LAPORAN PENDAHULUAN GLOMERULONEFRITIS
I.
Konsep Penyakit 1.1. Definisi Glomerulonefritis merupakan inflasi bilateral glomerulus yang secara khas terjadi sesudah
infeksi
streptokokus.
Glomerulonefritis
akut
juga
dinamakan
Glomerulonefritis post streptokokus akut. (Kowalak, Wells, Mayer, 2011: 570)
(www.google.com) Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak pada ginjal. Peradangan akut glomerulus terjadi akibat pengendapan kompleks antigen antibodi di kapiler-kapiler glomerulus. Kompleks biasanya terbentuk 7-10 hari setelah infeksi faring atau kulit oleh streptokokus (glomerulonefritis pasca streptokokus), tetapi dapat juga timbul setelah infeksi lain. Sering terjadi pada laki-laki juga dapat terjadi pada semua usia, biasanya berkembang pada anak-anak dan sering pada anak usia 6-10 tahun. (Arif Muttaqin, 2011: 52) Glomerulonefritis kronis adalah suatu kondisi peradangan yang lama dari sel-sel glomerulus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang tidak membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis kronik sering timbul beberapa tahun setelah cedera dan peradangan glomerulus subklinis yang disertai oleh hematuria (darah dalam urine) dan proteinuria (protein dalam urine) ringan. (Arif Muttaqin, 2011: 62) Glomerulonefritis progresif cepat adalah peradangan glomerulus yang terjadi sedemikian cepat sehingga terjadi penurunan GFR 50% dalam 3 bulan setelah awitan penyakit. (Arif Muttaqin, 2011: 73)
1.2. Etiologi Menurut (Kowalak, Wells, Mayer, 2011: 570) Glomerulonefritis akut dan progresif cepat meliputi beberapa faktor, yaitu: 1.2.1. Infeksi streptokokus pada saluran napas atas 1.2.2. Impetigo 1.2.3. Nefropati imunoglobulin A (IgA) 1.2.4. Nefrosis lipoid Menurut (Kowalak, Wells, Mayer, 2011: 570) Glomerulonefritis kronis meliputi beberapa faktor, yaitu: 1.2.1. Glomerulopati membranosa 1.2.2. Glomerulosklerosis lokal 1.2.3. Glomerulonefritis progresif cepat 1.2.4. Glomerulonefritis pasca streptokokal 1.2.5. Sistemik lupus eritematosus 1.2.6. Sindrom goodpasture 1.2.7. Sindrom uremik hemolitik
1.3. Tanda Gejala 1.3.1. Hematuria (darah dalam urine) 1.3.2. Proteinuria (protein dalam urine) 1.3.3. Edema ringan terbatas disekitar mata atau seluruh tubuh 1.3.4. Hypertensi (terjadi pada 60-70 % anak dengan GNA pada hari pertama dan akan normal kembali pada akhir minggu pertama juga). 1.3.5. Mungkin demam 1.3.6. Gejala gastrointestinal seperti mual, tidak nafsu makan, diare, konstipasi. 1.3.7. Fatigue (keletihan/kelelahan)
1.4. Patofisiologi Hampir pada semua tipe glomerulonefritis terjadi gangguan di lapisan epitel atau lapisan podosit membran glomerulus. Gangguan ini mengakibatkan hilangnya muatan negatif. Glomerulonefritis pasca streptokokal akut terjadi karena kompleks antigenantibodi terperangkap dan menumpuk di dalam membran kapiler glomerulos sesudah infeksi oleh streptococcus beta-hemolyticus grup A. (Kowalak, Wells, Mayer, 2011: 570) Menurut (Arif Muttaqin, 2011:52) secara patofisiologi, pada glomerulonefritis akut akan terjadi dua perubahan, yaitu: 1.4.1. Perubahan Struktural
