31
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Abortus Imminens
2.1.1. Pengertian
a. Abortus imminens adalah perdarahan vagina atau bercak sebelum umur kehamilan 20 minggu (Masjoer, 2001).
b. Abortus imminens adalah terjadinya bercak yang menunjukkan ancaman terhadap kelangsungan suatu kehamilan (Saifuddin, 2002).
c. Abortus imminens adalah abortus yang mengancam, perdarahannya bisa berlanjut beberapa hari atau dapat berulang (Kusmiyati, 2009).
d. Abortus imminens adalah abortus tingkat permulaan dan ancaman terjadinya abortus, ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam kandungan ( Sarwono, 2008:467).
e. Abortus imminens adalah perdarahan bercak yang menunjukkan ancaman terhadap kelangsungan sauatu kehamilan. Dalam kondisi seperti ini kehamilan masih mungkin berlanjut atau dipertahankan.(Syaifudin. Bari Abdul, 2001:147)
2.1.2. Etiologi
Menurut Cunningham (2005) hal-hal yang dapat menyebabkan abortus, dikelompokkan menjadi 3 faktor yaitu :
a. Faktor fetal
Temuan morfologis yang paling sering terjadi dalam abortus dini spontan adalah kelainan perkembangan zigot, embrio fase awal janin, atau kadang kadang plasenta.Perkembangan janin yang abnormal, khususnya dalam trimester pertama kehamilan, dapat diklasifikasikan menjadi perkembanganjanin dengan kromosom yang jumlahnya abnormal (aneuploidi) atau perkembangan janin dengan komponen kromosom yang normal (euploidi).
Laporan menyatakan bahwa abortus aneuploidi terjadi pada atau sebelum kehamilan 8 minggu, sedangkan abortus euploidi mencapai puncaknya sekitar 13 minggu. Insiden abortus euploidi akan meningkat secara dramatis setelah usia maternal 35 tahun. Namun sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut belum diketahui secara pasti. Penyebab abortus euploidi umumnya tidak diketahui,tetapi mungkin bisa disebabkan oleh; kelainan genetik, berbagai faktor ibu, mungkin beberapa faktor ayah.
b. Faktor Maternal
1) Infeksi
Beberapa infeksi kronis pernah terlibat atau sangat dicurigai sebagai penyebab abortus,diantaranya Listeria monocytogenes dan Toxoplasma.
2) Penyakit kronik
Pada awal kehamilan, penyakit kronik yang menyebabkan penyusutan tubuh, misalnyatuberculosis atau karsinomatosis jarang menyebabkan abortus.Hipertensi jarang menyebabkanabortus di bawah 20 minggu, tetapi dapat menyebabkan kematian janin dan kelahiran preterm.
3) Kelainan endokrin
Autoantibodi tiroid dilaporkan menyebabkan peningkatan insiden abortus walaupun tidak terjadihipertiroidisme yang nyata. Abortus spontan dan malformasi kongenital mayor meningkat pada wanita dengan diabetes mellitus. Risiko ini berkaitan dengan derajat kontrol metabolik pada trimester pertama.
Defisiensi progesteron, karena kurangnya sekresi hormon progesteron tersebut dari korpus luteum atau placenta, mempunyai kaitan dengan insiden abortus.Karena progesteron berfungsi mempertahankan desidua, defisiensi hormon tersebut secara teoritis akan mengganggu nutrisi pada hasil konsepsi dan berperan dalam peristiwa kematian janin.
4) Nutrisi
Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa defisiensi salah satu zat gizi merupakan penyebababortus.Mual dan muntah yang timbul agak sering pada awal kehamilan, dan semua penyakit yang dipicunya, jarang diikuti oleh abortus spontan.
5) Pemakaian obat dan faktor lingkungan
Berbagai zat dilaporkan berperan, tetapi belum dapat dipastikan sebagai penyebab meningkatnya insidensi abortus seperti : tembakau, alkohol, kafein, sinar radiasi, dll.
6) Faktor imunologis
Ada dua mekanisme utama pada abnormalitas imunologis yang berhubungan dengan abortus,yaitu :mekanisme autoimun (imunitas terhadap tubuh sendiri) dan mekanisme aloimun (imunitas terhadap orang lain).
7) Gamet yang menua
Baik umur sperma atau ovum dapat mempengaruhi angka insiden abortus spontan.Gamet yang bertambah tua dalam traktus genitalis wanita sebelum fertilisasi, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus.
8) Trauma fisik
Trauma yang tidak menyebabkan terhentinya kehamilan sering dilupakan.Yang di ingat hanya kejadian tertentu yang tampaknya mengakibatkan abortus.
c. Faktor Paternal
Hanya sedikit yang diketahui tentang peranan faktor paternal dalam proses timbulnya abortusspontan. Translokasi kromosom dalam sperma dapat menimbulkan zigot yang mendapat bahankromosom terlalu sedikit atau terlalu banyak, sehingga terjadi abortus.
2.1.3. Patofisiologi
Pada awal abortus terjadi perdarahan desidua basalis diikuti nekrosis jaringan sekitar yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap benda asing dalam uterus. Kemudian uterus berkontraksi untuk mengeluarkan benda asing tersebut.
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, vili korialis belum menembus desidua secara dalam, jadi hasilkonsepsi dapat dikeluarkan seluruhnya. Pada kehamilan 8 sampai 14 minggu, penembusan sudah lebih dalam hingga plasenta tidak dilepaskan sempurna dan menimbulkan banyak perdarahan. Pada kehamilan lebih dari 14 minggu janin dikeluarkan lebih dahulu daripada plasenta. Hasil konsepsi keluar dalam berbagai bentuk seperti kantong kosong amnion atau benda kecil yang tak jelas bentuknya (blighted ovum), janin lahir mati,janin masih hidup, mola kruenta, fetus kompresus (Masjoer, 2001).
2.1.4. Tanda dan Gejala
a. Perdarahan vagina: merah terang (segar), atau coklat gelap dan dapat terjadi terus menerus untuk beberapa hari sampai 2 minggu (Varney, 2002).
b. Nyeri kram ringan yang mirip dengan menstruasi atau nyeri pinggang bawah (Kusmiyati, 2009).
c. Pemeriksaan ultrasuara yang menunjukkan cincin gestasi terbentuk baik dengan gema dari embrio yang menunjukkan bahwa kehamilan paling mungkin dianggap sehat (Cunningham, 2005).
d. Pemeriksaan tes kehamilan positif (Saifuddin, 2002).
e. Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum lemah, wajah pucat, berkeringat banyak, tekanan darah menurun (Saifuddin, 2002).
f. Pada Pemeriksaan dalam ditemukan flukus ada (sedikit), ostium uteri tertutup (Kusmiyati, 2009).
2.1.5. Diagnosa
Menurut Kusmiyati (2009), diagnosa abortus imminens dapat ditegakkan berdasarkan:
a. Anamnesis
1) Kram perut bawah
2) Perdarahan sedikit dari jalan lahir
b. Pemeriksaan
1) Flukus ada (sedikit)
2) Ostium uteri tertutup
3) Ukuran uterus sesuai dengan usia kehamilan
4) Uterus lunak
c. Pemeriksaan penunjang
1) Buah kehamilan masih utuh, ada tanda kehidupan janin
2) Meragukan
3) Buah kehamilan tidak baik, janin mati
2.1.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan abortus imminens menurut Varney (2001) adalah sebagai berikut:
a. Trimester pertama dengan sedikit perdarahan, tanpa disertai kram:
1) Tirah baring untuk meningkatkan aliran darah ke rahim dan mengurangi rangsangan mekanis, terutama bagi yang pernah abortus sampai perdarahan benar-benar berhenti.
2) Istirahatkan panggul (tidak berhubungan seksual, tidak melakukan irigasi atau memasukkan sesuatu ke dalam vagina).
3) Tidak melakukan aktifitas seksual sampai lebih kurang 2 minggu.
