HAKIKAT BAIK DAN BURUK DARI SUDUT PANDANG AKHLAK TASAWUF Pendahuluan
Dalam setiap perbuatan manusia ada yang baik dan ada yang tidak baik. Kadangkadang disuatu tempat, perbuatan itu dianggap salah atau buruk. Hati manusia memiliki perasaan dan dapat mengenal, perbuatan itu benar atau salah dan baik atau buruk. Penilaian terhadap suatu perbuatan adalah relative, hal ini disebabkan adanya perbedaan tolok ukur yang digunakan untuk penilaian tersebut. Perbuatan tolok ukur tersebut disebabkan karena adanya perbedaan agama, kepercayaan cara berfikir, ideology, lingkungan hidup dan sebagainya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai kekuatan insting. Hal ini berfungsi bagi manusia untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, yang berbeda-beda, karena pengaruh kondisi dan situasi lingkungan. Dan seandainya satu lingkungan pun belum tentu mempunyai kesamaan insting. Kemudian pada diri manusia juga mempunyai ilham yang dapat mengenal nilai 1
sesuatu itu baik atau buruk .
Pembahasan
Pengertian “baik” menurut Ethik adalah suatu yang berharga untuk suatau tujuan. Sebaiknya yang tidak berharga, tidak berguna untuk tujuan, apabila merugikan, atau yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan adalah “buruk”. Seperti halnya pengertian benar salah, maka pengertian baik dan buruk juga ada ynag subyektif dan relative, baik bagi seseorang belum tentu baik bagi orang lain. Sesuatu itu baik bagi seseorang apabila hal ini sesuai dan berguna untuk tujuannya. Hal yang sama adalah mungkin buruk bagi orang lain, karena hal tersebut tidak akan berguna bagi tujuannya. Masing-masing orang mempunyai tujuannya uang berbedabeda, bahkan ada yang bertentangan, sehingga yang berharga untuk seseorang atau untuk sesuatu golongan berbeda dengan yang berharga untuk orang atau golongan 2
lain .
1 2
Mustofa, “ AHLAK TASAWUF” , Pustaka setia: Bandung 1997, hal 53. Ibid, hal 56.
Para filosof dan teolog sering membahas m embahas tentang arti baik dan buruk, serta tentang t entang pencipta kelakuan tersebut, yakni apakah kelakuan itu merupakan hasil pilihan atau perbuatan manusia sendiri, ataukah berada diluar kemampuannya? Hal ini tidak bisa dipungkiri bahwa manusia memiliki dua potensi kelakuan yaitu kelakuan baik dan buruk, seperti yang diuraikan dalam Al-Qur’an antara lain:
(: ) " " “Maka kami telah memberi petunjuk (kepada)-nya (manusia) dua jalan mendaki (baik dan buruk)” QS. Al-Balad QS. Al-Balad 90:10.
" . " “Dan (demi) jiwa serta penyempurnaan ciptaanya, maka Allah mengilhami (jiwa manusia) kedurhakaan dan ketakwaan” QS. As-Syams 91:7-8.
Walaupun kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan isyarat-isyarat dalam Al-Qur’an bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia 3
daripada kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan . Kemudian pada dasarnya seorang sufi berupaya menghias diri dengan apa yang baik menurut lingkungan l ingkungan (al-ma’ruf), maupun menurut agama yang bersifat (al-khair) seperti yang di katakan oleh Abu Muhammad Al-Jarisi bahwa tasauf ialah:
" " “Masuk dalam akhlak yang mulia dan keluar dari semua akhlak yang
hina”
(dalam al-Qusyairi, 1940: 138)
Senada dalam dalam pengertian tersebut, Al-Kanay menyatakan menyatakan bahwa tasawuf tasawuf adalah:
" " “Tasawuf adalah, akhlak mulia. Barang siapa yang bertambah baik akhlaknya, maka bertambah pula kejernihan hatinya” (dalam al-Qusyairi: 1940:139).
