BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara tropis, ditambah higiene yang kurang baik, infestasi jamur kulit cukup banyak. Di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo/Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ( RSCM/ FKUI ) Bagian Mikologi Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin pada tahun 1992 ditemukan 2500 penderita dari 19.000 jumlah pengunjung bagian tersebut seluruhnya. Ini berarti kurang lebih 13 % penderita penyak it jamur kulit. Keadaan itu hampir sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia.1 Dari berbagai macam penyakit jamur kulit, yang merupakan tipe infeksi superfisial dan kutan, maka pitiriasis versikolor, dermatofitosis dan kandidosis kulit yang tersering ditemui. Penyakit jamur pada kulit merupakan salah satu penyakit rakyat yang masih banyak terdapat di Indonesia. Kurangnya pengetahuan pen getahuan mengenai kebersihan merupakan salah satu faktor yang menghambat dalam pemberantasannya. 1 Dermatofitosis adalah golongan penyakit jamur superfisial yang disebabkan oleh jamur dermatofita, yakni Trichophyton spp, Microsporum spp, dan Epidermophyton spp. Penyakit ini menyerang jaringan yang mengandung zat tanduk (stratum korneum) yakni, (Tinea korporis, Tinea kruris, Tinea manus et pedis), rambut (Tinea kapitis), kuku (Tinea unguinum). Dermatofitosis ini terjadi oleh karena terjadi inokulasi jamur pada tempat yang terserang, biasanya pada tempat yang lembab dengan maserasi atau ada trauma sebelumnya. Higienitas juga berperan untuk timbulnya penyakit ini.2
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Dermatofitosis adalah penyakit jamur pada jaringan yang mengandung zat tanduk, seperti kuku, rambut dan stratum korneum pada epidermis yang disebabkan oleh jamur dermatofita.3 Tinea fasialis (tinea (tinea faciei) faciei) adalah suatu dermatofitosis superfisial yang terbatas pada kulit yang tidak berambut, terjadi pada wajah, memiliki karakteristik sebagai plak eritema yang melingkar dan gatal dengan atau tanpa batas yang jelas.4,5 Tinea kruris adalah suatu dermatofitosis superfisial yang terbatas pada kulit daerah kulit lipat paha, genitalia, daerah pubis, perineum dan perianal sehingga sering disebut “jok
pitch”. II.2 Epidemiologi
Tinea fasialis dapat terjadi pada semua umur, dengan dua usia insidens puncak. Usia insidens pertama meningkat pada anak-anak, karena kebiasaan mereka yaitu kontak dengan hewan peliharaan. Kasus yang jarang dapat terjadi pada neonatus, yang mungkin terinfeksi dari kontak langsung dari saudara mereka yang terinfeksi atau kontak langsung dari hewan peliharaan. Usia insidens yang lain dapat meningkat pada usia 51 smpai 70 tahun.5 Tinea kruris lebih sering menyerang pria daripada wanita dengan perbandingan 3 berbanding 1, dan kebanyakan terjadi pada golongan umur dewasa daripada golongan umur anak-anak. Tinea kruris lebih sering pada rentang usia 51 -60 tahun.
II.3 Etiologi
Dermatofitosis disebabkan oleh jamur dermatofit. Golongan jamur dermatofit berkemampuan menginfeksi struktur kulit yang berkeratinisasi, termasuk stratum korneum, kuku, dan rambut. Dermatofit memiliki sifat dapat mencerna keratin.3 Dermatofit dibagi menjadi 3 genus yaitu Microsporum, yaitu Microsporum, Tricophyton, Epidermophyton. Dermatofit yang paling banyak ditemukan di Indoensia adalah Tricophyton rubrum. Yang
2
lainnya adalah E.floccosum, T.mentagrophytes, M.canis, M.gypseum, T.concentricum, T.schoenleini, T.tonsurans.3
II.4 Patogenesis
Kulit tubuh sendiri merupakan barrier fisik yang sangat efektif untuk melawan invasi jamur, dimana aksi neutrofil, proliferasi seluler epidermal, dan keratinisasi adalah bentuk respon host yang sangat penting untuk melawan mikroorganisme serta eliminasi dari jamur/ fungus.6 Invasi epidermis oleh dermatofit mengikuti pola biasa pada infeksi yang diawali dengan pelekatan antara artrokonidia dan keratinosit yang diikuti dengan penetrasi melalui sel dan antara sel serta perkembangan dari respon penjamu.7
Adhesi; Pada stratum korneum, fase pertama dari invasi dermatofit melibatkan
infeksi artrokonidia ke keratinosit. Dermatofit ini harus bertahan dari efek sinar ultraviolet, temperatur dan kelembaban yang bervariasi, kompetisi dengan flora normal, dan dari asam lemak yang bersifat fungistatik. Faktor yang memediasi perlengkatan/adhesi pada dermatofit masih sedikit diketahui, akan tetapi terdapat hipotesis adanya protease dermatofitik yang diperlukan untuk efisiensi adhesi dermatofit.7
