IMPETIGO PADA POPULASI ANAK-ANAK
Diterjemahkan dari Impetigo in the pediatric population
“
”
oleh Patty Ghazvini *, Phillip Treadwell, Kristen Woodberry, Edouard Nerette Jr, dan Hermán Powery II FAMU College of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, Florida, AS ABSTRAK
Impetigo adalah infeksi bakteri pada kulit endemik yang paling sering dikaitkan dengan populasi pediatrik ; Hal ini terlihat di lebih dari sekitar 162 juta anak berusia antara 2 dan 5 tahun. Secara geografis, infeksi ini banyak ditemukan di
daerah tropis di seluruh dunia. Impetigo memiliki angka kejadian insidensi terbesar,
dibandingkan dengan berbagai infeksi kulit lainnya yang terlihat pada
anak-anak. Karakteristik utama yang diamati pada infeksi ini
adalah lesi-lesinya.
Penyakit ini muncul pertama kali dalam bentuk bullae yang akhirnya membentuk krusta berwarna
seperti
madu dan
tebal yang bisa menyebabkan pruritus. Ada
tiga bentuk impetigo: bullosa, non-bullosa dan ektima.
Organisme penyebab
utama untuk impetigo meliputi Staphylococcus aureus dan Group A Beta H emolitiku oliti kuss S trepto treptoco coccus ccus (GABHS). Sebagian besar infeksi impetigo sembuh tanpa memerlukan pengobatan; penyebaran penyakit,
Namun, untuk mengurangi durasi dan
digunakan dengan antibiotik topikal dan oral. Prognosis
penyakit ini baik dan komplikasi nya minimal yang berhubungan dengan keadaan penyakit ini. SINGKATAN
SSTI: ( skin and soft tissue infctions / Infeksi Kulit dan Jaringan lunak; GABHS Group A Beta Hemolitikus Streptococus :;
SSSS: Staphylococcal Scalded Skin
Syndrome;
CA-MRSA: Comunity Acquired methicilin Resistant Staphylococcus
Aureus;
PVL:
Panton-Valentine-Leucodin;
PSGN:
Glomerulonefritis
postreptococcal PENGANTAR
Evolusi bakteri dan penyebaran resistansi terhadap antibiotik secara luas terus meningkat dan selanjutnya hal ini akan membuka era pasca antibiotik yang tak terelakkan dan telah menembus kesadaran dunia kesehatan. Infeksi kulit dan jaringan lunak (SSTI) merupakan prioritas klinis, karena efeknya tidak proporsional terhadap populasi yang paling rentan [1]. Impetigo adalah infeksi kulit superfisial yang sangat menular yang umumnya disebabkan oleh bakteri gram positif yang
mencakup Staphylococcus aureus atau streptokokus -beta
grup A hemolitik (GABHS), seperti Streptococcus pyogenes. Kedua organisme
tersebut telah berpengaruh dalam penyebaran resistensi bakteri [2,3]. Infeksi pediatrik terutama diderita oleh orang-orang yang cenderung tinggal di lingkungan dengan cuaca panas dan lembab [4,5]. Sebuah studi global mengenai prevalensi populasi impetigo menyimpulkan bahwa lebih dari kira-kira 162 juta anak-anak berusia antara dua dan lima tahun menderita
penyakit ini. Studi
tersebut menunjukkan bahwa anak-anak ini cenderung tinggal di negara berpenghasilan rendah yang berada di daerah tropis [4,6-8]. PATOFISIOLOGI
Kulit berfungsi sebagai garis pertahanan pertama antara manusia dan lingkungannya [9]. Ketidakseimbangan homeostasis antara mikrobiom dan inang di kulit telah dapat menyebabkan penyakit. Faktor faktor yang bertanggung jawab atas variabilitas unik mikrobiom kulit hanya sebagian dipahami, namun hasil menunjukkan bahwa pengaruh genetik dan lingkungan host memainkan peran utama [10,11]. Tentu, dikulit terdapat koloni beragam bakteri. [12]. Infeksi akibat tingginya konsentrasi bakteri jarang terjadi karena kemampuan perlindungan alami kuit. Resistensi alami tubuh manusia terhadap infeksi disebabkan oleh pH kulit dan jaringan subkutan yang rendah sekitar 5,6 serta cairan sebasea yang
