13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan teknologi dalam dunia veteriner dari tahun ke tahun terus mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Hampir setiap saat, para ahli menemukan suatu metode baru yang berkaitan dengan sistem imun baik pada hewan maupun manusia (inflamasi). Kemajuan IPTEK tersebut juga berpengaruh terhadap kemajuan teknologi di subsektor kedokteran hewan. Perkembangan IPTEK di bidang imunologi misalnya telah memberikan dampak kemajuan di subsektor kedokteran hewan dalam meningkatkan produktivitas dan kesehatan hewan. Dewasa ini, perkembangan bioteknologi tidak hanya didasari pada biologi semata, tetapi juga pada ilmu-ilmu terapan dan murni lain, seperti biokimia, komputer, biologi molekular, mikrobiologi, genetika, kimia, matematika, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, imunologi adalah ilmu terapan yang mempelajari mengenai sistem pertahanan tubuh terhadap paparan benda asing dari luar tubuh
Cakupan dari ilmu imunologi ini sangatlah luas, namun pada makalah kali ini cukup berfokus pada satu pokok bahasan yaitu inflamasi. Inflamasi atau yang sering dikenal dengan istilah radang merupakan suat kejadian normal dari tubuh yang berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh. Inflamasi ini terjadi akibat sistem pertahan yang ada dalam tubuh sudah tidak mampu lagi melawan paparan benda asing dari tubuh ( virus dan bakteri) secara biologis tempat tempat yang mendapatkan serangan dari luar tersebut akan terjadi inflamasi atau peradangan. Di mana terlebih dahulu sebelum terjadi peradangan tubuh akan mengarahkan ke tempat pertahan setelah antibodi yaitu kelenjar pertahanan, di kelenjar pertahanan inilah semua benda asing ( virus dan bakteri) berkumpul dan di fagositosis oleh sel darah putih ( netrofil, basofil, eusinofi, monosit, dan limfosit) semua bagian dari sel darah putih ini mempunyai fagositosis terhadap benda asing ada yang fagositosi terhadap bakteri dan mikroba sesuai dengan benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
Bila semua itu sudah tidak mampu menahan serangan dari luar maka terjadilah inflamasi atau peradangan. Peradangan itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua yaitu regional dan sistemik. Peradangan regional misalnya pembengkakan yang terjadi pada pangkal femur ketika kaki mengalami bisul atau luka yang terinfeksi kuman. Sedangkan kalau peradangan yang menyerang seluruh tubuh atau sistemik maka manusia atau hewan tersebut suhu tubuhnya akan meningkat dan mengalami demam kalau pada manusia.
Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk meninjau lebih dalam mengenai ilmu imunologi khususnya tentang inflamasi. Karena dengan mengetahui suatu hewan mengalami peradangan, kita sebagai calon dokter hewan dapat mendiagnosa lebih jauh lagi mengenai penyakit yang menyerang pada hewan tersebut. Inflamasi menjadi indikator utama suat hewan tersebut dalam keadaan tidak sehat, mengingat inflamasi ini berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh. Jika terjadi inflamasi pastilah tubuh sudah terpapar beda asing( virus dan bakteri) sehingga dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan inflamasi atau peradangan?
1.2.2 Bagaimana tahapan terjadinya inflamasi ?
1.2.3 Bagaimana penangan yang dilakukan ketika menemukan pasien terkena inflamasi?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Untuk mengetahui apa itu inflamasi atau peradangan.
1.3.2 Untuk mengetahui tahapan terjadinya inflamasi.
1.3.3 Untuk dapat mengetahui penanganan bila mengemuka pasien terkena inflamasi.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan paper ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Melalui paper ini diharapkan kalangan mahasiswa Universitas Udayana, khususnya Kedokteran Hewan memiliki wawasan lebih mengenai inflamasi atau peradangan.
1.4.2 Hasil tugas ini dapat menjadi arsip yang dapat membantu untuk mengerjakan tugas yang berhubungan dengan imunologi khususnya mengenai inflamasi atau peradangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Infamasi
Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu (Dorland, 2002).
