BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kanker serviks atau kanker leher rahim atau disebut juga kanker mulut rahim meru me rupa paka kan n sala salah h satu satu peny penyak akit it kega kegana nasa san n di bida bidang ng kebi kebida dana nan n dan dan peny penyak akit it kandun kan dungan gan yan yang g mas masih ih men menemp empati ati pos posisi isi tertin tertinggi ggi seb sebaga agaii pen penyak yakit it kan kanker ker yan yang g menyerang kaum perempuan. Kanker serviks adalah kanker leher rahim / kanker mulut rahim yang di sebabkan oleh virus Human Papiloma Virus (HPV). Hanya beberapa saja dari ratusan varian HPV yang dapat menyebabkan kanker. Penularan virus HPV yang dapat menyebabkan Kanker leher rahim ini dapat menular melalui seorang penderita kepada orang lain dan menginfeksi orang tersebut. Penularannya dapat melalui kontak langsung dan karena hubungan seks.1 Geja Ge jala la yang yang mu mung ngki kin n
timb timbul ul (umu (umumn mnya ya pada pada stad stadiu ium m
lanj lanjut ut))
adal adalah ah
perdarahan di luar masa haid, jumlah darah haid tidak normal, perdarahan pada masa menopause (setelah berhenti haid), haid), keputihan yang bercampur darah atau nanah serta berbau, berbau, perdarahan perdarahan sesudah sesudah senggama senggama,, rasa nyeri nyeri dan sakit sakit di panggul, panggul, gangguan gangguan buang air kecil sampai tidak bisa buang air kecil.2 Berdasarka Berdasarkan n hasil survey survey kesehatan kesehatan oleh Word Health Organita Organitation tion (WHO), (WHO), (2010) (2010) dilapo dilaporka rkan n kejadi kejadian an kan kanker ker servik serviks s seb sebesa esarr 500 500.00 .000 0 kasus kasus baru baru di Dunia. Dunia. Kejadian kanker serviks di Indonesia, dilaporkan sebesar 20-24 kasus kanker serviks baru setiap setiap harinya. harinya. Kejadian Kejadian kanker kanker servik servik di Bali dilaporkan dilaporkan tela telah h menye menyerang rang sebesar 553.000 wanita usia subur pada tahun 2010 atau 43/100.000 penduduk WUS. Berdasarka Berdasarkan n AOGIN. AOGIN. Angka ini menga mengalami lami peningkatan peningkatan sebesar sebesar 0,89% sejak tahun 2008.3 Angka kejadian kanker servik dalam kehamilan ditemukan kira-kira 1 sampai 13 kasus dalam 10.000 kehamilan. Dan pada sebuah studi kasus dikatakan bahwa 1 % wanita yang di diagnosa dengan kanker serviks di temukan saat hamil.4 Sejak Sejak dah dahulu ulu,, hub hubung ungan an karsin karsinoma oma servik serviks s den dengan gan keh kehami amilan lan merupa merupakan kan sesuatu yang diperdebatkan dalam hal pertumbuhan tumor, prognosis bagi penderita, dan risiko penyebaran kanker selama persalinan pervaginam. Telah dinyatakan bahwa
faktor-fak fakto r-faktor tor seperti seperti perubahan perubahan hormonal, hormonal, pening peningkatan katan vaskularis vaskularisasi, asi, dan toleransi toleransi imunologi selama kehamilan mempengaruhi perubahan tumor.5 1.2 Rumusan Rumusan Masalah Masalah •
Apa saja faktor resiko resiko kanker serviks pada kehamilan pasien ini? ini?
•
Bagaimana manajemen kanker serviks dan kehamilan pada pasien ini?
•
Bagaimana prognosis ibu dan bayi ini?
1.3 Tujuan •
Mengetahui faktor resiko kanker serviks serviks pada ibu hamil hamil
•
Mengetahui manajemen kehamilan pada kanker serviks
•
Mengetahui prognosis ibu dan bayi pada kehamilan dengan kanker serviks
1.4 Manfa Manfaat at
Manfaat dari laporan kasus ini, dapat meningkatkan pengetahuan mengenai definisi, etiologi, patofisiologi, penegakan diagnosa, manajemen serta prognosis pada kehamilan dengan kanker serviks
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Kanker Leher Rahim
Kanker seviks adalah kanker yang paling sering ditemukan pada saat kehamilan dan juga paling sering didiagnosa pada wanita sebagai kanker kedua terbanyak sebelum kanker payudara. Tingkat kematian dan angka terjadinya kanker serviks telah menurun pada negara-negara maju karena adanya pemeriksaan rutin papanicolau smear atau biasa kita sebut pap smear dan juga skrining dari human
papillomavirus.7
2.2 Epidemiologi
Kurang lebih, 60% wanita yang didiagnosis dengan kanker serviks pada negara-negara maju adalah mereka yang tidak melakukan skrining rutin seperti pap smear. Umur rata-rata seorang wanita terkena kanker serviks adalah sekitar 52.2 tahun dan distribusi dari kejadian ini adalah bimodal, dimana dapat terjadi pada umur 35-39 tahun dan 60-64 tahun.8 Angka kejadian seorang ibu yang sedang hamil dan didiagnosis menderita kanker serviks adalah sekitar 1.5-12 kasus per 100.000 wanita hamil.7
2.3 Faktor Resiko
Faktor resiko utama terjadinya kanker serviks adalah adanya paparan dengan HPV, merokok, paritas dan imunosupresan. Faktor-faktor lain telah dihubungkan dengan kanker serviks adalah ras, sosio ekonomik dan infeksi menular seksual. 8 Infeksi HPV terlihat pada 99,7% dari kanker serviks. Faktor resiko tradisional yang dapat menyebabkan kanker serviks adalah usia muda saat melakukan koitus pertama, pasangan sex yang berganti-ganti, multi paritas, kurangnya kontrasepsi dan pernah mengalami penyakit menular seksual sebelumnya.8 Merokok adalah faktor resiko yang mandiri pada perkembangan kanker serviks. Perokok mempunyai faktor resiko terkena kanker seviks sebesar 4-5 kali lebih besar daripada yang tidak merokok. Efek potensial dari rokok terlihat dalam jumlah terbatas pada squamous cell carcinoma8
