LAPORAN KASUS Abses Perianal
STASE ILMU BEDAH RSUD CIANJUR
DISUSUN OLEH Rahmi Dwi Winarsih
2010730087
Pembimbing: dr. Asep Tajul Mutaqin Ahmad, Sp. B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2014
Laporan Kasus
IDENTITAS PASIEN Nama
: Tn. I
Usia
: 30 Tahun
Alamat
: Bj. Herang, Kab. Cianjur
Tgl. MRS
: 01 Juli 2014
Tgl. Pemeriksaan
: 04 Juli 2014
AUTOANAMNESIS Keluhan Utama: Benjolan di sekitar lubang pantat sudah 3 hari yang lalu SMRS. Riwayat Penyakit Sekarang: Os datang ke IGD RSUD Cianjur mengeluh terdapat benjolan di sekitar lubang pantat sudah 3 hari yang lalu. Benjolan terasa gatal, nyeri, panas dan kemerahan. Os mengaku benjolan dapat dimasukkan kembali dengan tangannya sendiri. Os merasa tidak nyaman saat duduk dan ketika BAB terasa sakit, BAB tidak ada darah. BAK lancar. 2 hari sebelumnya Os demam, tetapi sekarang tidak ada demam. Riwayat Penyakit Dahulu: Os mengaku tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Riw. DM (tidak ditanyakan), riw. TB (tidak ditanyakan). Riwayat Penyakit Keluarga: Dikeluarga tidak ada yang mengalami seperti ini. Riwayat Pengobatan: Os mengaku pernah minum obat paracetamol 1x. Riwayat Alergi: Tidak ada keluhan/riwayat alergi.
Riwayat Psikososial: Os mengaku tidak merokok dan mengonsumsi alkohol. Os juga mengaku jarang mengonsumsi sayur dan buah. Os suka mengonsumsi makanan seperti rendang atau ayam tiap harinya. Riw. higienitas individu (tidak ditanyakan).
PEMERIKSAAN FISIK 1. Keadaan Umum Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran
: compos mentis
2. Tanda Vital TD
:
100/60 mmHg
Nadi
:
106x/menit
Napas :
35x/menit
Suhu :
37,2°C
3. Status Generalisata Kepala {normocephal, rambut warna hitam, rontok (-)} - Mata
: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Hidung
: tidak tampak adanya deformitas, tidak tampak adanya sekret, tidak tampak adanya perdaharan/epistaksis/rhinorhagic
- Telinga
: otorhagic (-), sekret (-)
- Mulut
: bibir kering (-), sianosis (-)
Leher
: pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Thorax Inspeksi
: normochest, pergerakan dada simetris, tidak ada luka bekas operasi
Palpasi
: tidak ada pergerakan dada yang tertinggal, vocal fremitus teraba sama pada kedua lapang paru
Perkusi
: sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-), BJ I dan II murni regular, murmur (-), gallops (-) Abdomen Inspeksi
: distensi abdomen (-), scar (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal Perkusi
: timpani di seluruh kuadran abdomen
Palpasi
: supel, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)
Ekstremitas atas: akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-) Ekstremitas bawah: akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-) Rectal Touche: tonus otot sphincter ani baik, teraba massa/benjolan pada pukul 7, bisa dimasukkan kembali ke dalam anus, nyeri (+), feses (-), darah (-), lendir (-) 4. Status Lokalis e/r anus
Inspeksi Tampak eritem (+), udem (+) Palpasi Nyeri tekan (+), teraba hangat (+) 5. Resume Os datang ke RSUD Cianjur mengeluh terdapat benjolan di sekitar lubang pantat sudah 3 hari yang lalu. Benjolan terasa gatal, nyeri, panas dan kemerahan. Os mengaku benjolan dapat dimasukkan kembali dengan tangannya sendiri. Os merasa tidak nyaman saat duduk dan ketika BAB terasa sakit, BAB tidak ada darah. BAK lancar. 2 hari
sebelumnya Os demam, tetapi sekarang tidak ada demam. Tanda vital (TD: 100/60 mmHg, N: 106x/menit, RR: 35x/menit, S: 37,2°C). Status generalis: dalam batas normal. Status lokalis: tampak eritem, udem, nyeri tekan dan teraba hangat. 6. Differential Diagnosis 1. Abses perianal. 2. Furunkel. 3. Ca. recti. 7. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi lengkap Tanggal 1 Juli 2014 Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
