FARMAKOTERAPI TERAPAN HIPERTENSI
Disusun Oleh: Iman Firmansyah 260112170068
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2017
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI .......................................................................................................
ii
DAFTAR TABEL ...............................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................
iv
BAB I
HIPERTENSI ...................................................................................
1
1.1
Definisi ....................................................................................
2
1.2
Patofisiologi ............................................................................
2
1.3
Manifestasi Klinik ...................................................................
3
1.3.1
Otak .............................................................................
4
1.3.2
Kardiovaskular ............................................................
4
1.3.3
Ginjal ...........................................................................
5
1.3.4
Retinopati ....................................................................
5
1.4
Diagnosis .................................................................................
5
1.5
Hasil Terapi yang Diinginkan .................................................
7
1.6
Penanganan .............................................................................
8
1.6.1
Terapi Non Farmakologi ............................................
9
1.6.2
Terapi Farmakologi ....................................................
9
Evaluasi Hasil Terapi ..............................................................
13
KASUS .............................................................................................
14
2.1
Penjabaran Kasus ....................................................................
14
2.2
Analisis Kasus .........................................................................
15
1.7 BAB II
2.3
2.2.1
Subjektif ...................................................................... 15
2.2.2
Objektif .......................................................................
15
2.2.3
Assesment ...................................................................
16
2.2.4
Plan .............................................................................
16
DRP .........................................................................................
16
ii
2.4
Monitoring ..............................................................................
17
2.4.1
Monitoring Tekanan Darah ........................................
17
2.4.2
Monitoring kerusakan target organ: jantung, ginjal, mata, otak ...................................................................
17
2.4.3
Monitoring interaksi obat dan efek samping obat ......
17
2.4.4
Monitoring kepatuhan/Medication Adherence dan konseling ke pasien ....................................................
18
Edukasi Pasien ........................................................................
19
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
20
2.5
iii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1
Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII .................................
1
Tabel 2
Derajat Keparahan Hipertensi .............................................................
6
Tabel 3
Rekomedasi obat antihipertensi dalam JNC 8 ....................................
11
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1
Algoritma Diagnosis Hipertensi ....................................................
7
Gambar 2
Bagan Alogaritma Penanganan Hipertensi Rekomedasi JNC 8 ....
12
v
BAB I HIPERTENSI 1.1
Definisi Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah arteri secara
persisten. WHO mengemukakan bahwa hipertensi terjadi apabila keadaan seseorang mempunyai tekanan sistolik sama dengan atau lebih tinggi dari 160 mmHg dan tekanan diastolik sama dengan atau lebih tinggi dari 90 mmHg secara konsisten dalam beberapa waktu (Dipiro et al, 2015; WHO, 2015). Menurut JNC-7 hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu kondisi ketika tekanan darah diastolik < 90 mmHg dan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau lebih (≥ 140/90 mmHg). Klasifikasi tekanan darah menurut JNC (Joint National Commitee) VII (Dipiro et al, 2015). Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII Klasifikasi
Sistolik (mm Hg)
Diastolik (mm Hg)
Normal
< 120
dan
< 80
Pre hipertensi
120-139
atau
80-89
Hipertensi tahap 1
140-159
atau
90-99
Hipertensi tahap 2
≥ 160
atau
≥ 100
(Dipiro et al, 2015). Hipertensi krisis (TD >180/120 mmHg) dapat dikategorikan sebagai keadaan darurat hipertensi (peningkatan tekanan darah secara ekstrim dengan kerusakan organ akut maupun progresif) atau urgensi hipertensi (peningkatan tekanan darah tanpa kerusakan organ akut maupun progresif) (Dipiro et al, 2015).
