IDENTIFIKASI KEBUTUHAN KAYU BAKAR MENURUT ASAL PADA INDUSTRI GULA KELAPA DI KECAMATAN WANGON KABUPATEN BANYUMAS JAWA TENGAH
AMELIA RESTANING MURDIYANSAH
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
IDENTIFIKASI KEBUTUHAN KAYU BAKAR MENURUT ASAL PADA INDUSTRI GULA KELAPA DI KECAMATAN WANGON KABUPATEN BANYUMAS JAWA TENGAH
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Oleh AMELIA RESTANING MURDIYANSAH
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi Kebutuhan Kayu Bakar Menurut Asal pada Industri Gula Kelapa di Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2013
Amelia Restaning M NRP E14080015
ABSTRAK AMELIA RESTANING MURDIYANSAH. Identifikasi Kebutuhan Kayu Bakar Menurut Asal pada Industri Gula Kelapa di Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Dibimbing oleh HARDJANTO. Kabupaten Banyumas merupakan sentra industri penghasil gula kelapa. Salah satu daerah yang menghasilkan produk gula kelapa terbesar yaitu Kecamatan Wangon. Permintaan gula kelapa sebagai bahan baku dalam konsumsi rumah tangga dan industri makanan semakin meningkat mengakibatkan kebutuhan kayu bakar juga meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sumber kayu bakar yang digunakan, mengidentifikasi teknik memperoleh kayu bakar, menghitung kebutuhan kayu bakar yang digunakan dalam industri gula kelapa, dan menghitung potensi kayu bakar di Kecamatan Wangon. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan langsung ke industri gula kelapa. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa bahan bakar utama dalam mengolah gula kelapa berasal dari hutan rakyat dan tambahannya berasal dari hutan negara. Berdasarkan asal geografis kayu bakar diperoleh dari dalam desa dalam kecamatan sebanyak 92%, luar desa dalam kecamatan sebanyak 6% dan dari luar desa luar kecamatan sebanyak 2%. Industri yang memperoleh kayu bakar dengan cara memungut dan memangkas sebanyak 64 % dan yang memperoleh dengan cara membeli sebanyak 36%. Potensi kayu bakar yang tersedia di Kecamatan Wangon sebanyak 180.195,05 m3. Kebutuhan kayu bakar untuk industri gula kelapa di Kecamatan Wangon sebanyak 10.888,03 m3/tahun. Penelitian ini menunjukan bahwa potensi kayu bakar mampu memenuhi kebutuhan kayu bakar selama 16,55 tahun dengan jumlah tegakan tidak mengalami perubahan. Kata kunci : industri gula kelapa, kayu bakar, potensi
ABSTRACT AMELIA RESTANING M. Identification of The Needs of Firewood of Coconut Palm Sugar Industry Based on The Origin in Wangon Sub-District, Banyumas District, Central Java Province. Supervised by HARDJANTO. Banyumas District is a central industry of coconut palm sugar. One region that produces the most coconut palm sugar product is Wangon SubDistrict. The demand of coconut palm sugar as raw materials on the household consumption and food industry is increasing which also effects the needs of firewood. This research aims to identify the source of firewood that is used, to identify the technique to obtain firewood, to calculate the needs of firewoods that is used in the coconut palm sugar industry, and to calculate the firewood potential at Wangon Sub-District. This research was done by direct observation to the coconut palm sugar producers and the collected data was analyzed by descriptive method. The result of this research shows that the main fuel on the processing of coconut palm sugar was obtained from the society forest and the addition was obtained from the states forest. Based on the geographic origin, firewoods which were obtained from inside the village and inside the sub-district is as much as 92%, firewood obtained from outside the village and inside the sub-district is as much as 6% and firewood obtained from outside the village and outside the sub-district is as much as 2%. Producers which obtained firewoods by collecting and trimming is as much as 64%, while firewoods obtained by buying is as much as 36%. Firewood potential which is available at Wangon Sub-District is 180.195,05 m3. The needs of firewood for coconut palm sugar industry at Wangon Sub-District is 10.888,03 m3/year. This research shows that the firewood potential can fulfill the needs of firewood for 16.55 years with unchanged number of stands. Keywords : coconut palm sugar industry, firewood, potential.
i
LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi: Identifikasi Kebutuhan Kayu Bakar Menurut Asal pada Industri Gula Kelapa di Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas Jawa Tengah Nama
: Amelia Restaning M
NRP
: E14080015
Menyetujui: Dosen Pembimbing
Prof Dr Ir Hardjanto, MS NIP. 19550606 198103 1 008
Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Hutan,
Dr Ir Didik Suhardjito, MS NIP 19630401 199403 1 001
Tanggal Lulus:
ii
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Identifikasi Kebutuhan Kayu Bakar Menurut Asal pada Industri Gula Kelapa di Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas Jawa Tengah yang dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2012. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir Hardjanto, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan motivasi bagi penulis selama penulisan skripsi. Terima kasih juga kepada pemerintah daerah Kabupaten Banyumas yang telah membantu selama penelitian. Selain itu, ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu, Bapak, dan Kakak atas dukungan, kasih sayang, dan doanya serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2013
Amelia Restaning M
iii
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
iii
DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN I PENDAHULUAN
v vii 8
1.1
Latar Belakang
8
1.2
Perumusan Masalah
9
1.3
Tujuan
II TINJAUAN PUSTAKA
10 12
2.1
Kayu Bakar
12
2.2
Gula Kelapa
15
2.3
Penelitian Terdahulu
17
III METODE PENELITIAN
20
3.1
Waktu Penelitian
20
3.2
Bahan dan Alat
20
3.3
Kerangka Pemikiran
20
3.4
Metode Pengambilan Contoh
22
3.5
Metode Pengolahan Data
22
IV KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
24
4.1
Letak dan Posisi Geografis
24
4.2
Penggunaan Lahan di Kecamatan Wangon
25
4.3
Topografi dan Iklim
25
4.4
Kependudukan
26
4.5
Sarana dan Prasarana
26
V HASIL DAN PEMBAHASAN
28
5.1
Karakteristik Pengolah Gula Kelapa
28
5.2
Sumber Kayu Bakar dalam Pengolahan Gula Kelapa
31
5.3
Pola Memperoleh Kayu Bakar
33
5.4
Kebutuhan Kayu Bakar dalam Pengolahan Gula Kelapa
37
5.5
Potensi Hutan Rakyat di Kecamatan Wangon
42
5.6
Keterkaitan Antara Kebutuhan Kayu Bakar dengan Ketersedia Kayu Bakar
43
VI KESIMPULAN DAN SARAN
44
6.1 Kesimpulan
44
iv
6.2 Saran
44
DAFTAR PUSTAKA
45
DAFTAR PUSTAKA
45
LAMPIRAN
48
v
DAFTAR TABEL 1
Penggunaan lahan di Kecamatan Wangon
25
2
Keadaan penduduk Kecamatan Wangon menurut umur dan jenis
26
kelamin pada akhir tahun 2010
26
3
Panjang jalan menurut jenis permukaan per desa tahun 2009
27
4
Sarana dan prasarana pendidikan
27
5
Karakteristik pengrajin gula kelapa berdasarkan usia dan masa kerja
28
6
Alasan bekerja sebagai pengrajin gula kelapa
29
7
Pendapatan pengrajin gula kelapa
30
8
Kepemilikan lahan pengrajin gula kelapa
30
9
Sumber kayu bakar berdasarkan asal geogragfis
32
10
Teknik dan intensitas memperoleh kayu bakar
33
11
Teknik pengangkutan kayu bakar berdasarkan moda angkutan yang digunakan
36
12
Tempat penyimpanan kayu bakar
36
13
Periode produksi gula kelapa berdasarkan waktu pemasakan nira
38
14
Kebutuhan kayu bakar untuk memasak nira
40
15
Total kebutuhan kayu bakar pada industri gula kelapa di Kecamatan Wangon
42
vi
DAFTAR GAMBAR 1
Kerangka pemikiran penelitian
21
2
Peta Kecamatan Wangon
24
3
Tempat penyimpanan kayu bakar
37
4
Jenis-jenis tungku pengolahan gula kelapa
39
5
Tumbukan kayu bundar rimba sortimen KBK yang mempunyai ukuran diameter lebih kurang dari 30 cm.
49
vii
DAFTAR LAMPIRAN 1
Teknik pengukuran kayu bakar
49
2
Kakarteristik pengrajin gula kelapa
51
3
Karakteristik industri gula kelapa
58
4
Pola penggunaan kayu bakar
59
5
Kebutuhan kayu bakar
65
6
Potensi kayu bakar
68
8
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan dapat menyediakan barang dan jasa untuk keperluan manusia. Hasil hutan yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat meliputi kayu untuk bangunan tempat tinggal, kayu bakar, arang kayu, bahan-bahan anyaman dan kayu-kayu spesial. Kayu bakar termasuk energi konvensional yang sifatnya dapat diperbaharui melalui cara pemudaan dan teknik budidaya. Berbeda dengan energi minyak bumi dan fosil, keduanya dapat habis tereksploitasi. Karakteristik energi kayu yang baik ini dapat menjamin kesinambungan produksi dan konsumsi energi asal kayu disamping manfaat lainnya yang terkait fungsi tanaman atau hutan (Nurhayati et al. 2002). Kayu bakar sebagai sumber energi terbarukan memiliki peran yang penting bagi
masyarakat
pedesaan
di
Indonesia
dalam
menunjang
kesinambungan pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kayu bakar masih banyak digunakan sebagai sumber energi khususnya di rumah tangga dan industri rumah di pedesaan. Kayu bakar digunakan untuk memasak makanan, air dan pemanasan. Kayu bakar bagi masyarakat di pedesaan belum akan tergantikan secara total oleh jenis energi seperti minyak tanah dan gas karena kemampuan daya belinya yang rendah dan sulitnya memperoleh pekerjaan alternatif di luar usaha tani (Dwiprabowo 2010). Kayu bakar merupakan energi yang lebih mudah diperoleh dan tersedia di pedesaan. Kayu bakar dapat diperoleh di kawasan hutan negara, hutan rakyat, pekarangan rumah, kebun talun, dan limbah pertanian (Hendra 2007 dalam Tampubolon 2008). Namun menurut Dwiprabowo (2010) terdapat tiga sumber kayu bakar atau limbah biomassa untuk energi rumah tangga yakni Perum Perhutani, perkebunan dan kebun atau hutan rakyat, serta industri penggergajian. Persediaan kayu bakar setiap daerah berbeda-beda. Menurut Dewi (1994) sumber konsumsi kayu bakar rumah tangga dan industri rumah tangga terpenuhi dari lahan milik dan hutan. Menurut Santosa (2001) kayu bakar di Kabupaten Kulonprogo digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri pedesaan, konsumsi rumah tangga dan keperluan kayu bakar keluar wilayah
9
tersebut. Potensi kayu bakar yang tersedia mampu mencukupi kebutuhan penggunaan kayu bakar. Namun menurut Budiyanto (2009) potensi kayu bakar di lahan milik tidak mencukupi kebutuhan total kayu per kapita per tahun. Hal ini mengakibatkan masyarakat memenuhi kebutuhan kayu bakar dari hutan. Kayu bakar sudah sejak lama digunakan sebagai bahan bakar industri. Menurut Mursaid et al. (1956) dalam Hamzah (1980) konsumen-konsumen yang menggunakan kayu bakar antara lain rumah tangga, karet rakyat, perusahaan-perusahaan makanan, perusahaan pembakaran (kapur, bata, genteng, keramik), perusahaan batik, penggarangan tembakau dan pabrikpabrik gula. Kabupaten Banyumas merupakan salah satu kabupaten yang memiliki banyak industri rumah tangga. Industri tersebut antara lain, industri gula kelapa, industri tempe, industri tahu, industri bioetanol, industri genteng, industri getuk goreng, industri minyak atsiri, industri batu bata, kerajinan bambu, kerajinan gerabah, dan kerajinan keramik. Kabupaten Banyumas merupakan sentra industri penghasil gula kelapa. Salah satu daerah yang menghasilkan produk gula terbesar yaitu Kecamatan Wangon. Produk gula kelapa yang dihasilkan memiliki pasar yang sangat luas. Permintaan gula kelapa sebagai bahan baku dalam konsumsi rumah tangga dan industri makanan yang semakin meningkat mengakibatkan kebutuhan kayu bakar juga meningkat. Keberadaan kayu bakar sangat penting diperhatikan untuk menjaga produksi gula. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang identifikasi kebutuhan kayu bakar menurut asal. 1.2 Perumusan Masalah Kabupaten Banyumas merupakan salah satu daerah penghasil gula kelapa (gula jawa atau gula merah) yang sangat potensial di Jawa Tengah. Menurut data dari Deperindag (2011) terdapat kurang lebih 26.051 unit usaha gula kelapa dengan volume produksi mencapai 59.360.616 ton per tahun yang tersebar di 24 kecamatan dan terdapat lima kecamatan yang perkembangan usaha industri gula kelapanya sangat produktif dengan produksi terbesar yaitu
10
Kecamatan Cilongok, Kecamatan Ajibarang, Kecamatan Wangon, Kecamatan Somagede, dan Kecamatan Lumbir. Pasar utama industri gula kelapa asal Banyumas adalah industri makanan dan konsumsi rumah tangga. Selain itu, pemasaran gula kelapa juga merambah ke pasar luar negeri. Kebutuhan gula kelapa akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kecamatan
Wangon
merupakan
salah
satu
kecamatan
yang
menghasilkan gula terbesar. Di Kecamatan Wangon terdapat 1.664 unit industri gula kelapa dengan volume produksi gula sebanyak 11.149,20 kg/hari. Jumlah pohon yang disadap sebanyak 30.970 pohon. Produk industri gula kelapa di Kecamatan Wangon digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar dan juga dikirim ke beberapa wilayah di Pulau Jawa. Industri gula kelapa merupakan salah satu industri rumah tangga yang menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar dalam proses pemasakan. Keberadaan kayu bakar sangat penting bagi industri gula kelapa. Mereka memperoleh kayu bakar dengan cara membeli atau mencari di hutan. Semakin banyak gula yang dimasak maka kayu bakar yang dibutuhkan semakin banyak, sehingga persediaan kayu bakar dapat berkurang. Oleh karena itu, mengetahui sumber dan potensi kayu bakar di suatu daerah sangat penting untuk menghindari kelangkaan kayu bakar. Penelitian ini meliputi sumber-sumber pemenuhan kayu bakar dan pendugaan besarnya kebutuhan kayu bakar. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Wangon dengan pertimbangan ragam industri rumah tangga, terdapat hutan negara dan kemudahan akses transportasi. Hasil dari kegiatan ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai tindakan yang perlu dilakukan untuk mempertahankan kelestarian sumber kayu bakar dan kelanjutan industri gula. 1.3 Tujuan 1. Mengidentifikasi sumber kayu bakar yang digunakan dalam industri gula kelapa