Penetrasi; Dermatofit mampu mensekresikan multipel serine-subtilisins dan
metalloendoprotease ( fungalisin) yang disebut dengan keratinase yang bersifat keratinofilik.7 Dalam upaya bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang terbentuk tersebut, jamur patogen menggunakan beberapa cara:8 a. Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida yang tebal, memicu pertumbuhan filamen hifa, sehinggga glucan yang terdapat pada dinding sel jamur tidak terpapar oleh dectin-1, dan dengan membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra sel, sehingga jamur dapat bertahan terhadap fagositosis. b. Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan imun pejamu atau secara aktif mengendalikan respons imun mengarah kepada tipe pertahanan yang tidak efektif, contohnya Adhesin pada dinding sel jamur berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3, MAC1) pada dinding makrofag yang berakibat aktivasi makrofag akan terhambat. 3
c. Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung merusak atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau protease. Jamur mensintesa katalase dan superoksid dismutase, mensekresi protease yang dapat menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan proses invasi oleh jamur, dan memproduksi siderospore (suatu molekul penangkap zat besi yang dapat larut) yang digunakan untuk menangkap zat besi untuk kehidupan aerobik. Kemampuan spesies dermatofit menginvasi stratum korneum bervariasi dan dipengaruhi oleh daya tahan pejamu yang dapat membatasi kemampuan dermatofit dalam melakukan penetrasi pada stratum korneum.8
Pertahanan tubuh dan imunologi; Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial tetap
dapat membangkitkan baik imunitas humoral maupun cell-mediated immunity (CMI). Pembentukan CMI yang berkorelasi dengan Delayed Type Hypersensitivity (DTH) biasanya berhubungan dengan penyembuhan klinis dan pembentukan stratum korneum pada bagian yang terinfeksi. Kekurangan CMI dapat mencegah suatu respon efektif sehingga berpeluang menjadi infeksi dermatofit kronis atau berulang. Respons imun spesifik ini melibatkan antigen dermatofit dan CMI.8
Gambar 1: Epidermomikosis dan trikhomikosis. Epidermomikosis (A), dermatofit (titik dan garis merah) memasuki stratum korneum dengan merusak lapisan tanduk dan juga menyebabkan respons radang (titik hitam sebagai sel-sel radang) yang berbentuk eritema, papula, dan vasikulasi. Sedangkan pada trikhomikosis 4
pada batang rambut (B), ditunjukkan titik merah, menyebabkan rambut rusak dan patah, jika infeksi berlanjut sampai ke folikel rambut, akan memberikan respons radang yang lebih dalam, ditunjukkan titik hitam, yang mengakibatkan reaksi radang berupa nodul, pustulasi foli kel,dan pembentukan abses. [9]
II.5 Gejala Klinis
Tinea fasialis, merupakan infeksi dermatofit relatif jarang yang biasanya hadir sebagai eritematosa, bersisik patch dengan tepi annular yang secara bertahap meningkat dalam ukuran.9 Penderita tinea fasialis sering mengeluhkan rasa gatal, terbakar, dan kedua rasa ini semakin memberat setelah daerah lesi terpapar dengan sinar matahari.11 Tanda klinis yang dapat ditemukan pada tinea fasialis, antara lain: bercak, makula sampai dengan plak, sirkular, batas yang meninggi, dan regresi sentral memberi bentuk seperti ring-like appearance. Kemerahan dan skuama tipis juga dapat ditemukan. Pada setengah penderita, dapat ditemukan juga vesikel atau pustul.10,11
Gambar 2: Gambaran tinea fasialis yand disebabkan oleh Tricophyton rubrum.13
5
Gambar 3. Terlihat adanya makula dan pustul dengan batas tegas dan tepi meradang. [14]
Penderita tinea kruris mengeluhkan rasa gatal atau terbakar pada daerah lipat paha, genital, sekitar anus dan daerah perineum. Gejala Klinis tinea kruris yang khas adalah gatal yang meningkat saat berkeringat, dengan bentuk lesi polisiklik / bulat berbatas tegas, efloresensi polimorfik, dan tepi lebih aktif. Tinea kruris biasanya tampak sebagai papulovesikel eritematosa yang multipel dengan batas tegas dan tepi meninggi. Tinea kruris biasanya dimulai dengan patch merah tinggi di bagian dalam dari salah satu atau kedua paha, adanya central healing yang ditutupi skuama halus pada bagian tengah lesi. tepi yang meninggi dan merah sering ditemukan pada pasien.
