LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN PERIANAL ABSES
Disusun Oleh : MEIDARINA
PPN 12080
PROGRAM STUDI PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN IMMANUEL BANDUNG 2012
PERIANAL ABSES
A. Definisi
Abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus (bakteri,jaringan nekrotik dan sel darah putih) ( Smelltzer.,at Smelltzer.,at al , 2001).Abses perianal adalah infeksi pada ruang pararektal. Abses ini kebanyakan akan mengakibatkan fistula (Smeltzer & Bare, 2001). Abses anorektal merupakan infeksi yang terlokalisasi dengan pengumpulan nanah pada daerah anorektal. Organisme penyebab biasanya adalah Escherichia coli, stafilokokus, atau streptokokus (Price & Wilson, 2005). Abses perianal adalah infeksi pada jaringan lunak di sekitar lubang anus dengan pembentukan abses rongga sekret. Abses anorektal merupakan suatu pengumpulan nanah yang disebabkan masuknya bakteri ke ruangan di sekitar anus dan rektum (Gunawan, 2010). Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa abses anorektal atau abses perianal adalah rongga yang berisi nanah atau pus yang terletak pada anorektal yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau jamur.
B. Anatomi dan Fisiologi
Sistem pencernaan makanan pada manusia terdiri dari beberapa organ, berturut-turut dimulai dari : rongga mulut, esofagus, lambung, usu s halus, usus besar, rektum, anus.
a. Mulut (oris) Rongga mulut dibatasi oleh beberapa bagian, yaitu sebelah atas oleh tulang rahang dan langit-langit (palatum), sebelah kiri dan kanan oleh otot-otot pipi, serta sebelah bawah oleh rahang bawah. 1) Gigi (dentis) 2) Lidah (lingua) 3) Kelenjar Ludah b. Esofagus (kerongkongan) Esofagus merupakan saluran sempit berbentuk pipa yang menghubungkan faring dengan lambung (gaster). Yang panjang kira-kira 25 cm, diameter 2,5 cm. pH cairannya 5-6. Fungsi : menggerakkan makanan dari faring ke lambung melalui gerak peristalsis. c. Lambung (gaster) Lambung merupakan organ berbentuk J yang terletak di bawah rusuk terakhir sebelah kiri. Yang panjangnya 20 cm, diameternya 15 cm, pH lambung 1-3,5. Lambung terdiri atas kardiak, fundus, badan lambung, antrum, kanal pylorus, dan pylorus. d. Usus halus (Intestinum tenue) Usus halus adalah tempat berlangsungnya sebagian besar pencernaan dan penyerapan yang panjangnya sekitar 6 m berdiameter sekitar 2,5 cm. Sedangkan pHnya 6,3 – 7,6. Dinding usus halus terdiri atas tiga lapis, yaitu tunica mucosa, tunica muscularis, dan tunika serosa. Tunica muscularis merupakan bagian yang menyebabkan gerakan usus halus. e. Usus besar (colon) Usus besar adalah saluran yang berhubung dengan bagian usus halus (ileum) dan berakhir dengan anus. Yang panjangnya sekitar 1,5 m dan diameternya kurang lebih 6,3 cm. pH nya 7,5-8,0. f. Anus Anus merupakan lubang pada ujung saluran pencernaan. Pada anus terdapat dua macam otot, yaitu: 1) Sfingter anus internus; bekerja tidak menurut kehendak. 2) Sfingter anus eksterus; bekerja menurut kehendak.
Proses pengeluaran feses di sebut defekasi. Setelah rektum terenggang karena terisi penuh, timbul keinginan untuk defekasi (Biofarmasiumi, 2010).
C. Etiologi
1.
Infeksi Mikrobial Merupakan penyebab paling sering terjadinya abses. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara multiplikasi. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis kimiawi yang merupakan awal radang atau melepaskan endotoksin yang ada hubunganya dengan dinding sel
2.
Reaksi hipersensitivitas. Terjadi bila ada perubahan respon Imunologi yang menyebabkan jaringan rusak.
3.
Agen Fisik Melalui trauma fisik, ultra violet, atau radiasi, terbakar, atau dinding berlebih (frostbite).
4.
Bahan kimia iritan dan korosif Bahan oksidan, asam, basa, akan merusak jaringan dengan cara memprovokasi terjadinya proses radang, selain itu agen infeksi dapat melepaskan bahan kimiawi spesifik yang mengiritasi dan langsung menyebabkan radang
5.
