MAKALAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN KERACUNAN MAKANAN DAN ALERGI MAKANAN
KELOMPOK V PROGRAM ALIH JENIS 2/ B19 Yhunika Nur Mastiyas
131611123077
Antonia Andasari
131611123078
Shyntia Paula Soriton
131611123079
Akhmad Ismail
131611123080
Simpliana Rosa
131611123081
Liana Oktaviana Rompis
131611123082
Alfret Bonifacius Ulu B.
131611123083
Evodia Lusia Meo T.
131611123084
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2017
A. ALERGI MAKANAN
1.
Definisi Alergi Makanan Alergi makanan adalah respon abnormal tubuh terhadap suatu makanan yang dicetuskan oleh reaksi spesifik pada sistem imun dengan gejala yang spesifik pula. Beberapa kepustakaan alergi makanan dipakai untuk menyatakan suatu reaksi terhadap makanan yang dasarnya adalah reaksi hipersensitifitas tipe I dan hipersensitifitas terhadap makanan yang dasarnya adalah reaksi hipersensitifitas tipe III dan IV.
2.
Epidemiologi Alergi makanan bisa menyerang siapa saja dengan kadar yang berbeda-beda. Seseorang yang menyantap makanan kemudian timbul perasaan tidak enak pada tubuh, maka mereka akan beranggapan bahwa mereka alergi terhadap makanan tersebut. Faktanya, tidak semua anggapan itu benar. Hanya 1% pada orang dewasa dan 3% pada anak yang terbukti jika mereka memang benar-benar alergi terhadap makanan te rtentu. Alergi makanan umumnya terjadi pada anak-anak, sekitar 1-2% bayi alergi terhadap susu sapi, 8% anak menunjukkan reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan dan 2% orang dewasa menderita alergi makanan.
3.
Etiologi Penyebab alergi makanan dapat dikelompokkan menjadi : 1) Faktor internal a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzim usus, glycocalyx) maupun fungsi imunologis (misalnya IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu. b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitifitas alergen dini mulai janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat. c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen bertambah. 2) Faktor eksternal a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stres) atau beban latihan (lari, olahraga). b. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi alergi.
4.
Patofisiologi Alergen yang pertama kali masuk ke dalam tubuh seseorang yang mengkonsumsi makanan tetapi belum pernah terkena alergi, tidak muncul gejala-gejala. Ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama, barulah tampak gejala alergi. Setelah muncul tanda alergi, antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (IgE). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama, maka akan terjadi 2 hal yaitu : 1) Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T, sitokin memberikan efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel-sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas. 2) Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi (IgE) yang merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, pruritus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan dermatitis. Ketika mencapai paru-paru, akan mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakuti dikenal dengan nama syok anafilaktik, ditandai dengan tekanan darah turun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian.
5.
