BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Medis
1. Definisi
Diabetes Melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan
ketiadaan absolut insulin atau penurunan relative insensitivitas sel
terhadap insulin (Corwin,2009, hal 624).
Diabetes Melitus adalah suatu penyakit heterogen yang didefinisikan
berdasarkan adanya hiperglikemia dengan kriteria diagnostic glukosa plasma
puasa > 126 mg/dL, gejala diabetes plus glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL,
atau kadar glukosa plasma >200 mg/dL setelah pemberian 75 g glukosa per
oral (uji toleransi glukosa oral) (F.Ganong,2010, hal 566).
Diabetes Melitus merupakan gangguan metabolic yang ditandai oleh
hiperglikemia (kenaikan kadar glukosa serum) akibat kurangnya hormon
insulin, menurunnya efek insulin atau keduanya (Kowalak,2011, hal 519).
2. Etiologi
1. Diabetes mellitus tipe 1 atau IDDM (Insulin Dependent Diabetes
Melitus)
Diabetes tipe ini disebabkan oleh destruksi autoimun sel-sel beta pulau
Langerhans. Individu yang memiliki kecenderungan penyakit ini tampaknya
menerima faktor pemicu dari lingkungan yang menginisiasi proses autoimun
antara lain infeksi virus seperti gondongan (mumps), rubella atau
sitomegalovirus (CMV) kronis. Pajanan terhadap obat atau toksin tertentu
juga diduga dapat memicu serangan autoimun ini (Corwin,2009, hal 625).
2. Diabetes Melitus Tipe 2/ NIDDM (Non-Insulin Dependent Diabetes
Melitus)
Kebanyakan individu diabetes tipe ini tampaknya berkaitan dengan
kegemukan. Selain itu, diperkirakan bahwa terdapat sifat genetik yang belum
terdeteksi dapat menyebabkan pankreas mengeluarkan insulin yang berbeda,
atau menyebabkan reseptor insulin atau perantara kedua tidak dapat berespon
secara adekuat terhadap insulin. Terdapat kemungkinan lain bahwa kaitan
rangkaian genetik yang dihubungkan dengan kegemukan dan rangsangan
berkepanjangan reseptor-reseptor insulin. Rangsangan berkepanjangan atas
resptor-reseptor tersebut dapat menyebabkan penurunan jumlah reseptor
insulin yang terdapat di sel tubuh. Penurunan ini disebut downground
mungkin pula bahwa individu yang menderita diabetes tipe 2 menghasilkan
antibodi insulin yang berkaitan dengan reseptor insulin, mengahambat akses
insulin ke reseptor, tetai tidak merangsang aktivitas pembawa karier.
Defisit hormone leptin, akibat kekurangan gen penghasil leptin atau tidak
berfungsi, mungkin bertanggungjawab untuk diabetes tipe 2. Tanpa gen
leptin, tubuh gagal berespon terhadap tanda kenyang, dan itulah mengapa
menjadi gemuk dan menyebabkan insensitivitas insulin (Corwin,2009, hal
627).
3. Klasifikasi
1. Diabetes Melitus Tipe 1/ IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
Kelompok penderita ini sangat tergantung pada suntikan insulin. Gejala
biasanya timbul pada masa anak-anak dan puncaknya pada usia akhir balik.
Begitu penyakitnya terdiagnosis, penderita langsung memerlukan suntikan
insulin karena pankreasnya sangat sedikit atau sama sekali tidak membentuk
insulin. Tipe
ini disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas sehingga terjadi kekurangan
insulin absolut. IDDM diderita oleh orang-orang dibawah umur 30 tahun, dan
gejalanya mulai tampak pada usia 10-13 tahun. Penyebab IDDM belum begitu
jelas, tetapi diduga kuat disebabkan oleh infeksi virus yang menimbulkan
autoimun yang berlebihan untuk menumpas virus. Akibatnya sel-sel pertahanan
tubuh tidak hanya membasmi virus, tetapi juga merusak sel-sel Langerhans
(Mahendra B,2008, hal 15).
2. Diabetes Melitus Tipe 2/ NIDDM (Non-Insulin Dependent Diabetes
Melitus)
Kelompok diabetes mellitus tipe 2 ini tidak tergantung pada insulin.
Kebanyakan timbul pada usia diatas 40 tahun. Pengobatannya diutamakan
dengan perencanaan menu makanan yang baik dan latihan jasmani secara
teratur. Pankreas relatif cukup menghasilkan insulin, tetapi insulin yang
ada bekerja kurang sempurna karena adanya resistensi insulin akibat
kegemukan. Pada pasien NIDDM yang tidak menderita kegemukan, insulin yang
dihasilkan memang kurang mencukupi untuk mempertahankan kadar glukosa darah
dalam batas normal. Diabetes tipe ini disebabkan oleh gangguan sekresi
insulin yang progresif karena resistensi insulin. NIDDM diduga disebabkan
oleh factor genetis dan dipicu oleh pola hidup yang tidak sehat, tapi
munculnya terlambat. Proses penuaan juga menjadi penyebab akibat penyusutan
sel-sel beta yang progresif sehingga sekresi insulin semakin berkurang dan
kepekaan reseptornya turut menurun (Mahendra B,2008, hal 16).
4. Patofisiologi
Pada diabetes didapatkan keadaan dimana jumlah insulin yang kurang
(pada DM tipe 1) atau pada kualitas insulinnya tidak baik/resistensi
insulin (pada DM tipe 2), meskipun insulin ada dan reseptor juga ada,
tetapi karena kelainan disalam sel itu sendiri pintu masuk sel tidak
terbuka hingga glukosa tidak dapat masuk ke sel untuk dimetabolisme menjadi
energi. Akibatnya glukosa tetap berada di luar sel, hingga glukosa dalam
darah meningkat (FKUI,2013, hal 13).
