Rasio Efisiensi Belanja
Pertumbuhan Pendapatan
Pertumbuhan Belanja
ANALISIS
LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT (LKPP)
TAHUN ANGGARAN 2011 - 2015
Disusun Oleh:
KELOMPOK 6
Anisa Susanti 9B/ 05
Martinus Herawan 9B/ 19
Nur Fitriadi Pralambang 9B/ 27
Reza Bayuaji 9B/ 30
Yonan Arman 9B/ 39
Program Diploma IV Akuntansi Alih Program
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA – STAN
2016
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) merupakan "cermin" yang dapat digunakan untuk melihat kondisi keuangan pemerintah. Laporan keuangan, khususnya Neraca, memberikan gambaran utama mengenai apa saja yang berada di pemerintah, terutama menyangkut hal-hal yang "salah urus", atau hal-hal yang "tidak diurus", maupun hal-hal yang "belum diurus". Di sisi lain, setiap rupiah uang publik harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat yang telah memberikan kontribusinya untuk membiayai pembangunan dan operasional pemerintah. Ditambah lagi, di tengah era keterbukaan, teknologi informasi dan komunikasi yang sedemikian maju, masyarakat semakin mudah untuk memperoleh berbagai informasi dengan biaya yang relatif murah. Terlebih lagi dalam hal pengelolaan uang publik, masyarakat kini semakin cerdas untuk menuntut adanya transparansi. Untuk itulah, tranparansi pengelolaan keuangan pemerintah merupakan tuntutan publik yang harus direspon secara positif, salah satunya dengan menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).
LKPP menyajikan informasi keuangan yang merupakan suatu kebutuhan bagi para pengguna (stakeholders), baik itu masyarakat, para wakil rakyat, lembaga pengawas, lembaga pemeriksa, pihak terkait donasi/ investasi/ pinjaman kepada pemerintah, manajemen pemerintah, dan lain-lain. LKPP disajikan kepada stakeholder dalam rangka membantu pengambilan keputusan sosial, politik, dan ekonomi sehingga keputusan yang akan diambil lebih berkualitas dan tepat sasaran.
Untuk dapat mencapai tujuan pengambilan keputusan tersebut, para stakeholder harus dapat melakukan analisis terhadap berbagai macam informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Dalam melakukan analisis tersebut, setiap stakeholder harus mengidentifikasi informasi yang perlu dianalisis, teknik analisis yang tepat, ruang lingkup, serta kedalaman analisis dengan menggunakan pertimbangan yang cermat agar dapat memperoleh informasi yang diinginkan untuk mendukung keputusan yang diambilnya. Untuk itulah, melalui makalah ini penulis mencoba memberikan suatu gambaran model analisis terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2011 – 2015.
TUJUAN PENULISAN
Untuk mengukur dan mengevalusasi kinerja pemerintah pusat tahun anggaran 2011 – 2015.
Untuk mengetahui kondisi keuangan pemerintah pusat tahun anggaran 2011 – 2015.
Untuk mengetahui kemampuan pemerintah pusat tahun anggaran 2011 – 2015 dalam memenuhi kewajibannya.
Untuk mengukur potensi pendapatan atau sumber ekonomi pemerintah pusat tahun anggaran 2011 – 2015.
Untuk meyakini bahwa pemerintah pusat telah melaksanakan anggaran tahun 2011 – 2015 sesuai dengan peraturan perundang-udangan.
BAB II
PEMBAHASAN
ANALISIS PERUBAHAN LAPORAN KEUANGAN
Analisis perubahan laporan keuangan merupakan teknik analisa yang dilakukan dengan memperbandingkan pos-pos yang sama dari dua laporan keuangan dengan dua periode yang berlainan. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui perubahan suatu pos dari periode yang satu ke periode yang lain.
Laporan Realisasi Anggaran
Berdasarkan hasil perbandingan LRA pada pos Pendapatan Negara dan Hibah di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Secara total, Pendapatan Negara dan Hibah pada tahun 2015 mengalami penurunan sebesar Rp 42,5 T atau sebesar (2,74%). Padahal total Pendapatan Negara dan Hibah sempat mengubah tren naik pada tahun 2014 dengan selisish kenaikan Rp 111,6T atau sebesar 7,76%. Selisih ini sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang meskipun jika dibandingkan antara tahun 2012 dan 2013 masih mengalami kenaikan namun jumlah kenaikan itu cenderung turun dibandingkan kenaikan pada tahun 2012, yang sebesar 10,53%.
Penurunan secara total pada tahun 2015 ini jelas disebabkan oleh banyaknya pos yang juga mengalami penurunan yang signifikan pada tahun tersebut. Tidak tanggung-tanggung, penurunan terbesar terjadi pada pos Penerimaan SDA yang mengalami penurunan hingga (58,08%). Padahal meskipun sempat melemah dengan selisih positif pada tahun 2013 hanya sebesar 0,25%, pada tahun 2014 pos ini mampu kembali meningkat sebesar 6,38%.
Penurunan realisasi penerimaan SDA tersebut dipengaruhi antara lain oleh masih rendahnya harga minyak mentah yang menyebabkan turunnya penerimaan pemerintah di sektor minyak bumi, dan lifting minyak tahun 2015 lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2014. Hal ini terlihat dari Realisasi Indonesian Crude Price (ICP) tahun 2015 yaitu sebesar USD49,21 per barrel yang jauh lebih rendah dibandingkan realisasi ICP tahun 2014 sebesar USD96,51 per barrel.
Realisasi lifting minyak bumi pada tahun 2015 sebesar 785 ribu barel per hari juga lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2014 sebesar 793 barel per hari. Pendapatan SDA berupa gas bumi tahun 2015 mengalami penurunan karena lebih rendahnya realisasi lifting gas bumi pada 2015 jika dibandingkan dengan realisasi lifting gas bumi pada periode yang sama tahun 2014. Realisasi lifting gas bumi 2015 sebesar 1.203 ribu barel setara minyak per hari (MBOEPD) lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2014 sebesar 1.224 MBOEPD.
Pos-pos lain yang juga mengalami penurunan pada tahun 2015 adalah sebagai berikut:
Pos Pajak Perdagangan Internasional, turun sebesar (19,95%). Pos ini memang cenderung turun dari tahun ke tahun. Hanya saja penurunan pada tahun-tahun sebelumnya hanya berkisar antara 4% - 8%. Penurunan pada tahun 2015 dapat dikatakan cukup signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Pajak Perdagangan Internasional pada Tahun 2015 terutama dipengaruhi oleh harga internasional atas komoditi utama yang terkena Bea Keluar yaitu CPO sangat rendah di pasar internasional sehingga Tarif yang dikenakan adalah 0 persen. Selain itu, harga komoditas mineral juga mengalami penurunan sepanjang 2015 dikarenakan perlambatan ekonomi global.
Pos Bagian pemerintah atas laba BUMN, turun (6,62%). Padahal pada tahun-tahun sebelumnya, pos ini justru memberi sinyal positif dengan terus megalami kenaikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kenaikan terbesar diraih pada tahun 2014, yang mencapai 18,48%.
Adapun Penurunan Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Bagian Laba BUMN tahun 2015 sejalan dengan kebijakan Pemerintah dalam pembangunan infrastruktur dengan meningkatkan peran BUMN sebagai agent of development sehingga penerimaan laba BUMN dalam jangka menengah diproyeksikan turun rata-rata 18,4 persen. Pendapatan bagian laba BUMN tersebut ditempuh melalui peningkatan kinerja BUMN dan menetapkan pay out ratio dividen BUMN sesuai dengan kemampuan keuangan BUMN. Dengan kebijakan tersebut diharapkan BUMN akan memiliki banyak ruang untuk pengembangan usaha sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar pada APBN di tahun-tahun mendatang.
Pos PNBP lainnya, turun (6,89%). Padahal pos ini mengalami kenaikan yang cukup menggembirakan pada tahun 2014 yaitu mencapai 25,94%.
Penerimaan Negara Bukan Pajak Lainnya tidak mencapai target APBN-P TA 2015 terutama karena menurunnya Pendapatan Penjualan dari Kegiatan Hulu Migas, dan menurunnya Pendapatan Penjualan Hasil Produksi/Sitaan.
Pos Penerimaan BLU, naik 18,98%. Meskipun masih dalam tren kenaikan, namun selisih kenaikan pada tahun 2015 mulai menunjukkan sinyal menurun dibandingkan kenaikan-kenaikan pada tahun sebelumya yang lebih besar. Kenaikan ini terutama disebabkan oleh adanya peningkatan tarif layanan pada beberapa BLU, dan BLU yang baru ditetapkan pada tahun 2015 termasuk BLU dengan pendapatan yang signifikan yaitu BLU Pengelola Dana Sawit dengan pendapatan sebesar Rp6.902.212.717.058.
Lain halnya dengan pos diatas yang cenderung mengalami penurunan, pos-pos berikut justru memberikan sinyalemen positif yang pada tahun sebelumnya mengalami penurunan, tapi pada tahun 2015 mulai mengalami kenaikan, yaitu pada pos-pos berikut:
Pos Pajak Dalam Negeri, naik 9,27%. Kenaikan ini dipandang mampu men-generate kenaikan Pos Penerimaan Pajak sebesar 8, 16%.
Pos Hibah, naik 137,82%. Kenaikan ini cukup fantastis mengingat tahun 2014 justru turun sebesar (26,32%) dan kenaikan terbesar tahun sebelumnya hanya mencapai 18,07% yaitu pada tahun 2013. Kenaikan pada tahun 2015 ini dikarenakan hibah langsung yang diterima oleh K/L tidak direncanakan dalam APBN-P TA 2015. Di samping itu, realisasi sebesar 361,52% dari APBN tersebut dikarenakan meningkatnya hibah langsung yang diterima K/L terutama terkait pilkada serentak Tahun 2015, di samping meningkatnya kesadaran K/L untuk melaporkannya kepada BUN.
Secara total, jumlah Belanja Negara mengalami kenaikan sebesar 1,65%. Meskipun demikian, kenaikan ini dapat dikatakan lebih kecil dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang memang memperlihatkan kecenderungan untuk terus menurun. Hal ini seiring dengan kebijakan pemangkasan anggaran oleh pemerintah sebagai upaya untuk mengurangi dampak dari pendapatan negara yang tidak terlalu menggembirakan. Jika arus belanja tidak dibendung, kesenjangan (gap) dalam wujud defisit anggaran akan terus menukik tajam. Sebagaimana nampak dalam hasil perbandingan berikut, kenaikan defisit anggaran kembali membesar mencapai 31, 67%. Meskipun mampu mengerem arus belanja hingga meminimumkan kenaikan belanja hanya pada tingkat 1,65%, namun total pendapatan negara dan hibah memang justru mengalami penurunan hingga (2,74%). Belanja yang besar tidak selalu buruk, jika dan hanya jika belanja tersebut memang digunakan secara tepat sasaran dalam rangka menggerakkan roda perekonomian negara.
Merujuk pada hasil perbandingan berikut, pada tahun 2015, pos Belanja Negara yang mengalami kenaikan diantaranya di-drive oleh pos Belanja Pegawai 15,35%, Belanja Barang 32,08%. Belanja Modal 46,21%, Belanja Hibah 369,6%, dan Dana Alokasi Khusus 72,06%. Kenaikan pada belanja pegawai dan belanja barang perlu mendapat perhatian apakah pengeluaran pada pos ini memang mampu men-generate sisi pendapatan setidaknya pada tingkatan yang sama. Jika tidak, pengeluaran pos ini dapat dikatakan sebagai pengeluaran konsumtif yang perlu ditekan karena tidak membawa dampak positif bagi kesehatan anggaran negara. Sementara itu, kenaikan belanja modal pada tahun 2015 cukup menggembirakan, mengingat pada tahun 2014 pos ini justru mengalami penurunan. Kenaikan ini perlu dipertahankan karena belanja modal merupakan salah satu pos penting dalam memperbaiki infrastruktur dalam rangka memberikan fungsi pelayanan publik terbaik bagi warga negara.