Keadaan imunosupresif dapat meningkatkan perkembangan terjadinya kanker serviks lebih cepat dari periode pre-invasif sampai lesi invasif.8 2.4 Etiologi
Sel kanker serviks pada awalnya berasal dari sel epitel serviks yang mengalami mutasi genetik sehingga mengubah perilakunya. Sel yang bermutasi ini melakukan pembelahan sel yang tidak terkendali, imortal dan menginvasi jaringan stroma dibawahnya. Keadaan ini yang menyebabkan mutasi genetik yang tidak dapat diperbaiki akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan kanker ini 9
Penyebab utama kanker serviks adalah infeksi virus HPV. Lebih dari 90% kanker serviks jenis skuamosa mengandung DNA virus HPV dan 50% kanker serviks berhubungan dengan HPV tipe 16. Penyebaran virus ini terutama melalui hubungan seksual. Dari banyak tipe HPV, tipe 16 dan 18 mempunyai peranan penting melalui sekuensi gen E6 dan E7 dengan mengkode pembentukan protein-protein yang penting dalam replikasi virus.9
Onkoprotein dari E6 akan mengikatdan menjadikan gen penekan tumor (P53) menjadi tidak aktif, sedangnkan onkoprotein E7 akan berikatan dan menjadikan produk gen retinoblastoma (pRb) menjadi tidak aktif. 9 Faktor lain yang berhubungan dengan kanker serviks adalah aktivitas seksual terlalu muda (<16 tahun), jumlah pasangan seksual yang tinggi (>4 orang) dan adanya riwayat infeksi berpapil (warts). Karena hubungannya yang erat dengan infeksi HPV, wanita yang mendapat atau menggunakan penekan kekebalan (immunosuppresant) dan pendertita HIV beresiko menderita kanker serviks. Bahan karsinogenik spesifik dari tembakau dijumpai dalam lendir serviks wanita perokok. Bahan ini dapat merusak DNA sel epitel skuamosa dan bersama dengan infeksi HPV mencetuskan transformasi maligna.9 Sampai saat ini penyebab kanker serviks belum diketahui secara pasti,tetapi ditemukan beberapa f aktor predisposisi yang berperan pada terjadinya kanker serviks antara lain
adalah10 1. Umur Umur pertama kali saat berhubungan seksual. Penelitian menunjukkan bahwa semakin muda seorang wanita melakukan hubungan seksual maka akan rentan mengalami kanker serviks. Menikah pada usia 20 tahun masih dianggap terlalu muda.
2. Jumlah Kehamilan dan Partus Semakin sering partus, maka seorang wanita rentan terjadi kanker serviks 3. Infeksi Virus Infeksi virus herpes simplex dan virus papiloma atau virus kondiloma akuinata diduga sebagai penyebab terjadinya kanker serviks 4. Faktor umur dan paritas Semakin tinggi paritas ibu akan makin mudah terjadi infeksi cairan amnion akibat rusaknya struktur serviks pada persalinan sebelumnya. 5. Faktor tingkat sosio-ekonomi Sosio-ekonomi yang rendah, status gizi yang kurang akan meningkatkan insiden kanker serviks, lebih-lebih disertai dengan jumlah persalinan yang banyak, serta jarak kelahiran yang dekat.
2.5 Patogenesis
Genom sel manusia, menyebabkan hilangnya kontrol normal dari pertumbuhan sel serta ekspresi onkoprotein E6 atau E7 yang bertanggung jawab terhadap perubahan maturasi dan differensiasi dari epitel serviks. Lokasi awal dari terjadinya karsinoma serviks biasanya pada atau dekat dengan pertemuan epitel kolumner di endoserviks dengan epitel skuamous di ektoserviks atau yang juga dikenal dengan squamocolumnar junction. Terjadinya karsinoma serviks yang invasif berlangsung dalam beberapa tahap. Tahapan pertama dimulai dari lesi pre-invasif, yang ditandai dengan adanya abnormalitas dari sel yang biasa disebut dengan displasia. Displasia ditandai dengan adanya anisositosis (sel dengan ukuran yang berbeda-beda), poikilositosis (bentuk sel yang berbeda-beda), hiperkromatik sel, dan adanya gambaran sel yang sedang bermitosis dalam jumlah yang tidak biasa. Displasia ringan bila ditemukan hanya sedikit sel-sel abnormal, sedangkan jika abnormalitas tersebut mencapai setengah ketebalan sel, dinamakan displasia sedang. Displasia berat terjadi bila abnormalitas sel pada seluruh ketebalan sel, namun belum menembus membrana basalis. Perubahan pada displasia ringan sampai sedang ini masih bersifat reversibel dan sering disebut dengan Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) derajat 1-2. Displasia berat (CIN 3) dapat berlanjut menjadi karsinoma in situ. Perubahan dari displasia ke karsinoma in situ sampai karsinoma invasif berjalan lambat (10 sampai 15 tahun).10
Penyebab utama karsinoma serviks adalah infeksi virus Human Papilloma yang onkogenik. Risiko terinfeksi HPV sendiri meningkat setelah melakukan aktivitas seksual. Pada kebanyakan wanita, infeksi ini akan hilang dengan spontan. Tetapi jika infeksi ini persisten maka akan terjadi integrasi genom dari virus ke dalam genom sel manusia, menyebabkan hilangnya kontrol normal dari pertumbuhan sel serta ekspresi onkoprotein E6 atau E7 yang bertanggung jawab terhadap perubahan maturasi dan differensiasi dari epitel serviks. Lokasi awal dari terjadinya karsinoma serviks biasanya pada atau dekat dengan pertemuan epitel kolumner di endoserviks dengan epitel skuamous di ektoserviks atau yang juga dikenal dengan squamocolumnar junction. Terjadinya karsinoma serviks yang invasif berlangsung dalam beberapa tahap. Tahapan pertama dimulai dari lesi pre-invasif, yang ditandai dengan adanya abnormalitas dari sel yang biasa disebut dengan displasia. Displasia ditandai dengan adanya