Contoh Kasus Status Kewarganegaraan Anak Dalam Perkawinan Campuran Kemerdekaan kini punya makna baru bagi anak-anak hasil perkawinan campur. Bukan hanya merdeka sebagai warga negara, tapi mereka juga bebas untuk berdekatan dengan sang bunda, tanpa perlu secarik kertas sebagai bukti legalitasnya. Tanggal 11 Juli lalu mungkin merupakan moment yang sangat penting bagi wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing, dengan disahkannya UU Kewarganegaraan yang baru oleh DPR, menggantikan UU Kewarganegaraan no. 62 tahun 1958. Para wanita Indonesia pelaku pernikahan campur, yang saat itu berada di Gedung DPR untuk menyaksikan pengesahan itu pun langsung menyambutnya dengan gegap gempita. Bagaimana tidak? Setelah lebih dari 47 tahun wanita pelaku pernikahan campuran bersama anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan itu terikat dalam berbagai peraturan yang ironis, kini akhirnya mereka bisa bernafas lega. Mereka tidak lagi dianggap sebagai kaum minoritas yang selalu ‟tertindas‟ dan tidak punya kekuatan hukum di negeri sendiri. Beban dan tekanan psikologis, yang harus mereka tanggung bertahun-tahun dan telah menelan banyak korban, pun kini sedikit bisa terangkat. Seperti yang diketahui, bahwa dibawah UU Kewarganegaraan yang lama, para wanita pelaku perkawinan campuran, dan anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan itu, memiliki banyak keterbatasan dan kelemahan posisi dari segi hukum, baik dari bidang hukum, sosial, budaya dan ekonomi. Hal ini jelas saja merupakan permasalahan tersendiri, dimana kebebasan seseorang untuk memiliki hak untuk mementukan piluhan kewargaganegaraan menjadi terkotakkotak lantaran pembatasan dari peraturan perundang-undangan tersebut. Rumitnya Birokrasi Keimigrasian Menumpuknya Menumpuknya permasalahan kaum wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing a sing akhirnya mencetus berdirinya wadah Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu (KPC Melati). Diprakarsai oleh Ika Twigley, Diah Kusdinar, Marcellina Tanuhandaru, Mery Girsang dan Enggi Holt. Masalah yang begitu pelik mulai dari kewarganegaraan anak, hak asuh anak, rumitnya birokrasi keimigrasian, soal administrasi kependudukan, keharusan berurusan dengan kedutaan asing, perihal peraturan Depnaker, ketiadaan perjanjian pranikah, terbatasnya akses terhadap fasilitas keuangan, hukum pewarisan terhadap properti, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Karena banyak petugas yang tak paham, itu tak heran, saat ada wanita yang menghadapi masalah sering pergi minta bantuan ke sana ke mari tanpa mendapatkan jalan keluar yang memuaskan. Sebenarnya akar permasalahan perkawinan campuran di Indonesia ada pada UU Kewarganegaraan No 62 tahun 1958. Undang-undang itu menggariskan bahwa Indonesia menganut asas ius sanguinis patriarkal. Artinya, anak yang lahir dari perkawinan ibu WNI dan ayah WNA otomatis mengikuti kewarganegaraan sang ayah. Sementara itu, status kewarganegaraan anak WNA untuk menjadi WNI hanya bisa setelah si anak berusia 18 tahun. Sehingga jika setiap tahunnya keluarga kawin campuran itu menetap di Indonesia, bahkan anakanak hasil perkawinan tersebut tiap tahunnya harus memperpanjang KITAS ( Kartu Ijin Tinggal pihak imigrasi. Jika tidak akan akan terkena sanksi overstay, Sementara, red) dan berurusan dengan pihak status penduduk gelap, dan akan kena deportasi.