Leukosit
25.3
4.8 – 10.8
10-3/uL
Neutrofil Absolut
22.16
1.8 – 7.6
10-3/uL
8. Analisa Kasus -
Laki-laki
-
Usia 30 tahun
-
Mengeluh adanya benjolan di sekitar lubang pantat 3 hari yang lalu
-
Benjolan terasa gatal, nyeri, panas dan kemerahan
-
2 hari sebelumnya demam
-
TTV (N: 106x/menit, RR: 35x/menit)
-
Pemeriksaan lab: didapatkan leukositosis dan neutrofilia
9. Working Diagnosis Abses Perianal 10. Rencana Penatalaksanaan
Insisi drainase
Tinjauan Pustaka A. Abses Perianal Abses perianal merupakan infeksi pada jaringan lunak sekitar saluran anal, dengan pembentukan rongga abses. Tingkat keparahan dan kedalaman dari abses cukup variabel, dan rongga abses sering dikaitkan dengan pembentukan saluran fistulous. Abses anorektal berasal dari infeksi yang timbul dalam cryptoglandular epitel yang melapisi saluran analis. Sphincter anal internal biasanya sebagai penghalang terhadap infeksi yang melewati dari lumen usus ke jaringan perirectal. Akan tetapi spinchter anal internal ini dapat ditembus sampai ke dalam ruang intersphincteric oleh infeksi melalui kriptus dari Morgagni. Setelah infeksi masuk ke ruang intersphincteric, maka infeksi akan menyebar ke ruang perirectal yang berdekatan. Perpanjangan infeksi dapat melibatkan ruang intersphincteric, ruang ischiorectal, atau bahkan ruang supralevator. Dalam beberapa kasus, abses tetap terdapat dalam ruang intersphincteric. Pria lebih sering terkena daripada perempuan. Sekitar 30% dari pasien dengan abses anorektal laporan riwayat abses serupa yang baik diselesaikan secara spontan atau diperlukan intervensi bedah. Demografi menunjukkan perbedaan yang jelas dalam terjadinya abses anal sehubungan dengan usia dan jenis kelamin, tidak ada pola yang jelas diantara berbagai negara atau wilayah di dunia. Masih perlu dibuktikan adanya hubungan langsung antara pembentukan abses anorectal dan kebiasaan buang air besar, diare berulang dan kebersihan yang rendah. Terjadinya abses perianal pada bayi juga cukup umum. Mekanisme yang tepat belum dipahami dengan baik tetapi tidak tampak kaitan dengan sembelit. Kondisi ini cukup jinak pada bayi, jarang memerlukan campur tangan operasi pada pasien tersebut selain drainage. Kejadian puncak dari abses anorektal adalah di dekade ketiga dan keempat kehidupan. Pria lebih sering terkena daripada wanita, dengan perbandingan 2 : 1 – 3 : 1. Sekitar 30% dari pasien dengan abses anorektal laporan riwayat abses sebelumnya yang baik yang sembuh secara spontan atau melalui tindakan bedah. Perirectal abses dan fistula merupakan gangguan yang timbul pada anorectal yang didominasi dari adanya obstruksi kriptus analis. Obstruksi pada kriptus analis merupakan hasil dari stasis sekresi kelenjar lalu ketika terjadi infeksi, terbentuk supurasi dan pembentukan abses pada glandula analis. Bentuk abses awalnya dalam ruang intersphincteric dan kemudian menyebar di sepanjang ruang-ruang potensial yang
berdekatan. Organisme umum terlibat dalam pembentukan abses termasuk Escherichia coli, spesies Enterococcus, dan spesies Bacteroides. Namun, tidak ada bakteri tertentu telah diidentifikasi sebagai penyebab khas dari abses. Abses dan fistula perirectal merupakan gangguan anorektal yang disebabkan oleh obstruksi kriptus analis. Anatomi normal menunjukkan terdapat 4-10 glandula analis pada linea dentata. Glandula analis berfungsi untuk melumasi kanalis analis. Obstruksi kriptus analis merupakan hasil dari sekresi statis kelenjar lalu ketika terjadi