anisositosis (sel dengan ukuran yang berbeda-beda), poikilositosis (bentuk sel yang berbeda-beda), hiperkromatik sel, dan adanya gambaran sel yang sedang bermitosis dalam jumlah yang tidak biasa. Displasia ringan bila ditemukan hanya sedikit sel-sel abnormal, sedangkan jika abnormalitas tersebut mencapai setengah ketebalan sel, dinamakan displasia sedang. Displasia berat terjadi bila abnormalitas sel pada seluruh ketebalan sel, namun belum menembus membrana basalis. Perubahan pada displasia ringan sampai sedang ini masih bersifat reversibel dan sering disebut dengan Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) derajat 1-2. Displasia berat (CIN 3) dapat berlanjut menjadi karsinoma in situ. Perubahan dari displasia ke karsinoma in situ sampai karsinoma invasif berjalan lambat (10 sampai 15 tahun). Gejala pada CIN umumnya asimptomatik, seringkali terdeteksi saat pemeriksaan kolposkopi. Sedangkan pada tahap
invasif, gejala yang dirasakan
lebih
nyata
seperti
perdarahan
intermenstrual dan post koitus, discharge vagina purulen yang berlebihan berwarna kekuning-kuningan terutama bila lesi nekrotik, berbau dan dapat bercampur dengan darah , sistisis berulang, dan gejala akan lebih parah pada stadium lanjut di mana penderita akan mengalami cachexia, obstruksi gastrointestinal dan sistem renal.12
2.6 Gejala Klinis
Gejala-gejala kanker rahim yang sering ditemui sebelum terserang adalah perdarahan di luar masa haid yang berlebihan, siklus menstruasi yang abnormal, nyeri perut bagian bawah atau kram panggul, keluar cairan putih yang encer atau jernih
(pada wanita pasca menopause), nyeri atau kesulitan saat berkemih, juga timbulnya nyeri ketika melakukan hubungan seksual.10 Gejala pada CIN umumnya asimptomatik, seringkali terdeteksi saat pemeriksaan kolposkopi. Sedangkan pada tahap invasif, gejala yang dirasakan lebih nyata seperti perdarahan intermenstrual dan post koitus, discharge vagina purulen yang berlebihan berwarna kekuning-kuningan terutama bila lesi nekrotik, berbau dan dapat bercampur dengan darah , sistisis berulang, dan gejala akan lebih parah pada stadium lanjut di mana penderita akan mengalami cachexia, obstruksi gastrointestinal dan sistem renal.12 2.7 Stadium Kanker Serviks
Kanker serviks timbul di T-Zone atau squamous-collumnar junction (SCJ) yaitu daerah peralihan epitel skuamosa yang terdapat di ektoserviks (porsio) menjadi epitel kolumnar yang terdapat di endoserviks. Serviks yang normal, secara alami mengalami proses metaplasia (erosion) akibat saling desak-mendesanya kedua jenis epitel yang melapisi. Dengan masuknya mutagen, porsio yang mengalami metaplasia fisiologik dapat berubah menjadi patologik (displastik-diskariotik). Penyakit ini diawali oleh lesi prakanker, yang disebut juga neoplasia interepitel serviks/NIS (Cervical Intraephitelial Neoplasia/CIN) dengan tingkatan NIS-I, II, III, dan KIS (karsinoma in situ). Periode dari NIS-I s.d KIS disebut periode laten atau fase prainvasif yang masih mengalami regresi spontan dengan atau tanpa pengobatan. Namun bila lesi sudah menjadi mikro invasive atau invasive, proses keganasan akan terus berlanjut. 8 Staging karsinoma seviks merunut pada sistem klasifikasi dari FIGO (Federation of Gyenaecologic and Obstetrics) tahun 2000 dilihat berdasarkan lokasi tumor primer, ukuran besar tumor, dan adanya penyebaran keganasan. Staging ini dibuat untuk mempermudah perencanaan terapi yang efektif dan optimal bagi pasien dan memperkirakan prognosis pasien.8
2.8 Diagnosis
Deteksi dini kanker serviks secara teratur sangat dianjurkan bagi setiap wanita, biasanya dimulai tiga tahun setelah wanita aktif secara seksual atau berusia lebih dari 21 tahun. Selain dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, diperlukan deteksi dini berupa: 1. Pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) merupakan metode inspeksi yang sangat sederhana, murah, nyaman, praktis, dan mudah. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengoleskan larutan asam asetat 3% -
5% pada serviks sebelum melakukan inspeksi visual. Pemeriksaan ini disebut positif bila terdapat area putih (acetowhite) didaerah sekitar porsi serviks.10 2. Pemeriksaan pap smear, merupakan pemeriksaan sitologi untuk mendeteksi karsinoma serviks uteri. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil contoh sel epitel serviks melalui kerokan dengan spatula khusus, kemudia hasil kerokan dihapuskan pada kaca objek. Apusan sel pada kaca obejek tersebut selanjutnya diamati di bawah mikroskop oleh ahli patologi10 3. Pemeriksaan DNA, HPV, merupakan suatu ter laboratorium yang dapat mendeteksi tipe-tipe HPV yang dapat menyebabkan kanker serviks10 Jika diperoleh hasil Pap Smear yang abnormal, maka dibutuhkan beberapa pemeriksaan tambahan untuk mengkonfirmasi diagnosisi, mengetahui penyebaran kanker, dan menentukan pilihan pengobatan.10 1. Kolposkopi,
merupakan
pemeriksaan
visual
serviks
uteri
dengan
menggunakan alat optic khusus yang disebut kolposkop. Pemeriksaan ini dapat mengenali dysplasia maupun karsinoma, baik in situ maupun invasif, dengan baik10 2. Biopsi, merupakan gold standart dalam menentukan diagnosis kanker yaitu dengan
mengambil
sedikit
jaringan
lesi
kemudia
diperiksa
secara