Nekrosis jaringan Aliran darah yang kurang akan menyebabkan hipoksia dan berkurangnya makanan pada dearah yang bersangkutan. Menyebabkan kematian jaringan yang merupakan stimulus kuat penyebab infeksi pada daerah tepi infeksi sering memperlihatkan suatu respon radang akut.
D. Patofisiologi
Sjamsuhidajat., et al (1998), mengemukakan bahwa kuman penyakit yang masuk ke dalam tubuh akan menyebabkan kerusakan jaringan dengan cara mengeluarkan toksin. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis, kimiawi yang secara spesifik mengawali proses radang atau melepaskan endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak jaringan.
Sedangkan agen fisik dan bahan kimiawi yang iritan dan korosif akan menyebabkan kerusakan jaringan. Kematian jaringan merupakan stimulus yang ku at untuk terjadi infeksi. Infeksi hanya merupakan salah satu penyebab dari peradangan. Pada peradangan, kemerahan merupakan tanda pertama yang terlihat pada daerah yang mengalami peradangan akibat dilatasi arteriol yang mensuplai daerah tersebut akan meningkatkan aliran darah ke mikrosirkulasi lokal. Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan. Peningkatan suhu bersifat lokal. Namun, peningkatan suhu dapat terjadi secara sistemik akibat endogen pirogen yang dihasilkan makrofag mempengaruhi termoregulasi pada temperatur lebih tinggi sehingga produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi. Pada peradangan terjadi perubahan diameter pembuluh darah sehingga darah mengalir ke seluruh kapiler, kemudian aliran darah mulai perlahan lagi, sel-sel darah mulai mengalir mendekati dinding pembuluh darah di daerah zona plasmatik. Keadaan ini memungkinkan leukosit menempel pada epitel, sebagai langkah awal terjadinya emigrasi leukosit ke dalam ruang ektravaskuler. Lambatnya aliran darah yang mengikuti fase hiperemia menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskuler, mengakibatkan keluarnya plasma untuk masuk ke dalam jaringan, sedangkan sel darah tertinggal dalam pembuluh darah akibat peningkatan tekanan hidrostatik dan penurunan tekanan osmotik sehingga terjadi akumulasi cairan didalam rongga ektravaskuler yang merupakan bagian dari cairan eksudat yaitu edema. Regangan dan distorsi jaringan akibat edema dan tekanan pus dalam rongga Abses menyebabkan rasa sakit. Beberapa mediator kimiawi pada radang akut termasuk bradikinin, prostaglandin dan serotonin akan merangsang dan merusakkan ujung saraf nyeri sehingga menurunkan ambang stimulus terhadap reseptor mekanosensitif dan termosensitif sehingga menimbulkan nyeri. Adanya edema akan menyebabkan berkurangnya gerak
jaringan
sehingga
mengalami
penurunan
fungsi
tubuh
yang
menyebabkan
terganggunya mobilitas. Inflamasi terus terjadi selama masih ada perusakan jaringan. Bila penyebab kerusakan jaringan bisa diberantas maka debris akan di fagositosis dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi resolusi dan kesembuhan. Bila trauma berlebihan, reaksi sel fagosit kadang berlebihan sehingga debris yang berlebihan terkumpul dalam suatu rongga membentuk Abses atau bertumpuk di sel jaringan tubuh yang lain membentuk flegmon. Trauma yang hebat, berlebihan, dan terus menerus menimbulkan reaksi tubuh yang juga berlebihan berupa
fagositosis debris yang diikuti dengan pembentukan jaringan granulasi vaskuler untuk mengganti jaringan yang rusak. Fase ini disebut fase organisasi. Bila dalam fase ini pengrusakan jaringan berhenti akan terjadi fase penyembuhan melalui pembentukan jaringan granulasi fibrosa. Tetapi bila perusakan jaringan berlangsung terus, akan terjadi fase inflamasi kronik yang akan sembuh bila rangsang yang merusak hilang. Abses yang tidak diobati akan pecah dan mengeluarkan pus kekuningan sehingga terjadi kerusakan integritas kulit. Sedangkan Abses yang di insisi dapat meningkatkan risiko penyebaran infeksi.
