BAB 1 TINJAUAN TEORI 2.1 Definisi
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis jaune yang berarti kuning. Ikterus sebaiknya diperiksa di bawah cahaya t erang siang hari, dengan melihat sklera mata. Ikterus dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu ikterus hemolitik dan ikterus obstruktif. Ikterus adalah perubahan warna jaringan menjadi kuning akibat adanya
penimbunan empedu dalam tubuh, yang
biasanya dapat di deteksi pada sklera, kulit, atau urine yang menjadi gelap bila bilirubin serum mencapai 2-3 mg/dl, bilirubin serum normal adalah 0,3-1,0 mg/dl (Price & Wilson, 2006). Ikterus obstruktif adalah kegagalan aliran bilirubin ke duodenum, dimana kondisi ini akan menyebabkan perubahan patologi di hepatosit dan ampula vateri (Sherly, (Sherly, 2008). Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin dibentuk sebagai akibat pemecahan cincin hem, biasanya sebagai akibat metabolisme sel darah merah. Ikterus obstruktif, disebabkan oleh obstruksi duktus biliaris (yang sering terjadi bila sebuah batu empedu atau kanker menutupi duktus koledokus) atau kerusakan sel hati (yang terjadi pada hepatitis), kecepatan pembentukan bilirubin adalah normal, tapi bilirubin yang dibentuk tidak dapat lewat dari darah ke dalam usus. Dengan demikian, ikterus obstruktif merupakan jaundice atau kekuningan kekuningan yang disebabkan oleh obstruksi yang menghalangi bilirubin mengalir ke jejunum. Ikterus obstruktif atau bisa juga disebut kolestasis dibagi menjadi 2 yaitu kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik.
2.2 Etiologi
Menurut (Price & Wilson, 2006) 2006) ada 2 penyebab penyebab dari obstruktif ikterus, yaitu: yaitu: a. Ikterus obstruktif intrahepatik
1
Penyebab tersering ikterus obstruktif intrahepatik adalah penyakit hepatoseluler dengan kerusakan sel parenkim hati akibat hepatitis virus atau berbagai jenis sirosis. Pada penyakit ini, pembengkakan dan disorganisasi sel hati dapat menekan dan menghambat kanalikuli atau kolangiola. Penyakit hepatoseluler biasanya mengganggu semua fase metabolisme bilirubin ambilan, konjugasi, dan ekskresi, tetapi ekskresi biasanya paling terganggu, sehingga yangpaling menonjol adalah hiperbilirubinemia terkonjugasi. Penyebab ikterus obstruktif intrahepatik yang lebih jarang adalah pemakaian obat-obat tertentu, dan gangguan herediter Dubin Jhonson serta sindrom Rotor (jarang terjadi). Pada kedaan ini terjadi gangguan transfer bilirubin melalui membran hepatosit yang menyebabkan terjadinya retensi bilirubin dalam sel, obat yang sering mencetuskan gangguan ini adalah halotan (anestetik), kontrasepsi oral, estrogen, steroid anabolik, isoniazid, dan klorpromazin. b. Ikterus obstruktif ekstrahepatik Penyebab tersering ikterus obstruktif ekstrahepatik adalah sumbatan batu empedu, biasanya pada ujung bawah duktus koledokus; karsinoma kaput pankreas manyebabkan tekanan pada duktus koledokus koledokus dari luar; demikian juga dengan karsinoma ampula a mpula vateri. Penyebab yang lebih jarang adalah ikterus pasca peradangan atau setelah operasi, dan pembesaran kelenjar limfe pada porta hepatis. Lesi intrahepatik seperti hepatoma kadangkadang dapat menyumbat duktus hepatikus kanan atau kiri.