1
1.2
Patofisiologi Hipertensi adalah kelainan heterogen yang dapat terjadi akibat penyebab spesifik
(hipertensi sekunder) atau dari mekanisme patofisiologis yang tidak diketahui etiologinya (hipertensi primer atau esensial). Hipertensi sekunder terjadi kurang dari 10% kasus yang ada, dan sebagian besarnya disebabkan oleh penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular. Kondisi lain yang menyebabkan hipertensi sekunder meliputi pheochromocytoma, sindrom Cushing, hipertiroidisme, hiperparatiroidisme, aldosteronisme primer, kehamilan, apnea tidur obstruktif, dan koarktasio aorta. Beberapa obat yang dapat meningkatkan tekanan darah meliputi kortikosteroid, estrogen, obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), amfetamin, sibutramine, siklosporin, tacrolimus, eritropoietin, dan venlafaksina (Dipiro et al, 2015). Beberapa faktor yang berkontribusi pada pengembangan hipertensi primer, meliputi: a. Kelainan fisik yang melibatkan sistem renin-angiotensin-aldosteron, hormon natriuretik, atau hiperinsulinemia. b. Gangguan patologis pada SSP(Sistem Saraf Pusat), serabut saraf otonom, reseptor adrenergik, atau baroreseptor. c. Kelainan pada proses autoregulatory ginjal atau jaringan untuk ekskresi natrium, volume plasma, dan penyempitan arteriol. d. Kekurangan sintesis lokal zat vasodilatasi di endotel vaskular, seperti prostasiklin, bradikinin, dan oksida nitrat, atau peningkatan produksi zat vasokonstrikulasi seperti angiotensin II dan endotelin I. e. Asupan natrium yang tinggi dan peningkatan penghambatan hormon natriuretik beredar pada transportasi natrium intraselular, menghasilkan peningkatan reaktivitas vaskular dan kenaikan tekanan darah.
2
f. Peningkatan konsentrasi intraselular kalsium, menyebabkan fungsi otot polos vaskular yang berubah dan meningkatkan resistensi vaskular perifer. Penyebab utama kematian pada subjek hipertensi adalah kecelakaan serebrovaskular, kejadian kardiovaskular (CV), dan gagal ginjal. Probabilitas kematian dini berkorelasi dengan tingkat keparahan elevasi BP (Dipiro et al, 2015). 1.3
Manifestasi Klinis Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit jantung,
gagal jantung kongesif, stroke, gangguan penglihatan dan penyakit ginjal. Tekanan darah yang tinggi umumnya meningkatkan resiko terjadinya komplikasi tersebut. Hipertensi yang tidak diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnya memperpendek harapan hidup sebesar 10-20 tahun. Mortalitas pada pasien hipertensi lebih cepat apabila penyakitnya tidak terkontrol dan telah menimbulkan komplikasi ke beberapa organ vital. Sebab kematian yang sering terjadi adalah penyakit jantung dengan atau tanpa disertai stroke dan gagal ginjal (Nuraini,2015). Manifestasi klinis akibat hipertensi dapat muncul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa nyeri kepala saat terjaga yang kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat peningkatan tekanan darah intrakranium, penglihatan kabur akibat kerusakan retina, ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan saraf, nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi atau hemiplegia atau gangguan tajam penglihatan. Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang (Nuraini,2015). Komplikasi yang terjadi pada hipertensi ringan dan sedang mengenai mata, ginjal, jantung dan otak. Pada mata berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan
3
sampai dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan yang sering ditemukan pada hipertensi berat selain kelainan koroner dan miokard. Pada otak sering terjadi stroke dimana terjadi perdarahan yang disebabkan oleh pecahnya mikroaneurisma yang dapat mengakibakan kematian. Kelainan lain yang dapat terjadi adalah proses tromboemboli dan serangan iskemia otak sementara (Transient Ischemic Attack/TIA). Gagal ginjal sering dijumpai sebagai komplikasi hipertensi yang lama dan pada proses akut seperti pada hipertensi maligna (Nuraini,2015). 1.3.1 Otak Stroke merupakan kerusakan target organ pada otak yang diakibatkan oleh hipertensi. Stroke timbul karena perdarahan, tekanan intra kranial yang meninggi, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang mendarahi otak mengalami hipertropi atau penebalan, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya akan berkurang. Arteri-arteri di otak yang mengalami arterosklerosis melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma. Ensefalopati juga dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna atau hipertensi dengan onset cepat. Tekanan yang tinggi pada kelainan tersebut menyebabkan peningkatan tekanan kapiler, sehingga mendorong cairan masuk ke dalam ruang intertisium di seluruh susunan saraf pusat. Hal tersebut menyebabkan neuron-neuron di sekitarnya kolap dan terjadi koma bahkan kematian (Nuraini,2015). 1.3.2 Kardiovaskular Infark
miokard
dapat
terjadi
apabila
arteri
koroner
mengalami
arterosklerosis atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah yang melalui pembuluh darah tersebut, sehingga miokardium tidak mendapatkan suplai oksigen yang cukup. Kebutuhan oksigen miokardium yang tidak terpenuhi menyebabkan terjadinya iskemia jantung, yang pada akhirnya dapat menjadi infark (Nuraini,2015).
