BAB I REKAM MEDIS
I. IDENTIFIKASI
Nama
: By. N
Umur
: 5 hari
Jenis kelamin : laki-laki Berat badan
: 1400 gram
Tinggi badan : 41 cm Agama
: Islam
Alamat
: dalam kota
MRS
: 28 Januari 2013
II. ANAMNESA
(Alloanamnesa, dengan ibu penderita tgl 2 Februari 2013) Keluhan utama
: kuning
Keluhan tambahan
:-
III. RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT
Bayi lahir spontan di VK Kebidanan RSUD Palembang BARI, dari ibu G1P0A0 hamil 32-34 minggu. Bayi lahir ditolong bidan, saat lahir os tidak langsung menangis, APGAR Score 7/8, dilakukan pembersihan jalan napas. Riwayat KPSW (+) ± 24 jam, ketuban jernih, bau (-), kental (-), mekonium (), anus (+). Sejak ± umur 4 hari penderita mulai tampak kuning, malas minum (-), demam (-), lemah (-), muntah (-), BAB cair (-), kejang (-).
Riwayat Penyakit Dahulu o
disangkal
1
Riwayat Sosial Ekonomi
Penderita adalah anak pertama. Ayah penderita berusia 28 tahun, pendidikan terakhir SMA yang bekerja sebagai buruh. Ibu penderita berusia 26 tahun dengan pendidikan terakhir SMA, S MA, dan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Ekonomi keluarga ditanggung oleh orang tua penderita. Kesan: sosial ekonomi kurang
Riwayat Kehamilan
GPA
: G1P0A0
HPHT
:
Periksa hamil
: bidan
Kebiasaan ibu sebelum/selama kehamilan Minum Alkohol
: disangkal
Merokok
: disangkal
Makan obat-obatan tertentu
: disangkal
Penyakit atau komplikasi kehamilan ini
: disangkal
Riwayat persalinan
Presentasi
: kepala
Cara persalinan
: spontan
KPSW
: (+) 24 jam
Riwayat demam saat persalinan
: disangkal
Riwayat ketuban kental, hijau, bau
: kental (+)
Keadaan bayi saat lahir Jenis kelamin
: laki-laki
Kelahiran
: lahir di VK kebidanan, ditolong oleh bidan
Kondisi saat lahir
: tidak langsung menangis, A/S 7/8 BBL: 1500 gr, PBL: 41 cm
2
IV. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan umum
Keadaan umum
: baik
Kesadaran
: compos mentis
Berat badan
: 1500 gram
Panjang badan
: 41 cm
Lingkar Kepala
: 28 cm
Lingkar Dada
: 27 cm
Aktivitas
: aktif
Refleks isap
: kuat
Tangis
: kuat
Anemis
: tidak ada
Sianosis
: tidak ada
Ikterus
: (+) Kramer III
Dispneu
: tidak ada
HR
: 142 x/menit
Pernafasan
: 44 x/menit
Temperature
: 36,2 C
0
Keadaan Spesifik Kepala
Lingkar kepala
: 28 cm
Mata
: mata tidak cekung, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, refleks cahaya +/+ normal, pupil bulat, isokor.
Hidung
: nafas cuping hidung tidak ada.
Trauma lahir
: caput suksedandum (-), hematom sefal (-)
Leher
: tidak ada kelainan
Thorax
: simetris, retraksi (-)
Jantung
: bunyi jantung I dan II normal, reguler, murmur (-), gallop (-)
3
Paru-paru
: vesikuler (+) normal, ronki (-), wheezing (-)
Abdomen
: datar, lemas, bising usus (+) normal
Lipat paha dan genitalia
: testis (+), anus (+)
Ekstremitas
: akral hangat, CRT < 3 detik
Refleks primitif
:
Oral
: positif
Moro
: positif
Tonic neck
: positif
Withdrawal
: positif
Plantar grasp
: positif
Palmar grasp
: positif
V.
PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium (28/1/13 )
Hematologi Hemoglobin
: 18,1 g/dl
Leukosit
: 13.700/mm
Trombosit
: 235.000/mm
Diff. count
: 0/2/3/47/42/6
Hematokrit
: 53%
Golongan darah
: B+
CRP
: negatif
3 3
Kimia Klinik Bilirubin total
: 13,8 mg/dl
Bilirubin direk
: 2,3 mg/dl
Bilirubin indirek
: 11,5 mg/dl
4
VI. RESUME
Bayi N/6 hari/laki-laki, lahir di VK Kebidanan RSUD Palembang BARI, dari ibu G1P0A0 hamil 32-34 minggu. Bayi lahir ditolong bidan, saat lahir os tidak langsung menangis, APGAR Score 7/8, dilakukan pembersihan jalan napas. Riwayat KPSW (+) ± 24 jam, ketuban jernih, bau (-), kental (-), mekonium (), anus (+). Riwayat penyakit terdahulu (ibu) disangkal, riwayat sosial ekonomi kurang. HPHT
, periksa hamil di bidan. Riwayat konsumsi alkohol (-), merokok
(-), obat-obatan (-). Sejak ± umur 4 hari penderita mulai tampak kuning, malas minum (-), demam (-), lemah (-), muntah (-), BAB cair (-), kejang (-).
VII.
DIAGNOSIS SEMENTARA
Neonatus
: Preterm/SGA
Lahir
: spontan dengan KPSW ± 24 jam
Ibu
: G1P0A0
Anak
: Asfiksia ringan + T. Infeksi + BBLR + Ikterus + Hiperbilirubinemia
VIII. PENATALAKSANAAN
Injeksi Ampicilin 2x70 mg (5) Injeksi Gentamicin 4 mg/24 jam (5) IVFD D5 ¼ NS gtt 8 mikro ASI/PASI 12x23 cc Mobilisasi pasien Fototerapi PMK + Pijat BBLR
5
IX.
PROGNOSIS
Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad functionam
: dubia ad bonam
X.
FOLLOW UP SELAMA PASIEN DIRAWAT
Tanggal S: Keluhan O: Keadaan Umum Sensorium Berat badan Lingkar kepala Nadi RR Suhu Aktivitas R. Isap Tangis
Januari 2013 -
Compos mentis kg cm kali/menit, I/T cukup kali/menit o C
Keadaan Spesifik Kepala Konjungtiva palpebra pucat -/-, sklera ikterik -/- ,refleks cahaya +/+ normal, pupil bulat, isokor, Tenggorok: arcus faring simetris, uvula di tengah, dinding faring posterior hiperemis, tonsil hiperemis Leher pembesaranKGB(-) Thorax Paru-paru vesikuler (+) N, ronkhi (-),wheezing(-) Cor BJ I dan II normal, reguler, murmur (-), gallop (-) Abdomen Datar, lemas, hepar lien tidak teraba, BU(+) N Ekstremitas Akral dingin tidak ada, edema tidak ada, sianosis tidak ada Pemeriksaan penunjang Diagnosis Kerja Terapi
-
6
Tanggal S: Keluhan O: Keadaan Umum Sensorium Berat badan Lingkar kepala Nadi RR Suhu Aktivitas R. Isap Tangis
-
Compos mentis kg cm kali/menit, I/T cukup kali/menit o C
Keadaan Spesifik Kepala Konjungtiva palpebra pucat -/-, sklera ikterik -/- ,refleks cahaya +/+ normal, pupil bulat, isokor, Tenggorok: arcus faring simetris, uvula di tengah, dinding faring posterior hiperemis, tonsil hiperemis Leher pembesaranKGB(-) Thorax Paru-paru vesikuler (+) N, ronkhi (-),wheezing(-) Cor BJ I dan II normal, reguler, murmur (-), gallop (-) Abdomen Datar, lemas, hepar lien tidak teraba, BU(+) N Ekstremitas Akral dingin tidak ada, edema tidak ada, sianosis tidak ada Pemeriksaan penunjang Diagnosis Kerja Terapi
-
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Algoritma Ikterus Neonatorum
hiperbilirubinemia
umur < 24 jam
umur > 24 jam
periksa Coombs test
positif
ulang periksa bil total dan direk ( setelah 12 - 24 jam )
negatif bil.direk meningkat
inkompatibilitas golongan darah ( ABO, Rh, minor group)
bil.direk normal
infeksi intra uterin periksa hematokrit sepsis neonatal hepatitis obstruksi biliaris normal/menurun meningkat periksa morfologi RBC polisitemia
abnormal
normal
sferositosis inkomp.ABO def. G6PD
ekstravasasi darah sirk.entrohepatik kel. metab/endokrin
2.2 Definisi
Istilah “ikterus” berasal dari bahasa Yunani icteros atau istilah “jaundice” 1
berasal dari bahasa Perancis jaune yang berarti “kuning”. Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit, sklera atau membran mukosa karena 1
adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin. Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin total sewaktu >12 mg/dL dan >15
8
mg/dL pada bayi aterm; ikterus yang terjadi pada hari pertama kehidupan; peningkatan kadar bilirubin >5 mg%/24 jam; peningkatan kadar bilirubin direk >1,52
2 mg%; ikterus berlangsung > 2 minggu.
