LAPORAN KASUS
TINEA CRURIS
(Eczema marginatum)
Oleh :
Devi Taurina 0810710034
Nastiti Ayu Perdani 0810710085
Irene Lampita 0810710061
Pembimbing :
dr. Arif Widiatmoko, SpKK
LABORATORIUM / SMF KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR MALANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit infeksi jamur, masih memiliki prevalensi yang cukup tinggi di
Indonesia, mengingat negara kita beriklim tropis yang mempunyai kelembapan
tinggi. Jamur bisa hidup dan tumbuh di mana saja, baik di udara, tanah,
air, pakaian, bahkan di tubuh manusia. Jamur bisa menyebabkan penyakit yang
cukup parah bagi manusia. Penyakit tersebut antara lain mikosis yang
meyerang langsung pada kulit, mikotoksitosis akibat mengonsumsi toksin
jamur yang ada dalam produk makanan, dan misetismus yang disebabkan oleh
konsumsi jamur beracun1.
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum,
dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan
dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi akut dapat
terbatas pada daerah genitor-krural saja, atau meluas ke daerah sekitar
anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain.
Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas.
Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya. Efloresensi
terdiri atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfi). Bila
penyakit ini menjadi menahun dapat berupa bercak hitam disertai sedikit
sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan.2
Kebanyakan Tinea cruris penyebarannya pada musim panas dan banyak
berkeringat. Paling banyak di daerah tropis. Penyebab terseringnya
Epidermophyton Floccosum, namun dapat pula oleh T. Rubrum dan T.
Mentagrophytes, yang ditularkan secara langsung atau tak langsung. Laki-
laki sering dijumpai daripada perempuan dengan perbandingan 3:1.3 Pada
orang dewasa lebih sering dijumpai daripada anak-anak. Pada daerah yang
kebersihannya kurang diperhatikan juga beresiko serta lingkungan yang kotor
dan lembap.4
Penulisan makalah laporan kasus dapat meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman dokter muda mengenai penegakan anamnesa Tinea Cruris dalam
anamnesa, pemeriksaan fisik, penunjang, penatalaksanaan, serta penanganan
prognosis yang tepat.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : Tn. M
Umur : 84 tahun
Jenis kelamin : Pria
Alamat : Tajinan
Agama : Islam
Tanggal pemeriksaan : 9 Juli 2013
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama:
Gatal di daerah pantat dan selangkangan
Riwayat Penyakit Sekarang (autoanamnesa):
Pasien mengeluhkan adanya gatal di daerah pantat dan selangkangan.
Gatal ini dirasakan sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu, gatal dirasakan
terus menerus, tidak memberat pada malam hari.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya
Riwayat Pengobatan:
Pasien mendapat pengobatan dari Puskesmas setempat berupa salep,
tetapi pasien tidak tahu namanya. Setelah menggunakan salep tersebut,
pasien tidak merasa membaik, dan pasien merasakan gatalnya bertambah
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.
Riwayat Psikososial:
Pasien mandi 2 kali sehari menggunakan air sumur
2.3 Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaraan : Compos Mentis
Kepala : Dalam Batas Normal
Leher : Dalam batas Normal
Thorax : Dalam Batas Normal
Abdomen : Dalam Batas Normal
Alat kelamin : Lihat Status Dermatologis
Ekstermitas : Dalam Batas Normal
2.4 Status Dermatologis
Gambar 2.1 Gambaran Lesi disekitar Lipat Paha dan Pantat
Lokasi: pantat dan lipat paha
Distribusi: Terlokalisir
Ruam: Plak eritematosa, berskuama, batas tegas, ukuran diameter lebih
dari 10 cm, tepian polisiklik dengan central healing
2.5 Diagnosis Banding
Eritrasma
Kandidosis intertriginosa
2.6 Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan langsung dengan KOH 10%
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menemukan jamur yang dicurigai
sebagai penyebab tinea cruris pada pasien, yaitu jamur jenis. Hasil
pemeriksaan yang positif akan menunjukkan gambaran hifa bersepta.
" " "
2.7 Diagnosis
Tinea cruris
2.8 Penatalaksanaan
1. Medikamentosa:
Sistemik : ketoconazole tablet 200 mg / hari
Topikal: ketoconazole 2% cream dipakai 2x sehari setelah mandi
2. Non Medikamentosa:
Menggunakan pakaian dalam atau baju yang menyerap keringat
Menjaga kebersihan badan
Kontrol 2 minggu kemudian
2.9 Prognosis
1. Prognosis ad functionam: baik
2. Prognosis ad sanam: baik
3. Prognosisad kosmetikam: baik
BAB III
PEMBAHASAN
1. Patogenesis
Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung.