Inflamasi merupakan respon terhadap cedera. Arti khususnya, inflamasi adalah reaksi vascular yang hasilnya merupakan pengiriman cairan, zat-zat yang terlarut dan sel-sel dari sirklasi darah ke jaringan interstitial pada daerah cedera atau nekrosis. Inflamasi sebenarnya adalah gejala yang menguntungkan dan pertahanan, hasilnya adalah netralisasi dan pembuangan agen-agen penyerang, penghancur jaringan nekrosis, dan pembentukan keadaan yang dibutuhkan untuk perbaikan dan pemulihan.
Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut inflamasi (Rukmono, 1973).
Inflamasi atau inflamasi adalah satu dari respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator inflamasi di dalam sistem kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi.
Inflamasi mempunyai tiga peran penting dalam perlawanan terhadap infeksi
memungkinkan penambahan molekul dan sel efektor ke lokasi infeksi untuk meningkatkan performa makrofaga
menyediakan rintangan untuk mencegah penyebaran infeksi
mencetuskan proses perbaikan untuk jaringan yang rusak.
Inflamasi adalah respons protektif untuk menghilangkan penyebab jejas (cell injury), dengan mengencerkan, menghancurkan atau menetralkan agen berbahaya, serta membuang penyebab awal jejas sehingga proses penyembuhan dapat dilaksanakan. Inflamasi merupakan sebuah proses kompleks yang meliputi kerjasama banyak "Pemain". "Pemain" yang berkontribusi ini adalah sel dan protein dan sel plasma dalam sirkulasi, sel endotel pembuluh darah dan sel serta matriks ekstraseluler jaringan ikat. Sel dalam sirkulasi meliputi leukosit (neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, monosit) dan trombosit; protein dalam sirkulasi meliputi faktor pembekuan, kininogen dan komponen komplemen; sel endotel sendiri, sel jaringan ikat meliputi sel mast, makrofag, limfosit dan fobroblas; dan yang terakhir Extraceluler matrix (ECM) meliputi kolagen dan elastin susun fibrosa, proteoglikan bentuk gel, glikoprotein adhesif (fibronektin) sebagai struktur penyambung antar ECM.
Ciri inflamasi salah satunya adalah udem (bengkak atau swelling), ini bisa terjadi setelah beberapa menit terjadi cidera jaringan, ditemukan vasodilatasi yang menghasilkan peningkatan volume darah di lokasi tersebut. Permeablitas vaskuler meningkat menimbulkan kebocoran cairan pembuluh darah dan muncullah udem.
Setelah beberapa jam, leukosit menempel pada sel endotel di daerah inflamasi dan bermigrasi melewati dinding kapiler masuk ke rongga jaringan, proses ini disebut ekstravasasi. Berbagai faktor plasma seperti imunoglobulin, komplemen, sistem aktivasi kontak-koagulasi-fibrinolitik dan sel-sel inflamasi seperti neutrofil, mastosit, eosinofil, monosit-fagosit, sel endotel dan molekul adhesi, trombosit, limfosit, dan sitokin berinteraksi satu sama lain. Seperti gambar dibawah ini :
Gamabar 1. Gambar Leukosit Melewati Jaringan
Pada keadaan normal, hanya sebagian kecil molekul melewati dinding vaskuler. Bila terjadi inflamasi, sel endotel mengkerut sehingga molekul-molekul besar dapat melewati dinding vaskuler. Cairan yang mengandung banyak sel inflamasi disebut eksudat inflamasi. Eksudat inflamasi mempunyai peranan penting yaitu mengencerkan toksin yang sering dikeluarkan oleh bakteri. Sel-sel yang terlibat dalam inflamasi terutama adalah sel-sel pada sistem imun nonspesifik yaitu neutrofil. Neutrofil merupakan sel utama pada early inflamasi, bermigrasi ke jaringan dan puncaknya terjadi pada 6 jam pertama.
2.2. Tahapan inflamasi
2.2.1. Inflamasi akut
Inflamasi akut akan terjadi secara cepat (menit —hari) dengan ciri khas utama eksudasi cairan, akumulasi neutrofil memiliki tanda-tanda umum berupa rubor (redness), calor (heat), tumor (swelling), Dolor (pain), Functio laesa (lose of function). Seperti gambar dibawah ini:
Gamabar 2. Gambar Tahapan terjadinya inflamasi akut.