1.4.1.1. Poliferasi seluler: hal ini menyebabkan peningkatan jumlah sel di glomerulus karena proliferasi endotel, mensangial, dan epitel sel. Proliferasi tersebut dapat bersifat endokapiler (yaitu batas-batas dari kapiler glomerular) atau ekstrakapiler (yaitu dalam ruang Bowman yang melibatkan sel-sel epitel). Dalam proliferasi ekstrakapiler, proliferasi sel epitel parietal mengarah pada pembentukan tententu dari glomerulonefritis progresif cepat. 1.4.1.2. Proliferasi leukosit: hal ini ditunjukkkan dengan adanya neutrofil dan monosit dalam lumen kapiler glomerulus dan sering menyertai proliferasi seluler. 1.4.1.3. Penebalan membran basal glomerulus: perkembangan ini muncul sebagai penebalan dinding kapiler baik di sisi endotel atau epitel membran dasar. 1.4.1.4. Hialinisasi atau sklerosis: kondisi ini menunjukkan cedera ireversibel 1.4.2. Perubahan Fungsional Perubahan fungsional meliputi proteinuria, hematuria, penurunan GFR (yaitu oligoanuria), serta sedimen urine aktif dengan sel darah merah. Penurunan GFR dan retensi air akan memberikan manifestasi terjadinya ekspansi volume intravaskular,edema, dan hipertensi sistemik. (Arif Muttaqin, 2011:54)
1.5. Pemeriksaan Penunjang Menurut(Kowalak, Wells, Mayer, 2011: 572)hasil pemeriksaaan darah yang membantu penegakkan diagnosis glomerulonefritis, yaitu: 1.5.1. Kenaikan kadar elektrolit, ureum, dan kreatinin 1.5.2. Penurunan kadar protein serum 1.5.3. Penurunan kadar hemoglobin pada glomerulonefritis kronis 1.5.4. Kenaikan titer antistreptolisin-O pada 80% pasien, kenaikin titer streptozim (tes hemaglutinasi yang mendeteksi antibodi terhadap beberapa antigen streptokokus) dan anti-Dnase B (tes untuk menentukan riwayat infeksi oleh streptococcus beta-hemolyticus group A) dan kadar komplemen serum rendah yang menunjukkan baru saja terjadi infeksi streptokokus. Hasil urinasis yang membantu penegakan diagnosis glomerulonefritis meliputi: 1.5.1. Keberadaan sel darah merah, sel darah putih, silinder sel campuran, dan protein yang menunjukkan gagal ginjal 1.5.2. Produk penguraian fibrin dan protein C3 Hasil lain yang membantu penegakan diagnosis glomerulonefritis adalah: 1.5.1. Kultur tenggorokan yang memperlihatkan streptococcus beta-hemolyticus group A
1.5.2. Pembesaran
ginjal
bilateral
pada
foto
rontgen
abdomen
BNO
(glomerulonefritis kronis) 1.5.3. Kontraksi
simetris
dengan
pelvis
dan
kalises
renis
yang
normal
(glomerulonefritis kronis) seperti terlihat pada foto rontgen 1.5.4. Biopsi renal yang memastikan diagnosis atau menilai status jaringan normal
1.6. Komplikasi Menurut(Kowalak, Wells, Mayer, 2011: 572)kompilasi dari glomerulonefritis, yaitu: 1.6.1. Edema paru 1.6.2. Gagal jantung 1.6.3. Sepsis 1.6.4. Gagal ginjal 1.6.5. Hipertensi berat 1.6.6. Hipertrofi jantung
1.7. Penatalaksanaan Medis Menurut(Kowalak, Wells, Mayer, 2011: 572) penanganan glomerulo- nefritis, meliputi: 1.7.1. Penanganan penyakit primer untuk mengubah rangkaian kejadian imunologi 1.7.2. Antibiotik selama tujuh hingga 10 hari untuk mengatasi infeksi yang turut menimbulkan respons antigen-antibodi yang sedang terjadi 1.7.3. Antikoagulan untuk mengendalikan pembentukan struktur fibrin berbentuk bulan sabit pada glomerulonefritis progresif cepat 1.7.4. Tirah baring untuk mengurangi kebutuhan metabolik 1.7.5. Pembatasan cairan untuk mengurangi edema 1.7.6. Diet rendah natrium untuk mencegah retensi edema 1.7.7. Koreksi ketidakseimbangan elektrolit 1.7.8. Preparat loop diuretics, seperti metolazon (zaroxolyn) atau furosemid untuk mengurangi kelebihan muatan cairan.
