1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanganan segera yang sering berupa tindak bedah, misalnya pada perforasi, obstruksi, atau perdarahan masif di rongga perut maupun di saluran cerna. Infeksi, obstruksi, atau strangulasi saluran cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.
1,2
Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. Peritonitis menggambarkan sebuah penyebab penting morbiditas dan mortalitas bedah.
1,3,4
Peritonitis dapat terjadi secara lokalisata maupun generalisata, dan diperkirakan melalui tiga fase: pertama, fase pembuangan cepat kontaminankontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik; kedua, fase interaksi sinergistik antara aerob dan anaerob; dan ketiga; fase usaha pertahanan tubuh untuk melokalisasi infeksi. Peritonitis generalisata umumnya sering berhubungan dengan disfungsi/kegagalan disfungsi/kegagalan organ, dan mortalitas dapat mencapai 20-40%.
4
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara – RSUP H. Adam Malik Medan dan meningkatkan pemahaman penulis maupun pembaca mengenai aspek anestesi pada peritonitis.
2
1.3. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman mengenai aspek anestesi pada peritonitis yang berlandaskan teori sehingga peritonitis dapat dikenali dan ditatalaksana sedini mungkin sesuai kompetensinya pada tingkat pelayanan primer.
3
BAB 2 ISI
2.1. Anatomi dan Fisiologi Peritoneum
Peritoneum merupakan membran serosa terbesar tubuh, yang terdiri dari selapis epitel gepeng (mesotelium) dengan lapisan penyokong berupa jaringan penghubung areolar yang mendasarinya. Peritoneum dibagi menjadi peritoneum parietal yang melapisi dinding kavum abdominopelvik, dan peritoneum viseral yang melapisi beberapa organ di dalam kavum. Suatu ruang sempit yang mengandung cairan serosa pelumas yang berada di antara peritoneum parietal dan viseral disebut kavum peritoneum. Pada beberapa penyakit, kavum peritoneum dapat membesar akibat akumulasi beberapa liter cairan, dan kondisi ini disebut 5
asites.
Beberapa organ berada pada bagian posterior dari dinding abdomen dan dilapisi peritoneum hanya pada permukaan anteriornya saja. Organ-organ tersebut tidak berada di dalam kavum peritoneum. Organ-organ seperti ginjal, kolon asenden dan desenden, duodenum dari usus halus, dan pankreas disebut sebagai organ retroperitoneal.
5
Tidak seperti perikardium dan pleura yang melindungi jantung dan paru, peritoneum mengandung lipatan-lipatan besar yang melingkupi visera. Lipatanlipatan tersebut mengikat organ-organ satu sama lain dan juga mengikat dinding kavum abdomen. Lipatan-lipatan tersebut juga mengandung pembuluh darah, saluran limfe, dan saraf-saraf yang menyuplai organ-organ pada abdomen. Ada lima lipatan peritoneum utama, yakni omentum besar, ligamentum falsiformis, omentum kecil, mesenterium, dan mesokolon.
5
Peritoneum parietal mendapat inervasi dari nervus interkostalis 8-11 dan nervus subkostalis. Peritoneum parietal yang melapisi sisi kaudal diafragma diinervasi oleh nervus frenikus (v.c 3-5). Peritoneum viseral mendapat inervasi sesuai organ yang ditutupinya.
5
Peritoneum berfungsi untuk mengurangi gesekan antar organ intra abdomen agar dapat bergerak bebas. Peritoneum menghasilkan cairan peritoneum sekitar
4
100 cc berwarna kuning jernih. Jika terjadi cedera peritoneum, daerah defek mesotelium akan segera ditutupi oleh mesotelium sekitarnya dan sembuh dalam waktu 3-5 hari. Jika cedera cukup luas dan membran basalis terpapar cairan peritoneum maka akan memacu timbulnya jaringan fibrosis sehingga timbul adhesi yang akan mencapai maksimal 2-3 minggu setelah cedera.
6
2.2. Peritonitis 2.2.1. Definisi
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, selsel, dan pus; biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada abdomen, konstipasi, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada peritoneum.
1,3,7
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-kecilan), namun apabila terjadi kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, hal tersebut t ersebut merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya 7
peritonitis.
2.2.2. Etiologi
Peritonitis umumnya disebabkan oleh bakteri, namun dapat juga disebabkan oleh zat kimia (aseptik), empedu, tuberkulosis, klamidia, diinduksi obat atau diinduksi oleh penyebab lainnya yang jarang. Peritonitis bakterial dapat diklasifikasikan primer atau sekunder, bergantung pada apakah integritas saluran gastrointestinal telah terganggu atau tidak.
4
Peritonitis bakterial primer (Spontaneous Bacterial Peritonitis /SBP) merupakan infeksi bakteri yang luas pada peritoneum tanpa hilangnya integritas saluran gastrointestinal. Hal ini jarang terjadi, tetapi t etapi umumnya muncul wanita usia remaja. 90% kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba. Streptococcus pneumoniae biasanya merupakan organisme penyebabnya. Faktor risiko yang
berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intra abdomen, imunosupresi, dan splenektomi. Kelompok risiko tinggi adalah pasien dengan
5
sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
3,4,6,7
Peritonitis bakterial sekunder merupakan infeksi peritoneum akut yang terjadi akibat hilangnya integritas saluran gastrointestinal. Kuman aerob dan anaerob sering terlibat, dan kuman tersering adalah Escherichia coli dan Bacteroides fragilis.
4
Bakteri dapat menginvasi kavum peritoneum melalui empat cara: (1) invasi langsung dari lingkungan eksternal (misalnya pada luka tusuk abdomen, infeksi saat laparatomi); (2) translokasi dari organ dalam intra abdomen yang rusak (misalnya pada perforasi ulkus duodenum, gangren usus yakni pada apendisitis, trauma, atau iatrogenik pada bocornya anastomosis); (3) melalui aliran darah dan/atau translokasi usus, misalnya pada peritonitis primer dimana terjadi tanpa sumber infeksi yang jelas (sebagai contoh peritonitis Streptococcus β -hemolyticus -hemolyticus primer dan pasien post splenektomi, SBP pada pasien dengan gagal hati dan asites); dan (4) melalui saluran reproduksi wanita (misalnya penyebaran langsung dari lingkungan eksternal, peritonitis pneumkokus primer, salpingitis akut, perforasi uterus akibat alat intra uterus).
