BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam mengenal dua sumber primer dalan perundang-undangan. pertama, Al-Qur’an Al-Qur’an dan kedua Al-Hadits. Al -Hadits. Terdapat perbedaan yang siknifikan pada sistem infertirisasi sumber tersebut. Al-Qur’an Al-Qur’an sejak awal diturunkan sudah ada perintah pembukuannya secara resmi, sehingga terpelihara dari kemungkinan pemalsuan. Berbeda dengan hadits, tak ada perlakuan khusus yang baku padanya sehingga pemeliharaannya lebih merupakan spontanitas dan inisitif para sahabat Hadits pada awalnya sebuah literatur yang mencakup semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Persetujuan Nabi yang tidak di ucapkan terhadap pada zamannya, dan gambaran-gambaran tentang pribadi Nabi. Mula-mula hadits dihafalkan dan secara lisan disampaikan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi. Setelah Nabi wafat pada tahun ta hun 10 H, Islam merasakan kehilangan yang sangat besar. Nabi Muhammad SAW yang sebagai yang memilik otaritas ajaran Islam, dengan kematiannya umat merasakan otoritas. Hanya Al-Qur’an Al- Qur’an satu-satunya sumber informasi yang tersedia untuk memecahkan berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah umat Islam yang masih muda itu, wahyu-wahyu Ilahi, meskipun sudah di catat belum di susun dengan baik dan belum dapat di peroleh atau tersedia secara materil ketika Nabi Muhammad SAW wafat. Wahyu-wahyu
dalam
Al-Qur’an Al-Qur’an
yang
sangat
sedikit
sekali
mengangdung petunjuk yang praktis untuk di jadikan prinsip pembimbing yang umum dalam berbagai aktifitas. Khalifah-khalifah awal membimbing kaum muslim dengan sahabat Nabi, meskipun terkadang bersandar pada penilaian mereka. Namun, setelah beberapa lama, ketika muncul kesulitankesulitan yang tidak dapat lagi mereka pecahkan sendiri mereka mulai menjadikan sunnah, seperti yang merupakan kebiasaan prilaku Nabi sebagai
1
acuan dan contoh dalam memutuskan suatu masalah. Sunnah yang hanya terdapat dalam hafalan-hafalan sahabat tersebut di jadikan sebagai bagian dari refrensi panting setelah Al-Qur’an. Bentuk -bentuk kumpulan hafalan inilah yang kemudian disebut dengan hadits.
B. Tujuan Masalah
Dalam makalah ini dapat diambil tujuan masalah yaitu: 1. Dapat mengetahui pemeliharaa hadis pada masa sahabat dan tabiin 2. Dapat mengetahui penyampaian hadist 3. Dapat mengetahui tentang penyaringan hadis 4. Dapat mengetahui tentang penyebaran hadis
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pemeliharaan hadis
Sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab tidak dikenal dengan kemampuan membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun demikian, ini tidak berarti bahwa di antara mereka tidak ada seorangpun yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini hanya sebagai ciri keadaan dari mereka. Sejarah telah mencatat bahwa sejumlah orang yang di antara mereka ada yang mampu membaca dan yang menulis, Adiy bin Zaid al-Abbay (w. 35 sebelum hijrah) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang yang pertama yang mampu menulis dengan bahasa Arab yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orang Yahudi juga mengajarkan anak-anak di Madinah menulis Arab. Kota Mekkah dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang-orang yang mempu membaca. 1 Pada masa setelah sahabat kegiatan pengumpulan hadist sudah menjadi suatu keharusan sejak abad ke-2, hal ini didasari karena perkembangan Islam semakin meluas dan diperlukannya rujukan-rujukan hukum yang mudah untuk didapatkan argumennya. Maka pemeliharaan hadist sudah menjadi tanggungjawab para penguasa pada saat itu. Dimulai dari khalifah alMuqtadir sampai pada al-Mu'tashim, walaupun kekuasaan Islam sudah mulai melemah pada abad ke 7 akibat serangan Holagu Khan cucu dari Jengis Khan, namun kegiatan para ulama hadist dalam rangka memeliharannya dan mengembangkannya berlangsung sebagaimana pada periode sebelumnya. Hanya saja hadist yang dihimpun tidaklah sebanyak masa sebelumnya. Adapun kitab-kitab hadist yang dihimpun adalah 1 Ajaj Al- Khatib, USHUL AL-HADITS (Pokok-pokok Ilmu Hadits) Penerjmah: H. M Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998. Cet. Ke- 1, hal. 201.