11
2. Mengidentifikasi teknik memperoleh kayu bakar dalam industri gula kelapa 3. Menghitung kebutuhan kayu bakar yang digunakan dalam industri gula kelapa 4. Menghitung potensi kayu bakar di Kecamatan Wangon
12
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu Bakar Pengertian energi biomassa dapat didefinisikan sebagai energi terbarukan dalam bentuk energi padat yang berasal dari berbagai tumbuhan berlignoselulosa baik yang langsung digunakan atau diproses terlebih dahulu. Energi biomassa dalam hal ini mencakup kayu bakar, limbah pembalakan, limbah industri perkayuan, limbah perkebunan atau pertanian, briket kayu, arang, dan briket arang. Dalam sektor kehutanan energi biomassa difokuskan pada kayu bakar, limbah pembalakan, limbah industri perkayuan, arang dan briket arang (Tampubolon 2008). Kayu merupakan sumber energi yang pertama dikenal dan digunakan manusia secara universal. Selain untuk memasak, kayu juga digunakan untuk pemanasan di daerah beriklim dingin. Sampai saat ini di banyak negara berkembang kayu bakar masih merupakan bahan utama energi untuk memasak bagi penduduk pedesaan. Peranan kayu bakar di Indonesia diperkirakan menggunakan limbah pertanian sebagai energi untuk memasak dalam jumlah besar, terutama untuk daerah pedesaan. Selain untuk memasak, kayu bakar juga digunakan oleh perusahaan pembuatan batu bata, genteng, industri makanan dan keramik (Coto 1980). Kayu bakar adalah kayu yang berdiameter 4−15 cm yang menurut bentuk dan ukurannya tidak dapat dijadikan kayu perkakas (Kepmenhut 127/Kpts-II/2003). Berdasarkan peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan Nomor: P.14/VI-BIKPHH/2009 tentang metode pengukuran kayu bulat rimba Indonesia, Kayu Bulat Kecil (KBK) adalah pengelompokan kayu yang terdiri dari kayu dengan diameter kurang dari 30 cm, kayu dengan diameter 30 cm atau lebih yang direduksi karena mengalami cacat atau busuk bagian hati pohon atau gerowong lebih dari 40%, limbah pembalakan, kayu lainnya berupa kayu bakar, tonggak, cerucuk, tiang jermal, tiang pancang, dan cabang. Kayu bakar termasuk dalam Kayu Bulat kecil (KBK) dimana dalam perhitungan volumenya menggunakan metode stepel meter (sm). Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.05/VI-BIKPHH/2008 tentang Perubahan Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.02/VI-
13
BIKPHH/2008 tentang Angka Konversi Volume Tumpukan Stapel Meter (sm) ke dalam Volume Satuan Kubik (m³) Kayu Bulat Kecil (KBK). Berdasarkan Hamzah (1980) pemakaian kayu bakar akan cenderung meningkat berkaitan dengan: a. Kenaikan harga bahan bakar minyak b. Kenaikan jumlah penduduk c. Kenaikan jumlah orang yang menganggur d. Kenaikan kebutuhan rakyat yang tinggal di dekat hutan e. Kenaikan kebutuhan kapur, bata dan genteng sebagai akibat peningkatan kemakmuran penduduk kota. Menurut Goverment of Indonesia (GOI) dan Food Agriculture Organization (1990) terdapat beberapa sumber untuk bahan bakar kayu bakar, yaitu : a. Hutan Produksi Kira-kira 35 juta m3 kayu dalam bentuk log berasal dari hutan produksi di Indonesia setiap tahun dan diperkirakan 65-70% equivalent dari volume tersebut meninggalkan hutan sebagai residu. b. Hutan Konversi Pada konsensus klasifikasi TGHK terdapat 30 juta ha hutan dikonversi ke pemanfaatan pertanian dan pemukiman penduduk. Akan tetapi, ketika area-area tersebut dibersihkan untuk pemukiman, volume kayu yang terdapat di area tersebut tidak dimanfaatkan secara langsung. Kebanyakan kayu-kayu tersebut akan digunakan untuk industri perkayuan, sisanya akan digunakan untuk energi atau hilang karena proses pembusukan. c. Pekarangan rumah Merupakan bagian dari strategi untuk mengembangkan suplai bahan baku dan untuk mengurangi tekanan terhadap hutan alam. GOI telah meluncurkan program-program untuk memperkenalkan produksi-produksi kayu dari pekarangan rumah khususnya di Jawa (sengonisasi atau program penanaman Albizia falcataria) dan di Sumatra (Pinus Rakyat di luar Jawa atau penanaman pinus di luar Jawa). Program-program tersebut
14
merupakan program pemerintah yang sangat berhasil pada Pelita IV dan akan dilanjutkan tegas di Pelita V. d. Agroforestry Pada penebangan habis hutan dan dalam pembangunan perkebunan, petani mengkombinasikan praktek pertanian dan kehutanan untuk mengawetkan tanah, mengembangkan tanaman-tanaman pertanian dan peternakan serta mengembangkan
suatu
keseimbangan
sumber kayu
bakar untuk
penggunaan rumah tangga. Tipe-tipe sistem agroforestry adalah tumpangsari (penanaman tanaman pertanian semusim dalam rangka penghutanan kembali areal-areal bekas tebangan), tegal pekarangan (tipe agroforestry yang mengkombinasikan kehutanan dan pertanian pada kebun-kebun milik), hutan rakyat (pada umumnya didapatkan di Jawa, dimana lahan milik ditanami dengan Albizia falcataria, Maesopsis eminii dan lain-lain untuk suplai industri perkayuan atau kayu bakar), hutan energi (hutan campuran dari jenis-jenis kayu bakar seperti Caliandra callothyrsus) e. Lahan Pertanian Rakyat Walaupun bukan dari hutan tanaman, pekarangan rumah dan lahan-lahan pertanian, umumnya ditanami kayu untuk kebutuhan kayu bakar. Pada tahun 1989 terdapat 10,6 juta ha penanaman yang disediakan untuk tanaman pertanian, dimana terdapat sumber kayu potensial (karet, coklat, kelapa sawit, kopi, jambu mete, dan lain-lain). Tanah-tanah pertanian tersebut dan kebun pekarangan memproduksi antara 86 juta−91 juta m3 kayu per tahun, dimana kira-kira 64 juta m3 berasal dari kebun pekarangan saja. Menurut Sylviani dan Asmanah (2001) jenis-jenis pohon yang digunakan sebagai kayu bakar dapat digolongkan ke dalam tiga ketegori yaitu: 1) Jenis pohon kayu pertukangan 2) Jenis pohon buah-buahan atau perkebunan 3) Jenis pohon kayu bakar atau energi Masyarakat pada umumnya tidak secara khusus menanam pohon untuk keperluan memenuhi kebutuhan kayu bakar akan tetapi mengambil manfaat
15
dari lingkungan yang ada disekitarnya. Masyarakat desa yang dekat dengan hutan cenderung mengambil rencekan dalam hutan dan masyarakat desa yang jauh dari hutan memanfaatkan tanaman yang ada di kebun sendiri. Silvikultur jenis potensial kayu bakar atau arang antara lain: a. Acacia auriculiformis (Akor) b. Acacia decurens Mim. (Akasia dekuren) c. Altingia exelsa Noronhae. (Rasamala) d. Calliandra callothyrus Meissn. (Kaliandra) e. Cassia siamea Lamk. (Johar) f. Dalbergia latifolia Roxb. (Sonokeling) g. Eucalyptus deglupta Blume. (Leda) h. Gliricidae maculata (Gamal) i. Gmelia arborea Linn. (Jati putih) j. Leucaena leucocephala syn Leucaena glauca (Lamtoro gung) k. Paraserianthes falcataria L. Nielsen (Sengon) l. Rhizophora spp. (Bakau) m. Sesbania grandiflora (Turi) Konsumsi energi untuk bahan bakar bagi keperluan rumah tangga di pedesaan sebagian besar masih dipenuhi dari energi kayu. Penggunaan kayu di pedesaan rata-rata mencapai 96,15% dari total yang digunakan untuk memasak. Cara memperoleh energi ini sebagian penduduk memperoleh dengan memungut sendiri baik berasal dari pekarangan atau halaman rumah, kebun, tegalan, wilayah perkebunan dan hutan. Bagian-bagian pohon yang diambil sebagian besar adalah berbentuk cabang dan ranting yang dilakukan dengan cara memangkas dan merencek (Mashar 1980). 2.2 Gula Kelapa Pohon kelapa termasuk jenis Palma yang berumah satu (monocious). Tumbuhnya lurus ke atas dan tidak bercabang. Pada umumnya tinggi batang mencapai 30−35 meter dan diameter batang rata-rata 25 cm. Umur pohon kelapa dapat mencapai 110 tahun bahkan diperkirakan dapat mencapai 140 sampai 160 tahun. Tanaman kelapa mempunyai manfaat yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Bukan saja buahnya yang berguna bagi manusia,
16
tetapi seluruh bagian tanaman mulai dari akar, batang sampai ke pucuk dapat dimanfaatkan. Tanaman kelapa juga memberikan sumbangan besar bagi perekonomian rakyat dan negara. Kelapa suatu penghasil bahan makanan yang sangat penting dalam kehidupan rakyat Indonesia. Rata-rata 80% dari hasil buah kelapa di seluruh nusantara dipakai sebagai bumbu dapur dan hanya 20% yang dibuat minyak. Bagian-bagian kelapa yang bermanfaat yaitu bagian buah, akar, batang, daun, tapas, bunga kelapa, dan buah kelapa (Soedijanto dan Sianipar 1985). Gula kelapa merupakan salah satu bahan makanan yang dibuat dari nira kelapa yang banyak diusahakan oleh masyarakat pedesaan (Azni 2001). Nira ini diambil dengan menyadap mayang (bunga) kelapa. Hasil nira per pohon per hari rata-rata 1,75 liter. Banyak sedikitnya nira yang dihasilkan dipengaruhi oleh keadaan iklim dan umur pohon kelapa. Nira yang dihasilkan oleh pohon kelapa muda lebih banyak daripada yang dihasilkan oleh pohon kelapa yang sudah tua. Nira hasil sadapan dari bunga kelapa dapat digunakan untuk membuat gula dan tuak (Soedijanto dan Sianipar 1985). Menurut Winarti et al. (1998) proses pembuatan gula kelapa pada prinsipnya adalah nira disadap dua kali sehari menggunakan wadah tabung bambu dan ditambahkan bahan pengawet nira yaitu rendaman kulit nangka dan kapur sirih. Nira hasil sadapan setelah disaring selanjutnya dimasak selama 5-6 jam sambil diaduk-aduk. Cara mencegah buih nira meluap keluar wajan ditambahkan parutan kelapa atau satu sendok makan minyak kelapa untuk 25 liter nira. Ketika nira sudah mengental nira diaduk dan api kayu bakar diturunkan sambil diaduk. Pengujian kekentalan dilakukan dengan cara meneteskan pekatan nira ke dalam air dingin, bila tetesan tersebut memadat berarti pemasakan sudah cukup dan siap untuk dicetak. Industri gula kelapa dalam proses pemasakannya bisa menggunakan bahan bakar dari kayu bakar, sekam padi, kayu pagar, daun-daun kering dan minyak tanah. Sedikit sekali pembuat gula kelapa yang menggunakan bahan bakar minyak tanah. Pada umumnya mereka menggunakan kayu bakar. Menurut Supomo (2007) dalam penelitiannya mengenai pengrajin gula kelapa di Kabupaten Purbalingga, data di lapangan menunjukkan bahwa
17
apabila menggunakan 100% kayu bakar maka satu pikul dapat memasak 25 kg gula kelapa. Selain kayu bakar, biasanya digunakan sekam padi sebagai bahan bakar tambahan. Sekam padi biasanya digunakan dalam kemasan kantong/karung. Untuk satu karung sekam padi biasanya dapat memasak sekitar 20 kg gula kelapa. Apabila menggunakan sekam padi harus digunakan bersama dengan kayu bakar, karena sekam padi hampir tidak bisa menghasilkan panas yang diinginkan apabila tidak dikombinasikan dengan kayu bakar. Menurut Rachmat (1989) sesuai dengan studi kasus yang dijumpai pada desa-desa yang menghasilkan gula kelapa di Jawa Barat dan Jawa Timur, pengusahaan kelapa menjadi gula dilakukan dengan dua cara yaitu: a. Sistem bagi hasil merupakan sistem pengusahaan kelapa dimana pengrajin gula kelapa sebagai penyadap melakukan penyadapan pohon milik orang lain, sedangkan hasilnya dimiliki secara bergilir seminggu atau tiga hari antara pemilik pohon dan penyadapnya. Apabila sistem bagi hasil sistem gilir mingguan maka pada minggu pertama hasil sadapan dimiliki penyadap dan minggu kedua untuk pemilik pohon dan seterusnya. b. Sistem sewa pohon merupakan sistem sewa dimana pohon kelapa yang akan disadap disewa oleh pengrajin gula kelapa. Sistem sewa ini ada dua jenis yaitu sistem sewa tahunan dan sistem sewa natura per hari. Sewa tahunan merupakan kegiatan penyewaan pohon kelapa dimana penyadap membayar pohon dengan nominal nilai sewa tertentu yang dibayar tahunan. Sistem sewa natura per hari yaitu pemilik pohon kelapa menerima satu ons gula kelapa per pohon per hari. 2.3 Penelitian Terdahulu Berikut ini adalah beberapa penelitian mengenai industri gula kelapa: 1. Pengolahan gula kelapa ditingkat petani masih sederhana. Pemasakan dilakukan menggunakan tungku tanah liat pada satu lubang (satu wajan) dengan bahan bakar kayu, sabut dan batok kelapa. Penggunaan bahan bakar kayu dalam proses pengolahan gula kelapa juga dipengaruhi oleh konstruksi tungku yang digunakan. Konstruksi tungku yang baik akan meningkatkan efisiensi waktu maupun bahan bakar. Tungku introduksi
18
atau tungku dua lubang yang digunakan dalam proses pengolahan nira yang dapat menghemat bahan bakar kayu yang digunakan. Tungku introduksi akan menghemat bahan bakar sampai 20% dibandingkan dengan tungku tradisional dengan satu lubang. Penggunaan tungku dengan dua lubang atau tungku introduksi akan meningkatkan volume nira yang bisa dimasak dan bisa digunakan untuk keperluan lain. Penggunaan tungku yang kurang baik akan menyebabkan pemborosan bahan bakar dan membutuhkan waktu lama sehingga nilai ekonomis gula berkurang (Winarti et al. 1998). 2. Survei konsumsi kayu bakar pada pemakai kayu bakar di rumah tangga untuk mengatasi permasalahan kekurangan kayu bakar. Survei ini dilakukan untuk mengatasi masalah kekurangan kayu bakar bagi pengrajin gula merah di tiga lokasi yaitu Jasinga Jawa Barat, Gombong Jawa tengah, dan Karangasem Bali. Hasil survei menunjukan bahwa ketiga lokasi tersebut merupakan daerah rawan terhadap kekurangan kayu bakar. Berdasarkan luas hutan rakyat yang tersedia di setiap lokasi maka kekurangan kayu bakar yang paling rawan adalah pengrajin gula merah di Gombong.
