1
BAB I PENDAHULUAN
A. Lata Latarr Bela Belaka kang ng Masa Masala lah h Apa bentuk bentuk Pemeri Pemerinta ntah h Daerah Daerah yang yang tepat tepat merupa merupakan kan tema tema yang yang munc muncul ul berk berkal ali-k i-kali ali dala dalam m kehi kehidu dupa pan n poli politi tik k Nega Negara ra-ne -nega gara ra di duni duniaa umumnya, dan demikian pula yang terjadi di Indonesia tentang hal hubungan antara antara Pemeri Pemerinta ntah h Pusat Pusat dengan dengan Daerah Daerah,, terutama terutama hubung hubungan an keuang keuangan. an. Dalam zaman penjajahan pola atau bentuk administrasi sangat terpusat dan sedikit sekali ada pikiran untuk mendorong perkembangan daerah. Tetapi pada pada tahun tahun 1920-a 1920-an n ada upaya upaya mengam mengambil bil langka langkah h Desent Desentrali ralisas sasii untuk untuk membentuk membentuk Lembaga-lemb Lembaga-lembaga aga Perwakilan Perwakilan di beberapa beberapa Propinsi, Propinsi, Kabupaten Kabupaten dan Kota tertentu (Legge, 1961,halm.6). Tujuan utamanya adalah sama agar memp memper erlan lancar car admi admini nist stra rasi si dan dan memb membuk ukaa pelu peluan ang g bagi bagi daera daerah h untu untuk k mengemukakan keinginannya. Undang-undang tentang Pemerintah Daerah pertama kali dibuat pada tahun tahun 1948, 1948, yang yang meleta meletakka kkan n sendi sendi pola pola pemerin pemerintah tahan an yang yang sekara sekarang ng ini dengan dengan meletak meletakkan kan sebagi sebagian an besar besar berdas berdasark arkan an pada pada pembag pembagian ian wilaya wilayah h administrasi Belanda dan banyak menggunakan pendekatan terpusat. Karena tutuntan dari daerah sangat kuat khususnya pulau diluar pulau jawa untuk memisahkan diri, maka UU diubah kembali pada tahun 1957 No. 32 yang memb memberi erika kan n kada kadarr oton otonom omii yang yang lebi lebih h besa besarr pada pada daera daerah h (leg (legge ge,, 1961 1961,, halm.53) namun UU ini tidak berlangsung lama karena Presiden Soekarno memperkenalkan “Demokrasi Terpimpin” tahun 1959.
2
Pemerintah Orde Lama, dalam mengahadapi masalah-masalah daerah dan Pemerintah Daerah cenderung menanti krisis dan sering mengubah UU. Setelah berdirinya Orde Baru tahun 1966 membuka peluang untuk memulai awal awal yang yang baru baru dan membuk membukaa masa masa hubung hubungan an yang yang relativ relativee stabil stabil antara antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-undang baru yang mengatur tentang Pemerintah Daerah disahkan pada tahun 1974 No. 5, yang merupakan langkah penting dalam usaha membentuk sistem yang jelas dan meyeluruh mengenai hubungan pusat dan daerah dan mengenai pemerintah daerah ((MacAndrews, 1986, hlm. 13). Dengan lebih menekankan pada pengertian “Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggun bertanggungjawab gjawab”” dan meletakkan tekanan dalam hubungan hubungan dengan dengan penyed penyediaa iaan n jasa jasa masyar masyaraka akatt dengan dengan tegas tegas pada pada pemeri pemerinta ntah h daerah daerah tingkat dua. Selama masa Orde Baru, harapan yang besar dari Pemerintah Daerah untuk dapat membangun daerah berdasarkan kemampuan dan kehendak daerah sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan semakin jauh dari kenyataan. Yang Yang terjadi terjadi adalah adalah keterg ketergant antung ungan an fiskal fiskal dan subsid subsidii serta serta bantua bantuan n dari dari pemerintah pusat sebagai wujud ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma nasional dari paradigma paradigma pertumbuh pertumbuhan an menuju menuju paradigma paradigma pemerataan pemerataan pembangun pembangunan an secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui Kebijakan Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diatur dalam satu paket Undang-undang yaitu UU No. 32 tahun 2004 pengganti dari
3
UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 pengganti dari UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Sepert Sepertii halnya halnya di Negara Negara-neg -negara ara lainny lainnyaa di dunia, dunia, pemban pembangu gunan nan ekonomi di Indonesia merupakan salah satu bagian penting dari pembangunan nasional dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Wala Wa laup upun un buka bukan n
meru merupa paka kan n
suat suatu u
indi indika kato torr
yang yang domi domina nan, n, namu namun n
kesejahteraan masyarakat dari aspek ekonominya dapat diukur dengan tingkat pendapatan riil masyarakat perkapita. Artinya pembangunan ekonomi adalah suatu proses jangka panjang yang meningkatkan pendapatan riil masyarakat secara bertahap dan berlangsung terus. Selain peningkatan produksi (output) dan pendapatan agregat, proses pembangunan ekonomi juga akan membawa deng dengan an send sendir irin inya ya suatu suatu peru peruba baha han n mend mendas asar ar dala dalam m stru strukt ktur ur ekon ekonom omii nasional. Pembin Pembincan cangan gan tentan tentang g Otonom Otonomii Daerah Daerah dimana dimanapun pun,, baik baik di pusat pusat maupun maupun di tingkat daerah masih bersifat sangat umum yaitu penyelengg penyelenggaraan araan pemerintah yang tidak sentralistik, tanpa keinginan lebih lanjut memahami apa implikasinya bagi penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Hal ini jelas karena diseba disebabka bkan n Pemeri Pemerinta ntah h Orde Orde Baru yang yang telah telah sukse suksess dengan dengan petumb petumbuha uhan n ekonomi tinggi laksana keajaiban ( miracle ), memang sebagian besar didukung ang anggara garan n
sub subsisd sisdii
dari ari
Peme Pemeri rint ntah ah
Pus Pusat. at.
Nam Namun
berb erbeda eda
deng engan
dilaksanakannya Otonomi Daerah subsidi dikurangi dan Pemerintah Daerah diharapkan dapat mencari pendapatan daerah sendiri dari sumber-sumber atau keunggulan komparatif di daerah daerah tersebut.
4
Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut Asas Desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Karena itu, Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, antara lain menyatakan bahwa Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undangundang. Dalam penjelasan pasal tersebut antara lain dikemukakan bahwa “oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat , maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungan yang bersifat staat juga. Daerah di Indonesia akan dibagi dalam Daerah Propinsi dan Daerah Propinsi akan dibagi lagi dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom ( streek en locale rechtgemeenschappen) atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang”. Di daerah ini akan ada Badan Perwakilan Daerah (BPD) dengan bersendi atas dasar permusyawaratan. Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan yang kuat dari penyelenggaran Otonomi Daerah dan lebih diperkuat lagi oleh Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia Ketetapan MPR-RI No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
5
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan Asas Desentralisasi dengan lebih menitik beratkan pada memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran-serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara maksimal. Namun Undang-undang ini telah direvisi menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan tujuan pemberian jaminan bagi rakyat kebayakan untuk mendapatkan pelayanan langsung yang lebih baik ( better services ) dari Pemerintah Daerah (pasal 20; 1.g) dan upaya paksaan yang lebih keras akan terciptannya keadilan dan pemerataan atau biasa disebut justice and equality (pasal 22;d). Dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan dasar bagi pengelolaan Keuangan Daerah. Namun Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 juga di revisi kembali menjadi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 yang telah disahkan pada bulan Oktober 2004. Penyelenggaran
Pemerintahan
Daerah
sebagai
sub-sistem
Pemerintahan Negara yang mempunyai maksud untuk meningkatkan daya guna dan hasil
guna penyelenggaraan
pemerintahaan dan pelayanan
masyarakat atau publik. Sebagai Daerah Otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggungjawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan
prinsip-prinsip
keterbukaan,
partisipasi
masyarakat
dan
pertanggungjawaban kepada masyarakat. Untuk mendukung penyelengaraan Otonomi Daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab di Daerah secara
6
proporsional
yang
diwujudkan
dengan
Pengaturan,
Pembagian,
dan
Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Sumber pembiayaan Pemerintah Daerah dalam rangka perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah dilaksanakan atas dasar Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan Desentralisasi terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Penerimaan lainnya yang sah. Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber keuangan daerah yang digali dari dalam wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil Pajak Daerah, Restribusi Daerah, Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan dan Pendapatan Asli Daerah lainnya yang sah. Sumber dana perimbangan merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari bagian Daerah seperti Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Penerimaan dari Sumber Daya Alam serta Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana perimbangan ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain mengingat tujuan masing-masing jenis sumber tersebut saling mengisi dan melengkapi. Keuangan
daerah
merupakan
salah
satu
aspek
penting
dari
pembangunan ekonomi daerah, yang dibanyak daerah menjadi salah satu masalah yang serius. Pada dasarnya, bagaimana daerah tersebut dapat menciptakan sumber-sumber pendapatan daerah agar meningkat sehingga tidak bergantung dari Pemerintah Pusat seluruhnya dan juga bagaimana Pemerintah Daerah dapat mengurangi biaya-biaya pengeluaran yang tidak
7
produktif
dengan biaya tinggi yang pada akhirnya dapat mengabaikan
pelayanan terhadap pelayanan publik. Penyebab turunnya Kemandirian Keuangan Daerah adalah disamping menurunnya jumlah Pendapatan Asli Daerah, juga karena meningkatnya pengeluaran untuk kebutuhan belanja pemerintah dan belanja pembangunan. Jika kelancaran pelaksanaan otonomi daerah hanya dilihat dari kemampuan menarik pendapatan asli daerah maka prospeknya bagi Kabupaten tersebut adalah pesimistik. Dan turunnya Pendapatan Asli Daerah sangat amat erat hubungannya dengan terjdinya krisis ekonomi yang mengakibatkan kontraksi ekonomi. Namun jika kemandirian ekonomi dijadikan ukuran dan sekaligus tujuan, maka bertumbuh kembangnya ekonomi rakyat baik sektor industri, pertanian, maupun sektor hotel, restoran dan jasa maka prospek ekonomi daerah kedepannya akan sangat baik. Dalam
rangka
penyelenggaraan
Pemerintahaan
Negara
dan
Pembangunan Nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur, merata dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Selanjutnya dalam Pasal 18 UndangUndang Dasar 1945 berserta penjelasannya menyatakan bahwa Daerah Indonesia terbagi dalam daerah yang bersifat Otonom atau bersifat Daerah Administrasi. Karena pembangunan daerah merupakan bagian intergral dari Pembangunan Nasional yang dilaksanakan berdasarkan prinsip Otonomi Daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan
8
bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Mengingat pentingnya pengaruh tersebut maka dalam penulisan judul skripsi ini, penulis mencoba mengangkat masalah yang berjudul ”Analisis Keuangan Daerah Di Kabupaten Sleman Periode Tahun 1990 – 2003 (Perbandingan Era Sebelum Otda dan Pada Era Otda)”.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah maka terdapat beberapa masalah yang timbul, namun dalam penyusunan skripsi ini hanya akan membahas beberapa masalah yang berhubungan dengan judul skripsi yang telah dipilih. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Apakah ada perubahan yang mendasar tentang keuangan daerah
Kabupaten Sleman pada Era Otonomi Daerah, berdasarkan Derajat Desentralisasi, Potensi Keuangan, Rasio Aktivitas, Efektifitas dan Efesiensi PAD ? 2.
Bagaimana upaya Pemerintah Daerah agar keuangan daerah tetap
menjadi tumpuan bagi jalannya pemerintahan yang diukur melalui Rasio Kemandirian dan Pola Hubungannya ?
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah :
9
1.
Untuk mengetahui dan menganalisa tingkat perubahan
yang mendasar tentang Keuangan Daerah Kabupaten Sleman pada Era Otonomi Daerah, berdasarkan Derajat Desentralisasi, Potensi Keuangan, Rasio Aktivitas, Efektifitas dan Efesiensi PAD 2.
Untuk mengetahui dan menganalisa upaya Pemerintah
Daerah agar Keuangan Daerah tetap menjadi tumpuan bagi jalannya pemerintahan yang diukur melalui
Rasio Kemandirian dan Pola
Hubungannya.
C.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1.
Untuk Peneliti Merupakan suatu sarana untuk melatih menganalisa, mempelajari
dan menerapkan serta membuat perbandingan antara ilmu yang diperoleh dengan praktek secara langsung. 2.
Untuk Pemerintah Daerah Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dan
pertimbangan bagi Pemerintah Daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari berbagai sektor yang mempunyai potensi dalam rangka menunjang kelancaran pembangunan daerah dan kesejahteraan seluruh warga masyarakatnya dan dengan tujuan akhir untuk mencapai Kemandirian Keuangan Daerah. 3.
Untuk Akademisi
10
Sebagai tambahan wawasan atau literatur mengenai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan merupakan tambahan perbendaharaan perpustakaan untuk kepentingan ilmiah dan sebagai bahan informasi.
D.
Kerangka Pemikiran Jumlah Penduduk
PDRB
PAD Bantuan dan Sumbangan
Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
Derajat Desentralisasi
Struktur Penerimaan APBD
Rasio Keuangan Daerah Di Era Otonomi Daerah
Gambar 1.1: Kerangka Pemikiran
Dalam suatu penelitian untuk memecahkan masalah agar lebih mudah dan memperoleh kesimpulan yang pasti diperlukan suatu kerangka pemikiran yang sudah tersusun dan terarah dalam pemecahan masalah. Untuk membuat suatu perencanaan pembangunan ekonomi daerah diperlukan bermacam-macam data yang digunakan sebagai bahan analisis Dalam hal ini unsur-unsur penentu Perkembangan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) antara lain adalah Pendapatan Domestik Regional Bruto
11
dan
Data
Jumlah Penduduk.
Sedangkan
untuk
menghitung Derajat
Desentraliasi dan Struktur Penerimaan APBD antara lain dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, dan Bantuan dan Sumbangan. Sehingga Rasio Keuangan Daerah di Era Otonomi Daerah dapat disimpulkan bahwa, apakah Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman pada Era Otonomi Daerah telah Mandiri dari segi posisi Keuangan Daerah. Dihitung dari Derajat Desentralisasi dan Struktur Penerimaan APBD-nya. Apabila dari semua unsur tersebut telah diketahui maka diharapkan tujuan dan manfaat dari penelitian ini dapat tercapai.
E.
Hipotesis Hipotesis pada dasarnya merupakan suatu kesimpulan sementara tentang perilaku variabel-variabel dalam model yang digunakan, yang akan dibuktikan kebenarannya melalui syarat uji statistik. Berkenaan dengan hal itu maka hipotesis yang dirumuskan untuk penelitian ini adalah : 1. Diduga telah terjadi perubahan yang mendasar tentang Keuangan Daerah Kabupaten Slemen Sebelum dan pada Era Otonomi Daerah, berdasarkan Derajat Desentralisasi, Potensi Keuangan, Rasio Aktivitas, Efektifitas dan Efesiensi PAD. 2. Diduga Kabupaten Sleman telah bisa mandiri secara keuangan yang diukur melalui Rasio Kemandirian dan Pola Hubungannya.
12
F.
Metodelogi Penelitian 1. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini berbentuk survai atas data sekunder yang mengambil Lokasi penelitian ini adalah berlokasi di Kabupaten Sleman Propinsi D.I. Yogyakarta dengan menggunakan data-data yang telah dikumpulkan oleh suatu badan/instansi tertentu. Obyek penelitian ini meliputi data APBD Kabupaten Sleman dan semua penerimaan Pendapatan Asli Daerah yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman. Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun anggaran 1990 sampai dengan 2003 dan data Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan dan harga yang berlaku periode 1990 – 2003. 2. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian dilapangan merupakan salah satu tahapan untuk memperoleh data yang diperlukan yaitu dengan menggunakan beberapa metode, jenis dan macam data namun yang dipakai guna menganalisis data ini adalah jenis data Primer, Sekunder dan Observasi. a) Data Primer Yaitu data yang diperoleh dari interview, yang mempunyai pengertian sebagai teknik pengumpulan data dengan mengadakan wawancara secara langsung kepada bagian yang diberikan wewenang, serta pihak yang kegiatannya berhubungan dengan penelitian ini. Dikarenakan data yang dibutuhkan untuk penelitian ini tidak tertulis dalam suatu konsep, jadi untuk menunjang penelitian ini digunakan data primer
13
b) Data Sekunder Yaitu data yang diperoleh dari literatur dan buku-buku referensi yang berhubungan dengan masalah yang di teliti. Sumbersumber data yang akan diperoleh dari Studi Pustaka, Instansi pemerintah khususnya kantor Keuangan Pemerintah Daerah, Bappeda, BPS Kabupaten Sleman dan sumber lain dari buku-buku yang melandasi penelitian ini. Adapun data yang akan digunakan meliputi : (1). Data penjabaran Realisasi Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Sleman diperoleh dari perhitungan APBD Kabupaten Sleman (Badan Pengelolan Keuangan Daerah). (2). Data penjabaran Realisasi Pengeluaran Daerah Kabupaten Sleman diperoleh dari perhitungan APBD Kabupaten Sleman (Badan Pengelolan Keuangan Daerah). (3). Data gambaran umum Kabupaten Sleman diperoleh dari Sleman dalam angka (BPS). (4). Data Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Sleman diperoleh dari PDRB Kabupaten Sleman (Bappeda dan BPS Sleman). (5). Data Produk Domestik Regional Bruto Propinsi D.I. Yogyakarta diperoleh dari D.I.Y dalam angka (BPS Yogyakarta). c) Observasi Yaitu
melakukan
pengamatan secara langsung jalannya
pemerintahan untuk data yang diperlukan.
14
3. Definisi Operasional Variabel a) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah nilai dari seluruh produksi barang dan jasa yang dihasilkan dari seluruh produksi barang dan jasa yang dihasilkan dari berbagai aktivitas ekonomi dari dalam suatu daerah sendiri dalam kurun waktu satu tahun yang dihitung dalam satuan rupiah. b) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperolah dari sumber-sumber dalam wilayah sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sendiri sesuai dengan peraturan yang berlaku dihitung dalam satuan rupiah. c) Potensi Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan yang diterima oleh dinas pendapatan daerah untuk kebutuhan pembiayaan daerah dalam kurun waktu tertentu dan dihitung dalam satuan rupiah. d) Biaya
Pemungutan
Pendapatan
Asli
Daerah
merupakan
pengeluaran yang dikeluarkan oleh dinas pendapatan daerah untuk merealisasikan Pendapatan Asli Daerah, yang dihitung dalam satuan rupiah. e) APBD (Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah) adalah rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tentang APBD. f) Penerimaan Daerah pada dasarnya terdiri dari : Pendapatan Asli Daerah yang umumnya berasal dari Pajak dan Restribusi Daerah ; Dana Perimbangan yang berasal dari DAU (Dana Alokasi Umum) ; DAK (Dana Alokasi Khusus) dan Dana bagi hasil termasuk bagi hasil
15
SDA (Sumber Daya Alam), Pinjaman Daerah dan Penerimaan lain yang sah. g) Pengeluaran Daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang mengurangi kekayaan Pemerintah Daerah yang diukur dalam rupiah. h) Jumlah penduduk adalah seluruh orang yang berdomisili di suatu daerah selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap yang diukur dalam satuan jiwa. i) Kemandirian Keuangan Daerah (Otonomi Fiskal) menunjukan kamampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan distribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. (Abdul Halim,2004;150) j) Rasio Efektivitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan, dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah.(Abdul Halim,2004;152) k) Rasio Efesiensi merupakan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima.(Abdul Halim,2004;152) l) Rasio Aktivitas menggambarkan bagaimana Pemerintah Daerah memprioritaskan alokasi dananya pada biaya rutin dan belanja pembangunan secara optimal.(Abdul Halim,2004;153)
16
m) Kapasitas Fiskal adalah sejumlah pajak yang seharusnya mampu dikumpulkan dari dasar pajak (tax base), yang biasanya berupa pendapatan per kapita. (Suparmoko,1987:320)
4.
Metode Analisis Data Untuk kepentingan analisis dan interprestasi serta menjawab yang telah
dirumuskan
maka
analisis
data
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan analisis : a) Analisis Kualitatif Adalah metode analisis data yang tidak berwujud angka, analisis ini berdasarkan pendapat atau pikiran dan penyajiannya dalam bentuk keterangan-keterangan, penjelasan dan pembahasan secara tertulis. b) Analisis Kuantitatif Yaitu analisis yang berdasarkan perhitungan yang menjadi objek secara ilmiah yang berwujud dalam angka. (Nugroho B, 1995:155) 1). Hipotesis I Untuk menguji hipotesis yang pertama akan digunakan rumus : (i).
Derajat Desentarlisasi Fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah digunakan ukuran sebagai berikut (Sukanto reksohadiprojo,2001:155).
17
Pendapa
tan AsliDaerah
TotalPener
imaanDaera
h
x100 %......... .......... .......... .(1.1)
Bg .HslPajak TotalPener
& Bkn .Pajak (BHPHBP ) imaanDaera
h (TPD )
x100 %......... (1.2)
SumbanganB TotalPener
antuanDaer imaanDaera
ah (SBD ) h (TPD )
x100 %......... .......( 1.3)
TPD = PAD + BHPBP + SBD “Jika hasilnya tinggi, maka Derajat Desentralisasinya besar atau dengan kata lain bahwa Pemerintah Daerah itu mendiri”. (ii). Kebutuhan Fiskal ( Fiscal Need ) dengan menghitung Indeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) dengan formula sebagai berikut (Sukanto Reksohadiprodjo,2001;155);
SKbFP DIY =
SKbFK
Sleman
∑Pengeluara n DIY / ∑Penduduk ∑Kabupaten / Kota
=
PPP SKbFP
DIy
.......... .(1.4)
.......... .......... .......... .......... .........( 1.5) DIY
Keterangan : - SKbFP
DIY
: Rata-rata kebutuhan Fiskal Standart Se-
18
D.I Yogyakarta - SKbFP
Sleman
-
: Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman PPP
: Jumlah Pengeluaran Rutin dan
Pembangunan per Kapita masing-masing daerah atau pengeluaran aktual per kapita untuk jasa publik. “Jika hasilnya tinggi, maka kebutuhan akan fiskalnya rendah”. (iii). Kapasitas Fiskal ( Fiscal Capacity) dicari dengan formula (Sukanto Reksohadiprodjo,2001:156) o
SKaFP DIY =
∑PDRBhrgBla ku / ∑Penduduk ∑Kabupaten / Kota
KaFkK Sleman =
∑PDRBhrgBla
DIY
ku / ∑Penduduk
.......... ....(1.6)
Sleman
SKaFP DIY
.......( 1.7)
Keterangan : - SKaFP
DIY
: Rata-rata kapasitas Fiskal Standart se-DIY
- KaFkP
Sleman
: Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman
“Jika hasilnya tinggi, maka kapasitas fiskalnya tinggi”.
(iv). Upaya dan Posisi Fiskal (Tax Effort ) dihitung dengan mencari Koefisien Elastisitas PAD terhadap PDRB. Apabila semakin elastis PAD suatu daerah maka struktur PAD di
19
daerah tersebut makin baik dengan formula sebagai berikut (Abdul Halim,2001:105) Elastisita sPAD =
%Pertumbuha nPAD %Pertumbuha nPDRB
x100 %......... ........( 1.8)
(v). Matrik Potensial PAD (Pendapatan Asli Daerah) Untuk menilai Pajak/Restribusi dapat digunakan matrik klasifikasi
Potensi
Pajak/Restribusi.
(Dhinaryati
dalam
Wahana Kirana Jaya,1996;29-30)
Tabel 1.1 Matrik Potensi jenis Pajak atau Restribusi Proporsi
Y i Q
Pertumbuhan ∆Y i ∆Q ∆Y i ∆Q
Y i
≥1
Q
≤1
≥1
Prima
Berkembang
≤1
Potensial
Terbelakang
Sumber : Dhinaryati. (2002). Analisis Efektivitas dan Efesiensi Pendapatan Asli Daerah di Era Otonomi Daerah di Kota Surakarta Tahun 1998-2002, hal. 15.