3
1. Al-Shahih, oleh ibn Khujaimah (313 H). 2. Al-Anwa'wa al-Taqsim, oleh ibn Hibban (354 H). 3. Al-Musnad , oleh Abu Awanah (316 H). 4. Al-Muntaqa, oleh ibn Jarud. 5. Al-Muhtarah, oleh Muhammad ibn Abd al-Maqdisi. Kitab-kitab di atas merupakan bahan rujukan bagi para ulama hadist, sekaligus mempelajari, menghafal dan memeriksa serta menyelidiki sanad sanad nya. Selanjutnya menyusun kitab baru dengan tujuan memelihara, menertibkan dan menghimpun sanad dan matannya yang saling berhubungan serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang telah ada tersebut. Adapun bentuk-bentuk penyusunan kitab hadist pada periode ini memperkenalkan sistem baru, yaitu: 1. Kitab Athraf , di dalam kitab ini penyusunnya hanya menyebutkan sebagian dari matan hadist tertentu kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab hadist yang dikutip matannya ataupun dari kitab-kitab lainnya. 2. Kitab Mustakhraj, kitab ini memuat matan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, atau keduanya atau yang lainnya, dan selanjutnya penyusunan kitab ini meriwayatkan matan hadist tersebut dengan sanad nya sendiri. 3. Kitab Mustadrak , kitab ini menghimpun hadis-hadist yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu syarat dari keduanya. 4. Kitab Jami' , kitab ini menghimpun hadis-hadist yang termuat dalam kitabkitab yang telah ada, seperti: 1. Yang menghimpun hadist-hadist shahih Bukhari dan Muslim. 2. Yang menghimpun hadist-hadist dari al-Kutub al-Sittah. 3. Yang Menghimpun hadist-hadist Nabi dari berbagai kitab hadist.
4
B.
Penyampaian Hadits
Sebagaiman yang telah kita tulis ketahui, bahwa al-ada` ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadist kepada orang lain. Oleh karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu menuntut pertanggung jawaban yang cukup berat, sebab sah atau tidaknya suatu hadist juga sangat tergantung padanya. Mengingat hal hal seperti ini, jumhur ahli hadist, ahli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadist. Yakni sebagai berikut:2 Islam Pada waktu meriwayatkan suatu hadist, maka seorang perawi haruslah seorang muslim. Dan menurut ijma’, periwayatan orang kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang fasik saja, kita disuruh bertawakuf, apalagi perawi yang kafir, kaitannya dengan masalah ini bisa kita dasarkan kepada firman Allah:
)6:
(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesal atas perbuata mu itu. (Al Hujurat 49: 6) Baligh Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadist, walau penerimanya belum baligh. Hal ini didasarkan pada hadist Rasulullah:
)
(
Artinya: Hilang kewajiban menjalankan syari’ at islam dari tiga golongan , yaitu, orang gila sampai ia sembuh, orang yang tidur sampai bangun, dan anak anak sampai ia mimpi. (H.R Abu Daud dan Nasai’) ‘Adalah
2
Abdullah Karim, Membahas ilmu-ilmu hadits, (Kalimantan: CV Haga Jaya Offset, 2005), Cet. Ke-1, hlm. 37-41
5
Yang dimaksud dengan adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai jiwa tersebut, tetap taqwa menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal mubah tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadiannya. Dhabit Dhabit ialah:
“teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadist yang ia dengar dan hafal sejak wa ktu menerima hingga menyampaikannya” Cara mengetahui kedhabitan perawi dengan jalan I’tibar terhadap berita beritanya dengan berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan. Ada yang mengatakan, bahwa disamping syarat-syarat yang sebagaimana disebutkan diatas, antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadist yang disampaikan itu tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadist-hadist yang lebih kuat serta tidak bertantangan dengan ayat-ayat Al Qur’an. 1. Cara-cara Sahabat Menerima dan Menyampaikan Hadits
Jumlah sahabat Rasulullah begitu banyak, sehingga sangat memungkinkan bagi beliau untuk mentrasfer ilmu kepada mereka, tetapi karena
keanekaragaman
kesibukan
maka
cara
mereka
menerima
hadistpun tidak sama. Berikut cara-cara sahabat dalam menerima hadist diantara nya: a.