Mengatasi
defisit
kayu
bakar
dilakukan
dengan
mengintensifikasikan penanaman pohon jenis kayu bakar yang memiliki produksi energinya tinggi dan daur empat tahunan seperti kaliandra, lamtoro, dan sengon. Dengan cara ini kayu bakar akan tersedia secara berkesinambungan. Pengrajin gula kelapa di Gombong disarankan agar mengalihkan penggunaan kayu bakar untuk memasak bahan baku niranya ke minyak tanah atau briket batu bara dengan mereduksi penghasilan sekitar 30% (Nurhayati et al. 2002). 3. Produksi kayu bakar di Kabupaten Kulonprogo mampu mencukupi kebutuhan kayu bakar untuk industri pedesaan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi kayu bakar adalah luas lahan, frekuensi rencekan per tahun, jenis kayu fast growing dan slow growing yang sudah menghasilkan, dan asal kayu bakar. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kebutuhan kayu bakar untuk industri pedesan adalah harga kayu
19
bakar, harga minyak tanah, kapasitas industri pedesaan, industri pedesaan berskala kecil, dan letak industri (Santosa 2001).
20
III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu Penelitian Penelitian mengenai identifikasi kebutuhan kayu bakar menurut asal pada industri gula kelapa di Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas Propinsi Jawa Tengah dilaksanakan pada bulan Juni−Agustus 2012. Desa yang menjadi objek penelitian adalah Desa Rawaheng, Desa Randegan, Desa Pengadegan, Desa Wangon, Desa Jurangbahas, Desa Banteran, Desa Jambu, Cikakak, dan Desa Wlahar. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu bakar dan hutan rakyat. Kayu bakar yang diamati merupakan kayu bakar yang dikonsumsi oleh pengrajin gula kelapa. Pengamatan hutan rakyat bertujuan untuk menghitung potensi kayu bakar. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner, komputer, kalkulator, kamera, meteran gulung, dan meteran jahit. Kuisioner digunakan untuk memperoleh data dari pengrajin gula kelapa. Meteran jahit digunakan untuk mengukur diameter pohon dan meteran gulung digunakan untuk mengukur jarak antar pohon. 3.3 Kerangka Pemikiran Industri gula kelapa merupakan industri yang mengolah nira menjadi gula kelapa. Proses mengolah ini membutuhkan kayu bakar sebagai bahan bakar. Ketersedian kayu bakar merupakan hal yang penting untuk mendukung keberlanjutan proses produksi. Oleh karena itu, perlu diketahui sumber kayu bakar yang digunakan, sehingga dapat mengetahui potensi yang tersedia. Selain itu, dilakukan pengukuran terhadap kebutuhan kayu bakar, sehingga dapat mengetahui hubungan antara ketersediaan kayu bakar dan kebutuhan kayu bakar bagi industri pengrajin gula kelapa. Diagram kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
21
Industri gula kelapa
Identifikas asal komposisi kayu bakar
Asal hutan berdasarkan status hukum
Hutan negara & perkebunan
Hutan rakyat
Volume penggunaan kayu bakar (m3)
Asal geografis
Dalam desa dalam kecamatan
Luar desa dalam kecamatan
Luar desa luar kecamatan
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Harga pembelian kayu bakar (m3)
22
3.4 Metode Pengambilan Contoh a. Data 1) Pengamatan dan wawancara kepada pengrajin gula kelapa dilakukan secara langsung di lapangan untuk memperoleh data dan informasi mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan responden yang berkaitan dengan penggunaan kayu bakar. 2) Data-data pendukung yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari literatur dan pemerintah daerah setempat. b. Metode Pemilihan Responden Metode pemilihan responden dilakukan dengan cara random sampling yaitu teknik sampling yang digunakan oleh peneliti apabila populasi diasumsikan homogen (mengandung satu ciri) sehingga sampel dapat diambil secara acak (Idrus 2009). Jumlah sampel yang diambil berdasarkan metode slovin (Simamora 2004 dalam Fesanti 2011), dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan : n
= ukuran sampel
N
= jumlah popolasi
e
= batas toleransi kesalahan (10%) Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus slovin dengan
jumlah industri pengrajin gula kelapa sebanyak 1465 unit pengrajin dan batas toleransi kesalahan 10% maka diperoleh sampel 93 responden, namun dalam penelitian ini dibulatkan menjadi 100 responden. 3.5 Metode Pengolahan Data a. Analisis data Analisis
ini
dilakukan
secara
deskriptif
untuk
mengetahui
karakteristik responden, sumber pemenuhan kayu bakar, pola konsumsi kayu bakar. b. Volume kayu bakar yang digunakan Pengukuran jumlah konsumsi kayu bakar dilakukan dengan cara pengamatan dan pengukuran langsung. Menghitung kebutuhan kayu bakar
23
dalam satu kali produksi pada industri pengrajin gula kelapa dengan menggunakan metode stepel meter (Lampiran 1). c. Perhitungan potensi kayu bakar di hutan rakyat Hutan rakyat yang dijadikan sampel pengukuran potensi kayu bakar yaitu 9 desa. Desa-desa tersebut antara lain Jurangbahas, Cikakak, Jambu, Banteran, Wlahar, Wangon, Randegan, Pengadegan, dan Rawaheng. Potensi kayu bakar di hutan rakyat dihitung dengan cara: a) Menentukan sampel hutan rakyat pada masing-masing desa seluas 1 ha. b) Menentukan jenis dan menghitung diameter pada masing-masing lokasi. c) Menghitung volume tegakan dengan menggunakan tabel tegakan. d) Menghitung potensi kayu bakar tiap-tiap jenis. Potensi kayu bakar tiap jenis (m3/ ha)
= volume tegakan (m3/ ha)
x
perkiraan produksi kayu bakar Potensi kayu bakar per desa (m3)
= rata-rata potensi kayu bakar (m3/ ha) x luas hutan rakyat tiap desa (ha) 3
Potensi kayu bakar Kec. Wangon (m ) = rata-rata potensi kayu bakar (m3/ha) x luas hutan rakyat Kecamatan Wangon (ha) Menurut Soetomo dan Soemarna (1983) dalam Rostiwati et al (2006) perkiraan produksi kayu bakar dari areal hutan di Jawa terdiri dari kayu jati dan kayu lain (non jati). Nisbah kayu jati antara produksi kayu pertukangan dan kayu bakar di Jawa memperlihatkan kestabilan yaitu 100:30. Hal ini menunjukan terdapat 30 bagian kayu bakar dari potensi satu pohon (130). Kayu lain (non jati) rasio antara kayu pertukangan dan kayu bakar yaitu 100:65 sehingga suatu pohon terdapat 65 bagian kayu bakar dari potensi pohon keseluruhan (165).
24
IV KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak dan Posisi Geografis Penelitian dilakukan di sembilan desa di Kecamatan Wangon. Desadesa tersebut yaitu Wlahar, Cikakak, Jambu, Banteran, Wangon, Jurangbahas, Randegan, Rawaheng, dan Pengadegan. Secara administratif, Kecamatan Wangon termasuk wilayah Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan letak geografis Kecamatan Wangon terletak pada koordinat 108o59’49,01” BT−109o5’49,9” BT dan 7o59’26’29,26” LS−7o34’35,75” LS dengan luas Kecamatan Wangon yaitu 60,71 km2. Batas-batas Kecamatan Wangon antara lain: a. Sebelah Utara : Kecamatan Ajibarang b. Sebelah Selatan: Kabupaten Cilacap c. Sebelat Timur : Kecamatan Jatilawang dan Kecamatan Purwojati d. Sebelah Barat : Kecamatan Lumbir
Gambar 2. Peta Kecamatan Wangon Hutan negara di Kecamatan Wangon dikelola oleh Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Hutan negara yang dikelola oleh Kesatuan Pemangkuan
25
Hutan (KPH) Banyumas Timur terdapat di Desa Pengadegan. Hutan negara yang terdapat di Desa Randegan dan Desa Rawaheng termasuk dalam pengelolaan KPH Banyumas Barat. 4.2 Penggunaan Lahan di Kecamatan Wangon Penggunaan lahan di Kecamatan Wangon terbagi menjadi pekarangan atau bangunan, tanah kebun, perkebunan negara, hutan negara, dan lain-lain. Penggunaan lahan terbesar pada tanah kebun milik masyarakat. Lahan ini ditanami berbagai jenis kayu rakyat dan tanaman pangan. Tabel 1 Penggunaan lahan di Kecamatan Wangon Desa Randegan Rawaheng Pengadegan Klapagading Klapagading Kulon Wangon Banteran Jambu Jurangbahas Cikakak Wlahar Windunegara Jumlah
Pekarangan/ bangunan (ha) 81,9 65,0 79,0 136,0 118,0
Tanah kebun (ha) 550 434 405 54 45
Perkebunan negara (ha) 21 7 26 -
Hutan negara (ha) 134 6 69 -
75,0 85,0 77,0 44,0 56,0 52,0 55,0 924,7
136 67 222 130 208 93 123 2467
31 21 20 21 11 50 208
166 52 427
Lain-lain (ha)
Jumlah (ha)
89,00 135,00 128,00 26,71 9,59
875,9 647,0 707,0 216,7 173,4
105,00 50,00 188,00 109,00 116,00 23,00 22,00 1001,30
347,0 202,0 508,0 303,0 567,0 179,0 302,0 5028,0
Sumber : Bappeda Kabupaten Banyumas (2011) Lain-lain : Fasilitas umum (lapangan, tempat ibadah, tempat pemakaman umum) Klasifikasi penggunaan lahan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa vegetasi berada pada tanah kebun, perkebunan negara, dan hutan negara. Tanah kebun merupakan lahan yang paling luas ditanami pohon maupun palawija. Tanah kebun tersebut termasuk bentuk hutan rakyat di Kecamatan Wangon. 4.3 Topografi dan Iklim Topografi wilayah Kecamatan Wangon termasuk kategori datar hingga berbukit dengan kemiringan 0o−2o. Ketinggian wilayah termasuk pada kisaran 25−100 m dpl. Curah hujan di Kabupaten Banyumas cukup tinggi yaitu 2.579 mm per tahun, dengan suhu rata-rata 26,3 oC, suhu minimum
26
sekitar 24,4
o
C dan suhu maksimum 30,9
o
C (Pemerintah Kabupaten
Banyumas 2009) 4.4 Kependudukan Jumlah penduduk di Kecamatan Wangon pada akhir tahun 2010 adalah 73.348 jiwa yang terdiri dari 36.698 orang laki-laki dan 36.650 orang perempuan dengan pertumbuhan penduduk kecamatan 0,3. Sebagian besar penduduk Kecamatan Wangon berada pada kisaran usia produktif (usia 14−64 tahun). Data penduduk menurut umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Keadaan penduduk Kecamatan Wangon menurut umur dan jenis kelamin pada akhir tahun 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Kelompok Umur 0−4 5−9 10−14 15−19 20−24 25−29 30−34 35−39 40−44 45−49 50−54 55−59 60−64 65−69 70−74 75+ Jumlah
Laki-laki (jiwa) 3.524 3.370 3.619 2.790 2.036 2.528 2.629 2.912 2.884 2.640 2.182 1.775 1.235 1.038 724 812 36.698
Perempuan (jiwa) 3.153 3.184 3.370 2.663 2.175 2.774 2.874 3.083 3.014 2.631 2.113 1.623 1.253 1.063 809 868 36.650
Jumlah (jiwa) 6.677 6.554 6.989 5.453 4.211 5.302 5.503 5.995 5.898 5.271 4.295 3.398 2.488 2.101 1.533 1.680 73.348
Sumber : Bappeda Kabupaten Banyumas (2011) 4.5 Sarana dan Prasarana a) Perhubungan Kecamatan Wangon memiliki sarana jalan berupa jalan aspal desa dan bukan aspal. Sarana angkutan berupa angkutan umum (mini bus dan bus) dan sepeda motor. Angkutan umum menjadi transportasi yang menghubungkan antar kecamatan dan antar kabupaten. Sepeda motor merupakan angkutan pribadi. Selain itu, terdapat angkutan tidak bermotor yaitu sepeda dan becak. Terdapat sebuah terminal bus sebagai tempat pemberhentian sementara angkutan dalam kota, angkutan antar kota, dan angkutan antar provinsi.
