PEMBENIHAN UDANG WINDU (Penaeus monodon) DAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI BALAI BESAR PENGEMBANGAN BUDIDAYA AIR PAYAU (BBPBAP) JEPARA
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia merupakan satu negara dengan kekayaan biodiversitasnya, salah satunya adalah keanekaragaman krustasea yang meliputi kepiting, udang, dan lobster. Jenis krustasea tersebut tersebar di berbagai wilayah, dari mulai di darat, air tawar sampai air laut, serta memiliki ukuran yang beragam dari mulai berukuran mikro sampai makro. Krustasea memiliki berbagai manfaat, di antaranya adalah udang windu (Penaeus monodon) dan rajungan (Portunus pelagicus) yang dapat dimanfaatkan untuk konsumsi dan dibudidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, merupakan unit pengembangan budidaya udang windu yang menyediakan benih udang windu unggul. Benih unggul yang dibudidaya dapat dimanfaatkan oleh para petani udang windu baik di daerah Jepara maupun di seluruh Indonesia, sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Pembenihan udang windu meliputi perawatan dan pemeliharaan induk, telur, larva, serta pengelolaan pakan.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan: bagaimana perawatan dan pemeliharaan induk, telur, larva, serta pengelolaan pakan pada udang windu dan rajungan di BBPBAP Jepara?
3. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari perawatan dan pemeliharaan induk, telur, larva, serta pengelolaan pakan pada udang windu dan rajungan di BBPBAP Jepara.
II. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Profil BBPBAP Jepara
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara didirikan tahun 1971 yang diawali oleh Research Center Udang (RCU). BBPBAP merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang secara hierarki berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Departemen Pertanian, dengan sasaran utama adalah meneliti siklus hidup udang windu (Penaeus monodon) dari proses kematangan telur (gonad), perkembangan larva, dan budidaya secara tambak. Seiring dengan perkembangan kemajuan teknologi akuakultur, komoditas yang dikembangkan selain udang windu adalah ikan bersirip, Echinodermata, dan moluska air (BBPBAP Jepara).
BBPBAP memiliki visi yaitu mewujudkan sektor kelautan dan perikanan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasis kepentingan nasional; dan misi yaitu kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan. BBPBAP telah menerapkan teknik pematangan gonad induk udang windu melalui ablasi mata sehingga berpengaruh positif terhadap perkembangan usaha pembenihan (hatchery). Selain itu, juga telah dilakukan pengkajian teknologi pembenihan udang windu skala rumah tangga (backyard hatchery) sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir dan nelayan di sekitar Jepara (BBPBAP Jepara).
2. Klasifikasi dan Deskripsi Udang Windu (Penaeus monodon)
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Crustacea
Class : Malacostraca
Order : Decapoda
Suborder : Dendrobranchiata
Superfamily : Penaeoidea
Family : Penaeidae
Genus : Penaeus
Species : Penaeus monodon Fabricius, 1798 (WoRMS, 2015)
Penaeus monodon disebut juga udang windu, memiliki pleura yang berbentuk seperti genting. Tubuh terbagi menjadi kepala dan dada yang menyatu disebut cephalothorax, serta abdomen. Cephalothorax tersusun dari karapaks, memiliki 14 segmen yaitu 6 segmen di bagian kepala dan 8 segmen di bagian dada. Bagian kepala terdapat dua pasang antena, sepasang mata bertangkai, sepasang mandibula, dan dua pasang maksila. Bagian dada terdapat tiga pasang maksiliped dan lima pasang kaki jalan (pereipod) yang sebagian bercapit. Di ujung segmen ke VI terdapat telson. Pada jantan, kaki renang (pleopod) ke I memiliki alat kelamin disebut petasma dengan tonjolan. Pada betina, kaki jalan (pereiopod) ke V memiliki alat kelamin disebut thelicum dan tidak memiliki lubang kelamin.
Siklus hidup terbagi menjadi fase nauplii (2 hari), protozoea (4,5 hari), mysis (4 hari), postlarva (15 – 20 hari), dan dewasa (3,5 – >6 bulan). Habitat Penaeus monodon fase dewasa adalah pada laut tropis, fase larva, juvenile, dan pra-dewasa pada daerah lagoon atau bakau. Terdistribusi pada pesisir-pesisir Australia, Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Afrika Timur (FAO, 2016).
