Guided Imagery (sebuah Pendekatan Psikosintesis) untuk Penurunan Depresi Pada Penderita Kanker Pariman Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, Semarang Email:
[email protected]
ABSTRACT
Cancer patients generally experience the tensions that triggered the physical and psychosocial anxiety, depression, decreased cognition and affect the power of one's role in the daily life and quality of life (Monti, Mago, & Kunkel, 2005). Approximately 30% of patients experiencing problems of adjustment to cancer and 20% were diagnosed with depression (Loyd-Williams, 2003). Various approaches conducted with the aim of overcoming the main cause (cancer), reduce the disruption that accompanies, and improve the quality of life. Interventions aimed at various aspects that cause pain, physical burden, psychological disturbance, and emotional dangers have expected more long-term benefits (Tavoli, et al, 2008). This paper aims to explore the possibilities of Guided imagery techniques in the treatment of depression in cancer patients. A literature study to gather a variety of researches related depression and Guided imagery. Guided imagery is one technique used in psychotherapy psychosynthesis (Crampton, 2005). Individuals directed to use their imagination by listening to recordings or directly guided in exploring problems and healing. Guided imagery allows clients to experience the altered state of consciusness, an unusual experience (unusual experiences) in perceiving the world or themselves (self), changes in time, the world, memory, sense of identity (sense of identity), cognitive processes, perception of the world, the use of the body (motor output), and interactions with the world (Tart dalam Midasari & Prabowo, 2007). Based on various reviews about the depression and Guided imagery Guided imagery conclusion that could be an alternative treatment of depression in cancer patients.
Keywords: Guided imagery, depression, psychosynthesis, altered state of consciusness
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Kanker termasuk penyebab terbanyak kematian di dunia (Siswono, 2005 dalam www.gizi.net). Pada tahun 2003, diperkirakan ada 1.334.100 kasus kanker di Amerika dengan angka kematian sebanyak 556.500 orang. Di Eropa terdapat tiga juta kasus kanker baru tiap tahun dengan angka kematian sebesar dua juta. Angka harapan hidup penderita kanker sebesar 60 persen dibandingkan dengan bukan penderita. Menurut perkiraan WHO (Rachmawati dalam Kompas, 2010) pada tahun 2015 diperkirakan ada 9 juta orang yang meninggal karena kanker dan tahun 2030 diperkirakan ada 11,4 juta kematian karena kanker. Jumlah penderita kanker setiap tahun juga meningkat mencapai 6,25 juta orang dan dua pertiganya berasal dari negara berkembang seperti Indonesia. Penderita kanker di Indonesia diperkirakan 1:1.000 penduduk per tahun. Kanker diyakini sebagai penyebab kematian ke–5 di Indonesia dan terus mengalami peningkatan karena penderita kanker sulit disembuhkan. Para penderita kanker umumnya tidak mengalami kenyamanan hidup. Penderita kanker umumnya mengalami ketegangan-ketegangan fisik maupun psikososial yang memicu timbulnya kecemasan, depresi, penurunan daya kognisi dan mempengaruhi peran seseorang dalam keseharian dan kualitas hidup (Monti, Mago, &Kunkel, 2005). Sekitar 30% penderita kanker mengalami permasalahan penyesuaian diri dan 20% didiagnosis mengalami depresi (Loyd-Williams, 2003). Kanker menyebabkan para penderitanya mengalami kesulitan tidur (Tavoli, dkk, 2008). Rasa cemas sering muncul sehingga menganggu kualitas tidur para penderita kanker. Hormon-hormon seperti kortisol dan melatonin diproduksi melebihi kewajaran sehingga memicu ketidakberdayaan dan depresi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk membantu para penderita kanker. Pada tanggal 21 April 2008 pemerintah telah mencanangkan program nasional deteksi dini kanker leher rahim
dan
kanker
payudara,
di
Rumah
Sakit
Dharmais,
Jakarta
(AC
dalam