Keterangan :
Y i
: Jenis Pajak/Restribusi
Q
: Nilai rata-rata jenis pajak/restribusi
Y ∆ i
:Total
penerimaan
suatu
pajak/restribusi Q ∆
:Total
tambahan
pajak/restribusi
penerimaan
suatu
20
(vi). Rasio Aktivitas (Keserasian) merupakan kesarasian antara Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan dapat diformulasikan sebagai berikut : (Abdul Halim,2004:153) o
RasioBljru tinAPBD =
totalBljRu tin TotalAPBD
x100 %......... ........( 1.9)
o
RasioBljPe mbg =
(vii).
Analisis
TotalPemba ngunan TotalAPBD
Efektivitas
dan
x100 %......... ...(1.10 )
Efesiensi
PAD,
Rasio
Efektivitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam
merealisasikan
Pendapatan
Asli
Daerah
yang
direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Sedangkan Rasio Efesiensi menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikerluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima.(Abdul Halim,2004:152) Efektivita
sPAD
EfesiensiP AD =
2) Hipotesis II
=
Re alisasiPAD T arg etPAD
x100 %.........
.......... .......... ....( 1.11 )
Bi . ygdikluark nU .memungutPA D Re alisasiPen erimaanPAD
x100 %......( 1.12 )
21
Untuk menguji hipotesis II dengan menghitung Rasio Kemandirian
dengan
rumus
sebagai
berikut
:
(Abdul
Halim,2001;262) Rs .Kemandiria
n
=
Pendapa tan AsliDaerah Bntuan
+ Sumbngan
+ Pinjman
x100 %......... .(1.13 )
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Otonomi Daerah 1. Pengertian Otonomi Daerah Otonomi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata yaitu : Autos yang berarti sendiri dan Nomos yang berarti aturan. Beberapa penulis
memberikan
pengertian
otonomi
dapat
diartikan
sebagai
zelfwetgeving atau pengundangan sendiri, mengatur atau memerintah sendiri atau pemerintah sendiri.
22
Di dalam Negara Kesatuan yang menganut Asas Desentralisasi, dikenal adanya Struktur Pemerintah Pusat (centralgoverment) serta daerah-daerah yang menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Hal ini dapat diartikan bahwa daerah-daerah tersebut mempunyai hak, kewajiban, wewenang dan tanggungjawab untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, yang disebut dengan otonomi. Sehubungan dengan hal tersebut, Ateng Sjaffrudin (1988) menyatakan bahwa “istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atas kemandirian
(zelfstandigheid)
tetapi
bukan
kemerdekaan
(oanfhankelijkheid) . Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Sedangkan Y. W. Sunindhia (1987) mengemukakan bahwa : “Kebebasan bergerak yang diberikan kepada Daerah Otonomi berarti memberikan kesempatan kepadanya untuk mempergunakan prakarsanya sendiri dari segala macam keputusan, untuk mengurus kepentingan-kepentingan umum (penduduk); pemerintah yang demikian dinamakan otonomi”. Otonomi Daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat pada Negara Kesatuan maupun Negara federasi (Winarna Surya Adisubrata,1999:1). Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 1 point 5, dikemukankan suatu rumusan bahwa Otonomi Daerah adalah hak, kewenangan dan kewajiban Daerah Otonom untuk mengatur dan
23
mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan Efesiensi dan Efektivitas penyelenggaraan Otonomi Daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar Pemerintah Daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan
sumberdaya
alam
dan
sumberdaya
lainnya
dilaksanakan secara adil dan selaras. Di samping itu, perlu diperhatikan pula
peluang
dan
tantangan
dalam
persaingan
global
dengan
memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan
Otonomi
Daerah
dalam
kesatuan
sistem
penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Perubahan Undang-undang No. 22 Tahun 1999, disamping karena adanya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga memperhatikan beberapa Ketetapan MPR dan Keputusan MPR, seperti : Ketetapan MPR-RI No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah; dan Ketetapan MPR-RI No. VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR-RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK dan MA pada sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2002 dan Keputusan MPR-RI No.
24
5/MPR/2003 tentang Penugasan Kepada MPR-RI untuk menyampaikan saran atas laporan pelaksanaan keputusan MPR-RI oleh Presiden, DPR, BPK dan MA pada sidang Tahunan MPR-RI tahun 2003. Dalam
melakukan
perubahan
Undang-undang,
diperhatikan
berbagai Undang-undang yang terkait dibidang politik diantaranya Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD; Undang-undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD; Undang-undang No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu juga diperhatikan Undang-undang yang terkait dibidang Keuangan Negara, yaitu Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara,
Undang-undang
No.
1
Thaun
2004
tentang
Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluasluasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-undang ini. Daerah memliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertangungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan Pemerintah Daerah dilaksanakan
25
berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya, adapaun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggunjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan Otonomi Daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu pula daerah otonom juga diharapkan dapat menjaga keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa Otonomi Daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya daerah harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam rangka mewujudkan tujuan Negara. Agar Otonomi Daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, maka pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa
pemberian
pedoman
seperti
penelitian,
pengembangan,
26
perencanaan dan pengawasan. Di samping itu, diberikan standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervise, pengendalian, koordinasi, pemantauan dan evaluasi. Bersamaan dengan itu pemerintah wajib memberikan fasilitas yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efesien dan efektif sesuai dengan peraturan perundangundangan. (penjelasan umum UU No. 32 Tahun 2004).
2. Landasan Hukum Otonomi Daerah Otonomi Daerah sebagai perwujudan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang berdasarkan atas Asas Desentralisasi yang diwujudkan dengan otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab dilaksanakan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah diatur dalam kerangka landasannya dalam Undang-Undang dasar 1945 antara lain : (i) Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi : “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik””. (ii) Pasal 18 yang menyatakan : “Pemerintahan Daerah dibentuk atas dasar pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar pemusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak, asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa” (Bachrul Elmi, 2002:3). Dari sisi sejarah perkembangan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, telah dihadirkan berbagai aturan perundangan yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan di daerah, antara lain pada tahun 1920-an
27
ada upaya mengambil langkah Desentralisasi untuk membentuk Lembagalembaga Perwakilan di beberapa Propinsi, Kabupaten dan Kota tertentu (Legge, 1961,halm.6). Tujuan utamanya adalah sama agar memperlancar administrasi dan membuka peluang bagi daerah untuk mengemukakan keinginannya. Undang-undang tentang Pemerintah Daerah pertama kali dibuat pada tahun 1948, yang meletakkan sendi pola pemerintahan yang sekarang ini dengan meletakkan sebagian besar berdasarkan pada pembagian wilayah administrasi Belanda dan banyak menggunakan pendekatan terpusat. Karena tutuntan dari daerah sangat kuat khususnya pulau diluar pulau jawa untuk memisahkan diri, maka UU diubah kembali pada tahun 1957 No. 32 yang memberikan kadar otonomi yang lebih besar pada daerah (legge, 1961, halm.53) namun UU ini tidak berlangsung lama karena Presiden Soekarno memperkenalkan “Demokrasi Terpimpin” tahun 1959. Pemerintah Orde Lama, dalam mengahadapi masalah-masalah daerah dan Pemerintah Daerah cenderung menanti krisis dan sering mengubah UU. Setelah berdirinya Orde baru tahun 1966 membuka peluang untuk memulai awal yang baru dan membuka masa hubungan yang relative stabil antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-undang baru yang mengatur tentang Pemerintah Daerah disahkan pada tahun 1974 No. 5, yang merupakan langkah penting dalam usaha membentuk system yang jelas dan meyeluruh mengenai hubungan pusat dan daerah dan mengenai Pemerintah Daerah ((MacAndrews, 1986, hlm. 13). Dengan
28
lebih menekankan pada pengertian “Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggungjawab” dan meletakkan tekanan dalam hubungan dengan penyediaan jasa masyarakat dengan tegas pada Pemerintah Daerah tingkat dua. Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui Kebijakan Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diatur dalam satu paket Undang-undang yaitu UU No. 32 tahun 2004 pengganti dari UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 pengganti dari UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Pengalaman dalam melaksanakan berbagai aturan perundangan tersebut telah menunjukan berbagai masalah yang mempunyai dampak tersendiri, baik terhadap keutuhan Negara, stabilitas politik, keserasian hubungan pusat dan daerah, maupun implikasi lain terhadap kelancaran penyelenggara pemerintahan. Namun demikian masalah yang ditimbulkan tidak sampai mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Maksud Dan Tujuan Otonomi Daerah Menurut pengalaman dalam pelaksanaan bidang-bidang tugas tertentu sistem Sentralistik tidak dapat menjamin kesesuaian tindakantindakan Pemerintah Pusat dengan keadaan di daerah-daerah. Maka untuk mengatasi hal ini, pemerintah kita menganut sistem Desentralisasi atau Otonomi Daerah. Hal ini disebabkan wilayah kita terdiri dari berbagai daerah yang masing-masing memiliki sifat-sifat khusus tersendiri yang
29
dipengaruhi oleh faktor geografis (keadaan alam, iklim, flora-fauna, adatistiadat, kehidupan ekonomi dan bahasa), tingkat pendidikan dan lain sebagainya. Dengan sistem Desentralisasi diberikan kekuasaan kepada daerah untuk melaksanakan kebijakan pemerintah sesuai dengan keadaan khusus di daerah kekuasaannya masing-masing, dengan catatan tetap tidak boleh menyimpang dari garis-garis politik dan jiwa dari pada instruksi dari Pemerintah Pusat. Jadi pada dasarnya maksud dan tujuan diadakannya pemerintahan di daerah adalah untuk mencapai efektivitas pemerintahan. Tujuan dari pemberian Otonomi Daerah sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 32 Tahun 2004 adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas dasar pencapaian tujuan diatas, prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman dalam pemberian Otonomi Daerah adalah sebagai berikut (Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004) : Prinsip Otonomi Daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-undang ini. Daerah memliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk
30
memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintah daerah dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya, adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggunjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacamnya berlaku ketentuan Peraturan Daerah Otonom : a) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi Badan Legislatif Daerah baik fungsi legislasi, fungsi pengawas, maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah;
31
b) Pelaksanaan Asas Dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam
kedudukannya
sebagai
Wilayah
Administrasi
untuk
melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat; c) Pelaksanaan atas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. Tujuan utama penyelanggaraan Otonomi Daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (public
service)
dan
memajukan
perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal, yaitu (Mardiasmo, 2002:59): a) Menigkatkan
kualitas
dan
kuantitas
pelayanan
publik
dan
kesejahteraan masyarakat; b) Menciptakan efesiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah; c) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Otonomi Daerah dengan menggunakan Asas Desentralisasi dan membawa berbagai kebaikan bagi Negara kita, antara lain (Josef Riwu Kaho, 1988:13) : a) Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan;
32
b) Dalam menghadapi masalah yang mendesak, perlu membutuhkan tindakan yang cepat, daerah tidak perlu menunggu lagi instruksi dari pusat; c) Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan dapat segera dilaksanakan; d) Dalam
Sistem
Desentralisasi,
dapat
diadakan
perbedaan
dan
pengkhususan bagi kepentingan tertentu; e) Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat.
4. Titik Berat Otonomi Daerah Mengacu pada UU No. 22 Tahun 1999, berikut perubahaan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa titik berat pelaksanaan Otonomi Daerah diletakkan pada daerah kabupaten, sedangkan penjelasannya dikatakan bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat maka titik berat pelaksanaan Otonomi Daerah diletakkan pada daerah kabupaten dengan memandang pentingnya daerah kabupaten yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat sehingga diharapkan lebih dapat mengetahui serta memahami aspirasi masyarakat. Beberapa
pertimbangan
yang
mendasari
penetapan
daerah
kabupaten dan daerah kota sebagai titik berat pelaksanaan Otonomi Daerah adalah (Mudrajad Kuncoro, 1995:4) :
33
a) Dari dimensi politik, daerah kabupaten dan daerah kota kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi masyarakat federasi secara relatif bisa minim ; b) Dari dimensi administratif, penyelenggaraan pemerintahaan dan pelayanan kepada masayarakat relatif dapat lebih efektif ; c) Daerah Kabupaten dan Kota merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan pembangunan sehingga Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang lebih mengetahui potensi rakyat di daerahnya. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan menitikberatkan pada Daerah Kabupaten adalah merupakan suatu kebijakan yang harus didukung, artinya Daerah Kabupaten akan menjadi basis peyelenggaraan Otonomi Daerah. Namun hal lain yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan Otonomi
Daerah yang menitikberatkan pada Daerah
Kabupaten adalah apakah kebijakan ini sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
5. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dalam penjelasannya mengenai pembagian Urusan Daerah. Bahwa penyelenggaraan
Desentralisasi
mensyarakatkan
pembagian
urusan
pemerintahan antara Pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu
34
terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan pemerintahan. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan Negara secara keseluruhan., antara lain : Politik Luar Negeri, Pertahanan dan Keamanan, Moneter, Yustisi dan Agama. Dan bagian urusan tertentu pemerintah lainnya yang berskala nasional tidak diserahkan kepada daerah. Disamping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat
concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan concurrent secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi : Eksternalitas, Akuntabilitas dan
Efesiensi
dengan
mempertimbangkan
keserasian
hubungan
pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan. Kriteria Eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan
dengan
mempertimbangkan
dampak/akibat
yang
ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampaknya lokal maka menjadi kewenangan Kabupaten/Kota, jika dampak dari urusan bersifat regional maka menjadi kewenangan Propinsi dan apabila lingkup nasional menjadi kewenangan Pemerintah. Kriteria Akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang
35
menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Kriteria Efesiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana dan peralatan)untuk mendapatkan ketetapan, kepastian dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelanggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penangannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasil guna untuk dilaksanakan oleh daerah Propinsi dan atau Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh pemerintah maka urusan tersebut diserahkan kepada Daerah Propinsi dan atau Daerah Kabupaten/Kota, begitu juga sebaliknya. Sedangkan yang dimaksud dengan keserasian hubungan yaitu pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (interkoneksi), saling tergantung (inter-dependensi) dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatannya. Namun dari semua pembagian urusan pemerintahan tersebut Pemerintah tetap melakukan verifikasi terlebih sebelum memberikan pengaturan atas bagian urusan-urusan yang akan dilaksanakan oleh daerah. Urusan yang menjadi kewenangan daerah ada dua urusan yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib ialah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana
36
lingkungan dasar; sedangkan urusan yang bersifat pilihan berkaitan erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah. Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan Daerah atas Desa termasuk masyarakatnya atas penugasan atau kuasa dari Pemerintah
atau Pemerintah
Daerah untuk
melaksanakan
urusan
pemerintah dibidang tertentu. Dalam pelaksanaannya tidak semua urusan pemerintah dapat diserahkan kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya. Ada beberapa urusan yang masih tetap merupakan urusan Pemerintah Pusat, akan tetapi berat bagi Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan semua urusan pemerintah
di
daerah
yang
masih
menjadi
wewenang
dan
tanggungjawabnya itu atas dasar asas dekonsentrasi mengingat terbatasnya kemampuan aparatur Pemerintah Pusat. Atas dasar pertimbangan di atas, berbagai urusan Pemerintah Daerah dapat dilaksanakan menurut asas tugas pembantuan.
B. Keuangan Daerah 1. Asas Umum Keuangan Daerah Pelaksanaan
otonom
daerah
membawa
perubahan
pada
pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan pengelolaan APBD pada khususnya yang sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah. Dalam
37
PP No. 105/2000, dikemukakan asas umum pengelolaan keuangan daerah, yang meliputi : 1)
Pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efesien, efektif dan bertanggungjawab; 2)
Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dicatat
dalam APBD, perubahan APBD dan perhitungan APBD; 3)
Daerah dapat membentuk dana cadangan;
4)
Daerah dapat mencari sumber-sumber pembiayaan lainnya,
selain sumber pembiayaan yang telah ditetapkan, seperti kerjasama dengan pihak lain; 5)
Pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah diatur dalam
Perda (peraturan daerah); 6)
APBD disusun dengan pendekatan kinerja; Peraturan pemerintah tersebut sudah memberikan arahan secara
umum kepada Pemerintah Daerah dalam menyusun dan melaksanakan APBD. Di samping itu, daerah dituntut lebih trampil dalam proses penyusunan maupun dalam pelaksanaan APBD dengan menggunakan pendekatan kinerja. Anggaran dengan pendekatan kinerja merupakan suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau
output dari perencanaan alokasi biaya atau input
yang ditetapkan
(penjelasan PP No. 105/2000). Hal ini juga berarti bahwa hasil yang dicapai harus sepadan atau lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Di samping itu, setiap penganggaran dalam pos pengeluaran dalam APBD
38
harus didukung oleh adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup. APBD disusun dengan pendekatan kinerja, dalam penyusunannya paling tidak harus memuat 3 (tiga) hal yaitu (BAB III, Bagian kedua, Pasal 20, ayat 1, PP No. 105/2000) : (i) Sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja; (ii) Standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan; (iii) Bagian pendapatan APBD yang membiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal pembangunan. Selanjutnya dalam (BAB III, bagian kedua, pasal 20 ayat 2, PP No. 105/2000) disebutkan bahwa untuk mengukur kinerja Pemerintah Daerah, dikembangkan : (i) Standar analisa belanja, yaitu penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya terhadap suatu kegiatan; (ii) Tolak ukur kinerja, yaitu ukuran keberhasilan yang dicapai pada setiap unit organisasi perangkat daerah; dan (iii) Standar biaya, yaitu harga saham satuan unit biaya yang berlaku bagi masingmasing daerah. 2. Manajemen Keuangan Daerah Untuk menghadapi globalisasi perekonomian dan pembangunan nasional yang menekankan pada pelaksanaan Otonomi Daerah secara luas, nyata dan bertanggungjawab, maka perlu disusun suatu rumusan baru yang berkaitan dengan Manajemen Keuangan Daerah. Hal ini merupakan satu bentuk bagaimana
Pemerintah Daerah mempersiapkan
suatu
prakondisi dalam perekonomian internasional dan perekonomian nasional.
39
Secara garis besar, Manajemen Keuangan Daerah dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu Manajemen Pemerintah Daerah dan Manajemen Pengeluaran Daerah. Evaluasi terhadap pengelolaan Keuangan Daerah dan pembiayaan pembangunan daerah mempunyai implikasi yang sangat luas. Kedua komponen tersebut akan sangat menentunkan kedudukan suatu Pemerintah Daerah dalam rangka melaksanakan Otonomi Daerah. Konsekuensi logis pelaksanaan Otonomi Daerah berdasarkan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 meyebabkan perubahan dalam Manajemen Keuangan Daerah. Perubahan tersebut antara lain adalah perlunya dilakukan budgeting reform atau reformasi anggaran. Reformasi anggaran meliputi proses penyususnan, pengesahan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran. Aspek utama budgeting reform adalah perubahaan dari tradisional budget ke refromance budget . Traditional
budget didominasi oleh penyusunan anggaran yang bersifat line-item dan incrementalism ,
yaitu
proses
penyususnan
anggaran
yang hanya
mendasarkan pada besarnya realisasi anggaran tahun sebelumnya, konsekuensinya tidak ada perubahan mendasar atas anggaran baru. Hal ini seringkali
bertentangan
dengan
kebutuhan
riil
dan
kepentingan
masyarakat. Dengan basis seperti ini, APBD masih terlalu berat menahan arahan, batasan serta orientasi subordinasi kepentingan pemerintah atasan. Hal tersebut menunjukan terlalu dominannya peranan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah. Besarnya dominasi ini sering mematikan inisiatif dan prakarsa Pemerintah Daerah, sehingga memunculkan
40
fenomena pemenuhan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari Pemerintah Pusat.
Performance Budget pada dasarnya adalah sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut harus mencerminkan efesiensi dan efektivitas pelayanan publik, yang berarti harus berorientasi pada kepentingan publik. Kebutuhan masyarakat daerah untuk menyelenggarakan otonomi secara luas, nyata dan bertanggungjawab harus dipahami sebagai hak atau kewenangan masayarakat
daerah untuk
mengelola
dan
mengatur
urusannya sendiri. Aspek atau peran Pemerintah Daerah tidak lagi merupakan alat kepentingan Pemerintah Pusat belaka melainkan alat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat.
3. Anggaran Pendapatan dan dan Belanja Daerah Reformasi Keuangan Daerah sebagai konsekuensi logis dari otonomi daerah memberikan peluang untuk menunjukan kemampuan dalam megelola anggaran daerah tanpa banyak campur tangan Pemerintah Pusat atau propinsi (Pasal 40 PP No. 105/2000). Dapat dikatakan bahwa yang menjadi perhatian utama dalam Pengelolaan Keuangan Daerah adalah adanya paradigma baru dalam manajemen atau pengelolaan anggaran daerah. Anggaran daerah sebagai suatu arahan kegiatan operasional, anggaran daerah sebagai suatu alat komunikasi terhadap publik. Masing-masing maksud atau tujuan tersebut
41
mempunyai
kriteria-kriteria
tersendiri
untuk
evaluasinya,
menurut
(Coe(1989) dalam Mardiasmo, 108:2002). Anggaran Daerah adalah rencana kerja Pemerintah Daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun). Anggaran daerah atau anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Sebagai instrument kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan
Kapabilitas
dan
Efektivitas
Pemerintah
Daerah
menjalankan fungsi dan peranannya secara efesien, sedangkan Efektivitas diartikan sebagai upaya untuk menyelaraskan Kapabilitasnya dengan tuntutan dan kebutuhan publik (World Bank (1997) dalam Mardiasmo, 2002:177). Reformasi anggaran berarti anggaran harus disusun dengan pendekatan kinerja yaitu pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja (pasal 8 PP No. 105/2000). Anggaran daerah harus mampu secara optimal difungsikan sebagai alat menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran dimasa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standard untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kinerja (Jones Prendlebulry(1999) dalam Mardiasmo, 2002:177). Kemampuan pemerintah dalam megelola keuangannya dituangkan dalam APBD yang langsung maupun tidak langsung mencerminkan
42
kemamp kemampuan uan Pemeri Pemerinta ntah h Daerah Daerah dalam dalam membia membiayai yai pelaks pelaksana anaan an tugastugastugas pemerintah, pemerintah, pembangun pembangunan an dan pelayanan pelayanan sosial sosial masyarakat masyarakat pada satu satu tahun tahun anggar anggaran. an. APBD APBD memuat memuat seluru seluruh h perkir perkiraan aan dalam dalam bentuk bentuk angk angka-a a-ang ngka ka baik baik pada pada sisi sisi pend pendap apat atan an (pen (pener erim imaa aan) n) maup maupun un sisi sisi pengeluaran (belanja) maka sistem Pengelolaan Keuangan Daerah dimulai dari proses perencanaan, pengangguran sampai pada pelaksanaannya yang didasarkan pada kebutuhan riil masyarakat disesuaikan dengan kondisi dan potensi daerah. Angga Anggaran ran daerah daerah pada pada hakeka hakekatny tnyaa merupa merupakan kan salah salah satu satu alat memegang peranan penting dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan Otonomi Daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Dengan demikian, APBD harus benar-benar mencermink mencerminkan an kebutuhan kebutuhan masyarakat masyarakat dengan dengan memperihati memperihatikan kan potensi potensi keanek keanekara aragam gaman an daerah daerah,, maka maka dari dari itu APBD APBD harus harus memper memperiha ihatik tikan an prinsip-prinsip anggaran sebagai berikut (Abdul Halim, 2001:79-80) : a. Keadilan Keadilan anggaran, anggaran, Pembiayaan Pembiayaan Pemerintah Pemerintah Daerah Daerah dilaku dilakukan kan melalui melalui mekani mekanisme sme pajak pajak dan restrib restribusi usi yang yang dipili dipilih h oleh oleh segena segenap p lapisa lapisan n mekani mekanisme sme pajak pajak dan restrib restribusi usi yang yang dipili dipilih h oleh oleh segena segenap p lapisa lapisan n masyar masyaraka akatt daerah daerah.. Untuk Untuk itu pemerin pemerintah tah wajib wajib mengal mengaloka okasik sikan an pen pengg ggun unaa aann nnya ya seca secara ra adil adil agar agar dapa dapatt dini dinikm kmat atii oleh oleh selu seluru ruh h kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian layanan; b. Disipl Disiplin in anggaran anggaran,, APBD APBD disus disusun un dengan dengan orient orientasi asi pada kebutuha kebutuhan n masy masyar arak akat at
tanp tanpaa
haru haruss
meni mening ngga galk lkan an
kese keseim imba bang ngan an
pemerintah, pembangunan dan pelayanan masyarakat;
anta antara ra
43
c. Tran Transp spar aran ansi si dan dan Akun Akunta tabi bili lita tas. s. Angg Anggar aran an daer daerah ah haru haruss mamp mampu u member memberika ikan n inform informasi asi yang yang lengka lengkap, p, akurat akurat dan tepat tepat waktu waktu dan dilaksanakan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis dan ekonomi kepada pihak terkait, baik masyarakat, Pemerintah Pus Pusat
mau maupun pun
pihak ihak-p -pih ihak ak
yan yang
bers ersifat ifat
inde indep pende enden nt
yan yang
memerlukan; d. Efes Efesie iens nsii dan dan Efek Efekti tivi vita tass Angg Anggar aran an.. Dana Dana yang yang ters tersed edia ia haru haruss dimanf dimanfaatk aatkan an dengan dengan sebaik sebaik mungki mungkin n untuk untuk dapat dapat mengha menghasil silkan kan pen penin ingk gkat atan an pela pelaya yana nan n dan dan kese keseja jaht htera eraan an yang yang maks maksim imal al guna guna kepentingan masyarakat; e. Format Format Anggar Anggaran. an. Pada Pada dasarnya dasarnya APBD disusu disusun n berdasar berdasarkan kan format format anggaran defisit (defisit budget format ). ). Selisih antara pendapatan dan belanja mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit anggaran. Pengeluaran belanja daerah berdasarkan pada konsep Value for yang terce tercerm rmin in dala dalam m indi indika kato torr 3-E 3-E (Eko (Ekono nomi mi,, Efis Efisien ien dan dan Money yang Efektivitas). Pengertian dari indikator 3-E dapat disajikan sebagai berikut (Ana Dwi Kurniawati dalam Mulyanto, 2003,49) : a. Ekono Ekonomi; mi; Indikat Indikator or ekonomi ekonomi dihasilk dihasilkan an dari suatu perband perbanding ingan an antara antara input input (masuk (masukan) an) dengan dengan input input value (nilai uang). uang). Indikator Indikator ekonomi juga menunjukan adanya praktek pemberian barang dan jasa pada pada kualit kualitas as yang yang diingi diinginka nkan n dan pada harga harga yang yang terbaik terbaik yang yang dimu dimung ngki kink nkan an
( spend spending ing
). tess tess).