3. Klasifikasi dan Deskripsi Rajungan (Portunus pelagicus)
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Crustacea
Class : Malacostraca
Order : Decapoda
Suborder : Pleocyemata
Infraorder : Brachyura
Family : Portunidae
Genus : Portunus
Species : Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) (WoRMS, 2016)
Portunus pelagicus disebut juga rajungan. Panjang karapaks pada jantan adalah 7 cm, sedangkan pada betina adalah 6,5 cm. Karapaks berwarna coklat kehijauan dengan bagian tepi yang tidak beraturan dan berwarna coklat tua, cheliped berwarna keunguan, terdapat garis-garis pada karapaks. Bagian depan tubuh terbagi menjadi empat lobus, terdapat sembilan gigi triangular pada bagian antero-lateral, sedangkan bagian depan terdapat empat gigi triangular. Terdapat tiga spina pada bagian tepi merus. Kaki pipih berbentuk seperti dayung. Pada jantan, capit memanjang yang dilengkapi gigi pada bagian dasar, sedangkan capit betina lebih pendek.
Habitat rajungan dewasa adalah pada lingkungan berpasir dan berlumpur, kedalaman air antara 10 – 50 m, biasa ditemukan dekat terumbu karang, bakau, dan alga. Rajungan juvenil hidup pada daerah intertidal dan estuari. Habitat yang dibutuhkan rajungan adalah euryhaline dengan salinitas 30-40 ppt dan suhu 150C – 250C. Terdistribusi dari Jepang, Filipina, Asia Tenggara, Indonesia, Australia Timur, Kepulauan Fiji, Laut Merah, sampai Afrika Timur.
4. Perawatan dan Pemeliharaan Induk, Telur, Larva Udang Windu
Induk udang windu dibudidaya pada tambak NSBC (National Shrimp Broodstock Center) untuk meningkatkan produksi udang windu. Upaya-upaya yang dilakukan antara lain: 1) Perbaikan nutrisi pada benih melalui pemberian pakan fresh fit berupa cacing Nereis dan cumi-cumi, serta pakan life fit berupa Artemia; 2) Pembuatan kolam dalam (1,5 meter) melalui rekaya media seperti di alam yang dilakukan secara tradisional terkontrol go green, yaitu air media bebas virus, pemberian pakan alami, bebas zat kimia, dan polyculture (penambahan organisme lain ke dalam tambak seperti ikan). Tambak ditutupi jaring yang bertujuan sebagai biosecurity dari burung yang akan memakan benih udang windu. Pergantian air pada tambak dilakukan dengan melihat parameter biologi, fisika, dan kimia, serta total bakteri yang ada. Air ditambah sebanyak 10% per minggu dari ketinggian. Pakan diberikan 4 kali sehari, yaitu 3 kali berupa pakan buatan (pellet) dan 1 kali berupa pakan alami. Selain itu, pada tambak juga terdapat kincir untuk mengaduk kaporit agar tidak mengendap dan untuk melepas residu klor ke udara.
Gambar 1. Tambak udang windu pada NCBS BBPBAP Jepara
Pemisahan induk jantan dan betina dilakukan pada tahap modular pertama sehingga tidak terjadi perkawinan liar. Masa pertumbuhan untuk menjadi induk udang windu adalah 1,5 – 2 tahun atau setelah melalui tahap modular keenam. Induk udang windu selanjutnya dipindah dari tambak menuju hatchery. Sebanyak 200.000 benih yang telah dibudidaya kemudian diambil hanya 10% setelah melalui tahap seleksi. Seleksi yang dilakukan secara fenotip dengan melihat ukuran dan berat, serta secara genotip dengan melihat microsatellite. Berat pada induk betina yang diambil adalah 120 gr sedangkan pada induk jantan adalah 80 gr. Selain itu, seleksi juga dilakukan berdasarkan ada atau tidaknya virus pada induk. Teknik yang dilakukan untuk mempercepat pematangan gonad pada induk udang windu betina adalah dengan ablasi mata sehingga dapat menghilangkan GIH (Gonad Inhibiting Hormone) yang terdapat pada tangkai mata.
