Ikterus dan Hiperbilirubinemia pada Neonatus Raja Ahmad Rusdan Musyawir bin Raja Abdul Malek 102012505 E1 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
[email protected]
Pendahuluan
Neonatus merupakan merupakan bayi yang berumur 0-28 hari. Masa ini merupakan merupakan masa transisi dimana bayi memulai kehidupan di luar rahim ibunya. Begitu banyak perubahan yang dialami sampai dari organ fisik maupun fungsi tubuhnya. Mengingat begitu besar perubahan yang terjadi maka tak dapat diingkari begitu banyak juga permasalahan yang timbul karena hal tersebut. Diantaranya adalah perubahan patologis yang memberikan memberikan pengaruh buruk terhadap pertumbuhan pertumbuhan dan perkembangan perkembangan bayi. Salah satunya adalah terjadinya ikterus atau yang lebih dikenal dengan bayi kuning. Ikterus neonatorum merupakan penyakit yang disebabkan oleh penimbunan bilirubin dalam jaringan tubuh sehingga kulit, mukosa, dan sklera berubah warna menjadi kuning. Ikterus ini banyak terjadi pada bayi prematur dan bayi berat lahir rendah (BBLR). Hal ini disebabkan disebabkan karena organ hati yang berfungsi sebagai pemecah pemecah bilirubin belum terbentuk sempurna atau belum berfungsi sempurna layaknya bayi cukup bulan.1 Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan. Di Jakarta dilaporkan 32,19% menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi mungkin bersifat patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian, karenanya setiap bayi dengan ikterus harus mendapat perhatian terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau kadar bilirubin meningkkat lebih dari 5 mg/dL dalam 24 jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg/dL juga merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologik. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.
Definisi
Ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir. Ikterus adalah pewarnaan kuning di kulit, konjungtiva, dan mukosa yang terjadi karena meningkatnya meningkatnya kadar bilirubin dalam darah. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5 mg/dL atau disebut
1
dengan hiperbilirubinemia, yang dapat menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dapat dikendalikan.1,2 Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritrosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek. Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah). Banyak sekali penyebab bayi kuning ini. Yang sering terjadi adalah karena belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit (sel darah merah). Pada bayi usia sel darah merah kira-kira 90 hari. Hasil pemecahannya, eritrosit harus diproses oleh hati bayi. Saat lahir hati bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut bilirubin. Bilirubin ini yang menyebabkan kuning pada bayi.1-3
Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dari orang tua bayi. Pertama, dapatkan identitas penting bayi penderita ikterus seperti nama, jenis kelamin, alamat, golongan darah, tanggal dan jam lahir, tanggal dan jam masuk rumah sakit, serta tanggal dan jam pemeriksaan dilakukan. Tanyakan keluhan utama (biasanya kulit kuning) dan riwayat penyakit sekarang. Penting ditanyakan sejak kapan timbulnya ikterus dalam hitungan jam setelah lahir karena hal inilah yang membedakan ikterus yang fisiologis dengan yang patologik serta menentukan penatalaksanaannya. Tanyakan juga keluhan penyerta misalnya panas badan. Riwayat penyakit dahulu pada pasien praktis tidak ada karena pasien merupakan neonatus atau bayi baru lahir. Tetapi, harus ditanyakan ke ibunya apakah pernah mengalami penyakit tertentu selama dan di luar waktu kehamilan. Begitu juga dengan riwayat keluarga. Tanyakan apakah bayi sudah diebrikan pengobatan untuk keluhannya. Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubinemia pada bayi. Termasuk dalam hal ini anamnesis mengenai riwayat inkompatibilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Di samping itu faktor risiko kehamilan dan persalinan juga berperan dalam diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko tersebut antara lain adalah kehamilan dengan komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes melitus, gawat janin, malnutrisi intrauterin, infeksi intranatal, dan lain-lain.
