BAB I PENDAHULUAN 1.1
LATAR BELAKANG
Globalisasi adalah suatu proses menyeluruh di dunia yang menyertakan internasionalisasi komunikasi, perdagangan dan organisasi ekonomi. Hal itu melibatkan perubahan sosial, politis dan ekonomi secara cepat. Globalisasi mempunyai potensi untuk menyebabkan ketidakseimbangan. Riset terhadap dampak
perubahan
politis
dan
ekonomi
yang
cepat
serta
meluasnya
ketidakseimbangan sosial pada penyebaran dan kemunculan penyakit, dapat menjadi pertimbangan bagi pilihan kebijakan kesehat an di suatu negara. Seperti yang diketahui, sekarang ini banyak masalah kesehatan masyarakat, khususnya pengendalian penyakit. Adanya epidemiologi dapat menjadi alat atau metode yang strategis untuk memecahkan dan menanggulangi menanggulangi masalah kesehatan tersebut.
Di bidang kesehatan, pengenalan masalah merupakan landasan bagi
pengelolaan kesehatan, yaitu untuk merencanakan tindakan pencegahan ataupun mengatasi masalah yang dihadapi. Epidemiologi sebagai ilmu diagnosa kesehatan masyarakat, terus menerus berkembang dari pengalaman menghadapi sepak terjang penyakit sebagai fenomena massa. Ketika wabah penyakit menular melanda bangsa-bangsa di dunia, epidemologi diartikan sebagai ilmu tentang epidemik (wabah) . Untuk mengatasi suatu wabah yang tengah berkecamuk, perlu diketahui bagaimana menjalarnya wabah tersebut dengan mengamati siapa-siapa yang terserang, dimana wabah menyerang, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyerang sejumlah orang tertentu. Sesuai peranannya pada masa itu epidemiologi dirumuskan sebagai il mu tentan tentan g fenomena mass massa penyaki penyaki t i nf eksi ksi (Frost, 1927). Epidemiologi merupakan salah satu bagian dari ilmu Kesehatan Masyarakat (Public Health) yang menekankan perhatiannya terhadap keberadaan penyakit ataupun masalah kesehatan lainnya dalam masyarakat. Keberadaan penyakit dalam masyarakat itu didekati oleh epidemiologi secara kuantitatif. Karena itu, epidemiologi akan mewujudkan dirinya sebagai suatu metode pendekatan yang
1
banyak memberikan perlakuan kuantitatif dalam menjelaskan masalah kesehatan (M.N Bustan, 2006). Menurut
asal katanya, secara etimologis, Epidemiologi bearti ilmu
mengenai kejadian yang menimpa penduduk. Epidemiologi berasal dari bahasa Yunani, di mana epi = upon, upon , pada atau tentang; demos = people, people, penduduk; dan logia = knowledge, knowledge , ilmu. Nama epidemiologi sendiri berkaitan dengan sejarah kelahirannya dimana epidemiologi memberikan perhatian tentang penyakit yang mengenai penduduk (epidemi). Penyakit yang banyak menimpa penduduk pada waktu itu hingga akhir abad 19 adalah penyakit wabah atau epidemic (penyakit yang mengenai penduduk secara luas). Epidemiologi memberikan perhatian tentang epidemic yang banyak menelan korban kematian, dan begitulah nama Epidemiologi tidak bias dilepaskan dengan epidemi itu sendiri (M.N Bustan, 2006). Epidemiologi juga erat hubungannya dengan dunia kerja, yaitu mengenai Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Tempat kerja bisa menjadi tempat penyebaran penyakit atau perkembangbiakannya wabah penyakit. Oleh karena itu dengan epidemiologi dapat diatasi masalah penyebaran penyakit dan cara penanggulangannya penanggulangannya serta identifikasi bahaya-bahaya yang akan terjadi. Faktor – faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit adalah host, agent, dan environmental. Host atau pejamu adalah faktor yang ada dalam diri manusia, yang dapat mempengaruhi timbulnya serta perjalanan suatu penyakit. Faktor tersebut yaitu faktor keturunan, mekanisme pertahanan tubuh, umur, jenis kelamin, ras, status perkawinan, pekerjaan, kebiasaan hidup dan lain-lain. Agent atau bibit penyakit merupakan
suatu
substansi
atau
elemen
tertentu
yang
kehadiran
atau
ketidakhadirannya dapat menimbulkan dan mempengaruhi perjalan suatu penyakit. Substansi atau elemen yang dimaksud banyak macamnya, yang secara sederhana dapat dikelompokkan kedalam lima macam, yaitu nutrient, faktor kimia, faktor fisik, faktor mekanik, mekanik, dan faktor faktor biologi. Sedangkan untuk untuk faktor environmental (lingkungan) adalah seperti faktor lingkungan fisik dan lingkungan non-fisik. Hubungan antara host, agent dan environmental dalam menimbulkan suatu penyakit amat komplek dan majemuk.
2
Penyakit merupakan gangguan di dalam fungsi maupun struktur tubuh seseorang. Penyakit, sakit, cedera, dan gangguan semuanya dikategorikan didalam istilah tunggal morbiditas. Morbiditas (kesakitan) merupakan derajat sakit,cedera atau gangguan pada suatu populasi. Morbiditas juga merupakan suatu penyimpangan dari status sehat dan sejahtera, ata u keberadaan suatu kondisi sakit. Morbiditas biasanya ditunjukkan dalam angka prevalensi atau insidensi yangumum atau spesifik. Morbiditas juga mengacu pada angka kesakitan; jumlahorang yang sakit dibandingkan dengan populasi tertentu yang sering kalimerupakan kelompok yang sehat atau kelompok yang berisiko. Mortalitas (kematian) dan angka kematian digunakan sebagai indicator status kesehatan. Selain itu angka morbiditas atau angka kesakitan juga digunakan sebagai indikator kesehatan. Jika ditinjau dari proses yang terjadi pada orang sehat, menderita penyakit dan terhentinya penyakit tersebut yang dikenal dengan nama riwayat alamiah perjalanan penyakit (RAP), ada beberapa tahap, yaitu tahap prepatogenesis, inkubasi, penyakit dini, penyakit lanjut, dan tahap akhir penyakit. Adapun empat tahapan kegiatan untuk mengatasi masalah penyakit menular, yaitu:
Apa
masalahnya
(surveillance).