Terjadi karena tujuan utama adalah mengirim leukosit ke tempat jelas bersihkan setiap mikroba. Dengan dua proses utama, perubahan vaskular (vasodilatasi, peningkatan permeabilitas) dan perubahan selular (rekrutmen dan aktivasi selular). Perubahan makroskopik yang dapat diamati berupa hiperemia yang memberikan penampakan eritema, exudation yang memberikan penampakan edema, dan emigrasi leukosit.
1. Hyperaemia
Jejas yang terbentuk pertama-tama akan menyebabkan dilatasi arteri lokal (didahului vasokonstriksi sesaat). Dengan demikian mikrovaskular pada lokasi jejas melebar, aliran darah mengalami perlambatan, dan terjadi bendungan darah yang berisi eritrosit pada bagian tersebut, yang disebut hiperemia. Pelebaran ini lah yang menyebabkan timbulnya warna merah (eritema) dan hangat. Perlambatan dan bendungan ini terlihat setelah 10-30 menit
Hyperaemia di dalam inflamasi berhubungan dengan perubahan mikrovaskular, yang disebut Lewis' triple response – berupa "a FLUSH, a FLARE and a WEAL". The FLUSH ditandai dengan garis putih (dikarenakan adanya vasokonstriksi). The FLUSH merupakan garis merah (dikarenakan dilatasi kapiler). The FLARE merupakan daerah dengan warna merah yang lebih terang di sekitarnya (dikarenakan dilatasi arteri).
2. Exudating
Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas endotel disertai keluarnya protein plasma dan sel-sel leukosit ke daerah extravaskular yang disebut eksudasi. Hal ini menyebabkan sel darah merah dalam darah terkonsentrasi, viskositas meningkat, sirkulasi menurun, terutama pada pembuluh darah-pembuluh darah kecil yang sisebut stasis.
Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak cairan keluar ke dalam ruang jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi. Hal ini berakibat meningkatnya konsentrasi protein plasma dan menyebabkan tekanan osmotik koloid bertambah besar, dengan menarik kembali cairan pada pangkal kapiler venula. Pertukaran normal tersebut akan menyisakan sedikit cairan dalam jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan melalui saluran limfatik. Umumnya, dinding kapiler dapat dilalui air, garam, dan larutan sampai berat jenis 10.000 dalton.
Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di atas 1.020) dan seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel darah putih yang melakukan emigrasi. Cairan ini tertimbun sebagai akibat peningkatan permeabilitas vaskuler (yang memungkinkan protein plasma dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik intravaskular sebagai akibat aliran darah lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa rumit leukosit yang menyebabkan emigrasinya
3. Emigration of leucocyte
Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada lokasi jejas, merupakan aspek terpenting reaksi radang. Sel-sel darah putih mampu memfagosit bahan yang bersifat asing, termasuk bakteri dan debris sel-sel nekrosis, dan enzim lisosom yang terdapat di dalamnya membantu pertahanan tubuh dengan beberapa cara. Beberapa produk sel darah putih merupakan penggerak reaksi radang, dan pada hal-hal tertentu menimbulkan kerusakan jaringan yang berarti. Baik neutrofil, maupun sel berinti tunggal dapat melewati celah antar sel endhotelial dengan menggunakan pergerakan amoeboid menuju jaringan target.
Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan menyebabkan sel-sel darah merah menggumpal dan membentuk agregat-agregat yang lebih besar daripada leukosit sendiri. Menurut hukum fisika aliran, massa sel darah merah akan terdapat di bagian tengah dalam aliran aksial, dan sel-sel darah putih pindah ke bagian tepi (marginasi). Mula-mula sel darah putih bergerak dan menggulung pelan-pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran yang tersendat tetapi kemudian sel-sel tersebut akan melekat dan melapisi permukaan endotel.
Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak keluar dari pembuluh darah. Tempat utama emigrasi leukosit adalah pertemuan antar-sel endotel. Walaupun pelebaran pertemuan antar-sel memudahkan emigrasi leukosit, tetapi leukosit mampu menyusup sendiri melalui pertemuan antar-sel endotel yang tampak tertutup tanpa perubahan nyata
4. Kemotaksi
Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju ke arah utama lokasi jejas. Migrasi sel darah putih yang terarah ini disebabkan oleh pengaruh-pengaruh kimia yang dapat berdifusi disebut kemotaksis. Hampir semua jenis sel darah putih dipengaruhi oleh faktor-faktor kemotaksis dalam derajat yang berbeda-beda. Neutrofil dan monosit paling reaktif terhadap rangsang kemotaksis. Sebaliknya limfosit bereaksi lemah. Beberapa faktor kemotaksis dapat mempengaruhi neutrofil maupun monosit, yang lainnya bekerja secara selektif terhadap beberapa jenis sel darah putih. Faktor-faktor kemotaksis dapat endogen berasal dari protein plasma atau eksogen, misalnya produk bakteri berupa protein maupun polipeptida
5. Fagositosis
Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis. Meskipun sel-sel fagosit dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa didahului oleh suatu proses pengenalan yang khas, tetapi fagositosis akan sangat ditunjang apabila mikroorganisme diliputi oleh opsonin, yang terdapat dalam serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang mengalami opsonisasi melekat pada permukaan, selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan meliputi partikel, berdampak pada pembentukan kantung yang dalam. Partikel ini terletak pada vesikel sitoplasma yang masih terikat pada selaput sel, disebut fagosom. Meskipun pada waktu pembentukan fagosom, sebelum menutup lengkap, granula-granula sitoplasma neutrofil menyatu dengan fagosom dan melepaskan isinya ke dalamnya, suatu proses yang disebut degranulasi. Sebagian besar mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan mudah dihancurkan oleh fagosit yang berakibat pada kematian mikroorganisme. Walaupun beberapa organisme yang virulen dapat menghancurkan leukosit.
2.2.2. Inflamasi kronis
Inflamasi kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang (berminggu-minggu hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses secara simultan dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan. Perbedaannya dengan radang akut, radang akut ditandai dengan perubahan vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar. Sedangkan radang kronik ditandai oleh infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi jaringan, dan perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis dan fibrosis) (Mitchell & Cotran, 2003).
Inflamasi kronis dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul menyusul radang akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan radang akut menjadi radang kronik berlangsung bila respon radang akut tidak dapat reda, disebabkan agen penyebab jejas yang menetap atau terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya radang kronik sejak awal merupakan proses primer. Sering penyebab jejas memiliki toksisitas rendah dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan radang akut. Terdapat 3 kelompok besar yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu (seperti basil tuberkel, Treponema palidum, dan jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang tidak dapat hancur (misalnya silika), penyakit autoimun. Bila suatu radang berlangsung lebih lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronik. Tetapi karena banyak kebergantungan respon efektif tuan rumah dan sifat alami jejas, maka batasan waktu tidak banyak artinya. Pembedaan antara radang akut dan kronik sebaiknya berdasarkan pola morfologi reaksi (Robbins & Kumar, 1995).
Inflamasi kronis telah dihubungkan dengan berbagai tahapan yang terlibat dalam karsinogenesis termasuk transformasi seluler, promosi, surivival, proliferasi, invasi, angiogenesis, dan metastasis. Inflamasi tersebut menjadi faktor risiko pada kebanyakan tipe kanker. Misal induser asap rokok, menyebabkan inflamasi bronkitis, ada pada kanker paru, % predisposisi pada progres kanker adalah sebesar 11-24%, dll. Inflamasi dan karsinogenesis ada kemiripan, bedanya pada kanker proses inflamasi tidak untuk peroses perbaikan namun untuk pertumbuhan kanker itu sendiri.
Gamabar 3. Gambar Terjadinya Inflamasi Kronis.
Beberapa produk gen pro-inflamasi telah diidentifikasi memiliki peran penting pada penekanan apoptosis, proliferasi, angiogenesis, invasi, dan metastasis. Di antara produk gen tersebut adalah TNF alfa dan anggota superfamilinya, IL-1alfa, IL-1beta, IL-6, IL-8, IL-18, kemokin, MMP-9, VEGF, COX-2, dan 5-LOX. Ekspresi semua gen di atas utamanya diatur oleh faktor transkripsi NF-kB yang secara konstitutif aktif pada kebanyakan tumor dan diinduksi oleh karsinogen (asap rokok), tumor promoter, protein virus onkogenik, agen kemoterapi, dan iradiasi gama.