2.3 Manifestasi Manifestasi Klinis
Menurut Surasmi (2003) gejala Hiperbilirubinemia dikelompokan menjadi 2 fase yaitu akut dan kronik: 1) Gejala akut a. Lethargi (lemas) b. Tidak ingin mengisap c. Feses berwarna seperti dempul d. Urin berwarna gelap
2
2) Gejala kronik a. Tangisan yang melengking (high pitch cry) b. Kejang c. Perut membuncit dan pembesaran hati d. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental e. Tampak matanya seperti berputar-putar
2.4 Patofisiologi
Obstruksi ekstrahepatik terhadap aliran empedu dapat terjadi di dalam saluran sekunder atau kompresi eksternal. Secara keseluruhan, batu empedu adalah penyebab paling umum dari obstruksi bilier. Penyebab lain penyumbatan dalam saluran termasuk keganasan, infeksi, dan sirosis bilier. Eksternal kompresi dari saluran-saluran sekunder dapat terjadi peradangan (misalnya , pankreatitis) dan keganasan. Akumulasi dari bilirubin dalam aliran darah dan berpindahnya ke kulit menyebabkan penyakit kuning (ikterus). Ikterus konjungtiva
merupakan
tanda yang lebih sensitif untuk hiperbilirubinemia daripada tanda penyakit kuning biasanya. Jumlah nilai bilirubin serum biasanya 0,2-1,2 mg/dL. Pada ikterus dijumpai nilai bilirubin serum hingga 3 mg/dL. Urine bilirubin biasanya tidak ada, hanya bilirubin terkonjugasi yang dapat dilewatkan ke dalam urin. Hal ini dapat dibuktikan dengan urin berwarna gelap terlihat pada pasien dengan ikterus obstruktif atau penyakit kuning karena cedera hepatoseluler. Namun, strip reagen sangat sensitif terhadap bilirubin, mendeteksi sesedikit 0,05 mg/dL. Dengan demikian,bilirubin urine dapat ditemukan sebelum bilirubin serum mencapai tingkat yang cukup tinggi untuk mendiagnosa ikterus secara klinis. Kurangnya bilirubin dalam saluran usus bertanggung jawab atas tinja pucat biasanya terkait dengan obstruksi bilier. Penyebab gatal (pruritus) yang berhubungan dengan obstruksi bilier tidak jelas. Beberapa kasus ini mungkin berhubungan dengan akumulasi asam empedu di kulit (Constantin, 2011).
3
2.5 Pathways
2.6 Penatalaksanaan 2.6.1
Penatalaksanaan Nonbedah
1. Penatalaksanaan Pendukung dan Diet Diet yang diterapkan segera setelah suatu serangan yang akut biasanya dibatasi pada makanan cair rendah lemak. Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk ke dalam sususkim. Makanan berikut ini ditambahkan jika pasien dapat menerimanya: buah yang dimasak, nasi atau ketela, daging tanpa lemak, kentang yang dilumatkan, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi atau teh. Penatalaksanaan diet merupakan bentuk terapi utama pada pasien yang
4
hanya mengalami intoleransi terhadap makanan berlemak dan mengeluhkan gejala gastrointestinal ringan. 2. Farmakoterapi Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk) telah digunakan untuk melarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran kecil dan terutama tersusun dari kolesterol. Asam ursodeoksikolat dibandingkan dengan asam kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek samping dan dapat diberikan dengan dosis yang lebih kecil untuk mendapatkan efek yang sama. Mekanisme kerjanya adalah menghambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi desaturasi getah empedu. 3. Pelarutan Batu Empedu Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan menginfuskan suatu bahan pelarut (Monooktanion atau Metal Tertier Butil Eter (MTBE) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui jalur berikut ini : melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu melaui selang atau drain yang dimasukan melalui saluran T-tube untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan melalui
endoskop
ERCP
(Endoscopic
Retrograde
Cholangiopancreatography) atau kateter bilier transnalas. 4.
Pengangkatan Nonbedah Beberapa metode nonbedah digunakan untuk mengeluarkan batu yang belum terangkat pada saat cholesistektomy atau yang terjepit dalam duktus koledokus. Sebuah kateter dan alat disertai jaring yang terpasang padanya disisipkan lewat saluran T-tube atau lewat fistule yang terbentuk pada saat insersi T-tube, jaring digunakan untuk memegang dan menarik keluar batu yang terjepit dalam duktus koledokus.
