A. PENDAHULUA PENDAHULUAN N 1. Latar Latar Belaka Belakang ng
World World Health Health Organi Organizat zation ion (W (WHO HO)) memp memperk erkira iraka kan n di duni duniaa setia setiap p meni menitt perempuan meninggal karena komplikasi yang terkait dengan kehamilan dan persalinan, dengan kata lain 1400 perempuan meninggal setiap harinya atau kurang lebih 500.000 perempuan meninggal setiap tahun karena kehamilan dan persalinan. Kematian ibu di Indonesia merupakan peringkat tertinggi di negara ASEAN, yang mana diperk diperkira irakan kan sediki sedikitny tnyaa 18.000 18.000 ibu mening meninggal gal setiap setiap tahun, tahun, karen karenaa kehami kehamilan lan atau atau persalinan. Dari jumlah kematian ibu prevalensi paling besar adalah pre-eklampsia dan eklampsia sebesar 12,9% dari keseluruhan kematian ibu (Siswono, 2003).
Pre eklampsia adalah timbulnya timbulnya hipertensi disertai proteinuria proteinuria dan edema akibat akibat kehamilan kehamilan setelah usia kehamilan kehamilan 20 minggu minggu atau segera setelah setelah persalinan. persalinan. Kejadian pre eklampsia menduduki urutan nomor 2 dengan persentase 24% dari angka kematian ibu di Indonesia. Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat melihat derajat kesehatan perempuan. perempuan. Angka kematian ibu juga merupakan merupakan salah satu target yang telah ditentukan dalam tujuan pembangunan millenium yaitu tujuan ke 5, meningkatkan kesehatan ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai ¾ risiko jumlah kematian ibu. Dari survei yang dilakukan AKI telah menunjukkan menunjukkan penurunan penurunan dari waktu ke waktu, waktu, namun namun demikian demikian upaya upaya untuk untuk mewujudkan mewujudkan target tujuan pembangunan pembangunan millenium millenium masih membutuhk membutuhkan an komitmen komitmen dan usaha keras (Depkes RI, 2010). Menurut Depkes RI (2010), angka kematian ibu melahirkan di Indonesia saat ini tergolong masih cukup tinggi yaitu mencapai 228 per 100.000 kelahiran. Walaupun sebelumnya Indonesia telah mampu melakukan penurunan dari angka 300 per 100.000 kelahiran pada tahun 2004. Padahal berdasarkan Sasaran Pembangunan Milenium atau Millenium Development Goal (MDGs), Goal (MDGs), kematian ibu melahirkan ditetapkan pada angka 103 per 100.000 kelahiran pada tahun 2015. Masalah AKI di Indonesia masih cukup ting tinggi gi dari dari Asia. Asia. Berd Berdasa asark rkan an perse persent ntase ase peny penyeb ebab ab kema kematia tian n ibu ibu melah melahir irkan kan,, perdarahan merupakan penyebab terbesar terbes ar kematian ibu melahirkan melahirka n denganj persentase 28%, 28%, peny penyeba ebab b kedu keduaa adal adalah ah hipe hiperte rtens nsii saat saat hami hamill atau atau pre pre eklam eklamps psia ia deng dengan an persentase 24%, penyebab ketiga dikarenakan infeksi saat melahirkan dan lain-lain yang meru merupa paka kan n peny penyaki akitt peny penyert ertaa saat saat keham kehamila ilan n maup maupun un persa persali lina nan n deng dengan an persentase 11%. Penyebab lain adalah komplikasi masa puerperium dengan persentase 8%. Selain itu, masih ada penyebab lain seperti persalinan lama atau macet dan abortus
dengan persentase 5%, dan penyebab lain karena terjadinya emboli obat sebanyak 3% (survei SDKI 2007). Tinggi Tingginy nyaa angka angka kemati kematian an ibu akibat akibat pre eklams eklamsia ia dan eklams eklamsia ia menunt menuntut ut peranan tenaga kesehatan dalam mencegah komplikasi dari terjadinya pre eklamsia. Tenaga kesehatan khususnya perawat harus mampu melakukan perawatan yang tepat terhadap ibu pre eklamsia sehingga kejadian pre eklamsia dapat ditangani dengan cepat dan tepat. Hal tersebut akan lebih baik apabila pre eklamsia dapat ditangani sampai sebelum ibu akan melakukan proses persalinan sehingga ibu dapat melahirkan dalam kondis kondisii dan partus partus normal normal tanpa tanpa adany adanyaa kompli komplikasi kasi persali persalinan nan.. Oleh Oleh karena karena itu, itu, dilakukan penyusunan laporan pendahuluan tentang post partum dengan pre eklamsia, supaya mahasiswa memahami tentang bagaimana konsep dasar dan pemberian asuhan keperawatan terhadap pasien post partum dengan pre eklamsia.
2. Tu Tujjuan uan a. Tuju Tujuan an Instruksi Instruksional onal Umum
Setelah melakukan penyusunan laporan pendahuluan diharapkan mahasiswa dapat mengelola pasien post pasien post partum dengan pre eklamsia. b. Tuju Tujuan an Instruk Instruksiona sionall Khusus Khusus
Setelah melakukan penyusunan laporan pendahuluan diharapkan mahasiswa dapat: 1) Mengetahui konsep post konsep post partum dengan pre eklamsia. 2) Melakukan pengkajian pada pasien post pasien post partum dengan pre eklamsia. 3) Menetapkan diagnosa keperawatan pasien post pasien post partum dengan pre eklamsia. 4) Melakukan intervensi keperawatan pada pasien post pasien post partum dengan pre eklamsia.
B. TINJAUAN PUSTAKA Pre Eklamsi Berat (PEB) 1. Pengertian
Pre eklamsia merupakan penyakit khas akibat kehamilan yang memperlihatkan gejala trias (hipertensi, edema, dan proteinuria), kadang-kadang hanya hipertensi dan edema atau hipertensi dan proteinuria (dua gejala dari trias dan satu gejala yang harus ada yaitu hipertensi). Menurut Mansjoer (2000), pre eklamsia merupakan timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Pre eklampsia merupakan suatu kondisi spesifik kehamilan dimana hipertensi terjadi setelah minggu ke-20 pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal dan diartikan juga sebagai penyakit vasospastik yang melibatkan banyak sistem dan ditandai oleh hemokonsentrasi, hipertensi dan proteinuria (Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2005). Klasifikasi pre eklamsia dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut: a. Pre eklamsia ringan
Pre eklamsia ringan ditandai dengan: 1) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring terlentang; kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih dari tensi baseline (tensi sebelum kehamilan 20 minggu); dan kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak periksa 1 jam, atau berada dalam interval 4-6 jam. 2) Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka; kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu. 3) Proteinuria kuantatif 0,3 gr atau lebih per liter; kualitatif 1 + atau 2 + pada urin kateter atau midstream (aliran tengah). b. Pre eklamsia berat
Pre eklamsia berat ditandai dengan: 1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih. 2) Proteinuria 5 gr atau lebih per liter. 3) Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam . 4) Adanya gangguan serebral atau kesadaran, gangguan visus atau penglihatan, dan
rasa nyeri pada epigastrium.