www.properti.kompas.com). Realisasinya diwujudkan dengan pemberian bantuan berupa alat deteksi dini kepada enam kabupaten, yaitu Deli Serdang, Gresik, Kebumen, Gunung Kidul, Karawang, dan Gowa oleh Departemen Kesehatan (Depkes). Dengan adanya deteksi dini terhadap penyakit kanker diharapkan penyakit kanker bisa ditangani sebelum stadiumnya pada tingkat akhir (parah). Peningkatan penanganan kanker dan gangguan yang menyertainya pun dilakukan oleh dunia kedokteran dan psikologi. Dalam dunia kedokteran, penanganan kanker mulai
dari kemoterapi, pembedahan, dan radiasi. Berbagai pendekatan dilakukan dengan tujuan mengatasi penyebab utama (kanker), mengurangi gangguan yang menyertai, dan meningkatkan kualitas hidup. Intervensi yang ditujukan pada berbagai aspek yang menyebabkan rasa sakit; beban fisik, gangguan psikologis, dan bahaya emosional diperkirakan lebih memiliki keuntungan jangka panjang. Penanganan untuk mengatasi pikiran-pikiran negatif dalam diri para penderita kanker juga perlu mendapat perhatian (Tavoli, dkk, 2008). Pikiran-pikiran negatif akan adanya kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin terjadi karena kanker memicu timbulnya kecemasan dan depresi pada penderita kanker. Kenyataan akan tingkat keparahan kanker dan berbagai khayalan resiko akibat kanker menyebabkan ketakutan-ketakutan tersendiri. Keadaan pribadi yang terbiasa mencela diri sendiri, suka menyalahkan diri sendiri, dan perasaannya dipenuhi rasa bersalah dan berdosa
akan mengembangkan perasaan bersalah (Kartono, 1992). Menurut Ellis (dalam Corey, 1995) karena manusia sendiri yang menciptakan pikiran serta perasaan yang terganggu maka manusia juga memiliki kekuatan untuk mengontrol masa depan emosinya. Dengan demikian, penggantian bayang-bayang (khayalan) negatif memungkinkan pikiran dalam keadaan positif, tubuh rileks, dan keadaan emosi yang tenang. Keadaan tersebut akan memperbesar kesempatan penurunan depresi pada penderita kanker. Salah satu teknik yang bisa digunakan untuk mengubah bayang-bayang negatif pada pikiran ialah dengan guided imagery. Imagery sendiri merupakan kemampuan manusia untuk mengolah dunia internal dan eksternal tanpa menggunakan bahasa Imagery sering pula dipertukarkan dengan istilah visualisasi. Greenberg (2002) menggunakan istilah imagery dan visualisasi secara bergantian. Gawain (2000) mengunakan istilah visualisasi
kreatif untuk menyebut teknik imagery yang digabungkan dengan afirmasi dan meditasi. Setiap orang pada dasarnya sering mempraktekkan imagery. Jika imajinasi yang dilakukan individu sepertinya bekerja secara tidak disadari, maka guided imagery berusaha mengarahkan imajinasi secara sengaja untuk mencapai tujuan
yang diharapkan. Carter (2006) menerapkan guided imagery untuk mengurangi tingkat stres, penyebab, dan gejala-gejala yang menyertai stres. Van Tilburg, dkk (2009) menerapkan guided imagery dalam menangani gangguan sakit perut pada anak-anak. Mei dan Mei (2006 dalam Prabowo, 2005) menggunakan guided imagery music untuk menggali pengalaman pasien depresi. Kombinasi metode altered state of consciousness, afirmasi, dan visualisasi digunakan untuk mengatasi obesitas (Midasari & Prabowo, 2007). Dengan demikian, bisa dipahami bahwa guided imagery melibatkan imajinasi dengan panduan yang
ditampilkan dalam bentuk audio, audio-visual, dan bisa pula panduan audio dipadukan dengan musik relaksasi. Berdasarkan berbagai uraian di atas, maka dimungkinkan adanya peluang untuk mengatasi depresi pada penderita kanker dengan mengubah bayangan mental negatif. Dikuatkan dengan pentingnya penanganan depresi pada penderita kanker dan masih langkanya penelitian tentang guided imagery di Indonesia maka perlu kiranya dilakukan kajian terkait pengaruh guided imagery dalam mengurangi tingkat depresi pada penderita kanker.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh guided imagery dalam mengurangi tingkat depresi pada penderita kanker.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian adalah memberikan sumbangan pengetahuan khususnya bagi psikologi klinis tentang pengaruh guided imagery dalam mengurangi tingkat depresi pada penderita kanker dan sebagai tambahan wawasan acuhan bagi penelitian berikutnya.
