BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Kesalahan pasien, prosedur, lokasi dan penggunaan implan/ prostesis dalam pembedahan adalah insiden yang dapat terjadi dalam prosedur pembedahan. Walaupun jarang terjadi, namun apabila terjadi merupakan kejadian yang sangat serius, tidak hanya untuk pasien dan keluarga, tetapi juga untuk staf yang terlibat. Pedoman ini menguraikan tentang prinsip – – prinsip yang harus dilakukan pada semua semua prosedur / tindakan operasi yang berpotensi menimbulkan resiko membahayakan pasien.
B. TUJUAN Tujuan pedoman ini adalah untuk mencegah adanya kekeliruan pasien, kesalahan prosedur dan kesalahan lokasi, dengan menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan pada tindakan operasi atau prosedur diagnostik, termasuk pembedahan tindakan di ruang endoskopi, gigi, radiologi, sehingga tindakan dapat dipastikan dilakukan pada pasien yang sesuai, tempat yang tepat dan dengan implan atau prostesis dan peralatan yang tepat.
C. PENGERTIAN Orang yang bertanggung jawab" adalah jika seseorang kurang dari 16 tahun atau 16 tahun atau lebih tetapi tidak mampu memberikan
persetujuan.
Ketentuan
Perwalian
dan
persetujuan dari pasien sebagai "orang yang bertanggung jawab" diatur menurut ketentuan. Aturan ini membuat sebuah hirarki untuk menentukan siapa "orang yang bertanggung jawab". "Time Out" adalah pembekuan kegiatan segera sebelum memulai prosedur dengan tim atau operator tunggal yang terlibat dalam prosedur untuk melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pasien benar, prosedur benar, lokasi benar, sisi /
1
tingkat benar, prostesis / implan tersedia, peralatan khusus siap, antibiotik profilaksis sudah diberikan, pengobatan khusus sudah diberikan. Salah Prosedur Sebuah prosedur yang dilakukan pada daerah yang salah dari tubuh pasien atau pada pasien yang salah. Ini dapat terjadi pada prosedur apapun tapi lebih cenderung pada pasien yang menjalani ortopedi, tulang belakang, urologi, mata, THT, gigi.
D. RUANG LINGKUP 1. Unit Pelayanan Rawat Inap 2. Unit Pelayanan Rawat Jalan 3. Instalasi Gawat Darurat 4. Instalasi Bedah Sentral 5. Pelaksana panduan ini adalah seluruh Tenaga Kesehatan Rumah Sakit Kartika Husada Kudus.
E. DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit 4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011 Rumah Sakit
2
Tentang
Keselamatan
Pasien
BAB II PEDOMAN KESELAMATAN TINDAKAN BEDAH
A. PRINSIP Insiden pasien yang tidak benar, prosedur yang tidak benar, lokasi tindakan yang salah merupakan kejadian yang dapat dicegah dan sebagian besar merupakan hasil miskomunikasi, informasi yang tidak tersedia atau informasi tidak benar. Analisis kasus-kasus ini menunjukkan bahwa faktor penyebab utama adalah kurangnya proses pemeriksaan standar dan tingkat otomatisitasi staf (memeriksa tanpa berpikir) dalam menjalankan prosedur rutin. Prinsip-prinsip berikut akan memastikan bahwa pasien tersebut aman dan meminimalkan risiko kesalahan sistem : 1. Ada DPJP yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pasien benar, prosedur benar dan lokasi yang benar. 2. Tanggung jawab untuk memastikan pasien, prosedur dan verifikasi lokasi yang benar terletak pada semua anggota tim. DPJP sebagai penggungjawab utama untuk proses verifikasi. 3. Keterlibatan aktif dan komunikasi yang efektif antara semua anggota tim, pasien dan DPJP akan memastikan keberhasilan. 4. Sedapat mungkin, melibatkan pasien dan DPJP pada semua titik dalam proses verifikasi, dan menandai lokasi bedah, untuk menegaskan
pemahaman
staf
terhadap
prosedur
yang
direncanakan. 5. Persetujuan tindakan harus diperoleh dalam melakukan prosedur. 6. Identifikasi pasien harus diverifikasi di setiap tahap pelayanan pasien dan sebelum prosedur dimulai. 7. Marker lokasi sangat penting dalam kasus di mana ada potensi untuk kesalahan yang melibatkan pembedaan kiri / kanan, struktur ganda (jari, jari kaki, atau lesi) atau tingkat (tulang belakang). 8. Jika data pencitraan pra prosedur akan digunakan dalam prosedur
tindakan
bedah,
3
datanya
harus
tersedia
dan
diidentifikasi dengan benar sebelum dimulainya anestesi / sedasi atau pun prosedur yang direncanakan. 9. Prostesis, implan, peralatan khusus atau obat yang diperlukan untuk
prosedur
ini,
harus
tersedia
sebelum
dimulainya
anestesi / sedasi untuk prosedur yang direncanakan 10. "Time out" atau cek keamanan pasien terakhir dilaksanakan segera sebelum dimulainya prosedur yang direncanakan.
