Laporan Praktikum MK. Dasar-dasar Genetika Perikanan
Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor 2011
REKAYASA SET KROMOSOM : GINOGENESIS DAN POLIPLOIDISASI Doni Nurdiansah (C14090040) Kelompok 2 ABSTRAK
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx(max 300 kata) I.
Pendahuluan
Yamazaki, 1983; Carman et al ., ., 1992; Shepperd
Dalam pengelolaan budidaya ikan perlu
dan
Bromage,
1996).
Thorgaard
(1983)
memperhatikan efisiensi dan produktivitas usaha
menjelaskan, pendekatan praktis untuk induksi
serta kualitas ikan. Hal ini harus diimbangi dengan
poliploidi
upaya perbaikan dan peningkatan kualitas induk
perlakuan aplikatif sesaat setelah fertilisasi (untuk
maupun benih ikan mas. Saat ini disinyalir telah
induksi triploidi) atau sesaat setelah pembelahan
terjadi penurunan kualitas induk maupun benih
pertama (untuk induksi tetraploidi) pada suhu
ikan mas yang dipelihara oleh petani ikan.
lethal . Kejutan suhu selain murah dan mudah juga
Beberapa
telah
efisien dapat dilakukan dalam jumlah banyak
dilakukan dalam upaya peningkatan produktivitas
(Rustidja, 1991). Kejutan panas merupakan teknik
(produksi)
peningkatan
perlakuan fisik yang paling umum digunakan untuk
kualitas genetik ikan mas seperti program seleksi,
menghasilkan poliploidi pada ikan (Don dan
manipulasi
Avtalion, 1986).
usaha dan
maupun perbaikan
jenis
penelitian serta
kelamin
melalui
perlakuan
Poliploidisasi merupakan salah satu metode kromosom
panas
merupakan
perlakuan untuk menghasilkan poliploidisasi pada ikan
juga
mempengaruhi
laju
penetasan ,
perbaikan
dan
ikan
guna
abnormalitas,
kelangsungan
menghasilkan benih-benih ikan yang mempunyai
pertumbuhan
ikan.
keunggulan, antara lain: pertumbuhan cepat,
diperhatikan dalam perlakuan kejutan suhu pada
toleransi
terhadap
lingkungan
resisten
telur, yaitu waktu awal kejutan, suhu kejutan dan
terhadap
penyakit.
Induksi
dalam
lama kejutan (jelas sangat rendah daya hidupnya,
perhatian
tetapi Don dan Avtalion, 1986). Nilai parameter
masyarakat petani ikan maupun para peneliti di
tersebut berbeda untuk setiap spesies (Pandian
bidang perikanan. Poliploidisasi pada ikan dapat
dan Varadaraj, 1988). Tave (1993) melaporkan,
dilakukan melalui perlakuan secara fisik seperti
triploidisasi
melakukan kejutan ( shocking) suhu baik panas
pertumbuhan dan sterilitas. Ukuran sel ikan
maupun dingin, pressure (hydrostatic pressure )
triploid lebih besar dibandingkan dengan diploid,
dan
nukleus
peningkatan
budidaya
atau
untuk
kejutan
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
hormonal maupun manipulasi kromosom. manipulasi
melalui
kualitas
ikan
secara
genetik
sangat
dan
poliploid
menarik
kimiawi
untuk
mencegah
akan
berisi
33
Tiga
hidup hal
menyebabkan
persen
lebih
dan
yang
laju perlu
peningkatan
allel
untuk
peloncatan polar body II atau pembelahan sel
pertumbuhan dan energi untuk pertumbuhan
pertama pada telur terfertilisasi (Thorgaard, 1983;
produksi gamet berkurang atau terhambat. Ikan
triploid mempunyai gonadosomatic index yang
waktu 2 tahun, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk
lebih rendah bila dibandingkan dengan diploid
mendapatkan induk. Jadi cara ini membutuhkan
(Mair, 1993).
waktu selama 12 tahun. Untuk memperpendek
Keuntungan triploid adalah dapat mengontrol overpopulate,
membuat
monosex ,
ginogenesis. Cara ini bisa merubah dari 6 generasi
memacu pertumbuhan dan kelulushidupan serta
menjadi 2 generasi, strain murni sudah dapat
memiliki pertumbuhan lebih cepat dari diploid,
diperoleh pada generasi kedua. Keberhasilan cara
karena
untuk
ini tergantung dari ketelitian perlakuan dan
perkembangan gonad pada diploid dipergunakan
kesuburan betina ginigenesi (Nagy, Bersenyi dan
untuk
Csanyi, 1981 : Sumantadinata).
energi
yang
pertumbuhan
populasi
masa pemurnian dapat dilakukan dengan cara
dipergunakan somatik
pada
triploid
(Thorgaard, 1983).