2.3 Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, ± 60% neonatus (ikterus fisiologis), disebabkan:
2,4
1. Bilirubin selama masa janin diekskresi melalui plasenta ibu sekarang harus diekskresi bayi sendiri 2. Jumlah eritrosit dan hemolisisnya lebih banyak pada n eonatus 3. Lama hidup eritrosit pada neonatus lebih singkat (7 0-90 hari) 4. Jumlah albumin untuk mengikat bilirubin pada bayi prematur atau bayi yang mengalami gangguan pertumbuhan intra-uterin kurang 5. Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase, uridine diphosphate glukoronil transferase dan ligand dalam protein belum adekuat) atau penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi. 6. Sirkulus enterohepatik meningkat karena masih berfungsinya enzim βglukuronidase di usus dan belum ada nutrien 1,2
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus patologis): Hari 1: -
Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus
-
Infeksi intrauterin TORCH
Hari 2-5: -
Prematuritas
-
Polisitemia
-
Infeksi
-
Kongenital spherositosis
-
Ikterus fisiologis
-
Sepsis
-
RDS
-
Perdarahan Ekstravaskular
9
-
Defisiensi G6PD
-
Breast feeding jaundice
Hari 5-10: -
Sepsis
-
Breast milk jaundice
-
Galaktosemia
-
Hipotiroidisme
-
Obat-obatan (sulfonamid, furosemid, thiazide, cephalosporine dll)
Hari >10: -
Sepsis
-
Neonatal hepatitis
-
Atresia biliaris
-
Peningkatan sirkulasi enterohepatik (stenosis pilorik, ob struksi usus)
Untuk menetapkan penyebab hiperbilirubinemia dibutuhkan pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus agar dapat memperkirakan penyebabnya. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk memperkirakan penyebab terjadinya hiperbilirubinemia yaitu:
3
a. Hiperbilirubinemia yang timbul pada 24 jam pertama
3
Penyebab hiperbilirubinemia yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sebagai berikut : 1. Inkompatibilitas darah Rh, AB0 atau golongan lain. 2. Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang-kadang bakteri). 3. Kadang-kadang oleh defisiensi G6PD. Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah : 1. Kadar bilirubin serum berkala 2. Darah tepi lengkap 3. Golongan darah ibu dan bayi 4. Uji Coombs
10
5. Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G6PD, biakan darah atau biopsi hepar bila perlu. 3
b. Hiperbilirubinemia yang timbul 24-72 jam sesudah lahir 1. Biasanya hiperbilirubinemia fisiologis.
2. Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah AB0 atau Rh atau golongan lain. Hal ini dapat diduga peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg%/24 jam. 3. Defisiensi enzim G6PD juga mungkin. 4. Polisitemia 5. Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan hepar subkapsuler dan lain-lain). 6. Hipoksia 7. Sferositosis, elipsitosis, dan lain-lain. 8. Dehidrasi asidosis 9. Defisiensi enzim eritrosit lainnya. Pemeriksaan yang perlu dilakukan: Bila keadaan bayi baik dan peningkatan hiperbilirubinemia tidak cepat, dapat dilakukan pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan kadar bilirubin berkala, pemeriksaan penyaring enzim G6PD dan pemeriksaan lainnya bila perlu. c. Hiperbilirubinemia yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir 3
minggu pertama
1. Biasanya karena infeksi (sepsis) 2. Dehidrasi asidosis 3. Defisiensi enzim G6PD 4. Pengaruh obat 5. Sindrom Crigler-Najjar 6. Sindrom Gilbert
11
d. Hiperbilirubinemia
yang
timbul
pada
akhir
minggu
pertama
dan
3
selanjutnya
1. Biasanya karena obstruksi 2. Hipotiroidisme 3. “ Breast milk jaundice” 4. Infeksi 5. Neonatal hepatitis 6. Galaktosemia Pemeriksaan yang perlu dilakukan : 1. Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala 2. Pemeriksaan darah tepi 3. Pemeriksaan penyaring G6PD 4. Biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi 5. Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab Hiperbilirubinemia baru dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern icterus. Pada breast milk jaundice terjadi hiperbilirubinemia pada 1 % dari bayi yang diberikan ASI. Hiperbilirubinemia biasanya terjadi pada hari kelima dan kadar bilirubin mencapai puncak pada hari ke-14 dan kemudian turun dengan pelan. Kadar normal tidak akan tercapai sebelum umur 12 minggu atau lebih lama. Jika pemberian ASI distop dan fototerapi singkat diberikan, kadar bilirubin akan menurun dengan .