Peng Penger erti tian an
ekon ekonom omii
seba sebaik ikny nyaa
mencak mencakup up juga juga penger pengertian tian bahwa bahwa pengel pengeluar uaran an daerah daerah hendak hendaknya nya
44
dilakukan secara berhati-hati ( prudency prudency) dan keuangan daerah harus digunakan secara optimal tanpa pemborosan (hemat); b. b. Efes Efesie iens nsi; i; Indi Indikt ktor or efes efesie iens nsii erat erat kait kaitan anny nyaa deng dengan an kons konsep ep pro produ dukt ktiv ivit itas as
yait yaitu u
rasi rasio o
yang yang memb memban andi ding ngka kan n
anta antara ra outp output ut
(keluaran) yang dihasilkan terhadap input (masukan) yang digunakan. Proses Proses kegiatan kegiatan operasional operasional telah dilakukan dilakukan secara efesien, efesien, apabila apabila suatu target kinerja tertentu dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya daya dan biaya biaya yang yang serend serendahah-ren rendah dahny nyaa diperb diperband anding ingkan kan secara secara relatif terhadap kinerja usaha sejenis atau antar kurun waktu ( spending ). Indikator efesiensi diukur dengan rasio antara output (keluaran) well ). dan secondary input (masukan sekunder); c. Efekti Efektivit vitas; as; Indika Indikator tor efektivit efektivitas as merupa merupakan kan perbandi perbandinga ngan n antara antara (pencapaian/dampa dampak) k) dengan dengan output output (keluaran). (keluaran). Kegiatan Kegiatan outcome (pencapaian/ operasional dikatakan efektif apabila proses keigatan mencapai tujuan dan sasaran akhir dari suatu kebijakan ( spending wesely) yang telah ditetapkan. ditetapkan. Indikator efektivitas efektivitas juga berarti dapat diselesaika diselesaikannya nnya suatu suatu kegiat kegiatan an pada pada waktun waktunya ya dan di dalam dalam batas batas anggar anggaran an yang yang tersedi tersediaa atau dapat mencap mencapai ai tujuan tujuan dan sasaran sasaran seperti seperti apa yang yang direnc direncana anakan kan.. Efekti Efektivita vitass mengga menggamba mbarka rkan n jangka jangkauan uan akibat akibat dan dampak dari keluaran program dalam mencapai tujuan program (yaitu
Outcome atau hasilnya dalam mencapai tujuan fungsional dan tujuan akhir). Bila Bila diliha dilihatt dari dari proses proses penyus penyusuna unan n APBD, APBD, maka maka tahap-t tahap-taha ahap p proses penyusunan APBD adalah sebagai berikut :
45
1.
Perumusan kebijakan umum APBD antara Pemerintah Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan mempertimbangkan aspirasi dan masukan dari masyarakat; 2.
Penyusunan strategi dan prioritas oleh Pemerintah Daerah;
3.
Penyusunan RAPBD yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah;
4.
Pembahasan RAPBD yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
bersama DPRD; 5.
Penetapan RAPBD dengan peraturan daerah;
6.
Apabila DPRD tidak menyetujui RAPBD yang diusulkan, maka
dipergunakan APBD tahun sebelumnya; 7.
Perubahan RAPBD ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan Menurut PP No. 105/200, struktur dalam APBD merupakan suatu
kesatuan yang terdiri dari : (i) Pendapatan Daerah; (ii) Belanja Daerah; (iii) Pembiayaan. Selisih lebih dari pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut surplus anggaran, sedangkan selisih kurang dari pandapatan daerah disebut Defisit Anggaran. Jumlah pembiayaan sama dengan jumlah surplus/defisit anggaran. Apabila diperkirakan pendapatan daerah lebih kecil dari rencana belanja daerah, maka daerah dapat melakukan pinjaman sebagaimana yang telah diatur dalam PP No. 107/200 tentang Pinjaman Daerah. Komponen APBD manurut PP No. 105/2000 disusun dengan muatan sebagai berikut :
1. Pendapatan Daerah; 2. Belanja Operasional Pemerintah;
46
3. Belanja Modal (capital investment ). Investasi modal dalam suatu proyek, hasilnya di samping untuk menambah
pendapatan
daerah,
juga
harus
digunakan
untuk
mengangsur proyek surplus/ defisit; 4. Asset Daerah Asset daerah dicatat nilainya pada awal tahun anggaran kemudian menjelang akhir tahun anggaran diadakan valuation, dan dicatat apakah terjadi mutasi selama tahun anggaran berjalan; 5. Pembiayaan; a) Dana Daerah. b) Pinjaman. o
Pemerintah Pusat
o
Masyarakat
o
Luar Negeri
Dalam rangka mengelola keuangan, daerah dapat membentuk dana cadangan yang bersumber dari Pemerintah Daerah, guna membiayai kebutuhan tertentu. Dana cadangan dapat disediakan dari sisa anggaran tahun lalu dan/atau sumber pendapatan daerah. Dana cadangan dibentuk dan diadministrasikan secara terbuka, tidak dirahasiakan, disimpan dalam bentuk kas atau yang mudah diuangkan, dan semua transaksi harus dicantumkan dalam APBD. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai UndangUndang No. 22 Tahun 1999 menjadi UU NO. 32 Tahun 2004 dan 25
47
Tahun 1999 menjadi UU NO. 33 tahun 2004 serta PP No. 105 Tahun2000 dapat dilihat pada table 2.1 sebagai berikut : Table 2.1. Strukutur Anggaran Pendapatan dana Belanja Daerah No I
Uraian
Jumlah
PENERIMAAN 1) Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu 2) Pendapatan Asli Daerah; a. Hasil Pajak Daerah; b. Hasil Restribusi Daerah; c. Hasil BUMD dan Kekayaan D aerah Yang Dipisahkan; d. Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah 3) Dana Perimbangan; a. Bagian Daerah Dari Bagi Hasil; b. Dana Alokasi Umum; II c. Dana Alokasi Khusus 4) Lain-lain Pendapatan Yang Sah PENGELUARAN 1) Pengeluaran Belanja a. Belanja Rutin 1. Administrasi Umum a) Belanja Pegawai b) Belanja Barang c) Belanja Perjalanan Dinas d) Belanja Pemeliharaan 2. Operasi Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Umum b. Belanja Investasi 1. Publik 2. Aparatur III 2) Pengeluaran Transfer a. Angsuran Pinjaman dan Bunga b. Bantuan c. Dana Cadangan 3) Pengeluaran Tak Tersangka SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN IV PEMBIAYAAN 1) Dalam Negari 2) Luar Negari
Keterangan : Struktur Anggaran P endapatan dan Belanja Daerah (sesuai Undangundang No.22 dan No.25 Tahun 1999 serta PP No. 105 Tahun 2000) Sumber : Abdul Halim (2001). Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta; UPP AMP YKPN, hal.14
4. Sumber –Sumber Keuangan Daerah Berdasarkan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 adalah pengganti UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sumber-sumber penerimaan daerah terdiri atas :
48
a. Pendapatan Asli Daerah PAD (Pendapatan Asli Daerah) merupakan penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang terdiri dari : 1) Hasil Pajak Daerah Ketentuan mengenai Pajak Daerah ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan penentuan tarif dan tata cara pemungutan pajak daerah ditetapkan dengan Perda (Peraturan Daerah) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2) Hasil Restribusi Daerah Restribusi adalah pungutan
yang dikenakan
kepada
pemakai jasa tertentu yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Sebagaimana pajak daerah, ketentuan mengenai restribusi daerah juga ditetapkan dengan Undang-undang. Sementara penentuan tarif dan tata cara pemungutan restribusi daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undanngan yang berlaku. 3) Hasil Perusahaan Milik Daerah 4) Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan 5) Sumber Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, antara lain bersumber dari hasil penjualan asset tetap daerah dan jasa giro.
49
b. Dana Perimbangan pinjaman Daerah Dana perimbangan sebagaimana telah dijelaskan dalam UU No. 33 Tahun 2004 dan pasal 1, ayat (14) UU No. 25/1999 adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBD yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Sumber-sumber dana yang berasal dari Dana Perimbangan, terdiri dari : 1)
Bagi Hasil Daerah Bagi hasil daerah berasal dari Bagi Hasil Pajak dan Bukan
Pajak. Bagi Hasil Pajak berupa : Penerimaan PBB (Pajak Bumi Dan Bangunan), BPHTB (Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan), dan Penerimaan dari sumber daya alam dengan pembagian sebagai berikut :
Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan
Bangunan dibagi dengan imbangan 10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 90% untuk Daerah;
Penerimaan Negara dari Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bagunan dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk Daerah;
10% penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
dana 20% penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang menjadi bagian Pemerintah Pusat, dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota;
50
Penerimaan dari bagi hasil yang bersumber dari hasil bukan pajak atau SDA (Sumber Daya Alam) adalah bagian daerah dari penerimaan Negara yangt berasal dari pengelolaan sumber daya alam, seperti : hasil pertambangan umum, hasil pertambangan minyak bumi, hasil pertambangan gas alam, sektor kehutanan dan perikanan. Bagian daerah dari penerimaan sektor pertambangan serta kehutanan dan penerimaan dari sumber daya alam, diterima oleh daerah penghasil dan daerah lainnya untuk pemerataan dengan perimbangan sebagai berikut : P
enerimaan Negara dari sumber daya alam
sektor kehutanan,
sektor pertambangan umum dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk daerah
P
enerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut : (i) Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 85% untuk Pemerintah Pusat dan 15% untuk Daerah; (ii) Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari wilayah daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan
51
yang berlaku dibagi dengan imbangan 70% untuk Pemerintah Pusat dan 30% untuk Daerah.
2)
Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari
APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan
antar
pengeluarannya
daerah dalam
untuk rangka
membiayai pelaksanaan
kebutuhan Desentralisasi.
Ketentuan yang berkaitan dengan DAU ini adalah sebagai berikut : •
Dana
Alokasi
Umum
ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. •
Dana Alokasi Umum untuk
daerah Propinsi dan untuk daerah Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari Dana Alokasi Umum. Dalam hal ini terjadi perubahan kewenangan di antara Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, presentase Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi yang ditetapkan dalam APBD, dengan porsi Daerah Propinsi yang bersangkutan •
Porsi
daerah
Propinsi
sebagaimana yang dimaksud di atas, merupakan proporsi bobot daerah propinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua daerah propinsi di seluruh Indonesia. Proporsi daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan terhadap jumlah bobot
52
semua daerah Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Bobot daerah ditetapkan berdasarkan : (i) Kebutuhan wilayah Otonomi Daerah dan (ii) Potensi ekonomi daerah. Perhitungan DAU berdasarkan rumus diatas, dilakukan oleh sekretariat bidang perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dana Alokasi Umum untuk
•
daerah
Kabupaten/Kota
tertentu
ditetapkan
berdasarkan
perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Kabupeten/Kota yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. 3)
Dana Alokasi Khusus Dana
dialokasikan
Alokasi kepada
Khusus daerah
(DAK) untuk
adalah
membantu
dana
yang
membiayai
kebutuhan khusus tertentu. Kebutuhan khusus yang dimaksud adalah : (i) Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus DAU (Dana Alokasi Umum); dan (ii) Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Dana alokasi khusus dapat dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan ketersediaannya dana APBN. Dana alokasi khusus, termasuk yang berasal dari Dana Reboisasi, yang dibagi dengan imbangan sebagai berikut :
40% dibagikan kepada daerah penghasil sebagai
Dana Alokasi Khusus;
53
60% untuk Pemerintah Pusat;
kecuali dalam rangka reboisasi, daerah yang mendapat pembiayaan kebutuhan khusus menyediakan dana pendamping dari APBD sesuai dengan kemampuan daerah yang bersangkutan. Tata cara perhitungan dan penyaluran atas bagian daerah dari penerimaan Negara dan rumusan pembagian serta Dana Alokasi Khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah. Untuk keperluan mendesak kepada daerah tertentu diberikan dana darurat yang berasal dari APBN, yang prosedurnya dan tata cara penyaluran dana darurat sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi APBN. c. Pinjaman Daerah Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri untuk membiayai sebagian anggarannya. Pinjaman dalam negeri bersumber dari Pemerintah Pusat, Lembaga Komersial dan Penerbitan Obligasi. Pemerintah Daerah dapat melakukan peminjaman dari sumber dalam negeri atau dari sumber luar negeri untuk membiayai kegiatan pemerintahan dengan persetujuan DPRD, dengan ketentuan sebagai berikut : 1) Daerah melakukan pinjaman dari sumber laur negeri melalui pemerintah;
54
2) Daerah
dapat
membiayai
melakukan
pinjaman
pembangunan
jangka
prasarana
yang
panjang
guna
merupakan
asset/kekayaan Daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat; 3) Daerah dapat melakukan pinjaman jangka pendek guna pengaturan arus kas dalam pengelolaan kas Daerah; 4) Pinjaman daerah dilakukan dengan memperlihatkan kemampuan Daerah untuk memenuhi kewajibannya dan harus mendapat persetujuan DPRD; 5) Agar setiap orang dapat mengetahuinya, setiap perjanjian pinjaman yang dilakukan oleh daerah diumumkan dalam lembaran Daerah; 6) Daerah dilarang melakukan Pinjaman Daerah yang menyebabkan terlampauinya batas jumlah Pinjaman Daerah yang ditetapkan; 7) Daerah dilarang melakukan perjanjian yang bersifat penjaminan sehingga mengakibatkan beban Keuangan Daerah; 8) Semua pembayaran yang menjadi kewajiban Daerah atas Pinjaman Daerah merupakan salah satu prioritas dalam pengeluaran APBN; 9) Dalam hal daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas Pinjaman Daerah dari Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Pusat dapat memperhitungkan kewajiban tersebut dengan DAU (Dana Alokasi Umum) kepada Daerah;
55
10)
Peminjam dan sumber dana pinjaman yang berasal dari luar negeri, harus mendapat persetujuan pemerintah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
11)
Tata cara peminjam, ditetapkan oleh pemerintah.
d. Lain-lain Penerimaan Yang Sah Lain-lain penerimaan daerah yang sah, antara lain bersumber dari : hibah, dana darurat, dan penerimaan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Kebijakan Anggaran Daerah Kebijakan anggaran yang sering juga disebut sebagai kebijakan fiskal secara umum
dapat diartikan sebagai upaya dari pemerintah,
termasuk pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pembangunan untuk mencapai tujuan tertentu melalui pengelolaan anggaran dalam konteks daerah melalui pengelolaan APBD. Tujuan dari pengelolaan anggaran ini, paling tidak ditujukan untuk mengatasi permasalahan dan fungsi pemerintah dibidang alokasi, distribusi dan stabilisasi. Fungsi alokasi berkaitan dengan upaya pemerintah di dalam menyediakan dana bagi kebutuhan masyarakat banyak yang tidak mungkin disediakan oleh pihak swasta. Dengan kata lain fungsi alokasi merupakan wujud campur tangan atau intervensi dari pemerintah terhadap kebijakan/kegiatan yang tidak diminati oleh sektor swasta agar terjadi alokasi anggaran yang merata ke seluruh wilayah atau seluruh masyarakat, melalui penyediaan
56
atau pengadaan barang-barang dan jasa-jasa publik ( public goods and
service ). Berdasarkan skala prioritas yang ditetapkan, pemerintah daerah dapat mengalokasikan nilai belanja tertentu untuk kebutuhan atau kegiatan tertentu. Sedangkan fungsi distribusi berkaitan dengan upaya pemerintah untuk
menyalurkan
pembangunan/belanja
anggaran, publik
khususnya
untuk
malalui
menciptakan
pos
belanja
pemerataan
atau
mengurangi tingkat kesenjangan pendapatan antar wilayah, sektor, maupun antar golongan/anggota masyarakat. Dengan fungsi distribusi, pemerintah dapat membuat suatu kebijakan yang memastikan lapisan masyarakat yang kaya di suatu wilayah dan juga sektor yang memberi konstribusi besar terhadap pembangunan secara keseluruhan, untuk kemudian mendistribusikan kelapisan masyarakat yang lebih miskin melalui program atau kegiatan yang direncanakan dalam anggaran daerah. Fungsi stabilisasi, dimaksudkan bahwa melalui pengelolaan anggaran (APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), pemerintah daerah dapat menciptakan tingkat kesempatan kerja yang memadai, kestabilan tingkat harga atau inflasi, serta pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Jika terjadi ketidakseimbangan yang sangat ekstrem, misalnya terjadi tingkat pengangguran yang tinggi, melalui program atau kegiatan yang direncanakan dalam anggaran pemerintah dapat menciptakan lapangan kerja baru atau memperluas kesempatan kerja yang sudah ada untuk menyerap tenaga kerja yang berlimpah.
57
Dari dimensi manajerial, pengelolaan anggaran yang dilaksanakan melalui kebijakan fiskal mempunyai beberapa fungsi : 1. Memberikan
pedoman
bagi
pemerintah
daerah
untuk
melaksanakan tugas-tugasnya pada periode yang akan datang; 2. Sebagai produk politik yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif atas nama kepentingan masyarakat dan pembebanan konsekuensi terhadap masyarakat pula; oleh karena itu anggaran bisa berfungsi sebagai alat kontrol masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan yang dibuat pemerintah; 3. Anggaran dapat dipakai masyarakat untuk menilai seberapa jauh pencapaian pemerintah dalam melaksanakan kebijakan dan program program yang direncanakan.
6. Indikator Kinerja Keuangan Daerah Pada dasarnya terdapat dua hal yang dapat dijadikan sebagai indikator kinerja, yaitu kinerja anggaran dan anggaran kinerja. Kinerja anggaran dan anggaran merupakan alat atau instrumen yang dipakai DPRD untuk mengevaluasi kinerja kepala daerah, sedangkan anggaran kinerja merupakan alat atau instrumen yang dipakai oleh kepala daerah untuk mengevaluasi unit-unit kerja yang ada di bawah kendali kepala daerah
selaku
manajer
eksekutif.
Penggunaan
indikator
kinerja
( performance indicator) sangat penting untuk mengetahui apakah suatu aktifis atau program telah dilakukan secara efisien
dan efektif
(Mardiasmo,2002:219). Hal tersebut umum dalam organisasi publik
58
karena output yang tidak mudah diukur. Sehingga apabila sudah ada kriterai kinerja yang harus dicapai akan memudahkan pengauditan terhadap kinerja pemerintah daerah. Oleh karena itu sangat penting bagi DPRD untuk menetapkan indikator kinerja ( performance indicator ) yang akan dijadikan sebagai pedoman bagi eksekutif daerah dalam menjalankan tugasnya. Keuangan daerah dikatakan berhasil bila mampu meningkatkan penerimaan
daerah
secara
berkesinambungan
seiring
dengan
perkembangan perekonomian tanpa memperburuk alokasi faktor-faktor produksi dan keadilan serta dengan sejumlah biaya administrasi tertentu. Berdasarkan konsep Musgrave dan Musgrave (1980) dalam buku Ekonomi Publik oleh Sukanto Reksohadiprojo (2000) dan proxy menurut Hikmah (1999) indikator kinerja keuangan daerah sebagai berikut : 1. Derajat Desentralisasi Fiskal Derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah pada umunya ditujukan oleh variabel-variabel Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD), Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak untuk Daerah (BHPBP) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) dan Rasio Sumbangan Bantuan Daerah (SBD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD). Untuk melihat kesiapan pemerintah daerah dalam menghadapi otonomi daerah khususnya dibidang keuangan, diukur dari seberapa jauh kemampuan pembiayaan urusan bila didanai sepenuhnya oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan bagi hasil (Tim LPEM-FEUI pada
59
Laporan Akhir Kebijakan Desentralisasi dalam Masa Transisi (2000) dalam Abdul Halim,2001:26). 2. Kebutuhan Fiskal ( Fiscal Need) Kebutuhan fiskal ini dapat diartikan pula sebagai biaya prasarana sosial ekonomi seperti angkutan dan komunikasi, lembaga pendidikan dan kesehatan (Suparmoko,1992:320). Varabel-variabel kebutuhan daerah ( fiscal needs) dibagi atas variabel
kependudukan
dan
variabel
kewilayahan.
Variabel
kependudukan meliputi jumlah penduduk dan Indeks Kemiskinan Relatif (proksi:
Poverty Gap). Sementara itu untuk variabel
kewilayahan meliputi Luas Wilayah dan Indeks Harga Bangunan (Kadjatmiko (2001) dalam Mardiasmo,2002:160). 3. Kapasitas Fiskal ( Fiscal Capacity ) Kapasitas fiskal adalah sejumlah pajak yang seharusnya mampu dikumpulkan dari dasar pajak ( tax base), yang biasanya pendapatan per kapita (Suparmoko,1992:320). Upaya peningkatan kapasitas fiskal daerah ( fiscal capacity) sebenarnya tidak hanya menyangkut peningkatan PAD. Peningkatan kapasitas fiskal daerah pada dasarnya adalah
optimalisasi sumber-
sumber penerimaan daerah. Variabel-variabel potensi daerah ( fiscal
capacity ) terdiri dari potensi PAD (dihitung dari PDRB sektor jasa dengan menggunakan metode ekonometrika) dan potensi penerimaan bagi hasil (PBB, BPHPB, PPH Perseorangan, dan SDA).
60
PDRB merupakan nilai barang dan jasa yang diproduksikan di dalam suatu daerah dalam satu tahun tertentu. Dalam hal ini digunakan PDRB per kapita yaitu pendapatan rata-rata penduduk suatu daerah pada suatu waktu tertentu (Sudono Sukirno, 1995:417). Nilainya diperoleh dari membagi nilai PDRB pada suatu tahun tertentu dengan jumlah penduduk pada pertengahan tahun tersebut. 4. Usaha Fiskal (Tax Effort ) Usaha pajak adalah jumlah pajak yang sungguh-sungguh dikumpulkan oleh kantor pajak dan dilawankan dengan potensi pajak ((tax capacity potensial ) Suparmoko, 1992:320). Usaha pajak dapat diartikan sabagai rasio antara penerimaan pajak dengan kapasitas atau kemampuan bayar pajak di suatu daerah. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan bayar masyarakat adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Jika PDRB suatu daerah meningkat, maka kemampuan daerah dalam membayar (ability to pay ) pajak juga akan meningkat. Ini mengandung arti bahwa administrasi penerimaan daerah dapat dapat meningkatkan daya pajak.