Dari kedua ungkapan ini dapat diungkapkan secara sederhana bahwa tasawuf ialah kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara seorang muslim dengan Tuhan. Tasawuf merupakan suatu system latihan dengan penuh kesungguhan (riyadhah - Mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi dan memperdalam
seseorang hanya tertuju kepada-Nya oleh karena itu untuk Al- Suhrawardi Suhrawardi mengatakan bahwa semua tindakan (al-amal) yang mulia adalah tasawuf t asawuf (Al-Suhar wardi, 1358). Dengan pengertian pengertian semacam ini, maka maka dapat dikatakan dikatakan bahwa tasawuf tasawuf adalah bagian dari ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga
3
M. Quraish Shihab, “WAWASAN AL-QUR’AN”, Mizan : Jakarta 2003, hal 254.
diturunkan dalam rangka membina akhlak manusia) diatas bumi ini, agar tercapai 4
kebahagiaan kebahagiaan dan kesempurnaa k esempurnaan n kehidupan lahir batin, dunia dan akhirat . Dari berbagai ajaran-ajaran telah jelas bahwa Islam datang untuk membawa manusia dengan langkah-langkah yang besar pindah kealam kehidupan yang cerah dan penuh dengan keutamaan serta adab kesopanan. Islam memandang tahap-tahap perjalanan yang membawa manusia kepada tujuan mulia itu sebagai tugas pokoknya. Melepaskan diri dari tujuan hidup mulia itu dipandang sebagai tindakan keluar rel Islam dan menjauhinya. Islam telah menghitung beberapa jenis keutamaan, dan menganjurkan para pengikutnya supaya berpegang teguh pada jenis-jenis keutamaan itu satu demi satu. Apabila kita hendak menghimpun sabda Rasul Allah saw yang berkenaan dengan perlunya seseorang muslim menghias diri dengan budi pekerti luhur, dengan sifat-sifat terpuji, seperti dalam sabdanya:
" " “Kekejian dan perbuatan keji, sama sekali bukan ajran Islam. Sesungguhnya orang yang terbaik keislamannya ialah yang terbaik budi pekertinya”.
Beliau saw juga pernah bersabda:
, , " ( ) " “Tiada suatu yang lebih berat bagi timbangan seorang mukmin pada kiamat, dari pada budi pekerti yang baik. Sesungguhnya Allah sangat tidak menyukai kekejian yang nista. Bahwasannya orang yang berbudi pekerti luhur mencapai martabat orang yang berpuasa dan bersembahyang” (Ahmad bin Hambali).
Nabi Muhammad saw menyerukan manusia supaya melakukan berbagai macam ibadah, dan telah mendirikan sebuah negara melalui perjuangan yang panjang melawan musuh yang banyak jumlahnya, sekalipun ajaran agamanya sedemikiam luas dan segi-segi amal peribadatannya bercabang-cabang namun beliau saw tetap memberi tahu ummatnya, bahwa timbangan amal kebajiakan yang paling berbobot pada hari perhitungan (kiamat) adalah budi epkerti yang baik. Dan sesungguhnya agama menciptakan hubungan baik antara sesama manusia berdasarkan budi pekerti luhur, pada hakekatnya yang luhur adalah pembinaan
4
HM.Amin Syukur, “ Menggugat Tasawuf ”, ”, Pustaka Pelajar : Yogyakarta 1999, hal 18.
hubungan baik antara manusia dengan Tuhannya, sebab kedua persoalan ini 5
bersumber pada hakekat yang satu . Namun seperti yang kita lihat sekarang ini bahwa sebagai akibat modernisasi dan industrialisasi, kadang manusia mengalami degradasi moral yang dapat menjatuhkan harkat dan martabatnya. Kehidupan modern seperti sekarang ini sering menampilkan sifat-sifat yang kurang dan tidak terpuji, terutama dalam menghadapi materi yang gemerlap ini. Sifat-sifat yang tidak terpuji tersebut adalah al-hirsh, yaitu keinginan yang berlebih-lebihan terhadap materi. Dari sifat ini tumbuh perilaku menyimpang, seperti korupsi dan manipulasi. Sifat kedua ialah al-hasud , yaitu menginginkan agar nikmat orang lain sirna dan beralih kepada dirinya. Sifat riya’ yaitu sifat suka memamerkan harta atau kebaikan diri, dan sebagainya dari berbagai sifat hati. Cara menghilangkan sifat-sifat tersebut ialah dengan mengadakan penghayatan atas keimanan dan ibadahnya, mengadakan latian secara bersungguh-sungguh berusaha merubah sifat-sifatnya itu dengan mencari waktu yang tepat. Karena kadangkadang sifat tercela itu muncul dalam keadaan yang tidak tersdari, maka sesungguhnya setiap muslim selalu mengadakan introspeksi (Muhasabah) terhadap dirinya. Memang diakui oleh para ahli tasawuf bahwa manusia dalam kehidupannya selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya yang selalu ingin menguasainya, seperti dalam firmannya 12:53;
" " “ Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh
Tuhanku.