Gambar 4. gambar tinea cruris
6
II.6 Diagnosis
1. Anamnesis Hal-hal yang dapat kita temukan dari anamnesis, antara lain:12,13,14
Rasa gatal di bagian wajah, lipat paha dan
disertai sensasi terbakar, dan
memburuk setelah paparan sinar matahari.
Ada riwayat kontak langsung dengan penderita dermatofitosis
Ada riwayat penggunaan bersama barang-barang penderita dermatofitosis, misalnya handuk
2. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik dapat kita temukan makula sampai dengan plak yang berbatas tegas, batas yang meninggi, dan regresi sentral. Skuama biasanya nampak, namun minimal. Lesi berwarna merah sampai merah muda. Pada penderita yang berkulit hitam, terjadi lesi hiperpigmentasi. Lesi bisa terdapat pada seluruh bagian wajah, tetapi biasanya tidak simetris.12 3. Pemeriksaan Penunjang Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada tinea fasialis, antara lain: 3,9,10,12,13,14 a. Pemeriksaan KOH (Kalium hidroksida) Tujuan: menemukan hifa sehingga dapat memastikan diagnosis bahwa telah terjadi infeksi dermatofit. Prosedur: ambil kerokan kulit dari tepi lesi yang aktif dengan menggunakan scalpel . Sebelumnya, kita bersihkan lebih dahulu dengan kapas alkohol, pada bagian yang akan dikerok. Pindahkan kerokan kulit tersebut pada kaca objek dan teteskan KOH 10% (jika sampel berasal dari rambut), 20% (jika sampel berasal dari kulit), 30% (jika sampel berasal dari kuku). Tutup dengan menggunakan penutup kaca objek kemudian lihat di bawah mikroskop. Pada kasus-kasus dengan risiko infeksi tinea yang tinggi dan hasil pemeriksaan KOH negatif, perlu dilakukan pemeriksaan kultur.
7
Gambar 5. Gambaran Hifa pada pemeriksaan KOH 10% yang menunjukkan adanya dermatofit.15
b. Pemeriksaan lampu Wood (sinar ultraviolet) Pemeriksaan lampu Wood ditemukan oleh Margarot dan Deveze pada tahun 1925. Beberapa spesies dermatofit tertentu yang berasal dari genus Microsporum menghasilkan substansi yang dapat membuat lesi menjadi warna hijau ketika disinari lampu Wood dalam ruangan yang gelap. Dermatofit yang lain, seperti T. schoenleinii memproduksi warna hijau pucat. Ketika hasilnya positif, ini akan sangat berguna. Namun sayangnya, pemeriksaan ini kadang tidak terlalu bermanfaat sebab beberapa dermatofit yang hidup di daerah Amerika Serikat, tidak dapat terfluoresensi. c. Pemeriksaan kultur Pemeriksaan ini membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal, tetapi pemeriksaan ini sangat berguna ketika pemeriksaan yang lain meragukan. Spesimen dibiakkan pada Saboraud’s dextrose agar dan penambahan obat sikloheksimid atau kloramfenikol untuk mencegah bakteri lain tumbuh. Dibutuhkan waktu 7-21 hari untuk membiakkannya. d. Biopsi kulit Pemeriksaan ini seringkali tidak dibutuhkan. Dapat dilakukan jika diagnosis sulit ditegakkan atau infeksi tidak respon pada pengobatan yang diberikan.