Klasifikasi 1)
Hipersensitivitas anafilaktik (tipe 1) Keadaan ini merupakan hipersensitivitas anafilaktik seketika dengan reaksi yang dimulai dalam waktu beberapa menit setelah kontak dengan antigen. Ini merupakan reaksi alergi yang diperantarai oleh antibodi IgE. Pada reaksi tipe I, antigen terikat ke antibodi IgE. Kompleks IgE-antigen menyebabkan degranulasi sel mast dan pelepasan histamin, serta mediator peradangan lainnya. Mediator ini menyebabkan vasodilatasi perifer dan pembengkakan ruang interstisium. Gejalagejala bersifat spesifik bergantung pada dimana respon alergi tersebut berlangsung. Pengikatan antigen di saluran hidung menyebabkan rinitis alergi disertai kongesti hidung dan peradangan jaringan, sementara pengikatan antigen disaluran cerna mungkin menimbulkan diare atau muntah. Suatu reaksi hipersnsitivitas tipe I yang parah adalah reaksi anafilaktik. Anafilaktik melibatkan respon cepat IgE. Sel mast setelah perjalanan ke suatu
antigen dimana individu sangat peka terhadapnya. Dapat terjadi dilatasi seluruh sistem pembuluh akibat histamin sehingga tekanan darah kolaps. Penurunan hebat tekanan darah selama reaksi anafilaktik disebut syok anafilaktik. Karena histamin adalah konstriktor kuat bagi otot polos bronkiolus, maka anafilaksisjuga merupakan penutupan saluran napas. Anafilaksis sebagai respon terhadap obat misalnya penisilin atau sebagi respon terhadap sengatan lebah dan bersifat fatal pada orang yang sangat peka. 2)
Hipersensitivitas sitotoksik (tipe 2) Hal ini terjadi sewaktu antibodi IgG atau IgM menyerang antigen-antigen jaringan. Reaksi tipe II terjadi akibat hilangnya toleransi diri dan dianggap suatu reaksi autoimun, sel-sel sasaran biasanya dihancurkan. Pada reaksi tipe II, pengikatan antibodi-antigen menyebabkan pengaktifan komplemen, degranulasi sel mast, oedema, kerusakan jaringan, dan lisis sel. Reaksi tipe II menyebabkan fagositosis sel – sel penjamu oleh makrofag.
3)
Hipersensitivitas kompleks imun (tipe 3) Terbentuk ketika antigen terikat dengan antibodi dan dibersihkan dari dalam sirkulasi darah lewat kerja fagositik. Terjadi sewaktu komplek antigen-antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap di pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi disini biasanya jenis IgG. Antibodi tidak ditunjukan kepada jaringan tersebut tetapi terperangkap di dalam jaringan kapilernya. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen yang kemudian melepaskan macrophage chemotaktik factor. Macrophage yang dikerahkan ke tempat tersebut akan merusak jaringan sekitar tempat tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut. Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis ekstrinsik alergi) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun) infeksi tersebut disertai dengan antigen dalam jumlah yang berlebihan tetapi tidak disertai dengan respon antibodi yang efektif. Pembentukan kompleks imun dalam pembuluh darah menjadikan antigen (Ag) dan antibodi (Ab) bersatu membentuk komplek imun mengaktifkan komplemen (C) dan melepas C3a dan C5a yang merangsang leukosit basofil dan trombosit untuk
melepas berbagai mediator antara lain histamin yang menimbulkan pengerutan sel endotil sehingga permeabilitas vaskuler meninggi. Dalam keadaan normal komplek imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear terutama dalam hati, limpa, paru tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut ukuran kompleks merupakan faktor penting. Pada umumnya kompleks yang besar, mudah dan cepat dimusnahkan dalam hati, kompleks kecil sulit untuk dimusnahkan, oleh karena itu dapat lebih lama ada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit merupakan sebab mengapa komleks sulit dimusnahkan. Kompleks imun yang ada dalam sirkulasi meskipun untuk jangka waktu lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun mengendap di jaringan. 4)
Hipersensitivitas tipe lambat (tipe 4) Reaksi tipe IV yang juga disebut reaksi hipersensitifitas lambat, timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpapar oleh antigen. Reaksi terjadi karena respon sel T yang sudah disensitasi bereaksi spesifik dengan suatu antigen tertentu sehingga menimbulkan reaksi makrofag. Serta membentuk indurasi jaringan pada daerah tempat antigen tersebut. Reaksi ini sama sekali tidak memerlukan antibodi seperti pada ketiga tipe terdahulu, bahkan tidak memerlukan aktivasi komplemen. Oleh karena itu, reaksi ini timbulnya agak lambat sekitar 24 – 48 jam, maka secara klinis reaksi dikenal dengan istilah hipersensitifitas tipe lambat. Ada dua macam mekanisme yang turut berperan di dalam terbentuknya hipersensitifitas tipe lambat lambat ini, yakni mekanisme aferen dan eferen. Mekanisme aferen merupakan mekanisme spesifik dan timbul pada waktu sensitized lymphocyte cells dengan resptor yang spesifik ; bereaksi dengan antigen tertentu sehingga sel tersebut mengeluarkan mediator limfokin. Kemudian zat tersebut akan bekerja secara non spesifik pada mekanisme aferen dan mempengaruhi limfosit, makrofag, monosit.