Sesungguhnya
Tuhanku
Maha
Pengampun
lagi
Maha
Penyayang”.(Yusuf:53).
Dari sini agar hawa nafsu seseorang dikuasai oleh akal yang telah mendapat bimbingan wahyu, maka dalam dunia tasawuf diajarkan berbagai cara, seperti riyadhah (latian) dan mujahadah (bersungguh-sungguh) sebagai sarana untuk
melawan hawa nafsu tadi. Cara pembinaannya melalui tiga tahapan, yakni tahap pembersihan dan pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela (Takhalli), tahap kedua
5
Muhammad Al-Ghazali, “Akhlak Seorang Muslim”, PT.Al-Maa’rif : Bandung 1995, hal 26
ialah penghiasan diri dengan sifat-sifat terpuji (Tahalli), dan ketiga tercapainya sinar ilahi (Tajalli) . Ketiga cara tersebut guanaya yakni menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji, dan akhlak karimah menjauhkan dari sifat madzmumah. Untuk membangun benteng
dalam diri masing-masing individu, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi ini perlu dibangun dan diperkokoh sifat qona’ah, tawakal, zuhud, wara’, sabar, syukur dan sebagainya.
Yang perlu diketahui adalah, bahwa sifat-safat itu ialah merupakan bekal menghadapi menghadapi kanyataan hidup ini, i ni, bukan faktor yang menyebabkan menyebabkan seseorang menjadi pasif, seperti tidak mau berusah amencari nafkah, eksklusif dan menarik diri dri keramaian dunia. Sebab seorang muslim hidup didunia ini memangku amanah, yakni membawa misi kekhalifahan, yang berarti sebagai “pengganti” Tuhan, pengelola, 6
pemakmur dan yang meramaikan dunia ini . Seperti dalam QS.Al-Baqarah 2:30 Allah menciptakan manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini, yang ada dalam firman-Nya;
, " " Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman pada para malaikat “sesungguhnya "
aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi” Mereka berkata mengapa Engkau hendak menjadikan (kahlifah) dibumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji
Engkau
dan
mensucikan
Engkau.
Tuhan
berfirman:
“sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Ayat ini dimulai dengan penyampaian keputusan Allah kepada para malaikat tentang rencana-Nya menciptakan manusia dibumi. Penyampaian kepada Mereka penting, karena malaikat akan dibebani sekian tugas menyangkut manusia. Ada yang bertugas mencatat amal-amal manusia, ada yang bertugas memeliharanya, ada yang membimbingnya, dan sebagainya. Penyampaian itu juga, kelak ketika diketahui manusia akan bersyukur kepada Allah atas anugerah-Nya yang tersimpul dalam dialog Allah dengan para malaikat. “Sesungguhnya aku akan menjadikan khalifah di dunia”, demikian penyampaian Allah swt, penyampaian ini bisa jadi setelah proses
6
HM.Amin Syukur, “ Menggugat Tasawuf ”, ”, Pustaka Pelajar : Yogyakarta 1999, hal 114.
