PEMBAHASAN Ikan merupakan sumber protein, lemak, vitamin, dan mineral yang sangat baik dan prospektif. Keunggulan utama protein ikan dibandingkan dengan produk lainnya adalah kelengkapan komposisi asam amino dan kemudahannya untuk dicerna. Ikan dapat digolongkan menjadi tiga bagian yaitu ikan air laut, air tawar, dan air pa yau atau tambak. Pada dasarnya penanganan dan pengolahan ikan bertujuan untuk mencegah kerusakan atau pembusukandan untuk membuat suatu produk yang bertahan lebih lama. Upaya untuk memperpanjang daya tahan simpan ikan segar adalah melalui penyimpanan dalam lemari pendingin atau pembeku, yang yang mampu menghambat aktivitas mikroba atau enzim dan dengan dengan membuat suatu produk makanan yang lebih tahan lama dengan proses fermentasi. Pad praktikum kali ini dilakukan beberapa uji kualitas pada ikan berupa uji organoleptik, uji eber, uji h2s, dan pembuatan produk fermentasi yaitu pengolahan ikan peda dan pengolahan ikan kamboko Uji Kualitas Ikan
Pemeriksaan awal pembusukan yang dilakukan dengan uji Eber. Jika terjadi pembusukan, maka pada uji ini ditandai dengan terjadi pengeluaran asap di dinding tabung, dimana rantai asam amino akan terputus oleh asam kuat (HCl) sehingga akan terbentuk NH4Cl (gas). Pada daging sapi segar, dingin, dan beku yang diperiksa hasilnya negatif dimana tidak terdapat NH4Cl setelah diuji dengan mengunakan larutan Eber karena pada daging-daging tersebut belum terbentuk gas NH3 . Pada daging busuk jelas terlihat gas putih (NH4Cl) pada dinding tabung karena pada daging busuk gas NH3 sudah terbentuk (Prawesthrini dkk, 2009). Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat gelembung gas pada semua tabung reaksi yang berisi sampel ikan patin dan udang, serta larutan eber. Hal ini mengindikasikan kedua sampel tersebut telah memasuki tahap awal kebusukan, sehingga kesegarannya berkurang. Uji H2S pada dasarnya adalah uji untuk melihat H2S yang dibebaskan oleh bakteri yang menginvasi daging tersebut. H2S yang dilepaskan pada daging membusuk akan berikatan dengan Pb acetat menjadi Pb sulfit (PbSO3) dan menghasilkan bintikbintik berwarna coklat pada kertas saring yang diteteskan ditetes kan Pb acetat tersebut. Hanya kelemahan k elemahan uji ini, bila bakteri penghasil H2S tidak tumbuh maka uji ini tidak dapat dijadikan ukuran. Pembusukan dapat terjadi karena dibiarkan di tempat terbuka dalam waktu relatif lama
sehingga aktivitas bakteri pembusuk meningkat dan terjadi proses fermentasi oleh enzimenzim yang membentuk asam sulfida dan amonia (Lawrie,1995). Berdasarkan hasil pengamatan uji H2S pun mengindikasikan bahwa sampel ikan patin dan udang yang diamati telah memasuki tahap awal pembusukan, sehingga kesegarannya menurun. Hampir semua sampel kelompok mengeluarkan gas H2S yang menghasilkan bintik-bintik coklat pada kertas saring, hanya dua kelompok (6 dan 7) yang sampelnya tidak menghasilkan bintik-bintik coklat. IKAN PEDA
