239 ELEKTROKARDIOGRAFI Sunoto Pratanu, M. Yamin, Sjaharuddin Harun
PENDAHULUAN
dirangsang, sifat permeabel membran berubah sehingga
Sejak Einthoven pada tahun 1903 berhasil mencatat
ion Na* masuk ke dalam sel, yang menyebabkan potensial membran berubah dari -90 mV menjadi +20 mV (potensial diukur intraselular terhadap ekstraselular). Perubahan
potensial listrik yang terjadi pada waktu jantung
potensial membran karena stimulus
berkontraksi, pemeriksaan eleklrokardiogram @KG) menjadi pemeriksaan diagnostik yang penting. Saat ini pemeriksaan jantung tanpa pemeriksaan EKG dianggap kurang lengkap.
ini
disebut
depolarisasi. Setelah proses depolarisasi selesai, maka potensial membran kembali mencapai keadaan semula, yang disebut proses repolarisasi.
Beberapa kelainan jantung sering hanya diketahui berdasarkan EKG saja. Tetapi sebaliknya juga. jangan memberikan penilaian yang berlebihan pada hasil pemeriksaan EKG dan mengabaikan anamnesis dan
PotensialAksi Bila kita mengukur potensial listrik yang terjadi dalam sel otot jantung dibandingkan dengan potensial di luar sel, pada saat sel mendapat stimulus, maka perubahan potensial yang terjadi sebagai fungsi dari waktu, disebut
pemeriksaan fisik. Keadaan pasien harus diperhatikan secara keseluruhan, misalnya umur, jenis kelamin, berat badan, tekanan darah, obat-obat yang diminum, dan sebagainya. EKG adalah pencatatan grafis potensial listrik yang ditimbulkan oleh jantung pada waktu berkontraksi.
potensial aksi. Kurva potensial aksi menunjukkan karakteristik yang khas dan dibagi menjadi 4 fase yaitu: Fase 0: awal potensial aksi yang berupa garis vertikal ke atas yang merupakan lonjakan potensial hingga mencapai +20 mV Lonjakan potensial dalam daerah intraselular ini disebabkan oleh masuknya ion Na+ dari luar ke dalam sel.
KONSEP DASAR ELEKTROKARDIOGRAFI
Sifat-sifat Listrik Sel Jantung
Fase 1: masa repolarisasi awal yang pendek, di mana potensial kembali dan +20 mV mendekati 0 mV.
Sel-sel ototjantung mempunyai susunan ion yang berbeda antara ruang dalam sel (intraselular) dan ruang luar sel
Fase 2: fase datar di mana potensial berkisar pada 0 mV. Dalam fase ini terjadi gerak masuk dari ion Ca** untuk mengimbangi gerak keluar dari ion K*.
(ekstraselular). Dari ion-ion ini, yang terpenting ialah ion Natrium (Na*) dan ion Kalium (Kt). Kadar K* intraselular
sekitar 30 kali lebih tinggi dalam ruang ekstraselular
Fase 3: masa repolarisasi cepat dimana potensial kembali secara tajam pada tingkat awal yaitu fase 4.
daripada dalam ruan g i ntraselul ar.
Membran sel otot jantung ternyata lebih permeabel untuk ion negatif daripada untuk ion Na*. Dalam keadan istirahat, karena perbedaan kadar ion-ion, potensial
Sistem Konduksi Jantung Pada umumnya, sel otot jantung yang mendapat stimulus dari luar, akan menjawab dengan timbulnya potensial aksi, yang disertai dengan kontraksi, dan kemudian repolarisasi yang disertai dengan-relaksasi. Potensial aksi dari satu
membran bagian dalam dan bagian luar tidak sama. Membran sel otot jantung saat istirahat berada pada keadaan polarisasi,dengan bagian luar berpotensial lebih
positif diban dingkan dengan bagian dalam. Selisih ini disebut potensial membran, yang dalam
sel otot jantung akan diteruskan ke arah sekitarnya, sehingga sel-sel otot jantung di sekitarnya akan
potensial
keadaan istirahat berkisar -90 mV. Bila membran otot jantung
t52
L524
KAR.DIOLOGI
mengalami juga proses eksitasi, kontlaksi. dan relaksasi. Fenj al aran peristi wa iistrik i rri di sebut konduksi . Beriainan dengan sel-sel jantung biasa, dalam.jantung
teldapat kunrpulan sel-sel jantung khLrsus yang mempunyai sii'at dapat rnenimbulkan potensial aksi sendiri tanpa ardanya stirrulus dari luar. Sifat sel-sel ini discbut sifat automatisitas. Sel-sel ini terkunipul dalam suilu sistenr 1,ang clisebut sistem konduksi jantung. Sistem kondr-rksi jantung terdiri atas : Simpul Sinoatrial (sering disebut nodus sinus, disingkat sinus). Sinrprll ini terletak pada batas antara vena kava su-
Sistem konduksi intra atrial. Akhir-akhir ini dianggap bahwa dalarr-r atrium terdapat jalLrr-jaiur khLlsus sistern konduksi jantung 1,ang terdiri dari 3 jalur internodal yang menghubur.r-ekan simi:rul sino-atrial dan sirnpul atrioventrikular, dan jalur Bachman yang rlenghubungkan atr-iur.n kanan dan
atriurlkiri.
Simpul ario-ventrikular (sering disebut nodus atrioventrikular disingkat nodus). Simpu! ini terletak di bagian bawah atrium kanan. antirra sinus koronarius dan daurr katup trikuspid bagian septal. Berkas His. Berkas His adaiah sebuah berkas pendek
perior dan atriunr kanan. Simpul ini mempLrnyai sifat
yang merupakan kelanjutan bagian bawah simpul
alrtomatisitas yang tertinggi daiam sistem konduksi jlntung.
atrioventrikuiar yang rnenernbus anulus fibrosLrs dan septum brigian membrau. Sinrpr-rl atriorenirikular bersarra berkas IIis disebut penghubung aino-ventrikular'.
Cabang berkas. Ke arah distal, berkas His bercabang menjadi dua bagian, yaitLr caban-s berkas kiri dan cabang berkas kanan. Cabang berkas kiri membelikan cabangcabang ke ventrikel kiri, sedangkan cabang berkas kanan bercnbang-cabang ke alah ventrikel kanan. Gamball. Sel otot jantung dalam keadaan isiirahat
membran
sel dalam keadaan polarisasi
0
K+
Na'
Fasikel. Cabang berkas kiri bcrcabang menjadi duabagian. ,v..aitu tasikel kiri anterior dan fasikel kiri posterior.
Serabut purkinje. Bagian terakhir clari sisterr konduksi jantLrng ialah serabut-serabut PLrrkinje. yang merupakan anyaman halus dan berhubungan erat dengan sel-sel otot 0mV
0
Gambar 2. Sel otot jantung mengalami aktivasi, membran sel dalam keadaan depolarisasi
Jantun-9.
Pengendalian Siklus Jantung Pengendali utama siklus iantung ialah simpul sinus yang
mengawali tirnbulnl,a potensial aksi yang diteruskan melalui atriunr kanan dan kiri menuju -qimptrl AV, tertLs ke berkas His. selanjutnva kc cabang berkas kanan dan kiri. dan akhirn_va nrencapai serabut-serabLrt Purkinje.
lmpuls listrik yang ditemskan melalLri atlium :st:r:hat '1.',,ai-isasi)
(d
klir'asi
.
olarrsasi)
Reoo,arrsa:r
Garnhar 3. Proses aktivasi otot jantung Suatu stimulus listrik menyebabkan aktivasi yang disusul dengan repolarisasi
S mpul SA
Jalur bachman Ja ur-jalur internodal
SLmpulAV
Berkas HIS Cabang be.kas kiri Cabang berkas kanan Fasikel kin oosterior Fasikel kirl anierior
Serabut Purkinj--
Garnbar 4. Sistem konduksi jantung
rrenvebabkan depolarisasi atrium. sehingga terjadi sistol
atrium. Impuls yang kemudian mcncapai simpul
AV,
mengalami perlambatan konduksi, sesuai dengan sifat fisiologis simpul AV. Selanjutnya, impuls yang rnencapai serabut-serabut Purkinje akan menyebabkan kontraksi otot-otot ventrikel secara bersamaan sehingga terjadi sistol ventrikel. Karena merupakan pengendali utarna siklus jantung. simpul sinus disehtrt pelnacu janlung utrlrna.
Gambaran Siklus Jantung pada Elektrokardiograrn Elektrokardiogram (EKC) adalah rekanran potensiel listrik yang tinbul sebagai Lrkibat aktivitas iantung. Yan-e drLpat clirekam adalah aktivitas lisLrik yang tim[rul pada waktu otot-otol jantung berhontraksi. Sedangkan potensial aksi pada sistem konduksi jantung tak terukur dari luar karena terlalu kecil.
1525
FI F"KTROKAtrTDIOGRAFI
Rekaman EKG biasanya dibuat pada kertas yang berjalan dengan kecepatan baku 25 mm/detik dan clet'leksi l0 mm sesuai dengan potensial I m\l Ganrbaran EKG yang normai menunjukkan bentuk dasar sbb:
Elektroda TKa selalu dihubungkan dengan bumi untuk menjan.rin potensial nol yan-u sttrl-.i1.
Gelombang P. Gelombang ini pada umumnya berukuran kecil dan mertLpakan hasil depolarisasi attiurr kanan dan kiri. Segmen PR. Segmen ini rnerupakan garis isoelekti'ik lrnpo menghubungkan gelombang P dan gelombang QRS.
Gelombang Kompleks QRS. Gelombang kompleks QRS ialah suatu kelompok gelombang yang merupakan hasll depolarisasi verrtrikel kanan dan kiri. Celombang kompleks QRS pada umumnya terdili dari gelombang Q yang tnerupakan gelombang ke bawah iiang pefiama, gelornbang
R yang merupakan gelontbang ke atas yang pertama, dan gelornbang S yang nerupakan geiombang ke bawah pertama setelah gelombang R.
Gambar 6. Elektroda-elektroda ekstremitas
Segmen ST. Segmen ini merupakan garis isoelektrik yang men-uhubungkan korrpleks QRS dan gelomban_u T.
Gelombang T. Gelombang
T
merupakan potensial
repolarisasi ventrikel kanan dan kiri.
Gelombang U. Gelombang ini berukuran kecil dan seling tidak ada. Asal gelornbang ini masih belum jelas. Gelomban-s \i an-s mcrupakan hasii repolarisasi ulriun.r sering tak dapat dikeniili karena berLrkurar kecil dan 'biasanya
terbenam dalarn ge lornbang QRS. Kaclan-u-kaclang
gelombang repolarisasi atrir-rm ini bisa terlihat jelas pada se-glrren PR atau ST. dan disebut Ta. -eelornbang
Elektroda-elektroda prekordial diberi nama-nama V I srirnpai V6, dengan lokalisasi sebagai berikut: Vl : garis parasternal kanan, pada interkostal lV \2 : garis parasternal kiri, padainterkostal IV
\B : titik
tengah antara V2 dirn V4.
V4 : garis k1al'ikula tengah, pada interkostal V, V-i : garis aksila depan. sama tinggi dengan V.1, V6 : saris aksila tengah, sama tinggi dengan V:l dan VS.
Kadang-kadang cliperlLrkan elektroda-elektroda prekordial sebelah kanan. yang disebut V3R. V,lR, VSR dan V6R irang letaknya berseberangan clengan V3. V4, V5 dan v6.
RR RR
T K avlku a U
Kosta
I
Kosla li PR
PP
Kosta ili Kosta lV Kosta V
Gambar 5. Bentuk dasar EKG dan nama-nama interval
Kosta lV
Sandapan-sandapan pada Elektrokardiografi Untuk nrembuat rekaman EKC. pada tubuh dilekatkan elektroda-elektroda yang dapat men eruskan poten si al I i stri k dari tubuh ke sebuah aiat pencatilt potensial yang disebut elektrokardiograf. Pada rekarnan EKG yang konvensional dipakai 10 bLrah elektroda, yaitu 4 blrah elektroda ekstremitas dan 5 bLrah elektroda plekotdial. Elektrodaelektroda ekstremitas masing-masing dilekatkan pada: lengan kanan (LKa), lengan kiri (LKi), tungkai kanarr (TKa), tungkai kiri (TKi).
Gambar 7. Elektroda-elektroda prekordial
Sandapan Standard Ekstrernltas Dari elektroda-elektroda ekstremitas diclapatkan sandapan dengan rekaman potensial bipolar yaitu
o | = Poiensial LKi -Potensial LKa o l] = Potensial LKa -Potensial TKi . III = Potensial TKi -Potensial LKi
:
1526
I(ARDIOLOGI
Untuk mendapatkan sandapan unipolar, gabungan dari sandapan I, II dan III disebut Terminal Sentral dan
dianggap berpotensial nol. Bila potensial dari suatu elektroda dibandingkan dengan terrninal sentral, maka didapatkan potensial mutlak elektroda tersebut dan sandapan yang diperoleh disebut sandapan unipolar.
Sandapan-sandapan berikut sandapan unipolar yaitu:
ini
semuanya adalah
Sandapan prekordial. Sesuai dengan nama-nama el
ektrodany a, sandapan prekordi al disebu
r V 1,V2.V3,V4,V5,
Gambar 8. Vektor V dengan proyeksinya pada bidang F (VF)
dan pada bidang H (VH) Selanjutnya VH dan VF dapat diproyeksikan lagi pada sumbu-sumbu yang dibuat pada bidan
danV6. Sandapan ekstremitas unipolar. Sandapan ini menunjukkan
potensial mutlak dari masing-masing ekstremitas, yaltu
. . .
H
dan F
Penelitian menunjukkan bahwa letak sumbu-sumbu ittr
:
ialah sebagai berikut : 0 - pusal jxntung
aVR = Potensial LKa
aVL=Potensial LKi aVF = Potensial Tungkai
KONSEP VEKTOB PADA ELEKTROKARDIOGRAFI Karena gaya listrik mempunyai besar dan arah. maka ia adalah sebuah vektor. Suatu vektor dapat dinyatakan dengan sebuah anak panah dengan arah anak panah menunjukkan arah vektor dan panjang anak panah
I tr
=
garis mendatar 00 membuat sudut 600 dengan I, searah jarum jam. yaitu +60')
m
=
+1200
aVR =
a\il- aVF =
-150) - 300
+9if
menyatakan besarnya vektor. Dalam satu siklus jantung,
terjadi gaya listrik pada saat depolarisasi atrium, ventrikel, dan repolarisasi
ventrikel. Pada rekaman disebut sebagai gelombang P, QRS dan T. Yang sebenarnya gelombang P, QRS, dan T ini adalah vektor-vektor ruang yang selalu berubah-Lrbah besar dan arahnya sehingga disebut vektor P, vektor QRS, dan vektor T. Untuk mempelajari vektor pada umumnya dipakai suatu sistem sumbu. Untuk vektor ruang. dipakai sistem sumbu ruang yang terdiri dari tiga buah bidang yang saling tegak I urus. Untuk mempelaj ari vektor-vektor li strik pada j antun g, ketiga bidang berikut ini dipilih : bidang Horisontal. (H), bidang Frontal (F) dan bidang Sagital (S). Untuk keperluan elektrokardiografi yang konvensional, cukup dipakai dua bidang saja yaitu bidang H dan bidang F . Selanjutnya vektor-vektor yang proyeksinya pada bidang F dan H dapat diproyeksikan lagi pada garis-garis sumbu yang dibuat pada bidang F dan bidang H.
Dari sandapan-sandapan konvensional, ternyata sandapan-sandapan yang diperoleh itu terletak dalam bidang frontal dan bidang horizontal sebagai berikut L Pada bidang frontal: I, II, III, aVR, aVL, aVF II. Pada bidang horisontal : Vl, V2,V3,V4, V5, V6
6o' r
ill+
6o'
aVF'
Gambar 9. Sistem sumbu pada bidang frontal
Sistem Sumbu pada Bidang Horisontal Sesuai dengan nama sandapan, maka sumbu- sumbu pada
bidang horisontal disebut sebagai berikut Yg = garis mendatar 0(l Y5=+220
:
Y4=4lo V3 =+580 Y2=+94t)
Vt
=+1150 K.K
:
Sistem Sumbu pada Bidang Frontal
I
v3(58")
Sesuai dengan nama sandapan, maka sumbu-sumbu pada bidang frontal disebut sumbu I, II, III, aVR, aVL, dan aVF.
Gambar 10. Sistem sumbu pada bidang horisontal
r527
FI FKTROKAIIDIOGRAFI
Bila selama siklus jantung kita tinjau vekltor-vekor listrik yang timbul, maka selama depolarisasi atrium, terjadi vektor P dalam ruang yang dimulai dari nol, muncul dengan besar dan arah yang berubah-ubah dan akhirnya menjadi nol lagi. Bila vektor P ini diproyeksikan pada bidang H dan bidang F. maka terdapat garis tertutup yang mulai dari titik awal 0
dan kembali lagi pada
titik 0. Garis
(bila ada) satu sandapan yang mempunyai jumlah aljabar
defleksi nol (defleksi positif sama dengan defleksi negatif). Maka sumbu QRS adalah tegak lurus pada sandapan ini. Dalam menentukan arah sumbu QRS, dapat
ditinjau salah satu dari sandapan iainnya, untuk memilih satu dari dua arah.
tertutup yang
menggambarkan perjalanan dari vektor P ini disebut bulatan P.
Jadi depolarisasi atrium menghasilkan bulatan P pada bidang F dan juga pada bidang H. Demikian juga selama depolarisasi ventrikel, timbul bulatan QRS pada bidang F dan bidang H. Pada repolarisasi dari ventrikel timbul juga
bulatan T. Dari ketiga bulatan vektor itu, bulatan vektor QRS ialah
yang terpenting dan terbesar ukurannya. Suatu vektor yang menjalani bulatan vektor, besar dan arahnya selalu berubah-ubah. Tetapi selama perubahan itu, dapat ditentukan satu vektor yang merupakan ratarata atau sumbu listrik. Secara pendekatan, sumbu listrik ialah vektor yang membagi bulatan vektor menjadi dua yang sama. Sumbu listrik merupakan sifat penting dari masing-masing ruang jantung.
Gambar 12. Menentukan sumbu lisirik QRS pada bidang frontal dengan menggunakan sandapan I dan aVF V adalah sumbu ORS
Untuk lebih tepatnya, yang diukur bukan tingginya defleksin, tetapi dari luas area yang berada dj bawah defleksi itu.
Kelainan Sumbu QRS pada Bidang Frontal Sumbu QRS pada bidang frontal yang dianggap normal bervariasi antara -300 hingga +900. l. Sumbu QRS antara -30" hingga -900 disebut deviasi
sumbukekiri (DSKi)
2. Gambar 11. Bulatan vektor QRS pada bidang F.
1,2,3,
dan 4
adalah beberapa kedudukan vektor dalam perjalanannya membentuk bulatan QRS M adalah vektor rata-rata atau sumbu listrik
3.
Sumbu QRS antara +900 hingga - 1800 disebut deviasi sumbu ke kanan (DSKa) Sumbu QRS antara +1800 hingga -900 disebut sumbu superior.
Menentukan Sumbu QRS pada Bldang Horisontal
SUMBU LISTRIK VEKTOR QRS Sumbu listrik vektor QRS dapat disingkat dengan sumbu QRS saja. Sumbu QRS dapat ditentukan dari hasil rekaman EKG konvensional.
Menentukan Sumbu QRS pada Bidang Frontal
Dari 6 sandapan yang ada pada bidang F, 2 sandapan sudah cukup untuk menentukan sumbu QRS. Untuk praktisnya penentuan sumbu QRS dapat dilakukan dengan beberapa eara, antara lain : l). Pilih 2 sandapan yang termudah yaitu saling tegak lurus misalnya I dan aVF. Tentukan jumlah aljabar defleksi pada masing-masing sandapan dan gambarkan sebagai vektor pada masing-
masing sumbu. Dari kedua vektor
ini
dapat dibuat
resultante yang menggambarkan sumbu QRS; 2). Pilihlah
Pada dasarnya menentukan sumbu QRS pada bidang horisontal adalah sama dengan sumbu QRS pada bidang frontal. Yang umum dipakai ialah cara II, yaitu mencari sandapan yang jumlah aljabar defleksinya nol. Dari sini didapatkan arah vektor yaitu tegak lurus pada sadapan ini. Suatu kebiasaan, bahwa sumbu QRS pada bidang horisontal tidak dinyatakan dalam derajat, tetapi cukup ditentukan sadapan yang tegak lurus pada sumbu itu. Jadi cukup ditentukan sadapan yang mempunyai jumlah aljabar defleksi nol. Sadapan ini disebut daerah transisi pada bidang prekordial. Dianggap bahwa daerah transisi yang normal ialah V3 dan V4. Bila daerah transisi berpindah ke arah jarum jam (dilihat dari arah tungkai), misalnya di V5 atau V6, maka dikatakan bahwa sumbu QRS mengalami rotasi searah jarum jam. Bila daerah transisi berpindah ke arah V2, maka dikatakan terjadi rotasi lawan arah jarumjam.
1528
KARDIOI-OGI
R
S
. ra mil ' '4 mm
ebar I mm luas (%)x4xl = +4 ebai 2mm Luas (%)x4x2 = -8 l!mlah = -4
Gambar 13. Seperti pada gambai' 12. tetapi lebar defleksi tidak
I
sama, yaitu di sandapan Di sini dipakai perhitunEan luas Karena bentuk segitiga, maka luas defleksi ialah 1i2 x tinggi x lebar Faktor 112 dap'al dihiiangkan karena yang dipakai adalah perbandingan
Gambar 17. Sumbu listrik QRS pada bidang horisontai Daerah transisi di V5, yang menunjukkan rotasi searah jarum jam
SUMBU LISTR!K VEKTOR P Cara menentukar sunrbu P pada dasarnva sama dengan penentuan surlbu QRS. Karena defleksi gelontbang P kecil. rlraka cara menentukan sumbu P sering tak bisa terlalu tepat,
dan biasanya dipakai cara II.
Sumbu P pada Bidang Frontal Celorrbang P yang berasai dari sinrpLrl sinus mempunyri Gambar 14. Meneniukan sumbu listrik QRS paoa bidang frontal dengn mencari sandapan yang jurnlah defieksinya nol, dalam contoh ini aVL Maka sur,rrbu listrik ialah tegak lurus pada aVL Selanjutnya untuk menentukan arah ke atas atau ke bawah. diperhatikan jumlah defleksi pada l; karena defleksinya positif, maka arah sumbu ialah ke kanan
sumbu yall-c beruariasi antara 0 hingga +750. Gelombang F
,N menrpunyai sumbu -90%. Dikatakan sutnbu P ini memputlyai arah lawan-arus. Gelombang P yang berasal dnri airium. arahnya tergantung dari letak pelracu ektopik di atrium. Sering sumbunva me unyai arah antara +900 dan 1 800.
_vang her:asai
antala 180''
dari pen-uhubung
darr
Surnbu F pada Bidang Horisontal
lupericr
Gelornbang P 1,ang berasal dari simpul sinus metnpttnvli s,,rnrbu rang arahnya sekitar di tengah-tengah antara Vl dan V6. Surnbu P yang buknn bei'asal dari simpLrl sinLrs
r'.
memp,Jn;-ai alah yang terganttln-s dari letak pemacll ektopik dari gelombang P.
Sumbu ke kanan
Gambar 15. Kelainan sumbu QRS pada bidang frontal Sumbu listrik yang mendekati 00 sering disebut "jantung horisontal" yang mendekati 900 disebut "jantung vertikal"
Gambar 18. Menentukan riektor P oada bidang frontal Karena total defleksi nol terdapat pada sandapan lll, maka vel
v6
V1
V2
V3 V4 V5 V6
Gambar 16. Sumbu listrik QRS pada bidang horisonta! yang norma!. Dari sandapan-sandapan prekordial ditentukan sandapan yang jumlah defleksinya nol, dalam hal ini didapatkan V3. Maka sumbu listrik QHS ialah tegak lurus pada V3 V3 disebut daerah
transisi (T)
V]
V2
Gambar 19. Menentukan vektor P pada bidang horisontal. Karena total defleksi nol terdapat pada V2, maka vektor P harus tegak lurus pada V2 dan arahnya searah dengan V6, karena defleksi P pada V6 positif
t529
EITKTROKARDIOGRAFI
Gambar 20. Vektor P sinus. Pada bidang frontal: antara 00-750. Pada bidang horisontal: antara V1 dan V6 Gambar 23. Kalibrasi standard: Defleksi 10 mm = 1 mV, kecepatan keftas 25 mm/detik 1 mm = 0,04 detik, 5 mm = 0,20 detik, 10 mm =0,40 detik
Gelombang
P
Gelombang P ialah defleksi pertama siklus jantung yang menunjukkan aktivasi atrium. Gelombang P bisa positif, negatif, bifasik, atau bentuk lain yang khas. Gambar 21. Sumbu P bukan dari sinus, pada bidang frontal. Sumbu P dari penghubung AV (Pp), mempunyai arah lawan arus, yaitu berlawanan dengan arah sumbu P dari sinus Sumbu P dari atrium (Pa), sering mempunyai arah antara 900-1800
Gambar 24. Gelombang P sinus, dengan sumbu +300
Gambar 22. Sumbu T yang normal mempunyai arah yang hampir
sama dengan sumbu QRS. Bila ada gangguan konduksi intraventrikular, maka sumbu T juga berubah, yang disebut perubahan T yang sekunder. Dalam hal ini sumbu T dan sumbu QRS berlawanan arah
Gambar 25. Gelombang P dari penghubung AV, dengan sumbu -1 000
Sumbu Listrik Gelombang T Pada umumnya sumbu vektor T jarang diperhatikan karena
morfologi gelombang T mempunyai ciri-ciri khas di luar sumbu vektornya. Secara umum dapat dikatakan bahwa sumbu T yang normal lebih kurang mempunyai arah yang sama dengan sumbu QRS. Bila ada kelainan depolarisasi ventrikel, gelombang T mengalami kelainan juga, yang disebutkelainan gelombang T yang sekunder. Dalam hal ini T adalah terbalik dibanding defleksi QRS, atau vektor T dan vektor QRS berlawanan arah.
INTERPRETASI ELEKTRO KAR DIOG RAM Bila kita membuat rekaman sebuah elektrokardiogram, pada awal rekaman kita harus membuat kalibrasi, yaitu satu atau lebih defleksi yang sesuai dengan I milivolt (mV). Secara baku, defleksi 10 mm sesuai dengan I mV. Kecepatan kertas perekam secara baku adalah 25 mmldt.
Gambar 26. Gelombang P dri atrium dengan sumbu +1500
Gelombang Kompleks QRS Kompleks ini menunjukkan depolarisasi ventrikel. Istilah-
istilah tentang bagian-bagian kompleks QRS ialah
:
1).
Gelombang Q yaitu defleksi negatif pertama; 2). Gelombang R yaitu defleksi positif pertama. Defleksi berikutnya disebut gelombang R', R" dan seterusnya; 3). Gelombang S yaitu defleksi negatif pertama setelah R. Gelombang S berikutnya
disebut S', S" dan seterusnya.
Garis rekaman mendatar tanpa ada potensi listrik disebut garis isoelektrik. Defleksi yang arahnya ke atas disebut defleksi positif dan yang ke bawah disebut defleksi
Gambar 27. lstilah-istilah untuk berbagai bentuk gelombang
negatif.
kompleks QRS
OR
qR
rS
RS
R
OS
RR
1530
KARDIOI.OGI
QRS yang monofasik terdiri dari satu defleksi saja yaitu
R atau defleksi tunggal negatif yang disebut QS. Untuk defleksi yang lebih dari 5 mm, dipakai huruf-huruf besar Q, R dan S. Sedangkan untuk defleksi yang kurang dari 5 mm dipakai huruf kecil q,r, dan s.
Gelombang T ini menunjukkan repolarisasi ventrikel.
Gelombang
Gelombang T bisa positif, negatif atau bifasik.
Gelombang U U adalah gelombang kecil yang mengikuti
yang ditimbulkan ventrikel kiri jauh lebih kuat dari pada ventrikel kanan. Gambaran kompleks QRS pada bidang horisontal yang
normal mempunyai corak khas. Sandapan Vl dan V2 terletak paling dekat dengan ventrikel kanan sehingga disebut kompleks ventrikel kanan. Di sini gaya listrik dari ventrikel kanan menimbulkan gelombang R yang selanjutnya diikuti gelombang S yang menggambarkan gaya listrik dari ventrikel kiri. Sebaliknya, sandapan V5 dan V6 paling dekat dengan ventrikel kiri sehingga sandapan ini disebut kompleks ventrikel kiri. Di sini
gelombang T yang asalnya tidak jelas.
gelombang Q menggambarkan aktivasi ventrikel kanan atau septum, sedangkan gelombang R menggambarkan aktivasi ventrikel kiri. Dengan demikian gambaran kompleks QRS
Pengukuran Waktu
pada bidang horisontal ialah gelombang R meningkat dari Vl ke V6, sedangkan gelombang S mengecil dari Vl ke V6.
Gelombang
Penentuan frekuensi. Frekuensi jantung (atrial atau ventrikular) dapat dihitung berdasarkan kecepatan kertas. Karena kecepatan kertas ialah 25 mmidetik, maka kertas menempuh 60 x25 mm = 1500 mm dalam 1 menit. Jadi frekuensi jantung adalah1500 yaitu sama dengan jarak siklus dalam mm (yaitu jarak R-R atau P-P). Penentuan interval-interval. Untuk pengukuran suatu interval, maka dengan kecepatan baku 25 mm/detik terdapat 1 m;n = 1/25 detik = 0,04 detik, atau 5 mm = 0,20 detik. Interval PR : interval PR diukur dari awal gelombang P hingga awal kompleks QRS. Interval QRS : interval ini diukur dari awal kompleks QRS hingga akhir dari kompleks QRS. Interval QT : Interval ini diukur dari awal QRS hingga akhir dari gelombang T.
ELEKTROKARDIOGRAM NORMAL
Gelombang T Pada orang dewasa, biasanya gelombang T adalah tegak di semua sandapan kecuali di aVR dan Vl.
Gelombang
U
Gelombang U biasanya tegak dan paling besar terdapat di V2 dan V3. Sering gelombang U tak jelas karena bersatu dengan gelombang T.
Nilai Normal untuk lnterval-lnterval
Interval PR (durasi) : kurang dari 0,12 detik Interval PA :0, 12 -0,20detik Interval QRS (durasi) : 0,07 -0, 10 detik
lnterval QT Interval ini tergantung dari frekuensijantung, yang dapat
Gelombang
ditentukan dengan suatu rumus atau tabel. Untuk P
Bentuk gelombang P pada sandapan konvensional dapat dipetoleh dengan I,II dan aVF dan negatif di aVR. Sedangkan di aVL dan III bisa positif, negatif, atau bifasik. Pada bidang horisontal biasanya bifasik atau negatif di V1 dan V2, danpositif di V3 hinggaV6. Gelombang P dari sinus yang normal tidak lebih lebar dari 0,11 detik dan tingginya tak melebihi 2,5 mm.
Kompleks QRS Impuls listrik yang datang dari simpul AV melanjutkan diri melalui berkas His. Dari berkas His ini keluar cabang awal yang mengaktivasi septum dari kiri ke kanan. Ini mengawali
vektor QRS yang menimbulkan gelombang Q di I, II, m, aVL, V5 dan V6, tergantung dari arah vektor awal tersebut. Selanjutnya impuls berlanjut melalui cabang berkas kiri (CBKi), cabang berkas kanan (CBKa), dan mengaktivasi ventrikel kiri dan kanan. Karena dinding ventrikel kanan jauh lebih tipis daripada ventrikel kiri, maka gaya listrik
praktisnya, diberikan 3 nilai sebagai berikut: frekuensi 60/ menir: 0,33-0,43 detik, 80 kali/menit: 0.29-0,38 detik, dan 100 kali/menit :0,27-0,35 detik.
ABNORMALITASATRIUM Akhir-akhir ini dianggap bahwa konduksi impuls dari simpul sinus ke arah simpul AV melibatkan jalur-jalur khusus yaitu jalur-jalur internodal. Sedangkan atrium kiri dicapai melalui jalur Bachman. Bila terjadi gangguan konduksi intra-atrial, maka bentuk gelombang P mengalami kelainan yang
disebut abnormalitas gelombang P. Abnormalitas gelombang P tidak selalu disebabkan pembesaran atau hipertrofi atrium seperti yang dianggap di masa lalu. Aktivasi atrium kanan terjadi lebih dulu daripada atrium kiri sehingga suatu abnormalitas gelombang P dapat menunjukkan suatu abnor- malitas atrium kiri atau abnormalitas atrium kanan. Dalam hal ini "abnormalitas"
1531
ELEKTROIqRDIOGRAFI
merupakan kelainan konduksi dengan atau tanpa pembesaran atau hiperlrofi.
.
Abnormalitas Atrium Kanan (AAKa) Tinjauan vektor
l. 2.
:
Pada bidang frontal: sumbu P bergeser ke arah kanan Pada bidang horisontal : sumbu P bergeser ke arah lawan
Waktu Aktivasi Ventrikel
jarumjam.
Kriteria EKG untukAAKa : 1. P tinggi dan lancip di II, m dan aVF : tinggi > 2,5 mm
2.
dalam di I,trJII, aVL, V5 dan V6, dan gelombang R yang lebih besar di V 1 . Pada sumbu QRS terjadi pergeseran sebagai berikut : l). Pada bidang frontal: sumbu QRS bergeser ke arah kiri;2). Pada bidang horisontal: sumbu QRS bergeser ke arah lawanjarum jam.
dan interryal > 0,11 detik Defleksi awal di Vl > 1,5 mm. Bentuk gelombang P pada
AAKa sering disebut P pulmonal
Gambar 28. Abnormalitas atrium kanan
Waktu yang berlangsung antara awal QRS hingga puncak
gelombang R disebut Waktu Aktivasi Ventrikel (WAV). Defleksi tajam ke bawah yang mulai dari puncak R disebut defleksi intrinsikoid. WAV menggambarkan waktu yang diperlukan untuk depolarisasi masa ototjantung yang ada di bawah elektroda prekordial. Jadi makin tebal otot jantung (ventrikel), makin panjang waktu yang diperlukan untuk depolarisasi. Dengan demikian WAV memanjang pada HVKi.
Kriteria EKG untuk HVK| 1. Kdteria Voltase : Voltase ventrikel kiri meninggi Ada macam-macam criteria dan dapat dipilih salah satu
Abnormalltas Atrium Kiri (AAKi)
yartu:
Tinjauan vektor
1.
1.
2.
:
Pada bidang frontal: sumbu P bergeser ke arah kiri Pada bidang horisontal : sumbu P bergeser ke arah jarum
R atau S di sandapan ekstremitas > 20 mm, a'tau S di kompleks VKa > 25 rnm. atau R di kompleks VKi > 25 mm, atau
SdiVKa+RdiVKi>35mm.
Jam.
KriteriaEKGuntukAAKi:
2. Depresi ST dan inversi T di kompleks VKi Ini sering
Interval P di II melebar (> O, 12 detik). Sering gelombang P berlekuk, karena mempunyai 2 puncak. Defleksi terminal V 1 negatif dengan lebar > 0,04 detik dan dalam > 1 mm. Kriteria ini disebut kriteriaMorris. Bentuk PpadaAAKi sering disebut p mitral.
3. AAKi 4. Sumbu QRS padabidang frontal > -150 5. Interval QRS atau WAV di kompleks VKi memanjang:
disebut strain pattern
* Interval QRS > 0,09 detik 'r' WAV > 0,04 detik '1
Beberapa catatan tentang
HVKi antara lain : l).
Gambaran HVKi pada EKG terutama berkorelasi dengan masa otot ventrikel kiri, dan kurang berkorelasi dengan tebal otot atau volumenya; 2). Pada HVKi yang disebabkan
karena beban volume, gambaran EKG terutama Gambar 29. Abnormalitas atrium kiri
menunjukkan aktivasi septal awal yang menonjol, yaitu adanya gelombang Q di I, aVL,V5 dan V6, dan gelombang R yang menonjol di Vl dan Y2;3). Pada HVKi yang
HIPERTROFI VENTRIKEL
Hipertrofi Ventrikel Kiri (HVKi) Hipertrofi ventrikel kiri memberikan tanda-tanda yang cukup jelas pada EKG. Meskipun demikian, akurasinya tak
dapat dianggap mutlak.
Berbagai kriteria telah disusun untuk mempertinggi sensitivitas dan spesifisitas diagnosis HVKi pada EKG. Tinjauan vektor pada HVKi :
. .
Gambar 30. Hipertrofi ventrikel kiri, beberapa kriteria: A
Pada umumnya vektor QRS membesar dalam ukurannya.
Penebalan septum menyebabkan vektor QRS awal membesar, sehingga terlihat gelombang Q yang lebih
Kriteria votase: S di V1 , V2, yang dalam dan R di V5, V6 yang tinggi
B.
Depresi ST dan inversi T di VO (V5)
Waktu aktivasi ventrikel memanjang di V6 (V5)
Ls32
I(ARDIOI.OGI
disebabkan karena beban tekanan, gambaran EKG terutama menunjukkan R yang tinggi disertai depresi ST dan inversi T pada sandapan ventrikel
kiri (V5
dan V6).
Hipertrofi Ventrikel Kanan (HVKa)
Menurut tempatnya, blok intraventrikular dapat dibagi . BlokCabangBerkasKanan(BCBKa)
. . .
Karena dinding ventrikel kanan jauh lebih tipis dari pada dinding ventrikel kiri, maka HVKa baru nampak pada EKG
bila HVKa sudah cukup menonjol untuk
dapat
:
BlokCabangBerkasKiri(BCBKi) BloklntraventrikularNonspesifik Blok Fasikular : 1)..B1ok fasikular kiri anterior; 2). Blok fasikular kiri posterior.
Blok Cabang Berkas Kanan (BCBKa)
mempengaruhi gaya-gaya listrik ventrikel kiri yang besar.
Bila CBKa mengalami blok, maka depolarisasi ventrikel
Tinjauanvektor:
kanan mengalami kelambatan, dan septum mengalami depolarisasi disusul oleh ventrikel kiri lebih dulu. Pada
1. 2.
Pada bidang frontal: sumbu QRS bergeser ke kanan Pada bidang horisontal : sumbu QRS bergeser searah
jarumjam.
R/S
divl
R"/S
div6< I
mengarah ke depan (pada bidang H) dan ke kanan (pada bidang F). Dari sini didapatkan gambaran EKG pada BCBKa : 1). Interval QRS memanjang > 0,10 detik; 2). S yang lebar di I dan V6; 3). R' yang lebar di V1.
QRS pada bidang frontal yang bergeser ke
Bila interval QRS 0, lO-0,I2 detik, maka disebut BCBKa
Kriteria EKG untuk IfVKa
1.
Rasio R/S yang terbalik
. .
2. Sumbu 3.
fase yang terakhir, vektorberasal dari ventrikel kanan, yang
>
: :
1
kanan, meskipun belum mencapai DSKa.
inkomplit.
Beberapa kriteria tambahan yang tidak begitu kuat,
Bila interval QRS > 0, 12 detik, maka disebut BCBKa komplit.
misalnya: WAV di VI > 0,035 detik, depresi ST dan inversi T di V1, S, di I,[, dan III. Beberapa catatan tentang IfVKa: 1. Diagnosis HVKa pada EKG mempunyai sensitivitas yang rendah tapi spesifisitas yang tinggi. 2. Kriteria EKG untuk HVKa yang paling kuat ialah rasio
R/SdiVI. Berdasarkan konfigurasi QRS di V1, maka HVKa dibagi menjadi 3 tipe: l). Tipe A: di sini terdapat R yang tinggi. Sering disertai depresi ST dan inversi T di Vl dan V2. Tipe ini menunjukkan beban tekanan yang tinggi; 2). Tipe B: di sini terdapat bentuk RS, yang menunjukkan HVKa yang
sedang; 3). Tipe C: di sini terdapat bentuk rsR', yang merupakan blok cabang berkas kanan yang inkomplit. Bentuk ini biasanya menunjukkan adanya hipenrofi jalur keluar dari ventrikel kanan.
Gambar 32. Blok cabang berkas kanan. QRS melebar, S yang lebar dan dalam di I dan V6 (V5), dan berbentuk RR' di V1 (V2)
Blok Cabang Berkas Kirl (BCBKi) Bila CBKi mengalami blok, maka depolarisasi ventrikel kiri mengalami kelambatan. Pada awal depolarisasi ventrikel, QRS inisial menggambarkan depolarisasi ventrikel kanan dan septum, kemudian menyusul depolarisasi ventrikel kiri. Jadi pada BCBKi vektor terminal berasal dari ventrikel kiri yang kuat, yang bergeser ke arah kiri (pada bidang F) dan ke arah belakang (pada bidang H). Dari sini didapatkan gambaran EKG pada BCBKi :
1.
Interval QRS melebar> 0,10 detik R yang lebar, sering berlekuk di I, V5 dan V6, dengan WAV > 0,08 detik rS atau QS di V1, disertai rotasi searah jarum jam.
2. Gelombang 3. Gambar 31. Hipedrofi ventrikel kanan. Kriteria terpenting: rasio R/S terbalik di V1 (V2) dan V6 (V5)
Bila interval QRS 0,10-0,12 det1k, maka disebut BCBKi inkomplit Bila interval QRS >
DEFEK KONDUKSI INTRA VENTRIKULAR Gangguan penghantaran impuls melalui suatu jalur disebut blok. Yang dimaksudkan dengan konduksi intraventrikular
0,
1
2 detik, maka disebut BCB
Ki komplit.
Blok lntraventrikular Nonspesif ik Istilah ini dipakai bila interval QRS melebar (> 0,10 detik) tetapi tidakkhas untukBCBKa atau BCBKi.
ialah konduksi melalui cabang berkas kanan (CBKa), cabang berkas kiri (CBKi), fasikel-fasikel dan serabut-
Blok Fasikular
serabut Purkinje.
Blok Fasikular sering disebut juga hemiblok.
,
1533
ELEKTROKARDIOGRAFI
.
III dan aVF. Blok Fasikular Kiri Posterior jauh lebihjarang dari pada blok fasikular kiri anterior. qR di II,
Gambar 33. Blok cabang berkas kiri. QRS yang melebar, bentuk B di I dan V6 (V5), dan S yang dalam di V1 (V2, V3)
Blok fasikular
kiri anterior.
Fasikel
kiri
anterior
menghantarkan impuls dari puncak septum ke muskulus papilaris anterior. Bila terjadi blok padajalur ini, maka bagian posterior-inferior mengalami depolarisasi lebih dulu dari pada bagian anterior-superior. Vektor QRS awal selama 0,02 detik mengarah ke bawah dan ke kanan, sehingga terbentuk r kecil di II, m, dan aVF, dan q kecil di 1, aVL dan kadang-kadang di V5 dan V6. Vekor QRS awal selama 0,04 detik mengarah ke kiri dan ke atas, sehingga terbentuk R tinggi menyusul q di 1, dan aVL, dan S dalam menyusul r di II,[I, dan aVF (bentuk QIS[I). Sumbu QRS mengalami deviasi ke kiri hingga > -450 Sebagai ringkasan, gambaran EKG pada 81ok Fasikular Kiri anterior ialah : l).Interval QRS sedikit memanjang 0,090,1 1 detik; 2). Sumbu QRS deviasi ke kiri > -450. Ini disebut kriteria yang paling kuat; 3). Di I dar aVL terdapat R tinggi, dengan atau tanpa q; 4). Di II,III dan aVF terdapat rS, dengan S yang dalam.
Gambar 35. Blok fasikular kiri posterior. Tanda terpenting ialah sumbu QRS pada bidang frontal: deviasi ke kanan lebih dari +1100,
tanpa adanya penyebab lain dari deviasi sumbu ke kanan
Sindrom Pre-eksitasi Sindrom pre-eksitasi ialah suatu sindrom EKG di mana ventrikel mengalami depolarisasi lebih awal dari biasa. Hal
ini disebabkan karena adanyajalur-jalur lain di samping jalur-jalur pada sistem konduksi jantung. Ja-lur-jalur ini disebut jalur-jalur aksesori. Ada 3 macam jalur aksesori, yaitu : 1). Jalur Kent. Jalur ini ialah yang terpenting di antarajalur-jalur aksesori. Jalur
ini menghubungkan atrium langsung dengan ventrikel, tanpa melalui simpul -AV. Jalur ini menembus cincin AV di
tempat-tempat yang berbeda. 2). Jahr James. Jalur ini berawal dari atrium dan berakhir di berkas His. 3). Jalur Mahaim. Jalur ini berawal di berkas His dan berakhir di ventrikel.
Jalur-jalur aksesori dianggap sebagai kelainan kongenital dan terdapat pada l-2 permil dari populasi umum. Jalur aksesori bisa bersifat non fungsional pada waktu lahir dan manifes pada masa kanak atau dewasa. Gambar 34. Blok fasikular kiri anterior Tanda terpenting ialah sumbu QRS pada bidang frontal: deviasi ke kiri lebih dari -450
GAMBARAN EKG PADA SINDROM PRE.EKSITASI
Blok fasikular kiri posterior. Fasikel kiri posterior
Pre-eksitasi pada Jalur Kent
menghantarkan impuls dan CBKi ke muskulus papilaris posterior dari ventrikel kiri. Suatu blok pada jalur ini mengakibatkan bagian anterior-superior dari ventrikel kiri
Pre-eksitasi pada jalur Kent disebut luga sindrom Wolff Parkinson White (WPW). Gambaran EKG pada sindrom WPW menggambarkan kompleks fusi antara aktivasi ventrikel melalui jalur normal dan melalui jalur aksesori. Impuls dari atrium yang melalui jalur Kent lebih cepat sampai di ventrikel karena tidak
mengalami depolarisasi lebih dahulu dari pada bagian posterior-inferior. Vektor QRS awal selama 0,02 detik mengarah ke krri dan superior, sehingga terbentuk r kecil di I dan aVL, dan 1 kecil di II,[, dan aVF. Vektor QRS awal selama 0,06 detik mengarah ke bawah, sehinggaterbentukR tinggi di II, III, dan aVF dan S di I dan aVl.Sumbu QRS bergeser ke kanan
>+1lff. Sebagai ringkasan, gambaran EKG pada blok fasikular
kiri posterior ialah
. . .
:
Interval QRS memanjang 0,09 -0,1 1 detik Sumbu QRS bergeser ke kanan > + 110o rS di I dan aVL
melewati simpul AV yang mempunyai sifat memperlambat
impuls. Impuls yang melalui jalur Kent ini mengawali depolarisasi ventrikel di suatu tempat di ventrikel, yang menyebabkan timbulnya suatu gelombang khas pada awal kompleks QRS, yang disebut gelombang delta. Gelombang delta merupakan bagian landai pada awal kompleks QRS. Adanya gelombang delta ini menyebabkan kompleks QRS melebar. Waktu konduksi atrio-ventrikular yang memendek menyebabkan interval PR yang memendek. Dengan demikian gambaran EKG pada sindrom W-P-W
t534
KARDIOLOGI
ialah: 1). Interval PR memendek < 0,12 detik; 2). Adanya gelombang delta; 3). Kompleks QRS melebar (karena gelombang delta).
Dengan demikian gambaran EKG pada sindrom L-G-L
ialah
:
Interval PR memendek (0,12 det); 2). Tak ada gelombang delta, kompleks QRS normal. 1).
Pre-eksitasi pada Jalur Mahaim Karena jalur Mahaim dimulai dari berkas His, maka interval
PR tidak terpengaruh. Jalur Mahaim mengawali aktivasi pada sebagian ventrikel, sehingga terjadi gelombang delta.
Jalur
Kent
Jalur
James
Jalur Mahain
Dengan demikian gambaran EKG pada sindrom preeksitasi melalui ialur Mahaim iatah: l). Interval PR normal; 2). Terdapat gelombang delta, kompleks QRS melebar.
Gambar 36. Jalur-jalur aksesori
- interval PR memendek - tak ada gelombang delta QRS tak melebar
- lnterval PR memendek - ada gelombang delta, QRS melebar Gambar 37. Pre-eksitasi pada jalur Kent: sindrom WPW. lmpuls dari sinus menempuh dua jalur: jalur 1 ialah jalur normal, jalur 2 melalui lalur Kent. lmpuls yang melalui jalur 2 mencapai ventrikel lebih awal dan mengaktivasi suatu daerah D di ventrikel, yang pada EKG menggambarkan gelombang delta (D). Aktivasi ventrikel
Gambar 38. Pre-eksitasi jalur James: Sindrom Lown Ganong Levine. lmpuls dari sinus menempuh dua jalur: jalur 1 ialah jalur normal, jalur2 melaluijalurJames lmpuls melalui jalur2 mencapai berkas His lebih awal karena tidak mengalami perlambatan di simpul AV, sehingga interval PB memendek, sedangkan bentuk kompleks QBS normal Aktivasi melaluijalur 2 tak mempunyai efek karena ventrikel dalam periode refakter mutlak
melalui jalur 2 menyusul sehingga bentuk akhir EKG ialah fusi antara aktivasi melalui jalur 1 dan ialur 2
Meskipun letak jalur Kent sangat bervariasi, pada garis besarnya dapat dibedakan 2 tipe, yaitu : Sindrom W-P-W tipe A. Di sini j alur Kent terletak di sebelah kiri, sehingga aktivasi dini terjadi di ventrikel kiri. Garnbaran EKG menyerupai bentuk BCBKa, dengan R yang tinggi di
- interval PR normal - ada gelombang delta, QRS melebar
V1danV2. Sindrom WPW tipe B. Di sini jalur Kent terletak di sebelah kanan, sehingga aktivasi dini terjadi di ventrikel kanan. Gambaran EKG menyerupai bentuk BCBKi, dengan defleksi QRS yang negatif di Vl dan V2.
Pre-eksitasl pada Jalur James Pre-eksitasi padajalur James disebutjuga sindrom lownGanong-Levine (L-G-L). Gambaran EKG pada sindrom LG-L menggambarkan interval PR yang memendek karena impuls yang melalui jalur ini mencapai ventrikel lebih cepat karena tidak diperlambat oleh simpul-AV. Tetapi aktivasi ventrikel ini berpangkal dari berkas His sehingga jalur
aktivasi ini tidak berbeda dari aktivasi normal. Ini menghasilkan kompleks QRS yang normal, tanpa gelombang delta.
Gambar 39. Pre-eksitasi jalur Mahaim. lmpuls dari sinus hingga simpul AV berjalan biasa, sehingga tak ada pengaruh terhadap interval PR lmpuls melali jalur 2 yang berawal dari berkas His, mencapai suatu daerah D di ventrikel (sedikit) lebih awal dari pada aktivsi ventrikel melalui jalur biasa (1), sehingga pada EKG terdapat gelombang delta Selanjutnya terjadi fusi dari aktivasi melalui kedua jalur tersebut
PENYAKIT JANTUNG KORONER
Elektrokardiografi ialah sarana diagnostik yang penting untuk penyakit jantung koroner.Yang dapat ditangkap oleh EKG ialah kelainan miokard yang disebabkan oleh terganggunya aliran koroner. Terganggunya aliran koroner menyebabkan kerusakan miokard yang dapat dibagi menjadi 3 tingkat : 1). Iskemia.
1535
EI.EKTROI(ARDIOGRAFI
kelainan yang paling ringan dan masih reversibel; 2). Injuri, yaitu kelainan yang lebih berat, tetapi masih reversibel; 3). Nekrosis, yaitu kelainan yang sudah ireversibel, karena kerusakan sel-sel miokard sudah permanen.
kiri, maka adalah penting untuk menentukan lokalisasi bagian-bagian dinding ventrikel kiri pada EKG. Pada umumnya dipakai istilah-istilah sebagai berikut
1.
:
Daerah anteroseptal:Vl -V4
2. Daerahanterior ekstensif : Vl -V6, I dan aVL 3. Daerah anterolateral: V4-V6. I dan aVL 4. Daerah anterior terbatas : V3-V5 5. Daerah inferior: II. III dan aVF 6. Daerah lateral tinggi : I dan aVL 7. Daerah posterior mumi memberikan bayangan cermin
Daerah lskemia Daerah injuri Daerah nekrosis
Vl, Y2 dan V3 terhadap garis horisontal. Proyeksi dinding-dinding ventrikel kanan pada dari
Endokard
umumnya terlihat pada V4R-V6R. Sering bersamaan dengan [,III, danaVF.
Epikard
Gambar 40. Berbagai derajat iskemia pada infark miokard
Masing-marsing kelainan ini mempunyai ciri-ciri ylng khas pada EKG. Pada umumnya iskemia dan injuri
menunjukkan kelainan pada proses repolarisasi miokard, yaitu segmen ST dan gelombang T. Nekrosis miokard menyebabkan gangguan pada proses depolari sasi, yaitu gelombang QRS. Gambar 41. Depresi ST pada iskemia miokard
lskemia Depresi ST. Ini ialah ciri dasar iskemia miokard. Ada
3
rnacam jenis depresi ST, yaitu : a). Horisontal, b). Landai ke bawah, c). Landai ke atas
Yang dianggap spesifik ialah a dan b. Depresi ST
a. Depresi ST horisontal, spesifik untuk iskemia b. Depresi ST landai ke bawah, spesifik untuk iskemia c. Depresi ST landai ke atas, kurang spesifik untuk iskemia
dianggap bermi*na bila lebih dzLri I mm, makin dalam makin
spesilik.
Inversi T. Gelombang T yang negatif (vektor T berlawanan arah dengan vektor QRS) bisa terdapat pada iskemia miokard, tetapi tanda ini tidak terlalu spesifik. Yang lebih spesifik ialah bila gelombang T ini simetris dan berujung lancip.
Inversi U. Gelombang U yang negatif (terhadap l) cukup spesifik untuk iskemia miokard. Gambar 42. Depresi T pada iskemia miokard
lnjuri
a
Ciri dasar injuri ialah elevasi ST dan yang khas ialah
b
konveks ke atas. Pada umumnya dianggap bahwa elevasi ST menunjukkan injuri di daerah subepikardial, sedangkan injuri di daerah subendokordial menunjukkan depresi ST yang dalam.
lnversi T pada umumnya kurang spesifik untuk iskemia lnversi T yang berujung lancip darr simetris (seperti ujung anak panah), spesifik untuk iskemia
Nekrosis Ciri dasar nekrosis miokard ialah adanya gelombang Q patologis yaitu Q yang lebar dan daJam, dengan syaratsyarat: lebar > 0,04 detik dalam >4 mm atau > 257o tinggi R
Lokalisasi Dinding Ventrikel pada EKG Karena iskemia miokard sebagian besar mengenai ventrikel
Gambar 43. lnversi U, cukup spesifik untuk iskemia
1536
IQ{RDIOI.OGI
fase sebagai berikut:
Fase awal atau fase hiperakut: l). Elevasi ST yang nonspesifik, 2).T yang tinggi dan melebar. Fase evolusi lengkap : 1). Elevasi ST yang spesifik, konveks ke atas, 2).T yangnegatif dan simetris, 3). Q patologis.
a. b. c.
infark lama: 1). Q patologis, bisa QS atau Qr. 2). ST yang kembali iso-elektrik, 3). T bisa normal atau negatif
Fase
Gambar 44. lnjuri miokard Elevasi ST cembung ke atas, spesifik untuk injuri (epikard)
Beberapa catatan tentang EKG pada infark miokard : 1).
Elevasi ST cekung ke atas, tidak spesifik Depresi ST yang dalam, menunjukkan injuri subendokardial
D-
Timbulnya kelainan-kelainan EKG pada infark miokard akut bisa terlambat, sehingga untuk menyingkirkan diagnosis infark miokard akut, diperlukan rekaman EKG serial; 2). Fase evolusi berlangsung sangat bervariasi, bisa beberapa jam hingga2 minggu. Bila elevasi ST bertahan hingga 3 bulan, maka dianggap telah terjadi aneurisma ventrikel; 3). Selama
evolusi atau sesudahnya, gelombang Q bisa hilang sehingga disebut infark mrokard non-Q. Ini terj adi 20-30%o
kasus infark miokard; 4). Gambaran infark miokard Gambar 45. Nekrosis miokard. Pada umumnya dianggap: Q menunjukkan tebalnya nekrosis, R menunjukkan sisa miokard yang masih hidup
a. Bentuk qR: nekrosis dengan sisa miokard sehat yang cukup b. Bentuk Qr: nekrosis tebal dengan sisa miokard sehat yang tipis Bentuk QS: nekrosis seluruh tebal miokard, yaitu transmural
c
lnferlor Lateral tinggi Anteroseptal Anterior ekstensil Anterolateral Anterior terbatas Ventrikel kanal
Posteior murni
subendokardial pada EKG tidak begitu jelas dan memerlukan konfirmasi klinis dan laboratoris. Pada umumnya terdapat depresi ST yang disertai inversi T yang dalam yang berlahan beberapa hari; 5). Pada infark miokard pada umumnya dianggap bahwa Q menunjukkan nekrosis miokard, sedangkan R menunjukkan miokard yang masih hidup, sehingga bentuk Qr menunjukkan infark non-transmural sedangkan bentuk QS menunjukkan infark transmural. Pada infark miokard non-Q, berkurangnya tinggi R menunjukkan nekrosis miokard; 6). Pada infark miokard dinding posterior murni, gambaran EKG menunjukkan bayangan cermin dari infark miokard anteroseptal terhadap garis horisontal, jadi terdapat R yang tinggi di V1, V2, V3 dan disertai T yang simetris.
Gambar 46. Lokalisasi dinding ventrikel pada EKG
Gambar 47. Gambaran EKG pada infark miokard akut : evolusi
Gambar 48. Contoh lokasi infark miokard
a. Fase hiperakut
a. lnfark akut anteroseptal
b. Fase ovulasi lengkap c. Fase infark lama
b. lnfark akut posterior murni
GAMBARAN EKG PADA INFARK MIOKARD AKUT
ANEKA KELAINAN ELEKTROKABDIOGRAFI
Hiperkalemia
Umumnya pada infark miokard akut terdapat gambaran iskemia, injuri dan nekrosis yang timbul menurut urutan tertentu sesuai dengan perubahan-perubahan pada
Bila kadar kalium darah meningkat, berturut-turut
miokard yang disebut evolusi EKG. Evolusi terdiri dari fase-
menjadi lebih pendek, 3). QRS menjadi lebar, 4). QRS bersahr
akan
nampak kelainan: 1).T menjadi tinggi dan lancip, 2). R
t537
tr.I F-KIROIQq'RDIOGRAFT
I sehingga segmen ST hilang, 5). P mengecil dan akhirnya menghilang. dengan
Hipokalemia Bila kadar kalium darah menurun. berturut-turut akan tampak kelainan-kelainan: 1). U menjadi prominen, 2).7 makin mendatar dan akhirnya terbalik, 3). Depresi ST, 4). Interval PR memanjang. Sering U yang prominen dikrra T sehingga seolah-olah interval QT memanjang.
Gambar 51. Gambaran EKG pada hipo dan hiperkalsemia Hipokalsemia Hiperkalsemia
:
QT memanjang terutama karena perpanjangan ST QT memendek, terutama karena pemendekan ST
:
Hiperkalsemia Kelainan EKG yang terpenting ialah interval QT yang memendek.
Hipokalsemia Kelainan EKG yang terpenting ialah perpanjangan segmen Sl sehingga interval QT memanlang.
Gambar 52. Efek digitalis. QT yang memendek, depresi ST yang menurun landai dan kemudian naik dengan curam dan T yang rendah
Digitalis Digitalis dapat mempengaruhi bentuk QRS-T, yang disebut efek digitalis: l). Memperpendek interval QT, 2) Depresi ST, mulai dengan menurun landai disusul bagian akhir yang naik dengan curam. 3). Sering menjadi rendah. Selain
itu bisa terjadi gangguan pembentukan dan penghantar impuls.
:\^r\A -]4
Gambar 53. Perikarditis akut. Elevasi ST kurang dari 5 mm, bentuk cekung ke atas, tidak timbul Q
Perikarditis
Gambar 49. Gambaran EKG pada hiperkalemia. Bila kadar K-
Pada perikarditis, biasanya teriadi peradangan pada epikard, sehingga gambaran EKG menyerupai gambaran iniuri pada epikard berupa elevasi ST. Pada perikarditis
makin meningkat:
yang hanya sedikit menimbulkan peradangan pada epikard
a. T meninggi dan lancip, R menjadi pendek
maka EKGbisanormal. Kelainan EKG yang khas untuk perikarditis ialah sebagai
K+ meningkat
K+ normal
b
QBS melebar dan bersatu dengan T
berikut: 1. Elevasi segmen ST : a). Biasanya luas kecuali
c. P merendah dan hilang
2.
Vl
dan
aVR, b).Bentuk konkaf ke atas, c). Kurang dari 5 mm T menjadi terbalik, terutama setelah segmen ST kembali ke garis isoelektrik.
3.
;\^ K+ normal
TidaktimbulQ. Pada efusi perikardial, tanpa adanya peradangan
K+ menurun
a. U prominen, T mendatar
epikardial; tidak terdapat elevasi ST. Dalam hal ini gambaran EKG hanya menunjukkan voltase yang rendah pada QRS dan T. Mengenai gambaran EKG pada kelainan irama jantung (aritmia) dibahas khusus pada topik khusus di bagian lain
b. Depresi ST, Tterbalik, PR memanjang
buku ini.
Gambar 50. Gambaran EKG pada hipokalemia Bila K. makin menurun:
1538
KARDIOI.OGI
BEFERENSI Arrhytmia -a Guide to Clinical Electrocardiology. Erik Sandoe, Sigurd' Publishing Partners Verlags GmbH., 1991. Arrhytmia. Diagnosis and Management. Erit Sandoe, Bjarne Fachmed AG-Verlag fur Fach-medien, 1984.
fUark Silverman
Bjame Sigurd
A, Kessler KM, Meyerburg RJ. The resting McGrawHilll nc. lgg4, 321-52, Fish C. Electrocardiography and vectocardiog- raphy. In: Braunwald, Heart Disease, Fourth Edition, WB Saunders Company. 1992: 1 16_60. Castellanos
electrocardiogram. In: Hurst, The Heart, Eight Edition,
Hein J.J. Wellens, Mury B. Conover. The ECG in Emergency Dedsion Making WB. Saunders Com- pany.l992.
E
Myerburg RJ. Willis HurstJW. Electrocardio-
graphy, Basic Concepts and Clinical Application. McGraw-Hill Book Company, 1983.
Thomas Bigger, J.Jr. The electrical activity of the heart. In :Hurst .The Heart, , Eight Edition,1994:.645-57. Waldo AL, Wit AL. Mechanism of cardiac anhythmias and conduction disturbances. In: Hurst, The Hearl, Eight Edition, McGrawHilllnc 1994: 656-97. WHO ISFC Task Force. Classification of cardiac arrhytmias and conduction disturbances. Am Heart J, 19'79l' 98(2): 263-7. WHO/ISFCTaskForce. Definition of terms related to cardiac rhytm. Am Heart t, 7978;95(6): 796-806.
240 RADIOLOGI JANTUNG Idrus Alwi
sloping bagian inferior mediastinum pada foto lateral.
RADIOLOGI DADA NORMAL
dimaksud dengan normal. Pada pemeriksaarr rontgen dada PA standar, diameter
Jantung mudah dibedakan dari paru-paru karena jantung lebih mengandung darah dengan densitas air lebih besar dibandingkan dengan udara. Karena darah melemahkan x-ray lebih kuat dibandingkan dengan udara, jantung relatif tampak berwarna putih (namun kur"ang putih dibandingkan dengan tulang) dan paru-paru relatif hitam (kurang hitam dibandingkan dengan ujung-ujung film di
keseluruhan jantung yang normal adalah kurang dari
mana tidak ada jaringan yang menghalangi). Bantalan lemak
setengah diameter tranversal toraks. Jantung pada daerah toraks kisarannya tiga perempat ke kiri dan seperempat ke kanan dari tulang belakang. Mediastinum lebih sempit, dan
dengan ketebalan yang berbeda mengelilingi apeks jantung. Lemak memiliki kepadatan yang lebih besar dibandingkan dengan udara dan sedikit lebih kecil
biasanya aorta descendens dapat didefinisikan dari arkus ke kubah diafragma di sisi kiri. Di bawah arkus aorla, dapat dilihat hilus pulmonal, sedikit lebih tinggi pada bagian kiri
dibandingkan dengan darah. Kantong perikardium tjdak dapat didefinisikan secara normal. Pinggiran dari siluet jantung biasanya cukup tajam namun konturnya tidaktajam secara keseluruhan. Meskipun waktu pajanan terhadap sinar x sangat singkat (kurang dari 100 milidetik), biasanya terdapat gerakanjantung yang cukup mengakibatkan agak buramnya siluet tersebut. Jika sebagian pinggiran j antung tidak bergerak, seperti dalam kasus aneurisma ventrikel kiri, pinggirannya nampak tajam. Arkus aorta biasanya terlihat, karena aorta mengalirkan darah secara posterior
Pada pembacaan foto rontgen dada, pendekatan secara sistematis adalah penting, berdasarkan penilai an pertama pada anatomi dan selanjutnya fisiologi. Pendekatan ini tentu saja didasarkan pada pemahaman mengenai apa yang
dibandingkan dengan bagian kanan. Pada foto lateral, arteri pulmonalis utama kiri dapat terlihat superior dan posterior
dibandingkan dengan yang kanan. Pada penampakan frontal sekaligus lateral, aorta asendens (akar aorta) biasanya terhalang oleh arteri pulmonalis utama dan kedua atrium. Lokasi pulmonary outflow tractbiasany aielas pada foto lateral.
dan dikelilingi oleh udara. Sebagian besar aorta desendens juga dapat terlihat. Posisi dan ukuran masing-masing dapat dievaluasi dengan mudah dengan pandangan frontal dan lateral.
RUANG JANTUNG DAN AORTA Pada pandangan PA, kontur bagian kanan mediastinum berisi atrium kanan, aorta asendens dan vena kava. Ventrikel kanan, setengahnya menutupi ventrikel kiri pada penampakan frontal sekaligus lateral. Atrium kiri terdapat inferior dari hilus pulmonal kiri. Pada kondisi normal, terdapat cekungan pada tingkat ini, yaitu pada left atrial
PARU DAN VASKULARISASI PARU Ukuran paru-paru bervariasi sebagai fungsi inspirasi, usia, bentuk tubuh, kandungan air, dan proses-proses patologis intrinsik. Dengan adany a peningkatan disfun gsi ventrikular kiri, cairan interstisial dalam paru-paru meningkat dan ekspansi paru-paru menurun. Di sisi lain, paru-paru nampak lebih besar dan lebih gelap jika disertai penyakit paru
appendage. Atrium membentuk sebagian atas kontur posterior jantung pada foto lateral namun tak dapat dipisahkan dari ventrikel kiri. Ventrikel kiri membentuk apeks jantung pada pandangan frontal seperti halnya
153
1540
Ii{RDIOI.OGI
obstruktif kronis dengan pembentukan bula. Jika ekspansi paru-paru menurun, jantung nampak sedikit lebih besar meskipun jantung sebenarnya tidak berubah ukurannya. Namun, jantung tersebut tidak melebihi setengah diameter transversal dada pada foto PA yang berkualitas baik kecuali jika benar-benar ada kardiomegali. Penting untuk diingat bahwa pembesaran yang nyata kemungkinan di sebabkan
oleh pembesaran j antung secara kesel uruhan,
pelebaran satu ruang jantung atau lebih, atau cairan perikardial. Pada pasien-pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis, jantung seringkali nampak berukuran kecil atau normal pada kondisi disfungsijantung. Pada subyek normal, arteri pulmonalis biasanya dapat
terlihat dengan mudah pada hilus dan secara bertahap berkurang lebih perifer. Afieri-arleri pulmonalis kanan dan kiri utama biasanya tak dapat diidentifikasi secara terpisah,
jantung yang menyempit, meningkatkan diameter transversal, sehingga jantung mungkin nampak membesar pada penampakan frontal namun diameterAP yang sempit yang terlihat pada penampakan lateral dapat menjelaskan hal ini. Kifosis atau skoliosis juga dapat menyebabkan jantung
atau mediastinum nampak abnormal. Oleh karena itu penting halnya untuk memeriksa tulang belakang dan
struktur tulang lainnya secara sistematis
saat
memperhatikan radiografi dada.
EVALUASI FOTO RONTGEN DADA PADA PENYAKITJANTUNG
Penyakit kardiovaskular menyebabkan perubahanperubahan yang beragam dan kompleks dalam gambaran
kirena rnereka terletak dengan mediastinum. Jika paru-paru
foto rontgen dada. Kardiomegali secara keseluruhan
diandaikan terbagi menjadi tiga bagian, arteri utama adalah sentral, arteri-arteri kecil yang mudah dibedakan dengan jelas di zona tengah, dan arteri-arleri kecil dan arteriol yang
dapat ditentukan dengan akurat pada penampakan frontal dengan mencatat apakah diameter jantung melebihi setengah diameter toraks atau tidak. Kardiomegali paling sering terlihat karena kardiomiopati iskemia yang
biasanya di bawah batas resolusi pada zona luar. Dalam keadaan standar, pandangan frontal berdiri, arleri-arteri pada zona yang lebih rendah lebih besar dibandingkan dengan yang berada dr zona yang lebih tinggi, padajarak yang sama dari hilus. Penampakan tersebut sehubungan efek gravitasi pada sirkulasi paru-paru bertekanan rendah yang normal. Hal tersebut terjadi demikian, jika gravitasi
mengarah pada volum intravaskular yang sedikit lebih besar pada dasar-dasar paru-paru dibandingkan dengan padazona-zona yang lebih tinggi. Sudut yang dibuat oleh paru-paru dengan diafragma biasanya sangat tajam dan dapat ditandai dari dua sisi pada penampakan frontal dan lateral. Kontur yang dibentuk oleh vena kava inferior denganjantung terlihatjelas pada foto lateral. Jika pasien diletakkan pada sisinya dengan sisi kiri menghadap film, bagian kanan relatif sedikit diperbesar dibandingkan dengan yang
mengikuti infark miokard. Dalam penilaian foto rontgen dada secara sistematis, langkah pertama adalah untuk menetapkan tipe film apa yang akan dievaluasi-PA dan lateral, PA saja, atau AP (entah portabel atau satu diambil dalam pandangan AP karena pasien tidak mampu berdiri). Langkah berikutnya adalah menentukan apakah foto-foto
sebelumnya tersedia untuk perbandingan.
kiri.
VARIASINORMAL Variabel anatomis dan penuaan merupakan tantangan dalam evaluasi foto rontgen dada karena penurunan compliance paru. Aorta dan pembuluh darah besar biasanya menyempit dan menjadi lebih berTrkl(tourtuous) dan lebih jelas seiring bertambahnya usia, mengarah pada
pelebaran mediastinum superior. Jantung nampak lebih
besar karena penurunan komplaiens paru kecuali jika melnang ada penyakitjantung, jantung ukurannya kurang dari setengah diameter transversal dada pada pandangan PA. Pasien yang obes lebih mungkin memiliki derajat hambatan ekspansi paru-paru maksimal, sehingga mungkin akan membuat jantung normal nampak sedikit lebih besar. Pasien dengan pektus ekskavatum memiliki diameter AP
Gambar 1. A). Proyeksi frontal jantung dan pembuluh darah; B). Gambar garis pada proyeksi frontal menunjukkan hubungan katup jantung, cincin, dan sulci ke garis mediastinal A= ascending aoftai AA= aoriic archi Az= azygous vein; LA= left atrial appendage; LB= left lower border of pulmonary arlery, LV= left ventricle; PA= main pulmonary afteiy, RA= right atrium, S= superior vena cava;
SC= subclavian aftery
PABU DAN VASKULARISASI PARU Pemeriksaan terhadap pola vaskularisasi paru merupakan hal yang sulit namun sangatpenting. Pemeriksaan tersebut
t54r
RADIOI.OGIJANTUNG
bervariasi tergantung posisi pasien (berdirr versus berbaring) dan berubah secara mendasar oleh penyakit paru yang mendasarinya. Cara terbaik untuk menilai
RUANG.RUANG JANTUNG DAN PEMBULUH BESAR
vaskularisasi paru adalah dengan memperhatikar, zona tengah paru-paru (misalnya sepertiga dari paru-paru di
Evaluasi terhadap jantung harus dilakukan secara sistematis. Setelah menilai ukuran keseluruhan dan pola vaskular paru sebagai refleksi status fisiologis jantung bagian kiri-ruang
antara daerah hilus dan daerah perifer lateral) dan
jantung harus diperiksa. Seperti telah disebutkan, tidak
membandingkan daerah pada lapangan paru atas dengan daerah pada daerah yang lebih rendah pada jarak yang sebanding dari hilus. Pembuluh darah harus lebih besar pada paru-paru bagian bawah namun berbeda dengan jelas pada zora-zor\a atas dan bawah. Pada kondisi normal, pembuluh-pembuluh menyempit dan bercabangcabang dan sulit ditemukan pada sepertiga luar dari paru-paru. Dalam kondisi normal tak terlihat di dekat pleura. Pada pasien dengan high-output s/a/e (misalnya kehamilan, anemia berat seperti pada penyakit sickle cell, hipertiroidisme) atau shuntkiri ke kanan, karena aliran
mungkin untuk menunjukkan ruang jantung dengan jelas pada sebuah foto rontgen dada normal. Pada penyakit valvular yang didapat dan pada banyak jenis penyakit jantung kongenital, ditemukan pembesaran ruang jantung.
arteri pulmonalis meningkat, pembuluh-pembuluh pulmonalis dapat terlihat lebih jelas dibandingkan dengan biasanya pada paru-paru perifer. Pada keadaan tekanan arteri pulmonalis yang meningkat, batas-batas pembuluh menjadi tidak jelas, pembuluh-pembuluh pada zona rendah menyempit dan yang berada pada zona lebih tinggi membesar, dan pembuluh-pembuluh menjadi lebih
ATRIUM KANAN Perbesaran atrium kanan biasanya tak pernah terbatas
(isolated') kecuali dengan adanya atresia trikuspid kongenital atau kelainan Ebstein, keduanya jarang terj adi meskipun pada kelompok usia anak. Atrium kanan dapat melebar dengan adanya hipertensi pulmonal atau regurgitasi trikuspid, namun pelebaran ventrikel kanan biasanya melebihi atau menghalangi atrium. Kontur atrium
kanan bergabung dengan vena kava superior, arteri pulmonalis utama kanan dan ventrikel kiri.
jelas ke arah pleura, pada sepertiga luar paru-paru. Dengan tekanan akhir diastolik ventrikel ktri (left ventricular end-diastolic pressltre =LVEDP) ata:u left atrial pressure yang meningkat, edema interstisial
VENTRIKEL KANAN
meningkat dan akhirnya muncul edema paru. Biasanya
retrosternal. Pemenuhan tersebut disebabkan oleh pergeseran letak tranversal apeks ventrikel kanan saat ventrikel kanan melebar. Karena pada orang dewasa
terdapat korelasi pola vaskular paru dar, pulmonary capillary wedge pressure (PCWP). Pada PCWP yang lebih kecil dari 8 mm Hg, pola vaskular adalah normal. Sementara PCWP meningkat menjadi 10 sampai 72mm Hg, diameter pembuluh-pembuluh pada zona lebih rendah
Tanda klasik pembesaran ventrikel kanan adalah jantung "boot-shaped' dan pementhat (filling in) ruang udara
ventrikel kananjarang melebar tanpa pelebaran ventrikel kiri secara bersamaan, bentuk boot ini seringkali tidak jelas. Bentuk tersebut paling sering terlihat pada penyakit
nampak sebanding atau lebih kecil dari pembuluhpembuluh padazona yang lebih tinggi. Pada tekanan 12 sampai 18 mm Hg batasan-batasan pembuluh menjadi lebih buram secara bertahap karena meningkatnya ekstravasasi cairan ke dalam interstisium. Efek ini terkadang mudah dikenali sebagai Kerley B lines, yatg horizontal, basis pada pleura, densitas linier perifer. Bersamaan dengan meningkatnya PCWP melebihi 18 sampai 20 mm Hg, muncul edema paru dengan adanya
jantung kongenital, biasanya pada tetralogi
cairan interstisial dalam jumlah cukup untuk
pembesaran bilik kanan yang dapat dipercaya. Pembesaran ventrikel kanan paling sering ditemukan
mengakibatkan gambaran bat wing perihilar. Gambaran khas tersebut dapat berubah untuk beberapa hal. Pada pasien fibrosis paru luas atau bula multipel, terdapat pola vaskular abnormal pada baseline dan jika terdapat peningkatan PCWP, tak ada perubahan yang dapat diprediksi. Pada pasien gagal jantung kronis, terdapat perubahan-perubahan kronis pada pola vaskular paru yang tidak berhubungan dengan perubahan yang muncul pada pasien dengan tekanan ventrikel kiri yang normal pada baseline.
FaLLot.
Bersamaan dengan melebarnya ventrikel kanan, ventrikel tersebut meluas secara superior juga secara lateral dan posterior, memenuhi ruang udara retrosternal. Ajaran yang klasik adalah pada foto rontgen dada lateral, pada pasien normal densitas jaringan lunak terbatas pada kurang dari sepertiga jarak dari suprasternal notch sampai ke ujung xyphoid. Jika jaringan lunak tersebut memenuhi lebih dari setengah jarak ini, hal tersebut merupakan indikasi
pada penyakit katup mitral, setelah terjadi hipertensi pulmonal. Yang lebih jarang adalah karena hipertensi pulmonalprimer.
ATRIUM KIRI Terdapat beberapa tanda klasik yang menunjukkan pembesaran atrium kiri. Yang pertama adalah pelebaran
1542
KARDIOI.OGI
kanan. Ventrikel kiri tetap berukuran normal. Pada regurgitasi mitral, atrium dan ventrikel kiri keduanya beflambah besar karena meningkatnya aliran. Redistribusi
vaskular paru lebih bervariasi pada regurgitasi mitrai dibandingkan dengan stenosis mitral, seperti halnya pelebaran ventrikel kanan.
VENTRIKEL KIRI Pembesaran ventrikel kiri dicirikan dengan kontur apeks yangjelas dan mengarah ke bawah, yang dibedakan dari pergeseran letak transversal seperti yang terlihat pada pembesaran ventrikel kanan. Kontur keseluruhan jantung biasanya juga membesar, meskipun hal ini tidak spesifik. Juga penting mengevaluasi ventrikel kiri pada posisi lateral, di mana tampak sebagai tonjolan posterior, di bawah tingkatan anulus mitral. Pembesaran ventrikel kiri fokal pada orang dewasa paling sering terlihat pada insufisiensi aofta atau regurgitasi mitral (dengan pelebaran atrium kiri). Pelebaran ventrikel kiri lebih jarang pada stenosis aorta, rneskipun hal tersebut dapat terjadi, bersamaan dengan gagal jantung kongesti l. Gambar 2. A) Radiografi dada lateral; B). Gambaran anatomis ruang jantung dan pembuluh darah; C). Diagram proyeksi lateral pada ruang jantung, cincin katup dan sulci
ARTER! PULMONALIS
Arteri pulmonalis utama dapat terlihat abnormal pada left atrial appendage di mana biasanya tampak sebagai cembungan fokal dalam keadaan normal terdapat cekungan di antara arteri pulmonalis utama kiri dan batas kiri ventrikel kiri pada penampakan frontal. Yang kedua, dikarenakan lokasinya, bersamaan dengan membesarnya atrium kiri, hal tersebut akan mengan gkat left main stem bronchu.s sehingga akan melebarkan sudut karina. Yang ketiga bersamaan dengan membesamya atrium kiri secara
posterior, hal tersebut mungkin menyebabkan membengkoknya aorta torakalis tengah sampai yang rendah ke arah
banyak keadaan. Pada stenosis pulmonal, arteri pulmonalis utama dan arteri pulmonalis kiri melebar. Pelebaran ini dianggap disebabkan oleh efek jet melalui katup stenotik. Pembesaran ini dapat terlihat dengan hilus kiri yang jelas pada penampakan frontal dan prominent pulmonary outflow tract pada penampakan lateral. Penting halnya untuk mengingat bahwa katup pulmonal berada lebih tinggi dan perifer dari out'low tract dibandingkan dengan katup aorta. Katup tersebut juga terletak di depan katup aorta pada penampakan lateral.
kiri. Pembengkokan ini dapat dibedakan
dari liku (tourtuous') yang terlihat pada aterosklerosis, yang melibatkan aorta torasik desendens pada bagian atasnya atau keseluruhan. Selanjutnya, dengan
AORTA
pembesaran atrium
kiri yang khas, densitas ganda dapat dilihat pada penampakan frontal, karena atrium kiri
Pada foto dada frontal, pelebaran aorta terlihat sebagai tonjolan mediastinum tengah ke arah kanan. Juga terdapat
memberikan proyeksi secara lateral ke arah kanan juga
sebuah tonjolan pada anterior mediastinum pada penampakan lateral, di belakang dan superior terhadap pulmonary outflow tract. Pelebaran aortic root paling sering terlihat pada hipertensi sistemik lama yang tak terkontrol. Pembesaran aortic root jlga ditemukan pada penyakit katup aorta.
secara posterior dan dikelilingi oleh paru-paru. Yang terakhir, pada foto lateral, pembesaran atrium kiri nampak sebagai tonjolan khas yang mengarah ke posterior.
Pembesaran atrium
kiri
yang terbatas pada orang
dewasa paling sering terlihat pada stenosis mitral, dan pembesaran atrium kiri merupakan ciri penyakit katup mitral. Pada stenosis mitral, atrium kiri membesar, terdapat bukti redistribusi vaskular paru (seringkali dengan Kerley B lines'), dan pada akhimya terdapat pembesaran ventrikel
Pada stenosis aorta, biasanya terdapat pelebaran fokal
aortic root yang seringkali jelas, dan seringkali tanpa disertai pembesaran ventrikel kiri. Ventrikel kiri biasanya menjadi hipertrofi sebagai respons terhadap peningkatan
t543
RADIOI.OGIJANTUNG
resistensi terhadap out'low dibandingkan dengan melebar seperti yang terjadi sebagai respons terhadap peningkatan
volume aliran yang terjadi karena insufisiensi aorta. Penebalan dinding ventrikel pada hipertrofi dapat dilihat dengan pemeriksaan ekokardiografi, CT atau MRI, namun ventrikel mungkin tampak normal pada pemeriksaan foto rontgen dada walaupun terdapat stenosis katup aorta berat. Pada keadaan di mana sudah terjadi dekompensasi ventrikel
kiri, terdapat pembesaran aortic root dan ventrikel kiri. Pada regurgitasi aorta, keterlibatan aorta biasanya lebih
difus dibandingkan dengan stenosis aorta dan lebih mudah terlihat. Pada regurgitasi aorta murni, atrium kiri biasanya tidak membesar. Namun, seiring dengan waktu, mungkin
muncul pelebaran anulus mitral sekunder terhadap pelebaran ventrikel kiri dengan hasil regurgitasi mitral dan pelebaran atrium kiri. Meskipun regurgitasi aorta secara klasik muncul pada demam reumatik (dengan penyakit katup mitral yang terkait), defek kongenital, atau penyakit katup degeneratif, mungkinjuga disebabkan oleh penyakit pada aortic root, termasuk cystic medial necrosls, dengan atau tanpa sindrom Marfan. Pada cystic medial necrosis, keterlibatannya difus, dan biasanya terdapat pelebaran aorta pada tingkatan katup setidaknya melalui arkus. Pada sifilis tersier, sekarang jarang terlihat, penemuan khasnya adalah pelebaran khas aorta dari akar sampai ke arkusnya, namun mendadak menjadi normal diameternya pada
tingkatan ini. Pelebaran aneurisma aorta asendens juga terjadi pada cystic medial necrosis. Kelainan aorta lainnya, seperti diseksi akut atau kronis dan ruptur traumatik atau pseudoaneurisma, lebih baik dilihat dengan CT.
PLEURA DAN PERIKARDIUM Perikardium jarang dapat dibedakan pada pemeriksaan foto rontgen dada. Terdapat dua keadaan di mana perikardium
dapat dilihat. Pada efusi berat, perikardium viseral dan parietal akan terpisah. Karena terdapat bantalan lemak yang berhubungan dengan masing-masing, terkadang mungkin untuk membedakan dua garis lucent yar,g paralel pada foto lateral, biasanya pada daerah puncak (apeks) jantung, dengan kepadatan (cairan) di antaranya. Biasanya, siluet
jantung tersebut memiliki bentuk "water bottle" jlka terdapat efusi perikard berat, namun bentuk seperli itu sendiri tidak memastikan diagnostik.
Kalsifikasi pleura sekaligus perikard dapat muncul, namun seringkali tidak jelas. Kalsifikasi perikardial berhubungan dengan riwayat perikarditis dan paling sering berhubungan dengan tuberkulosis danjuga karena etiologi lainnya, seperti infeksi viral, biasanya tipis dan linear dan mengikuti kontur perikardium. Karena kalsifikasi tersebut tipis, hal tersebut seringkali hanya terlihat pada satu sisi.
REFERENSI Bettmann MA. The chest radiograph in cardiovascular disease. In: Braunwald E, Zipes DP, Libby P, eds. Heart disease: a textbook
of cardiovascular medicine 7th ed. Philadelphia: Saunders;2005.p.21
WB
l-86.
Boxt LM. Radiology of the right ventricle. Radiol Clin North Am. 1999:.37:379
Lipton MJ, Coulden R. Valvular heart disease. Radiol Clin North
Am. 1999;37:31. Murray JG, Brown AL, Anagnostou EA, et al. Widening of the tracheal bifurcation of chest radiographs:value as a sign of left atrial enlargement.AJR 1995 ; 1 64: 1089. Thomas JT, Kelly RF, Thomas SJ et al: Utility of history, physical examination, electrocardiogram, and chest radiograph for differentiating normal from decreased systolic function in patients with heart failure. Am J Med 2O02;172:43'7.
24t ELEKTROKARDIOGRAFI PADA UJI LATIH JANTUNG Ika Prasetya Wijaya
PENDAHULUAN Mutlak
Uji latih jantung dengan menggunakan treadmil sering dikenal dengan tes treadmil. Uji latih ini sudah sering dilakukan sebagai cara untuk mengetahui adanya
lnfark miokard akut dalam 2 hari Angina tak stabil yang risiko tinggi Aritmia jantung tak terkontrol dengan gejala dan gangguan hemodinamik Stenosis aorta berat dengan gejala lnfark paru atau emboli paru akut Perikarditis atau miokarditis akut Diseksi aorta akut
gangguan pada pembuluh darah koroner, gangguan irama serta menjadi bahan referensi untuk pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui adanya kelainan jantung. Ada dua cara yang dikenal sebagai uji latih yakni dengan treadmil atau dengan sepeda ergometri. Sebelum pelaksanaan tes semua alat dan perlengkapan guna tindakan kedaruratan harus tersedia dalamjangkauan
Relatif Stenosis di pembuluh koroner left main Penyakit jantung katup stenosis yang sedang Gangguan elektrolit Hipertensi berat Takiaritmia dan bradiaritmia Kardiomiopati hipertrofi dan bentuk lain hambatan aliran ke luar jantung Gangguan fisik dan mental yang mengganggu jalannya pemeriksaan Blok atrioventrikular deraiat tinqoi
tenaga pelaksana. Defibrilator, oksigen dan obat-obat untuk mengatasi terjadinya gangguan pada jantung
merupakan hal yang wajib tersedia. Tenaga yang melaksanakan harus mengerti tatalaksana tindakan kedaruratan kardiak dan sudah menjalani pelatihan sebelumnya.
. Alat treadmil sebaiknya mempunyai jalur aman di sisinya untuk menjaga keamanan pasien. Lengan pasien juga harus bebas dari alat agar mudah dilakukan
Pelaksana tes wajib pula mengetahui obat-obat yang
pemeriksaan tekanan darah oleh pemeriksa.
dikonsumsi pasien sebelum melaksanankan tes. Penggunaan obat penghambat B sebaiknya tidak
PERSIAPAN SEBELUM TES
dihentikan bila memang sangat diperlukan pasien walau dapat mempengaruhi hasil tes. Persiapan juga dilakukan terhadap kebersihan kulit agar tidak menimbulkan banyak
Pasien disarankan untuk tidak makan, minum dan merokok duajam sebelum tes. Lakukan anamnesis tentang riwayat
artefak pada rekaman EKG. Pemeriksaan EKG 12 lead wajlb dilakukan sebelum
penyakit pasien dan kemampuan aktivitas fisik pasien
tes baik pada posisi berbaring dan berdiri. Pemasangan elektroda sebaiknya menghindari daerah lengan agar
terakhir untuk melengkapi status. Laksanakan pemeriksaan awal dalam keadaan istirahat pada pasien dalam posisi yang
nyaman. Semua
ini untuk mengetahui apakah
pasien
memiliki gejala yang menjadi kontraindikasi mutlak maupun relatif tes ini. (Tabel l)
tidak menimbulkan gangguan rekaman. Jadi elektrode lengan sebaiknya diletakkan di bahu, elektroda hijau (grounds di spina pinggang dan untuk kaki kanan di bawah umbilikus, atau modifikasi lainnya.
1s44
ELEKTROKARDIOGRAFI
PADA UJI
t545
LAIIH JANTUNG
PELAKSANAAN TES
Komplikasi dapat diketahui segera bila kita tetap
mengurangi terjadinya perubahan gambaran EKG. Setelah dianggap cukup, pasien duduk atau dapat pula berbaring sambil tetap dilakukan pengawasan dan rekaman 10 detik
melakukan pengawasan pada tekanan darah, mengawasi hasil rekaman EKG bertanya pada pasien tentang gejala
pertama setelah kaki berhenti. Pengawasan pasca tes
yang dialami dan gejala keletihan dan melakukan penilaian terhadap semua gejala atau tanda yang muncul saat tes.
lama sampai gejala atau gambaran perubahan EKG
Selama tes berlangsung sebaiknya lengan pasien tidak memegang dengan kencang pada tempat pegangan agar tidak menimbulkan hasil yang tidak sesuai dengan
dilakukan selama 5 menit walau terkadang dilakukan lebih berkurang atau hilang.
PROTOKOL YANG DIGUNAKAN
kemampuan pasien.
Target frekuensi nadi sebaiknya tidak terlalu bergantung pada umur agar tidak mengacaukan kemampuan yang dimiliki pasien, karena kemampuan yang ada bersifat individual. Walau demikian sebagai patokan pencapaian kerja fisik dapat digunakan. Kapan kita melakukan penghentian tes dapat dilihat di
Ada beberapa macam protokol. Yang sering digunakan
Tabel 2.
perlahan saja.
Mutlak Tekanan darah sistolik turun drastis > '10 mmHg dari hasil pemeriksan sebelum uji latih disertai bukti lain adanya gejala iskemia Angina sedang ke berat Gejala sistem saraf meningkat (seperti ataksia, mengantuk dan gejala sinkop) Tanda rendahnya perfusi (sianosis dan pucat) Sulit untuk evaluasi EKG dan tekanan darah Pasien meminta berhenti Takikardia ventrikel menetap
E/evasl ST (>1.0 mm) tanpa ada diagnosis gelombang Q (selain /eadVlatau aV)
Relatif Tekanan darah sistolik turun drastis > 10 mmHg dari hasil pemeriksaan sebelumnya namun tanpa disertai gejala iskemia Perubahan ST dan QRS seperti menurunnya ST (>3 mm penurunan segmen ST baik horisontal maupun downsloping) atau perubahan aksis tetap Aritmia selain aritmia ventrikel suslalned Lemas, sesak napas, timbul mengi, kram kaki atau gejala klaudikasio ferjadi bundle branch block pada konduksi intraventrikular yang tidak dapat dibedakan dengan takikardia ventrikel Nyeri dada yang meningkat Hipertensi yang meningkat
Untuk mengetahui kemampuan pasien sesungguhnya, dapat digunakan skala Borg.
adalah protokol Bruce dan Naughton. Pada metode Bruce, selama menjalani uji latih, pasien akan mendapatkan beban dari alat dengan menaikkan ban berjalan beberapa derajat disertai penambahan kecepatan setiap peningkatat stage.
Metode Naughton hanya ada peningkatan kecepatan
l,ll-Grade Scale
1i-Grade Scale b 7 8
Very, very light
9
Very light
2
11
Fairly light
12 13 14
4 5
Somewhat hard
6
15
Hard
0
0.5 1
'10
Nothing Very, very weak (jusl Very weak Weak (light)
,.
J
7
16 17
Somewhat strong Strong (. ) Very strong
B
I
10
Very, very strong (hampir maksimum)
'18
19
Very, very hard
Maksimum
20
* From berg GA Med Sport. 1982;14:377-381 Reproduced with permission
FREKUENSI NADI Target denyutjantung yang akan dicapai sebaiknya bukan menjadi masalah untuk tidak memastkan bahwa hasil tes tidak dapat diolah. Semua hasil tes disimpulkan sesuai dengan gejala atau gambaran rekaman yang terjadi selama pelaksanaan tes.
PEMULIHAN DENYUT JANTUNG FASE PEMULIHAN SETELAH TES
Denyut Jantung atau frekuensi nadi akan berkurang Setelah mencapai kemampuan maksimal, maka pasien diminta untuk berhenti secara teratur. Setelah alat teadmil berhenti sempurna, pasien tetap menggerakkan kakinya
seperti jalan
di tempat dengan santai. Hal ini untuk
dengan cepat setelah tes dihentikan. Apabila berkurangnya
denyut jantung kurang dari 20 kali/menit pada menit pertama dan kedua, maka ini menjadi prediktor meningkatnya risiko kemalian.
1546
I(ARDIOLOGI
TEKANAN DARAH
A.resting ST elevation--------| Exercise induced ST depression or at PQ level
i"'
Tekanan darah sistolik seharusnya naik saat tes berlangsung. Bila terjadi penurunan tekanan darah di
ii l
ii
li it
I
btiwah tekanan darah sebelum tes, bisa menjadi kriteria yang diwaspadai. Bila terjadi aktivitas yang menyebabkan terjadin-va hipotensi, maka dianggap terjadi disfungsi ventrikel kiri, iskemia atau obstruksi alilan keluar.
,
J-Junction
Standing pro- exercise Exercise response
Peningkatan tekanan darah yang cepat saat tes beriangsung menjadi penilaian adanya kemungkinan
B. When the ST level begins below the isoelectric line:
tir-nbulnya iskemia.
Standing pre- exercise Exercise response
KAPASITAS FUNGSIONAL Kemampuan mencapai kapasiias maksimal saat aktivitas menjadi salah satu penilaian. Untuk mengetahui dapat disesuaikan dengan skala MET. (Tabel 4)
J-JunoUon - ,-'
\
ResUng ST depression with
Exercise induced St dePression
D Rest ng ST depresion with spasmor exercise lnduced ST elevalron
1 MET
2 METs
4 METs <5 METs 1O
METs
13 METs 18 NIETs
20 METs
Resting Level walking at 2 millhour Level walking at 4 millhour Poor prognosis: peak cost of basic activities of daily living Prognosls with medical therapy as good as coronary aftery byPass surgery Excellent prognosis regardless of other exerctse responses Elite endurance athletes Word-class athletes
iransmura
Standinq
prc
exerclse
E.Wal! motion abnormalitY
(Not ischemia) St elevalion with tachYCardia over diagnosis Q waves
INTERPRETASIEKG PQ
Point
t
Depresi ST segmen menunjukkan iskemia subendokardial. Digunakan gambaran pada lead V5, serta II dan aVF. Gambaran EKG pada kemampuan maksimal (ercercise mcLrimal) dan masa 3 menit saat recoven, menjadi waktu yang perlu diwaspadai. Aktivitas tes yang menimbulkan elevasi atau depresi
segmen ST menunjukkan adanya iskemia. E,levasi
schem a
l---l--*a:--\ i \ I li
Measured
sr
depr€ssror
' Gambar
-:----
Standing pro- exercise Exercise response
1.
gambarkan terj adinya iskemi a transmural yang bersifat aritmogenik, biasa berhubungzrn dengan spasme dan lesi
men
g
yang jelas pada arteri. Elevasi juga bisa menjadi patokan lokasi lesi. Depresi biasanya berhubungan dengan iskemia
SKOR TES AKTIVITAS
subendokardial yang tidak aritmogenik dan tidah berhubungan dengan spasrne maupun lokasi lesi. Uji latih jantung juga dapat menimbulkan timbulnya aritmia. Yang sering terjactri adalah kontraksi ventrikular prematur (PVC). Biasa terjadi pada orang usia lanjut dengan penyakit kardiovaskular, PVC saat istirahat maupun akibat iskemia. Baik akibaraktivitas maupun istirahar, PVC menjadi prediktor timbulnya perburukan.
ACC/AHA menganjurkan untuk menggunakan skor guna meningkatkan kemampuan tes untuk mencapai hasil yang sesuai denga keadaan penyakit pasien. Dapat digunakan nomogram berikut. (Gambar 2) Skor yang sering digunakan adalah skor Duke's Skor treadmil= lama ercercise (5 kali deviasi ST (4 kali indeks angina TM)
ELEKTROKARDIOGRAFI
t547
PADA UJI LATIH JANTUNG
EXERCISE CAPACITY (%of normal in referral males)
Less than 100 bpm
Maximal Heart
20
100toJ29bpm=24
25
130 to 159 bpm =
30
160
35. 40
:30
Ratc
to
159
:
6
50
Oso
Low
6
I6o
55
<40 =
Exercise ST Dcpression
45 IJJ
70
>2mm=25
7 8
40 to 55
o
10n 110
'so
9
130
20
)rs:
12
TO
75
1l
80
12
Llypercholestcrol
85-
13
cmia'l
90
14
Diabetes
5
40-60 =
Probable/arypical:
3
lntermediate
Non- cardio pain
15
1
Yes=
Probabilitl
5
5 3
>60 =
High Probability
?
Reason for stopping
Gambar
=
?
Exercise Test induced angina
Probabolity
=
Definite/Typical
Angina History
,12A 7A
:
>55 yrs
Ag"
,80 60 65
8
12
190 to 220 bpm
..
1
bpm =
-
5
Total Score =
1.
Muimal
Lama ercerclse dalam menit. deviasi ST dalam mm dan indeks angina TM (treadmil) adalah: 0 untuk tidak ada
Heart
100 130
angina, 1 untuk angina yang tidak mempengaruhi
160
excercise,2 untuk angina yang menyebabkan hambatan excercise. Bila skor kurang atau sama dengan -11 maka risiko meningkat. Sedangkan skor Iebih atau sama dengan +5 risiko rendah.
Sebelum melakukan tes aktivitas sebaiknya kita mengetahui kira-kira pasien perlu menjalani pemeriksaan angiografi atau tidak. Dapat digunakan tabel berikut. Bila pasien telah menjalani ujr latih jantung maka untuk tindakan
lanjut yang diperlukan pasien dapat diprediksi melalui tabel-tabel di bawah ini:
Less than I 00 bpm
:
20
Rate
I
Exercise ST Dcpression
1
90 to 220 bprr 1-2mm
=
-
4
<31=
6
Low Probabolity
> 2mm: 10 >65 yrs:25
Age
50 to 65
Angina History
Women
to 129 bpm = 16 to 159 bpm : 2 to 159 bpm : 8
yrs:
15
Definite/Typical: l0
31-75 =
Intermediate Probability
=
6 Probable/arypical Non- cardio pain: 2
>57 =
High Probability
Hypercholesterolemia ? Diaberes ? Excrcise Test induccd angina ?
l0
Reason for stopping: 15 Positive: -5, negative = Variable
Age
Gircle response
Men 4o-55, women =
\4en Bstrogen
5
sum
Total Score =
Men <40, women <50 = 3
55,
5o-65 ,,
\\omer, o5 q Positive =
-3
Nccxti\e= -Y".
I 2
| I |
Pretest <9= Lorr Probability
REFERENSI
status
Diabctes
Obesity Famili History Hypercholeste
yes: I YCS=
T
Yes:
I
Yes: Yes:
1
rolemia Hypertension Smoking
I
Total Score =
I
|
I II
|
I
s_15
lntermediate Probabilitv "
,tS= nigr,
Chaitman BR. Exercise stress testing. Dalam Braunwald's et ai editor. Heart disease. a textbook of cardivascular medicine. Edisi 7.
New York 2005. 153-85 Engel G et al. ECG exercise testing. Dalam: Fuster V et a1 editor Hurst's the heart. Edisi 11. New York, McGraw-Hi1l. 2004: 467 -80.
242 PEMANTAUAN IRAMA JANTUNG (HOLTER MONITORING) M. Yamin, Daulat Manurung
PENDAHULUAN
mengalami gejala maka dapat dilakukan interogasi dengan alat khusus yang disebut programmer. ILR dapat dipakai selama satu tahun. Alat ini bermanfaat untuk diagnosis aritmia yang sangatjarang muncul yang biasanya disertai sinkop.
Ada tiga hal penting yang harus diketahui oleh seorang dokter yang dihadapkan pada kasus gangguan irama jantung (aritmia) yaitu jenis aritmia, gejala yang berkaitan dengan aritmia tersebut, dan penyebab atau penyakit yang mendasarinya. Rekaman EKG permukaan 12 sandapan sering tidak dapat memberikan informasi tersebut secara lengkap. Untuk tujuan ini pemantauan irama jantung
INDIKASI
ambulatori yang non-invasif (Holter Monitoring) telah digunakan secara luas. Selain untuk mendeteksi aritmia
Indikasi penggunaan HM adalah: . Menilai gejala yang mungkin berkaitan dengan aritmia: - Pasien dengan sinkop atatnear-syncope yangtidak dapat diterangkan atau gejala pusing dengan penyebab yang tidak jelas - Pasien dengan palpitasi berulang dan tidak dapat diterangkan . MenilaiTerapi antiantmia .. Menilai fungsi alat pacu jantung dan implantable c ar diov e rt e r defib rill at o r (ICD)
HM kerap dipakai untuk membantu diagnosis penyebab sinkop. Teknik ini perlama kali diperkenalkan oleh Holter padatahun 1950-an. Komponen pada Holter Monitoring (HM) terdiri dari alat perekam (recorder) 24 jam yang berbentuk kaset, penanda waktu internal, catatan aktivitas dan gejala, dan tombol pen anda gej ala (sy mpt om - indi c at o r butt on). Si stem ini dihubungkan dengan elektrode dua sadapan untuk mendapatkan gambaran EKG yang optimal. HM biasanya digunakan pada pasien dengan gejala aritmia yang muncul setiap hari karena hanya dipasang selama 24 jam. Untuk pasien dengan aritmia yang jarang
INTERPRETASI
(muncul dalam dua atau tiga hari sekali), digunakan
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam interpretasi hasil HM adalah aritmia muncul intermiten, variasi diumal terhadap irama jantung, adanya pengaruh
modifikasi HM yaitu alat perekam kejadian (event recorder) yang merekam EKG secara terus-menerus pada pita dan hanya kejadian 30 sampai 90 detik terakhir yang dapat diputar ulang. Saat pasien merasakan gejala aritmia maka ia dapat mengaktifkan tombol dan menghentikan rekaman serla mengirim data melalui telepon ke pusat penerima data. Modifikasi HM yang tercanggih adalah ILP.(implanttable loop recorder) yang ditanam di bawah kulit seperti pacu jantung. Alat ini merekam EKG secara berkesinambungan selama 24 jam dan menghapusnya kembali. Bila pasien
aktivitas fisik dan tekanan emosi (s/ress emotional) terhadap aritmia.
Hasil rekaman data dianalisis secara otomatis oleh komputer. Teknisi akan membantu pelacakan (scanning) dan menyunting data. Sistem komputer akan menghitung laju jantung, premature atrial danventricular beat, dan takikardia lainnya. Dokter yang melakukan penafsiran harus mengaitkan
1548
1549
PEMANTAUAN IRAMA JANTUNG GIOLTER MONITORING)
data rekaman dengan gambaran klinis dan gejala yang dirasakan pasien. Sering didapatkan kelainan irama pada pasien dengan jantung normal dan tidak bergejala seperti sinus bradikardia berat (laju nadi kurang dari 40 x/menit),
sinus pause, premature
atrial
dan ventricular beat,
bahkan blok atrioventrikular tipe Wenckebach (terutama saat tidur). Adanya sinus aritmia dan sinus bradikardia berat dalam keadaan istirahat pada atlit terlatih adalah normal. Sebaliknya bila didapatkan irama sinus normal pada saat pasien merasakan gejala yang berat maka harus dipi kirkan penyebab non-aritmta. Jenis aritmia yang ditemukan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berikut im:
.
Risikotinggi:
-
Takikardiaventrikel Fibrilasi ventrikel Blok AV total dengan escape beat yang tidak memadai
-
.
Wolf-Parkinson-White dengan konduksi cepat saat hbrillasi atrial (AF) Risiko sedang:
-
Blok AV derajat 2 Blok AV derajat 3 dengan escape beat yang memadai Risiko rendah - Premature atrial complex
-
berisiko tinggi untuk terjadinya kematian mendadak. Geiala tersebut dikelompokkan menj adi : l. Risiko tinggi: hampir pingsan, pingsan, dan aborted ,sudden death 2. Risiko sedang: pusing, palpitasi berat, perburukan gejala
3.
gagal jantung Risiko rendah: pusing ringani palpitasi.
I
memperlihatkan rekaman HM pada pasien dengan keluhan utama berdebar dan hampir pingsan.
Gambar
Data berikutnya yang harus dicari adalah penyakit yang mendasari aritmia tersebut. Ditemukannya PVC kompleks pada pasien dengan jantung normal tidak memberikan nilai prognostik yang bermakna. Sebaliknya PVC kompleks pada pasien dengan penurunan fungsi ventrikel kiri memberikan
implikasi yang bermakna untuk terjadinya kematian mendadak. Dengan semua informasi di atas maka dapat ditentukan strategi penanganan yang tepat: menghilangkan gejala atau mencegah kematian mendadak.
Premature Ventricular Contraction (PYC) kompleks yang disertai penyakit jantung
.
hemodinamik. Bradiaritmia atau takiaritmia seperti ini
PVC
Disfungsi sinus node Takikardiasupraventrikel
BlokAVderajat
1
PVC kompleks tanpa kelainan jantung
Setelah menentukan jenis aritmia yang didapat, langkah selanjutnya adalah mencari gejala yang berkaitan dengan aritmia tersebut. Secara umum gejala yang dikeluhkan pasien adalah palpitasi, pusing, hampir pingsan, dan
kehilangan kesadaran (sinkop). Aritmia yang disertai kehilangan kesadaran menandakan adanya gangguan
KESIMPULAN Diagnosis aritmia tidak selalu dapat ditegakkan dengan
rekaman EKG perrnukaan sesaat. Apalagi untuk menghubungkan antara aritmia dengan gejala yang dirasakan pasien. Holter Monitoring (HM) merupakan alat
sederhana yang bersifat noninvasif yang dapat memberikan jalan keluar atas kesulitan tersebut. Interpretasi hasil HM harus dilakukan secara holistik
dengan mengintegrasikan gejala, jenis aritmia yang ditemukan, dan penyakit/kelainan jantung yang mendasarinya. Berdasarkan itu dilakukan stratifikasi risiko rendah, sedang, dan tinggi. Penanganan aritmia secara umum diarahkan untuk mengurangi gejala dan mencegah kematian mendadak akibat aritmia fatal.
Gambar 1. Rekaman Holter monitoring pada pasien dengan keluhan utama palpitasi dan hampir pingsan Terekam aritmia berupa fibrilasi atrial dan henti sinus (slnus arrest)
1550
KARDIOI.OGI
REFERENSI Dougherty AH and Naccarelli GV. Noninvasive evaluation in patient with cardiac arrhythmias. In: Vlay SC. A practical approach to cardiac arrhythmias. 2"d Ed, Liitle, Brown and Company, 1996 Fogoros RN. Electrophysiologic testing.
3rd Ed, Blackwell
Science,
t999 Lee H. Ambulatory electrocardiography and electrophysiology tesr ing. In: Zipes DP, Libby P, Bonow RO, et al. Heart disease: a
textbook of cardiovascular medicine.Tth Ed, Elsevier Saunders, 2005. Wrought RA and Wagner GS. Electrocardiographic monitoring. In:Waught RA, Ramo BW, Wagner GS (Eds). Cardiac arrhythmias: a practical guide for clinician. 2'd Ed, FA Davis Company, 1994.
243 PENGANTAR DIAGNOSIS EKOKARDIOGRAFI AliGhanie
PENDAHULUAN
mengatasi hal tersebut belakangan muncul eko transesofageal (ETE) yang bersifat invasif, di mana
Ekokardiografi merupakan alat diagnostik di bidang kardiovaskular dengan prinsip dasar gelombang suara
transduser dilekatkan pada ujung alat endoskopi. Dengan cara ini transduser dimasukkan melalui esofagus sampai kelambung, dan evaluasijantung dilakukan dari belakang, sehingga limitasi TTE dapat diatasi karena jarak yiulg lebih
frekuensi tinggi. Dengan transmisi gelombang suara,
diharapkan terjadi pantulan gelombang yang akan memberikan kontur yang sesuai dengan jaringan yang
dekat dengan target, serta jaringan pemisah antara
memantulkan transmisi gelombang. Sehingga dengan alat ekokardiografi akan diperoleh kontur dinding pembuluh darah, ruang-ruang jantung, katup-katup jantung serta selaput pembungkus jantung. Pencitraan akan tergambar dalam bentuk satu dimensi (m-mode) dua (2-D) bahkan dimensi tiga(3-D) atau empat (4-D).
transduser dan target dapat diabaikan.
Adanya dopler pada alat eko yang menggunakan prinsip transmisi pantulan gelombang suara oleh sel darah merah, akan memungkinkan pengukuran kecepatan
(velositas) dan arah aliran darah dalam jantung dan pembuluh. Oleh karena itu dapat dipakai untuk pengukuran hemodinamik jantung seperti isi sekuncup. curah jantung, tekanan, dan' pressure gradien' . Sementara sistem warna pada eko (color flow mapplng) memungkinkan untuk menentukan arah dan sifat aliran darah baik yang 'stream line' atat turbulen. Oleh karena itu dengan modalitas tersebut pengukuran dopler dapat diarahkan melalui bimbingan aliran yang berwama (color guided dopler), selain dapat dengan mudah melihat adanya aliran-aliran turbulen akibat regurgitasi, stenosis maupun aliran abnormal melalui defek pada septum atrial
Selain daripada itu dikenal beberapa prosedur eko invasif yang lain yaitu intraoperatif, dengan meletakkan transduser langsung ke permukaan jantung pada saat operasi jantung, serta pemeriksaan eko intravaskulat
(in'
tra vascular trltrasound=Ivus) di mana transduser diletakkan pada ujung kateter pada prosedur angiografi koroner. Dengan perkembangan teknologi di bidang ultrasound belakangan dikenal pula pemeriksaan eko dengan kontras untuk melihat adanya defek pada sekat maupun dalam evaluasi kinesis gerakan dinding jantung, sementara itu
pemeriksaan tissue dopler lebih diarahkan untuk mendeteksi kinesis jantung yang dapat dikaitkan dengan penyakit jantung iskemia, dan diastologi. Dalam bab diagnosis ekokardiografi ini hanya akan dibicarakan beberapa basis modalitas eko seperti M-mode, eko 2 dimensi, eko warna, eko dopler sederhana, dan eko
transesofageal yang sering diternukan dalam praktek sehari-hari.
atau ventrikel.
Pada awalnya pemeriksaan eko bersifat noninvasif, karena pemeriksaan dilakukan dengan transduser (sumber:
INSTRUMENTASI
dan penerima gelombang suara) melalui dinding dada, dikenal sebagai pemeriksaan eko transtorakal (ETT)' Namun ada beberapa keterbatasan ETT pada keadaan
Transduser Merupakan kelengkapan alat eko berupa sumber: gelombang suara ultra yang berasal dari kristal piezoelektrik, sehingga memungkinkan terjadinya
tertentu seperli pasien emhsema, gemuk, serta tidak mampu
dalam evaluasi ruang seperti apendik atrium. Untuk
1551
t552 pencitraan. Melalui transduser, gelombang suara dapat diarahkan secara elektronik atau mekanikal ke arah target sasaran yang dikehendaki.
Pilihan transduser tergantung dengan frekuensi, semakin tinggi frekuensi semakin besar kemampuan resolusi (kemampuan memisahkan dua objek yang berdekatan), namun ke dalaman penetrasi akan berkurang.
KARDIOIOGI
OSKILOSKOP Merupakan layar dengan berbagai ukuran, menampilkan hasil proses pengolahan gelombang suara yang diterima oleh transduser setelah melalui berbagai proses perubahan sifat gelombang suara, amplifikasi serta prosedur teknis lain yang tidak menjadi topik dalam bab ini.
Oleh karena itu dalam pemeriksaan eko diupayakan menggunakan frekuensi yang paling tinggi tetapi masih
mempunyai kemampuan penetrasi yang maksimal. Biasanya pada satu transduser telah dilengkapi dengan multi frekuensi, sementara ke dalaman dapat diatur. Dikenal dua macam transduser yaitu transduser untuk pemeriksaan melalui dinding toraks, dan transduser untuk pemeriksaan melalui esofagus. (Gambar I dan 2)
Printer Dapat dilakukan dokumentasi dengan printer hitam putih, berwarna, dengan video maupun sistem digital. Pada rekaman gambar/foto ('stop picture') terdapat beberapa
kendala kelengkapan gambar yang barangkali tidak dianggap penting oleh ekokardiografer. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan dokumentasi dengan video sehingga diperoleh kondisi yang menyerupai'real time' , akan tetapi menyita waktu dan terjadi penurunan gradasi kualitas gambar. Sistem digital dapat mengatasi masalah kualitas gambar sama dengan aslinya dan memudahkan sistem arslp.
TEKNIK PEMERIKSAAN Hasil gambar eko sangat subjektif tergantung keterampilan dan pengalaman dari ekokardiografer. Oleh karena itu seorang ekokardiografer dituntut mempunyai kompetensi pengetahuan dasar mengenai gelombang suara ultra dan karakteristik kemampuan mesin eko dalam pengaturan gambar, sehingga dapat dibuat gambar yang standar, Gambar 1. A. Transduser linear untuk pemeriksaan vaskular B. Transduser Eko Transtorakal (Sumber: A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept int.Med. Facutty of Medicine, Sriwijaya
informatif dan dapat diulang dengan kualitas gambar yang
University Palembang)
dengan anatomi maupun hemodinamik akibat kelainan yang didapat maupun kongenital.
sama. Selain itu dibutuhkan pengetahuan anatomi jantung normal beserta varian normal, kelainan yang berhubungan
MODALITAS EKO DAN PERANNYA DALAM DIAGNOSIS KARDIOVASKULAR
Ekokardiogtati M-Mode Merupakan eko satu dimensi, di mana dilakukan pencitraan satu garis dari anterior sampai ke posterior bidangjantung
yang kemudian dengan waktu akan tampak pada layar sebagai gerakan dari kiri ke kanan(motionmode=M-mode). Walaupun merupakan modalitas yang pertama di bidang eko, kemampuan resolusi spatial jelek, namun mempunyai kelebihan dalam resolusi temporal kar ena 'frame rate' y ang cepat, oleh karena itu sangat baik untuk objek yang bergerak. Gambar 2. Transduser Ekoardiografikardiografi transesofageal (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept int.Med Facutty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
Agar gambar dan pengukuran akurat, dibutuhkan potongan tegak lurus terhadap struktur yang akan diambil. Saat ini dengan adanya sistem digital, potongan tegak lurus
1553
PENGANTAR DIAGNOSIS EKOKARDIOGRAFI
dapat dilakukan pasca pengambilan gambar, walaupun dengan posisi yang kurang baik. Beberapa informasi yang dapat diperoleh dengan modalitas M-mode ini antaralain: . Pengukuran dimensi ventrikel, tebal dinding ventrikel atau septum, affium, aorta . Pengukuran fungsi jantung dengan fraksi ejeksi, bila
. .
150-330
IVS
0 60 - 1.00
PW
0.50 - 0 90 27.00 - 57.00
LA
61.00 - 90 00 2 00 - 3.10 1 80 - 3.00
LVM
35.01
LVMI
23 34 - 108 82
AO
Gambaranperikardium
Kejadian waktu di jantung, misalnya waktu relaksasi isovolemik, waktu ej eksi
.
320 - 460
ESD
EF
potongan yang perpendikuler. Estimasi masa ventrikel kiri dengan menggunakan formula, misalnya 'formula Pen'
Range
EDD
FS
kondisi gambar memungkinkan untuk melakurkan
.
Parameter Ekokardiografi
Bersama dengan eko wama dapat menentukan gambaran aliran.
H
48 00 - 70.00 153 00 - 180.00
BSA
Beberapa rujukan parameter ukuran normal pada
157 85
0 30 - 0.45
RWT BW
-
1 42
- 1.77
Rata-rata
Standar deviasi
9353 0 3549 1324 0.3607 0.8147 8.214E-02 0.7176 I 338E-02 46.0294 7 2007 81.2941 5 9520 27088 0.2927 22324 0.4290 95 0418 29.4444 61 '1988 18.8395 0 3761 4 199E-02 7 1189 55 6029 3
2
163.4412 1
5718
7 2329
8.266E-02
Sumber: A Ghanie Parameter echo normal Unpublished
pemeriksaan M-mode dapat dllihat pada Tabel 1, 2, demikian pula beberapa contoh kasus yang dapat dievaluasi dengan
modalitas M-mode.
Parameter
Range
Rata-rata
Standar deviasi
4.02 2.069
0.4580 0.3799 0.07
Ekokardiografi
IVS
4.90 3.30 0.70 - 1.00
PW
0 70 - 0
0.078
2.20 - 3.60 1.70 -
7.93 4.07 o 245 o.412
EDD ESD
3.'10 -
1.50 -
FS EF AO
3.00
LA
2 867 2.217
Gambar 3. Ekokardiografikardiografi M-mode pada orang normal dengan bimbingan 2-D melalui katup mitral menunjukkan titik pembukaan katup mitral fase cepat (E), plateu (F), pembukaan fase lambat (A), penutupan mitral (CD). Ventrikel kanan (BV), septum ventrikel (lVS), ventrikel kiri (LV). (Sumber : A.Ghanie,
.41 106.087 29.561 I 4192 17 5942 388 0.05326 8.033 47 0 -7200 59.33 154.0 - 179.0 163.359 5 98 1.34 - 1 80 1.6213 0j042
53.53 - 177 36.42 - 101.12 67 023-053 0
LVM
LVMI RWT BW H
BSA Sumber
0.8M
90 0.772 48 25 28.0 - 58.0 80,307 63.0 - 90.0
:
Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwiiaya University Palembang)
A.Ghanie. Parameter echo normal. Unpublished
Keterangan : EDD: End Diastolic Diameter, ESD: End Systolic Diameter, IVS: lnterventricular Septum, PW: Post Wall, FS: Fractional Shortening, E: Ejection Fraction, AO: Aorta, LA: Left Atrium, LVM: Left Ventricular Mass, LVMI: Left Ventricular Mass lndex, RWT: Relative Wall Thickness, BW: Body Weight, H: Height, BSA: Body Survace Area
EKO DUA DTMENST(EKO 2-D) ara'real time'
,
Gambar 4. Ekokardiograti M-mode dengan bimbingan 2-D
mempunyai resolusi spasial lebih baik dari M-mode. Target adalah jaringan, sehingga lebih berperan dalam
menunjukkan gambaran katup aorta yang normal berupa gambaran jajaran genjang pada saat sistol dan berupa garis pada saat diastol Di sini terlihat atrium kiri membesar 47 cm. (Sumber : A.Ghanie,
Lebih mampu melihat struktur dan fungsi
sec
evaluasi morfologi j antung. . Mencerminkan gerakan dan anatomi jantung.
Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriiliaya University Palembang)
1554
Gambar 5. Ekokardiografi M-mode dengan bimbingan 2-D pada pasien gagal jantung kongesti (kardiomiopati dilatasi), terlihat dilatasi
ventrikel kiri pada saat diastol dan sistol, septum dan dinding belakang ventrikel terlihat hipokinesis (tidak ada perubahan ketebalan septum dan dinding belakang sepanjang fase) (Sumber:A.Ghanie,
Div. Cardiology, Dept int Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
Gambar 6. Ekokardiograti M-mode dengan bimbingan 2-D pada pasien efusi perikardium, hiperlensi dan gagal ginjal kronik, terlihat daerah posterior yang bebas ekokardiografi, penebalan septum ventrikel (lVS) dan dinding posterior venirikel kiri (LVPW). (Sumber : A Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
Gambar.7. Ekokardiografi ftrl-mode dengan bimbingan 2-D pada pasien dengan kardiomiopati hiperlrofik obstruktif, terlihat gerakan katup mitral ke anterior pada saat sistol (SAM= 'systolic anterior motion'). (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
IqRDIOI,.OGI
Gambar.8. Ekokardiografi M-node dengan bimbingan 2-D pasien hipertensi dengan hipertroii ventrikel kiri Septum ventrikel (IVSD=2.27 cm) normal <1 cm, dinding posterior (LVPWd= 1.16 cm) normal < 1 cm (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology,
Dept.int Med Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
Gambar 9. Ekokardiograli M-Mode dengan bimbingan 2-D pasien stenosis mitral, EF slope mendatar, katup posterior bergerak ke anterior sejajar dengan katup anterior (Sumber : A.Ghanie, Div.
Cardiology, dept int.Med Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
Gambar
1
0. Ekokardiograf i M-mode dengan bimbingan 2-D melalui
aofia terlihat separasi daun katup aoda anterior (AAC) dan posterior (PAC) aoda Stenosis (Sumber: A Ghanie, Div. Cardiology,
Dept int.Med Faculty Palembang)
of Medicine, Sriwijaya University
1555
PENGAIYTAR, DIAGNOSIS EKOKARDIOGRAFI
Bidang Penyitraan Pengambilan gambar eko dilakukan melalui suatu celah sempit yang disebut 'acoustic windows' atau jendela eko pada sela iga III garis para sternal kanan, apeks, melalui suprasternal, atau subkostal. Pada dasarnya ada tiga bidang utama dalam pengambilan gambar eko: . Sumbu panjang ('long axis'), merupakan bidang tegak lurus dengan permukaan anteroposterior dada dan sejajar dengan sumbu panjang jantung. Pada bidang ini secara anatomi akan tergambar dinding depan
ventrikel kanan, ventrikel kanan, septum ventrikel, ventrikel kiri, serta dinding posterior ventrikel kiri (Gambar13)
Gambar 11. Ekokardiograti M-Mode dengan bibingan 2-D dari katup pulmonal normal (Sumber :A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept int Med Faculty of Medicine, Sriwiiaya University Palembang)
Gambar 12 Ekokardiografi M-modedengan bimbingan 2-D pasien regurgitasi mitral potongan perpendicular sempurna melalui ujung
katup mitral, terlihat hipertrofi septum dan dilatasi ventrikel kiri dengan fungsi pompa yang masih baik. (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int Med. Faculty of Medicine, Sriwiiaya Univer'
sity Palembang) Gambar 13. Ekokardiograti 2-D sumbu panjang menunjukkan potongan ventrikel kanan (BV), ventrikel kiri (LV), septum ventrikel
(lVS), Aorta (Ao), Atrium kiri (LA), katup mitral dalam hal ini
stenosis (MV). (Sumber: A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwiiaya University Palembang)
.
Pengukuran ventrikel
kiri
dan tebal dinding pada
keadaan rli mana M - mo de idak memenuhi syarat. Pengukuran isi sekuncup Pengukuran fraksi ejeksi dan volume Pengukuran area rnitral dengan planimetri.
Sumbu pendek (',short axis'), merupakan bidang tegak lurus permukaan anteroposterior dada dan tegak lurus dengan bidang sumbu panjang jantung. Pada bidang ini akan tergambar struktur jantung sesuai dengan daerah potongan. Pada dasar jantung akan tergambar
atrium, sekat atrium, pembuluh darah besar, katup trikuspid sefia pulmonal. (Gambar 14) Pada bagian tengah akan tampak katup mitral, ventrikel kanan, septum ventrikel, dan ventrikel kiri, dan katup mitral. (Gambar 15) Sedangkan potongan setinggi apeks akan menampilkan ventrikel kiri, septum ventrikel, sebagian ventrikel kanan dan muskulus papilaris. (Gambar 16)
1556
Gambar 14. Ekokardiograti 2-D sumbu pendek setinggi aorta Terlihgt aorta (ao), muara ventrikel kanan ke pulmonal (rvot), arteri pulmonalis utama (mpa), atrium kiri (la), atrium kanan (ra), katup tricuspid (tv\. (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
I(ARDIOI.OGI
Gambar 16. Ekokardiografi 2-D suhu pendek setinggi m. papilaris. (Sumber : A Ghanie, Div. Cardiology, Dept int Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
Adajuga bidang-bidang lain yang dipergunakan dalam
pemeri[saan sehari-hari seperti bidang dua ruang yang menggambarkan atrium, katup mitral dan ventrikel kiri. (lihat gambar). Bidang lain yang juga sering dipakai adalah bidang
lima ruang sama sepefti empat ruang dengan tambahan aorta (Gambar 17 B)
Namun adakalanya pada pasien tertentu dibutuhkan posisi lain yang tidak standar untuk dapat memberikan informasi yang kita kehendaki.
Dengan kemajuan dibidang teknologi ('second harmonic imaging'), dimungkinkan untuk membuat gambar itu menjadi lebih baik, sehingga delineasi endokardium menjadi lebih tegas. (Gambar 18)
Gambar 15. Ekokardiografikardiografi 2-D sumbu pendek setinggi katup mitral. Terlihat area mitral yang kecil (stenosis), ventrikel kiri (LV), septum ventrikel (lVS), ventrikel kanan (BV). (Sumber : A Ghanie, Dlv. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, St'iwijaya University Palembang)
. Bidang empat rLlalg (.'opical. foLtr chamber'), merupakan bidang sejajar dengan permukaan anteroposterior melalui potongan dari apeks ke dasar jantung. Pada bidang ini akan tergambar kedua ventrikel,
atrium, sekat atrium dan ventrikel, serta kedua katup mitral dan tril.-uspid. (Gamhar 17A)
A) Ekokardiografi 2-D potongan apeks 4 ruang pasien normal, terlihai ventrikel kiri (LV), serambi kiri (LA), ventrikel kanan (BV), serambi kanan (RA), septum ventrikel (lVS), septum atrial (lAS) B). Ekokardiografikardiografi 2-D potongan apeks 5 ruang sama seperti gambar A dengan tambahan aorta (Ao) Gambar 17.
(Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int Med Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
PENGANTAR DIAGNOSIS EKOKARDIOGRAFI
Gambar 18. Ekokardiograti2-D potongan 4 ruang menunjukkan kemampuan teknologi harmonik dalam meningkatkan kemampuan pencitraan ekokardiografi (A. tanpa tissue harmonic, B dengan
harmonik terlihat deliniasi endokardium lebih jelas) (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept int Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
Gambar 19. Pengukuran fraksi e.jeksi dengan pengukuran area, pada kondisi di mana pemeriksaan dengan M-modelidakmemenuhi
syarat Terlihat fraksi ejeksi 327". (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwiiaya University Palembang)
Gambar 20. Ekokardiografi 4 ruang apical pada gagal jantung kongestif jantung kanan menunjukkan trombus multipel pada ventrikel kanan (tanda panah). (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med Faculty of Medicine, Sriwiiaya University Palembang)
1557
Gambar 21. Ekokardiograti 2-D surnbu panjang melalui apeks pada pasien hipertrofi kardiomiopati obstruktif, terliha.t katup mitral bergerak menutup 'left ventricle out flow tracl (LVOT) (tanda
panah) (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
Gambar 22. Ekokardiograti 2-D sumbu panjang pasien stenosis mitral berat, terlihat penebalan daun katup (A), pada potongan pendek terlihat area rnitral secara planimetri sangat sempit 0 57 cm'? (B). (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept int Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
Gambar 23. Ekokardiografi 2-D potongan pendek setinggi mitral pasien gagal jantung dan infark anteroseptal, terlihat akinesis dari daerah anterior pada saat sistol (tanda panah) (Sumber A Ghanie, Div Cardiology, Dept int lt/led. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang) :
1558
KARDIOLOGI
Gambar 24. Ekokardiografi 2-D sumbu panjang pasien miksoma pada atrium kiri yang bergerak keluar masuk ventrikel kiri melalui mitral pada setiap siklus (M) (Sumber:A.Ghanie, Div Cardiology,
Dept.int.Med. Faculty
oI Medicine, Sriwijaya University
Palembang)
Gambar 26. Doppler normal pengisian ventrikel kiri melalui mitral, dengan meletakkan 'sample volume' (dua garis sejajar) pada daerah mitral, terlihat fase pengisian cepat (E) dan fase pengisian lambat kontraksi atrium (A) (Sunber : A Ghanie, Div. Cardiology,
Dept int Med. Faculty
of Medicine, Sriwijaya University
Palembang)
Gambar 25. Ekokardiografikardiografi 2-D sumbu panjang pasien miksoma atrium kiri dengan tangkai yang jelas (tanda panah) (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept int,Med Facuity of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
Gambar 27. Dopler PW normal melalui katup aorta, dengan bimbingan 2-D ekokardiografi warna 'sample volume dilelakkan pada daerah katup aoda, diperoleh velositas i 2 m/sec (Sumber : A.Ghanie, Div Cardiology, Dept.int.Med Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
EKO DOPLER Seperti disebutkan pada pendahuluan, konsep eko dopler adalah menangkap sinyal yang dipantulkan oleh sel darah merah, sehingga dapat ditentukan adanya aliran darah, arah, kecepatan, dan karakteristik aliran. Dikenal dua modalitas dopler yaitu, .. Dopler spectrum ('spectral dopLer') yang terdiri dari 'pulsed wave dopler'(dopler gelornbang pulsasi) dan
.
'continuou.s wave dopler' (dopler gelombang kontinu)
Color flow dopler.
ini satu transduser memiliki kemampuan sebagai dopler gelornbang pulsasi, sekaligus -eelombang kontinyu dan dopler aliran berwarna. Belakangan dikenal 'ti.ssue dopler' , bukan seperti dopler yang menangkap pantulan sinyal sel darah merah tetapi sinyal yang dipantulkan oleh kinesisjaringan, oleh karena itu dipergunakan untuk menguki.rr kinesi s j ari n gan. Pada saat
Gambar 28. Dopler PW melalLri area mitral pada pasien hiperlensi dengan disfungsi diastolik, terlihat gelombang E lebih rendah dibandingkan dengan gelombang A dengan ratio EA 0,67 ( normal 2:1) (Sumber :A.Ghanie, Div Cardiology, Dept int Med Faculty of Medicine, Sriwijaya Universitl,, ['alembang)
1559
PENGANIAR DIAGNOSIS EKOKARDIOGFAFI
Gambar 29. Dopler PW melalui area mitral pada pasien regurgitasi mitral, doplelr tidak sempurna menuju kedua arah garis Nyhquist
dan terputus tanpa amplop, dikenal sebagai aliasing (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept int Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
Gambar 30. Eko dopler CW pada pasien yang sama dengan di atas, tetapi dopler terambil dengan amplop yang sempurna dengan
velositas 5.31 m/sec (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept int Med Faculty of Medicine, Sriwijaya University
Gambar 32. Eko dopler CW melalui katup mitral yang stenosis, pengukuran area dengan 'pressure half time' diperoleh area seluas 0,66 cm'?lebih kurang sama dengan pengukuran secara planimetri pada gambar 22. (Sumber :A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept int.Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang
Gambar 33. Eko dopler CW pasien dengan stenosis mitral terlihat gradien 9 mmHg dengan area mitral 1,10 cmz (Sumber: A Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwiiaya University Palembang)
Palembang)
Gambar 34. Eko dopier warna pada pasien regurgitasi trikuspid, menunjukkan velositas 5 m/sec dengan gradient 123 mmHg, Gambar 31. Eko dopler CW melalui mitral pada pasien setonis dan regurgitasi mitral dengan amplop yang sempurna (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept int.Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
dengan asumsi tek ventrikel kanan 10 mmHg, maka diperkirakan
tekanan pulmonal 133 mHg (hipertensi pulmonal). (Sumber A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty Sriwijaya University Palembang)
of
:
Medicine,
1560
KARDIOI.OGI
PULSED WAVE DOPLER ( PW ) Dengan PW transmisi sinyal gelombang suara dikirim dalam bentuk pulsasi ('pulse'). Oleh karena itu dapat dilakukan pemeriksaan pada area tertentu dari suatu area
aliran dengan menggunakan yang disebut 'sample volume', yang merupakan marka dari daerah yang diinginkan, pada alat ekokardiografi ditandai dengan dua garis sejajar. Informasi yang . Pengukuran . Pengukuran . Pengukuran
.
dapat diperoleh berupa:
fungsi diastolik mitral atau orifisium aorta isi sekuncup dan curahjantung
area
Mengukur besarurya shunt. Dalam prakteknya pengukuran-pengukuran itu dapat
dilakukan oleh alat eko secara otomatis hanya dengan meletakkan marka-marka pada gambar yang dibuat.
co
35. Ekokardiografi warna pada orang normal, warna merah menunjukkan arah aliran dari atrium kiri ke ventrikel kiri pada saat diastol (mengarah ke transduser), sementara warna
Gambar
biru menunjukkan aliran dari ventrikel kiri ke aorta pada saat sistol (menjauhi transduser) (Sumber '. A Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Siwijaya University Palembang)
NTI N u o u s wAV E Do P LE R (CW)
Tidak seperti pulsed wave dopler di sini transmisi gelombang suara berlangsung kontinu, sehingga spektrum lebih luas dari semua area yang dilewati gelombang suara. Karena tidak mempunyai' sample volume', tidak bisa melokalisir sinyal aliran sehingga tidak spesifik, dan sering terjadi kontaminasi aliran dari area yang tidak kita kehendaki. Namun karena gelombang kontinyu dapat
menangkap aliran darah kecepatan tinggi dengan baik tanpa terjadi 'aliasing', yaitu suatu keadaan gambar dopler terputus akibat terlampauinya batas maksimal
kecepatan yang dapat diukur dengarr dopler. (Gambar.29)
Karena sifatnya, maka CW sangat bermanfaat untuk menangkap sinyal dari aliran frekwensi tinggi seperti stenosis katup, dan pengukuran semi kuantitatif dari regurgitasi.
Gambar
36,
Ekokardiografi warna pada pasien regurgitasi
mitral, terlihat gangguan koaptasi katup mitral (pada gambar kiri, a), dan adanya gambaran aliran balik dengan warna biru mosaik (menjauhi transduser, b) melalui katup mitral pada saat sistol.
(Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept int.Med Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
EKO DOPLERWARNA Prinsip eko dopler warna adalah sama dengan 'pulsed dopler' tetapi menangkap sinyal pada beberapa beberapa titik sepanjang garis penyitraan. Dengan kesepakatan diberikan warna merah untuk aliran darah yang mendekati transduser, dan warna biru untuk aliran yang menjauhi transduser. (Gambar 35 ) Pada keadaan
tertentu di mana aliran bersifat turbulen terjadi campuran warna merah dan biru atau mosaik. (Gambar 36 dan 37)
Informasi yang diperoleh: . Menentukan arah dan waktu aliran . Menentukan sifat aliran laminar atau turbulen
Gambar 37 Ekokardiografi dopler warna pasien regurgitasi trikuspid berat, menunjukkan gambaran aliran mozaik melalui tricuspid pada saat sistol (Sumber'. A.Ghanie, Div. Cardiology,
Dept.int.Med Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
1561
PENGAI\MAR DIAGNOSIS EKOI(ARDIOGRAFI
38 Ekokardiograti 2-D dengan warna pada pasien stenosis mitral, aliran turbulen memberikan warna mosaik (kiri) Gambar.
melalui katup mitral yang sempit (kanan) (Sumber : A.Ghanie, Div.
Cardiology, Dept.int Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
Gambar 40. Ekokardiograf transesofageal pasien dengan endokarditis, terlihat vegetasi yang jelas melekat pada katup mrtral
anterior (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int Med
Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
TISSUE DOPPLER Dengan majunya teknologi dapat dilakukan pengukuran kecepatan dopler dai jaingan miokardium, bukan sel darah merah seperti pada doplerbiasa. Dengan modalitas ini dapat diperoleh informasi mengenai relaksasi abnormal , pseudonormal, dan kondisi restriktif dan miokardium.
EKOKARDTOGRAFT TRANS ESOFAGEAL (ETE) Dengan ETE, transduser dilengkapi dengan frekuensi yang relatif lebih tinggi, karena jarak bukan masalah maka kualitas gambar lebih baik dan jendela eko lebih luas. Oleh karena itu beberapa informasi dapat diperoleh sebagai tambahan terhadap informasi yang tidak bisa didapat dengan TTE. Beberapa contoh pencitraan dengan ETE yang sulit
41 Ekokardiografi transesofageal pasien klinis dengan regurgitasi mitral, terlihat ruptur daun katup mitral anterior (panah
Gambar
tunggal, koaptasi mitral dua panah). (Sumbe: A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
didapat dengan ETT dapat dilihat pada Gambar 39,40,41.
REFERENS{ Anderson, B. Echocardiography: the normal examination and Echocardigraphic measurements, MGA Graphics, Manly, Queensland, Australia. First edition. 2000 Chambers, J. Echocardiography in clinical practice. The parthenon publishing group, Spain. 2002.
& Febiger, Malvern, Pennsylvania, USA. Fifth edition. 1994. Feigenbaum, H. Echocardiography. Lea & Febiger, Malvern, Pennsylvania, USA. Sixth edition. 2005. Feigenbaum, H. Echocardiography. Lea
Ghanie,A. arsip ekokardiografi, Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / RS. Dr. Mohammad Hoesin Palembang 1987 - 2006.
Gambar 39. Ekokardiografi transesofageal pasien stenosis mitral dengan strok, terlihat trombus di daerah apendik atrium kiri yang tidak terlihat dengan eko trastorakal (TH, panah besar) (Sumber: A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)
Ghanie, A. Parameter ekokardiografi normal. Unpublished. 2005.
244 EKOI(ARDTOGRAFT TRANS ESOFAGEAL (ETE) Lukman H. Makmun
TEKNIK PEMERIKSAAN
PENDAHULUAN Pemeriksaan Ekokardiografi Trans Esofageal (ETE) merupakan pemeriksaan lanjutan Ekokardiografi Trans Torakal (ETT). Letak perbedaan antara kedua cara pemeriksaan ini adalah pada ETE dengan meletakkan transduser dibelakang organ jantung dengan cara memasukkannya melalui esofagus seperti melakukan pemeriksaan esofago-gastroskopi. Hasil yang didapat adalah gambarat (imaging) struktur jantung lebih jelas dibandingkan dengan hasil ekokardiografi trans torakal dengan transduser berukuran 5 MHz. Transduser terletak pada ujung pipa fiber yang dapat diputar-putar dengan modus biplane atatt multiplane. Biplane berarti transduser hanya dapat digerakkan untuk
mendapatkan horizontal dan vertikal view saja yang berbeda 90'. Sedangkan pada multiplane dapat digerakkan
secara bebas dalam perubahan setiap derajat sehingga didapat gambaran yang diinginkan oleh pemeriksa artinya dapat melihat yiew semua arah.
Dengan ETE
ini
sesuai dengan standar pemeriksaan c o lo r dan D op le r untlk
ekokardio graf1 dapat dilakuk anBko melihat dan m englkur fl ow.
. "':j'.*.;rt ."t. *.. "":[ f
Persiapan Alat Alat transduser Trans Esofageal Qtrobe) sebelumnya dibersihkan lebih dahulu dengan air kemudian disterilkan
dalam cairan kimia (misal:Cidex) selama 20 menit. Seterusnya dibilas dengan air (biasanya dengan cairan infus dekstrosa) dan dikeringkan. Disiapkan lelly xylocain dan dengan kain kasa dioleskan pada probe mulai dari ujung sampai sepanjang 30-40 cm. Atau kalau memungkinkan dibuatkan sarung karet (seperti kondom panjang) untuk menyarungi probe; jelly dimasukkan ke dalam ujung sarung karet supaya terdapat kontak yang baik antara transduser dengan safl.rng karet dan pada bagian luar sarung karet diolesi juga jelly tadi untuk memudahkan masuknya probe ke dalam esofagus. Elektroda EKG dipasang untuk melihat EKG di monitor mesin eko. Probe dihlbtngkan dengan mesin eko dan di set untuk pemeriksaan ETE.
Persiapan pasien:
.
Dilakukan pemeriksaan HBsAg bila alat TEE hanya ada
memungkinkan untuk pasien HBsAg dipergunakan
\
.
sarungkatettntukProbe. s4rullB ll'anEL uttLuL PIUUe. Pasiendipuasakanterlebihdahuluselama6jamsupaya tidakmuntah.
Cara kerja Pasien dibaringkan dengan posisi miring ke kiri, bagian atas badan agak tinggi, tanpa bantal dan leher diganjal
dengan pengganjal. Gigi palsu dilepas dahulu. Faring disemprot dengan Xylocain spray,beberapa kali. Bila Gambar 1 Gambar alal probe
transduser
pasien agak takut dapat disuntikkan midazolam (DormicumR) 0.07 - 0.1 mg/kgBB iv. Hati-hati pada pasien
1562
1563
EKOKARDIOGRAFI TRANS ESOFAGEAL (ETE)
usia lanjut karena dapat terjadi depresi napas. Mouth piece disuruh gigit. Badan pasien bagian distal agak melengkung ke dalam dan kepala agak rnenekuk dan melihat kakinya sendiri. Probe dia1nn sehingga ujungnya agak fleksi (melekuk
ke dalam) sesuai dengan bentuk faring dan ditahan. Gerakan menyamping probe stpaya dikunci. Probe dimasukkan secara perlahan ke dalam mulut, lidah pasien di dalam dan kalau perlu ditekan. Sesampainya probe dr faring, kondisi fleksi probe yang tadi ditahan dengan tangan supaya dilepaskan sehingga probe tadi bebas dan menyesuaikan diri dengan bentuk keadaan esofagus. Pasien disuruh mengambil napas dalam supaya tenang dan disuruh menelan. Sambil pasien menelan, probe didorongkan perlahan dengan lembut ke dalam. Bila ada tahanan jangan dipaksakan. tetapi cabut sedikit, kemudian
arah disesuaikan iagi. Biasanya kalau sudah melewati larirg, probe dengan mudah dapat didorongkan ke distal
esofagus. Kemudian dilihat melalui monitor posisi tran sduser.
Biasanya setelah melewati 30 cm, transduser sudah berada di belakang jantung. Bila lebih dalam lagi akan masuk ke dalam lambung dan akan terlihat ventrikel kanan dan kiri. Kemudianprobe dttaik lagi sampai terlihat semua ruang Jantung.
" . . . , .
Mitral valve prolaps (MVP) Gambaran vegetasi pada katup.
Fungsi protese katup Kelainan katup mitral, aor1a, trikuspid Penonjolan foramen ovale pada strok non hemoragik
Kelainan pada aorta torakalis, misal plak atau aneurysma.
Pada pasien obesitas, emfisema paru dan deformitas dada kadang-kadang sulit untuk mendapatkan gambaran strukturjantung dengan TTE biasa, karena itu diperlukan pemeriksaan dengan ETE ini untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas.
Kontra indikasi: Kontra indikasi pemeriksaan ETE ini adalah sebagai berikut:
. " .
kelainan esofagus aritnriaberat
.
pendarahan hiperlensi maligna.
trombo tes yang sangat rendah, takut bahaya
Dengan memanipulasi tombol pengarah, pemeriksa dapat mengamati bagian-bagian struktur jantung temasuk LAA (LeJt ArriaL Appendage). Setelah selesai pemeriksaan, probe ditaikpelan-pelan sambil melihat kembali struktur aorta. Kemudian pasien dipuasakan tidak makan dan minum selama 3 jam, karena elek xylocain spray tadi.
Gambar 3. Gambaran ETE dengan struktur jantung yang normal, di mana dimensi ruang-ruang jantungnya normal.
Gambar 2. Cara memasukkan alal probe
lndikasi: Indikasi pemeriksaan ETE ini adalah untuk melihat struktur jantung dengan lebihjelas, yaitu: . dugaan trombus di LAA misal pada kasus strok non hemoragik . dugaan trombus di ventrikel. . ASD dan VSD dengan melihat aliran shunt. . Foram.en ovale persistent
Gambar 4. Gambaran trombus di LAA, di mana di lokasi ini tidak bisa di deteksi dengan pemeriksaan TTE biasa. Keadaan patologis
ini merupakan penyebab utama strok non henroragik.
t564
I(ARDIOI.OGI
Gambar 8. Tampak vegetasi pada daun katup trikuspid dan Gambar 5. Gambaran septum inter atrial, tampak intak dengan tidak ada defek
septum ventrikel.
Perlu diperhatikan kemungkinan terjadinya refleks vagal, sehingga perlu disiapkanjuga sulfas atropin ampul. Pemeriksaan ETE ini kurang mengenakkan pasien karena harus menelan probe, meskipun sudah diberikan anestesi lokal.
GAMBABAN ETE PADA KEADAAN NORMAL DAN DENGAN KELAINAN KLINIS Tampak disini gambarannya lebih jelas daripada hanya bila
dilakukan dengan TTE biasa.
REFERENSI
Hatle L, Angelsen B.Doppler Ultrasound in Cardiology. Gambar 6. VSD. Tampak celah pada septum ventrikel. Kondisi seperti ini saat ini dapat dilakukan penutupan dengan teknik kateterisasi.
Gambar 7. MVP (Mitral valve prolaps) Di sini terlihat dengan jelas katup mitral tidak menutup dengan rapat.
Philadelphia : Lea & Fabiger. 2nd ed 198-5. Y, Konstadt SN.Clinical Transesophageal Ekokardiografi cardio graphy. Philadelphia Lippincott-Raven. 1996. Siglow V,Schofer J, Mathey D. Transoesophageale Ekocardiographie Thieme Verlag Stuttgart. 1993.
Oka
245 PEMERIKSAAN KARDIOLOGI NUKLIR Ika Prasetya Wijaya
PENDAHULUAN
PENILAIAN FUNGSI VENTRIKEL
Pemeriksaan pencitraan j antung dengan radionuklir invasif
Angiografi radionuklir dalam kesetimbangan ata:u multiple gated blood pool imaging sangat sering digunakan sebagai salah satu cara untuk menilai fungsi ventrikel yang bersifat
bermula di tahun 1970-an, dengan pemeriksaan aliran darah miokardial. Seiring dengan perkembangan jaman maka saat
ini pencitraan
dengan radionuklir sudah mampu
tak invasif. Teknik yang digunakan adalah dengan memberi label ee'Tc pada albumin atau sel darah merah yang secara
menganalisis fisiologi dan patofisiologi kerja jantung. Pemeriksaan dimaksud adalah aliran darah miokard, metabolisme rniokard sefia fungsi ventrikel.
seragam akan didistribusikan ke seluruh pembuluh darah.
Untuk mendapatkan hasil optimal pada pemeriksaan
saat
istirahat maka sebaiknya tidak ada gangguan irama janrung. Pemeriksaan ini sangat akurat. Hasil lain dari pemeriksaan
ini
PRINSIP DASAR KARDIOLOGI NUKLIR
adalah dengan didapatkannya ukuran dan fungsi
ventrikel kanan, ukuran ruang atrium dan pembuluh darah besar, parameter pengisian diastolik, dan tingkatan berat
Pemeriksaan kardiologi nuklir bergantung kepada penyuntikan isotop yang mengandung foton ke dalam
ringannya regurgitasi katup.
darah pasien. Hasil dari adanya foton tadi akan keluar sinar
First-pass radionuclide angiography adalah metode
gamma yang kemudian ditangkap oleh kamera khusus,
lain yang juga dapat digunakan untuk menilai fungsi
dinamakan kamera gamma. Kelemahan dari pemeriksaan
ventrikel di dalamnya terdapat rekaman perjalanan bolus radionuklir dalam darah dari saat pemberian hingga mencapai pembuluh darah pusat. Metode ini tidak memerlukan sela darah merah yang dilabel dengan.
ini adalah foton yang disuntik dapat memancar ke segala penjuru, menyebar, melemahkan serta dapat diserap. Semakin tinggi energi dari isotop, semakin rendah
Penggunaan ee'Tc pada pemeriksaan
kemungkinan untuk menyebar dan penyerapan. Ada dua isotop yang sering digunakan saat ini, talium 201 (201T1) dan teknetium 99m (ee-Tc), teknetium 99m sendiri terbagi atas beberapa bahan: sestamibi, tetrofosmin dan teboroksim.
Thallium 201
Technetium 99m sestamibi
Waktu paruh fisik 73 jam Biaya radiofarmasi rendah Digunakan untuk mengukur ambilan paru Baik pada pemeriksaan iskemia saat istirahat
Waktu paruh fisik 6 jam Hasil pencitraan yang lebih baik Untuk menilai fungsi ventrikel Waktu pencitraan yang pendek Protokol pencitraan yang cepat Dapat dilakukan pada IMA dan angina pektoris tak stabil Kuantifikasi baik terutama untuk mengukur luas iskemia saat istirahat
ini karena biaya
murah dan waktu paruh yang pendek. Selama pemeriksaan,
perjalanan radioisotop melalui atrium kanan, ventrikel kanan, pembuluh paru kemudian atrium kiri, ventrikel kiri dan aorta direkam dengan kamera khusus (high-count camera). Kelemahan pemeriksaan ini dibandingkan dengan pemeriksaan dalam kesetimbangan adalah rendahnya resolusi dari pergerakan otot ventrikel. Gate d single -photon emis sion computed tomo graphy (SPECT) dapat digunakan untuk menilai fraksi ejeksi dan pergerakan otot ventrikel regional dengan mengambil manfaat dari pemeriksaan perfusi miokard SPECT. Pemeriksaan ini bisa menggunakan 201T1, tetapi yang sering digunakan adalah karena bersifat higher count rate adaTah ee^Tc sestamibi. Aritmia juga menjadi faktor yang dihindari pada pemeriksaan ini.
156
1566
I(ARDIOI.OGI
PENILAIAN PERFUSI MIOKARD Pemeriksaan pencitraan radionuklir dengan metode SPECI
mtocardial pe$usion banyak digunakan penyakit jantung iskemia. Penyuntikan radioisotop pada saat istirahat dan saat aktivitas dilakukan untuk menghasilkan gambaran citra dari hasil dar aliran darah setempat. Terkadang untuk mendapatkan keadaan dengan aktivitas dapat diberikan dipiridamol dan adenosin. Bila terCapat kontra indikasi pada kelainan paru terutama bronkospasme maka dapat diganti dengan menggnnakan dobutamin.
TOMOGRAFT ErVilSr POSTTRON (POSITRON EMiS-
StoNToMoGRAFD Pemeriksaan
ini
berbeda dengan dua pemeriksaan
terdahulu di atas. Dengan menghirup positron, maka emisi yang dihasilkan sangat tinggi. Berguna untuk memeriksa aliran darah di miokard dan lain-lain. Bahan yang dapat digunakan saat ini adalah: arnonia nitrogen-13, air oksigen-
rubidium. Aplikasi klinis pemeriksaan PET adalah untuk menilai kehidupan dari otot-otot ventrikel jantung (myocardiaL
Garnbar
1.
15. dan
Perneriksaan tidak direkomendasikan pada . Infark mrokard akut dengan peningkatan segmen ST
apalagi digunakan untuk menegakkan diagnosis. ini hanya digunakan untuk mengukur
viabilit-t). Selanjutnya dapat diketahui manfaat dari tindakan PTCA atau CABG dengan membandingkan hasil sebelum dan sesudah tindakan. Dengan adanya hasil ini maka diketahui apakah CABG ataupun PTCA yang sudah atau akan dikerjakan dapat memberikan hasil optimal.
Pemeriksaan
o
luasnya daerah infark. Sebagai pemeriksaan utama tetap uji latih jantung dengan EKG.
Fasien yang diduga menderita sakit jantung tanpa
gejala, pemeriksaan BEKOMENDASI PEMERI KSAAN Pemeriksaan kardiologi nuklir
ini
direkomendasikan
.
dikerjakan pada:
.
.
.
Angina pektoris tak stabil dan infark miokard tanpa peningkatan segmen ST untuk menilai beratnya iskemia dan menilai fungsi ventrikel. Fenyakit iskemia jantung kronis untuk menilaiperh-lasan dan beratnya gangguan arteri koroner pada pasien. Pada pasien yang iidak mampu melakukan aktivitas fisik dengan baik maka dapat dibantu dengan menggunakan adenosin atau dipiridamol. Walau demikian uji latih jantung dengan EKG lebih diutamakan. Pada gagal jantung digunakan untukmengeterhui fungsi ventrikel. Pada pasien penyakit jantung koroner lama yang menderita gagal j antung namun tanpa nyeri dapat
dilakukan pemeriksaan kardiologi nuklir untuk
.
persiapan revaskularisasi.
Pasca tindakan revaskularisasi yang menunjukkan gejala adanya iskemia berulang.
ini tidak
direkomendasikan
digunakan sebagai alat untuk mendiagnosis penyakit jantung. Tetapi dapat digunakan untuk memastikan diagnosis dari hasil uji latihjantung yang positif. Persiapan menjalani pembedahan rutin yang bukan berkenaan dengan pembedahan vaskular karena risikonya rendah. Tetapi pada pasien penyakitjantung iskemia kronis sebaiknya dilakukan untuk menilai fungsi
.
ventrikel mallpun viabilitas otot ventrikel. Pasien pasca tindakan revaskularisasi yang tidak bergejala.
REFERENSI Nishimura RA et
a1.
Non-invasif. Cardial imaging: ekokardiografi
Dalam Kasper. Dalam Harrison's principle of internal medicine. New York. McGraw Hill. 2005. NK et al. role of myocardial perlusion imaging for risk stratification in suspected or known coronary artery disease Heart, 20031 89: l29l-1 Udelson JE et al. Nuclear cardiologl'. Dalam Bt'aunwald's editor Heart disesase a textbook of cardiovascular medicine Sabhar-wal
Philadelphia. Elsevier saunders. 2005.
246 PENYADAPAN JANTUNG (CARDTAC CAT H ET ERr ZAT rOM Hanafi B. Trisnohadi
PENDAHULUAN
semua pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan kateter
secara perkutan.
Walaupun banyak kemajuan dalam teknik pemeriksaan
Untuk penyadapan jantung dibutuhkan alat image in-
jantung dengan cara non-invasif seperti dengan pemeriksaan ekokardiografi
,
tensifier dan cine angiography, kateter, transduser untuk
multis lic e CT s can,kardiologi
mengukur tekanan jantung dan oksimeter untuk mengukur saturasi oksigen. Tindakan penyadapan dilakukan dengan anestesi lokal
nuklir dan sebagainya, penyadapan jantung masih memegang peranan penting untuk mengevaluasi anatomi dan fisiologi jantung dan pembuluh darah. Penyadapan jantung ialah suatu tindakan invasif, di mana kateter dimasukkan ke dalam vena atau arteri perifer
dan sedikit obat penenang, tetapi pada anak seringkali dibutuhkan anestesi umum.
dan kemudian didorong sampai ke berbagai tempat di jantung atau pembuluh darah. Melalui kateter tersebut dapat diukur tekanan darah baik di arteri, vena, serambi jantung (atrium) baik kiri atau kanan, bilik janrung
INDI KASI PENYADAPAN JANTUNG
. Untuk memastikan
dan menentukan beratnya penyempitan, lokasi penyempitan dan banyaknya
(ventrikel) kiri atau kanan maupun pembuluh darah besar seperti aorta, arteri pulmonalis, tergantung apa yang mau diperiksa. Melalui kateter tersebut dapat diperiksa saturasi oksigen di ruangan jantung maupun pembuluh darah tadi. Melalui kateter tersebut juga dapat disuntikkan bahan kontras yang radio opak, sehingga pembuluh darah besar dan ruanganjantung dapat di visualisasi secara radiologis. Dengan penyadapan jantung dapat diperoleh data hemodinamik maupun data radiologis (angiografi) untuk tujuan diagnostik. Ada dua macam cara untuk memasukkan kateter ke dalam pembuluh darah, yaitu dengan cara Seldinger di mana kateter dimasukkan secara perkutan ke dalam pembuluh arteri atau vena baik di daerah femoral (arteri femoralis atau vena femoralis). Kateter juga dapat dimasukkan melalui arteri brakialis dan vena cubiti; akhir-
akhir
ini mulai banyak dipakai arteri radialis
penyempitan pembuluh koroner pada penyakit jantung
koroner yang membutuhkan tindakan operasi
.
bypass atau tindakan intervensi. Untuk menentukan beratnya kelarnan katup jantung, baik beratnya stenosis ataupun beratnya insufisiensi katup
jantung, sebelum dilakukan pembedahan jantung, sehingga bisa ditentukan sebelumnya apakah pasien membutuhkan penggantian katup atau perbaikan katup
. .
saJa.
Untukmenentukan faal ventrikel kiri. Untuk menentukkan perubahan anatomi jantung pada
penyakit jantung kongenital yang akan dilakukan tindakan operasi.
untuk
KOMPLI KASI PENYADAPAN JANTUNG
kateterisasi jantung kiri. Yang kedua dengan insisi terutama untuk pembuluh darah lengan, tapi akhir-akhir ini cara insisi
Komplikasi yang dapat terjadi misalnya perdarahan atau hematoma pada tempat masuknya kateter, infeksi, reaksi
pembuluh darah hampir tidak pernah dipakai. Hampir
t567
1568
KARDIOI.OGI
pirogen, hipotensi, reaksi vagal, hipertensi, trombosis, emboli, perforasi pembuluh darah, perforasi miokardium, alergi terhadap kontras, mual sampai muntah tapi dengan
kontras non-ionik yang banyak dipakai sekarang, komplikasi makin berkurang. Bahkan akhir-akhir ini dari pengalaman kami komplikasi dapat dikatakan sangat mini-
mal. Gangguan irama jantung juga dapat terjadi seperti takikardia sinus ,bradikardia sinus , ekstrasistol ventrikel, takikardia ventrikel, fibrilasi ventrikel,ekstrasistol atri al dan fibrilasi atrial.
Komplikasi umumnya ringan dan tidakmembahayakan; dikatakan angka kematian bervariasi dari 0,0lVo sampai 0,l47o.
PENYADAPAN JANTUNG KANAN Kateter dimasukkan melalui vena femoralis ataupun melalui vena di lengan secara per kutan (metoda Seldinger), dan dengan kontrol fluoroskopi kateter dapat didorong ke vena kava inferior superior, atrium kanan, ventrikel kanan, arteri pulmonalis, sampai ke posisi wedge. Tekanan darah dan saturasi oksigen tiap ruangan dapat diperiksa. Kateter dari atrium kanan dapat masuk ke atrium kiri melalui foramen oval atau bila ada defek septal atrial. Melalui kateter juga
dapat disuntikkan bahan kontras radio-opaque untuk melihat ruangan jantung kanan dan pembuluh darah paru.
(Gambar5). Ventrikulografi kiri dalam projeksi lefi anterior oblique (LAO) untuk melihat adanya defek septal ventrikel.
(GambarO ARTERIOGRAFI KORONER: (GAMBAR 2,3) Pemeriksaan arleriografi koroner untuk menentukkan letak
dan beratnya stenosis dari pembuluh darah koroner. Kateter didorong sampai di muara arteri koroner, dan seca4a selektif disuntikkan bahan kontras radio-graphic ke dalam pembuluh koroner dan dilakukan pemotretan dengan alat cine-angiografi, sehingga pembuluh koroner sampai ke cabang-cabangnya dapat divisualisasi. Setiap pembuluh koroner dilihat dari berbagai projeksi untuk mengurangi overlapping dan lebih akurat dalam menentukan beratnya
penyempitan. Projeksi yang lazim dipakai left anterior
oblique (LAO), right anterior oblique cranial (RAO kranial), posteroanterior caudal (PA caudal) luntttk pembuluh darah koroner kiri sedangkan untuk pembuluh darah koroner kanan dipakai projeksi LAO, RAO dan PA kranial. Ada 2 macam cara melakukan arteriografi koroner yaitu metode Sones dengan memakai kateter Sones biasa dilakukan metalui arten brakialis sedangkan metode Judkins dengan kateter Judkins melalui arteri femoralis. Belakangan melalui arteri brakialis juga dipakai kateter Judkins maupun kateter multipurpose. Akhir-akhir ini banyak juga dipakai arteri radialis. Dengan arleriografi koroner, lokasi, beratnya
dan morfologi tempat penyempitan dapat dianalisis dengan baik, dan hasilnya penting untuk menentukan PENYADAPAN JANTUNG KIRI
apakah pasien membutuhkan bedah pintas koroner atau
tindakan intervensi dengan memakai dasar kateter. Pada penyadapanjantung
kiri kateter dapat dimasukkan ke
(Gambar2dan3)
dalam pembuluh arteri melalui afteri femoralis atau arteri
brakialis secara per kutan. Kateter dengan kontrol fluoroskopi dapat didorong ke aorta lalu ke dalam ventrikel kiri melalui katup aofta. Melalui kateter dapat diukur tekanan dan saturasi oksigen di aorla dan ventrikel kiri. Melalui
kateter dapat disuntikkan kontras radio-opaque dan dilakukan pemotretan aorta dan ventrikel kiri secara radiologis. Pemotretan aorta atau aorlografi digunakan untuk melihat apakah ada kelainan aofia atau katup aorta.misalnya apakah ada insufisiensi aofia , dilatasi aofia, aneurisma aorla dan koarktasio aorta. Sedangkan pemotretan ventrikel kiri ata;u left v entriculo g raphy (ventrikulografi kiri)dilakukan dengan menyuntikkan kontras radiologi di ventrikel kiri dan pemotretan dalam projeksi right anterior oblique (RAO) dapat dipakai untuk mengevaluasi faal ventrikel kiri. (Gambar 5,7) Dalam keadaan normal 507o sampai 807o darah dalam ventrikel kiri dapat dipompa keluar, fraksi ejeksi (ejection fraction) antara 50Vo sampai 807o. Dat'r left v entriculo grafi dalam posisi RAO juga dapat dilihat adanya aneurisma ventrikel kiri, trombus di ventrikel kiri, biasanya terlqtak didaerah apeks, dan adanya insufisiensi mitral di mana tampak aliran darah dari ventrikel ke atrium pada masa sistol.
INDIKASI ABTERIOGRAFI KORONER Indikasi arteriografi koroner di unit kami: . Pasien dengan angina pektoris stabil ataupun tak stabil . Pasien dengan exercise test yang positif . Pasien dengan infark jantung akut maupun infark lama
PENGUKURAN CURAH JANTUNG (CARDLAC OUT-
PUt) Curah jantung secara rutin dapat diukur pada waktu penyadapan j antung kiri. Pengukuran curah jantung tidak saja penting untuk menentukan faal ventrikel kiri' tapi juga penting untuk menghitung luas katup jantung. Tetapi akhirakhir ini dengan kemajuan pemeriksaan ekokardiogarfi, tindakan untuk mengukur curahjantung secara non invasif cukup dapat diandalkan. Cara memeriksa curah jantung pada waktu penyadapan jantung adalah sebagai berikut:
PENYADAPAN JANTU NG (CARDZA
.
r569
C CAT H E TE RI 7.ATI OM
Metoda Fick: Curah jantung diperoleh dengan
kanaikan saturasi oksigen sebesar 2Vo di arteri pulmonalis menunjukkan ada shunt dari aorta ke arteri pulmonalis seperti padapatent duktus arteriosus. Sedangkan bila ada penurunan saturasi oksigen di sistem jantung kiri maka ada shunt dari kanan ke kiri. Besarnya ,shunt biasanya didasarkan atas perhitungan:
memeriksa konsumsi oksigen dibagi dengan perbedaan oksigen (oksigen content) di arteri dan vena. Curah j antun g normal sampai 4.8 Ll mtnl m2.
. Metoda .
dengan termodilusi maupun dengan
indocy anide green sudah jarang dipakai
Angiografi Paling banyak dipakai karena dapat diJakukan pada
Pulmonary flow = Systcmic irtery 02 satLrnxi Systenic venous 02 satrmsi
waktu melakukan penyadapan jantung kiri.
Systemic
Pada waktu membuat ventrikulografi kiri dapat diukur aksis yang panjang dan pendek dari ventrikel kiri pada masa sistol dan diastol, sehingga volume ventrikel kiri pada masa
sistol atau diastol dapat dihitung sehingga curah jantung juga dapat diketahui.
flow
Pulmonary afiery 02 satura-si PuJmonary venous 02 saturxi
Contoh data yang diperoleh dari penyadapan jantung pada pelbagai macam kelainan jantung Stenosis mitral. Pada stenosis mitral tekanan di atrium kiri lebih tinggi dari ventrikel kiri pada masa diastol, sehingga ada perbedaan tekanan di atrium kiri dan ventrikel kiri yang disebut "gradient katup mitral". (lihat gambar 1)Makin tinggi perbedaan tekanan tersebut makin berat stenosis
LUAS KATUP Luas katup dapat dihitung dengan menggunakan rurllls dari Gorlin: Untuk menggunakan rumus Gorlin perlu diketahui: . Cardiac output . Perbedaan tekanan (pressure gradient') pada katup yang mau dihitung luasnya. . Systolic e.jection period. atat diastolic filling period tergantung dari katup yang mau diukur luasnya. Rumus untuk menghitung luas katup:
katup mitral. Luas katup mitral dapat dihitung dengan rumus
ILI,
menggambarkan tekanan di atrium kiri menunjukkan adanya gelombang v yang besar. Kebocoran dari katup mitral dapat
rl illi rl
Di.astoLic Jllling periocl x heart rate
diastolic
K (37) x mean
gradient
I
-__]
SHUNT jantung kongenital, dilakukan pemeriksaan oksigen saturasi di vena kava, atrium kanan, ventrikel kanan, dan arteri pulmonalis sedangkan untuk sistem jantung kiri juga diperiksa saturasi di aorta dan ventrikel kiri. Akan ada kenaikan saturasi oksigen pada tempat yang Pada penyakit
ada
shunt dai kiri ke kanan. makin besar kenaikan saturasi
menunjukkan shunt j:uga makin besar. Misalnya adanya kenaikan saturasi oksigen di atrium kanan sebesar 47o atau lebih menunjukkan adanya shunt daiktike kanan di tingkat atrium karena defek septal atrial, sedangkan adanya kenaikan saturasi di ventrikel kanan sebesar 37o alauleblh menunjukkan adanya .shunt dari kiri ke kanan di tingkat
ventrikel seperti pada defek septal ventrikel. Adanya
Insufisiensi mitral (Gambar 10). Adanya insufisiensi mitral dapat diduga bila dari pemeriksaan grafik rekaman tekanan di posisi wedge dari arteri pulmonalis yang
dengan mudah dilihat dari pemeriksaan ventrikulografi krri, i
I
--
Gorlin. Dari ventrikulografi kiri dapat dilihat pergerakan katup mitral, adanya kalsifikasi pada katup mitral dan apakah ada kebocoran pada katup mitral. Faal ventrikel kiri juga dapat dinilai dan kadang dapat dinilai apakah ada trombus di atrium kiri. Adanya hipertensi pLrlmonal juga dapat dinilai dengan mengukur tekanan di arteri pulmonalis.
di mana akan tampak aliran kontras dari ventrikel kiri ke atrium kiri pada waktu sistol. Dari ventrikulograh juga dapat dinilai besarnya dan faal ventrikel kiri.
Stenosis aorta (Gambar 4). Diagnosis stenosis aorta ditegakkan bila ada perbedaan tekanan sistolik di ventrikel kiri dibandingkan dengan tekanan sistolik di aorta (tekanan sistolik di ventrjkel kiri lebih tinggi dari tekanan sistolik di aorta. dalam keadaan nonnal tekanan sistolik di ventrikel kiri dan aofia sama) Makin tinggi perbedaan tekanannya makin besar stenosisnya. Luas katup aofta dapat dihitung dengan rumus Gorlin. Dari pemeriksaan aorlografi dapat dilihat bentuk katup aorta, pergerakannya, adanya kalsifikasi dan apakah ada insufisiensi aorta.
Insufisiensi aorta: (Gambar 8,9). Pada insufisiensi aofta adanya kebocoran katup aorta dapat dilihat dari pemeriksaan aortografi. Bentuknya katup aorta, dan beratnya insufisiensi juga dapat ditentukan. Faal ventrikel kiri juga dengan mudah dapat dilihat.
Defek septal yentrikel: (Gambar 6). Adanya defek septal ventrikel (VSD) dapat diketahui karena adanya kenaikan saturasi oksigen di ventrikel kanan dibandingkan dengan atrium kanan. Dari pemeriksaan ventrikulografi kiri tampak adanya aliran kontras dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan
1570
I(ARDIOLOGI
melalui septum interventrikularis (posisi Left anterior oblique). (Gambar 6) Lokasi VSD juga dapat ditentukan. Flow ratio dapat dinilai dan tekanan di arteri pulmonalis dapat diukur apakah sudah ada hipertensi pulmonal. Biasanya dianjurkan tindakan operasi penutupan VSD bila
flow ratio lebih dari
1.5.
Atrium kanan Mean (rerala)
- z-
o
=2-10 =2-10
Gelombang a Gelombang v Ventrikel kanan Sistolik Diastolik akhir A. pulmonalis Sistolik Diastolik Rerata
Gambar 2. Left coronary angiogram menunjukkan penyempitan 90% di pembuluh LAD (Left anterior descending)
= 15-23
= 2-B
=15-30 =4-12
=9-12
Atrium kiri Sistolik Diastolik akhir
= 100
Cardiac index
=26-42llminlm
Stroke volume
= 30 - 65 ml/m'? = 700 '1600 dynes sec m5 ,, 2 = JU - b5 mt/m = 100 - 300 dynes sec m5
-
140
- J - tz
-
Systemlc vascular resistance Stroke volume index Total pulmona ry va scul a r
resistanc
Gambar 3. Gambar menunjukkan angiogram pembuiuh koroner kanan (BCA=flght coronary artery), menunjukkan I00% blok PCr,r
3i
J
Angiografi dilakukan pada pasien infark akut bagian inferior kurang dari 6 jam Pasien juga mendapat pacu jantung sementara karena ada AV blok
,il il
,i
-L
\t
Gambar 1. Pada gambar di atas dapat dilihat kurva tekanan di posisi wedge (PCWP= pulmonary capillary wedge pressure\ dan kurva tekanan di ventrikel kiri yang direkam bersama-sama. Tampak tekanan di posisi wedge lebih tinggi dari ventrikel kiri pada masa diastol, dengan perbedaan tekanan pada akhir diastol ( gradient katup mitral ) sebesar 20 mmHg. Tekanan di posisi wedge ( PCWP ) menggambarkan tekanan di atrium kiri Adanya perbedaan tekanan antara PCWP dan ventrikel kiri menunjukkan adanya stenosis katup miiral, makin tinggi perbedaannya makin berat deralat stenosis katup mitral.
Gambar 4. Gambar menunjukkan kurva tekanan di ventrikel kiri dan di aorla, di mana tekanan sistolik di ventrikel tinggi jauh lebih tinggi dari tekanan sistolik di aorta, didapatkan perbedaan tekanan sebesar '130 mmHg (tekanan sistolik di ventrikel kiri '140 mmHg dan di aoda 110 mmHg). Kurva tekanan diatas menunjukkan aorta stenosis berat. Perbedaan tekanan di katup aorta menunjukkan adanya aona stenosis, makin besar beda tekanan makin berat
stenosisnya
l57t
PEITYADAPAN JANTUNG (CA.RD'A C CATH ET E RI ZAT I A M
Gambar 5. Ventrikulografi kiri menunjukkan adanya hipokinetik didaerah anteroapical
Gambar 9. Aortografi dalam posisi LAO menun.lukkan aorta asendens yang melebar dan tampak adanya kontras yang mengalir dari aorta ke ventrikel kiri pada masa diastol, menunjukkan
adanya insufisiensi aorta
Gambar 6. Ventrikulografi kiri pada posisi LAO menunjukkan kontras yang disuntikkan di ventrikel kiri ada yang mengalir ke ventrikel kanan melalui defek septal ventrikel Gambar 10. Ventrikulografi kiri pada posisi RAO menunjukkan ventrikel kiri agak membesar dan faal sistolik masih baik, dan didapatkan insufisiensi mitral, dapat dilihat kontras mengalir dari ventrikel kiri ke atrium kiri pada masa sistol
BEFERENSI
\(nlrikcl lir r, )udr m.sr sislo
c
Gambar 7. Ventrikulografi kiri pada posisi RAO pada pasien dengan faal ventrikel yang normal
Gambar 8. Aortografi pada posisi RAO menunjukkan aorta mempunyai 3 daun dan tidak ada insufisiensi aorta
Bainr DS, Grossman W: Grossrnan's Cardiac Catheterization, Angiography and lntervention. 6'h editjon Baltimore. Lippincot,
William Wilkins 2000. Davidson CJ et al: Cardiac catheterization. in Heart Disease. 6'h ed E Brzrunwald (ed), Philadelphia, Saunders, 2001
247 INTERVENSI KORONER PERKUTAN T. Santoso
Angioplasti koroner diperkenalkan oleh Andreas Gruentzig sebagai tindakan revaskularisasi koroner non-bedah pada
akhirnya dinding pembuluh akan dilapisi endotel normal kembali. Akan tetapi pasca PTCA, reaksi penyembuhan ini dapat terjadi dalam bentuk remodelling, elastic recoil dan/atau hiperplasia neointima. Negctrit,e remodelling,
tahtn 1,911 . Tindakan angioplasti koroner ini lazim dinamakan percutaneous transluminal coronary
menyebabkan terj adinya restenosis. Karena itu
ANGIOPLASTI KORONER PERKUTAN
angioplasty (PTCA). Pada waktu itu teknik yang dipakai hanyalah menggunakan balon yang dimasukkan ke
pembuluh koroner yang stenotik, setelah itu balon dikembangkan dan dengan demikian stenosis menghilang atau amat berkurang, lalu balon dikempiskan dan dikeluarkan. Teknik ini dapat amat et'ektif, tetapi kadangkadang dapat menyebabkan komplikasi seperti oklusi arteri mendadak akibat diseksi dan infarkjantung akut5. Teknik
angioplasti koroner berkembang pesat sejak diperkenalkannya penggunaan "alat-alat baru" yang bukan hanya menaikkan angka keberhasilan angioplasti koroner tetapi juga amat menurunkan risiko tindakan. Dengan perkembangan ini maka istilah PTCA menjadi diperluas dan pada saat ini lazim disebut "intervensi koroner perkutan" atalu percutaneous coronar\ intervention (PCI). Salah satu "alat baru" yang amat bermanfaat adalah stent. Pada masa sekarang, PTCA mumi sudah jauh lebih jarang dilakukan, karena pada umumnya dilakukan pemasangar] stent.
elastic recoil dan hiperplasia neoinitma ini
akan
dikembangkan penggunaan stent. Stent dapat dipakai untuk mengatasi komplikasi akut seperli hasil dilatasi yang suboptimal, diseksi oklusif dan infark jantung akut yang
dapat terjadi sebagai akibat dari ini. Stent dapat pula menghambat negative remodeling dan elastic recoil, sehingga penggunaan stent akarr mengurangi restenosis. Stent pefiama kali dipakai pada manusia oleh Puel di Toulouse dan Sigwart di Lausanne. Stent merupakan struktur metal yang dapat menyangga pembuluh darah supaya tetap terbuka. Secara garis besar, ada stent dalam bentuk self-expanding stent di mana s/enf terbungkus dengan membran dimasukkan ke lesi stenotik dalam bentuk
belum terkembang, lalu dengan menarik membran, maka s/enl terbuka. Kemudian dapat dilakukan optimalisasi
dengan balon. Akan tetapi kebanyakan stent yaflg sekarang dipakai adalah bentuk balloon expandable stent ,etent dalam keadaan belum terkembang ditempel pada balon sedemikian sehingga profilnya kecil dan dapat dimasukkan ke lesi stenotik. Setelah sampai di tempat tar-
Di sini
get, stent dipasang dengan mengembangkan balon. Kemudian balon dikempiskan dan s/enr ditinggal dj dalam.
STENT
Sering diperlukan preparasi lesi stenotik untuk
terutama dapat menyebabkan robekan dinding pembuluh atau diseksi. Makin besar alat atau tekanan dipakai, maka trauma yang diakibatkannya makin besar, bukan hanya sebatas intima atau plak, tetapi dapat lebih dalam mencapai
memudahkan penempatan dan pemasangan stent di tempat lesi, umumnya dengan melakukan predilatasi dengan balon (balon biasa atau balon khusus seperti cutting balloon) atau tindakan ajungtif lain seperli rotablasi atau aterektomi. Pasien yang menjalani pemasangan s/e,?/ umumnya diberi 2 jenis obat antiplatelet untuk mencegah trombosis srerr,
media atau bahkan adventisia. Trauma ini akan mencetuskan terjadinya proses penyembuhan dan
rninimal satu bulan. Pada waktu stent perlama kali dipakai pada manusia,
PTCA selalu menyebabkan trauma pada dinding arteri,
1572
L573
INTERVENSI KORONER PERKIJTAN
penggunaan stent ternyata dapat menyebabkan komplikasi trombosis akut atau subakut, yang dapat mengakibatkan
5.2Vo menjadi 3.57o pada penyelidikan-penyelidikan di mana stent stdah mulai dipakai. Penggunaan stent menurunkan
terjadinya infark jantung akut dan kematian. Kemudian diketahui, bahwa terjadinya trombosis amat tergantung pada hasil pemasangan stent. Karena itu pada waktu pemasangan stenthanrslah diyakini bahwa hasilnya harus optimal. Colombo membuktikan, bahwa komplikasi ini dapat amat dikurangi dengan melakukan dilatasi balon dengan tekanan tinggi, dan dibuktikan dengan int rav as c ular ult r as ound (IVUS ). Penggunaan stent terbukti dapat menekan terjadinya restenosis akibat PTCA. Selain itu stent }uga amat berguna untuk mencegah oklusi pembuluh akut seperti misalnya akibat diseksi, serta untuk menyempurnakan hasil PTCA yang masih suboptimal. Penyelidikan BENESTENT dan STRESS membuktikan, bahwa penggunaan stent lebrh superior dibandingkan PTCA dalam kaitan dengan restenosis dan"eventfree survival". Sejak itu minat orang terhadap pemasangan stent menjadi amat besar (stent
risko tindakan revaskularisasi ulang (target lesion
frenay). Stent menjadi amat sering dipasang dengan indikasi yang amat luas untuk tatalaksana stenosis yang bahkan tidak termasuk dalam lesi yang diselidiki pada penyelidikan-penyelidikan tersebut. Restenosis setelah pemasangan srenr lebih kecil daripada restenosis pasca PTCA, yaitu sekitar l0-18Vo, walaupun untuk lesi-lesi kompleks angka ini dapat lebih
revascularization, TLR) sampai setengahnya. Selain itu baik stent maupun CABG sama baik memperbaiki keluhan pasien (angina).
Untuk kelainan banyak pembuluh ("multivessel disease". MVD) ada beberapa penyelidikan penting perbandingan PCI dengan stent dan CABG. Pada penyelidikan ARTS (Arterial Reyas cularization Therapy Study) diacak 1205 pasien untuk menjalani pemasangan stent ata.u CABG. Setelah satu tahun, tidak ada perbedaan dalam angka kematian atau infark jantung, walaupun demikian kelompok stentlebih sering menjalani TLR. Pada penyelidikan ERACI II (Argentine Randomised Study of
Stents yersus CABG in Multivessel Disease) angka harapan hidup bahkan lebih baik pada kelompok stent (97 .4 vs 92.5 persen; p<0.015) dan pula angka bebas serangan infark jantung juga lebih baik pada kelompok stent (97 .7 vs 93.4 persen; p<0.017), tetapi kebutuhan TLR lebih sering
diperlukan pada kelompok s,tent, walaupun biaya keseluruhan untuk kedua kelompok sama. Pada penyelidikan SoS (Srenr assisted PCI versus CABG in multivessel coronary artery disease), angka morlalitas dan infark jantung sama banyak pada kedua kelompok PCI atau CABG. TLR diperlukan lebih sering pada kelompok PCI.
tinggi lagi. Berbagai faktor berpengaruh terhadap terjadinya restenosis. Faktor klinik seperti diabetes melitus, atau angina tak stabil akan menaikkan angka restenosis. Faktor tindakan antara lain pemasangan stent yatg kurang
DRUG.ELUTING STENT
sempurna (misalnya aposisi stent ke dinding kurang
Dengan makin luasnya pemakaian s/enl, problem utama
sempurna), atau diseksi yang tak diatasi juga
PCI yang sulit dipecahkan adalah restenosis. Stentmemarrg
mempermudah terjadinya restenosis. Morfologi lesi juga
menurunkan kekerapan restenosis, tetapi hiperplasia
amat berpengaruh, termasuk yang menaikkan
neointima tetap terjadi. Penggunaan obat sistemik ternyata tidak memberi hasil baik. Salah satu usaha untuk mengatasi
kecenderungan restenosis misalnya lesi yang panjang atau difus, oklusi total, diameter pembuluh kecil, lesi ostial, lesi restenotik, serta lesi pada pembuhh graft saphena.Untlk
menilai apakah pemasangan s/e/?/ sempurna dapat dilakukan pemeriksaan IVUS, angioskopi, fractional flow reserve (FFR) atau co ronary flow reserve (CFR), akan tetapi pemeriksaan ini tidak mutlak lagipula menaikkan biaya
tindakan. Perbandingan antara PCI dan operasi pintas koroner (coronary artery bypass surgery, CABG) diselidiki pada 13 penyelidikan yang mencakup 7964 pasien. Pada kurun waktu pemantauan 1, 3 sampai 8 tahun, tidak ditemui perbedaan angka kematian antara kedua kelompok terapi revaskularisasi tersebut. Penggunaan stent ler.nyata banyak memberi manfaat. Pada penyelidikan-penyelidikan
terdahulu di mana stent belum dipakai, ditemui kecenderunganbahwa CABG lebih baik daripada PCIpada tahun ketiga; hal mana tidak ditemui lagi setelah dipakai stent. Kecenderungan bahwa CABG lebih baik daripada PCI hilang walaupun mortalitas akibat CABG menurun dari
ini
adalah dengan memberikan radiasi intrakoroner.
Tindakan ini lazim dinamakan brakiterapi (brachytherapy). Upaya lain yang kemudian ternyata memberi hasil amat memuaskan adalah penggtraan drug-eluting stent (DES). Pada prinsipnya, DES merupakan stent yang bersalut
obat. Obat yang dipakai harus mempunyai efek antiproliferatif dan antiinfl amasi, sehingga dapat menekan hiperplasia neointima. Dengan demikian secara teoretis, obat yang potensial toksik bila diberikan secara sistemik dapat diberi secara lokal dalam konsentrasi yang amat kecil, tetapi efektif dan lebih aman. Supaya obat dapat menempel pada stent diperlukan polimer. Polimer berfungsi sebagai pengangkut obat dan setelah stent dipasang obat akan mengalami difusi secara perlahan masuk ke dinding pembuluh. Hasil jangka panjang tergantung dari reaksi tubuh (pembuluh) terhadap polimer dan obat dan juga terhadap stent ittr sendiri. Penyelidikan-penyelidikan terdahulu dengat stentbersalut emas, juga dengan QuaDS stent, aktinomisin, dan batimastat, ternyata gagal karena
1574
I(ARDIOI.OGI
DES ini lebih menyebabkan reaksi prolifersi, peradangan (inflamasi), atau lebih trombogenik daripada stent biasa (bare metal s/e,?/, BMS)
DES yang kemudian ternyata memberikan hasil baik adalah sirolimus - eluting stent (SES) dan paclitaxel-eluting stents (PES). Hal ini terbukti dari banyak penyelidikan seri kasus atau penyelidikan acak yang telah dilakukan dan dipublikasi. (Tabel 1)
Penyelidikan pertama pada manusia dengan SES dilakukan pada 45 pasien di Sao Paolo, Brazilia dan Rotterdam, Negeri Belanda. SES ternyata dapat hampir sempurna menghambat proliferasi neointima pada pemantauan setelah 4 bulan. Selanjutnya pemantauan
I
dan 2 tahun menunjukkan bahwa penekanan hiperplasia neointima ini menetap, dibuktikan baik dengan IVUS atau "4 uantitativ e coronary angio graphy (QCA). Pada penyelidikan Randomized Study With the Sirolimus - Eluting Bx Velocity B alloon- Expandable Stent (RAVEL) trial,238 pasien secara acak mendapat stentbiasa (BMS) atau SES. Setelah 6 bulan, restenosis temyata26To pada kelompok BMS dan 07o pada kelompok SES. Selain itu tak ditemui trombosis subakut dengan kombinasi 2 obat setelah
anti-platelet. Pada pemantauan 1 tahun kekerapan kejadian koroner mayor (major adverse cardiac events,MACE) 29Vo padakelompok BMS dan hanya 5,8Topadakelompok SES.
Perbedaan ini terutama disebabkan oleh rendahnya kebutuhan revaskularisasi ulang pembuluh taryet ("targ e t v e s s e I rev as c ul ari zation", TY R). Pada RAVEL, setelah 3 tahun dapat dipantau 114 pasien pada kelompok BMS dan 1 13 pasien pada kelompok SES. Dilaporkan TVP.ll,4Vo
pada kelompok SES dibandingkan dengan 33,67o pada kelompok BMS. Data ini jelas membuktikan bahwa hasil baik pemasangan SES dapat dinikmati jangka panjang serta menurunkan kebutuhan tindakan revaskularisasi ulan g. Penyelidikan SIRIUS (Sirolimus - Eluting B alloon Expandable Stent in the Treatment of Patients With De Novo Native Coronary Artery Lesions) melibatkan 1058 pasien yang diacak menjalani pemasatgan stentbiasa (BMS) atau SES pada 53 senter. Kohort ini melibatkan juga pasien diabetes melitus (267o), kelainan yang lebih panjang (rerata 14,4 mm) dan diameter pembuluh lebih kecil (rerata 2,8 mm) dibandingkan dengan populasi RAVEL. Sekali lagi terbukti bahwa kelompok SES mengalami MACE pada kurun waktu pemantauan 270 hari yang lebihrendah dari kelompok BMS (7 ,lVo vs 18,97o), dan hal ini terutama karena kebutuhan untuk TLR lebih rendah pada kelompok SES dibandingkan kelompok BMS (4,17o vs 16,6%o). Dengan evaluasi QCA dan IVUS dibuktikan bahwa mekanisme efek baik tersebut adalah karena proses hiperplasia neointima dapat ditekan. S elanj utnya penyelidikan R E S EARC H dar T- S EARC H
(Rapamycin-Eluting and TAXUS Stent Evaluated At Rotterdam Cardiology Hospital) pada Thoraxcenter, Rotterdam, Negeri Belanda, membuktikan keamanan penggunaan SES pada pasien sindrom koroner akut,
termasuk STEMI. Penyelidikan di Rotterdam tersebut juga menunjukkan bahwa SES potensial juga baik dipakai unhrk memperbaiki res tenosis setelah pemas angan s t e nt (" in s I e nt restenosis"). Pada penyelidikan lain di mana 368 pasien dengan 735 lesi stenotik menjalani pemasangatS4l stent, restenosis >507o hanya ditemui pada 11 pasien dan pada
semua pasien dalam bentuk fokal (bentuk restenosis paling ringan dan paling mudah diperbaiki). Harus ditambahkan bahwa pada seri iri stent dipasang pada lesi yang relatif panjang (17,48 + 12,19 mm) dan anatomi lesi yang lebih kompleks, di mana biasanya angka restenosis dengan BMS amat tinggi.
Untuk PES, penyelidikan pertama yang dilakukan adalah TAXUS -I di mana dip akai " p ac lit axe l, p o lyme 4 N I R stent system". Sejumlah 61 pasien diacak mendapat BMS atau PES. Setelah dipantau l2 bulan, angka MACE adalah
3Vo (l kejadian) pada kelompok TAXUS dan l07o (4 kejadian pada 3 pasien) pada kelompok BMS dan tidak ditemui trombosis s/enf subakut. Walaupun perbedaan ini tidak mencapai kemaknaan statistik, diameter lumen
minimal ("minimal luminal diameter", MLD) secara bermakna lebih baik pada kelompok TAXUS. Penyelidikan ASPECT melibatkan 177 pasien dengan lesi pendek (kurang dari 15 mm), dan "ideal" (diameter pembuluh 2.25 sampai 3.5 mm) dan secara acak mendapat BMS Cook Supra-G atau PES di mana dipakai 2 macam dosis. Penilaian penyelidikan ini agak sulit karena dipakai 3 macam regimen obat anti-platelet. Restenosis terjadi sebesar 4Vo pada kelompok PES dosis tingg| l27o pada kelompok PES dosis rendah darr 27 7o pada kelompok B MS. Pada evaluasi IVUS, terbukti bahwa pada kelompok PES hiperplasi neointima dapat ditekan.
IV merupakan penyelidikan acak ganda tersamar " slow-release;
Penyelidikan TAXUS
prospektif
,
olyme r- b as ed p ac litaxel-NlR stent sy stem pada 7 3 serfier di Amerika. Sejumlah 1314 pasien dengan lesi pembuluh koroner berdiameter antara 2,5 sampu 3,75 mm dan panjang 10 sampai 28 mm diacak untuk mendapatkan BMS atau PES. Pada pematauan 9 bulan, walaupun angka kematian,
p
infarkjantung, atau trombosis s/enf subakut tak berbeda antara kelompok B MS dan PES (0, 8 % v s. O,6Vo), restenosis pada angiografi amat menurun dengan penggunaan PES dibandingkan BMS (7,97o dibandingkan 26,6Vo). Atas dasar hasil baik ini FDA menyetujui penggunaan PES di Amerika. TAXUS Itr merupakan penyelidikan registri yang
memperlihatkan bahwa PES ini potensial dapat dipakai untuk pengobatan instent restenosis. Penyelidikan perbandingan (REALITY, SIRIAX) antara SES dan PES tidak memperlihatkan perbedaan bermakna
(M.C. Morice, presentasi oral, American College of Cardiology Scientijic Session, Orlando, FIa, Maret 2005;
S. Windecker, presentasi oral, American College
of
Cardiology Scientffic Session, Orlando, Fla, Maret 2005).
Harus diingat, bahwa kebanyakan penyelidikan
ts75
INTERVENSI KORONER PERKLTIAN
melibatkan pasien dengan angina stabil atau tak stabil,
BRAKITERAPI
stenosis 5l-99%o, diameter pembuluh 2,75-3,5 mm, panjang
lesi 15-30 mm. Pada kebanyakan penyelidikan tidak dimasukkan pasien dengan infark akut kurang dari 48 jam, fraksi ejeksi kurang dari1,25, riwayat atau dalam rencana akan dilakukan brakiterapi, riwayat PCI pada lesi sama, kelainan atau penyakit lain yang akan memperpendek umur, kontraindikasi aspirin, tienopiridin, atau substansi ste nt,
Instent restenosis umumnya terjadi di dalam stent dan sering pula terjadi pada tepi stent. Walaupun angioplasti
balon merupakan cara pa.ling mudah dan aman untuk
insufisiensi ginjal atau kelainan hematologi. Selain itu
memperbaiki hal ini, angka kekambuhan kembali amat tinggi. Banyak faktor memudahkan terjadinya restenosis instent : lesi yang panjang (>30 mm), penggunaan stent panjaflg, diameter pembuluh kecil (<2,5 mm), diameter pembuluh
termasuk dalam kondisi yang secara angiografik umumnya dimasukkan dalam kriteria eksklusi adalah: lesi ostium, lesi
pasca tindakan kecil, buntu total kronis, lesi ostium atau bifurkasi, adanya diabetes melitus.
pembillh graft
Pada beberapa penyelidikan, penggunaan brakiterapi intrakoroner dan intra-SVG memberikan hasil yang baik
bifurkasi, lesi unprotected left main,
Tesi
vena saphena, kalsifikasi berat, trombus, tortuositas berat,
klinik maupun angiografik cukup
dan oklusi pembuluh. Untuk mengevaluasi apakah DES dapat dipakai pada
pada penilaian
subset kelainan angiografik yang beragam tersebut, Semrys dkk. telah menyelidikinya pada registri RESEARCH dan T-SEARCH. Pada pasien sindrom koroner akut penggunaan DES pada 198 pasien dibandingkan dengan penggunaan BMS pada 301 pasien. MACE termasuk kematian (3,)Vo vs 3,07o), infark jantung nonfatal (3,07o vs 1,07o), dan TLR (1,07o vs2,77o)takberbedauntuk SES dan BMS (total6,1% vs6,67o). Lemos menyelidiki penggunaan SES pada 186 pasien STEMI dan dibandingkan dengan 1 83 pasien STEMI yang mendapat BMS. Pada kurun waktu
INHIBIT, SVG-WRIST). Restenosis pada tepi stent
pemantauan 30 hari, MACE (7 ,57o vs 10,4Vo) dan trombosis stent (07o vs 1,6Vo) tak berbeda antara kelompok SES dan
BMS. Setelah 300 hari, TLR (1,1% vs8,2Vo') dan MACE
memuaskan (GAMMA-I, WRIST, LONG-WRIST, STARI,
merupakan penyulit yang kurang menyenangkan. tetapi dapat dikurangi dengan penggunaan sumber radiasi yang
lebih panjang (atau teknik sekuensial, pull-back technique) dimana segment of interest dapat secara efektif
diradiasi. Manfaat klinik jangka panjang radiasi dengan penggunaan sinar beta (STARTsT) terbukti sama dengan pengunaan sinar gamma (SCRIPS-I, GAMMA-I, WRIST). Untuk radiasi sinar gamma, hasil baik setelah 3 dan.5 tahun telah dilaporkan. Untuk mencegah oklusi pembuluh setelah pemantauan jangka panjang, disarankan penggunaan klopidogrel untuk I tahun. Penggunaan brakiterapi amat berkurang sejak diperkenalkannya drug - e luting stent.
(9,4Vo vs 11 ,)Vo) menurun pada pasien yang mendapat SES.
Suatu penyelidikan kuantitatif oleh Saia melaporkan angka restenosis O7o pada 6 bulan pada 96 pasien STEMI, dan angka"late loss" turun sampai sebanding dengan angka
pada penyelidikan pada pasien stabil dan mempunyai kelainan anatomi yang kurang kompleks. Penggunaan SES pada oklusi total diselidiki oleh Hoye dkk pada 56 kasus yang mendapat SES dibandingkan dengan 28 pasien yang mendapat BMS. Setelah 12 bulan, kekerapan bebas MACE 9 6.4Vo p adakelompok SES dan 82. I Vo dengan B MS (<0,05 dengan lo g - r ank /esl). Untuk g r afi v ena s afena (" s ap he n ous vein graft", SVG) lama yang berdegenerasi diselidiki 19 pasien denagn 21 lesi yang diberi SES. Ternyata TLR dibutuhkan p ada)Vo dan angka bebas MACE tahun adalah 84Vo.
Penyelidikan-penyelidikan lebih luas penggunaan DES
untuk segala macam indikasi dan berbagai subset pasien dan beraneka ragam morfologi lesi ("real world cases") makin banyak dilakukan. Hasilnya memang sebagian masih kita tunggu, akan tetapi dalam praktek karena sebegitu jauh penggunaan DES memberikan hasil begitu baik, DES sering dipakai untuk indikasi diluar dari indikasi yang telah dilakukan pada penyelidikan yang telah selesai (off-label zse). Dengan demikian di seluruh dunia pada saat ini
CUTTINGBALLOON Cutting balloon adalah balon yang mempunyai 3 sampai 4 pisau pemotong tipis yang ditempel secara longitudinal pada balon. Dengan demikian bila dikembangkan, maka plak akan mengalami insisi longitudinal dan diharapkan akan terjadi
redistribusi plak yang lebih baik pada dilatasi dengan tekanan yang lebih rendah dibandingkan angioplasti balon biasa. Penyelidikan "cutting balloon global randomized trial" mellbakan 1238 pasiendengande novo stenosis.Akau:, tetapi hasil "primary endpoint" dan angka restenosis tidak
berbeda antara cutting balloon dibandingkan balon konvensional biasa (3l,4%o vs 30,4Vo). Dengan demikian hipotesis bahwa dilatasi terkendali dengan cutting balon akan menurunkan angka restenosis tidak terbukti. Pada beberapa penyelidikan dilaporkan bahwa per,ggtrnaar, cutting balloon mungkin dapat dipakai untuk terapi instent restenosis. Hal mana ternyata tidak terbukti pada penyelidikan RESCUT. Cutting balloon mungkin masih berguna dipakai pada restenosis instent untuk mengurangi terjadinya pergeseran balon waktu dilakukan dilatasi (balloon slippage), setttngga mengurangi trauma. Hal mana
kecenderungan untuk operasi pintas koroner telah
berguna untuk menghindari geographical miss
menurun dengan pesat.
digunakan bersama dengan brakiterapi.
bila
t576 ROTABLASI Ateroma dapat "dihancurkan" menjadi mikropartikel Iebih kecil dari eritrosit dengan menggunakan rotablasi. Mata bor dibuat dari platinum dan berlian dan kecepatan yang dipakai umumnya amat tinggi, yaitu antara 140.000- 1 80.000 rpm. Karena dapat terjadi spasme koroner dan "no/slow flow phenontenon", operator harus tahu dengan baik cara menggunakan alat ini (CARAFE Study). Pada penyelidikan COBRA. untuk lesi de novo. penggunaan rotablasi ternyata terbukti tidak mempunyai kelebihan dibandingkan dengan angioplasti balon. Pada penyelidikan STRATAS, rotablasi yang lebih agresif juga tidak terbukti lebih bermanfaat, dan pada penyelidikan CARAT bahkan dilaporkan bahwa tindakan yang lebih agresif dengan bor berukuran lebih besar malahan menyebabkan angka komplikasi lebih tinggi dibandingkan dengan bila dipakai bor ukuran lebih kecil.
Rotablasi juga pernah dianggap berguna untuk pengobatan in-stent restenosis, karena difikirkan bahwa ablasi jaringan dengan bor akan lebih efektif dibandingkan dengan hanya kompresijaringan dengan angioplasti biasa. Penyelidikan ARTIST justru sebalikny a melaporkan bahwa
hasil rotablasi pada kondisi ini lebih buruk dibandingkan dengan angioplasti balon biasa. Dipihak lain, penyelidikan ROSTER melaporkan hasil yang lebih baik dan penurunan kekerapan kejadian kardiovaskular buruk (major adverse
cardiovascular events) dengan rotablasi dibandingkan dengan angioplasti balon Pada masa sekarang indikasi rotablasi adalah untuk lesi fibrotik atau lesi kalsifikasi yang dapat dilewati dengan guide wire tetapi tak dapat dilewati balon atau tak dapat didilatasi dengan balon sebelum dilakukan pemasangan stent.
Dt R ECTTONAL CORO N ARY ATH E B ECTO MY (DC A)
Konsep untuk mengeluarkan plak ateroma dengan DCA merupakan konsep yang menarik (daripada hanya sekedar melakukan kompresi plak sebagaimana yang diperoleh bila dilakukan angioplasti balon atau pemasangan stent) dan hal ini memicu dilakukannya berbagai penyelidikan. Pada penyelidikan CAVEAT-I dilaporkan angka komplikasi serta biaya yang lebih tinggi bila dilakukan DCA dibandingkan dengan angioplasti balon. Pada CAVEAT-II di mana dibandingkan DCA dan angioplasti balon pada SVG tidak didapatkan perbedaan dalam angka restenosis seleah 6 bulan. Pada penyelidikan BOAT, CCAT, dan OARS juga tidak ditemui perbedaan hasil klinik pada kurun waktu pemantauan 18 bulan setelah DCA. Pada penyelidikan AMIGO terdapat perbedaan hasil yang diperoleh bila DCA dilakukan pada institusi yang berbeda, hal mana mungkin dapat menerangkan mengapa pada beberapa penyelidikan didapat hasil negatif. Pada saat ini DCA merupakan satu-
KARDIOI.OGI
satunya cara perkutan untuk mengeluarkan plak ateroma danjaringan restenosis. Pada era DES indikasi penggunaan DCA amat berkurang, mungkin hanya untuk lesi ostium dan bifurkasi bila dilakukan oleh intervensionis terampil.
ALAT PROTEKSI EMBOLI Pasien yang menjalani PCI potensial dapat mengalami emboli distal, terutama bila intervensi dilakukan pada SVG.
PCI pada stenosis SVG harus dinilai sebagai tindakan dengan risiko tinggi. Pada meta-analisis 5 penyelidikan, penggunaan obat penghambat glikoprotein IIb/IIIa (GPIIb/ IIIa) pada PCI stenosis pembuluh SVG ternyata tidak terbukti mempunyai manfaat. Demikian pula penggunaan ste
nt b ermembr an (" m e mb r ane - c ov e r e d
st
en t"
)
trdak
menurunkan kejadian klinis akibat emboli distal (STING, RECOVERS, SYX4BTOT ltr). Fenomena no-flow ditandai oleh adanya aliran darah pada jaringan yang tidak mencukupi walaupun pembuluh epikardial telah terbuka. Hal ini dapat disebabkan oleh karen a
-san
g-suan mikrovaskul ar. disfun gsi endotel, edema
miokardial. atau embolisasi debris ateroma atau trombus. Sebagai akibat dapat terjadi pemburukan hemodinamik. Untuk mengatasi hal ini telah diselidiki penggunaan berbagai alat filter atau aspirasi partikel embolik pada pembuluh target.
Alat Proteksi Distal Alat proteksi distal yang terdiri dari balon yang oklusif dan ditempatkan distal dari lesi dan kateter untuk aspirasi
(Guard-Wire, PercuSurge) terbukti dapat memperbaiki
derajad perfusi miokardium pada PCI-SVG. Pada penyelidikan SAFER "primary- endpoirtt" (kematim, infark jantung, operasi pintas koroner darurat, dan TLR pada hari ke-30) amat dikurangi dari 16.57o menjadi 9.6Vo. Penurunan MACE 42Vo ini disebabkab terutama karena
penurunan infark jantung (14,1% menjadi 8,67o) dan fenomenano-flow (97o menjadi 37o). Jenis lain alatproteksi distal berbentuk filter. Alat seperti ini akan tetap mempertahankan aliran darah selama dipakai karena mempunyai lubang-lubang mikropor. Penyelidikan FIRE membandingkan kedua konsep alat proteksi distal ini pada PCI SVG dinilai dengan konsep non-inferioritas. Endpoint gabungan kematian, infark jantung dan TLR ternyata sama
pada kelompok FilterWire EX (.9.97o) dibandingkan kelompok GuardWire (1l.6Vo). Pada penyelidikan CAP-
TIVE, alat proteksi emboli Cardioshield tak terbukti mempunyai marfaat non- infe rio r dibandingkan GuardWire dalammenurunkm emboli pada waktu melakukan PCI SVG.
triaktif merupakan alat proteksi distal yang dikombinasikan dengan alat penghisap. Pada penyelidikan PRIDE, alat ini terbukti tidak inferior dibandingkan dengan GuardWire dan F ilte rWire Sistem
t577
INTERVENSI KORONER PERKI.TTAI\I
Sayangnya banyak pasien dengan kelainan SVG mempunyai kondisi anatomik yang tidak memungkinkan dipakainya alat proteksi emboli distal. Hasil baik pada PCI SVG ternyata tak terbukti pada primary PCI untuk infark jantung akut. Pada penyelidikan EMERALD, luas infark diturunkan menjadi 177o pada kelompok alat proteksi distal dan 1 6Vo padakelompok PCL Secara singkat, alat proteksi distal dapat disarankan dipakai pada PCI SVG dan PCI sindrom koroner akut di mana terdapat beban trombus banyak.
untuk aspirasi trombus dekat dengan ostium. Penggunaan alat AngioJet dinilai pada penyelidikan acak dengan pembanding infus urokinase pada PCI SVG di mana secara angiogafik jelas tampak trombus (VeCAS-2). Temyata tidak
ditemukan perbedaan dalam kekerapan MACE. Pada penyelidikanAiMl alatAngioJet ini juga tak terbukti dapat mengurangi luas infark. Alat X-Sizer merupakan alat penghisap lain, yang mungkin berguna untuk kasus infark
filter adalah keharusan untuk memasukkan alat
jantung akut. Pada penyelidikan X-Tract, pasien SVG atau pasien dengan lesi trombotik pada pembuluh koroner diacak untuk menjalani pemasangan stent dengan atau tanpa sebelumnya menjalani aspirasi trombus dengan alat X-Sizer. Kekerapan infarkjantung pada hari ke-30 adalah 15,87o padakelompok X-Sizer dan 16,67c pada kelompok kontrol (tak bermakna). Pada analisa subkelompok, tampaknya trombektomi dengan X-Slzer dapat membatasi
tersebut melewati lesi dan hal ini dengan sendirinya dapat
luas, tetapi tidak mencegah terjadinya mionekrosis.
menyebabkan emboli. Selain itu diperlukan adanya landing zone tnttk balon atau filter tersebut. Sebagai alternatif, dapat dipakai alat penghisap atau alat proteksi
Harapan hidup jangka pendek maupun jangka panjang ternyata tidak dipengaruhi oleh penggunaan alat ini. Pada saat ini alat proteksi distal dapat disarankan dipakai pada
dengan balon oklusif proksimal. Tindakan paling sederhana tentunya adalah aspirasi trombus dengan guiding catheter yang kadang-kadang dapat dilakukan
lesi dengan kemungkinan emboli besar. Untuk penangan perforasi, disarankan penggunaan PTFE covered stent (graJi stents).
Alat Proteksi Proksimal (Alat Penghisap lS
u
cti onl, Trom bektom i)
Salah satu keterbatasan alat proteksi dengan sistem balon
atau
Penyelidikan
N
Tahun
FM
2001
FIM
2002
DES/BMS
Kematian DES/BMS
Stent
f/.1
.lnfark
Jl!',Et%
Kestenosts DESiBMS
TLR DES/BMS
\ tot
l/.1
(%l
Bx-velocity
14O ltglcm2
TAD
TAD
0%t1 tn
HNI minimal dlm 1 th
15 Rotterdam
Bx-velocity
140 pg/cm2
TAD
TAD
oo/.12 th
HNI minimal dlm 2 th
120t118
Bx-velocity
140 1.tgtcm2
1711 7
33142
30 Sao Paolo, '15
Rotterdam
0/26 6 pd RAVEL
SIRIUS
2004
C-SIRIUS
533/525
Bx-velocity
140 1.tgtcm2
0 9/0.6
28t32
6 bln (p<0 001 8 9/36 3 pd 8 bln (p<0 001
50/50
Bx-velocity
140 1.tglcm2
0/0
20t40
2 3t51
5 9t42 3
1
01229pd6bln (p<0.001
)
)
4 9120 pd (p<0 00 )
1
1 th
)
4 0/18 0 pd 9 bln (p< 0 001)
4.0i20 9 pd 9 bln (p<0 001)
E-SIRIUS
2003
175t177
Bx-velocity
140 1.tglcm2
11tO6
46t23
RESEARCH Regisiry total
2004
508/450
Bx-velocity
140 1.tglcm2
16/20pd
08/16pd30
30 hari
hari
1
98/301
Bx-velocity
140 1.tglcmz
30/30pd 30 hari
3 0/1 0 pada 30 hari
TAD
2004
1
86/1 83
Bx-velocity
140 ltglcm2
0 512 2 pada 300 hari
TAD
1 118.2 pd 3o0 hr
2004
56t28
Bx-velocity
140 1.tglcmz
TAD
TAD
MACEs 6 /17 2 pd 12 bln
RESEARCH registry ACS RESEARCH Registry STEMI
RESEARCH Registry CTO
B3/82pd 300 hari 0/0 di rumah sakit
TAD
10/18pd30 hr
10127 pd30 hr
1578
I(ARDIOI.OGI
Kematian
Penyelidikan
QuaDS-QP2
ASPECT
Tahun
2002
2OO3
oe#r,,rs 4F 59 dosis tinggi, 58 dosis renoan, 59 kontrol
Dosis
QuaDS-
DES/BMS (%)
lnfark jantung
Restenosis
TLR
DES/BMS (%)
DES/BMS
DES/BMS ("/"1
2400-3200 mcg dosis total
oP2
TAD
TAD
5UOra-U
3. 1 mcg/mm2
1.3 mc/mm2
0.9/0
2.6t17
I
2OO3
31/30
NrR
1.0 mcg/mm2
0/0
0/0
TAXUS
il
2003
266t279
NtR
1.0 mcg/mm2
0/0.8
31/53
ISR 663/652
NIR
1 0 mcg/mm2
TAD
TAD
III TAXUS IV
2OO3 2OO4
28
(%)
133pd6bln, 61.5 pf 1 th
20 pd 6 bln, 60 pada 1 th
4112127 pd 4-6
TAXUS
TAXUS
$t
Kematian DES/BMS
EXPRESS
'1
0 mcg/mm2
1.411
1
3
513.7
bln (dosis tinggi vs control) (p<0.001) 0/10 pd 6 bln (p=0.012) 7.1121 9 pd 6
21212
0/10 pd
I
th
bln
21
7 9126.6 pd bln (p<0.001)
'1
(p=0.237) 10 4121 7 pd 12
bln TAD
pd 1-6 bln
4pdllh
4 4115.1 pd I tn (p<0 0001
)
PENGOBATAN PADA PCI: OBAT-OBATAN ANT! PLATELET DAN ANTITROMBOTI K Pasien yang telah makan aspirin menahun harus makan 7 5-325 mg aspirin sebelum tindakan PCI. Pasien yang belum makan aspirin, disarankan diberi 300-325 mg aspirin minimal2 jam sebelumPCl atau lebihbaik 24jam sebelum PCI. Setelah tindakan PCI, pada pasien tanpa resistensi atau
alergi terhadap aspirin, atau tidak mempunyai kecenderungan perdarahan, maka aspirin harus diberikan minimal 1 bulan setelah pemasangan BMS, 3 bulan setelah pemasangan SES dan 6 bulan setelah pemasangan PES, setelah itu aspirin diteruskan seterusnya dengan dosis 16-162 mg/hari. Untuk klopidogrel, dosis pemula 300 mg disarankan diberi sebelum PCI, sebaiknya minimal 6 jam sebelumnya. Klopidogrel diteruskan 75 mg/hari minimal 1
bulan setelah implanttasi BMS (kecuali bila risiko perdarahan besar, dalam keadaan ini pemberian minimum 2 minggu), 3 bulan setelah implanttasi SES, dan 6 bulan setelah implanttasi PES, dan idealnya sampai 12 bulan pada pasien yang tidak dalam risiko tinggi untuk perdarahan. Pada pasien angina tak stabil atau infark NSTEMI yang menjalani PCI tanpa pemberian klopidogrel, penghambat
GPII/IIIa harus diberi. Pada pasien angina tak stabil, NSTEMI yang menjalani PCI dengan pemberian klopidogrel, pemberian penghambat GPIIb/IIIa) juga tetap
disarankan. Pemberian penghambat GPIIb/IIIa juga disarankan pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Pada PCI umumnya diberikan heparin. Sebagai
lndikasi Tanda objektif iskemia luas Oklusi total kronis Risiko operasi tinggi, termasuk EF < 35% Penyakit banyak pembuluh / DM Unprotected left main tanpa opsi tindakan revaskularisasi lain Stenf rutin pada lesi << de novo ) pembuluh koroner asli Stent rutin oada SVG *European Society of Cardiology 2005
Tingkat Rekomendasi*
IA lla C lla B
ilbc
[bc IA IA
alternatif dapat diberi heparin berat molekul rendah atau bivaluridin. Pada pasien dengan trombositopenia akibat heparin, dapat diberi bivaluridin atau argatroban sebagai penggantinya.
INDIKASIPCI Indikasi PCI secara singkat dapat dilihat pada tabel 3 dan gambar I dat2.Untuk lebih mendetail disarankan diba'ca dua panduan terbaru dari European Society of Cardiology 2005 dart Amerian College of Cardiology/American Heart Association/Society of Cardiac Angiography and Intervention 2005
1579
INTERVENSI KORONER PERKUTAN
Pasien dengan NSTEMIsindrom koroner akut
Rx angio segera (2.5 jam):
lnhibitor GPllb/llla tunda
Rx angio dini (48 jam): lnhibitor GPllb/lll3a beri (tirofiban atau eptofibatide)
PCI provisional abciximab atau eptifibatid
Gambar 1. Algoritme PCI pada Non-Sf ebvation Myocardial lnfarction (NSTEMI) / Sindrom Koroner Akut
Ps. dg. NSTEMIsindrom koroner akut
Rx angio segera (2 5 jam):
lnhibitor GPllb/llla tunda
Rx angio dini (48 jam): lnhibitor GPllb/lll3a beri (tirofi ban atau eptofi batide)
Gambar 2. Algoritme PCI pada ST Elevation Myocardial lnfarction (STEMI) / sindrom Koroner Akut
Keterangan Dalam 3 lam pertama setelah timbul nyeri dada, trombolisis dapat dilakukan sebagai alternatif PCl. *Bila trombolisis terkontraindikasi, atau penderita dalam risiko tinggi, amat disarankan penderita untuk ditransfer ke senter dengan fasilitas PCl. Tujuan utama lebih dipilih PCI daripada trombolisis pada 3 jam pertama adalah untuk pencegahan strok. Sedangkan pilihan PCI pada iam 3-12 adalah untuk menyelamatkan miokardium dan mencegah strok. Bila dilakukan trombolisis, hal ini tidak boleh dinilai sebagai terapi final. Walaupun trombolisis berhasil, angiografi dan bila perlu PCI disarankan dilakukan dalam24iam pertama.
1580
I(ARDIOI.OGI
REFERENSI
de Feyter PJ, van Suylen
Abizaid A, Kornowski R, Mintz GS, et al. The influence of diabetes mellitus on acute and late clinical outcomes following coronary stent implanttation. J Am Coll Cardiol 1998;32:584-9. Albiero R, Silber S, Di Mario C, et aI. Cutting balloon versus conventional balloon angioplasty for the treatment of instent restenosis:
results of the restenosis cutting balloon evaluation trial (RESCUT). J Am Coll Cardiol 20041 43:943-9. Angelini A, Rubartelli P, Mistrorgio F, et al Distal protection with filter device during coronary stenting in patients with stable and unstable angina. Circulation 2004;110:515-21 Baim DS, Cutlip DE, Sharma SK, et al. Final results of the balloon vs optimal atherectomy trial (BOAT). Circulation 19981'97:32231
Beran G, Lang I, Schreiber W, et al Intracoronary thrombectomy with the X-sizer catheter system improves epicardiai blood flow and accelerates ST-segment resolution in patients with acute coronary syndrome: a prospective, randomized, controlled study.
Circulation 2002:70 5 :23 5 5 - 60 Baim DS, Wahr D, George B, et al Randomized trial of a distat embolic protection during percutaneous intervention of
saphenous
vein coronary bypass grafts. Circulation
2002;105:1285-90 Colombo A, HaIl P, Nakamura S, cs. Intracoronary stenting without anticoagulation accomplished with intravascular ultrasound guidance. Circulation 1995;91 : 1676-88 Colombo A, Orlic D, Stankovic G, et al. Preliminary observations regarding angiographic pattern of restenosis after rapamycineluting stent implanttation. Circulation 2003'101 :2118-80. Colombo A, Drzewiecki J, Banning A, et al. Randomized study to assess
the effectiveness of slow- and
moderate-release
polymerbased paclitaxel-eluting stents for coronary artery lesions. Circulation 2003;108:788-94 Cohen BM, Weber VJ, Blum RR, et al. Cocktail attenuation of
rotablation flow effects (CARAFE) study: pilot. Cathet Cardiovasc Diagn 1996;(suppl 3):69-12 Cohen EA, Sykora K, Kimball BP, et al. Clinical outcomes of patients more than one year following randomization in the Canadian Coronary Atherectomy Trial (CCAT) Can J Cardiol
1991;73:825-30
Derre KM, Holmes DRJ, Holubkov R, et al. Incidence and consequences of periprocedural occlusion: the 1985-1986 National Heart, Lung, and Blood Institute Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty Registry. Circulation 1990;82:739-50. Degertekin M, Serruys PW, Foley DP, et al. Persistent inhibition of neointimal hyperplasia after sirolimus-eluting stent implanttation: long-term (up to 2 years) clinical, angiographic,
and intravascular ultrasound follow-up. Circulation 2002;106:1610-3. Degertekin M, Ser:ruys PW, Foley DP, et al. Persistent inhibition of neointimal hyperplasia after sirolimus-eluting stent implanttation: long-term (up to 2 years) clinical, angiographic,
and intravascular ultrasound follow-up. Circulation 2002;706:1610-3. Dussaillant GR, Mintz GS, Pichard AD, et al. Small stent size and intimal hyperplasia contributing to restenosis: a volumetric intravascular ulftasound analvsis. J Am Coll Cardiol 1995:26:1204
Dill T, Dietz U , Hamm
CW, et a1. A randomized comparison of balloon angioplasty versus rotational atherectomy in complex lesions (COBRA Study). Eur Heart J 2000;21:1159-66
RI, de Jaegere
PP, et
al Balloon
angioplasty
for the treatment of lesions in saphenous vein bypass grafts. J Am Coll Cardtol 1993.21:1539-49 Exaire JE, Brener SJ, Ellis CG et al. GuardWire emboli protection device is associated with improved myocardial perfusion grade
in saphenous vein graft intervention. Am Heart
J
2004:1 48: I 003-6
Fischman DL, Leon MB, Baim DS: A randomized comparison of coronary stent placement and bailoon angioplasty in the treatment of coronary artery disease. N Engl J Med
7994;331:496-501 Fajadet J, Morice MC, Bode C, et al. Maintenance
of long-term
clinical benefit with sirolimus-eluting coronary stents: threeyear results
of the RAVEL tria[. Circulation
2005;111:1040-4.
JL, Panetta CJ, et al. Incidence, correlates, management, and clinical outcome of coronary perforation:
Fasseas P, Orford
analysis of 16,298 procedures. Am Heart J 2004;147:140-5 Gruntzig AR, Senning A, Siegenthaler WE Nonoperative dilatation
of coronary-artery stenosis: pgrcutaneous transluminal coronary angioplasty. N EngI J Med 1979;301:61-8 Grube E, Silber S, Hauptmann KE, et al. TAXUS I: six- and twelve-
month results from a randomized, double-blind trial on a slow-release paclitaxel-eluting stent for de novo coronary lesions Circulation 2003;107:38-42. Grise MA, Massullo V, Jani S, et al Five-year follow-up after intracoronary radiation: results of a randomised clinical trial
Circulation 2002:1 05 :21 31 -40 Grube E, Gerkens U, Yeung AC, et al. Prevention of distal embolization during coronary angioplasty in saphenous vein grafts and native vessels using porous filter protection. Circulation 2001:104:2436-41 Holmes DR Jr, Topol EJ, Califf RM, et al. A multicenter, randomtzed tial of coronary angioplasty versus directional atherectomy for patients with saphenous vein bypass graft lesions. CAVEAT
II
Investigators. Circulation 1995;91 :1966-1 4
Hong MK, Mehran R, Dangas G, et al Creatine kinase-MB enzyme elevation following succesful saphenous vein graft intervention is associated with late mortality Circulation 1999;100:2400-05 Hoffman SN, TenBrook JA, Wolf MP, et al,. A meta-analysis of randomized controled trials comparing coronary arery bypass graft with percutaneous transluminal angioplasty: one- to eight year outcomes. J Am Coll Cardiol 2003;41:1293-304 Hong MK, Mintz GS, Lee CW, et al. Paclitaxel coating reduces instent intimal hyperplasia in human coronary arteries: a serial volumetric intravascular ultrasound analysis from the Asian Paclitaxel-Eluting Stent Clinical Trial (ASPECT). Circulation 2003:107:517 -20. Hoye A, Lemos PA, Arampatzis CA, et al. Effectiveness of the sirolimus-eluting stent in the treatment of saphenous vein graft disease. J Invasive Cardiol 2004;16:230-3. Holmes DR Jr, Leon MB, Moses JW, et a1. Analysis of l-year clinical outcomes in the SIRIUS trial: a randomized trial of a sirolimus-eluting stent versus a standard stent in patients at high risk for coronary restenosis. Circulation 2004;109:63440. Hoye A, Tanabe K, Lemos PA, et al. Significant reduction in restenosis after the use of sirolimus-eluting stents in the treatment of chronic total occlusions. J Am Coll Cardiol 2004;43:1954-8. Kent KM, Bentivoglio LG, Block PC, et al. Percutaneous transluminal coronary angioplasty: report from the Registry of the National Heart, Lung, and Blood Institute Am J Cardiol 1982;49:201120 Kobayashi N, Finci L, Ferraro M, cs. Restenosis after coronary
1581
INTERVENSI KORONER PERKUTAT{
stenting: Clinical and angiographic predictors
in
1906 lesions.
Am Coll Cardiol 1999;33(suppl A):32A Kastrati A, Schomig A, Elezi S, et al Predictive factors of
J
restenosis
after coronary stent placement. J Am Coll
Cardiol
1991:,30:1428-36
Kuntz RE, Baim DS, Cohen DJ, et al A trial comparing rheolytic thrombectomy with intracoronary urokinase for coronary and vein graft thrombus (the Vein Graft AngioJet Study [VEGAS 2].
Am J Cardiol 2002:,89l.326-30 Kornowski R, Ayzenberg O, Halon DA, et al. Preliminary experiences using X-Sizer catheter for thrombectomy of thrombuscontaining leslons during acute coronary syndromes. Cathet Cardiovasc Interv 2003:58:443-8 Lemos PA, Serruys PW, van Domburg RT, et al Unrestricted utilization of sirolimus-eluting stents compared with conventional bare stent implantration in the "rea1 world": the RapamycinEluting Stent Evaluated At Rotterdam Cardiology Hospital (RESEARCH) registry. Circulation 2004;109:190-5 Lemos PA, Saia F, Hofma SH, et al. Short- and long-term clinical benefit of sirolimus-eluting stents compared to conventional bare stents for patients with acute myocardial infarction. J Am Coll
Cardiol 2004;43:704-8, Lemos PA, Lee CH, Degertekin M, et al Early outcome after sirolimus-eluting stent implanttation jn patients with acute coronary syndromes: insights from the Rapamycin-Eluting Stent Evaluated At Rotterdam Cardiology Hospital (RESEARCH) registry J Am Coll Cardiol 2003{1:2093-9. Liistro F, Stankovic G Di MC, et al. First clinical experience with a
paclitaxel derivate-eluting polymer stent system implanttation lor in-stent restenosis: immediate and long-term clinical and angiographic outcome Circulation 2002t105: 1883-6 Leon MB, Teirstein PS, Moses JW, et al Localised intracoronary gamma-radiation therapy to inhibir the recurrence of restenosis after stenting. N Engl J Med 200 1:3.14:250-6 Miller DD, Verani MS. Current status of myocardial perfusion imaging after percutaneous transluminal coronary angioplasty. J Am Coll Cardiol 1994:24:260-6 Morice MC, Serruys PW, Sousa JE, et al. A randomized comparison of a sirolimus-eluting stent with a standard stent lor coronary revascularization. N Engl J Med 2002;3.{6:1113-80. Moses JW, Leon MB, Popma JJ, et al. Sirollmus-eluting stents versus standard stents in patients with stenosis in a native coronary artery. N Engl J Med 2003;349:1315-23. Mehran R, Dengas G, Abizaid AS, et al. Angiographic patterns of in-stent restenosis:classification and implications for long-tern] outcome. Circulation 1999:100:1872-8 Mauri L, Bonan R, Weiner BH, et a1. Cutting balloon angioplasty for the prevention of restenosis: results of the Cutting Ballloon Global Randomized Trial. Am J Cardiol 2002190:1079-83 Matthew V, Lennon RJ, Rihal CS, et al. Applicability of distal
protection for aortocoronary vein graft lnierventions in clinical practice. Cath Cardiovasc Interv 2004;63:148--51 Park SJ. Shim WH, Ho DS, et al. A paclitaxel-eluting stent for the
prevention of coronary restenosis. N Engl J Med 20031348:1531-45.
M, Lansky AJ, et al Randomised trial of 90Sr/90Y beta-radiation versus placebo control for
Popma JJ, Suntharalingham
treatment of in-stent restenosis. Circulation 20021 106:1090-6 Plokker HW, Meester BH, Serruys PW. The Dutch experience in percutaneous transluminal angioplasty
of narrowed
saphenous
veins used for aortocoronary arterial bypass. Am J Cardiol 1991l.61:361-6 Rodriguez
A, Palacios IF, Navia J, cs Argentine randomised study:
Coronary angioplasty with stenting versus coronary artery bypass surgery in patients with multiple vessel disease (ERACI Il):
30 day and long term follow-up results. Circulation I 999;100(suppl 1'):I-234 Roffi M, Mukherjee D, Chew DP, et al. Lack of benefit from intravenous platelet glycoprotein IIb/IIIa inhibition as adjunctive treatment for percutaneous interventions of aortocoronary bypass grafts: a pooled analysis of five randomized trials Resnic FS, Wainstein M, Lee MK, et a[ No-reflow is an independent predictor of death and myocardial infarction after percutaneous coronay intervention. Am Heart I 2003;145l.42-6 Sermys PW' van Hout B, Bonnier H, cs. Randomised comparison of implanttation of heparin-coated stents with balloon angioplasty in selected patients with coronary artery disease (Benestent II).
Lancet I 998:3 52:61 3 -81 Serruys PW, Unger F, Sousa JE, et al. Comparison
of coronary
artery bypass surgery and stenting for rhe treatment of multivessel disease. N Engl J Med 2007;344:lll7-24. Sousa JE, Costa MA, Abizaid AC, et al. Sustained suppression of neointimal proliferation by sirolimus-eluting stents: one-year angiographic and intravascuiar ultrasound foilow-up. Circulation 2001;37:1335-43. Stone GW, Ellis SG, Cox DA, et al. One-year clinical results v/ith thr: slow-release, polymer-based, paclitaxel-eluting TAXUS stcnt:
the TAXUS-IV trial Circulatiort 2004;1,09:1942-1 . Schampaert E, Cohen EA, Schluter M, et al. The Canadian study of the sirolimus-eluting stent in the treatment of patients with long de novo lesions in small native coronary art'eries (C-
SIRIUS) J Am Coll Czrrdiol 2004;43:1110-5. Schofer J, Schluter M, Gershlick AH, et al. Sirolimus-eluting stents
for treatment of patients with long atherosclerotic lesions in small coronary arteries: double-blind, randomised controlled trial (E-SIRIUS). Lancet 2003:362:1 093-9. Sousa JE, Costa MA, Abizaid A, et al Lack of neointimal proliferation after implanttation of sirolimus-coated stents in human
coronary arteries: a quantitative coronary angiography and threedimensional intravascular ultrasound study. Circulation 2001:103:192-5.
Saia F, Lemos PA, Lee CH, et al. Sirolimus-eluting stent implanttation in ST elevation acute myocardial infarction: a graphic study. Circulati on 2003 ;708 : 1921 -9. DA, et al. A polymer-based, paclitaxel eluting patients with coronary artery disease. N Engl J l!{ed
clini cal and
an gio
Stone GW, El1is SG Cox
stent
in
2004t350:22I -31 Sitber S, Popma J, Suntharalingham M, et al. Two-year follow-up of 90Sr/90Y beta-radiation versus placebo-control for the treament of in-stent restenosis. Am Heart J 2005 (in-press) Safian RD, Feldman T, Muller DW, et al. Coronary angioplasty and rotablator atherectomy (CARAT): lmmediate and late results of a prospective multicentre randomi2ed trial Cathet Cardiovasc Intervent 2OO l'.53 :213-20 Simonton CA, Leon MB, Baim DS, et al. Optimal directional coronary atherectorly :final results of the optimal atherectomy restenosis study (OARS). Circulation 1998:.91:332-9 Stankovic G Colombo A, Bersin R, et al. Comparison of directional coronary atherectomy and stenting versus stenting alone for the treatment of de novo and restenotic coroanry narrowing. Am J
Cardiol 2004:93:953-8 Schachinger Y Hamu-r CW, Munzel T, et al. A randomized trial of in s te n t s poiy tetrafluoroethyl en e- mem brane - co v e red
aortocoronary saphenous vein grafts. J Am Coll Cardiol 2003 142: I 360-9
Stankovic G. Colombo
A, Presbitero P, et al
Randomized
1582
I(ARDIOI.OGI
of polytetrafluoroethylene-covered stents in saphenous vein grafts: the Randomized Evaluation of polytetrafluoroethylene-COVered stents in Saphenous vein grafts (RECOVERS) Trial.Circulation 2003:108:37-42 Sharma SK, Kini A, Mehran R, et al. Rotational atherectomy versus balloon angioplasty for diffuse in-stent restenosis (ROSTER) Am Heart I 2004'147:16-22 Stone GW, Rogers C. Hermiller J, et a1. Randomized comparison of distal protection with filter-based catheter and a balloon occlusion and aspiration system during percutaneous intervention of diseased saphenous veln aorto-coronary bypass grafts Circulation 2003; 108:548-53 Stone GW, Webb J, Cox D, et a1. Primary angioplasty in acute evaluation
myocardial infarction with distal protection of the microcirculation:Principal results from the prospective, randomized EMERALD trial 2005 (in press). DA, Babb J, et al Prospective, randomized evaluation
Stone G, Cox
of thrombectomy prior to
percutaneous intervention in diseased saphenous vein grafts and thrombus-containing coronary areries. J Am Coll Cardiol 2003;42:200'7-13 Silber S, Alberlsson P, Aviles Ffl et a1. Guidelines for percutaneous
coronary interventions. The task force for percutaneous coronary interventions of the European Society of Cardiology. Eur Heart J 2005:26:804-47. Smith SC, Antman EM, Smith SC, et al ACC/AHA/SCAI 2005 Guideline Update for Percutaneous Coronary Intervention A Report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (ACC/AHA/SCAI Writing Committee to Update the 2001. Guidelines for Percutaneous Coronary Intervention) www.acc.org The SoS Investigators. Stent assisted PCI versus CABG in multivessel coronary artery disease. Lancet 2002;360;965-70 Tanabe K, Serruys PW, Grube E, et al TAXUS III Trial: in-stent restenosis treated with stent-based delivery of paclitaxel incorporatsd in a slow-reiease polymer formulation. Circulation 2003;10'l:559-64. Topol EJ, Leya
fl
atherectomy
Pinkerton CA, et a1.A comparison of directional
with coronary angioplasty in patients
with
coronary artery disease The CAVEAT Study Group. N Engl J ' Med 1993:329 221-1 Topol EJ, Nissen SE Our preoccupation with coronary luminology: the dissociation between ctinicat and angiographic findings in ischemic heart disease. Circulation 1995;92:2333-42 Teirstein PS, Massullo Y Jani S, et al. Two-year follow-up after catheter-based radiotherapy to inhibit coronary restenosis. Circulation 1999;99:243-7 Teirstein PS. Kuntz RE. New frontiers in interventional cardiology : intravascular radiation to prevent restenosis. Circulation 2001:,704:2620-6
Teirstein PS, Massullo Y jani S, et al Three-year clinical and angiographic follow-up after intracoronary radiation: results of a randomised clinical trial. Circulatlon 2000:101:360-5 Topol EJ, Yadav JS, Recognition of the importance of embolization in atherosclerotic vascular disease. Circulation 2000:101:57080 Tanabe
K, Serruys PW, Grube E, et al. TAXUS III Trial: in-stent restenosis treated with stent-based delivery of paclitaxel incorporated in a slow-release polymer formulation. Circulation
2003 ;101
:
5
59
-64
vom Dahl J, Dietz U, Haager PR, et al. Rotational atherectomy does not reduce recurrent instent restenosis: results of the rotational atherectomy versus balloon angioplasty for treatment of diffuse in-stent restenosis trial (ARTIST). Circulation 2002;105:583-8 von Kom H, Scheinerl D, Bruck M, et a1. Initial experience with the Endicor X-Sizer thrombectomy device in patients with ST
segment elevation myocardial infarction Z Kardiol 2002:91:466-11 Williams DO, Riley RS, Singh AK, Most AS. Restoration of normal coronary hemodynamics and myocardial metabolism after per-
cutaneous transluminal coronary angioplasty. Circulation 1980:62:653-6 Waksman R, White RL, Chan RC, et al. Intracoronary gammaradiation therapy after angioplasty inhibits recurrence in patients with instent restenosis (WRIST) Circulation 2000;
lQ1 2165-71 Waksman R, Cheneau E, Ajani AE, et al Intracoronary radiation therapy improves the clinical and angiographic outcomes of diffuse in-stent restenotic lesions: results of the Washington Radiation for In-stent Restenosis Trial for Long lesions (1ong WRIST) Studies. Circulation 2003;107 :1744-9 Waksman R, Raizner AE, Yeung AC, et al. Use of localised intracoronary beta radiation in treatment of in-stent restenosis: the INHIBIT randornised controlled trial Lancet 2002:359:551-7 Waksman R, Ajani A, White RL, et al. Intravascular gamma radiation for in-stent restenosis in saphenous-vein bypass grafts. N Engl J Med 2002;346:1194-99 Waksman R. Ajani AE, White RL, et al Two-year follow-up after beta and gamma intracoronary radiation therapy for patients with diffuse in-stent restenosis. Am J Cardiol 2001:88:425-8 Waksman R, Ajani AE, Pnnow E, et al. Twelve versus six months of clopidogrel to reduce major cardiac events in patients undergoing gamma-radiation therapy for in-stent restenosis: Washington Radiation for In-Stent restenosis Trial (WRIST) l2 versus WRIST PLUS. Circulation 2002:106:116-8 Whitlow PW, Bass TA, Kipperman RM, et al. Results of the study to determine rotablator and transluminal angioplasty strategy (STRATAS). Am J Cardiol 2001;87:699-705.
248 GAGAL JANTUNG Marulam M. Panggabean
DEFINISIGAGAL JANTUNG
dapat dibedakan dari pemeriksaan jasmani, foto toraks atau
Gagal jantunC (GJ) adalah sindrom klinis (sekumpulan
EKG dan hanya dapat dibedakan dengan eko-Doppler. Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung
tanda dan gejala), ditandai oleh sesak napas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan
menurun dan menyebabkankelemahan,fatik,kemampuan
aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi
struktur atau fungsi jantung.
lainnya. Gagaljantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan Sangguan pengisian ventrikel.Gagal jantung diastolik didefenisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50Vo. Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan Doppler-ekokardiografi aliran darah mitral dan aliran vena pulmonalis. Tidak dapat dibedakan dengan pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan jasmani saja. Ada 3 macam gangguan fungsi diastolik:
PARADTGMA LAMA (MODEL HEMODTNAMTK)
Dulu GJ dianggap merupakan akibat dari berkurangnya kontraktilitas dan daya pompa sehingga diperlukan inotropik untuk meningkatkannya dan diuretik serta vasodilator untuk mengurangi beban (un-load).
'. . .
PARADIGMA BARU (MODEL NEUROHUMORAL) Sekarang GJ dianggap sebagai remodelling progresif akibat beban/penyakit pada miokard sehingga pencegahan
Gangguan relaksasi, Pseudo-normal Tipe restriktif. Penatalaksanaan ditujukan untuk menghilangkan atau
mengurangi penyebab gangguan diastolik seperti fibrosis, hipertrofi, atau iskemia. Di samping itu kongesti
progresivitas dengan penghambat neurohumoral (neurohumoral blocker) seperti ACE-Inhibitor, Angiotensin Receptor-Blocker atal penyekat beta
sistemilJpulmonal akibat dari gangguan diatolik tersebut dapat diperbaiki dengan restriksi garam dan pemberian diuretik. Mengurangi denyut jantung agar waktu untuk
diutamakan di samping obat konvensional (diuretika dan digitalis) ditambah dengan terapi yang muncul belakangan ini seperti biyentricular pacing, recyncronizing cardiac teraphy (RCT), intra cardiac defibrllator (ICD), bedah rekonstruksi ventrikel kiri (LY reconstruction surgery) dan mioplasti.
diastolik bertambah, dapat dilakukan
dengan
pemberian penyekat beta atau penyekat kalsium non-
dihidropiridin.
Low output dan High output Heart Failure Low out put HF disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan katup dan perikard. High out put HF ditemukan pada penurunan resistensi vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A-V, beri-beri dan penyakit Paget. Secara praktis, kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.
BEBERAPA ISTILAH DALAM GAGAL JANTUNG
Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan tidak
rco
1584
I(ARDIOLOGI
Gagal Jantung Akut dan kronik Contoh klasik gagal jantung akut (GJA) adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat endokarditis,trauma atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara tiba tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronis (GJK) adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan multivalvular yang terjadi secara perlahan lahan.Kongesti perifer sangat menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.
Gagal Jantung Kanan dan Gagal Jantung Kiri Gagal jantung
kiri akibat kelemahan ventrikel,meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan ortopnea. Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru
kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada miokard kedua ventriel, maka retensi
cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi berbeda.
PATOGENESIS GAGAL JANTUNG SISTOLIK GJ sistolik didasari oleh suatu beban/penyakit miokard (underlying HD/index of events) yang mengakibatkan remodeling struktural, lalu diperberat oleh progresivitas beban/penyakit tersebut dan menghasilkan sindrom klinis yang disebut gagal jantung. Remodeling struktural ini dipicu dan diperberat oleh berbagai mekanisme kompensasi sehingga fungsi jantung
terpelihara relatif normal (gagal jantung asimtomatik). Sindrom gagal jantung yang simtomatik akan tampak bila timbul faktor presipitasi seperli infeksi, aritmia, infark jantung, anemia, hipertiroid dan kehamilan, aktivitas berlebihan,emosi atau konsumsi garam berlebih, emboli paru, hipertensi, miokarditis, virus, demam reuma, endokarditis infektif. Gagal jantung simtomatikjuga akan tampak kalau terjadi kerustkan miokard akibat progresivitas
penyakit yang mendas airry al underlying HD. Skema di bawah ini dapat menerangkan patogenesis tersebut:
Gambar 1. Patogenesis gagal jantung
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif.
Kriteria Major
. . . . . . . .
Paroksismal nokturnal dispnea Distensi vena leher
Ronkiparu Kardiomegali Edemaparu akut Gallop 53
Peninggiantekanan venajugularis Refluks hepatojugular
Kriteria Minor
. . . . . . .
Edema ekstremitas
Batukmalamhari Dispnea d'effort Hepatomegali
Efusipleura Penurunan kapasitas vital 1/3 dari ormal Takikardia(>l20imeniQ
Major atau minor Penurunan BB 24.5 kg dalam 5 hari pengobatan Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada major dan 2 kriteria minor
1
kriteria
PENATALA KSANAAN GAGAL JANTU NG
DIAGNOSIS Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan asmani, elektrokardiografilfoto toraks, ekokardiografiDoppler dan kateterisasi seperti terlihat pada bagan di
j
bawah ini
Pada tahap simtomatik di mana sindrom GJ sudah terlihat jelas seperti cepat capek (fatik), sesak napas (dyspnea in effo rt,
o
rthopnea),kardiomegali,peningkatan
tekanan vena
jugularis, asites, hepatomegalia dan edema sudah jelas, maka diagnosis GJ mudah dibuat. Tetapi bila sindrom tersebut belum terlihatjelas seperti pada tahap disfungsi
1585
GAGALJANTUNG
ventrikel kiri/LV dysfunction (tahap asimtomatik), maka keluhan fatik dan keluhan di atas yang hilang timbul tidak khas, sehingga harus ditopang oleh pemeriksaan foto
nsidious -----> lnsidious
-----> Refrakier/berat lnsdious-------------->
Simtomatk
Aktivlas aerobjk: aktivtas jasman dibabsi keluhan (symptoms
lmited)-+
rontgen, ekokardiografi dan pemeriksaan Brain Natriuretic Peptide. Diuretik oral maupun parenteral tetap merupakan ujung tombak pengobatan gagal jantung sampai edema atau asites hilang (tercapai euvolemik). ACE-inhibitor atat Angioten.sin Receptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal. Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diuretik dan A C E - inhib it o r ter sebtt diberikan. Digitalis diberikan bila ada aritmia supra-ventrikular (fibrilasi atrium atau SVT lainnya) atau ketiga obat di atas belum memberikan hasil yang memuaskan. Intoksikasi digi-
talis sangat mudah terjadi bila fungsi ginjal menurun(ureum./kreatinin meningkat) atau kadar kalium rendah (kurang dari 3.5 meq/L). Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada pasien dengan hipokalemia,dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan mortalitas dengan pemberian jenis obat ini. Pemakaian obat dengan efek diuretik-vasodilatasi seperti Brain Natriuretic Peptide (Nesiritide) masih dalam
penelitian. Pemakaian alat Bantu seperti Cardiac Re
sychronization
The rap h.r
(CRT) maupun Pembedahan,
pemasangan ICD ( I nt ra - C arcli ac D efi b r i I I at o r) seba gai alat mencegah mati mendadak pada gagal jantung akibat
iskemia maupun non-iskemia dapat memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup, namun mahal. Transplantasi
sel dan stimulasi regenerasi miokard,masih terkendala dengan masih minimalnya jumlah miokard yang dapat ditumbuhkan untuk mengganti miokard yang rusak dan m asi h
memerlukan penelitian lanj ut.
Suplemen K, Ivlg vitamin ses!ai kebutuhan--' Reskrksi calran 1-2 L/hari - - --- -- - -- ->
96
4 !.
e
Gambar 2. Langkah-langkah penatalaksanaan gagal jantung sesuai beratnya penyakit
BEFERENSI Braunwald E.Heart Failure and Cor Pulmonal.
In:
Kasper
Dl,Braunwald E,Fauchi AS et.al, eds Harrison's principles of internal medicine l6 ed,2003 :1367-11 Francis GS Systolic dysfunction and pathogenesis:two coceptual pathways humoral,neurogenic and hemodynamic pathways.The 37'h
Annual New york Cardiovascular Symposium:Major Topics in
Cardiology Today,New York Hilton and Towers,New York,December I0- 12,2004 : I 49 -63 Maisel Alan, B-type natriuretic peptide:a marker with two clinical applications.cardiac failure diagnosis and prognosis. The 37'h Annual New york Cardiovascular Symposium:Major Topics in Cardiology Today,New York Hilton and Towers,December 1012,2004.p.188-201.
249 GAGAL JANTUNG AKUT Daulat Manurung
PENDAHULUAN
mengakibatkan toleransi aktivitas berkurang retensi air yang dapat memicu edema paru dan edema perifer. Perlu diingat bahwa keluhan dan gejala bisa berbeda pada setiap individu,ada sesak nafas, belum tentu ada edema perifer dan sebagainya. Untuk menilai derajat gangguan kapasitas fungsional dari HF, pertama kali diperkenalkan oleh New York Heart
Heart Failure (HF) atau gagal jantung (GJ) adalah suatu
sindroma klinis kompleks, yang didasari oleh ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah keseluruh jaringan tubuh secara adekuat, akibat adanya gangguan struktural dan fungsional dari jantung. Pasien dengan HF harus memenuhi kriteria sebagai berikut: . Gejala-gejala (symptoms) dari HF berupa sesak nafas
. .
Association (NYHA) tahun 1994, yang membagi HF menjadi 4 klaSifikasi, dari kelas I sampai kelas 4 tergantung
yang spesifik pada saat istirahat atau saat beraktivitas dan atau rasa lemah, tidak bertenaga Tanda-tanda (slgns) dari HF berupa retensi air seperli kongesti paru, edema tungkai dan objektii ditemukannya abnormalitas dari struktur dan fungsional jantung (Tabel 1)
dari tingkat aktivitas dan timbulnya keluhan, misalnya sesak sudah timbul saat istirahat menjadi kelas 4, sesak timbul pada aktivitas ringan kelas 3, sesak timbul saat aktivitas sedang menjadi kelas 2, sedangkan kelas I sesak timbul saat beraktivitas berlebih. Klasifrkasi menurut NYHA lebih banyak atau pada umumnya berdasarkan keluhan subyektif. Klasifikasi terbaru yan g dikeluarkan American Colle ge of Cardiology/Amercan Heart Association (ACC/AHA)
pada tahun 2005 yang menekankan pembagian HF
Symptoms typical of heart failure (breathlessness at rest or on exercise, fatique, tiredness, ankle swelling)
berdasarkan progressivitas kelainan struktural dari jantung
dan perkembangan status fungsional. Klasifikasi dari ACC/AHA ini, perkembangan HF dibagi juga menjadi 4
and
Sings typical of heart failure (tachycardia, tachypnoea, pulmonary rates, pleural effusion, raised jugular venous pressure, peripheral oedema, hepatomegaly)
stages, A,B,C dan D. Stage A dan B jelas belum HF, hanya mengingatkan pelaksana pelayanan kesehatan (health care provider) bahwa kondisi ini kedepan dapat masuk
and
kedalam keadaan HF. StageAmenandakan ada faktor risiko HF (diabetes, hipertensi, penyakit jantung koroner) namun belum ada kelainan struktural dari jantung (cardiomegali, LVH, dll) maupun kelainan fungsional. Sedangkan pada stage B ada faktor-faktor risiko HF seperti pada stage A dan sudah terdapat kelainan struktural, LVH cardiomegali dengan atau tanpa gangguan fungsional, namun bersifat asimptomatik. Stage C, sedang dalam dekompensasi dan atau pernah HF, yang didasari oleh kelainan struktural dari jantung. Stage D adalah yang benar-benar masuk ke dalam refractory HF, dan perllu advanced treatment strategies.
Objective evidence of a structural or functional abnormality of the heart at rest (cardiomegaly, third heart sound, cardiac murmurs, abnormality on the echocardiogram, raised natriuretic peptide concentration)
HF dapat memberikan spektrum klinis yang luas, mulai
dari ukuran jantung LV yang masih normal, dengan Ejection Fraction (EF)yangmasih cukup, sampai LV dilatasi berat, dengan/ atau EF yang sangat buruk. Manifestasi klinis utama dari HF sesak nafas, mudah capek yang
1586
1587
GAGALJANTUNGAKUT
Juga apabila dilihat dari segi onset nya, maka HF dapat dibagi menjadi new onset HE transient HF dar. chronic I1fl New onset HF merujuk ke presentasi klinis perlama HF transient HF merujuk ke HF simptomatik terbatas pada
periode waktu tertentu, walaupun pengobatan jangka panjang masih diperlukan, misalnya HF karena myokarditis
ringan dan sembuh secara baik. HF karena ischemia, dilakukan revaskularisasi dan berhasil. HF pada infark akut yang tidak memerlukan terapi diuretik jangka panjang. Chronic HF dapat berupa persisten atau perburukan HF atau mengalami dekompensasi akut dari chronic HF. Perburukan HF yang didasari chronis HF (dekompensasi) merupakan HF terbanyak dari seluruh bentuk HF yang dirawat di rumah sakit yaitu sekitar 807o dari semua kasus.
Peninggian afterload pada penderita hipertensi sistemik atau pada penderita hipertensi pulmonal II. Peninggian preload karena volume overload atau retensi alr Itr. Gagal sirkulasi (circulatory failure) seperti pada keadaan high output states a\tara lain pada infeksi, anemia atau thyrotoxicosis.
Kondisi lain yang dapat mencetuskan GJA adalah ketidakpatuhan minum obat-obat GJ, atau nasehat-nasehat medik, pemakaian obat seperli NSAIDs, cyclo-oxygenare (COX) inhibitor, dan thiazolidinediones. GJ berat juga bisa sebagai akibat dari gagal multi organ (multiorganfailure). (Thbel 2)
Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai diagnose
dan penatalaksanaan GJA meliputi new onset HF, dan dekompensasi akut dari chronic HF mengacu pada tatalaksana yang dikeluarkan oleh European Society of Cardiology (ESC) yaitu ESC guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008 dan ACCF/AHA guidelines for the Diagnosis and Management of Heart Failure in Adult 2009 focus up date incorporated into the ACC/AHA 2005.
GAGAL JANTUNG AKUT Gagal Jantung Akut (GJA) didefinisikan sebagai serangan cepal/ rapid / onset atau adanya perubahan pada gejalagejala atau tanda-tanda (symptoms and sign) dari gagal jantung (GJ) yang berakibat diperlukannya tindakan atau terapi secara urgent. GJA dapat berupa serangan pertama GJ, atau perburukan dari gagaljantung kronik sebelumnya. Pasien dapat memperlihatkan kedaruratan medlk (medical emergency) seperti edema paru akut. (acute pulmonary oedema).
Disfungsi jantung dapat berhubungan dengan atau diakibatkan ischema jantung, irama jantung yang abnormal, disfungsi katup jantung, penyakit perikard, peninggian dari tekanan pengisian ventrikel atau peninggian dari tahanan sirkulasi sistemik. Dengan demikian berbagai faktor kardiovaskular dapat merupakan etiologi dari GJA ini, dan juga bisa beberapa kondisi (comorbid) ikut berinteraksi. Ada banyak kondisi kardiovaskular yang merupakan kausa dari GJA ini dan juga faktor-faktor yang dapat mencetuskan Qtrecipitating factors) terjadinya GJA. Semua faktor-faktor ini sangat penting untuk diidentifikasi; dan dihimpun untuk mengatur strategi pengobatan. Gambaran klinis khas dari GJA adalah kongesti paru, walau beberapa pasien lebih banyak memberikan gambaran penurunan cardiac output dan hipoperfusi jaringan lebih mendominasi penampilan klinis. Penyakit kardiovaskular dan non kardiovaskular dapat mencetuskan GJA. Contoh yang paling sering antara lain.
iskemik akut mekanik akut kanan
Penyakit jantung
. . .
Sindrom koroner Komplikasr dari infark lnfark ventrikel
Valvular . Slenosis valvular . Regurgitasi valvular . Endokarditis o Diseksi aorta Miopatia . Postpartum kardiomiopati . Miokarditis akut
Gagal sirkulasi
. . . . . o
Pirai
Tamponade Emboli paru
Dekompensasi pada gagal
jantung kronik
o . o . . .
a H
Septikemia Hygrotoxicosis Anemia
Tidak patuh minum obat Volume overload lnfeksi, terutama pneumonia Cerebrovaskular insult Operasi Disfunsi renal Asma/PPOK Penyalahgunaan obat Penyalahgunaan alkohol
ipertensi/a ritmia Hipertensi Aritmia akut
. .
Simptom gagal jantung bisa juga dicetuskan oleh faktor-faktor non kardiovasfcular seperti penyakit paru obstruktif, atau adanya penyakit organ lanjut (end-organ disease) terutama disfungsi renal. Pengobatan inisial yang
tepat dan pengobatan jangka panjang yang sesuai sangat diperlukan. Bila mungkin, koreksi kelainan anatomis yang
mendasarinya seperti penggantian katup atau revaskularisasi, dapat mencegah episode GJA dan memperbaiki prognose jangka panjang.
Klasifikasi Klinis Manifestasi klinis GJA memberikan gambaran/ kondisi spectrum yang luas dan setiap klasifikasi tidak akan dapat menggambarkan secara spesifik. Pasien dengan GJA biasanya akan memperlihatkan salah satu dari enam bentuk GJA. Edema paru tidak selalu menyertai semua ke enam bentuk GJA.
1588
KARDIOI.OGI
sindroma "low out put" tanpa disertai oleh kongesti paru dengan peninggian tekanan venajugularis dengan
atau tanpa hepatomegali dan tekanan pengisian
6.
ventrikel kiri yang rendah. Sindroma koroner akut dan gagal jantung. Banyak penderita GJA timbul bersamaan dengan SKA yang dibuktikan dari gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang. Kira-kira l57o penderita SKA memperl ihatkan gej ala dan tanda-tanda GJ. Episode GJA
bisaanya disertai atau dipresipitasi oleh aritmia (bradikardia, AF, VT) Di samping itu, ada beberapa klasifikasi GJA yang bisaa dipakai di ICCU. antara lain: Gambar 1. Klasifikasi Klinis gagal jantung akut
L
Klasifikasi Killip, berdasarkan tanda-tanda klinis sesudah infark jantung akut, Forester yang juga berdasarkan tanda-tanda klinis dan karakteristik hemodinamik pada infark akut.
2. Klasifikasi Gambar 1 dapat memperlihatkan kemungkinan terjadinya tumpang tindih dari ke enam bentuk GJA ini. Keenambentuk dari PJA ini, adalah:
1. Perburukan atau gagal jantung kronik (GJK) dekompensasi, adanya riwayat perburukan yang progresif pada penderita yang sudah diketahui dan mendapat terapi sebelumnya sebagai penderita GJK dan dijumpai adanya kongesti sistemik dan kongesti paru.
Tekanan darah yang rendah pada saat masuk RS, merupakan petanda prognose buruk.
2.
Edemaparu.
Pasien dengan respiratory distress yang berat, perrrafasan yang cepat, dan orthopnea dan ronchi pada
seluruh lapangan paru. Saturasi 02 arterial bisaanya < 907o pada suhu ruangan, sebelum mendapat terapi
3.
oksigen. Gagal jantung hipertensif, terdapat gejala dan tandatanda gagal jantung yang diserlai dengan tekanan darah tinggi dan bisaanya fungsi sistolik jantung masih relatif
cukup baik, juga terdapat tanda-tanda peninggian tonus simpatitik dengan takhikardia dan vasokonstriksi.
Pasien mungkin masih eu volemia atau hanya
4.
hipervolemia yang ringan. Umumnya memperlihatkan kongesti paru tanpa tanda-tanda kongesti sistemik. Syok kardiogenik, didefinisikan sebagai adanya bukti tanda- tanda hipoperfusi j aringan yan g disebabkan oleh gagaljantung, walau sesudah preload dan aritmia berat sudah dikoreksi secara adekuat.
Tidak ada parameter hemodinamik diagnostik yang pasti. Akan tetapi cirikhas dari syok kardiogenik adalah
tekanan darah sistolik yang rendah (tekanan darah sistolik <90mmHg, atau penurunan dari tekanan arteriol rata-rata(mean arterial pressure >3OnmHg), dan tidak adanya produksi urin, atau berkurang (<0,5ml/kg/jam).
5.
Gangguan irama jantung serin g ditemukan. Tanda-tanda hipoperfusi organ dan kongesti paru timbul dalam waktu cepat. Gagaljantung kanan terisolasi, ditandai dengan adanya
Prognosa Data yang diperoleh dari beberapa registry terbaru dari GJA dan beberapa survey yang telah dipublikasikan seperti the EUro-Heart Failure Survey II, the ADHERE registry dr Amerika Serikat dan survey Nasional dari Italia, Perancis dan Finlandia . Namun banyak dari pasien-pasien yang masuk dalam registry ini adalah penderita-penderita dengan usia lanjut dengan faktor-faktor cormobid cardio vaskuler dan Non cardiovaskuler yang sangat banyak, dengan prognosejangka pendek danjangka panjang yang buruk. Sindroma koroner akut merupakan kausa yang paling sering dari gagal jantung akut yang baru. Kematian di RS yang tinggi didapatkan pada pasien dengan shok kardiogenik berkisar antara 40-60%. Sangat berbeda dengan pasien gagal jantung akut hipertensif angka kematian di rumah sakit rendah dan kebanyakan pulang dari rumah sakit dalam keadaan asimptomatik. Rata-rata perawatan di RS akibat GJA dari the Euro Hearl Survey adalah t hari. Dari studi registry yang dirawat karena GJA, hampir separuh diantaranya dirawat kembali paling tidak sekali datam 12 bulan pertama. Estimasi kombinasi kematian dan perawatan ulang untuk 60 hari sej ak perawatan diperkirakan berkisar antata 30-50c/o . Indikator prognostik selanjutnya sama dengan yang dijumpai pada gagal jantung kronik lainnya.