penciptaan alam raya dan kesiapannya untuk dihuni manusia pertama (Adam) dengan nyaman. Mendengar rencana tersebut para malaikat bertanya tentang makna penciptaan tersebut. Dan mereka menduga bahwa khalifah ini akan merusak bumi dan menumpahkan darah. Semua itu adalah dugaan, bisa saja bukan Adam yang Mereka maksud merusak dan menumpahkan darah, tetapi anak cucunya. Betapapun ayat ini menunjukkan bahwa (Khalifah) pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang sebelumnya, dan bahwa kekhalifahan terdiri dari wewenang yang dianugerahkan Allah swt, mahkluk yang disertai tugas, yakni Adam as., dan anak cucunya, serta wilayah tempat bertugas, yakni bumi yang berarti yang menggantikan atau yang datang sebelumnya, dan bahwa kekhalifahan terdiri dari wewenang yang dianugerahkan Allah swt, mahkluk yang disertai tugas, yakni Adam 7
as., dan anak cucunya, serta wilayah tempat bertugas, yakni bumi yang terhampar ini . Selanjutnya para malaikat itu menunjuk diri Mereka dengan berkata, dan kami juga menyucikan, yakni membersihkan diri kami sesuai dengan kemampuan yang Engkau anugerahkan kepada kami, dan itu kami lakukan demi untuk-Mu. Mendengar pertanyaan mereka, Allah menjawab singkat tanpa membenarkan atau menyalahkan, karena memang akan ada diantara yang diciptakan-Nya itu yang berbuat seperti yang diduga malaikat. Allah menjawab singkat, “sesungguhnya aku mengetahui apa yng 8
tidak kamu ketahui” . Ayat selanjutnya;
" " Artinya : “Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “sebutkanlah kepadaKu nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar” QS. 2:31”.
Dia yakni Allah mengajarkan Adam nama-nama seluruhnya, yakni memberinya potensi pengetahuan tentang nama-nama atau kata-kata yang digunakan menunjuk benda-benda, benda-benda, atau mengajarkan fungsi benda-benda. Ayat ini menginformasikan bahwa manusia dianugerahi Allah potensi untuk mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik benda-benda misalnya; fungsi api, fungsi angin dan sebagainya. sebagainya.
7 8
M. Quraish Shihab, “TAFSIR AL-MISHBAH”.Volume I , Lentera Hati : Jakarta 2000, hal 138. M. Quraish Shihab, “TAFSIR AL-MISHBAH”.Volume I , Lentera Hati : Jakarta 2000, hal 138.
Setelah pengajaran Allah dicerna oleh Adam as., sebagaiman dipahami dari kita. Kemudian Allah memaparkan benda-benda itu kepada para malaikat lalu berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama-nama benda-benda itu, jika kamu orang-orang yang benar dalam dugaan kamu bahwa kalian lebih wajar menjadi khalifah”.
Apapun makna penggalan ayat ini, namun yang jelas salah satu keistimewaan manusia adalah kemampuannya mengekspresikan apa yang terlintas dalam benaknya serta kemampuannya menangkap bahasa, sehingga ini mengantarnya “mengetahui”. Disisi lain, kemampuan manusia merumuskan ide dan memberi nama bagi segala sesuatu merupakan langkah menuju terciptanya manusia berpengetahuan dan lahirnya 9
ilmu pengetahuan pengetahuan . Dilanjutkan bahwa manusia hidup dimuka bumi dengan pengetahuan Mereka, menjadi perhitugan kelak diakhirat tentang apa saja yang ia lakukan dimuka bumi ini dengan menanggung dosa masing-masing, seperti ungkapan dalam QS.53:38-41. yaitu;
." . . . " “Bahwa tiada pemikul beban akan memikul beban orang lain. Bahwa tiada yang orang dapatkan kecuali yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya akan kelihatan matinya. Kemudian iapun mendapat ganjaran, balasan yang sempurna.” QS. An Najm 53:38-41.
Setelah Allah menerangkan tentang ilmu dan kekusaan-Nya dan bahwa pembalasan pasti terjadi atas keburukan maupun kebaikan, maka bahwa orang yang baik adalah orang yang menghindari dosa-dosa besar, hal mana tak biasa dikehendaki terkecuali dengan wahyu dari Allah Ta’ala, maka Allah swt menyebutkan disitu bahwa sungguh mengherankan setelah diterangkan seperti ini bila masih kedengaran dan masih ada orang yang berakal mengharap adanya orang lain yang menggantikan dia dalam menanggung dosa, lalu dia diberi upah (seperti dalam kisah orang kafir). Akan tetapi apa yang dia berikan hanya sedikit saja, orang itu atas perbuatannya, bahwa pengetahuan mengetahui hal seperti ini tidak bisa diketahui kecuali dengan wahyu, maka apakah orang itu tahu berdasarkan suatu wahyu tentang kebenaran dan keyakinanya. Tentu tidak, karena syariat yang kamu ketahui, seperti syariat Nabi Musa dan Nabi Ibrahim as. tidak demikian, bahkan tidak ada seorang pun yang menanggung dosa orang lain, dan manusia hanya akan menerima hasil usahanya saja. 9
Ibid, hal 143.
