BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Pesawat Terbang Terbang
Sebelum merancang pengembangan sebuah lapangan terbang, dibutuhkan pengetahuan karakteristik pesawat terbang secara umum untuk merencanakan prasarananya. Karakteristik Karakteristik pesawat terbang antara lain lain :
•
Berat (Weight (Weight ) Berat pesawat diperlukan untuk merencanakan tebal perkerasan dan kekuatan landasan pacu.
•
Ukuran (Size (Size)) Lebar dan panjang pesawat ( Fuselag ) mempengaruhi dimensi landasan pacu.
•
Kapasitas Penumpang Kapasitas penumpang berpengaruh terhadap perhitungan perencanaan kapasitas landasan pacu.
•
Panjang Landasan Pacu Berpengaruh terhadap luas tanah yang dibutuhkan suatu bandar udara.
Anggapan bahwa makin besar pesawat terbang, makin panjang landasan tidak selalu benar. Bagi pesawat besar, yang sangat menentukan kebutuhan panjang landasan adalah jarak yang akan ditempuh sehingga menentukan berat lepas landas (Take Off Weight ). ). Karakteristik dari beberapa pesawat terbang dapat dilihat pada Tabel 2.1 dibawah ini : Pesawat Terbang
Bentang Sayap
Panjang Pesawat
Berat Lepas Landas (Pon)
Berat Pendaratan (Pon)
Berat Kosong Operasi (Pon)
DC9-50
93’04’’
132’00’’
120.000
110.000
63.328
Berat Bahan Bakar (Pon) 98.000
DC10-10
155’04’’
182’03’’
430.000
363.500
234.664
335.000
B737200
93’00’’
100’00’’
100.500
98.000
59.958
B747-B
195’09’’
229’02’’
775.000
564.000
365.800
526.000
211-230
6.700
A-300
147’01’’
175’11’’
302.000
281.000
186.810
256.830
225-345
6.500
85.000
Sumber : Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara ( Horonjeff,1998 )
Tabel 2.1
Karakteristik Pesawat Terbang
130
Panjang Landasan Pacu (Kaki) 7.100
270-345
9.000
Muatan Maximum Penumpang
86-125
5.600
2.1.1.
Untuk pesawat udara tertentu tabel tersebut juga menyediakan data tentang referensi panjang landas pacu dibutuhkan pesawat udara (aeroplane (aeroplane reference field length ARFL), lebar sayap dan jarak antara roda-roda utama paling luar yang digunakan pada penentuan kode referensi Bandar Udara. Data karakteristik kinerja pesawat udara harus diperoleh dari informasi yang diterbitkan oleh produsen pesawat udara.
2.1.1.
Untuk pesawat udara tertentu tabel tersebut juga menyediakan data tentang referensi panjang landas pacu dibutuhkan pesawat udara (aeroplane (aeroplane reference field length ARFL), lebar sayap dan jarak antara roda-roda utama paling luar yang digunakan pada penentuan kode referensi Bandar Udara. Data karakteristik kinerja pesawat udara harus diperoleh dari informasi yang diterbitkan oleh produsen pesawat udara.
2.2. Berat Pesawat Terbang
Beberapa komponen dari berat pesawat terbang yang paling menentukan menentukan dalam menghitung menghitung panjang panjang landas pacu pacu dan kekuatan perkerasannya, yaitu :
•
Operating Weight Empty Adalah berat dasar pesawat terbang, termasuk di dalamnya crew crew dan peralatan pesawat terbang, tetapi tidak termasuk bahan bakar dan penumpang atau barang yang membayar. membayar.
• Pay Load Adalah produksi muatan (barang atau penumpang) yang membayar, diperhitungkan menghasilkan pendapatan bagi bagi perusahaan. Pertanyaan Pertanyaan yang sering sering muncul, berapa jauh pesawat bisa terbang, jarak yang bisa ditempuh pesawat disebut jarak jarak tempuh (range (range). ). Banyak faktor yang mempengaruhi jarak tempuh pesawat, yang paling penting penting adalah pay adalah pay load . Pada dasarnya pay dasarnya pay load bertambah, bertambah, jarak tempuhnya tempuhnya berkurang atau sebaliknya sebaliknya pay pay load berkurang, berkurang, jarak tempuh bertambah.
Weight • Zero Fuel Weight Adalah batasan berat, spesifik pada tiap jenis pesawat, di atas batasan berat itu tambahan berat harus berupa bahan bakar, sehingga ketika pesawat sedang terbang, tidak terjadi momen lentur yang berlebihan pada sambungan.
• Maximum Structural Structural Landing Landing Weight Adalah kemampuan struktural dari pesawat terbang pada waktu melakukan pendaratan.
• Maximum Structural Structural Take Off Off Weight Adalah berat maximum pesawat terbang termasuk didalamnya crew, crew, berat
pesawat kosong, bahan bakar, pay load yang diizinkan pabrik, sehingga momen tekuk yang terjadi pada badan pesawat terbang, rata-rata masih dalam batas kemampuan yang dimiliki oleh material pembentuk pesawat terbang.
•
Berat Statik Main Gear dan Nose Gear Pembagian beban statik antara roda pendaratan utama ( main gear ) dan nose gear , tergantung pada jenis/tipe pesawat dan tempat pusat gravitasi pesawat terbang. Batas-batas dan pembagian beban disebutkan dalam buku petunjuk tiap- tiap jenis pesawat terbang, yang mempunyai perhitungan lain dan ditentukan oleh pabrik.
2.3.
Lingkungan Lapangan Terbang
Lingkungan lapangan terbang yang berpengaruh terhadap panjang landasan yaitu : a.
