PENYELESAIAN SENGKETA DARI SUDUT PANDANG MASYARAKAT ADAT SUKU BADUY DALAM Diajukan untuk memenuhi tugas akhir semester IV mata pelajaran Sosiologi
Disusun oleh : ACHMAD RIFQI NURGHI FARI (141510269) HARVI RIHANTONO (141510240) Kelas : XI IPS 4
SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 CIANJUR JL. PANGERAN HIDAYATULLOH NO. 62
Lembar Pengesahan Tanggal : Wali Kelas
Guru Pembimbing
Drs. Pracoyo, M.Pd 195711231989031003
Ai Siti Komariah, M.Pd 197506052007012012
Penguji I
Penguji II
_______________
_______________ Mengetahui, Kepala Sekolah SMAN 1 CIANJUR
Jarwoto, S.Pd, M.Pd 196411061989031007
ANGGOTA
ACHMAD RIFQI NURGHIFARI NIS: 1415101269
HARVI RIHANTONO NIS: 141510
ABSTRAKSI
Hukum Pidana Adat adalah disiplin ilmu hukum yang direkomendasikan untuk dipelajari dan digali oleh berbagai para ahli hukum, seminar hukum nasional, dan Kongres PBB Mengenai Penanggulangan Kejahatan dan Perlakuan Terhadap Pelaku Kejahatan. Rekomendasi tersebut didasarkan pada kepentingan hukum nasional dalam upaya pembaharuan hukum nasional agar hukum tidak semakin menjauh dari nilai-nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat dalam rangka membangun hukum nasional. Latar belakang pemikiran tersebut kemudian dituangkan dalam laporan ini dengan judul Penyelesaian Sengketa
Dari
Sudut
Pandang
Masyarakat
Adat
Suku
Baduy
Dalam.
Laporan ini mendasarkan pada tiga pokok permasalahan yang disusun dalam pertanyaan besar, Bagaimana proses penyelesaian sengketa dalam masyarakat adat Suku Baduy Dalam? Siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian sengketa tersebut? Seberapa efektif kah cara penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh masyarakat adat Suku Baduy Dalam? Tujuan Laporan ini adalah untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh masyarakat adat suku Baduy Dalam, untuk mengetahui pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian sengketa
tersebut, untuk mengetahui efektifitas
penyelesaian yang dilakukan masyarakat suku adat Suku Baduy Dalam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum pidana adat Baduy merupakan hukum yang tidak tertulis yang mengorientasikan penyelesaian perkara pidana secara integral yang meliputi pemulihan kepentingan korban, kepentingan pelaku dan kepentingan masyarakat. Hukum pidana adat Baduy mengenal berbagai jenis tindak pidana berikut konsep pertanggungjawaban
dan
sanksi
hukumnya.
Hukum pidana adat Baduy juga mengenal tindak pidana santet dan pidana ganti rugi dengan berbagai karakteristiknya yang perlu dipertimbangkan untuk diakomodir dalam konteks pembaharuan hukum pidana nasional.
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrohmanirrohim
Puji syukur kami penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan Karyailmiah yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Masyarakat Adat Suku Baduy Dalam”. Karya ilmiah ini disusun untuk memenuhi nilai akhir mata pelajaran Sosiologi, Geografi, Ekonomi, Sejarah, dan Pramuka.
Karena Pengetahuan dan pengalaman Penulis masih terbatas di dalam penulisan karya ilmiah ini, maka tidak sedikit kesulitan-kesulitan yang Penulis jumpai selama proses penyusunan karya ilmiah ini. Namun berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya Penulis dapat menyelesaikan walaupun karya ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, sebagai rasa syukur, selayaknya penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang telah berkenan memberi bantuan yang tulus selama penyusunan karya ilmiah ini, terutama: Semoga Proposal ini dapat memberikan wawasan yang lebih dan bermanfaat bagi para pembaca. Sekian, terima kasih.