4
1.3.3 Ginjal Penyakit ginjal kronik dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal dan glomerolus. Kerusakan glomerulus akan mengakibatkan darah mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, sehingga nefron akan terganggu dan berlanjut menjadi hipoksia dan kematian ginjal. Kerusakan membran glomerulus juga akan menyebabkan protein keluar melalui urin sehingga sering dijumpai edema sebagai akibat dari tekanan osmotik koloid plasma yang berkurang. Hal tersebut terutama terjadi pada hipertensi kronik (Nuraini,2015). 1.3.4 Retinopati Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah pada retina. Makin tinggi tekanan darah dan makin lama hipertensi tersebut berlangsung, maka makin berat pula kerusakan yang dapat ditimbulkan. Kelainan lain pada retina yang terjadi akibat tekanan darah yang tinggi adalah iskemik optik neuropati atau kerusakan pada saraf mata akibat aliran darah yang buruk, oklusi arteri dan vena retina akibat penyumbatan aliran darah pada arteri dan vena retina. Penderita retinopati hipertensif pada awalnya tidak menunjukkan gejala, yang pada akhirnya dapat menjadi kebutaan pada stadium akhir (Nuraini,2015). Kerusakan yang lebih parah pada mata terjadi pada kondisi hipertensi maligna, di mana tekanan darah meningkat secara tiba-tiba. Manifestasi klinis akibat hipertensi maligna juga terjadi secara mendadak, antara lain nyeri kepala, double vision, dim vision, dan sudden vision loss (Nuraini,2015).
1.4
Diagnosis Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar
penentuan diagnosis hipertensi. Adapun pembagian derajat keparahan hipertensi pada seseorang merupakan salah satu dasar penentuan tatalaksana hipertensi berdasarkan A statement by the American Society of Hypertension and the International Society of Hypertension 2013
5
Tabel 2. Derajat Keparahan Hipertensi Klasifikasi
Sistolik
Diastolik
Optimal
<120
<80
Normal
120-129
80-84
Normal Tinggi
130-139
84-89
Hipertensi derajat 1
140-159
90-99
Hipertensi derajat 2
160-179
100-109
Hipertensi derajat 3
≥ 180
≥ 110
Hipertensi sistolik terisolasi
≥ 140
<90 (Weber MA et al, 2013)
Ada beberapa tahapan pemeriksaan yang harus dijalani sebelum menentukan terapi. Berikut ini merupakan algoritma diagnosis dari Canadian Education Program the Canadia Recommendation for The Management of Hypertension 2014
6
Gambar 1. Algoritma Diagnosis Hipertensi
Keterangan:
HBPM : Home Blood Pressure Monitoring ABPM : Ambulatory Blood Pressure Monitoring (Dasgupta et al, 2014)
1.5
Hasil Terapi yang Diinginkan Hasil terapi yang ingin dicapai pada pengobatan hipertensi adalah mengurangi
morbiditas dan mortalitas dengan cara intrusi terakhir yang mungkin. Tekanan darah yang diinginkan adalah <140/90 untuk uncomplicated hypertension; <130/85 untuk pasien dengan diabet melitus, gangguan fungsi ginjal, atau gagal jantung; <125/75
7
untuk mereka dengan penyakit renal parah dengan proteinuria >1 g/hari; dan <140 mmgHg (sistolik) untuk isolated systolic hypertension.
1.6
Penanganan
1.6.1 Terapi Non-Farmakologi Terapi non-farmakologi dilakukan pada penderita hipertensi dengan mengendalikan faktor resiko dan memperbaiki pola hidup. Menurut JNC 7 dan beberapa panduan lain modifikasi gaya hidup dapat dilakukan dengan cara: ❖ Menurunkan berat badan pada penderita obesitas. Penurunan berat badan dapat mengurangi tekanan darah sistolik 5-20 mmHg/penurunan 10kg. Rekomendasi ukuran pinggang >94 cm untuk pria dan <80 cm untuk wanita indeks massa tubuh <25 kg/m2. Rekomendasi penurunan berat badan meliputi pengurangan asupan kalori dan juga meningkatkan aktivitas fisik. ❖ Adopsi pola makan DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) dapat menurunkan tekanan darah sistolik 8-4 mmHg. Memperbanyak makan buah, sayur-sayuran, dan produk susu rendah lemak dengan kandungan lemak jenuh dan total lebih sedikit, kaya potassium dan calcium. ❖ Restriksi garam harian dapat menurunkan tekanan darah sistolik 2-8 mmHg. Konsumsi
sodium
chloride
≤6
g/hari
(100mmol
sodium/hari).