1.7.9. furosemid (lasi 1.8. Pathway
Infeksi faring aatau kulit oleh streptokokus Reaksi antigen-antibodi Pengendapan kompleks antigen antibodi di kapiler-kapiler glomerulus GLOMERULONEFRITIS AKUT
Aktivasi komplemen
Komplemen menarik
respon inflasi
sel-sel darah putih dan
lokal
gangguan permeabilitas selektif kapiler glomerulus trombosit ke
glomerulus
dan filtrasi glomerulus nyeri pinggang
proliferasi dan kerusakan glomerulus
protein-protein plasma dan sel darah merah bocor
Nyeri
melalui glomerulus pengendapan fibrin dan
kerusakan glomerulus
pembentukana jaringan
memicu keamatian
parut
-silinder sel merah di dalam sel penghasil
membran glomerulus
-hematuria
urine
eritopoietin
menebal
respons sistemik: -mual, muntah, anoreksia
penurunan GFR
anemia
-penurunan perfusi jaringan -BUN & kreatinin serum
-penurunan volume urine -retensi cairan dan natrium
tekanan darah edema
-peningkatan aldosteron
-intake nutrisi kurang kelemahan fisik
Resiko tinggi kejang
-kelemahan fisik -sindrom uremia
Kelebihan volume cairan
-respon pembekuan
Gangguan ADL
-resiko perdarahan
Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
II. Rencana Asuhan Klien Dengan Glomerulonefritis 2.1 Pengkajian Pengkajian menurut (Arif Muttaqin, 2011: 54-56), yaitu: Keluhan utama yang sering dikeluhkan bervariasi meliputi keluhan nyeri pada pinggang atau kostovertebra, miksi berdarah, wajah atau kaki bengkak, pusing atau keluhan badan cepat lelah. - Kaji apakah pada beberapa hari sebelumnya pasien mengalami demam, nyeri tenggorokan, dan batuk karena peradangan pada tenggorokan - Kaji berapa lama edema pada kaki atau wajah - Kaji adanya keluhan sesak napas - Kaji adanya frekuensi miksi dan urine output - Kaji adanya perubahan warna urine menjadi lebih gelap seperti warna kola - Kaji berapa lama keluhan miksi berdarah dan adanya perubahan urine output - Kaji onset keluhan bengkak pada wajah atau kaki, apakah disertai dengan adanya keluhan pusing dan cepat lelah - Kaji keluhan nyeri daerah pinggang atau kostovertebra secara PQRST - Kaji keluhan adanya memar dan perdarahan hidung yang bersifat rekuren - Kaji adanya anoreksi dan penurunan berat badan pada pasien - Kaji adanya keluhan sakit kepala dan malaise 1.2.1. Riwayat keperawatan 1.2.1.1. Riwayat kesehatan dahulu. Kaji apakah pasien menderita penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi sebelumnya. Penting untuk dikaji mengenai riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat dan dokumentasikan. 1.2.1.2. Psikososiokultural. Adanya kelemahan fisik, miksi darah, serta wajah dan kaki yang bengkak akan memberikan dampak rasa cemas dan koping yang maladaptif pada pasien 1.2.2. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum pasien lemah dan terlihat sakit berat dengan tingkat kesadaran biasanya compos mentis, tetapi akan berubah apabila sistem saraf pusat mengalami gangguan sekunder dari penurunan perfusi jaringan otak dan kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas elektrolit dan uremia. Pada TTV, sering didapatkan adanya perubahan: pada fase awal sering didapatkan suhu tubuh meningkat, frekuensi denyut nadi mengalami peningkatan, frekuensi meningkat sesuai dengan peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi. Tekanan darah terjai dari hipertensi ringan sampai berat. B1 (Breathing). Biasanya tidak di dapatkan adanya gangguan pola napas dan
jalan nafas walau secara frekuensi mengalami peningkatan terutama pada
fase akut. Pada fase lanjut sering di dapatkan adanya gangguan pola nafas dan jalan nafas yang merupakan respons terhadap edena polmuner dan adanya sindrom uremia. B2 (Blood). Salah saru tanda khas glomerulonefritis adalah peningkatan
tekanan darah sekuneder dari retensi natrium dan air yang memberikan dampak pada fungsi sistem kardiovaskuler di mana akan terjadi penurunan perfusi jaringan akibat tingginya beban sirkulasi. Pada kondisi azotemia berat, pada auskultasi perawat akan menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial sekunder dari sindrom uremik. B3 (Brain). Didapatkan edema wajah terutama periorbital, konjungtiva
anemis, sklera tidak ikterik, dan mokusa mulut tidak mengalami peradangan. Status neurologis mengalami perubahan sesuai dengan tingkat parahnya azotemia pada sistem saraf pusat. Pasien berisiko kejang sekunder gangguan elektrolit. B4 (Bladder). Inspeksi. Terdapat edema pada ekstrimitas dan wajah.