4
Peritonitis akibat zat kimia (aseptik) terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus peritonitis, dan biasanya sekunder dari perforasi ulkus duodenum atau gaster. Peritonitis steril akan berlanjut menjadi peritonitis bakterial dalam waktu beberapa jam akibat transmigrasi mikroorganisme (misalnya dari usus).
4
Peritonitis biliaris merupakan bentuk yang jarang dari peritonitis steril dan dapat terjadi berbagai sumber penyebab: iatrogenik (misalnya kelicinan saat penyatuan duktus sistikus saat kolesistektomi), kolesistitis akut, trauma, dan 4
idiopatik.
Bentuk
peritonitis
lainnya
yang
dapat
terjadi
adalah
peritonitis
tuberkulosis, peritonitis klamidia, dan peritonitis akibat obat dan benda asing.
4
2.2.3. Patofisiologi
Peritonitis diperkirakan melalui tiga fase: pertama, fase pembuangan cepat kontaminan-kontaminan kontaminan-kontaminan dari kavum peritoneum p eritoneum ke sirkulasi sistemik; kedua, fase
6
interaksi sinergistik antara aerob dan anaerob; dan ketiga; fase usaha pertahanan tubuh untuk melokalisasi infeksi.
4
Pada fase pertama terjadi pembuangan cepat kontaminan-kontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik. Hal ini terjadi karena cairan peritoneum yang terkontaminasi bergerak ke arah sefal sebagai respons terhadap perbedaan gradien tekanan yang dibuat oleh diafragma. Cairan tersebut melewati stomata pada peritoneum diafragmatika dan diabsorpsi ke lakuna limfatik. Cairan limfe akan mengalir ke duktus limfatikus utama melalui nodus substernal. Septikemia yang terbentuk umumnya melibatkan bakteri Gram negatif fakultatif anaerob dan berhubungan berhubungan dengan morbiditas yang tinggi.
4
Pada fase kedua terjadi interaksi sinergistik antara kuman aerob dan anaerob dimana mereka akan menghadapi sel-sel fagosit dan komplemen pejamu. Aktivasi komplemen merupakan kejadian awal pada peritonitis dan melibatkan imunitas bawaan dan didapat. Aktivasi tersebut muncul terutama melalui jalur klasik, dengan jalur alternatif dan lektin yang membantu. Surfaktan fosfolipid yang diproduksi oleh sel mesotel peritoneum bekerja secara sinergis dengan komplemen untuk meningkatkan opsonisasi dan fagositosis. Sel mesotel peritoneum juga merupakan sekretor poten mediator pro-inflamasi, termasuk interleukin-6 , interleukin-8 , monocyte chemoattractant protein-1, macrophage
1α, dan tumor necrosis factor-α. Oleh karena itu, sel inflammatory protein-1α, mesotel peritoneum memegang peranan penting pada jalur pensinyalan sel untuk memanggil sel-sel fagosit ke kavum peritoneum dan upregulation sel mast dan fibroblas pada submesotelium.
4
Pada fase ketiga terjadi usaha sistem pertahanan tubuh untuk melokalisasi infeksi, terutama melalui produksi eksudat fibrin yang mengurung mikroba di dalam matriksnya dan mempromosikan mekanisme efektor fagositik lokal. Eksudat fibrin tersebut juga mempromosikan perkembangan abses. Pengaturan pembentukan dan degradasi fibrin merupakan hal vital pada proses ini. Aktivitas pengaktifan plasminogen yang dibuat oleh sel mesotel peritoneum menentukan apakah fibrin yang terbentuk setelah cedera peritoneum dilisiskan atau dibentuk menjadi adhesi fibrin. Secara khusus, tumor necrosis factor-α menstimulasi
7
produksi plasminogen activator-inhibitor-1 activator-inhibitor-1 oleh sel mesotel peritoneum, yang menghambat degradasi fibrin.
4
2.2.4. Manifestasi Klinis
Pada peritonitis terjadi pergeseran cairan dan gangguan metabolik. Frekuensi jantung dan frekuensi napas pada awalnya akan meningkat sebagai hasil dari refleks volumetrik, intestinal, diafragmatik, dan nyeri. Asidosis metabolik dan peningkatan sekresi aldosteron, antidiuretic hormone (ADH), dan katekolamin yang juga menyusul akan mengubah cardiac output dan respirasi. Protein akan dirusak dan glikogen hati dimobilisasikan akibat tubuh sedang memasuki suatu keadaan katabolisme yang hebat. Ileus paralitik dapat terjadi, yang kemudian akan menyebabkan sekuestrasi hebat cairan, dan hilangnya elektrolit dan eksudat kaya protein. Distensi abdomen yang hebat akan menyebabkan elevasi diafragma, dan akan menyebabkan atelektasis dan pneumonia. Gagal organ multipel, koma, dan kematian akan mengancam jika peritonitis tetap berlangsung dan gagal untuk terlokalisasi.
4
2.2.5. Diagnosis
Diagnosis peritonitis biasanya secara klinis. Anamnesis sebaiknya termasuk operasi abdomen yang baru saja, peristiwa sebelum peritonitis, perjalanan anamnesis, penggunaan agen immunosuppresif, dan adanya penyakit (contoh: inflammatory bowel disease, diverticulitis, peptic ulcer disease ) yang mungkin menjadi predisposisi untuk infeksi intra abdomen.
3
Pada pemeriksaan fisik, banyak dari pasien yang mempunyai suhu tubuh o
lebih dari 38 C, meskipun pasien dengan sepsis berat bisa menjadi hipotermi. Takikardia bisa ada, sebagai hasil dari pelepasan mediator inflamasi, dan hipovolemia intravaskular akibat muntah dan demam. Dengan dehidrasi progresif, pasien bisa menjadi hipotensif (5-14% pasien), juga oliguria atau anuria. Dengan peritonitis berat, akan tampak jelas syok sepsis. Syok hipovolemik dan gagal organ multipel pun dapat terjadi.
