BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Perikanan Indonesia merupakan salah satu sumber devisa Negara yang sangat potensial. Dengan adanya garis pantai sepanjang ± 81.000 km, pemanfaatan bidang perikanan seharusnya sehar usnya dapat dilakukan dengan maksimal untuk kemajuan Negara serta kemakmuran masyarakat. Wilayah Indonesia memiliki potensi besar untuk pengembangan sektor budidaya perairan. UPT BBIP (Balai Benih Ikan Pantai) Kota Bontang Bontang merupakan salah satu unit yang melaksanakan produksi benih udang windu yang berkualitas sehingga dapat membantu para petani tambak. Balai ini menyediakan atau mengembangkan sistem pembenihan tanpa mengurangi kuantitas dan kualitas produksi. Udang windu ( Penaeus monodon) monodon) merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia dalam upaya menghasilkan devisa negara yang berasal dari kelompok non migas. Kondisi laut yang luas dan iklim tropis di Indonesia mendukung pertumbuhan dan perkembangan udang windu ( Penaeus Penaeus monodon). monodon). Namun karena berlalunya berlalunya waktu, udang udang windu semakin sulit untuk didapat secara alami. Sehingga dilakukan berbagai cara agar produksi udang windu tetap teta p berjalan, salah satunya adalah adala h penerapan system budidaya atau pembenihan udang windu secara intensif yang dimulai sejak pertengahan tahun 1986. 1986. Benur udang windu merupakan salah satu faktor bagi usaha pembenihan yang tidak tergantung pada benur alam yang terdapat disekitar. Oleh sebab itu penyediaan benur mendapatkan perhatian yang utama untuk memudahkan budidaya udang windu. Untuk menunjang usaha budidaya, yang harus dilakukan adalah dengan mendirikan balai-balai pembenihan. Keberhasilan usaha pembenihan udang windu merupakan langkah awal dalam sistem mata rantai budidaya. Keberhasilan pembenihan tersebut pada
1
akhirnya akan mendukung usaha penyediaan benih udang windu yang berkualitas.
1.2. Tujuan
Tujuan dilaksanakannya PKL (Praktek Kerja Lapangan) ini adalah sebagai berikut : 1. Melihat keadaan yang riil saat dilapangan 2. Mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan 3. Untuk mengetahui cara pembenihan larva udang windu
1.3. Manfaat
Manfaat yang didapatkan adalah sebagai berikut : 1. Menambah pengetahuan atau wawasan mengenai pembenihan udang windu 2. Mendapat pengalaman kerja yang dapat dimanfaatkan untuk kedepannya
1.4. Ruang Lingkup
Praktek Kerja Lapangan (PKL) dilaksakan di UPT Balai Benih Ikan Pantai yang terletak di Kelurahan Tanjung Laut Indah, Bontang Selatan, Kota Bontang. Kegiatan Praktek kerja Lapangan ini dimulai pada tanggal 10 Juli sampai tanggal 05 Agustus 2013, dimana kegiatan ini dilakukan pada jam jam kerja Balai Benih yang berlaku setiap harinya.
1.5. Gambaran Umum Umum UPT Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) (BBIP) Kota Bontang Bontang 1.5.1. Sejarah UPT Balai Benih Ikan Pantai Bontang (BBIP) Kota Bontang
Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) Kota Bontang berdiri sejak tahun 2000. Pembangunan BBIP dilakukan secara bertahap. Dari pembebasan lahan, pemancangan dan pengerukan pada tahun 2000-2002 dan dilanjutkan pembangunan kantor dan mess pada tahun 2003 dan selanjutnya pembangunan bak induk, bak larva, bak pengelondongan, bak
2
kultur plankton, ruang laboratorium, tandon air laut, tandon air tawar, bak reservoir 1 dan 2 dan bak filter pada tahun 2004 sampai sekarang. Pembangunan ini berdasarkan SK Walikota, sarana Balai Benih Ikan Pantai ini bertujuan memproduksi benih ikan dan udang untuk memenuhi kebutuhan para pembudidaya ikan dan udang di wilayah Kota Bontang dan sekitarnya. BBIP Kota Bontang pada bulan desember tahun 2008 telah melakukan uji coba operasional yaitu uji coba pembenihan kerapu. Kemudian pada tahun 2009 dilakukan uji coba pembenihan ikan kerapu dan udang. Pada uji coba oprasional tahap ke-2 ini, BBIP telah mampu memijahkan induk udang. Induk udang diperoleh dari daerah Balikpapan, sedangkan benih ikan kerapu diperoleh dari daerah Situbondo-Jawa Timur. Prospek pemasaran benur udang sangat baik, dibuktikan dengan banyaknya pemintaan benur udang dari daerah Bontang dan Sangatta. Berapa Keunggulan benur yang di produksi oleh BBIP Kota Bontang antara lain karena dipijahkan sendiri, maka benur yang dihasilkan adalah benur yang telah beradaptasi dengan kondisi/kualitas air khususnya di daerah Kalimantan Timur dan keuntungan lain yaitu transportasi dari asal benih ke tempat pembesaran (kolam/tambak) semakin dekat sehingga mengurangi tingkat kematian benur udang atau benih ikan. BBIP Kota Bontang terus berupaya melakukan upaya pembenahan dan meningkatkan hasil produksi benih ikan dan udang.
1.5.2. Latar Belakang UPT Balai Benih Ikan Pantai Kota Bontang
Ada beberapa hal yang melatar belakangi pendirian UPT Balai benih Ikan Pantai (BBIP) Kota Bontang Bontang adalah sebagai berikut :
Wilayah laut yang luas sehingga pembangunan diarahkan ke sektor perikanan
Mencegah overfishing sebagai sebagai dampak dari penangkapan yang terus menerus
3
Mensubstitusi benih alam dengan benih hatchery hatchery atau pembenihan ikan laut (udang)
Rendahnya survival rate rate untuk benih yang diperoleh dari luar Kalimantan Timur
Pemenuhan kebutuhan benih para para pembudidaya pembudidaya ikan atau udang wilayah Kota Bontang dan sekitarnya
1.5.3. Tujuan Pembangunan UPT Balai Benih Ikan (BBIP) Pantai kota Bontang
Tujuan di bangunnya UPT Balai Benih Ikan Pantai Kota Bontang adalah untuk memenuhi kebutuhan benih para pembudidaya ikan atau udang wilayah Kota Bontang dan sekitarnya.
1.5.4. Dasar Pelaksanaan Operasional UPT Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) Kota Bontang
Berikut merupakan dasar pelaksanaan operasional UPT BBIP Kota Bontang :
Operasional BBIP Kota Bontang diatur dengan peraturan Walikota Bontang Nomor 11 tahun 2009, tanggal 25 Mei 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Balai Benih Ikan Pantai pada Dinas Perikanan Kelautan dan Pertanian Kota Bontang
Perda Kota Bontang Nomor 10 Tahun 2011 tanggal 27 Desember tentang Retribusi Jasa Usaha
1.5.5. Lokasi UPT Balai Benih Ikan Pantai kota kota Bontang
Secara administrasi Kota Bontang terbagi dalam 3 wilayah kecamatan dan 15 kelurahan. Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) terletak di Kelurahan Tanjung Laut Indah, Kecamatan Bontang Selatan, Kota Bontang, Kalimantan Timur. Batas-batas wilayah Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) adalah sebagai berikut :
4
a. Sebelah Utara
: Kelurahan Bontang Kuala dan Kelurahan
Api-Api b. Sebelah Selatan
: Kelurahan Berbas pantai
c. Sebelah Barat
: Kelurahan Tanjung Laut
d. Sebelah Timur
: Selat Makassar
Letak Balai Benih Ikan Pantai terbilang strategis, karena letaknya yang berada didekat laut.