Perubahan warna urine output seperti warna urine yang berwarna kola dari proteinuri, silinderuri, dan hematuri. Palpasi. Didapatkan adanya nyeri tekan ringan pada area kostovetebra. Perkusi. Perkusi pada sudut kostvertebra memberikan stimulasi nyeri ringan lokal disertai suatu penjalaran nyeri ke pinggang dan perut. B5 (Bowel). Didapatkan adanya mual muntah,serta anoreksia sehingga sering
di dapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. B6 (Bone). Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum sekunder dari
edema tungkai atau edema wajah terutama pada periorbital, anemia,dan penurunan perfusi perifer dari hipertensi.
1.2.3. Pengkajian Diagnostik Laboratorium Pada pemeriksaan urinalisis ditemukan adanya hematuria ( darah dalam urine) mikroskopik atau makroskopik (gros). Urine tampak berwarna kola akibat sel darah merah dan butiran atau sedimen protein (lempengan sel darah merah menunjukan adanya cedera glomerular). Proteinuria, terutama albumin, juga terajdi akibat meningkatnya permeabilitas membran glomerulus. Kadar BUN dan kreatinin serum meningkat seiring dengan menurunnya urine output. Pasien dapat anemik akibat hilangnya sel darah merah ke dalam urine dan perubahan mekanisme hematipoetik tubuh. 1.2.4. Pengkajian Penalatalaksanaan Medis Tujuan terapi adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut dan menurunkan risiko komplikasi. Risiko komplikasi yang mungkin ada,
meliputi: hipertensi enselopati, gagal jantung kongestif, dan edema pulmoner. Hipertensi enselopati dianggap sebagai kondisi darurat medis, dan terapi di arahkan untuk mengurangi tekanan darah tanpa mengganggu fungsi renal. Untuk mencapai tujuan terapi, maka penataksanaan tersebut, meliputi hal-hal berikut: 1.2.4.1. Pemberian antimikroba derivat penisilin untuk mengobati infeksi streptokukus. 1.2.4.2. Diuretik dan antihipertensi untuk mengontrol hipertensi. 1.2.4.3. Terapi cairan. Jika pasien dirawat dirumah sakit, maka intake dan output diukur secara cermat dan dicacat. Cairan diberikan untuk mengatasi kehilangan cairan dan berat badan harian.
2.2. Diagnosis Keperawatan Yang Mungkin Muncul 2.2.1
Aktual/risiko kelebihan volume b.d penurunan volume urine, retensi cairan dan natrium, peningkatan aldosteron sekunder dari penurunan GFR.
2.2.2. Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas elektrolit dan uremia. 2.2.3. Nyeri b.d respons inflamsi, kontraksi otot sekunder, adanya inflamsi glomerulus. 2.3.4. Risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d ketidak adekuatan intake nutrisi sekunder dari nyeri, ketidaknyaman lambung d an intestinal. 2.3.5. Gangguan Activity Daily Living (ADL) b.d edema ekstrimitas, kelemahan fisik secara umum. 2.3. Perencanan Diagnosis keperawatan pasien dengan glumerulosnefristis (Arif Muttaqin, 2011: 57-61), yaitu: 2.3.1.