Malah untuk mengurus KITAS-pun tidak ada biaya yang transparan sehingga tak jarang menjadi „akal -akalan‟ oknum Imigrasi. Selain itu wanita WNI tak bisa mensponsori izin tinggal suami WNA dan anak WNA-nya yang sudah berusia dewasa. Peliknya permasalahan yang menyangkut tentang kepastian kewarganegaraan ini juga dialaku ole Auk Murat, seorang mantan model yang juga salah satu wanita Indonesia pelaku perkawinan campuran dengan seorang pria Australia. Dikatakannya UU kewarganegaraan lama memiliki beberapa kelemahan yang efeknya sangat memberatkan para wanita pelaku perkawinan campuran bersama anak-anaknya. Menurutnya wanita Indonesia tidak memiliki persamaan hukum dengan wanita Indonesia lain yang menikah dengan sesama WNI, hak asasi mereka untuk bisa memberikan kewarganegaraan mereka kepada anaknya tidak bisa dilakukan, adanya penyelewengan terhadap hak asasi sang anak yang tidak sesuai dengan sandaran hukum yang sesuai UU lama. Selain itu, wanita Indonesia juga akan kehilangan kewarganegaraannya jika menikah dengan pria dari negaranegara yang mewajibkan kewarganegaraan yang sama, seperti Bhutan, Taiwan, Iran dan Zimbabwe. Kelemahan-kelemahan ini mengakibatkan banyak sekali kerugian yang harus ditanggung para wanita itu bersama anak-anaknya. Bila dari strata ekonominya kurang baik, maka mereka akan mengalami banyak kesulitan dalam hal kepengurusan sang anak, seperti ijin tinggal, pembiayaan sekolah, dan lain-lainnya. Jika mereka tidak paham hukum dan pernikahan itu terputus di tengah jalan, maka bisa saja mantan suaminya memanfaatkan hal ini untuk mengambil hak asuh anak-anaknya (karena sang anak sejak lahir secara otomatis sudah mengikuti kewarganegaraan ayah/asas patriakal). ”Ironis sekali khan kalau seorang ibu ingin berdekatan dengan anaknya saja harus dilegalkan oleh secarik kertas. Banyak kan! kita dengar kisah para wanita korban dari peraturan ini,” uja r mantan model bernama asli Sasanti Paramita ini. ”Itu belum termasuk berbagai beban dan tekanan psikologis yang harus mereka hadapi setiap harinya, mengingat beberapa pria asing banyak yang berusaha mengambil keuntungan sebesarbesarnya dari perkawinannya dengan wanita Indonesia. Bukan berarti semua pria asing begitu, tapi kalau negara tidak bisa memberikan kekuatan hukum kepada wanita pelaku perkawinan campuran seperti itu, maka para wanita ini akan selalu jadi korban yang tertindas, yang ironisnya padahal mereka tinggal di negara sendiri. Bagaimana kalau tinggal di negara suaminya? Mereka akan dianggap imigran gelap karena status kewarganegaraannya tidak jelas. Untuk mendapatkan Permanen Resident itu tidak mudah lho, paling tidak kita harus menunggu selama bertahun-tahun. Dan selama itu, kita rentan terhadap berbagai pelecehan dan perlakuan yang dianggap melanggar hukum negara setempat. Contoh kasus dan korbannya juga sudah banyak,” tandas wanita kelahiran 26 Juni 1970 ini. Sulit Jadi WNI Menyinggung tentang kemerdekaan hak asuh anak juga diutarakan oleh Etta Herawati atau biasa dikenal dengan Bertha. Ibu dari Jasmine McCarthy ini juga ikut curhat lantaran mulai dari proses pernikahan dengan Michael McCarthy JR (38) pada tanggal 29 Agustus 2001 silam permasalahan tentang kewarganegaraan selalu saja muncul. ”Saya ingat waktu mau menikah 5 tahun lalu, kami harus mengurusi beberapa surat yang menurut saya tidak terlalu sulit untuk diurus. Belum lagi dengan sikap dari pejabat pemerintahan yang berwenang yang dengan sengaja menyulitkan kami untuk mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan,” ujar guru vokal dari banyak selebritis ini.