6.
Gejala Klinis Reaksi alergi terhadap alergen makanan pada saluran cerna bisa menimbulkan gejala kram perut, mual, muntah atau diare. Gejala pada saluran nafas adalah munculnya asma; pada kulit menimbulkan gejala urtikaria, angioderma, dermatitis, pruritus, gatal, demam dan gatal; pada mulut muncul rasa gatal dan pembengkakan bibir.
7.
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang biasa dilakukan pada kasus alergi yaitu :
1)
Inspeksi : lihat adanya kemerahan, terdapat bentol-bentol, gejala urtikaria, angioderma, pruritus dan pembengkakan pada bibir.
2)
Palpasi : ada nyeri pada kemerahan
3)
Perkusi : untuk mengetahui apakah di perut terdapat udara atau cairan.
4)
Auskultasi : mendengarkan suara nafas, bunyi jantung, bunyi usus (pada orang alergi, bunyi usus cenderung meningkat).
8.
Pemeriksaan Penunjang 1)
Uji kulit, sebagai pemeriksaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).
2)
Pemeriksaan darah tepi, bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
3)
IgE total dan spesifik, harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
4)
Tes IgE spesifik dengan RAST ( Radio Immunosorbent Test ) atau ELISA ( Enzyme Linked Immuno Assay).
5)
Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
6)
Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
7)
Biopsi usus, sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food challenge didapatkan inflamasi/ atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM IgE (dengan mikroskop imunofluoresen).
8)
Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
9)
Diit coba buta ganda ( Double blind food challenge) untuk diagnosa pasti. Pemeriksaan secara klinis bisa dilakukan uji eliminasi dan provokasi terbuka “ Open Challenge”. Pertama dilakukan eliminasi dengan makanan yang dikemukakan sendiri oleh penderita atau orang tuanya atau dari hasil uji kulit. Kalau tidak ada perbaikan, maka dipakai regimen diet tertentu.
9.
Penatalaksanaan Ada beberapa regimen diet yang bisa digunakan, antara lain : 1) Elimination diet, beberapa makanan harus dihindari yaitu buah, susu, telur, ikan dan kacang. 2)
Minimal diet 1 ( Modidied Rowe’s diet 1) : terdiri dari beberapa makanan dengan indeks alergenisitas yang rendah.regimen ini terdiri dari beberapa bahan makanan
yang diperbolehkan yaitu, air, beras, daging sapi, kelapa, kedelai, bayam, wortel, bawang, gula, garam dan susu formula kedelai. Bahan makanan lain tidak diperbolehkan. 3)
Minimal diet 2 ( Modified Rowe’s diet 2) : terdiri dari makanan-makanan dengan indeks alergenisitas rendah yang lain yang diperbolehkan, misal air, kentang, daging kambing, kacang merah, buncis, kol, bawang, formula hidrolisat kasein, bahan makanan yang lain tidak diperbolehkan.
