KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan hidayah-Nyalah penulis dapat menyelesaik menyelesaikan an makalah makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat Shalawat beriring beriring salam selalu selalu kita panjatkan kepada Rasullullah SAW, karena kegigihan beliau dan ridho-Nyalah kita dapat merasakan kenikmatan dunia seperti sekarang ini. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen, makalah ini juga bertujuan untuk menambah pengetahuan dan wawasan bagi pembaca sekalian.
Penulis Penulis menguca mengucapkan pkan terima terimakas kasih ih kepada kepada semua semua pihak pihak yang yang telah telah member memberika ikan n sumbangsihnya dalam penulisan makalah ini. Penulis Penulis menyad menyadari ari bahwasa bahwasanya nya makala makalah h ini masih masih jauh jauh dari dari kesemp kesempurn urnaan, aan, oleh oleh kare karena na itu itu krit kritik ik dan dan sara saran n penul penulis is hara harapk pkan an dari dari pemb pembac acaa seka sekali lian an demi demi terc tercip ipta tany nyaa kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi yang memerlukan. Terima kasih.
Makassar, 5 Desember 2011
Penulis
DAFTAR ISI
1
KATA PENGANTAR ........................................................................................... 1
DAFTAR ISI ...........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 4 1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 6 1.3 Tujuan ........................................................................................................ 6 BAB II PEMBAHASAN 2.1 AL-QUR’AN............................................................................................. 7 2.1.1 Pengertian Al-qur’an.......................................................................... 7 2.1.2 Struktur dan pembagian Al-Qur'an ................................................... 8 2.1.3 Sejarah Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf .............................. ..... 9 2.1.4 Pengumpulan Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW .......................... 9 2.1.5 Pengumpulan Al-Qur'an di masa Khulafaur Rasyidin .....................10 2.1.6 Adab Terhadap Al-Qur'an ................................................................13 2.1.7 Hubungan dengan kitab-kitab lain ...................................................13 2.1.8 Kesusastraan Al-Qur’an ...................................................................14 2.2 HADITS ....................................................................................................18 2.2.1 Pengertian Hadits .............................................................................18 2.2.2 Struktur Hadits .................................................................................19 2.2.3 Klasifikasi Hadits .............................................................................21 2.2.4 Perbedaan Hadits dengan as-Sunnah, as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar al-Atsar ...... 24 2.2.5 Cara Penyampaian Hadits pada Masa Nabi .................................... 25
2
2.3 HADITS QUDSI ...................................................................................... 27
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 30 3.2 Saran ........................................................................................................ 30
Catatan Kaki ......................................................................................................... 31 Daftar Pustaka ...................................................................................................... 33
BAB I PENDAHULUAN
3
1.1 Latar Belakang Al-Hadits didefinisikan oleh umumnya ulama identik dengan definisi As-Sunnah. Yaitu sebagai “Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada nabi Muhammad saw, baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya.” Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada “ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw yang berkaitan dengan hukum“. Sedangkan bila mencakup pula padanya perbuatan dan taqrir (bukan hanya ucapan) beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini dinamai As-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran. Sementara itu, ulama ahli tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama adalah Athi’u Allah war rasul, dan kedua adalah Athi’u Allah wa athi’ur rasul. Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan perintah Allah SWT. Karenanya redaksi tersebut mencukupkan sekali saja penggunaan kata athi’u. Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran. Itu sebabnya dalam redaksi kedua di atas, kata athi’u diulang dua kali. Dan atas dasar ini pula perintah taat kepada Ulil Amri tidak dibarengi dengan kata athi’u karena ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. (Perhatikan Firman Allah dalam QS 4:59).
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” Menerima ketetapan Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman seseorang, demikian Allah bersumpah dalam Al-Quran Surah Al-Nisa’ ayat 65.
4
65.
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara Hadis dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril as hanya sekadar menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw. Dan beliau pun langsung menyampaikannya kepada umat, demikian dan seterusnya generasi demi generasi. Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi Saw, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang –menurut adat– mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi qath’il wurud. Ini, berbeda dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis-hadis yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi’in. Ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otensititasnya adalah zhannil wurud. Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis karena sekian banyak faktor — baik pada diri Nabi Saw maupun sahabat beliau. Disamping kondisi sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.
1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan penulis bahas dalam penulisan makalah ini adalah : 1. Apa yang dimaksud dengan Al-Qur’an ?
5
2. Bagaimana hubungan antara Al-Qur’an dan sebuah kesusastraan ? 3. Apa yang dimaksud dengan hadits dan hadits qudsi ? 4. Apa yang menjadi perbedaan antara Al-Qur’an dan Hadits Qudsi ?
1.3 Tujuan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah : 1. Sebagai sebuah pengetahuan baru bagi pembaca dalam memahami makna Al-Qur’an, Hadits Qudsi dan Hadits. 2. Sebagai media inspirasi maupun referensi bagi pembaca dalam mensosialisasikan makna dari Al-Qur’an, Hadits Qudsi dan Hadits tersebut dalam masyarakat luas.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 AL-QUR’AN 6
2.1.1 Pengertian Al-qur’an
Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya: “Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17-75:18)
“Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir , serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas".