3,4
8
Ketika melakukan pemeriksaan abdomen pasien yang dicurigai peritonitis, posisi pasien harus supinasi. Bantal dibawah lutut pasien bisa membuat dinding abdominal relaksasi.
3
Pada pemeriksaan abdomen, hampir semua pasien menunjukkan tenderness pada palpasi, juga menunjukkan kekakuan dinding abdomen.
Peningkatan tonus muskular dinding abdomen mungkin volunter, respons involunter sebab iritasi peritoneum. Abdomen sering mengembung dengan suara usus hipoaktif atau tidak ada. Tanda gagal hepatik (contoh: jaundice, angiomata) bisa terjadi. Pemeriksaan rektal sering meningkatkan nyeri abdomen, terutama dengan inflamasi organ pelvik, tetapi jarang mengindikasikan diagnosis spesifik. Massa inflamasi kenyal di kanan bawah mengindikasikan appendisitis, dan 3,7
fluktuasi dan penuh bagian anterior bisa mengindikasikan cul de sac abscess .
Pada pasien wanita, penemuan pemeriksaan bimanual dan vaginal bisa dengan penyakit inflamasi pelvik (contoh: endometriosis, salpingo-ooforitis, salpingo-ooforitis, abses tubo-ovarian), tetapi pada pemeriksaan sulit untuk menginterpretasikan peritonitis 3
berat.
Pemeriksaan fisik lengkap penting untuk menghindari adanya gejala yang mirip dengan peritonitis. Masalah toraks dengan iritasi diafragma (contoh: empiema), ekstraperitoneal (pielonefritis, sistitis, retensi urin akut), dan dinding abdomen (contoh: infeksi, hematoma rektus) bisa meniru tanda dan gejala pasti 3
dari peritonitis.
Jadi keluhan pokok pada peritonitis adalah nyeri abdomen dan lemah. Sedangkan tanda penting yang dapat dijumpai pada pasien peritonitis antara lain pasien tampak ketakutan, diam atau tidak mau bergerak, perut kembung, nyeri tekan abdomen, defans muskular, bunyi usus berkurang atau menghilang, dan pekak hati menghilang.
3
Hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat ditemukan pada pasien peritonitis antara lain leukositosis, peningkatan hematokrit, dan asidosis 6
metabolik.
Prediktor tunggal paling baik dari SBP adalah jumlah neutrofil cairan asites ≥ 500 sel /µL, /µ L, dengan sensitivitas 86% dan spesifisitas 98%. Cairan
9
peritoneum seharusnya dievaluasi untuk glukosa, protein, Laktat Dehidrogenase (LDH), jumlah sel, pewarnaan gram, dan kultur aerobik dan anaerobik. Cairan peritoneum pada peritonitis bakterial umumnya menunjukkan pH rendah dan level glukosa munurun dengan level LDH dan protein meningkat. Biasanya, pH cairan asites < 7,34 adalah diagnosis SBP. SBP ditegakkan ketika jumlah PMN ≥ 250 sel/µL dengan hasil kultur bakterial positif. Keraguan menegakkan SBP jika hasil kultur cairan asites negatif tetapi jumlah PMN ≥ 250 sel/µL.
3
Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral). Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu (apendiks) atau karena sebab lain, tanda utama radiologi: (1) posisi supinasi, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan kekaburan pada kavum abdomen; (2) posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan sabit ( semilunar shadow); dan (3) posisi Left Lateral Decubitus (LLD), didapatkan free air intra peritoneal pada daerah perut
yang paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan dinding abdomen. Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada kavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.
6,8
2.2.6. Diagnosis Banding
Pneumonia basal, infark miokardium, gastroenteritis, hepatitis, dan infeksi saluran kemih mungkin sering salah didiagnosis dengan peritonitis. Penyebab lain nyeri abdomen yang hebat adalah obstruksi saluran cerna, kolik ureter, dan kolik 4
bilier.
2.2.7. Penatalaksanaan 2.2.7.1. Terapi Konservatif
Terapi medikamentosa diindikasikan jika: (1) infeksi telah terlokalisasi (misalnya appendix mass); (2) penyebab peritonitis tidak membutuhkan tindakan pembedahan (misalnya pankreatitis akut); (3) pasien tidak cocok untuk anestesi general anaesthesia (misalnya pada pasien lanjut usia, pasien sekarat umum/ general
10
dengan komorbiditas yang hebat); dan (4) fasilitas medis tidak dapat mendukung manajemen bedah yang aman. Elemen utama pada terapi medikamentosa adalah hidrasi cairan melalui i.v. line dan antibiotik spektrum luas. Terapi suportif sebaiknya mencakup early enteral feeding (daripada total parenteral nutrition) untuk pasien dengan sepsis abdomen yang kompleks di ICU.
4
2.2.7.2. Terapi Segera ( Immediate Immediate)
Penanganan pasien peritonitis saat pertama kali datang tetap mengikuti Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan kaidah primary survey ( Airway 9,10,11
Exposure).
Dalam hal airway, kelancaran jalan napas harus dijaga. dij aga. Penilaian adanya obstruksi jalan napas harus dilakukan segera. Selain melakukan pembebasan jalan napas, harus juga dijaga agar leher tetap dalam posisi netral.
9,10,11
Dalam hal breathing, penolong harus membebaskan leher dan dada sambil menjaga imobilisasi leher dan kepala. Lalu dinilai laju dan dalamnya pernapasan. Inspeksi dan palpasi leher dan dada dilakukan untuk menentukan adanya deviasi trakea, pemakaian otot pernapasan tambahan, dan tanda cedera lainnya. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi merupakan hal vital untuk semua pasien syok. Hipoksia dapat dipantau melalui pulse oximetry atau pemeriksaan Analisis Gas Darah (AGDA).