mengalami hidrolisis membentuk asam lemak bebas yang sangat menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur, kulit yang memiliki flora normal, membantu mencegah kolonisasi organisme patogen lainnya [13]. Peptida antimikroba bakteri, juga disebut bakteriosin, diperkirakan diproduksi oleh banyak atau kebanyakan bakteri yang ditemukan di flora normal dan memainkan peran utama yang menguntungkan dalam hubungan antara bakteri dan kulit. Bakteriosin tidak melindungi kulit terhadap infeksi dalam pengertian tradisional; mereka berkontribusi terhadap kelangsungan hidup sel bakteri secara individual dengan membunuh bakteri lain yang mungkin bersaing untuk mendapatkan nutrisi di lingkungan yang sama [14,15]. Contoh lain dari hubungan yang menguntungkan antara bakteri dan kulit melibatkan kapasitas bawaan epitel untuk mendeteksi mikroorganisme dengan toll like receptor (TLRs). Stimulasi TLRs menginduksi pola ekspresi gen yang berbeda yang menyebabkan aktivasi berbagai respon imun. Secara tradisional, respons kekebalan ini dianggap secara eksklusif bersifat pro-inflamasi dan dirancang untuk bertahan melawan infeksi mikroba yang menyebabkan infeksi [16]. Namun, dalam kondisi tertentu, patogen dapat menembus barier kulit dari hospes yang rentan dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang dapat merangsang respons inflamasi. Kondisi yang mungkin menjadi predisposisi pasien terhadap perkembangan infeksi kulit meliputi cacar air, herpes simpleks, gigitan serangga, pedikulosis, terapi radiasi, skabies, goresan, operasi, luka bakar termal, trauma, konsentrasi bakteri yang tinggi, kelembapan kulit yang berlebihan, tidak adekuatnya suplai darah, ketersediaan nutrisi bakteri, dan kerusakan pada lapisan kornea yang memungkinkan penetrasi bakteri [5,17-19]. Perkembangan impetigo bergantung pada tiga faktor berikut: adhesi bakteri terhadap sel inang, invasi pada jaringan, dan penyebaran racun [13]. Invasi bakteri terjadi pada awalnya dalam jumlah rendah, dengan adhesi yang dimediasi asam teikoat di salah satu mikroorganisme peyebab impetigo [20,21]. Namun, fibronektin, molekul adhesi sel yang memungkinkan sel bakteri seperti Streptococcus pyogenes (GABHS), menempel pada kolagen dan menyerang permukaan kulit yang terganggu diperlukan untuk
berkoloni di kulit [13]. Sebaliknya, Staphylococcus aureus berkoloni di epitel nasal awalnya dan dari reservoir ini, kolonisasi kulit terjadi [22] Seiring bertambahnya jumlah bakteri dimana barier kulit terganggu, dan impetigo muncul. Dengan mayoritas SSTI yang diakibatkan dari rusaknya pertahanan host normal melalui proses seperti tusukan, abrasi, atau penyakit kulit, harus dipahami bahwa sifat dan tingkat keparahan infeksi bergantung pada jenis mikroorganisme ETIOLOGI & EPIDEMIOLOGI
Secara umum, patogen penyebab utama impetigo adalah Staphylococcus aureus dan streptokokus ß-hemolitik Grup-A (GABHS) [23]. Patogen yang kurang umum yang terkait dengan impetigo meliputi streptokokus grup C, streptokokus grup G, dan bakteri anaerobik [23,24]. Ketika kita memusatkan perhatian pada berbagai jenis impetigo, ada gambaran yang jelas tentang patogen mana yang mendominasi, karena impetigo dapat dipisahkan menjadi impetigo non-bulosa dan impetigo bulosa. Impetigo non-bulosa, juga dikenal sebagai impetigo kontangiosa [24,25] atau pioderma [23], saat ini sebagian besar disebabkan oleh S. aureus. Setelah S. aureus dapat pula berupa infeksi campuran staphylococci dan streptococci, dan kemudian streptococci saja. Namun, ini tidak selalu terjadi. Seiring waktu, agen penyebab utama bergantian antara S. aureus dan GABHS. Menurut Koning S et al., Pada iklim sedang, S. aureus adalah organisme penyebab utama pada tahun 1940an dan 1950an, setelah itu GABHS