27
Panjang jalan menurut jenis permukaan yang terdapat di Kecamatan Wangon disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Panjang jalan menurut jenis permukaan per desa tahun 2009 No
Desa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Randegan Rawaheng Pengadegan Klapagading Klapagading Kulon Wangon Banteran Jambu Jurangbahas Cikakak Wlahar Windunegara Jumlah
Kelas II 1,00 2,80 3,50 2,50 4,20 16,00
Panjang jalan (km) Jalan aspal Kelas III desa 2,20 7,00 4,00 2,00 8,30 2,00 6,00 1,70 6,50 4,00 3,50 1,00 2,50 2,50 3,00 3,70 15,70 44,20
Bukan aspal 6,50 1,30 5,00 3,10 3,00 6,50 8,00 16,00 3,00 1,00 12,95 66,35
Sumber : Bappeda Kabupaten Banyumas (2011) Jalan kelas II dan kelas III merupakan jalan raya propinsi yang dilalui oleh transpotasi umum. Jalan aspal desa dan bukan aspal digunakan untuk mempermudah transportasi masyarakat. Jalan ini lebih sering dilalui sepeda motor. Angkutan umum tidak melewati jalan ini. b) Pendidikan Fasilitas pendidikan di Kecamatan Wangon mendukung pembangunan pendidikan masyarakat. Sarana dan prasarana pendidikan wajib belajar sembilan tahun, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan sudah tersedia. Sarana dan prasarana pendidikan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Sarana dan prasarana pendidikan No 1 2 3 4 5
Sarana dan prasarana TK SD SLTP SLTA SMK
Sekolah (unit) 25 45 6 1 2
Sumber : Bappeda Kabupaten Banyumas (2011)
Murid (siswa) 955 7.774 3.274 788 1.498
Guru (orang) 88 386 198 71 99
28
V HASIL DAN PEMBAHASAN Industri gula kelapa yang diamati dalam penelitian ini merupakan industri rumah tangga. Petani penyadap nira kelapa merangkap sebagai pengrajin pembuat gula kelapa. Industri gula kelapa merupakan salah satu industri yang menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar. Pohon kelapa yang disadap merupakan pohon milik atau pohon bagi hasil. Kegiatan penyadapan nira dilakukan oleh laki-laki baik kepala keluarga maupun anggota keluarga yang bisa memanjat. Kegiatan pengolahan gula kelapa dilakukan oleh perempuan dan dibantu oleh anggota keluarga lainnya. Setelah melakukan kegiatan penyadapan, mereka memperoleh kayu bakar dengan cara memungut, memangkas atau membeli. Sumber kayu bakar yang digunakan berasal dari hutan rakyat di sekitar tempat tinggal mereka. 5.1 Karakteristik Pengolah Gula Kelapa Penelitian dilakukan pada petani penyadap nira di Kecamatan Wangon. Pengrajin gula kelapa memiliki berbagai karakteristik dari segi usia, pendidikan, alasan bekerja sebagai pengrajin gula kelapa, pendapatan, dan kepemilikan lahan. Karakteristik responden secara lengkap disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Karakteristik pengrajin gula kelapa berdasarkan usia dan masa kerja Usia (tahun) 39-41 42-44 45-47 48-50 51-53 54-56 57-59 60-62 63-65 66-68 ≥ 69 Total(orang)
Masa kerja (tahun) Total 8-10 11-13 14-16 17-19 20-22 23-25 26-28 29-31 32-34 ≥ 35 (orang) 1 3 1 2 7 3 1 3 7 1 1 3 2 6 1 14 1 1 7 7 4 2 22 1 1 1 2 2 1 8 3 6 1 3 4 2 1 20 1 1 2 1 2 2 6 2 13 1 1 2 4 1 1 2 1 1 3 1 3 11 21 6 23 19 8 5 100
Berdasarkan Tabel 5 responden pengrajin gula kelapa rata-rata berusia produktif (15-65 tahun) dan hanya terdapat 3 pengrajin gula kelapa yang termasuk dalam usia tidak produktif ( lebih dari 66 tahun). Pengrajin yang berusia tidak produktif tetap melakukan pekerjaan tersebut karena tuntutan
29
ekonomi. Pengrajin gula kelapa yang berusia produktif sebagian besar berusia antara 48-50 tahun. Hal ini menunjukan bahwa generasi muda semakin jarang yang tertarik menjadi pengrajin gula kelapa. Mereka bekerja sebagai pengrajin gula kelapa dengan masa kerja yang berbeda-beda. Menurut Tabel 5 terdapat 23 responden yang sudah memasak gula kelapa selama 26-28 tahun. Hal ini menunjukan bahwa mereka bekerja sebagai pengrajin gula kelapa relatif lama. Semua responden berpendidikan Sekolah Dasar (SD). Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Supomo (2007) bahwa pengrajin gula kelapa ternyata hanya diminati oleh kelompok masyarakat yang berpendidikan SD dan SMP saja. Rendahnya tingkat pendidikan mengakibatkan kualitas sumber daya pengrajin gula kelapa umumnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya masyarakat pedesaan mengakibatkan mereka bekerja dalam bidang pertanian, misalnya dengan memanfaatkan hasil pertanian seperti memasak nira kelapa. Pengrajin gula kelapa merupakan pekerjaan utama bagi 99 responden dan pekerjaan sampingan bagi 1 responden. Hal ini berarti bekerja sebagai pengrajin gula kelapa merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi masyarakat pedesaan. Tabel 6 menyajikan beberapa alasan bekerja sebagai pengrajin gula kelapa. Tabel 6 Alasan bekerja sebagai pengrajin gula kelapa No 1 2 3 4
Alasan bekerja sebagai pengrajin gula kelapa Tingkat pendidikan rendah Budaya turun-temurun Pengaruh lingkungan Modal yang kecil Total
Jumlah responden (orang) 5 75 9 11 100
Persentase (%) 5 75 9 11 100
Para pengrajin gula kelapa bekerja sebagai pengrajin gula kelapa di sebabkan oleh beberapa hal antara lain tingkat pendidikan rendah, budaya turun-temurun, pengaruh lingkungan, dan kurang modal. Menurut Tabel 6, terdapat 75 pengrajin gula kelapa yang mengolah gula kelapa karena warisan turun-temurun dari orang tua mereka dengan persentase sebesar 75%. Hal ini terjadi karena sewaktu kecil mereka melihat, membantu, dan mempelajari ketika orang tua mereka memasak nira sehingga mereka memiliki keterampilan untuk memasak nira menjadi gula kelapa. Kondisi ini sesuai
30
dengan hasil penelitian Prasojo (2001) bahwa pengrajin gula kelapa memiliki pengetahuan berwirausaha mulai dari keterampilan berproduksi, pengolahan, kualitas produksi, permodalan, pembentukan kelompok, pemasaran masih serba seadanya belum terkesan sebagai usaha dan lebih terkesan sebagai tradisi. Hal ini karena mereka memandang sebagai pekerjaan turun-temurun dari orang tua. Selain karena budaya turun-temurun, pekerjaan sebagai pengrajin gula kelapa merupakan pendapatan utama. Pendapatan yang diterima masingmasing responden berbeda-beda. Tabel 7 menunjukkan bahwa pengrajin gula kelapa yang memperoleh pendapatan kurang dari Rp 800.000,00 sebanyak 35% sedangkan yang memperoleh pendapatan di atas Upah Minimum Regional (UMR) sebanyak 65%. Pendapatan ini diperoleh dengan harga ratarata yang berlaku pada Agustus 2012 sebesar Rp 10.000,00/kg. Besar kecilnya pendapatan dipengaruhi oleh tingkat produksi dan intensitas memasak nira. Tingkat produksi dan intensitas memasak nira dipengaruhi oleh jumlah pohon yang disadap dan sistem bagi hasil antara penyadap dan pemilik pohon. Tabel 7 Pendapatan pengrajin gula kelapa No 1 2 3
Pendapatan (Rp/bulan) ≤ 800.000 800.000−1.600.000 ≥1.600.000 Total
Sebagian besar
Jumlah responden (orang) 35 49 16 100
Persentase (%) 35 49 16 100
pengrajin gula kelapa menyadap nira dari pohon
milik orang lain. Tabel 8 menunjukan kepemilikan lahan hutan rakyat pengrajin gula kelapa. Sebanyak 75% responden tidak memiliki lahan dan sisanya sebanyak 25% responden memiliki lahan dimana 6% memiliki luas lahan ≤ 0,1 ha, 12% dengan luas 0,1-0,25 ha, dan 7% dengan luas ≥ 0,25 ha. Tabel 8 Kepemilikan lahan pengrajin gula kelapa. No 1 2 3 4
Luas lahan (ha) ≤ 0,1 0,1−0,25 ≥ 0,25 Tidak mempunyai lahan Total
Jumlah responden (orang) 6 12 7 75 100
Persentase (%) 6 12 7 75 100
31
Lahan tersebut ditanami berbagai jenis kayu antara lain jati, sengon, mahoni, karet, dan tanaman buah-buahan. Kayu tersebut dipanen sesuai dengan kebutuhan mereka. Bagi pengrajin gula kelapa yang memiliki lahan, lahan
tersebut
dimanfaatkan
sebagai
sumber
kayu
bakar.