4) Egg and Fish free Diet, diet ini menyingkirkan telur termasuk makanan yang dibuat dari telur dan semua ikan. Biasanya diberikan pada penderita dengan keluhan utama urtikaria, angionerotik oedema dan eksema. 5) His Own’s Diet, menyingkirkan makanan yang dikemukakan sendiri oleh penderitanya, sebagai penyebab gejala alergi. Diet dilakukan selama 3 minggu, setelah itu dilakukan provokasi dengan 1 bahan makanan setiap minggu. Makanan yang menimbulkan gejala alergi pada provokasi ini dicatat. Disebut alergen kalau pada 3 kali provokasi menimbulkan gejala alergi. Waktunya tidak perlu berturut-turut. Jika dengan salah satu regimen diet tidak ada perbaikan padahal sudah dilakukan dengan benar, maka diberikan regimen yang lain. Sebelum memulai regimen yang baru, penderita diberi ”carnaval” selama
seminggu, artinya selama 1 minggu itu semua makanan boleh
dimakan (pesta). Maksudnya adalah memberi hadiah setelah 3 minggu diet dengan baik, dengan demikian ada semangat untuk menjalani diet berikunya. Selanjutnya diet yang berikutnya juga dilakukan selama 3 minggu sebelum dilakukan provokasi. Bila diet tidak bisa dilaksanakan maka harus diberi farmakoterapi dengan obat-obatan seperti yang tersebut di bawah ini : 1)
Kromolin, Nedokromil Dipakai terutama pada penderita dengan gejala asma dan rinitis alergika. Kromolin umumnya efektif pada alergi makanan dengan gejala Dermatitis
Atopi yang disebabkan alergi makanan. Dosis kromolin untuk penderita asma berupa larutan 1% solution (20 mg/2mL) 2-4 kali/hari untuk nebulisasi atau berupa inhalasi dengan metered-dose inhaler 1,6 mg (800 µg/inhalasi) 2-4 kali/hari. Untuk rinitis alergik digunakan obat semprot 3-4 kali/hari yang mangandung kromolin 5.2 mg/semprot. Untuk konjungtivitis diberikan tetes mata 4% 4-6 x 1 tetes mata/hari.Nedokromil untuk nebulisasi tak ada. Yang ada berupa inhalasi dengan metered-dose inhaler dan dosis untuk asma adalah 3,5
mg (1,75 mg/inhalasi) 2-4 kali/hari. Untuk konjungtivitis diberikan tetes mata nedokromil 2% 4-6 x 1-2 tetes mata/hari. 2)
Glukokortikoid Digunakan terutama bila ada gejala asma. Steroid oral pada asma akut digunakan pada yang gejala dan PEF nya makin hari makin memburuk, PEF yang kurang dari 60%, gangguan asma malam dan menetap pada pagi hari, lebih dari 4 kali perhari, dan memerlukan nebulizer serta bronkodilator parenteral darurat. menggunaan bronkodilator . Steroid oral yang dipakai adalah : metil prednisolon, prednisolon dan prednison. Prednison diberikan sebagai dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi hari sampai keadaan stabil kirakira 4 hari kemudian diturunkan sampai 0,5 mg/kg/hari, dibagi 3-4 kali/hari dalam 4-10 hari. Steroid parenteral digunakan untuk penderita alergi makanan dengan gejala status asmatikus, preparat yang digunakan adalah metil prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10 mg/kg/dosis tiap 4-6 jam
sampai kegawatan dilewati disusul rumatan prednison oral. Steroid hirupan digunakan bila ada gejala asma dan rinitis alergika. 3)
Beta adrenergic agonist Digunakan untuk relaksasi otot polos bronkus. Epinefrin subkutan bisa diberikan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum 0,3 mg/dosis.