menjadi lebih umum; Dalam dua dekade terakhir, S. aureus telah menjadi penyebab yang lebih umum lagi. S. aureus sendiri atau bersamaan dengan GABHS bertanggung jawab atas sekitar 80% kasus impetigo [25,26]. Untuk lebih memvalidasi prevalensi S. aureus yang lebih tinggi, menurut data dari Departemen Dermatologi Rumah Sakit Anak Heim Pál Budapest, lebih dari 70% kasus tersebut disebabkan oleh S. aureus, 20-25% disebabkan oleh infeksi campuran staphylococci dan streptococci, dan 5-10% kasus hanya disebabkan oleh streptokokus [27]. Sebaliknya, terdapat laporan
kasus dimana infeksi streptokokus lebih umum terjadi, seperti di iklim yang lebih hangat dan lembab [24,25]. Impetigo bulosa hampir secara eksklusif disebabkan oleh strain S. aureus yang menghasilkan racun eksfoliatif yang menyebabkan hilangnya adhesi sel di epidermis superfisial dengan target desmoglein1 [23,28,29]. Toksin spesifik adalah toksin eksfoliatif A, berlawanan dengan toksin eksfoliatif B, yang dihasilkan oleh S. aureus pada Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) [26]. Ada sedikit persentase infeksi yang disebabkan oleh GABHS [26]. Ektima, yang digambarkan sebagai bentuk impetigo yang lebih dalam [30], atau sebagai jenis infeksi yang terpisah namun mirip [31], meluas melalui epidermis dan mencapai dermis. Serupa dengan impetigo bulosa, patogen utamanya adalah S. aureus [32], namun streptokokus kadang-kadang dapat menjadi penyebabnya [27,31]. Kehadiran MRSA sebagai agen penyebab impetigo yang didapat masyarakat ( comunity acquired impetigo )
dianggap tidak biasa dan bersifat heterogen [26].
Impetgo yang di induksi stapilokokus biasanya disebabkan oleh strain S. aureus yang memiliki gen toksik exfoliatif . Bakteri Staphylococcus aureus yang resisten terhadap methicillin (CA-MRSA) tidak memiliki gen toksin exfoliatif, namun memiliki gen Panton-Valentine-Leucodin (PVL). Staphylococci yang memiliki PVL biasanya menyebabkan abses dan furunkel; Oleh karena itu, kekhawatiran adanya MRSA tidak berlebihan dalam kasus impetigo [26]. Selanjutnya, tidak ada penelitian yang mengidentifikasi masalah dengan impetigo terkait MRSA pada orang dewasa atau anak-anak, namun kultur mungkin masih berguna dalam beberapa keadaan [24]. Namun, jika ada, MRSA yang terkait dengan impetigo biasanya terlihat dalam bentuk non-bullosa [29]. PRESENTASI KLINIS
Impetigo non-bulosa dapat terjadi sebagai infeksi bakteri primer atau sekunder. Infeksi primer terjadi melalui invasi bakteri langsung pada kulit sehat intak [24].
Infeksi sekunder, yang lebih umum terjadi, terjadi melalui infeksi bakteri pada kulit yang terganggu akibat trauma, eksim, gigitan serangga, skabies, herpes, atau penyakit lainnya [24]. Terlepas dari sifat primer atau sekundernya, impetigo non bulosa awalnya hadir sebagai lesi makulopapular yang menjadi vesikel berdinding tipis yang 0,5cm
terletak diatas dasar eritematosa. Vesikel cenderung <
dibandingkan dengan bullae yang terlihat pada impetigo bulosa, yang
biasanya berukuran > 0,5cm [29]. Setelah pecah, ulserasi dangkal berikutnya ditutupi dengan cairan purulen yang mengering seperti skuama berwarna kekuningan [24,26].
Infeksi cenderung terjadi di daerah yang terpapar sinar
matahari, terutama pada anggota badan dan wajah (misalnya, nares, daerah perioral). Lesi satelit,
yang disebabkan oleh self-inoculation, sering terjadi; dan
limfadenopati regional [23,26]. Namun, gejala sistemik tidak sering muncul [23-
25] meskipun demam dapat terjadi pada kasus yang parah [26]. Impetigo non bulosa cenderung sembuh tanpa bekas luka / skar, dan jika tidak diobati, bisa sembuh secara spontan dalam 2-3 minggu [24-26].