Rekomendasikan makan rendah garam sebagai bagian pola makan sehat. ❖ Aktivitas fisik dapat menurunkan dapat menurunkan tekana darah sistolik4-9 mmHg. Lakuka aktivitas fisik dengan intensitas sedang atau setiap hari pada 1 minggu (total harian dapat diakumulasikan, misalnya 3 sesi @ 10menit). ❖ Pembatasan konsumsi alkohol dapat menurunkan tekanan darah sitoli 2-4 mmHg.
8
❖ Berhenti
merokok untuk mengurangi
resiko kardiovaskuler secara
keseluruhan. Dengan memperbaiki gaya hidup biasanya cukup membantu untuk pasien prehipertensi, namun hal ini tidak akan cukup untuk pasien dengan pasien hipertensi yang disertai faktor resiko kardiovaskular atau adanya kerusakan organ terkait hipertensi (Wells et. Al., 2015). 1.6.2 Terapi Farmakologi Pelaksanaan terapi farmakologo biasa diberikan pada pasien hipertensi tingkat 1 seperti pemberian obat antihipertensi first-line atau dengan kombinasi dua obat. Obat first-line antihipertensi yaitu golongan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors, angiotensin II reseptor blokers (ARBs), calcium channel blocker (CCB), dan diuretic thiazid. Sedangkan terapi kombinasi obat direkomendasikan untuk pasien hipertensi tingkat 2, menggunakan kombinasi dari obat first-line. Sedangkan obat antihipertensi lainnya seperti α1-bloker, direct rennin inhibitor, central α2-agonis, antagonis peripheral adrenergic, dan direct arterial vasodilator merupakan alternative yang dapat digunakan kepada beberapa pasien setelah penggunaan obat first-line (Wells et. al., 2015). ❖ ACE inhibitor Cara kerja ACE inhibitor adalah memblok angiotensin I menjadi angiotensin II, yang merupakan vasokontriktor poten dan yang merangsang sekresi aldosteron. Selain itu, ACE inhibitor juga dapat memblok degradasi bradikinin dan menstimulasi sintesis dari substansi vasodilator lainnya, termasuk prostaglandin E dan prostasiklin (Wells et. al., 2015). Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah captopril. Efek samping yang mungkin timbul adalah batuk kering, pusing, sakit kepala, dan lemas (Dalimartha et. al., 2008). ❖ ARBs ARB bekerja dengan cara menghambat secara langsung reseptor angiotensinogen II tipe 1 (AT1) yang memediasi efek angiotensinogen II. ARB
9
tidak memblok reseptor angiotensinogen tipe 2 (AT2). Jadi efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan ARB. Efek samping ARB adalah insufisiensi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi ortostatik. Contoh obatnya adalah losartan dan valsartan (Wells et. al., 2015). ❖ Calcium Channel Blocker (CCB) CCB dapat menyebabkan relaksasi jantung dan melemaskan otot dengan cara memblok channel kalsium sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraselular ke dalam sel. Hal ini akan menyebabkan basodilatasi dan mengurangi tekanan darah. Contoh obat CCB adalah verapamil dan diltiazem. Verapamil dan diltiazem dapat menurunkan denyut jantung dan memperlambat konduksi nodal atriventrikular. Verapamil menghasilkan efek negatif inotropik dan kronotropik yang bertanggung jawab terhadap kecenderungannya untuk memperparah atau menyebabkan gagal jantung pada pasien resiko tinggi. Diltiazem juga mempunyai efek ini tetapi tidak sebesar verapamil (Wells et. al., 2015). ❖ Diuretik Obat golongan