1.5.6. Sarana dan Prasarana yang Terdapat UPT Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) Kota Bontang
Berikut merupakan sarana dan prasarana yang terdapat di BBIP Kota Bontang :
Kantor
Sarana administrasi dan tata usaha
Sarana laboratorium (pakan alami)
Asrama karyawan
Laboratorium pakan alami
Sarana kegiatan usaha budidaya perikanan - Bak induk pemijahan rangsang - Bak kultur fitoplankton - Bak kultur zooplankton - Bak penggelondongan - Bak larva - Rumah blower - Menara air tawar - Reservoir I - Reservoir II - Rumah pompa - Rumah genset
Gudang alat
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi Udang Windu (Penaeus Penaeus mon odon )
Menurut Darmono (1993), taksonomi udang windu ( Penaeus ( Penaeus monodon) monodon ) adalah sebagai berikut :
Phyllum
: Arthropoda
Sub Phyllum
: Mandibulata
Class
: Crustacea
Devisi
: Malacostraca
Ordo
: Decapoda
Sub Ordo
: Natanita
Family
: Panaeidae
Sub Family
: Penaenae
Genus
: Penaeus
Spesies
: Penaeus monodon
Sumber: http//www.google.com/image/uda http//www.google.com/image/udangwindu.jpg. ngwindu.jpg.
Gambar 1: Udang Windu ( Peaeeus ( Peaeeus monodon) monodon) Udang windu digolongkan kedalam jenis organisme Eurihalin atau organisme air yang hidup pada salinitas yang berkisar 3 – 45 ppt (pertumbuhan yang optimal pada salinitas 15 – 30 30 ppt). Organisme ini aktif
6
pada malam hari, dan pada siang hari lebih suka membenamkan diri di tempat yang tadah serta berlumpur.
2.2. Biologi Udang Windu
Udang windu ( Penaeus monodon) monodon) dalam bahasa daerah udang ini disebut sebagai udang ekspor, udang pacet, udang bago, udang lotong, udang liling, udang baratan, udang palasan, udang tapus dan udang wewedi. Namun dipasaran atau dalam dunia perdagangan dunia udang ini dinamakan sebagai Tiger Prawn atau sering disebut sebagai Jumbo Tiger Prawn. Udang windu dewasa yang hidup dilaut biasa berwarna merah cerah kekuning-kuningan dengan sabuk-sabuk melintang dibadannya. Kaki renang berwarna merah agak pucat pada udang muda dan pada udang dewasa berwarna merah cerah. Udang windu memiliki kulit yang keras dan terdapat titik-titik hijau ditubuhnya.
Sumber: http//www.google.com/image/udangwindu.jpg.
Gambar 2 : Biologi Udang Windu Udang windu biasanya hidup diperairan pantai yang berlumpur atau berpasir. Udang ini banyak terdapat diperairan diperair an laut antara Afrika Selatan dan Jepang, dan juga ada di antara Pakistan Barat sampai Australia bagian utara. Udang windu bersifat nokturnal yaitu binatang yang mencari makan pada malam hari. Sedangkan sifat lain dari udang windu adalah sifat kanibal, yaitu suka memangsa jenisnya sendiri. Sifat kanibal ini biasanya muncul pada
7
udang-udang yang sehat dan tidak sedang dalam keadaan molting atau ganti kulit dan sifat kanibal ini akan sangat nampak apabila udang kekurangan pakan. Sedangkan mangsanya biasanya udang yang saat itu sedang ganti kulit. Sifat kanibal pada udang biasanya muncul pada saat masih pada tingkat mysis.
2.3. Penyebaran Penyebaran Udang Windu (Penaeus Penaeus mon odon )
Daerah penyebaran udang windu di Indonesia antara lain : Sulawesi Selatan (Jeneponto, Tamanroya, Nassara, Suppa), Jawa Tengah, (Sluke, Lasem), Jawa Timur (Banyuwangi, Situbondo, Tuban, bangkalan dan Sumenep), Nangroeh Aceh Darussalam, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan lain-lain (Choirul, 2002).
2.4. Pemijahan Udang Windu (Penaeus Penaeus mon odon )
Pemijahan udang windu akan dilakukan setelah udang mengalami matang gonad atau matang telur. Pemijahan udang windu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pemijahan ikan. Kegiatan ini pada umumnya biasanya dilakukan pada saat malam hari. Pemijahan adalah proses perkawinan bertemunya antara sel sperma dan sel telur. Induk udang jantan mengeluarkan spermatozoa dari alat kelamin jantan ( petasma) petasma) kemudian memasukkannya kedalam alat kelamin (telichum ( telichum)) udang
betina.
Setelah
terjadi
kontak
langsung
induk
betina
akan
mengeluarkan sel telur seningga terjadilah pembuahan. Pemijahan juga terbagi dua yaitu secara alami dan buatan. Pemijahan secara alami maksudnya induk yang didatangkan oleh nelayan dalam keadaan matang gonad ataupun matang telur, sedangkan pemijahan secara buatan yaitu pemijahan dengan cara mengablasi salah satu mata udang. Yang bertujuan untuk mempercepat proses pematangan gonad pada induk udang. Diperkirakan 1 ekor induk betina bisa menghasilkan 200.000-500.000 butir telur.
8
2.5. Pembenihan Udang Windu (Penaeus ) Penaeus mon odon 2.5.1. Pemilihan Induk
Induk betina yang dipilih harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut : - Berat lebih dari 50 gram - Kandungan telur tinggi - Sudah matang telur (terlihat dari warna abu-abu dipunggung - Bentuk tubuh normal, tidak cacat - Bersih dari kotoran dan parasit Sedangkan persyaratan induk jantan adalah sebagai berikut : - Berat lebih dari 40 gram - Kaki jalan kedua tidak terlalu besar - Tidak agresif - Bentuk tubuh normal, tidak cacat - Bersih dari kotoran dan parasit Kriteria induk yang baik dalam proses produksi sebagai berikut :
Induk Jantan (♂)
Induk Betina (♀)
Umur 7-10 Bulan
Umur > 12 Bulan
Panjang tubuh 20-22 cm
Panjang tubuh 23-27 cm
Panjang kepala ±7 cm
Panjang Kepala ±9 cm
Berat tubuh 100-120 gram
Berat tubuh 125-200 gram
Induk Udang Windu. Tabel 1 : Kriteria Induk
2.5.2. Pakan Induk
Udang windu bersifat Nokturnal, bersifat Nokturnal, yang artinya aktif mencari makan dan beraktivitas pada malam hari atau pada suasana gelap. Sebaliknya, pada siang hari aktivitasnya menurun dan lebih banyak membenamkan dirinya di dalam lumpur atau pasir. Pakan udang windu bervariasi, baik jenis maupun komposisinya, tergantung dari umurnya. Namun umumnya bersifat karnivora (pemakan hewan). Pakannya berupa hewan-hewan kecil,
9
seperti interveterata (hewan tidak bertulang belakang) air, udang kecil, kerang ( Bivalvae Bivalvae). Udang yang dibudidayakan ditambak umumnya diberi pelet. Induk udang memerlukan m emerlukan pakan alami yang mempunyai kandungan kolestrol tinggi yang berasal dari kerang-kerangan dan krustasea lain (kepiting). Jenis pakan ini diperlukan untuk proses pematangan telur.