Pengalaman yang tidak mengenakkan ini jelas saja mengganggu pribadinya, meskipun untuk memutuskan menikah dengan pria asing sudah ia pikirkan sebelumnya segala sebab dan akibat yang akan muncul. Bahkan setelah Jasmine lahir pada tanggal 23 Mei 2003 langsung dibuatkan akte, tapi nyatanya ia harus melaporkan juga ke imigrasi lantaran salah satu orang tuanya berbeda kebangsaan karena selama 8 bulan sejak kelahirannya Berta dan Michael belum melaporkan ke Imigrasi. ”Pada saat itu salah satu pegawai Imigrasi bilang karena keterlambatan selama 8 bulan saya dikenakan denda sebesar 85 Dollar. Tapi pegawai lainnya ada yang bilang hanya membayar 75 sampai 100 Dollar sampai surat perijinan selesai. Dengan begitu saya berpikir berapa yang musti saya bayar untuk menebus keterlambatan pengurusan ini. Tapi akhirnya saya hanya membayar 30 juta pada pihak Imigrasi. Ternyata susah juga ya jadi WNI,” papar B ertha. Setelah mendapatkan KITAS dari Imigrasi, akhirnya anak semata wayangnya ini tidak dapat bernapas lega, lantaran surat penting kewarganegaraan sementara sudah di tangan. Hanya saja setiap tahunnya Bertha harus melaporkan dan memperpanjang KITAS selama setahun kedepan. Karena itu, sejak tahun 2000, sekelompok wanita pelaku perkawinan campuran yang tergabung dalam KPC Melati, sudah mulai memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia. Ketika 1 Februari lalu Panitia Khusus (pansus) Rancangan UU Kewarganegaraan RI dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia secara bulat telah menyetujui prinsip kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak-anak hasil perkawinan campuran yang sah dan r esmi, mereka semakin giat memperjuangkan hak anak-anak bangsa. Dan akhirnya, perjuangan panjang mereka pun sudah membuahkan hasil yang cukup manis. RUU itu akhirnya disetujui menjadi UU Kewarganegaraan yang baru. Mendapat Angin Segar ”Di bawah UU yang baru, anak -anak hasil perkawinan campur memiliki dua kewarganegaraan sampai mereka berusia 18 tahun plus 3 tahun. Bagitu juga dengan para ibunya, yang boleh memilih kewarganegaraan yang diainginkannya, kecuali untuk empat negara seperti Bhutan, Taiwan, Iran dan Zimbabwe. Kecuali Bhutan yang memang mutlak, ketiga negara itu memberikan kesempatan selama tiga tahun bagi para wanita yang menikah dengan pria warga negaranya untuk mengikuti suaminya. Jadi, sekarang anak-anak bisa bersama ibunya tanpa harus mengurus berbagai surat perijinan, dan sang ibu sudah punya kekuatan hukum untuk melindungi anak-anak mereka. Diharapkan dengan adanya UU yang baru ini, bisa diminimalisir deh, korbankorbannya,” harap ibu dua putri, Nicola Ananda dan Tatiana Ananda, ini. Auk sendiri mengaku bahwa sebenarnya mereka tidak mengalami banyak kesulitan selama ini dalam hal anak dan status dirinya sebagai warga negara karena sejak awal menikah dengan pria asing, ia sudah mengetahui hukum dan hak-haknya sebagai wanita Indonesia. Sebagai langkah antisipasi terhadap berbagai masalah yang mungkin saja timbul dalam perkawinannya kelak, ia dan mantan suaminya juga membuat perjanjian pra -nikah ( prenuptial agreement ). ”Saat itu saya sih merasa sepertinya kurang romantis atau terkesan materialistis. Tapi, mau tidak mau hal itu harus dilakukan, untuk menghindari masalah yang berhubungan dengan hal yang sensitif seperti uang dan masalah kepemilikan properti. Dan ternyata, hal itu terbukti. Meskipun sudah bercerai tapi saya tidak mengalami kesulitan karena sejak awal semuanya sudah ada aturannya,” ujarnya panjang lebar. ”Tapi sebagai rasa solidaritas saya terhadap teman -teman yang juga seperti saya, maka saya ikut berjuang keras meng-gol-kan UU Kewarganegaraan yang baru. Saya yakin, apa yang bermanfaat bagi saya, pasti juga akan bermanfaat bagi orang lain. Semoga saja,” harapnya santai.