4,9,10,11
Dalam hal circulation, harus dilakukan kontrol perdarahan. Penilaian kecepatan, kualitas, dan keteraturan nadi harus dilakukan. Warna kulit dan tekanan darah juga harus dinilai. 2 i.v line berukuran besar harus segera dipasang, terutama pada pasien dengan ancaman syok. Pasien peritonitis umumnya datang dengan keadaan dehidrasi bahkan syok. Resusitasi cairan merupakan hal penting dalam menangani keadaan tersebut. Resusitasi cairan diawali dengan pemberian kristaloid i.v. hangat. Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan derajat dehidrasi dan syok. Substitusi elektrolit (terutama kalium) kadang diperlukan. Pasien perlu dipasang kateter urin untuk memantau urine output tiap jam. Sampel darah diambil untuk pemeriksaan darah rutin, analisis kimia, tes kehamilan, golongan darah dan cross match, dan AGDA.
4,9,10,11
11
Dalam hal disability, dilakukan pemeriksaan neurologis singkat. Tingkat kesadaran ditentukan dengan menggunakan skor Glasgow Comma Scale (GCS). Pupil dinilai besarnya dan refleks cahayanya. Dalam hal
exposure ,
pencegahan pencegahan hipotermia.
4,9,10,11
pakaian penderita dibuka dan dilakukan
9
Bila seluruh penilaian dan penangan awal pada primary survey sudah dilakukan dan pasien telah stabil, maka dapat dilakukan secondary survey . Pada secondary survey , dilakukan penilaian terhadap seluruh sistem organ secara
lengkap dan komprehensif, yakni sistem pernapasan ( breathing /B1), sistem peredaran darah ( blood /B2), sistem saraf (brain /B3), sistem saluran kemih (bladder /B4), sistem pencernaan pencernaan ( bowel /B5), /B5), dan sistem muskuloskeletal muskuloskeletal 9
(bone /B6).
Pasien peritonitis umumnya datang dengan keadaan dehidrasi bahkan mungkin syok. Dehidrasi dideskripsikan sebagai suatu keadaan keseimbangan cairan yang negatif atau terganggu yang bisa disebabkan oleh berbagai jenis penyakit. Dehidrasi terjadi karena kehilangan air ( output ) lebih banyak daripada pemasukan air (input ). ). Cairan yang keluar biasanya disertai dengan elektrolit.
12
Pada dehidrasi gejala yang timbul berupa rasa haus, berat badan turun, kulit bibir dan lidah kering, saliva menjadi kental. Turgor kulit dan tonus berkurang, apatis, gelisah, dan kadang-kadang disertai kejang. Akhirnya timbul gejala asidosis dan renjatan dengan nadi dan jantung yang berdenyut cepat dan lemah,
tekanan
Kussmaul.
darah
menurun,
kesadaran
menurun,
dan
pernapasan
12,13
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik, dehidrasi dapat dibagi menjadi dehidrasi ringan, sedang, dan berat.
2,12,13,14
Tabel 2.1. Klasifikasi Dehidrasi Berdasarkan Gejala Klinis dan Pemeriksaan Fisik Tanda-Tanda
Ringan
Sedang
Berat
Takikardi
Takikardi,
Takikardi,
hipotensi
sianosis, nadi sulit
Klinis
Hemodinamik
12
ortostatik,
nadi diraba,
lemah,
vena
akral
dingin
kolaps Jaringan
Mukosa
lidah Lidah
lunak,
Atonia,
mata
kering
keriput
cekung/corong
Turgor Kulit
<
<<
<<<
Urin
Pekat
Pekat,
jumlah Oliguria
menurun Kesadaran
Normal
Apatis, gelisah
Koma
Defisit
3-5% BB
6-8% BB
10% BB
Berdasarkan gambaran elektrolit serum, dehidrasi dapat dibagi menjadi: (1) dehidrasi hiponatremik atau hipotonik, (2) dehidrasi i sonatremik atau isotonik, dan (3) dehidrasi hipernatremik atau hipertonik.
12,13,14
Dehidrasi hiponatremik merupakan kehilangan natrium yang relatif lebih besar daripada air, dengan kadar natrium kurang dari 130 mEq/L. Apabila terdapat kadar natrium serum 120-125 mEq/L, maka akan terjadi keluhan pusing, mual, muntah, atau bingung. Apabila kadar natrium turun sampai di bawah 115 mEq/L, akan terjadi kejang, koma, bahkan kerusakan neurologis permanen. Kehilangan natrium dapat dihitung dengan rumus : Defisit natrium (mEq) = (135 - S Na) air tubuh total (dalam L) (0,6 x berat badan 12,13,14,15
dalam kg).
Dehidrasi isonatremik (isotonik) terjadi ketika hilangnya cairan sama dengan konsentrasi konsentrasi natrium dalam darah. Kehilangan natrium dan air adalah sama jumlahnya/besarnya jumlahnya/besarnya
dalam
kompartemen
cairan
ekstravaskular ekstravaskular
maupun
intravaskular. Kadar natrium pada dehidrasi isonatremik 130-150 mEq/L. Tidak ada perubahan konsentrasi elektrolit darah pada dehidrasi isonatremik.
12,13,14,15
Dehidrasi hipernatremik (hipertonik) terjadi ketika cairan yang hilang mengandung lebih sedikit natrium daripada darah (kehilangan cairan hipotonik), kadar natrium serum > 150 mEq/L. Kehilangan natrium serum lebih sedikit daripada air, karena natrium serum tinggi, cairan di ekstravaskular pindah ke
13
intravaskular
meminimalisir
penurunan
volume
intravaskular.
Dehidrasi
hipertonik dapat terjadi karena pemasukan ( intake) elektrolit lebih banyak daripada air. Cairan rehidrasi oral yang pekat, susu formula pekat, larutan gula garam yang tidak tepat takar merupakan faktor resiko yang cukup kuat terhadap kejadian hipernatremia. Terapi cairan untuk dehidrasi hipernatremik dapat sukar karena hiperosmolalitas berat dapat mengakibatkan kerusakan serebrum dengan perdarahan dan trombosis serebral luas, serta efusi subdural. Jejas serebri ini dapat mengakibatkan mengakibatkan defisit neurologis menetap.