4)
Metil xantin Digunakan sebagai bronkodilator. Obat yang sering digunakan adalah aminofilin dan teofilin, dengan dosis awal 3-6/kg/dosis, lanjutan 2,5
mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam. 5)
Simpatomimetika Simpatomimetika terdiri atas : Efedrin : 0,5 – 1,0 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam Orciprenalin : 0,3 – 0,5 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam Terbutalin : 0,075 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam Salbutamol : 0,1 – 0,15 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
10. Komplikasi Beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan dari reaksi alergi yaitu : a. Polip hidung b. Otitis media c. Sinusitis paranasal
d. Anafilaksis e. Pruritus f. Mengi g. Edema 11. Prognosis Alergi makanan biasanya akan membaik pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun biasanya imaturitas saluran cerna akan membaik. Sehingga setelah usia tersebut gangguan saluran cerna karena alergi makanan juga akan ikut berkurang. Bila gangguan saluran cerna akan membaik maka biasanya gangguan perilaku yang terjadipun akan berkurang. Selanjutnya pada usia di atas 5 atau 7 tahun alergi makananpun akan berkurang secara bertahap. Perbaikan gejala alergi makanan dengan bertambahnya usia inilah yang menggambarkan bahwa gejala Autismepun biasanya akan tampak mulai membaik sejak periode usia tersebut. Meskipun alergi makanan tertentu biasanya akan menetap sampai dewasa, seperti udang, kepiting atau kacang tanah. 12. Asuhan Keperawatan Alergi Makanan 1. Pengkajian a. Data Subjektif
Kaji identitas pasien Kaji keluhan utama pasien Pasien mengeluh sesak nafas Pasien mengeluh bibirnya bengkak Pasien mengungkapkan tidak ada nafsu makan, mual dan muntah Pasien mengeluh nyeri dibawah perut Pasien mengeluh gatal-gatal dan timbul kemerahan di sekujur tubuhnya Pasien mengeluh nyeri Pasien mengeluh demam Riwayat Psikososial : Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan Kaji riwayat kesehatan masa lalu Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit yang sama atau berhubungan dengan sakit yang saat ini diderita.Misalnya, sebelumnya pasien pernah mengalami nyeri perut, sesak nafas, demam, bibir bengkak, timbul kemerahan pada kulit, mual muntah dan gatal Kaji riwayat alergi keluarga
Mengkaji dalam keluarga pasien ada atau tidak mengalami penyakit yang sama b. Data Objektif
Kaji status neurology, perubahan kesadaran, meningkatnya fatique,dan perubahan tingkah laku
Kaji kulit kemerahan
Kaji adanya bentol-bentol
Pasien muntah-muntah, terlihat susah bernafas dan pucat 2. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum Tingkat kesadaran (GCS) Tanda-tanda vital Keadaan fisik : Kepala dan leher, dada, payudara dan ketiak, abdomen, genetalia, integumen, ekstremirtas, pemeriksaan neurologis.
Lakukan Primary survey (ABCDE) 3. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji kulit : sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan). b. Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan. c. IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler. d. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya. e. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif. f. Biopsi usus : sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ). g. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus. h. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti 4. Analisa Data
Data Subjektif Sesak nafas, mual muntah, meringis, gelisah, terdapat nyeri pada bagian perut, gatal-gatal, dan batuk.
Data Objektif Adanya kemerahan pada kulit, terlihat pucat, pembengkakan pada bibir, demam (suhu tubuh diatas 37,5◦C
5. Diagnosa Keperawatan a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebi han