5) Terdapat edema paru dan sianosis 6) Kadar enzim hati (SGOT, SGPT) meningkat disertai ikterik. 7) Perdarahan pada retina. 8) Trombosit kurang dari 100.000/mm.
2. Etiologi
Penyebab pre-eklampsia belum diketahui secara jelas. Penyakit ini dianggap sebagai "maladaptation syndrome" akibat penyempitan pembuluh darah secara umum yang mengakibatkan iskemia plasenta (ari-ari) sehingga berakibat kurangnya pasokan darah yang membawa nutrisi ke janin. Namun ada beberapa faktor predisposisi terjadinya pre eklamsia, diantaranya yaitu: a. Primigravida atau primipara mudab (85%). b. Grand multigravida c. Sosial ekonomi rendah. d. Gizi buruk. e. Faktor usia (remaja; < 20 tahun dan usia diatas 35 tahun). f. Pernah pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya. g. Hipertensi kronik. h. Diabetes mellitus. i. Mola hidatidosa. j.
Pemuaian uterus yang berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan ganda atau polihidramnion (14-20%).
k. Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan eklamsia (ibu dan saudara perempuan). l. Hidrofetalis.
m. Penyakit ginjal kronik. n. Hiperplasentosis: mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi besar, dan
diabetes mellitus. o. Obesitas. p. Interval antar kehamilan yang jauh.
3.
Patofisiologi
Pada
preeklampsia
terdapat
penurunan
aliran
darah.
Perubahan
ini
menyebabkan prostaglandin plasenta menurun dan mengakibatkan iskemia uterus. Keadaan iskemia pada uterus, merangsang pelepasan bahan tropoblastik yaitu akibat
hiperoksidase lemak dan pelepasan renin uterus. Bahan tropoblastik berperan dalam proses
terjadinya
endotheliosis
yang
menyebabkan
pelepasan
tromboplastin.
Tromboplastin yang dilepaskan mengakibatkan pelepasan tomboksan dan aktivasi/ agregasi trombosit deposisi fibrin. Pelepasan tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme sedangkan aktivasi/agregasi trombosit deposisi fibrin akan menyebabkan koagulasi intravaskular yang mengakibatkan perfusi darah menurun dan konsumtif koagulapati. Konsumtif koagulapati mengakibatkan trombosit dan faktor pembekuan darah menurun dan menyebabkan gangguan faal hemostasis. Renin uterus yang di keluarkan akan mengalir bersama darah sampai organ hati dan bersama- sama angiotensinogen menjadi angiotensin I dan selanjutnya menjadi angiotensin II. Angiotensin II bersama tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme. Vasospasme menyebabkan lumen arteriol menyempit. Lumen arteriol yang menyempit menyebabkan lumen hanya dapat dilewati oleh satu sel darah merah. Tekanan perifer akan meningkat agar oksigen mencukupi kebutuhan sehingga menyebabkan terjadinya hipertensi. Selain menyebabkan vasospasme, angiotensin II akan merangsang glandula suprarenal untuk mengeluarkan aldosteron. Vasospasme bersama dengan koagulasi intravaskular akan menyebabkan gangguan perfusi darah dan gangguan multi organ. Gangguan multiorgan terjadi pada organ- oragan tubuh diantaranya otak, darah, paru- paru, hati/ liver, renal dan plasenta. Pada otak akan dapat menyebabkan terjadinya edema serebri dan selanjutnya terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial yang meningkat menyebabkan terjadinya gangguan perfusi serebral, nyeri dan terjadinya kejang sehingga menimbulkan diagnosa keperawatan risiko cedera. Pada darah akan terjadi endotheliosis menyebabkan sel darah merah dan pembuluh darah pecah. Pecahnya pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya pendarahan, sedangkan sel darah merah yang pecah akan menyebabkan terjadinya anemia hemolitik. Pada paru-paru, LADEP akan meningkat menyebabkan terjadinya kongesti vena pulmonal, perpindahan cairan sehingga akan mengakibatkan terjadinya edema paru. Edema paru akan menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas. Pada hati, vasokontriksi pembuluh darah akan menyebabkan gangguan kontraktilitas miokard sehingga
menyebabkan
payah jantung
dan memunculkan
diagnosa
keperawatan penurunan curah jantung. Pada ginjal, akibat pengaruh aldosteron, terjadi peningkatan reabsorpsi natrium dan menyebabkan retensi
cairan dan dapat
menyebabkan terjadinya edema sehingga dapat memunculkan diagnosa keperawatan kelebihan volume cairan. Selin itu, vasospasme arteriol pada ginjal akan meyebabkan
penurunan GFR dan permeabilitas terhadap protein akan meningkat. Penurunan GFR tidak diimbangi dengan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus sehingga menyebabkan diuresis menurun sehingga menyebabkan terjadinya oligouri dan anuri. Oligouri atau anuri
akan
memunculkan
diagnosa
keperawatan
gangguan
eliminasi
urin.
Permeabilitas terhadap protein yang meningkat akan menyebabkan banyak protein akan lolos dari filtrasi glomerulus dan menyenabkan proteinuria. Pada mata, akan terjadi spasmus arteriola selanjutnya menyebabkan edema diskus optikus dan retina. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya diplopia dan memunculkan diagnosa keperawatan risiko cedera. Pada plasenta penurunan perfusi akan menyebabkan hipoksia/anoksia sebagai pemicu timbulnya gangguan pertumbuhan plasenta sehinga dapat berakibat terjadinya Intra Uterin Growth Retardation serta memunculkan diagnosa keperawatan risiko gawat janin. Hipertensi akan merangsang medula oblongata dan sistem saraf parasimpatis akan meningkat. Peningkatan saraf simpatis mempengaruhi traktus gastrointestinal dan ekstrimitas. Pada traktus gastrointestinal dapat menyebabkan terjadinya hipoksia duodenal dan penumpukan ion H menyebabkan HCl meningkat sehingga dapat menyebabkan nyeri epigastrik. Selanjutnya akan terjadi akumulasi gas yang meningkat, merangsang mual dan timbulnya muntah sehingga muncul diagnosa keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Pada ektremitas dapat terjadi metabolisme anaerob yang menyebabkan ATP diproduksi dalam jumlah yang sedikit yaitu 2 ATP dan pembentukan asam laktat. Terbentuknya asam laktat dan sedikitnya ATP yang diproduksi akan menimbulkan keadaan cepat lelah, lemah sehingga muncul diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas. Keadaan hipertensi akan mengakibatkan seseorang kurang terpajan informasi dan memunculkan diagnosa keperawatan kurang pengetahuan.