diuretik akan menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler dengan cara meningkatkan ekstresi natrium, air, dan klorida, dengan demikian tekanan darah akan menurun. Obat golongan diuretic juga dapat menurunkan resistensi perifer, sehingga menambah efek hipotensi. Contoh obat golongan diuretik adalah thiazid diuretik, loop, penahan kalium, dan antagonis aldosteron. Efek samping obat tersebut antara lain hipokalemia yang dapat mengakibatkan gejala lemas, hiperurisemia, lemah otot, muntah, dan pusing (Wells et. al., 2015; Dalimartha et. al., 2008). ❖ β-blockers β-blockers hanya dapat digunakan sebagai agen first-line untuk mengobati indikasi spesifik seperti infark miokard atau penyakit arteri koronari. Mekanisme kerjanya dapat menurunkan output jantung melalui kronotropik dan inotropik ke
10
jantung dan inhibisi pelepasan rennin dari ginjal. Contoh obatnya adalah atenolol, propanolol, dan bisoprolol (Wells et. al., 2015). Berikut merupakan tabel obat antihipertensi yang direkomedasikan dalam JNC 8 Tabel 3. Rekomedasi obat antihipertensi dalam JNC 8
Berikut merupakan Algoritme tatalaksana penangan hipertensi yang direkomendasikan dalam JNC 8
11
Gambar 2. Bagan Alogaritma Penanganan Hipertensi Rekomedasi JNC 8
12
1.7
Evaluasi Hasil Terapi Tujuan perawatan antihipertensi adalah untuk menjaga tekanan darah arterial di
bawah 140/90 mmHg untuk mencegah morbiditas dan mortalitas kardiovascular. Usaha untuk menurunkan tekanan darah sampai <140/80 mmHg untuk pasien diabetes dan <130/80 untuk pasien gangguan fungsi ginjal (Dipiro, et al., 2015). Tekanan darah harus dikontrol 2 sampai 4 minggu setelah terapi dilakukan. Setelah tekanan darah yang dicapai sesuai dengan yang diharapkan, kontrol tekanan darah dapat dilakukan 3 sampai 6 bulan, dengan asumsi tidak terdapat tanda dan gejala kerusakan organ target. Evaluasi yang lebih sering perlu dilakukan untuk pasien yang jarang melakukan kontrol, ketidakpatuhan, mengalami kerusakan organ target yang progresif, atau terdapat gejala efek samping obat (Dipiro, et al., 2015). Pasien harus terus dipantau terkait tanda dan gejala kerusakan organ target. Nyeri dada, jantung berdebar, pusing, dyspnea, ortopnea, sakit kepala, lemah, bicara cadel, dan kehilangan keseimbangan harus benar-benar diperhatikan untuk menilai adanya komplikasi. Selain itu perubahan fundus mata, hipertropi ventrikel kiri, proteinuria, dan perubahan fungsi ginjal juga harus dipantau (Dipiro, et al., 2015). Selain pemantauan tekanan darah dan gejala kerusakan organ target, efek samping obat juga harus diperhatikan. Pemantauan efek samping obat ini dilakukan 2 sampai 4 minggu setelah mulai terapi ataupun setelah mendapatkan dosis baru yang ditingkatkan, kemudian setiap 6 sampai 12 bulan pada pasien stabil. (Dipiro, et al., 2015). Pasien yang mengkonsumsi antagonis aldosteron harus dilihat kadar kalium dalam darahnya dan dinilai fungsi ginjalnya dalam waktu 3 hari dan 1 minggu setelah mulai terapi untuk mengetahui potensi hiperkalemia. Kepatuhan pasien disini juga harus diperhatikan, tanyakan pada pasien mengenai perubahan persepsi kesehatan mereka secara umum, fungsi fisik dan kepuasan secara menyeluruh mengenai penanganan yang diberikan (Dipiro, et al., 2015).