Penularan langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut yang mengandung
jamur baik dari manusia, binatang, atau tanah. Penularan tidak langsung
dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, pakaian debu. Agen
penyebab juga dapat ditularkan melalui kontaminasi dengan pakaian, handuk
atau sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea pedis, tinea inguium,
dan tinea manum.6
Penularan langsung yang mungkin pada infeksi dermatofita adalah kulit
yang luka, jaringan parut, dan adanya luka bakar. Infeksi ini disebabkan
oleh masuknya artrospora atau konidia. Patogen menginvasi lapisan kulit
yang paling atas, yaitu pada stratum korneum, lalu menghasilkan enzim
keratinase dan menginduksi reaksi inflamasi pada tempat yang terinfeksi.
Inflamasi ini dapat menghilangkan patogen dari tempat infeksi sehingga
patogen akan mencari tempat yang baru di bagian tubuh. Perpindahan
organisme inilah yang menyebabkan gambaran klinis yang khas berupa central
healing. 7
Dermatofita dapat bertahan pada stratum korneum kulit manusia karena
stratum korneum merupakan sumber nutrisi untuk pertumbuhan dermatofita dan
untuk pertumbuhan miselia jamur. Infeksi dermatofita dapat terjadi melalui
tiga tahap : adhesi pada keratinosit, penetrasi dan perkembangan respon
host.7
1. Adhesi pada keratinosit
Adhesi dapat terjadi jika fungi dapat melalui barier agar artrokonidia
sebagai elemen yang infeksius dapat menempel pada keratin. Organisme
ini harus dapat bertahan dari efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan
kelembapan, kompetisi dengan flora normal, dan zat yang dihasilkan
oleh keratinosit. Asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea
bersifat fungistatik.
2. Penetrasi
Setelah adhesi, spora harus berkembang biak dan melakukan
penetrasi pada stratum korneum. Penetrasi didukung oleh sekresi
proteinase, lipase dan enzim musinolitik yang juga menyediakan nutrisi
untuk fungi ini. Trauma dan maserasi juga memfasilitasi penetrasi dan
merupakan faktor yang penting juga pada patogensis tinea. Mannan yang
terdapat pada dinding sel jamur menyebabkan penurunan proliferasi
keratinosit. Pertahanan yang baru timbul pada lapisan kulit yang lebih
dalam, termasuk kompetisi besi oleh transferin yang belum tersaturasi
dan dapat menghambat pertumbuhan jamur yang didukung oleh progesteron.
3. Perkembangan respon host
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu status imun
penderita dan organisme itu sendiri. Deteksi imun dan kemotaksis pada
sel yang mengalami inflamasi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme.
Beberapa jamur menghasilkan kemotatik faktor seperti yang dihasilkan
juga oleh bakteri. Jamur juga bisa mengaktivasi komplemen melalui
jalur alternatif, yang kemudia menghasilkan faktor kemotatik berasal
dari komplemen
Pembentukan antibodi tidak memberikan perlindungan pada infeksi
dermatofita, seperti yang terlihat pada penderita yang mengalami
infeksi dermatofita yang luas juga menunjukkan titer antibodi yang
meningkat namun tidak berperan untuk mengeliminasi jamur ini. Akan
tetapi, reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) berperan dalam
melawan dermatofita. Respon dari imunitas seluler diperankan oleh
interferon Y yang diatur oleh sel Th1. Pada pasien yang belum pernah
mendapatkan paparan dermatofita sebelumnya, infeksi primer akan
menghasilkan inflamasi yang ringan. Infeksi akan tampak sebagai
eritema dan skuama ringan, sebagai hasil dari perceptan tumbuhnya
keratinosit.
Penelitian yang baru menunjukkan bahwa munculnya respon imun
berupa reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1) atau tipe lambat
(tipe IV) terjadi pada individu yang berbeda. Antigen dari dermatofita
menstimulasi produksi IgE, yang berperan dalam reaksi
hipersensitivitas tipe cepat, terutama pada penderita dermatofitosis
kronik. Dalam prosesnya, antigen dermatofita melekat pada antibodi IgE
pada permukaan sel mast kemudian menyebabkan cross linking dari IgE.
Hal ini dapat menyebabkan terpicunya degranulasi sel mast dan
melepaskan histamin serta mediator proinflamasi lainnya.