Temperatur Pada temperatur yang lebih tinggi, dibutuhkan landasan yang lebih panjang, sebab pada temperatur yang tinggi tingkat density udara akan
rendah, dengan menghasilkan output daya dorong pesawat terbang yang rendah. Sebagai standar temperatur dipilih temperatur di atas muka laut sebesar 59˚ F = 15˚ C, dengan perhitungan sebagai berikut : F t = 1 + [0,01*
(T − (15 − (0,0065 * h)))] dimana, Ft = Faktor koreksi temperatur T = Aerodrome reference temperatur (°C) h
= Ketinggian (m)
b. Ketinggian Altitude Rekomendasi dari ICAO, menyatakan bahwa harga ARFL bertambah sebesar 7 % setiap kenaikan 300 m (1.000 ft ) dihitung dari ketinggian muka air laut, dengan perhitungan : h
Fe = 1 +
0,07 *
300 dimana, Fe = Faktor koreksi elevasi h
= Ketinggian (m)
c. Kemiringan landasan ( Runway Gradient )
Kemiringan keatas memerlukan landasan yang lebih panjang jika dibanding terhadap landasan yang datar atau yang menurun. Kriteria perencanaan lapangan terbang membatasi kemiringan landasan sebesar 1,5 %. Faktor koreksi kemiringan (Fs) sebesar 10 % setiap kemiringan 1 %, berlaku untuk kondisi lepas landas. Fs = 1 + (0,1* S ) dimana, Fs = Faktor koreksi elevasi S = Kemiringan landasan (%) d. Kondisi Permukaan Landas Pacu Di permukaan landas pacu terdapat genangan tipis air ( standing water ) sangat dihindari karena membahayakan operasi pesawat. Standing water menghasilkan permukaan yang sangat licin bagi roda pesawat membuat daya pengereman sangat jelek. Itulah sebabnya drainase lapangan terbang harus baik untuk membuang air permukaan landasan. Bila landas pacu permukaan yang basah atau licin, panjang landasan harus ditambah dengan 4,5 % sampai 9,5 %, sebagaimana tercantum dalam FAA AC 150/5325-4. e. Menghitung ARFL ARFL ( Aeroplane Reference Field Length) menurut ICAO adalah landas pacu minimum yang dibutuhkan untuk lepas landas, pada maximum sertifikated take off weight , elevasi muka air laut, kondisi standart atmosfir, keadaan tanpa ada angin bertiup, dan landas pacu tanpa kemiringan. Setiap pesawat mempunyai ARFL berlainan yang dikeluarkan pabrik pembuatnya. Untuk mengetahui panjang landas pacu bila pesawat take off di ARFL, dipergunakan rumus : ARFL =
PanjangLandasanPacu Re ncana Fe.Ft.Fs
dimana,
Fe = Ketinggian Altitude (m) Ft
= Faktor Koreksi Temperatur
Fs
= Faktor Koreksi Kemiringan
f. Aerodrome Reference Code Reference code dipakai oleh ICAO, untuk mempermudah membaca antar beberapa spesifikasi pesawat, dengan berbagai karakteristik fisik lapangan terbang. Code bisa dibaca untuk elemen yang berhubungan
dengan karakteristik kemampuan pesawat terbang dan ukuran-ukuran pesawat terbang. Klasifikasi landasan pacu didasarkan pada amandemen ke-36 ICAO hasil konferensi ke IX yang mulai efektif berlaku sejak 23 Maret 1983 ( ICAO, 1990), maka dibuat tabel Aerodrome Reference Code untuk menentukan kelas landasan pacu seperti pada Tabel 2.2 dan Tabel 2.3 berikut : Kode Angka
Aerodrome Reference Field Length ( ARFL )
1
< 800 m
2
800 - 1200 m
3
1200 - 1800 m
4
> 1800 m
Sumber : Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara ( Horonjeff,1998 ), ICAO
Tabel 2.2
Aerodrome Reference Code (Kode Angka)
Kode Huruf
Lebar Sayap ( Wing Span )
Jarak Terluar Roda Pendaratan ( Outer Main Gear Wheel Span )
A
4.5 - 15 m
< 4.5 m
B
15 - 24 m
4.5 - 6 m
C
24 - 36 m
6-9m
D
36 - 52 m
9 - 14 m
E
52 - 60 m
9 - 14 m
Sumber : Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara ( Horonjeff,1998 ), ICAO
Tabel 2.3
Aerodrome Reference Code (Kode Huruf)
Kode tersebut berupa kode huruf dan kode angka yang didapat dari ARFL, wing span, dan outer main gear wheel span masing-masing pesawat rencana. 2.4.
Landasan Pacu Bandar Udara
2.4.1 Elemen-elemen Landasan Pacu
Landasan pacu digunakan untuk pendaratan (landing ) dan lepas landas (take off ) pesawat udara. Elemen – elemen dasar landasan pacu antara lain :
a. Perkerasan struktural sebagai tumpuan pesawat udara. b. Bahu landasan yang berbatasan dengan perkerasan struktural, direncanakan sebagai penahan erosi akibat air dan semburan mesin jet, serta melayani perawatan landasan. c. Area keamanan landasan pacu (runway safety area) yang terdiri dari struktur perkerasan, bahu landasan, dan area bebas halangan. d. Blast pad, area yang direncanakan untuk mencegah erosi pada permukaan yang berbatasan dengan ujung landasan pacu.
2.4.2 Konfigurasi Landasan Pacu
Konfigurasi dari landasan pacu ada bermacam-macam yang merupakan kombinasi dari konfigurasi dasar ( Basuki , 1986 ) yakni :
•
Landasan Tunggal Adalah konfigurasi yang paling sederhana. Kapasitas dalam kondisi Visual Flight Rule (VFR) antara 45 – 100 gerakan tiap jam.
•
Landasan Pararel Kapasitas landasan sejajar terutama tergantung kepada jumlah landasan dan pemisahan antara dua landasan, yang biasa adalah dua landasan sejajar.
•
Landasan Dua Jalur Landasan dua jalur terdiri dari dua landasan sejajar dipisahkan berdekatan (700 ft – 2499 ft).
•
Landasan Bersilangan Landasan ini mempunyai dua atau tiga landasan dengan arah berlainan, berpotongan satu sama lain.
•
Landasan V Terbuka Landasan dengan arah divergen, tetapi tidak saling berpotongan.
