberian intermiten setiap 2-4 minggu dengan dosis 0,4-0,7 mg/kg BB per oral. Pengobatan diberikan sepanjang terdapat respons, biasanya tidak lebih dari 8-12 bulan. Angka respons berkisar 40-70%, tetapi respons komplit jarang terjadi. penelitian-penelitian terakhir, kombinasi klorambusil dengan prednison tidak lebih baik dibandingkan dengan Pada
klorambusil saja. Meskipun pasien diobati dengan regimen kemoterapi kombinasi memiliki respons lebih
HIPERSPLENISME Pasien dengan sitopenia akibat respons imun sebaiknya diobati kortikosteroid dengan dosis 1 mg/kgBB fer hari dan dit ap p e rin g - off ., Prep arat imunosupres an hany a
diberikan pada pasien yang tidak respons setelah 4-6 minggu terapi, meliputi imunoglobulin dosis tinggi. siklosporin, splenektomi dan radiasi limpa dengan dosis rendah. Dua pendekatan terapi terakhir berguna pada kasus dengan hipersplenisme. Hasil pengobatan terbaik dilaporkan dengan siklosporin.
tinggi namun angka kelangsungan hidup tidak lebih panjang.
Siklofosfamid. Pasien yang tidak dapat mentoleransi klorambusil, dapat diberikan siklofosfamid dengan dosis per oral 200 mglm2lhari selama 5 hari atau pemberian intermiten setiap 3-4 minggu dengan dosis 500-750 mglm2 intravena pada hari I. Asupan cairan 2-3 liter per hari. Efek samping berupa mual, muntah, rambut rontok, supresi sumsum tulang dan sistitis. Aturan terapi pemeliharaan LLK tidak pernah diteliti lebih lanjut. Biasanya, pengelolaan terhenti sekali terjadi respons, dan dimulai lagi saat penyakit berkembang ke arah progresivitas. Respons pengobatan kedua biasanya
buruk daripada pengobatan pertama, kemungkinan hal ini terjadi akibat overekspresi gen mdr dan mutasi gen p53. Bagi pasien yang tidak berespons terhadap
terapi baku atau relaps setelah diberi terapi, dianjurkan menggunakan analog purin khususnya fludarabin. Bersamaan dengan pemakaian obat ini, juga diberikan profilaksis asam urat yaitu allopurinol (dosis 300 mg /trari selama 7 hari setiap siklus) dan bila diperlukan transfusi PRC.
PENGOBATAN TERHADAP KOMPLIKASI SISTEMIK
Hipogamaglobulinemia. Pada penelitian acak, imunoglobulin dosis tinggi (400 mg/kg BB intravena setiap 3 minggu) akan mencegah infeksi tetapi tidakmeningkakan kelangsungan hidup pasien LLK Pertimbangan biaya dengan lamanya survival pada pemberian rutin imunoglobulin menjadi perdebatan para ahli. Pada dosis yang lebih rendah (250 mgikg BB setiap 4 minggu atau 10 g setiap 3 minggu) mempunyai efektivitas yang setara dengan dosis tinggi. Kejadian infeksi harus diobati dengan
antibiotika spektrum luas dan klinisi harus memikirkan kemungkinan terjadinya infeksi oportunistik. Pemberian vaksinasi mungkin memberikan respons imun suboptimal mengingat regulasi sistem imun yang terganggu. Neutropenia yang diperberat dengan kemoterapi sering dijumpai. Jumlah neutrofil yang rendah dapat disebabkan karena lamanya dan kombinasi dari terapi pada pasien dengan penyakit refrakter stadium lanjut. Pemberian filgrastim atau pegfilgrastim setelah kemoterapi dapat
1280
HEMI$IOI.OGI
mengurangi risiko neutropenia. Sebuah penelitian
respons
menunjukkan berkurangnya frekuensi infeksi paru yang serius pada pasien LLK risiko tinggi yang mendapat filgrastim dan terapi berbasis fludarabin bila dibandingkan kontrol.
pada pengobatan sebelumnya dan yang tidak menerima pengobatan secara ekstensif. Hasil awal pada penelitian
Anemia adalah ternuan laboratorium yang sering dijumpai
LLK dan bertambah berat sesuai perjalanan penyakit. Terapi LLK dapat menimbulkan eksaserbasi anemia yang pada
sudah ada, khususnya pada pasien usia lanjut. Konsekuensinya adalah kelelahan dan dispneu yang sangat mengurangi kualitas hidup pasien. Penelitian acak double blind mennjlkkan bahwa eritropoietin rekombinan dapat mengatasi anemia yang tidak berespons terhadap kemoterapi dan gejala yang diakibatkannya.
11 -1 4Vo (respons komplir 0-207o) . Angka kej adian respons lebih tinggi pada pasien yang memberikan respons
yang sedang berlangsung membandingkan fludarabin dengan kombinasi siklofosfamid, doksorubisin, vinkristin dan prednison serta siklofosfamid, doksorubisin dan prednison menunjukkan respons yang lebih tinggi dibandingkan fludarabin; meskipun belum diketahui pada jangka panjangnya. Efek toksik utama analog purin adalah mielosupresi, sindroma lisis tumor akut , anemia hemolitik autoimun dan ITP. Infeksi oportunistik (cytomegalovirus, toxoplasma,
Pneumocystis carinii, legionella dan listeria) terjadi karena penurunan sel CD4+ yang diakibatkan oleh preparat
ini. Akibatnya pasien yang diterapi dengan analog purin dan prednison mengalami infeksi oportunistik lebih sering
RADIOTERAPI Radioterapi pada pasien LLK hanya bersifat paliatif. Dapat berupa:
.
Radiasi limpa. 50-90Ea pasiet akan menunjukkan penurunan ukuran limpa, berkurangnya nyeri perut serta rasa tidak enak pada perut. Catovsky pada tahun 1991 melaporkan 38Vo pasien mengalami remisi
.
hematologik yang komplit. Diberikan dosis rendah 0,51 Gy l-3 kalilminggu. Efek samping adalah fatique, mual, trombositopenia transien dan netropenia. Radioterapi terapi eksternal untuk lesi-lesi yang besar (bullq nodalmasses). Dosis 30-40 Gy dalam 2 fraksi.
dibandingkan dengan pemberian analog purin saja, oleh karena itu prednison sebaiknya tidak diberikan. Meskipun belum terbukti secara klinis, pemberian antibiotika dapat dipakai sebagai profilaksis.
PENGOBATAN BARU
Antibodi Monoklonal Diakuinya antibodi monoklonal anti CD2O chimeric (rituximab) dan antibodi monoklonal anti CD52 humanized (alenitzrmab) membuka cakrawala baru pengobatan
LLK Rituximab adalah antibodi anti CD20 chimeric yang dipelajari secara luas pada limfoma derajat tendah (low
SPLENEKTOMI
grade) dimana dijumpai respon pada5OTo pasien. Respons terhadap rituximab pada pasien LLK yang diberi dosis sama dengan pada limfoma bersifat marginal, kemungkinan karena perbedaan farmakokinetik rituximab pada penyakit tersebut atau kurangnya ekspresi tatget CD2O pada sel LLK. Tetapi penambahan antibodi monoklonal untuk
Indikasi:
. .
Splenomegali masif yang simptomatik Sitopenia yang refrakter : Sitopenia autoimun dan hipersplenisme
PENGOBATAN LrNr KE 2 (SECOND LINE TH ERAPY)
menunjang terapi LLK meningkatkan frekuensi pencapaian CR. Penelitian terbaru kombinasi rituximab dengan terapi
berbasis fludarabin pada
Analog Purin Analog purin (pentostatin, fludarabin dan
LLK yang sebelumnya tidak
diterapi, menunjukkan hasil yang menggembirakan. 2-
Penelitian oleh MD Andersson Cancer Center pada pasien
klorodeoksiadenosin) merupakan preparat yang baik untuk LLK. Fludarabin atau analog purin lainnya mungkin akan
LLK yang sebelumnya tidak diterapi, memberikankan rituximab untuk menunjang dosis fludarabin dan
LlK.Sedangkan pemberian analog purin dalam kombinasi dengan agen sitotoksik lainnya (siklofosfamid) atau biolo gic - re spons e modifiers (interferon) sedang diteliti.
siklofosfamid selama 6 siklus. Laporan awal dari 134 pasien yang mendapat pengobatan komplit, 66Vo metcapairespon komplit dan secara keseluruhan dijumpai rasio respon 957o. Beberapa CR (melalui PCR) ditunjukkan oleh penelitian
Mekanisme kerja dari analog purin kompleks. tetapi
1ru.
menggantikan klorambusil sebagai terapi baku
meliputi induksi apoptosis. Pada pasien-pasien tanpa respons terhadap pengobatan inisial, fludarabin (25 mgl m2 permukaan tubuh intravena selama 5 hari setiap 4 minggu) merupakan obat pilihan, dengan keberhasilan
Alentuzumab adalah antibodi monoklonal humanize d
yang ditujukan langsung untuk antigen CD52. FDA menyetujui alentuzumab untuk pengobatan pasien LLK yang sebelumnya diobati dengan agen alkil dan mengalami
t28t
LEUKEMIA LIMFOSITIK KRONIK
penyakit refrakter terhadap fludarabin. Antigen CD52 diekspresikan pada hampir semua sel LLK seperti halnya limfosit T, B normal, sel NK dan monosit. Pada penelitian
yang menghasilkan pengakuan terhadap alentuzumab didapatkan rasio respons 337o dan kelangsungsan hidup rerata 16 bulan pada pasien LLK yang mengalami penyakit refrakter fludarabin. Di antara pasien yang berespon terhadap alentuzumab kelangsungan hidup lebih 32 bulan. Pasien dengan nodul yang besarnya >5 cm dan status ECOG yang buruk (> 2) mempunyai respon terhadap alentuzumab yang rendah secara bermakna. Pengobatan dengan antibodi ini dapat menimbulkan eksaserbasi neutropenia yang telah ada sebelumnya dan berhubungan baik dengan infeksi bakterial maupun oportunistik.
Autologous transplantation. Terdapat sejumlah laporan penelitian tentang autotransplantasi pada LLK. Sekitar 40 pasien telah dilaporkan, dan semuanya mempunyai penyakit yang lanjut sebelum transplantasi, serta semua menerima siklofosfamid dan iradiasi total
tubuh sebagai regimen. Sekitar separuh pasien transplantasi sumsum tulang disterilkan dengan antibodi monoklonal terhadap sel B (CD19, CD20, CD10 dan CD5). Namun/ollow uplya terlalu singkat untuk ditarik suatu kesimpulan.
Meskipun hasilnya menjanjikan, transplantasi sebaiknya masih dipertimbangkan sebagai terapi eksperimental. Infeksi oportunistik (toksoplasmosis) merupakan hal yang perlu diperhatikan. Transplantasi, sebaiknya dipertimbangkan pada pasien muda dengan risiko tinggi LLK.
TRAN SP LANTASI
H
EMATO POI ETIC
PROGENITORS BIOTERAPI
Allogeneic Transplantqtion. Data pada
seri
alotransplantasi, melibatkan 54 pasien, telah dikumpulkan
oleh European and International Bone Marrow Transplant Registries. Usia rerata pasien transplantasi 4l tahun, dengan kisaran 21-57 tahun. Sebelum transplantasi sebagian besar pasien mendapatkan siklofosfamjd dan
iradiasi total tubuh demikian pula siklosporin dan metotreksat dipakai sebagai preparat mencegah graftversus host disease. Dari 54 pasien, 38 (1)Vo) mengalami remisi dan 24 (447a) hidup dengan usia median 2J tahtn
(kisaran 5-80 tahun) setelah transplantasi. Probabilitas kelangsungan hidup 3 tahun adalah 467o (95Vo CI,32-607o). Lima pasien (97o) meninggal akibat leukemia progresif, dan 25 (467o) pasien mengalami komplikasi pengobatan. Hasil
akhir didapatkan lebih baik pada pasien dengan penyakit stabil yang respons terhadap terapi dibandingkan yang progresif. Relaps kadang terjadi selambat-lambatnya 4 tahun setelah transplantasi.
Kriteria
CR
Gejala Limfonodi
Tidak ada Tidak membesar
Hepar / Limpa Hb
Tidak teraba > 1'1 gr/dl
Netrofil
> 1,5 x 10s/L
Limfosit Trombosit
< 4,0 x 1Oe/L > 100 x 1Os/L
Aspirasi
<30%
Interferon alfa memberikan respons meskipun bukan respons komplit, pada pasien-pasien dengan penyakit stadium dini yang tidak menerima terapi sebelumnya. Merupakan agen yang potensial untuk mencapai respons terhadap kemoterapi. Efektivitas antibodi monoklonal, baik sendiri (CAMPATH 1-H) atau dikombinasi dengan toksin (84-blocked ricin), agen sitotoksik atau radioisotop (Ir3r) sedang diteliti; respons diperoleh biasanya parsial atau sementara. Antibodi monoklonal mungkin bermanfaat pada penyakit residual yang minimal. tr--2,n -4 dann--6 sedang dalam penelitian. IL-z telah terbukti membatasi aktivitas secara klinis, namun pada
dosis tinggi menimbulkan toksisitas. Penelitian sebelumnya pada tikus mendukung bahwa antisense oligonukleotida spesifik pada IL-10 merupakan stimulator poten pertumbuhan limfosit B neoplastik yang dapat digunakan secara kl inis.
PR Mengecil/hilang > 50% Mengecil > 50% > 'l'l gridl atau membaik > 50% > 1,5 x 1Oe/L atau meningkat > 50% Menurun > 50% > 100 x 10s/L atau Meningkat > 50%
PD Membesar > 50% atau nodus baru Membesar > 50%
l\,4eningkat > 50%
SUMSUM
tulang Biopsi sumsum tulang
Tidak ada infiltrasi interstisial atau nodul
Residu lymphoid nodul
Keterangan: CR= complete respons (remisi lengkap), P R= p a fii a I respons (remisi parsial), p!=psrslsfent dlsease (penyakit menetap ?)
1282
HEMIIfiOI.OGI
REFERENSI Bynd J.C, Stilgenbauer S, Flinn IW. Chronic lymphocytic leukemia. Hematology 2004:163-83. Chiorazzi N, Kanti R, Ferrarini M. Chronic lymphocytic leukemia. N Eng J Med 2005;352(8):804-15. Chronic Lymphocytic Leukemia Trialist's Collaboration Group. Chemotherapeutic options in CLL : a meta-analysis of the
randomized trials. Journal
of National Cancer Institute
1999;91(10):861-8. Dyer Martin J.S . Risk stratification in the treatment of chronic lymphocytic leukemia Business briefing : North American Pharmacotherapy 2004;2: I -4.
Erlich RB, Ghayee HK, Noga SJ. Chronic lymphocytic leukemia: Will recent major advances lead to cure ? Oncology 2004:12(12):41-9. Goldin LR, Ishibe N, Sgaenbati M et al. A genome scan of 18 families with CLL. British Joumal of Hemarology 200312l:866-73
Guidelines on the diagnosis and management of CLL. British Journal of Hematology 2004;125:294-317. Hyde C, Wake B, Bryan S et al. Fludarabine as second-line therapy for B-CLL : a technology assessment. Health Technology Assesment 2002;6(2).
Kalil N,
Cheson BD. Chronic lymphocytic -leukemia. The oncologist 199 4;4:352-69.
London Cancer New Drug Group. APC/DTC Briefing. Alemtuzumab for the treatment of relaps CLL. March 2004.
for Chronic Lymphocytic Leukemia. Blood (Reviews) 2004:18;137-48. Rai KR, Kalra J. Chronic lymphocytic leukemia. In : Brain C, Carbone PP. Current Therapy in Hematology-Oncology. Fifth edition. Mosby Co 1995.p.251-4. Recent advances of Clinical aspects and treatment of CLL.20O4. Rozman C, Montserrat E. Chronic lymphocytic leukemia. N Eng J Mavromatis BH, Cheson BD. Novel therapies
Med 1995;333(16): 1052-57.
203 MIELOMA MULTIPEL DAT{ PENYAKIT GAMOPATI LAIN Mediarty Syahrir
PENDAHULUAN
Penyakit Mieloma multipel adalah keganasan sel B dari
Keganasan sel plasma dikenal sebagai neoplasma monoklonal yang berkembang dari lini sel B; terdiri dari
globulin monoklonal. Walaupun masih kontroversial dikatakan bahwa semua kasus Mieloma multipel
Waldemstrom's, amiloidosis primer dan penyakit rantai berat. Neoplasma monoklonal dikenal dengan banyak
berkembang dari gammopatia monoklonal esensial atau MGUS. Prognosis sangat bergantung pada kadar serum b2-mikroglobulin dan C-reaktif protein, serta sel plasma labelling indeks.
sel plasma neoplastik yang memproduksi protein
mieloma multipel (MM), makroglobulinemia nama antara
lain adalah gamopatia monoklonal,
immuno-
paraproteinemia, diskrasia sel plasma dan disproteinemia. Penyakit ini biasanya diserlai produksi imunoglobulin atau
fragmen-fragmennya dengan satu penanda idiotipik, yang ditentukan oleh regio variabel identik dalam rantai ringan dan berat. Istilah paraprotein, protein monoklonal atu komponen M, menunjukkan adanya komponen yang elektroforetik homogen ini dalam serum dan urin. paraprotein dapat merupakan imunoglobulin lengkap, biasanya tipe IgG atau IgA, jarang juga tipe IgD arau IgE. Dalam kira-kira 2OVo kaws oleh sel plasma neoplastik hanya diproduksi rantai ringan lambda atau kappa. Rantai ringan ini oleh ginjal cepat disekresi dan karena itu terutama dapat ditunjukkan dalam urin (Protein Bence Jones). Klasifikasi penyakit yang disertai adanya paraprotein dalam serum atau urin terdapat pada tabel 1. Penyebab terbanyak para protein serum adalah gamopatia monoklonal esensial: ditemukannya secara kebetulan para protein serum pada orang yang betapapun sehat . Gamopatia monoklonal esensial disebut juga gamopatia monoklonal benigna,
ETIOLOGI Kejadian keganasan sel plasma mungkin merupakan suatu proses multi langkah. Faktor genetik mungkin berperan pada orang-orang yang rentan untuk terjadinya perubahan
yang menghasilkan proliferasi sel plasma sebagai prekursor, membentuk klon yang stabil dari sel plasma yang
memproduksi protein M seperti pada MGUS. Dalam sel mana terjadi transformasi maligna tepatnya terjadi belum jelas. Dapat ditunjukkan sel limfosit B yang agak dewasa yang termasuk klon sel maligna di darah dan sumsum tulang, yang dapat menjadi dewasa menjadi sel plasma.
Terjadinya onkogen yang paling penting diduga berlangsung dalam sel pendahulu yang mulai dewasa ini atau bahkan mungkin dalam sel plasma sendiri.
Suatu kelainan genetik yang spesifik belum teridentifikasi. Kromosom yang sering terlibat hanya
MGUS (monoclonal gammopathy of undetermined
kromosom 1, 1 3 ( 1 3q-) dan I 4 ( 1 4q+) menimbulkan dugaan bahwa gen-gen yang terlokalisasi pada kromosom ini telah
significance). Ekspansi tidak terkontrol atau maligna klon sel yang memproduksi para protein, seperti mieloma multipel, berakibat kenaikan konsentrasi paraprotein, terjadinya tumor-tumor limfoplasmaseluler, destruksi tulang, insufisiensi sumsum tulang dan lain-lain gejala penyakit.
terganggu regulasinya. Antara lain dijumpai kelainan dalam gen supresor Rb yang terletak pada 13 q dan cmyc-gen dan bcl-1-gen, yang berhubungan dengan 1 1 ;14). Perubahan-perubahan di dalam gen ras dan dalam gen supresor tumor p53 terutama dijumpai dalam stadium
t(
128
t284
HEM'$OI.OGI
lanjut pertumbuhan sel plasma maligna. Laporan-laporan terakhir menunjukkan bahwa pentingnya stimulasi autokrin dari klon ganas oleh IL-6 dan proses aktifasi onkogen dari berbagai stadium penyakit ini. Pertumbuhan dan diferensiasi sel mieloma mungkin diregulasi oleh berbagai sitokin, dengan menggunakan sistem pengaturan autokrin
dan parakrin. Terutama IL-6 ternyata merupakan faktor pertumbuhan penting dan sentral untuk sel mieloma in vitro dan in vivo. Konversi dari sel monoklonal stabil yang terkontrol menjadi tidak terkontrol, progresif menjadi tumor ganas MM memerlukan satu atau lebih perubahan
ke dua. Penyakit ini menyebabkan kematian rata-rata 12.000 orang pertahun di Amerika Serikat. Di Inggris terdapat angka kematian tahunan tala - rata 9 orang perjuta penduduk. Kejadian MM dua pertiga lebih tinggi pada laki-laki orang kulit hitam dibandingkan dengan
wanita, dengan kejadian yang lebih tinggi secara signifikan pada laki-laki pada setiap populasi diAmerika Serikat. Di Poli Hematologi Bagian Penyakit Dalam RSCM Jakarta rata-rata berumur 52 tahun, berkisar dari I 5 tahun sampai :usia 12 tahun, laki-laki lebih sering dari pada
wanita.A
tambahan. Predisposisi genetik, paparan radiasi, rangsangan antigenik yang kronis dan berbagai kondisi lingkungan dan pekerjaan mempengaruhi terjadinya MM ini walau hanya dalam persentasi yang kecil (Tabel 1).
Ras Afrika-Amerika Laki-laki Usia tua Monoclonal Gammopathy of Undetermined Significance (MGUS) Rangsangan imun kronik Paparan radiasi Paparan dari pekerjaan yang berhubungan dengan pestisida, industri cat, metal, kayu, kulit, tekstil, asbestos, bensin dan pelarut Predisposisi genetik
MIELOMA MULTIPEL
Mieloma multipel ditandai oleh lesi
litik
tulang,
penimbunan sel plasma dalam sumsum tulang, dan adanya
protein monoklonal dalam serum dan urin. Manifestasi klinis dari MM heterogen oleh karena adanya masa tumor,
Patofisiologi Mieloma MultiPel Perkembangan sel plasma maligna mungkin merupakan suatu proses multi langkah, diawali dengan adanya serial
perubahan gen yang mengakibatkan penumpukan se1 plasma maligna, adanya perkembangan perubahan di lingkungan mikro sumsum tulang, dan adanya kegagalan sistem imun untuk mengontrol penyakit. Dalam proses multi langkah ini melibatkan di dalamnya aktivasi onkogen
seluler, hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor, dan gangguan regulasi gen sitokin.
Keluhan dan gejala pada pasien MM berhubungan dengan ukuran masa tumor, kinetik pertumbuhan sel plasma dan efek fisikokimia, imunologik dan humoral produk yang dibuat dan disekresi oleh sel plasma ini, seperti antara lain para protein dan faktor pengaktivasi osteoklastik (o s t e o clas tic ac tiv atin g fac t o r/ O A F). P ada waktu timbul gejala klinik jumlah total sel plasma ditaksir 10lratau 1012. Paraprotein dalam sirkulasi dapat memberi berbagai komplikasi, seperti hipervolemia, hiperviskositas, diatesis hemoragik dan krioglobulinemia. Karena pengendapan rantai ringan, dalam bentuk amiloid atau sejenis, dapat terjadi terutama gangguan fungsi ginjal dan jantung.
produksi immunoglobulin monoklonal, penurunan sekresi
Faktor pengaktif osteoklast (OAF) seperti IL1-8,
immunoglobulin oleh sel plasma normal yang
limfotoksin dan tumor necrosis factor (TNF) bertanggung jawab atas osteolisis dan osteoporosis yang demikian khas untuk penyakit ini. Karena kelainan tersebut pada penyakit ini dapat terjadi fraktur (mikro) yang menyebabkan nyeri tulang, hiperkalsemia dan hiperkalsiuria. Konsentrasi imunoglobulin normal dalam serum yang sering sangat menurun dan fungsi sumsum tulang yang menurun dan
mengakibatkan terjadinya hipogammaglobulinemia, gangguan hematopoisis dan penyakit osteolitik pada tulang, hiperkalsemia dan disfungsi ginjal. Simptom terjadi akibat dari tekanan masa tumor, pelepasan sitokin secara
langsung dari tumor atau secara tidak langsung dari sel host (stroma sumsum tulang dan sel-sel tulang) sebagai respon pada adesi sel-sel tumor, dan terakhir oleh karena penyakit-penyakit akibat depososisi protein MM (AL Amiloidosis dan penyakit rantai berat) atau oleh karena kelainan autoimun (Contoh : koagulopati).
netropenia yang kadang-kadang ada menyebabkan kenaikan kerentanan terhadap infeksi.
keganasan hematologi tersering yang kedua di Amerika
Gagal ginjal pada MM disebabkan oleh karena hiperkalsemia, adanya deposit mieloid pada glomerulus, hiperurisemia, infeksi yang rekuren, infiltrasi sel plasma pada ginjal, dan kerusakan tubulus ginjal oleh karena infiltrasi rantai berat yang berlebihan: Sedangkan anemia disebabkan oleh karena tumor menyebabkan penggantian sumsum tulang dan inhibisi secara langsung terhadap
Serikat. Umur median penderita rata-rata 65 tahun, meskipun kadang-kadang MM terjadi pada umur dekade
menurunkan produksi vitamin B 12 dan asam folat.
Epidemiologi Mieloma MultiPel Mieloma multipel merupakan 77o dai semua keganasan dan l07o dari tumor hematologik. MM merupakan
proses hematopoisis, perubahan megaloblastik akan
t285
MIELOMA MULIIPEL DAN PEITYAKIT GAMOPATI LAIN
Gambaran Klinis Mieloma Multipel MM harus difikirkan
(viii) Neuropati : umumnya
pada pasien di atas 40 tahun dengan
disebabkan oleh kompresi pada
medulla spinalais atau saraf kepala. Polineuropati dapat terjadi oleh karena adanya endapan amiloid
anemia yang sulit diketahui penyebabnya, disfungsi ginjal atau adanya lesi tulang (hanya < zEa pendeitaMM berusia
pada perineuronal atau perivaskuler (vasa nervorum),
< 40 tahun. Penderita MM biasanya dengan gejala anemia, nyeri tulang, fraktur patologik, tendensi
tetapi dapat juga karena osteosklerotik myeloma. Kadang-kadang merupakan bagian dari sindrom
perdarahan, dan atau neuropati perifer. Kelainan ini akibat dari tekanan masa tumor atau sekresi protein atau sitokin oleh sel tumor, atau sel-sel dari produk tumor. Pada perneriksaan fisik biasanya tidak ditemukan
POEM {polineuropati, organomegali, endokrinopati, monoklonal gammopati dan perubahan kulit)
kelainan spesifik. Kadang-kadang terdapat nyeri lokal bagian-bagian tulang. Panjang tubuh pederita MM yang lanjut dapat banyak menurun karena infraksi vertebra. (i) Nyeri : terutama nyeri tulang tulang karena fraktur kompresi pada tempat osteopenia atau karena lesi
litik tulang, biasanya tulang punggung. Keadaan ini disebabkan oleh aktifitas yang berlebihan dari faktor pengaktif osteoklast (OAF) sepefti IL-18, TNF-p dan atau LI-6. Faktor-faktor ini juga menghambat aktivitas
osteoblastik kompensatori. Nyeri lokal dapat juga
disebabkan oleh tekanan tumor pada medulla spinalis dan saraf-saraf yang keluar dari rnedulla spinalis.
(ii)
Gejala anemia : letargi, kelemahan, dispnea, pucat,
(iii)
Infeksi berulang : ini berkaitan dengan kekurangan
takhikardia, dst.
produksi antibodi, dan pada penyakit lanjut. karena
Diagnosis Mieloma Multipel Diagnosis MM ditegakkan mulai dari trias diagnostik klasik ( sel plasma, biasanya > l07o +Mprotein + lesi litik). Pada 98Vo pasien protein monoklonal ditemukan dalam serum atau urin atau keduanya. Para protein serum adalah
IgM pada dua-pertiga, IgA pada satu pertiga, dengan jarang IgM atau IgD atau kasus campuran. Sebab - sebab paraprotein serum lain dimuat pada Tabel 2. Pada kasus yang ragu - ragu, penyelidikan "follow up" akan menunjukkan kenaikan progresif dalam konsentrasi paraprotein pada mieloma yang tidak diobati. Imunoglobin
serum normal (IgG, IgA, dan IgM) ditekan. Urin mengandung protein Bence-Jones pada dua pertiga kasus. Ini terdiri atas rantai ringan bebas, baik kappa atau lambda, dari jenis yang sama dengan paraprotein serum. Akan tetapi, pada I 5 7o kasus proteinuria Bence-Jones ada tanpa
paraprotein serum.
netropenia
(iv)
Nefropati : Fungsi ginjal terganggu bila kapasitas absorpsi dari rantai berat haus (lelah) yang akan menyebabkan nefritis interstisiil dengan rantai berat..
Penyebab kedua nefropati adalah hiperkalsemia dengan hiperkalsiuria, yang menyebabkan prerenal
azotemia. Hiperkalsemia dapat menyebabkan
(v)
penimbunan di hrbulus renal, yangjuga menyebabkan nefritis interstisiil. Penyebab lain gagal ginjal pada MM adalah seringnya menggunakan antiinflamasi nonsteroid untuk mengatasi nyeri pada MM
Kecenderungan perdarahan abnormal : protein mieloma mengganggu fungsi trombosit dan faktor pembekuan : trombositopenia terdapat pada penyakit lanjut.
(vi)
Kadang
-
kadang terdapat makroglossia, "carpal
turruel syndrome" dan diare yang disebabkan
(vii)
penyakit amiloid. "Sindroma hiperviskositas" terjadi pada kurang lebih lOVo pasien MM di mana viskositas plasma sudah 4 kali viskositas plasma normal yang menyebabkan
Gammopati monoclonal benigna Mieloma multipel Makroglobulinem ia Limfoma malignum atau leukemia limfositik kronis Penyakit haemaglutinin dingin kronis Jarang dengan karsinoma
Sumsum tulang memperlihatkan sel plasma meningkat
(> 707o dan biasanya lebih dari 30Vo), seing dengan bentuk
abnormal
- "sel mieloma".
Pengujian imunologis
menunjukkan sel - sel ini bersifat monoklonal serum.
Penelitian tulang rangka (skeletal survey)
memperlihatkan daerah osteolisis atau penipisan tulang merata (generalized bone rarefaction) (2oo/o). Fraktur patologis biasa terjadi. Tanpa lesi ditemukan pada 207o
pasien. Biasanya paling sedikit dua atau tiga sifat diagnostik yang tersebut diatas ditemukan, seperti pada Thbel3.
kelainan pada sirkulasi sehingga mengakibatkan disfungsi organ serebral, paru, ginjal, mata dan organ-organ lain, biasanya berupa trombosis dengan purpura, perdarahan, kelainan penglihatan, gejala SSP
dan neuropati, dan payah jantung. Ini diakibatkan polimerisasi imunoglobin abnormal dan agak khusus terjadi bitra ini IgA, IgM atau IgD.
Laboratorium Mieloma Multipel
(,
Biasanya ada anemia normokrom normositik atau makrositik. Pembentukan " r o ul e aux" menonj ol pada sebagian besar kasus (gambar 4). Neutropenia dan trombositopenia ditemukan pada penyakit lanjut. Sel plasma abnormal nampakdalam filem darah padal5Vo
1286
HEMANOI.OGI
a. Serum
pr otein electroPhoresis
b. Lesi multipel litik pada tengkorak
Gambar 1. Serum protein elektroforese (a) dan lesi multipel lilik (punch out) pada tengkorak pada Multipel Mieloma (b)
Terdapat fosfatase lindi serum norrnal (kecuali setelah Mieloma lVultipel (MM)
Kriteria Mayor
:
I ll lll
Plasmasitoma pada biopsi jaringan Sel Plasma sumsum tulang >30% l\4 protein : lgG > 359/dl, lgA >2ogldl, kappa atau lambda rantai ringan pada elektroforese urin
Kriteria Minor
Sel Plasma sumsum tulang 10% -
B
l\,4
l\,4ieloma lndolen
Smoldering Mieloma
Sel Plasma sumsum tulang <5% Pasien asimtomatik lV protein <39/dl Rontgen [ulang normal Hb dan kalsium normal Protein Bence-Jones negatif p2-mikroglobulin <3mg/L Kreatinin serum normal Tidak ada simtom atau gejala penyakit Tidak ada infeksi rekuren Serum lgG <79ldl, atau lgA <59/dl Tidak ada lesi tulang atau < 3 lesi litik Status Karnofsky > 70% Hb > 10 mg/dl Kreatinin serum < 2,0 mg/dl Labelling index <1% Seperti pada mieloma indolen + Sel plasma sumsum tulang 10-30% Tidak ada lesi tulang
pasien. Perubahan leuko-eritroblastik kadang-kadang
terlihat.
(ii) (ii)
Laju endapan eritrosit/LED tinggi Peninggian kalsium serum terjadi pada 457o pasien.
fraktur patologis). 1'1 mmol/L dan kreatinin Deposit berprotein kasus. serum mening gipada20%
Urea darah meninggi di atas
dari proteinuria Bence-Jones, hiperkalsemia, asam urat, amiloid dan pielonefritis semuanya dapat ikut
:
A
protein pada serum dan urin (kadar lebih kecil dari lll) C. Lesi litik pada tulang D Normal residual lgG < 500mg/L, lgA < 1g/1, atau lgG <69/L Diagnosis Ml\4 bila terdapat kriteria 1 mayor dan 1 minor atau 3 kriteria minor yang harus meliputi kriteriaA + B Kombinasi I danAbukan merupakan diagnosis IVM Monoclonal gammopathy of unndetermined significance (MGUS)
(iv)
(v) (vi) (vii)
memperberat Payah ginj al.
Albumin serum rendah ditemukan pada penyakit lanjut. CRP merupakan petanda adanya IL-6 yaitu faktor pefiumbuhan dari mieloma multipel. B-2 mikroglobulin merupakan indikator prognostik yang akan meningkat pada stadium lanjut dari mieloma multipel.
(viii) Pada darah perifer ditemukan penurunan CD4 ( T helper limfosit) dan peningkatan CD8 (T supresor limfosit).
Faktor Prognostik Mieloma Multipel Banyak faktor prognostik klinik berkorelasi kuat dengan masa sel mieloma, yang dapat ditaksir berdasarkan atas banyaknya paraprotein total yang diproduksi pada pasien selama 24 jam, dibagi oleh banyaknya paraprotein yang diproduksi per sel dalam kurun waktu yang sama- Faktor prognostik yang belpengaruh dalam adalah : kadar hemoglobin, kalsium, mikroglobulin, albumin, delesi kromosom 13 atau 13q dengan pemeriksaan FISH (fluoroscence in situ hybridization), translokasi t(4;14) dan delesi p53 pada sitogenetik sumsum tulang, CRP, sel plasma labeling indeks dan IL-6 serum. Ca,ra penetapan stadium klinik dari Durie dan Salmon dikorelasi dengan masa tumor yang ditaksir (Tabel 4) Ketahanan hidup rata-rata penderita MM bervariasi, tergantung pada stadiumpenyakit, dari 4 sarupai kira-kira
1287
MIELOMAMULTIPEL DAN PENYAKIT GAMOPAII LAIN
Prognosis
Faktor Ketahanan Hidup
Klinis
. .
Rata-rata
Stadium I (mlssa tumor rendah: <0.6 x
1012 sel
NT 46
bulan
|
I
sel mieloma per m2) kriteria tidak termasuk stadium I dan lll Stadium lll (massa tumor tinggi : >'1,2 x 10r' sel lVlieloma per m'); Hb <5,3 mmol / Kalsium serum >2,6 mmol / Kelalnan kerangka luas Kadar paraprotein relatif tinggi : lgG >70 g/l lgA >50 g/l sekresi Bence-Jones 12 g/l
x
s-T 32
bulan
1012
NY 23
Muda - lebih baik Rendah - buruk
Laboratorium Rutin
mieloma per m') Hb >6,2 mmol / Kalsium serum normal: < 2,6 mmol / Kerangka normal atau paling banyak 1 sarang tulang soliter Kadar paraprotein relatif rendah: lgG <50 grll lgA <30 gr/l sekresi Bence-Jones <4 g/24 jam
Stadium ll (massa tumor intermediet : 0,6 C 1,2
Umur
Status kebugaran
bulan
I
I
. Beta2 mikrolobulin . Serum albumin . Serum creatinin . LDH . CRP . Hemoglobin . Trombosit Pemeriksaan Khusus . Labeling indeks Sel plasma o Mor-fologi sel plasma . Sitogenetik sumsum tulang: - sitogenetik standar - FISH analisis kromosom 13 - Microarraytechniques Whole body FDG/PET
Tinggi - buruk Rendah - buruk Meningkat - buruk Meningkat - buruk Meningkat - buruk Rendah - buruk Rendah - buruk Tinggi
- buruk
Plasmablastik - buruk Bila Hipodiploidi/delesi 13 :
- buruk - Delesi '13 - buruk - Differentialpatterns
Extramedullary - buruk
Scan
Stadium-stadium ini, tergantung faal ginjal, masih dibagi lagi ke dalam A dan B: A = kreatinin serum <'180 mol / B = kreatinin serum >180 mol /
I I
45 bulan. Juga kadar pr-mikroglobulin menunjukkan korelasi
yang jelas dengan masa tumor yang ditaksir (Tabel 5)
Ketahanan Hidup Rata-rata p2-M dan CRP < 6,0 mg/l Bz-M atau CRP > 6,0 mg/l p2-M dan CRP > 6,0 mg/l
Meskipun MM merupakan penyakit yang "incurable", pengobatan biasanya dimulai pada saat simptom penyakit muncul. Sekarang, terutama pada pasien yang muda, lamanya "disease-free remission" lebih besar dari lima tahun dapat dicapai dengan menggunakan pendekatan terapi sebagai berikut : . Kemoterapi dosis tinggi dikombinasi dengan transplantasi stem sel perifer autologus . Agen biologik spesifik termasuk talidomit yang diberikan dalam bentuk kombinasi dengan deksametason dosis tinggi dan atau inhibitorproteosom
54 bulan
27 bulan 6 bulan
.
(bortezomib/Velcade)
Kemoterapi konvensional (contoh : vincristine, doksorubisin dan deksametason; melphalan dan prednison)
Pengobatan Mieloma Multipel Sebaiknya penderita diberi keterangan mengenai penyakitnya dan terutama ditekankan bahwa penyakitnya dapat dikontrol dengan baik, walaupun tidak dapat disembuhkan. Meskipun sel mieloma responsif dengan radioterapi dan kemoterapi, kondisi respon lengkap tidak dapat bertahan lama. Kemoterapi baru harus diberikan jikajelas ada progresi penyakit, jadi kebanyakan pada fase simtomatik penyakit, tetapi yang efektif mengurangi keluhan dan memperpanjang ketahanan hidup. Obat pengalkrl seperti melphalan dan siklofosfamid dalam hal ini ternyata paling efektif. Kemoterapi dengan melphalan dan prednison (MP) menunjukkan angka respon yang trnggr 507o - 607o. Tetapi percobaan acak prospektif dari MP dan kombinasi berbagai macam kemoterapi gagal membuktikan bahwa kombinasi kemoterapi meningkatkan ketahanan hidup.
Beberapa penelitian terapi pemeliharaan dengan interferon dikonfirmasikan tidak ada manfaatnya; sedang
penelitian terapi pemeliharaan dengan steroid atau in
terferon-al la rekom bi nan memperpanj
an
g respon terapi
konvensional. Pada stadium
I
: terapi tidak dilakukan, karena tidak ada
bukti klinis yang menunjukkan bahwa terapi pada stadium asimptomatik akan mempelpanj ang survival
(II atau lanjut ) : Terapi pada MM bersifat individual tergantung pada faktor komorbiditas, status kebugaran, resiko dan prognosis Pasien bukan kandidat transplantasi, umur > 65 tahun diberikan terapi dengan regimen/ agen konyensional
Pada stadium Lanjut
.
.
Yang termasuk terapi konvensional primer yaitu melphalaniprednison (MP), Vinkristin/doxorubicin/ dexametason (VAD), Dexametason, talidomit/dexametason
(data masih kurang). Terapi pemeliharaan dengan steroid
1288
HEMAT1OLOGI
dan interferon, sedang terapi "salvage" dengan mengulangi terapi konvensional primer (ika kambuh lebih dari 6 bulan), siklfosfamid - VAD, etoposide/dexametason/
sitarabin,sisplatin (EDAP), siklofosfamid dosis tinggi.
talidomit dan bortezomib. Kortikosteroid yang memblokade
aktivasi osteoklas dengan regresi tumor langsung
.
Efek samping berupa trombosis vena dalam (DVT), rash, netropati, dan bradikardi. 2. Analog talidomit : Revimid/Actimid Regimen analog talidomit RevDex : . Linalidomide diberikan 25 mg/liari po hari l-21 . Dexamethason diberikan 40 mg/liari po hari l-4;9-
menimbulkan penurunan kadar paraprotein. Kombinasi-
. .
kombinasi obat yang biasa dipakai tersimpul dalam tabel 6.
Kandidat transplantasi adalah pasien usia < 65 th dengan kondisi klinis baik, dimana regimen kemoterapi yang digunakan untuk pre transplantasi adalah regimen VAD. Meskipun tidak kuratif transplantasi stem sel
autologus (ASCT) meningkatkal response rate dan memperpanjang median oyerall suruival rate menjadi 72
. 3.
kuratif. Sedang indolent (smoldering) mieloma tidak memerlukan terapi primer karena kondisi ini dapat baik sampai beberapa sampai terjadi progresivitas penyakit. Terapi mieloma multipel relaps atau refrakter
. . .
:
Regimen yang sudah dipakai dapat digunakan untuk mencapai remisi kedua.
VAD digunakan pada kasus yang relaps dengan agen
alkil
atau relaps pada saat terapi.
Talidomit dosis tunggal atau dengan dexamethasone dosis tinggi atau bortezomib.
Progresi penyakit dapat tampak dari kenaikan yang hebat kadar paraprotein, nyeri yang bertambah, dan bertambahnya lesi litik tulang pada foto rontgen. Jika progresi terjadi selama terapi dengan MP maka dpat digunakan kombinasi obat yang lain. Dalam usaha meningkatkan waktu remisi dan ketahanan hidup penderita
MM pada tahun-tahun terakhir ini dipertimbangkan
MM baru terdiagnosis mencapai respons obyektif sebesar
9l7o
dengan Rev/dex
Efek samping : rasa lelah l5Vo;kelemahan otot6Vo, pneumonitis 67o, rash 6%, dan anxietas 67o.
Bortezomib (Velcade, sebelumnyaPS-341)
.
bulan" Angka mortalitas sebesar l-2Vo. Tidak ada perbedaan survival antara ASCT yang dilakukan segera setelah 4 siklus kemoterapi induksi dan ASCT setelah pasien relaps setelah kemoterapi pretransplantasi. Terapi primer pada plasmasitoma soliter dengan radiasi (45Gy atau lebih) pada palsmasitomanya dan dapat bersifat
l2,hulkell-20 Rev/dexdiulangtiap 28 hari
. . . . ..
Kombinasi bortezomib plus dexamethason; atau Bortezomib plus doxorubicin; dexamethasone dan regimen basis bortezomib lainnya yang memberikan
klinik sebesar'7 0-90 7a. Bortezomib plus dexamethasone memberikan respons yang lebih tinggi dibandingkan regimen respon
VAD Bortezomib diberikan 1 .3 mg/m2 iv hari ke I ,4,8,1 1 di ulang tiap 2l han Dexamethasone 20 mg sehari sebelum dan pada hari terapi bortezomib diberikan. Terapi diberikan selama maksimum 8 siklus. Efek samping : trombositopenia30To, neutropenia I
47o, anemia
7
0
Vo, netrr op ati 8 7o dan hipoten si.
4. ArsenicTrioxide(ATO/Trisenox) Arsenic Troxide menghambat tumor angiogenesis
dari lini selsel maligna hematopoitik, termasuk mielomasehingga akan menginduksi apoptosis multipel.
5. Genaserse BCI-2 antibocly Pengobatan Suportif MM Pembrantasan nyeri yang baik, terapi efektif infeksi dan
kebijaksanaan transfusi yang baik merupakan prinsip
penarganan terapi mreloablatif (dosis tinggi kemoterapi dan radioterapi tubuh total) dilanjutkan dengan transplantasi sumsum tulang autologus (sel induk perifer) atau alogenik (transplantasi sumsum tulang) pada penderita yang relatif masihmuda.
penting dalam terapi suportif penderita MM. Untuk mengatasi nyeri di samping anlgetika kadang-kadang
Terapi terbaru (Novel Therapy) dari MM saat ini adalah;
kemungkinan kompresi oleh plasmasitoma ekstradural.
1.
Dalam hal ini diperlukan diagnostik cepat dengan CT-scan atau MRI. Sehingga terapi cepat dengan radiasi lokal dapat dilakukan.
Talidomit
Regimen standar yang dipakai saat
ini
adalah
Thalidomide-Dexamethasone : . Thalidomide 200 mg diberikan selama 4 minggu
. . .
Dexamethasone diberikan4}mg m2peroral, hari 14 ; hai 9 - 12; hai ke 17 -20. Thalidomide - Dexamethasone memberikan respons yang lebih baik dari dexamethasone saja (637o vs
4I7o;P=Q.Q21
Thalidomide - Dexamethasone ini diulang tiap 4 rrunggu
diperlukan tindakan ortopedik, dan sering juga radioterapi lokal. Perlu dipertimbangkan bahwa pada nyeri persisten
punggung tanpa tanda osteolisis lokal dipikirkan
Pada sindroma hiperviskositas perlu dilakukan plasmaferesis, pada hiperkalsemianya diperlukan tindakan
untuk diuresis yang banyak, diuretika, prednison atau bifosfonat. Radioterapi diperlukan untuk penderitapenderita dengan fraktur patologik (iminens), lesi osteolitik yang besar dalam tulang pipa yang panjang, plasmasitoma di luar tulang dan pada jejas melintang sebagai akibat kompresi medulla spinalis.
t289
MIELOMA MULTIPEL DAN PEI\TYAKIT GAMOPAII LAIN
MP
Melfalan B mg/m2 Prednisone 6b mg/m2
p.o p.o
Hari ke 1 s/d ke 4 Hari ke 1 s/d ke 4
CP
Siklofosfamid 300 mg/m2 Prednisone 60 mg/m2 id 300 mg/m/ 0 mg/m' 60 mg/m2
p.o p.o
Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari
ke I s/d ke 4
Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari
ke
COP S V P
p.o p.o
VMCP p.o p.o p.o
,2
/m
VCAP V
0 mg/m'z id 400 mg/m2 60 mg/m'
S P
VBAP
p.o
V
B
mg/m2
D
VAD
HD
P
p.o
Vinkristin 4,0 mg/hari kontinu Adriamisin 8 mg/m'zlhari kontinu Deksametason 40 mg Pada tiap siklus ganjiljuga
i.v p.o
Dosis tinggi korlikosteroid Deksametason 40 mg
po
Pengobatan Keadaan Darurat
(i)
MM
Uremia: rehidrasi, obati sebab yang mendasari
ke s/d ke 4 ke '1 s/d ke ke 1 ke 1 s/d ke ke 1 ke s/d ke 4 ke 1 s/d ke ke 1 s/d ke
4 4
4 4
1
ke 1 ke 1 s/d ke 4 ke 1 ke 1 ke 1 ke s/d ke 4
Selama 4 hari Selama 4 hari Hari ke 1 s/d ke 4 Hari ke 9 s/d ke 12 Hari ke '17 s/d ke 20
:
Hari ke 1 s/d ke 4 Hari ke 9 s/d ke 12 Hari ke 17 s/d ke 20
Bence Jones muncul dalam urin, atau sampai lesi tulang luas atau menyebabkan gejala.
(mrsal nya hiperkalsemia, hiperurisemia). Hemodialisis
dipertimbangkan pada beberapa pasien.
(ii) (iii)
Hiperkalsemia akut: hidrasi, prednisolon, fosfat (intravena atau oral). Mithramycin atau kalsitonin dapat juga bermanfaat. Paraplegia kompresi: laminekomi dekompresi, inadiasi,
kemoterapi.
(iv) Lesi tunggal tulang
yang nyeri : kemoterapi atau
irradiasi
(v) (vi)
Anemia berat: transfust "packed red cells". Perdarahan karena interferensi paraprotein terhadap koagulasi, dan sindroma hiperviskositas dapat diobati dengan plasmaferesis berulang.
Zat pengalk tlmengurangi nyeri, mengurangi proliferasi sel plasma dalam sumsum tulang dan dengan demikian menurunkan kadar paraprotein serum. Pada saat sel plasma
"dibunuh", fungsi sumsum tulang normal membaik. Melphalan diberikan setiap hari selama 4
- 7 hari
setiap 6
PLASMASITOMA SOLITEB Plasmasitoma soliter dari tulang atau jaringan lunak berbeda dengan
MM
terutama oleh prognostiknya yang
lebih baik. Jika tidak didapatkan kenaikan sel plasma monoklonal di tempat lain di dalam tubuh, tidak ditemukan adanya lesi tulang lain dan kadar imunoglobulin normal, maka radioterapi lokal dapat mencukupi. Sesudah radioterapi maka kadar paraprotein akan menurun. Pada kira-kira 607o kasus, terjadi MM generalisata pada penderita dengan plasmasitoma soliter tulang, biasanya dalam 3 tahun setelah diagnosis. Plasmasitoma soliter jaringan lunak lebih sering dapat diterapi kuratif dengan pembedahan ataupun radioterapi dan dengan ini mempunyai prognosis lebih baik dari pada plasmasitoma soliter tulang.
-
9 minggu. Allopurinol juga diberikan untuk mencegah
netiopati urat. Karena tak dapat dihindari resistensi yang berkembang terhadap terapi zat pengalkil, pengobatan pasien tanpa gejala dengan penyakit dini tidak dianjurkan' Penilaian klinis dan laboratorium teratur harus dilakukan plda perjalanan penyakit. Pengobatan dapat ditunda sampai bc'rkenrbtngnya tandit ttau ge.iala kegagalan sLtlllsttlll tLrllrng. sittttl'rLti tcrtlitl'lut kc'naikitrr ttrcit rlltt'lllt iltllLl l)ltrtcill
PENYAKIT WALDESTROM (MAKROGLOBU LIN EMIA)
Penyakit Waldenstrom adalah penyakit indolent limfoproliferatif dengan produksi IgM monoklonal' Penyakit ini jarang ditemukan. sering ditemukan pada laki laki r.rmur pertengahln dan lebih tLta. Umttr fata-rata
-
pentleritrt dcngrtt pcnl'lkit Wxltlellstronl pada waktu
t290
HEM/I$OIOGI
sel imfoid mtda, "mast cells" dan histiosit. Biopsi
diagnosis kira-kira 60 tahun. Gejala klinis bersifat sebagai limfoma yang berkembang lambat. Ada proliferasi sel yang
trehn dapat memperlihatkan penyakit yang lebih nodular, yang berarti prognosis lebih baik dari pada infiltrasi
menghasilkan paraprotein IgM monoklonal dan mempunyai beberapa persamaan dengan limfosit maupun
sel plasma
di
sumsum tulang.NccN Pada perjalanan klinisnya ditemukan seluler karakteristik berua adanya CD5-, CD10-, dan CD 20-, dan respon terapi dengan fludarabin yang sama dengan leukemia limfositik kronik Istilah makroglobulinemia Waldenstrom sering dibatasi
pada kasus
-
kasus dimana gambaran klinis dominan
adalah akibat makroglobulinemia dan infiltrat selular difus.
Kasus
-
(iii) (iv)
difus. Laju endap eritrosit ILED tinggi. Sering limfositosis darah tepi dengan sebagian limfosit plasmasitoid.
(v)
Histologi limfonodus memperlihatkan arsitektur sinus yang terlindung, kehilangan pola folikular dengan infiltrasi selular yang serupa dengan yang ditemukan dalam sumsum tulang.
kasus dengan massa tumor yang dominan
(menonjol) sering dinamakan sebagai "limfoma malignum dengan makroglobulinemia". Pada kedua kasus, sel - sel ganasnya adalah populasi sel B monoklonal.
Pengobatan Penyakit Waldestrom (i) Sindroma hiperviskositas akut : plasmaferesis
berulang.
Karena IgM terutama intravaskular, ini lebih efektif dari
pada dengan paraprotein IgG atau IgA ketika banyak
Gambaran Klinis Penyakit Waldestrom
(,
(ii)
Permulaan penyakit biasanya perlahan - lahan, penderita mudah letih dan kehilangan berat badan. Sindroma Hiperviskositas dapat mengakibatkan
gangguan penglihatan, letargi, kebingungan, kelemahan otot, gejala sistem saraf, dan payah jantung bendungan. Paraprotein IgM menambah kekentalan darah lebih daripada konsentrasi ekuivalen IgG atau IgA dan peningkatan kecil diatas 30 gil dalam konsentrasi mengakibatkan peningkatan besar dalam viskositas. Retina dapat memperlihatkan berbagai jenis perubahan; bendungan vena, perdarahan, eksudat dan diskus kabur (blurued disc). Jika mikroglobulin adalah adalah krioglobulin, gejala kriopresipitasi, misalny a fen omena Raynaud, dapat terjadi. Kelainan einjal, lesi tulang atau hiperkalsemia seperti pada mieloma tidak didapatkan atau jarang terjadi pada penyakit Waldenstrom
(iii)
Kecendemngan perdarahan dapat diakibatkan dari interferensi makroglobulin dengan faktor pembekuan dan fungsi trombosit. Bisa ditemukan perdarahan retma.
dari protein ini ekstravaskular dan dengan begitu mengisi kembali kompartemen plasma. ; transfusi untuk anemia, antibiotika
(ii) Terapi penunjang
untuk infeksi. dst.
(ii) Zat pen galkilasi oral (klorambusil, si klofo sfami d atau melfalan), sendiri atau dalam kombinasi dengan prednison adalah obat yang paling banyak digunakan;
ini
mengurangi infiltrasi sumsum tulang dan
merendahkan konsentrasi IgM serum. Fludarabine (25 mglm2 perhari selama 5 hari setiap 4 minggu) atau cladribine (0,1 mglkg perhari selama 7 hari setiap 4 minggu) merupakan kemoterapi tunggal yang sangat efektif.
Prognosis Penyakit Waldestrom Perj alan an
penyakit sangat berv ariasi, tetapi kebany akan
progresif lambat. 807o pasien yang berespon dengan kemoterapi, median survivalnya di atas 3 tahun. Ada kasus-
kasus yang penyakitnya berakhir sebagai limfoma imunoblastik. leukemia mieloblastik akut dan leukemia mieloidkronik.
(iv) Anemia normokrom normositer yang disebabkan pengenceran darah (hemodilusi), berkurangnya umur sel darah merah, kehilangan darah, dan kegagalan sumsum tulang pada penyakit lanjut. Formasi rouleux dan tes Coombs positif lebih sering ditemukan dari padamieloma. (v) Limfadenopati sedang dan pembesaran hati dan limpa sering terlihat. (vi) Hepatosplenomegali (vii) Terdapat infeksi yang berulang
Diagnosis Penyakit Waldestrom
(,
(ii)
IgM monoklonal serum biasanya lebih besar dari pada ts gL. Sumsum tulang memperlihatkan infiltrasi pleomorliik oleh limfosit kecil, sel plasma, bentuk "plasmasitoid",
SINDROMA POEM Sindroma ini terdiri dari polineuropati, organomegali, endokrinopati, mieloma multipel dan kelainan kulit (Skin change s). Pasien biasanya dengan progresif polineuropati
sensorimotor yang berat yang dihubungkan dengan lesilesi tulang sklerotik dari mieloma. Tidak seperti pada mieloma hepatomegali dan limfadenopati terjadi pada dua pertiga kasus, dan splenomegali pada sepertiga kasus. Limfadenopati terjadi karena produksi IL-6 yang berlebihan. Manifestasi endokrin berupa amenore pada wanita dan impotensi serta ginekomasti pada pria. Hiperprolaktinemia disebabkan oleh karena hilangnya kontrol inhibisi yang normal dari hipotalamus. DM tipe 2 terjadi pada seperliga kasus. Hipotiroidisme dan insuffisiensi adrenal dapat pula
L29t
MIELOMA MULTIPEL DAN PEI\IYAKIT GAMOPAfl LAIN
terjadi. Kelainan kulit dapat berupa : hiperpigmentasi, hipertrikhosis, penebalan kulit dan jari tabuh. Manifestasi klinis lain dapat berupa : edema perifer, asites, efusi pleura, demam dan trombositosis. Patogenesis dari sindroma ini sampai sekarang belum diketahui, tetapi ditemukan kadar sitokin inflamasi IL-1, IL-6, VEGF dan TNF yang tinggi dan rendahnya sitokin inhibitor TGF-B di sirkulasi. Pengobatan terhadap mieloma akan memperbaiki semua manifestasi klinik ini.
sedikit meningkat (kurang dari l)Vo). Konsentrasi imunoglobulin monoclonal dalam serum biasanya kurang dai20 glL dantetap diam jika diikuti selama 2 atau 3 tahun. Imunoglobulin serum lainnya tidak ditekan. Setelah bertahun - tahun "follow-up", proporsi besar pasienpasien ini menderita mieloma jelas (overt t\yeloma).
AMILOIDOSIS. Amiloid adalah deposit homogen dalam jaringan, berwarna
PENYAKIT RANTAI.BERAT
merah jambu dengan haematoksilin dan eosin dan merah
Penyakit rantai berat adalah keganasan limfoplasmasitik
hijau. Amiloid mempunyai struktur fibrilair dan
yang jarang ditemukan, ditandai oleh proliferasi sel limfoplasmositik yang mensintesis dan mensekresi rantai
diklasifikasikan sebagai berikut
dengan Congo red, dan memperlihatkan "birefringence"
berat imunoglobulin yang cacat biasanya berupa fragmen Fc yang utuh dsn delesi pada regio Fd.. Empat dari lima rantai berat yang mungkin disebutkan pada kelainan ini, yaitu rantai berat gamma (g), alfa (a), dan mu (m), tetapi tidak ada laporan mengenai rantai berat delta (d) atau epsilon. Penyakit rantai berat gamma (g) terutama terdapat pada orang tua. Gejala klinis pada penyakit ini berupa kelelahan,
febris, anemia, limfadenopati, hepatomegali atau splenomegali. Eritema dan edema palatum dapat terjadi karena keterlibatan jaringan limfatik rantai Waldeyer. Sumsum tulang dapat normal atau menunjukkan kenaikan sel limfoplasmasitik. Terapi kuratif tidak mungkin, terapi biasanya dengan siklofosfamid, vinkristin dan prednison. Perj alanan penyakit sangat bervariasi. Penyakit rantai berat alfa (a) berbeda dengan penyakit sel lasma lain, terutama terdapat pada penderita muda dan menampakkan diri hampir selalu sebagai suatu penyakit usus, jarang sebagai kelainan di paru,. Manifestasi klinis
:
Amiloid yang bersamaan dengan proliferasi imunosit monoclonal. Tipe ini terdiri atas rantai ringan dan/atau darah V, N terminal dari rantai ringan . Ini dinamakan tipe "AL" dan ditemukan bersamaan dengan mieloma, makroglobulinaemia Waldenstrom, penyakit rantai-berat dan dalam bentuk "primer". Gambaran klinis disebabkan oleh terkenanya j antung, makroglossia, neuropati perifer atau "syndroma Carpal tunner" atau dengan kegagalan ginjal.
Amiloid sistemik reaktif Tipe ini terdiri atas protein "A" yang mungkin berasal dari protein fase akut dan dinamakan tipe "AA". Ini ditemukan bersamaan dengan infeksi kronis (mi salny a tuberkul osi s),
arthritis rematoid dan penyakit neoplastik, termasuk penyakit Hodgkin. Ini juga biasa bersamaan dengan "familial Mediteranean fever" . Gambaran klinis disebabkan terkenanya retikukulo-endotelial dengan
penderita berupa diare, malabsorbsi, terhentinya
pembesaran hati dan limfa; ginjaljuga dapat terkena dengan
perlumbuhan dan nyeri perut. Yang karakteristik adalah infiltrasi limfoplasmasitik difus yang luas dari mukosausus dan kelenjar mesenterial. Ada hubungan epidemiologik dengan infeksi usus oleh parasit, bakteri dan virus. Terapi antimikrobial dapat memberi remisi. Penderita yang tidak bereaksi dengan terapi antimikrobial, dapar diberi zat
trombosis vena dan sindroma nefrotik.
pengalkil atau kombinasi vinkristin, doksorubisin, siklofosfamid dan prednison, dapat mencapai remisi jangka panjang.
GAMMOPATT MONOKLONAL BENTGNA (BENTGN
MONOCLONAL GAMMOPATHY) Paraprotein dapat ditemukan dalam serum, khususnya pada
orang lebih tua tanpa bukti pasti mieloma, makroglobulinemia atau limfoma. Tidak terdapat lesi tulang,
biasanya tanpa proteinuria Bence - Jones, dan proporsi sel plasma dalam sumsum normal (kurang dari 47o) ata.u
Amiloid setempat (localized amyloidl Ini biasa terjadi sekeliling, khususnya tumor
sistem endokrin dan juga terjadi dalam kulit dan tempat lain pada umur tua. Amiloidosis sistemik primer yang juga disebut sebagai AL amiloidosis adalah penyakit yang jarang ditemukan yang ditandai oleh adanya produksi rantai ringan bebas
oleh sel plasma monoklonal pada sumsum tulang. Tergantung pada jumlah sel plasma sumsum tulang, konsentrasi protein M serum dan urin serta ada tidaknya lesi tulang, penyakit ini dibagi atas AL amiloidosis atau AL amiloidosis dengan MM. Klinis dapat timbul gejala makroglosi, kardiomegali, malabsorbsi, hepatomegali, sindroma carpal-tunner, neuropati perifer, hipotensi ortostatik, dan purpura. Diagnostik dapat ditentukan dengan pemeriksaan histologik terarah pada endapan
1292
HEMAIIOI.OGI
amiloid di kulit, ginggiva, rektum atau ginjal (Pengecatan Congo-merah). Pada amiloidosis primer ada plasmasitosis terbatas (terkontrol) dalam sumsum tulang dan tidak terdapat lesi osteolitik (pada foto rontgen). Kemoterapi tidak dapat mengeradikasi komplit sel plasma monoklonal, dan ketahan hidup median penyakit ini 12 - 14 bulan. Pengobatan pilihan pada AL amiloidosis antara lain MP,m VAD, dosis tinggi moderat dengan melphalan atau dosis tinggi melphalan dengan dukungan sel stem (growth factor\.
REFERENSI Foerster J. Multiple Myeloma. In : Lee GR, Bithell TC, Foerstell J, Athens JW, Lukens JN eds Wintrobe's Clinical Hematology 9'r'
ed.Philadelphia: Lea & Febiger;1993:2219 2249. Longo DL, Anderson KC. Plasma Cell Disorders. [n: Braunwald E, Isselbacher KL, Petersdorf RG et al eds. Harrison's Principles of Internal Medicine 16'h ed. McGrawHill Book Co. 2001 656 662 Beganovic S, Djulbegovic B. Plasma Cetl Disorders ln: Djulbegovic Sullivan DM eds. Decision Making In Oncology Evidence -
-B,
Based Management. Churchill Livingstone, Philadelphia
1997:103 - 13 Djoerban Z. Mieloma Multipel. Dalam Waspadji S, Rachman AM, Isbagio H, Daldiyono, Nelwan RHH, Soeparman et al. Ilmu Penyalit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI.Jakarta.l990:5585 63. Durie BG Salmon SE. A Clinical Staging System fbr Multiple Myelom: Correlation of measured myelom cell mass with presenting
clinical features, response to treatment, and survival. Cancer. 1975:36:842
-
54
Holdrinet RSG. Diskrasia Plasma. Dalam Onkologi Terjemahan Bahasa Indonesia. Panitia Kanker RSUP Dr.Sardjito. Gadjah Mada University Press. Yo gyakarta. I 999 : 699 -'7'l 3 . Bergsagel PL. Epidemiology, etiology and molecular pathogenesis
In
:Richardson PG Anderson KC eds Multiple Myeloma.
Remedica Pubiishing 2004:l-24.
NCCN. Multiple Myeloma. Practice Guidelines in Oncologyv.2.2009. Giles FJ. Multiple Myeloma And Waldenstrom's Macroglobulinemia. In: Brain MC, Carbone PP eds. Current Therapy in Hematology-Oncology. 5'h ed. Mosby-Year Book.Inc. 1992:.274 282. Oken MM. Myeloma. In : Kirkwood JM. Lotze MT. Yasko JM eds. Current Cancer Therapeutics @nd eds. Churchill Livingstone Philadlphia. 1996: 281 - 285. Lichtman MA. Essential Monoclonal Gammopathy. In : Beutler E, Coller B, Lichman M Kipps TJ eds. Williams Hematology 6'h ed McGraw-Hill Co.200l : l2'71 -77 Barlogie B, Shaughnessy J, Munshi N, Epstein J. Plasma Cell My.
eloma. In : Beutler E, Coller B, Lichman M Kipps TJ eds. Williams Hematology. 6'h ed McGraw-Hill Co.2001: 1279 I
304
Buxbaum JN, Jacobson
DR
The Amyloidoses.
In : Beutler E, Coller
B. Lichman M Kipps TJ eds Williams Hematology. 6'h ed.McGrau,-Hill Co 2001: 1305
-
16
Linker CA Multiple Myeloma In: Tierney LM. McPhee SJ. Papadakis MA eds Current Medical Diagnosis & Treafment. 44th ed. Prentice-Hall International Inc.2005: 491 - 500. Kyle RA. Multiple Myeloma and Related Monoclonal Gammopathies. ln'. Mazza JJ ed. Mannual of Clinical Hematology. 2'd ed McGraw-Hill Book Co. 1987:251
-
216.
Greipp,PR, San Miguel J, Durie BGM et al:International staging system for multiple myeloma.J Clin Oncol 23:3412-3420,2005
204 DASAR.DASAR HEMOSTASI S C. Suhafti
PENDAHULUAN
adventitia.
.
Pemahaman tentang dasar fisiologi hemostasis sangatlah penting. Pemahaman yang baik selain akan meningkatkan
.
pengertian tentang patofisiologi kelainan trombohemoragik, juga membantu dalam membuat inteqpretasi hasil pemeriksaan laboratorium, yang dapat digunakan sebagai dasar dalam pendekatan terapi. Hemostasis berasal dari kata haima (darah) dan stasis
.
nontrombogenik dan mernbran elastis intema.
Media: terdiri atas otot polos, ukuran otot polos ini bervariasi tergantung jenis pembuluh darah.(arteri/ vena), dan ukuran pembuluh darah. Adventisia: terdiri atas membran elastis eksterna dan jaringan ikat penyokong. Permeabilitas, fragilitas dan vasokonstriksi merupakan
(berhenti), merupakan proses yang amat komplek. berlangsung secara terus menerus dalam mencegah
sifat yang dimiliki oleh pembuluh darah. Peningkatan permeabilitas mengakibatkan keluarnya darah dari
kehilangan darah secara spontan, serta menghentikan
pembuluh darah berupa petekie, purpura, dan ekimosis yan-e
perdarahan akibat kerusakan sistem pembuluh darah. Setiap kerusakan endotel pembuluh darah merupakan rangsangan yang poten untuk pembentukan bekuan darah. Proses
besar. Peningkatan fragilitas pembuluh
darah rr-remungkinkan terjadinya ruptur yang menimbulkan petekie, purpura (terutamapada kulit dan mukosa), ekimosis yang besar, serta perdarahan hebat pada jaringan yang
yang terjadi secara lokal berfungsi untuk menutup kebocoran pembuluh darah, rnembatasi kehilangan darah yang berlebihan, dan memberi kesempatan untuk perbaikan pembuluh darah. Terdapat beberapA mekanisme kontrol dari proses ini antara lain: sifat antikoagulan dari sel endotel normal, adanya inhibitor faktor koagulan aktif dalam sirkulasi, dan produksi enzim fibrinolitik untuk melarutkan bekuan. Terjadinya abnormalitas hemostasis kebanyakan sebagai akibat defek dari salah satu atau lebih dari tahapan proses koagulasi. Komponen penting yang terlibat dalam proses hemo-
lebih dalam. Vasokonstriksi dapat mengakibatkan obstruksi yang bersifat parsial maupun total, iskemia, dan akhirnya terbentuk trornbus. Vasokonstriksi ini di bawah kontrol lokal
(suhu, pH, pCO2), neural (saraf simpatis) dan humoral.
Faktor humoral yang mengendalikan vasokonstriksi terutama substansi yang dilepas oleh trombosit seperti:
epinefrin, norepinefrin, ADP (adenosin difosfat). kini n, dan tromboksan. Produk degradasi fibrin/fibrinoge n
(FDP, Fibrin/fibrinogen degradation products) y ang dilepas sewaktu sistem fibrinolisis bekerja pada fibrin dapat
stasis terdiri atas:
. . . . .
Intima: terdiri atas satu lapis sel endotel yang bersifat
memodulasi vasokonstriksi.
Pembuluh darah
Weibel-Palade merupakan suatu aparatus yang unik dari sel endotel dan diduga merupakan derivat dari aparatu\ Golgi. Weibel-Palade ini berisi faktor von Willebrand (vW).
Trombosit Kaskade faktor koagulasi Inhibitor koagulasi Fibrinolisis
antigen vW, dan P-selektin. Interleukin-l (IL-l). endotoksin, trauma mekanik, dan komplemen, dapat menginduksi pelepasan isi aparatus Weibel-Palade. Sel endotel secara konstan melepas nitrogen oksida (NO).
PERAN PEMBULUH DARAH
berfungsi untuk relaksasi sel otot polos dan dilatasi pembuluh darah, guna menjamin patensi pembuluh darah.
Pcmbuluh darah normal terdiri atas intima. media dan
t29
1294
HEMAiNOLOGI
Bila terjadi kerusakan sel endotel, segera disekresi endotelin-1 atau substansi lain yang dapat menyebabkan vasokonstriksi. Endotelin- 1 dalam sirkulasi bekerja sebagai kemoatraktan, menarik leukosit dan trombosit. Endotelin-
1, bersama trombin menginduksi sei endotel untuk mengekspresi berbagai molekul adhesi, termasuk integrin
dan selektin yang memfasilitasi adesi' Sel endotel juga mengandung berbagai proteoglikan: heparin suJfat, kondroitin sulfat, dermatan sulfat, dan trombomodulin' Proteoglikan ini berinteraksi dengan antitrombin untuk meningkatkan hambatan terhadap pembentukan protease senn.
Trombomodulin merupakan proteoglikan yang terikat pada sel endotel, berfungsi sebagai reseptor trombin. Peranan trombomodulin men gubah aktivitas prokoagulan dari trombin sedemikian rupa, sehingga trombomodulin yang terikat pada trombin kehilangan kemampuan untuk: (i) mengubah fibrinogen menjadi fibrin, (ii) mengaktifkan
mengalami diferensiasi, selanjutnya bermigrasi, dan akhirnya membentuk sel endotel baru yang bersifat nontrombogenik. Bila pembentukan sumbat trombosit primer terjadi secara berlebihan, akan terbentuk suatu trombus besar yang dapat menghentikan aliran darah, yang
akhirnya dapat menyebabkan kerusakan organ akibat iskemia. Peristiwa lain akibat terkelupasnya endotel dapat
menyebabkan terbentuknya plak aterosklerotik. Bila
peristiwa terbentuknya sumbat hemostatik primer berlangsung secara berulang, terjadi pada tempat yang sama, dan dalam periode waktu yang lama, otot polos atau sel lain akan berdiferensiasi dan bermigrasi ke intima. Suatu senyawa akan dilepas, selanjutnya akan menarik makrofag
yang "memakan" kolesterol maupun materi yang lain, sehingga terbentuklah plak aterosklerotik.
dan
I
(paparan kolagen subendotel)
trombosit, dan (iii) mengaktifkan faktor XIII. Trombomodulin yang terikat pada trombin akan mengaktifkan protein C menjadi protein C aktif, dan bersama dengan protein S (kofaktor) akan menghambat faktor Va
I
Kerusakan Pembuluh Darah
Pengaktifan koagulasi
Pengaktifan koagulasi
(sesual)
(berlebihan
VIIIa.
Pengaktifan koagulasi (berulang)
)
I I I
I
Y
*
Trombus besar
Deposit makrofag dan lipid
v
I
v
Proses reparasi
Oklusi
normal
pembuluh darah
Pembentukan ateroma
il
ilt
Sumbat hemostatik (primer)
Prokoagulan Kontraksi oleh pengaruh histamin, kinin, serotonin, dan tromboksan Produksi faktor koagulasi:
.
r .
Tromboplastin(faktor jaringan)
F.VlllvW
Aktivator dan inhibitor protein C lnhibitor aktivator plasminogen tiPe 1 (PAl-1) Subendotel: Mengaktifkan. dan adhesi trombosit Mengaktifkan F Xll, Xl
.
o
Antikoagulan
lnhibitor bekuan darah/lisis Trombomodulin Heparan lnhibitor jalur faktor jaringan (TFPI) Aktivator plasminogen (t-PA)
o . . .
I
I
Gambar 1. Kerusakan pembuluh darah (terkelupasnya sel
endotel) dengan segala konsekuensinya. (dikutip dari Bick RL, 2002)
FUNGSITROMBOSIT
.
.
vW, von Willebrand; PAll , plasminogen activator inhibitor type 1; TFPI, tissue factor pathway inhibiton t-PA, tissue plasminogen activator
Sel endotel bisa terkelupas oleh berbagai rangsangan: . asidosis
. . .