histopatologik . Jaringan yang diambil harus cukup dalam serta meliputi beberapa area di empat kuadran serviks dan beberapa area vagina yang dicurigai10 3. Pemeriksaan visual kandung kemih dan kolon dengan sitoskopi dan protoskopi, serta pemeriksaan imejing seperti chest X-ray, CT, MRI, dan PET untuk mengetahui penyebaran dari kanker ke organ-organ sekitar.10
2.9 Penatalaksanaan
Setelah diagnosis kanker serviks ditegakkan, harus ditemukan terapi apa yang tepat untuk setiap kasus. Secara umum, jenis terapi yang tepat dapat diberikan bergantung pada usia dan keadaan umum penderita, luasnya penyebaran, dan komplikasi lain yang menyertai. Pada umumnya kasus stadium lanjut (stadium Iib, III dan IV) dipilih pengobatan radiasi yang diberikan secara intrakaviter dan eksternal, sedangkan stadium awal dapat diobati melalui pembedahan atau radiasi. Pada dasarnya untuk stadium lanjut (IIb, III dan IV) diobati dengan kombinasi radiasi
eksterna dan intrakaviter. Kombinasi ini untuk mendapatkan dosis cukup pada titik A. teknologi radiasi eksterna dimulai pada tahun 1954 dengan ditemukannya alat radiasi Cobalt 60 yang sudah memberikan energi 1 cm dibawah kulit. Akhir-akhir ini yang lebih disenangai adalah linear accelarator yang menghasilkan energi foton dan mulai memberi energi 3-4 cm di bawah kulit. Kombinasi pemberian sisplatin mingguan bersamaan dengan radiasi memberikan respon yang cukup baik. Akan tetapi bila terjadi kekambuhan baik lokal maupun jauh, setelah terapi kemoradiasi ini biasanya usaha pengobatan lain sering gagal. 9 Banyak penelitian tentang pemberian kemoterapi baik tunggal maupun kombinasi untuk mengobati penderita kanker serviks stadium lanjut atau kasus berualng yang tidak mungkin dilakukan terapi operatif atau radiasi. Kombinasi antara bleomicin, sisplatin dan ifosfamid tampaknya memberi respons yang lebih baik, tetapi efek samping pada sistem saraf pusat cukup menganggu. 9 Harapan hidup penderita akan menjadi lebih baik bila setelah pemberian neoadjuvant, kemoterapi ini dapat dilanjutkan dengan operasi radikal. Evaluasi respons kemoterapi neoadjuvan ini dengan bantuan MRI karena MRI dapat membedakan antara gambaran jaringan fibrosis dan jaringan tumor. 9 Terdapat
teknik
operasi
radikal
kanker
serviks
stadium
dini
dengan
mempertahankan uterus. Operasi radikal ini dikenal sebagai trakhelektomi radikal, dilakukan pada penderita kanker serviks stadium dini yang masih ingin hamil. Pada saat itu trakhelektomi radikal, dilakukan pada penderita kanker serviks stadium dini yang masih ingin hamil. Pada saat itu trakhelektomi radikal dilakukan melalui vagina dan limpadenektomi dengan bantuan laparoskop. Trakhelektomi ini dapat juga dilakukan melalui abdominal dengan cara dan peralatan yang sama dengan operasi histerektomi radikal biasa. serviks dipotong setinggi orificium uteri internum. Radikal trakhelektomi ini diindikasikan untuk stadium Ia2 dan Ib1 / Iia dengan lesi kurang 2 cm dan tidak ada anak sebar pada kelenjar getah bening pelvis. 9 Pada tingkat klinik (KIS), tidak dibenarkan dilakukan elektrokoagulasi atau elektrofulgerasi, bedah krio atau dengan sinar laser, kecuali penderitanya masih muda dan belum memiliki anak. Biopsi kerucut juga bias digunakan baik sebagai alat dianostik maupun terapi (Mardjikoen, 2007; Pitkin, 2003). Namun, bila penderita sudah cukup tua dan sudah mempunyai cukup pemeriksaan, dapat dilakukan histerektomi sederhana untuk mencegah kambuhnya penyakit. 10
Pada tingkat klinik Ia, umumnya ditangani sebagai kanker yang invasif. Bila kedalaman invasif kurang dari atau hanya 1 mm dan tidak meliputi area yang luas serta tidak melibatkan pembuluh limfa atau pembuluh darah, penanganannya dilakukan seperti pada KIS di atas.
10
Pada tingkat Ib dan IIa dilakukan histerektomi radikal dengan limfadenektomi. Pasca bedah biasanya dilanjutkan dengan penyinaran, tergantung ada atau tidaknya sel tumor dalam kelenjar linfa regional yang diangkat. 10 Pada tingkat IIb, III, dan IV tidak dibenarkan melakukan tindakan bedah, untuk primer adalah radioterapi. Menurut National Cancer Institute (2008), penanganan standart untuk tingkat IIb sampai Iva adalah radiasi dan kemoterapi. Pada tingkat IVb radiasi hanya bersifat paliatif. Pemberian kemoterapi dapat dipertimbangkan, walaupun belum ada standart kemoterapi yang dapat diberikan. 10 Untuk mencegah rekuren, umumnya pasien akan menjalani pemeriksaan rutin yang
meliputi
perabaan
pembesaran
kelenjar
getah
bening
supraklavikula,
pemeriksaan rekto-vaginal, dan sitologi setiap 3-4 bulan dalam dua tahun pertama. Setelah dua tahun, pemeriksaan dapat dilakukan lebih jarang, enam bulan hingga lima tahun paska terapi, untuk selanjutnya satu tahun sekali.10
2.10 Komplikasi
Komplikasi berkaitan degan intervensi pembedahan sudah sangat menurun yang berhubungan dengan peningkatan teknik-teknik pembedahan tersebut. Komplikasi tersebut meliputi : fistula uretra, disfungsi kandung kemih, emboli pulmonal, limfosit, infeksi pelvis, obstruksi usus besar dan fistula rektovaginal. Komplikasi yang dialami segera saat terapi radiasi adalah reaksi kulit, sistisis, radiasi dan enteritis. Komplikasi berkaitan pada kemoterapi tergantung pada kombinasi obat yang digunakan. Masalah efek samping yang sering terjadi adalah supresi sumsum tulang, mual dan muntah karena penggunaan kemoterapi yang mengandung sisplatin. 9
2.11 Prognosis
Prognosis kanker serviks adalah buruk.
