Kecepatan Metabolisme Basal (BMR)
Bahkan ketika seseorang benar-benar dalam keadaan beristirahat,
sejumlah energi tetap dibutuhkan untuk mengerjakan seluruh reaksi kimia
tubuh. Tingkat energi minimum yang diperlukan untuk bertahan hidup tersebut
dinamakan kecepatan metabolik basal (BMR) dan mencakup sekitar 50-70% dari
energi harian yang dipakai pada kebanyakan individu yang tidak aktif
(sedentary).
Karena tingkat aktivitas fisik sangat bervariasi di antara individu
yang berbeda, pengukuran BMR dapat berfungsi sebagai perangkat yang berguna
dalam membandingkan kecepatan metabolisme seseorang dengan orang lain.
Metode yang biasa digunakan untuk menentukan BMR ialah dengan mengukur
kecepatan penggunaan oksigen selama waktu yang ditektukan di bawah kondisi-
kondisi berikut:
Seseorang tidak boleh makan paling sedikit 12 jam terakhir
Kecepatan metabolisme basal ditentukan setelah tidur penuh semalaman
Tidak melakukan pekerjaan berat selama setidaknya 1 jam sebelum pengujian
Semua faktor fisik dan psikis yang menimbulkan rangsangan harus dihilangkan
Suhu kamar harus nyaman dan berkisar antara 68o dan 80oF
Selama pengujian, tidak diijinkan melakukan aktivitas fisik apapun.
Nilai BMR normalnya berkisar antara 65-70 Kalori per jam pada laki-
laki kebanyakan yang berat badannya 70kg. Walaupun kebanyakan BMR terpakai
dalam aktivitas esensial sistem saraf pusat, jantung, ginjal, dan organ
lainnya, variasi dalam BMR di antara individu yang berbeda terutama terkait
pada perbedaan jumlah otot rangka dan ukuran tubuh.
Otot rangka, bahkan dalam keadaan istirahat, mencakup 20-30% dari
BMR. Karenanya, BMR biasanya dikoreksi untuk perbedaan yang berasal dari
ukuran tubuh dengan menyatakannya dalam Kalori per jam per meter persegi
luas permukaan tubuh, yang dihitung dari tinggi dan berat badan.
Kebanyakan penurunan BMR akibat penambahan usia mungkin terkait
dengan hilangnya massa otot tersebut dengan jaringan adiposa, yang
mempunyai kecepatan metabolisme lebih rendah. Hampir mirip, BMR yang sedikt
lebih rendah pada wanita, dibandingkan pria, adalah sebagian karena
persentase jaringan adiposa yang lebih tinggi. Namun terdapat faktor-faktor
lain yang dapat mempengaruhi BMR.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan metabolisme, di
antaranya ialah:
Hormon Tiroid
Apabila kelenjar tiroid menyekresikan tiroksin dalam jumlah maksimal,
kecepatan metabolisme kadang meningkat 50-100% di atas normal. Sebaliknya,
kehilangan total sekresi tiroid menurunkan kecepatan metabolik 40-60% dari
normal. Tiroksin meningkatkan kecepatan reaksi kimia banyak sel di dalam
tubuh dan karenanya meningkatkan kecepatan metabolisme.
Hormon kelamin pria
Hormon kelamin pria, testosteron, dapat meningkatkan kecepatan metabolisme
basal kira-kira 10-15%. Kebanyakan efek hormon kelamin pria tersebut
berkaitan dengan efek anaboliknya dalam meningkatkan massa otot rangka.
Hormon pertumbuhan
Hormon pertumbuhan dapat meningkatkan kecepatan metabolisme 15-20% sebagai
akibat rangsangan langsung pada metabolisme selular.
Demam
Demam, tanpa melihat penyebabnya, meningkatkan kecepatan reaksi kimia rata-
rata 120% untuk setiap peningkatan temperatur 10oC
Tidur
Kecepatan metabolisme menurun 10-15% di bawah normal selama tidur.
Penurunan ini diduga disebabkan oleh dua faktor penting, yakni penurunan
tonus otot rangka selama tidur dan penurunan aktivitas sistem saraf
simpatis.