C. Hasil Penelitian Sebelumnya Hasil penelitian yang yang telah dilaksanakan oleh yuliawati (Abdul Halim, 2001:21-34) dengan judul Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam Menghadapi Otonomi Daerah (Kasus Kabupaten Malang) dapat disimpulkan bahwa derajat desentralisasi fiskal yang dihitung yang dihitung
61
dari proporsi PAD terhadap APBD rata-rata dalam kurun waktu lima tahun (1995/1996-1999/2000) sebesar 15%. Sedangkan proporsi PAD + Bagi Hasil Pajak Bukan Pajak terhadap PDRB sebesar 29% dan jika dilihat setiap tahunnya selalu mengalami penurunan. Hal ini menunjukan ketergantungan Pemerintah Kabupaten Malang terhadap Pemerintah Pusat sangat tinggi. Ana Dwi Kurniati, Tahun 2004, dengan Judul Analisis Kemampuan Keuangan Daerah di Kabuapten Sukoharjo (Perbandingan Era Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah). Dhinaryati, tahun 2003, dengan judul Analisis Efesiensi dan Efektivitas Pendapatan Asli Daerah di Kota Surakarta Tahun 1998 - 2002
62
BAB III GAMBARAN UMUM KABUPATEN SLEMAN
A. Kondisi Umum 1.
Letak Geogarfis Administratif Kabupaten Sleman merupakan salah satu kabupaten dari empat
Daerah Kabupaten dan satu Daerah Kota di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Kabupaten Sleman terletak di sebelah Utara Kota Yogyakarta. Sesuai dengan Perda No. 12 Tahun 1998, hari jadi Kabupaten Sleman telah disepakati pada tanggal 15 Mei 1916, sehingga pada tahun 2003 merupakan peringatan hari jadi yang ke-87. Flora Identitas untuk Kabupaten Sleman adalah Salah pondoh, yang mempunyai nama latin Sallaca Edulis Reinw cv Pondoh. Hal tersebut didasarkan pertimbangan bahwa tanaman salak pondoh merupakan tanaman khas atau spesifik Kabupaten Sleman. Sedangkan Fauna Identitas Kabupaten Sleman adalah Burung Punglor yang memiliki nama latin
Zootheria Citrina. Burung Punglor merupakan burung liar yang memiliki habitat di kebun Salak Pondoh. Secara geografis Kabupaten Sleman terletak antara 7 34’51’’-7 47’03’’ Lintang Selatan dan107 15’03’’-100 29’03’’ Bujur Timur. Sedangkan secara administratif batas-batas wilayah kabupaten Sleman
63
adalah sebagai berikut : (1) sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah; (2) sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Kotamadya Yogyakarta;
(3) sebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo, Propinsi DIY dan Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah; (4) sebelah timur berbatasan dengan Kabuapten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Wilayah di bagian selatan merupakan dataran rendah yang subur, sedang di bagian utara sebagian besar merupakan tanah kering yang berupa ladang dan pekarangan, serta memiliki permukaan yang agak miring ke selatan dengan batas paling utara adalah Gunung Merapi. Di lereng selatan Gunung Merapi terdapat dua buah bukit, yaitu Bukit Turgo dan Bukit Plawangan yang merupakan bagian dari Kawasan Wisata Kaliurang. Beberapa sungai yang mengalir melalui Kabupaten Sleman menuju Pantai Selatan antara lain Sungai Progo, Krasak, Sempor, Nyoho, Kuning dan Boyong. Berdasarkan karakteristik
sumber daya yang ada, wilayah
Kabupaten Sleman terbagi menjadi 4 wilayah, yaitu : a.
Wilayah lereng Gunung Merapi, dimulai dari jalan yang menghubungkan Kota
Tempel, Pakem dan Cangkringan sampai
dengan puncak Gunung Merapi dan ekosistemnya; b.
Wilayah timur, meliputi Kecamatan Prambanan, sebagian Kecamatan Kalasan dan Kecamatan Berbah. Wilayah ini merupakan peninggalan purbakala (candi) yang merupakan pusat wisata budaya dan daerah lahan kering serta sumber bahan batu putih;
64
c.
Wilayah Yogyakarta
tengah,
yang meliputi
yaitu
wilayah
Kecamatan
aglomerasi
Gamping. Wilayah
Kota ini
merupakan pusat pendidikan, perdagangan dan jasa; d.
Wilayah barat, meliputi Kecamatan Godean, Minggir, Seyegan, dan Mayudan merupakan daerah pertanian lahan basah yang tersedia cukup air dan sumber bahan baku, kegiatan industri kerajinan mendong, bambu dam gerabah. Berdasarkan jalur lintas antar daerah, kondisi wilayah Kabupaten
Sleman dilewati jalur jalan negara yang merupakan jalur ekonomi yang menghubungkan Sleman dengan kota pelabuhan (Semarang, Surabaya, Jakarta). Jalur ini melewati wilayah Kecamatan Prambanan, Kalasan, Depok, Mlati dan Gamping. Selain itu, wilayah Kecamatan Depok, Mlati dan Gamping juga dilalui jalan lingkar yang merupakan wilayah yang cepat perkembangannya, yaitu dari agraris menjadi industri, perdagangan dan jasa. Kabupaten Sleman tergolong daerah agraris, dimana sebagian penduduknya menopang kehidupannya dari sektor pertanian. Akan tetapi dalam kenyataannya luas lahan sawah lebih kecil jika dibandingkan luas lahan kering. Luas lahan kering ini semakin bertambah, disebabkan banyaknya lahan
sawah
yang berubah
fungsi menjadi
kawasan
pemukiman. Letak daerah Kabupaten Sleman amat strategis, sebab berada pada jalur lintas darat utama Pulau Jawa. Hal ini membawa arti tersendiri bagi perkembangan dan kemajuan Kabupaten Sleman.
65
2. Luas Wilayah Daerah Kabupaten Sleman memiliki wilayah seluas 574,82 Km 2 atau + 18,11% dari luas wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan penggunaannya, lahan di Kabupaten Sleman dibedakan menjadi enam jenis lahan, yaitu : tanah sawah, tanah tegalan, tanah pekarangan, tanah hutan rakyat dan Negara, tanah kolam, dan tanah lainlain. Adapun luas lahan berdasarkan penggunaannya di Kabupaten Sleman tertera dalam table 3.1. sebagai berikut :
Tabel 3.1.: Luas Lahan Kabupaten Sleman Berdasarkan Penggunaannya Tahun 2003 Penggunaan (1) Tanah Sawah Tanah tegalan Tanah Pekarangan Tanah Lainnya Jumlah Sumber : BPS, Sleman,2003
Dari
Luas (2) 23.361 6.440 18.832 8.849 57.482
Persen(%) (3) 40,64 11,20 32,76 15,39 100
pembagian lahan menurut penggunaan sebagaimana
dipaparkan dalam table 3.1 di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar atau lebih dari 40% wilayah Kabupaten Sleman merupakan lahan pertanian, baik berupa persawahan, ladang, maupun perikanan dan perkebunan. 3. Kondisi Alam Wilayah Kabupaten Sleman secara umum terdiri dari daratan rendah, daratan tinggi, dan bukit kapur, yang berketinggian tempat antara 100 - 2500 m diatas permukaan laut. Sekitar 11.000 Ha atau 19% dari luas wilayah Kabupaten Sleman yang terletak di bagian utara, merupakan tanah
66
miring berupa abu vulkanis Gunung Merapi yang sangat subur dan kaya akan mata air.
B. Keadaan Demografi 1.
Jumlah Penduduk Berdasarkan
data penduduk tahun
2003,
diketahui
bahwa
Kabupaten Sleman berpenduduk 884.742 jiwa, dengan rincian 437.967 jiwa laki-laki dan 444.760 jiwa perempuan. Dengan luas wilayah 574,82 Km2, maka kepadatan penduduk Kabupaten Sleman adalah 1.539 jiwa per Km2. Penduduk Kabupaten Sleman tersebut tersebar pada 17 Kecamatan, beberapa Kecamatan yang relatif padat penduduknya adalah Depok dengan 115.109, Gamping dengan 70.435 serta Mlati dan Godean dengan masing-masing 70.403 dan 59.320. Sedangkan Kecamatan yang relatif jarang penduduknya adalah Kecamatan Cangkringan sebesar 27.171.
Untuk lebih jelasnya, Struktur penduduk Kabupaten Sleman menurut jenis kelamin per Kecamatan di Kabupaten Sleman, dapat ditampilkan dalam table 3.2. berikut ini .
67
Tabel 3.2 : Banyaknya Penduduk Kabupaten Sleman Menurut Jenis Kelamin per Kecamatan Tahun 1999 – 2003 Kecamatan
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
(1)
(2)
(3)
(4)
1. Moyudan
16.722
17.421
34.143
2. Minggir
16.994
17.996
34.990
3. Seyegan
20.904
21.957
42.861
4. Godean
29.524
29.796
59.320
5. Gamping
35.084
35.351
70.435
6. Mlati
35.391
35.012
70.403
7. Depok
59.503
55.414
114.917
8. Berbah
20.245
21.310
41.555
9. Prambanan
21.406
23.423
44.829
10. Kalasan
27.280
28.907
56.187
11. Ngemplak
22.781
23.880
46.661
12. Ngaglik
34.606
35.443
70.049
13. Sleman
28.531
29.121
57.652
14. Tempel
23.625
24.126
47.751
15. Turi
16.624
17.118
33.742
16. Pakem
15.505
16.353
31.858
17. Cangkringan Jumlah Tahun 2002
13.142 437.867 432.795
14.029 446.657 441.797
27.171 884.524 874.592
Tahun 2001
426.225
435.878
862.103
Tahun 2000
420.070
429.925
849.995
Tahun 1999 414.132 Sumber : BPS, Sleman, 2003
424.469
828.933
2.
Tingkat Kepadatan Penduduk Sebagai
kecamatan
dengan
jumlah
penduduk
terbesar
di
Kabupaten Sleman, maka Kecamatan Depok juga sekaligus merupakan kecamatan dengan tingkat kepadatan tertinggi di Kabupaten Sleman, yaitu 3.238 jiwa per Km 2. Hal ini disebabkan karena wilayah Kecamatan Depok
68
berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta. Selain itu, banyak fasilitas pendidikan dan pariwisata terletak di Kecamatan Depok, seperti Kampus Universitas Gajah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia, Universitas Pembangunan Nasional, Universitas Atma Jaya, Universitas Proklamasi’45, dan kampus-kampus terkemuka lainnya. Adapun fasilitas pariwisata terdapat beberapa hotel-hotel berbintang terdapat beberapa buah di Kabupaten Sleman. Untuk lebih jelasnya, kepadatan penduduk Kabupaten Sleman disajikan pada tabel 3.3 beriikut ini : Tabel 3.3 : Kepadatan Penduduk Per Km2 di Kabupaten Sleman Tahun 2003 Kecamatan
Luas ( Km2)
(1)
(2)
1. Mayudan 2. Minggir 3. Sayegan 4. Godean 5. Gamping 6. Mlati 7. Depok 8. Berbah 9. Prambanan 10. Kalasan 11. Ngemplak 12. Ngaglik 13. Sleman 14. Tempel 15. Turi 16. Pakem 17. Cangkringan JUMLAH Sumber : BPS, Sleman, 2003
3.
Penduduk (3)
27,62 27,27 26,63 26,84 29,25 28,52 35,55 22,99 41,35 35,84 35,71 38,52 31,52 32,49 43,09 43,84 47,99 547,82
34.143 34.990 42.861 59.320 70.435 70.403 115.109 41.555 44.829 56.187 46.661 70.050 57.652 47.751 33.742 31.868 27.171 884.727
Kepadatan Penduduk Per Km2 (4)
1.236 1.283 1.610 2.210 2.408 2.469 3.238 1.808 1.084 1.568 1.307 1.819 1.841 1.470 783 727 566 1.539
Penyebaran Penduduk Secara umum penduduk Kabupaten Sleman dapat dikatakan
tersebar hampir merata di seluruh Kecamatan, kecuali Kecamatan
69
Cangkringan yang hanya didiami oleh sekitar 3,15 % dari jumlah penduduk Kabupaten Sleman. Apabila penduduk benar-benar tersebar merata di 17 kecamatan di Kabupaten Sleman, maka setiap Kecamatan akan berpenduduk 49.331 orang. Menelaah penyebaran penduduk Kabupaten Sleman sebagaimana tertera dalam tabel 3.4, tampak jelas bahwa
1
penyebaran
penduduk,
terdapat
beberapa
karakteristik
Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Sleman, yaitu Kecamatan yang berbatasan dengan wilayah Kota Yogyakarta serta Kecamatan yang berada di jalan protokol memiliki penduduk dengan jumlah mendekati rata-rata. Tabel 3.4 : Persentase Jumlah Penduduk Per Kecamatan Di Kabupaten Sleman Tahun 2003 Kecamatan (1) 1. Mayudan 2. Minggir 3. Sayegan 4. Godean 5. Gamping 6. Mlati 7. Depok 8. Berbah 9. Prambanan 10. Kalasan 11. Ngemplak 12. Ngaglik 13. Sleman 14. Tempel 15. Turi 16. Pakem 17. Cangkringan JUMLAH Sumber : BPS, Sleman, 2003
Penduduk (2) 34.143 34.990 42.861 59.320 70.435 70.403 115.109 41.555 44.829 56.187 46.661 70.050 57.652 47.751 33.742 31.868 27.171 884.727
Persen (%) (3) 3.85 3.95 4.84 6.70 7.96 8.00 13.01 4.70 5.06 6.35 5.27 7.91 6.52 5.40 3.81 3.60 3.07 100
Data dalam tabel 3.4 di atas menjelaskan bahwa terdapat tujuh kecamatan yang memiliki jumlah penduduk di atas 50.000. Bahkan Kecamatan Depok berpenduduk jauh lebih besar, yaitu 115.109 jiwa.
70
Perbedaan ini tampaknya disebabkan oleh perbedaan letak wilayah kecamatan. Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Sleman tergolong sangat tinggi dibandingkan Kondisi
tersebut
pertumbuhan penduduk kabupaten lain di DIY. diakibatkan
migrasi
masuk
yang
lebih
besar
dibandingkan migrasi keluar sebagai konsekuensi Sleman sebagai tujuan pendidikan dan akibat pesatnya pertumbuhan perumahan dan pemukiman di Kabupaten Sleman.
C. Administrasi Pemerintah 1.
Pembagian Wilayah Administrasi Pada
bagian
terdahulu,
telah
dikemukakan
bahwa
secara
administratif, wilayah Kabupaten Sleman di bagi menjadi 17 wilayah kecamatan, dengan luas wilayah masing-masing kecamatan antara 22,99 Km2-47,99 Km2.
Masing-masing
kecamatan terdiri
dari
3
–
8
Desa/Kelurahan dan 54-98 Dusun. Data tentang Kecamatan dan desa tersebut, ditampilkan dalam tabel 3.5 berikut :
71
Tabel 3.5 : Pembagian Wilayah Dan Luas Wilayah Per Kecamatan di Kabupaten Sleman Tahun 2003 Kecamatan
Luas (Km2)
Jumlah Desa/Kelurahan
Jumlah Dusun
(1)
(2)
(3)
(4)
1. Mayudan 2. Minggir 3. Sayegan 4. Godean 5. Gamping 6. Mlati 7. Depok 8. Berbah 9. Prambanan 10. Kalasan 11. Ngemplak 12. Ngaglik 13. Sleman 14. Tempel 15. Turi 16. Pakem 17. Cangkringan JUMLAH Sumber : BPS, Sleman, 2003
a.
27,62 27,27 26,63 26,84 29,25 28,52 35,55 22,99 41,35 35,84 35,71 38,52 31,52 32,49 43,09 43,84 47,99 547,82
4 5 5 7 5 5 3 4 6 4 5 6 5 8 4 5 5 86
65 68 67 77 59 74 58 63 68 80 82 87 78 98 54 61 73 1.212
Indonesia,
Untuk
Motto dan Slogan Seperti
daerah-daerah
lain
di
mendayagunakan kegiatan pembangunan daerah secara merata, Pemerintah
Kabupaten
Sleman
mencanangkan
slogan
gerakan
pembangunan desa terpadu Sleman SEMBADA. Secara harfiah Slogan Sleman Sembada dapat diartikan sebagai suatu kondisi Sehat, Elok dan Edi, makmur dan Merata, bersih dan Berbudaya, Aman dan Adil, Damai dan Dinamis, Agamis. Dengan nilai-nilai tersebut diharapkan dapat menciptakan Kabupaten Sleman yang Sejahtera, Lestari dan Mandiri.
72
Slogan
tersebut
mengandung
makna
bahwa
kegiatan
pembangunan daerah Kabupaten Sleman adalah dalam rangka menciptakan masyarakat yang sehat dan makmur di wilayah yang elok dan bersih, dengan diliputi suasana aman dan damai. b.
Visi dan Misi Untuk menyamakan persepsi akan tujuan kegiatan pemerintah
dan pembangunan daerah, Kabupaten Sleman memiliki : Visi pembangunan
Kabupaten
Sleman
tahun
2000
–
2004
yaitu
terwujudnya masyarakat Kabupaten Sleman yang maju, sejahtera, lestari, mandiri, berdaya saing, damai demokratis, agamis dan berkeadilan. Sedangkan Misi dari Kabupaten Sleman adalah Penerapan dan pengembangan teknologi, Peningkatan pertumbuhan ekonomi, Peningkatan kesejahteraan masyarakatnya, Pelestarian lingkungan hidup, Pelestarian nilai budaya, Penataan dan optimalisasi birokrasi, Pemberdayaan
masyarakat
dalam
pembangunan,
Peningkatan
pendidikan masyarakat dan Peningkatan keadilan di bidang hukum.
2.
Tinjauan Keuangan Daerah a.
Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) Perkembangan kemampuan keuangan berdasarkan realisasi
APBD Kabupaten Sleman, pada periode Pelita VI pendapatan daerah mengalami
peningkatan
Rp.27.329.050.000,-
yang
dalam
cukup tahun
berarti, 1994/1995,
yaitu
dari
menjadi
Rp.99.158.593.000,- pada tahun anggaran 1998/1999, dan pada tahun
73
anggaran 2003 naik menjadi Rp. 452.884.659.005,91. Sedangkan raelisasi anggaran belanja tahun 2001 dan tahun 2002 sebesar Rp. 293.229.921.000,- dan Rp. 338.094.056.000,- serta anggaran belanja tahun 2003 sebesar Rp. 447.510.559.805,33. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya masih relatif lebih kecil, namun jika dikurangi dengan anggaran belanja maka anggaran pendapatannya masih surplus sebesar Rp. 5.374.099.200,28, hal ini disebabkan karena pada tahun 2003 pengeluaran Pemerintah Daerah lebih meningkat seperti halnya pada saat pelaksanaan penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil yang dilaksanakan dengan biaya sendiri.. APBD Kabupaten Sleman mengalami surplus antara tahun anggaran 1994/1995-1996/1997 dan tahun anggaran 1998/1999. Tetapi pada tahun anggaran 1997/1998, APBD Kabupaten Sleman seimbang. Hal ini dikarenakan adanya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 yang menyebabkan pembelajaan daerah mengalami peningkatan. Keadaan kemampuan keuangan daerah Kabupaten Sleman tahun 1990/1991-2003, tertera dalam tabel 3.6 berikut :
74
Tabel 3.6 : Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Sleman, Tahun Anggaran 1991/1992- 2003 (juta rupiah) Tahun Pendapatan Belanja (1) (2) (3) 1990/1991 12.037.193 11.758.739 1991/1992 14.594.212 14.131.806 1992/1993 17.829.542 17.590.191 1993/1994 21.361.070 21..070.232 1994/1995 27.329.050 26.045.326 1995/1996 32.795.129 31.956.038 1996/1997 72.017.911 71.245.963 1997/1998 85.569.920 85.569.920 1998/1999 99.158.593 73.122.899 1999/2000 126.237.003 120.352.970 2000 128.038.618 118.532.970 2001 308.531.584 293.229.921 2002 383.093.699 338.094.056 2003* 452.884.659 447.510.560 Sumber : Badan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah, 2003 * adalah angka sangat sementara
Penerimaan daerah Kabupaten
Sleman diperoleh
Saldo (4) 278.454 462.406 239.351 290.838 1.283.720 839.091 771.948 0 26.035.694 5.884.711 9.505.648 15.301.663 44.999.643 5.374.099
dari tiga
komponen sumber penerimaan daerah, yaitu : Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bagi Hasil pajak dan Bukan Pajak, dan Sumbangan/Bantuan dari Pemerintah Pusat. Selain itu, terdapat sumber penerimaan berupa penerimaan pembangunan, tetapi komponen itu bersifat insidental, berupa pinjaman kepada Pemerintah daerah dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dari Pusat, apabila dipandang perlu. Dalam rangka Penyelenggaraan Otonomi Daerah, maka daerah dituntut untuk seoptimal mungkin menggali sumber-sumber keuangan daerah berupa Pendapatan Asli Daerah. Karena salah satu keberhasilan Daerah
Otonom
adalah
kemampuan
daerah
untuk
membiayai
pembangunan secara mandiri. Artinya, sedapat mungkin bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusat diperkecil atau dihilangkan.
75
b.
Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman telah berupaya untuk
membolisasikan secara optimal segala potensi dan sumber daya yang dimiliki untuk meningkatkan PAD pada Era Sebelum Otonomi Daerah pada tahun 1990/1991 – 2000 mempunyai rata-rata konstribusi PAD terhadap PDRB sebesar 17,1%, sedangkan pada Era Otonomi Daerah antara tahun 2001 – 2003 mempunyai rata-rata konstribusi PAD terhadap PDRB sebesar 10,48. Untuk lebih jelasnya tertera pada tabel 3.7 berikut : Tabel 3.7 : Konstribusi PAD Terhadap Realisasi Total APBD di Kabupaten Sleman, Tahun Anggarn 1990/1991- 2000 (ribu rupiah)
Tahun Anggaran
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
1990/1991 2384366 1991/1992 2950300 1992/1993 2930168 1993/1994 3520269 1994/1995 5341982 1995/1996 7442337 1996/1997 10583958 1997/1998 13464878 1998/1999 14786416 1999/2000 17125445 2000 17884885 2001 29571153 2002 38908193 2003 52978731 A) ∑APBD Seblm Otda 98414977 Rata-rata Seblm Otda B) ∑ APBD di Era Otda 121458077 Rata-rata di Era Otda Total (A+B) 219873054 Rata-rata Sumber : Hasil pengolahan data sekunder, 2003
Total APBD (000 Rp) 12037193 14594212 17829542 21361070 27329050 32795129 72017911 85569920 99158593 126237003 128038618 308531584 383093699 452884659 636968241 1144509942 1781478183
Konstribusi PAD Terhadap APBD (%)
76
D. Tinjauan Ekonomi 1.
Pertumbuhan Ekonomi Regional Untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi regional dapat dilihat dari pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Untuk mengetahui pertumbuhan riil dari tahun ke tahun setiap agregat ekonomi dipergunakan PDRB atas dasar harga konstan, sehingga angka-angkanya sudah terbebas dari pengaruh peningkatan harga atau terbebas dari pengaruh inflasi. Berikut ditampilkan tabel mengenai gambaran PDRB Kabupaten Sleman atas Dasar Harga Konstan. Tabel 3.8. Produk Domestik Reginal Bruto (PDRB) Kabupaten Sleman atas Dasar Harga Konstan Tahun 1999 -2003 (juta rupiah) Tabel 3.8 : PDRB Kab. Sleman Menurut Lap. Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1999 – 2003 Lapangan Usaha
1999 (3) 189016 6059 223125 9902 147482 255535 151753
2000 (4) 203317 6337 232455 10360 150620 265711 156013
Tahun 2001 (5) 212155 6583 242053 10562 154596 278091 162129
(2) Pertanian Pertambangan&Galian Indstri Pengolahan Listrik,Gas&Air Bersih Bangunan Perdag,Hotel&Restoran Pengankutan&Komunikasi Keuang,Persewaan&Js.PrUs 169555 172230 179479 h 247312 252308 261721 Jasa-Jasa Jumlah PDRB 1399739 1449351 1507369 Sumber : BPS, Sleman, 2003; * adalah angka sangat sementara
2002 (6) 221300 9245 260254 14046 161748 187238 170603
2003* (7) 219343 10079 275452 13643 178738 305549 177846
188969 265463 1478866
197768 276264 1654682
Berdasarkan harga konstan tahun 1993, total PDRB Kabupaten Sleman tahun 1999 adalah 1.399.739.000.000,- dan tahun 2003 adalah 1.654.882.000.000,-, berarti pertumbuhan riil perekonomian Kabupaten
77
Sleman rata-rata sebesar 23,9% per tahun. Pertumbuhan riil ini karena peranan dari beberapa sektor yang mempunyai konstribusi cukup besar yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa. Apabila dilihat atas harga berlaku maka PDRB Kabupaten Sleman pada tahun 1999 adalah sebesar 3.155.646.000.000,oo sedangkan pada tahun 2003 adalah sebasar 5.467.829.000.000,oo. Berarti pertumbuhan PDRB atas harga berlaku rata-rata 14,5% per tahun. Berikut adalah tabel mengenai gambaran PDRB Kabupaten Sleman atas dasar harga berlaku. Tebel 3.9 : PDRB Kab. Sleman Menurut Lap. Usaha Atas Dasar Harga berlaku Tahun 1999 – 2003 Tahun 2001 784699 17179 642310 32671 370996 850109 355902
Lapangan Usaha 1999 2000 599661 704858 Pertanian 13301 14793 Pertambangan&Galian 469529 546511 Indstri Pengolahan 24891 28667 Listrik,Gas&Air Bersih 279037 328170 Bangunan 621673 708549 Perdag,Hotel&Restoran 284986 307520 Pengankutan&Komunikasi Keuang,Persewaan&Js.PrUs 312160 335878 400963 h 550408 597627 681053 Jasa-Jasa Jumlah PDRB 3155646 3572573 4135882 Sumber : BPS, Sleman, 2003; * adalah angka sangat sementara
2.