Pathways
Agen fisik
Bahan kimiawi
Iritasi
Kuman masuk ke tubuh
Menginfeksi jaringan Endogen makrofag
Kerusakan jaringan
Menginfeksi jaringan
Mengalami peradangan lokal
Hipertermia
Kerusakan jaringan akibat pengeluaran toksin : eksotoksin, endotoksin
Dinding sel mengalami hipersensitivitas
Inflamasi Mempengaruhi termoregulasi
Inflamasi Perusakan jaringan >>
Adanya debris >>
Di fagosit >> Hipertermia
Perubahan diameter pembuluh darah
Darah mengalir ke zona plasmatik Leukosit menempel pada epitel Emigrasi leukosit ke dalam ruang ektravaskuler Melambatnya aliraan darah akibat hiperemia ↑ permeabilitas vaskuler
Rongga untuk Abses (Flegmon)
Tidak diobati
Inflamasi kronik
Pus kekuningan
Kerusakan Integritas Kulit
Regangan, distorsi jaringan dan tekanan pus akibat edema
Mediator nyeri : bradikinin, prostaglandin dan serotonin
Meran san u un saraf n eri
Plasma keluar ke jaringan, sedangkan sel darah tertinggal di pembuluh darah Akumulasi cairan eksudat didalam rongga ektravaskuler Edema
Berkurangnya gerak jaringan
Penurunan fungsi tubuh
Gg. Mobilitas fisik
Medulla Spinalis
Dihantarkan ke hipotalamus Korteks serebri Nyeri dipersepsikan Gg. Rasa Nyaman : Nyeri
E. Tanda dan Gejala
Abses dapat terjadi pada berbagai ruang di dalam dan sekitar rektum. Seringkali mengandung sejumlah pus berbau menyengat dan nyeri. Apabila abses terletak superficial, maka akan tampak bengkak, kemerahan, dan nyeri tekan. Abses yang terletak lebih dalam memgakibatkan gejala toksik dan bahkan nyeri abdomen bawah, serta deman. Sebagian besar abses rectal akan mengakibatkan fistula (Smeltzer & Bare, 2001). Abses di bawah kulit bisa membengkak, merah, lembut dan sangat nyeri. Abses yang terletak lebih tinggi di rektum, bisa saja tidak menyebabkan gejala, namun bisa menyebabkan demam dan nyeri di perut bagian bawah (Healthy of The Human, 2010).
F. Pengobatan
Antibiotik memiliki nilai terbatas kecuali pada penderita yang mengalami demam, kencing manis atau infeksi di bagian tubuh lainnya. Biasanya, pengobatan terdiri dari suntikan dengan bius lokal, membuka abses dan mengeluarkan nanahnya. Kadang-kadang, penderita dirawat dan mendapatkan pembiusan total sebelum dokter membuka dan mengeringkan abses. Setelah semua nanah dibuang, bisa terbentuk terowongan abnormal yang menuju ke kulit (fistula anorektal) (Gunawan, 2010).
G. Pemeriksaan penunjang
Untuk menentukan ukuran dan lokasi abses dalam, bisa dilakukan pemeriksaan rontgen, USG, CT scan atau MRI (Healthy of The Human, 2010). H. Komplikasi
Jika tidak diobati, fistula anus hampir pasti akan membentuk, menghubungkan rektum untuk kulit. Hal ini memerlukan operasi lebih intensif. Selanjutnya, setiap abses diobati dapat (dan kemungkinan besar akan) terus berkembang, akhirnya menjadi infeksi sistemik yang serius. Hal yang paling ditakutkan pada abses perianal adalah terjadinya fistel perianal. Fistel perianal adalah saluran abnormal antara lubang anus/rektum dengan lubang bekas abses yang bermuara pada kulit sekitar anus. Muara pada kulit sekitar anus tampak sebagai luka bekas bisul yang tidak pernah menutup/sembuh dan tidak sakit (Selatan, 2008).