Malnutrisi
Malnutrisi lama dapat menurunkan kecepatan metabolisme 20-30%, penurunan
ini diduga disebabkan oleh tidak adanya zat makanan yang dibutuhkan di
dalam sel. Pada stadium akhir dari beberapa penyakit, pengurusan dan
pelemahan tubuh (inanition) yang menyertai penyakit sering kali menimbulkan
tanda penurunan kecepatan metabolisme yang nyata, sangat hebatnya sehingga
suhu tubuh dapat menurun beberapa derajat sesaat sebelum meninggal.
Suhu Tubuh Normal
Suhu inti merupakan suhu dari tubuh bagian dalam ("inti" dari tubuh)
yang dipertahankan sangat konstan dari hari ke hari, kecuali bila seseorang
mengalami demam. Bahkan seseoang dapat terpajan dengan suhu yang cukup
rendah maupun suhu tinggi dalam udara kering, dan tetap dapat
mempertahankan suhu inti yang hampir mendekati konstan. Mekanisme untuk
pengaturan suhu tubuh menggambarkan sistem pengndalian yang dibuat dengan
sangat baik.
Suhu kulit, berbeda dengan suhu inti, dapat naik dan turun sesuai
dengan suhu lingkungan. Suhu kulit merupakan suhu yang penting apabila
sedang merujuk kepada kmampuan kulit untuk melepaskan panas ke lingkungan.
Suhu inti normal, rentangnya bila diukur per oral mulai dari di bawah
97oF (36oC) sampai lebih dari 99,5oF (37,5oC). Suhu inti normal rata-rata
secara umum sekitar 98oF dan 98,6oF bila diukur secara oral, dan bila
diukur secara rektal kira-kira 1oF (0,6oC) lebih tinggi. Suhu tubuh
meningkat selama olahraga dan bervariasi pada suhu lingkungan yang ekstrim,
karena mekanisme pengaturan suhu tidaklah sempurna. Bila dibentuk panas
yang berlebihan di dalam tubuh karena kerja fisik yang melelahkan, suhu
akan meningkat sementara sampai 101o-104oF. Sebaliknya, ketika tubuh
terpajan dengan suhu yang dingin, suhu dapat turun sampai di bawah nilai
96oF.
Pengaturan Suhu
Pengaturan suhu dikendalikan oleh keseimbangan antara pembentukan
panas dan kehilangan panas. Bila laju pembentukan panas di dalam tubuh
lebih besar daripada laju hilangnya panas, panas akan timbul di dalam tubuh
dan suhu tubuh akan meningkat. Sebaliknya, bila kehilangan panas lebih
besar, panas tubuh dan suhu tubuh akan menurun.
Pembentukan Panas Secara Umum
Pembentukan panas adalah produk utama metabolisme. Faktor-faktor yang
menentukan laju pembentukan panas/ laju metabolisme tubuh, antara lain: 1)
laju metabolisme basal semua sel tubuh; 2) laju metabolisme tambahan yang
disebabkan oleh aktivitas otot, termasuk kontraksi otot yang disebabkan
oleh menggigil; 3) metabolisme tambahan yang disebabkan oleh pengaruh
tiroksin (dan sebagian kecil hormon lain, seperti hormon pertumuhan dan
testosteron) terhadap sel; 4) metabolisme tambahan yang disebabkan oleh
pengruh epinefrin, norepinefrin, dan perangsangan simpatis terhadap sel;
dan 5) metabolisme tambahan yang disebabkan oleh meningkatnya aktivitas
kimiawi di dalam sel sendiri, terutama bila suhu di dalam sel meningkat; 6)
metabolisme tambahan yang diperlukan untuk pencernaan, absorbsi, dan
penyimpanan makanan (efek termogenik makanan).
Kehilangan Panas
Sebagian besar pembentukan panas di dalam tubuh dihasilkan di organ
dalam, terutama di hati, otak, jantung, dan otot rangka selama berolahraga.