I
I
+
lnhibitor trombosit
.NO . Prostasiklin . ADPase
+
hipoksia endotoksin kompleks antigen-antibodi dalam sirkulasi
Bila sel endotel terkelupas, kolagen maupun membrana basalis subendotel menarik trombosit untuk membentuk
sumbat hemostatik primer, sehingga menghentikan keluarnya darah dari pembuluh darah. Setelah sumbat hemostatik primer terbentuk, proses selanjutnya adalah peristiwa reparasi. Otot polos atau sel lain dari media
Produksi Trombosit Trombosit diproduksi di sumsum tulang dengan cara fragmentasi sitoplasma megakariosit. Diameter trombosit berkisar antar a 2- 4tm, volume 7fl (5 - Efl). Hitung trombosit antara 150-400x109/1, sedangkan umur trombosit berkisar 7-10 hari. Kira-kira sepertiga dari jumlah trombosit yang dikeluarkan dari sumsum tulang tertangkap di limpa normal; namun pada kondisi splenomegali masif, jumlah ini bisa meningkat sampai 90%. Produksi trombosit diatur oleh hormon trombopoetin yang diproduksi oleh hepar dan ginjal.
Struktur Trombosit Secara ultrastruktur, trombosit terdiri atas:
Zona Perifer.Terdiri atas glikokalik, suatu membran ekstra yang terletak di bagian paling luar; di dalamnya terdapat
t29s
DASAR.DASAR HEMOSTASIS
membran plasma, dan lebih dalam lagi terdapat sistem kanal
terbuka. Zona sol-gel. Terdiri atas mikrotubulus, mikrofilamen, sistem tubulus padat (berisi nukleotida adenin dan kalsium). Selain itu juga terdapat trombostenin, suatu protein penting untuk fungsi kontraktil.
Zona organela. Terdiri atas granula padat, mitokondria,
a
granula or, dan organela (lisosom dan retikulum endoplasmik). Granula padat be,'isi dan melepaskan nukleotida adenin, serotonin, katekolamin, dan faktor trombosit. Sedangkan granula cr berisi dan melepaskan frbrinogen, PDGF (platelet- de riv e d growth factor), enzim lisosom. Terdapat tujuh faktor trombosit yang telah diidentifikasi dan diketahui ciri-cirinya. Dua diantaranya dianggap penting yakni faktor trombosit 3 (membran fosfolipoprotein trombosit), dan faktor trombosit 4 (faktor
Kolagen subendotel maupun membrana basalis Trombin Fibrin monomer FDP, terutama fragmen X Endotoksin
Kompleks antigenantibodi dalam sirkulasi y-globulin yang melapisi permukaan Virus ADP Katekolamin Asam lemak bebas
gelombang pertama pada grafik tes agregasi trombosit. Bila konsentrasi ADP makin meningkat, terjadilah agregasi trombosit. Selain ADP, juga dilepas serotonin, yang
menyebabkan vasokonstriksi, sehingga memberi kesempatan untuk menyiapkan pembentukan sumbat
Trombosit bila diaktifkan, akan mengalami kontraksi dan
hemostatik primer, yang terdiri atas trombosit dan fibrin. Pada kondisi dimana kadar ADP mencapai titik kritis, tedadilah pengaktifan membran fosfolipid (faktor trombosit
membentuk pseudopodia. Selama proses kontraksi,
3), yang bersifat ireversibel. Membran fosfolipid ini
berbagai senyawa maupun granula terkonsentrasi pada bagian pusat trombosit, dan bila kontraksi makin kuat, membran organela robek, selanjutnya isi dikeluarkan lewat
memfasilitasi pembentukan komplek protein koagulasi yang terjadi secara berurutan.
antiheparin).
.
ini
Kejadian yang berurutan mulai dari agregasi ffombosit,
kemudian
peningkatan reaksi pelepasan, pengaktifan",faktor
berinteraksi dengan reseptor membran trombosit terdekat,
trombosit 3, merupakan proses yang ireversibel, tampak sebagai gelombang ke dua dalam grafik tes agregasi trombosit. Hasil seluruh proses ini akhirnya terbentuk sumbat hemostatik primer. Granula cx,, selain melepaskan
sistem kanal yang terbuka. Senyawa
yang akan mengakibatkan pengaktifan lebih lanjut, sehingga makin banyak trombosit yang diaktifkan. Selain
berinteraksi dengan trombosit, beberapa senyawa juga berinteraksi dengan sel endotel terdekat. Formasi pseudopodia ini meningkatkan adhesi trombosit (trombosit melekat pada permukaan bukan trombosit, misalnya pada kolagen/membran basalis), maupun agregasi (interaksi antar
trombosit).
FDP,
Fibrin/Fibrinogen Degradation Products;
ADP, Adenosin Difosfat Setelah terjadi adhesi trombosit, selanjutnya akan dilepas ADP. Proses ini bersifat reversibel, yang terlihat sebagai
lntegrin
. .
o
.
GPla/lla: reseptor kolagen GPlb/lX-V: reseptorfaktor vW GPllb/llla: reseptorfibrinogen
o
. .
o
. .
. . .
P-selektin
Protein
.
Amin biogenik Serotonin Histamin Katekola
Faktor trombosit 3 dan 4 Btromboglobulin PDGF Plasminogen Fibrinogen Protein plasma (albumin, lgG) Faktor vW
mrn
Nukleotid adenin o ADP ATP AMP siklik Kation: Ca** Tromboksan A2
. .
GP, glikoprotein; PDGF, Platelet-derived groMh factor; ADP, adenosine diphosphate; ATP, adenosine triphosphate; AMP, adenosine monophosphate
faktor prokoagulan dan produk yang mengaktifkan trombosit, juga melepas PDGF Qtlatelet-derived growth factor), yang kemudian terikat dengan reseptor, yang akan menghambat sekresi trombosit maupun agregasi yang diinduksi oleh trombin.
Jalur Biokimia dan Fungsi lntraselTrombosit AMP siklik merupakan modulator kunci fungsi trombosit. Peranan dari senyawa ini menggabungkan protein yang tergantung AMP siklik, untuk membentuk aktivitas kinase.
Kinase sendiri berfungsi untuk fosforilasi protein reseptor, yang akhirnya mengikat kalsium. Apabila kalsium dalam sel trombosit terikat, trombosit bersifat hipoagregasi dan
hipoadhesi. Epinefrin, trombin, kolagen, dan serotonin menghambat enzim adenilat siklase, yang bertanggung j awab untuk konversi AIP menjadi AMP siklik. Hambatan
ini
mengakibatkan penurunan konsentrasi kinase,
penurunan fosforilasi protein reseptor, peningkatan ion kalsium, yang akhirnya berakibat hiperagregasi trombosit. Enzim yang bertanggung jawab mengubah AMP siklik menj adi bentuk inaktif adalah fosfodiesterase. Dipiridamol, suatu obat antitrombosit, menghambat fosfodiesterase. Pada kondisi seperti
ini, konsentrasi AMP siklik, kinase,
dan protein reseptor yang telah mengalami fosforilasi meningkat. Akibatnya kalsium dalam trombosit akan terikat, trombosit menj adi hipoaktif .
t296
HEMAIOLOGI
vasokonstriktor yang poten. Pada sel endotel danjaringan subendotel. pro\tasiklin sintetase mengubah PGH2 menjadi prostasiklin. sr-rLtu rn hibitor agregasi dan vasodilator yang potcn Aspirin clan n si s ulfinpirazon, merupakan anti trombos i t y an-u be rt -u menghambat enzim siklooksigenase. Kedua antitrombosit ini bersifat selektif, dimana l)Vc aktivttas diarahkan ke
Adesi trombosit
I
Reaksi pelepasan awal
I
r-r
+_-^
ADP
:"*'''i'*"]----' Peningkatan reaksi
pelepasan
I
ADP'
-
)
Serotonin/
Aktivitas fosfolipid trombosit
Vasokonstriksi
trombosit, dan hanya sekitar 307c diarahkan ke scl cnclotcl Hal ini yang memungkinan sel endotel mampu melanjutkan sintesa prostaglandin, sedangkan trombosit tidak. Adenilat siklase adalah enzim yang mengr-rbah ATP menjadi AMP siklik. Tromboksar.r A.2 merupaktrn inhibitor adenilat siklase yang poten, dan sebaliknya. prostasiklin
merupakan stimulator adenilat siklase yang potcn.
Predisposisi terjadinya trombosis atau perdarahan
+
tergantung konsentrasi relatif ke dua senyawa tersebut. Interaksi trombosit dengan pembuluh darah (adhesi), atau dengan trombosit yang lain (agregasi), serta dengan protein plasma terjadi pada permukaan membran trombosit dengan mediator glikoprotein yang terdapat pada membran
trombosit.
.
Gambar 2. Fungsi trombosit (Bick FlL. 2002)
Glikoprotein IalIIa merupakan salah satu reseptor adhesi dari trombosit (integrin). Peranan GPIaflIa untuk
adhesi trombosit kurang dominan, terbukti bahwa kelainan kongenital, dimana tidak didapatkan GPIa/lla,
tidak mengakibatkan timbulnya perdarahan yang
Menghambat
Adenilat siklase
+
(Epl, Trombin, kolagen,5-HT)
.
I I
t ATP
_
Prolein tergantung AN4P siklik
inaktif
i**irf,bin
&ADP
.
ATP
\-=_l____==l 'r)
Fosforilasi
Protein reseptor (ca++ katan)
Gambar 3. Reaksi biokimiawi di dalam sel trombosit, Bick RL, 2002
Peranan Prostaglandin
dan Derifat
Prostaglandin Membran fosfolipid trombosit maupun sel endotel diubah menjadi asam arakidonat oleh enzim fosfolipase,A2(PLA2) yang diaktifkan oleh trombin maupun kolagen. Asam arakidonat diubah menjadi prostaglandin G2(PGG2) dan prostaglandin H2 (PGH2) oleh enzim siklo-oksigenase. Pada membran trombosit, tromboksan sintetase mengubah PGH2 menjadi tromboksan A2, suatu agen agregasi yang poten. Sef ain itu, tromboksan A2 juga berfungsi sebagai
. .
berarti.
GPIb/IX-V dan GPIIb/llIa mempunyai peranan yang jauh lebih penting. GPIb/IX-V merupakan faktor adhesi yang utama, sedangkan GPIIb/IIIa merupakan mediator agregasi yung qangat penting. Pada sindrom Bernard-Soulier. tidak ditemukan GPIb dan GPIX. GPIb mempunyai beberapa fungsi: (i) kompleks CPIb/lX berfungsi sebagai reseptor untuk faktor vW (pada respon terhadap injuri, terjadi adhesi trombosit pada subendotel melalui ikatan GPIb/IX dan faktor vW.;; (ii) sebagai reseptor untuk antibodi yang tergantung kinin dan kinidin, seperti yang terjadi pada trombositopenia akibat kinin atau kinidin; (iii) befungsi sebagai bagian dari komplek reseptor-trombin dari trombosiL.
GPV sangat penting dalam pengaktifan trombosit oleh trombin.
Komplek GP llb/llla terdapat pada granula a maupun pada membran trombosit. Keduanya merupakan subunit dari suatu glikoprotein tunggal. GPIIb merupakan protein yang dalam fungsinya sangat tergantung ion kalsium. Pada trombastenia Clanzman, GP IIb/IIIa tidak ada atau dalam keadaan menurun. GP
IIb/IIIa merupakan
reseptor fibrinogen, dan.luga berfungsi sebagai tempat ikatan antibodi PLAI. Ikatan fibrinogen pada IIb/IIla diperlukan untuk agregasi trombosit yang optimal yang diinduksi oleh ADP. GPIIb/IIIa juga terikat pada faktor vW dan fibronektin.
t297
DASAR-DASAR HEMOSTASIS
Fosfolipid Trombin xolagen 1 Fosfotipase A Iv\.-\Z- --.,-t
lvlembran
FUNGSIPROTEIN PLASMA Fungsi protein plasma dalam hemostasis meliputi berbagai sistem:
. . . . .
Asam arakidonat
protein koagulasi enzimfibrinolisis
inhibitor komplemen
kinin
Pembentukan kinin dan pengaktifan komplemen dianggap tidak penting dalam kelainan trombohemoragik.
Protein Koagulasi Gambar 4. Prostaglandin dalam fungsi trombosit dan sel endotel (Bick RL, 2002)
Glikoprotein
tb
Fringsi Reseptor untuk subendoiel yang tidak tergantung F.vW Reseptor
FvW lla ilb
llla
IX
Reseptor vW dan fibrinogen Reseptor vW dan fibrinogen Reseptor untuk trombin Reseptor trombin
Karakteristik
Pada sindrom BernardSoulier, GP lb tidak terdapat Pada trombastenia Glanzmann, GP llb tidak terdapat Pada trombastenia Glanzmann, GP llla tidak terdapat Pada sindrom BernardSoulier, GPV tidak terdapat Pada sindrom BernardSoulier, GPIX tidak terdapat
(?)
Proteinkoagulan, lebih sering ditulis dalamhuruf Romawi, meskipun beberapa diantaranya tidak mempunyai angka Romawi. Pembentukan fibrin, bisa digambarkan terdiri atas empat reaksi kunci yakni: . pembentukan F.IXa (pengaktifan lewat sistem kontak)
. . .
pembentukan F.Xa pembentukan trombin (F.IIa) pembentukan fibrin
Konsep
ini
koagul
i.
as
sangat membantu dalam memahami sistem
Pembentukan faktor IXa, Pengaktifan lewat kontak dari jalur intrinsik diawali dengan pengaktifan t'aktor XII (faktor Hageman). Fosfolipid, kolagen, kolagen subendotel, dan kalikrein mampu mengubah F.XII menjadi F.XIIa (a:aktif).
F.XIIa, merupakan serin protease, yang kemudian mengubah F.XI menjadi F.XIa. Reaksi ini akan terjadi cepat bila terdapat kininogen dengan berat molekul tinggi (highmolecular-weight kininogen), namun bila tidak ada akan
terjadi lambat. F.XIa, bersama ion kalsium mengubah F.IX menjadi F.IXa. F.IXa merupakan enzim yang berfungsi unhrk pembentukan F.Xa. Perlu ditambahkan bahwa F.XIIa sendiri dapat mengubah prekalikrein menjadi kalikrein, sehingga dapat mengubah lebih banyak F.XII menjadi F.XIIa.
Pembentukan faktor Xa. Pembentukan F.Xa melibatkan dua jalur utama, intnnsik dan ekstrinsik. Jalur ekstrinsik Nomor
Nama
Bentuk aktif
faktor
I ll lll V Vll VlllC lX X Xl Xll Xlll
Fibrinogen Protrombin Faktor jaringan Proaselerin Prokonvertin Faktor antihemofili Faktor Christmas Faktor Stuart-Prower Plasma thromboplastin antecedent Faktor Hageman Faktor yang menstabilkan fibrin
Fitzgerald Kininogenberat
Fletcher
molekul tinggi Prekalikrein
Fibrin
Protease serin Reseptor/kofaktor Kofaktor Protease serin Kofaktor Protease serin Protease serin Protease serin Protease serin Transg lutam inase
Kofaktor Protease serin
melibatkan tromboplastin (faktor jaringan, tis sue factor,TF),
F.VII, dan ion kalsium. Faktor jaringan terdiri
atas
protein
yang terikat pada membran lipoprotein, berada dalam kondisi
terproteksi pada membran sel endotel. Bila terjadi injuri, faktorjaringan dilepas dalam sirkulasi, bersama ion kalsium membentuk kompleks dengan F.Vtr menjadi TF/F.VIIa. F.VIIa
ini kemudian mengaktifkan FIX maupun FX. Pengaktifan FX (menjadi F.Xa) mengakibatkan pembentukan trombin dalam jumlah kecil. Trombin yang terbentuk ini akan meningkatkan proses koagulasi dengan mengaktifkan kofaktor V dan VIII. Jalur amplihkasi yang melibatkan faktor
VIII
dan faktor IX dapat dianggap sebagai suatu peranan yang dominan dalam meningkatkan produksi faktor Xa. Trombin juga dapat mengaktifkan faktor XI, yang dapat meningkatkan produksi faktor IXa.
L298
HEMAIOI,.OGI
Peran kofaktor dalam hal ini untuk menjamin bahwa hanya
Sistem kontak XII, PK, HK
XI
enzim dan substrat yang tepat yang akan masuk dalam komplek pembentukan. Sebagai contoh, adanya faktor V memungkinkan F.Xa bereaksi dengan F.II. Pembentukan F.Xa dan trombin tergantung pada beberapa faktor yang tergantung vitamin K (faktor II, VII, IX, dan X). Faktorfaktor ini disintesis dalam parenkim sel hepar.
v .Xlla
I
^'' f<-
Pembentukan Fibrin. Trombin melepaskan dua peptida kecil dari fibrinogen, yaitu fibrinopeptid A dan B, dan terbentuklah fibrin monomer. Fibrin monomer
X ---------------> Xa + V
berpolimerisasi dengan membentuk agregasi " end to end" dan "-cide to side", yang bersifat larut (soluble fibrin), yang larut dalam 5M urea atau asam monoklorasetik tr%.
Pembentukan fibrin monomer yang larut disebut polimerisasi l. Fungsi lain dari trombin yang penting ialah mengaktilkan faktor XIII menjadi faktor XIIIa. Faktor XIIIa D-dimer
mengubah fibrin yang larut menjadi tidak larut. Peristiwa ini disebut polimerisasi II.
Sistem Fibrinolisis Gambar 5. Kaskade koagulasi Van Gorp ECM, 1999 (dengan modifikasi). PK, prekalikrein; HK, kininogen berat molekul tinggi; TF, faktor jaringan; TFPI, inhibitor jalur faktor jaringan; AT, anti trombin; TAT, komplek trombin-anii trombin; PCa, protein C aktif; F1+2, fragmen protrombin 1+2; D-dimer, produk pemecahan fibrin; FPA, fibrinopeptid A;
Pembentukan F.Xa lewat jalur intrinsik membutuhkan lima komponen: substrat (F.X), enzim (F.IXa), kofaktor
(F.VIII:C), permukaan (faktor trombosit 3), ion kalsium.
Faktor jaringan dan inhibitor jalur faktor jaringan
Sistem fibrinolisis berfungsi menghancurkan bekuan fibrin. Plasmin mempunyai afinitas yang sama terhadap fibrin maupun fibrinogen, memecah keduanya menjadi produk degradasi fibrin/fibrinogen t$b rin/Jib r ino g e n de g radationproducls,FDP). Plasmin juga memecah F.Y V[I. IX dan XI, hormon adenokortikotropik (ACTH), hormon pertumbuhan, insulin dan masih banyak lagi protein yang lain. Dalam sistem fibrinolisis terdapat dua jalur pengaktifan fisiologik: (i) melibatkan aktivator plasminogen (tissue
plasminogen activator,t-P{);
(ii) melibatkan F.XIIa
(Hageman). F.XIIa mengubah prekalikreir menjadi kalikrein,
(tissue factor pathway inhibilor,TFPI). Pembentukan F.Xa lewat jalur ekstrinsik melibatkan faktorjaringan, F.VII, ion kalsium, dan TFPI. Faktor janngan bisa berasal sel endotel,
palsmin.
sistem monosit/makrofag, maupun sel ganas. Faktor jaringan akan terbentuk bila terjadi suatu injuri atau rangsangan, misalnya: induksi sitokin (IL-la, TNF a),
farmakologik yang sering digunakan untuk trombolisis, misalnya streptokinase, urokinase, t-PA, dan acyl-
pengaktifan komplemen, terutama C5a, lipopolisakarida, dan
komplek imun dalam sirkulasi. Faktor jaringan diaktifkan atau dilepas untuk mengaktifkan F.VII menjadi F.VIIa, membentuk komplek dengn F.VII bersama ion kalsium. Komplek TF/F.VIIa mampu mengaktifkan baik F.X maupun F.IX menjadi F.Xa dan F.IXa. Sebagai tambahan, F.Xa dapat mengubah kompleks TF/F.VII menjadi kompleks TFTVIIa, sehingga meningkatkan potensi dalam mengaktifkan F.IX dan F.X. Proses aktivasi yang dimediasi injuri ini dihambat oleh TFPI. Terdapat beberapa sel sebagai sumber TFPI: sel endotel (sumber utama), hepatosit, paru, ginjal, monosit, dan kandung kencing.
Pembentukan trombin. Dalam reaksi ini dibutuhkan: substrat (F.II), enzim (F.Xa), kofaktor (F.V), faktor trombosit 3 atau
fosfolipid lain, ion kalsium
Semua faktor ini membentuk kompleks pada permukaan
fosfolipid untuk membentuk trombin, suatu enzim baru.
selanjutnya kalikrein mengubah plasminogen menjadi
Di dalam klinik, terdapat beberapa aktivator plas mino
g e n- s t re p
tokinas e ac tiv ato
r c omplex (APSAC).
Urokinase secara langsung mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin, tetapi streptokinase membentuk
kompleks streptokinase-plasminogen, selanjutnya komplek ini kemudian mengubah plasminogen menjadi plasmin. Sistem fibrinolisis dimodulasi oleh sejumlah inhibitor: (i) cr2-antiplasmin (u2-AP), yang menghambat kerja plasmin; (ii) cx2-makroglobulin; (iii) inhibitor aktivator
plasminogen, (plasminogen activator inhibitor type 1, PAI-1). PAI-1 merupakan modulator yang menghambat tPA dan aktivator plasminogen urokinase. Fibrinogen terdiri atas beberapa bagian, A-a dan B-b serta rantai g dengan peptida A dan peptida B. Pada awalnya fibrin dan fibrinogen dipecah menjadi fragmen X. Pemecahan berikutnya menghasilkan fragmen Y dan fragmen D, dan pemecahan terakhir menghasilkan fragmen D (lain) dan fragmen E. Fragmen X, Y, D, dan E secara klinik merupakan FDP yang dapat diukur. Adanya FDP
L299
DASAR-DASAR HEMOSTASIS
;kbrxil -----------
raklorxtta
Prekalikrein I
-__________f.
z
mempunyai peranan penting dalam penyakit trombohemoragik. Sistem komplemen dapat meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah, mengakitratkan hipotensi dan syok, suatu kejadian yang sering terjadi pada
t'r**-"]
koagulasi intravaskular diseminata (disseminated intravasculctr coag,ulation,DIC) dan kelainan
F;;-l
trombohemoragik yang lain. Pengaktifan komplemen C8-9
(lnaktif)
l l
n
Biodegradasi (Faktor V, Vll, lX, dll) I I
l
I
Gambar 6. Fisiologi dari sistem tibrinolisis. Bick BL, 2002. t-PA,
tissue plasminogen activator; PAI-1, plasminogen activaior inhibitor-1
(fase "attack") dapat mengakibatkan lisis osmotik dari eritrosit dan trombosit. Kondisi seperti ini dapat meningkatkan materi prokoagulan, yang akhirnya akan meningkatkan proses koagulasi. Sebagai contoh, lisis eritrosit yang diinduksi komplemen, akan melepas membran fosfolipoprotein maupunADP, dimana keduanya berfungsi sebagai prokoagulan. Lisis trombosit akan mengakibatkan
pelepasan ADP, yang juga meningkatkan aktivitas koagulasi. Sistem komplemen terdiri atas suatu reaksi seri yang
terjadi secara berurutan seperti pada reaksi koagulasi.
rnenunjukkan suatu kondisi klinik yang serius, di mana terdapat gangguan polimerisasi fibrin monomer dan fungsi trombosit.
Pengaktifan C1 sampai C5 disebutfase aktivasi; sedangkan pengaktifan C5 sampai C9 disebut fase "attack" . F.XIIa dapat mengubah prekalikrein menjadi kalikrein,
yang selanjutnya mengubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin dapat mengaktifkan C1 atau C3. Aktivasi
Sistem lnhibitor Sistem koagulasi diatur oleh sejumlah inhibitor. Inhibitor ini berfungsi membatasi reaksi koagulasi yang berlebihan, agar
pembentukan
fibrin terbatas disekitar daerah
yang
mengalami injuri saja, untuk mencegah terjadinya kondisi patologi. Beberapa inhibitor penting dalam sistem koagulasi: antitrombin fII (ATItr), protein C (PC), protein S (PS). . AIIII merupakan inhibitor koagulasi fisiologik yang kuat, terdiri atas glikoprotein yang disintesa oleh hepar. ATIII menghambat aktivitas trombin (IIa), F.Xa, dan dalam tingkatan yang lebih rendah juga menghambat IXa, XIa, XIIa, dan kalikrein. Fungsi inhibitor ini menjadi semakin kuat dengan adanya heparin. . Protein C merupakan zimogen (praenzim), disintesa di hepar, tergantung vitamin K. Protein C diaktifkan oleh
trombin bersama dengan ion kalsium
.
dan
komplemen yang diinduksi oleh plasmin mengakibatkan kondisi klinik yang serius.
ini
dapat
Hubungan Pengaktifan Kinin dan Koagulasi Kinin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, mengakibatkan dilatasi pembuluh darah, syok, serta kerusakan organ. Seperti halnya aktivasi komplemen, pembentukan kinin berpusat pada faktor XII. F.XIIa mengubah prekalikrein menjadi kalikrein. Kalikrein mengubah kininogen menjadi kinin. F.XIIa juga diubah menjadi fragmen F.XIIa oleh plasmin. Fragmen ini juga mengaktifkan prekalikrein menjadi kalikrein, sehingga makin meningkatkan pembentukan kinin.
PEMEBIKSAAN PENYARING UNTUK FUNGSI HE-
trombomodulin yang terletak di permukaan sel endotel. PCa selanjutnya akan menghambat F.Va dan F.VIII:C.
MOSTAS!S
Aktivitas ini memerlukan permukaan fosfolipid, ion
Kelainan hemostasis dengan perdarahan abnormal dapat
kalsium, dan sangat ditingkatkan oleh protein S. PCa juga bekerja aktif selama terjadi proses fibrinolisis
merupakan:
dengan jalan menghambat inhibitor aktivator
gangguan fungsi trombosit, Kelainan koagulasi Sejumlah pemeriksaan sederhana dapat dikerjakar untuk menilai fungsi trombosit, pembuluh darah, serta komponen koagulasi dalam hemostasis. Pemeriksaan penyaring ini meliputi:pemeriksaan darah lengkap (complete blood count, CBC), evaluasi darah apus, waktu perdarahan, waktu protrombin (prothrombin time, PT), activated partial thromboplastin time (aPTT),
plasminogen (PAI-l ). Protein S, juga disintesa di hepar, tergantung vitamin K. Protein S dalam sirkulasi berfungsi sebagai kofaktor protein C.
Hubungan Pengaktifan Komplemen dan Hemostasis Meskipun pengaktifan sistem komplemen tidak termasuk
bagian integral dari fisiologi hemostasis, namun
Kelainan pembuluh darah, Trombositopenia atau
agregasi trombosit.
Pemeriksaan darah lengkap dan evaluasi darah apus.
1300
HEM'IiIOI.OGI
Trombositopenia sering merupakan penyebab perdarahan
abnormal, oleh karena
itu pada pasien yang diduga
menderita kelainan perdarahan, pertama kali harus dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap dan pemeriksaan apusan
darah perifer. Selain untuk memastikan adanya trombositopenia, dari pemeriksaan darah apus dapat menunjukkan kemungkinan penyebab yang jelas seperti
adrenalin.
Pemeriksaan Fibrinolisis. Peningkatan aktivator plasminogen dalam sirkulasi dapat dideteksi dengan memendeknya euglobulin clot lysis time.Beberapa tehnik imunologik digunakan untuk mendeteksi produk degradasi dari fibrin maupun fibrinogen (D-dimer).
misalnya leukemia.
Pemeriksaan penyaring sistem koagulasi. Pemeriksaan penyaring meliputi penilaian jalur intrinsik dan ekstrinsik dari sistem koagulasi dan perubahan dari fibrinogen menjadi
nbrin. . Waktu protrombin (PT) mengukur faktor
.
.
Waktu trombin (TT)
nonnalized ratio). aPTT mengukur faktor VItr, D( )il, dan )ilI, selain faktor V, X, protrombin dan fibrinogen. Nilai normal aPTT antara 30-40 detik, Perpanjangan dari PT dan aPTT yang disebabkan karena
defisiensi faktor koagulasi dapat dikoreksi dengan penambahan plasma normal kedalam plasma yang diperiksa. Apabila tidak dapat dikoreksi atau hanya sebagian terkoreksi, dicurigai kemungkinan adanya inhibitor koagulan. Waktu trombin(thrombintime,TT) cukup sensitif untuk menilai defisiensi fibrinogen atau adanya hambatan terhadap trombin. Nilai normal antara 14-16 detik.
Pemeriksaan faktor koagulasi khusus. Termasuk disini misalnya frbrinogen, faktor vW, dan faktor VItr. Pemeriksaan bisa secara kuantitatif atau dengan cara membandingkan efek koreksi dari plasma yang mengandung kekurangan substrat tertentu yang mempunyai perpanjangan waktu pembekuan (PT, aPTT), dengan efek koreksi terhadap plasma normal, yang hasilnya dinyatakan dengan persentase aktivitas normal.
Waktu perdarahan. Waktu perdarahan berguna untuk pemeriksaan fungsi trombosit abnormal misalnya pada
defisiensi faktor vW. Pada trombositopenia, waktu perdarahan juga akan memanjang, namun pada perdarahan abnormal yang disebabkan kelainan pembuluh darah, waktu
perdarahan biasanya normal. Pemeriksaan dilakukan dengan cara memberi tekanan pada lengan atas dengan memasang manset tekanan darah. Setelah itu, dibuat insisi kecil pada daerah fleksor lengan bawah. Pada keadaan normal, perdarahan akan berhenti dalam waktu 3-Smenit.
Pemeriksaan fungsi trombosit. Tes agregasi trombosit merupakan pemeriksaan yang mempunyai nilai penting. Tes
ini mengukur penurunan penyerapan sinar pada plasma kaya trombosit sebagai agregat trombosit. Agregasi primer berasal dari rangsangan agen eksternal, sedangkan respon
sekunder berasal dari agen yang dilepas dari dalam trombosit sendiri. Agen agregasi yang sering digunakan misalnya: ADP, kolagen, ristosetin, asam arakidonat dan
Penyebab kelainan yang paling sering
perpanlangan
VII, X, V
protrombin dan fibrinogen. Nilai normal 10-14 detik. Nitai PT sering diekspresikan sebagai INR (international
.
Abnormalitas yang
Pemeriksaan ditunjukkan penyaring dengan Defisiensi atau abnormal dari fibrinogen Hambatan trombin oleh heparin atau
Koagulasi intravaskular diseminata Terapi heparin
FDP
Waktu protrombin (PT)
Actifated partial thromboplastin trme (aPTT atau PTTK)
Defisiensi atau hambatan dari salah satu atau lebih dari faktor koagulasi: Vll, X, ll, fibrinogen Defisiensi atau hambatan dari salah satu faktor koagulasi: Xll, Xl, tx, vilt, x, v, ll, fibrinogen
Penyakit hepar Terapi warfarin
Hemofllia, Christmas dlsease
REFEBENSI Catalano PM. Coagulation physiology and hemorrhagic disorders In: Besa EC, Catalano PM, Kant JA, Jefferies LC. Hematology
Baltimore, Williams & Wilkins, 1992.p.223-35. Colman RW, Clowes AW, George JN, Hirsh J, Marder VJ. Overview iof hemostasis. In:Colman RW, Hirsh J, Marder VJ, Clowes AW, George JN. Hemostasis and thrombosis. 4'h Ed.Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. 2001.p.3-16. Bick RL, Murano G Physiology of thrombosis. In: Bick RL. Disorders of thrombosis & hemostasis. 3'd Ed Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2O02.p.1-29. Griffin J. Immunology and Haematology,2d Ed London: Elsevier Science, 2003.p.1 1 5-29.
Hillman RS, Ault KA. Hematology in clinical practice. 3'd Ed. New York. McGraw-Hill. 2002.p.301-15. Hoffbrand AV Pettitt JE, Moss PAH. Hematology. 4d Ed. London. Blackwell, 2001:236-49. Martinez J, Garcia-Manero G. Principles of Hemostasis and thrombosis In: Spandorfer J, Konkle B, Merli GJ. Management and prevention of thrombosis in primary care New York. Oxford University Press, 2001.p.1-13. van Gorp ECM, Suharti C, ten Cate H, Dolmans WMY van der
Meer JWM, ten Cate JW,et al. Infectious disease coagulation disorders. JID i999;180:176-86. Van Gorp ECM, Minnema MC, Suharti C, Mairuhu
AIA,
and
Brandjes
DPM, ten Cate H, Hack CE, Meijers JCM. Activation of coagulation factor XI, without detectable contact activation in dengue hemorrhagic fever. BJ Haematol 2001;113:94-9.
205 PATOGENESIS TROMBOSIS Karmel L. Tambunan
PENDAHULUAN Untuk dapat memahami trombosis, pengetahuan mengenai dasar-dasar hemostasis sangat diperlukan. Dalam keadaan normal, darah berada dalam sistim pembuluh darah, dan berbentuk cair. Keadaan ini dimungkinkan oleh faktor
hemostasis yang
menghubungkan trombosit yang berdekatan satu lain dan kemudian terjadi agregasi trombosit dan membentuk plak trombosit yang menutup luka,/trauma.Sumbatan bersifat sementara (temporer). Proses ini kemudian diikuti proses hemostasis sekunder (Gambar l dan Gambar2).
terdiri dari hemostasis primer.
[L-t--rk;.krtril
I inluri
hemostasis sekunder.dan hemostasis tersier. Hemostasis primer terdiri dari trombosit dan pembuluh darah. Disebut hemostasis primer karena yang pertama teriibat dalam proses penghentian perdarahan bila terjadi luka atau trauma.Hemostasis primer dimulai dengan v asokonstriksi pembuluh darah dan pembentukan trombosit plak menutup luka dan menghentikan perdarahan. Vasokonstriksi menyebabkan aliran darah menjadi lebih lambat pada daerah yang luka atau trauma. Keadaan ini
I
l:--=_
Subendotelium terpapar
akan mempermudah trombosis pada reseptor trombosis Gp I b menempel pada subendotel pembuluh darah (adhesi)
dengan perantaraan faktor von Willebrand. Trombosit yang teraktivasi ini menyebabkan reseptor trombosit Gp IIb/IIIa siap menerima ligan fibrinogen dan fibrinogen
Gambar 1: Hemostasis sepintas
Trombomodulin Protein C and S
Gambar 2. Hemostasis
1301
-.----'. Faktor jaringan terpapar
t302
HEI\{IffOI.OGI
Hemostasis sekunder terdiri dari faktor pembekuan dan
Patogenesis Trombosis
anti pembekuan" Hemostasis sekunder dimulai dengan aktivasi koagulasi melalui jalur ekstrinsik dan intrinsik.Jalur ekstrinsik yaitu jaringan yang terlepas terikat pada FVII dan menyebabkan FVII menj adi aktif .F. VIIa. mengaktitkan F.X menjadi F.xa. dan besama F.V dan PF3 membentuk kompleks
protrombinase Selain mengaktifkan FX, FVIIa juga mengaktilkan F.IX menjadi F.IXa dalam jalur intrinsik. Kompleks protrombinase akan mengaktifkan protrombin menjadi trombin dan trombin akan memecahkan fibrinogen menj adi fibrin.Fibrin akan menggantikan sumbat trombosit sampai terjadi penyembuhan luka. Migrasi dan proliferasi sel terjadi pada jaringan yang rusak untuk penyembuhan luka. Hemostasis tersier yaitu sistem fibrinolisis akan diaktifkan dan menyebabkan lisis dari fibrin dan endotel
menjadi utuh. Pada umumnya proses penyembuhan berlangsung dalam waktu l4 hari, Kelainan hemostasis menyebabkan perdarahan atau trombosis (Gambar 3). Pada uraian berikutnya yang akan dibahas adalah trombosis. Trombosis yaitu proses pembentukan trombus atau adanya trombus dalam pembuluh darah atau ruang j antung .Trombosis dapat terjadi pada arteri dan vena Trombosis pada arteri disebut trombus putih karena
komposisinya selain fibrin didominasi oleh trombosit. Berbeda dengan trombus pada vena disebut trombus merah karena komposisinya selain fibrin didominasi oleh sel darah merah.
Gambar 4. Patogenesis trombosis
Dimulai
stimulasi
I gt-rh.l I
')
Trombosis
rrombosit Fq.-:me
l-irooflTsill+terjadr
I
%_-l
Gambar 5. Keseimbangan stimulasi dan proteksi trombosis
Trombosis Arteri Faktor merangsang atau faktor risiko trombosis, yaitu:
Gangguan Hemostasis
Endotel pembuluh darah yang tidak utuh. Endotel pembuluh darah yang utuh akan mencegah trombosit menempel pada endotel pembuluh darah. Sebaliknya pembuluh darah yang terganggu atau tidak utuh merupakan
faktor risiko trombosis. Sel endotel akan kehilangan kemampuan mencegah trombosis bila distimulasi oleh enzim
seperti trombin,hipoksia, shear stres, oksidan, sitokin seperli interleukin-1 (IL-1), faktor nekrosis tumor (TNF), Trombosis
Gambar 3. Gangguan hemostasis
PATOGENESIS TROMBOSIS Patogenesis trombosis arteri dan vena berbeda. Selain dari faktor aliran darah,faktor risiko dan pembuluh darah sendiri
turut berperanan. Oleh karenanya patogenesis masing masing akan dibicarakan tersendiri. Misalnya akibat perbedaan aliran darah, pada pembentukan trombus vena tidak dibutuhkan faktor von Willebrand sebaliknya pada trombus arteri. Trombosis terjadi bila terjadi gangguan keseimbangan antara yang merangsang trombosis dan yang mencegah
trombosis.
dan interferon gamma, hormon sintetik seperti desmopresin
asetat, dan endotoksin. Induksi sintesis plasntinogen aktivator inhibitor-l (PAI-1) akan menghambat aktivator plasminogen mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin sehingga fibrinolisis berkurang. Trombomodulin yang terikat pada permukaan endotel juga akan berkurang oleh
sitokin dan endotoksin yang menyebabkan aktivasi protein C terganggu. Semuanya ini akan menyebabkan kecenderungan untuk terjadi trombosis (Gambar 6). Trombosit yang teraktivasi. Trombosit yang aktif IIb/IIIa menerima ligan
menyebabkan reseptor Gp
fibrinogen dan fibrinogen akan menghubungkan trombosit yang berdekatan satu sama lain dan terjadi agregasi trombosit.
Defisiensi antipembekuan. Terdapat antipembekuan alamiah di dalam tubuh yaitu Antitrombin III (ATIII),
1303
PATOGENESISTROMBOSIS
Stres Endotoksin hemodinamik
Endotel yang utuh mensekresi berbagai zatyatgberperan mengharnbat trombosis. Endotel mensekresi prostasikilin, nitrit oxide (NO), trombomodulin, enzim adeno sin difu sfat (ADP), heparan dan tissue plasminogen activator (t-PA)
Bakteri
dan
Sitokin
dan urokinase plasminogen aktivator (u-PA)" Prostasiklin menyebabkan vasodilatasi dan menghambat agregasi trombosit. NO juga menyebabkan vasodilatasi dan menghambat agregasi trombosit. Enzim ADP akan mengubah ADP menjadi adenosin monofosfat (AMP)
sehingga menghambat aktivasi trombosit.
Trombomodulin bersama trombosit akan mengaktifkan Protein C menjadi Protein C aktif . Protein C aktif bersama kofaktor Protein S akan menghambat F.V aktif dan F.VIII aktif. Heparan bersama AI III akan menghambat faktor
Gambar 6. Faktor yang merusak endotel
Protein C, Protein S dan makroglobulin alfa 2. Defisiensi antipembekuan akan menyebabkan darah cendrung mengalami trombosi s yang disebut trombofilia.Bedakan dengan hemofilia yang cenderung mengalami perdarahan.
Xa dan trombin. t-PA akan mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin dan plasmin akan melisis fibrin. Endotel
juga mensintesis endotelin yang mengatur tonus pembuluh darah yang menyebabkan vasokonstriksi (Gambar8).
Klirens faktor pembekuan aktif berkurang. Faktor pembekuan aktif dibersihkan di dalam tubuh sehingga
Trombosit normal. Trombosit tidak akan menempel pada
jumlahnya berkurang dan proses aktavasi koagulasi akan
sel endotel yang normal:
berkurang.
Anti pembekuan yang cukup. Antikoagulan yang cukup
Sistem fibrinolisis berkurang. Fibrinolisis yang berkurang
akan menghambat proses koagulasi sehingga tidak terjadi pembentukan fibrin.
akan menyebabkan
fibrin yang dibentuk akan terus
bertambah dan menyebabkan trombosis. Stagnasi. Aliran darah yang lambat merupakan faktor risiko
trombosis.Mekanisme
ini dapat dilihat pada trombosis
Klirens faktor pembekuah aktif yang adekuat. Klirens faktor koagulasi aktif akan mengurangi terjadinya pembentukan fibrin
vena.
Fibrinolisis yang adekuat. Fibrinolisis yang adekuat akan
Umumnya faktor yang mencegah trombosis merupakan kebalikan dan yang menstimulasi trombosis, antara lain:
menghancurkan fibrin yang sudah ada sehingga tidak terjadi pembentukan trombus.
Endotel yang Utuh. Sebagaimana sudah disebut
Aliran darah yang baik. Aliran
sebelumnya, endotel yang utuh merupakan faktor yang mencegah melengketnya trombosit pada subendotel.
bercampurnya antikoagulasi dan faktor koagulasi aktif sehingga proses koagulasi akan terhambat.
darah yang baik akan mudah
Agonis reseptor
Reseptor GP
lib/llla tidak aktif
Reseptor
GPllb/llla aktif Trombosit
beragregasi GP lib/llla ditempati fibrinogen yang menjembatani trombosit yang berdekatan
Gambar 7. Agregasi trombosit
L304
HEMAIOI.OGI
trktGskrlenghambatl Trombosis
lrauma Epinefrin Trombin ADP
/r
No llPGl2llADt
\
\\\/*A a
a
a
lnhibits Xa+Trombin
rtein C
I ATIII
Aktivator
+
Heparar a
a
plasminogen (tPA) (uPA)
a
Gambar 8. Endotel dan proteksi trombosis
Faktor lain yang berperanan terhadap trombosis arteri
yaitu: aterotrombosis. Faktor risiko aterotrombosis dapat digolongkan sebagai:
. . . .
.
.
Umum yaitu umur dan obesitas Genetik, jenis kelamin, danPAI Gaya hidup, rokok, diet dan kurang olahraga Inflamasi, CRP dan ligan CD 40, IL-6 meningkat, faktor protrombotik dan fibrinogen meningkat
Kondisi sistemik, hipertensi, hiperlipidemia, Lpa meningkat, homosisteinemia, estrogen. diabetes, trombofilia, sidrom hiperviskositas, sindrom leukositosis dan polisitemia Faktor lokal, pola aliran darah, shear stress, diameter pembuluh darah, struktur dinding arleri dan persentase stenosrs alten.
Gejala trombosis termasuk trombosis tergantung dari lokasi dan besarnya trombus.Trombosis pada arteri serebral akan mengakibatkan Transient ischemic attack (TIA) atal strok iskemik.Trombosis pada arteri koroner mengakibatkan angina pektoris atau infark miokard. Trombosis pada arteri perifer akan menyebabkan klaudikasio intermiten atau nekrosis/gangren.
Trombosis Vena Trombus vena biasanya dimulai di vena betis yang kemudian meluas sampai vena proksimal.Trombus biasanya dibentuk pada daerah aliran darah yang lambat atau yang terganggu.Sering dimulai sebagai deposit kecil pada sinus vena besar di betis pada puncak kantong vena baik di vena dalam betis maupun di paha atau pada vena yang langsung terkena trauma. Pembentukan, perluasan dan pelarutan trombus vena dan emboli paru mencerrninkan suatu keseimbangan antara yang menstimulasi trombosis dan yang mencegah trombosis. Virchow lebih dari satu abad yang lalu telah mengemukakan faktor yang berperan pada trombosis vena yang terkenal dengan TriadVirchow yaitu, koagulasi darah, stagnasi dan kerusakan pembuluh darah.
Aktivasi koagulasi melalui jalur instrinsik dapat terjadi karena kontak FXII dengan kolagen pada subendotelium pembuluh darah yang rusak. Aktivasi melalui jalur intrinsik jaringan yang rusak masuk aliran darah mengaktifkan F.VII. Baik jalur intrinsik maupun jalur ekstrinsik akhirnya akan membentuk fibrin. Pada penyakit kanker F.X dapat langsung diaktifkan oleh sistein yang dikeluarkan sel kanker.
Beberapa kelainan herediter dan kondisi tertentu disertai dengan meningkatnya faktor koagulasi dan menjadi predisposisi trombosis. Kehamilan disertai dengan meningkatnya F.II, F.VII dan F.X. Golongan darah bukan O pada sebagian populasi disertai dengan meningkatnya F.VIII. Mutasi gen protrombin menyebabkan meningkatnya kadar piotrombin. Mutasi gen protrombininiterjadi l-{Vo
pada populasi kaukasian normal dan ditemukan 4-187o pasien dengan Tromboemboli Vena. Tetapi hal serupa jarang ditemukan pada populasi Asia dan Afrika. Stasis merupakan predisposisi trombosis karena: . mencegah faktor koagulasi aktif dilarutkan oleh darah yang tidak aktif, . mencegah klirens faktor koagulasi aktif . mencegah bercampumya faktor koagulasi aktif dengan penghambatnya Stasis dapat diakibatkan oleh imobilitas, obstruksi vena dilatasi vena dan meningkatnya viskositas darah. Imobilitas dapat diakibatkan strok, atau berbaring lama. Obstruksi dapat karena kompresi dari luar atau sekunder karena trombosis vena sebelumnya. Viskositas darah meningkat karena polisitemia, disproteinemia dan fibrinogen yang meningkat. Vasodilatasi vena terjadi pada pasien vena
varikosa, orang tua terutama kalau berbaring lama, kehamilan dan estrogen.
Pembuluh Darah Rusak Trauma pada pasien merupakan faktor risiko tromboemboli
vena. Trauma pada pembuluh darah menyebabkan kerusakan endotel sebagai respon terhadap trauma dan
1305
PATOGENESISTROMBOSIS
in1'lamasi akan diproduksi sitokin. Sitokin akan nrenstimulasi sintesis PAI-1 dan menyebabkan sistem fibrinolisis berkurang. Aktivasi koagulasi dapat terjadi rnelalui jalur instrinsik yaitu terjadi kontak F.XII dengan kolagen pada subendotelium, atau melalui jalur ekstrinsik yaitu tromboplastin masuk dalam darah akibat kerusakan sel. Aktivasi koagulasi baik melalui jalur instrinsik maupun melalui ekstrinsik keduanya akan mengaktifkan F.X menjadi F.X aktifdan selanjutnya akan menyebabkan terbentuknya
fibrin. Kerusakan endotel vena juga
menyebabkan trombosit menempel pada subendotelial dan trombosit beragregasi pada lokasi akumulasi leukosit. Kolagen akan mengaktifkan F.XII, sedang trombosit mengaktifkan F.XII dan F.XI.
FAKTOR BISIKO TROMBOSIS Berdasarkan data-data yang ditemukan faktor risiko trombosis: operasi besar, operasi ortopedi, trauma, kehamilan dan
nifas, penyakit jantung, penyakit saraf, kanker dan kemoterapi pada penyakit kanker, umur, obesitas. jenis kelamin, varicose vena, riwayat tromboemboli vena, imobilisasi yang lama, golongan darah, terapi hormon, lainlain.
iskemik dan hampir separuhnya fatal. Pada studi strok akut di Cina dari 10320 pasien, 0,27o di diagnosis dengan gejala emboli paru dalam waktu empat minggu sesudah kejadian strok iskemik dan separuhny a fatal.
Kega nasa n/Ka n ker Dilaporkan bahwa keganasan merupakan f'aktor risiko untuk tromboemboli vena (VTE) yang menjalani operasi. Tetapi temyata pada pasien yang tidak menjalani operasi ditemukan VTE dan ada hubungannya dengan keganasan tadi. Pasien dengan keganasan mempunyai risiko 3kali terjadinya VTE. Hal ini karena sel kanker dapat mengeluarkan prokoagulan yang mengaktifkan koagulasi. Kanker sendiri dapat menyebabkan penekanan pembuluh darah vena. Bahkan pasien kanker yang mendapat kemoterapi akan meningkatkan terjadinya VTE.
Umur Umur lanjut disertai dengan peningkatan insiden dari tromboemboli vena (VTE). Berdasarkan hasil autopsi di satu rumah sakit ditemukan insidens emboli paru rendah lebih pada pasien lebih mudah dari 40 tahun. tetapi kemudian insidens meningkat secara tajam dengan kenaikan umur.
Operasi Operasi disertai dengan faktor risiko yang multipel untuk tromboemboli vena (VTE), prevalens meningkat dengan meningkatnya umur. Pemakaian profilaksis untuk risiko VTE, menurunkan angka kejadian VTE pada pasien yang
mengalami operasi. Pada operasi ortopedi rata-rata trombosis vena dalam (DVT) terjadi pada 50% pasien.
Kehamilan Kehamilan juga dilaporkan menyebabkan meningkatnya
risiko trombosis karena meningkatnya faktor-faktor koagulasi, F II, F VII dan F X. karena menurunnya kadar Protein S dan terhambatnya sistim fibrinolisis.
Survei lain autopsi dilakukan pada orang yang mati karena terbakar dan luka, ditemukan pada trombosis vena pada477o pasien yang lebih muda dari 45 tahun, 62Vopada pasien umur 46-75 tahun dan I 4 7o pada umut di atas lebih
75 tahun. Penelitian pada pasien pascaoperasi di rumah sakit rlilakukan scanning kaki untuk mendiagnosis DVT tanpa gejala menunjukkan meningkatnya umur menjadi
faktor risiko yang utama. Umur juga menunjukkan meningkatnya DVT yang tanpa gejala yang diagnosis ditegakkan dengan venografi pada pasien sesudah mengalami hip replucement.
Apabilu dilakukan analisis multivariat sesudah disesuaikan dengan fhktor risiko yang menyefiai seperti obesitas, ada atau tidak ada keganasan, lama anestesi, jenis operasi, dan sebelumnya ada trombosis menunjukkan
Penyakit Jantung Infark miokard dilaporkan meningkatkan kejadian DVT 20407o selama 10- 14 hari sesudah infark miokard.
Penyakit gagal jantung kongestif pada otopsi ditemukan insiden emboli paru meningkat. Pada 150 pasien
l0 dari 20 pasien yang meninggal dan diotopsi 5 diantaranya ditemukan emboli paru. Gagal jantung kongestif ditemukan menjadi faktor risiko independen untuk VTE. dengan gagal jantung kongestif
tetap ada asosiasi dengan umur.
Obesitas Obesitas dilaporkan juga merupakan faktor risiko terjadinya trombosis. Obesitas dengan indeks masa tubuh >20,9 kg/
mm2ditemukan menjadi faktor risiko independen (RR 3,0 untuk pulmonari yang bergejala dalam suatu kesehatan perawatan)
Jenis Kelamin
Penyakit Neurologi Dari 8 studi strok secara keseluruhan ditemukan 53
mengalami trombosis vena dalam. Pada 2 studi strok internasional, dari 4859 pasien ditemtkan 0,97o dengan gejala emboli paru dalam l4 hari dari mulai terjadinya strok
Vo
pasien
Tiga studi melaporkan bahwa jenis kelamin perempuan
1306
dapat menjadi faktor risiko independen yang lemah. Di Amerika insidens tromboemboli vena bergejala umumnya diturunkan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. Di Swedia, insidens trombosis vena dalam pada
laki-laki dan perempuan hampir sama. Namun demikian di inggris, kematian akibat emboli paru 50% lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Dan insiden VTE yang bergejala umumnya ditemukan lebih tinggi lakilaki daripada perempuan di Amerika Utara.
Riwayat VTE Riwayat pernah tromboeboli vena (VTE) menunjukkan hubungan yang sangat kuat dengan meningkatnya trombosis vena dalam (DVT) pascaoperasi. Dari 3 studi dan analisis multvariat ditemukan riwayat positif DVT merupakan faktor risiko independen.
lmobilisasi Studi percobaan menunjukkan stasis vena merupakan faktor penting dalam pembentukan trombus vena .Gibbs melaporkan dari hasil autopsi 253 pasien ditemukan adanya
hubungan antara lamanya berbaring dan kejadian trombosis vena . Kejadian trombosis vena pada pasien yang berbaring kurang dari satu minggu, ditemukan hanya 75Va, sedangkan pada pasien yang berbaring lebih dari satu minggu kejadian lebih
dzn8}Vo. Sindrom klas ekonomi pada mereka yang naik pesawat terbang lebih dari 6 jam juga disebut sebagai faktor risiko trombosis vena.
Gol Darah Ditemukan hubungan negatif antara golongan darah O dan VTE. Golongan darah O menunjukkan kejadian DVT kurang dibandingkan dengan populasi normal, Swedia 3 1 7o vs 39Vo, Belgia 29Vo vs 46Vo. Golongan darah bukan O disertai dengan meningkatnya kadar F.VIII dan faktor von
Willebrand, mungkin sebagai faktor penyebab meningkatnya kej adian VTE.
HEMIIilOI.OGI
REFERENSI Brandjes DPM, ten Cate JW, et al. Pre-surgical identification of the patient at risk for developing venous thromboembolism postoperatively. Acta Chir Scand. 1990;556(Supp1):18-21
Clarke-Pearson DL, Delong ER et al. Variables associated with postoperative deep venous thrombosis: a prospective study of 411 gynecology patients and creation of a prognostic model. Obstet Gynecol 1987;69:146-50. Clarke-Pearson DL, Delong ER, et al. Variables associated with postoperative deep venous thrombosis: a prospective study of 4l I gynecolog patients and creation of prognostic model. Obstet Gynecol. 1987;69: 146-50. Colman RW. Clowes AW, George JN. Overview of hemostasis in hemostasis thrombosis. Lippincott Williams Wilkins. 2001. p.
3-16.
BI, Ekman S, et al. Prevention of deep vein thrombosis after total hip replacement direct thrombin inhibition with recombinant hirudin, CGP 39393. Lancet. 1996;341;635-9. Eriksson BI, Wille-Jorgensen P, et al. A comparison of recombinant hirudin with a low molecular weight heparin to prevent thromboembolic complications after total hip replacement. N Engl J Eriksson
Med. 1997 ;331 :1329-35. Flordal PA, Bergqvist D, et al. Clinical relevance of the fibrinogen uptake test in patients having general abdominal surgery: relation to major thromboembolism and mortality. Thromb Res. 1 995;80:49 1 -7. Hirsh J, Colman RW, Marder VJ, et al. Overview of thrombosis and treatment
in
hemostasis thrombosis, Lippincott Williams
Wilkins; 2001. p. 1071-84 Kakkar W, Howe CT, et al. Deep Vein Thrombosis of the leg: Is there a "high risk" group ? Am J Surg. 1970;120:527-30. Kearon C, Salzman EW, Hirsh J. Epidemilogy, pathogenesis and natural history of venous thrombosis Hemostasis Thrombosis. Lippincott Williams Wilkins; 2001 p. 1153-1171. Lefkovits, et al. NEJM. i995:332:1553, Morrel MT, Dunnil MS. The postmortem incidence of pulmonary embolism in a hospital population Br J Surg. 1968;55:347 Sevitt S, Gallagher N. Venous thrombosis and pulmonary embolism; a clinico-pathological study in injured and burned patients. Br J Surg. 1961;48:475-89. Veth G, Meuwissen OJ et al. Prevention of postoperative deep vein thrombosis by a combination of subcutaneous heparin with subcutaneous dihydroergotamine or oral sulphinpyrazone. Thromb
Haemost. 1985154:570-3.
Hormon/Kontrasepsi oral Estrogen yang ada dalam kontrasepsi oral potensial menyebabkan trombosis karena menurunkan kadar protein S meningkatkan faktor VII, dan meningkatkan protein C resisten. Meningkatnyafaktorrisiko VTE dengan
ini berhubungan dengan pasien yang mempunyai faktor risiko tambahan misalnya faktor V kontrasepsi oral Leiden.
Veth G, Meuwissen OJ, et al. Prevention of postoperative deep vein thrombosis by a combination of subcutaneous dihydroergotamine or oral sulphinpyrazone. Thromb Haemost. 1985;54:5703. Wille-Jorgensen P, Ott P. Predicting failure of low-dose prophylactic
heparin
in general surgical procedures Surg Gynecol
1990;11 l:126-3O.
Obstet.
206 HEMOFILIA A DAN B Linda W.A. Rotty
dengan kecenderungan perdarahan otot serta sendi yang
PENDAHULUAN
berlangsung seumur hidup. Pada permulaart abad 20, Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah yang diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive pada kromosom X (Xh). Meskipun hemofilia merupakan penyakit herediter tetapi sekitar 2030Vo pasier tidak
memiliki riwayat keluarga dengan
gangguan pembekuan darah, sehingga diduga terjadi mutasi spontan akibat lingkungan endogen ataupun eksogen.
ini dikenal 2 macam hemofilia secara sex-linked recessive yaitt:'
Sampai saat diturunkan
. .
yang
Hemofilia A (hemofilia klasik), akibat defisiensi atau disfungsi faktor pembekuan VIII (F VIIIc). Hemofilia B (Christmas disease) akibat defisiensi atau
hemofilia masih didiagnosis berdasarkan riwayat keluarga dan gangguan pembekuan darah. Pada tahun 1940-1950 para ahli baru berhasil mengidentifikasi defisiensi F VIII dan F IX pada hemofilia A dan hemofilia B. Pada tahun 1970 berhasil diisolasi F VIII dari protein pembawanya di plasma, yaitu faktor von Willebrand (F vW), sehingga sekarang dapat dibedakan kelainan perdarahan akibat hemofilia A dengan penyakit von Willebrand. Memasuki abad 2I, pendekatan diagnostik dengan teknologi yang maju serta pemberian faktor koagulasi yang diperlukan mampu membawa pasien hemofilia melakukan aktivitas seperti orang sehat lainnya tanpa hambatan.
disfungsi F IX (faktor Christmas). Sedangkan hemofilia C merupakan penyakit perdarahan
akibat kekurangan faktor autos
omal
re ce
s
XI
yang diturunkan secara
sive pada kromosom 4q32q35.
Gen F VIII dan F IX terletak pada kromosom X serta bersifat resesif, maka penyakit ini dibawa oleh perempuan
(karier, XXh) dan bermanifestasi klinis pada laki-laki (pasienXhY); dapat bermanifestasi klinis pada perempuan bila kedua kromosomX pada perempuan terdapat kelainan (xnxn). Penyakit ini pertama kali dikenal pada keluarga Judah yaitu sekitar abad kedua sesudah Masehi di Talmud. Pada awal abad ke-19 sejarah modern hemofilia baru dimulai dengan dituliskannya silsilah keluarga Kerajaan Inggris mengenai penyakit ini oleh Otto (tahun 1803). Sejak itu hemofilia dikenal sebagai kelainan pembekuan darah yang diturunkan secara X-linked recessive, sekitar setengah abad sebelum hukum Mendel diperkenalkan. Selanjutnya Legg pada tahun 1872 berhasil membedakan hemofilia dari
penyakit gangguan pembekuan darah lainnya berdasarkan
gejala klinis; yaitu berupa kelainan yang diturunkan
EPIDEMIOLOGI Penyakit ini bermanifestasi klinik pada laki-laki. Angka kejadian hemofiliaA sekitar 1: 10.000 orang dan hemofilia B sekitar 1 : 25.000-30.000 orang. Belum ada data mengenai angka kekerapan di Indonesia, namun diperkirakan sekitar 20.000 kasus dari 200 juta penduduk Indonesia saat ini.
Kasus hemofilia A lebih sering dijumpai dibandingkan hemofilia B, yaitu berturut-turut mencap ai 80-857o dan 1 0l5Vo tanpa memandang ras, geografi dan keadaan sosial
ekonomi. Mutasi gen secara spontan diperkirakan mencapai 20-30Vo yang terjadi pada pasien tanpa riwayat keluarga.
KLASIFIKASI HEMOFILIA Legg mengklasifikasikan hemofilia berdasarkan kadar atau aktivitas faktor pembekuan (F VIII atau F D() dalam plasma. Kadar faktor pembekuan normal sekitar 0,5-1,5 U/dl (50-
1308
HEMATOI.OGI
150Vo); sedangkan pada hemofilia berat bila kadar faktor pembekuan < lVo, sedang 7-57o, seftaingan 5-307o. (Tabel 1) Pada hemofilia berat dapat terjadi perdarahan spontan atau akibat trauma ringan (trauma yang tidak berarti). Pada hemofilia sedang, perdarahan terjadi akibat trauma yang
ketidakmampuannya menahan gerakan berputar dan
cukup kuat; sedangkan hemofilia ringan jarang sekali terdeteksi kecuali pasien menjalani trauma cukup berat seperti ekstraksi gigi, sirkumsisi, luka iris dan jatuh terbentur (sendi lutut, siku dll).
besar, khususnya pada otot betis, otot-otot regio iliopsoas (sering pada panggul) dan lengan bawah.
Ringan
Sedang Aktivitas F Vlll/F
< 0,01 (<1)
lx- U/ml(%)
0,01-0,05 (1
> 0,05 (>5)
-5)
Frekuensi Hemofilia A (%) Frekuensi Hemofilia B (%)
70
15
'15
50
30
20
Usia awitan
< 1 tahun
1
Gejala neonatus
sering PCB
senng PCB
PCB
kejadian
jarang ICB
Jarang
-2 tahun
> 2 tahun tak pernah
sekali ICB
ICH
menyudut pada saat gerakan volunter maupun involunter. sedangkan sendi peluru lebih mampu menahan beban
tersebut karena fungsinya. Hematoma intramuskular terjadi pada otot-otot fleksor
Hematoma ini sering menyebabkan kehilangan darah yang nyata, sindrom kompartemen, kompresi saraf dan kontraktur otot. Perdarahan intrakranial merupakan penyebab utama kematian, dapat terjadi spontan atau sesudah trauma. Perdarahan retroperitoneal dan retrofaringeal yang membahayakan jalan napas dapat mengancam kehidupan.
Hematuria masif sering ditemukan dan dapat kolik ginjal tetapi tidak mengancam
menyebabkan
kehidupan. Perdarahan pascaoperasi sering berlanjut selama beberapa jam sampai beberapa hari, yang berhubungan dengan penyembuhan luka yang buruk.
DIAGNOSIS
Perdarahan otot/ sendi
tanpa trauma
trauma nngan
trauma cukup kuat
Perdarahan SSP
risiko tinggi
risiko sedang
Jarang
Perdarahan post
sering dan fatal
butuh
pada operasr
hemofi lia, meskipun terd apat 20-30Vo kasus hemofi lia terjadi
bebat dapat terjadi
besar kadang terjadi
VIII / F IX. Seorang anak laki-laki diduga menderita hemofilia jika terdapat riwayat perdarahan berulang (hemartrosis, hematom) atau riwayat perdarahan
operasr
Perdarahan oral (trauma, cabut sisi)
senng
terjadi
Keterangan: PCB = Post circumcisional bleeding; ICH = lntracranial hemorrhage
GEJALA DAN TANDA KLINIS Perdarahan merupakan gejala dan tanda klinis khas yang sering dijumpai pada kasus hemofilia. Perdarahan dapat timbul secara spontan atau akibat trauma ringan sampai
sedang serta dapat timbul saat bayi mulai belajar merangkak. Manifestasi klinis tersebut tergantung pada beratnya hemofilia (aktivitas faktor pembekuan). Tanda perdarahan yang sering dijumpai yaitu berupa hemartrosis, hematom subkutan/intramuskular, perdarahan mukosa mulut, perdarahan intrakranial, epistaksis dan
hematuria. Sering pula dijumpai perdarahan yang berkelanjutan pascaoperasi kecil (sirkumsisi, ekstraksi gigi).
Hemartrosis paling sering ditemukan (85%) dengan lokasi berturut-turut sebagai berikut, sendi lutut, siku, pergelangan kaki, bahu, pengelangan tangan dan lainnya.
Sendi engsel lebih sering mengalami hemartrosis
dibandingkan dengan sendi peluru, karena
Sampai saat ini riwayat keluarga masih merupakan cara terbaik untuk melakukan tapisan pertama terhadap kasus akibat mutasi spontan kromosom X pada gen penyandi F
memanjang setelah trauma atau tindakan tefientu dengan atau tanpa riwayat keluarga. Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting sebelum memutuskan pemeriksaan penunjang Iainnya. Kelainan laboratorium ditemukan pada gangguan uji hemostasis, seperti pemanjangan masa pembekuan (CT)
dan masa tromboplastin partial teraktivasi (aPTT). abnormalitas uji tlt ro mb op I as tin g ene ralior, dengan m asa perdarahan dan masa protrombin (PT) dalam batas normd. Diagnosis definitif ditegakkan dengan berkurangnya
aktivitas F VIII/F IX, dan jika sarana pemeriksaan sitogenetik tersedia dapat dilakukan pemeriksaan petanda gen F VIII/F IX. Aktivitas F VIII / F IX dinyatakan dalam U/ ml dengan arti aktivitas faktor pembekuan dalam I ml plasma normal adalah 1007o. Nilai normal aktivitas F VIII/F IX adalah 0,5- 1,5 U/ml atat 50-7507o. Harus diingat adalah membedakan hemofiliaA dengan penyakit von Willebrand. dengan melihat rasio F VIIIc: F VIIIag dan aktivitas F vW (uji ristosetin) rendah. (Tabel 2) Diagnosis antenatal sebenarnya dapat dilakukan pada ibu hamil dengan risiko. Pemeriksaan aktivitas F VIII dan kadar antigen F VIII dalam darah janin pada trimester kedua
1309
HEMOFILIAADANB
Hemofilia
Pewarisan Lokasi
perdarahan
utama
A
Hemofilia B
Penyakit von Willebrand
X-linked
X-linked
TECESSIVE
recesstve
Autosomal dominant
Sendi, otot, pascatraum/ operasi
Sendi, otot,
Mukosa, kulit
post
post
trauma/
trauma operasi
operasr
Jumlah trombosit
Normal
Normal
Normal
Waktu perdarahan
Normal
Normal
Memanjang
PPT
Normal
Normal
Normal
aPTT
Memanjang
Memanjang
Memanjang/
F VIII C F VIII AG
FIX Tes
Gambar 1. Pohon keluarga hemofilia
Rendah Normal Normal Normal
sehat XY =Laki-laki sehat XhX = Perempuan karier XhY=Perempuan karier
keterangan: XX = Perempuan
normal Rendah Rendah Normal
Normal Normal Rendah Normal
Terganggu
ristosetin
PENATALAKSANAAN
Keterangan: PPT: p/asma protrombin time, aPTT: activated paftial tromboplastin time
Terapi Suportif Pengobatan rasional pada hemofilia adalah menormalkan
dapat membantu menentukan status janin terhadap kerentanan hemofiliaA. Identifikasi gen F
VIII
dan petanda
gen tersebut lebih baik dan lebih dianjurkan. Seorang perempuan diduga sebagai pembawa sifat hemofilia (karier) jika dia memiliki lebih dari satu anak lelaki
pasien hemofilia atau mempunyai seorang atau lebih saudara laki-laki dan seorang anak lelaki pasien hemofiia atau ayahnya pasien hemofilia (Gambar 1). Deteksi pada hemofilia A karier dapat dilakukan dengan menghitung rasio aktivitas F VIIIc dengan antigen FVIIIvW. Jika nilai kurang dari I memiliki ketepatan dalam menentukan
kadar faktor anti hemofilia yang kurang. Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
. . .
Melakukan pencegahan baik menghindari luka/ benturan.
Merencanakan suatu tindakan operasi serta mempertahankan kadar aktivitas faktor pembekuan sekitar 30-507o.
Untuk mengatasi perdarahan akut yang terjadi maka dilakukan tindakan pertama seperti rest, ice, compressio,
elevation (RICE) pada lokasi perdarahan.
. Kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid
sangat
hati-hati pada keadaan
membantu untuk menghilangkan proses inflamasi pada
hamil, memakai kontrasepsi hormonal dan terdapatnya
sinovitis akut yang terjadi setelah serangan akut
penyakit hati karena dapat meningkatkan aktivitas F VIIIc. Aktivitas F VIII rata-rata pada kaier 507o, tetapi kadangkadang <30Vo dan dapat terjadi perdarahan sesudah trauma atau pembedahan. Analisis genetika dengan menggunakan DNA probe, yaitu dengan cilra mencari lokus polimorfik padakromosom X akan memberikan informasi yang lebih tepat.
hemarlrosis. Pemberian prednison 0,5-1 mglkg BB/hari selama 5-7 hari dapat mencegah terjadinya gejala sisa berupakaku sendi (arlrosis) yang mengganggu aktivitas
hemofilia kari er
sekitar gOEo; namun
DIAGNOSIS BANDING
.
hemofilia.
Analgetika. Pemakaian analgetika diindikasikan pada pasien hemartrosis dengan nyeri hebat, dan sebaiknya dipilih analgetika yang tidak mengganggu agregasi trombosit (harus dihindari pemakaian aspirin dan
.
. Hemofilia A dan B dengan defisiensi faktor XI dan XII. . Hemofilia A dengan penyakit von Willebrand
antikoagulan).
Rehabilitasi medik. Sebaiknya dilakukan sedini mungkin secara komprehensif dan holistik dalam sebuah tim, karena ketelambatan pengelolaan akan
yang
menyebabkan kecacatan dan ketidakmampuan baik
dan V
fisik, okupasi maupun psikososial dan edukasi.
kongenital. Hemofilia B dengan penyakit hati, pemakaian warfarin, defisiensi vitamin K. sangat jarang inhibitor F IX yang
Rehabilitasi medik artritis hemofilia meliputi : latihan
didapat.
rekreusi serta edukasi.
(khususnya varian Normandy), inhibitor F
didapat dan kombinasi defisiensi F
.
harian serta menurunkan kualitas hidup pasien
VIII
VIII
pasif/aktif, terapi dingin dan panas (hati-hati), penggunaan ortosis, terapi psikososial dan terapi
1310
HEMISIOI.OGI
Terapi Pengganti Faktor Pembekuan Pemberian faktor pembekuan dilakukan 3 kali seminggu untuk menghindari kecacatan fisik (terutama sendi) sehingga pasien hemofilia dapat melakukan aktivitas normal. Namun
untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan faktor anti hemofilia (AHF) yang cukup banyak dengan biaya yang tinggi.
Terapi pengganti faktor pembekuan pada kasus hemofilia dilakukan dengan memberikan F VIII atau F IX, baik rekombinan, konsenfrat maupun komponen darah yang
mengandung cukup banyak faktor-faktor pembekuan tersebut. Pemberian biasanya dilakukan dalam beberapa hari sampai luka atau pembengkakan membaik; serta khususnya selama fisioterapi.
Konsentrat F Vlll/F lX Hemofilia A berat maupun hemofilia ringan dan sedang dengan episode perdarahan yang serius membutuhkan koreksi faktor pembekuan dengan kadar yang tinggi yang harus diterapi dengan konsentrat F VIII yang telah dilemahkan virusnya.
Faktor IX tersedia dalam2 bentuk yaitu prothrombin complex concentrates (PCC) yang berisi F II, V[, IX dan X, dan purified F IX concentrates yang berisi sejumlah F
IX tanpa faktor yang lain. PCC dapat menyebabkan trombosis paradoksikal dan koagulasi intravena tersebar
yang disebabkan oleh sejumlah konsentrat faktor pembekuan lain. Risiko ini dapat meningkat pada pemberian F IX berulang, sehinggapurifiedkonsentrat F IX lebih diinginkan. Waktu paruh F VIII adalah 8-12 jam sedangkan F [X 24 jam dan volum distribusi dari F IX kira-kira 2 kali dari F
utr. Kebutuhan F
1.
VIII / F IX dihitung berdasarkan rumus:
Volume plasma (VP) = 40 mVkgBB x BB (kg) F VIII / F IX yang diinginkan (U) =
Penuntun penggunaan pengganti faktor pembekuan pada perdarahan hemofilia tergantung kasus per kasus. (Thbel3)
Kriopresipitat AHF KriopresipitatAHF adalah salah
satu komponen darah non
selular yang merupakan konsentrat plasma tertentu yang mengandung F VIII, fibrinogen, faktor von Willebrand. Dapat diberikan apabila konsentrat F VIII tidak ditemukan. Satu kantong kriopresipitat berisi 80-100 U F VIII. Satu
kantong kriopresipitat yang mengandung 100 U F
VIII
dapat meningkatkan F VIII 357o. Efek samping dapat te{adi reaksi alergi dan demam.
1-deamino 8-D Arginin Vasopresin (DDAVP) atau Desmopresin Hormon sintetik anti diuretik (DDAVP) merangsang peningkatan kadar aktivitas F VIII di dalam plasma sampai kali, namun bersifat sementara. Sampai saat ini mekanisme kerja DDAVP belum diketahui seluruhnya, tetapi dianjurkan untuk diberikan pada hemofilia A ringan dan sedang dan
4
juga pada karier perempuan yang simtomatik. Pemberian dapat secara intravena dengan dosis 0,3mg/kg BB dalam 30-50 NaCl 0,97o selama 15-20 menit dengan lama kerja 8 jam. Efekpuncakpadapemberian ini dicapai dalam waktu 30-60 menit. Pada tahun 1994 telah dikeluarkan konsentrat
DDAVP dalam bentuk semprot intranasal. Dosis yang dianjurkan untuk pasien dengan BB <50 kg 150 mg (sekali semprot), dan 300 mg untuk pasien dengan BB >50 kg (dua kali semprot), dengan efek puncak terjadi setelah 6090 menit.
