1
PENDAHULUAN Jenis khamir yang sering digunakan dalam proses fermentasi adalah Saccharomyces cerevisiae. Khamir tersebut dapat memproduksi alkohol dalam jumlah tinggi sehingga sering digunakan dalam industri yang memproduksi alkohol, anggur, dan minuman keras dengan cara fermentasi. Selain itu, kelebihan dari Saccharomyces cerevisiae adalah memiliki kemampuan menyerap dan memfermentasi berbagai jenis gula, termasuk, glukosa, fruktosa, galaktosa, manosa, rafinosa, maltosa, dan maltotriosa. Keistimewaan lain dari Saccharomyces cerevisiae adalah kemampuannya dalam menghidrolisis rafinosa yang menyebabkan flatulensi menjadi melibiosa dan fruktosa dengan bantuan enzim invertasi yang dihasilkan (Sukardi et al. 2012). Enzim invertase atau dikenal sebagai β-fruktofuranosida fruktohidrolase merupakan suatu katalis untuk hidrolisis sukrosa yang menghasilkan fruktosa dan glukosa (gula invert). Enzim tersebut banyak ditemukan pada ragi roti yang mengandung Saccharomyces cerevisiae dan ditemukan di dalam sel. Kemampuan enzim dalam mengkatalisis reaksi kimia dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, meliputi pH, suhu, waktu inkubasi, dan konsentrasi substrat. Enzim invertase yang dihasilkan oleh Saccharomyces cerevisiae memiliki aktivitas paling tinggi pada pH 4.5 dan suhu 300C (Hasanah dan Putra 2010). Enzim invertase banyak dimanfaatkan pada pengolahan selai, permen, produk gula-gula, dan produksi asam laktat dari fermentasi sirup tebu. Selain itu, invertase juga digunakan untuk memproduksi etanol dari sukrosa sebagai sumber karbon (Lee dan Huang 2000). Secara umum, enzim larut dalam air, sehingga banyak enzim yang tidak ekonomis untuk digunakan dalam pengoperasian tipe batch dalam skala besar industri karena hanya dapat digunakan satu kali dengan biaya yang cukup mahal. Namun, pesatnya perkembangan teknologi memungkinkan alternatif lain berupa cara pengikatan enzim pada bahan-bahan yang tidak larut dalam air dan produk dapat dipisahkan dengan mudah. Teknik tersebut dinamakan teknik amobilisasi enzim (Acosta et al. 2000). Teknik amobilisasi enzim merupakan teknik yang dapat meningkatkan kemampuan hidup enzim sehingga dapat digunakan kembali. Teknik ini sangat baik digunakan karena dapat mengurangi pengeluaran biaya dalam proses enzimatik suatu industri secara kontinu makanan dan minuman. Manfaat lain dari teknik amobilisasi enzim adalah (1) dapat digunakan beberapa kali dan tetap aktif; (2) menjaga aktivitas enzim dari kondisi yang tidak diinginkan; (3) pemisahan dan pembentukan kembali enzim mudah dilakukan karena enzim terpisah dari substratnya; dan (4) dapat menurunkan biaya operasi (Bayramolu et al. 2003). Bucke (1987) menyatakan bahwa teknik amobilisasi enzim yang umum digunakan adalah penjebakan enzim dalam sutau matriks (entrapment). Agen pengamobil yang digunakan dalam teknik ini adalah alginat karena alginat bersifat non toksik, mekanisme kestabilannya tinggi, porositasnya tinggi, prosedurnya sederhana, dan biayanya murah. Ragi komersial (fermipan) akan dipecah dinding selnya dengan cara penggerusan menggunakan pasir kuarsa, sedangkan pemecahan dinding sel secara kimia menggunakan larutan toluena. pemecahan sel tersebut perlu dilakukan untuk mengeluarkan enzim di dalam sel supaya dihasilkan enzim yang lebih
2 banyak. Selama proses penggerusan, ragi harus diletakkan di dalam wadah yang berisi es atau air dingin untuk menstabilkan suhu enzim invertase karena pemecahan dinding sel dengan cara penggerusan dapat menghasilkan kalor sehingga dikhawatirkan akan merusak enzim (Hasanah dan Putra 2010). Enzim yang dihasilkan dari proses penggerusan selanjutnya akan dipisahkan menggunakan sentrifus pada kecepatan 12000 rpm selama 15 menit. Perlakuan tersebut bergina untuk memisahkan pecahan dinding-dinding sel dari supernatant. Prinsip dari sentrifus yaitu proses pemisahaan ekstrak enzim yang didasarkan pada berat molekul menggunakan gaya sentrifugal sehingga berat molekul yang ringan akan berada di atas, sedangkan berat molekul yang ringan akan berada di bawah (Koolman dan Roehm 2000). Tujuan praktikum adalah melakukan isolasi, purifikasi, dan karakterisasi enzim invertase. Isolasi enzim dilakukan menggunakan metode presipitasi. Penentuan kadar protein dilakukan menggunakan metode Lowry, aktivitasnya diukur dengan menggunakan metode Folin Wu, sedangkan bobot molekul enzim diukur menggunakan metode SDS-PAGE.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Praktikum dilakukan pada hari Kamis, 26 Februari - 2 April 2015 pukul 10.00 – 13.00 WIB di Laboratorium Pendidikan Departemen Biokimia IPB. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan antara lain, mortar, sentrifus, refrigerator Sorvall, rotor S5-34, pipet Pasteur, bulb, tabung sentrifus 50 mL, inkubator, gelas ukur, gelas piala 100 mL dan 600 mL, magnetic stirer, tabung reaksi bertutup, waterbath, vortex, spektrofotometer (UV-Vis), stopwatch, mikropipet, dan seperangkat peralatan SDS-PAGE. Bahan-bahan yang digunakan adalah ragi (Saccharomyces cerevisiae), pasir (glassbead), toluena, akuades, asam asetat 1 N, parafilm, dan amonium sulfat untuk isolasi invertase ragi. Bahan untuk penentuan aktivitas dan kadar protein enzim invertase ialah glukosa 4 mM, fruktosa 4 mM, sukrosa 4 mM, reagen Nelson, reagen arsenomolibdat, bufer asetat 0.2 M pH 4.5, bufer Tris HCl 0.05 M pH 7.3, reagen A (2% Na2CO3 dalam NaOH 0.1 N), reagen B (2.7% NaK-tartrat), reagen C (1% CuSO4 dalam H2O), reagen D (Folin Cioucalteu yang telah diencerkan dengan air sampai 1 N dalam asam), dan fraksi enzim I-III. Prediksi bobot molekul enzim invertase dengan SDS-PAGE menggunakan bahan berupa larutan monomer, 4 x running gel bufer (1.5 M Tris-HCl pH 8.8), 4 x stacking gel bufer (0.5 M Tris HCl pH 6.8), SDS 10%, amonium persulfat 10%, 2 x treatment bufer (0.125 M Tris-HCl, 4% SDS, 20% v/v gliserol, 0.2 M DTT, 0.02% bromphenol blue pH 6.8), tank bufer (0.025 M Tris, 0.192 M glisin, 0.1% SDS pH 8.3), water-saturated n-butanol, TEMED, standar BM protein campuran (marker), larutan fiksasi (25% isopropanol, 10% asam asetat), dan larutan pewarna Commasie blue (0.06 Commasie Blue G-250, 10% asam asetat).
3 Prosedur Penelitian Isolasi invertase ragi Ekstraksi invertase ragi. Ekstraksi invertase ragi diawali dengan dicampurkannya 5 g ragi, 2 g glass bead, dan secara perlahan 10 mL toluena dalam mortar sambil digerus hingga terbentuk pasta. Kemudian ditambah 20 mL akuades secara bertahap selama 30 menit sambil digerus. Selanjutnya isi mortar tersebut dipindah dalam tabung sentrifugasi 50 mL dan disentrifus selama 15 menit 12.000 rpm. Lapisan air di tengah hasil sentrifugasi diambil secara hati-hati. Ekstrak protein dikumpulkan dan diukur volumenya. Sebanyak 3 mL aliquot diambil sebagai sampel ekstrak kasar (fraksi I). Sisa larutan dipindahkan dalam tabung sentrifugasi 50 mL dan ditambah 3 tetes asam asetat 1 N. Pemanasan ekstrak invertase ragi. Ekstrak diinkubasi pada suhu 50 0C selama 30 menit. Selanjutnya ekstrak didinginkan segera dalam wadah es dan disentrifugasi 15 menit 15.000 rpm. Volume supernatan diukur volumenya dan diambil 2 mL aliquot (fraksi II). Fraksinasi ekstrak invertase ragi. Fraksinasi pengendapan amonium sulfat dibuat dengan dicampurkannya garam amonium sulfat dengan volume yang berbeda hingga dicapai konsentrasi 20, 40, 60, dan 80%. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi selama 15 menit 12000 rpm. Kemudian supernatan ditambah amonium sulfat dengan berbagai konsentrasi tersebut dan disimpan pada suhu -20 0 C. sementara itu, endapan dilarutkan dengan bufer 0.05 M Tris-HCl pH 7.3 dan diuji kadar aktivitasnya. Uji aktivitas invertase ragi dengan metode Folin Wu Pembuatan kurva standar. Sebanyak 8 tabung reaksi diisi masingmasing dengan glukosa 4 mM sebanyak 0.02 mL, 0.05 mL, 0.1 mL, 0.15 mL, 0.2 mL, 0.25 mL, dan 0.3 mL untuk tabung 2-8. Sementara itu tabung reaksi pertama digunakan sebagai blanko (1 mL akuades). Selanjutnya ditambahkan masingmasing untuk tabung reaksi 2-8 akuades sebanyak 0.98 mL, 0.95 mL, 0.9 mL, 0.85 mL, 0.8 mL, 0.75 mL, dan 0.7 mL. Kemudian ditambahkan pada setiap tabung reaksi 1 mL reagen Folin Ciocalteu dan didihkan dalam waterbath selama 20 menit. Saat dingin dicampurkan 1 mL reagen arsenmolibdat dengan vortex dan disimpan selama 5 menit. Akhirnya ditambah dengan 1 mL akuades dan divortex lalu dibaca pada %T pada 660 nm. Uji aktivitas enzim invertase. Uji ini digunakan 8 tabung reaksi dan masing-masing diisi dengan bufer asetat 0.2 M pH 4.5 sebanyak 0.2 mL kecuali tabung 8. Selanjutnya ditambahkan H2O 0.6 mL pada tabung pertama, 0.55 mL pada tabung 2,4, dan 6, dan 0.1 mL pada tabung 3,5, dan 7. Tabung terakhir berisi 0.8 mL H2O dan 0.2 mL glukosa 4 mM. Untuk tabung 2-7 diisi fraksi secara berurutan 0.05 mL dan 0.5 mL. Tabung 2 dan 3 merupakan fraksi I, tabung 4 dan 5 diisi dengan fraksi II, dan tabung 6 dan 7 adalah fraksi III. Kemudian mulai assay dengan penambahan 0.2 mL sukrosa 0.5 M pada setiap tabung dan prosedur selanjutnya dilakukan seperti pembuatan kurva standar. Penentuan kadar protein dengan metode Lowry Pembuatan kurva standar. Sebanyak 10 tabung reaksi diisi secara berurutan dengan standar BSA (400 µg/ml) 0.05 mL-0.45 mL (interval 0.05 mL) kecuali tabung pertama. Kemudian setiap tabung ditambah H2O 0.5 mL-0.05 mL