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan cedera mekanik ( luka akibat garukan) c. Hipetermi berhubungan dengan proses inflamasi 6. Rencana Keperawatanan Diagnosa Tujuan/Kriteria Hasil Intervensi Kekurangan volume NIC : Fluid Management cairan berhubungan NOC Label : Fluid Balance 1. Pertahankan catatan intake dengan kehilangan dan output yang akurat Kriteria hasil: cairan berlebihan 2. Monitoring position hidrasi Urine output normal (kelembaban, membran sesuai dengan BB mukosa, nadi adekuat, Vital sign dalam rentang takanan darah ortostatik) normal jika diperlukan adanya tanda- 3. Monitoring vital sign Tidak tanda dehidrasi 4. Monitoring masukan (elastisitas turgor kulit baik, makanan/ cairan dan hitung membran mukosa lembab, tidak intake kalori harian ada rasa haus yang berlebihan) 5. Lakukan terapi IV 6. Monitoring position nutrisi 7. Berikan cairan 8. Berikan cairan IV pada suhu ruangan 9. Dorong intake cairan oral 10. Berikan pengganti nasogastrik sesuai output 11. Dorong keluarga untuk membantu pasien makan 12. Tawarkan snack (jus buah, buah segar) 13. Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebihan muncul memburuk Kerusakan Integritas NOC : Tissue Integrity: Skin and NIC : Pressure Ulcer prevention kulit berhubungan Mucos Wound care dengan lesi dan Kriteria Hasil Anjurkan pasien untuk Tidak ada tanda-tanda cedera mekanik menggunakan pakaian (luka akibat infeksi yang longgar garukan) dan tekstur kulit agar tetap Ketebalan Jaga jaringan normal bersih dan kering kulit akan Menunjukan pemahaman Monitoring dan proses perbaiukan adanya kemerahan kulit lotion atau Oleskan Menunjukan terjadinya minyak/baby oil pada proses penyembuhan daerah yang tertekan luka pasien Memandikan dengan sabun dan air hangat Ajarkan pada keluarga tentang luka dan
perawatan luka Monitoring status nutrisi pasien Hipetermi NOC: Themoregulation NIC : Fever Treatment dan berhubungan dengan Kriteria Hasil Temperature regulation Suhu tubuh dalam rentan Monitoring suhu sesering proses inflamasi normal mungkin Tidak Monitoring warna dan ada perubahan warna kulit suhu kulit dan RR dalam Nadi Monitoring TD,Nadi dan rentang normal RR Berikan antipiretik Selimuti pasien pasien pada Kompres lipat paha dan aksila Monitoring suhu tiap 2 jam
B. KERACUNAN MAKANAN 1. PENGERTIAN
Keracunan makanan merupakan satu penyakit Gastroenteritis Akut, yang terjadi karena kontaminasi bakteri hidup atau toksin yang dihasilkan pada makanan atau kontaminasi zat-zat organic dan racun yang berasal dari tanaman dan binatang (Budiman, 2012) Keracunan makanan adalah penyakit yang disebbakan oleh karena mengkonsumsi makanan yang mengandung bahan berbahaya, toksik atau yang terkontaminasi. Kontaminasi bisa oleh bakteri, virus, parasite, jamur dan toksin (Sartono, 2001) 2. ETIOLOGI.
Menurut Budiman (2012) penyebab keracunan makanan ada beberapa macam yang bisa dimulai dari ringan sampai berat. Secara umum yang banyak terjadi sebagai penyabab keracunan makanan adalah: 1. Mikroba Mikroba yang menyebabkan keracunan diantaranya: a. Escherichia coli pathogen b. Staphilococus aureus c. Salmonella d. Bacillis Parahemolyticus
e. Clostridium Botulisme f. Streptococus 2. Bahan Kimia Pada bahan kimia ini penyebabnya adalah: a. Peptisida golongan organofosfat b. Organo sulfat dan karbonat 3. Toksin. Penyebab keracunanan makanan pada toksin, antara lain: a. Jamur b. Keracunan singkong c. Tempe Bongkrek d. Bayam beracun e. Kerang 3. PATOFISIOLOGI
Keracunan makanan yang disebabkan oleh mikroba, bahan kimia dan toksin dapat mempengaruhi vaskuler sistemik sehingga terjadi penurunan fungsi organ-organ dalam tubuh. Biasanya akibat dari keracunan menimbulkan mual, muntah diare, perut kembung, gangguan pernafasan, gangguan sirkulasi darah dan kerusakan hati. Terjadi mual muntah karena iritasi pada lambung sehingga HCL dalam lambung meningkat. Makanan yang mengandung kimia beracun (IFO) dapat menghambat enzim arstikolinesterase tubuh (KhE). Dalam keadaan normal enzim KhE bekerja untuk menghidrolisis arachnoid (AkH) dengan jalan mengikat AkH-KhE yang bersifat inaktif. Bila konsentrasi racun lebih tinggi dengan ikatan IFO-KhE lebih banyak terjadi, akibatnya akan terjadi penumpukan AkH di tempat-tempat tertentu, sehungga timbul gejala-gejala rangsangan AkH yang berlebihan yang akan menimbulkan muscarinic, nikotinik dan rangsangan yang kemudian menjadi depresi sistem saraf pusat. 4. MANIFESTASI
Gejala yang paling menonjol adalah: 1. Kelainan visus 2. Hiperakivitas kelenjar ludah dan keringat 3. Gangguan saluran pencernaan 4. Kesukaran bernafas. Manifestasi keracunan makanan juga bisa dilihat dari tahapan keracunan makanan ringan, sedang dan berat.