5. Manifestasi Klinis
1. Poliuria
Ginjal tidak dapat menyerap kembali glukosa yang berlebihan di dalam
darah. Glukosa ini akan menarik air keluar dari jaringan. Akibatnya, selain
kencing menjadi sering dan banyak juga akan merasa dehidrasi (Tandra,2008,
hal 25).
2. Polidipsia
Polidipsia atau banyak minum ini ditimbulkan karena rasa haus akibat
dehidrasi (Tandra,2008, hal 25).
3. Polifagia
Glukosuria timbul karena tubulus-tubulus renalis tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa. Akibat glukosa keluar bersama urine maka pasien akan
mengalami keseimbangan protein negative dan berat badan menurun serta
cenderung terjadi polifagi (Lyndon,2013, hal 72).
4. Berat badan turun
Penurunan berat badan disebabkan karena otot yang tidak mendapat cukup
glukosa untuk dimetabolisme menjadi energy, makan jaringan otot dan lemak
harus dipecah untuk memenuhi kebutuhan energi (Tandra,2008, hal 26).
5. Rasa lemah
Diakibatkan karena pada penderita diabetes gula bukan lagi sumber
energy karena glukosa tidak data diangkut kedalam sel untuk menjadi energi
(Tandra,2008, hal 26).
6. Mata kabur
Glukosa darah yang tinggi akan menarik pula cairan dari dalam lensa
mata sehingga lensa menjadi tipis. Mata pun juga mengalami kesulitan fokus
dan pengelihatan enjadi kabur (Tandra,2008, hal 26).
7. Luka yang sukar sembuh
1) Infeksi yang hebat, kuman atau jamur yang mudah tumbuh pada kondisi gula
darah yang tinggi (Tandra,2008, hal 26).
2) Kerusakan dinding pembuluh darah, alian darah yang tidak lancer pada
kapiler yang menghambat penyembuhan luka (Tandra,2008, hal 26).
3) Kerusakan saraf dan luka yang tidak terasa menyebabkan penderita
diabetes tidak perhatian pada lukanya dan membiarkannya semakin membusuk
(Tandra,2008, hal 26).
8. Rasa kesemutan
Kerusakan saraf yang disebabkan oleh glukosa yang tinggi merupakan
dinding pembuluh darah dan akan mngganggu nutrisi pada seraf. Karena yang
rusak adalah saraf sensoris, keluhan yang paling sering muncul adalah rasa
kesemutan atau tidak berasa, terutama pada kaki dan tangan (Tandra,2008,
hal 26).
9. Mudah terkena infeksi
Leukosit (sel darah putih) yang biasanya dipakai untuk melawan infeksi
tidak dapat berfungsi dengan baik jika konsentrasi glukosa darah tinggi.
Akibatnya tidak ada yang melawan infeksi pada penderita DM yang menyebabkan
mudah terkena infeksi (Tandra,2008, hal 26).
10. Gatal pada kemaluan
Infeksi jamur menyukai suasana glukosa tinggi. Vagina mudah teinfeksi
jamur, mengeluarkan cairan kental putih kekuningan, serta timbul rasa gatal
(Tandra,2008, hal 27).
6. Pemeriksaan Diagnostik
1. Tes glukosa darah kapiler
Tes finger-prick blood sugar screening atau gula darah stick dilakukan
untuk memeriksa glukosa darah puasa (70-110 mg/dl), 2 jam sesudah makan,
maupun yang sewaktu atau acak (< 140mg/dl) (Tandra,2008, hal 23).
2. Tes glukosa darah vena
Dilakukan untuk menilai kadar glukosa darah setelah puasa minimal 8 jam
dan glukosa darah 2 jam sesudah makan dengan tetap mengkonumsi obat dan
suntik insulin seperti biasa, sebagaimana diinstruksikan oleh dokter pada
control sebelumnya. Glukosa darah puasa memberi gambaran bagaimana glukosa
darah kemarin harinya, sedangkan yang 2 jam pp untuk melihat kira-kira
bagaimana hasil minum obat yang diberikan dan diet pada pagi itu
(Tandra,2008, hal 23).
3. Tes toleransi glukosa
Tes yang dilakukan saat tes glukosa darah kapiler atau vena tidak bisa
memastikan individu mengidap diabetes atau tidak dengan cara setelah 10 jam
puasa dilakukan cek glukosa darah, lalu individu mengkonsumsi 75 gram
glukosa dan 2 jam kemudian diperiksa lagi glukosa darahnya dengan hasil
normal < 140 mg/dl (Tandra,2008, hal 24).
4. Tes glukosa urine
Dilakukan untuk mendeteksi adanya glukosa dalam urine pada penderita DM
(Tandra,2008, hal 24).
5. Tes HbA1c (Glycated Hemoglobin atau Glycosylated Hemoglobin)
Glukosa darah yang tinggi akan diikat pada molekul hemoglobin (Hb)
dalam darah, dan akan bertahan dalam darah sesuai dengan usia hemoglobin,
yaitu 2-3 bulan. Makin tinggi glukosa darah, makin banyak molekul
hemoglobin yang berkaitan dengan gula. Tes ini dilakukan 2-3 bulan seklali
dan digunakan untuk memantau pengobatan diabetes, serta menilai
keberhasilan diet dan olahraga yang dilakukan (Tandra,2008, hal 24).