(Nagy et al,. 1978 ; Hollebeck et al,. 1986:
Tetraploid terlihat dapat dibesarkan untuk
Sumantadinata, 1988), menyebutkan ginogenesis
kematangan kelamin dan dipergunakan dalam
adalah terbentuknya zigot 2n (diploid) tanpa
memproduksi ikan triploid melalui persilangan
peranan genetic gamet jantan. Jadi gamet jantan
dengan diploid normal dan androgenetik pada
hanya
telur-telur yang diradiasi dengan sinar-γ (Purdom,
prosesnya
1993 dan Santiago et al ., 1993). Valenti (1975)
pathenogenetis betina (telur). Untuk itu sperma
dalam Thorgaard (1983) menemukan beberapa
diradiasi. Radiasi pada ginogenesis bertujuan
kemungkinan tetraploid di antara telur Tilapia
untuk merusak kromososm spermatozoa, supaya
aurea yang diperlakukan dengan kejutan dingin.
pada saat pembuahan tidak berfungsi secara
Ikan-ikan tersebut lebih besar dari kontrol dan
genetic (Sumantadinata, 1988). Nagy et al,. 1981,
triploid pada umur 14 minggu.
menyebutkan pemijahan dengan cara ginogenesis
Sejak 20 tahun lalu, induk murni ikan mas
berfungsi
secara
hanya
fisik
saja,
merupakan
sehingga
perkembangan
akan menghasilkan selurunya berkelamin jantan.
sulit dicari di Indonesia, atau mungkin sudah tidak
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui
ada lagi. Padahal keberadaannya sangat penting
teknologi rekayasa set kromosom serta metode
dalam dunia usaha. Karena dari induk yang murni
analisanya. Hasil praktikum ini diharapkan dapat
dapat melahirkan keturunan yang rentan terhadap
bermanfaat
perubahan lingkungan dan juga tahan terhadap
informasi
serangan penyakit. Dengan begitu, usaha dalam
poliploidisasi ikan nila dan ginogenesis ikan mas
budidaya
terutama
Menurut
ikan
akan
Ditjen
Sumantadinata
selalu
menguntungkan.
Perikanan
(1988),
(1985)
menurunnya
dan
sifat-sifat
untuk dan
memberikan
aplikasi
untuk
tambahan
lapang
peningkatan
program
kualitas
serta
produksi induk maupun benih ikan nila dan ikan mas.
kemurnian ikan mas disebabkan bebagai faktor,
II. Bahan dan Metode
yaitu kurangnya pengertian para pembudidaya
2.1 Ginogenesis ikan mas (Cyprinus carpio)
ikan tentang pentingnya ketersediaan induk-induk
Bahan-bahan
yang
dipergunakan
pada
murni untuk produksi benih unggul. Selanjutnya,
praktikum kali ini antara lain: sperma ikan mas,
jarang pakar perikanan yang berminat dan bekerja
telur ikan mas, methylen blue, dan larutan
untuk melakukan seleksi karena membutuhkan
fisiologis.
waktu yang lama, fasilitas yang memadai, dan
praktikum
biaya yang tinggi. Terakhir, adanya pemijahan yang
lempengan kaca, akuarium, termometer, sendok,
berulang kali antar ras tanpa pola tertentu, akibat
pemanas
kurangnya pengontrolan di lingkungan petani
ultraviolet, dan kertas tissue.
pembenih ikan di daerah tersebut. Kemurnian
induk
ikan
kali air,
Perlakuan mas
harus
diencerkan
untuk
fisiologis
kemurniannya
adalah
ini
yang
dipergunakan
terdiri
mangkuk,
dari:
sekitar sebelum
bulu
pada ayam,
stopwatch,
lampu
dilakukan
melalui
berikut:
sperma
kali
dengan
larutan
diradiasi
dengan
lampu
ginogenesis
tahapan-tahapannya
dikembalikan. Salah satu cara yang bisa dilakukan mengembalikan
Alat-alat
sebagai 100
dengan melakukan persilangan-persilangan dalam
ultraviolet. Kemudian, lapisan sperma dengan
(in breeding). Namun cara ini membutuhkan lebih
kedalaman ± 0,1 mm diradiasi dengan intesitas
dari enam generasi. Satu generasi membutuhkan
radiasi ± 4.500 - 4.800 ergs/mm selama 1.5 – 2
2
menit
dengan
jarak
penyinaran
15
cm.
ikan yang telah dicacah dan diletakkan di atas
Selanjutnya, sperma dan telur dicampur merata
gelas objek. Terakhir, setelah didiamkan beberapa
menggunakan bulu ayam. Tunggu 3 menit dari
menit, ditutup dengan gelas penutup dan diamati
waktu pembuahan , telur tersebut diberi kejutan
di bawah mikroskop.
panas dengan suhu 40°C selama 1.5 – 2 menit. Terakhir, telur diinkubasi dalam akuarium kaca
2.4 Preparasi Kromosom Teknik Jaringan
yang telah dicampur dengan methylen blue pada
Padat
suhu 28°C.