2.5.3. Teknik Pemijahan
Di alam, udang windu muda banyak ditemukan di perairan payau dengan salinitas rendah, seperti di muara sungai tempat pertemuan antara air laut dan air tawar. Setelah dewasa, udang windu akan menuju perairan laut dalam yang kondisi airnya jernih serta tenang dan menjadikan tempat tersebut untuk berkembang biak. Kondisi yang demikian juga diperlukan jika udang windu dipijahkan di luar habitat aslinya, misalnya di tempat pembenihan (hatchery) hatchery) udang windu. Pemijahan udang winu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pemijahan ikan. Udang windu matang kelamin pada umur 1,5 tahun dan siap melakukan tugasnya untuk berkembang biak. Pada saat itu, berat tubuhnya mencapai 90-120 gram/ekor. Perkawinan udang windu umumnya berlangsung pada malam hari. Ada kecenderungan, pada saat itu bulan purrnama terjadi pemijahan misal udang windu yang sudah matang kelamin (Darmono 1991). Menurut Mudjiman (1998), pemijahan terjadi tatkala udang jantan mengeluarkan spermatozoa dari alat kelamin jantan ( petasma) petasma) kemudian memasukkannya ke dalam alat kelamin (telichum ( telichum)) udang betina. Setelah terjadi kontak langsung, induk betina akan mengeluarkan telur sehingga terjadilah pembuahan. Telur hasil pembuahan ini akan melayang didasar perairan laut dalam. Selanjutnya, telur yang sudah menetas akan menjadi larva yang bersifat planktonik (melayang) dan akan naik ke permukaan air. Dalam satu kali musim pemijahan, seekor induk betina menghasilkan telur sebanyak 200.000-500.000 butir.
10
2.5.4. Siklus Hidup Udang Windu (Penaeus ) Penaeus mon odon
Menurut Jasin Makoeri (1984), larva udang windu mengalami perubahan bentuk beberapa kali seperti berikut ini : 1. Periode Nauplius atau periode peratama larva udang. 2. Periode Zoea atau periode kedua. 3. Periode Mysis atau periode ketiga. 4. Periode post larva (PL) atau periode keempat. Udang windu mencapai sub-stadium post larva sampai 20 tingkatan. Ketika mencapai periode ini, udang lebih menyukai perairan payau dengan salinitas 25-34 ppt. 5. Periode Juvenil atau periode kelima. Juvenil merupakan udang muda yang menyukai perairan denga salinitas 20-25ppt. 6. Periode udang dewasa. Periode ini berlangsung setelah periode juvenile sehingga udang siap berkembang biak. Setelah matang gonad, udang dewasa akan kembali ke laut untuk melakukan pemijahan. Udang dewasa menyukai perairan payau dengan saliinitas 15-20 ppt. Fase nauplius dimulai sejak telur menetas, dan berlangsung selama 46-50 jam atau dua sampai tiga hari. Dalam fase ini, larva masih belum memerlukan makanan dari luar karena masih disediakan dari dalam kandung telur itu sendiri. Selama menjadi nauplius, larva mengalami enam kali ganti bentuk, yang setiap bentuk (stadia) mempunyai ciri sebagai berikut :
Nauplius 1 : Badan bentuknya masih telur bulat , tetapi sudah mempunyai anggota badan tiga pasang
Nauplius 2 : Badan masih bulat, tetapi pada ujung antena pertama terdapat seta (rambut) yang satu panjang dan dua lainnya pendek Berbeda dengan fase nauplius, pada fase zoea larva sudah diberi
pakan karena pada fase ini larva sudah mulai mengambil makanan sendiri dari luar, terutama plankton. Disamping itu, pada fase ini larva sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Oleh karena itu, pada fase zoea yang hanya berlangsung sekitar 3 hari, harus diperhatikan sungguh-sungguh kebutuhan biologinya, khusunya media hidup dan
11
pakan. Media hidup terutama kulaitas air harus dijaga, jangan sampai terjadi perubahanyang mencolok, sedangkan pakan diusahakan yang sesuai dengan bukaan mulutnya supaya mudah ditangkap dan dimakan. Tingkat perkembangan zoea dapat dilihat dengan adanya tanda-tanda sebagai berikut :
Zoea 1
: Badan pipih, mata dan carapace mulai tampak, maxilla
pertama dan kedua serta maxilliped pertama dan kedua mulai berfungsi, alat pencernaan makanan tampak jelas
Zoea 2
: Mata mulai bertangkai dan pada carapace sudah terlihat
rostrum dan duri supraorbital yang bercabang
Zoea 3
: Sepasang uropoda yang bercabang dua mulai berkembang
dan duri pada ruas-ruas perut sudah mulai tumbuh Setelah fase zoea berakhir maka fase berikutnya akan berubah menjadi fase yang bentuknya mirip dengan udang muda, yaitu fase mysis. Pada fase ini, larva bersifat planktonis dan yang paling menonjol adalah gerakannya mundur dengan cara membengkokkan badannya. Makanan yang paling disukai adalah dari golongan zooplankton, seperti copepod atau rotifera. Pada fase ini, larva mengalami tiga kali perubahan bentuk selama 2 sampai 3 hari, yang dapat dilihat dengan adanya tanda-tanda sebagai berikut :
Mysis 1 : Bentuk badan ramping dan memanjang seperti udang muda, tetapi kaki renang masih belum tampak
Mysis 2 : Tunas kaki renang sudah mulai nyata, tetapi teta pi belum beruas-ruas
Mysis 3 : Tunas kaki renang renang bertambah panjang dan beruas-ruas Perubahan bentuk yang paling akhir dan paling sempurna dari
seluruh metamorphosis udang adalah saat larva tersebut mencapai fase post larva (PL). Pada fase ini, larva tidak mengalami perubahan bentuk karena seluruh bagian anggota tubuh sudah lengkap dan sempurna seperti udang windu dewasa. Dengan bertambahnya umur, larva hanya mengalami perubahan panjang dan berat, sedangkan bagian lain tidak
12
mengalami perubahan bentuk sedikitpun. Sifat yang paling menonjol dimulainya fase post larva ialah tidak suka melayang dalam air, tetapi lebih banyak menghuni dasar dengan makanan yang paling disukai adalah zooplankton.
Nauplius
Zoea 1
Zoea 2
Zoea 3
Mysis 1
Mysis 2 Mysis 2
13
Mysis 3
PL 1
Gambar 3 : Tahap Perkembangan Larva Udang Windu Udang biasa memijah di daerah lepas pantai pada perairan yang dalam. Proses memijah udang meliputi pemindahan spermatophore dari induk jantan ke induk betina. Peneluran bertempat pada daerah lepas pantai yang lebih dalam. Telur-telur dikeluarkan dan difertilisasi secara internal di dalam air. Seekor udang betina mampu menghasilkan setengah sampai satu juta telur setiap bertelur. Dalam waktu 13-14 jam, telur kecil terebut berkembang menjadi larva berukuran mikroskopik yang disebut nauplii atau nauplius (Perry, 2008). Tahap nauplius tersebut memakan kuning
telur
yang
tersimpan
dalam
tubuhnya
lalu
mengalami
metamorphosis menjadi zoea. Tahap kedua ini memakan alga dan setelah beberapa hari bermetamorfosis lagi menjadi mysis. Mysis mulai terlihat seperti udang kecil dan memakan alga dan zooplankton. Perry (2008) mengatakan, setelah 3 sampai 4 hari, mysis mengalami metamorphosis menjadi post larva. Tahap post larva adalah tahap saat udang sudah mulai memiliki karakteristik udang dewasa. Keseluruhan proses dari tahap nauplius sampai post larva membutuhkan waktu sekitar 12 hari. Di habitat aslinya, post larva akan migrasi menuju ertuarin yang kaya utrisi dan bersalinitas rendah. Mereka tumbuh di sana dan akan kembali ke laut terbuka saat dewasa. Udang dewasa adalah hewan bentik yang hidup di dasar laut.