TINJAUAN PUSTAKA A. Depresi 1. Pengertian Depresi
Depresi menurut pandangan psikoanalisis terkait perasaan gagal yang dikembangkan individu akibat kekecewaan terus-menerus (Freud dalam Hall dan Lindzey, 1993). Kekecewaan tersebut terjadi karena tuntutan ego yang sedemikian tinggi dihadapkan dengan belenggu super ego dari nilai dan moral. Behaviorisme memandang depresi sebagai sekumpulan perilaku negatif yang disebabkan oleh stimulus negatif yang tidak bisa dikendalikan individu atau disebabkan oleh tidak adanya reinforcement atas perilaku individu (Seligman, 1973, dalam Blazer, 1982). Pandangan psikologi kognitif meyakini bahwa mereka yang mengalami depresi mengekspresikan kehilangan, kegagalan, dan ketidakberdayaan yang lebih mencerminkan kondisi distorsi kognitif dibanding introyeksi (Beck, 2008). Depresi merupakan seperangkat pikiran negatif yang terdiri dari sikap negatif dan keyakinan negatif terhadap diri sendiri, dunia, dan masa depan (Beck, 1967 dalam Blazer, 1982). Sikap dan keyakinan negatif tersebut disebabkan oleh distorsi kognitif; interpretasi
negatif terhadap pengalaman yang diterima, evaluasi negatif terhadap diri sendiri, dan harapan negatif akan masa depan. Sumber permasalahan depresi bisa berasal dari masa perkembangan awal sebagaimana pandangan psikoanalisis (Beck, 2008). Pengalaman negatif secara otomotis memicu pikiran negatif sehingga ketika menghadapi pengalaman baru segera akan terasosiasikan dengan pengalaman negatif. Banyak lagi berbagai pandangan tentang depresi. Nevid, Rathus, & Greene (2005) mengemukakan bahwa depresi sebagai periode yang ditandai dengan perasaan sedih, sangat terpuruk, kehilangan minat pada berbagai hal, sulit untuk berkonsentrasi, berharap hal terburuk akan terjadi, atau bahkan mempertimbangkan untuk bunuh diri. Depresi tidak hanya perihal suasana hati yang buruk tetapi juga melibatkan sejumlah gejala kognitif, perilaku, fisik, dan emosi (Greenberger & Padesky, 1996). Gejala-gejala yang berat, berlangsung lama, dan berulang dimungkinkan bisa mengganggu pergaulan dan pekerjaan seseorang. Dalam penelitian ini, depresi pada penderita kanker merupakan seperangkat pikiran negatif yang terdiri dari sikap negatif dan keyakinan negatif terhadap diri sendiri, dunia, dan masa depan.
2. Aspek-aspek Depresi
Beck (1967 dalam Blazer, 1982) menyebutkan kategori dari gejala-gejala depresi. Berikut ketegori gejala-gejala depresi tersebut: a.
Emosional
Kelompok gejala yang bersifat emosional ditandai dengan perubahan perasaan yang menyertai depresi. Mereka yang terkena depresi, secara emosional mengalami; penurunan mood, perasaan negatif terhadap diri sendiri, penurunan kepuasan hidup, ingin menangis, dan mudah marah. b. Kognitif Gejala yang bersifat kognitif merupakan hasil dari distorsi proses berpikir. Individu mengembangkan konsep berpikir yang jauh dari realitas sebenarnya. Secara kognitif, mereka yang mengalami depresi akan pesimis, mencela dan merendahkan diri sendiri, ragu-ragu atau bimbang, merasa bersalah, distorsi self-image, sibuk dengan kondisi kesehatan, merasa tidak berguna atau gagal, dan merasa dihukum.
c.