2.4.3 Karakteristik Landasan Pacu
Karakteristik Landasan pacu dapat dilihat sebagai berikut : a. Lebar Perkerasan Landasan Pacu Lebar landasan pacu sudah ditentukan dengan standar ICAO seperti dalam Tabel 2.4 berikut :
No
A
B
C
D
E
1
18 m
18 m
23 m
-
-
2
23 m
23 m
30 m
-
-
3
30 m
30 m
30 m
45 m
-
4
-
-
45 m
45 m
45 m
Sumber : Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara ( Horonjeff,1998 ), ICAO
Tabel 2.4
Lebar Minimal Perkerasan Struktural Berdasar Kode Landasan Pacu
b. Kemiringan Memanjang ( Longitudinal Slope) Landasan Pacu Kemiringan memanjang landasan pacu telah ditentukan dengan standar ICAO seperti terlihat dalam Tabel 2.5 berikut :
Kriteria
1
2
3
4
Kemiringan efektif maksimum
1,0 %
1,0 %
1,0 %
1,0 %
Kemiringan memanjang maksimum
2,0 %
2,0 %
1,5 %
1,25 %
Perubahan kemiringan memanjang maksimum
2,0 %
2,0 %
1,5 %
1,5 %
Perubahan kemiringan per 30 m
0,4 %
0,4 %
0,2 %
0,1 %
Sumber : Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara ( Horonjeff,1998 )
Tabel 2.5
Kemiringan Memanjang Landasan Pacu Standar ICAO
c. Kemiringan Melintang (Transversal Slope) Landasan Pacu Untuk menjamin pengaliran air permukaan yang berada diatas landasan pacu, perlu kemiringan melintang dengan standar ICAO seperti terlihat dalam Tabel 2.6 berikut : Kode Huruf Landasan Pacu
Kemiringan Melintang
A
2,0 %
B
2,0 %
C
1,5 %
D
1,5 %
E
1,5 %
Sumber : Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara ( Horonjeff,1998 ), ICAO
Tabel 2.6
standar icao dalam kemiringan melintang landasan pacu
2.4.4
Kapasitas Landasan Pacu
Untuk memperhitungkannya dapat dengan cara : a. Cara Grafik
Dalam menentukan kapasitas operasi dari runway melalui cara grafik adalah dengan berdasarkan grafik hubungan campuran pesawat dengan konfigurasi landasan pacu. Langkah pertama adalah dengan menentukan Exit Rating. Cara menentukan Exit Rating dapat dengan cara grafik berdasarkan FAA. Melalui konfigurasi landasan pacu dan jenis exit taxiway, nilai exit rating dapat ditentukan. Nilai exit rating dapat didapat dari Grafik 2.1 berikut :
Sumber : Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara ( Horonjeff,1998 ), ICAO
Grafik 2.1
Menentukan nilai Exit Rating berdasarkan FAA
Langkah kedua adalah dengan menentukan jenis campuran pesawat. Jenis campuran pesawat ditentukan berdasar pada kelas jenis pesawat masingmasing berdasarkan FAA. Penggolongan pesawat udara tersebut dapat dilihat dalam Tabel 2.7 berikut :
Kelas
Jenis Pesawat Udara
A
Boeing 707 , 747 , 720 ; Douglas DC-8, DC-10 ; Lockhead L-1011
B
Boeing 727 , 737 ; Douglas DC-9 ; BACI-11 ; semua pesawat penerbangan bermesin piston dan turboprop yang besar
C
Pesawat terbang kecil yang digerakkan propeller untuk penerbangan seperti Fairchild F-27 dan pesawat jet bisnis
D
Pesawat penerbangan umum yang digerakkan propeller bermesin ganda dan beberapa pesawat dengan mesin tunggal yang lebih besar
E
Pesawat penerbangan umum yang digerakkan propeller bermesin tunggal
Sumber : Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara ( Horonjeff,1998 ), FAA
Tabel 2.7
Penggolongan Pesawat Terbang untuk cara-cara Kapasitas Praktis
Dari nilai exit rating yang keluar dan campuran kelas pesawat yang didapatkan, maka kapasitas operasi per jam dari runway pada kondisi VFR (Visual Flight Rules) dan pada Kondisi IFR ( Instrument Flight Rules) dapat ditentukan. Kapasitas per jam dapat dilihat pada Grafik 2.2 dan Grafik 2.3 berikut :
Sumber : Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara ( Horonjeff,1998 ), ICAO
Grafik 2.2
Kapasitas per jam landas pacu tunggal dalam kondisi VFR untuk operasi-operasi campuran (FAA)
Sumber : Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara ( Horonjeff,1998 ), ICAO
Grafik 2.3
Kapasitas per jam landas pacu tunggal, landasan pacu sejajar berjarak rapat dan landasan pacu – V terbuka dalam kondisi IFR (FAA)
Karena campuran sebenarnya ini berbeda dari yang diberikan pada bagan kapasitas, maka harus digunakan grafik untuk mendapatkan campuran interpolasi. Grafik interpolasi tersebut dapat dilihat dengan Grafik 2.4 berikut :
Sumber : Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara ( Horonjeff,1998 ), ICAO
Grafik 2.4
Interpolasi pesawat kelas C dengan p esawat kelas B Ekivalen (FAA)
b.
Cara Model Lapangan
Perhitungan
dengan
menggunakan
cara
lapangan
didasarkan
pada
konfigurasi landasan yang sesungguhnya, termasuk didalamnya dengan memperhatikan jarak dan bentuk lapangan. Beberapa asumsi dapat diambil pada perhitungan dengan cara ini. Yang pertama adalah pesawat-pesawat yang beroperasi mempunyai kebutuhan waktu dan jarak penggunaan landasan yang relatif sama. Asumsi ini memungkinkan aman dengan jalan memberikan prioritas pada pesawat yang membutuhkan waktu terlama dan jangka panjang. Asumsi lain adalah bahwa banyaknya operasi tinggal landas dengan banyaknya operasi pendaratan adalah relatif sama. Asumsi ini bisa diambil berdasarkan data jadwal penerbangan yang ada. c. Cara Analitis dan Grafik
Cara ini berdasarkan cara-cara kapasitas per jam ultimit. Yaitu sistem landasan pacu yang didefinisikan sebagai jumlah operasi pesawat maksimum yang dapat dilakukan pada landasan pacu tersebut dalam satu jam. Parameter yang dibutuhkan antara lain. Index campuran pesawat (MI) berdasarkan FAA MI
dapat ditentukan dengan rumus dibawah ini : M = C + 3D Dimana : C = Prosentase pesawat terbang tipe C dalam campuran pesawat yang menggunakan runway D = Prosentase pesawat terbang tipe D dalam campuran pesawat yang menggunakan runway
Kemudian kapasitas runway dapat dihitung dengan rumus : C = C b x ET Dimana : C = Kapasitas per jam konfigurasi pemakaian landasan pacu dalam operasioperasi per jam C b = Kapasitas ideal atau dasar konfigurasi pemakaian runway E = Faktor penyesuaian exit taxiway untuk jumlah dan lokasi dari exit taxiway runway T = Faktor penyesuaian tak menentu (faktor keamanan)
2.4.5
Penundaan Pada Landasan Pacu
Penundaan terhadap pesawat didefinisikan sebagai perbedaan waktu antara waktu sebenarnya yang dihabiskan pesawat untuk melakukan manuver pada landasan pacu dan waktu yang dihabiskan pesawat untuk melakukan manuver tanpa diganggu pesawat lain. Rumus-rumus yang digunakan : ADF = ADI dimana, ADF ( Arrival Delay Fakto ) = Faktor Penundaan Kedatangan.