2002 861364 27324 921518 60011 413421 992634 400824
2003* 894733 31222 1029575 69206 507224 1172373 440020
453215 743743 4874054
495052 828424 5467829
Angka Sektoral Dalam menyusun suatu analisis keberhasilan pembangunan suatu wilayah dapat dipergunakan angka PDRB dari tahun ke tahun. Perubahan yang terjadi pada PDRB tersebut menunjukan arah pembangunan dan kemajuan
yang
dicapai.
Selanjutnya
untuk
mengetahui
tentang
78
pertumbuhan ekonomi regional perlu ditinjau peranan dan perkembangan per sektor PDRB sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut : Tabel 3.10 : Peranan Ekonomi Sektoral Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 1993, PDRB Kabupaten Sleman Tahun 1999 – 2003 1999 2000 2001 2002 2003 1999 Lapangan Harga Berlaku Usaha 19.01 19.73 18.97 17.67 16.36 13.43 Pertanian 0.42 0.41 0.42 0.56 0.57 0.43 Tambang Inds.Olahan 14.88 15.30 15.53 18.91 18.83 15.95 0.80 0.79 1.23 1.27 0.71 .Lis,Gas&Air 0.79 8.84 9.19 8.97 8.48 9.28 10.55 Bangunan 19.70 19.83 20.55 20.37 21.44 18.27 Perdagagan 8.61 8.61 8.22 8.05 10.85 Transportasi 9.03 i 9.89 9.40 9.69 9.30 9.05 12.13 Keuang 17.44 16.73 16.47 15.26 15.15 17.68 Jasa-Jasa 100 100 100 100 100 100 PDRB Sumber : BPS, Sleman, 2003 ; * adalah angka sangat sementara
2000 2001 2002 Harga Konstan 14.03 14.07 14.02 0.44 0.44 0.59 16.04 16.06 16.48 0.71 0.70 0.89 10.39 10.26 10.24 18.33 18.45 18.19 10.76 10.76 10.81
2003*
11.88 17.42 100
11.95 16.70 100
11.91 17.35 100
11.97 16.81 100
13.26 0.61 16.65 0.82 10.80 18.46 10.75
Untuk melihat angka pertumbuhan sektoral PDRB di kabupaten Sleman berikut ini ditampilkan tabel sebagai berikut : Tabel 3.11 : Indeks Berantai Sektoral Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 1993, PDRB Kabupaten Sleman Tahun 1999 – 2003 1999 2000 2001 2002 2003 1999 Lapangan Harga Berlaku Usaha 96.6 104.6 109.1 113.9 112.8 103.5 Pertanian 83.2 87.0 90.4 127.0 138.5 103.3 Tambang 136.4 142.1 148.0 159.1 168.4 101.2 Inds.Olahan Lis,Gas&Air 207.7 217.3 221.6 294.7 286.2 101.5 110.3 112.6 115.6 120.9 133.6 102.3 Bangunan 135.7 141.1 147.7 152.6 162.3 102.0 Perdagagan Transportasi 123.1 126.6 131.5 138.4 144.3 100.8 i 124.2 126.2 131.5 138.4 144.9 101.3 Keuangan 132.1 134.8 139.8 141.8 147.6 102.0 Jasa-Jasa 117.9 113.2 115.7 117.8 112.1 101.9 PDRB Sumber : BPS, Sleman, 2003 ; * adalah angka sangat sementara
2000 2001 2002 Harga Konstan 109.5 103.0 104.1 104.6 103.8 102.4 105.0 105.4 105.2 104.6 101.9 71.4 102.1 102.6 104.6 104.3 104.8 104.1 102.8 103.9 105.2
2003*
95.7 102.4 103.3
104.3 103.9 104.7
104.3 103.3 104.0
104.5 101.4 103.8
99.1 108.2 106.0 112.1 109.7 105.3 105.5
Pada tahun 1999 sampai tahun 2001, sektor pertanian masih mengalami pertumbuhan yang sangat baik. Namun, mulai tahun 2002
79
sampai 2003 sektor pertanian mengalami penurunanan distribusinya terhadap PDRB yang pada tahun 2002 sebesar 14,02 % menjadi 13,26 %. Disebabkan oleh mulai marak dibukanya pemukiman-pemukiman baru. Sektor pertambangan dan penggalian mengalami pertumbuhan yang sangat menarik karena dari tahun ke tahun selalu meningkat. Pada tahun 2002 sebesar 0,59% sedangkan pada tahun 2003 naik menjadi 0,61 %. Peranan
sektor
industri
pengolahan
terhadap
total
PDRB
mengalami peningkatan pada tahun kedua pemberlakuan otonomi daerah dari 16,48% pada tahun 2002 menjadi 16,65% pada tahun 2003 dengan peningkatan sebesar 0,17%. Peranan sektor listrik, gas dan air bersih terhadap total PDRB juga mengalami peningkatan, pada tahun 2001 sebesar 0,70% menjadi 0,89% pada tahun 2002. Jika dilihat pada tahun 2003 walaupun angka masih sementara sudah menunjukan hasil yang baik sebesar 0,82% . Peranan sektor bangunan terhadap total PDRB mengalami peningkatan sebesar 10,24% pada tahun 2002 menjadi 10,80% pada tahun 2003. Karena banyak dibangun pemukiman baru dan pemondokan pemondokan bagi mahasiswa. Peranan sektor perdagangan dan sektor transportasi terhadap total PDRB mengalami peningkatan. Untuk sektor perdagangan pada tahun 2002 sebesar 18,19% menjadi 18,46% pada tahun 2003 dengan pertumbuhan sebesar 0,27%. Sedangkan sektor transportasi mengalami
80
penurunan pada tahun 2002 sebesar 10,81% menjadi 10,75% pada tahun 2003 dengan pertumbuhan sebesar 0,06%. Sektor keuangan merupakan sektor yang sangat terimbas akibat dari dampak krisis ekonomi. Peranan sektor keuangan terhadap total PDRB mengalami penurunan pada tahun 2002 sebesar 11,97 % menjadi 11,95 % pada tahun 2003. Sedangkan sektor jasa mengalami penurunan mulai tahun 2002 dan tahun 2003 sebasar 16,81 % dan 16.70 % jika dibandingkan dengan pada tahun sebelum diberlakukannya otonomi.
3.
Pertumbuhan Agregat Pendapatan Regional Untuk mengetahui pertumbuhan agregat pendapatan regional di
Kabupaten Sleman, ditampilkan tabel 3.12 sebagai berikut. Tabel 3.12 : Perkembangan Agregat Pendapatan dan Pendapatan Per Kapita Atas dasar Harga Berlaku dan harga Konstan 1993 di Kabupaten Sleman Tahun 1999 – 2002. Lapangan Usaha A.Atas dasar Hrg. Berlaku 1. PDRB (ribu Rp) 2. Indeks Berantai 3. PDRB Perkapita (ribu Rp)
B.Atas.Dsr.Hrg Konstan 1. PDRB (ribu Rp) 2. Indeks Berantai 3. PDRB Perkapita (ribu Rp)
∑Penduduk Pertengahan tahun
1999
2000
Tahun 2001
317572 9 117.97 367700 2
356098 5 132.29 394903 7
411978 8 115.69 450210 2
481817 1 116.95 518875 7
5467829 112.18 5803100
140465 8 101.93 162659 0
145177 2 103.35 160997 6
150983 3 104.00 164994 5
156768 5 103.83 168826 2
1654682 103.00 1756100
838628
850176
862314
874795
884742
2002
2003*
Sumber : BPS, Sleman, 2002, * adalah angka sangat sementara
Pertumbuhan pendapatan per kapita pada tahun 1999 menunjukan angka yang cukup tinggi. Berdasarkan harga berlaku, PDRB per kapita
81
pada tahun pada tahun 2001 sebesar Rp. 4.502.102 menjadi Rp. Rp. 5.188.757 pada tahun 2002 dan pada tahun 2003 menjadi Rp. 5.803.100. berarti terjadi kenaikan sebesar 9,9 %. Bila dihitung berdasarkan harga konstan terjadi kenaikan yaitu yang semula pada tahun 2002 sebesar Rp. 1.688.262 menjadi Rp. 1.756.100 pada tahun 2003. Berarti pertumbuhan Penadapatan per kapita pada tahun 2003 sebesar 5,2 %. Sedangkan pertumbuhan penduduk juga mengalami kenaikan sebesar 1,1 %. Hal ini menunjukan bahwa secara umu pembangunan ekonomi di kabupaten Sleman sudah dikatakan dapat berhasil.
82
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini akan dibahas mengenai hasil analisis data dan hasil pembahasan dari data yang telah diolah. Analisis data yang berupa Analisis Kualitatif dengan maksud dan tujuan untuk memberikan gambaran tentang perkembangan APBD Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun berdasarkan data yang telah ada, sehingga dapat mengetahui perkembangan APBD baik Sebelum maupun di Era Otonomi Daerah dengan melihat Pertumbuhan APBD, Proporsi Penerimaan terhadap APBD, Proporsi Pengeluaran terhadap APBD. Kontribusi masing-masing Pos APBD perlu diketahui untuk mendiskripsikan kondisi Keuangan
Daerah
Kabupaten
Sleman.
Selanjutnya
analisis
ini
juga
menggambarkan pertumbuhan ekonomi dengan melihat pertumbuhan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kabupaten Sleman baik Atas Dasar Harga Konstan maupun Atas Dasar Harga Berlaku. Selanjutnya Analisis Kuantitatif dimaksudkan untuk melihat Kemampuan Daerah dalam menjalankan Otonomi Daerah, salah satunya dapat diukur melalui Kinerja atau Kemampuan Keuangan Daerah. Namun, karena data di daerah kurang mendukung, maka dipakailah beberapa porsi untuk melihat Kinerja Keuangan Daerah. Untuk menguji Hipotesi Pertama, yaitu apakah Kabupaten Sleman mampu secara Keuangan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, dengan
83
menghitung besarnya Derajat Desentralisasi Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal dan Upaya Fiskal, Matrik Potensi Keuangan, Rasio Aktivitas (Keserasian) serta Efektifitas dan Efesiensi PAD baik Sebelum dan pada Era Otonomi Daerah di Kabupaten Sleman. Untuk menguji Hipotesis Kedua, yaitu bahwa bagaimana tingkat Kemandirian Kabupaten Sleman secara Keuangan Daerah, apakah mampu untuk membiayai
jalannya pemerintahan yang diukur melalui melalui Rasio
Kemandirian dan Pola Hubungannya. Selain itu juga, Analisis Kuantitatif dimaksudkan untuk melihat kesiapan Pemerintah Daerah dalam mengahadapi Otonomi Daerah khususnya dibidang Keuangan, diukur dari seberapa jauh kemampuan pembiayaan urusan bila didanai sepenuhnya oleh PAD (Pandapatan Asli Daerah) dan bagi hasil.
A. Analisis Kualitatif 1.
Analisis Perkembangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Sleman a)
Pertumbuhan APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Sleman setiap tahun mengalami kenaikan. Misalnya, total penerimaan APBD pada Era Sebelum Otonomi Daerah dari tahun anggaran 1990 2000 sebesar Rp. 636.968.241.000 dengan persentase sebesar 29,42% dan total penerimaan APBD meningkat pada Era Otonomi Daerah mulai tahun 2001 - 2003 menjadi Rp. 1.144.509.942.000 dengan nilai persentase sebesar 61,12%.
Sedangkan total rata-rata pertumbuhan
APBD selama 14 tahun sebesar 36,74%, meskipun selama periode
84
tersebut perubahan APBD yang terjadi tidak sama. Di bawah ini kami tunjukan gambaran rata-rata pertumbuhan APBD Kabupaten Sleman tahun anggaran 1990/1991 – 2003 yang dapat dilihat pada table 4.1 sebagai berikut. Tabel 4.1 :
Pertumbuhan APBD Kabupaten Sleman Tahun Anggaran 1990/1991 - 2003
Tahun Anggaran 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003 A) ∑APBD Seblum Otda Rata-rata Sebelum Otda B) ∑ APBD di Era Otda Rata-rata di Era Otda Total (A+B) Rata-rata
Total Penerimaan APBD (000Rp) 12037193 14594212 17829542 21361070 27329050 32795129 72017911 85569920 99158593 126237003 128038618 308531584 383093699 452884659 636968241
Pertumbuhan (%) -
1144509942 1781478183
Sumber : BPKKD Kab. Sleman, 2003
b)
Kontribusi PAD Terhadap APBD Hasil perhitungan pada tabel 4.2 dibawah ini dapat dilihat bahwa selama tahun anggaran 1990/1991 – 2003 bahwa kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten Sleman rata-rata sebesar 15,68%. Rata-rata konstribusi PAD terhadap APBD Sebelum Otonomi Daerah dari tahun anggara 1990 – 2000 sebesar 17,1% sedangkan pada saat Era Otonomi Daerah sekarang ini rata-ratanya lebih kecil yaitu sebesar 5,4 %. Hal ini menunjukan bahwa pada Era Otonomi Daerah,
85
ketergantungan
Kabupaten
Sleman
terhadap
Pemerintah
Pusat
cenderung lebih tinggi. Untuk itu, Kabupaten Sleman pada Era Otonomi sekarang ini perlu menggali potensi daerahnya, sehingga dapat meningkatkan kontribusi PAD terhadap APBD daerahnya. Untuk lebih jelasnya, akan kami tampilkan dalam bentuk tabel Kontribusi PAD terhadap APBD Kabuapten Sleman, seperti di bawah ini . Tabel 4.2 : Kontirbusi PAD terhadap APBD Kab. Sleman Tahun Anggaran 1990/1991 – 2003
Tahun Anggaran 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003 A) ∑APBD Seblm Otda Rata-rata Seblm Otda B) ∑ APBD di Era Otda Rata-rata di Era Otda Total (A+B) Rata-rata
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Total APBD (000 Rp)
2384366 2950300 2930168 3520269 5341982 7442337 10583958 13464878 14786416 17125445 17884885 29571153 38908193 52978731 98414977
12037193 14594212 17829542 21361070 27329050 32795129 72017911 85569920 99158593 126237003 128038618 308531584 383093699 452884659 636968241
121458077
1144509942
219873054
1781478183
Konstribusi PAD Terhadap APBD (%)
Sumber : BPKKD Kab. Sleman, 2003
c)
Proporsi Pengeluaran Daerah Terhadap APBD Perhitungan pada tabel 4.3 menunjukan bahwa rata-rata proporsi Pengeluaran Daerah terhadap APBD Kabupaten Sleman tahun anggaran 1990/1991 – 2003 sebesar 106,62%. Rata-rata
86
Sebelum Otonomi Daerah pada tahun 1990/1991 hingga tahun 2000 sebesar 108,68% lebih tinggi jika dibandingkan pada saat mulai diberlakukannya Otonomi Daerah sampai sekarang ini sebesar 99,05%. Hal ini dapat dikatakan bahwa pada Era Sebelum Otonomi dan pada Era Otonomi Daerah , proporsi Pengeluaran Daerah terhadap APBD Kabupaten Sleman sangat tinggi. Perkembangan Pengeluaran Daerah terhadap APBD Kabupaten Sleman dapat dilihat dalam tabel 4.3 berikut ini.
Tabel 4.3 :
Proporsi Pengeluaran Daerah terhadap APBD Kabupaten Sleman Tahun Anggaran 1990/1991 – 2003
Tahun Anggaran 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003 A) ∑APBD Seblm Otda Rata-rata Seblm Otda B) ∑ APBD di Era Otda Rata-rata di Era Otda Total (A+B) Rata-rata
Pengeluaran Daerah (000 Rp)
APBD (000 Rp)
11758739 14131806 17590191 21070232 26045326 33182997 79101632 95872784 112980068 137472647 144199906 313406363 370649657 447510560 693406328
12037193 14594212 17829542 21361070 27329050 32795129 72017911 85569920 99158593 126237003 128038618 308531584 383093699 452884659 636968241
1131566580
1144509942
1824972908
1781478183
Proporsi Pengeluaran Daerah terhadap APBD (%)
Sumber : BPKKD Kab. Sleman, 2003
2.
Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Sleman
87
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu ukuran statistik yang menjadi indikator penting dalam mengukur tingkat perkembangan perekonomian di suatu daerah.
PDRB sebenarnya
merupakan nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor-sektor ekonomi di suatu daerah pada kurun waktu tertentu. Dengan melihat nilai PDRB ini, maka banyak didapatkan berbagai informasi mengenai perkembangan ekonomi sektoral baik dalam hal volume produksi maupun harga. Kabupaten Sleman yang mempunyai sumbangan cukup berarti dalam beberapa sektor ekonomi khususnya pada tingkat Propinsi dengan diindikasikan sebagai Kabupaten dengan tingkat pertumbuhan pesat dan Nasional pada umumnya. Sehingga cukup menarik untuk diikuti perkembangan
perekonomiannya,
seperti
Sektor
Industri,
Sektor
Perdagangan, Sektor Pertanian serta Sektor Jasa. Perhitungan PDRB di Kabupaten Sleman selama ini menggunakan pendekatan produksi. Dalam pendekatan ini PDRB di hitung untuk masing-masing sektor ekonomi yang terbagi dalam 9 (sembilan) sektor usaha, yaitu : Sektor Pertanian, Sektor Pertambangan dan Penggalian, Sektor Industri Pengolahan, Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih, Sektor Bangunan, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, Sektor Pengangkutan dan Komunikasi, Sektor Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan, Jasa-jasa. Pendekatan produksi menghitung nilai tambah yang diperoleh dengan cara mengurangkan biaya antara masing-masing nilai produksi bruto tiap-tiap sektor ekonomi.
88
Dalam menghitung nilai PDRB untuk setiap sektor tersebut berdasarkan atas Harga Berlaku dan Harga Konstan. PDRB atas harga berlaku yaitu menghitung nilai tambah faktor produksi berdasarkan atas harga pada tahun yang bersangkutan. Nilai tambah PDRB Atas Dasar Harga Berlaku ini menggambarkan perkembangan volume produksi dan perubahan tingkat harga. Harga yang dipakai sebagai dasar perhitungan merupakan yang diterima produsen. Pada tahun 2003 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Kabupaten Sleman di Sektor Perdagangan Hotel dan Restoran memberikan konstribusi yang sangat menjanjikan terhadap PDRB sebesar Rp. 1.172.373 juta dan di Sektor Industri Pengolahan memberikan konstribusi terhadap PDRB sebesar Rp. 1.029.575 juta sedangkan di Sektor Pertanian memberikan konstribusi terhadap PDRB sebesar Rp. 894.733 juta. Pada tabel 4.4 berikut ini dapat dilihat PDRB Kabupaten Sleman menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku tahun 1990 sampai 2003.
89
Tebel 4.4 : PDRB Kab. Sleman Menurut Lap. Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1999 – 2003 (juta Rp) Lapangan Usaha (1) Pertanian Pertambangn&Galian Indstri Pengolhan Listrik,Gas&Air Bersih Bangunan Perdag,Hotel&Restorn Pengankutn&Komnikasi Keuang,Persewan&Js.PrUsh Jasa-Jasa Jumlah PDRB
1990 (2) 139319 2293 76964 6927 25763 102148 27471 28850 73171 482906
1991 (3) 157872 2429 102831 7578 30734 116261 43258 32246 84179 577388
Tahun 1992 1993 (4) (5) 174242 194318 2842 7277 127961 163501 7876 4766 36705 133712 137364 188219 47657 123232 35052 136469 91946 187120 661645 1138614
Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 (8) (9) (10) (11) (12) (13) 218402 226655 180486 599661 704858 784699 7420 7198 5866 13301 14793 17179 234823 231832 220433 469529 546511 642310 7604 7918 9748 24891 28667 32671 173869 180772 144138 279037 328170 370996 234723 250567 250382 621673 708549 850109 149663 158272 150438 284986 307520 355902 172883 177540 173300 312160 335878 400963 246317 256107 242442 550408 597627 681053 1445704 1496861 1377233 3155646 3572573 4135882 Sumber : BPS, Kab. Sleman, 2003; * adalah angka sementara
1994 (6) 197557 7561 200827 5829 144447 198258 127090 148291 204862 1234722
2002 (14) 861364 27324 921518 60011 413421 992634 400824 453215 743743 4874054
1995 (7) 204536 7228 213873 6324 158557 215958 139086 161191 228731 1335484
2003 * (15) 894733 31222 1029575 69206 507224 1172373 440020 495052 828424 5467829
Sedangkan Atas Dasar Harga Konstan adalah menilai faktor produksi atas dasar harga konstan pada tahun dasar, yaitu harga tahun 1993. Dari nilai konstan ini akan tergambar tingkat produktivitas dan kapasitas produksi untuk setiap lapangan usaha. PDRB Atas Dasar Harga Konstan dipakai sebagai dasar penilaian Pertumbuhan Ekonomi Regional.
90
Bila dilihat dari distribusi persentase masing-masing sektor terhadap PDRB, pada tahun 2003 Sektor Perdagangan Hotel dan Restoran masih memegang peranan penting dalam perekonomian di Kabupaten Sleman, dengan kontribusi terhadap PDRB sebasar Rp. 305.549 juta. Sementara itu konstribusi yang diberikan oleh Sektor Pertanian terhadap PDRB di Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun mengalami penurunan dan beralih ke Sektor Perdagangan Hotel dan Restoran. Hal ini disebabkan oleh menurunya produksi Sektor pertanian akibat sempitnya luas lahan dan menurunnya hasil panen serta semakin maraknya kegiatan ekonomi masyarakat di sektor perdagangan maka akan mengakibatkan berubahnya struktur ekonomi masyarakat Kabupaten Sleman. Sehingga sektor perdagangan tampak menjadi pilihan yang menarik bagi masyarakat untuk mengatasi dampak krisis ekonomi. Perincian setiap kontribusi setiap sektor terhadap PDRB tahun 2003 ditunjukan pada tabel 4.5 di bawah ini.
