Sari Pustaka Kepada Yth: dr. Amir Shidik, SpM
Katarak Traumatik Pada Trauma Tumpul
Disusun oleh:
Nuriadara Samira
Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Mata Tahap 2
Pembimbing:
Dr. Amir Shidik, SpM
Divisi Kornea dan Bedah Refraktif
Departemen Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
2013
PENDAHULUAN
Katarak traumatik merupakan kekeruhan pada lensa yang muncul akibat trauma pada mata. Katarak traumatik dapat terjadi akibat trauma tumpul, perforasi, atau penetrasi (tembus). Katarak traumatik dapat menjadi salah satu penyebab hilangnya penglihatan akut atau kronis. Pada trauma penetrasi okuli dapat terjadi ruptur kapsul lensa sehingga materi lensa kristalin masuk ke bilik mata depan dan menjadi stimulus inflamasi intraokular. Trauma okuli tidak tembus (tanpa luka keluar) dapat menyebabkan kerusakan zonula sehingga terjadi subluksasi atau perpindahan total lensa kristalin dari tempatnya dan membutuhkan intervensi bedah. Pada anak-anak, gangguan visual karena katarak traumatik dapat menyebkan ambliopia deprivasional ireversibel.(1-4)
Insiden katarak sekunder pada trauma okuli diperkirakan sebesar 27-65%.(2, 5, 6) Data dari United States Eye Injury Registry (USEIR) (7) memperlihatkan lebih dari 17.000 kasus cedera okuli dan hampir setengahnya terdapat kerusakan lensa. (8) Data dari USEIR menunjukkan bahwa pada trauma okuli penetrasi, kejadian katarak traumatik dan rutur kapsul lensa sebesar 32 % pada daerah rekreasi dan 25 % pada tempat kerja.(1) Katarak traumatik seringkali terjadi pada laki-laki dewasa muda. Tujuh puluh persen pasien berusia lebih muda dari 40 tahun dan laki-laki lebih sering terkena dibandingkan wanita (84%). (1, 6, 9)
Cedera pada katarak traumatik jarang terjadi pada lensa saja. Menurut data dari USEIR, 48% pasien katarak traumatik memiliki cedera pada segmen posterior. Hal ini sangatlah penting mengingat kondisi retina sangat menentukan penglihatan seseorang.(8, 10) Menentukan diagnosis katarak traumatik tidaklah mudah. Pada keadaan trauma, kornea dapat menjadi keruh, fibrin dan debris mengisi bilik mata depan, serta pupil yang kecil dan sulit untuk berdilatasi. Oleh karena itu, kita harus yakin benar bahwa terjadi cedera permanen pada lensa sebelum dilakukan pengangkatan lensa.(8)
Operasi katarak pada katarak traumatik dapat dianggap sebagai prosedur primer atau sekunder. Pengangkatan primer bertujuan untuk mencegah komplikasi akibat inflamasi atau lens induced glaucoma, dan pembengkakan lensa akibat ruptur kapsul. Pengangkatan katarak primer bermanfaat pada perdarah vitreus dan kerusakan lensa serta mengurangi biaya terhadap prosedur selanjutnya. Pengangkatan katarak sekunder memiliki beberapa keuntungan. Saat itu mata sudah lebih tenang, waktu dan metode pengangkatan lensa dapat dipilih dengan optimal.(8, 9)
Tujuan dari penyusunan sari pustaka ini adalah untuk mengetahui patofisiologi, morfologi, diagnosis dan tatalaksana katarak traumatik yang berguna untuk doker mata umum dalam menentukan diagnosis dan menatalaksana pasien dengan katarak traumatik. Penatalaksanaan yang tepat sangatlah penting, terutama pada anak-anak untuk mencegah terjadinya amblyopia.