12,13,14,15
Resusitasi cairan adalah tindakan mengganti kehilangn cairan tubuh yang hilang patologis kembali menjadi normal. Algoritme penanganan pasien dengan dehidrasi meliputi langkah-langkah berikut ini: (1) Pemasangan jalur intravena ukuran besar untuk akses pemberian terapi cairan; (2) Menilai kondisi umum pasien seperti hemodinamik, jaringan, turgor kulit, urin, dan kesadaran, untuk kemudian pasien diklasifikasikan berdasarkan derajat dehidrasinya; (3) Menghitung perkiraan kehilangan cairan berdasarkan derajat dehidrasi dan berat badan pasien; (4) Memberikan terapi cairan berdasarkan derajat dehidrasinya dimana pasien dengan dehidrasi berat, dilakukan pemberian cairan awal (dehidrasi tahap cepat) dengan kecepatan 20-40 ml/kgBB/jam selama 30-60 menit. Selanjutnya diberikan terapi cairan tahap lambat yang dibagi menjadi 2 bagian, yaitu 8 jam pertama dan 16 jam berikutnya. Pada 8 jam pertama, diberikan setengah dari kekurangan cairan yang telah dihitung sebelumnya dikurangi cairan yang diberikan pada tahap cepat, ditambah dengan cairan rumatan untuk 8 jam. Untuk 16 jam berikutnya, diberikan setengah dari kekurangan cairan yang telah dihitung sebelumnya dikurangi cairan yang diberikan pada tahap cepat, ditambah dengan cairan rumatan untuk 16 jam. Terapi cairan pada dehidrasi derajat ringan atau sedang langsung dimulai dengan tahap lambat seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Jenis cairan yang dipilih untuk terapi cairan pada pasien dengan dehidrasi adalah kristaloid seperti Ringer Laktat, Ringer Asetat, atau NaCl 0,9%. Kristaloid juga dipilih untuk memberikan cairan rumatan; (5) Melakukan penilaian dari respon pasien terhadap terapi cairan yang diberikan. Apabila pasien berespon dengan baik, diteruskan pemberian cairan rumatan. Apabila pasien ti dak
14
berespon terhadap terapi cairan yang diberikan, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menemukan penyebab lain dari dehidrasi. Selain itu, kondisi i ni dapat pula diakibatkan oleh terapi cairan yang kurang adekuat, sehingga perlu dilakukan penilaian ulang terhadap derajat dehidrasi pasien dan kebutuhan cairannya.
12,13,14
Kebutuhan normal untuk rumatan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.2. Kebutuhan Nornal Cairan Rumatan
12,13,14
Berat Badan
Jumlah cairan
– 10 kg 0 – 10
4ml/kg/jam
10 – 10 – 20 20 kg berikutnya
Tambahkan 2ml/kg/jam
Untuk setiap kg di atas 20kg
Tambahkan 1ml/kg/jam
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotik yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar, dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri. Antibiotik yang diberikan harus spektrum luas, dapat menjangkau bakteri aerob dan anaerob, dan diberikan secara intravena. Sefalosporin generasi ketiga dan metronidazole merupakan terapi antibiotik utama yang sering diberikan. Untuk pasien yang menderita peritonitis yang didapat di rumah sakit (misalnya kebocoran anastomosis) atau yang membutuhkan terapi intensif, terapi garis kedua
dengan
meropenem
atau
kombinasi
piperacilin
dan
tazobactam
direkomendasikan. Terapi antijamur juga sebaiknya dipertimbangkan untuk menjangkau spesies Candida yang mungkin menginfeksi. Penggunaan antibiotik lebih awal dan sesuai merupakan kunci untuk mengurangi mortalitas pada pasien dengan syok septik yang berhubungan dengan peritonitis. Selain untuk dekompresi saluran cerna, penggunaan pipa nasogastrik juga berfungsi untuk mengurangi risiko pneumonia aspirasi.
1,4
15
2.2.7.3. Terapi Definitif
Laparotomi biasanya dilakukan melalui upper atau lower middle incision (bergantung pada dugaan lokasi patologis). Tujuan dari laparotomi adalah: (1) membuktikan penyebab peritonitis, (2) mengontrol sumber sepsis dengan membuang organ yang meradang atau iskemik (atau menutup organ yang bocor), (3) melakukan pencucian kavum peritoneum yang efektif.
4
Mengontrol sumber utama sepsis adalah hal yang esensial. Hanya terdapat sedikit bukti tentang manfaat klinis irigasi peritoneum. Hal ini mungkin dikarenakan adanya resistensi koloni mikroba peritoneum terhadap pencucian peritoneum, atau karena adanya kerusakan ikutan yang timbul pada sel mesotelium. Pembuangan debris-debris, fekal, atau pus dari kavum peritoneum mungkin cukup berguna daripada melakukan irigasi yang hebat pada kavum peritoneum. Antibiotik dapat diberikan hingga 5 hari setelah operasi pada kasus peritonitis difusa atau kompleks.
4
Laparoskopi juga merupakan modalitas terapi alternatif yang dapat dilakukan. Laparoskopi juga terbukti efektif untuk penanganan apendisitis akut dan perforasi ulkus duodenum. Laparoskopi juga bisa digunakan untuk perforasi kolon, namun angka konversi konversi ke laparotomi tinggi tinggi Syok atau ileus merupakan kontraindikasi laparoskopi.
4
Penggunaan drain cenderung efektif untuk mendrainase ruang yang terlokalisasi, namun kurang efektif bila digunakan untuk mendrainase seluruh kavum peritoneum. Hanya sedikit bukti yang mendukung penggunaan drain profilaksis setelah laparotomi.
4
2.2.8. Prognosis
Prognosis dari peritonitis tergantung dari berapa lamanya proses peritonitis sudah terjadi. Semakin lama orang dalam keadaan peritonitis akan mempunyai prognosis yang makin buruk. Pembagian prognosis dapat dibagi menjadi tiga, tergantung lamanya peritonitis: (1) kurang dari 24 jam: prognosisnya > 90 %; (2) 24 – 24 – 48 48 jam: prognosisnya 60 %; dan (3) lebih dari 48 jam: prognosisnya prognosisnya 20 %.