E. Asuhan Keperawatan Pengkajian
a. Pengumpulan Data 1) Anamnesa a) Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis. b) Keluhan Utama Pada umumnya keluhan utama pada perianal abses adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan: (1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri. (2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk. (3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi. (4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya. (5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.(Ignatavicius, Donna D, 1995). c) Riwayat Penyakit Sekarang Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari perianal abses, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab perianal abses dan memberi petunjuk berapa lama penyembuhannya. Selain itu, penyakit diabetes sangat beresiko terjadinya hambatan dalam proses penyembuhan abses (Ignatavicius, Donna D, 1995). e) Riwayat Penyakit Keluarga Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit perianal abses klien dapat dikaji. Tujuan dilakukan pengkajian ini agar kita dapat mengetahui apakah di keluarga ada yang mengidap sakit yang sama, pola hidup di lingkungan tempat tinggal seperti apa menyebabkan klien mengalami perianal abses (Donna D, 1995). f)
Riwayat Psikososial Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan (1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat Pada kasus perianal abses akan timbul ketakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995). (2) Pola Nutrisi dan Metabolisme Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap
pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien. (3) Pola Eliminasi Untuk kasus perianal abses tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991) (4) Pola Tidur dan Istirahat Semua klien perianal abses timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999). (5) Pola Aktivitas Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya perianal abses dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6) Pola Hubungan dan Peran Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
(Ignatavicius,
Donna D, 1995). (7) Pola Persepsi dan Konsep Diri Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995). (8) Pola Sensori dan Kognitif Pada klien perianal abses daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan, begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat perianal abses (Ignatavicius, Donna D, 1995). (9) Pola Reproduksi Seksual Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995). 10) Pola Penanggulangan Stress Pada klien perianal abses timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan Untuk klien perianal abses tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien (Ignatavicius, Donna D, 1995). 2)
Pemeriksaan Fisik Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam. a) Gambaran Umum Perlu menyebutkan: (1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti: (a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, compos mentis tergantung pada keadaan klien. (b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus perianal abses. (c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk. (2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
Mata Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
Hidung Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
Telinga Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
Mulut dan Faring Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
Kepala Tidak ada gangguan yaitu, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
Muka Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada p erubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak edema.
Leher Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
Sistem Integumen Terdapat eritema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
Thoraks Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
Paru – Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru. – Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama. – Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada redup atau suara tambahan lainnya. – Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
Jantung – Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
– Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba. – Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur. Abdomen
– Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. – Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba. – Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan. – Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit. Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB. b) Keadaan Lokal Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah: (1) Look (inspeksi) Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain: (a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi). (b) Cape au lait spot (birth mark). (c) Fistulae. (d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi. (e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal). (f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas) (g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi) Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu dicatat adalah: (a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. (b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian. (c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal). Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya. (3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak) Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif (Reksoprodjo, Soelarto, 1995).
Analisa Data No. 1.
Data
Kuman masuk ke tubuh
DS :
Suhu
Etiologi
tubuh
yang
meningkat, perasaan
menggigil/deaphoresis, sakit kepala yang
Endogen makrofag
bervariasi intensitasnya. DO :
Diagnosa Keperawatan
Hipertermia
berhubungan
sirkulasi
endotoksin
hipotalamus,
perubahan
dengan pada pada
regulasi temperatur. Inflamasi
Tingkah lakunya gelisah, suhu tubuh diatas normal 37,50C, tampak berkeringat/tidak,
Mempengaruhi termoregulasi
klien tampak lemah. Hipertermia
2.
DS :
Nyeri disekitar abses dengan bervariasi
Agen fisik dan bahan kimiawi Iritasi
intensitasnya. DO:
Tampak gelisah, menjauhi dan melindungi
kerusakan pembentukan edema.
Kerusakan jaringan Menginfeksi jaringan
area yang nyeri (di area perianal), tingkah laku tidak stabil, adanya ketegangann otot
Gangguan rasa nyaman : Nyeri b.d
Mengalami peradangan lokal
facial. Darah mengalir ke zona plasmatik
Leukosit menempel pada epitel
kulit/jaringan,
Emigrasi leukosit ke dalam ruang ektravaskuler
Melambatnya aliraan darah akibat hiperemia
↑ permeabilitas vaskuler
Plasma keluar ke jaringan, sedangkan sel darah tertinggal di pembuluh darah
Akumulasi cairan eksudat didalam rongga ektravaskuler
Edema
Regangan, distorsi jaringan dan tekanan pus akibat edema
Mediator nyeri : bradikinin, prostaglandin dan serotonin Merangsang ujung saraf nyeri
Medulla Spinalis Dihantarkan ke hipotalamus Korteks serebri Nyeri dipersepsikan Gg. Rasa Nyaman : Nyeri
3.
