ANGGUN RETNITA FK TRISAKTI
IMMUNODEFICIENCY VIRUS SIFILIS PADA INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY
Fitria Agustina, Lili Legiawati, Rahadi Rihatmadja,Sjaiful Fahmi Daili Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo – Jakarta ABSTRAK Sifilis dan infeksi menular seksual lain yang menyebabkan lesi genital atau respons inflamasi merupakan merupakan faktor faktor risiko risiko penting penting dalam transmisi transmisi human immunodeficiency virus (HIV). Sifilis dan infeks infeksii HIV merupak merupakan an penyak penyakit it yang yang dapat dapat ditula ditularka rkan n melalui melalui hubunga hubungan n seksua seksual. l. Di beberapa negara berkembang sifil sifilis is masih masih diangga dianggap p sebaga sebagaii penyeb penyebab ab pentin penting g kemati kematian. an. Sifili Sifiliss terbukt terbuktii mening meningkat katkan kan penyebaran infeksi HIV melalui transmisi seksual. Koinfeksi sifilis dan infeksi HIV dapat mengubah manifestasi klinis, progresivitas penyakit lebih cepat, penegakan diagnosis lebih sulit, peningkatan risiko komplikasi neurologis, dan risiko kegagalan terapi dengan rejimen standar lebih besar. Pasien sifilis dengan infeksi HIV lebih sering datang pada stadium penyakit lebih lanjut dan gejala klinis tidak khas. Hasil pemeriksaan serologis dapat mengalami perubahan, antara lain peningkatan hasil negatif palsu dari tes antibodi nontreponemal karena fenomena prozon dibandingkan dengan pasien tanpa infeksi HIV. Hal tersebut sering menjadi kendala dalam keberhasilan keberhasilan pengobatan, pengobatan, sehingga diperlukan diperlukan pemeriksaan pemeriksaan serologis yang teliti teliti dan kompetensi dokter dalam mendiagnosis agar dapat dilakukan tatalaksana yang tepat bagi pasien. Kata kunci: sifilis, HIV ABSTRACT ABSTRACT
Syphilis and others sexual infections which cause genital ulcers or inflammation respons are important important factors factors in human immunodefi immunodeficiency ciency virus (HIV) transmission. transmission. Syphil Syphilis is and HIV infection are both transmitted sexually. In some developing countries, syphilis is still considered as an important cause of mortality. It increases sexual transmitted of HIV. Syphilis and HIV coinfect infection ion can alter alter clinic clinical al featur features, es, rapid rapid progre progress ssion ion of the diseas disease, e, make make diffic difficult ulties ies in diagnosis, increase neurological involvement, and higher the risk of treatment failure to the standard regimen. In syphilis patients with HIV co-infection usually come with late stage of the disease and not specific clinical manifestation. There is increasing false negative results in serologic tests of nontreponemal non treponemal antibody an tibody in patients with HIV co-infection because of prozone phenomena. These problems become becom e obstacles in successful of treatment syphilis with standard regimen. regimen. Accurate serologic tests and capability the doctor to diagnose are very important due to proper treatment for the patients. Key words: syphilis, HIV PENDAHULUAN Sifili Sifiliss dan infeks infeksii human immunodefic immunodeficiency iency virus (HIV) (HIV) merupak merupakan an penyak penyakit it yang yang dapat dapat ditularkan melalui hubungan seksual, sehingga tidak mengherankan jika seseorang menderita keduanya sekaligus.1 Di beberapa negara berkembang hingga tahun 1998, sifilis masih dianggap sebaga sebagaii penyeb penyebab ab pentin penting g kemati kematian, an, dan dalam dalam kaitan kaitannya nya dengan dengan penyeb penyebara aran n infeks infeksii HIV terbukti terbukti meningkatka meningkatkan n transmisi transmisi seksual HIV.2 Pengaruh Pengaruh infeksi infeksi HIV terhadap sifilis sifilis dapat mengubah manifestasi klinis, progresivitas penyakit lebih cepat, penegakan diagnosis lebih sulit,
ANGGUN RETNITA FK TRISAKTI