B. KOMPONEN KUNCI (KESELAMATAN BEDAH) ADALAH : 1. Proses verifikasi pra prosedur a. Persetujuan
tindakan
harus
diperoleh
untuk
setiap
tindakan bedah apapun seperti yang dijelaskan dalam inform consent dan harus mencakup identifikasi yang benar dari bagian tubuh yang terlibat. Semua rencana untuk prosedur operasi menyertakan nama pasien, alamat, tanggal lahir atau nomor rekam medis, seks, lateralitas dan lokasi. Semua informasi yang diperlukan pada formulir harus dapat dibaca dengan lengkap, termasuk riwayat klinis yang relevan dan identitas dari DPJP. b. Singkatan tidak boleh digunakan pada formulir informed consent tindakan bedah. Informasi. "Kiri" atau "Kanan" harus
ditulis
seluruhnya
pada
semua
dokumentasi.
Singkatan dan simbol yang digunakan pada dokumentasi harus sesuai Standar Singkatan yang berlaku. c. Informasi klinis yang relevan harus tersedia sebelum prosedur direncanakan. (Jika pasien ingin mengubah isi dari formulir persetujuan yang ditandatangani, prosedur harus ditunda kecuali jika ada situasi yang mengancam jiwa atau darurat). d. Verifikasi pasien yang benar, prosedur yang benar dan lokasi benar harus dilakukan pada saat: Saat prosedur dijadwalkan. Saat masuk ke ruang operasi. Setiap saat pasien ditransfer selama persiapan operasi.
4
Sebelum
pengobatan
pada
pasien
yang
dapat
mempengaruhi fungsi kognitif. Segera sebelum memasuki ruang di mana prosedur akan terjadi, atau sesegera mungkin setelah memasuki ruang prosedur tetapi sebelum dimulainya anestesi / sedasi. e.
Verifikasi harus didokumentasikan dalam catatan medis pasien.
f.
Pada saat proses verifikasi staf harus selalu: Meminta pasien untuk menyatakan nama lengkap, alamat, tempat dan lokasi direncanakan prosedur. Jika hal ini tidak mungkin, "orang yang bertanggung jawab" terhadap pasien harus menjawab. Memeriksa nama pasien, alamat dan nomor rekam medis pada gelang identifikasi, rencana operasi / persetujuan dan / atau formulir permintaan atau pengobatan. Mengkonfirmasi persetujuan tertulis untuk prosedur yang direncanakan dari pasien atau "orang yang bertanggung jawab" Mengkonfirmasi x-ray dan data pencitraan lainnya adalah untuk pasien yang benar dan merupakan gambar yang benar. Mengkonfirmasi
data
pencitraan,
prostesis
dan
implan untuk pasien dan memastikan bahwa setiap implan / prostesis yang diperlukan untuk lokasi yang benar dan ukuran sesuai. Memastikan bahwa semua dokumen yang relevan, prostesis / implan, peralatan khusus atau obat tersedia sebelum dimulainya anestesi / sedasi. Memastikan informasi di atas telah ditinjau ulang dan sesuai dengan harapan pasien dan tim. Memastikan informasi yang kurang atau perbedaan diselesaikan sebelum dimulainya anestesi / sedasi.
5
g.
Pasien yang terlibat harus terjaga dan sadar selama proses verifikasi. Jika hal ini tidak mungkin, alasannya harus didokumentasikan.
h.
Jika pasien tidak mampu berpartisipasi dalam proses verifikasi karena masalah kesadaran, kompetensi bahasa, atau seorang anak, "orang yang bertanggung jawab" harus memverifikasi rincian. Untuk kelompok pasien yang tidak memiliki "orang yang bertanggung jawab", anggota staf dari lokasi pasien sebelumnya (misalnya, bangsal atau gawat darurat) harus bertindak sebagai wakil pasien untuk memverifikasi identifikasi pasien.
i.
Jika pasien tidak dapat berpartisipasi dalam langkah verifikasi akhir, maka gelang identifikasi pasien harus digunakan untuk memeriksa identitas mereka.
j.