Selanjutnya, (
) tidak ada satu jiwa yang memikul dosa-dosa dari jiwa
lain. Jadi setiap yang melakukan suatu dosa yang berupa kekafiran, atau kemaksiatan, maka ia akan menanggung dosanya sendiri,. Dosa-dosa tersebut tidak ditanggung orang lain. ( ) Sebagaimana Sebagaimana manusia manusia takkan dibebani dosa orang lain, maka ia pun takkan memperoleh pahala kecuali dari apa yang telah ia lakukan untuk dirinya. Dengan ayat ini maka Imam Malik dan Imam Syafi’I dan para pengikutnya berpendapat berpendapat bahwa bacaan-bacaan bacaan-bacaan itu tidak
sah dihadiahkan dihadiahkan pahalanya kepada
orang-orang mati. Karena bacaan-bacaan itu bukan amal maupun usaha Mereka. Demikian seluruh ibadah badaniyah seperti halnya shalat, haji dan membaca AlQur’an, hal ini akan diperoleh ganjaran dengan sendirinya. Selain itu ada riwayat Muslim dalam hadist kitab As-Sahih dari Abu Hurairah, yaitu Nabi SAW Bersabda:
" " “Apabila telah mati anak adam maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga, sodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang soleh yang mendoakan kedua orang tuanya”(HR. Muslim).
Pada hakikatnya tiga perkara tersebut merupakan hasil dan jerih payah dari perbuatannya. perbuatannya. sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadist lain :
" , " Sesungguhnya sebaik-baiknya sebaik-baikn ya yang dimakan oleh seseorang adalah makanan yang dari hasil usahanya, dan sesungguhnya anak seseorang adalah dari usahanya 10
pula .
Kemudian dari apa yang dilakukan serta usaha manusia, kelak dimintai pertanggung jawaban termasuk perbuatan baik dan buruk selama hidup didunia. Seperti firman-Nya;
(: ) " " Artinya: “ Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang engkau megah-megahkan didunia itu)” QS.102:8.
10
“Terjemah Tafsir Al-Maraghi”, Toha Putra : Semarang 1989, hal 108-113.
Penutup surah ini menegaskan, khususnya kepada Mereka yang bersaing dalam menumpuk harta kekayaan dan lain-lainnya itu, bahwa kelak pada hari itu (hari kemudian) pasti kamu akan ditanyai tentang kenikmatan (an-naim). Pada umumnya manusia lupa menjadikan hartanya untuk berbuat dan berkarya pada jalan-jalan kebajikan dengan membela kebenaran dan memberantas kebathilan. Mereka selalu sibuk dengan persaingan antara sesamanya sehigga Mereka menjumpai kuburan dan mengakhiri hayatnya. Kita dianjurkan menziarahi kuburan sebagai penawar dan pemadam hati yang sesat sehingga orang mengingat kepada mati dan hari kiamat. Dan ayat ini menganjurkan umat manusia agar berlaku jujur dan tidak terbuai dengan harta saja, selama hidup yang singkat ini kita dianjurkan untuk mengerjakan amalan-amalan saleh. Bila kita mengetahui akibat dari perbuatan itu secara yakin, karena melihat dengan mata sendiri, tentunya kita akan beramal dengan harta yang kita miliki, serta dengan amal-amal yang baik dan bermanfaat untuk umat sebanyakbanyaknya. Dalam hal dosa dan pahala setiap orang menanggung hasil perbuatan masingmasing dan mendapatkan pahala sesuai dengan yang diperbuatnya tanpa mendapatkan limpahan pahala orang lain. Seseorang mendapat pahala karena dia sendiri yang 11