Mereka
memanfaatkan kayu bakar dari memungut dan memangkas atau dipanen terlebih dahulu. Namun, bagi pengrajin gula kelapa yang tidak memiliki lahan mereka mencari kayu bakar di lahan-lahan milik masyarakat sekitar tempat tinggal mereka. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Dewi (1994) bahwa rumah tangga yang memiliki lahan milik maka kebutuhan kayu bakar diperoleh dari lahan miliknya jika lahan miliknya ditanami dengan pohon penghasil kayu bakar, sedangkan bagi rumah tangga yang tidak mempunyai lahan milik atau lahan milik yang sempit dan tidak ditanami dengan pohon penghasil kayu bakar pada umumnya mengambil dari hutan rakyat disekitar tempat tinggal mereka atau membeli. 5.2 Sumber Kayu Bakar dalam Pengolahan Gula Kelapa Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumber kayu bakar yang digunakan oleh industri rumah tangga pengrajin gula kelapa berasal dari hutan negara (KPH Banyumas Barat dan KPH Banyumas Timur) dan hutan rakyat yang terletak di Kecamatan Wangon. Semua responden menggunakan kayu bakar dari hutan rakyat sebagai bahan bakar utama dan terdapat empat responden yang memperoleh kayu bakar tambahan dari hutan negara. Bahan bakar utama dalam mengolah gula kelapa sebagian besar berasal dari hutan rakyat yang diperoleh dengan cara membeli dari tengkulak atau industri penggergajian dan mencari kayu bakar di hutan rakyat. Para tengkulak memperoleh kayu bakar pada saat ada tebangan di sekitar tempat tinggal mereka atau dari hutan rakyat di tempat lain. Berdasarkan hasil wawancara, kayu bakar yang dijual oleh tengkulak merupakan kayu bakar dengan jenis kayu campuran. Pengrajin gula kelapa membeli kayu bakar dari tengkulak dengan harga yang bervariasi, artinya bahwa harga pada masing-masing tengkulak berbeda. Rata-rata harga kayu bakar yang biasanya ditawarkan kepada para pengrajin adalah sebesar Rp 19.750/pikul (± 0.2 m3/pikul). Namun, kadang-kadang terjadi fluktuasi harga
32
kayu bakar. Pada saat harga naik, kayu bakar dapat mencapai hingga Rp 30.000/pikul. Pengrajin gula kelapa tetap membeli kayu bakar sesuai dengan kebutuhan pengolahan. Namun, permintaan terhadap kayu akan menjadi lebih banyak jika harga kayu bakar turun. Hal ini bertujuan untuk persediaan kayu bakar pada musim hujan. Kayu bakar yang diperoleh dari hutan negara hanya sebagian kecil saja berupa cabang dan ranting pohon yang diperoleh pada saat ada kegiatan penebangan yang dilakukan oleh Perum Perhutani. Kayu bakar dari hutan negara hanya sebagai bahan bakar tambahan saja. Mereka lebih banyak mengambil kayu bakar dari hutan rakyat. Hal ini berbeda dengan Nurhayati et al. (2002) dalam studi kasus ketersediaan kayu bakar pada pengrajin gula kelapa di Gombong, Jawa Tengah, jenis kayu bakar yang digunakan terdiri dari kayu jati diameter sekitar 5 cm dari peremajaan dari Perum Perhutani dan jenis lainnya seperti sengon, sungkai, jeruk, pelepah kelapa, dan lain-lain. Perbedaan ini dapat terjadi karena kelas perusahaan Perum Perhutani di Kabupaten Banyumas adalah Kelas Perusahaan Pinus (KP Pinus). Pohon pinus dimanfaatkan getahnya. Kegiatan penebangan pohon pinus dilakukan pada saat penjarangan dan akhir daur dengan sistem tebang habis (25 tahun), sehingga ketersediaan kayu bakar dari Perum Perhutani lebih sedikit. Oleh sebab itu, pengrajin gula kelapa memanfaatkan sumber kayu bakar yang berasal dari hutan rakyat. Sumber kayu bakar tidak hanya berasal dari dalam kecamatan, namun dapat juga berasal dari luar kecamatan. Beberapa sumber kayu bakar berdasarkan asal geografis yang digunakan industri pengrajin gula kelapa disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Sumber kayu bakar berdasarkan asal geogragfis No 1 2 3
Sumber kayu bakar berdasarkan asal geografis Dalam desa dalam kecamatan Luar desa dalam kecamatan Luar desa luar kecamatan Total
Jumlah responden (orang) 92 6 2 100
Presentase (%) 92 6 2 100
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kayu bakar yang digunakan industri pengrajin gula kelapa berasal dari dalam desa dalam kecamatan, luar desa dalam kecamatan, dan luar desa luar kecamatan. Sebagian besar
33
pengrajin gula kelapa menggunakan kayu bakar yang berasal dari dalam desa dalam kecamatan sebanyak 92 pengrajin gula. Pengrajin gula kelapa yang memperoleh sumber kayu bakar dari luar desa luar kecamatan sebanyak 2 pengrajin gula. Pengrajin gula kelapa sebagian besar memperoleh kayu bakar dari dalam kecamatan. Hal ini dikarenakan jarak lokasi untuk mencari kayu bakar yang relatif dekat dari rumah mereka sehingga mempermudah dalam pengangkutan. Beberapa pengrajin memperoleh kayu bakar dari luar kecamatan. Hal ini karena lokasi untuk mencari kayu bakar lebih dekat ke daerah di luar kecamatan dan akses jalan yang lebih mudah. 5.3 Pola Memperoleh Kayu Bakar Pengrajin gula kelapa dalam menggunakan kayu bakar memiliki cara tersendiri seperti cara memperoleh kayu bakar, waktu pengambilan kayu bakar, pengangkutan kayu bakar, dan cara penyimpanan kayu bakar. Kayu bakar diperoleh dengan cara memungut dan memangkas atau membeli. Tabel 10 menyajikan teknik dan intensitas memperoleh kayu bakar yang dilakukan oleh pengrajin gula kelapa. Tabel 10 Teknik dan Intensitas Memperoleh Kayu Bakar Intensitas memperoleh kayu bakar Setiap hari Satu minggu sekali insidental Total
Teknik memperoleh kayu bakar Membeli Memungut dan memangkas di Tengkulak kayu Penggergajian hutan rakyat bakar 17 1 1 0 3 0 47 27 4 64 31 5
Total 19 4 77 100
Menutur Sylviani dan Asmanah (2001) cara memperoleh kayu bakar dengan mencari atau membeli. Berdasarkan Tabel 10 menunjukan bahwa sebagian besar pengrajin gula kelapa memperoleh kayu bakar dengan cara memungut dan memangkas sebanyak 64 responden. Hal ini karena mereka umumya petani kecil sehingga dalam usahanya akan melakukan upaya meminimumkan biaya. Oleh karena itu, sebagian besar pengrajin industri gula kelapa memperoleh kayu bakar dengan cara memungut dan memangkas. Para pengrajin gula kelapa menggunakan golok ketika mencari atau mengumpulkan kayu bakar. Golok digunakan untuk memotong kayu bakar sesuai ukuran sehingga mudah dalam pengangkutan. Bagi pengrajin gula
34
kelapa memperoleh kayu bakar dengan cara memungut dan memangkas menjadi kegiatan yang dilakukan setelah menyadap nira. Kegiatan ini dilakukan untuk mengisi waktu luang mereka sebelum kembali menyadap nira sore harinya. Selain itu kegiatan ini untuk menambah persediaan kayu bakar. Menurut Dewi (1994) cara memperoleh kayu bakar berdasarkan teknik pengambilannya dibedakan menjadi memungut kayu kering (ranting-ranting) yang jatuh dibawah tegakan (lantai hutan), memanjat dan mengambil dengan galah, memanfaatkan pohon tumbang dengan memotong ranting dan cabang, serta menebang pohon. Responden pengrajin gula kelapa yang memperoleh kayu bakar dengan cara membeli sebanyak 36 responden. Mereka membeli kayu bakar dari tengkulak dan penggergajian di sekitar tempat tinggal mereka. Berdasarkan teknik memperoleh kayu bakar diperoleh sortimen kayu bakar yang berbeda-beda. Pengrajin gula kelapa yang memperoleh kayu bakar dengan cara memungut dan memangkas atau membeli ke tengkulak kayu bakar memperoleh kayu bakar dalam bentuk rencek. Pengrajin gula kelapa yang memperoleh kayu bakar dengan cara membeli ke penggergajian adalah kayu bakar berupa belahan-belahan papan sisa gergajian. Waktu yang digunakan para pengrajin gula kelapa untuk memperoleh kayu bakar berbeda-beda. Menurut Tabel 10, pengrajin gula kelapa yang mengambil atau membeli kayu bakar setiap hari ada 19 pengrajin. Pengrajin gula kelapa yang mengambil atau mengumpulkan kayu bakar seminggu sekali sebanyak 4 pengrajin dan pengrajin gula kelapa yang lain mengambil atau membeli kayu bakar secara insidental ada 77 pengrajin gula kelapa. Waktu pengambilan kayu bakar secara insidental merupakan waktu mencari kayu bakar yang banyak digunakan oleh responden. Hal ini karena mereka tidak mempunyai jadwal kegiatan yang jelas dan apabila mereka sudah mempunyai banyak persediaan kayu bakar, mereka akan mencari lagi ketika persediaan mulai berkurang. Kegiatan mengambil atau membeli kayu bakar dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Seorang laki-laki biasanya mengambil atau membeli kayu bakar yang berlokasi jauh dari rumah dan dilakukan setelah selesai
35
menyadap nira kelapa, sedangkan perempuan biasanya mengambil atau membeli kayu bakar disekitar tempat tinggal mereka. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Dewi (1994) bahwa pengambilan kayu bakar di hutan dilakukan oleh kaum bapak sedangkan kayu bakar yang diambil dari lahan pekarangan dilakukan oleh kaum ibu walaupun demikian pengambilan kayu bakar dapat dilakukan oleh siapa saja dalam keluarga baik oleh ibu, ayah, atau anak. Menurut Rachmat (1989) biasanya lepas dari aktivitas menyadap nira anggota keluarga laki-laki mencari kayu bakar sebagai bahan bakar. Para pengrajin gula kelapa lebih sering mengumpulkan atau membeli kayu bakar ketika musim kemarau. Kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan kayu bakar sebagai persediaan ketika musim hujan. Hal ini karena ketika musim hujan lebih sulit untuk mencari kayu bakar dan kayu bakar yang diperoleh dalam keadaan basah. Pengrajin gula kelapa menggunakan teknik yang berbeda-beda dalam mengangkut kayu bakar. Menurut Dewi (1994) pengangkutan kayu bakar dari pekarangan, tegalan, dan hutan dilakukan dengan tiga cara antara lain dipikul, disunggi, dan digendong. Dipikul merupakan kegiatan mengangkut kayu bakar dimana dua ikat kayu bakar dipikul seimbang dengan menggunakan bambu, biasanya dilakukan kaum bapak. Disunggi adalah kegiatan mengangkut kayu bakar dimana seikat kayu bakar diletakan di atas kelapa dan biasanya dilakukan oleh kaum ibu. Kegiatan mengangkut kayu bakar dimana seikat kayu bakar diletakan dipunggung dan biasanya dilakukan oleh kaum ibu dinamakan digendong. Berdasarkan hasil wawancara, pengrajin gula menggunakan teknik mengangkut yang berbeda dengan teknik pengangkutan yang dipaparkan oleh Dewi (1994). Perbedaan itu dipengaruhi oleh jumlah kayu bakar yang akan diangkut. Semakin banyak kayu bakar yang akan diangkut, maka pengrajin akan menggunakan alat yang lebih mudah dalam mengangkut kayu bakar. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh beberapa teknik pengangkutan kayu bakar oleh pengrajin gula merah yaitu dengan cara dipikul, digendong, menggunakan becak, dan menggunakan pick up. Tabel 11 disajikan teknik pengangkutan kayu bakar oleh pengrajin gula kelapa di lokasi penelitian.
36
Tabel 11 Teknik pengangkutan kayu bakar berdasarkan moda angkutan yang digunakan No 1 2 3 4
Moda angkutan kayu bakar Dipikul Digendong Pick up Becak Total
Jumlah responden (orang) 50 37 8 5 100
Presentase (%) 50 37 8 5 100
Pengrajin gula kelapa yang memperoleh kayu bakar dengan cara memungut, memangkas dan membeli kayu bakar kepada tengkulak di sekitar rumahnya mengangkut kayu bakar dengan cara dipikul 50% dan digendong 37%. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh bahwa pengangkutan terbanyak dengan cara dipikul. Pengangkutan dengan cara dipikul merupakan pengangkutan kayu bakar yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Pengangkutan ini banyak dilakukan karena kayu bakar yang dibawa relatif sedikit dan dilakukan dalam intensitas yang sering. Selain itu tidak memerlukan biaya pengangkutan. Pengangkutan kayu bakar dengan cara digendong biasanya dilakukan oleh ibu-ibu pengolah gula kelapa. Para pengrajin yang menggunakan alat angkut seperti becak dan pick up, pada umumnya memperoleh kayu bakar dengan cara membeli dari tengkulak dan biasanya dalam jumlah yang cukup besar sehingga tidak memungkinkan untuk dipikul ataupun digendong. Pada umumnya, kayu bakar yang telah diperoleh dengan cara dikumpulkan sendiri maupun dengan cara dibeli dari tengkulak atau penggergajian tidak langsung digunakan seluruhnya. Kadang kala kayu bakar tersebut disimpan di tempat penyimpanan untuk digunakan di hari-hari berikutnya. Para pengrajin industri gula kelapa di Kecamatan Wangon mempunyai tempat untuk menyimpan kayu bakar yang berada pada lokasi berbeda-beda. Tempat ini digunakan untuk menyimpan persediaan kayu bakar yang mereka peroleh. Bermacam-macam jenis tempat menyimpan kayu bakar disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Tempat penyimpanan kayu bakar No 1 2 3
Tempat penyimpanan kayu bakar Dapur Di luar rumah Gubug penyimpanan kayu bakar Total
Jumlah responden (orang) 32 44 24 100
Presentase (%) 32 44 24 100
37
Tabel 12 menyatakan bahwa para pengrajin industri gula kelapa dari 100 responden terdapat 32 responden yang menyimpan kayu bakar di dapur. Tempat menyimpan kayu bakar di dapur yaitu biasanya kayu bakar disimpan di dapur dekat dengan tempat memasak gula kelapa. Terdapat 44 responden yang menyimpan kayu bakar di luar rumah. Mereka memanfaatkan bagian yang tidak digunakan di luar rumah sebagai tempat penyimpanan kayu bakar untuk melindungi kayu bakar dari hujan. Tempat penyimpanan berupa gubug penyimpanan kayu bakar dimiliki oleh 24 pengrajin gula kelapa. Gubug penyimpanan kayu bakar biasanya memerlukan lahan tersendiri. Kapasitas penyimpanan di gubug lebih banyak dibandingkan tempat penyimpanan lainnya. Jenis-jenis tempat menyimpan kayu bakar dipengaruhi oleh luas pekarangan tempat tinggal pengrajin gula kelapa. Responden yang memiliki tempat menyimpan berupa gubug penyimpanan kayu bakar lebih sedikit jika dibandingkan dengan responden yang memiliki tempat penyimpanan di dapur atau di luar rumah. Hal ini menunjukkan bahwa tidak banyak pengrajin yang memiliki lahan yang cukup untuk membuat gubug tersendiri sebagai tempat penyimpanan kayu bakar. Kayu bakar yang ditempatkan di dapur hanya berjumlah sedikit saja karena kapasitas tempat menyimpan di dapur tidak memadai untuk menyimpan kayu bakar dalam jumlah yang banyak. Jenisjenis tempat untuk menyimpan kayu bakar disajikan pada Gambar 3.
a
b
C
Gambar 3 Tempat penyimpanan kayu bakar (a) Dapur, (b) Di luar rumah, dan (c) Gubug penyimpanan kayu bakar 5.4 Kebutuhan Kayu Bakar dalam Pengolahan Gula Kelapa a. Intensitas produksi Gula kelapa Pengrajin gula kelapa memiliki jadwal dalam memasak nira menjadi gula kelapa. Hal ini berkaitan dengan jumlah pohon yang disadap dan sistem
38
sewa antara pemilik pohon dan penyadap. Semakin banyak pohon yang disadap semakin banyak nira yang diperoleh. Waktu memasak nira tergantung pada sistem bagi hasilnya. Apabila hasil yang dibagi dalam bentuk nira maka pemilik pohon dan penyewa memasak secara bergantian sesuai dengan jadwal yang disepakati. Namun apabila yang dibagi dalam bentuk gula pemilik pohon menerima produk gula yang siap dikonsumsi dan memasak nira dilakukan setiap hari oleh penyewa. Periode memasak nira seperti yang telah disajikan pada Tabel 13 mempengaruhi penggunaan kayu bakar dalam mengolah nira menjadi gula. Tabel 13 Periode produksi gula kelapa berdasarkan waktu pemasakan nira No 1 2 3
Periode produksi gula kelapa Setiap hari Dua hari sekali Tiga hari sekali Total
Jumlah responden (orang) 19 59 22 100
Presentase (%) 19 59 22 100
Tabel 13 menunjukkan bahwa pengrajin gula kelapa paling banyak memasak gula kelapa dua hari sekali yaitu sebanyak 59 pengrajin gula kelapa Pengrajin yang memasak setiap hari sebanyak 19 pengrajin gula. Terdapat 22 pengrajin yang memasak setiap tiga hari sekali. Pengrajin yang mengolah setiap hari biasanya memiliki pohon kelapa atau menyewa tahunan, sedangkan pengrajin yang mengolah tidak setiap hari biasanya karena sistem bagi hasil dari pohon yang mereka sadap atau karena jumlah nira yang dihasilkan relatif sedikit sehingga memasaknya dilakukan dua sampai tiga hari sekaligus. b. Jenis Tungku yang Digunakan Sampai saat ini pengrajin gula kelapa menggunakan tungku untuk mengolah nira menjadi gula kelapa. Mereka menggunakan jenis tungku yang berbeda-beda. Terdapat dua jenis tungku yang digunakan para pengrajin gula kelapa yaitu tungku tradisional dan tungku introduksi seperti yang terlihat pada Gambar 4.