Bahan-bahan
yang
dipergunakan
dipergunakan
pada
praktikum kali ini antara lain: kolkisin (C22H25NO6),
2.2 Poliploidisasi ikan nila (O. niloticus) Bahan-bahan
yang
metanol atau ethanol (C2H5OH), kalium klorida pada
(KCl), asam asetat glacial (CH3COOH), giemsa, dan
praktikum kali ini antara lain: induk ikan nila, air
akuades.
panas, methylen blue, dan akuabides. Alat-alat
praktikum
yang dipergunakan pada praktikum kali ini terdiri
mikroskop binokuler, hot plate, gelas objek, alat
dari: bulu ayam, saringan, akuarium, termometer,
bedah (pinset dan pisau bedah), pipet tetes, gelas
sendok, water bath, mangkuk, stopwatch, dan
objek cekung, dan kertas tissue.
kertas tissue.
Alat-alat kali
yang
ini
dipergunakan
terdiri
dari:
pada
timbangan,
Preparasi kromosom teknik jaringan padat
Perlakuan poliploidisasi ikan nila dilakukan
dilakukan melalui tahapan-tahapannya sebagai
melalui tahapan-tahapannya sebagai berikut: telur
berikut: dalam perendaman dengan kolkisin dan
dan
diaduk
pengawetan jaringan, larva ikan direndam dalam
menggunakan bulu ayam, dan diletakkan ke dalam
larutan kolkisin 0.07 % w/v selama 6-9 jam. Selama
wadah pembuahan (mangkuk). Tunggu selama 4
perendaman, ikan dibiarkan berenang dalam
menit dari awal pembuahan, lalu telur dipindahkan
wadah dengan aerasi yang baik. Setelah itu larva
ke
saringan
tersebut direndam dalam larutan hipotonik (KCl
dimasukkan ke dalam water bath bersuhu ± 41°C
0.075 M) selama 60 menit pada suhu ruang.
dan
Kemudian,
Larutan hipotonik diganti setiap 30 menit selama
dipindahkan ke akuarium pemeliharaan yang telah
waktu perendaman dengan volume 20 kali lipat
diberi methylen blue dan aerasi. Terakhir, pelihara
volume jaringan. Selanjutnya, jaringan difiksasi
telur ikan perlakuan hingga menjadi larva atau
dengan larutan Carnoy selama 60 menit. Larutan
benih dan siap diamati tingkat keberhasilannya.
Carnoy diganti dengan yang baru setiap 30 menit.
sperma
dalam
ikan
nila
saringan.
dibiarkan
selama
dicampur,
Selanjutnya, 4
menit.
Kemudian
2.3 Pengamatan Gonad Metode Asetokarmin Bahan-bahan
yang
dipergunakan
pada
praktikum kali ini antara lain: ikan uji, asam asetat
dilanjutkan
dengan
pembuatan
preparat (bila diperlukan jaringan yang telah difiksasi dapat disimpan dalam refrigerator selama 1-2 minggu).
45 %, karmin (Carmine), dan akuades. Alat-alat
Dalam pembuatan preparat dilakukan melalui
yang dipergunakan pada praktikum kali ini terdiri
tahapan-tahapannya
dari: timbangan, pipet tetes, mikroskop, alat
yang telah difiksasi diambil dengan menggunakan
bedah, hot plate, gelas objek, gelas penutup, dan
pinset dan disentuhkan pada kertas tissue untuk
kertas saring.
menghilangkan larutan fiksatif. Kemudian, jaringan
sebagai
berikut:
jaringan
Pemeriksaan gonad metode asetokarmin
tersebut diletakkan di atas gelas objek cekung dan
dilakukan melalui tahapan-tahapannya sebagai
ditambahkan 3-4 tetes asam asetat 50 %. Setelah
berikut: larutkan 0.6 gram bubuk karmin dalam
itu
100 ml asam asetat 45 % (45 ml asam asetat + 55
menggunakan pisau bedah secara hati-hati hingga
ml
tersebut
terbentuk suspensi sel (larutan menjadi keruh).
didihkan selama 2-4 menit, kemudian didinginkan
Kemudian, gelas objek yang akan digunakan
dan disaring dengan menggunakan kertas saring
sebagai preparat sebelumnya direndam di dalam
untuk memisahkan partikel kasarnya. Kemudian,
alkohol 70 % minimal selama 2 jam. Terakhir,
pewarnaan dilakukan dengan cara memberikan
suspensi sel yang terbentuk diambil dengan
beberapa tetes larutan asetokarmin pada gonad
menggunakan pipet tetes lalu diteteskan di atas
akuades).
Selanjutnya,
larutan
jaringan
digerak-gerakkan
dengan
gelas objek yang ditempatkan di atas hot plate
Terakhir, suspensi sel tersebut dihisap dengan
dengan suhu 45-50°C, dan dihisap kembali dengan
pipet tetes lalu diteteskan di atas gelas preparat
cepat setelah terbentuk lingkaran (ring) dengan
yang telah direndam dalam alkohol absolute dan
diameter 1-1.5 cm. Pada setiap gelas objek
ditempatkan di atas hot plate dengan suhu 45-
idealnya dapat dibuat menjadi 3 lingkaran.