Pemeriksaan Fisik
Bayi diperiksa keadaan umumnya, frekuensi nafas, denyut nadi, suhu dan berat badannya. Kemudian lakukan inspeksi. Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari kemudian. Ikterus yang tampak pun sangat tergantung kepada penyebab ikterus itu sendiri. Pada bayi dengan peningkatan bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai
2
jingga, sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit terlihat agak kehijauan. Perbedaan ini dapat terlihat pada penderita ikterus berat, tetapi hal ini kadang-kadang sulit dipastikan secara klinis karena sangat dipengaruhi warna kulit. Penilaian akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar. Selain kuning, penderita sering hanya memperlihatkan gejala minimal misalnya tampak lemah dan nafsu minum berkurang. Lakukan juga pemeriksaan lain yang perlu, misalnya tanda prematuritas, polisitemia, trauma lahir, pucat (hemolisis), petekhie, hepatosplenomegali, omfalitis, dan hipotiroidism.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang biasanya dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap dan pemeriksaan kadar bilirubin total dan direk. Ini juga sangat tergantung dari waktu timbulnya ikterus pada bayi yang membedakan apakah ikterus tersebut fisiologik atau patologik. Contoh pemeriksaan lain untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit tertentu, misalnya, golongan darah ABO dan Rhesus ibu serta bayi, uji Coombs, hematokrit, uji penyaring sepsis, tes fungsi hati dan tiroid, dan uji penyaring defisiensi enzim G6PD.
Diagnosis
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual sebagai berikut.1 Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus dapat terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan dapat tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang. Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan. Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning (Tabel 1).
Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus. Usia
Kuning terlihat pada:
Hari 1
Bagian tubuh manapun
Hari 2
Lengan dan tungkai*
Hari 3 dan seterusnya
Tangan dan kaki
Tingkat keparahan ikterus
Berat
*
bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan, tungkai,
tangan, dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar.
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan bilirubin serum adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang
3
dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi
2 minggu.3 Kramer telah membuat suatu hubungan antara kadar bilirubin total serum
dengan luas daerah ikterus pada bayi baru lahir, yang selama ini banyak dipakai sebagai acuan penilaian derajat ikterus (Tabel 2 dan Gambar 1).
Tabel 2. Penilaian Derajat Ikterus melalui Hubungan Kadar Bilirubin dengan Daerah Ikterus menurut Kramer. 3 Daerah yang ikterus
Penjelasan
Kadar bilirubin (mg/dL) Prematur
Aterm
1
Kepala dan leher
4-8
4-8
2
Dada sampai pusat
5-12
5-12
3
Pusat bagian bawah
7-15
8-16
9-18
11-18
sampai lutut 4
Lutut sampai pergelangan kaki dan bahu sampai pergelangan tangan
5
Kaki dan tangan
> 10
> 15
termasuk telapak kaki dan telapak tangan
Gambar 1. Pembagian Daerah Tubuh untuk Penilaian Derajat Ikterus menurut Kramer.3
4
Diagnosis Banding
Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus untuk dapat memperkirakan penyebabnya. Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan itu ialah menggunakan saat timbulnya ikterus seperti Tabel 3.1
Tabel 3. Diagnosis Banding Ikterus Neonatorum menurut Saat Timbulnya. Saat timbulnya ikterus
Diagnosis kemungkinan
Pemeriksaan
anjuran
laboratorium 24 jam pertama
-
-
-
Inkompatibilitas darah Rh,
- kadar bilirubin serum berkala
ABO, atau golongan lain
- Darah perifer lengkap (DPL)
Infeksi intrauterin (virus,
- Golongan darah ibu dan bayi
TORCH,dan bakteri)
- Uji Coombs
Defisiensi enzim G6PD
- Pemeriksaan
defisiensi biakan
penyaring enzim
darah
atau
G6PD, biopsi
hepar bila perlu
24 - 72 jam sesudah lahir
-
Ikterus fisiologis.
-
Inkompatibilitas ABO
atau
- Pemeriksaan DPL darah
- Kadar bilirubin serum berkala
atau
- Pemeriksaan penyaring enzim
Rh
golongan lain.