Pemberian DDAVP untuk pencegahan terhadap kejadian perdarahan sebaiknya dilakukan seriap 12-24 jam. Efek samping yang dapat terjadi berupa takikardia,Jlushlng, trombosis (sangat jarang) dan hiponatremia. Juga bisa timbul angina pada pasien dengan PJK.
Antif ibrinolitik Preparat antifibrinolitik digunakan pada pasien hemofilia B untuk menstabilisasikan bekuan/fibrin dengan cara menghambat proses fibrinolisis. Hal ini ternyata sangat membantu dalam pengelolaan pasien hemofilia dengan
1m
2. F VIII yang diinginkan
(U) = yang BB(kg) x kadar diinginkan (Vo)
F
l2
IX yang dinginkan (U) = BB (kg) x kadar yang diinginkan (7o)
perdarahan; terutama pada kasus perdarahan mukosa
mulut akibat ekstraksi gigi karena saliva banyak mengandung enzim fibrinolitlk. Epsilon aminocaproic acid (EACA) dapat diberikan secara oral maupun intravena dengan dosis awal 2OO mgkg BB, diikuti 100 mg/kg BB
setiap 6 jam (maksimun 5 g setiap pemberian). Asam Metode penghitungan alternatif lain adalah satu unit
traneksamat diberikan dengan dosis 25 mg/kg BB
FVIII mampu meningkatkan aktivitasnya di dalam plasma
(maksimun 1,5 g) secaraoral, atau 10mg/kgBB (maksimum 1 g) secara intravena setiap 8 jam. Asam traneksamat juga dapat dilarutkan l07o bagian dengan cairan parenteral,
0,02 U/rnl (2Vo) selana 12 jarn; sedangkan 1 unit F IX dapat meningkatkan aktivitasnya di dalam plasma sampai 0,01 IJ lm (1 Vo) selama
24jam.
terutama salin normal.
1311
HEMOFILIAADANB
Lokasi
Kadar Aktivitas Faktor Pembekuan
Hemofilia
Hemofilia
A
B
Sendi
40
- 80%
20
-
Otot
40
-
20
- 40 U/kgBB/hari
Mukosa mulut
50% dilanjutkan antifibrinolitik 80 - 100%
Epistaksis
Gastrointestinal
Genitourinaria
SSP
Trauma/operasi
800/0
40 U/kgBB/hari
25 U/kgBB 40
- 50 U/kgBB -
- 40 U/kgBB selang sehari 30 - 40 U/kgBB selang sehari 50 U/kgBB 30
80
Kemudian 30 U/kgBB/hari
40
70
100%, kemudian dipertahankan 30%
40 - 50 U/kgBB kemudian 30 - 40 U/kgBB/hari
80 70
100%, kemudian dipertahankan 30%
40 - 50 U/kgBB kemudian 30 - 40 U/kgBB/hari
80 70
100o/o, kemudian dipertahankan 50 100 %
100%, kemudian 50% sampai luka menutup, dipertahankan 30%
100 U/kgBB kemudian
- 80 U/kgBB selang sehari
dipertahankan 30%
-
-
Modalitas Terapi Lain lstirahaUimobilisasi/fisioter apl lstirahat/imobilisasi/fisioter apl Antifibrinolitik Jangan gunakan PCCs Tampon/ kauterisasi pleksus Kisselbach
-
Antifibrinolitik (dapat digunakan)
-
100 U/kgBB kemudian 80 U/kgBB selang sehari
Prednison 1-2 mglhari selama 5-7 hari mungkin berguna
50 U/kgBB kemudian 25 U/kg BBl12 jam atau per infus
100 U/kgBB kemudian 50 U/kgBB/hari atau per infus
Antikonvulsan; pungsi lumbal harus dilindungi F pembekuan
50 U/kgBB kemudian 50 UlkgBBl12jam atau per infuse
100 U/kgBB kemudian 50 U/kgBB/hari atau per infus
Rencana pengelolaan pra dan pasca operasi sangat menentukan
Terapi Gen Penelitian terapi gen dengan menggunakan vektor retrovirus, adenovirus darr adeno-associated virus memberikan harapan baru bagi pasien hemofilia. Saat ini sedang intensif dilakukan penelitian invivo dengan memindahkan vektor adenovirus yang membawa gen antihemofilia ke dalam sel hati. Gen F VIII relatif lebih sulit dibandingkan gen F IX, karena ukurannya (9 kb) lebih
100 U/kgBB kemudian 80 U/kgBB selang sehari
-
evaluasi klinis terhadap pemeriksaan laboratorium rutin;
atau yang sering (pasien simtomatik) adalah tidak diperolehnya respons klinis terhadap pemberian faktor pembekuan maupun kebutuhan faktor pembekuan yang
meningkat dibanding dengan sebelumnya. Telah dilaporkan dapat terjadi reaksi anafilaksis yang berhubungan dengan inhibitor faktor pembekuan pada
besar; namun akhir tahun 1998 para ahli berhasil melakukan pemindahan'plasmid-based factor VIII secara ex vivo ke
hemofiliaB. Angka kejadian terbentuknya inhibitor terhadap faktor pembekuan pada hemofilia A sedang dan berat sekitar 20-
fibroblas.
33 Vo, sedangkan pada hemo
PENYULIT PENGOBATAN
lnhibitor Faktor Pembekuan Penyulit yang berpotensi mengancam kehidupan pasien hemofilia adalah terbentuknya antibodi poliklonal terhadap F VIII atau F IX. Antibodi ini akan menghambat aktivitas faktor pembekuan, sehingga pemberian terapi pengganti kurang efektif atau bahkan tidak efektif sama sekali. Mekanisme terbentuknya antibodi ini belum diketahui secara menyeluruh; kemungkinan sensitisasi
berulang akibat pemberian komponen darah atau konsentrat faktor pembekuan, namun ternyata inhibitor ini dapat ditemukan pada anak-anak hemofilia A yang hanya diberi faktor pembekuan rekombinan atau bahkan
pada mereka yar,1 tidak pernah diterapi. Biasanya ditemukan secara tidak sengaia (pasien asimtomatik) saat
fllia B hany a I - 4Vo . Upaya mengatasi penyulit ini adalah dengan pemberian
konsentrat kompleks protrombin aktif meskipun kurang aman; atau F VIII aktif yang harganya mahal jika terjadi perdarahan. Hyate C@ yang mengandung F YIII porcine merupakan pilihan lain untuk pasien hemofilia A dengan inhibitor F VIII. Plasmaferesis dapat juga dilakukan terutama dalam mengatasi keadaan kritis pada pasien
dengan antibodi faktor pembekuan. Imunomodulator seperti siklofosfamid dosis rendah, gama globulin dosis tinggi atau steroid dapat diberikan meskipun hasilnya belum dapat diramalkan secara klinis; namun mampu membuat toleransi terhadap respon imun (immune tolerance).
Penularan Penyakit Penularan penyakit melalui produk darah cukup tinggi terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, seperti hepatitis, malaria, HIY HTLV-1, virus Epstein Barr,
t3t2 HHV-6, cytomegalo virus, pawovirus
HEN'ATOLOGI
B
19, penyakit
Chagas, penyakit Lyme dan penyakit Creutzfeld-Jacob. Hal
tersebut dilatarbelakangi keadaan sosial ekonomi yang berdampak pada pelayanan, sarana dan fasilitas kesehatan.
Goodnight SH, Hathaway WE. Hemophilia A In : l)i:ottlcts ol Hemostasis and Thrombosis, A Clinical Guide, 2"' Ed l\1c(irlrr Hill Co, New York 2001, p. 127-139. Coodnight SH, Hathaway WE. Hemophilia B ln : Disoriletr iti
A Clinicat Guide. 2"'r Ed N4cCrlrr Co, New York 2001, p 140-1.15. Goodnight SH, Hathaway WE. Coagulation factots concerltrales lr Hemostasis and Thrombosis.
Hill
Reaksi alergi Hipertensi pulmoner primer
: Disorders of Hemostasis and Thrombosis, A Clinical CLride. l"' Ed. McGraw-Hill Co, New York 2001, p. 50-5-l-5 Gigna Healthcare Coverage Position. Factor Vlll rherapy 200'1.
p
1-6
Hedner
KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering ditemukan adalah artropati hemofilia; yaitu penimbunan darah intra artikular yang menetap dengan akibat degenerasi kartilago dan tulang sendi secara progresif. Hal ini menyebabkan penurunan sampai rusaknya fungsi sendi. Hemartrosis yang tidak dikelola dengan baik juga dapat menyebabkan sinovitis kronik akibat proses peradangan jaringan sinovial yang tidak kunjung henti. Sendi yang sering mengalami komplikasi adalah sendi lutut, pergelangan kaki dan siku. Perdarahan yang berkepanjangan akibat tindakan medis sering ditemukanjika tidak dilakukan terapi pencegahan dengan memberikan faktor pembekuan darah bagi hemofilia sedang dan berat sesuai dengan macam tindakan medis itu sendiri (cabut gigi, sirkumsisi, apendektomi, operasi
intra abdomen/intra torakal). (Tabel 3) Sedangkan perdarahan akibat trauma seheri-hari yang tersering berupa
hemartrosis, perdarahan intramuskular dan hematom. Perdarahan intrakranial j arang terj adi, namun jika terjadi berakibat fatal.
U, Ginsburg D, Lusher JM, High KA.
Congenital
hemorrhagic disorder : new insights into the pathophysiology and treatment of hemophilia Hematol 2000 61: 241-9 Hilman R, Ault KA Hemophilia and other intrinsics pathway
defects.
In Hematology in Clinical Practice A Guide
Diagnosis and Management. McGraw
Hill, NewYork.
to 1995, pp
447 -88. tlandin RI. Disorders of coagulation and thrombosis. Tn Braunwald E, Fauci AS, Kasner DL, et a1 (Eds) Harrison's Principles of Internal Medicine. 16'r' ed McGraw Hill, New York, 2005, pp 91 1-1
.
Hemophitia hhtp://www.avigen com/HEMOPHILIA.HTM 2004 Hemophilia A. hhtp://www.icondata.com/health/pedbase/files HEMOPHIL HTM 2004. Hoyer LW Hemophilia A N Engl J Med t994: 330 : 38-'17 Kalev I, Kenderova V Reflections on the treatment of hemophilia. Haemophilia 2002; 8 : 554-1 Linari S, Frusconi S, Passerini I, et al. Characrerization patients with henrophilia A Haemophilia 2002; 8 : 558-62. Miller DG, Stamatoyannopoulos G. Therapy for hemophilia. N Engl J Med 2001; 344: 1782-4. program in the developing world. Lancet 2001; 358 ; 2t18- 21 Park F, Ohashi K, Kay MA. Therapeutic levels ol human factor VIII and IX Blood 2000: 96 : 1113-6 Ratnoff O Historical review. British Journal of hematology
O' Mahony B Hemophilia
2003 122-92.
William WJ. Congenital deficiencies of coagulation factors includ-
REFERENSI Carol K. Management of hemophilia. N Engl J Med 1996; 331: 877 -80.
Cawlhern KM, Veer C, Lock B et al. Blood coagulation in hemophilia A and hemophilia C. Blood 1998;91(12):4581-4592. DiMichele D, Neufeld EJ. Hemophilia a new approach to an old disease. Hematol Clin North Am 1998; 6 : 1315-44.
ing haemophilia. In : Williams Hematology. Companion Handbook, 5'h Ed. McGraw-Hill International Edition, Toronto 1996,
p. 355-62 White GC, Rosendaal F, Aledort LM. Definitions in hemophilia. Recommendation of the scientific subcommittee on factor VIII and factor IX of the International Society on Thrombosis and Haemostasis. Thromb Haemost 2001; 85 : 56O-72.
207 PENYAKIT VON WILLEBRAND Sugianto
jiwa terjadi
PENDAHULUAN
pada kurang dari 5 orang per
1
juta penduduk
di negara-negara barat. Def
Terdapat 3 varian utama PVW, masing-masing berbeda
inisi
dalam beratnya gejala. PVW juga disebut sebagai
Penyakit von Wi llebrand (PVW) adalah kelainan perdarahan herediter disebabkan oleh defisiensi faktor von Willebrand
pseudohemofilia atau hemofil
ia v
askul ar.
(FVw). FVIV membantu trombosit melekatpada dinding pembuluh darah dan antara sesamanya, yang diperlukan untuk
KLASIFIKASI DAN PATOFISIOLOGI
pembekuan darah yang normal.
PVW disebabkan oleh kelainan kuantitatif dan/atau kualitatif FVW suatu protein faktor pembekuan yang diperlukan untuk interaksi antara trombosit-dinding
Faktor von Willebrand
pembuluh darah dan untuk pembawa faktor VIIL Pada banyak kasus juga terdapat defisiensi faktor VIIL Kelainan yang nyata pada FVW bertanggung jawab terhadap 3 tipe utamaPVW.
Faktor von Willebrand (FVW) adalah suatu glikoprotein multimer heterogen dalam plasma dengan dua fungsi utama:
. .
Memudahkan adhesi trombosit pada kondisi stres berat dengan menghubungkan reseptor membran trombosit ke subendotel pembuluh darah Bekerja sebagai pembawa plasma bagi faktor VIII, suatu protein koagulasi darah yang penting.
Kelainan Kuantitatif FVW Tipe I dan 3 ditandai dengan kelainan kuantitatif FVW. Identifikasi kelainan gen adalah sulit pada tipe 1 dan 3 PWV. Tipe 1 merupakan kelainan yang ringan, dan menjadi kasus terbanyak. Pada PVW tipe l, 40Vo anggota keluarga kelompok ini membawa alelePYW namun dengan kadar FVW normal. Tipe 3 adalah bentuk yang terberat. Bentuk ini jarang terjadi.
PENYAKIT VON WILLEBRAND (PVW) Kelainan perdarahan kronis yang ditandai dengan agregasi
trombosit maupun pembentukan bekuan tidak terjadi secara memadai. Kelainan adhesi trombosit mungkin
Kelainan Kualitatif FVW
karena kelainan reseptor trombosit intrinsik atau kelainan/
terdiri dari subtipe 24, 2B, 2M dan 2N, meliputi pasien dengan kelainan kualitatif FWV. Tipe 2 meliputi kelainan yang ringan sampai sedang, ditandai dengan gejala-gejala yang sifatnya sedang. Tipe 2A ditandai dengan penurunan fungsi FVW yang terkait trombosit dan termasuk subtipe IIA dan IIC. Tipe 28, ditetapkan dengan meningkatnya afinitas FWV terhadap GPlb trombosit. Tipe 2N, ditandai oleh kelainan ikatan FVW pada faktor VIII. T ipe 2, y ang
defisiensi molekul pelekat seperli FVW. PVW ditemukan melalui slldi pedigree sebuah keluarga secara cermat di
kepulauan Uland. Penyakit
ini
merupakan kelainan
perdarahan herediter yang paling umum. Diturunkan sebagai satu sifat (trait) dominan autosomal dengan prevalensi sekitar l/100 sampai 3/100.000 orang. Namun, PVW berat dengan riwayat perdarahan yang mengancam
131
L3t4
HEMAIOI.OGI
Sangat banyaknya varian PVW mendorong usaha penyederhanaan klasifikasi kelainan ini (Tabel 1).
Meskipun jarang, PVW yang didapat, terlihat pada pasien dengan keadaan tertentu (states) penyakit limfoproliferatif atau imunologi akibat autoantibodi terhadap FVW.
Gambaran Defisiensi parsial
Tipe Dahulu
DIAGNOSIS
t-l t-2
IA 2A
28
2M
Varian FVW yang ditandai dengan kehilangan multimer BM tinggi dan penurunan fungsinya yang tergantung trombosit (plbteletdependent) FWV dengan kehilangan multimer BM tinggi disebabkan oleh peningkatan afinitas terhadap GPl b trombosit Varian FVW dengan penurunan fungsi tergantung trombosit yang tidak berkaitan dengan kehilangan multimer BM tinggi Varian FVW dengan penurunan afinitas terhadap faktor Vlll Defisiensi berat FWV
ilA
ilc
ilG ilH
ilD ilE ilF ilB I New York Malmo IB
Vicenza IC ID
Defective Vlll binding Normandy ilt
-Dari Sadler 1994; Friedman & Rodgers 2004
Diagnosis PVW memerlukan: . kecurigaan terhadap gambaran klinis tingkat tinggi dan
.
kecakapanpemanfaatanlaboratorium.
Bila pasien dalam keadaan kritis, sulit menetapkan diagnosis yang tepat. Bila PVW dianggap merupakan faktor penunjang pada perdarahan pasien, lebih dahulu harus diobati secara empiris dan penelusuran laboratoris yang rumit ditunda sampai pasien secara klinis stabil dan tidak mendapat produk darah dan obat selama beberapa minggu.
Pemeriksaan Laboratorium Hasil pemeriksaan laboratorium sangat beragam. Pola diagnosis paling sering merupakan kombinasi: pemanjangan BT penurunan kadar trVW plasma
penurunan secara paralel kadar aktivitas biologi diperiksa dengan penentuan kadar kofaktor ristosetin penurunan aktivitas faktor
GAMBARAN KLINIK Gejala paling sering terjadi meliputi: perdarahan gusi. hematuri,epistaksis, perdarahan saluran kemih, darah dalam feses. mudah memar. menoragi. Pasien PVW simtomatik, seperti pada gangguan fungsi
trombosit lainnya, biasanya tampil dengan perdarahan mukokutan, terutama epistaksis, mudah memar, menoragi. dan perdarahan gusi dan gastrointestinal. Pasien dengan kadar faktor VIII yang sangat rendah bahkan dapat menunjukkan hemartrosis dan perdarahan jaringan dalam tubuh. Seringkali gambaran kelainan itu tidak nyata sampai terdapat faktor pemberat seperti trauma
atau pembedahan. PVW dapat diturunkan sebagai satu sifat (trait) dominan atau resesif autosomal. Seringkali terdapat riwayat yang jelas dalam keluarga dengan perdarahan abnormal dan berat, namun daya tembus (penetrance) dan ekspresi gen yang mengalami mutasi sangat bervariasi. Meskipun orangtua dengan autosom dominan memindahkan gen yang abnormal ke 507o anakanaknya, penyakit dengan gejala yang nyata hanya pada 30-407o keturunannya. Pasien dengan gen resesif tunggal khas asimtomatik
tetapi dapat menunjukkan kadar aktivitas antigen FVW abnormal. Keturunan dengan heterozigot ganda, yang diturunkan dari orangtua yang keduanya membawa gen cacat (defective), menghasilkan penyakit berat (tipe 3 PV!\O.
VIII
Beragamnya tes laboratorium dikaitkan pada sifat-sifat kelainan yang heterogen pada PVW maupun kenyataan bahwa kadarnya dalam plasma dipengaruhi oleh tipe golongan darah ABO, kelainan sistem saraf pusat, sistem infl amasi. dan kehami lan.
Evaluasi Penapisan Untuk PVW harus mencakup pemeriksaan Bf, hitung trombosit, PT dan APTT.
.
.
.
PVW ringan tipe 1 biasanya hasil pemeriksaan normal. Bila penyakit lebih berat BT memanjang antara 15-30 menit sedang hitung trombosit normal. Pasien dengan defisiensi berat FWV atau kelainan faktor VIII mengikat FVW berakibat pemanjangan APTT, sekunder akibat menurunnya kadar faktor VIII dalam plasma.
Untuk menetapkan diagnosis diperlukan pemeriksaan khusus kadar FVW dan fungsinya.
Evaluasi Lengkap PVW Diperlukan pemeriksaan aktivitas VIII:C, Ag:FWV, aktivitas (fungsi) FYW (ristocetin cofactor activity), dan analisis
besarnya (size) multimer FVW menggunakan elektroforesis gel agarosa. . Aktivitas faktor VIII diperiksa dari kemampuan dilusi plasma pasien untuk mengkoreksi pemanjangan APTT pada plasma yang kekurangan faktor VIIL
1315
PENYAKIT VON WII I FBIU{IYD)
r
pe Br
'1 AorN 2af 2ba 3A Pseudo 4
o9,i,t VorN .1, Of N
VorN 0 .1,
or N
Akt Akt Kofaktor Koagulan Ristocetin F Vlll .l,orN VorN 0 V or N .1, or N VorN 0 0 V VorN
Multimer N
Abnormal Abnormal --Abnormal
PVW
Hemofili
N
N
N
A Meningkat dengan aspirin
. Ag:FVW dihitung .
.
im m un
o
so rbefl
I atau
i
dengan assay enzyme-like m
munoas say,
Aktivitas FVW dihitung dengan mencampur berbagai konsentrasi ristocetin dengan plasma pasien dan
Dari Lin ker 2002
terhadap proteolisis) dan destruksi yang meningkat menjelang sekresi selular. Beberapa pasien masih sanggup mengeluarkan multimer yang lebih besar ke dalam sirkulasi bila dirangsang dengan DDAVP, yang lain menunjukkan
trombosit normal dalam agregometer. Derajat aktivitas FVW akan setara atau lebih rendah dibandingkan derajatAg:FVW.
sedikit atau tanpa respons. Pasien tipe 2A mempunyai tendensi perdarahan yang sedang.
Bergantung subtipe PVW, analisis multimer FYW sangat penting untuk diagnosis klasifikasi varian PVW tipe 2. Klasifikasi PVW penting untuk perencanaan pengelolaan klinis.
afinitas meningkat terhadap reseptor GPIb/IX trgr-nbosit. Pemberian (loading) multimer besar FVW pada trombosit menyebabkan penurunan yang nyata kadar FVW multimer dengan BM tinggi atau sedang (intermediate) dalam plasma, yang menyerupai PVW tipe 2A. Pada saat yang sama, oleh karena melimpahnya FVW pada permukaan trombosit, penelitian aktivitas FVW (yaitu ristocetin-induced platelet aggregation, RIPA) akan menunjukkan tendensi peningkatan agregasi trombosit. Secara klinis, melimpahnya FVW pada permukaan trombosit, dapat mendorong agregasi trombosit dalam sirkulasi, pembuangan agregat, dan trombositopenia. Kehamilan, inf-lamasi, atau pemberian DDVAP, melalui
Penyakit tipe 1-PVW tipe 1 adalah varian paling banyak hingga mencapai 807o. Beratnya gambaran klinis tipe ini sangat bervariasi, berhubungan dengan penurunan kadar
FVW dalam plasma dan faktor VIII. Pada pasien yang bergejala, aktivitas Ag:FVW dan FVW menurun di bawah 507o rilai normal. Pasien dengan golongan darah O pada umunmya menunjukkan nilai FVW normal rendah dan tidak boleh langsung didiagnosis sebagai PWV tipe ringan. Oleh karena FVW merupakan protein pembawa FVIII dalam sirkulasi, kadar FVIII akan secara bermakna menurun pada
pasien dengan penyakit tipe 1 yang berat, dan menyebabkan pemanjangan APTT. Analisis multimer FVW menunj ukkan pola normal.
PVW tipe 2-tipe ini ditandai oleh kelainan kualitatif FVW plasma. Hal ini dapat berakibat penurunan FVW yang lebih
besar (PVW tipe 2,A. dan
28)
perubahan-perubahan beragam pada ikatan Ag:FWV dan faktor VIII (tipe 2M dan atar.r
2N PVW). Menghilangya multimer lebih
besar
menyebabkan penurunan yang tidak proporsional pada
aktivitas FVW (rlsrocetin cofactor activity) bila dibandingkan dengan Ag:FVW. Aktivitas faktor VIII jarang menurun pada PVW tipe 24, B, dan M tetapi menjadi berat pada PVW tipe 2N. Pasien PVW tipe 2 tidak mempunyai FVW multimer dengan BM tinggi atau sedang (intermediate) dalam plasma. Kelompok heterogen ini, ditandai oleh paling tidak 2 defek yang nyata: produksi FVW (yang suseptibel
PVW tipe 2 menunjukkan FVW abnormal dengan
peningkatan pengeluaran FVW, dapat memperburuk trombositopenia. Bukannya cenderung mengalami
agegrasi trombosit, pasien-pasien
ini sebaliknya
mempunyai tendensi berdarah, bukan kelainan/penyakit trombotik. PVW Tipe-Ttombosit perlu perhatian khusus sebab tampil
dengan banyak sifat serupa PVW tipe 28. Namun, peningkatan ikatan multimer FVW pada PVW tipetrombosit disebabkan oleh kerusakan pada reseptor GP1b, bukan FVW pasien. Hal ini merupakan perbedaan penting menyangkut terapi. Pasien PVW tipe-trombosit memerlukan transfusi trombosit sama perlunya dengan pemberian FVW untuk memperbaiki kelainan perdarahannya.
PVW Tipe 2M' ditandai dengan pola normal multimer FVW dalam plasma tetapi penurunan yang tidak seimbang pada aktivitas FVW bila dibandingkan dengan vWF:Ag. Hal ini menghasilkan produksi molekul FVW abnormal dengan penurunan afinitas terhadap reseptor GPlb/IX trombosit.
1316
Banyak pasien dengan kelainan tersebut akan memperoleh respons dari DDAVP, sedangkan yang lain memerlukan
HEMIIiTOI.OGI
Pengelolaan Segera Fungsi trombosit yang abnormal sering yang pertama
penambahan FVW.
tampak sebagai komplikasi penyakit akut atau
PVW tipe 2N-menunjukkan kerusakan ikatan faktor VIII terhadap FVW Pengukuran aktivitas dan antigen FVW
pembedahan. Beberapa faktor pemberat dapat menentukan
keduanya normal, seperti juga analisis pola multimer FVW. Derajat aktivitas faktor VIII menurun, sama seperti pada
diagnosis yang tepat dapat ditunda, namun tindakan harus disesuaikan dengan sebanyak mungkin faktor pendorong yang potensial.
pasien dengan hemofilia yang ringan. Penyakit tipe 2N harus dipikirkan dalam diagnosis banding bila seorang pasien perempuan datang dengan derajat FVIII atau bila anggota keluarga pasien yang perempuan terjangkit.
Penyakit tipe 3-PVW tipe 3 ditandai dengan tidak ditemukannya Ag:FWV dalam sirkulasi dan derajat VIII:C sangat rendah (3-lOVo normal). Pasien seperti ini menunjukkan perdarahan berat dengan hemartrosis dan hematoma muskulus serupa pasien hemofl li A atau B. Namun,
BI sangar memanjang. Penurunan (inheritance) penyakit tipe 3 masih tidak jelas. Pasien demikian mungkin merupakan heterozigot ganda atau tidak seperti hemofilia klasik,
homozigot untuk satu gen abnormal. Pasien biasanya
beratnya tendensi perdarahan. Pada keadaan demikian,
Daftar ini termasuk: . menghentikan obat yang menghambat fungsi trombosit . secara empiris memberikan FVW, dan . transfusi trombosit yang normal, tergantung beratnya perdarahan.
Meskipun pendekatan ini kurang tepat, namun efektif. Kelainan fungsi trombosit, baik yang didapat maupun kongenital, dapat segera diatasi dengan mengontrol perdarahan klinis yang berat.
Pengelolaan Jangka Paniang
normal, yang menunjukkan suatu pola resesif autosomal.
Kelainan fungsi trombosit harus didasari diagnosis yang tepat. Pasien dengan kelainan kongenital harus dinasihati
PVW yang Didapat
untuk menghindari obat yang memperberat kelainan fungsi dan menyebabkan perdarahan.
Autoantibodi terhadap inhibitor protein FVW
.
PVW yang didapat, berbeda dari PVW kongenital, jarang
terjadi, tampil awalnya lambat, dan tanpa riwayat perdarahan dalam keluarga. PVW yang didapat berkaitan dengan sejumlah penyakit kronis termasuk kelaiuan berikut: . autormun . gamopati monoklonai
. . . . . .
limfoproliferatif keganasan epidemik hipotiroidisme tumorWilm mieloproliferatif sebab pemakaian obat, termasuk siprofloksasin.
Autoantibodi tipe IgG, IgM dan IgA telah ditemukan
dan tampaknya ditujukan terhadap berbagai epitope molekul protein PVW yang menyebabkan beberapa mekanisme perdarahan berkaitan dengan PVW yang didapat. Pasien dengan auto-antibodi terhadap FVW biasanya menunjukkan perdarahan membran mukosa dan mudah memar. Gambaran laboratorium dapat menyerupai PVW dengan pemanjangan BT, penurunan aktivitas FVIII:C,
Ag:FVW dan FVW, meskipun kadarnya dapat berbeda.
TERAPI DAN PERJALANAN KLINIS
Aspirin dan analgesik nonsteroid adalah offencler
primer, pasien-pasien PVW dan trombasteni menunjukkan pemanjangan bermakna BT dengan pemberian aspirin dan merupakan risiko lebih besar terhadap perdarahan klinis.
.
Pasien demikianjuga harus benar-benar diajari tentang
.
Harus membawa sefta identifikasi atau memakai gelang
sifat kelainan mereka
peringatan (warning). Protokol ini dapat bermanfaat sebagai petunjuk untuk terapi.transfusi yang memadai pada keadaan darurat. Sebagai prinsip umum, sifat kelainan fungsi akan menuntun pilihan pengobatan. Misalnya, pasien PVW dengan jumlah FVW yang tidak normal akan berespon terhadap obat yang meningkatkan kadar FVW plasma. Pada situasi demikian, trombosit perlu normal begitu kelainan
FVW diperbaiki. Sebaliknya, pasien dengan defek kongenital metabolisme trombosit akan memerlukan transfusi trombosit yang normal. Seperti untuk kelainan
fungsi trombosit yang didapat, kebenaran terletak somewhere in between. Terdapat bukti klinis bahwa pasien dengan defek yang didapat sekunder terhadap pemberian obat, uremia, dan penyakit hati akan merespons terhadap
DDVAP, pemberian FVW, atau keduanya. Data ini mendukung bahwa peningkatan kadar FVW dapat sebagian mengkompensasi kelainan bersumber trombosit.
darah, dan menghindari keadaan yang dapat menyebabkan
DDAVP (Desmopresin) DDAVP adalah analog sintetik hormon antidiuretik,
rudapaksa atau perdarahan.
vasopresin. Pemberian secara intravena, merangsang
Secara umum terapi meliputi pemberian obat, transfusi
t3t7
PEITYAKITVON WII I FRIUIIYD
pengeluaran FVW dari sel endotel agar FVW dan faktor VIII:C cepat meningkat dalam plasma. Hal ini merangsang
fungsi trombosit, dan pada beberapa tipe PVW memendekkan BT. Akibatnya terhadap kadar faktor VIII dipakai untuk menangani pasien dengan hemofili A ringan
yang mengalami pembedahan minor. Kelainan fungsi trombosit akibat pemberian obat, uremia, dan penyakit hati juga dapat membaik, mungkin akibat pengeluaran dalam jumlah sangat besar multimer FVW. Pada pasien uremia, terapi eritropoietin belum dilaporkan menurunkan secara bermakna tendensi perdarahan, sehingga menyebabkan DDVAP kurang populer. Keberhasilan menangani pasien PVW bergantung pada tipe penyakitnya. Pasien dengan tipe 1 PVW yang lebih ringan menunjukkan respons yang sangat baik, dengan pemendekan BT dan peningkatan kadar FVW dan faktor VIII:C. Banyak pasien dengan dengan PVW tipe 2A atalu tipe 2M juga mempunyai respons baik terhadap DDVAP, tiaeskipun BT tidak menjadi normal dan efeknya bertahan rt:latif singkat. Pasien dengan PVW tipe 2N biasanya tidak respons, nreskipun uji terapi menunjukkan pasien tertentu dapat ititangani melalui pembedahan minor atau suatu episode perdarahan dengan DDAVP saja.
Pasien PVW tipe 3 tidak akan respons terhadap pemberian obat, sebab pasien ini tidak ada persediaan FVW di endotel. Baik FVW maupun faktor VIII harus disiapkan untuk memperbaiki kelainan pada kedua pasien tipe 2N dan tipe 3. Pemberian DDAVP dikontraindikasikan pada pasien PWV tipe2B dan tipe-trombosit. Pada kedua kelainan, stimulasi
pengeluaran FVW dapat menyebabkan peningkatan
agregasi trombosit dan memperburuk keadaan trombositopenia pasien. Pada pasien tipe 28, kelainan fungsi trombosit dan trombositopenia berhubungan dengan produksi multimer FVW yang abnormal. Oleh karena itu, penanganan yang efektif untuk pasien demikian dengan penambahan FVW dan transfusi trombosit.
Formulasi DDAVP berbentuk sediaan baik intravena maupun intranasal. DDAVP diberikan intravena dengan dosis 0,3 mg/kg; harus diencerkan dalam 30-50 mL salin dan diberikan dalam 10-20 menit untuk meminimalkan efek
samping, terutama takikardia dan hipotensi. Seperti preparat pendahulunya, DDAVP akan menyebabkan nyeri kepala, pusing (lightheadedness), nausea, dan muka kemerahan (facial flushing) pada pasien, terutama bila diberikan secara cepat. Obat tersebut juga mempunyai efek antidiuretik
ringan yang dapat mengarah intoksikasi bila pasien mendapat terapi multipel dan cairan parenteral jumlah besar. Nasal spray yang sangat pekat dapat diberikan sendiri pada
perempuan PVW tipe 1 untuk terapi menoragi. Obat tersebut dapat efektif untuk mengontrol perdarahan yang berkaitan dengan ekstraksi gigi atau pembedahan minor pada pasien PVW dan hemofili A ringan. Dosis 300-pg
intranasal DD AYP (stimate nasal spray), diberikan dengan aplikasi 100 pL dari larutan 1,5 mg/ml ke lubang hidung, akan meningkatkan kadar FWV, pada umumnya, 2 sampai 3 kali lipat. Terapi DDAVP paling efektif untuk perdarahan ringan
selama pembedahan minor. Kerugiannya, efeknya berlangsung singkat. Perbaikan BT dan kadar FVW terbatas sampai 12-24 jam. Di samping itu, respons terhadap dosis ulangan dapat berbeda akibat timbulnya takifilaksis. Kebanyakan pasien memberikan respons terhadap 2 atau
3 dosis dalam interval 24-jam, tetapi beberapa kasus membutuhkan 48-72 jamdi antara 2 dosis untuk perbaikan. Pada situasi demikian, kontrol terhadap tendensi perdarahan pasien sangatlah penting, misalnya setelah pembedahan, DDAVPbila diberikan sendiri tidak adekuat, sehingga dianjurkan pemberian tambahan FVW.
Faktor von Willebrand (FVW) Penggantian FVW-dapat diperoleh dengan: transfusi
plasma segar atau konsentrat plasma mengandung komplekstrWV-VlI.
Kriopresipitat
adalah konsentrat yang mudah didapat dan
efektif. Seperti terapi dengan DDVAP, kriopresipitat dapat segera memperpendek B! yang berkaitan dengan infus multimer FVW besar. Namun, perbaikan BT dapat
berlangsung relatif singkat. Kadar kriopresipitat dan multimer Ag:FVW cepat rusak dalam 6-12 jam setelah dibenkan melalui infus. Pada waktu yang sama, kadar faktor VIII:C meningkat selama 24 jam berikutnya, di luar proporsi
jumlah yang diberikan. Kenaikan kadar faktor VIII tampaknya untuk memberikan efek protektif. Perbaikan tendensi perdarahan pasien berlangsung lebih lama daripada yang diketahui baik dengan BT atau kadar FVW saj a.
Dosis kriopresipitat-sangat empiris. Pasien dengan penyakit tipe I atau tipe 3 yang berat harus ditangani seperti pasien hemofilia Aberat. Pada kedua keadaan tersebut kadar FVW dan faktor VIII kurang dari I 07o. Untuk mengawasi tendensi perdarahan, faktor VIII:C harus dinaikkan menjadi 50-107o untuk pembedahan mayor dan 30-507o untuk pembedahan minor atau perdarahan yang kurang berat. Untuk pasien dengan PVW tipe I yang kurang berat, direkomendasikan kombinasi DDVAP dan sejumlah kecil kriopresipitat. Berapa banyak FVW harus diberikan dan berapa lama terapi tergantung padaperjalanan klinis pasien.
Apabila kriopresipitat tidak didapatkan, salah satu bentuk konsentrat faktor VIIVFVW dapat diberikan. Namun, konsentrat tersebut harus mengandung ntultimer FVW besar agar efektif: Sediaan yang kaya FVW termasuk Humate P dan Alphanafe. Dosis faktor VIII 50 U/kg tiap 12jam biasanya akan cukup. Keuntungan sediaan-sediaan ini adalah kurang memberikan risiko transmisi virus. Oleh karena sangat rendahnya kadar Ag:FVW dan faktor VIII, pasien PVW tipe 3 mempunyai risiko timbulnya
1318
HEM/rlilOLOGI
antibodi tehadap FVW setelah transfusi sediaan plasma tersebut. Sekali ini terjadi, pasien mempunyai risiko reaksi
REFERENSI
anafilaktoid dan infus FVW berikutnya menjadi kurang
Andrews MM, Mooney KH. Von Willebrand's disease. In: Mc Cance
efektif.
Antihistamin dan steroid dapat mengaburkan reaksi anafilaktoid. Imunoglobulin intravena dengan dosis I garn/ kg sehari selama 2-3 hari dapat mengurangi kadar antibodi anti-FVW sementara. Transfusi trombosit dapat dipakai untuk menangani pasien yang telah menunjukkan adanya
alloantibodi. Obat lain-yang bermanfaat untuk menangani pasien PVW termasuk:
Premarine-Efek positif pada fungsi trombosit juga tampak pada pasien uremi yang dlbei Premarine. Epsilon aminocaproic acid (EACA), inhibitor fibrinolitik. EACA telah digunakan pada hemofilia dan pasien PVW untuk mencegah perdarahan pada pembedahan minor, terutama ekstraksi gigi. EACA diberikan pada pasien dewasa dengan dosis 3-4 gram tiap 4-6 1am iv atau po dimulai saat sebelum prosedur dan dilanjutkan sampai 5-7 hari
KL, Huethe SE, editors.
Pathophysyology. International edition. 2nd edition. St. Louis Missouri: Mosby Year Book;
t994. p. 926. Cohen AJ, Kessler CM. Acquired inhibitors. Auto-antibody against inhibitors of von Willebrand factor protein. In: Bailliere's clinical hematology, hemophilia, Lee CA (Guest ed), editors. Tokyo: Bailliere Tindall. 1996;69(2):348. Friedman KD, Rodgers GM. Von Willebrand's disease. Wintrobe's
ilth edition. In: Greer JP, Foerster J, et al, editors. London: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. p. 1628. Gastineau DA. Disorder of platelet adhesion molecule. ln: Mazza Jl. editor Manual of clinical hematology. 2002. p. 362 clinical hematology.
Handin RI. von Willebrand's disease. Harrison's principles of internal medicine. 16'h edition. In: Kasper DL, et al, editors. Toronto: McGraw-Hill; 2005 p 616. Hillman RS, Ault KA. von Willebrand's disease. Hematology in clinical practice. 3rd edition. Toronto: McGraw-hill; 2002 p 342.
Linker CA. von Willebrand's disease. Current medical diagnosis aI,ld , treatment. 41st edition. In: Tiemey LM Jr, McPhee SJ, Papadak,rs MA, editors. London: Lange Med Books/McGraw-Hill; 200;l
p
557.
Estrogen tampaknya meningkatkan produksi FVW oleh sel endotel. Selama kehamilan normal, pasien PVW dapat menormalkan kembali kadar Ag:FVW dan fakfor VIII:C, meskipun BT-nya biasanya letap memanjang
Mazurier C, Meyer D. Molecular basis of von Willebrand's disease. Bailliere's clinical hematology. In: Haemophilia, Lee CA (Guest ed), editors Tokyo: Bailliere Tindall. 1996;9(2):229. Sadler JE A revised classiication of von Willebrand disease. Thromb
IgG Intravena mungkin membantu memperlahankan efek terapi terhadap tendensi perdarahan pada pasien dengan MGUS dan PYW yang didapat (acquired)
Sadler JE, et al. Molecular mechanism and classiication Willebrand disease Thromb Hemost. 1995:,'74:161.
Hemost l,994:7 l:520.
of
von
Von Willebrand's disease. Available online on http:ll www.mamashealth. com,/default asp: 3/3 1/2005.
Von Willebrand's Disease. Available online on http:l/ www.malvistavet. com/html/body-von willebrand-s-disease.
html: 3/31/2005 Von Willebrand's disease. Available online on http://www nlm. nih gov/medlineplus/ency/articlel000544 htm: 3/3 1i2005.
208 KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA Lugyanti Sukrisman
PENDAHULUAN
mekanisme untuk mengatur aliran darah dengan cara
Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) atau Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) merupakan suatu keadaan di mana sistem koagulasi dan/atau fibrinolitik teraktivasi secara sistematik, menyebabkan koagulasi intravaskular luas dan melebihi mekanisme antikoagulan
vasokonstriksi atau vasodilatasi, sedangkan membran basal subendotel mengandung protein-protein yang berasal dari endotel seperti kolagen, fibronektin, faktor von Willebrand dan lain-lain, yang merupakan tempat melekatnya trgmbosit dan leukosit. Trombosit akan membentuk sumbat hemostasis melalui proses: 1). adhesi (adhesion), yaitu melekat
alamiah. KID merupakan kejadian antara yang disebabkan oleh kelainan yang jelas dengan patofisiologi dan manifestasi kli ni s yang bervariasi.
pada dinding pembuluh darah;2). agregasi atau saling melekat di antara trombosit tersebut, yang kemudian menjadi
dilanjutkan dengan proses koagulasi.
Istilah dekompensata atau KID akut/fulminan
Tahap 2 atau sistem koagulasi melibatkan faktor
menggambarkan keadaan di mana kecepatan konsumsi
pembekuan dan kofaktor, yang berinteraksi pada permukaan fosfolipid membran trombosit atau sel endotel yang rusak untukmembentukbekuan darah yang stabil. Sistem ini dibagi
faktor koagulan atau trombosit melebihi kemampuan tubuh untuk mensintesis faktor tersebut.
menjadi jalur ekstrinsik yang melibatkan faktor jaringan (tissue factor) dan faktor VII, dan jalur intrinsik (surfacecontact factor). Sistem ini diaktifkan jika faktor jaringan. yang diekspresikan pada sel yang rusak atau teraktivasi (sel pembuluh darah atau monosit) berkontak dengan faktor VII aktif (a) yang bersirkulasi, membentuk kompleks yang selanjutnya akan mengaktifkan faktor X menjadi Xa dan seterusnya hingga membentuk trombus/fibrin yang stabil (fibrin ikat silang/cross-l inke d fibrin). Proses ini tergambar pada Gambar 1. Setelah fibrin terbentuk, antikoagulan alamiah berperan untuk mengatur dan membatasi pembentukan sumbat hemostasis atau trombus pada dinding pembuluh darah yang rusak tersebut. Sistem ini terdiri dari antitrombin (AT)-I[, protein C dan protein S, serta heparin kofaktor II, alfa-1 antitripsin dan alfa-2 makroglobulin. Antitrombin bekerj a menghambat atau menginaktivasi trombin, faktor VIIa, XIIa, XIa, Xa dan IXa. Tanpa adanya heparin, kecepatan
MEKANISME HEMOSTASIS NORMAL Sistem pembuluh darah membentuk suatu sirkuit yang utuh yang mempertahankan darah dalam keadaan cair. Jika terdapat
kerusakan pada pembuluh darah, trombosit dan sistem koagulasi akan menutup kebocoran atau kerusakan tersebut sampai sel pada dinding pembuluh darah memperbaiki kebocoran tersebut secara perrnanen. Proses ini meliputi beberapa tahap/faktor. yairu
:
1. Interaksi pembuluh darah dengan struktur penunJangnya.
2. 3. 4. 5.
Trombosit dan interaksinya dengan pembuluh darah yang mengalami kerusakan. Pembentukan fibrin oleh sistem koagulasi. Pengaturan terbentuknya bekuan darah oleh inhibitor/ penghambat faktor pembekuan dan sistem fibrinolisis. Pembentukan kembali (remodeling) tempat yang luka setelah perdarahan berhenti.
inaktivasi ini relatif lambat. Heparin mengikat dan mengubah AI dan meningkatkan kecepatan inaktivasiAL Sedangkan protein C menghambat faktor Va dan VIIIa,
Tahap 1 dan 2 dikenal sebagai hemostasis primer. Sel
endotel pada dinding pembuluh darah mempunyai
dengan bantuan protein S sebagai kofaktor.
131
t320
HEMAIOI.OGI
lalur Ekstrinsi k la ur
lntrinsi
k
Pajanan jaringan subendotel a tau akti!asi endotel
,a{,
{
J
xr?xllla Gambar 2. Sistem koagulasi, inhibitor dan fibrinolisis (Dikutip dari Folkman dkk. jaringan, C 1 -l N H comple me nt f acto r- 1 este ra se i nh i bito r, PL:f osf oli pid anionik, TF:taktor pathway inhibitor, IPA'.tissueiype plasminogen activator. :
Fibrinolisis atau pemecahan fibrin merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk mempertahankan patensi pembuluh darah dan menormalkan aliran darah. Enzim yang berperan dalam sistem ini adalah plasminogen, yang akan diubah menjadi plasmin dan kemudian
fibrin menjadi fibrinogen (a1at fibrin) degradation product (FDP), sedangkan
akan memecah fibrinogen dan
produk pemecahan fibrin ikat silang adalah D-dimer. Proses
ini dapat dilihatpada Gambar 1.
PATOFISIOLOGI KOAGU LASI INTRAVASKU LAR DISEMINATA Seperli telah disebutkan di atas, KID berhubungan dengan kondisi klinis yang jelas, yang mendasari terjadinya KID
tersebut. Beberapa keadaan berikut ini berhubungan dengan KID:
.
. . . . . . . .
kelainan obstetri: emboli air ketuban, solusio plasenta, retained fetus syndrome, eklamsia, abortus
. . .
fFPl
tissue factor
penyakit hati akut: ikterus obstruktif, gagal hati aktt kelainanvaskular penyakit autoimun Pada solusio plasenta,jaringan atau enzim dari plasenta
dilepaskan ke dalam uterus dan sirkulasi sistemik, menyebabkan aktivasi sistem koagulasi' Pada hemolisis, adenosin difosfat (ADP) atau fosfolipoprotein membran eritrosit mengaktivasi sistem koagulasi. Pada sepsis' endotoksin mengaktivasi sistem koagulasi, merangsang
penglepasan sitokin tumor necrosis alpha (TNF-o), interleukin (IL)-1, dan komplemen yang menyebabkan gangguan/kerusakan endotel. Pada viremia, mekanisme yang berkaitan dengan KID adalah reaksi antigen-antibodi, sedangkan hepatitis virus yang berat dan gagal hati akut dapat menyebabkan KID. KID juga sering terjadi pada keganasan terutama tumor padat. Keadaan ini dapat disebabkan oleh penekanan oleh tumor tersebut, faktor jaringan (tissue
factor) dan prokoagulan yang dilepaskan oleh
sel
hemolisis intravaskular: reaksi hemolisis transfusi,
tumor tersebut, atau melalui aktivasi sel endotel oleh s itokin (lL - 7, v a s c ul a r e nd o t he I al g r ow th fac t orlVEGF,
hemolisis minor, transfusi masif
T].IF).
sepsis: Gram negatif (endotoksin) atau positif (mukopolisakarida) viremia: HIV, hepatitis, varisela, sitomegalovirus metastasis kanker
leukemia: leukemia promielositik akut (APL/M3), mielomonositik (M4) lukabakar cedera karena trauma (crush injuries) dan nekrosis Jarrngan
trauma
i
Pada luka bakar, jaringan yang nekrotik dan mikrohemolisis merupakan pencetus KID. Sedangkan pada pasien dengan luka terbuka pada kepala atau menjalani
kraniotomi dapat terjadi KID yang dicetuskan oleh fosfolipid dari otak. Beberapa penyakit autoimun, kardiovaskular (termasuk
pemakaian protesa/katup jantung buatan), pembuluh
darah ginjal dan inflamasi berkaitan dengan KID kompensata. Hal ini berkaitan dengan gangguan endotel dan aktivasi faktor pembekuan.
t32t
KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA
GAMBARAN KL!NIS Manifestasi klinis KID dapat berkaitan dengan peristiwa KID itu sendiri, dengan penyakit yang mendasari, atau keduanya. Perdarahan pada kulit seperli petekie, ekimosis, dari bekas suntikan atau tempat infus atau pada mukosa, sering ditemukan pada KID akut. Perdarahan ini juga bisa
masif dan membahayakan, misalnya pada traktus gastrointestinal, paru, susunan saraf pusat atau mata. Pasien dengan KID kronik umumnya hanya disertai sedikit
pemeriksaan serial merupakan petanda KID yang sensitif, meskipun tidak spesifik. Terdapat sistem skor yang dibuat
oleh International Society on Thrombosis and Haemostasis pada tahun 2001, yang dapat digunakan untuk mendiagnosis KID. Di Indonesia telah dibuat Konsensus Nasional tatalaksana KID pada sepsis pada tahun 2001, yang selain memuat sistem skor tersebut di atas. juga memuat kriteria minimal untuk mendiagnosis KID pada sepsls.
perdarahan pada kulit dan mukosa.
Trombosis mikrovaskular dapat menyebabkan disfungsi organ yang luas. Pada kulit dapat berupa bula hemoragik, nekrosis akral dan gangren. Trombosis vena dan arteri besar dapat terjadi, tetapi relatifjarang. Disfungsi organ akibat mikrotrombosis yang luas ini dapat berupa iskemia korteks ginjal, hipoksemia hingga perdarahan dan acute respiratory distress syndrome (ARDS) pada paru serta penurunan kesadaran. Disfungsi hati dengan ikterus dilaporkan terdapat pada 22-517o pasien dengan KID.
DIAGNOSIS LABORATORIUM Gambaran hasil pemeriksaan laboratorium pada KID sangat
bervariasi dan dapat dipengaruhi oleh penyakit yang mendasari.'0 Pada pemeriksaan laboratorium dasar, leukositosis sering ditemukan. Granulositopeniajuga dapat
terjadi akibat ketidakmampuan sumsum tulang untuk
mengimbangi kerusakan neutrofil yang cepat. Trombositopenia sering ditemukan yang dapat disebabkan
oleh: 1). kerusakan trombosit yang meningkat, 2). perlekatan trombosit pada endotel mikrovaskular dan pembentukan mikroagregrat yang menyumbat kapiler, 3). produksi sumsum tulang yang kurang dan 4). pooling yang berlebihan pada limpa. Sedangkan anemia umumnya disebabkan oleh perdarahan, pemendekan umur eritrosit pada keadaan sepsis, gangguan hematopoiesis dan hemodilusi pasca resusitasi cairan. Pada pemeriksaan mikroskopik dapat ditemukan schistocytes, yang terbentuk akibat interaksi eritrosit dengan fibrin. Pemeriksaan hemostasis yang secara rutin dapat dilakukan adalah : mas a protromb in Qtrothrombin time IPT) , masa tromboplastin parsial teraktivasi (acivated partial thr o mb o pla s t in t ime I aPTT), D-dimer, antitrombin -III, fibrinogen dan masa trombin, sedangkan pemeriksaan
fragmen protrombinl+2, fibrinopeptida A, fibrinogen de
gradation product (FDP), platelet factor-4, tes protamin
dan reptilase tidak dilakukan secara rutin dan tidak selalu dapat dilakukan di laboratorium rumah sakit.
Yang harus diingat adalah pemeriksaan koagulasi se-
rial umumnya lebih menolong daripada satu kali pemeriksaan dalam mendiagnosis KID. Berkurangnya jumlah trombosit atau memanjangnya PT dan aPTT dalam
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan utama KID terdiri dai2bagian, yaitu: 1). segera mengatasi penyakit yang mendasari, dan 2.) tetapi suportif yang agresif, termasuk mengatasi hipovolemia dan
hipoksemia. Pemahaman mengenai patofisologi dan perjalanan penyakit yang mendasari atau pencetus KID sangat diperlukan untuk penatalaksanaan yang logis dan rasional. Setelah mengidentifikasi dan mengatasi penyakit yang
mendasari, yang harus ditentukan adalah apakah diperlukan substitusi faktor pembekuan dan apakah pemberian heparin harus dipertimbangkan..Karena penyebab dan manifestasi klinis yang sangat bervariasi, terapi KID harus dipertimbangkan secara individual berdasarkan usia, penyebab KID, Iokasi dan beratnya perdarahan atau trombosis, keadaan hemodinamik saat itu dan pengobatan penyakit yang mendasari. Jika kadar fibrinogen, trombosit atau faktor pembekuan rendah dan
pasien mengalami perdarahan atau akan menjalani prosedur invasif, pemberian faktor pembekuan seperti kriopresipitat, plasma beku segar atau trombosit konsentrat mungkin diperlukan. Pendapat yang mengibaratkan terapi substitusi ini seperti 'menambah minyak ke api', secara teori memungkinkan, meskipun temyata tidak terbukti baik secara klinis maupun pada penelitian eksperimental. Jika
pasien memerlukan terapi substitusi denganltatpa heparin, kadar trombosit dan fibrinogen harus diperiksa 30-60 menit setelah transfusi dan setiap 6 jam. Hal ini diperlukan untuk menentukan apakah KID masih aktif dan apakah masih diperlukan terapi substitusi. Indikasi, dosis dan carapemberian heparin yang tepat masih merupakan hal yang kontroversial. Jika terdapat tanda-tanda trombosis seperli nekrosis kulit pada pupura fulminan, iskemia akral atau kulit, atau tromboemboli vena, terapi heparin merupakan indikasi. Beberapa kondisi di mana terapi heparin mungkin diperlukan adalah: kematian janin intra uterin yang teretensi (retained dead fetus
syndrome), hemangioma raksasa (Kasabach-Merritt syndrome), aneurisma aorta, tumor padat dan APL. Sedangkan pada keadaan-keadaan seperti sepsis, solusio
plasenta, emboli air ketuban, abortus septik atau provokatus dan eklamsia/sindrom HELLP (H emobt s s, i
t322
HEMATOI.OGI
Elevated Liver EnzTtme and Low Platelet) atau penyakit hati, heparin secara umum tidak terbukti bermanfaat,
Bick RL. Disseminated intravascular coaguldtion. Cufient concepts
bahkan kadang-kadang dapat berbahaya. Jumlah dan cara
Hematology/oncology clinics of north America Thrombosis and thrombophllia: diagnosis and managemefi. 2003]7:149/o. Bick RL. Disseminated intravascular coagulation: a review of
pemberian heparin harus ditentukan berdasarkan gambaran dan situasi klinis. Sebagai contoh, pasien dengan emboli air ketuban dengan obstruksi pembuluh darah paru akut, diberikan heparin 5.000 unit secara bolus intravena, dilanjutkan dengan infus kontinu 1.000 unit per jam. Tetapi pada APL dengan hipofibrinogenemia berat, pemberian heparin bolus dan kontinu dalam jumlah sedang atau besar dapat menyebabkan perdarahan intra serebral yang fatal. Pada KID kronik, tidak diperlukan pemberian heparin bolus dan cukup diberikan dosis 15 unit per kg
berat badan per jam dengan infus kontinu, dengan penyesuaian dosis selanjutnya sesuai dengan respons paslen.
Modalitas terapi Iainnya adalah antitrombin (AT)-I[ dan protein C. Pada KID yang disebabkan oleh sepsis,
kadarAl menurun karena konsumsi yang berlebihan dalam proses koagulasi, sintesis yang menurun dan inaktivasi oleh enzim elastase yang dilepaskan oleh neutrofil yang teraktivasi. Berbagai penelitian mengenai pemberian AI
pada pasien
KID yang disebabkan oleh
sepsis
menunjukkan hasil yang bervariasi. Penelitian mengenai terapi protein C yang teraktivasi (activated protein Cl APC) menunjukkan berkurangnya mortalitas. Hasil ini juga
didapatkan pada pasien sepsis berat dengan risiko kematian tinggi. Pemberian obat penghambat fibrinolisis
seperti EACA tidak diperbolehkan karena dapat menyebabkan deposit fibrin yang luas di mikrosirkulasi dan disfungsi atau gagal organ karena iskemia. Pemberian penghambat trombin (direct thrombin inhibitor) terbukti efektif pada binatang tapi belum terbukti pada manusia, sedangkan terapi antibodi anti endotoksin tidak terbukti memperbai ki surv ival pasien.
Aoki N, Marsuda T, Saito H, Takatsuki K, Okajima K, Takamatsu J, et al. A comparative double-blind randomized trial of activated protein C and unfractionated heparin in the treatment of disseminated intravascular coagulation. Int J hematol. 5:5:540-1
treatment
etioiogy, pathophysiology, diagnosis, and management: guidelines
for Clin Appl Thromb
Hemost. 2002;8(1):l-31.
Cicco MD. The prothrombotic state in cancer: pathogenic mechanisms Crit rev oncol hematol. 2004:50:3:187-96. Y Basson B, Brandt JT, et al. Treatrnent effects of drotrecogin alfa (activated) in patients with severe sepsis with or without overt disseminated intravascular coagulation. Thromb Haemost 2004;2:11:1921-33. Dhainaut Jfl Yan SB, Cariou A, Mira JP. Soluble thrombomodulin, plasma-derived unactivated protein and recombinant human activated protein C in sepsis. Crit Care Med 2002130:5:S318Dhainaut JF, Yan SB, Joyce DE, Pettlla
24. Folkman J, Browder T, Palmblad J Angiogenesis research: guidelines for translation to clinical application. Thromb Haemost 200 I :86:21-13 Fourrier F, Jourdain M, Tournoys A. Clinical trial results with antithrombin III in sepsis. Crit Care Med 2000;28:9:538-43 Fourrier F Recombinant human activated prorein C in the treatment of severe sepsis: an evidence-based review. Crit Care Med
200.1:32:l I :S534-.11
Goodnight SH, Hathauay WE Mechanisms of thrombosis and hemostasis. Disorders
of hemostasis and thrombosis A clinical
guide 2"d edition. New York: The McGrau'-Hill: 2001 p 3-19 Levi M. Disseminated intravascular coagulaton: new concepts, new controversies. Coagulation: consultative hemostasis. 2002 The
American society
of
hematology. Available from http:i/
I I 33 5. cited 1213t2005. Levi M, Jonge Ed, Poll Tvd. CaLe HT- Novel approach to the management of disseminated intravascular coagulation Crit Care N,Ied
ww w. asheducationbook..org/cgi/content/full/2002/
2000:28:9:S20-.1
Mammen EF The haematolo_uical manifestations
of
sepsis.
J
Antimicrob Chemoth 1998;(suppt 4I):Al1-24 Marcus AJ. Platelet and their disorders. In: Ratnoff OD. Forbes CD. editors. Disorders of hemostasis 3'd edition. Philadelphia:
W.B.Saunders; 1996;9 p. 19-131 Rodrigues JC, Fein AM. Diagnostic approach and clinical manifestations of severe sepslis. In: Fein AM, Abraham EM,
REFEBENSI
2002:.'7
of etiology, pathophysiology, diagnosis, and
.
Bick RL. Disseminated intravascular coagulation. Culrent concepts of etiology, pathophysiology, diaghosis and treatment. In: Bick RL, guest editor Hematology/oncology clinics of norlh America. Thrombosis and thrombophilia: diagnosis and management 2003:12:1:1 49-1 6.
Balk RA. Pathogenesis and management of multiple organ dysfunction or failure in severe sepsis and septic shock. In: Balk RA, Casey LC, editors Critical care clinics. Septic and septic shocl<. Philadelphia: W.B. Saunders; 2000 p. 331-52.
Balk RA, Bernard GR, Bone RC, Dantzker DR, et al, editors Sepsis and multiorgan failure Baltimore: Williams and Wilkins: 1991;23.
p
269-16
Ratnoff OD. Disseminated intravascular coagulation In: Ratnoff OD, Forbes CD. editors. Disorders of hemostasis. 3'd edition. Philadelphia: W.B.Saunders; 1996;9 p 259-95. Seligsohn U. Dlsseminated intravascular coagulation. In: Beutler E, Lichtman MA. Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U, editors Wi1liams hematology. 6'h edition New York: McGraw-Hi11; 2001 p. t611-95 Saito H. Normal hemostatic mechanisms. In: RatnofT OD. Forbes CD, editors. Disorders of hemostasis. 3'd edition. Philadeiphia: W.B.Saunders; 1996. p. 23-52. Tambunan KL, Sudoyo AW, Mustafa I, Pudjiadi A, Chen K, Govinda A, Sukrisman L, editors. Konsensus nasional tatalaksana KID (DIC) pada sepsis 2001.
209 FIBRINOLISIS PRIMER Boediwarsono
PENDAHULUAN
menyebabkan perdarahan berat dari lokasijejas vaskular.
Fibrinolisis primer merupakan sindrom fibrinolisis yang
terdapat sejumlah besar aktivator plasminogen dalam darah
berlebihan oleh karena adanya enzim fibrinolitik di dalam sirkulasi seperli plasmin dan tissue plasminogen activaror (t-PA). Pengobatan dengan trombolitik mewakili contoh yang umum dan ekstrim dari fibrinolisis primer. Penyebab lainnya dari fibrinolisis primer sangat jarang. Sedangkan fibrinolisis sekunder merupakan respons kompensasi dari koagulasi intravaskular diseminata (KID), yang mungkin
atau pada permukaan fibrin, ketika terdapat kekurangan penghambat fibrinolytic, atau ketika hati tidak mampu membersihkan aktivator plasminogen atau plasmiri (Tabel 1). Enzim f,rbrinolitik yang beredar akan memecah trombus
Umumnya, proses fibrinolisis sistemik terjadi jika
yang terdapat dalam pembuluh darah, menghancurkan fibrinogen dan faktor pembekuan darah lainnya, dan menghambat fungsi trombosit (Gambar 1).
disebabkan oleh adanya berbagai penyakit lain yang mendasari. Contoh
Mekanisme
PATOFISIOLOGI
Ci rcu lati ng pl a sm
Sistem fibrinolitik berfungsi untuk membersihkan fibrin
in
ogen
Keganasan (contoh leukemia promielositik akut) Cardiopulmonary bypass
Penurunan kadar inhibitor activator inhibitor-)
Penyakit hati Amiloidosis Penyakit herediter
Penurunan bersihan hati dari plasmin, plasminogen activators
Transplantasi hati orthotopic End-stage liver disease dengan hipertensi portal
yang tidak diperlukan dari lokasi vaskular atau ekstravaskular dan ini merupakan pengaturan yang alami. Setelah jejas vaskular, deposisi fibrin akan merangsang pelepasan t-PA dari sel endotel yang terkena dan mungkin juga dari jaringan lainnya yang berdekatan dengan bekuan
(o2-a ntipl a smi n, pl a sm i noge n
yang terbentuk. Aktivator plasminogen akan mengikat rantai fibrin dan mengkonversi plasminogen menjadi plasmin, dengan memecah fibrin dan membentuk soluble fibrin degradation products (sFDP). Di bawah proses
fibrinolisis yang terkendali akan membatasi lokasi bekuan fibrin yang dipecah. Ini disebabkan adanya netralisasi plasmin bebas oleh a2-antiplasmin (a2-AP) dan
Pengobatan den gan ob at fi b rin
I
(PAI-
I).
-
sp e c
ifi
c thr om b o ly t i c
seperti t-PA, efek fibrinolitik akan terlokasir
pada plasmin sejumlah mengurangi permukaan fibrin, dengan bebas dalam sirkulasi. Hal yang penting, obat fibrinspecific thrombolytic ini tidak dapat membedakan trombus patologis dengan trombus normal dari sumbat hemostatik, sehingga dapat timbul perdarahan akibat obat ini seperti yang kita dapatkan akibat dari plasmin bebas di sirkulasi.
penghambatan t-PA oleh plasminogen activator inhibitor-
Obat trombolitik
activator
Jika enzim hbrinolitik terlepas ke dal am
sirkulasi dalam bentuk aktif, maka mereka akan segera dihambat oleh d2-AP dan dibersihkan oleh hati sebelum proses fibrinolitik ini berkembang. Kadang-kadang, sebagai akibat penyakit ini atau pemberian obat trombolitik, prose fibrinolisis akan muncul yang cenderung dapat
t32
t324
HEMTfiIOIIOGI
arteri koroner akut, I 1 persen pasien dengan perdarahan, 3 sampai 4 persen dengan perdarahan serius, dan 0,5 persen
dengan perdarahan SSP. Resiko perdarahan meningkat dengan adanya tindakan invasif yang dilakukan selama
,".
loqe
-cLLvaroro,.-*.
t
pLAsMr
N
Ii
.".",0 u,,
...*",
I
pemberian obat fibrinolitik atau jika pasien sudah memiliki gangguan hemostatik sebelumnya. Perdarahan juga timbul setelah pengobatan trombosis vena dalam, emboli paru, atau penyakit oklusi arteri perifer dengan obat trombolitik.
DerekKoasuas
fo*,*"
Gambar 1. Defek hemostatik pada fibrinolisis Plasmin menhancurkan circulating clot factors, mengganggu fungsi thrombosit, dan melisis hemostatic plugs
GEJALA KLINIS Perdarahan berat akibat fibrinolisis primer mungkin dapat terjadi, khususnya jika pada pasien dengan operasi atau
I mengambarkan sedikitnya ada 3 alasan timbulnya perdarahan:
,
Penyakit Hati Pasien dengan penyakit hati lanjut akan mengalami fibrinolisis sistemik. Hal ini disebabkan penLrrunan sintesa a2-antiplasmin di samping juga bersihan hati dari enzim
fibrinolitik yang menurun pada kondisi ini. Banyak pasien dengan penyakit hati stadium lanjut mempunyai nilai laboratorium yang menyokong adanya fibrinolisis (sampai dengan 40 persen mempunyai pemendekkan masa lisis euglobulin (MLE)), perdarahan karena fibrinolisis mungkin terjadi pada saat trauma atau operasi.
tindakan invasif lainnya. Gambar
.
.
Enzim fibrinolitik sirkulasi dengan cepat melisis bagian hemostatic plugs yang berhadapan dengan darah, sehingga semua defek vaskular, besar atau kecil, akan mulai berdarah. Plasmin akan menghancurkan fibrinogen, faktorV, dan
faktor
.
VIII,
Amiloidosis Fibrinolisis sistemik kronik mungkin san_eat jarang terjadi pada pasien dengan penyakit amiloidosis. Adsorpsi penghambat fibrinolitik seperti a2-antiplasnt ln pada fibril amiloidosis, serta peningkatan kadar aktivator plasminogen, mungkin bertanggung jawab pada defek hemostatik.
sehingga mengganggu pembentukkan
fibrin. Gangguan fungsi trombosit terjadi oleh karena adanya defek agregasi yang diinduksi oleh FDP, dan defek
.adesi akibat gangguan interaksi antara faktor von Willebrand-glikoprotein Ib yang diinduksi oleh plasmin.
klinis, fibrinolisis mungkin dicurigai pada pasien dengan luka (contohnya pada lokasi penyuntikan) yang Secara
sebelumnya perdarahan berhenti menj adi merembes kembali (ooz.e). Perdarahan hampir dapat terjadi di semua tempat,
namun khususnya prominen pada tempat trauma atau operasi. Perdarahan SSP yang bersifat merusak Iebih sering
pada pasien dengan fibrinolisis sistemik berat (contoh pemberian 150 mg t-PA pada TIMI II trial) daripada pasien dengan defek pembentukkan fibrin (contoh hemophilia A) atau disfungsi trombosit (contoh trombositopenia < 5000/ uL).
Pengobatan Trombolitik Pemberian infus akti vator plasminogen seperli streptokinase, urokinase, atau t-PA akan melisiskan bekuan pada arteri koronaria atau pembuluh darah lainnya yang buntu. Sebagai konsekuensi, resiko perdarahan akan meningkat pada pasien yang menerima pengobatan trombolitik. Pada
TIMI trial (Thrombolysis In Myocardial Infarction), pemberian t-PA intravena untuk pengobatan sumbatan
Keganasan Pasien leukemia promielositik akut cenderung menimbulkan fibrinolisis sistemik dibandingkan koagulasi intravaskular diseminata. Sel leukemia dapat membuat aktivator plasminogen (urokinase dan tissue n^pe'), dan
bila masuk ke sirkulasi akan menginduksi keadaan fibrinolitik. Kultur dari sel leukemia promielositik akut yang diinduksi oleh asam retinoat menunjukkan diferensiasi sel ini menjadi bentuk sel mieloid dewasa, menurunkan aktivitas faktor jaringan sel leukemia, namun perluasan dari enzim fibrinolitik selular masih tetap ada. Karsinoma prostat dan keganasan lainnya dapat juga menimbulkan fibrinolisis sistemik.
Card iopu I m on a ry By pass Pembedahan kardiovaskular dengan sirkulasi ekstrakorporeal akan meningkatkan aktivitas fibrinolitik, khususnya dari pergeseran darah mediastinum. Meskipun secara in viyo, autotransfusi darah ini tidak merangsang timbulnya fibrinolisis sistemik berat. Pengobatan pasien dengan penghambat fibrinolitik pada saat pembedahan akan mengurangi kehilangan darah yang terjadi.
Tindakan Pembedahan Lainnya Adanya fibrinolisis lokal pada area prostat merupakan faktor predisposisi terjadinya perdarahan segera dan
I325
FIBRINOIJSIS PRIMER
tertunda pada pasien yang dilakukan pembedahan urologi. Di dalam urin danjaringan traktus genitourinarium terdapat banyak aktivator plasminogen .
Proses
Uji Abnormal
Ci rcu I ati ng pl asm in oge n
Euglobulin lysis time Aktivitas t-PA Kompleks plasmin-antiplasmin
activators or plasmin
Kondisi Herediter Pasien dengan defek herediter cr2-AP maupun PAI- 1 j arang dilaporkan dengan perdarahan serius.
LABORATORIUM Pada Tabel 2 terdapat beberapa uji laboratorium yang mengalami gangguan pada fibrinolisis sistemik. Masa lisis
Proteolisis faktor pembekuan oleh plasmin
PT
APTT Fibrinogen Faktor V dan Vlll
Defek fungsi trombosit
Waktu perdarahan
Lisis fibrin
D-Dimer TCT
Konsumsi reaktan fibrinolitik
Plasminogen a2-antiplasmin Pl asm i n activ ator
euglobulin menggambarkan adanya plasmin yang bersirkulasi atau aktivator plasminogen, suatu uji standar
i n h ib
itor-
1
untuk penyaringan kelainan hemostatik yang merefleksikan
adanya defisiensi faktor pembekuan dan disfungsi trombosit, dan uji FDP yang berguna untuk menilai adanya
proses proteolisis fibrinogen atau fibrin. Masa lisis
PENGELOLAAN
euglobulin dikerjakan dengan membuat bekuan dari plasma
yang bebas penghambat fibrinogen dalam tabung uji.
Meskipun tidak selalu memungkinkan, pengobatan
Kemudian diamati setelah 60 menit untuk menilai kecapatan lisis bekuan. Karena uji ini cukup sensitif, maka uji positif
penyakit dasar yang bertanggung jawab atas timbulnya koagulopati merupakan pendekatan yang terb"aik saat ini. Sebagai contoh, pengobatan leukemia promielositik akut dengan menghilangkan sel-sel yang membuat aktivator plasminogen. Jika timbul perdarahan selama
(lisis terjadi <60 menit) tidak menggambarkan bahwa perdarahan klinis yang terjadi oleh karena fibrinolisis sistemik. Immunoassctys berguna untuk menilai kompleks plasmin-antiplasmin (PAP). Selama pengobatan trombolitik,
pengobatan trombolitik, penghentian infus seharusnya
kadar PAP menggambarkan pembuatan plasmin, meskipun asay ini belum dilakukan di laboratorium klinis secara
dilakukan karena waktu paruh obat trombolitik ini sangat singkat (5 sampai 30 menit) dan mereka cepat
rutrn. Kadar o2-AP yang rendah merupakan indikator adanya fibrinolisis ekstensif. u2-AP memiliki afinitas yang tinggi dengan plasmin, sehingga adanya plasmin bebas hanya
hilang dari sirkulasi.
terjadi setelah a2-AP habis dikonsumsi. Adanya 2 1tM plasminogen dalam plasma akan diikat oleh 1 pM o2-AP. Jadi, jika lebih dari separuh plasminogen akan di konversi menjadi plasmin, seluruh a2-AP akan dikonsumsi dan plasmin bebas akan timbul dalam darah. Konsentrasi fibrinogen yang masih bertahan, berguna sebagai petunjuk beratnya proses fibrinolisis yang terjadi, dengan catatan kita telah menyingkirkan penyebab hipofibrinogenemia yang lainnya. Fibrinolisis sistemik berat biasanya dikaitkan dengan kadar fibrinogen yang turun, sebagai contoh kadar fibrinogen yang turun dari 350 menjadi 100 mg/dl atau bahkan lebih rendah lagi setelah pengobatan trombolitik jangka pendek dengan streptokinase pada trombosis arteri koroner akut. Satu pertimbangan yang dilakukan pada pengukuran kadar fibrinogen pada setting pengobatan dengan trombolitik aktif adalah tabung koleksi darah seharusnya berisi penghambat spesifik untuk aktivitas fibrinolitik guna
mencegah fibrinolisis in'
vitro
dan kadang-kadang
dikelirukan dengan kadar fibrinogen yang rendah.