39
a
B
Gambar 4 Jenis-jenis tungku pengolahan gula kelapa (a) Tungku satu lubang, (b) Tungku introduksi Tungku tradisional merupakan tungku satu lubang. Tungku ini biasanya dibuat oleh pengrajin gula kelapa. Ukuran tungku ini berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan pembuatnya. Bahan bakar yang digunakan yaitu kayu bakar dan serbuk gergajian. Bagian-bagian tungku satu lubang yaitu tempat meletakkan wajan dan lubang kayu bakar. Tempat untuk meletakan wajan berbentuk persegi dengan panjang sisi 55 cm dan lubang kayu bakar berbentuk lingkaran dengan ukuran diameter 20 cm. Pada bagian tempat meletakan wajan bagian bawahnya berisi serbuk gergajian yang dipadatkan. Lubang kayu bakar hanya mampu diisi dengan maksimal lima buah sortimen kayu bakar. Panas yang dihasilkan tungku jenis ini mengumpul dalam satu lubang sehingga dapat mempercepat proses pemasakan. Menurut Winarti (1998), pengolahan gula ditingkat petani masih sederhana. Pemasakan dilakukan menggunakan tungku tanah liat pada satu lubang (satu wajan) dengan bahan bakar kayu, sabut, dan batok kelapa. Tungku introduksi merupakan tungku dua lubang. Para pengrajin gula kelapa untuk memperoleh tungku ini dengan membelinya di toko gerabah. Bagian-bagian tungku introduksi yaitu tempat wajan depan, tempat wajan belakang, serta lubang kayu bakar. Tempat wajan depan sebagai pemasak utama dan tempat wajan belakang digunakan untuk memasak air pada saat pengolahan gula. Tempat wajan depan berbentuk lingkaran dengan rata-rata
40
diameter 60 cm. Tempat wajan belakang berbentuk lingkaran dengan rata-rata diameter 20 cm. Dan lubang kayu bakar berbentuk persegi panjang dengan panjang 25 cm dan tinggi 18 cm. Panas api tungku introduksi menyebar dan dapat keluar dari lubang belakang. c. Kebutuhan kayu bakar Kebutuhan kayu bakar dalam pemasakan gula kelapa dipengaruhi oleh jenis kayu bakar dan jenis tungku. Jenis kayu bakar yang digunakan terdiri dari bermacam-macam jenis kayu. Pengrajin gula kelapa biasanya menjemur kayu bakar yang akan mereka gunakan, namun apabila persediaan yang mereka miliki hanya cukup digunakan untuk satu kali produksi maka hasil kayu bakar yang diperoleh langsung mereka gunakan sebagai bahan bakar tanpa dijemur terlebih dahulu. Hal ini mengakibatkan kayu bakar yang digunakan semakin banyak. Penggunaan kayu bakar tanpa dijemur menyebabkan panas yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan kayu kering, sehingga untuk mencapai tingkat panas yang sama diperlukan jumlah kayu lebih banyak (Dewi 1994). Hal ini menyebabkan pemborosan penggunaan kayu bakar. Penggunaan jenis tungku yang berbeda akan membutuhkan kayu bakar yang berbeda pula. Pada Tabel 14 disajikan kebutuhan kayu bakar dalam memproduksi gula kelapa dalam jumlah yang berbeda-beda menggunakan tungku tradisional dan tungku introduksi. Tabel 14 Kebutuhan kayu bakar untuk memasak nira No
Jenis tungku
1 Tradisional 2 Introduksi
Jumlah responden (pengrajin) 29 71
Rata-rata produksi gula (kg/hari) 7,41 6,46
Rata-rata Rata-rata kebutuhan kayu periode bakar (m3) mengolah gula Per kg Per Per Per (kali/bulan) gula Hari bulan tahun 18 0,0028 0,021 0,385 3,85 16 0,0086 0,055 0,890 8,89
Tabel 14 menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi kayu bakar lebih banyak diperlukan apabila menggunakan tungku introduksi dengan kebutuhan kayu bakar 0,008 m3/kg. Tungku tradisional memerlukan kayu bakar 0,002 m3/kg, namun memerlukan bahan bakar tambahan berupa serbuk gergajian sehingga menambah biaya seharga Rp 3.000,00/karung ukuran 30 kg untuk satu kali pengolahan. Hal ini berbeda dengan pengamatan lapangan dengan beberapa perlakuan yang dilakukan oleh Winarti et al. (1998) dalam perbaikan
41
pengolahan gula kelapa di Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Menurut Winarti et al. (1998), penggunaan tungku percontohan (tungku introduksi) memberikan kontribusi penggunaan bahan bakar yang lebih efisien yaitu rataannya 3,29-3,30 kg bahan bakar per kg gula kelapa, sedangkan dengan tungku tradisional (tungku satu lubang) mencapai 3,97-4,03 kg bahan bakar per kg gula dengan waktu yang lebih lama. Hal ini disebabkan panas yang diterima pada saat pemasakan nira lebih besar dengan menggunakan tungku percontohan dibanding tungku tradisional. Tungku introduksi memiliki dua buah lubang pemasakan atau menggunakan dua buah wajan, sedangkan tungku yang biasa digunakan oleh petani terdiri atas satu lubang untuk satu wajan. Jadi efisiensi panas yang digunakan cukup baik, dan waktu pemasakan dapat dipersingkat waktunya menjadi tiga jam. Perbedaan ini terjadi karena di lokasi penelitian pengrajin gula kelapa yang menggunakan tungku introduksi hanya memanfaatkan satu lubang dalam proses memasak. Lubang bagian belakang dengan posisi yang lebih tinggi digunakan untuk memasak air. Lubang bahan bakar hanya diisi dengan kayu bakar sehingga kebutuhan kayu bakar lebih banyak. Lain halnya dengan tungku satu lubang, bagian lubang bahan bakarnya diisi dengan serbuk gergajian yang dipadatkan dan dibuat lubang bagian tengahnya. Lubang ini digunakan untuk menyalurkan panas. Kayu bakar pada tungku tradisional hanya untuk menghasilkan bara yang memanaskan serbuk gergajian. Oleh sebab itu, penggunaan kayu bakar pada tungku tradisional lebih efisien dibandingkan tungku introduksi. Hasil perhitungan sampel digunakan untuk menduga kebutuhan kayu bakar populasi pengrajin gula kelapa di Kecamatan Wangon. Berdasarkan data yang diperoleh diasumsikan bahwa 29% pengrajin gula kelapa menggunakan tungku tradisional dan 71% pengrajin gula kelapa menggunakan tungku introduksi. Total kebutuhan kayu bakar yang digunakan oleh pengrajin gula kelapa di Kecamatan Wangon disajikan pada Tabel 15.
42
Tabel 15 Total kebutuhan kayu bakar pada industri gula kelapa di Kecamatan Wangon No 1 2
Jenis tungku Tradisional Introduksi Total
Jumlah industri (unit) 425 1040 1465
Rata-rata kebutuhan kayu bakar (m3/tahun)* 3,85 8,90
Total kebutuhan kayu bakar (m3/tahun) 1635,23 9252,81 10.888,03
Sumber : *Dihitung kembali dari Tabel 15 Menurut Tabel 15 total kebutuhan kayu bakar di Kecamatan Wangon adalah 10.888,03 m3/tahun. Rata-rata kebutuhan kayu bakar dengan menggunakan tungku tradisional adalah 3,85 m3/tahun dan rata-rata kebutuhan kayu bakar dengan menggunakan tungku introduksi adalah 8,90 m3/tahun. Hasil perhitungan tersebut menunjukan bahwa kebutuhan kayu bakar yang diperlukan relatif banyak. 5.5 Potensi Hutan Rakyat di Kecamatan Wangon Luas hutan rakyat di Kecamatan Wangon adalah 2467 ha. Berdasarkan pengamatan di lapang diperoleh bahwa jenis tanaman yang tumbuh bermacam-macam jenis pohon buah dan kayu pertukangan dengan jarak tanam yang tidak teratur dan umur bervariasi. Fungsi tanaman sebagai penunjang kebutuhan hidup. Tanaman tersebut tumbuh dengan sendirinya, tidak mendapatkan perawatan dan perlakuan khusus. Jenis-jenis pohon yang ditemukan di lahan hutan rakyat di Kecamatan Wangon antara lain jati (Tectona grandis), karet (Havea brasilinsis), sengon (Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia Sp), akasia (Acacia decurens), angsana (Pterocarpus indicus), kelapa (Cocos nucifera), dan tanaman buah-buahan yaitu nangka (Artocarpus sp) dan rambutan (Nephelium lappaceum). Pohon-pohon tersebut digunakan untuk kayu bangunan, kayu bakar, maupun dimanfaatkan hasil buahnya. Jenis pohon dominan yaitu pohon jati. Hasil pengukuran diameter pohon hutan rakyat di sembilan desa digunakan untuk menduga potensi kayu bakar satu kecamatan. Potensi tersebut merupakan potensi pada saat pengukuran (standing stock). Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh rata-rata potensi kayu bakar dari
43
sembilan desa contoh yaitu 73 m3 dan diperoleh potensi kayu bakar Kecamatan Wangon sebanyak 180.195,05 m3. 5.6 Keterkaitan Antara Kebutuhan Kayu Bakar dengan Ketersedia Kayu Bakar Berdasarkan hasil perhitungan, total kebutuhan kayu bakar yang digunakan pengrajin gula kelapa adalah 10.888,03 m3/tahun. Potensi kayu bakar dari hutan rakyat di Kecamatan Wangon sebanyak 180.195,05 m3. Berdasarkan data tersebut maka potensi yang tersedia mampu mencukupi kebutuhan kayu bakar selama 16,55 tahun. Hal ini dapat terjadi apabila jumlah tegakan tidak mengalami perubahan.
44
VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Pengrajin industri gula kelapa memperoleh sumber kayu bakar menurut asal hutan berasal dari hutan rakyat dan hutan negara. Pengrajin yang memperoleh sumber kayu bakar dari hutan rakyat sebanyak 100 pengrajin. Kayu bakar dari hutan negara menjadi sumber bahan bakar tambahan bagi 4 pengrajin. Sumber kayu bakar berdasarkan asal geografis diperoleh dari dalam desa dalam kecamatan, luar desa dalam kecamatan, dan luar desa luar kecamatan dengan jumlah sebanyak 92 pengrajin, 6 pengrajin, dan 2 pengrajin. 2. Pengrajin industri gula kelapa memperoleh kayu bakar dengan cara memungut, memangkas dan membeli. Pengrajin yang memperoleh kayu bakar dengan cara memungut dan memangkas sebanyak 64 pengrajin dan yang memperoleh kayu bakar dengan cara membeli sebanyak 36 pengrajin. 3. Total kebutuhan kayu bakar yang digunakan pengrajin gula kelapa adalah 10.888,03 m3/tahun. 4. Potensi kayu bakar Kecamatan Wangon sebanyak 180.195,05 m3. Potensi tersebut mampu memenuhi kebutuhan kayu bakar selama 16,55 tahun dengan jumlah tegakan tidak mengalami perubahan. 6.2 Saran 1. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai energi alternatif pengganti kayu bakar yang lebih efisien dan ramah lingkungan. 2. Perlu adanya peningkatan kegiatan penanaman pohon sehingga kelestarian hutan terjaga dan potensi kayu bakar tetap tersedia.