Menurut Desniar, dkk (2009), salah satu teknik pengolahan ikan secara tradisional adalah fermentasi. Peda adalah salah satu produk fermentasi yang tidak dikeringkan lebih lanjut, melainkan dibiarkan setengah basah, sehingga proses fermentasi tetap berlangsung. Umumnya proses fermentasi peda adalah fermentasi secara spontan, dimana dalam pembuatannya tidak ditambahkan mikroba dalam bentuk starter, tetapi mikroba yang berperan aktif dalam proses fermentasi berkembangbiak secara spontan karena lingkungan hidupnya yang dibuat sesuai untuk pertumbuhannya. Menurut Adawyah (2007), peda merupakan produk fermentasi dengan bahan baku ikan. Cara pengolahan ikan peda sangat bervariasi.Walaupun demikian, pembuatan ikan peda mempunyai fermentasi penggunaan bahan tambahan garam dan dilakukan secara tradisional. (romadhonlubismedan.wordpress.com,2015). Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor elektron eksternal. Selama proses fermentasi terjadi penurunan kadar air diakibatkan karena adanya penambahan garam yang menarik air bahan. Pada fermentasi, terjadi penurunan kadar air hingga kadar airnya stabil, hal ini disebabakan karena adanya penambahan garam. Garam masuk kedalam daging ikan sehingga menyebabkan terjadinya perubahan kimia dan fisik terutama protein. Garam akan mendenaturasi protein dan mengakibatkan koagulasi. Akibatdari proses itu, air akan keluar dari tubuh ikan dan daging ikan akan mengkerut. Uji organoleptik atau uji indera merupakan cara pengujian dengan menggunakan alat indera manusia sebagai alat utama untuk pengukuran daya penerimaan terhadap produk. Pengujian organoleptik mempunyai peranan penting dalam penerapan mutu.
Berdasarkan hasil pengamatan, perbedaan konsentrasi garam tidak berpengaruh signifikan terhadap kenampakan dan aroma ikan peda. Hal ini sesuai dengan penelitian Thariq, A. S., dkk. (2014), disebutkan bahwa kenampakan tampak seragam karena pada proses pencucian kotoran yang menempel pada permukaan ikan peda hilang. Aroma yang ditimbulkan berasal dari degradasi protein dan lemak dalam daging ikan serta adanya enzim yang dihasilkan bakteri selama fermentasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tekstur antara peda konsentrasi garam 20% dengan peda konsentrasi garam 50%. Semakin tinggi konsentrasi garam, tekstur yang didapakan semakin keras. Penggunaan konsentrasi garam yang tinggi mengakibatkan air yang terdapat dalam daging ikan akan keluar dari daging ikan sehingga mengakibatkan tekstur dari ikan peda menjadi keras (Thariq, A. S., dkk., 2014). KAMBOKO
Kamaboko atau fish cake merupakan produk khas Jepang yang dibuat dari gel protein ikan yang homogen. Produk ini telah dikenal oleh masyarakat Jepang sejak 1500 tahun yang lalu (Suzuki 1981). Saat ini telah berkembang berbagai produk kamaboko yang dibedakan berdasarkan teknik pengolahannnya, yaitu berupa perlakuan pemanasan, bentuk dan komposisi bahan tambahan (Mao et al. 2006). Produk analog dari kamaboko seperti bakso ikan dan empek-empek merupakan makanan dari ikan yang sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia. Secara teknis, kamaboko terbuat dari daging ikan giling sebagai bahan utama dengan penambahan bahan-bahan, seperti pati, gula, garam dan sodium glutamat. Proses selanjutnya adalah pemasakan dengan cara pengukusan, pemanggangan, perebusan maupun penggorengan (Suzuki 1981). Sejalan dengan perkembangan teknologi, saat ini kamaboko dibuat dari surimi sebagai bahan utamanya (Mao et al . 2006). Atribut mutu yang penting dari kamaboko adalah sifat teksturnya yang elastis ( ashi). Faktor-faktor yang mempengaruhi ashi kamaboko diantaranya adalah jenis ikan dan bahan bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan kamaboko (Mao et al . 