DS :
Kesulitan dalam beraktivitas, kelemahan,
Agen fisik dan bahan kimiawi Iritasi
mudah lelah, susah beristirahat. DO :
Tampak gelisah, tidak dapat beraktivitas,
Gangguan
mobilitas
berhubungan
dengan
fungsi Kerusakan jaringan Menginfeksi jaringan
mobilisasi dibantu oranglain, tampak lemah. Mengalami peradangan lokal
Darah mengalir ke zona plasmatik
Leukosit menempel pada epitel
Emigrasi leukosit ke dalam ruang ektravaskuler
tubuh
neuromuskular).
fisik penurunan (gangguan
Melambatnya aliraan darah akibat hiperemia
↑ permeabilitas vaskuler
Plasma keluar ke jaringan, sedangkan sel darah tertinggal di pembuluh darah
Akumulasi cairan eksudat didalam rongga ektravaskuler
Edema Berkurangnya gerak jaringan Penurunan fungsi tubuh
Gg. Mobilitas fisik 4.
DS : Perawatan luka, jaringan yang nekrotik
Kuman masuk ke tubuh
dan adanya pus. DO :
Terdapat lesi, terdapat pus, tampak edema, kulit berwarna kemerahan, kulit disekitar
Kerusakan integritas kulit/jaringan berhubungan
Inflamasi Perusakan jaringan >>
mekanis
dengan pada
interupsi
kulit/jaringan;
perubahan sirkulasi, adanya abses dan pus.
abses terasa panas.
Adanya debris >> Debris di fagosit >> Rongga untuk Abses (Flegmon) Tidak diobati Inflamasi kronik Pus kekuningan Kerusakan Integritas Kulit
Intervensi Keperawatan No.
1.
Diagnosa Keperawatan
Hipertermia
berhubungan
sirkulasi
endotoksin
hipotalamus,
perubahan
Intervensi
dengan pada pada
Rasional
1. Pantau suhu pasien (derajad dan pola); 1. Suhu lebih dari 37,5°C menunjukan proses perhatikan menggigil / diaphoresis. 2. Pantau
suhu
lingkungan,
infeksius
akut.
Pola
demam
dapat
membantu dalam diagnosis.
regulasi temperatur.
batasi/tambahkan linen tempat tidur, 2. Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah
Tupan :
sesual indikasi.
Setelah
diberikan
asuhan 3. Berikan
keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
hipertermia
kompres
untuk mempertahankan suhu mendekati hangat;
hindari
penggunaan alcohol.
dapat 4. Kolaborasi : Pembeian obat antipiretik .
teratasi.
5. Berikan selimut.
3. Mengurangi
demam,
alkohol
dapat
mengeringkan kulit. 4. Digunakan
untuk
mengurangi
demam
dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.
Tupen :
Setelah
normal.
diberikan
asuhan
5. Digunakan
untuk
demam
waktu
terjadi
keperawatan selama 1 x 24 jam
tinggi
diharapkan
kerusakan/gangguan pada otak.
suhu
klien
dapat
pada
mengurangi
mendekati normal/kembali normal. Kriteria Hasil :
- Tidak ada komplikasi - Suhu tubuh kembali normal 36,50
37,5 C. 2.
Gangguan rasa nyaman : Nyeri b.d kerusakan
kulit/jaringan,
1. Kaji nyeri klien. Catat karakteristik, lokasi dan intensitas (skala 0-10).
1. Sediakan
informasi
kebutuhan/efektivitas intervensi.
mengenai
pembentukan edema.
2. Kaji
takikardi,
Tupan :
Setelah
diberikan
asuhan
keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan nyeri dapat teratasi.
perhatikan
dan
peningkatan
bahkan
jika
pasien
menyangkal adanya rasa sakit. informasi
diberikan
asuhan
diharapkan nyeri dapat berkurang.
mengenai
sifat
reposisi
sesuai
petunjuk,
misalnya semi fowler; miring. 5. Berikan obat sesuai petunjuk; Analgesik IV.
Kriteria Hasil :
Mengatakan
4. Lakukan
bahwa
rasa
Tampak
santai,
aktivitas
3. Pahami
penyebab
ketidaknyamanan
sakit
dan
otot
suksinilkolin
dapat
pascaoperasi,
sakit
pemberian
bertahan
48
jam
kepala sinus
yang
diasosiasikan dengan nitrus oksida dan sakit tenggorok dan sediakan jaminan emosional. 4. Mungkin
dapat
sakit
mengurangi
rasa
sakit
dan
mengurangi
ketegangan
otot
abdominal dan otot punggung 24rthritis, sedangkan
dapat
miring
mengurangi
tekanan
dorsal.
beristirahat/tidur dan ikut serta dalam
ketidaknyamanan.
meningkatkan sirkulasi. Posisi semi fowler
telah terkontrol/dihilangkan.