Identifikasi
masalah,
apa
masalahnya, kapan terjadinya, di mana, siapa penderitanya, bagaimana terjadinya, kapan hal itu terjadi, apakah ada kaitannya dengan musim atau periode tertentu.
Mengapa hal itu terjadi (identifikasi faktor resiko). Mengapa hal itu lebih mudah terjadi pada orang tertentu, faktor apa yang meningkatkan kejadian (faktor resiko) dan faktor apa yang menurunkan kejadian (faktor protektif).
Apa yang berhasil dilakukan (evaluasi intervensi). Atas dasar kedua langkah terdahulu, dapat di rancang upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya masalah, menanggulangi dengan segera penderita dan melakukan upaya penyembuhan dan pendampingan untuk menolong korban dan menilai keberhasilan tindakan itu dalam mencegah dan menanggulangi masalah.
3
Bagaimana memperluas intervensi yang efektif itu (implementasi dalam skala besar). Setelah diketahui intervensi yang efektif, tindakan selanjutnya bagaimana melaksanakan intervensi itu di pelbagai tempat dan setting dan mengembangkan sumber daya untuk melaksanakannya.
Suatu penyakit (menular) tidak hanya selesai setelah membuat seseorang sakit, tetapi cenderung untuk menyebar. Setelah menyelesaikan riwayatnya pada suatu rangkaian kejadian sehingga seseorang jatuh sakit, pada saat yang sama penyakit beserta kumannya dapat berpindah dan menyebar ke orang lain. Dalam proses perjalanan penyakit, kuman memulai aksinya dengan memasuki pintu masuk tertentu calon penderita baru dan kemudian jika ingin berpindah ke penderita baru lagi, kuman tersebut akan keluar melalui pintu tertentu. Pengetahuan tentang jalan masuknya kuman (perjalanan penyakit) ini penting untuk epidemiologi karena dengan itu dapat dilakukan ‘penghadangan’ perjalanan penyakit (kuman) yang masuk ke dalam tubuh manusia. Misalnya cacing yang ingin masuk melalui mulut dapat dicegah dengan mencuci tangan sebelum makan. Di samping perlu mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi penyakit serta proses perjalanan penyakit, selain itu yang terpenting adalah mengenal ada atau tidaknya suatu penyakit di masyarakat , jika ada kemudian mengukur jumlah frekuensi masalah kesehatan yang terjadi dan menanggulangi insiden penyebaran penyakit tersebut. Dalam epidemiologi, penyebab penyakit perlu diketahui dengan maksud untuk mengetahui proses trejadinya penyakit dan berupaya mencegah beraksinya factor penyebab itu. Dilihat dari segi epidemiologis, kejadian penyakit umumnya dengan sejumlah penyebab. Sebaliknya satu penyebab juga
menyebabkan
beberapa penyakit (M.N Bustan, 2006). Salah satu unsur pokok yang terdapat pada epidemiologi ialah mempelajari tentang frekuensi masalah kesehatan yang terdapat pada sekelompok manusia dan atau masyarakat. Dengan demikian untuk dapat memahami epidemiologi dengan
4
baik, haruslah dapat dipahami pula tentang frekuensi masalah kesehatan tersebut (Azrul Azwar, 1999). Selain itu ada juga pengukuran Asosiasi merupakan hal yang penting dalam penyebaran penyakit. Ukuran Asosiasi berkaitan dengan bagaimana kejadian atau lingkungan yang berbeda berhubungan satu sama lain atau bagaimana suatu asosiasi sebab akibat memang ada untuk meyebabkan penyakit. Dengan mengetahui ukuran asosiasi dapat mengetahui berapa besar kemungkinan bahwa hubungan antar kejadian terbentuk akibat variable-variabel sebab akibat. 1.2
TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah yang berjudul “Ukuran Asosiasi pada Penyebaran Penyakit” adalah 1. Dapat memahami dan mengukur Risiko Relative, Risiko Laju Insidensi dan Rasio Odd pada suatu maslah kesehatan / penyebaran penyakit 2. Dapat memahami Beda Risiko, Beda Laju Insidensi, dan Penggunaan Ukuran Asosiasi.