Pos yang mengalami kenaikan paling fantastis berada pada pos Belanja Hibah. Meskipun jika mengingat kembali pada pos Penerimaan Hibah sebagaimana telah diulas sebelumnya, Pos Penerimaan Hibah juga mengalami kenaikan yang tidak kalah fantastis. Meskipun menunjukkan kenaikan yang signifikan dibanding tahun sebelumnya, ternyata pada Tahun 2015 ini Realisasi Belanja Hibah tidak mencapai target pagu APBN-P TA 2015 antara lain dikarenakan terdapat Pemda yang tidak mengajukan pencairan hibah pada tahun 2015, dan terdapat kegiatan/proyek seperti proyek MRT yang realisasinya hanya mencapai 72,40% yaitu sebesar Rp1.870.093.824.789 dari pagu anggaran sebesar Rp2.583.030.000.000, dan proyek Sanitasi serta kegiatan pembangunan sanitasi untukditerushibahkan kepada 23 (dua puluh tiga) Pemda belum ada realisasi.
Pos yang perlu mendapat perhatian adalah pos Dana Keistimewaan DIY. Total kenaikan pos ini mencapai ratusan milyar rupiah, yang pada tahun 2015 mencapai 30,63%. Dana Keistimewaan DIY pertama kali dialokasikan pada TA 2013 sebagai pelaksanaan UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Pada Tahun 2015, pos ini mengalami kenaikan hingga 30% dibandingkan dengan Tahun sebelumnya. Realisasi ini sesuai dengan jumlah yang telah dianggarkan pada APBN-P Tahun 2015.
Disamping itu, terdapat pula pos Dana Desa yang baru muncul pada tahun 2015 sebagai program baru pemerintah. Pengeluaran pada pos ini tidaklah sedikit. Untuk itu, pengawasan terhadap program Dana Desa ini perlu mendapat perhatian lebih. Adanya jenjang yang lebih panjang dalam aliran Dana Desa ini meningkatkan risiko korupsi atau penyelewengan dana tersebut. Disamping perlu juga dipastikan bahwa penggunaan dana yang diserahkan pada level terkecil masyarakat ini memang efisien. Mengingat gagasan awal program ini adalah bahwa level terkecil masyarakat tersebut lebih mengetahui kebutuhan masyarakat di daerahnya. Sehingga, program ini bisa benar-benar meningkatkan kesejahteraan di seluruh lapisan masyarakat bukan hanya daerah-daerah tertentu dalam jangkauan pemerintah pusat.
Sebagai respon dari bertambahnya kenaikan defisit anggaran pada tahun 2015 pada kisaran 30%, pemerintah harus mencari skema pembiayaan untuk mendanai defisit tersebut agar dapat menjaga keseimbangan fiskal dalam negeri. Nampak dalam hasil perbandingan tersebut, kenaikan total pembiayaan mencapau 29,82%, lebih besar dari tahun sebelunya yang pada tahun 2014 hanya mencapai 4,84%, namun masih lebih kecil dibandingkan kenaikan sebelum tahun 2014 yang selalu lebih dari 30%. Meskipun demikian, kenaikan pembiayaan pada tahun 2015 ini dapat dikatakan baik, mengingat sebelum tahun 2014, defisit anggaran juga lebih besar. Pada tahun 2012, selisih defisit anggaran bahkan mencapai (81,64%). Hal ini dibuktikan dengan adanya kenaikan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran pada tahun 2015 sebesar 10,87%.
Dari hasil perbandingan di atas, nampak bahwa skema pembiayaan yang diajukan pemerintah pada tahun 2015 adalah lebih memprioritaskan sumber pembiayaan dalam negeri dibandingkan dengan sumber pembiayaan luar negeri. Pada tahun 2015, pembiayaan dalam negeri naik hingga 17,84% sebaliknya pembiayaan luar negeri turun cukup signifikan hingga mencapai (223,46%).
Kenaikan pembiayaan dalam negeri utama nya berasal dari pos Penyertaan Modal Negara yang pada tahun 2015 mampu mengalami kenaikan hingga mencapai 569,34%. Kenaikan ini luar biasa fantastis jika melihat pada tahun-tahun sebelumnya pos pembiayaan dalam negeri mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Meski demikian, pembiayaan ini dapat merupakan suntikan yang tepat jika melihat kembali pada perbandingan Pendapatan Negara dan Hibah utamanya menurun pada pos Bagian Pemerintah atas laba BUMN dan Pos Penerimaan BLU. Pos Bagian Pemerintah atas Laba BUMN pada tahun 2015 anjlok hingga mencapai negatif (6,62%) padahal pada tahun sebelumnya terus mengalami kenaikan. Oleh karenanya, pembiyaan jenis ini merupakan langkah tepat untuk dapat menjaga kewarasan BUMN di tanah air.
Neraca
Pada pos Aset Lancar di Neraca, Kas dan Setara Kas mengalami kenaikan hingga 21,25%, meneruskan tren kenaikan tahun sebelumnya. Meskipun dalam komponennya, beberapa pos mengalami penurunan seperti pos Rekening Pemerintah Lainnya (44,99%), pos Rekening Kas di KPPN (21,43%), dan Kas pada BLU (1,45%). Namun demikian, penurunan ini dapat di-trade off oleh komponen lainnya utamanya pada pos Kas Lainnya dan Setara Kas yang mengalami kenaikan hingga mencapai 87,39%.
Kenaikan juga terjadi pada pos Piutang dan Persediaan. Kenaikan pada kedua pos tersebut memberikan sinyal positif yang menggerakkan tren perubahan ke arah yang lebih baik. Terutama pada pos Piutang yang pada tahun 2014 cenderung mengalami penurunan namun pada akhirnya mampu memperbaiki posisi dengan mengalami kenaikan pada tahun 2015. Hal ini terbukti bahwa secara agregat, kenaikan pos Piutang pada tahun 2015 masih lebih besar dibandingkan penurunan yang dialami pada tahun 2014. Pos yang juga perlu mendapat perhatian adalah adanya pos Pendapatan yang Masih Harus Diterima sebesar Rp 170,65M.
Dari segi portofolio investasi, pada tahun 2015 pemerintah cenderung melakukan investasi jangka panjang daripada investasi jangka pendek. Hal ini nampak dari kenaikan investasi jangka panjang yang mencapai 69,77%, dibandingkan dengan investasi jangka pendek cenderung turun meskipun hanya sebesar (0,09%). Dalam portofolio investasi jangka panjang yang dilakukan, pemerintah juga meletakkan prioritas investasi dalam bentuk investasi permanen. Terbukti bahwa investasi permanen mengalami kenaikan hingga 71,54%. Dibandingkan dengan investasi non permanen yang justru turun hingga (3,85%). Kenaikan investasi permanen tersebut didominasi dalam bentuk investasi permanen PMN yang bahkan mencapai 91,55%. Meskipun pada pos investasi permanen BLU mengalami penurunan yang juga cukup signifikan yaitu sebesar (95,93%), namun secara jumlah, investasi permanen PMN sangat jauh lebih besar dibandingkan dengan investasi permanen BLU. Sehingga penurunan signifikan pada pos Investasi permanen BLU tidak berpengaruh material terhadap total investasi permanen yang dilakukan pemerintah. Di sisi lain, dari segi penurunan investasi non permanen. Penurunan di-drive oleh bentuk investasi non permanen lainnya yang mencapai (82,53%). Di samping itu, pos yang perlu mendapat perhatian adalah pada pos Dana Bergulir diragukan tertagih. Pos tersebut pada tahun 2014 mengalami kenaikan fantastis yang mencapai lebih dari 700%.
Dari segi pos Aset Tetap, secara agregat Aset Tetap terus mengalami kenaikan. Meskipun jumlah kenaikan tidak konsisten semakin besar/ kecil. Namun demikian, pada tahun 2013, total Aset Tetap ini justru mengalami penurunan hingga mencapai (9,79%).
Berdasarkan hasil perbandingan di atas, nampak bahwa secara agregat Piutang Jangka Panjang (Netto) mengalami penurunan sebesar (94,05%). Hal ini menunjukkan bahwa hampir seluruh piutang pada tahun sebelumnya telah tertagih disamping penambahan piutang baru pada tahun 2015 hanyalah sedikit. Terbukti bahwa pada tahun 2015, pos Piutang Tagihan Penjualan Angsuran, Piutang Jangka Panjang Penerusan Pinjaman, dan Piutang Jangka Panjang Kredit Pemerintah. Ketiga pos tersebut telah tertagih sepenuhnya (100%). Sementara itu, penambahan piutang hanya terjadi pada dua pos terkait, yaitu pos Piutang Tagihan Tuntutan Ganti Rugi dan Piutang Jangka Panjang Lainnya. Meskipun peningkatan jumlah pos Piutang Jangka Panjang Lainnya mecapai 77,42%, namun secara jumlah, tidak terlalu besar apabila dibandingkan dengan pos yang lain sehingga tidak berpengaruh material terhadap perubahan pos Piutang Jangka Panjang.
Secara agregat, pada tahun 2015 total kewajiban jangka pendek akhirnya mampu kembali naik hingga sebesar 33,19% setelah pada tahun 2014 sempat mengalami penurunan (4,29%). Apabila dilihat per komponen, tidak ada tren yang pasti. Perubahan per komponen dari tahun ke tahun cenderung fluktuatif, naik turun. Dalam fluktuasi tersebut, perubahan secara signifikan perlu mendapat perhatian lebih. Seperti pada pos Utang Perhitungan Fihak Ketiga yang pada tahun 2014 mengalami kenaikan tiba-tiba hingga sebesar 669,68%. Demikian halnya dengan pos Utang Kelebihan Pembayaran Pendapatan yang sejak tahun 2014 terus mengalami kenaikan hingga lebih dari 700%. Sama halnya dengan pos Utang Jangka Pendek Lainnya yang tiba-tiba mengalami kenaikan hingga lebih dari 700%. Meskipun pada tahun 2015 dapat turun kembali walau hanya pada kisaran (98,12%).
Dari sisi Kewajiban Jangka Panjang, perubahan yang terjadi terus mengalami kenaikan meskipun besar kenaikan dari tahun ke tahun tidak konsisten dalam arah yang terus meningkat atau justru menurun. Peningkatan luar biasa terjadi pada tahun 2013 dalam pos Utang Jangka Panjang Dalam Negeri Lainnya yang hingga lebih dari 1000%.
Secara total, jumlah kewajiban pada tahun 2015 masih meneruskan perubahan ke arah positif. Pada tahun 2014, selisih kenaikan sempat turun namun dapat kembali ditingkatkan pada tahun 2015.
ANALISIS PERSENTASE PER KOMPONEN
Analisis persentase per komponen merupakan suatu teknik analisa yang dilakukan dengan membandingkan antara suatu pos terhadap totalnya dalam laporan keuangan yang sama. Analisis dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi suatu pos dalam bentuk angka total.
Laporan Operasional
Dalam Laporan Operasional Tahun 2015, pada bagian pendapatan operasional terlihat bahwa pendapatan operasional terdiri dari tiga komponen yakni pendapatan perpajakan, PNBP, serta pendapatan hibah. Dari komposisi pada tabel di atas tampak bahwa pendapatan Negara amat bergantung pada pendapatan perpajakan yakni mencapai 77,71%, sedangkan PNBP sebesar 21,10% dan hibah hanya sebesar 1,19%.