Prognosis yang buruk tersebut
dihubungkan dengan 85-90 % kanker serviks terdiagnosis pada stadium invasif, stadium lanjut, bahkan stadium terminal.3
Selama ini, beberapa cara dipakai
menentukan faktor prognosis adalah berdasarkan klinis dan histopatologis seperti keadaan umum, stadium, besar tumor primer, jenis sel, derajat diferensiasi Broders. Prognosis kanker serviks tergantung dari stadium penyakit. Umumnya, 5-years survival rate untuk stadium I lebih dari 90%, untuk stadium II 60-80%, stadium III kira - kira 50%, dan untuk stadium IV kurang dari 30%3 1. Stadium 0100 % penderita dalam stadium ini akan sembuh 2. Stadium 1 Kanker serviks stadium I sering dibagi menjadi IA dan IB. Dari semua wanita yang terdiagnosis pada stadium IA memiliki 5-years survival rate sebesar 95%. Untuk stadium IB 5-years survival rate sebesar 70 sampai 90%. Ini tidak termasuk wanita dengan kanker pada limfonodi mereka. 3. Stadium 2 Kanker serviks stadium 2 dibagi menjadi 2, 2A dan 2B. Dari semua wanita yang terdiagnosis pada stadium 2A memiliki 5-years survival rate sebesar 70-90%. Untuk stadium 2B 5-years survival rate sebesar 60 sampai 65%. 4. Stadium 3 Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 30-50%. 5. Stadium 4 Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 20-30%. 6. Stadium 5 Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 5-10%.
2.12 Pencegahan
Sebagian besar kanker dapat dicegah dengan kebiasaan hidup sehat dan menghindari faktor-faktor penyebab kanker meliputi : 1. Menghindari berbagai faktor risiko, yaitu hubungan seks pada usia muda, pernikahan pada usia muda, dan berganti-ganti pasangan seks. Wanita yang berhubungan seksual dibawah usia 20 tahun serta sering berganti pasangan beresiko tinggi terkena infeksi. Namun hal ini tak menutup kemungkinan akan terjadi pada wanita yang telah setia pada satu pasangan saja. 2. Wanita usia di atas 25 tahun, telah menikah, dan sudah mempunyai anak perlu melakukan
pemeriksaan pap smear setahun sekali atau menurut petunjuk
dokter. Pemeriksaan Pap smear
adalah cara untuk mendeteksi dini kanker
serviks.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cepat, tidak sakit dengan biaya
yang relatif terjangkau dan hasilnya akurat. Disarankan untuk melakukan tes Pap setelah usia 25 tahun atau setelah aktif berhubungan seksual dengan frekuensi dua kali dalam setahun.
Bila dua kali tes Pap berturut-turut
menghasilkan negatif, maka tes Pap dapat dilakukan sekali setahun. Jika menginginkan hasil yang lebih akurat, kini ada teknik pemeriksaan terbaru untuk deteksi dini kanker leher rahim, yang dinamakan teknologi Hybrid Capture II System (HCII) 3.
Pilih kontrasepsi dengan metode barrier, seperti diafragma dan kondom, karena dapat memberi perlindungan terhadap kanker leher rahim.
4. Memperbanyak makan sayur dan buah segar. Faktor nutrisi juga dapat mengatasi masalah kanker mulut rahim. Penelitian mendapatkan hubungan yang terbalik antara konsumsi sayuran berwarna hijau tua dan kuning (banyak mengandung beta karoten atau vitamin A, vitamin C dan vitamin E) dengan kejadian neoplasia intra epithelial juga kanker serviks. Artinya semakin banyak makan sayuran berwarna hijau tua dan kuning, maka akan semakin kecil risiko untuk kena penyakit kanker mulut rahim. 5. Pada pertengahan tahun 2006 telah beredar vaksin pencegah infeksi HPV tipe 16 dan 18 yang menjadi penyebab kanker serviks. Vaksin ini bekerja dengan cara meningkatkan kekebalan tubuh dan menangkap virus sebelum memasuki sel-sel serviks. Selain membentengi dari penyakit kanker serviks, vaksin ini juga bekerja ganda melindungi perempuan dari ancaman HPV tipe 6 dan 11 yang menyebabkan kutil kelamin.Yang perlu ditekankan adalah, vaksinasi ini baru efektif apabila diberikan pada perempuan yang berusia 9 sampai 26 tahun yang belum aktif secara seksual. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dalam jangka waktu tertentu. Dengan vaksinasi, risiko terkena kanker serviks bisa menurun hingga 75%.
BAB III LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama
: Ny. T
Umur
: 26 tahun
Agama
: Islam
Pendidikan
: 12 tahun
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Alamat
: Sanan Jalan Kamboja RT 03/04 Singosari
MRS
: 26 Januari 2013
Suami
: Tn. B
Umur
: 27 tahun
Pendidikan suami
: 12 tahun
Pekerjaan suami
: Pegawai Pabrik
Status
: Menikah 1x, dengan suami ini, 5 tahun
3.2 Subjektif Keluhan Utama
Keluar cairan dari jalan lahir Perjalanan Penyakit
Pasien mengeluh keluar cairan dari jalan lahir pada pukul 13.00 tanggal 26 Januari 2013, tetapi pasien tetap di rumah. Pada pukul 14.00 cairan keluar semakin banyak sehingga pasien berangkat ke RS Wava Husada. Di RS Wava Husada, pasien diperiksa oleh dokter UGD dan diketahui bahwa ada benjolan pada daerah leher rahim pasien, dan pasien mengaku telah didiagnosis dengan ca cervix sebelumnya. Oleh karena itu, oleh dokter jaga UGD, pasien dirujuk ke RSU Dr. Saiful Anwar. Cairan yang keluar berwarna bening dengan konsistensi cair, kurang lebih sebanyak 2 pembalut wanita. Pasien akhirnya dirawat di RSU Dr Saiful Anwar pada tanggal 26 Januari 2013 pukul 16.00 WIB dengan diagnosa G2 P1001 Ab000, UK 3940 Minggu, tunggal/hidup, dengan Ca Cervix. Tidak ditemukannya riwayat anyanganyangen / BAK nyeri.
Ditemukan juga riwayat keputihan, kemudian pasien berobat ke dokter spesialis kandungan, dan ditemukan terdapat benjolan di daerah leher rahim. Kemudian dilakukan biopsi pada bulan September dan didapatkan diagnosis papil adenocarcinoma.
Hari pertama haid terakhir ( HPHT ) : 4 April 2012 Taksiran partus
: 28 Januari 2013
Menarche
: 13 tahun
Siklus
: 28 hari
Lamanya haid
: 7 hari
ANC
: 10 kali kontrol bidan, 1 kali di dokter spesialis kandungan
Riwayat Kehamilan/Persalinan
Ini kehamilan yang kedua. Kehamilan pertama pada usia kehamilan 9 bulan kurang lebih 7 tahun yang lalu. Bayi lahir SptB ditolong bidan dengan berat badan 2950 gr.