infeksi, terbentuk supurasi dan pembentukan abses pada glandula analis. Abses biasanya terbentuk di ruang intersphincteric dan dari sini proses infeksi dapat menyebar secara distal sepanjang otot longitudinal dan kemudian muncul di subkutis sebagai abses perianal, atau dapat menyebar secara lateral melewati otot longitudinal dan sfingter eksternal sehingga menjadi abses ischiorektal. Meskipun kebanyakan abses yang berasal dari kelenjar anal adalah perianal dan ischiorektal, ruang lain dapat terinfeksi. Pergerakan infeksi ke atas dapat menyebabkan abses intersfingterik tinggi. Ini kemudian dapat menerobos otot longitudinal ke ruang supralevator sehingga menyebabkan abses supralevator. Setelah abses terdrainase, secara spontan maupun secara bedah, komunikasi abnormal antara lubang anus dan kulit perianal disebut fistula ani.
Keterangan: A = infeksi dari usus menyerang kriptus analis atau kelenjar analis lain. Proses primer ini terjadi pada linea dentata; B dan C = infeksi menyebar ke jaringan perianal dan perirektal secara tidak langsung melalui system limfatik atau secara langsung melalui struktur kelenjar; D = terbentuk abses; E = abses pecah spontan, menorehkan lubang pada permukaan kulit.
Manifestasi Klinis
Nyeri, yang biasanya konstan, berdenyut, dan lebih buruk ketika duduk.
Iritasi kulit di sekitar anus, termasuk pembengkakan, kemerahan, dan nyeri.
Keluarnya nanah.
Sembelit atau sakit yang terkait dengan buang air besar.
Diagnosis a. Pemeriksaan colok dubur Pemeriksaan colok dubur dibawah anestesi dapat membantu dalam kasus-kasus tertentu, karena ketidaknyamanan pasien yang signifikan dapat menghalangi penilaian terhadap pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Contohnya, evaluasi terhadap abses ischiorektal yang optimal dapat dilakukan dengan hanya menggunakan pemeriksaan colok dubur. Dengan adanya obat anastesi, fistula dapat disuntikkan larutan peroksida
untuk memfasilitasi visualisasi pembukaan fistula internal. Bukti menunjukkan bahwa penggunaan visualisasi endoskopik (transrektal dan transanal) adalah cara terbaik untuk mengevaluasi kasus yang kompleks abses perianal dan fistula. Dengan teknik endoskopik, tingkat dan konfigurasi dari abses dan fistula dapat jelas divisualisasikan. Visualisasi endoskopi telahdilaporkan sama efektifnya seperti fistulografi. Jika ditangani dengan dokter yang berpengalaman, evaluasi secara endoskopik adalah prosedur diagnostik pilihan pada pasiendengan kelainan perirektal karena rendahnya risiko infeksi serta kenyamanan pasien tidak terganggu. Evaluasi secara endoskopik setelah pembedahan juga efektif untuk memeriksa respon pasien terhadap terap b. Pemeriksaan Laboratorium Belum
ada
pemeriksaan
laboratorium
khusus
yang
dapat
dilakukan
untuk mengevaluasi pasien dengan abses perianal atau anorektal, kecuali pada pasien tertentu, seperti individu dengan diabetes dan pasien dengan imunitas tubuh yang rendah karena memiliki risiko tinggi terhadap terjadinya sepsis bakteremia yang dapat disebabkan dari abse sanorektal. Dalam kasus tersebut, evaluasi laboratorium lengkap adalah penting. c. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi jarang diperlukan pada evaluasi pasien dengan abses anorektal. Namun, pada pasien dengan gejala klinis abses intersfingter atau supralevator mungkin memerlukan pemeriksaan konfirmasi dengan CT scan, MRI, atau ultrasonografi dubur. Namun pemeriksaan radiologi adalah modalitas terakhir yang harus dilakukan karena terbatasnya kegunaannya. USG juga dapat digunakan secara intraoperatif untuk membantu mengidentifikasi abses atau fistula dengan lokasi yang sulit.