PENDAPATAN OPERASIONAL
PENDAPATAN PERPAJAKAN
1,226,039,256,993,690
77.71%
PENDAPATAN NEGARA BUKAN PAJAK
332,915,922,329,921
21.10%
PENDAPATAN HIBAH
18,722,648,378,278
1.19%
JUMLAH PENDAPATAN OPERASIONAL
1,577,677,827,701,880
100.00%
Hal ini sesuai dengan kebijakan pemerintah yang berusaha membuat sector perpajakan menjadi tulang punggung penerimaan Negara. Akan tetapi hal tersebut juga menjadi ancaman tersendiri apabila sector perpajakan tidak mampu menghasilkan penerimaan secara optimal atau bahkan terjadi shortfall pajak, tentunya pemerintah harus mulai menggenjot sector lain, yakni PNBP untuk maenjadi alternative penerimaan Negara.
PENDAPATAN PERPAJAKAN
Pendapatan Pajak Penghasilan
600,428,831,252,290
48.97%
Pendapatan Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan Barang Mewah
424,023,011,182,599
34.58%
Pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan
30,215,951,785,002
2.46%
Pendapatan Cukai
128,332,845,072,391
10.47%
Pendapatan Pajak Lainnya
8,121,921,424,940
0.66%
Pendapatan Bea Masuk
31,176,700,022,327
2.54%
Pendapatan Bea Keluar
3,716,678,390,096
0.30%
Pendapatan Pajak Lain – Lain
23,317,864,041
0.00%
Jumlah Pendapatan Perpajakan
1,226,039,256,993,690
100.00%
Dari struktur perpajakan sendiri terlihat bahwa penerimaan perpajakan didominasi oleh Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 48,97%, Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan Barang Mewah (PPN & PPnBM) sebesar 34,58%, serta Cukai sebesar 10,47%. Dari data tersebut terlihat bahwa focus perpajakan saat ini memang masih pajak langsung. Namun apabila melihat dari sisi penerimaan PPN & PPnBM yang cukup tinggi, dapat diekualisasikan nilai PPN terhadap penjualan yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Sehingga seharusnya penjualan yang tinggi dapat men-generate penghasilan kena pajak yang tinggi pula. Oleh sebab itu, focus penggalian potensi pajak dan pengawasan kepatuhannya harusnya makin dapat ditingkatkan. Diharapkan sector pendapatan PPh mampu menopang penerimaan perpajakan.
BEBAN OPERASIONAL
Beban Pegawai
283,907,220,001,149
16.56%
Beban Persediaan
27,125,641,479,813
1.58%
Beban Barang dan Jasa
124,962,925,031,741
7.29%
Beban Pemeliharaan
31,768,814,714,115
1.85%
Beban Perjalanan Dinas
30,124,861,086,501
1.76%
Beban Barang Untuk Diserahkan Kepada Masyarakat
16,959,392,591,509
0.99%
Beban Bunga
160,452,613,098,681
9.36%
Beban Subsidi
156,777,708,450,589
9.15%
Beban Hibah
4,261,657,004,693
0.25%
Beban Bantuan Sosial
95,940,988,910,835
5.60%
Beban Transfer
635,587,715,410,460
37.08%
Beban Lain-lain
23,952,620,759,443
1.40%
Beban Penyusutan dan Amortisasi
113,899,378,370,043
6.64%
Beban Penyisihan Piutang Tak Tertagih
8,536,816,566,188
0.50%
JUMLAH BEBAN OPERASIONAL
1,714,258,353,475,760
100.00%
Tabel di atas merupakan bagian beban negara baik yang benar-benar merupakan pengeluaran Negara serta beban akrual yang terjadi. Pada tabel tersebut terlihat bahwa beban operasional didominasi oleh beban transfer (37,08%) , beban pegawai (16,56%), beban bunga (9,36%) serta beban subsidi(9,15%).
Beban transfer yang begitu tinggi dapat dipahami karena merupakan pengeluaran yang wajib disalurkan Negara ke daerah terkait otonomi dan pembangunan daerah tersebut. Pengeluaran tersebut juga menandakan upaya pemerintah untuk melakukan pemerataan pembangunan.
Beban pegawai merupakan pengeluaran yang patut diperhatikan mengingat nilainya amat tinggi. Pemerintah pusat melakukan pengeluaran terkait beban gaji pegawainya yang dalam setahun mencapai 283 Triliun, angka yang cukup fantastis. Perlu dilakukan kajian serta pengawasan yang cukup ketat agar pengeluaran beban pegawai tersebut benar-benar efisien dan bukan merupakan pemborosan.
Beban bunga sebesar 160 Triliun dalam setahun juga perlu diperhatikan. Angka yang sedemikian tinggi untuk ukuran pembayaran bunga utang harusnya menjadi sinyal bahwa utang yang dilakukan pemerintah sudah amat besar. Sehingga kemudian kebijakan melakukan utang dapat lebih rigid dan ketat.
Beban subsidi sebesar 156 Triliun dalam setahun agaknya dirasa cukup wajar. Subsidi pemerintah sendiri sudah berkurang mengingat pemerintah sudah amat mengurangi subsidi BBM dan subsidi lain yang bersifat konsumsi. Sehungga diharapkan subsidi yang dilakukan pemerintah lebih tepat sasaran dan pengeluaran dapat dialihkan ke sector yang lebih bermanfaat dan menghasilkan.
SURPLUS / (DEFISIT) DARI KEGIATAN OPERASIONAL
-136,580,525,773,875
56.14%
SURPLUS / (DEFISIT) DARI KEGIATAN NON OPERASIONAL
-106,695,334,827,375
43.86%
SURPLUS / (DEFISIT) DARI POS LUAR BIASA
-6,612,473,000
0.00%
SURPLUS / (DEFISIT) LO
-243,282,473,074,250
100.00%
Apabila melihat surplus / defisit secara keseluruhan, dapat terlihat bahwa terdapat 3 bagian yakni kegiatan operasional, non operasional, dan pos luar biasa. Dari tabel di atas terlihat bahwa defisit dari kegiatan operasional sebesar 56,14 % dan disusul dengan defisit dari kegiatan non operasional sebesar 43,86%. Sehingga dapat terlihat bahwa defisit dari kegiatan non operasional nilainya amat besar bahkan hampir menyamai defisit dari kegiatan operasional. Perlu ditelaah lebih lanjut komponen dari kegiatan non operasional untuk dapat diketahui penyebab besarnya defisit tersebut.
KEGIATAN NON OPERASIONAL-
PELEPASAN ASET NON LANCAR
Pendapatan Pelepasan Aset Non Lancar
273,195,816,513
-6.15%
Beban Pelepasan Aset Non Lancar
4,714,926,840,362
-106.15%
Jumlah Surplus (Defisit) Pelepasan Aset Non Lancar
-4,441,731,023,849
100.00%
4.16%
PENYELESAIAN KEWAJIBAN JANGKA PANJANG
Pendapatan Penyelesaian Kewajiban Jangka Panjang
71,432,500,000
-135.93%
Beban Penyelesaian Kewajiban Jangka Panjang
123,984,830,000
-235.93%
Jumlah Surplus (Defisit) Penyelesaian Kewajiban Jangka Panjang
-52,552,330,000
100.00%
0.05%
KEGIATAN NON OPERASIONAL LAINNYA
Pendapatan dari Kegiatan Non Operasional Lainnya
10,042,393,952,189
-9.83%
Beban dari Kegiatan Non Operasional Lainnya
112,243,445,425,715
-109.83%
Jumlah Surplus (Defisit) Dari Kegiatan Non Operasional Lainnya
-102,201,051,473,526
100.00%
95.79%
SURPLUS / (DEFISIT) DARI KEGIATAN NON OPERASIONAL
-106,695,334,827,375
100%
Dari tabel di atas tampak kegiatan non operasional terbagi menjadi 3 bagian yakni pelepasan asset non lancar (4,16 %) , penyelesaian kewajiban jangka panjang (0,05%), serta kegiatan non operasional lainnya dengan dominasi sebesar 95,79 %. Perlu diteliti lebih lanjut untuk mengetahui komponen dari kegiatan non operasional lainnya mengapa nilainya sedemikian tinggi.
Dari tabel di atas tampak bahwa beban kerugian selisih kurs belum terealisasi merupakan beban yang paling mendominasi. Beban tersebut muncul dari pengakuan beban secara akrual dan merupakan imbas dari utang dengan mata uang asing yang nilainya amat besar sedangkan kurs rupiah makin melemah. Kebijakan utang luar negeri perlu diperketat agar nilai beban ini tidak semakin membengkak.
Neraca
NERACA
PER 31 DESEMBER 2015 DAN 31 DESEMBER 2014
URAIAN
31 Des 2015
%
31 Des 2014
%
ASET
Jumlah Aset Lancar
326,755,380,598,002
6.33%
262,980,618,272,981
6.72%
Jumlah Investasi Jangka Panjang
2,223,798,602,704,030
43.07%
1,309,921,393,887,620
33.49%
Jumlah Aset Tetap
1,852,047,660,298,950
35.87%
1,714,588,328,953,210
43.84%
Jumlah Piutang Jangka Panjang (Neto)
47,509,339,951,600
0.92%
2,825,834,229,735
0.07%
Jumlah Aset Lainnya (Neto)
713,210,659,553,133
13.81%
620,606,155,768,241
15.87%
JUMLAH ASET
5,163,321,643,105,720
100.00%
3,910,922,331,111,790
100.00%
Dilihat dari neraca pemerintah, pada bagian asset tampak komposisi seperti pada tabel di atas, pada tahun 2015 Investasi Jangka Panjang memiliki jumlah paling besar sebesar 43,07%, asset tetap sebesar 35,87% sedangkan asset lainnya sebesar 13,81%. Tampak perubahan komposisi signifikan terjadi pada pertukaran posisi investasi jangka panjang dengan asset tetap. Pada tahun 2014 jumlah asset tetap sebesar 43,84 % , sedangkan investasi jangka panjang sebesar 33,49%.
Dari data tersebut, terlihat bahwa sebenarnya jumlah asset tetap bertambah namun tidak signifikan. Sedangkan investasi jangka panjang meningkat pesat jumlahnya. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah saat ini lebih focus pada program-program investasi jangka panjang.
URAIAN
31 Des 2015
%
31 Des 2014
%
Investasi Jangka Panjang
Investasi Non Permanen
Dana Bergulir
28,775,482,215,222
96.83%
22,618,233,561,719
73.18%
Dana Begulir Diragukan Tertagih
-558,329,304,440
-1.88%
-325,440,113,463
-1.05%
Jumlah Dana Bergulir (Neto)
28,217,152,910,782
94.95%
22,292,793,448,256
72.13%
Investasi Non Permanen Lainnya
1,506,683,971,917
5.07%
8,625,184,946,842
27.91%
Cadangan Penurunan Nilai Investasi Non Permanen Lainnya
-6,437,396,575
-0.02%
-11,282,810,445
-0.04%
Jumlah Investasi Non Permanen Lainnya (Neto)
1,500,246,575,342
5.05%
8,613,902,136,397
27.87%
Jumlah Investasi Non Permanen
29,717,399,486,124
100.00%
1.34%
30,906,695,584,653
100.00%
2.36%
Investasi Permanen
Investasi Permanen PMN
1,800,939,189,748,630
82.08%
940,189,434,094,290
73.51%
Investasi Permanen BLU
8,160,316,474
0.00%
200,435,044,832
0.02%
Investasi Permanen Lainnya
393,133,853,152,799
17.92%
338,624,829,163,846
26.48%
Jumlah Investasi Permanen
2,194,081,203,217,900
100.00%
98.66%
1,279,014,698,302,970
100.00%
97.64%
Jumlah Investasi Jangka Panjang
2,223,798,602,704,030
100.00%
1,309,921,393,887,620
100.00%
Melihat sisi investasi jangka panjang, tampak bahwa investasi terbagi menjadi dua yakni investasi permanen dan investasi non permanen. Investasi permanen amat dominan dengan total persentese pada tahun 2014 sebesar 97,64% dan meningkat pada tahun 2015 sebesar 98,66%. Investasi permanen sendiri dibagi menjadi 3 yakni investasi permanen PMN (82,08%), investasi permanen BLU (0%) serta investasi permanen lainnya (17,92%).
