BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Permasalahan kemiskinan merupakan momok dari kebanyakan negara berkembang, sehingga penurunan angka kemiskinan merupakan tujuan utama dalam perencanaan pembangunan dinegara-negara tersebut, tidak terkecuali di Indonesia. Tiap-tiap pemerintah memiliki berbagai kebijakan dan program pengentasan
kemiskinan
yang
dikembangkan
untuk
menurunkan
angka
kemiskinan. Kemiskinan perkotaan mempunyai permasalahan yang kompleks, mulai dari akar permasalahannya maupun kebijakan yang diambil untuk mengatasinya. Kemiskinan perkotaan mempunyai dimensi sosial ekonomi yang cukup beragam dan tentunya implikasi kebijakannya akan semakin rumit. Oleh karena itu, kemiskinan perkotaan mempunyai fenomena multi dimensi meliputi rendahnya tingkat pendapatan, kesehatan dan pendidikan, kerawanan tempat tinggal dan pribadi, dan ketidakberdayaan. Hal tersebut mengakibatkan penduduk miskin perkotaan tinggal di pemukiman yang kumuh dan padat sehingga mengalami kesulitan dalam mengakses fasilitas kesehatan, pendidikan dasar dan kesempatan kerja. Kemiskinan diperkotaan disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya yaitu urbanisasi penduduk dari daerah pedesaan ke perkotaan tanpa keahlian yang memadai untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, hal ini tentu akan membuat mereka menjadi kurang mendapatkan penghasilan yang layak. Kebutuhan sehari-hari yang banyak, sementara penghasilan seseorang dianggap kurang bisa memenuhinya, dan bisa dikategorikan miskin akan membuat seseorang bisa saja melakukan tindak kejahatan, seperti pencurian, pencopetan, ataupun kejahatan-kejahatan lainnya. Hal inilah salah satu dampak dari adanya kemiskinan diperkotaan.
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Definisi Kemiskinan
Ada beberapa definisi kemiskinan menurut para pakar, berikut adalah beberapanya: 1. Menurut UNDP dalam Cahyat ( 2004 ), adalah ketidakmampuan untuk memperluas pilihan-pilihan hidup, antara lain dengan memasukkan penilaian tidak adanya partisipasi dalam pengambilan kebijakan publik sebagai salah satu indikator kemiskinan. 2. Menurut Bappenas ( 2002 ), kemiskinan adalah suatu situasi dan kondisi yang dialami seseorang atau sekelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. 3. Sajogyo ( 1988 ), mengartikan kemiskinan tidak sebatas hanya dicerminkan oleh rendahnya tingkat pendapatan dan pengeluaran. Sajogyo memandang kemiskinan secara lebih kompleks dan mendalam dengan ukuran delapan jalur pemerataan yaitu rendahnya peluang berusaha dan bekerja, tingkat pemenuhan pangan, sandang dan perumahan, tingkat pendidikan dan kesehatan, kesenjangan desa dan kota, peran serta masyarakat, pemerataan, kesamaan dan kepastian hukum dan pola keterkaitan dari beberapa jalur tersebut. 4. Suparlan ( 1993 ), kemiskinan didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Jadi, kemiskinan di perkotaan adalah suatu kondisi di perkotaan, dimana seseorang atau sekelompok orang mengalami keadaan standar hidup lebih rendah daripada masyarakat diperkotaan yang seharusnya.
2.2. Pengelompokkan Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah yang ditandai oleh berbagai hal antara lain rendahnya kualitas hidup penduduk, terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, terbatasnya dan rendahnya mutu layanan kesehatan, gizi anak, dan rendahnya mutu layanan pendidikan. Menurut pengertian kemiskinan, pada dasarnya bentuk kemiskinan dapat dikelompokkan menjadi tiga pengertian, yaitu: 1.