Riwayat Kontrasepsi
Pasien menggunakan KB suntik selama 7 tahun.
Riwayat Pernikahan
8 tahun
Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit seperti hipertensi, DM, penyakit jantung,asma, alergi, dan riwayat operasi disangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga pasien memiliki penyakit seperti hipertensi, DM, penyakit jantung, asma, alergi, dan riwayat operasi disangkal oleh pasien
3.3 Objektif 3.3.1 Pemeriksaan Fisik
Tanggal 26 Januari 2013 pukul 15.00
a. Status Interna Keadaan umum
: baik, compos mentis TB: 160 cm BB: 60 Kg
Tekanan darah
: 120/70 mmHg
Nadi
: 80x/menit
Laju respirasi
: 20x/menit
Tax/Trec
: 36.5 C/ 36.8°C
K/L
: an -/-, ict -/-, edema -/-, sianosis -/-
Thoraks
: p/ rhonki ( - ) ( - )
wheezing ( - ) ( - )
(-) (-)
(-) (-)
(-) (-)
(-) (-)
c/ S1S2 tunggal, murmur -, gallop – Abdomen
: FU 30 cm letak bujur, DJJ : 143 x/menit (Doppler), TBJ , His : (+)
Ekstremitas
: Edema (-)
b. Status Obstetri
-
Genitalia Ekterna : aliran ketuban (+)
-
Inspekulo : lakmus +, cairan ketuban menggenang di fornix posterior
-
Pemeriksaan Dalam (VT)
- Ø 1 cm, eff 50 %, HI - cairan ketuban (+), jernih - presentasi kepala - denominator : sulit dievaluasi 3.3.2 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (26-01-2013): Darah Lengkap: Leukosit
: 11.18 10³/mm³ (N = 4.7 – 11.3)
Hb
: 12.5 g/dl (N = 11,4 -15,1)
Hct
: 38.50 % (N = 36 – 42)
Trombosit
: 366 10³/mm³ (N = 142 – 424)
Faal Hemostasis
PPT
: 11.3 detik (N=11.5 detik)
APTT
: 30.7 detik (N= 26.5 detik)
PPT dan APTT dalam batas normal
NST 26 Januari 2013
Baseline: 150 bpm, Variability: 5-10 bpm, Acc (+), Decc (-)
Kesimpulan: Normal
3.4 Diagnosis 26 Januari 2013 :
G2 P1001Ab000 gr 39-40 mg T/H + Ca Cervix
3.5 Perencanaan 3.5.1 Rencana Diagnostik
3.5.2 Rencana Terapi
Usul terminasi dengan SC Persiapan operasi:
-
IVFD RL 1000 ml
-
Injeksi Gentamycin 5 mg IV
-
Injeksi Metcloperamide 10 mg IV
-
Injeksi Ranitidine 50 mg IV
-
SP / Sedia darah
-
Daftar OK
-
Konsul anastesi
-
DL
Pro observasi vital sign, keluhan, his, DJJ KIE Konsul senior 3.5.3 Rencana Edukasi
KIE keluarga tentang: 1. Kondisi pasien 2. Prosedur tindakan medis yang akan dilakukan 3. Efek samping dan komplikasi dari tindakan yang dilakukan
3.6 Outcome 27 Januari 2013 Pk 02.00
Lahir bayi laki-laki, melalui SCTP, BBL / PB= 3500 gr / 49cm, , AS 7-9, anus (+), kelainan (-)
BAB IV PEMBAHASAN
4.1
Faktor Resiko Terjadinya Kanker Serviks pada Kehamilan
Beberapa penyebab atau faktor resiko terjadinya kanker serviks pada kehamilan adalah : •
Wanita di atas usia 50 tahun
•
Penderita Endometrial hyperplasia Endometrial hyperplasia merupakan suatu peningkatan dalam jumlah sel-sel lapisan
rahim/uterus.
berkembang
menjadi
Itu
bukan
kanker.
kanker.
Namun, terkadang
Periode-periode
menstruasi
itu
dapat
yang
berat,
perdarahan diantara periode-periode dan setelah menopause adalah gejalagejala umum dari hyperplasia. •
Terapi sulih hormon/HRT (Hormone replacement therapy) Terapi ini, digunakan untuk mengatasi gejala-gejala menopause, mencegah osteoporosis/pengeroposan tulang, dan mencegah resiko penyakit jantung dan stroke. Wanita
yang menggunakan hormon estrogen tanpa progesteron
mempunyai suatu peningkatan resiko kanker kandungan, terutama bagi yang menggunakannya dengan dosis tinggi dalam jangka panjang •
Kelebihan berat badan Sebagian estrogen dalam tubuh dibuat di dalam jaringan lemak sehingga wanita yang gemuk memiliki kadar estrogen yang lebih tinggi. Tingginya kadar estrogen merupakan penyebab meningkatnya resiko kanker rahim pada wanita obesitas
•
Pemakaian tamoksifen Tamoksifen biasanya digunakan untuk mencegah atau mengatasi kanker payudara. Wanita yang menggunakan obat ini, mempunyai resiko yang lebih besar untuk terserang kanker rahim. Tamoksifen memiliki efek antiestrogen pada sel kanker payudara tetapi berefek estrogenik pada rahim sehingga penggunaan obat ini, menjadi salah satu faktor resiko bagi seorang wanita terserang kanker rahim
•
Wanita berkulit putih
•
•
Menstruasi pertama sebelum usia 12 tahun Adanya polip pada endometrium. Pada kasus ini, tidak didapatkan faktor resiko yang mungkin menyebabkan
pasien ini terkena kanker serviks. Ibu ini didiagnosis dengan kanker serviks pada saat kehamilan. Kemungkinan hal yang dapat menyebabkan ibu ini terkena kanker serviks adalah karena virus HPV. Hal ini tidak dapat dipastikan dengan pemeriksaan penunjang.