Dari data di atas tampak investasi permanen PMN amat besar dilakukan pemerintah, bahkan di tahun 2015 jumlahnya meningkat hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Investasi permanen PMN paling besar disalurkan ke BUMN. Perlu dikaji tingkat efisiensi dan efektifitas dari dana PMN kepada BUMN tersebut, apakah tujuan penyaluran modal tercapai dan BUMN memang layak diberi suntikan modal, dan apakah investasi tersebut memberikan imbal hasil yang menguntungkan.
KEWAJIBAN
2015
%
2014
%
Jumlah Kewajiban Jangka Pendek
469,227,744,936,972
13.43%
352,308,954,175,480
12.16%
Jumlah Kewajiban Jangka Panjang
3,024,303,002,478,110
86.57%
2,546,074,643,810,630
87.84%
JUMLAH KEWAJIBAN
3,493,530,747,415,080
100.00%
2,898,383,597,986,110
100.00%
Beralih ke bagian kewajiban pada neraca pemerintah, terlihat bahwa kewajiban jangka panjang cukup mendominasi dengan 86,57% sedangkan kewajiban jangka pendek sebesar 13,43%. Hal yang patut diamati adalah kenaikan kewajiban jangka panjang yang cukup besar di tahun 2015. Komponen utang Negara memang amat besar hampir mencapai 3.500 Triliun, sebuah angka yang amat besar tentu dengan bunga utang yang amat besar pula. Kebijakan utang Negara agaknya perlu diperketat, perlu diperhitungkan secara matang kemampuan Negara dalam membayarkan utangnya. Berikut ini rincian kewajiban jangka panjang pemerintah.
Kewajiban Jangka Panjang
Utang Jangka Panjang Dalam Negeri
2015
%
2014
%
Utang Jangka Panjang Dalam Negeri Perbankan
3,629,337,716,270
0.15%
2,876,377,932,292
0.15%
Utang Jangka Panjang SBN Dalam Negeri
2,149,470,709,718,730
91.71%
1,794,044,591,049,150
94.35%
Unamortized Discount
-13,864,923,596,202
-0.59%
-
0.00%
Unamortized Discount
15,899,248,839,972
0.68%
-
0.00%
Pembiayaan Surat Berharga Negara Ditangguhkan
63,688,116,925,000
2.72%
-
0.00%
Utang Kepada Dana Pensiun dan THT
14,218,871,930,000
0.61%
20,431,212,930,000
1.07%
Utang Jangka Panjang Dalam Negeri Lainnya
110,692,888,988,957
4.72%
84,196,327,243,997
4.43%
Jumlah Utang Jangka Panjang Dalam Negeri
2,343,734,250,522,730
100.00%
77.50%
1,901,548,509,155,440
100.00%
74.69%
Utang Jangka Panjang Luar Negeri
Utang Jangka Panjang Luar Negeri Perbankan
680,544,553,917,799
100.00%
610,949,515,129,568
94.79%
Utang Jangka Panjang Luar Negeri Lainnya
24,198,037,583
0.00%
33,576,619,525,619
5.21%
Jumlah Utang Jangka Panjang Luar Negeri
680,568,751,955,382
100.00%
22.50%
644,526,134,655,187
100.00%
25.31%
Jumlah Kewajiban Jangka Panjang
3,024,303,002,478,110
100%
2,546,074,643,810,630
100%
Dapat dilihat bahwa utang jangka panjang dalam negeri dominan sebesar 77,50%, sedangkan utang jangka panjang luar negeri sebesar 22,50%. Hal tersebut merupakan sesuatu yang positif mengingat bahwa pemerintah masih berusaha menggunakan kemampuan pasar domestic dibandingkan dengan pihak asing. Sehingga idle cash pada sector swasta nasional lebih dapat dimanfaatkan Negara. Diharapkan masyarakat makin berperan dalam pembangunan,serta makin sadar berinvestasi pada bentuk obligasi pemerintah.
URAIAN
2015
%
2014
%
JUMLAH KEWAJIBAN
3,493,530,747,415,080
67.66%
2,898,383,597,986,110
74.11%
EKUITAS
1,669,790,895,690,640
32.34%
1,012,538,733,125,670
25.89%
JUMLAH KEWAJIBAN DAN EKUITAS
5,163,321,643,105,720
100.00%
3,910,922,331,111,780
100.00%
Secara keseluruhan komposisi kewajiban dibandingkan dengan ekuitas tampak pada tabel di atas. Dari data tersebut terlihat terjadinya penurunan persentase kewajiban dari 74,11% pada tahun 2014 menjadi 67,66% pada tahun 2015. Hal tersebut merupakan sesuatu yang positif. Dengan debt to equity ratio yang lebih rendah menandakan bahwa kemampuan pemerintah membayar utangnya menjadi lebih baik.
Laporan Realisasi Anggaran
Senada dengan data pada Laporan Operasional, Laporan Realisasi Anggaran menyajikan data yang tidak begitu berbeda. Penerimaan pajak menjadi tumpuan penghasilan Negara. Namun pada LRA tampak PNBP tahun 2015 yang jumlahnya turun signifikan dibanding tahun 2014. Penurunan terdapat pada semua komponen pembentuk PNBP, yakni penerimaan sumber daya alam, bagian pemerintah atas laba BUMN, serta PNBP lainnya.
URAIAN
2015
%
2014
%
Penerimaan Negara Bukan Pajak
255,628,476,494,416
100.00%
398,590,523,613,990
100.00%
Penerimaan Sumber Daya Alam
100,971,872,884,629
39.50%
240,848,282,407,860
60.42%
Bagian Pemerintah atas Laba BUMN
37,643,720,744,478
14.73%
40,314,429,901,560
10.11%
Penerimaan Negara Bukan Pajak Lainnya
81,697,425,599,748
31.96%
87,746,767,296,051
22.01%
Akan tetapi penurunan amat tajam tampak pada penurunan penerimaan sumber daya alam. Faktor yang memperngaruhi rendahnya realisasi tersebut adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi tahun 2015, melemahnya harga minyak dunia (ICP) yang menyebabkan turunnya penerimaan di sector migas, serta turunnya pendapatan di sector pertambangan minerba, karena turunnya harga komoditas batubara di pasar internasional.
URAIAN
2015
%
2014
%
Belanja Pemerintah Pusat
1,183,303,681,401,410
100.00%
1,203,577,167,222,860
100.00%
Belanja Pegawai
281,142,740,358,435
23.76%
243,719,884,098,338
20.25%
Belanja Barang
233,281,127,918,367
19.71%
176,622,265,435,276
14.67%
Belanja Modal
215,434,170,985,305
18.21%
147,347,928,326,528
12.24%
Pembayaran Bunga Utang
156,009,751,027,445
13.18%
133,441,292,679,083
11.09%
Subsidi
185,971,113,912,629
15.72%
391,962,514,288,102
32.57%
Belanja Hibah
4,261,657,004,693
0.36%
907,509,554,215
0.08%
Belanja Bantuan Sosial
97,151,198,887,033
8.21%
97,924,676,539,384
8.14%
Belanja Lain-lain
10,051,921,307,507
0.85%
11,651,096,301,935
0.97%
Pada sector realisasi belanja di tabel di atas, terlihat bahwa belanja pegawai menjadi pengeluaran pemerintah terbesar, sebagaimana telah dijelaskan di bagian LO sebelumnya. Pengeluaran belanja tersebut cenderung mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya.
Dari tabel di atas makin memperjelas posisi subsidi pemerintah yang berkurang secara signifikan. Kebijakan seperti ini merupakan suatu hal yang perlu dipertahankan. Pengeluaran lebih bersifat produktif daripada konsumtif.
URAIAN
2015
%
2014
%
Transfer ke Daerah dan Dana Desa
623,139,605,063,166
100.00%
34.49%
573,703,081,723,721
100.00%
32.28%
Transfer ke Daerah
602,373,405,063,166
100.00%
96.67%
573,703,081,723,721
100.00%
100%
Dana Perimbangan
485,818,463,746,730
100.00%
80.65%
477,052,754,641,271
100.00%
83.15%
Dana Bagi Hasil
78,053,378,267,080
16.07%
103,938,958,255,771
21.79%
Dana Alokasi Umum
352,887,848,528,000
72.64%
341,219,325,651,000
71.53%
Dana Alokasi Khusus
54,877,236,951,650
11.30%
31,894,470,734,500
6.69%
Dana Otonomi Khusus
17,115,513,942,000
2.84%
16,148,773,028,000
2.81%
Dana Keistimewaan DIY
547,450,000,000
0.09%
419,099,774,450
0.07%
Dana Transfer Lainnya
98,891,977,374,436
16.42%
80,082,454,280,000
13.96%
Dana Desa
20,766,200,000,000
3,33%
-
0%
Dari tabel di atas tampak komposisi transfer ke daerah dan dana desa. Transfer ke daerah di dominasi oleh dana perimbangan sebesar 80,65% dan disusul oleh dana transfer lainnya sebesar 16,42%. Dana perimbangan sendiri terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus.
Dana alokasi umum merupakan komponen terbesar yang jumlahnya meningkat secara perlahan. Alokasi DAU tahun 2015 meningkat karena berdasarkan perhitungan 27,7% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto pada APBN-P TA 2015.
Pembiayaan
2015
%
2014
%
Pembiayaan Dalam Negeri (Neto)
307,857,734,760,945
95.28%
261,244,985,683,200
104.96%
Pembiayaan Luar Negeri (Neto)
15,250,274,036,023
4.72%
-12,352,160,006,680
-4.96%
Jumlah Pembiayaan
323,108,008,796,968
100.00%
248,892,825,676,520
100.00%
Sedangkan menilik dari aspek pembiayaan, tampak bahwa pembiayaan dalam negeri amat signifikan sebesar 95,28%, akan tetapi jumlahnya mengalami penurunan secara persentase karena di tahun 2014 mencapai 104,96%. Secara jumlah pembiayaan luar negeri mengalami kenaikan amat pesat. Hal ini diakibatkan dengan masuknya investasi asing yang cukup besar mengingat kebutuhan Negara yang juga amat besar terkait pembangunan infrastruktur.
ANALISIS TREND
Analisis tren merupakan teknik analisa yang dilakukan dengan membandingkan pos-pos yang sama dari beberapa periode yang berurutan (Time series data). Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk memahami arah atau kecenderungan suatu pos dari waktu ke waktu.
Realisasi Penerimaan Negara
Dapat dilihat pada grafik secara umum pendapatan Negara selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2015, realisasi pendapatan perpajakan mencapai Rp 1.240,418,9 miliar atau naik 8,16 % dibanding realisasi tahun 2014 sebesar Rp 1.146.865,8 miliar. Pendapatan perpajakan tahun 2015 berasal dari penerimaan pajak dalam negeri sebesar Rp 1.205.478,9 miliar dan penerimaan pajak perdagangan internasional sebesar Rp 34.940,0 miliar. Realisasi penerimaan pajak dalam negeri pada tahun 2015 naik sebesar 9,27% dari penerimaan pajak dalam negeri pada tahun 2014.
Sementara itu, realisasi pajak perdagangan internasional turun sebesar 19,95%. Penurunan realisasi penerimaan pajak internasional disebabkan oleh turunnya realisasi pendapatan bea masuk sebesar Rp 1.106,3 miliar dan turunnya realisasi bea keluar Rp 7.601,9 miliar dibandingkan dengan realisasi tahun 2014. Turunnya realisasi bea keluar dipengaruhi antara lain oleh masih rendahnya harga komoditas di pasar internasional.