Kemiskinan Absolut. Seseorang dikategorikan termasuk ke dalam golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, yaitu: pangan, sandang, kesehatan, papan, dan pendidikan.
2.
Kemiskinan Relatif. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan tetapi masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya.
3.
Kemiskinan Kultural. Kemiskinan ini berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.
2.3
Indikator Kemiskinan
2.3.1
Menurut BPS
Pengertian kemiskinan antara satu Negara dengan Negara lain tentu berbeda. Di Indonesia, pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) membuat kriteria kemiskinan, agar dapat menyusun secara lengkap pengertian kemiskinan sehinggadapat
diketahui
dengan
pasti
jumlahnya
dan
cara
tepat
menanggulanginya. Kriteria BPS tersebut adalah: 1.
Tidak miskin, mereka yang pengeluaran per orang per bulan lebih dari Rp 350.610.
2.
Hampir Tidak Miskin, dengan pengeluaran per bulan per kepala antara Rp 280.488.s/d. – Rp 350.610.- atau sekitar antara Rp 9.350 s/d. Rp11.687.- per orang per hari. Jumlah masyarakat yang dikategorikan “hampir tidak miskin” mencapai 27,12 juta jiwa.
3.
Hampir Miskin, dengan pengeluaran per bulan per kepala antara Rp 233.740.- s/d Rp 280.488.- atau sekitar antara Rp 7.780.- s/d Rp 9.350. per orang per hari. Jumlah masyarakat yang dikategorikan “hampir miskin” mencapai 30,02 juta.
4.
Miskin, dengan pengeluaran per orang perbulan per kepala Rp 233.740.kebawah atau sekitar Rp 7.780.- kebawah per orang per hari.Jumlah masyarakat yang dikategorikan “miskin” mencapai 31 juta.
5.
Sangat Miskin (kronis), (kronis), tidak ada kriteria berapa pengeluaran per orang per hari. Tidak diketahui dengan pasti berapa jumlah pastinya. Namun, diperkirakan masyarakat masyarakat yang dikategorikan “sangat miskin” mencapai sekitar 15 juta. Telah banyak program dari pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan.
Salah satunya yaitu Program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dalam penetapan keluarga miskin yang berhak menerima bantuan ini, pemerintah menggunakan acuan dari BPS tentang 14 Kriteria Kemiskinan, yaitu: 1.
Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
2.
Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3.
Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
4.
Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.
5.
Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6.
Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
7.
Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
8.
Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9.
Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. set ahun.
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari. 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0, 5 ha. Buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000 per bulan. 13. Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD. 14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
2.3.2
Menurut Bapenas
Indikator kemiskinan menurut Bappenas (2006) adalah: 1.
Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan
2.
Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan
3.
Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan
4.
Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha
5.
Lemahnya perlindungan terhadap aset usaha dan perbedaan upah
6.
Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi
7.
Terbatasnya akses terhadap air bersih
8.
Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah
9.
Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam
10. Lemahnya jaminan rasa aman 11. Lemahnya partisipasi 12. Besarnya
beban
kependudukan
yang
disebabkan
oleh
besarnya
tanggungan keluarga; 13. Tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi, dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.
2.3.3
Menurut Keluarga Sejahtera ( KS )
Indikator Keluarga Sejahtera pada dasarnya berangkat dari pokok pikiran yang terkandung didalam undang-undang no. 10 Tahun 1992 disertai asumsi bahwa kesejahteraan merupakan variabel komposit yang terdiri dari berbagai indikator yang spesifik dan operasional. Berikut indikator menurut Keluarga Sejahtera ( KS ) : a. Keluarga Pra Sejahtera Adalah keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih dari 5 kebutuhan dasarnya (basic needs) Sebagai keluarga Sejahtera I, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, papan, sandang dan kes ehatan. b. Keluarga Sejahtera Tahap I Adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal yaitu: 1.
Melaksanakan ibadah menurut agama oleh masing-masing anggota keluarga.
2.
Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 (dua) kali sehari atau lebih.