Nama-nama Lain Al-qur’an Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya: •
Al-Kitab, QS(2:2),QS (44:2)
•
Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)
•
Al-Furqan (pembeda benar salah):
•
Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)
QS(25:1)
•
Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
•
Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
•
Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102)
•
An-Nur (cahaya): QS(4:174)
•
Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20)
•
Al-Balagh
•
Adz-Dzikr
(pemberi
peringatan):
QS(15:9) •
Al-Mau'idhah
(pelajaran/nasehat):
QS(10:57) •
Al-Hukm
(peraturan/hukum):
QS(13:37) •
Al-Hikmah QS(17:39)
(penyampaian/kabar)
QS(14:52) (kebijaksanaan): •
Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)
7
•
Asy-Syifa'
(obat/penyembuh):
QS(10:57), QS(17:82) •
Al-Huda
(petunjuk):
QS(72:13),
(yang
diturunkan):
QS(9:33) •
At-Tanzil QS(26:192)
2.1.2 Struktur dan pembagian Al-Qur'an Surat, ayat dan ruku'
Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah (surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar dan Al-‘Așr. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku' yang membahas tema atau topik tertentu. Makkiyah dan Madaniyah
Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah.
Menurut ukuran surat
Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada didalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
8
•
As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An Nisaa’, Al-A’raaf , Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus
•
Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf , Mu'min dan sebagainya
•
Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya
•
Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya
2.1.3 Sejarah Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf Penurunan Al-Qur'an
Al-Qur'an tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah. Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya
Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan. 2.1.4 Pengumpulan Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang.
9
Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan. 2.1.5 Pengumpulan Al-Qur'an di masa Khulafaur Rasyidin Pada masa pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar , terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal AlQur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf , hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW. Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an. Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif , dengan sanad yang shahih:
10
Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'." Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin AlHarits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam). Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an
Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.
Terjemahan
11
Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; terkadang untuk arti hakiki, terkadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya. Terjemahan dalam bahasa Indonesia di antaranya Terjemahan dalam bahasa daerah Indonesia dilaksanakan oleh: 1. Al-Qur'an
di antaranya dilaksanakan oleh: dan
Terjemahannya,
oleh
Departemen Agama Republik Indonesia,
1. Qur'an Kejawen
(bahasa Jawa),
oleh Kemajuan Islam Jogyakarta
ada dua edisi revisi, yaitu tahun 1989 dan
2. Qur'an Suadawiah (bahasa Sunda)
2002
3. Qur'an bahasa Sunda oleh K.H.
2. Terjemah Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud Yunus 3. An-Nur, oleh Prof. T.M. Hasbi AshSiddieqy 4. Al-Furqan, oleh A.Hassan guru PERSIS
Qomaruddien 4. Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang 5. Al-Qur'an Suci Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad Adnan
Terjemahan dalam bahasa Inggris 6. Al-Amin (bahasa Sunda) 1. The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali 2. The Meaning of the Holy Qur'an, oleh Marmaduke Pickthall
2.1.6 Adab Terhadap Al-Qur'an
Sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang Muslim dianjurkan untuk menyucikan dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal ini berdasarkan tradisi dan interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi'ah ayat 77 hingga 79.
12
Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, 56-78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), 56-79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (56:77-56:79) Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur penting kepercayaan bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa penghinaan secara sengaja terhadap Al Qur'an adalah sebuah bentuk penghinaan serius terhadap sesuatu yang suci. Berdasarkan hukum pada beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini dapat berupa penjara kurungan dalam waktu yang lama dan bahkan ada yang menerapkanhukuman mati. 2.1.7 Hubungan dengan kitab-kitab lain
Berkaitan dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Muhammad SAW dalam agama Islam (Taurat, Zabur , Injil, lembaran Ibrahim), AlQur'an dalam beberapa ayatnya menegaskan posisinya terhadap kitab-kitab tersebut. Berikut adalah pernyataan Al-Qur'an yang tentunya menjadi doktrin bagi ummat Islam mengenai hubungan Al-Qur'an dengan kitab-kitab tersebut: •
Bahwa Al-Qur'an menuntut kepercayaan ummat Islam terhadap eksistensi kitab-kitab tersebut. QS(2:4)
•
Bahwa Al-Qur'an diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian (verifikator) bagi kitab-kitab sebelumnya. QS(5:48)
•
Bahwa Al-Qur'an menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan pendapat antara ummat-ummat rasul yang berbeda. QS(16:63-64)
•
Bahwa Al-Qur'an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur'an terdapat cerita-cerita mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai beberapa bagian mengenai kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut pada beberapa aspek penting berbeda dengan versi yang terdapat pada teks-teks lain yang dimiliki baik oleh Yahudi dan Kristen.