4 (interval 0.05 mL). Percobaan dilanjutkan dengan ditambahkannya masingmasing reagen A 4.9 mL, reagen B 0.05 mL, dan reagen C 0.05 mL lalu divortex dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu ruang. Setelah 10 menit, ditambahkan 0.5 mL reagen D pada setiap tabung dengan interval waktu 30 detik untuk ditambahkannya reagen D pada tabung berikutnya. Semua tabung diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit dan dibaca pada A700. Pengukuran kadar protein enzim invertase. Sebanyak 7 tabung reaksi disiapkan untuk fraksi I dan II yang telah diencerkan dahulu dengan air (1:4). Tabung 2-4 diisi dengan fraksi I sedangkan tabung 5-7 diisi fraksi II sebanyak 0.05 mL, 0.2 mL, dan 0.5 mL. Selanjutnya ditambahkan H2O hingga volume 0.5 mL. Kemudian prosedur dilanjutkan dengan metode Lowry dalam pembuatan kurva standar protein. Sementara itu untuk fraksi III disuspensi dalam bufer Tris dengan pengenceran air (1:1). Tabung reaksi 1-3 diisi dengan bufer Tris 0.5 M sedangkan tabung 4-6 diisi fraksi tiga dengan volume sama yakni 0.05 mL, 0.2 mL, dan 0.5 mL. Akhirnya setiap tabung diisi dengan H2O hingga volume 0.5 mL dan prosedur mengikuti metode Lowry dalam pembuatan kurva standar protein. Prediksi bobot molekul enzim invertase Pembuatan gel. Semua bahan untuk running gel dicampur dan diaduk dengan magnetik stirer kecuali amonium persulfat dan TEMED. Bahan tersebut berupa larutan monomer, 4 x running bufer, 10% SDS, ddH2O dengan berbagai volume. Amonium persulfat dan TEMED ditambah perlahan agar tidak terbentuk gelembung udara. Campuran lalu dimasukkan dalam plat kaca hingga diperoleh ketebalan 4 cm. Selanjutnya ditambah dengan n-butanol pada permukaannya. Saat gel membeku, n-butanol dibuang dan gel dibilas dengan 1 mL running gel overlay. Akhirnya dibuat delapan sumur dengan sisir. Elektroforesis SDS-PAGE. Sampel protein dicampur dengan 2 x treatmen bufer dalam ependorf dan didihkan selama 90 detik. Sampel disimpan pada 0 0C hingga siap digunakan. Sampel protein dan standar dimasukkan dalam sumur gel dengan pipet mikro. Sistem elektroforesis dilakukan pada 50 volt. Pewarnaan standar. Gel disimpan dalam larutan fiksasi pewarnaan cepat. Kemudian gel digoyang perlahan selama 15 menit dan larutan pewarna diganti dengan commasie blue. Lalu gel digoyang perlahan selama 24 jam hingga protein pita terlihat. Larutan pewarna diganti dengan larutan destaining II hingga latar belakang jernih. Hasilnya disimpan dalam asam asetat 7% atau ddH2O.
HASIL DAN PEMBAHASAN Ragi roti diduga mengandung banyak Saccharomyces cereviseae sehingga dapat menghasilkan banyak enzim invertase. Tahapan isolasi terdiri atas tiga tahap, yaitu isolasi, perlakuan terhadap pemanasan, dan fraksinasi (Bintang 2010). Pemecahan sel dilakukan dengan cara menggerus sel menggunakan pasir. Hal tersebut dilakukan sebab enzim invertase merupakan enzim intraselular yang berada pada lapisan dinding sel khamir (Amin et al. 2010), sementara ekstrak toluena yang digunakan pada tahap sebelumnya merupakan pelarut untuk
5 mengekstrak enzim invertase. Fraksi I yang diperoleh dari ekstraksi toluena merupakan ekstrak kasar enzim (crude extract) (Koolman dan Roehm 2000). Fraksi 1 yang berisi ekstrak kasar enzim selanjutnya digunakan untuk fraksinasi ekstrak invertase ragi. Fraksi-fraksi tersebut menunjukkan pengendapan ammonium sulfat dengan kejenuhan 0-20%, 20-40%, 40-60%, dan 60-80%. Setiap fraksi tersebut dilakukan secara duplo (dua kali pengulangan). Fraksinasi dengan presentase kejenuhan tersebut dilakukan secara bertahap, mulai dari fraksi IIIa dengan tingkat kejenuhan 0-20%. Fraksi IIIa ditambahkan dengan sejumlah garam ammonium sulfat sehingga dapat meningkatkan muatan elektrostatik pelarut. Selain itu, garam ammonium sulfat juga merupakan garam yang paling cocok untuk mengendapkan protein. Prinsip dari pengendapan protein oleh garam ammonium sulfat (salting out) adalah protein akan berinteraksi dengan ammonium sulfat sehingga kelarutan protein akan berkurang dan akhirnya protein akan mengendap (Putri et al. 2005). Fraksi yang telah ditambahkan amonium sulfat selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 12000 rpm selama 15 menit. Saat amonium sulfat ditambahkan pada proses sebelumnya, tabung reaksi yang berisi fraksi enzim invertase ditempatkan pada kondisi dingin untuk menstabilkan suhu enzim invertase. Amonium sulfat ternyata tidak mengendap saat disentrifus karena bobot jenis amonium sulfat lebih kecil dibandingkan bobot jenis protein, sehingga amonium sulfat justru larut dengan air (Hasanah dan Putra 2010). Volume supernatan dan jumlah ammonium sulfat yang ditambahkan pada tiap fraksi untuk tingkat kejenuhan 0-20%, 20-40%, 40-60%, dan 60-80% disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Volume supernatan dan jumlah ammonium sulfat yang ditambahkan Pengendapan (%) 0-20 20-40 40-60 60-80