14
Sumber: Stewart, 2005
Gambar 4 : Siklus hidup Udang Windu ( Penaeus ( Penaeus monodon) monodon)
2.5.5. Karakteristik Karakteristik Induk Udang
Udang yang dijadikan sebagai induk ( Broadstock ( Broadstock ) sebaiknya bersifat SPF (Spesific Pathogen Free). Free). Udang tersebut dapat dibeli dari jasa penyedia udang induk yang memiliki sertifikat SPF. Keunggulan udang tersebut adalah resistensinya terhadap beberapa penyakit yang biasa menyerang udang, seperti White spot dan lain-lain. Dan tersebut didapat dari sejumlah besar family dengan seleksi tiap generasi menggunakan kombinasi seleksi family, seleksi massa (WFS) dan seleksi yang dibantu marker. Induk udang tersebut adalah keturunan dari kelompok family yang diseleksi dan memiliki sifat pertumbuhan yang cepat, resisten terhadap TSV dan kesintasan hidup di kolam tinggi (Prosedur Oprasioanal Standar BBAP Ujung Batee, 2008).
2.5.6. Reproduksi Udang
Sistem reproduksi udang Penaeus monodon monodon betina terdiri dari sepasang ovarium, oviduk, lubang genital dan
thelycum. Oogonia
diproduksi secara mitosis dari epitelium germinal selama kehidupan reproduktif udang betina.
15
Oogonia mengalami meiosis, berdiferensiasi menjadi oosit dan dikelilingi oleh sel-sel folikel. Oosit yang dihasilkan akan meresap material kuning telur (yolk) dari darah induk melalui sel-sel folikel (Wyban et al., 1991). Organ reproduksi utama dari udang jantan adalah testes, vasa derefensia, petasma dan apendiks maskulina. Sperma udang memiliki nucleus yang tidak terkondensasi dan bersifat nonmotil karena bersifat flagella.
Selama
perjalanan
melalui
vas
deferens,
sperma
yang
berdifersisasi dikumpulkan dalam cairan fluid dan melingkupinya dalam sebuah Chitinous spermatophore (Wyben spermatophore (Wyben et al., 1991).
2.5.7. Kawin dan Bertelur
Perilaku kawin pada Penaeus monodon pada tangki maturasi dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti temperatur air, kedalaman, intensitas cahaya, fotoperiodisme dan beberapa faktor biologis seperti densitas aerial dan rasio kelamin. Udang jantan hanya akan kawin dengan udang betina yang memiliki ovarium yang sudah matang. Kontak antena yang dilakukan oleh udang jantan pada udang betina dimaksudkan untuk pengenalan reseptor seksual pada udang. Proses kawin alami pada kebanyakan udang biasanya terjadi pada waktu malam hari. Tetapi, udang windu paling aktif kawin pada saat matahari tenggelam (Yano, et al., 1998). Spesies udang windu memiliki tipe Thelycum Thelycum tertutup sehingga udang tersebut kawin saat udang betina pada tahap intermolt atau setelah maturasi ovarium selesai, dan udang akan bertelur satu atau dua jam setelah kawin.
16
Sumber: Dahuri, R. 2004
Gambar 5 : Proses Kawin Pada Udang 2.6. Proses Pembenihan Secara Konvensional
Proses pembenihan yang biasa dilakukan pada tempat-tempat pembenihan (hatchery) udang komersial adalah dengan cara perkawinan alami untuk menghasilkan larva. Keuntungan pemijahan alami dibandingkan dengan pemijahan secara secara buatan adalah jumlah nauplius yang dihasilkan tiap udang betina sekali bertelur lebih banyak dibandingkan nauplius yang dihasilkan dengan metode inseminasi buatan (Yano et al., 1988). Induk udang Peaneus monodon dikumpulkan dan dipelihara dalam kondisi normal untuk maturasi dan kawin secara alami. Setiap sore dilakukan pemeriksaan untuk melihat udang betina yang sudah kawin lalu dipindah ketangki peneluran (Spawning (Spawning tank ) Betina yang sudah kawin akan memperlihatkan adanya Spermatophore yang Spermatophore yang melekat. Saat pagi hari, betina yang ada didalam tangki peneluran dipindahkan lagi kedalam tangki maturasi ( Maturation Maturation bank ). ). Dalam waktu 12-16 jam, telur-telur dalam tangki peneluran akan berkembang menjadi larva tidak bersegmen atau nauplius (Wyban et al., 1991). Menurut Caillouet (1972), Aquacop (1975) dan Duronsletet al., (1975), ovum pada udang betina biasanya mengalami Reabsorbsi Reabsorbsi tanpa adanya peneluran lagi. Masalah tersebut dapat dikurangi dengan cara ablasi salah satu tangki mata yang menyediakan hormone yang berfungsi sebagai
17
stimulus untuk reabsorbsi ovum (Arnstein dan Beard, 1975). Beberapa peneliti
telah
menunjukkan bahwa ablasi
juga dapat
meningkatkan
pertumbuhan udang (Hameed dan Dwivedi, 1977). Ablasi dilakukan dengan cara membakar, mengeluarkan isi dari salah satu batang mata keluar melalui bola mata, dan melukai batang mata dengan gunting gunting (Wyban et al., 2005). 2005). Udang yang akan diablasi dipersiapkan untuk memasuki puncak reproduktif. Jika ablasi dilakukan saat tahap premolting maka akan menyebabkan molting, ablasi setelah udang molting dapat menyebabkan kematian dan ablasi selama intermolt menyebabkan perkembangan ovum (Mudjiman, A. 1987).
2.7. Parameter Kualitas Air
Faktor parameter kualitas air mempengaruhi kelangsungan hidup udang windu.
2.7.1. Suhu
Suhu air media pemeliharaan udanh windu berkisar antara 28-32 0C, dan alat yang digunakan untuk mengukur suhu air adalah Thermometer. Semakin tinggi suhu perairan, semakin tinggi laju metabolisme didalam tubuh udang. Kondisi ini akan diimbangi dengan meningkatnya laju konsumsi pakan. Bila suhu meningkat, udang akan stress dan akan mengeluarkan lendir yang berlebihan, sebaliknya jika suhu terlalu rendah, udang akan kurang makan dan bergerak. Sehingga pertumbuhannya akan lambat (Sumeru dan Anna, 1992). Sedangkat menurut (Soetomo H.A, 2007) suhu yang baik ditambak untuk kehidupan udang windu adalah berkisar antara 26-300C akan tetapi, kenaikan suhu melebihi 35 0C dalam waktu yang lama akan menambahkan daya racun air terhadap udang yang akan menimbulkan kematian.