DDF = DDI dimana,
DDF ( Departure Delay Faktor ) = Faktor Penundaan
Keberangkatan. Maka dari hasil ADF dan DDF melalui pemilihan faktor profil permintaan penundaan rata-rata pesawat (dalam satuan menit) dapat ditentukan.
2.4.6
PCN dan ACN
Setelah tebal perkerasan diketahui, maka dapat dicari nilai PCN ( Pavement Classification Number ) dan ACN ( Aircraft Classification Number ).
•
PCN (Pavement Classificati on Nu mber )
Adalah harga yang menyatakan daya dukung perkerasan untuk operasi yang tidak terbatas. Faktor yang digunakan untuk menghitung nilai PCN adalah : (a) Tipe Perkerasan Tipe Perkerasan
Kode
Perkerasan Rigid
R
Perkerasan Fleksibel
F
Sumber : Annex 14, ICAO
Tabel 2.8
Pengkodean Berdasarkan Tipe Perkerasan
(b) Daya Dukung Subgrade Strenght
CBR
Kode
13%
A
Menengah
8 % - 13 %
B
Rendah
4%-8%
C
4%
D
Tinggi
Sangat Rendah Sumber : Annex 14, ICAO
Tabel 2.9
Pengkodean Berdasarkan Daya Dukung Subgrade
(c) Tekanan Ban Maksimum Tekanan
Kode
Tinggi, tanpa pembatasan tekanan
W
Menengah, tekanan dibatasi sampai 1.50 Mpa
X
Rendah, tekanan dibatasi sampai 1.00 Mpa
Y
Sangat Rendah, tekanan dibatasi sampai 0.50 Mpa
Z
Sumber : Annex 14, ICAO
Tabel 2.10
Pengkodean Berdasarkan Tekanan Ban Maksimum
(d) Metode Evaluasi Metode Evaluasi
Kode
Evaluasi Teknis, penelitian khusus karakteristik
T
perkerasan dengan menggunakan teknologi tinggi Menggunakan pengalaman pesawat dalam penerbangan-penerbangan reguler
U
Sumber : Annex 14, ICAO
Tabel 2.11
Pengkodean Berdasarkan Metode Evaluasi
Contoh : Misal, diketahui nilai PCN = 33, jenis perkerasan lentur, daya dukung sub grade rendah, tekanan ban maksimum dibatasi sampai 1 MPa, dan metode evaluasi yang digunakan adalah evaluasi teknis. Maka penulisan nilai PCN adalah : PCN 33 F/C/Y/T
•
ACN (Ai rcraft Classif ication Number )
Adalah suatu angka yang menyatakan batasan dari pesawat tertentu diatas perkerasan dengan spesifikasi standard subgrade. Nilai ACN dikeluarkan oleh pabrik pembuat pesawat.
Nilai PCN maupun ACN sangat penting untuk mengetahui kinerja perkerasan terhadap pesawat yang beroperasi, metode ini disebut Metode PCN-
ACN. ICAO telah merekomendasikan metode ini untuk dalam mengevaluasi kekuatan landas pacu terhadap pesawat yang beroperasi ( Aerodrome Manual Design Part I, ICAO). Dalam perancangan perkerasan landasan pacu, baik flexible pavement maupun rigid pavement , nilai ACN tidak boleh melebihi nilai PCN yang ada, atau dengan kata lain PCN ≥ ACN. 2.4.7 Lapisan Pondasi Landasan Pacu
Kadang-kadang material base coarse dan subbase perlu distabilisasi untuk mendapatkan lapisan yang lebih baik. Keuntungan lapisan yang distabilisasi, terutama pada perkerasan fleksibel , yaitu membagi tebal lapisan yang didapat dari grafik dengan faktor ekivalen seperti tercantum dalam Tabel 2.12 dan Tabel 2.13 berikut :
Kode
Nama Bahan
Faktor ekivalen
P - 401
Bituminous Surface Course
1,7 - 2,3
P - 201
Bituminous Base Course
1,7 - 2,3
P - 215
Cold Laid Bituminous Base Course
1,5 - 1,7
P - 216
Mixed In-Place Base Course
1,5 - 1,7
P - 304
Cement Treated Base Course
1,6 - 2,3
P - 301
Soil Cement Base Course
1,5 - 2,0
P - 209
Crushed Agregate Base Course
1,4 - 2,0
P - 154
Subbase Course
1,0
Sumber : Merancang, Merencana Lapangan Terbang ( Heru Basuki,1990 )
Tabel 2.12
Faktor Equivalent untuk Subbase yang dist abilisasi
Kode
Nama Bahan
Faktor ekivalen
P - 401
Bituminous Surface Course
1,2 - 1,6
P - 201
Bituminous Base Course
1,2 - 1,6
P - 215
Cold Laid Bituminous Base Course
1,0 - 1,2
P - 216
Mixed In-Place Base Course
1,0 - 1,2
Sumber : Merancang, Merencana Lapangan Terbang ( Heru Basuki,1990 )
Tabel 2.13
Faktor Equivalent untuk Base Course yang distabilisasi
2.4.8
Pemarkaan Landasan Pacu
Pemarkaan berfungsi membantu penerbang ( pilot ) dalam mengendalikan pesawat udara. Jenis-jenis pemarkaan tersebut adalah :
• Nomor landasan pacu ( Runway Designation Marking) Ditempatkan di ujung landasan sebagai nomor pengenal landasan itu, terdiri dari dua angka, pada landasan sejajar harus dilengkapi dengan huruf L atau R atau C. Dua angka tadi merupakan angka persepuluhan terdekat dari utara
magnetis dipandang dari arah approach ketika pesawat akan mendarat ( Heru Basuki, 1990). Misal, landasan dengan azimuth magnetis 82 maka nomor landasan adalah 08, azimuth magnetis 86 nomor landasan 09 . Nomor landasan ini ditempatkan berlawanan dengan azimuthnya, landasan barat timur, diujung timur ditempatkan nomor landasan 27, sedang diujung barat dipasang nomor landasan 09.