Fisik
Individu yang mengalami depresi mengalami kelelahan yang sangat, gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, penurunan nafsu berhubungan seksual, penurunan
berat
badan, dan kelambatan dalam merespon. d. Volisional Gejala volisional berhubungan dengan semangat dan gerak individu. Mereka yang mengalami depresi, umumnya akan menarik diri dari pergaulan sosial dan ingin mengakhiri hidupnya.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Depresi
Beck (1976 dalam Greenberger & Padesky, 1996) memberikan pandangan bahwa depresi disebabkan oleh pola pikir yang mengarah pada suasana hati depresi atau tertekan. Pikiran-pikiran negatif tentang diri ( self criticism), tentang dunia (general negativity), dan tentang masa depan ( hopelessness) menjadi faktor penyebab depresi. Depresi bisa disebabkan oleh 2 faktor: a.
Kerentanan genetik
Perkembangan dalam kajian genetik dan neurologi memberikan pengertian bahwa neural tertentu mempengaruhi tingkat hiperaktif sampai pengalaman negatif yang memicu depresi (Beck, 2008). Kejadian yang dialami seseorang, kelainan neural, proses kognitif mempengaruhi depresi. Kelainan neural berpengaruh terhadap kerentanan kognitif, reaksi, dan penyimpangan kognitif. b. Kerentanan kognitif Pengalaman awal masa perkembangan seperti kehilangan perhatian dan kasih sayang dari orangtua menjadi pemicu depresi. Pengalaman-pengalaman kehilangan yang pernah didapatkan individu berpengaruh signifikan dalam memicu depresi individu pada perkembangan berikutnya. Kejadian menyentak akan mengaktifkan pengalaman buruk masa lalu dan mengaktifkan pikiran negatif secara otomatis. Berikutnya, stres individu terpicu dan jika tidak teratasi akan berkembang menjadi depresi. Pikiran negatif pemicu depresi secara otomatis aktif
ketika pengalaman baru diasosiasikan dengan pengalaman negatif yang
pernah dialami (Beevers dalam Beck, 2008).
B. Guided Imagery 1. Pengertian Guided Imagery
Istilah guided imagery diperoleh dari penggabungan dua kata, guided dan imagery. Imagery disebut juga dengan mental imagery yaitu pengalaman perseptual seolah-olah nyata
dialami individu tanpa kehadiran stimulus eksternal yang diimajinasikan. Ketika individu sedang berimajinasi, maka dalam bayangannya bisa muncul berupa benda, pemandangan, sensasi seperti benar-benar melihat, mendengar, dan merasakan layaknya mendapati stimulus sebenarnya (Kosslyn, Behrmann, & Jeannerod, 1995). Imagery sering pula dipertukarkan dengan istilah visualisasi. Greenberg (2002)
menggunakan istilah imagery dan visualisasi secara bergantian. Gawain mengunakan istilah visualisasi kreatif untuk menyebut teknik imagery yang digabungkan dengan afirmasi dan meditasi (Gawain, 2000). Imagery digunakan pula dalam autogenic training untuk mengubah rileksasi tubuh menjadi rileksasi pikiran (Greenberg, 2002). Individu diminta untuk membayangkan suatu pemandangan seperti mendayung perahu di sebuah danau, burung yang terbang di udara, ombak di pantai agar merasakan rileks dsb. Jika imajinasi yang dilakukan individu sepertinya bekerja secara tidak disadari, maka guided imagery berusaha mengarahkan imajinasi secara sengaja untuk mencapai tujuan
yang diharapkan. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa guided imagery melibatkan imajinasi dengan panduan yang ditampilkan dalam bentuk audio, audio-visual, dan bisa pula panduan audio dipadukan dengan musik relaksasi.