3.
Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian.
4.
Bagian yang terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.
5.
Bila anak sakit atau pasangan usia subur ingin ber-KB dibawa ke sarana / petugas kesehatan.
c. Keluarga Sejahtera tahap II Yaitu keluarga-keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kriteria keluarga sejahtera I, harus pula memenuhi syarat sosial psikologis 6 sampai 14 yaitu : 6.
Anggota Keluarga melaksanakan ibadah secara teratur.
7.
Paling
kurang,
sekali
seminggu
keluarga
menyediakan
daging/ikan/telur sebagai lauk pauk. 8.
Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru per tahun.
9.
Luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi tiap penghuni rumah.
10.
Seluruh anggota keluarga dalam 3 bulan terakhir dalam keadaan sehat.
11.
Paling kurang 1 (satu) orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun keatas mempunyai penghasilan tetap.
12.
Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca tulisan latin.
13.
Seluruh anak berusia 5 - 15 tahun bersekolah pada saat ini.
14.
Bila anak hidup 2 atau lebih, keluarga yang masih pasangan usia subur memakai kontrasepsi (kecuali sedang hamil)
d. Keluarga Sejahtera Tahap III Yaitu keluarga yang memenuhi syarat 1 sampai 14 dan dapat pula memenuhi syarat 15 sampai 21, syarat pengembangan keluarga yaitu : 15.
Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama.
16.
Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga untuk tabungan keluarga.
17.
Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan itu dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar anggota keluarga.
18.
Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
19.
Mengadakan rekreasi bersama diluar rumah paling kurang 1 kali/6 bulan.
20.
Dapat memperoleh berita dari surat kabar/TV/majalah.
21.
Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi yang sesuai dengan kondisi daerah setempat.
e. Keluarga Sejahtera Tahap III Plus Keluarga yang dapat memenuhi kriteria 1 sampai 21 dan dapat pula memenuhi kriteria 22 dan 23 kriteria pengembangan keluarganya yaitu : 22.
Secara teratur atau pada waktu tertentu dengan sukarela memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materiil.
23.
Kepala Keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus perkumpulan/yayasan/institusi masyarakat.
f. Keluarga Miskin Adalah keluarga Pra Sejahtera alasan ekonomi dan KS - I karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi : 1.
Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telor.
2.
Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru.
3.
Luas lantai rumah paling kurang 8 meter persegi untuk tiap penghuni.
g. Keluarga Miskin Sekali Adalah keluarga Pra Sejahtera alasan ekonomi dan KS - I karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi : 1.
Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih.
2.
Anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja/sekolah dan bepergian.
3.
Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah.
2.4.
Faktor – Faktor Faktor Penyebab Kemiskinan
2.4.1
Menurut Emil Salim
Faktor penyebab penyebab
kemiskinan atau mereka yang hidup di bawah garis
kemiskinan menurut Emil Salim , yaitu: 1.
Tidak memiliki faktor produksi Mereka umumnya tidak memilki faktor produksi sendiri,seperti tanah yang cukup, modal ataupun ketrampilan .Faktor produksi yang dimilki sedikit sekali sehingga kemampuan memperoleh pendapatan menjadi sangat terbatas .
2.
Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri. Pendapatan tidak cukup untuk memperoleh tanah garapan ataupun modal usaha.Sedangkan syarat tidak terpenuhi untuk memperoleh kredit perbangkan, seperti adanya jaminan kredit dan lain-lain,sehingga lain-la in,sehingga mereka yang perlu kredit terpaksa berpaling kepada “lintah darat” yang biasanya meminta syarat pelunasan yang berat dan memungut bunga yang tinggi.
3.