7. Komplikasi
1. Komplikasi akut pada diabetes mellitus meliputi;
1) Ketoasidosis Diabetik
Merupakan komplikasi pada diabetes tipe 1. Pada ketoasidosis diabetik,
kadar glukosa darah meningkat dengan cepat akibat glukogenesis dan
peningkatan penguraian lemak yang progresif. Terjadi poliuria dan
dehidrasi. Kadar keton juga meningkat (ketosis) akibat penggunaan asam
lemak yang hampir total untuk menghasilkan ATP. Keton keluar melalui
urine (ketonuria) dan menyebabkan bau nafas seperti buah. Pada ketosis,
pH turun di bawah 7,3. pH yang rendah menyebabkan asidosis metabolic dan
menstimulasi hiperventilasi, yang disebut pernapsan kussmaul, kerena
individu berusaha untuk mengurangi asidosis dengan mengeluarkan karbon
dioksida (asam volatin). Individu dengan ketoasidosis diabetic sering
mengalami mual dan nyeri abdomen. Dapat terjadi muntah, yang memperparah
dehidrasi ekstrasel dan intrasel. Kadar kalium total tubuh turun akibat
poliuria dan muntah berkepanjangan (Corwin,2009, hal 633).
2) Koma Nonketotik Hiperglikemia Hyperosmolar
Merupakan komplikasi pada diabetes tipe 2. Kondisi ini merupakan petunjuk
pemburukan drastis penyakit. Walaupun tidak rentan mengalami ketosis,
pengidap diabetes tipe 2 dapat mengalami hiperglikemia berat dengan kadar
glukosa darah lebih dari 300mg/per 100ml. Kadar hiperglikemia ini
menyebabkan osmolalitas plasma, yang dalam keadaan normal dikontrol ketat
pada rentang 275-295mOsml/ L, meningkat melebihi 310 mOsm/L. Situasi ini
mengakibatkan pengeluaran berliter-liter urine, rasa haus hebat, deficit
kalium yang parah, dan pada 15%-20% pasien, terjadi koma dan kematian
(Corwin,2009, hal 633).
3) Efek Somogyi
Merupakan komplikasi akut ynag ditandai penurunan unik kadar glukosa
kembali meningkat diikuti peningkatan rebound pada pagi harinya. Penyebab
hipoglikemia malam hari kemungkinan besar berkaitan dengan penyuntikan
insulin disore harinya. Hipoglikmia itu sendiri kemudian menyebabkan
peningkatan glukagon, katekolamin, kortisol dan hormone pertumbuhan.
Hormon ini menstimulasi glukoneogenesis sehingga pada pagi harinya
terjadi hiperglikemia (Corwin,2009, hal 634).
4) Fenomena Fajar (dawn phenomena)
Hiperglikemia pada pagi hari (antara jam 5 sampai 9 pagi) yang tampaknya
disebabkan oleh peningkatan sirkadian kadar glukosa di pagi hari.
Fenomena ini dapat dijumpai pada pengidap diabetes tipe 1atau diabetes
tipe 2, juga dapat terjadi penurunan sensitivitas terhadap insulin juga
terjadi pada pagi hari, baik sebagai variasi sirkadian normal maupun atau
sebagai respons terhadap hormon pertumbuhan atau kortisol (Corwin,2009,
hal 634).
5) Hipoglikemia
Hipoglikemia sering terjadi sewaktu olahraga atau puasa, yaitu keadaan
yang dalam keadaan normal ditandai oleh peningkatan ringan hormon-hormon
counterregulatoty dan penurunan kadar insulin. Kadar insulin yang rendah
pada keadaan-keadaan ini memudahkan mobilisasi substrat bahan bakar yang
diperantarai oleh hormon-hormon counterregulatory, yang menigkatkan
pengeluaran glukosa hati, dan menghambat pengeuaran glukosa dijaringan
peka insulin. Reson-respon ini normalnya akan meningkatkan kadar glukosa
darah. Namun pada pasien dengan diabetes keadaan-keadaan tersebut memicu
hipoglikemia akibat pemberian insulin eksogen dalam dosis yang tidak
sesuai atau akibat induksi insulin endogen (F.Ganong,2010, hal 575).
2. Komplikasi kronis pada diabetes mellitus
1) Penyakit Mikrovaskular
1) Retinopati
Retinopati diabetes disebabkan oleh penonjolan dinding kapiler yang
diperkirakan menyebabkan hilangnya perisit yang mengelilingi dan menopang
dinding kapiler sehingga permeabilitas vaskular meningkat. Lemak yang
bocor akibat permeabilitas berlebihan di dinding kapiler tampak sebagai
bercak-bercak kuning berkilap dengan batas tegas (eksudat keras) yang
membentuk cincin disekeliling daerah yang bocor. Munculnya eksudat keras
di daerah makula sering disertai oleh edema makula, kausa tersering
gangguan pengelihatan pada diabetes tipe 2. Seiring dengan bertambahnya
retinopati, muncul tanda-tanda iskemia akibat memburuknya retinopati
latar (stadium praproliferasi). Retinopati dapat berlanjut menjadi
stadium kedua yang lebih parah yang ditandai oleh proliferasi pembuluh
baru (retinopati proliferasi). Terdapat hipotesis bahwa iskemia retina
merangsang pengeluaran faktor-faktor pendorong pertumbuhan sehingga
terbentuk pembuluh baru. Namun, kepiler-kapiler baru ini abnormal, dan
traksi antara jaringan fibrovaskuler baru dan corpus vitreum dapat
menyebabkan perdarahan vitreosa atau ablasio retina, yaitu dua hal yang
berpotensi menyebabkan kebutaan (F.Ganong,2010, hal 580).