Realisasi Belanja Negara
Realisasi belanja negara pada tahun 2015 mencapai Rp1.806.515,2 miliar atau 91,05 persen dari pagu belanja APBN-P tahun 2015 sebesar Rp1.984.149,7 miliar. Tingkat penyerapan anggaran belanja negara tersebut lebih rendah secara persentase terhadap pagunya apabila dibandingkan dengan penyerapan anggaran belanja negara tahun 2014 yang mencapai Rp1.777.182,9 miliar atau 94,69 persen dari pagu belanja. Realisasi belanja negara tahun 2015 terdiri dari realisasi belanja pemerintah pusat yang mencapai Rp1.183.303,7 miliar (89,67 persen dari pagu belanja) dan realisasi transfer ke daerah dan dana desa yang mencapai Rp623.139,6 miliar (93,76 persen dari pagu belanja). Tingkat penyerapan anggaran belanja pemerintah pusat tahun 2015 masih lebih rendah dibandingkan dengan tingkat penyerapan anggaran belanja pemerintah pusat pada tahun 2014 yaitu sebesar 94,0 persen.
Tingkat penyerapan belanja K/L tersebut dipengaruhi terutama oleh terhambatnya penyerapan di awal tahun akibat perubahan nomenklatur K/l, namun demikian realisasi belanja K/L meningkat secara signifikan sejak kuartal III. Pada sisi lain, kualitas belanja dapat dijaga melalui pengendalian revisi anggaran yang memprioritaskan program/kegiatan yang lebih produktif.
Anggaran Belanja Pemerintah Pusat pada APBN-P Tahun 2015 sebagian besar merupakan belanja yang bersifat wajib (belanja pegawai, belanja barang operasional, belanja subsidi, dan belanja pembayaran bunga utang). Jika dilihat dari klasifikasi ekonomi, komponen terbesar belanja pemerintah pusat pada APBN-P tahun 2015 adalah belanja pegawai, belanja modal, kemudian belanja barang. Pada APBN-P tahun 2015 terjadi pergeseran komposisi belanja pemerintah pusat dibandingkan APBN-P tahun 2014. Pada APBN-P tahun 2014, belanja subsidi memiliki porsi belanja paling besar dibandingkan belanja yang lain, namun pada APBN-P tahun 2015 memiliki porsi terbesar keempat. Hal ini disebabkan karena adanya kebijakan Pemerintah terkait dengan pengalihan belanja kurang produktif ke belanja yang lebih produktif. Kebijakan pemerintah tersebut semakin nampak pada besarnya porsi belanja modal pada APBN-P tahun 2015 yang memiliki porsi terbesar kedua setelah belanja pegawai. Sementara pada APBN-P tahun 2014, belanja modal hanya memiliki porsi terbesar keempat.
Realisasi Pembiayaan
Untuk menjaga kesinambungan fiskal jangka menengah, pemerintah menjaga defisit kumulatif APBN dan APBD dibawah ambang batas 3,0% terhadap PDB. Hal ini sesuai dengan amanah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Selama Tahun 2010 – 2014 rasio defisit terhadap PDB berfluktuatif dan berada di bawah level 3 persen. Pada tahun 2015 besarnya rasio defisit anggaran terhadap PDB adalah 2,58 persen.
Neraca
Tren neraca dengan perbandingan asset, kewajiban dan ekuitas selama lima tahun terakhir disajikan pada grafik di bawah. Dari grafik tersebut tampak asset dan kewajiban selalu mengalami peningkatan, sedangkan ekuitas cenderung stabil. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah menambah asetnya dengan cara menambah kewajiban lebih tinggi dari pada menambah ekuitas.
ANALISIS RASIO
Rasio Lancar
Raso Lancar adalah rasio yang menggambarkan kemampuan pemerintah pusat untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Rasio lancar mencerminkan margin of safety pemerintah pusat terhadap kreditor jangka pendek. Nilai minimal rasio lancar pemerintah pusat untuk dapat dikatakan aman adalah 1:1. Jika rasio lancar di bawah 1:1, maka dapat dikatakan bahwa kondisi keuangan pemerintah pusat sedang tidak lancar, sementara rasio lancar yang terlalu tinggi mencerminkan inefisiensi pemerintah pusat dalam mengelola aset lancarnya.
Formula Rasio Lancar= Total Aset LancarTotal Utang Lancar
Tahun
Aset Lancar (jutaan)
Utang Lancar (jutaan)
Rasio Lancar
Perubahan
(1)
(2)
(3) = (1)/(2)
(4)
2011
266.807.824
246.444.880
1,08
2012
241.315.134
266.136.388
0,91
Turun
2013
252.741.464
368.086.831
0,69
Turun
2014
262.980.618
352.308.954
0,75
Naik
2015
326.755.380
469.227.744
0,70
Turun
Pada tahun 2011, rasio lancar pemerintah pusat menunjukkan 1,08 sehingga dapat dikatakan cukup aman dan pemerintah mampu melaksanakan kewajiban lancarnya dengan segera. Namun, pada 2012 rasio turun menjadi 0,91. Penurunan ini terutama bersumber dari penurunan aset lancar berupa rekening kas BUN di Bank Indonesia sekitar Rp 45 trilyun. Kas BUN di BI pada akhir 2012 menurun karena ditariknya penempatan valas US Dolar dan juga pengurangan rekening Saldo Anggaran Lebih.
Pada 2013, rasio lancar kembali turun menjadi 0,69. Penurunan ini terutama bersumber dari kenaikan utang lancar berupa bagian lancar utang jangka panjang sekitar Rp 44 trilyun dan utang Surat Berharga Negara sekitar Rp 19 trilyun. Bagian lancar utang jangka panjang yang segera jatuh tempo meliputi Fixed Rate Bond, ORI, dan SUN Valas US Dolar maupun SBSN Valas US Dolar. Sempat naik sedikit di 2014, rasio lancar kembali turun di 2015 karena kenaikan utang lancar yang cukup signifikan. Kenaikan ini terutama berasal juga dari kenaikan Bagian Lancar Utang Jangka Panjang sekitar Rp 39 trilyun dan utang Surat Berharga Negara sekitar Rp 30 trilyun.
Secara umum, kinerja keuangan pemerintah pusat dalam kurun 2011-2015 dilihat dari indikator rasio lancar tidak terlalu bagus. Faktor penyebab yang cukup dominan adalah kenaikan utang lancar dari Bagian Lancar Utang Jangka Panjang dan utang Surat Berharga Negara. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat kurang mengantisipasi adanya utang jangka panjang yang segera jatuh tempo dengan upaya peningkatan aset lancar untuk melunasinya.
Rasio Solvabilitas
Rasio solvabilitas merupakan perbandingan antara jumlah aset pemerintah pusat terhadap total kewajiban yang dimiliki pemerintah pusat. Rasio solvabilitas meenggambarkan kemampuan pemerintah pusat untuk membayar seluruh kewajiban yang dimiliki pemerintah pusat, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Rasio solvabilitas minimal untuk dapat dikatakan aman adalah 1:1.
Tahun
Total Aset (jutaan)
Total Utang (jutaan)
Rasio Solvabilitas
Perubahan
(1)
(2)
(3) = (1)/(2)
(4)
2011
3.023.447.176
1.947.373.299
1,55
2012
3.432.982.833
2.156.885.973
1,59
Naik
2013
3.567.585.745
2.652.099.779
1,35
Turun
2014
3.910.922.331
2.898.383.597
1,35
Tetap
2015
5.163.321.643
3.493.530.747
1,48
Naik
Formula Rasio Solvabilitas= Total AsetTotal Utang
Rasio solvabilitas pada 2011 menunjukkan 1,55 sehingga dapat disimpulkan pemerintah memiliki kemampuan yang cukup baik dalam menyelesaikan seluruh kewajibannya. Rasio ini kembali naik menjadi 1,59 pada tahun 2012. Namun, rasio mengalami penurunan yang cukup signifikan pada tahun 2013 menjadi 1,35. Hal ini terjadi karena adanya kenaikan utang yang cukup signifikan tanpa diimbangi kenaikan aset. Kenaikan ini terutama berasal dari utang jangka panjang SBN Dalam Negeri sebesar Rp 244 trilyun. Berdasarkan data LKPP tahun 2013, kenaikan ini berasal dari kenaikan Fixed Rate Bond dan Obligasi Negara dalam Valas.
Pada tahun 2014, rasio solvabilitas tidak mengalami kenaikan, sedangkan pada tahun 2015 rasio solvabilitas kembali naik menjadi 1,48 yang berasal dari kenaikan cukup signifikan total aset dari rp 3.910 trilyun menjadi Rp 5.163 trilyun. Kenaikan ini antara lain berasal dari kenaikan piutang dan kenaikan investasi permanen. Piutang pemerintah pusat pada 2015 mengalami kenaikan karena pada tahun ini pemerintah mulai menerapkan sistem akuntansi berbasis akrual penuh sehingga piutang telah diakui pada saat hak pemerintah telah muncul. Sementara investasi permanen PMN pemerintah yang meningkat cukup signifikan berasal dari revaluasi aset BUMN. Sebagaimana diketahui pada bulan Oktober 2015, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid Lima di mana Pemerintah memberikan fasilitas berupa pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Revaluasi untuk perusahaan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), swasta atau individu yang memiliki usaha. Selain dari revaluasi aset penambahan signifikan nilai BUMN juga disebabkan adanya penambahan Penyertaan Modal Negara pada BUMN dari APBNP 2015 sebesar Rp36.229.129.134.910.
Secara umum, selama kurun waktu 2011-2015 rasio solvabilitas pemerintah pusat dapat dikatakan cukup baik dan menunjukkan kemampuan pemerintah untuk melunasi seluruh kewajibannya.
Rasio Efektivitas Pendapatan
Rasio efektivitas pendapatan dihitung dengan cara membandingkan realisasi penerimaan pendapatan pajak dan penerimaan negara bukan pajak dengan anggaran penerimaan yang ditetapkan. Rasio ini mencerminkan sejauh mana efektivitas pemerintah dalam mendayagunakan aset-aset yang dimilikinya untuk memperoleh pendapatan dibandingkan anggaran yang telah ditetapkan APBN.
Rasio Efektivitas Pendapatan= Realisasi Pendapatan (Pajak+PNBP)Anggaran Pendapatan (Pajak+PNBP)
Tahun
Realisasi Pendapatan (jutaan)
Anggaran Pendapatan (jutaan)
Rasio Efektivitas
Perubahan
(1)
(2)
(3) = (1)/(2)
(4)
2011
1.205.345.714
1.165.252.534
103,44%
2012
1.332.322.880
1.357.379.952
98,15%
Turun
2013
1.432.058.569
1.497.521.393
95,63%
Turun
2014
1.545.456.293
1.633.053.371
94,64%
Turun
2015
1.496.047.334
1.758.330.914
85,08%
Turun
Pada tahun 2011, pemerintah mampu menyelenggarakan APBN secara efektif dan menghasilkan rasio efektivitas pendapatan sebesar 103,44%. Namun, sepanjang 4 tahun berikutnya rasio efektivitas justru menurun. Penurunan cukup signifikan terjadi dari tahun 2014 ke 2014 dari 94,64% menjadi 85,08%. Penurunan ini terutama terkait dengan shortfall penerimaan pajak mencapai hampir Rp 250 trilyun terkait perlambatan pertumbuhan ekonomi tahun 2015. Sebenarnya secara nominal penerimaan pajak mengalami peningkatan dari Rp 1.146 trilyun menjadi Rp 1.240 trilyun. Namun, tingginya target yang ditetapkan berdasarkan asumsi dasar ekonomi makro menyebabkan shortfall tetap tinggi sehingga efektivitas pendapatan tidak tercapai. Ditambah dengan penurunan realisasi PNBP dari Rp 398 trilyun di tahun 2014 menjadi Rp 255 trilyun di tahun 2015.