peningkatan risiko komplikasi neurologis, dan risiko kegagalan terapi dengan rejimen standar lebih besar.3,4 World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 12 juta kasus sifilis baru terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya, terutama di Asia Utara dan Tenggara, Afrika sub-Sahara, Amerika Latin, dan Karibia.5 Pada kelompok pria homoseksual di Amerika Serikat, Irlandia dan Inggris, angka kejadian sifilis diduga kembali meningkat, sejalan dengan meningkatnya jumlah individu terinfeksi HIV dalam beberapa tahun terakhir.6-8 Dari data laporan morbiditas poliklinik Divisi Infeksi MenularSeksual Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) bulan Januari-Desember 2005, proporsi kepositivan kasus baru sifilis stadium I (S I) sebesar 0.14%, sifilis stadium II (S II) 0.7%, dan sifilis laten (S laten) 0.56%.9 Pada tahun 2004 di seluruh dunia diperkirakan sekitar 40 juta orang terinfeksi HIV, sebagian besar di Afrika sub-Sahara. Pertumbuhan epidemik tercepat di Eropa Timur dan Asia Tengah.5 Di Indonesia pada tahun 2004, diperkirakan 130 ribu orang penduduk terinfeksi HIV, sebagian besar terjadi pada kelompok dengan kebiasaan berisiko tinggi seperti wanita dan pria pekerja seksual dengan kliennya, pria homoseksual, dan pengguna obat suntik.10,11 Rasio koinfeksi sifilis dan HIV bergantung dari prevalensi kedua infeksi tersebut dalam komunitas atau kelompok yang diteliti.1 Pada satu penelitian di Amerika Serikat tahun 1996, lebih dari 1000 kasus HIV akuisita pada kelompok heteroseksual, sebelumnya didahului oleh infeksi sifilis.5 Penelitian di Spanyol tahun 1998 melaporkan kepositifan serologik sifilis sebesar 13% dari 1161 kasus pasien HIV, meningkat 4% dalam 38 bulan masa observasi.1 Bloker dkk*. melakukan penelitian terhadap 30 kasus sifilis di Amerika Serikat untuk melihat rasio koinfeksi HIV, melaporkan kepositifan serologik antibodi HIV sebesar 15,7% (27,5% pada pria dan 12,4% pada wanita). Kassu A dkk.12 melakukan penelitian di Etiopia terhadap 706 orang subyek, didapatkan kepositifan serologik antibodi HIV sebesar 5% dan kepositivan serologik sifilis hanya sebesar 6% pada kelompok HIV-positif. Kepositivan serologik sifilis pada pasien terinfeksi HIV di poliklinik Pokdisus AIDS RSCM/FKUI sebesar 3,26%. 13
ANGGUN RETNITA FK TRISAKTI
PERANAN LASER PADA PENATALAKSANAAN SIKATRIKS ATROFIK PASCA AKNE: TEKNIK ABLATIF, NONABLATIF DAN FRAKSIONAL Fitria Agustina, R. Inge Ade Krisanti, Aryani Sudharmono Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangun kusumo – Jakarta ABSTRAK Akne merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai. Sekitar 95-100% laki-laki serta 83-85% perempuan kelompok usia 16-17 tahun menderita akne. Kerusakan kolagen dan jaringan lainnya karena respons inflamasi pada akne akan menyebabkan perubahan struktur kulit permanen dan jaringan fibrotik atau yang biasa disebut sikatriks pasca akne. Sikatriks pasca akne terjadi pada hampir 95% pasien akne dan berhubungan dengan derajat keparahan serta terlambatnya pengobatan akne. Sikatriks pasca akne dapat menyebabkan masalah estetik dan psikososial pada pasien sehingga diperlukan penanganan yang tepat. Saat ini laser skin resurfacing menjadi modalitas yang cukup popular untuk terapi sikatriks pasca akne meskipun tidak selalu efektif untuk semua tipe sikatriks pasca akne. Secara umum jenis laser yang dapat digunakan pada penatalaksanaan sikatriks atrofik pasca akne terdiri atas teknik ablatif, nonablatif dan fraksional. Pemilihan jenis laser bergantung pada jenis sikatriks, keadaan pasien, dan keahlian operator dalam pemilihan parameter yang digunakan. Tetapi dari berbagai macam terapi laser yang dapat dilakukan, tidak ada satupun yang memberikan hasil sempurna. Terapi yang terbaik adalah kombinasi antara beberapa modalitas untuk hasil yang lebih memuaskan. Kata kunci: sikatriks atrofik pasca akne, laser ablatif, laser nonablatif, laser fraksional ABSTRACT Acne is a very common skin disease that affects 95-100% of boys and 83-85% of girls at 16-17 years old. Acne scar is a consequence of damage of collagen and other tissues due to inflammatory response which cause permanent changes of skin structures and fibrous tissues. Acne scars may affect 95% of acne patients, relating to both acne severity and delayed treatment. It may cause a esthetic and psychosocial problems for the patients. Laser skin resurfacing has become a popular therapeutic modality for the correction of acne scar, but it is not always effective in all types of acne scars. In general, there are two types of laser for correcting atrophic acne scars, ablative, nonablative and fractional techniques. Choosing types of laser depends on the type of acne scars, characteristic of patients and operator skills. None of the various types of laser gives perseet results to overcome atrophic acne scars. The best treatment is combination therapy of several modalities for better result. Key words: atrophic acne scars, ablative laser, nonablative laser, fractional laser PENDAHULUAN Akne merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai. Sekitar 