ANALISIS PUTUSAN MK NOMOR 69/PUU-XII/2014 DALAM PERSPEKTIF HUKUM ANTAR TATA HUKUM
Landasan Teori Kelompok 8
Perkawinan Campuran Perkawinan campuran di Indonesia, merupakan fenomena yang tidak asing lagi. menurut pada sejarah pendiran bangsa, perkawinan campuran telah berlangsung di Indonesia sejak dahulu kala. dimuli dengan istilah "Indo Cina", "Indo Arab", "Indo Belanda". Hampir sebagian besar masyrakat Indonesia kini tidak murni "pribumi" namun sudah bercampur dengan "negara lain". hal ini bosa dilihat dengan adanya peraturan mengenai perkaiwnan campuran yakni Keputusan Raha 29 Des 1896 No.23, S. 1898-158 (Regeling op de GemengdeHuwelijken) pasal 1, Keputusan Raja tersebut menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan anatra orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berbeda.1 Pengertian Perkawinan campuran terdapat dua macam yaitu sebelum dan sesudah ditetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yakni:2 1.
Perkawinan campuran pada masa pemerintahan kolonial, Beslit Kerajaan 29
Desember 1896 No. 23 Staasblad 1896/ 158 ( Regeling op de gemengde huwelijken selanjutnya disingkat GHR) MEMBERIKAN DEFINISI : Perkawinan dari orangorang yang di Indonesia berada di bawah hukum yang berlainan yang termasuk dalam Mariam Yasmin, “Akibat Perkawinan Campuran terhadap Anak dan Harta Benda yang Diperoleh Sebelum dan Sesudah Perkawinan (Studi Banding Indonesia-Malaysia)”, (Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2011), hlm.13. 2 H.Zamhari Hasan M.M, “Perkawinan dari Perspektif Undang Nomor 1 Tahun 1974. Tentang Perkawinan.” http://pta.kemenag.go.id/index.php/frontend/news/index/153, diakses pada 17 November 2017 1
lingkup perkawinan campuran Yaitu : (1). Perkawinan campuran internasional (2). Perkawinan campuran antar tempat (3). Perkawinan campuran antar golongan (intergentil) (4). Perkawinan campuran antar agama. 2.
Menurut Undang-Undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 57
Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewerganegaraan Indonesia. Maka, untuk selanjutnya mengenai permasalahan perkawinan beda agama, maka dapat terlihat jika dalam GHR, Stb 1898 No. 158, perkawinan beda agama diperbolehkan/dimungkinkan. Luas Lingkup GHR: 1. Aliran Luas: a. GHR meliputi perkawinan antargolongan (HAG), perkawinan antaragama (AA), dan perkawinan antartempat (AT). b. Penganut: Nederburgh, Lemaire, Kollewijn, Gautama. c. Gautama:
masalah
HAT
terasa
pengaruh
daripada
masalah
percampuran dengan suku bangsa asli dan persatuan dengan masyarakat hukum setempat. 2. Aliran Sempit: a. Hanya meliputi HAG. b. Penganut: van Vollenhoven, Wincke, dan Carpentir Alting. c. Wincke: GHR tidak berlaku untuk HAA dan HAT. Sulit dikatakan suami ikut isteri , bila keduanya dari gologan bangsa yang sama. 3. Aliran setengah luas, setegah sempit a. GHR=HAG+HAA b. Penganut: van Hasselt c. Dalam HAT sering sang suami yang mengikuti status istri, mislanya perkaiwinan laki-laki Palembanag dengan perempuan Sunda.
d. Yurisprudensi GHR: GHR berlaku untuk perkawinan antaragama.3 Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, perkawinan beda agama tidaklah diatur secara tegas. Ada dua pendapat yang menafsirkan pasal 57 UU Perkawinan, yakni: •
Pendapat pertama perkawinan campuran dalam arti luas yaitu pendapat yang mengatakan perkawinan campuran adalah juga termasuk perkawinan beda agama
•
Pendapat kedua perkawinan campuran dalam arti sempit tidak mengenal perkawinan campuran beda agama karena yang dimaksud perkawinan campuran dalam pasal 57 tersebut hanya lah perkawinan campuran beda kewarganegaraan4
Selain itu, terdapat pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa” perkawinan adalah sah apabila dilakukan oleh agama dan kepercayaannya masing-masing”. ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sebagai ketentuan yang mengakui adanya pluralitas hukum perkawinan menurut agamaagama yang ada di Indonesia. Sesuai dengan pasal tersebut, di Indonesia ada pluralitas hukum perkawinan menurut hukum agama Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan bahkan Kong Hu Cu. Namun, ia juga mengakui bahwa hukum agama tertentu memang melarang secara mutlak perkawinan beda agama. Misalnya, hukum Islam yang melarang wanita Islam menikah dengan pria yang bukan beragama Islam, tetapi membolehkan pria Islam menikahi wanita beragama lainnya. Agama lainnya yang secara penuh
3 Zulfa Djoko Basuki, “Hukum Antar Tata Hukum: Perkawinan Campuran” http://staff.ui.ac.id/system/files/users/oppusunggu.un/material/hatah-perkawinancampuran-13juli2009.pdf, diases pada 17 November 2017.
4 Surini Ahlan Sjarif , “Perkawinan di Luar Negeri” bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/pradiga-perkawinancampuran.ppt, diakses pada 17 November 2017.
melarang pemeluknya melakukan perkawinan lintas agama adalah Katolik dan Hindu.5 Penyelundupan Hukum
5 UU Perkawinan Tidak Melarang Perkawinan Beda Agama” http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6268/uuperkawinan-tidak-melarang-perkawinan-beda-agama, diakses pada 17 November 2017.
Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014
Duduk Perkara: Pada intinya para pemohon perkawinan, karena pasal
meminta pengubahan (pasal 2 ayat (1) UU
ini membuka ruang penafsiran yang amat
luas dan
menimbulkan pertentangan norma sehingga tidak dapat menjamin pemenuhan terhadap kepastian hukum yang adil dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28 (D) ayat (1) , Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 . Para pemohon mengatakan bahwa upaya mengubah pasal 2 ayat (1) UU perkawinan bukan untuk mneyerang agama atau kepercayaan tertentu melainkan melindungi dan menyelamatkan pihak-pihak yang sudah,sedang, atau akan melangsungkan perkawinan yang kebolehannya masih dapat diperdebatkan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan, misalnya seperti perkawinan beda agama dan kepercayaan-hal mana merupakan suatu kenyataan sosial yang tidak disangkal lagi. Perubahan tidak menghilangkan aspek religius melainlkan merubah penafsiran keabsahan. Pasal 2 ayat (1) perkawinan dimohonkan untuk diubah menjadi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu, sepanjang penafsiran mengenai hukum agamanya dan kepercayaan itu diserahkan kepada masing-masing calon mempelai” Pengubahan ini bertujuan agar pernikahan beda agama tidak disebut lagi penyeludupan hukum dan tidak perlu khawatir dengan tidak mencatatkan perkawinannya. Penyeludupan hukum, yang tidak menikah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing (pasal 2 ayat (1) UU perkawinan.) Pertimbangan Hakim:
Dari Permohonana para pemohon dan keterangan para pihak terkaitt majelis hakim berpendapat sebagai berikut: 1. UU 1/1974 telah dapat mewujudkan prinsisp-prinsip yang terkandung dalam pancasila dan UUD 1945 serta telah pula dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat 2. Perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undnagan . 3. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan Undangundnag menetapkan keabsahan administrasi yang dilakuakan oleh negara Dari pertimbangan tersebut majelis hakim menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Pada putusan tersebut juga terdapat Concuring Opinion dari hakim konstitusi Mari Farida Indrati. Dimana pada pokoknya menyebutkan : 1. UU perkawinan merupakan kodifikasi guna menjamin kepastian keadilan dan kepastian hukum (Pasal 27 ayat (1), Pasal 29 , dan TAP MPR tentang GBHN 2. Pasal 2 UU Perkawinan menimbulakan berbagai penafsiran tentang perkawinan beda agama yakni boleh dan sah, boleh namun tidak sah serta tidak boleh dan tidak sah 3. Menimbulkan penyelundupan hukum dalam ini mengesampingkan hukum nasional ataupun mengesampingkan hukum negara 4. Bahwa penyelesaian terhadap permasalahan tersebut tidak dapat diseleseikan dengan hanya aturan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan 5. Penambahan frasa tersebut justru akan membuat ketidakpastian hukum dan menimbuljan berbagai penafsiran . Analisis: 1. Secara Umum Undang-undang perkawinan menganut asas perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya sebagai salah satu perwujudan Pancasila.
Sehingga disini tidak ada lagi perkawinan diluar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Dalam pengatura sebelumnya yakni KUHPer dan GHR serta Ordonasi Perkawinan Kristen ketentuannya hanya dalam hubungan perdata saja6 Sehingga dalam ini perkawinan juga harus dipandang dari sisi agama serta kepercayaan yang dianut dari masing-masing pihak. Penekanan seperti itu pula yang ditekankan oleh majelis hakim pada pertimbangannya. Bila hal ini dilihat lebih jauh pada pasal 66 UU Perkawinan yang menyebutkan bahwa “Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”. Bahwa secara eksplisit yang diatur didalam UU Perkawinan hanya pernikahan campuran beda kewarganegaraan. UU Perkawinan tidak khusus mengatur secara tegas mengenai perkawinan beda agama.7 Namun,apa bila melihat pengaturan pasal 2 (1) memiliki kaitan dengan dilarang atau tidaknya suatu perkawinan harus didasarkan pada ketentuan agama masing-masing mempelai, hal ini didukung oleh pasal 8 ayat (6) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa “perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agama atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”. Sehingga disini ada aturan larangan pernikahan campuran beda agama secara implisit. Menurut kami dari sisi ini putusan majelis hakim sudah tepat. Karena dengan hanya penambahan frasa penafsiran mengenai hukum agamanya dan kepercayaan itu diserahkan kepada masing-masing calon mempelai menyebabkan ketidakpastian hukum dan tidak akan merubah secara signifikan keabsahan dari perkawinan campuran beda agama. Dimana ada larangan kawin terhadap mempelai yang agamanya melarang perkawinan beda agama, dalam hal ini dapat dilihat pada keterangan para pihak dalam putusan.
6 Novina Eki Dianti, Perkawinan beda Agama antar Warga Negara Indonesia di Luar Negeri sebagai bentuk Penyelundupan Hukum dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Privat law 2 (2014), hlm. 7. 7 Ibid., hlm.7.
2. Secara administratif 3. Penyelundupan Hukum Kesimpulan dan saran
Pada praktiknya memang masih dapat terjadi adanya perkawinan beda agama di Indonesia. Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata, menjabarkan ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan. Menurut Wahyono, empat cara tersebut adalah: 1.
meminta penetapan pengadilan,
2.
perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama,
3.
penundukan sementara pada salah satu hukum agama, dan
4.
menikah di luar negeri.8
8
Diana
Kusumasari,
“Kawin
Beda
Agama
Menurut
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl290/gimana-caranya, diakses pada 17 November 2017.
Hukum
Indonesia”,