1. Keracunan ringan , penderita merasakan anoreksia, nyeri kepala, lemah, rasa takut, tremor pada lidah dan kelopak mata dan pupil miosis. 2. Keracunan sedang, penderita mengalami mual muntah, kejang dank ram perut, hipersalifa, hiperdrosis, fasikulasi otot dan bradikardi. 3. Keracunan berat, penderita mengalami diare, reaksi cahaya negative, sesak nafas, sianosis, edema paru, inkontinensia urine dan feses, kovulsi, koma dan blockade jantung yang akhirnya dapat menyebabkan kematian. 5. KOMPLIKASI
Komplikasi pada keracunanan makanan biasanya didapatkan: 1. Kejang 2. Koma 3. Henti jantung 4. Henti nafas (apnoe) 5. Syok 6. PENATALAKSANAAN
1. Tindakan emergensi –
Airway : Bebaskan jalan nafas, bila perlu dilakukan intubasi
–
Breathing :Berikan nafas buatan bila penderita tidak bernafas spontan atau pernafasan tidak ade kuat
–
Cirkulasi : Pasang infus bila keadaan penderita gawat darurat dan perbaiki perfusi jaringan.
2. Resusitasi Setelah jalan nafas dibebaskan periksa pernafasan dan nadi. Infus Dextrose 5%, nafas buatan, O2, hisap lender dalam saluran pernafasan, hindari obat-obat depresan saluran nafas, kalau perlu respirator pada kegagalan nafas berat. Hindari nafas buatan dari mulu ke mulut, sebab racun orga fhosfat akan meracuni lewat mulut penolong. Pernafasan buatan hanya dilakukan dengan menggunakan alat bag-valve-mask 3. Identifikasi penyebab Bila memungkinkan lakukan identifikasi penyebab keracunan, tapi identifikasi ini jangan sampai menunda usaha penyelamatan penderita yang segera mendapatkan pertolongan. 4. Mengurangi absorbs. Menguras absorbsi dilakukan dengan merangsang muntah, menguras lambung, dan membersihkan usus.
5. Meningkatkan eliminasi Meningkatkan eliminasi racun dapat dengan diuresis basa atau asam, dosis multiple karbon aktif, dan dialysis dan hemoperfus. 7. PENCEGAHAN KERACUNAN MAKANAN
Beberapa hal sederhana dapat dilakukan untuk meminimalkan potensi terjadinya keracunan makanan. Ikutilah petunjuk WHO mengenai 5 langkah menuju keamanan pangan
dengan
seksama,
seperti
berikut
1. Jagalah kebersihan 2. Pisahkan bahan pangan mentah dan matang 3. Masaklah hingga matang 4. Simpanlah makanan pada suhu yang aman 5. Gunakan air bersih dan bahan pangan yang masih segar (WHO, 2015) 8. ASUHAN KEPERAWATAN TEORI KERACUNAN MAKANAN
A. PENGKAJIAN Pemeriksaan fisik: a. Keadaan umum Kesadaran menurun b. Pernafasan Nafas tidak teratur c. Kardiovaskuler Hipertensi, nadi aritmia d. Persarafan Kejang, miosis, vasikulasi, penurunan kesadaran, kelemahan, paralise e. Gastrointestinal Muntah, diare f. Integumen Berkeringat g. Muskuloskeletal Kelelahan, kelemahan h. Integritas ego Gelisah, pucat i.