Jika fibrinolisis sistemik yang timbul ringan dan kronis, maka pengobatan dengan anti-fibrinolitik khusus tidak diperlukan. Sebagai contoh, pasien dengan penyakit hati lanjut dan masa lisis euglobulin yang pendek tanpa perdarahan. Meskipun fibrinolisis yang terjadi lebih berat dan terdapat perdarahan, penggantian dengan produk darah guna mengkoreksi defek koagulasi dan trombosit sering diperlukan. Transfusi plasma beku
segar yang berisi faktor pembekuan dan u2-AP, kriopresipitat yang berisi fibrinogen dan faktor VIII, dan transfusi trombosit akan membantu mengkoreksi defek
fungsi trombosit. Pada akhirnya, pengobatan antifibrinolitik dengan epsilon-aminocaproic acid alau asam traneksamat mungkin dapat menolong pada beberapa pasien, nafnun hati-hati oleh karena kemungkinan timbulnya risiko komplikasi trombosis. Sering sulit untuk membedakan fibrinolisis primer dan sekunder. Pada fibrinolisis sekunder, sebenarnya proses fibrinolisis ini bersifat protektif. Pengobatan trombolitik pada kasus dengan komplikasi perdarahan harus hati-
hati, pertimbangkan beratnya risiko re-trombosis koroner atau miokard dibandingkan beratnya perdarahan.
t326 REFERENSI Bevan DH et al . Cardiac bypass haemostasis : puffing blood through
the mill. Br J HaematoL 1999;104:208 Bovill EG et al . Hemorrhagic events during therapy with recombinant tissue-type rlasminogen activator, heparin, and aspirin for acute myocardial infarction. Results of the Thrombolysis in
Myocardial Infarction (TIMI) Phase II trial. Ann Intern Med.1997l, ll5:256 Collen D . The plasminogen (fibrinolytic) system. Thromb Haemost.
1999;82:259 Del Zoppo GJ . Thrombolytic therapy in the treatment of stroke.
Drugs. 1997;54:9O Handin RI . Disorders of coagulation and thrombosis. In : Harrison's principles of internal medicine. l6th edition. Vol 1. McGrawHill, New York. 2005.p. 680-7
HEMITIOI.OGI
Nielsen JD et al . Postoperative blood loss after transurethral prostatectomy is dependent on in situ fibrinolysis. BrJ
Urol.l997; 80:$89 Stump DC et al. Pathologic fibrinolysis as a cause of clinical bleeding. Semin Thromb Hemost. 1990;16'.260 Tallman MS . The thrombophilic state in acute promyelocytic leukemia. Semin Thromb Hemost.l999;25:209 Tracy RP, Bovill EG . Fibrinolytic parameters and hemostatic monitoring: Identify-ing and predicting patients at risk for major hemorrhagic events. Am J Cardiol.l992;69:52A Williams EC Plasma 62-antiplasmin activity. Role in the evaluation and manage-ment of fibrinolytic states and other bleeding disorders. Arch Intern Med. 1989;149:1169.
2to GANGGUAN HEMOSTASIS PADA SIROSIS HATI Karmel L. Tambunan
PENDAHULUAN Salah satu komplikasi yang sering dijumpai pada sirosis
hati adalah perdarahan. Komplikasi perdarahan bisa bervariasi dari yang paling ringan seperti ekimosis sampai
yang paling berat dan mengancam nyawa misalnya perdarahan saluran cerna bagian atas. Beratnya perdarahan, erat hubungannya dengan gangguan hemostasis, sedang
gangguan hemostasis biasanya ada hubungannya dengan gangguan fungsi hati (De Groote, 1984). Angka kejadi gangguan hemostasis pada sirosis hati berbeda dari satu pusat klinik ke pusat yang lain tetapi angka kejadian perdarahan yang memerlukan transfusi pada pasien sirosis hati adalah 32% (Spector dan Corn, 1967). Di Indonesia, Reksodiputro menemukan kelainan hemostasis sebanyak 78,517o pada sirosis hati dan 65,55Vo di antaranya disertai dengan gejala klinis perdarahan. Sulaiman menemukan manifestasi perdarahan pada sirosis hati, melena
5
6,2, hematemesis
5
0, 6
%, pe r dar ahan glusi 27
Perdarahan berulang ditemukan pada child A 1 kasus (5,56Vo), pada child B 4kasus (8,l6Ea), pada child C 17 kasus (37,04%). Dari sini terlihat bahwa insiden perdarahan bbratnya
perdarahan dan perdarahan berulang sangat erat hubungannya dengan beratnya penyakit menurut kJasiflkasi Child. Gangguan hemostasis pada sirosis hati sangat kompleks' Patogenesis gangguan hemostasis ini dapat digolongkan dalam beberapa kelompok berikut: . Gangguan sintesis faktorpembekuan dan antikoagulan . Defisiensi bersihan hati (hepatic clearance deficiency)
. . .
Trombositopenia Pembentukan faktor pembekuan yang abnormal Gabungan antara kelainan tersebut di atas
Berbeda dengan negara Barat sirosis hati terbanyak disebabkan alkohol.
Vo
dan epistaksis 13,2% (Sulaiman, 1990).Tambunan melaporkan dari 121 sirosis hati 75 kasus (6l,9Vo)mengalwru perdarahan. Perdarahan saluran cerna bagian atas dijumpai pada 46 kasus (38.01 Vo), 3 kasus (l 6,67 Vo) p ada c hild A, 1 6 kasts (32,65Vo) pada childB, sisanya 27 kasus (50%) pada
GANGGUAN SINTESIS FAKTOR PEMBEKUAN Semua faktor pembekuan diproduksi di dalam hati, kecuali
F
VIII yang diduga diproduksi dalam endotel pembuluh
darah. Berdasarkan sifat, kebutuhan akan vitamin K, faktor
childC. Perdarahan karena ruptur esofagus dijumpai pada child A 1 kasus (5,57o) child B 5 kasus (10,20Vo) dan child
pembekuan dibagi dalam tiga kelompok yaitu:
C 19 kasus (35,18Vo). Perdarahan gusi dan atau epistaksis dijumpai pada40 kasus sirosis hati (32,23Vo), pada child A 1 kasus (5,5%), pada child B 15 kasus (30,617o), pada child C 24 kasus
Bergantung pada Vitamin K Vitamin K berfungsi sebagai koenzim dalam
(44,tA%o).
Ekimosis dan atau hematoma ditemukan pada child A I kasus (5,5Vo),childB 8kasus (16,337a),childC 6kasus (l1,ll%o).
proses
pembentukan F II, F VII, F IX dan F X. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya vitamin K berperan pada tahap akhir pembentukan faktor pembekuan tersebut yaitu pada tahap karboksilasi asam gamma glutamat. Tanpa vitamin K, akan terbentuk faktor pembekuan yang tidak sempurna dan tidak
t327
t328 berfungsi baik. Faktor pembekuan yang tidak sempurna ini bahkan dapat bersifat seperti antikoagulan. Bila terjadi defisiensi vitamin K maka faktor pembekuan yang pertama kurang ialah faktor VII karena paruh umurnya 4-1 jam, kemudian F IX, lalu F X dan terakhir F II. Tambunan melaporkan kadar faktor pembekuan yang tergantung vitamin K pada sirosis hati berbeda bermakna bila dibandingkan pasien sirosis hati child A child B child Cdan kelompok normal. Prevalensi defisiensi faktor II ditemukan l2%o dari 120 pasien birosis hati.Yaitu terdiri dari defisiensi faktor II pada child A 3 kasus (16,617o), childB 32 kasus (65,31Ea), child C 52 kasus (99,17Vo). Defisiensi faktor VII ditemukan 42 kasus (.35Vo) dari 120 kasus dan tidak ditemukan pada child A, sedangkan pada child B 13 kasus (26,53Ea) sedangkan child C 29 kasus (54,12Ea). Defisiensi faktor IX ditemukan pada78,37o (94 dari 120 kasus) yaitu pada masing-masing kelompok, pada childA8 kasus (44,447o),padachildB 39 kasus (19,59Ea) dan child C 47 kasus (88,69Eo). Defisiensi faktor X, ditemukan 13,3Eo (88 dari 120kasus) yaitu pada masingmasing kelompok, yaitu child A6 kasus (33,337o), childB 3 6 kasus ('7 3,41 7o), dan p ada c hild C 46kasus (8 6,7 9 7o ). Vitamin K yang terdapat dalam tubuh berasal dari makanan, terutama sayuran hijau dan dari hasil sintesis bakteri usus. Defisiensi vitamin K dapat terjadi oleh karena kurang tersedia dalam makanan, gangguan absorbsi dan pada penyakit hati. Pada penyakit hati obstruksi, defisiensi vitamin K terjadi akibat berkurangnya garam empedu yang diperlukan untuk absorbsi vitamin K. Pemakaian obat kolesteramin untuk menghilangkan gatal pada penyakit hati obstruksi, akan memperberat defisiensi vitamin K karena kolesteramin mengikat garam empedu. Pasien sirosis hati yang mendapat antibiotika dalam waktu yang lama (lebih dari 14 hari) dapat menyebabkan gangguan sintesis vitamin K oleh usus yang terlihat dari masa protrombin yang memanjang. Defisiensi faktor pembekuan
yang bergantung vitamin K pada sirosis hati, umumnya
terganggu karena kemampuan sintesis hati yang berkurang, tetapi gangguan sintesis faktor II, VII, IX dan X, kadang-kadang diperberat oleh adanya defisiensi vitamin K. Tambunan melaporkan pemberian vitamin K oral pada sirosis hati pada child C tidak ada manfaat, pada
child A darl child B tidak konklusif dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Walaupun pemberian vitamin K pada sirosis hati hasilnya mengecewakan, beberapa peneliti masih menganjurkan pemberian vitamin K pada sirosis hati. Robert menganjurkan pemberian vitamin K pada pasien yang akan menjalani biopsy hati yang disertai dengan masa
protqombin memanjang. Pada penderia sirosis hati yang disertai ikterus berat dan perdarahan dianjurkan untuk mencoba memberikan vitamin K 10 mg intravena atau intramuskular selama 3 hari. Kadar faktor pembekuan dapat menentukan beratnya
sirosis hati. Perdarahan spontan dan kematian, erat
HEIUIIiIOI.OGI
hubungannya dengan kadar F II yang kurang dari 20Vo. Dilaporkan kadar F VII menurun baik pada sirosis hati alkoholik maupun pada sirosis hati yang bukan alkoholik. Faktor VII merupakan faktor pembekuan yang paling peka terhadap defisiensi vitamin K. Respons yang gagal menaikkan F VII atau memendekan masa protrombin terhadap pemberian vitamin K pada penyakit insufisiensi hati berat merupakan tanda prognosis buruk. Pada sjrosis hati dekompensasi, umumnya tidak ada respon kenaikan F VII terhadap pemberian vitamin K. Untuk menentukan sirosis hati dekompensasi atau tidak, yang didasarkan atas respons kenaikan faktor pembekuan terhadap pemberian vitamin K, pemeriksaan kadar F VII lebih peka daripada masa protrombin. Pada penyakit hati menahun, F VII juga merupakan peramal yang baik untuk menentukan pasien mana yang akan mengalami perdarahan berat (Manucci, 1970).
Faktor IX juga berkurang pada sirosis hati. Bila masa tromboplastin parsial memanjang diserlai kadar F IX kurang dari 357o merupakan petanda prognosis buruk (Spector dan Corn, 1967) dan terlebih lagi bila disertai dengan respons gagal terhadap vitamin K (Donaldson et al, 1969). Faktor X, sama seperti F II, F VII dan F IX juga berkurang pada sirosis hati tetapi kurang sering dievaluasi seperti faktor yang lain (Spector dan Corn, 1967). J:uga dilaporkan pada sirosis hati kadar faktor pembekuan dapat berkurang karena keluar dari plasma darah dan masuk ke dalam komparlemen ekstravaskular (Straub, 1977).
Kelompok Fibrinogen
V F VIII dan F XIII dikelompokkan dalam fibrinogen atas dasar BM>300.000
Faktor pembekuan fibrinogen, F
dalton dan untuk pembuatannya tidak memerlukan vitamin K. Pada sirosis hati yang stabil sering ditemukan fibrinogen menurun atau masih normal. Penurunan kadar fibrinogen pada sirosis hati dapat terjadi karena konsumsi koagulopati, fibrinogenolisis yang berlebihan dan sintesis yang berkurang. Selain karena kadar fibrinogen berkurang pada sirosis hati sering juga dibentuk fibrinogen yang abnormal yang disebut disfibrinogen. Tambunan pada tahun 1993 melaporkan kadar fibrinogen juga menurun sesuai dengan tingkat beratnya penyakit merrurut child hanya kadar fibrinogen pada child A dan B berbeda tidak bermakna, sedangkan antaru child A dan child C, dan child B dan child C.berbeda bermakna. Defisiensi fibrinogen ditemukan 54,177o (65 dari 120 kasus) dan pada masingmasing kelomp okpada childA 2 kasus (ll ,llVo) child B 24 kasus (48,98%), dan child C 39 kasus (7 3,58Vo).
Faktor V sering menurun pada penyakit hati kronis. Bila kadar F Y 20-50Vo sering terjadi perdarahan spontan atau perdarahan dengan prognosis yang buruk. Faktor V juga penting dalam menilai fungsi hati berat pada stadium akhir. Bila F V persisten kurang dari 507o merupakan petanda prognosis yang buruk. Defisiensi fibrinogen dan
t329
GANGGUAN HEMOSTASIS PADA SIROSIS HATI
F V, biasanya ditemukan pada penyakit hati berat atau pada
stadium akhir. Tetapi kedua faktor pembekuan inijuga bisa berkurang apabil a terj adi fibrinolisis primer atau koagulasi intravaskular diseminata (KID). Faktor VIIIC dan VIII.vW tidak disintesis dalam hati.
Asalnya tidak diketahui dengan pasti tetapi diduga di endotel pembuluh darah. Faktor VIIIR.Ag disintesis dalam
yang beredar di dalam darah melebihi daya bersihan hati maka prokoagulan ini akan mengaktilkan sistim pembekuan dan menyebabkan pembekuan intravaskular diseminata. Walaupun masih ada faktor lain yang berperanan dan turut menentukan terjadinya fibrinolisis dan KID, tetapi bersihan hati merupakan salah satu faktor yang terpenting.
endotel hati danjaringan lain. Pada sirosis hati yang stabil F VIIIC sering meningkat walaupun tidak setinggi seperti pada nekrosis hati akut. Bila pada sirosis hati kadar F VIIIC
FIBRINOLISIS
kurang dari 1007o maka perlu dicurigai ada konsumsi
Hiperfibrinolisis atau fibrinolisis yang berlebihan sudah
koagulopati akut. Faktor XIII merupakan petunjuk yang baik untuk
lama dikenal pada sirosis hati. Fibrinolisis yang berlebihan ini ditandai dengan masa lisis euglobulin yang memendek dan hasil degradasi fibrinogen yang meningkat. Untuk
meramalkan kematian pada sirosis hati dan hepatitis. Pasien biasanya meninggal bila kadar F XIII kurang dari 35Vo dan disertai kadar plasminogen kurang dari 197o.
Faktor Pembekuan Kontak Faktor XI, F XII, prekallikrein dan KBMT bisa berkurang pada sirosis hati karena gangguan produksi. Prekallikrein adalah yang pertama terlihat menurun pada sirosis hati. Faktor kontak tidak memperlihatkan sesuatu nilai ramalan pada sirosis hati yang stabil. Penurunan kadar F XII biasanya terjadi bersamaan dengan penurunan kadar albumin darah.
fibrinolisis yang berlebihan dengan fibrinolisis sekunder yang terjadi pada KID, beberapa penulis menyebut hiperfibrinolisis dengan istilah membedakan
fibrinolisis primer atau hanya disebut fibrinolisis saja. Patogenesis fibrinolisis pada sirosis hati masih kontroversial. Dikemukakan ada 2 teori penyebab llbrinolisis (l) kemampuan hati melakukan bersihan terhadap aktivator plasminogen berkurang, sehingga plasmin meningkat di dalam plasma, dan (2) sintesis alamiah yaitu antiplasmin a2 berkurang.
Pada pasien sirosis hati, fibrinolisis primer bisa meningkat dalam sirkulasi plasma dengan manifestasi perdarahan dari mukosa lambung dan robekan esofagus.
ANTIKOAGULAN Sebagaimana sudah dikemukakan, selain protein C masih ada antikoagulan yang lebih kuat yaitu AT III. Berbeda dengan protein C, sintesis AI III tidakmemerlukan vitamin K. Peranan AI III dalam penyakit hati penting. Protein C dan AT III erat hubungannya dengan fungsi sintesis hati
pada sirosis hati dan penyakit hepatitis menahun. Pemberian AT III pada sirosis hati dapat meningkatkan kadar fibrinogen karena mengurangi aktivitas intravaskular koagulasi serla memperbaiki parameter pembekuan. Pada sirosis hati AI III dapat berkurang disebabkan gangguan sintesis. Tambunan melaporkan kadarAT III kelompokA, B dan C dan kelompok normal berbeda bermakna bila dibandingkan baik kelompok child A dengan kelompok normal, child A dengan child B, child B child C.
DEFTSIENSI BERSIHAN HATI (HE?AT|C CLEARANCE
DEFtCtENCn Selain memproduksi faktor pembekuan, hati juga berfungsi
untuk membersihkan zat aktivator maupun prokoagulan yang beredar di dalam darah. Bila zat aktivator yang beredar di dalam tubuh melebihi daya bersihan hati, aktivator akan
mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin dan menyebabkan terjadinya fibrinolisis. Apabila prokoagulan
Fibrinolisis lokal mungkin berperanan penting dalam memperberat perdarahan pada mukosa lambung yang terus
berlangsung. Tetapi pada sirosis hati stabil juga bisa ditemukan fibrinolisis tanpa diserlai gej ala perdarahan. Hal
ini mengundang keinginan untuk mengetahui bagaimana hubungan attara fibrinolisis dengan pasien yang mengalami perdarahan.
Analisis masa euglobulin sebagai prediktor pada pasien
SH 68 kasus dengan perdarahan dan 40 kasus tanpa perdarahan tidak terbukti masa lisis euglobulin dapat digunakan untuk memprediksi perdarahan sedangkan kadar D-Dimer dapat dipakai sebagai prediktor perdarahan.
KOAGU LASI INTRAVASKU LAR DISEMINATA Walaupun pada mulanya KID diragukan pada sirosis hati, namun bukti hasil penelitian selanjutnya menghilangkan keraguan tersebut. Masalah ini timbul karena gambaran hemostasis pada sirosis hati sangat mirip dengan KID. Tetapi dengan ditemukannya bukti aktivitas trombin dan plasmin yang merupakan ciri khusus dari KID masalah tersebut dapat
teratasi. Aktivitas trombin terlihat dari meningkatnya fibrinopeptida A, sedang aktivitas plasmin terlihat dari kenaikan D-Dimer. Ada beberapa faktor yang berperanan dalam proses terjadinya KID pada sirosis hati. Tambunan
L330
HEM'IilOI.oGI
melaporkan D-Dimer meningkat pada 59,487o kasus secara bermakna dan dalam analisis selanjutnya ditemukan bahwa D-Dimer > 2000, dapat merupakan prediktor perdarahan.
D-Dimer untuk menegakkan diagnosis KID pada sirosis hati. Karena D-Dimer adalah hasil degradasi dari ikatsilang fibrin maka D-Dimer hanya positif pada trombosis atau KID (Can 1989a).
Penurunan Kemampuan Bersihan Hati Zat toksis yang ada dalam usus melalui vena porta akan masuk dalam sirkulasi darah. Dalam keadaan normal zat toksis ini akan dibersihkan oleh hati. Pada sirosis hati kemampuan untuk membersihkan zat toksis ini kurang, sehingga zat toksis tersebut akan mengaktifasi proses pembekuan darah dan terjadi KID. Pen ing
katan Tromboplastin
Pada sirosis hati sel hati yang mengalami nekosis dapat
berperan sebagai tromboplastin dan mengaktivasi sistem pembekuan. Pembekuan intravaskular yang terjadi oleh karena diaktifkan oleh tromboplastin paling jelas terlihat pada hepatitis fulminan.
TROMBOSITOPENIA Frekuensi trombositopenia pada sirosis hati cukup tinggi yaitl3T -77V0. Penyebab trombositopenia pada sirosis hati
bermacam-macam, dapat karena hipersplenisma, KID, alkohol, Selain karena trombositopenia perdarahan pada sirosis hati dapat terjadi akibat gangguan fungsi trombosit yang disebabkan HDF yang meningkat. Berbeda dengan laporan sirosis hati di negara Barat, Tambunan melaporkan dari 120 kasus sirosis hati, hanya 13 kasus (lO,83Vo). Perbedaan ini kemungkinan disebabkan penyebab sirosis hati yang berbeda yaitu di negara barat adalah karena alkohol sedangkan di Indonesia sirosis hati disebabkan karena infeksi virus hepatitis.
Stasis Sistem Porta Pada pasien sirosis hati sering ditemukan hipertensi porta,
Pada hipertensi porta terdapat bendungan yang
PEMBENTU KAN FAKTOR PEMBEKUAN YANG AB.
mengakibatkan hipoksia sel endotel pembuluh darah. Hipoksia sel endotel pembuluh darah menyebabkan
NORMAL
dilepaskannya aktivator yang merangsang sistem pembukuan darah. Uji klinis yang dikemukakan sebagai bukti bahwa KID
ada pada sirosis hati antara lain pemberian heparin memperlihatkan perbaikan uji laboratorium KID yang
terlihat dari kenaikan fibrinogen dan trombosit. Fibrinopeptida A yang meningkat pada sirosis hati berkurang setelah pemberian heparin menunjukkan bahwa pada sirosis hati terjadi pembentukan trombin intravaskular. Pemberian heparin dosis rendah pada sirosis hati selama operasi elektif yang menunjukkan perbaikan fagositosis dan fungsi katabolik sistem retikulo endotelial, dapat menerangkan perbaikan hasil laboratorium karena bersihan
Pada sirosis hati dapat terjadi pembentukan fibrinogen yang tidak normal yang disebut disfibrinogenemia. Fibrinogen yang abnormal ini mengandung asam sialat yang tinggi. Kadar fibrinogen pada disfibrinogenemia bila diukur dengan cara pemeriksaan immunologis atau cara presipitasi hasilnya normal. Tapi pemeriksaan masa trombin akan memanjang. Ini akibat gangguan polimerasi fibrinogen. Masa trombin yang memanjang karena disfibrinogenomia ini dapat dikoreksi dengan memberikan neuromidase karena mengikat asam sialat.
GABUNGAN ANTARA BEBERAPA KELAINAN
substansi toksis dan fragmen faktor pembekuan. Meskipun heparin berguna pada pe.natalaksanaan KID,
HEMOSTASIS
tetapi pada nekrosis hati akut masih dipertanyakan, karena walaupun hasil laboratorium menunjukkan perbarkan tetapi tidak jelas menurunkan mortalitas.
Pada sirosis hati sering dijumpai gabungan beberapa kelainan hemostasis seperti defisiensi faktor pembekuan yang disertai dengan fibrinolisis primer atau pembekuan intravaskular diseminata. Yang sering menjadi masalah ialah membedakan antara fibrinolisis primer yang disertai dengan trombositopenia di satu pihak dengan defisiensi faktor pembekuan yang disertai dengan
Minna pada tahun 7974 mengemukakan kriteria laboratorium definitif pada sirosis hati untuk membedakan anlata gangguan hemostasis disertai KID dan tanpa disertai KID, yaitu pada SH yang disertai KID ditemukan fibrinogen rendah kurang dari l25mg%o, masa protrombin sangat memanjang lebih dari 25 detik, trombosit kurang
dari 50.000/mm3 dan respon positif terhadap pemberian heparin. Tetapi banyak peneliti lain kurang menyetujui kriteria
trombositopenia di satu pihak dengan defisiensi faktor pembekuan yang terjadi karena KID. Masalah ini sekarang dapat diatasi dengan tersedianya pemeriksaan
D-Dimer yang dapat membedakan antara
tersebut, dengan alasan hemostasis pada sirosis hati
fibrinogenolisis dan fibrinolisis. Hal ini sangat penting dari segi klinis karena pengobatannya sangat
sangat kompleks mengemukakan pentingnya pemeriksaan
berbeda.
1331
GANGGUAT{ HEMOSTASIS PADA SIROSIS HATI
SIROSIS HATI
Beta blocker. Propanolol mengurangi perdarahan gastrointestinal karena menurunkan tekanan vena porta.
Tindakan yang harus dilakukan pada pasien sirosis hati
Keuntungan lainnya akibat sirkulasi pada vena porta yang berkurang, menyebabkan aktivitas fibrinolisis mukosa
PENATALAKSANAAN PERDARAHAN PADA
dengan perdarahan ditujukan untuk menghentikan perdarahan dan mengembalikan volume darah. Untuk mencapai tujuan tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan medikamentosa dan bedah.
Iambung juga berkurang.
Terapi sklerosing (skleroterapi). Tujuan terapi sklerosing adalah menghentikan perdarahan dengan cara menyuntikan sklerosan pada varises osofagus (Terblance et al, 1981;
Paquet dan Feussner, 1985). Selain menghentikan
Medikamentosa tansfusi darah atau komponen darah.
Transfusi darah dan plasma beku segar merupakan pilihan pertama untuk
mengatasi perdarahan pada sirosis hati yang bukan masalah beclah. Walaupun demikian transfusi darah atau komponen darah pada sirosis hati tidak selalu memberi hasil yang diinginkan, Finkber pada tahun 1959, melaporkan transfusi darah segar dapat menghentikan perdarahan. Sebaliknya Spector melaporkan transfusi darah segaLr malah dapat memperberat perdarahan.
Konsentrat kompleks protrombin dan plasma beku segar dilaporkan mempunyai efektifitas yang tinggi dalam mengatasi perdarahan pada sirosis hati. Konsentrat AT III juga dilaporkan bermanfaat mengatasi perdarahan pada
sirosis hati. Tambunan melaporkan transfusi plasma beku segar dengan dosis rata-rata l5 ml/kgBB dapat rnenaikkan secara bermakna faktor I[, VII,tX, X.
Heparin. Pemberian heparin pada sirosis hati dengan perdarahan masih kontroversial. Pertentangan ini timbul disebabkan oleh hal yang dijelaskan sebelumnya yaitu adanya keraguan KID pada sirosis hati. Minna pada tahun 1974, melaporkan bahwa ia berhasil mengatasi perdarahan
KID dengan memberikan heparin 5000-7500 U tiap 4-6 jam. Pengobatan dengan heparin pada si"iosis hati yang disertai koagulasi intravaskular derajat rendah menaikkan kadar fibrinogen, plasminogen dan memperbaiki masa protrombin. Fischer pada tahun 1973 menganjurkan pemberian heparin pada sirosis hati dengan perdarahan karena terbukti memperbaiki faktor pembekuan. Walaupun pemberian heparin pada sirosis hati dengan perdarahan terbukti memperbaiki faktor pembekuan, tetapi banyak yang kurang setuju karena alasan tidak terbukti menurunkan mortalitas. Tambunan melaporkan pemberian heparin 10 menit sebelum transfusi plasma beku segar dibandingkan dengan tanpa memberikan heparin pada pasien dengan sirosis hati di sertai asites dan D-Dimer positif , kadar fibrinogen meningkat secara bermakna pada pasien yang pada sirosis hati yang disertai dengan
mendapat heparin.
Antifibrinolisis. Epsilon amino caproic acid (EACA), memperlihatkan beberapa keuntungan, tetapi sekarang tidak dianjurkan karena risiko terjadinya trombosis tinggi. Antifibrinolisis lainnya seperti asam traneksamat dapat diberikan bila ada fibrinolisis.
perdarahan darurat terapi ini j uga dapat dipakai mencegah perdarahan jangka parijang (Mac Dougal et al, 1982).
Balon tamponade (SB Tube). Balon tamponade dipergunakan pada perdarahan varises yang masif. Balon tamponade bekerja dengan cara mekanik yaitu menekan langsung pembuluh darah varises yang robek (Terblance et al, 1 98L; Fleig et al 1983),
Operasi Tujuan operasi adalah untuk menghentikan atau mencegah perdarahan (Tabak et al 1982). Tindakan bedah dapat berupa pintas porta sistemik (Spleno renal shunt) atalu transeksi esofagus.
REFERENS! Aster RH. 1966. Pooling ofplatelets in the spleen: role in the pathogenesis of "hypersplenic thrombocytopenia". J Clin lnvest 45:645-57.
Biland L, Duckert F, Prisender S et al. 1978. Quantitative Estimation of Coagulation Factors in Liver Disease, The Diagnostik and Prognostic Value of Factor XIII, Factor V and Plasminogen. New Eng J Med 305,242-8. Bloom AL. 1975 Intravascular coagulation and the liver. Br J Haematol. 30:l -7. Bloom AL.1975. Intravascular coagulation and the liver. Br J Haematol. 30: I -7. Corrigan JJ. 1981. Diagnosis and Therapy of Coagulopathies in Patients with Liver Disease, Contemp Anesth Pract,
4:l-li
Clark R, Rake MO, Flute PT, et al. 1973. Coagulation Abnormalities in Acute Liver Failure: Pathogenetic and Therapeutic Implications. Scand J Gastro enteroi 8: (Suppl.19):63-70. Carr JM. 1989b Disseminated Intravascular Coagulation in Cirrhosis. Hepatology 10,103-10. Cowan DH, Hine JD. 1971. Thrombocytopenia in severe alcoholism. Ann Intern Med 74, 34-43. Cowan DH. 1980. Effect of alcoholism on hemostasis Semin
Hematol 11:137-47 Consensus Conference. 1985. Fresh Frozen Plasma JAMA. 253:551-3. Corrigan JJ. 1981. Diagnosis and Therapy of coagulopatjies in patients with liver disease. Contemp Anesth Pract,4:1-11. Cordova C, Musca A, Violi F, et al. 1982. Improvement of some blood coagulation factors in cirrhotic patients treated with low doses of heparin. Scan J Haematol;29:235-40' Coccheri S, Manucci PM, Palareti G et al. 1982. Significance of plasma fibrinopeptida A and high molecular weight fibrinogen in patients with liver cirrhosis. Br J Haematol, 52:503-9.
1332
HEMANOIPGI
Capel P. 1984. Platelet involvement in the hemostatic failure of liver disease In hemostatic failure in liver disease, Thijs O dan Fondu P, Editor. Martinus Nijhoff Publisher, Boston;69-80. Cooney D, Smith A. 1978. The pathophysiology of hipersplenic thrombocytopenia. Arch Intern Med I2l:332-'7. Coleman M, Finlayson N, Bettygole RE, et al. 1975. Fibrinogen survival in cirrhosis: Improvement by "Low Dose" heparin. Ann Intern Med.:83:79-81. De Groote J. 1984 Introduction. In Haemostasis Failure in Liver disease. Fondu P dan Thijs O. Martinus Nijhoff Publisher. 1-4. Deutsch E. 1965. Blood Coagulation Changes in Liver Disease Prog Liver Dis. 2:69-93. Donaldson GWK, DavieSH, Darg A, et a1. 1969. Coagulation Factors in Chronic Liver Diseases. J Clin Pathol, 22:199-204.
Fletcher AP, Biederman O, Moore D, et al, 1964. Abnormal Plasminogen-plasmin System Activity (fibrinolisis) in Patients with Hepatic Cirrhosis : Its cause and consequences. J Clin Inevst, 43:68 1 -95
Francis CW dan Marder VJ. Mechanism of fibrinolysis in Hematology. Williams et al. MCGraw Hill Publishing company.1313-21. Feinstein DI. 1982. Diagnosis and management of disseminated intravascular coagulation : the Role of heparin therapy. Blood :60:284-'7. Fischer M, Gauss P, Korp W, et al 1973. Heparin therapy in the case od acute liver cinhosis. Scand j Gastroenterol 8 (Suppl 19): 135-8. Finkbiner RB, McGovem JJ, Goldstein R, et al. 1959. Coagulation defects in liver disease and response to transfusion during surgery Am J Med, 26:199-213. Fleig WE, Stange EF, Reuttenaueur K, et al. 1983. Emergency endoscopy slerotherapy for bleeding esophageal varices: a
prospective study
in patients not responding to
ballon
tamponade. Gastrointest endosc 29,8-14. Green G, Dymock IW, Poller L, Thompson JM, et al 1976. Factor VII as a marker of Hepatocellular Synthetic Function in Liver Disease. J Clin Pathol . 29:971-5. Green G, Poller L, Thompson JM, et al. 1977. Association of abnormal fibrin polymerization with liver disease. Gut;18:90912. Green G, Poller L, Thompson JM, et al. 1977. Association of abnormal fibrin polymerization with severe liver disease. Gut; I 8:909-12. Grossi C, Rousselot L, Panke W. 1962 Coagulation defects in patients with cirrhosis of the liver undergoing porta systemic shunts. Am J Surg, 104:512-26. Hallen A, Nilsson IM.1964. Coagulation Studies in Liver Disease.
Thromb Diath Haemorrh 11:41. Herold R, Straub PW.1973. Acute Hepatic Necrosis of Hepatitis and Mushroom Poisoning. Helv Med Acta 37:5-24 Jacobson RJ, Wagner S, Weinberg R, et al. 1971. Bleeding complications in the fulminant hepatitis. Lancet, 2:1426. Koller F. 1973. Theory and Experience Behind the Use of Coagulation Tests in Diagnosis and Prognosis of Liver Disease. Scand J Gastreoenterol, 8 (Suppl), 19:51-61. Kupfer HG, Gee W, Ewald AI et al. 1964 Statistical Correlation of
Liver Function Tests with Coagulation Factor Deficiencies in Laennec's cirrhosis. Thromb Diathes Haematol, 11:317-31. Karpathin S, Freedman ML. 1978. Hipersplenic thrombocytopenia differentiated from increased peripheral destruction by platelet. Ann Intern Med 89:200-3. Lord JW, Andrus W de W. 1941. Differentiation of Intra Hepatic and Extra Hepatic Jaundice. Response of the Plasma Prothrom-
bin to Intramuscular Injection of Menadione (3-methyl-1.4 Napthoquinon) as a Diagnostic Aid. Arch Intern Med 68. 199-
2t0. Laursen B, Mortensen JZ, Frost L et al. 1981. Disseminated Intravascular Coagulation in Hepatic Failure Treated with Antithrombin IIL Thromb Res,22:1 0l -1 04. Lahnborg G, Berghem L, Lagergen H, et al. 1976. Effect of low-dose heparin on the phagocytic and catabolic function of the reticuloendothelial system in man during surgery. Ann Chir Gyn,65:376-81. Lechner K, Niesser H, Thaler E. 1911 . Coagulation abnormalities in liver disease. Sem Thromb Hemostas,4:1:40-56. Langley P, Hughes R, Williams R. 1982. Platelet adhesiveness to glass beads in liver disease. Acta Haemat. 67:124-7. Linderbaum J, Hargrove R 1968. Thronrbocytopenia in alcoholic. Ann Intern Med 68:526-32
al. 1977. Acquired dysfibrinogenemia in acute and chronic liver disease. Br J Haematol 35.301-8. Lebrec D, Poynard T, Hillon P, et al. 1981. Propanolol for prevention of recurrent gastrointestinal bleedings in patients with cirrhosis. N Eng J Med, 305l.7311-14. Lane DA., Scully MF, Thomas DP, et
Manucci PM. 1970 Estimation of Prothrombin in Liver Disease J Clin Pathol 23:291-5. Mindrum G. Glueck HI 1959. Plasma Prothrombin Time in Liver Disease: Its Clinical and Prognosis Significance. Ann Intern Med 50:1370-84. Mason fW and Colman RW. 1971. The Role of Hageman Factor in Disseminated Intravascular Coagulation Induced by Septicemia, Neoplasia or Liver Disease. Thrombos Diathes Haemorrh,
26:325-37. Manucci L, Diguardi N, DelNinno E, et al, 1973. Value of Normotest and antithrombin III in the Assessment of Liver Function. Scand J Gastroenterol , 8 (Suppl 19):103-7. Mosser KM, Hajjar GC. 1966 Age and Disease-related alterations in Fibrinogen-euglobulin (fibrinolytic) Behaviour. Am J Med Sci,
251.:536-44 Minna JD, Robboy SJ, Colman RW. 1974. Liver disease in DIC. In Disseminated intravascular coagulation in man. Springfield, I1Iinois, Charles C Thomas. 160-6.
Maisonneuve P, Sultan Y. 1977 . Modification of Factor VIII Complex Properties in Patients with Liver Disease J Clin Pathol, 30:221-1 . Martinez J, MacDonald KA, Palasoak JE. 1983 The role of sialic acid in the dysfibrinogenemia assoclated with liver disease: Distribution of sialic acid on the constitutive chains. Blood
6l:1196-201. Masure R. 1984. Strategies for rational haemotherapy. In Haemostatic Failure in Liver Disease., Thijs O dan Fondu P. Martinus Nijhoff Publisher, Boston;162-168. MacDougal BRD, Westaby D, Theodossi A, et al. 1982. Increased
long-term survival in variceal hemorrhage using injection sclerotherapy. Lancet 1,124-'7.
Manucci PM, Franchi F, Dioguardi
N. 1976. Correction of
abnormal coagulation in chronic liver disease by combine use of fresh frozen plasma and ptothrombin complex concentrates.
Lancet,2:542-5.
Nanji AA, Blank DW. l983.Clinical Status as Reflected in Biochemical Tests on Patients with Chronic Alcoholic Liver Disease.
Clin Chem. 29:992-3.
Oka K dan Tanaka K.1979. Local fibrinoysis of esophagus and stomach u, u .urr" of hemorrhage in liver cirrhosis. Thromb Res, l4:837-44.
1333
GANGGUAT{ HEMOSTASIS PADA SIROSIS HATI
Palasoak JE, Martinez
L
1977. Dysfibrinogenemia associated with
liver disease. J Clin Invest. 60:89-95. Poller L. 1977. Coagulation Abnormalities in Liver Disease. In Poller, L (ed): Recent Advances in Blood Coagulation 2"d ed London , Churcill Livingstone. Penny R, Rozenberg MC, and Firkin BG. 1966, The Splenic platelet pool. Br J Haematol 21 , I-16. Pallasoak JE, Martinez
l.
1977. Dysfibrinogenemia associated with
liver disease J Clin Invest. 60:89-95. Paquet KJ, Feusner H.1985. Endoscopic sclerosis and esophageal ballon tamponade in acute hemorrhage from esophagogastric varices. Prospective controlled randomized trial. Hepatology
5,580-3. Reksodiputro AH, Djoerban Z, Muthalib
A. dkk. 1978. Kelainan
Hemostasis pada Sirosis Hati. Kumpulan Naskah Ilmiah Simposium Nasional Penyakit Hati Menahun. Pang RTL dkk. Ediror'.216-82. Ratnoff OD. 1984. Hemostatic Defect in Liver and Billiary Tract Disease In Disorders of Hemostasis.Ratnoff OD and Forbes
CD
Grune
&
Stratton,Inc :451-72
Al. 1912. The Liver and Blood Coagulation. : Physiology and Pathology Gastro Enterol.
Roberts HR and Cederbaum 63:297 -320.
Rock W. 1984. Laboratory assessment of coagulation in liver disease. Clin Lab Med:4:479-42 Roberts HR, dan Cederbaum AI. 19'72. The Liver and blood coagulation: Physiology and pathology. Gastro enterol, 63:297320. Sulaiman A 1990. Virus Hepatitis B, Sirosis Hati dan Karsinoma Hepatoselular (Kumpulan Naskah Ilmiah dalam rangka tesis) 139-s8. Sherlock S, Alpert L.1965. Bleeding in Surgery in Relation to Liver Disease. Proc R Soc Med, 58, 257-9
Straub, PW.1977. Diffuse Intravascular Coagulation in Liver Disease. Thromb Hemost 4,29-39. Shearer MJ, McBumey A, Breckenridge AM, et al. 1977. Effect of Warfarin on the Metabolism Phyloquinone (vitamin K): Dose relationship in Man. Clin Sci and Mol Med 52.621-30. Shearer MJ, Allan V, Haroon Y, et a1. 1980. Nutritional Aspect of Vitamin K in the Human.In Suttie (ed). Vitamin K Metabolism and Vitamin K Dependent Protein. Univ Park Press. Baltimore. 317.
of Several Coagulation Tests in Evaluation of the Risk of Bleeding, in Hemostatic Failure in Liver Disease, Thijs O dan Fondu P Martinus Nijhoff Publisher.
Samama m.1984. The Significance
Boston:8 1 -93. Soria J, Soria C. 1984. Abnormalities of Fibrin Formation in Severe Hepatic Diseases, in Hemostatic Failure in Liver Disease, Thijs O, Fondu P. Martinus Nijhoff Publisher. Boston : 52-68.
Prydz H. 1977. Vitamin-dependent clotting factors. Semin Thromb Hemostas.4: 1 1-4. Straub PW. 1977 Diffuse Intravascular Coagulation in Liver Disease.Thromb Hemos 4, 29-39.
I, Best C. 1989. Protein-C and antithrombin III are the Best Coagulation Markers for Decreased Liver Synthesis in Liver Cirrhosis and CAH. Abstract. Thrombosis and Hemostasis. XII'h
Scharer
Congress of the International Society on Thrombosis and Haemostasis, Tokyo, Japan. 215 (882). Schipper HG ten Cate JW. 1982. Antithrombin III transfusion in patients with hepatic cirrhosis. Br J Haematol;52:25-33.
I dan Corn M.196'7. Laboratory Tests of Hemostasis. The Relationship to Hemonhage in Liver Disease. Arch Intern Med.
Spector
l19:517 -82. I, Com M , Ticktin HE. 1966. Effect of plasma transfusion on the prothrombon time and clotting factors in liver disease. N Eng J Med,275:1032-'7 Sirinek KR, Levine BA. 1988. High-dose vasopressin for acute variceal; hemorrhage. Arch Surg 123:876-80 Tambunan.1993. Gangguan Hemostasis pada Sirosis Hati dan Saran Penatalaksanaanya di Indonesia. Disertasi Balai Penerbit FKUI. Tucker JS, Woolf IL, Boyes BE, et aI. 1973. Coagulation Studies in Acute Hepatic Failure. Gut, 14:418. Tytgat G, Collen D, de Vreker RR, Verstraete M. 1968. Investigation on the fibrinolytic system in liver cir-rhosis. Acta Haematol Spector
40:265-14. Sherman IA. 1982. DIC in Massive Transfussion. Prog Clin Biol Res, 108, 171-89. Thomas DP. 19'72. Abnormalities of platelet aggregation in patients with alcoholic cirrhosis. Ann NY Acad Sci, 201:24350. Tabak C, Eugene J, Juler GL, et al. 1982. Upper Sastrointestinal hemorrhage in cirrhosis: timing and indications for active intervention. Am J gastroenterol,'17 :947 -8. Terblanche J, Yakoob HI, Bordas JM, et al. 1981. Acute bleeding varices. A five -years a prospective evaluation of tamponade and schlerotherapy. Ann Surg.521 -30.
Thomas DP. 1912. Abnormalities of Platelet Aggregation in Patients with Alcoholic Cirrhosis. Ann NY Acad Sci, 201:243' 50.
Tytgat GN, Collen D, Verstraete M. 1971. Metabolism of fibrinogen in cinhosis of the liver, J Clin Invest;50:1690-701. Verstraete M, Vermylen, J, dan Collen D. 1974. Intravascular coagulation in liver disease. Ann Rev Med,25:447'55 van Outryve M, Baele G DeWeerdt GA et al. 1973. Anti Haemophilic Factor A (F VIII) and Serum Fibrin-fibrinogen Degradation Products in Hepatic Cirrhosis. Scan J Haematol, 11:48-152. van Vliet ACM, van Vliet HHDM, Dzoljic-Danilovic G et al. Plasma Prekallikrein and Endotoxemia in Liver Cirrhosis. Thrombosis Haemostas, 45:65-7. Verhaeghe R, Van Damme B, Mol1a A, et al. 1972. Dysfibrinogenemia associated with primary hepatoma. Scand J Haematol, 9:451-8. Veltkamp JJ, and Kreuning
J. 1973 The Diagnostic
Value of
Coagulation Studies in Chronic Liver Disease. Scan J Gastroenterol,S
(Suppl. 19):93-5. Walsh WD, Losowosky MD.1971. The Hemostatic Defect of Liver Disease. Gastro enterol, 60. 108-19.
2tt GA,NGGUAN HEMOSTASIS PADA DIABETES MELITUS Andi Fachruddin Benyamin
PENDAHULUAN Penyandang Diabetes Melitus (DM) tipe 2 telah terbukti memiliki risiko untuk mengalami kelainan kardiovaskular
yang jauh lebih tinggi dibanding populasi normal.
Komplikasi vaskular dapat berupa mikrovaskular (pembuluh darah mata, ginjal dan saraf) dan/atau makrovaskular (pembuluh darah jantung, otak dan arteri
menghentikan perdarahan pada lesi vaskular. Monolayer sel endotel yang ruptur membuka struktur sub endotel, menyebabkan adhesi dan aktivasi trombosit pada lokasi ruptur, dan secara simultan faktorjaringan yang terpapar dan menyebabkan aktivasi faktor koagulasi yang dimulai dengan pembentukan fibrin. Trombus merupakan agregasi
trombosit dan fibrin, menghentikan perdarahan dan membentuk sikatrik. Proses fibrinolisis, yang terjadi
perifer). Kelainan mikro dan makrovakular ini dapat
secepat pembentukan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas penyandang DM. Aterosklerosis dapat terjadi lebih cepat pada penyandang DM. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa jauh sebelum terdiagnosis DM tipe 2,balk pada fase glukosa darah puasa terganggu (GDPT) maupun pada toleransi glukosa terganggu (TGT), sebenarnya telah berlangsung berbagai bentuk perubahan yang pada gilirannya akan menyebabkan peningkatan risiko tersebut, Sekitar 80Vo dai, penyandang DM meninggal akibat komplikasi trombotik.
trombus dan kembali diserap pembuluh darah.Hemostasis adalah suatu fenomena kekuatan lokal, dengan pengerasan lokal sendiri, tetapi diatur oleh beberapajalur penghambat yang membatasi perluasan trombus. Beberapa perubahan
Faktor risiko tradisional, seperti hipertensi, kadar high density lipoprotein (HDL) yang rendah, meningkat pada penyandang DM tipe 2 dan toleransi glukosa terganggu
DIABETES
GC,T).
Patogenesis terjadinya kelainan kardiovaskular pada penderita DM tipe 2 bersifat multifaktorial sebagai akibat dari berbagai faktor antara lain faktor-faktor metabolik,
oksidasi/gliko-oksidasi, disfungsi sel endotel, inflamasi, dan gangguan trombosis atau fibrinolisis. Disini hanya akan dibahas pada gangguan hemostasis yang terjadi pada penyandang DM tipe 2.
SISTEM HEMOSTASIS Hemostasis adalah proses fisiologis yang bertujuan untuk
fibrin, menyebabkan destruksi
dalam keseimbangan antara aktivasi dan inhibisi menyebabkan kelainan pada perdarahan atau trombosis.
GANGGUAN PENGATURAN HEMOSTASIS PADA
Telah lama diketahui bahwa pada penderita diabetes melitus, terutama DM tipe 2, terdapat keadaan yang disebut kondisi protrombotik, dimana lebih mudah timbul trombosis dibanding keadaan fisiologis normal. Kondisi protrombotik
menunjukkan adanya abnormalitas baik pada aktivasi trombosis maupun fibrinolisis. Salah satu penyebab dari kedua abnormalitas tersebut adalah resistensi insulin, hiperglikemia dan inflamasi. Selain itu, pada DM tipe 2 ditemukan bukti adanya perubahan dari berbagai faktor yang berperan pada faal hemostasis. . Peningkatan Kadar Fibrinogen, Kadar fibrinogen yang meningkat akan menyebabkan agregasi trombosit dan perubahan reologik serta bekuan yang kaya akan fibrin. Banyak penelitian pada DM tipe 2 melaporkan
t334
1335
GAI{GGUAN HEMOSTASIS PADA DIABETES MELITUS
peningkatan kadar fibrinogen. Pada pasien DM tipe 2 didapatkan penekanan fibrinolisis yang disebabkan
oleh peningkatan kadar Plasminogen Activator Inhibitor-l (PAI-1). Penurunan aktivitas fibrinolitik trombosit mengakibatkan penurunan deposit fibrin dan perubahan pada komponen-komponen dari pembuluh
darah. Kadar PAI-1 meningkat pada pasien-pasien resistensi insulin yang obes, seperti pada pasien DM tipe 2 dan pada kisaran normal pada pasien DM tipe 1. Kadar plasma PAI-1 berhubungan dengan indeks massa tubuh, Iemak viseral, tekanan darah dan kadar plasma
, ,
insulin, trigliserida, small dense LDL, dan... kolesterol I{DL. PeningkatanAktivitasFaktorVll,Terjadi sebagai akibat adanya hiperlipidemia post-prandial. Ekspresi Plasminogen Aktivator Inhibitor-1 yang berlebihan, Adanya perubahan ini telah dibuktikan terjadi baik pada penderita DM tipe 2, resistensi insulin, maupun hiperinsulinemia. Hal ini diduga sebagai akibat efek langsung dari insulin dan pro-insulin. Sebagaimana telah diketahui, insulin akan merangsang sintesis PAI-1. Selanjutnya peningkatan
.
PAI-l dalam
darah akan menyebabkan penghambatan aktivitas fibrinolisis. Menurunnya kadar PAI-1 pada penderita t2DM setelah pemberian terapi dengan obat golongan tiazolidindion memperkuat bukti peranan resistensi insulin sebagai penyebab. Peningkatan Agregasi Trombosit, Telah terbukti bahwa pada penyandang DM tipe 2 diperlukan dosis asam
asetil salisilat yang lebih tinggi untuk mencegah terjadinya agregasi trombosit dibanding pada non-
.
diabetes. Masih belum dapat dipastikan apakah faktor glukosa sendiri atau gangguan metabolik penyerta yang merupakan penyebabnya. Penurunan Kadar Urokinase pada PlakAterosklerotik.
Peningkatan PAI-1 baik dalam plasma maupun pada plak tak hanya berakibat rendahnya migrasi sel otot polos
(smooth muscle cell) vaskttlar, tetapi juga akan
menyebabkan penurunan ekspresi urokinase pada dinding pembuluh darah serta plak. P adafibrous c ap y ang tipis,berlangsungnya proteolisis dibagian bahu dari plak (oleh karena aktivasi sel limposit T dan makrofag) dapat mempermudah terjadinya ruptur plak serta sindrom koroner akut seperti angina pektoris tidak stabil maupun infark miokard akut'
REFERENSI Eckel RH, Wassef CM, Chait A et al, AHA Conference Proceedings.
VI: Diabetes and Cardiovascular Disease,Pathogenesis of Atherosclerosis in Diabetes' Circulation, 2002, 105-109. Juhan-Vague I, Alessi MC, Vague P. Increased plasma Plasminogen Activatorlnhibitor-1 levels : a probable link between insulin resistance and athero- thrombosis. Diabetologia, 1991:34:457 Prevention Conference
-
462.
Minamikawa J, Yamanouchi M, Inoue D et al. Another potential use of troglitazone in non-insulin dependent diabetes mellitus. J Clin Endocrinol Metab, 1998 : 83 :1041-1042. Schneider DJ, Sobel BE.Diabetes and Thrombosis in Johnstone MI,Veves A Eds, Diabetes and Cardiovascular Disease, Totowa NJ, Humana Press, 2001.
Sobel BE, Woodcock-Mitchell J, Schneider DJ et al : Increased Plasminogen Activator Inhibitor type 1 in Coronary Artery Atherectomy Specimens From Type 2 Diabetic Compared With Nondiabetic Patients. A Potential Factor Predisposing to Thrombosis and Its Persistence, Circulation, 1998 : 9'7:2213'
222t. Sobel BE
:
Increased Plasminogen Activator Inhibitor-1 and
Vasculopathy,
A Reconcilable Paradox, Circulation, 1999 :99 :2496-2498. Sobol AB, Watala C. The role of platelets in diabetes-related vascularComplication. Diabetes Res Clin Pract. 2000 :50 16.
EFEK ADANYA KEADAAN PROTROMBOTIK PADA
PENYANDANG DIABETES
M
ELITUS
Keadaan protrombotik yang terjadi pada penyandang DM
tipe 2 berperan dalam dua hal penting yaitu pada patogenesis terj adinya aterosklerosis yang progresif, serta timbulnya kejadian koroner akut(acute coronary events).
: i-
212 KONDI SI HIPERKOAGULABILITAS Hilman Tadjoedin
PENDAHULUAN
olehAnti Trombin III (AT III), Protein C (PC) dan Protein S (PS). Pada Tabel 2 diperlihatkan beberapa penyebab hypercoagulable states kongenital. Hal yang menarik pada keadaan ini adalah pada saat ditegakkan diagnosis, 507o kelompok ini tidak menunjukkan
Pada tahun 1860, Virchow mengusulkan teori tentang patogenesis terjadinya trombus yang melibatkan: sel endotel, aliran darah, dan kondisi hiperkoagulabilitas. Saat ini risiko terjadinya trombosis diduga dapat
gejala 4danya trombosis.Terdapat kecenderungan meningkatnya perbedaan antara populasi yang menunjukkan gejala dengan yang tidak menunjukkan gejala, pada kelompok umur, tetapi20-307o kelompok ini
diakibatkan oleh beberapa faktor, yaitu: genetik, lingkungan, dan faktor didapat. Keadaan di atas memicu berkembangnya teori two hit ata:u multihit sebagai risiko independen terjadinya trombosis. Pada perkembangan berikutnya, faktor genetik dan atau didapat diperberat
tetap tidak menunjukkan gejala.
dengan beberapa faktor risiko, yaitu: imobilisasi, inflamasi, rokok, terapi hormon dan lain sebagainya. Resistensi protein Cteraktivasi Defisiensi alfa-makroglobulin Antibodi Defisiensi
antikardiolipin antitrombin Disfibrinogenemia Faktor V leiden Defisiensi/ekses faktor V Ekses faktor Vll Ekses faktor Vlll Ekses faktor Xl Defisiensi kofaktor ll heparin
DEFINISI Hypercoagulable states merupakan keadaan kongenitaU didapat yang telah diketahui atau dicurigai berhubungan dengan hipereaktivitas sistem koagulasi dan atau perkembangan ke arah tromboemboli. Manifestasi klinis kelainan ini adalah: meningkatnya kejadian trombosis, yang muncul pada usia muda, trombosis familial, dan trombosis di lokasi yang tidak lazim (di vena otak). Menurut penyebab hypercoagulable states, dibagi menjadi 3 kelompok: kondisi kongenital, hiperkoagulabel didapat, gabungan
Hiperhomosisteinuemia Hiperflbrinogenemia Antikoagulan lupus Ekses PAI-I Defisiensi plasminogen Defisiensi protein C Defisiensi protein S Protrombin G2O210A Defisiensi tPA Defisiensi TFPI Defisiensi Trombomodnuli
P Al-1 =plasminogen activator i nhibitor-1 ; TFPI=tissue factor pathway inhibito,: tPA=trssue plasminogen activator
1 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
HY PEBCOAG U LAB LE STATES KONGENITAL
Bentuk kelainan ini terutama (607o perryebab tersering) adalah resistensi protein C teraktivasi (APC resistance)l kelainan genetik padap oint of mutation (faktor V Leiden) dan berkuran gny a natural anticoagulan, yang diperankan
1336
Resistensi Activated Protein C (APC reslstance) Defisiensi Anti Trombin lll (AT lll) Defisiensi Protein C (PC) Defisiensi Protein S (PS) Gangguan pada ko-faktor ll heparin Disfibrinogenemia Kombinasi gangguan (PC + APC resrstance + PS) Gangguan pada sistem fibrinolisis Hiperhomosisteinemia
t337
KONDISI HIPERKOAGULABILITAS
Protein C Teraktivasi Dengan ditemukannya faktor V Leiden, maka identifikasi terhadap pasien dengan riwayat keluarga yang memiliki kecenderungan trombosis menjadi lebih besar. Dahlbiick dkk melakukan pengamatan terhadap resistensi protein C
pada sekelompok populasi dan menyimpulkan bahwa pasien dengan trombofilia familial yang berhubungan
dengan gangguan pada
titik mutasi tingkat
genetik
(genetic point of mutation), yattr pada perubahan posisi
tunggal
padaposisi
506, akan menyebabkan aktifnya resistensi faktor V Leiden
terhadap antikoagulan alamiah, yaitu APC (autoantibodi APC). Selain hal di atas, secara hipotesis, resistensi APC diakibatkan oleh defisiensi PS dan gangguan faktor VIII atau V pada tempat pembelahan APC. Ciri khas kelainan
. . .
Tipe I: kadar antigen dan aktivitas PC rendah. Tipe II: kadar antigen PC normal, tetapi berkurang aktivitasnya. Tipe III: kadar antigen PC berkurang dan aktivitasnya rendah.
Defisiensi Protein S (PS) Protein S merupakan glikoprotein plasma (berat molekul 84000 D) yang juga disintesis di hati dan sel endotel. PS merupakan kofaktor PC aktif dan membentuk kompleks dengan ikatan protein C4b. Di dalam plasma PS dapat bersifat bebas atau berikatan dengan protein C4b, tetapi hanya bentuk PS bebas saja yang aktif. Hingga saat ini, klasifikasi gangguan PS belum dapat dipastikan.
ini adalah respons yang buruk terhadap antikoagulan. Bentuk gangguan ini adalah abnormalitas faktor V (faktor V Leiden), yang didapat pada15-307o kasus trombosis.
Defisiensi AntiTrombin lll (AT lll) AI merupakan glikoprotein plasma (berat molekul:58.000 D), yang disintesis di hati dan sel endotel. Fungsi AT
Faktor lXa
(+faktorVllla)
adalah menghambat trombin, faktor Xa, lXa, XIa, XIIa serta plasmrn dan kalikrein. Fungsi AI menjadi lebih aktif dengan
-
bantuan heparin atau mukopolisakarida yang mirip heparin, yang terdapat pada permukaan sel endotel. Defisiensi AI merupakan kelainan autosom dominan,
bentuk heterozigot dapat menjadi risiko terjadinya trombosis vena. Padapopulasi umum, prevalensi defisiensi AI adalah 1: 2000 sampai dengan 1: 5000.
Untuk penggunaan praktis, gangguan pada AT dikelompokkan menj adi : . Tipe I delisiensi murni. . Tipe II abnormalitas AL . Tipe III, gabungan tipe I dan II.
Manifestasi tersering kejadian trombosis pada bentuk gangguan koagulasi ini adalah trombosis vena dalam, emboli paru, trombosis splanknik, di samping tercatat pula
Gambar 1. Jalur antikoagulan fisiologis: AT lll menghambat Trombin (F lla) dan F Xa, APC mendegradasi ko{aktor Va dan Xa, flssue factor pathway inhibitor (TFPI) menghambat kompleks F Vlla.
Gangguan pada Heparin Ko-faktor ll Heparin kofaktor II (HC II) merupakan glikoprotein plasma
dengan berat molekul 65.000
D, yang berfungsi
menghambat aktivitas trombin. Reaksi di atas diperkuat dengan adanya heparin dan dermatan sulfat.
beberapa angka kejadian trombosis arteri.
Disf ibrinogenemia
Defisiensi Protein C (PC)
Merupakan kelainan kongenital yang jarang didapat, ditandai dengan gangguan fungsi fibrinogen tingkat
PC merupakan glikoprotein dependen (beratmolekul 63.000
molekular. Kelainan
D), yang disintesis di hati. Setelah diaktivasi oleh kompleks trombin-trombomodulin di permukaan sel endotel, PC akan
dominan.
menghambat kerja faktor VIIIa dan Va serta menstimulasi
dikaitkan dengan manifestasi trombosis, baik arteri maupun vena. Melemahnya ikatan dengan t-PA atau plasminogen
proses fibrinolisis. Seperti halnya AT, defisiensi PC diturunkan secara autosom dominan, sedangkan sifat heterozigot merupakan risiko timbulnya trombosis. Pada pasien homozigot, kadar PC yang tidak terdeteksi
didapatkan dari kedua orangtua dengan kondisi
ini diturunkan
secara autosom
Sekitar l5Vo dari 243 kelainan molekul fibrinogen
terhadap fibrin yang abnormal, berkurangnya aktivitas plasminogen pada fibrin yang abnormal, dan resistensi terhadap fibrin, diperkirakan merupakan mekanisme yang bertanggung jawab terhadap gangguan fibrin.
heterozigot.
Berdasarkan temuan laboratorium, gangguan PC
Kombinasi Gangguan
dikelompokkan menj adi :
Telah dilaporkan beberapa kasus kombinasi gangguan atau
1338
HEMr'INOLOGI
kaitannya dengan gangguan pada sistem fibrinolisis. Walaupun kemungkinan akan ditemukan kejadian
H Y P E R CO AG U LA B L
E STAT ES
DI DA
PAT
Kondisi di atas merupakan penyebab hypercoagulable
trombosis di tempat-tempat yang tidak lazim, terny ata 50Vo pasien dengan kelainan ini tidak menunjukkan gejala. Dengan kata lain, kejadian trombosis tidaklah bertambah berat pada kombinasi gangguan dibandingkan dengan
state didapat:
Pada kesempatan
ini penulis
membatasi
diri
untuk
membahas tentang kehamilan, keganasan, dan sindrom
antifosfolipid.
gangguan tunggal.
Gangguan pada Sistem Fibrinolisis
Kehamilan
Efektivitas sistem fibrinolisis amat tergantung pada kemampuannya untuk membentuk plasmin. Meningkatnya aktivitas fibrinolisis akan memicu terjadinya lisis bekuan, hingga hasil akhirnya adalah perdarahan. Sebaliknya, kejadian hipofibrinolisis akan memudahkan terbentuknya fibrin, yang berakhir dengan
Perubahan fisiologis dan anatomis selama kehamilan dapat memperberat keadaan tromboemboli. Sebagaimana halnya
trombosis.
perempuan hamil, namun dibandingkan dengan
Hingga saat ini, hubungan antara gangguan sistem fibrinolisis dengan risiko terbentuknya trombosis masih
perempuan yang tidak hamil beberapa jenis pemeriksaan menjadi amat sangat terbatas pemakaiannya, terutama yang berkaitan dengan radiasi. Perempuan tanpa riwayat trombosis, pada saat
perempuan yang tidak hamil, diagnosis tromboemboli
seringkali sukar ditegakkan, sehingga dibutuhkan pemeriksaan yang akurat. Beberapa pendekatan diagnostik dapat dilakukan pada
dalam perdebatan.
kehamilan akan memiliki risiko kejadian trombosis;
Hiperhomosisteinemia
walaupun besar risiko masih belum dapat dipastikan. Studi terakhir menyatakan perempuan hamil dengan defisiensi AI III. PC atau PS akan memiliki risiko trombosis 8 kali
Merupakan kelainan metabolik yang diakibatkan oleh beberapa kelainan genetik. Homosistein darah akan
menyebabkan kerusakan jaringan penyambung dan
lebih besar dibandingkan dengan kontrol. Walaupun
memicu gangguan sistem koagulasi. Mekanisme di atas diduga akibat pengaruh aktivitas trombomodulin atau meningkatnya aktivitas F V.
Penerima metil Fosfatid ileta n ola
m in
Guamidoasetat ilr I rD uuPor dopamin Penghantar TYt tgil4iltdr Dor saraf dt (neurotransmitters) \t tEur uU dr tDr ilr(Er D,, mis Protein (mielin) \. r
I
rr
\\
DNA
RNA Fosfatirlilkolinkreatin
Kreatinin
-
4 /' ., S-adenosil n
t
Bru:,."+ru,:';i:l"i:ffii:?" *61tll termetilasi RNAtermetilas
Poliamin a
\
\
\ ..-.'.V
Betain
\
Homosisrei Homos,ste. a"rn; {1 (SAM Activation) PLP J+ Sistationin
A-Ketobutirat
Gambar 2
ATP
metionin \1 mbat metil rH
penerimavangsudahtermetirasi
DNA
demikian, kejadian risiko trombosis absolut di atas masih rendah (7 dan169 kehamilan), 2 episode selama trimester ketiga, 5 episode setelah kelahiran.
protein
O
serin
--zruc rHF
/
-(orc
$'cri'i" tHF
Metilen
r/+ -r!+ <' Metrl IHF
6xn. 6rt
r339
KONDISI HIPERKOAGULABILITAS
sel endotel, yang dimanisfestasikan dengan ekspresi
1 2 3 4 5 6 7 8
molekul adhesi, sekresi sitokin dan metabolisme
Kehamilan Keganasan
Sindromantifosfolipid Kelainanmieloproliferatif Pasca pembedahan Sindrom nefrotik lnflamasi Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH)
prostasiklin. Antibodi antifosfolipid yang dikenal sebagai Br-glikoprotein I berikatan dengan sisa sel endotel. Teori berikutnya menitikberatkan pada oksidan yang
diakibatkan jejas pada endotel vaskular. Oksidasi Iipoprotein densitas rendah (LDL), yang merupakan penyumbang utama kejadian aterosklerosis, diserap oleh makrofag, yang menyebabkan makrofag teraktivasi dan
Pada studi lainnya, sejumlah 2480 perempuan hamil dengan mutasi faktorV Leiden, memiliki risiko trombosis 8 kali lebih besar. Penatalaksanaan antepartum perempuan hamil dengan trombofilia tanpa riwayat trombosis sebelumnya, hingga
saat ini masih kontroversial sehubungan dengan rendahnya kejadian trombosis serta kurangnya data penelitian tentang profilaksis trombosis.
Keganasan Keganasan atau penggunaan kemoterapi yang digunakan
selanjutnya terjadi kerusakan pada sel endotel. Autoantibodi untuk mengoksidasi LDL
HYPERCOAGU LABLE STATES GABUNGAN (KONGENTTAL DAN DIDAPAT) Didapatkannya gabungan hypercoagulable states pada pasien yang sama menunjukkan cukup tingginya insidens kejadian ini. Contoh kasus yang cukup baik adalah penggunaan kontrasepsi oral pada pasien dengan defisiensi AT.
sebagai pengobatan keganasan, dapat menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. Keganasan dapat mempengaruhi aliran melalui efek mekanik pada pembuluh darah sekitar tumor.
Di samping itu,
angiogenesis yang diinduksi oleh tumor menghasilkan pembuluh darah yang kompleks den-ean aliran darah yang abnormal. Mikrovaskular di
PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN
sekitar tumor mengalami peningkatan permeabilitas
Pencegahan terhadap kejadian trombosis merupakan hal yang paling penting. Berbagai faktor dapat menimbulkan trombosis, padahal medikamentosa yang digunakan untuk penatalaksanaan kejadian ini hanya terbatas pada beberapa
terhadap protein, antara lain fibrinogen. Kemungkinan hal
langkah pencegahan koagulasi dan tidak dapat
tersebut diakibatkan sel tumor menghasilkan vascular
permeabilitl- factor atal vascLtlctr endothelial growth factor (YEGF). Selain meningkatkan permeabilitas, VEGF
juga mengatur angiogenesis dan menginduksi ekspresi faktor jaringan, sehingga terjadi deposisi fibrin ekstravaskular. Pada keganasan, kondisi hiperkoagulabilitas disebabkan oleh adanya aktivitas prokoagulan sel tumor, yaitu fhktor jaringan dan cancer
procoagulanl (CP). Faktor jaringan berfungsi sebagai reseptor dan ko-faktor F VIl, sedangkan CP adalah protease sistein yang memecahkan F tanpa adanya F VIIa.
X
secara langsung
Sel tumor juga menyediakan permukaan uniuk
mempengaruhi keseluruhan. Beberapajenis obat yang ditujukan terhadap beberapa keadaan koagulasi: . Warfarin: menghambat sintesis faktor koagulasi yang tergantung vitamin K (anti vitamin K), yaitu : F II, VII, IX, X, Protein C dan S. . Aspirin: menghambat agregasi trombosit dengan cara intervensi sintesis tromboksan. . Tiklopidin: menghambat agregasi trombosit dengan cara melekatkan fibrinogen pada membran trombosit. Obat ini ditujukan untuk pasien dengan risiko strok serta intoleransi terhadap aspirin.
.
pembentukan kompleks protrombinase karena F Va dan F Xa dapat menempel pada permukaan sel tumor. Di samping
itu kemoterapi
menyebabkan penurunan peran
antikoagulan alamiah (PC dan PS).
. Sindrom Antifosfolipid
Heparin: menghambat aktivasi F X dengan cara mencegah konversi protrombin menjadi trombin. Dengan menghambat fib rin- stabilizin g fact o r d,eh trombin, heparin mencegah pembentukan stable fibrin clot. Tissue plasminogen factor (t-PA): mengaktifkan plasmin yang memecahkan fibrin.
Beberapa hipotesis telah diusulkan untuk menjelaskan
mekanisme selular dan molekular yang mengaitkan antibodi antifosfolipid dengan kejadian trombosis. Teori pertama adalah adanya aktivasi sel endotel.
Seperti halnya kelainan/gangguan umumnya, maka
Ikatan antibodi antifbsfolipid mengakibatkan teraktivasinya
penatalaksanaan pada kondisi hiperkoagulabilitas adalah
PENGOBATAN
1340
HEIT'ATIOI.OGI
pengobatan terhadap penyakit dasar, walaupun prinsip pengobatan adalah:
demikian
Antikoagulan Heparin, Meningkatkan aktivitas anti trombin
III.
Biasanya unfractionated heparin (UFH) diberikan apabila LMWH tidak tersedia. Umumnya, dosis UFH untuk pasien dewasa adalah 25.000-40.000 unit, diberikan secara infus kontinyu selama 24 jam, dengan diawa.li bolus -5.000 unit intravena' dengan monitoring terhadap aPTT (target 1'5-2 kali kontrol)'
Menghambat aktivitas F X dengan cara mencegah konversi protrombin menjadi trombin. Dengan menghambatfibrin- Warfarin, Merupakan antagonis vitamin K, menurunkan stabilizingfactor,heparit mencegah pembentlkan stable faktor II, V[, IX, X, serta antikoagulan alamiah protein C clot. dan S. Preparat ini diberikan dengan dosis awal 5-10 mg fibrin
Low molecular weight heparin (LMWH),
misalnya:
oral, yang diikuti secara titrasi, hingga dicapai nilai
enoxaparin atau dalteparin, umumnya diberikan subkutan, (International Normalized Rarlo) INR: 2-3. tidak memerlukan monitor aPTT, lebih sedikit menimbulkan antibodi maupun trombositopenia.
ALGOBITHM FOR LABORATOBY INVESTIGATION OF HYPERCOAGULABLE STATE
lndications forLlaboratory Testing
. . . . . . .
:
Idiopathic/unexplained Recurrent
Family history of thrombotic tendency Unusually young age Unusual site e.g. subclavian or mesenteric vessels Resistant to conventional anticoagulant therapy During pregnancy or oral contraceptive therapy
Primary Panel of Test:
. . . . . . .
Activated Protein C (APC) Resistance (screening test for Factor V Leiden) Protein C* Protein Sx
Antithrombin* (formerly known as Antithrombin III) Lupus Anticoagulant (APPT, Mixing Studies,Dilute Russel Vper Venom Time, Hexagonal Phase phosplipid test) AnticardiolipinAntibody (IgG and IgM) Serum Homocysteine (Fasting sample)
*Functional assays are used initially for Protein C , Protein S and Antithrombin.
If
Protein C or Protein S values
decreased,immunologic assays are performed (for Protien C antigen or total and freeProtein S antigen respectively).
Ifthe above test are all negative, and there is strong suspicion of a primary hypercoagulable disorder,consider adding following tests,
. . .
as
the
clinically warranted:
Fibrinogen (rule out dysfibrinogenemia) Plasminogen (rule out hypo- or dysplasminogenemia) tPa levels (before and after venous occlusion); PAI level-considered investigative
ldeal Time for Testing: Ideally, at the of time of testing, the patient should be: Clinically stable-if an acute event has occured, it is advisable to defer testing for several weeks. Off warfarin and heparin therapy-if this is not possible, keep in mind the follwing: Heparin may cause a mild acquired decrease in Antithrombin. Warfarin will produce an acquired decrease in Protein C and Protein S.
. .
-
Protein C and Protein S levels cannot be reliably interpreted in patients on warfarin. In general, if a deficiency of Antithrombin, Protein C, or Protein S is observed,it is recommended that the testing be reppeated after an interval to confirm deficiency. Family studies may be helpful.
t34t
KONDISI HIPERKOAGULABILITAS
Awal Kejadian Tr ombosis I
I
I
Idiopatik
Faktor risiko
Faktor risiko scdang berlangsung
Usr'a rnuda
sepmtas
Rekurens
Lokasi tidak biasa F
-
l{ positif
Tidak ada investigasi lebihjauh Warf'arin sclama 3 bulan Profilaksis prdc risrko Linggi
-
Pertimbangkan u,arfarin jangka panjang Temukan nasihat pakar
INVESTIGASI Investigasi kclainan protro di dapat atau diturunkan Temukan nasihat pal
Kondisi klinis dengan probabilitas tinggi untuk trombosis vena rekurens - Idiopatik
- Karsinoma metastasis - Sindrom antifosfolipid - Defisiensi inhrhitor koagulasi - Sindrom nelrotik - PNH atau kelainan mieloproliferatif
Pemeriksaan untuk hypercoa guable stat - Hitung sel darah. PT. PTT - Protein C and S
-
-
Antitrombin Faktor V Leiden (dan/atau APC resisten Faktor VIII C Faktor TI 20210A Homosisteiu puasa Lupus anticoagulant
- Antibodi Antikardiolipin I I
Gambar 3.