Penatalaksanaan Pada kebanyakan pasien dengan abses anorektal, terapi medikamentosa dengan antibiotik biasanya tidak diperlukan. Namun, pada pasien dengan peradangan sistemik, diabetes, atau imunitas rendah, antibiotik wajib diberikan. Abses anorektal harus diobati dengan drainase sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan. Jika diagnosis masih diragukan, pemeriksaan di bawah anestesi sering merupakan cara yang paling tepat baik untuk mengkonfirmasi diagnosis serta mengobati. Pengobatan yang tertunda atau tidak memadai terkadang dapat menyebabkan perluasan abses dan dapat mengancam nyawa apabila terjadi nekrosis jaringan yang besar, atau bahkan septikemia. Antibiotik hanya
diindikasikan jika terjadi selulitis luas atau apabila pasien immunocompromised, menderita diabetes mellitus, atau memiliki penyakit katup jantung. Namun, pemberian antibiotik secara tunggal bukan merupakan pengobatan yang efektif untuk mengobati abses perianal atau perirektal. Kebanyakan abses perianal dapat didrainase di bawah anestesi lokal di kantor, klinik, atau unit gawat darurat. Pada kasus abses yang besar maupun pada lokasinya yang sulit mungkin memerlukan drainase di dalam ruang operasi. Insisi dilakukan sampai ke bagian subkutan pada bagian yang paling menonjol dari abses. “Dog ear" yang timbul setelah insisi dipotong untuk mencegah penutupan dini. Luka dibiarkan terbuka dan Sitz bath dapat dimulai pada hari berikutnya.
Komplikasi Jika tidak diobati abses perianal dapat mengakibatkan menjadi komplikasi serius seperti sebagai gangren perineum dan sepsis umum. Sejumlah besar abses perianal akan terulang dalam waktu satu atau dua tahun, terutama jika ada faktor predisposisi dan sebagian akan menimbulkan "Fistula in ano".
B. Furunkel Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan subkutan sekitarnya yang sering terjadi pada daerah bokong, aksila, dan badan. Furunkel dapat terbentuk pada lebih dari satu tempat. Jika lebih dari satu tempat disebut furunkulosis. Furunkulosis dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain akibat iritasi, kebersihan yang kurang,
dan daya tahan tubuh yang kurang. Infeksi dimulai dengan adanya peradangan pada folikel rambut dikulit (folikulitis), kemudian menyebar ke jaringan sekitarnya. Permukaan kulit normal atau sehat dapat dirusak oleh karena iritasi, tekanan, gesekan, hiperhidrosis, dermatitis, dermatofitosis, dan beberapa faktor yang lain, sehingga kerusakan dari kulit tersebut dipakai sebagai jalan masuknya Staphylococcus aureus maupun bakteri penyebab lainnya. Penularannya dapat melalui kontak atau auto inokulasi dari lesi penderita. Furunkulosis dapat menjadi kelainan sistemik karena faktor predisposisi antara lain, alkohol, malnutrisi, diskrasia darah, iatrogenik atau keadaan imunosupresi termasuk AIDS dan diabetes mellitus. Jadi, furunkel dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : 1. Iritasi pada kulit. 2. Kebersihan kulit yang kurang terjaga. 3. Daya tahan tubuh yang rendah. 