G6PD
-
Defisiensi enzim G6PD
-
Polisitemia
-
Hemolisis tertutup
perdarahan (perdarahan
subaponeurosis, perdarahan hepar,
subkapsuler,
dan
lain-lain) -
Hipoksia
-
Sferositosis,
eliptositosis,
dan lain-lain -
Dehidrasi asidosis
-
Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
5
-
Sepsis
- Pemeriksaan DPL
-
Dehidrasi asidosis
- Biakan darah
-
Defisiensi enzim G6PD
- Pemeriksaan penyaring enzim
-
Pengaruh obat
-
Sindrom Crigler-Najjar
-
Sindrom Gilbert
Akhir minggu pertama dan
-
Obstruksi
selanjutnya
-
Hipotiroidisme
total (indirek dan direk)
-
'Breast milk jaundice'
berkala
-
Infeksi
-
-
Hepatitis neonatal
-
Galaktosemia
Sesudah
72
jam
pertama
sampai akhir minggu pertama
G6PD
-
-
Pemeriksaan
bilirubin
Pemeriksaan DPL
Pemeriksaan penyaring G6PD -
Biakan darah, biopsi hepar
bila
ada
indikasi -
Pemeriksaan lainnya yang
berkaitan
dengan kemungkinan penyebab
Dapat diambil kesimpulan bahwa ikterus baru dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi 'kernicterus'.
Ikterus yang kemungkinan besar menjadi patologis i alah seperti berikut.1,2 1. Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama. 2. Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12,5 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 10 mg/dL pada neonatus kurang bulan. 3. Ikterus dengan peningkatan bilirubin melebihi 5 mg/dL per hari. 4. Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama (14 hari pertama). 5. Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi atau keadaan patologis lain yang telah diektahui. 6. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg/dL.
6
Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang paling mencolok adalah pewarnaan kuning pada kulit bayi serta sklera dan mukosa. Ikterus dapat berbentuk fisiologik atau patologik. Perbedaan penting adalah waktu timbulnya ikterus tersebut. Pada ikterus fisiologis, penampakan kuning pada kulit bayi timbul setelah 24 jam sesudah lahir sedangkan pada ikterus patologik penampakan kuning pada kulit bayi timbul dalam 24 jam pertama kelahiran. Ikterus fisiologik hilang dalam 14 hari tanpa pengobatan sedangkan ikterus patologik berlangsung lebih dari 14 hari. Warna urin bayi yang menderita ikterus patologik kuning tua dan warna fesesnya dempul.1-3
Metabolisme Bilirubin
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau eritropoiesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin indirek. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin indirek tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin (protein-Y), protein-Z dan glutation hati lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.1 Proses ini merupakan proses 2 arah, tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit dikonjugasi dan diekskresi ke dalam empedu. Dengan adanya sitosol hepar, ligandin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak. Pemberian fenobarbital mempertinggi konsentrasi ligandin dan memberi tempat pengikatan yang lebih banyak untuk bilirubin. Proses ini timbul berkat adanya enzim glukuronil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresi melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini diekskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian dihidrolisis menjadi bilirubin indirek oleh bakteri yang mempunyai enzim β-glukoronidase. Selanjutnya bilirubin indirek ini direabsorpsi oleh mukosa usus. Maka, terbentuklah siklus enterohepatik.1 Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari), dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 23 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian menurun kembali pada hari ke 10-14. Kadar
7
bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dL pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dL pada bayi kurang bulan. Pada keadaan ini peninggian kadar bilirubin masih dianggap nirmal dan karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga terjadi akumulasi dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu, misalnya kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa di hari kemudian.3,4 Karena itu bayi penderita ikterus sebaiknya baru dianggap fisiologik apabila telah dibuktikan bukan suatu keadaan patologik. Sehubungan dengan hal tersebut maka pada konsentrasi tertentu yang disebut hiperbilirubinemia, pemeriksaan lengkap harus dilakukan untuk mengetahui penyebabnya, sehingga pengobatan pun dapat dilaksanakan dini. Kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologik ini disebut hiperbilirubinemia. Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologik tersebut tidak selalu sama pada tiap bayi. Bayi dinyatakan menderita hiperbilirubinemia apabila kadar bilirubin total mencapai 12 mg/dL atau lebih pada bayi cukup bulan, sedangkan pada bayi kurang bulan bila kadarnya lebih dari 10 mg/dL.