2006). Biasanya dalam pembuatan kamaboko menggunakan surimi dari jenis ikan berdaging putih dan berprotein tinggi, sedangkan bahan tambahan (pengisi) untuk memperkuat ashi yang sering digunakan adalah pati singkong (tapioka), pati kentang, terigu, dan jagung (Suzuki 1981; Park 2005; Mao et al . 2006). Sifat elastis kamaboko terutama dipengaruhi oleh keberadaan protein ikan dan pati, namun adakalanya protein ikan karena suatu sebab dapat mengalami denaturasi sehingga jika digunakan sebagai bahan baku kamaboko perlu penambahan bahan lain untuk memperbaiki kekuatan gelnya, misalnya karaginan. Banyak peneliti yang telah mempelajari sifat
fungsional karaginan sebagai gelling agent pada daging lumat ikan. Gomez-Guillen dan Montero (1996), menambah hidrokoloid (iota-karaginan dan pati) dan kombinasi hidrokoloid dengan protein non-otot pada daging lumat ikan sardin ( Sardina pilchardus) yang dapat meningkatkan kekuatan gelnya baik pada daging lumat berkadar garam rendah maupun tinggi. Montero dan Perez-Mateos (2002) menyatakan bahwa KCl terutama berpengaruh terhadap adhesiveness gel daging lumat ikan yang mengandung iota-karaginan tetapi tidak berpengaruh terhadap gel daging lumat ikan yang mengandung sodium alginat. Perez Mateos and Montero (2000) menyatakan jenis hidrokoloid tertentu, yaitu LBG (Locus Bean Gum), xanthan gum, iota-karaginan, kappa-karaginan, CMC dan alginat tidak berpengaruh terhadap water holding capacity (WHC) gel daging lumat ikan blue whiting, namun WHC terendah adalah produk dengan persentase hidrokoloid yang paling rendah. Semakin tinggi nilai WHC tekstur gel daging lumat ikan Blue Whitting semakin lunak dan halus. Ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) merupakan salah satu ikan berdaging putih yang banyak terdapat di Indonesia, khususnya Perairan Laut Jawa. Pemanfaatan ikan ini masih terbatas, yaitu hanya sebagai ikan konsumsi dengan harganya relatif murah. Penggunaan ikan kurisi sebagai bahan baku dalam pembuatan kamaboko dengan kualitas yang dapat diterima pasar belum dikembangkan. Karakteristik gel kamaboko dengan bahan baku ikan kurisi dengan tambahan kappa dan iota-karaginan yang diekstrak dari rumput laut juga belum banyak dilakukan. Kajian ini diharapkan dapat memberikan informasi karakteristik gel ikan dari ikan kurisi dan diversifikasi produk olahan dari ikan. Tujuan penelitian ini adalah menentukan mutu fisik dan mikrostruktur kamaboko ikan kurisi dengan penambahan karaginan. Berdasarkan hasil pengamatan, warna yang dimiliki oleh produk kamaboko setiap kelompok berbeda sesuai dengan jenis pewarna yang ditambahkannya. Kamaboko beraroma amis ikan dan udang, serta memiliki rasa yang asin. Perbedaan konsentrasi penambahan pati tidak berpengaruh nyata terhadap warna, aroma dan rasa kamaboko. Variabel bebas pada pembuatan kamaboko ini adalah perbedaan konsentrasi penambahan pati. Pati yang ditambahkan pada kamaboko berurutan dari kelompok 1 hingga 7 adalah 5%, 7%, 9%, 12%, 15%, 18% dan 21%. Dilihat pada hasil pengamat menunjukkan bahwa perlakuan yang mempunyai nilai ranking paling rendah yaitu pada perlakuan penambahan pati 7%. Hal ini menunjukkan warna kamaboko yang tidak pucat dan tidak terlalu cerah. Dilihat pada hasil pengamat Menunjukkan bahwa perlakuan yang mempunyai nilai ranking paling rendah yaitu pada perlakuan penambahan 9%. Hal ini menunjukkan aroma kamaboko yang tidak berbau amis.