2. Dapat mengindikasikan rasa sakit akut dan
(misalnya
ketidaknyamanan, sesuai indikasi.
keperawatan selama 1 x 24 jam
vital,
hipertensi
pernapasan,
3. Berikan
Tupen :
Setelah
tanda-tanda
5. Analgesik IV akan dengan segera mencapai
sesuai
pusat
kemampuan.
rasa
sakit,
menimbulkan
penghilangan yang lebih efektif dengan obat dosis kecil. 3.
Gangguan
mobilitas
berhubungan
dengan
fungsi
tubuh
neuromuskular).
fisik penurunan (gangguan
1. Pantau
tingkat kemampuan mobilisasi
klien klien dan pantau kekuatan otot. 2. Bantu klien dalam beraktifitas bila tidak mampu.
1. Mengidentifikasi memberikan
kekuatan informasi
dan
dapat
mengenai
pemulihan dan pemilihan intervensi. 2. Meningkatkan kontrol terhadap situasi.
3. Ubah posisi tiap 2 jam
Tupan :
Setelah
diberikan
asuhan 4. Kolaborasi : Libatkan keluarga dalam
keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
gangguan
mobilisasi
fisik dapat teratasi. Tupen :
Setelah
diberikan
asuhan
keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan klien dapat melakukan mobilisasi
baik
secara
mandiri/dibantu. Kriteria Hasil :
- Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan
oleh
tak
adanya
kontraktur. -
Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi yang sakit dan atau kompensasi tubuh.
- Menunjukan teknik/perilaku yang memampukan aktifitas.
melakukan
membantu mobilisasi klien.
3. Menurunkan resiko iskemia dan trauma jaringan. 4. Partisipasi
aktif
keluarga
memberikan terapi yang konsisten.
dapat
4.
Kerusakan integritas kulit/jaringan 1. Kaji jumlah dan karakteristik cairan berhubungan mekanis
dengan pada
interupsi
kulit/jaringan;
perubahan sirkulasi, adanya abses dan pus.
diberikan
asuhan
keperawatan selama 5 x 24 jam diharapkan
kerusakan
integritas
kulit dapat teratasi.
asuhan
keperawatan selama 3 x 24 jam
kulit
kerusakan
integritas
berangangsur-angsur
dapat
kembali pulih.
adanya eksudat yang bau menunjukkan kulit
dengan
terjadinya
komplikasi
(misalnya
menggunakan hidrogen peroksida atau
pembentukan fisula, perdarahan, infeksi).
dengan air yang mengalir dan sabun lunak
2. Meningkatkan pengembalian aliran vena
setelah daerah insisi ditutup. 4. Irigasi abses; bantu dengan melakukan
dan menurunkan pembentukan adema. 3. Menetralisasi meminimalkan
tekanan
pada
resiko
luka,
terjadinya
4. Mencegah kontaminasi luka. 5. Menurunkan kontaminasi kulit, membantu dalam membersihkan eksudat. 6. Membuang jaringan nekrotik/luka eksudat untuk meningkatkan penyembuhan.
Kriteria Hasil :
Mencapai penyembuhan luka.
Mendemonstrasikan
tingkah
laku/tehnik untuk meningkatkan kesembuhan dan untuk mencegah komplikasi.
permukaan
pengeluaran cairan terus menerus atau
ruptur/dehisens. diberikan
diharapkan
daerah abses.
debridemen sesuai kebutuhan.
Tupen :
Setelah
evolusi dari proses penyembuhan, apabila
2. Ingatkan pasien untuk tidak menyentuh
3. Bersihkan
Tupan :
Setelah
abses.
1. menurunnya cairan menandakan adanya
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L,J, 2001, Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Klinik (terjemahan), Edisi 3, EGC, Jakarta. Doenges, M.E, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (terjemahan), edisi 3, EGC, Jakarta Nanda, 2001, Nursing Diagnosis: Definitions & Classification 2001-2002, Ed-, United States of America. Price, SA dan Wilson, LM, 1995, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit (terjemahan), Eidisi 4, Volume 1, EGC, Jakarta Smeltzer, S.C, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (terjemahan), Edisi 8, Volume 2, EGC, Jakarta. Sjamsuhidrajat R. W. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta : EGC.