Impetigo bulosa awalnya dimulai sebagai vesikula kecil, yang kemudian menjadi bula lembek atau lepuhan lokal berukuran sekitar 2cm; Lepuhan mengandung cairan yang jernih yang kemudian menjadi purulen [26]. Lepuhan ini tidak pecah semudah vesikel yang terlihat pada impetigo non-bulosa, dan mungkin bertahan selama beberapa hari [25]. Begitu lepuhan pecah, dasarnya yang basah dan eritematosa dapat terlihat. Daerah yang mengalami pembesaran kelenjar getah bening biasanya tidak ada, dan gejala sistemik jarang terjadi tapi bisa termasuk demam, diare, dan malaise [24,26]. Bukti pendukung adanya limfadenopati regional pada impetigo bulosa saling bertentangan. Beberapa artikel menyatakan bahwa limfadenopati jarang terjadi pada impetigo bulosa [26,33], sementara yang lain tidak menyebutkan adanya limfadenopati terkait impetigo bulosa [24,25]. Sebaliknya, satu sumber menyatakan bahwa limfadenopati lebih sering terjadi pada impetigo bulosa daripada impetigo non bullosa [34]. Infeksi cenderung terjadi pada batang tubuh; daerah intertriginosa seperti daerah popok , axillae, dan leher; dan ekstremitas. Namun, daerah kulit
lainnya juga bisa terkena dampaknya [24,26]. Seperti bentuk impetigo lainnya, infeksi umumnya sembuh dalam waktu 2-3 minggu tanpa jaringan parut [24]. Ektima
ditandai oleh vesikel yang pecah kemudian menghasilkan ulkus
berbentuk bulat dan eritematosa dengan skuama coklat hitam yang melekat.. Biasanya dikelilingi edema [30-32]. Rasa gatal biasa terjadi dan garukan bisa menularkan infeksi [32]. Ektima terutama terjadi pada kaki dan gluteus setelah trauma atau
saat gigitan serangga telah tergores [27]. Selain itu, tidak seperti
impetigo, ektima sembuh dengan jaringan parut. DIAGNOSA
Diagnosis impetigo atau ektima biasanya ditegakkan melalui pengamatan visual dan temuan klinis [29,32]. Pewarnaan Gram dan kultur nanah atau eksudat dari lesi kulit dianjurkan untuk membantu mengidentifikasi apakah S. aureus dan / atau GABHS adalah penyebabnya; Pengobatan tanpa pemeriksaan ini, masuk akal dalam kasus tipikal [31]. Selain itu, pada pasien yang dicurigai mengalami glomerulonefritis akut
dan impetigo, analisis kadar anti-DNase B yang
meningkat dapat memberikan bukti
pendukung infeksi streptokokus sebelumnya
[23]. Saat mendiagnosis impetigo, harus diingat bahwa ada kelainan lain yang hadir dengan manifestasi klinis serupa. Dengan impetigo non-bullosa, keraguan dalam diagnostik dapat terjadi dengan berbagai kelainan kulit termasuk shingles, cold sores, infeksi jamur kulit,
dan eksim [25]. Dengan impetigo bulosa,
kebingungan diagnostik dapat terjadi dengan luka bakar termal, gangguan yang terdapat lesi lepuhan seperti pemfigoid bulosa, dan sindrom Stevens Johnson [25]. TERAPI
terdapat berbagai pilihan pengobatan yang bisa digunakan dalam pengobatan impetigo. Bergantung pada tingkat keparahan kondisinya, pilihannya berkisar dari desinfektan topikal hingga antibiotik topikal dan oral. Untuk impetigo yang tanpa
kompikasi, telah diamati bahwa infeksi sembuh dalam beberapa minggu tanpa jaringan parut [29].. Untuk perawatan luka lokal, dianjurkan agar lesi dibersihkan dengan lembut, lepaskan krusta dari impetigo non-bulosa dengan sabun antibakteri dan kain pembersih, dan gunkan dressing basah pada daerah yang terkena [26]. Desinfektan topikal adalah pilihan tepat untuk pencegahan kekambuhan dan menjadi alternatif terapi antibiotik topikal. Telah dibuktikan dalam penelitian bahwa cairan sodium hipoklorit efektif dalam memberantas beberapa strain MRSA yang didapati dari komunitas [35]. Meskipun desinfektan topikal efektif untuk profilaksis, pilihan ini tidak dianjurkan untuk pengobatan impetigo dalam bentuk aktifnya. Tidak disarankan agar pilihan ini digunakan pada penyakit aktif. Dalam tinjauan yang dilakukan oleh Database Cochrane of Systemic Reviews,