91
Tabel 4.5 : PDRB Kab. Sleman Menurut Lap. Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1999 – 2003 (juta Rp) Lapangan Usaha (1) Pertanian Pertambangn&Galian Indstri Pengolhan Listrik,Gas&Air Bersih Bangunan Perdag,Hotel&Restorn Pengankutan&Komnikasi Keuang,Persewan&Js.PrUsh Jasa-Jasa Jumlah PDRB
1990 (2) 72385 2357 43962 4850 11565 55753 17344 18370 44054 27064 0
1991 (3) 74503 1133 53589 5110 12033 58986 22700 19067 46299 29342 0
Tahun 1992 1993 (4) (5) 76984 194318 1414 7277 62873 163501 5166 4766 13024 133712 66623 188219 22886 123232 19020 136469 47466 187120 31545 113861 6 4
Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 (8) (9) (10) (11) (12) (13) 218402 226655 180486 189016 203317 212155 7420 7198 5866 6059 6337 6583 234823 231832 220433 223125 232455 242053 7604 8500 9748 9902 10360 10562 173869 180772 144138 147482 150620 154596 234723 250567 250382 255535 265711 278091 149663 158272 150438 151753 156013 162129 172883 177540 173300 169555 172230 179479 246317 256107 242442 247312 252308 261721 1445704 1497443 1377233 1399739 1449351 1507369 Sumber : BPS, Kab. Sleman, 2003;* adalah angka sementara
1994 (6) 197557 7561 200827 5829 144447 198258 127090 148291 204862 123472 2
2002 (14) 221300 9245 260254 14046 161748 187238 170603 188969 265463 1478866
1995 (7) 204536 7228 213873 6324 158557 215958 139086 161191 228731 1335484
2003 * (15) 219343 10079 275452 13643 178738 305549 177846 197768 276264 1654682
Sementara itu sektor-sektor ekonomi lainnya tidak mengalami perubahan yang berarti dalam memberikan konstribusinya terhadap PDRB. Sektor Pertambangan dan Penggalian masih merupakan sektor dengan nilai konstribusi paling kecil dalam distribusinya terhadap PDRB Kabupaten Sleman.
92
3.
Analisis Perkembangan Ekonomi Kelompok Sektor Banyak pakar ekonomi mengelompokan sektor-sektor ekonomi yang ada dalam PDRB ke dalam 3 (tiga) kelompok sektor antara lain : kelompok sektor Primer, Sekunder dan Tersier. Pengelompokan sektor ini berdasarkan output maupun input dari asal terjadinya proses produksi untuk masing-masing kegiatan produksi. Kegiatan produksi dimasukan ke dalam kelompok Sektor Primer apabila outpunya masih proses tingkat dasar dan sangat tergantung pada alam. Sektor ekonomi yang dikelompokan ke dalam Sektor Primer adalah Sektor Pertanian dan Sektor Pertambangan dan Penggalian. Untuk sektor ekonomi yang outputnya berasal la ngsung dari Sektor Primer dikelompokan ke dalam Sektor Sekunder. Kegiatan produksi yang termasuk ke dalam Sektor Sekunder adalah Sektor Industri Pengolahan , Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih serta Sektor Bangunan, sedangkan sektor lainnya adalah Sektor Perdagangan Hotel dan Restoran; Sektor Pengangkutan dan Komunikasi; Sektor Keuangan, Sektor Persewaan, Sektor Jasa Perusahaan; serta Sektor Jasa-jasa dimasukan ke dalam Sektor Tersier. Salah satu tujuan dari Pembangunan Ekonomi adalah bergesernya kegiatan produksi dari Sektor Primer ke Sektor Sekunder dan Tersier. Hal ini disebabkan oleh karena kegiatan ekonomi di Sektor Sekunder dan Tersier dapat menghasilkan nilai tambah yang lebih besar. Pada grafik 4.1.1 menunjukan bawah Sektor Tersier memberikan konstribusi terhadap PDRB dengan persentase sebesar 53,69% sedangkan Sektor Sekunder
93
sedikit lebih besar dari Sektor Primer dengan persentase untuk Sektor Sekunder sebesar 29,38% dan Sektor Primer sebesar 16,93%.
Grafik 4.1.1 : Grafik Distribusi PDRB Menurut Kelompok Sektor di Kabupaten Sleman Tahun 2003 Sek tor Primer, 16.93 % Sektor Sek under, 29.38 %
Sek tor Tersier, 53,69 %
B. Analisis Kuantitatif 1.
Uji Hipotesisi I a.
Derajat Desentralisasi Fiskal Sebagaiman diuraikan dalam Bab I, untuk mengukur Derajat
Desentralisasi Fiskal dapat menggunakan beberapa Indikator atau Rasio. Untuk demikian pada pembahasan ini Indikator atau Rasio yang digunakan adalah sebagai berikut : 1)
Rasio
Pendapatan
Asli
Daerah
(PAD)
dengan Total Pendapatan Daerah 2)
Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak untuk Daerah dengan Total Pendapatan Daerah
94
3)
Rasio Sumbangan Bantuan Daerah dengan Total Pendapatan Daerah Dari perhitungan pada lampiran 1 (satu) tentang tabel Derajat
Desentralisasi Fiskal, dapat kita bandingkan Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Sleman sebelum diberlakukannya Otonomi Daerah (tahun anggaran 1990/1991 sampai dengan tahun anggaran 2000) dan setelah diberlakukanya Otonomi Daerah (tahun 2001 sampai dengan tahun 2003 ). Adapun perbandingan yang lebih jelasnya dapat dilihat di tabel 4.6 berikut ini : Tabel 4.6 : Rata-Rata Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Sleman Sebelum dan Di Era Otonomi Daerah (%)
Tahun Anggaran
Derajat Desentralisasi Fiskal PAD/TPD BHPBP/TPD SBD/TPD (%) (%) (%)
1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003 ∑ Sebelum Otda Rata-rata Sebelum Otda ∑ Pada Era Otda Rata-rata di Era Otda ∑Total 206.56 121.3 Rata-rata Sumber : Hasil Pengolahan Data, yang diringkas dari lampiran 1.
903.54
Tabel 4.6 diatas menunjukan bahwa selama 14 (empat belas) tahun, persentase rata-rata rasio PAD (Pendapatan Asli Daerah) terhadap TPD (Total Pendapatan Daerah) sebesar 14,75 %. Jika
95
dibandingkan antara Era Sebelum Otonomi Daerah dan di Era Otonomi Daerah, maka terlihat bahwa Era Sebelum Otonomi Daerah persentase rata-rata rasio PAD terhadap TPD sebesar 16,15% lebih tinggi jika dibanding Era Otonomi Daerah yaitu sebesar 9,62%. Hal ini dapat dikatakan bahwa Kabupaten Sleman di Era Otonomi Daerah terjadi penurunan Derajat Desentralisasi Fiskal antara Pemerintah Pusat dengan Daerah, karena pemberlakuan UU Otonomi Daerah baru berjalan tiga tahun. Derajat Desentralisasi Fiskal juga dapat dilihat dari rasio antara BHPBP (bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak) terhadap TPD. Selama kurun waktu 14 (empat belas) tahun persentase rata-rata rasio BHPBP terhadap TPD adalah sebesar 8,66%, namun besarnya rasio dari tahun ke tahun mangalami fluktuasi. Sedangkan rata-rata Sebelum Otonomi Daerah sebesar 9,3% lebih tinggi jika dibandingkan pada Era Otonomi Daerah yaitu 6,34%. Hal ini dapat dikatakan bahwa Kabupaten Sleman di Era Otonomi Daerah justru terjadi penurunan Derajat Desentralisasi Fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah walaupun masih dalam kategori yang sama yaitu rendah. Rata-rata persentase SBD (sumbangan dan bantuan) terhadap TPD selama kurun waktu 14 (empat belas) tahun sebesar 64,54%. Sedangkan rata-rata Sebelum Otonomi Daerah sebesar 65,16% lebih tinggi jika dibandigkan pada Era Otonomi Daerah yaitu sebesar 62,25%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Sleman memiliki ketergantungan yang sangat tinggi pada pada Pemerintah Pusat dilihat
96
dari rasio SBD terhadap TPD lebih dari 50% dan di Era Otonomi Daerah justru mempunyai ketergantungan yang lebih tinggi. Dari perhitungan pada lampiran 2 tentang proporsi penerimaan daerah terhadap total APBD, dapat kita bandingkan proporsi PAD dengan Total Penerimaan Daerah Kabupaten Sleman sebelum diberlakukannya Otonomi Daerah (tahun anggaran 1990/1991 sampai tahun 2000) dan pada Era Otonomi Daerah (mulai tahun 2001 sampai dengan tahun anggaran 2003). Adapaun perbandingan yang lebih jelas dapat dilihat di tabel 4.7 berikut ini. Tabel 4.7 : Rata-Rata Proporsi Penerimaan Daerah Terhadap Total APBD Kab. Sleman Sebelum Otonomi Daerah dan di Era Otonomi Daerah (%) Pos Penerimaan Bag. Sis Lbih Th. Lalu Bag. PAD Bag. Hsl.Pjk&B.Pjk Bag. Sbg&Bantuan. SDO&Bant.Pemb(DAU) Penerimaan lain yg sah Pinjaman. Pemda Total Catatan :
Rata-Rata 3.15 15.68 9.22 69.08 39.46 24.85 2.00 163.44
Rata-rata Sebelum Otda 2.48 15.81 9.20 62.91 32.86 30.05 0.50 153.81
Rata-rata di Era Otda 5.45 10.22 6.72 66.09 43.14 0.73 7.50 139.85
sebelum otonomi daerah, masuk dalam Pos Subsidi daerah otonom (SDO) & bantuan Pembangunan, pada era otonomi daerah masuk Pos Dana Alokasi Umum (DAU) • sebelum otda dalam pos penerimaan lain yang sah, pada era otda masuk pos Dana Alokasi Khusus (DAK) • Pos penerimaan ini selalu berubah-ubah, sebelum tahun anggaran 1999/2000 masuk pos sumbangan dan bantuan, tahun 2000 menjadi SDO dan bantuan pembangunan dan mulai tahun 2001 menjadi DAU. Sumber : hasil pengolahan data sekunder, yang diringkas dari lampiran 2. •
Dari hasil diatas terlihat bahwa rata-rata proporsi Pendapatan Asli Daerah dengan Total Penerimaan Daerah di Kabupaten Sleman sebesar 15,68 % Sebelum Otonomi Daerah sebesar 15,81 % lebih
97
tinggi dibandingkan di Era Otonomi Daerah yaitu sebesar 10,22 %. Rata-rata pada Era Otonomi Daerah justru mengalami penurunan yang sangat drastis sebesar 5 %. Hal ini menandakan bahwa Kabupaten Sleman belum sepenuhnya siap untuk menghadapi Otonomi Daerah dipandang dari segi pengumpulan PAD. Dari tabel 4.7 juga dilihat bahwa Sebelum Otonomi Daerah Pos Sumbangan dan Bantuan sebesar 62,91 %. Pada tahun anggaran 1999/2000 dan 2000 Pos Sumbangan dan Bantuan ini dalam APBD Kabupaten/Kota diganti dengan nama Pos Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan Bantuan Pembangunan. Dan berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa proporsi SDO dan Bantuan Pembangunan terhadap Total Penerimaan Daearh (TPD) semakin menurun dari Sebelum Pos Sumbangan dan Bantuan. Penurunannya sebesar 30,05 % (dari 62,91 % menjadi 32,86 %). Pada Era Otonomi Daerah, SDO dan Bantuan Pambangunan ini berubah nama menjadi Dana Alokasi Umum (DAU). Proporsi DAU terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Sleman sebesar 43,16 % sedangkan PAD-nya hanya sebesar 10,22 %. Hal ini menggambarkan bahwa sejak dimulainya Otonomi Daerah Kabupaten Sleman belum bisa mengandalkan PADS (Pendapatan Asli Daerah Sendiri) untuk mencukupi seluruh kebutuhan daerah, sehingga masih tergantung dari Dana Alokasi Umum yang berasal dari pusat, namun sudah bisa dikatakan mandiri. b.
Kebutuhan Fiskal ( Fiscal Need)
98
Berdasarkan rumus perhitungan tentang Kebutuhan Fiskal yang telah dijelaskan pada bab I dan hasil rata-rata perhitungan standar seD.I Yogyakarta dan Kabupaten Sleman (lihat Lampiran 3) maka kondisi rata-rata kebutuhan standar se-D.I Yogyakarta dan Kabupaten Sleman dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut ini. Tabel 4.8 : Rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar Se-Yogyakarta dan Kab. Sleman Tahun 1990/1991 – 2003 Tahun Anggaran
Kebutuhan Fiskal Standar Se-DIY (SKbFP Yk) % 1577.61 1057.13 1156.20 1292.04 1326.61 1493.70 1416.0 1619.0 863.03 856.0 1696.0 2116.5 2824.5 3270.50
Kebutuhan Fiskal Kab. Sleman (SKbFK Slmn) % 4.77 8.47 9.90 9.60 11.16 9.54 15.33 18.20 57.18 70.0 34.72 25.53 23.04 66.25
1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003 A) ∑Seblum Otda Rata-rata sblm otda2) B) ∑ di Era Otda Rata-rata pd.Era otda 3) Total Rata-rata1) Catatan : 1) Rata-rata kebutuhan fiskal selama kurun waktu 14 tahun (1990/1991 – 2003) 2) Rata-rata kebutuhan fiskal sebelum otda (tahun 1990/1991 – 2000) 3) Rata-rata kebutuhan fiskal pada era otda (tahun 2001 – 2003) Sumber : hasil pengolahan data sekunder, yang diringkas dari lampiran 3.
Dari tabel 4.8 dapat dijelaskan beberapa hal sebagai berikut : 1).
Pada tahun anggaran 1990/1991 rata-rata Kebutuhan Fiskal
Standar se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 1577,61 sedangkan Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 4,77. Ini menunjukan bahwa Indeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten
99
Sleman adalah sebesar 4,77, angka ini juga menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 4 kali lebih besar dari ratarata kebutuhan Standar se-D.I Yogyakarta. 2).
Pada tahun 1991/1992 rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar
se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 1.057,13 sedangkan Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 8,47. Ini menunjukan bahwa Indeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten Sleman adalah sebesar 8,47. Angka ini menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 8 kali lebih besar dari ratarata kebutuhan Standar se-D.I Yogyakarta. 3).
Pada tahun 1993/1994 rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar
se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 1.156,20. Sedangkan Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 9,90. Ini menunjukan bahwa Indeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten Sleman adalah sebesar 9,90. Angka ini menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 9 kali lebih besar dari ratarata kebutuhan Standar se-D.I Yogyakarta. 4).
Pada tahun 1994/1995 rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar
se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 1.326,61. Sedangkan Kebutuhan
Fiskal
Kabupaten
Sleman
sebesar
11,16.
Ini
menunjukan bahwa Indeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten Sleman adalah sebesar 11,16. Angka ini menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 11 kali lebih besar dari rata-rata kebutuhan Standar se-D.I Yogyakarta.
100
5).
Pada tahun 1996/1997 rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar
se-D.I Yogyakarta mengalami penurunan sebesar 77,74 (dari tahun 1995/1996 sebesar Rp 1493,66 menjadi Rp. 1.416,0 pada tahun 1996/1997).
Namun
Kebutuhan
Fiskal
Kabupaten
Sleman
mengalami kenaikan sebesar 5,79. Ini menunjukan bahwa lndeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten Sleman adalah sebesar 5,79. Angka ini menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 5 kali lebih besar dari rata-rata Kebutuhan Standar se-D.I Yogyakarta. 6).
Pada tahun 1997/1998 rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar
se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Kebutuhan
Fiskal
Kabupaten
Rp.
Sleman
1.619,0 sebesar
sedangkan 18,20.
Ini
menunjukan bahwa lndeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten Sleman adalah sebesar 18,20. Angka ini menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 18 kali lebih besar dari rata-rata Kebutuhan Standar se-D.I Yogyakarta. 7).
Pada tahun 1998/1999 rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar
se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 863,03. Namun Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman tetap meningkat sebesar 57,18. Ini menunjukan bahwa lndeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten Sleman adalah sebesar 57,18. Angka ini menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 57 kali lebih besar dari rata-rata Kebutuhan Standar se-D.I Yogyakarta. 8).
Pada tahun 1999/2000 rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar
101
se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 856,0 sedangkan Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 70,0. Ini menunjukan bahwa lndeks. Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten Sleman adalah sebesar 70,0. Angka ini menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 70 kali lebih besar dari rata-rata kebutuhan Standar se-D.I Yogyakarta. 9).
Pada tahun 2000 rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar se-D.I
Yogyakarta adalah sebesar Rp. 1696,0 sedangkan Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 34,72. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya maka Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman mengalami penururnan (70,0 menjadi 34,72). Ini menunjukan bahwa lndeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten Sleman adalah sebesar 34,72. Angka ini menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 34 kali lebih besar dari ratarata kebutuhan Standar se-D.I Yogyakarta. 10). Mulai tahun 2001 yaitu pada saat tahun pertama pemberlakuan Otonomi Daerah rata-rata kebutuhan Standart se-D.I Yogyakarta meningkat sampai Rp: 2.116,0. Sedangkan Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 25,53, bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mengalami peningkatan (34,72 menjadi 25,53). Ini menunjukan bahwa lndeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten Sleman adalah sebesar 25,53. Angka sebesar ini menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 25 kali lebih besar dari rata-rata Kebutuhan Standar se-D.I. Yogyakarta.
102
11). Pada tahun 2002 rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 2.824,50 sedangkan Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 23,04. Ini menunjukan bahwa lndeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten Sleman adalah sebesar 23,04. Angka ini menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 23 kali lebih besar dari rata-rata Kebutuhan Standar se-D.I Yogyakarta. 12). Pada tahun 2003 yaitu pada saat tahun ke tiga pemberlakuan Otonomi Daerah rata-rata kebutuhan Standart se-D.I Yogyakarta meningkat sampai Rp. 3.270,5. Sedangkan Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 66,25, bila dibandingkan dengan tahun 2002
mengalami
peningkatan
(23,04
menjadi
66,25).
Ini
menunjukan bahwa lndeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten Sleman adalah sebesar 66,25. Angka sebesar ini menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 66 kali lebih besar dari rata-rata Kebutuhan Standar se- D.I. Yogyakarta. 13). Sebelum Otonomi Daerah jumlah Kebutuhan Fiskal Standart seD.I Yogyakarta sebesar 14.353,32 dan di Era Otonomi Daerah sebesar 8212. Sedangkan rata-rata Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman Sebelum Otonomi Daerah sebesar 22,62 dan di Era Otonomi Daerah sebesar 38,27. Dengan rata-rata total antara Kebutuhan Fiskal Standart se-D.I Yogyakarta dan Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman selama 14 tahun sebesar 17090,65 dan 25,98. Ini
menunjukan
bahwa
rata-rata
Kebutuhan
Fiskal
103
Kabupaten Slernan Sebelum Otonomi Daerah sebesar 25 kali lebih besar dari rata-rata Kebutuhan Fiskal Standart se-D.I Yogyakarta.
c.
Kapasitas Fiskal ( Fiscal Capacity) Seperti halnya dengan kondisi kondisi Kebutuhan Fiskal, berdasarkan
perhitungan Kapasitas Fiskal Standart se-DI Yogyakarta dan Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman yang bisa dilihat dalam lampiran 4 maka kondisi Kapasitas Fiskal Standart se-DI Yogyakarta dan Kabupaten Sleman dapat dilihat dai tabel 4.9 berikut ini. Tabel 4.9 : Rata-rata Kapasitas Fiskal Standar se-D.I Yogyakarta dan Kab. Sleman Tahun 1990/1991 1990/1991 – 2003
Tahun Anggaran
Kapasitas Fiskal Standar Se-DIY (SKaFP DIY) % 22763.08 16533.74 22146.24 26214.11 31253.81 35625.70 40181.91 43939.98 60077.36 72056.30 79474.80 72087.21 105904.15 117471.66
Kapasitas Fiskal Kab. Sleman (SKaFK Slmn) % 2.81 4 .6 3.87 5.57 5.01 4.68 4.44 4.15 2.76 2.31 2.14 2.42 1.70 1 .6
1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003 ∑ Seblum Otda Rata-rata sblm otda 2) ∑ Pada Era Otda Rata-rata pd.Era otda3) Total Rata-rata1) Catatan : 1). 1). Rata Rata-r -rat ataa kapa kapasi sita tass fiska fiskall sela selama ma kuru kurun n wakt waktu u 14 tahu tahun n (1990 (1990/1 /199 991 1 – 2003) 2). 2). Rata Rata-r -rat ataa kapa kapasi sita tass fisk fiskal al sebe sebelu lum m otda otda (tah (tahun un 1990 1990/19 /1991 91 – 2000 2000)) 3). 3). Rata Rata-r -rat ataa kapa kapasi sita tass fisk fiskal al pada pada era era otda otda (tah (tahun un 2001 2001 – 2003 2003)) Sumber : hasil pengolahan data sekunder, yang diringkas dari lampiran 4.
104
Dari table 4.9 di atas dapat dijelaskan beberapa hal sebagai berikut : 1). 1).
Pada Pada tahu tahun n angg anggar aran an 199 1990/ 0/19 1991 91 rat rataa-ra rata ta Kapa Kapasi sita tass Fisk Fiskal al
Standar se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 22763.08 sedangkan Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 2,81. Ini menunjukan bahwa Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman 2 kali lebih besar dari rata rata-r -rat ataa
Kap Kapasit asitas as
Stan Stand dar
se-D se-DII
Yog Yogyakar akarta ta..
Apab pabila ila
diba diband ndin ingk gkan an deng dengan an Kebu Kebutu tuha han n Fisk Fiskal, al, Kabup Kabupat aten en Slem Sleman an memiliki Kebutuhan Fiskal lebih besar dari pada Kapasitas Fiskal [Kapasitas Fiskal (Kap.F): 2,81; Kebutuhan Fiskal (Keb.F): 4,77]. 2). 2).
Pada Pada tahu tahun n angg anggar aran an 199 1991/ 1/19 1992 92 rat rataa-ra rata ta Kapa Kapasi sita tass Fisk Fiskal al
Stan Standa darr
se-D se-D.I .IYo Yogy gyak akar arta ta
adal adalah ah
sebe sebesa sarr
Rp. Rp.
1653 16533, 3,74 748 8
sedangkan sedangkan Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 4,6. Ini menunj menunjuka ukan n bahwa bahwa Kapasi Kapasitas tas Fiskal Fiskal Kabupa Kabupaten ten Sleman Sleman 4 kali kali lebih lebih besar besar dari dari rata-rat rata-rataa Kapasi Kapasitas tas Standa Standarr Se-DI Se-DI Yogya Yogyakar karta. ta. Apabi Apabila la diband dibanding ingkan kan dengan dengan Kebutu Kebutuhan han Fiskal Fiskal,, Kabupa Kabupaten ten Sleman memiliki Kebutuhan Fiskal lebih besar dari pada Kapasitas Fiskal [Kapasitas Fiskal (Kap.F): 4,6; Kebutuhan Fiskal (Keb.F): 8,87]. 3). 3).
Pada Pada tahu tahun n angg anggar aran an 199 1992/ 2/19 1993 93 rat rataa-ra rata ta Kapa Kapasi sita tass Fisk Fiskal al
Standar se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 22146,24 sedangkan Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 3,87. Ini menunjukan bahwa Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman 3 kali lebih besar dari rata rata-r -rat ataa
Kapas apasit itas as
Stan Stand dar
Se-D Se-DII
Yogy Yogyak akar arta ta..
Apab Apabil ilaa
diba diband ndin ingk gkan an deng dengan an Kebu Kebutu tuha han n Fisk Fiskal, al, Kabup Kabupat aten en Slem Sleman an
105
memiliki Kebutuhan Fiskal lebih besar dari pada Kapasitas Fiskal [Kapasitas Fiskal (Kap.F):3,87; Kebutuhan Fiskal (Keb.F): 9,90]. 4). 4).
Pada Pada tahu tahun n angg anggar aran an 199 1993/ 3/19 1994 94 rat rataa-ra rata ta Kapa Kapasi sita tass Fisk Fiskal al
Standar se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 26214,11 sedangkan Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 5,57. Ini menunjukan bahwa Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman 5 kali lebih besar dari rata rata-r -rat ataa
Kap Kapasit asitas as
Stan Stand dar
se-D se-DII
Yog Yogyakar akarta ta..