Kemudian panas ini dihantarkan dari organ dan jaringan yang lebih dalam ke
kulit, yang kemudian dibuang ke udara dan lingkungan sekitarnya . Oleh
karena itu, laju hilangnya panas hampir seluruhnya ditentukan oleh dua
faktor: 1) seberapa cepat panas yang dapat dikonduksi dari tempat asal
panas dihasilkan, yakni dari dalam inti tubuh ke kulit dan 2) seberapa
cepat panas kemudian dapat dihantarkan dari kulit ke lingkungan. Kulit,
jaringan subkutan, dan terutama lemak di jaringan subkutan bekerja secara
bersama-sama sebagai insulator panas tubuh.
Aliran darah ke kulit dari inti tubuh menyediakan terjadinya
pemindahan panas. Berbagai cara yang menjelaskan mengenai panas panas yang
hilang dari kulit ke lingkungan, cara tersebut meliputi radiasi, konduksi,
konveksi, dan evaporasi.
Radiasi
Kehilangan panas melalui radiasi berarti kehilangan dalam bentuk
gelombang panas infra merah, suatu jenis gelombang elektromagnetik.
Sebagian besar gelombang panas infra merah yang memancar dari tubuh
memiliki panjang gelombang sekitar 10 sampai 30 kali panjang gelombang
cahaya. Semua benda yang tidak berada pada suhu nol absolut memancarkan
panas seperti gelombang tersebut. Tubuh manusia menyebarkan gelombang panas
ke segala penjuru. Gelombang panas juga dipancarkan dari dinding ruangan
dan benda-benda lain ke tubuh. Bila suhu tubuh lebih besar dari suhu
lingkungan, jumlah panas yang lebih besar akan dipancarkan keluar dari
tubuh daripada yang dipancarkan ke tubuh.
Konduksi
Hanya sejumlah kecil panas, yakni sekitar 3%, yang biasanya hilang
dari tubuh melalui konduksi langsung dari permukaan tubuh ke benda-benda
padat (seperti kursi atau tempat tidur). Sebaliknya, kehilangan panas
melalui konduksi ke udara mencerminkan kehilangan panas tubuh yang cukup
besar (kira-kira 15%) walaupun dalam keadaan normal.
Panas sebenarnya adalah energi kinetik dari pergerkan molekul, dan
molekul-molekul yang menyusun kulit terus-menerus mengalami gerakan
vibrasi. Sebagian besar energi dari gerakan ini dapat dipindahkan ke udara
bila suhu udara lebih dingin dari kulit, sehingga meningkatkan kecepatan
gerakan molekul-molekul udara. Sekali suhu udara yang berlekatan dengan
kulit menjadi sama dengan suhu kulit, tidak terjadi lagi kehilangan panas
dari tubuh ke udara, karena sekarang jumlah panas yang dikonduksikan dari
udara ke tubuh berada dalam keadaan seimbang. Oleh karena itu, konduksi
panas dari tubuh ke udara mempunyai keterbatasan, kecuali udara panas
bergerak menjauhi kulit, sehingga udara baru, yang tidak panas secara terus-
menerus bersentuhan dengan kulit, fenomena ini disebut konveksi udara.
Konveksi
Perpindahan panas dari tubuh melalui aliran udara konveksi secara
umum disebut kehilangan panas melalui konveksi. Sebenarnya, panas pertama-
tama harus dikonduksi ke udara dan kemudian dibawa melalui aliran udara
konveksi. Sejumlah kecil konveksi hampir selalu terjadi di sekitar tubuh
akibat kecenderungan udara di sekitar kulit untuk naik sewaktu menjadi
panas. Oleh karena itu, orang yang duduk di ruangan yang nyaman tanpa
gerakan udara yang besar, akan kehilangan sekitar 15% dari total panas yang
hilang melalui konduksi ke udara dan kemudian melalui konveksi udara yang
menjauhi tubuhnya.
Evaporasi
Bila air berevaporasi dari permukaan tubuh, panas sebesar 0,58
kilokalori akan hilang setiap satu gram air yang mengalami evaporasi.