5. Litotripsi Intrakorporeal
5
Pada litotripsi intrakorporeal, batu yang ada dalam kandung empedu atau duktus koledokus dapat dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound, laser berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada endoskop, dan diarahkan langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris dikeluarkan dengan cara irigasi dan aspirasi. 2.6.2
Penatalaksanaan Bedah
Penanganan bedah pada penyakit kandung empedu dan batu empedu dilaksanakan untuk mengurangi gejala yang sudah berlangsung lama, untuk menghilangkan penyebab kolik bilier dan untuk mengatasi kolesistitis akut. Pembedahan dapat efektif kalau gejala yang dirasakan klien sudah mereda atau bisa dikerjakan sebagai suatu prosedur darurat bilamana kondisi pasien mengharuskannya. 1. Kolesistektomi Kolesistektomi merupakan salah satu prosedur yang paling sering dilakukan, di Amerika lebih dari 600.000 orang menjalani pembedahan ini setiap tahunnya. Dalam prosedur ini, kandung empedu diangkat setelah arteri dan duktus sistikus diligasi. 2. Minikolesistektomi Minikolesistektomi merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat insisi selebar 4 cm. 3. Kolesistektomi Laparoskopik (atau endoskopik) Prosedur ini dilakukan lewat luka insisi yang kecil atau luka tusukan melalui
dinding
abdomen
pada
umbilikus.
Pada
prosedur
kolesistektomi endoskopik, rongga abdomen ditiup dengan gas karbon dioksida (pneumoperitoneum) untuk membantu pemasangan endoskop dan menolong dokter bedah melihat struktur abdomen. 4. Koledokostomi Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan batu. 5. Bedah Kolesistostomi
6
Kolesistostomi dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi yang lebih luas atau bila reaksi infalamasi yang akut membuat system bilier tidak jelas. (Smeltzer & Bare, 2002)
2.6.3
Farmakologi
Bile acid – binding resins, cholestyramine (4 g) or colestipol (5 g), dilarutkan dalam air atau jus 3 kali sehari mungkin berguna dalam pengobatan gejala pruritus berhubungan dengan obstruksi bilier. Namun, kekurangan vitamin A, D, E, dan K dapat terjadi jika adamya steatorrhea dan dapat diperburuk oleh penggunaan cholestyramine atau colestipol. Antihistamin dapat digunakan untuk pengobatan gejala pruritus, terutama sebagai obat penenang pada malam hari. Efektivitas mereka sederhana. Opioid endogen telah berperan dalam pengembangan pruritus kolestasis. Rifampisin telah disarankan sebagai tambahan medis untuk pengobatan kolestasis. Dengan mengurangi bakteri usus, memperlambat konversi utama untuk garam empedu sekunder dan dapat mengurangi kadar bilirubin serum, kadar ALP, dan pruritus pada pasien tertentu (Medscape, 2012).
2.7 Komplikasi
Menurut (Constantin, 2012), komplikasi yang dapat dialami oleh pasien dengan ikterus obstruktif antara lain gagal hati, sirosis hati, diare, pruritus, koagulopati, sindroma malabsorpsi, gagal ginjal, hiperkolesterolemia, dan defisiensi vitamin K. 1. Kolangitis asendens Adanya gejala nyeri yang intermiten, demam, dan ikterus. Kolangitis ini dapat menyebabkan abses hepar. 2. Koagulopati Hal ini disebabkan oleh defisiensi vitamin K akibat tidak diabsorpsi. Pada keadaan ini, pasien dapat diberikan FFP (fresh frozen plasma).
7
3. Hepatorenal sindrom Penyebabnya dapat berupa garam empedu dan pigmen yang bersifat nerotoksik, endotoksin dan mediator inflamasi.