5
BAB II PEMBAHASAN Ukuran asosiasi termasuk salah satu dari tiga ukuran dalam epidemiologi. Ukuran asosiasi merupakan ukuran yang didasarkan akibat pemaparan dari suatu penyakit dan berfungsi untuk mengukur keeratan hubungan statistik antara faktor tertentu dengan kejadian penyakit yang diduga merupakan akibat pemaparan tersebut. Hubungan antara pemaparan dan akibatnya diukur dengan menggunakan Risiko Relatif ( Relative Risk ) dan Rasio Odds (Odds Ratio) (Bustan,2006). Ukuran asosiasi juga merefleksikan kekuatan atau besar asosiasi antara suatu eksposur/faktor risiko dan kejadian suatu penyakit. Memasukkan suatu perbandingan frekuensi penyakit antara dua atau lebih kelompok dengan berbagai derajat eksposur. Selain itu, beberapa ukuran asosiasi juga digunakan untuk mengestimasi efek penyakit yang ditimbulkan (Azwar,1999). Ukuran asosiasi terdiri dari : 1. Ukuran Rasio [Rasio Resiko/Risiko Relatif (RR) dan Odds Ratio (OR)] 2. Ukuran Beda [ Risk Different/ Beda Risiko (RD)] (Azwar,1999)
2.1
RISIKO RELATIF
Risiko relatif sering disebut sebagai rasio risiko (risk ratio) adalah perbandingan risiko peristiwa tertentu pada kelompok-kelompok orang yang berbeda. Risiko relatif (RR) biasanya digunakan untuk memperkirakan paparan terhadap sesuatu yang dapat mempengaruhi kesehatan. Risiko relatif adalah rasio angka insidensi penyakit karena paparan dibandingkan dengan angka insidensi penyakit yang sama tanpa terpapar, dengan rumus sebagai berikut: Relative Risk = Angka insidensi penyakit dalam kelompok yang terpapar Angka insidensi penyakit dalam kelompok tanpa terpapar Risiko relatif digunakan hanya sebagai pengukur probabilitas, dengan ini dapat dipertanyakan berapa peluang kelompok menjadi sakit jika mereka terpapar dan berapa peluang mereka tidak kena sakit kalau tidak terpapar (Magnus, 2010).
6
Risiko relatif berhubungan dengan penelitian kohort. Penelitian kohort disebut juga penelitian insiden atau penelitian prospektif karena dikaitkan dengan waktu pengumpulan datanya, bukan menyatakan hubungan antara eksposur dan efeknya.
Kelebihan
utama
dari
penelitian
ini
adalah
metodenya
yang
memungkinkan mengamati bagaimana suatu faktor keterpaparan berlangsung hingga memungkinkan terjadinya efek. Pada umumnya rancangan kohort merupakan penelitian epidemiologi longitudinal prospektif, yaitu: a) Dimulai dari status keterpaparan b) Arahnya selalu maju Rancangan penelitian kohor dapat digambarkan sebagai berikut: Efek Faktor Risiko (FR)
ya
Populasi tidak subjek: Populasi
Sampel orang sehat tanpa
ya
sakit Populasi tidak
Waktu Arah pengumpulan data Gambar 1 rancangan Penelitian kohort
Penelitian ini dimulai dengan memilih sampel kelompok (subjek) sehat dari suatu populasi. semua subjek penelitian harus bebas dari penyakit atau efek yang diteliti. Setelah itu subjek-subjek dengan maupun tanpa paparan faktor risiko diikuti terus secara prospektif sampai timbul efek atau penyakit tertentu. Hasilnya memberikan nilai perhitungan asosiasi yang disebut Risiko relatif (Relat ive Risk). Sebagai suatu asosiasi, untuk memudahkan analisis terhadap data penelitian kohor, perlu adanya pemahaman kerangka tabulasi yang baku. risiko relatif dapat digambarkan dalam suatu matriks empat sel 2 x 2 yang mempresentasikan adanya eksposur faktor risiko dan penyakit (Ryadi, dkk., 2010).
7
Tabel 2.1 Tabel 2 x 2 eksposur faktor risiko dan penyakit: Eksposur
Outcome/ efek
Total
(+)
(-)
(+)
A
B
(a+b)
(-)
C
D
(c+d)
Total
(a+c)
(b+d)
Pada kerangka tabel tersebut, yang disebut dengan insiden kasus kelompok terpapar adalah a/(a+c), sedangkan insiden kasus kelompok tidak terpapar adalah b/(b+d). Dimana risiko relatif pada penelitian kohor adalah:
Interpretasi: 1) RR = 1 , faktor risiko bersifat netral, risiko kelompok terpapar sama dengan kelompok tidak terpapar. 2) RR > 1 , Confient Interval (CI) > 1 , faktor risiko menyebabkan sakit. 3) RR < 1 , Confient Interval (CI) < 1 , faktor risiko mencegah sakit(Bustan, 2006). Contoh soal: Suatu bahan cat tertentu bila digunakan dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan kanker kulit. Untuk mewaspadai sifat karsinogenik kini diadakan studi kohort. Pada penelitian diambil 1.500 pegawai di perusahaan cat tersebut yang sehari-harinya mengalami kontak langsung terhadap bahan yang dicurigai sebagai kelompok terpapar. Sebagai kelompok control adalah mereka yang dianggap yang tidak terpapar. Diambil 2.500 pegawai perusahaan (yang sehariharinya tidak mengalami kontak dengan bahan cat tersebut).
2.2
RISIKO LAJU INSIDENSI
8
Berdasarkan riwayat alamiah penyakit, kejadian penyakit dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu insidence dan prevalens insidence sering dikatakan sebagai kasus baru, sedangkan prevalens sering dikatakan sebagai kasus baru dan kasus lama. 2.2.1 Laju Insidentil / I nsidence Rate
Insidence adalah kejadian (kasus) penyakit yang baru saja memasuki fase klinik dalam riwayat alamiah suatu penyakit. Incidens rate dari suatu penyakit tertentu adalah dalam jumlah kasus baru yang terjadi di kalangan penduduk selama periode/kurun waktu tertentu.