Volume Supernatan (mL) A 5.00 15.00 15.10 15.40
B 5.00 16.00 16.00 16.00
Jumlah ammonium sulfat yang ditambahkan (g) A B 0.53 0.57 1.85 1.97 2.05 2.11 2.20 2.29
Contoh perhitungan : Pengendapan 0-20 % Jumlah ammonium sulfat yang ditambahkan =
Fraksinasi amonium sulfat penting dilakukan untuk memekatkan protein dan sangat penting pada tahap pemurnian enzim (Putri et al. 2005). Fraksi enzim invertase hasil sentrifus menghasilkan pelet dan supernatan. Peletnya ditambahkan dengan larutan buffer tris HCl 0.05 M pH 7.3 untuk menstabilkan pH enzim invertase, sedangkan supernatannya dibuang (Koolman dan Roehm 2000). Tahap selanjutnya adalah fraksi tersebut disimpan dalam refrigator untuk mempertahankan suhu enzim invertase (Hasanah dan Putra 2010), dan akhirnya diambil 1 mL dari volume total fraksi untuk analisis aktivitas dan kadar protein. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa semakin besar presentase pengendapan dari fraksi, maka semakin banyak pula jumlah amonium sulfat yang harus ditambahkan untuk melarutkan protein yang terkandung dalam tiap fraksi. Aktivitas tertinggi intervase sebanding dengan banyaknya protein intervase. Artinya, aktivitas optimum invertase berada pada tingkat kejenuhan 60-80%
6 karena diduga enzim invertase banyak terkandung pada tingkat kejenuhan tersebut. Aktivitas enzim invertase dapat ditentukan menggunakan metode Folin Wu yang didasarkan pada prinsip pengukuran jumlah gula pereduksi. Aktivitas enzim invertase ditunjukan oleh bertambahnya produk reaksi (glukosa dan fruktosa) atau berkurangnya substrat (fruktosa per satuan waktu), artinya dalam setiap unit aktivitas invertase merupakan jumlah substrat yang dihidrolisis per menit. Prinsip utama pada metode Folin Wu adalah pengukuran jumlah gula pereduksi ion Cu2+ sehingga ion tersebut mengendap menjadi Cu2O. Endapan Cu2O tersebut selanjutnya ditambahkan pereaksi fosfomolibdat sehingga Cu2O akan larut kembali sehingga menghasilkan kompleks warna biru dan diukur nilai absorbansinya pada panjang gelombang 660 nm (Hasanah dan Putra 2010). Fungsi dari penambahan reagen Folin Wu adalah sebagai pewarna dan langsung dipanaskan untuk memperjelas warna yang dihasilkan (Hasanah dan Putra 2010). Komposisi dar reagen Folin Wu adalah ZnSO4, Ba(OH)2, dan pereaksi tembaga alkali. Hasil penambahan tersebut selanjutnya didinginkan sehingga diperoleh padatan berwarna biru hingga biru kehijauan. Semakin tinggi konsentrasi gula invert, maka warna hijau semakin dominan. Penambahan arsenomolibdat betujuan melarutkan padatan yang terbentuk sehingga warna biru semakin pekat. Namun perlu diketahui juga bahwa warna yang terlalu pekat dapat dikurangi dengan penambahan akuades (Bintang 2010). Data standar dan sampel uji Folin Wu dan kurva standar glukosa dengan metode Folin Wu dapat dilihat pada Tabel 2, Tabel 3, dan Grafik 1. Tabel 2 Data standar uji Folin Wu Konsentrasi standar Blanko 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 Contoh perhitungan : Absorbansi terkoreksi
Absorbansi terukur 0.197 0.175 0.512 0.790 0.742 1.261 1.177 1.744
Absorbansi terkoreksi 0.000 -0.022 0.315 0.593 0.545 0.519 0.980 1.547
= Absorbansi terukur – Absorbansi blanko = 0.175 – 0.197 = -0.022
Gambar 1 Kurva standar glukosa dengan metode Folin Wu
7 Tabel 3 Data sampel dengan metode Folin Wu Absorbansi terukur
Sampel Blanko crude Fraksi crude 1 Fraksi crude 2 Blanko fraksi 0-20% Fraksi 0-20% Fraksi 0-20% Blanko fraksi 20-40% Fraksi 20-40% Fraksi 20-40% Blanko fraksi 40-60% Fraksi 40-60% Fraksi 40-60% Blanko fraksi 60-80% Fraksi 60-80% Fraksi 60-80%
Contoh perhitungan : Absoirbansi terkoreksi blanko
Absorbansi terkoreksi crude 1
Unit aktivitas
0.167 0.182 0.157 0.340 0.287 0.347 0.877 0.836 0.687 0.194 0.226 0.277 0.262 0.160 0.148
Absorbansi terkoreksi
[Glukosa] (µg/mL)
-0.030 0.015 -0.010 0.143 -0.053 0.007 0.680 -0.041 -0.190 -0.003 0.032 0.083 0.065 -0.102 -0.114
0.113 0.122 0.117 0.150 0.108 0.120 0.264 0.110 0.078 0.119 0.126 0.137 0.133 0.097 0.095
Rata-Rata unit Unit aktivitas aktivitas (unit/ mL) (unit/mL) 8.437 x 10-3 3.750 x 10-3
6.093 x 10-3
-0.787 -0.563
0.675
-2.887 -3.487
-3.187
0.131 0.337
0.234
-0.675 -0.712
0.693
= absorbansi terukur – absorbansi blanko standar = 0.167 – 0.197 = -0.030 = absorbansi terukur – absorbansi blanko crude = 0.182 – 0.167 = 0.015
=
=
= 8.437 x 10-3 unit/mL
[glukosa] y = 4.683x - 0.559; y = absorbansi, x = [Glukosa] (mM) 0.015 = 4.683x – 0.559 0.015 + 0.559 = 4.683x X = 0.122 Rata-rata unit aktivitas
=