18
2.7.2. Salinitas
Kisaran salinitas berkisar antara 30-34 ppt. Jika salinitas terlalu rendah dan tinggi nafsu makan masih ada tetapi konversi pakan menjadi tinggi karena energi tubuh banyak terbuang. Alat yang digunakan untuk mengukur salinitas adalah Handrefaktometer. Akan tetapi salinitas yang cocok untuk pertumbuhan udang windu pada tambak adalah antara 10300/00 bahkan 50 0/00 masih dapat hidup walaupun tidak dapat tumbuh dengan baik, asal kenaikan itu terjadi secara bertaha karena pada umumnya kenaikan kadar garam terjadi pada saat musim kemarau (Soetomo H.A, 2007).
2.7.3. pH Air
Kisaran pH air berkisar antara 7-8,5 dan akan mematikan bila mencapai angka kematian terendah yaitu 6 dan tertinggi yaitu 9 dan alat yang digunakan yatu pH meter (Soetomo H.A, 2007).
2.7.4. Kelarutan Oksigen
Oksigen terlarut adalah salah satu jenis gas terlarut dalam air yang diperlukan untuk pernapasan hewan dalam air termasuk udang. Kelarutan oksigen terlarut yang dibutuhkan adalah 5-7 ppm yang diukur dengan menggunakan DO meter sedangkan menurut Soetomo H.A (2007) udang windu pada tambak membutuhkan oksigen terlarut tidak kurang lebih dari 3 mg/liter karena ini berkaitan dengan sifat udang yang suka membenamkan diri di dalam lumpur dan tidak suka muncul ke permukaan air untuk mengambil oksigen bebas dari udara.
2.8. Kebiasaan Makan Udang Windu ( Penaeus Penaeus mon odon )
Di alam, udang windu biasa memakan berbagai jenis Crustacea besar, Brachyura, benda-benda nabati, Polychaeta Mollusca, ikan-ikan kecil dan Crustacea kecil dalam kecil yang terbatas. Sedangkan udang yang dipelihara di tambak banyak memakan Copepoda. Walaupun udang penaid merupakan
19
hewan pemakan segala (Omnivora (Omnivora), ), akan tetapi pada umumnya udang merupakan predator bagi invertebrata yang pergerakannya lambat. Hasil pemeriksaan terhadap isi perut udang windu yang dipelihara di tambak menunjukkan bahwa makanannya terdiri dari plankton jenis Lyngbya s, Spirulina, Skeletonema dan dari jenis zooplankton yaitu Brachionus sp (Ranoemihardjo, 1980). Walaupun demikian, keadaan lingkungan tempat hidup udang akan berpengaruh terhadap jenis makanan yang dimakan. Dalam usaha pemeliharaan udang, makanan yang diberikan selain harus mempunyai kualitas yang baik, juga jumlahnya harus cukup, sebab kekurangan makanan akan lebih baik mempercepat kematian hewan yang dibudidayakan. Sampai saat ini nauplius artemia merupakan salah satu makanan udang yang paling efektif bagi udang stadium pasca larva maupun juvenil. Selain itu, nauplius artemia dapat berperan sebagai penunjang pertumbuhan udang windu. Jika digunakan sebagai suplemen dengan makanan lainnya, ternyata Artemia dapat berperan sebagai penunjang pertumbuhan udang windu. Jika digunakan sebagai suplemen dengan makanan lainnya, ternyata artemia mempunyai keuunggulan dibandingkan dengan makanan udang lainnya. Keunggulan tersebut diantaranya adalah: artemia diperjual belikan dalam bentuk kista (Cyst ( Cyst ), ), sehingga praktis dalam penggunaannya, penggunaannya, nauplis artemia mempunyai kisaran ukuran yng cocok bagi kebanyakan larva udang, dapat beradaptasi terhadap berbagai lingkungan dan dapat tumbuh pada kepadatan yang tinggi (Sorgeloos, 1980). Selain itu, artemia juga mempunyai kandungan nutrisi yang cukup yang tinggi. Pada beberapa perkembangan stadia udang windu, kebiasaan makannya terangkum seperti pada Tabel 2 No.
1.
Stadia
Zoea-Mysis
Jenis Makanan
Phytoplankton
Lokasi
Filipina
Sumber
Villauz, 1969
2.
Mysis-Pasca larva
Zooplankton
dan Filipina
udang-udang kecil
20
Villauz, 1969
3.
Pasca larva
Kepiting
kecil, Filipina
Marte, 1980
udang-udangan, Moluska,
Cacing-
cacingan, sisa-sisa ikan pasir, lumpur 4.
Dewasa
Udang-Udangan,
Sudan,
Cacing-cacingan,
Merah, Pesisir 1984
Alga,
dan
Lumpur,
Laut
Muara Thomas,
Moluska, Sisa-sisa Karapuglia ikan, Bahan yang
El Hag,
1972
India, Filipina
tidak terindentifikasi Sumber: Piedad – Pascual, Pascual, In Press (Umiyati Sri Sumeru dan Anna Suzy, 1992)
Tabel 2 : Kebiasaan Makan Udang Windu
2.9. Kebiasaan Makan Larva Udang Windu ( Penaeus Penaeus mon odon )
Pasokan pakan yang nutriennya cukup merupakan faktor penting bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva sampai menjadi benih (Kudoh, 1983). Makanan alami merupakan makanan utama dan pertama yang harus diberikan kepada larva dalam suatu kegiatan pembenihan. Salah satu pakan alami yang sering diberikan dalam pembenihan udang adalah rotifera. Rotifera telah digunakan secara luas sebagai pakan larva udang dan ikan. Udang bersifat omnivora, juga pemakan detritus dan sisa-sisa organik lainnya, baik nabati maupun hewani. Berdasarkan penelitian, di alam udang memang mempunyai sifat pemakan segala. Kalau diperhatikan makanan udang windu dapat berbeda-beda berdasarkan ukuran dan tingkatan dari udang itu sendiri, yaitu : 1. Tingkat Nauplius, belum memerlukan makanan dari luar, karena masih mempunyai kantong kuning telur 2. Tingkat Zoea, sudah mulai memakan plankton, karena saluran makanan telah berkembang sempurna
21
3. Tingkat Mysis, mulai menggemari makan zooplankton dan mulai bersifat carnivora 4. Tingkat Post larva, sifatnya sudah mulai senang tinggal di dasar media tempat hidupnya dan masih senang memakan detritus serta sisa-sisa mikroorganisme yang terdapat di dasar perairan. Di alam umumnya udang aktif bergerak mencari makan pada malam hari, oleh karena itu maka udang dimasukkan dalam kelompok hewan Nokturnal. Aktivitas makan dan jenis makanan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan udang windu Berdasarkan uraian diatas maka jenis pakan yang tepat diberikan kepada larva udang windu adalah pakan alami karena pakan alami : 1. Mempunyai bentuk dan ukuran yang kecil sesuai dengan bukaan mulut larva 2. Kandungan gizinya lengkap dan cukup tinggi sangat dibutuhkan untuk proses perkembangan tubuh larva 3. Isi selnya padat dan mempunyai dinding sel yang tipis sehingga mudah diserap, karena pada fase larva belum ada enzim yang akan mencerna pakan sehingga pakan alami mudah dicerna dalam saluran pencernaan larva dan didalam tubuh pakan alami terdapat enzim yang dapat melakukan autolisis sendiri sehingga dapat mudah dicerna oleh larva 4. Tidak menyebabkan penurunan kualitas air, karena pakan alami selama berada dalam media pemeliharaan larva tidak mengeluarkan senyawa beracun 5. Pergerakan pakan alami relatif tidak terlalu aktif sehingga sangat mudah untuk ditangkap oleh larva 6. Meningkatkan daya tahan larva terhadap penyakit dan perubahan kualitas air 7. Ketersediaan pakan alami relatif mudah dilakukan pembudidayaan karena cepat perkembangbiakannya dan mudah membudidayakannya
22
2.10. Cara Pemberian Pakan pada Larva Udang Windu ( Penaeus ) Penaeus m onodon
Pemberian pakan ini dilakukan untuk memacu pertumbuhan larva udang windu, adapun jenis pakan yang diberikan yaitu : A. Pakan Alami