2.1.8 KESUSTRAAN AL-QUR’AN
13
Al-Qur’an merupakan kitab suci berbahasa Arab yang teragung (Kitâb Al-‘Arabiyyah Al-Akbar) dengan nilai sastra yang sangat tinggi1, namun gaya sastra al-Qur’an berbeda dengan umumnya gaya sastra Arab yang dimiliki masyarakat Arab, sebab gaya bahasanya tidak dapat sepenuhnya disebut sebagai prosa (natsar), di samping juga tidak bisa sepenuhnya diklaim sebagai bentuk puisi (syi’ir). Lebih dari pada itu, gaya bahasanya yang senantiasa berubah dan susunannya yang tidak sistematis, paling tidak, terlihat pada ritme dan bait ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, al-Qur’an sebagai kumpulan tanda-tanda linguistik yang harus dipecahkan, mendorong beberapa sarjana muslim kontemporer untuk menggunakan pendekatan susastra dalam studi al-Qur ’an. Sebagai contoh, Toshihiko Izutsu2, dalam bukunya Ethico Religius Concept in the Qur’an, menerapkan metode semantik dalam mengolah teks Al-Qur’an. Metode ini dilakukan dengan cara studi analisis terhadap perspektif-perspektif yang terkristalkan dalam kata-kata. Dengan demikian penafsiran al-Qur’an harus bertumpu pada kosakatanya, baik secara individual maupun secara rasional dalam jaring atau struktur tertentu. Analisis pengungkapan makna ini diorientasikan untuk memperoleh gambaran pandangan dunia (weltanschauung) alQur’an. Trend pendekatan susastra dalam menafsirkan al-Qur’an tersebut di atas sebenarnya merupakan kelanjutan atas studi al-Qur’an yang telah banyak dilakukan para mufasssir masa klasik, yang benih-benihnya telah ada sejak masa Nabi saw. dan sahabatnya. Studi al-Qur’an dengan pendekatan susastra modern telah melahirkan kerangka dan paradigma baru dalam metodologi tafsir 3, sehingga lebih memberikan pemahaman tentang pesan-pesan al-Qur’an secara komprehensif dengan tetap tidak kehilangan fungsinya yang trans historis dan trans kultural4. Relasi I’jaz al-Qur’an dengan Sastra Arab Gambaran tentang Al-Qur’an, sebagaimana yang diberikan oleh orang-orang musyrik Makkah, sebagai tindak ujaran yang menyerupai ucapan-ucapan para dukun, atau sebagai ucapan puitis yang menyerupai ucapan-ucapan para penya’ir, tidak lain merupakan ekspresi dari fakta bahwa hakekat al-Qur’an ditangkap sebagai teks sastra. Karena itu, al-Qur’an merupakan kitab suci berbahasa Arab yang memiliki nilai sastra yang tinggi. Salah satu i’jâz al-Qur’an tersebut tampak dari gaya bahasanya (uslûb) yang indah dan tak tertandingi oleh siapa pun5.
14
Al-Qur’an sendiri menantang (tahaddi) orang Arab waktu itu supaya bersama-sama dengan jin untuk membuat semacam al-Qur’an, namun mereka tidak mampu membuat semacam al-Qur’an meskipun mereka saling bantu membantu6. Jika mereka ternyata tidak mampu membuat semisal al-Qur’an, maka bisa saja mereka membuat sepuluh surat saja yang serupa dengannya7. Karena tidak mampu pula, maka mereka dapat saja membuat satu surat saja yang serupa al-Qur’an dengan bekerja sama dengan orang lain selain Allah8. Terbukti, tantangan al-Qur’an tersebut hingga kini tidak ada seorangpun yang dapat menjawabnya. Diskursus tentang i’jâz al-Qur’ân berlangsung di kalangan para ulama hingga sekarang. AlBaqilani menyebutkan bahwa telah banyak ulama dari berbagai ilmu melakukan kajian tentang aspek-aspek kemukjizatan Al-Qur’an9. Ibn Qutaibah berpendapat bahwa pembahasan serta diskusi mengenai ajaran dan keyakinan tentang i’jâz al-Qur’ân yang muncul belakangan, tidak bisa dilepaskan dari dua aspek bahasa, lafzhi dan ma’nawi. Lafzhi berarti leksikal dan makna struktural, sementara ma’nawi adalah teori makna11. Pada abad ke tiga hijriyah, kajian tersebut menjadi obyek pelemik di kalangan kaum muslimim dengan tujuan membela dan mempertahankan ideologi dan faham mereka, terutama yang menyangkut persoalan kenabian dan kemuk’jizatan, seperti buku Ta’wîl Musykil al-Qur’ân karya Ibn Qutaibah, Maqalat al-Islamiyin karya Abi al-Hasan al-Asy’ari, Hujaj al-Nubuwwah karya al-Jahidz, dan al-Intishâr karya Abi al-Hasan al- Khiyath. Di kalangan ulama tafsir, ada juga yang mengkaji kei’jâzan al-Qur’an, seperti al-Thabari dalam Jâmi’ al-Bayânnya dan Majâz al-Qurân yang ditulis oleh Abu ‘Ubaidah. Polemik sekitar i’jâz al-Qur’ân yang paling keras terjadi di kalangan mutakallimin, terutama dengan kemunculan faham mu’tazilah. Bermula dari pendapat Labid bin A’sham, seorang Yahudi, bahwa sesungguhnya Taurat adalah makhluk, maka demikian pula al-Qur’an adalah makhluk. Pendapat tersebut kemudian diikuti oleh Thalut ibn Ukhtah, Banan bin Sam’an, al-Ja’d bin Dirham. Dari ketiga pengikut Labid bin A’sham tersebut al-Ja’d bin Dirhamlah yang paling keras melakukan provokasi terhadap pendapatnya, bahkan secara terbuka, ia mengingkari al-Qur’an dan menolak beberapa isi kandungannya12. Menurutnya, bahwa keindahan sastra al-Qur’an sesungguhnya tidaklah memiliki kemukjizatan, karena sebenarnya manusia mampu membuat semisal al-Qur’an, bahkan lebih indah dari al-Qur’an sendiri. Menurut Abu Ishaq Ibrahim al-Nazhzham, seorang pengikut faham mu’tazih, bahwa