Nilai absorbansi yang diperoleh sebanding dengan jumlah gula pereduksi yang dihasilkan dan dinyatakan sebagai konsentrasi glukosa pada Tabel 2. Standar yang digunakan adalah glukosa. Persamaan garis yang diperoleh dari Gambar 1 adalah y = 4.683x - 0.559 dengan R2 = 0.851. Persamaan garis tersebut selanjutnya digunakan untuk menententukan konsentrasi gula invert yang terbentuk. Nilai R2 = 0.851 setara dengan 85.1% atau mendekati 1, menunjukkan bahwa bentuk kurva yang diperoleh termasuk linier. Artinya, antara konsentrasi standar dan absorbansi terkorekasi memiliki keterkaitan atau saling mempengaruhi.
8 Aktivitas enzim dinyatakan dalam istilah unit (U). Satu unit adalah sejumlah enzim yang mengkatalisis konversi dari 1 mikromol substrat per unit dalam kondisi normal. Jika ukuran unit terlalu besar, maka satuannya adalah nmol/menit atau pmol/menit. Satuan internasional (SI) untuk aktivitas enzim adalah katal (kat) yang diwakili oleh perubahan dari 1 mol substrat per detik. Unit tersebut besar dan lebih dapat dihitung sehingga didapatkan gambaran aktivitas enzim yang dinyatakan dalam mikrokatal, nanokatal, dan pikokatal. Kemurnian suatu enzim didasarkan pada aktivitas spesifik, yaitu sejumlah unit enzim per milligram protein, sedangkan aktivitas spesifik dalam unit SI diperoleh berdasarkan katal molaritasnya, yaitu sejumlah substrat yang dapat diubah dalam satu menit oleh satu molekul enzim dalam keadaan optimal. Misalnya, aktivitas molar dari katalase, misalnya dalam kisaran 5 x 106 (Bintang 2010). Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa rerata unit aktivitas invertase tertinggi dihasilkan oleh fraksi 60-80% (0.693 unit/mL), sementara fraksi 20-40% menghasilkan rerata unit aktivitas yang bernilai negatif (-3.187 unit/mL). Aktivitas intervase pada fraksi 20-40% yang bernilai negatif dapat disebabkan oleh perlakuan pemanasan yang kemungkinan merusak enzim, sementara rendahnya aktivitas invertase pada fraksi 40-60% disebabkan oleh penambahan garam amonium sulfat yang dapat mengganggu aktivitas enzim (Hasanah dan Putra 2010). Selain menggunakan metode Folin Wu, kadar protein invertase juga dapat dilakukan dengan metode Lowry dengan mengukur protein terlarut dan protein total. Prinsip dasar dari metode Lowry adalah reaksi biuret dan reduksi reagen arsenomolibdat yang menghasilkan warna biru (Hasanah dan Putra 2010). Reduksi cupritartat dan reaksi dengan reagen Folin-Ciocalteu akan menghasilkan perubahan warna biru sehingga nilai absorbansinya dapat diukur pada panjang gelombang 750 nm (Bintang 2010). Kelebihan dari metode Lowry adalah lebih sensitif dibandingkan metode Biuret. Selain memiliki kelebihan, tentunya suatu metode juga memiliki kelemahan. Kelemahan dari metode Lowry yaitu hanya dapat mengukur molekul peptida pendek dan tidak dapat mengukur molekul peptida panjang (Alexander dan Griffiths 1992). Standar yang digunakan pada metode Lowry adalah BSA karena sifatnya yang relatif stabil sehingga warna yang ditimbulkannya sebagai akibat pembentukan kompleks koordinasi antara logam Cu2+ dengan standar. atom nitrogen pada rantai peptida akan bertahan secara stabil dalam waktu yang relatif lama (Hartree 1972). Setiap perlakukan dalam percobaan tentunya memiliki tujuan tertentu. Doolittle (1995) menyatakan bahwa inkubasi pada suhu ruang dilakukan sebagai upaya optimalisasi reaksi sehingga warna yang terbentuk semakin optimal untuk meminimalisasi kesalahan percobaan. Data standar dan sampel serta kurva standar protein dengan metode Lowry disajikan secara berturut-turut pada Tabel 4, Table 5, dan Grafik 2. Tabel 4 Data standar protein uji Lowry Konsentrasi Blanko (duplo) 100 (duplo) 300 (duplo) 400 (duplo) 500 (duplo) 600 (duplo)
Absorbansi terukur 0.203 0.255 0.292 0.207 0.383 0.425
Absorbansi terkoreksi 0.000 0.052 0.089 0.004 0.180 0.222
9
Gambar 2 Kurva standar protein dengan metode Lowry
Tabel 5 Data sampel uji Lowry Sampel Crude extract 1 Crude extract 2 Rata-rata Fraksi 0-20% simplo Fraksi 0-20% duplo Rata-rata Fraksi 20-40% simplo Fraksi 20-40% duplo Rata-rata Fraksi 40-60% simplo Fraksi 40-60% duplo Rata-rata Fraksi 60-80% simplo Fraksi 60-80% duplo Rata-rata
Absorbansi terukur 0.343 0.306 0.298 0.241 0.186 -0.86 0.520 0.463 0.229 0.272
Contoh perhitungan : Absorbansi terkoreksi
Absorbansi terkoreksi 0.140 0.103 0.121 0.095 0.038 0.066 0.017 0.086 0.103 0.317 0.260 0.288 0.026 0.069 0.047
[Protein] (µg/mL)
Aktivitas spesifik
415.151
1.467 x 10-3
-
-
248.484
2.716 x 10-3
1.8514
110373
-263.64
0.01346
9.1752
52305
921.212
2.540 x 10-3
1.7314
3840
190.909
3.630 x 10-3
2.4744
11373
= absorbansi terukur – absorbansi blanko standar = 0.343 – 0.203 = 0.140
[Protein] y = a + bx ; y = absorbansi, x = [protein] (µg/mL) y = 0.00033x - 0.016 0.121 = 0.00033x – 0.016 1.121 + 0.016 = 0.00033x x = 415.151 [Protein] = 415.15 (µg/mL)
Fold purification
Yield enzim (%)
10
Aktivitas spesifik =