Sel-sel yang berperan
Makrofag
Merupakan monosit yang lama hidupnya kurang lebih 1 hari, akan pergi ke daerah peradangan dikarenakan molekul adhesi dan faktor kemoatraktan dalam jaringan, monosit akan berubah menjadi makrofag yang jika bersatu membentuk endotelium. Sinyal-sinual yang berpengaruk saat pengaktifan makrofag adalah IFM-y . sitokin, endotoksin, mediator lain yang diprosuksi saat terjasi radang akut, dan matrix extraceluler, seperti fibronectin
Makrofag aktif mampu mengaktifkan zat-zat yang membuat suatu jaringan menjadi nekrosis atau fibrosis. Contohnya adalah asam dan basa protease, komponen komplemen dan faktor-faktor pembekuan, oksigen reaktif NO, metabolit asam arakhidonat, sitokin IL-1, TNF san berbagai growth factor
b. Limfosit
Limfosit sikerahkan di kedua reaksi imun humoral dan seluler dan bahkan dalam peradangan non imun. Antigen distimulasi (efektor dan memori) dan berbagai jenis limfosit (T, B) menggunakan berbagai molekul adhesi pasangan (terutama yang integrins dan ligan) dan kemokin untuk bermigrasi ke situs peradangan. Sitokin dari makrofag diaktifkan, terutama TNF, IL-1, da kemokin. Sel ini mempersiapkan proses peradangan
Limfosit dan makrofag berinteraksi dakan cara dua arah, dan reaksi-reaksi ini memainkan peran penting dalam peradangan kronis. Limfosit T aktif akan mengaktifkan makrofag serta mengeluarkan mediator radang untuk mempengaruhi sel lain, saat makrofag aktif, dia akan mengaktifkan limfosit T dan tak lupa mengeluarkan mediator radang untuk mempengaruhi sel disekitarnya.
Eusinofi
Eusinofil berlimpah dalam reaksi kekebalan yang diperantarai oleh IgE dan infeksi parasit. Salah satu kemokin yang terutama penting bagi perekrutan eusinofil adalah eotaxin, Eusinofil memiliki granula yang mengandung protein dasar utama, yang sangat kationik protein yang beracun bagi parasit tetapi juga menyebabkan lisis sel epitel mamalis. Itulah sebabnya ia sangat berperan dalam memerangi infeksi parasit tetapi juga berkontribusi pada kerusakan jaringan dalam reaksi kekebalan.
Sel Mast
Sel ini didistribusikan secara luas di jaringan ikat dan berpartisipasi dalam reaksi peradangan akut dan kronis. Pada reaksi akut, antibodi IgE yang terikat pada Fc reseptor khusus mengenali antigen, dan sel-sel degranulate dan melepaskan mediator seperti histamin dan produksi oksidasi AA, Jenis respon terjadi selama reaksi anafilaksis makanan, racun serangga atau obat-obatanm sering dengan hasil becana. Bila diatur dengan benar, respon ini dapat bermanfaat bagi tuan rumah. Sel mast juga hadir dalam reaksi peradangan kronis, dan mungkin menghasilkan sitokin yang berkontribusi terhadap fibrosis.
Mediator Peradangan
Mediator adalah caraka atau signal kimia. Mediator dalam inflamasi/radang berperan sangat penting karena merupakan komponen utama dalam komunikasi sel, amplifikasi inflamasi, ataupun opsonin, yang ketiganya berguna dalam memfasilitasi eliminasi agen penyebab radang dan juga perbaikan jaringan.
Beberapa hal yang perlu diketahui dari mediator adalah sebagai berikut :
Mediator dapat berasal dari sel maupun cairan plasma (plasma protein).
Mediator dari sel biasanya diisolasi dengan membentuk granula dalam sel, sedangkan mediator pada plasma dihasilkan sebagian besar oleh hati dan berada dalam keadaan non-aktif dalam cairan darah sehingga membutuhkan mekanisme aktivasi tertentu.
Mediator aktif diproduksi sebagai respon terhadap berbagai macam rangsangan, termasuk radang
Rangsangan yang dimaksud di sini adalah produk mikroba, substansi dari jaringan yang nekrosis, dan protein-protein seperti kompelemen, kinin, sistem koagulasi, yang dengan sendirinya diaktivasi oleh mikroba dan jaringan yang terluka. Mekanisme ini dapat diartikan sebagai "diaktivasi jika diperlukan, diproduksi jika dibutuhkan".
