A. Kasus status kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran
Seiring dengan berkembangnya tekhnologi dan kehidupan yang semakin
modern. Kemajuan manusia dalam berkomunikasi dan bermobilisasi
berkembang sangat pesat. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed
Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda
kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui
internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur,
bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campuran juga
terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara
lain. Kemajuan dalam hal komunikasi dan mobilisasi dewasa ini,
ternyata membuat pernikahan campuran menjadi sebuah fenomena baru yang
semakin lumrah terjadi di tengah masyarakat, dimulai dari publik
figure hingga masyarakat umum.[1] Hal ini pula yang dialami Sebut saja
Marcellina, wanita asal Surabaya, pada bulan Juli 2003 saat pulang ke
Indonesia bersama kedua anaknya, Sonia dan Julian. Marcellina
mengisahkan, awal 2001 ia menikah dengan jhon di negara bagian Ohio,
Amerika Serikat. Suaminya orang Amerika. Pernikahan itu dicatatkan di
Konsulat Jenderal RI setempat. Akhir 2001 Marcellina melahirkan Sonia.
Kemudian tahun 2002 Julian lahir. Keduanya tercatat sebagai warga
negara Amerika, sesuai dengan asas ius soli yang dianut Amerika.
Persoalan berat dalam pernikahannya membuat Marcellina, tanpa
sepengetahuan suaminya, membawa kedua anaknya yang saat itu berusia 7
bulan dan 17 bulan pulang ke Jakarta pada Juli 2003. Kondisi mendesak
membuat Marcellina nekat membawa kedua anaknya keluar Amerika tanpa
sempat dibuatkan paspor. Agar Sonia dan Julian bisa masuk ke
Indonesia, Marcellina meminta bantuan Kedubes RI di Washington untuk
membuatkan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) bagi Sonia dan
Julian, yang hanya berlaku sebagai travel document. Sampai di Jakarta,
ia mencatatkan pernikahannya ke Catatan Sipil di Jakarta dan mendapat
Tanda Bukti Laporan Perkawinan. Ia juga mencatatkan kelahiran kedua
anaknya sebagai Tanda Bukti Laporan Kelahiran di tempat yang sama.
Masalah mulai muncul saat Marcellina bermaksud mengurus Kartu Izin
Tinggal Terbatas (KITAS) bagi kedua anaknya. Kantor imigrasi
menolaknya karena Sonia dan Julian tak punya paspor. Pihak kedutaan
mengharuskan kedua orangtua hadir di depan pejabat kedutaan atau salah
satu orang tua yang absen, memberikan surat izin untuk aplikasi atau
perpanjangan paspor bagi anak di bawah usia 14 tahun. Apesnya, suami
Marcellina berusaha menghalangi proses tersebut. Di sisi lain,
perubahaan kewarganegaraan dari WNA menjadi WNI, hanya bisa dilakukan
setelah anak mencapai usia 18 tahun. "Sejak saat itu mereka terkatung-
katung, dinyatakan sebagai anak stateless, tanpa kewarganegaraan."
Sonia dan Julian bisa terkena sanksi overstay, karena sejak tiba di
Indonesia Marcellina yang tergabung dalam Keluarga Perkawinan Campuran
Melalui Tangan Ibu (KPC Melati) tidak pernah membayar atau
memperpanjang izin tinggal kedua anaknya. Mereka juga disebut penduduk
gelap karena tak pernah terdaftar di keimigrasian. "Di sini, saya
disebut menyembunyikan anak WNA. Lalu, karena tidak memberitahu suami
saat membawa mereka keluar dari wilayah Amerika, di sana saya disebut
melakukan penculikan anak. Padahal saya yang melahirkan mereka," papar
wanita asal Surabaya ini.[2]
B. Analisis terhadap kasus status kewarganegaraan anak hasil perkawinan
campuran
Analisis Individu
Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan
hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya
yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil
perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru, memberi
pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan
ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda
terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran, meskipun
dikemudian akan muncul permasalahan terkait status
kewarganegaraan ganda terbatas pada anak.