Fold purification =
Yield Enzim
(unit/µg)
=
Nilai absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi standar. Artinya, semakin besar nilai absorbansi, maka monsentrasi standarnya juga akan semakin besar, begitu juga sebaliknya (Bintang 2010). Namun, dapat dilihat pada Tabel 4 bhawa nilai absorbansi yang diperoleh bersifat fluktuatif. Hal tersebut dapat disebabkan larutan yang digunakan terlalu encer sehingga absorbansi yang diperoleh tidak mendekati limit deteksi spektrofotometer yang baik, yaitu antara 0.2-0.8. Nilai-nilai absorbansi dan konsentrasi standar tersebut selanjutnya digunakan dalam pembuatan kurva standard an disajikan pada Gambar 2. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = 0.00033x - 0.016 dengan R² sebesar 0.496. Nilai R² yang sangat jauh dari nilai 1 menunjukkan bahwa korelasi antara nilai absorbansi dan konsentrasi standar tidaklah berada pada rentang baik (0.20.8). Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa data yang diperoleh dari hasil percobaan kurang teliti dan kurang akurat. Aktivitas spesifik enzim tidak menunjukkan kinerja enzim yang spesifik dalam mengkatalisis reaksi. Aktivitas spesifik enzim merupakan perbandingan rataan unit enzim dengan konsentrasi protein terkoreksi. Semakin tinggi konsentrasi protein maka aktivitas spesifik semakin rendah artinya banyak terdapat kontaminan yang mengganggu perubahan sukrosa menjadi produk. Yield enzim merupakan perbandingan antara total unit dalam fraksi yang dimurnikan dengan total unit dalam ekstrak kasar, sedangkan fold purifcation merupakan perbandingan antara aktivitas spesifik dari fraksi yang dimurnikan dengan aktivitas spesifik ekstrak kasar. Teller (1950) dalam jurnalnya mengemukakan bahwa enzim yang diinginkan sebagai sumber substrat dalam reaksi adalah yang memiliki aktivitas tinggi sehingga dapat menyediakan kondisi optimum dalam membuat produk (lebih cepat). Tabel 5 menunjukkan bahwa fraksi yang memiliki aktivitas spesifik tertinggi adalah fraksi 20 - 40 % (0.01346) dengan [protein] sebesar -263.64. Artinya, kontaminasi pada fraksi 20 – 40 % hanya sedikit sehingga aktivitas spesifiknya tinggi, berbeda dengan fraksi 40 – 60 % yang memiliki [protein] sebanyak 921.212 sehingga aktivitas spesifiknya rendah (2.540 x 10-3). Fraksi yang memiliki nilai fold purification dan yield tertinggi adalah fraksi 20 – 40 % (9.1752) dan fraksi 0 – 20 % (110373 %). Enzim yang memiliki fold purification tertinggi umumnya memiliki aktivitas spesifik yang tinggi sehingga dapat berperan aktif dalam perubahan substrat secara spesifik (Polaina dan McCabe 2007). Bobot molekul enzim invertase diukur menggunakan teknik SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electrophoresis). SDS-PAGe
11 merupakan teknik untuk memisahkan rantai polipeptida pada protein berdasarkan kemampuan pergerakan dalam arus listrik. Hal tersebut dapat dicapai dengan menambahkan SDS (Saputra 2014). SDS merupakam detergen anionik yang dapat melapisi protein dan memberikan muatan listrik negatif pada semua protein dala, sampel. Fungsi SDS adalah mendenaturasi protein karena SDS bersifat sebagai detergen yang mengakibatkan terputusnya ikatan protein sehingga protein dapat terelusi dalam gel. Selain itu, SDS juga dapat mengganggu konformasi spesifik protein dengan cara melarutkan molekul hidrofobik yang ada di dalam struktur tersier polipeptida, mengubah semua molekul protein kembali ke struktur primernya, dan menyelubungi setiap molekul protein dengan muatan negatif (Westermeier 2004). Analisis menggunakan SDS-PAGE umumnya menggunakan gel poliakrilamida. Poliakrilamida merupakan medium yang tepat umtuk memisahkan protein berdasarkan ukuran karena ukuran pori-pori kecil yang memungkinkan geakan molekul menjadi lambat. Gel poliakrilamida terbentuk dari proses polimerisasi radikal bebas akrilamida dan agen cross linking NN’methylene bis acrylamide. Beberapa keunggulan penggunaan ploakrilamida adalah tidak bereaksi dengan sampel, tidak membentuk matriks dengan sampel, tidak menghambat pergerakan sampel, dan memiliki daya pemisahan yang cukup tinggi (Saputra 2014). Pemisahan molekul dengan SDS-PAGE disajikan pada Gambar 3. Gel poliakrilamida pada analisis SDS-PAGE terdiri atas stacking gel dan resolving gel. Stacking gel berfungsi sebagai gel tempat meletakkan sampel, sedangkan resolving gel merupakan tempat perpindahan protein menuju anoda. Poliakrilamida terdiri atas akrilamida, tris-HCL pH 8.8, SDS 10%, APS (Ammonium persulphate) 10% (disiapkan dalam keadaan segar), TEMED (N,N,N,N-tetramethylethylenediamine), dan aquades. APS dan TEMED berfungsi sebagai penginisiasi polimerasi dari akrilamida menjadi poliakrilamida (Wilson dan Walker 2000).