95-100% laki-laki serta 83-85% perempuan usia 16-17 tahun menderita akne.1, 2 Prevalensi akne pada perempuan d ewasa sekitar 12% dan laki-laki dewasa sekitar 3%.3 Dalam suatu penelitian lain didapatkan bahwa akne masih menjadi masalah kulit sampai melewati usia remaja dengan prevalensi perempuan lebih tinggi daripada laki-laki pada rentang usia 20 tahun atau lebih.4 Patogenesis akne melibatkan 4 proses utama, yaitu peningkatan produksi sebum, hiperkornifikasi folikular, proliferasi Propionibacterium acnes, serta respons inflamasi limfosit dan neutrofil.4, 5 Kerusakan kolagen dan jaringan lainnya karena respons inflamasi pada akne akan menyebabkan perubahan permanen struktur kulit dan jaringan fibrotik atau yang biasa disebut sikatriks pasca akne.6 Sikatriks pasca akne terjadi pada hampir 95% pasien akne dan berhubungan dengan derajat keparahan serta terlambatnya pengobatan akne.1, 7, 8 Secara umum sikatriks pasca akne dibagi
ANGGUN RETNITA FK TRISAKTI
dalam dua kelompok utama, yaitu sikatriks dengan berkurangnya jaringan (atrofik) dan sikatriks dengan berlebihnya jaringan (hipertrofik).9 Di Divisi Dermatologi Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, insidens sikatriks atrofik pasca akne pada tahun 2007 sebesar 5,33% dari 4.149 kasus.10 Sikatriks pasca akne dapat menyebabkan masalah estetik dan psikososial pada pasien sehingga diperlukan penanganan yang tepat. Hal ini menjadi tantangan bagi dokter dalam mengatasinya.11 Terdapatberbagai macam modalitas terapi dalam penanganan sikatriks pasca akne, terutama sikatriks atrofik, yaitu terapi topikal (retinoid), subsisi, eksisi punch, peeling kimia, dermabrasi, augmentasi jaringan, dan laser.5, 12 Saat ini laser skin resurfacing menjadi modalitas yang cukup popular untuk terapi sikatriks pasca akne, namun tidak selalu efektif untuk semua tipe sikatriks pasca akne.12, 13 Dalam makalah ini akan dibahas mengenai peranan laser pada penatalaksanaan sikatriks atrofik pasca akne, yaitu teknik ablatif , nonablatif dan fraksional. PATOGENESIS SIKATRIKS ATROFIK PASCA AKNE Sikatriks dapat disebabkan karena prosedur pembedahan, luka bakar, trauma atau inflamasi.14 Sikatriks terjadi secara normal melalui fase spesifik proses penyembuhan luka, yaitu inflamasi, proliferasi dan remodeling .6, 14, 15 Fase inflamasi berawal setelah terjadinya luka, dilanjutkan dengan aktivasi pembekuan, serta kaskade komplemen. Pelepasan faktor kemotaksis (prostaglandin, faktor komplemen, interleukin-1) akan menstimulasi migrasi sel-sel inflamasi, misalnya neutrofil dan makrofag. Selsel tersebut akan membersihkan luka. Makrofag melepaskan sitokin dan faktor pertumbuhan, misalnya transforming growth factor (TGF-β) serta platelet derived growth factor (PDGF). Faktor pertumbuhan ini akan membentuk formasi matriks pada luka.14 Fase proliferasi ditandai dengan migrasi fibroblas, sel endotel, dan keratinosit pada daerah luka. Fibroblas berperan penting dalam formasi matriks ekstraselular yang terdiri atas kolagen III dan I, fibronektin, elastin, serta proteoglikan. Reepitelisasi dimulai dengan pembentukan membran basal. Adanya sel endotel pada dasar luka distimulasi oleh keadaan hipoksia dan faktor angiogenik, misalnya fibroblast growth factor (FGF), yang menstimulasi terbentuknya pembuluh darah baru.14 Saat fase maturasi jaringan, kolagen dan proteoglikan mengalami perubahan. Pada proses ini asam hialuronat secara bertahap digantikan glikosaminoglikan, misalnya kondroitin sulfat dan dermatan sulfat. Kolagen tipe I dan III meningkat selama proses penyembuhan luka. Sikatriks menjadi matur dan terjadi remodeling dengan proporsi kolagen tipe III menurun. Mekanisme yang pasti mengenai terjadinya sikatriks hipertrofik ataupun atrofik masih belum jelas.14 Sikatriks pasca akne diawali dengan perubahan lesi bentuk komedo menjadi lesi inflamasi yang kemudian pecah pada daerah infrainfundibulum struktur pilosebaseus, menyebabkan abses perifolikular. Abses yang kecil mengeluarkan pus melalui saluran ke arah permukaan kulit. Keadaan ini akan membaik tanpa sikatriks dalam waktu 7-10 hari. Jika inflamasi berat, maka terjadi nekrosis folikel sehingga pada fase penyembuhan struktur kulit permanen berubah menjadi jaringan fibrosis atau yang biasa disebut sikatriks pasca akne.1, 7 Pada akne, inflamasi terjadi di struktur pilosebaseus bagian bawah (daerah infrainfundibulum) sehingga sikatriks pasca akne yang terjadi sering melibatkan struktur kulit yang lebih dalam.