1
16
Belum ada suatu tes laboratorium yang mudah dan tersedia untuk memprediksi keparahan dan prognosis pasien peritonitis. Konsentrasi interleukin18 intraperitoneum dan kultur jamur berhubungan dengan prognosis yang buruk,
namun tes laboratorium ini memiliki aplikabilitas klinis yang kecil.
4
2.2.9. Komplikasi
Syok septik, abses intraabdomen, dan adhesi merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada peritonitis. Pasien dengan syok septik membutuhkan perawatan di ICU. Sepsis abdomen membawa mortalitas 30-60%. Keluaran dari sepsis abdomen biasanya buruk meskipun telah dirawat di ICU. Faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko mortalitas antara lain usia, skor APACHE II (skor prognostik), syok septik, penyakit kronik, jenis kelamin wanita, sepsis yang berasal dari saluran cerna atas, dan kegagalan mengatasi sumber sepsis. Adhesi dapat menyebabkan obstruksi saluran cerna atau volvulus.
4
17
BAB 3 LAPORAN KASUS
3.1. Anamnesis Pribadi
Nama
: Dalan Nggit
Umur
: 37 tahun
No MR
: 53.51.77
Alamat
: Jl. Jamin Ginting Gg. HKBP Padang Bulan
Tanggal Masuk : 27 Oktober 2012 Pukul
: 16.00 WIB
3.2. Anamnesis Penyakit
Keluhan Utama
: Nyeri seluruh lapangan perut
Telaah
: Hal ini dialami pasien ± sejak 1 minggu yang lalu. Awalnya nyeri dirasakan di daerah ulu hati kemudian menjalar ke perut kanan bawah dan menetap selama ± 3 hari, kemudian menjalar ke seluruh lapangan perut. Mual dan muntah tidak dijumpai. Demam dialami sejak 2 hari ini. BAB tidak dijumpai dan BAK dijumpai. Sebelumnya pasien sudah berobat ke poli penyakit dalam RSUPHAM dan didiagnosis dengan apendisitis. Pasien dikonsulkan ke bagian bedah untuk tindakan operasi namun pasien menolak.
RPT
: -
RPO
: Buscopan
3.3. Time Sequence
27 Okt 2012
16.00 WIB
Pasien datang ke IGD RSUP HAM
27 Okt 2012
19.00 WIB
Konsul tindakan anestesi
27 Okt 2012
21.30 WIB
Dilakukan operasi
18
3.4. Pemeriksaan Fisik Primary Survey Survey (Tanggal 27 0ktober 2012 Pukul 19.10 WIB) Airway) A ( Airway
: Clear , snoring (-), gurgling (-), crowing (-)
B ( Breathing Breathing)
: Spontan, RR: 30 x/menit, SP: vesikuler ka=ki, ST: -/-, pernapasan cuping hidung (-), hematopneumotoraks (-), jejas pada toraks (-), flail chest (-)
C (Circulation)
: Akral Akral D/M/K, Nadi: 100 x/menit, reguler, t/v kurang, TD: 110/70 mmHg, suhu: 38,8°C
Disability) D ( Disability
: GCS 15 (E4V5M6), pupil: isokor, ø ka=ki (3mm/3mm), RC +/+, pingsan (-), kejang (-), muntah (-)
Exposure) E ( Exposure
: Edema (-), fraktur (-)
3.5. Penanganan di IGD (Tanggal 27 Oktober 2012 Pukul 19.15 WIB)
- Oksigenisasi nasal canule 2 liter/menit - Pasang IV line dengan abocath no. 18G - Pasien diklasifikasikan: Dehidrasi ringan (defisit 3-5% BB) = 5/100 x 70000 (gram) = 3500 cc Rehidrasi lambat: 50% defisit cairan + rumatan diberikan dalam 8 jam pertama kemudian 50% defisit cairan + rumatan diberikan dalam 16 jam kedua.
8 jam pertama : 50% defisit cairan + rumatan : 50% defisit cairan = 50% x 3500 = 1750 cc (dalam 8 jam) = 281,75 cc/jam Kebutuhan Rumatan cairan rumatan BB = 70 kg adalah : (10x4) + (10x2) + (50x1) = 110 cc/jam Maka, dalam 8 jam pertama diberikan cairan sebanyak: 281,75 cc/jam + 110 cc/jam
= 328,75 cc/jam = 328,75 x 20 tetes/60 menit = 109 tetes/menit
16 jam berikutnya :
19
50% defisit cairan + rumatan : 50% defisit cairan = 50% x 3500 = 1750 cc (dalam 16 jam) = 109,375 cc/jam Kebutuhan Rumatan cairan rumatan BB = 70 kg adalah : (10x4) + (10x2) + (50x1) = 110 cc/jam Maka, dalam 8 jam pertama diberikan cairan sebanyak: 109,75 cc/jam + 110 cc/jam
= 219,75 cc/jam = 219,75 x 20 tetes/60 menit = 73,125 tetes/menit
- Pemasangan NGT - Pemasangan Pemasangan kateter urin - Ambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium dan crossmatch - Persiapan alat dan obat anestesi - Foto toraks, foto polos abdomen, EKG - Puasakan pasien sejak direncanakan operasi
3.6. Pemeriksaan Fisik Secondary Survey (Tanggal 27 Oktober 2012 Pukul 19.30 WIB)
B1
: Airway clear , snoring (-), gurgling (-), crowing (-), RR: 30 x/mnt, SP: vesikuler ka=ki, ST: -/-, Mallampati: 1cm, JMH > 6 cm, GL: bebas, bebas, BM: 3 jari. Riwayat asma/batuk/sesak/alergi : -/-/-/-
B2
: Akral: D/M/K, TD 110/70, 110/70, HR 100 x/menit, reguler, reguler, T/V T/V kurang, kurang, bibir bibir kering (+), suhu : 38,7°C
B3
: Sens: Compos mentis, pupil isokor, ø 3mm=3mm, RC +/+
B4
: UOP residual 80 cc, kateter terpasang warna kuning pekat
B5