Jenis pakan alami yang diberikan pada larva udang windu yaitu bisa menggunakan Chaetoceros dan Chaetoceros dan Artemia Artemia sp. sp. Pemberian pakan alami fitoplankton Chaetoceros Chaetoceros diberikan mulai stadia zoea 1 yaitu dimana larva sudah mulai kehabisan persediaan kuning telur ( Egg yolk ) dan diberikan sampai stadia PL 3. Hal ini sesuai dengan pendapat Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008) yang menyatakan bahwa pemberian Chaetoceros Chaetoceros sp dilakukan mulai dari stadia zoea 1 – mysis mysis 3, sedangkan pada stadia naupli belum diberikan pakan dikarenakan pada stadia ini larva udang masih memanfaatkan kuning telur sebagai pensuplai makanan. Pemberian Chaetoceros Chaetoceros sp bertujuan untuk meningkatkan anti body yang sangat dibutuhkan oleh larva udang terutama pada fase-fase transisi seperti dari stadia naupli ke stadia zoea, yang mana pada fase ini sering dikenal dengan istilah zoea syndrome atau zoea lemah, yaitu larva kelihatan lemah dan tubuh kotor yang dapat menyebabkan mortalitas hingga 90%. Selain itu, Chaetoceros Chaetoceros sp mampu menekan laju pertumbuhan bakteri Vibrio harvey selama proses pemeliharaan larva. Kultur Chaetoceros dilakukan dengan 3 cara, yaitu skala laboraturium, skala semi massal (Intermediate) dan skala Massal. Pemberiannya dilakukan dengan cara memompa Chaetocerosla langsung ke bak pemeliharaan dengan selang. Artemia salina merupakan salina merupakan pakan alami jenis zooplankton yang diberikan pada larva udang mulai dari stadia larva mysis m ysis 3 – post post larva. Pemberian nauplius artemia dikarenakan banyak mengandung nilai nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh larva udang seiring dengan peningkatan nilai usaha pemeliharaan larva dalam masalah kualitas larva. Di samping itu, nauplius artemia merupakan zooplankton yang bergerak aktif sehingga dapat merangsang dan meningkatkan nafsu makan larva udang. Sebelum
23
diberikan, dilakukan dekapsulasi pada cyste artemia menggunakan bahan kimia yaitu klorin 1000 ml dan soda api 500 ml dengan perbandingan 2. Klorin dapat melarutkan senyawa lipoprotein pada cangkang telur artemia yang banyak mengandung Heamatin yang dapat mempercepat pengikisan cangkang artemia, sedangkan soda api berfungsi untuk melunakkan cangkang. Selama proses dekapsulasi diusahakan suhu tidak lebih dari 40ºC karena dapat menyebabkan artemia terbakar dan mati. Setelah proses dekapsulasi selesai artemia ditetaskan dalam conical tank selama 1 × 24 jam dan diberi aerasi. Artemia yang sudah menetas diberikan dengan cara ditebar keseluruh permukaan air dengan menggunakan gayung. B. Pakan Buatan
Pakan buatan yang akan diberikan disaring terlebih dahulu dengan menggunakan
saringan.
Pakan
yang
telah
ditimbang
kemudian
dimasukkan ke dalam saringan pakan dan diaduk den sampai merata kemudian
diberikan
dengan
cara
ditebar
menggunakan
gayung.
Pemberian pakan buatan dimulai dari stadia zoea sampai PL dan dilakukan sebanyak delapan kali sehari dengan dosis yang berbeda pada setiap stadia. Dengan pemberian pakan ini maka larva udang dapat mengalami pertumbuhan. Pemberian pakan buatan bersamaan dengan pemberian probiotik sanolife yang mengandung bakteri Bacillus licheniformis, Bacillus Subtilus, Bacillus Pumilus. Pumilus . Pemberian Bacillus ini untuk menguraikan bahan-bahan organik berupa sisa pakan dan kotoran yang berada di media pemeliharan agar tidak menjadi racun. Pemberian probiotik ini diberikan setiap hari pada saat memasuki stadia z oea sampai post larva.
24
BAB III METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat
Kegiatan Praktek Kerja Lapangan ini dilaksanakan selama satu bulan, yaitu pada tanggal 10 Juli sampai dengan 05 Agustus 2013 di UPT Balai Benih Ikan Pantai (BBIP), Kota Bontang.
Sumber: http//www.google.com/image/KotaBontang.jpg.
Gambar 6 : Kota Bontang
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan selama Praktek Kerja Lapangan (PKL) adalah sebagai berikut : a. Alat : No.
Alat
Jumlah
1.
Bak Larva
3 Buah
2.
Bak Pembesaran
4 Buah
3.
Baskom
6 Buah
4.
Ember
8 Buah
5.
Gayung
8 Buah
6.
Neraca Ohaus
2 Buah
7.
Filter Bag
6 Buah
8.
Seser
3 Buah
9.
Selang
2 Buah
25
10.
Terpal
4 Buah
Tabel 3 : Alat yang digunakan
b. Bahan : Bahan yang digunakan adalah benih udang Windu ( Penaeus ( Penaeus monodon) monodon) dan air treatment.
3.3. Prosedur Kerja
Dalam proses pembenihan udang windu, dilakukan beberapa prosedur kerja sebagai berikut : 1. Persiapan Induk Balai Benih Ikan Pantai menggunakan induk udang windu unggulan yang diperoleh dari nelayan Kota Balikpapan. Induk udang windu berasal dari tangkapan alam, bukan berasal dari pembudidayaan. Induk udang windu yang sehat (siap telur) didatangkan kemudian diberi perlakuan hingga udang bertelur. Induk udang windu yang telah siap telur disiapkan kemudian dimasukkan ke dalam bak khusus. Setelah udang bertelur kemudian telur ditunggu hingga menetas. Setelah menetas, nauplius dipindah ke dalam bak pembesaran menggunakan saringan. 2. Persiapan Bak Pembesaran Bak
pembesaran
merupakan
bak
yang
digunakan
untuk
pemeliharaan larva atau benur sejak fase nauplius hingga post larva (PL). Sebelum digunakan, bak dibersihkan terlebih dahulu dengan cara disikat hingga bersih kemudian diisi dengan air treatment dan diberi antibiotik (Elbasin) untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Dilengkapi dengan aerasi sebagai sumber oksigen untuk larva udang. 3. Penebaran Larva Udang Bak pembesaran larva yang telah disiapkan kemudian diisi dengan larva udang windu (nauplius). Sebelum nauplius ditebar kedalam bak, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu kedaan nauplius dan kualitas air. Nauplius yang baik adalah nauplius yang mempunyai gerakan aktif
26
terutama bila terkena sinar. selanjutnya pengawasan terhadap kualitas air terus menerus dilakukan. Jika terjadi perbedaan atau perubahan segera distabilkan. Setelah
semuanya
siap,
nauplius
siap
ditebar
dengan
cara
menuangkan air dalam baskom menggunakan gayung yang berisi nauplius secara perlahan kedalam bak pemeliharaan sampai nauplius dalam baskom habis. 4. Pemeliharaan Larva Penanganan larva udang windu di Balai Benih Ikan Pantai dimulai dari fase nauplius hingga post larva 12 (PL12). Selama proses pemeliharaan larva, larva harus benar-benar diperhatikan dari segi pakan, kondisi air dan lingkungan. Jumlah dan jenis pakan juga disesuaikan berdasarkan usia larva. 5. Pemanenan Pemanenan dilakukan dilakukan saat larva atau benur berada pada fase post larva 12 (PL 12). Pemanenan dilakukan secara total terhadap semua larva yang terdapat di bak pembesaran. Paralon pembuangan harus dipasang saringan dan diberi pipa agak kecil agar saat panen air tidak mengalir terlalu deras. 6. Pengemasan Pengemasan pemanenan.