2) Nefropati
Nefropati diabetik disebabkan oleh gangguan fungsi glomerulus akibat
pengendapan material yang membran basal yang dapat menggrogoti pembuluh
glomerulus; arteri glomerulus aferen dan eferen yang dapat mengalami
sclerosis (F. Ganong,2010, hal 580).
2) Penyakit Makrovaskular
Frekuensi penyakit makrovaskuler meningkat aterosklerosis pada penderita
diabetes. Frekuensi hipertensi meningkat pada diabetes dan berkaitan
dengan peningkatan kandungan Na+ ekstrasel tubuh total, yang menyebabkan
ekspansi volume dan supresi renin. Pada DM tipe 1, hipertensi biasanya
terjadi setelah munculnya nefropati, saat insufisiensi ginjal mengganggu
kemampuan tubuh mensekresikan air dan zat terlarut. Pada DM tipe 2,
hipertensi sering sudah terjadi saat diagnosis ditegakkan pada orang-
orang dengan obesitas, resistensi insulin, dan berusia tua
(F.Ganong,2010, hal 581).
3) Penyakit Neuropati
1) Polineuropati simetris perifer
Demielinasi saraf perifer merupakan tanda utama polineuropati diabetik,
terutama mengenai saraf distal dan biasanya secara klinis bermanifestasi
sebagai penurunan sensasi sensorik simetris ekstremitas distal yang
didahului oleh kesemutan, baal dan parestesia. Gejala ini dimulai di
sebelah distal dan kemudian meluas ke proksimal, juga dapat terjadi
ditangan (F.Ganong,2010, hal 583).
2) Neuropati otonom
Neuropati otonom sering menyertai neuropati perifer simetris, pada DM
tipe 1, dan dapat mengenai seluruh aspek fungsi otonom, terutama yang
melibatkan sistem kardiovaskular yaitu terjadi takikardi yang menetap
pada saat istirahat dan hipotensi ortostik, sistem genitourinaria yaitu
terjadi impotensi (control parasimpatis vasodilatasi) pada pria dan
disfungsi seksual pada wanita, berkurangnya sensasi kandung kemih dan
kesulitan mengosongkan kandung kemih menyebabkan overflow incontinence
dan peningkatan resiko infeksi saluran kemih akibat sisa urine dan
gangguan sistem pencernaan yang terjadi gangguan motorik yang terjadi di
seluruh saluran cerna, yang menyebabkan tertundanya pengososngan
lambung, kostipasi atau diare (F.Ganong,2010, hal 583).
3) Mononeuropati
Atau mononeuropati kompleks yang timbulnya secara mendadak gangguan
motorik yang disertai nyeri disatu saraf kranial atau perifer tertentu
atau beberapa saraf (F.Ganong,2010, hal 584).
4) Ulkus kaki diabetik
Berhubungan dengan penurunan sensasi tekanan kulit dan getaran pada
ekstremitas yang terjadi pada pasien dengan DM (F,Ganong.2010, hal 584).
4) Infeksi
Pada diabetes yang tidak terkontrol, fungsi kemotaksis dan fagositosis
neutrophil terganggu. Imunitas selular juga mungkin abnormal. Selain itu,
kelainan vaskular dapat menghambat aliran darah, yang mencegah sel-sel
radang mencapai luka (mis., ulkus kaki) atau tempat-tempat infeksi lain.
Infeksi umum pada penderita DM seperti infeksi periodontal
(F.Ganong,2010, hal 584).
8. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan umum
Latihan/ olahraga dan kontrol diet, kontrol gula darah ketat untuk
mencegah terjadinya komplikasi, restriksi kalori sedang untuk menurunkan
berat badan serta mengatur kadar mencapai target glukosa, Hb A1C, lipid dan
tekanan darah (Kimberly,2011, hal 171).
2. Pengobatan
Pemberian terapi insulin (tipe 1 atau mungkin tipe 2), dan pemberian
antidiabetik oral (tipe 2) seperti metformin dll (Kimberly,2011, hal 171).
2. Konsep Asuhan Keperawatan
2.2.1 WOC(Web Of Cause)
Sumber: Ganong (2010, hal 572); Joyce black (2014, hal 622, 633, 677);
Doenges (2010, hal 410); Smeltzer (2010, hal 1236)
2. Pengkajian
1. Identitas
Usia : DM Tipe 1 Usia < 30 tahun. DM Tipe 2 Usia > 30 tahun
(Smeltzer,2010, hal 1198).
2. Keluhan Utama
Pada pasien biasanya datang dengan keluhan poliuria, polidipsi,
polifagia, turunnya berat badan, lemah sampai somnolen selama beberapa hari
sampai beberapa minggu (Wilison,2005, hal 1263).
3. Riwayat kesehatan
Lama klien menderita diabetes, bagaimana penanganannya, mendapat terapi
insulin jenis apa, keefektifan program terapi, apa saja yang dilakukan
klien untuk menanggulangi penyakitnya (Padila,2012, hal 6 ).
4. Riwayat kesehatan keluarga
Perlu dikaji apakah ada anggotaa keluarga yang juga menderita diabetes
mellitus, karena kelainan gen yang mengakibatkan tubuh tidak dapat
menghasilkan insulin dengan baik (Sukarmin,2008 hal, 96).
