9
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di Indonesia, perikanan merupakan salah satu sumber devisa Negara yang sangat potensial. Pengembangan budidaya air payau di Indonesia untuk waktu yang akan datang sangat penting bagi pembangunan di sektor perikanan serta merupakan salah satu prioritas yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan di sektor perikanan.
Udang windu (Penaeus monodon) merupakan komoditas unggulan Indonesia dalam upaya menghasilkan devisa negara dari eksport nonmigas. Berbagai upaya telah dilakukan dalam meningkatkan produksi udang windu. Salah satu diantaranya adalah penerapan sistem budidaya udang windu secara intensif yang dimulai sejak pertengahan tahun 1986.
Komoditas ini dikenal bernilai ekonomis tinggi dibanding beberapa komoditas lainnya, baik untuk konsumsi lokal maupun untuk pasar ekspor. Selain itu dipilihnya udang sebagai andalan utama penggaet devisa tentu beralasan. Alasan pertama, Indonesia memiliki luas lahan budidaya yang potensial untuk udang, yakni mencapai 866.550 hektar, sementara sampai tahun 1999 luas tambak yang dibangun baru mencapai 344.759 ha. Artinya, tingkat pemanfaatannya baru 39,7%. Sementara itu, potensi penangkapan udang di laut diperkirakan 74.000 ton/tahun dan telah dimanfaatkan sekitar 70.000 ton/tahun. Dengan demikian, tingkat pemanfaatan dari penangkapan di laut sudah mencapai 95% sehingga andalan utamanya adalah udang hasil budidaya di tambak. Dengan target produksi sekitar 2 juta ton udang per tahun. Seiring dengan semakin meningkatnya volume permintaan udang di pasaran internasional maka secara langsung akan mempengaruhi permintaan benur oleh para petani tambak.
Alasan kedua, secara umum Indonesia memiliki peluang yang sangat baik untuk memposisikan diri sebagai salah satu produsen dan eksportir utama produk perikanan, terutama udang. Kenyataan ini bertolak dari besarnya permintaan produk udang, baik di pasar domestik maupun pasar ekspor. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka pengembangan teknologi pembenihan udang perlu terus ditingkatkan. Menurunnya minat masyarakat akhir-akhir ini untuk mengembangkan komoditas unggulan ini disebabkan karena ketersediaan benih udang (post larva) yang belum memenuhi standar.
Untuk dapat mempelajari lebih lanjut cara pembudidayaan udang windu ini, terlebih dahulu kita harus mengetahui anatomi, morfologi dan fisiologi udang windu. Maka dari itu penulis membuat paper ini dengan judul " Fisiologi Udang Windu (Penaeus monodon)".
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan paper fisiologi hewan air ini adalah untuk dapat mengetahui lebih jelas tentang fisiologi udang windu (Penaeus monodon) yaitu pertumbuhan, sistem pencernaan, makanan dan kebiasaan makan, daur hidup dan reproduksi.
1.3 Batasan Masalah
Mengingat keterbatasan waktu dan kemampuan, maka penulis membatasi masalah yang dibahas dalam paper ini adalah pertumbuhan, sistem pencernaan, makanan dan kebiasaan makan, daur hidup dan reproduksi udang windu (Penaeus monodon).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Morfologi Udang Windu (P. monodon)
Menurut Agung (2007), dalam dunia internasional, udang windu(P.monodon) dikenal dengan nama black tiger, tiger shrimpatau tiger prawn. Adapun udang windu diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phyllum : Arthropoda
Class : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Family : Penaeidae
Genus : Penaeus
Species : PenaeusmonodonFabricus
Ditinjau dari morfologinya, tubuh udang windu (P. monodon) terbagi menjadi dua bagian, yakni bagian kepala yang menyatu dengan bagian dada (kepala-dada) disebut cephalothorax dan bagian perut (abdomen) yang terdapat ekor dibagian belakangnya. Semua bagian badan beserta anggota-anggotanya terdiri dari ruas-ruas (segmen). Kepala sampai dada terdiri dari 13 ruas, yaitu kepalanya sendiri 5 ruas dan dadanya 8 ruas, sedangkan bagian perut terdiri atas segmen dan 1 telson.(Suyanto dan Mujiman, 1994).Morfologi Udang Windu (P. monodon) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Morfologi udang windu (Penaeus monodon), (Darmono, 1993).
Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang terbuat dari zat chitin. Bagian kepala ditutupi oleh cangkang kepala yang ujungnya meruncing disebut rostrum. Kerangka tersebut mengeras, kecuali pada sambungan-sambungan antara dua ruas tubuh yang berdekatan. Hal ini memudahkan mereka untuk bergerak (Suyanto dan Mujiman, 1994). Udang betina lebih cepat tumbuh daripada udang jantan, sehingga pada umur yang sama tubuh udang betina lebih besar daripada udang jantan (Soetomo, 2000).