Mediator yang satu dapat merangsang dikeluarkannya mediator yang lain misalnya, mediator TNF dan IL-1 dapat menstimulasi dikeluarkannnya protein selektin oleh sel endotel.
Mediator bervariasi dalam efek dan jenis sel tempat ia bekerja. Kebanyakan mediator (terutama yang bersifat hidrofilik) hanya memiliki waktu hidup yang pendek karena harus segera didegradasi agar tidak menimbulkan respon yang berlebihan. Terdapat dua macam mediator yang dibagi berdasarkan tempat ia berasal, yaitu mediator yang berasal dari sel (cell-derived mediators) dan mediator yang murni dari plasma darah (plasma-derived mediators).
Mediator selular dapat dibagi menjadi beberapa macam, sebagai berikut:
1. Amina Vasoakti
Amina vasoaktif maksudnya adalah berbagai macam mediator kimia yang merupakan turunan dari amina, yang dapat bekerja langsung pada sistem vaskular.
2. Metabolit Asam Arakidonat (AA)
AA merupakan salah satu turunan asam lemah yang terdiri atas 20 atom C (Karbon) yang diperoleh dari asupan makanan ataupun konversi dari asam lenoleat.
3. Platelet-Activating Factor (PAF)
Merupakan salah satu bentuk mediator yang adalah turunan dari fosfolipid. Diberi nama PAF karena mediator ini dapat menyebabkan agregasi dari keping-keping darah, namun sekarang ini ditemukan pula efek dari mediator ini yang dapat memicu terjadinya inflamasi.
4. Reactive Oxygen Species (ROS)
ROS, meskipun terlibat dalam pencernaan mikroba dan eliminasi agen radang, juga dapat dilepaskan ke lingkungan ekstraselular akibat terjadinya frustated-leukocyte.
5. Nitrogen Oksida (NO)
NO berperan dalam merelaksasi otot polos vaskular dan mempromosikan terjadinya vasodilatasi.
6. Sitokin dan Kemokin
Sitokin
Sitokin yang paling banyak berperan dalam inflamasi akut adalah TNF (α,β,γ) ataupun Interleukin (IL, dari 1 – 20), selain itu terdapat pula Interferon/IFN (α,β,γ).
Kemokin
Merupakan protein yang bersifat terutama sebagai kemoatraktan untuk leukosit.
7. Kandungan Lisosomal dari Leukosit
Kandungan lisosomal dari leukosit yang terdapat dalam granulanya apabila dilepaskan akan dapat memicu terjadinya respon inflamasi.
8. Neuropeptida
Disekresikan oleh sel-sel neuron (pada sensorik dan beberapa leukosit tertentu) yang berperand dalam amplifikasi dari respon inflamasi, misalnya substansi P dan neurokinin-A.
2.3. Penanganan pada saat jerjadi inflamasi
Ketika kita mengemuka kasus inflamasi pada hewan maupun manusia, hal pertama yang mesti kita lakukan adalah memberikan pertolongan kepada pasien. Pertolongan yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan obat anti inflamasi sebelum. Berikut akan dijelaskan lebih mendetail menganai obat anti inflamasi:
Obat Anti-inflamasi Nonsteroid
Jenis Obat Anti-inflamasi Nonsteroid
Obat anti-inflamasi nonstreoid (OAINS) merupakan kelompok obat yang paling banyak dikonsumsi di seluruh dunia untuk mendapatkan efek analgetika, antipiretika, dan anti-inflamasi.9 OAINS merupakan pengobatan dasar untuk mengatasi peradangan-peradangan di dalam dan sekitar sendi seperti lumbago, artralgia, osteoartritis, artritis reumatoid, dan gout artritis. Disamping itu, OAINS juga banyak pada penyakit-penyakit non-rematik, seperti kolik empedu dan saluran kemih, trombosis serebri, infark miokardium, dan dismenorea.