: Abdomen distensi, nyeri tekan pada seluruh lapangan perut (+), peristaltik (+) lemah, MMT 12 jam SMRS, NGT terpasang warna kuning kehijauan. RT: perineum biasa, sfingter ani ketat, mukosa licin, ampula rekti kosong, nyeri tekan pada seluruh arah, ST: feses (-), lender (-), darah (-)
B6
: Edema (-), fraktur (-)
20
3.7. Pemeriksaan Laboratorium (27 Oktober 2012) Darah Lengkap
- Hemoglobin
: 15,70 g%
- Hematokrit
: 43,50 %
- Leukosit
: 23,49x10 /mm
- Trombosit
: 302x10 /mm
3
3
3
3
Faal Hemostasis
- PT/APTT/TT/INR
: 13,4 (12,2)/33,2 (26,8)/15,8 (17,4)/1,03
Kimia Klinik
- Na/K/Cl
: 135/4.1/107 mEq/L
- KGD ad random
: 101,60 mg/dl
- Ureum/Kreatinin
: 30,9/0,96 mg/dl
3.8. Pemeriksaan Radiologi dan EKG Foto Toraks
21
Foto Polos Abdomen
Pemeriksaan EKG (Pre-Operasi)
22
3.9. Rencana Pre-Operasi
Diagnosa Pre-Operasi Pre-Operasi : Diffuse Peritonitis d/t Appendiks Perforasi Perforasi Tindakan
: Explorasi Laparotomy + Appendectomy Appendectomy
PS ASA
: 1E
Anestesi
: GA-ETT
Posisi
: Supine
3.10. Pemeriksaan Fisik di KBE (Tanggal 27/10/2012 Pukul 21.30 WIB)
B1
: Airway clear , terintubasi, dengan manual bagging 16x/menit, SP: vesikuler, ST -/-, SpO2 100%
B2
: Akral: H/M/K, H/M/K, TD 110/70 110/70 mmHg, HR 90 x/menit, T/V kuat/cukup, reguler, suhu : 38,5°C
B3
: Sens: Compos mentis, pupil isokor, φ 3 mm/3 mm, RC +/+
B4
: UOP (+), vol. ± 400cc/ 2 jam, warna kuning jernih
B5
: Abdomen distensi (+), peristaltik (+) lemah, NGT (+)
B6
: Edema (-)
3.11. Anestesi
-
Teknik anestesi (GA ETT)
Premedikasi dengan midazolam 5 mg dan fentanyl 100 mcg secara IV
Induksi dengan propofol 100 mg
Relaksasi dengan rocuronium 60 mg
Intubasi ETT no.7
Cuff (+)
Suara pernapasan: kanan = kiri
Fiksasi pada kedalaman 20cm
- Maintenance dengan N2O : O2 = 2 l/i : 2l/i dan isoflurane 1%
23
3.12. Durante Operasi
-
Lama operasi
: 2 jam
-
TD
: 120-130/70-90 mmHg
-
HR
: 75-92 x/menit
-
RR
: 14 x/menit
-
SpO2
: 100%
-
Perdarahan
: ±100cc
-
Penguapan + maintenance: (8+2) x 70 = 700 cc/jam
-
UOP = 120 cc/jam
-
Cairan :
PO
: RL 500 cc
DO : RL 1000 cc
24
25
3.13. Post Operasi
Diagnosa Post \Operasi: Post Laparotomy a/i Diffuse Peritonitis + Appendectomy
3.14. Pemeriksaan Fisik Post Operasi di RR KBE
B1
: Airway clear , pasien diekstubasi diruang KBE. RR:14x/men, SP vesikuler, ST -/-, SpO2 100%
B2
: Akral: H/M/K, TD 110/60 mmHg, HR
84 x/menit, T/V kuat/cukup,
reguler, suhu : 38,1°C B3
: Sens : DPO, pupil isokor, φ 3 mm/3 mm, RC +/+
B4
: UOP (+), vol. ± 500cc/ 2 jam, warna kuning
B5
: Abdomen distensi distensi (-), peristaltik (-), NGT (+), luka luka operasi tertutup verband, drain satu buah di kanan
B6
: Edema (-), fraktur (-)
3.15. Rencana Post Operasi
- Cek darah rutin - Cek elektrolit - Cek RFT - Cek KGD - Pemeriksaan histopatologi jaringan appendiks - Pemeriksaan pus dari kavum abdomen
3.16. Terapi Post Operasi
- Bed Rest - Head Up 30 derajat - Diet Sementara Puasa Rencana TPN
- Teruskan terapi rehidrasi rehidrasi dan pemberian cairan rumatan - Inj. Fentanyl 200 mcg/50 cc (4 mcg/cc) 10 cc bolus 10 cc/jam iv syringe pump
- Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam iv
26
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam iv - Inj. Metronidazole 500 500 mg/24 jam drips - Inj. Gentamicin 80mg/12 jam iv - Inj. Ranitidin 50mg/12 jam
3.17. Problem List Pre-Operasi Masalah
- Operasi
emergency
Pemecahan
+ gangguan - NPO
peristaltik gastric emptying time memanjang
anggap lambung
sejak
direncanakan
pasang NGT (dekompresi) aktif
pilihan
GA
operasi, suction
ETT
RSI
penuh bahaya aspirasi - Pasien dehidrasi ringan + ancaman - Pemasangan iv line dengan abocath syok
No. 18 G perbaikan cairan
rehidrasi cairan hemodinamik,
cukup,
UOP
target
volume =
0,5-1
cc/kgBB/jam - Pasang kateter urin → menilai UOP (menilai respons rehidrasi) - Pasien dengan leukositosis
- Beri antibiotik yang adekuat
3.18. Problem List Durante Operasi Masalah
-
Antisipasi operasi berkepanjangan
penguapan besar
Pemecahan
- Balans cc/kgBB
cairan
penguapan
ditambah
6-8
dengan
maintenance 2 cc/kgBB, target urine output per jam 0,5-1 cc/kgBB,
ingatkan
operator
untuk
membungkus hollow organ untuk
27
mengurangi evaporasi, pertahankan 0
suhu ruangan > 21 C (terutama pada 1
-
Operasi lama, suhu kamar OK,
- Matras
cairan -
jam
pertama
anestesi)
penghangat,
hangatkan
cairan, hangatkan cairan pembilas,
Balance anesthesia anesthesia
- Memonitor
hemodinamik,
sedasi
cukup, analgetika adekuat, relaksasi cukup, operator nyaman
3.19. Problem List Post Operasi Masalah
-
Nyeri pasca operasi tinggi
Pemecahan
nyeri
luka insisi -
saat
napas
dalam/batuk volume tidal ↓
atelektasis (shunting)
-
Infeksi pasca operasi
tiap regimen
analgetika