13
BAB II KASUS
2.1
Penjabaran Kasus Tn. MS adalah seorang pria Melayu berusia 58 tahun yang sebelumnya
didiagnosis menderita penyakit hipertensi, asam urat dan penyakit jantung iskemik. MS didiagnosis menderita hipertensi 6 tahun yang lalu saat ia mengalami episode sakit kepala. Dia didiagnosa menderita asam urat 5 tahun yang lalu ketika dia memiliki pembengkakan kaki kiri yang besar yang diatasi setelah beberapa pengobatan. Dia tidak menggunakan obat asam urat jangka panjang. MS didiagnosis menderita penyakit jantung iskemik pada bulan Maret 2010 saat ia mengalami nyeri dada untuk pertama kalinya. Sementara itu, ia telah mengalami serangan angina 2 sampai 3 kali setiap minggu sejak diagnosis awalnya selama 3 bulan terakhir, dia menggambarkan karakter rasa sakit itu seperti menjalar dari dada ke lehernya. Nyeri dada ini adalah yang paling parah sejak ia pertama kali didiagnosis menderita penyakit jantung iskemik. Rasa sakit itu disertai dengan keringat banyak, kelemahan tubuh yang tidak membaik walau telah istirahat. Namun, ia merasa lega setelah mengkonsumsi GTN sublingual. Meskipun demikian, dia mengalami nyeri dada lagi 30 menit kemudian. Dia mengambil GTN sublingual lagi tapi kali ini, rasa sakitnya tidak sembuh. Tuan MS tidak mengalami gejala seperti palpitasi, pusing, sakit kepala, mual, muntah, ortopnoea, dyspnoea nokturnal paroksismal, nyeri epigastrik, sesak napas, demam, dan tidak ada episode syncopal. Dia juga tidak mengalami kehilangan nafsu makan atau kehilangan berat badan. Kebiasaan buang air besar dan buang air kecil itu normal. Tidurnya belum terpengaruh sampai episode saat ini dimana dia terbangun karena sakit dada. Hasil uji klinis Tuan MS sebagai berikut : ❖ Tekanan darah pasien 158/94 mmHg ❖ Denyut nadi 94 beats per minute. Regular rhythm ❖ Respiratory Rate : 20 breaths per minute ❖ Suhu tubuh pasien 37°C
14
❖ SpO2 : 97% under room air Tuan MS adalah anak ke 3 dari 9 saudara kandung. Ayahnya menderita hipertensi dan telah meninggal dunia sejak lama karena penyebab yang tidak diketahui. Ibu dan saudara kandung lainnya sehat. Tak satu pun dari mereka memiliki hipertensi, diabetes, penyakit jantung iskemik atau keganasan. Pak MS tidak merokok atau mengkonsumsi alkohol. Pengobatannya saat ini meliputi: ❖ Tab Simvastatin 20mg OD ❖ Tab Metoprolol 75mg BD ❖ Tab Cardiprin 100mg OD ❖ Tab Isosorbide Dinitrate (ISDN) 5mg TDS ❖ Tab Amlodipine 10mg OD ❖ Sublingual Glyceryl Trinitrate (GTN) PRN Dia mematuhi rezim pengobatannya. MS tidak diketahui menderita diabetes atau hiperlipidemia. Dia juga tidak memiliki alergi makanan atau obat yang diketahui.
2.2
Analisis Kasus
2.2.1 Subjektif a. Tuan MS, usia 58 tahun. b. Keluhan nyeri dada, rasa sakit itu seperti menghancurkan dari dada dan menjalar hingga ke leher, serangan angina 2-3x seminggu selama 3 bulan terakhir. c. Ayahnya menderita hipertensi dan meninggal dunia sejak lama karena penyebab yang tidak diketahui. d. Pak MS tidak merokok atau mengkonsumsi alkohol.
2.2.2 Objektif a. Tekanan darah pasien 158/94 mmHg = Hipertensi b. Denyut nadi 94 denyut/menit. Normal
15
c. Respiratory Rate : 20 breaths per minute d. Suhu tubuh pasien 370C e. SpO2 : 97% (saturasi)
2.2.3 Assesment Pasien menderita hipertensi derajat 1 yang ditandai dengan tekanan darah 158/94 mmHg, pasien juga menderita asam urat yang ditandai dengan terjadinya pembengkakan di kaki yang besar serta mengalami penyakit jantung koroner akut dengan frekuensi serangan angina 2 sampai 3 kali setiap minggu yang ditandai dengan rasa nyeri pada dada hingga leher, disertai dengan banyaknya pengeluaran keringat. 2.2.4 Plan ❖ Tab Simvastatin 20mg: Obat anti hiperkolesterolemia ❖ Tab Metoprolol 75mg :Obat hipertensi, angina pektoris ❖ Tab Cardiprin 100mg : Antikoagulan ❖ Tab Isosorbide Dinitrate (ISDN) 5mg : angina pektoris, mengurangi nyeri ❖ Tab Amlodipine 10mg: Obat hipertensi, angina pektoris ❖ Sublingual Glyceryl Trinitrate (GTN): angina pektoris ❖ Tab Telmisartan 40mg: Obat hipertensi 2.3
DRP
DRP yang terjadi pada kasus ini adalah Tn MS menerima banyak obat untuk penyakit jantung iskemiknya. Akan tetapi setelah menjalankan terapi, Tn MS masih sering mengalami serangan angina berulang kali. Disarankan untuk menambahkan trimetazidin ke dalam rejimen pengobatan Tn MS untuk mengurangi frekuensi serangan angina. Karena menurut penelitian, trimetazidin terbukti mengurangi serangan angina per minggu sebesar 40% terlepas dari apakah pemberian diberikan dalam terapi tunggal atau kombinasi, serta dalam penggunaannya dapat mengurangi penggunaan GTN. Selain itu, terapi obat telmisartan tidak perlu diberikan karena terapi menggunakan telmisartan ditujukan untuk pasien yang mengalami hipetensi ringan
16
yang tidak disertai serangan jantung. Penggunaan metoprolol dan amlodipine sudah cukup efektif untuk mengatasi hipertensi dan angina yang diderita pasien.