2. Gejala Klinis
Gejala yang ditemukan pada pasien dengan tinea cruris adalah
adanya rasa gatal dan kemerahan di regio inguinalis dan dapat meluas
ke sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke
supra pubis dan abdomen bagian bawah. Riwayat pasien sebelumnya adalah
pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada pada tempat yang
beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar pakaian dengan
orang lain, aktif berolahraga, menderita diabetes mellitus.6
Pada pasien ini, didapatkan bahwa terdapat rasa gatal dan
kemerahan di lipatan paha sampai ke pantat, pasien tinggal di daerah
yang beriklim agak lembap, higienitas tidak baik dan pasien menyangkal
adanya riwayat diabetes mellitus.
Adanya rasa gatal yang dialami oleh pasien disebabkan oleh
antigen dari dermatofita menstimulasi produksi IgE, yang berperan
dalam reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Dalam prosesnya, antigen
dermatofita melekat pada antibodi IgE pada permukaan sel mast kemudian
menyebabkan cross linking dari IgE. Hal ini dapat menyebabkan
terpicunya degranulasi sel mast dan melepaskan histamin serta mediator
proinflamasi lainnya.
Iklim yang lembap dan penggunaan pakaian dalam yang ketat dapat
memicu pertumbuhan jamur apabila higienitas daerah tubuh tersebut
tidak terjaga dengan baik. Pada penyakit diabetes mellitus, sistem
imun menurun sehingga mudah terserang infeksi, termasuk infeksi jamur.
7
3. Diagnosis
Untuk mendapatkan diagnosis tinea cruris pada pasien ini,
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.6
1. Anamnesis
Keluhan penderita adalah rasa gatal dan kemerahan di regio
inguinalis dan dapat meluas ke sekitar anus, intergluteal sampai ke
gluteus. Dapat pula meluas ke supra pubis dan abdomen bagian bawah.
Rasa gatal akan semakin meningkat jika banyak berkeringat. Riwayat
pasien sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien
berada pada tempat yang beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat,
bertukar pakaian dengan orang lain, aktif berolahraga, menderita
diabetes mellitus. Penyakit ini dapat menyerang pada tahanan
penjara, tentara, atlit olahraga dan individu yang beresiko terkena
dermatophytosis.6
2. Pemeriksaan Fisik
Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan
sekunder. Makula eritematosa, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif
terdiri dari papula atau pustula. Jika kronis atau menahun maka
efloresensi yang tampak hanya makula hiperpigmentasi dengan skuama
diatasnya dan disertai likenifikasi. Garukan kronis dapat
menimbulkan gambaran likenifikasi.6
Manifestasi tinea cruris :6
1. Makula eritematus dengan central healing di lipatan inguinal,
distal lipat paha, dan proksimal dari abdomen bawah dan pubis.
2. Daerah bersisik
3. Pada infeksi akut, bercak-bercak mungkin basah dan eksudatif.
Sedangkan pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan
skuama diatasnya dan disertai likenifikasi
4. Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula
eritematus yang tersebar dan sedikit skuama
5. Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena
6. Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi, dan
impetiginasi mungkin muncul karena garukan
7. Infeksi kronis bisa oleh karena pemakaian kortikosteroid
topikal sehingga tampak kulit eritematus, sedikit berskuama,
dan mungkin terdapat pustula folikuler
8. Hampir setengah penderita tinea cruris berhubungan dengan tinea
pedis
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis
terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada
pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan
klinis berupa kerokan kulit yang sebelumnya dibersihkan dengan
alkohol 70%.6
a. Pemeriksaan dengan sediaan basah
Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% kerok skuama dari bagian
tepi lesi dengan memakai scalpel atau pinggir gelas taruh di
obyek glass tetesi KOH 10-15 % 1-2 tetes tunggu 10-15 menit
untuk melarutkan jaringan lihat di mikroskop dengan pembesaran
10-45 kali, akan didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar,
terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet
(artrospora) pada kelainan kulit yang lama atau sudah diobati,
dan miselium
b. Pemeriksaan kultur dengan Sabouraud agar
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada
medium saboraud dengan ditambahkan chloramphenicol dan
cyclohexamide (mycobyotic-mycosel) untuk menghindarkan
kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan. Identifikasi
jamur biasanya antara 3-6 minggu
c. Punch biopsi
Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun
sensitifitasnya dan spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan
Peridoc Acid–Schiff, jamur akan tampak merah muda atau
menggunakan pengecatan methenamin silver, jamur akan tampak
coklat atau hitam
Pada pasien ini didapatkan dari anamnesis berupa gatal dan kulit
berwarna kemerahan seperti yang sudah dijelaskan di bagian gejala. Kemudian
dari pemeriksaan fisik didapatkan plak eritematosa, skuama, papul, bagian
tepi aktif dengan central healing.