Bagan 1. Metabolisme bilirubin.3
Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya
8
umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bikirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik. Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar ligandin berkurang atau pada keadaan protein-Y dan proteinZ terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronil transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan sakuran empedu intra/ekstrahepatik. Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tetapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini akan memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 29 mg/dL. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung daru tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.1
Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi seperti berikut.1,2
A. Produksi yang berlebihan
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan. Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya. Penyebab yang tersering ditemukan di Indonesia adalah hemolisis yang timbul akibat inkompatibilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini dapat pula timbul karena adanya perdarahan tertutup (hematoma sefal, perdarahan subaponeurotik) atau inkompatibilitas golongan darah Rhesus. Infeksi juga memegang peranan penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia; keadaan ini terutama terjadi pada penderita sepsis dan gastroenteritis. Beberapa faktor lain yang juga merupakan penyebab hiperbilirubinemia adalah hipoksia, anoksia, dehidrasi dan asidosis, hipoglikemia, dan polisitemia.
B. Gangguan dalam proses ' uptake ' dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim
9
glukuronil transferase (sindrom Crigler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein-Y atau ligandin dalam hepar yang berperanan penting dalam 'uptake' bilirubin ke sel hepar.
C. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
D. Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar (intrahepatik) dan atau di luar hepar (ekstrahepatik). Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
Epidemiologi
Di Indonesia, didapatkan data ikkterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Selama tahun 2003, prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. Sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% mempunyai kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3, dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setipa hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia. Data yang agak berbeda didapatkan bahwa insidens ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.4
Penatalaksanaan 1. Ikterus fisiologis
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya ikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut.4
-
Minum air susu ibu (ASI) dini dan sering.
-
Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO.
10
-
Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, dilakukan pemeriksaan ulang dan kontrol lebih cepat (terutama bila tampak kuning). Bilirubin total serum 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor prediksi
hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar. Tatalaksana awal ikterus neonatorum menurut WHO: a.
Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.
b. Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis. c.
Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs: i. Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi sinar. ii. Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar, lakukan terapi sinar. iii. Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila memungkinkan.
2. Mengatasi Hiperbilirubinemia
a. Mempercepat proses konjugasi Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatal adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kernikterus/ensefalopati biliaris yaitu hiperbilirubinemia, serta mengobati penyebab langsung ikterus tadi. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukuronil transferase dengan pemberian obat seperti fenobarbital. Obat ini bekerja sebagai 'enzyme inducer ' sehingga konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu kirakira 2 hari sebelum melahirkan.
b. Menghambat metabolisme bilirubin Pemberian substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau albumin). Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15 - 20 ml/kgbb. Albumin biasanya diberikan sebelum transfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah
11
dikeluarkan dengan transfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi.
c. Dekomposisi blirubin Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi atau terapi sinar. Walaupun fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan transfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca transfusi tukar.1
d. Transfusi tukar Pada umumnya transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut.
-
Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek < 20 mg/dL.
-
Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3 - 1 mg/dL/jam.
-
Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung.
-
Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat < 14 mg/dL dan uji Coombs direk positif. Sesudah transfusi tukar harus diberi fototerapi. Bila terdapat keadaan seperti asfiksia
perinatal, distres pernafasan, asidosis metabolik, hipotermia, kadar protein serum kurang atau sama dengan 5 g/dL, berat badan lahir kurang dari 1.500 g dan tanda-tanda gangguan saraf pusat, penderita harus diobati seperti pada kadar bilirubin yang lebih tinggi berikutnya.1
Tabel 4. Skema Pelaksanaan Ikterus Menurut Waktu Timbulnya dan Kadar Bilirubin.1 Bilirubin serum
<24 jam <2500
>2500
24-48 jam <2500
>2500
49-72 jam <2500
>72 jam
>2500
<2500
>2500
(mg/dL) <5
Tidak perlu terapi-observasi
5-9
Terapi sinar bila hemolisis
10-14
Transfusi tukar bila
Terapi sinar
hemolisis 15-19
Transfusi tukar
>20
Terapi sinar Transfusi tukar
e. Terapi suportif Terapi suportif, antara lain: a. Minum ASI atau pemberian ASI peras. b. infus cairan dnegan dosis rumatan.