K
= Konstanta ( 100%, 1000 ‰ )
Kegunaan Insidence rate adalah : 1. Untuk menentukan penduduk yg menderita dan terancam 2. Untuk penelitian kasus (mencari faktor risiko) 3. Untuk mengetahui faktor penyebab 4. Untuk mengevaluasi keberhasilan program penanggulangan Didalam mempelajari insidence diperlukan penentuan waktu atau saat timbulnya penyakit. Bagi penyakit-penyakit yang aut seperti influenza, infeksi stafilokokus,
gastroenteritis,
acute
myocardinal
infarction
dan
cerebral
hemorrhage. Penentuan insidence rate ini tidak begitu sulit berhubung waktu terjadinya dapat diketahui secara pasti atau mendekati pasti. Lain halnya dengan penyakitt dimana timbulnya tidak jelas, disini waktu ditegakkan nya diagnosis paati diartikan sebagai waktu mulai penyakit. Insidence rate selalu dinyatakan dalam hubungan periode waktu tertentu seperi bulan, tahun dan seterusnya. Apabila penduduk berada didalam ancaman diserangnya penyakit hanya untuk waktu yang terbatas (seperti hanya dalam epidemi suatu penyakit) maka periode waktu terjadinya kasus-kasus baru adalah sama dengan lamanya epidemi. Insidence rate pada suatu epidemi disebut attack rate.
9
Ukuran frekuensi insidens penyakit dapat dibedakan dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu insidens kumulatif, secondary attack rate dan laju insidens.
2.2.1.1 Insiden Kumulatif (Cumulative Incidence = CI)
Insidens
kumulatif
adalah
parameter
yang
menunjukkan
taksiran
probabilitas (risiko,risk ) seseorang untuk terkena penyakit dalam suatu jangka waktu. CI selalu bernilai antara 0 dan 1. Dalam menghitung CI, perlu penentuan periode waktu. Periode waktu tersebut bias berupa beberapa jam, bulan, tahun dan sebagainya. Rumusnya sebagai berikut :
Istilah lain untuk insidens komulatif adalah insidens risk. Syarat yang digolongkan beresiko dalam insiden komulatif adalah: 1)
Tidak sedang/telah terjangkit penyakit yang diteliti
2)
Tidak imun terhadap penyakit yang diteliti
3)
Memiliki organ sasaran yang masih intak
4)
Hidup
5)
Masih dalam jangkauan pengamatan
Sedangkan dalam Kejadian Luar Biasa (KLB) / wabah. Misalnya keracunan makanan, istilah yang digunakan adalah attack rate. Rumus sebagai berikut:
2.2.1.2 Secondar y Attack Rate
10
Secondary attack rate dalah ukuran yang menunjukkan jumlah penderita baru pada serangan kedua berbanding dengan jumlah penduduk yang mempunyai resiko-jumlah penduduk yang terkena pertama. Rumus sebagai berikut:
2.2.1.3 Laju Insidensi (I nci dence Densit y = ID)
Laju insidens adalah ukuran yang menunjukkan kecepatan kejadian baru penyakit pada populasi. Laju insidens merupakan proporsi antara jumlah orang yang menderita penyakit dan jumlah orang dalam resiko kali lamanya dalam resiko. 1)
Perkiraan terbaik mengenai mortalitas dan morbiditas.
2)
Numerator adalah jumah kasusbaru dalam populasi.
3)
Denominator adalah jumlah periode waktu dimana setiap orang dalam pengamatan dan bebas dari penyakit.
4)
Dimensi adalah orang per waktu ( Orang-tahun, Orang-bulan, Oranghari, Orang-jam, Orang-menit dan lain-lain.
5)
Nilai berkisar : 0 – Tak Terhingga.
Rumus sebagai berikut :
Person time adalah jumlah orang dalam resiko dikalikan dengan lamanya orang-hari dalam resiko, yang digambarkan dalam orang-minggu, orang-bulan atau orang-tahun tergantung dari jenis penyakit yang sedang diteliti. Untuk masing-masing individu yang berada dalam populasi, maka waktu memiliki resiko adalah waktu selama individu yang sedang diamati itu masih terbebas dari penyakit. Denominator yang diperlukan untuk menghitung laju insidens tersebut
11
adalah jumlah dari keseluruhan periode-periode waktu terbebas dari penyakit selama penelitian. Contoh kasus: Physicians Health Study mengamati kasus baru Heart Attack individu yang menggunakan Aspirin. Jumlah orang tahun yang lalu diobservasi 54.560 jiwa, orang yang terkena Heart Attack sebanyak 139 jiwa. Berapa laju insidensinya?
Jawab :
2.3
139 / 54.560 jiwa
= 25,48 / 10.000 person years
Laju Insidensinya
=
x 1000 = 2,548 / 1000 person years.
Rasio Odds (OR)
Odds ratio (OR) atau rasio odds adalah kemungkinan paparan faktor risiko pada kelompok kasus dengan kemungkinan paparan faktor risiko pada kelompok kontrol (Kasjono dan Kristiawan, 2009). Definisi lain odds ratio menurut Magnus (terj., Belawati, dkk., 2010) adalah ukuran yang digunakan untuk menjelaskan asosiasi
yang
di
dapatkan
dalam
penelitian
kasus-kontrol.