4) Segera beritahu bidan bila terdapat:
a) Perdarahan meningkat
b) Kram dan nyeri pinggang meningkat
c) Semburan cairan dari vagina
d) Demam atau gejala mirip flu
b. Pemeriksaan pada hari berikutnya di rumah sakit
1) Evaluasi tanda-tanda vital
2) Pemeriksaan selanjutnya dengan spekulum:merupakanskrining vaginitis dan servisitis; observasi pembukaan serviks, tonjolan kantong ketuban, bekuan darah atau bagian-bagian janin.
3) Pemeriksaan bimanual: ukuran uterus, dilatasi, nyeri tekan, effacement, serta kondisi ketuban.
c. Jika pemeriksaan negatif, dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi untuk menentukan kelangsungan hidup janin, tanggal kelahiran, dan jika mungkin untuk menenangkan wanita.
d. Jika pemeriksaan fisik dan ultrasonografi negatif, tenangkan ibu, kaji ulang gejala bahaya dan pertahankan nilai normal.
e. Konsultasikan ke dokter jika terjadi perdarahan hebat, kram meningkat, atau hasil pemeriksaan fisik dan ultrasonografi menunjukkan hasil abnormal.
Terapi yang di berikan menurut Masjoer (2001) adalah sedativa ringan seperti Phenobarbital 3x30 mg dan menurut Manuaba (2007) diberikan terapi hormonal yaitu progesteron, misalnya Premaston hingga perdarahan berhenti.
2.1.7. Komplikasi
Menurut Cunningham (2005), komplikasi abortus imminens adalah sebagai berikut :
a. Perdarahan (hemorrhage)
b. Perforasi: sering terjadi sewaktu dilatasi dan kuretase yang dilakukan oleh tenaga yang tidak ahli seperti bidan dan dukun
c. Infeksi dan tetanus
d. Syok, pada abortus dapat disebabkan oleh: perdarahan yang banyak dan infeksi atau sepsis.
2.2. Abortus Insipien
2.2.1.Pengertian
Abortus insipien adalah abortus yang sedang mengancam di mana telah terjadi pendataran serviks dan osteum uteri telah membuka akan tetapi hasil dari konsepsi masih berada di dalam kavum uteri.
Abortus insipien yaitu peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus. (wiknjosastro, 2002 :305 )
2.2.2.Etiologi
1. Kelainan ovum
Menurut Hertig dan kawan-kawan, pertumbuhan abnormal dari fetus sering menyebabkan abortus spontan, menurut penyelidikan mereka dari 1000 abortus spontan maka 48,9% disebabkan karena ovum yang patologis. 3,2% disebabkan oleh kelainan letak embrio dan 9,6% disebabkan oleh plasenta yang abnormal. 6% diantaranya terdapat degenerasi hidatid vili.Abortus spontan yang dikarenakan kelainan ovum berkurang kemunngkinannya jika kehamilan lebih dari 1 bulan, artinya makin muda kehamilan saat terjadinya abortus, makin besar kemungkinan disebabkan oleh kelainan ovum.
2. Kelainan genetalia ibu
Misalnya pada ibu yang menderita :
Anomaly kongital (hipoplasia uteri)
Kelainan letak dari uterus, seperti retrofleksi uteri fiksata
3. Gangguan sirkulasi plasenta
Di jumpai pada ibu yang menderita penyakit seperti hipertensi, nefritis
4.Penyakit-penyakit ibu, misalnya: penyakit infeksi yang dapat menyebabkan demam tinggi seperti tipoid, pneumonia
5. Antagonis rhesus yaitu pada antogonis rhesus darah ibu yang melalui plasenta merusak darah fetus sehingga terjadi anemia pada fetus yang berakibat meninggalnya fetus
6.Rangsangan pada ibu yang menyebabkan uterus berkontraksi, misal: terkejut, ketakutan, obat-obatan dan lain-lain.
7. Penyakit bapak : umur lanjut, penyakit kronis seperti TBC, anemi dan lain-lain.
2.2.3.Patologi
Pada permulaan terjadi pendarahan dalam desidua basalis diikuti oleh nekrosis jaringan sekitarnya, kemudian sebagian hasil konsepsi terlepas karena dianggap benda asing, maka uterus berkontraksi untuk mengeluarkannya. Pada kehamilan dibawah 8 minggu hasil konsepsi dikeluarkan seluruhnya karena vili korealis belum menembus desidua basalis terlalu dalam, sedangkan pada kehamilan 8-14 minggu telah masuk agak dalam sehingga sebagian keluar dan sebagian tertinggal karena itu akan banyak terjadi pendarahan.
2.2.4. Tanda dan Gejala
Perdarahan lebih banyak
Perut mules (sakit) lebih hebat dikarenakan kontraksi rahim kuat
Pada pemeriksaan dijumpai perdarahan lebih banyak, kanalis servikalis terbuka dan jaringan/ hasil konsepsi dapat diraba.
Gambaran klinik :
Apabila setelah abortus pendarahan makin banyak dan disertai rasa mules yang semakin sering semakin kuat dan semakin dirasakan sakit disertai dilatasi servik. Hasil konsepsi seluruhnya masih berada di dalam kavum uteri.Dengan semakin kuatnya kontraksi uterus serviks terbuka dan semakin banyak pendarahan dan pada suatu ketika hasil konsepsi terdorong keluar dari kavum uteri.
2.2.5.Tindakan yang dilakukan pada Abortus Insipiens
Bila perdarahan tidak banyak, tunggu terjadinya abortus spontan tanpa pertolongan selama 36 jam dengan diberikan morfin
Pada kehamilan kurang dari 12 minggu, yang biasanya di sertai dengan perdarahan, dan pengosongan uterus memakai kuret vakum, disusul dengan kerokan memakai kuret tajam, dan suntikan ergometrin 0,2 mg IM.
Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, berikan infus oksitosin 10 IU dalam dextrose 5% 500 ml dimulai 8 tetes permenit dan naikkan sesuai kontraksi uterus sampai terjadi abortus komplit.
Bila janin sudah keluar, tetapi plasenta masih tertinggal, lakukan pengeluaran plasenta secara manual.
2.2.6.Komplikasi
Anemi oleh karena perdarahan
Perforasi karena tindakan kuret
Infeksi
Syok pendaran atau syok endoseptik
Resusitasi cairan hendaknya dilakukan terlebih dahulu dengan NACL atau RL disusul dengan transfusi darah.
2.3. Abortus Inkompletus
2.3.1.Pengertian
Abortus inkompletus adalah abortus pengeluaran hasil konsepsi yang tidak lengkap/ekspulsi parsial dari hasil konsepsi pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
Sebagianhasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal. Pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis masih terbuka dan teraba jaringan dalam kavum uteri atau menonjol pada osteum uteri eksternum.Perdarahan biasanya masih terjadi jumlahnya pun bisa banyak atau sedikit tergantung pada jaringan yang tersisa.
Tanda dan Gejala
Perdarahan bisa sedikit dan bisa banyak, biasanya terdapat bekuan darah
Rasa mulas atau nyeri perut di darerah atas simfisis, sering di sertai nyeri pinggang akibat kontraksi uterus, kadang nyeri digambarkan menyerupai nyeri saat persalinan.
Pada pemeriksaan vaginal, jaringan dapat diraba dalam kavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari eksternum atau sebagian jaringan keluar.
Perdarahan tidak akan berhenti sebelum sisa janin dikeluarkan, dan ini dapat menyebabkan syok
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak lemah atau kesadaran menurun, tekanan darah normal atau menurun, denyut nadi normal, atau cepat dan kecil, suhu badan normal atau meningkat.
Penanganan Abortus Inkompletus
Penanganan Umum
Lakukan penilaian secara tepat mengenai keadaan umum dan TTV
Periksa apakah ada tanda-tanda syok (pucat, berkeringat banyak, pingsan, tekanan darah rendah, nadi cepat)
Apabila terjadi syok, lakukan langkah awal penanganan syok.
Pasang infus
Penanganan Abortus Inkompletus
Rujuk ke dr.SPOG untuk penatalaksanaan lanjutan
Bila terdapat tanda-tanda syok, maka atasi dulu dengan pemberian cairan dan transfuse darah.