diketahui bahwa antibiotik topikal menunjukkan tingkat kesembuhan
yang lebih baik daripada plasebo topikal [25]. Mupirocin topikal telah menunjukkan khasiat yang superior daripada eritromisin agen oral dan telah terbukti menjadi pilihan tepat bagi pasien dengan strain Staphylococcus aureus yang resisten terhadap eritromisin. Dalam perbandingan lain, tingkat kesembuhan antara obat topikal dan oral tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan [25]. Menurut Infectious Diseases Society of America guidelines, impetigo non-bulosa dan bulosa dapat diobati dengan antimikroba oral atau topikal selama lima sampai tujuh hari, namun terapi oral dianjurkan pada pasien dengan berbagai lesi atau endemis yang mempengaruhi beberapa orang untuk membantu mengurangi transmisi infeksi [31]. ANTIBIOTIK TOPIKAL
Antibiotik topikal merupakan pilihan yang layak untuk penyakit impetigo tertentu. Antibiotik cenderung untuk memicu resistensi bakteri dan memiliki efek samping yang lebih sedikit. Untuk bayi, anak-anak, dan remaja di Amerika Serikat, mupirosin dan retapamulin merupaka dua obat topikal yang paling sering digunakan (Tabel 1) [14,29]. Mupirosin menghambat sintesis protein bakteri
secara reversibel dan secara khusus berikatan dengan transfer-RNA synthetase. Hal ini memiliki efek samping yang dapat ditoleransi seperti reaksi pada lokasi penggunaan (pruritus dan sensasi tersengat pada kulit) [14]. Tabel 1: Regimen Pengobatan Impetigo Pada Anak-anak Pengobatan
Usia
Aturan Pakai
Obat Topikal salep
Anak > 2 bulan
Retamapulin 1% salep (Altabax)
Anak > 9 bulan
Mupirosin 2% (Bactroban)
Gunakan pada lesi 2-3 kali sehari selama 7 sampai 10 hari Gunakan pada area yang terlibat 2 kali sehari selama 5 hari
Obat Sistemik
- 30 mg/kg/hari per oral setiap 12 jam selama 10 hari - Anak ≥ 3 bulan dan < - 30-90 mg/kg/hari per 40 kg oral setiap 8-12 jam selama 10 hari - Anak ≥ 40 kg - 250-500 mg per oral setiap 8 jam atau 875 mg setiap 12 jam selama 10 hari mg/kg/hari Cefuroxim (Ceftin, - Bayi dan Anak 3 bulan - 30 sampain 12 tahun (maksimal 1 g/hari) Zinacef) setiap 12 jam selama 10 hari (suspensi) - Anak ≤ 12 tahun - 250 mg setiap 12 jam selama 10 hari (tablet) - Remaja - 250-500 mg setiap 12 jam selama 10 hari (tablet) - Anak ≥ 1 tahun 25-100mg/kg/hari Cefalexin (Keflex) dalam dosis terbagi setiap 6-8 jam selama 10 hari, maks 4 g/hari Amoxicilin-Asam klavulanat (Augmentin)
- Bayi < 3 bulan
Dikloksasilin
- Neonatus - Anak < 40 kg
- Anak ≥ 40 kg Eritromisin (E.E.S 400, E.E.S. Granul, Ery-tab, Eryped 200, Eryped 400, Erythrocin Stearate)
Berdasarkan berat badan
- Tidak direkmendasikan - 12.5-100 mg/kg/hari dibagi setiap 6 jam selama 5-7 hari - 125-250 mf setiap 6 jam selama 5 sampai 7 hari - Eritromisin base: 3050 mg/kg/hari dalam 2-4 dosis terbagi selama 5 sampai 7 hari; maksimal 2 gr/hari - Ertromisin etilsuksinat: 30-50 mg/kg/hari dalam 2-4 dosis terbagi selama 5 sampai 7 hari; maksimal 3.2 gr/hari base - Eritromisin stearate: 30-50 mg/kg/hari dalam 2-4 dosis terbagi selama 5 sampai 7 hari; maksimal 2 gr/hari
Retapamulin menunjukkan aksinya dengan menghambat sintesis protein bakteri pada Unit ribosom 50S [14]. Menimbulkan risiko epistaksis, retapamulin tidak harus digunakan pada mukosa hidung [36]. Asam fusidat juga merupakan agen topikal yang banyak digunakan di seluruh dunia, tetapi tidak disetujui FDA di Amerika Serikat. Over-the-counter :
Tripel
antibiotik
(basitrasin-neomisin-polimiksin)
memiliki beberapa aktivitas terhadap organisme, tetapi mereka tidak efektif untuk pengobatan [37]. Basitrasin dan neomisin juga telah diketahui menyebabkan dermatitis kontak. Obat ini tidak dianjurkan untuk pengobatan impetigo.