Gambar 3.1 Lesi pada daerah Lipat Paha dan Pantat
Plak eritematosa adalah kemerahan pada kulit dengan diameter lebih
dari 1 cm yang terjadi akibat kongesti kapiler. Skuama adalah sistik yang
berupa stratum korneum yang terlepas dari kulit sehingga merupakan
akumulasi keratin dalam jumlah besar. Central healing adalah proses
penyembuhan yang berada di bagian tengah lesi, sedangkan bagian tepi lesi
masih aktif. Umumnya central healing terjadi pada penyakit yang disebabkan
oleh jamur dikarenakan sifat jamur yang tumbuh secara radier dan adanya
produksi enzim keratolisis. 8
Kemudian dilakukan juga pemeriksaan kerokan lesi kulit dengan KOH 10%
ditemukan hifa bersepta.
Pemeriksaan kerokan lesi kulit dengan KOH 10% adalah salah satu jenis
pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis penyakit akibat jamur
dengan cara mengerok pada bagian lesi. Kerokan dilakukan secara satu arah
dan umumnya dipilih lesi bagian tepi. Hifa adalah filamen atau benang yang
membentuk miselium fungi. Hifa terlihat pada pemeriksaan langsung penyakit
jamur yang disebabkan oleh jenis kapang (seperti: tinea), sedangkan pada
jenis khamir (seperti: Candida albicans) akan terlihat pseudohifa. Spora
adalah unsur reproduktif yang dapat berisifat seksual atau aseksual dari
organisme tingkat rendah. 8
Berdasar tinjauan manifestasi klinis dan interpretasi hasil
pemeriksaan, kemungkinan besar pasien menderita dermatofitosis, yaitu
penyakit akibat jamur Dermatofita yang menyerang bagian tubuh yang
mengandung keratin, misalnya: stratum korneum. Stratum korneum berifat jauh
dari sistem imun, terdiri dari sel mati, serta banyak mengandung lipid dan
karbohidrat sehingga cocok untuk media pertumbuhan jamur. Jenis
dematofitosis yang diderita pasien adalah tinea cruris karena faktor
predileksi yang berlokasi di lipat paha. Dermatofita menghasilkan mannan
yang dapat menghambat determinasi jamur oleh hospes dengan melakukan
imunosupresi pada kekebalan dimediasi sel. Penyakit tinea cruris disebabkan
oleh jamur golongan Tricophyton sp., Mycrosporum sp. dan Epidermophyton
fluoccosum. Tricophyton rubrum dan Epidermophyton fluoccosum adalah spesies
yang paling sering muncul. Tinea cruris dapat terjadi pada pria maupun
wanita, namun wanita memiliki kemungkinan lebih besar untuk terserang
penyakit ini karena adanya obesitas pada daerah paha dan sering memakai
pakaian ketat. 8
4. Penatalaksanaan
Infeksi tinea corporis, cruris, dan pedis dapat diterapi dengan agen
topikal maupun sistemik. Untuk mengobati dermatofitosis, perlu
dipertimbangkan juga faktor lingkungan yang menyebabkan infeksi tinea dan
memilih terapi topikal yang tepat untuk infeksi 9. Pada kasus ini terapi
dibagi menjadi terapi nonfarmakologi dan farmakologi dengan agen anti-
jamur.
Nonfarmokologi
Fungi atau jamur tumbuh dengan subur pada lingkungan lembab sehingga
pasien disarankan untuk menggunakan pakaian dan kaos kaki yang longgar
berbahan katun atau bahan sintetis yang tidak membuat kulit lembab. Area
yang rentan terinfeksi harus benar-benar kering sebelum memakai pakaian.
Pasien juga disarankan untuk menghindari berjalan telanjang kaki dan
berbagi pakaian dengan orang lain9.
Farmakologi dengan Agen Anti-Jamur
Pada kasus ini diberikan ketoconazole sistemik dan topikal. Agen anti-
jamur dapat dikelompokkan berdasarkan struktur dan mekanisme kerjanya. Dua
kelompok agen anti-jamur adalah golongan azole dan allylamine. Azole
menghambat enzim lanosterol 14-alfa-demetilase, sebuah enzim yang mengubah
lanosterol menjadi ergosterol, yang merupakan komponen penting dinding sel
jamur. Kerusakan membran mengakibatkan permasalahan permeabilitas sehingga
jamur tidak dapat bereproduksi. Allylamine menghambat squalen epoxidase,
sebuah enzim yang mengubah squalene menjadi ergosterol, mengakibatkan
akumulasi squalene sampai tingkat toksik pada sel dan sel mati. Kedua kelas
agen anti-jamur tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik. Agen lain
yang tidak termasuk dalam 2 kelas agen di atas antara lain tolnaftate
(Tinactin), haloprogin (Halotex), ciclopirox (Loprox), dan butenafine
(Mentax) (Tabel 1). Sebagian besar digunakan dua kali sehari selama 2-4
minggu9,10.