5. Psikososiospiritual
Kaji bagaimana persepsi pasien terhadap penyakitnya, dan bagaimana
penyakit tersebut mempengaruhi hidup klien, strategi koping yang dipakai
klien untuk mengatasi masalah pasien, pengetahuan klien tentang konsep dari
penyakit diabetes mellitus, efek keadaan metabolik yang tidak terkendali,
pengobatan yang meliputi efek samping. Serta kaji tentang ibadah spiritual
terhadap penyakitnya. (Baradero,2009, hal 117).
6. ADL
1) Nutrisi
Penderita diabetes mellitus mengeluhkan nafsu makan menurun, mual,
muntah, penurunan berat badan, rasa haus yang berlebihan, tidak mengikuti
diet yang ditentukan (Baradero,2009, hal 177).
2) Hygine Perseorangan
Pada pasien DM ditemukan penyakit periodental, dilakukan perawatan gigi
sehari-hari. Juga menjaga kulitnya selalu bersih dan kering khususnya
didaerah lipatan (lipatan paha, aksila, dan pada perempuan gemuk, dibawah
payudara) karena cenderung terjadi luka akibat gesekan dan infeksi jamur
(Smeltzer,2010, hal 1241).
3) Aktivitas/ istirahat
Pada pasien DM sering mengalami gangguan tidur, keletihan, lemah, sulit
bergerak/berjalan, kram otot, tonus otot menurun (Doenges,2010, hal 407).
4) Eliminasi
Pada pasien dengan diabetes terjadi perubahan pola berkemih, volume urine
yang berlebih, nokturia (Doenges,2010, hal 407).
7. Pemeriksaan fisik
1) Sistem pernafasan
Pernafasan kusmaul, sesak nafas, takipnea pada saat istirahat
(Doenges,2010, hal 408).
2) Sistem sirkulasi
Rasa kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki yang
penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan darah (Padila.2012, hal
6).
3) Sistem neurosensori
Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, gangguan
pengelihatan (Padila,2012, hal 7).
4) Sistem perkemihan
Perubahan pola berkemih, poliuria, yang dapat berkembang menjadi oliguria
dan anuria jika berat, nokturia (Doenges,2010, hal 407). Dapat ditemukan
rabas atau gatal pada vagina karena peningkatan kadar glukosa darah di
sekret dan urine.(Corwin,2008, Hal. 631)
5) Sistem pencernaan
Terjadi perut kembung, kehilangan nafsu makan, mual, muntah, tidak
mengikuti diet, bising usus berkurang atau hiperaktif (Doenges,2010, hal
407).
6) Sistem muskuloskeletal
Kelemahan otot, tonus otot menurun, kram otot (Doenges,2010, hal 407).
7) Sistem integument
Kulit kering, kemerahan, gatal, ulkus kulit (Doenges,2010, hal 407).
8. Diagnosa Keperawatan
1) Kekurangan volume cairan (Doenges,2010, hal 410).
2) Kelelahan (Doenges,2010, hal 415).
3) Ketidakstabilan kadar glukosa darah (Doenges,2010, hal 411).
4) Resiko infeksi (sepsis) (Doenges,2010, hal 413).
5) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
6) Kerusakan integritas kulit
3. Perencanaan Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan
1) Kemungkinan penyebab: kehilangan cairan secara nyata (diuresis osmotik)
(Herdman,2014, hal 177), diare, mual, muntah (Doenges,2010, hal 410).
2) Faktor yang berhubungan: peningkatan haluaran urine, kelemahan, haus,
kehilangan BB, kulit dan membrane mukosa kering, turgor kulit kurang,
hipotensi, takikardia, penurunan CRT (Doenges,2010, hal 410).
3) Kriteria hasil: (NOC-Fluid Balance) Tekanan darah (4-5), nadi (4-5),
keseimbangan intake dan output (4-5), turgor kulit (4-5), mukosa bibir
lembab (4-5), hematokrit (4-5), elektrolit serum (4-5) hipertensi
ortostatik (3-4), haus (3-4), berat badan stabil (4-5), mata cowong (4-
5), berat jenis urine (4-5) (Moorhead,2013, hal 236).
4) Intervensi
1) Jelaskan pada pasien timbulnya gejala pada pasien terkait dengan muntah
dan buang air yang berlebihan penyebab kekurangan volume cairan.
R/ mengeluaran urine yang berlebih karena peningkatan kadar glukosa
dalam darah.
2) Berikan asupan cairan oral minimal 1500-2500ml/hari, bila tanpa
kontraindikasi. (Sukarmin,2008, hal 115).
R/ mempertahankan komposisi cairan dalam tubuh, volume sirkulasi.
3) Lakukan pemasangan kateter urine.
R/ memberikan pengukuran yang akurat dan berkelanjutan pengeluaran urine
terutama jika terjadi neuropati yang menyebabkan neurogenik kandung
kemih dengan retensi urine dan inkontinensia overflow.
4) Timbang berat badan setiap hari.
R/ memberikan hasil pengkajian yang terbaik dari status cairan
yang sedang berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan
penganti.
5) Kolaborasi pemberian cairan isotonik (Ringer Laktat 0,9%).
R/ pemberian jenis dan jumlah cairan bergantung pada tingkat deficit dan
respon pasien.
6) Pantau nilai pengisian kapiler, turgor kulit, membrane mukosa.
R/ pengisian kapiler yang lambat sebagai indikasi penurunan cairan
dalam tubuh. Sedangkan penurunan turgor kulit sebagai indikasi penurunan
volume cairan pada sel.
7) Pantau masukan dan pengeluaran, catat berat jenis urine.
R/ memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti dan membaiknya
fungsi ginjal.