Aktual/risiko kelebihan volume b.d penurunan volume urine, retensi cairan dan natrium, peningkatan aldosteron sekunder dari penurunan GFR. Tujuan: dalam waktu 1x24 jam tidak terjadi kelebihan volume cairan sistemik Kriteria hasil: pasien tidak sesak nafas, edema ekstrimitas berkurang, pitting edema (-), produksi urine >600 ml/hr 2.3.1.1. Intervensi: Kaji adanya edema ekstrimitas Rasional: curiga gagal kongestif/kelebihan volume cairan
2.3.1.2. Intervensi: Kaji tekanan darah Rasional: sebagai salah satu cara untuk mengetahui peningkatan jumlah cairan yang dapat diketahui peningkatan jumlah cairan yang dapat diketahui dengan meningkatkan beban kerja jantung yang dapat dipantau melalui pemeriksaan tekanan vena jugularis 2.3.1.3. Intervensi: Kaji distensi vena jugularis Rasional: peningkatan cairan dapat membebani fungsi ventrikel kanan yang dapat dipantau melalui pemeriksaan tekanan vena jugularis 2.3.1.4. Intervensi: ukur intake dan output Rasional: penurunan curah jantung, mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi natrium/air, dan penurunan urine output 2.3.1.5. Intervensi: Timbang berat badan Rasional: perubahan tiba-tiba dari berat badan menunjukkan adanya gangguan keseimbangan cairan 2.3.1.6. Intervensi: Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker sesuai dengan indikasi Rasional: meningkatkan sedian oksigen untuk kebutuhan miokard untuk melawan efek hipoksia/iskemia 2.3.1.7. Intervensi: Kolaborasi a. Berikan diet tanpa garam Rasional: natrium meningkatkan retensi retensi cairan dan meningkatkan
volume
plasma
yang
berdampak
terhadap
peningkatan beban kerja jantung dan akan meningkatkan demand miokardium b. Berikan diet rendah protein tinggi kalori Rasional: diet rendah proteinuntuk menurunkan insufisiensi renal dan retensi nitrogen yang akan meningkatkan BUN. Diet tinggi kalori untuk cadangan energi dan mengurangi katabolisme protein c. Berikan diuretik, contoh: furosemide, spinolakton, hidronolakton Rasional: diuretik bertujuan untuk menurunkan volume plasma dan menurunkan resiko terjadinya edema paru d. Pantau data laboratorium elektrolit kalium Rasional: hipokalemia dapat membatasi keefektifan terapi 2.3.2.
Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas elektrolit dan uremia. Tujuan: dalam waktu 3x24 perawakan resiko kejang berulang tidak terjadi Kriteria hasil: pasien tidak mengalami kejang
2.3.2.1. Intervensi: Kaji dan catat faktor-faktor yang menurunkan kalsium dari sirkulasi Rasional: penting artinya untuk mengamati hipokalsemia pada pasien beresiko. Perawat harus bersiap untuk kewaspadaan kejang bila hipokalsemia hebat 2.3.2.2. Intervensi: Kaji stimulus kejang Rasional: beberapa stimulus kejang pada tetanus adalah rangsang cahaya dan peningkatan suhu tubuh 2.3.2.3. Intervensi: Hindari konsumsi alkohol dan kafein yang tinggi Rasional: alkohol dan kafein dalam dosis yang tinggi menghambat penyerapan kalsium dan perokok kretek sedang akan meningkatkan ekskresi kalsium urine 2.3.2.4. Intervensi: Kolaborasi a. Garam kalsium parental Rasional: garam kalsium parenteral termasuk kalsium glukonat, kalsium klorida dan kalsiumgluseptat. Meskipun kalsium klorida menghasilkan kalsium berionisasi yang secara signifikan lebih tinggi dibanding jumlah akuimolar kalsium glukonat, cairan ini tidak sering digunakan karena cairan tersebut lebih mengiritasi dan dapat
menyebabkan
peluruhan
jaringan
jika
dibiarkan
menginfiltrasi b. Vitamin D Rasional: terapi vitamin D dapat dilakukan untuk meningkatkan absorpsi ion kalsium dari traktus GI c. Tingkatkan masukan diet kalsium Rasional: tingkatkan masukan diet kalsium sampai setidaknya 1000 hingga 1.500 mg/hari pada orang dewasa sangat dianjurkan (produk dari susu; sayuran berdaun hijau; salmon kaleng, sadin, dan oyster segar) d. Monitor pemeriksaan EKG dan laboratorium, serta kalsium serum Rasional: menilai keberhasilan intervensi
2.3.3.