5. Hatchery Rajungan
Induk rajungan diambil dari alam melalui penangkapan, dan hasil budidaya melalui pemijahan antar induk alam (F1). Induk alam jantan berjumlah 7 ekor, sedangkan induk alam betina berjumlah 20 ekor. Induk hasil budidaya memiliki bobot rata-rata 88 – 104 mm dengan panjang karapaks 45 – 58 mm dan lebar karapaks 82 – 104 mm. Induk alam berukuran lebih besar daripada induk hasil budidaya. Induk yang diambil kemudian memijah. Telur menetas setelah 7 – 8 hari kemudian menjadi larva zoea I. Larva disebar pada bak beton dan bak fiber dengan kepadatan 100 ekor per liter air.
Pakan yang diberikan pada larva adalah zooplankton, yaitu Branchionus sp. dan Chlorella sp. Chlorella sp. berfungsi sebagai menjaga keseimbangan air dan mengurangi penetrasi cahaya dalam media pemeliharaan larva. Pakan terus diberikan sampai larva mencapai fase larva zoea IV. Pada fase larva zoea III, Artemia diberikan sampai fase larva megalopa dengan kepadatan 10 – 15 ekor/ml. Setelah larva tumbuh menjadi rajungan, pakan yang diberikan adalah udang halus. Pemanenan dilakukan setelah rajungan mencapai fase crab V, dengan mengurangi volume air bak pemeliharaan dan memasang saringan pada saluran pengeluaran. Benih yang menempel di bak pemeliharaan juga diambil dan dihitung. Selanjutnya, benih dipisah dan dibagi kepadatannya untuk dipasarkan.
6. Pakan Alami dan Pakan Buatan
Pakan yang diberikan berupa pakan alami yaitu fitoplankton, zooplankton, dan Artemia serta pakan buatan yaitu pellet. Pakan buatan dikelola melalui Laboratorium Pakan Buatan. Bahan baku pakan dipilih dan diuji terlebih dahulu, kemudian semua bahan dicampur dan dicetak melalui mesin sehingga menghasilkan pellet. Setelah itu, pellet dikeringkan dan dilapisi minyak, kemudian dikemas. Pakan alami dikelola melalui Laboratorium Pakan Hidup BBPBAP secara skala massal dan skala semi massal. Kultur plankton dibiakkan dalam biakan murni yang selanjutnya digunakan sebagai pakan alami. Jenis plankton yang dikulturkan antara lain: Chlorella vulgaris sebagai pakan rajungan; Skeletonema costatum, Chaetoceros calcitrans, dan Tetraselmis chuii sebagai pakan udang windu, Dunaliella salina, Porphyridium sp., Nitzchia sp., Chlorella vulgaris, Spirulina platensis, dan Brachionus plicatilis sebagai pakan larva udang windu. Selain menyediakan pakan alami bagi udang windu, Laboratorium Pakan Hidup BBPBAP juga memproduksi tepung alga (Spirulina) yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang kesehatan manusia. Isolat plankton didapat dari perairan umum, kemudian ditumbuhkan dalam media agar berisi N dan P secara streak plate. Setelah itu, kultur diinkubasi dan diamati pertumbuhan setiap hari. Pemindahan kultur dari skala laboratorium ke skala semi massal atau dari skala semi massal ke skala massal dilakukan ketika kultur berada pada fase pertumbuhan eksponensial.
Gambar 2. Pembuatan pakan alami di Laboratorium Pakan Hidup BBPBAP Jepara
Gambar 3. Pembuatan pakan buatan di Laboratorium Pakan Buatan BBPBAP Jepara
Selain itu, pakan alami yang digunakan adalah Artemia. Pakan tersebut baik untuk larva udang dan rajungan karena mengandung DHA, EPA, dan kandungan protein yang tinggi. Artemia memiliki kemampuan untuk hidup di lingkungan dengan salinitas tinggi, sehingga berpengaruh terhadap telur yang dihasilkan, yaitu semakin tinggi tingkat salinitas, maka selubung telur akan semakin tebal sebagai pelindung. Tingkat salinitas yang semakin tinggi akan menyebabkan tingkat aerasi yang semakin rendah, sehingga agar Artemia tetap dapat mengikat oksigen, Artemia memiliki 3 jenis hemoglobin. Semakin rendah tingkat salinitas, maka warna tubuh Artemia akan semakin transparan. Pada tingkat salinitas tinggi, jika hemoglobin tingkat 1 tidak dapat digunakan, maka hemoglobin 2 dan 3 akan digunakan untuk menoleransi kondisi lingkungan tersebut, sampai salinitas tidak dapat ditoleransi dan menyebabkan kematian.