dilakukan
Pengemasan
langsung
bertujuan
bersamaan
untuk
dengan
proses
mempermudah
proses
penyaluran atau pendistribusian kepada konsumen. konsumen.
27
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Persiapan Induk dan Tempat Pembenihan Udang Windu ( Penaeus monodon )
Sebelum proses pembenihan larva atau benur, hal yang pertama dialakukan adalah dengan menyiapkan induk udang windu dan menyiapkan tempat untuk pembenihan (bak). Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) Kota Bontang menyuplai indukan udang windu dari nelayan daerah Kota Balikpapan. Induk udang windu yang sehat dan telah siap telur didatangkan langsung dari Balikpapan dan merupakan indukan yang berasal dari tangkapan alam (bukan hasil Budidaya). Induk udang windu dipilih dengan kualitas yang terbaik agar dapat menghasilkan telur dengan baik dan maksimal. Induk udang windu yang digunakan adalah induk betina yang berukuran 25-30 cm dan dan 20-25 cm untuk udang udang jantan. Sebelum melakukan reproduksi, induk udang terlebih dahulu ditreatmen atau diaklimatisai terhadap suhu juga salinitas terhadap air media tempat pemeliharaan dengan tujuan agar induk tidak mengalami stress karena perubahan lingkungannya. lingkungannya. Sebelum proses pembenihan dilakukan, proses persiapan tempat harus dilakukan terlebih dahulu. UPT BBIP Kota Bontang memiliki empat buah bak pemeliharaan larva yang berkapasitas 10 ton setiap baknya. baknya. Bak-bak yang akan digunakan harus dibersihkan menggunakan kaporit juga detergen kemudian disikat agar jamur yang menempel tidak mengganggu proses pembenihan nantinya. Sanitasi bak bertujuan untuk menghilangkan hama dan penggangu atau penyakit.
Lalu bak diisi dengan air treatment kemudian
diberi aerasi sebagai sumber oksigen untuk larva atu benur. Bak pemeliharaan juga harus dilengkapi dengan terpal yang berfungsi untuk melindungi larva dari cahaya matahari karena kondisi yang baik untuk pertumbuhan larva adalah dengan kondisi yang gelap.
28
Gambar 7 : Induk Udang Windu Yang Siap Telur Tel ur
Gambar 8 : Bak Pembesaran Larva Atau Benur
3.2. Tahap Pembenihan Udang Windu (Penaeus Penaeus mon odon ) 3.2.1. Tahap Peneluran Induk Udang Windu
Induk udang windu yang telah siap kemudian dimasukkan kedalam tangki khusus (tangki peneluran). Udang akan dibiarkan semalaman (bertel ur) kemudian saat pagi hari induk udang windu dipindahkan dari tangki peneluran. Induk udang windu yang sehat, mampu bertelur 600.000 sampai dengan 700.000 butir setiap induknya. Dalam waktu 12-16 jam, telur-telur dalam tangki akan berkembang menjadi larva tidak bersegmen atau disebut juga dengan nauplius. nauplius.
29
Setelah telur berkembang menjadi nauplius, nauplius tersebut akan dipindahkan kedalam bak pembesaran atau pemeliharaan. Tangki bagian bawah akan dibuka kemudian diberi pipa, ditampung menggunakan baskom dan nauplius disaring menggunakan saringan, dimasukkan kedalam ember dan siap dimasukkan kedalam bak pemeliharaan.
3.2.2. Tahap Pemeliharaan Larva Udang Windu
Proses pemeliharaan larva atau benur dilakukan menggunakan sistem bangunan tertutup. Bak pemeliharaan berada didalam ruangan tertutup. Tujuannya agar proses pemeliharaan lebih baik dan aman dari lingkungan sekitarnya. Terlindungi dari pengaruh hujan, angin dan lain-lain yang dapat mengakibatkan perubahan suhu pada media air. Setelah nauplius di pindahkan dari tangki peneluran, kemudian langsung dimasukkan kedalam bak pemeliharaan. Nauplius yang ditampung didalam ember dimasukkan secara perlahan menggunakan gayung kedalam bak pemeliharaan. A. Pakan Larva Udang Windu
Dalam
pemeliharaannya,
larva
diberi
pakan
alami
berupa
fitoplankton (Skeletonema (Skeletonema sp), zooplankton ( Artemia Artemia sp) dan pakan buatan. Jenis pakan harus disesuaikan dengan usia larva. Pakan yang diberikan harus sesuai dengan ukuran mulut larva. Larva atau benur akan dipelihara hingga stadia post larva 12 (PL 12). Larva akan mengalami beberapa fase hingga saatnya dipanen yaitu : fase f ase nauplius, naupli us, zoea 1 sampai zoea 3, dan fase post larva 1 sampai post larva 12. Selama pemeliharahaan larva, larva diberi perlakuan khusus agar larva dapat berkembang dengan baik. Pada stadia nauplius, larva tidak memerlukan asupan energi atau makanan dari luar karena masih memiliki kantong kuning telur yang dapat digunakan sebagai sumber makanannya. Dan pada saat stadia zoea, larva sudah mulai harus memerlukan pakan karena pada saat fase tersebut saluran pencernaan pada larva telah terbentuk sempurna hingga stadia terus bertambah hingga menjadi udang windu dewasa.