8) Observasi tanda-tanda vital dan adanya perubahan tekanan darah.
R/ penurunan volume cairan darah (hipovolemia) akibat diuresis osmotic
dapat dimanifestasikan oleh hipotensi, takikardi, nadi teraba lemah.
9) Memantau penelitian laboratorium, seperti HCT
R/ menilai tingkat hidrasi HCT sering meningkat karena hemokonsentration
terkait dengan diuresis osmotik.
10) Urea darah nitrogen (BUN), kreatinin (Cr)
R/ nilai tinggi mungkin mencerminkan kerusakan sel dari dehidrasi atau
sinyal timbulnya gagal ginjal.
11) Osmolalitas serum
R/ ditinggikan karena hiperglikemia dan dehidrasi.
12) Natrium
R/ mungkin dapat menurun, mencerminkan pergeseran cairan dari
kompartemen intraseluler seperti diuresis osmotik. Nilai natrium tinggi
mencerminkan kehilangan cairan parah dan dehidrasi atau reabsorpsi
natrium dalam menanggapi sekresi aldosteron
13) Kalium
R/ awalnya, hiperkalemia terjadi sebagai respons terhadap asidosis
metabolik, tetapi karena kalium ini hilang dalam urin, tingkat kalium
dalam tubuh tersebut habis. Sebagai insulin diganti dan asidosis
dikoreksi, defisit kalium serum menjadi jelas.
2. Kelelahan
1) Kemungkinan penyebab: malnutrisi (sel yang tidak mendapat asupan yang
adekuat karena gangguan pada insulin) (Herdman,2014, hal 223).
2) Kriteria hasil: konsentrasi (4-5), kadar glukosa darah (4-5), energi
pulih setelah istirahat (4-5), hematokrit (4-5), elektrolit serum (4-5),
kelelahan (4-5), letargi (4-5) (Moorhead,2013 hal 213).
3) Intervensi:
1) Diskusikan dengan pasien kebutuhan aktivitas, identifikasi kegiatan yang
menyebabkan kelelahan.
R/ pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan aktivitas
meskipun awalnya klien merasa terlalu lemah.
2) Diskusikan cara menghemat energi saat mandi dan sebagainya.
R/ penurunan pengeluaran enargi.
3) Tingkatkan partisipasi klien dalam ADL, sebagai toleransi.
R/ meningkatkan kepercayaan diri, harga diri dan tingkat toleransi.
4) Observasi nadi, pernafasan dan tekanan darah sebelum dan sesudah
beraktivitas.
R/ menunjukan tingkat toleransi fisiologis.
3. Ketidakstabilan kadar glukosa darah
1) Kemungkinan penyebab: ketidakefektifan penatalaksanaan pengobatan,
ketidakadekuatan pemantauan glukosa darah (Heardman,2014, hal 171),
perubahan status kesehatan fisik, hipermetabolik pelepasan hormone stress
seperti epineprin; korisol dan hormone pertumbuhan, proses infeksi
(Moorhead,2013, hal 411).
2) Kriteria hasil: kadar glukosa darah (4-5), glukosurine (4-5), ketonurine
(3-4) (Moorhead,2013, hal 99), berpartisipasi dalam program (4-5)
(Moorhead,2013, hal 486).
3) Intervensi:
1) Lakukan cek glukosa darah dengan fingerstick .
R/ memantau kadar gula darah.
2) Identifikasi program diet yang dijalani pasien.
R/ untuk mengidentifikasi program yang dijalani klien apakah terjadi
penyimpangan dari rencana terapi yang dapat memicu ketidakstabilan
glukosa dan hiperglikemia tak terkendali.
3) Identifikasi terapi insulin yang digunakan pasien meliputi lama kerja
insulin dan jenisnya.
R/ lama kerja dan jenis insulin ini mempengaruhi waktu efek dan waktu
potensi terjadinya ketidakstabilan glukosa darah.
4) Amati tanda-tanda hipoglikemia; kulit dingin dan lembab, takikardia dsb.
R/ setelah metabolisme karbohidrat, kadar glukosa darah akan turun, dan
insulin diberikan, mungkin hipoglikemia terjadi.
5) Kolaborasi pemantauan glukosa serum, aseton, pH, dan HCO3-
R/ glukosa darah akan turun perlahan dengan terapi insulin. Dengan dosis
insulin yang optimal, glukosa kemudian dapat masuk ke dalam sel dan
digunakan untuk menjadi energi. Ketika itu terjadi, kadar aseton menurun
dan asidosis dapat dikoreksi.
6) Kolaborasi pada ahli gizi untuk berkonsultasi memulai kembali asupan
oral.
R/ untuk menghindari hipoglikemia, saat terapi insulin.
7) Observasi bising usus dari sakit perut, kembung, mual atau muntah.
R/ hiperglikemia dan gangguan cairan dan eletrolit menurunkan motilitas
dan fungsi lambung dapat mengakibatkan gastroparesis dan rencana
tindakan yang akan dilakukan pada pasien. Catatan jangka panjang:
kesulitan dengan gastroparesis dan menurunnya motilitas usus
mengakibakan neuropati otonom saluran cerna dan memerlukan pengobatan
simtomatik
4. Resiko Infeksi (sepsis)
1) Faktor yang berhubungan: malnutrisi, obesitas, perubahan integritas
kulit (Heardman,2014 hal 379).
2) Kemungkinan penyebab: penurunan kerja leukosit karena hiperglikemia.
3) Kriteria hasil: tanda dan gejala infeksi (3-4), pentingnya sanitasi
tangan(4-5), tindakan untuk infeksi (4-5) (Moorhead,2013, hal 323).