Dilihat dari hasil pengamatan tekstur menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung tapioka 21% tekstur kamaboko yang tepat (empuk) tidak terlalu keras dan tidak terlalu kenyal, begitu pula dengan penambahan pati yang semakin tinggi akan menyebabkan tekstur yang lembek (kenyal), sehingga kurang disukai oleh panelis. Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Wibowo (1998), penambahan pati yang berlebihan akan menyebabkan tekstur menjadi kenyal.
KESIMPULAN 1. Prinsip uji kualitas ikan untuk mendapatkan ikan segar yang bagus diperlukan kejeliandalam pemilihannya dan pengetahuan tentang dasar-dasar tentang ikan segara. Pada prinsipnya tujuan dari uji kualitas ikan segar adalah untukmembedakan antara ikan segar dan ikan yang sudah tidak segar lagi,adapun parameter yang digunakan adalah dari kenampakan luar,kelenturan daging, keadaan daging, keadaan mata, keadaan insang dansisik. 2. Prinsip pembuatan ikan peda Selama proses fermentasi terjadi penurunan kadar air diakibatkan karena adanya penambahan garam yang menarik air bahan. Pada fermentasi, terjadi penurunan kadar air hingga kadar airnya stabil, hal ini disebabakan karena adanya penambahan garam. Garam masuk kedalam daging ikan sehingga menyebabkan terjadinya perubahan kimia dan fisik terutama protein. Garam akan mendenaturasi protein dan mengakibatkan koagulasi. Akibatdari proses itu, air akan keluar dari tubuh ikan dan daging ikan akan mengkerut 3. Atribut mutu yang penting dari kamaboko adalah sifat teksturnya yang elastis (ashi). Faktor-faktor yang mempengaruhi ashi kamaboko diantaranya adalah jenis ikan dan bahan bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan kamaboko (Mao et al . 2006). Biasanya dalam pembuatan kamaboko menggunakan surimi dari jenis ikan berdaging putih dan berprotein tinggi, sedangkan bahan tambahan (pengisi) untuk memperkuat ashi yang sering digunakan adalah pati singkong (tapioka), pati kentang, terigu, dan jagung
DAFTAR PUSTAKA Prawesthirini,S., H.P. Siswanto, A.T.S. Estoepangestie, M.H. Effendy N.Harijani, G.C.de Vries, Budiarto dan E.K. Sabdoningrum.2009. Analisa Kualitas Susu, Daging dan Telur.Cetakan Kelima.Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya. Lawrie. (1995). Ilmu Daging. Penerjemah Parakkasi. UI Press, Jakarta. Wibowo, S., 1998, Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso daging. Penebar Swadaya, J akarta. Winarno, F.G., 2002, Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Desniar.,Poernomo, D., Wijatur, W. 2009. Pengaruh Konsentrasi Garam pada Peda Ikan Kembung ( Rastrelliger sp.) Rahayu, PW.,Ma’oen, S., Suliantari., Fardiaz, S. 1992. Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. IPB, Bogor. Perez-Mateos M, Montero P. 2000. Contribution of hydrocolloids to gelling properties of blue whiting muscle. Journal of European Food Research and Technology 210(6):383-390. Mao L, Tao W. 2007. Gelling properties and lipid oxidation of kamaboko gels from grass carp (Ctenopharyngodon idellus) Influenced by chitosan. Journal of Food Engineering 82(2):128-134. Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein. Processing Technology. London: Applied Sci. Publ. Gomez-Guillen MC, Montero P. 1996. Addition of hydrocolloids and non-muscle proteins to sardine (Sardina pilchardus) mince gels: Effect of salt concentration. Food Chemistry 56(4):421-427. Montero P, Perez-Mateos M. 2002. Effects of Na+, K+ and Ca2+ on gels formed from fish mince containing a carrageenan or alginate. Food Hydrocolloid 16(4):375- 385.