OAINS merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Walaupun demikian, obat-obat ini mempunyai banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping.15 Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena itu OAINS sering juga disebut sebagai obat-obat mirip aspirin (aspirin-like drug). Aspirin-like drugs dibagi dalam lima golongan, yaitu:
Salisilat dan salisilamid, derivatnya yaitu asetosal (aspirin), salisilamid, diflunisal
Para aminofenol, derivatnya yaitu asetaminofen dan fenasetin
Pirazolon, derivatnya yaitu antipirin (fenazon), aminopirin (amidopirin), fenilbutazon dan turunannya
Antirematik nonsteroid dan analgetik lainnya, yaitu asam mefenamat dan meklofenamat, ketoprofen, ibuprofen, naproksen, indometasin, piroksikam, dan glafenin
Obat pirai, dibagi menjadi dua, yaitu (1) obat yang menghentikan proses inflamasi akut, misalnya kolkisin, fenilbutazon, oksifenbutazon, dan (2) obat yang mempengaruhi kadar asam urat, misalnya probenesid, alupurinol, dan sulfinpirazon.
Sedangkan menurut waktu paruhnya, OAINS dibedakan menjadi:
AINS dengan waktu paruh pendek (3-5 jam), yaitu aspirin, asam flufenamat, asam meklofenamat, asam mefenamat, asam niflumat, asam tiaprofenamat, diklofenak, indometasin, karprofen, ibuprofen, dan ketoprofen.
AINS dengan waktu paruh sedang (5-9 jam), yaitu fenbufen dan piroprofen.
AINS dengan waktu paruh tengah (kira-kira 12 jam), yaitu diflunisal dan naproksen.
AINS dengan waktu paruh panjang (24-45 jam), yaitu piroksikam dan tenoksikam.
AINS dengan waktu paruh sangat panjang (lebih dari 60 jam), yaitu fenilbutazon dan oksifenbutazon.
Aspek Farmakodinamik Obat Anti-inflamasi Nonsteroid
Semua OAINS bersifat antipiretik, analgesik, dan anti-inflamasi.
Efek Analgesik
Sebagai analgesik, OAINS hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang, misalnya sakit kepala, mialgia, artralgia, dismenorea dan juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan. Efek analgesiknya jauh lebih lemah daripada efek analgesik opioat, tetapi OAINS tidak menimbulkan ketagihan dan tidak menimbulkan efek samping sentral yang merugikan. Untuk menimbulkan efek analgesik, OAINS bekerja pada hipotalamus, menghambat pembentukan prostaglandin ditempat terjadinya radang, dan mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit terhadap rangsang mekanik atau kimiawi.
Efek Antipiretik
Temperatur tubuh secara normal diregulasi oleh hipotalamus. Demam terjadi bila terdapat gangguan pada sistem "thermostat" hipotalamus. Sebagai antipiretik, OAINS akan menurunkan suhu badan hanya dalam keadaan demam. Penurunan suhu badan berhubungan dengan peningkatan pengeluaran panas karena pelebaran pembuluh darah superfisial. Antipiresis mungkin disertai dengan pembentukan banyak keringat. Demam yang menyertai infeksi dianggap timbul akibat dua mekanisme kerja, yaitu pembentukan prostaglandin di dalam susunan syaraf pusat sebagai respon terhadap bakteri pirogen dan adanya efek interleukin-1 pada hipotalamus. Aspirin dan OAINS lainnya menghambat baik pirogen yang diinduksi oleh pembentukan prostaglandin maupun respon susunan syaraf pusat terhadap interleukin-1 sehingga dapat mengatur kembali "thermostat" di hipotalamus dan memudahkan pelepasan panas dengan jalan vasodilatasi.
3. Efek Anti-inflamasi
Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang merusak. Rangsangan ini menyebabkan lepasnya mediator inflamasi seperti histamin, serotonin, bradikinin, prostaglandin dan lainnya yang menimbulkan reaksi radang berupa panas, nyeri, merah, bengkak, dan disertai gangguan fungsi. Kebanyakan OAINS lebih dimanfaatkan pada pengobatan muskuloskeletal seperti artritis rheumatoid, osteoartritis, dan spondilitis ankilosa. Namun, OAINS hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki, atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan muskuloskeletal.