2.8 Pemeriksaan Penunjang
Serum bilirubin: Terlepas dari penyebab kolestasis, nilai bilirubin serum (terutama direct) biasanya meningkat. Namun, tingkat hiperbilirubinemia tidak dapat membantu mendiagnosa penyebab obstruksi. Alkaline fosfatase (ALP), ALP yang nyata meningkat pada orang dengan obstruksi bilier. Namun, tingkat tinggi enzim ini tidak spesifik untuk kolestasis. Untuk menentukan apakah enzim yang berasal dari hati ukur mennggunakan
gamma -glutamil
transpeptidase
(GGT)
atau
5-prime-
nucleotidase. Nilai-nilai ini cenderung sama untuk pemeriksaan ALP pada pasien dengan penyakit hati namun GGT paling sering digunakan. Sementara itu pada bagian untuk evaluasi rutin obstruksi bilier, tingkat elevasi ALP tidak dapat digunakan untuk membedakan antara penyebab ekstrahepatik dan intrahepatik dari obstruksi. Penggunaan radiografi polos adalah pemilihan alat yang terbatas untuk membantu mendeteksi kelainan pada sistem bilier. Sering, batu tidak dapat divisualisasikan karena sedikit yang radiopak. Ultrasonografi adalah alat yang paling aman, dan paling sensitif teknik untuk memvisualisasikan sistem bilier, terutama kantong empedu. Akurasi alat ini mendekati dengan 95%. Computed tomography (CT) scan biasanya dianggap lebih akurat daripada USG untuk membantu menentukan penyebab dan tingkat obstruksi tertentu. Selain itu, membantu memvisualisasikan struktur hati yang lebih konsisten dari USG. Penambahan kontras intravena membantu membedakan dan menentukan struktur pembuluh darah dan saluran empedu (Medscape,2012)
8
BAB 3 KONSEP TEORI ASUHAN KEPERAWATAN DIARE 1.1 Pengkajian
1.1.1
Identitas Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin
1.1.2
Keluhan Utama Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan biasanya berhubungan dengan sklera dan warna kulit berwarna kuning, warna urin yang gelap, kulit dapat berwarna kehijauan, untuk klien dengan kernikterus dapat berupa mata berputar, letargi, kejang tak mau mengisap, malas minum, tonus otot meningkat, leher kaku, dan optistotonus.
1.1.3
Riwayat Penyakit Sekarang Anamnesis yang dibuat juga lamanya gejala berlangsung, ada dan sifat nyeri abdomen, demam atau gejala peradangan lainnya, perubahan selera makan, berat badan, dan kebiasaan buang air besar. Perhatikan juga adanya riwayat transfusi darah, dan penggunaan obat-obat intravena. (Hill, 1999:268)
1.1.4
Riwayat Penyakit Dahulu a. Penyakit virus juga harus diperhatikan pada pasien yang pernah bepergian ke negara-negara berkembang endemik hepatitis E yang ditularkan secara enteral atau negara asia timur yang penyebaran hepatitis B dan C secara parenteralnya luas. b. Prurius seringkali dikaitkan dengan kolestasis kronik berasal baik dari obstruksi ekstrahepatik ataupun penyakit kolestatik hati seperti kolangitis sklerosing atau sirosis kandung empedu primer. c. Sebaliknya, tinja yang akolik lebih sering terjadi pada pasien obstruksi kandung empedu ekstrahepatik akibat tumor, koledokolitiasis, atau secara sekunder akibat kelainan kandung empedu kongenital seperti peradangan kista koledukus. Adanya tinja akolik dan heme-positif
9
(tinja perak) merujuk ke arah tumor traktus biliaris distal seperti ampula, periampula, atau kolangiokarsinoma. Gabungan ini juga terdapat pada pasien karsinoma pankreas yang menyebar ke traktus biliaris atau duodenum. d. Ikterus, dalam kaitannya dengan operasi kandung empedu di masa lalu, mengarahkan pada penyakit batu yang kambuh atau masih tersisa, striktur biliaris, atau obstruksi berulang akibat tumor yang membesar. Akhirnya keadaan yang telah ada sebelumnya atau yang mendasari terjadinya penyakit hepatobiliar harus dihilangkan. Misalnya, penyakit radang usus, terutama kolitis ulseratif, berkaitan dengan kolagitis sklerotikans. e. Kehamilan merupakan faktor predisposisi kolestasis, steatosis, dan gagal hati akut. f.
Gagal jantung kanan dapat mengakibatkan kongesti hepatik dan kolestasis, sepsis dapat menyebabkan gangguan transport bilirubin tertentu atau kolestasis intrahepatik luas.