Characteristics of Patient
t
Major transient risk factor Minor risk factor; no thrombophilia
Risk of Recurrence in the Year after Discontinuation (%) 3
. Data
3mo 6mo
<10 if rlsk factor avoided > 10 if risk factor persistent
Until factor resolves
<.10
6 rnof
>'10
lndefinite lndefinite lndefinite
ldiopathic event; no thrombophilia or low-risk thrombophilia ldiopathic event; high-risk thrombophilia More than one idiopathic event Cancer; other risk factor
f
Duration of Therapy
>10 >10
are from Hirsh and Hoak, Hyers et al , and Kearon
Examplesofmajortransientriskfactorsaremajorsurgery,amajormedical illness,andlegcasting Examplesof minor
transient risk factors are the use of an oral contraceptive and hormone-replacement therapy Examples of low-risk thrombophilias are heterozygosity for the factor V Leiden and G20210A prothrombin-gene mutations Examples of highrisk thrombophilia are antithrombin, protein C, and protein S deficiencies; homozygosity for the factor V Leiden or prothrombin-gene mutation or heterozygosity for both; and the presence of antiphospholipid antibodies + Therapy may be prolonged if the patient prefers to prolong it or if the risk of bleeding is low
t342
HEMANOISGI
Risk Factor
t
Estimated Prevalence (%)+
Estimated Relative Risk of Recurrence
Antithrombin deficiency 1 1,5-3 5 Protein C deficiency 1,5-3 '1 5 Protein S deficiency ,5-3 Factor V Leiden mutalion 20 Heterozygous 1-4 2 Homozygous About 4 <1 NA Dysfibrinogenemia 2 Factor V Leiden and G202104 2-5 prothrombin-gene mutations Antiphospholipid antibodies 2-4 1 0-50 1-7 Elevated factor Vlll levels 1 0-50 Elevated factor lX levels 1-5 10-25 Hyperhomocysteinemia 1-3 * Data are from Kearon, Christiansen et al., Baglin et al., Margaglinone et al., and Kyrle et al Relative risk are for patients with the risk factor in question, as compared with those without the risk factor t The definition of deficiency of antithrombin, protein C, or protein S varies; it is usually defined as a functional or immunologic value that is less than the Srh percentile of values in the control population Prevalence and relative risk depend on the definitions of hyperhomocysteinemia and elevations in levels of factor Vlll and factor lX and on the reference group
f
Preparat terbaru, Fondaparinux merupakan pentapeptida yang menghambat faktor Xa. Argatroban dan Lepirudin menghambat langsung fungsi trombin. Preparat-preparat di atas ditujukan kepada pasien dengan masalah heparin-
10 menit, dilanjutkan dengan 4400 IU/kg BB/jam, intravena selama 12 1am.
Umumnya, terapi antifibrinolisis diikuti dengan antikoagulan heparin.
Pada umumnya, antikoagulan yang digunakan untuk pasien rawat inap, dimulai dengan heparin dan selanjutnya
ini adalah perdarahan aktif, cerebrovascular accident baru (kurang dari 3 bulan), neoplasma intrakranial, aneurisma serta cedera kepala
menggunakan warfarin untuk pemeliharaan (tumpang
baru.
i
nduced
t
h
rom bocy topen ia.
Kontraindikasi terapi
tindih 3 hari dengan heparin). Lama penggunaan tergantung pada penyakit yang mendasarinya, misalnya trombosis vena dalam daerah tungkai, diberikan selama 6 minggu sampai 3 bulan; dan seterusnya.
Antif ibrinolisis Tis sue plasmino g en activ ator (tPA, alteplase), streptokinase dan urokinase menyebabkan lisisnya bekuan dengan cara mengaktifkan plasmin, yang kemudian mendegradasi
Antiagregasi Trombosit Preparat yang biasa digunakan aspirin (160-325 mg/hari)
disertai dengan klopidogrel (dosis awal 400 mg, selanjutnya 75 mgihari); akan menurunkan angka kejadian trombosis arleri (strok, infark miokard) pada pasien risiko tmggr.
fibrin. Indikasi tPA adalah trombosis vena dalam, emboli paru masif, emboli afieri pada ekstremitas, infark miokard
akut. dan unstable angina pectoris. Dosis yang biasa digunakan: . t-PA-untuk emboli paru masif (kasus dewasa dengan berat badan > 65 kg) 10 mg, i.v bolus, selama 1-2 menit, dilanjutkan dengan 50 mg, i.v selama l jam dan 40 mg, i.v dua jam berikut (dosis total: 100 mg). . Streptokinase-untuk emboli paru, trombosis arleri atau vena dalam: 250.000 ru, iv selama 30 menit, selanjutnya 100.000 IU/jam selama 24 jam (untuk kasus emboli paru); atau selama 72 jam (untuk kasus trombosis arteri/vena
.
dalam).
Urokinase-untuk emboli paru 4400 IU/kg BB, i.v selama
Faktor risiko didapat
Trombosis arteri merokok hipertensi diabetes melitus hiperlipidemia
kontrasepsi oral polisitemia hiperviskositas
Trombosis
Faktor risiko kongenital
vena imobilisasi operasr
keganasan sindrom nefritik
kontrasepsi oral gagal jantung kongestif sindrom obesitas
defisiensi protein C defisiensi protein S defisiensi protein AT lll resistensi protein C teraktivasi (Faktor V Leiden) Alel protrombin 20210 aktivator plasminogen polimorfisme inhibitor-1 Peningkatan factor Vll defek faktor Xll disfibrinogenemia homosisteinemia
I
1343
KONDISI HIPERKOAGULABLMAS
Clinical manifestations
Percentage (%)
Livedo retikularis Trombosis vena afterial Keterlibatan SSP Trombositopenia Aborsi berulang (>2) Anemia hemolitik Ulkus tungkai
Hypercoagulabre State
49
Risiko relatif dari VTE tunggal sepanjang hidup
Faktor V Leiden Protrombin G202104 Faktor V Leiden dan protrombin G20210A (heterozigoLganda) Defisiensi protein C Defisiensi protein S Defisiensi antitrombin H iperhomosisteinem ia Lupus anticoagulant Antibodi antikardiolipin
43 E
44 41
26 ZJ o
2-10 2-6
200 6 5-3'1-
2-36. 5-402-4 11
aa
* Risiko relatif variabilitasnya tinggi, tergantung, tergantung
Hvpercoawtabte
t;*1ff
Pasien denoan
lromboembolt -Trombofilik :... ::-"'-j-"'--; vena I unggal %l
Factor V Leiden Prothrombin G20210A Antithrombin deficiency Protein C deficiency Protein S deficiency Hiperhomosisteinemia Antibodi antifosfoliDid
3-7
\ tot
1-3
20 6
0,02
1
50 18 4-A
0,2-0,4 tidak diketahui 5-1 0
1-2
3-1 3
10-25
0-7
5-1 5
tidak diketahui tidak diketahui
pada apakah mereka diturunkan dari studi-studi berbasis keluarga atau populasi Perbedaan risiko dapat dijelaskan pada kesulitan lebih besar dalam mendapatkan reliabilitas perkiraan berbasis populasi karena secara keseluruhan prevalensi kelainan ini rendah. Mungkin angka kejadian ini ove re stimated pada studi-studi familial awal..
6-8
N/A=not readily available or unknown
Presentasi tromboemboli vena (VTE) Trombosis vena serebral
Trombosis vena serebral Pada perempuan pengguna pil konirasepsi oral Trombosis vena kava, vena renal, vena mesenterika, dan vena hepatik Tromboflebitis superfisial migratori
(Trousseau's syndrome) Tromboflebitis superfisial rekuren
Nekrosis kulit warfarin Purpura neonatal fulminal Kehilangan fetal yang tidak dapat dijelaskan (tiga atau lebih abortus trimester pertama atau kematian pada trimester kedua atau ketiga yang tidak dapat dijelaskan pada fetus normal secara morfologi)
Risiko Relatif
Kondisi Hypercoagu lable Protrombin G2O21 0 A, antibodi antifosfolipid, defisiensi antitrombin, trombositemia esential, PNH Protrombin G2O210A
Antibodi antifosfolipid, kanker, defisiensi antitrombin, sindrom mieloproliferatif, PNH Kanker (terutama adenokarsinoma saluran gastrointestinal) Faktor V leiden, polisitemia vera, defisien antikoagulan alamiah Defisiensi protein C dan S Defisiensi protein C dan S homozigot Antibodi antifosfolipid
Perempuan nonkarrier Perempuan nonkarrier pengguna pil kontrasepsi oral Faktor V Leiden heterozigositas Heterozigositas faktor V Leiden perempuan pengguna pil kontrasepsi oral
1
4 7
35
Risiko
Absolut* 0,8/10000 3,2/10000 5.7/1 0000 28 5/'10000
*Perkiraan jumlah kasus VTE per 1 0 000 orang per tahun
Pemeriksaan Skrining Resistensi protein C teraktivasi Pemeriksaan mutasi protrombin G2021 0A dengan PCR Tingkat aktivitas antitrombin, protein C, dan protein S Tingkat aktivitas faktor Vlll Lupus antikoagulans (aPTT sensitif, aPfT mixing, dilute Russell viper venom time) Antibodi antikardiolipin dengan ELISA Kadar homosistein plasma total
Pemeriksaan Konfirmasi PCR Faktor V Leiden Pemeriksaan antigenik untuk antitrombin, protein C, dan/atau protein S Pemeriksaan konfirmasi untuk /upus anticoagulants*
* lnclude at least one of the following: platelent neutralization procedure, hexagonal phase phospholipids, Textarin/Ecarin test, platelet vesicles, DVV Confirm PCR=polymerase chain reaction; aPTT=activated partial thromboplastin time; ELISA=enzyme-linked immunosorbent assay
t344 REFERENSI Bertina RM. Hypercoagulable States. In : Semin in Hematol t991 ;34(3):16'7 -7 0. Bates SM, Ginsberg JS. How we manage venous thromboembolism
during pregnancy Blood 2002;100(10):3470-8. Cobb ME, Hollensead SC. Molecular Testing for Inherited Thrombotic Disease Available from : http://www.uoflhealthcare.org. Cattaneo M, Martinelli I, Mannucci PM. Hyperhomocysteinemia as a risk factor for Deep Vein Thrombosis. NEJM 1996;335:9'74-6. Chadha P Thrombotic Disorders : Hypercoagulable State. In : Kasper DL, Braunwald D, Fauci AS, et al. Harrison's Manual of Medicine 16d eds. McGraw-Hill 2005, 217-280. Deloughery T. Hypercoagulable States - 2004.
HEM/{IOLOGI
Girolami A, Sarlori MT, Patrassi GM et al. Hypercoagulability : An Updated Review. Available from : http://haem.nus.edu.sg/ishapd/ 1996/1996/087 .pdf. Kyrle P, Minar E,Bialonczyk C et al. The Risk of Recurrent Venous Thromboembolism in Men and Woman. NEJM 2004;350:255863. Levine JS, Branch DW, Rauch J. The Antiphospholipid Syndrome. NEJM 2002;346(10):1 52-63.
Nema SK Thrombosis-The Newer Dimensions. MJAFI 2004l,60:278-9 Solymoss S. Factor V Leiden : Who should be tested ?. CMAJ 1996;155:296-8. Setiabudy RD, Trombosis pada keganasan. Dalam : Kongres Nasional dan Temu Ilmiah - Perhimpunan Hematologi dan Transfusi
Darah (PHTDI); 2005.hlm. 40.
2t3 SINDROM ANTIBODI ANTIFOSFOLIPID: ASPEK HEMATOLOGIK DAN PENATALAKSANA/TN Shufrie Effendy
enzimPLA2, terutama pada kehamilan dan kematian sel (apoptosis). Penghambat PLA2 yang secara patologis terbentuk diketahui sebagai inhibitor Lupus yang lebih dikenal sebagai Antikoagulan Llupls (Lup us Antic o agulant, L A\
DEFINISI
Sindroma antibodi antifosfolipid
(antibody
antiphospholipid syndrome, APS) didefinisikan sebagai penyakit trombofilia autoimun yang ditandai dengan adanya 1) antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin dan/atau antikoagulan lupus) yang menetap (persisten)
yang terdiri dair 2 subgrup, yaitu: a).
LA sensitif
tromboplastin yang menghambat kompleks VIIa, III, PL, dan Ca*, mengakibatkan pemanjangan masa protrombin (PT), khususnya pada pemeriksaan dengan "diluted PT';
sefia 2) kejadian berulang trombosis vena/arteri, keguguran, atau trombositopenia. Sindrom ini pertama kali diusulkan oleh Hughes dan Harris antara tahun 1983-1986, oleh karena itu sindrom ini dikenal juga sebagai sindrom Hughes.
b). LA non-sensitif tromboplastin yang menghambat kompleks VIIIa, IXa, PL, Ca* mengakibatkanpemanjangan masa tromboplastin teraktifasi parsial (aPTT) dan/atau yang menghambat kompleks Xa, Va, PL, dan Ca* mengakibatkan pemanjangan dRWT- 1 pada dRWT-2 normal. Berbagai jenis aPLA dapat dibangun oleh berbagai antigen yang terikat pada epitope fosfolipid pada bagian luar dinding biologis sel yang terpapar. Sebagai contoh,
ANTIBODI ANTIFOSFOLIPID
Antibodi antifosfolipid (antiphospholipid antibody, aPLA) didefinisikan sebagai immunoglobulin yang bereaksi dengan dinding biologis sel bagian luar yang
aPLA dependen protrombin dibangun oleh epitope fosfolipid pengikat apolipoprotein, pengikat LA atau protrombin; aPLA dependen B2-GPI dibangun oleh epitope fosfolipid pengikat Apo-H pengikat B2-GPI; dan aPLA dependen anneksin V dibangun oleh epitope fosfolipid pengikat apolipoprotein-pengikat annexin V; sedangkan aPLA dependen LDL teroksidasi dibangun oleh epitope
komponen utamanya adalah fosfolipid.
Fosfolipid antikoagulan disebut juga sebagai antifosfolipid (antiphospholipid, aPL), yang secara struktural hampir menyerupai komplemen. Secara alamiah
(fisiologis), aPL yang dibentuk oleh tubuh adalah B2 glikoprotein I (P2GPI), berfungsi sebagai pengontrol
fosfolipid pengikat apolipoprotein-pengikat LDL teroksidasi.
aktivitas fosfolipid prokoagulan (PL) yang mengandung enzim fosfolipase A, Qthospholipase A, PLAr). B2GPI merupakan enzim yang terikat oleh apolipoprotein-H (ApoH) sebagai perighambat enzim PLA2. Selain dari p2GPI,
Kebanyakan jenis aPLA yang ditemukan dapat bereaksi
langsung terhadap kofaktor plasma protein (apolipoprotein) yang terikat kardiolipin (difosfatidilgliserol) yang dapat dideteksi secara ELISA atat radioimmunoassay (RIA), disebut sebagai antibodi antikardiolipin (antic ardioplip in antib o dy, ACA).
secara alamiah tubuh juga membenttk annexin V atau
"placental anticoagulant protein 1" yang disebut juga sebagai "placental aPL", yang sangat kuat menghambat
t34
1346
FIEIT{AIOI.oGI
EPIDEMIOLOGI
Antibodi antifosfolipid di3umpai sejak usia rnuda,
dapat berkenrbang dalam 20 tahun pada 50-707o pasien baik dengan lupus eritematosus sistemik maupLrn antibodi antif'osfolipid. Meskipun demikian, hampir 307o pasien
prevalensi ACA dari LA pada si"rbvek kontrol sehat adalah
luptrs eritematosus sistemik dan dengan antibocii
1-5%. Sebagaimana a,-itoantibodi lainnya, prevalensi
antikardiolipin, sedikit sekali menunjukkan bukti klinis APS pada pemantauan sekitar 7 tahun. Studi prospektif telah menunjukkan hubungan antara antibodi antifosfolipid dan episode perlama dari trombosis vena dan intark miokard, serta strok berulang. Oleh karena itu, hal yang menjadi penting adalah identifikasi pasien dengan antibodi antifosfolipid yang risikonya terhadap kejadian trornbotik meningkat. Faktor risiko penting adalah riu,ayat trombosis, adanya antibodi antikoagulan lupus,
antibodi antifosf olipicl ureningkat seiring dengan bertambahnya Llmur, khususnya dr iintara pasien usia lanjut dengan penyakit kronis penyerta. Di antara pasien dengan SLF,, prevalensi ACA positif sekitar 12-30%.daln sekitar l5-317c dengan antibodi LA
positif. Banyak pasien yang menunjukkan bukti laboratorium adanya antibodi irntifosfolipid, tidak mentrnjukkan gejala klinis. L)afe 1,3no ada untuk
suLr1r66
kontrol sehat, tidak cukup untr-rk lnemperhitungkan persentase rnereka yang nrerni liki autibodi .rntifosfblipid dan akan menunjr-rkkan gejala trombosis atau komplikasi
kehtrmilan yang sesuai dengan APS. Sebaliknyn, AFS
dan peningkatan kadar antibodi antikardiolipin lgG. Masing-masing meningkatkar.r risiko trombosis sampai lima kali lipat. meskipun tidak sernua studi rlelaporkan hasil yang sama. Namun, kecuali riwayat kejadian trombotik,
faktor risiko yang iain tidak cukup untuk digunakan sebagai faktor prediktif dilakukannya terapi. Kepala hidrofilik Prote n spes fik
cH2-N(CH2)3 APO -Ht
':l
CH2
o
KRITERIA DIAGNOSTIK
I
O=P-O I
o I
CH2-CI]-CH2
tt oo tl c-o tt c-o cH2 CH2 lt CHZ CH2 lt CH2 CH t\ CH2 CH CH2 CH2 l\ CH2 CH2 t\ CHZ QH2 t\ CH3 CH3
Ekor hidrofobik
_--
|iru
--
I
Gambar 1. Antigen fosfolipid pada permukaan dinding sel, protein spesif ik antigenik, protein kofaktor plasrna. (apolipoprotein),
Diagnosis APS ditegakkan dengan I kriteria klinjs dan kriteria laboratorium. sesuai dengan konsensus pada sirnposium intemasional mengenai antibodi antifbsfolipid di Sapporo pada 1998. 1
KBITERIA KLINIS
Trombosis Pembuluh Darah Satu atau lebih episode klinis dari trombosis arteri. r'ena ataLr pembuluh darah kecil padajaringan atau organ yang
dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan pencitraan/ Doppler atau histopatologis (tanpa inflamasi dinding pembuluh darah)
dan fosfolipid
Morbiditas Kehamilan
Anribocii Antifosiolipid
.
PIA2
o
E2cPt
O
O
La
a
Antlbod \ ant 82GPl
.
Annexin V
Protein kofaktor plasma
@6@
.
TromboplastinApo-H Tromboplaslin non-sensitif
Pt rergantung E2-GPlh I anti E2-g koprole Ps E ant phosphat dil serene
n
PE
E anti phosphatdi ethanolamine Pi E anti phosphatidil inosltol Diphosphatrdil g ycerol E antica.d o ipin
Gambar 2. Antibodi Antifosfolipid (PLA2=fosfolipase A2, P2GPI= B2 glikoprotein l, LA = 2p{i(esgulan lupus, Apo-H=apolipoprotein H, aPs=antifosfatidil serin)
Satu atau lebih kematian janin berusia 10 minggu atau kurang, yang tidak dapat dijelaskan-diketahui dengan
ultrasonografi atau pemeriksaan langsung, atau Satu atau lebih kelahiran prematur dari neonatus normal berusia 34 minggu atau kurang, akibat eklampsia atau insufisiensi plasenta berat, atau Tiga atau lebih aborsi spontan konsekutif sebelum usia kehamilan l0 minggu yang tidak dapat drjelaskan dimana kelainan anatomi, genetika, atau hormonal telah disingkirkan.
Kriteria Laboratorium
.
IgG AntibodiAntikardiolipin, &ur/atau isotipe IgM pada titer sedang atau tinggi p'..,t1a2 atau lebih pemeriksaan
1347
SINDROM AI\TIBODI AIITIF1OSF1OLIPID
@Rntie"n@
binding apolipoprotein bind phospholipid
s
Hiperagregrasi Trombosit Antikoagulan fosfolipid
inefektif
Gambar 3. Patogenesis trombosis akibat adanya antibodi antifosfolipid
.
dengan interval sekurang-kurangnya 6 minggu, diukur dengan ELISA terstandarisasi untuk antibodi dependen
Antibodi antifosfolipid secara langs ung menginaktivasi
B2GPr.
berlebihan mengakibatkan hiperkoagulasi. Antibodi antifosfolipid secara langsung berinterferensi
protein C mengakibatkan aktivitas FV dan FVIII
AdanyaAntikoagulan Lupus dalam plasma pada 2 atau lebih pemenksaan dengan interval sekurang-kurangnya
dengan autoantibodi kompleks heparan-antitrombin,
6 minggu, dideteksi menurut panduan dari
The International Societln on Thrombosis and Hemostasis
mengaktifkan reseptor
(Scientific Subcommitte on Ltrpus Anticoagttlants/ nt Ant ibo die s ).
mengaktivasi koagulasi.
Fc sel
imunoefektor
mengekspresikan tromboplastin jaringan yang akan
P ho spho I ip i ds - D ep ende
KLASIFIKASIAPS PATOFISIOLOGI Asosiasi klinik trombosis dari anti-p2GPl dan anti-anneksin V berupa trombosis vena dan/atau arteri; antioksidan LDL berupa trombosis arteri; sedangkan LA (aPL dependen
Pada "The ll'h International Congress on " di Sydney, 2004, telah
Antiphospholipid Antibodle.r
protrombin) dapat berupa perdarahan atau trombosis,
diusulkan klasifikasi sebagai berikut: . APS sebagai penyakit tunggal . APS yangberhubungandenganpenyakitlaintermasuk
tetapi trombosis vena dar/atau arleri lebih sering dijumpai daripada perdarahan.
.
SLE
APS katastrofa
TROMBOGENESIS Trombosis dapat terjadi melalui beberapa mekanisme berikut ini: . Antibodi antifosfolipid merupakan antagonis p2GPI mengakibatkan ekspresi berlebihan PL-A2
.
Antibodi antifosfolipid merupakan antagonis Anneksin V mengakibatkan ekspresi berlebihan PL-A2
. Antibodi antifosfolipid
merupakan antagonis
trombomodulin, sehingga secara tidak langsung
.
antibodi antifosfolipid menghambat aktivasi protein C. Antibodiantifosfolipidsecaralangsungmenginaktivasi protein S sebagai kofaktor protein C.
,
t
penurunan ekspresi
Fosfolipid anionik Glikoprotein l-p2 Anneksin V
Trofoblas
Trombomodulin
Trombosit) pelepasan PAF & ekspresi
Protein Protein
Protrombin
berlebihan GPllb/llla Apoptosis cPLA2, PMP, Trombositopenia Eritrosit Anemia hemolitik
Faktor Xlc lL-3 &
Ekspresi lL-3 & G|\4-CSF
Apoptosis HCG
Endotel
) Apoptosis ) pelepasan EMP a VCAM-1, ECAM-1, E-selectin, Faktor Jaringan
C S
GM-CSF
)
)
pelepasan
)
I )
Leukopenia
EMP -- endothelial micropafticle, PMP = platelet micropafticle, PAF = platelet activating factors, :PLA2 = cytosol phospholipase A2
1348
HEM/{I1OLrOGI
Klasifikasi ini memenuhi untuk stratifikasi risiko dan pilihan terapi. Sebelumnya, pada "The 8'h International Congress on Antiphospholipid Antibodies" di Sapporo, 1998, APS diklasifikasikan menj adi : 1 ). APS Primer, jika tidak ada SLE atau kelainan autoimun lain. 2). APS Sekunder, jika drjumpai
kemungkinan manifestasi pada organ yang spesifik. Penyakitinimemiliki spektrumklinis yang luas, mulai dari yang asimptomatik secara klinis dan indolen sampai yang perjalanan penyakitnya progresif secara cepat.
.
penglihatan (sebagian lapang pandang, total) Kardiorespirasi. Nyeri dada, menjalarke lengan; napas
SLE.
pendek Gastrointestinal. Nyeri perut, kembung, muntah. Pembuluh darah perifer. Nyeri atau pembengkakan tungkai, klaudikasio, ulserasi jari/tungkai, nyeri jari tanganikaki yang dicetuskan oleh dingin. Muskuloskeletal. Nyeri tulang, nyeri sendi Kulit. Purpura dar/atau petekie, ruam livedo retikularis temporer atau menetap, jari-jad tangan/kaki kehitamhitaman atau terlihat pucat. Neurologi dan psikiatri. Pingsan, kejang, nyeri kepala (migrain), parestesi, paralisis, ascending weakness, tremor, gerakan abnormal, hilangnya memori, masalah dalam pendidikan (sulit berkonsentrasi, mengerti yang dibaca dan berhitung). Endokrin. Rasa lemah, fatigue, artralgia, nyeri abdomen (gambaran Penyakit Addison) Urogenital. Hematuri, edema perifer
SPEKTRUM GAMBARAN KLINIS APS
. .
Asimptomatik pada LA dan/atauACApositif Simptomatik pada LA dan/atau ACApositif:
-
-
Mata. Penglihatan kabur atau ganda, gangguan penglihatan (melihat kilatan cahaya), kehilangan
Perempuan dengan:
-
Riwayat infertilitas primer tanpa kelainan
ginekologis dan kesuburan. Riwayat keguguran. Riwayattoksemiakehamilan Adanya trombosis - Arteri, vena atau pembuluh darah kecil pada
-
Janngan atau organ. Sindrom antibodi antifosfolipidkatastrofa.
Sindrom antibodi antifosfolipid katastrofa adalah kegagalan organ multisistem, sekunder terhadap trombosis/
infark dan menunjukkan gambaran mikroangiopati pada
Riwayat kehamilan. Keguguran berulang, kelahiran
pemeriksaan histologi.
prematur, pertumbuhan janin terhambat Riwayat keluarga. Risiko APS meningkat pada pasien yang memiliki anggota keluarga dengan:
MANIFESTASI KLINIS
-
Aspek klinis pada sindrom antifosfolipid dapat berupa aspek klinis seluler dan sistem. Aspek klinis selular adalah
toksemia kehamilan, tlomboembolisme neonatorum.
sebagai berikut:
. . .
-
Anemiahemolitik
-
hormonhCG.
Leukopenia
2). PT memanjang (tromboplastin sensitif-fosfolipid inefisien), 3). aPTT memanjang (Defisiensi FXIc dan/atau tromboplastin sensitif-fosfolipid inefisien), dan 4). hipoprotrombinemia didapat. Sementara trombosis disebabkan oleh: 1)apoptosis endotelial, sehingga terjadi pelepasan mikropartikel endotelial dan material adhesi, 2)trombosit teraktivasi, sehingga terjadi sticky platelet syndrome, 3)keadaan hiperkoagulabilitas, dan 4)keadaan trombofilik.
Gejala dan Tanda Kejadian vasospastik atau vaso-oklusif dapat terjadi pada setiap sistem organ, maka pada anamnesis sangat penting untuk mendapatkan riwayat penyakit pasien dan
Infark miokard atau strok pada anggota keluarga
yang berusia kurang dari 50 tahun Trombosis vena dalam, flebitis atau emboli pulmoner Migrain, penyakit Raynaud, atau TIA Riwayat pengobatan. Menggunakan kontrasepsi oral
Apoptosis trofoblastik, sehingga terjadi penurunan
Aspek klinis sistem dapat berupa perdarahan dan trombosis. Perdarahan disebabkan oleh I ). trombositopenia.
Keguguran berulang, kelahiran prematur, pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion, khorea gravidarum, infark plasenta, preeklampsi.
Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda yang sesuai
dengan organ yang terkena dan dapat melibatkan sistem
organ apapun.
.
Pembuluh darah perifer - Palpasi tulang atau sendi : nyeri tekan (infarktulang) - Nyeri saat sendi digerakkan, tanpa artritis (nekrosis avaskular) - Pembengkakan tungkai (trombosis vena dalam)
-
Penurunan pengisian kapiler, denyut nadi, dan perfusi (trombosis arteriaUvasospasm)
-
Gangren (trombosis arteri atau infark)
.
Paru: Respiratory distress, takipnea (emboli pulmoner,
.
hipertensi pulmoner) Ginjal
1349
SINDROM ANTIBODI ANTIF1OSF1OLIPID
. .
-
Hematuria (trombosis vena renalis) Jantung: - Murmur pada katup aofia atau mitral (endokarditis) - Nyeri dada, diaforesis (infark miokard) Gastrointestinal:
-
-
Hipertensi (trombosis arteri renalis, lesi pembuluh darah intrarenal)
Nyeri tekan pada abdomen kuadran kanan
atas,
.
. .
-
autoimun)
Defisiensisistemkoagulasi:
. . -
Oklusi arleri retina Trombosis vena retina
Protein C Protein S
Antitrombin
III
Antibodi protein koagulasi, seperti antibodi antifaktor II (protrombin)
Polimorfisme genetik: - Mutasi Faktor V Leiden
-
Mata
Mutasi gen protrombin202l1A
Mutasi Methylene tetrahydrofolate reductase (MTHFR) (mengarah ke hiperhomosisteinemia)
Manifestasi kulit:
-
Livedo retikularis Lesi purpura Tromboflebitissuperflisial
Pemeriksaan Badiologis
.
Vasospasme (fenomena Raynaud)
Splinter hemonhages (perdarahan di bawah kuku) periungual atau subungual Infark perifer (digital pitting)
.
Ulserasi
Memar (berhubungan dengan trombosito.-nia) Kelainan sistem saraf pusat atau l :'ei
-
TIA
-
(i skemia/intark vasovorum) Paralisis, hiperrefleksi, rasa lemah (transverse mye/ltls, sindrom Guillain-B arre)
-
Strok Parcstesia. polineuritis atru mononeuritis multipleks
Kelainan pergerakan-tremor khoreiform (infark serebral, serebelum, basal ganglia) Kelainan yang menyerupai sklerosis multipel Kehilangan memori jangkapendek
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
. .
.
(infark/perdarahan adrenal).
-
.
pembuluh darah kecil hati, infark hati) Nyeri tekan abdomen (trombosis arteri mesenterika)
Endokrin: kelemahanotot,kekakuanprogresifpada otot-otot pelvis dan paha dengan kontraktur fleksi yang berhubungan dengan insufisiensi adrenal
LDH, bilirubin, haptoglobin Tes Coombs direk/indirek Analisis urin dipstik untuk hemoglobin Antibodi antiplatelet (untuk mengevaluasi adanya
hubungan dengan purpura trombositopenik
hepatomegali (sindrom Budd-Chiari, trombosis
-
Pemeriksaan darah perifer lengkap
Pemeriksaanantibodiantifosfolipid Identifikasi ffombosis intrarenal. arleri renalis atau vena renalis:
-
Analisis urin dipstik untuk hemoglobin atau pro-
'
Untuk kejadian trombotik (mis. Trombosis Vena Dalam) - Ultrasonografi (USG) Doppler - Venograh - Ventilation/perfusion scan (untuk emboli pulmoner.) Untuk kejadian trombotik arterial (mis. oklusi/iskemia pembuluh darah serebral, jantung, perifer): - Computerized tomograpizy (CT) - Magnetic resonance imagint (MP*I)
-
Arteriografi USGDoppler Untuk kelainan jantung: - Ekokardiografi dua dimensi - Ekokardiografitransesofageal
-
Angiografi dengan kateterisasi
Patologi Biopsi dari organ yang terkena, seperti kulit atau ginjal, mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis vaskulopati/mikroangiopati pada APS. Pemeriksaan histologi pada mikroangiopati trombotik menunjukkan adanya vaskulopati non-inflamasi tanpa vaskulitis. Fibrin thrombl dihubungkan dengan obstruksi dan hiperplasia intima hbrosa dengan rekanalisasi jaringan penyambung intima. Lesi ginjal, terutama, ditandai dengan oklusi vaskular yang fibrotik dengan trombosis akut dan lesi vasooklusif pada pembuluh-pembuluh darah intrarenal. Juga dapat ditemukan fibrosis interstisial dan atrofi tubuler.
teln
.
Pemeriksaan urin: adanya sel darah merah Urin 24 jam untuk pemeriksaan protein dan klirens
DIAGNOSIS BANDING
kreatinin
Identifikasi trombositopenia persisten atau anemia
Sindrom antifosfolipid adalah satu dari beberapa keadaan protrombotik dimana trombosis terjadi baikpada vena atau
hemolitik:
arteri. Meskipun kondisi lain yang dapat menjadi
13s0
HErUA*DOLOGI
predisposisi terjadinya trombosis arteri dan vena (misal. trombositopenia diinduksi heparin, homosisteinemia, kelainan mieloproliferatif, dan hiperviskositas) dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium rutin, adanya antibodi antifosfolipid mungkin menjadi satu-satunya kelainan pada pasien dengan sindrom antifosfolipid primer.
Penting untuk dicatat bahwa karena waktu tromboplastin parsial teraktivasi yang normal tidak menyingkirkan adanya antibodi antikoagulan lupus, seorang pasien yang menunjukkan kejadian trombotik
pertama kali harus diskrining terhadap antibodi antikardiolipin dan pemeriksaan lain yang sensitif dengan
antibodi antikoagulan lupus. Diagnosis dapat tidak diperkirakan pada pasien yang sindrom antifosfolipid-nya menunjukkan proses yang kronik dan lebih indolen, mengakibatkan terjadinya iskemia dan hilangnya fungsi organ yang lambat dan progresif.
-
Inkompatibilitas ibu dan bayi (ABO, Rh, HLA) Talasemia
PENGOBATAN Pengobatan digolongkan dalam 4 kelompok: 1). Profilaksis, trombosis pembuluh darah k ect'l 2). Pencegahan trombosis
lanjutan pada pembuluh darah sedang dan besar; 3). Pengobatan mikroangiopati trombotik akut, dan 4). Penanganan kehamilan yang berhubungan dengan antibodi antifosfolipid. Uraian berikut akan membahas mengenai pengobatan dua kelompok pertama. Jenis-jenis obat yang digunakan dalam terapi medikamentosa APS dapat dilihat pada Thbel2.
Faktor risiko sekunder yang meningkatkan kecenderungan trombosis harus dicari. Beberapa faktor dapat mempengaruhi dinding vena dan arteri, termasuk stasis, cedera vaskular, obat-obatan seperti kontrasepsi oral, dan faktor risiko tradisional untuk aterosklerosis. Sangat penting untuk menghilangkan atau mengurangi faktor-faktor ini, karena kehadiran antibodi antifosfolipid saja tidak cukup untuk menyebabkan terjadinya trombosis;
Aspirin Tiklopidin Dipiridamol
1-2 mglkglhari 250 mg, 2 kali sehari 75-400 mg/hari, 3 atau 4 kali sehari
Heparin
Dosis inisial: 40-170 U/kg lV lnfus pemeliharaan: 1B U/kg/jam lV atau:
Dosis inisial: 50 U/kg/jam lV, diikuti dengan infus 15-25 U/kg/jam, dosis ditingkatkan 5 U/kg/jam q4h prn berdasarkan hasil PTT
"serangan kedua" dikombinasikan dengan dengan antibodi antifosfolipid diperlukan untuk terjadinya trombosis. Akhirnya, bahkan pada pasien yang terbukti menderita sindrom antifosfolipid, menguraikan penyebab dan efeknya dapat sangat sulit. Sebagai contoh, sindrom antifosfolipid dikaitkan dengan sindrom nefritis, yang juga
Enoksaparin
.
ITP (Immune Thrombocytopenic Purpura), Anemia
.
hemolitik autoimun Kelainan autoimun sekunder:
-
SLE, dan penyakit kolagen lainnya (artritis rematoid dan Behget's)
Warfarin
.
Pasien asimptomatik tanpa faktor risiko dan riwayat keluarga dengan trombosis arteri/vena atau keguguran tidak diberikan terapi yang spesifik. Pasien asimptomatik dan terdapat anggota keluarga yang menderita trombosis vena/arteri atau keguguran
penisilin. Penyakitkanker:
tidak terdapat faktor risiko yang lain. Sebuah studi potong lintang pada the Physicians' Health Study meneliti peranan aspirin 325 mg per hari sebagai obat profilaksis. Aspirin tidak menimbulkan proteksi terhadap trombosis vena dalam dan emboli paru pada pria dengan antibodi antikardiolipin. Sebaliknya' aspririn dapat menimbulkan proteksi terhadap trombosis
Kanker hematologi (mis.leukemia, penyakit limfoproliferatif dan sel plasma, dll)
.
ad1
dapat diberikan profilaksis dengan aspirin, Namun sebagian klinisi tidak menganjurkan pengobatan ini jika
.
5-15 mg/hari, dosis dinaikkan berdasarkan INR yang ingin dicapai (2.5-3 5)
- Induksi
obat-obatan (drug induced), oleh prokainamid, hidralazin, kuinidin, fenotiazin,
.
Profilaksis (dosis rata-rata): 30 mg subkutan,
setiap 12 jam Terapi : '1 mg/kg, subkutan setiap 12 jam
merupakan faktor risiko tromboemboli. Penyakit lain yang berhubungan dengan APS adalah seperli berikut:
Dosis
Nama
-
Kanker padat Penyakitinfeksi: - Viral (misalnyaCMV, Hepatitis C, HIV HTLV-I, dll) - Bakterial (misalnya S. hemolyticus, H. pylori, Rickettsia spp, dll.) - Parasit (misalnya malaria) Penyakit hati kronis/sirosis hati: Alkoholik, Hepatitis C
Sindromhemolitik
pada perempuan dengan sindrom antifosfolipid dan riwayat keguguran. Hidroksiklorokuin dapat memproteksi
pasien lupus eritematosus sistemik dan sindrom antifosfolipid sekunder terhadap terj adinya trombosis' Tentunya, faktor-faktor lain yang menjadi predisposisi trombosis harus disingkirkan.
1351
SINDROM AI\TIBODI ANTIF1OSF1OLIPID
Modifikasi faktor risiko sekunder untuk aterosklerosis sebaiknya dilakukan, sehubungan dengan peranan cedera
Beberapa hal penting harus diperhatikan. Pertama, penghentian warfarin tampaknya berhubungan dengan
vaskular dalam pembentukan trombosis yang berhubungan dengan antibodi antifosfolipid, dan
peningkatan risiko trombosis dan bahkan kematian, khususnya pada enam bulan pertama setelah terapi antikoagulan dihentikan. Karena angka rekurensi pada pasien yang telah mendapat antikoagulan optimal dapat mencapai 707o, pergobatan dengan warfarin seharusnya dilakukan jangka panjang, jika tidak seumur hidup. Kedua, masih belum jelas apakah pasien dengan sindrom antifosfolipid dapat diobati dengan aman menggunakan
hubungannya dengan antibodi antifosfolipid dan LDL teroksidasi.
ad2 Peranan antikoagulan dalam menurunkan angka kejadian
trombosis berulang telah ditunjukkan melalui tiga penelitian retrospektif. Studi pada 19 pasien dengan sindrom antifosfolipid menunjukkan angka rekurensi pada
8 tahun sebesar 07o pada pasien yang mendapat antikoagulan oral. Pada pasien yang pengobatan antikoagulannya dihentikan, angka rekurensinya adalah 507o setelah 2 tahun dan 787o setelah 8 tahun. Dua seri studi lain yang lebih besar menunjukkan tingkat proteksi terhadap trombosis vena dan arteri berhubungan langsung dengan tingkat antikoagulasinya. Pada 70 pasien sindrom
antifosfolipid, pengobatan dengan warfarin intensitas menengah (untuk mencapai International Normalized Rario (INR) 2,0-2,9) dan intensitas tinggi (INR 3,0 atau
lebih) mengurangi angka trombosis rekurens secara bermakna, dimana pengobatan intensitas rendah (INR 1,9 atau kurang) tidak memberikan proteksi yang bermakna. Hasil yang serupa dilaporkan oleh studi pada 147 pasien dengan sindrom antifosfolipid. Pada kedua studi tersebut.
aspirin saja tidak efektif dalam menurunkan angka trombosis rekurens. PasienAPS primer dengan trombosis vena dapat diobati dengan terapi inisial yang terdiri dari heparin diikuti dengan
warfarin atau heparin berat molekul rendah (/ow molecular weight heparin, LMWH). Risiko kekambuhan tertinggi terjadi dalam 6-1,2 minggu pertama setelah
trombosis, namun biasanya pengobatan diteruskan setidaknya sampai 6 bulan pada pasien tanpa faktor risiko lain. PasienAPS primer dengan trombosis arlerilinfark tanpa faktor risiko lain dapat diobati dengan aspirin, sementara pemberian antikoagulan masih kontroversial. Sebagian
menganjurkan pemberian antikoagulan jangka panj ang. namun Antiphospholipid Antibodies in Stroke Study (APASS) melaporkan bahwa tidak adaperbedaan bermakna
dalam rekurensi stroke antara kelompok yang diobati dengan aspirin saja dibandingkan dengan kelompok yang diobati dengan aspirin dan warfarin. Pasien APS sekunder dengan trombosis arteri atau
warfarin intensitas menengah atau apakah dibutuhkan pengobatan intensitas tinggi. Hal ini merupakan hal penting
yang belum terpecahkan, karena warfarin intensitas tinggi
menyebabkan risiko lebih tinggi untuk terjadinya komplikasi perdarahan. Pada beberapa studi, warfarin intensitas menengah telah menunjukkan efek penekanan koagulasi yang sepenuhnya efektif, sebagaimana dinilai menurut kadar fragmen protrombin dan pencegahan
trombosis rekurens. Akhirnya, pemantauan tingkat antikoagulasi pada pasien sindrom antifosfolipid dipersulit
oleh kurangnya reagerr terstandarisasi untuk penentuan INR dan kemungkinan potensial adanya interferensi oleh antibodi antifosfolipid pada pengukurannya.
PENGOBATAN PADA IBU HAMIL Perempuan hamil dengan antibodi antifosfolipid positif dan riwayat dua atau lebih kehilangan kehamilan dini atau satu
atau lebih kehilangan kehamilan akhir, preeklampsi, pertumbuhan janin terhambat, atau abrupsio, disarankan pemberian aspirin antepartum ditambah profilaksis hep-
ain (unfractioned heparin UFH,
atau
LMWH)
dosis kecil
atau sedang (Grade 2B). Perempuan hamil dengan antibodi antifosfolipid positif
tanpa riwayat tromboemboli vena atau kehilangan kehamilan harus diperlimbangkan mempunyai peningkatan
risiko timbulnya trombosis vena dan, barangkali, kehilangan kehamilan. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah observasi, pemberian heparin dosis kecil, profilaksis LMWH, dan/atau aspirin dosis rendah,75-762 mg sehari (semua Grade 2C). Pasien dengan APLA dan riwayat trombosis vena, pada umumnya mendapat antikoagulan oral jangka panjang oleh karena risiko kambuh yang tinggi. Selama dalam masa
kehamilan, di samping pemberian aspirin dosis mini
hidroksiklorokuin dan pentoksifilin) ditambah antikoagulan (warfarin atau LMWH). Pasa pasien dengan LA positif dan memiliki faktor risiko lain (seperti mutasi faktor V
direkomendasikan dosis terapi LMWH atau UFH. Saat pascapartum, terapi antikoagulan oral jangka panjang dilanjutkan (Grade 1C). Perempuan homozygous MTHFR varian termolabil (C611T), disarankan pemberian suplemen asam folat sebelum konsepsi atau, jika telah hamil, secepat mungkin,
Leiden, gen protrombin, atau MTHFR) pemberian
dan selama kehamilan (Grade 2C).
vena diindikasikan untuk pemberian terapi antiplatelet
(seringkali merupakan kombinasi antar asipirin.
antikoagulan seumur hidup mungkin diperlukan.
Perempuan dengan suatu trombofilia kongenital dan
1352
HEM/{IOLOGI
keguguran berulang pada trimester kedua atau setelahnya, preeklampsi berulang atau berat, atau abrupsio, disarankan pemberian aspirin dosis mini di samping profilaksis UFH atau LMWH dosis kecil (Grade 2C). Saat pascapartum, juga disarankan pemberian antikoagulan pada perempuan ini (Grade 2C).
REFERENSI D, Delezd M, Oria CV, et al. Antiphospholipid antibodies and the antiphospholipid syndrome in systemic lupus erythematosus: a prospective analysis of 500 consecutive patients Medicine (Baltimore). 1989;68:353-65. Alarc6n-Segovia D, P6rez-V6zqtez ME, Villa AR, Drenkard C, Alarc6n-Segovia
J. Preliminary classification criteria for the antiphospholipid syndrome within systemic lupus erythematosus. Semin Arthritis Rheum 1992: 2l:215-86. Alarc6n-Segovia D, Sanchez-Guerrero J. Primary antiphospholipid syndrome. J Rheumatol. 1989;16:482-8. Cabiedes
Ames PRJ. Antiphospholipid antibodies, thrombosis
and
atherosclerosis in systemlc lupus erythematosus: a unifying 'membrane stress syndrome' hypothesis. Lupus 1994;3:371-7 Arnout J. The pathogenesis of the antiphospholipid syndrome: a
hypothesis based on parallelisms with heparin-induced thrombocytopenia. Thromb Haemost 199675:536-41. Arvieux J, Roussel B, Jacob MC, Colomb MG. Measurement of antiphospholipid antibodies by ELISA using beta 2-glycoprotein I as an antigen. J Immunol Methods. 1991;143:223-9. Asherson RA, Khamashta MA, Ordi-Ros J, et al. The "primary" antiphospholipid syndrome: major clinical and serological features. Medicine. 1989;68:366-74. Asherson RA. Antiphospholipid antibodies and syndromes. In: Lahita RG, editor. Systemic iupus erythematosus. 2nd edition New York: Churchill Livingstone; 1992. p. 587-635.
Bajaj SP, Rapaport SI, Barclay S, Herbst KD. Acquired hypoprothrombinemia due to non-neutralizing antibodies to prothrombin: mechanism and management Blood 1985;65:1538-43.
Bemini JC, Buchanan GR, Ashcraft J. Hypoprothrombinemia and severe hemorrhage associated with a lupus anticoagulant. J Pediatr. 1993'.123:937 -9. Bevers EM, Galli M, Barbui T, Comfurius P, Zwaal RFA. Lupus anticoagulant IgG's (LA) are not directed to phospholipids only, but to a complex of lipid-bound human prolhrombin. Thromb Haemost. 1 991',66:629-32. Brandt JT, Triplett DA, Alving B, Scharrer I. Criteria for the diagnosis 1
of lupus anticoagulants: an update. Thromb Haemost.
995;74: I I
85
-90.
Cabral AR, Amigo MC, Cabiedes J, Alarc6n-Segovia D. The antiphospholipid /cofactor syndromes: a primary variant with antibodies to b2-glycoprotein-I but no antibodies detectable in standard antiphospholipid assays Am J Med. 1996.101:41281. Carreras LO. Forastiero RR. Martinuzzo ME. Which are the best biological biological markers of the antiphospholipid syndrome? J Autoimmun. 2000;1 5 :763-1 2. Cervera R, Khamashta MA, Font J, et al. Systemic lupus erythematosus: clinical and immunologic patterns of disease expression in a cohort of 1,000 patients. Medicine. 1993'72:71324.
de Groot PG, Derksen RHWM. Specificity and clinical relevance of
lupus anticoagulant. Vessels. 1995l.l:22-6. Erkan D, Lockshin MD. What is antiphospholipid syndrome? Curr Rhem Reports. 20041,6:451-7 Esmon NL, Safa O, Smirnov MD, Esmon CT. Antiphospholipid .
antibodies and the protein
C pathway. J
Autoimmun.
20O0:15:221-5. Calli M, Comfurius P, Barbui T, Zwaal RFA, Bevers EM. Anticoagulant activity of b2-glycoprotein I is potentiated by a distinct subgroup of anticardiolipin antibodies. Thromb Haemost 1992t68:29'7 -300 Galli M, Comfurius P, Maassen C, et al. Anticardiolipin antibodies
(ACA) directed not to cardiolipin but to a plasma protein cofactor. Lancet. 1990;335:1544-7. Galli M. Should we include anti-prothombin antibodies in the screening for the antiphospholipid syndrome? J Autoimmun 2000;15:l0l-5. Gruel Y. Antiphospholipid syndrome and heparin-induced thrombocytopenia: update on similarjties and differences J Autoimmun 2000:1 5:265- 8. Harris EN, Gharavi AE, Boey ML, et al. Anticardiolipin antibodies: detection by radioimmunoassay and association with thrombosis in systemic lupus erythematosus. Lancet. 1983 2:l2ll-4. Hift RJ, Bird AR, Sarembock BD Acquired hypoprothrombinaemia and Iupus anti-coagulanr: response to steroid therapy. Br J Rheumatol 1991 :30:308-10. H6rkko S, Miller E, Dudl E. et al Antiphospholipid antibodies are directed against epitopes of oxidized phospholipids: recognition of cardiolipin by monoclonal antibodies to epitopes of oxidized low density lipoprotein. J Clin Invest. 1996;98:81525. Hughes GRV, Hanis EN, Gharavi AE. The anticardioiipin syndrome J Rheumatol. 1986;13:486-9. Hughson MD, McCarty GA, Brumback RA. Spectrum of vascular
pathotogy affecting patients
with the
antiphospholipid
syndrome. Hum Pathol. 1995:26:T 16'24 Kandiah DA, Krilis SA Beta2-glycoprotein i Lupus. 1994'.3:207-
12. Levine JS, Subang R, Koh JS, Rauch J Induction of anti-phospholipid autoantibodies by b2-glycoprotein I bound to apoptotic thymocytes. J Autoimmun. 7998,ll:413-24 Lie JT. Pathology of the antiphospholipid syndrome. In: Asherson RA, Cervera R, Piette J-C, Shoenfeld Y, editors. The antiphospholipid syndrome. Boca Raton, Fla.: CRC Press; 1996
p. 89-104.
Lotz BP, Schutte C-M, Colin PF, Biermann LD.
Sneddon's complications and syndrome with anticardiolipin antibodies treatment. S Afr Med J. 1993183:663-4. Mclntyre JA, Wagenknecht DR. Anti-phosphatidylethanolamine (aPE) antibodies: a survey. J Autoimmun.2000;15:185-93. McNeil HP, Chesterman CN, Krilis SA. Immunology and clinical
importance of antiphospholipid antibodies. Adv Immunol. 1991:49:193-280 McNeil HP, Simpson RJ, Chesterman CN, Krilis SA Anti-phospholipid antibodies are directed against a complex antigen that includes a lipid-binding inhibitor of coagulation: b2-glycoprotein I (apolipoprotein H). Proc Natl Acad Sci, 87:4120-4.Hunt JE, McNeil HP, Morgan GJ, Crameri RM, Krilis SA. 1992. A phospholipids beta 2-glycoprotein I complex is an antigen for anticardiolipin antibodies occurring in autoimmune disease but not with infection. Lupus. 1990;1:75-81. Merkel PA, Chang YC, Pierangeli SS, Convery K, Harris EN, Polisson
13s3
SINDROM ANTIBODI ANTIFOSFOLIPID
RP The prevalence and clinical associations of anticardiolipin antibodies in a large inception cohort of patients with connective tissue diseases" Am J Med. 1996;101:576-83 Meroni PL, Del Papa N, Raschi E, et al. b2-Glycoprotein I as a 'cofactor' for anti-phospholipid reactivity with endothelial cells. Lupus. 1998;7(Suppl 2):S44-S7. Meroni PL, Raschi E, Camera M, et al. Endothelial activation by aPL: a potential pathogenetic mechanism for the clinical manifestations of the syndrome. J Autoimmun. 2000;15:237-40. Mufloz-Rodriguez FJ, Reverter JC, Font J, et al. Prevalence and
Rand JH, Wu X-X, Andree HAM, et al Pregnancy loss in the antiphospholipid- antibody syndrome - a possible thrombogenic mechanism. N Engl I Med. 1997;33'7:154-6O. Roubey RAS. Tissue factor pathway and the antiphospholipid syndrome. J Autoimmun. 20001,15:217 -20. Roubey RAS. Immunology of the antiphospholipid antibody syndrome. Arthritis Rheum. 199639:1 444-54. Shi W, Chong BH, Chesterman CN. b2-Glycoprotein I is a requirement for anticardiolipin antibodies binding to activated platelets: differences with lupus anticoagulants. Blood.
clinical significance of antiprothrombin antibodies in patients with systemic lupus elythematosus or with primary
1993:.81:7255-62. Tincani A, Balestrieri G Allegri F, et al. Overview on anticardiolipin ELISA standardization. I Autoimmun. 2000; 1 5 : I 95 -7. Vaarala O, Alfthan G Jauhiainen M, Leirisalo-Repo M, Aho K,
antiphospholipid syndrome. Haematologica. 2000;85 632-1.
Ohlson S, Zetterstrand K. Detection of circulating immune complexes by PEG precipitation combined with ELISA. J Immunol Methods. 19851,7'7 :87 -93. Oosting JD. Derksen RHWM, Bobbink IWG, Hackeng TM. Bouma BN, de Groot PG. Antiphospholipid antibodies directed against a combination of phospholipids with prothrombin, protein C or protein S: an explanation for their pathogenic mechanism?
Blood 1993:81 :2618-25. Permpikul P, Rao L\', Rapapod
SI Functional and binding studies of the roles of prothrombin and A2-glycoprotein I in the expression of iupus anticoagulant activity. Blood. 1994:'8}2878-
primary and secondary antiphospholipid syndrome: European multicenter study
of
a
114 patients. Am J Med.
1994:96:3-9.
Viard J-P, Amoura Z, Bach J-F. Association of anti-b2 glycoprotein I antibodies with lupus-type circulating anticoagulant and thrombosis in systemic lupus erythematosus. Am J Med. 1992;93:781-6.
92. Pernod G, Arvieux J, Carpentier PH, Mossuz P, Bosson JL, Polack
B. Successful treatnrent of lupus anticoagulant hypoprothrombinemia syndrome using i.ntravenous immunogiobulins. Thromb
Haemost. 1991
Palosuo T. Crossreaction between antibodies to oxidised low-density lipoprotein and to cardiolipin in systemic lupus erythematosus. Lancet. i993;341:923-5. Vianna JL, Khamashta MA, Ordi-Ros J, et al. Comparison of the
:1 8:969 -7 A
Petn M. Epidemiology of the antiphospholipid antibody syndrome J Autoimmun. 2000:l 5: 14.5-5 I Piette J-C, Wechsler B. Frances C, Papo T, Codeau P Exclusion criteria for primary antiphospholipid syndrome. J Rheumatol. 1993:20:1802-4. Price BE, Rauch J, Shia MA, et al. Anti-phospholipid autoantibodies bind to apoptotic, but not viable, thymocytes in a b2-glycoproteirr Idependent manner. J Immunol. 1996;157:2201-8.
Williams S, Linardic C, Wilson O, Comp P, Gralnick HR. Acquired hypoprothrombinemia: effects of danazol treatment. Am J Hematol. 1996:53:21 2-6. Wilson WA, Gharavi AE, Koike T, et al. International consensus statement on preliminary classification criteria for definite antiphospholipid syndrome: report of an international workshop. Arthritis Rheum. 79991'42:1309-ll. Wurm H. b2-Glycoprotein-I (apolipoprotein H) interactions with phospholipid vesicles. Int J Biochem. 1984;16:511-5.
214 TROMBOSIS VENA DALAM DAN EMBOLI PARU Lugyanti Sukrisman
PENDAHULUAN Gangguan pada Arteri
Trombosis adalah terbentuknya bekuan darah dalam
pada Vena
Gangguan
Gangguan pada Darah/ Trombosit Sindrom anti fosfolipid Reslstensi protein C (Faktor V Leiden) Sticky platelet syndrome Gangguan protein C Gangguan protein S Gangguan antitrombin Gangguan heparin kofaktor ll Gangguan plasminogen
pembuluh darah. Trombus atau bekuan darah ini dapat terbentuk pada vena, arteri, jantung atau mikrosirkulasi
Aterosklerosis Merokok
Operasi (umum) Operasi odopedi
dan menyebabkan komplikasi akibat obstruksi atau
H
ipertensi Diabetes melitus Kolesterol LDL Hipertrigliserida Riwayat trombosis pada keluarga Gagal jantung kiri
Artroskopi Trauma Keganasan lmobilisasi Sepsis
emboli. DiAmerika Serikat, trombosis merupakan penyebab utama kematian dengan angka kematian sekitar 2 juta penduduk setiap tahun akibat trombosis arteri, vena atau komplikasinya. Angka kejadian trombosis vena dalam (deep venous thrombosisIDVT) yang bam berkisar 50 per
Kontrasepsi oral
100.000 penduduk, sedangkan pada usia lebih dari 70 tahun diperkirakan 200 per 100.000 penduduk.
Trombosis vena dan emboli paru berkaitan dengan berbagai kondisi medis atau prosedur bedah tertentu. Risiko tromboemboli pada pasien dengan defisiensi antitrombin III dapat mencapai 807o,107o pada gagal jantung kong estif dan 40Vo pada infark miokard akut. Pada pasien yang menjalani operasi, kejadian DVT berkisar 30% di Eropa dan l6Vo di Amerika Serikat. Pada pasien yang menjalani operasi panggul atau lutut, kejadian DVT berkisar 45-107o sedangkan kejadian emboli paru dapat mencapai 20dto;7-37o di antaranya fatal. Pada operasi giuekologi dan obstetri, risiko DVT berkisar 1-45Vo sedangkan pada operasi saraf antara 9 -5ATo.TabeTberikut menggambarkan berbagai faktor yang dapat menyebabkan trombosis.
PATOGENESIS Dalam keadaan normal, darah yang bersirkulasi berada dalam keadaan cair, tetapi akan membentuk bekuan jika
teraktivasi atau terpapar dengan suatu permukaan. Virchow mengungkapkan suatu triad yang merupakan
Estrogen Lipoprotein (a) Polisitemia Sindrom hiperviskositas Sindrom leukostasis
Gagal jantung kongestif Sindrom nefrotik Obesitas Varicose vein Sindrom pascaflebitis Kontrasepsi oral
Gangguan plasminogen activator inhibitor Gangguan faktor Xll D
isfib rinog enem ia
Homosisteinemia
Estrogen
dasar terbentuknya trombus, yang dikenal sebagai Triad
Virchow. Triad ini terdiri dari: 1). gangguan pada aliran darah yang mengakibatkan stasis, 2). gangguan pada keseimbangan antara prokoaguian dan antikoagulan yang
menyebabkan aktivasi faktor pelnbekuan, dan 3). gangguan pada dinding pembuluh darah (endotel) yang menyebabkan prokoagul an.
Trombosis terjadi jika keseimbangan antara faktor trombogenik dan mekanisme protektif terganggu. Faktor trombogenik meliputi: . gangguan sel endotel . terpaparnya subendotel akibat hilangnya sel endotel . aktivasi trombosit atau interaksinya dengan kolagen subendotel atau faktor von Willebrand. . aktivasi koagulasi
t354
1355
TROMBOSIS VENA DALAM DAN EMBOLI PARU
. .
terganggunya fibrinolisis stasis
pasien dengan DVT proksimal yang simtomatikadalah94To
Mekanisme protektif terdiri dari: . faktor antitrombotik yang dilepaskan oleh sel endotel
. . . . .
netralisasi faktor pembekuan yang aktif oleh komponen sel ehdotel hambatan faktor pembekuan yang aktif oleh inhibitor pemecahan faktor pembekuan oleh protease
aktif
dan
trombosit yang beragregasi oleh aliran darah lisisnya trombus oleh sistem fibrinolisis
Trombus terdiri dari fibrin dan sel-se1 darah. Trombus arleri, karena aliran yang cepat, terdiri dari trombosit yang diikat oleh fibrin yang tipis, sedangkan trombus vena terutama terbentuk di daerah stasis dan terdiri dari eritrosit
dengan
omp r e.s.s ion wltr as o unfi m empunyai sensitivitas 89 7o darr spesivisitas 91o/o pada DVT proksimal yang simtomatik, sedangkan pada DVT di daerah betis, hasil negatif palsu
c
yaqg Lituh
pengenceran faktor pembekuan yang
dibandingkan dengan venografi, sedangkan pada pasien dengan DVT pada betis dan asimtomatik, ketepatannya rendah. Ultrasonografi kompresi (Real-Time B- mode
fibrin dalam jumlah yang besar dan sedikit
dapat mencapai 507o. Pemeriksaan duplex scanning mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk mendiagnosis DVT proksimal. Venografi atau flebografi merupakan pemeriksaan standar untuk mendiagnosis
DVI
baik pada betis, paha, maupun sistem ileofemoral. Kerugiannya adalah pemasangan kateter vena dan risiko alergi terhadap bahan radiokontras atau yodium. MRI
umumnya digunakan untuk mendiagnosis DVT pada perempuan hamil atau pada DVT di daerah pelvis, iliaka dan vena kava di mana duplex scanning pada ekstremitas bawah menunjukkan hasil negatif.
trombosit.
Emboli Paru DIAGNOSIS
Trombosis Vena Dalam Anamnesis dan pemeriksaan fisis merupakan hal yang sangat penting dalam pendekatan pasien dengan dugaan trombosis. Keluhan utama pasien dengan DVT adalah kaki yang bengkak dan nyeri. Riwayat penyakit sebelumnya merupakan hal penting karena dapat diketahui faktor risiko
dan riwayat trombosis sebelumnya. Adanya riwayat trombosis dalam keluarga juga merupakan hal penting. Pada pemeriksaan fisis, tanda-tanda klinis yang klasik tidak selalu ditemukan. Gambaran klasik DVT adalah edema
tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri, dapat diraba pembuluh darah superfisial, dan tanda Homan yang positif. Pada pemeriksaan laboratorium hemostasis didapatkan
peningkatan D-dimer dan penurunan antitrombin. Peningkatan D-dimer merupakan indikator adanya trombosis yang aktif. Pemeriksaan ini sensitif tetapi tidak
spesifik dan sebenarnya lebih berperan untuk menyingkirkan adanya trombosis jika hasilnya negatif. Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 93 7o, spesi visitas ll Vo dan nilai prediksi negatif 987o pada DVT proksimal,
Pada emboli paru pasien umumnya mengeluh nyeri dada mendadak (seperli nyeri pleuritik), sesak napas, hemoptisis.
banyak berkeringat dan gelisah. Keluhan ini dapat menyerupai nyeri dada pada sindrom koroner akut, sehingga diperlukan anamnesis dan evaluasi yang lebih cermat. Gejala klasik emboli paru berupa sesak (dengan atau tanpa disertai nyeri dada pleuritik atau hemoptisis), takipnea, takikardia dan banyak berkeringat. Tanda ini sering tidak spesifik, sehingga harus dipikirkan diagnosis banding atau kemungkinan lain. Pemeriksaan foto dada (toraks) tidak spesifik tetapi dapat membantu mendiagnosis emboli paru, meskipun dapat dijumpai gambaran normal hingga 407o kasus. Elektrokardiogram dapat menunjukkan gambaran normal atau sinus takikardia. Gambaran yang klasik seperli gelombang S,-T., gelombang T yang terbalik di sandapan prekordial kanan, deviasi aksis ke kanan dan right bundle branch blocft (RBBB) Iengkap atau tidak lengkap dapat dijumpai tetapi tidak memastikan diagnosis. Pemeriksaan analisis gas darah dapat menunjukkan penurunan tekanan pO, dan pCO, yang disertai alkalosis, meskipun nilai analisis gas darah yang normal tidak menyingkirkan adanya
emboli paru.
sedangkan pada DVT daerah betis sensitivitasnyaT0To.
Pemeriksaan Ventilation-Perfusion (V/Q) Lung
Pemeriksaan laboratorium lain umumnya tidak terlalu bermakna untuk mendiagnosis adanya trombosis, tetapi dapat membantu menentukan faktor risiko. Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan yang
Scanning merupakan prosedur baku untuk mendiagnosis emboli paru. Interpretasi hasil pemeriksaan ini berdasarkan daerah V/Q yang 'mismatch' , yaitu tidak terdapatnya gambaran perfusi sedangkan gambaran ventilasi tampak normal atau tersebar merata. Hasil yang diperoleh dibagi
penting untuk mendiagnosis trombosis. Pada DVT, pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah venografi/ flebografi, ultrasonografi (USG) doppler (duplex s c
annin
g
), US G kompre si, Veno us I mp e danc e P I e thy smo -
graphy (IPG) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Ketepatan pemeriksaan ultrasonografi doppler pada
gat mungki n (hi gh p r ob abi 116r), kemungki nan sedang (interme diate p rob ability'), rendah (low pro babi L'
m enj adi : s an
lD,), sangat rendah (very low probability'; atau normal. Angiografi pulmonal juga merupakan prosedur standar untuk mendiagnosis emboli paru. Mengingat prosedur ini
1356
HEMAT1OIOGI
invasif dengan risiko morbiditas0,2To dan mortalitas 1,97o karena reaksi alergi terhadap bahan kontras, perforasi jantung dan aritmia, prosedur ini digunakan jika hasil V/Q scanning menunjukkan kemungkinan sedang atau rendah dan ultrasonografi ekstrernitas normal sedangkan kemungkinan klinis sedang atau tinggi. Spiral CT angiograph\ mertpakan prosedur yang tidak invasif dengan sensitivitas 95,5Vo dan spesifisitas 97,6Vo, kecuali pada emboli paru subsegmental yang menunjukkan hasil yang lebih rendah.
PENATALAKSANAAN
Trombosis Vena Dalam Tujuan penatalaksanaan DVT pada fase akut adalah:
. . . .
Menghentikanbertambahnyatrombus Membatasi bengkak yang progresif pada tungkai Melisiskan atau membuang bekuan darah (trombektomi) dan mencegah disfungsi vena atau sindrom pasca trombosis Qtost thrombotic syndrome) di kemudian hari Mencegah emboli
Antikoagulan, Unfractionated heparin (UFH) merupakan antikoagulan yang sudah lama digunakan untuk
penatalaksanaan DVT pada saat awal. Mekanisme kerja utama heparin adalah: 1). meningkatkan kerja antitrombin III sebagai inhibitor faktor pembekuan, dan2). melepaskan
tissue factor pathway
inhibitor (TFPI) dari dinding
pembuluh darah. Terapi ini diberikan dengan bolus 80IU/ kg berat badan (BB) intravena dilanjutkan dengan infus 1 8 IU/kgBB/jam dengan pemantauan nrlai Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) sekitar 6 jam setelah bolus untuk mencapai target APTT 1,5-2,5 kali nilai kontrol dan kemudian dipantar sedikitnya setiap hari. Sebelum memulai terapi heparin, APTT, masa protrombin(prothrombin timel PT) dan jumlah trombosit harus diperiksa, terutama pada pasien dengan risiko perdarahan yang tinggi atau dengan gangguan hati atau ginjal. Heparin berat molekul rendah (low molecular weight heparinllMWH) dapat diberikan satu atau dua kali sehari
secara subkutan dan mempunyai efikasi yang baik. Keuntungan LMWH adalah risiko perdarahan mayor yang lebih kecil dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium yang sering dibandingkan dengan UFH, kecuali pada pasien-pasien tertentu seperti gagal ginjal atau sangat
Lama pemberian antikoagulan masih bervariasi. tetapi
pada urnumnya bergantung pada faktor risiko DVT tersebut. Pasien yang mengalami DVT harus mendapat
antikoagulan selama 6 minggu hrngga 3 bulan jika mempunyai faktor risiko yang reversibel, atau sedikitnya 6 bulan jika faktor risikonya tidak diketahui (idiopatik). Sedangkan pada pasien yang mempunyai faktor risiko molekular yang diturunkan seperti defisiensi antitrornbin III, protein C atau S, activated protein C resistdnce atatr dengan lupus anticoagulantl antibodi antikardiolipin, antikoagulan oral diberikan lebih lama, bahkan dapat seumur hidup. Pemberian antikoagulan seumur hidup ini juga diindikasikan pada pasien yang mengalami lebih dari dua kali episode trombosis vena atau satu kali trombosis pada kanker yang aktif. Terapi trombolitik. Terapi ini berlujuan untuk melisiskan trombus secara cepat dengan cara mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Terapi ini umumnyahanyaefektif pada
fase awal dan penggunaannya harus benar-benar dipertimbangkan secara baik karena mempunyai risiko perdarahan tiga kali lipat dibandingkan dengan terapi antikoagulan saj a. Pada umumnya terapi ini hanya dilakukan pada DVT dengan oklusi total, terutama pada iliofemoral.
Trombektomi. Trombektomi, terutama dengan fistula arteriovena sementara, harus dipertimbangkan pada trombosis vena iliofemoral akut yang kurang dari 7 hari dengan harapan hidup lebih dari l0 tahun.
Filter vena kava inferior. Filter ini digunakan
pada
trombosis di atas lutut pada kasus di mana antikoagulan merupakan kontraindikasi atau gagal mencegah emboli berulang.
Emboli Paru Pasien yang kesakitan harus diberikan analgetik tetapi harus hati-hati jika akan memberikan opiat pada pasien yang hipotensi. Jika terjadi hipoksemia refrakter meskipun
sudah diberikan oksigen, tindakan intubasi dan ventilasi
mekanik mungkin diperlukan, meskipun dapat memperburuk hemodinamik karena gangguan aliran darah
balik ke jantung (venous return). Pada pasien yang mengalami renjatan, pemasangan katetervena senffal perlu
dipeftimbangkan.
Antikoagulan, Seperti halnya DVT, UFH merupakan terapi
gemuk.
Pemberian antikoagulan UFH atau LMWH ini dilanjutkan dengan antikoagulan oral yang bekerja dengan menghambat faktor pembekuan yang memerlukan vitamin K. Antikoagulan oral yang sering digunakan adalah warfarin atau coumarin/derivatnya. Obat ini diberikan bersama-sama saat awal terapi heparin dengan pemantauan (I nt e rnat i o nal N o rmalize d Ratio) INR. Heparin diberikan
selama minimal
antikoagulan oral ini mencapai target INR yaitu 2,0-3,0 selama dua hari berturut-turut.
5 hari dan dapat dihentikan bila
standar dan dapat diberikan secara intravena atau subkutan. Karena efikasi heparin sangat bergantung pada konsentrasi yang harus dicapai dalam beberapa jam pasca terapi, pemberian secara subkutan tidak dapat mencapai respon yang adekuatkecualijikadosis awal UFH sedikitnya 17.500 IU (atau 250IUlkgBB) setiap 12 jam. Selain UFH, LMWH dapat diberikan dengan efikasi yang sama, meskipun masih belum direkomendasikan pada emboli paru masif yang
1357
TROMBOSIS VENA DALAIVI DAN EMBOLI PARU
disetar gangguan hemodinamik. Antikoagulan oral dimulai
akibat emboli paru yang fatal, pencegahan trombosis atau
bersamaan dengan terapi heparin. Kedua obat ini diberikan selama minimal 5 hari dan heparin dihentikan jika sudah
tromboprofilaksis harus dipertimbangkan pada kasus-
mencapai target INR di atas 2,0 selama dua hari berturut-
kasus yang mempunyai risiko terjadinya tromboemboli vena. Tabel berikut menggambarkan risiko tromboemboli
turut.
pada pasien yang menjalani operasi
Penghambat langsung trombin (direct thrombin inhibitor) seperti hirudin atau lepirudin merupakan
tomboprofilaksis.
antikoagulan y-ang digunakan pada pasien yang mengalami
pada tabel
trombositopenia akibat pemakaian heparin (HeparinInduc ed Thrombo cytctpenialHlT). Obat ini bekerja dengan
menghambat trombin secara langsung tanpa melalui antitrombin IIl. Hasil penelitian ximelagatran, obat pengharnbat langsung trombin yang terbaru, menunjukkan bahwa efikasi obat ini tidak lebih rendah dibandingkan dengan enoksaparin/warfarin dan tidak terdapat perbedaan
tanpa
Untuk mencegah tromboemboli vena, sepefii tercantum
di atas, dapat diberikan Low Dose Unfractionated Heparin (LDUH), yaitu UFH 5.000 IU subkutan setiap 8-12 jam yang dimulai l-2 jam sebelum operasi; ADH yaitu UFH subkutan setiap 8 jam, mulai sekitar 3.500 IU sk dan disesuaikan + 500 IU dengan target nilai aPTT normal tinggi, atau LMWH/heparinoid yang dapat diberi sesuai dengan jenis operasi dan risiko tromboemboli prosedur tersebut.
yang bermakna pada efek samping perdarahan mayor ataupun mortalitas dibandingkan dengan terapi standar.
Terapi trombolitik, Terapi ini dicadangkan untuk pasien dengan gangguan sirkulasi berat seperti hipotensi, oliguria dan hipoksemia berat. Risiko perdarahan mayor berkisar I 0%. Risiko perdarahan serebral berkisar 0,5-1,57o, terutama pada pasien usia lanjut dengan hipertensi yang
tidak terkontrol, pasien yang baru menjalani operasi kraniotomi atau strok.