Meskipun semua OAINS memiliki sifat analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi, namun terdapat perbedaan aktivitas di antara obat-obat tersebut. Salisilat khususnya aspirin adalah analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi yang sangat luas digunakan. Selain sebagai prototip OAINS, obat ini merupakan standar dalam menilai OAINS lain. OAINS golongan para aminofenol efek analgesik dan antipiretiknya sama dengan golongan salisilat, namun efek anti-inflamasinya sangat lemah sehingga tidak digunakan untuk anti rematik seperti salisilat. Golongan pirazolon memiliki sifat analgesik dan antipiretik yang lemah, namun efek anti-inflamasinya sama dengan salisilat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tinjauan pustaka di atas maka dapat disimpulkan bahwa Radang atau inflamasi adalah reaksi jaringan hidup terhadap semua bentuk jejas yang berupa reaksi vascular yang hasilnya merupakan pengiriman cairan, zat-zat yang terlarut dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan interstitial pada daerah cedera atau nekrosis. Tujuan inflamasi yaitu untuk memperbaiki jaringan yang rusak serta mempertahankan diri terhadap infeksi. Tanda-tanda inflamasi adalah berupa kemeraham (rubor), panas (kalor), nyeri (dolor), pembengkakan (tumor), dan function laesa.
Secara garis besar tahapan inflamasi dibagi menjadi 2 tahap :
1. Inflamasi akut
Inflamasi akut adalah inflamasi yang terjadi segera setelah adanya rangsang iritan. Pada tahap ini terjadi pelepasan plasma dan komponen seluler darah ke dalam ruang-ruang jaringan ekstraseluler. Termasuk didalamnya granulosit neutrofil yang melakukan pelahapan (fagositosis) untuk membersihkan debris jaringan dan mikroba.
2. Inflamasi kronis
Inflamasi kronis terjadi jika respon inflamasi tidak berhasil memperbaiki seluruh jaringan yang rusak kembali ke keadaan aslinya atau jika perbaikan tidak dapat dilakukan sempurna.
Penanagan yang dapat diberikan ketika mendapati pasian mengalamai radang atau inflamasi yakni dapat dilakukan dengan cra pemberian obat anti inflamasi. Karena obat anti inflamasi memiliki sifat analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi,
3.2 Saran
Meskipun perkembangan teknologi dalam bidang Imunologi sudah berkembang pesat, akan tetapi sebagai manusia kita tidak boleh lengah dalam kemudahan. Kita, khususnya sebagai mahasiswa harus menyikapi suatu fenomena, kepentingan, dan permasalahan dengan bijaksana. Hal ini berdasarkan pada tujuan dari imun itu sendiri yaitu melindungi dari gangguan benda asing dari luar, kita sebagai mahasiswa haru bisa menyesuaikan diri seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, G.D. (1995). Respon tubuh terhadap cedera. Dalam S. A. Price & L. M. Wilson, Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit (4th ed.)(pp.35-61)(Anugerah, P., penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1992).
Albini A, Sporn MB. The tumour microenvironment as a target for chemoprevention. Nat Rev Cancer. 2007 Feb;7(2):139-47.
Anas, Khairul.2011. Penertian Inflamasi. Khairul-anas.blogspot.com. Diakses Tanggal 20 November 2013.
Bratawidjaja KG dan Rengganis I, 2010, Imunologi Dasar Edisi ke-9, FKUI Jakarta
Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland (Setiawan, A., Banni, A.P., Widjaja, A.C., Adji, A.S., Soegiarto, B., Kurniawan, D., dkk , penerjemah). Jakarta: EGC. (Buku asli diterbitkan 2000).
Guyton, A.C. & Hall, J.E. (1997). Buku ajar fisiologi kedokteran (9th ed.) (Setiawan, I., Tengadi, K.A., Santoso, A., penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1996).
Idaman, Rumah. 2010. Inflamasi. Bersamainok.Blogspot.com. Diakses Tanggal 29 November 2013.
Jeramai, Gubug.2009. Bagaimana Proses Terjadinya Inflamasi. Word Press.com. Diakses Tanggal 29 Novemeber 2013.
Mitchell, R.N. & Cotran, R.S. (2003). Acute and chronic inflammation. Dalam S. L. Robbins & V. Kumar, Robbins Basic Pathology (7th ed.)(pp33-59). Philadelphia: Elsevier Saunders.
Moco.2013.Inflamasi dan Kanker.Word Press. com. Diakses Tangagal 29 November 2013.
Rukmono (1973). Kumpulan kuliah patologi. Jakarta: Bagian patologi anatomik FK UI.
Robbins, S.L. & Kumar, V. (1995). Buku ajar patologi I (4th ed.)(Staf pengajar laboratorium patologi anatomik
Sunato.2010. Proses Inflamasi. Nato 14 Blogspot.com. Diakses Tanggal 29 November 2013.