Nyeri b.d respons inflamsi, kontraksi otot sekunder, adanya inflamsi glomerulus. Tujuan: dalam waktu 1x24 jam terdapat penurunan respons nyeri Kriteria hasil: -
secara subjektif klien menyatakan penurunan rasa nyeri, skala 0-1(0-4)
-
secara objektif didapatkan TTVdalam batas normal, wajah rileks, tidak
terjadi penurunan perfusi perifer, urine >600 ml/hari 2.3.3.1. Intervensi: Kaji nyeri dengan pendekatan PQRST Rasional: menjadi parameter dasar untuk mengetahui sejauh mana intervensi yang diperlukan dan sebagai evaluasi keberhasilan dari intervensi manajemen nyeri keperawatan 2.3.3.2. Intervensi: Anjurkan kepada klien untuk melaporkan nyeri dengan segera Rasional: nyeri berat dapat menyebabkan syok kardiogenik yang berdampak pada kematian mendadak 2.3.3.3. Intervensi: Lakukan manajemen nyeri keperawatan a. Atur posisi fisiologis Rasional: posisi fisiologis akan meningkatkan asupan O2 ke jaringan yang mengalami iskemia akibat respons peradangan glomerulus b. Istirahatkan klien Rasional: istirahat akan menurunkan kebutuhan O2 jaringan perifer dan akan meningkatkan suplai darah pada jaringan yang mengalami peradangan c. Berikan O2 tambahan dengan kanula nasal atau masker sesuai dengan indikasi Rasional: meningkatkan asupan jumlah O2 yang ada dan memberikan perasaan nyaman pada pasien d. Manajemen lingkungan: berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung Rasional: lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri eksternal
dan
pembatasan
pengunjung
akan
membantu
meningkatkan kondisi O2 ruangan yang akan berkurang apabila banyak pengunjung yang berada diruangan e. Ajarkan teknik relaksasi pernapasan dalam Rasional: meningkatkan asupan O2 sehingga akan menurunkan nyeri sekunder dari iskemia jaringan f. Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri Rasional: Distraksi (pengalihan perhatian) dapat menurunkan stimulus
internal
dengan
mekanisme
peningkatan
produksi
endorfin dan enkefalin yang dapat memblok reseptor nyeri untuk tidak dikirimkan ke korteks serebri sehingga menurunkan persepsi nyeri
g. Lakukan manajemen sentuhan Rasional: manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa sentuhan dukungan psikologis yang dapat membantu menurunkan nyeri. Masase ringan dapat meningkatkan aliran darah dan oksigen ke area nyeri dan menurunkan sensasi nyeri 2.3.3.4. Intervensi: Anjurkan kepada klien untuk melaporkan nyeri dengan segera Rasional: nyeri berat dapat menyebabkan syok kardiogenik yang berdampak pada kematian mendadak 2.3.3.5. Intervensi: Tingkatkan pengetahuan tentang: sebab-sebab nyeri dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung Rasional: pengetahuan yang dapat membantu mengembangkan kepatuhan pasien terhadap rencana terapeutik 2.3.3.6. Intervensi: kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik Rasional: analgetik memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang 2.3.4.
Risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d ketidakadekuatan intake nutrisi sekunder dari nyeri, ketidaknyaman lambung dan intestinal. Tujuan: dalam waktu 1x24 jam pasien akan mempertahankan kebutuhan nutrisi yang adekuat Kriteria hasil: membuat pilihan diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dalam situasi individu, menunjukkan peningkatan berat badan 2.3.4.1. Intervensi: Kaji pengetahuan pasien tentang asupan nutrisi Rasional: tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi pasien, perawat menggunakan pendekatan yang sesuai dengan
kondisi
individu
pasien.