Diagnosis GJA Diagnosis GJA adalah berdasarkan simptom-simptom yang ada dan penemuan-penemuan klinis. Konfirmasi dan pemantauan dari diagnosis diperoleh dari anamnesa yang teliti, pemeriksaanjasmani, EKG foto thorax, ekokardiografi
,
dan penemuan laboratorium dan analisa gas darah dan Biomarker spesifik. Algoritme diagnose sama dengan untuk GJA yang timbul akibat "de novo" atau episode dekompensasi dari GJK. (Gambar2)
1589
GAGALJANTUNGAKUT
Evaluasi Awal Penilaian secara sistematik presentasi klinik adalah sangat penting, meliputi riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang teliti. Penilaian perfusi perifer, suhu kulit, peninggian tekanan
pengisian vena adalah sangat penting, adanya sistolik murmur dan diastolik murmur, demikian j uga irama gallop sangat perlu dideteksi pada auskultasi bunyi jantung. Mitral ineffisiensi sangat sering ditemukan pada fase akut. Adanya stenosis aorta atau inefisiensi aorta juga harus dideteksi. Kongesti paru dideteksi dengan auskultasi dada dimana ditemukan ronchi basah pada kedua basal paru dan konstriksi bronchial pada seluruh lapangan paru
sebagai petanda peninggian dari tekanan pengisian ventrikel kiri. Tekanan pengisian jantung kanan dapat dinilai dari evaluasi pengisian vena jugularis. Efusi pleura umumnya ditemukan pada dekompensasi akut dari GJH. Berikut ini adalah beberapa pemeriksaan yang dianjurkan pada penderita dengan GJA
kongesti paru, dan untuk mengetahui adanya kelainan paru dan jantung yang lain seperti efusi pleura, infiltrat atau kardiomegali. (IC)
Analisa Gas Darah Arterial Analisa gas darah arterial, memungkinkan kita untuk menilai
oksigenasi (pO2) fungsi respirasi (pC02) dan keseimbangan asambasa (pH) danharus dinilai pada setiap pasien dengan respiratory distress berat. Asidosis petanda perfusi jaringan yang buruk atau retensi CO2 dikaitkan
dengan prognose buruk. Pengukuran dengan pulse oxymetry dapat mengganti analisa gas darah afierial. Tetapi tidak bisa memberikan informasi pCO2 atau keseimbangan asam basa, dan tidak bisa dipercaya pada sindroma low output yang berat atau vasokonstriksi dan status syok.
Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, urea, cretinin, gula darah, albumin, enzyme hati dan INR harus merupakan
pemeriksaan awal pada semua penderita GJA. Kadar
sodium yang rendah, urea dan creatinin yang tinggi
Analisa gas ded abnonnal ? Kongesti pada foto thoGx ? Naduredc peptide meninggi ? Riwayat sakitjiltung abu gagaljantung ?
memberikan prognose buruk pada GJA. Peninggian sedikit dari cardiac troponin bila terlihat pada GJA, walau tidak ada SKA. Peningkatan dari Troponin yang disertai dengan SKA merupakan petanda prognosa yang tidak baik.
Natriuretic Peptide B-type natriuretic peptides (BNP dan NT-pro BNP) yang diperiksa pada fase akut dapat diterima sebagai prediktif negative untukmeng-eklusi GJ, walau tidak sepenting pada GJK dalam praktik sehari-hari. Belum ada kesepakatan mengenai referensi nilai BNP atau NT-pro BNP pada GJA.
Nilai
tipe, bemhya dan etiologinya deogan investigasi selekif
Pada saat serangan (flash) edema paru atau mitral regurgitasi akut, kadar natriuretic peptide bisa masih normal saat masuk RS. Namun pemeriksaan BNP atau NT pro BNP saat masuk dan sebelum pulang, akan memberikan
Gambar 2. Evaluasi pasien dengan persangkaan GJA
informasi prognostic yang penting. (IA)
Ekokardiograf
Elektrokardiogram (EKG) Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi yang sangat penting, meliputi frekuensi debar jantung, irama jantung,
sistem konduksi dan kadang etiologi dari GJA. Kelainan segmen ST; berupa ST segmen elevasi infark miokard (STEMD atau Non STEMI. Gelombang Q petanda infark transmural sebelumnya. Adanya hipertropi, bundle branch block, disinkroni elektrikal, interval QT yang memanjang, disritmia atau perimiokarditis harus diperhatikan. (I C)
i
Ekokardiografi memegang peranan yang sangat penting untuk evaluasi kelainan struktural dan fungsional dari jantung yang berkaitan dengan GJA. Semua penderita GJA
harus dievaluasi/ ekokardiografi secepat mungkin. Penemuan dengan ekokardiografi bisa langsung
Foto Toraks
menentukan strategi pengobatan. (IC) Pencitraan echo/ dopler harus diperiksakan untuk evaluasi dan memonitor fungsi sistolik ventrikel kiri dan kanan secara regional dan global, fungsi diastolik, struktur dan fungsi valvular, kelainan perikard, komplikasi mekanis dari infark akut, adanya disinkroni, juga dapat menilai semi kuantitatif, non invasive, tekanan pengisian dari ventrikel
Foto toraks harus diperiksakan secepat mungkin saat masuk pada semua pasien yang diduga GJA, untuk menilai derajat
kanan dan kiri, stroke volume dan tekanan arteri pulmonalis, yang dengan demikian bisa menentukan
1590
strategi pengobatan. Echo/dopler dapat diulang sesuai kebutuhan, dan dapat mengganti pemeriksaan atau m onitoring invasif
I(ARDIOI.OGI
Managemen GJA Kebanyakan GJA didasari oleh adanya PJK. Oleh sebab itu identifrkasi PJK ini harus dipikirkan dari sejak awal untuk
memilih terapi yang tepat. Target terapi awal adalah
Instrumentasi dan Monitoring Pasien dengan GJA
secepatnya memperbaiki gejala-gejala atau keluhan dan menstabilkan kondisi hemodinamik.
Penanganan GJA selama perawatan memerlukan
Monitoring pasien dengan GJA harus dimulai secepat mungkin sesudah sampai di RS atau unit darurat medis, bersamaan juga pemeriksaan-pemeriksaan yang
strategi pengobatan yang sudah terbukti manfaatnya, dan dipertimbangkan dengan realitas objektif, dan sebelum
menunjang diagnose etiologi primer dan juga bagaimana respons terhadap terapi awal. (IC)
lanjutan. Penanganan GJA sebaiknya dilakukan menurut
Monitoring Non lnvasif Semua pasien sakit berat harus dimonitor hal-hal yang mendasar seperti suhu, laju pernafasan, laju detakjantung, tekanan darah, oksigenasi, produksi urine dan pemeriksaan EKG. Perlu oximeter harus dipasang secara continue, dan dinilai secara regular interval. (IC)
dipulangkan harus direncanakan tentang pengobatan program management GJ, apabila tersedia, seperti yang di gariskan oleh panduan ini (class I LoE B).Berikut ini adalah beberapa opsi yang diperkirakan tepat pada pasien dengan GJA, walau kebanyakan berasal dari opsi consensus dari para ahli, oleh sebab itu tarafkemaknaan adalah C (level of
evidence C).
Oxygen Diberikan secepat mungkin pada penderita hipoksemia
Monitoring lnvasif Arlerial line : Di indikasikan apabila memerlukan analisa secara kontinu tekanan darah arterial pada penderita dengan hemodinamik yang tidak stabil, atau untuk
.
kebutuhan pengambilan sampel darah arlerial yang sering.
(traC)
Central Venous Line
.
Untuk mendapatkan alkes sirkulasi sentral, dipakai untuk pemberian cairan dan obat-obatan dan memonitor Central Venous Pressure (CVP). Dapat juga dipakai untuk mengukur saturasi oxygen vena (SVO2) yang merupakan evaluasi dari konsumsi oksigen/ delivery ratio (IIa C).
o
Kateter Arteri Pulmonali Pemasangan kateter arteri pilmonal (pulmonary artery catheter (PAC) untuk diagnose GJAbiasanya tidak diperlukan.
PAC biasanya diperlukan untuk membedakan antara
Segera /saat perawatan di ruangi intensif (ED, lCU, CCU) lmmediate Memperbaikikeluhan-keluhan Memperbaikioksigenisasi Memperbaiki perfusi organ dan hemodinamik Mencegah kerusakan jantung dan ginjal Perawatan di ruang intensif sesingkat mungkin. Saat perawatan di ruang perawatan (lntermediate) Stabilkan pasien dan optimalkan strategi terapi Mulai pengobatan terapi farmakologi yang tepat untuk penyelamataan (life / saving) Pertimbangkan pemasangan alat bantu (device therapy) untuk pasien yang tepat. Perawatan di RS sesingkat mungkin Jangka panjang dan penangan saat berobatjalan Rencanakan strategi perawatan lanjut Diingatkan untuk penyesuaian pola hidup yang tepat. Penjelasan mengenai pencegahan sekunder Pencegahan perawatan ulang Memperbaiki kualitas hidup dan harapan hidup
-
-
-
mekanikal kardiogenik atau non kardiogenik pada penderita yang komplek. Kemungkinan bersamaan sakitjantung dan penyakit paru, terutama apabila dengan ekokardiografi/ Doppler sangat sulit untuk diperoleh. PAC juga berguna pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil, walau sudah mendapat terapi convensional. (IIb B)
Angiografi Koroner Pada pasien GJA yang didasari iskemia seperti angina tak
stabil atau SKA, maka angiografi koroner sangat diperlukan kecuali ada kontraindikasi kuat. Opsi revaskularisasi (PCI/CABG) harus dipertimbangkan apabila secara teknis memungkinkan, dan risiko tindakan
Fsu.ruri oz--- l ,
anerial
Irama jmtung dan debar jmtung
nomal
f+
)a
Tidak+ -
Tingkatkm pemberian 02 pertimbmgkan CPAP NI PPV, Ventitasi mekanis Pacu
masih bisa diterima. Reperfusi yang berhasil akan memperlihatkan prognose yang baik (I B).
janhrB mti ritmia
elektroversi
Gambar 3. Algoritme terapi awal dari GJA
1s91
GAGALJANTUNGAKUT
untuk memperoleh saturasi 02 arterial. > 95Vo, atau >90Vo pada penderita PPOK. Harus hati-hati pada penderita obstruktif saluran napas berat untuk mencegah hiperkapnia
yang lama Hiperkapnia
. . . .
(IB).
Ansietas dan claustrophobia Pnemotoraks
Aspixia.
Ventilasi Non lnvasive (Non lnvasive Vantilation
Morfin dan Analog Morfin pada GJA
= NIV)
Indikasi. Ventilasi non invasif merujuk ke semua upaya
Morfin harus dipertimbangkan pada stadium awal GJA, terutama bila pasien gelisah, sesak nafas, ansietas atau nyeri dada (14). Morphine diberikan bolus 2,5 - 5 mg IU
untuk membantu pernapasan, tanpa memakai endotrakeal tube, tetapi lebih jauh dari pemasangan masker penutup wajah. NIV dengan positif end-expiratory pressure (PEEP) harus dipertimbangkan secepat mungkin pada semua
dan dapat diulang seperlunya. Respirasi harus dimonitor, kadang timbul nausea dan bila perlu boleh pakai anti emetic. Hati-hati pada hipotensi, bradikardia AV block lanjut dan
pasien dengan edema paru kardiogenik akut (acute cardiogenic pulmonary oedema) dan GJA hipenensif, akan segera memperbaiki parameter klinis termasuk gagal nafas. NIV dengan PEEP akan memperbaiki fungsi ventrikel kiri,
retensi CO2.
Loop Diuretika
karena dapat mengurangi after load dari ventrikel kiri. Pemakaian NIV harus hati-hati pada syok kardiogenik dan
Pemberian diuretic intravena direkomendasikan pada GJA bila ada symptom akibat kongesti atau volume overload (I B). (Tabel.4) Beberapa hal yang perlu diingat : . Manfaat simptomatik diuretic sudah terbukti dan sudah
gagal jantung kanan.
Kontralndikasi
. . .
Pasien tidak kooperatif (tidak sadar, gangguan
kognitif
berat ,ansietas)
Sedang
Berat
dan hiponatremia dan meningkatkan kemungkinan hipotensi apabila bersamaan dengan ACE I atau ARB.
'Dosis Duretika furosemide atau Bumetanide atau torasemide Furosemide Furosemide infus Bumetanide Torasemide
Refraktor
responsifnya terhadap terapi diuretika. Dosis tinggi diuretika dapat memicu hipoalbuminemia
.
Efek yang tidak diinginkan . Perburukan dari gagaljantung kanan . Mukosa membran yang jadi kering akibat pemakaian
air
Pasien dengan hipotensi (sistolik <90 nimHg)
hiponatremia berat dan acidosis tidak sama
endotrakial karena hipoksia yang progresif) Hati-hati pada penyakit obstruksi saluran napas berat.
Retensi
diterima dan sudah diterima secara universal
.
Diperkirakan perlu segera pemakaian intubasi
Perkalian
Harian (mg) 20-40 0,5
-
'l
10-20 40-1 00
5-40 mg/jam
Tambah HCT
1-4 20-100 50 -100
Atau metolazone
2,5-10
Atau spironolaktone
25-50
Acetazolamide
0,5
terhadap diuretika
Oral atau lV sesuai klinis Dosis dititrasi Monitor K, Na, creatinin, tekanan darah, i.v ditinggikan Lebih baik daripada bolus dosis tinggi Oral atau intravena Oral
Kombinasi lebih baik daripada loop diuretikdosis tinggi Lebih poten bila CCT<30mL/mnt Terutama bila fungsi renal baik dan K normal atau rendah.
Dengan Alkalosis
Refraktor terhadap diuretika dan HCT
Tambahdopamine ataudobutamine
Pertimbangkan ultrafiltrasi dan HD apabila ada gangguan renal dan Hiponatremia
1592
.
Opsi terapi alternatif seperti pemakaian vasodilator IV dapat mengurangi keluhan dan mengurangi pemakaian diuretic dosis tinggi.
Bagaimana cara pemberian loop diuretika pada GJA. . Dosis awal yang dianjurkan adalah 20-40mg I.V (0,5 - 1 mg bumetadine; 10-20 mg torasemide) atau harus sama
.
atau lebih dari dosis sehari-hari yang biasa didapat. Pada fase awal ini pasien harus sering diawasi terutama mengenai produksi urine. Pemasangan kateter urine umumnya perlu untuk memonitor produksi urine, dan mengetahui secara cepat respons pengobatan.(I C) Pada pasien dengan bukti adanya volume overload dosis furosemide IV dapat ditingkatkan,sesuai dengan fungsi renal dan pemakaian oral diuretika yang sudah lama sebelumnya. Pada pasien seperti ini, pemakaian furosemide IV secara continous (IV drips) dapat dipenimbangkan sesudah pemberian initial. Pemakaian furosemide tidak boleh melebihi 100 mg untuk 6 jam
IGRDIOI.OGI
Vasodilator dapat menurunkan tekanan sistolik, mengurangi tekanan pengisianjantung sisi kiri dan sisi kanan
dan tekanan vaskuler sistemik dan memperbaiki sesak napas. Aliran darah koroner bisaanya masih baik apabila tekanan darah diastolik masih baik/ tidak terlalu rendah. Beberapa hal yang perlu diingat:
. Vasodilator mengatasi kongesti paru tatpa
. . . . .
Kombinasi dengan diurtetika lain
dengan dosis tinggi. Netrofiltrasi dapat diterima apabila kongesti refrakter terhadap terapi medikamentosa (IIa B).
Efek Samping Diuretika
. . . r
Hipokalemia,hiponatremia, hiperuricemia Hipovolemia,dehidrasi, produksi urine harus dimonitor. Aktivasi neurohormonal Dapatmemicuhipotensi apabilasebelumnyadapatACE-
YARB.
Vasodilatorjangan diberikan apabila sistolik <90 mmHg, dapat mengurangi perfusi organ. Hipotensi harus dicegah terutama bila ada disfungsi renal. Hati-hati pada stenosis aorta. Nitrat (introgliserin dan ISDN). Sodium nitroprusside,
intravena, per infuse. Nitroglycerine, merupakan hal yang sering dipakai pada GJA, dengan efek utama adalah venodilator. Nitroprusside memiliki balans vasodilator yang poten, antara penurunan preload dan
Diuretik thiaride dapat dikombinasi dengan furosemide (loop diuretika). Pada pasien yang resisten terhadap diuretika. Pada GJA dengan volume overload, dapat
dengan efek samping yang kurang, ketimbang obat tunggal
Calcium antagonis tidak direkomendasikan pada GJA.
dan nesiritide biasanya diberikan dengan cara
peftama, dan 240 mgpada 24 jam pefiama.
diberikan hidrochlorothiazide (HCT) 25 mg per oral dan aldosteron antagonis (spironolaktone, eplerenone 25-50 mg per oral), dapat diberikan, disamping furosemide kombinasi dengan dosis rendah, kadang lebih efektif
mempengaruhi strok volume atau meningkatkan konsumsi oksigen pada miokardium, terutama pada penderita SKA
afterload. Nesiritide memiliki efek vasodilator dan arterial venodilator. Juga efek sedang (modest) sebagai
.
diuretik dan efek natriuretik Efek samping yang potensial adalah sakit kepala pada pemberian nitrat, Tachipilaxis sering sesudah pemberian 24-48 jam, diperlukan peningkatan dosis dengan nitrat.
Nitroprusside harus hati-hati pada penderita SKA, dapat menyebabkan tekanan darah turun dengan tibatiba.
NESIRITIDE
Nesiritide (human BNP) dapat menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri, namun efek terhadap cardiac output prodttksi urin, ekskresi natrium, adalah bervariasi.
VASODILATOR
Sesak napas yang berat bias lebih cepat teratasi ketimbang hanya dengan diuretik saja. Nesiritide mempunyai efek yang lama dan juga waktu paruhnya (half life) dari nitroglycerin atau nitroprusside,maka efek samping seperti
Vasodilator direkomendasikan pada stage awal dari GJA apabila tidak ada tanda-tanda hipotensi yang simptomatik,
pemberian dosis rendah dan tanpa bolus. Efek samping yang tidak diinginkan, berupa gangguan renal, sehingga
tekanan sistolik <90 mmHg atau penyakit valvuler obstruktif yang serius (I.B) Vasodilator dapat berupa nitroglycerine (NGT) isosorbide dirutrate (ISDN) nitroprusside dan nesiritide.
perlu monitoring fungsi ginjal. Efek nesiritide terhadap
Indikasi:
Obat-obat inotropik Inotropik agent harus harus dipertimbangkan pada keadaan low output states, adanya tanda-tanda
hipotensi berlangsung lebih lama. Bisa diantisipasi dengan
Pemberian IV nitrat atau nitroprusside direkomendasikan bila tekanan sistolik >110 mmHg dan hati-hati bila tekanan darah sistolik antara 90 dan 110 mmHg.
mortalitas masih perlu dibuktikan, menunggu investigasi klinis yang sedang berjalan.
hipoperfusi atau kongesti, walaupun pemberian vasodilator dan atau diuretika dapat memperbaiki symptom.
1593
GAGALJANTUNGAKUT
lndikasi Pemberian Terapi lnotropik Obat inotropik hanya boleh diberikan pada penderita dengan tekanan sistolik yang rendah, atau cardiac index yang rendah dengan adanya tanda-tanda hipoperfusi atau kongesti. Tanda-tanda hipoperfusi seperti, kulit dingin,
basah (.claming skin) pada pasien yang disertai vasokonstriksi dengan asidosis, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati atau gangguan kesadaran, terutama bila pasien dengan dilatasi dan hipokinetik dari ventrikel. Bila memang diperlukan harus diberikan sedini mungkin. Pasien harus dalam monitoring EKG (IIa B).
phospodiesterase inhibitor tipe III (PDEIs) yang dipakai dalam klinis sehari-hari. Obat ini mencegah pemecahan dari cyclic AMP dan memiliki efek inotropik dan efek vasodilator perifer dengan meningkatkan cardiac output dan volume sekuncup, bersamaan dengan penurunan tekanan arteri pulmonalis, tekanan baji paru (pulmonary wedge pressure) resistensi sistemik dan sirkulasi paru.
Milrinone dan enoximone diberikan secara infuse intravena, bisa didahului oleh bolus pada penderita dengan tekanan darah yang masih cukup baik. Hati-hati pemberian
PDEIs pada pasien dengan PJK, dapat meningkatkan kematian jangka menengah (IIb B).
DOBUTAMINE
Levosimendan
Dobutamine adalah obat inotropik positif, bekerja melalui stimulasi Bl-reseptor untuk menginduksi efek inotropik positif dan efek chronotropik. Efek stimulasi ini sebanding dengan dosis yang diberikan. Dosis awal afiNa2-3 pg/kg/menit secara infus intravena, tanpa didahului oleh bolus, atau loading dose. Dosis boleh naikkan secara progressif tergantung symptom response diuretika, dan gambaran klinisnya. Efek hemodinamik sejajar dengan dosisnya dan dapat ditingkatkan sampai 15 Fgkgl menit. Apabila sebelumnya mendapat beta blocker, maka
dosis bisa ditingkatkan jadi 20 pg/kg/menit, untuk memperbaiki efek inotropiknya. Tekanan darah harus
Levosimandan merupakan salah satu dari calcium sensilizer yang dapat memperbaiki kontrolisitas jantung secara
berikatan dengan troponin C didalam kardiomiosit. Levosimendan memiliki vasodilator yang signifikan yang dimediasi AIP sensitive potassium channels dan juga mempunyai efek/ kerja sepefti PDEi yang ringan. Pemberian levosimendan infuse pada GJA dekompensasi akan
meningkatkan cardiac output dan volume sekuncup mengurangi tekanan baji paru, tahanan vaskuler sistemik dan tahanan vaskuler paru mengurangi tekanan vaskuler paru. Respons hemodinamik pada pemberian levosimendan
dapat bertahan berhari-hari. Levosimendan dapat efektif pada GJ kronik dekompensasi. Levosimendan dapat
dimonitor secara invasive atau non invasif.
meningkatkan detak jantung dan penurunan dari tekanan
Eliminasi obat berlangsung cepat apabila infuse dihentikan. Oleh sebab itu harus hati-hati apabila
darah, terutama bila sebelumnya mendapat bolus pembebanan (loading dose). Levasimendan dapat diberikan bolus (3-12 mglkg) selama 10 menit, kemudian
dobutamine akan dihentikan. Penurunan dosis secara gradual secara bertahap misalnya 2trrglkg/menit, dan secara bersamaan pemakaian oral harus dioptimalkan (IIa B).
Dopamine Dopamine juga menstimulasi reseptor B-adrenergik, secara langsung dan tidak langsung, dengan akibat meningkatkan kontraklilitas miokardium dan cardiac output, merupakan efek inotropik tambahan. Infus dopamine dosis rendah
(<2-3 p,glkgimenit) akan menstimulasi reseptor dopaminergik, tetapi sedikit efek terhadap diuresa Dosis tinggi dopamine dapat dipakai untuk mempertahankan tekanan darah sistolik, tetapi dapat meningkatkan risiko tachikardi, aritmia, dan stimulasi cr adenergik. Dopamine
dan dobutamin harus hati-hati bila frekuensi denyut jantung >100 kali permenit. Stimulasi u adenergik pada pemakaian dosis tinggi dapat menyebabkan
vasokonstriksi dan peninggian resistensi vaskuler sistemik. Dosis rendah dopamine sering dikombinasi dengan dobutamin dosis tinggi (IIbC).
Vasopressor Vasopressor (Norepinephrine) tidak direkomendasikan sebagai terapi awal (first line agents) pada GJA, dan hanya dibenkan pada penderita dengan syok kardiogenik apabila kombinasi obat-obat inotropik dan pengaturan cairan, gagal menaikkan tekanan darah sistolik lebih dari 90mmHg, dengan perfusi perifer yang tidak adekuat, meskipun ada
perbaikan cardiac output (IC). Pasien dengan sepsis yang menyebabkan GJA mungkin memerlukan vasopressor, sementara syok kardiogenik biasanya disertai oleh tahanan
vaskuler sistemik yang tinggi. Semua vasopressor pemakaiannya harus hati-hati dan harus dihentikan secepat mungkin. Noradrenalin bisa dikombinasi dengan
inotropik lain pada syok kardiogenik, walau idealnya diberikan lewat "central line". Epinephrine tidak direkomendasikan sebagai inotropik atau vasopressor
Milrinone dan Enoximone
Milrinone dan enoximone keduanva
diikuti drip intravena (0,05-0,2mgkglmenit untuk 24 jam). Kecepatan infuse dapat ditingkatkan sampai tekanan darah stabil. Apabila tekanan sistolik kurang dari 100mmHg, infuse darus dimulai tanpa pemberian bolus sebelumnya untuk mencegah hipotensi. (IIA B)
adalah
pada pasien syok kardiogenik, dan hanya dibatasi sebagai
r594
Ii{RDIOI.OGI
terapi penyelamatan (rescue therapy) padapasien dengan henti jantung (cardiac arest) (IIb C).
(LVADs) mungkin dipertimbangkan apabila potensial kausa dari GJA adalah reversibel, dan dapat sebagai jembatan (bridge) untuk tindakan selanjutnya. (misalnya
Glikosida Jantung
operasi).
Pada GJA glikosida jantung hanya menaikkan sedikit
kardiak output dan penurunan dari tekanan pengisian
GJ Kanan
mungkin bermanfaat untuk menurunkan laju ventrikel pada keadaan rapid atrial fibrilasi (IIb C)
Pembebanan cairan biasanya tidak efektif, ventilasi mekanikal harus dihindari. Obat-obat inotropik diperlukan apabila ada tanda-tanda hipoperfusi jaringan. Harus dipikirkan adanya emboli paru atau infark akut ventrikel
ALUR PENANGANAN GJA Sesudah penilaian awal, semua pasien harus diberikan terapi oksigen, dan NIV. Target terapi pada fase prehospital
atau ruang emergency adalah segera memperbaiki oksigenasi jaringan dan mengoptimalkan hemodinamik dan saat bersamaan segera memperbaiki simptom-simptom dan
memungkinkan untuk intervensi. Strategi terapi spesifik harus berdasarkan ciri khas kondisi klinis yang terutama seperti berikut ini.
GJK Dekompensasi Direkomendasikan pemberian vasodilator bersamaan dengan loop diuretic. Pertimbangkan pemakaian dosis tinggi dari diuretic pada penerita yang sudah mendapat diuretika lama sebelumnya dan penderita dengan disfungsi ginjal. Obarobat inotropik dapat diberikan pada penderita hipotensi, dan pasien dengan hipoperfusi.
Edema Paru Morphine biasanya diindikasikan, terutama apabila sesak disertai rasa nyeri dan ketakutan. Vasodilator dapat direkomendasikan asal tekanan darah normal atau tinggi dan diuretika apabila ada volume overload atau retensi air. Inotropik diperlukan apabila ada hipotensi dan tandatanda hipoperfusi organ. Intubasi atau ventilasi mekanik meungkin diperlukan untuk memperoleh oksigensasi yang adekuat.
GJ Hipertensif Direkomedasikan vasodilator dengan monitoring yang ketat dan terapi diuretic dosis rendah pada penderita dengan volume overload, atau edema paru.
Syok Kardiogenik Pembebanan cairan apabila secara klinis diperlukan (250 ml/ 10 menit) diikuti obat inotropik, apabila tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg. Apabila dengan inotropik gagal menaikkan tekanan darah dan tanda hipoperfusi organ masih menetap, norepineptrian boleh ditambahkan dengan sangat hati-hati, Pompa intraaortic ballon (LABP) dan
intubasi harus dipertimbangkan. Alat bantu jantung
kanan.
GJA pada SKA Semua pasien dengan SKA dan tanda-tanda GJ harus diperiksakan echocardiografi dan menilai fungsi sistolik dan diastolic. Fungsi katup dan menyingkirkan gangguan jantung lainnya atau komplikasi mekanis dari infarkjantung akut (IC). Pada penderita SKA dengan komplikasi GJA, reperfusi dini dapat memperbaiki program (ada guidelines tersendiri) Apabila PCI atau bedah (CABG) belum tersedia boleh juga dicoba dengan fibrinolitik pada pasien dengan STEMI. CABG secepatnya diindikasikan pada penderita dengan komplikasi mekanikal pada penderita infark jantung akut.
Syok kardiogenik pada SKA harus dipasang IABP, corangiografi koroner, dan revaskularisasi primer (PCI) harus dipertimbangkan secepat mungkin (I C). Pemakaian beta blocker dan ACE I/ARB pada dekompensasi akut gagal jantung kronik. ACE I tidak diindikasikan untuk menstabilkan awal dari GJA. Akan tetapi pasien dengan risiko tinggi pasien masuk pada keadaan GJK, ACE VARB memegang peranan penting pada fase awal GJA pasien infark jantung akut, terutama
bila dijumpai tanda-tanda gagal jantung atau bukti gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri. Kedua obat ini dapat
mencegah remodeling, mengurangi morbiditas dan mortalitas. Belum ada kesepakatan kapan memulai obatobat ACE il ARB pada penderita GJA. Pada umumnya disetujui pemberiannya sebelum pulang dari RS' Apabila terjadi perburukan dari gagal jantung padapemberianACE ilARB, obat ini harus diteruskan selama mungkin (I A). Pada pasien gagal jantung dekompensasi akut, dosis beta blocker mungkin perlu diturunkan sementara, ala:u
dihentikan, walaupun umumnya pengobatan jangan dihentikan sampai pasien secara klinis belum stabil dengan
tanda-tanda low out put. Pengobatan mungkin bisadihentikan dulu apabila terdapat komplikasi bradikardia. AV Block derajat tinggi, bronchospasme atau syok kardiogenik, atau pada kasus GJA berat dan respons tidak adekuat pada terapi initial. Pasien infarkjantung akut dengan tanda-tanda gagal jantung atau disfungsi ventrikel kt/r,B Blockerharus dimulai sedini mungkin paling tidak sebelum dipulangkan dari RS. Pasien yang dirawat dengan GJA, B blocker harus diperlimbangkan apabila klinis sudah
1595
GAGALJANTUNGAKUT
stabil denganACE I atauARB dan dimulai sebelumpasien dipulangkan dari RS (IIaB).
REFERENSI The Criteria Committee of The New York Heart Association. Nomenclature and criteria for Diagnosis of Disease of the Heart and Great Vessels. 9th ed. Little Brown & Co;1994. pp253-256. Hunt SA, Abraham WT, Chin MH,et al. ACC/AHA 2005 Guideline update for the diagnosis and management of chronic heart failure in the adult: a Task Force on Practice Guidelines. Circulation 2005;l 12: el54-e235. Kenneth Dickstein, Alain Cohen-Solal, Garasimos Filippatos, et al. The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008 of the European Society of Cardi-
ology. European Heart Journal (2008) 29,2388-2442. Sharon Ann Hunt, Abraham WT., Marshall H.Chin, et al. 2009 Focused Update Incorporated Into the ACC/AHA 2005 Guidelines for the Diagnosis and Management of Heart Failure in Adults. (Full Text). Circulation. 2009; 119:.e391-e479). Nieminen MS, Bohm M, Cowie MR, et a1. Executive summary of the guidelines on the diagnosis and treatment of acute heart failure: the Task Force on Acute Heart Failure of the European Society of Cardiology. Eur Heart J 2005;26:384-416. Fillipatos G, Zannad F. An introductionto acute heart failure syndromes: definition and classification. Heart
Fail
Rev 2OO7:12:87-
90.
Killip T
3'd, Kimball JT Trereatment of myocardial infarction in a coronary care unit. A two year experience with 250 patients. Am J Cordiol 1961:20 457-464 Forrester JS. Diamond GA, Swan HJ. Correlative classification of
clinical and hemodynamic function after acute myocardial infarction. Am J.Cardiol 1977 ;39:13'7 -745 Maisel AS, Bhaila
Y
Braunwald E. Cardiac biomarkers: a conrempo-
rary status report. Nature Clin Pract.2006:3:24-34. Maisel AS, Krishnaswamy P, Nowak RM. et al. Rapid measurement of B-type natriuretic peptide in the emergency diagnosis of heart failure. N Engl J Med 2002.347:16I-161 Moe GW, Howlett J, Jantzzi JL, et al. N-terminal pro-B-type natriuretic peptide testing improves the management of patients with suspected acute heart failure: primary results of the Canadian prospective random- ized multicenter IMPROVED-CHF .
study Circulation. 2007; 1 15:3 103-
10
Bassand JP, Hamm CW. Ardissino D,et al. Guidelines
for the diagno-
sis and treatment of non ST-segment elevation acute coronary syndromes. Eur Heart J 200'1;28:1598-1660.
Peter JY Moran JL. Philips-Hughes J, Graham P.Bersten AD. Effects of non invasive positive pressure ventilation (NIPPV) on mortality in patients with acute cardiogenic pulmonary oedema: a meta-analylis. Lancet 2006;367 :1155-1163. Lee G.DeMaria AN, Amsterdam EA, et al. Comparative effects of morphine, meperidine and pentazocine on cardiocirculatory dynamic in patients with acute myocardial lnfarction. Am J Med 1976'.60:949-955. Mebazaa A, Gheorghiade M, Pina IL, et al. Practical recommendations for prehospital and early in -hospital management of patients presenting with acute heart failure syndromes. Crit Care Med.2008;36:S 129-39. Costanzo MR, Johannes RS, Pine M, et al. The safety of intravenous diuretics alone versus diuretics plus parenteral vasoactive therapies in hospitalized patients with acutely decompensated heart failure: a propensity score and instrumental variable analysis using the Acutely Decompensated Heart Failure National Registry (ADHERE) database. Am Heart J. 2007 154:267-'17. Costanzo MR, Guglin ME, Saltzberg Ml et al. Ultrafiltration versus intravenous diuretics for patients hospitalized for acute decompensated heart failure. J Am Coll Cardiol. 2007;49:67583. Elkayam U, Bitar F, Ak}ter MW,et al. Intravenous nitroglycerin in the treatment of decompensated heart failure: potential benefits and limitations. J Cardiovasc Pharmacol Ther 2004;9:227241 Sackner-Bernstein JD, Skopicki HA, Aaronson KD. Risk of worsening renal function with nesiritide in patients with acutely decompensated heart failure. Circulation. 2005;lll:1487 -97. Bayram M, De Luca L, Massie MB,Gheorghiade M. Reassessment of dobutamine, dopamine, and milrinone in the management of acute heart failure syndromes. J Am Coll Cardiol 2005;96:47Gs8G.
Galley HF. Renal dose dopamine: will the message now get through? Lancet 2000;3 56:21 12-2113. Felker GM, Benza RL, Chandler AB, et a1. Heart failure etiology and response to milrinone in decompensated heart failure: results from the OPIOME-CHF stldy J Am Coll Cardiol 2003;41:9971 003. Cuffe MS, Califf RM, Adams KF, et al. Short-term intravenous milrinone for acute exacerbation of chronic heart failure: a randomized controlled trial. JAMA. 2002;287 : I 541 -7 . Mebazaa A, Nieminen MS, Packer M, et al. Levosimendan vs dobutamine for patients with acute decompesated heart failure: the SURVIVE Randomized Trial. JAMA 2007',297:1883-1891.
250 GAGAL JANTUNG KRONIK AliGhanie
PENDAHULUAN
Indonesia belum ada data yang pasti, sementara data rumah sakit di Palembang menunjukkan hipeftensi sebagai penyebab terbanyak, disusul penyakitjantung koroner dan katup.
Definisi Gagal Jantung Kronik Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiologi, di mana terdapat kegagalan jantung memompa darah yang sesuai
dengan kebutuhan jaringan. Suatu definisi objektif yang
Pencetus
sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung kronik hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas pada disfungsi ventrikel.
Sebagaimana diketahui keluhan dan gejala gagaljantung, edema paru dan syok sering dicetuskan oleh adanya
berbagai faktor pencetus. Hal ini penting diidentifikasi terutama yang bersifat reversibel karena prognosis akan
Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang komplek yang disenai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik dalam keadaan istirahat atau latihan, edema dan tanda
menjadi lebih baik.
objektif adanya disfungsi jantung dalarri keadaan istirahat.
TATALAKSANA GAGAL JANTUNG KRONIK
Epidemiologi
Dalam 10-15 tahun terakhir terlihat berbagai perubahan dalam pengobatan gagal jantung. Pengobatan tidak saja
Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar
0,4Vo-2Vo dan
ditujukan dalam memperbaiki keluhan, tetapi juga diupayakan pencegahan agar tidak terjadi perubahan
meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengat rata-tata umur 74 tahun. Ramalan dari gagal jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki. Setengah dari populasi pasien gagaljantung akan meninggal dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 507o akan meninggal dalam
disfungsi jantung yang asimtomatikmenjadi gagal jantung yang simtomatik. Selain dari pada itu upaya juga ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan diharapkan jangka panjang terjadi penurunan angka kematian. Oleh karena itu dalam pengobatan gagaljantung kronik
tahun pertama.
perlu dilakukan identifikasi objektifjangka pendek dan jangka panjang Dalam tulisan ini kami mengacu kepada petunjuk atau guidelines dari European Society of Cardiology (ESC) tahun 2001 dan 2OO5 serta American Heart Association 2m1, Tingkat rekomendasi (Class) dan tingkat kepercayaan (evidence) mengikuti format petunjuk atau guidelines dai
ETIOLOGI DAN FAKTOR PENCETUS Penyebab dari gagaljantung antara lain disfungsi miokard,
endokard, perikardium, pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Di Eropa dan Amerika
disfungsi miokard paling sering terjadi akibat penyakit jantung koroner biasanya akibat infark miokard, yang
ESC 2005, di mana untuk rekomendasi: Class I Adanya buktr,/kesepakatan umum bahwa tindakan bermanfaat dan efektif
merupakan penyebab paling sering pada usia kurang dari 75 tahun, disusul hipertensi dan diabetes. Sedangkan di
1596
t597
GAGALJANTUNGKRONIK
Class
ILa
II
Bukti kontroversi Adanya bukti bahwa tindakan cenderung
bermanfaat II.b Manfaat dan efektivitas kurang terbukti Class III Tindakan tidak bermanfaat bahkan berbahaya sedangkan tingkat kepercayaan: A data berasal dari uji random multipel, atau metaanalisis B data berasal dari satu uji random klinik C Konsensus, pendapat para pakar, uji klinik kecil, studi retrospektif a[au registrasi
Upaya Pencegahan Pencegahan gagal jantung, harus selalu menjadi objektif primer terutama pada kelompok dengan risiko tinggi.
.
Obati penyebab potensial dari kerusakan miokard, faktor
.
risiko jantung koroner Pengobatan infark jantung segera
. .
pencegahan infark ulangan Pengobatan hipertensi yang agresif Koreksi kelainan kongenital serta penyakit jantung
. .
katup Memerlukan pembahasan khusus Bila sudah ada disfungsi miokard, upayakan eliminasi
di triase,
serta
penyebab yang mendasari, selain modulasi progresi dari disfungsi asimtomatik menjadi gagal jantung.
PENANGANAN GAGAL JANTUNG KRON!K Pendekatan terapi pada gagal jantung dalam hal ini disfungsi sistolik dapat berupa: . Saran umum, tanpa obat-obatan
. .
Pemakaian obat-obatan Pemakaian alat. dan tindakan bedah
Penatalaksanan Umum, Tanpa Obat-obatan
.
. . . . . . .
Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab, dan bagaimana mengenal sefta upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan
Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, edukasi aktivitas seksual. serta rehabilitasi Edukasi pola diet, kontrol asupan garam, air dan kebiasaan alkohol Monitor berat badan, hati-haLi dengan kenaikan berat badan yang tiba-tiba Mengurangi berat badan pada pasien dengan obesitas Hentikan kebiasaan merokok. Pada perjalananjauh dengan pesawat, ketinggian, udara panas dan humiditas memerlukan perhatian khusus Konseling mengenai obat, baik efek samping, dan
menghindari obat-obat tertentu seperti NSAID, antiaritmia klas I, verapamil, diltiazem, dihidropiridin efek
cepat, antidepresan trisiklik, steroid
Pemakaian Obat-obatan
.
. . . . . . . . . . . .
g io t ens in- c onv e5tin g enzyme inhibit enzim konversi angiotensin Diuretik
An
o rI
peny ekat
Penyekat beta
Antagonis reseptor aldesteron Antagonis reseptor angiotensin II Glikosidajantung Vasodilator agents (nitrat/hidralazin) Nesiritid, merupakan peptid natriuretik tipe B Obatinotropikpositif, dobutamin, milrinon,enoksimon Calcium sensitiz.er, levosimendan Antikoagulan Anti aritmia Oksigen
Pemakaian Alat dan Tindakan Bedah
. . . . . . . .
.
Revaskularisasi (perkutan, bedah) Operasi katup mitral Aneur-ismektomi
Kardiomioplasti ExternctL cardiac support
Pacu jantung, konvensional, resinkronisasi pacu jantung biventrikular
Implantable ccLrdioverter defibrillators (ICD)
Heart transplantation, venlricular assist devices, artificial heart Ultrafiltrasi, hemodialisis.
Terapi Farmakologi An g
i
o t e n s i n-c
onv
ertin
g
e
na,\) n1.e
inhib
it o r s/pen y
ekat
enzim konversi angiotensin (Tabel ldan 2). . Dianjurkan sebagai obat lini peftama baik dengan atau
ejeksi 40-457o untuk meningkatkan survival, memperbaiki simtom, rnengurangi kekerapan rawat inap di rumah sakit (1, A) tanpa keluhan dengan fraksi
. .
Harus diberikan sebagai terapi awal bila tidak ditemui retensi cairan. Bila disertai retensi cairan harus diberikan bersama diuretik. (I, B) Harus segera diberikan bila ditemui tanda dan gejala
.
gagal jantung, segera sesudah infark jantung, untuk meningkatkan,s u rv iv al, menurunkan angka reinfark serta kekerapan rawat inap. Harus dititrasi sampai dosis yang dianggap bermanfaat
sesuai dengan bukti
klinis, bukan berdasarkan
perbaikan gejala.
Diuretik Loop diuretic,tiazid, metolazon (Tabel 3) ' Penting untuk pengobatan simtomatik bila ditemukan beban cairan berlebihan, kongesti paru dan edema
.
perif'er.(I,A)
Tidak ada bukti dalam memperbaiki survival, dan harus
1598
KARDIOIJOGI
Mortalitas Penelitian
Obat
Dosis Harian Rerata
Target Dosis
Penelitian pada Gagal jantung kronik
ConsensusTrial
Enalapril
20 mg b i.d
1B4mg
Study Group, 1978 Cohn et al.
(V-
Enalapril
10 mg b.i.d
150m9
HeFT 11,1991) The SOLVD
Enalapril
10 mg b.i.d
166m9
Lisinopril
Dosis
lnvestigators, 1
991
ATLAS
tinggi: Dosis
32.5
-
35 mg perhari
25-5mgperhari
rendah: Penelitian pasca lM dengan disfungsi LV dengan atau tanpa GJ Pfeffer et al (SAVE, 1992) AIRE
TRACE
Captopril
50 mg t.i.d
(tidak ada)
Ramipril 5mgbid
(tidak ada) (tidak ada)
Trandolapril 4 mq dailv
LV = Left Ventricular, Ml = Myocardial lnfarction; HF = Hearl failure
" Obat
Dosis inisial
Dosis oemeliharaan
Benazepril 2.5 mg 5 -'10 mg b.i d Captopril 6.25 mg t i.d 25-50mgtid Enalapril 2.5 mg perhari 10 mg b.i.d. Lisinopril 2.5 mg perhari 5 - 20 mg perhari Quinapril 2 5-5 mg perhari 5 l0 mg perhari Perindopril 2 mg perhari 4 mg perhari Ramipril 1 25 - 2.5 mg 2 5 - 5 mg b.i.d Cilazapril 0.5 mg perhari 1-25mgperhari '10 mg perhari Fosinopril 20 mg perhari Trandolapril 1 mg perhari 4 mg perhari * Manufacture's or regulatory recommendations
-
menurunkan mortalitas. (I.B) Sampai saat ini hanya beberapa penyekat beta yang direkomendasi yaitu bisoprolol, karvedilol, metoprolol suksinat, dan nebivolol (I,A) (Tabet 4)
Antagonist Reseptor Aldosteron (Tabel 5)
.
perhari
.
Penambahan terhadap penyekat enzim konversi angiotensin. penyekat beta, diuretik pada gagaljantung berat (NYHA III-N) dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas (I, B)
Sebagai tambahan terhadap obat penyekat enzim konversi angiotensin dan penyekat beta pada gagal jantung sesudah infark jantung, atau diabetes, menurunkan morbiditas dan morlalitas (I, B)
dikombinasi dengan penyekat enzim konversi angiotensin atau penyekat beta.
Antagonis Penyekat Beseptor Angiotensin ll p- Blocker (Obat Penyekat Beta)
.
. .
Direkomendasi pada semua gagal jantung ringan,
.
sedang, dan berat yang stabil baik karena iskemi atau
.
kardiomiopati non iskemi dalam pengobatan standar seperli diureti atau penyekat etzim konversi angiotensin. Dengan syarat tidak ditemukan adanya kontra indikasi terhadap penyekat beta.
.
Terbukti menurunkan angka masuk rumah sakit, meningkatkan klasifikasi tungsi (I, A) Pada disfungsi jantung sistolik sesudah suatu infark miokard baik simtomatik atau asimtomatik, penambahan
penyekat beta jangka panjang pada pemakaian penyekat enzim konversi angiotensin terbukti
.
Masih merupakan alternatif bila pasien tidak toleran terhadap penyekat enzim konversi angiotensin Penyekat angiotensin II sama efeketifdenganpenyekat enzim konversi angiotensin pada gagaljantung kronik dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas (IIa, B) Pada infark miokard akut dengan gagal jantung atau disfungsi ventrikel, penyekat angiotensin II sana efektif dengan penyekat enzim konversi angiotensin dalam menurunkan moflalitas (I, A) Dapat dipertimbangkan penambahan penyekat angio-
tensin
II
pada pemakaian penyekat enzim konversi
angiotensin pada pasien yang simtomatik guna menurunkan mortalitas (IIa, B)
1599
GAGALJANTUNGKRONIK
Rekomendasi Harian Maksimum (ms)
Dosis lnisial Loop diuretics Furosemid Bumetanid Torasemid
20-40
-
250
1.0
-
5
500
100 - 200
25
50-75
25 25
10
.F
+
E
25 26
Bisoprolol
50 50
First dose (mq)
I
Hipokalemia, hipomagnesaemia, hiponatremia H iperuricaemia, intoleransi glukosa Gangguan asam basa
25
+ACEI -ACEI
Beta-blocker
Hipokalemia, hipomagnesemia, hiponatremia Hiperurikemia, intoleransi glukosa Gangguan asam basa
10
5-'10
Tiazid Hidroklorotiazid Metolazon lndapamid
Potassium-sparing diuretic Amilorid Triamteren Spironolacton
-
0.5
25
Efek Samping Utama
ACEI - ACEI 20 40 100 200 50 100-200
Hiperkalemia, rash Hiperkalemia Hiperkalemia, ginaekomastia
Taroet lncrements -r, OOSe (mg'day') trno-o*-rt
2.5,3 75,
5,
Titration period
10
Minggu-Bulan
150
Minggu-Bulan
200
Minggu-Bulan
50
Minggu-Bulan
75,10
Metoprolol Carvedllol
10,15,30,
5
50, 75,
suksinat CR 12 5125
'100
25,50, 100, 200
Nebivolol
3.125
6 25, 12 5,
25,50 Frekuensi pemberian harian sepefli pada penglihatan rujukan diatas
. 1 2
Pertimbangkan apabila gagal jantung berat (NYHA lll - lV) meskipun telah menggunakan penyekat enzym konversi ang iotensin/d iuretik Periksa potasium serum (<5 O mmol l1) dankreatini (<250 pmol.l-1)
Vasodilator
.
3 Tambahkan 25 mg spironolacton per hari 4. Periksa serum potassium dan kreatinin setelah 4 - 6 days 5. Jika serum potassium > 5- 5.5 < mmol.l-1, kurangi dosis sampai,50%. dan hentikan bila serum potassium > 5 5
mmol.l
',
6 Jika setelah
1 bulan keluhan menetap tanpa kenaikan serum potasium, naikkan dosis sampai 50 mg perhari Ulangi
pemeriksaan serum potassium/kreatinin sesudah 1 minggu
Glikosida Jantung (Digitalis)
. .
Merupakan indikasi pada fibrilasi atrium pada berbagai derajat gagal jantung, terlepas apakah gagal jantung bukan atau sebagai penyebab.(I,B) Kombinasi digoksin dan penyekat beta lebih superior
Tidak mempunyai efek terhadap mortalitas, tetapi dapat menurunkan angka kekerapan rawat inap. (IIa, A)
Tidak ada peran spesifik vasodilator direk pada gagal jantung kronik (III, A)
Hidralazin-isosorbid Dinitrat'
.
Dapat dipakai sebagai tambahan, pada keadaan di mana pasien tidak toleran terhadap penyekat enzim konversi angiotensin atau penyekat angiotensin II
(I,B). Dosis besar hidralazin (300 mg) dengan kombinasi isosorbid dinitrat 160 mg tanpa penyekat enzim konversi angiotensin dikatakan dapat menurunkan morlalitas. Pada kelompok pasien AfrikaAmerikapemakaian kombinasi isosorbid dinitrat 20 mg
dibandingkan bila dipakai sendiri-sendiri tanpa
kali sehari dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas dan
kombinasi.
memperbaiki kualitas hidup.
dan hidralazin 37.5 mg, tiga
1600
KARDIOI.OGI
ventrikel, dan vasodilatasi berlebihan Obat Terbukti menurunkan moftalitas dan morbiditas Candesartan Valsartan Lain
- lain
Eprosartan Losartan I rbesartan
Telmisartan
Dosis (ms)
4 80
Levosimendan, merupakan sensitisasi kalsium yang baru, mempunyai efek vasodilatasi namun tidak sepefii penyekat fosfodiesterase, tidak menimbulkan hipotensi.
-32
Uji klinis menunjukkan efek yang lebih baik
- 320
dibandingkan dobutamin.
400 - 800 50 - 100
150-300
40-80
AntiTrombotik
.
Nitrat
.
Sebagai tambahan bila ada keluhan angina atau sesak
.
(IIa, C), jangka panjang tidak terbukti memperbaiki simtom gagal jantung. Dengan pemakaian dosis yang sering, dapat terjadi toleran (takipilaksis), oleh karena itu dianjurkan interval 8 atau 12 jam, atau kombinasi dengan penyekat enzim konversi angiotensin
.
.
.
Pada gagal jantung sistolik penyekat kalsium tidak direkomendasi, dan dikontraindikasikan pemakaiaan kombinasi dengan penyekat beta (III, C) Felodipin dan amlodipin tidak memberikan efek yang lebih baik untuk sarvival bila digabung dengan obat
penyekat enzim konversi angiotensin dan diuretik. (III,A) Data jangka panjang menunjukkan efek netral terhadap survival, dapat dipertimbangkan sebagai tambahan obat hipertensi bila kontrol tekanan darah sulit dengan pemakaian nitrat atau penyekat beta.
Nesiritid Merupakan klas obat vasodilator baru, merupakan rekombinan otak manusia yang dikenal sebagai natriuretik peptida tipe B. Obat ini identik dengan hormon endogen dari ventrikel, yang mempunyai efek dilatasi arteri, vena
Pada gagal jantung
kronik yang diseftai fibrilasi atrium. riwayat fenomena tromboemboli, bukti adanya trombus yang mobil, pemakaian antikoagulan sangat dianjurkan
(I,A) Pada gagal jantung kronik dengan penyakit jantung koroner, dianjurkan pemakaian antiplatelet. (IIa, B) Aspirin harus dihindari pada perawatan rumah sakit berulang dengan gagal jantung yang memburuk.
Anti Aritmia
Obat Penyekat Kalsium
.
dapat
menimbulkan hipotensi
. .
Pemakaian selain penyekat beta tidak dianjurkan pada gagal jantung kronik, kecuali pada atrial fibrilasi dan ventrikel takikardi Obat aritmia klas I tidak dianjurkan
Obat anti aritmia klas II (penyekat beta) terbukti menurunkan kejadian mati mendadak (I,A) dapat dipergunakan sendiri atau kombinasi dengan amiodaron (IIa, C)
. Anti aritmia
klas
III,
amiodaron efektif untuk
supraventrikel dan ventrikel aritmia (I,A) amiodaron rutin pada gagal jantung tidak dianjurkan.
Suatu data survei
di Eropa menunjukkan
bahwa
pemakaian obat-obat pada gagal jantung kronik masih belum maksimal, demikran jugayang te!adi dalampraktek seharihari di Indonesia. Sebagai acuan praktis dari ESC guidelnes
2005, strategi pemilihan kombinasi obat pada berbagai keadaan gagaljantung secara sistematis dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8.
dan koroner, dan menurunkan pre dan afterload, meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropik. Sejauh ini belum banyak data klinis yang menyokong
RINGKASAN
pemakaian obat ini.
lnotropik Positif
.
. .
Telah dibahas suatu tatalaksana gagaljantung terkini yang mengacu pada ESC guidelines, di mana terlihat bahwa
mempunyai efek vasodilatasi perifer dan koroner.
penanganan pasien gagal jantung kronik mengalami perkembangan yang signifikan. Tatalaksana gagal jantung kronik harus disesuaikan bagi setiap individu dan daerah, karena perbedaan sosial ekonomi, sarana dan modalitas kesehatan yang berbeda. Terlihat perlunya pelayanan holistik terpadu mulai dari pusat pelayanan primer, dokter umum di daerah, dokter spesialis di pusat-pusat pelayanan sekunder dan pusat
Namun diserlai juga dengan efek takiaritmia atrial dan
rujukan.
Pemakaian jangka panjang dan berulang tidak dianjurkan karena meningkatkan mortalitas (III, A) Pemakaian intravena pada kasus berat sering digunakan, namun tidak ada bukti manfaat, justru komplikasi lebih sering muncul. (II b, C) Penyekat fosfodiesterase, seperti milrinon, enoksimon efektif bila digabung dengan penyekat beta, dan
1601
GAGALJANTUNGKRONIK
Diuret k
Angiotensin Receptor Blocker
ACE.
lnhibitor
intolerant
Penyekat Beta
indicated
lf ACE
lndikasi
lndikasi dengan lndicated if atau tanpa ACE- fluid retention inhibitor
lndikasi
lndikasi
lndikasi dengan atau tanpa ACE inhibitor
lndicated, combination of diuretics
GJ tahap akhir indikasi (NYHA rV)
lndikasi dengan atau tanpa
lndicated, combination of diuretics
lndikasi (di bawah pengawasan spesialis) lndikasi (di bawah pengawasan spesialis)
(NYHA
[)
GJ memburuk (NYHA ilr-rv)
ACE-inhibitor
Not
Pasca
lnfark
lndikasi
Disfungsi LV asimtomatik dysfunction GJ simtomatik
I
Glikosida Jantung
lnfark baru
Dengan fibrilasi atrial
lnfark baru
a.when atrial
lndikasi
fibrillation b when improved from more severe HF in sinus rhythm lndikasi
lndikasi
lndikasi
Untuk gejala
Untuk survival/morbiditas NYHA
Antagonis Aldosteron
Lanjutkan ACE inhibitor / ARB jika intoleran ACE inhibitor, lanjuikan antagonis aldosteron jika pasca-Ml Pengurangan / hentikan diuretik Tambah penyekat beta jika Ml.
pasca
NYHA
II
Ace inhibitor sebagai terapi lini pertama ARB jika intoleran ACE inhibitor tambah penyekat beta dan antagonis aldosteron jika pasca
+/- diuretik tergantung pada retensi cairan
MI
NYHA
lll
+ diuretik + digitalis
ACE inhibitor + ARB atau ARB Jika intoleran ACE sendiri
jika masih simtomatik
Penyekat beta Tambah aldosteron Antagonis
NYHA
lV
+ diuretik + digitalis +
Lanjutkan ACE inhibitor / ARB Penyekat beta Antagonis aldosteron
consider suport inotropis sementara
REFERENSI
Remme, W.J., Swedberg, K. Guidelines for the diagnosis and treatment of chronic heart failure : Task force for the diagnosis
Chodilawati,R., Ghanie,A. Pola etiologi gagal jantung di RSMH
and treatment of chronic heart failure. Euro Heart
Palembang. Kopapdi Menado 2003. Francis, GS, Gassler, JP, Sonnenblick, EH. Pathophysiology and diagnosis of heart failure. ln The Heart. Fuster V, Alexander. RW., O'Rourke, AR. l0m edition. Volume 1. Mc. Graw Hill p.655. Gibbsons, RJ., Antman, EA., Alpert, J.S., et al. Guidelines for the evaluation and management of chronic heart failure in the adult ACC/AHA Practice guidelines-Full text. American College of Cardiology and the American Heart Association, Inc. 2001
2001;22:152'7 -55
Swedberg,
K,
J.
Chairperson. Guidelines for the diagnosis and
treatment of chronic heart failure: full text (update 2005). The European Society of Cardiology 2005.
261 MEI(ANISME DAN KLASIFIKASI ARITMIA A. Muin Rahman
PENDAHULUAN Bila yang dimaksud dengan irama jantung normal adalah irarna yang berasal dari nodus SA, yang datang secara teratur dengan frekuensi antara 60-l 00 /menit, cian dengan harltaran tak mengalami hambatan pada tingkat manapun, maka irama jantung lainnya dapat dikatakan sebagai aritnia. Jadi yang dapat didefinisikan sebagai aritmia adalah: . Irama yang berasal bukan dari nodus SA. . Irama yang tidak teratur. sekalipun ia berasal dari nodus SA. rnisalnya sinus alitmia. . Frekuensi kurang dtri 60x/menit (sinus bradikardia) atau lebih dari l0Ox/menit (sinus takikardia).
.
Terdapatnya harnbatan impuls supra atau intra ventr:ikuiar.
Jeiaslah bahlva untuk membaca irama jantung. disamping fiekuensi dan leratur atau tidaknya, harus dilihat
juga tempat asal (fokus) irama tersebut. Nodus SA merupakan fokus irama jantung yang paling dominan, sehingga pada umumnya irama jantung adalah irama sinus. Bila nodus SA tidak dapat lagi mendominasi fokus lainnya, maka irama jantung akan ditentukan oleh fokus lainnya itLr. Fokus irama jantring ini menjadi dasar deu'i
repolarisasi fase 1, 2 dan3, akan masuk ke fase 4 yar,g
secara spontan perlahan-periahan akan mengalami depolarisasi, dan apabila telah meliwati ambang batasnya
ini kemudian akan merangsang sel-sel sekitarnya, selanjutnya disebarkan keseluruh jantung sehingga menghasilkan denyut jantung akan timbullah impuls. Impuls
spontan.
Kelompok-kelompok sel yang mempunyai automtisitas' misalnya terdapat pada nodus SA , kelompok sel-sel yang terdapat di atrium dan ventrikel, AY jtutction, sepanjang berkas (bundle) Ilis dan lain-lain. Pada keadaan normal yang paling dominan adalah yang berada di nodus SA' Bila ia mengalami depresi dan tak tak dapat mengeluarkan impuls pada waktunya, maka fokus yang berada di tempat Iajn akan mengambil alih pembentukan impuls sehingga
terjadilah irama jantung yang baru yang kita katakan sebagai aritmia. Kadang-kadang fokus lainnya secara aktif mengambil alih dominasi nodus SA dan menentukan irama
jantung tersebut, dengan frekuensi yang lebih cepat, misalnya pada ventrikular atau supraventrikular takikardia. Selain dari itu, sudah diutarakan di atas, bahwa kecepatan perjalanan impuls menuju keseluruh jantung juga dapat menimbulkan aritrnia.
klasitikasi aritrnia.
Maka dapat disimpulkan bahwa aritmia bisa timbul melalui
Kiasitikasi aritmia masih bisa ditentukan pula oleh kecepatan hantaran impuls melalui berkas penghantar seperti berkas ffis dan percabangannya (Bundle Branch'y"
mekanisme berikut:
vang bisa mendapatber-bagai bentuk hambatan dari parsial sampai total (kompiit).
M E KANISIVI E
TEB-!ADINYA ARITM IA
Dalam jantung terdapat sel-sel yang mempunyai automatisitas, artinya dapat dengan sendirinya secara teratur melepaskan rangsang (impuls). Sel-sel ini setelah
..
Pengaruh persarafan autonom (simpatis dan para
.
Nodus SA mengalami depresi sehingga fokus irama jantung diambil alih yg lain.
. . .
simpatis) yang mempengaruhi HR.
Fokus yang lain lebih aktif dari nodus
SA
dan
mengontrol irama j antung. Nodus SA membentuk impuls, akan tetapi tidak dapat keluar (Sinus arrest) atau mengalami hambatan dalam perjalanannya keluar nodus SA (SA block). Terjadi hambatan perjalanan impuls sesudah keluar
nodus SA, misalnya di daerah atrium, berkas llls,
1602
1603
MEI(ANISME DAN KI.ASIFIKASI AR"ITMIIA
ventiikel dan lain-lain. Harnbatan yang terjadi dapat Lrni/
ETIOLOGIABITMIA
bi direksional atau dapat pula parsial s/d komplit.
blok
dari derajat t, derajat 2 tipe komplit. Namun dapat pula menjadi dasar terjadinya aritmia lain. terutama takiaritmia, yaitu sehingga teljadi
1
atau 2, derajat 3 atau
melalui mekanisrne reentr)-. Fokus lain
ciapat
mendominasi nodus SA dan mengambil alih irama jantung selain karena nodus SA tertekan, juga dapat karena fokus tainnya itu lebih aktif dengan frekuensi 1,ang lebih tinggi. Terjadinya peningkatan frekuensi fokus iainnya dapat timbul dengan berbagai cara: - Pengaruh persarafan yang menekan nodus SA seperti telah dijelaskan di aias atau mengaktifkzrn kelompok-kelornpok sel automatisitas di dalam/di luar noclus SA.. - Timbulnya reentry takikardia di salah satu tempat penghantar baik supra atau ventrikular karena tirnbulnya hanrbatan parsial ataupun komplit, uni atau bi direksional. maupun hambatan masuknya imptrls (entrance bbck) setempat. - Selain reentn' tachlcardia danberbagai derajat blok AV seperli telah disebutkan pada 2 di atas, hambatan yang timbul pada penghantar dapat menjadi dasar terjadinya berbagai aritmia, seperti bunclle branch
b/ock (BBB), rote dependent BBts/uberront concluctitlt, e.\tro slstol e boik sin gle, t'tntteqtrtive hiirg-:a Solvo/rutt, bahkan parosismal takikardia. parasistol.. fisiott becrr. dan lain-lain
Sepefti telah dr.lelaskan di atas, Aritmia dapat terjadi karena
hal-hal yang mempengaruhi kelompok sel-sel yang mempunyai automati sitas dan sistem penghantarnya:
. Persarafan autonom dan obat-obatan yang
.
lnempengaruhinya. Lingkungan sekitamya seperti beratnya iskemia, pH dan berbagai elektroli t dalam serum, obat-obatan. Kelainan janttrng seperti fibrotis dan sikatriks, inflamasi,
.
metabolit-metabolit dan jaringan-j aringan abnormal/ degeneratif dalam jmtung seperti amiloidosis, kalsifikasi dan lain-lain. Rangsangan dari luar jantung seperli pace maker.
.
Berbagai etiologi ini dapat saling memberatkan. afiinya
bila telah ada hipertrofi otot jantung misalnya, kemudian timbul pula iskemia dan gangguan balans elektrolit maka aritmia akan lebih mudah timbul, sedangkan mengon[rolnyapun lebih sulit pula. Karena itu sebaiknya sudah ada data struktur jantung pasien waktu ia dirawat, sehingga sudah dapat diantisipasi atau bahkan sudah dapat mulai diberikan pencegahan timbulnya aritmia.
KLASIFIKASI ABITMIA Dari mekanisme terjadinya iramajantung dan aritmia maka dapatlah kita buat klasifikasi irama jantung sebagai berikut: . Irama berasal dari nodus SA. - Irama sinus normal, yaitu irama jantung normal pada
Gb Unidirectional bJock pd ACB, tapi tidak pada ADB. Impuls dari Ake B melalui D, kemudian darj B diterus-
p
kan ke distal, lapi ada yang kembali ke BCA ( block hanya rah ACB ), yang diteruskm lagi ke ADB dst, berputar terus, sehilgga timbuI takikardia melalui B, sarnpai ada impuls dari A yang dapat memadanlkannya atau unidireksional block pulih kembali
umufimya.
-
Sinus aritmia, baik yang disebabkan pernapasan
-
Sinus takikardia, peningkatan aktivitas node SA 1 00
(" re sp
.
G ambar blok parsial dari A ke B sehingga impuls dari A ke B me ngalami perlambatan tiba di B (AVB derajat 1), sedangkan impuls berikrtnya dari A dapat mengalami hambatan yang lebih lama (inter"val PR lebih panjang), dan akhimya impuls berikutnya dari A mengalami hambatan total (AVB 2 tipe 1) Bila impuls dari A mengalami hambatan total timbullah
kali/menit atau lebih.
AritmiaAtrial.
-
Fibrilasi atrial (AFi) dengan respons ventrikel cepat,
-
Fluteratrial (AFi). Atrial takikardia, biasanya paroksismal (PNI, Paroxysmal Atrial Tachltcardia). Ada juga yang disertai dengan blok hantarannya, dan disebut sebagai PAI dengan blok (PAT dengan blok). Ekstrasistol atrial yaitu bila denyut dari Atrial
normal atau lambat.
AVB3. Dapat pula impuls 1 dan 2 dari A tak mengalami hambatan, tapi impuls berikutnya mengalami hambatan total (AVB 2 tipe 2) Sebetulnya impu ls 1 dan 2 telah mengalami hambatan yang baru terlihat pada impuls berikutnya (co ncea ed b lock) Bila impuls di A datang dengan frekuensi lebih cepat, maka ia tiba di B, Ialu mengalami hambatan parsial dengan mmifestasi QRS yg lebih lebar (aberantia).
-.
tersebut hanya datang satu per-satu, mungkin dari satu fokus (unifokal) atau lebih (multi fbkal).
I
BiLa impuls dari atas A (SV) dan dari sanrping A (ventrikel) masuk ke A pada saat yang hampir bersamaan
maka QRS yang dikeluarkan A bentuknya merupakan gabungan kedua impuls trsebut (fusion). Bila kedua impuls tsb tak dapat masuk ke A (entrance block), sedangkan A mampu mengeluarkan impuls sendiri tiap2 1000 ms misalnya, maka impuls ini ekan tetap keluar tanpa dipengaruhi impuls lain (parasistol).
Gambar 1.
iratory") ataupun tidak.
.
AritmiaAVJungsional. Ada yang timbul pasif', yaitu karena nodus SA kurang aktif sehingga diambil alih: - Irama AV Jungsional, biasanya bradikardia; bisa
-
tinggi, sedang atau rendah. AV Jungsional takikardia non paroksismal, yaitu irama ad 1 dg HR yang cepat (70-130/menit). Tapi ada pula yang secara aktif mendominasi nodus SA dan tbkus-fokus lainny a:
1604
-
"
.
AV Jungsional ekstrasistol (uni-rnLrlti focal).
SV ekstrasistol "non condttctect'.
Aritmia Ventrikuiar. - Irama Idio Ventrikular, biasanya non paroksismal, dan idio ventrikuiar takikardia/non paroksismal ventrikular takikardia (non PVT). - Paroksismal ventrikular takikardia (PVT). - Fluter ventrikular (VFl) serta Fibriiasi ventrikular
-
kesukaran dalam mengenali irama ventrikuiar atau suprav entrikr.rlar 1'ang um umn)/a terapinya sangat
berbeda. Kunci dari pembedaan ini adalah menemukan ada tidaknya gelornbang P dan menentukan posisinya/hubungannya terhadap QRS. Irama ventrikular tidak didahului P atau tak ada hubungan antara P dan QRS.
REFERENSI AN, Lau SH, Heltanr R. et aJ. A study of heart block in rran using Hrs bundle recordings. Circulation 1969t39:197 305, Goldrever BN, Damato AN. The essenrial role of aLrioventricular conduction deiay in the initiation oi paro.rysmaJ supraverltricular tachycardia. Circulation. l97l;43:679-87 Horowitz LN, Josephson NJE, Farshidi A, et al. Recuffent sustained ventricular tachycarclia, 3: role ol the electrophysiologic study Damato
in seleciion ol antiarrhythmic regimens. Circulation I
978:5 8:985--97.
Lie KL,Wellens HJJ, Schuilenburg RM
BLrndJe branch
block and
0/Ft).
aclLte mvocardial infarction.
Parasistolventrikular.
\lD.editors. The Conduction Slsrem ol rhe Hearr: Srrucrure. Functionand Clinical lmplications Philadelphia (PA): Lea &
Gangguan hantaran pada sekitar berkas His dan percabangannya (Bundle Bronch). - Blok (AVB) derajat 1 ,2 (ripe
Wenkebach serta
Bundle Branch Block (BBB), mungkin kanan (R.BBB) atau kiri (LBBB), bisa piLrsial (incomplete) atau total (complete) dan bisa juga tergantung pada
HR sehingga disebut sebagai "rctte clependent Bundle Branclt Block". Daiam suatu rekaman dari seorang pasien bisa diternukan irama jantung sinus dengan ekstrasistol ventrikel (VES) atau S\/ES unifokal atau multifokal, multi fokal SVES ciengan aberantia, atau irama j antung yang
ln: \\re lens HJJ. Lie KI.
Janse
Febiger,1976:662-72.
I
tipe2) dan 3 (total).
-
atau atriai atau ventrikuiar, tergantung kondisi dan faktor etiologi yangada. Tidakjarang kita mengalarni
AV Jungsional takikardia paroksismal. seperli PAT. Seringkaii sukar membedakan antara irama yang berasal dari Atrial atau AV Jungsional, sehingga disebut saja sebagai irama supra r,entiknlar, karena memang keduanya berasal dari atas ventrikel dan penatalaksanaannyapun tak jauh berbeda" Tetapi AFI dan AFi tidak mungkin dari AV Jungsional,
sebagaimana irama AV Junctional pasif (non paroksi smal) dapat dikenali bukan Atrial. Aritmia Supra Ventrikular (SV) lainnya, - Aritmia SV rnultifokallwandering pace maker. - Muhilbkal SVtakikardia. - Multifol
-
.
KARDIOLOGI
berganti-ganti ke aritmia AV j ungsi onal
josephson NtE, Horowitz
ventriculartachycard
LN, Farshidi A, et al. Recurrent ia. I
:
rrechanisms.Circulati on
sustained
I 97815 7 :.13 I
-
,10.
Lie KL.Wellens }l.lJ, Schuilenburg RM Bundle blanch block and acute rryocardial infarction. In: We]lens HJJ, Lie K[. Janse NlD.editors The Conduction Sysrem ol the Hcart: StrLrcture, Functionand Clinical Implications Philadelphia (PA): Lca & Febrger.1916:662-12 Nlandel \\r. Hayakaua H, Danzig R. et al Evaluation of sino-atrial node function in man by overdrive suppression. Circularion 1971
::14:59 66.
Narula OS, Scherlag BJ, Samet P, eL al. Atrioventricular block: localization and classification by His bundle recordings. Am J Med. i 97 I ;50: I 46 65.
252 GAI{GGUAN IRAMA JANTUNG YANG SPESIFIK Hanafi B. Trisnohadi
Blok Sinoatrial
PENDAHULUAN
Blok sinoatrial ialah keadaan di mana pembentukan impuls di nodus sinus masih normal tapi impuls dari nodus sinus tidak dapat mencapai atrium secara lengkap sehingga pada gelombang P pada EKG tidak muncul pada waktunya dan jarak interval P-P menjadi dua kali jarak interval PP yang
Gangguan irama jantung (disritmia atau aritmia) tidak hanya
terbatas pada denyut jantung yang tidak teratur, tetapi juga termasuk kecepatan denyut jantung yang abnormal dan gangguan konduksi.
normal.
Keadaan ini dapat disebabkan oleh stimulasi vagus yang berlebihan, miokarditis, penyakit jantung koroner, terutama infark jantung bagian inferior, keracunan digitalis atau obat anti aritmia yang lain. Blok sinoatrial dapat menimbulkan serangan sinkop pada pasien. Pengobatan ditujukan pada penyakit dasarnya disertai
GANGGUAN PADA NODUS SINUS
Sinus Bradikardia Sinus bradikardia ialah irama sinus yang kurang dari 60 kali per menit. (Gambar 1) Hal ini sering diketemukan pada
pemberian sulfas atropin, atau perangsang beta adrenergik, seperti efedrin, isoproterenol, alupen. Pasien yang resisten terhadap pengobatan perlu dilakukan pemasangan pacu
olahragawan yang terlatih. Pada pasien usia lanjut bradikardia sinus dapat disebabkan oleh gangguan faal nodus sinus. Bradikardia sinus dapat juga disebabkan
Jantung
karena miksedema (hipotiroidisme), hipotermra, vagotonia
dan tekanan intrakranial yang meninggi. Umumnya
Sinus Aritmia
bradikardia sinus tidak perlu diobati bila tidak ada keluhan. Tetapi bila denyut kurang dari 40 kali per menit dan pasien
Sinus aritmia ialah kelainan irama jantung di mana irama sinus menjadi lebih cepat pada waktu inspirasi dan menjadi lebih lambat pada waktu ekspirasi. Keadaan ini menjadi lebih nyata ketika pasien disuruh menarik napas dalam. Aritmia ini hilang kalau timbul takikardia pada pasien karena
merasa gelap (black out), mendapat serangan sinkop, lelah, hipotensi karena curah jantung yang sangat menurun, maka sebaiknya diobati dengan sulfas atropin, yang dapat diberikan secara intravena. Bila tidak berhasil dengan terapi medikamentosa, kadang-kadang perlu
melakukan kegiatan olahraga atau pasien menderita demam. Keadaan ini dapat ditemukan pada individu sehat
pemasangan pacu Jantung.
dan tidak membutuhkan pengobatan.
Sinus Takikardia Sinus takikardia ialah irama sinus yang lebih cepat dari 100 kali per menit (Gambar 2) Keadaan ini biasa ditemukan pada bayi dan anak kecil dan takikardia sinus juga sering ditemukan pada beberapa keadaan stres fisiologis maupun patologis sepefti kegiatan fi sik (ol ahraga), demam, hipertiroidi sme. anemia, infek si,
Gambar 1, EKG menunjukkan bradikardia sinus di mana tampak gelombang P normal dan tiap gelombang P diikuti kompleks QRS yang normal, interval PB juga normal ( 0 16 detik ) tapi frekuensi gelombang P sangat lambat hanya 38 kali per menit
160
1606
sepsis, hipovolemia, penyakit paru kronik. Obat-obatan seperti atropin, katekolamin, kafein. hormon tiroid dapat menimbulkan takikardia sinus. Takikardia sinus dapat juga disebabkan karena gagal jantung. Terapi ditujukan pada kelainan dasarnya. Pemberian digitalis hanya pada gagal jantung. Pada hipertiroidisme kadang-kadang perl u diberikan penghambat beta.
KARDIOLOGI
pada bola mata (ey'e ball pres;ure) atau rrassage sinus karoLikus. Bila tak berhasil dapat diberikan veraparril secara intravena. Obat lain yang dapat dipakai adenosin, diltiazenr. digitalis dan penyekat beta secara intravena. Bila obat-
obatan tidak berhasil menghentikan takikardia perlu dipertimbangkan tindakau defibrilasi dengan DC (direct current) cototer sh.ock.
KELAINAN IRAMA JANTUNG YANG BERASAL DARIATRIUM
Ekstrasistol Atrial atrial di sebut J\ga p re nrutur e tt I r i a I b e at s. Hal ini terjadi karena adanya impuls yang berasal dtu'i atrium yang timbul secara prematur. Keadaan ini biasanya tidak mempunyai arti klinis yang penting, tetapi kadang-kadang
Eks trasis tol
Post isoptin. 5 mg i.v
dapat menjadi pencetus timbulnya takikardia supraventrikular dan fibrilasi atrial. Pemeriksaan EKG menunjukkan adanya gelornbang P yang timbui prematur diikuti komplek QRS yang rrormal. Ekstrasistol atrial tidak membutuhkan pengobatan (Gambar 2).
Gambar 3 Gambar di atas menunjukkan takikardia supraventrikular paroksismal, dengan kecepatan 160 kali per menit dan kompleks QRS tidak melebar, Gambar di bawahnya menunjukkan irama sinus sielah diberi obat isoptin secara intravena.
Fibrilasi Atrial atri al terj adi eksi tasi dan recoverv yang sangat teratur dari atrium. Oleh karena itu impuls listrik -vang timbul dari atrium juga san-sat cepat dan sat.na sekali tidak tel'atur. Pada perreliksaan EKG akan tampak adanya
Pada
fibrilasi
tidaLk
Gambar 2. EKG menunjukkan takikardia sinus dengan kecepatan 104 kali per menit, tampak adanya ekstrasistol atrial (SVES= su praventricu lar extrasystole alau pre matu re atri al beat)
gelonrbang
fiblilasi (.fibrillution
w'nue) yang berupa
yang sangat tidak teratur dan sangat cepat -uelombang
Takikardia Atrial Paroksisrnal
dengan frekuensi deri 300 sampai 500 kali per menit. Bentuk gelombang fibnlasi dapat kasar (coarse atriol fibrillation)
supraventrikular paroksismal. Takikardia atrial paroksismal ial ah suatu takikardia yang berasal dari atrium atau nodus AV, Biasanya karena adanya re-entrybaik di atrium atau nodus AV
(gambar 5) dengan amplitude lebih I mm, atar-r halus ffine atricLl .fibriLlarion) sehingga gelombangnya tidak begitu nyata. (girmbar4). Biasanya hanytr sebagian kecil dari impuls tersebut yang sampai di ventr-ikel karena diharnbat oleh
Takikardia atrial paroksismal disebut juga takikardia
Pasien dengan takikardia atrial merasajantung berdebar cepat sekali, dapat disefiai keringat dingin dan pasien akan merasa lemah. Kadang-kadang timbul sesak napas dan
hipotensi. Pada pasien dengan penyakit jantung koroner bila mendapat serangan takikardia akan timbul serangan anglna. Pada pemeriksaan EKC akan terlihat gambaran seperti ekstrasistol atrial yang berturut-turut lebih dari enam. Pada EKG kadang-kadang sukar dibedakan antara takikardia atrial dan takikardia ventrikel felxtama bila gelombang P tidak jelas dan ada aberansi kompleks QRS. Takikardia atrial dapat berlangsung sebentar atau menetap sampai beberapa
hari. Pen atalaksanaan takikardia atrial paroksi sm al haru s dilakukan segera, yaitu dengan memberikan penekanan
nodus AV untuk melindungi ventrikel, strpaya denyut ventrikel tidak terialu cepat, sehingga akan menimbulkan denl,ut ventrikel antara 80- 150 per menit. (Gambar 4 dan 5 ) Pada pemeriksaan klinis ditemukan irama jantung yang sama sekaii tidak teratur dengan bunyi jantLrng yang intensitasnya tidak sama. Seringkali didapatkan adanya defisit putsus. Diagr.rosis dapat dengan mudah dilakukan dengan pemeri ksaan EKG.
Fibrilasi atriai dapat berlangsung
sebentar
(paroksisrnal) atau menetap. Fibrilasi atrial dapat disebabkan karena penyakit katup miiral, seperti stenosis mitral atau insufisiensi mitral, penyakit jantung iskenria, infark miokard akut, tirotoksikosis, dan infeksi akut pada
jantung.
t6a7
GAI{GGUAN IRAMA JANTUNG YANG SPESIFIK
ap e rhy thnt), maka nodu s atri oventri kuiari s bertin clak sebagai pusat ektopik yang memacu jcnlung dan pada gambaran EKG tampak irama jantung dengan gelombang P berasal dari nodus AV diikuti kompleks QRS biasa dengan kecepatan 50-60 per rnenit. Keadaan ini dapat teriadi karena es c
Gambar 4. EKG menunjukkan fibrilasi atrial yang halus, di mana tampak gelombang fibrilasi yang cepat dan sama sekali tidak teratur, kompleks QRS juga tidak teratur.
iskemia jantung atau intoksikasi digitalis. Kelainan ini belum tentu memerlukan pengobatan khusus, kecuaJi bila
frekuensi jantung menjadi sangat lambat, kurang dari 40 kali per menit atau menimbulkan gangguan hemodinamik. maka perlu terapi dengan atropin sulfat secara intravena. Gambar 5. EKG menunjukkan fibrilasi atrial yang kasar, dengan gelombang fibrilasi lebih dari 1 mm, juga cepat dan tidak teratur
kadang-kadang perlu pemasangan pacu jantung sementara.
dengan kecepatan lebih dari 300 per menit, diikuti kompleks QRS
juga tidak teratur dengan kecepatan sekitar 100 kali per menit.
Pengobatan tergantung pada cepatnya denyut jantung, penyebab dan keadaan pasien. Bila denyutjantung cepat sekali, lebih dari I 50 per menit dan pasien dalam keadaan sftock, mungkin perlu segera dilakukan kardioversi dengan
direct current counter shock (DC shock). Bila denyut jantung cepat sekali dan pasien dengan gagal jantung. dapat diberikan digoksin secara intravena bersama-sama dengan pemberian furosemid dan amiodaron secara rntravena.
Bila denyutjantung tidak terlalu cepat dapat diberikan digoksin secara oral untuk mengontrol deny'ut jantung. kadang-kadang perlu diberikan bersama penyekat beta misalnya pada tirotoksikosis atau dapat diberikan verapamil kalau ada kontraindikasi pemberian penyekat beta.
Takikardia Nodal (AV junctional tachycardia atau n od a I t ac h yca rd i a) Ada dua rracam takikardia nodal yaitu junctional tach,,-cardia dengan kecepatan 100-140 per menit dan extrcLsystolic AY junctionttl tachycardia dengan denyut ventrikel 140-200 per menit. Pada yang pertama terdapat percepatan junctionaL rhythm, yang menjadi nyata biia kecepatannya melebihi kecepatan nodus sinus. Hai ini rlapat disebabkan oleh intoksikasi digitalis, infark miokard akut attru dcmam reumatik akut. Pada intoksikasi digitalis hams diobati secepatnya karena dapat berkembang menjadi takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel. Digitalis harus dihentikan dan diberi kan difeni lhidantoin. TnkikardiaAV junctional sangat mirip dengan takikar-dia atrial, baik dalam diagnosis, gambaran klinis maupun pengobatan n1,a.
Untukmengkonversi fibrilasi menjadi irama sinus dapat diberikan amiodaron secara intravena, rhythmonom propafenon per oral atau disopiramid secara oral. Akhirakhir ini ada obat baru yang lebih efektif untuk konversi fibrilasi atrial seperli dofetilid dan ibutilid. Gambar 6. EKG menunjukkan tiap kompleks QRS diikuti dengan dengan gelombang P, sesuai untuk irama nodal, disini frekwensi
AR]TMIAYANG DISEBABKAN OLEH PEMBENTUKAN RANGSANG EKTOPIK DI NODUS AV
kompleks QRS 70 per menit jadi lebih cepat dari irama nodal biasa,
dan disebut takikardia rdionodal.
Ekstrasistol Nodal Irama ektopik dapat berasal dari nodus AV. Seperti ekstrasistol atrial biasanya bersifat jinak. Secara klinis ekstrasistol nodal tidak dapat dibedakan dengan ekstrasistol ventrikular atau atrial. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan EKG yang menunjukkan gambaran seperli ekstrasistol atrial, kecuali gelornbang P dari ekstrasistol berbentuk negatif di hantaran II atau
gelombang P tak nampak, atau gelombang P muncul setelahkompleks QRS.
lrama Nodal (nodal rhythml todal Qunctional rhythm atat AV nodal
Pada irama
ARITMIAYANG DISEBABKAN OLE!{ PEMBENTU KAN RANGSANG EKTOPIK DI NODUS AV
Ekstrasistol Ventrikel Ekstrasistol ventrikel ialah gangguan irama di mana timbul denyut jantung prematur yan-e berasal dari fokus yang terletak di ventrikel. Ekstrasistol ventrikel dapat berasal dari satu fokus atau lebih (multifokal). Ekstrasistol ventrikei merupakan kelainan irama jantung yang paling sering ditemnkan dan dapat timbul pada jantung yang normal. B i asan.va fi'ekuen si nya bertambah dengan bertambah n ya
1608
KARDIOI.OGI
usia, terlebih bita banyak minum kopi, merokok, atau emosi
(GambarT). Ekstrasistol ventrikel dapat disebabkan oleh iskemia miokard, infark miokard akut, gagal jantung, sindrom QT yang memanjang, prolaps katup mitral, cerebrovascular acc iclent, keracunan digitalis, hipokalemia, miokarditi s. kardiomiopati. Pengobatan ditujukan pada penyakit dasarnya atau pengobatan perlu diberikan pada ventrikel ekstrasistol yang dapat berkembang menjadi aritmia ventrikel yang lebih berbahaya, sepefti takikardia ventrikel. Pada pasien dengan infark jantung akut terapi perlu diberikan bila ekstrasistol dianggap maligna, karena dapat berkembang menjadi aritmia ventrikel yang berbahaya seperti takikadia atau fibrilasi ventrikel. Ekstrasistol yang maligna yaitu yang jumlahnya lebih dari 5 kali per menit, ekstrasistol ventrikel yang timbul secara berturut-turut
menunjukkan adanya penyakitjantung yang berat. Diagnosis takikardia ventrikel ditegakkan bila ditemukan takikardia dengan kecepatan 150-210 per menit, umumnya teratur tapi kadang-kadang sedikit tak teratur. Biasanya timbul tiba-tiba dan tidak pernah terjadi sebelumnya. Penekanan pada bola mata atau penekanan pada arteri karotis tidak ada efek apa-apa. Intensitas bunyi jantung kadang-kadang berubah-ubah karena adanya disosiasi AV
(GambarS).
Gambar 8. EKG menunjukkan takikardia ventrikel, tampak
ekstrasistol yang timbul pada gelombang T (R on T).
kompleks QBS lebar, bizarre seperti eksirasistol ventrikel, yang timbul berturut{urut dan terus menerus, dengan kecepatan lebih dari 150 per menit.
Obat yang paling sering dipakai pada ekstrasistol ventrikel yang maligna pada infark jantung akut ialah xilokain yang diberikan secara intravena dengan dosis
EKG di mana didapatkan adanya takikardia dengan
(.consec
utive), ekstrasistol ventrikel yang multifokal,
bolus 1 -2 mg per kg berat badan, dilanjutkan dengan infus l-2 mg per menit. Dosis dapat dinaikkan sampai 4 mg per menit. Obat lain yang dapat dipakai amiodaron, meksiletin, dilarrtin. Pada pasien yang tak ada kelainan janfling organik lain maka pengobatan ekstrasistol ditujukan pada terapi non farmakologi seperti menghentikan kebiasaan minum kopi, merokok" menghindari obat-obat simpatomimetik seperti adrenalin, efedrin dan lain-lain. Kadang-kadang perlu pembeian tranquiliz,er pada pasien yang banyak ketegan_ean.
Kepastian diagnosis dengan melakukan pemeriksaan kompleks QRS yang lebar, lebih dari 0.12 detik dan tak ada hubungan dengan gelombang P. Kadang-kadang sukar dibedakan dengan takikardia atrial paroksismal disertai
konduksi aberan. Sehingga kadang-kadang diperlukan
pemeriksaan His bundle electrocardiogram lunt:uk menegakkan diagnosis yang pasti. Pengobatan dengan memakai xylocain 1-2mg per kg berat badan dilanjutkan dengan pemberian infus 1-2 mg per menit seperti pada pengobatan ekstrasistol ventrikel yang maligna. Infus diberikan paling sedikit selama 24 jur,
selanjutnya dapat diberikan amiodaron, meksiletin atau sotalol secara oral. Dalam keadaan akut selain mlocain -juga dapat diberikan amiodaron per infus. Bila pasien dalam keadaan distres, gagal jantung atau syok harus segera dilakukan defibrilasi dengan direct current countershock dengan dosis 50-100 Joules.
Gambar 7. EKG menunjukkan irama dasar masih irama sinus, tapi tampak ada beberapa ekslrasistol ventrikel, yaitu kompleks QRS ke 2, 4 dan I yang timbulnya prematur, bentuknya lebar dan bizarre dan tidak didahului gelombang P
Takikardia Ventrikel Takikardia ventrikel ialah ekstrasistol ventrikel yang timbul
berturut-turut 4 kali atau lebih. Kelainan irama ini berbahaya dan membutuhkan pengobatan segera. Takikardia ventrikel mudah berkembang menjadi fibrilasi ventrikel dan dapat menyebabkan henti jantung (cardiac arrest). Penyebab takikardia ventrikel antara lain penyakit jantung koroner, infark rniokard akut, gagal jantung,
keracunan digitalis. Takikardia ventrikel umumnva
Fibrilasi Ventrikel Fibrilasi ventrikel ialah irama ventrikel yang chaos dansarna sekali tidak teratur. (Gambar 9) Hal ini menyebabkan ventrikel tak dapat berkontraksi dengan cukup sehingga curah jantung sangat menurun, bahkan sama sekali tidak
ada, sehingga tekanan darah dan nadi tak bisa diukur, pasien tidak sadar dan bila tidak segera ditolong akan menyebabkan kematian. Fibrilasi ventrikel paling sering karena penyakit jantung koroner, terutama infark miokard akut, penyebab lain intoksikasi digitalis, sindrom QT yang memanjang. Pada pasien harus secepatnya dilakukan resusitasijantung paru, yaitu pernapasan buatan dan pijat jantung dan secepatnya dilakukan direct curuent countershock dengan dosis 400 Joules. Pasien juga diberikan xilocain atau amiodaron secara intravena. Pertolongan harus diberikan dalam 2-4 menit, bila tidak terlambat
1609
GANGGUAN IRAMA JANTUNG YANG SPESIFIK
prognosis cukup baik. Bila sudah lebih dari 5 menit dapat terjadi kerusakan otak, sehingga walaupun irama jantung kembali normal, mungkin kesadaran pasien tidak dapat kembali.
Terjadi blok total di nodus AV sehingga impuls dari atrium sama sekali tidak dapat sampai ke ventrikel, sehingga ventrikel berdenyut sendiri karena stimulasi impuls yang berasal dari ventrikel sendiri.
Blok AV Tingkat ! BlokAV tingkat I umumnya disebabkan karena gangguan konduksi di proksimal His bundle. (Gambar 11) Hal ini Gambar 9. EKG menunjukkan fibrilasi ventrikel , dapat dilihat gelombang yang sama sekali tidak teratur dan chaos
disebabkan karena intoksikasi digitalis, peradangan, proses
degenerasi atau variasi normal. Biasanya tidak membutuhkan terapi apa-apa dan prognosisnya baik.
Takikardia ldioventrikular Pada takikardia idioventrikular, gambaran EKG memperlihatkan adanya kompleks QRS yang berasal dari ventrikel (lebar dan bizarre) berturut-turut 3 atau lebih dengan kecepatan 60-100 kali per menit. Keadaan ini disebut jttga slow ventricular tachycardia atat accelerated idioyentricular rhythm. (Gambar 10) Kelainan ini paling sering disebabkan oleh infark miokard akut. Takikardia idioventrikular biasanya tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Bila terjadi terus-menerus dan ditemukan tanda hipoperfusi jaringan, maka perlu
diberi terapi dengan atropin sulfat 0.5-l mg secara lntravena.
PR
ll
Gambar 11. EKG menunjukkan irama sinus dan interval PR memanjang menjadi 0.30 detik karena ada blok AV tingkat 1 , pada EKG diatas juga tampak QRS melebar karena right bundle branch
b/ock(RBBB).
Blok AV Tingkat l! Dibagi 2, yail;u Mobitz tipe Mobitz tipe II. Pada Mobitz tipe
I
I
(Wenckebach block) dan
interval PR secara progresif
bertambah panjang sampai suatu ketika impuls dari atrium
tidak dapat sampai ke ventrikel dan denyut ventrikel (kompleks QRS ) tidak tampak atau gelombang P tidak Gambar 10. EKG menunjukkan semula irama sinus dengan kecepatan sekitar 100 per menit dan diambil alih oleh irama idioventrikular (mulai kompleks QRS ke 5) dengan kecepatan sekitar 100 kali per menit, kompleks QRS menjadi lebih lebar karena berasal dari ventrikel, kemungkinan karena irama sinus menjadi lambat.
Gangguan Konduksi Heqrt block (blok jantung). Istilah blok jantung menunjukkan suatu keadaan di mana terjadi gangguan konduksi di nodus AV. Interval PR ialah waktu yang dibutuhkan oleh impuls listrik untuk menjalar dari atrium
ke nodus AV dan His bundle serta cabang-cabangnya sampai ke ventrikel. Inter.,ral PR yang normal berkisar antara 0,12-0,20 detik. Berdasarkan pemeriksaan EKG blok AV dibagi 3 yaitu:
.
BlokAVtingkatI: Pada blok AV tingkat I interval PR memanj ang lebih dari
.
diikuti oleh kompleks QRS (Gambar 12). Pada pemeriksaan H i s bundle e le ctro cardio gram (elektrokardiogram bundel His) biasanya lokasi dar blok proksimal dari bundel His. Mobitz tipe I dapat disebabkan karena tonus vagus yang meningkat, keracunan digitalis atau iskemia. Bila tidak
menimbulkan keluhan dan tidak ada gangguan hemodinamik tidak memerlukan pengobatan. Pada Mobitz tipe II, interval PR tetap sama tetapi didapatkan denyut ventrikel yang berkurang (dropped beaf) (Gambar 13). Kekurangan denyut ventrikel dapat teratur atau tidak seperti 2:1, 4:1, 4:3 dan sebagainya. Pemeriksaan elektrokardiogram bundel His menunjukkan gangguan konduksi distal dari bundel His. Etiologinya ialah infark miokard akut, miokarditis, proses degenerasi (penyekat Lev's atau Lenegre). Kelainan dapat timbul sementara dan kembali normal, menetap, atau berkembang
jadi blok yang komplit. Pasien dengan Mobitz tipe II dapat
timbul serangan sinkop dan sebaiknya dilakukan pemasangan pacu Jantung.
0.20 detik.
BlokAVtingkatII: Terjadi kegagalan impuls dari atrium untuk mencapai ventrikel secara intermiten, sehingga denyut ventrikel
.
berkurang. Blok AV tingkat III: (blok jantung yang komplit = com-
plete heart block)
Gambar 12. EKG menunjukkan blokAVtingkat lltipe Wenckebach (atau Mobitz tipel), di mana tampak interval PR makin memanjang, dan pada P ke 5 tidak diikuti kompleks QRS
1610
P
KARDIOI.OGI
P
P
P
Pasien dengan LBBB seringkali tak ada keluhan dan tidak membutuhkan pacu jantung. Kalau ada sinkop atau timbul gangguan konduksi lebih berat seperti blok AV
tingkat Gambar 13. EKG menunjukkan blokAV tingkat ll tipe Mobitz ll, di mana interual PR tidak memanjang tapi pada gelombang P ke 3
tidak diikuti kompleks QRS, jadi ada dropped beat lanpa pemanjangan interval PR.
Blok AV Tingkat Ill BlokAV tingkat III disebut juga blok jantung komplit. Pada blokAV tingkat III impuls dari atrium tidak bisa sampai di ventrikel. Kontraksi ventrikel karena rangsangan oleh fokus di nodus AV atau fokus di ventrikel, sehingga ventrikel
berdenyut sendiri tidak ada hubungan dengan denyut atrium (Gambar 14). Gambaran EKG memperlihatkan adanya gelombang P teratur dengan kecepatan 60-90 kali per menit, sedangkan kecepatan kompleks QRS hanya 4060 kali per menit. Blok AV tingkat III disebabkan oleh proses
degenerasi, peradangan, intoksikasi digitalis, infark miokard akut. Blok AV tingkat III pada infark biasanya hanya sementara dan akan kembali normal setelah infark sudah tenang, walaupun ada yang menetap. Bila blok AV tingkat III menetap sebaiknya dilakukan pemasangan pacu jantung. Blok AV tingkat III biasanya menimbulkan gangguan hemodinamik dan menimbulkan keluhan lelah, sinkop, sesak dan angina pada usia lanjut.
II
atau
III,
maka seringkali perlu dilakukan
pemasangan pacu jantung. Bila cabang kanan yang terganggu disebut right bundle branchblock(RBBB). Pada pemeriksaan EKG akan tampak adanya kompleks QRS yang melebar lebih dari 0,12 detik dan akan tampak gambaran rsR' atau RSR' di Vl, V2, sementara itu di I, a\il, V5 dan V6 didapatkan S yang melebar karena depolarisasi ventrikel kanan yang terlambat (Gambar 16).
RBBB dapat diketemukan pada jantung yang normal, dapatjuga pada kelainan kongenital seperti atial"septal defect (ASD),pada infark miokard maupun iskemia miokard atau pada penyakit degenerasi sistem konduksi (penyakit
Lenegre atau Lev) Pasien dengan RBBB seringkali tak ada keluhan dan membutuhkan terapi. Tapi bila terjadi sinkop dan ada tanda gangguan konduksi yang lain seperti blok AV tingkat II atau III, maka perlu dipertimbangkan pemasangan pacu Jantung.
Sindrom Brugada ialah kelainan EKG berupa RBBB dengan elevasi ST di V1-V3 dan biasanya tak ada gelombang S yang lebar. Pasien dengan sindrom ini terancam kematian mendadak. Sindrom ini diterapi dengan
Quinidin dosis tinggi atau amiodaron. Akhir-akhir dianj urkan pemas angan ICD (.imp I ant ab e c ar di ov e r t e r defibrillator). I
Gambar 14. EKG pada blok AV tingkat lll di mana dapat dilihat gelombang P tak ada hubungan dengan kompleks QRS, gelombang P kecepatan 60 kali per menit sedangkan kompleks QRS hanya 42 kali per menit
Bundle Branch Block (BBB); Bundle branch block mentnjukkan adanya gangguan konduksi di cabang kanan atau kiri sistem konduksi, atau divisi anterior atau posterior cabang kiri. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan EKG di mana ditemukan kompleks QRS yang melebar lebih dari 0.11 detik disertai perubahan bentuk kompleks QRS dan aksis QRS. Bila cabang kiri yang terganggu disebut left bundle branchblock(LBBB). Pada pemeriksaan EKG akan tampak bentuk rsR' atau R yang lebar di I, aVL, V5 dan V6. (Gambar 15) Gangguan konduksi yang terjadi pada divisi anterior cabang kiri akan menyebabkan perubahan aksis menjadi deviasi ke kiri yang ekstrim dan disebut left anterior hemiblock, sedangkan bila divisi posterior cabang kiri terganggu akan menimbulkan aksis yang deviasi ke kanan yang ekstrim dan dinamakan left posterior hemiblock.
Gambar 15. EKG menunjukkan irama sinus dan LBBB, di mana dapat dilihat kompleks QRS melebar sampai 0.20 detik, dengan R yang lebar di l, aVL, V5 dan V6. Di V1 -V3 gelombang r kecil
dengan S yang dalam dan lebar EKG dari pasien dengan kardiomiopati dilatasi tanpa infark lantung.
Sindrom Praeksitasi Sindrom ini ditandai dengan adanya depolarisasi ventrikel yang prematur. Termasuk dalam golongan ini ialah sindrom Wolff ParkinsonWhite (WPW) dan sindrom Lown Ganong
Levine (LGL). Pada WPW gambaran EKG menunjukkan adanya gelombang P yang normal, interval PR yang memendek, kurang dari 0,11 detik, kompleks QRS melebzLr
karena adanya gelombang delta (adanya defleksi permulaan kompleks QRS yang dini dan slurued). Perubahan kompleks QRS disertai perubahan gelombang
T yang sekunder. (Gambar 17) Gambaran EKG ini
1611
GANGGUAN IRAMA JAIYTUNG YANG SPESIFIK
DisosiasiAV Pada disosiasi AV, atrium dikontrol oleh fokus di atrium,
Gambar 16. EKG menunjukkan RBBB (right bundle branch block), di mana dapat dilihat kompleks QRS lebar lebih dari 0,1 2 (mungkin 0,18) detik dengan gambaran rsR'di V1 dan S lebar di I aVL, V5 dan V6.
seringkali oleh nodus AV sedangkan ventrikel dikontrol oleh pacemaker di ventrikel sendiri. Disosiasi AV dapat disebabkan karena aktivitas nodus sinus berkurang atau nodus AV menjadi lebih cepat sehingga mendominasi ventrikel atau kombinasi keduanya. Disosiasi AV dapat karena keracunan digitalis atau komplikasi infark miokard akut atau karena peradangan seperti penyakit demam reumatik yang aktif. Keadaan ini harus dibedakan dengan blok AV tingkat III karena disosiasi AV mempunyai prognosis lebih baik dan seringkali tidak membutuhkan obat aritmia dan juga tidak membutuhkan pacu jantung. Pengobatan terutama untuk penyakit dasarnya.
REFERENSI disebabkan karena adanyajalur asesori atau jalur anomalus
yang menghubungkan atrium dengan ventrikel, sehingga sebagian ventrikel akan diaktivasi sangat dini. WPW lebih
sering ditemukan pada pria dan dapat ditemukan pada pasien tanpa kelainan jantung lain. WPW umumnya jinak tapi dapat menimbulkan takiaritmia seperti reciprocatin g
tachycardia atau paroxysmal flutter atau fibrilasi. Pengobatan diberikan bila ada takiaritmia dengan digitalis,
propanolol atau amiodaron. Kadang-kadang perlu dilakukan tindakan ablasi jalur anomalus. Pada LGL gambaran EKG menunjukkan gelombang P nonnal, interval PR memendek kurang dari 0,11 detik, kompleks QRS normal. Pada LGL dapat terjadi serangan takikardia supraventrikular. Keadaan ini karena adanya jalur asesori yang menghubungkan atrium dengan bundel His. Kelainan ini lebih sering pada perempuan; aritmia yang
sering terjadi selain takikardia supraventrikular juga fibrillasi danflutter atium. Pengobatan dengan propanolol, amiodaron, verapamil. Bila hasil kurang memuaskan perlu
dilakukan pemeriksaan elektrofisiologi dan dilakukan tindakan ablasi jalur yang abnormal tadi.
Atrial Fibrillation: Current understanding and research imperatives: The National Heart, Lung and Blood Institute Working Group of atrial fibrillation. J Am Coll Cardiol 1993: 22: 1830-1 Akhtar M, Shenasa M, Jazayei M et al. Wide QRS complex tachycardia: Reappraisal of a common clinical problem. Ann Intern
Med 1988:109:9U5-12 Boriani G, Capucci A, Lenzi T, et al. Propafenon for Conversion of Recent Onset Atrial Fibrllation. A Controlled Comparison Between Oral Loading Dose and Intravenous Administration. Chest
1995:108:355-8 Bar trW, Den Dulk K, Wellens HJJ. Atrioventricular dissociation. In Comprehensive Electrocardiography; Theory and Practice in Health and Disease, MacFarlane PW Lawrie TDV, Pergamon Press, New
York 1989, page 933.
Chung EK. Wolff Parkinson White syndrome: Current views. Am
J
Med 19'71',62:252-66. K et al Spontaneous Conversion and Maintenance of Sinus Rhythm by Amiodarone in Patients With Heart Failure and Atrial Fibrillation: Observations From Veteran Affairs Congestive Heart Failure Survival Trial of
Deedwania PC, Singh BN, Ellenbogen
Antiarrhythmic therapy ( CHF-STAT). The Department of Veterans Affairs CHF-STAT Investigators. Circulation 1998; 98:2574-9. Denes P, Levy L, Pick A et al : The incidence of typical and atypical A-V Wenckebach periodicity. Am Heart J 1975 89: 26-31
Knight BP, Michaud GF, Strickberger SA, Morady F: Electrocardiographic differentjation of atrial flutter from atrial fibrillation by physicians. J Electrocardiol 1999:.32:315-9. Rotman M, Triebwasser JH, A Clinical and follow up study of right and left bundle branch block . Circulation 1975; 5l: 447. Rosenbaum M, Elizari }'{Y, Lazzari JO. The hemiblocks. Tampa Tracings, Tampa 1970. Spodick DH. Normal sinus he:rrt rate: Sinus tachycardia and sinus bradycardia redefined Am Heart J 1992l. 124:. 1ll9
Gambar 17. EKG menunjukkan \NPW (Wolff Parkinson White syndrome) dilandai adanya gelombang delta (deltawave) sehingga kompleks QRS melebar dan interval PB memendek.
25s FIBRILASI ATRIAL Sally Aman Nasution, Ryan Ranitya
operasi. Walaupun seringkali menghilang secara spontan,
PENDAHULUAN
FA pasca opdratif tersebut akan memperpanjang lama Fibrilasi atrial (FA) merupakan aritmia yang paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan paling sering menjadi penyebab seorang harus menjalani perawatan di rumah sakit. Walaupun bukan merupakan keadaan yang mengancam jiwa secara langsung, tetapi FAberhubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.
DiAmerika Serikat diperkirakan terdapat 2,2 jtiapasien FA dan setiap tahun ditemukan 160.000 kasus baru. Pada
populasi umum prevalensi FA terdapat
+ l-2%a
tinggal di rumah sakit. Sedangkan hubungan antara FA dengan penyakit
katup jantung telah lama diketahui. Penyakit katup' reumatik meningkatkan kemungkinan terjadinya FA dan
mempunyai risiko empat kali lipat untuk terjadinya komplikasi tromboemboli. Pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri, kejadian FA ditemukan pada satu di antara lima pasien. FAjuga dapat merupakan tampilan awal dari perikarditis akut dan jarang pada tumor jantung seperti miksoma atrial. Aritmia jantung lain seperti sindroma Wolff-Parkinson-White dapat berhubungan den gan FA.
dan
meningkat dengan bertambahnya umur. Pada umur di bawah 50 tahun prevalensi FA kurang dari lVo dan
Hal yang menguntungkan adalah apabila dilakukan tindakan ablasi pada jalur aksesori ekstranodal yang menjadi penyebab sindroma ini, akan mengeliminasi FA
meningkat menjadi lebih dari 9Vo padausia 80 tahun. Lebih
banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan wanita, walaupun terdapat kepustakaan yang mengatakan tidak terdapat perbedaan jenis kelamin. FA merupakan faktor risiko independen yang kuat
pada90Vo kasus. Aritmia lain yang berhubungan dengan FA misalnya takikardia atrial, AVNRT (AtrioVentricular Nodal Reentrant Tachycardia) darr bradiaritmia seperti sick sinus syndrome dan gangguan fungsi sinus node
terhadap kejadian strok emboli. Kejadian strok iskemik pada pasien FAnon valvular ditemukan sebanyak5% per tahtn, 2-1 kali lebih banyak dibandingkan pasien tanpa FA. Pada
lainnya. FA juga dapat timbul sehubungan dengan penyakit sistemik non-kardiak. Misalnya pada hipertensi sistemik ditemukan 45 Vo dart diabetes melitus 107o dari pasien FA.
studi Framingham risiko terjadinya strok emboli 5,6 kali lebih banyak pada FA non valvular darr 11,6 kali lebih banyak pada FA valvular dibandingkan dengan kontrol.
Demikian pula pada beberapa keadaan lain seperti penyakit paru obstruktif kronik dan emboli paru akut. Tetapi pada sekitar 3Vo pasien FA tidak dapat ditemukan penyebabnya, atau disebut dengan lone FA. Lone FAini dikatakan tidak berhubungan dengan risiko tromboemboli yang tinggi pada kelompok usia muda, tetapi bila terjadi pada kelompok usia lanjut risiko ini tetap akan meningkat.
PENYEBAB FA FAmempunyai hubungan yang bermakna dengan kelainan struktural akibat penyakit jantung. Diketahui bahwa sekitar 257o pasien FA juga menderita penyakit jantung koroner. W'alaupun hanyal0% dari seluruh kejadian infark miokard akut yang mengalami FA, tetapi kejadian tersebut akan meningkatkan angka mortalitas sampai 40%. Pada pasien yang menjalani operasi pintas koroner, sepertiganya mengalami episode FA terutama pada tiga hari pasca
Untuk mengetahui.kondisi yang kemungkinan berhubungan dengan kejadian FA tersebut harus dicari kondisi yang berhubungan dengan kelainan jantung maupun kelainan di luar jantung. Kondisi-kondisi yang berhubungan dengan kejadian FA dibagi berdasarkan:
t6t2
t6t3
TIBRILASIATRIAL
Penyakit Jantung yang Berhubungan dengan FA: . Penyakit Jantung Koroner . KardiomiopatiDilatasi . KardiomiopatiHipertrofi
. .
.
Penyakit Katup Jantung : reumatik maupun non-
pada FA dengan dasar penyakitjantung koroner. Fungsi kontraksi atrial yang sangat berkurang pada FA akan menurunkan curah jantung dan dapat menyebabkan terjadi
gagal jantung kongestif pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri.
reumatik
Aritmiajantung : takikardia atial,fluter atrial, AVNRT, sindrom WPW. sict sinus syndrome.
EVALUASIKLINIK FA
Perikarditis
Penyakit di luar Jantung yang Brhubungan dengan FA: . Hipefiensi sistemik . Diabetes melitus . Hipertiroidisme
.
Penyakit paru: penyakit paru obstruktif kronik,
.
hipertensi pulmonal primer, emboli paru akut Neurogenik : sistem saraf autonom dapat mencetuskan
Evaluasi klinik pada pasien FA meliputi : . Anamnesis : - Dapat diketahui tipe FA dengan mengetahui lama timbulnya (episode pertama, paroksismal, persisten, permanen)
-
FA pada pasien yang sensitif melalui peninggian tonus vagal atau adrenergik.
KLASIFIKAS!FA
.
FA paroksismal bila FA berlangsung kurang dari 7 hari. Lebih kurang 50% FAparoksismal akan kembali ke irama sinus secara spontan dalam waktu 24 jam. FA yang episode pertamanya kurang dari 48 jamjuga disebut FA
berdebar-debar, lemah, sesak napas terutama saat aktivitas, pusing, gejala yang menunjukkan adanya iskemia atalu gagal jantung kongestif - Penyakit jantung yang mendasari, penyebab lain dari FA misalnya hipertiroid. Pemeriksaan Fisis: - Tanda vital: denyut nadi berupa kecepatan dan regularitasnya, tekanan darah - Tekanan venajugularis
-
terdapat gagal jantung kongestif
kongestif, terdapatnya bising pada auskultasi kemungkinan adanya penyakit katup
dari 7 hari. Pada FApersisten diperlukan kardioversi untuk mengembalikan ke irama sinus.
jantung
Mkronik
atau permanen bilaFAberlangsung lebih dari 7 hari. Biasanya dengan kardioversi pun sulit sekali untuk mengembalikan ke irama sinus (resisten).
.
PRINSIP MEKANISME ELEKTROFISIOLOGI FA
.
Muhiple Wavelet Reentry: timbulnya gelombang yang
. .
MANIFESTASIKLINIS FA
gejala FA sangat bervariasi tergantung dari kecepatan laju irama ventrikel, lamanya FA, penyakit yang mendasarinya. Sebagian mengeluh berdebar-debar, sakit dada terutama saat beraktivitas, sesak napas, cepat lelah, sinkop atau gejala fromboemboli. FA dapat mencetuskan gejala iskemik
Hepatomegali : kemungkinan terdapat gagal jantung kanan Edemaperifer: kemungkinan terdapat gagal jantung
kongestif
Laboratorium: hematokrit (anemia), TSH (penyakit gondok), enzim jantung bila dicurigai terdapat iskemia
pulmonalis
FA dapat simptomatik dapat pula asimptomatik. Gejala-
pada auskultasi jantung
menunj ukkan kemun gkinan ter dapat gagalj antun g
FA persisten bila FA menetap lebih dari 48 jam tetapi kurang
menetap dari depolarisasi atrial atauwavelets yang dipicu oleh depolarisasi atrial prematur atau aktivitas aritmogenik dari fokus yang tercetus secara cepat.
Ronki pada paru menunjukkan kemungkinan
- Irama gallop 53
paroksismal.
Aktivasi fokal: Fokus diawali biasanva dari daerah vena
Menentukan beratnya gejala yang menyertai:
. . .
jantung. Pemeriksaan EKG: dapat diketahui antara lain irama (verifikasi FA), hipertrofi ventrikel kiri, pre-eksitasi ventrikel kiri, sindroma pre-eksitasi (sindroma WPW),
identifrkasi adanya iskemia Foto rontgen toraks Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup, ukuran dari atrium dan ventrikel, hipertrofr ventrikel kiri, fungsi ventrikel kiri, obstruksi outJlow danTEE (Trans Esophago Echocardio graphy) wfiuk melihat trombus di atriumkiri.
Pemeriksaan fungsi tiroid. Pada FA episode pertama bila laju irama ventrikel sulit dikontrol. Uji latih : identifikasi iskemia jantung, menentukan adekuasi dari kontrol laju irama jantung Pemeriksaan lain yang mungkin diperlukan adalah
holter monitoring, sfidi elektrofisiologi.
1.614
KOMPLIKASI FA dapat mengakibatkan terjadi beberapa komplikasi yang dapat meningkatkan angka morbiditas maupun mortalitas.
Pada pasien dengan sindroma WPW dan konduksi yang cepat melalui jalur ekstranodal yang memintas nodus atrioventrikular, dimana pada saat terjadi FA disertai preeksitasi ventrikular, dapat berubah menjadi fibrilasi ventrikel dan menyebabkan kematian mendadak. Pada keadaan seperti
ini ablasi dengan radiofrekuensi sangat dianjurkan. FAyang disertai dengan laju irama ventrikel yang cepat serta berhubungan dengan keadaan obstruksi jalur keluar dari ventrikel atau terdapat stenosis mitral, dapat menyebabkan tef adinya hipotensi dan perubahan keadaan klinis. Beberapa komplikasi lain dapat terjadi pada flutter atrial dengan laju irama ventrikel yang cepat. Laju ventrikel yang cepat
ini bila tidak dapat terkontrol dapat menyebabkan
Di antara komplikasi yang paling sering muncul dan membahayakan adalah tromboemboli, terutama strok.
KARDIOI.OGI
7 hari setelah terjadinya FA. Klasifikasi obat anti aritmia dan obat-obat yang dianjurkan dapat dilihat pada Tabel 1. Dalampemberian obat anti aritmia efek samping obatobat tersebut harus diperhatikan. Salah satu efek samping obat anti aritmia adalah pro-aritmia. Untuk mengurangi
timbulnya pro-aritmia maka dalam memilih obat perlu diperhatikan keadaan pasien.
Kardioversi Elektrik Pasien FA dengan hemodinamik yang tidak stabil akibat
laju irama ventrikel yang cepat disertai tanda iskemia, hipotensi, sinkop perlu segera dilakukan kardioversi elektrik. Kardioversi elektrik dimulai dengan 2fi) Joule. Bila tidak berhasil dapat dinaikkan menjadi 300 Joule. Pasien dipuasakan dan dilakukan anestesi dengan obat anestesi kerja pendek.
kardiomiopati akibat takikardia persisten.
PENATALAKSANAAN FA Tujuan yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan FA adalah mengembalikan ke irama sinus, mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan komplikasi ffomboemboli.
Dalam penatalaksanaan FA perlu diperhatikan apakah pada pasien tersebut dapat dilakukan konversi ke irama sinus atau cukup dengan pengontrolan laju irama ventrikel. Pada pasien yang masih dapat dikembalikan ke irama sinus perlu segera dilakukan konversi, sedangkan pada
FA permanen sedikit sekali kemungkinan atau tidak
mungkin dikembalikan ke irama sinus, alternatif
MEMPERTAHANKAN IRAMA SINUS FA adalah penyakit kronis dan rekurensi sering terjadi baik pada FAparoksismal maupun pada FApersisten. Bila telah
terjadi konversi ke irama sinus maka hal ini perlu dipertahankan dengan pengobatan profilaktik.
PENGOBATAN PROFILAKTIK DENGAN OBAT ANTIARITMIA UNTU K MENCEGAH REKURENSI FA yang berlangsung lebih dari 3 bulan merupakan salah satu prediktor terj adinya rekurensi. Obat antiaritmi a y an.g sering dipergunakan untuk mempertahankan irama sinus dapat dilihat pada Tabel 1.
pcngobatan dengan menurunkan laju irama ventrikel harus
diperlimbangkan.
PEM!LIHAN OBAT.OBAT ANTIARITMIA PADA PASIEN DENGAN KELAINAN JANTUNG
KARDIOVERSI Pengembalian ke irama sinus pada FA akan mengurangi
gejala, memperbaiki hemodinamik, meningkatkan kemampuan latihan, mencegah komplikasi tromboemboli,
mencegah kardiomiopati, mencegah remodeling elektroanatomi dan memperbaiki fungsi atrium. Kardioversi
dapat dilakukan secara elektrik atau farmakologis. Kardioversi farmakologis kurang efektif dibandingkan dengan kardioversi elektrik. Risiko tromboemboli atau strok
emboli tidak berbeda antara kardioversi elektrik dan farmakologi sehingga rekomendasi pemberian antikoagulan sama pada keduanya.
Kardioversi Farmakologis Kardioversi farmakologis paling efektif bila dilakukan dalam
Pemilihan obat-obat antiaritmia disesuaikan dengan keadaan penyakit jantung yang diderita untuk mencegah timbulnyapro aritmia. Pada sindrom WPW digoksin tidak boleh diberikar oleh karena dapat menimbulkan kenaikan paradoksal laju ventrikel
selama FA. Penyekat beta tidak menurunkan hantaran pada
jalur aksesori selama periode pre-eksitasi dari FA.
PENGONTROLAN LAJU IRAMA VENTRIKEL Obat-obat yang sering dipergunakan untuk mengontrol laju irama ventrikel adalah digoksin, antagonis kalsium (verapamil, diltiazem) dan penyekat beta. Laju irama yang dianggap terkontrol adalah di antara 60-80 kali/menit pada saat istirahat dan 90-1 15 kalilmenit pada saat aktivitas.
16L5
FIBRILASIATRIAL
Dosis
Efek Samping
Harian Amiodaron
1
00-400
mg
Disopyramide
400-750 mg
Dofetilide Flecainide
500-'1000 ug
200-300 mg
Procainamide
'1000-4000 mg
Propafenon
450-900 mg
Quinidine
600-1 500
mg
Sotalol
240-320 mg
Fotosentivitas, toksisitas paru, polineuropati, kel Gl, bradikardia, torsade de pointes (jarang), hepatotoksis, disfungsi tiroid Torsade de pointes, gagal jgntung, glaukoma, retensi urin, mulut kering Torsade de pointes Takikardia ventrikular, gagal jantung kongestif, konduksi nodal AV berubah (konversi menjadi fluter atrial) Torsade de pointes, lupus like syndrome, gejala Gl Takikardia ventrikular, gagal jantung kongestif, konduksi nodal AV berubah (konversi menjadi fluter atrial) Torsade de pointes, keluhan sal cerna, konduksi nodal AV berubah Torsade de pointes, gagal jantung kongestif, bradikardia, penyakit paru bronkospastik yang merupakan eksaserbasi dari obstruksi kronik, bradikardia
PENCEGAHAN TROMBOEMBOLI Pencegahan komplikasi tromboemboli merupakan salah satu tujuan yang penting dalam pengobatan FA. Risiko tromboemboli 7 kali lebih tinggi pada FA. Menurut studi
Framingham risiko terjadinya emboli 5,6 kali lebih tinggi pada FA non valvular dan 17,6 kali pada FA valvular dibandingkan dengan kontrol. Risiko terjadinya strok emboli pada FA meningkat pada orang usia lanjut. Pada golongan umur antara 50-59 tahun kejadian strok emboli 6,77o dan36,2Vo pada golongan umut arlttara 80-89 tahun. Tidak ada perbedaan risiko terjadinya strok antara pasien dengan FA paroksismal dan FA kronik. Kopeky melaporkan risiko strok embolipadal'one AF 2,7Vo. Lone AF pada umur kurang dari 60 tahun bukan merupakan faktor risiko strok emboli. Risiko relatif terhadap strok iskemik pada beberapa keadaan dapat dilihat pada tabel 1. CHADs (Cardiac failure, Hypertension, Age, Diabetes, Stroke) untuk pasien tanpa kelainan katup jantung.
Ekokardiografi sangat bermanfaat untuk evaluasi penyebab FA yaitu pad paien dengan penyakit jantung rematik dimana terdapat kelainan katup jantung seperti stenosis mitral. Gambaran ekokardiografi tranesofageal (TEE) yang mempunyai risiko tromboemboli yang tinggi yaitu adanya disfungsi sistolik ventrikel kiri, tromus,
Kriteria risiko CHADs Riwayat strok atau TIA Usia > 75 tahun Hipertensi Diabetes Melitus Gagal jantung Keterangan: TIA= transien ischemic aftack (adaptasi dari ACCIAHAIESC 2006 Guideline for the management of patients with atrial fibrillatlon, Circulation 2006;
114:700-52\
gambaran spontaneous echo contrast, kecepatan aliran darah yang menurun < 20 cmldetik dan plak aterom kompleks pada aorta torakalis.
PATOFISIOLOGI PEMBENTU KAN TROMBUS PADA FA Pada FA aktivitas sistolik pada atrium kiri tidak teratur, terjadi penurun an atrial flow velocities y ang menyebabkan stasis pada atrium kiri dan memudahkan terbentuknya trombus. Pada pemeriksaan TEE, trombus pada htrium kiri
lebih banyak dijumpai pada pasien FA dengan strok emboli dibandingkan dengan FA tanpa strok emboli. Dua pertiga sampai tiga perempat strok iskemik yang terjadi pada pasien dengan FA non valvular karena strok emboli. Beberapa penelitian menghubungkan FA dengan gangguan hemostasis dan trombosis. Kelainan tersebut mungkin akibat dari stasis atrial tetapi mungkin juga sebagai kofaktor terjadinya tromboemboli pada FA. Kelainan-kelainan tersebut adalah peningkatan faktor
von Willebrand (faktor VII), fibrinogen, D-dimer, dan fragmen protrombin 1,2. Sohaya melaporkan FA akan meningkatkan agregasi trombosit, koagulasi dan hal ini dipengaruhi oleh lamanya FA.
PENGOBATAN ANTITROMBOTIK UNTUK MENCEGAH KOMPLIKASI STROK EMBOLI Banyak laporan mengenai efektivitas anti trombotik dalam pencegahan komplikasi tromboemboli pada FA.Pada Atrial
Fibrillation Investigator (AFI), didapatkan bahwa warfarin secara bermakna menurunkan risiko strok dai
4 ,5Vo
per tahun menjadi l,45Vo. Terdapat
penurunan risikosebesar 68Vo.Wartain menurunkan risiko strok ada wanita 897o danpada laki-laki 6OVo.Pada studi AFASAK pemberian aspirin 75 mg akan menurunkan risiko lSVo (957o CI60-58Vo) sedangkan pada SPAF, pemberian aspirin 325
mg menurunkan islko MVo (95Vo CI1-66Vo). Kombinasi dari kedua studi tersebut menurunkan risiko 36Vo (95Vo Cl 4-57Vo). Pada metaanalisis warfarin menurunkan kejadian
l6t6
I(ARDIOLOGI
strok62Vo(95EoCI48-727o)penlrutaarisikoabsolut2,T% per tahun pada pencegahan primer dan 8,4Vo per tahun pada pencegahan sekunder. Warfarin lebih baik dari pada aspirin dengan penurunan risiko relatif 367o (CI l4-52Eo). Warfarin dan aspirin menurunkan kejadian strok pada
pasien dengan FA dan warfarin jauh lebih efektif dibandingkan aspirin. Dosis optimal yang efektif dan aman untuk pencegahan komplikasi tromboemboli pada FA adalah INR 2,5 dengan rentang antara2-3. Pada pasien dengan usia lebih dari 75 tahun target INR 2 dengan rentang antara 1,6-2. Ada beberapa faktor risiko pada pasien fibrilasi atrial
yang direkomendasikan untuk mendapatkan terapi antitrombotik aspirin atau warfarin untuk pencegahan emboli. Tabel berikut merukan rekomendasi antitrombotik pada pasien dengan FA.
Faktor risiko rendah Gender
wanita
Usia 65 -74
tahun
PJK Tirotoksikosis
risiko moderat usia > 75 tahun hipertensi gagal jantung EF s 35% Diabetes Melitus
risiko tinggi riwayat strok,TlA Atau emboli stenosis mitral katup protese
warfarin akan mempercepat proses organisasi trombus, penempelan pada dinding atrium dan resolusi trombus. Pada pasien FA yang timbul lebih dari 48 jam atau tidak diketahui lamanya dianjurkan pemberian warfarin dengan target INR 2-3 diberikan 3 minggu sebelum kardioversi dan
dilanjutkan 4 minggu pasca kardioversi. Manning menganjurkan pemeriksaan TEE sebelum kardioversi. Pasien diberikan heparin bila tidak ditemukan trombus, dilakukan kardioversi dan diberikan antikogulan sampai 4 minggu pasca kardioversi. Pada studi multisenter Assessment of Cardioversion U s in g Tr an s e s opha g e al E c ho c ardi o g r ap hy (A C U T E) kejadian tromboemboTi 0,87o pada strategi dengan pemeriksaan TEE, sedangkan pada strategi konvensional 0,57o tidak ada perbedaan yang bermakna. Waktu yang diperlukan untuk kardioversi lebih pendek dengan pemeriksaanTEE. Pada FA yang berlangsung kurang dari 48 jam kemungkinan terjadinya tromboemboli pasca kardioversi sangat rendah (O,8Vo). Pada beberapa kasus pembentukan trombus dapat
terjadi pada FA yang kurang dari 48jam dianjurkan pemberian antikoagulan selama periode peri kardioversi.
Keterangan p..1( = penyakit jantung koroner, EF = fraksi ejeksi (adaptasi dari ACC/AHA/ESC 2006 Guideline for the management of patients with atrial fibrillation, Circulation 2006; 1 14: 700-52.)
KARDIOVERSI DAN TROMBOEMBOLI Tromboemboli merupakan komplikasi yang dapat terjadi setelah kardioversi baik kardioversi elektrik, farmakologis, maupun kardioversi spontan. Kejadian tromboemboli setelah kardioversi pada pasien FA tanpa pemberian antikoagulan antaru 1,5 -3 Va.
Byerkeland dan Orning melaporkan insiden tromboemboli pasca kardioversi tanpa pemberian antikoagulan 5,3Vo sedangkan yang mendapatkan antikoagulan 0,87o. Setelah kardioversi kontraksi mekanik atrium kiri masih belum pulih (atrial stunnirrg) sampai 2-4 minggu setelah
kardioversi sehingga ada kemungkinan terbentuknya trombus baru yang dapat lepas pada periode pasca kardioversi. Oleh karena itu antikoagulan diberikan sampai
empat minggu pasca kardioversi untuk mencegah pembentukan trombus baru selama periode atrial stunning dan mencegah pembentukan trombus apabila setelah kardioversi, FA timbul kembali. Trombus yang terbentuk di atrium kiri memerlukan waktu kurang lebih 2 minggu untuk mengalami organisasi dan.melekat erat pada dinding atrium sehingga tidak mudah lepas bila atrium berkontraksi setelah kembali ke irama sinus. Pemberian
Gambar 1. Algoritma tatalaksana pasien dengan fibrilasi atrial yang baru terdiagnosis
ALGORITM E PENATALAKSANAAN FA
Dalam penatalaksanaan FA perlu diketahui apakah FA tersebut paroksismal, persisten atau permanen. Hal tersebut penting untuk penatalaksanaan selanjutnya apakah perlu dilakukan kardioversi atau cukup dengan pengendalian laju irama ventrikel. FAyang baru ditemukan atau episde pertamaM. Kadangkadang sulit menentukan apakah FA yang baru pertama ditemukan merupakan episode pertama FA. Apalagi bila gejala minimal atau asimptomatik. Pada FAparoksismal yang secara spontan kembali ke irama sinus tidak perlu pemberian
t6t7
FIBRILASIATRIAL
Fibrilasi atrial bar
i"..
rroksismal
Persisten
J k diperlukan terapi
kecual
gejald (hiptertensi, angina, dll)'
tive summar Task Force on practice Guidelines and the Euro_ pean Sociery of Cardiology Committee for practice Guide'lines and Policy Conferences (Committee to Develop Guidelines for
u
\
FA permanen
\ \
\
I Antikoa gulan dan kontrol laju I
kontrol laju dan
avntikoagulan
I
pedimbangkan obat antiaritmia kardioversi
I I
Te rapi antiaritmia jangka panjang Ti dak diperlukan
Gambar 2. Algoritma tatalaksana pasien dengan FA paroksismal berulang
obat antiaritmia untuk pencegahan rekurensi, kecuali bila FA dengan gejala-gejala hipotensi, iskemia miokard atau gagal jantung. Pemberian antikoagulan tergantung dari adanya faktor risiko tromboemboli. pada FA persisten ada 2
pilihan dalam penatalaksanaannya. pilihan pertama pada
pasien tersebut tidak dilakukan kardioversi dan membiarkan progresivitas FAtersebut ke arah FApermanen. padapasien
tersebut dilakukan pengontrolan laju irama ventrikel dan pemberian obat antikoagulan. Dasar pemikiran pilihan tersebut karena pemberian obat-obat antiaritmia pada pasien tersebut lebih banyak ruginya. pilihan kedua adalah dilakukan kardioversi dan mempertahankan ke irama sinus. Sebelum dilakukan kardioversi, diberikan antikoagulan dan
pengontrolan laju irama ventrikel. pada FA yang berlangsung lebih dari 3 bulan biasanya timbul rekurensi
awal setelah kardioversi maka perlu pemberian obat antiaritmia sebelum kardioversi (setelah dapat obat antikoagulan) dan diberikan selama I bulan.