Cianjur, 2016 Achmad Rifqi N Harvi Rihantono
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Hukum sebagai sarana untuk menciptakan ketertiban dan keseimbangan diperlukan bagi masyarakat, tidak terkecuali bagi masyarakat primitif. Sementara tugas utama masyarakat hukum adat adalah membina keselarasan, keseimbangan, keserasian dan kesinambungan antara masyarakat sebagai makhluk hidup dengan isi alam semesta agar terjadi harmani yang dapat membawa manusia pada kebahagiaan. Setiap perbuatan yang menimbulkan disharmoni (sengketa) harus dimintakan restu kepada hal yang gaib, dan biasanya sengketa yang terjadi diselesaikan dengan musyawarah dalam suatu upacara dengan ritual-ritual tertentu. Setiap sengketa yang timbul dalam masyarakat dapat mengganggu keseimbangan tatanan masyarakat. Oleh karena itu, setiap sengketa yang terjadi perlu diupayakan penyelesaiannya sehingga keseimbangan tatanan masyarakat dapat dipulihkan. Pada dasarnya, keberadaan cara penyelesaian sengketa sama tuanya dengan keberadaan manusia itu sendiri. Di dalam masyarakat hukum adat sudah sejak lama sengketa-sengketa yang terjadi diselesaikan secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga adat yang biasa disebut peradilan adat. Biasanya yang bertindak sebagai hakim dalam lembaga tersebut adalah tokohtokoh adat (kepala adat) dan pemuka agama. Kewenangan dari hakim peradilan adat ini tidak semata-mata terbatas pada perdamaian saja, tetapi juga kekuasaan memutus sengketa dalam semua bidang hukum yang tidak terbagi ke dalam pengertian pidana, perdata dan publik. Di antara banyaknya cara penyelesaian sengketa dalam masyarakat adat yang ada di Indonesia, Baduy memiliki hukum dan cara penyelesaian sengketa yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu dan masih berlangsung hingga sekarang. Baduy adalah salah satu suku di Indonesia yang tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Lebak, Banten. Masyarakat Baduy tetap konsisten dalam menjalankan aturan adatnya tanpa terpengaruh oleh perkembangan zaman.
1.2 Rumusan Masalah Beberapa permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah : 1.
Bagaimana proses penyelesaian sengketa dalam masyarakat adat Suku Baduy Dalam?
2.
Siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian sengketa tersebut?
3.
Seberapa efektif kah cara penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh masyarakat adat
Suku Baduy Dalam?
1.3 Tujuan Penelitian : 1.
Untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh masyarakat adat
suku Baduy Dalam. 2.
Untuk mengetahui pihak-pihak yang
terlibat dalam proses penyelesaian sengketa
tersebut. 3.
Untuk mengetahui efektifitas penyelesaian yang dilakukan masyarakat suku adat Suku
Baduy Dalam.
1.4 Manfaat Penelitian : a.
Bagi penulis : Menambah wawasan penulis mengenai penyelesaian sengketa yang bisa diambil contoh
dari masyarakat adat Suku Baduy Dalam. Untuk selanjutnya dijadikan sebagai acuan dan penguat bagi diri kita bagaimana kita menghadapi dan menyelesaikan sengketa.
b.
Bagi lembaga pendidikan: Guna menciptakan para peserta didik yang paham akan pentingnya pengetahuan
mengenai penyelesaian sengketa, dan sebagai motivasi bagi para tenaga pendidik guna memberikan pemahaman yang lebih mengenai permasalah dalam menyelesaikan sengketa. Yang langsung suatu saat bisa secara langsung diaplikasikan oleh siswa-siswi nya.
c.
Bagi pembaca: Agar lebih termotivasi dan bisa mengikuti hal tersebut, dan mengambil manfaat dari
penulisan ini sehingga dijadikan masukan data untuk proses pembelajaran di masa yang akan datang.
1.5 Batasan Konsep Sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek. Masyarakat adat adalah suku-suku atau bangsa yang, mempunyai kelanjutan historis dengan masyarakat sebelum masuknya penjajah di wilayahnya, menganggap dirinya berbeda dengan masyarakat lain yang hidup di wilayah mereka.
BAB II LANDASAN TEORI 1. Asal Usul Suku Baduy Sebutan Baduy, sebagaimana dikatan oleh Ferry Fathkurrohman dalam tesisnya, berasal dari orang luar yang mengunjungi masyarakat Kanekes. Terutama dari peneliti asing yang melakukan penelitian tentang kehidupan masyarakat Kanekes, Lebak, Banten. Kata “Baduy” diasosiasikan pada suku pedalaman di Arab (Badawi) yang hidup berpindah-pindah (nomaden). Namun demikian urang (orang) Kanekes sendiri tidak menolak dengan sebutan tersebut. Masyarakat Baduy sendiri lebih terbiasa
menyebut
dirinya
sesuai
dengan
nama
kampungnya,