2.4
Monitoring Untuk mengukur efektivitas terapi, hal-hal berikut harus di monitor :
a. tekanan darah b. kerusakan target organ: jantung, ginjal, mata, otak c. interaksi obat dan efek samping d. kepatuhan (adherence) 2.4.1 Monitoring tekanan darah Meonitor tekanan darah di klinik tetap merupakan standar untuk pengobatan hipertensi. Respon terhadap tekanan darah harus di evaluasi 2 sampai 4 minggu setelah terapi dimulai atau setelah adanya perubahan terapi. Pada kebanyakan pasien target tekanan darah < 140/90 mmHg, dan pada pasien diabetes dan pasien dengan gagal ginjal kronik < 130/80 mmHg. 2.4.2 Monitoring kerusakan target organ: jantung, ginjal, mata, otak Pasien hipertensi harus di monitor secara berkala untuk melihat tanda-tanda dan gejala adanya penyakit target organ yang berlanjut. Sejarah sakit dada (atau tightness), palpitasi, pusing, dyspnea, orthopnea, sakit kepala, penglihatan tiba-tiba berubah, lemah sebelah, bicara terbata-bata, dan hilang keseimbangan harus diamati dengan seksama untuk menilai kemungkinan komplikasi kardiovaskular dan serebrovaskular. Parameter klinis lainnya yang harus di monitor untuk menilai penyakit target organ termasuk perubahan funduskopik, regresi LVH pada elektrokardiogram atau ekokardiogram, proteinuria, dan perubahan fungsi ginjal. 2.4.3 Monitoring interaksi obat dan efek samping obat Untuk melihat toksisitas dari terapi, efek samping dan interaksi obat harus di nilai secara teratur. Efek samping bisanya muncul 2 sampai 4 minggu setelah memulai obat baru atau setelah menaikkan dosis. Kejadian efek samping mungkin memerlukan penurunan dosis atau substitusi dengan obat antihipertensi yang lain. Monitoring yang
17
intensif diperlukan bila terlihat ada interaksi obat; misalnya apabila pasien mendapat diuretik tiazid atau loop dan pasien juga mendapat digoksin; yakinkan pasien juga dapat supplemen kalium atau ada obat-obat lain menahan kalium dan yakinkan kadar kalium diperiksa secara berkala. Monitoring tambahan mungkin diperlukan untuk penyakit lain yang menyertai bila ada (misalnya diabetes, dislipidemia, dan gout). 2.4.4 Monitoring kepatuhan/Medication Adherence dan konseling ke pasien Diperlukan usaha yang cukup besar untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi obat demi mencapai target tekanan darah yang dinginkan. Paling sedikit 50 % pasien yang diresepkan obat antihipertensi tidak meminumnya sesuai dengan yang di rekomendasikan. Satu studi menyatakan kalau pasien yang menghentikan terapi antihipertensinya lima kali lebih besar kemungkinan terkena stroke. Strategi yang paling efektif adalah dengan kombinasi beberapa strategi seperti edukasi, modifikasi sikap, dan sistem yang mendukung. Strategi konseling untuk meningkatkan adherence terapi obat antihipertensi adalah sebagai berikut : Nilai adherence pada setiap kunjungan ❖ Diskusikan dengan pasien motivasi dan pendapatnya ❖ Libatkan pasien dalam penanganan masalah kesehatannya ❖ Gunakan keahlian mendengarkan secara aktif sewaktu pasien menjelaskan masalahnya ❖ Bicarakan keluhan pasien tentang terapi ❖ Bantu pasien dengan cara tertentu untuk tidak lupa meminum obatnya ❖ Sederhanakan
regimen
obat
(seperti
mengurangi
frekuensi
minum,
produkmkombinasi) ❖ Minum obat disesuaikan dengan kebiasaan pasien sehari-hari ❖ Berikan informasi tentang keuntungan pengontrolan tekanan darah ❖ Beritahukan perkiraan efek samping obat yang mungkin terjadi ❖ Beritahukan
informasi
tertulis
mengenai
memungkinkan
18
hipertensi