50°C kemudian dihisap kembali dengan cepat
Pewarnaan
preparat
dilakukan
melalui
tahapan-tahapannya sebagai berikut: preparat
hingga terbentuk ring. Pewarnaan
preparat
dilakukan
melalui
yang telah berisi lingkaran (ring) diwarnai dengan
tahapan-tahapannya sebagai berikut: sebanyak 2
larutan giemsa 10 % dengan cara memberikan
tetes larutan A dan 1 tetes larutan B (2:1)
larutan sebanyak 3-5 tetes lalu disebarkan hingga
diteteskan di atas preparat lalu dicampur dan
menutupi ring dengan menggunakan tusuk gigi,
disebarkan ke seluruh permukaan gelas preparat
atau melalui teknik perendaman. Pewarnaan
dengan menggunakan tusuk gigi. Selanjutnya,
dilakukan selama 20-30 menit pada suhu kamar.
preparat ditempatkan dalam box staining dengan
Kemudian, preparat dibilas dengan menggunakan
suhu 40-45°C dibiarkan selama 20 menit atau
akuades lalu dibiarkan kering udara. Terakhir,
sampai warna berubah menjadi kuning kecoklatan.
preparat diamati di bawah mikroskop.
Kemudian, preparat diangkat dan dibilas dengan menggunakan akuades lalu dibiarkan kering udara. Terakhir, preparat diamati di bawah mikroskop.
2.5 Preparasi Nukleolus Bahan-bahan
yang
dipergunakan
pada
praktikum kali ini antara lain: ikan uji, asam formiat, perak nitrat (AgNO3), etanol absolute, gliserin, gelatin, asam asetat glacial, asam asetat 50 %, kalium klorida (KCl), dan akuades. Alat-alat yang dipergunakan pada praktikum kali ini terdiri dari: gelas objek cekung, gelas preparat, box staining, tusuk gigi, mikroskop, alat bedah, hot plate, dan kertas tissue.
Preparasi
nukleolus
tahapan-tahapannya
dilakukan
sebagai
berikut:
melalui dalam
2.6 Analisis Data Parameter uji adalah laju penetasan (HR), kelangsungan hidup (SR), kecepatan pertumbuhan relatif (h) dari pengukuran panjang tubuh ikan mas, laju pertumbuhan spesifik (SGR) dari pengukuran berat tubuh ikan mas, perkembangan gonad dan analisis ploidisasi dengan menghitung jumlah nukleolus (induksi ploidi). Analisis data dilakukan secara statistik dan deskriptif. Analisis statistik mempergunakan analisis keragaman dengan uji F (ANOVA) dan uji Beda Nyata Terkecil untuk mengetahui perlakuan terbaik.
perendaman dengan larutan hipotonik (KCl 0.075 M) selama 60 menit pada suhu ruang. Larutan hipotonik diganti setiap 30 menit selama waktu perendaman dengan volume 20 kali lipat volume jaringan. Selanjutnya, jaringan difiksasi dengan
a : jumlah telur menetas normal (larva normal) b : jumlah telur menetas cacat (larva cacat) c : jumlah telur tidak menetas
larutan Carnoy selama 60 menit. Larutan Carnoy diganti dengan yang baru setiap 30 menit. Kemudian, proses dapat dilanjutkan atau dapat dihentikan dengan menyimpan jaringan yang telah direndam dalam larutan Carnoy tersebut dalam
Nt : jumlah larva akhir pemeliharaan (ekor) No : jumlah larva awal pemeliharaan (ekor)
refrigerator dengan suhu 4°C. Jaringan tersebut dapat digunakan sampai 2-3 minggu. Kemudian, jaringan
diambil
dan
dikeringkan
dengan
menyentuhkan kertas tissue agar larutan fiksatif
lt : panjang tubuh ikan pada waktu tertentu (cm) lo : panjang tubuh ikan pada waktu t=0 (cm)
hilang. Selanjutnya, jaringan ditempatkan dalam gelas objek cekung dan ditambahkan dengan 3-4 tetes asam asetat 50 %. Kemudian, jaringan digerak-gerakkan
secara
hati-hati
dengan
menggunakan pisau bedah hingga terbentuk suspensi sel (warna larutan menjadi keruh).
Wt : berat tubuh ikan pada waktu tertentu (gram) Wo : berat tubuh ikan pada waktu t=0 (gram)
pembentukkan
diploid
ginogenetik
menggunakan
kejutan
panas
dibandingkan I P : Induksi Ploidisasi
dengan
dengan
lebih
menggunakan
baik kejutan
dingin. Lama kejutan, suhu dan waktu awal kejutan yang diberikan setelah pembuahan untuk tiap jenis ikan berbeda-beda (Sumantadinata et al., 1990
H P : Hasil Ploidisasi RHR : Laju Penetasan Relatif
dalam Suhartono, 1992). Ginogenesis secara spontan dapat terjadi
III. Hasil
akibat
3.1 Ginogenesis ikan mas
spermatozoa. Hal ini disebabkan pada saat polar
Ginogenesis
merupakan
keturunan
yang
body
tertahannya II
akan
polar
keluar
body
II
bertabrakan
oleh dengan
dihasilkan melaui mekanisme partenogenesis, tapi
spermatozoa yang akan masuk ke dalam mikrofil
telur membutuhkan rangsangan dari sperma untuk
sehingga polar body II tidak jadi keluar dan
berkembang.
tidak
spermatozoa terpental keluar, akibatnya gamet
menyumbangkan materi genetik apa pun pada
jantan digantikan oleh polar body II sehingga ploidi
anak. Sebelum melakukan ginogenesis buatan
tetap dua. Sedangkan pada ginogenesis buatan
dengankejutan suhu, dilakukan penyuntikan induk
dilakukan dengan cara memanipulasi kromosom
ikan mas (Cyprinus carpio ) dengan Ovaprime,
(Purdom, 1983 dalam Yusrizal, 2004). Menurut
dengan tujuan mempercepat pematangan gonad.