PENCEGAHAN
Mengingat sebagian besar tromboemboli vena bersifat asimtomatik atau tidak diserlai gejala klinis yang khas, biaya yang tinggi jika terjadi komplikasi dan risiko kematian
Derajat Risiko Risiko rendah
DVT
Betis f/.1 2
REFERENSI Bick RL, Kaplan H. Syndromes of trombosis and hypercoagulability. Congenital and acquired causes of thrombosis. In: Bick RL. Guest editor The medical clinics of north America. Current concepts of thrombosis. Prevalent trends for diagnosis and management 1998;82:3 :409-5 8 Bandoljer. Evidence based thinking about health care. DVTs and all that, April 2003; 110-2. Disitasi dari http://www.jr2.ox.ac.uk/ bandolier/band110/b1 10-2.html tar,ggal 29 Mei 2005. Baker WF. Diagnosis of deep venous thrombosis and pulmonary embolism. In: Bick RL Guest editor. The medical clinics of north America Current concepts of thrombosis. Prevalent trends for diagnosis and management 1998;82:3:459-76. Goodnight SH, Hathaway WE. Mechanisms of hemostasis and thrombosis In: Disorders of hemostasis and thrombosis. A clinical
DVT (%l 04
Operasi minor pada pasien usia <40 tahun tanpa faktor risiko tambahan
Risiko sedang
EP
Proksimal (klinis)
10-20
$l
EP fatal
0,2
0,002
Tidak ada terapi khusus, mobilisasi agresif
1-2
0,'1-0,4
LDUH l12jam, LMWH, ES atau IPC
2-4
0,4-1,0
Operasi minor pada pasien dengan faktor risiko tambahan Operasi bukan mayor pada pasien 40-60 tahun tanpa faktor risiko tambahan Operasi mayor pada pasien <40 tahun tanpa faktor risiko tambahan
Risiko tinggi
20-40
4-B
Operasi bukan mayor pada pasien >60 tahun atau dengan faktor risiko tambahan Operasi mayor pada pasien >40 tahun atau dengan faktor risiko tambahan
Risiko sangat tinggi Operasi mayor pada pasien >40 tahun + riwayat tromboemboli vena, kanker atau hypercoagulable state molekular, artroplasti panggul atau lutut, operasi frraktur panggul, trauma mayor, cedera tulang belakang (sprna/ cord injury)
Pencegahan
f/.1
LDUH/Bjam,LMWH atau IPC
10-20
4-10
0,2-5
LMWH, antikoagulan oral,
IPC/ES+ LDUH/LMWH, atau ADH
1358
guide, 2nd ed. New York: The McGraw-Hill companies 2001:3-
I9 Geerts WH, Heit JA, Clageu CP, Pineo GF, Colwetl CW, Anderson
HEMATOI,OGI
Hyers TM, Agnelli G, Hull RD,Morris TA, Samama M, Tapson Vet
al Antithrombotic therapy forvenous
thromboembolic
disease.Chest. 2001 : I 19: 1765- 193S
FA et al. Prevention of venous thromboembolism. Chest
New drugs, o1d drugs The directthrombin inhibitor melagatran
2001;119:132S-175S. Hirsh J, Colman RW, Marder VJ, George JN, Clowes AW. Overview of thrombosis and its treatment. In: Colmar RW. Hirsh J. Marder VJ, Clowes AW, George JN, eds. Hemostasis and thrombosis
ximelagatran. MJA. 2004;181 :8:432-7 Rickles FR, Levine MN, Dvorak HF Abnormalities of hemostasis in malignancy. In: Colman RW, Hirsh J, Marder VJ, Clowes AW, George JN, eds Hemostasis and thrombosis. Basic principle and clinical practice 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and
Basic principle and clinical practice 4th ed. Philadelphla: Lippincott Williams and Wilkins 2001 ;65:1071-84. Health services/technology assessement text What is the leve1 of risk of venous thrombosis and embolism in various patient groups? Disitasi dari file://E:DVTincidence.htm tanggal 26 Mei
2005.
Haas SK. Treatment of deepvenous thrombosis and pulmonaryembolism In: Bick RL. Guest editor. The medical clinics ofnorth America. Curent conceptsof thrombosis. Prevalent trendsfor diagnosis and managementl 998;82:3:495-510
.
Wilkins 2001 169: 1 13 1-52. Riedel M Venous thromboembolic disease. Acutepulmonary embolism 1: pathophysiology, clinical presentation and diagnosis. Heart.200
Riedei
1
;85
:229-40.
M
Venous thromboembolic disease Acutepulmonary embolism 2. Treatment. Heart. 2001;85:35160. Welts PS, Anderson DR, Ginsberg J. Assessment of deep vein thrombosis or pulmonary embolism by the combined use of clin.ical model and noninvasive diagnostlc tests. Semin Thromb
Hemost. 2000l.26:6'.643 - 56
215 PEMAI(AIAN DAN PEMANTAUAN OBAT.OBATAN ANTITROMBOS
I
S
Nusirwan Acang
mengobati keadaan ini diperlukan pemberian obat-obat yang
PENDAHULUAN
dapat mencegah terbentuknya dan melarutkan trombus. Obat-obat antitrombosis yang banyak dipakai saat ini adalah golongan antikoagulan, antiplatelet, dan troriboli ti k.
Dalam keadaan normal, darah mengalir di dalam lumen pembuluh darah dan berbentuk cair. Pada keadaan patologis, dapat terjadi keadaan dimana darah keluar dari pembuluh darah, yang disebut perdarahan, atau darah membeku di dalam lumen pembuluh darah, yang disebut trombosis. Sejak dikemukakamya teori trombogenesis oleh Rudolf Virchow pada pertengahan abad ke-i9, pengetahuan
ini, telah banyak diteliti dan di pasarkan obat-obat antikoagulan, antiplatelet dan trombolitik yang
Pada dekade terakhir
baru.
OBAT-OBATAN ANTITROMBOSIS
mengenai trombosis telah berkembang dengan pesat. Pada saat sekarang, trombosis merupakan suatu keadaan yang menimbulkan masalah kesehatan terutama di negara negara
Proses pembekuan darah terjadi melaluijalur yang sangat kompleks. lVlenurut teori klasik (fotLr factor theory), ploses
pembekuan ini, dimulai dengan aktifnya tromboplastin, dilanjutkan dengan terbentuknya trombin dari protrombin, dan hasil akhir dari proses ini adalah terbentuknya fibrin (bekuan darah; dari fibrinogen. Tujuan pengobatan trombosis adalah: a).mencegah perluasan ekstensi trombus, b). mengurangi terjadinya rekurensi trombus, c). mencegah pembentukan emboli, d). mencegah terjadinya sindrom post-trombotik
barat, baik dalam hal morbiditas maupun mortalitasnya, yang terjadi di dalam atau di luar rurnah sakit. Di Amerika Serikat, trombosis merupakan penyebab kematian yang utama, di mana setiap tahunnya sekitar 2 juta orang menderita trombosis arteri maupun vena, dan 60.000 kasus di antaranya meninggal karena emboli paru. Di Swedia dilaporkan, 160 kasus baru trombosis vena dalam (TVD) diantara 100.000 penduduk. Di Indonesia. sampai saat ini belum ada data epidemiologi
Obat-obat antitrombosis dapat dibagi atas 3 golongan,
yang lengkap mengenai trombosis, baik yang didasarkan
yaitu:a). antikoagulan, b). antiplatelet agregasi, c).
atas data komunitas maupun data rumah sakit. Data rumah
trombolitil
sakit yang ada adalah, laporan dari R.S Jantung Harapan Kita yang telah merawat 533 kasus trombosis di ICCU selama
tahun 1997, dan laporan dari ICCU RSUPN Cipto
Antikoagulan
Mangunkusumo yang telah merawat sebanyak 137 kasus trombosis pada tahun yang sama. Adanya trombosis pada arteri atau vena, akan mengakibatkan terganggu atau tersumbatnya aliran darah dari atau ke jaringan organ-organ yang dikenai, dan akan
Antikoagulan adalah golongan obat-obat yang kerjanya menghambat pembekuan darah. Menurut cara kerjanya dikenal dua golongan antikoagulan,
yaltu:
.
menimbulkan kelainan yang serius apabila mengenai organ
vital seperti paru, jantung dan otak.Untuk mengatasi/
t35
Bekerja langsung (direk) padapembekuan darah yaitu, berfungsi langsung sebagai antitrombin III. Obat yang termasuk golongan ini adalah heparin.
1360
.
HEM/TffOLOGI
Bekerja secara tidak langsung (indirek) yaitu. yang
berikut: a). trombosis vena dalam, b).infark miokard,
Dosis dan Lama Pemberian Heparin. Berbagai penelitian telah banyak dilakukan untuk mendapatkan cara pemberian, dosis optimal dan lamanya pemberian heparin yang efektif untuk pengobatan dan pencegahan trombosis. Studi terakhir mendapatkan bahwa lama pemberian heparin dapat dikurangi dari 10 hari menjadi 5 hari, apabila pemberiannya dikombinasikan dengan anti koagulan oral. Heparin dibagi atas 2 golotgan, yait:o:. (Unfractionated
c).angina pektoris tidak stabil, d).trombosis yang berulang (rekurens), e).terapi profilaksis trombosis pada tindakan
heparin biasa dan heparin berat molekul rendah.zlMWH)
mempunyai khasiat menghambat pembekuan darah dengan memutuskan hubungan antara faktor-faktor
pembekuan yang dibentuk pembekuan II,
V[,IX
di hati, yaitu faktor
danX.
Obat yang tergolong kelompok ini adalah antikoagulan oral. Indikasi pemberian obat-obat antikoagulan adalah sebagai
heparin-UH), dan (Low moleculer weight heparin/
operasi besar/mayor seperti neurosurgery darr total hip replacement Nilai aPTT
Kontra indikasi pemberian obat-obat antikoagulan adalah:
Dosis Heparin
aPTT < 35" (< 1, 2 x kontrol) aPTT 35-45"('l ,2 - 1,5 x kontrol)
Tingkatkan infus 4 U/kgBBijam Tingkatkan infus 2 U/kgBB/jam Tidak ada perubahan
Relatif: a). ulkus peptikum, b). pasca operasi mayor yang
aPTT 46-70" ('l ,5 - 2,5 x kontrol) aPTT 71-90" (2,5 - 3 x kontrol)
kurang dari 5 hari, c).trauma mayor yang baru terjadi
aPTT>90"(>3xkontrol)
Stop infus, ditunda pemberian selama 4 jam
Absolut: a). perdarahan aktil b). perdarahan serebrospinal, c).riwayat hipersensitivitas terhadap heparin, d).riwayat adanya trombositopenia terinduksi heparin, e). diatesis haemoragik.
Efek samping pemberian obat-obat antikoagulan adalah: a). perdarahan, b). trombositopenia, c). rambut rontok, biasanya reversibel, c). osteoporosis, dalam keadaan berat bisa sampai fraktur
Untuk mengurangi timbulnya efek samping ini. diperlukan monitor waktu pembekuan darah dan jumlah trombosit secara teratur
HEPARIN
Heparin merupakan mukopolisakarida (glukosaminoglikan) yang terdiri dari glukosamin sulfat dan asam glukuronat. Penelitian mengenai efektifitas heparin dan
anti koagulan oral, telah dimulai sejak tahun 1960. Kemudian, telah banyak dilakukan penelitian-penelitian
untuk menentukan dosis dan lama pemberian
Kurangi kecepatan infus
Heparin Biasa/Tidak Terfraksionasi (UF) Cara pemberian.Heparin dapat diberikan secara intra vena
atau subkutan, tidak boleh diberikan intramuskuler.
Dosis pemberian. Unfractionated heparin diberikan dengan dosis inisial 5000 U bolus IY kemudian dilanjutkan dengan drip 1000 U/jam, dosis ini harus selalu di evaluasi dan disesuaikan untuk mendapatkan nilai aPTT 1,5-2,5
kontrol (46-70 deiil:), aPTT ini diperiksa setiap 4-6 jam. Salah satu pedoman untuk pemberian UH dapat dilihat pada tabel.1
.
Alternatif lain pemberian UH adalah, diberikan 5.000 unit secara subkutan setiap 4-6 jam, dengan catatan besarnya dosis yang diberikan harus disesuaikan dengan hasil pemeriksaan aPTT, nilai aPTT tetap dipertahankan
I,5-2,5 kontrol. Cara ini terutama diberikan pada
antikoagulan pada pengobatan dan pencegahan timbulnya trombosis. Trombosis berulang dapat terjadi 20Vo pada kelompok yang tidak mendapat heparin, dan
pencegahan terjadinya trombosis vena dalam pada
hanya6,77o pada kelompok yang mendapat heparin pada masafollow up selama 6 bulan.
keterbatasan/ kekurangan sebagai berikut:
Secara farmakologis, heparin berfungsi sebagai antikoagulan yang mempunyai efek langsung sebagai antitrombin III, akan tetapi juga dapat melepaskan plasminogen aktifator jaringan dar tissue factor pathway inhibitor (TPFD dari endotel. TPFI ini dapat menekan/ menetralisir pembentukan faktor pembekuan Xa, sehingga tidak terj adi pembekuan. Heparin mempunyai berat molekul yang cukup besar sehingga tidak bisa melewati membran, tidak bisa diserap usus, dan tidak dapat meliwati plasenta. Dengan demikian heparin hanya dapat diberikan secara intra vena atau subkutan.
penyakit paru berat dan payah jantung yang lanjut.
Pemberian
UH secara kontinu, mempunyai
.
Tidak bisa diprediksi respon antikoagulannya, oleh
.
karena UH bisa di inaktifkan oleh protein plasma dan faktor trombosit 4. Membutuhkan monitor yang ketat fungsi pembekuan darah
. . .
Adanya "rebound" gejala klinis pada penghentian pemberian UH secara tiba-tiba. Bisa mengaktifasi fungsi trombosit Mempunyai risiko Heparin induced thrombocytopeni
Larna pemberian. Lama pemberian heparin adalah selama 5 hari, kemudian dilanjutkan dengan pemberian antikoagulan oral.
136L
PEMAKAIAN DAI\ PEMANIAUAN OBATOBATAN ANTITROMBOSIS
Heparin Berat Molekul Rendah (Low molecular weight heparinlLMWHl LMWH berasal dari degradasi unfractionated heparin, Dibandingkan dengan UH, LMWH mempunyai beberapa
tidak langsung (indirek) yaitu, bekerja secara kompetitif dengan vitamin K, sehingga akan mengganggu pembentukan faktor-faktor pembekuan II, VII, IX, dan X.
keunggulan. yaitu:
antikoagulan oral yang banyak dipakai adalah warfarin dan coumarin (Sintrom). Antikoagulan oral biasanya diberikan mengikuti pemberian heparin.
.
.
.
LMWH merupakan polisakarida dengan berat molekul (BM) yang lebih rendah yaitu 4.000 6.000 dalton, dibandingkan dengan UH yang mempunyai BM 12.000 14.000 dalton. Ukuran yang kecil ini memiliki aktivitas anti-Ila dan Xa yang lebih tinggi. LMWH diabsorpsi secara konsisten melalui pemberian subkutan dengan bioavailabilitas 85Vo, dibandingkan 15Vo pada UH, dan terutama dieksresi melalui ginjal dengan waktu paruh berkisar 3,5 4,5 jam dibandingkan 1,5 jam pada UH. Tingginya bioavailabilitas dan lamanya masa paruh, maka LMWH, memungkinkan diberikan 1 2 kali per hari. Pada pemberian LMWH, Partial thromboplastin time
(PTT) tidak akan memanjang, sehingga tidak perlu dievaluasi secara berkala. Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa LIvIWH lebih aman, efektif, dan cukup murah untuk tatalaksana trombosis vena dalam dan emboli paru non masif. Efektivitas.LMWH lebih baik terhadap regresi trombus
dibandingkan dengan UH. Pemberian UH menghasilkan regresi trombus pada 40,27o kasus, sedangkan pada pemberian LMWH dua kali sehari adalah 53,47c kasus dan pada terapi
LMWH sekali sehari
adalah 53,5r/o
.
Obat-obat yang termasuk kepada golongan
WARFAR!N Pemberian warfarin secara tunggal untuk pengobatan proses tromboemboli kurang bermanfaat, akan tetapi memberikan hasil yang memuaskan apabila diberikan mengikuti terapi hepari n. Beberapa peneliti telah mendapatkan bahwa, terapi warfarin pada proses tromboemboli vena yang pertama kali terjadi, memiliki angka kekambuhat22%o dalam masa "follow up" 3bulan, dibandingkan 77ob1la diterapi hanya dengan heparin atau LMWH. Pemberian warfarin selama 3 bulan pada pasien trombosis vena dalam yang telah diberi heparin selama 57 hari, akan mendapatkan insiden-trombosis berulang lebih rendah pada kelompok yang mendapat terapi'lanjutan dengan warfarin dibandingkan dengan kelompok tanpa pemberian warfarin.
Dosis dan Cara Pemberian
Akan tetapi dengan pengontrolan yang ketat,
Pemberian warfarin dimulai 24 jam setelah pemberian hep-
pemberian UH tidak akan memberikan efek samping yang banyak berbeda dengan pemberian LMWH. Oleh karena LMWH merupakan anti koagulan yang efektif, aman dan tidak perlu monitoring yang ketat untuk tatalaksana trombosis vena dalam, maka dikembangkan pemakaian LMWH secara mandiri bagi pasien rawat jalan, tanpa perlu dirawat inap di rumah sakit.
arin, dengan dosis 5-10 mg peroral, kemudian dosis disesuaikan dengan nilai INR. Setelah tercapai targetINR: 2-3 selarna2hari berturut turut (biasanya memerlukan waktu
4-5 hari), heparin dapat dihentikan,
pemberian
warfarin diteruskan sesuai dengan protokol yang dipakai. Salah satu protokol/pedoman pemberian warfarin adalah seperli Tabel 2.
Dosis dan Cara Pemberian LMWH. LMWH diberikan secara subkutan,
I
atau 2 kali sehari selama 5 hari, dengan
dosis sebagai berikut: . Enoksaparin (Lovenox): 100 U/KgBB, sekali sehari subkutan atau 40 mg subkutan tiap 12 jam, dosis pertama dapat didahului 30 mg IV bolus.
.
. . .
Nadroparine (Fraxiparin): 4.000 IU subkutan, diberikan tiap 12jam Dalteparin (Fragmin): 120IU/KgBB subkutan diberikan setiap 12jam. Maksimum 10.000 ru, 2kalilhari. Reviparin (Clivarin): 4.000 IU subkutan, diberikan tiap
12jarn Adreparin (Nurmilo): l20IU/KgBB subkutan, diberikan tiap 12jam.
ANTIKOAGULAN ORAL Golongan obat-obat antikoagulan oral ini berfungsi secara
Lama Pemberian Warfarin:
.
.
Pada trombosis vena asimtomatik, untuk vena distal: 4 minggu, dan vena proksimal: 3 bulan. Pada trombosis vena disertai faktor risiko yang berlanjut, diberikan minimal selama 6 bulan. Apabila faktor risiko tersebut tidak dapat dihilangkan, terapi diteruskan untuk
.
jangka waktu yang tidak terbatas. Pada trombosis vena dengan faktor risiko yang bersifat sementara (operasi, immobilisasi), terapi antikoagulan diberikan selama 4 minggu.
ANTIAGREGASI TROMBOSIT Trombosit merupakan faktor penting yang memulai dan
yang mempropagasi terjadinya suatu pembentukan trombus. Oleh karena itu antiaggregasi trombosit
1362
HEMATIOI.OGI
dan untuk mengurangi besarnya bekuan darah pada Penyesuaian Dosis
,4 ,9
1,1-1 I ,5- 1
2,0-3,0 3,0-4,9 4,0-5,0 >
5,0
Naikkan dosis l0 - 20%. Kontrol 1 minggu Naikkan dosis 5 -10% Kontrol 2 minggu Dosis tetap. Kontrol 1 minggu Turunkan dosis 5 -10%. Kontrol 2 minggu Turunkan dosis 10 - 20%. Kontrol 1 minggu Stop pemberian Dipantau s/d INR turun menjadi 3
merupakan suatu golongan obat pilihan untuk pengobatan dan pencegahan serangan iskemia yang disebabkan oleh
trombosis vena dalam.
Beberapa penelitian melaporkan, pada pasien trombosis vena dalam (DVT) yang mendapat obat trombolitik, angka kejadian sindroma pasca trombotik (Post Thrombo sis Syndrome ) berkurang.
Indikasi pemberian obat-obat golongan trombolitik adalah: . infark miokard akut
. . .
adanya proses trombosis arterial. Peran antiaggregasi
trombosit, berbeda dengan obat-obat golongan antikoagulan yang lebih bermanfaat pada trombosis vena.
Golongan obat anti aggregasi trombosit pertama yang masih banyak dipakai sampai saat ini adalah asam salisilat (aspirin). Asam salisilat berfungsi menghambat/inhibisi pembentukan prostasiklin dan tromboksan A2 yang berperan pada jalur pengaktifan aggregasi trombosit. Akan tetapi, karena efek samping aspirin yang dibenkan dalam jangka waktu yang cukup lama berupa iritasi lambung yang cukup mengganggu pasien, maka dikembangkan obat-obat
baru golongan antiaggregasi trombosit. Salah satu obat antiaggregasi trombosit baru adalah "ADP Receptor Antagonist, yang juga berperan menghambat aktifasi trombosit, contohnya klopidogrel. Obat-obat lain yang juga diteliti bermanfaat untuk mencegah aggregasi trombosit adalah ticlopidin, dipiridamol dan sulfin pirazon. Telah diteliti perbandingan efek tiklopidin dan klopidogrel pada pengobatan penyakit arteri koroner, dan didapatkan hasil yang hampir sama. Indikasi pemberian obat-obat antiaggregasi trombosit adalah untuk pencegahan terjadinya serangan iskemia akut seperti iskemia strok, "transient ischaemic attack", angina pektoris, penyakit vaskular perifer.
Dosis dan Cara Pemberian Anti-aggregasi Trombosit:
. .
. .
Aspirin: 150-325 mg, diberikanperoral. Untuk maintenen dilanjutkan dengan dosis 75-150 mg/hari. Klopidrogel: 15 mg/hari, diberikan per oral. Bisa diberikan dosis awal 300-600 mg apabila dibutuhkan mula kerja (onset of action) yatg cepat. Tiklopidin: 2 x 250 mg/hari, diberikan peroral. Bisa diberikan dosis awal 500 mg apabila dibutuhkan mula kerla (onset of action) yang cepat. Dipiridamol 2-3 x 25 mglhai, diberikan per oral.
OBATTROMBOLITIK Pengobatan dengan obat trombolitik seperti streptokinase,
urokinase, recombinant tissue plasminogen acth)ator (tPA) diberikan pada keadaan terjadinya emboli di arteri
emboli paru
ffombosis vena dalam penyakit aneri oklusifkronis
Kontraindikasi pemberian obat-obat golongan trombolitik adalah: Hipertensi berat, endokarditis bakterialis subakut, hamil trimester pertama, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, dan usia lanjut dengan kecendrungan degenerasi arteriosklerotik
Prepa rat Streptokinase, Obat ini berfungsi dan bertujuan untuk mengaktifkan pembentukan plasmin dari plasminogen. Dosis awal 250.000 ru, diberikan perinfus selama 30 menit, dan dilanjutkan dengan dosis 100.000 I.U./jam, dengan
pengontrolan waktu protrombin yang ketat. I-ama pemberian adalah 21-12 jam, dan dilanjutkan dengan pemberian heparin dan antikoagulan oral sesuai protokol yang sudah dibahas sebelum ini.
Urokinase, Dosis awal diberikan 4.000 uniVKgBB, dan dilanjutkan dengan infus 4.000 unit/KgBB/jam. Pemberian obat ini tidak memerlukan kontrol waktu protrombin.
Tissue P lasm i nogen Activator (rTPA)
.
Pada pasien dengan BB >65, dosis awal 1 5 mg, diberikan
bollus I.V pelan-pelan, kemudian 50 mg perinfus selama 30 menit pertama,
.
diikuti 35 mg selama 60 merut. sampai
dengan dosis maksimal 100 mg dalam waktu 3 jam pemberian. Pada pasien dengan BB <65 mg, dosis awal 10 mg,
diberikan bollus I.V pelan-pelan, kemudian 50mg perinfus selama 60 menit, diikuti 20 mg selama 60 menit, dalam waktu 3 jam.
REFERENSI Alving B.M : How I.treat heparin-induced thrombocytopenia
and
thrombosis. Blood.2003; I 0l (1):3 1-7 Antman E.M : Enoxaparine : A New Standard of Care. Euro pean Heart Journal (Suppplement) F7 - Fl1, 2000. Breddin H K, Wunderle V.H et al : Effect of Low Molecular Weight Heparin on Thrombus Regression and Recurrent Thromboembolism in Patient with Venous Thrombosis. The New Engl J of Med. 433:626-631. 2001. De Gluca. G et al : Comparison between ticlopidine and clopidogrel in patient with ST segment-elevation myocardial infarction Thromb Haemaost. 9l:1084-1089, 2004.
1363
PEMAKAIAN DAI\ PEMANTAUAT{ OBATOBATAN ANTMROMBOSIS
Fitzgerald : Collaborative meta-analysis of randomised trials of antiplatelet therapy for prevention of death, myocardial ifarction and stroke in high risk patient. British Medical Journal. 324:7 1-86, 2002 Hirst J, Agnes Y, and Lee Y : How do we diagnose and Treat Deep Vein Thrombosis. Blood 99 (9) :1352-1364, 2002. Letai A and Kutter D.J. Cancer : Coagulation and Anti Coagulation. The Oncoiogisr. 4(6):443-446, 1999. Merli G Spiro TE et al : Subcutaneous Enoxaparine Once or Twice Daily Compared with Intravenous Unfractioned Heparin for Treatment of Venous Thromboemboiic Disease. Annals Of Internal Medicine 134(3):191-201, 2001. Merli G.I : Low-Molecular-We:ight Heparin in The Treatment of Acute Deep Vein Thrombosis and Pulmonary Embolism. Advanced Studies
in Pharmacy.
2(12) :445 -45 1, 2002.
Mukherjee D, Muhaffey K.W et al : Promise of combination 1ow-molecular-weight heparin and platelet glycoprotein IIb/IIIa inhibition American Heart Journal 144(6):995-1002, 2002 Ringleb P.A, Bhatt D.L et al : Beneflt of Clopidogrel over Aspirin. Is Amplified in Patient with A History of Ischaemic Event. Stroke 35:528-532, 2004. Singh
L.D : Combination anticoagulation therapy doubles risk of
bleeding in patients at high risk of stroke. British Medical Journal. 329:250. 2004. Scwarzt K, Schmt B et al : Eligibility for Home Treatment of Deep Vein Thrombosis : A Prospective study. British Medical Joumai. 322:1212-1213. 2007 Tambunan K.L : The Problem of Thrombosis in Indonesia Symposium of Thrombosis and Hemostasis : A Multidisci-plinary Approach. Jakarta, November 25'h 2000.
Tait R.C. Anti Coagulation in Patient With Thromboembolic Disease. Thorax. 56(2) :30-31, 2001.
2t6 TROMBOSITOPENIA PADA WANITA HAMIL Yenny Dian Andayani
PENDAHULUAN
INSIDEN
Hemostasis normal memerlukan sejumlah trombosit yg berfungsi baik di dalam sirkulasi. Jika terjadi penurunan jumlah trombosit dalam sirkulasi darah dapat memicu
Angka kejadian trombositopenia pada perempuan hamil 7-8 7o, studi lain menyatakan 707o. sedangkan angka
terj adinya perdarahan.
Pada orang normal jumlah trombosit di dalam sirkulasi berkisar antara 1 5 0. 000-45 0. 000/ul, r ata-r ata berumur 7 -
10 hari. Kira-kira 713 dari jumlah trombosit di dalam sirkulasi darah mengalami penghancuran di dalam limpa oleh karena itu untuk mempertahankan jumlah trombosit supaya tetap normal diproduksi 150.000-450.000 sel trombosit perhari.
Pasien dengan trombositopenia sering menimbulkan masalah dalam diagnosis dan penatalaksanaan. Diagnosis banding trombositopenia
sangat luas karena kelainan yang menyebabkan trombositopenia banyak sekali dimana dapat terjadi penurunan produksi disatu sisi dan terjadi percepatan dekstruksi disisi lain.
DEFINISI TROMBOSITOPENIA
Bila jumlah trombosit kurang dari 150.000/ul di dalam sirkulasi disebut trombositopenia. Pada perempuan yang tidak hamil jumlah trombosit normal 150.000-400.000/ul, sedangkan pada perempuan hamil jumlah trombosit sedikit
kejadian trombositopenia asimptomatik pada perempuan hwrul5Vo.
ETIOLOG!
Etiologi trombositopenia yang berhubungan dengan perempuan hamil secara garis besar dlbagi2:
Trombositopenia yang spesifik pada kehamilan: s tational thrombocytopenia (GT), preeklampsi, Sindrom HELLP, acutefatty liver of pregnancy (AFLP).
ge
Tfombositopenia yang tidak spesifik pada kehamilan: immune thrombocytopenic purpura (ITP), thrombotic
microangiopaties, thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP), hemolytic uremic syndrome (HUS),Infeksi virus (HIY CIvIV, EBV),Antiphospholipid antibodies, DIC, disfungsi sumsum tulang, defisiensi nutrisi, drug-induc ed thrombocytopenia, Type IIb Von willebrand disease, con genita
l,
hype rsp I en
is
m
GEJALA KLINIS TROMBOSITOPENIA SECARA UMUM
menurun.
Trombositopenia pada perempuan hamil dapat
Gejala umum yang sering tampak pada pasien
diklasifikasikan . Trombositopenia ringan: jumlah trombosit 100.000-
trombositopenia adalah petekiae, ekimosis, gusi dan hidung berdarah, menometrorrhagia, sedangkan gejala
.
Trombositopenia sedang: jumlah trombosit 50. 000-
.
Trombositopenia berat: jumlah trombosit < 50.000/
jarang terjadi adalah hematuria, perdarahan gastrointestinal, perdarahan intrakranial. Perdarahan biasanya terjadi bilajumlah trombosit <50 000/mm3, dan perdarahan yang spontan terjadi jika jumlah trombosit <10.000/mm3 dan
ul.
umumnya terjadi pada leukemia.
150.000/ul 100.000/ul
t364
TROMBOSITOPENIA PADA
1365
WANIA HAMIL
TROMBOSITOPENIA PADA KEHAMILAN
kondisi klinis pasien untuk persiapan persalinan.
Dikenal juga dengan trombositopenia insidental pada
Penanganan konservatif disarankan untuk preeklampsi ringan yang terjadi pada usia kehamilan sebelum 34 minggu dengan mempertimbangkan kematangan janin. Pemberian
kehamilan. Angka kejadian I Vo pada perempuan hamil, dar, >10% trombositopenia pada kehamilan adalah ge stational thrombocytopenia. P atofisiologi belum jelas tapi diduga adanya peningkatan penggunaan trombosit. Diagnosa bisanya diketahui secara tidak sengaja yaitu pada saat pemeriksaan darah rutin pada akhir trimester
kedua. Tidak ada tes diagnostik yang tepat untuk membedakan apakah ITP dan GT, karena pada keduanya
trombosit dilakukan bila akan dilakukan tindakan sesaria. Umumnya kondisi klinis pasien dengan preeklampsi membaik setelah beberapa hari paska persalinan.
HEMOLYSIS, ELEVATED LIVER ENZYMES, LOW PLATELET (HELLP) SYDROME
didapati antibodi anti trombosit. Sindrom HELLP merupakan variasi bentuk preeklampsi
Manifestasi Klinik Ringan, trombositopenia simptomatik dengan jumlah trombosit >70.000/mm3. Biasanya tidak ada riwayat perdarahan atau jumlah trombosit yang rendah sebelum kehamilan. Jumlah trombosit akan normal kembali setelah 2-12 mtgglpaska persalinan, tapi ada juga yang melaporkan 1 minggu paska persalinan sudah kembali normal.
Penatalaksanaan Tidak ada penatalaksanaan khusus untuk gestasional trombositopenia. Pemeriksaan trombosit secara berkala paska persalinan penting dikerjakan untuk memonitor apakahjumlah trombosit sudah kembali normal.
berat. Angka kejadian adalah 1-107o padasemua kehamilan.
Sindrom HELLP kira-kira terdapat pada 2l7o trombositopenia pada kehamilan. Patofisiogi Sindrom HELLP merupakan proses mikroangiopati dimana kerusakan endotel dapat menggangu adhesi trombosit.
Diagnosis dan Klasifikasi Sindrom HELLP
. .
Hemolisis (H): Gambaran abhormal darah tepi (adanya schistocite), Bilirubin total >1,2 mg/dl, LDH >600 U /L Peningkatan enzim hati (EL): SGOT >70 U/L, LDH >600
.
IJII, Jumlah trombosit menurun (LP): Trombosit <100.000/
rrrd Kira-kira 50 % pasien mengalami gejala sindrom IIELLP
PREEKLAMPSIA Preeklampsia terjadi pada 6Vo kehamlTan terutama pada primigravida dengan usia <20 tahun dan >30 tahun dan merupakan 71 ,6 % penyebab kematian pada kehamilan di USA. Kriteria preeklampsia meliputi hipertensi, proteinuria (protein >300 mg/ 24 jam) dan berkembang sesudah 20 miggu kehamilan. Angka kejadian trombositopenia pada perempuan dengan preeklampsia 757o. Sedangkan penelitian lain menyatakan lebih berat yaitu 507o. Angka Kejadian preklampsia lebih tinggi pada negara berkembang. Faktor genetik diduga memainkan peranan penting namun
yang lengkap sedangkan 507o nya lagi dengan sindrom HELLP yang tidak lengkap gejalanya misalnya hanya EL , IIEL, ELLP atau hanya LP.
Beberapa Penulis membuat klasifikasi HELLP berdasarkan beratnya trombositopenia . Kelas 1: Bilajumlahtrombosit<50.000/mm3 . Kelas 2: Bilajumlah trombosit50.000-100.000/mm3.
.
Kelas 3: Bilajumlahtrombosit 100.000-150.000/mm3
Manifestasi Klinis Biasanya tidak spesifik seperti : mual, muntah, sakit kepala 50 Vo,rryeiepigastrium atau nyeri pada kuadran alas kanan terdapat pada 50-677o kasus.
belum jelas. Preeklampsia pada kehamilan sering
Tidak semua sindrom HELLP memenuhi kriteria
dihubungkan karenajarak kehamilan yang panjang. Faktor keturunan perlu dipertimbangkan walaupun tidak dapat
preeklampsia, hanya l57o denganhipertensi diastolik < 90 mm Hg, l5%olagimempunyai minimal atau tidak ada sama sekali proteinuria. Trombositopenia biasanya kelas 2 yaitlu
dijadikan patokan, sementara studi lain menyebutkan faktor p at e rual dan genetlkmaternal juga mempengaruhi. Walaupun kondisi klinis baru tampak pada triwulan ke tiga kehamilan namun gejala telah muncul sejak awal kehamilan yang terlihat dari remodeling pada vaskularisasi uterus si
50.000- 100.000/rnm3, jarang sekali < 20.000/mm3. Perdarahan
sangat jarang, biasanya berupa hematom pada subkutan. Angka kematian ibu hamil dengdn sindrom HELLP adalah l%o.
ibu oleh sel trofoblas.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Penanganan yang diberikan pada pasien dengan preeklampsi adalah terapi suportif dengan memperbaiki
.
Pasien hamil dengan sindrom HELLP bila kehamilan sudah cukup harus segera diterminasi akan tetapi bila kehamilan kurang dari 32 minggu dan tidak ada gejala
t366
.
maka persalinan dapat ditunda24 sampu 48 jam dengan
antitrombosit tidak rutin dilakukan untuk menegakkan
pemberian kortikosteroid.
diagnosis.
Untuk persalinan pervaginam jumlah trombosit dipertahankan > 20.000/mm3, sedangkan untuk persalinan dengan sesaria jumlah trombosit >50.000/ mm3. Bila persalinan dengan sesaria jumlah trombosit <50.000, dapat diberikan tranfusi trombosit sebelum
.
HEMATIOI.OGI
operasi alau selama operasi. Kebanyakan proses penyakit akan berakhir baik paska persalinan, namun bila keadaan memburuk dan menjadi sindrom paska persalinan yang menyerupai ITP segera Iakukan tindakan p h e re sis.
PERLEMAKAN HATI AKUT PADA KEHAMILAN (ACUTE FATTY OF PREGNANCYIAFLP) Angka kej adian I pada 5 000- 1 0. 000 kehamilan muncul pada
primigravida selama trimester ketiga. Dari beberapa pengamatan ternyata penyebab AFLP adalah terjadi defisiensi Long Chain 3 -hydroxy-acyl Coa dehydrogenase (LCHAD) atau enzim lain yang melibatkan asam lemak di
mitokondria.
Manifestasi Klinis Lemah, mual, nyeri epigastrium, nyeri di kuadran kanan atas, sesak napas, perubahan status mental, gangguan fungsi hati, diabetes insipidus dan hipoglikemia. Pada pemeriksaan laboratorium kadar fibrinogen dan antitrombin menurun.
Penatalaksanaan Pada pasien dengan AFLP ditatalaksana dengan terapi suportif dengan mengkoreksi gangguan elekrolit dan
keadaan hipoglikemia, juga mengobati penyebab
koagulopati. Dibutuhkan waktu 10 hari untuk mengnormalisasi gangguan hemostasis. Angka kematian ibu dengan AFLP kurang dari 5Vo.
Manifestasi Klinis Gejala awal biasanya terdapat ptekiae, epitaksis dan perdarahan pada gusi, akan tetapi kadang-kadang juga tanpa gejala. Gejala perdarahan yang hebat sangatjarang walaupun jumlah trombosit <20.000 /mm3. Diagnosis ITP
dibuat setelah disingkirkan penyebab lain dari trombositopenia misalnya akibat bahan kimia atau obatobatan. Pada akhir tahun 80-an persalinan pada perempuan dengan ITP melalui sesaria yang elektif terutama pada janin dengan trombosit <50.000/mm3. Anak yang lahir dari Ibu dengan ITP tidak selalu mempunyai trombosit yang rendah sama seperti ibunya sehingga perempuan hamil dengan ITP tidak selalu menjalani persalinan sesaria. Dari beberapa penelitian perempuan hamil dengan ITP l27o bayi y angdilahirkan mengalami trombositopenia berat, hanya l%o menderita perdarahan intrakranial yang tidak ada hubungannya dengan proses persalinan dengan sesaria. Secara normal bayi yang dilahirkan mengalami penurunan trombosit beberapa hari setelah dilahirkan ,hal itu kemungkinan disebabkan oleh karena adanya antibodi (IgG) trombosit pada air susu ibu , walaupun tidak ada kontraindikasi menyusui pada perempuan dengan ITP,
tidak ada satupun obat yang dapat
mencegah
trombositopenia pada jani n. Untuk perempuan hamil dengan ITP bila trombosit > 50.000/mm3 dan tidak ada gejala maka tidak perlu diobati sedangkan bila trombosit <50.000/mm3 dengan perdarahan abnormal atau akan dilakukan tindakan invasif maka perlu
diberikan terapi.
Terapi yang dapat diberikan pada perempuan dengan ITP Steroid (misalnya: prednisone), Mulai memberikan respons setelah hari ke 3 -l hai, mencapai efek maksimal setelah 2-3 minggu pengobatan. Kira-kira 10 Vo pasien memberikan r espon, 25Vo remisi komplit.
PURPURA TROMBOSITOPENIK IMUN (IMMUNE TH R O M BOCWE Nt C P U R P U R N|TPI Biasanya dikenal juga dengan Idiopathic thrombocy top e nic p arpura arau Autoimune Thrombocytop e nic
Purpura (ATP) Angka kejadian 1 per 1000-10.000 perempuan hamil dan terdapat pada 37o dari seluruh kejadian trombositopenia pada kehamilan. Antibodi anti trombosit yang terbentuk dapat menembus plasenta dan menyebabkan fetal trombositopenia yang menghasilkan komplikasi perdarahan pada neonatus dengan gejala yang ringan sampai berat. Kira kira 807o pasien dihubungkan dengan antitrombosit antibodi, tetapi pemeriksaan antibodi
Intravena Immunoglobulin, Digunakan bila tidak respon dengan steroid, pada tindakan bedah atau jumlah trombosit yang rendah dengan perdarahan. Mulai memberikan respon setelah 6-72 jam .Ktra-kira'707o pasien diberikan pengobatan
ulang setelah 30 hari, akan tetapi pengobatan ini mahal.
Splenektomi, Pada perempuan yang tidak hamil splenektomi dilakukan bila tidak respon dengan intravena imunoglobulin. Untuk perempuan hamil splektomi tidak diindikasikan karena alasan tehnis terutama pada trimester ke-3, akan tetapi bila jumlah trombosit <10.000/mm3 dan tidak respon dengan steroid atau intravena imunoglobulin maka dapat dilakukan splenektomi. Pada2l3 kasus terjadi remisikomplit.
L367
TROMBOSITOPENIA PADA WANITA HAMIL
Tranfusi Trombosit, Diberikan pada pasien yang mengalami perdarahan atau untuk tindakan operasi dengan jumlah trombosit < 10.000imm3.
.
Splenektomi dapat dilakukan pada TTP sedangkan pada
HUS yang berat dapat dilakukan hemodialisis.
PURPURA TROMBOSTTOPENTK TROMBOT|K FTP) DAN STNDROM HEMOLTTTK UREMTK (HUS)
TTP dan HUS adalah kelainan mikroangiopati yang ditandai dengan adanya trombositopenia, anemia hemolitik dan kegagalan organ-organ. Angka kejadian 1 diantara 25 kelahiran. Adanya mikroangiopati sering dihubungkan adanya Preeklampsia atau Sindrom HELLP sehingga terjadi kesalahan diagnosa yang mengakibatkan
meningkatkan angka kesakitan dan kematian ibu. Penyebab belum diketahui pasti tetapi kerusakan endotel
diduga menjadi faktor pencetus. Agregasi trombosit
TTP
HUS
HELLP
Gangguan neurologi Demam Hiperiensi Gangguan ginjal Lesi kulit purpura trombosit PT/APTT Fibrinogen BUN/creatinin SGOT/SGPT
+++
+l-
+l-
+l-
+l+l-
1)
f)fi1)
LDH
nnfi
0fln
+l-
++
+l+l-
+++
+
uuu
uu
U
Uor<+ U
or<+ ]t f)
n
intravaskular yang abnormal menimbulkan mikrotrombus,
sehingga menyebabkan trombositopenia, anemia hemolitik dan iskemik pada organ-organ. Saat ini disarankan untuk dilakukan pemeriksaan turunan
defisiensi spesifik vWF-cleaving protease pada patogenesis TTP. Protease ini dikenal dengan ADAMS 13 yatgmerupakan famili dari ADAMS metalloprotease yang kadarnya cenderung menurun pada pasien TTP. Defisiensi ini disebabkan karena adanya reaksi antibodi
dengan protease sedangkan pada TTP bawaan karena adanya mutasi pada gen ADAMS 1 3. Kadar ADAMS I 3
ERITEMATOSUS LUPUS SISTEMIK (SLE)
Lebih kurang 257o pasien SLE berkembang menjadi trombositopenia sekunder oleh karena penghancuran trombosit oleh antibodi antitrombosit, kompleks imun atau sebab lainnya. Dari penelitian Burrow terhadap jumlah trombosit pada perempuan hamil temyata terdapat 8 ibu hamil dengan SLE.
umumnya meningkat pada kehamilan normal yang diduga
merupakan bentuk yang menyertai perkembangan mikroangiopati trombotik.
Manifestasi Klinis Gejala dan tanda TTP dan HUS sering tumpang tindih.
Pada TTP manifestasi
klinis bervariasi tergantung
jumlah dari arteri yang terlibatrGejala klinis berupa mual, muntah, sesak napas, trombositopenia berat, anemia hemolitik, demam dan gangguan neurologi (sakit kepala, perubahan kesadaran, hemiparese) sedangkan pada HUS gejala sama akan tetapi gangguan pada fungsi ginjal lebih dominan yaitu adanya proteinuria, hematuria, oligouri atau anuria.
Penatalaksanaan
.
. . .
Plasmaferesis merupakan terapi yang utama pada TTP dan HUS dimana plasmaferesis memindahkan substansi agregasi trombosit yang menyebabkan TTP dan HUS. Kerberhasilan terapi pada TTP 90 7o sedangkan pada HUS kurang. Steroid dapat diberikan akan tetapi tidak begitu efektif dibanding dengan plasmaferesis. Pemberian tranfusi trombosit harus dihindari kecuali adanya perdarahan intrakranial. Imunosupresi seperti vinkristin, azatioprin,siklosporin dapat diberikan.
INFEKSIVIRUS
Hampir semua infeksi virus dapat menyebabkan trombositopenia, akan tetapi yang paling sering menyebabkan trombositopenia adalah virus HIY CMV EBV. Patofisiologi terjadinya trombositopenia oleh karena adanya penekanan dari sumsum tulang. Trombositopenia
karena infeksi virus tidak membutuhkan pengobatan karena dapat sembuh sendiri.
KOAGU LASr TNTRAVASKULAR DISEMINATA (KlD) Trombositopenia yang terjadi pada keadaan KID biasanya terjadi dari kelainan obstetrik dan perdarahan pasca
persalinan. KID biasanya berhubungan dengan perdarahan.
TROMBOSITOPEN!A KARENA OBAT
Diketahui bahwa beberapa obat dapat menyebabkan trombositopenia, misalnya: heparin, kuinin, kuinidin, zidovudin dan sulfonamid. Kokain dapat juga menyebabkan trombositopenia pada perempuan hamil.
Trombositopenia yang terjadi oleh karena trombosit
1368
HEMATOI.OGI
dirusak oleh aktivasi komplemen akibat terbenitknya drug
antibody complexes. Walaupun dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan selama 7-10 hari, namun untuk kasus
REFERENSI
HIPEBSPLENISME
George JN, Rizvi MA . Thrombocytopenia, In : William WJ. Beutere,Erslev AJ, Lichman MA ( Eds) Hematologi, 6.Ed, NY;Mc Graw-Hill Publ.Co : 2003, 1495-533 Handin RI. Disorders of the platelet and Vessel wall. In : Isselbacher KJ et al (Eds). Harrisons Principles of Internal Medicine. 16 th ed, vol l.NY : Mc Graw -Hill Inc ;2005, 673-9 Hillman RS and Ault KA . Thrombocytopenia. In : Hematology in Clinical Practice .second Edition, Mc Graw-Hill Lnc, 1998,437-
Istilah
leni s me digunakan untuk menyatakan
Mc Crae KR Thrombocytopenia in pregnancy: differential
kondisi klinis di mana terdapat sitopenia pada sirkulasi dengan adanya pembesaran lien dan sumsum tulang dengan hiperplasi dari elemen seluler di mana elemen-
Kain EN, Mayes LC, et ail. Thrombocytopenia in pregnant women who use cocaine.AM J Obstet Gynecol.1995, vol 173, 885-
yang berat dengan jumlah trombosit <10.000-20.000 /mm3 dan perdarahan kadang kadang diperlukan terapi suportif
seperti kortikosteroid, plasmaferesis dan infus trombosit.
58.
hip
e r sp
elemen tersebut menurun di dalam darah. Pembesaran lien disebabkan karena adanya sequestrasi daihen. Oleh karena lebih dari 200 penyakitberhubungan dengan splenomegali
maka trombositopenia ditemukan pada banyak kasus.
Trombositopenia yang berhubungan
dengan
hipersplenisme biasanya tidak berhubungan dengan perdarahan. Gambaran laboratorium membantu menegakkan diagnosis hipersplenisme sebagai dasar terjadinya trombositopenia dengan adanya penurunan jumlah trombosit dengan volum trombosit rata-rata normal, dan adanya sedikit peningkatan turn over trombosit.
PSEUDOTROMBOSITOPENIA Adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi dimana jumlah trombosit yang tidak sebenarnya pada pemeriksaan darah lengkap yang dilakukan secara
elektronik. Hal ini disebabkan oleh karena banyak substansi di dalam darah yang menyebabkan aglutinasi trombosit bila darah ditambah dengan EDTA yang digunakan sebagai antikoagulan. Umumnya diagnosis tepat dapat dapat ditegakkan dengan pemeriksaan apusan
darah tepi dengan melihat adanya trombosit yang menggumpal. Gej ala klinik pada pseudotrombositopenia tidak ada.
diagnosis, pathogenesis, and management. Blood Review, 2003,
'ro1 l'7,7-74.
890.
Pilai M. Platelets and Pregnancy. British Journal of Obtetrics and Gynaecology, 1993, vol 100, 201-4. Rutherford CJ and Frenkel EP. Thrombocytopenia "Iissues in Diagnosis and Therapy " Medical Clinics of North America, 1994, Vol 78, p 555 -'74.
Richard F. Thrombocytopenia in pregnancy. http:ll www emedicine.com,/med/topic.
Silver RM, Branch W, Scott JC. Mathernal Thrombocytopenia in Pregnancy : Time for a reassessment AM J Obstet Gynecol, 1995,
vol
1'73, 479-82.
2t7 TROMBOSIS PADA I(ANKER Cosphiadilrawan
terjadinya trombo emboli (TE), dan pada beberapa ruangan tertentu (misal: ruang perawatan operasi jantung) dapat mencapai 707o; sedangkan dengan empat faktor risiko
PENDAHULUAN
Penyakit keganasan dalam perkembangannya dapat menyebabkan terjadinya perdarahan atau trombosis. Kecenderungan perdarahan terjadi melalui: 1).
mencapai 9%. Faktor faktor yang meningkatkan risiko trombosis secara garis besar dapat dibagi dua kgl.ompok besar yaitu faktor bawaan/konstitusional dan faktor didapat/lingkungan (misal: imobilisasi, prosedur akses pembuluh darah/operasi, kehamilan, pil kontrasepsi, terapi sulih hormon dan keganasan) (Tabel 1). Interaksi penyakit kanker dan berbagai faktor kondisi di atas/komorbid, tindakan operasi atau radiasi, maupun jenis kemoterapi yang diberikan serta cara perawatan pasien akan menempatkan pasien secara "unik" pada tingkat risikonya masing masing untuk terjadinya VTE. Pendekatan diagnostik dan pengobatan antitrombosis yang menyama ratakan pasien (generalizefi akan menempatkan pasien pada risiko yang mungkin tidak perlu dan beban biaya
trombositgpenia, baik melalui penekanan produksi akibat
kemoterapi, radiasi atau infiltrasi sel ganas maupun koagulasi intravaskular diseminata (KID), 2). fibrinolisis sistemik, 3). adanya produksi zat mirip antikoagulan (misal:
glikosaminoglikan) atau terj adinya di sfribrino genemia. Dalam kenyataannya dibandingkan perdarahan justru kejadian trombosis (arteri dan yang lebih sering adalah trombosis vena) lebih tinggi kejadiannya. Dilaporkan dalam perkembangan penyakitnya l57o pasien kanker akan mengalami trombo-emboli vena (VTE) ; batrkan pada otopsi postmortem dilaporkan angka ini mencapai 30-507o. Sebaliknya diternui 207o pasien yang datang dengan sumbatan vena dalam (DVT) atau emboli paru, temyata
yang tidak ringan. Namun perlu pula diketahui bahwa menetapkan kriteria pasien mana yang memerlukan atau
kemudian juga menjadi pasien kanker. Kanker dan hiperkoagulasi merupakan topik yang telah beberapa dekade dibicarakan dan tiap kali tetap merupakan bahasan
yang menarik karena kekerapannya yang tinggi dan patogenesisnya yang kompleks. Diawali laporan Armand Trousseau pada tahun 1865, yang menegakkan hubungan kanker dengan kejadian VTE, dan dikenal sebagai sindrom " Trousseau ", sekarang telah diketahui bahwa kanker
Defisiensi protein C Defisiensi protein S
sendiri dapat meningkatkan risiko kejadian trombosis sampai empat kali dan kemoterapi meningkatkan sampai
Defisiensi AT lll Resistensi protein C teraktivasi Protombin G2021OA Peningkatan faktor
enam kali. Di Amerika Serikat total kejadian sumbatan vena dalam (DVT)/emboli paru (PE): 1 1 7 per 100.000 populasi/
pertahunnya, sehingga dapat diperkirakan secara kasar
H
kanker adalah: 1/200 orang pertahunnya. Anderson melakukan survey di rumah sakit pada tahun 1992 melaporkan pada pasien yang dirawat dirumah sakit ada l9Vo yang
Predisposisi Operasi atau trauma Penyakit Keganasan lnfark miokard akut lnfeksi akut / berat
cagal jantung akut Gagal napas akut
Strok H
ipertensi
Penyakit mieloproliferatif Sindrom nefrotik Obesitas Varises
vilt
akan didapatkan angka kejadian DVT dan PE pada pasien
minimal
Faktor
Faktor Khusus
iperhomosiste
Umur
in
em ia
Sindrom antifospolipid Penyakit jantung kongestif Penerbangan jarak lauh
memiliki minimal tiga faktor risiko
t36
Kehamilan / puerpunum lmobilisasi Riwayat VTE
1370
HEMATIOI.OGI
tak memerlukan terapi terutama pencegahan primer bukanlah hal yang mudah, dan belum ada kesepakatan yang dapat diterima secara universal mengenai hal tersebut. Di Indonesia sendiri kejadian VTE dan pelaporannya secara nasional belum ada, yang mungkin salah satunya penyebabnya adalah karena penatalaksanaan pasien kanker di Indonesia masih dilaksanakan secara terkotakkotak dan belum terpadu dalam satu tim yang terdiri dari disiplin bedah onkologi, radioterapi dan hematologionkologi medik, maupun disiplin penunjang lainnya;atau karena hal ini dianggap belurn merupakan hal yang
EKSPRESIT
+ REGULASIl
DIN]DING \/ASKULAR PROTROIVBOTLK
mendesak untuk segera ditangani karena tak mempengaruhi morbiditas dan harapan hidup pasien. Dari berbagai penelitian yang ada jelas membuktikan bahwa itu adalah anggapan yang salah, karena kejadian trombosis
pada pasien kanker jelas akan meningkatkan angka kesakitan, menurunkan kualitas hidup, naiknya biaya
MAKROFAG
PAI-1 : HA[,4BAT FIBRINOLISIS (l\,4enghambat fibrinolis s) PAI-1: Plasminogen aktivation lnhibitor I , TM: Thrombomodulin, TF: Tissue factor
Gambar 1. Tumor sel, Host Cel/ dan sitokin
perawatan dan dapat menurunkan harapan hidup pasien
Hiperkoagulasi sendiri dapat didefinisiskan sebagai: kumpulan kondisi konstitusional/didapat yang diketahui/
dicurigai meningkatkan reaksi sjstem koagulasi dan memulai terjadinya trombosis termasuk perubahan permanen/sesaat dari sistem koagulasi akibat adanya defek
genetik atau interaksi dengan lingkungan/klinis tertentu yang mempredisposisi terj adin ya tromboemboli.
PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI Terjadinya trombosis pada keganasan mencakup proses kompleks yang terutama disebabkan aktivitas prokoagulan sel kanker Qtrocoagulant activitylPcA) yang kemudian akan merupakan interaksi antara: (Gambar I dan2)
.
. . . .
Dikutip dari : Thrombosis Resarch 102 (2001 ).217
Aktivitas prokoagulan dengan diproduksinya faktor aringan (" tis sue factorlTF") dan " c anc e r p r oko a g trl an "(CP)l"tumor associated mucin" oleh sel tumor.
j
Gambar 3.
Sitokin yang dikeluarkan oleh sel kanker (TNF-c4TNFp
Keterangan: TF: fissue factorllakior jaringan, CP: cancer procoagulan, PAI plasminogen activator inhibitor, VEGF:
danVEG$
vascular endothelial growth factor, TNF: tumor necrosis factor.
Dampaknya pada proses fibrinolisis Perubahan pembuluh darah/disfungsi endotel
TM: trombo modulin
Interaksi antara sel pasien/"ftosr" (teraktifasinya: monosit, makrofag, trombosit dan sel endotel) dengan sel tumor .Monosit dan makrofag akan mengeluarkan
interleukin-1
.
Sel endote
(L-1)
dan interleukin-6 (IL-6) yang
Patofisiologi terjadinya trombosis pada kanker masih tetap relevan diterangkan dengan "Triad Virchow " yang sejak 1826 menyatakan kejadian trombosis dikarenakan
menyebabkan kerusakan endotel dan "sloughing" sel endotel pembuluh darah (PD), sehingga menjadi bersifat trombogenik. Khususnya interaksi dengan makrofag akan mengaktifkan trombosit, faktor XIII dan faktor X, yang akan meningkatkan pembentukkan trombin dan selanjutnya menimbulkan trombosis
adanya:
Sel kanker yang utuh mampu melepaskan vesikel plasma
teraktifasi, b). Menimbulkan hipoksia sel endotel, c). Trauma pembuluh darah. Berbagai hal tadi akan mempredisposisi terjadinya TE.
membran kedalam sirkulasi darah dan meningkatkan pembentukkan bekuan darah
Gangguan Aliran Darah, yang dalam hal
ini
karena
imobiljsasi bed rest atau adanya kompresi pembuluh darah oleh massa tumor: kondisi ini akan memperlambat atau bahkan menghambat aliran darah, yang selanjutnya akan: a). Menurunk an"clearance" faktor faktor pembekuan yang
t37l
TROMBOSITOSIS PADA KANKER
Tlauma dan gangguan fungsi pembuluh darah, akibatnya adanya invasi sel tumor (misal: karsinoma sel ginjal) atau kemoterapi. Dalam penelitian selanjutnya dapat dijelaskan
bahwa hal tersebut berkaitan dengan menurunnya trombomodulin, prostasiklin dan aneksin II; yang ketiganya bersifat sebagai "antikoagulan"dan "anti agregasi "baik langsung maupun tak langsung .
Terjadinya perubahan pada komponen pembekuan darah yang menyebabkan kondisi hiperkoagulasi (terjadi pada 50-107o pasien kanker), terjadi melalui aktivasi langsung faktor Xa oleh CP yang hanya diekskresikan oleh se1 tumor dan foetal (suatu sistein protease dengan BM 68 kDa) atau melalui TF (suatu glikoprotein trans membran dengan BM 47 kDa) selain diekskresikan sel kanker juga oleh sebagian besar sel normal seperti sel monosit, endotel, sel jaringan ikat dan lainnya.Ekskresi TF di"up regulated'oleh sitokin yang kemudian mengaktivasi faktor VII dan membentuk kompleks TF+VIIa .Salah satu produksi sel tumor berupa musin asam sialat, dapat mengaktifkan faktor X secara non enzymatik. Selain mekanisme di atas juga diketahui terjadi penufl.rnan anti koagualan alamiah, seperti: AT III, protein C dan S atau melalui aktivasi trombosit. Beberapa faktor yang meningkatkankan risiko kejadian trombo emboli (TE) pada kanker yaitu antara lain: a. Jenis dan stadium kanker b. Berbagai prosedur perawatan umum maupun khusus yang meliputi: imobilisasi, operasi, kateter vena sentral, kemoterapi, terapi hormonal dan lain lain.
Terapi hormonal. Meningkatnyarisiko TE terjadi melalui
sifat intrinsik tamoksifen (TAM) yang mirip estrogen (agonis), dapat meningkatkan berbagai faktor prokoagulan, di samping juga menurunkan AT III dan protein C.Saphner dan juga Pritchard melaporkan kejadian TE lebih tinggi pada kombinasi TAM dengan kemoterapi , dibanding hanya
kemoterapi atau TAM saja.
Kateter sentral vena. Denovo memberikan kemungkinan 30Vo terjadinya TE, hal ini meningkat mencapai '70% bila terjadi disfungsi kateter sebelumnya (Gould et al). Berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian TE sehubungan dengan pemasangan kateter vena, dilaporkan lebih lanjut: a) Risiko kateter lubang tiga >lubang dua >lubang satu, b). Lebih berhubungan dengan ukuran daripada tipe/merek tertentu, c).Risiko lebih tinggi pada pemasangan di vena subclavia kiri daripada kanan, d). Ujung kateter terletak pada distal dari setengah vena kava superior berseberangan dengan dinding dada, e).Adanya tumor intratorakal. Horne melaporkan risiko tertinggi terjadinya oklusi parsial vena terjadi pada enam minggu pertama pemasangan kateter
Operasi. Kakkar dan Williamson melaporkan pada post operasi pasien kanker, risiko kejadian DVT meningkat dua kali dan PE fatal meningkat lebih dari tiga kali djbanding operasi pada tumorjinak. Penilaian risiko trombosis selama
operasi tergantung pada jenis operasi/trauma (exposing risk) dan faktor predisposisi pasien (misal: umur lebih dari 40 tahun, adanya penyakit lain/komorbid, obesitas, varises vena, peradangan , infeksi, terapi hormonal dan adanya trombofilia).
FAKTOR RISIKO
Jenis keganasan. Beberapa laporan menyebutkan beberapa jenis kanker memberikan kecenderungan yang
lebih tinggi terjadinya TE, dimana kanker pankreas memberikan angka24-287o,paru berkisar 20-21 7o,kolon 378Vo, gaster l2-l3Vo, prostat 13-71Vo datpaytdaru2-87o. (tergantung pre-postmenopause). Jenis histologi tertentu seperti adenokarsinoma tipe produksi musin positip juga merupakan faktor predisposisi terjadinya TE,. Namun tingginya prevalensi VTE pada kanker lebih mengikuti jenis kanker yang tersering pada populasi umum, seperti pada laki laki jenis yang sering dijumpai adalah kanker kolon, paru dan prostat; sedangkan pada wanita adalah: kanker payudara. paru dan ovarium.
PENCEGAHAN DANTERAPI
ini ada baiknya dapat dipahami dahulu berbagai terminologi di dalamnya, yaitu: . Risiko predisposisi (."predisposing risk"): adalah risiko Untuk dapat memahami topik
yang telah ada sebelumnya, terlepas dari kondisi penyakitnya saat ini atau operasi yang akan dijalaninya. Terbagi lagi dalam: a. Risiko umum/karakter umum seperti jenis kelamin, umur, golongan darah dan lainnya;
dan ajuvan seperti rejimen FAC, ataupun status
atau penyakit yang diderita dalam tiga bulan terakhir (misal: AMI, strok), maupun kondisi kronis yang lain (misal: insufisiensi vena, varises, keganasan) b. Risiko inheren mayor: termasuk di dalamnya riwayat pribadi atau keluarga dengan VTE, kelainan pembekuan darah ataupun penanda mutasi genetik terlentu Risiko terpajan ("exposing rlsk"): adalah risiko didapat karena kondisi penyakit medik atau bedah, tennasuk di dalamnya adalah prosedur terapi yang harus dilaluinya Risiko keseluruhan ("overall rlsklOR "): adalah total risiko VTE seseorang dengan mengkombinasikan risiko predisposisi dan terpajan.
postmenopause pada waktu terapi memberikan risiko yang tinggi dan bermakna terjadinya TE.
"Decision Matrix" adalah salah satu usaha para ahli diberbagai negara berdasarkan penilaian faktor risiko poin
Kemoterapi. Meningkatkan risiko TE melalui tiga mekanisme, yaitu: a.) Kerusakan akut dinding pembuluh darah (misal: bleomisin, carmustin, vinka alkaloid) b). Non akut pada endotel (misal: doksorubisin) c). Menurunkan
kadar antikoagulan alamiah (misal:CMF menurunkan protein C dan S ;L-asparaginase menurunkan AI III). Beberapa laporan juga menyebutkan kemoterapi neoajuvan
. .
L372
HEMAIOI.OGI
7 dan2 di atas guna menilai dan membagi OR pasien atas kelompok risiko: rendah, moderat, tinggi dan sangat tinggi. Pada risiko tinggi dan sangat tinggi para panelis sepakat untuk memberikan pencegahan antikoagulan baik UFH ataupun LMWH,sedangkan anti agregasi belum disepakati
bagian abdomen atau pelvis menunjukkan pada hari ke 8 dan ke- l5 tak ditemui perbedaan bermakna kejadian VTE (157o vs 187o) , maupun efek sampingnya. Pada enoxacan
II
pasien kanker dengan operasi abdomen mendapat
manfaat dan perannya. Dengan menjawab berbagai pertanyaan yang telah disusun, kita dapat menetapkan jumlah nilai akhir risiko pasien
enoksaparin 40 mg sekali sehari selama seminggu, yang dilanjutkan dengan randomisasi dengan dosis yang sama atau plasebo selama 2l hai; memperlihatkan penurunan insiden DVT dai l2Vo menjadi 4,87o (p=Q,Q))
"The Sixth ACCP Consensus" menetapkan tiga hal yang menjadikan seorang pasien memiliki risiko terlinggi kejadian trombosis yaitu: l). Pasien dengan riwayat TE vena 2).
Kondisi disini agak lebih sulit, dan tak banyak penelitian
Pencegahan pada Pasien Medik/non Operasi
Penyakit kanker 3). Operasi besar/mayor ortopedik; sehingga terapi pencegahannya dengan antikoagualan harus dijalankan. Hal hal ini selanjutnya akan dipengaruhi oleh: tata cara perawatan umum, lama dan jenis anestesi,
pencegahan primer antikoagulan pada pasien kanker yang
mobilisasi pre-post operasi, tingkat hidrasi pasien dan ada
menjalani prosedur medik/kemoterapi . Levine et al memberikan warfarin dosis rendah
(INR 1,3-1 ,9)
1
mg selama 6 minggu
atau plasebo secara random pada 3 I
I pasien
Bick dan teman pada tahun 2003 mencantumkan
kanker payudara stadium IV yang menjalani kemoterapi. mendapatkan 857o penurunan risiko relatif trombosis pada kelompok warfarin (p= 0,03) tanpa meningkatkan risiko
pembagian katagori risiko berdasarkan "the International
perdarahan. Samama et al menunjukkan pemberian
Consensus Group dan European Consensus Group" (terdiri dari risiko rendah, moderat dan tinggi) dan tingkat klasifikasi risiko berdasarkan "The Sixth ACCP Consensus" (terdiri dari: rendah, moderat, tinggi dan sangat tinggi) pada pasien operasi dan medik; berdasarkan "exposing factor" dan faktor predisposisi. Keduanya menetapkan bahwa operasi besar, operasi daerah pelvis atau abdomen untuk keganasan merupakan risiko tinggi dan sangat tinggi yang memerlukan terapi pencegahan baik dengan heparin berat molekul rendah (low molecular weight heparinl
enoxaparin dibanding plasebo pada pasien kanker yang dirawat dengan penyakit akut mempunyai risiko relatif 0.37
tidaknya sepsis.
LMWH) atau UFH (unfractionated
heparin)
untuk trombosis (p <0.001). Disisi lain pada suatu observasi pasien kanker stadium lanjut atau metastasis rawat dengan jalan hanya ditemui 3Vo kejadian VTE bergejala. Disimpulkan pada pasien kanker stadium lanjut rawat jalan tak dianjurkan pemberian rutin LMWH atau UFH , namun
direkomendasikan bila dirawat karena penyakit akut lainnya
(Rekomendasi lA). Sedang kan untuk pasien non operasi harus dikaji risiko VTE, mengunakan sistem nilai "expos-
Terapi VTE Prinsipnya pengobatan baku dengan antikoagulan
ing dan predisposing factor". Pasien dalam kelompok
kejadian VTE pada pasien kanker tak berbeda dengan pasien non kanker. Pemberian LMWH subkutan atau
moderat dan tinggi harus dipertimbangkan terapi pencegahan UFH atau LMWH ( 6'h ACCP Consensus: 1A ). Sedangkan asidum salisilikum sebagai anti agregasi belum dipastikan perannya
TERAPI DAN DOSIS
intravenous UFH memberikan hasil yang sama efektifnya. Pemberiaan LMWH (enoksaparin, reviparin) berdasarkan
berat badan, dua kali sehari lebih efektif dibandingkan sekali sehari, dan mungkin dilakukan secara rawatjalan.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan pada Pasien Kanker Pro Operasi
Dengan rejimen oral vitamin K antagonis yang dimulai sejak hari peftama I.]FFilLMWH,untuk mencapai INR 2,0-3,0 akan
pasien kanker yang menjalani operasi,
mencapai kekambuhan sampai 8% pertahunnya pada
akan mengalami risiko DVT yang dibuktikan dengan venografi mencapai 20-407o, dengan fatal PE l1o. Pemberian antikoagulan sebagai pencegahan VTE/PE pasien keganasan yang menjalani operasi sangat direkomendasikan. Mismetti et al melaporkan tak ada perbedaan bermakna arrtara UFH atau LMWH pada timbulnya simtomatik VTE, perdarahan mayor, transfusi darah atau kematian. Hal ini juga berlaku untuk pasien non kanker. Penelitian enoxacan yang membandingkan enoksaparin 40 mg sekali sehari dengan UFH 5000 U tiga kali sehari pada 1 I 15 pasien kanker yang menjalani operasi
pasien non kanker; namun angka ini akan 2-3 kali lebih tinggi pada pasien kanker. Hal ini menunjukkan sulitnya memelihara tingkat terapetik INR pada pasien kanker karena berbagai kondisi inheren yang kompleks. Untuk menjawab
Tanpa pencegahan
,
keadaan ini dua penelitian pemberian jangka panjang LMWH (CANTHANOX : enoksapari n pada I 47 pasien dan
CLOT: dalteparin pada 336 pasien) vs warfarin, menunjukkan pada CANTHANOX tak ditemui perbedaan bermakna kejadian VTE, namun dengan kecenderungan
perdarahan lebih tinggi pada warfarin. Hasil CLOT menunjukkan pemberian dalteparin 200tJlkgl SC sekali
t373
TROMBOSTTOSIS PADA KAI\KER
sehari selama satu bulan diikuti 75-80% dosis awal selama
Bick RL. Cancer associated thrombosis. N Engl J Med 2003 ; 349
5 bulan dibanding kelompok kontrol dalteparin 5-7 hari diikuti warlarin atau asenokoumarol selama 6 bulan (INR:
109 - 11 Bauer KA. Venous thromboembolism in malignancy,Editorial.
2-3). Menunjukkan LMWH menurunkan risiko kekambuhan (97o vs lTVo;HR 0,48 , p=Q,Q62) dan penurunan absolut mencapai 8%.
Lama Terapi Belum ada kesepakatan berapa larna pengobatan antikoagulan harus diberikan pada pasien kanker. Namun beranjak dari konsep selama risiko VTE meningkat pada
pasien kanker yang terpajan faktor "predisposing" dan "erposing" atau pasien kanker dengan metastase atau pasien non metastase dengan penyakit yang "aktif' atau dalam terapi anti tumor, maka selama itu pulalah terapi antikoagulan tetap direkomendasikan untuk diberikan
KESIMPULAN Beberapa kesimpulan dari pembahasan ini adalah: 1) Kanker
menyebabkan hiperkoagulasi pada 40-1)Vo pasien 2) Berdasarkanjenis keganasan, kejadian TE berkisar 3-28Vo 3) Dasar patogenesis terjadinya trombosis pada pasien
kanker, adalah adanya saling keterkaitan antara PCA
("procoagulant actiyity"), sitokin, fibrinolisis dan interaksi sel tumor dan sel"host "4) " Exposing risk" yaitu berbagai prosedur seperti kemoterapi, terapi hormonal, operasi dan jenis serta lama anestesianya, pemasangan vena sentral, tingkat imobilisasi.dan jenis/stadium; maupun "predisposing factor" (faktor risiko yang ada pada pasien,
seperli obesitas, varises, kondisi trombofilia dan lainnya) merupakan dua sisi yang harus dikaji dan dinilai baik secara umum/sistimatis, maupun secara individual (" tay lo r made") untuk mengantisipasi tingggi rendahnya risiko trombosis pada pasien kanker, dalam kaitannya perlu tidaknya terapi antikoagulan sebagai pencegahan primer atau sekunder.
REFEBENSI Ablamson N, Abramson S Hypercoagulability : clinical assessment and treatment South Med J 2001; 91 (10) :1013 - 20 Bick RL, Haas S. Thromboprophylaxis and thrombosis in medical . surgical, tr:aurna and obstetric / gynecologic patieuts. Hematol Oncol Clin N Am 2003: I1 :211 58 Blom JW, Doggen CJM, Osanto S, Rosendal FR Malignancies, pthrombotic mutations, and the risk of venous thrombosis. JAMA
2005:293
:715
22
"
I
Clin
Oncol 2000; 18 3065 - 7 Baron JA, Gridley G, Weiderpss E, et al . Venous thromboembolism and cancer Lancet. 1998: 351 :1077 - 80 Falanga A Tumor cel1 prothrombotic properties. Haemostasis 2001;31 (suppl) : I-4 Falanga A Thrombosis and malignancy : an underestimated problem J Hematology 2003; 88 : 607 - l0 Frenkel EP, Bick RL Thrombohemorrargic defects associated with malignancy. In Disorders of thrombosis and hemostasis clinical and laboratory practice .3" Ed Editor Bick RL 2002 264 -18. Green KB, Silverstein RL Hypercoagulability in cancer Hematol Oncol Clin N Am 1996 : l0: 499 524 Haqim N, Lanir N, Hoffman R, et aqJ. Acquired activated protein C resistance is common in cancer patients and is associated with venpous thromboembolism. Am J Med 2001; 110 : 91 6 Harter C, Salwender HJ, Bach A, et al. Catheter-related infection and thrombosis of the internal jugular vein in hematologic oncologic patiens undergoing chemotherapy.Cancer 2000l, 94 : 245 - 50 Kakkar AK, Levine M,Pinedo HM,et al Venous thrombosis in cancer patients: insight from the FRONTLINE survey. Oocologist
2003:8:381-8 Lee AYY. Epidemiology and management of venous thromboembolism in patients with cancerThromb Res 2003;11-0: 167-72 Levine MN Managing thromboembolic disease in the cancer patient: efficacy and safety of antithrombotic treatment options in patients with cancer. Cancer Treat Rev 2002;28: 1
45-9
London SM. Patients with cancer are at high risk of venous thrombosis BMJ 2005: 330 :26 Mandala M, Ferretti G Cremonesi et al Venous thromboembolism and cancer: new issues for and old topic Crit Rev in Oncol / Hem 2003; 48: 65-80 Mousa SA. Anticoagulants in thrombosis and cancer: the missing link. Expert Rev 2002; 2 : 221 - 33 Mjelicki WP. Biochemistry of cancer. Haemostasis 200I; 31 (suppl)
:
8-10
Petitou M,Herbert JM. Synthetic anticoagulants Pour la Science 2000: 274: I -8 Rogers LR. Cerebrovascular complication in cancer patients. Neurol Clin N Am 2003:21 : 16T - 92 Ronsdorf A, Perruchoud AP,Schonenberg RA. Search for occult malignancy in patients with DVT. Peer Rev Article. Samama MM et al. Decision Matrix fbr the plophylaxis oi venous throboembolism (VTE). Forum 2003 ; l: 1-14 Sorensen HT, Mellemkajaer L, Olsen J, Baron JA. Prognosis of cancer associated with venous thromboemboiism N Engl J Med 2000; 343 : 1846 50 The Matisse Investigator. Subcutaneeous fondaparinux versus intravenous LIFH in the initial treaqtment of PE. N Engl J Med 20()l : -lzl9:1695 - 702 von Tempelhoff GF, Niemann F, Schneider DM, et al. Blood rheology during chemotherapy in patients with ovarian cancer. Throm Res 1998 : 90 '. 13 - 82
218 SITOGENETIKA Aru W. Sudoyo
PENDAHULUAN Sitogenetika, atau pemeriksaan terhadap kromosom, telah
r*. e.C rJ
mengal ami perkembangan yang pesat dal am dua dasawarsa ini sehingga sudah menjadi bagian dari ilmu kedokteran klinis. Selain untuk mendeteksi kelainan bawaan seperti sindrom Down (trisomi 21), teknik ini telah membuktikan bahwa pada berbagai jenis keganasan darah dan padat didapatkan kelainan kromosom yang khas. Pada tahun 1960, sitogenetik telah berkembang dari laboratorium genetika yang mempelajari tanaman serta lalat
*
Drosophila ke dunia klinik. Penemuan kromosom Philoclelphia pada spesimen sumsum tulang seorang
* ":' . -
pasien leukemia granulositik kronik (LGK) oleh Nowell dan
Hungerford, membuka era baru di mana didapatkan kelainan kromosom yang secara konsisten dihubungkan dengan jenis keganasan tertentu. Sepuluh tahun berlalu sebelum kemajuan teknologi berikutnya, yaitu pada tahun 1970, dengan ditemukannya teknik pemitaan (.chromosome
,?:,+ Gambar 1. Kromosom dalam tahap metafase setelah mengalami perlakuan dengan enzim tripsin Tampak pita-pita yang terbentuk dan memberikan gambar khas bagi setiap kromosom
bancling,) oleh Casperssor.r. Diketahui bahwa pada kromosom Philadelphia tersebut terjadi translokasi antala kromosom 9 dan22. Teknik pemitaan tersebut merupakan
awal perkembangan sitogenetik kanker
yang
sesungguhnya di mana hingga saat pencetakan buku ini telah dilaporkan lebih dari 8000 kelainan kromosom pada kanker. Kemajuan teknologi biologi molekular selanjutnya
mendapatkan bahwa pada breakpoint alau lokasi
Translokasi, disingkat t, yaitu bila sebagian dari sebuah kromosom berpindah ke kromosom lain. Perpindahan ini dapat bersifat resiprokal (bertukar) atau tidak. Contoh: t(9;22) yang berarti telah terjadi perpindahan, dalah hal ini pertukaran tempa[, sebagian sepotong/segmen kromosom 9 ke kromosom 22. Dikenal sebagai komosom Philadelphia pada leukemia granulositik kron ik.
translokasi tersebut (translokasi kromosom 9 dan22pada LGK) terbentuk gen baru atau gen fusi BCR-ABL yang dianggap memicu terjadinya penyakit ganas tersebut.