dan
obatnya
bila
❖ Petimbangkan penggunaan alat pengukur tekanan darah di rumah supaya pasien dapat terlibat dalam penanganan hipertensinya ❖ Berikan pendidikan kepada keluarga pasien tentang penyakit dan regimen obatnya ❖ Libatkan keluarga dan kerabatnya tentang adherence minum obat dan terhadap gaya hidup sehat ❖ Yakinkan regimen obat dapat dijangkau biayanya oleh pasien ❖ Bila memungkinkan telepon pasien untuk meyakinkan pasien mengikuti rencana pengobatannya
2.5
Edukasi ke Pasien Beberapa topik penting untuk edukasi ke pasien tentang penanganan hipertensi:
❖ Pasien mengetahui target nilai tekanan darah yang dinginkan ❖ Pasien mengetahui nilai tekanan darahnya sendiri ❖ Sadar kalau tekanan darah tinggi sering tanpa gejala (asimptomatik) ❖ Konsekuensi yang serius dari tekanan darah yang tidak terkontrol ❖ Pentingnya kontrol teratur ❖ Peranan obat dalam mengontrol tekanan darah, bukan menyembuhkannya ❖ Pentingnya obat untuk mencegah outcome klinis yang tidak diinginkan ❖ Efek samping obat dan penanganannya ❖ Kombinasi terapi obat dan non-obat dalam mencapai pengontrolan tekanan darah ❖ Pentingnya peran terapi nonfarmakologi ❖ Obat-obat bebas yang harus dihindari (seperti obat-obat yang mengandung ginseng, nasal decongestan, dll) (DEPKES RI, 2006).
19
DAFTAR PUSTAKA
Appel LJ. Lifestyle modification as a means to prevent and treat high blood pressure. J Am Soc Nephrol.̾2003; 14 (7 Suppl 2): 99-102. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, et al. The seventh report of the Joint National Committee on prevention detection evaluation and treatment of high blood pressure: The JNC 7 report. JAMA.2003; 289(19):256071. Doi:10.1001/jama.289.192560. Dalimartha, S., Purnama, B. T., Sutarina, N., Mahendra, dan Darmawan, R. 2008. Care Your Self, Hipertensi. Depok : Penebar Plus. Dasgupta Kaberi, Quinn Robert R, Zarnke Kelly B, et al. 2014. The 2014 Canadian Hypertension Education Program Recommendations for Blood Pressure Measurement, Diagnosis, Assessment of Risk, Prevention, and Treatment of Hypertension. Canadian Journal of Cardiology. 30 (2014) 485e5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. PHARMACEUTICAL CARE UNTUK PENYAKIT HIPERTENSI. Tersedia onine di: http://binfar.kemkes.go.id/?wpdmact=process&did=MzI2LmhvdGxpbms= [Diakses pada tanggal 1 September 2017]. Dipiro, J.T., Dipiro,C.V., Wells, B.G., dan Schwinghammer, T.L. 2015. Pharmacotherapy Handbook. 9th edition. McGraw-Hill. United States. James PA, 0paril S, Carter BL, Cushman WC, Dennison-Himmelfarb C, Handler J et al. Evidence-based Guideline For the management of high blood pressure in adults: Report From the panel members appointed to the eighth Joint National Committee (JNC 8). JAMA 2014; 311(5): 507-20. Doi:10.1001/jama2013.284427. Nuraini, Bianti. 2015. Risk Factors of Hypertension. J Mayority. Volume 4 No. 5 Weber MA, Schiffrin EL, White WB, Mann S, Lindholm LH, Kenerson JG, et al. 2013. Clinical Practice Guidelines for the Maganement of Hypertension in the Community. A Statement by the American Society of Hypertension and the International Society of Hypertension. ASH paper. The Journal of Clinical Hypertension.
20
Writing group of the PREMIER collaborative research group. Effects of comprehensive lifestyle on blood pressure control: Main results of the PIMER clinical trial. JAMA 2003; 289(16): 2083-93. Doi: 10.1001/jama.289.16.2083. 1. WHO. 2015. Hypertension. Available online at: http//:www.who.int/ [Diakses 1 September 2017].
21