2. Guided Imagery dan Psikosintesis Guided imagery digunakan sebagai salah satu teknik psikoterapi psikosintesis
(Crampton, 2005; Firman & Gila, 2002). Psikosintesis sendiri termasuk salah satu pendekatan psikologi transpersonal dan dicetuskan oleh Assagioli (Firman & Gila, 2002). Psikosintesis memandang segala yang terjadi pada manusia tergantung diri mereka sendiri, masa sekarang haruslah diterima sebagai kenyataan walaupun itu hasil pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu, dan ada peluang merubah masa depan. Menurut Crampton (2005), g uided imagery menjadi sarana untuk menggali berbagai pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu ( lower unconcious) dan membuat gambaran diri sebagaimana yang diharapkan ( upper unconcious) di masa depan. Menurut psikosintesis, berbagai pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu dan ketidakmampuan mengalami puncak eksisistensi yang tidak disadari seseorang akan “tertimbun” di bawah sadar atau lower unconscious (Firman & Gila, 2002). Pengalaman-
pengalaman tersebut pada dasarnya berasal dari pengalaman awal masa perkembangan (menurut psikoanalisis) dan disebut primal wonding oleh psikosintesis. Konsep-konsep dasar yang menjadi pandangan psikosintesis terangkum dalam diagram telur yang dicetuskan Assagioli (1965a dalam Firman & Gila, 2002).
Higher Unconscious
“I”
Middle Unconscious Field of Consciousness and Will
Lower Unconscious
Gambar 1. The Psychosyntesis Model of The Person
Berikut penjelasan tentang masing-masing istilah dalam diagram telur yang dicetuskan Assagioli: a. Lower Unconscious Lower Unconscious merupakan kenyataan dari diri seseorang yang berisi berbagai
pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu dan tidak disadari seseorang. Pengalaman tersebut “tertimbun” di bawah sadar karena ditekan dan berusaha untuk tidak diakses oleh kesadaran (Firman & Gila, 2002).. b. Middle Unconscious Middle unconscious merupakan ruang integrasi, titik pertemuan antara higher unconscious dan lower unconscious (Firman & Gila, 2002). Pada ruang tersebutlah
terintegrasi pengalaman, pembelajaran, bakat, dan keterampilan yang kemudian menjadi dasar dari kepribadian. c. Higher Unconscious Higher unconscious menunjukkan seseorang akan keberadaan potensi lebih tinggi
yang semestinya dimiliki tetapi selama ini tidak termunculkan karena ditekan (Assagioli
1965a dalam Firman & Gila, 2002). Logoterapi Frankl dan peak experience Maslow sangat berhubungan dengan higher unconcius. d. Subkepribadian Assagioli (1965a, dalam Firman & Gila, 2002) mengatakan bahwa subkepribadian merupakan struktur sentral yang berada dalam middle unconcius. Subkepribadian merupakan sisi lain dalam diri seseorang. Sebagai contoh, dalam diri seorang pianis terdapat subkepribadian; kecintaan akan musik, ketrampilan teknis, bakat, dan kepandaian teori. “I”, Conscious dan Will
e.
“I” merupakan bagian inti dalam diri seseorang, berjarak tetapi tidak terpisah dari berbagai
pengalaman yang dimilikinya;
sebuah
karakteristik
yang biasa
disebut
transcendence-immanence (Firman & Gila, 2002). “I” bukan sekedar exist tetapi juga
senantiasa becoming, berproses dengan kebebasan untuk menentukan bagaimana dia akan menjadi. Conscious yang kemudian menjadikan “I” aware terhadap realitas dirinya yang demikian. Sebuah awareness akan berbagai pilihan respon bagi “I” untuk memutuskan bagaimana merasa, berpikir, dan berperilaku. Kebebasan dalam mengambil pilihan itulah yang disebut will (Firman & Gila, 2002). Integrasi subkepribadian dengan “I” merupakan bagian dasar cara penyelesaian masalah dan mencapai kondisi kesehatan psikologis yang optimal Elias (2009). f.
Primal Wounding Satu lagi konsep yang menjadi pembahasan psikosintesis yaitu primal wounding.
Primal wounding didapatkan individu dari berbagai pengalaman tidak menyenangkan dalam
kehidupannya yang ditekan ke bawah sadar (Firman & Gila, 2002). Primal wounding inilah yang disebut psikoanalisis sebagai pengalaman awal masa perkembangan dan secara tidak sadar menggerakan individu.
C. Hipotesis
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah ada pengaruh guided imagery dalam menurunkan tingkat depresi pada penderita kanker.
METODE PENELITIAN A.
Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel tergantung : Depresi
2. Variabel bebas
B.