8
II.7 Diagnosis Banding Tinea Fasialis :
1. Dermatitis Seboroik Dermatitis seboroik adalah peradangan kulit pada daerah yang banyak mengandung kelenjar sebasea. Dermatitis seboroik sering terjadi pada pria. Etiologinya karena aktivitas kelenjar sebasea yang meningkat.15 Predileksi dermatitis seboroik pada kulit kepala, belakang telinga, alis mata, cuping hidung, ketiak, dada, daerah suprapubis. Efloresensi dermatitis seboroik adalah macula eritematosa yang ditutupi oleh papula-papula miliar berbatas tidak tegas dan skuama halus putih berminyak. Kadang-kadang ditemukan erosi dengan krusta yang sudang mongering berwarna kekuningan.15 Pada daerah supraorbital, skuama-skuama halus dapat terlihat di alis mata, kulit di bawahnya eritematosa dan gatal disertai bercak-bercak skuama kekuningan.16
Gambar 6. Gambaran efloresensi pada dermatitis seboroik
Tinea Cruris
1. Kandidosis Intertrigo Lesi ditemukan di daerah lipatan kulit, yaitu aksila, lipat leher, infra mama, lipat inguinal, intergluteal, umbilikus, lipatan kulit di daerah abdomen, dan interdigital. Kelainan yang tampak berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah, dan eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel dan pustul kecil atau bula, yang bila pecah meninggalkan daerah erosif, dengan tepi yang kasar dan
9
berkembang seperti lesi primer tanpa adanya central healing . Pada sela jari kaki sering terjadi pada sela jari 3 dan 4. Kelainan kulit terlihat sebagai area kulit eritematosa dengan erosi dan maserasi.
Gambar 7 Gambaran efloresensi kandidosis intertriginosa
2. Eritrasma Sering ditemukan pada lipat paha dengan lesi berupa eritema dan skuama tapi dengan mudah dapat dibedakan dengan tinea kruris menggunakan lampu wood dimana pada eritrasma akan tampak fluoresensi merah (coral red ). Lesi pada psoriasis akan tampak lebih merah dengan skuama yang lebih banyak serta lamelar. Ditemukannya lesi pada tempat lain misalnya siku, lutut, punggung, lipatan kuku, atau kulit kepala akan mengarahkan diagnosis kearah psoriasis
Gambar 8 Gambaran predileksi eritrasma 10
3. Dermatitis Seboroik Predileksi dermatitis seboroik pada kulit kepala, belakang telinga, alis mata, cuping hidung, ketiak, dada, daerah suprapubis. Efloresensi dermatitis seboroik adalah macula eritematosa yang ditutupi oleh papula-papula miliar berbatas tidak tegas dan skuama halus putih berminyak. Kadang-kadang ditemukan erosi dengan krusta yang sudang mongering berwarna kekuningan.15
II.8 Penatalaksanaan
1. Sistemik 17 Untuk pengobatan sistemik dalam mengeradikasi dermatofit, obat-obatan oral yang digunakan, antara lain: a) Golongan Imidazole Antijamur golongan imidazole merupakan spectrum luas. Pada umumnya golongan azol bekerja menghambat biosintesis ergosterol yang merupakan sterol utama untuk mempertahankan integritas membrane sel jamur. Bekerja dengan cara menginhibisi enzim sitokrom P450, yang bertanggung jawab merubah lanosterol menjadi ergosterol, hal ini mengakibatkan dinding sel jamur menjadi permeable dan terjadi penghancuran jamur. Berikut ini beberapa contoh golongan imidazole ang digunakan dalam pengobatan tinea fasialis adalah: 17
Flukonazole 17
Flukonazol diserap secara sempurna di dalam tubuh melalui saluran cerna tanpa dipengaruhi adanya makanan ataupun keasaman lambung
Dosis orang dewasa 150 – 200 mg/minggu selama 4 – 6 minggu, sedangkan anak-anak 6 mg/kg/minggu selama 4 – 6 minggu.
Sediaan fluconazole tablet 100, 150, 200 mg; suspense oral (10 or 40 mg/ml); dan intravena 400 mg.
Efek samping flukonazol adalah gangguan saluran cerna
Ketokonazole 17
Dosis orang dewasa 200-400 mg per hari sedangkan anak-anak 3,36,6 mg/kgBB/hari 11
Efek samping ketoconazole adalah mual, muntah, sakit kepala,
vertigo, nyeri epigastrium, fotofobia, pruritus paresthesia, gusi berdarah, erupsi kulit dan trombositopenia
Itrakonazole 17 Itrakonazol diserap lebih sempurna melalui saluran cerna bila
diberikan bersamaan dengan makanan Dosis untuk dewasa 400 mg/hari selama 1 minggu dan untuk anak-
anak 5 mg/kg/hari selama 1 minggu. Sediaannya 100 mg dalam kapsul b) Griseovulfin 17
Aktivitas antijamur Griseofulvin efektif terhadap berbagai jenis jamur dermatofit seperti Trciophyton, Epidermophyton, Microsporum. Obat ini akan menghambat mitosis sel muda dengan mengganggu sintesis dan polimerisasi asam nukleat.