4) Intervensi:
1) Pantau tanda-tanda infeksi.
R/ mengetahui infeksi sedini mungkin.
2) Ajarkan cuci tangan yang benar oleh staf pada klien
R/ meminimalkan resiko kontaminasi silang.
3) Pertahankan teknik aseptic untuk prodesur IV, pemberian obat, perawatan
luka dsb.
R/ glukosa yang tinggi dalam darah menciptakan media yang sangat baik
untuk pertumbuhan bakteri.
4) Berikan perawatan perineum. Ajarkan pasien wanita untuk membersihkan
genetalia dari depan kebelakang setelah eliminasi
R/ meminimalkan resiko ISK.
5) Amati kaki pasien dari adanya ulkus, kuku tumbuh kedalam yang
menginfeksi dsb.
R/ cidera kaki dan gangguan sirkulasi yang berhubungan dengan banyak
komplikasi pada penderita diabetes, termasuk selulitis dan amputasi.
6) Bantu pasien dalam hygine terutama kebersihan mulut.
R/ mengurangi risiko penyakit mulut dan gusi.
7) Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.
R/ pengobatan awal dapat membantu mencegah sepsis.
1. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
1) Kemungkinan penyebab: ketidakmampuan dalam menyerap makanan
(Herdman,2014 hal 161).
2) Kriteria hasil: mematuhi jadwal makan (4-5), mengerti peran diet dalam
mengatur glukosa darah (4-5) (Moorhead,2013, hal 307).
3) Intervensi:
1) Libatkan keluarga pasien dalam memantau waktu makan, jumlah dan jenis
makanan.
R/ meningkatkan partisipasi keluarga dan mengontrol masukan nutrisi.
2) Timbang berat badan pasien setiap hari.
R/ mengkaji indikasi terpenuhinya kebutuhan nutrisi dan menentukan
jumlah kalori yang harus dikonsumsi penderita DM.
3) Kolaborasi dengan ahli gizi dalam penentuan diet dan pola makan pasien
sesuai kadar glukosa darah.
R/ kebutuhan diet penderita harus disesuaikan dengan jumlah kalori
karena kalau tidak terkontrol akan beresiko hiperglikemia.
4) Kolaborasi dalam pemberian insulin secara teratur.
R/ insulin reguler memiliki awitan cepat dan karenanya dengan cepat pula
dapat membantu memindahkan ke dalam sel.
5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemeriksaan Hb dan albumin.
R/ Hb dan albumin dalam batas normal merupakan indikator kecukupan
nutrisi tubuh.
2. Kerusakan integritas kulit
1) Kemungkinan penyebab: hiperglikemia, neuropati, neuropati otonom,
defisit fungsi motorik (Guilanick,2007 hal 1058).
2) Kriteria hasil: eritema (4-5), hidrasi (4-5), integritas kulit (4-5),
nekrosis (4-5), indurasi (4-5), lesi (4-5), tekstur kulit (4-5)
(Moorhead,2013, hal 538).
3) Intervensi:
1) Pantau kondisi luka pada jaringan klien terutama kaki dan punggung
R/ mengidentifikasi tingkat metabolism jaringan dan tingkat
disintegritas. (Sukarmin,2008, hal 135). Rawat luka dengan tekniksteril
setiap kali mengganti balutan
R/ mencegah peningkatan mikroorganisme akibat kelainan metabolik
(Sukarmin,2008, hal 135).
2) Tutup luka dengan pembalut steril yang mempertahankan lingkungan yang
lembab pada luka. Jangan menutup jalur luka pada pasien dengan
immunocompromised
R/ menjaga permukaan luka tetap lembab, yang meningkatkan migrasi
seluler. Keadaan kering pada permukaan luka menghambat epitelisasi
sekunder untuk migrasi seluler (Carpenito,2010, hal 476).
3) Jangan berikan tekanan atau massase pada daerah luka
R/ tekanan adalah gaya ke bawah mengompresi pada daerah tertentu. Jika
tekanan terhadap jaringan lunak lebih besar dari tekanan darah
intracapillary (sekitar 32 mmHg), kapiler dapat tersumbat dan jaringan
bias rusak akibat hipoksia (Carpenito, 2010, hal 475).
4) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk memberikan gizi yang sesuai untuk
penyembuhan luka
R/ penyembuhan luka membutuhkan peningkatan protein-karbohidrat asupan
untuk mencegah penurunan berat badan dan meningkatkan asupan vitamin dan
mineral.
5) Observasi tanda klinis dari infeksi luka
R/ mengidentifikasi tanda-tanda infeksi pada luka.
4. Pelaksanaan
Pelaksanaan atau impementasi adalah tahap dimana perawat
mengaplikasikan intervensi yang telah dibuat untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Intervensi keerawatan berlangsung selama tiga tahap
pertama merupakan fase persiapan yang mencakup pengetahuan tentang validasi
rencana, implementasi rencana, persiapan klien dan keluarga. Fase kedua
merupakan puncak implementasi keperawatan yang berorientasi pada tujuan.
Fase ketiga merupakan terminasi perawat dank lien setelah implementasi
keperawatan selesai dilakukan. Implementasi keperawatan dibedakan menjadi
tiga kategori yaitu independent, interdependent, dan dependent
(Asmadi,2008, hal 177).
1 Independent
Merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dari
dokter atau tenaga kesehatan lainnya (Asmadi,2008, hal 178).