FA paroksismal rekuren. pada FA paroksismal yang mengalami rekurensi bila gejala-gejala minimal dan berlangsung singkat tidak perlu diberikan obat-obat antiaritmia, tetapi bila gejala-gejala tersebut mengganggu maka perlu diberikan obat-obat antiaritmia. pada pasien tersebut dilakukan pengontrolan laju irama ventrikel dan pemberian obat antikoagulansia.
FA persisten rekuen. Pasien dengan gejala minimal dan paling sedikit pernah dicoba untuk mengembalikan ke irama sinus tetapi kembali ke FA maka dilakukan pengontrolan laju irama ventrikel dan pemberian antikoagulan. Sebaliknya bila gejala mengganggu maka dilakukan kardioversi dengan
pemberian obat antiaritmia (di samping obat untuk mengontrol laju irama ventrikel dan antikoagulansia) sebelum kardioversi.
REFERENSI
Y Ryden LE, Asinger RW, et al. ACC/AHA/ESC Guidelines for the Management of Patients with Atrial Fibrillation : execu_
Fuster
the Management of patients with Atrial Fibrillation). A report of the American College of Cardiology/American Heart Asso_
ciation. Circulation 20061 l14: i00-52. Hart RG Halperin JL. Atrial fibrillatlon and thromboembolism : a decade of progress in stroke prevention. Ann Intern Med 1999; 131:688-95. Haissaguerre M, Jais P, Shah DC et al. Spontaneous initiation of atrial fibillation by ectopic beats originating in the pulmonary veins. N Engl J Med t998 339: 659-66. Julian DG, Prescott RJ, Jackson FS et a1. Controlled trial of sotalol for one year after myocardial infarction. Lancet 19g21 I: 1142_ 1
Kopecky SL, Gersh BJ, McGoon MD et al. The natural history of lone atrial fibrillation. A population-based study over three de_ cades. N Engl J Med 198't 311: 669-14. Kannels WB, Abbott RD, Savage DD. Mc Namara pM. Coronary heart disease and atrial fibrillation : the Framingham Study.4rrr Heart J 1983; 106: 389-96. Kannel WB, Wolf PA, Benjamin EJ et al. prevalence, incidence. prognosis, and predisposing conditions for atrial fibrillation Population based estimates. Am J Cardiol l99g;gl: 40D_46D. Krahn AD, Manfreda J, Tate RB, Mathewson FA, Cuddy TE. The natural history of atrial fibrillation : incidence, risk factors. and prognosis in the Manitoba Follow-up Study. Am J Med 1995; :
98:476-84. Lanzarotti
CJ Thromboembolism in chronis atrial fibrillation : is
the risk underestimated ? J Am Coll Cardiol 19971 30: 1506_ll Lee SH, Chen SA, Tai CT et al. Comparisons of quality of life and
cardiac performance after complete atrioventricular junction ablation and atrioventricular junction modification in parients with medically refractory atrial fibrillation. J Am Coll Cardiol
1998:31:631-44. Manning WJ, Silverman DI, Gordon Sp et al. Cardioversion from atrial fibrillation without prolonged anticoagulation with use of transesophageal achocardiography to exclude the presence of atrial thrombi. N Engl J Med 1993; 328: 750-55 Prystowsky EN, Karz AM. Arrial Fibrillation. In : Topol ES, ed. Textbook of Cardiovascular Medicine philadelphia: Lippincott_
Raven, I998:1827-61. Psaty BM, Manolio TA, Kuller LH et al. Incidence of and r.isk factors for atrial fibrillation in older adults. Circulation 1997: 96: 2455-61 Page RL, Wilkinson WE, Clair WK et al. Asymptomatic arhythmias in patients with symptomatic paroxysmal atrial fibrillation and paroxysmal supraventricular tachycardia. Circulation 1994; g9: )41
1
Peterson P, Boysen G, Godtfredsen J et al. placebo controlled. randomised trial of warfarin and aspirin for prevention of throm_
boembolic complication in chronic atrial fibrillation The Copenhagen AFASAK study. Lancet 1989; l: 175-9. Singer DE, Hughes RA, Gress DR et al. The effect of aspirin on the risk of stroke in patientswith nonrheumatic atrial fibrillation : the BAATAF Study. Am Heart I 7992; t24: 1561-'73. Sakata K, Kurihara H, Iwamori K et al. Clinical and prognosric significance of atrial fibrillation in acute myocardial infarction. Am J Cardiol 1991 80: t522-7 Vaziri SM, Larson MG, Benjamin EJ, et al. Echocardiographic predictors of nonrheumatic atrial fibrillation. Circulation l99zt: 89: 724-30.
254 ARITMIA SUPRA VENTRIKULAR Lukman H. Makmun
PENDAHULUAN
impulsed formation) yang dapat disebabkan oleh
Aritmia dapat merupakan kelainan sekunder akibat
peningkatan otomatisitas (enhanc e d aut omaticity) dan aktivitas pemicu-(rrigg ered activity).
penyakit jantung atau ekstra kardiak, tetapi dapat juga merupakan kelainan primer. Kesemuanya mempunyai mekahisme yang sama dan penatalaksanaan yang sama juga. Kelainan irama jantung ini dapat terjadi pada pasien usia muda ataupun usia lanjut.
Peningkatan automatisitas: Aktivitas pacemaker
bradikardia ataupun takikardia, dengan nilai normal berkisar antara 60-00/menit. Tergantung dari letak fokus, selain
otomatis selain pada nodus SA, juga didapat pada serabut atrial khusus, serabut AY junction dan serabut Purkinje. Sel miokard pada keadaan normal tidak mempunyai aktivitas sebagai pacemaker. Peningkatan automatisitas ser abtt p ac emake r laterkarena terjadi depolarisasi parsial pada resting membrane. Terjadi perubahan kecepatan depolarisasi pada fase diastolik yaitu percepatan fase 4 sehingga automatisitas meningkat. Bila mencapai ambang rangsang, akan terjadi aksi potensial baru sehingga dengan demikian mengakibatkan peningkatan frekuensi denyut
menyebabkan VES (Ventricular Extra Systole), dapat
jantung. Keadaan ini didapat pada:(1) peningkatan
terjadi Supra Ventricular Extra systole (SVES) atau
katekolamin endogen dan eksogen, (2) gangguan elektrolit (misal hipokalimia), (3) hipoksia atau iskemia, (4) efek mekanis dan (5) obat-obatan (misal digitalis).
Aritmia dapat dibagi menjadi kelompok aritmia supraventrikular dan aritmia ventrikular berdasarkan letak lokasi yaitu apakah di atrial termasukAV node dan berkas I#s ataukah di ventrikel mulai dari infra /zis bundle. Selain itu aritmia dapat dibagi menurut denyut jantung yaitu
Supra Ventriculare Tachycardy (SVT) di mana fokusnya berasal dari berkas Flis ke atas. AVNRT (AV Nodal Reentry Tachycardia) merupakan salah satu dari SVT di mana terjadi proses reentry mechanismdi sekitar nodus AV. Pada bab ini akan membahas tentang aritmia dengan fokus di supra ventrikel yang bersifat takikardia.
(Percepatan fase 4)
\/\a )
MEKANISME TAKIARITMIA
Ada beberapa teori yang menerangkan mekanisme takiaritmia, yang biasanya dipicu oleh premature beat. Mekanisme ini tergantung dari peran ion-ion natrium,
(perlambatan fase 4
kalium, kalsium, khususnya mengenai fungsi kanal ion, sehingga berpengaruh terhadap potensial aksi dan juga konduksi elektrisnya. Gangguan ini dibagi menjadi
4
potensial aksi dapat terjadi kenaikan potensial membran sehingga terjadi pemendekan atau percepatan fase 4 (fase repolarisasi diastolic) karena lebih mendekati ambang
Gambar 1. Pada fase
rangsang dengan akibat mudah terjadi rangsangan baru (enhanced automaticity= accelerated). Dapat juga terjadi
gangguan fungsi pembentukan impuls (rangsang) dan gangguan perbanyakan Qtropagation) impuls.
pelambatan fase 4, sehingga irama melambat (decreased automaticity = dePressed).
Pembentukan rangsang bertambah (enhanced
1618
r6t9
ARITMIA SUPRA VENTRIKUI.AR
konduksi, baik sementara maupun menetap, (2) adanya jalan tambahan sehingga membentuk sirkuit tertutup, (3) Konduksi perangsangan cukup lambat, sehingga pada saat rangsang sampai di titik blok, titik tersebut sudah berada dalam fase refrakter relative kembali, (4) ada extra beat sebagai pemicu terjadinya mekanisme reentri. Secara matematis panjang gelombang = kecepatan konduksi x masa refrakter. Perjalanan berulang dari impuls tersebut mengakibatkan Gambar 2. Pada gambar atas: Ambang rangsang A normal (TP= Threshold potentiale) . Sedangkan pada B: potential membrane mendekati ambang rangsang sehingga mudah dirangsang. Pada gambar bawah: A= normal. Pada B: Ambang rangsang menurun sehingga mendekati potensial diastolic. Keduanya ini memudahkan timbul perangsangan baru.
timbulnya takiaritmia menetap. Contoh yang jelas mekanisme ini adalah pada sindrom WPW (.Wolff Parkinson White) di mana terdapat jalan tambahan misal dari atrium ke ventrikel, di samping jalan normal nodus AV-
His-Purkinje. Perlambatan konduksi terjadi, patologis karena jaringan parut
Aktivitas pemicu (triggered activity)z Dapat disebabkan oleh early after depolarization, yang terjadi pada fase 2 dan fase 3 potensial aksi atau pada after depolarisasi terlambat (delayefi. Karena itu mekanisme ini terjadi tidak
secara spontan, tetapi sudah ada gangguan elektris jantung. Setelah hiperpolarisasi akhir (late),Na dan Ca yang masuk ke dalam sel meningkat, sehingga terjadi gelombang sesudah (after) depolarisasi dan bila mencapai
ambang rangsang maka akan terjadi ekstrasistol. Mekanisme ini telah diobservasi terjadi di atrial, ventrikel dan jaringan His-Purkinje di mana kadar katekolamin meningkat, hiperkalsemia, intoksikasi digitalis atau pada bradikardia, hipokalimia. Semua keadaan ini menghasilkan akumulasi Ca intraselular.
(s
jika terjadi fibrosis
car) akibat infark miokard.
Blok unidirektional terjadi karena perubahan arsitektur jaringan sehingga tidak homogen sehingga menyebabkan refrakter yang inhomogen misal karena infark miokard. Sinus takikardia Frekuensi nadi melebihi 100/menit dan biasanya bukan merupakan kelainan jantung primer, tetapi akibat sekunder karena berbagai stres, yaitu demam, kehilangan cairan, khawatir, latihan, tirotoksikosis, hipoksemia, hipotensi atau gagaljantung kongesfif. Pada gambaran EKG terlihat gelombang P masih jelas dan masih diikuti oleh gelombang kompleks QRS. Masase sinus karotis bisa memperlambat takikardia.
Zone of unidirectional
A: Potensial aksi yang terjadi diikuti oleh hiperpolarisasi yang terlambal (delayed hyperpolarization) atau identik dengan early after depolarization (panah 1) dan pasca depolarisasi terlambat (delayed after depolarization) (panah 2l Gambar 3. Pada
B.: Potensial aksi yang terjadi diikuti pasca depolarisasi terlambat (delayed after depolariza tion\ yang mencapai ambang rangsang dan nondriven potensial aksi (panah 3) yang muncul dari puncak pasca depolarisasi (a/ler depolarization) menyebabkan terjadi ekstra sistol baru.
Mekanisme reentry. Teori ini banyak dipakai untuk menerangkan terjadinya takiaritmia paroksismal menetap (sustain). Persyaratan terjadinya mekanisme ini adalah: (1)
adanya blok unidirectional pada salah satu jalan
Gambar 4. skematik mekanisme reentry. A= jalan normal. B = jalan ekstra. Rangsang mengalir dari atas melalui tangan A dan B. Pada waktu sampai di B terdapat blok satu arah sehingga rangsang tersebut tidak dapat lewat Kemudian rangsang awal tadi, ketika sampai di zona blok, area tersebut tidak lagi dalam keadaan terblokade (refrakter absolute) tetapi sudah dalam keadaan refrakter relative, sehingga dapat meliwatinya. Begitu seterusnya, rangsang melalui circuit tersebut.
Pengobatan: ditujukan pada penyakit primer. Lain halnya bila terdapat pada kasus gagal jantung kongestif, yaitu pemberian penyekat beta haruslah bersama dengan inhibitor ACE atau Angiotensin Receptor Blocker.
1620
I(ARDIOI,TOGI
Fibrilasi Atrial: (FA) Kelainan ini sering didapat
dan
dibagi menjadi paroksismal, persisten dan permanen
Gambar 5. Mathematical Reentry Mechamsm (LH Makmun,19B2)
Jika suatu massa mengelilingi suatu circuit, akan membentuk suatu bentuk gelombang. Misal: panjang jalan = panjang lingkaran = I atau AB cm. Waktu tempuh = T sek atau = AD sek. Kecepatan (V) vcm/sek. I =VxT (lu = anatomis). Syarat untuk reentry: Minimal T = PR (Period Refrakter). 1"= V x PR (1, = 1r)
tergantung dari cara timbul dan lamanya bertahan. Bila timbul secara mendadak dan hilang spontan dalam waktu 2 x24 jam, disebut paroksismal. Bila terus menerus menetap menjadi kronik disebut permanen. Sedangkan persisten adalah bila bertahan sampai 7 hari. Dapat terjadi pada manusia normal terutama karena stres emosional atau sesudah operasi, latihan, intoksikasi alkohol akut atau karena peningkatan tonus vagal. Dapat juga terjadi pada
pasien jantung atau paru dengan hipoksia, hiperkapnia atau gangguan metabolik atau gangguan hemodinamik. FA persisten sering terdapat pada pasien jantung, yaitu reuma jantung, penyakit katup mitral non reuma, penyakit
hipertensi kardiovaskular, penyakit paru kronik, defek
V = 50 cm/sek
septal atrial, juga pada tirotoksikosis. Sedangkan lone FA bila pasien tidak mengidap penyakit jantung. Fibrilasi atrial dapat menimbulkan komplikasi yang berkaitan dengan (1) frekuensi ventrikel yang sangat cepat sehingga terjadi hipotensi, edema paru, angina pektoris dan dapat juga menyebabkan kardiomiopati yang
),"= 50 x 0.1 =5 cm
terlalu lambat dapat menimbulkan sinkop. (3) emboli
11.
Contoh:
PanjangAB=5cm ----+T atau AD = 0.1 sek.
disebabkan oleh takikardi a (tach1'cardia-mediatefi
(2) Bila
sistemik yang biasanya terjadi pada pasien dengan demam
Syarat untuk terjadi
reentry:
.
I
reumajantung dan sebagai penyebab tersering strok non n
Dsek(=T)
min.T = RP. ),,= 50x 0.1=5 cm
Gambar 6. Cara penghitungan matematik untuk terjadinya mekanisme reentry. ('trakmun LH,1 982)
hemoragik. (4) Hilangnya kontraksi atrial sehingga mengurangi curah jantung output dengan akibat terjadi .fatigue. (5) rasa khawatir (ansietas) dengan palpitasi. Pada gambaran EKG gelombang P tidak terlihat dengan jelas. Respons aksi ventrikel (gelombang kornpleks QRS) tidak teratur (iregular). Hal ini terjadi karena dari sekian banyak aksi atrial, tetapi hanya sebagian impuls yang dapat meliwati nodus AV sehingga frekuensi aksi ventrikel lebih lambat daripada aksi atrial.
Pengobatan: penyakit primer harus diobati, seperti
Rangsang melalui 2 arah - Pada satu sisi: terjadi blockade satu arah - Sisi lain: tidak ada hambatan
- Rangsang dari bawah tiba pada area dalam fase refrakter relatif, sehingga dapat jalan terus
J
Reentry
Gambar 7, Bagan terrjadi mekanisme reentry setelah dipicu oleh aksi ekstra
tirotoksikosis, panas dan lainnya. Bila keadaan klinis buruk, misal hemodinamik menurun, dapat dilakukan kardioversi. Bila keadaan masih cukup baik, dapat diberikan obat penyekat beta atau antagonis kalsium, di mana keduanya
memblokade di nodus AV yaitu pada slow conduction pathway, dengan memperpanjang masa refrakternya. Pemberian antikoagulan sampai INR minimal 1,8 untuk mencegah emboli. Pada pasien FA kronik tujuan pengobatan adalah untuk kontrol rate yaitu dengan penyekat beta, atau antagonis kalsium atau digitalis. Sedangkan pada pasien yang telah kembali ke irama sinus dapat diberikan obat-obatan golongan IC, sotalol, amiodaron untuk memperlahankan iramanya, yaitu sebagai kontrol ritme. Penatalaksanaan Farmakologis Penyakit dasarnya seharusnya diobati juga di samping penatalaksanaan terhadap aritmianya sendiri, seperti gagal jantung, PJK, perbaikan elektrolit dan lainnya.
r62t
ARITMIA SUPRA VENTRIKUI.AR
Pada pasien usia lanjut harus diperhatikan efek samping, berkenaan dengan sudah menurunnya fungsi hepar, renal, distribusi dengan berkurangnya volume cairan
tubuh. Selain itu dilihatjuga interaksi obat-obat danjuga dihindari polifarmaka.
Obat-obatan antia aritmia yatg digunakan pada ( 1 ) kelompok kontrol rate untlk mengatasi denyut nadi, yaitu golongan penyekat beta (class II), (2) golongan antagonis kalsium yaitu verapamil, diltiazem (kelas IV). Di samping itu dapat dipergunakan juga digitalis. (B) adalah kelompok rythme control tn1]ltk mengkonversi dari AF ke irama sinus dan juga untuk mempeflahankannya bila telah kembali ke irama sinus, yaitu : (l). Golongan yang memblokade kanal ion Na (kelas IA, IC) yaitu antara lain kuinidin, propafenon. (2) kelas III
pengobatan AF adalah: (A).
yang memperpanJang masa refrakter potensial aksi dengan
menghambat kanal ion K, yaitu antara lain amiodaron, sotalol.
Intervensi Invasif . Yang paling sederhana adalah dengan menggunakan defibrilator untuk mengatasi VT dan VF yang termasuk dalam resusitasi jantung paru. . Ablasi biasanya dilakukan pada AF paroksismal. Biasanya tipe ini dipicu oleh fokus otomatis yang berlokasi di vena pulmonalis. Dengan menggunakan teknik kateterisasi sampai ke atriurrr kiri mencapai vena pulmonalis kemudian setelah didapat signal fokus, dilak-ukan ablasi. Selain itu ada juga teknik bedah MAZE dengan membentuk multipel scars di atria kanan dan kili sehingga mencegah penjalaran gelombang hbrillasi.
FluterAtrial (FIAT) Aritmia ini biasanya berkaitan dengan penyakitjantung organik. Fluter
iri
dapat terjadi secara
AV Nodal Reentrant Tachycardia (AVNRT) Termasuk Paroksismal supra takikardia ventrikular. Letak kelainan adalah di nodus AV dan lebih sering terjadi pada perempuan. Kompleks QRS langsing dengan frekuensi berkisar antaral20-250/menit dan dipicu oleh atrial ekstra sistol dan berkaitan dengan PR memanjang karena terjadi keterlambatan konduksi di dalam AV node. Dalam AV node terdapat dua pathway yaifi fast dan slow pathway yang disebfi dual pathway . Fast pathway memberikan konduksi yang cepat serta mempunyai periode refrakter panjang sedangkan slow pathway memberikan konduksi lambat dengan periode refrakter pendek. Pada irama sinus konduksi rangsang hanyamelaluifast pathway sehingga interval PR normal. Dengan adanya atrial ekstra sistol, terjadi blokade di fast pathway sehingga konduksi rangsang berikutnya dialirkan melalui slow pathway dan selain itu kecepatan rambat menurun, sehingga memenuhi persyaratan untuk terladi reentryAVnodal dan terjadilah takikardia dan disebut AV nodal reentrant tachycardia. Aktivasi atrial retrograd
dan ventrikel antegrad terjadi bersamaan sehingga gelombang Ptak terlihat di EKG.
Gambaran klinis berupa palpitasi, dapat terjadi sinkop dengan hipotensi.
Pengobatan Tindakan pijat sinus karotikus sebagai manipulasi vagal dapat dicoba untuk menghentikan aritmia. Bila tak berhasil dapat diberikan Adenosin intravena. Selain itu dapat dilakukan dengan verapamil atau penyekat beta. Sedangkan digitalis, awitan aksinya lebih lambat sehingga tidak dianjurkan pada keadaan akut. Bila tak berhasil dapat dilakukan dengan pacing di atrial atau ventrikel melalui intravena. Dalam keadaan hemodinamik jelek dengan
hipotensi atau iskemia berat, dipertimbangkan untuk
paroksismal dengan faktor presipitasi seperti perikarditis,
dilakukan kardioversi.
gagal napas akut. Dapat juga terjadi dalam minggu pertama
Non reentrant tachycardia: Multifocal Atriul
setelah operasi jantung terbuka. FIAI dapat berubah menjadiAF dan jarang menimbulkan emboli sistemik.
FIAT mempunyai kekhasan berupa gambaran gelombang P seperli gigi gergaji (saw teeth), mempunyai frekuensi atrial sekitar 250-350/menit. Sedangkan frekuensi ventrikel adalah setengahnya karena terjadi blok 2: I di nodus AV. Pengobatan. Yang paling efektif adalah dengan kardioversi dengan low energy (25-50Ws). Selain itu bila frekuensi ventrikel meningkat dapat diturunkan dengan antagonis kalsium atau penyekat beta atau digitalis yang memblokade di nodus AV. Kemudian setelah itu dapat diberikan anti
aritmia golongan IA atau IC atau Amiodaron untuk merubah menjadi irama sinus. Untuk menjaga jangan sampai kembali ke FIAT dapat diberikan golongan IA, IC atau golongan III. Ablasi dengan radiofrekuensi biasanya dilakukan di lokasi sekitar katup trikuspidal yaitu pada daerah isthmus yang sempit. Keberhasilan cukup tinggi sampaiS5Vo.
Tachycardia (MAT). Biasanya terjadi karena intoksikasi digitalis atau hipokalimia atau efek teofilin atau obat adrenergik. Gambaran EKG adalah lebih dari tiga gelombang P consecutive dengan gambaran berbeda-beda. Interval R-R iteguler.
Pengobatan dapat diberikan penyekat beta, antagonis kalsium, dan digitalis yang bekerja di nodus AV untuk menghentikan respons ventrikel.
OBATANTIARITMIA Obat-obatan antiaritmia dibagi menjadi beberapa golongan
yaitu:
Klas L yang berfungsi memblokade kanal Na pada membran sel sehingga menurunkan kecepatan maksimal depolarisasi (Vmaks) pada fase 0, sehingga tidak terjadi potensial aksi baru yang berarti mencegah timbulnya ekstrasistol. Tergantung dari intensitasnya memblokade
1622
IqRDIOI.OGI
kanal Na tersebut, Klas I dibagi menjadi:
Klas IA. Kinetik kerjanya intermediate, memperpanjang masa repolarisasi potensial aksi. Menurunkan Vmaks pada
Klas IV. Antagonis kalsium. Memperlambat kecepatan konduksi dan memperpanjang masa refrakter dari jaringan dengan potensial aksi yang slow respons misal di nodus
semua heart rate. Contoh: kuinidin, prokainamid,
AV. Contoh: verapamil, diltiazem. Golongan ini tidak
disopiramid.
bermanfaat pada Ventricular Arrhytmia (VA) kompleks. Pada pasien dengan VT bila diberikan verapamil intravena
Klas
I
B. kinetik kerjanya cepat dan memperpendek
repolarisasi potensial aksi hanya ringan saja. Mempunyai efek yang ringan terhadap kasus dengan h eart rate rcndah, tetapi mempunyai efek lebih besar pada kasts detgan heart rate inggi. Contoh: lidokain, meksiletin, fenitoin, tokainid. Klas I C. kinetikkerjanyalambat danmempunyai efekkecil terhadap repolarisasi potensial aksi. Contoh: Propafenon,
flekainid,lorkainid. Pada penelitian-penelitian obat-obatan kelas I ini tidak menunjukkan penurunan angka kematian secara signifikan dibandingkan dengan kontrol. Bila diberikan pada pasien
dapat menyebabkan kolaps hemodinamik. Angka kematian menunjukkan kenaikan tidak signifikan dibanding kontrol. Karena itu tidak diberikan pada pasien dengan VT. Digitalis dan Adenosin tidak termasuk golongan anti aritmia. Efek Digitalis: memperlambat ventrTkular rate sehingga dapat dipakai pada FA, FIAI dan atrial takikardia lain. Adenosin: menterminasi SYT reentrarzl yaitu AVNRT dan bekerja di nodus AV.
usia lanjut dengan penyakit jantung sering terjadi proaritmia.
Klas II. Obat anti simpatik: menurunkan otomatisasi nodus SA, memperpanjang refrakter nodus AY menurunkan kecepatan konduksi nodus AV. Golongan ini adalah penyekat beta, misal propranolol dan lainnya. Pemberian penyekat beta pada pasien pasca IMA menunjukkan penurunan angka mortalitas secara signifikan, dengan mencegah terjadinya suddent cardiac death dar, IMA berulang. Golongan ini menurunkan kejadian terjadinya Ventricular Activity (VA) complex termasuk VT. Klas III. Golonganini memblokade kanal kalium sehingga repolarisasi potensial aksi diperpanjang dan pada EKG dapat dilihat dengan perpanjangan QT. Obat ini menekan
terjadinya VA kompleks, dengan memperlama periode refrakter. Contoh: amiodaron, bretilium, sotalol (sebetulnya termasuk golongan penyekat beta). Amiodaron sangat efektif dalam menurunkan kejadian VA kompleks yang
berkaitan dengan penyakit jantung. Namun mesti diperhatikan efek sampingnya yang antara lain terhadap paru, saluran cerna dan lainlain.
ACEINHIBITOR Pada pasien dengan gagal jantung kongestif menurut beberapa penelitian golongan obat ini dapat menurunkan kejadian VA kompleks termasuk VT, sehingga angka suddent cardiac death juga akan menurun.
REFERENSI ME, Zimetbaum P. The Tachyarrhytmias. In: Harrison's Principle of Internal Medicine. Editor: Kasper, Braunwald, Fauci,
Josephson
Hauser, Longo, Jameson. l6'h. Ed. New York: McGraw
Hlll;2005.p. 1342-9. Jossephson. Clinical Cardiac Electrophysiology. 2'd. Lea & Fabiger; I 993
Khan r
MIG Cardiac Drug Therapy. l" ed.London Bailliere Tindall; 984
255 ARITMIA VENTRIKEL M. Yamin, Sjaharuddin Harun
reentry dan biasanya disebabkan oleh kelainan kronis
PENDAHULUAN
seperti infark miokard lama atau kardiomiopati dilatasi (di-
lated cardiomyopathy ). Jaringan parut (scar tissue) yang terbentuk akibat infark miokard yang berbatasan dengan
Aritmia ventrikel memiliki spektrum yang luas mulai dari premature ventricular contraction (PVC, dikenal juga sebagai ventricular extrasystole atau VES), takikardia ventrikel (selanjutnya disebut VT), fibrilasi ventrikel (selanjutnya disebut VF), sampai torsades de poinres
jaringan sehat menjadi keadaan yang ideal untuk
fatal pada kelompok pasien tertentu (misalnya PVC frekuen pada pasien pasca infark miokard dengan penurunan fungsi
terbentuknya sirkuit reentry. Bila sirkuit ini telah teibentuk maka aritmia ventrikel reentrant dapat timbul setiap saat dan menyebabkan kematian mendadak. Triggered activity memiliki gambaran campuran dari kedua mekanisme di atas. Mekanismenya adalah adanya kebocoran ion positif ke dalam sel sehingga terjadi lonjakan
ventrikel kiri) karena dapat menimbulkan kematian
potensial pada akhir fase3 atau awal fase 4 dari aksi
mendadak. Dalam tulisan ini akan diulas etiologi, gambaran EKG, kepentingan klinis dan tatalaksana aritmia ventrikel yang
potensial jantung. Bila lonjakan ini cukup bermakna maka
(selanjutnya disebut TDP). Tantangan utama bagi klinisi adalah mengindentihkasi aritmia ventrikel yang berpotensi
akan tercetus aksi potensial baru. Keadaan ini disebut afterdepolarization.
sering dijumpai dalam praktek sehari hari yaitu PVC, takikardi ventrikel. fibrilasi ventrikel. dan torsades de pointes. Pembahasan lebih mendalam diberikan pada VT.
PREMATURE VENTRICULAR CONTRACTION (PVC) PVC timbul bila karena adanya fokus ektopik pada ventrikel yang muncul lebih awai dari iramadasamya. PadaEKG akan terlihat kompleks QRS yang lebar, terdapat perubahan segmen ST-T sekunder, dan terdapat paase kompensasi penth(fully compensatory pause) seperti pada Gambar 1.
ETIOLOGI DAN MEKANISME ABITMIA VENTRIKEL Secara umum terdapat empat mekanisme terjadinya aritmia, termasuk artimia ventrikel, y aitlu aut omat i c i ty, r e e nt r ant, dan triggered activity. Automatic ity terj adi karena adanya percepatan aktivitas fase 4 dari potensial aksi jantung. Aritmia ventrikel karena gangguan automaticity biasanya tercetus pada keadaan akut dan kritis seperti infark miokard akut, gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan asam basa, dan tonus adrenergik yang tinggi. Oleh karena itu bila berhadapan dengan aritmia ventrikel karena gangguan automaticiry, perlu dikoreksi faktor penyebab yang mendasarinya. Aritmia ventrikel yang terjadi pada keadaan akut tidaklah memiliki aspek prognostikjangka panjang yang penting. Mekanisme aritmia ventrikel yang tersering adalah
Berdasarkan frekuensi dan bentuknya PVC dapat dibagi menjadi: . PVC Jaran g (infrequent): kurang dari lima kali per menit . PVC Seing(frequenf): lebih dari lima kali per menit . PVC Repetitif: bila muncul pada tiap denyutan (beat) kedua dari irama dasar disebut PVC bigemini (gambar 2),blla timbul pada denyutan ketiga dari irama dasar disebut PVC trigemini. . PVC berkelompok: bila dua PVC muncul berkelompok disebut PVC salvo.Bilatiga atau lebih PVC disebut VT . PVC Multifokal: Bila bentuk PVC dalam satu sandapan
L!U.L
1624
.
I(ARDIOI,.OGI
bentuknya berlainan. Ini menandakan fokus ektopik berasal lebih dari satu tempat
kematian mendadak yang tinggi. Kelompok pasren lnr sebaiknya dirujuk untuk pemeriksaan elektrofisiogi untuk
Fenomena R on T: PVC muncul pada periode repolarisasi ventrikel yang rentan untuk terjadinya VF yaitu pada
menentukan apakah perlu dipasarrg implanttable c ardiov e rt e r defib rillato r (ICD).
down-slope gelombang T Secara klinis PVC yang terjadi pada pasien dengan
TAKTKARDT VENTRTKEL (VT) CompencatoryV5Non Compencatory Pauses
Takikardi Ventrikel (untuk kemudahan selanjutnya disebut adalah terdapat tiga atau leblh premature ventricular contraction (PVC) atau yentricular extrasystoles (VES) dengan laju lebih dai 120 kali per menit. Fokus takikardi dapat berasal dari ventrikel (kiri atau kanan) atau akibat dari proses reentry pada salah satu bagian dari berkas cabang (bundle branch reentry VT1. Dai rekaman EKG permukaan VT umumnya memberikan gambaran EKG
f---N6m-Ef---l
I
sinu"
I nnvt,.
VT)
I
I
TFiAmeiilE--
II
Ventricutar Contraction
I rpvct
I I I
r-EEm;iil;---'l
I 3'i1i1""."" I ipnq
dengan ciri kompleks QRS yang lebar (>0,12 detik). Namun tidak semua takikardi dengan kompleks QRS lebar adalah VT karena takikardi supraventrikel (SVZ) dengan konduksi
I I
1 J
To measure a full compensatory
1 Tandai
2 3
3 siklus normal Beri tanda gelombang P siklus EKG normal yang berada tepat sebelum kompleks kontraksi premalur Tanda gelombang P ke-3 harus jatuh tepat pada gelombang P yang seharusnya seharusnya setelah kompleks prematur disebut compensatory pause
Gambar 1. Rekaman EKG PVC dengan ciri kompleks QRS lebar dan adanya fully compensatory pause yaitu interval antara gelombang P irama dasar sebelum PVC dengan sesudah PVC adalah dua kali interval P-P irama dasar (Dikutip dari www.ekglearning com)
""; '
aberan atau dengan konduksi melalui jaras tambahan (accessory pathway) juga akan memberikan gambaran takikardi dengan komplek QRS lebar. Oleh karena itu pengenalan VT menjadr penting dalam keadaan kegawatan karena pemberian obat untuk SVT dapat membahayakan pada pasien dengan VT. Pengenalan VT juga harus mencakup identifikasi etiologi, sumber fokus, terapi, dan prognosisnya. VT idiopatik misalnya, dapat diterapi secara
definitif dengan ablasi kateter.
sangat jarang menyebabkan
kematian mendadak, dan memiljki prognosis yang baik.
Sebaliknya VT iskemia (VT akibat penyakit jantung koroner) memberikan risiko tinggi untuk terjadinya ;,
I
kematian mendadak(.sudden cardiac death) aktbat aritmia
fatal (VT yang berdegenerasi menjadi ventricular fibrillation).
t'
Klasif ikasi VT dapat dibagi menjadi monomorfik dan polimodik. VT monomorf,rk memiliki kompleks QRS yang
VI
Secara umum
Gambar 2. PVC bigemini. Tampak PVC muncul secara bergantian
dengan denyut (beat) normal
sama pada tiap denyutan (beat) dan menandakan adanya
depolarisasi yang berulang dari tempat yang sama. Umumya disebabkan oleh adanya fokus atau substrat
jantung normal tidak memiliki faktor prognostik yang penting. Pada keadaan ini tidak diperlukan terapi. Bila pasien merasa tidak nyaman dapat dlberikan minor tranquilizer dan menghindarkan faktor yang memperberat seperli kopi dan rokok. Bila gejala tidak berkurang dapat diberikan obat penyekat beta. Pada keadaan akut seperti infark miokard akut, terutama
PVC bigemini, multifokal, atau R on T, dapat diberikan lidokain, prokainamid, atau amiodaron. Bila PVC yang sering (frequent) muncul pada pasien pasca infark dengan penurunan fungsi LV (fraksi ejeksi <357o) atau kardiomiopati dilatasi, maka nilai prognostiknya menjadi penting karena kelompok pasien ini memiliki risiko
aritmia yang mudah dieliminasi dengan teknik ablasi kateter.
Sedangkan
VT polimorfik ditandai dengan
adanya
kompleks QRS yang bervariasi (berubah) dan menunjukkan adanya urutan depolarisasi yang berubah dari beberapa tempat. Biasanya VT jenis ini berkaitan dengan jaringan parrt (scar tissue) aklbat infark miokard (ischemic VT). Bila VT berlangsung lebih dari 30 detik disebut sustained dan sebaliknya bila kurang dari 30 detik disebut non-
sustained. Berdasarkan etiologi VT dikelompokkan menjadi:
.
VTldiopatik(ldlopathic VTy. - VT Idiopatik Alur Keluar Ventrikel Kanan (Right Ventricular Oufflow Tract VT=RVOT W)
t625
AR.ITMIAVENTRIKEL
.
VT pada Kardiomiopati Dilatasi Non-Iskemia - Bundle Branch Reentrant YT
-
..
VT Idiopatik Ventrikel Kiri (ldiopathic Lefi Ventricular VT'1
Dissociation), pada VT nodus sinus terus memberikan impuls secara bebas tanpa ada hubungan dengan aktivitas ventrikel (atrium dikontrol oleh nodus sinus dan ventrikel
dikontrol oleh fokus takikardi dengan laju lebih cepat)
Arrhttthmogenic Right Ventricular Dysplasia
sehingga gelombang P yang muncul tidak berkaitan dengan
(ARVD)
kompleks QRS (dikenal dengan AV dissociation) seperti terlihat pada Gambar 3. Adanya disosiasi AV sangat khas untuk VT walaupun adanya asosiasi (hubungan) AV belum dapat menyingkirkan VT. Secara klinis disosiasi AV dapat dikenal dengan adanya variasi bunyi jantung satu dan variasi tekanan darah sistolik.
VTiskemia(lschemicW)
Diagnosis Takikardia Ventrikel Diagnosis VT didasarkan pada gambaran berikut ini:
Durasi dan morfologi kompleks QRS, pada VT urutan aktivasi tidak mengikuti arah konduksi normal (terganggu) sehingga bentuk kompleks QRS akan kacau dan durasi kompleks QRS menjadi panjang (biasanya lebih dari 0,12 detik). Pedoman umum yang berlaku adalah semakin lebar kornpleks QRS semakin besar kemungkinannya suatu Vl khususnya bila lebih dari 0,16 detik. Pengecualian adalah VT yang berasal dari fasikel posterior berkas cabang kiri
(idiopathic left venricular tachycardia) yang memiliki kompleks QRS kurang dari 0, 12 detik karena pada VT jenis ini lokasi reentry dekat dengan septum interventrikel seperti konduksi normal. Morfologi kompleks QRS bergantung pada asal fokus VT. Bila berasal dari ventrikel kanan akan memberikan gambaran morfologi blok berkas cabang kiri (leJi bundle branch block morphology) dan jika berasal dari ventrikel kiri akan menunjukkan gambaran blok berkas cabang kanan (right bundle branch block morphology). Kalat morfologi QRS adalah RBBB maka takikardi adalah VT j ika morfologi kompleks QRS adalah monomorfik atau bifasik (QR atau RS). Jika morfologi QRS adalah LBBB maka akan menguatkan diagnosis VT jika adanya talok (notching) gelombang S atau nadir S yang lambat (>70 milidetik).
Laju dan irama,laju (rate)YT berkisar antara 120-300 kali per menit dengan irama yang teratur atau hampir teratur (variasi antar denyut adalah <0,04 detik). Jika takikardi disertai irama yang tidak teratur (irreguLar) maka harus dipikirkan adanya AF dengan konduksi aberan atau preeksitasi.
Aksis kompleks QRS, aksis kompleks QRS tidak hanya penting untuk diagnosis tapi juga untuk menentukan asal fokus. Adanya perubahan aksis lebih dari 40 derajat baik ke kiri maupun ke kanan umumnya adalah VT. Kompleks QRS pada sandapan aVR berada pada posisi -210 derajat dengm kompleks QRS negatif. Bila kompleks QRS menjadi positif saat takikardi sangat menyokong adanya VT yang berasal dari apeks mengarah ke bagian basal ventrikel. Aksis ke superior pada takikardi QRS lebar dengan morfologi RBBB sangat menyokong kearah VT. Adanya takikardia QRS lebar dengan aksis inferior dan morfologi LBBB mendukung adanya VT yang berasal dai right venticular outflo*- tract. Dissosiasi antara atrium dan ventrikel (Atrio -Ventricular
Gambar 3. Gambaran disosiasi AV pada idiopathic left ventricular tachycardia Perhatikan sandapan ll dan terlihat gelombang P di depan kompleks QFIS ke-3, ke-6, ke-8, ke-15, ke-21
,danke-24
(tanda panah) yang tidak berkaitan dengan kompleks QRS yang mengikutinya.
Capture beat dan Fusion beat, Kadang-kadang
berlangsungnya
saat
VT, impuls dari atrium dapat
mendepolarisasi ventrikel melalui sistem konduksi normal sehingga memunculkan kompleks QRS yang lebih awal
dengan ukuran normal (sempit). Keadaan ini disebut capture beat (Gambar 3). Fusion beat terjadt bila impuls dari nodus sinus dihantarkan ke ventrikel melalui nodus atrioventrikel (nodus AV) dan bergabung dengan impuls dari ventrikel. Jadi ventrikel sebagian didepolarisasi dari nodus sinus dan sebagian dari ventrikel sehingga kompleks QRS berbentuk antara kompleks normal dan VT (Gambar 4). Capture danfusion beat jarang ditemukan dan sangat khas untuk VT walaupun tidak adanya mereka bukan belarti
VT dapat disingkirkan.
Konfigurasi kompleks QRS, adanya concordance (kesesuaian) dari kornpleks QRS pada sandapan dada sangat menyokong diagnosis VT. Kesesuaian positif (posltive c'oncordance) kompleks QRS pada sandapan dada dominan positif menunjukkan asal fokus takikardi dari dinding posterior ventrikel. Kesesuaian negatif (ne gativ e concctrdonce) kompleks QRS pada sandapan dada dominan
negatif menunjukkan asal fokus dari dinding anterior ventrikel. Kedua gambaran tersebut dapat dilihat pada Gambar5.
1626
I(ARDIOLOGI
Kriteria untuk diagnosis VT yang telah dibahas tadi, tidak selalu didapatkan dan tidak jarang hanya satu atau
Kompleks RS tak ditemukan pada semua sandapan prekordial?
dua kriteria saja yang ditemukan. Oleh karena itu Brugada
membuat kriteria pendekatan yang sederhana seperli yang terlihat pada Gambar 6. Pedoman tersebut lebih mudah dan praktis untuk di pakai dalam praktek sehari-hari. Selain rekaman EKG, anamnesis, pemeriksaan fisik, data penunjang lainnya (foto toraks, dan ekokardiografi) dapat
Pertanyaan selanjutnya
membantu. Pada pasien yang pernah mengalami infark miokard dengan gangguan fungsi ventrikel misalnya, maka
lnterval R ke S >100 ms pada satu sandapan prekordial?
diagnosis VT lebih diutamakan bila pasien tersebut mendapat takikardi dengan kompleks QRS lebar. Penting diingat untuk selalu membuat EKG lengkap l2 sandapan saat dan sesudah takikardi.
Pertanyaan selanjutnya
Pertanvaan selan
Kriteria Morfologi for VT ditemukan pada sandapan prekordialVl-2 dan VG
Gambar 4. Pada sadapan ll, kompleks QRS ke-2, menunjukkan capture beat
dengan
ke-9, irri
-16
irri kompleks sempit dan muncul
lebih awal dari seharusnya. Fusion beat terlihat pada kompleks ORS ke-7
Gambar 6. Kriteria Brugada untuk diagnosis VT (Dikutip dari Ci rcu lation 1 99 1 83 : 1 649-59) ;
v3
v4
v5
V6
DIAGNOSIS BANDING Tidak semua takikardi dengan kompleks QRS lebar adalah VT meskipun l07o takikardi jenis ini adalah VT. Takikardi dengan kompleks QRS lebar bisa terjadi pada:
Takikardia supraventrikel (SVT) dengan konduksi aberan, pada keadaan SVT biasa maka konduksi dari atrium
ke ventrikel melalui jalur konduksi normal sehingga
,
.-J v5
\,f6
kompleks QRS akan normal. Namun secara lisiologis dapat terjadi hambatan (blok) pada salah satu berkas cabang (kiri atau kanan) karena adanya perbedaan masa refrakter di antara keduanya. Kedaan ini disebut konduksi aberan (aberrant conduction). Katena adanya hambatan berkas cabang maka kompleks QRS akan lebar seperti keadaan
LBBB
atau
RBBB biasa.
Takikardia supraventrikel (SVT) dengan konduksi Gambar 5. A. Menunjukkan kesesuaian negatif (negative concordance) dan gambar B menunjukkan kesesuaian positif (positive concordance)
melalui jaras tambahan (accessory p&thway), Bila terdapat jaras tambahan yang memintas jalur konduksi normal dari
t627
ARITMIAVENTRIKEL
atrium ke ventrikel, maka pada saat takikardi supraventrikel (SVT), ventrikel diaktivasi tidak melalui jalur konduksi normal sehingga ventrikel mengalami aktivasi dini (preeksitasi). Akibatnya kompleks QRS akan terlihat lebar.
Thkikardia supraventrikel (SVT) pada keadaan hambatan trerkas cabang yang sudah ada, bila pada keadaan irarna sinus sudah terdapat gambaran hambatan berkas cabang (kiri ataukanan) makasaattimbul SVTkompleks QRS akan terlihat lebar seperli pada keadaan sinus. Oleh karena itu sangat penting untuk membandingkan EKG sebelum dengan pada saat takikardia.
Gambar 7.
W
ldiopatik dari BVOT. Rekaman EKG memperlihatkan
takikardi dengan kompleks QHS lebar, morfologi left bundle branch block (LBBB) pada V1, aksis kompleks QRS normal.
KEPENTINGAN KLINIS TAKIKARDIA VENTBIKEL
Takikardia Ventrikel ldiopatik Dijumpai pada pasien
den-qan
jantung normal (tidak ada
kelainan struktural). Urnumnya VT tidak berbahaya, tidak
rnengganggu hemodinamik. dan tidak menyebabkan kematian mendadak (.suddent c'ardiac death). Namun bila VT timbul dengan laju yang cepat dapat menyebabkan
sinkop. Karena disebabkan oleh fokus ektopik yang terbatas pada satu lokasi maka umumnya sangat mudah dihilangkan dengan cara ablasi kateter.
dengan ablasi kateter (Gambar 8). Keberhasilan tindakan ini berkisar 70-857c dengan angka komplikasi yang rendah (misalnya perforasi). Diagnosis banding VT tipe ini adalah jenis VT lainnya. Hanya saja perlu diperhatikan jenis VT yang paling mirip dengan VT ini yaitut Arhytmogenic Right Ventricular
DyspLasia (ARVD). Pebedaannya adalah pada ARVD didapatkan adanya infiltrasi lemak pada ventrikel kanan (terdapat kelainan struktural).
VT Idiopatik dari Ventrikel Kiri (Idiopathic left
VT Idiopatik alur keluar ventrikel kanan (right ventricular outflow tract YI), fbkus VT berasal dari RVOT dan jenis VT ini merupakan90Tc dari VT idiopatik. Pasien umumnya adalah perempuan muda. VT dapat dicetuskan oleh ketegangan, emosi, dan aktivitas fisik. Manifestasi klinis jenis ini dapat berupa VT yang dicetuskan oleh latihan (exerci.sed-induced W) atau VT monornorfikyang berulang (repetitive monomorphic VT) yatg timbul saat istirahat. Pada beberapa pasien kerap dijumpai dalam bentuk prematLtre ventricular contractiorz (PVC) bigemini atauYT nonsu,stained yang simptomatik dan mengganggu. Pemeriksaan
ekokardiografi dan angiografi koroner biasanya normal. Gambaran elektrokardiogram EKG) menunjukkan suatu takikardi dengan kompleks QRS lebar. morfologi kompleks QRS le, bundle branch block (LBBB) pada sandapan V 1 ,
Gambar 8. Ablasi kateter pada BVOT VT dari berbagai posisi. ABL (kateter ablasi) yang ditempatkan pada RVOT. RVA adalah kateter yang ditempatkan di apeks ventrikel kanan.
dengan aksis kompleks QRS ke arah inferior (right axis deviation) atau normal (Gambar 7).
ventricular tqchycardia=ILVZ), istilah lain untuk VT jenis ini adalah takikardia fasikular karena adanya proses
Umumnya VT jenis ini disebabkan oleh proses otomatisasi, triggerecl activitl', dan takikardi dengan perantaraan siklik-AMP yang dirangsang oleh sistem saraf adrenergik dan sensitif terhadap peningkatan kalsium intrasel. Oleh karena itu dapat diberikan pengobatan
reentry pada fasikel anterior dan posterior sebagai penyebab takikardi. Ada tiga sub-kelompok pada VT ini yaitu kelompok yang sensitif terhadap verapamrl (verapamil
dengan obat penyekat kalsium (calcium channel blocker) seperti verapamil. Sedangkan pada VT jenis lain obat ini adalah kontraindikasi. Karena salah satu jenis VT ini dicetuskan oleh latihan (.exercise induced) maka obat
sensitive). Yang terbanyak adalah kelompok sensitif terhadap verapamil. VT jenis ini umumnya diderita oleh pria usia muda. Pada rekaman EKG permukaan terlihat
penyekat beta (betablocker )juga efektif. Dapat diberikan metoprolol sampai dosis optimal 2 x 100 mg per hari. Bila pasien tetap berge.jala maka dapat diberikan terapi definitif
sensitive), sensitif terhadap adenosin (adenosine sensitive), dan sensitif terhadap propanolol (propanolol
takikardi dengan morfologi kompleks QRS berbentuk blok berkas cabang kanan (RBBB), dengan aksis superior (gambar 2). Kompleks QRS tidak begitu lebar karena fokus
takikardi dekat dengan septum (lokasi jaringan konduksi
1628
I(AR"DIOLOiGI
normal). Takikardia ini sering dikelirukan dengan SVT karena kompleks QRS tidak terlalu lebar dan sensitif terhadap verapamil sehingga dapat diterminasi dengan
Takikardia Ventrikel lskemia VT iskemia disebabkan oleh penyakit jantung
verapamil seperti umumnya SVT. Pada pasien yang simptomatik dapat diberikan terapi obat-obatan. Bila gagal dapat dilakukan eliminasi dengan ablasi kateter dengan angka keberhasilan rata-rata 87o/a. Ablasi kateter juga diindikasikan pada pasien yang tidak ingin minum obat dalam jangka waktu lama.
sangat penting karena dapat menyebabkan kematian jantung mendadak. VT iskemia teljadi karena adanya reentt)) akibat adanya jaringan parut di sekitar jaringan
Takikardia Ventrikel pada Kardiomiopati Dilatasi Non-iskemia Bundle branch reentrant yentricular tachycardia, YT jenis ini (Gambar 9) drtemukan sekitar 407o padapasien kardiorriopati dilatasi i di opatik (non-i skemi a) dan 6Vo d:ati
seluruh jenis VT yang dirujuk ke laboratorium elektrofisiologi. Secara klinis VT jenis ini bersifat berbahaya sehingga menyebabkan sinkop atau henti jantung. Pada EKG biasanya ditandai oleh kornpleks QRS dengan modologi blok berkas cabang kiri (LBBB).Takikardi dapat dihilangkan dengan melakukan ablasi kateter pada berkas
cabang kanan tapi kesintasan pasien menurun karena adanya disfungsi ventrikel kiri sebagai penyerta.
Bundle branch reentry VT
295
AA
HlrlEi
Gambar 9. Mekanisme dan gambaran EKG permukaan dan intrakardiak pada bundle branch reentry Vf
koroner
seperli infark miokard akut. Secara prognostik VT jenis ini
sehat. Secara umum, semakin luas jaringan infark semakin besar peluang terjadinya reentry-. VT iskemia cenderung bersifat fatal karena dapat berdegenerasi menjadi fibrilasi
ventlikel dan kematian mendadak. Prediktor kematian jantung mendadak adalah adanya riwayat serangan jantung sebelumnya, penurunan fungsi ventrikel kiri (fraksi ej eksi <407o), dan adany a 7) r etnat u r e v e nt r i c ul ar c o n.t r ac tion yang sering. Terapi VT iskemia pada umumnya adalah dengan obatobatan. Sedangkan ablasi kateter pada VT iskemia belum memberikan hasil yang memadai.
TATALAKSANA UMUM
Tatalaksana pada Keadaan Akut Bila keadaan hemodinamik stabil. terminasi VT dilakukan dengan pemberian obat-obatan secara intravena seperti amoidaron, lidokaine, dan prokainamid. Dua obat yang pertama tersedia di Indonesia. Amiodaron dan prokainamid lebih unggul dibandingkan dengan lidokain. Amiodaron dapat diberikan dengan dosis pembebanan (loercling dose) 15 mg/menit diberikan dalam 10 menit dan diikuti dengan infus kontinu 1mg/menit selama 6 jam , dan dosis pemeliharaan 0,5 mg/menit dalam I 8 jam benkutnya. Bila gagal dengan obat, dilakukan kardioversi elektrik yang dapat dimular dengan energi rendah ( I 0joule dan 50joule). Dalam tatalaksana akut perlu dicari faktor penyebab yang dapat dikoreksi seperti iskemia, gangguan elektrolit, hipotensi, dan asidosis. Bila keadaan hemodinamik tidak stabil (hipotensi, syok, angina, gagal jantung, dan gejala hipoperfusi otak) maka pilihan pertama adalah kardioversi elektrik.
.
Arrhythmo ge nic right v entricular dy splasia (ARVD ), kelainan ini sangatjarang, biasanya diderita oleh kelompok usia muda, di mana terdapat infiltrasi lemak dan jaringan parut pada miokard ventrikel kanan. Karakteristik VT adalah kompleks QRS dengan morfologi blok berkas Cabang kiri (LBBB). Tatalaksana VT jenis ini hampir sama dengan VT iskemia dengan peran ICD (implanttabLe cardioverter defibrillator ) yang efektif untuk mencegah kematian jantung mendadak (suddent cardiac death'). Terapi pembedahan dengan mengisolasi daerah yang displastik ternyata tidak efektif karena timbulnya gagal
jantung kanan.
Tatalaksana Jangka Panjang Tujuan terapi jangka panjang adalah mencegah kematian mendadak. Pada pasien dengan YT non-sustained dan bergejala dapat diberikan obat penyekat beta. Bila tidak efektif dapat diberikan sotalol atau amiodaron. Pada pasien dengan riwayat infark miokard akut dan penurunan fungsi ventrikel kiri (fiaksi ejeksi <35%), terdapat VT yang dapat dicetuskan dan tidak dapat dihilangkan dengan obat, maka ICD lebih unggul dalam
menurunkan mortalitas (The Multicenter Autonratic rillato r TricLl=MADIT). Untuk pencegahan sekunder kematian mendadak (pasien yang berhasil diselamatkan dari aritmia fatal) pada pasien pasca infhlk miokard dengan
D efib
r629
ARITMIAVENTRIKEL
penurunan fungsi ventrikel kiri, ICD telah terbukti lebih unggul daripada amiodaron.
FTBRtLASt VENTRIKEL (VF) Fibrilasi ventrikel (VF) rnerupakan keadaan terrriinal dari
aritmia ventrikel yang ditandai oleh kompleks QRS, gelombang P, dan segrnen ST yang tidak beraturan dan sulit dikenali (.clis'organized) seperti pada Gambar 10. VF merupakan pen)/ebab utama kematian mendadak. Penyebab utama VF adalah infark miokard akut, blok
AV total dengan respons ventrikel sangat lambat, gangguan elektrolit (hrpokalemia dan hiperkalemia), asidosis berat, dan hipoksia. Salah satu penyebab VF primer yang sering pada orang dengan jantung normal adalah sindrom Brugada. Pada keadaan ini terjadi kelainan genetik pada gen yan-s mengatur kzrnal natlium (SCN-5A1 sehingga tercetus VF primer. Angka kejadiannya ringgi pada populasi Asia dan kelompok laki-laki usia muda. Pada E,KG permukaan saat irama sinus ditemukan adanya gambaran R.BBB inkomplit dengan elevasi segmen ST di sandapan V | -V3. VF akan rnenyebabkan tidak adanya curah jantung sehingga pasien dapat pingsan dan mengalami henti napas dalam hitungan detik. VF kasar (.coarse V[)
ini baru terjadi dan lebih besar peluangnya untuk diterminasi dengan defibrilasi. Sedangkan VF halus (fine VF) sulit dibedakan dengan asistol dan biasanya sulit diterminasi. Penanganan VF menunjukkan aritmia
harus cepat dengan protokol resusitasi kardiopulmonal yang baku meliputi pemberian unsynchronized DC shack mulai 200 J sarnpai 360 J dan obat-obatan seperti adrenalin, amiodaron, dan magnesium sulfat.
TORSADES DE POTNTES (TDP) Istilah TDP (dalam bahasa Perancis berarti berputar-putar mengelilingi satu titik) adalah suatu bentuk takikardi ventrikel yang ditandai oleh perubahan bentuk dan arah (aksis) kompleks QRS dalam satu beberapa denyutan (beot') seperti pada Gambar ll. Penyebab tersering TDP adalah adanya pemanjangan
interval QT akibat pengaruh obat-obatan antiaritmia (misalnya amiodaron, sotalol, dan flekainid), dan penyakit sindrom QT panjang(long QT syndrr,tmeJ, bradikardia berat, dan sindrom Brugada. Tatalaksana TDP adalah pemberian magnesium sulfat, pernasangan pacu jantung sementara (pada keadaaan bradikardia), dan obat penyekat beta.
Gambar
11 .
Rekaman EKG TDP dengan karateristik kompleks QRS
yang berubah bentuk dan arah dalam beberapa denyutan Pada denyut awal sebelum TDP terlihat adanya pemanjangan interval OT
REFERENSI Brugada P. Brugada J, Mont L, et al. A new tLpproach to the dif'feren-
tial diagnosis oI regular tachycardia with wide QRS complex Circulation 199 I ;83 : I 649--59) Davrs DW. Catheter ablation of ventricular tachycardia: are there limits? Heart 2000:84:585-6 Edhouse J and Nlorris . Broad complex tachycardia part t. BMJ
324:719-22
Fibrilasi Ventrikular
Edhouse J and Morris F. Broad cornplex tachycardia part
II.
BMJ
321:116-9 Farzanh A, Lerman BB. Idiopathic outflow tract ventricular t:rchycardia Heart 2005;91 :1 36-8
RN Electrophysiologic testing. 3rd Ed. Blackwell Science, 1999 Huszar RJ. Basic dysrhythmias: interpretation and management 7th Ed, Mosby, 2002 Fogoros
Denyut lanrung
Ritme
Gelombang P
300-600
Sangat iregular
Tidak ada
lnterval PR
ORS (dalam detik)
Fib
rilasi
Gambar 10. Contoh gambaran EKG VF. Tampak gambaran kompleks QRS yang sangat tidak beraturan dan tidak terlihat
gelombang P dan segmen ST yang jelas. (Dikutip dari www ekglearning.com)
Lemola K, Brunckhorst C, Helfenstein U, et al. Predictors of adverse outcome in patients with arrhythmogenic right ventricular dl,splasia/cardiomyopathy: long-term experience of a tertiary centre Heart 2005;91 1167-72 Miles WM and Mitrani RL Ablation of idiopathic lelt ventricular tachycardia, nght ventricuiar outflow tract tachycardia, and bundle branch reentry tachycardia. ln: Singer I (Ed). Interventional electrophysiology.2'd Ed, Lippincort Willi.rms & Wilkins. 2002 Morgan JM Patients wi[h ventricu]ar arrythmias: whotr should be ref'erred to an electrophysiolgist? Heart 2002;88:-544-550 SLevenson
WG and Delacretaz
E
Radiofrequency catheter ablation
of ventricular tachycardia Heart
2000;84:-553-9
266 BRADIKARDIA M. Yamin, A. Muin Rachman
PENDAHULUAN Bradikardia merupakan temuan klinis yan-t kerap dijumpai
dalam praktek sehari-hari. Secara elektrokatdiografi manifestasinya dapat berupa sinus bradikardia, ,srrrut aruest, atau hambatan konduksi di nodus atrioventrikular
(atrioven/tcular node=AV node)). Karena bradikardia dapat menurunkan curah jantung maka gejala yang dirasakan pasien berka-itan gejala hipoperfusi seperti
atrium kiri rnelalui Boclmtan's bundle, dilaniutkan ke nodus AV, His bundle, berkas cabang kanan dan kir-i, serabut Purkinje, dan berakhir di miokard. Secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1. Nodus ,{V mendapatkan pasokan darah dari arteri desenden posterior yang merupakan cabang dari arteri koroner kananpadaS0To populasi. Maka
infark miokard inferior paling sering menimbulkan komplikasi gangguan hantaran pada nodus AV (blok AV).
pusing, lemas. hampir pingsan (necir syncope), pingsarr
(syncope), dan kadang-kadang dapat menyebabkan kematian. Namun sering bradikardia tidak memberikan gej ala samasekali
(asimptomatik).
Secara umum bradikardia disebabkan oleh kegagalarl
pembentukan impuls oleh nodus sinoatrial (sinoatrial node=SA node) atar kegagalan penghantaran (konduksi) impuls dari nodus SA ke ventrikel (hambatan pada AV akr-rrat akan memberikan arah terapi dan penentuan prognosis yang tepat. Dalam tulisan ini akan diuraikan etiologi, patofisiologi, gambaran klinis, dan tatalaksana kel ainan i ni..
node).Idefiifikasi penyebab yang
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI Nodus SA adalah pembangkit impuls alamiah pada sistem
Gambar 1. Sistem konduksi (hantaran) jantung
konduksi jantung dengan laju 60-100 kali per menit.
normal
Struktur ini terletak di atrium kanan pada pertemuan vena
Nodus SA dan nodus AV dipengaruhi oleh sistem persarafan simpatis dan parasimpatis. Rangsangan
kava superior dengan atrium kanan. nodus SA mendapatkan pasokan darah dari arteri nodus SA yang merupakan cabang dari arteri koroner kanan (pada 657o populasi) atau cabang dari arteri koroner sirkumfleks (pada 25Ea populasi). Oleh karena itu infark miokard inferior (biasanya akibat stenosis di arteri koroner kanan) bisa disertai komplikasi bradikardia. Selanjutnya impuls diteruskan ke atrium kanan dan ke
simpatis akan meningkatkan otomatisasi dan konduksi
nodus SA dan nodus AV. Sebaliknya rangsangan parasimpatis menekan otomatisasi nodus SA dan menurunkan kecepatan konduksi nodus AV. Jadi dalam menilai keadaan bradikardia faktor sistem persarafan ini harus dipertimbangkan.
1630
1631
BRADII(ARDI,A
Pe
n,vebab bradikardi a adalah sebagai berikut:
diulang seperlunya. Bila tidak membaik atau SB cenderung berulang maka harus dipasang pacu jantung sementara (temporary pacing').
Penyebab lntrinsik
l.
2. 3. 4. 5.
Proses degeneratif (penuaan) Inf'eksi atau iskemia
QRS
infil tratif (amiloidosis, sarkoidosis) Penyakit kolagen (SLE, reumatoid artritis) Trauma bedah (penggantian katup, koreksi penyakit jantung bawaan) Peny akrt
PT
Sinus bradycardia
ORS
T
Penyebab Ekstrinsik
l.
Obat-obatan (penyekat beta, digoksin, antiarjtmia)
2. 3. 4. 5. 6.
Hipotiroid
Sinus bradycardia with sinus rrhylhmia
PT
Gangguan elektrolit Hipotermia Kelainan neurologis
Sinus bradvcardia
Gangguan saraf otonom (sinkop neurokardiogenik, hipersensitif sinus karotis)
] ORS
pT
Sinus bradycardia
GAMBARAN KLINIS DAN TATALAKSANA
Gambar 2. Bekaman EKG sinus bradikardia dengan laju kurang dari 60 kali/menit, jarak antar kompleks QRS teratur, dan interval
Secara klinis bradikardia dapat ditemukan dalam bentuk
PR konstan.
sinus bradikardia, sindrom sinus sakit (sict
slnr.r.s
syndronte). dan ganggauan hantaran pada nodus AV (blok AV).
Sindrom Sinus Sakit (Sick Sinus Syndrome) Gangguan atau penyakit pada nodus SA merupakan penyebab bradikardia tersering. Sindrom sinus sakrt (SSS)
Sinus Bradikardia
adalah gangguan fungsi nodus SA yang disertai gejala.
Sinus bradikardia (SB) biasanya disebabkan stimulasi
SSS. Gambaran EKG dapat berupa sinus bradikardi persisten tanpa pengaruh obat, sinus arrest atat sinus exit block, AF (atrial fibrillasi) respons lambat, atau suatu braditakikardia yang bergantian (Gambar 3). Penanganan SSS tergantung pada irama dasarnya.
vagal yang berlebihan dan atau penurunan tonus simpatis. Penyebab tersering lainnya adalah pengauuh obat-obatan. SB asimptomatik kerap dij umpai pada atlit terlatih. SB juga dapat terjadi saat muntah atau sinkop vasovagal, operasi mata, peningkatan tekanan intrakranial, tumor servikal, dan hipoksia berat. Gambaran EKG (Gambar 2) SB adalah bila laju nadi
kurang dari 60 kali/menit dengan bentuk gelombang P
Umumnya diperlukan pemasangan pacu jantung permanen (Gambar 4). Pada keadaan braditakikardia diperlukan kombinasi obat antiaritmia dan pacu jantung permanen (PPM).
normal di depan setiap kompleks QRS dan interval PR yang tetap (konstan).
Umumnya SB tidak berbahaya bahkan kadang-kadang bermanfaat untuk memperpanjang waktu pengisian ventrikel. Pada infark miokard akut dapat terjadi SB dan bila tidak disertai gangguan hemodinamik umumnya tidak memerlukan terapi khusus. Yang terpenting adalah memastikan hubungan antara gejala dengan bradikardia. Hal ini dapat dilakukan dengan pemantauan irama jantung 24 jam (holter monitor-
ing), event recorder (perekam irama jantung yang dapat diaktifkan setiap saat ada gejala), dan loop recorder (alaI perekam irama jantung yang ditanam di bawah kulit)
Tatalaksana SB tidak diperlukan bila tidak terdapat gejala dan gangguan hemodinamik. Dalam keadaan infark miokard akut dan disertai gangguan hemodinamik dapat diberikan sulfas atropin (SA) 0,5 mg intravena dan dapar
Gambar 3. Rekaman irama jantung 24 jam (Holter monitoring) dari seorang pasien dengan gambaran SSS Terlihat episode AF dengan sinus arrest saat terminasi AF (bradyiachyarrhythmia)
t632
I(ARDIOLOGI
pemanjangan interval PR yang progresif sebelum terjadinya hambatan total (Gambar 6). Lokasi kelainan ini biasanya di tingkat nodus AV. Sedangkan pada tipe Mobizt
Ii terdapat hambatan impuls dari atrium yang intermiten di mana impuls dari atrium tiba-tiba tidak dapat dihantarkan
ke ventrikel (Gambar 7').Pada tipe ini lokasi hambatan adalah infranodal (pada sistem His-Purkinje). Gejala yang
muncul sangat bergantung pada besarnya laju ventrikel. Jarang biokAV derajat 2 menimbulkan gejala.
gambar 5. Rekaman EKG pad blok AV derajat 1. Semua gelombang dapat diteruskan ke ventrikel dengan waktu hantaran lebih panjang (interval PR=0,32 detik)
Gambar 4. Pasien pasca operasi bedah pintas koroner yang mencierita SSS dan menjalani pemasangan pacu jantung permanen kamar ganda (dual chamber pacemaker). Terlihat juga electrode wire paat jantung sementara yang berwarna hitam
terang
Hambatan Atrioventrikular {Atrioventricular Block) Hambattrn atrioventrikuiet' (blok AV) kerap menjadi penyebab bradikardia meskipun lebih j arang dibandr
n
Gambar 6. Pada blok AV derajat 2 tipe Wenckebach terllhat pemanjangan interval secara progressif (dari 0,16 detik menjadi 0,24 detlk pada gelombang P pertama dan kedua) dan gelombang P ketiga tidak dapat dihantarkan (blok)
lri "a-
.-,:lr-*.U
Lf
-i +:*:-
i_.--
gkan
dengan kelainan fr-rngsi nodus SA. Penyebab tersering blok AV adalah obat-obatan, p-r:oses degeneratif, penyakit
7
Blok AV derajat 2 tipe Mobizt ll. Tampak hambatan hantaran impuls dari atrium ke ventrikel yang intermiten
Gambar
janlung koroner, clan efek samping tindakan operasi jantung. Gejala yang ditimbLrlkan satna sepetli gejala akibat bradikardi lainnya yaitu pusing, lemas, harnpir pingsan,
pingsan, dan kadang-kadang kernatian rnendadak. Keputusan apakah perlu pentasangan pacu jantung atau tidak ditentukan oleh tiga hal: pefiama adalah gejala, kedua adalah lokasi hambatan (blok). dan ketiga adalah derajat hambatirn tersebut. Gangguan ini dibagi r-r,enjadi btok AV derajat l. blokAV derajat 2, dan blokAV derajat 3 (total)' 1, blokAV derajat 1 bila semua impuls dari atrium dapat dihantarkirn ke 'n entrikel dengan waktu hantaran yang lebih lama (pada EKG interval PR> 0,20 detik seperti pada gambar 5). Kelainannya biasanya pada tingkat nodus AV dan jarang pada sistem His-Purkinje. Karena semua impuls dari atrium ciapat dihantarkan ke ventrikel maka tidak
BlokAV derajat
menimbulkan gejala.
Blok AV derajat 3 (complete heart block)' bila hantaran impuls dari atrium samasekali tidak dapat mencapai ventrikel disebut blok AV deraj at 3 (blok AV total). Pada keadaan ini
laju ventrikel tergantung pada pqcentaker cadangan (subsidiary pacenmker) yang mengambil alih. Bila lokasi hambatan berada di AV Node maka laju ventrikel biasanya cukup untuk mempertahankan curah jantung. Namun bila lokasi hambatan berada di bawah nodus AV (infranodal) kerap menimbulkan gangguan hemodinamik karena lajunya sangat pelan (< 40 kali per menit)
Karena pada blok AV total atriutn dan ventrikel dikendalikan oleh pacemaker yarrg berbeda dan tidak berkaitan maka pada EKG permukaan akan terlihat gambaran disosiasi atrioventrikuler (AV dissociation). Contoh disosiasi AV dapat dilihat pada Gambar 7'
dari atrium dapat dihantarkan melalui nodus AV dan sistem His-Purkinj e ke ventrikel.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa salah satu pertimbangan keputusan apakah perlu pemasangan pacu jantung permanen adalah lokasi hambatan (blok).
Berdasarkan rekaman EKG kelainan ini dapat dikelompokkan menjadi tipe Mobizt I (tipe Wenckebach) dan tipe Mobizt II. Pada tipe Mobizt I terdapat
Kompleks QRS yang lebar dengan laju 20-40 kali per menit menunj ukkan lokasi hamb ata:n infrano dol' Sedangkan
Blok AV derajat 2,pada keadaan ini tidak semua impuls
Rekaman EKG permukaan dapat membantu hal ini.
1633
BRADII(ARDIA
kompleks QRS yang normal (sempit) dengan laju sekitar 40-60 kali per menit menandakan lokasi hambatan pada
KESlMPULAN
nodus AV. Karena nodus AV dipersarafi oleh sistem saraf otonom (terutama parasimpatis) yang dominan sedangkan jaringan infranodal (sistem His-Purkinje) tidak, maka manuver yang merangsang atau menghambat sistem saraf tersebut dapat dipakai untuk menentukan lokasi gangguan hantaran. Jika lokasi hambatan ada di nodus AV maka atropin atau latihan fisik akan mengurangi atau bahkan menghilangkan blok. Sebaliknyajika lokasi gangguan hantaran ada di infranodal, maka pemberian atropin atau latihan fisik tidak akan
Bradikardia adalah gejala klinis yang kerap didapatkan dalam praktek sehari-hari. Pengaruh obat-obatan dan proses degeneratif merupakan penyebab bradikardia tersering. Gangguan fungsi nodus SA adalah jenis bradikardi yang paling banyak dijumpai, terutama pada orang tua. Sedangkan blok AV lebih jarang didapat. Penyebab blok AV tersering selain proses degenaratif adalah infark miokard akut dan proses pembedahan.
mengurangi blok bahkan kadang-kadang dapat
Pengenalan etiologi, patofisiologi, dan gambaran EKG yang baik akan mempermudah diagnosis etiologi dan tatalaksana
memperburuk. Umumnya blok infranodal menimbulkan
yang baik.Umumnya bradikardi yang bergejala, apapun sebabnya, memerlukan terapi definitif yaitu pemasangan
gejala yang bermakna sehingga memerlukan pemasangan
pacu Jantung permanen.
pacu Jantung permanen.
Umumnya blok AV derajat 1 tidak memerlukan terapi PPM kecuali pada pemeriksaan elektrofisiologi didapatkan interval HV (dari Ills ke ventrikel) >100 milidetik. Untuk
blok AV derajat 2 apapun tipe dan lokasi gangguan memerlukan PPM jika bergejala (simptomatik). Pada blok AV derajat 3 indikasi PPM adalah: . Bila disertai bradikardi yang simptomatik . Bila disertai pause >3 detik atau laju ventrikel <40 kali per menit pada saat terjaga, walaupun tidak bergejala . Blok AV pasca pernbedahan yang diperkirakan tidak dapat pulih kembali . Pasca ablasi nodus AV ftid-Degree
AV B ock
(CompeieAV block)
REFERENSI Fogoros
RN Electrophysiologic
testing.
3rd Ed, Blackwelt
Sclence,
t999 Gold MR Permanent pacing:new indications Heart 2001;86 355 60 Huszar RJ. Basic dysrhythmias: interpretation and managernent 7t' Ed, Mosby, 2002. Magrum JM and DiMarco JP The evaluation and management of bradycardia N Eng J Med 2005;10:703-9 Moses HW, Miller BD, Moulton KP, et al Practical guide to cardiac pacing 5'h Ed. Lippincott Williams, 2000. Munawar M, Yuniadi Y, Yamin M (Eds). Minicourse on arrhythmia, 16'h Weekend Course on Cardiology, 2004 Olgin JE and Zipes DP Specific arrhythmias: diagnosis and treatment In: Zipes DP, Libby P, Bonow RO, et al. Heart disease: a textbook of cardiovascular medicine 7'h Ed. Elsevier Saunders. 2005.
Rowlands DJ. Understanding the electrocardiogram. Imperial Chemicals Industries. 1987.
Simmons JD, Chakko SC, Myerburg RJ. Arrhythmias and conduction disturbances. In: O'Rourke RA, Fuster Y Alexander RW, et al (Eds). The heart manual of cardiology. 11'h Ed, Mc Graw Hill. 2005.
Gambar 8. Disosiasi atrioventrikuler pada blok AV derajat 3 (complete heart block\ Pada gambar paling atas terlihat laju atrium (gelombang P) adalah 80 x/menit sedangkan laju ventrikel (kompleks QRS) sekitar 30x/menit lni menunjukkan pacemaker cadangan yang mengambil alih adalah ventrikel karena lajunya di
bawah 40 x/menit dan kompkes QBS lebar (>0,12 detik) Dari gambaran ini dapat pula ditentukan bahwa lokasi hambatan adalah inf ranodal
257 I(ARDIOVERSI M. Yamin, A. Muin Rachman
INDIKASI KARDIOVERSI
PENDAHULUAN
Fibrilasi ventrikel Takikardia ventrikel, bila pengobatan medikamentosa yang adekuat tidak berhasil menghentikan takikardia tersebut atau pasien dengan keadaan hemodinamik yang buruk. Takikardia supraventrikular yang tidak bisa dihentikan dengan pemberian obat-obatan atau keadaan
Kardioversi ialah suatu tindakan elektif atau emergensi untuk mengobati takiaritrnia di mana diberikan aliran listrik, biasanya dengan energi yang rendah dan disinkronkan dengan gelombang R, di mana aliran listrik diberikan pada puncak gelombang R. Kardioversi secara elektrik dilakukan dengan DC (direct current) counter shockyang synchronized.
Direct current(DC) counter shock ialah impuls listrik energi tinggi yang diberikan melalui dada (ke jantung) untuk waktu yang singkat. DC countershock dilakukan dengan alat defibrilator.
MEKANISME KERJA KARDIOVERSI
.
hemodinamik yang buruk Fibrilasi atrial yang tidak bisa dikonversi menjadi irama sinus dengan obat-obatan. Fluter atial yang tidak bisa dikonversi menjadi irama sinus dengan obat-obatan.
PERSIAPAN KARDIOVERSI
Pada kardioversi diberikan aliranlistrik ke miokardium pada
puncak gelombang R. Hal
ini menyebabkan terjadinya
depolarisasi seluruh miokardium, dan masa refrakter
memanjang, sehingga dapat menghambat dan menghentikan terjadinya re-entry, dan memungkinkan nodus sinus mengambil alih irama jantung menjadi irama sinus. Pada fibrilasi ventrikel sftock listrik menyebabkan hiperpolarisasi membran sel sehingga fibrilasi dapat dihentikan dan kembali ke irama sinus. Kardioversi elektrik paling efektif dalam menghentikan takikardia karena re-entry, seperti fluter atrial, fibrilasi atrial, takikardia nodal AY, reciprocating tachycardia kareta sindrom Wolff Parkinson Wite (WPW), takikardia ventrikel. Takiaritmia dapat juga karena pembentukan impuls (automaticity) yang bertambah seperti pada parasistol atau takikardia ideoventrikular. Gangguan irama seperti itu tidak perlu dilakukan kardioversi listrik karena akan kembali lagi dalam waktu singkat.
Antikoagulan Pada fibrilasi atrial kronik perlu diberikan antikoagulan seperti koumadin selama dua minggu sebelum tindakan,
untuk menghindari terjadinya emboli sistemik. Bentuk takikardia yang lain tidak membutuhkan antikoagulan. Pada fibrilasi ventrikel, DC kardioversi harus segera dilakukan, disertai dengan pemberian pernapasan buatan dart. massage
kardiak, jadi merupakan bagian dari
resusitasi jantung paru
Anestesia Perlu diberikan obat anestesia karena prosedur DC defibrilasi menimbulkan rasa sakit yang cukup berat. Obat anestesi diberikan secara intravena, biasanya golongan barbiturat kerja pendek atau fentanil.
1634
1635
I(ARDTOVERSI
Jumlah Energi untuk Kardioversi Jumlah energi yang dibutuhkan biasanya dimulai rendah, lalu dapat dinaikkan tergantung macamnya takikardia. Pada
fluter atrial biasanya cukup 25-50 Joule. Takikardia supraventrikular membutuhkan energi sebesar 50-100 Joule, sedangkan fibrilasi atrial dan takikardia ventrikular membutuhkan 100-200 Joule. Pada henti jantung (cardiac aruest) dengan fibrilasi ventrikel energi yang dibutuhkan 200-400 Joule.
HASIL Kardioversi dapat mengembalikan irama sinus sampai 957o, tergantung tipe takiaritrnia. Tetapi kadang-kadang gangguan
0 bulan. Oleh karena itu mempertahankan irama sinus perlu diperhatikan dengan memperbaiki kelainan jantung yang ada dan memberikan obat anti-aritrnia yang sesuai. Bila irama sinus sudah kembali maka atrium kiri dapat mengecil dan kapasitas fungsionil akan menjadi lebih baik. irama timbul lagi kurang dan
PROSEDUR KARDIOVERSI LISTRIK
KOMPLIKASI Sebelum dilakukan tindakan kardioversi secara elektif, dilakukan pemeriksaan fisis yang menyeluruh dan pemeriksaan EKG lengkap. Pasien sebaiknya dalam keadaan puasa selama 6-12 jamdan tidak ada tanda-tanda intoksikasi obat seperti digitalis. Pasien juga dipantau tekanan darah, iramajantung dan saturasi oksigen dengan pulse oxymeten Setelah diberikan obat sedatif secara intravena. P addle pertama dibei j elly secukupnya dan diletakkan di dada bagian depan sedikit sebelah kanan sternum di sela i ga III, p addl e kedua setelah diberi j e lly diletakkan di sebelah kiri apeks kordis; alat defibrilator dinyalakan dan
dipilih tingkat energi yang ditentukan, alat untuk sinkronisasi gelombang R juga dinyalakan lalu kedua paddle diberi tekanan yang cukup dan alat dinyalakan dengan energi yang dibutuhkan, misalnya untuk fluter dimulai dengan 50 Joule sedangkan untuk fibrilasi atrial dimulai 100 Joule dan untuk fibrilasi ventrikel diberikan energi 200 Joule. Bila belum berhasil dinaikkan menjadi 300 Joule sampai 400 Joule. Pasien yang menderita cardiac arrest paling sedikit harus dicoba 3 kali, sebagai awal tindakan resusitasi. Pemberian shock listrlk yang disinkronkan pada komplek QRS atau pada puncak gelombang R, biasanya dipakai pada semua kardioversi secara elektifkecuali pada fibrilasi ventrikel atau fluter atau takikardia ventrikel yang sangat cepat dan keadaan hemodinamik pasien kurang baik. Pada waktu dilakukan shock biasanya terjadi spasme otot dada dan juga otot lengan.
Aritmia dapat timbul sesudah kardioversi secara listrik karena sinkronisasi terhadap gelombang R tidak cukup sehingga shock listrik terjadi pada segmen ST atau gelombang T dan dapat menimbulkan fibrilasi ventrikel (dalam hal ini dapat dilakukan DC countershock sekali lagi). Juga dapat timbul bradiaritmia atau asistol sehingga perlu
disiapkan obat atropin dan pacu jantung sementara. Peristiwa homboemboli dilaporkan ted adi I -37o pada pasien fibrilasi atrial kronik yang dikonversi menjadi irama sinus, oleh karena itu pada pasien dengan hbrilasi atrial yang sudah lebih dari 23 han sebaiknya diberi antikoagulan selama 2 minggu sebelum dilakukan tindakan kardioversi, Hal ini terutama untukpasien dengan stenosis mitral dengan atrium kiri yang membesar dan terjadi fibrilasi atrial yang baru.
REFERENSI Ewy GA:Optimal technique forelectrical cardioversion of atrial fibrillation. Circulation 7986:1645-7 Prystowsky EN, Benson W, Fuster Vet al : Managements of patients
with atrial fibrillation. Circulation 1993:1262-7'7 Kerber RE.Transthoradc cardioversion and defibrillation. In : Zipes DR Jaliffe J, editors. Cardiac Electrophysiology: From the Cell to Bedside, :3'd ed, Philadelphia: WBSaunders; 2000 Kerber RE. Transthoracic cardioversion of atrial fibrillation and flutter: Standard technique and new advances. Am J Cardiol 1996;78:22
Wacott GP, Knisley SB, Zhou x, et al: On the mechanism of ventricular fibrillation. Pacing Clin Electrophysiol 1997 ;20(2pt 2):422.
258 PACU JANTUNG SEMENTARA A. Muin Rachman
PENDAHULUAN
Di dalam jantung terdapat kelompok-kelompok sel yang dapat mengeluarkan impuls listrik ke otot jantung untuk merangsang terjadinya kontraksi dan denyut jantung. Bila kelompok sel ini gagal atau membutuhkan waktu terlalu lama untuk mengeluarkan impuls atau impuls yang dikeluarkan abnormal atau terhambat hantarannya sehingga tidak atau terlalu lambat menghasilkan denyut jantung. maka harus ada alat yang dapat mengeluarkan impuls listrik untuk menggantikannya. Alat ini disebut pacu jantung buatan. Pacu jantung buatan ini dibedakan menjadi 2 macam berdasarkan lama pemakaiannya, yaitu yang dipakai hanya
untuk sementara waktu saja, disebut temporary pace maker (TPM), dan yang dapat dipakai seterusnya/ menetap. disebut permanent pace maker (PPM). TPM ditempatkan di luar badan pasien. sedangkan PPM yang harus dipakai seumur hidup ditempatkan di dalam badan, biasanya diletakkan di bawah kulit pada dinding dada (di atas m. Pectoralis mayor) atpu perut.
Dewasa ini, teknik elektrcifisiologi pacu jantung mengalami kemajuan pesat. lehingga kesulitan yang ditimbulkan oleh pemakaian PPM diperkecil, sedangkan indikasi penggunaannya diperluas, bahkan dipakai pula
sarana yang cukup untuk pemasangannya dan sangat tidak
praktis untuk menolong pasien yang mengalami henti jantung. Zoll {1952), setelah mencobanya pada anjing, dengan menggunakan elektroda yang ditempatkan secara subkutan pada dinding dada, berhasil menolong pasien sindrom Adam-Stokes. Sayangnya arus listrik yang dipakai dengatcaraZoll inijauh lebih besar dibandingkan dengan bila elektroda tersebut ditempatkan langsung pada jantung.
Karena itu pada pemakaian pacu jantung tetap,
elektroda sebaiknya ditempatkan langsung pada endokardium ventrikel kanan melalui vena ( transv enous ). Cara ini lebih praktis dan dapat dilakukan tanpa melakukan operasi torakotomi. Pacu jantung eksternal telah mengalami banyak perubahan dan dapat dibuat dalam ukuran lebih kecil sehingga dapat dibawa ke mana-mana oleh pasien. Akan tetapi pada pacujantung transvenous, bahaya infeksi tetap besar karena adanya hubungan langsung antara jantung pasien dengan dunia luar {melalui elektroda) .Untuk mengatasi hal tersebut, kemudian diusahakan pacu jantung steril yang ditanam di bawah kulit. Arrne Larson dari Swedia adalah orang pefiama yang memakai pacu jantung steril yang ditanam dalam badannya di bawah kulit oleh Elquist dan Senning. Sayang isi muatan listrik pacu jantungnya tak dapat bertahan cukup lama meskipun dapat diisi lagi (rechargeable).
sebagai pengontrol takiaritmia.
Pada tahun 1960, Chardack, Gege dan Greatbach mencoba menanamkan pacu jantung yang memakai baterai
ini
akhirnya
SEJARAH PERKEMBANGAN PEMAKAIAN PACU
agar dapat bertahan lebih lama. Metode
JANTUNG
merupakan cara yang lazim dipakai sampai sekarang. Pacu jantung berkembang pesat sekali dalam waktu 20 tahun ini, sepefii terlihat pada perubahan-perubahannya.
Percobaan untuk memacu jantung dengan arus listrik telah dimulai sejak tahun 1935 oleh Hyman dan kemudian oleh
Di
samping yang menyangkut elektrodanya. juga
perubahan mengenai bentuk atau ukuran serta sistem sirkuit listrik dalam alat pacujantung itu.
Callaghan dan Bigelow tahun 1951. Peneliti-peneliti ini menggunakan elektroda yang ditanamkan langsung pada jantung { epikardium/miokardium) sehingga memerlukan
Di Indonesia pada f.ahur. 1.912, pacu 1636
jantung
t637
PACU JAI\TUNG SEMENTARA
transvenous permanen pertama kali ditanamkan oleh Nurhay dkk pada seorang perempuan yang mendeita sick sinus syndrome (SSS) .Kemudian pada tahun yang sama di Surabaya ditanamkan pacu jantung memakai elektroda epikardial pada seorang anak. Setelah itu semakin banyak
.
penggunaan pacu jantung tetap pada pasien di
PULSEGENERATOR
Indonesia. Di antaranya terdapat juga pasien yang memakai pacu jantung yang dapat diatur beberapa parameternya
Transthoracic pacing, penempatan elektroda melalui
dinding dada, dengan cara pungsi langsung ataupun operasl.
Pacu jantung mungkin hanya dipakai untuk sementara
Ada pulse generator yanghanya ditempatkan di luar badan (eksternal) yang biasanya dipakai pada TPM; tapi ada juga yang ditanam dalam badan (implantted), yaitu pada pacu jantung permanen (PPNI). Di samping untuk mengeluarkan impuls (stimulator), pulse generator jluga mempunyai unit untuk mendeteksi impuls yang dikeluarkan oleh jantung (sensor) baik yang berasal dari atrium (P) maupun dari ventrikel (QRS). Impuls dari pulse generator yang memacu jantung dikeluarkan berdasarkan kerja sama antara unit sensor dan stimulator
(TPM) untuk mengatasi gangguan yang biasanya
tersebut.
dari luar (programmable).
Akhirnya pada bulan Januari 1984, Santoso dkk memasang pacu jantung fisiologis (dual demand) yang pertama di Indonesia.
MACAM.MACAM PACU JANTUNG
berlangsung tidak lama. TPM ini dapat dibiarkan ter?asang untuk waktu kurang dari 30 hari. Setelah itu elektrodanya harus diangkat dan kalau perlu diganti dengan elektroda yang lebih permanen. Pacu jantung yang dipakai lebih lama atau mungkin selamanya, adalah pacu jantung perrnanen (PPM) .Di samping itu masih dikenal pembagian bermacammacam pacu jantung dengan berbagai klasifikasi.
Berdasarkan cara pengeluaran impuls dari pulse generator itu (modus), terdapat bermacam-macam pacu jantung, misalnya: pacujantung asynchronous yaitu pacu jantung yang mengeluarkan impuls secara tetap ke jantung menurut frekuensi tertentu (fixed rate), tidak bergantung pada ada atau tidaknya impuls jantung itu sendiri. Apabila jantung mengeluarkan impulsnya juga, dan mungkin saja impuls dari pulse generator tersebut jatuh pada fase bahaya (vulnerable periode) sehingga dapat timbul aritmia
ELEKTRODA
berat. Pacu jantung synchronous ialah pacu jantung yang
Seperti diketahui pacu jantung terdiri atas dua bagian penting, yaitu sumber listriknya (pulse generator) dan elektroda yaitu penghubung antara sumber listrik dengan j antung (endokardium, epikardium atau miokardium). Ada dua macam elektroda yaitu unipolar dan bipolar. Pada yang unipolar, elektroda di dalam jantung hanya ada l, yaitu kutub negatif (katoda). Ssedangkan elektroda indiferennya bipolar, di dalam jmttng ada 2elektroda, yaitu bagian distal katoda (negatifl dan sedikit di proksimalnya
mengeluarkan impuls sesuai dengan impuls yang dikeluarkan oleh atrium ( atrial synchronous ) atatt venrikel
terdapat anoda (positif). Dengan demikian terdapat pacu jantung unipolar dan bipolar. Ada beberapa keuntungan dan kerugian antara keduanya, akan tetapi pacujantung bipolar dapat diubah menjadi unipolar. Penempatan elektroda dalam jantung dapat menentukan pula jenis pacu jantung. Elektroda dapat ditempatkan pada endokardium, epikardium atau miokardium dari:
pacu Jantung.
. . .
Atrium, disebut atrial pacing. Ventrikel, disebut ventricular pacing. Atrium dan ventrikel disebut atrio-ventricular pacing ( dual- chamber pacing ). Sinus koronarius: coronary sinus pacing. Kemudian dari cara penempatan elektroda berbeda yaitu: dalam jantung juga disebut:
. .
.
Trans venous pacing, penempatan elektroda melalui vena.
(ventricular synchronous). Bila impuls jantung tidak ada, maka dengan sendirinyg pacu jantung iru mengeluarkan impuls menurut frekuensi teftentu (fixed rate). Pacu jantung on demand (stand by) ialah pacu jantung
yang mengeluarkan impuls ke ventrikel (ventricular demand) atau atrium (atrial demand) apabila frekuensi ventrikel atau atrium kurang dibandingkan frekuensi impuls
Dulu, elektroda untuk atrium hanya bisa ditanam di epikardium atau miokardium. Sekarang, dengan kemajuan teknologi, elektroda telah dapat dipasang di endokardium, baikpadaventrikel maupun affium. Dengan demikian secara transvenous telah dapat dipasang elektroda dalam atrium dan ventrikel sekaligus sehingga atrium dan ventrikel dapat disensor dan distimulasi. Pulse generator-nya sendiri ada yang dapat diatur dari luar untuk berb agu parametemy a (pro grammable ), seperti
frekuensi, voltase, sensitivitas, modus pacunya (synchronous menjadi asynchronous dll), katup elektrodanya (bipolar menjadi unipolar), interval AY masa refrakter. Yang sederhana adalah hanya dapat diatur frekuensi dan voltase sala (simple programmable), tetapi ada pula yang lebih dai 2 parameternya dapat diatur
1638
I$RDIOI.OGI
(multipro grammable ). Mula-mula pengaturannya secara
invasif, tapi sekarang sudah dapat dilakukan dari luar (noninvasif), bahkan dengan telemetri. Pada pacu jantung yang digunakan untuk pengobatan takikardia, bentuk impuls yang dikeluarkan berbeda dengan pacu jantung yang biasa. Impuls yang dikeluarkan ada
yang berfrekuensi cepat dan sekaligus banyak (burst), ada pula yang berfrekuensi biasa (normal) sehingga
terjadi jantungnya (misalnya kompetisi dengan frekuensi sendiri berupa pacu jantung synchronous yang diletakkan magnit di atasnya sehingga menjadi asynchronous),' dan ada lagi pacu jantung dengan kemampuan scanning sampai ditemukannya waktu yang tepat untuk mengeluarkan impulsnya guna memutus siklus "reentty tachycardia" jantung yang mengalami takikardia tersebut. Dengan demikian terdapat bermacam-macam pacu jantung bila ditinjau dari cara pengeluaran impulsnya (modus) dan bagian jantung yang disensor/dipacunya. Komisi istilah telah menyusun suatu cara untuk pemberian nama pada pacu jantung tersebut menurut modusnya dengan singkatan 5 huruf sebagai berikut. Huruf pertama (I) Bagian jantungnya (Chamber-paceQ
disensor
Huruf kedua (II) Bagian jantungnya dipacu (Chamber-senseQ
V-ventrikel A-atrium
V-ventrikel A-atrium
D-double S-single
D-double
Respons (mode response)
of
Huruf keempat (IV) Kemampuan pemrogram
VVI Pacu jantung dengan impuls ke ventrikel (V), sedangkan sensor dari ventrikel (V), dan impuls dihambat oleh tanda sensor (I). Bila ventrikel mengeluarkan impuls (QRS) maka jantung tidak mengeluarkan impuls sampai wakru tertentu. Bila dalam waktu tersebut QRS tak keluar lagi, makajantung mengeluarkan impulsnya. Jadi ini suatu pacu janltngventricular demand. Sekarang banyak jenis pacu jantung ini yang dapat diprogram secara sederhana misalnya VVI, P
dari Medtronic,Teletronic, Siemens dan lain-Iain; dan, juga
yang dapat diprogram multipel misalnya VVI, M dari Medtronics.
WI
nya sama yaitu bergantung pada penempatan elektroda atau ventrikel (VVD. Pacu jantung chamber pacing (SSI). Contoh dari Medtronic adalah SSI, M auu Spectrax SXT: SSI, T. apakah di atrium
(AAI)
ini disebut single
P-simple
l-inhibitor
M-multi programmable T-multi programmable telemetri
O-one R-reverse
telemetri.
Seperti WI mengenai atrium. Pacu jantung atau AAI sebetulnya pulse generator-
T-trigger D-double
pacu jantung asynchronous. Di sini tidak dinyatakan apakah pacu jantung ini dapat diprogram atau tidak; bila hendak disebutkan maka harus ditambah satu huruf lagi: VOO, O tak dapat diprogram VOO, P dbpat diprogram sederhana (frekuensi/output). VOO, M dapat diprogram lebih dari 2 parameternya VOO, T dapat diprogram lebih dari 2 parametemya dengan
AAI
S-single
Huruf ketiga (III)
sensor: tidak ada (0), dan keluarnya impuls tak bergantung ada sensor (0) .Pacu jantung ini mengeluarkan impuls ke ventrikel, menurut frekuensi tertentu (fixed rate),jadi suatu
VAT
(V), sensor di atrium (A), dan impuls dikeluarkan bila ada tanda dari Pacu jantung dengan impuls ke ventrikel
Huruf kelima (V) Khususnya fungsi takiaritrnia (special tachyarrytmias
Bila ada impuls dari anium (gelombang P) maka jantung mengeluarkan impulsnya ke ventrikel setelah selang waktu tertentu (sesuai P-R interval). Bila tidak ada gelombang P maka picu jantung mengeluarkan impuls ke venrikel secara spontan. Jadi suatu pacu jarfiung atrial synchonous. Contoh pacu jantung demikian adalah Omni Stanicor (Cordis) dan Siemens 625. sensor (T).
function)
pacu
B-burst
N-normal rate competition S-scanning
E-external
Jadi suatu pacu jantung menurut cdra kerjanya disebut dengan sekurang-kurangnya 3 huruf, dapatjuga 4 atat 5 huruf. Setelah huruf ke 3, diberikan tanda koma (,) baru
dilanjutkan ke 4 dan 5.
CONTOH:
DVI Pacu jantung dengan impuls ke atrium dan ventrikel (Ddouble), sensor di ventrikel (V), dan impuls dihambat bila ada tanda sensor (I). Bila ventrikel mengeluarkan impuls, maka pacu jantung tak mengeluarkan impuls. Bila tak ada
impuls dari ventrikel maka pacu jantung mengeluarkan impuls ke atrium dan ventrikel dengan interval sama dengan
voo Pacu jantung dengan impuls ke ventrikel
M,
sedang
interval PR yang normal. Suatu pacu jantung dual demand (A-Y sequential);.tak disebut apakah program-
1639
PACUJANTUNGSEMENTARA
mable atalu tidak. Contoh pacu jantung demikian adalah Medtronic; Byrel dan Versatrax. Versatrax adalah suatu pacu jantung multiprogrammable: DVI, M. Pacu iantung
intermiten diikuti dengan: takikardia/bradikardia
ini dapat dipakai untuk mengontrol takikardia
automatisitas iantung, atau adanya asistol 3 detik atau lebih. Keadaan ini mungkin pula diikuti adanya atrial
supraventrikular paroksimal dengan cara kompetisi; jadi dalam hal ini adalah suatu .DVI, MN (N = normnl rate competition).
VDD Pacu jantung dengan impuls ke ventrikel (V), sensor di atrium dan ventrikel (D), sedangkan impuls bisa dihambat atau dikeluarkan bila ada tanda dari sensor (D) , jadi bisa
bekerja seperti VVI atau VAT. Contoh pacu jantung demikian adalah Medtronic: Enertrax. Pacu jantung ini multi programmable, iadi suatu VDD, M.
simtomatis, atau gagal jantung, atau keadaan-keadaan
yang memerlukan pemakaian obat yang menekan
. .
BlokbifasikulardenganblokA-V intermiten derajat3
.
alternatiflain). Sindromkarotishipersensitif. Sinkop berulang yang timbul spontan ataupun dengan
rangsangan karotis atau pasien yang menunjukkan asistol selama 3 detik atau lebih pada rangsangan karotisminimal.
Keadaan !l
.
BlokA-V derajat3 atau2tipr', 112 asimamais, peflrvmen atau intermiten, dengan frekuensi ventrikel 40lmenit
.
Contoh pacu jantung demikian adalah Medtronic: Versatrax; Cordis: Sequicor dan Biotronic: Di plos.
.
INDIKASI PEMAKAIAN PACU JANTUNG
.
atau menetap. Pada keadaan akut yang belum pasti biasanya dipasang dulu TPM, sedang pada keadaan tertentu yang sudah pasti, langsung dipasang PPM. TPM dapat juga dipasang tidak untuk langsung dipakai, melainkan hanya untuk persiapan kalau-kalau ternyata
sering anterior).
'
DDD
Seperti telah disebutkan di atas, pacujantung dapat dipakai sementara (TPM, kurang dari 30 hari) atau menetap (PPM) bergantung pada gangguan yang timbul apakah sementara
ata:u detajat 3 yang persisten sesudah infark jantung akut (paling
atau derajat 2tipe2, dengan gejala-gejala. Dysfungsi A-V node (SSS) dengan bradikardia simtomatis (tanpa/dengan terapi dan tak ada obat
Pacu jantung dengan impuls ke atrium dan ventrikel (D),
sensor di atrium dan ventrikel (D) dan impuls dihambat atau dikeluarkan bila ada tanda dari sensor (D) sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian pacu jantung ini berfungsi sebagai AAI, WI dan VAT. Selain itu dapat pula berfungsi sebagai DVI, VDD. Jelas bahwa pacu jantung ifimultiprogrammable,jadi suatu DDD, M. Pacu jantung ini disebut juga pacu jantung universal.
flutter parorysmal. Blok A-V derajat 2 yangberat (advanced)
.
atau lebih.
Blok A-V deraiat I menetap dengan BBB yang baru atau blok A-V derajat 2 berat (advanced) meski sementara, diserlai BBB.
Blok biltri fasikular dengan sinkop tanpa sebab lain, atau dengan blok A-V derajat 2 yang berat meski asimtomatis. Dysfungsi sinus node (SSS) spontan atau karena terapi yang diperlukan, dengan HR kurang dari 40 kah lmentt, simtomatis. Pada sindrom karotis hipersensitif dengan sinkop yang berulang walaupun adanya rangsangan karotis tak jelas.
Pada keadaan-keadaan
I jelas diperlukan
PPM,
sedangkan pada keadaan II biasanya diperlukan PPM, meskipun adayang menganggap hanya diperlukan TPM, selanjutnya bisa dilepas bila tetap stabil.
diperlukan (profilaksis).
Pemasangan pacu jantung dimaksudkan untuk menghilangkan gejala klinis gangguan irama jantung, seperti pusing-pusing sampai sinkop, berdebar sampai meninggal mendadak atau dekompensasi jantung. Pacu jantung sementara dipakaijuga untuk mengatasi keadaankeadaan sementara waktu anestesia umum, operasi jantung, tindakan-tindakan jantung (kateterisasi, PTCA dan lain-lain), waktu penggantian generator pacu jantung, dan lain-lain.
Keadaan lll Ada pula PPM yang dipakai sebagai defrbrilator automatis, suatu alat menyerupai pacu jantung yang memantau irama jantung dan bila tiba-tiba muncul takiaritrnia ventrikel atau f,rbrilasi ventrikel maka alat ini akan mengeluarkan arus
listrik cukup besar dan berlaku sebagai defibrilator internal untuk mengoreksinya. Sampai dengan tahun 1990 di Sub-bagian Kardiologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran
Keadaan yang memerlukan pemakaian pacujantung adalah:
Universitas Indonesia telah ditanamkan 187 pacu jantung perrnanen pada 109 pasien. Di antara indikasi pemakaian
Keadaan I Blok A-V derajat 3 atau derajat 2 permanen
PPM pada pasien-pasien tersebut, adalah (menurut urutan terbanyak) sebagai berikut:
.
atau
1640
.
Gangguan hantaran pada 98 pasien: blokAV total.
.
Blok A V deraj at 2 detganbradikardia (simtomatik). B ifas c ic ular block (simtomatis) Sick sinus syndrome pada 89 pasien, satu pasien di antaranya dengan gangguan hemodinamik sehingga dipasang pacu jantung DDD, M.
I(ARDIOLOGI
Banyaknya macam pacu jantung menyebabkan perlunya melakukan seleksi pasien dengan hati-hati, kalau
perlu secara elektrofisiologi supaya pasien tersebut mendapat pacu jantung yang sesuai. Hal ini tjdak akan dibicarakan lebihjauh di sini. Gambar 1. Teknik pemasukan elektroda ke dalam vena
TEKNIK PEMASANGAN
A
Menempatkan elektroda ke dalam jantung dapat dilakukan dengan cara:
B C D
Pungsi vena memakai jarum cukup besar sehingga guide wire dapal masu k
Transtorakal
Guide wlre dimasukkan lalu jarum dikeluarkan dari guide wire Dilator dimasukkan ke guide wrre diikuti oleh sheath guide wire dan dilator dikeluarkan dari sheath dan elektroda dimasukkan
melalui shealh
Fungsi langsung melalui dinding dada ke dalamjantung, kemudian elektroda dimasukkan melalui jarum pungsi tersebut. Dahulu cara ini dipergunakan untuk menolong pasien dalam keadaan gawat darurat, tetapi sekarang sudah
ditinggalkan. Torakotomi, membuka dinding dada atau dari bawah melal ui diafragma ditanamkan elektroda ke epikard/miokard
(prosedur operatif).
Transvenous, Melalui Pembuluh Vena Elektroda didorong ke dalam jantung sampai mencapai endokard atritm ( ap p endage) atau ventrikel kanan (apeks).
Vena yang biasanya dipakai adalah: v. Femoralis, v. Subklavia, v. Brakhialis, v. Sefalika. v.Jugularis eksterna
lainlain. Pemasukan elektroda ke dalam vena dilakukan dengan cara seperti terlihat pada gambar (Garnbar 1 dan dan
2)
.
.
Pungsi langsung perkutan, biasanya melalui vena-vena yang besar seperti v. Femoralis. v. Subklavia atau v. Jugularis eksterna. Caranya sama seperti melakukan kateterisasi jantung (v. Femoralis) atau memasang CVP. Dengan sayatan pada vena kemudian dibuka sedikit
untuk memasukkan elektrodanya. Hal ini dilakukan terutama pada vena-vena yang lebih kecil dan tak mungkin dilakukan fungsi misalnya v. Brakialis, v.
Gambar 2. Teknik pemasangan elektroda ke dalam jantung
A,
Tempat untuk pungsi vena atau vena seksi
(E ), Garis titik-titik
menunjukkan jaannya elektroda yang didorong ke lantung dari tempattempat tersebut
B. PPM, Transvenous C. Transtorakal
Seialika dan lain-lain.
Untuk pacu jantung tetap (PPM), biasanya dipakai v. Sefalika atau v. Subklavia atau v. Jugularis ekstema kanan, kadang-kadang kiri. Sedangkan untuk TPM biasanya paling mudah dipakai v. Femoralis, kadang-kadang dipakai v. Brakialis atau v. Subklavia. Harus diperhatikan bahwa apabila seorang pasien kira-
kira memerlukan PPM, maka sebaiknya pada TPM tak dipakai vena-vena yang perlu untuk PPM, yaitu v.
Subklavia atau v. Sefalika kanan atau kiri. Karena itulah sebaiknya pemasangan TPM dilakukan pada v. Femoralis saJa.
Apabila elektroda telah masuk vena maka didorong terus sampai masuk ke atrium kanan. Dari sini kemudian
diusahakan masuk RV dengan sedikit manipulasi (memutar). Bila tidak dapat segera masuk, dibuat sedikit lengkungan yang menghadap ke dinding luar atrium kanan,
L641
PACUJANTUNGSEMENTARA
lalu kemudian diputar sehingga lengkungan itu mengarah ke katup trikuspid dan kemudian didorong masuk ke
KOMPLIKASI
ventrikel kanan. Elektroda ditempatkan pada apeks
Berbagai komplikasi dapat terjadi sehubungan dengan pemakaian pacu jantung sementara atau tetap (TPM atau PPM) ini. Komplikasi pada TPM tentu lebih sedikit dibanding PPM, karena periode pemakaiannya yang pendek dan prosedur pemasangannya sederhana, sedangkan intervensj terhadap komplikasi pun mudah
ventrikel kanan. Setelah diperkirakan posisi elektroda sudah baik, dilakukan beberapa uji seperti EKG intra-kardiak (untuk melihat adanya elevasi ST, pertanda bahwa elektroda berkontak pada endokardium dengan baik, sedang voltage QRS lebih dari 4,0 mV supaya mekanisme sensor berjalan dengan baik), pengukuran ambang rangsang (threshold), perubahan posisi pasien seperti batuk, tarik nafas dalam dan sebagainya. Paling mudah ambang rangsang dan voltase QRS diukur dengan alat PSA
(pacing system analyzer). Stimulasi dilakukan dengan pulse width 0.5 ms dan voltase 5V dan frekuensi di atas frekuensi jantung sendiri sehingga terlihat respons
dilakukan, meskipun sebetulnya TPM lebih sering digunakan dalam keadaan darurat pada pasien-pasien dengan keadaan yang lebih berat. Komplikasi yang mungkin terjadi dapat digolongkan sebagai berikut:
.
.
Berhubungan dengan teknik operasi seperti: perdarahan, infeksi, perforasi, pneumotoraks, post c ardiotomy syndrome dll. Berhubungan dengan pacu jantungnya.
-
ventrikel yang konsisten (bila tidak berarti posisi eletktroda
sama sekali tak baik). Kemudian voltase diturunkan perlahan-lahan bertingkat sampai didapat voltase terendah yang dapat memberikan respons ventrikel konsisten, bila
jaringan setempat oleh lengkungan stimulasi diafragma atau dinding dada dan lain-lain.
dikurangi lagi sebagian respons ventrikel hilang. Inilah
-
ambang rangsang tersebut. Sebaiknya pada saat permulaan ini ambang rangsang adalah 0,6 MA/0.3 volt atau paling tidak kurang dari 1,0 volt. Berarti tahanan
-
elektroda sekitar 250 -1000 ohms. Bila tidak didapatkan demikian maka posisi elektroda harus diperbaiki lagi/ dicarikan tempat yang baru.
MENANAM PULSE GENERATOR Pulse generatorpaling sering ditanam di dinding dada
kanan, kadang-kadang
di kiri.
Pada prosedur
torakotomi, melalui diafragma, biasanya pulse generator ditanam di dinding pertt. Pulse generator ditanam di antara jaringan kulit (subkutan) dan otot, bukan di jaringan lemak bawah kulit, untuk mengurangi erosi. Untuk dinding dada insisi transversal dilakukan di daerah dada melengkung ke bawah, di bagian lateral ke
arah sulkus deltoideus pektoralis. Dengan insisi inilah dicari v. Sefalika bila elektroda akan dimasukan melalui vena lnl. Di lapisan antara subkutan dan otot dibuat kantong
yang agak besar secara tumpul. Pulse generator ditanamkan di dalam kantong ini, dengan tempat hubungan elektroda dan pulse generator mengarah ke atas. Bila perlu
dilakukan fiksasi di dua tempat. Kemudian lengkungan
Elektroda: dislokasilmalposisi yang terjadi dini atau lambat, fraktur, diskoneksi dengan pulse genera/o4 trombosis tromboemboli,erosi karena penekanan
Pulse generator: erosi. aritmia. gangguan hemodinamik dan lainlain. Sirkuit listrik pacu jantung, baik terjadr dengan sendirinya atau karena lingkungan seperti tegangan listrik yang tinggi atau medan magnit yang besar dari luar. Kesulitan yang terjadi misalnya exit block sehingga bisa timbul bradikardia sampai dengan asistol, run away pacing dll. Meskipun generator pacujantung telah diusahakan untuk terlindung dari hal-hal tersebut, sedapat-dapatnya kontak dengan tempat-tempat dihindarkan.
Dengan teknik operasi yang baik dan pemilihan pwlse generator yalg sesuai. komplikasi dapat ditekan serendahrendahnya sehingga pemasangan pacu jantung betul-betul merupakan prosedur yang aman. Di Subbagian Kardiologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ternyata terdapat komplikasi sebagai berikut: . dislokasi diniI3Io . dislokasi lambatjTo
. . . . .
stimulasidiafragma47o infeksi37o perdaruhan2Vo erosi3%o
run away pacing baru terjadi pada 1 kasus (sampai dengan rate 145/mefit).
elektroda diatur melewati bagian bawah pulse generator. Setelah dilakukan irigasi dengan antibiotik, kantong ditutup. Semua prosedur pemasangan pacu jantung dilakukan dengan anestesi lokal, kecuali prosedur dengan torakotomi, yang sudah jarang dilakukan pada saat ini. Karena itu pemasangan pacu jantung sebetulnya hanya
Pemasangan pacu jantung melalui torakotomi baru dilakukan dua kali, sedangkan pemasangan elekffoda dengan pungsi perkutan pada vena subklavia baru akhir-akhir ini
suatu operasi kecil saja.
c ardi
dikembangkan sehingga komplikasi berat seperti posl cardiotomy syndrome dan pneumotoraks belum pernah ditemukan. Aritmia yang berat sepertt endless loop'tach1,a, dan p ac e make r sy ndr ome belum pemah ditemukan.
1642
I(ARDIOI.OGI
EVALUASI DAN PENGGANTIAN GENERATOR Setelah pacu jantung ditanarn, perlu dievaluasi keadaan
pasien dan pacu jantungnya untuk mendeteksi kemungkinan adanya komplikasi. Pasien dikembalikan ke
ruangan untuk pernantauan satu atau beberapa hari, kemudian dilakukan mobilisasi dan akhirnya dipulangkan. Satu minggu setelah dipulangkan, pasien harus kembali untuk reevaluasi. Kemudian tiga bulan pertama. pasien diperiksa ulang setiap bulan dan setelah itu bila temyata tak ada kesulitan barulah observasi ditangguhkan menjadi setiap 2 atau 3 atau 6 bulan.
Enam bulan sebeium usia pacu jantung (pulse generator) habis (usia pacu jantung dinyatakan oleh pabriknya). pasien diobservasi dengan ketat lagi" Evaluasi ulangan dilakukan setiap bulan atau 2 minggu sekali, sampai
saatnya pacu jantung harus diganti. Observasi yang ketat iuga dilakukan pada pasien yang pada pemeriksaan EKG menunjukkan tanda-tanda tidak efektifnya impuls pada jantung atau sensornya sehingga timbul aritmia yang mungkin membahayakan" Penggantian pacu jantung tidak didasarkan atas usia
pacu jantung yang disebutkan oleh pabriknya. Penggantian dilakukan atas dasar evaluasi ulang terhadap keadaan klinis pasien dan fungsi jantung tersebut. Usia pacu jantung yang disebut oleh pabrik hanya dipakai sebagai pegangan. Yang diganti hanyalah sumber impuls (pulse generaror), sedangkan elektroda
atau lead tetap dipakai, dihubungkan dengan sumber yang baru. Biasanya selalu sesuai hubungann),a dan kalau diperlukan selalu ada adaptor untuk menyesuaikannya sehingga hubungan dengan elektroda mudah dan baik.
frekuensi berkr.rrang l07o atat lebih, generator harus segera diganti.
Parameter lain, untuk impuls yang dikeluarkan oleh jantung, adalah terutama lebarnya impuls (pulse v,idth), bentuk dan amplitudonya. Hal ini diperiksa dengan alat khusus yang mempunyai osciloscope tntuk membuat gambaran ot,ttput tmpuls tersebut, Sekarang ada alat sederhana yang dapat digunakan untuk memeriksa liekuensi dan lebarnya impuls pacu jantung sekaligus. Untuk pasien-pasien yang jauh lebih dari pusat-pusatpacu jantung dapat diperiksa EKG melalui telpor ( transtelephon i c: ECG ).
PENGARUH LUAR TERHADAP PACU JANTUNG Pacu jantung adalah suatu sirkuit listrik. Karena itu setiap
perubahan potensial
listrik atau gelombang elektro
magnetik dari luar dapat inempengaruhinya.
Pertarna-pertama, gangguan dapat timbui karer"a miopotensial pada waktu kontraksi otot-otot dinding dada, perut dan diafragma. Pacujantung yang diproduksi akhirakhir ini telah diusahakan untuk tidak begitu dipengaruhi oleh miopotensial ini.
Kemudian gangguan dapat juga ditimbulkan
elektromagnit (EM) dari luar. Akan tetapi sebetulnya pacu jantung sendiri begitu ditanamkan, dengan sendirinya ekan terlindung dari pengaruh EM tersebut. Selain itu pacu jantung yang diproduksi akhir-akhir ini juga telah dibuat lebih kebal terhadap pengaruh EM dengan pelindung elektronik dan kapsulasi metal dan pulse generator. Kalau gelombang EM tersebut masuk juga ke dalam pacu jantung maka pacu jantung tersebut berubah modusnya menjadi
Pada tiap-tiap evaluasi ulang biasanya dilihat:
ost,nchrortous sehingga tetap bekerja.
EKG, untuk melihat apakah impuls pacu jantung tetap efektif
Laporan-laporan tentang adanya gangguan yang terjadi karena EM dari luar kebanyakan mengenai pacu
dengan tiekLrensi yang tetap sesuai dengan keadaan pemasangall pertama. Untuk maksud ini kecepatan mesin EKG harus tetap utuh 25 mm/detik. Hal ini supaya tidak terdapat salah penafsiran bahwa seolah-olah frekuensi impuls pacu jantung telah berubah.
jantung model lama atau pacu jantung eksternal. Yang masih mungkin berpengaruh adalah: . Sumber listrik yang berkekuatan besar, seperti yang
Selain itu, dapat diiihat adanya aritmia dan fungsi
.
mekanisme sensor pacu jantung. Bila yang ditanamkan adalah pacu jantung synchronous maka adanya irnpuls intrinsik dari jantung mungkin akan menyebabkan impuls pacu jantung tidak keluar sehingga frekuensi impuls tidak
"
dapat dinilai.
Untuk mengeluarkan pacu jantung secara tetap, pacu jantung synchronows tersebut harus diprogram menjadi aswchronous atau diletakkan magnit di atasnya sehingga ia rnenjadi asynchronous. Dengan dernikian frekuensi dan stabilitas keluarnya impuls dapat dilihat dengan baik. Hal ini merupakan indikasi penting dari berkurangnya baterai pacu jantung. Bila .
.
dipakai dalam industri. Kauter bedah elektronik (electro .surgical cautery) yang dapat menimbulkan fibrilasi ventrikel. Kalau terpaksa harus digunakan, usahakan letaknya sejauh mungkin dari pulse generator atau elektroda./leadnya. Alat-alat diatermi untuk fisioterapi dan defibrilator dapat dipakai dengan aman, tetapi sebaiknya dijauhkan dari elektroda/lead, sekurang-kurangnya 5 inci'
Pasien dengan PPM sebaiknya jangan menjalani pemeriksaan MRL Listrik dan alat-alat elekfronik rumah
tangga yang berjalan normal, begitu pula kebanyahan alat-alat listrik di rumah sakit dan alat keamanan di
lapangan terbang tak berpengaruh pasca pacu Jantung.
t643
PACU JANTUNG SEMENIARA
REFERENSI Dreifus LS and Brest AN (Eds) Pacemaker Therapy. Philadelphia FA Davis Go. 1983. Iittle Ford PO Method for the rapid and a traumatic insertion of permanen endocardial pacemaker electrodes through the subclavian vein. Am Cardiol 1979: 43: 980. Personet v dkk Implanttable cardiac pacemakers. Status report and resource guideline Pacemaker Study Group. Girc 50. 1974 Supplll, A 21, Mond HG and Sloman JG. The malfunctioning pacemaker system. Pert L Pace la8l; -1:49. Mirowski M. The automatic implanttable defibrillator. Am Heart J 1980: 1 DO: 1089. :
259 ELEKTROFISIOLOGI M. Yarnin, Sjaharuddin Harun, Lukman H. Makmun
EASAH SISTEM KONDUKSI DAN KELISTRIKAN
PENDAHULUAF{
JANTUNG Elektlofisiologi adalah prosedur perleriksaan sistem listrik jantung clengan tujLran utanra untnk mengetahui rlekanistne clan terapi ariti'nia . Proscdur perneriksaan ini meliputi peneulpatan katel-er dengan elektroda multipolar melalui vena dan atau ai'teri pada beberapa tempat di dalam jantung
untuk pelekaman dan pemacuan. l)engan kata lain diiakukan pelekaman dan pernacnan pada bagian lang spcsitlk pada sistem listrik jantung nrisalnya atrium. ventrikel, sinus koronarius clau Hi.t huntlle. Umumnya perleriksaan elektrofisiologi dilan.iutlcan dengan prosedur ablasi kateter yaitu suatu tindakan niemutus (terminasi) sirkuit atau tbkus aritnria dengan rnenggLtnakan enr-rgi gelorrrhang ( rttdi ofr e q ue nr'.t' ab i u t i rt i t). Secara umurr ada tiga tu-iuan utanra pe rneri ksaan elektroiisiologi yaitu menentukau jeris aritmia, rnemastikan mekanisnre aritnria, dan memilih jenis terapi yang paling
Sistenr kelistlikan jantung bersumber dan dimulai dari NodLrs Sinoatrial (NSA) 1'ang terletak di antara pertemuan vena kava superior dan atrium kanan seperti yang terlihat pada Gambar 1. Sinyal listrik kemudian disebarkan ke seluruh atrium melalui nodus interatrial (anterior, media, dan posterior) dan ke atrium kiri melalui bundle dari Bachman. Di antara atrium dan ventrikel pada sulkus
atrioventrikular terdapat suatu struktur jaringan ikat (.carrlinr: .skeleton) y'ang berfungsi sebagai tempat melekatr.rya katup jantung. Secara elektris. komponen ini bersifat sebagai penyekat (insulator) sehingga sinyal listrik
tadi tidak dapat lewat ke ventrikel kecuali melalui Nodus Atrioventrikular (NAV). NAV terletak di atrium kanan pada bagian bawah septlrm interatrial Saat memasuki NAV impuls mengalami perlambatan yang tergambar sebagai
tepat untuk aritmia tersebut, termasuk ablasi radioliekuensi. Jadi pemeriksaan elektrofi siologi umumnya
men.jadi satu kesatuan dengan prosedur terapi ablasi ladiofiekuensi yang dikenal juga sebagai elektrofisiologi intervensi. Bidang ini menjadi satu subspesialisasi kaldiologi yang mengkhususkan pada terapi aritmia yang kompleks dengan inl-eryensi kateter dan aiat-alat (devices). Sebe:iur-n nremahami clektrofisiologi secara lebih baik diperlukan penrahaman dasar tentang sistem listrik dan konduksi jantung, dan mekanisme ter-jadinya gangguan irama (aritrnia) baik [akiriritmia (ganggr"ran irama dengan laju jantLrng yang cepat) rraupuu bradiiiritmia (gangguan iranla dengan iaju jantung lanlbat). Selanjutnya akan
-,
I
supenorvena cava
2 intelof
the
suFror
3 rlghlal rum 4 in eL oI the nbior
dibalias cara, prinsip, dan indikasi pemeriksaan
6 lnleiorvens€va
elektrofisiologi. Pada akhir dari trrlisan ini diulas pula secaril
ringkas peranxn terapi ablasi radiofrekuensi untuk
Gambar 1. Anatomi sistem konduksi jantung. Penjelasan terinci lihat teks (Dikutip dari Huszan RJ. Basic dysrhythmias 71h Ed, Mosby 2002)
beberapajenis aritmia yang kerap dijurnpai dalam praktek sehari-hari
Lefl anterior [ascLcle
- Righ b!ndie branch
"
1644
t64s
FI FKIROFISIOIOGI
interval PR pada EKG permukaan. Selanjutnya impuls masuk ke bundle His, yang metupakan bagian pangkal
0 (depolarisasi cepat) terjadi pembukaan kanal natrium cepat (rapid sodium channel) sehingga
(proksimat) dari sistem His-Purkinje yang bersifat
terjadi pergerakan ion natrium dari luar sel ke dalam sel dan membuat potensiai trans membran meniadi lebih positif. Hasil akhir (resultan) dari peningkatan puncak voltase ini yang dikenal sebagai depolarisasi. Setelah fase depolarisasi ini maka sel akan kembali ke dalam potel-rsial
menghantarkan listrik dengan sangat cepat. Kemudian sinyal listrik ini diteruskan ke berkas cabang kanan dan kiri dan berakhir pada serabut Purkinje dan miokard untuk membuat otot jantung berkontraksi. NSA merupakan pembangkit lisrrik alamiah yang dominan (automatisasi dengan laju yang paling cepat) sehingga mengendalikan seluruh pacuan. Bagian lain dari jantung terutama jaringan konduksi, pada dasarnya juga mampu membangkrtkan impuls listnk. BilaNSA tidak dapat membangkitkan impuls karena satu dan lain hal, maka akan
diambil alih olehbagian lain seperli atrium,NAY, atatbundle His. Demikian pula bila terjadi blok atrioventrikel (keadaan bila impuls dari NSA tidak dapat diteruskan ke ventrikel) makaNAV atatbundle His akan menjadipembangkit listrik cadangan tentu dengan laju yang lebih lambat dari NSA.
POTENSIAL AKSI JANTUNG (CAPDtAC ACTTON
Pada fase
membran istirahat yang dikenal dengan istilah repolarisasi. Pada fase I dan2 sel tetap mengalami depolarisasi walaupun sudah mulai memasuki fase repolarisasi. Pada saat ini sel sama sekali tidak dapat dirangsang yang dikenal dengan p erio de refrakte r eJbkt |f (efib c tiv e refracto ty p e rbde). Peran kanal kalsiurn lambat amat menonjol pada fase ini yaitu dengan memompa kalsium masuk kembali ke dalam
sel secara perlahan sehingga memperlarnbat fase repolarisasi. Selama fase 3 repolarisasi terus berlangsung dan sel mulai kembali ke keadaan istirahat dan pada saat ini sel sudah dapat dirangsang tetapi dengan energi yang lebih besar (periode refiakter relatif). Fase 4 adalah fase akhir saat sel kembali dalam keadaan istirahat penuh dan siap untuk menerima rangsangan kembali.
POTENTTAL) Semua sel hidup, termasuk sel jantung, pada saat istirahat memiliki muatan positif di luar sel dan muatan negatif di
MEKANISM E TERJADINYA ARITMIA
dalam sel dan perbedaan potensial yang timbul akibat hal ini disebut potensial transmembran istirahat. Besarnya perbedaan potensial berkisar antara -90 sampai -60 mV. Bila sel tersebut dirangsang akan menimbulkan pergerakan ion dari luar sel ke dalam sel. Pergerakan ini akan
Gangguan irama jantung (dikenal sebagai aritmia) dapat dikelompokkan menjadi takiaritmia (gangguan irama dengan laju cepat) dat bradiaritmia (.ganggtan irama
menimbulkan potensial listrik dan bila digambarkan berdasarkan waktu akan terlihat sebagai sebuah grafik yang dikenal sebagai Potensial Aksi Jantung (PAJ). Jadi PAJ
merupakan gambaran EKG dari satu sel jantung yang bisa direkam dengan meletakkan electrode mikro di dalam sel.
PAJ terdiri dari lima fase yaitu fase 0 (depolarisasi 1 (repolarisasi cepat dini), fase 2 (plateu), fase 3 (repolarisasi akhir), dan fase 4 (potensial membran istirahat) seperti terlihat pada Gambar 2. cepat), fase
dengan laju lambat). Terj adinya aritmia (a r ry ht hmo
gen
es i
s)
disebabkan oleh tiga mekanisme utama yaitu gangguan
pembentukan impuls, gangguan hantaran impuls, dan kombinasi kedua-duanya. Yang termasuk gangguan pembentukan impuls adalah otomatisasi yang tidak normal (abnormal atrtomaticitlt), aktivitas yang dicetuskar. (triggered activit!). dan setelah depolari sasi lambat (de I ay e d aft e rd ep o I ariz,at
i
o
n).