Keluarkan hasil konsepsi secepat mungkin dengan metode digital atau kuterase
Setelah itu berikan obat-obatan uterotonika seperti metilergometrin maleat 3x1 tablet per hari selama hari dan atibiotik. Harus selalu dilakukan observasi perdarahan setelah dilakukan kuretase.
Jika pasien demam, antibiorik broad spectrum diberikan sebelum dilakukan kuretase untuk mengurangi insidensi postabortal endimetritirs dan PID. Sedangkan pada pasien yang tidak menunjukkan gejala infeksi juga diberikan tetapi profilasi antibiotic.
Pemeriksaan Ginekologi
Pemeriksaan ginekologi abortus inkompletus antara lain sebagai berikut :
Inspeksi vulva
Lihat perdarahan pervaginam, ada atau tidak jaringan hasil konsepsi, tercium atau tidak bau busuk dari vulva.
Inspekulo
Perdarahan dari kavum uteri, osteum uteri terbuka atau sudah tertutup, ada atau tidak jaringan yang keluar dari ostium, ada atau tidak cairan atau jaringan berbau busuk dari ostium
Colok vagina
Porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak jaringan dalam kavum uteri, besar uteri lebih kecil dari usia kehamilan, tidak nyeri saat porsio digoyang
Pemeriksaan Penunjang
Menurut Sujiyatini (2009), pemeriksaan penunjang abortus inkomplit yaitu USG. USG pada kasus ini yaitu untuk mendeteksi adanya sisa kehamilan.Hasil pemeriksaan USG yaitu didapatkan endometrium yang tipis.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dari abortus inkompletus antara lain :
Perdarahan
Diatasi dengan pengosongan uterus dan sisa-sisa hasil konsepsi, dan jika perlu dilakukan transfuse darah. Apabila perdarahan tidak diberi pertolongan dengan cepat, maka bisa terjadi kematian.
Perforasi
Perforasi uterus dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi hiperretrofleksi.Jika ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan laparatomi dan tergantung dari luas dan bentuk perforas, penjahitan luka operasi atau perlu histerektomi.
Infeksi
Infeksi di dalam uterus dapat terjadi pada tiap abortus, tetapi biasanya ditemukan abortus inkomplit yang berkaitan dengan abortus yang tidak aman.
Syok
Syok pada abortus bisa terjadi akibat perdarahan (syok hemoragic) dank arena infeksi berat (syok endoseptik)
Abortus Kompletus
Definisi
Abortus kompletus merupakan abortus dimana keseluruhan hasil konsepsi dikeluarkan (fetus dan placenta), sehingga tak ada yang tertinggal di dalam kavum uteri.Abortus ini biasanya terjadi pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
Semua hasil konsepsi telah dikeluarkan, osteum uteri telah menutup, uterus sudah mengecil sehingga perdarahan sedikit.Pada pemeriksaan tes urin, biasanya hasil pemeriksaan masih positif sampai 7-10 hari setelah abortus.
Tanda dan Gejala
Terlambat haid atau amenorea
Terjadi perdarahan pervaginam yang kemudian berhenti spontan setelah semua hasil konsepsi keluar
Adanya kontraksi uterus yang terasa nyeri yang pada akhirnya berhenti setelah hasil konsepsi keluar
Penanganan
Apabila kondisi pasien baik, cukup diberi tablet ergometrin 3x1 tablet/hari untuk 3-5 hari.
Apabila pasien mengalami anemia sedang, berikan tablet SF 600 mg/hari selama 2 minggu disertai dengan anjuran mengkonsumsi makanan bergizi.
Apabila pasien mengalami anemia berat, berikan transfuse darah.
Apabila tidak terdapat tanda-tanda infeksi, tidak perlu diberi antibiotic, atau apabila khawatir akan infeksi dapat diberi antibiotic profilaksis.
Observasi untuk tetap memantau kondisi ibu setelah penganganan
Kirimkan hasil konsepsi untuk pemeriksaan patologi (adanya hasil konsepsi, membuktikan bahwa kejadian ini bukan mola, kehamilan ektopik, dsb)
Setelah dipastikan hasil konsepsi telah keluar seluruhnya, kemudian berikan obat-obatan uterotonik seperti metilergometrin maleat 3x1 tablet per hari selama hari dan antibiotic jika perlu
2.4.4.Pemeriksaan Penunjang
Untuk memastikan rahim sudah bersih atau belum, bisa dilakukan dengan pemeriksaan USG.USG menggambarkan uterus yang bersih.
2.4.5. Pemeriksaan Ginekologi
Osteum uteri eksternum tertutup dengan perdarahan minimal dan tidak ditemukan adanya jarinyan yang keluar
Uterus mengecil
2.5. Mola Hidatidosa
Mola Hidatidosa merupakan bagian dari penyakit tropoblas dan dimasukan dalam Gestasional Trophoblastic Disease. Sel trofoblas hanya ditemukan pada wanita hamil, apabila ditemukan pada wanita tidak hamil pada teratoma ovarium disebut Non Gestasional Trophoblastic Disease. Pada umumnya kehamilan diharapkan berakhir dengan sempurna tetapi sering kali terjadi kegagalan, maka dapat kita simpulkan bahwa penyakit trofoblas dimana Mola Hidatidosa termasuk di dalamnya pada hakekatnya adalah kegagalan konsepsi kehamilan.
Mola Hidatidosa yang dikenal awam sebagai hamil anggur, mempunyai frekuensi insiden yang cukup tinggi. Frekuensi insiden di Asia menunjukan lebih tinggi daripada di negara barat. Di Indonesia 1:51 sampai 1:141 kehamilan, di Jepang 1: 500 kehamilan, di USA 1:1450 sementara itu di Inggris 1:1500. Secara umum sebagian besar negara di dunia 1: 1000 kehamilan. Hal ini mungkin dikarenakan sebagian besar negara Asia mempunyai jumlah penduduk yang masih di bawah garis kemiskinan ( status sosio ekonomi yang rendah ) yang menyebabkan tingkat gizi yang rendah khususnya defisiensi protein, asam folat dan karoten. Menurut penelitian umur memegang peranan, umur di bawah 20 tahun dan diatas 40 tahun mempunyai resiko lebih tinggi menderita kehamilan mola ini.
Mola yang termasuk jinak dapat berubah menjadi tumor trofoblas yang ganas. Mola ini kadang masih mengandung vilus di samping trofoblas yang berproliferasi dan dapat mengadakan invasi yang umumnya bersifat lokal dan dinamakan mola destruens ( jenis vilosum ) selain itu, terdapat pula tumor trofoblas tanpa stroma yang umumnya tidak hanya berinvasi pada uterus saja tapi dapat menyebar ke organ lain dinamakan koriokarsinoma. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut.
Untuk mengetahui adanya mola hidatidosa harus dideteksi secara dini, perdarahan yang disertai dengan gelembung-gelembung, hiperemesis gravidarum atau pre-eklamsia –eklamsia sebelum 24 minggu, pemeriksaan penunjang USG dan kadar kuantitatif menentukan diagnosis lebih cepat dan prognosis yang lebih baik.
2.5.1. Definisi
Mola berasal dari bahasa latin yang berarti massa dan hidatidosa berasal dari kata Hydats yang berarti tetesan air.
Mola hidatidosa adalah kehamilan yang berkembang tidak wajar ( konsepsi yang patologis) dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalalami perubahan hidropik. Dalam hal demikian disebut Mola Hidatidosa atau Complete mole sedangkan bila disertai janin atau bagian janin disebut sebagai Mola Parsialis atau Partial mole.