•
Pemarkaan sumbu landasan pacu (runway center line marking ) Ditempatkan sepanjang sumbu landasan berawal dan berakhir pada nomor landasan, kecuali pada landasan yang bersilangan, landasan yang lebih dominan, sumbunya terus, yang kurang dominan sumbunya diputus. Markanya berupa garis putus-putus, panjang garis dan panjang pemutusan sama. Panjang strip bersama gapnya tidak boleh kurang dari 50 m, tidak boleh lebih dari 75 m. Panjang strip = panjang gap atau 30 m diambil yang terbesar. Lebar strip antara 0,3 m atau 0,9 m tergantung kelas landasan.
•
Pemarkaan threshold (threshold marking ) Ditempatkan diujung landasan sejauh 6 m dari tepi ujung landasan membujur dengan panjang minimum 30 m dan lebar 1,8 m. Hubungan Lebar landasan dan banyak strip dapat dilihat pada Tabel 2.14 berikut Lebar landasan
Banyaknya Strip
18 m
4
23 m
6
30 m
8
45 m
12
60 m
16
umber : Merancang, Merencana Lapangan Terbang ( Heru Basuki,1990 )
Tabel 2.14
Hubungan lebar landasan dan banyak strip Threshhold Marking
•
Pemarkaan untuk jarak tetap ( fixed distance marking ) Berbentuk empat persegi panjang, berwarna menyolok biasanya oranye. Ukurannya, panjang 45 m – 60 m, lebar 6 m – 10 m terletak simetris kanan kiri sumbu landasan. Marka ini yang terujung berjarak 300 m dari threshold .
•
Pemarkaan zona touchdown (touchdown zone marking ) Dipasang pada landasan dengan approach presisi, tapi bias juga dipasang pada landasan non presisi atau landasan non instrumen yang lebar landasannya lebih dari 23 m. Terdiri dari pasangan-pasangan berbentuk segi empat di kanan kiri sumbu landasan dengan lebar 3 m dan panjang 22,5 m untuk strip-strip tunggal, untuk strip ganda ukuran 22,5 m x 1,8 m dengan jarak 1,5 m. Jarak satu sama lain 150 m diawali dari threshold, banyaknya tergantung panjang landasan. Hubungan panjang landasan dan banyaknya pasangan marka dapat dilihat pada Tabel 2.15 berikut : Panjang Landasan
Banyaknya Pasangan
< 90 m
1
900 m - 1200 m
2
1200 m - 1500 m
3
1500 m - 2100 m
4
> 2100 m
6
Sumber : Merancang, Merencana Lapangan Terbang ( Heru Basuki,1990 )
Tabel 2.15
Hubungan panjang landasan dan banyaknya pasangan marka
•
Pemarkaan tepi landasan pacu (runway side stripe marking ) Merupakan garis lurus di tepi landasan, memanjang sepanjang landasan dengan lebar strip 0,9 m bagi landasan yang lebarnya > 30 m dan lebar strip 0,45 m bagi landasan yang lebarnya < 30 m. Marka ini berfungsi sebagai batas landasan terutama apabila warna landasan hampir sama dengan warna shoulder -nya.
Bentuk, warna, dan ukuran tiap-tiap pemarkaan landasan pacu ditentukan berdasarkan pada klasifikasi landasan pacu yang ditentukan oleh ICAO ( ICAO, 1998).
2.5
Perkiraan Volume Lalu Lintas Udara 2.5.1 Peramalan Tingkat Pertumbuhan Penumpang Rancangan induk lapangan terbang dikembangkan berdasarkan kepada ramalan dan permintaan, yang dibagikan dalam ramalan jangka pendek sekitar 5 tahun, menengah 10 tahun, dan panjang 20 tahun. Analisa penumpang merupakan peninjauan tingkat demand yang berpengaruh langsung terhadap kondisi eksisting suatu bandara. Melalui perhitungan korelasi antara pertumbuhan jumlah
penumpang, faktor ekonomi, sosial budaya, maka jumlah penumpang rencana dapat diestimasi. Menurut Horonjeff, jangka ramalan makin jauh, ketepatan dan ketelitiannya menyusut, sehingga perlu disadari bahwa ramalan jangka panjang 20 tahun hanyalah pendekatan (H oronjeff , 1993 ).
2.5.2 Metode Peramalan
Metode yang dipakai dalam peramalan terhadap tingkat permintaan penumpang adalah dengan menggunakan analisa regresi. Suatu ubahan dapat dilukiskan dalam suatu garis yang disebut garis regresi. Garis regresi mungkin linear mungkin juga lengkung. Suatu garis regresi dapat dinyatakan dalam persamaan matematik yang disebut persamaan regresi. Metode yang digunakan dalam prakiraan ada beberapa antara lain :
a. Ekstrapolasi Linier Sederhana Digunakan untuk pola permintaan yang menunjukkan suatu hubungan linier historis dengan suatu peubah waktu. Persamaannya adalah sbb :
Y = a + bx ditaksir dari sampel {(Xi,Yi) ; I = 1,2,3,…,n} Penaksiran parameter a dan b garis regresi :
b = n∑ XiYi − (∑ Xi) − (∑Yi) n∑ − ∑Yi
2
a = Y – bX
2
Xi
Y = a + bX
50 40 30 20 10 0 0
20
60
40
80
100
Grafik 2.5
Kecenderungan Siklus Yang Meningkat
b. Ekstrapolasi Linier Majemuk Y = b0 + b1X1 + b2X2 ∑ x1 y = ∑ X 1Y −
(∑ X )(∑Y ) 1
2
∑ X Y − (
∑ x y = ∑
2
2
∑n
X )( Y ) 2
∑
Persamaannya adalah sbb : Y=
∑ n
X 1 =
∑
1
X 2
n
=
∑
2
n
Dimana : 1
b0 = Y – b X1 – b2X2 2 2 b = (∑ x2 ) (∑ X 1Y ) − (∑ X 1 X 2 )(∑ X 2Y ) 1
(∑ X 1) ( ∑ X 2 ) − (∑ X 1 X 2 ) 2
2
2
2 2 b = (∑ X 1) (∑ X 2Y ) − (∑ X 1 X 2 ))( ∑ X 1Y ) 2
(∑ X 1)
2
n
(∑ X 1) (∑ X 2 ) − (∑ X 1 X 2 ) 2
2
2
2
∑ 1−
1
n
( X )2 2 2 = − ∑ x y ∑ X ∑ 2 2
2
n
c. Korelasi Korelasi membahas tentang hubungan antara variabel – variabel yang terdapat dalam regresi, sehingga kedua analisis ini saling terkait satu dengan lainnya. Koefisien korelasi merupakan ukuran untuk mengetahui derajat hubungan pada data kuantitatif. Secara umum, pengamatan yang terdiri dari dua variabel X dan Y. Misal persamaan regresi Y = f(X) tidak perlu linear. Jika linear Y = a + bX. Apabila Y menyatakan rata – rata untuk data variabel Y, maka kita 2