Y
ang
tergolong gangguan hantaran impuls adalah blok satu atatl dua arah tanp a reent,)) (blok AY blok SA, dan blok berkas
cabang), blok satu arah dengan reentr)i (resiprokal n son -Whi te), re e nt r tnodus AV dan takikardia ventrikel karena reentry berkas cabang. Pada tulisan ini pembahasan akan disederhanakan pada
taki kardi a p ada s indrom Wolf-Parki
0
penyebab yang paling sering yaitu gangguan
-x
pembentukan (inisiasi) impuls yang lebih dikenal dengan
otomatisasi dan gangguan hantaran irnpuls yang lebih dikenal dengan reentr\. -90
t@
s@nds n
tu
40
60
30
AU OTOMATISASI (A UrO M AT t C
trYl
RP = Resting membrane Potential
Gambar 2. Potensial Aksi Jantung (PAJ) dimulai bila rangsangan yang diberikan melampaui ambang batas (threshold) yaitu -60 mV (Dikutip dari Huszan RJ. Basic dysrhythmias. 7'h Ed, Mosby 2002)
(enh cutc ed aut omat ic it,-) disebabkan oleh percepatan (akselerasi) pada fase 4 dan dapat terjadi di atrium, bundle His, dan ventrikel sehingga
Automatisasi yang meningkat
t646
KARDIOI,OGI
muncul istilah takikardi atrial, junc.tionctl, dan ventrikel
jalur ini saling berhubungan baik di bagian distal maupun
otomatis. Struktur lain yang dapat menjadi sumber fbkus
proksimal seperti yang disyaratkan di atas. Pada gambar 3 B, bila irnpuls prematur tiba di jalur B pada saatjalur tersebut masih refrakter karena stin'rulasi sebelumnya (ingat jalur B memiliki masa refrakter yang relatif lebih panjang), maka impuls tadi tidak bisa melewati jalur tersebut dan beralih ke jalurA. Pada saat impuls tadi beralih dari jalur B ke jalur A, saat itu jalurA sudah pulih dari masa reltakternya karena ia memiliki masa refrakter yang lebih pendek daripada jalur B. Oleh karena itu impuls tadi dapat turun ke distai melalui jalurA. Karena kecepatan konduksi di jalurA lebih lambat maka saat impuls tiba di bagian distal, jalur B telah pulih
olomati sasi adrilah vena pulmonal dan vena kava superior. Contoh takikardi otomatis yang normal adalah sinus takikardi. Ciri khas takiaritmia ini adalah adanya fenomena wonn-up dan wamn-down yaitu peningkatan laju nadi secara perlahan dan kernudian laju nadi berkurang secara perlahan sebelum akhirnya takiaritmia berhenti.
Takiaritrnia karena automatisasi sering berkaitan dengan gangguan metabolik sepeti hipoksia, hipokalemia,
hipomagnesemia, dan asidosis.
dari masa refraktemya sehiu_{-ea impuls dapat melewatijalLrr secara retrograd dan kembali ke jalur A dan demikian
B
REENTRY
seterusnya dan timbullah sirk:uit rcentry.
Ini adalah mekanisme yang terbanyak sebagai penyebab takiaritmia dan paling mudah dibuktikan pada pemeriksaan el ektrofisiologi. Prasyarat mutlak Lrntuk tim bul ny a r e e nt r radalah sebagai berikut: . Adanya dua jalur konduksi yang saling bcrhubungan baik pada bagian distal maupun proksimal . Salah satu jalur tersebut harus memiliki periode refrakter yang lebih panjang dari yang lain
.
.
.lalur dengan periode refrakter yang lebih pendek harus memiliki kecepatan konduksi yang lebih lambat dari yang lain lnisiasi reentry* memerlukan adanya hambatan pada salah satu jalur tersebut (.unidirectional block).
PETAKSANAAN PEMEBIKSAAN ELEKTROFISIOLOGI Pemeriksaan elektrofisiologi jantung merupakan suatu cabang spesialisasi kardiologi yang memerlukan fasilitas dan alat yan-u khusus. staf yang terampil. dan ekspertise
yang akurat. Persiapan pemeriksaan elektrofisiologi meliputi persiapan a1at. staf dan pasien. Peralatan yang paling utama diperlukan adalah:
. Alat fluoroskopi
.
Secara skematis mekanisme tersebut dapat dilihat pada
Gambar3.
.
(biasanya sudah tersedia di
laboratori um kateterisasi)
Alat khusus eiektrofisiologi yang meliputi: - stimu.lator jantung (cardiac stimulator')
-
piranti lunak untuk sistem pencatat dan perekam data berbagai jenis kateter untuk diagnostik. pemetaan. dan ablasi
-
alat pemban-ukit energi radiofrekuensr (radio
fre quenct ener gl generator) Alat tambahan sepefii i.nfusion pump, pulse oximern'. haemo dynami c monito rin g, dan e xte rnal deJibrill a xt r.
Secara skematis tata letzk peralatan di atas dapat dilihat pada Gambar 4. Untuk staf diperlukan seorang perawat dan
ts
teknisi yang mahir melakukan berbagai stimulasi jantung dengan memakai alat stimulator jantung.
B
Gambar 3. Mekanisme terjadinya reentry Jalur A adalah jalur dengan periode refrakter pendek tapi kecepatan konduksi lambat sedangkan jalur B adalah jalur dengan kecepatan konduksi cepat tapi masa refrakter lebih paniang Mekanisme terinci dapat dilihat pada teks.( Dikutip dari Fogoros RN Electrophysiologic testing 3'd Ed, Blackwell Science, 1999)
Pada Gambar 3 jalur A adalah jalur dengan periode
refrakter lebih pendek tapi memiliki kecepatan konduksi yang lambat sedangkanjalur B adalahjalur dengan periode refrakter panjang tapi kecepatan konduksi cepat. Kedua
Gambar 4. Skema tata letak semua peralatan utama yang diperlukan dalam pemeriksaan elektrofisiologi (Dikutip dari ESI EP Training material)
1647
EI FKTROFISIOLCIGI
Persiapan pasien dilakukan sama seperti untuk prosedur invasif lainnya yaitu puasa sekitar 6 jam dan
rremberikan surat persetujuan tindakan (inJormed con,sent). Obat-obat antiaritmia harus dihentikan paling
tidak empat kali waktu paruh (rata-rata 2-3 hari sebelumnya). Yang agak problematik adalah amiodaron karena waktu paruhnya sangat panjang. Obat antikoagulan
juga harus dihentikan. Akses (alan masuk) kateter yang akan ditempatkan di dalam ruang jantung dapat dimasukkan melalui vena
-*-**r--.------
*.-,-
+
femoralis, venajugularis interna, vena subklavia, dan vena basilika. Sering pula diperlukau akses melaltri arteri
femoralis dan pungsi septum interatrium (trunseptal puncture ) untuk mencapai atrium kiri . Kateter selanjutnya ditempatkan di atrium kanan, apeks ventrikel kanan, 111.r bundle,dan sinus koronatius (Gamtrar 5). Kadang-kadang diperlukan penempatan kateter di ventrikel kiri, right ventricuLar outflow trcLct (RVOT), dan
Gambar 6 . Contoh pengrXrr- interval dasar dari EKG perrnukaan dan intrakardiak (elektrogram). Dari EKG permukaan ditampilkan sandapan l, AVF, dan V1 RV=right ventricle, HRA=high right atrium, HBE D=his bundle electrogram dista!, FIBE P=his bundle electrogram proximal, CS 9-10= coronary sinus proximal, CS 12=coronarV sinus distal (Dikutip dari Murgatroyd FD, Krahn AD,
r.'ena pulmonalis untuk studi khusus seper-ti ablasi pada
Klein GJ, et al. Handbook of cardiac electrophysiology: a practical guide to invasive EP studies and catheter ablation.
fibrilasi atrium.
Remedica Publishing, 2002)
-
penilaian konduksi dan masa refraktori sistem
His-Purkinje induksi aritr-nia atrial Pemacuan ventl-ikel - penilaian kondLrksi retrograd - indLrksi aritmia ventrikel L,ji-coba etek obat
-
" '
ini hanya diterangkan cat'a pengukuran saja sedangkan plotokol lainnya tidak. interval dasar Pada tulisan
PENGUKURAN INTERVAL DASAR Sebelunr dilakukan stilnttlasi dilakukan perekatlan dan
Gambar 5. Posisi kateter di dalam jantung masing-masing di ventrikel kanan, atrium kanan, bundle dari His, dan sinus
penghitungan interval dasar (Gamtlar 6) yaitu: . Dari EKC pcrrnukaan: - interval PR (dari rnulai gelombang P sampai awal
koronarius
Langkah seianjutnya adalah rnelakukan perekatran sinyal listrik dalam jantung (dikenal dengan elektrogram) dari masing-masing lokasi khusus dalam jantung (atrium kanan. verrtrikel kanan, lrlis buntlle, dan sinus koronarius). Gambar 6 memperlihatkan contoh eiektrograrn dari tempat
tersebut di atas. Secara umum ada empat protokol utama dalam pemeriksaan
.
komple-ks QRS) dLrrasi kornpleks QRS
interval QT (dari mulai gelornbang sarrrpai akhir
gclomban-e T) DadEGM(Elektrogram) - panjang siklLrs dasar (.Basir: Ctcle Lcn;qth) yang menceflninkan laju irama clasar (intrinsik)
-
interval PA interval AFI interval LtrV
elektrof isiologi yaitu:
. .
Pengukuran interval sistern konduksi pada satat all'al (basel ine)
PEMEHIKSAAN ELEKTROFISIOLOGI PADA
Pemacuan atrium:
TAKIKAR DIA SUPRAVENTRI KEL (TSV)
-
penilaian sifat konduksi dan otoruatisasi NSA penilaian konduksi dan nrasa refiaktori NAV
Tirkikardia supraventrikel (TSV) aclalah aritmia yang diderita
1548
I(ARDIOI.OGI
sekitar i% populasi, paling sering ditemukan dalam praktek
sehari-hari, dan digunakan untuk menggantikan istilah lama untuk parorysmal atrial tachycardia. TSV n-rerupakan suatu kelompok aritmia yang melibatkan struktur di atas bundel dari His dengan atau tanpa rrelibatkan ventrikel . TSV dapat dibagi lagi nienjadi )/ang tidak teratur (iregular) yaitu fibrillasi atrial dan yang teratur' (regular) yaitu:
.'l-akikardi a reentri nodal atdoventrikul lar Notlal Reentrant Tachycardia)
er (Atrioy
et
tric u-
Sirkuit reentri berada di dalam nodus atrioventrikel dan ventrikei tidak ikut serta dalan memperlahankan aritmia
.
.
(Gambar6.A)
Takikardia reentri atrioventrikules (Atriov e nt ric ular reentrant tachttcardia) Takikardia ini amat bergantung pada keberadaanjaras tambahan (.accessor r- parhwalt) dan melibatkan ventrikel dalam sirkuit takikardia Takil
masuk melaluijalur cepat karena impuls melalui jalur lambat terhambat akibat jalur tersebut masih dalam masa refrakter
dari depolarisasi melalui jalur cepat. Karakteristik jalur ganda pada NAV (dual AV nodal pathway') adalah adanya jalur lambat (cr) dan jalur cepat (0). Jalur lambat mempunyai masa refrakter singkat tapi kecepatan konduksi yang lambat. Sedangkan jalur cepat memiliki masa refrakter lebih panjang tapi kecepatan
Ini adalah syarat mutlak utnuk memungkinkan terjadinya reentri. Pada gambarA, impuls dari atrium masuk ke NAV dan ventrikel melalui jalur cepat konduksi yang cepat.
(p). Pada gambar B, impuls prematur dari atrium yang masuk ke jalur cepat (B) terhambat karena pada saat itu jalur B masih dalam masa refrakter. Akibatnya impuls akan beralih ke jalur lambat (u) dan karena konduksi di jalur ini lambat maka tercermin pada EKC permukaan sebagai pemanjangan
interval PR. Pada gambar C, impuls yang lewat melalui jalur lambat tadi naik kembali secara retrograd melalui jalur
u dan turun kembali secara antegrad melalui jalur p dan membentuk sirkuit reentry di dalam NA. Pemanjangan interval PR ini menandakan adanya lompatan impuls dari jalur cepat ke jalur lambat yang merupakan salah satu
Dari ketiga jenis TSV yang teratur tersebut, yang paling kerap ditemukan adalah takikardi reentri nodus atrioventrikular yang rneliputi 907o dari seluruh TSV dan
karakteristik inisiasi pada takikardi rentri nodus atrioventrikuler. Jenis TRNA ini disebut tipe biasa (common/typical type). Reentry dapat pula terjadi
25% TSV yang datang ke laboratorinm elektrofisiologi. Oleh karena itu jenis ini akan dibahas lebih rinci dibandingkan dengan yang lainnya.
sebaliknya yaitu antegrad melaluijalur cepat dan retrograd melalui jalur lambat (tipe tidak umtm/uncommon type). Karena NAV memegang peranan penting dalam sirkuit reentri ini maka perasat vagal (vagal maneut,er) dan obatobat yang menghambat konduksi NAV (penyekat beta, digoksin, Can antagonis kalsium) dapat memutus aritmia ini. Pada Gambar 8 diperlihatkan gambaran rekaman intrakardiak (elektrograrn) saat inisiasi TRNA tipe biasa
(commonhlpical type). Ablasi TRNA merupakan tindakan terapi kuratif dengan angka keberhasllan 95-9lVo. Pendekatan ablasi TRNA adalah dengan memutus jalur lambat (slo** pathway). Gambar 9 memperlihatkan skema lokasi ablasi dan rekaman
elektrogram yang spesifik dari jalur lambat (,slow Gambar 7. Tiga jenis takikardia supraventrikel yang tersering A Takikardi reentri nodal atrioventrikuler B. Takikardi reentri atrioventnkuler C Takikardi atrial. Untuk penjelasan rinci dapat dilihat pada teks (Dikutip dari Fogoros RN. Electrophysiologic testing. 3'd Ed, Blackwell Science, 1999)
TAKIKARDIA REENTRI NODUS ATRIOVENTRIKUI.AR
pathway).
o
(,
(rRNA) Pada kebanyakan pasien terdapat dua jalur mastk (dual AV nodal pathwav*) dari atrium ke nodus atrioventrikuler (NA) yaitu jalur cepat (fust pathway) dan jalur lamb at(slowpathv:av). Penelitian terkini mendapatkan adanya tiga jalur nr asuk dari atri urn ke NA yaitu j alur lambat, j alur menengah, dan jalur cepat. Umumnya pada saat irama sinus, impuls
Gambar 8. Mekanisme terjadinya takikardia reentri nodus atrioventrikuler. penjelasan rinci dapat dilihat pada teks (Dikutip dari Fogoros BN Electrophysiologic testing. 3'd Ed, Blackwell Science, 1999)
ELEKTROFISIOLOGI
A
1649
Supen('r vena cava Coronary
Compact
os
His bundle
I.icusOic
Garnbar 10. Takikardia Reentran Atrioventrikuiar (TRA). Atrium Right ventiic e
Kanan dan kiri (FIA/LA) dan ventrikel kanan dan kiri (R/LV) secara normal tidak dapat menghantarkan impuls listrik karena adanya skeleton kardiak (membentuk annulus tricuspid dan mitral) yang
bersifat sebagai insulator Satu-satunya penghubung secara elektris adalah NAV Jika pasien memiliki penghubung tambahan dalam hal ini accessory pathway, maka kriteria sirkuit reentri terpenul.ri (Dikutip dari: Schitling RJ Which patient should be referred to an electrophysiologist: supraventricular tachycardia Hea S
rt 2002 87 299-304 ;
:
)
ow pathway potentia
TRA dapat dibagi rnenjadi antidrornik V6
Gambar 9. (A) Skema ablasi pada jatur lambat (slow pathway) pada TRNA Kateter ablasi diletakkan di depan ostium sinus koronarius.(B) Gambaran elektrogram tempat ablasi yang baik:terlihat defleksi ventrikel yang lebih besar dari defleksi atrium
yang diikuti oleh defleksi potensial jalur lambat (slow pathway potential) Diperlihatkan juga elektrogram atrium dan ventrikel kanan, dan bundel dari His. (Dikutip dari Culkins H. Radiofrequency ablation of supraventricular arrhythmias. Heart 2OO1 ;85:594-600).
TAKIKARDIA ffRA)
dan
ortodromik. Pada TRA antidrornik konduksi antegrad terjadi rnelalui jaras tambahan sedangkan konduksi retrograd rnelalr,ri NAV sehingga pada rekaman EKG permukaan hkan membelikan garnbaran takikardia dengan kompleks QRS lebar (contoh pada Gambar 1l). pada
TRA ortodrornik konduksi antegrad melalui NAV dan retrograd melalui jalas tarnbahan sehingga gambaran EKG permukaan terlihat sebagai takikardi dengan kompleks QRS sempit (normal). TRA merupakan jenis aritmia yang sangat diindikasikan untuk tindakan 1
R EENTRY ATBIOVENTRIKULER
Pasien dengan TRA dilahirkan memiliki jaras tambahan (occe s sotl' pathutay) yang biasanya memiliki karakteristik konduksi yang berbeda dengan NAV sehingga takikardi
dapat muncul pada usia neonatus, kanak-kanak. cian dewasa. Jaras tambahan tersebLrt menghubungkan permukaan epikardial atrium dengan ventrikel sepanjang sulkus atrioventrikuler. Jaras tambahan dapat
99o/o d,an
komplikasi 1.8'lo. Pada tulisan tidak dibahas tenrang elektrotisiologi pada takikardia venl.rikuler (TV) karena akan dibahas pada topik
TV
lt
l.r. ,r,/'1, trur- ,l'
dikelompokkan berdasarkan tokasinya di sepanjang anulus katub trikuspid dan mitral, sifat konduksinya (detrimental atau non-detrimental), dan apakah ia mampu melakukan konduksi antegrad saja, retrograd saja, atau kedua-duanya. Bila jaras tambahan ini hanya mampu melakukan konduksi secara retrograd saja maka disebut sebagi jaras yang
tersembunyi (concealed pttthway). Sedangkan yang mampu melakukan konduksi secara antegrade disebut manifest , tercermin dengan adanya preeksitasi pada E,KG permukaan (gelombang delta). Jadi istilah sindrom WoLJ' Parkinson White hanya diberikan kepada pasien dengan preeksitasi dan takiaritmi yang bergejala. Mekanisme terjadinya TRA dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 11 Takikardia Beentran Atrioventrikuler (TFIA) tipe ododromik dengan gambaran kompleks QRS lebar. (Dikutip dari Wellen HJJ. Ventricular tachycardia: diagnosis of broad eRS complex tachycardia. Heaft 2001 ;86:579-585)
1650
PEMERIKSAAN ELEKTROFISIOLOGI PADA BRADIARITM!A Penyebab bradiaritmia yang kerap didapatkan di klinik adalah penyakit pada NSA dan blok atrioventrikular (AV
KARDIOLOGI
bawah kateter ablasilah yang menjadi sumber energi panas, bukan kateter itu sendiri. Thermal injury adalahmekanisme utama kerusakan j aringan selama prosedur ARF. Kerus akan jaringan permanen timbul pada temperatur sekitar 50 derajat
Celcius (Gambar 12).
block).
Kelainan pada NSA dapat bermanif'estasi berupa sinus bradikardia, sinus arrest, atau bradikardia yang bergantian dengan fibrilasi atrial (FA) paroksismal. Evaluasi otomatisitas (automaticity) NSA dilakukan dengan menilai Waktu pemulihan nodus sinoatrial (Slnas Node Recoverl Time). Caranya adalah dengan meletakkan kateter pada atrium kanan di dekat NSA, dan dilakukan pemacuan dengan laju sedikit lebih tinggi dari irama dasar selama 30 detik. Pemacuan selanjutnya dihentikan secara mendadak. Interval pemulihan (diukur dari saat pacuan atrial terakhir sampai munculnya irama sinus spontan) mencerminkan normal tidaknya fungsi NSA. Umumnya bila nilai interval ini melebihi 1500 milidetik dianggap tidak normal. Penilaian gangguan konduksi pada NAV umumnya memerl ukan prosedur invasif . Prosedur elektrofisiologi Iebih menekankan pada penilaian lokasi hambatan hantaran: pada NAV, pada I1is-Purkinie. atau
tidak
Gambar 12.. Kerusakan jaringan permanen (daerah berwarna putih) akibat ablasi radiofrekuensi (Dikutip dari ESI training material)
distal dari /1is-Purkinje (infrahis). Gangguan pada tingkat
NAV umumnya bersifat sementara seperti pada iskemia dan infark miokard akut. Umumnya gangguan pada NAV bersifatjinak karena laju nadi berkisar 55 kali per menit sehingga j arang menyebabkan gangguan hemodinamik.
Gangguan pada Ills atau pada bagian distalnya kerap menimbulkan gangguan hemodinamik yang signifikan. Infark miokard akut yang melibatkan arteri koroner kiri desendens adalah penyebab tersering karena daerah ini diperdarahi oleh arteri tersebut. Miokarditis kerap juga mengenai jaringan konduksi ini. Pada pemeriksaan elektrofisiologi untuk menilai gangguan hantaran pada NAV adalah dengan melihat rekaman dari His (His electrogram). Berdasarkan gambaran elecktrogram tersebut dapat ditentukan tingkat hambatan pada NAV.
Prosedur ARF adalah prosedur invasif minimal dengan memasukkan kateter ukuran 4-8 mm secara intravaskular (umumnya ke jantung kanan) dengan panduan sinar X. Biasanya prosedur ini bersamaan dengan perneriksaan elektrofisiologi. Prosedur elektrofisiologi bertujuan untuk
mencetuskan aritmia dan memahami mekanismenya, Selanjutnya kateter ablasi diletakkan pada sirkuit yang penting dalam merpertahankan kelangsungan aritmia lersebut di luarjaringan konduksi normal. Bila lokasi yang
tepat sudah ditemukan maka energi radiofrekuensi diberikan melalui kateter ablasi. Umumnya pasien fidak merasakan adanya rasa panas tapi kadang-kadang dapat
juga dirasakan adanya rasa sakit. Bila tidak terjadi komplikasi pasien hanya perlu dirawat selama satu hari btrhkan bisa pulang hari.
ABLASI KATETER (CATHETER ABLATIOM SEBAGAI TINDAKAN KURATIF PADA TAKIARITMIA
KAPAN HARUS MERUJUK PASIEN UNTUK PBOSEDUR ELEKTROFISIOLOGI DAN ABLASI
Prosedur elektrofisiologi hampir selalu diikuti oleh tindakan
KATETER?
kuratif berupa ablasi kateter. Sebelum tahun 1989 ablasi kateter dilakukan dengan sumber energi arus langsung yang tinggi (high energy direct current)berupa DC shock. Karena pemberian energi dengan jumlah tinggi dan tidak
Indikasi untuk ARF bergantung pada banyak hal seperti Iama dan frekuensi takikardi, tolerausi terhadap -sejala,
terlokalisasi maka banyak timbul komplikasi. Saat ini ablasi kateter dilakukan dengan energi radiofrekuensi sekitar 50 watt (W) yang diberikan sekitar 30-60 detik. Energi tersebut diberikan dalam bentuk gelombang sinusoid dengan frekuensi 500.000 siklus per detik (Hertz). Selama prosedur ablasi radiofrekuensi (AR.F) timbul pemanasan resistif akibat agitasi ionik. Jadi jarrngan di
efektivitas dan toleransi terhadap obat antiaritmia, dan ada tidaknya kelainan struktur jantung. Untuk TSV yang teratur (re gular sup raventriotLa r tac hy c a rdia), banyak penelitian yang menunjukkan bahwaARF lebih efektif daripada obat dalam aspek peningkatan kualitas hidup pasien dan penghematan biaya daripada obat antialitmia. Kelompok pasien berikut ini sebaiknya dirujuk untuk prosedur elektrofisiologi dan ARF:
1651
FI tr'KIROFISIOLOGI
.
.
Pasien dengan aritmia yang mengancam
jiwa:
Pasien Fibrilasi Atrial (FA) dengan sindrom I|'ofParkinson-Whlte dengan masa refrakter antegrad jaras tambahan yang pendek Pasien dengan aritmia yang menimbulkan gagal jantung:
-
takikardia atrial incessant
-
fluter atrial
TRA dengan menggunakanjaras tambahan dengan sifat penghantaran yang lambat dari ventrikel ke atnum
.
.
fibrilasiatrial
Pasien dengan takiaritmia bergejala meskipun telah mendapat terapi obat:
-
takikardiaatrial fluter atrial fibrilasi atrial
TRNA TRA takikardia ventrikel idiopatik
Pasien seperli pilot, supirbis, atlit professional dengan j aras tambah an (.atriov entricular ac c e s s o t) p athw ay)
dengan periode refrakter antegrad yang pendek sehingga dapat membahayakan jiwa orang lain.
Dari beberapa meta analisis didapatkan angka keberhasilan rata-rata ARF pada TSV adalah 90-98Vo dengan angka kekambuhan sekitar 2-57o. Angka penyulit
rata-rata adalah sekitar l,Vo. Oleh karena itu ARF dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama dibandingkan dengan obat-obatan. Seandainya diperlukan tindakan ulang biasanya angka keberhasilannya jauh lebih tinggi lagi.
REFERENSI Calkins H. Radiofrequency ablation of supraventricular arrhythmias . Heart 2001:85:594-600. Chauhan VS, Krahn AD, Klein GJ, et al Supraventricular tachycardia, Medical Clin of North Am;85:196-223. Fogoros RN. Electrophysiologic testing. 3rd Ed, Blackwell Science, 1999 Friedman PA Novel mapping techniques for cardiac electrophysiology Heart 2002;81:575-82 Huszan RJ. Basic dysrhythmias 7'h Ed, Mosby, 2002 Lundqvist CB, Scheinman MM, Aliot EM, et al ACC/AHA/ESC guidelines for the management of patients with supraventricu-
lar arrhythmias Circulation 2003 ;108:1871-909 Mi11er
JM and Zipes DP Diagnosis of cardiac arrhythmias. In: Zipes
DP, Libby P, Bonow RO, et al. Heart disease: a textbook of ' cardiovascular medicine.T'h Ed, Elsevier Saunders, 2005. Murgatroyd FD, Krahn AD, Klein CJ, et al. Handbook of cardiac electrophysiology: a practical guide to invasive EP studies and catheter ablation. Remedica Publishing, 2002. Ramo BW and Wagner GS. The Physiology of normal and abnormal rhythms In: Waugh RA. Ramo BW, Wagner GS, et al. Cardiac arrhythmias : a practical guide for clinician. 2"d Ed, FA Davis
Company, 1994. Rubart M and Zipes DP. Genesis of cardiac arrhythmias: electrophysiological consideration. In: Zipes DP, Libby P, Bonow RO, et al. Heart disease: a textbook of cardiovascular medicine.T'h Ed, Elsevier Saunders, 2005. Schilling RJ Which patient should be referred to an electrophysiologist: supraventri c ular tachycardia. Heart 2002:.8'7 :299 -304. Singer I (Ed). Interventional electrophysiology. 2"'j Ed, Lippincort
Williams and Wilkins, 2001 Wellen HJJ Ventricular tachycardia: diagnosis of broad complex QRS tachycardia. Heart 2001;86:579-85 Wellen HJJ. Catheter ablation for cardiac arrhythmias. N Eng J Med 2005 12:1112-4
260 PACU JANTUNG MENETAP (PERMANEN) M. Yamin
PENDAHULUAN jantung permanen (PJP) adalah suatu sirkuit di mana sebrah generalor mengeluarkan arus listrik yang mengalir ke otot jantung (miokard) melalui sebuah kabel (wire) penghantar untuk merangsang jantung berdenyut, dan selanjutnya kembali ke generator (sirkuit berakhir). Jadi PJP umumnya diindikasikan pada kelainan irama jantung yang lambat (bradikardia), baik oleh karena kelainan pembentukan impuls misalnya sindrom sinus sakit (SSS) Pacu
maupun kelainan hantaran impuls (misalnya blok atrioventrikel total). PJP akan mengembalikan sistem
anestesi lokal dan masa perawatan singkat (satu hari). Para dokter umum, peserta program pendidikan spesialis penyakit dalam atau kardiologi, spesialis penyakit dalam, atau spesialis jantung baik pada saat pendidikan maupun
melaksanakan praktek tidak jarang berhadapan dengan pasien yang memerlukan pemasangan PJP atau yang sudah terpasang PJP. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan dasar tentang PJP, terutama indikasi pemasangan dan
tindak lanjut (follow-up) sederhana dan praktis. Dalam tulisan ini akan dibahas prinsip kerja PJP, terminologi yang dipakai pada PJP, indikasi pemasangan dan pemilihan jenis PJP, dan kemajuan terkini di bidang PJP.
pemacuan jantung ke keadaan fisiologis sehingga dapat meningkatkan curah jantung dan memperbaiki sirkulasi otak
dan organ tubuh lainnya. Hasil akhirnya adalah menghilangkan keluhan pasien yang mengalami bradikardia. seperti mudah lelah, sinkop, dan sesak napas. Teknologi PJP telah mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat sejak pemasangan PJP pertama pada manusia yang dilakukan olehAke Senning, seorang dokter bedah toraks dari Swedia, pada tahun 1958. Pada waktu itu indikasi pemasangan PJP masih sangat terbatas pada kasus bradikardia seperti hambatan atrioventrikel total dan proses pemasangan melalui prosedur torakotomi yang dilakukan oleh seorang ahli bedah toraks. Saat ini perkembangan PJP semakin luas dari segi indikasi dan penempatan pacing lead. Terobosan terkini dari segi indikasi adalah untuk mencegah takiaritmia seperti fibrilasi atrium (FA). Lokasi penempatan p acing lead ptn mengalami perubahan dari yang klasik (apeks ventrikel
kanan dan apendiks atrium kanan) menjadi septum ventrikel kanan atau, Right Ventricular Outflotv Tract (RVOT) tntlk lead ventrikel dan septum bagian bawah atrium kanan untuklead atrilm untuk mengurangi kejadian FA. Demikian pula dengan prosedur implant yang semakin sederhana dan dilakukan oleh seorang kardiolog dengan
ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM KONDUKSI JANTUNG Jantung memiliki pembangkit listrlk (generaror) sendiri yaitu nodus sinoatrial (NSA) yang bekerja menghasilkan impuls listrik secara otomatis (Gambar 1). Imppls listrik ini diteruskan ke sistem konduksi lain yaitu jaras interatrial danbundle dari Bachman ke atrium kiri. Di antara atrium
dan ventrikel terdapat jaringan kartilago yang dikenal
sebagai cardiac skeleton (Gambar 2). Struktur ini berfungsi sebagai insulator (penyekat hantaran impuls setelah terjadi depolarisasi atrium semua impuls listrik akan masuk ke Nodus Atrioventrikuler (NAV).
listrik) sehingga
Di sini impuls listrik
mengalami perlambatan untuk
memberikan kesempatan pengisian darah dari atrium ke ventrikel secara optimal. Selanjutnya impuls akan diteruskan ke berkas His yang kemudian bercabang menjadi Berkas Cabang Kiri (BCK) dan Berkas Cabang Kanan (BCKa) dan berakhir di serabut Purkinje dan otot jantung (miokard) dan membuat bilik jantung berkontraksi. Gangguan pada salah satu komponen sistem konduksi ini dapat berupa gangguan pembentukan impuls pada NSA
t652
1653
PACU JANTUNG MENETAP (PERMANET9
dan atau gangguan hantaran impuls yang secara klinis berdampak timbulnya gejala hampir pingsan (nearsyncope') atau pingsan (syncope). Keadaan klinis inilah yang menjadi indikasi utama pemasangan pacu jantung.
Atrioventricular node Bundle of His
KONSEP DASAR DAN PHINSIP KERJA PACU JANTUNG PERMANEN PJP pada dasarnya terdiri dari dua komporren Lltama yaitu pulse genercnor (Gambar 3) dan pacing lead (Gambar 4).
Pulse generalnr terbuat dari lithitrm iotline bottert, yang merupakan sumber energi Lltama untllk menghantarkarl impuls ke miokard. Fungsi tambahannya adaiah sebagai
pusat pengaturan fungsi PiP. Rata-rata gcnerator mempunyai lamakerja sekitar4-10 thn (tergantung apakah
pasien sepenuhnya tergantung pada PJP atau tidak). Generator dihubungkan dengan endokardium .jantung melalui pacing lead. Pacing leod merupakan suatu insul.ate
d -w i t"e
yang berfungsi menghantarkan impuls dari
pttLse generator ke otot jantung dan melaktLkan deteksi
(sensing) sinyal depolarisasi (kontraksi) jantung. Secala umum pacing lead dibagt dua yaitu pacing leatl yang dimasukkan secara intravena ke dalam endokardiurn (transvenous lead) dan yang dipasang di atas epikardiurr (epicardial lea$.Yang paling sering dipakai adalah jenis yang pertama . Transvenous lead terdii dari dua jenis yaitu
Purkinje fibers
untuk fiksasi pasif (tine lead'y atalu untuk fiksasi aktif (.screw-in lead') seperti terlihat dalam Gambar 4. Left bundle branch
Gambar 1. Sistem konduksi jantung, Pembentukan impuls dimulai
secara otomatis di Nodus Sinoatrial (Sinoatrial Node) dan dihantarkan ke seluruh atrium untuk mendepolarisasi atrium Selanjutnya impuls diteruskan ke Nodus Atrioventrrkel (Atrioventricular Node), berkas dari H s, Berkas Cabang Kanan dan Kiri, serabut Purkinje, dan berakhir di otot jantung (Dikutip dari AHA ECG tutorial)
Gambar 3. Pada gambar ini diperlihatkan contoh generator dari berbagai merek dan model (Dikutip dari www.medtronicConnect. com dan www guidant com)
Fibrous skeleton of the heart
Gambar 4. Gambar di sebelah kiri adalah jenis /eadfiksasi pasif (tine lead) dengan tonjolan seperti duri pada ujungnya untuk memudahkan perlekatan dengan trabekel endokardium Sedangkan gambar sebelah kanan adalah lead f iksasi aktif (screw-in) dengan screw pada ujungnya (Dikutip dari St Jude Medical Teaching Material)
Gambar 2. Cardiac skeleton. Jaringan kaftilago yang menyokong struktur katup jantung dan berfungsi sebagai penyekat impuls listrik dari Nodus Sinoatrial agar tdk menyebar ke jaringan lain tapi
terkumpul di Nodus Atrioventrikular. (Dikutip dari: Fogoros FlN. Electrophysiologic testing 2nd Ed, Blackwell Science, 1999)
Lead wtuk fiksasi aktif lebih stabil dan jarang lepas (dislokasi) pada fase akut pasca implant karena ujung Lead di tanam melalui .rcreru ke dalam septum atau endokardium dan mudah ditanam di mana saja di dalam ruang jantung.
t654
KARDIOLOGT
Sedangkan tine lead melekat pada trabekel endokardium sehingga relatif lebih mudah mengalami perubahan posisi pada t'ase akut pasca implantt apalagi bila terdapat kelainan regurgitasi katub trikuspid. Di sarnping ifi pacing lead juga ada yang dilapisi obat steroid dan ada yang tidak. Jadi arus listrik yang dikeluarkan oleh generator akan dihantarkan ke otot jantung melalui pacing lead darr kembali ke generotor dan demikian seterusnya. Pada ujung pacing lead terdapat elektroda bermuatan negatif (katoda) yang kontak langsung miokard. Sedangkan elektroda yang menerima impuls listrik setelah terjadi depolarisasi disebut
saat tindak lanjut. Pada tahanan (itnpeclance) yang tinggi maka arus yang dikeluarkan akan berkurang sehingga kelangsungan generator akan lebih panjang. Beberapa konsep dasar yang perlu dipahami adalah ambang rangsang (stinttrlation thre,shold) dan scnsing.
anoda. Pada sistern kutub tunggal (unipolar) maka katodanya terletak di ujung pacing lead darr anodanya di generator. Sedangkan pada sistem kutub ganda (bipolar)
Ampiitude (yang dinyatakan dalam volt) yang diberikan
katoda terletak di uj ung pacing lead yangkontak langsung dengan miokard dan anoda terletak pada bagian proksinral
pacing lead (terdapat dua elekroda). Jadi saat terjadi pemacLran maka impuls listrik akan keluar dari generator dialirkan melalui lead dan katoda dan kembali ke anoda. Untuk FJP kamal tunggal (single charuber) maka hanya dipakai salt lead yang biasanya ditempatkan pada apeks ventrikel kanan (Gambar 5). Pada PJP kamar ganda(clouble chamber) lead ditempatkan di atrium kanan dan ventrikel
Ambang rangsa,ng(thresholrl) adaiah energi minimal yang
diperlukan untLrk membuat kontraksi otot juntung (depolarisasi) Agar ambang rangsang dapat membuai kontraksi otot jantung (captttre) rnaka diperltrkan besarnya
arus yang diberikan oleh pacu jantung ke miokard (cr
m p I itw de
) dan lamany a s ti mul us diberi kan (pu l,s e
n:
i
dth
1.
harus rnemiliki nilai yang cukup r-rntuk depolarisasi miokard. Denrikran pula denganpuls e witlth (y,ang dinyatakan dalarn milisekon) harus mempunyai durasi yang cukup agar dapat
membuat otot jantung kontraksi. Kombinasi kedua komponen inilah yang menentukan apakah stimulasi dari pacu jantung dapat mendepolarisas miokard (c'ttpture). Pada Gambar 6 (diambil dari hasil uy threshoLtl sa.lah satu pasien penutris saat tindak lanjut di Divisi Kardioio,qi
Departemen llmu Penyakit DalnmiPJT RSUPN Ciptcr Mangtrnkusumot diperlihatkan conloh garnbaran EKC pada saat captLtre dan io.rt (.tl)tt(re.
kanan. ,oPLUlcUUllll,lCUvUdylucUUll,llllt
1,20v@0,37rs V
0,[email protected] I
Gambar 6. Gambaran EKG yang diambil dari programer pada saat tindak lanjut pasien dengan PJP.Dengan amplitude 2,4 voll
Gambar 5. Pada pacu jantung kamar tunggal maka lead umumnya diletakkan pada ventrikel kanan. Pada indikasi tedentu lead dapat pula diletakkan pada atrium kanan. (Dikutip dari www.guidant.com/ condition/arrhythmia/ image)
terljhat stimulus pacu jantung dapat membuat depolarisasi ventrikel kanan (capture) yang terlihat pada EKG sebagai kompleks QRS dengan moffologi Blok Berkas Cabang Kiri (Leff Bundle Branch Black Morphology) Amplitude terus diturunkan secara bedahap dan pada angka 0,6 volt stimulus ini tidak dapat mendepolarisasi ventrikel (lost capture) Berufii thresholrl (energi minimal yang diperlukan untuk mendepolarisasi ventrikel) pada pasien ini adalah 0,9 volt.
Komponen lain yang penting adalah sensing yaitu Prinsip kerja PJP terkait erat dengan konsep dan hukum
elektrodinamik terutama hukum ohm. Hukum ohm menyatakan bahwa tegangan listnk (V) adalah berbanding lurus dengan perkalian kuat arus (I) dan resistensi (R). Semakin besar resistensi dalam sirkuit PJP maka semakin besar tegangan yaog diperlukan untuk mengalirkan arus listrik dalam sirkuit tersebut. Penerapan hukum ini pada sistem PJP amat penting untuk menilai keutuhan sistem PJP baik pada saat pemasangan (.implanf) maupun pada
kemampuan pacu jantung untuk mengenali adanya iraml intrinsik jantung (.intrinsic rlqtthnt') sehingga bila irama tersebut muncul maka pacu jantung tidak akan memberikan stimulus (inhibited). Sensing yang akurat memungkinkan pacu jantung untuk mengetahui apakah jantung dapat membentuk iramanya sendiri. Jadi pacu jantung hanya akan
bekerja bitra jantung tidak dapat membentuk atau menghantarkan itrpuls. Pada GambarT berikut ini disajikan contoh penilaian sensing oleh pacu jantung (diambil dri salah satu pasien penLrlis):
1655
PACU JANTUNG MENETAP (PERMANEN)
Gambar 9. Kompleks ORS yang ke-7 tidak dapat dikenali (undersensing) oleh pacu jantung sehingga stimulus tetap
I Gambar 7" Sensing yang dilakukan oleh pacu jantung mendapat nilai gelombang R (irama intrinsik pada ventrikel) adalah 8,4 milivolt (mV) Nilai ini cukup baik untuk ventrikel (minimal 5 mV)
Dalanr kaitan ini dikenal istilah undersensing dan ctversensing. Yang pertama berarti jantung tidak dapat rnengenali ilarna intrinsik pasien baik di atrium maupun di ventrikel sehingga tetap memberikan pacuan (stirnuius) wal.aupun jantung ticiak memerlukannya. Sedangkan yang i
diberikan (tanda garis lurus, splke, setelah QRS kompleks) Seharusnya pada saat tersebui pacu jantung tidak memberikan stimulus (Dikutip dari St Jude Medical Teaching Material)
TERMINOLOGIDALAM PJP Untuk memudahkan dalam komunikasi dan penamaan PJP maka oleh Norrh Americo.n Society of Pacing and ELectropht;siology (NASPE) dan British Pacing and
Electropht;siology Group ( BPEG) dibuatlah pedoman istilah yang dipakai pada PJP sebagai berikut:
Posisi
I
menggambarkan ruangan dipacu untuk
mengatasi bradikardia. Posisi iI menggambarkan ruang tempat deteksi irama spontan (intrinsik) untuk tujuafl mencetuskan atau menghambat pacuan. Sedangkan posisi III menggambarkan reaksi terhadap posisi II. Posisi IV agak unik karena menggambarkan apakah PJP
tertentu memiliki kemampuan untuk menyesuaikap laju pacuan (rate adaptive) sesuai dengan kebutuhan aktivitas pasien. Ini penting pada pasien dengan chronotropic incompetence . Sedangkan posisi V menggambarkan apakah ada pemacuan lebih dari satu tempat pada ruang yang sama (biatriaL atau biventricle pacing). Umumnya empat posisi pertama yang kerap dipakai dalam praktek sehari hari. Berikut ini disajikan berbagai contoh istilah tersebut:
voo Ruang yang dipacu adalah ventrikel (V) tanpa ada ruang yang dideteksi (O) dan tentu tidak ada respons terhadap deteksi/sensing (O). Jenis ini dikenal sebagai pemacuan
ventrikel tidak sinkron
VVI Ruang yang dipacu adalah ventrikel (V) dan ruang tempat deteksi adalah ventrikeljuga (V) dan respons bila terdapat s ensingl irama intrinsik adalah inhibisi (I)/ penghambatan.
VVIR Sama seperti B
Gambar B. Keadaan oversensing pada gambar A terjadi setelah
kompleks QRS ketiga akibat adanya aktivitas otot dada (miopotensial) Aktivitas otot ini ditangkap oleh pacu jantung
di
atas tetapi pada jenis
ini
terdapat
kemampuan adaptasi laju pacuan (R=rate adaptive) sesuai dengan kebutuhan aktivitas pasien, Biasanya dipasang pada pasien FA dengan blok AV total
sebagai irama intrinsik ventrikel sehingga pacu jantung tidak memberikan stimulus pada saatnya yaitu di antara kompleks QRS ketiga dan keempat Pada gambar B pacu jantung salah mengenali gelombang T sebagai kompleks QRS sehingga tidak memerikan stimulus pada saat seharusnya (tanda panah) (Gambar A dikutip dari buku The Medtronic ECG Workbook dan Eambar B dikutip dari St Jude Medical Teaching Material).
DDD Pemacuan dan deteksi kamar ganda (D) dengan respons inhibisi bila terdapat sensing irama intrinsik baik pada atrium dan ventrikel pada nilai AV tertentu dan akan
1656
I(ARDIOI.OGI
Ruang yang dipacu
Kategori O=Tidakada A = atrium V = ventrikel D = atrium dan ventrikel
Ruang yang mendeteksi (sensrng)
Respons terhadap sens/ng
Laju Pemacuan Banyak (rafe Tempat (multisite modulation) pacing\
O = tidak ada A = atrium V = ventrikel D = atrium dan vetrikel
O = tidak ada | = inhibisi T = trigerred D = inhibisi dan trigerred
O = tidak ada R = rate modulation
memberikan pemicuan (/rigger) pada ventrikel bila terdapat sensing/deteksi pada atrium pada interval VA tertentu
DDDR Sama seperti di atas ditambah kemampuan adaptasi laju pemacuan. Inilahjenis PJP yang paling fisiologis dan ideal.
Pengaturan Pacuan
O=tdk ada A=atrium V=ventrikel D=atrium dan ventrikel
bradycardia). Secara terinci indikasi pemasangan PJP menurut pedoman bersama dari American College Cardiolctgy, American Heart Associatiott, dan North American Society of Pacing and Electrophysiolog:,, terutama untuk indikasi kelas I, adalah sebagai berikut:
Blok Atrioventrikel Didapat (Acquired Atr i ove nt r i c u I a r HEMODINAMIK PADA PACU JANTUNG
.
-
-
kejadian fibrilasi atrium. Sebaliknya pada pemacuan kamar ganda (dual chamber pacing) tujuan ini dapat dicapai secara
maksimal.
Tekanan darah sistemik dan curahjantung adalah dua parameter yang menjadi perhatian utama pada pemacuan fisiologis. Pada uji khnis The Mode Selection Trial in
Sinus-Node Dysfunction didapatkan pemacuan kamar ganda menyebatrkan adanya penurunan risiko fibrilasi atrial, pengurangan gejala gagal jantung, dan sedikit perbaikan angka kesintasan (surviv al).
INDIKASI PEMASANGAN PACU JANTUNG
laju jantung lambat yang bergejaTa (symptomaric
Setelah prosedur ablasi pada Atrioventricular
-
.
BlokAV pasca operasi yang tidak dapat pulih kembali Penyakit neuromuskular dengan blok AV seperti distrofi muskular miotonik Blok AV derajat dua pada tingkatan manapun yang diserta bradikardi bergej ala.
Pemacuan pada Blok Bifasikular dan Trifasikular Kronis
. . .
BlokAV derajat tiga yang hilang timbtil (intermittent) BlokAV derajat dua tipe II Blok berkas cabang yang bergantian (alternating bundle branch block)
Pemacuan pada Blok AV pada lnfark Miokard Akut (lMA)
.
.
PERMANEN Secara umum indikasi pemasangan PJP adalah keadaan
yang berkaitan dengan blok AV Aritmia dan keadaan lain yang memerlukan obat yang menyebabkan bradikardi bergejala Adanya asystole yang terdokumentasi dengan durasi 3 detik atau lebih atau laju irama escape yar,g kurang dari 40 kali per menit pada pasien sadar meskipun tanpa gej ala (sympt om-fr e e)
junction
diketahui bahwa atrium menyumbang sekltat 30qa terhadap curah jantung (atriaL kick). Pada pemacuan dapat dicapai. Pemacuan kamar tunggal juga dapat memberikan efek samping berupa peningkatan angka rawat-inap karena gagal jantung dan peningkatan
k)
pada lokasi anatomi manapun yang disertai: Bradikardi yang bergejala (termasuk gagaljantung)
Tujuan yang paling ideal dalam pemasangan PJP adalah tercapainya pemacuan yang fisiologis (physiological paclng) untuk mendapatkan efek hemodinamik yang optimal. Konsep pemacuan fisiologis ini telah berkembang seiring dengan bertambahnya pemahaman tentang hemodinamik yang berkaitan dengan pacu jantung dan kecanggihan sistem pacu jantung itu sendiri. Adanya keselarasan antara pemacuan atrium dan ventrikel (.AV synchrorzy) adalah amat penting untuk memberikan efek hemodinamik yang positif. Seperti
kamar tunggal (single chamber pacln g) maka hal ini tidak
B Io c
BlokAV derajat 3 atau blokAv derajat dua yang lanjut
.
BIokAV derajat dua menetap dengan blokberkas cabang bilateral atau blok AV derajat tiga pada IMA Blok AV (derajat dua atau tiga) sesaat yang disertai blok berkas cabang. Jika lokasi blok tidakjelas maka diperlukan pemeriksaan elektrofisiologi. Blok AV derajat dua atau tiga yang menetap dan simtomatik
1657
PACU JAIYTUNG MENETAP (PERMANEN)
Pemacuan pada Disfungsi Nodus Sinus (srnus node dysfunction) . Disfungsi nodus sinus dengan bradikardi yang terdokumentasi, termasuk sinus pauses yang sering. Pada kebanyakan pasien hal ini disebabkan oleh obat-
.
obatan yang penting dengan indikasi kuat dan tidak ada pilihan pengganti obat tersebut Inkompetensi kronotropik (laju nadi yang tidak dapat naik saat kebutuhan meningkat mislanya latihan) yang simtomatik
Pencegahan dan Terminasi Takiaritmia dengan Pemacuan (indikasi kelas lta)
.
.
Takikardia supraventrikel yang berulang dan bergejala serta terbukti dapat diterminasi dengan pemacuan dan ablasi atau obat akan memberikan efek samping yang tidak dapat ditoleransi. Fluter atrium dan takikardia supraventrikel yang terbukti dapat diterminasi dengan pemacuan dan obat atau ablasi tidak efektif
Pemacuan pada Sinkop Neurogenik dan Sindrom Sinus Karotis Hipersensitif
lain yang telah dijelaskan di atas. Sedangkan indikasi kelas II adalah keadaan kardiomiopati obstruktif hipertrofi yang simptomatik dan gagal dengan terapi obat dengan adanya bukti obstruksi alur keluar ventrikel kiri baik saat istirahat maupun dengan provokasi Pemacuan pada Kardiomiopati Dilatasi, indikasi kelas I adalah pada keadaan yang disertai disfungsi nodus sinus. Sedangkan indikasi kelas II adalah pemasangan pacu jantung ventrikel ganda (biventricular pacing) pada pasien kardiomiopati iskemia atau dilatasi yang bergejala, fungsional klas New York Heart Association
(NYHA) III
atau IV, tidak membaik dengan obat, durasi
kompleks QRS memanjang (130 milidetik atau lebih), diameter diastolik akhir ventrikel kiri sama atau lebih dari 55 mm, dan fraksi ejeksi kurang atau sama dengan 35Vo
Pemacuan pasca T[ansplantasi Jantung, adanya disfungsi nodus sinus dan inkompentensi kronotropik yang tidak dapat pulih setelah transplantasi jantung.
TEKNIK DAN PROSES PEMASANGAN PACU JANTUNG
Sinkop berulang akibat stimulasi pada sinus karotis, atau
Pemasangan PJP saat ini tidaklah sesulit pada masa dulu
penekanan minimal pada nodus sinus karotis yang menimbulkan asistol ventrikel selama 3 detik atau lebih tanpa adanya obat-obat yang menekan fungsi nodus si-
dan dapat dilakukan dengan anestesi lokal serta oleh seorang kardiolog saja. Persiapan pasien adalah puasa sekitar 6 jam sebelum prosedur. Antibiotika intravena diberikan sebelum dan 24 jam sesudah prosedur dilaksanakan. Selama tindakan pasien hanya diberikan
nus karotis
Pemacuan pada Anak dan Orang Dewasa dengan Penyakit Jantung Bawaan
. . . . .
.
Akses yang umunmya dipakai adalah dengan cepha-
BlokAV derajat dua atau tiga yang berkaitan bradikardi
lic vein cut-down atau punksi vena subklavia. Pada teknik
asimptomatik, disfungsi ventrikel, dan penurunan curah
perlama dilakukan insisi di atas sulkus deltopektoralis, dan dengan pemisahan jaringan secara tumpul, dicari vena sefalika yang umumnya berjalan sejajar dengan sulkus
jantung Disfungsi nodus sinus yang bergejala dan berkaitan dengan bradikardi yang tidak sesuai dengan usia Blok AV derajat dua atau tiga pasca operasi yang tidak pulih setelah rujuh hari BlokAV bawaan dengan irama pengganti tipe kompleks QRS lebar, irama ektopik ventrikel, dan disfungsi ventrikel kiri
Blok AV total pada bayi dengan irama ventrikel kurang dari 50-55 kali per menit atau disertai penyakitjantung bawaan dengan irama ventrikel kurang dai70 kali per merut
Takikardia ventrikel yang berganittg pada pause Qtause-dependent VT) dengan atau tanpa pemanjangan
interval QT dan manfaat pacing terbukti efektif.
Pemacuan pada Keadaan Khusus (spesifik)
.
sedasi ringhn tanpa anestesi umum.
Pemacuan pada kardiomiopati obstruktif hipertrofi,
indikasi kelas
I
pada kelainan
ini adalah adanya
disfungsi nodus sinus dan blokAV seperti pada keadaan
deltopektoralis. Pada saat yang sama dibuat kantung Qtocket) untuk generator. Bila vena diternukan, dilakukan cut-down untuk memasukkan lead alat wire ke dalam atrium dan atau vetrikel kanan. Teknik lain adalah dengan langsung melakukan punksi pada vena subklavia untuk mendapatkan akses ke ventrikel dan atau atrium kanan. Setelah akses didapat dimastl
1658
KARDIOI.]OGI
pengujian parameter berupa threshold, sensing, dan
impedance. Untuk penempatan lead
atritm yang
konvensional adalah pada right atrial appendage. Namun saat ini untuk mencapai sinkronisasi antara atrium kanan dan kiri dan mengurangi dispersi elektris antara kedua atrium, posisi lead diletakkan pada right atrial high septum dan right atrial low septum (pada ostium sinus koronarius). Gambar 10 merupakan salah satu contoh pasien penulis yang dipasang PJP kamar ganda (dual chamber pacemaker). Selanjutnya lead diflksasi secara baik dan dihubungkan ke generator. Kulit ditutup lapis demi lapis secara jahitan berkesinambungan. Antibiotika diberikan sehari sebelum dan sampai sehari pasca pemasangan. Segera setelah selesai
dilakukan pemograman dan pengecekan akhir dengan memakai alat yang disebut programmer. Pemeriksaan rutin dengan programmer ini diulang kembali tiga bulan kemudian
untuk mengtbah acute threshold menjadi chronic threshold dan secara berkala setiap 6 bulan. Parameter baku untuk atrium dan ventrikel dapat dilihat pada Tabel 2. Komplikasi yang mungkin timbul saat dan setelah
Gambar 10. PJP kamar ganda dengan penempatan lead atrium pada appendiks atrium kanan dan lead ventrikel di apeks ventrikel kanan. Jenis yang dipakai adalah tiksasi aktif (screw-in lead) yang pada ujung terlihat adanya screw (gambar diambil dari Laboratorium Kateterisasi Divisi Kardiologi Dept llmu Penyakit
Dalam FKU|/Pelayanan Jantung Terpadu RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakafia)
PEMILIHAN JENIS PJP
pemilihan PJP bergantung pada beberapa hal seperti yang terlihat pada Gambar 11. Pada prinsipnya pada blokAV yang disertai oleh aritmia atrial yang kronik maka dipilih pacu jantung kamar tunggal di ventrikel. Sebaliknya bila tidak disertai aritrnia atrial kronik dan diperlukan adanya keselarasan antara atrium dan ventrikel (AV synchrony) maka dipilih jenis pacu jantung kamar ganda. Faktor penentu lainnya adalah kompetensi
Yang menjadi pegangan utama dalampemilihan PJP adalah jenis kelainan dalam sistem konduksi jantung dan aspek
kronotropik (chronotropic c ompetence). Pada kelainan atau penyakit nodus sirus (sinus node dysfunction) maka faktor penentu pemilihan jenis pacu
sosial ekonomi pasien. Pada kelainan berupa blok AV maka
jantung adalah ada tidaknya kelainan konduksi nodus AV.
pemasangan PJP adalah pneumotoraks, hemotoraks, emboli udara, hematoma, trombosis intravaskular, erosi dan infeksi.
Desire for antrial pacing
Desire for rate response Rate-responsive
ventricular pacemaker
Rate-responsive
ventricular pacemaker
Singel-lead atrial sensing ventricular pacemaker
Gambar 11 . Pemilihan jenis pacu jantung pada kelainan blok atrioventrikuler (Dikutip dari Gregoratos G, Abraham J, Epstein AE et al. ACC/ AHfuNASPE guideline update for implanttation of cardiac pacemakers and antiarrhythmia devices.Circulation 2002;106:2145-61 )
16s9
PACU JANTUNG MENETAP (PERMANETO
Evidence for impaired AV conduction or concern over future development of AV block
Desire for AV syncrony
Desire for rate response
Desire for rate response
Gambar 12. Pemilihan pacu jantung pada kelainan nodus sinus. (Dikutip dari Gregoratos G, Abraham J, Epstein AE et al. ACC/AHA/NASPE guideline update for implanttation of cardiac pacemakers and antiarrhythmia devices.Circulation 2002;106:2145-61
)
TINDAK LANJUT (FOLLOW-U4 PASTEN DENGAN PACU JANTUNG PERMANEN
l.
Parameter implant akut (segera setelah implant sampai dengan 3 bulan): Threshold Voltagd < lV, tapi lebih disukai <0,5V Current <1,5 mA lmpedance kira-kira 400-1200 ohm Senslng Gelombang R: > 5 mV Gelombang P: > 2 mV
A.
1. 2. 3. B '1. 2.
ll. Parameter pada saat kronis
A.
B.
Threshold
1. 2. 3.
Voltage, <3 mV Current:< 6 mA
lmpedance sekitar 500 ohm Senslng Gelombang R: > mV Gelombang P:> 1,5 mV, sebaiknya 2,0-3,0 mV
1. 2.
Bila kelainan nodus sinus disertai dengan blok AV maka diperlukan pacu jantung di ventrikel dan bila diperlukan keselarasan antara atrium dan venrikel maka dipilih pacu jantung kamar ganda. Berdasarkan uji klinlkMOSD (Mode Selection in Sinus-node Dysfucntiorz) didapatkan bahwa pada pasien dengan disfungsi nodus sinus yang dipasang PJP kamar ganda dibandingkan kamar tungal, kelompok yang mendapatkan PJP kamar ganda mempunyai risiko kejadian fibrilasi atrial yang lebih rendah, gejala gagal jantung berkurang, dan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik. Pemilihan secara rinci dapat dilihat pada Garnbar 12.
Tujuan pokok tindak lanjut pada pasien dengan PJP adalah menilai sistem dan kinerja PJP secara menyeluruh untuk menjamin adanya fungsi pemacuan yang optimal dan
sesuai dan mendeteksi serta mencegah masalah yang berkaitan dengan PJP. Yang lebih penting lagi adalah merangkum semua informasi yang diperoleh dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisis, data kejadian yang tersimpan
di dalam pacu jantung,
dan hasil penilaian yang
kesemuanya diramu dalam satu "resep pacujantung". Pada prinsipnya tindak lanjut dimulai segera setelah implant dan
sampai sepanjang hayat pasien. Pada fase akut pasca pemasangan PJP, tindak lanjut awal dilakukan satu minggu setelah prosedur untuk menilai keadaan luka. Hal penting lain yang harus diinformasikan ke pasien adalah agar tidak mengangkat sisi tangan yang
dipasang pacu jantung melebihi bahu dan tidak mengangkat beban berat >5 kg pada selama I bulan. Pasien
tidak perlu kuatir akan pengaruh alat-alat elektronik di rumah. Yang perlu dihindari adalah alat generator besar di pabrik yang dapat menghasilkan gelombang elektro magnetik yang besar. Kemudian dilakukan tiga bulan berikutnya dengan tujuan utama untuk mengubah acute threshold (nilai amplitude yang diprogram pada saat pemasangan dan biasanya lebih tinggi untuk menjamin adanya capture karena masih adanya edema antara ujung
lead dan endokardium) ke chronic threshold (ntlai amplitude yang diprogram lebih rendah dari acute
1660
IGRDIOI.OGI
threshold dan minimal dua kali threshold). Tindak lanjut rutin selanjutnya adalah tiap 6 bulan. Penilaian dan pemeriksaan rutin yang dikerjakan saat tindak lanjut adalah menilai sensing dan capture,' memantau integritas sistem, memantau keadaan baterai'
generator, dan memodifikasi pemrograman sesuai kebutuhan pasien. Untuk itu setiap pasien datang dilakukan pengambilan riwayat penyakit, pemeriksaan dengan programmer untuk menilai parameter yang telah disebutkan di atas. Dalam memodifikasi semua parameter tersebut maka
EKG 12 sadapan, dan pemeriksaan
keselamatan pasien menjadi prioritas utama.
KEMAJUAN TERKINI DALAM BIDANG PACU JANTUNG Gambar 11. Pada CRT terdapat tiga buah lead yang dipasang di
Beberapa tahun belakangan
ini bidang pacu jantung
mengalami kemajuan yang pesat dalam hal indikasi. PJP tidak hanya digunakan untuk indikasi yang konvensional
seperti bradikardi tapi dikembangkan pula untuk pemakaian pada pasien gagal jantung (cadiac
atrium kanan (kiri atas) ventrikel kanan (paling bawah), dan sinus
koronarius (kanan atas). Gambar dikutip dari Cardiac Resynchronization Therapy for heart failure management, Medtronic lnc 2002)
resynchronization therapy) dan untuk pencegahan FA.
Indikasi pemakaian CRT menurut pedoman ACC/AHA/
Cardiac Resynchronization Therap (CRT) adalah istilah yang dipakai untuk menyelaraskan (sinkronisasi) kontraksi antara dinding ventrikel kiri dengan septum
NASPE (indikasi kelas IIa) untuk pemasangan CRT adalah: . pasien gagaljantung kelas funsional III-IV
interventrikel dalam usaha memperbaiki efisiensi ventrikel kiri dan selanjutnya berdampak kepada perbaikan klas fungsional. CRT memiliki 3 buah pacing lead yang
. . .
tidak membaik dengan obat yang optimal penyebab gagal jantung oleh karena kardiomiopati
.. . .
iskemia atau idiopatik durasi kompleks QRS > 130 ms fraksi ejeksi <35Vo dimensi akhir diastolik ventrikel kiri > 55 mm
masing-masing diletakkan di atrium kanan, ventrikel kanan, dan sinus koronarius untuk pemacuan pada dinding ventrikel kiri (Gambar 11). Dengan demikian pemacuan akan menyelaraskan kontraksi antara venrikel kiri dan kanan dan ini memberikan perbaikan hemodinamik berupa penurunan tekanan baji arteri pulmonal dan peningkatan curah jantung. Braun MU dan kawan-kawan melldapatkan adanya
simptomatik
jantung telah dicoba untuk mencegah takiaritmia atrial termasuk FA. Alasannya berdasarkan pengamatan bahwa denyut atrial prematur atau takikardi atrial muncul pada saat sinus bradikardi, sinus paus e, atau saat laju atrial Pacu
penurunan aktivasi neurohormonal, perbaikan klas
menurun. Selanjutnya denyut atrial premoture ini mencetuskan FA (focally-initiated AF). Oleh karena itu,
fungsional, dan kapasitas latihan paru jantung pada pasien gagaljantung klas fungsional III-IY fraksi ejeksi <35Vo, blok berkas cabang kiri dengan lebar kompleks QRS >150
dengan pacu jantung, sinus bradikardi dar. pause dapal dicegah sehingga denyut atrial prematur sebagai pemicu dapat ditekan. Hasil uji klinis Atrial Dynamic Overdrive
<24btian Bahkan Cleland
Pacing Trial (ADOPT) pemacuan pada atrium dapat
dan kawan-kawan dalam Cardiac Resynchronization and
mengurangi beban FA (AF burden). Jadi untuk pasien FA paroksismal dengan kecendrungan bradikardi dan FAyang dicetuskan oleh denyut atrial prematur maka PJP dengan kemampuan penekanan FA (AF suppression abilitl,) ada tempatnya dalam pilihan terapi.
ms yang mendapat CRT selama
Heart Failure (CARE-HF) Study mendapatkan adanya perbaikan gejala dan kualitas hidup pada pasien gagal
jantung yang diberikan CRT. Saat ini CRT kerap dikombinasi dengan implanttable cadiov erter defibrilla-
tor (ICD) karena angka kejadian kematian jantung mendadak pada pasien gagal jantung cukup tinggi yaitu sekitar 40Vo dai semua penyebab kematian. Mengingat mahalnya harga alat ini maka pemakaiannya harus sangat selektif pada pasien yang memang sangat memerlukan dan
akan mendapatkan manfaat yang maksimal dari alat tersebut.
REFERENSI Berstein AD, Daubert JC, Fletcher ED, et al. The revised NASPE/
BPEG generic code for antibradycardia, adaptive-rate, and multisite pacing. PACE 2002:'25:260-4.
L66t
PACU JANTUNG MENETAP (PERMANEI9
Braun MU, Rauwolf T, Zerm T, et al. Long term biventricular resynchronization therapy in advanced heart failure: efTect on neurohormones. Heart 2005:91 :60 l-5 Cleland JG, Daubert JC, Erdman E, et al The effect of cardiac resynchronization on rnorbidity and mortality in heart failure N Eng J Med 2005;352:62. Cooper JM, Katcher MS, Orlov MY Implanttable devices lbr treatment of atrial fibrillation. N Eng J Med; 2002;3216:2062-8. Ellenbogen KA. Cardiac pacing. Blackwell Scientific Publications,
t992 Gregoratos C, Abraham J. Epstein AE et al. ACC/AHA/NASPE guideline update for implanttation of cardiac pacemakers and
antiarrhythmia devices.Circulation 2002; 106:2145-61. Hayes Dl, Zipes DP, Cardiac pacemakers and cardioverterdefibrilators In: Zipes DP, Libby P, Bonow RO, et al. Heart Disease: a textbook
of cardiovascular medicine. 7'h Ed. Elsevier
Saunders, 2005.
Jeffrey, K, PeLrsonnet, V. Cardiac pacing, 1960-1985, a quarter cen-
tury of medical and indusLrial innovation 998:97:1978-91 IGight BP, Gesrh BJ, Carlson MD, et
Circulation
al
Role of permanent pacing
to prevent atrial fibrillation Circuiation 2005;11 l:240-5
KI, Sweeney MO, Silverman R. Ventricular pacing or dual chamber pacing fbr sinus node dystinction. N Eng J Med 2002:346:1854-2.
modulated pacing system. St Jude Medical Inc 2004 Linde C, Leclercq C, Rex S, et al. Long-term benefits of biventricirlar pacing in congestive heart failure. Results from the MUSTIC
(multisite stimulation in cardiomyopathy) study. J Am Coll Cardiol 2002:40: 1 1 1- 1 8. HW Miller BD, Moulton KP, et a1. Practical guide to cardiac pacing. 5'h Ed. Lippincott Williams, 2000. Reynods DW. Hemodynamics of cardiac pacing In: Ellenbogen KA, Wood MA Cardiac pacing and ICDs. 3'd Ed. Blackwell Moses
Science. 2002 Schoenfeld MH. Fo11ow-up assessments of pacemaker patient. ln: Ellenbogen KA, Wood MA. Cardiac pacing and ICDs. 3'd Ed.
Blackwell Science, 2002. Sweeney MO, Hellkamp AS, Ellenbogen
KA
Adverse effect of ven-
tricular pacing on heart failure and atrial fibrillation among patients with normal QRS duration in a clinical trial of pacemaker therapy for slnus node dysfunction. Circulation 2003:101:2932-1
I
Lamas GA. Lee
Levine PA. Guidelines to the routine evaluation, programming and fol1ow-up of the patient with an implantted dual-chamber rate-
Thambo JB, Bordachar P, Garrigue S, et al.Detrimental ventricle remodeling in congenital complete heart block and chronic right ventricle apical pacing. Circulation 2004;1 10:3166-37 Turner MS, Bleasdale RA, Mumford CE, et al.Left ventricular pacing improves haemodynamics variables in patients with heaft failure with a normal QRS duration. Heart 200.1;90:502-5.
26t DEMAM REUMATIK DAN PENYAKIT JANTUNG REUMATIK Saharman Leman
PENDAHULUAN
Latar Belakang Berdasarkan pola etiologi penyakit jantung yang dirawat di B agian Penyakit Dalam RSUP dr.M.Dj amil Padang tahun 1973-1977 didapatkan 31,47o pasien Demam Reumatik/ Penyakit Jantung Reumatik (DR/PJR ) pada usia 10-40 tahun, dengan mofialitas I2,4Vo (Harif, Saharman Leman, 1978).
Diagnosis kerja terhadap seorang pasien DR/PJR menentukan sekali, apakah benar-benar kita akan membantu pasien meningkatkan kualitas hidup yang baik atau sebaliknya, yang membebani pasien yang berat, baik mental, fisik ataupun sosioekonomi untuk seumur hidup bagi pasien ataupun keluarganya.
Spagnuolo, 1962).DR dapat sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan, tetapi manifestasi akut dapat timbul kembali berulang-ulang, yang disebut dengan
kekambuhan (recurrenl). Dan biasanya setelah peradangan kuman SGA, sehingga dapat menyebabkan DR tersebut berlangsung terus-menerus melebihi 6 bulan. DR yang demikian disebut DR menahun (TarantaA, 1981). Meskipun sendi-sendi merupakan organ yang paling tersering dikenai, tetapi jantung merupakan organ dengan kerusakan yang terberat. Sedangkan keterlibatan organorgan lain bersifat jinak dan sementara.("Rheumatic fever lips the joints, but bites the hearts").
Kuman SGA adalah kuman yang terbanyak menimbulkan tonsilofaringitis, di mana juga yang menyebabkan demam reumatik. Hampir semua Streptokokus grup A (SGA) adalah beta hemolitik,.(Bisno, 1977
Batasan DR merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non supuratif yang digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan ikat (Stollermary 1972). Proses reumatik ini merupakan reaksi peradangan yang dapat mengenai banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan sistem saraf pusat. Manifestasi klinis penyakit DR ini akibat kuman
Streptokokus Grup-A (SGA) beta hemolitik pada tonsilofaringitis dengan masa laten 1-3 minggu (Morehead, 1965). Sedangkan yang dimaksud dengan PJR adalah kelainan jantung yang terjadi akibat DR, atau kelainan
&Bravol9l9).
Dikatakan bahwa DR dapat ditemukan diseluruh dunia, dan mengenai semua umur, tetapi 907o dari serangan pertama terdapat pada umur 5-15 tahun, sedangkan yang terjadi dibawah umur 5 tahun adalah jarang sekali (Taranta dan Markowitz, 1981, Stollerman, 1990.) Yang sangat penting dari penyakit demam reumatik akut ini adalah dalam hal kemampuannya menyebabkan katupkatup jantung menjadi fibrosis, yang akan menimbulkan gangguan hemodinamik dengan penyakit jantung yang kronis dan berat. Demam reumatik merupakan kelainan jantung yang biasanya bukan kelainan bawaan, tetapi yang
diperdapat. Walaupun angka morbiditas menurun tajam pada negara yang berkembang tetapi pada negara yang sedang berkembang penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan yang utama. Kepastian sebab-sebab naik
karditis reumatik (Taranta A dan Markowitz, 1 98 1 ). DR akut adalah sinonim dari DR dengan penekanan saat akut, sedangkan yang dimaksud dengan DR inaktif adalah pasien-pasien dengan DR tanpa ditemui tandatanda radang, sinonim dengan riwayat DR (TarantaA dan
turunnya insidensi penyakit
ini masih belum jelas.
Meskipun demam reumatik ini telah diteliti secara luas
t662
1663
DEMAM REUMATIK DAN PEITYAKIT JAI{TUNG REUM^'ITIK
(ekstensif) tetapi patogenesisnya masih belum jelas (Taranta,1916). Penyakit Demam Reumatik dapat mengakibatkan gejala sisa (sequele) yang amat penting pada jantung sebagai
akibat berat ringannya karditis selama serangan akut demam reumatik. Dari beberapa penelitian tentang insidens
karditis dan PJR yang menetap adalah akibat kekambuhan DR tanpa PJR sebelumnya adalah sebagai beiktrt:6-l4Va Kekambuhan yang terbanyak dan terpenting adalah akibat perjalanan penyakit demam reumatik itu sendiri. Cukup banyak dilaporkan insidens dari kekambuhan demam reumatik yang yang berlanjut dan mengakibatkan Penyakit Jantung Ruematik. Pencegahan primer DR dapat diatasi dengan antibiotika Penisilin - V atau benzatin penisilin parentral yang adekuat terhadap kuman SGA betahemolitikus. Atau dapat juga dengan makrolid lainnya, bila biakan hapusan tenggorok merupakan diagnostik untukkuman SGA tersebut (Stollerman, 1955; Siegel, 1961). Dajani A. dan kawan-kawan 1995 melaporkan bahwa pasien DR adalah berisiko tinggi untuk terjadi kekambuhan
kembali oleh kuman SGA, sehingga diperlukan pencegahan yang berkelanjutan dengan antibiotika sebagai pencegahan sekunder terhadap kekambuhan tersebut.
"American Heart Asscosiation 1988" merekomendasikan perlunya dilakukan pencegahan sekunder yang berkelanjutan dengan protokol seperti yang dianjurkan oleh "Irvington House Group" ( U.K and U.S, 1965), tetapi yang sukar adalah menetapkan untuk berapa lama pencegahan sekunder ini dilakukan. Walaupun risiko kekambuhan berkurang dengan bertambahnya umur
dan juga interval kekambuhan makin panjang tetapi kekambuhan ini bisa terjadi selama 5-10 tahun. Hanya akan berkurang atau menghilang bila dilakukan pengobatan pencegahan sekunder secara teratur untuk waktu yang cukup lama (Barrent, 1975).
Maka dari itu disamping pencegahan primer perlu dilanjutkan dengan pencegahan sekunder untuk jangka waktu tertentu. Karena itu eradikasi untuk pencegahan sekunder dengan "Benzatin Penisilin G yang long acting" satgat diperlukan dalam mencegah terjadinya kelainan hemodinamik pada sirkulasi darah jantung
tidak memperlihatkan gejala-gejala yang khas (Wood dkk 1964, Krause 1975, Straser 1978), (Ramelikamp, 1958). (Krause 1975). Sedangkan kekambuhan demam reumatik +3}Vobilaterserang infeksi SGA (Spagnuolo dkk 1971) Majeed H.A dkk 1998, menganjurkan carApengobatan pencegahan sekunder tersebut sbbl. (Penicillin long act-
ing) Bila DR dengan karditis dan atau PJR (kelainan katup)
.
dilaksanakan pencegahan sekunder tersebut selama 10
.
pencegahan sekunder selama 10 tahun.
. DR saja tanpa karditis dilakukan
Streptokokus beta hemolitikus grup
.
A
sehingga
tercegah dari penyakit demam reumatik.
Pencegahan sekunder: yaitu upaya mencegah menetapnya infeksi Streptokokus beta hemolitikus grup A pada bekas pasien demam reumatik.
Program pencegahan primer sangat sukar dilaksanakan karena sangat banyaknya penduduk yang dicakup dan juga adanya infeksi Streptokokus hemolitik grup A (SGA) yang
pengobatan
pencegahan selama 5 tahun sampai umur 21 tahun. Secara umlu;rr Committee on Rheumatic Fever tahln 1995 menganjurkan pencegahan sekunder ini sampai umur 2l tahtn dan 5 tahun lagi setelah terjadi serangan ulangan, yang dilakukan tiap 4 minggu. Tetapi Lue H.C dkk 1986 dan
1994 pada daerah dengan insidens DR yang tinggi atau pasien dengan gejala PJR menganjurkan pencegahan sekunder ini tiap 3 minggu. Majeed H.A (1992) melaporkan bahwa selama,12 tahun pencegahan sekunder ini didapatkan kekambuhan DR ini sebanyak 0.0037o pasien pertahun dibandingkan tanpa melakukan pencegahan sekunder yaitu sebanyak 0.27o
pasien pertahun, juga melaporkan bahwa kekambuhan yang dicegah dengan cara diatas ternyata 70Vo pasien
dengan karditis menghilang bising jantungnya serta dengan irama jantung yang normal.
Maka dari itu di Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUnand/RSUP dr.M.Djamil Padang dilaksanakan suatu program pencegahan sekunder yang dapat mengurangi/ menghilangkan pe{alanan penyakit Demam Reumatik (DR) dan PJR yang cukup dahsyat ini. Protokol tetap yang dilaksanakan sejak tahun 1978 sampai sekarang adalah sebagai berikut: . Untuk pasien <20 tahun, mendapat suntikan Benzatin Penisilin G 1,2 juta unit tiap 4 minggu sampai umur 25 tahun.
. Bila umur pasien >20 lahlurr, harus mendapatkan suntikan Benzatin Penisilin G (long-acting) selama
(Stollerman, 1955). Seperti diketahui bahwa pencegahan demam reumatik ada 2caru: . Pencegahan primer: yaitu upaya pencegahan infeksi
tahun sesudah serangan akut sampai umur 40 tahun dan kadang-kadang diperlukan selama hidup. DR dengan karditis tanpa PJR dilakukan pengobatan
.
5
tahun.
Bila pasien telah selesai dengan protokol I dan 2 sedangkan terjadi kekambuhan lagi maka akan mendapatkan kembali suntikan Benzatin Penisilin G dengan dosis I ,2 juta unit tiap 4 minggu.untuk selama 5 tahun berikutnya. Bila kasus berat tiap 3 minggu
Selama 20 tahun, sejak Agustus 1978 sampai Agustus 1998 di bagian Penyakit Dalam FK-UNAND/RSUP Dr M Jamil Padang telah dilakukan analisis kesintasan dari hasil
program/protokol tetap di atas, dengan hasil kekambuhan
dapat dicegah sebanyak 80,27o dengan p<0,001. Kesembuhan yang datang teratur adalah 92,4Vo dengan
t664
IqRDIOI.OGI
odds rasio I1,61 di manap <0,0001 dan RR 1,8l. yang datang
dengan kepatuhan/taat. Sedangkan pengobatan serangan akut demam reumatik dipergunakan protokol tetap yang direkomendasikan oleh Taranta A ( 1 970 ) sebagai berikut: . Ditujukan pada manifestasi klinis yang didapat pada serangan akut (Tabel 1). . , Pencegahan primer ditujukan langsung pada SGA pada saat serangan akut.
Untuk pengobatan dari bermacam-macam manifestasi
klinis sewaktu pasien datang berobat maka pada fase akut ini dilakukan pengobatan sebagai berikut (Tabel 1) (Frankish,
197
5;TNanta & Markowitz, 198 1 , Committee on
Rheumatic Fever, I 995).
i':Ji"# ^"'i#i"" populasr
Negara
.
lnggris & Wales * Kuwait . Saudi Arabia * Swedia - USA
* lran
* Cekoslowakia * Hongkong * lndonesia
1-14
47
1984-1988 5-14
29
1
963
984 5 - 14 22 197'l-1980 0 - 15 0.2 1978 0 - 14 I 1975 semua umur 59-100 1972 1- 15 8.5 1972 semua umur 23 1
980-1
(belum ada laporan)
"dikutip dari Majeed HA 1992
sebagai akibat kekurangan kemampuan untuk melakukan Manifestasi klinis Artralgia Artritis saja dan/atau karditis tanpa Kardiomegali Karditis dengan kardiomegali atau Gagal jantung
Pengobatan Salisilat saja Salisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu dan diteruskan dengan 75 mg/Kgbb/hr selama 4-6 minggu Prednison 2 mg/kgbb/hari se lama 2 minggu dan tapering selama 2 minggu dengan ditambahkan salisilat 75 mg//kgbb/hari untuk 6
pencegahan sekunderDR dan PJR. TarantaAdan Markowitz
M,
1984 melaporkan bahwa DR adalah penyebab utama terjadinya penyakit jantung untuk usia 5-30 tahun. DR dan PJR adalah penyebab utama kematian penyakit jantung
untuk usia dibawah 45 tahun, juga dilaporkan
25-40%o
penyakit jantung disebabkan oleh PJR untuk semua umur.
mrnggu
PATOGENESIS Untuk program pencegahan primer dipergunakan obat Penisilin V 2 juta Unit/hari selama 10 hari atau Eritromisin 40 mg/kg bb ftrari selama l0 hari.
Meskipun sampai sekarang ada hal-hal yang belum jelas, tetapi ada penelitian yang mendapatkan bahwa DR yang mengakibatkan PJR terjadi akibat sensitisasi dari antigen Streptokokus sesudah 1-4 minggu infeksi Streptokokus di faring. Lebih kurang 957o pasien menunjukkan
EPIDEMIOLOGI DAN INSIDEN
peninggian titer antistreptoksin O (ASTO),
Meskipun individu-individu segala umur dapat diserang oleh DR akut, tetapi DR ini banyak terdapat pada anak-
dua macam tes yang biasa dilakukan untuk infeksi kuman
antideoksiribonukleat B (anti DNA-ase B) yang merupakan
anak dan orang usia muda (5- I 5 tahun) (Rosenthal, 1 968). Ada dua keadaan terpenting dari segi epidemiologik pada
DR akut ini yaitu kemiskinan dan kepadatan penduduk. Tetapi pada saat wabah DR tahun 1980 diAmerika pasienpasien anak yang terserang juga pada kelompok ekonomi menengah dan atas. (Majeed, 1984). Setelah perang dunia kedua dilaporkan bahwa di Amerika dan Eropah insiden
DR menurun, tetapi DR masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang. (Syed G.A, 1966; Shiokawa, 7917; Padmavati, 1978; Shrestha, 1979)
Pada penelitian dibawah ini terlihat insiden DR dan PJR di Eropah dan Amerika menurun (Pinsky, 1977), sedangkan di negara tropis dan sub tropis masih terlihat peningkatan yang agresif, seperli kegawatan karditis dan payah jantung yang meningkat. Majeed i992 melaporkan insiden DR di beberapa negara tercantum pada Tabel 2. Ternyata insiden yang tinggi dari karditis adalah pada anak muda dan terjadinya kelainan katup jantung adalah
SGA. (Pattaroyo,1979) Faktor-faktor yang diduga terjadinya komplikasi pasca
Streptokokus ini kemungkinan utama adalah pertama Virulensi dan Antigenisitas Streptokokus, dan kedua besarnya responsi umum dari "host" dan persistensi organisme yang menginfeksi faring (Morehead, 1965). Risiko untuk kambuh sesudah pernah mendapat serangan
Streptokokus adalah 50-60Vo. Robbins dkk. 1981 mendapatkan tidak adanya predisposisi genetik. Sedangkan Moreheid 1965 mengganggap pada mulanya faktor predisposisi genetik mungkin penting. Penelitian-penelitian lain kebanyakan menyokong mekanisme autoimunitas atas dasar reaksi antigen antibodi
terhadap antigen Streptokokus. Salah satu antigen tersebut adalah protein-M Streptokokus. Pada serum pasien DR akut dapat ditemukan antibodi dan antigen. Antibodi yang terbentuk bukan bersifat kekebalan. Dan reaksi ini dapat ditemukan pada miokard, otot skelet dan sel otot polos. Dengan imunofloresensi dapat ditemukan imunoglobulinnya dan komplemen pada sarkolema miokard
t665
DEMAM REUMAIIK DAN PEITYAKIT JANTUNG REUMATIK
MORFOLOGI
disertai bising mid-diastolik (bising Carey Coombs).
Lesi yang patognomonik DR adalah Badan Aschoff
Dengan dua dimensi ekokardiografi dapat mengevaluasi kelainan anatomi jantung sedangkan dengan Doppler dapat menentukan fungsi dari jantung. (Massel, 1958)
sebagai diagnostik histopatologik. Sering ditemukan juga pada saat tidak adanya tanda-tanda keaktifan kelainan jantung, dan dapat bertahan lama setelah tanda-tanda gambaran klinis menghilang, atau masih ada keaktifan laten. Badan Aschoff ini umumnya terdapat pada septumfibrosa intervaskular, dijaringan ikat perivaskular dan didaerah subendotelial. Pada PJR biasanya terkena ketiga lapisan endokard miokard dan perikard secara bersamaan atau sendiri-sendiri atau kombinasi. Pada endokard yang terkena utama adalah katup-katup jantung dan 507o mengenai katup mitral. Pada keadaan dini DR akut katup-katup yang terkena ini akan merah, edema dan menebal dengan vegetasi yang disebut sebagai Vemrceae. Setelah agak tenang katup-katup yang terkena
menjadi tebal, fibrotik, pendek dan tumpul yang menimbulkan stenosis. (Morehead, 1965).
MANIFESTASI KLINIS DR/PJR yang kita kenal sekarang merupakan kumpulan gejala terpisah-pisah dan kemudian menjadi suatu penyakit DR/PJR. Adapun gejala-gejala itu adalah:
.Miokarditis dapat bersamaan dengan endokarditis sehingga terdapat kardiomegali atau gagal jantung. Perikarditis tak akan berdiri sendiri, biasanya pankarditis.
Chorea Chorea ini didapatkan l07o dari DR (Strasseg I 978) yang dapat merupakan manifestasi klinis sendiri atau bersamaan dengan karditis. Masa laten infeksi SGA dengan chorea cukup lama yaitu 2-6 bulan atau lebih. Lebih sering dikenai pada perempuan pada umur 8-12 tahun. Dan gejala ini muncul selama 3-4 bulan. Dapat juga ditemukan pada anak
ini suatu emosi yang labil di mana anak ini suka menyendiri dan kurang perhatian terhadap lingkungannya sendiri. Gerakan-gerakan tanpa disadari akan ditemukan pada wajah
dan angota-anggota gerak tubuh yang biasanya unilateral. Dan gerakan ini menghilang saat tidur.
Eritema Marginatum Eritema marginatum ini ditemukan kira-kira1%o daipasien DR, dan berlangsung berminggu-minggu dan berbulan, tidak nyeri dan tidak gatal.
Artritis
Nodul Subkutanius
Artritis adalah gejala major yang sering ditemukan pada
Besamya kira-kira 0.5-2 cm, bundar, terbatas dan tidak nyeri
DR akut (Majeed H.A 1992). Sendi yang dikenai berpindahpindah tanpa cacat yang biasanya adalah sendi besar seperti lutut, pergelangan kaki, paha, lengan, panggul, siku dan bahu. Munculnya tiba-tiba dengan rasa nyeri yang meningkat 12-24 jam yang diikuti dengan reaksi radang. Nyeri ini akan menghilang secara perlahan-lahan. Radang sendi ini jarang yang menetap lebih dari satu minggu sehinggaterlihat sembuh sempuma. Proses migrasi artritis ini membutuhkan waktu 3-6 minggu. Sendi-sendi keciljari tangan dan kakijuga dapat dikenai. Pengobatan dengan aspirin dapat merupakan diagnosis terapetik pada atritis yang sangat bermanfaat. Bila tidak membaik dalam 24-72 jam, maka diagnosis akan diragukan.
tekan. Demam pada DR tidak khas, dan jarang menjadi keluhan utama oleh pasien DR ini (Strasser, 1981) Pada penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti-peneliti di berbagai negara, dari manifestasi klinis DR yang dilaporkan oTeh
U
insidens 40-507o (Majeed H A 1992), atau berlanjut dengan
gejala yang lebih berat yaitu gagal jantung. Kadangkadang karditis itu asimtomatik dan terdeteksi saat adanya nyeri sendi. Karditis ini bisa hanya mengenai endokardium saja. Endokarditis terdeteksi saat adanya bising jantung.
Katup mitrallah yang terbanyak dikenai dan dapat bersamaan dengan katup aorta. Katup aorta sendirijarang dikenai. Adanya regurgitasi mitral ditemukan dengan bising
sistolik yang menjalar ke aksila, dan kadang-kadangjuga
PAYA PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan adanya infeksi kuman Streptokokusus Grup
A sangat membantu diagnosis DR yaitu:
. .
Pada saat sebelum ditemukan infeksi SGA. Pada saat ditemukan atau menetapnya proses infeksi
SGA tersebut.
Karditis Karditis merupakan manifestasi klinis yang penting dengan
Committee of Rematic F ev er tahw 1992 dan penelitian
sendiri dapat dilihat seperti Tabel 3.
Untuk menetapkan ada atau pernah adanya infeksi kuman SGA ini dapat dideteksi: . Dengan hapusan tenggorok pada saat akut. Biasanya kultur SGA negatif pada fase akut itu. Bila positif inipun belum pasti membantu diagnosis sebab kemungkinan akibat kekambuhan dari kuman SGA itu atau infeksi Streptokokus dengan strain yang lain.
.
Tetapi antibodi Streptokokuslebih menjelaskan adanya
infeksi Streptokokus dengan adanya kenaikan titer ASTO dan anti DNA-se
1666
KARDIOI.OGI
Di Negara
.S .
Arabia,1984
Eritema Nodul r Marginatum Artritis carditis Korei Subkutan 80%
60%
7%
Mortalitas
0o/o
0%
lYo
(30)
lraq, 19BB (86)
. Tunisia, 1982
ao/
92o/o
A
79%
63%
1%
0%
0%
0%
60/o
64%
NI
NI
10o/o
2%
0.4o/o
10k
,o/
0.450/o
8o/o
20o/o
2%
2%
0 36% 0.98%
35Yo
1.7Yo
2.2%
4 4%
1,6Yo
0
(324)
. Kuwait,1992 (445) . usA, 1962 (275) . tndia,1974 (102) * lndonesia: - Asikin H 1984 - Saharman L
B1o/o
76% 66% 38% 83Yo
44% 42% 34% 57% 94,5Yo
11 5o/.
1999
Keterangan: Nl= tidak ada laporan Data ini dikutip dari Majeed AH untuk negara diluar lndonesia
Terbentuknya antibodi-antibodi ini sangat dipengaruhi
oleh umur dan lingkungan. Titer ASTO positif bila besamya 210 Todd pada orang dewasa dan 320 Todd pada anak-anak, sedangkan titer pada DNA-se B 120 Todd untuk orang dewasa dan240 Todd untuk anakanak. Dan antibodi ini dapat terdeteksi pada minggu kedua sampai minggu ketiga setelah fase akut DR atau 4-5 minggu setelah infeksi kuman SGA di tenggorokan (Whitnack F dkk 1985). Untuk inilah pencegahan sekunder dilakukan tiap 3-5 minggu (Stollerman, 1961). Pada fase akut ditemukan lekositosis, laju endapan darah
yang meningkat, protein C-reactive, mukoprotein serum. Laju endapan darah dan protein C-reactive yang tersering diperiksa dan selalu meningkat atau positif saat fase akut dan tidak dipengaruhi oleh obat-obat antireumatik. (Taranta & Moody, 1971) Anemia yang ringan sering ditemukan adalah anemia norrnositer normokrom karena infeksi kronis DR. Dengan kortikosteroid anemia dapat diperbaiki.Tidak ada pola yang khas dari EKG pada DR dengan karditis. Adanya bising sistolik dapat dibantu dengan kelainan EKG berupa interval PR yang memanjang atau perubahan patern ST:T yang tidak spesifik (Wahab, 1980)
U
PAYA-U PAYA DIAG NOSTI K
Diagnosis DR akut didasarkan pada manifestasi klinis,
bukan hanya pada simtom, gejala atau kelainan laboratorium patognomonis. Pada tahun 1944 Jones menetapkan kriteria diagnosis atas dasar beberapa sifat dan gejala saja. Setelah itu kriteria ini dimodifikasi pada tahun 1 955 dan selanjutnya direfisi 1965, 1984 dan terakhir 1992 olehAHA. (Tabel4)
Gejala major:
Gejala minor:
-
Korea
- Klinis: - suhu tinggi - Sakit sendi (adralgia) - Riwayat pernah menderita DRI/PJR
Nodul subkutaneus Eritema marginatum
- Lab : "reaksi fase akut"
Poliatritis Karditis
:
B. Terutama pada anakJdewasa muda aloanamnesa pada orang tua dan keluarga sangat diperlukan. Bila terdapat adanya infeksi Streptokoku,r sebelumnya maka diagnosis DR/PJR didasarkan atas adanya: 1. Dua gejala mayor atau 2. Satu gejala mayor dengan dua gejala minor se
Sedangkan penyediaan fasilitas pemeriksaan kuman Streptokokus belum meluas maka manifestasi klinis diatas harus dijadikan pegangan diagnosis suatu DR/PJR. Tentu
perlu dibedakan dengan
gej ala-gej ala penyakit-penyakit lain seperti rematoid artritis, pegal-pegal kaki infeksi virus, kelainan jantung bawaan dan lain-lain.
PERJALANAN PENYAKIT Manifestasi DR sangat bervariasi. tetapi umumnya muncul dengan bermacam-macam manifestasi klinis. Dan biasanya dengan berbagai manifestasi klinis yang sukar ditentukan pada saat pasien datang pertama kali berobat. Masa laten infeksi Streptokokus dengan munculnya DR akut cukup singkat bila ada atritis dan eritema marginatum dan akan lebih lama dengan chorea, sedangkan karditis dengan nodul subkutan diantaranya. Lamanya DR akut jarang melebihi 3 bulan. Tetapi bila ada karditis yang berat biasanya klinis DR akut akan
Ditambah: bukti-bukti adanya suatu infeksi
berlangsung 6 bulan atau lebih. (Taranta, 1964;
Streptokokus sebelumnya yaitu hapusan tenggorok yang positif atau kenaikan titer tes serologi ASTO dan anti DNA-
Majeed, I 992 Gejala karditis akan ditemukan pada tiga bulan pertama dari 93% pasien DR akut. (Mc Intosch dkk. 1935,
1667
DEMAM REUMATIK DAIY PEIYYAKIT JANTUNG REUMATIK
Rossentha, 1968) Kadang-kadang karditis dapat juga terjadi pertama kali serangan DR akut pada umur >25 tahun. Bila ringan akan sembuh, tetapi bila karditis yang disertai demam dan takikardia sering berlanjut dengan (3) kardiomegali dan menetap dan bising-bising katup akan terdengar. Dan (4) dekompensatio kordis dapat terjadi selama karditis masih aktif.
Umumnya serangan DR dibuktikan juga dengan ditemukan remato genik str ain
St
r ept o ko
kus g rup A.(S tolletman dkk.,
1990).
(Bisno dkk,1911). Studi Framingham (Goetzner dkk, 1985) selama 30 tahun dengan penelitian "cohort -control study group" dari kasus-kasus PJR terdapat penurunan yang tajam dari kematian pada studi karena serangan yang berulang dari PJR yang diobati dengan cara pencegahan sekunder. Pada PJR angka kehidupan hanya ktrar,g 40Vo sedangkan pada DR tanpa PJR lebih dari 40%. Di Amerika
kelainan klinis DR/PJR akan bertambah baik bila
PROGNOSIS DR tidak akan kambuh bila infeksi Streptokokus diatasi. Prognosis sangat baik bila karditis sembuh pada saat permulaan serangan akut DR. Selama 5 tahun pertama perjalanan penyakit DR dan PJR tidak membaik bila bising organik katup tidak menghilang, (Feinstein AR dkk, I 964). Prognosis memburuk bila gejala karditisnya lebih berat, dan ternyata DR akut dengan Payahjantung akan sembuh
pencegahan sekunder dilaksanakan seumur hidupnya. Karena mereka melaporkan dari Amerika masih ditemukan kasus DR/PJR pada usia tua sehingga menjadi kelompok penyakit lanjut usia. (Denny dkk, 1950; W.H.O, 1966,1988). Pengalaman kami di B agian Ilmu Penyakit Dalam 1 97 8- I 998
(20 tahun) didapatkan penurunan insidensi DR/PJR dari 3l,4Vo menjadi l2,2Vo dari 1 82 pasien DR/PJR.
30Vo pada 5 tahun peftam a dan 40Vo setelah 1 0 tahun. Dari data penyembuhan ini akan bertambah bila pengobatan
UPAYAPENCEGAHAN SEBANGAN ULANG DR
pencegahan sekunder dilakukan secara baik. Ada penelitian melaporkan bahwa stenosis mitralis sangat
Bila seorang pasien DR akut telah sembuh, makamasalah
tergantung pada beratnya karditis, sehingga kerusakan katup mitral selama 5 tahun pertama sangat mempengaruhi angka kematian DR ini.(It-vington House Group & U.K and U.S 1965).Penelitian selama 10 tahun yang mereka lakukan menemukan adanya kelompok lain terutama kelompok perempuan dengan kelainan mitral ringan yang menimbulkan payah jantung yang berat tanpa diketahui adanya kekambuhan DR atau infeksi Streptokokus. (Stresser, 1978)
mempersoalkan bagaimanapun ringan atau beratnya serangan pertama, namun kerentanan penyakit
ini
sangat
tinggi sehingga serangan berulang-ulang dapat timbul kembali. Kekerapan penyakit ini sudah menurun dalam 25 tahun terakhir ini di Amerika dan Eropah. Di mana keadaan ini sebahagian besar disebabkan oleh pencegahan
sekunder yang telah dilaksanakan. Dari penelitian "Irvington House" 1954 diketahui bahwa dengan parentral Penisilin G lah yang paling baik diantara tiga obat pencegahan yang dicobakan yaitu Sulfadiazin, Oral penisilin G dan suntikan benzatin penisilin G setiap bulan.
KEKAMBUHAN Serangan perlama DR biasanya terjadi pada daerah wabah
faringitis Streptokokus yaitu sebanyak 3Vo, sedangkan pasien yang pernah mendapat serangan DR akut sebelumnya akan didapatkan l5%o (Tarufiadkk, 1970). Dari " I rv in gt o n H o us e St udy" (Wood dkk, 1 964, American Heart Asscosiation" 1988) melaporkan bahwa serangan reumatik
pada tiap infeksi Streptokokus pada anak-anak menurun sebnyak 23Vo menjadi 117o selama 1-5 tahun sesudah
serangan pertama DR. Kekambuhan akan berkurang tergantung pada lamanya serangan terakhir. Faktor yang mendasar yang menyebabkan meningkatnya serangan reumatik juga tergantung pada gejala sisa dari pada PJR.
Studi ini melaporkan PJR dengan kardiomegali sedangkan PJR tanpa kardiomegali 27 Vo
utama adalah pencegahan sekunder. Kita tidak
43Vo
dantanpa kelainan
(w.H.o,1966) Keunggulan cara
ini (Markowitz
,1985) mungkin
disebabkan oleh: . Kunjungan sekali sebulan yang mendapatpencegahan sekunder itu dipatuhi dan kesediaan obat lebih terjamin dalam depot obat. (Wannamaker, 195 1) . Absorpsi obat dan otot mungkin lebih lengkap dari pada
di
'
usus.
Yang terpenting kadar terapetik penisilin cukup untuk
menghilangkan setiap "intercurrent
" Streptokokus
selama satu minggu dari tiap interval 4 minggu.
Sesuai dengan laporan dari "Intersociaty Commition for Heart Disease Resources" (AHA, 1988) bahwa semua pasien yang sembuh dari DR akut diberikan suatu pencegahan sekunder dengan atau tanpa karditis. Sehingga
j
serangan ulang dapat dicegah. Tentang lamanya
yang dibuktikan dengan meningkatnya titer ASTO.
pencegahan belum ada kata sepakat sampai saat ini. Ternyata bahwa kekerapan serangan-serangan berulang pada usia dewasa, tetapi serangan akut ini masih ditemukan
antung l)Vo. (Taranta, 1,964). Faktor lain yang mempengaruhi kekambuhan ini sangat tergantung pada reaksi imun dengan infeksi Streptokokus
1668
I(ARDIOI.OGI
pada usia 20 dan 30 tahunan. Tentu tidaklah bijaksana bila
mengandalkan pengobatan infeksi Streptokokus dengan antibiotika saja, sedangkan pencegahan sekunder terusmenerus dipertahankan untuk waktu yang tidak ditentukan
(Taranta, 1981). Dari itu pencegahan sekunder perlu disesuaikan dengan lingkungan, cuaca, umur, pekerjaan, keadaan rumah tangga, dan keadaan jantung itu sendiri
yang sangat berpengaruh terhadap timbulnya resiko serangan berulang. (Charney, 1968; Bravo, 1979; Brown, 1951; Davies, 1973)
.
pendidikan orang tua merupakan faktor penting akan
. . .
ketaatan melakukan pencegahan ini. keadaan sosioekonomi bagi pasien atau keluarga jarak antara tempat tinggal dan Rumah sakit. manifestasi klinis waktu pasien masuk ke Rumah Sakit
juga mempengaruhi ketaatan untuk melakukan
.
pencegahan.
terhadap semua dokter, tenaga kesehatan dapat mengenal dan melaksanakan pencegahan sekunder ini.
SARAN UPAYA PENGENDALIAN DB/PJ H/ERADI KASI
Untuk ini perlu dipahami riwayat alamiah penyakit ini, walaupun ada beberapa aspek patogenesis DR yang belum dapat diterangkan seluruhnya (Reyes, 1975). Di mana perlu
diajukan suatu konsep sehingga pencegahan sekunder ini dilaksanakan. Dari cara ini dapat dilakukan interfensi siklus reinfeksi Streptokokus pada pasien dengan atau pernah menderita DRiPJR. (Committee on Rheumatic Fever, 1995).Untuk pengendalian dan pelaksanaan pencegahan sekunder DR dan atau PJR dilapangan maka diperlukan konsep intervensi siklus reinfeksi Streptokokus dari tiap pasien yang datang berobat.
Menegakkan diagnosa demam reumatik dan penyakit jantung reumatik sebaiknya didasarkan pada kriteria Jones yang telah dimodifikasi dan dengan perlimbangan klinis.
Melaksanakan protokol tetap pencegahan sekunder demam reumatik dan penyakit jantung reumatik haruslah sesegera mungkin setelah eradikasi kuman S.G.A dengan penisilin selama 10 hari. Meyakinkan adanya infeksi kuman S.G.A sebelumnya
diperlukan sarana laboratorium untuk pemeriksaan titer ASTO dan Anti DNA-se B, dengan kemungkinan tidak Saudaramiliki.
REFERENSI Ad hoc Committee to Revise the Jones criteria (Modified) of the councill on Rheumatic Fever And Congetudinal Heart Disease 1967 Jones criteria (revised) for qurdence in the diagnosis of rheumatic fever American Heart Asso-ciation. Abraharn M.T, Ghersam G: Rheumartic fever. Dalam ParmleyWW, Chateryee K : Cardiology voJ. 2, Phyladelphia: JB Lrppincoot
Company; I 988.
Gambar 1. Skema pencegahan sekunder DR dan/atau PJB
Pencegahan sekunder adalah usaha mencegah terjadinya infeksi kuman SGA pada pasien-pasien yang pernah DR dan PJR. Pencegahan ini dilakukan dalam jangka lama, yang memerlukan kesabaran baik pasien, petugas kesehatan ataupun dokter. Mengingat DR dan PJR menyebabkan cacat seumur hidup pada jantung. Dan
cacat tersebut menyebabkan umur harapan hidup akan berkurang. Untuk menunjang keberhasilan pengendalian atau eradikasi
Bladd E.F,Jones T.G : Rheumatic fever and Rleumatic heart disease. A 20 years report on 1000 patients followed since childhood,.
Circulation 1951,4. Brown E.E, 1951
:
Cause
121.1:
of rheumatic fever chronic sinusitis. Arch.
565-76
Bisno A.L, Pearce I A, and Stollerman G.H: Streptococcal infections that fail to cause recurences of rheumatic fever. J.Infect. Dis. 1911 ; 136:.278.
tergantung pada:
Bravo L.C, et.al: Streptococcal infections and rheumatic recurrences
cata pemberian obat
diperlukan keyakinan dan ketaatan pasien untuk pencegahan sekunder pengertian.
American Heart Association, Committee on Rheumatic Fever and Bacterial Endo carditis: Prevention of rheumatic fever. Cieculation 1988; 78: 1082. Barrent A.L, Ferry E E, Perselin R.M: Acute rheumatic fever in adults JAMA, 1975: 232.
Pediat 68
DR/PJR yaitu dengan pencegahan sekunder sangatlah
. .
Albam B, Epstein J.A, Feinstein, A.R et.al : Rheumatic fever in children and adolescents A long-tern epidemiologic study of subsequent rophylaxis, streptococcal infections, and clinical sequelae. Ann. Intern Med 1964; 60(suppl.5), No.2 part II.
ini
secara spontan dan penuh
in
subjects on secondary prophyJaxis. Philipp. J. Intern. Med.l919'. 11: 12 Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis and Kawasaki Disease of AmaericanHeart Association. Guidelines for Diagnosis
t669
DEMAM REUMITTIK DAN PEIYYAIflT JANTUNG REUMATIK
of Rheumatic Fever: Jones cliaeia, 1992 Update : JAMA 1992; 268 :2O69-13. Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis and Kawasaki Disease of American Heart Association. Treatment of Acute Streptococcal Pharyngitis and Prevention of Rheumatic Fever: Pediatrics 1995; 96:1 58-64. Denny F.W, Wannamaker L.W, Brink W.R : Prevention of rheumatic fever, Treatment of the proceeding streptococcal infection. JAMA 1950; 143 : 151. Dajani A.S, : Current status of pharing complication of group A streptococci. Pediatatrics Heart J 1991; l0 :225. Feinstein A.R and Spagnuolo M: The clinical pattems of acute rheumatic fever : A reappraisal. Medicine 1962; 4l: 219. Feinstein A.R, Wood H.fl Spagnoulo M, Taranta A, Jones S, Kleinberg E, and Tursky E,: Rheumatic fever in children and adolescent VII, Cardiac changes and sequele. Ann. Intern. Med 1964; 60 (2) supll. 5. Frankish J.D : Management of rheumatic fever. Med. Prog. 1975; Dec.: 21 - 33. Friemer E.H, and Mc Carty M.C: Rheumatic fever. Sience. Am. 1965; 213 : 67 - 74. Gupta R.C , Bahdiwar A.K, Bisno A.L : Detection of Creative protein, Streptolysin O, antistreptolysin O antibodies in immune complexis related form sera of patients with acute rheumatic fever. Immunol. J 1986; 137:2113. Gordis L, : Effectiveness of comprehensive care programs in preventing rheumatic fever. N. Enggl. J. Med. 1973; 289:331. Hanafiah A : Diagnosis Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik. Berita Klinik IDAI 1976: Jakarta. Hanif, Saharman Leman, Chairul Safri : Pola etiologik Penyakit Jantung di Bagian Penyakit Dalam RSUP dr.M.Jamil Padang 1913-1977. Naskah Lengkap KOPAPDI IV 1978. Jones T.D: The diagnosis of rheumatic fever J Am. Med.Associa. 1944'. 126 : 481. Lue H.C, et. al: The natural history of rheumatic fever and rheumatic heart disease in the Orient. Jpn. Heart. I 7979;20 : 237. Krause R.M : Prevention of streptococcal sequele by penicillin prophylaxis : a resses-sement. J. Infec. Dis. 1975; I3l (5): 592601
.
Markowitz M, : The decline of rheumatic fever, role of medical intervention. J. Pediatr 1985; 106: 545 Massel B.V, Fyler D.C, and Roy S.B : The clinical picture of rheumatic fever. Diagnosis Immediate prognosis, course and therapeuic implications. Am.J. Cardiol 1958; 1: 436. Majeed H.A, Batnager S, Yousof A.M et.a1 : Acute Rheumatic Fever and the Evaluation of Rheumatic Heart Disease: A Prospective 12 year Follow-up Study. J.Clin.Epidemiol 7992; 45:871-5. Majeed H.A, Shaltout A, Yousof A.M : Recurences of Acute rheumatic Fever. AJDC 1984: 138:541-5. Majeed H.A: Acute Rheumatic Fever medicine streptococcal. Them Medicine Publishing Company Inter. 1991; 40 (11):100-5. Morehead : Collagen Diseases and granule matrics Carditis
in
thema
Pathology publish. Mebrano-hall Book Co., 1965: 491. Padmavati S, : Rheumatic fever and rheumatic heart disease in developing countries. Bull. WHO 19781, 56 : 543. Pinsky W.W, Pinsky K.M, and Mc Namara O G : A current view of acute rheumatic fever. Texas Med 1977;73 : 51 55 Pattaroyo M.E, Winchester R, Vejerano A et.al: Association of Bcell alloantigen with Susceptibility to rheumatic fever. Nature 1979l,218: 773. Reyes A.L : Management of rheumatic fever in South Asia. Med. Prog. 1975; 14 Dec. Roy S.B, et. al: Juvenile mitral stenosis in
India. Lancet 7963;2: 1193.
A, Czoniczer G and Massel B.F : Rheumatic fever under three years of age. A Report of ten cases. Pediatrics 1968;
Rosenthal
4l:612. : Rheumatic fever and rheumatic heart diseases eradication with secondary prophylaxis prevention Benzanthine penicillin G long acting 1,2 million unit in M.Djamil Hospital Padang, 1978-1998. Abstract l3h Asian Congress of Cardiology, Singapore, June 2000, 182-3. Saharman Leman : Perjalanan Penyakit Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik di Lab./UPF Penyakit Dalam FKUnand./RSUP dr.M.Djamil Padang. Analisis "survival".Naskah Lengkap KOPAPDI VIII, Yogjakarta, 1990, 153-60. Siegel A.C, Johnson E.E, and Stollerman G.H: Controlled studies of streptococcal pharyngitis in pediatric population. New Engl. J. Med . 1961; 24 :25 7 -264. Shrestha N.K, and Padmavati S, : Prevalence of rheumatic heart disease in Delhi school Children. Indian J Med. Res 1979;69: Saharman Leman
827. Spagnoulo M, Postemcak B,Taranta A: Risk of rheumatic fever recurrence after streptococcal infection. Prospective study in clinical and social factors. New Eng. J. Med.1971; 12:641-647. Strasser T. : Recent advances in rheumatic fever control and future prospects. Bull. WHO 1978; 56 : 887. Strasser T. : Community control of rheumatic heart disease in developing countries. WHO Chron. 1980; 34 : 336. Strasser ! Dondog N, A1 Kholy A, et.al: The community_control of rheumatic fever and Rheumatic heart disease: Report of a WHO International cooperative project. WHO Bull. 1981; 59 : 2. Stollerman G.H: Rheumatogonic group A streptococci and the return of rheumatic feverAdv.Intern. Med. 1990, 35:1. Stollermen G.H : Streptococci and Rheumatic Heart Disease. in Devries, RRP, Cohen. I.R, and van Rood J.Ji The Role of Microorganisms in noninfectious disease. London Springer-Verlag 1990; pp. 9-20. Stollerman G.H : Connective tissue disease in Barnett H.I, et al. Pediatrics 797 2; 5h ed. New York, Appleton-Century-Crofts. Taranta A, A. Markowithz M : Rheirmatic Fever. MTB Press Ltd. 1981. Taranta A : Rheumatic fever in children and adolescents. A longterm epidemiologic study of subsequent prophylaxis, streptococcal infections, and clinical sequele IV. Relation of the rheumatic fever recurrence rate per streptococcal infection to the titers :
of
streptococcal antibodies. Ann. Intern. Med. 1964; 60
(suppl.5):47
A, Kleinberg E, Feinstein A.R: et.al: Rheumatic fever in children and adolescents. A long-term epidemiologic study of subsequent prophylaxis, streptococcal infections, and chnical sequelae: VRelation of the rheumatic fever recurrence rate per streptococcal infection to pre-existing clinical features of the patients. Ann. Intern. Med 1964; 60 (suppl.5): 58. Taranta A, Spagnuolo M, Feinstein A.R : "Chronic" rheumatic fever Ann Intern. Med. 1962; 56 :367. Taranta A: Rheumatic fever made difficult. A critical review of pha Taranta
togenetic theories. Paediatrician 1976; 5 : 74. Taranta A, et.al : Intersociaety Commission for Heart Disease Resoources.:Prevention of rheumatic fever and rheumatic heart disease. Circulation 1970; 41: A1-15. Taranta A, and Moody M : Diagnosis of streptococcal pharyngitis and rheumatic fever. Pediatr. Clin. N. Am. 1971; 18 : 125. Toompkins D, et.al: Long term programs of rheumatic fever patients receiving regular inramuscuiar benzanthiine penicillin.
L670
Circulation 79'72l. 45 : 543.
UK and US, Joint Report. The natural history of rheumatic fever and rheumatic heart disease: cooperative clinical trial of ACTH,
cortisone and aspirin. Circulation 1961; 32 : 45'7. United Kingdom and United States Joint Report on Rheumatic Heart Disease: The natural History'of the rheumatic fever and rheumatic heart disease. Ten-year report of a cooperative clinical trial of ACTH, corsitone and aspirin. Circulation, 1965; 32:
457. Walker C.H.M : Rheumatic fever and rheumatic heart disease in Watson (ed.) Pediatric Cardiology. The C.V Mosby Co. Saint Louis, 1968. W.H.O : Preventive of rheumatic fever. Report of W.H.O Expert. Committee Geneve, 1966. W.H.O : Rheumatic fever and rheumatic heart disease. Report of W.H.O Study Group, Geneve, 1988.
KARDIOI.OGI
Wood H.F et al: Rheumatic fever in children and adolescents. A long-term epidemiologic study. Ann. Intern. Med. 1964; 60
(suppl.5);31. Whitnack E, and Stollermen G.H: Antistreptococcal antibodies in the diagnosis of rheumatic fever: In Cohen A.S (eds.): Lab. Diagnostic Procedures in Rheumatic Diseases, 3'd Ed. Boston, Little, Brown and Co. 1985: pp. 273-92. Wood H.F, Simpson R, Feinstein A.R, Taranta A, Tursky E, and Stollerman : Rheumatic Fever in children and adoloscent, a long epidemioiogic study of subsequent prophylaxis, strepto coccal infection and clinical sequele. Description of the investigative techniques and of population studied. Ann. Intem. Med, 1964;60 (2) supll. 5.
Wannamaker
L.W, Rammelkamp C.H Jr, Denny
F.W,
et.al:Prophylaxis of acute rheumatic fever by treatment of the preceding streptococcal infection with various amounts of depot penicillin Am. J. Med. l95l; 70: 673.
262 STENOSIS MITRAL Taufik Indrajaya, Ali Ghanie
PENDAHULUAN
ETIOLOGI
Stenosis mitral merupakan kasus yang sudah jarang
Penyebab tersering adalah endokarditis reumatika, akibat reaksi yang progresif dari demam reumatik oleh infeksi streptokokus. Penyebab lain walaupun jarang dapat juga
ditemukan dalam praktek sehari-hari terutama di luar negeri.
Sebagaimana diketahui stenosis mitral paling sering
disebabkan oleh penyakit jantung reumatik yang
stenosis mitral kongenital, deformitas parasut mitral,
menggambarkan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Oleh karena itu di negara maju seperti Amerika, penyakit ini sudah jarang ditemukan, walaupun ada kecenderungan meningkat karena meningkatnya jumlah imigran dengan kasus infeksi streptokokus yang resisten. Sedangkan di Indonesia walaupun kasus baru juga cenderung menurun, namun kasus stenosis mitral ini masih banyak kita temukan. Angka yang pasti tidak diketahui namun dari pola etiologi penyakit jantung di poliklinik Rumah Sakit Moehammad HoesinPalembang selama 5 tahun (1990-1994) didapatkan angka 13.94Vo dengan penyakit jantung katup.
vegetasi systemic lupus erythematosus (SLE), karsinosis
sistemik, deposit amiloid, akibat obat fenfluramin/ phentermin, rhematoid arthritis (RA), serta kalsifikasi annulus maupun daun katup pada usia lanjut akibat proses degeneratif. Beberapa keadaan juga dapat menimbulkan obstruksi aliran darah ke ventrikel kiri seperti Cor triatrium, miksoma
atrium serta trombus sehingga menyerupai stenosis mitral.
Dari pasien dengan penyakit jantung katup ini 607o dengan riwayat demam reumatik, sisanya menyangkal. Selain daripada itv 50Ea pasien dengan karditis reumatik
Seperti di luar negeri maka kasus stenosis mitral memang terlihat pada orang-orang dengan umur yang lebih tua, dan biasanya dengan penyakit penyerta baik kelainan
akut tidak berlanjut sebagai penyakitjantung katup secara Pada kasus kami di klinik (data tidak dipublikasi) juga terlihat beberapa kasus demam reumatik akut yang tidak berlanjut menjadi penyakitjantung katup, walaupun ada di antaranya memberi manifestasi chorea. Kemungkinan hal ini disebabkan karena pengenalan dini dan terapi antibiotik yang adekuat.
klinik (Rahimtoola).
kardiovaskular atau yang lain sehingga lebih merupakan tantangan. Dengan perkembangan di bidang ekokardiografi diagnosis stenosis mitral, derajat berat ringannya dan efek terhadap hipertensi pulmonal sudah dapat diambil alih, yang sebelumya hanya dapat dilakukan dengan prosedur invasif kateterisasi.
PATOLOGI DEFINISI
Pada stenosis mitral akibat demam reumatik akan terjadi proses peradangan (valvulitis) dan pembentukan nodul tipis di sepanjang garis penutupan katup. Proses ini akan
Merupakan suatu keadaan di mana terjadi gangguan aliran darah dari atrium kiri melal'ui.katup mitral oleh karena obstruksi pada level katup mitral. Kelainan struktur mitral ini menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul gangguan pengisian ventrikel kiri pada saat diastol.
menimbulkan fibrosis dan penebalan daun katup, kalsifikasi, fusi komisura, fusi serta pemendekan korda atau kombinasi dari proses tersebut. Keadaan ini akan menimbulkan distorsi dari aparatus mitral yang normal,
t67
L672
mengecilnya area katup mitral menjadi seperti bentuk mulut
I(ARDIOI.OGI
PATOFISIOLOG!
lkan ('fish mouth') atau lubang kancing (button hole)
(Gambarl). Fusi dari komisura akan menimbulkan penyempitan dari
orifisium primer, sedangkan fusi korda mengakibatkan penyempitan dari orifi sium sekunder. Pada endokarditis reumatika, daun katup dan khorda akan mengalami sikatrik dan kontraktur bersamaan dengan pemendekan korda sehingga menimbulkan penarikan daun katup menj adi befiik funne I shap e d. Kalsilftasi biasanya terjadi pada usia lanjut dan biasanya lebih sering padaperempuan dibanding pria sertalebih sering pada keadaan gagal ginjal kronik. Apakah proses degeneratif tersebut dapat menimbulkan gangguan fungsi masih perlu evaluasi lebih jauh, tetapi biasanya ringan. Proses perubahan patologi sampai terjadinya gejala klinis (periode laten) biasanya memakan waktu berlahuntahun (10-20 tahun).
mitral mempunyai ukuran 4-6 cm2. Bila area orifisium katup ini berkurang sampai 2 Pada keadaan normal area katup
cm2, maka diperlukan upaya aktif atrium
kiri
berupa
peningkatan tekanan atrium kiri agar aliran transmitral yang
normal tetap terjadi. Stenosis mitral kritis terjadi bila pembukaan katup berkurang hingga menjadi I cm2. Pada tahap ini, dibutuhkan suatu tekanan atrium kiri sebesar 25
mmHg untuk mempertahankan cardiac output yar,g normal (Swain,2005).
Gradien transmitral merupakan 'hall mark' stenosis mitral selain luasnya area katup mitral, walaupun Rahimtoola berpendapat bahwa gradien dapat terjadi akibat aliran besar melalui katup normal, atau aliran normal melalui katup sempit. Sebagai akibatnya kenaikan tekanan atrium kiri akan diteruskan ke v. pulmonalis dan seterusnya mengakibatkan kongesti paru serta keluhan sesak (exertional dyspnea).
Derajat berat ringannya stenosis mitral, selain berdasarkan gradien transmitral, dapat juga ditentukan oleh luasnya area katup mitral, serta hubungan antara lamanya waktu antara penutupan katup aorta dan kejadian opening snap. Berdasarkan luasnya atea katup mitral derajat stenosis mitral sebagai berikut:
1. Minimal :bllaarea>2.5 cm2 2. Ringan : bila area 1.4-2.5 crfi 3. Sedang : bila area l-1.4 crfi 4. Berat :bilaarea<1.0cm? 5. Reaktif : bila area < 1.0 cnf Keluhan dan gejala stenosis mitral mulai akan muncul
bila luas area katup mitral menurun sampai seperdua Gambar 1. Ekokardiograti 2-D sumbu pendek (kanan) yang menunjukan bentuk mulut ikan ('frsh mouth') alau lubang kancing (button holel; dan sumbu panjang yang menunjukan 'dooming'
area mitral dan fusi dari korda (Sumber: A. Ghanie. Divisi Kardiologi. Dept. lnt. Med. FK. UNSRI / RSMH Palembang).
normal (<2-2.5 cnf). Hubungan antara gradien dan luasnya area katup serta waktu pembukaan katup mitral dapat dilihat pada Tabel 1.
Derajat Stenosis
A2-OS
Area
Gradien
interval
msec msec < B0 msec
Ringan
>'110
Sedang Berat
80-1 '10
cm2 cm2 < 1 cm2
> 1.5 >1 dan < 1.5
< 5 mmHg 5-10 mmHg >'10 mmHg
A2-OS :Waktu antara penutupan katup aorta dan pembukaan katup mitral
Kalau kita lihat fungsi lama waktu pengisian dan besarnya pengisian, gejala/simtom akan muncul bila waktu pengisian menjadi pendek dan aliran transmitral besar,
sehingga terjadi kenaikan tekanan atrium kiri walaupun area belum terlalu sempit (>1.5 cm2). Pada stenosis mitral Gambar 2. Ekokardiografikardiografi transesofageal Potongan 4-ruang, menunjukan penebalan daun katup mitral dengan fusi khorda mengakibatkan penyempitan dari orifisium sekunder. (Sumber : A. Ghanie. Div. Kardiologi. Dept. lnt. Med. FK. UNSRI /RSMH Palembang)
ringan simtom yang muncul biasanya dicetuskan oleh faktor yang meningkatkan kecepatan aliran atau curah jantung, atau menurunkan periode pengisian diastol, yang akan meningkatkan tekanan atrium kiri secara dramatis. Beberapa keadaan antara lain: (1) latihan, (2) stres emosi,
STENOSISMITRAL
1673
(3) infeksi, (4) kehamilan, dan (5) fibrilasi atrium dengan respons ventrikel cepat. Dengan bertambah sempitnya area mitral maka tekanan atrium kiri akan meningkat bersamaan dengan progresi keluhan. Apabila area mitral <1 cm2 yang berupa stenosis mitral berat maka akan terjadi limitasi dalam aktifitas. Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada stenosis mitral, dengan patofrsiologi yang komplek. Pada awalnya kenaikan tekanan atau hipertensi pulmonal terjadi secara pasif akibat kenaikan tekanan atrium kiri. Demikian pula te{adi perubahan pada vaskular
juga fatigue. Pada stenosis mitral yang bermakna dapat
paru berupa vasokonstriksi akibat bahan neurohumoral seperti endotelin, atau perubahan anatomik yaitu remodel akibat hipertrofi tunika media dan penebalan intima (' re ac tiv e hyp e rtens ion' ). Kenaikan resistensi arteriolar
nokturnal dispnea atau ortopnea, oleh karena vaskular tersebut akan menghalangi (sumbatan) sirkulasi pada daerah proksimal kapiler paru. Hal ini mencegah kenaikan
mengalami sesak pada aktivitas sehari-hari, paroksismal nokturnal dispnea, ortopnea atau edema paru yang tegas. Hal ini akan dicetuskan oleh berbagai keadaan meningkatnya aliran darah melalui mitral atau menurunnya waktu pengisian diastol, termasuk latihan, emosi, infeksi respirasi, demam, aktivitas seksual, kehamilan serta fibrilasi
atrium dengan respons ventrikel cepat. Fatig juga merupakan keluhan umum pada stenosis mitral. Wood menyatakan bahwa pada kenaikan resistensi
vaskular paru lebih jarang mengalami paroksismal
dramatis dari tekanan v.pulmonalis tetapi tentunya dalam
paru ini sebenarnya merupakan mekanisme adaptif untuk
situasi curah jantung rendah. Oleh karena itu simtom
melindungi paru dari kongesti. Dengan meningkatnya hipertensi pulmonal ini akan menyebabkan kenaikan
kongesti paru akan digantikan oleh keluhan fatig akibat rendahnya curah jantung pada aktifitas dan edema perifer. Aritmia atrial berupa frbrilasi atrium juga merupakan kejadian yang sering terjadi pada stenosis mitral yaitu 304OVo. Kqadianini sering terj adi pada umur yang lebih lanjut atau distensi atrium yang menyolok akan merubah sifat elektrofrsiologi dari atrium kiri. Hal ini tidak berhubungan
tekanan dan volume akhir diastol, regurgitasi trikuspid dan pulmonal sekunder, dan seterusnya sebagai gagal jantung kanan dan kongesti sistemik.
Perjalanan Penyakit Stenosis mitral merupakan suatu proses progresif kontinyu
dan penyakit seumur hidup. Merupakan penyakit 'a disease of plateaus' yang pada mulanya hanya ditemui tanda dari stenosis mitral yang kemudian dengan kurun waktu (10-20 th) akan diikuti dengan keluhan, frbrilasi atrium dan akhirnya keluhan disabilitas. Di luar negeri periode laten bisa berlangsung lebih lama
sampai keluhan muncul, sedangkan dinegara kita manifestasi muncul lebih awal, hal ini dapat karena tidak atau lambatnya terdeteksi, pengobatala yang kurang adekuat pada fase awalnya.
Angka 10 tahun survival pada stenosis mitral yang tidak diobati b erkisar 5OVo -6OVo,blla tidakdisertai keluhan atau minimal angkameningkat 807o. Dari kelompok ini 607o tidak menunjukkan progresi penyakitnya. Tetapi bila simtom muncul biasanya ada fase plateu selama 5-20 tahun
sampai keluhan itu'benar-benar berat, menimbulkan disabilitas. Pada kelompok pasien dengan kelas III-IV prognosis jelek di mana angkahidup dalam lOtahtn
padafrbrilasi atrium.
MANIFESTASI KLINIS
Riwayat Kebanyakan pasien dengan stenosis mitral bebas keluhan, dan biasanya keluhan utama berupa sesak napas, dapat
dengan derajat stenosis. Fibrilasi atrium yaftg tidak dikontrol akan menimbulkan keluhan sesak atau kongesti yang lebih berat, karena hilangnya peran kontraksi atrium dalam pengisian ventrikel (ll4 dan isi sekuncup) serta memendeknya waktu pengisian diastol. Dan seterusnya
akan menimbulkan gradien transmitral dan kenaikan tekanan atriumkiri. Kadang-kadang pasien mengeluh terjadi hemoptisis
yang menurut Wood dapat te{adi karena: (l) apopleksi pulmonal akibat rupturnya vena bronkial yang melebar, (2) sputum dengan bercak darah pada saat serangan paroksismal nokturnal dispnea,(3) sputum seperti karat (pinkfrothy) oleh karena edema paru yangjelas, (4) infark paru, (5) bronkitis kronis oleh karena edema mukosa bronkus. Di luar negeri keluhan hemoptisis sudah jarang diketemukan dan biasanya merupakan stadium akhir, sedangkan di tndonesia sering ditemukan dan didiagnosa secarakeliru sebagai tuberkulosis paru pada awalnya. Nyeri dada dapat terjadi pada sebagian kecil pasien dan tidak dapat dibedakan dengan anginapektoris. Diyakini hal ini disebabkan oleh karena hipertroh ventrikel kanan dan jarang bersamaan dengan aterosklerosis koroner. Manifestasi klinis dapat jugaberupa komplikasi stenosis mitral, seperti tromboemboli, infektif endokarditis atau simtom karena kompresi akibat besarnya atrium kiri seperti
disfagia dan suara serak. Emboli sistemik terjadi pada lOTo-ZOVo pasien dengan stenosis mitral dengan distribusi7l%o serebral, 33Vo peifer dan 6Vo viseral. Risiko embolisasi tergantung umur dan ada tidaknya hbrilasi atrium,SOVo kejadianemboli terjadi pada fibrilasi atrium. Sepertiga dari kejadian emboli terjadi dalam 3 bulan dari frbrilasi atrium, sedangkan 213 tetladi
1674
dalam
IiIRDIOI.OGI
I tahun. Jika embolisasi terjadi pada pasien dengan
irama sinus, harus dipertimbangkan suatu endokarditis infektif. Kejadian emboli tampaknya tidak tergantung dengan berat ringannya stenosis, curah jantung, ukuran atrium kiri serla ada tidaknya gagal jantung. Oleh karena itu kejadian emboli dapat berupa manifestasi awal stenomitral. Pada kejadian emboli angka rekuren dapat sampai 15-40 kejadian dalam 100 pasien/bulan.
sis
Dapat juga terjadi trombus masif dalam atrium kiri 'pedunculated ball-valve thrombus' yang dapat memperberat keluhan obstruksi bahkan dapat terjadi kematian mendadak (dikatakan jarang, tetapi pada seri kami cukup banyak) (Gambar 4) Endokarditis infektif jarang terjadi dengan insiden 27o dal.am I tahun (pada kasus tanpa operasi).
DIAGNOSIS
Pemeriksaan Fisis Temuan klasik pada stenosis mitral adalah 'opening snap' dan bising diastol kasar ('diastolic rumble') pada daerah mitral. Tetapi sering pada pemeriksaan rutin sulit bahkan tidak ditemukan rumbel diastol dengan nada rendah, apalagi bila tidak dilakukan dengan hati-hati. Diluar negeri kasus stenosis mitral ini jarang yang berat, sehingga gambaran klasik tidak ditemukan, sedangkan di Indonesia kasus berat masih banyak. Walaupun demikian pada kasus-kasus ringan harus dicurigai stenosis mitral ini bila teraba dan
terdengar S1 yang keras. S1 mengeras oleh karena pengisian yang lama membuat tekanan ventrikel kiri meningkat dan menutup katup sebelum katup itu kembali ke posisinya. Di apeks rumbel diastolik ini dapat diraba sebagai thrill.