Dengan
mengetahui
tingkat
pengetahuan tersebut perawat dapat lebih rerarah dalam memberikan pendidikan yang sesuai dengan pengetahuan pasien secara efisien dan efektif 2.3.4.2. Intervensi: Mulai dengan makanan kecil dan tingkatkan sesuai denan toleransi. Catat tanda kepenuhan gaster, regurgitis, dan diare Rasional: kandungan makanan dapat mengakibatkan ketidaktoleransian GI, memerlukan perubahan pada kecepatan atau tipe formula 2.3.4.3. Intervensi: Fasilitasi pasien memperoleh diet sesuai indikasi dan anjurkan menghindari asupan dari agen iritan Rasional: masukan minuman mengandung kafein dihindari karena kafein adalah stimulan sistem saraf pusat yang meningkatkan
aktivitas lambung dan sekresi pepsin. Penggunaan alkohol juga dihindari, demikian juga merokok karena nikotin akan mengurangi sekresi bikarbonat pankreas dan karenanya menghambat netralisasi asam lambung dalam duodenum. Nikotin juga meningkatkan stimulasiparasimpatis yang meningkatkan aktivitas otot dalam usus dan dapat menimbulkan mual dan muntah 2.3.4.4. Intervensi: Berikan diet secara rutin Rasional: pemberian rutin tiga kali sehari dengan ditunjang pemberian reseptor penghambat H2 memiliki arti meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam persiapan material makanan dan makanan masih dalam keadaan hangat, serta memudahkan perawat dan ahli gizi dalam memantau kemampuan makan dari pasien 2.3.4.5. Intervensi: Beri makan dalam keadaan hangat dan porsi kecil serta diet TKTPRG (tinggi kalori tinggi protein rendah gula) Rasional:
untuk
meningkatkan
selera
dan
mencegah
mual,
mempercepat perbaikan kondisi, serta mengurangi beban kerja jantung 2.3.4.6. Intervensi: Berikan nutrisi secara parental Rasional:
nutrisi
secara
intravena
dapat
membantu
memnuhi
kebutuhan nutrisi yang diperlukan oleh pasien untuk mempertahankan kebutuhan nutrisi harian 2.3.5.
Gangguan Activity Daily Living (ADL) b.d edema ekstrimitas, kelemahan fisik secara umum. Tujuan: dalam waktu 3x24 jam aktivitas sehari-hari klien terpenuhi dan meningkatnya kemampuan beraktifitas Kriteria hasil: klien menunjukkan kemampuan beraktifitas tanpa gejala-gejala yang berat, terutama mobilisasi di tempat tidur 2.3.5.1. Intervensi: Tingkatkan istirahat, batasi aktivitas, dan berikan aktivitas senggang yang tidak berat Rasional: dengan mengurangi aktivitas, maka akan menurunkan konsumsi oksigen jaringan dan memberikan kesempatan jaringan yang mengalami gangguan dapat diperbaiki kondisi yang lebih optimal 2.3.5.2. Intervensi: Anjurkan menghindari peningkatan tekanan abdomen misalnya mengejan saat defekasi Rasional:
dengan
mengejan
dapat
mengakibatkan
bradikardi,
menurunkan curah jantung, dan takikardia, serta peningkatan tekanan darah
2.3.5.3. Intervensi: Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktivitas, contoh bangun dari kursi, bila tak ada nyeri, ambulasi, dan istirahat selama 1 jam setelah makan Rasional:
aktivitas
yang
maju
memberikan
kontrol
jantung,
meningkatkan regangan dan mencegah aktivitas berlebihan 2.3.5.4. Intervensi: Pertahankan rentang gerak pasif selama sakit kritis Rasional: meningkatkan kotraksi otot sehingga membantu venous return 2.3.5.5. Intervensi: Evaluasi tanda vital saat kemajuan aktivitas terjadi Rasional: untuk mengetahui fungsi jantung, bila dikaitkan dengan aktivitas 2.3.5.6. Intervensi: Berikan waktu istirahat di antara waktu aktivitas Rasional: untuk mendapatkan cukup waktu resolusi bagi tubuh dan tidak terlalu memaksa kerja jantung 2.3.5.7 .Intervensi: Pertahankan penambahan O2 sesuai pesanan Rasional: untuk meningkatkan oksigenasi jaringan 2.3.5.8. Intervensi: Monitor adanya dipsneu, sianosis, peningkatan frekuensi napas, serta keluhan subjektif pada saat melakukan aktivitas Rasional: melihat dampak dari aktifitas terhadap fungsi jantung 2.3.6.9. Intervensi: Berikan diet sesuai pesanan (pembatasan air dan natrium) Rasional:
untuk
ekstravaskuler.
mencegah
retensi
cairan
dan
edema
pada
DAFTAR PUSTAKA
C.Pearce, Evelyn. 2008. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Penerbit
Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. Kowalak, Wells, Mayer. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Penerbit buku kedokteran. Jakarta: EGC Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Penerbit Salemba medika. Jakarta.
Banjarmasin,
September 2017
Preseptor klinik,
( ................................................)