7. Laboratorium Kesehatan BBPBAP
Memiliki fungsi pelayanan, pengujian, pemantauan, dan pengembangan dalam metode diagnosis penyakit ikan dan udang di tambak BBPBAP serta melayani permintaan pengujian ikan dan udang di tambak masyarakat. Laboratorium ini telah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional – Badan Standarisasi Nasional (KAN-BSN) sejak tahun 2005. Ruang lingkup pengujiannya meliputi:
1. Pengujian mikrobiologi: mengamati, menganalisa, dan menguji kasus-kasus penyakit yang disebabkan bakteri Vibrio;
2. Pengujian biologi molekuler: mengamati, menganalisa, dan menguji kasus-kasus penyakit udang dan ikan yang disebabkan penyakit viral seperti WSSV, TSV, YHV, VNN, IHHNV, IMNV, KHV, MBV, MrNV, dan iridovirus;
3. Pengujian parasit: mengamati, menganalisa, dan menguji kasus-kasus penyakit udang dan ikan yang disebabkan parasit;
4. Pengujian histopatologi: mengamati, menganalisa, dan menguji kasus-kasus penyakit udang dan ikan serta akibatnya terhadap kerusakan jaringan;
5. Pengujian residu antibiotik: mengamati, menganalisa, dan menguji kandungan residu antibiotik dalam udang, ikan, atau bahan lain (CAP, Oxytetracyclin, Nitrofuran);
6. Pengujian proksimat: mengamati, menganalisa, dan menguji kandungan nutrisi dalam pakan ikan, udang, atau bahan baku pakan (kadar lemak, kadar abu, kadar air, serat kasar, protein);
7. Pengujian atau analisa fisika-kimia tanah dan air: menganalisa, menguji parameter-parameter fisika-kimia tanah dan air, seperti kandungan bahan organik, oksigen terlarut, redoks, dan lain-lain.
(BBPBAP, 2014)
III. SIMPULAN DAN SARAN
Induk udang windu dibudidaya pada tambak NSBC (National Shrimp Broodstock Center). Seleksi benih dilakukan secara fenotip dengan melihat ukuran dan berat, serta secara genotip dengan melihat microsatellite. Pemijahan induk dilakukan dengan seleksi berat induk betina 120 gr sedangkan pada induk jantan adalah 80 gr. Seleksi juga dilakukan berdasarkan ada atau tidaknya virus pada induk. Teknik yang dilakukan untuk mempercepat pematangan gonad pada induk udang windu betina adalah dengan ablasi mata. Induk rajungan diambil dari alam melalui penangkapan, dan hasil budidaya melalui pemijahan antar induk alam (F1). Pemanenan dilakukan setelah rajungan mencapai fase crab V. Pakan yang diberikan pada udang windu dan rajungan berupa pakan alami yaitu fitoplankton, zooplankton, dan Artemia serta pakan buatan yaitu pellet.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. 2016. Sejarah BBPBAP-Jepara. http://bbpbapjepara.djpb.kkp.go.id/index.php/article/details/sejarah-bbpbap-jepara. (Tanggal akses: 30 November 2016 21:10 WIB).
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. 2014. Jasa Pengujian Laboratorium. http://bbpbapjepara.djpb.kkp.go.id/index.php/article/details/
jasa-pengujian-laboratorium. (Tanggal akses: 2 Desember 2016 09:54 WIB).
Davie, P., M. Türkay. 2016. Portunus (Portunus) pelagicus (Linnaeus, 1758). WoRMS (World Register of Marine Species. http://www.marinespecies.org/aphia.php?
p=taxdetails&id=107404. (Tanggal akses: 5 Desember 2016 20:41 WIB).
FAO. 2016. Penaeus monodon (Fabricius, 1798). FAO http://www.fao.org/fishery/culturedspecies/Penaeus_monodon/en (Tanggal akses: 5 Desember 2016 20:28 WIB).
Fransen, C., S. De Grave. 2015. Penaeus monodon Fabricius, 1798. WoRMS (World Register of Marine Species). http://www.marinespecies.org/aphia.php?
p=taxdetails&id=210378. (Tanggal akses: 5 Desember 2016 20:23 WIB)