misalnya urang Kanekes, urang Cikeusik dan sebagainya. Namun demikian menurut Hoevel sebagaimana dikutip oleh Hakiki mengatakan bahwa penyematan mereka dengan sebutan Baduy pertama kali dilakukan oleh orangorang yang berada di luar baduy yang sudah memeluk agama Islam. Penyebutan ini ditengarai sebagai ejekan terhadap mereka (Orang Baduy) berdasarkan beberapa alasan yakni kehidupan yang primitif, nomaden, ketergantunga pada alam membuat mereka disamakan dengan kehidupan masyarakat Badui atau Badawi yang ada di daerah Arab. Mengenai asal usul Baduy, secara umum terdapat dua versi yakni; versi orang luar Baduy (peneliti) dan versi orang Baduy sendiri. Versi orang luar Baduy secara umum sebagaimana dikutip oleh Fathurahman adalah versi C.L Blume yang melakukan ekspedisi botani pada tahun 1822 yang tampak terkejut menemukan sebuah komunitas di tengah hutan belantara. Dalam catatannya Blume menulis : “…di pangkuan sebuah rangkaian pegunungan yang menjulang tinggi di Kerajaan Bantam di Jawa Barat… kami mendapatkan beberapa kampung pribumi, yang dengan sengaja bersembunyi dari penglihatan orang-orang luar. Di sebelah barat dan selatan gunung ini…. yang tidak dimasuki oleh ekspedisi Hasanudin… dalam kegelapan hutan yang lebat, mereka masih dapat memuja para dewa mereka selama berabadabad…”
Dalam catatan sejarah, sekitar abad XII dan XIII M, kerajaan Padjajaran menguasai seluruh tanah Pasundan yang meliputi Banten, Bogor, Priangan sampai wilayah Cirebon. Pada saat itu raja yang berkuasa adalah Prabu Siliwangi. Kemudian pertempuran yang terjadi sekitar abad XVII antara kerajaan Banten melawan kerajaan Sunda, kerajaan Sunda yang saat itu dipimpin oleh Prabu Pucuk Umum (keturunan Prabu Siliwangi) mengalami kekalahan dan akhirnya sang Prabu melarikan diri ke daerah hutan pedalaman bersama beberapa punggawanya. Dari sinilah mereka hidup dan beranak pinak. Masyarakat Baduy sendiri menolak keras asal-usul mereka versi para ahli sejarah bahwa mereka adalah pelarian dari kerajaan Padjajaran. MenurutˆJaro Sami (Jaro Cibeo) sebagaimana diceritakan oleh Fathurrokhman, bahwa masyarakat Baduy berasal dari Nabi Adam, Nabi Adam berasal dari Baduy, dari sinilah manusia berkembang dan menyebar ke seluruh penjuru bumi. Mereka ditugaskan untuk melestarikan adat. Sementara Hakiki menjelaskan, mereka meyakini bahwa asal usul masyarakat Baduy berasal dari tujuh Dewa atau Batara yang diutus untuk datang dan memelihara bumi. 2. Kehidupan Masyarakat Baduy Secara geografis, masyarakat suku Baduy tinggal di wilayah Provinsi Banten, tepatnya di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Luas wilayah ulayatnya adalah 5.101,8 hektare. Wilayahnya berbukit-bukit, tersusun oleh sambung menyambung bukit dan lembah. Pemukiman mereka biasanya terletak di wilayah lembah bukit, pada daerah yang lebih datar dekat dengan sumber air tanah atau sungai. Sumber mata pencaharian masyarakat Baduy adalah dari bercocok tanam, berladang padi tanah kering (huma). Mereka berladang secara berpindah-pindah dengan masahera (mengistirahatkan lahan), selama 5 tahun. Hal ini senada dengan yang ditulis oleh Dixon, bahwa dalam sejarah suku Sunda, orang Sunda lebih sebagai pekerja-pekerja di ladang dari pada petani padi. Sebagai mata pencaharian sampingan selama menunggu masa panen atau waktu luang adalah membuat kerajinan tangan dari bambu, membuat kojo (tas dari kulit kayu).
Selain itu mereka mencari rotan di dalam hutan, pete, buah-buahan, berburu dan mencari madu hutan, membuat atap dari daun kirai, membuat alat pertanian seperti golok dan kored. Sementara perempuan Baduy, selain membantu suaminya di ladang, kegiatan mengisi waktu luangnya untuk bertenun. Mereka menenun kain menggunakan alat sederhana. Masyarakat Baduy tidak mengenal sekolah formal, adat mereka melarang anak-anak mereka mengenyam pendidikan sekolah. Menurut mereka bila orang Baduy bersekolah akan bertambah pintar, dan orang hanya akan merusak alam dan akan merubah semua aturan adat yang sudah ditetapkan oleh karuhun. Mereka, sebagaimana disampaikan oleh Asep, hanya memperoleh pengetahuan yang diajarkan oleh orang tua mereka, secara turun-temurun mereka diajarkan cara bercocok tanam, pengetahuan tentang atura-aturan adat, tentang kehidupan dan lainlain. Meski tidak bersekolah formal, sebagian kecil dari mereka ada yang mengenal baca, tulis dan berhitung. Biasanya mereka belajar dari orang luar yang sedang berkunjung ke tempat mereka. 3. Klasifikasi Masyarakat baduy Masyarakat Kanekes (Baduy) secara umum terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, Tangtu, Kelompok Tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing. Kelompok inilah yang masih orisinil dari suku Baduy dan menjalani aturan-aturan adat secara ketat dan konsekuen. Kelompok masyarakat kedua Panamping, adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.