4. Infeksi oleh Staphylococcus aureus. Infeksi dimulai dari peradangan pada folikel rambut pada kulit (folikulitis) yang menyebar pada jaringan sekitarnya. Radang nanah yang dekat sekali dengan kulit disebut pustule. Kulit diatasnya sangat tipis, sehingga nanah di dalamnya dapat dengna mudah mengalir keluar. Sedangkan bisulnya sendiri berada pada daerah kulit yang lebih dalam. Kadang-kadang nanah yang berada dalam bisul diserap sendiri oleh tubuh tetapi lebih sering mengalir sendiri melalui lubang pada kulit. Mula-mula nodul kecil yang mengalami peradangan pada folikel rambut, kemudian menjadi pustule dan mengalami nekrosis dan menyembuh setelah pus keluar. Nyeri terjadi terutama pada furunkel yang akut, besar, dan lokasinya dihidung dan lubang telinga luar. Bisa timbul gejala seperti badan demam, malaise, dan mual. Furunkel dapat timbul di banyak tempat dan dapat sering kambuh. Tempat terjadinya furunkel biasanya yaitu pada muka, leher, lengan, pergelangan tangan, jari-jari tangan, dan pantat. Namun, gejala yang timbul dari adanya furunkel bervariasi tergantung dari beratnya penyakit. Gejala yang sering ditemui pada furunkel adalah: 1. Nyeri pada daerah ruam. 2. Ruam pada derah kulit yang berbentuk kerucut dan memiliki pustule. 3. Pustule dapat melunak dan mengalami nekrosis. 4. Setelah seminggu kebanyakan akan pecah sendiri dan sebagian dapat menghilang dengan sendirinya.
Diagnosa Furunkel Anamnesa Penderita datang dengan keluhan terdapat nodul yang nyeri. Ukuran nodul tersebut meningkat dalam beberapa hari. Beberapa pasien mengeluh demam dan malaise. Pemeriksaan Fisik Terdapat nodul berwarna merah, hangat dan berisi pus. Supurasi terjadi setelah kirakira 5-7 hari dan pus dikeluarkan melalui saluran keluar tunggal (single follicular orifices). Furunkel yang pecah dan kering kemudian membentuk lubang yang kuning keabuan ireguler pada bagian tengah dan sembuh perlahan. Diagnosis Banding Diagnosis banding furunkolosis adalah folikulitis dan karbunkel. Antara furunkolosis dan folikulitis dapat dibedakan dari segi efloresensinya kalau pada folikulitis berupa macula eritematus, papula, pustula, tidak terdapat core dan jaringan disekitarnya tidak meradang. Antara furunkolosis dengan karbunkel, dapat dibedakan dari segi efloresensinya mirip dengan furunkel hanya saja ukurannya lebih besar dan mata bisulnya lebih dari satu, dan biasanya sering dijumpai pada penderita Diabetes Melitus.
Penatalaksanaan Adapun penatalaksanaan untuk furunkel atau furunkolosisi adalah sebagai berikut : 1. Umum: atasi faktor predisposisi 2. Medikamentosa Untuk mempercepat drainase, kompres dengan air hangat atau povidon 1% (encerkan 1:10) 2 kali sehari selama 10-15 menit, setelah itu baru dioleskan antibiotik. Sistemik diberikan antibiotic, seperti : Koksasilin 3 x 500 mg per oral/ hari selama 5-7 hari atau Cefadroksil 2 x 500 mg peroral/ hari selama 10-14 hari bila alergi terhadap penisilin diberikan eritromisin, pada furunkel maligna diberikan sefotaksim 1 gram intramuskuler per 8 jam selama 10 hari.