Ukuran
ini
menggunakan tabel 2x2 dengan notasi yang sama untuk menjelaskannya. Terdapat dua pola desain tabulasi pada penelitian kasus-kontrol. Pola desain tersebut yaitu sebagai berikut: Tabel 2.2 Notasi Tabel 2 x 2 Pola I Desain Penelitian Kasus-Kontrol Penyakit
Eksposur
Total
(+)
(-)
(+)
(a)
(b)
(a+b)
(-)
(c)
(d)
(c+d)
Total
(a+c)
(b+d)
(a+b+c+d)
12
Tabel 2.3. Notasi Tabel 2 x 2 Pola II Desain Penelitian Kasus-Kontrol Eksposur
Penyakit
Total
(+)
(-)
(+)
(a)
(c)
(a+c)
(-)
(b)
(d)
(b+d)
Total
(a+b)
(c+d)
(a+b+c+d)
(Ryadi dan Wijayanti, 2011). Tabel Odds ratio merepresentasikan probabilitas untuk berada dalam kelompok yang sesuai (concordant group), dimana huruf (a) mewakili kelompok yang terpajan dan sakit serta (d) mewakili kelompok yang tidak terpajan dan tidak sakit., atau berada dalam kelompok yang tidak sesuai ( discordant group), dimana (b) mewakili kelompok yang tidak terpajan namun sakit serta (c) mewakili kelompok yang terpajan namun tidak sakit. Baik pada pola I maupun pola II, rumus untuk mencari rasio odds-nya yaitu :
Pada dasarnya kedua pola tersebut menunjukkan hasil rasio odds yang sama, hanya berbeda pada penempatan eksposur dan outcome-nya pada sistem tabulasi. Pada umumnya, pola II lebih banyak digunakan. Rasio odds digunakan dalam penelitian kasus-kontrol dan bukan penelitian kohort. Hal ini karena desain dan ukuran penelitian kohort terkait secara integral, dan tidak dibenarkan untuk mengubah salah satunya tanpa mengubah yang lain. Kita tidak mungkin menyamakan kelompok yang tidak terpajan di dalam penelitian kohort dengan jumlah kasus dan kontrol yang tidak terpajan di dalam penelitian kasus-kontrol. Pada penelitian kasus-kontrol dengan perhitungan rasio odds-nya sampel kasus harus bersifat tetap, sedangkan pada kohort bisa bertambah. Oleh karena jumlah sampel kasus tetap, maka harus dilihat pada peluang seseorang untuk mendapatkan pajanan yang menjadikannya sakit bukan risiko seseorang menjadi sakit (Magnus, terj., Belawati , dkk., 2010).
13
Pada penelitian kasus-kontrol, studi kasus yang digunakan dalam penelitian bukan kasus insidensi, tetapi sering berupa prevalensi (mencakup kasus baru dan kasus lama), sedangkan untuk penelitian kohort, studi kasus yang digunakan berupa kasus insidensi sehingga RR (risiko relatif) pada kasus-kontrol tidak dapat dihitung langsung dengan perhitungan pada metode kohort. Karena data yang di dapat pada kasus-kontrol lebih banyak prevalensi, maka RR yang digunakan adalah RR yang disebut rasio odds (OR) (Ryadi dan Wijayanti, 2011). Jika penyakit yang hendak diselidiki itu merupakan penyakit yang relatif langka, misalnya penyakit kanker atau kardiovaskular, dan sampel kelompok kontrol ditentukan
tanpa
bergantung
pada
pajanan,
maka
rasio
odd
akan
merepresentasikan aproksimasi RR. Ini terjadi karena a << c dan b << d sehingga a + c dapat diaproksimasikan oleh c, dan b + d dapat diaprosimaksikan oleh d. Sifat OR ini sangat berguna dan merupakan sifat yang membuat penelitian kasuskontrol terhadap outcome yang langka menjadi alat yang kuat dalam epidemiologi (Ryadi dan Wijayanti, 2011). Sebagai contoh kasus yaitu sebagai berikut: pada suatu lokasi konstruksi, terdapat 118 pekerja. 66 diantaranya menggunakan APD secara lengkap dan sisanya memakai APD seadanya dan 20 orang diantaranya mengalami kecelakaan kerja ringan seperti terkena paku, terkena pecahan kaca dan lain-lain. Dari data yang diperoleh, 5 orang yang biasanya memakai APD secara lengkap juga mengalami kecelakaan kerja ringan. Hitung berapa rasio oods-nya dan apa arti hasil dari angka ini? Dengan menggunakan pola II: Tabel 2.4 Hubungan Pemakaian APD dengan Angka Kecelakaan Kerja untuk mencari Rasio Odds (Pola II) Memakai APD
Mengalami Kecelakaan
Total
(+)
(-)
(-)
20
32
52
(+)
5
61
66
Total
25
93
118
14
Definisi rasio odds disini yaitu rasio angka kecelakaan kerja pada pekerja yang tidak memakai APD terhadap angka kecelakaan kerja pada pekerja yang memakai APD. Disini angka kecelakaan kerja pada pekerja yang memakai APD adalah 5, yang tidak memakai APD adalah 20, dan rasio yang tidak memakai APD terhadap yang memakai APD adalah:
⁄ ⁄ Dengan keluarnya angka hitungan ini dapat disimpulkan bahwa
kecenderungan pekerja yang tidak menggunakan APD untuk mengalami kecelakaan kerja adalah 7,625 kali lebih besar daripada pekerja yang memakai APD. Untuk penggunaan pola I sebagai pola perhitungan yaitu sebagai berikut : Tabel 2.5 Hubungan Pemakaian APD dengan Angka Kecelakaan Kerja untuk mencari Rasio Odds (Pola I) Memakai APD
Mengalami
Total
Kecelakaan
(-)
(+)
(+)
20
5
25
(-)
32
61
93
Total
52
66
118
Rasio odds yang dicari yaitu rasio angka kecelakaan pada pekerja yang tidak memakai APD terhadap pekerja yang memakai APD, dimana angka kecelakaan pada pekerja yang tidak memakai APD adalah 20/32 dan kelompok yang memakai APD adalah 5/61, yaitu sebagai berikut:
⁄ ⁄ Dari penggunaan dua pola tersebut dihasilkan angka yang sama. Cara
terbaik untuk kasus tersebut yaitu dengan menggunakan poka II, dimana eksposur ditempatkan di atas dan outcome (penyakit yang timbul) ditempatkan disamping. Hal ini untuk memudahkan menghitung rasio outcome positif ( + ) terhadap outcome negatif ( - ) pada masing-masing kelompok terekspos dan kelompok tidak terekspos sebelum lebih lanjut dihitung rasio odds-nya.
15
Dengan dihitung rasio odds-nya dan ditemukan hasilnya yaitu 7,625 berarti bahwa pekerja yang tidak memakai APD mempunyai peluang mengalami kecelakaan kerja 7,625 kali lebih besar dibandingkan dengan memakai APD.