2.2 Penyebarandan Habitat
Menurut Amri (2003), habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dari persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Udang windu (P. monodon) bersifat euryhaline yakni bisa hidup di laut yang berkadar garam tinggi hingga perairan payau yang berkadar garam rendah. Udang windu(P. monodon) juga bersifat benthik, yaitu hidup pada permukaan dasar laut yang lumer (soft) terdiri dari campuran lumpur dan pasir terutama perairan berbentuk teluk dengan aliran sungai yang besar dan pada stadium post larva ditemukan di sepanjang pantai dimana pasang terendah dan tertinggi berfluktuasi sekitar 2 m dengan aliran sungai kecil, dasarnya berpasir atau pasir lumpur.
Padasianghari, udang hanya membenamkan diri pada lumpur maupun menempelkan diri pada sesuatu benda yang terbenam dalam air (Soetomo, 2000). Apabila keadaan lingkungan tambak cukup baik, udang jarang sekali menampakkan diri pada siang hari. Apabila udang tampak aktif bergerak di waktu siang hari, hal tersebut merupakan tanda-tanda bahwa ada hal yang tidak wajar terjadi pada organisme budidaya. Ketidaksesuaian ini disebabkan oleh jumlah makanan yang kurang, kadar garam meningkat, suhu meningkat, kadar oksigen menurun atau karena timbulnya senyawa-senyawa beracun (Suyanto dan Mujiman, 1994).
2.3 Makanandan Kebiasaan Makan
Udang windu (P. monodon) bersifat omnivor, pemakan detritus dan sisa-sisa organik baik hewani maupun nabati. Udang ini mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri dengan makanan yang tersedia di lingkungannya, tidak besifat terlalu memilih-milih (Dall dalam Toro dan Soegiarto, 1979). Sedang pada tingkat mysis, makanannya berupa campuran diatome, zooplankton seperti balanus, veligere, copepod dan trehophora (Vilalez dalam Poernomo, 1976).
Udang windu(P.monodon) merupakan organisme yang aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal). Jenis makanannya sangat bervariasi tergantung pada tingkatan umur. Pada stadia benih, makanan utamanya adalah plankton (fitoplankton dan zooplankton). Udang windu(P. monodon) dewasa menyukai daging binatang lunak atau moluska (kerang, tiram, siput), cacing, annelida yaitu cacing Polychaeta dan Crustacea. Dalam usaha budidaya, udang windu(P. monodon) mendapatkan makanan alami yang tumbuh di tambak, yaitu klekap, lumut, planktondan benthos. Udang windu(P. monodon) akan bersifat kanibal bila kekurangan makanan (Soetomo, 2000).
Siklus Hidup
Udang memijah didaerah lepas pantai yang dangkal. Proses pemijah udang meliputi pemindahan spermatophore dari udang jantan keudang betina. Peneluran bertempat pada daerah lepas pantai yang lebih dalam. Telur-telur dikeluarkan dan difertilisasi secara eksternal di dalam air. Seekor udang betina mampu menghasilkan setengah sampai satu juta telur setiap bertelur. Dalam waktu 13-14 jam, telur kecil tersebut berkembang menjadi larva berukuran mikroskopik yang disebut naupliataunauplius (Perry, 2008). Tahap naupli tersebut memakan kuning telur yang tersimpan dalam tubuhnya lalu mengalami metamorphosis menjadi zoea. Tahap kedua ini memakan alga dan setelah beberapa hari bermetamorfosis lagi menjadi mysis. Mysis mulai terlihat seperti udang kecil dan memakan alga dan zooplankton. Setelah 3 sampai 4 hari, mysis mengalami metamorphosis menjadi post larva. Tahap post larva dalah tahap saat udang sudah mulai memiliki karakteristik udangdewasa. Keseluruhan proses dari tahap naupli sampai postlarva membutuhkan waktusekitar 12 hari. Di habitat alaminya, postlarva akan bermigrasi menuju estuarin yang kaya nutrisi dan bersalinitas rendah. Mereka tumbuh disana dan akan kembali kelaut terbuka saat dewasa. Udang dewasa adalah hewan bentik yang hidup di dasar laut (Anonim, 2008 dalam Erwinda, 2008). Siklus hidup udang dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. SiklushidupUdangPenaeid (Stewart, 2005dalam Erwinda, 2008)
Menurut Sutrisno et al,(2010), udang yang sudah dewasa akan memijah dilaut lepas, sedangkan udang muda (juvenile) bermigrasi dari laut lepas ke daerah pantai. Di alam, udang dewasa kawin dan memijah pada kolom perairan lepas pantai (kedalaman kurang lebih 70 m) bagian selatan, tengah dan utara Amerika dengan suhu 26–28°C dan salinitas ±35 ppt. Setelah telur-telur menetas, larva hidup di laut lepas mejadi bagian dari zooplankton. Saat stadium post larva mereka bergerak ke daerah dekat pantai dan perlahan-lahan turun ke dasar di daerah estuari dangkal. Perairan dangkal ini memiliki kandungan nutrient, salinitas dan suhu yang sangat bervariatif dibandingkan dengan laut lepas.