Dengan lain perkataan katup mitral ditutup dengan tekanan yang keras secara mendadak, Pada keadaan di mana katup mengalami kalsifikasi dan kaku maka penutupan katup mitral tidak menimbulkan bunyi S I yang
keras. Demikian pula bila terdengar bunyi P2 yang mengeras sebagai petunjuk hipertensi pulmonal, harus dicurigai adarrya bising diastol pada mitral. Beberapa usaha harus dilakukan untuk mendengar bising diastol antara lain posisi lateral dekubitus, gerakangerakan atau latihan ringan, menahan napas dan menggunakan bell dengat meletakkan pada dinding dada tanpa tekanan keras.
Derajat dari bising diastol tidak menggambarkan Gambar 3. Ekokardiografi 2-D potongan 4 ruang melalui apek, tampak vegetasi di katup mitral yang bisa menjadi sumber emboli (tanda panah). (Sumber : A. Ghanie Div. Kardiologi. Dept. lnt. Med. FK. UNSHI / RSMH Palembang)
beratnya stenosis tetapi waktu atau lamanya bising dapat menggambarkan derajat stenosis. Pada stenosis ringan
bising halus dan pendek, sedangkan pada yang berat holodiastol dan aksentuasi presistolik. Waktu dari A2-OS juga dapat menggambarkan berat ringannya stenosis, bila pendek stenosis lebih berat. Bising diastol pada stenosis mitral dapat menjadi halus oleh karena obesitas, PPOM, edema paru, atau status curah
jantung yang rendah. Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan bising diastol antara lain aliran besar melalui trikuspid seperti padaASD, atau aliran besar melalui mitral seperti pada VSD, atau regurgitasi mitral. Pada AR juga
dapat terjadi bising diastol pada daerah mitral akibat terhrtupnya katup mitral anterior oleh aliran balik dari aorta (murmur Austin-Flint). Bising diastol pada MR atau AR akan menurun intensitasnya bila diberikan amil nitrit karena
menurunnya after load dan berkurangnya derajat regurgrtasl.
Gambar 4. Ekokardiograli 2-D, menun.jukan trombus di dinding posterior atrium kiri dan muara apendiks atrium kiri (Sumber : A. Ghanie. Div. Kardiologi. Dept. lnt Med. FK. UNSRI / RSMH Palembang)
Pemeriksaan Foto Toraks Gambaran klasik dari foto toraks adalah pembesaran atrium kiri serla pembesaran arteri pulmonalis. (terdapat hubungan
yang bermakna antara besarnya ukuran pembuluh darah
L675
STENOSISMITRAL
dan resistensi vaskular pulmonal).(Gambar 4) Edema
intertisial berupa garis Kerley terdapat pada 307o pasien dengan tekanan atrium kiri <20 mmHg, pada TOVo blla tekanan atrium kiri >20 mmHg. Temuan lain dapat berupa garis Kerley A serta kalsifikasi pada daerah katup mitral.
Ekokard iograf i Transesofageal Merupakan pemeriksaan ekokardiografi dengan menggunakan tranduser endoskop, sehingga jendela ekokardiografi akan lebih luas, terutama untuk struktur katup, atrium kiri atau apendiks atrium. Dari data kami dengan ekokardiografi transesofagus lebih sensitif dalam
Ekokardiograf i Doppler Merupakan modalitas pilihan yang paling sensitif dan spesifik untuk untuk diagnosis stenosis mitral. Sebelum
deteksi trombus pada atrium kiri atau terutama sekali apendiks atrium kiri (Gambar 6).
era ekokardiografikardiografi, kateterisasi jantung merupakan suatu keharusan dalam diagnosis.
Dengan ekokardiografik dapat dilakukan evaluasi strukxur dari katup, pliabilitas dari daun katup, ukuran dari area katup dengan planimetri (' mitral valve area' ),struktur
dari aparatus subvalvular, juga dapat ditentukan fungsi ventrikel. (Gambar 1)
Gambar 6. Ekokardiografi transesofageal potongan 4-ruang yang memperlihatkan spontan eko kontras di atrium kiri yang tidak terlihat pada TTE. (Sumber : A. Ghanie. Div. Kardiologi. Dept. lnt. Med. FK. UNSRI / RSMH Palembang)
Selama ini eko transesofageal bukan merupakan prosedur rutin pada stenosis mitral, namun ada prosedur valvulotomi balon atau pertimbangan antikoagulan sebaiknya dilakukan.
Gambar 5. Foto polos dada menuniukkan pembesaran segmen pulmonal dan atrium kiri, sehingga pinggang jantung hilang (Sumber : A. Ghanie. Div. Kardiologi. Dept. lnt. Med. FK' UNSRI / RSMH Palembang)
Sedangkan dengan doppler dapat ditentukan gradien
dari mitral, serta ukuran dari area mitral dengal cata mengukur' pressure half time' terutama bila struktur katup sedemikian jelek karena kalsifikasi, sehingga pengukuran dengan planimetri tidak dimungkinkan. Selain dari pada itu dapat diketahui juga adanya regurgitasi mitral yang sering menyertai stenosis mitral Derajat berat ringannya stenosis mitral berdasarkan
eko doppler ditentukan antara lain oleh gradien transmitral, area katup mitral, serta besarnya tekanan pulmonal.
Selain
itu
dapat juga ditentukan perubahan
hemodinamik pada latihan atau pemberian beban dengan dobutamin, sehingga dapat ditentukan derajat stenosis pada kelompok pasien yang tidak menunjukkan beratnya stenosis pada saat istirahat.
Kateterisasi Seperti disebutkan di atas dulu kateterisasi merupakan standar baku untuk diagnosis dan menentukan berat ringan stenosis mitral. Walaupun demikian pada keadaan tertentu masih dikedakan setelah suatu prosedur eko yang lengkap. Saat ini kateterisasi dipergunakan secara primer untuk suatu prosedur pengobatan intervensi non bedah yaitu valvulotomi dengan balon.
PENATALAKSANAAN
Pendekatan Klinis Pasien dengan Stenosis Mitral Pada setiap pasien stenosis mitral anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap harus dilakukan. Prosedur penunjang EKG foto toraks, ekokardiografi seperti yang telah disebutkan diatas harus dilakukan secara lengkap.
Pada kelompok pasien stenosis mitral yang
asimtomatik, tindakan lanjutan sangat tergantung dengan
hasil pemeriksaan eko. Sebagai contoh pasien aktif
1676
I(ARDIOI.OGI
asimtomatik dengan area > 1,5 cnf , gradien <5 mmHg, maka tidak perlu dilakukan evaluasi lanjutan, selain pencegahan pasien tersebut dengan area mitral <1.5 cm2.
antagonis kalsium. Penyekat beta atau anti aritmia juga dapat dipakai untuk mengontrol frekuensi jantung, atau pada keadaan tertentu untuk mencegah terjadinya fibrilasi atrial paroksismal. Bila perlu pada keadaan tertentu di mana
Balon mitral valvuloplasty (lihat skema di bawah ini).
terdapat gangguan hemodinamik dapat dilakukan kardioversi elektrik, dengan pemberian heparin
terhadap kemungkinan endokarditis. Lain halnya bila
intravenous sebelum pada saat ataupun sesudahnya. Relationship of MVAto cmdient
MVA
Stenosis sedang atau berat atau MVA <1,5 cm'z
2
4
6 8
Morfologi katup layak untuk Miral Balloning Va lvotomy (PBMV)
Percutaneus
"**' ii"u*, 'o
16
Gambar 7. Hubungan antara gradien transmitral area mitral (MVA) pada pasien stenosis Pemeriksaan tahunan anamnesis pemeriksaan fisis, foto toraks, ekokardiografi
Pendekatan Medis Prinsip umum. Stenosis mitral merupakan kelainan mekanik, oleh karena itu obat bersifat suportif atau simtomatik terhadap gangguan fungsional jantung, atau pencegahan terhadap infeksi.
ToleEnsi atihan buruk atau PAP >5mmHg
Beberapa obat-obatan seperti antibiotik golongan penisilin, eritromisin, sulfa, sefalosporin untuk demam reumatik atau pencegahan ekdokarditis sering dipakai. Obat-obat inotropik negatif seperti p-blocker alatr Cablocker, dapat memberi manfaat pada pasien dengan irama sinus yang memberi keluhan pada saat frekuensi jantung
meningkat seperti pada latihan. Retriksi garam atau pemberian diuretik secara intermiten bermanfaat jika terdapat bukti adanya kongesti vaskular paru. Pada stenosis mitral dengan irama sinus, digitalis tidak
bermanfaat, kecuali terdapat disfungsi ventrikel baik kiri atau kanan. Latihan fisik tidak dianjurkan, kecuali ringan
hanya untuk menjaga kebugaran, karena latihan akan meningkatkan frekuensi jantung dan memperpendek fase diastole dan seterusnya akan meningkatkan gradient
Pertimbangkan PNrvB (singkirkan bekuan atrium kiri, regurgitasi mitral34l
Gambar 8. Algoritme pada pasien stenosis mitral (from Bonow R, et al. ACC/AHA Task Force report on guidelines for valvular heart disease MVB, penggantian katup mitral; LA atrium kiri,MR,
regurgitasi mitral; PMBV, percutaneous mitral ballon
valvotomy. .Terdapat variabilitas pengukuran area katup mitral dan gradien rata-rata transmitral, dan tekanan pulmonar yang seharusnya menjadi pertimbangan.
+ Terdapat kontroversi tentang apakah pasien dengan stenosis mitral berat dan hipertensi pulmonar berat harus menjalani penggantian katup mitral untuk mencegah gagal ventrikel kanan.
transmitral.
Fibritasi atrium. Prevalensi 3O-407o, akan muncul akibat hemodinamik yang bermakna karena hilangnya kontribusi atrium terhadap pengisian ventrikel serta frekuensi ventrikel yang cepat. Pada keadaan ini pemakaian digitalis merupakan indikasi, dapat dikombinasikan dengan penyekat beta atau
Pencegahan embolisasi sistemik. Antikoagulan warfarin sebaiknya dipakai pada stenosis mitral dengan fibrilasi
atrium atau irama sinus dengan kecenderungan pembentukan trombus untuk mencegah fenomena tromboemboli.
Valvotomi mitral perkutan dengan balon. Pertama kali
1677
STENOSISMITRAL
diperkenalkan oleh Inoue pada tahun 1984 dan pada tahun 1994 ditermiasebagai prosedur klinik. Mulanya dilakukan
Intervensi bedah, reparasi atau ganti katup. Konsep
ini dengan
tahun 1902, dan berhasil pertamakali pada tahun 1920.
dengan dua balon, tetapi akhir-akhir
perkembangan dalam teknik pembuatan balon, prosedur valvotomi cukup memuaskan dengan prosedur 1 balon.
Stenosis berat sedang MVA <1,5 cm'?
PAP,60 mmHg PAWP > 30 mmHg Gradien > 15 mHg
Modologl katup yang ayak untuk PMBV
Pedimbangkan PIVBV (slngkirkan bekuan atrium k ri, regurqitasi mifal 34)
komisurotomi mitral perlama kali diajukan oleh Brunton pada Sampai dengan tahun 1940 prosedur yang dilakukan adalah
komisurotomi bedah tertutup. Tahun 1950 sampai dengan 1960 komisurotomi bedah tertutup dilakukan melalui transatrial serta transventrikel. Akhir-akhir ini komisurotomi bedah dilakukan secara terbuka karena adanya mesin jantung-paru. Dengan cara ini katup terlihat dengan jelas, pemisahan komisura, atau korda, otot papilaris, serta pembersihan kalsifikasi dapat dilakukan dengan lebih baik. Juga dapat ditentukan tindakan yang akan diambil apakah itu reparasi atau penggantian katup mitral dengan protesa. Perlu diingat bahwa sedapat mungkin diupayakan operasi bersifat reparasi oleh karena dengan protesa akan timbul risiko antikoagulasi, trombosis pada katup, infeksi endokarditis, malfungsi protesa serta kejadian trombo emboli.
LAMPIRAN
Gambar 9. Algoritme pasien dengan stenosis mitral dengan simtom klasifikasi ll. (From Bonow R, et al ACC/AHA Task Force report on guidelines for valvular heart disease. J Am Coll Cardiol (in press). MVA, Area katup mitral; PAP, tekanan sistolik arteri pulmonar; PAWP, tekanan baji arteri pulmonar; MV, mitral valve. MVR, penggantian katup mitral; LA, atrium kiri; MR, regurgitasi mitral; PMBV, percutaneous mitral balloon valvotomy.
Sesuai dengan petuniuk dari 'American College o.f C a r d i o I ct gy / Ame r i c an H e art A s s o c i at i o n (.ACC/AHA) dipakai klasifikasi indikasi diagnosis prosedur terapi. sebagai berikut: Klas I : keadaan di mana terdapat bukti atau kesepakatan umum bahwa prosedur atau pengobatan itu bermanfaat
. .
dan efektif,
Klas II: keadaan di mana terdapat konflik/perbedaan pendapat tentang manfaat atau efikasi dari suatu prosedur atau pengobatan. . II.a. Bukti atau pendapat lebih kearah bermanfaat
.
atau efektif II.b. Kurang / tidak terdapat bukti adanya manfaat atau efikasi
. Klas III:
keadaan
di mana terdapat bukti
atau
kesepakatan umum bahwa prosedur atau pengobatan itu tidak bermanfaat bahkan pada beberapa kasus berbahaya.
Gambar 10. Algoritme pasien dengan stenosis mitral dengan simtom klasifikasi lll-lV. (From Bonow R, et al. ACC/AHA Task Force report on guidelines for valvular head disease J Am Coll Cardiol (in press). MVA, Area katup mitral; PAP, tekanan sistolik arteri pulmonar; PAWP, tekanan baji aderi pulmonar; MV, mitral
valve. MVR, penggantian katup mitral; LA, atrium kiri; MR, regurgitasi mitral; PMBV, percutaneous mitral balloon valvotomy
t678
IqRDIOI.OGI
lndikasi 1.
2 J
4 5.
lndikasi
Klas
Diagnosis stenosis mitral, evaluasi berat ringannya (gradient rata-rata, area katup, tekanan arteri pulmonalis), serta ukuran dan fungsi ventrikel kanan Evaluasi morfologrs katup, guna menentukan kelayakan tindakan balon katup Diagnosis dan evaluasi kelainan katup yang menyertai Re-evaluasi stenosis mitral dengan perubahan gejala dan tanda Evaluasi respons hemodinamik dari gradient rata-rata pada latihan, bila terlihat perbedaan gambaran klinis dengan hemodinamik pada
Pasien simtomatik klasifikasi NYHA ll-lV,
1.
stenosis mitral sedang atau berat dengan area < 1.5 cm2, modologis katup memenuhi syarat untuk valvotomi balon, ianpa adanya thrombus atrium kiri atau regurgitasi mitral sedang-berat Pasien asimtomatik dengan gradasi sedangberat (area 1.5 cm2), morfologis katup memenuhi syarat dengan hipertensi pulmonal (>50 mmHg pada istirahat, 60 mmHg dengan
<
a
latihan), tanpa adanya trombus di atrium kiri a
atau regurgitasi mitral sedang-berat Pasien dengan klasifikasi NYHA Il-lV, gradasi sedang-berat (area <1.5 cm2), katup tidak p/rabie disertai kalsifikasi dengan risiko tinggi operasi, tanpa adanya trombus diatrium kiri
J
latihan
Re-evaluasi pasien stenosis sedang-berat asimtomatik untuk menentukan tekanan arteri pulmonalis 7.
Klas
b
a
atau regurgitasi mitral sedang dan berat
Evaluasi rutin stenosis ringan dan klinis stabil
Pasien asimtomatik, gradasi sedang-berat
4
b
(area < 1.5 cm2), morfologi katup memenuhi syarat untuk valvotomi balon, disertai onset
atrial fibrilasi yang baru, tanpa
adanya
trombus diatrium kiri atau regurgitasi mitral sedang-berat
lndikasi
Klas
Untuk menentukan ada tidaknya trombus atrium kiri pada pasien dengan rencana balon valvotomi atau kardioversi Evaluasi morfologis katup bila data transtorakal kurang optimal Evaluasi rutin morfologis katup mitral bila data transtorakal cukup optimal
Indikasi
1. 2. 3.
Fibritasi atrial paroksismal atau kronik Riwayat kejadian emboli sebelumnya Stenosis berat dengan dimensi atrium kiri > 55 Seluruh oasien denqan stenosis mitral
Klasifikasi NYHA lll-lv, gradasi sedang - berat (area <1.5 cm2), katup kaku disertai kalsifikasi dan risiko rendah untuk operasi
b.
Pasien dengan stenosis mitral ringan
REFERENSI
Klas I
I
ilb ilt
Bruce, C J., Nishimura, R.A. Newer Advances in the Diagnosis and Treatment of Mitral Stenosis In Cunent Problems in Cardiology. Mosby lnc.Vol. 23, Number 3. March 1998, p.125-96 Braunwald, E Mitral Stenosis. In Valvular heart disease. In Horrison's Principles of Internal Medicine. Kasper, D.L., Braunwald, E., Fauci, A.S., Hauser, S.L., Longo, D.L., Jameson, J.L. 16n edition. Vol. II McGraw-hill . 2005. p.1390-92. Dalen, J.E., Fenster, P.E. Mitral Stenosis. In : Valvular heart disease.
Alpert, J.S., Dalen, J 8., Rahimtoola, S.H. Third edition. Philadelphia Lippincott Williams & walkins, USA. 2000. p. 7
lndikasi
1. 2. 3 4. 5.
Pada pasien secara selektif Menentukan gradasi stenosis pada rencana balon valvotomi, dimana gambaran klinis dan eko tidak sesuai Evaluasi arteri pulmonal, atrium kiri, tekanan diastoliK ventrikel kiri jika simtom tidak sesuai dengan 2-D echo dan doppler Evaluasi respons hemodinamik arteri pulmonal dan tekanan artrium kiri terhadap stres bila simtom klinis dan hemodinamik pada istirahat tidak sesuai Evaluasi hemodinamik katup mitral bila data 2-D dan doppler sesuai dengan temuan klinis
b
a
mm
4.
5
Klas I
ll a
ll a
ll a
il
5-1 12.
Bonow R, et al. ACC/AHA Task Force report on guidelines for valvular MY mitral valve replacement Ghanie,A Arsip ekokardiografikardiografi, Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/ RS. Dr. Mohammad Hoesin Palembang. 1987 - 2006. Ghanie, A. Comparative study of transesophageal to transthoracal in detecting thrombus and spontaneous ekokardiografi contrast in mitral stenosis. Acta Medica Indonesiana. Vol. XXXIV. No. 2. edition April - June 2002. p.52-4. Swain,2005. Mitral Stenosis. McNamara et al, eds. eMedicine http/ /www.eMedicine.com/emerg.topic.3 I 5 htm.
263 REGURGITASI MITRAL Daulat Manurung
PENDAHULUAN
pada masing-masing daun katup, yang berfungsi untuk menopang daun katup mitral dalam berkoaptasi. Setiap
Regurgitasi mitral sama denganmitral regurgitation (INIR) adalah suatu keadaan di mana terdapat aliran darah balik dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri pada saat sistol, akibat tidak dapat menutupnya katup mitral secara sempurna. Dengan demikian aliran darah saat sistol akan terbtrgi dua, disamping ke aorta yang seterusnya ke aliran darah sistemik, sebagai fungsi utama, juga akan masuk ke atrium kiri. Akan tetapi daya pompa jantung jadi tidak efisien
berkas chorda terdiri dari beberapa serabut yang "Jlerible".
Muskulus papillaris. Terdiri dari dua buah,-tempat berpangkalnya kedua chctrdae tendinea, dan berhubungan langsung dengan dinding ventrikel kiri. Berfungsi untuk menyanggah kedua chordae. " Muskulus papillaris' adalah bagian dari endokardium yang menonjol, satu di medial, dan satu lagi di dinding lateral.
dengan berbagai tingkat klinisnya, mulai dari yang asimtomatis sampai gagal jantung berat. Dari segi proses terjadinya mitral regurgitasi dapat dibagi menjadi mitral regurgitasi yang akut, transient atau bersifat sementara, dan kronik. Sedangkan etiologi regurgitasi mitral sangat
Kelainan pada apparatus mitral ini pada keadaan regurgitasi bisa saja hanya satu dari keempat komponen tadi, misalnya pada anulus yang melebar, pada penyakit jantung degeneratif seperti penyakit jantung koroner, namun bisa saja mengenai dua atau lebih, seperti katup mitral memendek, mengapur dan kelainan pada chordae, fusi dan memendek seperli pada penyakit jantung rematik. Pada akut infark, dapat terjadi muskulus papilaris.
banyak.
STRUKTUR DAN FUNGSIKOMPONEN KATUP MI. TRAL
ETIOLOGI
Katup mitral terdiri dari empat komponen utama yaitu:
Anulus katup mitral. Terdiri dari bagian yang kaku ("fixed") yang berhubungan dengan annulus katup aorta.
Etiologi regurgitasi mitral (MR) sangat banyak, erat hubungannya dengan klinisnya MR akut atau MR kronik. MR akut secara garis besar ada tiga bentuk: . MR primer akut non iskemia yang terdiri dari: - ruptur korda spontan
Terdiri dari jaringan fibrosa dan merupakan bagian dari pangkal katup mitral bagian anterior.
Bagian annulus mitralis yang lain yaitu bagian yang dinamik, bagian yang terbesar dan tempat pangkal dari daun katup mitral bagian posterior.
Kedua daun katup. Terdiri dari daun katup anterior dan posterior. Keduanya asimetris. Celah dari kedua katup ini disebut komisura, bagian antero medial dan postero
.
lateral. Chordae tendinea.Terdiideri dua berkas, berpangkal pada muskulus papilaris. Berkas chordae tendinea ini menempel
t67
-
endokarditisinfektif degerasi miksomatous dari valvular
trauma
hipovolemia pada mitral valve prolapse (MVP) MR karena iskemia akut MR yang terjadi karena iskemia akut dapat dijelaskan sebagai berikut. Akibat adanya iskemia akut, maka akan terjadi gangguan fungsi ventrikel kiri, annular geometri
1680
IQIRDIOI.OGI
atau gangguan fungsi muskulus papilaris. Pada infark akut, dapat terjadi ruptur dari muskulus papilaris, satu atau keduanya. Selanjutnya timbul edema paru, syok dan kematian. Namun apabila hanya satu muskulus papilaris yang ruptur, biasanya walau klinisnya berat,
namun kemungkinan masih bisa diatasi. Ruptur muskulus papilaris pada infark akut biasanya timbul
"slowly progressive", seperti pada penyakit jantung rematik. Dapat juga terjadi sebagai konsekuensi lesi akut seperli perforasi katup atau ruptur korda yang tidak pernah memperlihatkan gejala-gejala akut, namun dapat diadaptasi sampai timbul bentuk kronis dari MR. Beberapa jenis etiologi MR kronik terdiri dari hal-hal sebagai berikut (Thbel 1).
antara hari kedua sampai hari kelima, klinisnya berat,
biasanya perlu tindakan operasi. MR juga bisa timbul sebagai kelanjutan dari infark akut, di manaterjadi re-
modeling miokard, gangguan fungsi muskulus
.
papilaris, dan dilatasi annulus, gangguan koaptasi katup mitral, selanjutnya timbul MR. MR akut sekunder pada kardiomiopati. Pada kardiomiopati terdapat penebalan dari miokard
yang tidak proporsional dan bisa asimetris, yang berakibat kedua muskulus papilaris berobah posisi, akibatnya tidak berfungsi dengan sempurna, selanjutnya penutupan katup mitral tidak sempurna.
ETIOLOGIDAN MEKANISME MR KRONIK Etiologi MR kronik sangat banyak. MR kronik dapat terjadi pada penyakitjantung valvular yang berlangsung secara
Etiologi
MR karena Reumatik Biasanya disertai juga dengan stenosis mitral berbagai tingkatan dan fusi dari "commisura" , hanya sekitar l07o kasus rematik mitral murni MR tanpa ada stenosis. MR
berat karena rheuma yang memerlukan tindakan operasi masih sering ditemukan pada negara-negara yang sedang berkembang, tetapi sudah jarang di negara-negara yang sudah maju. Biasanya lesi rematik dapat berupa retraksi fibrosis pada apparatus valvuler, yang mengakibatkan koaptasi dari katup mitral tidakberfungsi secara sempurra. Pada kasus-kasus MR yang mengalami koreksi operasi. terdapat 3-40Vo karena atas dasar reumatik.
MR Degeratif Yang paling sering penyebabnya adalah mitral valve prolapse (MVP), di mana terjadi gerakan abnormal dari
Mekanisme
Gambaran Ekokardiografi
Retraksi Penebalan
Penebalan kordal le aflets Gerakan restriksi atau normal
Prolaps /eaflets Ruptur korda
Prolapsil Fl ail leaflets Redundant tissue Ruptur korda
Dilatasi anulus Tenting of leaflets
Normal /eafleats Penurunan gerakan /eaflets
Penebalan leaflets Hilangnya koaptasi
Penebalan /eaflets Penurunan gerakan
lmobilisasi /eaflefs Penebalan leaflets
Penebalan /eaflets dan korda Gerakan restriksi
Destructive /eslons Cleft leaflets Transposed valve
Perforasi Flail leaflets Cleft leaflets Tricuspid valve
Pascainflamasi Rematik Lupus eritematosus
Sistemik Sindrom antikardiolipin Pasca radiasi
Degeneratif Mitral valve prolapse ruptur korda idiopatik Sindrom Marfan's Sindrom Ehlers-Danios Traumatik MR
Penyakit Miokardial lskemik (kronik) Kardiomiopati
Penyakit lnfiltratif Penyakit amiloid Penyakit Hurler's
Encasing disease Sindrom hipereosinofilik Fibrosis endomiokardial Penyakit karsinoid Lesi egot Diet-drug lesions
Endokarditis Kongenital MR = Mitral Regurgitation
1681
REGURGNASIMITRAL
daun katup mitral ke dalam atrium
kiri
saat sistol,
diakibatkan
Pada keadaan seperti ini, pasien akan memperlihatkan kiri akut, kongesti paru, dan
oleh tidak adekuatnya sokongan ("support") dari korda, memanjang atau ruptur, dan terdapat jaringan valvular yang berlebihan Di negara-negara maju, lesi MVP merupakan lesi yang
gejala-gejala gagal jantung penurunan cardiac output.
terbanyak didapatkan, 20-1}Vo dari kasus-kasus MR yang mendapat tindakan koreksi dengan operasi.
PATOFISIOLOGI MB KRONIK
MR karena Endocarditis lnfective "
Infective endocarditis" dapat menyebabkan destruksi
dan perforasi dari daun katup.
MR karena lskemia atau MR Fungsional Timbul sebagai akibat adanya disfungsi muskulus papilaris yang bersifat transient atau permanen akibat adanya iskemia kronis. Iskemia kronik dan MR fungsional dapat juga terjadi akibat dilatasi ventrikel kiri, aneurisma ventrikel, miokardiopati atau miokarditis.
Penyebab Lain MR Kronik Masih sangat banyak, walau sangat jarang ditemukan, seperti penyakit jaringan lkat ("connective tissue
disorders"
), seperti sindrom Marfan,
sindrom
antikardiolipin, sindrom SLE dan lain-lain.
PATOFISIOLOGI MR AKUT Pada MR primer akut, atrium
kiri dan ventrikel kiri yang
sebelumnya normal-normal saja, tiba-tiba mendapat beban yang berlebihan ("severe volume overload"). Pada saat sistol atrium kiri akan mengalami pengisian yang berlebihan, disamping aliran darah yang biasa dari venavena pulmonalis, juga mendapat aliran darah tambahan dari ventrikel kiri akibat regurgitasi tadi. Sebaliknyapada saat diastol, volume darah yang masuk ke ventrikel kiri akan mengalami peningkatan yang berasal dari atrium kiri yang mengalamivolume overload tadi. Dinding ventrikel
kiri cukup tebal tidak akan sempat berdilatasi, namun akan
mengakibatkan mekanisme Frank-Starling akan berlangsung secara maksimal, yang selanjutnya pasien masuk dalam keadaan dekompensasi jantung kiri akut. Tekanan atau volume ventrikel kiri yang berlebih diteruskan ke atrium kiri, selanjutnya ke vena-vena pulmonalis dan timbullah edema paru yang akut. Pada saat yang bersamaan pada fase sistol di mana ventrikel kiri mengalami volume overload dan tekanan di ventrikel kiri meningkat, tekanan after load berkwang akibat regurgitasi ke atrium kiri yang bisa mencapai 507o dari strok volume ventrikel kiri. Aliran darah ke aorta (sistemik) akan
berkurang karena berbagi ke atrium
kiri. Akibatnya
cardiac output akan berkurang walaupun fungsi ventrikel kiri sebelumnya masih normal atau bahkan diatas normal.
Tidak sempurnanya koaptasi dari kedua daun katup mitral pada fase sistol, menimbulkan ada pintu/celah terbuka ("regurgitant orifice") untuk aliran darah balik ke atrium kiri. Adanya "systolic pressure gradient " antara ventrikel kiri dan atrium kiri, akan mendorong darah balik ke atrium kiri. Volume darah yang balik ke atrium kiri disebut "volume regurgitant" , dan presentase regurgitan volume dibanding dai total ejection ventrikel kiri, disebut sebagai fraksi regurgitan. Dengan demikian pada fase sistole, akan terdapat beban pengisian atrium kiri yang meningkat, dan pada fase diastol, beban pengisian ventrikel kirijuga akan meningkat, yang lama kelamaan akan memperburuk perfo rutance ventrikel kii (" remodeling " ). Pada MR kronis, terjadi dilatasi ventrikel kiri, walau lebih ringan ketimbang pada regurgitasi aorta (AR), pada tingkat regurgitasi yang sama. Tekanan volume akhir diastol ("end diastolic volume") dan regangan dinding ventrikel ("wall slress ") akan meningkat. Volume akhir sistol akan meningkat pada MR kronik, meskipun demikian, regangan akhir sistole dinding ventrikel kiri biasanya masih normal. Selanjutnya massa ventrikel kiri pada MR akan meningkat sejajar dengan besarnya dilatasi ventrikel kiri. Fungsi ventrikel kiri sulit dinilai karena ada perubahan pada preload dan after load. After load lebih sulit lagi dinilai karena ada aliran darah regurgitasi ke atrium kiri,
yang sedikit banyak akan mengurangi tahanan pengeluaran darah dari ventrikel kiri, padahal pengukuran after load danregangan akhir dinding ventrikel kiri masih dalam batas norrnal. Bagaimanapun juga, terdapat korelasi terbalik antara tekanan akhir dinding ventrikel dengan fraksi ejeksi pada MR. Petunjuk yang cukup komplek dengan memakai after load seperti regangan akhir sistolik dinding ventrikel kiri atau elastan maksimum yang disejajarkan dengan volume ventrikel kiri , dapat dipakai sebagai pengukur perubahan
fungsi ventrikel
kiri yang cukup sensitif. Disfungsi
ventrikel kiri akibat MR merupakan pertanda prognase yang tidak baik. Fungsi diastolik pada MR sangat sulit dianalisis akibat
peningkatan volume pengisian. Relaksasi ventrikel kiri ("stffiess") ventrikel
biasanya memanjang dan kekakuan
kiri juga biasanya berkurang akibat bertambahnya diameter rongga ventrikel kiri. Pada pasien MR fungsional akibat penyakit jantung koroner atau kardiomiopati, kelainan primer terdapat pada
ventrikel kiri, di mana kontraktilitas dinding ventrikel sangat berkurang, padahal daun katup mitral
itu sendiri
L682
IGRDIOIOGI
masih normal. MR kebanyakan tidak sejajar dengan derajat
disfungsi ventrikel kiri, tetapi lebih berhubungan dengan remodeling ventrikel kiri secara regional. MR fungsional agak berbeda dengan MR organik ("valvular"'). Pada MR fungsional, volume regurgitasi biasanya sedikit dan dilatasi ventrikel kiri biasanya tidak proporsional dengan derajat MR. Tetapi MR fungsional punya arti klinis yang penting. berhubungan dengan peninggian volume dan tekanan di atrium kiri, dan suatu pertanda penyakit miokardium yang sudah lanjut. MR fungsional sangat efektif diobati dengan
vasodilator.
MANIFESTASI KLINIS Pasien MR berat akut hampir semuanya simtomatik. Pada
Pasien dengan MR ringan biasanya asimtomatik. MR berat dapat asimtomatik atau gejala minimal untuk
bertahun-tahun. Rasa cepat capai karena cardiac output yang rendah dan sesak napas ringan pada saat beraktivitas, biasanya segera hilang apabila aktivitas segera dihentikan. Sesak napas berat saat beraktivitas, paroxysmal nocturnal dyspnea atau edema paru bahkan hemoptisis dapatjuga terjadi. Gejala-gejala berat tersebut dapat dipicu
oleh fibrilasi atrial yang baru timbul atau karena peningkatan derajat regurgitasi, atau ruptur korda atau menurunnya p e rfo rmanc e ventrikel kiri. Sedangkan periode transisi dari akut menjadi kronik MR, dapat juga terjadi misalnya dari gejala akut seperti edema paru dan gagal jantung dapat mereda secara progresif akibat perbaikan p e rfo tman c e ventrikel kiri atau akibat pemberian diuretika.
beberapa kasus dapat diperberat oleh adanya ruptur chordae, umumnya ditandai oleh sesak napas dan rasa
lemas yang berlebihan, yang timbul secara tiba-tiba. Kadang ruptur korda ditandai oleh adanya
nyei
thopnea, paroxysmal nocturnal dispnea dan rasa capai kadang ditemukan pada MR akut. Dari anamnesis juga kemungkinan dapat diperoleh perkiraan etiologi dari MR akut. MR akut akibat iskemia berat, dapat diperkirakan pada kasus dengan syok atau gagal jantung kongestif pada pasien dengan infark akut, terutama bila didapatkan adanya murmur sistolik yang baru,
walau kadang tidak ditemukan murmur sistolik pada MR akut akibat iskemia, karena dapat terjadi keseimbangan tekanan darah di dalam ventrikel kiri dan atrium kiri, yang dapat menimbulkan lamanya murrnur memendek sehingga pada auskultasi sulit dideteksi (Tabet 2).
Akut Gejala Palpasi jantung
Sr
PEMERIKSAAN FISIS
dada, or-
Kronik
Hampir selalu ada, biasanya berat Unremarkable Soft Ealy systolic to holosystolic Normal
Mungkin tak ditemukan Displaced dynamic apical impulse Soft or normal Holosystolic LVH dan fibrilasi atrial sering
Jantung normal silhouette; edema paru Normal LA
Enlarged heaft: normal lung fields
Tekanan darah biasanya normal. Pada pemeriksaan palpasi,
apeks biasanya terdorong ke lateral/kiri sesuai dengan pembesaran ventrikel ktti. Thrill pada apeks pertanda terdapatnya MR berat. Juga bisa terdapat right ventricular heaving,bisa juga didapatkan pembesaran ventrikel kanan. Bunyi jantung pefiama biasanya bergabung dengan murmur. Umumnya normal, namun dapat mengeras pada MR karena penyakit jantung rematik. Bunyi jantung kedua biasanya normal. Bunyi jantung ketiga terdengar terutama
pada MR akibat kelainan organik, di mana terjadi peningkatan volume dan dilatasi ventrikel kiri. Murmur diastolik yang bersifat rumbling pada awal diastolik bisa juga terdengar akibat adanya peningkatan aliran darah pada fase diastol, walau tidak disertai oleh adanya stenosis mitral. Namun perlu diingat bahwa bunyi jantung ketiga dan
murmur diastolik ini biasanya bunyinya bersifat "low pitch", sulit dideteksi, perlu auskultasi yang hati-hati, lebih jelas terdengar pada posisi dekubitus lateral kiri, dan pada saat ekspirasi.
pemeriksaan fisis, perekaman EKG dan perubahan radiologi sangat tergantung dari derajat dan kausa dari MR, dan bagaimana performa atrium dan ventrikel kiri.
Gallop atrial biasanya terdengar pada MR dengan awitan yang masih baru dan pada MR fungsional atau iskemia serta pada irama yang masih sinus. Pada MR karena MVP dapat terdengar mid systolic click yang merupakan petanda MVP, bersamaan dengan murrnur sistolik. Hal ini terjadi sebagai akibat peregangan yang tiba-tiba dai chordae tendinea. Petanda utama dari MR adalah murmur sistolik, minimal derajat sedang, berupa murmur holosistolik yang meliputi bunyi jantung pertama sampai bunyi jantung kedua. Murmur biasanya bersifat b lowing, tetapi bisa juga bersifat kasar ("harsh") terutama pada MVP. Pada MR karena penyakit jantung valvular dan MVP dari daun katup anterior, punctum maximum terdengar di apeks, menjalar ke aksila. Sedangkan pada MVP katup posterior arah "jet"
(Tabel3).
dari murmur menuju superior dan medial. Akibatnya
Murmur Elektrokardiogram Foto toraks
Ekokardiografi Terapi
and
LV
vasodilators
Endlarged LA and Bedah
LA = atrium kiri, LV = ventrikel kiri, LVH = VHL = Hipstofi ventrikel kiri
MANIFESTASI KLINIS
Manefestasi klinis MR kronik, termasuk simtom,
1683
REGURGNASIMITRAL
Sindrom MVP
MR Fungsional
MR Organik
Nyeri dada Lelah Gejala Pemeriksaan Mid-systolicclick, Loudholosystolic fisis dan- murmur sistolik murmur, 53 perubahan ST-T Fibrilasi atrial
EKG Foto dada
Pectus
CHF Soft early
systolic murmur Sa, Ss
excavatum Kardiomegali, LA enlargement
Gelombang Q, LBBB Kardiomegali, Edema paru
MR, mitral regurgitationi MYP, mitral valve prolapse; CHF , congestive heart failure; ECG, electrocardiogram; LBBB, left bundle branch block; CXR, chesf X-ray; LA, left atrium
murnur menjalar ke basis jantung dan sulit dibedakan dengan murnur karena stenosis aorta atau kardiomiopati obstruktif. Murmur juga bisa terdengar di punggung. Murmur biasanya paralel dengan derajat MR, namun tidak demikian pada MR karena iskemia atau fungsional.
ELEKTROKARDIOGRAFI Gambaran EKG pada MR tidak ada yang spesifik, namun fibrilasi atrial sering ditemukan pada MR karena kelainan organik. MR karena iskemia, Q patologis dan LBBB bisa terlihat sedangkan pada MVP bisa terlihat perubahan segmen ST-T yang tidak spesifik. Pada keadaan dengan irama sinus, tanda-tanda dilatasi atrium kiri (LAH) dan dilatasi atrium kanan (RAH) bisa ditemukan apabila sudah ada hipertensi pulmonal yang berat. Tanda-tanda hipertropi ventrikel kiri (LVH) bisa juga ditemukan pada MR kronik.
FOTOTORAKS Bisa memperlihatkan tanda-tanda pembesaran atrium kiri dan ventrikel kiri. Juga tanda-tanda hipertensi pulmonal
atau edema paru bisa ditemukan pada MR kronik. Sedangkan pada MR akut, biasanya pembesaran jantung belum jelas, walaupun sudah ada tanda-tanda gagal jantung kiri.
EKOKARDIOGRAFI Ekokardiografi Doppler saatini merupakan alat diagnostik yang utama pada pemeriksaan pasien dengan MR. Dengan Eko Doppler, dapat diketahui morfologi lesi katup mitral, derajat atau beratnya MR. Juga mengetahui beratnya MR. Juga mengetahui fungsi ventrikel kiri dan atrium kiri. Dengan eko bisa diketahui etiologi dari MR. Color Flow Doppler imaging merupakan pemeriksaan
non-invasive yang sangat akurat dalam medeteksi dan estimasi dari MR. Atrium kiri biasanya dilatasi, sedangkan ventrikel kiri cenderung hiperdinamik. Dengan quided Mmode diameter, dapat diukur besamya ventrikel kiri, massa ventrikel kiri dan tekanan dinding ventrikel, dan fraksi ejeksi dapat dikalkulasi atau diestimasi. Volume ventrikel juga dapat diukur dengan Ekokardiografi dua dimensi (2 D E ko ka
rdio
g r afi c
ar di o g rap hy).
PENATALAKSANAAN TERAPI
Terapi Medikamentosa Terapi MR akut adalah secepatnya menurunkan volume regurgitan, yang seterusnya akan mengurangi hipertensi pulmonal dan tekanan atrial dan meningkatkan strok volume. Vasodilator arterial seperti sodium nitroprusid merupakan terapi utama untuk tujuan ini. Vasodilator
arterial dapat mengurangi resistensi valvuler, meningkatkan aliran pengeluaran ("forward
flow") dan bersamaan dengan ini akan terjadi j uga pengurangan dari
aliran regurgitasi. Pada saat bersamaan dengan kiri dapat membantu
berkurangnya volume ventrikel
perbaikan kompetensi katup mitral. Sodium nitroprusid diberikan secara intravena, sangat bermanfaat karcna half life sangat pendek, sehingga mudah dititrasi, apalagi bila diberikan dengan pemasangan SwanGanz catheter. Pada pasien MR berat dengan hipotensi, sebaiknya
pemberian sodium Nitroprusid harus dihindari. Intra Aortic Balloon Counter Pulsation dapat dipergunakan untuk memperbaTki mean arterial blood pressure, di mana diharapkan dapat mengurangi afterload dan meningkatkan
forward output (pengeluaran darah dari ventrikel kiri). Pengantian katup mitral baru bisa dipertimbangkan sesudah hemodinamik stabil.
Terapi Medikamentosa pada MR Kronik Prevensi terhadap endokarditis infektif pada MR sangat penting. Pasien usia muda dengan MR karena penyakit
1684
Ii{RDIOI.TOGI
jantung rematik harus mendapat profilaksis terhadap demam rematik. Untuk pasien dengan AF perlu diberikan
digoksin dan atau beta blocker untuk kontrol frekuensi detak jantung ("rate control"'). Antikoagulan oral harus diberikan pada pasien dengan
AF. Penyekat beta merupakan obat pilihan utama pada sindrom MVP, di mana sering ditemukan keluhan berdebar dan nyeri dada. Diuretika sangat bermanfaat untuk kontrol gagal jantung, dan untuk kontrol keluhan terutama sesak
perlu penilaian aparatus mitral secara cermat, dan perforruance dari ventrikel kiri. Namun kadang saat direncanakan rekonstruksi, sesudah dibuka, ternyata harus diganti atau di replacement. Penggantian katup mitral, dipastikan apabila dengan rekonstruksi tidak mungkin dilakukan. Apabila diputuskan :unlrtk replacement, maka pilihan adalah apakah pakai katup mekanikal di mana ketahanan dariyalye mechanical ini sudah terjamin, namun terdapat
dengan disfungsi ventrikel kiri, memperbaiki sirrvival dan
risiko tromboemboli dan harus minum antikoagulan seumur hidup atau katup bioprotese ("biobgic valve") dr
tapas. ACE inhibitor dilaporkan bermanf'aat pada MR
memperbaiki sirntom. Juga MR fungsional sangat
mana umur valve sttht diprediksi, namun tidak perlu pakai
bermanfaat dengan ACE inhibitor ini.
antikoagulan lama.
Terapi dengan Operasi
banyak para ahli yang belum sepaham, namun ada kecenderungan semakin cepat semakin baik, sebelum
Kapan tindakan penggantian katup diakukan masih Ada dua pilihan yaitu rekonstruksi dari katup mitral dan penggantian katup mitral (." mitral valv e replac ernent").
Ada beberapa pendekatan dengan rekonstruksi valvular ini, tergantung dari morphologi lesi dan etiologi MR, dapat berupa valvular repair misalnya pada MVP, annuloplctsty, memperpendek korda dan sebagainya. Sebelum rekonstruksi ataupun sebelum replacement
terladi disfungsi ventrikel kiri. Disfungsi ventrikel kiri biasanya irreversible, walau katupnya sudah diganti. Sebagai pegangan, AH A("American Heart Association") dan ACC ("American College of Cardiologl,") telah menerbitkan guidelines (panduan) tentang management dari MR kronik (Gambar 1).
Regurgitasi mitral berat kronik
Fraksi ejeksi
ventrikular >0,60 dan dimensi sistolik akhir <45mm
ventrikelkiri<060 dan dimensi sistolik akhi
Katup mitral dapat direparasi
>45 Fraksi ejeksi
Tidak ada fibrilasi atrial atau hipertensi pulmonal
Fraksi ejeksi
<030
Fibrilasi atrial atau hipertensi pulmonal
Operasi katup mitral jika teknis memungkinkan reparasi katup kubis disulam
Terapi medis
Gambar 1. Bagan tatalaksana regurgitasi mitral berat kronik Dimodifikasi dari The American College of Cardiology-American Head Association guidelines.
1685
REGURGTTA$MITRAL
REFERENSI
Catherine M Otto. Evaluation and management of chronic mitral regurgitation. N Engl J Med, 2001; 345 ;74O-5.
ACA/AHA guidelines for the management of patient with valvular heart disease: a report of the American College of Cardiology/
Eugene Brauwald. Valvular heart disease. 16 ed. Harrison's Principles of Internal Medicine. 2005 Mc Graw-Hill; 1390-5. Edited by Kaspen et al. J.S. Fleming. Lecture notes on cardiology. (Chapter 7 : Mitral Valve
American Heart Association Task Force on Practice Quidelines (Committee on Management of Patient with Valvular Heart Disease). J Am. Coll Cardiol 1998:32:1486-588. Barry M Massie Thomas M Amidon : Mitral regurgitation in Current medical diagnosis & teatment 2003. Edited by Tierney LM, McPhee J/ Hapadakis MA. Lange Medical Books/ McGraw
Hill. The Heart. 42'd Ed. Current Medical Diagnosis & Treatment 2003.p. 322-8. Carabello BA. Acute mitral regurgitation. 3.d Ed. Valvular Heart Disease by Lippincott William & Wilkin 2O00;143-55.
Disease). Sarano ME, Hartzell VS, Abdul Jamil T, Robert LF. Chronic mitral regurgitation. 3d Ed. Valvular Heart Disease 2000 by Lippincott
William & Wilkin;l 15-55. Sjahbudin HR, Maurice ES, Hartzel et all. Mitral relurgitation
.
lOh
ed. 2001; in Hursts the Heart Ed. By Fuster Y et al. Internal edition Mc Graw Hill Medical Publish Divisi; 1708-27.
264 STENOSIS AORTA Marulam M. Panggabean
ETIOLOGI STENOSIS AORTA
Etiologi stenosis aorta adalah kalsifikasi senilis, variasi kongenital, penyakit jantung rematik. Di negara maju, etiologi terutama oleh kalsifikasi-degeneratif dan seiring dengan prevalensi penyakitjantung koroner dengan faktor risiko yang sama, sedang di negarakurang maju didominasi oleh penyakit jantung rematik
DIAGNOSIS STENOSIS AORTA Pada tahap asimtomatik, stenosis aorta ditandai oleh murmur sistolik ejeksi di basis jantung yang menyebar ke leher,
paling keras di daerah aorta dan apeks. Pada awalnya karena curah jantung masih baik, murnur ini keras dan kasar puncak mid-sistol dan disertai thrill . Pada
Gerak danjenis katup bikuspid (kongenital) atau trikuspid, hipertrofi ventrikel kiri, fraksi ejeksi yang menggambarkan fungsi sistolik ventrikel kiri dapat pula dinilai. Kecepatan aliran darah di katup aorla (transvalvular aortic velocity disingknt l.) dapat diukur dengan Doppler-Ekokardiograf,r. Gradien katup aorta dapat dikalkulasi dengan memakai rumus Bemoulli Gradien =4 x V2. Treadmill Exercise ksl dulu dianggap kontraindikasi pada stenosis aorta.sekarang perlu bagi pasien stenosis aorta asimtomatik dengan velocity rransvalvular antata 34 m/detik. Dobutamin stres echo dapat pula dipakai untuk memastikan beratnya penyakit pada stenosis aorta dengan gradien transaorta rendah atau fungsi sistolik yang menurun. Kateterisasi jantung dan angiografi koroner diperlukan oleh ahli bedahjantung bila direncanakan tindakan operasi katup untuk menilai beratnya stenosis (Gradien katup dan
sistole. Pada stenosis aorta kongenital, murmur ini
area katup aorta), menilai anatomi katup, fungsi sistolik ventrikel kiri dan menilai ada tidaknya penyakitjantung koroner. Indikasi kateterisasi adalah: pasien dengan 1) AS
biasanya didahului oleh klik sistolik. Perabaan amplitude
serla tanda iskemia miokard untuk memastikan keterlibatan
perkembangannya di mana curah jantung mulai menurun, murmur ini menjadi lebih halus dengan puncak di akhir
arteri koronaria, 2) Kelainan multivalvular untuk
nadi menurun Qtulsus parvus et tardus). Bunyi jantung kedua melemah atau terdengar hanya satu komponen saja.
memastikan kelainan di masing-masing katup, 3) Pasien
Bila disertai regurgitasi aorta akan ditemukan early
AS muda asimtomatik dan non-kalsihkasi di mana tindakan valvotomi balon masih dapat dilakukan, 4) Kecurigaan obstruksi infra valvular seperti kardiomiopati hipertrofik
diastolik murmur. Foto toraks dapat normal tahap awal karena hipertrofi konsentrik ventrikel kiri. Kalsifikasi aorta dapat terlihat pada flouroskopi. Pada tahap lanjut akan ditemukan dilatasi posl stenotik aofta asendens, dilatasi
obstruktif.
ventrikel kiri, kongesti paru, pembesaran atrium kiri dan rongga jantung kanan. Elektrokardiografi menunjukkan pembesaran ventrikel kiri. Pada kasus lanjut akan ditemukan depresi segmen ST dan inversi gelombang T(LV Strain) di sandapan I, AVL dan prekordial. Namun beratnya AS tidak bisa disingkirkan walaupun tanpa hipertrofi ventrikel kiri pada EKG. Ekokardiografi sangat membantu untuk menunjukkan penebalan dan kalsifikasi daun katup aorta.
PERJALANAN PENYAKIT Stenosis aorta asimtomatik mengalami periode normalyutg laten dan lamanya tergantung etiologi. Pada masa laten ini akan terjadi fibrosis dan kalsifikasi katup. Periode laten ini lebih pendek pada stenosis aorta karena aorta bikuspid serta reumatik dibandingkan dengan sklerotik aorta. Gejala
1686
t687
STENOSISAORTA
yang paling sering muncul adalah angina (35Vo), sinkop (157o) dangagal jantung (50Vo). Begitu gejala muncul, rata-
rata hanya 25Vo yarlg bertahan hidup 3 tahun. Pasien dengan angina hanya S}Vobertahan hidup 5 tahun, kecuali dilakukan operasi ganti katup. Pasien dengan sinkop hanya
507o yarg bertahan hidup 3 tahun.Pasien dengan gagal jantung hanya 50% yangbertahan hidup 2tahtn(2). Risiko mati mendadak pada pasien asimtomatik h any a sekitar 2Vo sehingga pembedahan harus segera dilakukan pada pasien stenosis aorta simtomatik. Pasien asimtomatik akan mengalami mati mendadak sebesar 0,SVoltahtn. Pasien yang sudah dioperasi akan mengalami re-operasi sebesar l7o pertahun dengan risiko kematian operasi sebesar 17o Gradasi stenosis asimtomatik dapat diukur dengan
Doppler dan dapat dipakai sebagai penentu timbulnya gejala. Hanya 37o pasien dengan Transvalvular velocity
>4mldetik yang bertahan asimtomatlk daTam
2
Trans-valvular velocity lebih dari 4mldetik dianjurkan untuk menjalani operasi seperti pasien simtomatik. Transvalyular-velocity kurang dari 3m/detik tetap diobservasi saja dan dibuat Doppler-ekokardio grafrtiap 6 (bagi mereka yang disertai penyakitjantung koroner atau kalsifikasi sedang dan berat) atau tiap tahun bila tidak ditemukan hal dimuka. Bila transvalvtlar velocity arrtaru 3-4mldetik dianjurkan Treadmil Exercise ksl protokol
Bruce dengan pengawasan ketat dilaiukan untuk menentukan saat operasi. Bila timbul gejala saat tes, tekanan darah turun saat tes atau kemampuan yang sangat rendah (digambarkan dengan wakit exercise yang sangat
pendek), maka pasien dianjurkan untuk operasi katup seperti pada pasien simtomatik. Karena patogenesis stenosis aorta akibat sklerosis aorta dianggap sama seperti aterosklerosis, maka semua tindakan untuk pencegahan aterosklerosis harus diberikan untuk mencegah progresivitas stenosis.
tahun.Sedangkan 85Vo pasien asimtomatik dengan kecepatan <3m/detik dapat tetap hidup tanpa keluhan dalam 5 tahun.Beratnya kalsifrkasi katup oarta, peningkatan
jet velocity yang progresif serta adanya penyakit jantung
PENATALAKSANAAN
koroner mempercepat timbulnya gejala dan memperburuk
Aktivitas fisik berat dihindarkan pada pasien AS
prognosls.
berat(<0,5cm2/nf walaupn masih asimtomatik. Nitrolliserin diberikan bila ada angina. Diuretik dan digitalis diberikan
bila ada tanda gagal jantung. Statin dianjurkan untuk PATOGENESIS Hambatan aliran darah
di katup aorta (progressive
mencegah kalsifikasi daun katup aorta. Operasi dianjurkan bila area katup <1cm2 atau 0.6cm/ m2 permukaan tubuh), disfungsi ventrikel kiri (stress test),
pressure overload of left ventricle aklbat stenosis aorta) akan merangsang mekanisme RAA (Renin-AngiotensinAldosteron) beserta mekanisme lainnya agar miokard hipertrofi. Penambahan massa otot ventrikel kiri ini akan meningkatkan tekanan intraventrikel agar dapat melampaui tahanan stenosis aorta tersebut dan mempertahankanwall s/ress berdasarkan rumus Laplace: Srress= (pressure x
dilatasi pasca stenostik aorta walaupun asimtomatik. Stenosis aorta karena kalsifikasi biasanya terjadi pada
radius): 2x thickness. Namun bila tahanan aorta
PROGNOSIS
bertambah, maka hipertrofi akan berkembang menjadi patologik dengan gejala sinkop, iskemia sub-endokard yang menghasilkan angina dan berakhir dengan gagal miokard (gagal j antun g kongestif).
PENATALAKSANAAN
Tidak ada pengobatan medikamentosa untuk AS asimtomatik, tetapi begitu timbul gejala seperti sinkop, angina atau gagaljantung segera harus dilakukan operasi katup, tergantung pada kemampuan dokter bedah jantung(repair atau replace). Pasien asimtomatik perlu
dirujuk untuk pemeriksaan Doppler-Ekokardiografi.
orang tua yang telah pula mengalami penurunan fungsi
ginjal, hati dan paru. Evaluasi dari organ-organ ini diperlukan sebelum operasi dilakukan.
Survival rate I0 tahun pasien pasca operasi ganti katup aorta adal ah sekitar 60 7o dan r ata r ata 3 0 Vo kafip artifi
si
al
bioprotesis mengalami gangguan setelah 10 tahun dan memerlukan operasi ulang. Katup metal artifisial harus
dilindungi dengan antikoagulan untuk mencegah trombus dan embolisasi. Sebanyak 307o pasien ini akan mengalami komplikasi perdarahan ringan-berat akibat dari terapi tersebut. Valvuloplasti aorta perkutan dengan balon dapat dilakukan pada pasien anak atau anak muda dengan AS kongenital non-kalsifikasi. Pada orang dewasa dengan kalsifikasi, tindakan ini menimbulkan restenosis yang
tinggi.
1688
REFERENSI Brauwald E.Valwlar Heart Disease. In Kasper Dl,Braunwald E,Fauchi
AS et.al(editor),Harrison's Principles of Internal Medicine 16 ed.2003.p. 1390-403 Carabello,BA,Is it time to Operate on Asymptomatic Aortic Stensosis?ACCEl.November 2004,vo1 36,no 11,Disc I Fuster V, Aortic Valve Sclerosis.The 37s Annual New york Cardiovascular Symposium:Major Topics in Cardiology Today,New York Hilton and Towers,New York,December 1012,2004 Otto,CM,Aortic Stenosis:even mild disease is significant.Eur J Card 2OO4;25:185-7 Rosenhek R,Klaar U,Schemper M etal,Mild and moderate aortic stenosis.Eur I Cald 20O4;25:199-205
Stewart WJ and Carabello BA,Aortic Valve Disease.In:Topol EJ(Editor),Textbook of Cardiovascular Medicine,ed2. Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2OO2.p. 5O916.
KARDIOI.OGI
265 REGURGITASI AORTA Saharman Leman
PENDAHULUAN
dalun2 macam kelainan artifisial yaitu:
..
Abnormalitas katup jantung yang dibahas dalam bab ini menyangkut katup aorta, baik segi etiologi, patofisiologis, gambaran klinis serta penatalaksanaannya. Kelainan ini merupakan penyakit jantung yang masih cukup tinggi
.
insidensinya. Beberapajenis pemeriksaan dapat digunakan
untuk membantu menegakkan diagnosis seperti fonokardiografi, kateterisasi kardiak, serta angiografi, seperti yang sudah dibahas pada bab sebelumnya.
..
EPIDEMIOLOGI
menderita regurgitasi aorta yang berat, didapatkan angka kematian lebih tinggi dari yang diharapkan (10 tahun, 34 + 5Vo,p
Sindrommarfan Mukopolisakaridosis
Dilatasi ventrikel merupakan kompensasi utama pada regurgitasi aorta, bertujuan untuk mempertahankan curah jantung disertai peninggian tekanan artifisial ventrikel kiri. Pada saat aktivitas, denyutjantung dan resistensi vaskular perifer menurun sehingga curah jantung bisa terpenuhi. Pada tahap lanjut, tekanan atrium kiri, pulmonary
fibilasi atrium, diameter
sistolik akhir ventrikel kiri. Dari penelitian prospektif di Eropa terhadap pasien dengan kelainan katup jantung, didapatkan bahwa pasien dengan kelainan katup ini masih perlu tindakan intervensi yang segera. Jenis kelainan katup yang sering didapatkan adalah stenosis aorta 43,lVo dai 1197 pasien, regurgitasi mitral 31,5 Vo dai 877 pasien, regurgitasi aorta 13,3 Vo dai 369 pasien, stenosis mitral Vo
Aortic left ventricular tunnel
PATOFISIOLOGI
harapan hidup pasien tergantung dari umur, kelas
12,7
-
Genetik
-
Karl et al melakukan penelitian terhadap 246pasienyang
fungsional, index c omorb idity,
Dilatasi pangkal aorta seperti yang ditemukan pada: - Penyakitkolagen - Aortitis sifilitika - Diseksi aorta Penyakit katup artifisial. - Penyakit jantung reumatik - Endokarditisbakterialis - Aorta artificial congenital - Ventricular septal defect (YSD) - Rupturffaumatik
wedge pressure, arteri pulmonal, ventrikel kanan dan atrium
kanan meningkat sedangkan curah jantung menurun walaupun pada waktu istirahat
dari 336 pasien. Kelainan degeneratif masih
merupakan penyebab tersering relurgitasi aorta. Dari studi F ramin gham didapatkan 4, 9Vo angka kejadian
regurgitasi
dm strong heart study terhadap
250 pasien.
aorta dan lOVo
GEJALA KLINIS Ada2 macam gambaran klinis regurgitasi yang berbeda yaitu:
ETIOLOGI
Regurgitasi aorta kronik. Biasanya terjadi akibat proses
Regurgitasi darah dari aorta ke ventrikel kiri dapat terjadi
kronik seperti penyakitjantung reumatik, sehingga artifisial
I'to
1690
KARDIOLOGI
Normal aodic valve
Ankylosing sponclylitls oda
Ven
to €
Congenitally bicuspid aph
lnfective endocarditis(aclive
or healed)(becuspid)
Rarhe
1' l .r
i
'
\i, ilr 1
I
Gambar 1. Diagram bermacam-macam kasus regurgitasi aorta (Braunwald, 2001
)
kardiovaskular sempat melakukan mekanisme kompensasi. Tapi bila kegagalan ventrikel sudah muncul, timbullah
keluhan sesak napas pada waktu melakukan aktivitas dan sekali-sekali timbul artificial nocturnal dyspnea. Keluhan akan semakin memburuk antara 1 -10 tahun berikutnya. Angina pektoris muncul pada tahap akhir penyakit akibat rendahnya tekanan artifisiai dan timbulnya hipertrofi ventrikel kiri. Pemeriksaan jasmani menunjukkan nadi, selar dengan tekanan nadi yang besar dan tekanan artifisial rendah, gallop dan bising artifisial timbul akibat besarnya curah sekuncup dan regurgitasi darah dari aorta ke ventrikel kiri. Bising artifisial lebih keras terdengar di garis sternal kiri bawah atau apeks pada kelainan katup artifisial, sedang pada dilatasi pangkal aorta, bising terutama terdengar di garis sternal kanan. Bila ada ruptur daun katup, bising ini sangat keras dan musikal. Kadang-kadang ditemukan juga bising sistolik dan
thrill
akibat curah sekuncup meningkat (tidak selalu merupakan akibat stenosis aorta). Tabrakan antara regurgitasi aorta yang besar dan aliran darah dari katup mitral menyebabkan bisirg mid/lare diastolik (bising Austin Flint).
E Volume
LV
I
volume sekuncup
I I
fLVr
J Tekanan
J Effective stroke volume
LVET
I
JWaktu T LVEDP
(dispnea)
O2miokard
diastolik
JSuotai 02 mio'kardial
+
lskdmia Miokardial
+t Wiaiturd Gambar 2. Patofisiologi regurgitasi aoda sehingga terjadi gagal jantung kiri melalui diastolik regurgitasi. LV : Left Ventricle, LVET: Left Ventricle Ejection Time, Ao Aortic, LVEDP : Left Ventricle End Diastolic Pressure (Braunwald, 2001)
Elektrokardiografi menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kiri dengan strain. Foto dada memperlihatkan
t69t
REGURGTIASIAORTA
adanya pembesaran ventrikel kiri, elongasi aorta, dan pembesaran atrium kiri. Ekokardiografi menunjukkan adanya volume berlebih pada ventrikel kiri dengan dimensi ventrikel kiri yang sangat melebar dan gerakan septum dan dinding posterior ventrikel kiri yang hiperkinetik. Kadang kadang daun katup mitral anterior atau septum
interventrikular bergetar hahs (flutt
e
rin
g ).
Tanda kebocoran perifer yang dapat ditemukan pada regurgitasi aorta adalah:
. . . . . . . .
tekanan nadi yang melebar nadi artifici's nadi quincke's tanda hill's pistol shot sound tanda traube's tanda duroziez's tanda de musset - tanda muller's - tanda rosenbach
-
Pengobatan Pembedahan. Hanya pada regurgitasi aorta
akibat diseksi aorta, reparasi katup aorta bisa dipertimbangkan. Sedang pada regurgitasi aorta akibht penyakit lainnya, katup aorta umumnya harus diganti dengan katup artifisial.
Timbulnya keluhan, terutama sesak napas, merupakan indikasi operasi. Tapi pasien dengan regurgitasi beratpun bisa asimtomatik, padahal ventrikel kiri sudah dilatasi dan hipertrofi sehingga bisa mengakibatkan fibrosis otot jantung apabila dibiarkan. Bila ekokardiografi menunjukkan dimensi sistolik ventrikel kiri 55 mm atatfractional short-
ening 257a dipertimbangkan untuk tindakan operasi. sebelum timbul gagal jantung. Studi jangka panjang terhadap pasien dengan regurgitasi aorta dengan pembedahan memberikan hasil yang baik. Dari 125 pasien
yang diikuti selama 13 tahun, didapatkan mortality rate 2,5 7o per pasien setahun. Prediksi yang baik didapatkan
tanda gerhardt's tanda landolfi's
Regurgitasi aorta akut. Berbeda dengan regurgitasi kronik, regurgitasi akut biasanya timbul secara mendadak dan banyak, sehingga belum sempat terjadi mekanisme kompensasi yang sempurna. Gejala sesak napas yang berat akibat tekanan vena pulmonal yang meningkat secara tibatiba. Dengan semakin beratnya gagal jantung peninggian tekanan artifrsial ventrikel kiri menyamai tekanan artifisial aorta, sehingga bising artifisial makin melemah. Hal ini akan menyrlitkan diagnosis. Pemeriksaan elektrokardiografi dan foto rontgen bisa normal karena belum cukup waktu untuk terjadinya dilatasi dan hipertrofi, tetapi pada ekokardiografi
terlihat kelebihan volume ventrikel
sehingga dapat memperlambat progresivitas dari disfungsi
miokardium.
kiri (ventricular
volume overload), penutupan artifisiai katup mitral dan kadang kadang endokarditis bakterialis dapat diagnosis dengan katup vegetasi.
PENATALAKSANAAN Pengobatan medikamentosa. Digitalis harus diberikan pada regurgitasi berat dan dilatasi jantung walaupun asimtomatik. Regurgitasi aorta karena penyakit jantung reumatik harus mendapat pencegahan sekunder dengan antibiotik. Juga
terhadap kemungkinan endokarditis bakterialis bila ada tindakan khusus.
Mortalitas operasi pada regurgitasi aorta akibat sindrom Marfan cukup tinggi (107o). Beberapa pusat penelitian menganjurkan penggunaan propranolol pada dilatasi aorta akibat sindrom Marfan untuk mengurangi pulsasi aorta yang begitu kuat.Pengobatan dengan vasodilator seperti nifedipine, felodipine, dan ACE inhibitor dapat mempengaruhi ukuran dan fungsi dari ventrikel kiri dan mengurangi beban di ventrikel kiri,
pada pasien dengan umur muda, index end systolic angiografi kurang dari 120 ml/m2 sebelum operasi, dan dimensi end diastolic berkurang pasca operasi lebih dari 20Vo.Dari data yang ada ternyata hasil akhir pembedahan pada perempuan dengan mengganti katup aorta lebih jelek
dibandingkan pria. Sebagai contoh dari suatu studi terhadap
5
I perempuan dan 198 pria, didapatkan tindakan
lndication
ACC-AHA Guidelines*
C/ass*
Simtom NYHA kelas lll atau lV Simtom NYHA kelas ll dengan dilatasi ventrikel kiri progresif, fraksi ejeksi menurun atau penurunan toleransi latihan angina CCS kelas ll Operasi diindikasikan untuk katup lain atau by pass koroner. Simtom NYHA kelas ll terbatas (llA) Dilatasi ventrikel kiri asimtomatik > 75 mm diastol dan > 35mm saat sistol (lla) Fraksi ejeksi < 25%
-saat
(ilb) Dilatasi ventrikel asimtomatik 70 - 75 mm saat diastol dan 50-55 mm saat sistol (il b)
Asimtomatik, penurunan fraksi ejeksi denqan latihan (llb)
European Society of Cardiology Guidelines Left ventricular diastolic diameter > 70 mm Left ventricular systolic diameter > 55 mm
atau> 25 mmlm'of body-surface area
Ascending aottic dilatation
>55mm
Peningkatan cepat
left ventricular diameters, Bicuspid aoftic valve atau Marfan syndrome dengan diameter aorta > 50 mm
1692
KARDIOI.OGI
bedah lebih sering terhadap perempuan dengan gejala yang berat, tetapi proporsi kematian setelah tindakan bedah pada perempuan dan pria adalah sama. Secara umum rekomendasi untuk tindakan pengobatan
dan pembedahan adalah pasien dengan pembesaran ventrikel l
harus dilakukan penggantian katup setelah periode pengobatan intensif dengan digitalis, diuretik, dan vasodilator untuk mencegah timbulnya gejala gagaT lantung.
@
60
REFERENSI Braunwald E (ed). Heart Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine. Philadelphia: WB Saunders Company; 1980.p. 112147. Braunwald E. Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. Philadelphia : WB Saunders Company; 1980 p. I153-5 Braunwald E. Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. Philadelphia : WB Saunders Company; 2001.p. 1671-89 Bernard Lung et al, A Prospective survey of patients with valvular heart disease in Europe : The Euro Heart Survey on Valvular Heart Disease. Euro Heart J 2003:24: 1237-43 David Daniel, Chin C Chen and Joel Morganroth. Ekokardiografi cardiography in the diagnosis and quantification of valvular heart disease. In : Nobel 0 Fowler (ed), Non Invasive Diagnostic Methods in Cardiology, Philadelphia : FA Davis. Company; 1983.p. 67 115. Emmanouillidies, George C and Barry G Baylen Pulmonary stenosis in moss. In: Heart Disease in Infants, Children and Adolescents, 1983: 214. Fuster Valentine, Robert 0 Braudenburg, Emillio R Giuliani and Dwight C Mc Goon. Clinical approach and management of acquired valvular heart disease In : Robert 0. Brandenburt I Ed, Office Cardiology. Philadelphia: FA Davis Company; 1980p. 125-59. Joseph S A. Valrular heart decease in manual of cardiovascular
dragnosis and rherapl. ljttle broun and company. fourth edition.1996:228-36 Karl S D MD, Mortality and Morbidity of Aortic Regurgitation in Clinical Practice, Circulation. 1999; 99:1851-7 Maurice Enriquez. S, MD. Aortic Regurgitation in N Engl J Med. 2004:351: 1539-46 Panggabean, Marulam M dan kawan kawan : Penyakit jantung
&.
D
Gambar 3. Perubahan hemodinamik pada regurgitasi aorta. A.Normal. B.Regurgitasi aorta akut. C.Regurgitasi aorta kronik D.Regurgitasi aorta kronik dalam Dekompensasi. E Segera sesudah replacement katup aorta (Kutip Braunwald, 2001)
kongenital pada orang dewasa, KOPAPDI V: Jakarta, 1984 (in Press).
A, Davis A. Mokotoff, Sorya Nouri, William Winters and Rochard R Miller Non invasive quanrification of left ventricular wall stress Validation of method and application to assessment of chronic pressure overload. Am J Cardiol. 1980: .15: 782-90, Wilcox W Dean Indication for surgery for aortic valve disease in children In : J. Willis Hurst (ed), Clicinal Essay on The Heart, Vol. 1, New York Graw Hill Book Company, 1983:249-69 William H G, course and management of chronic aortic regurgitation in up to date, www.up to date Com, 2002,10 : (800) 998 Quinones Miguel
6314. (181) 237 Gambar 4. Perbaikan katup aorta pada pasien dengan regurgitasi
aorta berat (Kutip Braunwald, 2001)
-
4'788.
266 KELAINAN KATUP PULMONAL Bambang Irawan M
malformasi jantung ini 10 kali lebih banyak dari bayi yang dilahirkan hidup dan banyak lagi kasus-kasus abortus spontan disertai dengan kelainan kromosom hal tersebut
PENDAHULUAN Berbagai faktor sangat berpengaruh terhadap kelainan katupjantung, di antaranya faktor genetik, infeksi, trauma dan faktor yang lain. Kelainan katup bisa berupa stenosis (katup membuka tidak sempurna) ataupun regurgitasi (katup menutup tidak sempurna). Kelainan katup pulmonal relatif jarang terdapat dan bisa merupakan kelainan yang baik kongenital ataupun didapat. Dengan pemeriksaan bayi saat lahir secara rutin, kelainan ini sudah dapat didiagnosis secara dini dan biasanya sudah dilakukan tindakan operatif untuk koreksi. Walaupun demikian masih ada beberapa kasus kongenital yang masih luput dari diagnosis dan baru ditemukan setelah dewasa.
mengakibatkan insidens yang tercatat masih lebih kecil dibandingkan dengan hal yang sesungguhnya. Data studi baik secara klinis maupun secara histopatologis dari 2310 kasus dengan malformasi jantung saat lahir didapatkan stenosis pulmonalis terdapat pada 6,9Vo. Kalalu persoalan ini telah diketahui dan ditanggulangi secara awal, baik angka kematian maupun kesakitan akan
sangat menurun. Beberapa kelainan kongenital menunjukkan kecenderungan perbedaan jenis kelamin. Patent ductus arteriosus dan atrial septal defect leblh banyak diderita oleh perempuan, sementara stenosis aorta, koarlasio aorta, tetralogi Fallot dan transposisi arteri besar lebih banyak pada pria. Sementara itu stenosis pulmonal reumatik relatif sangat jarang dan kalaupun terdapat, biasanya dengan karditis reumatik yang berat dan mengenai keempatkatup jantung.
Kelainan katup pulmonal akibat jantung reumatik sangatjarang terdapat dan kalau terjadi biasanya disertai dengan kelainan katup-katup yang lain seperti katup aorta dan mitral. Kelainan katup pulmonal biasanya masih bisa
ditoleransi oleh pasien tanpa keluhan yang nyata. Namun demikian, kelainan ini bisa pula mengakibatkan gagal jantung dan bahkan kematian pada pasien. Oleh karena itu diagnosis awal dan pengawasan pada mereka yang terdiagnosis sangat penting dalam pengelolaan kelainan katup pulmonal ini.
Regurgitasi pulmonal biasanya terjadi oleh karena disfungsi katup akibat hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal itu sendiri dapat terjadi akibat penyakit reumatik katup mitral (pada auskultasi terdengar bising Graham Steel),peryakitparu obstruksi kronik (PPOK) dan lainnya.
INSIDENS
ETIOLOGI Stenosis pulmonalis dapat disebabkan oleh kelainan
Walaupun banyak kelainan dapat mengakibatkan stenosis katup pulmonal secara didapat, namun kelainan ini lebih sering disebabkan kelainan sejak lahir atau kongenital. Yang disebut kelainan kongenital adalah abnormalitas dari struktur kardiovaskular atau fungsinya y ang terdapat sej ak
kongenital maupun didapat. Kelainan didapat di antaranya disebabkan oleh reumatik jantung, tuberkulosis, malignant circinoid tumor endocardiris, miksoma dan sarkoma. Kelainan sejak lahir merupakan kelainan yang paling banyak pada stenosis pulmonalis. Kelainan sejak lahir di antaranya: . Tak terbentuknya katup pulmonal. Kelainan ini bisa
lahir, walaupun baru diketemukan dikemudian hari. Insidens yang sesungguhnya kelainan kardiovaskular kongenital sangat sulit dideteksi, pada"Stillborn " kejadian
169
t694
.
.
merupakan kelainan tersendiri, akan tetapi lebih sering disertai dengan defek septum ventrikel dan sumbatan jalan keluar ventrikel kanan. Di sini regurgitasi pulmonal dapat pula terjadi. Atresia pulmonal dengan septum ventrikel yang intak. Disini katup pulmonal tidak sempurna dan hanyaberupa jaringan fibrosa, ruang ventrikel kanan biasanya kecil sedangkan dindingnya hipertrofi. Pada kelainan ini selalu ada komunikasi atrium kanan dan kiri sehingga kalau terjadi aliran balik dari atrium kanan ke kiri akan
terjadi sianosis. Stenosis pulmonal dengan septum ventrikel yang intak. Kelainan ini lebih sering terjadi dibandingkan dengan
dua kelainan
.
KARDIOI.OGI
di
atas. Pada bentuk yang ringan
merupakan fusi sebagian, dua atau ketiga daun katup. Pada kasus yang berat komisura hampir tak terbentuk dan dengan katup membentuk diafragma berbentuk kubah dengan lubang kecil di tengah. Defek septum ventrikel dengan obstruksi jalan keluar
ventrikel kanan. Defek septum ventrikel dapat mengalami komplikasi obstruksi jalan keluar ventrikel kanan baik di tingkat sub valvular maupun valvular.
Kadang-kadang didapatkan hipertrofi krista
.
supraventrikularis atau stenosis pulmonal. Tetralogi Fallot. Di sini defek septum ventrikel biasanya terletak di bawah krista supraventrikularis. Sumbatan jalan keluar ventrikel kanan biasanya disebabkan oleh sempitnya infundibulum disertai dengan hipertrofi otot. Sebagai tambahan mungkin didapatkan stenosis katup pulmonal, hipoplasi annulus pulmonalis atau kontriksi
pada tempat arteria pulmonalis kanan atau
.
kiri
berpangkal.
Transposisi arteri besar yang sempurna. Aorta berpangkal pada ventrikel kanan sedangkan arteria pulmonalis berpangkal pada ventrikel kiri. Kelainan ini dapat disertai dengan malformasi jantung yang lain misalnya stenosis pulmonal, koartasio aorta dan adanya hanya satu ventrikel.
Regurgitasi pulmonal biasanya disebabkan oleh dilatasi cincin katup sebagai akibat hiperlensi pulmonal, (oleh sebab apapun), atau dilatasi arteria pulmonal, baik idiopatik atau akibat kelainan jaringan ikat seperli pada sindrom Marfan, yang kedua sebagai akibat endokarditis infeksi dan yang paling jarang adalah iatrogenic dan dapat juga akibat tindakan operatif dari stenosis pulmonal ataupun tetralogi Fallot. Hal lain yang bisa juga mengakibatkan regurgitasi pulmonal antara lain sindrom karsinoid, akibat tindakan kateterisasi jantung, lues dan trauma dada.
PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI Stenosis pulmonal dengan septum ventrikel intak bisa disebabkan oleh stenosis valvular. infundibular atau
keduanya. Obstruksi infundibular atau jalan keluar ventrikel kanan disebabkan oleh jaringan fibrosa yang seakan mengikat atau oleh hipertrofi otot. Secara normal, area lubang katup pulmonal pada saat lahir sebesar 0,5 cm
dan akan ikut membesar seiring dengan pertumbuhan badan. Sebagai akibat stenosis pulmonal baik derajat ringan, sedang maupun berat, terjadi perbedaan tekanan fase sistolik antara ruang ventrikel kanan dan atleria pulmonalis. Pada stenosis pulmonal, puncak perbedaan tekanan sistolik bisa mencapai 150 sampai 240 mmHg atau bisa lebih tinggi
lagi walaupun jarang. Gangguan hemodinamik bisanya baru terjadi kalau obstruksi katup pulmonal sudah mencapar60To atau lebih. Stenosis pulmonal ringan yang disertai aliran darah yang tinggi dapat mengakibatkan perbedaan tekanan yang nyata, sebaliknya pada stenosis yang berat dengan aliran darah yang rendah akibat gagaljantung perbedaan tekanan yang dihasilkan dapat rendah. Pasien dengan perbedaan tekanan puncak pada saat istirahat kurang dari 50 mmHg termasuk stenosis ringan, antara 50 sampai dengan 100 mmHg termasuk stenosis sedang dan di atas 100 mmHg termasuk stenosis berat. Pada stenosis pulmonal berat, ventrikel kanan mengalami gagal jantung sehingga isi semenit turun walaupun pada saat istirahat. Keadaan ini diikuti dengan kenaikan baik tekanan akhir diastolik ventrikel kanan dan tekanan rata rata atrium kanan. Sebaliknya pada pasien dengan stenosis ringan sampai sedang tekanan sistolis ventrikel kanan bisa tidak berubah dengan pertumbuhan anak sampai berlahun-tahun. Ini menunjukkan lubang daun katup ikut
membesar dengan pertumbuhan anak. Tekanan atrium kanan yang tinggi dapat menimbulkan gejala dan tanda bendungan vena sistemik dan pada saat yang sama akan mengakibatkan foramen oval terbuka dan terjadi aliran darah shunting dari atrium kanan ke atrium kiri. Hal ini akan mengakibatkan unsaturation arteri dan sianosis. Pada
stenosis pulmonal berat sianosis dapat pula terjadi tanpa adanyapintasan tersebut. Hal ini disebabkan aliran darah perifer menurun akibat rendahnya isi semenit. Dalam hal ini saturasi arteria normal. Pada saat yang sama terjadi fibrosis endokardium ventrikel kanan dan mengakibatkan gagal jantung kanan dan kenaikan tekanan diastolik.
Regurgitasi pulmonal sering sekali terjadi akibat disfungsi valvular yang sekunder pada pasien dengan hipertensi pulmonal kronik akibat stenosis mitral rematik [dengan bisin g Graham Steel),penyakit jantung pulmonal
dan sebab lain hipertensi pulmonal. Regurgitasi pulmonal fungsional ini dipikirkan terjadi akibat dilatasi cincin katup pulmonal. Walaupun jaratg, regurgitasi pulmonal dapat
pula terjadi pada kelainan kongenital tersendiri, endokarditis infeksiosa yang mengenai katup pulmonal dan penyakit jantung reumatik. Pada regurgitasi katup pulmonal sangat berat, tekanan arteri pulmonalis dan
KELAIITT,AN
1695
KITruP PULMONAL
ventrikel kanan pada akhir fase diastolik sama atau mendekati sama. Regurgitasi pulmonal akibat kelainan kongenital [primer] biasanya tanpa disertai hipertensi pulmonal menimbulkan bising diastolik dengan nada rendah dan sifatnya cres c endo-dec
re sc
endo. Sebaliknya
pada pasien regurgitasi pulmonal sekunder [dengan hipertensi pulmonall sifat bising diastolik yang terjadi mempunyai nada tinggi, meniup dan decrescendo.Pada pasien yang mr;,da, isolated pulmonary regurgitation ir'i biasanya masih bisa ditoleransi dengan baik tanpa hipertensi pulmonal.
Klasif ikasi Stenosis pulmonal dapat dibedakan menurut penyebabnya,
kongenital atau didapat. Menurut obstruksi jalan ke luar ventrikel kanan, bisa vahular atau subvalvular. Pada mereka yang disebabkan kelainan kongenital bisa stenosis pulmonal
tersendiri dengan septum ventrikel yang utuh stenosis pulmonal dengan defek septum ventrikel misalnya pada tetralogi Fallot. Juga bisa dibedakan mereka yang dengan shunting afrim kanan ke atrium kiri sehingga menimbulkan
sianosis dan unsaturation arterial atau yang tanpa shunting yang walaupun bisa terjadi sianosis kalau terjadi
gagal jantung saturasinya tetap normal. Atas dasar perbedaan puncak tekanan sistolik antara ventrikel kanan dan arteri pulmonalis bisa dibedakan menjadi derajat ringan pada mereka yang dengan perbedaan tekanan sistolik kurang
dari 50 mmHg, derajat sedang pada mereka yang dengan perbedaan tekanan sistolik antara 50 sampai dengan 100 mmHg dan derajdberatpada mereka yang dengan perbedaan tekanan sistolik lebih dari 100 mmHg. Pada regurgitaasi pulmonal dapat dibedakan akibat kelainan primer, biasanya tanpa hipertensi pulmonal, atau akibat kelainan sekunder, yaitu adanya hiperlensi pulmonal oleh sebab apapun.
MAN!FESTASI KLINIS Penyakitjantung kongenital dengan akibat obstruksi atau stenosis dan regurgitasi katup jantung umumnya gejalanya sama dengan penyakit jantung valvular yang didapat. Walaupun demikian pada kelainan jantung kongenital ada
beberapa tanda khas yang perlu diperhatikan. Pada kebanyakan remaja dengan stenosis pulmonal kongenital yang nyata, isi sekuncup pada saat istirahat tetap normal, akan tetapi kenaikan isi semenit pada saat olah raga mengalami gangguan, sedangkan pada anak-anak toleransi terhadap olah raga cukup baik. Pada tetralogi Fallot ldefek septum ventrikel dan stenosis pulmonall baik tidaknya
toleransi pasien ini tergantung pada besarnya defek septum ventrikel dan rasio antara tahanan aliran darah yang masuk aorta dan tahanan darah yang lewat stenosis pulmonal. Pada kebanyakan anak dan dewasa, lubang pada
septum ventrikel biasanya cukup besar dan tekanan
ventrikel kiri dan kanan kira-kira sama. Kalau tahanan jalan keluar ventrikel kanan tidak terlalu berat, aliran pulmonal
bisa dua kali dari aliran sistemik dan saturasi arterial normal lacyanotic tetralogi Fallotl. Sebaliknya kalau tahananjalan keluar ventrikel kanan berat, aliran pulmonal akan sangat turun dan terjadi pintasan dari kanan ke kiri dengan unsaturation arterial dan sianosis walaupun dalam
keadaan istirahat. Adanya lubang yang besar pada septum ventrikel dapat menyebabkan tekanan sistolik ventrikel kanan tidak bisa melebihi ventrikel kiri. Hal ini melindungi ventrikel kanan terhadap kerja yang berat dan oleh karenanya gagaTjantung jarang terdapat pada masa kanak-kanak. Pada tetralogi Fallot sering terjadi sianosis atau sianosis menjadi lebih berat kalau anak menangis. Hal ini disebabkan oleh kombinasi manuver Valsalva, menahan napas dan perangsangan simpatis. Pasien dewasa dengan stenosis pulmonal ringan sampai sedang biasanya tidak mempunyai keluhan, pasien ditemukan karena ada bising sistolik pada pemeriksaan fisis biasa. Bahkan pasien dengan stenosis pulmonal berat pun kadang tanpa keluhan. Kalau ada keluhan biasanya berupa dyspnoe d'effort, rasa lelah yang berlebihan. Kedua keluhan ini sehubungan dengan kenaikan isi sekuncup yang tidak adekuat pada saat olah raga. Tak ada keluhan ortopnea karena tekanan vena pulmonal normal pada stenosis pulmonal. Gagal jantung kanan bisa terjadi pada stenosis yang berat. Sinkop bisa terjadi akan tetapi kematian mendadak [seperti pada stenosis aorta] tidak terjadi. Nyeri dada menyerupai angina pektoris dapat terjadi pada stenosis pulmonal yang berat. Tanda fisis pada stenosis pulmonal di antaranya terdapat habitus sindrom Noonan berupa badan yang pendek dengan dada seperti perisai dan leher berselaput. Terdapat sianosis pada pasien stenosis pulmonal berat dan defek septum atrial atau patent foramen ovale.Prlsasikarotis bisa normal atau volumenya sedikit menurut dengan pulsasi vena jugularis. Teraba getaran [t/zrill] sistolik pada spasium interkostal ke 3 atau 4 linea para sternalis kiri. Teraba impuls ventrikel kanan di para sternal. Stara ejection , bising sistolik bersifat ejeksi. Suara jantung kedua yang pecah dengan lemahnya komponen pulmonal. Regurgitasi pulmonal biasanya dapat ditoleransi pasien dan jarang terlihat dengan gagal jantung kanan atas dasar regurgitasi pulmonal saja. Keluhan lelah dan tanda gagal
jantung kanan ringan kadang terdapat pada pasien ini. Bising diastolik yang meniup atau kasar terdengar di stenrum bagian kiri atas. Bising pada regurgitasi pulmonal ini terdengar lebih keras saat inspirasi. Dan kalau bising ini terjadi akibat hipertensi pulmonal, disebut bising Graham Stell. Bising ini terdengar dengan nada tinggi mirip dengan
bising regurgitasi aorta, sedangkan bising regurgitasi pulmonal organik terdengar dengan nada rendah dan kasar. Bising diastolik ini disertai dengan bising sistolik. Denyutan
t696
KARDIOI-OGI
fisiologis.
atas dasar pemeriksaan fisis disertai dengan pemeriksaan penunjang seperti elektrokardiografi, radiologis dan ekokardiografi. Kriteria untuk membuat diagnosis, pada stenosis pulmonal baik dengan ataupun tanpa keluhan terdengar bising sistolik ejeksi sepanjang
PEMERIKSAAN PENUNJANG
sternum bagian kiri dan sering disertai dengan ejection clickpadafase awal sistolik. Pembesaran ventrikel kanan
Dengan pemeriksaan elektrokardiogram, stenosis pulmonal yang ringan biasanya normal, sedang pada yang berat terdapat gambaran hipertrofi atrium dan
dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisis [pulsasi jantung di parasternal kiril, pemeriksaan elektrokardiografi, foto rontgen dada dan ekokardiografi.
ventrikel kanan terasa sepanjang dada sebelah kiri. Ada bunyi sistolik click detgan suara dua yang pecah secara
ventrikel kanan. Beratnya stenosis pulmonal berhubungan dengan rasio antara gelombang R/S di V1. Makin berat kelainan makin tinggi gelombang R di V1. Ada deviasi aksis jantung ke kanan pada rekaman elektrokardiogram. Sedangkan pada regurgitasi pulmonal, gambaran elektrokardiogram bisa normal atau adanya
Diagnosa regurgitasi pulmonal ditegakkan atas dasar
fisis, elektrokardiografi foto dada, ekokardiografi dan terutama dengan pemeriksaan
pemeriksaan
angiografi pulmonal di mana didapatkan aliran balik cairan kontras dari arteri pulmonalis ke ventrikel kanan pada fase
diastolik.
gambaran hipertrofi ventrikel kanan.
Pemeriksaan radiologis, pada stenosis pulmonal gambaran vaskularisasi paru perifer normal, arteri
KOMPLIKASI
pulmonalis tampak membesar akibat dilatasi pasca stenosis. Gambaran pembesaran ventrikel kanan tampak pada stenosis pulmonal sedang sampai berat. Walaupun jarang
pada stenosis pulmonal bisa tampak klasifikasi katup pulmonal. Sedangkan pada regurgitasi pulmonal gambaran radiologis bisa normal atau tampak gambaran pembesaran ventrikel kanan dan pembesaran arteria pulmonalis.
Pemeriksaan fungsi paru, pada stenosis pulmonal dewasa sering abnormal dengan penurunan volume, jalan
Pada stenosis pulmonalis yang berat bisa terjadi gagal jantung kanan. Demikian juga infark miokard kanan dapat terjadi pada stenosis pulmonal berat dengan pembesaran ventrikel kanan. Walaupun jarang, endokarditis dapat terjadi sebagai komplikasi stenosis pulmonal. Sedangkan komplikasi regurgitasi pulmonal selain gagal jantung, bisa juga mengakibatkan terjadinya endokarditis walaupun jarang.
udara dan kapasitas difusi paru yang sangat mungkin disebabkan ketidaksempurnaan perkembangan paru pada masa kanak-kanak. Pemeriksaan ekokardiografi pada stenosis pulmonal berat menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kanan. Pada pemeriksaan langsung di katup pulmonal terlihat kenaikan gelombang katup atrial [a]. Pemeriksaan radioisotop dengan radioangiografi pada stenosis pulmonal berguna untuk melihat tidak adanya pintasan dari kiri ke kanan. Pemeriksaan kateterisasi dan angiografi pada stenosis pulmonal dapat mengukur adanya perbedaan tekanan
PENGOBATAN Stenosis pulmonal yang ringan sampai sedang dapat dikelola tanpa tindakan operasi. Pada pasien yang membutuhkan tindakan operasi ataupun pencabutan gigi
dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis. Untuk stenosis pulmonal tanpa keluhan oleh sebagian ahli dianjurkan pengobatan konservatif saja, tanpa tindakan
valvulotomi, sedangkan sebagian ahli yang lain menganj urkan valvulotomi.
sistolik melalui katup pulmonal. Ukuran lubang katup pulmonal yang mengalami stenosis dapat ditentukan
Pada stenosis pulmonal berat dengan gagal jantung kanan, semua menganjurkan tindakan valvulotomi. Pada
dengan kateterisasi jantung sekalian mengukur perbedaan tekanan katup pulmonal saat sistolik dan isi semenit. Tak ada shunt dari kiri ke kanan, sedangkan dari kanan ke kiri kadang ada walaupun hanya kecil pada pasien dengan defek septum atrial atau patent foramen ovale. Pada regurgitasi
keadaan di mana pasien menolak operasi atau kondisi pasien tidak memungkinkan untuk operasi, dianjurkan pemberian digitalis. Pemberian diuretika secara hati-hati dapat pula dicoba, akan tetapi dapat menurunkan isi sekuncup menit sehingga menimbulkan kelelahan yang
pulmonal, dengan angiografi bisa terlihat adanya aliran kembali kontras ke ventrikel kanan pada fase diastolik.
berat.
DIAGNOSIS
pada regurgitasi pulmonal sehingga tidak banyak
Biasanya diagnosis stenosis pulmonal dapat ditegakkan
pengalaman tindakan pengobatan ataupun operasi pada kasus tersebut.
Pengelolaan regurgitasi pulmonal biasanya terbatas pada pemberian profilaksis antibiotik pada tindakan dental atau operasi. Gagal jantung sangat jarung terjadi
t697
KEIJ\III,AN KAiruP PULMOII,AL
REFERENSI Altrichter PM, Olson LJ, Edwards WD, et al. Surgical pathology of the pulmonary valve: a study of 116 cases spanning 15 years. Mayo Clin Proc 1989;64; 1352. Brickner ME, Hillis LD, Lange RA.Congenital heart disease in adults. N Engl J Med. 2000;342:256-63.
Balk H: Congenital malformations of the heart.and great lessels: synopsis of pathology, embryology and natural history. Baltimore-Munich: Urban & Schwarzenberg;1977. Brayshaw JR, Perloff JK.Congenital pulmonary insufficiency complicating idiopathic dilatation of the pulmonary artery. Am J Cardiol. 1962l.10:282. Cassling RS, Rogler WC, McManus BM.Isolated pulmonic valve infective endocarditis. a diagnostically elusive entity. Am Hean "I 1985;109;558. Balaguer JM, Byrne JG, Cohn LH. Orthotopic pulmonic valve replacement with a pulmonary homograft as an interposition graft. J Card Surg.7996;711,417.
DePace
NL, Nestico Pfl Iskandrian AS, Morganroth J. Acute
severe
pulmonic valve regurgitation: Pathophysiology, diagnosis and treatment. Am Heart J. 1984;108;567. Fontana RS, Edwards JE.Congenital cardiac disease: a review of 357 cases studied Pathologically. Philadelphia:
WB Saunders;
1962.
Gerlis LM: Covert congenital cardiovascular malformations discovered in an autopsy series of nearly 5000 cases. Cardiovasc Pathol. 1996:,5;ll Hoffman JIE: Congenital heart disease. Pediatn Clin North Am. 31;45,1990. kirshenbaum HD: Pulmonary valve disease. In: Dalen JE ard Alpert JS eds. Valvular heart disease. 2nd ed. Boston: Little,
Brown;1987.p.403-3 8. Samanek M.Boy : Girl ratio in children bom with different forms of cardiac malformation: A population-based stttdy. Pediatr Cardiol.
1994:'15;53.
O Toole JD, Wurtzbacher JJ, Weearner NE, Jain AC.Pulmonary valve injury and insufficiency during pulmonary-artery catheterization. N EngI J Med. 1979;301;1167.
267 PENYAKIT KATUP TRIKUSPID AliGhanie
PENDAHULUAN i peran
sirkuit an
dari
) tidak istensi Yang
difus; (3) stensi Yang aliran darah
pulmonal. Tekanan darah aneri pulmonalis adalah 2218 mmHg, dengan tekanan rata-rata 13 mmHg. Kalau kita lihat tekanan rata-rata atrium kiri sebesar 7 mmHg, maka perbedaan tekanan 6 mmHg saja sudah cukup untuk mengalirkan darah ke paru-paru.
Anatomis katuP abnormal Penyakit jantung reumatik Bukan reumatik : Endokarditis infektif Anomali Ebstein's Prolaps Kongeni Karsinoi PaPilaris lnfark Trauma Kelainan jaringan ikat (sindrom Marfan) Artritis reumatoid Radiasi, dengan akibat gagal jantung Fibrosis endomiokard Anatomis katuP normal Kenaikan tekanan sistolik ventrikel kanan oleh berbagai sebab (dilatasi anulus)
. .
Lain
. . . .
Daun katup trikuspid yang merupakan bagian dari
sirkuit tekanan rendah, akan mengakibatkan toleransi terhadap beban tekanan akan sangat kurang' Selain itu daun katup trikuspid tidak setebal katup mitral, demikian pula anulus fibrosisnya tidak sekuat katup mitral' Oleh t*"nu itu sangat mudah melebar pada keadaan kenaikan
beban atau sftes.
REGUBGITASI TRIKUSPID
-
m
- lain
Kawat pacu jantung (jarang) HiPertiroidisme Endokarditis Loeffler Aneurisma sinus valsava
dengan katup jantung lain. Biasanya bila penyebabnya p"ryut ltiut tung reumatik, selain regurgitasi disertai pula dengan stenosis.
Hemodinamik Pada
akan
Etiologi dan Patologi Regurgitasi trikuspid adalah suatu keadaan kembalinya sebagian darah ke atrium kanan pada saat sistolik' Keadaan
ini dapat terjadi primer akibat kelainan organik katup,
dan v
mendekati tekanan ventrikel kanan sesuai dengan kenaikan tekanan ventrikel kanan, yaitu sesuai dengan kenaikan
gurgitasi trikusPid. Tekanan sistolik arteri pulmonalis dan ventrikel kanan regurgitasi dapat 4OmmHg' prime bila ngkan lebih
deraj at re
ataupun sekunder karena hipertensi pulmonal, perubahan fungsi maupun geometri ventrikel berupa dilatasi ventrikel kanan maupun anulus trikuspid- (Tabel 1)
Penyakit jantung reumatik, dapat mengenai katup trikuspid secara langsung walupun lebih sering disertai
tekanan lebih dari 40 mmHg.
1698
PEIYYAKIT
1699
KAruP TRIKUSPID
Curah jantung biasanya sangat menurun, dan saat sistolik tekanan atrium tidak akan menunj u,kkan x descent, tetapi gelombang yang mencolok dari c-v dan y descent yang cepat (padavenous wave).
Manifestasi Klinis Riwayat. Regurgitasi trikuspid tanpa hipertensi pulmonal biasanya tidak memberikan keluhan dan dapat ditoleransi dengan baik. Rasio perempuan terhadap pria adalah2:. l, dengan rata-rata umur 40 tahun. Oleh karena lebih sering bersamaan dengan stenosis mitral, maka gejala stenosis mitral biasanya lebih dominan. Riwayat sesak napas pada latihan yang progresif, mudah lelah danjuga batuk darah. Bila keadaan lebih berat akan timbul keluhan bengkak
Elektrokardiogram Biasanya tidak spesifik, dapat berupa blok cabang bundle kanan, tanda pembesaran atrium dan ventrikel kanan, dan sering juga terjadi fibrilasi atrium.
Ekokardiograf
i
Pulsed color doppler echocardiography, merupakan sarana yang mempunyai akurasi, sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam menentukan adanya regurgitasi trikuspid. Di sini dapat dilihat morfologi katup mitral, sehingga dapat diketahui berbagai penyebab yang mendasari regurgitasi trikuspid ini. Demikian pula dapat dilakukan pemeriksaan semikuantitatif terhadap tekanan ventrikel kanan maupun arteri pulmonalis.
tungkai, perut membesar, maka kelelahat/fatig dan anoreksia merupakan keluhan yang paling mencolok. Adanya asites dan hepatomegali akan menimbulkan keluhan kurang enak pada perut kanan atas dan timbul pulsasi pada leher akibat pulsasi regurgitasi vena. Pada keadaan ini justru pasien dapat tidur berbaring dengan rala.
Pemeriksaan fisis. Pada inspeksi selalu terlihat adanya gambaran penurunan berat badan, kakeksia, sianosis dan ikterus. Biasanya selalu dijumpai pelebaran vena jugularis, garnbaran gelombang x dan xr yang normal akan menghilang, sedangkan y descent akan menjadi nyata, terutama pada inspirasi. Akan terlihat juga impuls ventrikel kanan yang mencolok. Pada saat sistolik juga dapat teraba impuls atrium kanan pada garis sternal kiri bawah. Biasanya pada fase awal dapat teraba pulsasi sistolik pada permukaan hati, namun pada keadaan sirosis kongestif pulsasi menghilang karena hati menjadi tegang dan keras. Selain itu terlihat juga asites dan edema. Pada auskultasi dapat terdengar 53 dari ventrikel kanan yang terdengar lebih keras pada inspirasi, dan bila disertai
Gambar 1. Pemeriksaan eko 2 dimensi pada penderita mitral stenosis, yang juga disertai trikuspid stenosis
hipertensi pulmonal suara P2 akan mengeras. Bising pansistolik dengan nada tinggi terdengar paling keras di
kiri dan dapat pula sampai ke subxifoid. Bila regurgitasi ringan, bising sistolik pendek, tetapi bila ventrikel kanan sangat besar bising dapat sampai ke apeks dan sulit dibedakan dengan regurgitasi mitral. sela iga 4 garis parasternal
Perlu diingat bahwa derajat bising pada regurgitasi trikuspid akan meningkat pada inspir
asi
(Riv ero - C ant ello's
slgrz). Adanya kenaikan aliran melalui katup
trikuspid dapat
menimbulkan bising diastolik pada daerah parasternal kiri.
Gambaran Radiologis Adanya kardiomegali yang mencolok akibat pembesaran ventrikel kanan. Kadang-kadang akibat tingginya tekanan ventrikel kanan yang akan berlangsung lama dapat terjadi
kalsifikasi pada anulus trikuspidalis. Dapat terjadi gambaran hipertensi pulmonal, dan pada fluoroskopi terlihat pulsasi sistolik pada atrium kanan.
Gambar 2. Eko 2 dimensi pada penderita DSA sekundum yang disertai trikuspid regurgitasi (warna biru)
Kateterisasi Dengan kateterisasi berupa ventrikulografi ventrikel kanm dapat diketahui adanya regurgitasi, namun adanya kateter pada katup dapat juga menimbulkan regurgitasi positif
palsu
1700
IGRDIOI.OGI
Pengobatan Konservatif. Ditujukan terutama bila terdapat tanda-tanda kegagalan fungsi jantung berupa istirahat, pemakaian diuretik dan digitalis.
Pembedahan. Tanpa suatu tanda hipertensi pulmonal biasanya tidak diperlukan suatu tindakan pembedahan. Tetapi pada keadaan tertentu dapat dilakukan tindakan
anuloplasti dan pada yang lebih berat dilakukan penggantian katup dengan prostesis.
STENOSIS TRIKUSPID Gambar 3. Eko 2 dimensi pada penderita DSA sekundum dengan trikuspid stenosis dan mitral stenosis (tanda panah)
Stenosis trikuspid terisolasi merupakan kelainan katup yang relatifjarang ditemukan, dan paling sering merupakan
penyakit jantung reumatik yang menyertai kelainan katup mitral atau aorta. Pada autopsi ditemukan 15 persen stenosis trikuspid pada pasien penyakit jantung reumatik, dan hanya 5 persen yang memberi arti klinis. Kejadian stenosis trikuspid lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan dengan pria, dengan umur 20-60 tahun'
Etiologi dan Patologi Stenosis trikuspid selalu disebabkan oleh penyakit jantung
reumatik. Keadaan lain walaupun jarang, yang dapat menimbulkan obstruksi terhadap pengosongan atrium kanan adalah atresia trikuspid, tumor affium kanan, sindrom
karsinoid dan vegetasi pada daun katup. Perubahan anatomik yang paling sering ditemukan sebagaimana stenosis mitral berupa fusi dan pemendekan korda tendinea dan fusi pinggiran katup, sehingga terjadi Gambar 4. Eko 2 dimensi pada penderita dengan DSA sekundum (tanda panah) yang disertai dengan gangguan koaptasi katup
bentukan diafragma dengan celah yang terfiksasi. Sebagaimana pada katup mitral, selain stenosis sering
trikuspid
te{adi juga regurgitasi. Atrium kanan akan melebar dengan dinding yang tebal.
Patof
isiologi
Gambaran hemodinamik ditentukan oleh besarnya pressure gradient antara atrium dan ventrikel kanan' yang akan meningkat pada saat latihan atau inspirasi, dan
menurun pada saat istirahat atau ekspirasi. Hal ini disebabkan perubahan besarnya volume pada latihan dan pernapasan. Pada keadaan normal pressure gradient rttt hanya 1 mmHg. Bilameningkat sampai 2 mmHg sudah dapat menunjukkan suatu stenosis trikuspid, sedangkan 5 mmHg
merupakan gambaran stenosis berat dengan tanda kongesti sistemik.
Manifestasi Klinis Gambar 5. Pemeriksaan doppler eko berwarna pada DSA
sekundum menunjukkan regurgitasi trikuspid (warna biru) dan doppler menunjukkan dengan tekanan yang tinggi
Rendahnya curah jantung akan menimbulkan keluhan mudah lelah, dan adanya kongesti sistemik dan hepatomegali menimbulkan keluhan tidak enak pada perut, perut membesar dan bengkak umum. Beberapa pasien
PEIYYAKIT
t70t
KIIruP TRIKUSPID
mengeluh denyut pada leher akibat besarnya gelombang ' a' padavena jugularis.
Pemeriksaan lnvasif Dengan kateterisasi dapat ditenttkan gradient transvalvular antara atrium dan ventrikel kanan, sehingga
dapat ditentukan gradasi stenosis guna tindakan
Pemeriksaan Fisik Oleh karena sering menyertai kelainan katup lain, maka stenosis trikuspid ini tidak terdiagnosis, kecuali memang sengaja dicari. Suatu stenosis berat akan menimbulkan bendungan hati yang berat sehingga terjadi sirosis, ikterus, malnutrisi yang berat, edema dan asites yang berat bahkan splenomegali. Vena jugularis akan melebar dengan gelombang '.a' yang besar, sedangkan gelombang
'v'tidak
jelas dan y descent menjadi lambat. Dapat ditemukan pulsasi presistolik yang jelas pada permukaan hati yang membesar.
Pada auskultasi dapat terdengar opening snap pada daerah garis sternal kiri sampai pada daerah xifoideus, terutama presistolik. Bising ini akan menjadi lebih keras pada inspirasi, dan melemah pada ekspirasi dan manuver valsava karena menurunnya aliran darah melalui trikuspid.
Pemeriksaan Non lnvasif Adanya gambaran pembesaran atrium kanan pada EKG berupa gelombang p yang tinggi dan tajam pada sandapan II, demikian pula pada V 1 . tidak adanya hipertrofi ventrikel kanan pada pasien yang dicurigai sebagai stenosis mitral, sangat mungkin disertai dengan stenosis trikuspid. Pada pemeriksaan foto dada didapatkan pembesaran atrium kanan dan vena kava superior tanpa pembesaran arteri pulmonalis. Lain halnya dengan stenosis mitral, pada stenosis trikuspid tidak didapatkan tanda bendungan paru Ekokardiografi menunjukkan penebalan daun katup
trikuspid dengan gambaran dooming dan adanya gradient transvalvular pada pemeriksaan dopler. Ekokardiografi merupakan pemeriksaan yan g l00Vo sensitif dan907o spesifik.
selanjutnya.
Pengobatan Pengobatan konservatif ditujukan untuk mengurangi kongesti sistemik yang merupakan kondisi yang dominan, dalam hal ini dibutuhkan diuretik atau restriksi konsumsi garam, Keadaan ini dibutuhkan untuk memperbaiki fungsi hati yang sangat dibutuhkan pada saat operasi. Selain itu pemakaian antibiotik juga penting pada keadaan tertentu untuk mencegah terjadinya endokarditis infektif.
Tindakan Operasi Tindakan operatif dapat berupa komisurotomi, tetapi bila disertai regurgitasi dapatjuga dilakukan anuloplasti secara bersamaan. Penggantian katup dilakukan bila kelainan katup lanjut yang disertai regurgitasi berat yang tidak dikoreksi dengan anuloplasti.
REFERENSI Braunwald E Valvular heart disease. In : Heart Disease a Textbook of Cardiovascular Medicine third edition 1988. Feigenbaum H Ekokardiograficardiograhy fisth edition 1994 Ockene IS. Tricuspid valve disease In : Valvular Heart Disease edited by Dalen JE and Alpert JS, Little, Brown and Company,
Boston, 1981. Rackle CE. Tricuspid and pulmonary valve disease. Heart eight edition 1994.
In : Hurst's The
268 ENDOKARDITIS Idrus Alwi
operasi dikerjakan sebelum terapi antibiotik lengkap selesai.
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini direkomendasikan menyebut EI aktif jika Endokarditis infektif (EI) adalah infeksi mikroba pada permukaan endotel jantung. Infeksi biasanya paling banyak mengenai katup jantung, namun dapat juga terjadi
pada lokasi defek septal, atau korda tendinea atau endokardium mural. Lesi yang khas berupa vegetasi, yaitu massa yang tediri
platelet, fibrin, mikroorganisme dan sel-sel inflamasi, dengan ukuran yang bervariasi. Banyakjenis bakteri dan
jamur, mycobacteria, rickettsiae, chlamydiae dan mikoplasma menjadi penyebab EI, namun streptococci.
diagnosis ditetapkan <2 bulan sebelum operasi
Status diagnosis: definite, suspected dan possible (hhat kriteria Duke pada Thbel2) Patogenesis: endokarditis pada katup asli (native valve endocarditis), endokarditis katup prostetlk ( prostethetic valye endocarditis) dan endokarditis pada penyalahguna narkoba intravena (intravenous drug abuse).
Lokasi anatomis: EI pada sisi kanan jantung (right sided endocarditis) dan EI pada sisi kiri jantung (left sided
staphylococci, enterococci dan cocobacilli gram negatif
endocarditis)
yang berkembang lambat (fastidious) merupakan penyebab
Mikrobiologi: jika organisme penyebab dapat diidentihkasi. Jika tidak ditemukan secara mikrobiologi disebut EI
tersering.
Terminologi akut dan subakut sering dipakai untuk
mikrobiologi negatif.
menggambarkan EI. EI akut menunjukkan toksisitas yang
nyata dan berkembang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu, mengakibatkan destruksi katup jantung
dan infeksi metastatik, dan penyebabnya khas yaitu Staphylococcus eureus. Sebaliknya, EI subakut berkembang dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan dengan penyebabnya biasanya Streptococcus viridans, enterococci, staphylococci koagulase negatif atau coccobacilli gram negatif.
EPIDEMIOLOGI Insidens di negara maju berkisar antara 5,9 sampai 11,6 episode per 100.000 populasi. EI biasanya lebih sering terjadi pada pria dibandingkan perempuan dengan rasio 1
,6 sampai 2,5. Sekitar 36 -7 5 7o pasien dengan EI katup asli
(native valve endocarditis) mempunyai faktor predisposisi; penyakit jantung reumatik, penyakit jantung
kongenital, prolaps katup mitral, penyakit jantung KLASIFIKASI DAN TERMINOLOGI
degeneratif, hipertrofi septal asimetrik atau penyalahguna
NARKOBA intravena (PNIV). Sekitar 7-257o kasus Berbeda dengan klasifikasi lama yang membedakan akut, subakut dan kronik, klasifikasi baru merujuk kepada:
Aktivitas penyakit dan rekurensi: membedakan aktif dan ,sembuh terutama penting untuk pasien yang menjalani operasi. EI aktif jika kultur darah positif dan demam ada pada saat operasi, atau kultur positif saat operasi atau
morfologi inflamasi aktif ditemukan intraoperatif,
atau
melibatkan katup prostetik. Faktor predisposisi tidak dapat diidentifikasi pada 25 sampai 47 7o pasien. Epidemiologi endokarditis infektif selama 50 tahun terakhir ini telah banyak berubah. Kalau dulu sebagian besar pasien endokarditis infektif mempunyai penyakit
dasar penyakit jantung reumatik, penyakit jantung kongenital atau sifilis sebagai penyebab kelainan
1702
L703
ENDOKARDITIS
endokard, namun dengan meningkatnya intervensi medis, surgikal dan yang terpenting adalah meningkatnya angka PNIV, maka kejadian endokarditis infektif karena penyebab di atas semakin meningkat. Di Amerika Serikat hampir 25Vo pasienEl adalah PNIV.
adalah sisi kanan jantung. Di samping kerusakan mekanis secara langsung, faktor lain yang juga berperan adalah
diluent (pelarut) yang dipakai dapat menyebabkan vasospasme, kerusakan intima, dan pembentukan trombus.
Selain
itu obat adiktif sendiri dapat menyebabkan
Walaupun insidens EI belum diketahui secara pasti, diperkirakan kejadian EI pada PNIV berkisar anrara 7 ,5-20 kasus per 1000 PNIV pertahun. EI memberikan risiko tinggi terhadap morbiditas dan mor-talitas. Risiko EI pada PNIV 2-
kerusakan endotel. Pada PNIV kuman dapat berasal dari kulit yang tak steril maupun jarum yang tak steril/spuit
5 7, perpasien perlahun, beberapa kali lebih tinggi dan pasien penyakit jantung reumatik atau katup prostetik. Meskipun mortalitas EI pada PNTV yang terutama melibatkan sisi kanan
Staphylococcus aureus merupakan kuman flora kulit nor-
yang terkontaminasi kuman dan berfungsi sebagai reservoir pada penggunaan berikutnya. Oleh karena mal, maka kuman ini merupakan kuman penyebab tersering, berki sar antar a 50 -607o .
jantung tidak setinggi EI pada sisi kiri jantung, namun komplikasi kardiopulmonar, neurologis, ginjal, mata, abdomen dan ekstremitas dapat mengakibatkan morbiditas yang bermakna. Mortalitas EI pada PNIV berki sar antaral -757o .
RESPONS IMUN PADA ENDOKARDITIS
Patogenesis Vegetasi Jantung PATOGENESIS Mekanisme terjadinya EI pada pasien dengan katup normal belum diketahui dengan pasti. Mikrotrombi steril yang
menempel pada endokardium yang rusak diduga merupakan nodus primer untuk adhesi bakteri. Faktor hemodinamik (stres mekanik) dan proses imunologis mempunyai peran penting pada kerusakan endokard. Adanya kerusakan endotel, selanjutnya akan mengakibatkan deposisi fibrin dan agregasi trombosit, sehingga akan terbentuk lesi nonbacterial thrombotic endoc ardial (NBTE). Jika terjadi infeksi mikroorganisme, yang masuk dalam sirkulasi melalui infeksi fokal atau trauma, maka endokarditis non bakterial akan menjadi endokarditis infektif. Faktor-faktor yang terdapat pada
bakteri seperti dekstran, ikatan fibronektin dan asam teichoic berpengaruh terhadap perlekatan bakteri dengan matriks fibrin-trombosit pada katup yang rusak. Tahapan patogenesis endokarditis dapat dilihat pada Tabel 1.
Kerusakan endotel katup Pembentukan trombus fl brintrombosit Perlekatan bakteri pada plak trombus- trombosit Prollferasi bakteri lokal dengan penyebaran hematogen Frontera JA dan Gradon JD
Penelitian terhadap peran respons imun pejamu (host), dalam proteksi terhadap endokarditis menunjukkan hasil yang beragam. Pada beberapa kasus, imuni sasi aktif dapat mencegah terjadinya endokarditis, tanpa memicu laju klirens bakteri dalam sirkulasi. Diduga terdapat mekanisme
yang berhubungan dengan penghambatan perlekatan bakteri terhadap vegetasi. Perkembangan endokarditis, tergantung pada keseimbangan antara kemampuan organisme untuk melekat pada vegetasi dan menolak respons peJamu.
Kompleks lmun Penelitian nekropsi menunjukkan adanya glomerulonefritis pada sejumlah besar kasus endokarditis pada manusia, dan pada penelitian imunofluoresens, ditemukan lesi khas
yang merupakan deposisi kompleks imun. Deposisi kompleks imun juga ditemukan pada organ lain seperti limpa dan kulit. Pemeriksaan yang mendeteksi adanya kompleks
imun dalam sirkulasi, menunjukkan korelasi antara konsentrasi kompleks imun dalam sirkulasi dengan lamanya penyakit, manifestasi di luar katup dan rendahnya kadar komplemen dalam darah. Kadar kompleks imun dalam sirkulasi, juga menurun sebagai respons terhadap terapi. Antibodi spesifik terhadap kuman penyebab infeksi dan
dinding sel bakteri sudah dapat diidentifikasi pada
Patogenesis El pada PNIV
kompleks imun tersebut. Dalam keadaan normal kompleks antigen-antibodi ini akan larut dan difagositosis. Pada endokarditis, terdapat faktor yang menghambat larutnya kompleks ini, sehingga mengalami deposisi dalam jaringan.
Beberapa teori mengemukakan adanya kerusakan endotel
Bukti menunjukkan, faktor rheumatoid yang terdeteksi
(endotheLial injury), karena bombardir secara terus menerus oleh partikel yang terdapat pada materi yang diinjeksikan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya granulasi talk subendotel pada katup trikuspid pasien El yang diautopsi. Karena materi yang diinjeksikan secara
pada 507o kasus endokarditis, menutupi reseptor untuk fagositosis dan akan menghambat klirens kompleks imun. Hal ini dapat menjelaskan mengalami bakteremia yang antibodi IgG spesifik yang cukup tinggi, kadar komplemen yang cukup dan neutrofil yang masih berfungsi.
intravena, katup jantung yang pertama menyaring partikel
t704 Antibodi Terhadap Protein Miokard Gambaran klinis lain pada endokarditis yang menarik perhatian adalah adanya disfungsi miokard yang lebih berat daripada lesi katup yang ada, bahkan tanpa adanya destruksi katup yang bermakna. Maisch melaporkan terdapat respons antibodi poliklonal pada endokarditis
yang terdiri dari antibodi antisarkolema dan antibodi antimiolema. Antibodi antimiolema bersifat sitolitik terhadap sel jantung in vitro jika terdapat komplemen. Aktivitas sitolitik serum pada beberapa pasien, hanya ada jika ditemukan antibodi antimiolema dan berhubungan dengan titer antibodi antimiolema.
I(ARDIOI.OGI
purulenta. Pada katup bioprotese, elemen yang bergerak berasal dari jaringan, mungkin menjadi lokasi infeksi dan perforasi katup serta vegetasi. Abses cincin juga dapat ditemukan.
PATOFISIOLOGI Manifestasi klinis EI merupakan akibat dari beberapa mekanisme antara lain: .. Efek destruksi lokal akrbat infeksi intrakardiak. Koloni kuman pada katup j antung dan j aringan sekitamya dapat
mengakibatkan kerusakan dan kebocoran katup,
Aktivitas Limfosit Analisis fungsi leukosit pada endokarditis menunjukkan peningkatan jumlah monosit dan granulosit, namun terdapat penurunan jumlah dan aktivitas selT helper, sel T suppressor dan natural killer cells selama infeksi. Pada beberapa penelitian, aktivitas selT suppresso4 sebagian
.
.
dalam sirkulasi (bakteremia kontinus), yang
mengalami perbaikan setelah terapi. Hal ini memperkuat
mengakibatkan gejala konstitusional seperli demam,
dugaan bahwa faktor predisposisi endokarditis, merupakan
malaise. tak nafsu makan. penurunan berat badan dan
hasil penurunan fungsi limfosit pada pasien, daripada disfungsi limfosit murni akibat infeksi (risiko EI meningkat pada individu dengan supresi imun).
Mekanisme lnflamasi dan Sitokin Terdapat peningkatan ekspresi interleukin-8 pada makrofag, di dalam endokard yang mengalami inflamasi, pada pasien dengan endokarditis karena S. aureus. S elanj utnya asam lip o t e i c ho i c, y ang berasal dari dinding sel bakteri gram positif dan diketahui mempunyai efek stimulasi sangat penting terhadap makrofag, merupakan perangsang produksi sitokin yang kuat. Interleukin-6, suatu sitokin yang terlibat dalam stimulasi sel B dan produksi antibodi serta pelepasan protein fase akut,
didapatkan meningkat pada endokarditis karena streptokokus dan Q fever. Aktivitas proinflamasi rumour necrosis factor (TNF), yang menginduksi respons fase akut mungkin berperan pada manifestasi sistemik EI.
terbentuk abses atau perluasan vegetasi ke perivalvular. Adanya vegetasi fragmen septik yang terlepas, dapat mengakibatkan terjadinya tromboemboli, mulai dari emboli paru (vegetasi katup trikuspid) atau sampai ke otak (vegetasi sisi kiri), yang merupakan emboli septik. Vegetasi akan melepas bakteri secara terus menerus ke
.
lainlain. Respons antibodi humoral dan selular terhadap infeksi
mikroorganisme dengan kerusakan jaringan akibat kompleks imun atau interaksi komplemen-antibodi
dengan antigen yang menetap dalam jaringan. Manifestasi klinis EI dapatberupa; petekie, Osler's node, artritis, glomerulonefritis dan faktor reumatoid positif.
MANIFESTASI KLIN!S Demam merupakan gejala dan tanda yang paling sering ditemukan pada EI. Demam mungkin tak ditemukan atau minimal pada pasien usia lanjut atau pada gagal jantung kongestif, debilitas berat, gagal ginjal kronik dan jarang pada EI katup asli yang disebabkan stafilokokus koagulase negatif.
Murmur jantung ditemukan pada 80-857o pasien EI katup asli, dan sering tidak terdengar pada EI katup asli. -507o pasien dan lebih
PATOLOGI ENDOKARDITIS
Pembesaran limpa ditemukan pada sering pada EI subakut.
Patologi EI katup asli dapat lokal (kardiak) mencakup valvular dan perivalvular atau distal (non kardiak) karena
Ptekie, merupakan manifestasi perifer tersering, dapat ditemukan pada konjungtiva palpebra, mukosa palatal dan bukal, ekstremitas dan tidak spesifik pada EI. Splinter atat
perlekatan vegetasi septik dengan emboli, infeksi metastatik dan septikemia. Vegetasi biasanya melekat pada aspek atrial katup atrioventrikular dan sisi ventrikular katup semilunar, predominan pada garis penutupan katup. Patologi intrakardiak pada EI katup prostetik berbeda bermakna dengan EI katup asli. Jika katup mekanik terlibat, lokasi infeksi adalah perivalvular dan komplikasi yang biasa adalah periprosthetic leaks dan dehiscence, abses cincin dan fistula, disrupsi sistem konduksi dan perikarditis
I5
subungual hemorrhages merupakan gambaran merah gelap, linier atau jarang berrpaflame-shaped streakpada jari, biasanya pada bagian proksimal. Osler nodes biasanya berupa nodul subkutan kecil yang nyeri yang terdapat padajari ataujarang padajari lebih proksimal dasar kuku atau
dan menetap dalam beberapa jam atau hari, dan tak patognomonis untuk EI. Lesi Janeway berupa eritema kecil atau makula hemoragis yang tak nyeri pada tapak tangan atau kaki dan merupakan akibat emboli septik. Roth spots,
1705
ENDOKARDITIS
perdarahan retina oval dengan pusat yang pucat jarang ditemukan pada EI. Gejala muskuloskletal sering ditemukan berupa artr-algia dan mialgia, jarang artritis dan nyeri bagian belakang yang promlnen. Emboli sistemik merupakan sequellae klinis tersering
EI, dapat terjadi sampai 407o pasien dan kejadiannya cenderung menurun selama terapi antibiotik yang efektif. Gejala dan tanda neurologis terjadi pada 30-407o pasien EI
dan dikaitkan dengan peningkatan mortalitas. Strok emboli merupakan manifestasi klinis tersering. Manifestasi klinis lain yaitu perdarahan intrakranial yang berasal dari
ruptur aneurisma mikotik, rdptur arteri karena arteritis septik, kejang dan ensefalopati.
Pemeriksaan
fisis yang cukup penting
adalah
ditemukannya murmur yang merupakan petunjuk lokasi keterlib atan katup ( 8 0- 8 5 7o). P ada EI dengan keterlibatan katup trilmspid murmur ditemukan pada 30-50% kasus pada
presentasi awal. Murmur yang khas adalah blowing holosistolik pada garis sternal kiri bawah dan terdengar lebih jelas pada saat inspirasi (Rivello-Carvallo maneuver). Sedangkan EI pada katup jantung kiri, murmur ditemukan pada lebih dari 9}To.TandaBl pada pemeriksaan fisis yang lain adalah kelainan kulit antara lain fenomena emboli, splenomegali, clubbing, petekie, Osler" s node dm. Tesi
laneway, lesi retina/Roth spots.
Diagnosis EI perlu diwaspadai pada PNIV yang disertar gejala demam. Marantz el al, mendapatkan diagnosis EI padal3To pasien PNIV yang menderita demam yang datang ke Instalasi Gawat Darurat. Kecermatan dalam menentukan
ENDOKARDITIS PADA PENYALAHGUNA NAR KOBA
diagnosis secara cepat, sangat membantu dalam
rNTRA VENA (PNrV)
penatalaksanaan pasien secara optimal, sehingga terapi
terhadap EI dan komplikasinya dapat dilakukan sedini Pada pasien PNIV, lokasi keterlibatan katup pada EI biasanya paling sering mengenai sisi kananjantung. sesuai dengan patogenesis penyakit yang dikaitkan dengan infeksi dari kulit, kemudian melalui suntikan intravena akan dibawa mengikuti aliran darah vena menuju sisi kanan jantung. Penelitian di Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUURSUPN CM mendapatkan vegetasi hanya pada katup trikuspid pada 80,8% kasus, vegetasi hanya pada katup mitral atau hanya pada katup aorta masing -mas in g seb esar 7,7 7o dan ve getasi c ampuran pada katup mitral dan aorla 3,87o. Endokarditis infektif pada PNfV memberikan gambaran klinis, mikrobiologi dan prognosis yang berbeda daripada EI non PNIV. Diperkirakan lebih daril6To kasus kasus EI pada PNIV terjadi pada sisi kananjantung, dibandingkan haryag%o pada non PNIV, dan melibatkan katup trikuspid
pada 40-697o kasus. Stafilokokus merupakan kuman penyebab tersering EI pada PNIV.
DIAGNOSIS Diagnosis EI ditegakkan berdasarkan anamnesis yang
cermat, pemeriksaan fisis yang teliti, pemeriksaan laboratorium antara lain: kultur darah dan pemeriksaan penunj ang ekokardiografi. Investigasi diagnosis harus dilakukan jikapasien demam disertai satu atau lebih gejala
kardinal; ada predisposisi lesi jantung atau pola lingkungan, bakteremia, fenomena emboli dan bukti proses endokard aktif, serta pasien dengan katup
mungkin.
Kultur Darah Kultur darah yang positif merupakan kriteria diagnostik utama dan memberikan petunjuk sensitivitas antimikroba. Beberapa peneliti merekomendasikan kultur darah diambil
pada saat suhu tubuh tinggi. Dianjurkan pengambilan darah kultur 3 kali, sekurang kurangnya dengan interval 1 jam, dan tidak melalui jalur infus. Pemeriksaan kultur darah terdiri atas satu botol untuk kuman aerob dan satu botol untuk kuman anaerob dan diencerkan sekurangkurangnya 1:5 dalam brothmedia. Minimal jumlah darah yang diambil 5 ml, lebih baik l0 ml pada orang dewasa. Jika kondisi pasien tidak akut, terapi antibiotika dapat ditunda 2-4hati.
Peran Ekokardiografi Pemeriksaan ekokardiografi sangat berguna dalam menegakkan diagnosis terutama jika kultur darah negatif. Demikian juga pada diagnosis bakteremia persisten di mana
sumber infeksi belum dapat diketahui. Deteksi ekokardiografi transtorakal (TTE) pada pasien yang dicurigai EI sekitar 50Vo.Padakatup asli sekitar 20% TTE memperlihatkan kualitas suboptimal. Hanya25Vo vegetasi <5 mm dapat diidentifikasi, persentase meningkat sampai 70Vo padavegetasi >6 mm. Jika bukti klinis EI ditemukan,
ekokardiografi transesofageal (TEE) meningkatkan sensitivitas kriteria Duke untuk diagnosis pasti EI.
adalah demam (80-85%). Keluhan lain dapat berupa
Sensitivitas TEE dilaporkan 88-1007o dan spesifisitas 91100Vo. Pada kasus yang dictrrigai terdapat komplikasi, seperti pasien dengan katup prostetik dan kondisi tertentu seperti penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), atau
menggigil, sesak napas, batuk, nyeri dada, mual, muntah, penurunan berat badan dan nyeri otot atau sendi.
terdapat deformitas pada dinding dada, ekokardiografi transesofageal lebih terpilih daripada transtorakal.
prostetik. Pada anamnesis, keluhan yang paling sering ditemukan
1706
Kriteria Endokarditis lnfektif
KARDIOI,OGI
Kriteria Mayor
1
Mengingat manifestasi klinis EI yang cukup beragam, maka diperlukan suatu strategi diagnosis yang sensitif
Kultur darah positif untuk El Mikroorganisme khas konsisten untuk El dari 2 kultur darah terpisah seperti tertulis di bawah ini : Streptococci viridans, Streptococcus bovls atau grup HACEK, atau Community acquired Staphylococcus aureus alau enterococci, tanpa ada fokus primer, atau Mikroorganisme konsisten dengan El dari kultur darah positif persisten di definisikan sebagai : > 2 kultur dari sampel darah yang diambil terpisah > 12.jam, atau (ii) Semua dari 3 atau mayoritasdariZ4 kulturdarah terpisah ( dengan sampel awal dan akhir diambil
A
(i)
untuk mendeteksi penyakit dan spesifik untuk
(ii)
menyingkirkan penyakit lain. Durack et al, dari Universitas Duke mengajukan kriteria, yang terdiri dari berbagai aspek baik secara klinis maupun histopatologis, dengan
B
(i)
mempeftimbangkan dan memasukkan hal-hal yang tersebut di atas. Kriteria Duke ini dapat dilihat pada Tabel2 dan 3.