Kelompok ketiga, yakni Baduy Dangka, mereka yang sudah benar-benar keluar dari suku Baduy, baik secara geografis maupun secara adat istiadat. Mereka merupakan keturunan suku Baduy Dalam atau luar, namun umumnya sudah tidak tinggal di wilayah Kanekes. Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka “Kanekes Dangka” tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar. 4. Struktur Adat Baduy Struktur adat dalam masyarkat Suku Baduy digambarkan dalam diagram berikut:[20] Keterangan: Puun = Pemimpin adat tertinggi yang ada di masing-masing Baduy Dalam Girang Seurat = Tokoh adat yang diberi kewenangan dan membidangi masalah pertanian. Jaro Tangtu = Kepala kampung yang ada di tiap kampung Baduy Dalam. Baresan Salapan/tujuh = Pembantu/penasehat puun yang ada di Baduy Dalam. Tangkesan = Penasehat Jaro tujuh atau Jaro Dangka, berfungsi dalam hal urusan adat, tangkesan ini semacam dukun yang terkadang diminta menujum seorang pelaku kejahatan. Tanggungan/Jaro 12 = Mirip tangkesan, sebagai penasehat Jaro tujuh/Jaro Dangka Jaro tujuh/Jaro Dangka = Tokoh adat yang berfungsi menegakan hukum adat Kepala Desa = Kepala Desa Kanekes yang saat ini dijabat Jaro Dainah/Jaro Pamarentahan (Jaro Pemerintahan) berfungsi sebagai penghubung antara Baduy
dengan lingkungan luar termasuk persoalan tindak pidana yang tidak bisa diselesaikan di Baduy (melibatkan hukum negara). 5. Ajaran Dan Ketentuan Adat Suku Baduy Menurut Pospisil bahwa dalam masyarapakat yang sederhana (primitive), tradisional dan kesukuan (tribal) sekalipun itu terdapat hukum di dalamnya yang mengatur kehidupan masyarakat tersebut. Dalam masyarakat Baduy, sistem hukum yang mengatur kehidupan mereka sehari-hari tidak terkodifikasi, melainkan terpatri dalam pikukuh yang di dalamnya sarat dengan berbagai ajaran Sunda Wiwitan. Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang dianut oleh masyarakat suku Baduy, mereka meyakini adanya satu kuasa tunggal yakni Batara Tunggal, sebutan lainnya adalahNungersakeun (Yang Maha Menghendaki) dan Sang Hyang Keresa (Yang Menghendaki). Agama ini bersifat animistik, mereka mayakini adanya roh-roh yang menghuni di bebatuan, pepohonan, sungai-sungai dan obyek maupun benda tidak bernyawa lainnya. Roh-roh tersebut dapat melakukan hal-hal yang baik maupun buruk, tergantung dari perbuatan yang dilakukan oleh manusia kepada sistem tabu yang mereka yakini. Untuk melestarikan ajarannya, yang di dalamnya terkandung larangan-larangan, menurut Jaro Sami, setiap dua bulan sekali semua warga Baduy Dalam dikumpulkan di masing-masing kampung yakni Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik. Dalam pertemuan tersebut disampaikan setiap larangan beserta ancaman hukumannya. Selain melalui pertemuan yang rutin dilakukan itu, pengetahuan mengenai hukum adat atau aturan-aturan adat diperoleh melalui lisan/tutur dalam kehidupan sehari-hari atau diceritakan oleh orang tua kepada anaknya. 2.6 Tinjauan Geografi Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6º27’27” - 6º30’0” LS dan 108º3’9” - 106º4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten LebakRangkasbitung Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan dari bagian pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300-600 m diatas
permukaan laut tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah) dan tanah campuran (di bagian selatan). Suhunya rata-rata 20ºC. Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Lokasi
1.
Lokasi Absolut
:
Secara Astronomis wilayah Kanekes pada koordinat 6º27’27” - 6º30’0” LS dan 108º3’9” - 106º4’55” BT
2.
Lokasi Relatif Suku Baduy bermukim tepatnya di kaki Gunung Kendeng didesa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
3.2 Pendekatan Kualitatif Pendekatan yang kami gunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan kualitatif. Penelitian Kualitatif adalah suatu pendekatan yang juga disebut pendekatan investigasi karena biasanya peneliti mengumpulkan data dengan cara bertatap muka langsung dan berinteraksi dengan orang-orang di tempat penelitian (McMilan & Schumacher, 2003).
Kami menggunakan metode penelitian deskriptif untuk menjelaskan secara detail bagaimana Penyelesaian Sengketa di Masyarakat Adat Suku Baduy Dalam.
3.3 Subjek Penelitian :
1.
Populasi
: Masyarakat Baduy Dalam
2.