Kini setelah disyahkannya UU Kewarganegaraan yang baru ini baik Auk maupun Bertha atau wanita yang melakukan pernikahan campuran dimanapun di Indonesia ini bisa bernafas lega, karena untuk kewarganegaraan setiap anak tidak perlu lagi mengurus ke instansi pemerintah seperti Imigrasi maupun instansi lainnya. Arti kata, dengan terbitnya surat keputusan ini maka kehidupan anak hasil pernikahan campuran antara WNI dengan negara asing menjadi lebih terjamin statusnya hingga umur 18 tahun plus masa pemilihan keyakinan kewarganegaraan selama 3 tahun ke depan. ”Seperti mendapat angin segar dengan di syahkannya UU Kewarganegaraan yang baru ini,” ujar Bertha.
CONTOH KASUS MENGENAI STATUS KEWARGANEGARAAN ANAK PERKAWINAN CAMPURAN Anak hasil perkawinan campuran Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 :“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan a yahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga- negaraan.” Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing : 1. Menjadi warganegara Indonesia Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga negara asing dengan pria warganegara Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Bila suami meninggal dunia dan anak anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai negeri)meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun suami. 2. Menjadi warganegara asing Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia dengan warganegara asing. Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan b erada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan. Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).
Menurut UU Kewarganegaraan Baru 1. Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut: 1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran. 2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. 3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. 4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian. Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang. 2. Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil P erkawinan Campuran Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi. Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati
warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur. Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain. Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu itu semua tergatung dari ketentuan mana yang harus diikutinya. Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini. SUMBER : http://herman-notary.blogspot.com/2009/03/status-hukum-anak-hasilperkawinan.html
Rianti dan Kasus Keimigrasian STATUS kewarganegaraan yang dimiliki sejumlah artis asing di Indonesia mengundang masalah cukup pelik. Mulai dari visa, izin kerja, hingga berpindah kewarganegaraan. Artis asing itu di antaranya Cathrine Wilson, Cinta Laura Kiehl, Rebecca, Mike Lewis, dan Miller, pemain sinetron Azizah , dan Rianti Carthwright. Dari nama-nama yang disebutkan tadi, Rianti menjadi sorotan publik saat ini. Pemeran Asri di film Jomblo ini tersandung kasus keimigrasian. Kekasih Banyu Biru ini statusnya warga Inggris-notabene mengikuti ayahnya--dan bekerja di Indonesia. Atas dugaan itu, Rianti dipanggil pihak imigrasi untuk dimintai keterangan. Pemeran Aisha di film Ayat-Ayat Cinta itu pun datang ke Kantor Direktorat Jenderal Imigrasi di Jakarta, Rabu silam. Rianti tiba didampingi Banyu. Setelah ditanyai selama beberapa jam, Banyu dan Rianti mengaku puas. Pihak imigrasi dinilai sangat kooperatif. "Insya Allah tidak ada masalah apa-apa. Dari sisi manapun, kita diterima di seluruh jajaran imigrasi," kata Banyu. Kendati begitu, Direktur Penyidik Keimigrasian Syaiful