Tingkat pendidikan mereka rendah,tak sampai tamat sekolah dasar. Waktu mereka tersita habis untuk mencari nafkah sehingga tidak tersisa lagi untuk belajar.Juga anak-anak mereka tidak bisa menyelesaikan sekolah
,karena
harus
membantu
orang
tua
mencari
tambahan
penghasilan atau menjaga adik-adik di rumah,sehingga secara turuntemurun
mereka
terjeratdalam
keterbelakangan
di
bawah
garis
kemiskinan ini. 4.
Kebanyakaan mereka tinggal di pedesaan. Mereka yang memiliki profesi sebagai petani maka akan tinggal di perkotaan. Banyak diantara mereka tidak memilki tanah,kalaupun ada maka itu sangat kecil sekali. Umumnya mereka menjadi buruh tani atau pekerja kasar diluar pertanian. karena pertanian bekerja dengan musiman musima n maka kesinambungan kerja kurang terjamin. Banyak di antara mereka lalu menjadi pekerja bebas (self employed) berusaha apa saja. Dalam keadaan penawaran tenaga kerja yang besar, maka tingkat upah menjadi rendah sehingga mengurung mereka di garis kemiskinan.Didorong oleh kesulitan hidup di desa maka banyak di antara mereka mencoba berusaha di kota (urbanisasi).
5.
Hidup di kota dengan kurangnya ketrampilan dan pendidikan Banyak diantara mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak mempunyai ketrampilan (skill) atau pendidikan,sedangkan kota banyak negara sedang berkembang tidak siap menampung gerak urbanisasi penduduk desa ini.
2.4.2
Menurut Bank Dunia
Faktor Penyebab Kemiskinan menurut Bank Dunia : 1.
Kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal.
2.
Terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar dan prasarana.
3.
Kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor.
4.
Adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung.
5.
Adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern)
6.
Rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan
modal dalam
masyarakat. 7.
Budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelolah sumber daya alam dan lingkunganny li ngkungannya. a.
8.
Tidak adanya tata pemerintah yang bersih dan baik (good governance).
9.
Pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan
2.4.3
Menurut Edis Suharto
Faktor-faktor penyebab
kemiskinan menurut
buku
( Edis Suharto,
Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia) : 1. Faktor Ekonomi 2. Yakni turunnya pertumbuhan ekonomi,akibat adanya inflasi,refresi dan sebagainya,menimbulkan kemiskinan ,sehingga kemsikinan relatiif dam absoulut semakin bertambah. Kemiskinan akibat perekonomian dapat diselesaikan diatasi dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang baik dan merata. Disamping itu kelangkaan sumber-sumber da ya ekonomi merupakan salah satu sebab timbulnya kemiskinan. 3. Faktor Individual : 4. Terkait dengan aspek patalogi, termasuk kondisi fisik dan psikologis di miskin. Orang yang menjadi miskin karena adanya kecacatan pribadi, dalam arti fisik, mental (attitude), malas, tidak jujur, merasa terasing sehingga mereka tidak dapat mencari pekerjaan.
5. Faktor Sosial : 6. Kondisi-kondisi lingkungan lingkungan sosial yang menjebak orang menjadi miskin. Misalnya
terdapat
deskriminasi
,berdasarkian
usia,jender,etnis,yang
menyebabkan orang menjadi miskin. Termasuk dalam faktor ini ialah kondisi sosial keluarga si miskin yang biasanya menyebabkan kemiskinan antar generasi. 7. Faktor Kultural 8. Kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan. Faktor ini secara khusus sering menunjuk konsep “kemiskinan kultural” atau budaya kemiskinan. Menghubungkan Menghubungkan dengan penelitian penelitian Oscar Lewis Lewis di Amerika Latin : Bahwa memang ada apa yang disebut kebudayaan kemsikinan,yaitu pola kehidupan masyarakat yang mencerminkan pola hidup apatis, ketidakjujuran, ketergantungan, motivasi yang rendah, ketidakstabilan keluarga dsb. 9. Faktor Struktural 10. Menunjuk pada struktur atau sistem yang tidak adil , tidak sensitif, dan tidak accessible sehingga menyebabkan menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin. Sebagai contoh , sistem ekonomi neoriberalisme yang diterapkan di Indonesia Indonesia
telah menyebabkan menyebabkan para petani, nelayan, dan
pekerja sektor informal terjerat dan sulit keluar dari kemiskinan.