Macam-macam Griseofulvin o
Micronized
o
Biasa
o
Utra micronized
Dosis Orang dewasa 500 – 1000 mg/hari (atau lebih) selama 4 minggu, sedangkan anak-anak 15 – 20 mg/kg/hari selama 4 minggu
Efek Samping Nyeri kepala, mual/muntah, fotosensitivitas.
c) Terbinafin 17
Aktivitas antijamur Terbinafin bersifat keratofilik dan fungisidal. Obat ini mempengaruhi biosintesis ergosterol dinding sel jamur melalui penghambatan enzim skualen epoksidase pada jamur dan bukan melalui penghambatan enzim sitokrom P450.
Dosis 12
Dosis untuk dewasa adalah 250 mg/hari selama 2 minggu, dan dosis anakanak adalah 62,5 mg/hari (<20 kg), 125 mg/hari (20 – 40 kg) atau 250 mg/hari (>40 kg) selama 2 minggu. Sediaannya 250 mg dalam tablet.
Efek Samping Dapat menyebabkan mual, dispepsia, nyeri perut, kehilangan pengecapan.
2. Pengobatan topikal Tabel 1. Pengobatan topikal
1
Preparat ini efektif untuk dermatofit pada kulit, tetapi tidak untuk rambut ataupun kuku. Preparat topikal anti jamur
Preparat tersebut diaplikasikan 2 kali sehari pada area yang terkena lesi secara optimal selama 4 minggu termasuk 1 minggu setelah lesi telah bersih. Diaplikasikan paling kurang 3 cm di sekitar batas area yang terkena. Kotrimazol (Lotrimin, Mycelex) Mikonazol (Micatin)
Imidazoles
Ketokonazol (Nizoral) Ekonazol (Spectazole) Oxikonizol (Oxistat) Sulkonizol (Exelderm)
Allylamines Naphthionates Substituted pyridone
Naftifin (Naftin) Terbinafin (Lamisil) Tolnaftat (Tinactin) Siklopirox olamin (Loprox)
3. Edukasi3 Diperlukan pula perawatan diri di rumah (home care), seperti: menghindari menggaruk daerah lesi, karena hal tersebut dapat membuat infeksi bertambah parah. Menjaga kulit tetap kering dan bersih dengan menghindari aktivitas yang dapat mengeluarkan keringat. Mandi minimal sekali sehari dan ingat untuk mengeringkan 13
tubuh seluruhnya. Aplikasi krim topikal anti jamur, dengan menjelaskan cara pemakaian. Beberapa agen oral yang dapat digunakan untuk mengobati gatal yang timbul sesuai dengan obat yang diberikan. Dan mengingatkan penderita untuk memperhatikan bila ada efek samping yang terjadi maupun tanda-tanda makin parahnya lesi setelah berobat (muncul pus, nyeri, demam, tidak adanya perbaikan sama sekali setelah 2 minggu terapi).
II.9 Pencegahan
Pencegahan untuk tinea fasialis dan cruris, meliputi:9
Menghindari kontak langsung dengan mereka yang menderita tinea fasialis dan cruris.
Menjaga kulit agar tetap bersih dan kering, mencuci muka setelah berolahraga ataupun berkeringat
Mencuci barang-barang pribadi secara berkala (seprei, pakaian, dan lain-lain)
Jangan berbagi perlengkapan perawatan diri (handuk, sisir, sikat)
Mencuci tangan
II.10 Prognosis
Prognosis dikatakan baik jika:14,19
Faktor predisposisi dapat dihindarkan atau dihilangkan
Dapat menghindari sumber penularan
Pengobatan teratur dan tuntas.
14
BAB III LAPORAN KASUS
III.1 Identitas Pasien
Nama
: Ny.K
Tanggal Lahir
: 10 November 1980
Usia
: 36 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Bandungan
Agama
: Islam
Tanggal Masuk
: 16 Maret 2017
III.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Gatal pada bagian pipi sebelah kiri, lipatan kulit di daerah perut, selangkangan dan bokong.
RPS (Riwayat Penyakit Sekarang): Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD Ambarawa tanggal 16 Maret 2017 dengan keluhan gatal pada pipi sebelah kiri, lipatan kulit di daerah perut, dan selangkangan sejak 1 tahun yang lalu. Rasa gatal semakin bertambah terutama saat berkeringat. Gatal pada malam hari disangkal. Awalnya gatal muncul di daerah perut bagian bawah saat usia kehamilan 7 bulan kemudian menyebar ke daerah selangkangan. Rasa gatal disertai dengan rasa panas seperti terbakar dan memburuk setelah terpapar dengan sinar matahari.