4. Manifestasi Klinis
Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dengan urutan pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada pre eklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Sedangkan pada pre eklampsia berat ditemukan gejala subjektif berupa sakit kepala di daerah frontal, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, dan mual atau muntah. Gejalagejala ini sering ditemukan pada pre eklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Penegakkan diagnosa pre eklampsia
yaitu adanya 2 gejala di antara trias tanda utama, dimana tanda utamanya yaitu hipertensi dan 2 tanda yang lain yaitu edema atau proteinuria. Tetapi dalam praktik medis hanya hipertensi dan proteinuria saja yang dijadikan sebagai 2 tanda dalam penegakkan diagnosa pre eklamsia.
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan pre eklamsia yaitu sebagai berikut: a. Pemeriksaan Laboratorium 1) Pemeriksaan Darah Lengkap dan Apusan Darah a) Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal hemoglobin untuk wanita hamil adalah 12-14 gr%). b) Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37-43 vol%). c) Trombosit menurun (nilai rujukan 150.000-450.000/mm 3)
2) Urinalisis Ditemukan protein dalam urine. 3) Pemeriksaan Fungsi Hati a) Bilirubin meningkat (N= < 1 mg/dL). b) LDH (laktat dehidrogenase) meningkat. c) Aspartat aminomtransferase (AST) > 60 uL.
d) Serum Glutamat Pirufat Transaminase (SGPT) meningkat (N= 15-45 u/ml) e) Serum Glutamat Oxaloacetic transaminase (SGOT) meningkat (N= < 31 u/ml) f) Total protein serum menurun (N= 6,7 – 8,7 g/dL) 4) Tes Kimia Darah Asam urat meningkat > 2,7 mg/dL, dimana nilai normalnya yaitu 2,4 – 2,7 mg/dL b. Pemeriksaan Radiologi 1) Ultrasonografi (USG). Hasil USG menunjukan bahwa ditemukan retardasi perteumbuhan janin intra uterus. Pernafasan intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan ketuban sedikit. 2) Kardiotografi Hasil pemeriksaan dengan menggunakan kardiotografi menunjukan bahwa denyut jantung janin lemah.
6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan pre eklamsia tergantung pada derajat pre eklamsia yang dialami. Namun yang termasuk komplikasi pre eklamsia antara lain: a. Komplikasi pada Ibu 1) Eklamsia. 2) Tekanan darah meningkat dan dapat menyebabkan perdarahan otak dan gagal
jantung mendadak yang berakibat pada kematian ibu. 3) Gangguan fungsi hati: Sindrom HELLP ( Hemolisis, Elevated, Liver, Enzymes
and Low Plateleted ) dan hemolisis yang dapat menyebabkan ikterik. Sindrom HELLP merupakan singkatan dari hemolisis (pecahnya sel darah merah), meningkatnya enzim hati, serta rendahnya jumlah platelet/trombosit darah. HELLP syndrome dapat secara cepat mengancam kehamilan yang ditandai dengan terjadinya hemolisis, peningkatan kadar enzim hati, dan hitung trombosit rendah. Gejalanya yaitu mual, muntah, nyeri kepala, dan nyeri perut bagian kanan atas. 4) Solutio plasenta. 5) Hipofebrinogemia yang berakibat perdarahan. 6) Gangguan fungsi ginjal: oligo sampai anuria. 7) Perdarahan atau ablasio retina yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan untuk sementara. 8) Aspirasi dan edema paru-paru yang dapat mengganggu pernafasan. 9) Cedera fisik karena lidah tergigit, terbentur atau terjatuuh dari tempat tidur saat serangan kejang. 10)
DIC ( Disseminated Intravascular Coagulation) atau kelainan pembekuan
darah. b. Komplikasi pada Janin 1) Hipoksia karena solustio plasenta. 2) Terhambatnya pertumbuhan janin dalam uterus sehingga terjadi peningkatan angka morbiditas dan mortalitas perinatal. 3) Asfiksia mendadak atau asfiksia neonatorum karena spasme pembuluh darah dan dapat menyebabkan kematian janin (IUFD). 4) Lahir prematur dengan risiko HMD ( Hyalin Membran Disease).
7. Penatalaksanaan
a. Pencegahan atau Tindakan preventif 1) Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu secara teliti, mengenali tandatanda sedini mungkin (pre-eklamsi ringan), lalu diberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat. 2) Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre-eklemsi kalau ada faktor-faktor predisposisi. 3) Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, serta pentingnya mengatur diet rendah garam, lemak, serta karbohidrat dan tinggi protein, juga menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan b. Penatalaksanaan atau Tindakan kuratif
Tujuan utama penatalaksanaan atau penanganan adalah untuk mencegah terjadinya pre-eklamsia berlanjut dan eklamsia, sehingga janin bisa lahir hidup dan sehat serta mencegah trauma pada janin seminimal mungkin. 1) Penanganan pre eklamsia ringan Pengobatan hanya bersifat simtomatis dan selain rawat inap, maka penderita dapat dirawat jalan dengan skema periksa ulang yang lebih sering, misalnya 2 kali seminggu. Penanganan pada penderita rawat jalan atau rawat inap adalah dengan istirahat ditempat, diit rendah garam, dan berikan obat-obatan seperti valium tablet 5 mg dosis 3 kali sehari atau fenobarbital tablet 30 mg dengan dosis 3 kali 1 sehari. Diuretika dan obat antihipertensi tidak dianjurkan, karena obat ini tidak begitu bermanfaat, bahkan bisa menutupi tanda dan gejala pre-eklampsi berat. Bila gejala masih menetap, penderita tetap dirawat inap.Monitor keadaan janin :
kadar estriol
urin, lakukan aminoskopi, dan ultrasografi,
dan
sebagainya.Bila keadaan mengizinkan, barulah dilakukan induksi partus pada usia kehamilan minggu 37 ke atas. 2) Penanganan pre eklamsia berat a) Pre eklamsia berat pada kehamilan kurang dari 37 minggu. Jika janin belum menunjukan tanda-tanda maturitas paru-paru dengan uji kocok dan rasio L/S, maka penanganannya adalah sebagai berikut: (1) Berikan suntikan sulfas magnesikus dengan dosis 8 gr intramuskular kemudian disusul dengan injeksi tambahan 4 gr itramuskular selama tidak ada kontraindikasi.
(2) Jika ada perbaikan jalannya penyakit, pemberian sulfas magnesikus dapat diteruskan lagi selama 24 jam sampai dicapai kriteria pre-eklamsia ringan kecuali ada kontraindikasi. (3) Selanjutnya ibu dirawat, diperiksa, dan keadaan janin dimonitor, serta berat badan ditimbang seperti pada pre eklamsia ringan, sambil mengawasi timbulnya lagi gejala. (4) Jika dengan terapi diatas tidak ada perbaikan dilakukan terminasi kehamilan dengan induksi partus atau tindakan lain tergantung keadaan. Jika pada pemeriksaan telah dijumpai tanda-tanda kematangan paru janin, maka penatalaksanaan kasus sama seperti pada kehamilan diatas 37 minggu. b) Pre eklamsia berat pada kehamilan lebih dari 37 minggu. (1) Penderita dirawat inap (a) Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar isolasi. (b) Berikan diet rendah garam dan tinggi protein. (c)Berikan suntikan sulfas magnesikus 8 gr intramuskular, 4 gr digluteus kanan dan 4 gr digluteus kiri. (d) Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap 4 jam. (e)Syarat pemberian MgSO4 adalah refleks patella positif; diuresis 100 cc dalam 4 jam terakhir; respirasi 16 kali per menit, dan harus tersedia antidotumnya yaitu kalsium glukonas 10% dalam ampul 10 cc. (f) Infus dekstrosa 5% dan ringer laktat.