Sumantadinata et al., (1990) dalam Suhartono
Proses selanjutnya adalah menghancurkan materi
(1992) Diploid ginogenetik meiotik diperoleh dari
genetik sperma dengan sinar ultraviolet (UV),
tertahannya polar body II oleh kejutan panas pada
dengan tujuan menonaktifan material genetik
saat meiosis kedua sedangkan diploid ginogenetik
sperma melalui radiasi dengan bahan mutagen
mitotik diperoleh akibat tertahannya pembelahan
sehingga sperma hanya mampu merangsang
pertama sel sehingga sel yang terbentuk menjadi
perkembangan telur tanpa menurunkan sifat
diploid.
Namun,
sel
sperma
genetik. Dunham (2004) dalam Yusrizal (2004)
Dari
data
hasil
praktikum
ginogenesis,
menyatakan bahwa bahan mutagen yang dapat
diketahui bahwa semua telur tidak ada yang
merusak gen pada sperma ada bermacam-macam
menetas satu pun. Hal ini dipengaruhi oleh
yaitu sinar gamma, sinar ultraviolet (UV), dan sinar
beberapa faktor yaitu telur ikan mas masih belum
X.Setelah
dilakukan
matang gonad, dalam pernyataan ini telur belum
pengecekan sperma. Hal tersebut untuk melihat
berkembang baik sehingga belum siap dikelurkan
motilitas sperma. Jika sperma motil tanpa materi
harus dikeluarkan, kurangnya rangsangan pada
genetik
dilakukan
ikan, kualitas air yang tidak sesuai dapat pula
perlakuan ginogenesis selanjutnya. Jika sperma itu
berpengaruh terhadap daya hidup telur dan
nonmotil atau mati maka ginogenesis tidak dapat
sperma,
terjadi yang terjadi hanya diploidisasi biasa.
sempurna, kurang nya perbandingan sperma
peradiasian
di
dalamnya
sinar
maka
UV
dapat
terjadinya
pembuahan
yang
tidak
Sel sperma motil tanpa materi genetik yang di
jantan dan telur betina, selain itu serangan jamur
dapat dicampurkan dengan sel telur. Tujuannya
pada telur merupakan salah satu penyebab serius
untuk melakukan pembuahan. Pada proses ini
terjadinya gagal penetasan telur hasil rekayasa
sperma bergerak mencari sel telur yang akan
ginogenesis.
dibuahi.
Kemudian
perlakuan
ini
pengurangan perkembangan
dilakukan
bertujuan
kromosom telur
kejutan
untuk
betina
yang
suhu,
mencegah
pada
proses
akhirnya
dapat
3.2 Poliploidisasi ikan nila Poliploidisasi merupakan salah satu metode manipulasi
kromosom
untuk
perbaikan
dan
ikan
guna
menghasilkan zigot yang diploid dan homozigot
peningkatan
sebab pada dasarnya embrio ginogenetik adalah
menghasilkan benih-benih ikan yang mempunyai
haploid
keunggulan, antara lain: pertumbuhan cepat,
(Purdom
dan
Lincoln,
1973
dalam
kualitas
genetik
Suhartono, 1992). Hollebecq et al., (1986) dalam
toleransi
terhadap
lingkungan
Suhartono
terhadap
penyakit.
Induksi
(1992)
yang
menyatakan
bahwa
dan
poliploid
resisten dalam
budidaya
ikan
sangat
menarik
perhatian
makanan dan kecepatan tumbuh. Karena itu
masyarakat petani ikan maupun para peneliti di
budidayanya lebih menguntungkan dibandingkan
bidang perikanan. Poliploidisasi pada ikan dapat
dengan budidaya ikan diploid (Thorgaard 1983)
dilakukan melalui perlakuan secara fisik seperti
Tabel 1. Hatching rate (HR) hasil poliploidisasi ikan
melakukan kejutan (shocking) suhu baik panas maupun dingin, pressure (hydrostatic pressure ) dan
atau
secara
kimiawi
untuk
mencegah
peloncatan polar body II atau pembelahan sel pertama pada telur terfertilisasi (Thorgaard, 1983; Yamazaki, 1983; Carman et al ., 1992; Shepperd dan
Bromage,
1996).