15
i’jâz al-Qur’ân bukan terletak pada al-Qur’n sendiri, tetapi terletak pada faktor eksternal alQur’an, yaitu kehendak Allah sendiri yang membuat lemah dan tidak berdaya orang Arab untuk membuat semisal al-Qur’an, meskipun sesungguhnya mereka mampu membuatnya (alshirfah)13. Konsep
al-shirfah, seperti yang dipahami oleh pengikut faham Mu’tazilah,
sesungguhnya sangat tidak berdasar dan tidak rasional, karena adanya unsur tantangan (tahaddi) dalam i’jâz al-Qur’ân sesungguhnya menuntut adanya kemampuan manusia (alqudrah al-basyariyyah) untuk melakukan perlawanan (al-mu’aradhah) dari manusia itu sendiri, sehingga logikanya, ketika al-Qur ’an menantang manusia untuk membuat semisalnya, bahkan satu ayat saja seperti al-Qur’an, maka mereka benar-benar tidak mampu melakukan perlawanan dengan membuat semisalnya14. Di samping itu, ketidakmampuan manusia untuk membuat semisal al-Qur’an menunjukkan kebenaran bahwa al-Qur’an adalah kalâm Allah, bukan “karya” Rasulullah, karena jika benar merupakan hasil karyanya maka tentu, dengan kemampuan bahasa dan sastra yang dimilikinya, orang Arab mampu membuat bahkan bisa jadi lebih indah dengan “karya” Rasulullah sendiri, tetapi kenyataannya mereka tidak mampu. Dengan demikian, sangat tidak rasional jika manusia tidak mampu membuat semisal al-Qur’an disebabkan pengetahuan dan keterampilannya dicabut dan dihilangkan oleh Allah dari diri mereka (alshirfah)15. Al- Zamakhsyari misalnya, berkesimpulan, bahwa penguasaan terhadap sastra Arab (balâghah) dengan segala
uslubnya tidak hanya akan membantu memahami aspek-aspek
kemukjizatan sastra al-Qur’an, tetapi juga dapat membantu mengungkapkan makna-makna dan rahasia-rahasia yang tersembunyi di baliknya17. Tafsir Kesusastraan Masa Modern Dalam konteks ini, secara metodologis studi tafsir Al-Qur ’an mengalami perkembangan. Jika pada masa klasik studi al-Qur’an masih diwarnai oleh pemahaman yang didasarkan atas kecenderungan tertentu, seperti gramatika, retorika dan kandungan tematiknya, seperti fiqih, tauhid, kisah dan lain sebagainya, maka memasuki masa modern tafsir al-Qur’an lebih dilihat secara fungsional, di mana fungsi dan tujuan diwahyukannya alQur’an kepada manusia adalah untuk memberikan petunjuk (hudan), sebagaimana yang digagas oleh Muhammad Abduh. Menurut Abduh, tujuan yang pertama dan utama dari ilmu
16
tafsir adalah merealisasikan keberadaan al-Qur’an itu sendiri sebagai petunjuk (hudan) dan rahmat Allah swt, dengan menjelaskan hikmah kodifikasi kepercayaan, etika dan hukum menurut cara yang paling bisa diterima oleh pikiran dan menenangkan perasaan. Dengan demikian, tujuan yang sebenarnya dari tafsir al-Qur ’an adalah untuk mencari petunjuk kebenaran di dalam Al-Qur’an18. Pendapat Muhammad Abduh di atas diikuti oleh beberapa sarjana muslim kontemporer berikutnya, seperti Amin al-Khuli (1895-1966), meski dengan sedikit perbedaan. Menurut Amin al-Khuli,
dengan tetap melihat Al-Qur’an sebagai hudan, ia melihat Al-
Qur’an itu sendiri sebagai bagian dari fakta-fakta sosio-historis. Di sini al-Qur’an dilihat sebagai apa adanya dalam kaitannya dengan masyarakat Arab yang pertama kali menerimanya. Ia muncul dalam bingkai dialektika antara wahyu dengan realitas masyarakat pada saat itu. Sebagai fakta, al-Qur’an merupakan fakta bahasa dan susastra19. Oleh karena itu, menurut Amin al-Khuli, tujuan yang disebutkan oleh Muhammad Abduh bukanlah tujuan pertama. Menurutnya, tujuan pertama ilmu tafsir adalah melakukan kontemplasi terhadap al-Qur’an sebagai sebuah kitab bahasa Arab yang teragung (Kitab Al-‘Arabiyyah Al-Akbar) dan mempunyai dampak kesususastraan yang paling besar 20. Kitab itulah yang melanggengkan bahasa Arab dari kehancurannya, dan menjadi kriterium akhir tata bahasa dan paramasusastranya, sehingga kajian aspek susastra dalam AlQur’an dalam tingkatan seninya - yang dilakukan tanpa memandang perspektif yang lain, termasuk kepercayaan agama sekalipun - merupakan langkah awal yang harus dilakukan dalam menafsirkan al-Qur’an sebelum melangkah lebih jauh ke tujuan selanjutnya. Dalam penelitian Amin al-Khuli, seperti ditulis dalam ulasannya tentang tafsir pada Enzyklopedi des Islam, yang kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab al-Tafsîr ma’âlim Hayâtihi
Manhajuh al-Yauma, bahwa karya tafsir yang ada merupakan hasil kreativitas kesarjanaan muslim. Salah satu yang perlu dicatat dari beragamnya karya tafsir, menurut al-Khuli, adalah dominannya kecenderungan yang melatarbelakangi para mufassir. Berbagai latar belakang intelektual, sosial, politik dan ideologi, mempengaruhi hasil-hasil penafsiran yang pada gilirannya mengurangi misi utama yang dibawa al-Qur’an. Dalam hal ini, al-Khuli mencontohkan sarjana pendahulu yang diwarnai, untuk tidak mengatakan didominasi, kepentingan individual seperti tasawuf, teologi, fikih dan sebagainya. Atas dasar pemikiran tersebut di atas, Amin al-Khuli menawarkan metode susastra (al-manhaj al-adabi) dalam