(2) Berikan obat anti hipertensif : injeksi katapres 1 ampul IM dan selanjutnya dapat diberikan tablet katapres 3 kali ½ tablet atau 2 kali ½ tablet sehari. (3) Diuretika tida diberikan kecuali bila terdapat edema umum, edema paru dan kegagalan jantung kongestif. Untuk itu dapat disuntikan 1 ampul IV lasix. (4) Segera setelah pemberian sulfas magnesikus kedua, dilakukan induksi
partus dengan atau tanpa amniotomi. Untuk induksi dipakai oksitosin (pitosin atau sintosinon) 10 satuan dalam infus tetes. (5) Kala II harus dipersingkat dengan ekstraksi vakum atau forceps, jadi ibu dilarang mengedan. (6) Jangan diberikan methergin postpartum, kecuali bila terjadi perdarahan yang disebabkan atonia uteri.
(7) Pemberian sulfas magnesikus, kalau tidak ada kontraindikasi, kemudian diteruskan dengan dosis 4 gr setiap 4 jam dalam 24 jam post partum. (8) Bila ada indikasi obstetrik dilakukan seksio sesarea. c. Perawatan Mandiri untuk Kasus Pre Eklamsia 1) Aromatherapy : penelitian membuktikan bahwa minyak tertentu dapat
menimbulkan efek pada penurunan tekanan darah dan membantu relaksasi seperti : levender, kamomile, kenanga, neroli dan cendana. Tetapi ada juga aromatehrapy yang dapat meningkatkan tekanan darah diantaranya rosemary, fenel, hyssop dan sage. 2) Pijat : pijat bagian punggung, leher, bahu, kaki, bisa memberikan ketenangan
dan kenyamanan. 3) Shiatsu, tai chi, yoga, dan latihan relaksasi 4) Terapi nutrisi : spesialis nutrisi menganjurkan penggunaan vitamin dan suplemen
mineral, khususnya zinc dan vitamin B6.
9.
Pengkajian
a. Data Subjektif 1) Umur biasanya sering terjadi pada primigravida , < 20 tahun atau > 35 tahun 2) Riwayat kesehatan ibu sekarang : terjadi peningkatan tekanan darah, adanya edema, pusing, nyeri epigastrium, mual, muntah, penglihatan kabur, pertambahan berat badan yang berlebihan yaitu naik > 1 kg/minggu, pembengkakan ditungkai, muka, dan bagian tubuh lainnya, dan urin keruh dan atau sedikit (pada pre eklamsia berat < 400 ml/24 jam). 3) Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit ginjal, anemia, vaskuler esensial, hipertensi kronik, DM. 4) Riwayat kehamilan: riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion serta riwayat kehamilan dengan pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya 5) Pola nutrisi : jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun selingan 6) Psikososial spiritual : Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan kecemasan, oleh karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi resikonya.
b. Data Objektif 1) Pemeriksaan Fisik a) Inspeksi : edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam. b) Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, dan lokasi edema. c) Perkusi : untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat pemberian SM jika refleks positif. d) Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal distress.
Selain itu, untuk pre eklamsia ringan tekanan darah pasien > 140/90 mmHg atau peningkatan sistolik > 30 mmHg dan diastolik > 15 mmHg dari tekanan biasa (base line level/tekanan darah sebelum usia kehamilan 20 minggu). Sedangkan untuk pre eklamsia berat tekanan darah sistolik > 160 mmHg, dan atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg. 2) Pemeriksaan Penunjang a) Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2 kali dengan interval 4-6 jam b) Laboratorium : proteinuria dengan kateter atau midstream (biasanya meningkat hingga 0,3 gr/lt atau lebih dan +1 hingga +2 pada skala kualitatif),
kadar hematokrit menurun, BJ urine meningkat, serum kreatinin meningkat, uric acid biasanya > 7 mg/100 ml. c) Berat badan : peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu. d) Tingkat kesadaran: penurunan GCS sebagai tanda adanya kelainan pada otak. e) USG: untuk mengetahui keadaan janin. f)
NST: untuk mengetahui kesejahteraan janin.
10. Diagnosa Keperawatan
Menurut Herdman (2012), diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yaitu sebagai berikut: a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan pre eklamsia
berat. b. Gangguan
pertukaran
gas
berhubungan
dengan
ventilasi-perfusi
akibat
penimbunan cairan paru : adanya edema paru. c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload dan afterload. d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum. f.
Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penyebab multipel.
g. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor psikologis dan
ketidakmampuan untuk mencerna, menelan, dan mengabsorpsi makanan. h. Risiko cedera berhubungan dengan diplopia, dan peningkatan intrakranial: kejang.
11. Rencana Asuhan Keperawatan Dx Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan pre eklamsia berat.
Tujuan Intervensi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Neurologic monitoring selama 1 jam diharapkan status 1. Monitor ukuran pupil, bentuk, neurologi membaik dan ketidakefektifan simetris dan reaktifitas pupil perfusi jaringan serebral teratasi dengan 2. Monitor keadaan klien dengan indikator: GCS NOC: Management neurology 3. Monitor TTV 4. Monitor status respirasi: Indikator Awal Target ABClevels, pola nafas, Status neurologi: 2 3 kedalaman nafas, RR syaraf sensorik dan 5. Monitor reflek muntah motorik dbn 6. Monitor pergerakan otot Ukuran pupil 4 4 7. Monitor tremor Pulil reaktif 3 4 8. Monitor reflek babinski Pola pergerakan 3 4 9. Identifikasi kondisi gawat mata darurat pada pasien. Pola nafas 3 5 10. Monitor tanda peningkatan TTV dalam batas 3 4 tekanan intrakranial normal 11. Kolaborasi dengan dokter jika Pola istirahat dan 3 4 terjadi perubahan kondisi pada tidur klien Tidak muntah 5 5 Tidak gelisah 3 4 Keterangan : 1= keluhan ekstrim 2= keluhan substansial 3= keluhan sedang 4= keluhan ringan 5= tidak ada keluhan
Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan NIC: Airway management pertukaran gas 3x24 jam, status respiratori: pertukaran a. Posisikan klien untuk berhubungan gas dengan indikator: memaksimalkan potensi dengan ventilasi1 . Statu s men tal dalam batas ventilasinya. perfusi akibat normal (5) b. Identifikasi kebutuhan klien akan penimbunan cairan 2. Dapat melakukan napas dalam insersi jalan nafas baik aktual paru : adanya (5) maupun potensial. edema paru. 3. Tidak terlihat sianosis (5) c. Lakukan terapi fisik dada 4. Tidak mengalami somnolen (4) 5. PaO2 dalam rentang normal (4) d. Auskultasi suara nafas, tandai area 6. pH arteri normal (4) penurunan atau hilangnya ventilasi 7. ventilasi-perfusi dalam kondisi dan adanya bunyi tambahan seimbang (4) e. Monitor status pernafasan dan oksigenasi, sesuai kebutuhan Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload dan afterload.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan penurunan curah jantung teratasi dengan indikator: NOC: - Cardiac Pump effectiveness - Circulation Status - Vital Sign Status - Tissue perfusion: perifer Indikator Awal Target TTV dbn 2 3 Dapat mentoleransi 1 3 aktivitas, tidak ada kelelahan Tidak ada edema 1 1 paru Tidak ada asites 5 5 Tidak ada udema 2 2
1. 2. 3.