Analisis menurut Hukum Perdata Nasional
Definisi anak menurut Undang-undang No.23 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Anak adalah: "Seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Manusia dalam hukum perdata, diketahui bahwa memiliki status
sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Menurut Pasal 2 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata[3] "Anak yang ada dalam kandungan
seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan,bilamana
juga kepentingan si anak menghendakinya. Dan mati sewaktu
dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah telah ada. Manusia
merupakan subyek hukum yang berarti manusia memiliki hak dan
kewajiban dalam hal lalu lintas hukum. Namun tidak semua manusia
dipandang cakap mengenai hal tersebut. Menurut Pasal 1330
KUHPerdata orang yang tidak cakap hukum yaitu meliputi: Orang-
orang yang belum dawasa, mereka yang ditaruh di bawah
pengampuan. Karena itu orang-orang yang di dalam Pasal 1330
KUHPerdata[4] yang lalu dinyatakan tak cakap, boleh menuntut
pembatalan perikatan-perikatan yang mereka telah perbuat, dalam
hal-hal dimana kekuasaan itu tidak dikecualikan oleh undang-
undang. Orang-orang yang cakap untuk mengikatkan diri tak sekali-
kali diperkenankan mengemukakan ketidak cakapan orang-orang yang
belum dewasa. Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai
subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Seseorang yang belum dewasa yang berusia di bawah 18 tahun dan
tidak cakap melakukan perbuatan hukum dapat diwakili oleh orang
tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum serta dapat
batal demi hukum. Anak yang lahir dari perkawianan campuran
terlihat jelas bahwa ayah dan ibunya memiliki kewarganegaraan
yang berbeda, yang sehingga tunduk pada dua yuridiksi hukum yang
berbeda pula.
Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana
kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU
No.62 Tahun 1958 : "Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum
kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya
sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia,
turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia
bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang
bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku
terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarga-
negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan."
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari
perkawinan campuran di atas menjadi warganegara asing karena
anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita
warganegara Indonesia dengan warganegara asing. Anak tersebut
sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga
harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan
kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus
diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal
terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh anaknya,
walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi
seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan
Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan berada
dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit
dilakukan.
Masih berhubungan dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62
Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan
hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan
hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau
belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga
mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum
berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang (apabila anak
tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya). Namun
menurut UU no 12 tahun 2006 pasal 4 jo c,d,h,i serta pasal 5 WNI
anak WNI yang belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai
anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui
sebagai WNI. Berdasarkan UU ini anak yang dilahir dari
perkawinan Marcellina dengan Jhon, diakui sebagai warga negara
Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan
setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus
menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus
disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18
tahun atau setelah kawin. Pemberian kewarganegaraan ganda ini
merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari
perkawinan campuran. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti
tunduk pada dua yurisdiksi.
Analisis menurut Hukum Perdata Internasional
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan
status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, harus
dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai permaslahan yang
dianalisis terlebih dahulu[5] apakah perkawinan orang tuanya sah
sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau
perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai
anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan
ibunya. Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status
personal[6] Negara-negara common law berpegang pada prinsip
domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang
pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis). Umumnya yang dipakai
ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga
(pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal
ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi
kepentingan kekeluargaan, demi keharmonisan dan kehormatan dari
seorang istri. Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang
terbanyak dipergunakan di negara-negara lain. Indonesia memiliki
sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda.
Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi,
yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6
AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis).
Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas
untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia
yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang
terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah
lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya,
menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam
wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional
mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal
mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status
personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan,
perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan
perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah
umur. Dalam hukum perdata internasional terdapat yang namanya
status personal, yaitu penyelesaian suatu kasus HPI dengan
menganut prinsip kewarganegaraan. Status personal adalah kondisi
atau keadaan suatu pribadi dalam hukum yang diberikan/ diakui
oleh Negara untuk mengamankan dan melindungi lembaga-lembaganya.