RPO (Riwayat Pengobatan) Pasien telah membeli obat salep pikasuang dan sudah memakai salep tersebut, namun tidak ada perubahan. Didapatkan lesi yang semakin menyebar.
RPD (Riwayat Penyakit Dahulu): 15
HT (-), DM (-), Tidak pernah mengalami hal seru pa sebelumnya. RPK (Riwayat Penyakit Keluarga): Tidak ada anggota keluarga pasien lainnya yang mengalami gejala yang sama seperti pasien saat ini.
Riwayat Alergi: Tidak ada
III.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis/ E4M6V5
Berat Badan
: 70 kg
Status Generalis : o
Gizi : Tampak baik
o
Tanda Vital:
o
Nadi
: 80 kali/menit
Pernafasan
: 20 kali/menit
Suhu
: 36.50 C
TD
: 110/90 mmhg
Kepala:
Kepala
: normocephal
Rambut
: warna rambut hitam, tidak mudah dicabut,
distribusi merata
o
Mata
: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Pupil
: Isokor
Mata cekung
:-
Sianosis
:-
Hidung
: sekret (-/-), deviasi (-/-)
Telinga
: purpura palpeble, krusta, sekret (-/-)
Mulut
: mukosa tampak lembab, sianosis (-)
Leher: KGB dalam batas normal 16
o
Thoraks
o
Paru
Inspeksi : Pergerakan dada simetris kanan-kiri.
Palpasi : Vokal fremitus +/+.
Perkusi : Sonor +/+.
Auskultasi: Vesikuler +/+, Ronki -/-, Wheezing -/-.
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak.
Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat.
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal.
Auskultasi: S1 & S2, reguler, murmur (-), gallops (-).
Abdomen
Inspeksi
: Datar.
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Palpasi
: Supel, hepar dan lien tidak teraba adanya
pembesaran. Turgor baik. o
: Timpani.
Ekstremitas
Perkusi
Ekstremitas Superior et Inferior
Capillary refill < 2 detik.
Akral hangat.
Status Dermatologis: o
Lokasi: Selangkangan, bokong
o
Efloresensi: makula hiperpigmentasi, skuama sedang, berbatas tegas
17
o
Lokasi : belakang telinga kiri, pipi kiri
o
Efloresensi : makula hiperpigmentasi, pinggir lesi yang masih meradang, skuama sedang dan berbatas tegas
III.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Wood Lamp: Tidak ada perubahan warna
18
III.4 Diagnosis Banding
Lesi di bagian pipi sebelah kiri : 1) Tinea Fasialis 2) Dermatitis Seboroik Lesi di bagian selangkangan : 1) Tinea kruris 2) Dermatitis seboroik 3) Eritrasma
III.5 Diagnosis Kerja
Tinea Fasialis Tinea Kruris
III.6 Pemeriksaan Penunjang Anjuran
Pemeriksaan KOH:
Tujuan: menemukan hifa sehingga dapat memastikan diagnosis bahwa telah terjadi infeksi dermatofit.
Prosedur: ambil kerokan kulit dari tepi lesi yang aktif dengan menggunakan scalpel . Sebelumnya, kita bersihkan lebih dahulu dengan kapas alkohol, pada bagian yang akan dikerok. Pindahkan kerokan kulit tersebut pada kaca objek dan teteskan KOH 10% (jika sampel berasal dari rambut), 20% (jika sampel berasal dari kulit), 30% (jika sampel berasal dari kuku). Tutup dengan menggunakan penutup kaca objek kemudian lihat di bawah mikroskop. Pada kasus-kasus dengan risiko infeksi tinea yang tinggi dan hasil pemeriksaan KOH negatif, perlu dilakukan pemeriksaan kultur.