Gambar 3 Pemisahan molekul dengan SDS-PAGE (Sumber: www.imbjena.de) Penambahan stacking gel pada resolving gel dilakukan setelah resolving gel memadat atau membeku. Komposisi dari stacking gel sebenarnya hampir sama dengan komposisi resolving gel, hanya berbeda pada jumlah tiap komponennya. Semua bahan dicampur dengan urutan seperti pada bagian resolving, selanjutnya bahan tersebut dimasukkan ke dalam cetakan di bagian permukaan resolving gel hingga semua bagian cetakan yang tesisa dipenuhi oleh stacking gel. Cetakan tersebut dibiarkan hingga membeku (Saputra 2014).
12 Srtuktur tersier protein dirusak dengan cara pemanasan. Setelah dipanaskan, sampel tersebut dipipet dan dimasukan ke dalam sumur bagian stacking gel (gel SDS-PAGE telah direndam dalam buffer). Setelah dirunning, gel direndam dalam Coomassie Briliiant Blue untuk mewarnai (staining) pita-pita protein yang terbentuk selama lebih dari 2 jam dengan terus digoncang menggunakan shaker agar terwarnai dengan baik. Pewarna tersebut akan berikatan dengan semua jenis protein. Setelah proses staining, dilanjutkan dengan proses destaining untuk menghilangkan sisa-sisa Coomassie Brilliant Blue yang tidak berikatan dengan protein menggunakan larutan campuran metanol dan asam asetat sehingga pitapita protein yang terwarnai terlihat jelas. Gel direndam dalam larutan destaining hingga warna biru gelnya hilang (Saputra 2014). Karakterisasi enzim invertase dengan SDS-PAGE hasil percobaan dan data sekunder disajikan pada Gambar 4 dan 5.
Gambar 4 Karakterisasi enzim invertase dengan SDS-PAGE hasil percobaan
Gambar 5 Karakterisasi enzim invertase dengan SDS-PAGE, M-Marker, T1sampel 1, T2-sampel 2, dari data sekunder (Sivakumar et al. 2013)
Gambar 5 menunjukkan bahwa elektroforesis menunjukkan sejumlah pita protein yang memiliki ketebalan berbeda-beda. Salah satu protein yang memiliki ketebalan pita yang unik adalah protein mayor. Protein mayor merupakan protein yang memiliki ketebalan dan intensitas warna yang lebih besar dibandingkan dengan yang lain, serta selalu ada di setiap varietas (Saputra 2014). Bobot
13 molekul suatu protein dapat diukur menggunakan teknik SDS-PAGE. Data bobot molekul marker, sampel T1 dan T2 dengan metode SDS-PAGE secara berturutturut disajikan pada Tabel 6, 7, dan 8. Tabel 6 Bobot molekul marker dengan metode SDS-PAGE No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Bobot molekul (KDa) 116.0 97.4 66.2 42.7 31.0 20.0 14.4 9.50
Log bobot molekul (KDa) 2.064 1.988 1.82 1.63 1.491 1.301 1.158 0.977
Rf marker (cm) 0.035 0.088 0.14 0.509 0.667 0.737 0.802 0.982
Gambar 6 Grafik bobot marker enzim invertase
Tabel 7 Bobot molekul sampel T1 dengan metode SDS-PAGE No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Rf T1 (cm) 0.018 0.105 0.175 0.281 0.333 0.406 0.474 0.561
Log bobot molekul (KDa) 2.153 2.03 1.932 1.782 1.709 1.606 1.509 1.387
Bobot molekul (KDa) 142.233 107.152 85.427 60.549 51.141 40.348 32.353 24.391
Tabel 8 Bobot molekul sampel T2 dengan metode SDS-PAGE No. 1 2 3 4 5
Rf T2 (cm) 0.035 0.105 0.316 0.491 0.561
Log bobot molekul (KDa) 2.129 2.03 1.733 1.486 1.387
Bobot molekul (KDa) 134.598 107.152 54.044 30.616 24.390
Tabel 6 menunjukkan bahwa bobot marker dengan jarak Rf terjauh adalah marker 8 (0.982), sedangkan Rf terdekat dimiliki oleh sampel 1 (0.035 cm). Jika diperhatikan, terlihat bahwa bobot molekul antara satu protein dengan protein lainnya berbeda. Selain itu, bobot molekul berbanding terbalik dengan Rf.