45
DAFTAR PUSTAKA Azni N, Nurli I dan Mildaerizanti. 2001. Teknologi Pembuatan Gula Kelapa. Jambi [ID]: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Departemen Pertanian. Bappeda Kabupaten Banyumas. 2011. Kecamatan Wangon dalam Angka 2011. Banyumas [ID]: Bappeda Kabupaten Banyumas dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyumas. Budiyanto. 2009. Tingkat konsumsi kayu Bakar Masyarakat Desa Sekitar Hutan Kasus Desa Hegarmanah Kecamatan Cicantayan Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor [ID]: Fakultas Kehutanan IPB. Coto
Z. 1980 Teknik Efisiensi Penggunaan Energi Kayu Bakar. Di dalam: Tambunan B, Husaeni E, Suwardjo Domon, editor. Peningkatan Penyediaan dan Pemanfaatan Kayu sebagai Sumber Energi; 1979 September 8−9; ; Bogor, Indonesia Bogor [ID]: Fakultas Kehutanan IPB. hlm 89-90
Departemen Kehutanan. 2008. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor: P.05/VI-BIKPHH/2008. Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor: P.14/VI-BIKPHH/2009. Dewi HQ. 1994. Studi Pemenuhan Kebutuhan Kayu Bakar di Desa-Desa Sekitar Hutan Ketu BKPH Wonogiri KPH Surakarta [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. [Deperindag] Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Banyumas. 2011. Laporan Kegiatan seksi Industri Pertanian dan Kehutanan Bidang Perindustrian Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Banyumas Tahun 2011. Purwokerto [ID]: Deperindag. Dwiprabowo H. 2010. Kajian Kebijakan Kayu Bakar sebagai Sumber Energi di Pedesaan Pulau Jawa. Analisis Kebijakan Kehutanan 7(1):1-11. Fesanti L. 2011. Analisa Tingkat Kepuasan Konsumen
PT Mandiri Kreasi
Bersaudara (upgrade.inc) [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
46
Goverment of Indonesia dan Food Agriculture Organization. 1990. Fuelwood dan Energy. Ministry of Forestry, Round Table Type II, May 29-30. Jakarta [ID]: Indonesia. Idrus M. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta:Erlangga Hamzah Z. 1980. Situasi Kayu Bakar di Jawa Tempo Dulu, Sekarang, dan Yang Akan Datang. Di dalam: Tambunan B, Husaeni E, Suwardjo Domon, editor. Peningkatan Penyediaan dan Pemanfaatan Kayu sebagai Sumber Energi. Bogor; 1979 September 8−9; Bogor, Indonesia. Bogor [ID]: Fakultas Kehutanan IPB. hlm 67-70. Keputusan Menteri Kehutanan. 2003. Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Wilayah Kerja Perhutani untuk Propinsi di Wilayah Jawa. Kepmenhut 127/Kpts-II/2003. Mashar M C. 1980. Pembinaan kebun kayu Bakar Untuk Memenuhi Kebutuhan Kayu Energi. Di dalam: Tambunan B, Husaeni E, Suwardjo Domon, editor. Peningkatan Penyediaan dan Pemanfaatan Kayu sebagai Sumber Energi; 1979 September 8−9; ; Bogor, Indonesia Bogor [ID]: Fakultas Kehutanan IPB. hlm 67-70. Nurhayati T, Wesman E, dan Dadang S. 2002. Kajian Ketersediaan Kayu Bakar pada Pengrajin Gula Merah. Penelitian Hasil Hutan 20(4):271-284. Prasojo S. 2001. Pemberdayaan Pengrajin Gula Kelapa sebagai Upaya Pengentasan
Kemiskinan.
Purbalingga
[ID]:
Badan
Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten Purbalingga. Pemerintah Kabupaten Banyumas. 2009. Peraturan Daerah Kabupaten banyumas Nomor 24 tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Banyumas Tahun 2008-2013. Banyumas [ID]: Pemerintah Kabupaten Banyumas. Rachmat M. 1989. Pengusahaan Gula Kelapa sebagai Suatu Alternatif pendayagunaan Kelapa (Studi Kasus di Kabupaten Ciamis dan Blitar). Forum Peneliti Agro Ekonomi. 7(1):1-12.
47
Rumokoi. 1994. Prospek pengembangan Gula kelapa di Indonesia. Litbang Pertanian. 13(1):p.9-18. Rostiwati T, Yetti H, dan Sofwan B. 2006. Review Hasil Litbang Kayu Energi dan Turunannya. Bogor [ID]: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Santosa HT. 2001. Analisis Dampak Konsumsi Kayu Bakar terhadap Kelestarian Lingkungan
di
Kabupaten Kulonprogo
Yogyakarta.
Manusia dan
Lingkungan. 8(1):154-166. Soedijanto dan Sianipar. 1985. Kelapa. Jakarta: CV Yasaguna. Soepomo A dan Soemarna. 1983. Firewood and its Problem in java. Duta Rimba No.57-58/.:3-8 Supomo. 2007. Meningkatkan Kesejahteraan Pengrajin Gula Kelapa di Kabupaten Purbalingga. Ekonomi Pembangunan 12(2):149-162. Sylviani dan Asmanah W. 2001. Penentuan Jenis Pohon Unggulan sebagai Penghasil Kayu Bakar. Sosial Ekonomi. 2(2):139-150. Tampubolon AP. 2008. Kajian Kebijakan Energi Biomassa Kayu Bakar. Analisis Kebijakan Kehutanan. 5(1):29-37. Winarti C, Widi R, Ferry M, Agus S, Dedi S E, dan Elna K. 1998. Perbaikan Pengolahan Gula Kelapa di Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan. Di dalam: Modernisasi Usaha Pertanian Berbasis Kelapa; 1998 April 21-23; Bandar Lampung
Prosiding
Konferensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung, Indonesia. Bogor (ID). hml 622-630.
48
LAMPIRAN
49
Lampiran 1. Teknik Pengukuran Kayu Bakar Kayu bakar termasuk dalam Kayu Bulat Kecil (KBK). Untuk kayu bulat sortimen KBK yang mempunyai ukuran diameter lebih kecil dari 30 cm cara pengukurannya menggunakan metode sistem stapel meter (sm). Cara pengukuran dengan menggunakan stapel meter berdsarkan P.14/VIBIKPHH/2009 adalah sebagai berikut : a. Panjang kayu bulat untuk perhitungan menggunakan stapel meter (sm) disarankan minimal 1 meter dalam kelipatan 0,5 meter. b. Kayu bundar yang akan diukur harus ditumpuk secara teratur, sehingga setiap tumpukan mempunyai ukuran lebar yang sama (sebagai cerminan penumpukan kayu yang mempunyai panjang yang sama) serta tinggi yang sama. c. Untuk memudahkan perhitungan, agar setiap panjang tumpukan yang dapat mencerminkan isi tertentu diberi tanda panjang, seperti pada gambar sebagai berikut.
Gambar 5 Tumbukan kayu bundar rimba sortimen KBK yang mempunyai ukuran diameter lebih kurang dari 30 cm. Keterangan : a) ltp adalah lebar tumpukan (panjang kayu) dalam satuan meter (m) b) ttp adalah tinggi tumpukan dalam satuan meter (m) c) ptp adalah panjang tumpukan dalam satuan meter (m) d) Isi tumpukan merupakan hasil perkalian dari lebar, tinggi dan panjang tumpukan, satuannya adalah sm. Jadi 1 sm adalah 1 m ltp kali 1 m ttp kali 1 m ptp.
50
e) Untuk
keperluan
pemeriksaan,
pelaksanaan
pengukuran
dengan
menggunakan metode stapel meter (sm) dapat dilakukan pada alat angkut (truk). Untuk menghitung sm di dalam truk, dapat dihitung dengan mengalikan lebar tumpukan (ltp) atau (rata-rata panjang kayu), panjang tumpukan (ptp) dan rata-rata tinggi tumpukan kayu (ttp) dalam bak truk. Daftar Angka Konversi Volume Kayu Bulat Kecil (KBK) dari Satuan Stapel Meter (sm) ke Satuan Meter Kubik (m³) (Sesuai dengan Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.05/VIBIKPHH/2008 tanggal 10 September 2008) : Tabel 1. Daftar angka konversi volume kayu bulat kecil (KBK) dari satuan stapel meter (sm) ke satuan meter kubik (m³) No Kelompok Angka konversi(m3/SM) 1 Genus Akasia 0,59 2 Genus Eucalyptus 0,67 3 Rimba Campuran 0,63 Keterangan : a) Kelompok selain kelompok genus Acasia dan genus Eucalyptus, angka konversinya dimasukkan ke dalam kelompok rimba campuran b) Apabila penumpukan dalam satuan stapel meter yang tercampur lebih dari 1 kelompok, maka angka konversi yang digunakan adalah angka konversi yang tertinggi c) Angka konversi sebagaimana tersebut di atas berlaku untuk kayu berkulit dan tidak berlaku untuk jenis-jenis kayu indah dan kayu mewah.
51
Lampiran 2 Kakarteristik Pengrajin Gula Kelapa Responden
Umur (tahun)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
60 50 46 50 57 54 44 54 50 53 55 65 62 62 55 55 62 57 60 44 48 60 70 43 64 41 45 52 50 47 46 55 55 49 55 45 44 60 60 50 53 55 55 39 55 45 62 45 50 55
Jumlah Anggota Keluarga 2 4 3 5 4 2 4 2 3 2 4 2 3 4 4 6 3 2 2 5 3 2 2 4 3 4 3 3 3 2 4 6 3 4 5 3 5 7 2 2 3 3 3 4 5 3 3 4 4 3
Pekerjaan Utama Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Buruh Tani Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula
Sampingan Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Buruh Tani Tani Tani Tani Tani Pengolah Gula Buruh Tani Buruh Tani Tani Tani Tani Buruh Tani Buruh Tani Buruh Tani Tani Tani Tani Tani Buruh Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Buruh Tani
Pendidikan SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD
Luas Kebun (m2) 700 2,500 2,100 1,750 700 10,000 1,400 3,500 560 3,500 1,400 350 210 3,500 1,750 2,500 2,100 3,500 2,100 1,750 5,600 1,750 1,400
52
Lanjutan Lampiran 2 Responden
Umur (tahun)
51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
68 55 53 40 50 60 52 50 48 40 50 55 43 52 50 41 60 45 45 45 50 55 61 56 43 45 50 55 68 55 45 45 50 47 42 65 40 52 55 48 50 63 50 60 52 50 48 40 50 55
Jumlah Anggota Keluarga 7 4 4 4 3 2 4 5 4 4 3 4 6 3 3 4 2 4 4 3 5 3 4 5 5 4 4 3 7 4 4 3 4 4 5 5 4 4 4 6 5 4 5 2 4 5 4 4 3 4
Pekerjaan Utama Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Buruh Tani Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula Pengolah Gula
Sampingan Buruh Tani Buruh Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Buruh Tani Tani Tani Buruh Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Buruh Tani Buruh Tani Buruh Tani Tani Buruh Tani Buruh Tani Tukang Becak Tani Tani Tani Tani Tani Tani Buruh Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani
Pendidikan SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD
Luas Kebun (m2) 3,640 700 -
53
Lanjutan Lampiran 2 Alasan Mengolah Gula Kelapa Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Warisan Pendidikan Lingkungan turun-temurun 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 -
-
Kurang modal
Awal memulai industri
Masa kerja (tahun)
1 1 1 1 -
1991 2001 1992 1992 1992 1980 1986 1975 1980 1975 1991 1984 1983 1983 1985 1978 1982 1985 1980 1988 1983 1985 1970 1985 1983 1995 1986 1993 1985 1984 1988 1988 1988 1984 1994 1986 1986 1991 1981 1985 1981 1986 1990 1995 1985 1985 1981 1990 1985 1981
21 11 20 20 20 32 26 37 32 34 21 28 29 29 27 34 30 27 32 24 29 27 42 26 29 17 26 19 27 28 24 24 24 28 18 26 26 21 31 27 31 26 22 17 27 27 31 22 27 31
54
Lanjutan Lampiran 2 Alasan Mengolah Gula Kelapa Responden 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 Total
Warisan Pendidikan Lingkungan turun-temurun 1 1 5
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 75
1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
Kurang modal 1 1 1 1 1 1 1 11
Awal memulai industri
Masa kerja
1981 1994 2004 1988 1984 1985 1981 1992 1996 1995 1985 1992 1995 1992 1992 2004 1980 2002 1988 1984 1981 1994 1996 1981 1993 1996 1991 1991 1994 1981 1986 1981 1981 1988 1994 1975 1988 1975 1981 1988 1985 1976 1986 1982 1980 1990 1990 1990 1980 1990
31 18 8 24 28 27 31 20 16 17 27 20 17 20 20 8 32 10 24 28 31 18 16 31 19 16 21 21 18 31 26 31 31 21 18 37 24 37 31 21 27 36 26 30 32 22 22 22 32 22
55
Lanjutan Lampiran 2 Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
≤ 800,000 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 -
Pendapatan (Rp/bulan) 800,000≥ 1,600,000 1,600,000 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 -
56
Lanjutan Lampiran 2 Responden 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 Total
≤ 800,000 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 35
Pendapatan (Rp/bulan) 800,000≥ 1,600,000 1,600,000 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 49 16
57
Lampiran 3 Karakteristik Industri Gula Kelapa
Responden
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Intensitas Produksi Gula Kelapa Dua Tiga Setiap Hari Hari hari sekali Sekali 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 -
Jenis Tungku
Waktu Satu Kali Pemasakan
Produksi (kg)
7 5 8 6 8 6 7 4 4 5 4 4 5 4 4 6 5 5 5 8 6 6 5 6 4 6 5 5 6 6 4 5 5 5 6 5 5 6 6 5 5 5 5 5 6 5 5 4 6 5