C. Kanker rectum Di dunia kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga pada tingkat insiden dan mortalitas. Pada tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolorektal dengan tingkat mortalitas lebih dari 50%. 9,5 persen pria penderita kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan pada wanita angkanya mencapai 9,3 persen dari total jumlah penderita kanker. Insidensi kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka kematiannya. Insiden pada pria sebanding dengan wanita, dan lebih banyak pada orang muda.Sekitar 75 % ditemukan di rektosigmoid. Di Negara barat, perbandingan insiden pria : wanita = 3 : 1 dan kurang dari 50 % ditemukan di rektosigmoid dan merupakan penyakit orang usia lanjut. Pada tahun 2002 kanker kolorektal berada pada peringkat kedua pada kasus kanker yang dialami oleh pasien pria setelah kanker paru pada urutan pertama, sedangkan pada pasien wanita kanker kolorektal berada pada urutan ketiga setelah kanker payudara dan kanker leher rahim. Histopatologis dari kanker kolorektal sebesar 96% berupa adenocarcinoma, 2% karsinoma lainnya (termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid carcinoma, dan 0,08% berupa sarcoma, sedangkan untuk lokasinya, sebagian besar terdapat di rektum (51,6%), diikuti oleh kolon sigmoid (18,8%), kolon descendens (8,6%), kolon transversum (8,06%), kolon ascendens (7,8%), dan multifokal (0,28%). Berdasarkan penelitian pada tahun 2006-2010, angka kejadian kanker kolorectal di RS. AWS Samarinda berjumlah 160 orang, hasil penelitian mengenai jenis kelamin sampel, jumlah pria lebih banyak yaitu 81 orang dan wanita 65 orang, dan untuk jenis terbanyak didapatkan hasil Adeno Ca (130 orang), Mucinous Ca (4 orang), Signet ring cell Ca (4 orang), Lymphoma (4 orang), Carcinoid cell Ca (2 orang), Sarcoma (2 orang) serta berdasarkan usia sampel, didapatkan terbanyak pada usia 31-40 tahun. Price dan Wilson (1994) mengemukakan bahwa etiologi karsinoma rectum sama seperti kanker lainnya yang masih belum diketahui penyebabnya. Faktor predisposisi munculnya karsinoma rektum adalah polyposis familial, defisiensi Imunologi, kolitis ulseratif, granulomartosis dan Kolitis. Faktor predisposisi penting lainnya yang mungkin berkaitan adalah kebiasaan makan. Masyarakat yang dietnya rendah selulosa tapi tinggi protein hewani dan lemak, memiliki insiden yang cukup tinggi. Burkitt (1971) yang dikutip oleh Price dan Wilson mengemukakan bahwa diet rendah serat, tinggi karbohidrat refined, mengakibatkan perubahan pada flora feces dan perubahan degradasi garam-garam empedu atau hasil pemecahan protein dan lemak,
dimana sebagian dari zat-zat ini bersifat karsinogenik. Diet rendah serat juga menyebabkan pemekatan zat yang berpotensi karsinogenik dalam feses yang bervolume lebih kecil. Selain itu, masa transisi feses meningkat. Akibatnya kontak zat yang berpotensi karsinogenik dengan mukosa usus bertambah lama. Pada mukosa rektum yang normal, sel-sel epitelnya akan mengalami regenerasi setiap 6 hari. Pada keadaan patologis seperti adenoma terjadi perubahan genetik yang mengganggu proses differensiasi dan maturasi dari sel-sel tersebut yang dimulai dengan inaktivasi gen adenomatous polyposis coli (APC) yang menyebabkan terjadinya replikasi tak terkontrol. Peningkatan jumlah sel akibat replikasi tak terkontrol tersebut akan menyebabkan terjadinya mutasi yang akan mengaktivasi K- ras onkogen dan mutasi gen p53, hal ini akan mencegah terjadinya apoptosis dan memperpanjang hidup sel. Kanker kolon dan rectum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya.Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke dalam tubuh yang lain (paling sering ke hati). Etiologi dari kanker rektum sendiri belum diketahui, namun beberapa faktor resiko telah ditemukan dapat menyebabkan terjadinya kanker rektum. Beberapa faktor resiko yang berperan antara lain: 1. Faktor genetik seperti familial adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC). 2. Inflamatory bowel disease seperti penyakit crohn dan kolitis ulseratif. 3. Riwayat keluarga yang menderita kanker kolorektal. 4. Riwayat menderita polip, kanker ovarium, endometriosis, dan kanker payudara. 5. Umur di atas 40 tahun. Risiko dari kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan usia, terutama pada pria dan wanita berusia 50 tahun atau lebih, dan hanya 3% dari kanker kolorektal muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun.255% kanker terdapat pada usia ≥ 65 tahun. 6. Diet tinggi lemak rendah serat Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker kolorektal. 7. Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk menderita adenoma yang berukuran besar.