Apab pabila ila
diba diband ndin ingk gkan an deng dengan an Kebu Kebutu tuha han n Fisk Fiskal, al, Kabup Kabupat aten en Slem Sleman an memiliki Kebutuhan Fiskal lebih besar dari pada Kapasitas Fiskal [Kapasitas Fiskal (Kap.F):5,57; Kebutuhan Fiskal (Keb.F)9,60]. 5). 5).
Pada Pada tahu tahun n angg anggar aran an 199 1994/ 4/19 1995 95 rat rataa-ra rata ta Kapa Kapasi sita tass Fisk Fiskal al
Standar se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 31253,81 sedangkan Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 5,01. Ini menunjukan bahwa Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman 5 kali lebih besar dari rata rata-r -rat ataa
Kapa Kapasi sita tass
Stan Stand dar
se-D. e-D.II
Yogy Yogyak akar arta ta..
Apab pabila ila
diba diband ndin ingk gkan an deng dengan an Kebu Kebutu tuha han n Fisk Fiskal, al, Kabup Kabupat aten en Slem Sleman an memiliki Kebutuhan Fiskal lebih besar dari pada Kapasitas Fiskal [Kapasitas Fiskal (Kap.F):5,01; Kebutuhan Fiskal (Keb.F): 11,16]. 6). 6).
Pada Pada tahu tahun n angg anggar aran an 199 1995/ 5/19 1996 96 rat rataa-ra rata ta Kapa Kapasi sita tass Fisk Fiskal al
Standar se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 35625,70 sedangkan Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 4,68. Ini menunjukan bahwa bahwa Kapasitas Fiskal Kabupaten Kabupaten Slernan 4 kali lebih besar dari rata rata-r -rat ataa
Kap Kapasit asitas as
Stan Stand dar
se-D se-DII
Yog Yogyakar akarta ta..
Apab pabila ila
diba diband ndin ingk gkan an deng dengan an Kebu Kebutu tuha han n Fisk Fiskal, al, Kabup Kabupat aten en Slem Sleman an
106
memiliki Kebutuhan Fiskal lebih besar dari pada Kapasitas Fiskal [Kapasitas Fiskal (Kap.F):4,68; Kebutuhan Fiskal (Keb.F): 9,54]. 7).
Pada tahun anggaran 1996/1997 rata-rata Kapasitas Fiskal
Standar se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 40181,91 sedangkan Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 4,44. Ini menunjukan bahwa Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman 4 kali lebih besar darai rata-rata
Kapasitas
Standar
Se-DI
Yogyakarta.
Apabila
dibandingkan dengan Kebutuhan Fiskal, Kabupaten Sleman memliki Kebutuhan Fiskal lebih besar dari pada Kapasitas Fiskal [Kapasitas Fiskal (Kap.F):4,44; Kebutuhan Fiskal (Keb.F): 15,33]. 8).
Di mulai pada awal krisis ekonomi tahun anggaran
1997/1998 sampai dengan awal tahun pertama Otonomi Daerah hingga tahun 2003 perbandingan antara Kapasitas Fiskal dengan Kebutuhan Fiskal di Kabupaten Sleman memiliki Kapasitas Fiskal lebih kecil dari Kebutuhan Fiskal, sehingga diharapkan selisih kurang tersebut dapat ditutup melalui mekanisme transfer dari pemerintah pusat. Dengan demikian Kabupaten Sleman masih tergantung pada bantuan dana dari Pemerintah Pusat. 9).
Jika dilihat dari perbandingan antara Era Sebelum Otonomi
Daerah dengan di Era Otonomi Daerah. Maka disimpulkan bahwa Era Sebelum Otonomi Daerah, Rasio Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman lebih besar dari pada Kapasitas Fiskalnya. Sedangkan di Era Otonomi Daerah, Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman juga lebih
besar
dari
pada
Kapasitas
Fiskalnya.
Sehingga
107
kesimpulannya adalah bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman masih tergantung pada bantuan dari Pemerintah Pusat.
Upaya Fiskal (Tax Effort )
d.
Posisi Fiskal dihitung dengan mencari koefesien elastisitas Pendapatan Asli Daerah terhadap PDRB sebagai berikut : Tabel 4.10 : Pertumbuhan PAD dan PDRB Kab. Sleman Tahun Anggaran 1990/1991 – 2003
Tahun Anggaran
PAD (%)
1990/1991 0 1991/1992 23,73 1992/1993 -1,7 1993/1994 19,57 1994/1995 54,03 1995/1996 39,31 1996/1997 42,21 1997/1998 40,07 1998/1999 -0,26 1999/2000 15,81 2000 6,02 2001 62,86 2002 31,57 2003 36,16 1) Elastisitas PAD/PDRB Elast PAD/PDRB Sblm Otda 2) Elst.PAD/PDRB pd.Era Otda 3)
Pertumbuhan PDRB (Hrg.Berlaku) % 0 19,56 14,6 72,08 8,44 8,16 8,25 3,53 -7,9 1,54 3,63 4,00 4,74 4,80 2,54 1,42 9,64
PDRB (Hrg.Konstan) %
0 8,41 7,51 260,94 8,44 8,16 8,25 3,57 -8,02 1,63 3,54 4,00 -1,9 11,8 1,16 0,62 9,32
Catatan : 1). Rata-rata Elstisitas PAD/PDRB selama kurun waktu 14 tahun (1990/1991 – 2003) 2). Rata-rata Elstisitas PAD/PDRB sebelum otda (tahun 1990/1991 – 2000) 3). Rata-rata Elstisitas PAD/PDRB pada era otda (tahun 2001 – 2003) Sumber : hasil pengolahan data sekunder, yang diringkas dari lampiran 5.
Dari tabel 4.10 dapat diketahui Upaya/Posisi Fiskal Kabupaten Sleman dengan melihat Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Berlaku maupun PAD/PDRB Atas Dasar Harga Konstan. Selama kurun waktu 14 tahun dari tahun 1990/1991 – 2003, Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Berlaku di Kabupaten Sleman
108
adalah sebesar 2,54 (elastis). Artinya laju pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku berpengaruh terhadap peningkatan PAD yaitu apabila PDRB naik 1%, maka PAD akan meningkat sebesar 2,54. Apabila dilihat dari Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Konstan selama 14 tahun dari tahun 1990/1991 – 2003, mempunyai nilai rata-rata Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Konstan adalah sebesar 1,16 (Elastis). Artinya laju pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan sangat berpengaruh terhadap peningkatan PAD. Berdasarkan tabel di atas juga dapat diketahui bahwa perbandingan Elastisitas PAD terhadap PDRB Sebelum dan di Era Otonomi Daerah ternyata ada perbedaan. Pada Era Sebelum Otonomi Daerah, Kabupaten Sleman mempunyai Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Berlaku yang sifatnya Elastis (1>). Artinya pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku tidak terlalu berpengaruh terhadap peningkatan PAD. Besarnya Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Berlaku di Kabupaten Sleman Sebelum Otonomi Daerah adalah sebesar 1,42. Sedangkan Sebelum Otonomi Daerah, Kabupaten Sleman mempunyai Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Konstan yang sifatnya Inelatis yaitu sebesar 0,62. Sedangkan pada
Era Otonomi Daerah,
terlihat
bahwa
Kabupaten Sleman mempunyai Elastisitas PAD terhadap PDRB (baik PDRB Atas Dasar Harga Berlaku maupun PDRB Atas Dasar Harga
109
Konstan) yang bersifat Elastis (1>). Sehingga dapat disimpulkan bahwa, apabila PDRB mengalami kenaikan maka PAD juga akan mengalami kenaikan. Besarnya Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Berlaku di Kabupaten Sleman adalah sebesar 9,64, sedangkan besarnya Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Konstan yaitu sebesar 9,32. e.
Matrik Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Adapun untuk matrik potensi PAD Kabupaten Sleman dapat
dilihat dari tabel 4.11 berikut ini. Tabel 4.11 : Hasil Perhitungan Model Matriks Potensi dari Pajak Daerah di Kabupaten Sleman di Era Otonomi Daerah Tahun 2003 Jenis Pajak Pajak Hotel&Restoran Pajak Hiburan Pajak Reklame Pajak Penerangan Jalan Pajak Pengambilan&Pengelolaan Gal.Golng. C Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah&Permukaan
Pertumbuha n
Proporsi
Kategori
1.73 -0.22 1.96 0.43
3.36 0.10 0.29 2.17
Prima Potensial Berkembang Potensial
4.30
0.046
Berkembang
-1.94
0.008
Terbelakang
Catatan : Prima, apabila tingkat pertumbuhan dan
•
proporsinya lebih dari 1 Potensial, apabila tingkat pertumbuhan kurang dari 1, proporsinya lebih dari satu. • Berkembang, apabila tingkat pertumbuhan dan proporsinya lebih dari 1 atau proporsinya kurang dari . • Terbelakang, apabila tingkat pertumbuhan dan proporsinya kurang dari 1. Sumber : Hasil pengelolaan data sekunder, yang diringkas dari lampiran 6 •
Jenis Pajak Daerah di Kabupaten Sleman di Era Otonomi Daerah yang mempunyai klasifikasi Pajak Daerah yang berkategori Prima adalah Pajak Hotel dan Restoran. Pajak Hiburan dan Pajak
110
Penerangan Jalan berkategori Potensial. Sedangkan Pajak yang berkategori Berkembang ada dua jenis antara lain adalah Pajak Reklame dan Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Galian Golongan C. Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan masih tergolong berkategori Terbelakang. Maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar Pajak Daerah di Kabupaten Sleman mempunyai potensi yang bagus sehingga diharapkan dapat terus ditingkatkan, hanya ada satu Jenis Pajak yang berkategori Terbelakang. Sementara itu, untuk Jenis Restribusi Daerah dapat dilihat pada tebel 4.12 berikut ini :
Tabel 4.12 : Hasil Perhitungan Model Matrik Potensi dari Restribusi Daerah di Kabupaten Sleman di Era Otonomi Daerah tahun 2003 Jenis Restribusi R. Pelayanan Kesehetan R.Plyn.Persampahan/Kebersihan R.Penggantian Biaya Cetak KTP&Akta Cat.Sipil R.Parkir di Tepi Jln.Umum R.Pasar R.Pengujian Kendaraan Bermotor R.Penjualan Produksi Usaha Daerah R.Pemakaian Kekayaan Daerah R.Terminal R.Tmp. Parkir Khusus R.Rumah Potong Hewan R.Tmp.Rekreasi&Olahraga R.Tmp.Penyebarangan di Atas Air R.Ijin Penggunaan Tanah R.IMB R.Ijin Gangguan R.Ijin Trayek R. Pelayanan Ketenagakerjaan R.Ijin Ketenagakerjaan R.Ijin Keselamatan&Kesejahteraan Kerja Catatan : •
Pertumbuhan 0.89 2.42
Proporsi 9.35 0.54
Kategori Potensial Berkembang
0.78
0.72
Terbelakang
0.3 0.12 0.2 0.91 1.48 0.60 1.23 -0.26 -2.51 2.1 0.61 0.69 -
0.32 1.70 0.67 0.38 0.21 0.28 0.79 0.79 1.98 0.56 0.01 2.32
Terbelakang Potensial Terbelakang Terbelakang Berkembang Terbelakang Berkembang Terbelakang Terbelakang Prima Terbelakang Terbelakang Potensial
0.04
Terbelakang
-
Prima adalah tingkat pertumbuhan dan
proporsinya lebih dari 1 Potensial yaitu apabila pertumbuhan kurang dari 1, proporsinya lebih dari satu. •
tingkat
111
Berkembang adalah jika tingkat pertumbuhan dan proporsinya lebih dari 1 atau proporsinya kurang dari 1 Terbelakang yaitu jika tingkat • pertumbuhan dan proporsinya kurang dari 1. Sumber : Hasil pengelolaan data sekunder, yang diringkas dari lampiran 7 •
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jenis Restribusi Daerah di Kabupaten Sleman di Era Otonomi Daerah yang mempunyai klasifikasi sebagai Restribusi Daerah yang berkategori Prima adalah Restribusi IMB. Ada tiga Jenis Restribusi yang tergolong dalam kategori Potensial antara lain adalah Retribusi Pelayanan Kesehatan, Restribusi Pasar dan Restribusi
Ijin Ketenagakerjaan. Sedangkan
Restribusi yang tergolong Berkembang adalah Restribusi Pelayanan Persampahan dan Kebersihan,
Restribusi Pemakaiaan Kekayaan
Daerah dan Restribusi Rumah Potong Hewan. Adapun Restribusi yang tergolong berkategori Terbelakang antara lain adalah Restribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga, Restribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil, Restribusi Parkir di Jalan Umum, Restribusi Pengujian Kendaraan
Bermotor, Restribusi Penjualan
Produksi Usaha Daerah, Restribusi Ijin Penggunaan Tanah, Restribusi Ijin Trayek, Restribusi Ijin Ganguan dan Restribusi Ijin Keselamatan dan kesejahteraan Kerja. f.
Rasio Aktivitas (Keserasian) Rasio Aktivitas (Keserasian) menggambarkan bagaimana
Pemerintah Daerah memprioritaskan alokasi dananya pada Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan secara optimal. dapat dilihat dengan melakukan perhitungan rasio belanja rutin terhadap Total Pengeluaran
112
dan Rasio Belanja Pembangunan terhadap Total Pengeluaran. Dari perhitungan pada lampiran 8 dapat kita peroleh rata-rata Rasio Aktivitas (Keserasian) Sebelum Otonomi Daerah dan di Era Otonomi Daerah pada tabel 4.13 berikut ini.
Tabel 4.13 : Rasio Belanja Rutin & Belanja Pembangunan terhadap Total APBD di Kabupaten Sleman Tahun Anggaran 1990/1991 – 2003
Tahun Anggaran
Rasio Belanja rutin terhadap total APBD (%)
Rasio Belanja Pembangunan terhadap Total APBD (%) 56.33 53.50 60.27 58.66 56.68 55.74 28.94 33.20 22.96 21.39 23.19 12.37 10.34 63.72
1990/1991 41.35 1991/1992 36.95 1992/1993 38.39 1993/1994 39.97 1994/1995 37.77 1995/1996 41.70 1996/1997 69.98 1997/1998 66.80 1998/1999 73.64 1999/2000 73.95 2000 69.19 2001 82.67 2002 77.90 2003 28.54 Total Sblm Otda Rata-rata Sblm Otda2) Total Era Otda Rata-rata Pd.Era Otda3) Total Rata-rata1) Catatan : 1). Rata-rata Rasio selama kurun waktu 14 tahun (1990/1991 – 2003) 2). Rata-rata Rasio sebelum otda (tahun 1990/1991 – 2000) 3). Rata-rata Rasio pada era otda (tahun 2001 – 2003) Sumber : hasil pengolahan data sekunder, yang diringkas dari lamp 8.
Dari tabel 4.13 di atas terlihat bahwa rata-rata Rasio Belanja Rutin terhadap Total APBD Kabupaten Sleman selama kurun waktu
113
14 tahun dari tahun 1990/1991 – 2003 sebesar 55,63 %. Dengan rasio yang sebesar itu menyebabkan Rasio Belanja Pembangunan terhadap Total Pengeluaran Daerah menjadi kecil yaitu hanya sebesar 39,81 %. Apabila dibandingkan dengan perubahan rata-rata Rasio Belanja Rutin pada Era Sebelum Otonomi Daerah dan pada Era Otonomi Daerah bahwa rata-rata Rasio Belanja Rutin pada Era Otonomi Daerah lebih besar dari pada Rasio Belanja Rutin pada Era Sebelum Otonomi Daerah dengan persentase sebesar 63,04% dan 53,61%. Sedangkan rata-rata Rasio Belanja Pembangunan pada Era Sebelum Otonomi Daerah lebih besar
dari pada Rasio Belanja
Pembangunan dengan persentase sebesar 42,9% dan 28,81%. Dari perhitungan tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar dana yang dimiliki Pemerintah Daerah masih diprioritaskan untuk kebutuhan belanja rutin sehingga rasio belanja pembangunan terhadap APBD masih relatif kecil. Anggaran rutin untuk masing-masing unti kerja, secara umum memiliki komposisi dan format yang sama, yaitu terdiri dari Belanja Pegawai, Belanja barang, Belanja Pemeliharaan, Belanja Perjalanan Dinas dan Belanja lain-lain. Secara umum, struktur pengeluaran rutin semua unit kerja didominasi oleh Belanja Pegawai. Rata-rata kontribusi Belanja Rutin Sebelum Otonomi Daerah dan di Era Otonomi Daerah di Kabupaten Sleman adalah sebagai beriktu :
114
Tabel 4.14 : Rata-rata Kontribusi Komponen Belanja Rutin di Kab.Sleman Sebelum dan di Era Otonomi Daerah
Komponen Belanja
Rata-rata Sebelum Otonomi Era Otonomi 1) Daerah (%) Daerah2) (%) 66.40 57.27 10.75 19.87 4.50 1.71 0.90 0.50 13.00 14.77 1.17 0.07 0.17 0.46 1.11 0 1.87 4.44
Belanja Pegawai Blj. Baramg Blj. Pemeliharaan Blj.Perjalanan Dinas Blj.Lain-lain Angsr.Pinjaman/Hutang&Bunga Belanja Pensiun Ganjaran,Subsidi&Sumbangan* PengeluaranTdk.TermasukBgn.Ln Pengeluaran TdkTerdugaBantuan lain 0.31 0.90 Catatan : 1). Rata-rata Efektivitas PAD sebelum Otda (tahun 1990/1991 – 2000) 2). Rata-rata Efektivitas pada era otda (tahun 2001 – 2003) *). Pos Ganjaran,Subsidi,&Sumbangan setelah otonomi daerah berubah menjadi Pos Bantuan Keuangan Sumber : hasil pengolahan data sekunder, yang diringkas dari lamp. 9.
Dari tabel 4.14 dapat diketahui bahwa sebagian Besar Belanja Rutin Daerah di Kabupaten Sleman digunakan untuk Pos Belanja Pegawai. Pada Era Sebelum Otonomi Daerah, rata-rata konstribusi Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Rutin sebesar 66,40 % sedangkan di Era Otonomi Daerah sebesar 57,27 %
Hal ini
menunjukan bahwa rata-rata konstribusi Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Rutin Sebelum Otonomi Daerah dan di Era Otonomi
115
Daerah mengalami peningkatan namun dan terbesar masih digunakan untuk Pos Belanja Pegawai. Rata-rata Konstribusi Barang terhadap Total Belanja Rutin Sebelum Otonomi Daerah dan di Era Otonomi Dearah mengalami penurunan. Penurunan ini disebabkan oleh dana yang terserap di pos Belanja Pegawai. Keadaan yang sama juga terjadi di pos-pos lain seperti Pos Belanja Barang, Pos Belanja Pemeliharaan, Pos Belanja Perjalanan Dinas, Pos Belanja Lain-Lain, Pos Pengeluaran Yang Tidak Termasuk Bagian Lain, Pos Pengeluaran Tidak Terduga. Pos Ganjaran, Subsidi dan Sumbangan Setelah Otonomi Daerah berubah menjadi Pos Bantuan Keuangan sehingga rata-rata konstribusinya terhadap Total Belanja Rutin mengalami penurunan. g.
Efektivitas dan Efesiensi PAD (Analisis Realisasi
dan Target PAD) 1)
Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rasio efektivitas menggambarkan Kemampuan Pemerintah
Daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan
dibandingkan
dengan
target
yang
ditentukan
berdasarkan potensi riil daerah. Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai mencapai minimal sebesar 1 (satu) atau 100% (seratus persen). Namun
demikian
semakin
tinggi
Rasio
Efektivitas,
menggambarkan Kemampuan Keuangan Daerah yang semakin baik.
116
Tabel 4.15 : Rata-rata Efektivitas dan Efesiensi PAD Sebelum Otonomi Daerah dan di Era Otonomi Daerah ( %) Rata-rata Sblm Otda1) Efektivitas Efesiensi
Bagian PAD Pajak Daerah Restribusi Daerah
1.01 1.25 0.94 1.02
0.25 0.33 1.96 1.08
Rata-rata Era Otda2) Efektrivita Efesiensi s 0.20 2.40 0.25 1.81
Bag. laba Usha Milk Daerah 1.35 1.91 Penerimaan dari Dinas² 0 0 Catatan : 1). Rata-rata Era Sebelum Otda (tahun 1990/1991 – 2000) 2). Rata-rata Pada Era Otda (tahun 2001 – 2003) *). Setelah Tahun anggaran 1999/2000, Penerimaan Dinas-Dinas dihilangkan sebagai salah satu dari PAD Sumber : Hasil pengolahan data sekunder, yang diringkas dari lampiran 10.
Berdasarkan tabel 4.15 menunjukan bahwa untuk Pos Paja k Daerah
di
Kabupaten
Sleman
Sebelum
Otonomi
Daerah
mempunyai Rata-Rata Efektivitas PAD sebesar 1,01% sedangkan rata-rata di Era Otonomi Daerah sebesar 2,40%. Untuk Pos Pajak Daerah
sudah
memenuhi
target
yang
ditetapkan,
karena
mempunyai Rasio Efektivitas lebih dari 1 (satu) atau di atas 100%, jika dibadingkan di Era Otonomi Daerah, Rata-Rata Efektivitas PAD mengalami peningkatan. Untuk Pos Restribusi Daerah di Kabupaten Sleman Sebelum Otonomi Daerah mempunyai rata-rata Efektivitas PAD sebesar 1,25% sedangkan rata-rata di Era Otonomi Daerah sebesar 1,81%. Untuk Pos Restribusi Daerah sudah memenuhi target yang ditetapkan sehingga mempunyai Rasio Efektivitas lebih dari 1 (satu) atau lebih dari 100%. Namun jika dibandingkan dengan pada Era Otonomi Daerah, Rata-Rata Efektivitas PAD mengalami peningkatan.
117
Sedangkan untuk Pos Bagian laba Usaha Milik Daerah mempunyai rata-rata Efektivitas PAD sebesar 0,94% sedangkan rata-rata di Era Otonomi Daerah sebesar 1,91%. Untuk Pos Bagian laba Usaha Milik Daerah sudah memenuhi target yang ditetapkan sehingga mempunyai Rasio Efektivitas lebih dari 1 (satu) atau lebih dari 100%. Untuk Pos Penerimaan dari Dinas-Dinas mempunyai ratarata Efektivitas PAD sebesar 1,02% sedangkan rata-rata di Era Otonomi Daerah tidak ada karena mulai tahun anggaran 1999/2000 Pos ini telah masuk bagian dari Pendapatan Asli Daerah. Akan tetapi Untuk Pos Penerimaan dari Dinas-Dinas Sebelum Era otonomi Daerah sudah memenuhi target yang ditetapkan, karena mempunyai Rasio Efektivitas lebih dari 1 (satu) atau lebih dari 100%. 2)
Rasio Efesiensi Rasio Efesiensi merupakan rasio yang menggambarkan
perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh diterima.
pendapatan
Kinerja
dengan
Pemerintah
realisasi Daerah
pendapatan dalam
yang
melakukan
pemungutan pendapatan dikategorikan Efesien apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (satu) atau dibawah 100 %. Semakin kecil Rasio Efesiensi berarti Kinerja Pemerintah Daerah semakin baik. Untuk itu Pemerintah Daerah perlu menghitung secara cermat berapa besarnya biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan
118
seluruh pendapatan yang diterimanya sehingga dapat diketahui apakah kegiatan pemungutan pendapatannya tersebut Efesien atau tidak. Hal ini perlu dilakukan karena meskipun Pemerintah Daerah berhasil merealisasikan penerimaan pendapatan sesuai dengan target yang ditetapkan , namun keberhasilan itu kurang memiliki arti apabila ternyata biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan target penerimaan pendapatannya itu lebih besar dari pada realisasi pendapatan yang diterimanya. Berdasarkan tabel 4.15 menunjukan bahwa untuk Pos Paja k Daerah
di
Kabupaten
Sleman
Sebelum
Otonomi
Daerah
mempunyai Rata-Rata Efesiensi PAD sebesar 0,25% sedangkan rata-rata di Era Otonomi Daerah sebesar 0,20%. Untuk Pos Pajak Daerah
sudah
memenuhi
target
yang
ditetapkan,
karena
mempunyai Rasio Efesiensi kurang dari 1 (satu) atau di bawah 100%. jika dibadingkan pada Era Otonomi Daerah, Rata-Rata Efesiensi PAD mengalami penurunan. Untuk Pos Restribusi Daerah di Kabupaten Sleman Sebelum Otonomi Daerah mempunyai rata-rata Efesiensi PAD sebesar 0,33% sedangkan rata-rata di Era Otonomi Daerah sebesar 0,25%. Untuk Pos Restribusi Daerah sudah memenuhi target yang ditetapkan sehingga mempunyai Rasio Efesiensi kurang dari 1 (satu) atau dibawah 100%. Sedangkan untuk Pos Bagian laba Usaha Milik Daerah mempunyai rata-rata Efesiensi PAD sebesar 1,96% sedangkan rata-
119
rata di Era Otonomi Daerah sebesar 1,35%. Untuk Pos Bagian laba Usaha Milik Daerah kurang memenuhi target yang ditetapkan, karena Rasio Efesiensi lebih dari 1 (satu) atau di atas 100%. Untuk Pos Penerimaan dari Dinas-Dinas mempunyai ratarata Efesiensi PAD sebesar 1,08% sedangkan rata-rata di Era Otonomi Daerah tidak ada karena mulai tahun anggaran 1999/2000 Pos ini telah masuk bagian dari Pendapatan Asli Daerah. Tetapi untuk Pos Penerimaan dari Dinas-Dinas Sebelum Era Otonomi Daerah tidak memenuhi target yang ditetapkan, karena mempunyai Rasio Efesiensi lebih dari 1 (satu) atau lebih dari 100%.