ANATOMI DAN FISIOLOGI LENSA
Lensa adalah struktur yang transparan, bikonveks, dan avaskuler. Fungsi lensa adalah merefleksikan cahaya dan berakomodasi. Lensa terletak di antara iris dan badan vitreous, menempel pada fossa hyaloidea. Pada bagian anterior, lensa menempel pada iris, namun jarak yang melebar pada bagian lateral membentuk kamera okuli posterior. Lensa memiliki bentuk yang khas, pada bagian anterior memiliki radius kurvatura yang lebih besar daripada bagian posterior yang menyerupai parabola. Titik tengah pada masing-masing permukaan adalah polus anterior dan posterior, dan axis merupakan garis yang menghubungkan kedua titik ini. Pada usia tua, permukaan anterior menjadi lebih melengkung, yang kemudian sedikit menekan iris ke depan. Kejernihan lensa pun berkurang dan nukleus menjadi lebih padat (gambar 1). (11-13) 7,8,6
Gambar 1. Lensa. A. lensa terletak di belakang iris. Lensa terdiri dari sel-sel epitel yang berdiferensiasi disebut serat lensa. B. sel epitel lensa kuboid selapis berada di bawah kapsul lensa anterior, kapsul lensa posterior lebih tipis. C. sel epitel berakhir pada ekuator lensa, D. serat lensa pada mikroskop elektron. Diunduh dari kepustakaan no.(12)
Lensa memiliki kekuatan refraksi 10-20 dioptri, bergantung pada daya akomodasi tiap individu. Lensa terletak di belakang iris dan didukung oleh serat zonula yang berasal dari badan silier. Serat ini memasuki bagian ekuator kapsul lensa. Kapsul lensa merupakan membran dasar yang mengelilingi substansi lensa. Sel epitel pada ekuator lensa membelah terus menerus selama kehidupan dan berdiferensiasi menjadi serat lensa yang baru, sehingga serat lensa yang lama bermigrasi ke pusat nukleus. Serat yang berada di sekeliling nukleus dan bersifat lebih tidak padat membentuk korteks. Nutrisi lensadiperoleh dari akuos humor. Metabolisme utama lensa bersifat anaerob oleh karena sedikitnya oksigen yang pada akuos humor (gambar 2) . (12, 14, 15)
Kapsul
Kapsul lensa adalah lapisan membran basalis elastis dan transparan, dibentuk oleh kolagen tipe IV yang menempel pada sel epitel. Kapsul mengandung substansi lensa dan mampu berubah bentuk saat perubahan akomodatif. Lapisan kapsul yang paling tebal terletak di bagian anterior dan posterior zona pre-equator dan paling tipis pada sentral polus posterior. Kapsul lensa anterior cenderung lebih tebal daripada posterior saat kelahiran dan menebal selama kehidupan.(11, 12)
Serat zonula
Lensa disangga oleh serat zonula yang berasal dari lamina basalis epitel tidak berpigmen di badan silier. Serat zonula ini menempel pada kapsul lensa di bagian equator sepanjang 1,5 mm ke arah anterior dan 1,25 mm ke arah posterior. Seiring bertambahnyaa usia, serat zonula di bagian equator melemah dan terpisah dari lapisan kapsul anterior dan posterior. Serat zonula berdiameter 5-30 µm. (11-13)
Epitel lensa
Sel epitel selapis terletak di belakang kapsul lensa bagian anterior. Sel epitel selapis ini aktif secara metabolik, seperti biosintesis DNA, RNA, protein, dan lipid. Sel epitel selapis ini juga mampu menghasilkan ATP untuk memenuhi kebutuhan energi lensa. Pada lensa bagian anterior terdapat zona germinativum, yaitu daerah dimana aktivitas sel yaitu mitosis dan premitosis ( replikasi dan fase S) DNA terjadi. Sel-sel yang baru terbentuk bermigrasi melewati equator lensa dan berdiferensiasi menjadi serat-serat. Saat sel-sel tersebut bermigrasi melewati bow region, terjadi proses diferensiasi akhir menjadi serat lensa. Perubahan morfologi yang terjadi adalah ukuran yang membesar dan hal ini berhubungan dengan peningkatan massa protein selular pada membran sel tersebut. Pada saat yang bersamaan, organella sel-sel tersebut hilang dan membuat cahaya yang menembus lensa tidak diserap maupun terpantul.(11, 12)
Nukleus dan korteks