12
3. Monitoring
Monitoring yang dilakukan antara lain seperti berikut.2 i.
Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna kulit tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum selama bayi mendapat terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan.
ii.
Pulangkan bayi bila terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan baik, atau bila sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.
Pencegahan
Sebagai pencegahan primer, ibu dianjurkan untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali/hari untuk beberapa hari pertama. Tidak dianjurkan untuk memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi. Sebagai pencegahan sekunder, wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan Rhesus serta penyaringan serum utnuk antibodi isoimun yang tidak biasa. Selain itu, petugas medik harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadapa timbulnya ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda-tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8-12 jam.1,2
Komplikasi
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kernikterus, yaitu suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nukleus subtalamus hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar ventrikel IV. Secara klinis pada awalnya tidak jelas, dapat berupa mata berputar, letargi, kejang, tak mau menghisap, malas minum, tonus otot meningkat, leher kaku, dan opistotonus. Bila berlanjut dapat terjadi spasme otot, opistotonus, kejang, atetosis yang disertai ketegangan otot. Dapat ditemukan ketulian pada nada tinggi, gangguan bicara dan retardasi mental. 1 Kernikterus adalah komplikasi terberat hiperbilirubinemia. Oleh karena itu terhadap bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut sebagai berikut.1 A. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan B. Penilaian berkala pendengaran C. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa.
Prognosis
Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati biliaris. Grjala kernikterus ini dapat segera terlihat pada masa neonatus atau baru tampak setelah beberapa lama kemudian. Pada masa neonatus gejala mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan gangguan minum, letargi dan hipotonia. Selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan ditemukan opistotonus. Pada stadium lanjut mungkin didapatkan adanya atetosis disertai gangguan pendengaran
13
dan retardasi mental di hari kemudian. Dengan memperhatikan hal di atas, maka sebaiknya pada semua penderita hiperbilirubinemia dilakukan pemeriksaan berkala, baik dalam hal pertumbuhan fisik dan motorik, ataupun perkembangan mental serta ketajaman pendengarannya. 1-3
Kesimpulan
Ikterus merupakan disklorisasi pada kulit atau organ lain akibat penumpukan bilirubin. Bila ikterus terlihat pada hari ke 2-3 dengan kadar bilirubin indirek 5-6 mg/dL dan untuk selanjutnya menurun hari ke 5-7 kehidupan maka disebut ikterus fisiologis sedangkan ikterus patologis yaitu bila bilirubin serum meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dL/24 jam pertama kehidupan yang selanjutnya dapat terjadi kernikterus bila tidak didiagnosa dan ditangani secara dini. Gejala klinik yang dapat ditimbulkan antara lain letargik, nafsu makan yang menurun dan hilangnya refleks moro merupakan tanda-tanda awal yang l azim ditemukan tanda-tanda kernikterus jarang timbul pada hari pertama terjadinya kernikterus. Pengobatan yang diberikan pada ikterus bertujuan untuk mencegah agar konsentrasi bilirubin indirek dalam darah tidak mencapai kadar yang menimbulkan neurotoksitas, pengobatan yang sering diberikan adalah fototerapi dan transfusi tukar. Prognosis ikterus tergantung diagnosa secara dini dan penatalaksanaan yang cepat dan tepat.
14
Daftar Pustaka
1. Kliegman RM, Behrman RE & Jenson BH Nelson textbook of pediatrics, 6th ed. Philadelphia: Elsevier Science Health Science Division; 2007, 592-9. 2. Aminullah A, Ikterus dan hiperbilirubinemia pada neonatus. In AH Markum, S Ismael, H Alatas, A Akib, A Firmansyah & S Sastroasmoro editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2001. pp.313-7. 3. Steffensrud S. Hyperbilirubinemia in term and near-term infants: Physiology. Newborn and Infant Nursing Reviews [serial on the Internet]. 2004 [cited 2014 Jun 10].;4(4) Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/497028_2 4. Murray RK, Porphyrins & bile pigments. In RK Murray, DA Bender, KM Botham, PJ Kennelly, VW Rodwell & PA Weil editors. Harper's Illustrated Biochemistry 28th Edition. New York: McGraw Hill; 2009. pp.278-83.
15