2
terpisah>1jam) Bukti keterlibatan endokardial A Ekokardiogram positif untuk El didefinisikan sebagai Massa intrakardiak oscillating pada katup atau struktur yang menyokong, di jalur aliran jet regurgitasi atau pada material yang di implantasrkan tanpa ada alternatif anatomi yang dapat menerangkan, atau (ii) Abses, atau (iii) Tonjolan baru pada katup prostetik atau
(i)
El Definite Kriteria Patologis Mikroorganisme : ditemukan dengan kultur atau histologi dalam vegetasi, dalam vegetasi yang mengalami emboli, atau dalam suatu abses intrakardiak, Lesi patologis : vegetasi atau terdapat abses intrakardiak, yang dikonfirmasi dengan histologis yang menunjukkan endokarditis infektif Kriteria Klinis, menggunakan definisi spesifik (lihat pada tabel 2)
Dua kriteria mayor, atau Satu mayor dan 3 kriteria minor, atau Lima kriteria minor El Possible Temuan konsisten dengan El, turun dari kriteria definite tetapi tidak memenuhi kriteria rejected.
El Rejected Diagnosis alternatif tidak memenuhi manifestasi endokarditis atau
Resolusi manifestasi endokarditis dengan terapi antibiotika
B
Regurgitasi valvular yang baru terjadi (memburuk atau berubah dari murmur yang ada sebelumnya tidak cukup
Kriteria Minor
'1 2 3 4
5. 6
Predisposisi : predisposisi kondisi jantung atau pengguna obat intravena Demam: suhu > 38 C Fenomena vaskular: emboli arteri besar, infark pulmonal septik, aneurisma mikotik, perdarahan intrakranial, perdarahan konjungtiva dan lesi Janeway Fenomena lmunologis : glomerulonefritis, Os/er's nodes, Roth Spots, dan faktor rheumatoid Bukti mikrobiologi : kultur darah positif tetapi tidak memenuhi kriteria mayor seperti tertulis di atas atau bukti serologis infeksi aktif oleh mikroorganisme konsisten dengan EI Temuan ekokardiografi : konsisten dengan El tetapi tidak memenuhi kriteria seperti tertulis di atas,
selama<4hari, Atau Tidak ditemukan bukti patologis El pada saat operasi atau autopsi, setelah terapi antibiotika selama < 4 hari Durack, dkk
Kdteria Duke ini terbukti mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi dan lebih efektif dalam menegakkan diagnosis
klinis dibandingkan kriteria von Reyn. Kedua kriteria di atas pada mulanya berkembang untuk riset klinis dan epidemiologis. Karena EI merupakan penyakit yang heterogen dengan presentasi klinis yang sangat beragam, penggunaan kriteria seperti di atas saja tidaklah cukup.
tetap harus mempertimbangkan judgement klinis. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa kriteria Duke ini juga mempunyai keterbatasan, khususnya pada pasien PNIV yang sudah mendapat terapi antibiotika sering ditemukan kultur darah yang negatif, kemungkinan lain
adalah teknis pengambilan kultur darah yang salah, sehingga diagnosis EI definite sulit ditegakkan. Kriteria Duke hanya merupakan petunjuk klinis untuk
diagnosis EI tentunya tidak harus menggantikan judgementklinis.
Penilaian klinis tetap penting pada evaluasi pasien yang
dicurigai EI. Dokter dapat secara tepat dan bijak memutuskan untuk mengobati atau tidak pasien, tanpa melihat apakah dapat memenuhi atau gagal memenuhi kriteria definite ata:u possible berdasarkan skema Duke. Dalam praktek di lapangan kita sering mendapatkan kriteria yang tak memenuhi definite. Misalnya hanya ditemukan adanya riwayat PNIV ( 1 kriteria minor), demam >38" C ( 1 krrteria minor) dan vegetasi di katup jantung ( 1 kriteria mayor). Berdasarkan kriteria Duke, maka pasien di
atas hanya memenuhi kriteria possible. Namun pertimbangan diagnosis klinis EI dan penatalaksanaannya
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan kasus
EI biasanya berdasarkan terapi
empiris, sementara menunggu hasil kultur. Pemilihan antibiotika pada terapi empiris ini dengan melihat kondisi pasien dalam keadaan akut atau subakut. Faktor lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah riwayat penggunaan antibiotika sebelumnya, infeksi di organ lain dan resistensi obat. Seyogyanya antibiotika yang diberikan pada terapi empiris berdasarkan pola kuman serta resistensi obat pada daerah tefientu yang evidence based.
1707
ENDOKARDMS
Pada keadaan EI akut, antibiotika yang dipilih haruslah yang mempunyai spektrum luas yang dapat mencakup S. aureusl Streptokokus dan basil gram negatif. Sedangkan pada keadaan EI subakut regimen terapi yang dipilih harus dapat membasmi streptokokus termasuk E. .faecalis. Terapi empiris ini biasanya hanya diperlukan beberapa hari sambil .menunggu hasil tes sensitivitas yang akan
menentukan modi likasi terapi. Untuk memudahkan dalam penatalaksanaan EI, telah
dikeluarkan beberapa guidelines (pedoman) yaitu: American Heart Association (AHA) dan European Society of Cardiolog), (ESC). Rekomendasi yang dianjurkan kedua pedoman ini pada prinsipnya hampir sama. Penelitian menunjukkan bahwa terapi kombinasi penisilin ditambah aminoglikosida membasmi kuman lebih cepat daripada penisilin saja.
Regimen terapi yang pernah seftriakson I
x2
gram
IV
diteliti antara lain:
selama 4 minggu, diberikan pada
kasus EI karena Streptococcus. Pemberian regimen ini cukup efektif dan aman, praktis karena pemberiannya satu kali dalam sehari, dan dapat diberikan sebagai terapi rawat
American Heart Association ( AHA ) (2005) Katup Asli I Native Valve I
4
Arnpicillin-sulbaklam 12 grl24 iam dalam dosis terbagi + gentamisin sulfat 3 mg/kg/24 jam lV dalam 3 dosis terbagi atau vankomisin 30 mglkgl24 jam lv/lM dalam 2 dosis terbagi + gentamisin sulfat 3 mg/kg/24 jam lV/lM dalam 3 dosis terbagi + siprofloksasin 1000 mgl24 jam per oral atau 800 mgl24 jam lV dalam 2 dosis terbagi
Katup Prostetik ( < 1 tahun ) Vankomisin 30 mg/kg/24 jam dalam 2 dosis terbagi + gentamisin sulfat 3 mg/kg/24 jam lV/lM dalam 3 dosis terbagi + sefepim 6 grl24 jam lV dalam 3 dosis terbagi + rifampisin 900 mg/24 jam peroral/lV dalam 3 dosis terbagi European Society of Cardiology ( ESC
pendek.
TERAPISURGIKAL Intervensi surgikal dianjurkan pada beberapa keadaan antara lain: Vegetasi menetap setelah emboli sistemik: vegetasi pada katup mitral anterior, terutama dengan ukuran >10 mm
.
atau ukuran vegetasi meningkat setelah terapi
. . . . .
antimikroba 4 minggu. Regurgitasi aorla atau mitral akut dengan tanda-tanda gagal ventrikel Gagal jantung kongestif yang tidak responsif terhadap
terapi medis
Perforasi atau ruptur katup Ekstensi perivalvular: abses- besar atau ekstensi abses walaupun terapi antimikroba adekuat Bakteriemia menetap setelah pemberian terapi medis yang adekuat.
4-6 minggu
4-6 minggu 4-6 minggu
4-6 minggu
6 minggu 2 minggu 6 minggu 6 minggu
)
(2004)
jalan. Beberapa penelitian lain juga melaporkan efektivitas regimen terapi oral: siprofloksasin 2 x 750 mg dan rifampisin 2 x 300 mg selama 4 minggu dan dapat diberikan pada pasien rawatjalan Regimen terapi vankomisin merupakan terapi pilihan pada kasus EI dengan methicillin resistant Staphylococcus oureus (MRSA), walaupun demikian respons klinis yang lambat masih cukup sering ditemukan. Infeksi HIV sering ditemukan pada pasien EI yang di sebabkan PNIY sekitar'7 5 Vo . P enatalaksanaanny a pada prinsipnya sama, terapi antibiotika diberikan secara maksimal dan tidak boleh,dengan regimen terapi jangka
4-6 minggu
Katup Asli ( Native Valve I Vankomisin 15 mg/kg lV tiaP '12 jam + gentamisin 1 mg/kg lV tiap 8 jam Katup Prostetik Vankomisin 15 mg/kg lV tiap 12 jam
+ rifampisin 300-450 mg per oral tiap 8 jam + gentamisin 1 mg/kg lV tiap B jam
4-6 minggu 2 minggu 4-6 minggu 4-6 minggu 2 minggu
KOMPLIKASI Komplikasi EI dapat terjadi pada setiap organ, sesuai dengan patofisiologi terjadinya manifestasi klinis (lihat patofisiologi): . Jantung: katup jantung: regurgitasi, gagal jantung.
. ' .
abses Paru : emboli paru, pneumonia, pneumotoraks, empiema
dan abses. Ginjzrl: glomerulonelrifis Otak: perdarahan subaraknoid, strok emboli, infark serebral
PENCEGAHAN ENDOKARDITIS INFEKTIF Beberapa kondisi jantung dikaitkan dengan risiko endokarditis lebih besar dari populasi norunal. Kondisi ini dikelompokkan pada 3 kategori; risiko tinggi, risiko sedang dan risiko rendah./tanpa risiko (Tabel 8). Kondisi non kardiak yang meningkatkan risiko El adalah
penyalahguna narkoba intravena (PNIV) yang
dikalkulasikan 12 x lebih tinggi daripada non PNIV. Kondisi lain yang menjadi predisposisi EI adalah hiperkoagulasi,
1708
KARDIOITOGI
Regimen H ig h
ly
Lama Minggu
Dosis dan Cara
Kekuatan Rekomendasi
Pen i ci I li n-Susceptib/e
crystalline sodium
Aqueous Penicillin G Atau Ceftriaxone sodium Aqueous crystalline Penicillin G sodium Atau
12-18 juta Ul24 jam lV secara kontinyus atau dalam 4 atau 6 dosis terbagi sama
A
2 grl24 jam lV/lM dalam 1 dosis
A
12-18 jula Ul24 jam lV secara kontinyus atau dalam 6 dosis terbagi sama
B
Ceftriaxone sodium Ditambah Gentamisin sulfat Vankomisin
2 grl24 jam lV/lM dalam 1 dosis
2
3 mg/kg per 24 jam lV/lM dalam 1 dosis atau dalam 3 dosis terbagi sama 30 mg/kg per 24 jam lV dalam 2 dosis terbagi tidak lebih dari 2 grl24 jam
4
B
4
B
Rel atively Re
si
stant to
crystalline
Oxaci
I Ii
Nafcillin oxacillin
n- s u
24 jula Ul24 jdm lV secara kontinyus atau dalam 4 atau 6 dosis terbagi sama
2grl24 jam lV/lM dalam
1 dosis
3 mg/kg pet 24 jarn lV/lM dalam '1 dosis atau dalam 3 dosis terbagi sama 30 mg/kg pet 24 jam lV dalam 2 dosis terbagi tidak lebih dari 2 grl24 jam
scepti ble stra i n s 12 grl24 jam lY dalam 4-6 dosis terbagi sama
atau
Oxac
3 mg/kg per 24
mrnggu
3-5 hari
6 grl24 jam lV dalam 3 dosis
Gentamisin
opsional Gentamisin sulfat
t)
B
30 mg/kg per 24
jam lV dalam 2
>6
3 mg/kg per 24
Vankomisin 30 mg/kg per 24
>6
B
jam lV dalam 2 dosis terbagi
2atau3dosis
Vankomisin
>6
Ox a c i I i n-resi sta nt stra i ns
3-5 hari
sama
terbagi sama
nt strai n s
Kekuatan Rekomendasi
atau 3 dosis terbagi sama
jam lV/lM dalam
Oxac i li n -resista
Lama
Minggu
jam lV/lM dalam2
mrnggu
terbagi sama 3 mg/kg per 24
900 mg per 24 jam lV/Per oral dalam 3 dosis terbagi
B
sama
Ditambah
Tambahan
sceptibl e strai n s 12 grl24 jam lV dalam 6 dosis terbagi sama
2
4
Ditambah
Untuk pasien alergi penisilin
Cefazolin
i I I i n- s u
Nafcillin atau oxacillin Ditambah Rifampin
b
Ditambah
opsional jam lV/lM dalam Gentamisin 2 atau3dosis sulfat terbagi sama
uosls dan Gara
Regimen
Dosis dan Cara
Tambahan
2
Pe n ic i I I i n
Aqueous Penicillin G sodium Atau Ceftriaxone sodium Ditambah Gentamisin sulfat Vankomisin
Regimen
B
Ditambah
Rifampin 6
m nggu
dosis terbagi sama
900 mg per 24 jam lV/Peroral dalam 3 dosis terbagi sama
Ditambah
Gentamisin
3 mg/kg per 24
jam lV/lM dalam2
penyakit kolon inflamasi, lupus eritematosus sistemik, pengobatan steroid, diabetes melitus, luka bakar,
atau 3 dosis terbagi sama
pemakaian respirator, status gizi buruk dan hemodialisis.
Target primer pencegahan pada prosedur yang melibatkan rongga mulut, saluran pernapasan atau esofagus adalah Streptococcus viridans, yang merupakan penyebab sering katup asli dan katup jantung prostetik onset akhir-. Prosedur yang melibatkan traktus genitourinari
dan gastrointestinal sering mendahului berkembangnya endokarditis enterokokkal sehingga target kumannya adalah enterokokkus. Jika dilakukan insisi dat drainage kulit dan jaringan lunak yang terifeksi, profilaksis difokuskan pada S.aureus.
1709
ENDOKARDIfiS
Risiko Tinggi Relatif Katup jantung
prostetik
Endokarditis infektif sebelumnya
Risiko
Sedang
Risiko Sangat
Rendah atau Tak Ada
Prolaps katup mitral dengan regurgitasi atau penebalan katup Stenosis mitral
Prolaps katup mitral tanpa regurgitasi atau penebalan katup Regurgitasi katup trivial pada ekokardiografi tanpa abnormalitas struktural
Penyakit katup trikuspid
Defek septum atrial (sekundum)
Duktus arteriosus paten
Stenosis pulmonal
Plak arterisklerotik
Hipertrofi septal asimetris
Penyakit arteri koroner sebelumnya Pacu jantung, defibrilator implant
(PDA) Regurgitasi Stenosis aorta
Regurgitasi mitral
Katup aorta bikuspid atau sklerosis aorta kalsifikasi dengan gangguan hemodinamik minimal Penyakit valvular generatif pada usia lanjut
Lesi intrakardiak yang dioperasi dengan tanpa/ minimal abnormalitas hemodinamik, pasca operasi > 6 bulan (ASD.
Stenosrs mitral dan regurgitasi
Defek septum ventrikular (VSD)
Koartasio aorta Lesi intakardiak yang sudah dioperasi dengan abnormalitas hemodinamik alau device prostetik Shunt pulmonal sistemik yang dioperasi
Lesi intrakardiak yang dioperasi dengan tanpa / minimal abnormalitas hemodinamik pasca operasr < 6 bulan
Regimen
Regimen standar
Amoksisilin 3 gram per oral '1 jam sebelum prosedur, kemudian 1,5 gram 6 jam setelah dosis inisial
Pasien allergi penisilin
Eritromisisn etilsuksinat 800 mg, atau eritromisisn stearat 1 gram, peroral2 jam sebelum prosedur, kemudian setengah dosis 6 jam seteiah dosis inisiai
/ amoksisilin
Penyakit jantung kongenital sianotik
aorta
Sett ng
Pasien tak bisa mendapat terapi oral
Ampisilin 2 gram lM atau lV 30 menit sebelum prosedur, kemudian ampisilin 1 gram lM atau lV, atau amoksisilin 1,5 gram per oral 6 jam setelah dosis rnisial
Pasien alergr penisilin / amoksisilin / Ampisilin tak bisa mendapat terapi oral Pasien dianggap sebagai risrko sangat Tinggi dan bukan kandidat untuk regimen standar
Klindamisin 300 mg lV 30 menit sebelum prosedur, kemudian 150 mg 6 jam setelah dosis inisial
Pasien dianggap risiko sangat tinggi Alergi pen isilin/amoksilin/ ampisilin
Gunakan regimen untuk pasien alergi yang menjalani prosedur genitourinari dan gastrointestinal
Gunakan regimen standar untuk prosedur genitourinari dan gastrointestinal
VSD, PDA,
stenosis pulmonal ) Operasi graft pintas koroner sebelumya
Penyakit Kawasaki sebelumnya atau demam reumatik tanpa disfungsi valvular
Antibiotik
Regimen
Pasien risiko tinggi
Ampisilin plus
Ampisilin 2 gram lV/lM plus gentamisin 1,5 mg/kg dalam 30 menit prosedur, ulangi ampisilin 1 gram lV/lM atau diberikan amoksisilin 1 gr peroral 6 jam kemudian
Settrng
gentamrsin
Vankomisin 1 gram lV diinfus dalam 1-2 jam dan selesai dalam 30 mentt prosedur plus gentamisin 1,5 mg/kg lM/lV Tidak direkomendasikan dosis
Pasien risiko
Vankomisin
tinggi,
plus
Allergi penislin
gentamisin
Pasien risiko sedang
Amoksisilin atau ampisilin
Amoksisilin 2 gram peroral 1 jam sebelum prosedur atau ampisilin 2 gram lM/lV 30 menit sebelum prosedur
Pasien alergi
Vankomisin
Vankomisin 1 gram lV dinfus dalam 1-2 jam dan selesai dalam 30 rnenit prosedur
kedua.
penisilin,
risiko sedang
17t0
KARDIOLOGI
Prosedur di mana pencegahan endokarditis infektif direkomendasikan dapat dilihat pada tabel 9,10. Prosedur dianjurkan pada semua pasien dengan semua risiko yang menjzLlani prosedur gigi yang menyebabkan perdarahan,
namun ekstraksi merupakan risiko yang paling kuat terjadinya EI. Profilalsis tidak rutin direkomendasikarr pada prosedur endoskopi dengan atau tanpa biopsi, karena
kejadian EI jarang dilaporkan. Profilaksis tidak direkomendasikan secara rutin pada kateterjsasi jantung atau TEE.
REFERENSI Alwi I, Rahman AM, Mad-iid A, Ismail D, Harutr S, Suryadipradja RM. Endokarditis inleksi pada penyalahgunaan obat intraveu;t: spektrum ekokardiografi pada 26 kasus Nlakalah Bebas Oral KOPAPDI XI. Surabaya. 2000 Iladdour LM, Wilson WR, Bayer AS, er
al
[nfective endocarditis
Diagnosis. antirnicrobial therapy. and nrarragement of conlplications. A Statement for Heaithcare Prolessionals From tLre Committee on Rheumatic Fever, Endocuditis, and Kawasaki Disease, Council on Cardiovascular Disease in the \bung, and the Councils on Clinical Cardiology, Stroke tnd Cardiovascular
Surgery and Anesthesia, American EIeart Association. Circulation 2005: I I I :e39:l-e.133 Bayer AS, Bolger AN. Tauberr KA. Wilson W, Steckclberg J. Karchmel AW et al AHA Scientific Statement Diagnosis and
of inf-ective endocarditis and its cornplications Circulation 1998 ;98:2936-48. Brown M, Gdffin GE Immune responses in endocarditis. Editorial Heart 1998l.19:l-2. Charnbers HE. Korzenioski OM, Sande MA. Staphylococcus aureus endocarditis: clinical manitestations in addicts and nonaddicts managernent
N{edicine 1983;62:170-1. Cheitlein MD, Alpert JS, Armstrong WF, Aungemma CP, Beller GA, Biermzln FZ et al. ACC/AI{A Guidelines for the Clinical Application of Ekokaldiograficardiography. A report of [he American College of Cardiology/American Heart Assoeiarion Task Force on Practice GuideUnes (Comrnittee on Clinical AppLcation of Ekokardiograficardiography). Circulation 1997:95:1 686-'7 44. Durack DT, Lukes AS, Bright DK. New criteria for diagnosis of infective endocarditis: utilization of spesific ekokardiograficardiographic
findings. Am J Med 199196:200-9 Dwolkin RJ, Lee 81, Sande MA, Chambers HF. Treatment of right sidcd Staphyloccus aurcus endocarditis in intravenous drug users wiLh ciprofloxacin and rifampicin. Lancet 1989:107i-3
Durack DT. Infective and non-infective endocarditis. In : Schlant RC, Alexander RW, O'Rourke RA, Robert R, Sonnenblick EH. The Heart 8 th Eds. New York , Mc Graw Hill Inc. 1994 p 1681709. Francioii P, Etienne J. Hoigne R, Thys JP, Gerber A. Treatment of streptococcal endoc:rditis with a single daily dose of ceftriaxone and outpatient Lieatment feasibility. JAMA 1992:261 :264-7. Horstkotte D, Follath F, Cutschik E, et al. Guidelines on prevention. diagnosi-s and treatment of infective endocarditis The Task Force on Inlective Endocarditis of the European Society of Cardiology. Eur Heart J 2004100:1-37 Heldman AW, Hartert TY Ray SC, Daoud EG Kowalski TE, Pompili EJ et al. Oral antibiotic treatment of right sided staphylococcal endocarditis in injection drug users : plospective randomized cornparison with parenterzrI therapy. Am J Mcd 1996;l0l:6816. Heeht SR, Berger
M Right sided endocarditis in intravenous drug users Ann lntern NIed 1992:117:560-6.
Habib G Derumeaux G Avierinos JF, Casalta JP, jamal F. Volot F et al. Value and limitations of the Duke criteria for the di.rgnosis of infective endocarditis. J Am Coll Cardiol 1999;33:2023-9 Karchmer AW. Infective endocarditis ln : Braunwald's Heart Disease. A Textbook of Cardivascular Medicine 7 th Eds. Philadel-
phia, Elsevier Saunders. 2005.p. t633--58
BR Slow response to vancomycin or vancomycin plus rifampin in neth jcillin-resistant Staphl lococcus aure[rs endocarCitis, Ann lntern \4ed l99l;115:674-80 Mathew J. Addai T Anau A. Morrobel A, Maheshwari P, Freels S Clinical featnres, site of involvement, bacteriologic findings,
Levine DP Fromm BS, Reddy
and outcome ol infective endocarditis in intravenous drug Arch Intern Med 1995;15-5:1641-8.
users
Nalass RG Weinstein MP, Bartels J, Gocke DJ. Infective endocarditis in intravenous drug users : a comparison of human inrmttnodeliciency virus tipe-l negative and positive patients J Infect Dis 1990:162:967-70. Ribera E. N4ilo JM, Cortes E, Cruceta A. Melce J, Marco F et al Influence of human irnmunodeticiency virus-1 infection and degree of immunosuppression in the clinical characteristics and outcome of infectire endocarditis in intlavenous drug users. Arch Intern Med 1998;158:2043-9. Roberts R, Slovis CM. Endocarditis in intravenous drug abusers. Emergency Med Clin North Am. 1990;8:665-81. Shanson DC. New guidelines for the antibiotic treatment of streptococcal, enterococcal and staphylococcal endocarditis J Anti-
microbial Chemotherapy 19981,42:292-6 Wilson WR, Karchmer A1il, Dajani AS, Taubert KA. Bayer A. Kaye D et al. Antibiotic treatment of adult with infective endocarditis due to streptococci, enterococci, sraphylococci, and HACEK microorganisms. JAMA 1995:.21 4:1706-13.
269 MIOKARDITIS Idrus Alwi, Lukman H. Makmun
PENDAHULUAN Miokarditis merupakan penyakit ffiamasi pada miokard, yang
bisa disebabkan karena infeksi maupun non infeksi. Patofisologi miokarditis belum sepenuhnya dimengerti. Miokarditis primer diduga karena infeksi virus akut atau
penelitian miokarditis pada hewan oleh virus kardi
coxsackie odenoviral receptor (CAR), untuk
respons autoimun pasca infeksi viral. Miokarditis sekunder adalah inflamasi miokard yang disebabkan patogen spesifik.
penggabungan genom virus ke dalam miosit. Pada fase akut miokarditis viral (hari 0-3), tikus yang
ini mencakup bakteri, spiroseta, riketsia, jamur.
diinjeksi dengan virus koksaki menunjukkan bukti
Patogen
protozoa, obat, bahan kimia, obat fisika dan penyakit inflamasi lain seperti lupus eritematosus sistemik. Etiologi miokarditis karena infeksi yang terbanyak adalah infeksi viral, terutama enterovirus koksaki B.
Pada sebagian besar pasien, miokarditis tak dapat diduga karena disfungsi jantung bersifat subklinis, asimtomatik dan sembuh sendiri (self limited). Oleh karena miokarditis biasanya asimtomatik, maka data epidemiologi yang ada berasal dari penelitian pasca mortem. Pada pemeriksaan pasca mofiem miokarditis ditemukan sekitar 1-9Vo, sehingga diduga miokarditis adalah penyebab utama kematian mendadak.
sitotoksisitas virus langsung, dengan nekrosis miokard tanpa infiltrasi sel inflamasi. Makrofag yang teraktivasi mulai mengekspresikan interleukin (IL)-1u, IL-2, TNF-ct dan interferon gamma (IFN-o). Pada fase subakut (hari 4-14) terd"apat infiltrasi sel.natural killer (sel NK) yang memproduksi neutraLizing antibody dan sel patogen yang dimediasi imun. Gelombang pertama infiltrasi sel terutama terdiri dari sel NK yang mempunyai 2 peran penting yaitu menghambat replikasi virus (protektif) dan melepaskan perforin dan granzymes yang membentuk lesi inti sirkular pada permukaan membran sel yang terinfeksi virus (menimbulkan kerusakan miosit).
Sitokin merupakan mediator utama aktivasi imun. Kadar
n-),IL-Z danll--6 MIOKABDITIS VIRAL
Patogenesis Infeksi oleh virus kardiotropik merupakan hipotesis awal bahwa infeksi viral dapat menimbulkan kerusakan miokard. Beberapa peneliti melaporkan bahwa disfungsi miokard membaik setelah eradikasi penyebab infeksi dan menduga bahwapatogenesis miokarditis mungkin disebabkan 2 fase berbeda kerusakan sel miokard; pertama akibat infeksi virus langsung dan kedua akibat respons imun pejamu. Pengertian respons imun spesifik yang mengakibatkan kerusakan miokard sebagian besar berasal dari model
meningkat pada pasien miokarditis akut, seperli juga TNF-cr dan ekspresi protein. Nitrik oksida yang
bermanfaat mempertahankan tonus vaskular, mungkin mempunyai efek buruk pada miokarditis akut dan berperan pada progresivitas kerusakan miosit. Pada fase kronik (hari 15-90) terjadi eliminasi virus dan kerusakan miokardial yang terus berlanjut. Jantung tikus yang terinfeksi mengalami hipertrofi dan fibrosis miokard menetap. Sel inflamasi tak tampak lagi. Mekanisme yang melibatkan transisi stadium ini menjadi kardiomiopati dilatasi belum sepenuhnya dipahami (Gambar I ). Apoptosis atau kematian sel terprogram, mungkin
merupakan mekanisme patogenesis ketiga yang mengakibatkan miokarditis menjadi kardiomiopati dilatasi'
tTrt
t7t2
I(ARDIOLOGI
Miokarditis akut
Miokarditis subakut
Miokarditis kronis
lnfeks VITUS I
sis
___N
ag
r- \
Infiltrasi
sel mononuklear
I
*
Ekspresi
Natural killer
Sel
Limfoslt T ik
lo t"
Perforin
-
interferon-y
Nitrit
oksida
ng
antibodies
0
Pembersihan virus
Gambar 1. Perjalanan waktu miokarditis viral eksperimental (Adaptasi dari Kawai)
Manifestasi Klinis Manifestasi klinis miokarditis bervariasi, mulai dari asimptomatlk (sel,f-limited disease) sampai syok kardiogenik. Keterlibatan jantung biasanya muncul 7 sampai 10 han setelah penyakit sistemik. Gejala paling jelas yang menunjukkan miokarditis adalah sindrom infeksi vi-
ral dengan demam, nyeri otot, nyeri sendi, dan malaise.
Sebagian besar pasien tidak mempunyai keluhan kardiovaskular yang spesifik namun mungkin memiliki kelainan segmen ST dan gelombang T pada elektrokardiogram (EKG). Nyeri dada ditemukan sampai dengan 35 persen pasien dan mungkin berupa iskemia yang khas, atau pada umumnya perikardial. Nyeri dada biasanya menunjukkan perikarditis yang terkait, namun terkadang dikarenakan adanya iskemia miokard. Kardiomiopati dilatasi akut pada miokarditis limfositik dapat menyebabkan gagal jantung ringan, sedang, atau gagaljantung berat. Sebagian besar pasien dengan gejala ringan mengalami tahap penyembuhan spontan fungsi ventrikular dan normalisasi pada ukuran jantung. Pasien
dengan gagal jantung New York Heart Association (NYHA) kelas III atau IV umumnya memiliki derajat pelebaran ventrikular dan disfungsi ventrikel yang lebih besar. Meskipun sebagian sembuh dengan spontan, diperkirakan bahwa separuh akan dihadapkan dengan
Kadang-kadang pasien mengalami sindrom klinis yang serupa dengan infark miokard akut, dengan nyeri dada iskemia dan elevasi segmen ST pada EKG. Disfungsi pada ventrikel kiri mungkin muncul pada kurang dari setengah pasien dan cenderung bersifat difus. Pada autopsi, arteri koroner biasanya masih paten, meskipun arteritis koroner viral pemah dilaporkan. Vasopasme koroner juga pernah dihubungkan dengan miokarditis akut.
Pasien mungkin mengalami sinkop atau palpitasi dengan blok atrioventrikular (AV) atau aritmia ventrikular.
Blok AV lengkap umurri dijumpai, dan sebagian pasien mengalami serangan Stokes-Adams. Blok jantung lengkap umumnya bersifat sementara dan jarang membutuhkan alat bantu jantung permanen. Pada evaluasi selama 20 tahun terhadap kematian mendadak pada anggota-anggola Air F orc e baru, tercatat 20 persen yang mengalami miokarditis
saat diautopsi. Pada beberapa pasien dengan aritmia ventrikel refrakter, biopsi endomiokardial atau autopsi menunjukkan adanya miokarditis. Penyakit tromboemboli sistemik juga terkait dengan miokarditis. Kecenderungan famrlial pada miokarditis dapat terjadi. Pada beberapa laporan, terdeteksi adanya defek sel supresor, menjadi predisposisi perkembangan ke arah
gejala sisa disfungsi miokarditis dan seperempatnya akan
miokarditis aktif. Pasien dengan kardiomiopati peripartum memiliki frekuensi miokarditis yang lebih tinggi pada biopsi endomiokardial. Perubahan-perubahan imunoregulasi
meninggal atau membutuhkan transplantasi jantung.
pada saat kehamilan dan setelahnya mungkin
Pasien dengan miokarditis berat seringkali diserlai dengan kolaps sirkulasi dan tanda-tanda disfungsi organ. Pasien
meningkatkan miokarditis viral, dan pajanan terhadap
seringkali mengalami demam, disfungsi miokard global berat, dan peningkatan minimal dimensi ventrikular kiri dan dimensi pada akhir diastolik. Dibutuhkan support sirkulasi mekanik sebagai jembatan untuk transplantasi jantung atau
kerusakan miokard yang dimediasi imun.
penyembuhan.
sindrom seperti flu atau mungkin asimtomatik. Pemeriksaan
antigen trofoblastik mungkin akan menyebabkan
Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya
1713
MIOKARDITIS
Elektrokardiograf lnfeksi
Virus Coxsackievirus, echovirus, HlV, virus Epstein-Barr, influenza, cytomegalovirus, adenovirus, hepatitis (A dan B), mumps, poliovirus, rabies, respiratory syncitial virus, rubella, vaccin ia, varicella zostet, a rbov i ru s
Bakteri Co ryn e bacte ri u m d i p hte ri ae, St re ptococ c u s pyog e n e s, Staphylococcus aureus, Haemophilus pneumoniae, S a I mon e I I a spp., /Velsserla g o norrh oe ae, Le ptospi ra, Borrelia burgdorferi, Treponema pallidum, Brucella, Myobacterium tubercolosis, Actinomyces, Chlamydia spp., Coxiella burnetti, Mycoplasma pneumoniae, Rlcketfsla spp
Jamur Candida spp , Aspergillus spp., Hlstoplasma, s, C rypto cocc u s, Cocc i d ioi d i o myce s
Bl a sto myce
Parasit Trypanosoma cruzii, Toxoplasma, Schistosoma, Trichina
Noninfeksi Obat-obatan yang menyebabkan reaksi h
ipersensitivitas
Antibiotik: sulfonamida, penisillin, kloramfenikol, amfoterisin B, tetrasiklin, streptomisin Antituberkulosis: isoniazid, para-aminosalicylic acid Antikonvulsan: penindion, fenitoin, karbamazepin Anti-inflamasi: indometasin, fenilbutazon Diuretik: asetazolamid, klortalidon, hidroklorotiazid, spironolakton Lain-lain: amitriptilin, metildopa, sulfonilurea
Obat-obatan yang tidak menyebabkan reaksi h
iperse n s it ivita s Kokain, siklofosfamid, litium, interferon alpha
Penyebab selain obat-obatan Radiasi,
gianl
cells, myocarditis
i
EKG hampir selalu abnormal pada pasien miokarditis. EKG paling sering menunjukkan sinus takikardia. Lebih khas adalah perubahan gelombang ST-T. Dapat ditemukan perlambatan interval QTc, voltase rendah (low voltage), dan bahkan pola infark miokard akut. Aritmia jantung
seringkali ditemukan, termasuk blok jantung total, takikardia ventrikular dan aritmia supraventrikular terutama dengan adanya gagal jantung kongestif atau inflamasi perikard.
Folo Rontgen Dada Rasio kardiotorasik biasanya normal, terutama pada fase
awal penyakit sebelum terjadi kardiomiopati. Fungsi ventrikel kiri yang menurun progresif dapat
mengakibatkan kardiomegali. Dapat ditemukan manifestasi gagal jantung kongestif seperti sefalisasi atau edema paru.
Ekokardiograf
i
Ekokardiografi dapat menunjukkan disfungsi sistolik ventrikel kiri pada pasien dengan dimensi ventrikel kiri yang berukuran normal. Kelainan gerakan dinding segmental mungkin ditemukan. Ketebalan dinding jantung mungkin bertambah, terutama saat permulaan penyakit, inflamasi sedang hebat. Trombus ventrikel terdeteksi l5 persen. Gambaran ekokardiografi pada miokarditis aktif dapat meniru restriktif, hipertropik, atau saat
sekitar
kardi omiopati dilatasi.
laboratorium dapat menunjukkan leukositosis, eosinofilia, laju endap darah yang meningkat atau peningkatan MB band of creatine phosphokinase (CKMB). Peningkatan CKMB ditemukan pada kurang lebih 10 persen pasien,
namun pemeriksaan troponin lebih sensitif untuk mendeteksi kerusakan miokard pada kecurigaan miokarditis.
Dapat dijumpai peningkatan titer virus kardiotrofik. Dibutuhkan peningkatan empat kali lipat pada titer IgG setelah lebih dari 4-6 minggu untuk mendokumentasikan
Biopsi Endomiokardial Karena tidak adekuatnya pemeriksaan non invasif dalam
menetapkan diagnosis miokarditis, diagnosis histologis
dianggap perlu untuk memastikan diagnosis. Biopsi endomiokardial merupakan tes yang penting untuk membuktikan diagnosis tersebut. Spesimen miokard ventrikel kanan bisa didapatkan dengan mengakses vena jugularis interna kanan atau vena,femoralis. Biopsi
intravaskular dari ventrikel
kiri
jarang dilakukan
infeksi akut. Peningkatan titer antibodi IgM mungkin menunjukkan infeksi akut secara lebih spesifik dibandingkan peningkatan pada titer antibodi IgG. Sayangnya, peningkatan pada titer antibodi hanya menangkap respons infeksi virus yang masih baru dan
dikarenakan angka kematian yang lebih tinggi. Bioptom ventrikular kanan yang tepat diletakkan di bawah fluoroskopi atau ekokardiografi untuk mengambil sampel septum interventrikel. Karena miokarditis dapat terjadi setempat, maka sampel diambilminimal empat sampai enam
tidak menunjukkan keberadaan miokarditis aktif. Dilaporkan
fragmen. Dengan menggunakan bioptom Stanford, sampel-
kelainan pada hitung limfosit T and B, namun tidak konsisten dan tidak dapat digunakan sebagai penentu diagnostik. Tiga hal kiinis yaitu infeksi viral sebelumnya, perikarditis, dan kelainan laboratorium terkait yang digunakan untuk mendiagnosis miokarditis karena coxsackie B dijumpai pada kurang dari 10 persen kasus yang terbukti secara histologis.
sampel pada umumnya
memiliki diameter maksimal
2 sampai
3 mm dan berat basah 5 mg. Sampel-sampel tersebut diproses, ditempel pada parafin, diletakkan dan.diwarnai
dengan hematocylin-eosin dan trichrome. Beberapa peneliti melakukan biopsi endomiokardial pada pasien dengan gagal jantung kongestif yang tak jelas dan/atau aritmia venrikular.
1714
I(ARDIOLOGI
Kriteria Histologis Miokarditls Persentase pasien dengan hasii biopsi yang diinterpletasi sebagai miokarditis bervariasi Iuas. Hal ini pada dasarnya
karena acianya perbedaan hriteria diagnosis untuk miokariiti s aktil' vang ,Jigunaltnn oleh peneliti. Ketidakpastian kriteria biopsi endomiokardial ini r-nenyebabkan adanya pertemlian bagi patololi jantLrng tuntuk mencapai kesepakatan umuln ciefinisi patologis miokarditis, yang sekarang dikenal sebagai kriteria Dailas. Kriteria ini membagi hasil biopsi menjadi miokarditis,
rriiokarditis borderline. atau tidak ada miokarditis. Miokarditi s akti f
di defin i sil
PJK. N{iokardttis horderllne digunakan jika infiltrat inflarnasi terlalu ringan ataLl saat kerusakan rriosit tidak tampalt. Frekuensi rniokarditis aktif yang tinggi dikonfirmasi
dengan pengu!angai.r biopsi pada pasien yang sampel
histoiogis ter-daliulunya n'renunjukkan miokardit!s horde rlin
e
.
Meskipun kritcria Dalias menyamakan deskripsi sampel
biopsi, garnbaran histopatologis sendiri mungkin tidak cukup Lrntuk mengidentifikasi keberadaan miokarditis aktif. Skema klasifikasi alternatif sudah dianj urkan. tennasuk satu
yang menggabungkan kriteria histopatologis dan klinis. N{iokarditis terbagi rnenjadi empat sub-grup fulminan (kuat), akut, kronik aktif-, dan kronik persisten, Penggunaan petanda inflamasi imunohistologis, seperli histocontpttt -
ibilittt leukocyte antigenr (HLAs) pada miosit
atau pendeteksian terhadap autoantibodi, mungkin membantu
diagnosis.
Biopsi endomiokardial harus dilaksanakan secepat mungkin untuk memaksimalkan hasil diagnosis. Resotrusi miokarditis aktif dapat dijumpai dalam waktu 4 hari dari biopsi awal, dengan penyembuhan progresif dalarn u'aktu beberapa minggu pada biopsi serial. Perkembangan miokarditis aktif menjadi kardiomiopati dilatasi didapatkan saat biopsi serial dilakukan.
Studi Noninvasif Meskipun skin ti grafi
etium 9 9 m- py r o p ho s p hat e Lelah terbukti berguna dalam mendeteksi miokarditis pada model murin, namun tidak ef'ektif dalam mendiagnosis miokarditis pada manusia. Proses penggambaran dengan gallium 67, radioisotop infkunnat b n-avld, cukup menj anj ikau se bagai metode skrining untuk miokarditis aktif, dengan spesitisitas dan sensitivitas sebesar 83 persen dan niiai prediksi negatif sebesar 98 persen pada miokarditis yang terbukti dengan te c hn
biopsi. Scan dengan Indium lll - labeled antimyosin ttntibodl, dapat digunakan untuk mendeteksi nekrosis miosit. Penggunaan teknik ini pada pasien miokarditis menunjukkan sensitivitas 83 persen, spesifisitas 53 persen. dan nilai prediksi negatif scan nonnal sebesar 92 persen. Pada pasien-pasien yang antibodi antimiosin positif dan
Gambar 2. Gambaran Histopatologis Miokardium Normal (A,X100), Miokarditis Borderline (8,X100,C,X350), Miokarditis Aktif (D,X100,E,X300), Menurut Kriteria Dallas (Dikutip dari Feldman
AM, et
al
N Engl J Med 2000;1388-98)
biopsi negatif, kemungkinan tidak terdeteksinya inflamasi dapat terjadi. Proses penggarnbaran antimiosin dapat
inendeteksi kerusakan miosit tanpa membutuhkan etiologi, dan penyebab kerusakan otot jantung non inflamasi. Pada pasien muda dapat terjadi scan positif palsu. Kegunaan skintigrafi dalam mendiagnosis miokarditis terbatas oleh rendahnya spesifisitas dan pajanan terhadap radiasi. Perubahan jaringan sehubungan dengan miokarditis mungkin bisa diidentifikasi dengan menggunakan nktg-
netic resonance intaging (MRI). Hasil-hasil awal menunjukkan infl amasi miokard mungkin menyebabkan intensitas sinyal dinding miokard abnormal. Penggunaan T2-,,veighted imoges untuk memvisualkan edema jaringan telah dilaporkan dalam beberapa laporan kasus pasien dengan miokarditis aktif. Baru-baruini, contrast mediumenhanced MRI telah digunakan untuk mendeteksi perubahan miokardial pada miokarditis. Obat kontras dalam proses pencitraan MRI yai::u gadopentetate dimeglumine
berkumpul pada lesi-lesi inflarnasi. Bahan tersebut bersifat pada ruang ekstraseiular jaringan yang mengandung air. Gadolinium meningkatkan sinyal Tl+veighted images. Pada sejumlah 19 pasien dengan dugaan miokarditis secara klinis dan 18 subyek normal
hidrofilik yang berkumpul
melalui contrast-enhanced MRI, menunjukkan
1715
MIOKARDITIS
peningkatan global relatif lebih tinggi pada pasien
lmunosupresif
dibandingkan dengan kontrol. MRI kontras dan pemrosesan gambar ekokardiografi digital dapat
Keberhasilan terapi imunosupresan pada miokarditis viral aktif mengarah ke Myocarditis Treatment TriaL y ang besar. Dalam studi ini, 11 I pasien dengan miokarditis yang terbukti dengan biopsi dan dengan fraksi ejeksi ventrikel l
rnemvisualkan area inflamasi dan berapa besar inflamasi tersebut, dan juga terbukti berguna sebagai teknik dalam diagnosis dan pemantauan aktivitas penyakit. Meskipun teknik-teknik noninvasif cukup menjanjikan, biopsi endomrokardial tetap menjadi standar baku dalam diagnosis.
Penatalaksanaan Perawatan suportif merupakan terapi lini pertama pada pasien miokarditis akut. Pada pasien dengan gejala gagal
jantung, terapi mencakup diuretik untuk menurunkan tekanan pengisian ventrikel; inhibitor angiotensinconverting enzyme untuk menurunkan resistensi vaskular; penyekat betajika kondisi klinis sudah stabil, dan antagonis aldosteron. Karena digoksin telah terbukti dapat meningkatkan ekspresi sitokin inflamasi dan mortalitas pada model murin miokarditis viral, maka obat tersebut harus digunakan secara hati-hati dan dalam dosis rendah.
Pada pasien dengan keluhan hebat, seperti kolaps
hemodinamik, perawatan suportif mencakup terapi inotropik intravena dan alat support sirkulasi mekanis yang dapat digunakan untuk menjembatani pasien yang akan dilakukan transplantasi jantung. Adanya antmia atrial atau ventrikular dapat diberikan antiaritmia yang tepat atau mungkin implantasi defi brilator.
Antiinflamasi Diterimanya hipotesis immune - me diate d inj ury telah mendorong penelitian untuk membuktikan apakah terapi
anti-inflamasi dapat memberikan keuntungan klinis tambahan pada pasien dengan kardiomiopati dilatasi inflamasi yang dirawat dengan regimen gagal jantung konvensional. Parillo mempelajari 102 pasien dengan kardiomiopati dilatasi dan mengklasifikasikannya sebagai "reaktif ', dengan bukti endomiokardial atau laboratorium inflamasi yang berlanjut, atau "nonreaktif." Titik akhir primer studi tersebut adalah peningkatan pada fraksi ejeksi ventrikel kiri sebesar atau lebih besar dari 5 persen. Pada pemantauan setelah 3 bulan, 67 persen pasien reaktifyang menerima prednison mencapai titik akhir ini, dibandingkan dengan hanya 28 persen pada kelompok kontrol reaktif. Setelah 9 bulan pemantauan, peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang disebabkan oleh prednison sudah tidak
atau terapi imunosupresan dengan prednison yang dikombinasikan den gan azatioprin atau si klosporin. Titik akhir primer penelitian tersebut adalah perubahan pada fraksi ejeksi setelah 28 minggu. Untuk semua pasien, ratarata peningkatan fraksi ejeksi di atas keadaan awal adalah 9 persen. Studi yang lebih baru mengamati penggunaan terapi imunosupresif pada pasien-pasien dengan kardiomiopati dilatasi dan bukti imunohistokimia inflamasi. Delapan puluh empat pasien dengan kardiomiopati dilatasi setidaknya 6 bulan yang telah mengalami peningkatan ekspresi HLA
pada spesimen biopsi endomiokardial diacak untuk
menerima terapi gagal jantung standar atau yang dikombinasikan dengan prednison dan azatioprin. Setelah pemantauan selama 2 tahun, tidak ada perbedaan pada titik akhir primer gabungan kematian, transplantasi, atau perawatan ulang di rumah sakit. Pasien yang dirawat dengan terapi imunosupresif mengalami peningkatan fraksi ejeksi bermakna pada bulan ke-3 dan ke-24.
lmunoglobulin lntravena Intravenous immune globulin (IVIG) dosis tinggi memiliki sekaligus efek modulasi imun dan antivirus. Pemberian IVIG untuk anak-anak dengan kardiomiopati onset baru dan untuk perempuan dengan kardiomiopati peripallum
terkait dengan peningkatan signifikan pada fungsi ventrikular. Sayangnya, saat IVIG diuji pada penelitian prospektifyang dikontrol dengan plasebo pada62 pasien dengan kardiomiopati dilatasi onset baru dan fraksi ejeksi
<40Vo, hasilnya mengecewakan. Meskipun fraksi ejeksi meningkat 16 persen dalam I tahun pada kelompok yang
mendapat IVIG, peningkatan ini pada dasarnya sama dengan mereka yang menggunakan plasebo. Maka tidak ada keuntungan pemberian obat imunomodulator.
Secara keseluruhan, penelitian yang ada tidak mendukung penggunaan rutin terapi imunosupresif pada miokarditis. Data kini menunjukkan bahwa sub-grup dengan miokarditis berlanjut mungkin dengan imunosupresi, meskipun belum ada metodologi serupa untuk mengidentifikasi mereka.
Antivirus
ditemukan. Pasien-pasien nonreaktif tidak mengalami
Penggunaan terapi antivirus kini sedang dipertimbangkan
peningkatan dengan prednison. Meskipun didapat hasil-
dr European Study of Epidemiology and Treatment of Cardiac Inflammato ry D is eas €, Pasien-pasien dengan
hasil negatif tersebut, para pengamat menyimpulkan bahwa
terapi prednison dapat memberikan peningkatan yang cukup dalam titik akhir klinis, tapi hanya pada subpopulasi reaktif tertentu.
titer enteroviral positif diacak dengan terapi interferon alfa atau plasebo, sementara miokarditis sitomegalovirus (CMV) mendapat terapi immunoglobin intravena atau
17t6
I(ARDIOLOGI
plasebo"
Titik akhir primer ( primary
end
ini adalah peningkatan fraksi ejeksi
poinf) penelitian
sebesar atau lebih
besar dari 5 persen.
perawatan lanjutan yang hati-hati untuk pasien-pasien ini diindikasikan untuk mendeteksi perkembangan awal di sfungsi ventrikel kiri. Tatalaksana gagal jantung secara
konvensional dapat meringankan gejala-gejala yang
Prognosis Sekitzr sepertiga karditis klinis yang sembuh akan memiliki beberapa kelainan jantung, mulai dari perubahan ringan pada EKG sampai gagal jantung. Kurang lebih 40 pef,sen dari seluruh pasien akan senlbuh total. Pada saat ini tidak ada kriteria klinis yang dapat memprediksi dengan tepat siapa yang akan sembuh, meskipun sebagian besar pasien dengan penurunan ringan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan gagal jantung NYHA kelas I atau II sembuh secara total. Anehnya, pasien-pasien dengan miokarditis berat memiliki
kesembuhan jangka panjang yang sangat baik. tak terpengaruh oleh pengalaman kolaps sirkulasi sebelumnya. Dalam sebuah studi, kemampuan bertahan jangka panjang tanpa transplantasi adalah 93 persen, jika dibandingkan derrgan 45 persen untuk mereka yang memiliki miokarditis akut.
berhubungan dengan jantung.
Sitomegalovirus CMV mungkin akan mengarah ke miokarditis dalam populasi pada umumnya, tapi umumnya miokarditis adalah self-limited dar tak memiliki gejala. Pada resipien transplantasi jantung, miokarditis CMV mungkrn menjadi penyakityang lebih serius, yang akan menyebabkan disfungsi jantung. Perawatan untuk miokarditis CMV adalah ganciclovir intravena, yang secara efektif menyingkirkan virus tersebut. Infeksi CMV dini berhubungan dengan perkembangan ailograft penyakitjantung koroner, yang menladi penyebab utama kematian setahun setelah transplantasi jantung. Infeksi fibroblas subintimal atau sel-sel endotel akan menyebabkan kerusakan imunologis yang mengarah ke kondisi yang fatal.
Prognosis miokarditis tergantung pada bahan klinis berlanjut, ratarata angka kematian 5 tahun adalah sekitar 50 sampai 60 persen. Inflamasi kronis, persistensi virus, atau keduanya mungkin mempengaruhi perkembangan penyakit dan prognosis. Terapi di masa mendatang perlu mengidentifikasi
American tripanosomiasis, atau penyakit Chagas'
faktor predominan target perawatan dan diharapkan
merupakan penyebab paling umum gagal jantung kongestif
meningkatkan ketahanan hidup.
di dunia. Kondisi ini disebabkan oleh gigitan reduviid bug, yang diikuti dengan infeksi oleh Trypanosoma cruzi, dan endemis pada daerah pedesaan di Amerika Selatan dan Tengah.
kaus atifnya, namun j ika gagal j antung
Hu man I mm u nodeticiency Vi rus Human immunodeficiency virus (HIV) dikenal luas sebagai penyebab kardiomiopati dilatasi. Etiologi kardiomiopati mungkin berasal dari infeksi sel-sel miokardial oleh HIV atau koinfeksi dengan virus-virus kardiotropik lainnya, respons autoimun pasca viral atau keracunanjantung oleh
NONVIRUS
Penyakit Chagas' ,
Patogenesis Patogenesis kardiomiopati kagasik kronik masih kontroversial karena parasit tersebutjarang muncul pada
obat-obat terlarang atau terapi obat. Barbaro et al.
miokardium. Seperti pada model kardiomiopati maka cedera
mempelajan perkembangan kardiomiopati dilatasi pada 952 pasien HlV-positif tanpa gejala. Pasien-pasien dengan c atatarr pen g gunaan ob at-obatan terl aran g, penyakit jantung yang lebih awal, penatalaksanaan sebelumnya dengan obat-obatan antiretroviral atau imunomodulator,
jantung dianggap melalui mediasi proses imunologis.
atau fraksi ejeksi <50 persen dikeluarkan dari studi prospektif. Dalam 60 bulan perawatan lanjutan, 8 persen pasien mengalami kardiomiopati, dengan rata-rata angka kejadian pertahun 16 kasus per 1000 pasien. Faktor yang memungkinkan perkembangan kardiomi opati adalah C D4 cell count di bawah 400/mL. Infeksi koeksisten dengan coxsackievirus grup B, CMY dan virus Epstein-Barr dapat
dideteksi pada sebagian kecil pasien. Penelitian lainnya menunjukkan lama penyakit dan penggunaan obat-obatan
terlarang sebagai faktor yang berperan dalam perkembangan penyakit. Karena gejala-gejala gagal jantung dan HIV bisa jadi sangat
mirip (misalnya kelelahan, wasting, dll) mungkin
Respons kekebalan selular dan humoral keduanya sudah
diimplikasikan pada cedera miokardial. Biopsi miokardial menunjukkan, infiltrat inflamasi pada penyakit Chagas' kronis sebagian besar terdiri dari sel-sel CDS+ T. Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa tingkatan depresi imunologis pada induk, sehubungan aktivasi sel-sel Z helper dkenal sebagai mekanisme perlahanan paling efektif terhadap parasit. Beberapa peneliti mengusulkan ekspresi terbatas sel-sel CD4+ T selama infeksi T. cruzi akut mungkin berhubungan dengan mekanisme toleransi yang disebabkan oleh parasit tersebut. Bukti hal ini dapat dilihat pada penelitian yang menunjukkan penambahan IL-1
invitro mengembalikan fungsi sel T helper, sehingga diduga terdapat defek makrofag dalam proses ini. Lebih lanjutnya, Il,-2 dan reseptor IL-2 tidak ditemukan atau hanya ada sedikit dalam infiltrat inflamasi, membuktikan peran subset T-helper yang tidak besar pada penyakit ini.
1717
MIOKARDITIS
Manifestasi Klinis
Penatalaksanaan
Penyakit parasit ini memiliki fase akut, di mana penyebaran hematogenous parasit tersebut akan menginvasi jaringan dan sistem organ. Invasi tersebut diikuti dengan reaksi inflamasi hebat dengan sel-sel mononuklir dan manifestasi
Perawatan untuk penyakit Chagas' kronis adalah
klinis demam, berkeringat, mialgia, miokarditis, hepatosplenomegali, dan case fatality rate sekitar 5 persen.
Sebagian besar pasien sembuh dari fase akut dan memasuki fase laten tanpa gejala, namun 20 sampai 30 persen akan menjadi kronis sampai dengan 20 tahun sejak infeksi peftama. Tahap kronis adalah hasil penghancuran jaringan yang bertahap. Saluran cerna dan jantung merupakan lokasi keterlibatan yang tersering, dengan penyebab
kematian utama adal ah gagal jantung. Di dalam abdomen, penghancuran pleksu
s mi
enterik menyebabkan
pembentukan megaesofagus dan megakolon. Pada jantung, miofibril dan serat-serat Purkirye digantikan oleh jaringan fibrosa, yang akan menyebabkan kardiomegali,
gagal jantung kongestif, blok jantung, dan aritmia. Penemuan-penemuan mikroskopis menunj ukkan adanya librosis luas, tapi seringkali ada infiltrat selular kronik yang terdiri dari limfosit, sel-sel plasma, dan makrofag, dan ditemukan parasit-parasit pada sekitar seperempat paslen.
Diagnosis Diagnosis penyakit akut tergantung pada ada-tidaknya tripomastigotes dalam darah individu.yang terinfeksi. Pada infeksi yang kronis, diagnosis langsung kurang berguna karena tripomastigotes yang beredar dalam sirkulasi darah lebih sedikit. Xenodiagnosis (di mana
pasien digigit dengan reduviid bugs yang dikembangkan di laboratorium, lalu parasit itu akan diidentifikasi dalam pencernaan serangga tersebut)
simtomatik dan termasuk alat pacu jantung untuk blok j antun
g total,
imp lantt ab
I
e
car
di ov
e
rt
e
r-d
efi
b
ri llat
o
r
(ICD) untuk aritmia ventrikel rekuren, dan terapi standar untuk gagal jantung kongestif seperti pada bentuk miokarditis lainnya. Obat antiparasit seperti Nifurtimoks dan benzimidazol menghilangkan parasitemia selama fase akut dan biasanya menyembuhkan. Obat tersebut harus
dipertimbangkan jika penyakit tersebut belum pernah dirawat sebelumnya dan mungkin dapat dipergunakan sebagai profilaksis jika kemungkinan besar penyakit muncul kembali, misalnya mengikuti terapi imunosupresif. Peran terapi imunosupresif untuk miokarditis chagas masih kontroversial, dan transplantasi jantung efektif untuk penyakit jantung refrakter tahap akhir.
Lyme Carditis. Penyakit Lyme disebabkan oleh infeksi spiroseta Borrelia burgdorferi, dikenali dengan gigitan kutu. Gejala awal yang menyertai pasien-pasien dengan penyakit ini yang berlanjut ke keterlibatanjantung seringkali adalah blok jantung total. Disfungsi ventrikel kiri dapat
dijumpai tapi jarang. Biopsi endomiokardial mungkin menunjukkan miokarditis aktif. Spirosetes jarang ditemukan pada biopsi. Pemberian korlikosteroid sangat me'li1bantu mengatasi Lr-me carditis sebagai tambahan terapi tetrasiklin.
Penyebab lnfeksi Kardiomiopati Lainnya Di antara sekian banyak etiologi infeksi lainnya adalah Toxoplasma gondii, yang dapat disembuhkan dengan pirimetamin dan sulfadiazin dan paling sering muncul pada pejamu dengan defisiensi imun. Leptospirosis adalah penyebab umum lainnya pada kasus miokarditis fatal. Lima puluh persen kasus memiliki perubahan gelombang ST dan
TpadaEKG.
adalah tes yang pahng berguna, yang akan mendeteksi adanya infeksi pada sekitar separuh pasien. Tes fiksasi
Karditis Reumatik
komplemen (tes Machado-Guerreiro) juga memiliki
Salah satu jenis miokarditis yang menurun secara
sensitivitas dan spesifisitas untuk mengidentifikasi penyakit Chagas' kronis. Tes laboratorium lainnya, tergantung pada tes serologi positif (seperti indirect
mendadak kejadiannya pada setengah akhir dari abad dua puluh adalah karditis reumatik. Tersedianya antibiotik dan
immtrn o.fl uo re s c e nt ant ib o dy, en z.y me - I inke d immun o sorbent assa), , dan tes hemaglutinasi) bersamaan
Streptokokkus grup A mungkin menjelaskan penurunan kejadian penyakit saat ini. Demam reumatik akut dapat terjadi pada anak kecil dan
dengan gejala-gejala dan tanda-tanda yang cocok dengan penyakit Chagas'.
Biopsi endomiokardial mungkin menunjukkan f meng gunakan kriteria Dallas. Penilaian noninvasif umumnya menunjukkan kelainan gerakan miokarditi
s akti
dinding segmental, khususnya aneurisma apikal. Penemuan pada EKG termasuk blok jantung lengkap, blok
atrioventrikular, atau blok cabang berkas kanan, dengan atau tanpa blok fasikular pada 1 1 persen individu yang terinf-eksi. Aritmia ventrikular mungkin memerlukan obatobatan antiaritmia.
perubahan-perubahan pada virulensi dan serotip
remaja. Penyakit tersebut umumnya merupakan kelanjutan
dari faringitis karena streptokokkus grup A. Karditis reumatik bisa disebabkan oleh efek langsung beberapa produk streptokokkus versus mekanisme kekebalan. Streptokokkus grup A memiliki komponen struktur yang mirip dengan struktur jaringan manusia. Antibodi terhadap streptokokkus bereaksi silang dengan glikoprotein katup
jantung. Serum pasien demam reumatik mengandung autoantibodi untuk miosin dan sarkolema. Nodul ini dapat bertahan bertahun-tahun setelah sebuah serangan akut.
1718
Makrofag yang mengandung miosin pernah diidentifikasi dalam nodul tersebut. Diagnosis klinis dibuat menggunakan kriteria Jones. Manifestasi utama adalah karditis, poliartritis, korea, eritema marginatum, nodul subkutan, dan bukti infeksi sfreptokokkal
yang akan muncul (misalnya kultur tenggorok positif, riwayat demam, peninggian titer antistreptolisin). Kriteria minornya adalah penemuan nonspesifik misalnya demam, artralgia, demam reumatik sebelumnya atau penyakit jantung reumatik. Peninggian laju endap darah atau Creactive protein, dan interval PR memanjang. Diagnosis dibuat berdasarkan adanya dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor. Dua pertiga pasien yang mengalami faringitis, akan diikuti dengan gejala-gejala demam reumatik dalam I sampai 5 minggu, dengan rata-rata presentasi 18,6 hari. Karditis berat yang mengakibatkan kematian dapat terjadi, namun jarang. Gagal jantung kongestif ditemukan hanya sebanyak 5 sampai 10 persen kasus. Biasanya karditis tersebut ringan, dengan efek predominannya adalah jaringan parut pada katup jantung. Demam dan murmur jantung, menggambarkan valvulitis akut. Keterlibatan katup mitral tiga kali lebih sering daripada katup aorta; karena itu murmur pada katup mitral lebih sering dijumpai. Regurgitasi mitral adalah penemuan yang paling sering. Murmur midsistolik pada apeks terkadang dapat didengar, disebut murm ur Carey Coombs dan keberadaanya hampir selalu memastikan adanya valvulitis mitral. Tidak ada penemuan EKG yang khas, meskipun inter"val PR memanjang dan perubahan gelombang ST-T nonspesifik
seringkali dijumpai. Bi opsi endomiokardial menunjukkan ttodul Aschoff dan juga infiltrat interstisial selular difus termasuk limfosit, sel polimorfonuklear, histiosit, dan eosinofil. Tes laboratorium yang menunjukkan demam reumatik termasuk antibodi antistreptolysin O (ASTO) dan anti-DNAase B, peninggian LED, dan peningkatan C-reactive protein. Manifestasi di luar jantung umumnya muncul sebagai poliarlritis migrasi pada sendi besar. Aspirin dan penisilin merupakan terapi terperlting. Kortikosteroid juga dapat meredakan gejala. Perbaikan katup rnitral selama karditis akut berkaitan dengan risiko kematian yang lebih tinggi dan harus dilakukan hanya saat gagal jantung refrakter terhadap terapi antiinflamasi optimal. Begitu demam reumatik didiagnosis, diperlukan antibiotik profi laksis untuk mencegah kekambuhan penyakit dengan memberikan injeksi benzatin penisilin G 1,2 juta unit intramuskular sekali sebulan sampai usia 21 tahun.
I(ARDIOI.OGI
alergi terhadap macam-macam obat (Tabel 1). Metildopa,
penisilin, sulfanomida, tetrasiklin, dan obat-obat antituberkulosis adalah obat-obatan yang paling sering terkait dengan hal ini. Penyakit tersebut mempunyai ciri adanya eosinofilia perifer dan penyusupan eosinofil ke dalam miokardium, multinucleated giant cells. dan leukosi t. Penatalaksanaan dengan menghentikan bahan-
bahan penyebab dan menggunakan kortikosteroid. Sayangnya, kondisi ini seringkali tidak disadari dan manifestasi pertama dari keterlibatan jantung adalah kematian mendadak disebabkan oleh aritmia. G ia nt-ce I I M yocard iti s Giant-cell mlocarditis sangat jarang namun merupakan bentuk miokarditis yang agresif miokarditis, umumnya progresif dan tidak respons terhadap terapi medis.
Penyakit ini paling umum terjadi pada remaja, dengan usia rata-rata saat onset 42 (dan berkisar antara l6 sampai 69
tahun). Hubungan dengan kelainan-kelainan autoimun lainnya dilaporkan pada kurang lebih 20 persen kasus. Diagnosis dibuat berdasarkan biopsi endomiokardial. Nekrosis multifokal atau luas dengan infiltrat inflamasi campuran temasuk limfosit dan histiosit dibutuhkan untuk diagnosis histologis. Eosinofil seringkali ditemukan, seperti halnya multinucleated giant cells sebagai ganti
granuloma. ImmunophenoD)ping infiltrat selular menunjukkan populasi limfosit terdiri dari T-heLper atalu pada beberapa kasus sel-sel T-supressor.
Manifestasi klinis biasanya berupa gagal jantung kongestif progresif dan seringkali berhubungan dengan aritmia ventrikular refrakter. Angka harapan hidup buruk. Laporan kasus dari the Giant Cell Mvocarditis Registry menunjukkan bahwa penatalaksanaan dengan regimen imunosupresif tertentu, bukan hanya steroid, dapat memperpanj ang kemungkinan bertahan tanpa transplantasi
sampai beberapa bulan. Beberapa pasien mungkin membutuhkarr support sirkulasi mekanis sebelum transplantasi. Transplantasi jantung merupakan pilihan penatalaksanaan yang terbaik meskipun ada kemungkinan rekuren pada jantung yang ditransplantasi. Giant cells dapat dideteksi pada pengamatan biopsi rutin sampai dengan 9 tahun setelah transplantasi.
REFERENSI Aretz HT, Billingham ME. Edrviuds WD, et al Myocarditis: a histopatlrologic definition zrnd classification. Am J Car-diovasc Pathol
1987: l:3-14
NONINFEKSI
Anandasabapathy S, Frishman
WH
lnnovative drug treatments tbr Pharmacol
viral and autoimmune myocarditis J Clin H
ipersensitivitas
Miokarditis hipersensitivitas adalah sebuah contoh fase awal miokarditis eosinofilik dan dianggap karena reaksi
1 998:3 8:295 - 3 08. Baughman KL, Wynne J. Myocarditis ln : Zipes et al. Braunwald's Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. 7 th ed'
Philadelphia. Elsevier Saundets 2005.p
169'7 -1 11.
L719
MIOI(ARDITIS
Bowles NE, Richardson PJ, Olsen EGJ, Archard LC Detection of Coxsackie-B-virus-specific RNA sequences in myocardial biopsy samples from patients with myocarditis and dilated cardi-
omyopathy. Lancet 1986; l:1120-3 Di Lorenzo G Grisorio B. Barbarini G Incidence of dilated cardiomyopathy and detection of HIV in myocardial cells of HlVpositive patients. N Engl J Med 1998;339:1093-9 Bozkurt B, Villaneuva FS. Holubkov R, et al. Intravenous immune globulin in the therapy of peripartum cardiomyopathy. J Am Coll Cardiol 1999:34:111 -30 Burke AP, Saenger J, Mullick F, Virmani R. Hypersensitivity nryocardiris. Arch Pathol Lab Med 1991:115:'764-9. Caforio AL, McKenna WJ. Recognition and optimum management of nryocarditis Drugs 1996;52:51l5-25. Caforio ALP, Goldman JH, Baig MK, et al. Cardiac autoantibodies in Barbaro G,
dilated cardiomyopathy become undetectable wilh disease progression. Heart 1997 ;17 :62-7
Caforio ALP Keeling PJ, Zachara E, et al. Evidence from family studies for autoimmunity in dilated cardiomyopathy. Lancet 1991:.344:173-1 . Cooper LT Jr, Berry GJ, Shabetai R. Idiopathic giant-cell myocarditis-natural history and treatment. N Engl J Med 1997;336:18606.
Dec GW Jr, Palacios IF, Fallon JT, et al. Active myocarditis in the spectrum of acute dilated cardiomyopathies: clinical features, histologic correlates, and clinical outcome. N Engl J Med 1985:3 I 2:885-90
! Turetz Y Hiss Y, et al Sudden unexpected death in persons less than 40 years of age. Am J Cardiol 1991:68:1388-92
Drory
DE How can m_v- ocarditis be diagnosed and should be treated? Br Heart J 1992:68:316-7.
Davies MJ, Ward
it
Feldman
AM, McNamara D Myocarditis. N Engl J
Med
2000:343:1388-98. Fenoglio JJ Jr, Ursell PC, Kellogg CF. Drusin RE, Weiss
MB
Kawai C From rnyocarditis to cardiomyopathy: mechirnisms of inflammalion and cell death: learnir-e from the past for the future. Circulation I 999:99: l09l -l 00Knowlton KU, Badorff C. The imrnune system in viral myocarditis: maintaining the balance. Circ Res 1999;85:-559-61. Liu P, Martino T, Opavskl, MA, Penninger J. Viral myocarditis: balance between viral infection and immune response. Can J
Cardiol I 996r 1 2:935-13. Lauer B, Niederau C, Kuhl U, et al. Cardiac troponin T in patients with clinically suspected myocarditis. I Am Coll Cardiol 1997;30:1354-9 Lieback E, Hardouin I, N{eyer R. Bellach J, Hetzer R Clinical value of ekokardiograficardiographic tissue characterization in the diagnosis of nryocarditis Eur Heart I 1996l.1'7:135-42. Lie JT. Myocarditis and endomyocardial biopsy in unexplained heart failure: a diagnosis in search of a disease. Ann Intern Med I 988;l 09:525-8 Mason JW O'Connell JB. Herskowitz A. et al. A clinical trial of immunosuppressive therapy lor myocarditis. N Engl J Med 1995t333:269-7 5 . Mason JW. Techniques for right and left ventricular endomyocardial
biopsy. Am J Cardiol 1978;41:887-92. McNamara DM. Rosenblum WD, Janosko KM, et al. Intravenous immune globulin in the therapy of myocarditis and acute cardiomyopathy Circulation 1997 ;95:247 6-8. McCarthy RE III, Boehmer JP, Hruban RH, et al. Long-term outcome of fulminant myocarditis a-" compared witl acute (nonl'ulminant) myocarditis N Engl J Med 2000;342:690-5. McNamara DM, Starling RC, Dec GW et al. Intervention in myocarditis and acute cardiomyopathy with immune globulin: results from the randomized plzrcebo controlled IMAC trial. Circulation 1999;100:Suppl I: I-21. abstract. Midei MG DeN,lent SH, Feldman AM, Hutchins CM, Baughman KL.
Diag-
Peripartum myocarditis and cardiomyopathy Circulation
nosis and classification of myocarditis by endomyocardial biopsy. N Engl J Med 1983;308:12-8. Fairweather D, Lawson CM, Chapman AJ, et al. Wild isolates of murine cytomegalovirus induce myocarditis and antibodies that cross-react with virus and cardiac myosin. Immr.rnology
1990:81: 922-8. McCormack JG Bowler SD, Donnelly JE. Steadman C. Successful treatment of severe cytomegalovirus infection with ganciclovir in an immunocompetent host. Clin Infect Dis 1998;26:1007-
1998t94:263-'7 0. Fenoglio JJ Jr, McAllister HA Jr, Mullick FG Dmg related myocardi:
Maisch B, Hufnagel G Schonian U, Hengstenberg C. The European Stud), of Epidemiology and Treatment of Cardiac Inflammatory Disease (ESETCID). Eur Heart J 1995116:173-5 Pinney SP Mancini DM. Myocarditis in : Fuster et al The Heart. 11 th ed. New York, McGraw-Hill 2004.p.1949-71 Panillo JE, Cunnion RE, Epstein SE, et al. A prospective, randomized, controlled trial of prednisone for dilated cardiomyopathy.
tis. I. Hypersensitivity myocarditis. Hum Pathol 1981;12:9007.
I, Saphir O Myocarditis: a classification of 1402 cases Am Heart I 1941 ;34:821 -30. Higuchi ML, Reis MM, Aiello VD, et al. Association of an increase in CD8+ T cells with the presence of Trypanosoma crazf antigens in chronic, human, chagasic myocardit'is. Am J Trop Med Hyg Gore
1991:,56:185-9
.
Heart Failure Society of America (HFSA) practice guidelines: HFSA guidelines for management of patients with heart failure caused
by left ventricular systolic dysfunction pharmacologic approaches. J Card Fail 1999;5:357-82. [Erratum, J Card Fail 200O;6:7 4.) Huber SA. Autoimmunity in myocarditis: relevance of animal mod-
els. Clin Immunol Immunopathol 1997 ;83:93-102.
8.
N Engl J Med 1989;321:1061-8. Singal PK, Iliskovic N Doxorubicin-induced cardiomyopathy N Engl J Med 1998;339:900--5 Smith SC, Ladenson JH, Mason JW, Jalfe AS. Elevations of cardiac troponin I associated with myocarditis: experimental and clinical correlates. Circulation 1997 :95:163-8. Tomioka N, Kishimoto C, Matsumori A, Kawai C EfTects of plednisolone on acute viral rnyocarditis in mice J Am Cotl Cardiol I 986:7:868-72.
270 KARDIOMIOPATI Sally Aman Nasution
PEI!DAHULUAN Kelornpok penyakit ini beberapa kali mengalami perubahan dalam hal klasifikasi kelainannya. Bila dilihat dari definisi dapat disebutkan bahwa kardiomiopati merupakan suatu kelompok penyakit yang langsung mengenai ototjantung atau miokard itu sendiri. Kelompok penyakit ini tergolong khusu*s karena kelainan yang ditimbulkannya bukan terjadi akibat penyakit perikardiunl, hipertensi, koroner, kelainan
kongenital atau kelainan katup. Walaupun untuk menegakkan diagnosis perlu rnenyingkirkan faktor-taktor etiologi terseblrt, gambaran dari kardiomiopati itu sendiri sangat khusus baik secara klinis maupun hemodinamik.
penyakit eosinofi lik endomiokardium dan fibrosis endomiokardium, (2). Tipe sekunder, apabila ditemukan penyakit miokardium dengan penyebab yang dapat diketahur, termasuk bila berhubungan dengan penyakit yang melibatkan sistem organ lain. Sedangkan bila klasifikasi berdasarkan klinis dan patofisiologr, maka
kardiomiopati dibagi menjadi dilatasi, restriktif dan hipetrofik. Perbedaan kelainan yang ditemukan antara ketiga klasifikasi kardiomiopati tersebut dapat dilihat secara skematis pada Gambar 1.
Dengan meningkatnya kewaspadaan terhadap kondisi penyakit ini serta teknik dan prosedur diagnostik yang semal
teknik diagnostik, ternyata kardiomiopati idiopatik merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang utama. Di beberapa negara, penyakit ini bahkan merupakan penyebab kematian sampai sebesar 307o atau lebih dari pada semua kematian akibat penyakit jantung. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk membuat klasitlkasi yang tepat dari penyakit ini. Klasifikasi yang saat ini telah dikenal luas adalah pembagian yang dibuat oleh kerjasama antara World Health Organization (WHO) dan International Societl and Federation of'CardioLogl: ( ISFC).Pada klasifikasi ini kardiomiopati diklasifikasikan berdasarkan gambaran patofisiologi yang dominan. Bila kardiomiopati diklasifikasikan berdasarkan etiologi maka dikenal dua bentuk dasar, yaitu (l). Tipe primer, apabila terdapat penyakit pada otot jantung dengan penyebab yang tidak diketahui. Termasuk di dalamnya
adalah idiopatik kardion-riopati. familial kardiomiopati,
Normal
Kardiomiopati
hipertropik
Kardiomiopati
d
ilatasi
Kardiomiopati restriktif
Gambar 1. Perbandingan antara tiga klasifikasi kardiomiopati Ao, Aorla; LA, Left Atrium; LV, Left Ventricle (Dari BF Waller Am Soc Ekokardiograficardiogra 1:4, 1998)
7720
:J
t72I
TQ{RDIOMIOPATI
KARDIOMTOPAT| DILATASI (DtLATED cARDTOMYOPATHY/DCM Merupakan jenis kardiomiopati yang paling banyak ditemukan. Dengan deskripsi kelainan yang ditemukan: dilatasi ventrikel kanan dan atau ventrikel kiri, disfungsi kontraktilitas pada salah satu atau kedua ventrikel, aritmia,
emboli dan seringkali disertai gejala gagal jantung kongestif. Satu dari tiga kasus gagal jantung kongestif terjadi pada kardiomiopati dilatasi, dan yang lainnya merupakan konsekuensi dari penyakit j antung koroner. Dulu kelainan ini sering disebut dengan kardiomiopati kongestif, tetapi saat ini terminologi yang dipergunakan
adalah kardiomiopati dilatasi karena pada saat awal abnormalitas yang ditemukan adalah pembesaran ventrikel
genetik heterogen tetapi kebanyakan transmisinya secara autosomal dominan, walaupun dapat pula secara autosomal resesif dan x-linked inheritance. Sampai saat ini belum diketahui bagaimana menentukan seseorang akan memiliki predisposisi kardiomiopati dilatasi apabila tidak diketahui riwayat kejadian penyakit ini dalam keluarganya. Hal yang cukup menjanjikan adalah melalui teknik molekular genetik untuk identifikasi petanda kerentanan pada pembawa sifat yang asimptomatik sebelum timbul gejala klinis yang jelas dari kardiomiopati dilatasi tersebut. Sebagai contoh salah satu petanda yang menjanjikan adalah pemeriksaan enzim
konversi angiotensin genotip DD yang berhubungan dengan kejadian klinis pasien kardiomiopati dilatasi. Pada keadaan jantung yang lemah, walaupun tidak terdapat riwayat keluarga ditemukan variasi dari perubahan gen dan ekspresi protein pada beberapa plotein kontraktilitas.
dan disfungsi kontraktilitas sistolik, dengan tanda dan gejala gagal jantung kongestif yang timbul kemudian. Apabila hanya ditemukan disfungsi kontraktilitas dengan dilatasi mirumal ventrikel kiri, maka varian dari kardiomiopati dilatasi ini digolongkan ke dalam kelompok kardiomiopati yang tidak dapat diklasifikasikan (menurut klasifikasi WHO/ISFC). Sebaliknya, pada atlit sehat sering ditemukan. Klasifikasi penyakit ini dapat mengenai segala usia, tetapi kebanyakan mengenai usia pertengahan dan lebih sering ditemukan pada pria dibandingkan perempuan.
sangat bervariasi, tetapi kejadian kematian mendadak akibat kelainan ini selalu merupakan ancaman yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Sehingga penggunaan modalitas terapi sepefii ablasi kateter dan fokus-fokus aritmia atau bahkan
Insidens kejadian dilaporkan 5-8 kasus per 100.000 populasi
implantasi alat defibrilator kardioversi kemungkinan
pertahun dan kejadian
ini terus meningkat jumlahnya.
Kejadian pada pria dan kulit hitam dikatakan tiga kali lebih sering dibandingkan populasi kulit putih dan perempuan. Dan angka kelangsungan hidup pada kufit hitam dan pria lebih buruk dibandingkan kulit putih dan perempuan.
Etiologi Etiologi kardiomiopati dilatasi tidak diketahui pasti, tetapi kemungkinan besar kelainan ini merupakan hasil akhir dari kerusakan miokard akibat produksi berbagai macam toksin,
zat metabolit atau infeksi. Kerusakan akibat infeksi viral akut pada miokard yang akhirnya mengakibatkan terjadi
kardiomiopati dilatasi ini terjadi melalui mekanisme imunologis. Hal ini banyak ditemukan pada populasi pria usia perlengahan, terutama yang berasal dari
AmerikaAfrika
dibandingkan yang berkulit putih. Prevalensinya semakin lama makin meningkat.
Pada kardiomiopati dilatasi yang disebabkan oleh
penggunaan alkohol, kehamilan, penyakit tiroid, penggunaan kokain dan keadaan takikardia kronik yang tidak terkontrol, dikatakan kardiomiopati tersebut bersifat reversibel. Obesitas akan menin gkatkan risiko terj adinya gagal jantung, sebagaimanajuga gejala sleep apnea. Kira-L,tra 20-407o pasien memiliki kelainan yang bersifat familial akibat dari mutasi genetik. Kelainan tersebut dapat
Displasia ventrikel kanan (Right Ventricular Dysplasla) merupakan kardiomiopati familial yang menarik karena
ditandai dengan dinding ventrikel kanan yang digantikan secara progresif menjadi jaringan adiposa. Seringkali berhubungan dengan kejadian aritmia ventrikel, gejala ldinis
dibutuhkan.
Gejala Klinis Gejala klinis yang menonjol adalah gagal jantung kongestif, yang timbul secara bertahap pada sebagian besar pasien.
Beberapa pasien mengalami dilatasi ventrikel kiri dalam beberapa bulan bahkan sampai beberapa tahun sebelum timbul gejala. Pada beberapa kasus sering ditemukan gejala nyeri dada yang tidak khas, sedangkan nyeri dada yang tipikal kardiak tidak lazim ditemukan. Bila terdapat keluhan nyeri dada yang tipikal, dipikirkan kemungkinan terdapat penyakit jantung iskemia secara bersamaan. Akibat dari aritmia dan emboli sistemik kejadian sinkop cukup sering ditemukan. Pada penyakit yang telah lanjut dapat pula ditemukan keluhan nyeri dada akibat sekunder dari emboli paru dan nyeri abdomen akibat hepatomegali kongestif. Keluhan seringkali timbul secara gradual, bahkan
sebagian besar awalnya asimptomatik walaupun telah terjadi dilatasi ventrikel kiri selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Dilatasi ini kadangkala diketahui bila telah
timbul gejala atau secara kebetulan bila dilakukan pemeriksaan radiologi dada yang rutin.
Pemeriksaan Fisis Pembesaranjantung dengan derajat yang bervariasi dapat
desmin), kontraktilitas dan membran sel (seperti gen lamin
ditemukan, begitu pula dengan gejala-gejala yang menyokong diagnosis gagal jantung kongestif. Pada
A/C) dan protein-protein lainnya. Penyakit ini bersifat
penyakit yang lanjut dapat ditemukan tekanan nadi yang
terjadi pada sitoskeletal gen (seperti gen distrofin dan
t722
sempit akibat gangguan pada
I(ARDIOI-OGI
isi
sekuncup. Pulsus
alternans dapat terjadi bila terdapat gagal ventrikel kiri yang berat. Tekanan darah dapat nonnal atau rendah. Jenis pernapasan C heyne - Stokes menunjukkan prognosis yang buruk. Peningkatan tekanan vena jugularis bila ierdapat gagal jantung kanan. Bunyi jantung ketiga dan keempat dapat pula terdengar, serta dapat ditemukan regurgitasi mitral ataupun trikuspid. Hati akan membesar dan seringkali teraba pulsasi, edema perifer serta asites akan timbul pada gagal jantung kanan yang lanjut. Pada pemeriksaan fisis jantung dapat ditemukan tandatanda sebagai berikut:
. . . .
prekordiumbergeserke arahkiri impuls pada ventrikel kanan impuls apikal bergeser ke lateral yang menunjukkan
kiri gelombang presistolik pada palpasi, serta pada dil atasi ventrikel
auskultasi terdengar presistolik gallop (S4)
. split pada bunyr jantung kedua . gallop ventrikular (S3) terdengar bila
tersebut sesuai definisi tidak diketahui sehingga pengobatan khusus tidak dapat dilakukan. Pengobatan ditujukan sesuai gambaran klinis yang timbul, di mana sebagian besar timbul gejala gagal jantung kongestif. Sehingga pengobatan standar untuk gagal jantung kongestif tersebut yang diberikan, seperti diuretika untuk mengurangi gejala, ACE Inhibito4 dan penghambat beta. Digoksin merupakan pilihan pengobatan lini kedua, di mana dosis optimal yang akan dicapai adalah bila kadar dalam serum mencapai 0,5-0,8
ng/ml.
Pengobatan farmakologis bertujuan untuk modifikasi secara langsung akibat dari aktivasi yang lama sistem adrenergik dan renin angiotensin. Sedangkan pengobatan non-farmakologis seperti pengaturan diet, latihan fisik dan pengobatan farmakologis seperti yang telah disebutkan di atas berlujuan untuk membantu mengontrol gejala yang mungkin timbul. Latihan fisik yang teratur sesuai dengan
toleransi masing-masing individu akan meningkatkan kapasitas latihan dengan memperbaiki disfungsi endotel
terjadi
dekompensasi jantung
Pemeriksaan Penuniang radiologi dada akan terlihat pembesaran jantung akibat dilatasi ventrikel kiri, walaupun seringkali terjadi pembesaran pada seluruh ruang jantung. Pada lapangan paru akan terlihat gambaran hipertensi pulmonal serta edema alveolar dan interstitial. Elektrokarcliografi akan menunjukkan gambaran sinus takikardia atau fibrilasi atrial, aritmia ventrikel, abnortnalitas atrium kiri, abnormalitas segmen ST yang tidak spesifik dan kadang-kadang tampak gambaran gangguan konduksi intraventrikular dan low voltage. Sedangkan dari pemeriksaan ekokardiografi dan ventrikulografi radionuklir menunjukkan dilatasi ventrikel dan sedikit penebalan dinding jantung atau bahkan normal atau menipis, gangguan fungsi sistolik dengan Pada pemeriksaan
penurunan fraksi ejeksi. Dapat pula ditemukan peningkatan
kadar brain natriuretic peptide dalam sirkulasi akan membantu diagnostik pasien dengan gejala sesak napas yang tidak jelas etiologinya.
Pemeriksaan kateterisasi jantung dan angiografi koroner seringkali dibutuhkan untuk dapat menyingkirkan penyakit jantung iskemia. Pada angiografi akan terlihat dilatasi, hipokinetik difus dari ventrikel kiri dan regurgitasi mitral dalam derajat yang bervarrasr.
Modalitas pemeriksaan lain seperti biopsi endomiokardial transvena tidak diperlukan untuk kardiomiopati dilatasi yang familial atau idiopatik. Tetapi pemeriksaan dibutuhkan untuk di agnostik kardiomiopati s;llunder seperti amiloidosis dan miokarditis akut.
Pengobatan Karena penyebab dari kardiomiopati dilatasi idiopatik
dan meningkatkan aliran darah di otot-otot skeletal. Kematian seringkali terjadi akibat gagal jantung kongestif atau bradi-takiaritmia. Risiko terjadi emboli sistemik juga harus dipertimbangkan untuk pemberian antikoagulan. Sedangkan modalitas pengobatan yang terbukti dapat memperpanjang usia harapan hidup dengan menurunkan hampir 507o mortalitas akibat gagal jantung pada waktu-
waktu terakhir
ini
adalah: transplantasi jantung dan
pengobatan farmakologis spesifik seperti vasodilator
hidralazin ditambah nitrat, ACE Inhibitor (enalapril), penghambat beta (karvedilol dan metoprolol) serta penghambat aldosteron (spironolakton). Angiotensin II Receptor Blocker dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi terhadap golongan ACE inhibitor. Golongan calcium antagonist trdak dianjurkan untuk dikombinasi pemberiannya dengan pengobatan standar seperti di atas, dan bukan merupakan pengobatan lini
pertama. Kemungkinan terdapatnya hubungan antara kardiomiopati dilatasi dengan abnormalitas sirkulasi mikrovaskular, gangguan pada kanal kalsium merupakan alasan pertimbangan pemberian golongan obat ini sebagai salah satu pilihan pengobatan. Secara umum penggunaan
obat-obat golongan
ini
dapat ditoleransi dengan baik,
walaupun efek depresi miokardium yang merupakan efek
samping penting yang harus dipertimbangkan dalam pilihan pengobatan.
Prognosis Secara umum prognosis penyakit inijelek. Beberapa variasi klinis yang dapat menjadi prediktor pasien kardiomiopati
dilatasi yang mempunyai risiko kematian tinggi antara lain: terdapatnya gallop protodiastolik (S3), aritmia ventrikel, usia lanjut dan kegagalan stimulasi inotropik terhadap ventrikel yang telah mengalanri miopati tersebut. Walaupun akurasi dan gambaran pada masing-masing individu akan
1723
KARDIOMIOPATI
berbeda dalam menentukan prognosis tersebut. tetapi dikatakan bahwa semakin besar ventrikel yang disertai disfungsi yang semakin berat berhubungan erat dengan prognosis yang semakin buruk. Khususnya bila terdapat dilatasi ventrikel kanan disertai gangguan fungsinya. Uji latih kardiopulmonal juga berguna sebagai gambaran prognostik. Keterbatasan yang bermakna dari kapasitas latihan yang digambarkan dengan penurunan ambilan oksigen sistemik maksimal merupakan prediktor mortalitas
dan dipergunakan sebagai indikator dan pertimbangan
untuk transplantasi jantung.
. .
macam/bentuk, yaitu Hipertrofi yang simetris atau konsentris Hipertrofi septal simetris
-
-
ada 2
Pada foto rontgen dada terlihat pembesaranjantung ringan sampai sedang, terutama pembesaran atrium kiri. Pada :
Dengan left venticular outflow tract obstruction atau disebut j :uga idiopathic hype rtopic subaortic stenosis (IHSS), ata:u hypertrophis obstructive cardiomyopathy (HOCM). Tanda left ventricular outflow tract obstruction.
Kardiomiopati hiperlrofik adalah hipertrofi ventrikel tanpa penyakit jantung atau sistemik lain yang dapat
menyebabkan hipertrofi ventrikel
berdiri lalu menjongkok atau dengan melakukan olah raga isometrik. Pada pemeriksaan fisis akan ditemukan pembesaran jantung ringan. Pada apeks teraba getaranjantung sistolik dan kuat angkat. Bunyi jantung ke-4 biasanya terdengar. Terdengar bising sistolik yang mengeras pada tindakan valsava.
Pemeriksaan Penuniang
KARDIOMIOPATI HIPERTROFIK Kardiomiopati hipertrofik
berumur muda. Denyut jantung teratur. Bising sistolik dihubungkan dengan aliran turbulensi pada jalur keluar ventrikel kiri. Bising sistolik dapat berubah-ubah, bisa hilang atau mengurang bila pasien berubah posisi dari
ini.
Perubahan
makroskopik ini dapat ditemukan pada daerah septum, interventrikularis. Hipertrofi asimetris pada septum ini, bisa ditemukan di daerah distal katup aorta, di daerah apeks. Hipertroh yang simetris tidak senng ditemukan.
Kardiomiopati hipertrofik di daerah apikal biasanya disertai dengan kelainan EKG, gelombang T negatif yang
pemeriksaan elektrokardiografi ditemukan hipertrofi ventrikel kiri, kelainan segmen ST dan gelombang T, gelombang Q yang abnormal dan aritmia atrial dan ventrikular. Pada pemeriksaan ekokardiografi Ten Cate menemukan tiga jenis hipertrofi ventrikel kiri yaitu: . Hipertrofi septalsaja(4la/o)
. .
Hipertrofi septal disertai hipertrofi dindinglateru), (53c/o) Hipertrofi apikal distal (67o) (septum dan dinding lateral, kedua-duanya).
radionuklir akan ditemukan ventrikel atau normal. Fungsi sistolik menguat dan hipertroh septal asimetrik. Pada pen rc, Lslan ,
kiri mengecil
Dengan pemeriksaan pencitraan nucLear magnetic resonance (M.R.I.) berbagai jenis hipertrofi apikal ventrikel kiri dapat dibedakan. Pada sadapanjantung akan ditemukan c
omplionc e v entricular outflow tract
ob
s
truction.
dalam.
Pengobatan
Etiologi Etiologi kelainan ini tidak diketahui. Di duga disebabkan katekolamin, kelainan pembuluh darah koroner kecil, kelainan yang menyebabkan iskemia miokard, kelainan konduksi atrioventrikular dan kelainan kolagen. Penyakit ini dapat ditemukan pada kedua jenis kelamin dalam frekuensi yang sama, sertl dapat menyerang semua umur. Gangguan irama sering terjadi dan menyebabkan berdebar-debar, pusing sampai sinkop. Tekanan darah sistolik dapat pula menurun, banyak kasus kardiomiopati
hipertrofik tidak bergej alalasimtomatis. Orang tua dengan kardiomiopati hipertrofik sering mengeluh sesak napas akibat gagal jantung dan angina pektoris yang mengganggu disertai fibrilasi atrium. Pada kasus-kasus yang sudah lanjut, malah bisa terdapat pengerasan/kekakuan katup mitral, sehingga dapat memberikan gejala-gejala stenosis atau regurgitasi mitral.
Pengobatan yang utama adalah menggunakan penghambat
beta adrenergik, yag efeknya di samping mengurangi peninggian obstruksi jalan pengosongan ventrikel kiri, juga
untuk mencegah gangguan irama yang
sering menyebabkan kematian mendadak. Akhir-akhir ini dilaporkan adanya khasiat yang baik golongan antagonis kalsium seperti verapamil. Obat-obat lain tidak dianjurkan untuk diberikan, karena dapat memperburuk keadaan penyakit. Operasi
miomektomi
juga dilakukan pada keadaan tertentu.
Prognosis Prognosis penyakit ini ternyata sekarang ini cukup jinak.
Angka mortalitas hanya 17o per tahun, dibanding
Pemeriksaan Fisis
penelitian sebelumnya yang 2-4 x lebih tinggi. Ada beberapa pasien yang keadaannya stabil atau malah membaik dalam jangka waktu 10 tahun. Sebagian besar pasien akan bertambah berat penyakitnya, pasien mengalami gagal jantung kongestif; kardiomiopati hipertrofi ini berubah
Pasien kardiomiopati hipertrofik biasanya fisisnya baik,
menjadi kardiomiopati kongestif sekali pun sudah
t724
KARDIOI.OGI
dilakukan mimektomi. Kematian mendadak sering terjadi
Pemeriksaan Penunjang
pada orang muda.
Pada pemeriksaan elektrokardiografi ditemukan low voltag e. Terlihat juga gangguan konduksi intra-ventrikular dan
KARDIOMIOPATI RESTRIKTIF Kardiomiopati restriktif merupakan kelainan yang amat jarang dan sebabnya pun tidak diketahui. Tanda khas untuk kardiomiopati ini adalah adanya gangguan pada fungsi diastolik, dinding ventrikel sangat kaku dan menghalangi pengisian ventrikel. Pada pemeriksaan patologi-anatomis ditemukan adanya fibrosis, hipertrofi atau infiltrasi pada otot-otot jantung yang menyebabkan gangguan fungsi diastolik tersebut.
gangguan konduksi atrio-ventrikular. Pada pemeriksaan ekokardiografi tampak dinding ventrikel kiri menebal serta penambahan massa di dalam ventrikel. Ruangan ventrikel normal atau mengecil dan fungsi sistolik yang masih norma1. Pada pemeriksaan radionuklir terlihat adanya infiltrasi pada otot jantung. Ventrikel kiri notmal atau mengecil, dan
fungsi sistolik yang normal. Pada sadapan jantung ditemukan complience ventrikel kiri mengurang dan peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan kanan.
Diagnosis Banding Perikarditis konstriktif adalah penyakit j antung yang secara
Etiologi Etiologi penyakit ini tidak diketahui. Kardiomiopati restriktif
sering ditemukan pada amiloidosis, hemokromatosis, deposisi glikogen, fibrosis endomiokardial, eosinofilia, fibroelastosis. dan lain-lain.
Gejala Klinis Pasien merasa lemah, sesak napas. Ditemukan tanda-tanda gagal jantung sebelah kanan. Juga ditemukan tanda-tanda
serta gejala penyakit sistemik seperti amiloidosis, hemokromatosis.
klinis dan hemodinamik sukar dibedakan
dengan
kardiomiopati restriktif. Kedua kelainan ini perlu dibedakan karena implikasi pengobatan dan prognosisnya berbeda.
Pengobatan Pengobatan pada umumnya sukar diberikan, karena panyakit ini tidak efisien untuk diobati dan lagi pula bergantung pada penyakit yang menyertainya. Obat-obat anti-aritmia diberikan bila ada gangguan irama. Umumnya
aritmia dapat menyebabkan kematian mendadak.
Pemeriksaan Fisis
Pemasangan alat pacu jantung untuk gangguan konduksi yang berat dapat diberikan. Dengan ekokardiografi transesofagus dapat dibedakan
Pada pemeriksaan fisis ditemukan adanya pembesaran jantung sedang. Terdengar bunyi jantung ke-3 atau ke-4 dan adanya regurgitasi mitral atau trikuspid.
antara kardiomiopati restriktif dan perikarditis konstriktif secara jelas dengan mengevaluasi perubahan aliran vena pulmonalis pada pernapasan.
Kardiomiopati
Restriktif
. . . .
Perikarditis
Konstriktif
Tekanan permulaan diastolik di dalam ventrikel kanan
Di atas 0
di bawah
Tekanan akhir diastolik di dalam ventrikel kiri dan kanan
berbeda
Sama
Hipertensi pulmonal
ada
tidak ada
Dinding
dinding ventrikel normal serta pergerakan septum yang paradoksal
Ekokardiografi
ventrikel kiri menebal serta massanya ber tambah
0
27t PERIKARDITIS Marulam M. Panggabean
PENDAHULUAN
penumnan volume akhir diastolik sehingga curah jantung sekuncup dan semenit berkurang. Kompensasinya adalah
Perikardium terdiri dari perikardium viseralis yang melekat ke miokardium dan bagian luar yaitu perikardium parietalis yang terdiri dari jaringan elastik dan kolagen serta villi-
takikardia, tetapi pada tahap berat atau kritis akan meyebabkan gangguan sirkulasi dengan penurunan tekanan darah serta gangguan perfusi organ dengan
villi penghasil cairan perikard dan membungkus rongga
segala akibatnya yang disebut sebagai tamponadjantung.
perikard. Rongga perikard normal berisi 15-50 ml cairan perikard yang mengandung elektrolit, protein dan cairan limfe dan berfungsi sebagai lubrikan
Bila reaksi radang ini berlanjut terus, perikard mengalami hbrosis, j aringan pirut luas, penebalan, kalsifikasi dan j uga terisi eksudat,yang akan menghambat proses diastolik ventrikel, mengurangi isi sekuncup dan semenit serta
Spektrum penyakit perikard mencakup defek kongenital,
perikarditis, neoplasma dan kista. Etiologi terdiri dari perikarditis infeksi, perkarditis pada penyakit autoimun sistemik, sindrom pasca infark miokard atau perikarditis
mengakibatkan kongesti sistemik (perikarditis konstriktifa)
Perikarditis Akut
konik
Perkarditis akut adalah perdangan primer maupun sekuder
Perikarditis adalah peradangan perikard parietalis,
perkardium parietalis/viseralis atau keduanya. Etiologi
viseralis atau keduanya. Respons perikard terhadap
bervariasi luas dari virus, bakteri, tuberkulosis,
peradangan bervariasi dari akumulasi cairan atau darah (efusi perikard), deposisi fibrin, proliferasi jaringan fibrosa, pembentukan granuloma atau kalsifikasi. Itulah sebabnya manifestasi klinis perikarditis sangat bervariasi dari yang tidak khas sampai yang khas
jamur,uremia, neoplasia, autoimun, trauma, infark jantung sampai ke idiopatik. Keluhan paling sering adalah sakit/nyeri dada yang tajam, retrosternal atau sebelah kiri. Bertambah sakit bila bernapas, batuk atau menelan. Keluhan lainnya rasa sulit bernapas karena nyeri pleuritik di atas atau karena efusi perikard.
Klasif ikasi Perikarditis Variasi klinis perikarditis sangat luas mulai dari efusi perikard tanpa tanda tamponad, tamponad jantung,
Pemeriksaan jasmani didapatkan
friction
rub
presistolik, sistolik atau diastolik. Bila efusi banyak atau
cepat terjadi,akan didapatkan tanda tamponad.
perikarditis akut, dan perikarditis konstriktif.
Elektrokardiografi menunjukkan elevasi segmen
ST.
Gelombang T umumnya ke atas, tetapi bila ada miokarditis akan ke bawah (inversi) Foto jantung normal atau membesar (bila ada efusi
PATOGENESIS
perikard). Foto paru dapat normal atau menunjukkan patologi (misalnya bila penyebabnya tumor paru, TBC,
Salah satu reaksi radang pada perikarditis akut adalah penumpukan cairan (eksudasi) di dalam rongga perikard yang disebut sebagai efusi perikard. Efek hemodinamik
dan lainJain).
efusi perikard ditentukan oleh jumlah dan kecepatan pembentukan cairan perikard. Efusi yang banyak atau timbul cepat akan menghambat pengisian ventrikel,
Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan : leukosit,
ureum, kreatinin, etzim jantung, mikrobiologis parasitologis, serologis, virologis, patologis dan
172
1726
imunologis untuk mencari penyebab peradangan dari sediaan darah, cairan perikad ataujaringan biopsi perikard.
Ekokradiografi diharapkan untuk: 1. Menunjukkan efusi perikard, perkiraan jumlah dan lokasinya.
2. 3.
Menilai kontraktilitas ventrikel kiri (akan teganggu bila adamiokarditis) Membedakan perikarditis dengan infark jantung.
PENATALAKSANAAN Semua penderita perikarditis akut harus dirawat untuk
menilai/observasi timbulnya tamponad (1 dalam l0 perikarditis akut) dan membedakannya dengan infark jantung akut. Ekokardiografi diperlukan untuk mengira banyaknya efusi perikard. OAINS (obat anti inflamasi nonsteroid) dipakai sebagai dasar pengobatan medikamentosa (mengurangi rasa sakit dan anti-infl amasi). Korlikosetroid (prednisolon oral 60mg/ hari) diperlukan bila sakitnya tidak teratasi dengan
OAINS.Pungsi perikard dilakukan untuk tindakan
I(ARDIOI.OGI
voltage) dan electrical alternans. Ekokardiografi menunjukkan efusi perikard moderat atau berat (echo free spase di ruang depan jantung di bawah sternum dan dinding belakang jantung), swinging heart detgan kompressi diastolik vena cava, atrium kanan atau ventrikel kanan. Kateterisasi menununjukkan peninggian tekanan atrium
kanan dengan gelombang X yang prominen serta gelombang Y yang berkurang atau menghilang. Tampak pula kesamaan tekanan diastolik keempat ruang jantung (atrium kanan, ventrikel kanan, atrium kiri dan ventrikel kiri). Pulsus alternans tampak pula lebih jelas. Tamponad jantung merupakan keadaan darurat dan harus diatasi dengan pungsi perikard. Etiologi harus dicari
seperti pada perikarditis lainnya dan diobati sesuai penyebabnya.
Perikarditis Konstriktif Kronik Peradangan kronik perikard menyebabkan penebalan, fibrosis, fusi viseral dan parietal perikard yang mengurangi rongga perikard. Etiologi mulai dari idiopatik, pasca perikardiotomi,
diagnostik. Bila timbul tamponad, maka pungsi perikard dilakukan sebagai tindakan terapi. Perikarditis rekurens (non-bakteriaVvirus yang dibuktikan dengan PCR) dapat diobati dengan kolkisin 1 mg-2mg/hari
tuberkulosis, radiasi, keganasan, bekas perikarditis
TAMPONAD
menunjukkan tanda gagal jantung kanan seperti tekanan
Tamponad terjadi bila jumlah efusi perikard menyebabkan
vena jugularis meninggi dengan tanda kusmaule (peninggian tekanan V. jugularis saat inspirasi),
hambatan serius aliran darah ke jantung (gangguan
pembesaran hati, asites, dan edema tungkai.
diastolik ventrikel). Penyebab tersering adalah neoplasma, idiopatik dan uremia. Perdarahan intraperikard juga dapat
Foto toraks menunjukkan perkapuran pada setengah pasien (terutama pada etiologi TBC). Elektrokrdiografi
terjadi akibat dari kateterisasi j antung intervensi koroner, pemasangan pacu jantung,tuberkulosis, dan penggunaan antikoagulan.
menunjukkan voltase rendah (low voltage) atal gelombang T yang datar (generalized T wave flatteing).
purulen,lain lain seperti uremia, reumatoid artritis, lupus eritematosus sistemik, dan obat. Penderita tampak seperti mengalami gagal jantung kronik. Keluhan disebabkan oleh penurunan curahjantung seperti lelah, takikardia dan bengkak. Pemeriksaan jasmani
Keadaan umum penderita tampak buruk/berat. Tekanan
darah turun, peninggian tekanan vena jugularis -; tanda kusmaule (penurunan tekanan V jugularis pada saat inspirasi), takikardia, nadi lemah dengan tekanan nadi kecil, bunyi jantung yang lemah, serta napas yang cepat.
Pelebaran area pekak prekordial, pulsus paradoksus (penurunan tekanan sistolik >1Omg pada inspirasi). Pulsus paradoksus terjadi karena pembesaran ventrikel kanan akibat inspirasi, menekan septum dan rongga ventrikel kiri, hingga mengurangi volume ventrikel kiri dan menurunkan curah jantung sekuncup. Foto toraks menunjukkan paru yang relatif bersih kecuali bila penyebabnya tumor paru/radang paru, bayangan jantung yang besar bentuk kendi (bila cairan >250m1) dengan pulsasi yang sangat minimal pada flouroskopi. EKG menuniukkan pengurangan voltase QRS (lou,
Ekokardiografi menunjukkan penebalan perikard, ada tidaknya cairan perikard dan gerak septum interventrikel yang abnormal.
Ekokardiografi Doppler menunjukkan variasi aliran darah yang besar saat diastolik melalui katup mitral dengan gambaran konstriktif. Bila tersedia CT scanl}4Rl akan tampakpenebalan dan
kalsifikasi perikardium. Bila dilakukan kateterisasi jantung maka akan ditemukan kesamaan tekanan akhir diastolik dari keempat ruang jantung dengan gelombang Y yang dominan Penatalaksaan dapat dimulai dengan diuretik untuk
mengurangi gejala sesak dan retensi cairan. Reseksi perikard (perikardiektomi) merupakan terapi kausal dan umumnya akan memperbaiki keluhan dan memperbaiki prognosis. Bila penyebabnya radiasi atau miokard yang telah mengalami fibrosis atau atrofi, maka prognosisnya sangat buruk.
PERII(ARDITIS
REFERENSI Grub NR and Newby DE. Pericardial Disease,Churchil's Pocketbook
of Cardiology, London: Chuchil Livingstone; 20O0.p. 172-77 Guidelines on Diagnosis and Management of Pericardial Diseases. Executive Summary. The Task Force of the European Society of Cardiology Eur Heart J 2004;25:585-610 Artom G,Koren-Morag N, Spodik DH et al,Pretreatment with corticosteroids attenuates the efficacy of colchicines in preventing recurrent pericarditis:a multi-centre all-case analysis. Eur Heart J,2O05 ;26:7 23-27 Braunwald E, Pericardial disease.In Kasper DL, Braunwald E, Fauchi AS et.al (editor), Harrison's Principles of Internal Medicine 16 ed,.2003.p.1474-20
1727
272 ANGINA PEKTORIS TAK STABIL HanafiB. Trisnohadi
Di Amerika Serikat setiap tahun I juta pasien dirawat di rumah sakit karena angina pektoris tak stabil; di mana 6 sampai 8 persen kemudian mendapat serangan infark jantung yang tak fatal atau meninggal dalam satu tahun setelah diagnosis ditegakkan. Yang dimasukkan ke dalam angina tak stabil yaitu: 1. pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, di mana angina cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per hari. 2. pasien dengan angina yang makin bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu serangan angina timbul lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya,
sedangkan faktor presipitasi makin ringan. 3. pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat.
Pada tahun 1989 Braunwald menganjurkan dibuat
klasifikasi supaya ada keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik. Beratnya angina:
.
. ' .
Kelas I. Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya nyeri dada. Kelas II. Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam I bulan, tapi tak ada serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir. Kelas III. Adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara akut baik sekali atau lebih, dalam waktu
48jamteraktir. Keadaan klinis:
.
. .
Kelas A. Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain atau febris. Kelas B. Angina tak stabil yang primer, tak ada faktor ekstrakardiak. Kelas C. Angina yang timbul setelah serangan infark jantung.
Intensitas pengobatan: . Tak ada pengobatan atau hanya mendapat pengobatan minimal
. .
Timbul keluhan walaupun telah dapat terapi yang standar. Masih timbul serangan angina walaupun telah diberikan pengobatan yang maksimum, dengan penyekat beta, nitrat dan antagonis kalsium.
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan America Heart Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI=non ST elevation myocardial infarction) ialah apakah iskemia yang timbul cukup berat sehingga dapat menimbukan kerusakan pada miokardium, sehhgga adanya petanda kerusakan miokardium dapat diperiks a' Diagnosi s angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemia sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk iskemia, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi yang sebentar atau adanya gelombang T yang negatif. Karena kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12 jam, maka pada tahap awal serangan, angina tak stabil seringkali tak bisa dibedakan dari NSTEMI.
PATOGENESIS
Ruptur Plak Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya
mempunyai penyempitan yang minimal. Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami ruptur sebelumnya mempunyai penyempitan 5O7o at-at kurang, dan pada 97Vo pasiert dengan angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang
dari
7OVo.
Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang
mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan frbrotik (fibrotic cap).PTakyang tidak stabil terdiri dari inti yang
1728
1729
ANGINA PEKTORIS TAK STABIL
banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim pro-
tease yang dihasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding plak (fibrous cap). Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 700Vo akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan
bila trombus tidak menyumbat l007o, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.
Trombosis dan Agregasi Trombosit Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak
tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor janngan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin. Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi
agregasi platelet dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi dan pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang intermiten, pada angina tak stabil.
menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia.
GAMBARAN KLINIS ANGINA TAK STABIL Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah, kadangkadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Elektrokardiograf i (E KG) Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukkan kemungkinan adanya iskemia akut. Gelombang T negatif juga salah satu tanda iskemia atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST dan T yang nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0.5 mm dan gelombang T negatif kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk iskemia, dan dapat disebabkan karena hal lain. Pada angina tak stabil 4Vo rnernp\n\ai EKG normal, dan pada NSTEMI 1 -67o EKG juga normal.
Uji Latih Pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan menunjukkan tanda risiko tinggi perlu pemeiksaan exercise test dengan alat treadmill. Bila hasilnya negatif maka
prognosis baik. Sedangkan bila hasilnya positif, lebihlebih bila didapatkan depresi segmen ST yang dalam, dianjurkan
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi
untuk dilakukan pemeriksaan angiografi koroner, untuk menilai keadaan pembuluh koronernya apakah perlu tindakan revaskularisasi (PCI atau CABG) karena risiko terjadinya komplikasi kardiovaskular dalam waktu
endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh
mendatang cukup besar.
Vasospasme
platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada angina Printzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme seringkali terjadi pada
plak yang tak stabil, dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus.
Erosi pada Plak tanpa Ruptur Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dan lesi karena berlambahnya sel otot polos dapat
Ekokardiograf
i
Pemeriksaan ekokardiografi tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak stabil secara langsung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya
insufisiensi mitral dan abnormalitas gerakan dinding regional jantung, menandakan prognosis kurang baik. Ekokardiografi stres juga dapat membantu menegakkan adanya iskemia miokardium.
Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB
1730
I(ARDIOI.OGI
telah diterima sebagai petanda paling penting dalam
beta dapat menurunkan risiko infark sebesar l37o . (P<0,04)
diagnosis SKA. Men:urrtt European Society of
Semua pasien dengan angina tak stabil harus diberi penyekat beta kecuali ada kontraindikasi. Berbagai macam beta-bloker seperti propranolol, metoprolol, atenolol, telah
Cardiology (ESC) danACC dianggap ada mionekrosis bila I positif dalam 24 jam. Troponin tetap
troponin T atau
positif sampai 2 minggu. Risiko kematian berlambah dengan ti ngkat kenai kan troponin. CK-MB kurang spesifik untuk diagnosis karena juga
diketemukan
di otot skeletal, tapi berguna untuk
diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam 48 jam. Kenaikan CRP dalam SKA berhubungan dengan mortalitas jangka panjang. Marker yang lain seperli amioid
A, interleukin-6 belum secara rutin dipakai dalam diagnosis SKA.
PENATALAKSANAAN
Tindakan Umum Pasien perlu perawatan di rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner, pasien perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen; Pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin.
Terapi Medikamentosa OBAT ANTI ISKEMIA
Nitrat Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer, dengan efek mengurangipreload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall s/ress dan
kebutuhan oksigen (oxygen demand). Nitrat juga menambah oksigen suplai dengan vasodilatasi pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral. Dalam
.
diteliti pada pasien dengan angina tak stabil,
yang menunjukkan efektivitas yang serupa. Kontra indikasi pemberian penyekat beta antara lain
pasien dengan asma bronkial, pasien dengan bradiaritmia.
Antagonis Kalsium Antagonis kalsium dibagi dalam 2 golongan besar: golongan dihidropiridin seperti nifedipin dan golongan nondihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil. Kedua golongan dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan tekanan darah. Golongan dihidropiridin mempunyai efek vasodilatasi
lebih kuat dan penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit, dan efek inotropik negatif juga lebih kecil.
Meta analisis studi pada pasien dengan angina tak stabil yang mendapat antagonis kalsium, menunjukkan
tak ada pengurangan angka kematian dan infark. Pada pasien yang sebelumnya tidak mendapat antagonis pemberian nifedipin menaikkan infark dan angina yang rekuren sebesar 16%o, sedatgkan kombinasi nifedipin dan metoprolol dapat mengurangi kematian dan infark sebesar 207o, tapi kedua studi secara statistik tak bermakna. Kenaikan mortalitas mungkin karena pemberian nifedipin
menyebabkan takikardia dan kenaikan kebutuhan oksigen. Verapamil dan diltiazem dapat memperbuki survival dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyutjantung yang
berkurang, pengurangan afterload memberikan keuntungan pada golon gan nondihidropiridin.pada pasien SKA dengan faal jantung normal. Pemakaian antagonis kalsium biasanya pada pasien yang ada kontraindikasi
keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat
dengan antagonis atau telah diberi penyekat beta tapi
diberikan secara sublingual atau melalui infus intravena; yang ada di Indonesia terutama isosorbid dinitrat, yang dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1-4 mg per jam. Karena adanya toleransi terhadap nitrat, dosis dapat dinaikkan dari waktu ke waktu. Bila keluhan sudah
keluhan angina masih refrakter.
terkendali infus dapat diganti isosorbid dinitrat
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam
per oral.
pengobatan angina tak stabil maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga golongan obat anti platelet seperti aspi-
Penyekat Beta Penyekat beta dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek penurunan denyut jantung dan
OBAT ANTIAGREGASI TROMBOSIT
rin, tienopiridin dan inhibitor GP IIb/IIIa telah terbukti bernanfaat.
daya kontraksi miokardium. Data-data menunjukkan
Aspirin
penyekat beta dapat memperbaiki morbiditas dan mortalitas
Banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat
pasien dengan infark miokard, Meta analisis dari 4700 pasien dengan angina tak stabil menunjukkan penyekat
mengurangi kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun non fatal dari 5IVo sampai 72Vo pada pasien
173l
ANGINA PEKTORIS TAK STABIL
dengan angina tak stabil. Oleh karena itu aspirin dianjurkan untuk diberikan seumur hidup dengan dosis awal 160 mg per hari dan dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg per hari.
Tiklopidin Tiklopidin suatu derivat tienopiridin merupakan obat lini kedua dalam pengobatan angina tak stabil bila pasien tidak tahan aspirin. Studi dengan tiklopidin dibandingkan plasebo pada angina tak stabil ternyata menunjukkan bahwa kematian dan infark non fatal berkurang 46,3Vo. Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek samping granulositopenia, di mana insidennya 2,4Vo. Dengan adanya klopidogrel yang lebih aman pemakaian tiklopidin mulai ditinggalkan.
Klopidogrel Klopidogrel juga merupakan derivat tienopiridin, yang dapat menghambat agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari tiklopidin dan belum ada laporan adanya neutropenia. Klopidogreljuga terbukti dapat mengurangi strok, infark dan kematian kardiovaskular. Klopidogrel dianjurkan untuk diberikan pada pasien yang tak tahan aspirin. Tapi dalam pedoman ACC/AHA klopidogrel juga diaryurkan untuk diberikan bersama aspirin paling sedikit 1 bulan sampai 9 bulan. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg per hari dan selanjutnya 75 mg per hari.
lnhibitor Glikoprotein llb/llla Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir pada proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi. Pada saat in ada 3 macam obat golongan ini yang
angina tak stabil dan NSTEMI yang direncanakan untuk tindakan invasif dini di mana PCI direncanakan dalam 12 Jam.
OBAT ANTITROMBIN
U
nf racti o nated Hepari n
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagai rantai polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat dengan heparin, akan bekerja menghambat trombin dan faktor Xa. Heparin juga juga mengikat protein plasma yang lain, sel darah dan sel
endotel, yang akan mempengaruhi bioavailibilitas. Kelemahan lain heparin adalah efek terhadap trombus yang kaya trombosit dan heparin dapat dirusak oleh platelet faktor 4.
Metaanalisis dari 6 penelitian menunjukkan bahwa pemberian heparin bersama aspirin dapat mengurangi
risiko sebesar 33Vo dlbandingkan dengan aspirin saJ a.
Karena adanya ikatan protein yang lain dan perubahan bioavailabilitas yang berubah-ubah maka pada pemberian selalu perlu pemeriksaan laboratorium untuk memastikan dosis pemberian cukup efektif . Activated partial thromboplastin time(APTT) harus 1.5-2.5 kali kontrol dan dilakukan pemantauan tiap 6 jam.setelah pemberian. Pemeriksaan trombosit juga perlu untuk mendeteksi adanya kemungkinan heparin induced throm-
bocytopenia (HIT).
Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
tindakan PCI terutama pada kasus-kasus angina tak stabil.
Low molecular Weight Heparin (LMWH) dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai polisakarida heparin. Kebanyakan mengandung sakarida kurang dari 18 dan hanya bekerja pada faktor Xa, sedangkan heparin menghambat faktorXa dan ffombin. Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH mempunyai ikatan terhadap protein plasma kurang, bioavailabilitas lebih
Suatu metaanalisis dari 12,296 pasien didapatkan
besar dan tidak mudah dinetralisir oleh faktor 4, lebih besar
pengurangan mortalitas dan infark miokard secara relatif sebesar 34Vo selama24 jam terapi medikamentosa tanpa revaskularisasi. (2.5Vo vs 3,57o; p = 0,001). Keuntungan lebih nyata pada pasien risiko tinggi, dan lebih tampak
pelepasan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dan kejadian trombositopenia lebih sedikrt. Low molecular weight heparin (LMWH) yang ada di Indonesia ialah dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux. Dalteparin sama efektifnya dengan heparin sedang
telah disetujui untuk pemakaian dalam klinik yaitu: absiksimab, suatu antibodi monoklonal ; eptifibatid, suatu
siklik heptapeptid; dan tirofiban, suatu nonpeptid mimetik. Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak stabil maupun untuk obat tambahan dalam
pada pasien dengan PCI karena strategi invasif dini. Penelitian pada pasien SKA tanpa elevasi segmen ST dan mendapat tindakan PCI, kematian dan infark miokard
dalam 30 hari berkurang dari 3O-70Vo. Tirofiban dan eptifibatid harus diberikan bersama aspirin dan heparin pada pasien dengan iskemia terus menerus atau pasien
risiko tinggi dan pasien yang direncanakan untuk tindakan PCI. Abciximab disetujui untuk pasien dengan
penelitian dengan enoksaparin menunjukkan berkurangnya mortalitas atau infark sebesar 20Vo pada pasien yang mendapat enoksaparin dibandingkan heparin. Keuntungan pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat disuntikkan secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium.
t732 DIRECT TH ROM BIN IN HI BITORS
KARDIOLOGI
Pasien yang termasuk risiko rendah antara lain pasien
yang tidak mempunyai angina sebelumnya, dan sudah
Direct trombin inhibitor secara teoritis mempunyai kelebihan karena bekerja langsung mencegah
tidak ada serangan angina, sebelumnya tidak memakai obat anti angina dan ECG normal atau tak ada perubahan dari
pembentukan bekuan darah, tanpa dihambat oleh plasma
sebelumnya; enzim jantung tidak meningkat termasuk troponin dan biasanya usia masih rnuda. Risiko sedang bila ada angina yang baru dan makin berat, didapatkan angina pada waktu istirahat, tak ada perubahan segmen ST, dan enzim jantung tidak meningkat. Risiko tinggi bila
protein maupun platelet faktor 4. Activated partial thromboplastin time dapat dipakai untuk memonitor aktivitas antikoagulasi, tetapi biasanya tidak perlu. Hirudin dapat menurunkan angka kematian dan infark miokard, tetapi komplikasi perdarahan bertambah. Bivalirudin juga menunjukkan efektivitas yang sama dengan efek samping perdarahan kurang dari heparin. Bivalirudin telah disetujui untuk menggantikan heparin pada pasien angina tak stabil yang menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat menggantikan heparin bila ada efek samping trombositopenia akibat heparin (HIT).
TINDAKAN REVASKULARISASI PEMBULUH KORONER
pasien mempunyai angina waktu istirahat. angina berlangsung lama atau angina pasca infark; sebelumnya
sudah mendapat terapi yang intensif, usia lanjut, didapatkan perubahan segmen ST yang baru, didapatkan kenaikan troponin, dan ada keadaan hemodinamik tidak stabil. Bilamanifestasi iskemia datang kembali secara spontan
atau pada waktu pemeriksaan, maka pasien sebaiknya dilakukan angiografi. Bila pasien tetap stabil dan termasuk risiko rendah maka terapi medikamentosa sudah cukup. Hanya pasien dengan risiko tinggi yang membutuhkan tindakan invasif segera, dengan kemungkinan tindakan
Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada
revaskularisasi.
pasien dengan iskemia berat, dan refrakter dengan terapi medikamentosa. Pada pasien dengan penyempitan di left main atat
REFERENSI
penyempitan pada 3 pembuluh darah, bila disertai faal ventrikel kiri yang kurang tindakan operasi bypass (CABG) dapat memperbaiki harapan hidup, kualitas hidup dan mengurangi masuknya kembali ke rumah sakit. Pada tindakan bedah darurat mortalitas dan morbiditas lebih buruk dari pada bedah elektif. Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan penyempitan pada satu pembuluh darah atau 2 pembuluh darah atau bila ada kontra-indikasi tindakan pembedahan PCI merupakan pilihan utama. Pada angina tak stabil apa perlu tindakan invasif dini atau konservatif tergantung dari stratifikasi risiko pasien; pada risiko tinggi, seperti angina terus-menerus, adanya depresi segmen ST, kadar troponin yang meningkat, faal ventrikel kiri yang buruk, adanya gangguan irama jantung yang maligna seperti takikardia ventrikel, perlu tindakan invasif dini.2,55.s6,57
STRATIFIKASI RISIKO
Graves E. National Hospital Discharge Survey. Annual survey 1996 Series 13, no. 4. Washington, D.C.: National Center for Health S
tati stics. 1 99 8
Braunwald E. Unstable angina. A classitlcation. Circulation 1989;
80:410
Little WC, Constantinescu M, Applegate RJ, et al. Can coronary angiographypredict the site of a subsequent myocardial infarction in pattents with mild-to-moderate coronary artery disease? Circulation 1988;78:l 157-66, Fishbein MC, Siegel RJ. How big are coronary atherosclerotic plaques that rupture? Circulation 1996;94:2662-6. Ambrose JA, Winters SL, Arora RR, et al. Angiographic evolution of coronary artery morphology in unstable angina J Am Coll Car diol 7986ti 4'7 2 -8. Ambrose JA, Tannenbaum MA, Alexopoulos D, et al Anglographic progression of coronary artery disease and the development of myocardial infarction. J Am Coll Cardiol 1988;12:56-62 Richardson PD, Davies MJ, Bom GVR. Influence of plaque configuration and stress distribution on fissuring of coronary atherosclerotic plaques. Lancet 1989;2:941-4. Fuster Y Lewis A Conner Memorial Lecture: mechanisms leading to myocardial infarction: insights from studies of vascular biol:
ogy. Circulation 1994;90:2126-46 lErratum, Circulation
Delapan puluh persen pasien dengan angina tak stabil dapat distabilkan dalam 48 jam setelah diberi terapi medikamentosa secara agresif. Pasien-pasien ini kemudian membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut dengan treadmill test atal;. ekokardiografi untuk menentukan apakah pasien
1995:91:256
V Acute coronary syndromes: unstable angina and non-Q-wave myocardial infarction Circulation
Th6roux P, Fuster
cukup dengan terapi medikamentosa atau pasien
7998:9'7 :1195-206. Cheng GC, Loree HM, Kamm RD, Fishbein MC, Lee RT, Distribution of circumferential stress in ruptured and stable atherosclerotic lesions:a structural analysis with histopathological corre-
membutuhkan pemeriksaan angiografi dan selanjutnya tindakan revaskularisasi.
Ferndndez-Ortiz A, Badim6n JJ, Falk E, et al. Characterization of
lation. Circulation
1993:,87 :11'7 9-81
.
t733
AIIGINA PEI(TORIS TAK STABIL
the relative thrombogenicity of atherosclerotic plaque components: implicationsfor consequences of plaque rupture. J Am Coll Cardiol 1994:23:1562-9. Moreno PR, Bernardi VH, Lopez-Cudllar J, et al. Macrophages,smooth muscle cells, and tissue factor in unstable angina: implications for cell-mediated thrombogenicity in acute coronary syndromes. Circulation 1996;94:3090-7. Wilcox JN, Smith KM, Schwartz SM, Gordon D. Localization of tissue factor in the normal vessel wall and in the atherosclerotic plaque. ProcNatl Sci U S A 1989;86:2839-43. Patrono C. Renda G Platelet activation and inhibition in unstable coronary syndromes. Am J Cardiol 1997;80:17E-208. Cermak J, Key NS, Bach RR, Balla J, Jacob HS, Vercellotti GM. Creactive protein induces human peripheral blood monocytes to syntbesize tissue factor. Blood 1993;82:513-20. Ridker PM, Glynn RJ, Hennekens CH. C-reactive protein adds to the predictive value of total and HDL cholesterol in determining risk of first myocardial infarction. Circulation 19981'9'7:2007-
tl Ridker PM, Cushman M, Stampfer MJ, Tracy RP, Hennekens CH.Plasma concentration of C-reactive protein and risk of developing peripheral Cannon CP, McCabe CH, Stone PH, et al. Circadian variation in the onset of unstable angina and non-Q-wave acute myocardial in-
farction (theTIMI Registry and TIMI IIIB). Am J Cardiol 1997;79 253-B Alpert JS. Coronary vasomotion, coronary thrombosis, myocardial infarction and the camel's back. J Am Coll Cardiol 1985:5:6178.
Meredith IT, Yeung AC, Weidinger FF, et al. Role of impaired vasodilation in ischemic manifestations ofcoronary artery disease. Circulation 1993;87:Suppl V:V-56-
endothelium-dependent
v-66. Wieczorek I, Haynes WG Webb DJ, Ludlam CA, Fox KAA. Raised plasma endothelin in unstable angina and non-Q wave myocardial infarction: relation to cardiovascular outcome. Br Heart J
1994:72:436-41. ! Suzuki N, Shimamoto N, Fujino M, Imada A. Contribution of endogenous endothelin to the extension of myocardial infarct size in rats Circ Res 1991169:370-7 Ross R. The pathogenesis of atherosclerosis - an update N Engl J Watanabe
Med 1986:314:488-500. Nobuyoshi M, Tanaka M, Nosaka H, et al. Progression of coronary atherosclerosis: is coronary spasm related to progression? J Am
Coll Cardiol 1991;l 8:904-10 A, Burke AP, Tang AL, et al. Coronary plaque erosion withoutrupture into a lipid core: a frequent cause of coronary thrombosis in sudden coronary death. Circulation 1996;,93:1354-
Farb
63. Flugelman MY, Virmani R, Correa R, et al Smooth muscle cell abundance and fibroblast growth factors in coronary lesions of patients with nonfatal unstable angina: a clue to the mechanism of transformation from the stable to the unstable clinical state.