Diagnosa Klinis Anamnesa Anamnesa keluhan utama dan riwayat penyakit memegang peranan yang sangat penting dalam penegakkan diagnosis. Berikut ini merupakan gejala yang seringkali dikeluhkan oleh pasien dengan karsinoma rekti: 1. Diare palsu atau “spurious diarrhoea” Diare palsu merupakan keluhan BAB yang frekuen tetapi hanya sedikit yang keluar disertai dengan lendir dan darah serta adanya rasa tidak puas setelah BAB. Terjadinya diare palsu oleh karena adanya proses keganasan pada epitel kelenjar mukosa rektum, berupa suatu massa tumor, dimana tumor akan merangsang keinginan untuk defekasi, tetapi yang keluar hanya sedikit disertai hasil sekresi kelenjar berupa mukus dan darah oleh karena rapuhnya massa tumor. 2. BAB berlendir BAB berlendir seperti halnya diare palsu merupakan manifestasi adanya proses keganasan pada epitel kelenjar mukosa rektum dan hal ini jarang didapatkan pada penderita hemorrhoid. 3. Feses pipih seperti kotoran kambing Bentuk feses yang pipih seperti kotoran kambing sangat tergantung dari bentuk makroskopis massa tumor pada rektum. Pada stadium dini dimana tumor masih kecil dan tidak berbentuk anuler, jarang ditemukan perubahan bentuk feses. 4. Penurunan berat badan Penurunan berat badan pada dasarnya akan terjadi pada semua penderita dengan keganasan, terutama pada stadium lanjut. Penderita dengan keganasan akan mengalami perubahan metabolisme oleh karena adanya reaksi inflamasi tumor dengan host. Adanya peningkatan metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak akan menyebabkan keseimbangan energi-protein menjadi negatif sehingga diikuti dengan penurunan berat badan. Pada karsinoma rekti dapat terjadi obstruksi parsial sehingga penderita akan mengeluhkan perut terasa kembung dan nafsu makan menurun. Penurunan berat badan yang terjadi biasanya ringan.
5. Perdarahan bercampur tinja Perdarahan pada keganasan kolorektal terjadi karena adanya proses inflamasi pada massa tumor. Sifat perdarahan yang keluar akan bercampur dengan tinja dan berwarna kehitaman jika massa tumor terdapat pada kolon proksimal, sedangkan darah yang keluar akan berwarna merah segar jika lokasi massa tumor pada kolon distal.
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari kemungkinan metastase seperti pembesaran KGB atau hepatomegali. Dari pemeriksaan colok dubur dapat diketahui:
Adanya tumor rectum
Lokasi dan jarak dari anus
Posisi tumor, melingkar/menyumbat lumen
Perlengketan dengan jaringan sekitar
Pemeriksaan penunjang diagnosis Ada beberapa tes yang dapat dilakukan untuk mendeteksi kanker rektum, antara lain: 1. Biopsi Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting.Jika ditemukan tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus dilakukan. Secara patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan jenis yang paling sering yaitu sekitar 90 sampai 95% dari kanker usus besar. Jenis lainnya ialah karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors, adenosquamous carcinomas, dan undifferentiated tumors. 2. Pemeriksaan Tumor marker : CEA (Carcinoma Embryonic Antigen),CA 242, CA 199. 3. Uji FOBT (Faecal Occult Blood Test) untuk melihat perdarahan di jaringan. 4. Digital rectal examination atau biasa disebut rectal touche (colok dubur). Sekitar 75% karsinoma rekti dapat dipalpasi pada pemeriksaan rektal. Pemeriksaan dengan rektal touche akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, massa akan teraba keras dan menggaung. Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:
a. Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os coccygis. b. Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada lapisan otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah
mengalami ulserasi lebih dalam
umumnya terjadi perlekatan dan fiksasi karena penetrasi atau perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti kelenjar prostat, buli-buli, dinding posterior vagina atau dinding anterior uterus. c. Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan karakteristik pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari mobilitas atau fiksasi lesi. 5. Foto rontgen dengan barium enema yaitu cairan yang mengandung barium, dimasukkan melalui rektum untuk kemudian dilakukan foro rontgen. 6. Endoskopi: Sigmoidoskopi dan Kolonoskopi. 7. Virtual colonoscopy (CT colonography) Kolonoskopi virtual merupakan diagnostik non-invasif yang baru, menggunakan X-ray dan software komputer, untuk melihat dua dan tiga-dimensi dari seluruh usus besar dan rektum untuk mendeteksi polip dan kanker kolorektal. 8. Imaging tehnik MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik imaging yang digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi tehnik ini bukan merupakan screening tes.