2.5 Biologi Reproduksi
Jenis kelamin jantan dan betina dari udang windu(P. monodon) dapat dilihat dari bentuk alat kelamin luarnya dan kaki jalan (periopod). Alat kelamin jantan disebut petasmayang terdapat pada kaki renang pertama, sedangkan lubang saluran kelaminnya disebut dengan gonophore terletak diantara pangkal kaki jalan ketiga. Sedangkan alat kelamin betina disebut thelycum yangterletak di antara kaki jalan keempat dan kelima. (Suyanto, 1999 dalam Pratiwi, 2008). Alat reproduksi udang windu (P. monodon) dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Alat reproduksi udang windu betina dan jantan
(Suyanto dan Takarina, 2009)
Sperma udang terbungkus di dalam butiran kecil yang disebut spermatophora. Di dalam spermatophora tersimpan beribu-ribu sperma yang hanya memiliki panjang 5 mikron. Spermatphora dikeluarkan oleh jantan berupa lendir yang kental, dan kemudian akan disalurkan melalui petasma(alat kelamin jantan)kedalam rongga thelycum(alat kelamin betina). Selanjutnya, thelycum tertutup rapat dan setelah terjadi pemijahan,spermatophora dapat bertahan beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah berlangsung perkawinan atau pemijahan, spermatophora akan dikeluarkan sedikit demi sedikit oleh betina dari dalam thleycum dengan menggerakkan anggota badan yang khas sehingga sperma dapat membuahi telur-telur yang dikeluarkan oleh betina (Suyanto dan Takarina, 2009).
2.6 Perkembangan Larva
Telur udang yang telah dibuahi menetas dan mengalami tiga perkembangan larva yaitu naupli, zoeadan mysis. Masing-masing stadia dalam perkembangannya mengalami matamorfosis. Dalam perkembangan dari stadia ke stadia lainnya diikuti dengan perubahan pola makannya. Naupli yang baru menetas tidak memerlukan pakan dan sudah terpenuhi oleh nutrisi kuning telur. Setelah lima kali berubah, cadangan kuning telunya habis dan nauplimengalami metamorfosis menjadi zoea dan mulai memakan mikroalga (Sweeney and Wyban, 2001 dalam Aristyani, 2006).
Menurut Mahendra (2007) dalam Lestari (2009), perkembangan larva udang penaeidae terdiri dari beberapa stadia yaitu :
Stadia Nauplius
Nauplius bersifat planktonik dan phototaksis positif. Udang yang masih dalam stadia ini belum memerlukan makanan dikarenakan masih memiliki kuning telur. Perkembangan stadia nauplius terdiri dari enam stadium. Nauplius memeliki tiga pasang organ tubuh yaitu antena pertama, antena kedua dan mandible. Gambar stadiaNauplius dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Perkambangan larva stadium nauplius(Murtidjo, 2003)
Stadia Zoea
Perubahan bentuk dari nauplius menjadi zoea memerlukan waktu kira-kira 40 jam setelah penetasan. Pada saat stadia ini larva akan cepat bertambah besar. Tambahan suplai makanan yang diberikan memiliki peran yang sangat penting. Pada fase ini mereka aktif memakanphytoplankton. Setelah akhir zoea juga memakan zooplankton. Zoea sangat sensitif terhadap cahaya yang sangat kuat dan ada juga yang lemah diantara tingkat stadia zoea tersebut. Stadiazoea dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Perkambangan larva pada stadiazoea (Murtidjo, 2003)
Stadia Mysis
Larva akan mencapai stadia mysis pada hari kelima setelah penetasan. Larva pada stadia ini kelihatan lebih dewasa dari dua stadia sebelumya yaitu stadia nauplius dan zoea. Stadia mysis lebih kuat dari stadia zoea dan dapat bertahan dalam penanganan yang tidak terlalu ketat daripada dua stadia sebelumnya, tetapi juga perlu dikontrol kondisi fisiknya apakah ada penyakt yang menyerang atau tidak. Pada stadia mysisini larva akan dapat memakan phytoplankton dan zooplankton akan tetapi lebih menyukai zooplankton menjelang stadiamysis akhir karena sudah dapat bergerak aktif untuk mencari makananya. StadiaMysis dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Perkembangan larva stadium Mysis (Murtidjo, 2003)