III.7 Penatalaksanaan
Bedak Salisil 4x/hari (pagi-siang-sore-malem)
Ketokonazole cr 2 tube/hari (4x sehari )
Cetrizine tab 10 mg, 1x/hari (sore hari)
Pengobatan selama 7 hari
19
BAB IV PEMBAHASAN Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD Ambarawa pada tanggal 16 maret 2017, dengan keluhan utama gatal pada pipi bagian kiri, lipatan kulit daerah perut,selangkangan dan bokong selama 1 tahun yang lalu. Gatal dirasakan terutama saat berkeringat. Gatal saat berkeringat adalah gejala khas yang disebabkan oleh jamur. Pasien juga mengeluhkan rasa gatal disertai dengan rasa seperti terbakar dan memburuk apabila terkena sinar matahari. Gejala ini sangat khas pada tinea fasialis, karena gejala simptomatik pada tinea fasialis adalah rasa gatal terutama saat berkeringat disertai rasa seperti terbakar dan memburuk saat terkena sinar matahari. Pasien juga mengeluhkan rasa gatal atau terbakar pada daerah lipat paha dan sekitar bokong. Gejala tersebut khas pada tinea cruris karena dilihat dari lokasi lesi dan gejala simptomatik. Efloresensi dan predileksi pasien pada bagian pipi sebelah kiri dan telinga dapat diambil diagnosis banding dermatitis seboroik dan dermatitis kontak alergika. Diagnosis banding dermatitis seboroik karena pada dermatitis seboroik dengan predileksi di wajah menunjukkan gejala gatal, efloresensi yang sekilas mirip dengan tinea fasialis, yaitu macula eritematosa yang ditutupi oleh papula-papula miliar berbatas tidak tegas dan skuama halus putih berminyak. Sedangkan untuk efloresensi dan predileksi pasien pada bagian lipatan kulit daerah perut, selangkangan dan bokong dapat diambil diagnosis banding kandidosis intertriginosa dan eritrasma. Diagnosis banding kandidosis intertriginosa karena pada lesi di inguinal, intergluteal, lipatan kulit di daerah abdomen menunjukkan gejala gatal dan efloresensi sekilas mirip dengan tinea cruris berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, dan eritematosa dengan tepi yang kasar dan berkembang seperti lesi primer tanpa adanya central healing . Sedangkan eritrasma karena pada eritrasma dengan predileksi di selangkangan menunjukkan gejala gatal dan eflouresensinya berupa eritema dan skuama. Untuk menegakkan diagnosis, maka perlu dilakukan pemeriksaan fisik terutama status dermatologis. 10,11,15,16 Status Dermatologis pasien dengan predileksi di daerah pipi bagian kiri, selangkangan dan lipatan kulit daerah abdomen disertai gambaran efloresensi makula hiperpigmentasi dengan tepi meradang, skuama sedang dan berbatas tegas. Setelah dilakukan pemeriksaan 20
fisik status dermatologis, maka dapat mencoret diagnosis banding dermatitis seboroik dan dermatitis kontak alergik. Mencoret diagnosis banding dermatitis seboroik karena pada pasien ini tidak didapatkan efloresensi skuama yang berminyak, berbatas tegas dan papul papul miliar. Menguatkan diagnosis tinea fasialis karena pada tinea fasialis memiliki efloresensi yang khas, yaitu terdapat makula hiperpigmentasi dengan tepi yang meninggi atau meradang, berbentuk sirkular dan berbatas tegas. 10,11,15,16 Mencoret diagnosis banding kandidosis intertriginosa karena pada pasien ini tidak didapatkan efloresensi bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah, dan eritematosa. Yang dikelilingi oleh s atelit berupa vesikel dan pustul kecil atau bula, yang bila pecah meninggalkan daerah erosif, dengan tepi yang kasar dan berkembang seperti lesi primer tanpa adanya central healing . Sedangkan untuk mencoret diagnosis eritrasma karena pada pasien ini tidak ditemukan hasil pemeriksaan lampu wood fluoresensi merah (coral red ). Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah lampu wood. Hasil dari lampu wood adalah tidak terdapat adanya perubahan warna . Terapi yang diberikan adalah bedak salisil, salep topical ketokonazol dan obat Cetrizin. Mekanisme obat topical ketokonazole bekerja dengan menghambat sitokrom P450 dengan menghambat pembentukan dinding sel jamur. Bedak salisil digunakan untuk mengurangi rasa gatal Obat cetirizine digunakan untuk antihistamin, dengan tujuan mengurangi rasa gatal. Cetrizine merupakan obat anti histamine yang bersifat non sedative. 17 Obat salep digunakan harus sesuai aturan dokter, karena mempengaruhi prognosis seperti kekambuhan dan kesembuhan. Obat salep digunakan di seluruh tepi radang hingga ke dalam dan dilebihkan 1 cm. Dilebihkan 1 cm dari tempat lesi karena pertumbuhan jamur membentuk akar 1 cm dari lesi. Edukasi kepada pasien untuk menjaga higienitas seperti mengganti handuk 3 hari sekali, handuk atau peralatan apapun tidak boleh bercampur, karena penyakit ini bersifat menular. 1