2.4
Beda Risiko
Beda risiko (risk difference/RD) atau disebut juga risiko atribut (attributable risk /AR) dapat diperoleh dengan menghitung selisih angka insidensi kelompok terpajan dan kelompok angka insidensi tidak terpajan dan hasilnya dianggap sebagai pemaparan oleh faktor penyebab penyakit (atribut). Makin besar jumlah kasus penyakit yang bisa dihindari seandainya dilakukan pencegahan terjadinya paparan pada kelompok terpapar. Rumus Beda risiko sebagai berikut. Angka Insidensi kelompok terpajan - angka insidensi kelompok tidak terpajan (Richard F. Morton et all,2009) Beda risiko kadang-kadang juga dinyatakan sebagai pecahan preventif di kalangan terpajan, yaitu : Angka Insidensi kelompok terpajan - angka insidensi kelompok tidak terpajan Angka Insidensi kelompok terpajan (Eko Budiarto dan Dewi Anggraeni, 2003) Beda risiko menunjukkan kelebihan penyakit karena suatu factor di subkelompok populasi yang terpajan oleh suatu factor.
Jika “angka insidensi di kalangan
terpajan” diganti dengan “angka insidensi di seluruh populasi” dalam rumus beda risiko, maka akan didapatkan population attribute risk . Population attribute risk umumnya penting bagi pengambil kebijakan kesehatan masyarakat karena population attribute risk mengukur potensial manfaat yang diharapkan jika pajanan di dalam populasi dapat dikurangi (Richard F. Morton et all,2009) Contoh 1 Hubungan antara perokok dengan karsinoma paru-paru 1. Dari 100 orang pekerja tambang lapangan ditemukan sebanyak 5 orang yang menderita karsinoma paru-paru maka besarnya risiko = 0,05 2. Dari 100 orang pekerja tambang kantor ditemukan sebanyak 2 orang yang menderita karsinoma paru-paru maka besarnya risiko = 0,02 Risiko atribut = 0,05 – 0,02 = 0,03
16
Angka
risiko atribut di atas dapat dinyatakan bahwa 3% insidensi
karsinoma paru-paru disebabkan karena rokok. Risiko atribut bermanfaat untuk memperkirakan besarnya risiko yang dapat dihindarkan bila “atribut” yang dianggap sebagai faktor penyebab penyakit dihindarkan. Hal ini penting untuk: 1. Memberi penerangan pada masyarakat tentang manfaat yang diperoleh bila faktor penyebab penyakit dapat dihindarkan dan 2. Menyusun rencana pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengurangi “atribut” atau factor yang dianggap sebagai penyebab timbulnya penyakit. Contoh 2 1. Penelitian tentang hubungan APD dengan kecacatan. Hasil penelitian menyatakan bahwa dari 1700 orang yang tidak menggunakan APD terdapat 17 orang yang menderita kecacatan. Dari 1000 orang yang menggunakan APD
ditemukan sebanyak 5 orang yang menderita
tromboflebitis. Besarnya risiko kecatatan akibat lalai pemakaian APD adalah 2. 17/1700 – 5/1000 = 0,005 a.
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa risiko timbulnya kecacatan akibat tidak memakai APD adalah 0,5% atau dengan kata lain, risiko timbulnya kecacatan yang dapat dihindarkan dengan memakai APD adalah sebesar 0,5 %
2.5
BEDA LAJU INSIDENSI
Insidensi merupakan salah satu tipe ukuran yang paling penting dalam epidemologi, terutama dalam epidemologi penyakit menular. Ukuran insidensi menyatakan banyaknya kasus baru penyakit yang terjadi dalam rentan waktu tertentu. Insidensi memungkinkan kita untuk memeriksa hal terkait kasus yang menjadi saat ini bukan yang terjadi pada periode waktu sebelumnya. Ketika suatu masalah pertama kali teridentifikasi, insidensi menghitung semua jumlah kasus baru dalam beberapa bulan terakhir. 2.5.1
Insidensi Rate (IR)
17
Insidensi adalah jumlah seluruh kas baru pada suatu populasi pada suatu populasi pada suatu saat periode waktu tertentu. Indikator yang paling banyak digunakan di dalam epidemologi bila dikaitkan dengan penderita baru dalam waktu tertentu
IR =
Biasanya insidensi digunakan untuk penyakit yang sifatnya akut. Pengamatan harus bersifat dinamis dimana ukuran disini menggambarkan keoatan/kekuatan peubahan keadaan karena pengaruh lingkungan. Insidensi bukan merupakan ukuran probabilitas, lain dapat berkisar dari 0 – hampir tak terhingga. Dan ukuran ini tidak dapat diinterpretasikan kepada individu yang ada di populasi. Kelemahan dari pemakaian insidensi adalah susah menentukan waktu serangan suatu penyakit dengan jelas beberapa hal yang perlu diperhatikan : a. Kapan mulainya gejala pertama. b. Waktu diagnose. c. Tanggal masuk rumah sakit/ pelayanan kesehatan Penyebut adalah jumlah penduduk didaerah yang bersangkutan pada periode waktu yang sama (dalam hal ini sulit menentukan siapa dari penduduk tersebut tersebut yang susceptible dan siapa yang bukan, sehingga diambil pendekatan dengan memakai jumlah populasi yang beresiko pada pertengahan tahun dikalikan dengan lama periode pengamatan). Contoh : kita hendak menyelidiki 100 tikus sehat yang dapat menderita TBC setelah dicampurkan satu kandang dengan seekor tikus penderita TBC selama setahun. Bila dalam setahun terdapat 10 tikus sebagai kasus TBC baru maka :
IR =
=
= 0,1
18
Manfaat insidensi Rate adalah :
Mengetahui masalah kesehatan yang dihadapi
Mengetahui resiko unutk terkena masalah kesehatan yang dihadapi
Mengetahui beban tugas yang harus diselenggarakan oleh suatu fasilitas pelayanan kesehatan.