8.2 6.6 8.5 4 7 6.8 7.4 5 8 3 4.3 3 5.8 3.7 4.2 8 6.7 4.1 5 10 6 6.7 8.2 10.3 8.3 10.5 10.4 4.8 9 10.4 10 6 10 3.7 12 10.2 7.4 10.2 10.2 6.4 12 5 12 6 6.3 3.7 4 5.3 10.2 5.5
Tradisional Introduksi 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 -
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
58
Lanjutan Lampiran 3
Responden
51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 Total
Intensitas Produksi Gula Kelapa Dua Tiga Setiap Hari Hari hari sekali Sekali 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 19 59 22
Jenis Tungku
Waktu Satu Kali Pemasakan
Produksi (kg)
6 5 3 5 3 5 5 6 4 4 6 5 6 6 4 8 4 4 6 6 6 5 6 5 5 4 6 5 6 5 6 6 4 5 4 5 5 5 6 5 5 4 6 5 5 6 4 4 6 5
9.3 8.7 5.6 10.3 10.4 4.6 6.2 5.3 4.7 5 6 5.2 6 8.4 7.1 6.4 3.6 7 7.3 3.6 5.2 5.2 7 5.8 5.6 5.8 4.2 7.2 10.5 4 8.3 7 7.3 5.6 6.3 4 10 7.2 7 7.4 6 7.2 5.8 5.4 4.6 4.3 10.2 3 7.3 5.8
Tradisional Introduksi 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 29
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 71
59
Lampiran 4 Pola Penggunaan Kayu Bakar Teknik Memperoleh Kayu Bakar Responden
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Memungut, Memangkas, dan Merencek 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Membeli Tengkulak
Penggergajian
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 -
1 1 1 -
Intensitas Memperoleh Kayu Bakar Satu Setiap Minggu Insidental Hari Sekali 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
60
Lanjutan Lampiran 4 Cara Memperoleh Kayu Bakar Responden
51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 Total
Memungut, Memangkas, dan Merencek 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 64
Membeli Tengkulak
Penggergajian
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 31
1 1 5
Intensitas Pengambilan / Pembelian Kayu Bakar Satu Setiap Minggu Insidental Hari Sekali 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 19 4 77
61
Lanjutan Lampiran 4 Teknik Mengangkut Kayu Bakar Responden
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Pikul
Panggul
Pik up
Becak
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 -
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 -
1 1 1 -
Tempat Menyimpan Kayu Bakar Gubug Luar Dapur penyimpanan rumah kayu bakar 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 -
62
Lanjutan Lampiran 4 Cara Mengangkut Kayu Bakar Responden 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 Total
Pikul
Panggul
Pik up
Becak
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 50
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 37
1 8
1 1 5
Tempat Menyimpan Kayu Bakar Gubug Luar Dapur penyimpanan rumah kayu bakar 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 32 44 24
63
Lanjutan Lampiran 4
Responden
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Sumber Kayu Bakar Menurut Asal Hutan Hutan Hutan Negara Rakyat -
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Sumber Kayu Bakar Menurut Asal Geografis Dalam Desa Dalam Kecamatan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Luar Desa Dalam Kecamatan 1 1 -
Luar Desa Luar Kecamatan 1 1 -
64
Lanjutan Lampiran 4
Responden
51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 Total
Sumber Kayu Bakar Menurut Asal Hutan Hutan Hutan Negara Rakyat -
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 100
Sumber Kayu Bakar Menurut Asal Geografis Dalam Desa Dalam Kecamatan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 92
Luar Desa Dalam Kecamatan 1 1 1 1 6
Luar Desa Luar Kecamatan 2
65
Lampiran 5 Kebutuhan Kayu Bakar 5.1 Kebutuhan Kayu Bakar Tungku Introduksi Responden
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Kebutuhan Kayu Bakar Satu Kali Pemasakan 0,0569 0,0569 0,0285 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0285 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0854 0,0569 0,0285 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0854 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0285 0,0569 0,0569 0,0569
Jumlah Pemasakan Dalam Satu Bulan 10 10 15 10 15 15 10 15 30 15 15 15 10 10 15 10 30 15 15 15 15 15 15 10 15 10 30 10 10 15 15 15 15 15 30 10 30 15 30 30 10 15 10 15 15 15 10 30 10 15
Jumlah Bulan Masak Dalam Satu Tahun
Konsumsi Kayu Bakar per Bulan
Konsumsi Kayu Bakar per Tahun
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
0,569 0,569 0,427 0,569 0,854 0,854 0,569 0,854 0,854 0,854 0,854 0,854 0,569 0,569 0,854 0,569 1,707 0,569 0,854 0,854 0,854 0,854 0,854 0,569 0,854 0,569 1,707 0,854 0,569 0,427 0,854 0,854 0,854 0,854 1,707 0,854 1,707 0,854 1,707 0,569 0,854 1,707 0,854 0,854 0,854 0,285 1,707 0,569 0,854 0,569
5,69 5,69 4,27 5,69 8,54 8,54 5,69 8,54 8,54 8,54 8,54 8,54 5,69 5,69 8,54 5,69 1,707 5,69 8,54 8,54 8,54 8,54 8,54 5,69 8,54 5,69 1,707 8,54 5,69 4,27 8,54 8,54 8,54 8,54 1,707 8,54 1,707 8,54 1,707 5,69 8,54 1,707 8,54 8,54 8,54 2,85 1,707 5,69 8,54 5,69
66
Responden
51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 Total Rata-rata
Kebutuhan Kayu Bakar Satu Kali Pemasakan (m3) 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0285 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0569 0,0285 0,0569 0,0569 3,9261 0,0553
Jumlah Pemasakan Dalam Satu Bulan (m3)
Jumlah Bulan Masak Dalam Satu Tahun (m3)
Konsumsi Kayu Bakar per Bulan (m3)
Konsumsi Kayu Bakar per Tahun (m3)
10 15 15 15 15 10 15 10 30 15 15 15 30 15 15 15 15 15 15 30 15 1150 16,19
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 -
0,854 0,854 0,854 0,854 0,569 0,854 1,707 0,427 0,854 0,854 1,707 0,854 0,854 0,854 0,854 0,854 0,854 0,854 0,427 1,707 0,854 63,159 0,890
8,54 8,54 8,54 8,54 5,69 8,54 17,07 4,27 8,54 8,54 17,07 8,54 8,54 8,54 8,54 8,54 8,54 8,54 4,27 17,07 8.54 631,59 8,896
67
5.2 Kebutuhan Kayu Bakar Tungku Trasidional Responden
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 Total Rata-rata
Kebutuhan Kayu Bakar Satu Kali Pemasakan 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,02126 0,61657 0,02126
Jumlah Pemasakan Dalam Satu Bulan 15 15 15 30 15 30 15 30 15 15 30 15 15 15 30 15 15 10 15 15 15 15 10 15 30 15 30 10 15 525 18
Jumlah Bulan Masak Dalam Satu Tahun
Konsumsi Kayu Bakar per Bulan
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 -
0,32 0,32 0,32 0,64 0,32 0,64 0,32 0,64 0,32 0,32 0,64 0,32 0,32 0,32 0,64 0,32 0,32 0,21 0,32 0,32 0,32 0,32 0,21 0,32 0,64 0,32 0,64 0,21 0,32 11,16 0,38
Konsumsi Kayu Bakar per Tahun 3,19 3,19 3,19 6,38 3,19 6,38 3,19 6,38 3,19 3,19 6,38 3,19 3,19 3,19 6,38 3,19 3,19 2,13 3,19 3,19 3,19 3,19 2,13 3,19 6,38 3,19 6,38 2,13 3,19 111,62 3,85
68
Lampiran 6 Potensi Kayu Bakar Tabel 6.1 Potensi Hutan Rakyat di Kecamatan Wangon No
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Desa
2 Jurangbahas Wlahar Cikakak Jambu Banteran Wangon Rawaheng Randegan Pengadegan Jumlah Rata-rata
Luas tanah kebun (ha)
3
Potensi kayu bakar (m3/ha) 4
130 93 208 222 67 136 434 550 405
115,4 99,4 83,3 59,3 36,5 68,4 90,5 50,9 74,6 678,48 51.01
Potensi kayu bakar per desa (m3) 5 = 3*4
Potensi kayu bakar Kec. Wangon (m3 6 = rata2 potensi kayu bakar perdesa*luas tanah kebun Kec. Wangon
15.001,3 9.248,3 17.324,6 13.615,0 2.444,4 9.301,9 39.272,1 28.004,6 30.220,2 163.982,4 73
180.198,05
180.198,05 73
Tabel 6.2 Volume Tegakan dan Potensi Kayu Bakar Jati No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Desa Jurangbahas Wlahar Cikakak Jambu Banteran Wangon Rawaheng Randegan Pengadegan Jumlah
N (pohon) 298 317 467 284 760 338 634 284 454 3836
Rata-rata diameter (cm) 19 23 19 18 16 20 16 17 15
Volume tegakan (m3/ha) 77 154 120 64 120 99 100 54 68 860.11
Potensi kayu bakar (m3/ha) 17.80 35.60 27,9 14.95 27.75 23.02 23.14 12.47 15.87 198.49
Tabel 6.3 Volume Tegakan dan Potensi Kayu Bakar Sengon No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Desa Jurangbahas Wlahar Cikakak Jambu Banteran Wangon Rawaheng Randegan Pengadegan Jumlah
N (pohon) 158 361 302 160 180 193 170 150 90 1764
Rata-rata diameter (cm) 26 21 20 18 15 19 21 20 23
Volume tegakan (m3/ha) 91 115 84 34 22 54 54 42 48 542
Potensi kayu bakar (m3/ha) 35,7 45,2 33,1 13,4 8,7 21,1 21,3 16,4 18,8 213,7
69
Tabel 6.4 Volume Tegakan dan Potensi Kayu Bakar Akasia , Kapuk, dan Cengkeh No
Desa
1 2 3
Jurangbahas Cikakak Jambu
4 5 6
Wangon Rawaheng Randegan
7
Pengadegan Jumlah
N (pohon) 61 93 70 42* 183 33 50 14** 150 18** 714
Rata-rata diameter (cm) 20 15 17 15* 17 20 18 22** 16 35**
Volume tegakan (m3/ha) 14 10 10 5* 28 8 9 4** 20 10** 118
Potensi kayu bakar (m3/ha) 5,6 4,0 4,2 1,8* 11,0 3,0 3,5 1,6** 7,7 4,1** 46,6
Keterangan : * cengkeh, ** kapuk Tabel 6.5 Volume Tegakan dan Potensi Kayu Bakar Mahoni No 1 2 3 4 5 6 7 8
Desa Jurangbahas Wlahar Cikakak Jambu Wangon Rawaheng Randegan Pengadegan Jumlah
N (pohon) 495 61 26 188 54 26 28 30 908
Rata-rata diameter (cm) 17 17 20 16 20 16 17 20
Volume tegakan (m3) 76 9 6 23 11 57 4 7 194
Potensi kayu bakar (m3/ha) 29,9 3,7 2,4 9,4 4,5 22,4 1,7 2,7 76,4
Tabel 6.6 Volume Tegakan dan Potensi Kayu Bakar Angsana No 1 2 3 4 5
Desa Jurangbahas Cikakak Jambu Wangon Rawaheng Jumlah
N (pohon) 12 49 49 12 16 138
Rata-rata diameter (cm) 18 16 16 18 16
Volume tegakan (m3) 3 8 8 3 3 23
Potensi kayu bakar (m3/ha) 1,1 3,1 3,1 1,1 1,1 9,3
Tabel 6.7 Volume Tegakan dan Potensi Kayu Bakar Waru No 1 2 3
Desa Wlahar Wangon Randegan Jumlah
N (pohon) 11 16 8 35
Rata-rata diameter (cm) 25 23 16
Volume tegakan (m3) 6 8 1 15
Potensi kayu bakar (m3/ha) 1,36 1,80 0,29 3,45
70
Tabel 6.8 Volume Tegakan dan Potensi Kayu Bakar Karet dan Buah No 1 2 3 4
Desa Wangon Rawaheng Rawaheng Randegan Jumlah
N (pohon) 11 90 56 24 181
Rata-rata diameter (cm) 17 15 20 20
Volume tegakan (m3) 2 12 17 7 38
Potensi kayu bakar (m3/ha) 0,8 4,7 6,5 2,8 14,8
Tabel 6.9 Volume Tegakan dan Potensi Kayu Bakar Kelapa No 1 2 3 4 5 6 7 8
Desa Jurangbahas Wlahar Cikakak Jambu Wangon Rawaheng Randegan Pengadegan Jumlah
N (pohon) 42 33 38 34 15 25 38 37 262
Rata-rata diameter (cm) 38 30 30 31 32 30 29 38
Volume tegakan (m3) 64 29 33 32 15 22 30 57 281
Potensi kayu bakar (m3/ha) 25,3 11,2 12,9 12,6 6,0 8,5 11,9 22,3 110,8
71
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 4 Mei 1990 sebagai anak kedua dari dua bersaudara. Ayah bernama Suwarno dan ibu bernama Purwati. Pendidikan formal penulis dimulai dari Taman Kanak-Kanak Kemala Bhayangkari pada tahun 1995. Pada Tahun 1996 penulis memasuki SD Rawaheng 2 dan lulus tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SMP Negeri 1 Wangon dan lulus pada tahun 2005 kemudian penulis melanjutkan ke SMA Negeri Jatilawang dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan. Selama menjadi mahasiswa, penulis mengikuti organisasi DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) Fakultas Kehutanan sebagai anggota Divisi Eksternal pada tahun 2009.Penulis juga pernah bergabung pada kelompok studi Sosial Ekonomi di Forest Management Student Club (FMSC). Kegiatan praktik lapang yang pernah diikuti penulis yaitu Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan di Baturraden-Cilacap pada tahun 2010, Praktik Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada tahun 2011, dan Praktik Kerja Lapang di KPH Banyumas Barat Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah pada tahun 2012. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana kehutanan IPB penulis melakukan penelitian dan menyusun karya ilmiah dengan judul Identifikasi Kayu Bakar pada Industri Gula Kelapa di Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas di bawah bimbingan Prof. Dr.Ir Hardjanto, MS.
72