cepat dalam waktu 48 jam
2.4 Faktor risiko
Faktor risiko meliputi: bayi kecil (berat lahir < 2500 g atau lahir sebelum kehamilan berusia 37 minggu), hemolisis, dan sepsis.
12
2.5 Metabolisme bilirubin
1,4
4
Bilirubin merupakan produk yang toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh.
Bilirubin berasal dari proses eritropoesis yang tidak efektif dan hasil pemecahan heme dalam sel retikuloendotelial limpa dan hati. Produk akhir jaras metabolisme ini adalah bilirubin indirek (bilirubin bebas/ bilirubin IX alfa) yang tidak larut dalam air, terikat pada albumin dalam sirkulasi. Setelah sampai hepar, terjadi mekanisme ambilan dan bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hati. Dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin (protein Y) dan protein Z dan glutation lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya konjugasi. Bilirubin indirek ini kemudian oleh enzim glukoronil transferase dimetabolisme menjadi bilirubin direk. Bilirubin direk akan disekresikan ke dalam sistem bilier oleh transporter spesifik. Setelah disekresi oleh hati, empedu disimpan dalam kandung empedu sampai proses makan akan merangsang pengeluaran empedu ke dalam duodenum. Bilirubin direk tidak dapat direabsorpsi oleh epitel usus, tetapi dipecah oleh flora usus menjadi sterkobilin dan urobilinogen yang kemudian dikeluarkan melalui tinja. Sebagian kecil bilirubin direk akan didekonjugasi oleh enzim βglukoronidase yang terdapat pada epitel usus dan bilirubin indirek yang dihasilkan ini akan direabsorpsi ke dalam sirkulasi dan kembali ke hati, yang dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik. Berdasarkan metabolisme normal bilirubin tersebut, mekanisme terjadinya ikterus berkaitan dengan: produksi bilirubin, ambilan bilirubin oleh hepatosit, ikatan bilirubin intrahepatosit, konjugasi, sekresi, dan ekskresi bilirubin. Pada sebagian kasus, lebih dari satu mekanisme yang terlibat.
13
Gambar 1. Metabolisme pemecahan hemoglobin dan pembentukan bilirubin
5
2.6 Diagnosis 5
Tabel 1. Derajat ikterus menurut Kramer Daerah hiperbilirubinemia I II III IV V
Kadar bilirubin (mg/dL) Penjelasan Prematur Aterm Kepala dan leher 4 – 8 4 – 8 Dada sampai pusat 5 – 12 5 – 12 Pusat bagian bawah sampai lutut 7 – 15 8 – 16 Lutut sampai pergelangan kaki dan bahu 9 – 18 11 – 18 sampai pergelangan tangan Kaki dan tangan termasuk telapak kaki dan > 10 > 15 telapak tangan
14
Gambar 2. Pembagian hiperbilirubinemia menurut Kramer
2.7 Penatalaksanaan
2
Tujuan penatalaksanaan ikterus pada neonatus adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kern ikterus, serta mengobati penyebab langsung ikterus. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar konjugasi bilirubin lebih cepat terjadi dengan memberikan luminal atau agar yang dapat merangsang terbentuknya enzim glukoronil transferase. Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau konjugasi
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma, albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolestiramin), terapi sinar atau transfusi tukar dapat juga dilakukan untuk mengendalikan kenaikan kadar 4
bilirubin.
Dikemukakan pula bahwa obat-obatan (IVIG: Intra Venous Immuno
Globulin dan Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud menghambat hemolisis, 6
meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin.
Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 mg/kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum transfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin
15
yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar. Glukosa perlu 3
diberikan untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi.