2.
Uji Hipoteisi II Kemandirian Keuangan Daerah dan Pola Hubungannya Kemandirian
Keuangan
Daerah
menunjukan
kemampuan
Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegaitan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan restribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Pola hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan Keuangan Daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, walaupun pengukuran kemampuan daerah ini akan menimbulkan perbedaan. Ada empat macam pola hubungan (Paul Hersey dan Kenneth Blanchard dalam Abdul halim, 2001: 168-169) yang memperkenalkan “Hubungan Situasional” yang dapat
digunakan
dalam
pelaksanaan
Otonomi
Daerah,
terutama
120
pelaksanaan UU Nomor 33 dan 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, antara lain : 1). Pola Hubungan Interaktif, peranan Pemerintah Pusat lebih dominan dari pada kemandirian Pemerintah Daerah (daerah tidak mampu melaksanakan Otonomi Daerah) : 2). Pola Hubungan Konsultatif, campur tangan Pemerintah Pusat sudah mulai berkurang, karena daerah sudah dianggap lebih mampu melaksanakan otonomi. 3). Pola Hubungan Partisipatif, peranan Pemerintah Pusat mulai berkurang,
mengingat
daerah
yang
bersangkutan
tingkat
kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi : 4). Pola Hubungan Delegatif, campur tangan Pemerintah Pusat sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan Otonomi Daerah. Bertolak dari teori diatas, karena adanya potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berbeda, akan terjadi pula perbedaan pola hubungan dan tingkat kemandirian antar daerah. Sebagai pedoman dalam melihat hubungan dengan kemampuan dari sisi keuangannya dapat dikemukakan dalam tabel berikut ini : Tabel 4.16 : Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah Kemampuan Keuangan Kemandirian (%) Pola Hubungan Rendah Sekali 0 - 25 Instruktif Rendah 25 – 50 Konsultatif Sedang 50 – 75 Partisipatif Tinggi 75 - 100 Delegatif Sumber : Bunga Rampai Manajemen Keuangan daerah (Abdul Halim, 2001: 169).
121
Berdasarkan pada tabel 4.116 dan lampiran 9 rata-rata pola hubungan dan tingkat kemandirian daerah baik Sebelum Otonomi Daerah (tahun 1990 – 2000) dan pada Era Otonomi Daerah (2001 – 2003) di Kabupaten Sleman adalah sebagai beriktu : Tabel 4.17 : Pola Hubungan dan Rata-rata Tingkat Kemandirian Kabupaten Sleman Tahun 1990/1991 - 2003. Kemandirian Kemampuan (%) Kurun waktu 14 tahun (1990 – 2003) 15,98 Rendah Sekali Sebelum Otonomi Daerah 6,6 Rendah Sekali Era Otonomi Daerah 14,04 Rendah Sekali Sumber : Hasil pengolahan data sekunder, yang diringkas dari lampiran 11. Rata-rata
Pola Hubungan Instruktif Instruktif Instruktif
Dari tabel 4.17 dapat dikatakan bahwa Kabupaten Sleman mempunyai Tingkat Kemandirian yang dapat dikategorikan rendah sekali. Selama kurun waktu 14 tahun (1990 -2003) tingkat kemandiriannya sebesar 15,98 %. Jika dibandingkan, rata-rata Sebelum Otonomi Daerah Tingkat Kemandirian Kabupaten Sleman sebesar 6,58 % lebih rendah dari pada rata-rata pada saat Era Otonomi Daerah yaitu sebesar 14,04 %. Sehingga dapat dikatakan bahwa Kabupaten Sleman memiliki pola hubungan Instruktif artinya peranan Pemerintah Pusat masih dominan dari pada kemandirian Pemerintah Daerah atau daerah belum mampu melaksanakan Otonomi Daerah.
122
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Keberhasilan Otonomi Daerah diperlukan kesiapan Pemerintah Daerah di segala bidang, terutama kesiapan sumber daya manusia yang mampu menjawab
tantangan
dalam
pelaksanaan
Otonomi
Daerah
untuk
memberdayakan potensi daerah yang ada sehingga dari segi keuangan yang merupakan unsur utama dalam menjalankan pemerintahan daerah dapat dicapai kemandirian. Berdasarkan hasil analisis maupun pembahasan
terhadap kondisi
keuangan Kabupaten Sleman pada Era Sebelum Otonomi Daerah dan di Era Otonomi Daerah, maka dapat diambil kesimpulan baik secara Deskriptif maupun secara Kuantitatif/Uji Hipotesis. 1.
Analisis Deskriptif
123
a.
Pertumbuhan APBD di Kabupaten Sleman dari tahun ke
tahun selalu mengalami kenaikan. Rata-rata pertumbuhan APBD Sebelum Otonomi Daerah lebih rendah jika dibandingkan dengan ratarata pertumbuhan APBD di Era Otonomi Daerah. b.
Kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap
APBD Kabupaten Sleman masih sangat kecil, bahkan secara keseluruhan dari tahun ke tahun rata-rata kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap APBD mengalami penurunan. Rata-rata kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap APBD Sebelum Otonomi Daerah lebih tinggi dari pada konstribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap APBD di Era Otonomi Daerah. Hal ini menunjukan
bahwa
di
Era
Otonomi
Daerah,
ketergantungan
Kabupaten Sleman terhadap Pemerintah Pusat justru cenderung lebih besar. Sedangkan Proporsi Pengeluaran Daerah terhadap APBD sangat tinggi. Untuk itu, Kabupaten Sleman di Era Otonomi Daerah ini perlu menggali lebih banyak lagi Potensi Daerahnya, sehingga dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai Sumber Pendapatan Daerah serta diharapkan perbandingan antara jumlah pendapatan
dengan
jumlah
pengeluaran
lebih
besar
jumlah
pendapatannya atau dapat dikatakan dengan istilah surplus pendapatan. c.
Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Sleman mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Jika dilihat dari PDRB Harga Konstan masing-masing Sektor, Sektor Perdagangan Hotel dan Restoran masih memegang peranan penting dalam Perekonomian di
124
Kabu Kabupa pate ten n
Slem leman. an.
Anta Antara ra
Sek Sektor tor
Pert Pertan ania ian n
den dengan gan
Sekt Sekto or
Perdagangan Hotel dan Restoran di Kabupaten Sleman mempunyai nilai nilai persai persainga ngan n yang yang sangat sangat ketat, ketat, namun namun yang yang memili memiliki ki tingka tingkatt perkembangan yang semakin meningkat adalah Sektor Perdagangan Hotel dan Restoran. Hal ini disebabkan oleh menurunnya produksi Sektor Pertanian akibat lahan pertanian mulai menyempit serta mulai maraknya maraknya kegiatan kegiatan ekonomi ekonomi masyarakat masyarakat di Sektor Sektor Perdagangan Perdagangan maka akan akan meng mengak akib ibatk atkan an beru beruba bahn hnya ya Stru Strukt ktur ur Ekon Ekonom omii masy masyar arak akat at Kabupaten Sleman. Sehingga Sektor Perdagangan tampaknya menjadi pilihan yang menarik bagi masyarakat. d.
Perkembangan ek ekonomi ke kelompok se sektor di di Ka Kabupaten
dibagi dibagi menjadi menjadi tiga kelompok, kelompok, antara lain : Kelompok Kelompok sektor Tersier, Tersier, Prim Primer er dan dan Seku Sekund nder er.. Di Kabu Kabupa pate ten n Slem Sleman an kelo kelomp mpok ok yang yang memega memegang ng perana peranan n pentin penting g adalah adalah sektor sektor Tersie Tersierr yang yang terdir terdirii dari dari (Sektor Perdagangan Hotel dan Restoran; Sektor Pengangkutan dan Komu Komuni nika kasi si;; Sekt Sektor or Keua Keuang ngan an,, Sekt Sektor or Pers Persew ewaan aan,, Sekt Sektor or Jasa Jasa Perusa Perusahaa haan; n; serta serta Sektor Sektor Jasa-ja Jasa-jasa) sa).. Kelomp Kelompok ok sektor sektor yang yang kedua kedua adalah adalah sektor sektor Sekund Sekunder er terdiri terdiri dari dari (Sekto (Sektorr Indust Industri ri Pengol Pengolaha ahan n , Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih serta Sektor Bangunan) sedangkan kelompok kelompok sektor mempunyai mempunyai nilai persentase persentase paling rendah adalah sekt sektor or Prim Primer er yang yang terd terdir irii dari dari (Sek (Sekto torr Pert Pertan ania ian n sert sertaa Sekt Sektor or Pertambangan dan Penggalian). 2.
Analisis Kuantitatif
125
a.
Dari
hasil
Analisis
Kuantitatif
tentang
Derajat
Desent Desentral ralisa isasi si Fiskal Fiskal,, Kebutu Kebutuhan han Fiskal Fiskal,, Kapasi Kapasitas tas Fiskal Fiskal,, Upaya Upaya Fiskal Fiskal,, Matrik Matrik Potens Potensii PAD, PAD, Rasio Rasio Aktivi Aktivitas tas (Keseras (Keserasian ian), ), Rasio Rasio Efektivitas dan Efesiensi PAD sebagai jawaban dari Hipotesis Pertama adalah sebagai berikut : 1)
Derajat
Desentralisasi
Fiskal
yang
telah
dihitung dengan menggunakan beberapa Indikator atau Rasio yaitu : Rasio PAD dengan Total Pendapatan Daerah, Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak untuk Daerah dengan Total Pendapatan Daer Daerah ah,, dan dan Rasi Rasio o Sumb Sumban anga gan n sert sertaa Bant Bantua uan n terh terhad adap ap Tota Totall Pendapatan Daerah menunjukan bahwa : (a )
Kabupaten Sleman pada Era Sebelum Otonomi Daerah mempunyai rata-rata Rasio PAD dan rata-rata Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap Total Pendapatan Daerah lebih tinggi dari pada rata-rata Rasio PAD dan Rasio rata-rata Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap terhadap Total Total Pendap Pendapata atan n Daerah Daerah di Era Otonom Otonomii Daerah. Daerah. Dengan Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Sleman belum mampu dalam hal pengumpulan PAD dan BHPBP. Sehingga untuk untuk menutu menutup p anggar anggaran an daerah daerah,, Kabupa Kabupaten ten Sleman Sleman harus harus berup berupaya aya keras keras mencari mencari sumbe sumberr pembia pembiayaan yaan lain lain sehing sehingga ga ketergantun ketergantungan gan terhadap terhadap Pemerintah Pemerintah Pusat dapat dikurangi. dikurangi. Dengan cara Pemerintah Daerah menawarkan investasi suatu kawasa kawasan n indust industri, ri, kawasa kawasan n perdag perdagang angan an ataupu ataupun n kawasa kawasan n
126
ekonomi lainnya, sehingga investor tidak lagi terlibat dengan masalah-masa masalah-masalah lah yang berhubung berhubungan an dengan dengan birokrasi, birokrasi, legal sistem lainnya maupun dengan masyarakat. (b)
Sedangkan Proporsi Penerimaan Da Daerah terhadap Total APBD antara pos PAD dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebenarnya Pemerintah
Daerah Daerah Kabupa Kabupaten ten Sleman Sleman dapat dapat digolo digolongk ngkan an Mandir Mandiri, i, karena karena rata rata-r -rat ataa Rasi Rasio o PADPAD-ny nyaa pada pada Era Era Oton Otonom omii Daer Daerah ah sela selalu lu meningkat. Namun untuk mencapai tingkat kemandirian keuangan yang yang optima optimal, l, apalag apalagii hanya hanya mengan mengandal dalkan kan PAD dan BHPBP BHPBP maka dibutuhkan waktu yang tidak singkat. 2)
Kebutuhan
Fiskal
yang
menggambarkan
tingkat kebutuhan per kapita penduduk apabila pengeluaran daerah Kabupaten Sleman dibagi secara merata kepada seluruh penduduk Kabupaten Sleman, menunjukan bahwa rata-rata Kebutuhan Fiskal Standart Standart se-D.I se-D.I Yogyakarta Yogyakarta mengalami peningkatan peningkatan yang cukup cukup besar. besar. Tetapi Tetapi Kebutuhan Kebutuhan Fiskal Kabupaten Kabupaten Sleman belum tentu mengal mengalami ami pening peningkat katan. an. Indeks Indeks Pelaya Pelayanan nan Publik Publik per kapita kapita Kabu Kabupa paten ten Slem Sleman an tahu tahun n 2002 2002 meng mengal alami ami peni pening ngka kata tan n yang yang sangat besar. 3)
Kapisitas
Fiskal
yang
menggambarkan
bes besar arny nyaa usah usahaa Peme Pemeri rint ntah ah Daera Daerah h Kabup Kabupat aten en Slem Sleman an yang yang diwujudkan dalam PDRB untuk memenuhi pengeluaran daerahnya,
127
menunjukan bahwa dari tahun ke tahun Kebutuhan Fiskal Kabupaten
Sleman
selalu
bertambah
sedangkan
Kapasitas
Fiskalnya terjadi penurunan. Dalam kondisi demikian, maka untuk menutup kekurangan tersebut masih diperlukan transfer dana dari Pemerintah Pusat. 4)
Dari
hasil
Analisis
Kuantitatif
tentang
Upaya/Posisi Fiskal yang dihitung dengan rata-rata Perubahan PAD terhadap perubahan PDRB selama kurun waktu sebelas tahun menunjukan hasil yang berbeda. Jika menggunakan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku, maka Struktur PAD cukup baik dengan hasil 1,42 (Elastis). Tetapi jika menggunakan PDRB Atas Dasar Harga Konstan menunjukan hasil yang kurang baik yaitu sebesar 0,62 (Inelastis).
Sedangkan
rata-rata
perubahan
PAD
terhadap
perubahan PDRB pada Era Otonomi Daerah menunjukan hasil yang baik. Baik menggunakan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku maupun Atas Dasar Harga Konstan dengan hasil 9,64 dan 9,32 (ELatis). 5)
Dari hasil Analisis Kuantitaif tentang Matrik Potensi PAD menunjukan bahwa : (a)
Ada satu jenis Pajak Daerah di Kabupaten Sleman termasuk dalam Kategori Prima adalah Pajak Hotel dan Restoran. Pajak Hiburan serta Pajak Penerangan Jalan mempunyai
kategori
Potensial.
Sedangkan
Pajak
yang
berkategori Berkembang ada dua jenis antara lain adalah Pajak
128
Reklame dan Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Galian Golongan C. Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan masih tergolong berkategori Terbelakang. Maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar Pajak Daerah di Kabupaten Sleman mempunyai potensi yang bagus sehingga diharapkan dapat terus ditingkatkan, hanya ada satu Jenis Pajak yang berkategori Terbelakang. Sementara itu, untuk Jenis Restribusi (b)
Ada satu jenis Restribusi Daerah di Kabupaten Sleman di Era Otonomi Daerah yang mempunyai klasifikasi sebagai Restribusi Daerah yang berkategori Prima adalah Restribusi IMB. Ada tiga Jenis Restribusi yang tergolong dalam kategori Potensial antara lain adalah Retribusi Pelayanan Kesehatan,
Restribusi
Ketenagakerjaan.
Pasar
Sedangkan
dan
Restribusi
Restribusi
yang
Ijin tergolong
Berkembang adalah Restribusi Pelayanan Persampahan dan Kebersihan,
Restribusi Pemakaiaan Kekayaan Daerah dan
Restribusi Rumah Potong Hewan. Adapun Restribusi yang tergolong berkategori Terbelakang antara lain adalah Restribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga, Restribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil, Restribusi Parkir di Jalan Umum, Restribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, Restribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah, Restribusi Ijin Penggunaan
129
Tanah, Restribusi Ijin Trayek, Restribusi Ijin Ganguan dan Restribusi Ijin Keselamatan dan kesejahteraan Kerja 6)
Berdasarkan Analisis Kuantitatif tentang Rasio Aktivitas
(Keserasian)
antara
Belanja
Rutin
dan
Belanja
Pembangunan menunjukan bahwa : (a)
Rata-rata Rasio Belanja Rutin terhadap Total Pengeluaran Daerah Sebelum Otonomi Daerah maupun pada Era Otonomi Daerah di Kabupaten Sleman lebih besar dari rata-rata
Rasio
Pengeluaran
Belanja
Daerah.
Pembangunan
Dengan
demikian
terhadap
Total
sebagian
besar
anggaran hanya terserap untuk Belanja Rutin yang digunakan untuk membiayai semua keperluan daerah. (b)
Pada Era Otonomi Daerah rata-rata Rasio Belanja Rutin terhadap Total Pengeluaran Daerah lebih besar dari pada Sebelum Otonomi Daerah yang mengakibatkan rata-rata Rasio Belanja Pembangunan terhadap Total Pengeluaran Daerah menjadi kecil. Hal ini menunjukan bahwa di Kabupaten Sleman,
Belanja
Rutin
lebih besar dari pada
Belanja
Pembangunan maka manfaat pembangunan yang diperolah masyarakat Kabupaten Sleman masih rendah. (c)
Sebagian besar Belanja Rutin Kabupaten Sleman digunakan untuk membiayai Belanja Pegawai. Pada Era Otonomi
Daerah
rata-rata
konstribusi
Belanja
terhadap Total Belanja Rutin mengalami penurunan.
Pegawai
130
7)
Analisis Kuantitatif tentang Efektivitas dan Efesiensi PAD menunjukan bahwa : (a)
Pada Era Sebelum Otonomi Daerah maupun di Era Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman memiliki rasio Efektivitas PAD dari masing-masing Pos Penerimaan
Daerah
mengalami
peningkatan.
Hal
ini
menggambarkan bahwa kemampuan Pemerintah Daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah semakin baik. (b)
Sedangkan Pada Era Sebelum Otonomi Daerah maupun
di
Era
Otonomi
Daerah,
Pemerintah
Daerah
Kabupaten Sleman memiliki rasio Efesiensi PAD dari masingmasing Pos Penerimaan Daerah mengalami penurunan. Hal ini menggambarkan Kabupaten
bahwa
Sleman
kemampuan
dalam
Pemerintah
mengeluarkan
biaya
Daerah yang
dikeluarkan untuk memungut Pendapatan menunjukan kinerja yang semakin efesien. b.
Berdasarkan perhitungan Analisis Kuantitatif tentang
Kemandirian Daerah dan Pola Hubungan sebagai jawaban dari Hipotesis Kedua, menunjukan bahwa Kabupaten Sleman memiliki Kemampuan Keuangan yang rendah sekali yaitu dibawah 25 % sehingga dapat dikatakan bahwa Kabupaten Sleman memiliki Pola Hubungan yang masih bersifat Instruktif. Artinya peranan Pemerintah Pusat lebih dominan dari pada Kemandirian Pemerintah Daerah, (daerah tidak mampu melaksanakan Otonomi Daerah)
131
B. Saran Dari hasil kesimpulan di atas maka dapat dikatakan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dari segi Kemampuan Daerah masih sangat rendah. Untuk itu ada beberapa langkah yang perlu diupayakan agar PAD meningkat serta Otonomi yang sudah berjalan dapat dilaksanakan dengan baik, langkahlangkahnya adalah sebagai berikut : 1.
Secara Eksternalitas artinya Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman
seharusnya dapat mengidentifikasi dan menganalisis Potensi Daerah yang ada sehingga peluang-peluang baru untuk Sumber Penerimaan Daerah dapat dicari. Dengan analisis Potensi Daerah tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman untuk penentuan Target Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagai suatu perencanaan dan penjabaran kebijakan Pemerintah Daerah. 2.
Secara
Intensifikasi,
Pemerintah
Daerah
diharapkan
dapat
memperbaiki kinerja pengelolaan pemungutan pajak, antara lain : a).
Pendataan kembali Wajib Pajak dan Objek pajak yang sudah
ada dalam rangka penggalian Potensi Daerah. b).
Melakukan perhitungan Efektivitas dan Efesiensi Pemungutan
Pajak, sehingga biaya pemungutan dapat diperhitungkan sebelumnya. c).
Meningkatkan Kemampuan Perencanaan dan Pengawasan
Keuangan Daerah sehingga tidak terjadi Inefisiensi. 3.
Adanya Peningkatan Belanja Rutin yang lebih besar dari pada
Belanja Pembangunan maka Perencanaan dari Bawah ( Bottom Up
132
Planning ) perlu diupayakan dengan cara semua bantuan keuangan dari Pemerintah Pusat perlu menganut Sistem Bantuan Umum ( Block Grant) bukan dalam bentuk Bantuan Khusus ( Specific Grant ). 4.
Keseimbangan Pengeluaran Daerah antara Belanja Rutin dan
Belanja Pembangunan diharapkan akan dapat meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim. (2001). Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah . Yogyakarta: UPPAMP YKPN. Abdul Halim. (2004). Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah Edisi Revisi . Yogyakarta: UPPAMP YKPN. Ana Dwi Kurniawati. (2004). “Analisis Kemampuan Keuangan Daerah di KabupatenSukoharjo (Perbandingan Era Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah)”. Skripsi Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Tidak Dipublikasikan. Dhinaryati. (2003). “Analisis Efektivitas dan Efesiensi Pendapatan Asli Daerah di Era Otonomi Daerah di Kota Surakarta Tahun 1998 - 2002”. Skripsi Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Tidak Dipublikasikan.
133
Lincolyn Arsyad. (1999). Pengatar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah.Yogyakarta: BPFE. Mardiasmo. (2002). Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah . Yogyakarta: AndiOffset. Mubyarto. (2001). Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia Pasca KrisisEkonomi . Yogyakarta: BPFE M. Mas’ud Said. (10 Maret 2004). Undang-Undang Otonomi baru dan Peranan Strategis Kecamatan, http://www.yahoo.com. Nick Devas, (1989), Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, Jakarta, Universitas Indonesia. Rina Ikasari (2000). “Analisis Pelaksanaan Otonomi Daerah di Tinjau Dari Aspek Keuangan Daerah (Studi Kasus Kabupaten Sleman)”. Skripsi Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Tidak Dipublikasikan. Sumardi, Dkk. (2002). “Kumpulan Makalah Yang dipresentasikan pada Seminar diskusi dan Lokakarya dalam Tingkat Efesiensi Penerimaan Pajak dan Restribusi di Sragen Tahun 1996/1997 - 2000” Sukanto Reksohadiprodjo. (2001). Ekonomika Publik . Yogyakarta: BPFE Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Negara Nomor 3839) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1999 Nomor 72, Tambahan Negara Nomor 3848) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, (2004), Bandung, Citra Umbara. Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, (2004), Bandung, Citra Umbara.
Yunastiti Purwaningsih. (2002). Modul Metodologi Penelitian . Surakarta: FakultasEkonomi Universitas Sebelas Maret. Surakarta..