Individu yang terlibat dalam proses verifikasi harus dicatat dalam rekam medis pasien.
2. Marking (Menandai tempat prosedur ) a. Marking lokasi sangat penting dalam kasus di mana terdapat
potensi
untuk
kesalahan,
yang
melibatkan
perbedaan kiri / kanan, struktur ganda (jari, jari kaki, atau lesi) atau tingkat (tulang belakang). - Penandaan dilakukan oleh (Dokter Penanggung Jawab Pasien) yang akan melakukan prosedur bedah bertujuan untuk memastikan ketepatan sisi dan lokasi operasi. (Namun penandaan ini dapat didelegasikan kepada staf lain, dengan syarat staf yang menerima pendelagasian tersebut hadir selama dilakukannya operasi.) - Tanda itu terlihat dan cukup permanen sehingga tetap terlihat saat persiapan kulit dan draping. - Penandaaan dilakukan bila terdapat lebih dari satu kemungkinan lokasi operasi, yang disertai lateralitas (misalnya : otak atau organ berpasangan), struktur multipel (jari tangan, jari kaki, hernia, lesi), atau lokasi bertingkat / multiple level (tulang belakang) yang bila
6
dilakukan prosedur pada tempat yang salah akan mencederai pasien. - Pemberian tanda dilakukan pada pasien yang terjaga dan sadar, pada beberapa pasien anak yang pemberian tanda menimbulkan ketakutan, pemberian marking paling baik dilakukan setelah pasien dibius / sedasi. - Marking dilakukan sebelum pasien memasuki ruang tindakan, kecuali dalam keadaan darurat. b. Metode penandaan harus konsisten di seluruh rumah sakit. Inisial tidak boleh digunakan dalam penandaan. c. Penandaan dilakukan dengan tanda yang melingkari ( 0 ) atau dengan menarik garis (---) atau memberi panah ( → ) pada daerah yang akan dilakukan prosedur. Ketentuan umum penandaan lokasi operasi adalah sebagai berikut : 1) Penandaan dilakukan pada atau di dekat lokasi insisi dan harus cukup permanen sehingga tetap tampak setelah dilakukan persiapan kulit dan pemasangan kain pembatas lapang pandang (draping ) pada saat prosedur akan dilakukan. 2) Penandaan untuk jari-jari tangan atau kaki harus dilakukan pada permukaan kulit jari anterior dan posterior yang akan dilakukan tindakan, bukan pada punggung / telapak tangan atau kaki. 3) Penandaan untuk kasus ortopedi yang menggunakan gips sebelumnya, harus dilakukan langsung setelah gips dilepas. 4) Untuk penandaan pada prosedur di daerah tulang belakang, dilakukan pada permukaan kulit di regio tulang belakang (vertebra) tersebut. Time-Out kedua harus
dilakukan
bila
dilakukan
teknik
imaging
intraoperatif untuk memastikan level vertebra yang tepat. 5) Jika level dan lokasi operasi tidak dapat diidentifikasi secara visual, maka operator harus menggunakan teknik imaging intraoperatif, menggunakan penanda
7
khusus yang tidak dapat bergeser / bergerak, untuk memastikan level dan lokasi yang tepat. 6) TIDAK diperkenankan menandai apapun selain di lokasi operasi. 7) Penandaan dilakukan menggunakan marker khusus yang aman bagi kulit. d. Proses Marking didokumentasi dengan mengisi Lembar Verifikasi
dan
Penandaan
Lokasi
Prosedur
Pasien
Operasi. e. Jika data pencitraan digunakan untuk mengkonfirmasi lokasi atau prosedur, orang yang melakukan prosedur harus mengkonfirmasi dengan anggota lain bahwa: Gambar benar dan diberi label dengan benar; Identitas pasien, tempat prosedur dan tanggal dari gambar yang berkaitan dengan prosedur semua sama. f.
Marker lokasi dapat tidak diberikan dalam situasi berikut: Untuk
menghindari
kebingungan,
(misalnya,
jika
prosedur memerlukan anestesi regional, maka hanya tempat operasi yang harus ditandai) Lokasi
prosedur
pada
permukaan
mukosa
atau
perineum Prosedur yang memerlukan akses minimal untuk menuju
organ
internal
lateral,
baik
melalui
perkutaneus maupun melalui orifisium tubuh. Kasus-kasus prosedur intervensi dimana lokasi insersi kateter
atau
instrumen
tidak
perlu
ditentukan
sebelumnya. Untuk kasus organ tunggal, (misalnya operasi caesar). Jika lokasi tersebut jelas, (misalnya trauma luka terbuka, tumor besar). Operasi
dimana
(misalnya,
tempat
sayatan
laparoskopi).