17
menafsirkan al-Qur’an. Sasaran metode ini, sebagaimana telah disebutkan di atas, adalah untuk mendapatkan pesan al-Qur’an secara menyeluruh dan bisa diharapkan terhindar dari tarikan-tarikan individual-ideologis. Studi tafsir Al-Qur’an dengan pedekatan susastra, sebagaimana yang digagas oleh Amin al-Khuli tersebut di atas, selanjutnya dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti, Muhammad Ahmad Khalafullah, ‘Aisyah Abdurrahman Binti Syathi, M. Syukri Ayyad dan Nash Hamid Abu Zaid.
2.2 HADITS 2.2.1 Pengertian Hadits
Kata "Hadits" atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang
dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata
jamaknya, ialah al-ahadis. Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang mendefinisikan hadits, adalah :
"Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya". Ulama hadits menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya”.
Ulama ahli hadits yang lain merumuskan pengertian hadits dengan :
"Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".
Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai berikut :
"Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".
18
Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para ahli hadits dalam mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah hadits dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya. Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut :
"Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara'".
Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul, terdapat persamaan yaitu ; "memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung prilaku dan ucapan shabat atau tabi'in. Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup segala sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir. Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya menyangkut aspek perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara'.
2.2.2 Struktur Hadits
Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).
Contoh: Musaddad mengabari bahwa Yahyaa sebagaimana diberitakan oleh Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: "Tidak sempurna
19
iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" (Hadits riwayat Bukhari )
A. Sanad
Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits. Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah : •
Keutuhan sanadnya
•
Jumlahnya
•
Perawi akhirnya Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam.Hal ini
diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.
B. Matan
20
Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadist ialah: •
Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
•
Matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).
2.2.3 Klasifikasi Hadits
Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (periwayat) serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan) Berdasarkan ujung sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu' (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu' : •
Hadits Marfu' adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW (contoh:hadits sebelumnya)
•
Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'.
Contoh:
21
Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar , Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: "Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah". Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang untuk...", "Kami terbiasa... jika sedang bersama rasulullah" maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu'. •
Hadits Maqtu' adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi'in (penerus). Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu". Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor
lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah SAW dari ucapan para sahabat maupun tabi'in dimana hal ini sangat membantu dalam area perdebatan dalam fikih ( Suhaib Hasan, Science of Hadits). Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati', Mu'allaq, Mu'dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur diatasnya. Ilustrasi sanad : Pencatat Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2 (tabi'in) > penutur 1(Para sahabat ) > Rasulullah SAW •
Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu da n kondisi.
22
•
Hadits Mursal. Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi'in (penutur2) mengatakan "Rasulullah berkata" tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
•
Hadits Munqati' . Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3
•
Hadits Mu'dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
•
Hadits Mu'allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1 (Contoh: "Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah).