dapat membentuk jumlah kuadrat total, JK tot = ∑(Yi - Y) dan jumlah 2
kuadrat residu, JK res = ∑(Yi – Y) dengan menggunakan harga Yi yang didapat dari regresi Y = f(X). Besaran yang ditentukan oleh rumus :
∑(Y i
I=
−Y ) −
∑(Y
∑(Y
−Y )
2
i
i
−Y )
2
2
Atau
I=
JKtot − JKres JKtot
I dinamakan indeks determinasi yang mengukur derajat hubungan antara variabel X dan Y, apabila X dan Y terdapat hubungan regresi berbentuk Y=f(X). Sifat dari indeks determinasi ini adalah jika letak titik – titik diagram pancar makin dekat dengan garis regresi maka harga I akan semakin mendekati satu. sebaliknya, jika titik – titik itu menjauh dari garis regresi, maka harga I mendekati harga nol. Sehingga harga I antara 0 hingga 1. Jika sekumpulan data yang garis regresinya berbentuk linear maka derajat hubungannya akan dinyatakan dengan r yang disebut koefisien korelasi. 2
Sehingga I = r dan diperoleh :
2 r
∑ (Y
i
=
− Y
2
∑(Y
i
− ∑(Y i −Y )
2
−
Y
2
2
Berlaku untuk 0 ≤ r ≤ 1 sehingga untuk koefisien korelasi terdapat 2
hubungan -1 ≤ r ≤ +1. Harga korelasi negatif satu menunjukkan bahwa hubungan antara X dan Y adalah linear sempurna tidak langsung, artinya titik – titik yang dihasilkan oleh (X i,Yi) berada pada garis regresi seluruhnya, tetapi harga Y besar berpasangan dengan harga X kecil dan sebaliknya. Sedangkan harga korelasi positif satu menunjukkan adanya hubungan linear sempurna langsung antara X dan Y. Pada garis regresi Y besar berpasangan dengan X besar dan Y kecil dengan X kecil. r = 0 berarti tidak ada hubungan linear antara variabel – variabel X dan Y. Perhitungan koefisien korelasi berdasarkan sekumpulan data (X i,Yi) berukuran n dapat digunakan rumus : n∑ X iY − (∑ X i )(∑Y i ) r=
(
n
∑ X 2 − (∑ X )2 )(n ∑ Y 2 − (∑Y )2 ) i
i
i
i
Intepretasi
r 0
Tidak b erkorelasi
0.10 – 0.20
Sangat rendah
0.21 – 0.40
Rendah
0.41 – 0.60
Agak rendah
0.61 – 0.80
Cukup
0.81 – 0.99
Tinggi
1
Sangat tinggi Tabel 2.16
Koefisien Korelasi
d. Ekstrapolasi Eksponensial Dipergunakan untuk keadaan dimana variabel yang tergantung pada yang lain, memperlihatkan suatu laju pertumbuhan yang konstan terhadap waktu. Gejala ini sering terjadi dalam dunia penerbangan untuk proyeksi-proyeksi tingkat kegiatan yang
telah
memperlihatkan
kecenderungan-kecenderungan
jangka
panjang
meningkat atau menurun dengan suatu persentase tahunan rata-rata. Hal ini dapat dihitung dengan rumus dasar :
Y = ab
CX
200
150
100
50
0 0
50
100
150
Grafik 2.6
Kurva Kecenderungan Eksponensial
200
250
2.6 Perkerasan
Perkerasan merupakan suatu struktur yang terdiri dari beberapa lapisan yaitu kombinasi dari surface, base course dengan beberapa kekerasan dan daya dukung yang berbeda. Struktur tersebut disusun sedemikian rupa diatas sub grade dan berfungsi untuk menerima beban diatasnya yang kemudian mendistribusikan ke lapisan sub grade. Karena itu tiap-tiap lapisan dari atas ke bawah harus cukup kekerasan dan ketebalannya, sehingga tidak mengalami perubahan karena tidak mampu menahan beban.
Seperti halnya perkerasan jalan raya, maka untuk lapangan terbang atau bandar udara terdiri dari dua jenis perkerasan yaitu : a. Perkerasan Lentur (Flexible pavement)
Merupakan perkerasan yang terbuat dari campuran aspal dan sgregat yang terdiri dari surface, base course dan sub base course. Lapisan tersebut digelar diatas lapisan tanah asli yang telah dipadatkan. b. Perkerasan Kaku (Rigid pavement)
Merupakan struktur perkerasan yang terbuat dari campuran semen dan agregat, terdiri dari slab-slab beton dengan ketebalan tertentu, dibawah lapisan beton adalah sub base course yang telah dipadatkan dan ditunjang oleh lapisan grade (tanah asli).
2.6.1.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur ( F lexi ble pavement )
Beberapa metode yang dipergunakan dalam perencanaan perkerasan landasan pacu, diantaranya adalah :
2.6.1.1. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Dengan Metode CBR
Metode ini dikembangkan oleh Corps of Engineering, US Army. Kriteria dasar dalam penggunaan metode ini adalah :
•
Prosedur-prosedur test yang dipergunakan untuk komponen-komponen perkerasan yang ada cukup sederhana
•
Metodenya telah menghasilkan perkerasan yang memuaskan.
•
Dapat dipergunakan untuk mengatasi persoalan-persoalan perkerasan lapangan terbang dalam waktu yang relatif singkat.
•
Penggunaan metode CBR dapat dipergunakan untuk menentukan besarnya ketebalan lapisan-lapisan Subbase Course, Base Course dan
Surface Course yang diperlukan, dengan memakai kurvakurva design dan data-data test lapisan tanah yang ada. Langkah-langkah penggunaan metode CBR adalah sbb :
•
Menentukan pesawat rencana. Penentuan didasarkan pada harga MTOW terbesar yang dimiliki pesawat terbang yang akan dipergunakan pada landasan yang direncanakan. Penentuan pesawat rencana dipergunakan untuk mendapatkan data-data mengenai harga MTOW ( Maximum Take Off Weight ), data tentang spesifikasi roda pendaratan, seperti : beban satu roda ( Pk ), tekanan roda ( pk ), luas kontak area (A), jari-jari kontak (r) dan panjang jarak antar roda (p).