Sampel
:
1. Jaro Tangtu = Kepala Kampung yang ada di tiap Kampung Baduy Dalam. Kepala Desa Kanekes yang saat ini dijabat Jaro Dainah/Jaro Pamarentah (Jaro Pemerintah) berfungsi sebagai penghubung antara Baduy dengan lingkungan luar termasuk persoalan tindak pidana yang tidak bisa diselesaikan di Baduy (melibatkan hukum negara) 2. Warga Asli Baduy Dalam ( 2 orang )
3.4 Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini diawali dengan perumusah masalah yang kami bentuk dalam sebuah pertanyaan-pertanyaan yang tentunya bersangkutan dengan masalah yang ingin kita teliti. Setelah itu kami melaksanakan observasi langsung ke lapangan lalu mewancarai masyarakat baduy.
3.5 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang diambil dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi, dan dokumenter. Teknik wawancara adalah teknik pengumpulan data primer (secara langsung) dari para pihak yang dijadikan informan penelitian. Teknik wawancara dilakukan dengan mempersiapkan terlebih dahulu pedoman wawancara. Pedoman wawancara tersebut berisi pokok-pokok pertanyaan. Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan kegiatan langsung terjun kelapangan. Observasi dilakukan untuk memperoleh berbagai informasi dan
memahami bagaimana kondisi objek penelitian. Observasi yang dilakukan yaitu dengan mengunjungi Suku Baduy di kabupaten Banten. Dokumenter adalah suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik. Studi dokumenter tidak sekedar mengumpulkan dan menuliskan atau melaporkan dalam bentuk kutipan-kutipan tentang sejumlah dokumen yang dilaporkan dalam penelitian adalah hasil analisis terhadap dokumen-dokumen tersebut. 3.6 Teknik Pengolahan Data Reduksi Data Pertama-tama, kami mulai dengan pengumpulan data dengan mencari informasi yang sesuai. Tetapi sebelum wawancara dimulai kami harus melakukan observasi langsung menuju kampung baduy, menempuh jarak yang begitu jauh dengan medan yang lumayan terjal hanya berjalan kaki. Setelah sampai di kampung baduy kemudian kami melakukan wawancara kepada warga asli baduy. Lalu pada malam harinya kami melakukan wawancara kepada ayah mursyid (jaro). Para peneliti termasuk kami lalu melakukan sesi tanya jawab bersama puun kampung baduy, ketika sesi wawancara ini kami mencatat setiap jawaban yang diberikan oleh jaro kampung baduy. Hasil wawancara ini kemudian kami jadikan bahan untuk menganalis.
Display Data Pada wawancara pertama, yaitu bersama warga baduy dalam kita mempunyai kesempatan dan kebebasan saat sampai di kampung baduy dalam, waktu yang lumayan terbatas membuat kami harus bisa memanfaatkan waktu tersebut untuk wawancara warga baduy dalam. Wawancara ini bertujuan untuk mendapatkan informasi serta keterangan yang jelas kebenarannya.
Penarikan Kesimpulan dan Analisis Data Dalam penelitian ini kami melakukan pengumpulan data yang kemudian data tersebut diolah dan dikaji secara kualitatif dengan tujuan utama yaitu menjawab serta
menyelesaikan masalah penelitian, kemudian data-data yang telah diolah tersebut disusun lalu ditafsirkan secara deskriptif.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Hukum merupakan suatu aktivitas kebudayaan yang berfungsi sebagai alat untuk menjaga ketertiban dan keteraturan masyarakat serta sebagai sarana pengendalian sosial dalam masyarakat. Demikian Pospisil mengartikan hukum. Pospisil memberikan atribu-atribuk hukum untuk menncirikan dan membedakan peraturan hukum dengan norma-norma lain. Salah satu atribut yang dikemukakannya adalah sanksi. Sanksi menurutnya bisa bersifat fisik atau sosialpsikologis. Masyarakat Suku Baduy yang memiliki banyak aturan tersebut, dalam hukumnya juga menerapkan sanksi sebagai salah satu mekanisme penegakkan aturan yang mereka yakini. Aturan-aturan tersebut terinternalisasi dalam jiwa masyarakat Suku Baduy dan tidak tergoyahkan oleh perkembangan zaman yang semakin modern. Dan bagi yang melanggar aturan-aturan tersebut akan diberikan sanksi oleh ketua adat secara bertahap mulai dari teguran, dinasehati, diasingkan hingga dikeluarkan dari komunitas Baduy Dalam. Menurut Salim Hs sebagaimana dikutip oleh Thalib, perihal teori konflik dapat digolongkan atas objek kajiannya, faktor penyebab terjadinya konflik dan strategi dalam penyelesain konflik. 1. Proses Penyelesaian Sengketa/Konflik Asas ultimatum remedium atau asas subsideritas yang diperkenalkan oleh hukum Barat, rupanya dianut pula oleh masyarakat Suku Baaduy dalam proses penyelesaian sengketa yang terjadi di masyarakat. Meski tidak secara harfiah disebutkan sebagai asas ultimatum remedium, namun dalam praktiknya masyarakat Suku Baduy menerapkan asas tersebut dalam penyelesaian sengeketa, di mana sistem peradilan adat baru difungsikan ketika penyelesaian sengketa melalui keluarga mengalami kebuntuan.