4.2
Penegakkan Diagnosis
Setiap perdarahan pervaginam pada wanita dalam masa reproduksi pertamatasma harus dipikirkan 2 penyebab utama: kehamilan dan kanker. Hampir selalu terjadi perdarahan pada wanita hamil dengan kanker serviks. Oleh karena itu, setiap perdarahan pervaginam pada wanita hamil harus mendapat cukup perhatian. Diagnosis karsinoma in-situ (KIS) pada kehamilan sukar ditentukan, oleh karena pada kehamilan terjadi juga perubahan-perubahan pada epitel serviks. Diagnosis KIS dapat ditegakkan dengan pemeriksaan sitologi dan kolposkopi. Konisasi sering dilakukan untuk konfirmasi, tetapi tindakan ini sering menyebabkan abortus (20%) dan partus prematurus (20%).Diagnosis kanker yang jelas secara klinik, cukup dengan dibiopsi saja (punch biopsi).7 Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan biopsi untuk mengetahui jenis kanker yang diderita. Hasil biopsi menunjukkan papil adenocarcinoma.
4.3 Penatalaksanaan Kehamilan dengan Kanker Serviks
Dalam merencanakan pengobatan ada 3 hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1)
usia kehamilan;
2)
stadium klinik dan
3)
keinginan penderita. Tidak seperti pada beberapa keganasan lainnya, pada kanker serviks ini tidak
ada risiko metastasis kanker kepada hasil konsepsi. Pada karsinoma insitu, kehamilan dapat ditunggu sampai aterm dan persalinan seperti biasa yaitu pervaginam, dan histerektomi dapat dilakukan kemudian. Sedang pada ESI, konisasi dapat saja dilakukan setiap waktu dalam masa kehamilan. Pada kanker yang invasif, pengobatan
dilakukan tanpa memperhatikan janinnya, kecuali kalau kehamilan sudah lebih dari 28 minggu.7 Pengobatan karsinoma serviks selama kehamilan menjadi individual, dengan pertimbangan pada umur kehamilan, stadium karsinoma, dan keinginan ibu. Secara umum, selama trimester pertama kehamilan, pengobatan dilakukan secara cepat, tanpa mempertimbangkan fetus. Jika diagnosis dibuat setelah kehamilan 20 minggu, terapi dapat dilakukan setelah persalinan. 7 Dari keterbatasan data yang tersedia, sedikit keterlambatan pada terapi awal tidak menampakkan efek samping pada hasil akhir terapi. Pada 2 penelitian, tidak ada bukti bagi perkembangan tumor yang dilaporkan selama keterlambatan pengobatan di antara 18 penderita yang hamil. Walaupun terapi ditunda dari minggu ke 11 menjadi minggu ke 17 selama trimester kedua kehamilan, 6 penderita dengan karsinoma serviks stadium I tetap bebas dari kelainan untuk 3 sampai 10 tahun. Ibu yang meminta penundaan pengobatan sampai setelah persalinan pada fetus yang viabel, sebagian saat keganasan didiagnosis selama trimester pertama kehamilan, yang merupakan penundaan lamanya terapi, diberi pengarahan tentang risiko perkembangan interval tumor.7 Persalinan biasanya dilakukan segera setelah tampak adanya data-data kematangan paru dimana perkembangan tumor menunjukkan memang membutuhkan intervensi segera. Penderita yang gelisah tentang penyakitnya, yang tidak ingin melanjutkan kehamilan, dan yang tidak mempunyai tingkat fosfolipid cairan amnion yang immatur dapat diberikan terapi kortikosteroid profilaksis 24 sampai 48 jam mendahului
rencana
persalinan.
Walaupun
beberapa
penelitian
menunjukkan
penurunan insiden dan sindroma kegawatan respirasi dengan terapi kortikosteroid antenatal, efektifitas bahan ini saat digunakan untuk pengobatan pada fetus sebelum umur kehamilan 26 minggu adalah tidak jelas.7 Ibu-ibu yang tidak yakin untuk memilih mengakhiri kehamilan, umumnya ketika diagnosis dibuat sebelum 24 minggu, diberi informasi yang dibutuhkan untuk memperkirakan keluaran fetus sebagai suatu proses dalam pengambilan keputusan. Berat lahir tampaknya menjadi determinan yang paling penting bagi kelangsungan hidup neonatal. Data yang berasal dari Chicago Lying-In Hospital, Universitas Chicago sama dengan dari institusi lain. Angka kelangsungan hidup untuk bayi pada kelompok berat badan 500–899 gram adalah 28%,sedang untuk kelompok 900 – 1199 gram dan
1200 – 1500 gram masing-masing 79% dan 86%. Akurasi perkiraan berat badan fetus antenatal dapat dihitung.7 Stadium penyakit juga merupakan faktor penting dalam merencanakan terapi. Radikal histerektomi dengan limpadenektomi pelvik tampaknya sesuai untuk penderita dengan tumor stadium Ib dan IIa yang kecil dengan risiko minimal keterlibatan limfatik, masih dibutuhkannya fungsi koital dan ovarian, riwayat divertikulitis atau peradangan pelvik, dan keinginan untuk masa terapi yang pendek. Pembengkakan kehamilan memfasilitasi prosedur operatif.7 Angka kesakitan berhubungan dengan bentuk terapi ini dapat diterima. Selama trimester pertama kehamilan, radikal histerektomi dapat dilakukan dengan fetus di dalamnya, dimana pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu disarankan setelah histerotomi dengan irisan fundal vertikal atau seksio sesarea klasik. Terapi radiasi adalah seefektif radikal histerektomi untuk karsinoma serviks stadium awal yang kecil dan terapi pilihan untuk lesi lanjut yang lokal.7 Ketika diagnosis dibuat selama trimester pertama kehamilan, pengobatan dimulai dengan irradiasi eksternal tanpa terminasi kehamilan. Selama trimester pertama, abortus spontan biasanya terjadi sebelum brachyterapi (selama 4 – 7 minggu, rata-rata 33 hari). Jarak waktu antara mulainya iradiasi dan abortus lebih lama pada trimester kedua (selama 5 – 9 minggu, rata-rata 44 hari). Jika abortus spontan tidak terjadi, uterus dievaluasi sebelum terapi intra cavitary. Sebagai pilihan, kombinasi pembedahan dan radioterapi dapat dipilih untuk lesi stadium awal yang menunjukkan respon yang sesuai dengan terapi radiasi; histerektomi ekstra fascia dapat dilakukan setelah eksternal iradiasi dan satu insersi intracavitary.7 Terapi radiasi dihindari selama periode menunggu, jika ibu memutuskan untuk melanjutkan kehamilan sampai fetus viabel. Kebanyakan bayi yang terpapar radiasi dengan dosis di atas 250 cGy antara umur kehamilan 4 dan 11 minggu mempunyai malformasi berat pada organ utama. Dengan dosis yang sama dimana persalinan antara umur kehamilan 11 dan 20 minggu berhubungan dengan keterbelakangan pertumbuhan, keterbelakangan mental dan mikrosefalus. Setelah umur kehamilan 20 minggu risiko pada fetus sama seperti paparan pada postpartum. Iradiasi dapat meningkatkan kemungkinan pembentukan bahan karsinogen di kemudian hari.7 Pengobatan sebaiknya dilakukan selama kehamilan pada penderita dengan penyakit lanjut dimana harapan hidup ibu terbatas, terutama jika diagnosis dibuat
selama trimester ketiga. Hanya satu kasus kelainan serviks ibu yang melibatkan plasenta yang dilaporkan; tidak ada kasus metastasis ke fetus. Dengan demikian, abortus terapeutik tidak dilakukan untuk indikasi fetus. Disarankan untuk melakukan pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik terhadap hasil konsepsi.7 Bila operasi yang akan dipilih, perencanaannya ialah sebagai berikut: 1.