Tabel 3. Penanganan Bilirubinemia Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum Terapi Sinar Usia
Hari 1
3
Tranfusi Tukar
Bayi Sehat
Faktor Resiko
Bayi Sehat
Faktor resiko
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mmol/L
Setiap ikterus yang terlihat
mmol/L
mmol/L
15
260
13
220
mmol/L
Hari 2
15
260
13
220
19
330
15
260
Hari 3
18
310
16
270
30
510
20
340
Hari 4 dst
20
340
17
290
30
510
20
340
Terapi Sinar Bilirubin indirek tidak larut dalam air. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau urin. Ketika bilirubin mengabsorbsi sinar, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi (80%). Juga terdapat konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya yaitu lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari plasma (tanpa konjugasi) melalui empedu. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar pada manusia. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonjugasi diubah oleh cahaya (foto oksidasi, 20%) menjadi dipyrole yang diekskresikan melalui urin. Foto isomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa dieksreksikan melalui empedu. Hanya produk foto oksidan saja yang bisa diekskresikan lewat urin. Pada terapi sinar, panjang gelombang lampu yang digunakan 425-475 nm dengan panjang gelombang sinar biru 425 sampai 475 nm dan gelombang sinar putih 380 sampai 700 nm, serta intensitas cahaya 6-12 μwatt/cm2 per nm. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi. Jumlah bola lampu yang digunakan
16
berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari biru (F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes. Indikasi terapi sinar: 1. Bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar bilirubin >10 mg/dL. 2. Bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin >15 mg/dL. Kontraindikasi terapi sinar: 1. Hiperbilirubin direk/konjugasi 2. Phorfiria kongenital Alat untuk terapi sinar: 1. Unit terapi sinar 2. Lampu dapat berupa: a. Tabung fluoresens penghasil sinar blue-green
spectrum (panjang 2
gelombang 430-490 nm) dengan kekuatan 30 uW/cm b. Lampu halogen c. Sistem fibreoptic d. Lampu gallium nitrid 3. Pelindung mata 4. Pelindung lampu 5. Kotak penghangat atau incubator 6. Kain atau tirai putih 7. Pengukur suhu tubuh dan ruangan Teknik -
Persiapan Alat 0
-
Hangatkan ruangan sehingga suhu di bawah lampu 28-30 C.
-
Nyalakan tombol alat dan periksa apakah seluruh lampu fluoresens menyala dengan baik.
-
Ganti lampu fluoresens bila terbakar atau mulai berkedap-kedip:
17
Catat tanggal kapan lampu mulai dipasang dan hitung total durasi penggunaan lampu.
Ganti lampu setiap 2000 jam atau setelah penggunaan 3 bulan, walaupun lampu masih menyala.
-
Gunakan kain pada boks bayi atau incubator, letakkan tirai putih mengelilingi area sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin ke arah bayi.
Bayi -
Bila berat bayi 2000 gram atau lebih, letakkan bayi dalam keadaan telanjang di box bayi. Bayi yang lebih kecil diletakkan dalam inkubator.
-
Tutup mata bayi dengan penutup, pastikan penutup mata tidak menutup lubang hidung. Jangan gunakan plester untuk memfiksasi penutup.
Pemberian terapi sinar -
Letakkan bayi di bawah lampu terapi sinar dengan jarak 45-50 cm.
-
Letakkan bayi sedekat mungkin dengan lampu sesuai dengan petunjuk atau manual dari pabrik pembuat alat.
-
Ubah posisi bayi setiap 3 jam.
-
Pastikan bayi terpenuhi kebutuhan cairannya.
-
Pantau suhu tubuh bayi dan suhu udara ruangan setiap 3 jam.
-
Periksa kadar bilirubin serum tiap 6-12 jam pada bayi dengan kadar bilirubin yang cepat meningkat, bayi kurang bulan, atau bayi sakit. Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang setelah 12-24 jam terapi sinar dihentikan.
-
Hentikan terapi sinar bila kadar bilirubin turun di bawah batas untuk dilakukan terapi sinar atau mendekati nilai untuk dilakukan transfusi tukar.
18
Perhatian 1.
Bila kadar bilirubin tidak menurun atau cenderung naik pada bayi-bayi yang mendapat fototerapi intensif, kemungkinan besar terjadi proses hemolisis.
2.
Kebutuhan cairan meningkat selama pemberian terapi sinar -
Anjurkan ibu menyusui sesuai keinginan bayi, paling tidak setiap 3 jam, tidak perlu menambah atau mengganti ASI dengan air, dekstrosa atau formula.