Tidak ada serat-serat yang hilang dari lensa. Sera-serat lensa mengumpul dan memadat pada bagian tengah dari lensa. Sutura lensa terbentuk dari interdigitasi sel apikal (sutura anterior) dan sel basal (sutura posterior). Sutura Y terletak diantara nukleus lensa. Zona demarkasi terjadi karena strata sel epitel dengan kepadatan yang berbeda-beda. Tidak terdapat oerbedaan morfologis antara kortex dan nukleus walau transisi diantara kedua zona ini terjadi bertahap. (11, 13)
Gambar 2. lensa mamalia secara skematis dalam potongan melintang. Panah menunjukkan arah migrasi sel dari epitel menuju korteks. Disadur dari kepustakaan no. (11)
PATOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Trauma tumpul okuli tidak tembus dapat menyebabkan kekeruhan lensa baik secara akut maupun lambat. Katarak yang terjadi dapat melibatkan sebagian atau seluruh lensa. Kerusakan lensa secara traumatik dapat disebabkan oleh suatu cedera mekanis dan kekuatan fisika (radiasi, kimia, dan elektrik). Trauma tumpul okuli terkadang menyebabkan pigmentasi dari pupillary ruff pada permukaan anterior lensa dari yang disebut "cincin Vossius". Cincin Vossius merupakan epitel pigmen iris yang melekat pada kapsul anterior lensa saat terjadinya kontusio. Cincin Vossius tidaklah bermakna dan dapat sembuh seiring dengan berjalannya waktu, tapi merupakan suatu indikator dari trauma tumpul okuli. (Gambar 1). (12, 16-18)
Pembentukan katarak pada trauma tumpul merupakan suatu rangkaian kejadian yang biasa terjadi. Mekanisme yang dipostulasikan meliputi adanya kerusakan traumatik pada serat-serat lensa dan kapsul lensa yang mengakibatkan influx akuos humor, hidarasi serat lensa dan kekeruhan lensa. (12, 16-18)
Kontusio pada bola mata adalah cedera tertutup yang disebabkan oleh trauma tumpul. Pada kontusio berat, dapat terjadi ruptur lensa. Pada kontusio yang tidak terlalu berat dapat terjadi katarak superfisial atau kekeruhan terlihat pada kortex subkapsular posterior di sepanjang sutura posterior sehingga berbentuk seperti bunga mawar (rosette) yang dapat menghilang atau menetap (Gambar 3).(12, 17)
Gambar 3. Cincin Vossius (kiri), katarak berbentuk rosette(kanan). Disadur dari kepustkaan no. (19)
Pada kontusio tahap awal, lensa menunjukkan zona serat lensa superfisial yang ukuran, bentuk, dan kepadatan sitoplasmanya berubah menjadi iregular dan terlihat halus di permukaan dengan berkurangnya interdigitasi. Perubahan morfologi awal ditandai dengan pembengkakan serat lensa yang kemudian mengalami degenerasi. Beberapa gangguan morfologis yang menandai terjadinya proses degenerasi terlihat pada area lebih dalam dari lapisan edema. Akumulasi globula dan droplet menandakan terjadinya pemecahan seluler. Penumpukan materi berlebihan sel-sel terdegenerasi menyebabkan abnormalitas pengaturan membran, seperti pembentukan badan multilamellar, membran whorls, atau undulasi beramplitudo tinggi. (20)
Pembengkakan osmotik dari serat lensa dapat terlihat pada berbagai tipe katarak, Hal ini dapat disebabkan oleh gangguan stimulus pompa ion pada sel epitel lensa sehingga terjadi influx cairan ke dalam jaringan lensa. Proses ini mengakibatkan terjadinya pembengkakan dan kerusakan sel-sel kortikalis.(20, 21)
Gambar 4. Gambar skematik pembentukan katarak traumatik. Epitel dan serat lensa normal (kiri), serat lensa yang superfisial membengkak dan vakuolisasi epitel lensa (tengah), seiring dengan perjalanannya serat-serat lensa berdegenerasi dan mengkerut meninggalkan sisa sitoplasma dan membran diantara lubang-lubang interselular di antara serat lensa yang datar yang lama-kelamaan akan masuk lebih dalam ke arah kortex (kanan). Diunduh dari kepustakaan no (20)
Trauma tumpul okuli memiliki efek osmotik langsung pada daerah superfisial lensa. Gaya kontusio dapat menyebabkan cedera mekanik membran epitel sehingga terjadi abnormalitas ambilan. Pada sel epitel dapat terlihat pembengkakan dan vakoul interselular yang jelas. Hal ini menandakan ketidakmampuan sel menjaga hidrasi lensa. Serat lensa hidrofik ini lalu mengalami degenerasi dan pengerutan yang selanjutnya menghasilkan bentukan vakuolik dari rossete (Gambar 4). (20)