Thorgaard
(1983)
menjelaskan, pendekatan praktis untuk induksi poliploidi
melalui
kejutan
panas
merupakan
nila (Orechromis niloticus) Perlakuan 4n 60’ 4n 65’ 4n 70’ 4n 75’ 4n 80’ 4n 85’ 4n 90’ 4n 95’ 4n 65’ 4n 65’ dan 80’
No 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150
Nt 0 10 116 7 12 0 0 0 16 0
HR (%) 0 6.7 77.3 0.67 8 0 0 0 10.67 0
perlakuan aplikatif sesaat setelah fertilisasi (untuk
efisien dapat dilakukan dalam jumlah banyak
Keterangan : No = jumlah telur awal Nt = jumlah telur menetas HR = derajat penetasan Dari data hasil pengamatan di atas, diketahui
(Rustidja, 1991). Kejutan panas merupakan teknik
bahwa hampir semua telur tidak dibuahi dan yang
perlakuan fisik yang paling umum digunakan untuk
menetas pun sangat sedikit sekali. Pada proses
menghasilkan poliploidi pada ikan (Don dan
tetraploidisasi, telur yang menetas hanya lima
Avtalion, 1986).
kelompok saja yaitu kelompok 2, 3, 4 dan 5 shift
induksi triploidi) atau sesaat setelah pembelahan pertama (untuk induksi tetraploidi) pada suhu lethal . Kejutan suhu selain murah dan mudah juga
Salah
satu
jenis
poliploidisasi
adalah
rabu
dan
kelompok
9
shift sabtu
dengan
tetraploidisasi yang bertujuan untuk mendapatkan
persentase HR yang sangat kecil yaitu 0.67% -
individu 3n yang steril. Triploidisasi dalam usaha
77.3%.
budidaya dilakukan karena dua alasan yaitu pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan dengan ikan diploid dan kerena ikan triploid ini umumnya steril.
Kesterilan
ini
dapat
mencegah
gametogenesis dan menghemat pemakaian energi dan materi. Ikan triploid bersifat steril karena kromosom homolognya tidak dapat bersinapsis untuk gametogenesis. Akibat kondisi steril ini makanan
yang
perkembangan
seharusnya gonad
dan
digunakan
untuk
reproduksi
akan
digunakan untuk pertumbuhan sel somatik dan akibatnya berpengaruh besar kepada laju konversi
3.3 Pengamatan Gonad Metode Asetokarmin Hasil
dari
pewarnaan asetokarmin
penggunaan
metode
terlihat bahwa inti
memiliki warna yang lebih pucat dari sitoplasma yang berwarna kemerahan, pada ikan jantan sel bakal sperma tampak seperti bulatan-bulatan kecil berwarna putih bening ukurannya lebih kecil dari sel telur dan menyebar di semua bagian preparat (Madinawati 1994), sedangkan pada sel telur ukurannya bulat-bulat besar dan menyebar tidak merata.
Gambar 1. Persentase jenis kelamin hasil pengamatan metode asetokarmin A) Ikan Mas ( Cyprinus carpio ) B) Ikan nila (Orechromis niloticus) besar C) Ikan nila (Orechromis niloticus) kecil
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui
jantan sebesar 74% atau sebanyak 17 individu dari
bahwa persentase ditemukannya individu jantan
total
dan betina pada ikan nila berukuran besar berbeda
persentase
dengan ikan nila yang berukuran kecil dan ikan
berukuran kecil adalah sebesar 24% atau sebanyak
mas. Persentase individu jantan pada ikan mas
6 individu dari total sampel sebanyak 23 ekor.
sebesar 100%, sedangkan untuk individu betina
Secara umum, pada ikan nila berukuran besar
pada ikan mas kebetulan tidak ada. Persentase
ditemukan fakta bahwa individu jantan dapat
individu jantan pada ikan nila berukuran besar
ditemukan dalam jumlah yang lebih kecil daripada
adalah sebesar 44% atau sebanyak 4 individu dari
individu
total
sampel
sebanyak
individu
betina.
23
ekor.
Sementara
betina
pada
ikan
Sementara
pada
nila
ikan
nila
9
ekor.
Sementara
berukuran kecil ditemukan fakta bahwa individu
betina
pada
ikan
nila
jantan dapat ditemukan dalam jumlah yang lebih
atau
besar daripada individu betina. Terakhir pada ikan
sebanyak 5 individu dari total sampel sebanyak 9
mas ditemukan bahwa individu jantan ditemukan
ekor. Perlakuan yang sama pada populasi ikan nila
pada semua sampel yang diambil dan tidak
berukuran kecil menunjukkan persentase individu
terdapat individu betina.
persentase berukuran
sebanyak
sampel
individu besar
adalah
sebesar
56%
Gambar 2. A) Persentase tingkat ploidi B) Foto Set kromosom hasil pengamatan C) Foto Nukleolus hasil pengamatan
3.4 Preparasi Kromosom Teknik Jaringan
preparat kromosom
Padat
semua preparat yang dibuat.
Berdasarkan
hasil
pengamatan
bahwa jumlah kromosom pada
praktikum
diketahui
yang dapat diamati
preparasi
kromosom
teknik
Tingkat
hanya sebesar 45 % dari
keberhasilan
dipengaruhi
oleh
menyebabkan
yang
rendah
dapat
beberapa
faktor
yang
terjadinya
kesalahan.