: Guided imagery
Definisi Operasional
1. Depresi Depresi pada penderita kanker merupakan seperangkat pikiran negatif yang terdiri dari sikap negatif dan keyakinan negatif terhadap diri sendiri, dunia, dan masa depan. 2. Guided Imagery Guided imagery merupakan imajinasi secara sengaja untuk mencapai tujuan yang
diharapkan dengan panduan yang ditampilkan dalam bentuk audio, audio-visual, dan bisa pula panduan audio dipadukan dengan musik relaksasi.
C.
Subyek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah penderita kanker yang mengalami depresi.
D.
Metode Penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan tinjauan pustaka dari berbagai literatur; jurnal, buku, intenet berhunbungan dengan depresi dan guided imagery. Berbagai literatur tentang depresi dianalisis untuk mengetahui penyebab mendasar dari depresi. Terkait guided imagery, analisis dilakukan untuk mengetahui konsep mendasar dalam penerapan guided imagery.
HASIL PENELITIAN
Para penderita kanker tidak hanya mengalami derita fisik tetapi juga diikuti dengan ketidaknyamanan psikologis. Mereka mengalami hambatan-hambatan dalam menjalankan peran keseharian, mengalami gangguan emosional, dan memiliki kualitas hidup yang rendah (Tavoli, dkk, 2008). Mereka juga mengalami ketegangan-ketegangan fisik maupun psikososial (Monti, Mago, & Kunkel, 2005). Keadaan yang demikian, bagi siapapun tentunya tidaklah nyaman dirasakan. Cara berpikir individu terhadap keadaan yang dialami merupakan penentu emosi dan tindakan para penderita. Ellis (dalam Latipun, 2006) menyebutkan bahwa perilaku individu khususnya konsekuensi emosi; senang, sedih, frustasi bukan disebabkan langsung oleh peristiwa yang dialami individu tetapi diakibatkan oleh cara berpikir atau dipengaruhi sistem kepercayaan yang dimiliki. Jika individu berkeyakinan rasional maka peritiwa yang dialami akan direspon secara rasional (Hansen, dkk dalam Latipun, 2006). Sebaliknya, jika
individu berkeyakinan irrasional maka dalam menghadapi peristiwa akan mengalami hambatan emosional, seperti perasaan cemas, menganggap ada bahaya yang mengancam, dan respon yang diberikan juga tidak realistis. Pikiran negatif terbukti menjadi perantara kecemasan dan depresi (Barakat, dkk, 2007). Pikiran negatif sebagai perantara rasa nyeri yang intensif pada depresi dan kecemasan. Kesimpulan tersebut diperoleh dari sebuah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui peran pikiran negatif sebagai perantara rasa nyeri yang diasosiasikan dengan gejala kecemasan dan depresi. Penelitian dilakukan terhadap remaja usia 12-18 tahun yang menderita sickle cell. Subyek diminta untuk mengisi buku harian kesakitan, coping nyeri, depresi, dan kecemasan. Menurut Beck (dalam Hawton, dkk., 2008) pada dasarnya setiap individu memiliki pengalaman di masa lalu yang menjadi dasar dalam membangun pandangan dalam segala aspek kehidupan. Demikian pula dengan pandangan psikosintesis yang mengatakan bahwa primal wounding (pengalaman tidak menyenangkan awal perkembangan) menimbulkan
ketidaknyamanan (Firman & Gila, 2002). Pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut menimbulkan pandangan yang disfungsi ( dysfunctional assumptions). Pandangan disfungsi atau pikiran negatif secara otomatis aktif bekerja ketika berhadapan dengan pengalaman baru yang tidak menyenangkan (Beevers dalam Beck, 2008).