ANTIBIOTIK SISTEMIK
Untuk lesi yang luas, dianjurkan bahwa pasien menggunakan antibiotik oral. Obat yang disukai untuk populasi anak termasuk berbagai jenis penisilin dan sefalosporin (Tabel 1); kedua kelas ini menghambat sintesis dinding sel bakteri. Dikloksasilin dan Cefaleksin digunakan pada bayi, anak-anak, dan remaja (Tabel 1). Jika dicurigai atau dikonfirmasi MRSA dengan tes kultur dan sensitivitas, antibiotik yang paling banyak digunakan adalah klindamisin, doksisiklin, atau trimetoprim-sulfametoksazol. Doksisiklin adalah tetrasiklin yang memberikan fungsinya dengan menghambat sintesis protein bakteri. Hal ini tidak dianjurkan pada anak-anak kurang dari 8 tahun karena dapat terjadi perubahan warna gigi. Pasien neonatus dengan bentuk impetigo bulosa dapat diobati dengan nafsilin, oksasilin, atau klindamisin. Eritromisin, suatu makrolida, merupakan obat pilihan untuk neonatus dengan impetigo non-bulosa (Tabel 1). Vankomisin intravena direkomendasikan untuk kasus MRSA [29]. Obat timikroba sistemik diindikasikan bila ada keterlibatan struktur jaringan dalam, demam, limfadenopati, faringitis, infeksi dekat rongga mulut, dan infeksi pada kulit kepala dan atau berbagai lesi [26]. KOMPLIKASI
Komplikasi jarang terjadi, tetapi penyebaran lokal dan sistemik dari infeksi dapat mengakibatkan selulitis, limfangitis, septikemia, psoriasis guttate, demam scarlet, dan postreptococcal glomerulonefritis (PSGN) [25]. PSGN merupakan salah satu komplikasi yang paling serius dan cenderung terjadi sebagai akibat dari impetigo streptokokus yang lebih sering dari infeksi tenggorokan oleh streptokokus [25,26,32]. PSGN dapat terjadi pada sampai dengan 5% dari pasien dengan impetigo non-bulosa dan cenderung untuk terjadi sekitar 2 minggu setelah infeksi [24,29]. Gejalanya dapat berupa pembengkakan di wajah, terutama di sekitar mata, oliguria, hematuria, dan peningkatan tekanan darah. Sebagian besar pasien cenderung sembuh tanpa kerusakan ginjal permanen, tetapi PSGN dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis [29]. Saat ini tidak ada data yang
menunjukkan bahwa mengobati impetigo memiliki efek mencegah perkembangan PSGN akut [23-26,29]; Namun, pengobatan tidak mengurangi penyebaran strain nefritogenik pada populasi manusia [23,25,26]. PROGNOSIS
Impetigo biasanya sembuh dalam 2-3 minggu, bahkan tanpa pengobatan. Dalam uji coba secara acak, menunjukkan bahwa pada plasebo sekitar 13% hingga 52% mengalami resolusi spontan dalam waktu 7 sampai 10 hari [14]. Namun, tingkat kesembuhan yang lebih tinggi terlihat dengan penggunaan obat dan mengurangi resiko penyebaran infeksi [25,38]. PENCEGAHAN
Kebersihan yang tepat sangat penting dalam pencegahan impetigo; mencuci tangan dengan air hangat dan sabun antibakteri dan mandi secara teratur akan membantu mengurangi kemungkinan infeksi. Kuku harus selalu dipotong dan untuk menghindari auto-inokulasi saat menggaruk luka. Pasien yang terinfeksi dengan impetigo harus menggunakan handuk bersih dan mencuci pakaian setiap kali setelah digunakan [29]. Anak-anak dapat kembali ke sekolah 24 jam setelah mulai pengobatan dengan regimen antibiotik yang efektif, dan drainase lesi harus terus terttutup [39]. Untuk membatasi kontaminasi bakteri, orang tua atau wali harus mencuci mainan anak-anak dan menggunakan tisu desinfektan di permukaan benda yang keras. Juga, orang tua harus menindaklanjuti dengan dokter perawatan primer jika mereka melihat bahwa lesi terus menyebar, luka yang tidak kunjung sembuh, atau anak mengalami gejalagejala sistemik [29]. DISKUSI DAN KESIMPULAN