Rasio Efisiensi Belanja
Rasio efisiensi belanja merupakan perbandingan antara realisasi belanja dengan anggaran belanja. Rasio yang menunjukkan angka di atas 100% menunjukkan bahwa pemerintah pusat tidak melaksanakan belanja secara efisien. Di lain pihak, rasio yang menunjukkan angka di bawah 100% juga menunjukkan bahwa pemerintah pusat melalu Kementerian/Lembaga tidak mampu mengoptimalkan penyerapan belanja untuk menghasilkan output dan outcome sesuai yang diharapkan. Oleh karena itu, rasio yang mencerminkan kondisi paling efisien adalah tidak berselisih jauh dari 100%. Namun, rasio ini hanya mencerminkan efisiensi secara kuantitatif. Untuk pengukuran outcome belanja, perlu melibatkan faktor-faktor kualitatif yang tidak hanya ditunjukkan melalui nominal realisasi belanja.
Rasio Efisiensi Belanja= Realisasi BelanjaAnggaran Belanja
Tahun
Realisasi Belanja (jutaan)
Anggaran Belanja (jutaan)
Rasio Efisiensi Belanja
Perubahan
(1)
(2)
(3) = (1)/(2)
(4)
2011
1.294.999.146
1.320.751.314
98,05%
2012
1.491.410.224
1.548.310.378
96,33%
Turun
2013
1.650.563.727
1.726.191.299
95,62%
Turun
2014
1.777.182.855
1.876.872.758
94,69%
Turun
2015
1.806.515.202
1.984.149.714
91,05%
Turun
Dari analisis yang dilakukan, terlihat bahwa efisiensi belanja pemerintah sejak tahun 2011 terus mengalami penurunan dari 98,05% pada tahun 2011 hingga 91,05% pada tahun 2015. Melalui hasil yang ditunjukkan, dapat ditarik dua kesimpulan yang bertolak belakang apabila hanya mempertimbangkan faktor kuantitatif. Pertama, bahwa pemerintah tidak mampu melaksanakan realisasi anggaran dengan optimal dan gagal melaksanakan tupoksi yang sesuai dengan tujuan dari masing-masing Kementerian/Lembaga. Kedua, pemerintah mampu melaksanakan belanja dengan sangat efisien dibuktikan dengan penggunaan anggaran yang makin mengecil persentasenya.
Namun, melihat variabel kualitatif yang ditunjukkan pada saat ini dengan belum optimalnya pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan sebagainya, kesimpulan pertama bahwa pemerintah tidak mampu melaksanakan realisasi anggaran dengan optimal dan gagal melaksanakan tupoksi yang sesuai dengan tujuan dari masing-masing Kementerian/Lembaga lebih memungkinkan.
Pertumbuhan Pendapatan
Analisis ini bermanfaat untuk mengetahui pertumbuhan pendapatan dari tahun ke tahun. Analisis yang menunjukkan hasil positif mencerminkan peningkatan kinerja pendapatan, demikian juga sebaliknya. Analisis ini perlu disandingkan dengan rasio efektivitas pendapatan untuk mengetahui pertumbuhan pendapatan pemerintah pusat secara komprehensif.
Pertumbuhan pendapatan= pendapatan tahun n-pendapatan tahun (n-1)pendapatan tahun (n-1)
Tahun
Pendapatan (n) (jutaan)
Pendapatan (n-1)
(jutaan)
Pendapatan (n) – pendapatan (n-1) (jutaan)
Pertumbuhan Pendapatan
Perubahan
(1)
(2)
(3) = (1)/(2)
(4)
2011
1.205.345.714
992.248.525
213.097.189
21,48%
Naik
2012
1.332.322.880
1.205.345.714
126.977.166
10,53%
Naik
2013
1.432.058.569
1.332.322.880
99.735.689
7,49%
Naik
2014
1.545.456.293
1.432.058.569
113.397.724
7,92%
Naik
2015
1.496.047.334
1.545.456.293
-49.408.959
-3,20%
Turun
Berdasarkan analisis rasio yang dilakukan, tren pertumbuhan pendapatan dari 2011 sampai 2015 cenderung menurun dikarenakan adanya perlambatan ekonomi sepanjang 5 tahun terakhir. Pada tahun 2015, pertumbuhan bahkan negatif sebesar -3,20% dari Rp 1.545 trilyun di tahun 2014 menjadi Rp 1.496 trilyun di tahun 2015. Meskipun di tahun 2015 penerimaan perpajakan mengalami kenaikan, tetapi PNBP mengalami penurunan yang cukup signifikan dari Rp 398 trilyun menjadi Rp 255 trilyun dan secara keseluruhan menyebabkan penurunan pendapatan. Penurunan PNBP yang paling signifikan berasal dari PNBP penerimaan SDA. Penurunan realisasi penerimaan SDA tersebut dipengaruhi antara lain oleh masih rendahnya harga minyak mentah yang menyebabkan turunnya penerimaan pemerintah di sektor minyak bumi.
Pertumbuhan Belanja
Analisis ini bermanfaat untuk mengetahui pertumbuhan belanja dari tahun ke tahun. Analisis yang menunjukkan hasil positif mencerminkan peningkatan belanja, demikian juga sebaliknya. Analisis ini perlu disandingkan dengan rasio efisiensi belanja untuk mengetahui pertumbuhan belanja pemerintah pusat secara komprehensif. Yang perlu ditekankan adalah bahwa pertumbuhan jumlah belanja tidak selalu mencerminkan peningkatan efektivitas belanja karena penilaian efektivitas belanja perlu melihat outcome yang dihasilkan.
Pertumbuhan belanja= belanja tahun n-belanja tahun (n-1)belanja tahun (n-1)
Tahun
Belanja (n) (jutaan)
Belanja (n-1) (jutaan)
Belanja (n) – belanja (n-1) (jutaan)
Pertumbuhan belanja
Perubahan
(1)
(2)
(3) = (1)/(2)
(4)
2011
1.294.999.146
1.042.117.219
252.881.927
24,27%
Naik
2012
1.491.410.224
1.294.999.146
196.411.078
15,17%
Naik
2013
1.650.563.727
1.491.410.224
159.153.503
10,67%
Naik
2014
1.777.182.855
1.650.563.727
126.619.128
7,67%
Naik
2015
1.806.515.202
1.777.182.855
29.332.347
1,65%
Naik
Pertumbuhan belanja pemerintah pusat dalam kurun waktu 2011-2015 cenderung mengalami penurunan. Kesimpulan yang dapat diambil dari analisis ini adalah adanya upaya pemerintah dalam melakukan penghematan anggaran dengan menekan belanja agar tidak membengkak dan menimbulkan defisit yang terlalu besar karena pada analisis pertumbuhan pendapatan sebelumnya didapatkan hasil bahwa pertumbuhan pendapatan pun juga mengalami penurunan.
ANALISIS SUMBER DAN PENGGUNAAN DANA
PENGERTIAN
Teknik analisa untuk mengetahui dari mana pemerintah memperoleh dana dan bagaimana pemerintah tersebut menggunakan dana yang diperolehnya selama tahun berjalan.
TUJUAN
Analisa ini dimaksudkan antara lain untuk mengetahui:
sumber dana selama satu tahun anggaran
penggunaan dana selama satu tahun anggaran
kemampuan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya
sumber dana yang digunakan untuk memperoleh aset
dari mana defisit anggaran ditutup
ke mana surplus anggaran digunakan
ANALISIS
Arus kas diklasifikasikan menjadi empat, yaitu:
arus kas dari aktifitas operasi
arus kas dari aktifitas investasi aset non keuangan
arus kas dari aktifitas pembiayaan
arus kas dari aktifitas transistoris
Arus kas dari aktifitas operasi mencerminkan kemampuan pemerintah untuk mendanai kebutuhan operasionalnya.
Arus kas neto dari aktifitas operasi positif mencerminkan penerimaan kas operasional mencukupi kebutuhan operasionalnya.
Arus kas dari aktifitas operasi negatif mencerminkan pemerintah tidak mampu mandiri, berarti tidak mampu menggali potensi pendapatan sehingga biaya operasi tidak mencukupi.
Arus kas dari aktivitas investasi aset non keuangan mencerminkan penerimaan dan pengeluaran kas yang berasal dari penjualan aset tetap dan perolehan aset tetap.
Arus kas dari aktifitas investasi positif berarti pemerintah sedang mengurangi/tidak menambah aset tetap yang dimilikinya.
Arus kas dari aktifitas investasi negatif berarti pemerintah sedang membangun dan mengadakan sarana dan prasarana.
Arus kas dari aktifitas pembiayaan mencerminkan dari mana pemerintah memperoleh dana untuk menutup defisit dan ke mana pemerintah mengalokasikan adanya surplus dana. Jumlah ini arus kas dari aktifitas pembiayaan ini seharusnya berimbang dengan jumlah surplus/defisit.
Arus kas dari aktivitas transistoris mencerminkan penerimaan dan pengeluaran kas bruto yang tidak mempengaruhi anggaran pendapatan, belanja dan pembiayaan pemerintah.
BERIKUT ADALAH LAPORAN ARUS KAS LKPP TAHUN 2014 DAN 2015
Analisis Sumber Pendanaan:
Arus kas dari aktivitas operasi
Arus Kas dari Aktivitas Operasi menjelaskan aktivitas penerimaan dan pengeluaran kas untuk kegiatan operasional Pemerintah selama satu periode yang berakhir 31 Desember2015. Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasi adalah sebesar minus Rp83.072.978.797.409. Dari arus kas bersih aktivitas operasi TA 2015 sebesar minus Rp83.072.978.797.409 menunjukkan bahwa pendapatan operasional pemerintahtidak mencukupi untuk membiayai seluruh kegiatan operasional pemerintah. Lebih rendahnya Arus Kas Masuk selama TA 2015 dibandingkan Arus Kas Keluar mengindikasikan rendahnya capaian realisasi penerimaan negara yang dipengaruhi oleh perkembangan kondisi perekonomian domestik maupun global serta tingginya belanja pemerintah seperti belanja subsidi.
Penerimaan Perpajakan
Pada tahun 2015, realisasi pendapatan perpajakan mencapai Rp1.240.418,9 miliar atau naik 8,16 persen dibanding realisasi tahun 2014 sebesar Rp1.146.865,8 miliar. Pendapatan perpajakan tahun 2015 berasal dari penerimaan pajak dalam negeri sebesar Rp1.205.478,9 miliar dan penerimaan pajak perdagangan internasional sebesar Rp34.940,0 miliar. Realisasi penerimaan pajak dalam negeri pada tahun 2015 naik sebesar 9,27 persen dari penerimaan pajak dalam negeri pada tahun 2014. Sementara itu, realisasi pajak perdagangan internasional turun sebesar 19,95 persen. Penurunan realisasi penerimaan pajak internasional disebabkan oleh turunnya realisasi pendapatan bea masuk sebesar Rp1.106,3 miliar dan turunnya realisasi bea keluar Rp7.601,9 miliar dibandingkan dengan realisasi tahun 2014. Turunnya realisasi bea keluar dipengaruhi antara lain oleh masih rendahnya harga komoditas di pasar internasional.