•
Menentukan harga ESWL (Equivalent Single Wheel Load) Untuk dapat mencari harga ESWL, dicari telebih dahulu harga pengimbang, dengan menggunakan rumus :
A
r = π
Dimana, r = Radius bidang kontak (inchi)
A
=
2
Luas bidang kontak (inchi )
Dengan memasukkan harga pengimbang pada kedalaman yang tertentu dalam Grafik 2.7 diperoleh nilai faktor lenturan.
F
DEPTH Sumber : Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara ( Horonjeff,1998 )
Grafik 2.7
Faktor Lenturan
Nilai faktor lenturan pada masing-masing posisi spesifikasi roda pendaratan dicari yang mempunyai harga tertinggi, baik untuk roda tunggal maupun roda ganda. Dari hasil tersebut, diperoleh rasio beban tunggal terhadap keseluruhan roda dalam susunan. (lihat persamaan dibawah ini) Ps/Pd = Fd/Fs
Dimana, Ps = Rasio ESWL roda tunggal Pd = Rasio ESWL roda ganda Fd = Faktor lenturan roda ganda Fs = Faktor lenturan roda tunggal Harga rasio beban tunggal terhadap keseluruhan roda dalam susunan dikalikan dengan harga beban total pesawat terbang pada susunan roda, diperoleh harga ESWL pesawat terbang.
•
Menentukan CBR Subgrade, Subbase Course dan Base Course. Penentuan harga CBR pada masing-masing lapisan perkerasan ini, dimaksudkan untuk dapat menentukan tebal masing-masing lapisan yang
akan dihitung.
•
Annual Departure . Penentuan Menentukan jumlah Pergerakan Pesawat ( )
jumlah Pergerakan Pesawat yang ada di bandara ( Annual Departure), dimaksudkan untuk dapat memperoleh harga faktor perulangan α i dari Grafik 2.8 dengan mengetahui jumlah roda pesawat rencana.
•
Menghitung total tebal perkerasan masing-masing lapisan. Dengan menggunakan rumus dari Corp of Engineers :
t = α i
ESWL − A 8,1(CBR) π
Dimana, t αi
= Tebal total perkerasan (inchi; cm) = Harga faktor perulangan
(diperoleh dengan
menggunakan Grafik 2.8) ESWL = Equivalent Single Wheel dengan cara seperti diatas) A
= Luas kontak area (inchi; cm)
Grafik 2.8
Faktor Pengulangan Beban
Load (diperoleh
Dengan memasukkan harga CBR untuk masing-masing lapisan perkerasan, maka harga ketebalan untuk masing-masing bagian perkerasan (Subbase Course, Base Course dan Surface Course) dapat diketahui harganya.
2.6.1.2. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Dengan Metode FAA
Metode ini adalah metode yang paling umum digunakan dalam perencanaan lapangan terbang. Dikembangkan oleh badan penerbangan federal Amerika. Merupakan pengembangan metode CBR. Perencanaan perkerasan lentur (flexible pavement) metode FAA dikembangkan oleh badan penerbangan federal Amerika dan merupakan pengembangan metode CBR yang telah ada. Jenis dan kekuatan tanah dasar (subgrade) sangat mempengaruhi analisa perhitungan. FAA telah membuat klasifikasi tanah dengan membagi dalam beberapa kelompok, dengan tujuan untuk mengetahui nilai CBR tanah yang ada. Perhitungan tebal perkerasan didasarkan pada grafik-grafik yang dibuat FAA, berdasarkan pengalaman-pengalaman dari Corps of Enginners dalam menggunakan metode CBR. Perhitungan ini dapat diuji sampai jangka waktu 20 tahun dan untuk menentukan tebal perkerasan ada beberapa variabel yang harus diketahui :
• Nilai CBR Subgrade dan nilai CBR Subbase Course •
Berat maksimum take off pesawat (MTOW)
•
Jumlah keberangkatan tahunan ( Annual Departure)
•
Type roda pendaratan tiap pesawat
Langkah-langkah penggunaan metode FAA adalah sbb :
•
Menentukan pesawat rencana. Dalam pelaksanaannya, landasan pacu harus melayani beragam tipe pesawat dengan tipe roda pendaratan dan berat yang berbeda-beda, dengan demikian diperlukan konversi ke pesawat rencana.
Konversi dari
Ke
Faktor Pengali
Single Wheel
Dual Wheel
0.8
Single Wheel
Dual Tandem
0.5
Dual Wheel
Dual Tandem
0.6
Dual Tandem
Dual Tandem
1.0
Dual Tandem
Single Wheel
2.0
Dual tandem
Dual Wheel
1.7
Dual Wheel
Single Wheel
1.3
Double Dual Tandem
Dual Tandem
1.7
Sumber: Heru Basuki, 1984
Tabel 2.17
Konversi Type Roda Pesawat
•
Menghitung Equivalent Annual Departure. Equivalent Annual Departure terhadap pesawat rencana dihitung dengan rumus : W
LogR = ( LogR ) * ( 1
2
2
1
)
W 1
Dimana, R 1 = Equivalent annual departure pesawat rencana R 2
= Equivalent Annual Departure, jumlah annual departure dari semua pesawat yang dikonversikan ke pesawat rencana menurut type pendaratannya. = Annual Departure * Faktor konversi (Tabel 2.17)
W2 = Beban Roda Pesawat Rencana
W1 = MTOW * 95% * 1/n n
= Jumlah roda pesawat pada main gear
Annual Departure terbatas hanya sampai 25.000 per tahun. Untuk tingkat Annual Departure yang lebih besar dari 25.000, tebal perkerasan totalnya harus ditambah menurut Tabel 2.18
Annual Departure
% Tebal Departure 25.000
50.000
104
100.000
108
150.000
110
200.000
112
Sumber: Heru Basuki, 1984
Tabel 2.18
Perkerasan Bagi Tingkat Departure > 25.000
Berat pesawat dianggap 95% ditumpu oleh roda pesawat utama (main gear) dan 5% oleh nose wheel. FAA hanya menghitung berdasarkan annual departure, karena pendaratan diperhitungkan beratnya lebih kecil dibanding waktu take off.