Evaluasi adanya nyeri dada Catat adanya disritmia jantung Catat adanya tanda dan gejala penurunan cardiac putput 4. Monitor status pernafasan yang menandakan gagal jantung 5. Monitor balance cairan 6. Monitor respon pasien terhadap efek pengobatan antiaritmia 7. Monitor adanya dyspneu, fatigue, tekipneu dan ortopneu 8. Anjurkan untuk menurunkan stress 9. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR 10. Monitor irama jantung 11. Monitor frekuensi dan irama pernapasan 12. Monitor pola pernapasan abnormal
Rasional
1. Klien dengan cedera kepala akan mempengaruhi reaktivitas pupil karena pupil diatur oleh syaraf cranialis 2. Mengetahui penurunan kesadaran klien 3. Memantau kondisi hemodinamik klien 4. Mengetahui kondisi pernafasan klien 5. Peningkatan TIK 6. Memonitor kelemahan 7. Memonitor persyarafan di perifer 8. Reflek babinsky (+) menunjukan adanya perdarahan otak 9. Peningkatan TIK dengan tanda muntah proyektil, kejang, penurunan kesadaran
a. Untuk mempermudah pertukaran gas b. Untuk memantau kondisi jalan nafas klien c. Un tuk mengelu arkan sputum d. Memantau kondisi pernafasan klien e. Memantau kondisi klien
1. Menunjukan jantung dalam kondisi abnormal 2. Takikardi, bradikardi 3. Tanda dan gejala penurunan cardiac output : pucat, akral dingin, udema ekstermitas 4. Gagal jantung kiri menyebabkan udema di paru dan gagal jantung kanan menyebabkan udema ekstermitas 5. Mengetahui adanya kelebihan cairan karena klien biasanya udema 6. Mengetahui respon pasien terhadap obat
Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan NIC: Airway management pertukaran gas 3x24 jam, status respiratori: pertukaran a. Posisikan klien untuk berhubungan gas dengan indikator: memaksimalkan potensi dengan ventilasi1 . Statu s men tal dalam batas ventilasinya. perfusi akibat normal (5) b. Identifikasi kebutuhan klien akan penimbunan cairan 2. Dapat melakukan napas dalam insersi jalan nafas baik aktual paru : adanya (5) maupun potensial. edema paru. 3. Tidak terlihat sianosis (5) c. Lakukan terapi fisik dada 4. Tidak mengalami somnolen (4) 5. PaO2 dalam rentang normal (4) d. Auskultasi suara nafas, tandai area 6. pH arteri normal (4) penurunan atau hilangnya ventilasi 7. ventilasi-perfusi dalam kondisi dan adanya bunyi tambahan seimbang (4) e. Monitor status pernafasan dan oksigenasi, sesuai kebutuhan Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload dan afterload.
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
a. Untuk mempermudah pertukaran gas b. Untuk memantau kondisi jalan nafas klien c. Un tuk mengelu arkan sputum d. Memantau kondisi pernafasan klien e. Memantau kondisi klien
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan penurunan curah jantung teratasi dengan indikator: NOC: - Cardiac Pump effectiveness - Circulation Status - Vital Sign Status - Tissue perfusion: perifer Indikator Awal Target TTV dbn 2 3 Dapat mentoleransi 1 3 aktivitas, tidak ada kelelahan Tidak ada edema 1 1 paru Tidak ada asites 5 5 Tidak ada udema 2 2
1. 2. 3.
Evaluasi adanya nyeri dada Catat adanya disritmia jantung Catat adanya tanda dan gejala penurunan cardiac putput 4. Monitor status pernafasan yang menandakan gagal jantung 5. Monitor balance cairan 6. Monitor respon pasien terhadap efek pengobatan antiaritmia 7. Monitor adanya dyspneu, fatigue, tekipneu dan ortopneu 8. Anjurkan untuk menurunkan stress 9. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR 10. Monitor irama jantung 11. Monitor frekuensi dan irama pernapasan 12. Monitor pola pernapasan abnormal
1. Menunjukan jantung dalam kondisi abnormal 2. Takikardi, bradikardi 3. Tanda dan gejala penurunan cardiac output : pucat, akral dingin, udema ekstermitas 4. Gagal jantung kiri menyebabkan udema di paru dan gagal jantung kanan menyebabkan udema ekstermitas 5. Mengetahui adanya kelebihan cairan karena klien biasanya udema 6. Mengetahui respon pasien terhadap obat
perifer Tidak terjadi 5 penurunan kesadaran Tidak ada distensi 5 Vena jugularis Warna kulit normal 1 Keterangan : 1= keluhan ekstrim 2= keluhan substansial 3= keluhan sedang 4= keluhan ringan 5= tidak ada keluhan
13. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit 14. Monitor sianosis perifer 15. Jelaskan pada pasien tujuan dari pemberian oksigen 16. Kelola pemberian obat anti aritmia dan vasodilator
7. Udema paru menyebabkan dyspnea 8. Stres menambah berat kerja jantung 9. Mengetahui kondisi hemodinamik klien 10.Suara jantung tambahan, S3, S4 11.Ronchi basah menunjukan adanya cairan di pulmo 12.Dyspnea, cepat dan dangkal 13.Memungkinkan terjadinya sianosis 14.Kurang 02 menyebabkan sianosis perifer 15.Membantu suplai O2 ke pasien 16.Obat antiaritmia dan vasodilatator untuk membantu pengelolaan kontraktilitas jantung
1. Monitor pengeluaran urin, catat jumlah dan warna saat dimana diuresis terjadi.
1. Pengeluaran urin mungkin sedikit dan pekat karena penurunan perfusi ginjal. Pemantauan urin dengan memperhatikan jumlah dan warna urin akan membantu dalam proses penentuan diagnosa pasien.