8
garis
pembedahannya tengah,
jelas,
sistoskopi,
Penandaan tidak dilakukan pada prosedur dengan struktur lokasi bilateral pada tonsil dan ovarium. Jika lokasi prosedur tidak dapat ditandai (misal gigi). Diagram jelas harus dibuat untuk menunjukkan lokasi dan sisi harus tercatat dalam catatan medis pasien. Untuk bayi prematur, dan beberapa bedah mulut dan rahang atas, di mana tanda dapat menyebabkan tato permanen. Pasien
menolak.
Penolakan
tersebut
harus
didokumentasikan dalam catatan medis pasien. Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa di mana pasien langsung memasuki ruang tindakan. Ini harus didokumentasikan dalam catatan medis pasien.
3. Ceklist Keselamatan Bedah Rumah Sakit Kartika Husada melaksanakan rangkaian prosedur
keselamatan
pasien
bedah
terstandar
yang
diadaptasi dari Surgical Safety Checklist dari WHO berupa: a) Sign in b) Time out c) Sign out Checklist Keselamatan Bedah harus dilakukan dan dilengkapi untuk seluruh pasien yang menerima tindakan bedah atau prosedur invasif lainnya. Checklist Keselamatan Bedah adalah bagian dari rekam medis pasien. a. Sign In Sebelum dilakukan induksi, anggota tim yang akan melakukan tindakan harus melakukan konfirmasi bahwa pasien telah diidentifikasi dengan benar. Proses ini dilakukan setelah serah terima, sebelum pasien masuk ke kamar bedah dan dilakukan oleh minimal 2 orang petugas, yaitu Perawat dan Ahli Anestesi. Pasien sedapat mungkin masih dalam keadaan sadar dan ikut serta aktif dalam proses sign in ini.
9
Proses sign in dilakukan untuk mengkonfirmasi kebenaran identitas dan operasi, ketepatan sisi dan lokasi operasi, persetujuan pasien, kesiapan alat anestesi, serta risiko-risiko lain yang mungkin dialami pasien selama operasi seperti : alergi, kehilangan darah, dan aspirasi. Sign in dapat tidak dilakukan pada : a) Kondisi gawat darurat yang membutuhkan tindakan segera b) Tindakan bedah dengan anestesi lokal
b. Time Out 1) "Time Out" adalah pengecekan terakhir keselamatan pasien
yang
dilakukan
segera
sebelum
memulai
prosedur oleh tim yang terlibat dengan DPJP sebagai penanggung jawab utama. Kegiatan ini dilakukan untuk memastikan pasien sudah benar, prosedur benar, lokasi benar, sisi / tingkat benar, prostesis / implan tersedia, peralatan khusus siap , profilaksis antibiotik sudah diberikan. 2) "Time Out" harus dilakukan di ruangan operasi. Semua staf yang terlibat dalam operasi harus berhenti dan melakukan verifikasi akhir. Orang yang memulai "Time Out" adalah perawat sirkuler. 3) Setiap anggota tim harus memeriksa pasien, prosedur dan lokasi. 4) Tindakan Time Out dilakukan untuk seluruh jenis tindakan bedah. baik tindakan bedah segera atau elektif, sebelum prosedur invasif atau insisi dilakukan. 5) Konfirmasi ulang pasien selama "Time Out" harus melibatkan seluruh tim dan mencakup, setidaknya: identitas pasien kesepakatan tentang prosedur dimaksudkan untuk dilakukan; sisi dan lokasi / tingkat. konfirmasi data imaging
10
ketersediaan protesa/implan yang benar, termasuk peralatan khusus atau persyaratan (bila diperlukan). Ini harus dikonfirmasi oleh orang yang melakukan prosedur dan dengan setidaknya satu anggota lain dari tim prosedur. Pemberian antibiotik profilaksis. Jika
ada,
dipastikan
bahwa
obat
khusus
telah
diberikan. 6) Semua
anggota
tim
bertanggung
jawab
untuk
memastikan bahwa "Time Out" telah dilakukan. Ini berarti bahwa jika pemimpin tim gagal untuk memulai "Time Out" untuk alasan apapun, semua anggota tim berbagi tanggung jawab untuk mengingatkan pemimpin tim bahwa itu harus dilakukan. 7) Apabila pasien menerima lebih dari satu prosedur operasi yang dilakukan oleh Tim yang berbeda, maka perlu dilakukan Time Out yang kedua. 8) Untuk berhenti
single-operator dan
prosedur,
memverifikasi
operator
semua
harus
persyaratan
minimum segera sebelum memulai prosedur. 9) Proses Time Out harus didokumentasikan dalam Form Surgical Safety Checklist. 10) Dimana
didapatkan
perbedaan
atau
perbedaan
pendapat pada verifikasi di saat "Time Out" atau pada setiap titik dalam perjalanan pasien, prosedur harus ditunda sampai masalah diselesaikan. Dalam hal alasan
urgensi
Pembenaran
klinis
untuk
prosedur
melanjutkan
boleh
dimulai.