•
Menghitung tebal perkerasan total. Tebal perkerasan total dihitung dengan memplotkan data CBR subgrade yang diperoleh dari FAA, Advisory Circular 150/5335-5, MTOW ( Maximum Take Off Weight ) pesawat rencana, dan nilai
Equivalent Annual Departure ke dalam Grafik 2.9
Sumber : FAA AC 150/5320-6D
Grafik 2.9
Penentuan Tebal Perkerasan untuk Dual Wheel
•
Menghitung tebal perkerasan Subbase. Dengan nilai CBR subbase yang ditentukan, MTOW, dan Equivalent Annual Departure maka dari grafik yang sama didapat harga yang merupakan tebal lapisan diatas subbase, yaitu lapisan
surface dan lapisan base. Maka, tebal subbase sama dengan tebal perkerasan total dikurangi tebal lapisan diatas subbase.
•
Menghitung tebal perkerasan permukaan ( surface ) Tebal surface langsung dilihat dari Grafik 2.10 yang berupa tebal surface untuk daerah kritis dan non kritis.
Sumber : Merancang dan Merencanakan Lapangan Terbang, Ir Heru Basuki
Grafik 2.10
Penentuan Tebal Base Course Minimum
•
Menghitung tebal perkerasan Base Coarse. Tebal Base Coarse sama dengan tebal lapisan diatas Subbase Course dikurangi tebal lapisan permukaan (Surface Course). Hasil
ini harus dicek dengan membandingkannya terhadap tebal Base Coarse minimum dari grafik. Apabila tebal Base Coarse minimum lebih besar dari tebal Base Coarse hasil perhitungan, maka selisihnya diambil dari lapisan
Subbase
Course,
sehingga
tebal
Subbase
Course-pun
berubahMetode ini adalah metode yang paling umum digunakan dalam perencanaan lapangan terbang. Dikembangkan oleh badan penerbangan federal Amerika. Jenis dan kekuatan tanah dasar (subgrade) sangat mempengaruhi analisa perhitungan. 2.6.1.3. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Dengan Metode LCN
Metode LCN adalah metode perencanaan perkerasan dan evaluasi landasan yang dirumuskan oleh United Kingdom Air Ministry Directory of Work, kemudian prosedur perencanaannya diperbaiki oleh Directorateof Civil Enginnering Development of United Kingdom Departement of The Enviroment.
Dalam
prosedurnya
kapasitas
daya
dukung
perkerasan
dinyatakan dalam angka LCN. Konsepnya adalah bila angka LCN perkerasan lapangan terbang lebih besar daripada LCN pesawat, maka pesawat dapat aman mendarat di lapangan tersebut. Langkah-langkah penggunaan metode LCN adalah sbb : 1. Hitung harga ESWL ( Equivalent Single Wheel Load ). Dalam menghitung harga ESWL ditentukan berdasarkan pada pesawat rencana, dengan rumus : ESWL = 95% x MTOW x 1/n
Dimana, MTOW = Maximum Take Off Weight n
= Jumlah roda pesawat main gear
2. Tentukan harga LCN ( Load Classification Number) Dengan harga ESWL dan tekanan roda pesawat rencana yang sudah diketahui, diplotkan pada Grafik 2.11, sehingga didapat harga LCN.
LCN E S W L
TEKANAN RODA
Sumber : Heru Basuki, 1984
Grafik 2.11
Hubungan Tekanan Roda dan ESWL
3. Hitung tebal perkerasan total. Ketebalan total pekerasan dapat diketahui dengan memplotkan harga LCN pesawat rencana dan nilai CBR Subgrade pada Grafik 2.12 Kurva Perencanaan Perkerasan Lentur Landasan.
4. Hitung tebal perkerasan Subbase Course. Dengan menggunakan grafik yang sama, plotkan harga CBR Subbase Course dan harga LCN pesawat rencana, didapat harga ketebalan lapisan diatas Subbase Course (lapisan Surface Course dan lapisan Base Course). Maka, tebal Subbase Course adalah sama dengan tebal perkerasan total dikurangi dengan tebal lapisan diatas Subbase Course. 5. Hitung tebal perkerasan Base Coarse.
Tebal Base Coarse sama dengan tebal lapisan diatas Subbase Course dikurangi tebal lapisan permukaan (Surface Course). Ketebalan lapisan Base Coarse dapat dicari dengan menggunakan grafik yang sama,dengan cara memplotkan harga CBR Subbase Course dan harga LCN pesawat rencana.
Sumber : Heru Basuki,1984
Grafik 2.12
Kurva Perencanaan Perkerasan Lentur Landasan
2.7
Pengecekan Perhitungan Ketebalan Lapisan Perkerasan
Pengecekan dilakukan dengan menggunakan Grafik 2.13, dengan terlebih dahulu memasukkan data Perbandingan Klasifikasi Tanah Subgrade CBR-FAA Tabel 2.1 dan harga MTOW pesawat B737-400 (150.000 pounds = 68.039 kg).
Grafik 2.13
Kurva Pengecekan Perkerasan Lentur Landasa
CBR
FAA Tabel 2.19
Perbandingan Klasifikasi Tanah Subgrade CBR-FAA
Langkah-langkah pengecekan adalah sbb : Cek harga tebal total perkerasan : 1.
Masukkan harga MTOW pesawat pada Grafik 2.13. arah sumbu vertikal
2.
Tarik garis arah horisontal dari langkah 1, sampai memotong garis miring harga klasifikasi tanah subgrade FAA
3.
Tarik garis arah vertikal dari langkah 2, sampai memotong harga tebal total perkerasan.
Cek harga tebal lapisan base course : 1.
Masukkan harga MTOW pesawat pada Grafik 2.13. arah sumbu vertikal
2.
Tarik garis arah horisontal dari langkah 1, sampai memotong garis miring harga klasifikasi tanah subgrade FAA
3.
Tarik garis sejajar dengan garis putus-putus, sampai memotong harga tebal lapisan base course. Cek harga
tebal lapisan surface course :
1.
Tetapkan harga ketebalan surface course,untuk daerah kritis minimal 4 inchi dan daerah non kritis 3 inchi.
2.
Cek tebal lapisan subbase course = Tebal Total Perkerasan – Tebal Lapisan base course – Tebal Lapisan surface course.