Impetigo merupakan infeksi bakteri yang sangat menular yang terutama melibatkan anak-anak antara usia 2 sampai 5 tahun; Namun, orang-orang dari semua usia dapat terinfeksi. Impetigo terutama disebabkan oleh Staphylococcus aureus,
dan Streptococcus pyogenes (GABHS). Diagnosis umumnya dilakukan
melalui pengamatan visual dari manifestasi klinis; kultur dapat dilakukan untuk menyesuaikan pengobatan. Infeksi yang terbatas diobati dengan antibiotik topikal seperti Mupirosin atau Retapamulin, sementara penyakit yang lebih luas diobati dengan antibiotik oral atau intravena. Meskipun jarang, dapat terjadi komplikasi; Namun, sebagian besar kasus impetigo sembuh sepenuhnya tanpa komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hay RJ, Johns NE, Williams HC, Bolliger IW, Dellavalle RP, Margolis DJ, et al. The Global Burden of Skin Disease in 2010: An Analysis of the Prevalence and Impact of skin conditions. J Clin Investig Dermatol. 2014; 134: 1527-1534. 2. Fish DN. Chapter 42. Skin and soft tissue infections. In: Wofford MR, Posey LM, Linn WD, O’Keefe ME, eds. Pharmacotherapy in Primary
Care. New York, NY: McGraw-Hill; 2009. 3. Mahé AH, Hay RJ. Epidemiology and Management of Common Skin Diseases in Children in Developing Countries. Geneva: World Health Organization; 2005. 4. Steer AC, Jenney AWJ, Kado JH, Batzloff MR, La Vincente S, Waqatakirewa L, et al. High Burden of Impetigo and Scabies in a Tropical Country. Lancet Infect Dis. 2009; 3. 5. RothRR, James WD. Microbial Ecology of the Skin. Anna Rev Microbial. 1988; 42: 441-464. 6. Bowen AC, Mahé AH, Hay RJ, Andrews RM, Steer AC, Tong SY, et al. The global epidemiology of impetigo: a systematic review of the population prevalence of impetigo and pyoderma. PLoS One. 2015; 10. 7. Carapetis JR, Steer AC, Mulholland EK, Weber MW. The Global Burden of Group A Streptococcal Diseases. Lancet Infect Dis. 2005; 5: 685-694. 8. Andrews RM, McCarthy JS, Carapetis JR, Currie BJ. Skin disorders, including pyoderma, scabies, and tinea infections. Pediatr Clin North Am. 2009; 56: 1421-1440. 9. Cogen AL, Nizet V, Gallo RL. Skin Microbiota: A Source of Disease or Defence? Br J Dermatol. 2008; 158: 442-455. 10. Human Microbiome Project Consortium Structure, function and diversity of the healthy human microbiome. Nature. 2012; 486: 207-214. 11. Costello EK, Lauber CL, Hamady M, Fierer N, Gordon JI, Knight R. Bacterial community variation in human body habitats across space and time. Science. 2009; 326: 1694-1697. 12. Hancock RE, Lehrer R. Cationic peptides: a new source of antibiotics. Trends Biotechnol. 1998; 16: 82-88. 13. McAdam AJ, Sharpe AH: Infectious diseases – bacterial infections. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, editors. Robbins & Cotran Pathologic Basis of Disease. Philadelphia: Elsevier Inc; 2005; 371-396. 14. Klaenhammer TR. Bacteriocins of lactic acid bacteria. Biochimie. 1988; 70: 337-349.