-
Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu cara alternative pemberian minum. Selama dilakukan terapi sinar, naikkan kebutuhan hariannya dengan menambah 25 ml/kgBB.
-
Bila bayi mendapat cairan IV, naikkan kebutuhan hariannya 10-20%.
-
Bila bayi mendapat cairan IV atau diberi minum melalui pipa lambung, bayi tidak perlu dipindahkan dari lampu terapi sinar.
3.
Selama dilakukan terapi sinar, feses bayi bisa menjadi cair dan berwarna kuning. Keadaan ini tidak memerlukan terapi khusus.
4.
Bayi dipindahkan dari alat terapi sinar hanya bila akan dilakukan tindakan yang tidak dapat dikerjakan di bawah lampu terapi sinar.
5.
Bila bayi mendapat terapi oksigen, matikan lampu saat memeriksa bayi untuk mengetahui sianosis sentral.
6.
Warna kulit tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum selama bayi dilakukan terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan.
Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus-menerus, istirahat 12 jam, bila perlu dapat diberikan dosis kedua selama 24 jam. Komplikasi terapi sinar umumnya ringan, sangat jarang terjadi dan reversibel.
19
Tabel 2. Komplikasi terapi sinar Komplikasi
Mekanisme yang mungkin terjadi
Bronze baby syndrome
Berkurangnya ekskresi hepatik hasil penyinaran bilirubin
Diare
Bilirubin indirek menghambat laktase
Hemolisis
Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi eritrosit
Dehidrasi
IWL ↑ (30-100%) karena menyerap energi foton
Ruam kulit
Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast kulit dengan pelepasan histamin
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas terapi adalah intensitas radiasi, kurva spektrum emisi, luas tubuh bayi yang terpapar, usia bayi, umur gestasi, berat badan dan etiologi ikterus. Terapi sinar paling efektif untuk bayi prematur yang sangat kecil dan paling tidak efektif untuk bayi matur yang sangat kecil (gangguanpertumbuhan yang sangat berat) dengan peningkatan hematokrit. Selain itu, makin tinggi kadar bilirubin pada saat memulai fototerapi, makin efektif.
Gambar 2. Kurva fototerapi berdasarkan America Association of Pediatry
20
Tabel 4. Indikasi Terapi Sinar Pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah Berat badan (gr)
Kadar Bilirubin (mg/dL)
<1000
Fototerapi dimulai dalam usia 24 jam pertama
1000 – 1500
7-9 mg/dL
1500-2000
10-12 mg/dL
2000-2500
13-15 mg/dL
Transfusi Tukar Merupakan
suatu
tindakan
pengambilan
sejumlah
kecil darah
yang
dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-ulang sampai sebagian besar darah penderita tertukar. Transfusi tukar ini bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi, membantu mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi bayi, mengganti RBC yang sensitized dengan RBC yang tak dapat dihemolise, memperbaiki volume darah dan mengoreksi anemia, memberi albumin, dan membuang zat toksik dan koreksi imbalans elektrolit. 3
Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai berikut a. Kadar bilirubin tidak langsung >20 mg/dL b. Kadar bilirubin tali pusat >4 mg/dL dan Hb <10 mg/dL c. Peningkatan bilirubin >1 mg/dL
Tabel 2. Transfusi Tukar Pada Bayi Kurang Bulan Usia (jam)
BB < 1500gr
BB 1500 – 2000 gr
BB > 2000 gr
< 24
> 10-15 mg/dL
>15 mg/dL
> 16 mg/dL
25-48
> 10-15 mg/dL
>15 mg/dL
> 20 mg/dL
49-72
>10-15 mg/dL
>15 mg/dL
> 17 mg/dL
> 72
>15 mg/dL
>17 mg/dL
> 18 mg/dL
21
Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar ap abila ada indikasi: 1. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb < 10 gr/dL 2. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12 jam walaupun sedang mendapatkan terapi sinar 3. Anemia dengan early jaundice dengan kadar Hb 10 – 13gr/dL dan kecepatan peningkatan bilirubin 0,5 mg/dL/jam 4. Anemia yang progresif pada waktu pengobatan hiperbilirubinemia 5. Bayi menunjukkan tanda-tanda ensefalopati bilirubin akut (hipotoni, kaki melengkung, retrocolis, panas, tangis melengking tinggi) 6. Kadar bilirubin total >25 mg/dL
Gambar 3. Indikasi transfusi tukar
22
Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi: -
Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis
-
Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia
-
Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin
-
Perforasi pembuluh darah Komplikasi tranfusi tukar:
-
Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis
-
Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung
-
Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis
-
Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih
-
Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan
-
Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia
2.7 Pencegahan 3
Hiperbilirubinemia dapat dicegah dan dihentikan laju peningkatannya dengan: a.