1.1.5
Riwayat Kesehatan Keluarga Terdapat riwayat gangguan hemolisis darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau golongan darah ABO), polisitemia, infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar, obstruksi saluran pencernaan, ibu menderita DM.
1.1.6
Riwayat Kesehatan Lingkungan Penyimpanan makanan pada suhu kamar, kurang menjaga kebersihan, lingkungan tempat tinggal.
1.1.7
Riwayat Pengobatan Riwayat pengobatan juga harus dicermati, obat-obat tertentu yang dapat menyebabkan baik kolestasis, seperti anabolik steroid dan klorpromazin, maupun nekrosis sel hati, seperti asetaminofen atau isoniazid. riwayat atralgia merujuk pada hepatitis virus akut.
1.1.8
Pemeriksaan Tingkat Perkembangan a. Keadaan Lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit
10
Pada anak dengan ikhterus factor lingkungan yang kumuh sebagai tempat tumbuhnya penyakit memungkinkan anak terserang penyakit hepatitis. Kurangnya menjaga pola keberhihan juga dapat berpengaruh misalnya orang tua tidak membersihkan botol minum anak dengan benar. b. Pola Fungsi Kesehatan 1. Pola persepsi dan tata laksana kesehatan: pada anak penderita ikherus
pola
hidup sehatharus
ditingkatkan
dalam
menjaga
kebersihan diri, perawatan, gaya hidup sehat. Ibu juga berkewajiba rutin memeriksakan anaknya dan melakukan imunisasi secara teratur. 2. Pola nutrisi dan metabolisme: pada anak penderita ikherus terjadi gangguan dalam pemenuhan nutrisi, ana menjadi malas makan, maalas menyusu sehingga mampu menyebabkan gangguan pola nutrisi dan metabolisme sehinga sering terlihat lemah (malaise). 3. Pola eliminasi: anak dengan ikhterus akan mengalami gangguan dalam eliminasi. Diar biasanya juga dialami penderita ikherus, feces menjadi lunak dan sedikit pucat, sedangkan urin penderiat ikhterus akan berwarna coklat gelap atau coklat kehitaman. 4. Pola aktivitas/bermain: anak biasanya menjadi malas beraktivitas, lemah dan lebih sering rewel. 5. Pola istirahat dan tidur: anak atau bayi yang mengalami ikhterus akan mengalami gangguan saat tidur biasanya berpa gatal akibat hiperbilirubin dan menjadi rewel. 6. Pola kognitif dan persepsi sensori: pada ikhterus parah yang berakibat pada kondisi krenikretus dapat merusak sawar otak sehingga bisa menyebabkan kerusakan otak yang berakibat keterlambatan dalam proses berpikir, gangguan bicara atau keterlambatan lain dalam tumbuh kembangnya. 7. Pola konsep diri: kasus ikhterus pada bayi tidak berdampak pada konsep diri bayi namun berdampak pada orang tua, sedangkan
11
ikhterus pada anak-anak dapat menyebabkan anak menjadi minder dan merasa berbeda dengan teman lainnya. 8. Pola hubungan-peran: peran orang tua sangat dibutuhkan dalam merawat dan mengobati anak dengan ikhterus. 9. Pola seksual-seksualitas: apakah selama sakit terdapat gangguan atau tidak yang berhubungan dengan reproduksi sosial. Pada anak yang menderita ikhterus biasanya tidak ada gangguan dalam reproduksi. 10. Pola mekanisme koping: keluarga perlu memeberikan dukungan dan semangat sembuh bagi anak. 11. Pola nilai dan kepercayaan: orang tua selalu optimis dan berdoa agar penyakit pada anaknya dapat segara sembuh. .
1.1.9
Pemeriksaan Fisik a. Pengukuran panjang badan, berat badan menurun, lingkar lengan mengecil, lingkar kepala, lingkar abdomen membesar b. Keadaan umum: klien lemah, gelisah, rewel, lesu, kesadaran menurun c. Kepala: adanya lesi, edema d. Mata: cekung, kering, sangat cekung e. Sistem pencernaan: mukosa mulut kering, distensi abdomen, peristaltic meningkat > 35 x/mnt, nafsu makan menurun, mual muntah, minum normal atau tidak haus, minum lahap dan kelihatan haus, minum sedikit atau kelihatan bisa minum f.