Rahman sampai sekarang belum bisa menyimpulkan mengapa masalah Rianti diperkarakan. Ia masih akan menyelidiki kasus ini hingga menemukan titik persoalannya. "Kekeliruannya apa, sehingga bisa diperbaiki," ucap Syaiful. Di kesempatan lain, Rianti pernah mengungkapkan kecintaan dirinya terhadap Indonesia. Ia mengaku warga negara Indonesia (WNI), bukan Inggris. Maklum, dia lahir di Bandung, Jawa Barat, 22 September 1983. Ibu Rianti asli Indonesia. Menurut Syaiful, sah-sah saja Rianti menganggap demikian. "Tapi status hukum kewarganegaraannya itu yang saya lihat," kata dia. Sementara Manoj Punjabi, produser MD Entertainment mempertanyakan persoalan yang dialami Rianti. "Kalau melihat ada problem seharusnya dari awal," ujar Manoj. Ia simpati terhadap Rianti yang harus tenggelam di tengah euforia kesuksesan Ayat-Ayat Cinta . Kasus serupa juga pernah menimpa Senk Lotta, istri aktor Fauzi Baadilah. Lotta diperiksa di Kantor Imigrasi Jakarta Timur, Februari silam, didampingi Fauzi dan kuasa hukum Abner Sirait. Wanita asal Uzbekistan itu diduga memalsukan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Berbeda dengan Cinta Laura Kiehl. Herdiana, ibu Cinta Laura sangat mengerti hukum. "Makanya dia bisa main sinetron Februari 2007, karena saya menunggu sampai surat-suratnya beres," ujar wanita yang bekerja sebagai Legal Consultant ini. Hasilnya, karier Cinta pun berjalan mulus sampai sekarang. Menurut Herdiana, ke depan Cinta dihadapkan pada pilihan menentukan status kewarganegaraan. Apakah memilih ayahnya, asli Jerman atau ibunya. Cinta pun diberikan waktu selama tiga tahun untuk mempertimbangkan pilihannya. "Peraturannya dari usia 18 tahun dia harus memilih sampai umur 21 tahun," kata Herdiana. Sementara Cinta hingga kini masih belum menentukan pilihannya. "Lagi bergantung situation -nya gimana . Aku sih pengennya dua," kata wanita kelahiran Quakenbruck, Jerman, 17 Agustus 1993 tertawa. Kebijakan imigrasi mungkin masih menjadi teka-teki sampai sekarang. Setiap aturan bisa jadi akan melahirkan dilema dan pertentangan. Namun sayang jika mereka yang berbakat harus angkat kaki. Semoga ke depan, benang kusut ini bisa diluruskan kembali.
Cinta Laura Masih Belum Pilih 'Nationality' Menjelang perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-64, aroma nasionalisme sangat terasa. Namun bagi Cinta Laura yang memang memiliki lebih dari satu kewarganegaraan, pilihan untuk memilih masih belum benar-benar terpikir secara serius. "Yang pasti aku punya German nationality dan Indonesian nationality, kalau Indonesia kita punya rule 17 tahun, kita boleh pikir dulu mau yang mana, terus kita dikasih 4 tahun waktu untuk milih ketika 21 tahun baru milih," ujarnya. "Kalau sekarang aku belum bisa pilih apa-apa, karena 17 aku ke Amerika mungkin 4 tahun lagi semua orang di dunia punya 2 atau 3 nationality. Don't think about that, who knows," tambahnya menegaskan. Dijumpai KapanLagi.com kala merayakan ulang tahunnya yang ke-16 di kediaman temannya bersama sang mama Herdiana, di rumah sang sahabat, bilangan Pejaten, Jakarta Pejaten Barat, Jakarta selatan, Jumat (14/8), Cinta juga mengungkap jika ia sebenarnya enggan tinggal menetap hanya di satu tempat saja. "Kalau untuk visit Indonesia iya, tapi kalau buat tinggal aku nggak tahu ya. Tergantung kalau nanti aku selesai university terus dapat jobnya di mana. Tapi anehnya aku merasa grow up di internasional community, aku kalau sudah gede nggak mau di satu country aja," terang dara yang memiliki darah Jerman tersebut. "Di Indonesia aja atau Jerman, aku ingin traveling ke Amerika, Inggris, Spanyol. Aku nggak mau tinggal permanent di satu tempat," pungkasnya. (kpl/gum/bar)