Pengawasan antenatal yang baik
b.
Menghindari obat yang dapat meningkatkan hiperbilirubinemia pada bayi pada masa kehamilan dan kelahiran, mislnya sulfafurazol, novobiotin, oksitosin, dan lain-lain.
c.
Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus
d.
Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir
e.
Pemberian makanan yang dini
f.
Pencegahan infeksi
g.
Pemberian ASI eksklusif
h.
Bila memungkinkan, skrining golongan darah ibu dan ayah sebelum lahir.
i.
Bila ada riwayat bayi kuning dalam keluarga, periksa kadar G6PD
23
2.8 Prognosis
Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini dapat segera terlihat pada masa neonatus atau baru tampak setelah beberapa lama kemudian. Pada masa neonatus gejala mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan gangguan minum, latergi dan hipotonia. Selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan ditemukan epistotonus. Pada stadium lanjut mungkin didapatkan adanya atetosis disertai gangguan pendengaran dan retardasi mental di hari kemudian. Dengan memperhatikan hal di atas, maka sebaiknya pada semua penderita hiperbilirubinemia dilakukan pemeriksaan berkala, baik dalam hal pertumbuhan fisis dan motorik, 5,10
ataupun perkembangan mental serta ketajaman pendengarannya.
24
BAB III ANALISA KASUS
Seorang bayi perempuan berusia 5 hari dengan berat badan 1500 gr, panjang badan 41 cm, berkebangsaan Indonesia, beragama Islam, beralamat dalam kota, dirawat di boks Neonatus Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Palembang BARI pada tanggal 28 Januari 2013. Dari anamnesis didapatkan bayi umur 5 hari kuning sejak ± usia 4 hari. Bayi lahir di VK Kebidanan RSUD Palembang BARI, spontan dari ibu G1P0A0 hamil preterm. Lahir tidak langsung menangis. APGAR Score 7/8. Berat badan lahir 1500 gram. Riwayat ibu demam saat melahirkan tidak ada. Riwayat KPSW ada ± 24 jam. Riwayat ketuban kental, hijau, bau busuk tidak ada. Pada pemeriksaan umum, kesadaran sadar, HR 144 x/menit, pernafasan 32 x/menit, suhu 36,2º C, berat badan 1500 gram, panjang badan 41 cm, lingkar kepala 28 cm, aktif, reflek isap kuat dan tangis kuat, anemis (-), sianosis (-), dispneu (-), ikterik (+) Kramer III. Dari pemeriksaan penunjang laboratorium, CRP negatif, bilirubin total 13,8 mg/dl, bilirubin direk 2,3 mg/dl, bilirubin indirek 11,5 mg/dl. Pasien ini didiagnosis sementara dengan tersangka infeksi karena pada anamnesis ibu diketahui mengalami KPSW selama 24 jam dan pada pemeriksaan 3
laboratorium terdapat leukosit 13.700/mm . Saat bayi berusia empat hari, didapatkan kuning pada kulit bayi dengan Kramer derajat III, dan kadar Bilirubin total 13,8 mg/dl (N= <1.0 mg/dl), Bilirubin direk 2,3 mg/dl (N= 0.0 – 0.2 mg/dl), Bilirubin indirek 11.5 mg/dl (N= <1,3 mg/dl) sehingga diagnosa hiperbilirubinemia dapat ditegakkan. Hiperbilirubinemia yang mungkin saja timbul pada hari keempat antara lain adalah karena prematuritas, infeksi, ikterus fisiologis, RDS, polisitemia, kongenital spherositosis, sepsis, perdarahan ekstravaskular, defisiensi G6PD, dan breast feeding jaundice.