30
Pakan mempengaruhi proses pertumbuhan atau perkembangan larva. Selama larva dalam masa pemeliharaan (zoea sampai post larva 12), larva diberi pakan berupa pakan alami dan pakan buatan. Pakan larva udang windu selama berada dibak pemeliharaan adalah sebagai berikut : a. Pakan alami Pakan alami merupakan pakan berupa fitoplankton ( Skeletonema sp) dan zooplankton ( Artemia ( Artemia sp). Skeletonema Skeletonema sp merupakan pakan yang akan terus diberikan mulai stadia zoea hingga stadia larva mysis post larva (mulai dari zoea sampai MPL). Skeletonema Skeletonema sp juga dibudidayakan di Balai benih Ikan Pantai Kota Bontang. Sehingga mempermudah untuk stok pakan alami larva. Larva diberi pakan Skeletonema sp Skeletonema sp pada pukul 05.00, 09.00, 13.00, 17.00, 21.00 dan 01.00 WITA. Cara pemberian pakan Skeletonema Skeletonema adalah dengan menuang Skeletonema Skeletonema ke dalam bak pemeliharaan menggunakan gayung. Cara pemberian Skeletonema tidak Skeletonema tidak boleh ditebar karena dapat merusak protein yang terkandung didalam Skeletonema. Skeletonema. Artemia sp Artemia sp merupakan salah satu pakan alami (zooplankton) yang mulai diberikan kepada larva udang windu pada saat stadia larva post larva 1 (PL 1). Artemia Artemia yang digunakan sebelumnya harus dikultur terlebih dahulu. Karena Balai Benih Ikan Pantai Kota Bontang menggunakan Artemia Artemia yang telah dikalengkan kemudian harus dikultur terlebih dahulu agar Artemia agar Artemia dapat dapat menetas kemudian di jadikan sebagai pakan alami untuk larva udang windu. Sama halnya dengan Skeletonema, Skeletonema, Artemia Artemia dituang ke dalam bak menggunakan gayung dan tidak boleh ditebar karena dapat merusak protein yang terkandung didalamnya.
Gambar 9 : Cara Pemberian Pakan Alami
31
b. Pakan Buatan Pakan Buatan merupakan pakan pendukung (tambahan) yang digunakan agar larva tetap berada pada nutrisi yang cukup. Pakan buatan juga harus rutin diberikan kepada larva hingga waktu pemanenan. Jenis pakan buatan yang digunakan adalah Flakes, Frippak, ZM dan MPL . Sebelum diberikan ke larva, pakan buatan harus dihancurkan terlebih dahulu menggunakan saringan pakan. Kemudian ditebar ke seluruh bagian bak pemeliharaan agar pakan buatan dapat secara merata dikonsumsi oleh semua larva yang tersebar didalam bak. Pakan buatan akan selalu diberikan bersamaan dengan pakan alami. Komposisi dan jenis pakan buatan akan berubah pada setiap stadia larva. Semakin naik fase larva maka jumlah pakan buatan pada setiap jenisnya akan bertambah. Pakan buatan selalu ditimbang menggunakan neraca ohaus, agar komposisinya tepat.
Gambar 10 : Pakan Buatan B. Penyiponan
Penyiponan merupakan salah satu perlakuan kepada larva yang dilakukan dengan tujuan agar sisa – sisa pakan buatan maupun sisa metabolisme larva dapat dikeluarkan sehinnga didalam air tidak terjadi penumbukan dan membusuk. Karena jika terjadi proses pembusukan, akan menghasilkan gas – gas gas yang beracun juga dapat meningkatkan CO 2 yang dapat membahayakan larva. Cara penyiponan larva adalah sebagai berikut : 1. Menggunakan selang besar untuk mengeluarkan larva dari dalam bak
32
2. Selang diisi air sampai penuh kemudian satu ujung sisinya dimasukkan kedalam bak 3. Air didalam bak akan keluar dari selang satu ujung sisinya bersamaan dengan larva yang terikut kemudian ditampung ke dalam baskom 4. Setelah larva terpisah dengan kotoran, kemudian larva dimasukkan kembali kedalam bak yang telah kembali diisi dengan air treatmen baru C. Kualitas Air Media Pemeliharaan Pemeliharaan Larva
Kualitas air sangat penting dalam kegiatan pembenihan. Sehingga kualitas air harus terus diperhatikan agar proses pembenihan tidak mengalami kegagalan yang dapat menyebabkan kerugian materi dan waktu. Berikut merupakan kualitas air dalam proses pemeliharaan larva : Post
No.
Faktor Peubah
Nauplius
Zoea
Mysis
1.
Suhu Dalam ºC
30-32
30-32
30-32
30-32
2.
Salinitas %
30-35
30-35
30-35
30-35
3.
pH
7
7
7
7
4.
Oksigen
5
5
5
5
Larva
Tabel 4 : Kualitas Air Media Pemeliharaan Larva
3.3. Pemanenan
UPT Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) Kota Bontang melakukan pemanenan pada saat stadia larva post larva 12 (PL 12). Pemanenan benur dilakukan secara total (penen total). Panen dimulai pada pukul 04.00 WITA. Cara panen adalah dengan memasang pipa pada paralon pembuangan agar air yang keluar tidak terlalu deras sehingga tidak merusak benur kemudian diberi saringan yang telah di rakit untuk menampung benur yang akan keluar bersama air dari dalam bak. Benur yang telah tersaring lalu di pindahkan kedalam baskom dan siap untuk dikemas. Pada saat pemanenan, satu bak pemeliharaan mengalami kegagalan. Sebagian besar benur yang terdapat pada bak nomor 4 (empat) mati. Hal
33
tersebut diperkirakan karena kesalahan dalam hal pemanenan pakan alami (Skeletonema sp). Skeletonema sp).
Gambar 11 : Pemanenan Benur Udang Windu Wi ndu
3.4. Pengemasan atau Pengepakan
Pengemasan bertujuan untuk mempermudah penyaluran benur kepada konsumen. Benur yang telah siap kemas, di kemas didalam kantong plastik (kantong kemas) kemudian diisi dengan air dingin dan ditambahkan oksigen lalu diikat menggunakan karet. Satu kemasan berisi 5000 ekor benur. Jumlah benur telah dirata-ratakan menggunakan sendok ukur yang telah dihitung kapasitasnya. Pemberian oksigen bertujuan sebagai sumber oksigen kepada benur saat berada didalam kemasan. Setelah semua benur udang windu selesai dikemas menggunakan kantong plastic, selanjutnya dimasukkan kedalam MC ( Master carton) carton) dan siap untuk disalurkan kepada konsumen yang telah memesan benur udang windu.
Gambar 12 : Pengemasan Benur Udang Windu
34
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan jika UPT Balai benih Ikan Pantai (BBIP) Kota Bontang hanya memproduksi benur larva udang windu hingga stadia post larva 12 (PL 12). BBIP Kota Bontang memilih indukan (induk udang windu) yang memiliki kualitas baik dengan memilih menggunakan indukan yang di tangkap di alam. Perlakuan dimulai sejak induk udang windu siap memijah dan bertelur kemudian dilanjutkan dengan pemeliharaan larva udang dari stadia nauplius, zoea, mysis dan post larva. Pakan yang menjadi faktor penting juga harus diperhatikan mulai dari jenis pakan hingga waktu pemberian pakan. Larva membutuhkan pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami berupa fitoplankton (Skeletonema (Skeletonema sp) dan zooplankton ( Artemia ( Artemia sp). Pakan buatan berupa Frippak, ZM, Flakes dan MPL. Larva mulai membutuhkan pakan saat berada pada stadia zoea karena system pencernaanya yang telah terbentuk dengan sempurna. Teknik
pembudidayaan
(pemeliharaan)
larva
udang
windu
mempengaruhi jumlah hasil panen yang diproduksi. Perlakuan yang baik dan benar harus dilakukan agar menghasilkan larva-larva udang windu sesuai dengan yang di harapkan.
5.2. Saran
Sebaiknya seluruh karyawan atau para pekerja harus melakukan kegiatan berdasarkan SOP (Standart operational Prosedur). Dan jadwal pemberian pakan harus tepat berdasarkan jadwal atau waktu yang telah ditentukan.
35