15. Riley MA. Molecular mechanisms of bacteriocin evolution. Annu Rev Genet. 1998; 32: 255-278. 16. Lai Y, Di Nardo A, Nakatsuji T, Leichtle A, Yang Y, Cogen AL, et al. Commensal bacteria regulate Toll- like receptor 3-dependent inflammation after skin injury. Nat Med. 2009; 15: 1377-1382. 17. Gould D. Skin flora: Implications for nursing. Nurs Stand. 2012; 26: 4856. 18. Granato PA. Pathogenic and Indigenous Microorganisms of Humans. In: Murray PR, Baron EJ, Jorgensen JH, et al., eds. Manual of Clinical Microbiology, 9th ed. Washington, DC: ASM Press 2007; 46-56. 19. Reichel M, Heisig P, Kampf G. Identification of Variables for Aerobic Bacterial Density at Clinically Relevant Skin Sites. J Hosp Infect. 2011; 78: 5-10. 20. Weidenmaier C, A Peschel. Teichoic Acids and Related Cell-Wall Glycopolymers in Gram-Positive Physiology and Host Interactions. Nat Rev Microbiol. 2008; 6: 276-287. 21. Sutcliffe IC, N Shaw. Atypical Lipoteichoic Acids of Gram-Positive Bacteria. J Bacteriol. 1991; 173: 7065-7069. 22. Darmstadt GL, Lane AT. Impetigo: an overview. Pediatr Dermatol. 1994; 11: 293-303. 23. Stevens DL, Bryant AE. Impetigo, Erysipelas and Cellulitis. 2016 Feb 10. In: Ferretti JJ, Stevens DL, Fischetti VA, editors. Streptococcus pyogenes: Basic Biology to Clinical Manifestations [Internet]. Oklahoma City (OK): University of Oklahoma Health Sciences Center; 2016. 24. Hartman-Adams H, Banvard C, Juckett G. Impetigo: diagnosis and treatment. Am Fam Physician. 2014; 90: 229-235. 25. Koning S, van der Sande R, Verhagen AP, van Suijlekom-Smit LW, Morris AD, Butler CC, et al. Interventions for impetigo. Cochrane Database Syst Rev. 2012; 1. 26. Pereira LB. Impetigo-review. An Bras Dermatol. 2014; 89: 293-299. 27. Zitás É, Mészáros J. The most common childhood skin diseases. Our Dermatol Online. 2016; 7: 213-218. 28. Amagai M, Matsuyoshi N, Wang ZH, Andl C, Stanley JR. Toxin in bullous impetigo and staphylococcal scalded-skin syndrome targets desmoglein-1. Nat Med. 2000; 6: 1275-1277. 29. Sahraoui S, Akiyode O. Impetigo in Children and Adolescents. US Pharm. 2013; 38: 68-71. 30. Davis S. Impetigo: a review with a focus on retapamulin. S Afr Pharm J. 2015; 82: 22-25.
31. Stevens DL, Bisno AL, Chambers HF, Dellinger EP, Goldstein EJ, Gorbach SL, et al. Practice guidelines for the diagnosis and management of skin and soft tissue infections: 2014 update by the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 2014; 59: 10-52. 32. Behesti M, Ghotbi Sh. Impetigo, a brief review. Shiraz E-Medical Journal. 2007; 8: 138-141. 33. Dagan R. Impetigo in childhood: changing epidemiology and new treatments. Pediatric Annals. 1993; 22: 235-240. 34. NHS. Health A-Z. Impetigo. Overview. 35. Fisher RG, Chain RL, Hair PS, Cunnion KM. Hypochlorite killing of community-acquired methicillin-resistant Staphylococcus aureus. Pediatr Infect Dis J. 2008; 27: 934-935. 36. Altabax (retapamulin) ointment. FDA Medwatch. September 2010. 37. Bass JW, Chan DS, Creamer KM, Thompson MW, Malone FJ, Becker TM, et al. Comparison of oral cephalexin, topical mupirocin and topical bacitracin for treatment of impetigo. Pediatr Infect Dis J. 1997; 16: 708710. 38. George A, Rubin G. A systematic review and meta-analysis of treatments for impetigo. Br J Gen Pract. 2003; 53: 480-487. 39. Baddour. Impetigo. Up to Date. 40. Impetigo Treatment & Management. Medscape.