Secara langsung dari Nabi Maksudnya ialah mereka secara langsung mendengar, melihat, atau menyaksiakan tentang apa yang dilakukan, disabdakan, atau berhubungan dengan Rasulullah. Hal demikian di alami sahabat saat di pengajian Rasul atau dengan mengajukan pertanyaan kepada Rasul.
6
b.
Secara tidak langsung dari nabi. Maksudnya ialah mereka secara tidak langsung melihat, mendengar, atau mengsaksikan tentang apa yang dilakukan, disabdakan, atau yang berhubungan dengan Rasul. Para sahabat yang mengalami hal seperti ini karena:3
Dalam keadaan sibuk untuk mengurus keperluan hidupnya atau kesibukan lainnya. mereka terkadang tidak sempat ikut. Tetapi walaupun mereka tidak ikut, mereka dapat mengetahui hadist secara tidak langsung, dengan bertanya kepada sahabat yang hadir
Tempat tinggal yang berjauhan dengan tempat tinggal Nabi. Sudah pasti tidak semua sahabat rumahnya berdekatan dengan Nabi. Dan jauhnya tempat tidak menjadi penghalang untunk mereka mempelajari sunnah Nabi
Merasa malu untuk bertanya langsung kepada Nabi, karena masalah yang ditanyakan kepada Nabi menyangkut masalah yang sangat pribadi. Sahabat yang memiliki masalah demikian biasanya minta tolong kepada sahabat lain untuk menanyakan mashalahnya kepada Nabi. Jadi orang yang tidak bertanya itu, menerima jawaban dari Nabi berupa hadist, secara tidak langsung.
Nabi sendiri sengaja minta tolong kepada sahabat ( biasanya kepada istri beliau sendiri) untuk mengemukakan masah masalah khusus. Misalnya yang berhubungn dengan soal kewanitaan. Dengan demikian peneriamaan hadist seperti itu diterima para sahabat secara tidak langsung. Adapun tentang penyampaian hadis oleh para sahabat, dilakukan
dengan dua cara: 1. Secara lafdziyah Yakni, menurut lafazd yang mereka terima dari Nabi. Para sahabat yang dapat melaksanakan dengan cara ini karena selain 3
Dr. H. M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1995, hal. 44.
7
mereka mempunyai ingatan yang kuat, mereka selalu mengulangi hafalan-hafalannya dengan ketelitian. Periwayatan hadist dengan cara ini hanya untuk hadis qauliyah saja, sedang hadis fi’li yah dan taqririyah tidak dapat disampaikan secara lafdziyah. 2. Secara maknawy Hadits yang disampaikan sahabat dengan maknanya saja, tidak menurut lafadz yang disampaikan Nabi. Jadi, bahasa dan lafadznya disususn oleh sahabat, sedang isinya berasal dari Nabi.
C.
Masa Penyaringan Hadits
Masa penyaringan dan seleksi Hadits terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh pemerintahan Bani Abbas, khususnya sejak masa Al-Makmun sampai dengan Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300H). munculnya periode seleksi Hadits ini, karena pada periode sebelumnya belum berhasil memisahkan beberapa Hadits yang berkualitas Sahih, Hasan dan Dha’if.4 1. Periode Penyaringan Hadits
Dalam abad ke-3 Hijrah usaha pembukuan hadits memuncak. Sesudah kitab-kitab Ibn Juraij dan Al-Muwaththa’ Malik tersebar dalam masyarakat serta disambut dengan gembira, maka timbullah kemauan menghafal hadits, mengumpulkan dan membukukannya, dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat, dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadits. Hal ini kian hari kian bertambah maju. Pada mulanya, ulama Islam mengumpulkan hadits yang terdapat di kota masing-masing. Sebahagian kecil saja di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan hadits. Pada pertengahan abad ke-3, keadaan
ini
dipecahkan
al-Bukhary.