Sistem Pernafasan : dispnea, pernafasan cepat > 40 x/mnt karena asidosis metabolic (kontraksi otot pernafasan)
g. Sistem kardiovaskuler : nadi cepat > 120 x/mnt dan lemah, tensi menurun pada diare sedang h. Sistem integumen : warna kulit pucat, turgor menurun > 2 dt, suhu meningkat > 37,5
0
C, akral hangat, akral dingin (waspada syok),
capillary refill time memajang > 2 dt, kemerahan pada daerah perianal
12
i.
Sistem perkemihan : urin produksi oliguria sampai anuria (200-400 ml/ 24 jam ), frekuensi berkurang dari sebelum sakit.
j.
Dampak hospitalisasi : semua anak sakit yang MRS bisa mengalami stress yang berupa perpisahan, kehilangan waktu bermain, terhadap tindakan invasive respon yang ditunjukan adalah protes, putus asa, dan kemudian menerima.
1.1.10 Pemeriksaan Penunjang 1) Laboratorium: Pemeriksaan laboratorium awal harus ditujukan pada pembagian bilirubin serum. Bila terjadi hiperbilirubinemia yang didominasi oleh bilirubin
tak
konjugasi
(indirek),
maka
pikirkanlah
gangguan
hemolisis, seperti autoimun atau anemia hemolitik mikroangiopati, kegagalan sumsum tulang, atau resorpsi hematom yang besar. Penyebab paling sering peningkatan bilirubin tak terkonjugasi adalah sindroma Gilbert, suatu keadaan yang diwariskan akibat defisiensi ringan glukuronil transferase hepar. Penderita sindroma Gilbert mengalami berbagai peningkatan bilirubin tak terkonjugasi di dalam sirkulasi, terutama dalam hubungannya dengan stress fisis, demam, infeksi atau bedah yang sedang berlangsung, puasa, atau peminum alkohol berat. Kelainan metabolisme ringan ini tidak mengeluarkan gejala selain ikterik, dan tidak berkaitan dengan kelainan enzim hati atau pengaruh jangka panjang lainnya. Hiperbilirubinemia terkonjugasi (direk) biasanya berasal dari gangguan sel hepar atau penyakit kolestatik hati, atau obstruksi bilier ekstrahepatik. Karena kerja glukuronil transferase hati kebanyakan normal, pembentukan bilirubin glukuronida yang adekuat dapat terjadi bersamaan dengan penyakit hati berat. Pada pasien hiperbilirubinemia terkonjugasi primer, adanya dan sifat enzim hati abnormal merupakan petunjuk penting mengenai sifat proses yng sedang berlangsung. Hiperbilirubinemia terkonjugasi tanpa kelainan enzim hati jarang terjadi, tetapi dapat dijumpai pada kehamilan, sepsis, atau setelah
13
operasi. Naiknya bilirubin terkonjugasi saja merupakan menisfestasi utama dua kelainan yang diturunkan, yaitu sindroma Rotor dan DubinJohnson, dan dapat juga dijumpai pada pasien kolestasis intrahepatik benigna yang kambuh. Peningkatan aminotransferase yang tidak sebanding dengan enzim hati lainnya, merujuk pada kerusakan sel-sel hati, terutama hepatitis toksik, virus, atau iskemi, sedangkan peningkatan
alkalin
fosfatase,
nukleotidase
dan
gama-glutamil
transpeptidase lebih mengarah pada kolestasis intrahepatik atau obstruksi ekstrahepatik. Walaupun pola ini tidak dapat dipakai sebagai patokan
diagnostik,
hal-hal
tersebut
penting
sebagai
petunjuk
pemeriksaan. Pasien yang pemeriksaan klinis dan anamnesisnya mengarah pada penyakit sel hepar harus menjalani pemeriksaan hepatitis virus, keracunan obat, kongesti hepar, dengan gejala seperti gagal ventrikel kiri atau obstrusi akut vena hepatika, atau hepatitis iskemia. Pada keadaan klinis, pemeriksaan serologis amat penting dalam menegakkan diagnosis, atau menyingkirkan diagnosis hepatitis A, hepatitis B akut dan kronik, hepatitis C dan D. Penyebab umum hepatitis toksik adalah asetaminofen, isoniazid, dan obat anastesi halogen. Pasien penyakit hati alkohol terutama rentan terhadap keracunan asetaminofen, yang mungkin timbul dalam dosis terapeutik pada orang tertentu. Pasien yang sel hatinya dicurigai rusak, biopsi hati dapat memberikan keterangan diagnostik dan prognostik yang penting. Hasil biopsy perkutan, transjugular, atau laparoskopi juga memberikan informasi penting bagi terapi yang optimal. Peranan pencitraan hepatobilier pada pasien ini tidak jelas. Pada beberaa kasus, identifikasi lesi fokal menggunakan tomografi terkomputasi (CT scan), ultrasonografi (US), atau pencitraan magnetic (MRI) dapat meningkatkan ketepatan diagnostic. Teknik pencitraan ini juga dapat membantu menegakkan diagnosis adanya deposisi lemak hati, sirosis, atau penumpukan besi hepar
yang
berlebihan
pada
14
hemokromatosis.