NSAID (perifer) &
efek samping obat
berkurang
mucous
pneumonia
multipathway
yang
Opioid (sentral), menurunkan dosis
oksigenasi ↓, selain
nyeri
multimodal
mismatch
v/q
itu batuk tidak adekuat stasis
Mekanisme
-
Pastikan analgesia cukup
-
Antibiotika empirik hasil kultur keluar
antibiotika tunggal yang
sensitif (deesklasi)
-
Nutrisi pasca operasi pembedahan
pasca -
stres metabolik
hiperkatabolisme
bila sumber
Awasi asupan nutrisi, kebutuhan protein meningkat untuk regenerasi
28
energi
tak
adekuat
sel dan jaringan penyembuhan
protein
dirombak nitrogen balance (-)
malnutrisi wound dehisence
- End point resuscitation resuscitation
-
Peritonitis
peristaltik
membutuhkan waktu untuk pulih, mulai dengan diet enteral, bila tidak mencukupi kombinasi dengan parenteral
untuk
kebutuhan kalori
memenuhi
29
BAB 4 KESIMPULAN
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel-sel, dan pus; biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada abdomen, konstipasi, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada peritoneum. Diagnosis peritonitis biasanya secara klinis. Keluhan pokok pada peritonitis adalah nyeri abdomen. Sedangkan tanda penting yang dapat dij umpai pada pasien peritonitis antara lain pasien tampak ketakutan, diam atau tidak mau bergerak, perut kembung, nyeri tekan abdomen, defans muskular, bunyi usus berkurang atau menghilang, dan pekak hati menghilang. Pasien peritonitis umumnya datang dengan keadaan dehidrasi bahkan syok. Resusitasi cairan merupakan hal penting dalam menangani keadaan tersebut. Selain resusitasi cairan, umumnya terapi pembedahan dan antibiotik yang adekuat juga penting dalam dalam mengatasi peritonitis. peritonitis. Prognosis peritonitis tergantung dari berapa lamanya proses peritonitis sudah terjadi. Semakin lama orang dalam keadaan peritonitis akan mempunyai prognosis yang makin buruk.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat, R., R., Dahlan, Murnizal, Murnizal, dan Jusi, Jusi, Djang. Buku Buku Ajar Ilmu Bedah Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011; Gawat Abdomen. 2. James, David. Anaesthetic Assessment of Patients with Gastrointestinal Problems. Anaesthesia and Intensive Care Medicine 2009; 10 (7): 318-322. 3. Arief, M., Suprohaita, Suprohaita, Wahyu, Wahyu, I.K., and Wieiek, Wieiek, S. Kapita Selekta Kedokteran Kedokteran Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2000; Bedah Digestif. 4. Skipworth, R.J.E and Fearon, Fearon, K.C.H. Acute Abdomen: Abdomen: Peritonitis. Surgery 2007; 26 (3): 98-101. 5. Tortora, Gerard J and Derrickson, Bryan. Principles of Anatomy and Physiology 12
th
Edition. USA: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 24; The
Digestive System. 6. Ramli,
Rosdiana.
2011.
Peradangan Peradangan
Peritoneum.
Available
from:
http://www.infokedokteran.com/info-obat/diagn http://www.infokedokte ran.com/info-obat/diagnosis-dan-penatalak osis-dan-penatalaksanaansanaanpada-penyakit-peritonitis.html/feed.. [Accessed October 30, 2012]. pada-penyakit-peritonitis.html/feed 7. James, Brian Brian Daley. Daley. 2011. Peritonitis Peritonitis and Abdominal Sepsis. Sepsis. Available from: http://emedicine.medscape.com/a http://emedicine.med scape.com/article/789105-overview rticle/789105-overview.. [Accessed October 30, 2012]. 8. Rasad, S., Kartoleksono, Kartoleksono, S., dan Ekayuda, Ekayuda, I. I. Radiologi Diagnostik. Diagnostik. Jakarta: Gaya Baru, 1999; Abdomen Akut. 9. Komisi Trauma IKABI. 2004. 2004. ATLS (Advanced Trauma Life Life Support) Untuk Dokter. 10. Bac D-J, Siersema, P.D., Mulder, P.G.H., De-Marie, S., and Wilson, J.P.H. Spontaneous Bacterial Peritonitis: Outcome and Predictive Factors. Eur J Gastroenterol Gastroenterol Hepatol 1993; 5: 635-640.
11. Subanada, Supadmi, Aryasa, dan Sudaryat. Kapita Selekta Gastroenterologi. Jakarta: CV Sagung Seto, 2007; Beberapa Kelainan Gastrointestinal yang Memerlukan Tindakan Bedah.
31
12. Latief, S.A., Suryadi, K.A., dan Dachlan, M.R. Petunjuk Praktis Anestesiologi Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, 2002; Terapi Cairan pada Pembedahan. 13. Leksana, E. Terapi Cairan dan Darah. Cermin Dunia Kedokteran 2010; 177: 282-320. 14. Latief, S.A., Suryadi, K.A., dan Dachlan, M.R. Petunjuk Praktis Anestesiologi Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, 2002; Transfusi Darah pada Pembedahan. 15. Hardiono, Hanindito, Elizeus, Rahardjo, Puger, dan Rahardjo, Eddy. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011; Keseimbangan Cairan, Elektrolit, dan Asam Basa.