Beliaulah
yang
mula-mula
meluahkan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maru, Naisabury, Rey, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qaisariyah, Asqalan dan Himsah.
4
Drs. Munzier Suparca, M.A, Ilmu Hadits, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 73-74.
8
Ringkasnya,
al-Bukhary
membuat
langkah
baru
untuk
mengumpulkan hadits yang tersebar di berbagai daerah. 16 tahun lamanya beliau terus-menerus menjelajah untuk menyiapkan kitab shahih-nya. 2. Periode
Imam yang Mula-mula Membukukan Hadits yang
Dipandang Shahih
Untuk menyaring hadits-hadits itu serta membedakan hadits yang shahih dari yang palsu dan dari yang lemah, Ishaq Ibn Rahawaih, seorang imam hadits yang besar, terdorong untuk memulai usaha memisahkan hadits-hadits yang shahih dan yang tidak. Pekerjaan yang mulia ini, kemudian disempurnakan ole imam alBukhary. Al-Bukhry menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama al Jami’ ash-shahih yang membukukan hadits-hadits yang dianggap shahih saja. Kemudian usaha al-Bukhary ini diikuti pula oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim. Maka dengan jerih payah kedua sarjana besar ini, kita menemukan sumber-sumber hadits yang bersih. Sesudah shahih al-Bukhary dan shahih Muslim tersusun, muncul pula beberapa orang imam lain menuruti jejak kedua pujangga tersebut, seperti Abu Daud (Sunan Abi Daud ), At-Tirmidzy ( sunan At-Tirmidzy) dan AnNasa’y ( sunan an- Nasa’y). Itulah yang kemudian terkenal dalam kalangan masyarakat ulama dengan kitab-kitab pokok yang lima ( alUshul al-Khamsah). 3. Periode Dasar -dasar Pentashihan Hadits
Untuk mentashihkan hadits, dibutuhkan pengetahuan yang luas tentang Tarikh Rijal al-hadits - sejarah perawi hadits -, tanggal lahir dan wafat para perawi, agar dapat diketahui, apakah dia bertemu dengan orang ia riwayatkan haditsnya atau tidak . Dengan pengetahuan yang mendalam tentang parawi hadits sejak zaman shahaby hingga zaman alBukhary (umpamanya), dapat diketahui bagaimana tingkat kebenaran dan kepercayaan perawi-perawi itu, nilai-nilai hafalan mereka, siapa yang
9
benar dapat dipercaya, siapa yang tertutup keadaan, siapa yang dusta, siapa yang lalai. Al-Bukhary mempunyai dua keistemewaan, yaitu pertama, hafalan yang sungguh kuat yang jarang kita temukan bandingannya, khususnya dalam bidang hadits. Kedua, keahlian dalam meneliti keadaan perawi perawi yang dapat kita lihat dalam kitab tarikhnya yang disususn untuk menerangkan
keadaan
perawi-perawi
hadits.
al-Bukhary
dalam
menghadapi perawi-perawi yang lemah dan tercela, mempergunakan kata-kata yang sopan sekali. Perawi-perawi yang menerima hadits dari tokoh-tokoh hadits, seperti az-Zuhry, tentu tidak sama semuanya. Ada yang erat dengan azZuhry, ada yang tidak. al-Bukhary mensyaratkan perawi-perawi yang erat hubungannya.
Muslim
hubungannya,
sama
menerima
dengan
perawi-perawi
menerima
yang
tidak
erat
perawi-perawi
yang
erat
hubungannya. Mengenai orang-orang yang bukan tokoh, maka baik AlBukhary maupun muslim menerimah riwayatnya asal saja perawi itu terpercaya, adil tidak banyak khilaf atau keliru. 4. Periode Langkah-Langkah yang Diambil untuk Memelihara Hadits
Ulama di samping membukukan hadits dan memisakan hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, atau memisahkan yang shahih dari yang dha’if, mereka memberikan pula kesungguhan yang mengagumkan untuk menyusun
kaedah-kaedah
tahdits,
ushul-ushulnya,
syarat-syarat
menerimah riwayat, syarat-syarat menolaknya, syarat shahih dan dha’if, serta kaidah-kaidah yang dipegangi dalam menentukan hadits-hadits maudhu (palsu). Semua itu mereka lakukan untuk memelihara sunnah Rasul dan untuk menetapkan gar is pemisah antara yang shahih dengan yang dha’if, khususnya antara hadits-hadits yang ada asalnya dengan hadits yang semata-mata maudhu.