2.5.2
Insidensi Kumulatif (IK) Tingkat insidensi kumulatif adalah suatu ukuran tentang kejadian penyakit
atau ukuran status kesehatan yang lebih sederhana. Tidak seperti tingkat insidensi, maka yang diukur hanyalah denominator yang ada pada permulaan saja tingkat insidensi kumulatif dapat dihitung sebagai berikut :
IK =
Dalam pengertian statistik maka insidensi kumulatif itu adalah merupakan probabilitas atau risiko dari individu yang berada didalam populasi tersebut untuk terkena penyakit dalam periode waktu tertentu. Hasil ukuran tersebut tidak mempunyai satuan, kisaran angka antara 0 – 1. Seringkali tingkat insidensi kumulatif ditemukan sebagai jumlah kasus per 1.000 populasi.
2.5.3
Attack Rate/AR Biasanya dinyatakan dengan persen (%) dan dipergunakan dalam jumlah
populasi yang realtif sedikit dan waktu yang relatif singkat. Proses penghitungan sama dengan IR. Contoh: keadaan wabah, keracunan makanan, penyakit yang menyerang pada batas umur tertentu. 2.5.4
Secondary Attack Rate/SAR Kasus sekunder adalah kasus-kasus yang terkena penyakit di dalam suatu
lingkungan setelah dating nya satu atau lebih kasus primer dari lingkungan yang lain
19
SAR =
2.6
PENGGUNAAN UKURAN ASOSIASI
Cara terbaik untuk membahas bagaimana cara menyampaikan ukuran asosiasi secara tepat dapat dilihat pada contoh berikut ini. Suatu penelitian mengenai asosiasi antara virus dan sindrom yang baru dikenali dan kaitannya dengan kabut asap yang menyerang suatu kota karena pembakaran lahan. Penelitian dilakukan untuk menyelidiki tentang agent etiologik. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kasus-kontrol. Penelitian cross-sectional, ekologis, dan laboratorium telah dilaksanakan dan tinggal menyelesaikan penelitian case-control yang pertama mengenai agent etiologik. OR adalah 1,64. Angka tersebut menunjukkan bahwa peluang untuk sebelumnya terpajan agen infeksi pada orang yang sakit 1,64 kali lebih besar daripada orang yang tidak sakit. Atau, peluang untuk sebelumnya terpajan agen infeksi pada orang yang sakit 64% lebih tinggi daripada orang yang tidak sakit. Ukuran ini membandingkan peluang untuk keterpajanan sebelumnya pada dua kelompok, yaitu kelompok orang yang sakit dan tidak sakit. Pada penelitian sebelumnya (melalui penelitian kohort) diperoleh RR adalah 1,75. Angka tersebut menunjukkan resiko seseorang terpajan dan kemudian menjadi sakit 1,75 kali lebih besar daripada orang yang tidak terpajan. Atau, risiko untuk menjadi sakit lebih besar 75% pada orang yang terpajan daripada yang tidak terpajan. Ukuran ini membandingkan probabilitas untuk menjadi sakit pada dua kelompok, yaitu orang yang terpajan dan tidak terpajan. Sehingga dapat dikatakan, kedua kasus telah memperlihatkan asosiasi (hubungan) antara dua variabel, yaitu agens infeksi dan penyakit yang diteliti. Namun, kita harus hati-hati dalam menyajikan ukuran asosiasi, kesimpulan suatu penelitian bukan melalui asumsi pribadi, namun melalui uji terkontrol acak dan analisis yang sangat spesifik.
20
21
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan
1. Ukuran asosiasi merupakan ukuran yang didasarkan akibat pemaparan dari suatu penyakit dan berfungsi untuk mengukur keeratan hubungan statistik antara faktor tertentu dengan kejadian penyakit yang diduga merupakan akibat pemaparan tersebut. 2. Ukuran asosiasi terdiri dari ukuran Rasio [Rasio Resiko/Risiko Relatif (RR) dan Odds Ratio (OR)] dan ukuran Beda [ Risk Different/ Beda Risiko (RD)]. 3. Risiko relatif sering disebut sebagai rasio risiko (risk ratio) adalah perbandingan risiko peristiwa tertentu pada kelompok-kelompok orang yang berbeda. 4. Risiko relatif digunakan hanya sebagai pengukur probabilitas dan berhubungan dengan penelitian kohort. 5. Laju insidensi adalah ukuran yang menunjukkan kecepatan kejadian baru penyakit pada populasi 6. Rasio odds adalah kemungkinan paparan faktor risiko pada kelompok kasus dengan kemungkinan paparan faktor risiko pada kelompok kontrol. 7. Rasio odds digunakan dalam penelitian kasus-kontrol dan bukan penelitian kohort dikarenakan desain dan ukuran penelitian kohort terkait secara integral, dan tidak dibenarkan untuk mengubah salah satunya tanpa mengubah yang lain. 8. Beda risiko (risk difference/RD) atau disebut juga risiko atribut (attributable risk /AR) dapat diperoleh dengan menghitung selisih angka insidensi kelompok terpajan dan kelompok angka insidensi tidak terpajan dan hasilnya dianggap sebagai pemaparan oleh faktor penyebab penyakit (atribut). 9. Beda risiko menunjukkan kelebihan penyakit karena suatu factor di subkelompok populasi yang terpajan oleh suatu fact or.