Eliminasi Diare
j.
Selaput lendir
ini
:
Hipersaliva k. Sensori Mata mengecil/membesar, pupil miosis B. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Pola nafas infektif b.d obstruksi trakheobronkeal 2. Devisit volume cairan b.d muntah, diare 3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia 4. Gangguan perfusi jaringan b.d kekurangan O2 C. INTERVENSI DAN RASIONAL 1. Pola nafas infektif b.d obstruksi trakheobronkeal Tujuan : menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman dalam rentang normal dan paru bersih Kriteria hasil : suara nafas normal Intervensi : a. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada Rasional : untuk mengetahui pola nafas dan keadaan dada saat bernafas b. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi Rasional : untuk memberikan kenyamanan dan memberikan posisi yang baik untuk melancarkan respirasi c. Dorong atau bantu klien dalam mengambil nafas dalam Rasional : untuk membantu melancarkan pernafasan klien 2. Devisit volume cairan b.d muntah, diare Tujuan : mempertahankan volume cairan adekuat Intervensi : a. Awasi intake dan output, karakter serta jumlah feses Rasional : untuk mengetahui pemasukan dan pengeluaran kebutuhan cairan klien b. Observasi kulit kering berlebihan dan membran mukosa, penurunan turgor kulit Rasional : untuk mengetahui apakah klien kekurangan cairan dengan mengamati sistem integumen c. Kolaborasi pemberian cairan paranteral sesuai indikasi Rasional : untuk membantu menormalkan kembali cairan tubuh klien 3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anorexia (muntah)
Tujuan : nutrisi adekuat Intervensi : a. Catat adanya muntah Rasional : untuk mengetahui frekuensi cairan yang keluar pada saat klien muntah b. Berikan makanan dengan porsi sedikit tapi sering Rasional : untuk membantu klien agar tidak kekurangan nutrisi c. Berikan makanan halus, hindari makanan kasar sesuai indikasi Rasional : untuk membantu klien agar dapat mencerna makanan dengan lancar serta tidak lagi mengalami mual, muntah d. Kolaborasi pemberian antisida sesuai indikasi Rasional : untuk mengurangi nyeri pada abdomen 4. Gangguan perfusi jaringan b.d kekurangan O 2 Tujuan : terjadi peningkatan perfusi jaringan Intervensi : a. Observasi warna dan suhu kulit atau membran mukosa Rasional : untuk mengetahui apakah klien mempunyai alergi kulit b. Evaluasi ekstremitas ada atau tidaknya kualitas nadi Rasional : untuk mengetahui apakah klien mengalami takikardi/bradikardi dan kekuatan pada ekstremitas c. Kolaborasi
pemberian
cairan
(IV/peroral)
Rasional : untuk menetralkan intake kedalam tubuh
sesuai
indikasi
Daftar Pustaka
Brunner & Suddarth. 2002. B uku Ajar K eperawatan Medi kal B edah, volume 3, Jakarta:EGC Dochterman, Joanne Mccloskey. 2000. Nursing Intervention Classification. America : Mosby. Smith, Kelly. 2010. Nanda Diagnosa Keperawatan. Yogyakarta: Digna Pustaka. Swanson, Elizabeth. 2004. Nursing Outcome Classification. America: Mosby Williams,
Lipincott
&
Wilkins.2011. Nursing:
Memahami
Berbagai
Macam
Penyakit .Jakarta:Indeks Budiman, C. (2012). Pengantar Kesehatan dan Lingkungan. Jakarta: Kedokteran EGC. Sartono. (2001). Racun dan Keracunan. Jakarta: Widya Medika. Nurse Unija Sumenep. (2014). Asuhan Keperawatan Keracunan Makanan WHO. (2015). Penyakit Akibat Keracunan Makanan. Regional Office For South- East Asia : WHO.
Retrieved
from
http://www.searo.who.int/indonesia/publications/foodborne_illnesses-id_03272015.pdf