Circulation 1 993 ;88:2493-500. Cannon CP, McCabe CH, Stone PH, et al. The electrocardiogram predicts one-year outcome of patients with unstable angina and non-Q wave myocardial infarction: results of the TIMI III Registry ECG Ancillary Study. J Am Coll Cardiol 1997;30:13340. Savonitto S, Ardissino D, Granger CB, et al. Prognostic value of the admission electrocardiogram in acute coronary syndromes.
JAMA 1999:28r:701-lf.
Pettijohn TL, Doyle T, Spiekerman AM, Watson LE, Riggs MW,Lawrence ME. Usefulness of positive troponin-T and negative creatine kinase levels in identifying high-risk patients with unstable angina pectoris Am J Cardiol 1997;80:510-1. Lindahl B, Venge P, Wallentin L. Relation between troponin T and the risk of subsequent cardiac events in unstable coronary artery disease.Circulation 1996;93:165 l-1 Antman EM, Sacks DB, Rifai N, McCabe CH, Cannon CP, Braunwald E. Time to positivity of a rapid bedside assay for cardiac-specific troponin T predicts prognosis in acute coronary syndromes: a Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMf) I I A substudy. J
Am Coli Cardiol 1998131:326-30.
Karlberg KE, Saldeen I Wallin R, et al. Intravenous nitroglycerin reduces ischaemia in unstable angina pectoris: a double-blind placebo-controlled study. J Intern l;{ed 19981, 243:25. Curfman, GD, Heinsimes, JA, Lozner, EC, Fung, HL. Intravenous nitroglycerin in the treatment of spontaneous angina pectoris: A prospective randomized trial. Circulation '1983l. 67:276. Horowitz, JD Role of nitrates in unstable angina pectoris. Am J Cardiol 1992: 70:648. Yusuf S, Wittes J, Friedman L. Overview of results of randomized clinical trials in heart disease. II. Unstable angina, heart failure, primary prevention with aspirin, and risk factor modification. JAMA 1988:260:2259-63. Ferrari R. Prognosis of patients with unstable angina or acute myocardial inlarction treated with calcium channel antagonists. Am J Cardiol 1996:17 :22D-25D. Held PH, Yusuf S, Furberg CD. Calcium channel blockers in acute myocardial infarction and unstable angina: an overview BMJ 1989:299: 1 181 -92 Thdroux P, Taeymans Y, Morissette D, Bosch X, Pelletier GB, Waters DD. A randomized study comparing propranolol and diltiazem in the treatment of unstable angina. J Am Coll Cardiol 1985:,5:1 )1 -22 Lewis HD Jr, Davis JW Archibald DG et al. Protective effects of aspirin against acute myocardial infarction and death in men with unstableangina: results of a Veterans Administration cooperative study. N Engl JMed 1983;309:396-403. Cairns JA, Gent M, Singer J, et al. Aspirin, sulfinpyrazone, or both in unstable angina: results of a Canadian multicenter trial. N
Engl J Med 1985;313:1369-75. Antiplatelet Trialists' Collaboration. Collaborative overview of
I. Prevention of death, myocardial infarction,and stroke by prolonged antiplatelet therapy in various categories of patients. BMJ 1994;308:81106. [Erratum, BMJ 1994;308: 1540.] Balsano F, Rizzon B Violi F, et al. Antiplatelet treatment with randomised trials ofiantiplatelet therapy.
ticlopidine in unstable angina: a controlled multicenter clinical
trial. Circulation 1990',82:17 -26. CAPRIE Steering Committee. A randomised, blinded, trial of clopidogrel versus aspirin in patients at risk of ischaemic events (CAPRIE). Lancet 1996;348:1329 -39. The CAPTURE Investigators. Randomised placebo-controlled trial
of
abciximab before and during coronary intervention in
refractory unstable angina. The CAPTURE study. Lancet 1997; 349: 1429-35 Platelet Receptor Inhibition in Ischemic Syndromes Management in Pateints Limited by Unstable Signs and Symptoms (PRISM-
PLUS ) Study Investigators. Inhibition of the platelet glycoprotein IIb/IIIa receptor with tirofiban in unstable angina and non Q wave myocardial infarction. N Engl J Med 1998;
338:1488-97.
t734
IGRDIOI.OGI
The PURSUIT Trial Investigators. Inhibition of platelet glycoprotein IIb/IIIa with eptifibatide in patients with acute coronary syndromes. N Engl J Med 1998; 339:436-43 Boersma E, Akkerhuis KM, Theroux P, et al. Platelet glycoprotein Iib/IIIa receptor inhibition in non ST elevation acute coronary syndromes: early benefit during medical therapy only, with additional protection during percutaneous coronary intervention. Circulation 1999 ; 100:2045-2048 The PARAGON Investigators. An international, randomized,
controlled trial of lamifiban (a platelet glycoprotein IIb/IIIa inhibitor), heparin, or both in unstable angina. Circulation 199897:2386-95. Oler A, Whooley MA, Oler J, Grady D. Adding heparin to aspirin reduces the incidence of myocardial infarction and death in
patients with unstable angina: 1996l'27
a meta-rnalysis. JAMA
6:811-5.
Klein LW, Wahid F, VandenBerg BJ, Parrillo JE, Calvin JE. Comparison of heparin therapy for < or = 48 hours to > 48 hours in unstable angina pectoris. Am J Cardiol 19911.79:259-63. Warkentin TE, Levine MN, Hirsh J, et al. Heparin-induced thrombocytopenia in patients treated with 1ow-molecular-weight heparin or unfractionated heparin. N Engl J Med 1995.332:13305.
Cohen
M, Demers C, Gurfinkel Eq et al. A comparison of low
molecular-weight heparin w.ith unfractionated heparin for unstable coronary artery disease. N Engl J Med 19971'331:447-52. Antman EM, McCabe CH, Gurflnkel EP, et al. Enoxaparin prevents death and cardiac ischemic events in unstable angina/non-Qwave myocardial infarction: results of the Thrombolysis in
Myocardial Infarction (TIMI)
IIB
trial.
Circulation
19991100:1593-601. Organisation to Assess Strategies for Ischemic Syndromes (OASIS2) Investigators. Effects of recombinant hirudin (lepirudin) compared with heparin on death, myocardial infarction, refractory angina, and revascularisation procedures in patients with acute myocardial ischaemia without ST elevation: a randomised trial.
Lancet I 999:353:429-38. Luchi RJ, Scoft SM, Deupree RH, Principal Investigators and Their Associates of Veterans Administration Cooperative Study No. 28. Comparison of medical and surgical treatment for unstable angina pectoris: results of a Veterans Administration cooperative study. N Engl J Med 1987;316:977-84 Braunwald E, Mark DB, Jones RH, et al Unstable angina: diagnosis and management. Clinical practice guideline. No. 10. Rockville, Md.: Department of Health and Human Services, 1994. (AHCPR publication no.94-0602 ) Braunwald E, Antman EM, Heasky JW, et a1. ACC/AHA Guideline Update for the Management of Patients with Unstable Angina and Non ST segment Elevation Myocardial Infarction 2002,
Summary Article: A report of the American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on Practice Guidelines ( Committee on the Management of Patients With Unstable Angina) Circuiation 2002:106:1893900 the stable to the unstable clinical state. Circulation 1
993:8 8 :2493
-5 00.
273 ANGINA PEKTORIS STABIL A. Muin Rahman
Gradasi beratnya nyeri dada telah dibuat oleh "Canadian Cardiovascular Society" sebagi berikut: . Klas I. Aktivitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun. naik tangga 7-2 lantai dan lain-lain tak menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada baru timbul pada latihan yang berat, berjalan cepat serta terburu-buru waktu kerja atau bepergian. . Klas IL Aktivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya
Angina pektoris (AP) adalah rasa nyeri yang timbul karena iskemia miokardium. Biasanya mempunyai karakteristik tertentu: . Lokasinya biasanya di dada, substernal atau sedikit di kirinya, dengan penjalaran ke leher, rahang, bahu kiri sampai dengan lengan dan jari-jari bagian ulnar, punggung/pundak kiri. . Kualitas nyeri biasanya merupakan nyeri yang tumpul seperti rasa tertindih/berat di dada, rasa desakan yang kuat dari dalam atau dari bawah diafragma. seperti
AP timbul bila melakukan aktivitas lebih berat dari
diremas-remas atau dada mau pecah dan biasanya pada keadaan yang berat disertai keringat dingin dan sesak napas serta perasaan takut mati. Biasanya bukanlah
.
nyeri yang tajam, seperti rasa ditusuk-tusuk/diiris
bila berjalan 1-2 blok, naik tangga 1 lantai
sembilu, dan bukan pula mules. Tidak jarang pasien mengatakan bahwa ia hanya merasa tidak enak di
kecepatan yang biasa. Klas IV APbisa timbul waktu istirahat sekalipun. Hampir semua aktivitas dapat menimbulkan angina, termasuk mandi, menyapu dan lain-lain.
.
dadanya.
Nyeri berhubungan dengan aktivitas, hilang dengan
istirahat; tapi tak berhubungan dengan gerakan
.
biasanya, seperti jalan kaki 2 blok, naik tangga lebih dari 1 lantai atau terburu-buru, berjalan menanjak atar-i melawan angin dan lain-lain. Klas III. Aktivitas sehari-hari nyata terbatas. AP timbul dengan
Nyeri dada ada yang mempunyai ciri-ciri iskemik miokardium yang lengkap, sehingga tak meragukan lagi untuk diagnosis, disebut sebagai nyeri dada (angina) tipikal; sedangkan nyeri yang meragukan tidak mempunyai ciri yang lengkap dan perlu dilakukan pendekatan yang hati-hati, disebut angina atipik. Nyeri dada lainnya yang suflah jelas berasal dari luar jantung disebut nyeri non
pernapasan atau gerakan dada ke kiri dan kekanan. Nyeri juga dapat dipresipitasi oleh stres fisik ataupun emosional. Kuantitas: Nyeri yang pertama sekali timbul biasanya agak nyata, dari beberape menit sampai kurang dari20 menit. Bila lebih dari 20 menit dan berat maka harus dipertimbangkan sebagai angina tak stabil (unstable angina pectorls = UAP) sehingga dimasukkan ke dalam
kardiak.
Untuk membantu menentukan nyeri tipikal atau bukan maka baiknya anamnesis dilengkapi dengan mencoba menemukan adanya faktor risiko baik pada pasien atau keluarganya seperti kebiasaan makan/kolesterol, DM, hipertensi, rokok, penyakit vaskular lain seperti strok dan penyakit vaskular perifer, obesitas, kurangnya latihan dan
sindrom koroner akut="acute coronatl syndrome" = ACS, yang memerlukan perawatan khusus. Nyeri dapat dihilangkan dengan nitrogliserin sublingual dalam hitungan detik sampai beberapa menit. Nyeri tidak terusmenerus, tapi hilang timbul dengan intensitas yang makin bertambah atau makin berkurang sampai terkontrol. Nyeri yang berlangsung terus-menerus sepanjang hari, bahkan sampai berhari-hari biasanya bukanlah nyeri angina pektoris.
lain-1ain. Pada AP stabil, nyeri dada yang tadinya agak berat,
sekalipun tidak termasuk UAP, berangsur-angsur turun kuantitas dan intensitasnya dengan atau tanpa
t73
1736
T(ARDIOII)GI
pengobatan, kemudian menetap (misalnya beberapa hari sekali, atau baru timbul pada beban/stres yang tertentu atau lebih berat dari sehari-harinya).
Pada sebagian pasien lagi nyeri dadanya bahkan berkurang terus sampai akhirnya menghilang, yaitu menjadi asimtomatik, walaupun sebetulnya adanya iskemia
tetap dapat terlihat misalnya pada EKG istirahatnya,
keadaan yang disebut sebagai "silent iskhemia" sedangkan pasien-pasien lainnya lagi yang telah menjadi asimtomatik, EKG istirahatnya normal pula, dan iskemia baru terlihat pada stres tes.
hanya positif pada 507o pasien. Kelainan EKG 12 leads yang khas adalah perubahan ST-T yang sesuai dengan iskemia miokardium. Akan tetapi perubahan-perubahan lain ke arah faktor risiko seperti LVH dan adanya Q abnormal amat berarti untuk diagnostik. Gambaran EKG lainnya tidak khas seperti aritmia, BBB, bi atau trifasikular blok, dan sebaginya. EKG istirahat waktu sedang nyeri dada dapat menambah kemungkinan ditemukannya kelainan yang sesuai dengan iskemia sampai 507o lagi, walaupun EKG
istirahat masih normal. Depresi ST-T I mm atau lebih merupakan pertanda iskemia yang spesifik, sedangkan perubahan-perubahan lainnya seperti takikardia, BBB, blok
fasikular dan lain-lain, apalagi yang kembali normal pada waktu nyeri hilang sesuai pula untuk iskemia.
PEMERIKSAAN FISIS Tak ada hal-hal yang khusus/spesifik pada pemeriksaan fisik. Sering pemeriksaan fisis normal pada kebanyakan pasien. Mungkin pemeriksaan fisis yang dilakukan waktu nyeri dada dapat menemukan adanya aritmia, gallop bahkan murmur, split 52 paradoksal, ronki basah dibagian basal paru, yang menghilang lagi pada waktu nyeri sudah berhenti. Penemuan adanya tanda-tanda aterosklerosis
umumnya seperti sklerosis
A. Carotis,
aneurisma abdominal, nadi dorsum paedis/tibialis posterior tidak teraba, penyakit valvular karena sklerosis, adanya hipertensi, LVH, xantoma, kelainan fundus mata dan lain-
Foto Toraks Pemeriksaan ini dapat melihat misalnya adanya kalsifikasi koroner ataupun katup jantung, tanda-tanda lain, misalnya
pasien menderita juga gagal jantung, penyakit jantung katup, perikarditis, dan anurisma dissekan, serta pasienpasien yang cenderung nyeri dada karena kelainan paruparu.
EKG Waktu Aktivitas/Latihan
lain, tentu amat membantu.
Penting sekali dilakukan pada pasien-pasien yang amat dicurigai, termasuk kelainan EKG seperti BBB dan depresi ST ringan. Begitu pula pada pasien-pasien dengan angina
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
vasospastik; sedangkan pada pasien-pasien dengan kemungkinan iskemianya rendah, LVH, minum obat digoksin, dengan depresi ST kurang dari 1 mm boleh saja
Beberapa pemeriksaan lab diperlukan disini: hemoglobin,
hematokrit, trombosit dan pemeriksaan terhadap faktor risiko koroner seperti gula darah, profil lipid, dan penanda inflamasi akut bila diperlukan, yaitu bila nyeri dada cukup berat dan lama, seperti enzim CK/CKMB, CRP/hs CRP, troponin. Bila nyeri dada tidak mirip suatu UAP maka tidak semuanya pemeriksaan-pemeriksaan ini diperlukan.
DIAGNOST!K Pedoman yang disusun oleh AHA telah cukup lengkap untuk melakukan pemeriksaan dan penatalaksanaan yang efektif dan efisien pasien PJK, sehingga ia dipakai sebagai
dasar penyusunan pedoman-pedoman yang diusulkan berikut ini.
Untuk memastikan bahwa memang ada iskemia miokardium sebagai penyebab nyeri dada maka diperlukan beberapa pemeriksaan:
EKG Waktu lstirahat Dikerjakan bila belum dapat dipastikan bahwa nyeri dada adalah non kardiak. Bila angina tidak tipikal, maka EKG ini
dikerjakan, meskipun sebenarnya tak terlalu perlu. Kontra indikasi: IMA kurang dari 2 hari, aritmia berat dengan hemodinamik terganggu, gagal jantung manifes, emboli paru dan infark paru, perikarditis dan miokarditis akut,
diseksi aorta. Kontra indikasi relatif: stenosis LM, stenosis aorta sedang atau obstrukst "outflow" lainnya, elektrolit abnormal, hipertensi sistolik >200 dan diastolik >100 mm Hg, bradi atau takiaritmia, kardiomiopatia hipertrofik, UAP (kecuali yang berisiko rendah dan sudah bebas nyeri), dan gangguan fisik yang menyulitkan melakukan tes ini. Treadmill exercise tesr memiliki sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 687o +l-16 Vo danll% +l-117o. Tes ini ternyata sensitivitasnya lebih rendah dari s/ress testlainnya.
Ekokardiograf i Pemeriksaan ini bermanfaat sekali pada pasien
dengan
murmur sistolik untuk memperlihatkan ada tidaknya stenosis aorta yang signifikan atau kardiomiopati hipertrofik. Selain itu dapat pula menentukan luasnya iskemia bila dilakukan waktu nyeri dada sedang berlangsung. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk menganalisis fungsi miokardium segmental bila hal ini telah
t737
ANGINAPEKTORIS STABIL
terjadi pada pasien AP stabil kronik atau bila telah pernah infark jantung sebelumnya, walaupun hal ini tidak dapat
memperlihatkan iskemia yang baru terjadi. Bila ekokardiografi dilakukan dalam waktu sampai 30 menit dan
serangan angina, mungkin sekali masih dapat memperlihatkan adanya segmen miokardium yang mengalami disfungsi karena iskemia akut. Segmen ini akan
pulih lagi setelah hilangnya iskemia akut. Kuantitas iskemia
dapat diperlihatkan dengan sistem skor. Bila daerah disfungsi iskemik itu sukar terlihat, maka sensitivitas dapat ditambah dengan memakai alat eko yang menggunakan harmonic imaging atau dapat dipakai juga eko kontras memakai gelembung-gelembung mikro (micro bubbles) yang terjadi waktu injeksi IV larutan kontras. Pada saat terjadi iskemia dapat timbul MR, yang dapat diperlihatkan pula dengan eko doppler.
Stress lmaging, dengan Ekokardiograf i atau Radionuklir Pemeriksaan stres ekokardiografi ini bermanfaat dikerj akan pada pasien yang dicurigai menderitaAPS sedangkan EKG
istirahatnya menunjukkan ST depresi I mm atau lebih atau
memperlihatkan adanya sindrom WPW. Kedua tes ini bergunajuga pada pasien pre revaskularisasi atau pasienpasien dengan pacu jantung atau LBBB. Ekokardiografi stres dengan memakai obat-obatan bermanfaat sekali dilakukan pada pasien-pasien yang tak dapat melakukan
stres dengan latihan ataupun yang akan dilakukan revaskularisasi (dengan PCI atau CABG).Tes-tes ini kurang bermanfaat bila dikerjakan pada pasien-pasien yang sudah hampir pasti atau sama sekali belum jelas menderita iskemia miokardium. Pemeriksaan-pemeriksaan stres tes ini dapat diterapkan juga bagi pasien-pasien asimtomatik, terutama
pada pasien-pasien asimtomatik yang berisiko tinggi. Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan stres
karakteristik klinisnya tergolon g risiko tinggi. Pemeriksaan ini diperlukan juga bagi pasien-pasien yang diketahui mempunyai disfungsi ventrikel kiri (EF kurang dari 457a) walaupun dengan angina klas I-II dan pemeriksaan non invasif tidak menunjukkan risiko tinggi, serta pasien-pasien yang tidak dapat ditentukan status koronernya dengan pemeriksaan non invasif.
Keterbatasan angiografi koroner misalnya adalah bahwa ia tak dapat menentukan perubahan fungsi miokardium berdasarkan stenosis koroner yang ada dan insensitif dalam menentukan adanya trombus. Lagipula ia
juga tak dapat menunjukkan plak sklerosis yang akan menyebabkan berkembangnya menjadi UAP, yang tergantung pada isi dan kapsul plak tersebut. Tidakjarang
plak yang demikian biasanya hanyalah menunjukkan stenosis 50Vo. Dengan tambahan beratnya disfungsi LV,
angiografi koroner bermanfaat sekali untuk stratifikasi prognostik, yang berkorelasi dengan jumlah pembuluh darah yang mengalami stenosis, yaitu l, 2, 3 pembuluh atau LM. Surviv al 1 2 th untuk pasien dg 0,1,2,3 pembuluh adalah masing-masing 9 I
Vo,
I 4Vo, 59 Vo dan 407o, sedan gkan
LV fungsi sistolis dengan EF 50-1007o,35-497o dan<35o/o berturut-turut adalah I 37o, 547o dan 2lVo.
1-3%lth %
Mortalitas
<1%lth
Disfungsi LV (angio)
Tidak ada
EF 35-49
TMT/Sfress fesf Disfungsi LV
low risk
lntermediate High risk
Tidak ada None/terbatas
dosis
Defek pefusi pd stres Stres Eko
Normal
moderat
besar
Normal
iskemia terbatas
multipel/ besar
tinggi
>3%/rh EF < 35%
mencapai < 35o/o
ekokardiografi berkisar pada 60-857o, sedangkan pemeriksaan den gan radionuklir kira-kira berkisar antara
80-907o. Selain untuk diagnostik, tes-tes ini dapat dimanfaatkan juga untuk stratifikasi prognostik serta
evaluasi pasien-pasien yang telah dilakukan revaskularisasi dengan PCI atau CABG. Sampai dengan
dilakukannya pemeriksaan noninvasif
ini
dapatlah
digolongkan pasien-pasien ke dalam risiko ringan, sedang dan tinggi.
Angiografi Koroner
Dengan Pemeriksaan-pemeriksaan Noninvasif dan lnvasif Didapat Klasifikasi Pasien Menjadi Pasien-pasien yang asimtomatik diberlakukan menyerupai APS juga, hanya dengan skala yang lebih nngan; misalnya
bila EKG istirahatnya normal, tidak memerlukan stres eko lagi, apalagi adanya PJK sudah dibuktikan sebelumnya.
Apabila ia termasuk high risk pada pemeriksaanpemeriksaaan non invasif, maka pemeriksaan invasif mungkin diperlukan juga.
Pemeriksaan ini diperlukan pada pasien-pasien yang tetap pada APS klas III-IV meskipun telah mendapat terapi yang
cukup, atau pasien-pasien dengan risiko tinggi tanpa
PENATALAKSANAAN
mempertimbangkan beratnya angina. serta pasien-pasien yang pulih dari serangan aritmia ventrikel yang berat sampai
cardiac arrest, yang telah berhasil diatasi. Begitu pula perlunya pemeriksaan ini pada pasien-pasien yang mengalami gagal jantung dan pasien-pasien yang
Tujuan pengobatan terutama adalah mencegah kematian dan terjadinya seranganjantung (infark). Sedangkan yang Iainnya adalah mengontrol serangan angina sehingga memperbaiki kualitas hidup.
1738
I(ARDIOI.OGI
Pengobatan terdiri dari farmakologis dan non farmakologis seperti penurunan BB dan lainlain, termasuk terapi reperfusi dengan cara intervensi atau bedah pintas
(cABG).
Bila ada 2 cara terapi yang sama effcL.tif rnengontrol angina, maka yang dipilih adalah terapi yang terbukti lebih
efektif mengurangi serangan jantung dan mencegah kematian. Pada stenosis LM misalnya, bedah pintas koroner lebih dipilih karena lebih efektif mencegah kematian. Memang kebanyakan terapi farmakologis adalah untuk segera mengontrol angina dan memperbaiki kualitas hidup, tetapi belakangan telah terbukti adanya terapi farmakologis yang mencegah serangan jantung dan kematian juga, misalnya statin sebagai obat penurun lemak darah.
itu barulah menghilangkan simtom dan perbaikan kualitas hidup Maka diantara obat-obatan ini yang berguna untuk mengurangi angka kematian dan serangan jantung adalah aspirin, penurunan kolesterol darah terutama dengan statin, penyekat beta dan ACE inhibitors. Obat-obatan lainnya berguna untuk mengurangi angina dan merperbaiki
kualitas hidup.
NON FARMAKOLOGIS
Di samping pemberian oksigen dan istirahat pada waktu datangnya serangan angina misalnya, maka hal-hal yang telah disebut di atas seperti perubahan lfe sryLe (termasuk
berhenti merokok dan lain-lain), penurunan BB, penyesuaian diet, olahraga teratur dar.r lain-lain, merupakan
FARMAKOLOGIS
. . . . . .
Aspirin. Penyekat beta.
Angiotensin converting eLLZ))me, terutama bila disertai hipertensi atau disfungsi LV. Pemakaian obat-obatan untuk penurunan LDL pada pasien-pasien dengan LDL >130 mg/dl (target
anglna.
Reperfusi miokardium dapat dilakukan dengan herbagai
Antagonis kalsium atau nitrat jangka panjang dan
cara, seperti intervensi koroner dengan balon dan
kombinasinya untuk tambahan beta bloker apabila ada kontra indikasi penyekat beta, atau efek samping tak
pemakaian s/enr sampai operasi CABG. Terapi ini pun haruslah mengutamakan tujuan penurunan mortalitas serta mengurangi serangan jantung akut, bukan hanya untuk mengurangi simtom dan memperbaiki kualitas hidup. Misalnya pasien APS/asimtomatik dengan kelainan l-2 pembuluh koroner, haruslah diberikan terapi farmakologis yang intensif dulu sebelum dikatakan bahwa terapi yang diberikan telah gagal; sedangkan pasien dengan kelainan pembuluh LeJt Main (LM) sebaiknya langsung dilakukan reperfusi karena memang terbukti menurunkan mortalitas.
dapat ditolerir atau gagal.
.
REPERFUSI MIOKARDIUM
Nitrogliserin semprot/sublingual untuk mengontrol
" Klopidogrel untuk pengganti aspirin .
terapi non farmakologis yang dianjurkan. Semuanya ini, termasuk pula perlunya pemakaian obat secara terus menerus sesuai yang disarankan dokter dan mengontrol faktor risiko, serta bila perlu mengikutsertakan keluarganya dalam pengobatan pasien, dapat dimasukkan juga ke dalam pendidikan (educ'crtions).
yang
terkontraindikasi mutlak.
Antagonis Ca nondihidropiridin long acting sebagai pengganti penyekat beta untuk terapi permulaan. Terapi terhadap faktorrisiko.
Penurunan kolesterol LDL pada pasien yang jelas menderita PJK atau amat dicurigai menderita PJK dengan LDL antara 100- 129 mg/dl, dengan target LDL adalah di bawah 100 mg/dl . Ada beberapa pilihan terapi untuk ini, yaitu: - Gaya hidup atau dengan obat-obatan.
Keadaan-keadaan yan g memerlukan reperfusi miokardi um
padaAPS:
.
Coronary artety bypass graft (CABG) pada stenosis
LM. Coronury ctrtert bltpass graft pada lesi 3 pembuluh
-
Penurunan BB dan peningkatan latihan pada
.
-
sindrom me[abolik. Pengobatan terhadap peninggian lipid Iainnya atau
.
faktor lisiko nonlipid lainnya; pemakaian asam nikotinat atau asam fibrat untuk peninggian
-
trigliserid atau HDL yang rendah. BB pada obesitas meskipun pasien tidak menderita hipertensi, dislipidemia ataupun DM.
.
Penurunar-r
Sudah disebutkan di atas bahwa dalam terapi APS ataupun PJK asimtomatik, maka tujuan yang utama adalah pencegahan seran gan j antun g (infaLk) dan kemati an ; setel ah
.
terutama bila ada disfungsi LV. Coronary ctrtery bv-pass gra.fi pada pasien lesi 2 pembuluh dan proksimal LAD dan disfungsi LV atau terdapat iskemia pada tes non invasif.
Percutaneous corowtry intervention pada pasienpasien dengan lesi 2 pembuluh dan proksimal LAD yang anatomis baik untLrk PCI, apalagi bila LV fungsi normal dan tidak diobati untuk DM. Percutaneous coronaty intervention atau CABG pada pasien-pasien dengan
lesi 1 atau 2 pembuluh, tanpa
1739
ANGINA PEKTORIS STABIL
proksimal LAD yang bermakna, tetapi terdapat"viable"
mula diperiksa 4-8 minggu, lalu tiap 4-6 bulan.
Dalam penatalaksanna lanjutan (follow zp) pasien-
miokardium cukup luas atau pada tes noninvasif
,
termasuk risiko tinggi.
Coronary artery bypass graft pada pasien-pasien LAD, yang
dengan lesi 1-2 pembuluh tanpa proksimal
.
pulih dari aritmia ventrikel yangberat/cardiac arrest. Percutaneous coronary intervention atau CABG pada pasien yang sebelumnya sudah reperfusi PCI tapi mengalami restenosi s, sedangkan terdapat miokardium "viable" luas ataupun pada tes noninvasif termasuk
pasien APS/asimtomatik mungkin diperlukan lagi tes-tes noninvasif, seperti direkomendasikan sebagai berikut:
1.
Foto toraks bila terdapat tanda-tanda CHF yang baru
2.
Penilaian kembali fungsi sistolis LV ataupun analisa segmental LV dengan cara eko ataupun radionuklir pada
atau pemburukannya.
pasien-pasien dengan CHF yang baru timbul maupun perburukannya ataupun timbulnya tanda-tanda infark
high risk
.
Percutaneous corondry intentention atau CABG pada
.
pasien-pasien yang tak berhasil baik dengan terapi konservatif, sedangkan reperfusi dapat dikerjakan dengan risiko cukup baik Reperfusi transmiokardial secara operatif dengan menggunakan laser
Terapi lain yang dapat dipertimbangkan pula pada pasien-pasien APS atau asimtomatik PJK adalah: . Pemberian hormon pengganti pada pasien perempuan posmenopos, bila tak ada KI. . Penurunan BB pada obesitas, sekalipun tak ada hipertensi, DM dan hiperlipiemia.
.
Terapi asam folat pada pasien dengan peninggian
. .
homosistein. Suplemen vit E dan C. Identifikasi adanya depresi dan pengobatannya yang adekuat.
PENATALAKSANAAN LANJ UTAN Belum tersedia pedoman yang jelas mengenai evaluasi lanjutan pasien-pasien APS dan asimtomatik PJK yang telah berhasil distabilkan dengan pengobatan atau/ dilakukan terapi revaskularisasi. Beberapa pedoman yang tersusun berikut ini merupakan hasil pengalaman, namun dapat dipakai untuk pegangan. Yang lebih dulu perlu dievaluasi antara lain adalah bagaimana keluhan-keluhan AP nya, apakah bertambah Iagi atau tetap stabil, apakah timbul tanda-tanda disfungsi LV yang baru, apakah terapi yang ada dapat ditolerir dengan baik dan bagaimana kontrol faktor risikonya serta adanya komorbid baru yang memerlukan terapi tapi mengganggu stabilitas AP nya. Setelah anamnesis yang teliti mengenai perubahan dan perkembangan simtom, maka pemeriksaan harus dilakukan dengan hati-hati pula mengeani adanya tanda-tanda gagal
jantung, aritmia, perubahan-perubahan pada pembuluh darah tepi lainnya, perubahan-perubahan pada jantung dan lain-lain.
Pemeriksaan laboratorium terutama ditujukan pada faktor risiko, seperti gula darah dan glikosilat Hb pada DM, profil lipid, fungsi ginjal,dan lain-lain. Profil lipid mula-
3.
jantung. Ekokardiografi pada pasien-pasien dengan tanda-tanda kelainan katup yang baru atau perburukan kel. Katup yang ada,
Uji treadmill pada pasien-pasien yang belum dilakukan revaskularisasi, yang menunjukkan perubahan-perubahan klinis yang cukup berarti dan mampu melakukan stres tes
dengan exercise, sedangkan pada yang tak mampu melakukan ex ercise test diTakukan pemeriksaan radionukliq dan tak menunjukkan perubahan-perubahan EKG seperti WPW, electrical pacing rhythme dan ST depresi lebih dari 1 mm pada EKG istirahat.
REFERENSI Chatterjee K. Recognition and management of patients with stable angina pectoris. In: Goldman L, Brqunwald E, eds. Primary Cardiology. Philadelphia: WB Saunders, 1998:234-56. Levine HJ. Difficult problems in the diagnosis of chest pain. Am
Heart J 1980;100: 108-18.
A clinically relevant classification of chest discomfortUetterl. J Am Coll Cardiol 1983;l:574-5. Wise CM, Semble EL, Dalton CB. Musculoskeletal chest wall syndromes in patients with noncardiac chest pain: a study of 100 patients. Arch Phys Med Rehabil 1992;73 147-9. Diamond GA.
Campeau
L. Grading of
angina pectoris Iletter]. Circulation
1976l'54 522-3. Alonso J, Permanyer-Miralda G, Cascant P, Brotons C, Prieto L, Soler-Soler J. Measuring functional status of chronic coronary patients. Reliability, validity and responsiveness to clinical change of the reduced version of the Duke Activity Status Index (DASI). Eur Heart I 1997;18 414-9. Wexler L, Brundage B, Crouse J, et al. Coronary artery calcification: pathophysiology, epide miology, imaging methods, and clinical implications. A statement for health prof'essionals tiom the American Heart Association Writing Group. Circulation 1996:94 l 17 5-92. Califf RM, Armstrong PW, Carver JR, D'Agostino RB, Strauss WE,
Stratification of patients into high, medium and low risk subgroups for purposes of risk factor management. J Am Coll Cardiol 1996127: 1007- 19. Peels CH, Visser CA, Kupper AJ, Visser FC, Roos JP Usefulness of two-dimensional cardiography for immediare detection of myo-
cardial iskhaemia in the emergency room. Am J Cardiol 1990;65:687-91. Roger VL, Pellikka PA, Oh JK,
Miller FA, Seward JB, Tajik
Stress echocardiography. Part
I. Exercise
AJ.
cardiography:
1740
techniques,implementation, clinical applications, and correlations. Mayo Clin Proc 1995;70:5-15. Marwick TH Use of stress ekokardiograficardiography for the prognostic assessment of patients with stable chronic coronary artery disease. Eur Heart J 1997;18(Suppl D):D97-101. Chuah SC, Pellikka PA, Roger VL, McCully RB, Seward JB. Role of dobutamine stress ekokardiograficardiography in predicting outcome in 860 patients with known or suspected coronary artery disease. Circulation 1998;97 :117 4-80. Severi S, Picano E, Michelassi C, et al. Diagnostic and prognostic value of dipylidamole cardiography in patients with suspected coronary artery disease. Comparison with exercise electrocar-
diography. Circulation 1994;89: 1 160-73 Berman DS, Hachamovitch R. Risk assessment in patients with stable coronary artery disease: incremental value of nuclear imaging. J Nucl Cardiol 1996;3:54l-9. McTavish D, Faulds D, Goa KL. Ticlopidine. An updated review of its pharmacology and therapeutic use in platelet-dependent disorders. Drugs I 990;40:238-59. Hirsh J, Dalen JE, Fuster Y Harker LB, Patrono C, Roth G. Aspirin and other platelet-active drugs. The relationship among dose, effectiveness, and side effects. Chest 1995;108:2475-57S
Antiplatelet Trialists Collaboration. Collaborative overview of randomised trials of antiplatelet therapy, l: prevention of death, myocardial infarction and stroke by prolonged antiplatelet therapy in various categories of patients BMJ 1995;308:81I
06.
L, Lindholm LH, Niskanen L, et al Effect of angiotensinconverting-enzyme inhibition compared with conventional therapy on cardiovascular trorbidity and mortality in hy pertension: the Captopril Prevention Project (CAPPP) randomized trial. Lancet 1999:353:61 I -6. Pitt B, Waters D, Brown WV, et al. Aggressive lipidJowering therapy Hansson
with angioplasty in stable coronary artery disease.Atorvastatin versus Revascularization Treatment Investigators. N Engl J Med 1999;341:70-6. Serruys PW, Unger F, Sousa JE, et al. Comparison of coronary compared
artery bypass surgery and stenting for the treatment of multivessel disease. N Engl J Med 2001:'344:1117-21. Mosca L, Collins P, Herrington DM, et al Hornrone replacement therapy and cardiovascular disease: a statement for healthcare profes.rionals from the American Heart Association Citculation 20011104:499-503. Heart Protection Study Collaborative Group. MRC/BHF Heart Protection Study of antioxidant vitamin supplementation in 20536 high-risk individuals: a randomised placebo-controlled trial. Lancet 1002:360:22-33. Marie YP, Danchin N, Durand JF, et al. Long-term prediction of
IqRDIOI.OGI
major ischemic events by exercise thallium-201 single-photon emission computed tomography. J Am Coll Cardiol 1995;26:87986. Hachamovitch R, Berman DS, Shaw LJ, et al. Incremental prognostic value of myocardial perfusion SPECT for the prediction of cardiac death: differential stratification for risk of cardiac death and myocardial infarction [published erratum appears in Circulation 1998;98: 1201. Circulation 1998:'97 :533-43. Geleijnse ML, Elhendy A, van Domburg RT, et al. Prognostic value of dobutamine-atropine stress technetium-99m sestamibi perfusion scintigraphy in patients with chest pain. J Am Coll Cardiol 1996:'28:441 -54. Stratmann HG, Tamesis BR, Younis LT, Wittry MD, Miller DD Prognostic value of dipyridamole technetium-99m sestamibi myocardial tomography in patients with stable chest pain who are unable to exercise. Am J Cardiol 1994;13:647-52. Margolis JR, Chen JT, Kong Y, Peter RH, Behar VS, Kisslo JA The diagnostic and prognostic significance of coronary artery calcification: report of 800 cases. Radiology 1980;137:609-16. Pryor DB, Shaw L, Mccants CB, et al. Value of the history and physical examinations in identifying patients at increased risk for coronary artery disease. Ann Intern Med 1993;118:81-90. Chaitman BR, Bourassa MG, Davis K, et al. Angiographic prevalence of high-risk coronary artery disease in patient subsets (CASS). Circulation 1981 t64:360-l Evans AT Sensitivity and specificity of the history and physical examination for coronary artery disease [letter; comment]. Ann Intern Med 1994;120:344-5. Lonn EM,Yusuf S, Jha P, et al. Emerging role of angiotensin-converting enzyme inhibitors in cardiac and vascular protection.
Circulation 1994l'90:2056-69. Miranda CP, Lehmann KC1 Froelicher VF. Correlation between resting ST segment depression. exercise testing. coronary angiography, and long-term prognosis. Am Heart J 199l;122:1617' 28. Aronow WS. Correlation of ischemic ST-segment depression on the resting electrocardiogram with new cardiac events in 1,106 patients over 62 years of age. Am J Cardiol 19891.64:232-3. Diamond GA. Staniloff HM, Forrester JS, Pollock BH, Swan HJ.Computer-assisted diagnosis in the noninvasive evaluation of ptients with suspected coronary disease. J Am Coll Cardiol I 983: 1 :444-55. Morise AP, Diamond GA. Comparison of the sensitivity and specificity of exercise electrocardiography in biased and unbiased populations of men and women Am Heart J 1995;130:741-7. Taylor HA, Deumite NJ, Chaitman BR, Davis KB, Killip T, Rogers WJ. Asymptomatic left mai.n coronary artery disease in the Coronary Artery Surgery Study (CASS) registry. Circulation
1989:19:l17 I -9.
274 INEARK MIOI(ARD AKUT DENGAT.I ELEVASI ST Idrus Alwi
PENDAHULUAN
PATOFISIOLOGI
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 307o dengan lebih dari separuh kematian terjadr sebelum pasien mencapai Rumah Sakit. Walaupun laju mortalitas
Infark mikard akut dengan elevasi ST (STEMD umumnya
menurun sebesar 30Vo dalam 2 dekade terakhir, sekitar
1
di antara 25 pasien yang tetap hidup pada
perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama setelah
IMA.
Infark miokard akut dengan elevasi ST
(SZ
elevation myocardial infarction = STEMI) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang
terdiri dari angina pektoris tak stabil, IMA tanpa IMA dengan elevasi ST (Gambar 1
elevasi ST dan
stabil{$
lnfark miokard
Spektrum Nekrosis
.1,0
mioslt
g
Petanda: Tn & CK-l\,4B tdk terdeteksi EKG: ST J atau STlsementara atau norma
,1,0S
,10s
,259
Tn1+/CK-MB menrngkat ST1 atau STJ atau inversi T dapat berkembang menjadi glombang O
Risiko kematiani 5 B%
Fungsi ventrike kir:i Disfungsi tak NT Pro BN
t
ada sebelumnya. Stenosis arteri
koroner berat yang
berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu.
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskular, di mana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis. sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyaifibrous cap yarrg tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core).Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fb rin rich red trombus,yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respons terhadap
dan 2).
Angina pektoris tidak
terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah
Dlsfungsi sistolik, di atasi LV
ngkat
Gambar 1. Bentang sindrom koroner akut mulai dari angina pektoris tak stabil tanpa nekrosis miokard yang terdeteksi sampai infark miokard ekstensif (Dikutip dari Fox Heart 2004;90:698706)
terapi trombolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis
(kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Seteiah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, di mana keduanya adalah molekui multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasl.
t741
1742
I(ARDIOITOGI
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan'oleh oklusi arteri koroner )/ang disebabkan oleh emboli koroner. abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik. hterue.s iarm:[olog !
\
";il
Gambar 3. Pembentukan trombus dan intervensi farmakologis
dalam kaskade koagulasi (Dikutip dari: Brouwer, et al. Heart 2004;90:581-8)
Gambar
2
Patogenesis Sindrom koroner akut (Dikutip dari
Antman, et al)
lnteraksi agregasi trombosit (fibrinogen, glikoprotein llblllla) dan aktivasi kaskade koagulasi menghasilkan trombin yang menginduksi pembentukan bekuan yang kaya fibrin. Fibrin akan berikatan dengan
Gambar 2 menunjukkan kronologis interaksi antara pasien dan dokter sepanjang progresi pembentukan plak, onset dan
faktorXlll yang meningkatkan kekuatan bekuan (c/of). Antikoagulan
komplikasi STEMI dengan relevansi tatalaksana pada masingmasing tahap Potongan longitudinal arteri menggambarkan timeline pi'oses aterogenesis dari arteri no!'mal (1 ); (2) Lesi inisiasi dan akumulasi lipid ekstraselular dalam intima; (3) evolusi stadium fibrofatty, (4) lesi progresi dengan ekspresi prokoagulan dan lemahnya fibrous cap Sindrom koroner akut berkembang jika plak vulnerabel dan risiko tinggi mengalami disrupsi pada fibrous
ucts; LMWH, low molecular weight heparin; OAC, oral anticoagulans; PT, prothrombin (ll),;T, Thrombin (lla); UFH,
oral menghambat produksi faktor koagulasi, obat lain menghambat aksi faktor pembekuan yang teraktivasi Target fibrinolisis adalah degradasi fibrin, melalui plasmin. FDP,s fibrin degradation prod-
unfractionated heparin; vWF, von Willebrand factor.
cap. (5) ciisrupsi plak adalah rangsangan terhadap trombogenesis. Resorpsi trombus dilanlutkan dengan akumulasi kolagen dan
pertumbuhan sel otot polos
(6)
Selanjutnya disrupsi plak
vulnerabel atau plak risiko tinggi mengakibatkan pasien mengalami nyeri iskemia akibat penurunan aliran arteri koroner epikardial yang terlibat Heduksi aliran dapat menyebabkan oklusi trombus total (bawah kanan) atau oklusi trombus subtotal (bawah kiri) Pasien dengan nyeri iskemia dapat berupa elevasi ST atau tanpa elevasi segmen ST pada EKG. Pasien dengan elevasi ST sebagian besar berkembang menjadi infark miokard gelombang Q, sebagian kecil berkembang menjadi infark miokard gelombang nonQ. Pasien tanpa elevasi segmen ST dapat mengalami angina pektoris tak stabil atau infark miokard akut tanpa elevasi ST. Sebagian besar pasien dengan NSTEMI berkembang menladi infark miokard non Q, dan sebagian kecil menjadi infark miokard gelombang Q Dx = diagnosis; NQI\ll, non-O-wave myocardial infarction; QwMl = Qwave myacardia! infarction; CK-IVB = MB isoenzyme of creatine
kinase
Gambar 4. Gambar potong lintang afteri koroner pada pasien dengan ateroma ekstensif (Dikutip dari: 706)
Fox Heart. 2004;90:698-
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan rissr.re factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X
diaktivasi. mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibnn. Pembentukan trombus pada kaskade koagulasi dapat
DIAGNOSIS
dilihat pada Gambar 3. Arteri koroner yang terlibat
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamn-esis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST >2mm. minimal pada 2 sandapan
(culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin.
L743
INFARK MIOKAR.D AKUT DENGAN ELEVASI ST
prekordial yang berdampingan atau > 1mm pada 2 sandapan
ekstremitas. Perneriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, lnemperkuat diagnosis, namun
keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana IMA, prinsip utama penatalaksanaan adalah
Diagnosis banding nyeri dada STEIVII ant-ara lain perikarditis akut, emboii paru, diseksi aorta akul, kostokondritis.dan gangguan gastrointestinai. Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEN{I. In miokard akuf dengan elevasi ST (STEMD tempa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes melitus dan usia lan-iut
time is muscle.
PEMERIKSAAN FISIS ANAMNESIS Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstrernitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernai >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuiit adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark an reli or me mp un y ai mani f-estas i
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anarnnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luarjantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianarnnesis pula apakah ada riwayat infark ntiokard sebelurnnya serta iaktot--faktor risiko antara lain hipefiensi, diabetes melitus. dislipidemra. merokok, stres serta riwayat sakit jantun-u koroner pada keluarga. Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STENII, seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau beclah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepiurjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.
pertama dan split paradoksikal buni,i jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau iate sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardiaL Jriction ruD. Peningkatan suhu sampai 380C dapat dijumpai dtriam nringgu peftama pusca STEMI.
NYERI DADA
ELEKTROKABDIOGRAM
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah pasien menderita IMA atau trdak. Diagnosis yang terlambat atau yang salah, dalam jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat. Nyeri dada tipikal (an-eina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA.
Silat nyeri dada angina sebagai berikut: . Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial. . Sjf'at nyeri: rasa sakit. seperli ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperli ditusuk, rasa diperas, dan
. . . .
dipelintir. Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapatjuga ke ieher, rahang bawah, gigr, punggrrng/interskapula, perut, dan dapatjuga ke lengan kauan. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nrtrat. Faktor pencetus: latihtm fisik, stres emosi, udara dingin, dan sesudah makan. Gejala yang menyefiai: mual. muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas.
hiperakti vitas s araf simp atis (ta.krkardia cian /atau h j poten si.1 dan hampir setengah pasien inlark inferior nienunjukkan
hiperaktivitas parasirnpatis (bradikardia dan/atau hipotensi) Tanda lisis Jain pada dislungsi ventrikr-rlal adalah Srl
dan 53 gallop, penurunan intensitas bunyi jiintung
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pacla semua pasien dengan nyeri dada atali keiuhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pcmerik-saan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan ganrbaran ele,,'asi segmen ST dapat mengidentilikasi pasien yang benlanfaai untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKC awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapr pasien lcrap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan intervai 5-10 rnenit atau pemantauan EKG i2
sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mende[eksi potensi perkembangan elevasi segmen S'I. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus
diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan. Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elcvasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhimya didiagnosis infnrk miokard gelombang
Q. sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total. obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak diternukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pektoris tak
t744
I(ARDIOI.OGI
stabil atau non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG menuniukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard non transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T, namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi infark (mural/transmural) sehingga terminologi IMA gelombang
Q dan non Q menggantikan IMA mural/nontransmural. Pada gambar 5 dapat dilihat EKG yang menyebabkan STEMI anterior ekstensif
dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai
petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan inijuga akan
diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis j antung (infark m i okard). . CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4hai. Operasi jantung, miokarditis dan
.
kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jamblla ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5- l0 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
.
.
I
.
Mioglobin: dapat dideteksi
satu
jam setelah infark dan
mencapai puncak dalam 4-8 j am.
Creatinin kinase (CK): Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari. Lttctic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8- 14 hari.
Gambar 5. EKG menunjukkan STEMI anterior ekstensif.
Garis horizontal menunjukkal upper reference limit (URL) biomarker jantung pada laboratorium kimia klinis. URL adalah nilai yang mempresentasikan 99th percentile
LABORATORIUM
kelompok kontrol tanpa STEMI. Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian menghambat implementasi terapi repefusi.
beberapa jam setelah onset nyei dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 1 2.000- 1 5.000/u1.
PETANDA (B'OMAR KEH) KERUSAKAN JANTUNG
PENATALAKSANAAN
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn)T atau cTn I
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada
dalam tatalaksana pasien STEMI namun tidak boleh
Biomarker
Berat Molekul, Da
data-data dari evidence based berdasarkan penelitian
Rentang
waktu untuk meningkat
Rerata Waktu Elevasi Puncak (Non reperfusi)
Waktu Kembali ke Rentang Normal
24 jam 24 jam
48-72 jam 5-1 0 hari
Sering Digunakan di Praktek Klinik
CK-MB cTnl cTnT
86 OOO 23 500 33 000
3-12 jam
3-12 jam 3-12 jam
Jarang Digunakan di Praktek Klinik 1-4iam 17 800
Myoglobin CK-MB tissue isoform CK-MM tlssue lsoform
000 BO 000
86
12
jam-2 hari 6-7 jam
jam
2-6 iam
'18
1-6 jam
12 jam
5-'14 hari
24 hari Tak diketahui 38 jam
Da = Daltons; CK-MB = MB isoenzyme of creatine klnase; cTnl = cardiac troponin l; cTnf = cardiac troponin CK-Ml\l = MM isoenzyme of creatine klnase (Modifikasi dari Adams et al. Circulation 1993;88:750)
I
t745
INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada
J
50
-_""'"-"
t t^^
I
o
; Io =5 E
Card ac ropon
Cardiac
-------
I
10
n
koponrn
CK-MB
no
no repedut
o.
repetrusion
repe{ls
on
CK-MB -reperfusion
penanganan pasien biasanya bukan selama transportasi ke Rumah sakit, namun karena lama waktu mulai on,rer nyeri dada sampai keputusan pasien untttk meminta pertolongan. Hal ini bisa ditanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini. n olitik pra hospital hanya bis a dikerj akan ada paramedis di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan kendali
Pemberian fibri
jika 2
komando medis online yang bertanggungjawab pada 1B Days After onset of STEMI
pemberian terapi. Di Indonesia saat ini pemberian trombolitik prahospital ini belum bisa dilakukan. U e of Reference Conto Group
URL =991h ?o
Gambar 6. Biomarker jantung pada infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI)
randomizecl clinical trial yang terus berkembang ataupun konsensus dari para ahli sesuai pedoman (guideline). Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat. menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi
strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat beberapa pedoman (guicleline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2009 dan ESC tahun 2008. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisr sarana/fasilitas di tempat masing-masing
Panel A: Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9- I 1 : Reperfusi pada pasien STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau pendekatan kateter (PCI primer). Implementasi strategi ini berryariasi tergantung cara transpoftasi pasien dan kemampuan penerimaan rumah sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu transport ke rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya. tetapi sasaran waktu iskemia total adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan:
1) Jika EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien memenuhi syarat terapi. fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30 menit
2)
senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang
kardiologi intervensi).
3) TATALAKSANA AWAL
Talaksana Pra Rumah Sakit Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu :komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (p ump fai I u r e). Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onsef gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pefiama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain: . Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis . Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat
. .
melakukan tindakan resusilasi Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih. Melakukan terapi reperfusi
sejak EMS tiba. Jika EMS tidak mampu memberikan f,rbrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospitcl door to needle time
harus dalam 30 menit untuk pasien yang mempunyai indikasi trbrinolitik. JikaEMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital door-to-balloon time harus dalam waktu 90menit.
Tatalaksana di Ruang Emergensi Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup: mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEML
TATALAKSANA UMUM Oksigen Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen afieri <90Vo. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
1746
Nitrogliserin (NTG) Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan
ISRDIOLOGI
aman
dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard
dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NTG intravena. NTG intravena juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG JVP meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan
phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi njtrat.
penyekat beta IY selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung
>60 menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronki tidak lebih dari I 0 cm dari
diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan diianjutkan I 00 mg tiap 12 Jam.
Terapi Reperfusi Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump .failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna. Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah
door-to-needle (atau medical contact-to-needle)
ti.me
untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30
Mengurangi/Menghilangkan Nyeri Dada
nrenit atau door-to-balloon (atau
Mengurangi/menghilangkan nyeri dada sangat penting. karena nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban
contact-to-balloon) time untuk PCI dapat dicapai dalam
medical
90menit. (GambarT)
Jantung.
SELEKSI STRATEGI REPERFUSI
Morf in
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga terj adi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arleri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,97o. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok
jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. E1'ek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropin 0,5 mg IV.
Aspirin
Beberapa hal harus dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi antara lain:
Waktu Onset Gejala Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting luas infark dan ourc'ome pasien. Efektivitas obat I'rbrinolisi s dalam menghancurkan trombus sangat tergaotung dengan waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan daiam
2
jamperleuna (terutama dalam jam pertama)
terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis menurunkan angka kematian.
Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark menjadi paten, kurang banyak tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani PCL Beberapa laporan menunjukkan tidak ada pengaruh keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2 sampai 3 jam setelah gejala.
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit
The Task Force on the Management of Acute Myocardial InJarction oJ the European Society of Cardiology dan ACC/AHA merekomendasikan target
yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A'2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-32-5 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral
medical contact-to-baLkton atau door-to-balloort time dalam waktu 90 menit.
dengan dosis 75- I 62 mg.
Risiko STEMI
Penyekat Beta
Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai risiko mortalitas pada pasien STEMI. Jika estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi,
Jika morfin tidzk berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian
1747
INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST
Panel A
EMS on-scene
- Encourage 12-lead ECGs - Consider prehospital fibrinolytic if capable and EMS{o-needle within 30 min
Goalsl
after
5 min symptom onset
I
EMS
1 min
on
SCENC
F-
*_A
Within 8 min
F-----
EMS Transport
Prehospitalfibrinolysis:
Ey9--t,g1:!gd, EMS-to-Balloon within 90
min
Patient selftrasport: Hospital Door-to-Baloon within 90 min
EMS-to-Needle within 30 min Total ischemic time: Within 120 min-
*Gold Hour= First 60 minutes
Gambar 7. Pilihan transportasi pasien dengan STEMI dan terapi reperfusi awal (Dikutip dari: Antman , et al)
seperti pada pasien renjatan kardiogenik, bukti kiinis menunjukkan strategi PCI lebih baik.
Langkah 2: Tentukan apakah fibrinolisis atau strategi invasiflebih disukai
Jika presentasi kurang dari 3 jam dan tidak
Bisiko Perdarahan Pemilihan terapi reperfusi juga melibarkan lisiko perdarahan pada pasien. r-ika terapi reperfusi bersama-sama
tersedia PCI dan fibrinolisis), semakin tinggi risiko perdarahan derrgan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tak tersedia, manfaat
terapj reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko.
Waktu yang Dibutuhkan untuk Transport ke Laboratorium PCI Adanya fasilitas kardioiogi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi farmakologis . Jlka composite end pointkematian, infark
miokard rekuren non fatal atau strok dianalisis. superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju infark
miokard non fatal berulang. Langkah-langkah Penilaian dal am Memilih Terapi Reperfirsi pada Pasien STEMI.
Langkah 1: Nilai waktu dan risiko . Waktu sejak onser gejala
. . .
RisikoSTEMI Risiko fibrinolisis
Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi ke laboratorium PCI yang mampu.
ada keteriambatan untuk strarategi invasif, tidak ada prelerensi untuk strategi lain.
Fibrinolisis umumnya lebih disukai jika: . Presentasi awal <3 jam atau kurang dari onset gejala dan keterlambatan ke strategi invasif. . Strategi invasif bukan merupakan pilihan . Laboratorium kateterisasi belumtersedia . Kesulitan akses vaskular . Tidak ada akses ke laboratorium PCI yang mampu. . Terlambat untuk strategi invasif: - Transport jauh - (D oo r-to - ba.lloon'l( door-to -nee dle') time leblh dari I
-
jam.
Medical contact-to-balloon atatt door-to-ballon rime lebih dari 90 menit.
Strategi invasif umumnya lebih disukai jika: . LaboratoriumPCl yang mampu tersedia dengan backup surgical Medical contact-to-balloon. alatt door-toballoon rirrc <90 menit - (Door-to-baLLoon)-(door-to-needle') time <1 jam. . Risiko tinggi STEMI
. . .
-
Syokkardiogenik Klas Killip lebih atau sama dengan 3 Kontraindikasi fibrinolisis, termasuk meningkatnya risiko perdarahan dan pergarahan intrakranial. Presentasi terlambat Onset gelala >3 jam yang lalu
-
Diagnosis STEMI tidak yakin.
t748
I(ARDIOLOGI
kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial
Panel B
inJ'arction (TIMI ) grading system'. . Grade 0 menunjukkan oklusi total(.compLete occLusion) pada arteri yang terkena infark. . Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi tetapi tanpa perfusi vaskularLate Hosp Care & pencegahan sekunder
Receiving
distal.
.
Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang
.
mengalami infark ke bagian distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan aliran arteri normal. Cracle 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami inf'ark dengan aliran normal
Target terapi reperlusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh pada arteri koroner yang terkena infark Gambar 8. Strategi terapi reperfusi pada STEMI (Dikutip dari: Antman, et al)
menunjukkan hasil yang lebih baik dalam mernbatasi luasnya infark, memperlahankan fungsi ventnkel kui dan menurunktrn laj u mortalitas jangka pendek dan jangka panjang'
PERCIITANEOUS CORONARY INTERVENTION
kematian di rumah sakit sampai 50clc jika diberikan dalam
Terapi fibrinolitik dapat menurunkan risiko relatif (Pcr) Intervensi koroner perkutan, biasanyn angioplasti dan/ataLL stentitlg tanpa didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini ef'ektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam perlama inlhrk miokark
akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan
jam pertama onset geJala STEMI, dan manfaat ini dipertahankan sampai 10 tahun. Setiap hitungan menit dan pasien 1,ang mendapat terapi dalam 1-3 jam onset gelala
akan rnendapat nranfaat yang terbaik. \\'alaupun Iaju mortalitas lebih tinggi jika dibandingkan terapi dalam 1-3
jam, kontraindikasi terapi fibrinolitik pada STEMI dapat clilihat pada tabel 3, terapi rnasih tetap bermanfaat pada
fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih mahal dalarn hal
banyak pasien 3-6jam setelah onsel infark, dan beberapa manfaattampaknyamasih ada sampai 12 jam, temteulajika nyeri ilada masih ada dan segmen ST masih tetap elevasi pada sandapan EKC yang belum menunjukkan gel omban g Q yang baru. Jika dibandingkan dengan PCI pada STEMI (PCI primer). fibrinolisis secara tlmuln lnerupakan sn'ategi repelfusi yan-u lebih disukai pada pasien pada jam pertama ge;ala. jika perhatian terhadap masalah logistik seperti
personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa Rumah Sakit.
antisipasi keterlambatan sekurang-kurangnya
dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. Dibandingkan trombolisrs, PCI prirner lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah
lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat
transportasi pasien ke pusat PCI yang baik, atau ada 1
jam antara
waktu trombolisis dapat dimulai dibandingkan implementasi PCI.
REPERFUSI FARMAKOLOGIS
Fibrinolisis Jika tidak ada kon[raindikasi, terapi fibrino]isis idealnya diberikan dalam 30 menit sejak masuk (doo r-to-needle time < 30 menit). Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat
patensi arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen actfuator (tPA). streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rPA). Semua obat ini bekerja dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan
trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu: golongan spesifik fibrin seperti tPA dan non spesifik fibrin seperti streptokinase.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat (culprit) digambarkan dengan skala
Tisswe pla,sminogen
activator (tPA) dan aktivator
plasminogen spesifik tibrin lain seperti rPA dan TNK lebih efektif daripada streptokinase dalan-r mengembalikan
perfusi penuh, aliran koroner TIMI grade 3 dan memperbaiki survival sedikit lebih baik.
OBAT FIBBINOLITIK
Streptokinase (SK) Merupakan fibrinolitik non spesifik tibrin. Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pejanan selanjutnya karena terbentr-Lknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan intrakranial yang rendah, manfaat pertama diperli hatkan pada' G I S S I - I t r hl.
t749
INFARK MIOKARD AKUT DENGAT{ ELEVASI ST
Streptokinase T%(menit) Alergenik Spesifik fibrin Resisten PAt-1 Bolus Dosis
15-25 ya
Reteplase (r-PA)
Tenecteplase (TNK-PA )
4-8 Tidak
1 1-14 Tidak
Tidak
+
+
++
Tidak 15 mg bolus, dilan jutkan dengan 0,75 mg/kg (max 50 mg) lebih dari 30 menit, dilanjutkan 0,5 mg/ kg (maks 35 mg) lebih dari 1 jam
Dobel '10 U bolus, dua kali, interval 30 menit
Satu berdasarkan BB
t|$li*
+
Tidak 1,5 juta unit lebih dari 3060 menit
fissue P I a s m i n oge n Act i v ator (tPA, altep lase) Global Use of Strategies to Open Coronaty Arteries-l (GUSTO-
1)
17-20
trial menunj ukkan penurunan mortalitas 30 hari
sebesar l5Vo pada pasien yang mendapat tPA dibandingkan SK. Namun tPA harganya lebih mahal daripada SK dan risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih
tinggi.
<60k9 60-69 70-79 80-89
30mg
kg 35 mg kg 40 mg kg 45 mg
>90k9
50mg
onset gejala <12 jam dan EKG 12 sandapan konsisten dengan infark miokard posterior.
2.
Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi fibrinolitik pada pasien dengan gejala STEMI mulai dari
yang berdampingan atau sekurang-kurangnya
Reteplase (Retavase) INJECT trial mentnjukkan efikasi dan keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO
III tial,
dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang
lebih panjang.
2
sandapan ekstremitas.
Trombolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan elevasi ST >507o dalam9} menit pemberian trombolitik. Trombolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehinggajikapasien pasca CABG datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah percutaneous c oronary inte rvention (PCI)
Tenekteplase (TNKase) Keuntungannya mencakup memperbaiki spesifisitas fibrin
dan resistensi tinggi tehadap plasminogen activator
inhibitor (PAI-l). Laporan awal dari TIMI l0
B
menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 ,flow dan komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan dengan tPA.
TATALAKSANA DI RUMAH SAKIT
tccu Aktivitas. Pasien harus istirahatdalam
12
jampertama.
Diet. Karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark
lndikasi Terapi Fibrinolitik Klas I 1. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik
harus
dilakukan pada pasien STEMI dengan onset gejala <12 j am dan elevasi ST >0, I mV pada sekurang-kurangnya 2 sandapan prekordial atau sekurang-kurangnya 2 sandapan ekstremitas. 2. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam dan LBBB baru atau diduga baru.
miokard, pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jampertama. Diet mencakuplemak<307o kalori total dan kandungan kolesterol <300 mg/hari. Menu harus diperkaya dengan makanan yang kaya serat, kalium, magnesium dan rendah natrium.
Bowels. Istirahat di tempat tidur dan efek penggunaan narkotik untuk menghilangkan nyeri sering megakibatkan konstipasi. Dianjurkan penggunaan kursi komod di samping tempat tidur, diet tinggi serat dan penggunaan pencahar
ringan secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat (200mg/hari). Sedasi. Pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk
Klas ll
l.
a
Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi fibrinolitik pada pasien STEMI dengan
mempertahankan periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam5 mg, oksazepam l5-30 mg, atarlorazepaml,S-2 mg, diberikan 3 atau 4 kali sehari biasanya efektif.
1750
KARDIOI.OGI
menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan abciximab dan stenting dengan plasebo dan stenting.
Kontraindikasi absolut
. . . . . . .
Setiap riwayat perdarahan intraserebral Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV) Terdapat neoplasma intrakranial ganas (primer atau metastasis) Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam Dicurigai diseksi aorta Perdarahan aktif atau diatesis berdarah ( kecuali mens ) Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan
Kontraindikasi relatif
. . . . . . . . . .
Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali Hipedensi berat tak terkendali saat masuk (TDS > 180 mgHG atau TDD > 1 '10 mmHG) Riwayat strok iskemik sebelumnya > 3 bulan, demensia, atau diketahui patologi intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (> '10 menit) atau operasi besar (< 3 minggu) Perdarahan internal baru (dalam2-4 minggu) Pungsi vaskular yang tak terkompresi Untuk streptase/anisreplase: riwayat penggunaan > 5 hari sebelumnya atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat tnl
Kehamilan Ulkus peptikum aktif Penggunaan antikoagulan baru: makin tinggi INR makin tinggi risiko perdarahan
TDS = tekanan darah sistolik TDD = tekanan darah diastolik
Hasilnya menunjukkan penurunan kematian, reinfark atau revaskularisasi segera pada 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stent. Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek
klinis adalah unfractionated heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat
trombolitik spesifik fibrin relatif (tPA, rPA atau TNK),
membantu trombolisis dan memantapkan dan mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 Uikg (maksimum 4000 U) dilanjutkan infus inisial 12 Ulkg perjam (maksimum 1000 U/jam). A ctivated partial thromboplasti.n time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5 -2 kali. Antikoagulan alternatif pada pasien STEMI adalah
low-molecular-weight heparin (LMWH). Pada penelitian ASSENT-3 enoksaparin dengan tenekteplase dosis penuh memperbaiki mortalitas, reinfark di Rumah Sakit dan iskemia refrakter di Rumah Sakit. Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik. Pada
keadaan
ini
harus mendapat terapi antitrombin kadar
terapeutik penuh (UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin sekurang-kurangnya 3 bulan. Pada penelitian
TERAPI FARMAKOLOGIS
Antitrombotik Penggunaan terapi antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI berdasarkan bukti klinis dan laboratoris bahwa trombosis mempunyai peran penting dalam patogenesis. Tujuan primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark.
Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi trombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Manfaat antiplatelet terutama aspirin pada
STEMI dapat dilihat
pada
Antiplatelets Trialists' Collabo-
ration. Data daihampir 20.000 pasien dengan infark miokard yang berasal dari 15 randomised trial diklmptlkan dan menunjukkan penurunan relatif laju mortalitas sebesw 27 Vo,
dai l4,2%o pada kelompok kontrol dibandingkan 10,4Vo pada pasien yang mendapat antiplatelet. Pada penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan moftalitas vaskular sebesar
OASIS-6, faondaparinux dosis rendah,
suatu obat anti-Xa tak langsung, lebih superior dibandingkan dengan plasebo atau heparin dalam mencegah kematian dan reinforce pada 5436 pasien yang mendapat terapi fibrinolitik. Pada subset pasien yang
menjalani PCI, fondaparinux dikaitkan dengan insiden kematian atau infark berulang dalam 30 hari lebih tinggi (l7o) yang tidak bermakna. Hal ini dikaitkan dengan terjadinya trombosis kateter, sehingga perlu diberikan tambahan bolus heparin intra vena, untuk mencegah trombosis kateter Pada pasca STEMI dengan onset <12 jam yang tidak diberikan terapi reperfusi, atau pasien STEMI dengan onset > l2 jam aspirin, klopidogren dan obat anti trombin (heparin, enoksapirin atau fondaparinux) harus diberikan sesegera mungkin.,
Penyekat Beta Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi
infark nonfatal sebesar 49Vo. Klopidogrel harus diberikan segera mungkin pada semua pasien STEMI yang mengalami PCI. Pada pasien yang mengalami PCI dianjurkan dosing loading 600 mg.
menjadi: yang terjadi segerajika obat diberikan secara akut
Sedangkan yang tidak menjalani PCI dosis loading 300 mg dilanjutkan dosis pemulihan 75 mg/hari.
keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard,
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk
menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius. Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk
23Vo dan
mencegah komplikasi trombosis pada pasien STEMI yang
dan yang diberikan dalam jangka panjang
jika
obat
diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark dan
L75t
INFARK MIOI(ARD AKUT DENGAN ELEVASI ST
sebagian besar pasien termasuk yang mendapat terapi in-
hibitor ACE. Kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagaljantung atau fungsi sistolik ventrikel
kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi orlostatik atau riwayat asma).
lnhibitor
nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk. Progresivitas dilataii dan konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain. Pada pasien dengan fraksi ejeksi <40Vo, tanpa melihat ada tidaknya gagaljantung, inhibitor ACE harus diberikan.
ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan
Gangguan Hemodinamik
manfaat terhadap mortalitas bertambah dengan
Gagal pemompaan (pump failure) mertpakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan
penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan
risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior. riwayat infark sebelumnya, dan/atau fungsi ventrikel kiri menurun global), namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan hemodinamik stabil pada STEMI pasien dengan tekanan darah sistolik >100 mmHg). Mekanisme yang melibatkan penurunan remodeling ventrikel pasca infark dengan penurunan risiko gagal jantung. Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark. Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEMI. Pemberian inhibitorACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan intoging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipenensif. Penelitian klinis dalam tatalaksana pasien gagal jantung termasuk data dari penelitian klinis pada pasien
dengan tingkat gagal pompa dan morlalitas, baik pada awal
(10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung 53 dan 54 gallop. Pada pemeriksaan rontgen sering dijumpai kongesti paru.
TATALAKSANA EDEMA PARU AKUT
. . .
sering membutuhkan support sirkulasi dengan inotropik dan vasopressor dan/atau intra-aortic balloon counterpulsation untuk menghilangkan edema
.
KOMPLIKASI STEMI
pulsation untuk menghilangkan edema paru dan
.
remodeling ventrikular dan umumnya mendahului berkembangnya gagaljantung secara klinis dalam hitungan
bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut, hasil ini
.
berasal dari ekspansi infark al; slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan dalamzona
nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen noninfark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruangjantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang
paru dan mempertahankan perfusi adekuat. Nitrogliserin sublingual atau intravena.'Nitrogliserin diberikan per oral 0,4-0,6 mg tiap 5- 10 menit, kemudian intravena l0-2Oug/menit kecuali tekanan darah sistolik <100 mmHg atau >30 mmHg di bawah baseline.Pasten dengan edema paru dan tekanan darah rendah sering membutuhkan support sirkulasi dengan inotropik dan
vqsopressor dan/atau intra-aortic ballonon counter-
Disfungsi Ventrikular Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial
dalam bentuk, ukuran dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark, Proses ini disebut
InhibitorACE, mulai dengan titrasi inhibitorACE jangka pendek dengan dosis awal rendah (6,25 mg captopril) diberikan pada pasien edema paru kecuali tekanan darah sistolik <100mmHg atau >30 mmHg dibawahbaseline. Pasien dengan edema paru dan tekanan darah rendah
STEMI menunjukkan bahwa angiotensin receptor blockers (ARB) mungkin bermanfaat pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri menurun atau gagaljantung klinis yang tak toleran terhadap inhibitor ACE.
Terapi 02 untukmempertahankan saturasi oksigen >90%. Morfin sulfat: diberikan 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap 5-10 menit sampai dosis total 20m9.
.
mempertahankan perfusi adekuat.
Diuretik: furosemid 40-80 mg bolus intravena, dapat diulang atau dosis diringkatkan setelah 4 jam, atau dilanjutkan dengan drip kontinyu sampai mencapai produksi urin I mUkgBB/jam. Penyekat beta harus diberikan sebelum pulang untuk pencegahan sekunder. Pada pasien yang tetap mengalami gagal jantung selama perawatan, dosis kecil dapat dimulai, dengan titrasi bertahap pada saat rawat jalan. Antagonis aldosteron jangka panjang harus diberikan pada pasien STEMI tanpa disfungsi ginjal bermakna (kreatinin harus <2,5 mg/dl pada pria dan < 2 mgldl pada perempuan) atau hiperkalemia (K harus < 5 mEq/ liter) yang sudah mendapat inhibitor ACE dosis terapi.
1752
mempunyai fraksi ejeksi ventrikel
.
KARDIOI.OGI
kiri
<40Vo dan
mengalami gagal jantung simtomatik atau diabetes. Ekokardiografi harus dilakukan dengan segera untuk memperkirakan fungsi ventrikel kiri dan ventrikel kanan dan menyingkirkan komplikasi mekanis.
SYOK KARDIOGENIK Hanya l0% pasien syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk, sedangkan 9O7o terjadi selama perawatan. Biasanya
pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.
Tatalaksana Syok Kardiogenik
. . . .
.
Terapi 02.
Jika tekanan darah sistolik < 7OmmHg dan terdapat tanda syok diberikan norepinefrin. Jika tekanan darah sistolik <90mmHg dan terdapat tanda syok diberikan dopamin dosis 5- l5 ug/kgBB/menit. Jika tekanan darah <90 mmHG namun tidak terdapat tanda syok diberikan dobutamin dosis 2-20 uglkgBB/
Revaskularisasi arteri koroner segera, baik PCI atau
jam IMA dan ideal untuk revaskularisasi yang dapat dikerjakan dalam l8 jam syok, kecuali jika terdapat
.
. .
. . . . . . . . . . . .
Pertahankan preloadventrikel kanan:
Loading volume (infus NaCl 0,9 Vo): I -2 liter cairan jam I selanjutnya 200 ml/jam (target tekanan atrium kanan >10mmHg(13,6cmH20). Hindari penggunaan nitrat dan diuretik
Pertahankan sinkroni A-V dan bradikardia harus dikoreksi.
jantung sekuensialA-V pada blokjantung derajat tinggi simtomatik yang tidak respons dengan atropin. Diberikan inotropik jika curah jantung tidak meningkat setelah loading volume Kurangi afterload ventrikel kanan sesuai dengan
Pacu
disfungsi ventrikel kiri. Pompa balon intra-aortik
Vasodilatorarteri(nitropruspid,hidralazin) PenghambatACE Reperfusi
Obattrombolitik Percutaneous coronary intervention (PCI) primer Coronary artery bypass graft (CABG) (pada pasien tertentu dengan penyakit multivesel)
merut. CAB G direkomendasikan pada pasien <75 tahun dengan elevasi ST atau LBBB yang mengalami syok dalam 36
.
Tatalaksana lnfark Ventrikel Kanan
kontraindikasi atau tidak ideal dengan tindakan invasif. Terapi trombolitik diberikan pada pasien STEMI dengan syok kardiogenik yang tak ideal untuk terapi invasif dan tidak mempunyai kontraindikasi trombolisis. Intra aortic ballon pump (IABP) direkomendasikan pasien STEMI dengan syok kardiogenik yang tidak membaik dengan segera dengan terapi farmakologis,
bila sarana tersedia
INFARKVENTRIKEL KANAN Sekitar sepertiga pasien dengan infark inferoposterior menunjukkan sekurang-kurangnya nekrosis ventrikel kanan derajat ringan. Jarang pasien dengan infark terbatas primer pada ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan secara klinis meyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul's, hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi. Elevasi segmen ST pada sandapan EKG sisi kanan, terutama sandapan V4R, sering dijumpai dalam 24 jam pertama pasien infark ventrikel
kanan. Terapi terdiri dari ekspansi volume untuk mempertahankan preload ventrikel kanan yang adekuat dan upaya untuk meningkatkan tampilan dengan reduksi Pulmonary Capillary Wedge (PCW) dan tekanan arteri
pulmonalis.
ARITMIA PASCA STEMI Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset gejala. Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemia dan perlambatan konduksi di zona iskemia miokard.
EKSTRASISTOL VENTRIKEL Depolarisasi prematur ventrikel sporadis yang tidak sering, dapat terjadi pada hampir semua pasien STEMI dan tidak
memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI dan pencegahan fibrilasi ventrikel, dan harus diberikan rutin kecuali terdapat kontraindikasi. Hipokalemia dan hipomagnesimia merupakan faktor risiko fibrilasi ventrikel pada pasien STEMI, konsentrasi kalium serum diupayakan mencapai 4,5 mmol/liter dan magnesium 2,0 mmol,/liter.
TAKIKARDIA DAN FIBRILASI VENTRIKEL Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardia dan fibrilasi ventrikular dapat terjadi tanpa tanda bahaya aritmia sebelumnya.
Ta
.
kikardia Ventri kel (ve ntri cul a r tachyca rd ia = YTI Thkikardiaventrikel (VT) polimorFftyang menetap (lebih
t753
INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST
dari 30 detik atau menyebabkan kolaps hemodinamik) harus diterapi dengan DC shock unsynchoronized menggunakan energi awal 200 J; jika gagal harus diberikan shockkedta 200-300 J, danjika perlt shock
.
.
dengan disfungsi ventrikel
-
kiri berat dan
gagal
Jantung.
Fibrilasi atial sustained dan fluter atrial pada pasien
ongoing iskemia tetapi tanpa gangguan
ketiga 360 J.
hemodinamik diberikan terapi dengan satu atau lebih obat berikut: - Penyekat beta lebih disukai, kecuali ada
Takikardia ventrikel (VT) monomorfik, menetap yang diikuti dengan angina, edema paru atau hipotensi (tekanan darah <90 mmHg) harus diterapi dengan DC shock synchoronized energi awal 100 J. Energi dapat ditingkatkan jika dosis awal gagal. Takikardiaventrikel (VT) monomorfftyang tidak disertai angina, edema paru atau hipotensi (tekanan darah <90 mmHg) diterapi dengan salah satu regimen berikut: - Lidokain: bolus I -1,5 mgikg. Bolus tambahan 0,50,75 mg/kg tiap 5-10 menit sampai dosis loading
-
kontraindikasi DiltiazematauverapamillV Kardioversr synchronized dengan shock 200 J
untuk fibrilasi atrial dan 50 J untuk fluter,
-
total maksimal 3 mg/kg. Kemudian loading
didahului anestesi umum singkat atau sedasi jika memungkinkan. Fibrilasi atrial atau fliter sustained tanpa gangguan hemodinamik atau iskemia, diindikasikan rate control. Pasien dengan fibrilasi atrial atau fluter sustained harus diberikan antikoagulan.
dilanjutkan dengan infus 2-4 mg/menit (30-50 ug/ kg/menit).
-
Disopiramid: bolus 1-2 mg/kg dalam 5-10 menit, dilanjutkan dosis pemeliharaan I mg/kg/jam. Amiodaron: l50mginfus selama 10-20menitatau 5 mUkgBB 20-60 menit, dilanjutkan infus retap 1 mg/
-
menit selama 6 jam dan kemudian infus pemeliharaan 0,5 mg/menit. Kardioversi elektrik syrz choronized dimulai dosis 50 J (anestesi sebelumnya).
Aritmia Supraventrikular Takikardia supraventrikalar reentrant diberikan terapi menurut urutan berikut: . Massage sinus karotis
.
setelah
.
Fibrilasi Ventrikel
.
Fibnlasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless diberikan terapi DC shock unsynchoronized dengan energi awal200 J jika tak berhasil harus diberikan sftock kedua 200 sampai 300 J danjika perh shockketiga 360
.
J
.
(Klas I).
Fibrilasi Atrium Fibrilasi atrial sustained dan fluter atrial pada pasien dengan gangguan hemodinamik atau ongoing iskemia harus diterapi dengan I atau lebih cara berikut: . Kardioversi synchronized dengan shock 200 J untuk fibrilasi atrial dan 50 J untuk fluter atrial. didahului dengan anestesi umum singkat atau sedasi jika memungkinkan.
Fibrilasi atrial yang tak respons terhadap kardioversi elektrik atau berulang setelah periode ritme sinus, dianjurkan penggunaan terapi antiaritmia yang ditujukan untuk penurunkan respons ventrikel. Satu atau lebih obat farmakologi berikut dapat dipakai
-
Amiodaron
mg jika diperlukan. Penyekat beta IV dengan metoprolol 2,5-5 mgtiap2-5 menit sampai dosis total 15 mg lebih dari 10-15 menit atau atenolol 2,5-5 mg lebih dari menit sampai dosis total 10 mg dalam 10-15 menit.
Diltiazem
IV 20 mg (0,25 mg/kg) lebih dari
menit
dilanjutkan infus I 0 mg/jam
Digoksin IV, mungkin ada perlambatan sekurangkurangnya l jam sebelum efek farmakologis muncul (815 mcg/kg (0,6-l mg pada pasien dengan berat badan 70 kg).
Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless yang refrakter terhadap syok elektrik diberikan terapi amiodaron 300 mg atau 5 mg/kg, IV bolus dilanjutkan pengulangan shock unsynchoronized. (Klas IIa)
.
.
IV 6 mg dalam l-2 detik; jika tak respons l-2 menit dapat diberikan l2 mg IV; diulang 12
Adenosin
Asistol Ventrikel Resusitasi segera mencakup kompresi dada, atropin, vasopresin, epinefrin dan pacu antung sementara harus diberikan pada asistol ventrikel
Bradiaritmia dan Blok Bradikardia sinus simtomatik, sinus pauses >3 detik atau bradikardia dengan frekuensi jantung <40 kali/menit disertai hipotensi dan tanda gangguan hemodinamik sistemik diberikan terapi atropin 0,5-l mg. Jika bradikardia menetap dan dosis atropin sudah mencapai 2 mg, harus diberikan pacu jantung transkutaneus atau transvenous.
:
IV
Digoksin IV untuk pengendalian laju respons ventrikel (rate control) terutama untuk pasien
KOMPLIKASI MEKANIK
'
Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel,
L754
KARDIOLTOGI
ruptur dinding ventrikel. Penatalaksanaan : operasi Skor Faktor Risiko (Bobot)
Risiko/Mortalitas 30 hari (%)
PERIKARDITIS
.
Aspirin (160-325 mg/hari): merupakan pengobatan
. .
terpilih. Indometasin,ibuprofen Korlikosteroid. ,
PROGNOSIS Terdapat beberapa sistem pasca IMA:
untuk menentukan prognosis
Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisis
Frekuensi jantung > 100 mm Hg (2 poin) Klasifikasi Killip ll-lV (2 poin) Berat < 67 kg (1 poin) Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin) Waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin) Skor risiko = total poin (0-14)
0 (0,8) 1 (1,6)
2 (2,2) 3 (4,4)
4 (7,3) 5 (12,4) 6 (16,1) 7 (23,4) 8 (26,8) >8 (35,9)
bedside
sederhana; 33 gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik
Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)
TIMI risk score adalah
Usia 65-74 tahun (2 poin) Usia > 75 tahun (3 poin) ' Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin) Tekanan darah sistolik < 100mm Hg (3 poin)
sistem prognostik paling akhir yang
menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisis yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat terapi trombolitik.
REFERENSI Van de Werf, Bax.J, Betriu.A, et al. Management of acute myocardial infrction in patients presenting with persistent STsegment elevation. Eur Heart I 2008;29:2909-45 Antman EM, Anbe DT, Armstrong PW et al. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients Wirh ST--Elevation
Myocardial lnfarction A Report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee to Revise the 1999 Guidelines
Management of Patients With Acute Myocardial Infarction) Circularion 2004;l 10:588-636 Antman E, Braunwald E. ST elevation myocardial infarction:
for the
I
il ilt IV
Mortalitas
Definisi
Klas
("/"1
Tak ada tanda gagal jantung kongestif + 53 dan/atau ronki basah edema paru syok kardiogenik
6 17
30-40 60-80
management In: Braunwald E, Zipes DP, Libby P, eds. Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. 7th ed. Phila-
delphia, Pa: WB Saunders12005:1167-226. Rogels WJ, Canto JG Lambrew CT. et al. Temporal trends in the treatment of over 1.5 million patients with myocardial infarction in the US from 1990 through 1999: the National Registry
of Myocardial Infarction 1, 2 and 3. J Am Coll Cardiol. 2000;36:2056-63.
Klas I
il ilt IV
lndeks Kardiak (L/min/m'z) > > < <
2,2 2,2 2,2 2,2
,l?,T!, Mortaritas (%) < 18
J
>18
I
< 18 > 18
23
PCWPr pulmonary capillary wedge pressure
51
Wiviott SD, Morrow DA, Giugliano RP, et al. Performance of thethrombolysis in myocardial infarction risk index for early acute coronarysyndrome in the National Registry of Myocardial Infarction: a simple risk index predicts mortality in both ST and non-ST elevation myocardial infarction J Am Coll Cardiol
2003 ;4 I :365A-366A.
National Cholesterol Education Program. Third Report of the Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel IIl. NIH publication No. 02-5125. Bethesda, Md: National Heart, Lung, and Blood
t755
INEARK MIOKARD AKUT DENGAI{ ELEVASI ST
Institute, 2002. Guidelines, Related Toois, and Patient Information, available at: http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/cholesterol/ index.htm. Accessed
April 12,
2003.
Eisenberg MJ, Topol EJ. Prehospital administration of aspirin in patients with unstable angina and acute myocardial infarction.
Arch Intern Med. 1996;1 56: 1506-10. Fibrinolytic Therapy Trialists' (FTT) Collaborative Group. Indications for fibrinolytic therapy in suspected acute myocardial infarction: collaborative overview of early mortality and major morbidity results from all randomized trials of more than 1000 patients. Lanc et. 1994;343 :3 1 l-22. Gruppo Italiano per lo Studio della Streptochinasi nell'Infarto Miocardico (GISSI). Effectiveness of intravenous thrombolytic treatment in acute myocardial infarction. Lancet. 1986;l:39'l402. The American Heart Association in collaboration with the International Liaison Committee on Resuscitation. Guidelines 2000 for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care: Part 7: the era of reperfusion: section 1: acute coronary
syndromes (acute myocardial infarction). Circulation. 2000; 1 02(suppl I ),1l1 2-I-203. Antithrombotic Trialists' Collaboration. Collaborative meta-analysis of randomized trials of antiplatelet therapy for prevention of death, myocardial infarction, and stroke in high risk patients.
8MJ.2002;324:11-86. De Luca G, Suryapranata H, Zijlstra F, et al, for the ZWOLLE Myocardial Infarction Study Group. Symptom-onset-to-balloon time and mortality in patients with acute myocardial infarction treated by primary angioplasty. J Am Coll Cardiol 2003 42:9917.
N. Poldermans D. er al Acure myocardial infarction. Lancet 2003.36I:847-58 De Luca G, Suryapranata H, Ottervanger JP, et al Time de)ay to treatment and mortality in primary angioplasty for acute Boersma E, Mercado
myocardiaI infarction: every minute of delay counts. Ci r c ulatio n. 2004:109 :1223-5. The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infarction of the European Society of Cardiology. Management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation. Eur Heart J.2003;24:2866
Morrow DA, Antman EM, Charlesworth A, et al TIMI risk score for ST-elevation myocardial infarction: a convenient, bedside,
clinical score for risk assessment at presentation: an intravenous nPA for treatment of infarcting myocardium early Il trial substudy. Circulation. 2000;102 2031-7
multicentre trial: PRAGUE-2. Eur Heart J.2003;24:94-104 Lincoff AM, Califf RM, Van de Werf P, et al, for the Global Use of Strategies To Open Coronary Arteries (GUSTO) Investigators. Mortality at 1 year with combination platelet glycoprotein IIb/ IIIa inhibition and reduced-dose fibrinolytic therapy vs conventional fibrinolytic therapy for acute myocardial infarction: GUSTO V randomized trial. JAMA. 2002;288:2130-5 Widimsky P, Groch L, Zel(zko M, et al. Multicentre randomized trial comparing transport to primary angioplasty vs immediate
thrombolysis vs combined strategy for patients with acute myocardial infarction presenting to a community hospital without a catheterization laboratory: the PRAGUE study. Eur Heart
J. 2000:21:823-31 Grines CL, Browne
Kfl
.
Marco J, et al, for the Primary Angioplasty
in Myocardial Infarction Study Group. A
comparison of immediate angioplasty with thrombolytic therapy for acute myocardial infarction. N Engl J Med. 1993;328:673-9. Schcimig A, Kastrati A, Dirschinger J, et al, for the Stent versus Thrombolysis for Occluded Coronary Arteries in Patients with Acute Myocardial Infarction Study Investigators Coronary stenting plus platelet glycoprotein IIb/llIa blockade compared
with tissue plasminogen activator in acute
myocardial infarction. N EngL J Med. 2000;143:385-91. Andersen HR, Nielsen Tl Rasmussen K, et al. tbr the DANAMI-2 Investigators. Thrombolytic therapy vs plimzu'y percutaneous coronary intervention for myocaldial inl'arction in patients presenting to hospitals wirhour on-site cardiirc sufgery: a randomized controlled trial. JAMA. 2002;281 1943-51. Andersen HR, Nielsen TT, Rasmussen K, et al, for the DANAMI-2 Investigators. A comparison of coronary angioplasty with fibrinolytic therapy in acute myocardial infarction. N Engl J Med 2003;349: '733-42.
Hochman JS, Sleeper LA, Webb JG et al, for the Should We Emergently Revascularize Occluded Coronaries for Cardiogenic Shock (SHOCK) Investigators. Early revascularization in acute myocardial infarction complicated by cardiogenic shock N Engl J Mecl. 1999:341: 625-34.
Keeley EC, Boura JA, Grines CL. Primary angioplasty versus intravenous thrombolytic therapy for acute myocardial infarction: a quantitative review of 23 randomised trials. Lancet. 2003:.361 :1 3-20. Berger PB, Ellis SG Holmes DR, et al. Relationship between deJay in performing direct coronary angioplasty and early clinical outcome ln patients with acute myocardial infarction: results from the Global Use of Strategies To Open Occluded Arteries in
Acute Coronary Syndromes (GUSTO-IIb) triaL. Circulation.
.
Lee KL, Woodlief LH, Topol EJ, et al, for the GUSTO-I
1
999: I 00:
I
4-20.
Investigators Predictors of 30-day mortality in the era of reperfusion for acute myocardial infarction: results from an international trial of 41,021 patients. Circulation.
Juliard JM, Feldman LJ, Golmard JL, et al. Relation of mortality of
I995:9I:I659-68.
Am J CardioL. 2003:91: 1401-5. Suryapranata H, Ottervanger JP, Nibbering E, et al. Long term
Bonnefoy
E, Lapostolle F, Leizorovicz A, et al., for
the Comparison of Angioplasty and Prehospital Thrombolysis in Acute Myocardial Infarction study group Primary angioplasty versus prehospital fibrinolysis in acute myocardial infarction: a randomised stldy. Lancet. 2002;360:825-9. Steg PG, Bonnefoy E, Chabaud S, et al. Impact of time to treatment
on mortality after prehospital fibrinolysis or
primary
angioplasty: data from the CAPTIM randomized clinical trial. Circulation. 2003 ; 1 08:285 1-6 Widimsky P, Budesinsky T, Vorac D, et al. Long distance transport
for primary angioplasty vs immediate thrombolysis in
acute
myocardial infarction: final results of the randomized national
primary angioplasty during acute myocardial infarction to door-to- Thrombolysis In Myocardial Infarction (TIMI) time.
outcome and cost-effectiveness of stenting versus balloon angioplasty for acute myocardial infarction. Heart. 2001:85:661 -1
1
DA, et a1, for the Controlled Abciximab and Device Investigation to Lower Late Angioplasty Complications (CADILLAC) Invesrigators. Comparison of angioplasty with stenting, with or without abciximab, in acute myocardial infarction. N Engl J Med. 2002;346:957-66. The TIMI Research Group. Immediate vs delayed catheterization Stone GW, Grines CL, Cox
and angioplasty following thrombolytic therapy for acute A restits JAMA 1988;260:2849-
myocardial infarction: TIMI II
t756 58.
Hochman JS, Sleeper LA, White HD, et al, for the SHOCK Investigators: Should We Emergently Revascularize Occluded Coronaries for Cardiogenic Shock: one-year survival following early revascularization for cardiogenic shock. JAMA.
2001 285:190-2.
Y Sleeper LA, Cocke TP, et al, for the SHOCK Investigators. Early revascularization is associated with improved survival in elderly patients with acute myocardial infarction
Dzavik
complicated by cardiogenic shock: a report from the SHOCK
Trial Registry. Eur Heart J.2003;24:828-37 Montalescot G, Barragan P, Wittenberg O, et al, for the ADMIRAL
(Abciximab before Direct Angioplasty and Stenting in Myocardial Infarction Regarding Acute and Long-Term Follow-up). lnvestigators. Platelet glycoprotein IIb/IIIa
inhibition with coronary stenting for acute myocardial infarction. N Engl J Med. 2001;344:1895-903. Braunwald E, Antman E, Beasley J, et al. ACC/AHA 2002 guideline updatefor the management of patients with unstable angina and
non-ST-segment elevation myocardial infarction: summary article: a report of the American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee on the Management of Patients With Unstable Angina). J Am Coll Cardiol.20O2;40:1366. Gupta M, Chang WC, Van de Werf F, et al, for the ASSENT II
Investigators. International differences in in-hospital revascularization and outcomes following acute myocardial infarction: a multilevel analysis of patients in ASSENT-2. Ear Heart J. 2001',24:1640-50. Gibson CM, Karha J, Murphy SA, et al, for the TIMI Study Group. Early and long-term clinical outcomes associated with
reinfarction following fibrinolytic administration in the
thrombolysis in myocardial infarction trials. J Am Coll Cardiol. 2003 42:1 -16. ISIS-2 (Second International Study of Infarct Survival) Collaborative Croup. Randomised trial of intravenous streptokinase, oral aspirin, both, or neither among 17,187 cases of suspected acute myocardial infarction : ISIS -2. Lanc et. 1 98 8 ;2: 349-60. Bertrand ME, Rupprecht HJ, Urban R et al. Double-blind study of the safety of clopidogrel with and without a loading dose in
combination with aspirin compared with ticlopidine in combination with aspirin after coronary stenting : the Clopidogrel
Aspirin Stent International Cooperative Study (CLASSICS). C i r c ulat i o n 2O00 tl 02:624-9. Mehta SR, Yusul S, Peters RJ, et al, for the Clopidogrel in Unstable angina to prevent Recurrent Events trial (CURE) Investiga-
tors. Effects of pretreatment with clopidogrel and aspirin followed by long-term therapy in patients undergoing percutaneous coronary intervention: the PCI-CURE study. Lancet. 2001:358:527 -33. Steinhubl SR, Berger PB, Mann JT
III, et al, for the CREDO (Clopidogrel for the Reduction of Events During Observation) Investigators. Early and sustained dual oral antiplatelet therapy following percutaneous coronary intervention: a randomized controlled trial. JAMA. 2O02; 288:241 I-20.
Patrono C, Bachmann F, Baigent C, et al. Expert consensus document on the use of antip'latelet agents: The J45k Force on
KARDIOI.OGI
the Use of Antiplatelet Agents in Patients
With
Atherosclerotic Cardiovascular Disease of the European Society of Cardiology. Eur Heart J.200425:166-81 Levine GN, Kern MJ, Berger PB, et al, for the American Heart Association Diagnostic and Interventional Catheterization Committee and Council on Clinical Cardiology. Management of patients undergoing percutaneous coronary revascularization. Ann Intern Med. 2003:139:123-36. Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III) final
report. C ircuLation. 2002;106:3143-421. Pitt B, Zannad F, Remme WJ, et al, for the Randomized Aldactone Evaluation Study Investigators. The effect of spironolactone on morbidity and mortality in patients with severe heart failure. N Engl J Med. 1999;341:'709-11 . Pfeffer MA, McMurray JJ, Velazquez EJ, et al, for the Valsartao in Acute Myocardial Inlarction Trial Investigators Valsartan, captopril, or both in myocardial infarclion complicated by heart failure, left ventricular dysfunction, or both. N Engl J Med. 2003;349:1893-1906. Yusuf S, Zhao F, Mehta SR, et al, ibr the Clopidogrel in Unstable Angina to Prevent Recurrent Events Trial Investigators Effects of clopidogrel in addition to aspirin in patients with acute coronary syndromes without ST-segment elevation N Engl J
Med 2001:345:494-502. Brouwer MA, van den Bergh PJ, Aengevaeren WR, et al. Aspirin
plus coumarin versus aspirin alone in the prevention of reocclusion after fibrinolysis for acute myocardial infarction: results of the Antithrombotics in the Prevention of Reocclusion
In Coronary Thrombolysis (APRICOT)-2 Trial. Circulation. 2002: 1 06:65 9-65 . Yusuf S, Sleight P, Pogue J, et al, for the Heart Outcomes Preven-
tion Evaluation Study Investigators. Effects of angiotensin-convertingenzyme inhibitor, ramipril,
an
on
cardiovascular events in high-risk patients. N Engl J Med 2000t342:145-53 Fox KM, for the EURopean trial On reduction of cardiac events with Perindopril in stable coronary Artery disease Investigators. Efficacy of perindopril in reduction of cardiovascular events .
with stable coronary artery disease: randomised, double-blind, placebocontrolled. multicentre trial (the EUROPA strdy). Lancer. 2003 ;362: 7 82-8. Granger CB, McMurray JJ, Yusuf S, et al, for the CHARM Investigators and Committees. Eff'ects of candesartan in patients with among patients
chronic heart failure and reduced left-ventricular systolic function intolerant to angiotensin- converting-enzyme inhibitors: the CHARM-Alternative trial. Lancet. 2003;362:112-6' McMurray JJ, Ostergren J, Swedberg K, et al, for the CHARM Investigators and Committees. Effects of candesartan in patients with chronic heart failure and reduced left-ventricular
systolic function taking angiotensin-converting-enzyme inhibitors: the CHARM-Added trial. Lancet. 2003:362:76771. Yusuf S, Pfeffer MA, Swedberg K, et al, for the CHARM Investigators and Committees. Effects of candesartan in patients with chronic heart failure and preserved left-ventricular ejection
fraction: the CHARMPreserved fiial. Lancet. 2003 ;362:'7 7 1 81.
Seventh report
of the Joint National Committee on
the
Prevention. Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7): resetting the hypertension sails' Hy pe rtension. 2003:.41:1 178 -9.
275 INFARK MIOI(ARD AKUT TANPA ELEVASI ST Sjaharuddin Harun, Idrus Alwi
PENDAHULUAN
oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner diawali dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rqndah, fibrous cap yangtipis dan konsentrasi faktorjaringan yang
Angina pektoris tak stabil (unstable angina = UA) dan infark miokard akut tanpa elevasi ST (non ST elevation myocardial infarction = NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan
gambaran klinis sehingga pada prinsipnya
tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai
penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis
konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNF cr, dan IL-6. Selanjutnya IL-6 akan merangsang pengeluaran hsCRP di hati.
NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UA menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker j antung.
Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri dada, yang menjadi salah satu gejala yang paling sering didapatkan pada pasien yang datang ke IGD, diperkirakan 5,3 juta kunjungan/tahun. Kira-kira l/3 darinya disebabkan
oleh UA/NSTEMI, dan merupakan penyebab tersering kunjungan ke rumah sakit pada penyakit jantung. Angka kunjungan RS untuk pasien UA/NSTEMI semakin meningkat, sementara angka infark miokard dengan elevasi ST (STEMD menurun. Penatalaksanaan UA/ NSTEMI telah disusun dalam
EVALUASIKLINIS Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala di epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat
atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering
pedoman (guidelines) oleh American College of Cardiology (ACC) dan American Heart Association
klinis menunjukkan bahwa mereka yang memiliki gejala
(AHA). Guidelines untuk tatalaksana UA./N-STEMI juga dibuat oleh European Society of Cardiology dan memiliki
dengan onset baru angina berat/terakselerasi memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki nyeri
kemiripan den gan g uide lines Am erika. Perlu diingat bahwa prinsip penatalaksanaan sangat tergantung kepada sarana./
pada waktu istirahat. Walaupun gejala khas rasa tidak enak di dada iskemia pada NSTEMI telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas, atau leherjuga terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.
ditemukan pada NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran
prasarana yang tersedia di tempat pelayanan masingmasing khususnya untuk tindakan intervensi koroner.
PATOFISIOLOGI Non ST elevation myocardial Infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat
EKG Gambaran elektrokardiogram (EKG), secara spesihk berupa
t75
1758
I(ARDIOI.OGI
deviasi segmen ST merupakan hal penting yang menentukan risiko pada pasien. Pada Thrombolysis in Mltocardial (TIMI) III Registry, adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0,05 mV merupakan prediktor oLttcome
yang buruk. Kaul et al. menunjukkan peningkatan risiko outcome yang buruk meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi segmen ST, dan baik depresi segmen ST maupun perubahan troponin T keduanya memberikan tambahan informasi prognosis pasien-pasien dengan NSTEIVII.
BIOMARKER KEBUSAKAN MIOKARD
dengan skor risiko 0- I , sampai 4l7o dengan skor risiko 6-7.
Skor risiko ini berasal dari analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI l18 dan telah divalidasi pada empat penelitian tambahan dan satu registry. Dengan meningkatnya skor risiko, telah diobservasi manfaat yang lebih besar secara progresif pada terapi dengan LMWH versus UFH, detgan Platelet GP IIb/IIIa receptor blocker
tirofiban versus plasebo, dan strategi invasif versus konservatif. Pada pasien untuk semua level skor risiko TIMI, penggunaan klopidogrel menunjukkan penu;runan outc ome yang buruk relatif sama. Skor risiko juga efektif dalam memprediksi olttcome yang buruk pada pasien setelah pulang.
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih disukai, karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisonal seperti CK dan CKMB. Pada pasien dengan lMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4 jamdan dapat menetap sampai 2 minggu. Pada gambar- I dapat dilihat kinetik biomarker jantung seperti mioglobin, CKMB dan troponin.
SERUM KREATININ Terdapat banyak bukti yang menunjukkan disfungsi ginjal
berhubungan dengan peningkatan risiko outcome yang buruk. Beberapa penelitian seperti Platelet Receptor
STRATIFIKASI RISIKO
Inhibition in Ischemic S),ndrome Managemenl in Patients Limited by Unstable Sign and Syntptom (PRISM-PLUS), Treat Angina with Aggrastctt and Detennine Cost of
Penilaian klinis dan EKG keduanya merupakan parameter
(TACTICS)-TIMI 18, dan Global Use Stategies to Open
utama dalam pengenalan dan penilaian risiko NSTEMI. Jika ditemukan risiko tinggi, maka keadaan ini memerlukan terapi awal yang segera. Penatalaksanaan sebaiknya terkait dengan faktor rjsikonya (Garnbar l). Terdapat beberapa pendekatan untuk stratifikasi risiko pada NSTEML
kesemuanya menunjukkan pasien-pasien dengan kadar klirens kreatinin yang lebih rendah memiliki gambar-an risiko tinggi yang lebih besar dan outcome yang kurang baik. Walaupun strategi invasif banyak bermanfaat pada pasien
Therapy with Invasive or Conservative Strategy
dengan disfungsi ginjal, namun mempunyai risiko perdarahan yang lebih banyak. Karena "molekul kecil'' inhibitor GP IIb/IIIadan LMWH diekskresikan lewat ginjal,
50
=o, o o
o.
.r..rtr..t.
=
E
o (E
penglepasan awal dari mioglobin atau CK-MB isoform
20 Troponin, setelah IMA klasik kardiak 10
-g .E
-
----
5
-
-
CK-IVB setelah lM
-
Troponin kardiak setelah mikro infark
PETANDA BTOLOGTS (BTOMARKEB IIULTIPEL
1
UNTUK PENILAIAN RISIKO
=
=
terapi ini seharusnya diberikan dengan perhatian khusus pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Walaupun disfungsi ginjal dapat mengganggu kiirens troponin. namun tetap merupakan prediktor keluaran yang benilai pada pasien tersebut.
2
.= ,9
E
Occluded Coronary Arteries (GUSTO) IV-ACS,
2345678
Jumlah hari setelah onset IMA
Gambar 1. Kinetik berbagai petanda biokimia jantung
Newby et al. mendemonstra-sikan bahwa strategi bedside menggunakan mioglobin, creatinin kinase-MB dan troponin I menunjukkan stratifikasi risiko yang lebih akurat dibandingkan j i ka menggunakan petanda tunggal berbasis
SKOR RISIKO TIMI Skor risiko merupakan suatu metoda sederhana untuk stratifikasi risiko, dan angka faktor risiko. Insidens outcome yatrg buruk (kematian, (re) infark miokard, atau iskemia berat rekuren) pada 14 hari berkisar antara 5Eo
laboratorium. Sabatine et al. mempertimbangkan 3 faktor patofisiologi yang terjadi pada UAAJSTEMI yaitu : . Ketidakstabilan plak dan nekrosis otot yang terjadi
. .
akrbat mikroembol isasi, Inflamasi vaskular. Kerusakan ventrikel kiri.
1759
INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST
Masing-masing dapat dinilai secara independen berdasarkan penilaian terhadap petanda-petanda seperti cardiac-spesific Iroponin, C-reactive protein dan brain natrittret ic p eptide, berturut-turut. Pada peneli tian TACTICS-TIMI 18, di mana risiko relatif, mortalitas 30 hari pasien-pasien dengan biomarker 0, l, 2, dan 3 semakin meningkat berkali lipat 1;2,I;5,1; dan 13,0 berturut-turut. Pendekatan dengan berbagai petanda laboratorium ini sebaiknya tidak digunakan sendiri-sendiri tapi seharusnya dapat memperjelas penemuan klinis.
TERAPI ANTIISKEMIA Untuk menghilangkan nyeri dada dan mencegah nyeri dada berulang, dapat diberikan terapi awal mencakup nitrat dan penyekat beta. Terapi anti iskemia terdiri dari nitrogliserin sub lingual dan dapat dilanjutkan dengan intravena, dan penyekat beta oral (pada keadaan tertentu dapat diberikan intravena). Antagonis kalsium nondihidropiridin diberikan pada pasien dengan iskemia refrakter atau yang tidak toleran dengan obat penyekat beta.
Usia > 65 tahun > 3 faktor risiko PJK Stenosis sebelumnya > 50 % Deviasi ST > 2 kejadian angina < 24 jam Aspirin dalam 7 hari terakhir Peningkatan petanda jantung
PENATALAKSANAAN Pasien NSTEMI harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG untuk deviasi segmen ST dan irama jantung. Empat komponen utama terapi harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu :
.. . . .
Terapi antiiskemia,
Terapi antiplatelet/antikoagulan, Terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi),
NITRAT
Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah
Nitrat pertama kali harus diberikan sublingual atalu sPrcty bukal jika pasien mengalami nyeri dada iskemia. Jika nyeri
perawatan RS.
lskemia berulang dan/atau perubahan segmen ST atau inversi gelombang T dalam atau petanda kardiak yang positif
AsPirin
Penyekat reseptor beta Nitrat Regimen antitrombin Penghambat GP llb/llla Monitoring (ritme cjan iskemia)
Angiografi dalam
Braunwald et al. Circulation 2002;106:1893-900 Gambar 2. Jalur iskemia akut
1760
I(ARDIOI.OGI
menetap setelah diberikan nitrat sublingual 3 kali dengan interval 5 menit, direkomendasikan pemberian nitrogliserin
intravena (mulai 5-10 ug/menit). Laju infus dapat ditingkatkan l0 ug/menit tiap 3-5 menit sampai keluhan menghilang atau tekanan darah sistolik < 100 mmHg. Setelah nyeri dada hilang dapat digantikan dengan nitral oral atau dapat menggantikan nitrogliserin intravena jika pasien sudah bebas nyeri selama 12-24 jam. Kontraindikasi absolut adalah hipotensi atau penggunaan sildenafil atau
obat sekelasnya dalam 24 jam sebeiumnya.
PENYEKATBETA Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 50-60 kali/menit. Antagonis kalsium yang mengurangi frekuensi jantung seperti verapamil atau
diltiazem direkomendasikan pada pasien dengan nyeri dada persisten atau rekuren setelah terapi nitrat dosis penuh dan penyekat beta dan pada pasien dengan kontraindikasi penyekat beta. Jika nyeri dada menetap walaupun dengan pemberian nitrogliserin intravena, morfin sulfat dengan dosis 1-5 mg dapat diberikan tiap 5-30 menit sampai dosis total 20 mg.
TERAPI ANTIPLATELET
Aspirin
Peran penting aspirin adalah
menghambat
siklooksigenase-1 yang telah dibuktikan dari penelitian klinis multipel dan beberapa meta-analisis, sehingga aspirin menjadi tulang punggung dalam penatalaksanaan UAA{STEMI. Sindrom "resistensi aspirin" dapat terjadi pada pemberian aspiran. Sindrom ini dideskripsikan dengan bervariasi sebagai kegagalan relatif untuk menghambat (inhibisi) agregasi platelet dan/atau kegagalan untuk memperpanjang waktu perdarahan, atau perkembangan kejadian klinis sepanjang terapi aspirin. Pasien-pasien dengan resistensi aspirin mempunyai risiko tinggi kejadian rekuren. Walaupun penelitian prospektif secara acak belum
pernah dilaporkan pada pasien-pasien ini, adalah logis untuk memberikan terapi klopidogrel, walaupun aspirin sebaiknya juga tidak dihentikan. Alexander et al. mendemonstrasikan tingginya kejadian (event rate) dan efek terapi yang besar dengan eptifibatide pada pasien sindrom koroner akut meskipun sebelumnya diterapi asplnn.
Klopidogrel Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine Aktivitas
Obat
selektivitas Agonis
Propranolol
Tidak
Metoprolol
Beta l
Dosis Umum untuk Angina
parsial Tidak 20-80 mg 2 kali sehari
Tidak
50-200 mg 2 kali sehari
Atenolol
Betal
Nadolol
Tidak Tidak Beta l
Timolol Asebutolol
Esmolol
Betal Betal Betal
(intravena) Labetalol.
Tidak
Pindolol
Tidak
Betaksolol Bisoprolol
Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Ya Ya
50-200 mg/hari 40-80 mg/hari 10 mg 2 kali sehari
200-600 mg 2 kali sehari
10-20 mg/hari 10 mg/hari 50-300 mcg / kg/ menit 200-600 mg 2 kali sehari 2 5-7.5 mg 3 kali sehari
*Labetalol adalah kombinasi penyekat alfa dan beta Gibbons, et al J Am Coll Cardiol 1999;33:2092-'197
diphospate P2Y,rpada permukaan platelet dan dengan demikian menginhibisi aktivasi platelet. Penggunaannya
pada UA/NSTEMI terutama berdasarkan penelitian Clopidogrel in Unstable Angina to Prevent Recurrent Ischemic Events (CURE) dan Clopidogrel for the Reduction of Events During Observation (CREDO). Dilakukan randomisasi terhadap 12.562 pasien dengan UA/NSETMI (semuanya mendapat terapi aspirin) ditambahkan klopidogrel (dosis awal 300 mg dilanjutkan dengan 75 mg/hari) atau plasebo. Setelah di pantau rata-
rata 9 bulan, hard end point primer (kematian kardiovaskular, infark miokard dan strok) menurun secara bermakna yaifi207o yaitu I 1,5 Vo padakelompok plasebo
menjadi 9,3 7o pada kelompok klopidogrel. Penurunan kejadian iskemia rekuren mulai terlihat dalam 6 jam randomisasi. Efek bermanfaat ditemukan untuk semua subkelompok, termasuk kelompok tanpa deviasi segmen ST atau pelepasan troponin dan kelompok yang memiliki skor risiko TIMI rendah.
TERAPIANTITROMBOTIK Oklusi trombus sub total pada koroner mempunyai peran utama dalam patogenesis NSTEMI dan keduanya mulai
dari agregasi platelet dan pembentlkan thrombinactivated fibrin befianggtng jawab atas perkembangan klot. Oleh karena itu, terapi antiplatelet dan anti trombin menjadi komponen kunci dalam perawatan.
Keuntungan terbesar adalah penurunan kejadian infark miokard, walaupun kecenderungan kematian dan strok tidak bermakna secara statistik. Namun, klopidogrel dikaitkan dengan peningkatan perdarahan mayor (3,77o versus 2,7Vo) dar' minor, sejalan dengan kecenderungan peningkatan perdarahan yang mengancam nyawa
(lfe-
threatening bleeding). Perdarahan yang berlebihan banyak ditemukan pada pasien dengan aspirin dosis tinggi atau pada mereka yang menjalani CABG selama 5
L76l
INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST
hari penghentian klopidogrel. Telah dibuktikan
Antagonis GP llb/llla
peningkatan risiko perdarahan pada pemakaian kombinasi
Terdapat bukti kuat pada penelitian multipel bahwa
aspirin dan klopidogrel pada pasien-pasien yang
antagonis GP IIa/IIIb mengurangi insidens kematian atau
menjalaniCABG. Pada sub studi pengamatan penelitian CURE yang melibatkan 2.658 pasien yang menjalani PCI, dengan median 10 hari setelah randomisasi (PA-CURE study),
infark miokard pada pasien UA/NSTEMI yang menjalani PCI dan penggunaannya pada keadaan ini diindikasikan
kebanyakan pasien mendap at thienopy r idine y ang selama
4 minggu setelah menjalani prosedur. menunjukkan penatalaksanaan dengan klopidogrel dikaitkan dengan risiko relatif 30 7o lebih rendah terhadap kematian kardiovaskular, infark miokard atau revaskularisasi selama 30 hari (6,47o vs 4,5Vo). Manfaat klopidogrel telah diteliti selama 8 bulan pada penelitian tersamar (klopidogrel atau
plasebo) dengan kesimpulan yang ditentukan I bulan setelah PCI. Keuntungan pengobatan sebelumnya dan pemantauan terapi jangka panjang dengan klopidogrel juga diamati padapenelitian CREDO, pada sekitar 2.116 pasien, 55Vo pasiet dengan UA/NSTEMI yang hendak menjalani
secarajelas. Padapenelitian GUSTO IV-ACS yang didesain khusus untuk menguji manfaat abciximab pada pasien UAA{STEMI di mana PCI tidak dianjurkan, tidak didapat adanya manfaat, termasuk end point sekunder, misalnya kematian dalam 48 jam. Antagonis GP IIb/IIIa eptifibatid atau tirofiban manfaatnya masih kurang jelas. Suatu analisis retrospektif penelitian PRISM-PLUS menunjukkan bahwa tirofiban mengurangi insidens outcome yang buruk pada pasien risiko tinggi (skor risiko TIMI > 4) yang tidak menjalaniPCL Meta-analisis terhadap antagonis GP IIb/IIIa dari 6 penelitian besar yang melibatkan 3l .402 pasien UA/
NSTEMI yang tidak dijadwalkan menjalani PCI menunjukkan penurunan yang bermakna (-97o relatif , -l7o
PCI.
absolut), pada rasio odd untuk gabungan endpoint
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut, maka klopidogrel direkomendasikan sebagai obat lini pertama
kematian atau infark miokard pada kelompok antagonis GP IIb/IIIa, sedangkan perdarahan meningkat secara bermakna dat', 1,4 Vo pada kelompok plasebo menjadi 2,4 Vo pada kelompok antagonis GP IIb/IIIa. Dalam analisis
(first-line drug) pada UA/NSTEMI dan ditambahkan aspirin pada pasien dengan UA/NSTEMI, kecuali mereka
dengan risiko tinggi perdarahan dan pasien yang memerlukan CABG segera. Klopidogrel sebaiknya
tambahan ditemukan bahwa 5.841
diberikan pada pasien dengan UA/NSTEMI pada pasien-
hari) dan pengamatan manfaat antagonis GP IIb/IIIa misalnya, pengurangan kematian atau infark miokard sebagian besar terbatas ke dalam sub grup ini (-2lVo). Penemuan ini termasuk dan diperkuat oleh analisis
pasren:
. .
Yang direncanakan untuk mendapat pendekatan non invasif dini. Yang diketahui tidak merupakan kandidat operasi koroner segera berdasarkan pengetahuan sebelumnya tentang anatomi koroner/ memiliki kontraindikasi untuk
.
operasl, Kateterisasi ditunda/ditangguhkan selama > 24-36 jam.
Pada Pasien-pasien yang direncanakan untuk kateterisasi diagnostik dalam 24-36 jam presentasi, menj adi alasan untuk tidak memberikan klopidogrel sampai dengan
temuan angiogram koroner meniadakan kebutuhan operasi bypass segera. Dosis awal klopidogrel dapat diberikan di
dai3l .402 (19 %o) pasien sebenamya menjalani revaskularisasi dini (dalam waktu 5
terperinci penelitian PURSUIT di Amerika Serikat. Pada penelitian itu strategi invasifdini cukup sering digunakan. Guideline ACC/AHA menetapkan pasien-pasien risiko tinggi terutama pasien dengan troponin-positif yang menjalani angiografi, mungkin sebaiknya mendapatkan antagonis GP IIb/IIIa. Dua agen molekul kecil, eptifibatid dan tirofiban, mungkin dimulu " up s tr e am" mis alnya I atau 2 hari sebelumnya dan dilanjutkan selama menjalani prosedur. Salah satu dari 3 antagonis GPIIb/IIIayatgada dapat dimulai secepatnya sebelum atau selama menjalani prosedur. Berdasarkan temuan GUSTO -I\'/ ACS, abciximab
laboratorium kateterisasi sebelum PCI atau dimulai
tidak diindikasikan pada pasien-pasien yang tidak
secepatnya setelah kateterisasi. Klopidogrel (seperti aspirin) adalah inhibitor fungsi platelet yang ireversibel, maka
direncanakan menjalani PCI. Tak ada satupun antagonis GP IIb/IIIa terlihat efektif atau diindikasikan secara rutin untuk penatalaksanaan pasien risiko rendah, pasien-pasien dengan troponin-negatif yang tidak menjalani angiografi dini. Berdasarkan pengamatan pada penelitian PCI-CURE dan CREDO, klopidogrel tidak terlihat menambah risiko
direkomendasikan juga agar obat ini dihentikan selama 5 atau lebih disukai 7 hari sebelum operasi elektif, termasuk CABG Risiko perdarahan berlebihan dapat ditoleransi pada
pasien yang belum dilakukan angiografi, dan dapat mencegah kejadian iskemia selama periode menunggu. Pandangan ini didukung oleh pengamatan pada penelitian CREDO bahwa terapi sebelumnya >6 hari sebelum PCI cenderung memperkuat manfaat obatnya dan kombinasi klopidogrel dan inhibitor GP IIb/trIa tampaknya menambah manfaat tanpa meningkatkan risiko perdarahan.
perdarahan terhadap antagonis GP IIb/IIIa. Efikasi thienopyridine dan antagonis GP IIb/IIIa tampaknya perlu ditambahkan dan terapi platelet tripel (aspirin, klopidogrel dan antagonis GP IIb/IIIa) diindikasikan pada pasien risiko tinggi yang direncanakan untuk menjalani PCI dan tidak
mempunyai risiko perdarahan berlebihan.
1762
TERAPI ANTIKOAGULAN
IGRDIOI.OGI
Holter selanjutnya menurun hampir separuhnya pada kelompok enoxaparin.
UFH (U nfa ra cti onated Hepari n) Manfaat UFH jika ditambah aspirin telah dibuktikan dalam tujuh penelitian acak dan kombinasi UFH dan aspirin telah digunakan dalam tatalaksana UA/NSTEMI untuk lebih dari 15 tahun. Penelitian sebelumnya menunjukkan keuntungan klopidogrel dan inhibitor GP IIb/IIIa. Namun demikian terdapat banyak kerugian UFH, termasuk di dalamnya ikatan yang non spesifik dan menyebabkan inaktivasi platelet, endotel vaskular, fibrin, platelet faktor 4 dan sejumlah protein sirkulasi. Produksi antibodi antiheparin
mungkin berhubungan dengan heparin-induced thrombocytopenia. Ikatan ini menimbulkan efek antikoagulan yang tak menentu, memerlukan monitor lebih
sering terhadap activated partial thromboplastin time (aPTT), pengaturan dosis dan membutuhkan infus intravena kontinyu.
LMWH (Low Molecular Weight Heparin) Akhir-akhir ini perhatian lebih difokuskan pada LMWH, dan kerugian-kerugian pada penggunaan UFH sebagian
besar dapat diatasi. Pentingnya pemantauan efek antikoagulan tidak diperlukan dan kejadian trombositopenia yang diinduksi heparin berkurang. LMWH adalah inhibitor utama pada sirkulasi trombin dan
STRATEGI INVASIF DINI VS KONSERVATIF DINI Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membandingkan strategi invasif dini (arteriografi koroner dini dilanjutkan dengan revaskularisasi sebagaimana diindikasikan sesuai
temuan arteriografi) dengan strategi konservatif dini (kateterisasi dan jika diindikasikan revaskularisasi, hanya pada yang mengalami kegagalan terhadap terapi oral/obatobatan). Lima penelitian besar telah dilakukan secara
prospektifdan acak; dua di antaranya dilakukan sebelum
stenting rutin digunakan. Penelitian TIMI IIIB
menunjukkan tidak ada perbedaan bermakn a outcome pada
kedua strategi
ini,
walaupun analisis retrospektif
mengidentifikasi faktor-faktor risiko tinggi yang dapat
digunakan untuk memprediksi kegagalan strategi konservatif dan superioritas strategi invasif. Penelitian dini lainnya, The Veterans Affairs Non Q-Wave Infarction Strategies in Hospital (VANQWISH), menunjukkan kematian lebih banyak sejalan dengan kematian atau infark miokard dengan strategi invasif.
juga pada faktor X a sehingga obat ini mempengaruhi tidak hanya kinerja trombin dalam sirkulasi (efek anti faktor IIanya), seperti juga UFH, tapi juga mengurangi pembentukan
Terapi Antiplatelet
trombin (efek anti faktor X a-nya). Keuntungan praktis LMWH lainnya adalah absorbsi yang cepat dan dapat
Klopidogrel
diprediksi setelah pemberian subkutan. Dua penelitian acak tersamar ganda, Efficacy and Safety of Subcutaneous
Terapi Antiplatelet lntravena
Enoxap ar in in N on- Q-Wav e C o ro nary Evenrs (ES SENCE) dan TIMI 1 1B, yang melibatkan 7.081 pasien menunjukkan
keuntungan enoxaparin di atas UFH secara bermakna, dan suatu meta-analisis menunjukkan pengurangan kematian atau infark miokard secara bermakna. Karena ditemukan kesulitan untuk menentukan level antikoagulan, maka perlu dipikirkan dosis LMWH yang sesuai untuk pasien-pasien yang menjalani PCI dan keamanan LMWH pada pasien yang mendapat terapi inhibitor GP IIb/IIIa. Pada penelitian yang membandingkan enoxaparin dengan UFH pada 746 pasien UA/NSTEMI
yang mendapat aspirin dan eptifibatid yaitu penelitian Integrilin and Enoxaparin Randomized Assessment of Acute Coronary Syndrome Treatment (INTERACT), didapatkan outcome utama perdarahan mayor yang
Aspirin
Dosis awal 160-325 mg formula nonenterik dilajutkan 75-'160 mg/hari formula enterik atau nonenterik Dosis /oadlng 300 mg dilajutkan 75 mg/hari
(Plavix)
Abciximab (Reopro)
Eptifibatid (lntegrilin) Tirofiban
(Aggrastat)
0,25 mg/kg bolus dilanlutkan infus 0,125lkg per menit (maksimum 10 ug/menit) untuk 1224 )am
'lB0 ug/kg bolus dilanjutkan infus 2 ug/kg permenit untuk 72-96 jam 0,4 ug/kg permenit untuk 30 menit dilanjutkan infus 0,1 ug/kg permenit untuk 48-96 jam
Heparin
Dalteparin (Fragmin) Enoksaparin
(Lovenox) Heparin (UFH)
120 lU/kg SC tiap 12 jam (maksimum 10.000 lU 2 kali sehari ) 1 mg/kg SC tiap 12 jam; dosis awal boleh didahului bolus 30 mg intravena Bolus 60-70 U/kg (maksimum 5000 U) lV dilanjutkan infus 12-15 U/kg perjam (maksimum awal 1000 U/jam) dititrasi sampai aPTT 1,5-2,5 kali kontrol
Terdapat tiga penelitian sejalan dengan "era stent",
dikaitkan non CABG, lebih rendah secara bermakna pada
dan semua penelitian itu menunjukkan superioritas strategi
kelompok enoxaparin dibandingkan dengan kelompok UFH ( 1, 8 7o Vs 4,6 7o), w alaupun in siden relatif perdarahan minor adalah sebaliknya. Juga angka kematian atau infark miokard non fatal pada 30 hari dan iskemia pada monitor
menunjukkan penurunan yang bermakna mortalitas total
invasif. Penelitian Fragmin and Fast Revascularization during Instability in Coronary Artery Disease (FRISC) II dan kematian atau infark miokard dalam
I tahun
pada pasien
1763
INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST
yang mendapat strategi invasif. Pasien-pasien pada kelompok invasif (invasive arm) pada penelitian ini telah diterapi di RS dengan regimen intensif yang termasuk di
dalamnya LMWH untuk rata-rata 6 hari sebelum
Dike uarkan dari Protokol
kateterisasi. Pada penelitian TACTICS-TIMI 18, semna pasien
mendapatkan tidak hanya aspirin dan UFH tapi juga "up-front" misalnya pemberian inhibitor tirofiban GP IIb/ IIIa segera. Berlawanan dengan FRISC II, kateterisasi jantung pada kelompok invasif dilakukan relatif dini, misalnya rata-tata22 jam setelah randomisasi. Kematian atau infark pada 6 bulan menurun secara bermakna dari 237o rnenjadi 9,57c pada kelompok konservatif dan menjadi 7,3Vo pada kelompok invasif. Keuntungan terbatas hanya untuk pasien dengan risiko tinggi dan sedang, yang didefinisikan sebagai skor risiko TIMI 3, semua peninggian troponin T (> 0,01 mg/ml) atau deviasi segment ST. Pada pasien tanpa gambaran risiko ini outcome dengan kedua strategi adalah sama. Lamanya perawatan di RS juga menurun dengan strategi invasif dan keseluruhan biaya penggunaan kedua strategi ini sama.
Penelitian Randomized Intenention Trial o.f Unstable Anginct (RITA)3 dilakukan pada pasien UA/NSTEMI, dan semua telah di terapi aspirin dan enoxaparin. Pada pasien-
pasien yang masuk untuk kelompok invasif, dilakukan angiografi koroner rata-rata 2 hari setelah randoriisasi. Setelah 4 bulan, terdapat reduksi 347c end point ?rinler kematian, (re) infark atau angina refrakter (dari l1.5Vc, menjadi 9,6a/o') dengan strategi invasif. dan waktu l2 bularr terdapat perbedaan bermakna. Hord end point kematian atau (re) infark sebagaimana telah didefinisikan oleh Eu-
ropean Society
of Cardiologylkriteria ACC, juga
menunjukkan penurunan bermakna sebesar 2lo/o dalam tahun dengan strategi invasif. Pada kondisi tidak ditemukan kontraindikasi spesifik, strategi invasif saat ini direkomendasikan pada pasien UA/ NSTEMI dengan risiko tinggi/sedang. Pasien itu sebaiknya 1
mendapatkan aspirin dan heparin atau mungkin enoksaparin. Sebagaimana disebutkan di atas, klopidogrel sebaiknya dimulai segera, jika kateterisasi diundur >24 36 jam, dan angiogram awal menyingkirkan indikasi untuk
CABG segera.
PERAWATAN UNTUK PASIEN RISIKO RENDAH Tes stres noninvasif sebaiknya dilakukan pada pasien risiko rendah, dan pasien yang hasil tesnya menunjukkan gambaran risiko tinggi sebaiknya segera menjalani arteriografi koroner dan berdasarkan temuan anatomis, revaskularisasi dapat dilakukan. Arteriografi koroner dapat dipilih pada pasien-pasien dengan tes positif tapi tanpa temuan risiko tinggi.
1 oT
2 vesse Dlsease
2 Vessel Disease dengan Keter batan LAD proksimal
PCI atau CABG
Gambar 3. Strategi revaskularisasi pada NSTEMI/UAP
lndikasi Klas I (/evel of evidence: Al
-
-
Angina rekuren saat istirahaU aktivitas tingkat rendah walaupun mendapat terapi Peninggian troponin I atau T Depresi segmen ST baru Angina/iskemia rekuren baru dengan gejala gagal jantung kongestif, ronki, regurgitasi mitral Tes stres positif Fraksi ejeksi kurang dari 40% Penurunan tekanan darah Takikardia ventrikel sustained PCI < 6 bulan, CABG sebelumnya
TATAI-AKSA\ lA PREDISCHAPGEDAN PENCEGAHAN SEKUNDER Tatalaksana terhadap faktor risiko antara lain mencapai
berat badan yang optimal, nasihat diet, rnenghentikan merokok, olahraga, pengontrolan hipertensi dan tatalaksana intensif diabetes melitus dan deteksi adanya diabetes yang tidak dikenali sebelumnya. Terdapat satu penelitian besar double-blind, placeboc:ontrolled, The MyocLcrdial Ischemia Reduction with Aggressire Chole.sterol Lovuerin g (MIRACL), yang menunjukkan manfaat penggunaan statin secara dini. Pasien-pasien UA/NSTEMI sebaiknya diterapi, sestai National Cholesterol Education Pro