Insersi (insertion) atau "ins". Sepotong/sebagian
Dikaitkan dengan konsep di atas. beberapa istilah
lainnya. Misalnya: ins(5 ;2)(p 1 4;q22q32') berarli pematahan dan penyambungan kembali terjadi pada pita 5p14 pada lengan pendek kromosom 5 dan pita-pita 2q22 dan2q32.
kromosom beryindah ke lokasi baru, menyelipkan diri di antara pita-pita kromosom yang sama atau kromosom
sitogenetik perlu diketahui terlebih dahulu, yaitu:
Lengan Pendek Kromosom, dinyatakan sebagai "p",
Inversi, disingkat inv. Sebagian dari sebuah kromosom
iengan panjang kromosom, dinyatakan sebagai "q", dan sentromer yaitu bagian yang menyempit di antara "p" dan
mengalami rotasi 180 pada kariotip 46, X! inv(3)(q26q29), teriadi pematahan (breakage) dan penyambungan kembali
"q" (Gambar 1).
1374
1375
SITOGENETIKA
(reunion) di kromosom 3 pada lokasi prta q26 dan q29.
Delesi atau del berarti hilangnya sebagian dari sebuah kromosom. Suatu sebutan del (1)(q23) berarti pada kromosom I tel ah terjadi kehilangan sebagian daripadanya pada lokasi pitaq23.
Marker disingkat "mar" digunakan bilapadakelainan tidak dikenal. Tanda + atau: Tanda ini dipasang di depan sebuah angka kromosom untuk menunjukkan adanya penambahan atau kehilangan sebuah kromosom.
Klon (clone): dua sel dengan kromosom yang mengalami tambahan kromosom (atau bagiannya) atau perubahan struktur yang sama. Suatu kelainan dikatakan sebagai klonalbllaberasal dari satu sel dan mempunyai ciri genetik sama.
Diploid : jumlah
dan susunan kromosom yang normal.
Haploid : setengah dari susunan normal (misalnya 23 kromosom)
Hipodiploid
: hilangnya kromosom dengan
jumlah 45 atau
kurang.
Kariotip
: susunan kromosom dari sebuah sel terlentu yang
dibuat berdasarkan suatu sistem yang telah disepakati, dimulai dari kromosom berukuran paling besar dan berakhir
dengan yang terkecil. Kariotip manusia normal ditulis
XY untuk lakilaki dan 46, XX untuk perempuan. Hingga saat ini tidak diketahui seberapa konsisten rearrangements atarr perubahan kromosom itu terjadi-
sebagai 46,
dapat secara kebetulan, yaitu seleksi alam akan menyingkirkan sel-sei yang tidak memiliki kelebihan proliferatif. Sebaliknya, banyaknya ragam kelainan kromosom yang ditemukan pada kanker mencerminkan suatu kelemahan (instabilitas genetik) dalam sel itu sendiri,
dan beberapa peneliti mengusulkan bahwa adanya titiktitik lemah ata:u fragile slles sebagai mediator untuk perubahan kromosom tersebut.
non-random. Pada proses pemitaan kromosom (chromosome banding), kromosom mengalami pemrosesan dengan enzim sehingga tampak sebagai memiliki pita-pita atau band. Setiapl
ukuran). Pemeriksaan tersebut ditujukan pada tahap mitosis di mana kromosom sudah mulai memisahkan diri dengan pasangannya tetapi tetap pada satu sumbu atau spindel, yaitu tahap metafase.
PERUBAHAN PRIMER DAN SEKUNDER Sungguhpun kelainan non-random di atas menetapkan keabsahan interpretasi, suatu pengamatan pada sebuah metafase kadang-kadang akan membingungkan karena banyaknya kelainan yang ditemukan. Apakah kelainan kromosom tersebut penting secara patogenesis, perlu sebelumnya dipilah menjadi dua kategori yaitu kelainan primer dan sekunder. Kelainan primer biasanya merupakan kelainan satusatunya pada sebuah kariotip dan seringkali merupakan kelainan yang khas untuk keganasan tertentu. seperti translokasi kromosom 9 dar' 22 pada LGK (kromosom Philadelphia). Kelainan tersebut dianggap sudah muncul
pada tahap
dini suatu
keganasan dan mempunyai
kemungkinan peran kausal. Sedangkan kelainan sekunder merupakan kejadian yang ditemukan pada tahapan lebih lanjut perjalanan suatu tumor atau kanker sehingga sudah menjadi banyak dan senngkali sudah tidak ada makna klinis dan tidak dapat membantu untuk mencari penyebab.
MAKNA KLINIK PEMERIKSAAN SITOGENETIKA Dalam bidang hematologi, penggunaan sitogenetik sebagai
pemeriksaan penunjang dalam pendekatan diagnostik
KELAINAN KROMOSOM: SIFAT RANDOM ATAU
terhadap leukemia telah menyebabkan diusulkannya
NON.RANDOM
penyempurnaan klasifikasi FAB dengan klasifikasi MIC (mo rp ho lo gy - immunop hemo Dr p e - cy t o I e n e t i c s). Sistem klasifi kasi FAB (F renc h-Americ an- B ritish) y ang
Dalam kaitannya dengan keganasan, dikenal apa yang disebut sebagai perubahan random atau kebetulan, dan non-random atau tidak kebetulan. Pengertian ini penting untuk dipakai sebagai landasan pembahasan selanjutnya karena kelainan random adalah perubahan pada kromosom yang terjadi dan ditemukan secara kebetulan pada sebuah
lazim digunakan dianggap mempunyai beberapa kelemahan, antara lain karena butuh persentase sel blas, ketidak-jelasan akan sel blas tipe II, kesulitan membedakan
antara leukemia mieloblastik akut dan sindrom
random (kebetulan) atar non-random (didapatkan pada
mielodisplastik, dan definisi dari M6. Sitogenetik, bersama dengan pemeriksaan imunofenotip, kemudian masuk sebagai alat bantu tambahan. Salah satu contoh adalah pada acute mixed lineage leukemia, suatu keadaan yang tidak tercakup dalam klasifikasi FAB. Pada leukemia jenis ini didapatkan positivitas untuk CALLA seperti pada LLA dengan (t(1)(q23) dan t(I1)(q23) dant(9;22) yang biasanya
Iebih dari satu metafase atau set kromosom). Kelainan baru dapat dilaporkan sebagai kejadian bermakna bila bersifat
didapatkan pada.LMA. The MIC (morphologyimmunophemotyp e- cyto genetic s) C o op erativ e of Study
preparat metafase dan dianggap sebagai penemuan yang tidak bermakna. Hal yang perlu dipastikan pada waktu mendapatkan kelainan kromosom adalah apakah perubahan tersebut (translokasi insersi, dan sebagainya) merupakan kelainan
L376
HEMANOIOGI
G ro wp berttjuan menj aj aki kemungkinan menin gkatkan ketetapan klasifikasi c ara FAB (F renc h- Am e ri c an - B rit i s h'|
mengajukan bahwa kasus-kasus LMA perlu dipelajari secara morfologi, imunologi, dan sitogenetik (sistem MIC). Dengan sistem MiC ini, maka leukemia mieloblastik akut akan dibagi menjadi sepuluh kategori dan bukan tujuh
primer cenderung untuk menentukan silat penyakit, dalam hal ini LMA, seperti yang tercermin pada sitologi, respons terhadap pengobatan, dan sifat biologis penyakit. Selama perubahan keriotrpik ini tidak mengalami perubahan, LMA
tidak akan menunjukkan banyak variasi perjalanan penyakitnya sampai terjadinya penambahan pada perubahan tersebut (perubahan sekunder), seperti hilangnya kromosom seks atau trisomi 8. Perubahan
seperti sekarang ini.
tersebut dapat sedikit ataupun sangat banyak. Dalam hal
LIVIA dengan kelainan sekunder, penyakit cenderung untuk memiliki perjalanan yang lebih agresif dengan masa
hF
sakit pendek serta respons terhadap sitostatik yang sangat jelek.
t5
&,$ q$
q,e
*l* #.*
ff*
11
12
qp qp qr
F#i sg 16
17
$r
e,f
trt'
)12lXY
Setiap subtipe LMA mempunyai kejadian biologis (termasukjuga aspek klinis dan prognosis) berhubungan dengan atau bahkan ditentukan oleh perubahan secara spesifik pada kromosom. Biia muncul kelainan kromosom tambahan, biasanya leukemia menjadi lebih agresif dalam
##
s# 1S
#
Gambar 2. Contoh foto kromosom-kromosom yang telah digunting dan disusun berurutan sesuai kesepakatan internasional Dikenal sebagai sebuah kariotip, membantu dalam menentukan kelainan kromosom
SITOGENETIK DAN PROGNOSIS
perjalanan penyakit. Kelainan-kelainan kromosom dil-rubungkan dengan prognosi-s yang buruk. The Sirth Internationtrl Workshop on Chromosomes in Leukemio, yan-e bertemu di London tahun 1987, mencapai kesimpulan yang hampir sama. bahr.,''a kariotip merupakan faktor prognostik yang independen pada LMA de novo (baru). Penelitian-penelitian di n-rasa yang akan datang masih dibutuhkan, karena hasil akhir pasien LMA amat
ditentukan oleh protokol pengobatan Kelainan kromosom pada leukemia dianggap sebagai salah satu variabel prognostik leukemia akut yang independen. Kejadian sitogenetik yang paling penting dal am menentukan silat dan perjalanan ler,rkemia akut adnlah
perubahan kariotipik primer. Kelainan primer sering ditemukan sebagai kelainan kromosom tunggal pada keganasan, dan seringkali dihubungkan dengan jenis keganasan tertentu, suatu hal yang berlaku pada LMA Sebaliknya, kelainan sekunder jarang atau tidak pernah ditemukan sebagai kelainan tunggal, terjadi sebagai kejadian tambahan dan seringkali menjadi penemuan utama pada tahap lanjut penyakit. Kelainan kromosom pada LMA diketahui mempunyai nilai prognostik yang tidak bergantung pada faktor lain kecuali protokol pengobatan yang digunakan. Secara
umum, prognosis paling baik didapatkan pada kelainan kromosom inv(16) dan paling buruk pada delesi atau monosomi kromosom 5,7, atau kedr-ranya, (1;7(,t(6;9),
inv(3), t(3;3), dan kariotip yang rumit. Contoh iain. misalnya, adanya translokasi t(8:21)(q22;q23) pada LMA menunjukkan prognosis yang lebih baik apabila pada penyakit tersebut ditemukan t(6;9)(p23;q34), LMA biasanya didahului oleh MDS. Dengan adanya korelasi
)'ang
digunakan.
Kesimpulan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan secara terpisah oieh Schifferl yang mengatakan bahwa hasii perneriksaan sitogenetik yang siap kurang lebih 3 atau 4 minggu setelah diagnosis dapat membantu penentuan langkah berikutnya setelah remisi tercapai. Munculnya resistensi terhadap sitostatik, yang ditemukan ju-ea pada mereka dengan prognosis baik, menunjukkan bahwa pemeriksaan sitogenetik secara serial diharapkan dapat membantu mendeteksi munculnya klon-klon yang resisten terhadap obat.
SITOGENETIKA TUMOB PADAT Walaupun teknik sitogenetik telah mengalami banyak kemajuan, tumor padat masih mencakup2TTo darikelainan kromosom yang dilaporkan. Perubahan kromosom pada tumor padat biasanya sangat kompleks dan sudah
antara gambaran kariotip atau kelainan kromosom tertentu
melibatkan kelainan sekunder akibat lanjutnya progresifitas keganasan pada waktu diperiksa. Membedakan kelainan primer dan sekunder jauh lebih sulit daripada leukemia. Sungguhpun demikian, kemajuan mulai dicapai dengan diidentifikasinya berbagai kelainan primer yang khas untuk
dengan beberapa subtipe LMA. dapat dikatakan bahwa diperkirakan hasil akhir pengobatannya, hal yang penting karena terapi telhadap LMA direncanakan dengan tujuan
beberapa tumor padat tertentu walaupun hanya sedikit yang telah ditelaah pada tingkat molekular. Pemeriksaan kromosom pada tumor padat lebih sulit
kesembuhan. Dengan
katt lain, perubahan kromosom
karena beberapa hal:
1377
STTOGENETIKA
A
B
sB ** *@\
#q.
c
$* 82
D
\
\
\
s \zr
*8
,|
16
*# {f,
Gambar 3. Potongan-potongan kariotip dari metafase yang diproses dengan trypsin-Giemsa memperlihatkan perubahan tatanan kromosom pada leukemia mieloblastik akut:(A)t(9;22) q 34
;
q
1 1
),
CML
;(
B )t ( B ; 2 1
)
(q22 ; q22), AML-
ganas.
Sitogenetik tumor padat sebagai alat diagnostik bermanfaat pada keadaan tertentu misalnya efusi pleura, suatu keadaan di mana cara-cara sitologi maupun lainnya tidak membawakan hasi l. Dalam beberapa keadaan, analisis sitogenetik berguna
dalam membedakan tipe tumor, seperti y(17;22) pada sarkoma Ewing dan tumor serupa, t(2;13) pada rabdomiosarkoma, t(X;18) pada sarkoma sinovial, dan
E ttrf i*,
(
neoplastik. Beberapa translokasi terdapat pada sel normal dalam biakan. Tetapi bila ditemukan kelainan yang bersifat multipel dan kompleks, dapat dipastikan bahwa sel tersebut
M 2
; (C ) in v
AMMoI-M5;(D)t(1 5; 1 7) (q22;q
11
(1
-1
6 ) (p 1
3q22),
2),APL;
(E) t(s;11Xp22;q23), Amol-Ms; dan (F) del(5)(q13q33) pada t-
AM Lokasi kelainan ditunjukkan dengan anak panah
(Van den
{12;16) padaliposarkoma miksoid. Karena sarkoma Ewing, neuroblastoma metastatik neuroblastoma, rabdomio sarkoma, dan limfoma non Hodgkin jelas berbeda dalam ciri-ciri sitogenetik, maka analisis kromosom dapat menjadi alat bantu diagnostik dengan konsekuensi terapeutik jelas.
Diagnosis sitogenetik bahkan dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan cucuk jarum halus (fine needle
aspiration biopsy).
Berghe, 1995)
Pada waktu tumor padat dapat dilihat oleh mata
telanjang, yaitu pada saat pasien datang ke dokter, biasanya kelainan kromosom sudah lanjut sedemikian rupa sehingga sudah banyak kelainan sekunder. Jaringan tumor padat, berbeda dengan sumsum tulang
pada keganasan hematologi, mengandung jaringan ikat dan penunjang yang masih harus "disingkirkan" dahulu sebelum dapat diteliti. Dengan tingkat proliferasi jaringan yang lebih lambat dari sumsum tulang diperlukan biakan yang lebih lama
dengan konsekuensi pemeliharaan biakan yang lebih memerlukan kecefinatan. Sebagai akibat berbagai hal di atas, pada kariotip akan didapatkan jumlah dan kelainan yang sangat banyak.
KEGUNAAN SITOGENETIK TUMOR PADAT DALAM KLINIK Untuk keganasan hematologi, analisis sitogenetik sudah menjadi bagian dari pendekatan diagnostik. Gambaran kariotip sel darah tepi, sumsum tulang, maupun kelenjar getah bening sudah dapat memastikan ada tidaknya
penyakit keganasan, menentukan jenisnya, dan memberikan prognosis. Analisis sitogenetik dan modalitas
diagnostik lainnya sudah dianggap saling melengkapi. Analisis sitogenetik pada tumor padat, di lain pihak, harus dilakukan secara lebih hati-hati. karena kesulitan teknik dan masih kurangnya pemahaman mengenai perangai tumor padat itu sendiri. Beberapa kelainan seperli
-X
atau
-X
misalnya, dapat ditemukan pada keadaan non-
Macam Perubahan-
Macam Tumor Tumor Epitelial Pleomorfik adenoma Karsinoma paru Karsinoma ginjal Karsinoma kandung kemih Tumor-Wilms Karsinoma ovarium Karsinoma prostat
Translokasi dari 12q13 (5,t(3:8)(p21
q1 2)
del(3) (p1 4-23) del(3) (p1 4-23)'t(3;s)(p1 3;q22) i(5p),trisom 7, monosomi del(11)(p13)
I
add(
1
9)(p1 3)
del(7)(q22), del(1 0)(q2a)
Tumor l\.4esenkim Lipoma Leiongioma Liposarkoma (miksoid) Sarkoma sinovia Rabdomiosarkoma Malignant fibris histiocytoma Tumor Sel Germinal, Neurogenik, Neuroekstradermal l\4eningioma Astrositoma Neuroblastoma Retinoblastoma lVelanoma malignum Sarkoma Ewing, tumor askin, Neuroepitelioma perifer Tumor sel geminal
Translokasi dari 12q13-15, ring kromosom Perubahan struktur dari 12q13-15, del(7)(q21 q31 ),trisomi 1 2 t(12;16)(q13,3;p11 2) t(x;18)(p1 1;ql 1) t(2;1 3)(q35-37;q1 4) add(
1
9)(p1 3)
Mo nosomi22, del(22)lq1 2- 1 3\ del(9)(p13-24),dmin
del(1 )(32-36),herdmin
del(15)(q14) l(6)(p10) Delesion of 6q,t(6)(p'1 0)
t(l1,22)(q24,q12)
t(
1
2)p1 0
Peran sitogenetik pada tumor padat belum baku seperti
pada keganasan hematologi, tetapi beberapa hubungan antara sitogenetik dan prognosis telah dilaporkan. Sebuah contoh, pada tumor sel germinativa testikular, kemungkinan gagalnya kemoterapi meningkat dengan jurnlah I(12)(p10).
Pada kanker prostat, kelainan kromosom berhubungan dengan pendeknya masa harapan hidup. Pada neuroblas-
toma pemeriksaan sitogenetik juga mempunyai nilai prognostik. Karena teknologi untuk mengatasi kesulitan tersebut belum lama digunakan sampai saat ini banyaknya
1378
HEM/{IOLOGI
penemuan masih jauh lebih sedikit daripada sitogenetik
Greenberg P, O'Brien S, Goldman J, Sawyer C. Myelodysplastic
keganasan hematologi. Sungguhpun demikian,
syndromes and myeloproliferative disorders: clinical, therapeutic, and molecular advances. Education program book,American Society of Hematology Meeting. Seattle; 1995.
pemeriksaan sitogenetik pada tumor padat sudah mulai membuka tabir genetik masing-masing tumor. menyusul ditemukannya kelainan pada kromosom 13 pada retinoblastoma yang menjadi dasar penelitian terhadap kausa tumor tersebut. Seperti pada keganasan hematologi, pada tumor padatkelainan kromosom akan menjadi pembuka ke arah penelusuran kelainan genetik yang terjadi, dengan jalan yang masih panjang dan kesempatan yang sangat terbuka lebar untuk pelaporan dan penelitian.
BEFERENSI Arthur DC, Berger R, Golomb HM, Swansbury GJ, Reeves BR, Alimena G Van Den Berghe
H
General report
of the Sixth
International Workshop on Chromosomes in Leukemia: theclinical significance of karyotype in acute myelogenous leukemia. Cancer Genet Cytogenet. 1989;40:203-16
Bain BJ. Leukemia diaglosis-a guide to the FAB classification. Philadelphia: JB Lippincott Company; 1990.
p.10.
Heim S, Mitelman F. Cancer cytogenetics In: Alan R Liss, editor. New York; 1995. p. 83. Hirsch-Ginsberg C, Yang OH, Kagan J, Liang JC, Stass SA. Advances in the diagnosis of acute leukemia.
Mitelman F, Heim S. Quantitative acute leukemia cytogenetics Gene, Chromosomes & Carcer. 1992;5:5'7-66. Schiffer CA, Lee EJ, Tomiyasu I Wiernick PH, TestaJR. Prognostic impact of cytogenetic abnormalities in patientswith de novo acute nonlymphocytic leukemia. Blood. 1989;73(l):263-70. Schumacher HR, Shirt MA, Kowal-Vem A, Dizikes D, Radvany RM, Le Beau MM. Acute leukemia and related entitles: lmpact of new technology. Arch Pathol Lab Med. 1991;115:33I-1. Sullivan AK. Classification, pathogenesis, and etiology of neoplastic disease of the hemopoetic system. In: Kee GR, Bithell TC, Foerster J, editors. Wintrobe's clinical hematology. 9th
edition Philadelphia: Lea & Febiger. P Chromosomes and cancer. In: Peckham M, Pinedo H, Veronesi U, editors. Oxford textbook of
Van den Berghe H, Dal Cin
oncology. Oxford-New York: Oxford University Press; 1995.
p. 32
219 DASAR.DASAR TALASEMIA: SALAH SATU JENIS HEMOGLOBINOPATI Djumhana Atmakusuma, Iswari Setyaningsih
PENDAHULUAN
Padaembrio:
-
Hb Gower 1, terdiri
-
epsilon ((rer), Hb Gower 2, terdiri atas rantai globin alfa
Sebelum menata-laksana penderita thalassemia, terlebih
dahulu pengetahuan dasar hemoglobinopati perlu
atas
rantai globin zeta d"an
da.n
epsi-
lon (ure,)
difahami, dengan fokus thalassemia, mencakup pen gerti an, bentuk, epidemiologi, genotip, fenotip, patogenesis, dasar
-
molekular, dan patofisiologi. Dengan memahami aspek dasar thalassemia, aspek klinis thalassemia dapat lebih dihayati, karena aspek genotip thalassemia memberikan gambaran klinis atau fenotip yang khusus dan beragam, terkadang berbeda, misalnya kelainan heterozigot ganda thalassemia B/HbE memberikan fenotip bervariasi, dari thalassemia mayor sampai dengan intermedia atau minor.
-
Hb Portland, terdiri atas rantai globin zeta dan gamma
((rYr), sebelum minggu ke 8 intrauterin' Semasa tahap fetus terdapat perubahan produksi rantai globin dairuntaizeta(() ke rantai alfa (cx) dan dari rantai epsilon (e) ke rantai gamma (y), diikuti dengan produksi rantai beta (0) dan rantai delta (6) saat kelahiran.
PENGERTIAN HEMOGLOBINOPATI, HEMOGLOBINOPATI STRUKTURAL DAN THALASSEMIA
JENISJENIS HEMOGLOBIN globin
Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan
identik yang berasal dari kromosom yang berbeda (terpisah?). Beberapa jenis hemoglobin yang dapat
(inherited) dan masuk ke dalam kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkan oleh
dijumpai, sebagai berikut:
gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau dekat gen globin.
Molekul hemoglobin terdiri
.
atas dua pasang rantai
Pada orang dewasa: HbA (96 Vo), terdiri atas 2pasangrattai globin alfa
-
Mutasi gen globin ini dapat menimbulkan dua perubahan rantai globin, yakni: (a) perubahan struktur rangkaian asam amino (amino acid
dan beta (o,rpr)
.
Hb Ar(2,5 Vo),terdii
atas 2 pasang rantai globin
sequence) rantai globin tertentu, disebut
alfa dan delta (o,16r) Pada fetus:
-
HbF (predominasi), terdiri atas 2 pasang rantai
-
globin alfa dan gamma (crryr) Pada saat dilahirkan HbF terdiri atas rantai globin alfa dan Ggamma luro'lr) dan alfa dan Agamma
hemoglobinopati struktural, atau (b) perubahan kecepatan sintesis (rate of synthesis) atav kemampuan produksi rantai globin tertentu, disebut thalassemia.
1ar\r),di
Hemoglobinopati yang ditemukan secara klinis, baik pada anak anak atau orang dewasa, disebabkan oleh mutasi
dan alanin pada \
gen globin u atau B. Sedangkan, mutasi berat gen globin (, e , dan y dapat menyebabkan kematian pada awal gestasi.
mana kedua rantai globin gamma berbeda Gy pada asam amino di posisi 136 yaitu glisin pada
t37
1380
HEM/I$OIOGI
Thbel 1 menunjukkan kelainan-kelainan yang termasukke
thalassemia-a
5.
dalam hemoglobinopati:
Hb S-thalassemia-p: adalahkombinasi HbS dengan thalassemia-p
2. Hemoglobin dengan 1
afinitas oksigen yang berubah: Contohnya adalah Hb Yakima (B Cd 99 GATASp>CAI'Hi. atau p.Asp99His), ditemukan secara sporadik dengan
Hemoglobinopati struktural a. Sindrom sel slck/e:
- HbS - Heterozigot ganda HbS dengan varian hemoglobin thalassemik: Hb SC, Hb SD, Hb S, Hb S-
thalassemia-q, Hb Sthalassemia-B b. Hemoglobin dengan afinitas oksigen Contohnya, Hb Yakima
c 2
amino pada daerah yang penting untuk solubilitas atau pengikatan heme. Hb varian ini dijumpai secara sporadik.
Hemoglobin tidak stabil (unstable)'. Contohnya, Hb Koln
d
THALASSEMIA
Thalassemia-6p, thalassemia-ydp, dan thalassemiacrp
Heterozigot ganda thalassemia-q atau
varian hemoglobin thalassemik:
-p
dengan Contohnya,
thalassemia B/HbE
3. Varian hemoglobin thalassemik: HbC, HbD-Punjab, HbE, Hb Constant Spring, Hb Lepore,
5
Contohnya Hb Ktiln (B Cd98 GTGV"r>AIGM"' atau p.Val98Met). Teqadi akibat mutasi gen yang mengubah rangkaian asam
yang berubah:
Thalassemia: a. Thalassemia-o b. Thalassemia-p
c
4.
kJinis berupa polisitemia.
3. Hemoglobin tidak stabil (unstable):
dan lain lain. Hemoglobin persisten herediter: HbF persisten Hemoglobinopati didapat (acquired): Contohnya, methemoglobin
Penurunan kecepatan sintesis atau kemampuan produksi satu atau lebih rantai globin a atau b, ataupun rantai globin lainnya, dapat menimbulkan defisiensi produksi sebagian (parsial) atau menyeluruh (komplit) rantai globin tersebut. Akibatnya, terjadi thalassemia yang jenisnya sesuai dengan rantai globin yang terganggu produksinya. seperti ditunjukkan di bawah ini. 1. Thalassemia-cr, te4adi akibat berkurangnya (defi siensi
parsial) (thalassemia-o*) atau tidak diproduksi sama sekali (defisiensi total) (thalassemia-40) produksi rantai globin-ct
HEMOGLOBINOPATI STBUKTU RAL Pada hemoglobinopati struktural, salah satu urutrr u^iro yang lazim pada rantai globin digantikan oleh asam amino
lainnya, sehingga menyebabkan produksi rantai globin tidak efektif yang mengakibatkan terjadinya anemia. Beberapa kelainan yang termasuk hemoglobinopati struktural adalah sindrom sickle cell, hemoglobin dengan afinitas oksigen yang berubah, dan hemoglobin tidak
2. Thalassemia-p,
terjadi akibat berkurangnya rantai globin-b (thalassemia- 0*)utuu tidak diproduksi sama
3.
sekali rantai globin-B (thalassemia-p 0r Thalassemia-Dp terjadi akibat berkurangnya atau tidak diproduksinya kedua rantai-6 dan rantai-B. Hal yang sama terjadi pada thalassemia-y6p, dan thalassemia-
dp
4. Heterozigot
hemoglobin thalassemik:
-
stabil.
Sindrom sickle cell a Hb S: Pada HbS asam amino valin 1.
pada posisi ke-6 gen
globin beta digantikan oleh asam amino glutamat (Cd 6, GAGV'|>GTGGT' atau p.Val6Glu), sehingga timbul anemia sel sickle. HbS banyak dijumpai di Amerika
ganda thalassemia a atau p dengan varian
Contohnya, thalassemia-p/tlbE: diwarisi dari salah satu orang tua yang pembawa sifat thalassemia p, dan yang lainnya adalah pembawa sifat HbE,.
BENTUK
H
EMOGLOBINOPATI LAINNYA
Serikat.
b. Heterozigot ganda HbS
dengan varian hemoglobin
1. Hb SC, dijumpai
2. 3. 4.
Di samping hemoglobinopati struktural dan thalassemia, termasuk ke dalam kelompok kelainan hemoglobinopati
thalassemik:
pada
3 7o
Afro-amerikan,
adalah varian hemoglobin thalassemik, hemoglobin
merupakan kombinasi antara HbS dan HbC yang
persisten herediter dan hemoglobinopati didapat.
diwarisi dari orang tua yang masing-masing membawa salah satu Hb varian (misalnya ayah
1.
pembawa sifat HbS dan ibu pembawa sifat HbC; atau sebaliknya)... Hb SD: adalah kombinasi HbS dengan HbD Hb SE: adalah kombinasi HbS dengan HbE. Hb S-thatassemia-o: adalah kombinasi HbS dengan
Varian hemoglobin thalassemik : Hemoglobin yang abnormal secara struktur (hemoglobin struktural), dikaitkan dengan fenotip thalassemia. yang diwariskan bersama-sama (c o inhe rite Q : a. Varian rantai globin p yang dikaitkan dengan fenotip thalassemia-p*: - HbC, Asam amino glutamat digantikan oleh asam
DASAR-DASAR THALASSEMIA
:
1381
SiALAH SATU JENIS HEMOGLOBINOPATI
amino lysin pada posisi 6 rantai globin p (Cd 6 GAGGT">AAGLv., atau
p.Glu6lys). Mutasi ini
drjumpai diAfrika.
-
Jenis thalassemia
Peta sebaran
Thalassemia-p
Populasi Mediteranian, Timur Tengah, lndia, Pakistan, Asia Tenggara, Rusia Selatan, Cina Jarang di: Afrika, kecuali Liberia, dan di beberapa bagian Afrika Utara Sporadik: pada semua ras
Thalassemia-o
Terentang dari Afrika ke Mediteranian, Timur Tengah, Asia Timur dan Tenggara Hb Baft's hydrops syndrome dan HbH disease sebagian besar terbatas di populasi Asia Tenggara dan Mediteranian
HbD-Punjab, Asam amino glutamat digantikan oleh asam amino glisin pada posisi l2l rantu
globin 0 (C0 121 GAAcr'>GGAcrn, atau p.Glul2lGly).
-
-
HbE, Asam amino glutamat digantikan oleh asam amino lysin pada posisi 26 rantai globin p (Cd 26 GAGG|'>AAGLv', atau p.Glu26lys). Mutasi ini banyak dijumpai di Asia Tenggara Hb Lepore (6P)0, Varian hemoglobin yang diproduksi oleh gen fusi ii6, akibat delesi bagian 3' gen 5 dan bagian 5' gen B. Gen fusi ini mengkode rantai fusi 6B varian yangjauh lebih sedikit diproduksi dibandingkan dengan rantai
thalassemia-p trait. Sedangkan homozigositas atau heterozigositas ganda disebut juga sebagai thalassemiap mayor. Tabel 3 menunjukkan genotip dan fenotip
p normal.
thalassemia-p
Dijumpai dengan frekuensi rendah pada
populasi Italia, Yunani dan Afro-amerikan dan
Afro-Inggris. Varian rantai globin cr yang dikaitkan dengan fenotip
Bentuk thalassemia-B
thalassemia u*
-
Hb Constant Spring. Disebabkan oleh mutasi pada codon stop gen o,2 yang selanjutnya menyebabkan penambahan 32 asam amino pada
rantai a2 (a2 Cdl42; TAu{srcp>CAAcrn+30aa 31nu p.Xl42GlnextX33) Frekuensi di Thailand 1 - 8 7a
2.
Hemoglobin persisten herediter (Hereditary persistent of fetal hemoglobin = IIPFH): kadar HbF tetap tinggi sampai dengan dewasa
Genotip
Fenotip
Thalassemia-Bo (B-zerothalassemia)
Thalassemia homozigot (Bopo)
Bervariasi (ringan s/d berat)
lhalassemra-F
Mutasi gen bervariasi heterozigot
Bervariasi (ringan s/d berat)
(B-plus-
thalassemia) Thalassemia-Bo dan
Thalassemia-B-
Heterozigot ganda: 2 Pu berbeda atau 2 p- berbeda atau Bodan B.
-
3. Hemoglobinopati
didapat (acquiret): Methemoglobin akibat terpajan bahan toksik, sulflremoglobin akibat terpajan bahan toksik, karboksihemoglobin, HbH pada
1.
eritroleukemia, HbF yang meningkat pada keadaan s/ress eritroid dan displasia sumsum tulang.
homozigot dan heterozigot Thalassemia-p0 (F-zerothalassemia) Terjadi karena gen normal tidak diekspresikan atau terjadi delesi gen (arang). Pada thalassemia homozigot (p0p0) rantai-p tidak diproduksi sama sekali dan hemoglobin A tidak dapat diproduksi. Pada thalassemia-p. (p-plus-thalassemia) ekspresi gen
EPIDEMIOLOGI THALASSEMIA Sebaran thalassemia terentang lebar dari Eropa SelatanMediteranian, Timur Tengah, dan Afrika sampai dengan Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara. Tabel 2 menunjukkan sebaran populasi thalassemia di dunia.
GENOTTP
normalmenurun, namun tidakmenghilang sama sekali, sehingga hemoglobin A masih diproduksi. Hingga saat ini telah ditemukan banyak jenis mutasi thalassemia-p* B
dengan berat defek sintesis rantai-p yang bervariasi, dari yang ringan sampai yang berat. Genotip homozigot thalassemia-B menunjukkan fenotip yang juga bervariasi, dari yang ringan sampai yang sangat berat. Sementara itu, heterozigot ganda dapat memiliki dua gen thalassemia-poyang berbeda, atau dua gen thalassemia-p'yang berbeda, atau kombinasi gen thalassemia po dan 6*.
DAN FENOTTp THALASSEMTA-p
Lebih dari dua ratus bentuk mutasi gen dijumpai pada thalassemia-o,, namun beratnya defek bervariasi. Individu normal memiliki dua alel gen globin-B, sehingga
genotip thalassemia-p dapat muncul dalam bentuk heterozigot atau homozigot. Kedua bentuk genotip ini dapat melahirkan berbagai bentuk fenotip thalassemia-B.
Heterozigositas thalassemia-B disebut juga sebagai
Thalassemia-p0, Thalassemia-p+, Thalassemia
,,
Thalassemia-p
trait
Thalassemia-p trait mempunyai genotip berupa heterozigot thalassemia-p, seringkali disebut juga
1382
HEM/!TT1OI.oGI
sebagai thalassemia-B minor. Fenotip kelainan
Penderita kelainan ini merupakan pembawa sifat yang fenotipnya tidak memberikan gejala dan tanda (an as-
ini secara
klinis tidak memberikan gejala (asimtomatik).
3. Thalassemia-p
ymptomatic, silent carrier state). Kelainan ini
mayor
Thalassemia-B mayor, dengan genotip homozigot atau heterozigot ganda thalassemia-p, menunjukkan fenotip
)
-
20
Eo
populasi keturunan Afrika.
Thalassemia-l-a trait (-o /-G atau oo /- -)
klinis berupa kelainan yang berat karena penderita
Pada penderita ditemukan delesi dua loki. Delesi ini dapat
bergantung pada transfusi darah untuk memperyanjang usla.
berbentuk thalassemia-2"-cx homozigot (-od-cx)
4. Thalassemia-pintermedia Thalassemia-p intermedia menunjukkan fenotip klinis
atau
thalassemia-1'-o heterozigot (cxo/- -). Fenotip thalassemia-l -o" trait menyerupai fenotip thalassemia-cr minor.
yang heterogen dengan derajat beratnya kelainan
Hemoglobin H disease (- -/- c[) Pada penderita ditemukan delesi tiga loki, berbentuk heterozigot ganda untuk thalassemia-2-o dan thalassemia-1-cr (-l-u) . Pada fetus terjadi akumulasi beberapa rantai -B yang tidak ada pasangannya (unpaired Schains). Sedangkan pada orang dewasa akumulasi unpaired-p chains yang mudah larut ini
bervariasi, mencakup:
membentuk tetramer P,,, yung disebut HbH. HbH
di antara thalassemia-B mayor dan thalassemia-B minor. Penderita thalassemia-p intermedia secara klinis
dapat berupa asimtomatik, namun kadang kadang memerlukan transfusi darah yang umumnya tidak bertujuan untuk mempertahankan hidup. Thalassemia-B intermedia merupakan kelompok kelainan
-
homozigot dan heterozigot ganda thalassemia-B* minor. atau
5.
ditemukan pada 15
heterozigot thalassemia-B yang diperberat dengan faktor pemberat genetik berupa triplikasi alfa baik
membentuk sejumlah kecil inklusi di dalam eritroblast, tetapi tidak berpresipitasi dalam eritrosit yang beredar. Delesi tiga loki ini memberikan fenotip yang lebih berat. Bentuk kelainan ini disebut E[bHdisease. Fenotip HbH
dalam bentuk heterozigot maupun homosigot. Thalassemia-Bdominan Mutasi thalassemia yang dikaitkan dengan fenotip kinis
disease berupa thalassemia intermedia, ditandai
yang abnormal dari bentuk heterozigot disebut juga
Hydrops fetalis dengan Hb Bart's (- - / - -) Pada fetus ditemukan delesi 4 loki. Pada keadaan embrional ini sama sekali tidak diproduksi rantai globin o. Akibatnya, produksi rantai globin-6 berlebihan dan membentuk tetramer globin-d, yang disebut Hb Barts (a,-). qini memiliki afinitas oksigen yang sangat tinggi. Akibatnya, oksigen tidak ada yang mencapai jaringan
sebagai th alassemia- p dominan
GENOTIP DAN FENOTIP SINDROM THALAS. SEMIA-cl Thalassemia-6 dikelompokkan ke dalam empat bentuk genotip klasik dengan fenotip yang berbeda, seperti tertera pada Thbel 4.
dengan anemia hemolitik sedang-berat, namun dengan
inefektivitas eritropoiesis yang lebih ringan.
fetus, sehingga terjadi asfiksia jaringan, edema (hydrops fetalis), gagal jantung kongestif, dan meninggal dalam uterus.
Gambar 1 di bawah ini menunjukkan jenis jenis Bentuk thalassemia-a Thalassemia-2-q tralf
Genotip (-o / oo)
thalassemia-u didasarkan atas lesi genetik.
Fenotip asimtomatik
Thalassemia-1 -q tralt:
-
Thalassemia-2"-o homozigot Thalassemia-1"-o heterozigot
(-o/-o) (oo
I
-)
J- q)
Hemoglobin H disease
(-
Hydrops fetalis dengan Hb Barts
(--l--)
1.
menyerupar
PATOGENESIS THALASSEMIA
thalassemia-B mtnor
Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang
thalassemia intermedia
)
hydrops fetalis meninggal in utero
Thalassemia-2-a trqit (-a I crfl): Pada penderita hanya dijumpai delesi satu rantai cr (-cr), yang diwarisi dari salah satu orang tuanya. Sedangkan rantai-cr lainnya yang lengkap (cru), diwarisi dari pasangan orang tuanya dengan rantai-cr normal.
disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau dekat gen globin. Pada thalassemia mutasi gen globin ini dapat menimbulkan perubahan rantai globin cr atau p, berupa perubahan kecepatan sintesis (rafe of synthesis) atau kemampuan produksi rantai globin
tertentu, dengan akibat menurunnya atau tidak diproduksinya rantai globin tersebut. Perubahan ini diakibatkan oleh adanya mutasi gen globin pada clusters gen o, atau B berupa bentuk delesi atau non delesi. Walaupun telah lebih dari dua ratus mutasi gen thalassemia yang telah diidentifikasi, tidak jarang pada analisis
DASAR-DASAR THALASSEMIA
:
1383
SALAH SATU JENIS HEMOGLOBINOPATI
o. trait homozigot
HbH disease
hydrops fetalis
Gambar 1. Jenis jenis thalassemia-cr yang berbeda. Kotak hitam menunjukkan gen normal, sedangkan kotak putih menggambarkan delesi gen atau gen yang tidak aktif sebagian (parsial) atau seluruhnya (komplit)
DNA thalassemia belum dapat ditentukan jenis mutasi gennya. Hal inilah yang merupakan kendala terapi gen
-
pada thalassemia.
Clusters Gen Globin 1. Cluster gen-O( terletak pada kromosom
-
16:
terdiri atas satu gen-( fungsional dan dua gen-o (u. dan a,) exon kedua gen globin-cr memiliki sekuens yang identikal
2.
produksi mRNA a. melebihi produksi mRNA u,, oleh faktor 1,5 ke 3
Cluster gen B terletak pada kromosom I l: - terdiri atas satu gen e fungsional, gen c5, gen Ad, gen 6, dan gen p
- .flanking regions
mengandung conserved
sequences, pentlng untuk ekspresi gen
3.
Pengaturan cluster gen globin
-
Transkrip primer adalah prekursor mRNA yang besar, dengan kedua sekuens intron dan exon, yang secara ekstensif diproses di dalam nukleus untuk
4.
DASAB MOLUKELAR THALASSEMIA-P Thalassemia-p merupakan kelainan hemoglobin yang memilikr banyak bentuk mutasi gen. Hampir dari dua ratus bentuk mutasi gen yang terjadi pada thalassemia B. Setiap kelompok populasi memiliki satu set mutasi thalasemia B yang berbeda, umumnya terdiri atas dua atau tiga jenis mutasi yang membenttk bulk, dikombinasikan dengan sejumlah besar bentuk mutasi yang jarang. Begitu luas pola distribusi, hanya 20 allel yang dicakup untuk sebagian besar determinan thalassemia- B. Secara garis besar mutasi gen pada thalasssemia -p dibagi menjadi dua kelompok bentuk mutasi gen, yakni bentuk delesi dan non delesi.
1.
Pada saat kelahiran globin-p dan globin-d
-
diproduksi secara seimbang Pada usia 1 tahun, produksi globin-6kurang dari persen dari produski globin non-cr total
-
Mekanisme perubahan tidak jelas, mungkin
I
Delesi gen globin-B: Paling sedikit 17 delesi yang berbeda yang hanya dijumpai pada thalassemia-B,
menghasilkan mRNA akhir. - Ekspresi gen globin diatur oleh mekanisme kontrol yang kompleks. Perubahan dan perkembangan ekspresi gen globin - Globin-B yang diproduksi dalam konsentrasi rendah mulai minggu ke 8 sampai ke 10 masa fetus.dan sangat meningkat pada gestasi 36 minggu. - Globin-d yang diproduksi dalam konsentrasi pada awalnya, mulai menurun pada gestasi 36 minggu
-
melibatkan "a time clock" dalam sel asal (stent ceLls) hemopoiesis Sintesis hemoglobin fetal dapat direaktivasi pada orang deasa bila terjadi s/re.ts hemopoiesis
namun jarang dan tampaknya terisolasi, berupa kejadian tunggal (single event),keatali delesi 619-bp pada ujung
akhir 3' gen
-0
lebih sering ditemukan, walaupun
terbatas pada populasi Sind dan Gujarat di Pakistan dan India. Delesi ini mencakup lebih kurang 50 7o allel
thalassemia-B. Bentuk homozigot delesi ini menghasilkan thalassemia-Bo. Heterozigot delesi ini menghasilkan peningkatan HbA, dan HbF, sama yang dijumpai pada bentuk mutasi lainnya thalassemia-B
2.
Mutasi non delesi globin-B: Mutasi non delelesi globinp mencakup proses transkripsi, prosesing dan translasi, berupa mutasi titik (point mutations): - region promotor (promotor regions),
1384
-
HEMATOI.OGI
mutasi transkripsional pada lokasi CAP (CAP sites,
Kelas Mutasi Gen pada Thalassemia-cr
5' -untranslated region)
Tabel 5 di bawah menunjukkan jenis jenis mutasi gen-cr yang menyebabkan thalassemia-u.
mutasi prosesing RNA: intron-exon boundaries, polyadenilation signal (Poly A signal), splice site consensus .sequences, cryptic sites in exons, ct))p-
tic sites in introns.
-
mutasi yang menyebabkan translasi abnormal RNA
messengeri inisiasi (initiation), nonsense, dan
Jenis thalassemia-o Thalassemia-oo
Delesi mencakup cluster gen globin-o Truncations of telomeric region of 16p Delesi HS40 reglon
Thalassemia-o*
Delesi mencakup gen-o2 atau -o1 Point mutations mencakup gen-q2 atau -o1: prosesing mRNA: . IVS 1 donor * IVS 1 acceptor . Poly (A) signal translation mRNA: . initiation codon
mutasi frameshift.
3. Bentuk mutasi lainnya: Di samping kedua bentuk mutasi di atas dapat dijumpai juga bentuk bentuk mutasi lainnya yang khas pada thalassemia B diwariskan secara dom inan (.dominantly inhe r it e d B thalas s e mi as ), v aian
-
globin p tidak stabil (unstable p-globin variants), thalassemia p tersembunyi (silent $-thalassemia), mutasi thalassemia D yurg tidak terkait kluster gen
globin p ( p-thalassemia mutations unlinked to the Bglobin gene cluster), dan bentuk bentuk bervariasi thalassemia $ (variant forms of Bthalassemia) .
Bentuk mutasi gen
-
Thalassemia-q retardasi mental
. Exon I atau I " Termination codon posftranslation codon:. unstable a-globin
ATR-'I6: - delesi atau telomeric truncations
-
of 16p translokasi
ATR-X: - Mutasi KH2: . delesi
* missense * nonsense - spilce site
DASAR MOLEKULAR THALASSEMIA-o Haplotip gen globin-cr dapat ditulis sebagai
crcr, yang
menunjukkan gen-o,2 dan gen-cr,. Individu normal memiliki genotip cxcx/crq,. Pada thalassemia-5 dapat terjadi mutasi gen yang berbentuk delesi dan non-delesi gen-cx,.
Delesi Gen-o Delesi pada thalassemia-u yang mencakup satu (-cr) atau kedua (- -) gen -o dapat diklasifikasikan berdasarkan ukurannya, ditulis di atas (superscrDl). Contohnya (-cr37) menunjukkan delesi 3,7 kb pada satu gen-cx,. Bila ukuran delesi belum dapat ditentukan, maka ditulis sebagai (- - MED) yang artinya delesi kedua gen-cx, yang pertama kali diidentifikasi pada individu yang berasal dari
Mediteranian. kedua gen-o,, sehingga produksi rantai-o, hilang sama sekali
cra'2)
Pada thalassemia terjadi pengurangan atau tidak ada sama sekali produksi rantai globin satu atau lebih rantai globin. Penurunan secara bermakna kecepatan sintesis salah satu
jenis rantai globin (rantai-u atau rantai-p) menyebabkan sinstesis rantai globin yang tidak seimbang. Bila pada keadaan normal rantai globin yang disintesis seimbang antara rantai u dan rantai p, yakni berupa or9,, maka pada thalassemia-p0, di mana tidak disintesis sama sekali rantai B, maka
Pada thalassemia-o,0, terdapat 14 delesi yang mengenai
dari kormosom yang abnormal. Bentuk thalassemia-u* yang paling umum (-
PATOFISIOLOGI THALASSEMIA
o3,7
rantai globin yang diproduksi berupa rantai
cx,
yang
berlebihan (cro). Sedangkan pada thalassemia-o0, di mana tidak disintesis sama sekali rantai o,, maka rantai globin yang diproduksi berupa rantai B yang berlebihan (P,,).
dan-
mencakup delesi satu atau duplikasi lainnya gen
globin-o
Non-delesi Gen- a Pada lesi non-delesi kedua haplotip gen-cx utuh (cru), sehingga diberikan nomenklatur (crrcx), di mana s up e r s c r ip t T menunjukkan bahwa gen tersebut thalassemik. Namun bila defek molekular diketahui, seperti pada hemoglobin Constant Spring, nomenklatur (oru) dapat diubah menjadi (attcx).
Ekspresi gen-cx,2 lebih kuat dua sampai tiga kali dari ekspresi gen- or, sehingga sebagian besar mutasi nondelesi ditemukan predominasi pada ekspresi gen-o(,
Patof
isiologi thalassem ia-p
Pada thalassemia-B, di mana terdapat penurunan produksi
rantai p, terjadi produksi berlebihan rantai o,. Produksi rantai globin d, di mana pasca kelahiran masih tetap diproduksirantai globin %4 GbF), tidakmencukupi untuk
mengkompensasi defisiensi crrp, (HbA).
Hal ini
menunjukkan behwwa produksi rantai globin B dan rantai globin d tidak pernah dapat mencukupi untuk mengikat rantai cr yang berlebihan. Rantai o yang berlebihan ini merupakan ciri khas pada patogenesisi thalassemia-8. Rantai cr yang belebihan, yang tidak dapat berikatan dengan rantai gobin lainnya, akan berpresipitasi pada prekursor sel darah merah dalam sumsum tulang dan dalam
DASAR-DASAR THALASSEMIA
:
SAL/*I
sel progenitor dalam darah tepi. Presipitasi ini akan menimbulkan gangguan pematangan prekursor eritroid dan eritropoiesis yang tidak efektif (inefektifl, sehingga umur eritrosit menjadi pendek. Akibatnya, timbul anemia. Anemia ini lebih lanjut lagi akan menjadi pendorong(drive) profiferasi eritroid yang terus menerus (intens) dalam sumsum tulang yang inefektif, sehingga terjadi ekspansi sumsum tulang. Hal ini kemudian akan menyebabkan deformitas skeletal dan berbagai gangguan perlumbuhan dan metabolisme. Anemia kemudian akan ditimbulkan lagi (exacerbated) dengan adanya hemodilusi akibat adanya hubungan langsung (shunting) darah akibat sumsum
tulang yang berekspansi dan juga oleh adanya splenomegali. Pada limpa yang membesar makin banyak sel darah merah abnormal yang terjebak, untuk kemudian akan dihancurkan oleh sistemfagosit. Hiperplasia sumsum tulang kemudian akan meningkatkan absorpsi dan muatan
/- -)
memberi fenotip seperti thalassemia-B carrier. Kehilangan 3 dari 4 gen globin-u memberikan fenotip tingkat penyakit berat menengah (moderat), yang dikatakan sebagai HbH disease. Sedangkan thalassemia-
homozigot (-/-) tidak dapat berlahan hidup, disebut sebagai Hb-Bart's hydrops syndrome. Kelainan dasar thalssemia-u sama dengan thalassemiap, yakni ketidak seimbangan sintesis rantai globin. Namun ada perbedaan besar dalam hal patofisiologi kedua jenis thalassemia ini. . Peftama, karena rantai-u dimiliki bersama oleh hemoglobin fetus ataupun dewasa (tidak seperli pada thalassemia-B), maka thalassemia-u bermanifestasi pada masa u,0
.
fetus. Kedua, sifarsifat yang ditimbulkan akibat produksi
secara berlebihan rantai globin- d dan -0 yung disebabkan oleh defek produksi rantai globin-c[ sangat
besi. Transfusi yang diberikan secara teratur juga menambah muatan besi. Hal ini akan menyebabkan
berbeda dibandingkan dengan akibat produksi berlebihan rantai-o, pada thalassemia-B. Bila kelebihan
penimbunan besi yang progresif di jaringan berbagai organ, yang akan diikuti kerusakan organ dan diakhiri dengan kematian. bila besi ini tidak segera dikeluarkan. Tabet 6 memperlihatkan patofisiologi thalassemia-p.
Patof
1385
SATU JENIS HEMOGLOBINOPATI
rantai-cr tersebut menyebabkan presipitasi pada prekursel eritrosit, maka thalassemia-o menimbulkan tetramer yang larut (soluble), yakni q, Hb Barl's dan 00, seperti diperlihatkan pada Gambar 2 dan Tabel 7.
isiologi thalassemia-cr
Patofisiologi thalassemia-u umumnya sama dengan yang dijumpai pada thalassemia-B kecuali beberapa perbedaan utama akibat delesi (-) atau mutasi (T) rantai globin-u. Hilangnya gen globin-cr tunggal (-orluo, atau crro/oo) tidak berdampak pada fenotip. Sedangkan thalassemia-2^-cr homozigot (-ol-o) atau thalassemia- 1u-cx heterozigot (crcr
BEBERAPA PERBEDAAN PENTING ANTABA THALASSEMIA-a DAN THALASEMIA-P Tabel 7 di bawah ini memperlihatkan beberapa perbedaan penting antara thalassemia-cr dan thalassemia-p, mencakup kelainan gen sampai dengan manifestasi klinik.
Akibatnya/Manifestasi nya
Hal yang Terjadi Mutasi primer terhadap produksi globin:
Sintesis globin yang tidak seimbang
Rantai globin yang berlebihan terhadap metabolisme dan ketahanan hidup (suruival) eritrosit
Anemia
Eritrosit abnormal terhadap fungsi organ
Anemia, splenomegali, hepatomegali, dan kondisi h iperkoagu la bilitas
Anemia terhadap fungsi organ
Produksi eritropoietin dan ekspansi sumsum tulang, deformitas skeletal, gangguan metabolisme, dan perubahan adaptif fungsi kardiovaskular
Metabolisme besi yang abnormal
Muatan besi berlebih miokardium, kulit
)
kerusakan jaringan hati, endokrin,
Rentan terhadap infeksi spesifik Sel seleksi
Peningkatan kadar HbF; Heterogenitas populasi sel darah merah
Modifiers genetik sekunder
Variasi fenotip: khususnya melalui respons HbF Variasi metabolisme bilirubin, besi, dan tulang
Pengobatan
Muatan besi berlebih, kelainan tulang, infeksi yang ditularkan lewat darah, toksisitas obat
Riwayat evolusioner
Variasi dari latar belakang genetik: respon terhadap infeksi
Faktor ekologi dan etnologi
1386
HEM/r$OLOGI
Dewasa
Fetus
Hb Bart's
HbH Afinitas oksigen tinggi E HIPOKSIA lnstabilitas homotetramer lnclusionbodies Kerusakan membran. Umur eritrosit pendek I HEMOLISIS Splenomegali I HIPERSPLENISME
Gambar 2. Garis besar patofisiologi talasemia-o
Mutasi
Sifat-sifat globin yang berlebihan
Sel darah merah
Anemia Perubahan tulang Besi berlebih
Thalassemia-q
Thalassemia-B
Delesi gen umum terjadi Tetramer y4 atau P4 yang larut Pembentukan hemikrom lambat Band 4.1 tidak teroksidasi Terikat kepada band 3 Hidrasi berlebihan (overhydrated) Kaku (ngld) Membra hiperstabil p50 menurun Terutama hemolitik Jarang
Delesi gen umum jarang terjadi Agregat rantai-o yang tidak larut Pembentukan hemikrom cepat Band 4 1 teroksidasi lnteraksi kurang dengan band 3
Jarang
Umum
Higgs DR, Thein SL, Wood WG. The biology of the thallssenria. In: Wearherall DJ, Clegg JB, editors The Thzrlassemia Syndromes. zlth ed, New York: Blackwell Science: 2001,p 65Bain BJ Hemoglobinopathy Diagnosis. lst ed. Mald'en,MA: Blackwell Science: 2001. I 186.
3
McGhee DB Structurai Defects in Hemoglobin (Hemoglobinopathies). In: Hematology Clinical Principles and Applications. 2nd ed, Philadelphia, PA: Saunders: 2002, p 319 - 358.
Membran tidak stabil p50 menurun Terutama diseritropoietik Umum
editors. Wintrobe's Clinical Hematology, 7rh
ed,
& Wilkins: 2004, p
1247
Philadelphia,PA: Lippincott Williams
284
2
Kaku
Lukens JN Abnormal Hemoglobins: Hereditary Disorders of Hemoglobin Structure and Synthesis. Abnormal Hemoglobins: General Principles. In: Greer JP, Foersier J, Lukens JN, et atl,
REFERENSI
1
Dehidrasi
-
1262.
-
601.
Benz EJ. Hemoglobinopathies. In: Harrison's Principies of Internal Medicine 16th ed, New York: McGraw-Hill: 2005, p 593
6 '7.
Weatherall DJ, Clegg JB The Thalassemia Syndromes. 4th Malden, MA: Blackwell Science: 2OOl, p 3 - 82 Konsensus Naasional Penatalaksanaan Thalassemia
ed.
220 THALASSEMIA: MANIFESTASI KLINIS, PENDEI(ATAN DIAGNOSIS, DAN THALASSEMIA INTERMEDIA Djumhana Atmakusuma
MANIFESTASI KLINIS THALASSEMIA Kelainan genotip thalassemia memberikan fenotip yang khusus, bervariasi, dan tidak jarang tidak sesuai dengan yang diperkirakan.
MANTFESTAST KLTNTS THALASSEMIA-p
b. Gambaran Fenotip Tampilan klinis normal dengan kadar hemoglobiii normal, kadar IIbA2 normal dan kemungkinan adanya mikrositosis yang sangat ringan.
Adanya pembawa sifat tersembunyi diketahui saat dilakukan studi keluarga (saudara kandung dan keluarga dekat) pada anak dengan sindroma thalassemia-B yang
lebih berat daripada kedua orangtuanya
yang
menunjukkan thalassemia- p rralr. Thalassemia-B dibagi 3 (tiga) sindrom klinik ditambah satu sindrom yang baru ditentukan, yakni:
. .
. .
Thalassemia-B minor (trait) I heterozigot: anemia hemolitik mikrositik hipokrom Thalassemia-B mayor / homozigot: Anemia berat yang bergantung pada transfusi darah Thalasssemia-B intermedia: Gejala di antara thalssemiap mayor dan minor
Pembawa sifat tersembunyi thalassemia-B $ilent carrier)
PEMBAWA SIFAT TERSEMBUNY! THALASSEMIA.
9 GTLENT CABRTER)
a. Kelainan Genotip Pembawa sifat tersembunyi adalah penderita thalassemia dengan variasi mutasi F yung heterogen, di mana hanya sedikit terjadi gangguan produksi rantai-p, sehingga dihasilkan rasio yang hampir normal antara rantai globin p dan o, tanpa menyebabkan kelainan hematologis
THALASSEMTA-p MINOR (TRAtr)
a. Gambaran Klinis Tampilan klinis normal. Hepatomegali dan splenomegali ditemukan pada sedikit penderita.
b. Gambaran Laboratoris Pada penderita thalassemia-p minor biasanya ditemukan anemia hemolitik ringan yang tidak bergejala (asimtomatik). Kadar hemboglobin terentang antara 10 13 g7o dengarr
-
jumlah eritrosit normal atau sedikit tinggi. Darah tepi menunjukkan gambaran mikrositik hipokrom, poikilositosis,
sel target dan eliptosit, termasuk kemungkinan ditemukannya peningkatan eritrosit stippled. Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia eritroid ringan sampai sedang dengan eritropoiesis yang sedikit tidak efektif. Umumnya kadar HbA2 tinggi (antara 3,5 - 8 Vo). Kadat
IIbF biasanya terentang antara I - 5 Vo.Padabentuk varian lainnya yang jarang, ditemukan HbF berkisar antara 5
1387
-207o.
1388
HEMANOLOGI
THALASSEMTA-p MAYOB
yang sangat bergantung transfusi darah dan thalassemia trait yang asimtomatik
a. Gambaran Klinis Thalassemia-B mayor.biasanya ditemukan pada anak
b. Kelainan Genotip
berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun dengan klinis ane-
Penderita thalassemia-p intermedia dapat menunjukkan kelainan kelainan genotip yang berbentuk:
mia berat. Bila anak tersebut tidak diobati dengan hipertransfusi (transfusi darah yang bertujuan mencapai
kadar Hb tinggi) akan terjadi
peningkatan
hepatosplenomegali, ikterus, perubahan tulang yang nyata karena rongga sumsum tulang mengalami ekspansi akibat hiperplasia eritroid yang ekstrim.
. .
heterozigot ganda untuk untuk mutasi ringan atau mutasi yang menyebabkan pengurangan yang lebih nyata ekspresi globin-p
. pewarisan bersama (co-inheritance)
dengan
thalassemia-cr, yang menyebabkan bentuk homozigot mutasi thalassemia-B yang lebih berat, namun dapat
b. Gambaran Radiologis Radiologi menunjukkan gambaran khas "hctir on end". Tulang panjang menjadi tipis akibat ekspansi sumsum tulang yang dapat berakibat fraktur patologis. Wajah meniadi khas, berupa menonjolnya dahi, tulang pipi dan dagu atas. Pertumbuhan fisik dan perkembangannya
homozigot untuk mutasi yang menyebabkan penurunan ringan ekspresi globin-B
.
terhambat.
. c. Gambaran Laboratoris
tetap berbentuk thalassemia yang tidak bergantung pada transfusi, karena rasio antara rantai-o/rantai-B lebih seimbang. peningkatan kapasitas untuk memproduksi rantai globin-d dari mekanisme non-delesi ke bentuk delesi dengan hasil meningkatnya produksi HbF
bentuk bentuk mutasi gen lainnya, seperti delesi thalassemia-8B, bentuk homozigot untuk bentuk mutasi
Kadar Hb rendah mencapai 3 ata.u 4 g7o. Erifrosit hipokrom,
sangat poikilositosis, termasuk sel target, sd. teardrop, dan eliptosit. Fragmen eritrosit dan mikrosferosit terjadi
akibat ketidak-seimbangan sintesis rantai globin. Pada darah tepi ditemukan eritrosit stippled d4n banyak sel eritrosit bemukleus. MCV terentang antara 50 - 60 fL. Sel darah merah khas berukuran besar dan sangat tipis. biasanya wrinkled dan folded dan mengandung hemoglobin clump. Hitung retikulosit berkisar antara 1 7o - 8 7c, di mana nilai ini kurang berkaitan dengan hiperplasia eritroid dan hemolisis yang terjadi. Rantai globin-cr yang berlebihan dan merusakmembran sel merupakan penyebab kematian prekursor sel darah merah intramedula, sehingga
tersebut, atau bentuk heterozigot ganda antara
.
thalassemia-6B dan mutasi thalassemia-B
pewarisan bersama antara thalassemia lokus-u rnple (ocru) dan thalassemia-p heterozigot.
c. Gambaran Laboratoris Morfologi eritrosit pada thalassemia intermedia menyerupai thalassemia mayor. Elektroforesis Hb dapat menunjukkan HbF 2 - 1 00 Vo, IIb1^2 sampai dengan 7 7o, dan HbA 0 - 80 Vo, bergantung pada fenotip penderita. HbF didistrubusikan secara heterogen dalam peredaran darah.
menimbulkan eritopoiesis inefektif. Elektroforesis Hb
d. Gambaran Klinis
menunjukkan terutama HbF. dengan sedikit peningkatan HbA,. HbA dapat tidak ada sama sekali atau menurun. Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia eritroid dengan rasio eritroid dan mieloid kurang lebih 20: l. Besi serum sangat meningkat, tetapi total iron binding, capacity (TIBC) normal atau sedikit meningkat. Saturasi transferrin 80 7o ata.u lebih. Ferritin serum biasanya meningkat.
Gambaran klinik bervanasi dari bentuk ringan, walaupun dengan anemia sedang, sampai dengan anemia berat yang tidak dapat mentoleransi aktivitas berat dan fraktur patologik.
turnover besi dalam plasma, kemudian merangsang penyerapan besi via saluran cema. Komplikasi jantung dan endokrin muncul 10 - 20 tahun kemudian pada penderita thalassemia intermedia yang tidak mendapat transfusi darah.
THALASSEMI-p TNTERMEDTA
a. Pengertian Tentang Thalassemia lntermedia Thalassemia-B intermedia adalah penderita thalassemia yang dapat mempertahankan hemoglobin
Muatan besi berlebih dijumpai , walaupun tidak mendapat tran sfusi darah. Eritropoiesis nyata meningkat, namun tidak efektif, sehingga menyebabkan peningkatan
minimtm+J
THALASSEMTA-p/H EMOGLO BrN-E
g7o
Kelainan Genotip dan Gambaran Fenotip
atau lebih tinggi tanpa mendapat transfusi. Ketidak seimbangan sintesis ranta-o( dan -B berada di antara thalasernia trait dan mayor, sehingga fenotip klinik
Thalassemia-B/Hemoglobin-E (HbE) umumnya dijumpai di Asia Tenggara, di mana prevalensi kedua mutasi genetik
menyerupai gambaran di antara fenotip thaiassemia mayor
ini cukup tinggi. Karena HbE kurang diproduksi,
sama
1389
TTIALASSEMIA: MANIFESTASI KLINIS, PENDEKAIAI\ DIAGNOSIS, DAN THALASSEMIA INTERMEDIA
halnya dengan pada thalassemia-F, maka bila kedua mutasi gen ini diwariskan bersama, terjadi defisiensi yang nyata produksi rantai globin-p.
7
-
lO g7o dan retikulosit ar,rtaru 5
-
lO
Vo.
Limpa biasanya
membesar. Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia eritroid.
intermedia sampai dengan thalassemia yang bergantung
Retardasi mental yang terakait dengan thalassemia-o, loki dekat cluster gen-cr pada kromosom 16, bermutasi atau ko-delesi dengan cluster
transfusi darah dan tidak dapat dibedakan dengan
gen-cI,.
Gambaran
klinik bervariasi di antara thalassemia
thalassemia-B homozigot.
dapat terjadi bila lokus atau
Krisis hemolitik terjadi bila penderita mengalami infeksi,
hamil atau terpapar dengan obat-obat oksidatif. Krisis
SINDROM KLINIS THALASSEMIA-o Empat sindrom klinik thalassemia-o terjadi pada thalassemia-o,, bergantung pada nomor gen dan pasangan
cis atau trans dan jumlah rantai-o yang diproduksi. Ke empat sindrom tersebut adalah pembawa sifat tersembunyi
thalassemia-u (silent carrier), thalassemia-a trait (thalassemia-d minor), HbH diseases dan thalassemia-cr homozigot (hydrop s fetalis)
hemolitik dapat menjadi penyebab terdeteksinya kelainan ini, karena penderita HbH disease ini biasanya menunjukkan gambaran klinik normal. Eritrosit menunjukkan mikrositik hipokromik dengan poikilositosis yang nyata, termasuk sel target dan gambaran beraneka-ragam. HbH mudah teroksidasi dan in vivo secara perlahan berubah ke bentuk Heinz-lika bodies daihemoglobin yang terdenaturasi. Inclusion bodies mengubah bentuk dan sifat viskoelastik eritrosit, menyebabkan umur eritrosit menurun. Splenektomi sering memberikan perbaikan.
PEMBAWA SIFAT TERSEMBUNYI THALASSEMIA-o
HYDROPS FETALIS
Kelainan Genotip, Gambaran Fenotip dan Laboratorium
Kelainan Genotip, Gambaran Fenotip,
Delesi satu gen globin-o menyisakan tiga gen globin-a
Laboratorium dan Tindak Lanjut
fungsional (-slucxs), menyebabkan sindrom sllenl
Thalassemia-u homozigot (- -/- -) tidak dapat bertahan hidup karena sintesis rantai globin-u tidak terjadi. Bayi lahir dengan hydrops fetalis, yakni edema disebabkan penumpukan cairan serosa dalam jaringan fetus akibat anemia berat. Hemoglobin didominasi oleh Hb Bart's (5r), bersama dengan Hb Portland 5-20 7o, dan sedikit HbH. Hb Bart's mempunyai afinitas oksigen yang tinggi, sehingga tidak dapat membawa oksigen ke jaringan . Fetus dapat bertahan hidup karena adanya Hb Portland, tetapi Hb jenis ini tidak dapat mendukung tahap berikutnya pertumbuhan fetus, dan akhirnya fetus meninggal karena anoksia.
carrier. Rasio rantai globin-or/-B hampir normal. Gambaran klinis normal. Tidak ditemukan kelainan hematologis. Saat dilahirkan, Hb Bart's (5.,) datam rentangan 1-2 Vo.Tidzk ada cara yang pasti untuk mendiagnosis silent carrier dengan kriteria hematologis. Bila diperlukan, dapat dilakukan studi gen.
THALASSEMIA-o TBArI (MINOR)
Kelainan Genotip, Gambaran Fenotip dan Laboratorium Thalassemia-o" trait dapat berupa bentuk homozigot-u*
(-ol-ct) atau heterozigot-u0 (- -/ocx). Sindrom ini menunjukkan tampilan klinis normal, anemiaringan dengan peningkatan eritrosit yang mikrositik hipokrom. Pada saat dilahirkan, Hb B art' s dalam rentan gan 2 - l0 Vo . Biasany a pada penderita dewasa tidak ditemukan HbH (p,,).
HBH DISEASE
Kelainan Genotip, Gambaran Fenotip dan Laboratorium
Bayi dilahirkan prematur, dapat lahir hidup lalu meninggal beberapa saat kemudian. Fetus menunjukkan anemia, edema, asites, hepatosplenomegali berat dan kardiomegali. Pada saat lahir bayi menunjukkan anemia mikrositik hipokrom. Rongga sumsum tulang melebar
dengan hiperplasia eritroid yang nyata.
Hal ini
menunjukkan eritropoi esis ekstramedular. Kehamilan dengan hydrops fetalis berbahaya bagi si ibu, karena dapat menyebabkan toksemia dan perdarahan
berat pasca partus. Adanya hydrops fetalis ini dapat diketahui pada pertengahan umur kehamilan dengan ultrasonografi. Terminasi awal dapat menghindarkan kejadian berbahaya ini pada si ibu.