2.5.2. Etiologi dan faktor resiko
Penyebab dari mola belum sepenuhnya diketahui dengan pasti tetapi ada beberapa dugaan yang bisa menyebabkan terjadinya mola :
1) Faktor ovum memang sudah patologik, tetapi terlambat untuk dikeluarkan
2) Imunoselektif dari trofoblas
3) Keadaan sosioekonomi yang rendah
4) Malnutrisi, defisiensi protein, asam folat, karoten, vitamin, lemak hewani
5) Paritas tinggi
6) Umur, resiko tinggi kehamilan dibawah 20 atau diatas 40 tahun
7) Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas
8) Suku bangsa ( ras ) dan faktor geografi yang belum jelas
2.5.3. Patogenesis
Ada beberapa teori yang dapat menerangkan patogenesis penyakit ini.
Teori missed abortion.
Kematian mudigah pada usia kehamilan 3-5 minggu saat dimana seharusnya sirkulasi fetomaternal terbentuk menyebabkan gangguan peredaran darah. Sekresi dari sel-sel yang mengalami hiperplasia dan menghasilkan substansi-substansi yang berasal dari sirkulasi ibu diakumulasikan ke dalam stroma villi sehingga terjadi kista villi yang kecil-kecil. Cairan yang terdapat dalam kista tersebut menyerupai cairan ascites atau edema tetapi kaya akan HCG.
2. Teori neoplasma dari park
Teori ini mengemukakan bahwa yang abnormal adalah sel-sel trofoblas, yang mempunyai fungsi yang abnormal pula, dimana terjadi resorpsi cairan yang berlebihan ke dalam vili sehingga timbul gelembung. Hal ini menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian mudigah. Sebagian dari vili berubah menjadi gelembung-gelembung yang berisi cairan jernih. Biasanya tidak ada janin, hanya pada mola parsial kadang-kadang ditemukan janin. Gelembung-gelembung ini sebesar butir kacang hijau sampai sebesar buah anggur. Gelembung ini dapat mengisi seluruh kavum uterus.
2.5.4. Histopatologi
Pada mola komplit didapatkan gambaran histologi berupa pembengkakan stroma vili, avaskular vili, proliferasi trofoblas sedangkan pada mola parsial bisa didapatkan stroma vili yang mengalami pembengkakan maupun stroma vili yang berukuran normal, fibrosis stroma vili-vili kecil dan invaginasi trofoblas ke dalam stroma vili.
2.5.5. Patofisiologi
Pada Mola Hidatidosa atau Complete mole tidak ada jaringan fetus/janin. 90% merupakan kromosom 46,XX dan 10% merupakan kromosom 46, XY. Semua kromosom berasal dari paternal. Sebuah enukliasi telur dibuahi oleh sperma haploid (yang kemudian berduplikasi menjadi masing-masing kromosom), atau sel telur dibuahi oleh dua sperma. Pada mola hidatidosa, vili korion menyerupai anggur dan hiperplasia trofoblastik muncul.
Pada Mola parsialis atau Partial mole jaringan fetus/janin dapat ditemukan. Eritrosit dan pembuluh darah janin pada vili dapat ditemukan. Komplemen kromosom nya 69,XXX atau 69 XXY. Kromosom tersebut merupakan hasil dari pembuahan sel telur haploid dan duplikasi dari kromosom haploid paternal. Seperti pada Complete mole, jaringan hiperplasia trofoblastik dan vili korion yang lunak pun muncul pada mola ini.
2.5.6. Klasifikasi
Ada 4 tipe Gestasional Trophoblastic Disease / Penyakit Trofoblas menurut ACS (American Cancer Society) yaitu:
Mola hidatidosa (komplit dan parsial)
Mola invasiv / koriokarsinoma villosum
koriokarsinoma / koriokarsinoma non villosum
placental site trophoblastic disease
Ada berbagai macam klasifikasi dalam kepustakaan dunia, salah satu-nya adalah :
Penyakit trofoblas jinak
mola hidatidosa/komplit
mola hidatidosa parsial
Penyakit trofoblas ganas
Non metastase
Metastase
- Prognosis baik
- Prognosis buruk
Mola hidatidosa/komplet
Mola hidatidosa komplet lebih sering daripada mola hidatidosa parsial. Resiko untuk berkembang menjadi tumor trofoblas dari mola sekitara 20 %. Mola hidatidosa merupakan hasil konsepsi tanpa adanya embrio. Ditandai dengan gambaran seperti sekelompok buah anggur. Villi khorialis yang berkembang menjadi massa vesikel yang jernih vesikel tersebut tumbuh besar dan mengisi seluruh cavum uteri vesikel tersebut terdiri dari berbagai ukuran yang hampir tidak terlihat sampai beberapa centimeter diameternya struktur histologis nya bersifat
degenerasi hidropik dan edema/pembengkakan stroma villi
tidak adanya pembuluh darah pada villi yang edema
proliferasi dari epitel tropoblas mencapai beberapa tingkatan/derajat beragam
tidak adanya fetus atau amnion
Berbagai penelitian sitogenetik terhadap kehamilan mola komplit, menemukan komposisi kromosom yang paling sering 46, XX, dengan kromosom sepenuhnya berasal dari ayah. Ovum dibuahi oleh sebuah sperma haploid yang kemudian mengadakan duplikasi kromosomnya sendiri setelah meiosis. Kromosom ovum bisa tidak terlihat atau tampak tidak aktif. Tetapi semua mola hidatidosa komplit tidak begitu khas dan kadang-kadang pola kromosom pada mola komplit bisa 46, XY. Dalam keadaan ini, dua sperma membuahi satu ovum yang tidak mengandung kromosom. Variasi lain juga pernah dikemukakan yaitu 45,X. Resiko neoplasia trofoblastik yang terjadi pada mola komplit kurang lebih sebesar 20%.
Mola hidatidosa parsial
Kalau perubahan hidatidosa bersifat lokal dan belum begitu jauh dan masih terdapat janin dan sedikitnya kantong amnion keadaan ini disebut sebagai mola parsialis. Pada sebagian villi yang biasanya avaskuler terjadi pembengkakan hidatidosa yang berjalan lambat sementara villi yang lainnya yang vaskuler dengan sirkulasi darah fetus plasenta yang berfungsi tidak mengalami perubahan.
Hiperplasia tropoblastik yang terjadi lebih bersifat lokal daripada generalisata, kariotipe secara khas triploid yang bisa 69,xxy atau 69,xyy dengan satu komplemen maternal tapi biasanya dengan dua komplemen haploid paternal. Janin secara khas menunjukan stigmata triploid yang mencakup malformasi kongenital multipel dan retardasi pertumbuhan. Resiko terjadinya koriokarasinoma sangatlah kecil
Tabel karakteristik mola hidatidosa komplet dan parsialis
Mola hidatidosa/komplet
Mola hidatidosa parsial
Kariotipe
Diploid(46,XX atau 46,XY)
Triploid (69,XXX atau 69, XXY)
Patologi
Fetus
Tidak ada
kadang-kadang ada
Amnion, sel darah merah janin
Tidak ada
kadang-kadang ada
Edema villa
Difus
Bervariasi, fokal
Proliferasi trofoblastik
Bervariasi, ringan sampai berat
Bervariasi, fokal, ringan sampai sedang
Gambaran klinis
Diagnosis
Kehamilan mola
Missed Abortion
Ukuran uterus
50% lebih besar u/ umur kehamilan
Kecil u/ umur kehamilan
Kista theca-lutein
25-30%
Jarang
Komplikasi
Sering terjadi
Jarang
Penyakit post mola
β-Hcg20%
meningkat (> 50.000)< 5-10%
Meningkat sedikit (<50.000
(dari The American College of Obstetricians and Gynecologists 1993)
Mola invasiv / koriokarsinoma villosum
Mola invasiv merupakan bentuk mola hidatidosa yang menginvasi miometrium. Sel-sel trofoblas dengan vili korialis akan menyusup ke dalam miometrium kemudian tidak jarang mengadakan perforasi pada dinding uterus dan menyebabkan perdarahan intraabdominal. Dapat pula masuk ke dalam vena seperti vena uterina dan terus ke vena iliaka interna. Mola ini berkembang pada ± 20% wanita yang menderita mola hidatidosa komplet setelah dikuret. Resiko pada wanita ini meningkat bila :
- waktu yang lama (> 4 bulan) dari periode berhenti dan perawatan
- uterus menjadi sangat besar
- usia > 40 tahun
- mempunyai riwayat GTD sebelumnya
Apabila mola ini berkembang terus, dapat menyebabkan lubang di uterus dan berdarah dengan mudah. Mola ini dapat komplet atau parsial, terkadang dapat menghilang sendiri atau membutuhkan kemoterapi. Apabila disertai perdarahan abdomen sering dilakukan histerektomi. Pada 15% kasus tumor menyebar/metastasis melalui pembuluh darah ke organ lain, biasanya ke paru-paru.