21
BAB V KESIMPULAN
Telah dilaporkan kasus dengan diagnosis tinea fasialis dan tinea kruris pada pasien Ny.K. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan pasien adalah gatal pada pipi sebelah kiri, lipatan kulit daerah perut, selangkangan dan bokong kurang lebih 1 tahun yang lalu, gatal dirasakan pasien terutama saat berkeringat, rasa gatal disertai dengan rasa panas seperti terbakar dan memburuk setelah terpapar dengan sinar matahari. Pasien sudah menggunakan salep pikasuang namun tidak terdapat perbaikan. Riwayat alergi obat disangkal oleh pasien. Dari pemeriksaan fisik didapatkan status dermatologis yang berlokasi di wajah dengan efloresensi makula hiperpigmentasi dengan tepi masih aktif ( meradang ) berbatas tegas, dan didapatkan skuama sedang. Sedangkan lesi yang berlokasi di lipat kulit daerah perut dan selangkangan dengan efloresensi makula hiperpigmentasi berbatas tegas dengan skuama sedang. Dari pemeriksaan penunjang Wood lamptidak terdapat perubahan warna. Pasien diberikan terapi topical. Ketokonazol cream digunakan 4x/hari selama 7 hari , bedak salisil 4x sehari dan cetirizine 1x/hari selama 7 hari. Obat salep digunakan di seluruh tepi radang hingga ke dalam dan dilebihkan 1 cm. Pasien disarankan untuk menjaga higienitas seperti mengganti handuk tiap kali setelah mandi, handuk atau peralatan apapun tidak boleh bercampur, karena penyakit ini bersifat menular. Pasien dapat kontrol ke poli kulit dan kelamin satu minggu kemudian setelah obat habis. Prognosis tinea fasialis dan kruris dikatakan baik, jika pasien meminum obat dan menggunakan salep sesuai anjuran dokter, dan juga pasien dapat menghindari faktor resiko secara baik dan benar.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Hanafy AM, El-Aldy AA, Alsarani AAQ, Ashfaq M, El-Din AA.
Epidemiology of
cutaneus mycosis in the Medina region of Saudi Arabia with studying the effect of lightinduced gold nanoparticles on the growth of dermatophytes in vitro. African Journal of Microbiology Research, 2012. 7: p. 6668-77. 2. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew's Diseases of The Skin: Clinical Dermatology. 10th Edition. 2006. Canada: Saunders Elsevier. 3. Harahap M dan Madani F. Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates. Jakarta. 2000. hlm 75 4. Khaled A, Chtourou O, Zeglaoui F, Fazaa B, Jones, Kamoun MR. Tinea Faciei. Acta Dermatoven APA. 2007; 16: p. 170-3. 5. Starova A, Stefanova MB, and Skerlev M. Tinea Faciei - Hypo Diagnosed Facial Dermatoses. Macedonian Journal of Medical Sciences. 2010;3(1): p. 27-31. 6. Blanco J.L. and Garcia M.E. Immune response to fungal infections. Vet Immunol Immunop. 2008: p. 1-24. 7. Tainwala R. and Sharma Y.K. Pathogenesis of dermatophytosis. Indian J Dermatol. 2011;56(3): p. 259-61. 8. Kurniati and C. Rosita. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin. 2008; 20: p. 243-50. 9. Şatana D, Yeğenoğlu Y, Uzun M, Erturan Z, Gürler N and Özarmağan G. A case of tinea incognito diagnosed coincidentally. J Microbiol Infect Dis. 2011; 1(2): p. 84-6 10. Verma S, Heffernan MP. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis, Onychomicosis, Tinea Nigra, Piedra. In : Wolff K., Goldsmith L.A., Katz SI., Gilchrest BA., Paller AS., Leffeld DJ. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 7thed. New York: McGraw Hill; 2008. Pg. 1814. 11. Sober JO., Elewski BE. Fungal Diseases. In : Bolognia JL., Jorizzo JL., Rapini RP. Bolognia: Dermatology, 2nd ed. London: Elsevier Inc. 2008. p. 17. 12. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical dermatology 5th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2007. p. 1-7,20-2. 13. Szepietowski JC. Tinea faciei [online]. 2009 [cited 2011 April 10]. Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/1118316 23
14. Hainer BL. Dermatophyte infections. American Family Physician 2003; 67: 103,5. 15. Siregar. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Edisi 2. Jakarta 2004. 16. Wiryadi EB. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi kelima. Jakarta: Balai penerbit FK-UI 2010. P.210-211. 17. Setiabudy R dan Bahri B. Farmakologi dan Terapi. Obat Jamur. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 5. Jakarta. 2012.
24