dengan
adanya
perbedaan tersebut harus didokumentasikan dalam catatan medis pasien. Segera setelah prosedur selesai laporan kejadian harus diselesaikan. 11) Dimana langkah verifikasi sebelumnya telah terjadi memuaskan tetapi perbedaan dalam informasi atau perselisihan dalam verifikasi terjadi di "Time Out",
11
sebuah laporan insiden harus dibuat bahkan jika masalah diselesaikan dengan memuaskan. 12) Jika terjadi perselisihan dalam situasi darurat ekstrim, anggota paling senior dari tim yang bertanggung jawab terhadap
perawatan
pasien
harus
memutuskan
tindakan yang paling tepat. 13) Perubahan yang signifikan terhadap prosedur yang terdokumentasi harus dikomunikasikan kepada seluruh anggota tim dan dicatat dalam rekam medis pasien 14) Rumah sakit harus memiliki proses di tempat untuk menyelesaikan
perselisihan
dalam
pengelolaan
identifikasi pasien. 15) Time Out yang dilakukan dalam tindakan bedah dengan anestesi lokal dilakukan oleh operator dan perawat di kamar tindakan. 16) Dokter dan perawat yang akan melakukan pelayanan bedah dengan anestesi lokal wajib melakukan Time Out. Yang dilakukan dalam proses Time Out di sini adalah : Memastikan kebenaran identitas pasien dengan melakukan verifikasi antara identitas resmi pasien dengan rekam medisnya. Memastikan kebenaran tindakan / prosedur dan lokasi / sisi prosedurnya. Kedua
hal
di
atas
didokumentasikan
dalam
Lembar Tambahan Pasien Rawat Jalan
c. Sign Out Sebelum pasien meninggalkan kamar tindakan atau kamar
bedah,
Perawat
Sirkuler
melakukan
review
bersama-sama dengan tim pembedahan. Perawat bedah menyebutkan nama prosedur yang dilakukan, kelengkapan hitungan instrumen yang digunakan dan label spesimen dibacakan dengan lengkap dihadapan tim.
12
Didokumentasikan pula apabila terdapat permasalahan tentang peralatan serta pesan khusus yang diperlukan oleh pasien selama di ruang pemulihan dan pelayanan pasien selanjutnya. Checklist ini kemudian ditandatangani oleh Dokter Operator, Dokter Anestesi dan Perawat Sirkuler.
4. Dalam hal terjadi insiden serius a. Jika kondisi pasien memungkinkan, rencana langsung untuk memperbaiki kesalahan harus dibuat oleh anggota tim yang paling senior. Jika memungkinkan, pasien dan keluarga pasien harus terlibat dalam rencana pengelolaan. b. Permintaan maaf dan penjelasan tentang insiden itu harus diberikan kepada pasien dan keluarga. c. Laporan insiden harus dibuat dan kajian yang tepat dilakukan, seperti yang ditunjukkan dalam Manajemen Insiden. d. Rincian yang tepat harus dicatat dalam rekam medis pasien. e. Insiden serius harus dibahas pada keselamatan pasien sesuai pertemuan tinjauan klinis.
13
BAB III PENUTUP
Mengingat bahwa keselamatan tindakan bedah merupakan salah satu sasaran dalam perbaikan keselamatan pasien, maka berdasarkan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dan PMK No 1691/ MENKES/ PER/ VIII/ 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Pelaksanaan program peningkatan mutu keselamatan pasien
harus dilakukan oleh RS Kartika Husada Kudus sesuai standar akreditasi Sasaran Keselamatan Pasien tentang kepastian tepat prosedur, tepat lokasi dan tepat operasi. Diharapkan dengan adanya panduan yang jelas, maka angka kejadian kesalahan tindakan pembedahan dapat berkurang.
14
15