(Early) experience
Formation of dysfunctional assumptions
Critical incident(s)
Assumptions activated
Negative automatic thoughts
Symptoms of depression: Behavioral, Motivational, Affective, Cognitive, Somatic Gambar 2. Model Kognitif Beck tentang Depresi Tahun 1976
Pikiran negatif yang diulang-ulang oleh individu berkembang menjadi negative belief yang kuat dan sulit untuk diubah. Negative belief tersebut memicu emosi negatif yang kemudian mengganggu homeostatis tubuh. Bilkis, dkk (1998) menggambarkan hubungan pikiran negatif dan gangguan kesehatan adalah sebagai berikut: Repetitive Negative Thoughts
Negative Thoughts Form (Negative Belief)
Body Becomes Locked Into a Chronic Sympathetic/Stress State
Frozen Emotional State
Disease
Gambar 3. Hubungan Pikiran Negatif dan Gangguan Kesehatan
Negative belief tersebut akan memicu emosi negatif yang kemudian mengganggu
homeostatis tubuh. Sedikit saja individu menghadapi kejadian yang menyentuh belief nya maka gejala-gejala depresi (emosional, kognitif, motivasinal, somatik, dan perilaku) akan muncul. Mereka merasa depresi
karena penghayatan rasa kehilangan, misalnya: pada
penderita kanker payudara yang merasa kehilangan bentuk tubuh, rasa perpisahan dengan dunia, obat-obatan, komplikasi terapi, dan berbagai hal menyangkut penyakit kanker. Tahapan awal guided imagery dilakukan eksplorasi ketidaksadaran untuk mengetahui sumber permasalahan di masa lalu. Tahapan berikutnya dilakukan intervesi pikiran yang lebih positif melalui imajinasi yang dipandu. Elias (2009) menyebut teknik untuk menggali masa lalu dengan istilah teknik regresi. Dalam guided imagery, individu diarahkan untuk mengeksplorasi ketidaksadarannya sendiri dibantu dengan guided imagery. Berbagai bayangan yang muncul diindikasikan sebagai sumber permasalahan yang ditekan. Dengan individu menyadari sumber permasalahan dan perasaannya sendiri, diharapkan individu mengalami perubahan kesadaran ( altered state of consciousness). Tahapan berikutnya, yaitu mengarahkan individu untuk membuat gambaran mental tentang berbagai keadaan yang mampu mengurangi tingkat depresi. Bayangan-banyangan positif pun dibangun untuk mencapai keterbebasan dari berbagai gejala depresi. Tahapan guided imagery melibatkan; identifikasi sumber permasalahan dengan pencatatan diri setelah mendengarkan musik dalam keadaan rileks dan mata terpejam.
Tahapan berikutnya, membangun bayangan-bayangan positif dengan guided imagery yang dilakukan setiap harinya. Dengan mengganti pemikiran yang tidak logis, individu akan lebih mampu menilai situasi yang dihadapinya secara lebih objektif. Keadaan yang demikian, memungkinkan individu terbebas dari depresi dan berbagai gangguan emosional lainnya.
DISKUSI Guided imagery secara bertahap akan membentuk ulang pola kognitif, asumsi-asumsi,
keyakinan-keyakinan, penilaian-penilaian yang irrasional, dan melemahkan diri sendiri. Guided imagery memungkinkan klien untuk mengalami altered state of consciusness. ASC
merupakan
sebuah
pengalaman
yang
tidak
biasa
( unusual
experiences)
dalam
mempersepsikan dunia atau diri ( self ), perubahan dalam waktu, dunia, memori, rasa identitas (sense of identity), proses-proses kognitif, persepsi terhadap dunia, penggunaan tubuh (motor out put ), dan interaksi dengan dunia (Tart dalam Midasar & Prabowo, 2007). Tanpa ada perubahan kesadaran maka diperkirakan tidak akan terjadi penurunan tingkat depresi.
PENUTUP A.
Simpulan
Berdasarkan berbagai tinjauan yang didapatkan dapat ditarik kesimpulan bahwa guided Imagery mampu untuk mengurangi tingkat depresi pada penderita kanker. Guided imagery dimungkinkan bisa menjadi salah satu alternatif penanganan depresi dan gangguan
emosional lainnya.
B.
Saran
Berdasarkan berbagai tinjauan yang didapatkan dan kesimpulan maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1. Agar guided imagery mendapatkan hasil yang optimal, perlu diperhatikan kecermatan identifikasi penyebab mendasar depresi, spesifiknya bayangan yang dibangun, dan keseriusan individu dalam melakukan guided imagery. 2. Untuk guided imagery yang dipadukan dengan musik, ada
kemungkinan
pengalaman trauma individu termunculkan dan terjadi penolakan fisik sehingga perlu identifikasi awal sebelum membuat guided.