HbH disease biasanya disebabkan oleh hanya adanya satu gen yang memproduksi rantai globin-o (- J- o) atau dapat juga disebabkan oleh kombinasi u0 dengan Hb Constant
PENDEKATAN DIAGNOSIS THALASSEMIA
Spring (- -/ ocs cx). Penderita mengalami anemia hemolitik kronik ringan sampai dengan sedang, dengan kadar Hb terentang antara
Untuk menegakkan diagnosis thalassemia diperlukan langkah langkah sebagai berikut, seperli yang digambarkan pada algoritma di bawah ini:
1390
HEM/rlifl)tOGI
Riwayat penyakit (Ras, riwayat keluarga, usia awal penyakit, pertumbuhan) I
Pemeritiaan fisik (Pucat, ikterus, splenomegali, deformitas skeletal, pigmentasi)
I Laboratorium darah dan sediaan apus (Hemoglobin, MCV, MCH, retikulosit, jumlah eritrosit, gambaran darah tepi/termasuk badan inklusi dalam eritrosit darah tepi atau sumsum tulang, dan presipitasi HbH
t I
Elektrofosresis hemoglobin (Adanya Hb abnormal, termasuk analisis pada pH 6-7 untuk HbH dan H Barts)
t I
Penentuan HbA2 dan HbF (Untuk memastikan thalassemia-B)
Distribusi HbF intraselular
Sintesis rantai globin
Analisis struktural Hb varian (misal:Hb Lepore)
Gambar 1. Algoritma pendekatan diagnosis thalassemia
Riwayat penderita dan keluarga sangat penting dalam mendiagnosis thalassemia, karena pada populasi dengan ras dan etnik tefientu terdapat frekuensi yang tinggi jenis
mikrositik dengan poikilositosis ringan sampai
gen abnormal thalassemia yang spesifik. Pemeriksaan fisik mengarahkan ke diagnosis thalassemia, bila dijumpai gejala
poikilositosis. Pada thalassemia-B homzigot dan
dengan
menengah. Pada thalassemia-s0 heterozigot terdapat
mikrositik dan hipokrom ringan, tetapi
kurang
heterozigot berganda, dapat ditemukan poikilosotpsi
s
yang
dan tanda pucat yang menunjukkan anemia, ikterus yang menunjukkan hemolitik, splenomegali yang menunjukkan
ekstrim, termasuk sel target dan eliptosit, dan juga
adanya penumpukan (pooling') sel abnormal, dan
retikulosit meningkat, menunjukkan sumsum tulang merespon proses hemolitik. Pada HbH Disease, hitung reikulosit dapat mencapai l0%. Pada thalassemia-B homozigot hitung retikulosit kurang leblh 57c; hal ini
deformitas skeletal, terutama pada thalassemia-p, yang
menunjukkan ekpansi rongga'sumsum tulang, pada thalassemia mayor. Penderita sindrom talassemia umumnya menunjukkan anemia mikrositik hipokrom. Kadar hemoglobin dan hematokrit menumn, tetapi hitung jenis eritrosit biasanya secara disproporsi relatif tinggi terhadap derajat anemia, yang menyebabkan MCV yang sangat rendah. MCHC biasanya sedikit menurun. Pada thalassemia mayor yang
tidak diobati, relative distribution u,ldth (RDW) meningkat karena anisosotosis yang nyata. Namun, pada
thalassemia minor RDW biasanya normal; hal ini membedakannya dengan anemia defisiensi besi. Pada pewamaan Wright eritorsit khas mikrositik dan hipokrom, kecuali pada fenotip pembawa sifat tersembunyi. Pada thalassemia-p heterozigot dan HbH disease, eritrosit
polikromasia, basophillic stippling, dan nRBCs. Hitung
secara tidak proporsional relatif rendah terhadap derajat
anemia. Penyebabnya paling mungkin akibat eritropoiesis
inefektif. Sumsum tulang penderita thalassemia-B yang tidak diobati menunjukkan hiperselularitas yang nyata dengan
hiperplasia eritroid yang ekstrim. Hemopoiesis ekstramedula terlihat menonjol. Namun HbH disease kurang menunjukkan hiperplasia eritroid. Sementara itu, thalassemia heterozigot hanya menunjukkan hiperplasia eritroid ringan. Eritrosit thalassemi a yang mikrositik hrpokrom memiliki fragilitas osmotik yang menurun. Hal ini digunakan sebagai dasar dari variasi one-tube tes fragilitas osmotik sebagai
TIIALASSEMIA: MANIFESTASI KLINIS, PENDEKATAI\ DIAGNOSIS, DAN THALASSEMIA INTERMEDIA
uji tapis pembawa sifat thalassemia pada populasi di mana thalassemia sering dijumpai. Namun, tes ini tidak dapat membedakannya dengan anemia defisiensi besi, karena pada pada anemia defisiensi besi ditemukan fragilitas osmotik yang menurun. Pada thalassemia-o minor (trait), HbH disease, dal thalassemia-u pembawa sifat tersembunyi (silent) tes pewarnaan brilliant cresyl blue :unltk HbH inclusions dapat digunakan untuk merangsang presipitasi HbH yang secara intdnsik tidak stabil. HbH inclusions (rantai globin-B yang terdenaturasi) mempunyai ciri khas berupa materi (bodies) yang kecil, multipel, berbentuk iregular, berwarna biru kehijauan, yang mirip bola golf atau buah raspberry. Materi ini biasanya tersebar merata dalam eritrsoit. Pada HbH disease. Hampir seluruh eritrosit mengandung inclusions, sedangkan pada thalassemia-
minor hanya sedikit eritrosit yang mengandung inclusions, sementara itu pada thalassemia-cx pembawa sifat tersembunyi inclusions ini jarang sekali ditemukan. Inclusions ini berbeda dengan Heinz bodies, di mana
1391
thalassemia intermedia.
a. Komplikasi Thalassemia lntermedia Komplikasi yang terjadi pada thalassemia intermedia dapat
diakibatkan oleh proses penyakitnya atau oleh -pengobatannya. Komplikasi akibat penyakit thalassemia, mencakup:
. . . . . .
. .
Kardiomiopati Ekstramedullary hematopoiesis
Kolelitiasis Splenomegali Hemokromatosis Kejadian trombosis (hiperkoagulasi, nsiko aterogenesis. lesi iskemik cerebral asimtomatis) Ulkus maleolar Deformitas dan kelainan tulang (osteoporosis)
cx,
materi ini menunjukkan ukuran yang lebih besar, jumlahnya sedikit, dan sering letaknya eksentrik di sepanjang membran eritrosit. Bila tidak ditemukan
llbIl
inclusions tidak berarti menghilangkan kemungkinan diagnosis thalassemia-o minor atau pembawa sifat tersembunyi. Untuk itu diperlukan matoda pemeriksaan khusus.
Elektroforesis dengan selulosa asetat pada pH basa penting untuk menapis diagnosis hemoglobin H, Bart's, Constrant Spring, Lepore, dan variasi lainnya. HbH dan Bafi's cepat bergerak pada selulosa asetat pada pH basa
b. Diagnosis Thalassemia lntermedia Diagnosis thalassemia intermedia mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium, seperti diuraikan di bawah ini, yang dikutip dari Panduan Penatalakasanaan Thalassemia Intermedia Perhimpunan Hematologi & Transfusi Darah Indonesia (PHTDI) Juli 2008.
b.1. Anamnesis
.
.
nwayat
. . . . ' . . .
tetapi pada pH asam hanya mereka merupakan hemoglobin yang bermigrasi anodally. Peningkatan HbA, dengan elektroforesis hemoglobin dapat dilakukan pada uji tapis thalassemia-B minor, yang diukur dengan menggunakan
mikrohematografi. Nilai HbA, Peningkatan HbF yang ditemukan pada thalassemia-bB, HPFH dan varian thalassemia-B lainnya dapat dideteksi juga dengan elektroforesis. Prosedur khusus lainnya seperti tes rantai globin dan analisis DNA dikerjakan untuk mengidentifikasi genotip spesifik. Uji ini dapat dilakukan untuk tujuan penelitian, untuk membedakan thalassemia-cx c arrier dari thalassemia-
ap carrier, untuk mengidentifikasi gen pembawa sifat tersembunyi, atau melihat pola pewarisan keluarga dengan gen yang banyak. Harus ditentukan apakah keuntungan uji lengkap ini melebihi biayanya
Usia tersering >18-67 tahun (dapat terjadi pada usia 2 I 8 tahun) Adanya tanda dan gejala anemia dengan atau tanpa Splenomegali Batu empedu Trombosis (DVT, stroke,fetalloss syndrome,APS)
Kardiomiopati Hemopoiesisekstramedular
Penyakithatikronik Ulkus maleolar Kelainan endokrin /diabetes melitus
b.2. Pemeriksaan Fisik
. . . . .
Facies Thalassemia
Pucat.
Ikterik+/Hepatosplenomegalisedang-berat Gangguan pertumbuhan tulang +/-
b.3. Laboratorium
THALASSEMIA INTERMEDIA Sebelum kita mendiagnosis thalassemia intermedia, seyogyanya kita mengetahui komplikasi akibat penyakit thalasemia itu sendiri, karena dengan mengetahui komplikasi tersebut, bila kita temukan gejala dan tanda tersebut kita harus berfikir kemungkinan orang ini penderita
.
Darah tepi lengkap
-
Hemoglobin Hematokrit
Retikulosit
Sediaan apus darah tepi : anemia mikrositer, hipokrom, anisositosis, poikilositosis, sel eritrosit muda (normoblast), fragmentosit, sel target.
t392
HE|MANOI.OGI
.
Indeks eritrosir (MCV MCH, MCHC, RDW) bila tidak ada cell counter,lakrtkzm uji resistensi osmotik 1 tabung (fragilitas) Analisis hemoglobin: 1 . Elektroforesis Hemoglobin - Hb varian kualitatif (elektroforesis cellulose acetaet membrane)
-
HbA2kuantitatif(metodamikrokolom) HbF (alkali denaturasi modifikasi Betke 2
pengobatan.
c.3. Pasca splenektomi bila Hb <7 gr o/o= Pada keadaan ini penangan komplikasi merupakan keharusan, mencakup: . batu empedu: kolesistektomi
. . .
infeksi: antibiotika hiperurikemia/Gout: allopurinol aterogenesis: pemantauan lanjut sesuai tatalaksana
. .
ulkus tungkai: perawayan luka
meniQ
-
HbH inclusion bodies (pewarnaan supravitaU retikulosit) Atau
2. Metoda TIPLC (Beta short variant Biorad): analisis
kualitatif dan kuantitatif
b.4. Radio imajing (tentative)
. .
MRI : untukmelihat hematopoisisekstramedular MRI T2x : untuk melihat iron overload pada jantung
b.5. Pemeriksaan Komplikasi Penyakit Thalssemia . Splenomegali Pemeriksaanfisik atauUSG . Kolelitiasis: USG/CT scan . Hemopoiesis ekstramedular: Foto rontgm (X ray) . Kelainan tulang: X ray /MRI
. . .
Trombosis
(DVl
Stroke, APS): USG duplex, angiografi,
hemostasis
Kelainan jantung : Eko kardiografi atau T2* MRI Kelainan hati: LIClLiver lron Concentration (biopsi atau T2* MRI)
. . . . . .
lntermedia Penderita thalassemia dewasa diawali dengan penentuan
kadar hemoglobin dan adarya pansitopenia (penurunan Hb progresif <7 gldl,leukopeni < 3000/ ul trombositopeni < 80.000/ ul) yang menunjukkan adanya hipersplenisme. Berdasarkan kadar hemoglobin,(7 - 9 g.), ditentukan langkah penatalaksanaan selanjutnya.
iskemia serebral: terapi sesuai dengan tatalaksana baku eritropiesis heterotropik:hidroksiurea hemokromatosis: terapi kelasi besi
c.4. Pasca splenektomi bila Hb > 7 gr
7"
.
d. Hb < Tgrldl tanpa splenomegali Pemantauan klinis dan hematologi
e. Transfusi darah pada penderita thalassemia Transfusi darah pada penderita thalassemia intermedia diberikan atas indikasi, sebagai berikut
Kondisi stres sementara : kehamilan, infeksi Manifestasi klinis anemia Gagal jantung kongestif IJlkus tungkai
f.
Pemantauan besi pada penderita thalassemia
Imunoprofilaksis pra splenektomi merupakan keharusan,
.
mencakup:
vaksinasi anti meningococus vaksinasi anti hemophilus influensa Pasca splenektomi diberikan antibiotika profilaksis antibiotik (penisilin oral)
c.2. Hipersplenisme splenektomi merupakan pilihan
:
. . . . .
. .
ini
osteoporosis:bisfosfonat, dll kelainan hat: obat antivirus
Pada kondisi ini transfusi darah merah pekat
c.1. Hb <7 grtdlDisertai dengan Splenomegali Masif: Pada kondisi ini splenektomi merupakan pilihan.
Pada keadaan
diabetes melitus: sesuai dengan tatalaksana diabetes melitus hiperkoagulasi dan trombosis: aniagregasi trombosit dan antikoagulan oral
intermedia
c. Penatalaksanaan Penderita Thalassemia
. .
aterogenesis
.
Gangguan pertumbuhan
intermadia: Setiap transfusi: ratarata asupan besi Setiap 3 bulan: dosis kelasi dan frekuensi, fungsi hati, feritin serial
Setiap 6 bulan (pada anak): pertumbuhan dan perkembangan seksual
Setiap tahun: muatan besi hati, fungsi jantung (ekokardiografi), MRI jantung T2*, fungsi hati, ferritin serial
g. Pengobatan muatan berlebih besi Ada beberapa pilihan obat yang direkomendasikan untuk untuk terapi kelasi, seperti tertera pada Thbel 1 di bawah ini.
1393
THALASSEMIA: MANIFESTASI KLINIS, PENDEKAf,AN DIAGNOSIS, DAI{TI{ALASSEMIAINTERMEDIA
Terapi
Rekomendasi
Deferasirox
a
Dosis awal 20 mg/kg/hari pada pasien yang cukup sering mengalami transfusi
(Exjade@)
a
30
a
'1G15 mg/kg/hai pada pasien dengan kadar kelebihan besi yang rendah
DFO
o
2040 mg/kg (anakanak),
(Desferal@)
a
Pada pasien anak < 3 tahun, direkomendasikan untuk mengurangi dosis dan melakukan
mg/kg/hari pada pasien dengan kadar kelebihan besi yang tinggi
= 5G60
mg/kg (dewasa)
pemantauan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tulang Deferiprone
o
75 mg/kg/hari
(Ferriprox@)
a
Dapat dikombinasikan dengan DFO bila DFO sebagai tidak efektif
PROGRAM PENCEGAHAN Program pencegahan berdasarkan penapisan pembawa sifat thalassemia dan diagnosis pranatal telah dapat menurunkan secara bermakna kejadian thalassemia mayor pada anak-anak di Yunani, Siprus, Italia daratan dan Sardinia. Penapisan pembawa sifat thalassemia-p lebih berdaya guna bila dikerjakan dengan penilaian indeks sel darah merah. Individu dengan MCV dan MCH yang rendah dinilai konsenffasi HbAr-nya. Masalahnya timbul pada penapisan individu dengan pembawa sifat thalassemia-cr bersamaan (co - existent) dengan thalassemia-cr.
Tidak adanya gen-cx, memastikan diagnosis. Terminasi awal akan dapat mencegah akibat berbahaya bagi si ibu, yakni toksemia dan perdarahan hebat pasca partus.
REFERENSI"
1.
2.
Di Indonesia program pencegahan thalassemia-p mayor telah dikaji oleh Departemen Kesehatan melalui program "health technology assesment" (HTA), di mana
3.
beberapa butir rekomendasi, sebagai hasil kajian,
4.
Hemoglobin Structure and Synthesis. Abnormal Hemoglobins: General Principles. In: Greer JP, Foerster J, Lukens JN, et all,
diusulkan dalam program prevensi thalassemia, termasuk
teknik dan metoda uji saring laboratorium, strategi pelaksanaan dan aspek medikolegal, psikososial, dan
5.
Mutasi thalassemia-p, biasanya dapat dideteksi dengan analisis DNA langsung yang diperoleh dari fetus dengan biopsi villus korionik atau cairan amniosentesis. DNA
dianalisis dengan metoda polymerase chain reaction @CR) dan metoda hibridisasi molekular untuk menentukan adanya mutasi thalassemia. Bila ke dua pasangan orang tua membawa sifat gen
thalassemia minor, diagnosis pra natal thalassemia-cr homozigot pada bayi yang dikandung dapat dibuat dengan analisisis endonuklease restriksi DNA, yang diperoleh dari villus korionik atau cairaan aminiosentesi s.
editors. Wintrobe's Clinical Hematology, 7th
ed,
p
1247
Philadelphia,PA: Lippincott Williams
agama
DIAGNOSIS PRANATAL
Higgs ER, Thein SL, Wood WG. The biology of the thalassemia. In: Weatherall DJ, Clegg JB, editors The Thalassemia Syndromes. 4th ed, New York: Blackwell Science: 2001,p. 65284. Bain BJ. Hemoglobinopathy Diagnosis. lst ed. Malden,MA: Blackwell Science: 2001, I - 186. McGhee DB Structural Defects in Hemoglobin (Hemoglobinopathies). In: Hematology Clinical Principles and Applications. 2nd ed, Philadelphia, PA: Saunders: 2002, p 319 - 358. Lukens JN. Abnormal Hemoglobins: Hereditary Disorders of
6. 7. 8.
-
& Wilkins:
2OO4,
t262.
Benz EJ. Hemoglobinopathies. In: Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th ed, New York: McGraw-Hill; 2005, p 593 - 601. Weatherall DJ, Clegg JB. The Thalassemia Syndromes. 4th ed. Malden, MA: Blackwell Science: 2OOl, p 3 - 826. Fucharoen S, Winichagon P. Clinical and hematologic aspect of hemoglobin E A thalassemia. Current Opinion in Hematology: 20OO,7,2, p lO6 - 112. Olivieri,MD. Management of the Beta-Thalassemias. Educa-
tion Program Book. International Society of Hematology:
2000,p8-11
9.
Cohen AR, Galanello R, Pennel DJ, et al. Thalassemia.Education
Program Book. American Society of Hematology: 2OO4, p 14
-34
10. Guidelines for the Clinical Management of Thalassemia. Thalassemia Intemational Federation. 2 ad ed. Thalassemia International Federation,.Cyprus, 2OO7: p 6 - 189.
22t TRANSPLANTASI
SEL PUNCA/INDUK DARAH A. Harryanto Reksodiputro
PENDAHULUAN
banyak mengundang konflik etik dan moral. Dalam bab ini yang dimaksudkan untuk transplantasi adalah sel punca
Rekayasa jaringan merupakan terobosan baru dalam bidang
non-embrionik.
kedokteran karena menggabungkan ilmu biologi dan
Transplantasi sel punca (haemopoietic stem cell tans-
rekayasa untuk menciptakan meteode biologik yang dapat
plantation) merupakan prosedur pencangkokan sel punca
menggantikan atau memulihkan jaringan-jaringan yang rusak. Sel-sel sumsum tulang atau darah tepi telah dikultur di laboratorium dan subpopulasi terpilih kemudian dipakai untuk mengobati jaringan/organ yang rusak. Sel punca (stem cell) adalah sel-sel yang berasal dari embrio, janin, atau individu, yang belum berdiferensiasi
(stem cell) atau sel induk Qtrogenitor cell) darah dari satu individu ke individu lain, atau dari individu itu sendiri yang disimpan terlebih dahulu sebelum pemberian kemoterapi dan kemudian dicangkokkan ke dalam dirinya sendiri pasca pemberian kemoterapi tersebut.
dengan kemampuan memperbaharui diri yang tak terbatas
atau terus-menerus dan dengan dengan induksi yang spesifik, dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel yang spesifik. Sel induk Qtrogenitor cell') adalah sel-sel yang berasal darijanin atau individu yang berdiferensiasi parsial yang kemudian dapat membelah dan membentuk sel yang
spesifik.
Sel punca dan sel induk dibedakan berdasarkan kemampuannya bereplikasi setelah membelah. Ketika
Berdasarkan hubungan antara sumber donor sel punca,/ sel induk darah dari penerimanya (resipien), transplantasi dikelompokkan menj adi
:
Singenik. Sel punca./sel induk darah donor berasal dari spesies yang sama, identik secara genetik, misalnya pada saudara kembar
Allogenik. Sel punca/sel induk darah berasal dari donor saudarakandung, orangtua, atau dari orang lain yang cocok
sistemHLA-nya.
membelah, satu dari dua sel yang baru tersebut biasanya
Autologus.
adalah sel punca yang mempunyai kemampuan
sendiri.
memperbaharui dirinya sendiri kembali. Sedangkan ketika sel progenitor membelah, akan terbentuk sel progenitor kembali atau sel yang terdierensiasi, dimana keduanya tidak mempunyai kemampuan memperbaharui dirinya sendiri. Sel punca atau induk dapat menjadi sel-sel saraf, jantung, pankreas, dan lain-lain. Sel-sel ini berpotensi mengganti sel jaringan yang rusak atau hancur karena penyakit berat. Sel punca dapat berasal dari embrio yang sedang membelah (embryonal stem cells), janin (embryonic gerrn
Pada tahun 1950 Jacobson dan Lorenz melaporkan kematian seekor hewan pengerat yang menjalani irradiasi seluruh ttbuh (total body irradiationlTBts dapat dicegah dengan pemberian intravena sel limpa atau sel sumsum tulang. Untuk beberapa saat, timbul beda pendapat, efek
cell),
atau dari sel-sel yang telah mengalami derajat maturasi tertentu tanpa memandang usia ir,dividn (adult stem cells). Sel asal embrio diperoleh dengan menghancurkan embrio atau janin tersebut sehingga
Sel punca./sel induk darah berasal dari pasien
proteksi yang didapat apakah akibat hormonal atau sel yang diberikan intravena.
Cole serta Alpen dan Baum menyokong cellreplacement theory dengan menggunakan mencit dan anjing. Pada tahun 1956, Ford mengemukakan teori radiasi chimaera, yaitu hematopoiesis hewan yang mendapat radiasi dapat diganti dengan injeksi sumsum hewan lainnya. Chimaera diartikan sebagai didapatkannya populasi sel yang berasal dari individu berbeda, diberikan
1394
1395
TRANSPLAI\MASI SEL PUNCA,/INDUK DARAH
kepada satu resipien. Kemudian diketahui bahwa hematopoiesis chimaera hanya dapat berhasil setelah pemberian
terapi imunosupresif intensif, yaitu TBI. . Saat ini, transplantasi sel punca/induk darah sering dilakukan dengan tujuan untuk: . Memperbaiki sindrom gagal sumsum tulang (misalnya leukemia, anemia aplastik, kelainan herediter, dan sebagainya). . Melindungi sumsum tulang dari dampak mieloblasi
dengan peruosesan kedua, yang mencakup pemekatan (mengkonsentrasikan sel punca/induk darah), deplesi sel limfosit T, pembersihan sel punca,/induk darah dari sel tumor (tumor purging), seleksi sel CD34+, dan lain-lain, 3). Penilaian/pengendalian kualitas dan viabilitas sel punca./ induk darah yang didapat, 4)Kriopreservasi dan
penyimpanan sel punca/induk darah, 5)Pencairan sel punca/induk darah yang disimpan beku, 6)Transplantasi sel punca,/induk darah.
radiasi atau kemoterapi sitostatika dosis tinggi
.
(misalnya pada limfoma non-Hodgkin). Memasukkan sel punca darah, sel genetika normaU
KEGIATAN MEMPEROLEH SEL PUNCA/INDUK
direkayasa menjadi normal (terapi gen).
DAI1/\H
Sebelum sel punca dari donor diambil, dilakukan
!NDIKAS! Kanker:
. . .
Leukemiaakut/kronik Praleukemia/sindrommielodisplasia(MDS)
.
Hodgkin, mieloma multipel) Tumor padat (neuroblastoma, kanker payudara, kanker paru sel kecil, sarkomaEwing, dan lain-lain).
Kelainan limfoproliferatif (misalnya limfoma non-
BukanKanker:
. . . .
Kegagalan sumsum tulang (misalnya anemia aplastik)
Imunodefisiensi Kelainan darah (talassemia, anemia sel sabit) Kelainan genetik nondarah
pemeriksaan lebih dahulu terhadap donor. Salah satunya,
pemeriksaan terhadap infeksi, dilakukan bersamaan dengan atau sebelum prosedur pengambilan sel (dalam waktu 4 minggu) pada donor produk sel aferesis/sumsum.
Sementara untuk donor darah tali pusat, pemeriksaan terhadap ibu dilakukan dalam waktu 1 minggu sebelum atau sesudah melahirkan. Tindakan untrik memperoleh sel punca/induk darah dari tiga jenis sumber sangat berbeda. Pada BMT, s"el punca/ induk darah diambil dengan melakukan aspirasi sumsum
tulang pada spina iliaka posterior/anterior donor sehat (BMT alogenik) atau dari pasien sendiri (autologus) yang sudah dinyatakan remisi lengkap pasca kemoterapi sitostatika, misalnya pasien limfoma non-Hodgkin. Tindakan ini dilakukan di kamar bedah steril di bawah anestesi umum dan memerlukan penggantian volume
SUMBER SEL PUNCMNDUK DARAH
sumsum tulang yang dikumpulkan dengan transfusi darah
Sel punca/sel induk darah saat ini diperoleh dari tiga sumber yang kemudian dipakai sebagai nama jenis transplantasi sel asaVsel induk, yaitu 1). Sumsum tulang;
autologus. Pada PBSCT, sel induk darah dalam sumsum tulang dimobilisasi ke darah tepi dengan rangsangan factor pertumbuhan hemopoietik (G-CSF, GM-CSF), atau dengan sitostatika tunggal dosis tinggi (siklofosfamida),
transplantasi sumsum tulang atatt bone marrow transplantation (BMT), 2). Sel darah tepi: transplantasi sel induk darah tepi atau peripheral blood stem cell transplantation (PBSCT), 3). Tali pusat bayi baru lahir: transplantasi sel induk darah tali pusat bayi baru lahir atau
umbilical cord blood transplantation (UBCT).
LANGKAH-LANGKAH MEMPEROLEH DAN MENYEDIAKAN SEL PUNCMNDUK DARAH
Perolehan dan penyediaan sel punca/induk darah merupakan salah satu kegiatan terpenting dari rangkaian BMT atau PBSCT. Jumlah, kualitas, dan viabilitas sel
punca./induk darah yang baik dan optimal merupakan syarat mutlak keberhasilan transplantasi. Langkah-langkah
tersebut adalah: 1). Memperoleh sel punca/induk darah dari sumsum tulang, darah tepi, atau darah tali pusat bayi baru lahir, 2). Pemisahan sel punca,/induk darah, diikuti
atau kombinasi keduanya. Untuk donor allogenik, digunakan G-CSF/GM-CSF, sedangkan untuk pasien transplantasi autologus dapat digunakan kombinasi keduanya. Pada donor alogenik, hari ke-5 atau ke-6 atau lebih pascastimulasi G-CSF/GM-CSF , sel punca,/induk darah dapat dipanen (harvesting) dengan media aferesis. Tindakan ini dilakukan pada pasien dalm keadaan sadar dan tidak memerlukan transfusi darah. Sel punca./induk darah tali pusat dan plasenta dapat diambil secara e x ut e ro maupun in ut ero. Sel punca/induk diambil dari bayi baru lahir dengan mengaspirasi darah langsung dari tali pusat, dalam keadaan steril, dan
kemudian ditampung dalam kantung darah steril. Pengambilan darah tali pusat ln utero dapat dilakukan dengan syarat hanya pada kehamilan tunggal, pada persalinan yang diperkirakan tidak ada komplikasi, dan usia
janin minimal 34 minggu.
1396
HEMIIiTOI.OGI
Agar transplantasi berhasil, jumlah sel punca./induk darah harus memenuhi syarat jumlah minimal dan optimal
yang diperoleh dari satu kali atau beberapa kali panen, baikpadaBMT, PBSCT, maupun UCBT
PEMISAHAN SEL PUNCA/INDUK DARAH DAN PEMROSESAN SEKUNDER Sel punca,/induk darah yang diperoleh dengan ketiga cara atas dipisah-pisahkan dengan alat pemisah komponen daruh (blood s eparator). Kemudian dilakukan pemrosesan
di
sekunder pada sel punca./induk darah yang didapat, yang
meliputi:
. . . .
Pemekatan/konsenstrasi sel punca./induk darah. Deplesi sel limfositT (sel T), padatransplantasi alogenik Pembersihan sel asaUinduk darah dari sel tumor (tumor
purging) Pemilihan/seleksi sel induk darah (sel CD34+) Sel punca ditandai dengan adanya ekspresi CD34 dan Thyl dan absennya CD38, CD33, dan HLA-DR. CD34 adalah penanda untuk sel punca dan induk pada
manusla. Pemekatan sel induk darah bertujuan memudahkan pemrosesan selanjutnya dan kriopreservasi. Agar tidak
hancur pada suhu di bawah 0"C, ke dalam konsentrat tersebut dimasukkan dimetilsulfoksida (DMSO) l\Vo dan untuk pertumbuhannya diberi kan plasma autologus. Deplesi sel T dilakukan pada transplantasi alogenik untuk mengurangi terjadinya dan beratnya graft-versus-
futst disease (GVHD), karenakejadian GVHD berkaitan erat dengan dosis sel limfosit T yang diinfuskan. Salah satu teknik deplesi sel T adalah dengan antibodi monoklonal (Campathl in vitro dan in vivo. Pembersihan sel punca/induk darah dari kontaminasi sel tumor (tumor purging) masihbersifat spekulatif, karena belum ada teknik purging yang menunjukkan masa bebas penyakit. Teknik-teknik tersebut mencakup teknik fisika, kimia, dan imunologik. Seleksi positif sel CD34+ telah
terbukti bermanfaat untuk transplantasi sumsum tulang autologus. Teknik ini mungkin berguna untuk deplesi limfosit T atau sel tumor dad inokulum PBSC, atau sebagai proses awal insersi gen, atau ekspansi in vitro sel induk darah.
KEGIATAN PENILAIAN/KONTROL SEL PUNCA/ INDUK DARAH YANG DIPANEN
Di samping harus memenuhi syarat kuantitas,
sel punca./
induk darah yang dipanen juga harus mempunyai kualitas
dan viabilitas yang optimal. Penilaian kuantitas dan kualitas selalu dilakukan terhadap sel punca/induk darah yang dipanen, pada pemrosesan sekunder, dan pada sel yang disimpan dalam nitrogen cair. Kuantitas sel punca/induk darah dinilai dengan menghitung sel CD34+ (sel induk darah) dengan alat sitometri arus (flowcytometry). Teknik ini cepat dan akurat. Jumlah koloni sel yang tumbuh dengan tekntkkultw colony fo rmin g unit- g ranulocy te mac ropha ge (CFU-GM) dapat
DONOR Sumsum Tulang
Darah Tepi
Darah Tali Pusat
RESIPIEN
Transfusi sel PUnCa
/
.'\ Conditiong ) \--r' ---/
Gambar 2. Alur transplantasi sel punca darah
Sel
Punca
Volume cairan
1397
TRANSPLAI\TXASI SEL PUNCA/INDUK DARAH
juga digunakan untuk menentukanjumlah sel induk darah,
namun hasilnya lama (10-14
hari). Teknik ini
dapat
digunakan untuk menilai viabilitas sel induk darah. Teknik lain adalah dengan pewarnaan trypan blue. Di samping tes kuantitas dan viabilitas, harus dipastikan
tes mikrobiologi bahwa sel punca/induk darah yang dipanen tidak terinfeksi mikroorganisme aerob atau anaerob. Juga virus hepatitis B, hepatitis C, HIY virus sitomegalo, VDRL, dan malaria.
sebelum transplantasi, dan TBI pada hari minus
1.
Transplantasi dilakukan pada hari ke-0.
Tujuan c onditionin g adalah untuk mengosongkan sumsum tulang dari sel asal/induk darah resipien (mieloablasi), sehingga sel punca/induk darah yang ditransplantasikan dapat tumbuh. Dosis tinggi kemoterapi sitostatika yang diberikan bersifat mieloablasi, begitu pula
dengan dosis TBI. Conditioning juga dapat dilakukan tanpa mieloablasi.
Premedikasi sebelum transplantasi. Karena asal sel punca/induk darah disimpan pada suhu beku dengan KEGIATAN KRIOPRESERVASI DAN PENYIMPANAN
DMSO 107o, per).t tindakan pencegahan untuk
SEL PUNCMNDUK DARAH
mengurangi toksisitas akibat DMSO dengan pemberian antihistamin. Salah satu toksisitas DMSO adalah renjatan
Setelah menjalani pemrosesan sekunder, sel punca/induk darah harus disimpan dalam nitrogen cair (bersuhu 197"C) agar dapat tetap hidup dalam jangka waktu lama
akibat pelepasan histamine yang diinduksi DMSO.
berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun asalkan menjalani proses kriopreservasi dengan DMSO 107o. Namun sebelumnya suhu sel induk darah diturunkan bertahap sampai mencapai suhu -120'C, kemudian disimpan dalam nitrogen cair. Selain kantung sel punca./ induk darah yang telah dikonsentrasikan, ke dalam tangki nitrogen juga dimasukkan beberapa tabung kecil berisi sampel sel punca,/induk darah, untuk penilaian kualitas secara periodik atau pemeriksaan lainnya bila diperlukan. Selama penyimpanan, harus dilakukan pemantauan rutin kerja tanki dan pengisian periodik nitrogen cair selama konsentrat sel punca,/induk darah berada dalam tanki tersebut.
KEGIATAN PENCAIBAN KONSENTRAT SEL PU
NCMN
Toksisitas lainnya merupakan dampak langsung terhadap system kardiovaskuler, yaitu hipertensi, bradikardia, dan blok jantung. Efek samping lain transplantasi sel punca./ induk darah yang mengalami kriopreservasi adalah hematuria, nausea, muntah, dan diare. Hemoglobinuria dapat terjadi akibat lisisnya eritrosit setelah pencairan. Sesak
napas, kram perut, mual, muntah, dan diare dapat
disebabkan oleh histamin yang dilepaskan akibat DMSO. Premedikasi sebelum tindakan transplantasi mencakup
langkah-langkah sebagai berikut: . Hidrasi, agar dicapai jumlah urin 2,5 mVkg berat badan/
. . . .
Jam
Alkalinisasi urin, dengan menambahkan bikarbonat ke dalam cairan rehidrasi.
Antihistamin: difenhidramin atau yang ekuivalen Kortikosteroid : hidrokortison
Diuretik:manitol
DU K DABAH (THAWING)
Bila ingin digunakan, sel induk darah harus dicairkan
PASCA TRANSPLANTASI SEL PUNCA/INDUK
terlebih dahulu (thawing) sesuai prosedur baku.
DARAH Pasca transplantasi, pasien dirawat di kamar isolasi sampai
KEGIATAN TRANSPLANTASI SEL PU NCA/INDU K DARAH Pada BMT/PBSCT alogenik, sel punca./induk darah yang telah dicairkan kemudian diinfuskan kepada pasien. Pada
BMT/PBSCT autologus, sel punca/induk darah diinfuskan kembali kepada pasien itu sendiri. Transplantasi dilakukan satu hari pasca conditioning. Sebelum transplantasi, resipien perlu mendapat premedikasi untuk mencegah timbulnya reaksi toksisitas.
Conditioning. Conditioning mertpakan tindakan pemberian sitostatika dosis tinggi (high dose chemo-
keadaan neutropenia berat yang mengancam jiwa (<1000 seUmm3) teratasi dengan ditandai kembalinya granulosit ke nilai normal. Banyak hal yang harus diawasi dan
ditatalaksana pascatransplantasi, termasuk komplikasi yang mungkin terjadi.
KOMPL!KASI TRANSPLANTASI Pasca pemberian kemoterapi sitostatika dosis
tinggi, pasien
therapy) dengan/tanpa kombinasi iradiasi tubuh total (TBI). Sebagai contoh adalah pemberian siklofosfamida dosis
dapat mengalami komplikasi. Agar pemberian kemoterapi dosis tinggi dengan atau tanpa TBI pada resipien dapat berhasil baik, maka komplikasi baik yang bersifat akut, maupun yang timbulnya lambat, harus dicegah, dikurangi
tinggi dua hari berturut-turut, pada hari minus 6 dan
dan ditanggulangi secara cepat.
5
1398
HEMATOI.OGI
Komplikasi pada Tahap Conditioning Mukositis dan diare. Mukositis dan diare sering dijumpai dengan berbagai derajat dan akan berkurang setelah minggu kedua.
Oklusi vena hepatika. Dua bentuk histopatologik oklusi
meningkat sebesar 6 kali bila dibandingkan populasi normal. Keganasan sekunder yang sering ditemukan adalah limfoma non-Hodgkin, leukemia dan tumor padat.
Faktor risiko timbulnya keganasan sekunder adalah pemberian TBI dan GVHD yang diberikan antimosit globulin atau antibody monoclonal anti-CD3.
vena yang mungkin ditemukan mencakup vena occlusiye disease (VOD), yang melibatkan vena hepatika terminalis dan vena sublobular, serta nekrosis hepatosit perisentralis. Dari kedua bentuk tersebut VOD merupakan komplikasi fatal, dijumpai pada l5-30%o pasien, serla tingkat mortalitas 37o. Padaproses awal VOD didapatkan gambaran patologik perdarahan sentrilobular hati massif. Kerusakan vena digambarkan sebagai sempitnya lumen serta melebarnya
transplantasi, karena granulositopenia dini. Sebanyak 57o resipien dengan HLA identik, dan lebih banyak pada HLA non-identik akan mengalami infeksi bakterial dan jamur dua minggu pasca transplantasi. Jamur yang sering dijumpai dan acapkali sulit diobati adalah Aspergillus fumigates. yang menginvasi paru dan otak. Infeksi nosokomial akibat
Infeksi. Infeksi timbul terutama setelah tindakan
zona subendotelial, berisi serabut kolagen halus,
Aspergillus ditelusuri melalui sistem ventilasi yang
komponen sel, serla makrofag.
terkontaminasi, materi gedung terkontaminasi dan gedung
Nekrosis sel hati perisentral dapat menyebabkan emboli vena terminalis, karena tempat pori sinusoid
yang sedang direnovasi. Penggunaan HEPA (high
menembus endotel vena terminalis menjadi sempit dan
tersumbat sel hati yang terkelupas, sisa sel, fibrosis subendotel yang akhirnya menyebabkan obstruksi aliran darah, melibatkan vena hepatika terminalis dan vena
sublobular, serta nekrosis hepatosit perisentralis. Manifestasi klinisnya berupa hepatomegali, asites, ikterus, nyeri abdominal, dan ensefalopati.
Komplikasi Setelah Transplantasi VOD. Walaupun sering dijumpai pada fase conditioning, VOD dapat juga terjadi setelah tindakan transplantasi (akibat dipicu oleh obat imunosupresif, terutama
siklosporin). Diagnosis VOD biasanya ditegakkan dari gambaran klinis dalam 3 minggu pascatransplantasi. Pada beberapa kasus dijumpai peningkatan kadar transaminase
serum dan alkali fosfatase, sedangkan pemeriksaan koagulasi menunjukkan nilai normal. Hal yang perlu diingat, adalah bahwa gambaran kTinis graft versus host disease (GVHD) akut dapat menyerupai VOD lanjut, sehingga untuk membedakannya diperlukan pemeriksaan histopatologi.
Pneumonia interstititialis kronis. Faktor risiko terj adinya pneumonia interstititalis idiopatik terutama dipengaruhi oleh usia, penggunaanmetoffeksat untuk mencegah GVHD, beratnya GVHD, tingkat kemampuan berperan pasien sebelum transplantasi, interval waktu sejak diagnosis sampai transplantasi, serta tingginya dosis radiasi pasien yang mendapat metotreksat setelah transplantasi.
fficiency parTiculate air) akan menurunkan kejadianinfeksi Aspergillus. Penggunaan antibiotika, tertama terhadap gram positif, akan menimbulkan resistensi , terutama Staphylococcus epidermidis yang multiresisten. Infeksi berat yang muncul 3-4 bulan pascatransplantasi disebabkan oleh virus. Yang sering adalah virus sitomegalo (CMV). Umumnya infeksi ini asimptomatik dan hanya muncul apabila didapatkan
peningkatan antibodi atau ekskresi virus di urin. Penatalaksanaan infeksi CMV berupa pemberian gansiklovir (15 hari sebelum sampai 30 hari sesudah transplantasi), dikombinasikan dengan immunoglobulin
dosis
tinggi. Dosis profilaktik immunoglobulin
yang
dianjurkan adalah 500 mg/kgBB setiap minggu selama 3 bulan, kemudian setiap bulan selama satu tahun. Tujuan pengobatan ini menurunkan insidens GVHD, yang dihubungkan dengan pneumonia interstititalis pada pasien seropositif. Tujuan lainnya adalah menurunkan risiko septikemia gram negatif
.
PBSCT Dibandingkan dengan BMT Penggunaan PBSCT telah meningkat dalam beberapa tahun
terakhir sebagai alternatif BMT konvensional. Dalam berbagai aspek transplantasi sel punca/induk darah, PBSCT sama dengan BMT. Perbedaannya antara lain adalah:
.
Leukoensefalopati. Leukoensefalopati biasanya ditemukan pada anak yang mendapat radiasi kepala. Pada pasien ini, juga ditemukan hambatan pertumbuhan dan organ seksual.
PBSCT lebih praktis dari BMT. Panen/pengumpulan sel punca atau sel induk darah donor (pada transplantasi alogenik) atau pasien sendiri (pada transplantasi autologus) pada PBSCT dengan mesin aferesis tidak perlu pembiusan umum dan dilakukan di kamar biasa. Sebaliknya BMT dilakukan di kamar bedah
80To pasien yang
.
mendapat TBI dosis tunggal, tetapi dijumpaiprlapadalSVo kasus dengan TBI terbagi.
.
steril dalam anestesi umum. Batas usia pasien yang diperbolehkan menjalani PBSCT lebih tua dibandingkan pada BMT. Pemulihan granulosit, trombosit, dan retikulosit setelah
.
PBSCT tampak lebih cepat dibandingkan dengan BMT. Biaya PBSCT, walaupun pada periode pratransplantasi,
Katarak. Katarak ditemukan pada
Keganasan sekunder. Pada percobaan anjing yang mendapat radiasi chimera, munculnya keganasan sekunder
r399
TRANSPLANTASI SEL PUNCA/INDUK DARAH
.
lebih tinggi daripada BMT, namun biaya total
embrionik berasal dari lapisan yang berbeda disebut
keseluruhan lebih murah. PBSCT lebih sering menyebabkan GVHD diakibatkan lebih tingginya load sel T. Oleh karena itu BMT lebih baik dari PBSCTjika dilakukan padakelainan non-kanker,
transdiferensiasi, misalnya dari sel punca darah menjadi
seperti hemoglobinopati, dimana engraftment yarlg cepat dan reaksi grafi versus tumor (GVT) tidaklah terlalu penting.
sel epitel usus (mesoderm ke endoderrn).
Dengan teknik-teknik aplikasi tertentu, sel-sel punca dari sumsum tulang telah diujicobakan untuk mengobati infark miokardial, penyakit jantung iskemik, osteogenesis
imperfekta, penyakit ginjal glomerular, penyakit neurodegenerative dan stroke. Mekanisme yang berada di balikpembentukan jaringan organ padat ini masih belum
UCBT Dibandingkan PBSCT dan BMT Saat ini translantasi darah tali pusat dan plasenta telah menjadi pilihan utama untuk pasien anak-anak, serta menjadi pilihan untuk orang dewasa yang kesulitan mendapatkan donor yang cocok.
Keunggulan jenis tranplantasi ini
adalah
memungkinkan untuk dilakukan dengan donor yang HLAnya tidak benar-benar cocok dengan resipien. Kecocokan 3-4 dari 6 antigen HLA-A, HLA-B dan HLA-DRBI sudah
cukup untuk transplantasi. Transplantasi ini juga lebih sedikit menyebabkan GVHD dibandingkan pada PBSCT atau BMT walaupun dengan ketidakcocokan HLA yang serupa. Hal ini sangat menggembirakan karena membuka kemungkinan lebih besar bagi pasien untuk mendapatkan donor, karena sekitar 7O7o pasien yang membutuhkan transplantasi sel punca./induk hematopoietik tidak dapat menemukan donor yang cocok di keluarganya. Keunggulan lain adalah kemungkinan risiko penularan penyakit yang ditularkan melalui darah menjadi lebih rendah. Kelemahannya adalah, terbatasnya volume yang dapat, oleh karena itu sel punca yang diambil dari tali pusat dan
plasenta biasanya hanya adekuat untuk anak-anak atau dewasa muda. Untuk meningkatkan jumlah sel sehingga memperbaiki engraftment dan rekonstitusi imun, dapat dilakukan transplantasi darah tali pusat sekuensial, dimana
dilakukan transplantasi kedua setelah transplantasi pertama.
TRANSPLANTASI SEL PUNCA DARAH UNTUK PENYAKIT NON.H EMATOLOGI K Studi-studi terbaru menunjukkan bahwa sel punca dewasa yang diambil dari sumsum tulang atau darah tepi dapat berdiferensiasi menjadi sel yang sama sekali berbeda dari sel-sel darah, yaitu menjadi sel-sel jaringan organ padat.
Kemampuan
ini
disebut plastisitas perkembangan
(developmetal plasticity). Namun, ada pula yang literatur
yang membedakan lagi istilah plastisitas
dan
transdiferesiasi. Proses perubahan dari sel punca darah menjadi sel non-darah tetap masih berasal dari satu lapisan embrionik yang sama yaitu mesoderm (lihat gambar 1), misalnya menjadi sel otot, disebut plastisitas Sementara, proses perubahan sel punca darah menjadi sel yang secara
jelas, namun riset-riset masih terus berlangsung untuk mencari strategi terapi yang potensial bermanfaat.
REFERENSI Alenzi FQ, Alenazi BQ, Ahmad SY, Salem ML, Al-Jabri AA, Wyse RK. The haemopoietic stem cell: between apoptosis and self renewal. Yale J Biol Med. 2009. 82(1):7-18. Areman E, Deeg HJ, Sacher RA. Bone marrow and stem cell processing: A manual of current techniques. Philadelphia: FA Davis Compan i;1992.
W Aversa F, Bandini G De Vincetiis A, Falda M, Lanata L, et al. Clinical use of allogeneic hematopoietic stem cells from sources other than bone marrow. Haematologica. 1998;83:159-82.
Arcese
Ballen KK. New trend in umbilical cord transplantation. 2005. 105:
3186-92 Hematopoietic Stem-Cell Transplantation. N EngI J 1 81 3-26. Cooper DL Peripheral blood stem cell transplantation. In: De Vita VT, Hellman S, Rosenberg SA, editors. Cancer: principles and practice of oncology, 4th edition. Philadetphia: JB Lippincott Copelan
EA
Med. 2006;354:
Company 1994.
JH Peripheral blood stem cell for allogeneic transplantation: a review. Stem Ce1ls. 2001;19:108-17. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Medis Sel Punca di Cutler C, Antin
Indonesia, Jakarta, 2008. Giles B. Protocols of bone marrow transplantation and peripheral blood stem cell transplantation in hematological malignancies and solid tumors. Division of Hematology-Oncology. CedarSinai Medical Center, Los Angeles, 1994 Hartmann O, Blaise D, Michon J, et al. Results of multicentric randomized clinical trial comparing peripheral blood stem cells (PBSC) and bone marrow (BM) graft in autologus transplantation. Federation Nationale des Centres de Lutfe contre le Cancer, France CONFER Information System Herzog EL, Chai L, Krause DS. Plasticity of marrow-derived stem cells. Bood 2003; 1O2 (10):3483-93. Kessinger A, McMann.is JD. Practical consideration of apheresis i peripheral blood stem cell transplantation. 1st edition. Lakewood. Colorad o: Cobe BCTI 1994. Kilrbling M, Anderlini P. Peripheral blood stem cell versus bone marrow allotransplantation: does the source
Z Adult stem cells for tissue repair- an new theurapeutic concept? N Engl J Med. 2003; 349(6):5'70-82 Rovo A, Gratwhol A. Plasticity after allogeneic hematopoietic stem cell transplantation Biol. Chem. 2008. 389:825-36. Shaefer UW, Beele DW. Bone marow transplantation 2nd edition. Kiirbling M, Estrov
Freiburg: Karger GmbH; 1996.
1400
Stadtmauer EA, Schneider CJ, Silberstein
HEN'AiIOI.OGI
L.
Peripheral blood pro-
genitor cell generatio and harvesting. Semin Oncol. 1995;22:291-3O0.
Treleaven J, Wiernick P. Color atlas and text of bone marrow transplantation. London: Mosby-Wolfe;1995. Uyl-de Groot CA, Richel DJ, Rutten FFH. Peripheral blood progenitor cell transplantation mobilised by r-metHuG-GSF (Filgastrim): a less costly altemative to autologus bone marrow transplantation. Eur J Cancer. 1994;30A(11):1631-5. Weaver CH, Hazelton B, Bitch R, et al. An analysis of engraftment kinetics as a function of CD34 content of peripheral blood progenitor cell collection in 692 patients after the administration of myeloablative chemotherapy. BIood 1995;88(10):3961-9. Wiinder EW, Heno PR (Eds). Peripheral blood stem cell autografts. Berlin: Springer-Verlag; 1 993.
222 SEL PUNCA (STEM CELL) DAN POTENSI KLINISNYA Cosphiadilrawan
dewasa, khususnya sel punca hematopoetik
PENDAHULUAN
("hematopoetic stem celllHSC") pada penyakit jantung, maupun sel punca jaringan fetus (seperti:. darah/qpitelial plasenta, cairan amnion, Wharton's Jelly). Perkembangan lain, adalah dimulainya kemampuan teknologi untuk memproduksi berbagai organ tubuh ("tissue engineering" dan scaffold), yang pada gilirannya merupakan jawaban atas berbagai penyakit degenerasi seperti diabetes, jantung
Diminggu ketiga Januari 2009 pemerintah federal Amerika
Serikat melalui lembaga FDA (Food Drug and Administration) teTah memberikan izin "pilot project" penerapan terapi sel punca embrional pada sepuluh pasien
kasus trauma tulang belakang (spinal cord injury) yang menyebabkan kelumpuhan. Hal ini merupakal sej arah baru bagi perkembangan sel terapi menggunakan sel punca di negara paman Sam tersebut, yang selama ini diketahui sangat ketat melarang penggunaan dana federal untuk
koroner, "stroke", penyakit Parkinson's dan banyak kerusakan organ lainnya. Sejarah peran sel punca pada keganasan darah telah dicatat keberhasilannnya sejak lebih dari tiga puluh tahun terakhir, akan dibahas dalam bab yang lain. Pembahasan berikut secara singkat akan
penelitian terapi menggunakan sel punca. Menilik perkembangan dan antusiasme yang begitu tinggi meliputi terapi sel punca, sebenarnya diawali dengan dua hal yaitu: l.Keberhasilan Ian Wilmut, Keith Campbell dan teamnya pada tahun 1997 mengkloning "Dolly" 2. Keberhasilan laboratorium James Thomson pada tahun 1998 melakukan
lebih tertuju pada peran sel terapi pada penyakit degeneratif. Selanjutnya akan dikaji: definisi sel punca; faktor dan kemampuan yang mempertahankan potensi biologinya: termasuk pembahasan: a. Niches ( lingkungan mikro sel punca) b. Sinyal intra selular sel punca c. Mekanisme migrasi dan "homing". Serta beberapa
patok baku processing sel punca embrional, dan bukti kemampuan sel punca embrional dapat berkembang menjadi berb4gai progenitor sel menjanjikan pengobatan bagi berbagai penyakit degeneratif di masa mendatang. Keberadaan sel punca sendiri dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu sel punca embrional dan sel punca dewasa ("adult stem cell"/ASC ) termasuk didalamnya sel
contoh perkembangan terapi sel punca, khususnya dibidang penyakit dalam saat ini. Perdefinisi sel punca adalah sel yang mempunyai tiga kemampuan dan sifat dasar,yaitu: 1. Kemampuan untuk memperbaharui dirinya sendiri ("self renewal") melalui pembelahan diri yang simetris dan sekaligus asimetris (-menjadi progenitor sel yang berbeda-) 2. Sel yang yang pada tingkat awal perkembangannya, tak memiliki fungsi khusus ("unspecialiazed") 3. Mampu menjadi progenitor
punca jaringan fetus; dimana mereka memperlihatkan beberapa karakteristik daa fungsi yang sama. Dibedakan
terutama dari segi kemampuannya untuk bertransdiferensiasi (plasitisitasnya) menjadi progenitor sel yang berbeda. Sejak itulah berkembang harapan sel punca
dari berbagai jenis sel didalam tubth ("plasticityl
embrional yang memiliki kemampuan memperbaharui diri
transdifrensiasi"), dimana diperkirakan ada 200 an jenis
(renewal) dan sifat plastisitasnya untuk bertrans difrensiasi menjadi sel jenis manapun ditubuh manusia
sel ditubuh manusia. Berdasarkan kemampuannya menjadi berbagai tipe sel tersebut, sel punca dapat dibagi menjadi beberapa tingkat kemampuan, yaitu bersifat totipoten, yairu
dapat memperbaiki kerusakan jaringan dan fungsi organ tubuh; hal ini diikuti perkembangan pesat terapi sel punca
sel punca yang mampu menjadi progenitor dari ketiga
r40
t402
HEMAIIOI.OGI
etik dan sosial yang luas dampaknya, sedangkan yang paling banyak dikembangkan sebagai sumber terapi sel adalah
lapisan primer germinal: ektoderm, mesoderm dan endodetm; dalam hal ini adalah hasil konsepsi dalamp/zase zygote (haike 2 konsepsi). Pluripoten kemampunnya lebih
HSC CD34(+) dan "mesenchyimal stem cell"/MSC (sel punca mesenkimal).
terbatas untuk menjadi jenis lapisan germinal tertentu, misalnya: mesoderm; yang menjadi sel hematopoetik, osteogenik, chondrogenik dan jaringan adipose (lemak) dan unipoten, yaitu sel punca yang hanya mampu menjadi satu
POTENSIBIOLOGI
jenis progenitor sel, misal sel punca hematopoeitik Diawali penelitian exvivo Asahara pada tahun 1997 yang memperlihatkan CD34(+) mumi, mampu berdiferensiasi menjadi sel dengan phenotip endotel (positip penanda endotel - EPC) dan membentuk pembuluh darah baru didaerah iskemik, merupakan bukti bahwa HSC mampu bertransdifrensiasi menjadi selain sel hematopoetik. Setahun kemudian 1998 Raffi et al serta Shi et al, memperlihatkan invivo adanya "circulatory endothelial
eritroblast, yang menjadi eritrosit atau megakaryoblast yang menjadi trombosit (lihat gambar 1). Sel punca sendiri dapat berasal dari berbagai sumber: 1. Sel punca embrional (SPE), berasal dari blastosis (hari ke 5 fefiilisasi) 2. Genninal embrional (melalui aborsi elektif kehamilan 5 - 9 minggu) 3.
Sel punca epitelial/darah
plasenta/jaringan
fetus (misal: "cord blood SC/CBC") 4. Sel punca dewasa (misal: HSC dari sumsum tulang atau darah tepi, sel punca adipose/jaringan lemak) 5. Sel punca somatik ("somatic stem
progenitor cell'7CEPC yang merupakan EPC yang berasal dari SSTL; disamping adanya diferensiasi CD34(+) HSC menjadi sel dengan penanda EPC seperti vWF/Von Willebrand's Factor (+) dan Dil-acetylated ( DIL ). Diketahui EPC/CEPC juga mengekspresikan VEGF reseptor KDR dan
cell"/SSC: diisolasi dari jaringan organ tertentu) 6. "Somatic Cell Nuclear Transfer"/ SCNT: sel punca yang
diperoleh dari sel somatik yang inti selnya ditransfer ke Oocyte donor yang telah dienukleasi, yang melalui proses "genetic-epigenetic rearangement" akan memiliki kapasitas
CD34 (+). Pada tahun 2001 Kamihata , dalam penelitiannya
seperti ESC. 7. iPS (Induced Pluripotent Stem Cell), dengan melakukan inisiasi (reprogramming) embrional sel somatik
menunjukkan BMMNC ("bone monow mononuclear
manusia dengan memasukkan (transduksi) gen yang berperan penting dalam proses embrional melalui perantara
factor), yang akan meningkatkan kadar angiopoeitin dan pada gilirannya bersifat merangsang lokal angiogenesis.
"lentiviral", seperti (OCT4, SOX2, NANOG dan LIN28)
Juga pada tahun yang sama beberapa peneliti dari berbagai
sehingga mempunyai kemampuan seperti sel embrional. Sel punca embrional dibanyak negara menimbulkankan masalah
pusat penelitian seperti masing masing Jackson; Kocher;
cell") melepaskan VEGF, bFGF (baslclbroblast growth
Orlicl dan Toma, beserta teman pada tahun
Karakteristik Sel Embrional Ara : Ddapat dar
sefrenewal: dlrinya sendti
ata! per
embryo preimplatasr
imp antasi
Sel dapat membagi dr, meniadi !nt!k wakiu yang lama tanpa
P uripoten: sel embrional dapai menjadi se apapun dari ketga apisan germ na, bahkan sete ah tumbuh di media ku trr unt!kwaktu lama
T qa aptsan germinal dengan ma!lnq masinq contoh perkembanqan se.ya
menlzd:ku i g
g
mata te inga hrdu.g mu !tdan se p gmen
Mesoderm menjadi:otot, pembuluh darah,jarikat dan iantung
Endoderm menjadi usus, pancreas lambuns,hati, paru, kanduns kemlh dan sel lellr / sperma
Gambar 1. Perkembangan sel punca embrional pluripoten: "Self renewal and Plasticity" (Dikutip dari: Regenerative Medicine, 2006)
2002;
t403
SEL PUNCA (STEM CELL) DAI\ POTENSI KLINISNYA
memperlihatkan bahwa sel punca sumsum lulang ("bone " pada otot jantung dan sebagian mengekspresikan penanda "cardiac dan / atau endothelial protein", yang dapat berarti terjadi diferensiasi menjadi "cardiac lineage" dan berperan dalam regenerasi otot jantung yang degeneratif. mar r ow
s te
m cell"/B MS C) mampu
" en g r aftmen
ekspresi B-cathenin oleh HSC, atau sinyal Wnt oleh lingkungan mikro; diketahui meregulasi kapasitas "renewal". Pemberian Shh ( Sonic hedgehog
)
in vivo yang
berfungsi "upstream" terhadap BMP-4 (Bone Morphogenic Protein 4); merangsang proliferasi HSC. BMP4 sendiri berfungsi penghambatan terhadap Shh. Selanjutnya mobilisasi HSC kedarah juga diperantarai komponen endotelial yang berlokasi di perisit pembuluh darah sinusoidal di sumsum tulang. Ini memperlihatkan salah satu contoh niche hematopoesis.
,I ,l
Mekanisme diatas dan kemungkinan yang terbuka luas
untuk merangsang diferensiasi spesisfik sel punca sesuai dengan faktor pertumbuhan yang diberikan ataupun lingkungan mikro tertentu , akan semakin membuka potensi sel punca bagi mengatasi berbagai penyakit degeneratif
1l
grolvth
LrF
,I #
wnt
IACIOG
BMP4 I I
+ Smad
I
Gambar 2. Tampak HSC menempati posisi berdampingan dengan osteoblas dan sinusoid pembuluh darah dan dikelilingi sel stroma yang berasal dari MSC di sumsum tulang. (Dikutip dari: Yin T, Li L The Stem cell niches in bone. J Clin lnvest; 116:2006)
GSK3E
t
a. Niches (lingkungan mikro) Kemampuan tersebut dipertahankan melalui suatu kondisi
P-€tenin
dan mekanisme kompleks serta tertata secara cermat
didalam "lingkungan mikro" atau niches; dimana perkembangan sel punca pluripoten yang untuk tetap mempertahankan sifat asal (renewal) atau menjadi progenitor yarrg "commited" dan yang akhirnya berdiferensiasi akhir menjadi sel tipe tertentu, dipertahankan melalui proses pembelahan yang simetrik,
I I
+ self reneffil
Gambar 3. Terlihat skema sinyal intraselular yang memperlihatkan pengaturan "self renewal" oleh LlF(leukemia inhibitory factor),Wnt
dan BMP4; serta rangsangan diferensiasi oleh faktor pertumbuhan.
yang menghasilkan sel turunan yang identik dengan sel asal dan tetap berada diniche dan asimetrik, yang menghasilkan sel turunan yang merupakan progenitor
b. Homing (migrasi sel punca)
dibawahnya dan akan meninggalkan niches untuk berdiferensiasi menjadi berbagai jahr ("lineages");
Homing adalah proses bertahap yang membutuhkan molekul adesif, sitokin dan kemokin serta protease
merupakan hasil interaksi sel punca dengan niches yang juga diregulasi oleh spesifik" growthfacrors", sitokin dan
degradasi matriks ekstraselular .Mobilisasi sel punca atau "endothelial progenitor cell"/EPC di dan ke sumsum tulang, jaringan iskemia atau jaringan tumor ganas diketahui mirip proses ekstravasasi lekosit/limfosit; atau
hormon tertentu, maupun sinyal intraselular yang mempertahankan status "renewal" dan sinyal yang menginduksi diferensiasi, yang akhirnya menghasilkan homeostasis jaringan. Ketidak seimbangan proses ini,
migrasi transendotelial sel tumor pada saat terjadinya
seperti misalnya pembelahan simetris yang dominan akan menghasilkan penumpukkan sel punca seperti halnya pada proses tumorigenesis; dilain sisi pembelahan asimetri yang
merupakan molekul kecil peptide yang menginisiasi migrasi
dominan menghasilkan penurunan populasi sel punca, yang akhirnya akan menyebabkan proses regenerasi organ menurun karena proses apoptosis. Penelitian invivo Genevieve D tentang perkembangan HSC di sumsum tulang memperlihatkan peran osteoblas melalui ekspresi osteopontin meregulasi proliferasi dan ukuran niche,
diseminasi hematogenous metastase. Kemokine dari sel efektor. Diantaranya adalah SDF-1a (stromal
factor-la) yang terikat dengan CXCR4 reseptor (CD184) merupakan kemotaksis yang penting baik untuk progenitor, sel darah merah matang dan terlibat pada derived
lymphopoesis-B, juga myelopoesis (Corrinna W). Interaksi SDF-1a dengan CXCR4 akan merangsang migrasi lymphosit, HSC dan juga sel tumor. Khusus HSC interaksi tersebut mengatur retensi, migrasi dan mobilisasi nya di
1404
sumsum tulang pada heomeostasis dan juga perlukaan jaringan. Secara singkat dapat dikatakan mobilisasi sel
HEMIIiIOIOGI
follow up jangka pendek; Penurunan volume LVES
dan
diikuti desensitisasi axis SDF-laiCXCR4. Sebaliknya
LVED ; ukuran infark atau pergerakan dindingjantungjuga lebih baik pada kelompok sel punca. Terdapat korelasi positip antara dosis sel punca dan perbaiklan LVEF yang diukur dengan MRI. Santoso dan grup, sampai May 2009
"up-regulation" adesif molekul sel dan aktifasi SDF-1a/ CXCR4 diperlukan untuk "homing"nya sel punca.
telah melakukan penyuntikkan intrakoroner PBSC pada 20 pasien IMA dan tiga pasien "pilot project" penyuntikkan
punca memperlihatkan karakteristik hilangnya kontak antar sel dan "down regulation" serta degradasi molekul adhesif
PENERAPAN KLINIS Diluar penyakit keganasan darah dimana transplatasi HSC
telah dipergunakan lebih dari 30 tahun dan terbukti meningkatkan angka kesembuhan dan harapan hidup; sel terapi pada penyakit degeneratif sendiri telah diterapkan
menggunakan beberapa sumber sel punca yang di harap kan mamp u b e rke mb an g me nj adi p r o g e nit o r/ repopulasi dari sel jaringan yang rusak, namun pada saat yang sama tak mampu berkembang menjadi teratoma. Beberapa penyakit yang mungkin mendapat keuntungan dari sel terapi adalah: penyakitjantung: infark akut dan kronik, penyakit pembuluh darah perifer (PAD), diabetes, kelainan ginjal, penyakit autoimmune, penyakit liver akut dan kronik, penyakit muskulo-skeletal dan penyakit degeneratif lainnya. Beberapa sudah dalam tahap uji klinik fase 2, dan sebagian lainnya masih dalam tahap penelitian preklinik pada hewan.
1. Infark miokard akut (IMA) dan ischemic cardiomyopathy (lCM). Peran sel punca baik pada "recent"I\[A(< 14 hari ) dengan penluntikkan infrakoroner BMMNC (delapan penelitian) dan PBSC (dua penelitian) total 698 pasien, median "follow up" enambulan, telah di rneta-analisa oleh Lipinsky et al. Didapatkan hasil perbedaan secara statistik bermakna serta menguntungkan
pada kelompok yang mendapat sel punca, meliputi: peningkatan bermakna LVEF sebesar 3Eoi perlgecllan ukuran infark , (-) 5,6Eo ; penurunan volume akhir sistolik: 0 1,4 mL Volume akhir diastolik meskipun tak bermakna
intrakardial BMMNC pasienPlK"no option" terapi. Tidak didapati efek samping dan komplikasi peri-pasca tindakan, sampai follow up 3 - 9 bulan. Dan ditemui perbaikan fungsi jantung dan pengecilan jaringan infark yang moderate.
2. PAD ("peripheral arteriql disease"): Beberapa penelitian menetapkan pasien yang sesuai dengan untuk implantasi sel punca baik BMMNC maupun PBSC adalah pasien dengan "chronic critical limb ischemia" (CLI), termasuk nyeri pada istirahat, ulkus yang tak menyembuh, bukan kandidat operasi ataupun operasi neovaskularisasi,
ABI < 0,6 dan tetap progresif
setelah menjalani semua terapi
baku secara optimal. Hiroaki M, pada total n= 45 pasien melakukan uji klinik random, buta ganda, dimana sebagian pasien mendapat suntikan IM BMMNC : berkisar 0,7 - 2,8 x 10e9 ( rata rata 1,6 x 10e9 sel : SD 0,6 ); termasuk CD34(+) dengankisaran 0,84-9,6x1.0e7 (ratarala3,1 x70el sel: SD 1,8 ); dan sebagai konffol mendapat PBMNC. Pada nringgu ke empat didapati peningkatan ABI pada kedua kelompok,
ABI meningkat 0,1 dibanding 0,02 pada PBMNC ( p< 0,0001 ). Observasi sampai 24 minggu pasca injeksi tetap terjadi perbaikan satus
namun pasien dengan BMMNC
iskemik (ABI, konsentrasi 02 jaingan, skala nyeri istirahat, bebas nyeri pada waktu berjalan dan perbaikan ulkus). Terjadi perbaikan angiografi pada60Vo pasien dimanapada kelompok BMMNC didapati rasio kapiler/serat otot sebesar
2,3 dibanding PBMNC 0,74. Hasil yang mirip juga diperlihatkan pada laporan kasus IshidaA et al pada enam kasus PAD berat (5 pasien thromboangitis obliterans,
1
pasien arteriosklerosis obliterans) dengan suntikan mobilisasi PBMNC pada hari I dan2; dan Huang B et al pada 28 kasus diabetes dengan CLI melalui uji klinik acak
menunjukkan kecenderungan menurun: (-) 4,6 ml. LatifAA, et al melakukan kajian sistimatik dan meta-analisa yang meliputi delapan belas penelitian dengan total 999 pasien meliputi sepuluh penelitian MA, enam penelitian ICM dan dua penelitian campuran IMA /ICM. Jenis sel punca yang dipergunakan meliputi sel punca dewasa meliputi BMMNC,
dengan mobilisasi PBMNC dan kontrol dengan suntikan hari 1 danke-14
BM-MSC dan BM-CPC (circulating progenitor cell).
M
Didapati perbedaan bermakna yang menguntung kelompok sel punca yang meliputi: perbaikan 3,667o LYEF, pengecilan ukuran infark sebesar (-) 5,49Vo dan penurunan LVES volume sebesar (-) 4,8 ml. Martin Rendon, et al meliputi
ekspresi danJatau aktifitas dari berbagai hormon, factor pertumbuhan (GF) sitokin dan kemokin (androgen,
tiga belas penelitian acak total 811 pasien.Hasilnya memperlihatkan sel terapi tak berhubungan dengan
3. Penyakit keganasan: Progenitor sel kanker ,yang mengekspresikan penanda sel punca dan mampu "self renewal" telah dapat diisolasi dari pasienAML, melanoma, keganasan otak, payudara, ovarium dan prostat (Mimeault
et a1). Didasari berbagai penelitian sebelumnya yang memperlihatkan sel punca kanker memperlihakan aberansi
estrogen, EGF dan TGF-a/EGFR, IGF/IGFR, SHIVSMO,. WnUB-catenin, Notch, TGF-B dan SDF-Ia/CXCR4 dan elemen sinyal tumoregenik (telomerase, PI3I?Akt, NF-kB
peningkatan efek samping yang tak diinginkan, meskipun
dan Myc-1); yang mungkin berperan terhadap
belum cukup data untuk mengambil kesimpulan definitif. Diperlihatkan pula peningkatan LVEF yang ajeg pada
pertumbuhan yang terus menerus, survival sel puncqkanker dan juga transforrnasi keganasan pada waktu inisiasi dan
1405
SEL PUNCA (STEM CELL) DAN POTENSI KLINISNYA
progresifitas sel ganas; maka berkembang penelitian terapi target molekular yang mampu menghambat kaskade sinyal spesifik seperti inhibitor EGFR, Hedgehog, Wnt/B-catenin dan Notch, atau dengan terapi kombinasi yang akan memberikan hasil yang lebih efektif.
Penyakit liyer kronik/sirosis: Laporan pendahuluan dua uji klinik non acak, Gordon et al dan Terai et al, dengan 4.
penggunaan PBSC dari hasil mobilisasi G-CSF berturut turut memperlihatkan: 3 - 4 dari 5 pasien sirosis yang mendapat
suntikkan intra hepatik dan infus perifer BMMNC,
memperlihatkan perbaikkan fungsi hati dengan menurunnya bilirubin, meningkatnya albumin dan berkurangnya asites. Sedangkan melaporkan dari 9 pasien yang diteliti, terjadi perbaikan fungsi hati dan perbaikan Child Pough pada semua pasien yang diteliti dan penurunan asites pada 6 pasien. 5. Pengembangan sel terapi padapasien diabetes tipe 1 dan 2, penyakit auto-immune danjugapenyakit ginjal masih dalam fase awal penelitian preklinik dengan hasil yang menjanjikan dan dapat menjadi terapi alternatif dimasa mendatang.
KESIMPULAN
1.
Sel punca, khususnya HSC selama lebih dari 30 tahun telah berperan dalam pengobatan keganasan darah, adalah sel yang memiliki kemampuan "self renewal ",
belum mempunyai fungsi yang khusus ( unspecialized) dan mampu menjadi progenitor berbagai sel organ
ditubuh kita (plastisitas/transdiferensiasi), dapat berperan mengatasi berbagai penyakit degeneratif
2. 3.
4. 5.
Berdasarkan kemampuannya bertransdiferensiasi/ plastisitas dikenal sel punca totipoten, pluripoten dan unrpoten Secara umum sel punca dapat berasal dari sel punca embrionaVgerminal embrional; dan sel punca dewasa termasuk didalamnya sel punca dari amnion-epitelial/ j aringan fetus/darah plasenta.
Dikenal teknik SCNT dan iPS, yang menjadikan sel somatik kembali mampu menjadi seperti halnya sel embrional Dibidang penyakit dalam, manfaat sel terapi (- dan yang paling banyak diteliti adalah pada penyakit jantung IMA dan PJK -) dalam bentuk pemberian sel punca secara
intrakoroner ataupun intrakardial memberikan
6.
perbedaan bermakna: peningkatan LVEfl penurunan ESV dan ukuran infark dibanding kelompok kontrol. Sedangkan perbaikan iskemik j aringan juga dilaporkan penelitian pendahuluan pada PAD Sampai saat ini pengunaan sel terapi pada berbagai
penyakit degeratif meskipun pada banyak pusat penelitian memberikan hasil positip, masih dalam tahap penelitian.
REFERENSI Ho AD, Wagner W. Clinical potential of stem cells: hype or hope? In: Ho AD, Hoffman, Zarjani ED, eds. Stem Cell Transplantation. Biology, prossesing, and therapy. Weinheim: WILEYVCH Veerlag Gmbh & Co.KgaA; 2006. p.3 - 20 Mimeault M, Batra SK. Concise review: recent advances on the significance of stem cel1 in tissue regeneration and cancer therapies. STEM CELLS. 2006;24:2319-45. Cosphiadi Irawan. Terapi sel punca ("Stem Cell/SC") di bidang penyakit dalam. PIT PAPDI ke III, Semarang, 2009. Regenerative Medicine 2006.pdf Teresse Window. Huangsu D, Osafune K,Machr R, Goo W, Eijkelenboom A, Chen Induction of pluripotent stem cell from primary human fibroblast witb only Oct 4 and Sox2. Nature. 2008;22:1269-71. Rasokat UF, Dimmeler Stefanie. Endothelial Progenitor Cells for Cardiac Regeneration. In: Ho AD,Hoffmaq Zanjani ED, eds Stem cell transplantation. Biology, prossesing, and therapy Weinheim:WILEYVCH Veerlag Gmbh & Co.KgaA; 2006. p. 119-
92.
G Tan J, Periasamy P, O'Nei1l HC. The role of stroma in hematopoesis. Current stem cell research & therapy. 2001l,2:23.
Despars
Yin T, Li L. The stem cell niche in bone. J Clin.
Invest. 2006;1 16:1 195-201. Weidt C, Niggeman B, Kasenda B, Drell TL, Zanker KS, Dittmar T. Stem cell migration: a quintessential stepping stone to succesfull therapy. Current stem cell research & therapy. 20011'2:89-103.
Lipinsky MJ, Biondi-Zoccai GGL, Abbate A, et al. Impact of intracoronary cel1 therapy on left ventricular function in the setting of acute myocardial infarction. J Am Coll Cardiol. 2001 ;50:11 67-1
Abdel Latif A, Bolli R, Tleyjeh IM, et al. Adult bone manow derived cells for cardiac repair a systematic review and meta-analysis.
Arch Intern Med. 2007'.767:989-91
.
Martin RE, Braunskill S, Dorcee S, et al. Stem cel1 treatment for acute myocard infarction. (Review). The Cochrane Collaboration,
WileyJ&Smith.2008. I, Alwi I, Auda A, Kosasih A, Ardian, et
Santoso T, Cosphiadi
al.
Safety and efficacy of combined G-CSF and EPO based-stem cell therapy using intracoronary infusion of autologous PBSC in patients recent myocardial infarction: phase II study (unpublished data) 2009. Matsubara H. Therapeutic angiogenesis for cardiac and peripheral vascular diseases by autologous bone marrow cell transplantation. In: Kipshidze, Senuys PW, eds. Hand Book of Cardiovascular cell transplantation, London: Martin Dunitz, Taylor & Francis Group. 2004:.27 5-85. Ishida A, Ohya lSakuda H, et al. Autologous PBMNC impiantation
for patients with PAD improves limb ischemia. Circ
J.
2005:69:1260-5 Huang P, Li S, Han M, et al. Autologous fansplantation of G-CSF mobilized PBMNC improves critical limb lschemia in diabetes. Diabetes Care 2005;28:2155-60.
Lorenzin S, Andreone P. Stem cell therapy for human liver cirrhosis: a cautious analysis of the results. Stem cell 2001:,25:2383-4. Terai S, Tashikawa T, Omari K, et al. Improved llver function in patients with liver cirrhosis after autologous BM cell infusion therapy. Stem Cells. 2006;24:2292-8.