22
3.2 Saran
Dengan mengetahui ukuran asosiasi dan penggunaannya, seharusnya faktor resiko penyakit dapat dihindari dan ditanggulangi. Dengan demikian, akan tericipta kebersihan dan kenyamanan lingkungan.
23
CONTOH SOAL
1.
Untuk
mengukur
suatu
hubungan
pemaparan
dengan
akibatnya
menggunakan dua ukuran asosiasi, yaitu... a. Risiko Relatif dan Risiko Laju Insidensi b. Rasio Odds dan Beda Risiko Relatif c. Risiko Relatif dan Rasio Odds d. Rasio Odds dan Risiko Laju Insidensi Jawaban : C. Risiko Relatif dan Rasi o Odds
2.
Dari kelompok yang terpapar ternyata 200 di antaranya setelah 10 tahun mengalami kanker kulit. Sebaliknya dalam jangka waktu yang sama pada kelompok tidak terpapar hanya terdapat 50 orang yang mengalami tandatanda kanker kulit. Berapa risiko relatifnya? a. 7 × b. 8 × c. 9 × d. 10 × Jawaban: Outcome/ efek
Eksposur
Total
(+)
(-)
(+)
200
50
250
(-)
1.300
2.450
3.750
Total
1.500
2.500
4.000
Jawaban: a. 7x
3.
Berdasarkan riwayat alamiah penyakit, kejadian penyakit dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu? a. Prevalensi dan Rasio b. Rasio dan Attack Rate
24
c. Insidens dan prevalens d. Prevalens dan attack rate Jawaban : C. I nsidens dan Prevalens
4.
Di suatu RW terjadi wabah Demam Berdarah Dengue (DBD) yang ditandai dengan
demam
tinggi.
Diduga
kuat
bahwa
penyebab
wabah
ini
dimungkinkan karena adanya kontainer di rumah-rumah penduduk yang tidak higienis. Peristiwa ini dilaporkan ke Dinas Kesehatan, dan untuk ini petugas dari Dinas Kesehatan mengadakan penelitian dengan mengambil sampel di lapangan. Dari 180 soma (rumah tangga) yang anggotanya pernah menderita demam, ternyata 150 soma memiliki kontainer yang tidak terawat. Sebaliknya pada 160 soma yang tidak mengalami keluhan pada anggota keluarganya ternyata 20 soma diantaranya memiliki kontainer yang tidak terawat. Berapa rasio angka Demam Berdarah Dengue (DBD) pada kasus yang terekspos terhadap angka Demam Berdarah Dengue (DBD) kasus yang tidak terekspos? a. 35 x b. 10 x c. 20 x d. 30 x Jawaban : a. 35
5.
Berapa risiko atribut dari hubungan antara pekerja yang tidak menggunakan APD dengan kanker jika dari 100 orang pekerja tidak memakai APD ditemukan sebanyak 9 orang yang menderita kanker dan dari 100 orang pekerja memakai APD ditemukan sebanyak 3 orang yang menderita kanker hati. a. 5% b. 6% c. 7% d. 8% Jawaban : b. 6%
25
6.
Berikut yang merupakan salah satu empat tahapan kegiatan untuk mengatasi masalah penyakit menular adalah a. Identifikasi faktor resiko b. Identifikasi lingkungan sosial c. Evaluasi social budaya masyarakat d. Identifikasi faktor dari individu e. Evaluasi dari masalah lingkungan Jawaban : a. Identi fi kasi f aktor ri sik o
7.
Ukuran penyakit yang bersifat akut biasanya menggunakan sifat ? a. Insidensi Kumulatif (IK) b. Attack Rate / AR c. Insidensi Rate (IR) d. Secondary attack rate Jawaban : C. I nsidensi Rate (I R)
26
DAFTAR PUSTAKA Azwar Azrul. 1999. Pengantar Epidemiologi. Binarupa Aksara: Jakarta Bustan, MN. 2006. Pengantar Epidemiologi. Rineka Cipta: Jakarta Budiarto, Eko dan Dewi Anggraeni. 2003. Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta Kasjono, Heru Subaris, Heldhi B. Kristiawan. 2009. Intisari Epidemiologi. Mitra Cendikiawan Press: Yogyakarta. Magnus, Manya. 2010. Buku Ajar Epidemiologi Penyakit Menular . Terjemahan Fema Solekhah Belawati, Palupi Widyastuti, dan Andri Lukman. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta. Morton, Richard F. et all.2009. Panduan Studi Epidemiologi dan Statitiska Edisi 5. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran Ryadi, A.L. Slamet, T. Wijayanti. 2011. Dasar-Dasar Epidemiologi. Penerbit Salemba Medika : Jakarta. TIM Dosen Universitas Lambung Mangkurat Fak. Kedokteran Program Studi Kesehatan Masyarakat. 2013. Buku Ajar Dasar-Dasar Epidemiologi. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru
27
INDEX
A
I
Probabilitas
Acute Myocardinal
Implementasi
Prospektif
Infraction
Indeks
Aproksimasi
Insidence Rate
R
Attack Rate
Insidensi
Rasio
Insidensi Kumulatif
Rasio Odds
C
Internasionalisasi
Risk difference/RD
Cerebral Hemorrhage
Komunikasi
Risiko atribut
Concordant
Risiko Relatif K
Riset
D
Kasus Insidensi
Denominator
Kasus-Kontrol
S
Diagnosa
Kasus Prevalensi
Secondary Attack Rate
Discordant
Stafilokokus L
E
Longitudinal
Eksposur
V Variabel
Epidemiologi
M
Etimologis
Morbiditas
Evaluasi Intervensi
Mortalitas
F
N
Faktor Protektif
Numerator
Faktor Risiko O G
Outcome
Gastroenteritis Globalisasi
P Person Time
H
Physicans Health Study
Hearth Attack
Prevalens Insidence
28