Koriokarsinoma / koriokarsinoma non villosum
Penyakit ini merupakan jenis yang terganas dari penyakit trofoblas. Sebagian besar didahului oleh mola hidatidosa (83,3%) tetapi dapat juga didahului oleh abortus atau persalinan biasa (7,6%). Tumbuh sangat cepat dan sering menyebabkan metastasis ke organ-organ lain seperti paru-paru, vulva, vagina, hepar dan otak. Bila setelah akhir suatu kehamilan terjadi perdarahan-perdarahan yang tidak teratur, disertai tanda subinvolusi uterus kita harus curiga adanya koriokarsinoma. Acosta Sison mengajukan istilah HBEs
- H à having expelled a product of conception
- Bà bleeding
- Es à Enlargement and softness of the uterus
Terlebih lagi apabila disertai kenaikan Hcg dan adanya metastasis.
Placental site trophoblastic disease
Merupakan bentuk yang jarang terjadi, berkembang ketika plasenta menyentuh uterus. Tumor ini biasanya berkembang setelah kehamilan normal atau abortus. Kebanyakan tidak menyebar ke organ lain dan tidak sensitif terhadap kemoterapi seperti jenis lain, oleh karena itu pada tipe ini memerlukan operasi sebagai penanganan.
Trofoblas non metastase
Pada jenis ini tidak terdapat penyebaran penyakit di luar uterus. Diagnosa biasanya dibuat selama follow up setelah penanganan kehamilan mola. Terapi untuk pasien ini ada dua pilihan yaitu kemoterapi dosis tunggal atau kombinasi kemoterapi dan histerektomi pada pasien yang tidak ingin mempertahankan fungsi reproduksinya lagi.
Dosis obat yang dianjurkan:
- MTX 30-60 mg/m2 IM 1 minggu sekali
- MTX 0,4 mg/kgbb/hari IV atau IM untuk 5 hari, ulangi tiap 14 hari
- MTX 1 mg/kgbb IM pada hari 1,3,5,7 dan asam folat 0,1 mg/kgbb IM pada hari 2,4,6,8
- Dactinomycin 1,25 mg/m2 IV setiap 14 hari
- Dactinomycin 10-12 μg/kg/hari IV untuk 5 hari, ulangi setiap 14 hari.
MTX kontraindikasi pada kelainan hepar atau ketika fungsi ginjal terganggu. Selama pengobatan, kadar β-hCG dan darah lengkap harus diperiksa. β-hCG harus diperiksa sekurang-kurangnya selama 12 bulan setelah kadarnya normal.
Trofoblas metastase / Koriokarsinoma klinik
Pada jenis ini terdapat penyebaran penyakit di luar uterus. Ada beberapa klasifikasi untuk penyakit trofoblas metastase.
Menurut National Cancer Institute, kategori ini dibagi dalam dua kelompok yaitu:
Kelompok Prognosis baik/Resiko rendah
- Kehamilan terakhir < 4 bulan
- Kadar βHCG < 40.000 mUI/mL
- Tidak terdapat metastase ke otak maupun hati
- Belum pernah dikemoterapi sebelumnya
2. Kelompok Prognosis buruk/Resiko tinggi
- Kehamilan terakhir > 4 bulan
- Kadar βHCG > 40.000 mUI/mL
- Terdapat metastase ke otak maupun hati
- Terdapat kegagalan kemoterapi sebelumnya
- Kehamilan sebelumnya aterm
Pada kelompok prognosis baik, kemoterapi dosis tunggal seperti pada trofoblas non metastase di atas biasanya berhasil dengan MTX sebagai obat pilihan. Dosis MTX 20 mg/hari selama 5 hari berturut-turut, berhenti satu minggu, kemudian diulangi kembali sampai kadar HCG mencapai nilai normal tiga kali berturut-turut. Keuntungan dosis tunggal ini adalah lebih sedikit toksik dibandingkan dengan dosis ganda.
Pada kelompok prognosis buruk, diberikan pengobatan kombinasi. Untuk mengurangi efek samping, diberikan leucovorin. Untuk kasus dengan pendarahan hebat atau uterus yang besar, histeroktomi masih mempunyai tempat, tetapi harus diteruskan dengan sitostatika. Harahap menganggap bahwa terapi gabungan antara histerektomi dan sitostatika memberikan hasil yang lebih baik. Hal ini dapat diterima bila penderita tidak muda lagi dan telah cukup mempunyai anak. Walaupun sitostatika ini sangat berharga dalam pengobatan koriokarsinoma, tetapi harus diinsyafi bahwa obat ini berbahaya bahkan dapat menimbulkan kematian kalau tidak diawasi dengan benar. Karena itu, sebelum dan sesudah pemberian sitostatika harus diperiksa sistem hemopoetis, fungsi hepar dan fungsi ginjal.
Dosis obat yang dianjurkan untuk penyakit trofoblas kelompok pognosis buruk/resiko tinggi : hari ke-
Etoposide 100mg/m2IV lebih dari 30 menit
Actinomycin D 0.5 mg IV bolus
Methotrexate2 100 mg/m2 IV bolus
200 mg/m2 IV lebih dari 12 jam
2. Etoposide 100 mg/m2 IV lebih dari 30 menit
Actinomycin D 0.5 mg IV bolus
Folinic acid 15 mg IM, IV atau oral setiap 12 jam untuk 4 dosis awal 24 jam setelah MTX diberikan.
8. Cyclophospamide 600 mg/m2 IV
Vincristine 1 mg/m2 IVbolus
Pilihan terbaik pada jenis ini adalah kemoterapi EMA/CO.
Klasifikasi WHO didasarkan pada beberapa parameter yang disebut WHO Scoring System.
Parameter
0
1
2
3
Usia (thn)
Kehamilan sebelumnya
Interval (bln)
βHCG sebelum terapi
ABO maternal-paternal
Ukuran tumor terbesar (cm)
Lokasi metastase
Jumlah metastase
Kemoterapi terdahulu
< 39
Mola
< 4
< 1000
> 39
Abortus
4 – 6
1000 – 10000
OxA, AxO
3 – 5
Limpa, ginjal
1 – 4
Aterm
7 – 12
10000 – 100000
B, AB
> 5
GIT, hati
4 – 8
single
> 12
> 100000
Otak
> 8
> 2
Total score:
0 – 4 resiko rendah 5 – 7 resiko sedang > 8 resiko tinggi
Klasifikasi menurut FIGO (International Federation on Gynecology and Obstetrics), sistem stadium berdasarkan penyebaran dan keadaan dua faktor resiko berupa kadar βHCG dan jarak sejak kehamilan awal.
Stadium I : terbatas pada uterus
Stadium II : metastatis ke parametrium, serviks dan vagina
Stadium III : metastatis ke paru-paru
Stadium IV : metastatis ke organ lain, seperti usus, hepar atau otak.
Faktor resiko: -. βHCG . 100.000 mUI/ml
-. Jarak dari terminasi kehamilan awal ke diagnosis > 6 bulan
2.5.7.Diagnosis
Gejala Klinik
Perdarahan vaginal
Perdarahan vaginalmerupakan gejala yang mencolok dan dapat bervariasi mulai spotting sampai perdarahan yang banyak. Biasanya terjadi pada trisemester pertama dan merupakan gejala yang paling banyak muncul pada lebih dari 90% pasien mola. Tiga perempat pasien mengalami gejala ini sebelum usia kehamilan 3 bulan. Hanya sepertiga pasien yang mengalami perdarahan hebat. Sebagai akibat dari perdarahan tersebut, gejala anemia agak sering dijumpai lebih jauh. Kadang-kadang terdapat perdarahan tersembunyi yang cukup banyak di dalam uterus. Pembesaran uterus yang tumbuh sering lebih besar dan lebih cepat daripada kehamilan normal, hal ini ditemukan pada setengah kasus pasien mola. Adapula kasus-kasus yang uterusnya lebih kecil atau sama dengan besarnya kehamilan normal walaupun jaringan belum dikeluarkan.