Ultrasonografi
merupakan cara yang sangat sensitive untuk mendeteksi adanya asites. Bersama dengan analisis Doppler, cara ini mengungkapkan keutuhan dan arah aliran vena porta dan vena hepatika, kadang-kadang dapat berfungsi sebagai alat diagnostik noninvasif untuk thrombosis vena porta dan sindroma Budd-Chiari. 2) Terapi Terapi yang diberikan dengan ikhterus antara lain: 1. Fototerapi, diberikan dengan indikasi ikherus patologis 2. Transfusi tukarjika ada tanda-tanda kernikterus ataupun terjadi kenaikan bilirubn atau pada saat evaluasi tidak terjadi perbaikan. 3. Fisioterapi, untuk pasien yang sudah mengalami cacat akibat kadar bilirubin terlalu tinggi, pengobatan diarahkan pada fisioterapi untuk memperbaiki kekakuan otot dan gerakan serta stimulasi untuk mengoptimalkan fungsi intelek (kognitif) 4. Terapi Obat-obatan. Misalnya, obat phenobarbital atau luminal untuk meningkatkan pengikatan bilirubin di sel-sel hati.
1.2 Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan (00026) berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi. 2. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh (00002) berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorpsi nutrient. 3. Nyeri akut (00132) berhubungan dengan agens cidera biologis. 4. Gangguan
pertukaran
gas
(00030)
berhubungan
dengan
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. 5. Intoleransi aktivitas (00092) berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebuthan oksigen.
15
3.3 Intervensi
No
1.
Diagnose
Tujuan & Kriteria Evaluasi
Keperawatan
Intervensi
Kelebihan volume
Tujuan: setelah dilakukan tindakan perawatan
cairan (00026)
selama 3 x 24 jam keseimbangan cairan dan 1. Kaji adanya edema, distensi leher
berhubungan dengan
elektrolit dapat dipertahankan secara optimal.
2. Monitor hasil Hb (BUN, Hmt, osmolalitas, urin)
gangguan mekanisme
Kriteria evaluasi :
3. Monitor TTV
regulasi.
1. Terbebas dari edema, efusi, anaskara
4. Mempertahankan catatan intake dan output yang
2. Bunyi nafas bersih, tidak ada dyspneu
Fluid Management
akurat
3. Tanda-tanda vital daplam batas normal 5. Berikan informasi pada pasien untuk membatasi (TD 120-130/80 mmHg, RR 24x/ menit, 0
HR 60-100 x/menit, T 36,5-37,5 C)
masukan cairan pada keadaan hiponatremia dilusi denngan serum Na <130 mEq/l 6. Kolaborasi
doker
pemberian
diuretic
sesuai
intruksi
2.
Ketidakseimbangan
Tujuan: setelah dilakukan tindakan perawatan
nutrisi: kurang dari
selama
kebutuhan tubuh
terpenuhi.