25
Breast milk jaundice lebih sering terjadi mulai awal 4-7 hari kehidupan, dan apabila tidak ditemukan penyebab lain dari ikterus, dari anamnesis didapatkan bahwa diberikan susu formula dengan alasan ASI belum keluar sehingga kemungkinan breast milk jaundice dapat disingkirkan. Kemungkinan penyebab hiperbilirubinemia pada bayi ini adalah karena infeksi dan bayi berat lahir rendah. Pada sepsis terjadi peningkatan produksi bilirubin indirek sehingga berdampak ikterus pada neonatus. Pada anamnesis didapatkan riwayat prematuritas yang berkaitan dengan kondisi berat lahir rendah, peningkatan bilirubin pada kondisi ini dapat disebabkan eritrosit lebih cepat mengalami hemolisis, usia eritrosit lebih pendek Penatalaksanaan pasien ini dengan pemberian IVFD D5 ¼ NS gtt 8 mikro. Jumlah cairan yang diberikan dihitung setiap hari berdasarkan berat badan dan umur. ASI/PASI
tetap diberikan melalui OGT. Sementara itu, pada pasien ini juga
dilakukan fototerapi. Foto terapi dilakukan untuk mencegah semakin meningkatnya bilirubin sehingga komplikasi kern ikterus dapat dihindari. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau urin. Ketika bilirubin mengabsorbsi sinar, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi (80%). Juga terdapat konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya yaitu lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari plasma (tanpa konjugasi) melalui empedu. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar pada manusia. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonjugasi diubah oleh cahaya (foto oksidasi, 20%) menjadi dipyrole yang diekskresikan melalui urin. Foto isomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa dieksreksikan melalui empedu. Hanya produk foto oksidan saja yang bisa diekskresikan lewat urin. Pasien diduga mengalami infeksi, sebab pasien memiliki predisposisi untuk mengalami infeksi, yakni adanya ketuban pecah yang lebih dari 12 jam. Sehingga pasien ini diberikan antibiotika untuk tatalaksana infeksi. Antibiotik yang diberikan berupa injeksi Ampicilin 2x70 mg dan injeksi Gentamicin 4 mg/24 jam yang sudah diberikan sejak hari pertama.
26
Foto terapi dilakukan bila kadar bilirubin total meningkat mendekati indikasi transfusi tukar, biasanya 4 mg/dl di atas garis batas. Foto terapi dapat dihentikan jika kadar bilirubin tidak meningkat lagi dan kadarnya separuh dari kadar indikasi untuk transfusi tukar, atau kadar bilirubin total <13 mg/dl. Efek samping yang dapat terjadi akibat fototerapi adalah suhu tidak stabil, kerusakan retina, diare, bronze baby syndrome, dehidrasi. Prognosis pasien ini adalah quo ada vitam dan quo ad functionam dubia ad bonam karena selama mendapatkan terapi terdapat respon yang baik, ditandai dengan membaiknya keadaan klinis.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Hadinegoro SR, Prawitasari T, dkk. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUIRSCM. 2007. 2. Staf Pengajar FK Unsri. Hiperbilirubinemia Neonatal. Buku Standar Profesi Ilmu Kesehatan Anak. Palembang: FK Universitas Sriwijaya. 2005. 3. Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan. 2004. HTA Indonesia 2004 Tatalaksana Ikterus Neonatorum. Kementrian kesehatan RI: Jakarta 4. Sastroasmono S, dkk. Ikterus Neonatorum. Diambil dari: http//www.yanmedikdepkes.net . 5. Asil Aminullah; Ikterus dan Hiperbilirubinemia pada Neonatus dalam A.H. Markum (ed), Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, edisi 6, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1999, hal : 313-317. 6. Sylviati
M.
Damanik.
Hiperbilirubinemia.
Diambil
dari:
http//www.pediatrik.com. 7. Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik MS. Hiperbilirubinemia pada Neonatus. Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya: FK Unair/Dr. Soetomo. 8. Staf Pengajar FK Unsri. Sepsis Neonatorum. Buku Standar Profesi Ilmu Kesehatan Anak. Palembang: FK Universitas Sriwijaya. 2005 9. Quagliarello, Vincent J., Scheld W. 1997. Treatment of Bacterial Meningitis. The New England Journal of
Medicine. 336 : 708-16 Diambil dari URL :
http://content.nejm.org/cgi/reprint/336/10/708.pdf 10. Behrman R.E.; Kliegman R.M., Nelson W.E., Vaughan V.C. (ed); Icterus rd
Neonatorum in Nelson Textbooks of Pediatrics, XIV
Edition; W.B.
Saunders Company, Philadelphia, Pennsylvania 19106, 1992; pages 641647.
28