Hiperemesis gravidarum
Pasien biasanya mengeluh mual muntah hebat. Hal ini akibat dari proliferasi trofoblas yang berlebihan dan akibatnya memproduksi terus menerus B HCG yang menyebabkan peningkatan B HCG hiperemesis gravidarum tampak pada 15 -25 % pasien mola hidatidosa. Walaupun hal ini sulit untuk dibedakan dengan kehamilan biasa. 10% pasien mola dengan mual dan muntah cukup berat sehingga membutuhkan perawatan di rumah sakit.
Ukuran uterus lebih besar dari usia kehamilan
Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan tropoblastik yang berlebihan, volume vesikuler vilii yang besar rasa tidak enak pada uterus akibat regangan miometrium yang berlebihan. Pada sebagian besar pasien ditemukan tanda ini tetapi pada sepertiga pasien uterus ditemukan lebih kecil dari yang diharapkan.
Aktifitas janin
Meskipun uterus cukup besara untuk mencapai simfisis secara khas tidak ditemukan aktifitas janin sekalipun dideteksi dengan instrumen yang paling sensitif tidak teraba bagian janin dan tidak teraba gerakan janin.
Pre-eklamsia
Tanda tanda pre-eklamsia selama trisemester pertama atau awal trisemester kedua muncul pada 10-12%. Pada trisemester kedua sekitar 27 % pasien mola hidatidosa komplit berlanjut dengan toksemia yang dicirikan oleh tekanan darah > 140 /90 proteinuria > 300 mg/dl dan edema generalisata dengan hiperrefleksi. Pasien dengan konvulsi jarang.
Hipertiroid
Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola sering meningkat (10%), namun gejala hipertiroid jarang muncul. Terjadinya tirotoksikosis pada mola hidatidosa berhubungan erat dengan besarnya uterus. Makin besar uterus makin besar kemungkinan terjadi tirotoksikosis. Oleh karena kasus mola dengan uterus besar masih banyak ditemukan, maka dianjurkan agar pada setiap kasus mola hidatidosa dicari tanda-tanda tirotoksikosis secara aktif dan memerlukan evakuasi segera karena gejala-gejala ini akan menghilang dengan menghilangnya mola.
Mola yang disertai tirotoksikosis mempunyai prognosis yang lebih buruk, baik dari segi kematian maupun kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya penderita meninggal karena krisis tiroid. Peningkatan tiroksin plasma mungkin karena efek dari estrogen seperti yang dijumpai pada kehamilan normal. Serum bebas tiroksin yang meningkat sebagai akibat thyrotropin – like effect dari Chorionic Gonadotropin Hormon. Terdapat korelasi antara kadar hCG dan fungsi endogen tiroid tapi hanya kadar hCG yang melebihi 100.000 iu/L yang bersifat tirotoksis. Sekitar 7 % mola hidatidosa komplit datang dengan keluhan seperti hipertensi, takikardi, tremor, hiperhidrosis, gelisah emosi labil dan warm skin
Kista teka lutein
Diameter kista ovarium lebih dari 6 cm dan menyertai pembesaran ovarium. Kista ini biasanya tidak dapat dipalpasi dengan manual tetapi diidentifikasi dengan USG pasien dapat memberikan tekanan dan nyeri pada pelvik karena peningkatan ukuran ovarium dapat menyebabkan torsi ovarium. Kista ini terjadi akibat respon BHCG yang sangat meningkat dan secara spontan mengalami penurunan (regresi) setelah mola dievakuasi, rangsangan elemen lutein yang berlebih oleh hormon korionik gonadotropin dalam jumlah besar yang disekresi oleh trofoblas yang berproliferasi.
Kista teka lutein multipel yang menyebabkan pembesaran satu atau kedua ovarium terjadi pada 15-30% penderita mola. Umumnya kista ini menghilang setelah jaringan mola dikeluarkan tetapi ada juga kasus dimana kista lutein baru ditemukan pada saat follow up. Kasus mola dengan kista lutein mempunyai resiko 4 kali lebih besar untuk mendapatkan degenerasi keganasan di kemudian hari. Pada setengah jumlah kasus, kedua ovarium membesar dan involusi dari kista terjadi setelah beberapa minggu, biasanya seiring dengan penurunan kadar βHCG. Tindakan bedah hanya dilakukan bila ada ruptur dan perdarahan atau pembesaran ovarium tadi mengalami infeksi.
Embolisasi
Sejumlah trofoblas dengan atau tanpa stroma vili keluar dari uterus ke vena pada saat evakuasi. Sebetulnya pada setiap kehamilan selalu ada migrasi sel trofoblas ke peredaran darah kemudian ke paru tanpa memberi gejala apapun. Tetapi pada kasus mola kadang-kadang sel trofoblas ini sedemikian banyak sehingga dapat menimbulkan emboli paru akut yang dapat menyebabkan kematian. Jumlah dan volume akan menentukan gejala dan tanda dari emboli paru akut bahkan akibat yang fatal, walaupun kefatalan jarang terjadi.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan
inspeksi
- muka dan kadang –kadang badan kelihatan pucat kekuning-kunigan yang disebut sebagai mola face
- gelembung mola yang keluar
palpasi
- uterus lembek dan membesar tidak sesuai kehamilan
- adanya fenomena harmonika kalau darah dan gelembung mola keluar maka tinggi fundus uteri akan turun lalu naik lagi karena terkumpulnya darah baru.
- Tidak teraba bagian-bagian janin dan balotemen yang gerak janin
auskultasi
- Tidak terdengar bunyi denyut jantung janin (pada mola hidatidosa parsial mungkin dapat didengar BJJ)
- Terdengar bising dan bunyi khas
pemeriksaan dalam
- Pastikan besarnya rahim, rahim terasa lembek, tidak ada bagian-bagian janin, terdapat perdarahan dan jaringan dalam kanalis servikalis dan vagina, serta evaluasi keadaan serviks.
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Karakteristik yang terpenting pada penyakit ini adalah kemampuan dalam memproduksi hCG, sehingga jumlahnya meningkat lebih tinggi dibandingkan kadar β-hCG seharusnya pada usia kehamilan yang sama.
Hormon ini dapat dideteksi pada serum maupun urin penderita dan pemeriksaan yang lebih sering dipakai adalah β-hCG kuantitatif serum. Pemantauan secara hati-hati dari kadar β-hCG penting untuk diagnosis, penatalaksanaan dan tindak lanjut pada semua kasus penyakit trofoblastik. Jumlah β-hCG yang ditemukan pada serum atau pada urin berhubungan dengan jumlah sel-sel tumor yang ada.
Untuk pemeriksaan Gallli mainini 1/300 suspek mola hidatiosa dan jika 1/200 kemungkinan mola hidatidosa atau gemelli. Pengukuran β-hCG pada urin dengan kadar >100.000 mIU /ml/24 jam dapat dianggap sebagai mola.
Foto rontgen abdomen
Tidak tampaknya tulang janin pada kehamilan 3-4 bulan
USG
Gambaran berupa badai salju tanpa disertai kantong gestasi atau janin USG ini merupakan pemeriksaan penunjang yang spesifik antar kehamilan dengan mola hidatiosa.
Pada kelainan mola, bentuk karakteristik berupa gambaran seperti badai salju dengan atau tanpa kantong gestasi atau janin. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan pada setiap pasien yang pernah mengalami perdarahan pada trimester awal kehamilan dan memiliki uterus lebih besar dari usia kehamilan. USG dapat menjadi pemeriksaan yang spesifik untuk membedakan antara kehamilan normal dengan mola hidatidosa.