Berdasarkan jumlah penutur
Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits Mutawatir dan hadits Ahad. •
Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma'nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)
•
Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain : o
Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur)
o
Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan)
o
Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.
23
Berdasarkan tingkat keaslian hadits
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da'if dan maudu' •
Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Sanadnya bersambung; 2. Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya. 3. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits .
•
Hadits Hasan, bila hadits yg tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
•
Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
•
Hadits Maudu', bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
2.2.4 Perbedaan Hadits dengan as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar
Dari keempat istilah yaitu Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar, menurut jumhur ulama Hadits dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadits disebut juga dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu pula halnya sunnah, dapat disebut dengan hadits, khabar dan atsar. Maka Hadits Mutawatir dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadits Shahih dapat disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih. Tetapi berdasarkan penjelasan mengenai Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar ada sedikit perbedaan yang perlu diperhatikan antara hadits dan sunnah menurut pendapat dan pandangan ulama, baik ulama hadits maupun ulama ushul dan juga perbedaan antara hadits dengan khabar dan atsar dari penjelasan ulama yang telah dibahas. Perbedaan-perbedaan pendapat ulama tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
24
(a) Hadits dan Sunnah : Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber dari Nabi SAW, sedangkan Sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya. (b) Hadits dan Khabar : Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa Khabar sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada selain Nabi SAW.,
Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau
disandarkan kepada Nabi SAW. Tetapi ada ulama yang mengatakan Khabar lebih umum daripada Hadits, karena perkataan khabar merupakan segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi SAW., maupun dari yang selainnya, sedangkan hadits khusus bagi
yang
diriwayatkan dari Nabi SAW. saja. "Ada juga pendapat yang mengatakan, khabar dan hadits, diithlaqkan kepada yang sampai dari Nabi saja, sedangkan yang diterima dari sahabat dinamai Atsar". (c) Hadits dan Atsar : Jumhur ulama berpendapat bahwa Atsar sama artinya dengan khabar dan Hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa Atsar sama dengan Khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi'in. "Az Zarkasyi, memakai kata atsar untuk hadits mauquf. Namun membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul SAW. (hadits marfu)". Dengan demikian, Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. saja, sedangkan Atsar sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi'in.
2.2.5 Cara Penyampaian Hadits pada Masa Nabi
Nabi SAW hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka selalu bertemu dan berinteraksi dengan beliau secara bebas. Menurut T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, bahwa tidak ada ketentuan protokol yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi, dikala beliau tak ada di rumah, dan berbicara dengan para isteri Nabi, tanpa hijab. Nabi bergaul dengan mereka di rumah, di mesjid, di pasar, di jalan, di dalam safar dan di dalam hadlar. Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur kata Nabi menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan pedoman hidup mereka. Para sahabat sangat memperhatikan perilaku Nabi dan sangat memerlukan untuk mengetahui segala apa yang
25
disabdakan Nabi. Mereka tentu meyakini,
bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan
mentaati apa-apa yang diperintahkan Nabi. Sebagai seorang Nabi tentu memiliki teknik atau cara-cara untuk mencontohkan perilaku dan menyampaikan sesuatu kepada para sahabatnya. Untuk itu, "menurut riwayat alBukhari, Ibnu Mas'ud pernah bercerita bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat, Rasul SAW menyampaikan haditsnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya". Ada beberapa teknik atau cara Rasul SAW dalam menyampaikan Hadits kepada para sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi para sahabatnya. Untuk itu, teknik atau cara yang digunakan Nabi SAW dalam menyampaikan Hadits, sebagai berikut : a. Melalui para jama'ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-'Ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerimahadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya. b. Dalam banyak kesempatan Rasul SAW juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para tersebut disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan suatu Hadits, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasul SAW sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang, seperti Hadits-hadits yang ditulis oleh Abdullah bin Amr bin al-'Ash. Untuk hal-hal yang sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami isteri), ia sampaikan melalui isteri-isterinya. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW, seringkali ditanyakan melalui isteri-isterinya. c. Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada' dan fathu Makkah. d. Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya (jalan musya'hadah), seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan muamalah. e. Para sahabat yang mengemukana
masalah atau bertanya dan berdiolog langsung
kepada Nabi SAW. Melihat kenyataan ini, umat Islam pada saat itu secara langsung memperoleh Hadits dari Rasul SAW sebagai sumber Hadits, baik itu berupa perkataan,
26
perbuatan dan taqrir. Antara Rasul SAW dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuan mereka. Para sahabat menerima Hadits dari Rasul SAW adakalanya langsung dari beliau sendiri, mereka langsung mendengar atau melihat contoh perilaku yang dilakukan Nabi SAW, baik karena ada sesuatu soal yang diajukan oleh seseorang kepada Nabi lalu Nabi menjawabnya, atau karena Nabi sendiri yang memulai pembicaan tentang suatu persoalan. ...... Indah sekali, betapa bahagia dan indahnya umat pada saat itu.