14 Artinya, semakin besar kompleks suatu protein, maka pergerakannya akan semakin lambat (Bintang 2010), begitupun sebaliknya, seperti yang terlihat pada Gambar 6. Persamaan garis yang diperoleh pada Gambar 6 adalah y = -1.4103x + 2.1784 dengan R2 sebesar 0.982 atau 98.2 %. Perbedaan nilai Rf dapat disebabkan keterbatasan pengamatan terhadap ukuran pita yang terbentuk (Weinken 2010). Data ada Tabel 7 dan 8 menunjukkan bahwa sampel T1 dan T2 yang memiliki bobot molekul tertinggi dan terendah secara berturut-turut adalah fraksi 1 (T1= 142.233 KDa; T2= 134.598 KDa), dan fraksi 8 (T1=24.391 KDa; T2=24.390 KDa).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Isolasi enzim invertase Saccharomyces cerevisiae menggunakan teknik mekanik dengan cara penggerusan oleh penambahan pasir kuarsa dan dengan cara kimia dengan penambahan toluena. Penentuan kadar protein dilakukan menggunakan metode Folin Wu dan Lowry, sedangkan bobot molekul enzim diukur menggunakan metode SDS-PAGE. Konsentrasi standar berbanding lurus dengan absorbansi terukur, sehingga semakin besar nilai absorbansi yang diperoleh maka semakin besar juga konsentrasi standarnya. Kemurnian suatu enzim didasarkan pada aktivitas spesifik, yaitu sejumlah substrat yang dapat diubah dalam satu menit oleh satu molekul enzim dalam keadaan optimal. Semakin tinggi konsentrasi protein maka aktivitas spesifik semakin rendah artinya banyak terdapat kontaminan yang mengganggu perubahan sukrosa menjadi produk. Enzim yang memiliki fold purification tertinggi umumnya memiliki aktivitas spesifik yang tinggi sehingga dapat berperan aktif dalam perubahan substrat secara spesifik. Semakin besar kompleks suatu protein, maka pergerakannya akan semakin lambat. Saran Perlu diadakan analisis lebih lanjutan pada pita-pita hasil pemisahan SDSPAGE menggunakan LCMS sehingga dapat diketahui urutan rantai asam amino pada masing-masing pita.
DAFTAR PUSTAKA Acosta N, Beldarrain A, Alonso Y. 2000. Characterization of recombinant invertase expressed in methylotropic yeasts. Biotechnology and Applied Biochemistry 32:179-187. Alexander RR, Griffiths JM. 1992. Basic Biochemical Methods. New York (US): Wiley-Liss. Amin F, Bhatti HN, Asgher M. 2010. Partial purification and characterizationof an acid invertase from Saccharum offinarium L. Pak. J.Bot. 42(4):25312540.
15 Bayramolu G, Akgol S, Bulut A, Denizli A, Yakup AM. (2003), Covalent immobilization of invertase onto a reactive film composed of 2hydroxyethyl methacrylate and glycidyl methacrylate. Biochemical Engineering Journal. 14:117-126. Bintang M. 2010. Biokimia Teknik Penelitian. Jakarta (ID): Erlangga. Bucke C. 1987. Cell immobilization in calcium alginate. Methods in Enzymology. 135:175-189. Doolittle RF. 1995. The multiplicity of domains in protein. Annu Rev Biochem. 64: 287-314. Hartree EE. 1972. Determination of protein: a modification of the Lowry method that gives a linear photometric response. Anal. Biochem. 48:422-427. Hasanah ENI, Putra SR. 2010. Karakterisasi ekstrak kasar enzim invertase yang diamobilisasi dnegan Na-alginat [prosiding]. Surabaya (ID): Jurusan Kimia FMIPA Institut Teknologi Sepuluh November. Koolman J, Roehm k. 2000. Color Atlas of Biochemistry. Jakarta (ID): Hipokrates. Lee WC, Huang CT. 2000. Modelling of ethanol production using Zymomonas mobilis ATTC 10988 grown on the media containing glucose and fructose. Biochemical Engineering Journal, 4:217-227. Polaina J dan McCabe AP. 2007. Industrial Enzymes. Netherland: Springer. Putri RA, Kusrijadi A, Suryatna A. 2013. Kajian penggunaan ammonium sulfat pada pengndapan enzim ptotease (papain) dari buah pepeaya sebagai koagulan dalam produksi keju cottage. Jurnal Sains dan Teknologi Kimia. 4(2):159-168. Saputra FR. 2014. Aplikasi metode SDS-PAGE )Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electrophoresis) untuk mengidentifikasi sumber gelatin pada kapsul keras [skripsi]. Jakarta (ID): Program studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah. Sivakumar T, Ravikumar M, Prakash M, Shanmugaraju V. 2013. Production of extracellular invertase from Saccharomyces cerevisiae strain isolated from grapes. IJCRAR. 1(2):72-38. Sukardi, Hindun MP, Hidayat N.2012. Optimasi penurunan kadar oligosakarida pada pembuatan tepung ubi jalar dengan cara fermentasi. Jurnal Teknologi Pertanian. 40-50. Teller J. 1950. Measurement of amylase activity. J Biol Chem. 15:153-156. Weinken CJ et al. 2010. Protein binding assay in biological liquids using microscale thermophoresis. Nature Communications. 10:1038-1042 Westermier. 2004. Electrophoresis in Practice: A Guide to Theory and Practice. New Jersey: John Wiley and Sons inc. Wilson K, Walker J. 2000. Prinsiples and Techniques of Practical Biochemistry 5th Ed. Inggris (UK): Cambridge University Pr.