ANGGUN RETNITA FK TRISAKTI
XANTOMATOSIS PADA SINDROM ALAGILLE Balquist Farida *, Titi L. Sugito*, Tina W.Wisesa*, Srie Prihianti*, Triana Agustin*, Julfina Bisanto**, Johana W. Marwoto***, Indria I. Kartini *, Herman Cipto* *Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin **Departemen Ilmu Kesehatan Anak ***Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta ABSTRAK Xantomatosis adalah deposit lemak pada kulit atau tempat lain karena hiperlipidemia, disebabkan oleh defek genetik primer atau sekunder pada kelainan metabolisme. Xantoma jarang pada anak, dapat disebabkan sindrom Alagille, yakni suatu kelainan genetik berupa hipoplasia saluran empedu disertai peningkatan kadar kolesterol serum. Sindrom ini terkait dengan kelainan pada beberapa organ dan wajah yang khas. Seorang anak laki-laki berusia 2 tahun, timbul banyak bintil kekuningan yang meluas dan gatal sejak usia 1 tahun. Pasien menderita sumbatan empedu sejak lahir dengan tubuh kuning mulai usia 1 pekan. Pasien ikterik, pada wajah terdapat dahi yang lebar, menonjol dan hipertelorisme. Di wajah, badan, bokong, serta sendi tangan dan kaki terdapat banyak papul dan plak, lentikuler-plakat, berkelompok, warna kekuningan. Histopatologi sesuai xantoma. Terdapat hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia. Pada pemeriksaan USG ditemukan hepatomegali dan kolestasis intrahepatik dan gambaran histopatologi hati sesuai dengan sindrom Alagille. Gambaran klinis dan histopatologis pada pasien ini sesuai dengan sindrom Alagille. Ditemukan beberapa gambaran xantoma, yakni xantelasma, xantoma eruptif, dan xantoma tuberosa. Penatalaksanaan dengan obat penurun kadar lemak darah dan observasi lesi kulit, diharapkan xantoma akan resolusi spontan. Kata kunci : xantomatosis, xantelasma, xantoma eruptif, xantoma tuberosa , sindrom Alagille ABSTRACT
Xanthomatoses are deposition of lipid in the skin and elsewhere caused by hyperlipidemia, either caused by primary genetic defect or secondary to defective metabolism. Xanthomas in children are uncommon, could be caused by Alagille syndrome, an inherited syndrome of billiary hypoplasia leading to elevated serum cholesterol. It is associated with some organ abnormalities and characteristic facial appearance., A 2-year old boy had an eruption of yellowish papules which spreaded and accompanied with itch since one year old. He had bile obstruction since he was born and jaundice since 1 week after birth. The patient was icteric, with widened forehead and hypertelorism. On the face, trunk, gluteus, and knuckles there were yellowish-skin colored papules and plaques, lenticular to plaque in size. Histopathologic examination revealed xanthoma. We found hypercholesterolemia and hyperlipidemia. There were hepatomegaly, intrahepatic cholestasis, and liver biopsy revealed Alagille syndrome. Clinical manifestation and histopathologic finding of this patient confirmed Alagille syndrome. We found several features of xanthomatoses such as xanthelasma, eruptive xanthoma and tuberous xanthoma, Treatment with lipid lowering agent and observation, it is expected the xanthoma will resolve spontaneously. Keywords : xanthomatoses , xanthelasma, eruptive xanthoma, tuberous xanthoma, Alagille syndrome PENDAHULUAN Xantomatosis adalah deposit lemak pada kulit/tempat lain yang disebabkan keadaan hiperlipidemia.1 Penyebabnya dapat faktor primer, misalnya defek genetik dan sekunder yakni akibatkelainan metabolisme.1 Xantoma jarang ditemukan pada anak, sehingga bila ditemukan harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mencari kelainan /penyakit yang mendasarinya.2
ANGGUN RETNITA FK TRISAKTI