berbuat beramal saleh, bukan orang lain yang beramal saleh . Dan manusia sebagaimana mereka katakan lebih mudah melakukan kebaikan (ihsan). Sedangkan pemberian nikmat,. Kebajikan dan kelembutan itu merupakan arti yang bisa mencerahkan perasaan, mengausai persepsi, memotivasi diri utnuk mencintai
siapapun
yang
memberikan
kenikmatan
itu
kepadanya,
serta
membimbingnya menuju kebaikan. Maka, tidak ada satupun pemberi nikmat dan kebaikan yang hakiki, kecuali Allah swt. Inilah yang secara tegas ditunjukkan oleh akal dan nash yang valid. Oleh sebab itu, tidak satupun kekasih paling hakiki bagi seseorang yang mampu melihat dengan batinnya, kecuali Allah swt sehingga tidak satu pun yang berhak mendapatkan cinta 12
tersebut secara utuh, selain Dia . Darisini hendaklah kita berusaha untuk berhenti dari sikap yang menimbulkan persengketaan dan permusuhan, seharusnya kita saling bantu membantu dalam
11
Mustofa, “ AHLAK TASAWUF” , Pustaka setia: Bandung 1997, hal 182. Abdul aziz Mustafa, “MAHABBATULLAH”-Tangga menuju Cinta Allah, Risalah Gusti : Surabaya 1999, hal 129. 12
mengerjakan amal salih, menjauhkan kemungkaran, berbakti kepada agama, nusa dan 13
bangsa . Penutup
-
Sudah seharusnya kita hidup didunia saling mengingatkan, jangan sampai manusia baru menyadari kesalahannya sesudah mendekati kematian, atau disaat malaikat izrail datang menjemput untuk mencabut nyawanya.
-
Para manusia yang menyalah gunakan segala nikmat yang diberikan Allah dan pasti akan dimintai pertanggung jawaban dihari makhsyar. Dan diharapakan dengan menghayati surah-surah ini kita dapat membangun dan membina kehidupan yang harmonis dibawah naungan sinar iman dan Islam; dan membuang jauh-jauh segala sifat tercela.
-
Setelah seseorang mampu menguasai dirinya, dapat menanamkan sifat-sifat terpuji dalam jiwanya, maka hatinya menjadi jernih, ketenangan dan ketentraman memancar dari hatinya. Inilah hasil yang dicapai dari Takhalli, Tahalli dan Tajalli yang smapainya Nur Ilali dalam hatinya, sehingga dalam keadaan ini seseorang bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang bathil dan mana yang haq.
-
Oleh karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutashawhif sepanjang budi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizqi tidak lekat didalam hatinya, dan begitu seterusnya yang pada pokoknya menyandang sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela. Aspek-aspek itulah yang sebenarnya dikehendaki dalam bertasawuf.
Daftar Pustaka
Mustofa, “ AHLAK TASAWUF” , Pustaka setia: Bandung 1997. Shihab,M. Quraish, “ TAFSIR AL-MISHBAH”.Volume I , Lentera Hati : Jakarta 2000. Syukur, HM.Amin, “ Menggugat Tasawuf ”, ”, Pustaka Pelajar : Yogyakarta 1999. Shihab, M. Quraish, “ WAWASAN AL-QUR’AN”, Mizan : Jakarta 2003. 13
“TAFSIR PASE”-Kajian Surah Al-Fatihah dan Surah –surah dalam Juz’ammma, Paradigma Bar u, Dian Ariesta: Jakarta 2001, hal 188.
Al-Ghazali, Muhammad, “Akhlak Seorang Muslim”, PT.Al-Maa’rif : Bandung 1995. “TAFSIR PASE”-Kajian Surah Al-Fatihah dan Surah –surah dalam Juz’ammma, Paradigma Bar u, Dian Ariesta: Jakarta 2001. “Terjemah Tafsir Al-Maraghi”, Toha Putra : Semarang 1989.
Mustafa, Abdul aziz, “MAHABBATULLAH”-Tangga menuju Cinta Allah, Risalah Gusti : Surabaya 1999.