Penerimaan PNBP
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada TA 2015 adalah sebesar Rp255.531.041.010.784, yang berarti lebih kecil Rp142.923.020.424.126 atau 35,87 persen dari TA 2014 sebesar Rp398.454.061.434.910. PNBP tersebut berasal dari penerimaan Sumber Daya Alam, Bagian Pemerintah atas Laba BUMN, PNBP Lainnya, dan Pendapatan BLU
Penerimaan Hibah
Penerimaan Hibah pada TA 2015 adalah sebesar Rp11.973.038.735.532. Pendapatan ini merupakan penerimaan negara yang berasal dari sumbangan dalam negeri perorangan, lembaga/badan usaha dan hibah dalam negeri lainnya. Selain itu, penerimaan hibah juga berasal dari luar negeri perorangan, bilateral, multilateral dan hibah luar negeri lainnya. Dengan demikian, penerimaan Hibah pada TA 2015 lebih besar Rp9.016.137.105.252 atau 304,92 persen dari TA 2014
Arus Kas dari aktivitas Pendanaan
Arus Kas dari Aktivitas Investasi menjelaskan aktivitas penerimaan dan pengeluaran kas yang ditujukan untuk perolehan dan pelepasan aset tetap serta investasi lainnya yang tidak termasuk dalam setara kas. Aktivitas Investasi pada TA 2015 menunjukkan arus kas keluar bersih sebesar Rp274.734.893.587.204
Pengelolaan dan Penjualan BMN
Pendapatan dari Pengelolaan BMN (Pemanfaatan dan Pemindahtanganan) serta Pendapatan dari Penjualan Aset merupakan pendapatan yang berasal dari penjualan Aset Tetap baik berupa tanah, gedung, bangunan, peralatan dan mesin, dan aset yang rusak atau berlebihan. Pendapatan yang Pengelolaan dan Penjualan BMN pada TA 2015 adalah sebesar Rp97.435.483.632. Dengan demikian, Pendapatan Pengelolaan dan Penjualan BMN pada TA 2015 lebih kecil Rp39.026.695.448 atau 28,60 persen dari TA 2014.
Penjualan aset restrukuturisasi
Pendapatan Penjualan Aset Program Restrukturisasi merupakan penerimaan yang berasal dari penjualan/penyelesaian aset eks BPPN dan aset bekas Bank Dalam Likuidasi (BDL). Pendapatan yang berasal dari Penjualan Aset Program Restrukturisasi pada TA 2015 adalah sebesar Rp341.730.450.391. Dengan demikian, Pendapatan Penjualan Aset Program Restrukturisasi pada TA 2015 lebih kecil Rp198.260.268.641 atau 36,72 persen dari TA 2014.
Penerimaan kembali investasi lainnya
Penerimaan Kembali Investasi Lainnya dalam TA 2015 adalah sebesar Rp19.134.920.271.845, sedang pada TA 2014 tidak terdapat transaksi tersebut.
Arus Kas dari Aktivitas Pendanaan
Arus Kas dari Aktivitas Pendanaan menjelaskan aktivitas penerimaan dan pengeluaran kas yang berhubungan dengan pemberian piutang jangka panjang dan/atau pelunasan utang jangka panjang yang mengakibatkan perubahan dalam jumlah dan komposisi piutang jangka panjang dan utang jangka panjang. Jumlah Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pendanaan dalam TA 2015 adalah sebesar Rp382.421.051.971.590. Dengan demikian, Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pendanaan TA 2015 lebih besar Rp124.191.635.309.097 atau 48,09 persen dari TA 2014.
Penerimaan pembiayaan dalam negeri
Penerimaan Pembiayaan Dalam Negeri dalam TA 2015 adalah sebesar Rp523.355.946.201.615, Penerimaan Pembiayaan Dalam Negeri dalam TA 2015 lebih besar Rp83.164.629.539.104 atau 18,89 persen dibandingkan dengan TA 2014.
Penerimaan Pembiayaan Dalam Negeri - Non Perbankan
Penerimaan Pembiayaan Dalam Negeri - Non Perbankan pada TA 2015 adalah sebesar Rp973.664.304.815, berarti lebih kecil Rp121.127.376.330 atau 11,06 persen dari penerimaan pada TA 2014 sebesar Rp1.094.791.681.145. Penerimaan ini berasal dari penerimaan pinjaman dalam negeri.
Penerimaan Surat Berharga Negara (SBN)
Penerimaan pembiayaan SBN merupakan penerimaan pembiayaan dari penjualan Surat Perbendaharaan Negara (SPN), Obligasi Negara, dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dalam mata uang rupiah. Penerimaan pembiayaan SBN pada TA 2015 sebesar Rp409.361.117.487.000, Dengan demikian, penerimaan pembiayaan SBN pada TA 2015 lebih besar Rp56.268.053.177.000 atau 15,94 persen dibanding TA 2014.
Penerimaan Surat Berharga Negara (SBN) - Valas
Penerimaan pembiayaan SBN –Valas pada TA 2015 sebesar Rp113.021.164.409.800, lebih besar Rp27.017.703.738.434 atau 31,41 persen dibanding TA 2014.
Penerimaan pembiayaan luar negeri
Penerimaan Pembiayaan Luar Negeri dalam TA 2015 sebesar Rp83.821.269.766.054 merupakan seluruh penerimaan Pemerintah sehubungan dengan penarikan pinjaman luar negeri yang terdiri dari pinjaman program dan pinjaman proyek, Dengan demikian, Penerimaan Pembiayaan Luar Negeri dalam TA 2015 lebih besar Rp31.246.607.526.591 atau 59,43 persen dari TA 2014.
Penerimaan Pinjaman Program
Pinjaman Program yang diterima dalam TA 2015 adalah sebesar Rp55.084.739.858.586 yang berasal dari Penarikan Pinjaman Program, lebih besar Rp37.307.783.139.093 atau 209,87 persen dari TA 2014 sebesar Rp17.776.956.719.493.
Penerimaan Pinjaman Proyek
Pinjaman Proyek yang diterima dalam TA 2015 adalah sebesar Rp28.736.529.907.468, Dengan demikian, Penerimaan Pinjaman Proyek TA 2015 lebih kecil Rp6.061.175.612.502 atau 17,42 persen dibandingkan TA 2014
Penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman
Penerimaan Cicilan Pengembalian Penerusan Pinjaman pada TA 2015 sebesar Rp4.854.747.273.705 merupakan penerimaan Pemerintah atas cicilan pengembalian Pinjaman Subsidiary Loan Agreement (SLA) yang terdiri dari penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman dalam dan luar negeri kepada Pemda, BUMD dan BUMN. Penerimaan Cicilan Pengembalian Penerusan Pinjaman dalam TA 2015 lebih kecil Rp144.375.295.892 atau2,89 persen dari TA 2014.
Analisis Penggunaan Dana
ARUS KAS KELUAR AKTIVITAS OPERASI
Belanja Pegawai
Belanja Pegawai merupakan kompensasi terhadap pegawai baik dalam bentuk uang atau barang, yang harus dibayarkan kepada pegawai pemerintah (di dalam negeri dan di luar negeri) sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan selama periode akuntansi,kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Belanja Pegawai pada TA 2015 adalah sebesar Rp281.157.456.160.788. Dengan demikian, Belanja Pegawai pada TA 2015 mengalami kenaikanRp37.437.832.154.366 atau 15,36 persen dibandingkan TA 2014.
Belanja Barang
Belanja Barang pada TA 2015 adalah sebesar Rp233.315.553.846.047 yang merupakan pengeluaran Pemerintah dalam rangka pengadaan/pembelian barang dan jasa guna mendukung kegiatan operasional kantor, pemeliharaan, perjalanan dinas dan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan/dijual kepada masyarakat. Dengan demikian, Belanja Barang TA 2015 ini lebih besar Rp58.171.078.445.889 atau 33,21 persen dibandingkan TA 2014.
Belanja Pembayaran Bunga Utang
Belanja Pembayaran Bunga Utang pada TA 2015 sebesar Rp156.009.750.393.000 merupakan pembayaran yang dilakukan atas kewajiban penggunaan pokok utang (outstanding principal), baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri yang dihitung berdasarkan posisi pinjaman, dan pembayaran denda berupa imbalan bunga. Belanja Pembayaran Bunga Utang mengalami kenaikan Rp22.568.061.797.224 atau 16,91 persen dari Belanja Pembayaran Bunga Utang TA 2014 sebesar Rp133.441.688.595.776. Rincian Belanja Pembayaran Bunga Utang tersebut terdiri dariPembayaran Bunga atas Utang Dalam Negeri (DN) dan Luar Negeri (LN) masing-masing sebesar Rp141.904.468.100.868 dan Rp14.105.282.292.132.
Belanja Subsidi
Belanja Subsidi pada TA 2015 sebesar Rp185.971.113.912.629 merupakan belanja negara yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor atau mengimpor barang dan jasa, yang memenuhi hajat hidup orang banyak, sehingga harga jual terjangkau oleh masyarakat. Dengan demikian, Belanja Subsidi TA 2015 ini lebih kecil Rp205.991.400.375.473 atau 52,55 persen dari TA 2014
Belanja Bantuan sosial
Belanja Bantuan Sosial pada TA 2015 sebesar Rp97.089.109.626.790 merupakan transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial, Dengan demikian, Belanja Bantuan Sosial TA 2015 ini lebih kecil Rp731.781.091.457 atau 0,75 persen dari TA 2014.
Belanja Hibah
Belanja Hibah merupakan transfer uang atau barang oleh Pemerintah Pusat kepada negara lain, organisasi internasional, dan pemerintah daerah yang sifatnya tidak wajib. Pada TA 2015 terdapat belanja hibah sebesar Rp4.261.657.004.693, sehingga Belanja hibah TA 2015 lebih besar Rp3.354.147.450.478 atau 369,60 persen dari TA 2014.
Belanja lain-lain
Belanja lain-lain adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah. Belanja Lain-lain pada TA 2015 adalah sebesar Rp10.051.920.659.507. Dengan demikian, Belanja Lain-lain TA 2015 mengalami penurunan sebesar Rp1.600.599.021.185 atau 13,74 persen dari TA 2014.
Transfer DBH SDA
Transfer Bagi Hasil Sumber Daya Alam (SDA) merupakan penyaluran oleh Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah atasbagi hasil penerimaan sumber daya alam yang merupakan bagian pendapatan pemerintah daerah. Transfer Bagi Hasil SDAdalam TA 2015 adalah sebesar Rp42.282.020.869.480, Dengan demikian, Transfer Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam TA 2015 lebih kecil Rp19.719.296.806.028 atau 31,80 persen dari TA 2014.
Transfer DBH Pajak
Transfer Dana Bagi Hasil Pajak merupakan penyaluran oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Atas bagi hasil penerimaan pajak yang merupakan bagian pendapatan pemerintah daerah. Transfer Bagi Hasil Pajak pada TA 2015 adalah sebesar Rp33.013.401.801.250, Dengan demikian, Bagi Hasil Pajak TA 2015 lebih kecil Rp6.702.540.384.087 atau 16,88 persen dari TA 2014
Transfer DBH Cukai
Transfer Dana Bagi Hasil Cukai merupakan penyaluran oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah atas bagi hasil penerimaan cukai yang merupakan bagian pendapatan Pemerintah Daerah. Transfer Dana Bagi Hasil Cukai pada TA 2015 adalah sebesar Rp2.757.955.596.350, sedangkan pada TA 2014 sebesar Rp2.221.698.394.926. Dengan demikian, Transfer Dana Bagi Hasil Cukai TA 2015 lebih besar Rp536.257.201.424 atau24,14 persen dibandingkan TA 2014.
Transfer DAU
Transfer Dana Alokasi Umum merupakan penyaluran oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang digunakan untuk membiayai kebutuhan provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Transfer Dana Alokasi Umum pada TA 2015 sebesar Rp352.887.848.528.000, jumlah tersebut lebih besar Rp11.668.522.877.000 atau 3,42 persen dari TA 2014 sebesar Rp341.219.325.651.000.
Transfer DAK
Transfer Dana Alokasi Khusus adalah alokasi dari APBN kepada provinsi/kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan pemerintah daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Transfer Dana Alokasi Khusus pada TA 2015 sebesar Rp54.877.236.951.650, jumlah tersebut lebih besar Rp22.982.766.217.150 atau 72,06 persen dari TA 2014 sebesar Rp31.894.470.734.500.