Pada 20-50% kasus dijumpai adanya massa kistik di daerah adneksa. Massa tersebut berasal dari kista teka lutein.
Amniografi
Penggunaan bahan radiopak yang dimasukkan ke dalam uterus secara trans abdominal akan memberikan gambaran radiografik khas pada kasus mola hidatidosa kavum uteri ditembus dengan jarum untuk amniosentesis. 20 ml Hypaque disuntikkan segera dan 5-10 menit kemudian dibuat foto anteroposterior. Pola sinar X seperti sarang tawon, khas ditimbulkan oleh bahan kontras yang mengelilingi gelombang-gelombang korion. Dengan semakin banyaknya sarana USG yang tersedia teknik pemeriksaan amniografi ini sudah jarang dipakai lagi. Bahan radiopaq yang dimasukan ke dalam uterus akan memberikan gambaran seperti sarang tawon.
Uji sonde Hanifa
Sonde dimasukan pelan-pelan dan hati-hati ke dalam kanalis servikalis dan cavum uteri . bila tidak ada tahanan sonde diputar setelah ditarik sedikit bila tetap tidak ada tahanan maka kemungkinan adalah mola.
Foto thorax
Untuk melihat metastase.
T3dan T4
Untuk membuktikan gejala tirotoksikosis.
2.5.8. Diagnosis banding
Abortus
Kehamilan ganda
Kehamilan dengan mioma
Hidramnion
2.5.9. Penanganan
Terapi mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap yaitu
Perbaiki keadaan umum
Pengeluaran jaringan mola
Terapi dengan profilaksis dengan sistostatika
Follow up
Ad.1 Perbaiki keadaan umum
Yang termasuk usaha ini misalnya koreksi dehidrasi, transfusi darah pada anemia berat (jika <8 gr %) atau karena terjadi syok, dan menghilangkan atau mengurangi penyulit seperti preeklampsia dan tirotoksikosis. Preeklampsia diobati seperti pada kehamilan biasa, sedangkan untuk tirotoksikosis diobati sesuai protokol penyakit dalam misalnya propiltiourasil 3 x 100 mg oral dan propanolol 40-80 mg.
Ad. 2 Pengeluaran jaringan mola
Kuretase
Dilakukan jika pemeriksaan DPL kadar β-hCG serta foto thorax selesai
bila kanalis servikalis belum terbuka maka dilakukan pemasangan laminaria dan kuretase dilakukan 24 jam kemudian. Sebelum kuretase dengan kuret tumpul terlebih dahulu siapkan darah 500 cc dan pasang infus dengan tetesan oxitocyn 10 mIU dalam 500 cc Dextrose 5 % dan seluruh jaringan hasil kerokan di PA. Tujuh sampai 10 hari sesudah kerokan itu dilakukan kerokan ulangan dengan kuret tajam, agar ada kepastian bahwa uterus betul-betul kosong dan untuk memeriksa tingkat proliferasi sisa-sisa trofoblas yang dapat ditemukan. Makin tinggi tingkat itu, makin perlu untuk waspada terhadap kemungkinan keganasan.
Histerektomi
Untuk mengurangi frekuensi terjadinya penyakit tropoblas ganas sebaiknya histerektomi dilakukan pada
- wanita diatas 35 tahun
- anak hidup di atas 3 orang
- wanita yang tidak menginginkan anak lagi
Apabila ada kista teka lutein maka saat histerektomi, ovarium harus dalam keadaan baik, karena akan menjadi normal lagi setelah kadar β-HCG menurun.
Histerotomi
Tidak lagi menjadi metode pilihan.
Ad.3 Terapi profilaksis dengan sitostatika
Diberikan pada kasus mola dengan resiko tinggi akan terjadi keganasan, misalnya pada umur tua (35 tahun), riwayat kehamilan mola sebelumnya dan paritas tinggi yang menolak untuk dilakukan histerektomi, atau kasus dengan hasil histopatologi yang mencurigakan.Biasanya diberikan methotrexat atau actinomycin D. Tidak semua ahli setuju dengan cara ini, dengan alasan jumlah kasus mola menjadi ganas tidak banyak dan sitostatika merupakan obat yang berbahaya. Goldstein berpendapat bahwa pemberian sitostatika profilaksis dapat menghindarkan keganasan dengan metastase, serta mengurangi koriokarsinoma di uterus sebanyak 3 kali.
Kadar β-hCG di atas 100.000 IU/L praevakuasi dianggap sebagai resiko tinggi untuk perubahan ke arah ganas, pertimbangkan untuk memberikan methotrexate (MTX) 3×5 mg sehari selama 5 hari dengan interval 2 minggu sebanyak 3 kali pemberian. Dapat juga diberikan actinomycin D 12 µg/kgBB/hari selama 5 hari.
Ad .4 Follow up
Lama pengawasan berkisar antara satu atau dua tahun, mengingat kemungkinan terjadi keganasan setelah mola hidatidosa (± 20%). Untuk tidak mengacaukan pemeriksaan selama periode ini pasien dianjurkan untuk tidak hamil dulu, dengan pemakaian alat kontrasepsi.
Selama pengawasan, secara berkala dilakukan pemeriksaan ginekologik, kadar β-hCG dan radiologi. Pemeriksaan ginekologi dimulai satu minggu setelah pengeluaran jaringan mola. Pada pemeriksaan ini dinilai ukuran uterus, keadaan adneksa serta cari kemungkinan metastase ke vulva, vagina, uretra dan cervix. Sekurang-kurangnya pemeriksaan diulang setiap 4 minggu.
Cara yang paling peka saat ini adalah dengan pemeriksaan β-hCG yang menetap untuk beberapa lama. Jika masih meninggi, hal ini berarti masih ada sel-sel trofoblas yang aktif. Cara yang umum dipakai sekarang ini adalah dengan radioimmunoassay terhadap β-HCG sub unit. Pemeriksaan kadar β-HCG dilakukan setiap minggu atau setiap 2 minggu sampai kadar menjadi negatif lalu diperiksa ulang sebulan sekali selama 6 bulan, kemudian 2 bulan selama 6 bulan. Seharusnya kadar β-HCG harus kembali normal dalam 14 minggu setelah evakuasi.
Pemeriksaan foto toraks dilakukan tiap 4 minggu, apabila ditemukan adanya metastase penderita harus dievaluasi dan dimulai pemberian kemoterapi.
Apabila Pemeriksaan fisik, foto toraks dan kadar β-HCG dalam batas normal, follow up dapat dihentikan dan ibu diperbolehkan hamil setelah 1 tahun. Bila selama masa observasi kadar β-HCG menetap atau bahkan cenderung meningkat atau pada pemeriksaan klinis.
Pemakaian IUD merupakan kontraindikasi. Pil KB kombinasi tidak hanya memperlambat penurunan titer β-HCG namun juga dapat menstimulasi neoplasia trofoblas dan pil KB kombinasi ini dapat digunakan bila β-HCG negatif. Anjuran sterilisasi biasa dilakukan pada penderita usia tua ataupun penderita yang telah memiliki cukup anak.
2.5.10. Komplikasi
1. Komplikasi non maligna
Perforasi uterus
Selama kehamilan kadang-kadang terjadi dan jika terjadi perforasi uterus , kuretase harus dihentikan. Laparoskopi atau laparotomi harus dilakukan untuk mengetahui tempat terjadinya perforasi.
Perdarahan
Merupakan komplikasi yang terjadi sebelum selama dan bahkan setelah tindakan kuretase. Oleh karena itu oksitosin intravena dilakukan sebelum memulai tindakan kuretase sehingga mengurangi kejadian perdarahan ini.
DIC
Faktor yang dilepaskan jaringan mola mempunyai aktivitas fibinolitik. Semua pasien di-skreening untuk melihat adanya koagulopati.
Embolisme tropoblastik
Dapat menyebabkan insufisiensi pernapasan akut. Faktor resiko terbesar terjadi pada uterus yang lebih besar dari yang diharapkan pada usia gestasi 16 minggu. Keadaan ini bisa fatal.