Selain
jaringan padat sama semua untuk setiap perlakuan
kesalahan yang bersifat teknis seperti pemanasan
kejutan suhu dalam rekayasa set kromosom
berlebihan dan adanya gelembung pada saat
tetraploidisasi berbeda-beda. Preparat kromosom
pembuatan preparat di atas hot plate, kesalahan
jaringan padat yang dibuat dari lar va ikan nila tidak
dapat terjadi pada perlakuan perandaman kolkisin,
semuanya menunjukkan adanya kromosom yang
perlakuan hipotonik, dan perlakuan fiksasi dengan
dapat terlihat secara jelas. Hasil yang diperoleh
larutan
adalah tidak dilihat dari jumlah kromosom tetapi
menggunakan kolkisin pada dasarnya berbeda-
dilihat dari jumlah kromosom terbesar ( Giant
beda untuk setiap jenis ikan. Perendaman kolkisin
kromosom) sebagai ciri khas kromosom ikan nila
yang dilakukan selama 9 jam diduga kurang cocok
dengan jumlah 2 buah yang mencirikan ikan
untuk
tersebut diploid. Hal tersebut diduga sama dengan
kromosom tidak tersebar tepat pada tahap
hasil penelitian Carman et al. (1998)
yang
metafase. Hal tersebut didasari oleh pendapat
meyatakan bahwa kromosom pada ikan nila
Flashjans dan Rab (1989) dikutip dalam Said et al.
berjumlah sebanyak 46 buah.
(2001)
Mengacu kepada
data yang diperoleh, keberhasilan pembuatan
Carnoy.
Waktu
diterapkan
yang
perendaman
perendaman
pada
ikan
meyatakan kolkisin
tidak
nila
bahwa dapat
dengan
sehingga
metode menjamin
sepenuhnya
dapat
menghasilkan
sebaran
sebanyak
1-4
buah
dari
jumlah
nukleolus
kromosom tepat pada tahap metafase. Faktor
seharusnya pada ikan nila tetraploid adalah
utama yang menyebabkan hal tersebut adalah
sebanyak 1-8 buah. Jumlah nukleolus ikan nila
adanya
berbeda-beda
yang berhasil diamati ternyata sesuai dengan hasil
terhadap pengaruh kolkisin atau bahkan kolkisin
penelitian Setiadi (1995) yang memperlihatkan
tidak
bahwa jumlah nukleolus yang dapat ditemukan
respon
individu
berfungsi
yang
dengan
baik
karena
ikan
mengalami stress saat perendaman. Selain
pada
proses
pada sel ikan nila diploid bervariasi antara 1, 2, 3,
perendaman
kolkisin,
dan 4. Carman et al . (1992) dalam Mukti (2001)
perlakuan hipotonik dengan penggunaan larutan
mengatakan bahwa variasi yang terjadi pada
Kalium Klorida (KCl) yang tidak tepat juga menjadi
jumlah
salah satu penyebab kesalahan. Kesalahan pada
disebabkan fusi dan fisi dari bentuk nukleoli,
tahapan hipotonik diidentifikasi dari fakta bahwa
karena beberapa proses fisiologis yang terjadi
sangat jarang ditemukan sel yang telah mengalami
selama siklus sel.
maksimum
nukleolus
kemungkinan
lisis. Hal ini mengindikasikan bahwa perendaman yang
Tingkat keberhasilan yang rendah terutama
digunakan terlalu tinggi konsentrasinya sehingga
disebabkan oleh pewarnaan perak nitrat yang
gradien osmotiknya tidak terlalu besar. Mengutip
tidak berhasil meresap ke dalam sel dan mewarnai
dari pendapat Campbell et al. (2009) saat sel
nukleoplasma serta nukleolus. Hal ini terindikasi
berada dalam lingkungan yang hipotonik terhadap
dari preparat yang tampak transparan. Menurut
sel, maka terdapat kecenderungan bagi sel untuk
Gold (1984) dalam Setiadi (1995) kegagalan
terus menerus menyerap air hingga membran
pewarnaan terjadi karena sifat pewarna perak
tidak mampu lagi menampung volume sel dan
nitrat adalah hanya mewarnai nucleolar organizer
akhirnya
atau
region (NOR) yang sedang aktif melakukan sintesis
pecahnya membran terutama dipengaruhi oleh
ribosom sedangkan pada saat pembuatan preparat
gradien tekanan osmotik. Faktor kesalahan lainnya
tidak semua NOR berada pada keadaan aktif.
dilakukan
terlalu
cepat
mengalami
atau
lisis.
larutan
Proses
lisis
ialah kegagalan pada saat perendaman jaringan dalam
larutan
Carnoy
untuk
proses
fiksasi.
Kesalahan ini dapat diidentifikasi dari jumlah
II.
KESIMPULAN
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
kromosom yang tidak lengkap akibat larutan
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Carnoy yang tidak mampu bekerja dengan baik
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
untuk mempertahankan bentuk dan keutuhan dari
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
kromosom. Menurut Flashjans dan Rab (1989)
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
dalam Said et al. (2001) larutan Carnoy tidak
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
berfungsi secara maksimal akibat kurangnya waktu
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
perendaman atau larutan yang sudah tidak
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
berfungsi lagi setelah terdegradsi menjadi aseton.