5
5 2
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan volume cairan pasien stabil dengan kriteria hasil: 1. Keseimbangan intake dan output cairan (4). 2. TTV normal (4). 3. BB stabil dan tidak terdapat edema (4). 4. Menyatakan pemahaman tentang
perifer Tidak terjadi 5 penurunan kesadaran Tidak ada distensi 5 Vena jugularis Warna kulit normal 1 Keterangan : 1= keluhan ekstrim 2= keluhan substansial 3= keluhan sedang 4= keluhan ringan 5= tidak ada keluhan
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
5
5 2
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan volume cairan pasien stabil dengan kriteria hasil: 1. Keseimbangan intake dan output cairan (4). 2. TTV normal (4). 3. BB stabil dan tidak terdapat edema (4). 4. Menyatakan pemahaman tentang
pembatasan cairan individual (5).
13. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit 14. Monitor sianosis perifer 15. Jelaskan pada pasien tujuan dari pemberian oksigen 16. Kelola pemberian obat anti aritmia dan vasodilator
7. Udema paru menyebabkan dyspnea 8. Stres menambah berat kerja jantung 9. Mengetahui kondisi hemodinamik klien 10.Suara jantung tambahan, S3, S4 11.Ronchi basah menunjukan adanya cairan di pulmo 12.Dyspnea, cepat dan dangkal 13.Memungkinkan terjadinya sianosis 14.Kurang 02 menyebabkan sianosis perifer 15.Membantu suplai O2 ke pasien 16.Obat antiaritmia dan vasodilatator untuk membantu pengelolaan kontraktilitas jantung
1. Monitor pengeluaran urin, catat jumlah dan warna saat dimana diuresis terjadi.
1. Pengeluaran urin mungkin sedikit dan pekat karena penurunan perfusi ginjal. Pemantauan urin dengan memperhatikan jumlah dan warna urin akan membantu dalam proses penentuan diagnosa pasien.
2. Monitor dan hitung intake dan output cairan selama 24 jam.
2. Pemantauan intake dan output cairan membantu dalam proses penentuan keseimbangan cairan dan elektrolit pasien. 3. Posisi duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler dapat meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis. 4. Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan cairan dan dapat menunjukkan kongesti paru serta gagal jantung. 5. Pemantauan dan pembatasan cairan akan menentukan BB ideal, keluaran urin, dan respon terhadap terapi. 6. Berat badan, turgor kulit, dan adanya edema mempengaruhi kondisi cairan dalam tubuh. 7. Diuretik bertujuan untuk menurunkan volume plasma dan menurunkan retensi cairan dijaringan sehingga menurunkan
3. Pertahankan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler atau posisi yang nyaman bagi pasien selama fase akut.
4. Monitor TTV terutama TD dan CVP (bila ada).
5. Monitor rehidrasi cairan dan batasi asupan cairan.
6. Timbang berat badan setiap hari jika memungkinkan dan amati turgor kulit serta adanya edema. 7. Kolaborasi pemberian medikasi seperti pemberian diuretik: furosemid, spironolacton, dan hidronolacton.
pembatasan cairan individual (5).
2. Monitor dan hitung intake dan output cairan selama 24 jam.
3. Pertahankan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler atau posisi yang nyaman bagi pasien selama fase akut.
4. Monitor TTV terutama TD dan CVP (bila ada).
5. Monitor rehidrasi cairan dan batasi asupan cairan.
6. Timbang berat badan setiap hari jika memungkinkan dan amati turgor kulit serta adanya edema. 7. Kolaborasi pemberian medikasi seperti pemberian diuretik: furosemid, spironolacton, dan hidronolacton.
2. Pemantauan intake dan output cairan membantu dalam proses penentuan keseimbangan cairan dan elektrolit pasien. 3. Posisi duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler dapat meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis. 4. Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan cairan dan dapat menunjukkan kongesti paru serta gagal jantung. 5. Pemantauan dan pembatasan cairan akan menentukan BB ideal, keluaran urin, dan respon terhadap terapi. 6. Berat badan, turgor kulit, dan adanya edema mempengaruhi kondisi cairan dalam tubuh. 7. Diuretik bertujuan untuk menurunkan volume plasma dan menurunkan retensi cairan dijaringan sehingga menurunkan
risiko terjadinya edema. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum
Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor psikologis dan ketidakmampuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, pasien mempunyai cukup energi untuk beraktivitas sehingga toleran terhadap aktivitas, dengan kriteria hasil: 1. TTV normal (4). 2. EKG normal (4). 3. Koordinasi otot, tulang, dan anggota gerak lainnya baik (4). 4. Pasien melaporkan kemampuan dalam ADL (4).
1. Kaji aktivitas dan periode istirahat pasien, rencanakan dan jadwalkan periode istirahat dan tirah baring yang cukup dan adekuat.
Setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan kriteria hasil: a. Masukan per oral meningkat (5). b. Porsi makan yang disediakan habis
1. Kaji pola makan, kebiasaan makan, dan makanan yang disukai pasien.
1. Mengetahui aktivitas dan periode istirahat pasien serta upaya untuk menurunkan keletihan dan kelemahan pasien.
2. Berikan latihan aktivitas fisik secara bertahap (ROM, ambulasi dini, cara berpindah, dan pemenuhan kebutuhan dasar).
2. Tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan tepat. 3. Bantu pasien dalam memenuhi 3. Mengurangi pemakaian kebutuhan dasar. enargi sampai kekuatan pasien pulih kembali. 4. Lakukan terapi komponen darah 4. Mencegah dan sesuai resep bila pasien menderita mengurangi anemia berat anemia berat. yang berakibat pada kelemahan. 5. Kaji aktivitas dan respon pasien 5. Menjaga kemungkinan setelah latihan aktivitas (Monitor adanya respon abnormal TTV). dari tubuh sebagai akibat dari latihan.
2. Kaji TTV pasien secara rutin, status mual, muntah, dan bising usus.
1. Menin gkatkan nafsu makan pasien dan menghindari makanan yang alergi. 2. Monitor KU pas ien, mengetahui kemampuan
risiko terjadinya edema. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum
Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor psikologis dan ketidakmampuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, pasien mempunyai cukup energi untuk beraktivitas sehingga toleran terhadap aktivitas, dengan kriteria hasil: 1. TTV normal (4). 2. EKG normal (4). 3. Koordinasi otot, tulang, dan anggota gerak lainnya baik (4). 4. Pasien melaporkan kemampuan dalam ADL (4).
1. Kaji aktivitas dan periode istirahat pasien, rencanakan dan jadwalkan periode istirahat dan tirah baring yang cukup dan adekuat.
Setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan kriteria hasil: a. Masukan per oral meningkat (5). b. Porsi makan yang disediakan habis
1. Kaji pola makan, kebiasaan makan, dan makanan yang disukai pasien.
untuk mencerna, (5). menelan, dan c. Masa dan tonus otot baik (5). mengabsorpsi d. Tidak terjadi penurunan BB (5). makanan. e. Mual dan muntah tidak ada (5).