Infeksi pada sevikal atau vaginal.
Perforasi pada dinding uterus yang tipis selama evakuasi mola dapat menyebabkan penyebaran infeksi. Ruptur uteri spontan bisa terjadi pada mola benigna dan mola maligna.
2. Komplikasi maligna
mola invasif atau koriokarsinoma berkembang pada 20 % kasus mola dan identifikasi pasien penting untuk tindakan selanjutnya setelah mola komplit invasi uteri terjadi pada 15 % pasien dan metastase 4 pasien. Tidak terdapat kasus koriokarsinoma yang dilaporkan selah terjadi mola incomplete meskipun ada juga yang menjadi penyakit tropoblastik non metastase yang menetap yang membutuhkan kemoterapi.
2.5.11. Prognosis
Karena diagnosis yang dini dan pengobatan yang tepat mortalitas akibat mola hidatidosa pada dasarnya tidak terjadi. Sekitar 20 % mola komplet berkembang menjadi keganasan trofoblas. Anjuran untuk memberikan kemoterapi pada pasien pasca mola hidatidosa untuk 20 % belum dapat diterima semua pihak untuk mencegah keganasan.
2.6. Kehamilan Ektopik
2.6.1. Pengertian Kehamilan Ektopik
Kehamilan berawal dari sel telur yang telah dibuahi. Dalam proses normal, janin akan menempel pada dinding rahim dan berkembang selama sembilan bulan.
Namun ada sekitar dua persen sel telur yang telah dibuahi menempel pada organ selain rahim sehingga disebut kehamilan ektopik.Tuba falopi merupakan organ yang paling sering ditempeli sel telur tersebut. Sementara organ lain yang mungkin menjadi lokasi berkembangnya kehamilan ektopik meliputi rongga perut, ovarium, serta leher rahim atau serviks.
Salah satu penyebab kehamilan ektopik yang paling umum terjadi adalah kerusakan tuba falopi, misalnya karena inflamasi. Kerusakan ini akan menghalangi sel telur yang telah dibuahi untuk masuk ke rahim sehingga akhirnya menempel dalam tuba falopi itu sendiri atau organ lain. Di samping itu, kadar hormon yang tidak seimbang atau perkembangan abnormal semasa wanita sedang dalam kandungan juga terkadang dapat berperan sebagai pemicu.
2.6.2. Faktor Risiko Kehamilan Ektopik
Penyebab pasti dari tiap kehamilan ektopik terkadang sulit diketahui.Tetapi terdapat beberapa faktor risiko yang diduga dapat memicu kondisi ini. Faktor-faktor tersebut meliputi:
Alat kontrasepsi. Penggunaan alat kontrasepsi spiral atau intrauterine device (IUD) diduga sebagai faktor pemicu utama sehubungan dengan kehamilan ektopik.
Pernah mengalami kehamilan ektopik. Wanita yang pernah mengalami kehamilan ektopik memiliki risiko 15-20 persen lebih tinggi untuk kembali mengalaminya.
Infeksi atau inflamasi. Wanita yang pernah mengidap inflamasi tuba falopi atau penyakit radang panggul akibat penyakit seksual menular, seperti gonore atau klamidia, memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kehamilan ektopik.
Masalah kesuburan. Pengobatan untuk masalah kesuburan terkadang dapat memicu kehamilan ektopik.
Proses sterilisasi dan sebaliknya. Prosedur pengikatan tuba atau pembukaan ikatan tuba yang kurang sempurna juga berisiko memicu kehamilan ektopik.
2.6.3.Gejala Kehamilan Ektopik
Pada awalnya, kehamilan ektopik cenderung tanpa gejala atau memiliki tanda yang mirip dengan kehamilan biasa sebelum akhirnya muncul gejala lain yang mengindikasikan kehamilan ektopik. Di antaranya adalah:
Sakit perut.
Nyeri pada tulang panggul.
Menstruasi berhenti.
Pendarahan ringan dari vagina.
Pusing atau lemas.
Mual dan muntah.
Nyeri pada bahu.
Rasa sakit atau tekanan pada rektum saat buang air besar.
Jika tuba falopi sobek, akan terjadi pendarahan hebat yang mungkin memicu hilangnya kesadaran.
Kehamilan ektopik termasuk kondisi medis yang membutuhkan penanganan darurat.Karena itu, sebaiknya Anda segera ke rumah sakit jika mengalami gejala-gejala seperti di atas.
2.6.4.Diagnosis Kehamilan Ektopik
Selain menanyakan kondisi kesehatan secara umum, dokter akan mengadakan pemeriksaan fisik pada rongga panggul. Tetapi kehamilan ektopik tidak bisa dipastikan hanya melalui pemeriksaan fisik.Dokter juga membutuhkan USG atau tes darah.
Metode USG yang paling akurat untuk mendeteksi kehamilan ektopik adalah USG transvaginal. Prosedur ini akan mengonfirmasi lokasi kehamilan ektopik sekaligus detak jantung janin.
Jika lokasi kehamilan ektopik tidak dapat diketahui melalui USG dan kondisi Anda stabil, dokter akan menganjurkan tes darah untuk konfirmasi. Tes ini digunakan untuk mendeteksi keberadaan hormon hCG (Human chorionic gonadotropin). Hormon ini diproduksi plasenta selama awal kehamilan.
2.6.5.Langkah Penanganan Kehamilan Ektopik
Sel telur yang telah dibuahi tidak akan bisa tumbuh dengan normal jika tidak di dalam rahim. Karena itu, jaringan ektopik harus diangkat untuk menghindari komplikasi yang dapat berakibat fatal.
Wanita yang dicurigai mengalami kehamilan ektopik segera dibawa ke rumah sakit untuk menjalani penanganan secepatnya.Kehamilan ektopik yang terdeteksi secara dini tanpa rasa nyeri yang signifikan dan tidak ada janin yang berkembang secara normal dalam rahim umumnya ditangani dengan suntikan methotrexate. Obat ini akan menghentikan pertumbuhan sekaligus menghancurkan sel-sel yang sudah terbentuk.
Dokter akan memantau kadar hCG pasien setelah menerima suntikan. Jika kadar hCG dalam darah pasien tetap tinggi, hal ini biasanya mengindikasikan bahwa pasien membutuhkan suntikan methotrexate lagi. Potensi efek samping obat ini meliputi mual, muntah, serta gangguan hati.
Kehamilan ektopik juga dapat ditangani dengan operasi.Prosedur ini biasanya dilakukan melalui operasi lubang kunci atau laparoskopi. Tuba falopi yang ditumbuhi jaringan ektopik akan diperbaiki jika memungkinkan.
Diagnosis dan hasil tes yang tepat tentunya sangat membantu.Diperkirakan lebih dari 80 persen wanita yang didiagnosis mengalami kehamilan ektopik dapat pulih dengan terapi obat dan/atau prosedur laparoskopi tanpa pengangkatan tuba falopi.
2.6.6. Komplikasi Kehamilan Ektopik Teganggu
Diagnosis yang tidak tepat dan penanganan yang terlambat untuk kehamilan ektopik dapat memicu pendarahan hebat dan bahkan kematian akibat sobeknya tuba falopi atau rahim.Jika mengalami komplikasi ini, pasien harus menjalani operasi darurat melalui bedah terbuka.Tuba falopi kemungkinan dapat diperbaiki, tapi umumnya harus diangkat.
Penanganan dengan operasi pun memiliki risiko tersendiri, seperti pendarahan, infeksi, serta kerusakan pada organ-organ di sekitar bagian yang dioperasi.
Kehamilan ektopik tidak bisa dicegah sepenuhnya.Tetapi Anda tetap dapat menurunkan kemungkinannya dengan menghindari atau mengurangi faktor risiko tertentu.Misalnya, melakukan pemeriksaan dengan tes darah dan USG sebagai pendeteksian awal atau memantau perkembangan kehamilan, khususnya wanita yang pernah mengalami kehamilan ektopik.