2.3 HADITS QUDSI Menurut para ahli hadits, Hadits Qudsi adalah setiap ucapan yang disandarkan kepada Allah swt . oleh Rasulullah saw. Karena itu, hadits qudsi sering diawali dengan
kalimat “… dari Rasulullah saw. dari hadits yang beliau riwayatkan dari Tuhannya,…” atau “Rasulullah
saw.
bersabda,
Allah
swt
berfirman,…”
Berikut ini salah satu contohnya Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, Allah swt. berfirman, “Aku adalah menurut persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Dan Aku bersamanya ketika ia menyebut-Ku. Jika ia menyebut-Ku dalam dirinya, Aku menyebutnya dalam diri-Ku. Ketika ia menyebut-Ku ditengah-tengah sekelompok orang, Aku menyebutnya ditengah-tengah kelompok yang lebih baik dari mereka (kelompok malaikat).” (H.R.Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Perbedaan antara Al-Qur’an dan Hadits qudsi
Para ulama berbeda pendapat tentang hakikat hadist qudsi ini, sebagian ulama seperti Abu Al Biqai berpendapat bahwa hadits qudsi merupakan wahyu Allah yang dihembuskan kepada pribadi Nabi baik melalui ilham maupun mimpi sedangkan susunan redaksinya dilakukan oleh Rasulullah Saw sendiri. Artinya hadits qudsi adalah maknanya dari Allah sedangkan lafadznya dari Rasulullah Saw. Jika pemahaman hadits qudsi seperti ini jelas tidak
27
menimbulkan masalah. namun sementara ulama berpendapat, bahwa hadits qudsi adalah makna dan lafadznya dua-duanya dari Allah Swt. Kalau demikian jelas akan menimbulkan masalah sebab Al Qur’an juga begitu lafadz dan maknanya dari Allah. oleh sebab itu perlu dibuat rumusan yang jelas tentang perbedaan antara Al Qur’an dengan hadits qudsi agar tidak terjadi kerancuan dalam memberikan interpretasi. Dr Syu’ban Muhammad Ismail dalam kitabnya Ma’a Al Qur’an Al Karin Fi Tarikhihi menulis sebelas perbedaan pokok antara Al Qur’an dan hadits qudsi. 1. Al Qur’an adalah wahyu yang jelas, artinya Al Qur’an diturunkan oleh Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad yang dalam keadaan sadar, sedangkan hadits qudsi bisa jadi diterima dalam bentuk ilham ataupun mimpi. 2. Al Qur’an merupakan mukjizat sehingga tidak ada seorangpun yang dapat menandinginya, ia juga terjaga dari perubahan, sedangkan hadits qudsi tidak. 3.Membaca Al Qur’an merupakan ibadah sedangkan hadits qudsi tidak demikian. 4. Bagi orang yang hadats dilarang menyentuh al qur’an dan bagi yang junub dilarang menyentuh dan membacanya, sedangkan hadist qudsi tidak. 5. Al Qur’an tidak boleh diriwayatkan dengan maknanya saja, sedangkan hadits qudsi boleh. 6. Al Qur’an diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan hadits qudsi diriwayatkan secara ahad. 7. Menurut Imam Ahmad dilarang menjual Al Qur’an sementara Imam Syafi’i Makruh, sedangkan hadist Qudsi tidak demikian. 8. Al Qur’an merupakan bacaan tertentu dalam sholat, tidak sah sholat seseorang bila tidak membaca Al Qur’an sedangkan hadits qudsi tidak. 10. Lafadz Al Qur’an berasal dari Allah, sedangkan hadist qudsi berasal dari Nabi Saw.
28
11. Bagian-bagian dari Al Qur’an disebut ayat dan surat sedangkan hadist qudsi tidak demikian.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
29
Adapun beberapa kesimpulan yang dapat penulis ambil dari pembahasan makalah diatas adalah : 1. Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir , serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas. 2. Al-Quran dan Hadits merupakan dua sumber hukum dalam islam yang harus dijalankan secara bersamaan. 3. Pendefenisian makna dari hadits itu sendiri memiliki persamaan dan kesamaan yang mendasar pada beberapa ulama, salah satu pengertian dari hadits itu adalah sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya. 4. Hadits qudsi merupakan hadits yang maknanya berasal dari Allah SWT. dan lafadzhnya berasal dari Nabi Muhammad SAW.
3.2 Saran 1. Semoga makalah ini menjadi penambahan pengetahuan pembaca dalam mengetahui makna Al-Qur’an, Hadits Qudsi dan Hadits itu sendiri dan dapat mensosialisasikannya pada masyarakat luas. 2. Semoga makalah ini menjadi sebuah inspirasi dan referensi dapat penulisan makalah berikutnya.