10
D.
Penyebaran Hadis Saman Sahabat Dan Tabi’in 1. Sahabat (Hadis pada Masa Khulafa al-Rasyidin)
Perkembangan Hadis Sahabat adalah a. Orang yang pernah berjumpa dengan Nabi Muhammad saw. dengan beriman kepadanya dan mati sebagai orang Islam. b. Orang yang lama menemani Nabi Muhammad saw. dan berulang kali mengadakan pertemuan dengan beliau dalam rangka mengikuti dan mengambil pelajaran dari beliau. c. Orang Islam yang pernah menemani Nabi Muhammad dan pernah melihat beliau.
2. Metode sahabat memelihara kemurnian Sunnah Nabi saw a. Taqlil Ar-riwayah
Secara khusus, dalam pemerintahan Abu Bakar dan Umar, ditemukan kesan adanya upaya meminimalisasi riwayat hadis. Jika diamati, mengapa sahabat membatasi periwayatan, maka ditemukan jawaban di sekitar hal ini yang bersifat kondisional dan bersifat kehati-hatian, yaitu:
Pada masa Abu Bakar, pusat perhatian tertuju pada pemecahan masalah politik, khususnya konsolidasi dan pemulihan kesadaran terhadap perlunya menjalankan roda khilafah Islam . Oleh sebab itu, gerakan periwayatan dengan sendirinya terbatas.
Sahabat masih dekat dengan era Nabi saw. dimana umumnya mereka
mengetahui
Sunnah.
Sehingga
persoalan-persoalan
hukum dan sosial telah mendapat jawaban dengan sendirinya pada diri mereka.
Para sahabat lebih menfokuskan diri pada kegiatan penulisan dan kodifikasi Alquran. Kegiatan ini bukanlah pekerjaan mudah, sebab sahabat-sahabat mesti menyeleksi tulisan-tulisan dan hafalan di antara mereka untuk dibukukan dalam satu buku atau mushaf.
11
Adanya kebijaksanaan yang dilakukan penguasa, khususnya
Umar, agar sahabat menyedikitkan riwayat. Ini disebabkan kecenderungannya yang sangat selektif, berhati-hati, dan diiringi sikap ketegasannya. Sahabat khawatir terjadinya pemalsuan hadis yang dilakukan
oleh mereka yang baru masuk Islam, sebab sunnah belum terlembaga pengumpulannya sebagaimana Alquran. Umar pernah mempersyaratkan penerimaan hadis dengan mendatangkan saksi atau melakukan sumpah, namun beliau juga pernah menerima hadis tanpa persyaratan itu 3.
Tatsabbut Fi Ar-riwayah
Adanya gerakan pembatasan riwayat di kalangan sahabat tidaklah berarti bahwa mereka sama sekali tidak meriwayatkan Sunnah pada masanya. Maksud dari pembatasan tersebut hanyalah menyedikitkan periwayatan dan penyeleksiannya. Konsekuensi dari gerakan pembatasan tersebut, muncullah sikap berhati-hati menerima dan meriwayatkan Sunnah. Para sahabat melakukan penyeleksian riwayat yang mereka terima
dan memeriksa Sunnah yang mereka riwayatkan dengan cara
mengkonfirmasikan dengan sahabat lainnya 4. Masa Tabi’in
Tabi’in adalah orang Islam yang bertemu dengan sahabat, berguru dan belajar kepada sahabat, tapi tidak bertemu dengan Nabi saw. dan tidak pula semasa dengan Nabi saw . Tabi’in Besar (Kibar Tabi’in) adalah Tabi’in yang banyak bertemu sahabat, belajar dan berguru kepada mereka. Tabi’in besar besar ini di antaranya yang dikenal dengan fukaha tujuh, yaitu, Sa’id Ibn Musayyab, Al -Qasim Ibn Muhammad Abu Bakr, Urwah bin Zubair, Kharijah Ibn Zaid, Abu Ayyub Sulaiman Hilali, Ubaidullah Ibn Utbah, Abu Salamah Ibn Abdurahman ibn Auf. Tabi’in Kecil (Sighor Tabi’in) adalah Tabi’in yang sedikit bertemu sahabat dan lebih banyak belajar dan mendengar Hadis dari Tabi’in besar. Peranan Tabi’in dalam pertumbuhan sejarah hadis tidak dapat dipungkiri
12
merupakan salah satu peranan besar dalam kesinambungan dan pemeliharaan hadis. Khususnya setelah masa pemerintahan Usman dan Ali. 5. Timbulnya Pemalsuan Hadis
Pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang jamal dan perang shiffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok yaitu pertama, golongan Syi’ah, pendukung ‘Ali bin AbiThalib, kedua adalah golongan Khawarij, penentang Ali dan Mu’awiyah, ketiga adalah golongan jama’ah yang tidak mendukung kedua golongan di atas. Terpecahnya umat Islam menjadi beberapa golongan tersebut didorong akan adanya keperluan dan kepentingan golongan masing-masing. Mereka mendatangkan keterangan dan hujjah untuk mendukungnya dengan beberapa cara, yaitu: 5 a. Mereka mencari ayat-ayat Alquran dan hadis yang dapat dijadikan hujjah. b. Apabila mereka tidak menemukannya, mereka menakwilkan ayat Alquran dan menafsirkan hadis-hadis sesuai dengan golongannya. c. Langkah terakhir, apabila mereka tidak mendapatkannya dari kedua sumber tersebut, maka mereka memalsukan hadis-hadis, dan yang pertama mereka palsukan adalah hadis yang mengenai orang-orang yang mereka agung-agungkan 6. Kodifikasi Hadis
Pada masa sahabat belum ada pembukuan hadis secara resmi yang diprakarsai pemerintah, padahal peluang untuk membukukan hadis terbuka. Umar bin Khattab pernah berfikir membukukan hadis, beliau meminta pendapat para sahabat, dan disarankan membukukannya. Setelah Umar bin Khattab istikharah sebulan lamanya ia membatalkan rencana tersebut. 5
DR. Muh. Zuhri, Hadits Nabi, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 1997, hal. 43-45
13
BAB III PENUTUP
Tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu. Sedangkan Al- ‘Ada adalah adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits. Mayoritas ulama cendrung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Ulama yang membolehkan juga masih berbeda pendapat mengenai batas usia anak boleh diterima periwayatannya, pendapat pertama mengatakan lima tahun sedangkan pendapat yang kedua mengatakan tamyiz. Syarat kelayakan al-Ada adalah: Islam, Baligh, Sifat Adil, Dhabt. Sedangkan metode dalam tahammul al-ada’ adalah melalui beberapa jalan yaitu as-sima’, al-Qira’ah ‘ala Syaikh, al-Ijazah, al-Munawalah, al-Mukatabah, I’lam asy-Syaikh, al-Washiyyah, al-Wijadah.
14
DAFTAR PUSTAKA
DR. M. ‘Ajaj Al- Khatib, USHUL AL-HADITS (Pokok-pokok Ilmu Hadits) Penerjmah: Drs. H. M Qodirun Nur dan
Ahmad Musyafiq, S. Ag.
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998). Cet. Ke- 1 Drs. Abdullah Karim, M. Ag, Membahas ilmu-ilmu hadits, (Kalimantan: CV Haga Jaya Offset, 2005), Cet. Ke-1 Drs. Fatchur Rahman, IKHTISHAR MUSHTALAHUL HADITS( Bandung: PT Al-Ma’arif, 1995) Cet. Ke- 8
15
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim Alhamdulillah , Puji beserta syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami mampu menyelesaikan Makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad saw. Makalah ini berisikan tentang penjelasan ” Hadist Pada Masa Sahabat dan Tabiin” Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini . Akhir kata , kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir . Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita . Amin .
Sungai Penuh, Maret 2016
i16
MAKALAH Hadist Pada Masa Sahabat dan Tabiin
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur pada Mata Kuliah “Ulumul Hadis “
Disusun Oleh : Wella Oktia
Dosen Pembimbing: Iril Admizal, S.Thl, M.A
MAHASISWA JURUSAN SYARIAH PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM STAIN KERINCI TAHUN AKADEMIK 2015/2016
17
18