Transfer DAOK
Dana Otonomi Khusus adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah. Penggunaan Dana Otonomi Khusus ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang OtonomiKhusus Bagi Provinsi Papua. Transfer Dana Otonomi Khusus pada TA 2015 sebesar Rp17.115.513.942.000, jumlah tersebut lebih besar Rp966.740.914.000 atau 5,99 persen dari TA 2014 sebesar Rp16.148.773.028.000
Transfer lainnya dan Dana Desa
Dana yang dialokasikan untuk membantu daerah dalam melaksanakan kebijakan Pemerintah Pusat. Transfer Lainnya dan Dana Desa pada TA 2015 adalah sebesar Rp119.657.926.877.918, lebih besar Rp39.575.553.388.668 atau 49,42persen dari TA 2014
Transfer Dana Keistimewaan DIY
Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah dana yang berasal dari bagian anggaran BUN yang dialokasikan mendanai kewenangan DIY dan merupakan belanja transfer pada Belanja Transfer Lainnya. Transfer Dana Keistimewaan DIY pada TA 2015adalah sebesar Rp547.450.000.000, lebih besar Rp128.350.225.550 atau 30,63 persen dari TA 2014 sebesar Rp419.099.774.450.
ARUS KAS KELUAR AKTIVITAS PENDANAAN
Belanja Modal
Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal pada TA 2015 adalah sebesar Rp215.519.285.896.214. Belanja Modal pada TA 2015 lebih besar Rp68.766.272.560.843 atau 46,86 persen dari TA 2014.
Pengeluaran dana bergulir
Pengeluaran Dana Bergulir dalam TA 2015 adalah sebesar Rp5.356.300.000.000, lebih besar Rp1.856.300.000.000 atau 53,04 persen dari TA 2014 sebesar Rp3.500.000.000.000.
Penyertaan modal negara
Pengeluaran Penyertaan Modal Negara (PMN)/Dana Investasi Pemerintah merupakan penyertaan modal Pemerintah Pusat dalam rangka pendirian, pengembangan, dan peningkatan kinerja Badan Usaha Milik Negara/Daerah atau Badan Hukum lainnya yang dimiliki Negara/Daerah, PMN/Dana Investasi Pemerintah. Pernyertaan Modal Negara dalam TA 2015 adalah sebesar Rp71.933.393.896.858. Dengan demikian, Penyertaan Modal Negara TA 2015 lebih besar Rp65.556.812.191.852 atau 1.028,09 persen dariTA 2014
Penyertaan modal negara lainnya
Pengeluaran Penyertaan Modal Negara Lainnya merupakan penyertaan modal Pemerintah Pusat dalam rangka Pembiayaan untuk Modal Awal Badan Layanan Umum Lembaga Manajemen Aset Negara. Pernyertaan Modal Negara Lainnya dalam TA 2015 adalah sebesar Rp1.500.000.000.000, sedang pada TA 2014 tidak terdapat transaksi tersebut.
ARUS KAS KELUAR AKTIVITAS PEMBIAYAAN
Pengeluaran pembiayaan dalam negeri
Pengeluaran Pembiayaan Dalam Negeri dalam TA 2015 adalah sebesar Rp160.266.533.490.194 yang digunakan untuk pembiayaan pengembangan pendidikan nasional, pelunasan SPN, Obligasi Negara, dan SBSN. Dengan demikian, Pengeluaran Pembiayaan Dalam Negeri TA 2015 lebih kecil Rp14.342.329.072.740 atau 8,21 persen dibandingkan TA 2014.
Pengeluaran pembiayaan luar negeri
Pengeluaran Pembiayaan Luar Negeri dalam TA 2015 sebesar Rp65.994.554.500.119 merupakan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri, Dengan demikian, Pengeluaran Pembiayaan Luar Negeri TA 2015 lebih besar Rp3.573.369.856.246 atau 5,72 persen dibandingkan dengan TA 2014.
Penerusan pinjaman (RDI/RPD)
Penerusan Pinjaman RDI/RPD merupakan pengeluaran Pemerintah atas pemberian pinjaman dan penerusan pinjaman luar negeri yang disalurkan untuk pemerintahdaerah, dan BUMN/BUMD. Penerusan pinjaman luar negeri pada TA 2015 adalah sebesar Rp2.576.441.229.912. Jumlah tersebut lebih besar Rp70.803.627.642 atau 2,83 persen dibandingkan dengan TA 2014 sebesar Rp2.505.637.602.270.
Pengeluaran pembiayaan lain
Pengeluaran Pembiayaan Lain dalam TA 2015 sebesar Rp773.382.049.559, merupakan pengeluaran pembiayaan untuk pemberian pinjaman dalam rangka penanggulangan lumpur Sidoarjo. Sedangkan pada TA 2014 tidak terdapat transaksi tersebut.
Berdasarkan Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pendanaan sebesar Rp382.421.051.971.590 dan defisit anggaran sebesar Rp357.807.872.384.613, terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) TA 2015 sebesar Rp24.613.179.586.977.
Analisis Transaksi Transistoris
Arus Kas dari Aktivitas Transitoris merupakan aktivitas penerimaan dan pengeluaran kas yang tidak termasuk dalam Aktivitas Operasi, Investasi, dan Pendanaan. Dalam TA 2015, Arus Kas Bersih dari Aktivitas Transitoris adalah sebesar Rp72.720.277.809.642.
PFK
Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) dalam TA 2015 sebesarRp2.697.560.200.802 berasal dari penerimaan pemerintah yang berasal dari sejumlah dana yang dipotong dari Surat Perintah Membayar (SPM)/Surat Perintah Pencairan Dana(SP2D) atau diterima secara tunai untuk pihak ketiga, seperti potongan gaji, pensiun, beras BULOG, dan PFK lainnya dikurangi dengan jumlah pembayaran yang telah dilakukan pemerintah kepada pihak ketiga yang berhak menerimanya. Apabila dibandingkan dengan TA 2015, Perhitungan Fihak Ketiga dalam TA 2015 lebih besar Rp357.413.705.937
KIRIMAN UANG (NETTO)
Kiriman Uang (KU) Neto TA 2015 sebesar minus Rp90.331.454.901 antara lain merupakan penerimaan dan pengeluaran kiriman uang antar rekening pemerintah yang berasal dari KPPN sebagai Kuasa BUN di daerah ke Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan-Kementerian Keuangan sebagai Kuasa BUN dan sebaliknya, pemindahbukuan intern rekening BUN, dan pemindahbukuan intern KPPN. Dengan demikian, Kiriman Uang neto dalam TA 2015 lebihkecil Rp99.754.744.001 dari TA 2014
TRANSITO (NETO)
Transito (Neto)TA 2015 sebesar Rp9.925.545.522.085 merupakan transaksi BUN yang terkait dengan Pengeluaran Uang Persediaan (UP) atau Tambahan Uang Persediaan (TUP) tahun berjalan kepada Kuasa Pengguna Anggaran dan Penerimaan atas Pengembalian UP tersebut. Pengembalian UP dari Kuasa Pengguna Anggaran dapat berupa UP yang diterima tahun berjalan maupun tahun yang lalu dan transaksi escrow dana subsidi dan reboisasi. Dengan demikian, Transito (Neto) dalam TA 2015 lebih besar Rp8.837.898.771.728 dari TA 2014.
TRANSAKSI NON ANGGARAN PIHAK KETIGA
Dalam TA 2015 dan TA 2014 Penerimaan Pengeluaran Non Anggaran Pihak Ketiga timbul Karena Kesalahan Rekening, utang kepada pihak ketiga karena retur SP2D, rr, RKUN yang ditangguhkan, Kesalahan Sistem Perbankan dan Koreksi Pemindahbukuan, dengan rincian sebagai
berikut (dalam rupiah):
ANALISIS KETAATAN TERHADAP PERATURAN
Analisis ketaatan terhadap peraturan adalah teknik analisis yang dilakukan dengan cara menguji apakah Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) telah disusun sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada. Tujuannya adalah untuk meyakini pemerintah telah melaksanakan anggaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam melakukan analisis, prinsip-prinsip yang menjadi dasar adalah:
Pendapatan dan belanja diatur dalam undang-undang APBN
Prinsip prealabel, yaitu anggaran harus disahkan sebelum ada penggunaan
Prinsip universalitas, yaitu semua jenis pengeluaran harus dicantumkan dalam anggaran
Prinsip spesialitas, yaitu anggaran yang telah disediakan dalam mata anggaran pengeluaran tertentu tidak diperkenankan untuk digeser
Prinsip periodisitas, yaitu laporan disusun secara berkala sesuai dengan peraturan
Azas bruto, yaitu tidak diperbolehkan adanya offsetting antara pendapatan dan belanja
Anggaran belanja merupakan plafon
Pelaksanaan anggaran sesuai dengan pedoman yang mengatur pelaksanaan anggaran
Analisis ketaatan terhadap peraturan dilakukan terhadap LKPP periode 2011-2015 dengan menggunakan Laporan Hasil Pemeriksaan atas Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-Undangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Daftar temuan, jenis akun, jumlah (nilai) temuan, dan tanggapan/alasan pemerintah dapat dilihat pada tabel 1-5 (terlampir). Dalam periode tersebut, jumlah temuan relatif naik, tetapi nilai temuannya cenderung menurun. Hal ini dapat dilihat dari gambar berikut:
Gambar 1. Jumlah Temuan Ketidaktaatan Terhadap Peraturan
Gambar 2 Nilai Temuan Ketidaktaatan Terhadap Peraturan
Dalam 3 Tahun terakhir, jumlah temuan berkisar di angka 8-9 temuan dengan nilai temuan ada di sekitar Rp 25 Triliun. Bila dilihat lebih detail, temuan-temuan tersebut paling banyak pada klasifikasi pendapatan negara dan hibah. Selain itu, masih terdapat temuan-temuan yang berulang seperti pada pengelolaan PNBP dan Belanja Barang/Belanja Modal K/L. Temuan-temuan BPK ini dapat terjadi karena perbedaan interpretasi terhadap peraturan antara BPK dan Pemerintah. Contohnya adalah pada temuan terkait pemeriksaan pajak dan penetapan PBB. Selain itu, temuan dapat juga terjadi karena kurang koordinasi antar K/L dan Kementerian Keuangan selaku penyusun LKPP, lemahnya pengawasan dari APIP, sampai pada kendala penyusunan peraturan terkait.
Dengan jumlah realisasi anggaran sebesar hampir Rp 2.000 Triliun pendapatan/belanja pada APBN dan total aset yang mendekati Rp 5.000 Triliun sesuai dengan LKPP 2015, maka nilai temuan ketidaktaatan terhadap peraturan relatif kecil. Akan tetapi temuan-temuan tersebut tetap harus diperhatikan secara serius oleh pemerintah karena temuan-temuan tersebut membawa konsekuensi hukum yang harus ditindaklanjuti. Temuan-temuan ketidakpatuhan ini seringkali menjadi "pintu" awal dalam kasus-kasus korupsi yang diungkap oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu hal ini merupakan suatu bahan evaluasi yang sangat berharga bagi pemerintah.
Tabel 1 Analisis ketaatan terhadap peraturan LKPP 2011
Tabel 2 Analisis ketaatan terhadap peraturan LKPP 2012
Tabel 3 Analisis ketaatan terhadap peraturan LKPP 2013
Tabel 4 Analisis ketaatan terhadap peraturan LKPP 2014
Tabel 5 Analisis ketaatan terhadap peraturan LKPP 2015
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
SARAN
Rasio Efektivitas Pendapatan
Dalam Triliun Rupiah
Rasio Solvabilitas Pemerintah Pusat
Rasio Lancar Pemerintah Pusat