Bahkan bila orang tersebut tidak berkeringat, air masih berevaporasi secara
tidak kelihatan dari kulit dan paru dengan kecepatan sekitar 600-700
ml/hari. Hal ini menyebabkan kehilangan panas yang terus menerus dengan
kecepatan 16-19 Kalori/jam. Evaporasi melalui kulit dan paru yang tidak
kelihatan ini tidak dapat dikendalikan untuk tujuan pengaturan suhu karena
evaporasi tersebut dihasilkan dari difusi molekul air yang terus menerus
melalui permukaan kulit dan sistem pernapasan. Akan tetapi, kehilangan
panas melalui evaporasi keringat dapat dikendalikan dengan pengaturan
kecepatan berkeringat.
Selama suhu kulit lebih tinggi dari suhu lingkungan, panas dapat
hilang melalui radiasi dan konduksi. Tetapi ketika suhu lingkungan menjadi
lebih tinggi dari suhu kulit, bukan justru menghilangkan panas, tetapi
tubuh memperoleh panas melalui radiasi dan konduksi. Dalam keadaan ini,
satu-satunya cara agar tubuh dapat melepaskan panas adalah dengan
evaporasi.
Konsep Set-Point untuk Pengaturan Suhu
Pada suhu inti tubuh yang kritis, sekitar 37,1oC (98,8oF) akan
menyebabkan perubahan drastis kecepatan kehilangan panas dan pembentukan
panas. Pada suhu di atas nilai ini, kecepatan kehilangan panas lebih besar
dari kecepatan pembentukan panas, sehingga suhu tubuh turun dan mendekati
nilai 37,1oC. Pada suhu di bawah nilai ini, kecepatan pembentukan panas
lebih besar dari kecepatan kehilangan panas, sehingga suhu tubuh akan
meningkat dan sekali lagi mendekati nilai 37,1oC. Nilai suhu kritis ini
disebut set point pada mekanisme pengaturan suhu. Yaitu, semua mekanisme
pengaturan suhu secara terus menerus berupaya untuk mengembalikan suhu
tubuh kembali ke nilai set point.
Demam
Demam, yang berarti suhu tubuh di atas batas normal, dapat disebabkan
oleh kelainan di dalam otak sendiri atau oleh bahan-bahan toksik yang
mempengaruhi pusat pengaturan-suhu. Beberapa penyebab demam, biasanya
meliputi penyakit yang disebabkan oleh bakteri, tumor otak, dan keadaan
lingkungan yang berakhir dengan heatstroke.
Mengatur kembali pusat pengaturan suhu Hipotalamus pada penyakit Demam-Efek
Pirogen
Sebagian besar protein, hasil pemecahan protein, dan beberapa zat
tertentu lainnya, terutama toksin liposakarida yang dilepaskan dari membran
sel bakteri, dapat menyebabkan peningkatan set point pada termostat
hipotalamus. Zat yang menimbulkan efek seperti ini disebut pirogen. Pirogen
yang dilepaskan dari bakteri toksik atau pirogen yang dilepaskan dari
degenarisi jaringan tubuh dapat menyebabkan demam selama keadaan sakit.
Ketika set point di pusat pengaturan suhu hipotalamus menjadi lebih tinggi
dari normal, semua mekanisme untuk meningkatkan suhu tubuh terlibat,
termasuk penyimpanan panas dan peningkatan pembentukan panas. Dalam
beberapa jam setelah set point ditingkatkan, suhu tubuh juga
mendekati nilai ini.
Mekanisme kerja pirogen dalam menyebabkan demam berkaitan dengan
peranan Interleukin-1. Percobaan pada hewan telah memperlihatkan bahwa
beberapa pirogen, ketika disuntikan ke dalam hipotalamus, dapat segera
bekerja secara langsung pada pusat pengaturan suhu hipotalamus untuk
meningkatkan set point nya. Pirogen lainnya berfungsi secara tidak langsung
dan mungkin membutuhkan periode laten selama beberapa jam sebelum
menimbulkan efek ini. Hal ini terjadi pada sebagian besar bakteri pirogen,
terutama endotoksin dari bakteri gram negatif.