Obat per oral yang efektif untuk dematofitosis yaitu ketoconazole yang
bersifat fungistatik. Pada kasus-kasus resisten terhadap griseofulvin dapat
diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari-2 minggu
pada pagi hari setelah makan. Ketoconazole merupakan kontraindikasi untuk
kelainan hepar2.
Tabel 1
Agen Anti-Jamur dan Bentuk Sediaannya
"Agen "Rx/OTC "Solusio/s"Lotion "Krim "Gel/sale"Serbuk "
" " "pray " " "p " "
"Tolnaftate "OTC "Ya "Ya "Ya "Ya "Tidak "
"(Tinactin) " " " " " " "
"Haloprogin "Rx "Ya "Tidak "Ya "Tidak "Tidak "
"(Halotex) " " " " " " "
"Cicloporix "Rx "Lacquer "Ya "Ya "Tidak "Tidak "
"(Loprox) " " " " " " "
"Clotrimazole"OTC "Ya "Ya "Ya "Tidak "Tidak "
"(Lotrimin) " " " " " " "
"Miconazole "OTC "Ya "Ya "Ya "Tidak "Ya "
"(Micatin) " " " " " " "
"Ketoconazole"Rx "Shampoo "Tidak "Ya "Tidak "Tidak "
"(Nizoral) " " " " " " "
"Sulconazole "Rx "Tidak "Tidak "Ya "Tidak "Tidak "
"(Exelderm) " " " " " " "
"Oxiconazole "Rx "Tidak "Ya "Ya "Tidak "Tidak "
"(Oxistat) " " " " " " "
"Econazole "Rx "Tidak "Tidak "Ya "Tidak "Tidak "
"(Spectazole)" " " " " " "
"Butenarfine "Rx "Tidak "Tidak "Ya "Tidak "Tidak "
"(Mentax) " " " " " " "
"Naftifine "Rx "Tidak "Tidak "Ya "Ya "Tidak "
"(Naftin) " " " " " " "
"Terbinafine "Rx "Ya "Tidak "Ya "Tidak "Tidak "
"(Lamisil) " " " " " " "
"Clotrimazole"Rx "Tidak "Tidak "Ya "Tidak "Tidak "
"/BMD " " " " " " "
"(Lotrisone) " " " " " " "
Rx = Resep, OTC= over-the-counter, BMD = betamethasone dipropionate
Sumber: American Family Physician, 2002
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1.
4.2 Saran
TINJAUAN PUSTAKA
1. Wed. Jangan anggap remeh jamur kulit. 25 Mei, 2004. sumber :
http://gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1085454401,65023.
(diakses tanggal 13 Juli 2013)
2. Utama H, 2009, FKUI, Jakarta: IKK
3. Janik, M. P., &Heffernan, M. P. Superficial Fungal Infection :
Dermathopytosis, Onycomycosis, Tinea nigra, Piedra . In: Fitzpatrick
Dermatology in General Medicine. McGraw-Hill: USA. 2008. p 1807-1822.
4. Siregar, R.S. 2005. Atlas berwarna Saripati penyakit kulit.
Jakarta:EGC
5. Review on dermatomycosis: pathogenesis and treatment Deepika T.
Lakshmipathy, Krishnan Kannabiran* Vol.2, No.7, 726-731 (2010)
6. Mila. 2011. Tinea cruris. http://doktercute.blogspot.com/2011/01/tinea-
cruris.html (diakses tanggal 13 Juli 2013)
7. Price SA,Wilson L.M. Patofisiologi. Edisi Keenam. 2006. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
8. Olifvia. 2011. Infeksi Jamur.
http://dokterolifvia.blogspot.com/2011/05/infeksi-jamur.html (diakes
tanggal 14 Juli 2013)
9. Weinstein, A., Berman, B. 2002. Topical Treatment of Common
Superficial Tinea Infections. American Family Physician. Volume 65,
No. 10. University of Miami School of Medicine,Miami, Florida.
10. Wiederker, M. 2012. Tinea Cruris. Medscape
http://emedicine.medscape.com/article/1091806-medication#2. (Diakses
tanggal 14 Juli 2013.)