Tahap awal dari proses penyelesaian sengketa selalu diusahakan untuk diselesaikan di keluarga. Jika penyelesaian dikeluarga mengalami kebuntuan, maka Jaro Tangtu dengan tokoh adat lainnya melakukan penyelidikan ke lapangan, kalau masalahnya ringan, maka cukup diselesaikan oleh Jaro Tangtu, namun jika tidak selesai maka diserahkan pada sistem peradilan adat. Skema penyelesaian sengketa dalam sistem peradilan adat Sunda Baduy.
Keterangan: 1. Silih ngahampura = saling memaafkan 2. Dikaluarkeun = dikeluarkan dari Baduy Dalam ke Baduy Luar, atau dikeluarkan dari Baduy Luar ke luar Baduy (bagi warga Baduy Luar) 3. Ditegor = ditegur 4. Dipapatahan = dinasehati 5. Jaro Tangtu adalah jaro (kepala kampung) di Baduy Dalam. 6. Jaro 7/Jaro Dangka adalah bagian dari struktur adat yang ditugasi dalam menegakan hukum (pidana) adat Baduy yang berjumlah 7 orang dan berada di Baduy Luar. 7. Puun adalah tokoh adat tertinggi yang ada di masing-masing Baduy Dalam yang disakralkan dalam hal spiritual. 8. Ngabokoran upacara pembersihan batiniah atas tindak pidana yang tidak terlalu berat yang dilakukan di Cihulu, Sarokokod/Panyaweyan, Cibengkung (tergantung asal daerah pelaku). Perlengkapan bokor disediakan pihak pelaku yang meliputi:sereh/sirih, gambir, apu, menyan, boeh/kain kafan, keris. Sereh kemudiandidahar/dimakan oleh perangkat adat: puun, girang serat, baresan salapan, jaro tangtu. Yang menobatkan si pelaku adalah jaro tangtu dan puun, puun kemudian meneruskan penobatan pada leluhur. 9. Serah pati upacara pembersihan batiniah yang serupa dengan bokor tetapi dilakukan atas tindak pidana berat (mengakibatkan kematian). Skema diatas dibedakan berdasarkan berat dan ringannya perbuatan atau pelanggaran. Terhadap pelanggaran berat seperti pembunuhan, maka penyelesaian di tingkat keluarga dapat dilangkahi dan langsung diselesaikan oleh Jaro Tangtu dan Jaro 7 / Jaro Dangka.
Pada prinsipnya tujuan penghukuman bagi pelaku kejahatan di masyarakat Baduy adalah untuk membersihkan
lahir
dan
batinnya.
Pembersihan
tersebut
merupakan
wujud
dari
pertanggungjawaban pelaku kejahatan atau pelanggar aturan. Pembersihan lahiriah diwujudkan dalam pertanggungjawaban yang berupa sanksi, sanksi tersebut berupa teguran, nasehat, silih ngahampura, ganti rugi, hingga dikeluarkan dari warga Baduy Dalam menjadi warga Baduy Luar. Sementara pembersihan batiniah diwujudkan dalam bentuk upacara ngabokoran atau serah pati dengan memohon maaf pada leluhur yang dipimpin oleh puun.
1. Prinsip-prinsip dalam penyelesaian sengketa Ada beberapa prinsip yang dianut oleh masyarakat suku Baduy dalam menyelesaiakan sengketa, antara lain: 1. Musyawarah Dalam penyelesaian sengketa/konflik hal yang paling diutamakan oleh masyarakat suku Baduy adalah musyawarah mereka biasa menyebut darna musyawarah. Apa yang diinginkan korban dan keluarganya agar dapat memulihkan kondisi korban tindakan kejahatan yang telah terjadi, demikian halnya dengan pelaku dan keluarganya agar terbebas dari perasaan bersalah. Selanjutnya apabila kejahatan tersebut membawa keguncangan yang mengganggu keseimbangan masyarakat, maka harus dilakukan upacara ngabokoran, agar keseimbangan kembali pulih. 1. Personalitas Seperti halnya dalam hukum pidana nasional, hukum adat Baduy mengenal ketentuan semacam asas personalitas. Dalam asas personalitas yang terpokok adalah orang, person. Berlakunya hukum pidana dikaitkan dengan orangnya, tanpa mempersoalkan di mana orang itu berada, hukum pidana nasional selalu melekat pada orang tersebut. Begitu juga dengan masyarakat Baduy, hukum adat selalu melekat dalam dirinya, di mana pu mereka berada mereka berada selalu terikat dengan hukum adat, meskipun sedang berada di luar wilayah Baduy.