MORFOLOGI
Klasifikasi standar untuk morfologi katarak traumatik saat ini tidak tersedia. Morfologi katarak traumatik bergantung kepada tipe cedera dan interval waktu antara cedera dan intervensi yang diberikan. (19, 22)
Gambar 5. Morfologi katarak traumatik. Katarak total, katarak putih lunak, katarak membranosa, katarak rossete. (dari kiri atas-kanan bawah). Disadur dari kepustakaan no.(19)
Berdasarkan kekeruhan lensa, morfologi katarak traumatik diklasifikasikan sebagai katarak total, katarak putih lunak, katarak membranosa dan katarak tipe rosette. Katarak dikatakan total jika tidak ditemukan materi lensa jernih di antara kapsul dan nukleus. Pada Katarak putih lunak terdapat materi korteks yang ditemukan di bilik mata depan dengan kapsul anterior yang ruptur. Sedangkan pada katarak membranosa, kapsul dan materi terorganisir membentuk membran dengan tingkat kekeruhan yang berbeda-beda. Katarak tipe rosette membentuk pola rosette pada kekeruhan lensa-nya (Gambar 5). (4, 19, 22)
DIAGNOSIS
Diagnosis katarak traumatik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan riwayat trauma okuli. Trauma dapat berupa trauma tembus atau trauma tidak tembus pada bola mata. Trauma tidak tembus meliputi kontusio dan konkusio orbita, kepala atau tubuh. Riwayat terkena kejutan listrik, radiasi atau cedera kimia menyebabkan terjadinya katarak traumatik. Pasien dengan kontusio atau subluksasi lensa jarang segera mencari pertolongan medis. Gejala penglihatan yang dirasakan pasien berupa diplopia monokular, silau, dan perburukan ketajaman penglihatan. (9, 21)
Open globe injury terutama yang disebabkan oleh trauma tumpul memperlihatkan beberapa tanda pada pemeriksaan seperti penurunan gerak bola mata, perdarahan subkonjungtiva, kemosis, penurunan tekanan intraokular, dan bilik mata depan yang dangkal atau sangat dalam. Pada lensa didapatkan kekeruhan khas untuk katarak traumatik. Morfologi katarak traumatik yang dapat ditemukan adalah berbentuk seperti rosette, diskret, pungtata atau perubahan subepitel yang tersebar. Lokasinya biasanya terdapat di anterior, segmental, subkapsular dan dapat terlihat adanya cincin Vossius. Tanda-tanda dari trauma dapat ditemukan pada kornea, iris, zonula dan kutub posterior yaitu subluksasi lensa, iridodenesis, phacodenesis, bilik mata depan dangkal atau dalam, peningkatan tekanan intraokular dan hifema. Selain itu dapat pula terjadi dislokasi lensa, robekan kapsul, dan terlihat vitreus pada bilik mata depan. (9, 21)
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding yang dapa dipikirkan adalah katarak senilis, katarak metabolik, katarak kongenital dan drug induced cataract. (21)
TATA LAKSANA
Pasien katarak traumatik yang memiliki visus lebih baik dari 20/40, katarak yang nonprogresif dan mata yang tenang tidak membutuhkan penanganan tertentu dan disarankan untuk evaluasi berkala.(3, 21)
Laserasi atau ruptur kornea dipilih untuk diperbaiki terlebih dahulu lalu selanjutnya operasi katarak dilaksanakan setelah inflamasi teratasi kecuali jika terjadi ruptur lensa. Operasi katarak yang dilakukan bersamaan dengan perbaikan luka primer memiliki keuntungan yaitu mengontrol inflamasi yang berasal dari materi lensa yang masuk ke bilik matadepan, menghilangkan sumber terjadinya peningkatan tekanan intraokular, memungkinkan visualisasi segmen posterior, mempercepat rehabilitasi visual pasien dimana penting pada anak-anak untuk mencegah amblyopia, mendapatkan aksis visual yang jernih dan hanya membutuhkan satu kali operasi sehingga biaya yang dikeluarkan lebih sedikit. (14, 19)
Operasi primer pada katarak traumatik juga memiliki kerugian yaitu lensa bisa saja tidak megalami katarak, terjadinya inflamasi akibat operasi, operator yang tidak berpengalaman dan ruang operasi yang tidak memadai dalam melakukan operasi. Operasi katarak yang dilakukan sekunder dilakukan saat inflamasi teratasi, media jernih dan luka yang stabil. Pengurukan lensa tanam lebih tepat dan memperlihatkan hasil yang lebih baik. (6, 19)