3
x
24
jam
kebutuhan
Nutrition Management
nutrisi 1. Diskusikan dan jelaskan tentang pembatasan diet (makanan yang berserat tinggi, berlemak dan air
16
(00002) berhubungan
Criteria evaluasi:
dengan
1. Nafsu makan baik
ketidakmampuan
2. BB ideal sesuai dengan umur dan kondisi 3. Jelaskan tentang pentingnya makanan yang sesuai
mengabsorpsi nutrient
panas atau dingin) 2. Timbang BB setiap hari
tubuh
dengan kesehatan dan peningkatan daya tahan
3. Hasil pemeriksaan laborat protein dalam batas normal (3-5 mg/ dalam).
3.
tubuh. 4. Kolaborasi dengan akhli gizi
Nyeri akut (00132)
Tujuan: setelah dilakukan tindakan perawatan
Paint Management
berhubungan dengan
selama 3 x 24 jam nyeri teratasi
1. Kaji
agens cidera biologis
Criteria evaluasi:
keluhan
nyeri
(skala
1-10),
perubahan
karakteristik nyeri, petunjuk verbal dan non verbal
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab 2. Atur posisi yang nyaman bagi klien, misalnya nyeri, mampu menggunakan teknik non farmakologi)
dengan lutut fleksi 3. Ajarkan pasien terapi nafas dalam
2. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri 4. Lakukan aktivitas pengalihan untuk memberikan berkurang
rasa
3. Skalanya nyeri berkurang dari 3 menjadi 1
nyaman
seperti
masase
punggung
dan
kompres hangat abdomen 5. Kolaborasi pemberian obat analgetika dan atau antikolinergik sesuai indikasi
17
4.
Gangguan pertukaran
Tujuan: setelah dilakukan tindakan perawatan
gas (00030)
selama 3 x 24 jam diharapkan siste pernafasan 1. Kaji suara nafas, dan catat adanya suara tambahan
berhubungan dengan
adekuat
2. Monitor respirasi dan status O2
ketidakseimbangan
Kriteria evaluasi:
3. Memposisikan
ventilasi-perfusi.
1. Mendemonstrasikan
peningkatan
dan
oksigenasi yang adekuat 2. Memeliharakebersihan
Airway Manajement
pasien
untuk
memaksimalkan
ventilasi 4. Mengidentifikasi pasien perlunya pemasangan alat
paru-paru
dan
bebas dari tanda-tanda distress pernafasan
bantu pernafasan bila perlu 5. Kolaborasi dengan ahli terapi
3. Mendemonstrasikan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis, dispneu. 5.
Intoleransi aktivitas
Tujuan: setelah dilakukan tindakan perawatan
Activity Therapy
(00092) berhubungan
selama 3 x 24 jam, klien mampu beradaptasi
1. Kaji aktifitas klien
dengan
Kriteria evaluasi:
2. Monitor respon fisik, emosi, social dan spiritual
ketidakseimbangan
1. Mampu melakukan aktivitas sehari-hari 3. Berikan latihan tentang gerak sendi pasip
antara suplai dan kebuthan oksigen.
(ADLs) secara mandiri
4. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang
2. Tanda-tanda vital normal
sesuai dengan kemampuan fisik, psikologi dan
3. Level kelemahan
social
4. Mampu berpindah: dengan atau tanpa 5. Tingkatkan tirah baring/duduk bantuan alat
6. Ajarkan pasien untuk ubah posisi klien tiap 2jam
18
5. Sirkulasi status baik
sekali
6. Status respirasi : pertukaran gas dan ventilasi adekuat
7. Kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi medik dalam merencanakan program terapi yang tepat.
19
DAFTAR ISI
Diagnosa NANDA (NIC & NOC). 2015-2017. Edisi 10 Dugdale DC, Lin HY. 2011. Nephrotic syndrome. PubMed Health. A.D.A.M Medical Encyclopedia. Atlanta (GA): A.D.A.M.; 2011. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001520/[Accessed:10 June 2012] Sherly, dkk. (2008). Peran Biopsi Hepar Dalam M enegakkan Diagnosis Ikterus Obstruktif Ekstrahepatik Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC
20