Catatan Kaki
1
Terminologi kitab bahasa Arab yang teragung (Kitâb al-‘Arabiyyah
al-Akbar) untuk
menyebutkan al-Qur’an pertama kali digunakan oleh Amin al-Khuli dalam bukunya “Manhaj
30
Tajdîd fi al-Nahw wa al-Balâghah wa Tafsîr wa al-Adab”. Menurutnya, secara sosiologis alQur’an tidak dapat dilepaskan dari konteks diturunkannya dalam masyarakat Arab dengan segala aspek yang berhubungan dengan konteks tersebut. Lihat Amin al-Khuli, Manhaj Tajdîd fî al-Nahw wa al-Balâghah wa Tafsîr wa al- Adab (Kairo: Dar al-Ma’rifah, 1961) h. 229-230 2
Lihat selengkapnya Toshihiko Izutsu, Ethico Religius Concept in the Qur’an (Montreal: Mc
Gill University Press, 1966). 3
Dalam konteks teori susastra modern dikenal teori fenomenologi, hermeneutika, teori
resepsi, strukturalisme dan semiotik, postrukturalisme dan psikoanalisis. Teori sastra tersebut oleh beberapa sarjana muslim maupun orientalis digunakan untuk studi atas teks al-Qur’an, seperti Nashr Hamid Abu Zaid, Muhammaed Arkoun dan John Wansbrough. 4
Waryono Abdul Ghafur, “Al-Qur’an dan Tafsirnya dalam Prespektif Arkoun” dalam buku
Studi Al-Qur’an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 167 5
Abd al-Qahir al-Jurjani, Dalâil al-I’jâz (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, 2005), h. 15
6
QS. Al-Isra : 88
7
QS. Hud: 13
8
QS. Al-Baqarah : 23
9
Abu Bakr Muhammad bin al-Thayyib al-Baqilani, I’jâz al-Qur’ân
(Misr: Dâr al-Ma’ârif, tt.), h. 3-4 10
Nama lengkapnya Abu Muhammad Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah al-Dainuri,
selanjutnya disebut Ibn Qutaibah. Ia Lahir di Baghdad tahun 213 H, seorang ahli bahasa Arab dan sejarah. Ia juga dikenal seorang saleh dan ‘alim, banyak karya tulisnya, baik tentang alQur’an, hadis, bahasa, dan lainnya. Ia wafat tahun 276 H/889 M. 11
Ibn Qutaibah, Ta’wîl Musykil al-Qur’ân (Kairo: tp., 1326), h. 10
12
Tercatat ada beberapa bagian dari al-Qur’an yang ditolak al-Ja’d bin Dirham, seperti ayat
tentang percakapan antara Allah dengan Nabi Musa. Beberapa pengikutnya bahkan menolak secara berlebihan, seperti pengikut Abd al-Karim bin ‘Ajrad pada akhir tahun 100 H. an, mengatakan bahwa surat Yusuf bukanlah termasuk al-Qur’an, karena itu hanyalah cerita (qishshah) belaka. Bahkan pengikut al-Rafidhah beranggapan bahwa al-Qur’an sudah tidak orisinil lagi, karena al-Qur’an sudah terjadi perubahan dengan penambahan dan pengurangan di sana- sini. Demikian pula yang terjadi dengan sunnah telah terjadi perubahan- perubahan.
31
Semua pemahaman tersebut bersumber dari tokoh Mu’tazilah, Hisyam bin al-Hakam. Lihat catatan kaki Mushtafa Shadiq al-Rafi’i, I’jâz al-Qur’ân wa al-Balâghah al-Nabawiyyah (Kairo: al-Maktabah al- Taufîqiyyah, tt), h. 143 13
Menurut al-Murtadha, seorang pengikut Syi’ah, bahwa makna al- sharfah adalah Allah
menghilangkan dan mencabut pengetahuan orang Arab, sehingga mereka tidak mampu membuat semisal al-Qur’an, karena bagaimana pun mereka adalah ahli sastra yang memiliki kemampuan menyusun dan merangkai susunan dan kalimat sastra. Menurut Mushtafa, pendapat seperti ini jelas salah. Lihat Mushtafa Shadiq al-Rafi’i, I’jaz..., h. 144 14
Lihat Al-Isra : 88, QS. Yunus : 38, QS. Hud : 13, QS. Al-Thur : 34, dan QS. Al-Baqarah :
24 15
Baca Hasan Hanafi, Min al-‘Aqîdah ila al-Tsaurah (Kairo: Maktabah Madbuli, tt), Juz IV,
h. 184-189 16
Nur Khalis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: eLSAQ, 2005), h. 139
h. 25 17 18
Ahmad Thib Raya, h. 49 Muhammad Aunul Abied Shah dalam artikel berjudul “Amin Al- Khuli dan Kodifikasi
Metode Tafsir” dalam buku Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), h. 140 19 Khairon Nahdiyyin, Metode Tafsir Susastra (Yogyakarta: Adab Press), 2004, h: vii. 20
Amin Al-Khuli, Manhaj Tajdîd …, h. 302-304
Daftar Pustaka Faridl, Miftah dan Syihabudin, Agus -- Al-Qur'an, Sumber Hukum Islam yang Pertama, Penerbit Pustaka, Bandung, 1989 M.
32