Apabila bakteri atau hasil pemecahan bakteri terdapat di dalam
jaringan atau di dalam darah, keduanya akan difagositosis oleh leukosit
darah, makrofag jaringan, dan limfosit pembunuh bergranula besar. Seluruh
sel ini selanjutnya mencerna hasil pemecahan bakteri dan melepaskan zat
interleukin-1 (yang juga disebut leukosit pirogen atau pirogen endogen) ke
dalam cairan tubuh. Interleukin-1, saat mencapai hipotalamus segera
mengaktifkan proses yang menimbulkan demam, kadang-kadang meningkatkan suhu
tubuh dalam jumlah yang jelas terlihat dalam waktu 8-10 menit. Sedikitnya
sepersepuluh juta gram endotoksin lipopolisakarida dari bakteri, bekerja
dengan cara ini secara bersama-sama dengan leukosit darah, makrofag
jaringan, dan limfosit pembunuh, dapat menyebabkan demam. Jumlah
interleukin-1 yang dibentuk sebagai respons terhadap lipopolisakarida untuk
menyebabkan demam hanya beberapa nanogram.
Beberapa percobaan, telah menunjukan bahwa interleukin-1 menyebabkan
demam, pertama-tama dengan menginduksi pembentukan salah satu
prostaglandin, terutama prostaglandin E2, atau zat yang mirip, dan
selanjutnya bekerja di hipotalamus untuk membangkitkan reaksi demam. Ketika
pembentukan prostaglandin dihambat oleh obat, demam sama sekali tidak
terjadi atau paling tidak berkurang. Sebenarnya, hal ini mungkin sebagai
penjelasan bagaimana cara aspirin menurunkan demam, karena aspirin
mengganggu pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat. Obat seperti
aspirin uang menurunkan demam disebut antipiretik.
Stadium Demam
Kedinginan, merupakan stadium demam di mana set point pusat pengatur
suhu hipotalamus tiba-tiba berubah dari nilai normal menjadi lebih tinggi
dari nilai normal (akibat penghancuran jaringan, zat pirogen, atau
dehidrasi), biasanya dibutuhkan waktu selama beberapa jam agar suhu tubuh
dapat mencapai set point suhu yang baru. Dengan terjadinya peningkatan set
point yang tiba-tiba (misalnya 103oF), sementara suhu darah lebih rendah
dari set point pengatur hipotalamus, akan terjadi reaksi umum yang
menyebabkan kenaikan suhu tubuh. Selama periode ini, seseorang akan
menggigil dan merasa sangat kedinginan, walaupun suhu tubuhnya telah di
atas normal. Demikian juga, kulit menjadi dingin karena terjadi
vasokonstriksi, dan orang tersebut gemetar. Menggigil dapat berlanjut
sampai suhu tubuh mencapai set point hipotalamus 103oF. Kemudian orang
tersebut tidak lagi menggigil tetapi sebaliknya tidak merasa dingin atau
panas. Sepanjang faktor yang menyebabkan set point yang meningkat pada
pengatur suhu hipotalamus terus ada, suhu tubuh akan diatur lebih kurang
dengan cara yang normal, tetapi pada nilai set point suhu yang tinggi.
Krisis atau "kemerahan", merupakan tahap bila faktor yang menyebabkan
suhu tinggi dihilangkan, set point pada pengatur suhu hipotalamus akan
turun ke nilai yang lebih rendah mungkin bahkan kembali ke nilai normal.
Dalam keadaan misalnya suhu tubuh masih 103oF, tetapi hipotalamus berupaya
untuk mengatur suhu sampai 98,6oF. Keadaan ini analog dengan pemanasan yang
berlebihan di area preoptik-hipotalamus anterior, yang menyebabkan
pengeluaran keringat banyak dan kulit tiba-tiba menjadi panas karena
vasodilatasi di semua tempat. Perubahan yang tiba-tiba dari peristiwa ini
dalam penyakit demam dikenal sebagai "krisis" atau "kemerahan". Pada masa
lampau, sebelum diberikan antibiotika, keadaan krisis selalu dinantikan,
karena apabila hal ini terjadi, dokter dengan segera mengetahui bahwa suhu
pasien akan segera turun.