2.5
Data Kemiskinan
Untuk membuat pemerataan kekayaan di daerah-daerah di Indonesia tentu tidaklah mudah, apalagi mengingat jumlah provinsi di Indonesia yang 34 provinsi, dengan wilayah yang sangat luas. Karena itu, ada beberapa wilayah di Indonesia yang memiliki angka kemiskinan yang tertinggi, hal ini bisa disebabkan oleh banyak hal.
2.5.1
Angka Kemiskinan Tertinggi di Indonesia
Di bawah ini adalah 7 provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia:
No.
Provinsi
Angka Kemiskinan
1
Papua Barat
36,80 %
2
Papua
34,88 %
3
Maluku
27,74 %
4
Sulawesi Barat
23,19 %
5
Nusa Tenggara Timur
23,03 %
6
Nusa Tenggara Barat
21,55 %
7
Aceh
20,98 %
2.5.2
Tingkat Kemiskinan di Riau
Dibawah ini adalah tabel yang menunjukkan tingkat kemiskinan di Riau berdasarkan data dari BPS Riau: Tahun
Jumlah
Persentase Persentase
Maret 2008
566.700 jiwa
10,63 %
Maret 2009
527.490 jiwa
9,48 %
Maret 2010
500.260 jiwa
8,65 %
Maret 2011
482.050 jiwa
8,47 %
September 2011
472.450 jiwa
8,17 %
Maret 2012
483.070 jiwa
8,22 %
September 2012
481.310 jiwa
8,05 %
Maret 2013
469.280 jiwa
7,72 %
Menurut BPS Riau, jumlah penduduk miskin (Penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Riau, periode bulan Maret 2008 adalah sebesar 566.700 jiwa (10,63%). Persebaran penduduk miskin di Riau sebagian besar berada di daerah pedesaan yang jumlahnya sebesar 56,75 %, sedangkan di perkotaan sebesar 43,25 %. Untuk periode Maret 2009, jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau adalah 527.490 jiwa ( 9,48% ) Pada bulan Maret 2009, penduduk miskin di Riau sebagian besar berada di daerah pedesaan sebesar 57,23 %, sedangkan di perkotaan sebesar 42,77 %. Pada Maret 2010, jumlah dan persentase penduduk Miskin Riau adalah 500.260 jiwa ( 8,65% ). Pada tahun 2010, dimana persentase penduduk miskin di daerah pedesaan naik menjadi 58,24 % dan perkotaan turun mejadi 41,76 %.
Jumlah dan persentase penduduk penduduk miskin Riau pada Maret 2011 2011 adalah 482.050 482.050 jiwa ( 8,47% ). Pada tahun 2011, dimana persentase penduduk miskin mis kin di daerah pedesaan naik drastis menjadi 70,56 % dan perkotaan turun menjadi 29,44 %. Pada September 2011, jumlah dan persentase penduduk miskin Riau berjumlah 472.450 jiwa ( 8,17% ). Di Di bulan September 2011, dimana persentase penduduk miskin di daerah perdesaan naik menjadi 71,19 % dan perkotaan turun menjadi 28,81 %. Jumlah dan persentase penduduk miskin Riau pada Maret 2012 mengalami kenaikan, yaitu berjumlah 483.070 jiwa ( 8,22% ). Dimana persentase penduduk miskin di daerah perdesaan mengalami sedikit penurunan menjadi 69,33 % dan perkotaan mengalami sedikit kenaikan mejadi 30,67 %. Untuk periode September 2012, jumlah dan persentase penduduk miskin Riau kembali mengalami penurunan, yaitu berjumlah 481.310 jiwa ( 8,05% ). Persentase penduduk miskin di daerah perdesaan mengalami penurunan menjadi 67,50 % dan perkotaan mengalami sedikit kenaikan mejadi 32,50 %. Sedangkan untuk periode Maret 2013, jumlah dan persentase penduduk miskin Riau berjumlah 469,280 jiwa ( 7,72% ). dimana persentase penduduk miskin di daerah perdesaan mengalami sedikit penurunan menjadi 68,82 % dan perkotaan mengalami sedikit kenaikan mejadi 31,18 %.