Pemilihan teknik pengangkatan katarak mempertimbangkan dua hal yaitu usia pasien dan kondisi kapsul posterior terutama pada pasien dengan subluksasi lensa. Pada subluksasi lensa lebih dipilih metode ICEE dibandingkan dengan implantasi capsular tension ring. (8)
Indikasi pembedahan pada katarak traumatik adalah penurunan tajam penglihatan, inflamasi atau lens induced glaucoma, pembengkakan lensa dari rupture kapsul, dan kekeruhan segmen posterior. (3, 8, 9)
Tatalaksana Bedah
Tatalaksana bedah yang dilakukan pada katarak traumatik adalah melalui pendekatan limbal anterior atau pendekatan pars plana posterior. Pendekatan anterior berguna pada keadaan: katarak yang tidak berdislokasi dengan kapsul intak, ruptur kapsul dengan katarak, subluksasi lensa dengan atau tanpa katarak dan dislokasi lensa ke anterior dengan atau tanpa katarak. Pendekatan posterior berguna pada rupture kapsul posterior dengan katarak, subluksasi lensa dengan atau tanpa katarak dan dislokasi lensa ke posterior dengan atau tanpa katarak.(5, 9)
Pendekatan limbal anterior
Katarak yang tidak berdislokasi dengan kapsul intak biasanya terjadi setelah trauma tumpul, dapat terjadi beberapa lama setelah cedera sehingga operasi dapat dijadwalkan sampai kondisi terbaik. Teknik yang digunakan sama dengan pengangkatan katarak senilis. Adanya glaukoma dan cedera iris harus diperimbangkan dalam melakukan operasi. Extracapsular cataract extraction ( ECCE) atau fakoemulsifikasi dapat dilakukan.(9) Pada pasien anak-anak berusia kurang dari 2 tahun, penanaman lensa intraokular tidak dilakukan. Hal ini dikarenakan kapsul posterior belum cukup kuat untuk menyangga lensa yang ditanam. (3)
Pada katarak dengan ruptur kapsul anterior yang terjadi pada trauma tumpul atau penetrasi menyebabkan hidrasi kortex lensa yang dapat masuk ke bilik mata depan. Pada cedera perforasi, lensektomi primer dapat dilakukan bersamaan dengan repair bola mata. Pada keadaan trauma bola mata dengan tekanan intraokular dan inflamasi yang stabil,operasi dapat ditunda untuk melakukan evaluasi menyeluruh. 13
Pendekatan Pars Plana Posterior
Pada kasus ruptur kapsul posterior dengan prolapse vitreus, subluksasi posterior atau dislokasi komplit lensa, lensektomi pars plana dengan vitrektomi adalah pendekatan terbaik. Pasien dengan sklerosis nuklear yang tebal memerlukan fragmentasi ultasonik. Iridektomi perifer dilakukan untuk mencegah terjadinya aphacic pupillary block. (9)
PROGNOSIS
Katarak trumatik dengan morfologi putih lunak memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan katarak dengan morfologi lain.(22) Prognosis visual untuk pasien anak dengan katarak traumatik biasanya buruk karena inflamasi yang tinggi, amblyopia dan adanya cedera lain pada skturur okular lainnya. Pada anak-anak prognosis tajam penglihatan yang baik setelah operasi sangatlah tergantung pada usia saat terjadi cedera, onset dan durasi katarak dan adanya komplikasi okular lainnya. (3, 19)
Prognosis visual untuk katarak traumatik tanpa penyulit lain adalah baik. Pada Closed globe injury, 79 % mata mencapai tajam penglihatan 20/100. (6) Prognosis yang buruk biasa dihubungan dengan beberapa faktor seperti usia tua, keadaan sosial ekonomi yang rendah, interval waktu terapi dari kejadian dan tipe trauma yang terjadi. (10) Keterlibatan segmen posterior merupakan indikasi prognosis yang buruk. Data dari USEIR, 47 % mata dapat mencapai ketajaman penglihatan 20/40 jika tidak terdapat keterlibatan vitreoretina dan hanya 28 % mata mencapai ketajaman penglihatan 20/40 jika terdapat ketelibatan segemen posterior (p<0,0001). (6)
Daftar Pustaka
1. AL Dannenberg, LM Parver, CJ Fowler. Penetrating eye injury related to assault. The National Eye Trauma System Registry. Arch ophthalmol. 1992;110(6):849-52.