Risiko cedera Setelah dilakukan tindakan keperawatan berhubungan selama 3x24 jam, diharapkan tidak dengan diplopia, terjadi cedera, dengan kriteria hasil: dan peningkatan 1. Pasien tidak mengeluh pusing intrakranial: kejang (5). 2. Pasien tidak mengalami cedera (5).
1. Mengetahui aktivitas dan periode istirahat pasien serta upaya untuk menurunkan keletihan dan kelemahan pasien.
2. Berikan latihan aktivitas fisik secara bertahap (ROM, ambulasi dini, cara berpindah, dan pemenuhan kebutuhan dasar).
2. Tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan tepat. 3. Bantu pasien dalam memenuhi 3. Mengurangi pemakaian kebutuhan dasar. enargi sampai kekuatan pasien pulih kembali. 4. Lakukan terapi komponen darah 4. Mencegah dan sesuai resep bila pasien menderita mengurangi anemia berat anemia berat. yang berakibat pada kelemahan. 5. Kaji aktivitas dan respon pasien 5. Menjaga kemungkinan setelah latihan aktivitas (Monitor adanya respon abnormal TTV). dari tubuh sebagai akibat dari latihan.
2. Kaji TTV pasien secara rutin, status mual, muntah, dan bising usus.
1. Menin gkatkan nafsu makan pasien dan menghindari makanan yang alergi. 2. Monitor KU pas ien, mengetahui kemampuan
pasien dalam memenuhi kebutuhan nutrisi. 3. Berikan makanan sesuai diet dan 3. Meminimalkan anoreksia berikan selagi hangat. dan mengurangi iritasi gaster. 4. Jelaskan pentingnya makanan untuk 4. Pasien termotivasi untuk kesembuhan. makan. 5. Anjurkan pasien makan sedikit 5. Meningkatkan tetapi sering. kenyamanan saat makan. 6. Anjurkan pasien untuk 6. Glukosa dalam meningkatkan asupan nutrisi yang karbohidrat cukup efektif adekuat terutama makanan yang untuk pemenuhan energi, banyak mengandung karbohidrat sedangkan lemak sulit atau glukosa, protein, dan makanan untuk diserap sehingga berserat. akan membebani hepar, protein baik untuk meningkatkan dan mempercepat kesembuhan pasien, makanan berserat membantu mencegah terjadinya konstipasi. 7. Meningkatkan proses 7. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk penyembuhan pemberian diet sesuai indikasi. 1. Identifikasi keterbatasan fisik dan kognitif pasien yang dapat meningkatkan risiko cedera. 2. Ajarkan pasien untuk meminimalkan cedera, misalnya ketika ditempat tidur maka gunakan side rail, ketika
1. Mengetahui penyebab pasien mengalami risiko cedera. 2. Memberikan pengetahuan kepada pasien sehinggapasien bisa terhindar dari
untuk mencerna, (5). menelan, dan c. Masa dan tonus otot baik (5). mengabsorpsi d. Tidak terjadi penurunan BB (5). makanan. e. Mual dan muntah tidak ada (5).
pasien dalam memenuhi kebutuhan nutrisi. 3. Berikan makanan sesuai diet dan 3. Meminimalkan anoreksia berikan selagi hangat. dan mengurangi iritasi gaster. 4. Jelaskan pentingnya makanan untuk 4. Pasien termotivasi untuk kesembuhan. makan. 5. Anjurkan pasien makan sedikit 5. Meningkatkan tetapi sering. kenyamanan saat makan. 6. Anjurkan pasien untuk 6. Glukosa dalam meningkatkan asupan nutrisi yang karbohidrat cukup efektif adekuat terutama makanan yang untuk pemenuhan energi, banyak mengandung karbohidrat sedangkan lemak sulit atau glukosa, protein, dan makanan untuk diserap sehingga berserat. akan membebani hepar, protein baik untuk meningkatkan dan mempercepat kesembuhan pasien, makanan berserat membantu mencegah terjadinya konstipasi. 7. Meningkatkan proses 7. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk penyembuhan pemberian diet sesuai indikasi.
Risiko cedera Setelah dilakukan tindakan keperawatan berhubungan selama 3x24 jam, diharapkan tidak dengan diplopia, terjadi cedera, dengan kriteria hasil: dan peningkatan 1. Pasien tidak mengeluh pusing intrakranial: kejang (5). 2. Pasien tidak mengalami cedera (5).
1. Identifikasi keterbatasan fisik dan kognitif pasien yang dapat meningkatkan risiko cedera. 2. Ajarkan pasien untuk meminimalkan cedera, misalnya ketika ditempat tidur maka gunakan side rail, ketika
3. Pasien mampu menjelaskan cara mencegah terjadinya cedera (5)
mobilitas dari tempat tidur anjurkan untuk dibantu oleh keluarga atau gunakan tongkat sebagai pegangan dan jika pasien pusing anjurkan untuk istirahat terlebih dahulu. 3. Dampingi pasien dalam melakukan pemenuhan kebutuhan ADL. 4. Anjurkan pasien untuk banyak mengkonsumsi makanan yang dapat menambah darah seperti sayur-sayuran hijau dan diet rendah garam untuk menurunkan tekanan darah, sehingga bisa mengurango pusing.
1. Mengetahui penyebab pasien mengalami risiko cedera. 2. Memberikan pengetahuan kepada pasien sehinggapasien bisa terhindar dari
cedera.
3. Mengantisipasi hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya cedera. 4. Sayuran hijau dapat menambah darah dan mengobati anemia serta diet rendah garam dapat mengurangi kekambuhan penyakit hipertensi.
3. Pasien mampu menjelaskan cara mencegah terjadinya cedera (5)
mobilitas dari tempat tidur anjurkan untuk dibantu oleh keluarga atau gunakan tongkat sebagai pegangan dan jika pasien pusing anjurkan untuk istirahat terlebih dahulu. 3. Dampingi pasien dalam melakukan pemenuhan kebutuhan ADL. 4. Anjurkan pasien untuk banyak mengkonsumsi makanan yang dapat menambah darah seperti sayur-sayuran hijau dan diet rendah garam untuk menurunkan tekanan darah, sehingga bisa mengurango pusing.
cedera.
3. Mengantisipasi hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya cedera. 4. Sayuran hijau dapat menambah darah dan mengobati anemia serta diet rendah garam dapat mengurangi kekambuhan penyakit hipertensi.