Hal ini serupa dengan yang disampaikan Asep, menurutnya orang Baduy tetap memegang teguh adatnya (pikukuh) meski sedang berada di luar kampungnya. Mereka tetap mentaati ajaran/aturan yang mereka anut sebagaimana mereka berada di kampung Baduy. 1. Penyelesaian Sengketa Dalam Kasus Kongkrit Berikut ini adalah beberapa penyelesaian sengketa untuk kasus-kasus tertentu. 1. Fitnah Derajat kejahatan fitnah dalam hukum adat Baduy dibedakan pada sasaran fitnah. Fitnah terhadap pejabat adat derajatnya lebih tinggi dibandingkan fitnah pada warga Baduy biasa. Hal ini disebabkan karena pejabat adat sebagai pimpinan harus dihargai bersama, maka jika ada orang yang tidak menghargai pimpinan dibedakan dengan fitnah pada orang biasa. Fitnah pada orang biasa dapat diselesaikan antara pihak keluarga, sementara fitnah terhadap pimpinan harus
diselesaikan secara adat (sistem peradilan adat Baduy) karena pimpinan adat merupakan simbol adat.
1. Zina Zina bagi masyarakat Suku Baduy merupakan pelanggaran dan dosa besar, penangannya dibedakan dengan pelanggaran yang lainnya. Persidangan untuk perkara ini tidak segera dilangsungkan seperti pada kasus-kasus lainnya. Pelaku akan segera di”rutan”kan selama 40 hari, proses persidangan akan dilaksanakan setelah masa karantina selasai dijalani oleh pelaku. Karena bagi masyarakat Suku Baduy zina merupakan aib yang dapat mempermalukan semua pihak, baik korban, pelaku maupun masyarakat Suku Baduy pada umumnhya.
Kadar hukuman bagi pelaku zina juga dibedakan antara suka sama suka tanpa ikatan perkawinan, dengan zina yang melibatkan hak batur (hak orang lain), misalnya berzina dengan pacar atau istri orang lain. Bobot hukuman terhadap jeni zina yang terakhir adalah lebih berat dari jenis yang pertama. Biasanya bagi pelu zina yang tidak dalam ikatan perkawinan mereka dikawinkan. Namun demikian, apabila kedua pelaku tersebut ada hubungan darah yang dapat menghalangi perkawinan, seperti kakak dan adik atau bibi dengan keponakan maka keduanya tidak boleh dikawinkan. Karena jika dikawinkan dan di kemudian hari melahirkan anak, maka anak tersebut menjadi anak jadah dan aib masyarakat Suku Baduy. Zina seperti di atas merupakan dosa besar yang tidak bisa diampuni dan jika itu terjadi maka hukumannya adalah diikat dan dilemparkan ke laut, berikut ini adalah kutipan langsung dari Jaro Sami saat diwawancarai. “Eweuh cagerna, ndek ngabokoran, dikaluarkeun, teu bisa sabab riwayatna eweuh cagerna, paling berat, sanksina ditalian dibalangkeun ka laut sabab eweuh hampura di riwayatna, panggede dosa, eweuh jalan kaluarna/Tidak ada sembuhnya (incest), mau ngabokoran, dikeluarkan (dari Baduy Dalam), tidak bisa sebab dalam riwayatnya tidak akan bisa disembuhkan, paling berat, sanksinya diikatdan dilemparkan ke laut sebab dalam riwayatnya tidak termaafkan, dosa yang paling besar, tidak ada jalan keluarnya.”
Masyarakat Suku Baduy yang melakukan perbuatan zina memang jarang terjadi, namun pelanggaran ini di Cibeo setiap lima tahun ada saja yang melakukannya. Dan kebanyakan sanksi bagi pelakunya adalah dikeluarkan dari Baduy Dalam, dilakukanruruba (penebusan dosa), kawin sementara, biasanya ada dua kali acara perkawinan, kawin sementara dan kawin resmi (resepsi). Dan kebanyakan pelaku memilih keluar dari Baduy Dalam meski tidak dikenai sanksi dikeluarkan dari Baduy Dalam. 1. Perkosaan Dalam masyarakat Suku baduy perkosaan merupakan bagian dari zina. Tetapi bedanya hal ini dilakukan dengan paksaan, tidak didasari suka sama suka. Untuk pelanggaran ini biasanya mereka dikawinkan, jika pihak korban menghendaki, namun jika tidak, pada umumnya pelaku dikenai sanksi dikeluarkan dari Baduy Dalam.
1. Pencurian Dalam pelanggaran pencurian, pelaku diwajibkan mengganti kerugian kepada pihak korban dan silih ngahampura. Jika pelaku meninggal sebelum memberikan ganti rugi, maka ganti rugi tersebut dibebankan kepada sabah (bapak/ibunya). pelaku juga ditanyai kesanggupan untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut, jika tidak sanggup maka akan dikeluarkan dari Baduy Dalam. Selain itu pelaku diwajibkan membiayai upacara ngabokoran. 1. Penipuan Proses penegakan hukum adat Baduy dalam hal penipuan bermula dari adanya pengaduan dari korban. Namun hal ini tidak diartikan penipuan sebagai delik aduan (klacht delicten). Adanya pengaduan korban lebih merupakan perwujudan dari asas ultimum remedium manakala si pelaku tidak mau bertanggungjawab atau tidak menemukan kesepakatan dalam hal ganti rugi sehingga penyelesaian pada tahap keluarga tidak tercapai.