Xantoma dapat disebabkan oleh sindrom Alagille, yakni suatu sindrom genetik dengan hipoplasia saluran empedu disertai peningkatan kadar kolesterol serum.2 Penyakit ini bersifat dominan autosomal, terjadi mutasi pada gen Jagged 1 dan gen ini berperan sebagai ligan pada reseptor Notch-1 yang berfungsi dalam proses kaskade sinyal dalam pertumbuhan fetus.3 Diagnosis ditegakkan bila pada hasil biopsi hati terdapat duktus biliaris yang jarang disertai 3 dari 5 kriteria mayor sebagai berikut: kolestasis, wajah khas, anomali vertebra, anomali mata, murmur jantung.3,4 Alagille dkk.(1975) melaporkan beberapa kasus hipoplasia duktus biliaris dengan gambaran kelainan seperti tersebut di atas.3 Di Amerika Serikat insidens kasus ini 1 dari 100.000 bayi hidup.3-4 Di Indonesia kasus ini cukup sering ditemukan, rata-rata 1 pasien pertahun (2005-2007) yang dirawat pada Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak (Dept. IKA) RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo (RSCM). Angka yang didapat mungkin lebih kecil karena sebagian diagnosis ditegakkan setelah pasien selesai dirawat. Umumnya pasien jarang dirujuk ke Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM karena xantoma akan menyembuh bila kelainan sistemik teratasi
ANGGUN RETNITA FK TRISAKTI
ERITEMA ANULARE PADA ANAK Windy Keumala Budianti, Hanny Nilasari, Siti Aisah Boediardja Departemen Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin FK.Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ABSTRAK
Lesi anular sangat sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dengan manifestasi klinis yang sangat jelas, tetapi justru sering mengakibatkan kesalahan dalam menegakkan diagnosis. Terkadang ditemukan kesulitan dalam membedakan beberapa lesi anular, baik secara klinis maupun histopatologis, karena adanya tumpang tindih variasi pada individu. Eritema anulare (EA) merupakan terminologi deskriptif meliputi beberapa kesatuan penyakit dengan etiologi yang tidak diketahui, mempunyai bentuk khas lesi sirsinar polisiklik yang meluas dari bagian sentral ke tepi. Beberapa lesi EA dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas suatu kondisi atau penyakit. Hipotesis terjadinya lesi anular terfokus pada interaksi antara sel inflamasi, mediator, dan substansi dasar, akibat antigen asing berdifusi melalui kulit. Beberapa bentuk EA adalah erythema annulare centrifugum, erythema chronicum migrans, erythema marginatum rheumaticum, erythema gyratum atrophicans transient neonatale, eritema anulare pada bayi, dan erythema gyratum repens. Dua bentuk pertama paling sering ditemukan pada masa anak-anak, sedangkan erythema gyratum repens dilaporkan hanya pada dewasa. Tidak ada terapi standar untuk EA dan penatalaksanaan dimulai dengan menyingkirkan faktor presipitasi, dengan demikian terapi utama adalah menemukan dan mengobati penyakit yang mendasarinya. Tujuan farmakoterapi adalah untuk menurunkan morbiditas dan mencegah komplikasi. ABSTRACT
Annular lesions are extremely common and striking in appearance but can also be misleading. Differentiating annular lesions can be difficult as there may be considerable clinical and histological overlap between the individual variants. Annular erythema is a descriptive term that encompasses several entities of unknown etiology characterized by circinate polycyclic lesions that extend peripherally from a central focus. Several of the annular erythemas have been associated with an underlying condition, which suggest may represent a hypersensitivity reaction. Hypotheses about the mechanism of annularity focus on the interaction between inflammation cells, mediators and ground substance as foreign antigens diffuse through the skin. The forms of EA are erythema annulare centrifugum, erythema chronicum migrans, erythema marginatum rheumaticum, erythema gyratum atrophicans transient neonatale, eritema anulare pada bayi, dan erythema gyratum repens. The two first forms predominant on childhood, but erythema gyratum repens reported on adults. There is no standard of care, and treatment must begin with exclusion of known precipitating factor. Therefore, a search for and treatment the underlying disorder is the primary therapy. The goals of pharmacotherapy are to reduce morbidity and to prevent complications.