Stadia Post larva
Setelah melewati stadium nauplius, zoea dan mysis pada hari ketujuh larva udang windu(P. monodon) sudah berubah menjadi stadium post larva pertama (PL1). Stadium ini mudah diketahui dan dibedakan dengan stadium mysis ketiga (M3) karena bentuk tubuh yang lebih lurus dan cara berenang yang sudah menelungkup atau tidak berenang dengan kaki terbalik. Stadia post larva dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7.Post larva (Murtidjo, 2003)
2.7Produksi benih udang windu (P. monodon)
Sejak dikembangkan intensifikasi tambak udang, kebutuhan benur untuk tambak tidak lagi dapat tercukupi dari hasil pengkapan dialam. Jika diperhitungkan, rata-rata untuk memproduksi udang konsumsi dengan banyak 1 ton di tambak memerlukan benur sebanyak lebih dari 50.000 ekor. Pada pengembangan tambak intensif di Indonesia dapat ditargetkan produksi udang yangdipanen dapat berkisar 7-8 ton/ha/musim. Artinya diperlukan benur sebanyak lebih dari 350.000-400.000 ekor/ha/musim. Potensi benur alam di seluruh Indonesia diperhitungkan hanya mencapai 0,8 milyar per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan, kekurangan benur harus dapat diproduksi dari panti-panti pembenihan (hatchery) yang ada sekarang (Suyanto dan Takarina, 2009).
Jumlah benur yang dibutuhkan sebanyak 40.465 juta ekor. Kebutuhan benur tersebut tidak mungkin dapat dipenuhi dengan jalan pengambilan benur secara alami dari laut. Benur windu(P. monodon) alam yang dapat tertangkap rata-rata mencapai 600 juta ekor per tahun. Benur yang tertangkap biasanya bercampur dengan benih jenis udang putih, windu dan kerosok. Pada umumnya campuran benur alam kebanyakan terdiri dari udang putih 90-96%, benur windu(P. monodon) hanya sebesar 4-6%, sedangkan sisanya terdiri dari jenis udang lain, hal ini yang menyebabkan produksi udang windu tidak optimal (Suyanto dan Mujiman, 2005 dalam Purnomo,2008).
Sistem Pernafasan
Pada umumnya Udang bernafas dengan insang. Kecuali Udang yang bertubuh sangat kecil bernafas dengan seluruh permukaan tubuhnya.
BAB III
KESIMPULAN
Udang windu merupakan salah satu komoditas perikanan yang sangat penting dalam perekonomian global. Menurut data dari Monterey Bay Aquarium (2013), seluruh proses budidaya, peternakan, dan juga penangkapan udang windu secara tradisional maupun modern telah mencakup total 47% dari keseluruhan produksi udang serta lobster di dunia. Sebuah angka yang menunjukkan bahwa permintaan masyarakat akan tiger shrimp ini sangat tinggi. Masyarakat di seluruh dunia memanfaatkan udang windu sebagai sumber makanan. Udang windu sangat digemari karena beberapa hal. Diantaranya adalah kandungan gizinya yang tinggi, kadar lemaknya yang rendah, dan yang pasti rasanya lebih gurih dan enak..
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Amri, K., 2003. Budidaya Udang Windu Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Anonim. 2009. Siklus Hidup Penaeid. Diakses melalui http://galeriukm.web.id/. Tanggal 10 Januari 2009
Martosudarmo, B. dan B. S. Ranoemihardjo. 1980. Pedoman Pembenihan Udang Penaeid. Direktorat Jendral Perikanan Departemen Pertanian. Jepara. Hal.1-6
Musida. 2008. Teknik Budidaya udang windu. Diakses melalui http://www.agrina-online.com/show_article.php?rid=10&aid=321. Tanggal 10 Januari 2009.
Mutidjo, B. A. 2003. Benih Udang Windu Skala Kecil. Kanisius. Yogyakarta. Hal. 15-16
Soetomo, M.J.A., 2000. Teknik Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon). Kansiua. Yogyakarta.
Suyanto, S.R dan A. Mujiman., 1994. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya. Jakarta.
Toro, V dan Soegiarto., 1979. Biologi Udang Windu. Proyek Penelitian Sumberdaya Ekonomi. Lembaga Oceanoligi LIPI. Jakarta, hal. 144