2. Jacobi P, Dietlein T, Lueke C, Jacobi F. Multifocal intraocular lens implantation in patients with traumatic cataract. Ophthalmol. 2003;110:531-8.
3. Krishnamachary M, Rathiu V, Gupta S. Management of traumatic cataract in children. J Cataract Refract Surg. 1997;23:681-7.
4. Shah MA, Shah SM, Applewar A, Patel C, Patel K. Ocular trauma score as a predictor of final visual outcomes in traumatic cataract cases in pediatric patient. J Cataract Refract Surg. 2012;38:959-69.
5. Irvine J, Smith R. Lens injuries in trauma. In: Shingleton B, Hersh P, Kenyon K, editors. Eye trauma. St Louis: Mosby; 1991. p. 126-35.
6. Mester V, Kuhn F. Lens. In: Kuhn F, Piermici DJ, editors. Ocular trauma principles and practice. New York: Thieme Medical Publisher. p. 180-9.
7. May D, Kuhn F, Witherspoon D, Danis R, Matthews P, Mann L. The epidemiology of serious eye injuries from the United States Eye Injury Registry. Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol. 2000;238:153-7.
8. Kuhn F. Traumatic cataract: what, when, how. Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol. 2010;248:1221-3.
9. Mian SI, Azar DT, Colby K. Management of traumatic cataract. International Opththalmology Clinics. 2002;42:22-31.
10. Khatry SK, Lewis A, Schein O, Thapa M, Pradhan E, Katz J. The epidemiology of ocular trauma in rural Nepal. Br J Ophthalmol. 2004;88:456-60.
11. AAO S. Anatomy. In: Skuta G, Cantor L, Weiss J, editors. Lens and cataract. 11. San Francisco: American Academy Ophthalmology; 2011. p. 5-9.
12. Eagle, C R. The Lens. In: Eagle, C R, editors. Eye pathology. 2nd ed. Philadelphia: Lippincot Willians & wilkins; 2010 p. 85-95.
13. Ruskel G. The Eye. Gray's Anatomy: the anatomical basis of clinical practice. London: Elsevier; 2005. p. 717-9.
14. Harper RA, Shock JP. Lens. In: Riordan-Eva P, Whitcher JP, editors. Vaughan & Asbury's General Ophthalmology. 17. USA: Mc Graw Hill; 2007. p. 159-67.
15. Yanoff M, Sassani J. Ocular pathology. New York: Elsevier; 2009.
16. AAO S. Pathology. In: Skuta G, Cantor L, Weiss J, editors. Lens and Cataract. 11. San Francisco: American Academy of Opthalmology 2011. p. 53-5.
17. Kanski JJ. Trauma to the globe. In: Kanski JJ, Bowling B, editors. Clinical Ophthalmology a systemic approach. 7th ed. Amsterdam: Elsevier; 2011. p. 878-84.
18. Wevill M. Epidemiology, patophysiology, causes, morphology, and visual effects of cataract. In: Yanoff M, Duker JS, editors. Ophthalmology. 4th ed. China: Elsevier; 2009. p. 412-8.
19. Shah M, Shah S, Upadhyay P, Agrawal R. Controversies in traumatic cataract classification and management: a review. Can J Ophthalmol. 2013;48:251-8.
20. Asano N, Schotzer-Schrehardt U, Dorfler S, O G, Naumann H. Ultastructure of contusion cataract. Arch ophthalmol. 1995;113:210-5.
21. Gombos DS, Houson, Gombos GM. Traumatic cataract. In: Steinert RF, editor. Cataract surgery. New York: Elsevier; 2010. p. 351-67.
22. Shah MA, Shah SM, Shah SB, patel CG, Patel UA. Morphology of traumatic cataract: doest it play a role in final visual outcome. BMJ. 2011;1:1-7.