Status personal ini meliputi hak dan kewajiban, kemampuan dan
ketidakmampuan bertindak di bidang hukum, yang unsure-unsurnya
tidak dapat berubah atas kemauan pemiliknya. Dalam hal ini
terdapat istilah Pro kewarganegaraan:
Prinsip ini cocok untuk perasaan hukum nasional dari
warganegara tertentu , lebih cocok lagi bagi warga negara
yang bersangkutan
Lebih permanen dari hukum domisili, karena prinsip
kewarganegaraan lebih tetap dari pada prinsip domisili
dimana kewarganegaraan tidak demikian mudah diubah-ubah
seperti domiili, sedangkan status personil memerlukan
stabilitas sebanyak mungkin
Prinsip kewarganegaraan membawa kepastian lebih banyak:
pengertian kewarganegaraan lebih mudah diketahui
dari pada domisili seseorang, karena adanya peraturan
tentang kewarganegaraan yang lebih pasti dari negara
yang bersangkutan
Ditetapkan cara-cara memperoleh kewarganegaraan
suatu Negara
Selain itu, juga terdapat istilah Pro domisili. Hukum domisili
adalah hukum yang bersangkutan sesungguhnya hidup, dimana
seseorang sehari-hari sesungguhnya hidup, sudah sewajarnya jika
hukum dari tempat itulah yang dipakai untuk menentukan status
personilnya. Prinsip kewarganegaraan seringkali memerlukan
bantuan domisili. Seringkali ternyata prinsip kewarganegaraan
tidak dapat dilaksanakan dengan baik tanpa dibantu prinsip-
prinsip domisili.
kewarganegaraan ganda yang diterima oleh anak marcellina juga
memiliki potensi masalah menurut hukum perdata internasional,
misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan
pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk
pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum
negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak
ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum
negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status
personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu
bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban
umum pada ketentuan negara yang lain. Hal ini masih menjadi
perdebatan umum tentang kewarganegaraan ganda terbatas.
C. Kesimpulan
Permasalahan status kewarganegaraan anak marcellina hasil kawin
campuran dengan jhon warga Negara amerika ini menurut UU No.62 tahun
1958 menjadi warganegara asing karena anak tersebut lahir dari
perkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia dengan
warganegara asing. Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga
negara asing, menurut undang-undang ini Indonesia menganut asas
kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti ayah,
sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 : "Anak yang belum
berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum
kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-
negaraan Republik Indonesia. Sedangkan menurut UU no 12 tahun 2006
pasal 4 jo c,d,h,i serta pasal 5 WNI anak WNI yang belum berusia 5
tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan
pengadilan tetap diakui sebagai WNI. Berdasarkan UU ini anak yang
dilahir dari perkawinan Marcellina dengan Jhon, diakui sebagai warga
negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan
setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus
menentukan pilihannya. Tetapi kewarganegaraan ganda yang diterima oleh
anak marcellina juga memiliki potensi masalah menurut hukum perdata
internasional, misalnya dalam hal penentuan status personal yang
didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan
tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum
negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada
masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara
yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu
akan mengikuti kaidah negara yang mana.
D. Daftar Pustaka
http://visagefeature.blogspot.com/2010/11/isd-status-kewarganegaraan-
anak.html
http://sartikasdesign.blogspot.com/2010/11/kawin-campur.html
subekti, KUHPerdata, 2004, Jakarta, PT aka.
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III
Bagian I, 1995 Bandung, Alumni.
Soeroso, Permasalahan Hukum Perdata, 2004, Jakarta, Sinar grafika.
-----------------------
[1] http://visagefeature.blogspot.com/2010/11/isd-status-kewarganegaraan-
anak.html
[2] http://sartikasdesign.blogspot.com/2010/11/kawin-campur.html
[3] KUHPer
[4] KUHPer
[5] Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III
Bagian I, (Bandung, Alumni, 1995), hal. 86