Trimester I dan awal trimester II: histerektomi radikal dan limfadenektomi dengan janin in utero
2.
Trimester II akhir: tunggu sampai matang kemudian lakukan seksio sesar Klasik, dilanjutkan dengan histerektomi radikal dan limfadenektomi.
3.
Trimester III: seksio sesar dilanjutkan dengan histerektomi radikal dan limfadenektomi
4.
Nifas: histerektomi radikal dan limfadenektomi.
Bila radiasi yang akan dipilih, perencanaannya sebagai berikut: 1.
Trimester I dan awal trimester II: radiasi intrakaviter atau radiasi eksternal (3000 rads) dan tunggu abortus spontan, atau kalau perlu lakukan histerotomi dan dilanjutkan dengan radiasi intrakaviter dan radiasi eksternal.
2.
Trimester III : bila janin sudah matang lakukan seksio sesar, kemudian di berikan radiasi eksternal dan dilanjutkan radiasi intrakaviter.
3.
Nifas: radiasi diberikan sama seperti tidak hamil. Biasanya untuk mencegah infeksi diberikan radiasi eksternal lebih dahulu, baru kemudian intrakaviter. Tidak ada perbedaan hasil pengobatan kanker serviks dengan stadium yang sesuai antara kehamilan dan tanpa kehamilan.
Pada pasien ini dilakukan terminasi kehamilan per abdominam setelah umur bayi cukup minggu. Tidak dilakukan tindakan kemoterapi atau radiasi selama masa kehamilan. Histerektomi akan dilaksanakan setelah ibu melewati masa nifas dengan baik dan kondisi ibu cukup stabil untuk dilakukan operasi.
4.4 Jenis Persalinan
Seksio sesarea disarankan sebagai metode persalinan karena kemungkinan perdarahan. Data yang disebarluaskan tidak memberikan pertimbangan peningkatan penyebaran tumor atau efek samping prognosis dengan persalinan pervaginam. Angka harapan hidup 5 tahun setelah persalinan pervaginam tampaknya sebaik atau lebih baik dibandingkan setelah persalinan perabdominal.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1.
Manifestasi klinis pada pasien ini berupa keluhan keluarnya cairan dari jalan lahir. Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya aliran cairan ketuban dan tampak genangan cairan di forniks posterior. Tes lakmus juga menunjukkan perubahan warna.
2.
Manajemen pada pasien ini adalah dilakukan perawatan konservatif seperti induksi maturasi paru, pemberian antibiotik, pemberian tokolitik dan pemeriksaan leukosit. Setelah itu, dilakukan terminasi kehamilan melalui seksio sesarea. Lalu dilakukan terapi lanjutan untuk penanganan kanker.
3.
Prognosis pada ibu dan bayi pada kasus ini baik, tidak didapatkan komplikasi pada bayi dan ibu.
5.2 Saran
1. Pentingnya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tentang ca serviks pada kehamilan, penanganannya serta komplikasi yang akan dihadapi oleh pasien. 2. Pentingya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) pada pasien yang didiagnosa ca serviks, derajat keparahan, penanganan serta komplikasi yang akan dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Manuaba IBG. 2008.Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan &Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC
2.
Prawirohardjo S. 2005. Gangguan Bersangkutan dengan Konsepsi . Dalam: Ilmu Kandungan. Edisi II. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo
3.
Sankaranarayanan Rengaswamy et al. Effective screening programmes for cervical cancer in low- and middle- income developing countries. Bulletin of the World Health Organization.2010;79(10)
4.
Suharto O. 2007. Hubungan Antara Karakteristik Ibu Dengan Partisipasi Ibu Melakukan Pemeriksaan Papsmear di Klinik Adhiwarga PKBI Yogyakarta. (Skripsi) Yogyakarta : Universitas Ahmad Dahlan.
5.
Wiknjosastro, Ginekologi Onkologi , edisi ketiga, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2008
6.
Prayetni. 1996. Asuhan Keperawatan Ibu dengan Gangguan Reproduksi.Jakarta
7.
Hurt, Joseph K. 2008. The Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics . America : Lippincot Williams and Wilkins
8.
Koren, Gideon. 2007. Cancer in Pregnancy and Lactation: The Motherisk Guide . Cambridge : Cambridge University Press
9.
Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Onkologi dan Ginekologi . Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
10.
Digilin. Kanker Leher Rahim . http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/103/jtptunimusgdl-arifatulul-5137-2-bab2.pdf (diakses tanggal 13 Februari 2013)
11.
Deherba. 2012. Gejala-Gejala Kanker Rahim . http://www.deherba.com/gejalagejala-kanker-rahim.html (diakses tanggal 13 Februari 2013)
12.
USU.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26069/4/Chapter%20II.pdf
(diakses tanggal 13 Februari 2013). 13.
Muniarti.
2011.
Kanker
Serviks
dan
Kehamilan .
http://munartiblog.multiply.com/journal/item/26?&show_interstitial=1&u= %2Fjournal%2Fitem (diakses tanggal 14 Februari 2013)