8. Pathway Tekanan darah
Meningkat (140/90 mmHg)
Normal
Hamil < 20 minggu
Hamil >20 minggu
Hipertensi kronik
Superimposed pre eklamsia
Faktor predisposisi PE : Primigravida atau primipara mudab (85%), Grand multigravida, Sosial ekonomi rendah, Gizi buruk., Faktor usia (remaja; < 20 tahun dan usia diatas 35 tahun), Pernah pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya, Hipertensi kronik, Diabetes mellitus, Mola hidatidosa, Pemuaian uterus yang berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan ganda atau polihidramnion (14-20%), Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan eklamsia (ibu dan saudara perempuan),
Kejang (-)
Kejang (+)
PRE EKLAMSIA
EKLAMSIA
Penurunan aliran darah
Prostaglandin plasenta menurun
Iskemia uterus
8. Pathway Tekanan darah
Meningkat (140/90 mmHg)
Normal
Hamil < 20 minggu
Hamil >20 minggu
Hipertensi kronik
Superimposed pre eklamsia
Faktor predisposisi PE : Primigravida atau primipara mudab (85%), Grand multigravida, Sosial ekonomi rendah, Gizi buruk., Faktor usia (remaja; < 20 tahun dan usia diatas 35 tahun), Pernah pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya, Hipertensi kronik, Diabetes mellitus, Mola hidatidosa, Pemuaian uterus yang berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan ganda atau polihidramnion (14-20%), Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan eklamsia (ibu dan saudara perempuan), Hidrofetalis, Penyakit ginjal kronik, Hiperplasentosis: mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi besar, dan diabetes mellitus, Obesitas, Interval antar kehamilan yang jauh.
Renin+darah hati
Renin+angiotensinogen
Angiotensin I Angiotensin II
Angiotensin II + tromboksan
Kejang (-)
Kejang (+)
PRE EKLAMSIA
EKLAMSIA
Penurunan aliran darah
Prostaglandin plasenta menurun
Iskemia uterus
Hiperoksidase lemak & pelepasan renin uterus
Merangsang pengeluaran bahan tropoblastik
Proses endotheliosis
Merangsang pelepasan tromboplastin
Merangsang pengeluaran bahan tromboksan
Aktivasi/agregasi trombosit deposisi fibrin
Vasospasme PD
Koagulasi intravaskuler
Lumen arteriol menyempit
Penurunan perfusi darah & konsumtif koagulatif
Hanya 1 SDM yg dpt lewat Tek. Perifer meningkat kompensasi oksigen *HIPERTENSI Gangguan Multi Organ
Penurunan trombosit & faktor pembekuan darah
Gangguan fisiologis homeostasis Gangguan perfusi darah
Gangguan Multi Organ
Otak
Darah
Paru
Endotheliosis
Edema serebri
Peningkatan tek.intrakranial
Risiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak
PD pecah
SDM pecah
Perdarahan
Anemia hemolitik
Kejang
Risiko Cedera
Penumpukan darah
Kelemahan
Hati
Mata
Vasokontriksi PD miokard
Spasmus arteriola
Peningkatan LAEDP
Kongesti vena pulmonal
Gangguan kontraktilitas miokard
Edema duktus optikus dan retina
Diplopia Proses perpindahan cairan karena perbedaan tekanan
Ketidakseimb angan suplay & kebutuhan O2
Timbul edema (gangguan fungsi alveoli (ronchi, rales, takipnea, PaCO2 menurun
Intoleransi Aktivitas
Payah jantung Risiko Cedera Penurunan Curah Jantung
Gangguan Pertukaran Gas
Gangguan Multi Organ
Ginjal
Adanya rangsangan angiotensin II pada
Vasospasme arteriol pada ginjal
gland.suprarenal
Peningkatan reabsorpsi Na
Retensi cairan
Plasenta
Ekstremitas
GI Tract
Penurunan perfusi plasenta
Metabolisme anaerob
HCL meningkat
Penurunan GFR
Diuresis menurun
*EDEMA
Peningkatan permeabilitas protein
>> protein yg lolos dari filtrasi glomerulus
ATP diproduksi
Gangguan Eliminasi Urin
*PROTEINURIA
2 ATP
Gangguan pertumbuhan plasenta
Pembentukan asam laktat
Intra Uterine Growth Retardation (IUGR)
Cepat lelah & lemah
Kembung
Kelemahan umum
Mual & Muntah
Intoleransi Aktivitas
Ketidakseimba ngan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
Oliguri/anuri Kelebihan Volume Cairan
Peristaltik turun
Hipoksia/anoksia
Risiko Gawat Janin
Peningkatan akumulasi gas
Konsti pasi
Nyeri
Gangguan Multi Organ
Ginjal
Adanya rangsangan angiotensin II pada
Vasospasme arteriol pada ginjal
gland.suprarenal
Plasenta
Ekstremitas
GI Tract
Penurunan perfusi plasenta
Metabolisme anaerob
HCL meningkat
Peristaltik turun
Hipoksia/anoksia Penurunan GFR
Peningkatan reabsorpsi Na
Retensi cairan
Peningkatan permeabilitas protein
Diuresis menurun
>> protein yg lolos dari filtrasi glomerulus
*EDEMA
ATP diproduksi
Gangguan Eliminasi Urin
*PROTEINURIA
2 ATP
Gangguan pertumbuhan plasenta
Pembentukan asam laktat
Intra Uterine Growth Retardation (IUGR)
Cepat lelah & lemah
Kembung
Kelemahan umum
Mual & Muntah
Intoleransi Aktivitas
Ketidakseimba ngan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
Oliguri/anuri Kelebihan Volume Cairan
Risiko Gawat Janin
Peningkatan akumulasi gas
DAFTAR PUSTAKA
Arif, M. (2002). Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius. Bobak, I.M., Deitra L.L., & Margaret D. J. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas, Edisi 4. Jakarta: EGC Herdman, T. H. (2012). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC. Johnson, M. M., & Sue M. (2000). Nursing outcame clasification. Philadelphia: Mosby. McCloskey & Gloria M.B. (1996). Nursing Intervention Clasification. USA: Mosby. Prawirohardjo, S. (2006). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Sumiati & Dwi F. (2012). “Hubungan obesitas terhadap pre eklamsia pada kehamilan di RSU Haji Surabaya”. Embrio, Jurnal Kebidanan, Vol 1, No.2, Hal. 21-24. Widiastuti,
N.
P.
A.
(2012).
“Asuhan
keperawatan
pre
eklamsia”.
Konsti pasi
Nyeri
DAFTAR PUSTAKA
Arif, M. (2002). Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius. Bobak, I.M., Deitra L.L., & Margaret D. J. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas, Edisi 4. Jakarta: EGC Herdman, T. H. (2012). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC. Johnson, M. M., & Sue M. (2000). Nursing outcame clasification. Philadelphia: Mosby. McCloskey & Gloria M.B. (1996). Nursing Intervention Clasification. USA: Mosby. Prawirohardjo, S. (2006). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Sumiati & Dwi F. (2012). “Hubungan obesitas terhadap pre eklamsia pada kehamilan di RSU Haji Surabaya”. Embrio, Jurnal Kebidanan, Vol 1, No.2, Hal. 21-24. Widiastuti, N. P. A. (2012). “Asuhan keperawatan pre eklamsia”. http://nursingisbeautiful.wordpress.com/2010/12/03/askep-preeklampsia/.
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MATERNITAS
PEB (PRE EKLAMSI BERAT)
DI RUANG ANGGREK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANYUMAS
oleh: FERRA FEBRIANI G1B212004
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI NERS PURWOKERTO 2013