3 Interdependent
Suatu kegiatan yang memerlukan kerja sama dari tenaga medis lainnya
(kolaborasi) missal dengan ahli gizi, fisioterapis dll (Asmadi,2008, hal
178).
2.2.5.3Dependent
Berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan medis atau instruksi
dari tenaga medis (Asmadi,2008, hal 178).
5. Evaluasi
Evaluasi adalah suatu proses yng terencana dan sistematis dalam
mengumpulkan, mengorganisasi, menganalisis dan membandingkan status
kesehatan klien dengan kriteria hasil yang diinginkan, serta menilai
derajat pencapaian hasil klien. Evaluasi adalah suatu proses terus-menerus,
berkelanjutan, dan terencana yang melibatkan klien, keluarga, perawat, dan
anggota tim kesehatan lain. Pengetahuan mengenai kesehatan, patofisiologi,
strategi rencana keperawatan, dan metode evaluasi dibutuhkan agar evaluasi
efektif (Christensen,2009, hal 345).
Jika hasil evaluasi menunjukan tercapainnya tujuan dan kriteria hasil
klien bias keluar dari siklus proses keperawatan. Namun jika klien akan
masuk kelbali kedalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang
(reassesment) secara umum evaluasi ditujukan untuk:
1) Melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan
2) Menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum
3) Mengkaji penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai
Evaluasi terbagi dalam 2 jenis yaitu evaluasi formatif dan evaluasi
sumatif. Evaluasi formatif berfokus pada proses keerawatan dan hasil
tindakan keperawatan. Evaluasi formatif dilakukan segera setelah perawat
mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai keefektifan
keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini
terdiri dari empat komponen yaitu dengan istilah SOAP yakni subyetif (data
berupa keluhan pasien), obyektif (hasil pemeriksaan), analisa data
(perbandingan dengan teori) dan perencanaan. Evluasi sumatif merupakan
evaluasi yang dilakukan setelah semua aktivitas proses keperawatan selesai
dilakukan. Evaluasi sumatif ini bertujuan menilai dan memonitor kualitas
asuhan keperawatan yang telah diberikan metode yang digunakan pada evaluasi
jenis ini adalah melakukan wawancara diakhir layanan menanyakan respon
klien dan keluarga terkait layanan keperawatan mengadakan pertemuan pada
akhir layanan (Asmadi,2008, hal.178). Ada tiga kemungkinan hasil evaluasi
yang terkait dengan pencapaian tujuan keperawatan :
1) Tujuan tercapai jika klien menunjukan perubahan sesuai dengan standar
yang telah ditentukan (Asmadi,2008, hal 178).
2) Tujuan tercapai sebagian jika klien masih daam proses pencapaian tujuan
jika klien menunjukan perubahan pada sebagian kriteria yang telah
ditetapkan (Asmadi,2008 hal 178).
3) Tujuan tidak tercapai jika klien hanya menunjukan sedikit perubahan atau
tidak sama sekali ada perubahan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan
serta dapat timbul masalah baru (Asmadi,2008, hal 178).
2.2.7 Kerangka konseptual
-----------------------
Diabetes Melitus
Produksi glukosa berlebih dalam hati
dan Glukosa makanan tetap dalam darah
Hiperglikemia
Sistem Pencernaan
Sistem Muskuloskeletal
Penurunan kadar
glukosa darah
Sistem Perkemihan
Sistem Neurologi
Sistem Sirkulasi
Defisiensi insulin
Defisiensi insulin
Defisiensi insulin
Defisiensi insulin
Defisiensi insulin
KETIDAKSTABILAN
GLUKOSA DARAH
Hipoglikemia
Lemah,pusing,
diaphoresis,
pucat,takikardia,
tremor,dan perubahan mental
Sel otak tdk memperoleh cukup bahan bakar
NUTRISTRISI KURANG
DARI KEB. TUBUH
Nyeri abdomen, mual muntah
Terganggunya proses
glikogenesis dan
glukoneogenesis
Hiperglikemia
Terjadi pemecahan
lemak menyebabkan
benda keton me
Ketidakseimbangan
elektrolit dan asam-basa
Pemecahan protein
menjadi asam amino
otot dan jaringan
Sel menjadi kehilangan
fosfat dan magnesium
KEKURANGAN
VOLUME CAIRAN
Diuresis Osmotik
Kehilangan Na, K dan air
Dehidrasi, Rasa haus
Transport max
diekskresikan dlm urine
Hiperosmolalitas
Penimbunan glukosa
RESIKO KERUSAKAN
INTEGRITAS KULIT
Neuropati
Penimbunan sorbitol,
fruktosa dan me nya
mioinositol dijar saraf
RESIKO
INFEKSI
Hiperosmolalitas
menyebabkan fungsi limfosit terganggu
Sel tidak dapat
mengambil glukosa
KELELAHAN
Data :
Kehilangan BB, sering kencing, sering mengantuk, lemah akibat kehilangan
kalori yang berlebihan.
Pemeriksaan fisik:
Takikardia, kesemutan, poliuria, nokturia, bising usus
berkurang/hiperaktif, perut hipertimpani, kelemahan otot, tonus otot
menurun,kram otot.
Pelaksanaan tindakan; independen, dependen,interdependen
Rencana tindakan
Evaluasi; Formatif, Sumatif
Masalah Keperawatan :
1) Resiko kekurangan volume cairan
2) Kelelahan
3) Ketidakstabilan kadar glukosa darah
4) Resiko infeksi
5) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
6) Kerusakan integritas kulit
Masalah tidak teratasi
Reassesment
Masalah
teratasi
Masalah teratasi sebagian