DAFTAR PUSTAKA
AC (2008, April 21). Dicanangkan, Program Nasionai Deteksi Kanker Rahim dan Payudara. Retrieved 10 Juli 2010, from http://properti.kompas.com/read/2008/04/21/09585380/ Dicanangk an Beck, A. T. (2008). Reviews and Overviews: The Evolution of the Cognitive Model of Depression and Its Neurobiological Correlates. Philadelphia: Am J Psychiatry, 165, 969–977 . Bilkis, R.M.R., & Mark, K.A. (1998). Mind-Body: Practical Applications in Dermatology. Arch Dermatol, 134, 1437-1441. Carter, E. (2006). Pre-packaged Guided Imagery for Stress Reduction: Initial Results. CPH Journal (Counselling, Psychotherapy, and, Health), 2 (2), 27-39. Corey, G. (1995). Teori Dan praktek Dari Konseling Dan Psikoterapi . Penerjemah Mulyarto. Semarang: IKIP Semarang Press. Crampton, M. (2005). Guided Imagery: A Psychosynthesis Approach. Montreal: The Synthesis Center Inc. Elias, J. (2009). Hipnosis dan Hipnoterapi Transpersonal/NLP. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Firman, J & Gila, A. (2002). Psychosynthesis: A Psychology of The Spirit. New York: State University of New York Press. Gawain, S. (2000). Visualisasi Kreatif. Jakarta: Pustaka Delapratasa. Greenberg, J.S. (2002). Comprehensive Stress Management. Boston: McGraw-Hill. Greenberger, D & Padesky, C. A. (1996). Mind Over Mood: Change How You Feel by Changing the Way You Think . New York: Guilford Publication Inc. Hall C.S. & Lindzey, G. (1993). Teori-teori Sifat dan Psikobehavioristik . Yogyakarta: Kanisius. Kartono, K. (1992). Psikologi Wanita Jilid 2: Mengenal Wanita Sebagai Ibu dan Nenek . Bandung: Mandar Maju. Kosslyn, S.M, Behrmann, M, & Jeannerod, M. (1995). The Cognitive Neuroscience of Mental Imagery. Neuropsychologia, Vol. 33, No. 11, 1335-134. Latipun. (2006). Psikologi Konseling. Malang: UMM Press. Loyd-Williams. (2003). Depression: The Hidden Symptom in Advanced Cancer. Journal of The Royal Society of Medicine, 96, 577–581
Midasari, Y.B., & Prabowo, H. (2007). Altered State of Consciousness, Affirmasi, dan Visualisasi untuk Mengatasi Masalah Obesitas. Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek, & Sipil), Vol. 2, B78-B82. Monti, D. A., Mago, R., & Kunkel E.J.S. (2005). Depression, Cognition, and Anxiety Among Postmenopausal Women With Breast Cancer. http://ps.psychiatryonline.org , Vol. 56 No. 11. Nevid, J.S., Rathus, S, & Greene, B. (2005). Psikologi Abnormal: Jilid I. Jakarta: Erlangga. Prabowo, H. (2008). Seri Latihan Kesadaran I: Pengantar Psikologi Transpersonal. Tidak Diterbitkan. Rachmawati, (2009, July 23). Efek Samping Kemoterapi. Retrieved 10 Juli 2010, from http://kesehatan.kompas.com/read/2009/07/23/03401580/Efek.Samping.Kemoterapi Siswono, (2005, Maret 10), Setiap Tahun 190 Ribu Penderita Baru Kanker. Retrieved 10 Juli 2010, from http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi? newsid1110347706, 94204. Tavoli, A., dkk. (2008). Depression and Quality of Life in Cancer Patients with and without Pain: The Role of Pain Beliefs. BMC Cancer , 8, 177. Van Tilburg, M.A.L. dkk. (2009). Audio-Recorded Guided Imagery Treatment Reduces Functional Abdominal Pain in Children: A Pilot Study. Pediatrics, 124, e890-e897.