Penatalaksanaan Berbagai jenis terapi dapat digunakan pada pasien dengan kanker rektum. Tiga terapi standar yang digunakan antara lain adalah: 1. Pembedahan: Eksisi local, Low anterior resection (LAR), Abdominal perineal resection (Miles procedure). Indikasi dan kontra indikasi eksisi lokal kanker rectum Indikasi
Tumor bebas, berada 8 cm dari garis dentate
T1 atau T2 yang dipastikan dengan pemeriksaan ultrasound
Termasuk well-diffrentiated atau moderately well diffrentiated secara histologi
Ukuran kurang dari 3-4 cm
Kontraindikasi
Tumor tidak jelas
Termasuk T3 yang dipastikan dengan ultrasound
Termasuk Poorly diffrentiated secara histologi
2. Radiasi. 3. Kemoterapi. 4. Penanganan jangka panjang: evaluasi klinik, rontgen, kolonoskopi, CEA.
Prognosis Stage merupakan faktor prognosis yang paling penting,.Grade histologi secara signifikan mempengaruhi tingkat survival disamping stadium. Pasien dengan well differentiated karsinoma (grade 1 dan 2) mempunyai 5-year survival yang lebih baik dibandingkan dengan poor differentiated karsinoma (grade 3 dan 4). Lokasi kanker terlihat sebagai faktor prognostik yang independen. Pada stage yang sama pasien dengan tumor yang berada di rektum mempunyai prognosa yang lebih buruk bila dibandingkan dengan tumor yang berada di kolon. Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk kanker rektal adalah sebagai berikut: a. Stadium I - 72%. b. Stadium II - 54%. c. Stadium III - 39%. d. Stadium IV - 7%. 50% dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering terjadi pada. Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahun pertama setelah operasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk kemampuan ahli bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemapuan untuk memperoleh batas-batas negatif tumor.
Daftar Pustaka
Towsend, M. Jr, dkk. Comon Benign Anal Disorder at Sabiston textbook of Surgery. Elsivier. United State of America. 2008 Sainio P. Fistula-in-ano in a defined population. Incidence and epidemiological aspects. Ann Chir Gynaecol. 1984;73(4):219-24. [Medline]. Vasilevsky, caro-An, dkk. Benign Anorectal at The ACRS textbook of Colon and Rectal Surgery. 2003 Madoff, Robert D, dkk. Anorectal Disease at Digestive Tract Surgery Brunicardi, F. Charles, dkk. Fiatula in ano at Schwartz’s Principles of Surgery Eight Edition. Mc Graw Hill: United State of America. 2005 Brunicardi, F. Charles, et al. 2010. Schwartz’s Principles of Surgery 9th Edition. Mc Graw Hill: United State of America Schwartz SI, 2005. Schwartz’s Principles of Surgery 8th Ed. United States of America: The McGraw-Hill Companies Lynch HT, Chapelle ADL. Hereditary Colorectal Cancer. The New England Journal of Medicine, (online), 2003 march 6; 348:919-932, (www.pubmed.com, diakses 24 Agustus 2011) Boyle P, Ferlay J. Cancer Incidence and Mortality in Europe 2004. Ann Oncol, (online), 2005 Mar; 16(3):481-8, (www.pubmed.com, diakses 24 Agustus 2011)