Dalam hal penipuan, pada prinsipnya pertanggungjawabannya lebih diarahkan pada ganti rugi. Biasanya pelaku diminta membuat perjanjian untuk mengganti rugi, jika pelaku tak punya uang maka harus menjual hartanya (misalnya menjual huma/padi). Jika pelaku tak punya harta, maka pertanggungjawaban dibebankan pada keluarga si pelaku.
Pertanggungjawaban penipuan dalam hukum adat Baduy tidak hanya berorientasi pada kepentingan pelaku untuk diberi kesempatan memperbaiki diri dan membebaskan perasaan bersalahnya tetapi juga diorientasikan pada kepentingan korban, sehingga korban merupakan bagian integral dari proses penyelesaian sengketa.
1. Pembunuhan Bagi pelaku pembunuhan dengan sengaja maka diharuskan melakukan pertobatan selama 40 hari, melaksanakan serah pati, dikeluarkan beserta keluarganya dari Baduy Dalam selama tujuh turunan dan tidak diikutsertakan dalam acara-acara adat. 1. Santet (Julid) Bagi masyarat Baduy Julid ka papada (menyantet orang lain) adalah dosa yang sangat besar, menurut riwayat Baduy (budaya lisan yang disampaikan turun temurun) matinya pelaku julid ka papada tidak akan diterima di akhirat. Ancaman sanksi pelaku julid ka papada sama dengan pelaku incest, ditalian dibalangkeun ka laut (diikat dilemparkan ke laut). 1. Sengketa tanah Sengketa tanah merupakan perkara yang paling banyak terjadi di Baduy. Hal ini disebabkan karena lahan garapan di Baduy dikelola secara turun temurun di masing-masing keluarga, sehingga banyak terjadi sengketa mengenai batas-batas tanah.
Penyelesaian dalam sengketa ini dilakukan oleh Jaro Tangtu dan Jaro 7 atau oleh perangkat Desa Kanekes, jika sengketanya melibatkan warga baduy Dalam dana Baday luar. Dengan cara mengumpulakan informasi, para ketua adat tersebut kemudian memanggil para pihak yang bersengketa. Berdasarkan informasi-informasi yang diperoleh selanjutnya para ketua adat tersebut menentukan siapa yang salah dan yang benar.
Proses selanjutnya adalah sumpah adat, sumpah adat dilakukan ketika pihak yang bersangkutan tetap bersikukuh pada pendiriannya. Sumpah adat merupakan hal yang sakral bagi Suku baduy yang apabila setelah bersumpah dan ternyata berbohong maka akibatnya akan jatuh sakit bahkan meninggal, tergantung sumpah yang diucapkannya.
Selanjutnya jika terbukti salah satu pelaku penyerobotan tanah, maka pelaku tersebut diwajibkan untuk mengganti rugi, dan apabila ada pohon (kayu) di atas tanah tersebut maka harus diganti dengan kayu dan apabila tidak ada maka diganti dengan uang.
Terkait sumpah adat ini, Udin yang biasa bergaul dengan masyarakat suku Baduy menyatakan bahwa orang Baduy sangat takut dengan sumpah yang mereka ucapkan, mereka tidak akan mempermainkan sumpah, apalagi mereka bersumpah atas namakaruhun. karena mereka meyakini akibat sumpah itu nyata apabila tidak benar dengan apa yang mereka sampaikan. Balasannya bisa langsung dirasakan, sesuai dengan apa yang mereka sumpahkan. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
FOTO DOKUMENTASI
RIWAYAT PENULIS Nama
: ACHMAD RIFQI NURGHI FARI
NIS
: 141510269
TTL
: CIANJUR, 10 APRIL 1999
ALAMAT
: KP. CIPTAHARJA RT 04/RW 07 DESA BOBOJONG KEC. MANDE KAB. CIANJUR
PENDIDIKAN
: TPA ESSABIQQUE SD NEGERI KADEMANGAN SMP NEGERI 1 MANDE
Nama
: HARVI RIHANTONO
NIS
: 141510240
TTL
: CIANJUR, 19 APRIL 1999
ALAMAT
: KP. TEGALLEGA RT 02/RW 07 DESALIMBANGAN SARI KEC. CIANJUR
PENDIDIKAN
: TK KEMALA BHAYANGKARI SD NEGERI IBU DEWI 2 CIANJUR SMP NEGERI 1 CIANJUR