2.5.3
Tingkat Kemiskinan di Kota Pekanbaru
Menurut data di atas, kemiskinan di kota Pekanbaru adalah sebagai berikut: Tahun
Jumlah
Persentase Persentase
Maret 2008
245.098
43,25 %
Maret 2009
225.608
42,77 %
Maret 2010
208.909
41,76 %
Maret 2011
141.915
29,44 %
September 2011
136.113
28,81 %
Maret 2012
148.158
30,67 %
September 2012
156.426
32,50 %
Maret 2013
146.323
31,18 %
2.6
Dampak dari Kemiskinan
Dampak dari kemiskinan terhadap masyarakat umumnya begitu banyak dan kompleks. Dengan banyaknya pengangguran berarti banyak masyarakat tidak memiliki penghasilan karena tidak bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Berikut adalah beberapa dampak dari kemiskinan: 1. Dengan banyaknya pengangguran, maka kemiskinan pun semakin meningkat. Secara otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli masyarakat. Sehingga, akan memberikan dampak secara langsung terhadap tingkat pendapatan, nutrisi, dan tingkat pengeluaran rata-rata. 2. Kejahatan. Kejahatan yang marak terjadi akhir-akhir ini dapat merupakan efek dari pengangguran. Ketika tak ada lagi jaminan bagi seseorang dapat bertahan dan menjaga keberlangsungan hidupnya maka jalan pintas pun dilakukan. Misalnya, merampok, menodong, mencuri, atau menipu. 3. Pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat miskin tidak dapat lagi menjangkau dunia sekolah atau ata u pendidikan. 4. Kesehatan. Seperti kita ketahui, biaya pengobatan sekarang sangat mahal. Hampir setiap klinik pengobatan apalagi rumah sakit swasta besar menerapkan tarif atau ongkos pengobatan yang biayanya melangit. Sehingga, biayanya tak terjangkau oleh kalangan mi skin.
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kemiskinan di perkotaan adalah suatu kondisi di suatu perkotaan, dimana seseorang atau sekelompok orang mengalami keadaan standar hidup lebih rendah daripada masyarakat diperkotaan yang seharusnya. Faktor-faktor terjadinya kemiskinan di perkotaan: 1.
Kemiskinan Absolut. Seseorang dikategorikan termasuk ke dalam golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, yaitu: pangan, sandang, kesehatan, papan, dan pendidikan.
2.
Kemiskinan
Relatif.
Seseorang
yang
tergolong
miskin
relatif
sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan tetapi masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. 3.
Kemiskinan Kultural. Kemiskinan ini berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.
Dampak kemiskinan di perkotaan: 1.
Kejahatan di perkotaan menjadi meningkat
2.
Kota menjadi kotor, karena banyaknya pemukiman kumuh di kota.
3.
Banyaknya masyarakat miskin di perkotaan yang putus sekolah
4.
Kesehatan masyarakat miskin di kota tidak terpenuhi
3.2
Saran
Beberapa solusi untuk mengatasi kemiskinan di perkotaan yang membuat kota semakin tidak nyaman adalah sebagai berikut: 1.
Pemberian pelatihan keterampilan dan keahlian
2.
Peningkatan pendidikan masyarakat
3.
Membuka lebih banyak lagi lapangan kerja di desa dan di kota
4.
Pemberantasan korupsi