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx.
3.5 PreparasiNukleolus Berdasarkan
hasil
pengamatan
DAFTAR PUSTAKA
diketahui
bahwa jumlah nukleolus yang dapat diamati pada praktikum preparasi nukleolus mencirikan bahwa
Belay A. 1997. Mass Culture of Spirulina
ikan tersebut merupakan ikan diploid semua untuk
Outdoors-
setiap preparat yang dibuat. Nukleolus dalam
Experience. di dalam Vonshak, A. (ed.),
preparat kromosom
larva
ikan
nila
tetraploidisasi
hasil
rekayasa
hanya
set
ditemukan
sebanyak 45 % dari keseluruhan preparat yang telah dibuat. Mengacu kepada data yang telah diperoleh pada pengamatan, diketahui bahwa jumlah nukleolus pada ikan nila tetraploid adalah
Spirulina Physiology,
The
Earthrise
pletensis
Farm
(Arthrospira):
Cell-biology
and
Biotechnology . Bristol: Taylor & Francis
Ltd. Hlm 149.
Belay A. 2008. Spirulina ( Spirulina sp.) :
Park KH., Lee CG. 2000. Optimization of algal
Production and Quality Assurance. Dalam
photobioreactors using flashing lights. J.
Gershwin, M. E dan A. Belay. (ed.),
Biotechnol. Bioprocess Eng. 5: 186-190.
Spirulina in Human Nutrition and Health.
California: CRC Press. Hlm 2-26.
Rafiqul IM., Jalal KCA., Alam MZ. 2005. Environmental Factors for Optimalization
Briggs WR., Beck CF., Cashmore AR., Christie
of Spirulina
Biomass
in
Laboratory
JM., Hunghes J. 2001. The phototropin
Culture. Asian Network for Scientific
family of photoreceptors. J. Plant Cell 13:
Information. Biotechnology 4(1): 19-22.
993 –997.
Reinehr CO., Costa J. A.V. 2006.
Campbell NA., Reece JB., dan Mitchell LG.
Batch
Cultivation
of
2002. Biologi Edisi Kelima- Jilid 1 . Jakarta:
Spirulina
Erlangga.
Biotech., 22: 937-943.
Diharmi A. 2001. Pengaruh Pencahayaan Terhadap Kandungan Pigmen Bioaktif Mikroalga Spirulina platensis Strain Lokal (INK).
Tesis.
Bogor:
Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
The
platensis. J.
Repeated Microalga
Microbiol.
&
Rouhier B. 2009. Spirulina and Malnutrition. Beauvais: Institut Polytechnique LaSalle. Sasmita P.G., Wenten I.G., Suantika G. 2004. Pengembangan
Teknologi
Ultrafiltrasi
untuk Pemekatan Mikroalga. Prosiding.
Handayani L. 2003. Pertumbuhan Spirulina
Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan
platensis yang Dikultur dengan Pupuk
Proses 2004. Semarang: Jurusan Teknik
Komersil dan Kotoran Puyuh. Skripsi.
Kimia,
Bogor:
Diponegoro.
Jurusan
Budidaya
Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hu
Q.
2004.
Industrial
Microalgal
Cell-mass
Products-
Major
Production and
Industrial (ed.),
Universitas
Santosa A. 2010. Produksi Spirulina sp. yang
of
Fotoperiod. Skripsi . Bogor: Departeman
Secondary
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan
Species:
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
of
Schubert E.F. 2006. Light Emitting Diodes:
Microalgal Culture, Biotechnology and
Second Edition. New York: Cambridge
Applied
A.E.
Teknik,
Dikultur dengan Perlakuan Manipulasi
Arthrospira (Spirulina) platensis. di dalam Richmond
Fakultas
Phycology .
Handbook
Iowa:
Blackwell
Publishing. Hlm 264-272.
Vonshak, A., Tomaselli L. 2000. Spirulina sp.
Mohanty P, Srivastava M., Krishna K.B. 1997. The
Photosynthetic
University Press.
Apparatus
of
(Spirulina):
Systematics
and
Ecophysiology. di dalam Whitton B. A dan
Spirulina: Electron Transport and Energy
M.
Transfer. di dalam Vonshak, A. (ed.),
Cyanobacteria: Their Diversity in Time
Spirulina
and Space. Boston: Academic Publishing.
pletensis
Physiology,
(Arthrospira):
Cell-biology
and
Biotechnology . Bristol: Taylor & Francis
Ltd. Hlm 1-15.
Potts.
(ed.),
The
Ecology
of
Hlm 505-522. Winarti.
2003.
Pertumbuhan
Spirulina
platensis Yang Dikultur dengan Pupuk
Okamoto K., Yanagi T., Takita S. 1996.
Komersil (Urea, TSP, dan ZA) dan Kotoran
Development of plantgrowth apparatus
Ayam. Skripsi . Bogor: Jurusan Budidaya
using and red LED as artificial light
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
source. Acta Horticulturae, 440: 111 –116.
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.