BAB I PENDAHULUAN
Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacammacam etiologi, seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing (Ngastiyah, 2000). Bronkopneumonia adalah radang paru yang berasal berasa l dari cabang-cabang tenggorok yang mengalami infeksi dan tersumbat oleh getah radang, menimbulkan pemadatan-pemadatan bergerombol dalam lobulus paru yang berdekatan, biasanya terjadi akibat batuk rejan, campak, influenza, tifus, dan sebagainya (Ramali Ahmad, 2000: 41). Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang s udah maju. Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun.Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk bronkopneumonia dan influenza (Administered by the Albert Medical Association, 2002). Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan anak yang lebih besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E. Colli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih beeasr dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococus pneumoniae, Haemophillus inflienzae tipe B, dan Staphylococcusaureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae. (Murray, 2005).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 BRONKOPNEUMIA BRONKOPNEUMIA 2.1.1 DEFINISI BRONKOPNEUMIA
Bronkopneumonia adalah radang paru yang berasal dari cabang-cabang tenggorok yang mengalami infeksi dan tersumbat oleh getah radang, menimbulkan pemadatan-pemadatan bergerombol dalam lobulus paru yang berdekatan, biasanya terjadi akibat batuk rejan, campak, influenza, tifus, dan sebagainya (Ramali Ahmad, 2000: 41). Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak ( patchy ( patchy distribution). distribution). Konsolidasi bercak berpusat disekitar bronkus yang mengalami peradangan multifokal dan biasanya bilateral (Putri, 2010). 2.1.2 ETIOLOGI
Menurut Bradley et.al. (2011), penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah: 1.
Faktor Infeksi
a.
Pada neonatus: Streptokokus group B, B , Respiratory Sincytial Virus (RSV). Virus (RSV).
b.
Pada bayi :
1)
Virus: Virus parainfluensa, parainfluensa, virus influenza, influenza Adenovirus, , Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus. Cytomegalovirus.
2)
Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, trachomatis Pneumocytis. , Pneumocytis.
3)
Bakteri: Streptokokus pneumoni, pneumoni, Haemofilus influenza, influenza, Mycobacterium tuberculosa, tuberculosa,
Bordetellapertusis. Bordetellapertusis. c.
Pada anak-anak :
1)
Virus : Parainfluensa : Parainfluensa,, Influensa Virus, Virus Adenovirus, , Adenovirus, RSV
2)
Organisme atipikal : Mycoplasma : Mycoplasma pneumonia
3)
Bakteri: Pneumokokus Bakteri: Pneumokokus,, Mycobakterium tuberculosis
d.
Pada anak besar – dewasa dewasa muda :
1)
Organisme atipikal: Mycoplasma atipikal: Mycoplasma pneumonia, pneumonia, C. trachomatis
2)
Bakteri: Pneumokokus Bakteri: Pneumokokus,, Bordetella pertusis, pertusis, M. tuberculosis
2.
Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
Bronkopneumonia hidrokarbon :
a.
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin). Bronkopneumonia lipoid :
b.
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum.
Setiap
keadaan
yang
mengganggu
mekanisme
menelan
seperti
palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan. Selain
faktor
di
atas,
daya
tahan
tubuh
sangat
berpengaruh
untuk
terjadinya bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini. Berikut daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber dari data di negara maju : 5,6 Usia
Etiologi tersering
Lahir – 20 hari
Bakteri
Etiologi terjarang
E.colli, Bakteri : Bkateri
:
Streptococcus grup B, Listeria
Streptococcus
monocytogenes
Haemophilus
anaerob,
grup
D,
influenza,
Streptococcus pneumoniae Virus : CMV, HMV
3 minggu – 3 bulan
Bakteri
Clamydia Bakteri : Bordetella pertusis,
:
trachomatis,
Streptococcus Haemophilus influenza tipe B,
pneumoniae
Moraxella
catharalis,
Staphylococcus aureus Virus : Adenovirus, Influenza,
Parainfluenza 1, 2, 3 4 bulan – 5 tahun
Bakteri
:
Virus : CMV
Clamydia
pneumoniae,
Mycoplasma
pneumoniae,
Streptococcus
Bakteri
:
Haemophilus
influenza tipe B, Moraxella catharalis,
Staphylococcus
pneumoniae
aureus, Neisseria meningitidis
Virus : Adenovirus, Rinovirus,
Virus : Varicela zoster
Influenza, Parainfluenza 5 tahun – remaja
Bakteri
pneumoniae,
:
Clamydia Bakteri Mycoplasma
:
Haemophilus
influenza, Legionella sp.
pneumoniae
2.1.3
Epidemiologi
Insiden penyakit pneumonia ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun. Dari data SEAMIC Health Statistic 2001, influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk bronkopneumonia dan influenza (Fadhila, 2013). Insidens penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (PK) atau di dalam rumah sakit/pusat perawatan (pneumonia nosokomial/PN). (Suparman, 2011) 2.1.4
Klasifikasi Bronkopneumia
1.
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada
umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan. (Pedoman Diganosis dan Terapi Kesehatan Anak, 2005) Berdasarkan lokasi lesi di paru Pneumonia lobaris Pneumonia lobularis Pneumonia intersitialis a.
Berdasarkan asal infeksi
Pneumonia yang didapat dari masyarakat (community acquired pneumonia) Pneumonia yang didapat dari Rumah Sakit ( hospital based pneumonia)
b.
Berdasarkan mikroorganisme penyebab
Pneumonia bakteri Pneumonia virus Pneumonia mikoplasma Pneumonia jamur c.
Berdasarkan karakteristik penyakit pneumonia
Pneumonia tipikal Pneumonia atipikal d.
Berdasarkan lama penyakit
Pneumonia akut Pneumonia persisten
Klasifikasi berdasarkan Lingkungan dan Pejamu Tipe Klinis
Epidemiologi
Pneumonia Komunitas
Sporadis atau endemis; orang tua atau orang muda
Pneumonia Nosokomial
Didahului perawatan di RS
Pneumonia Rekurens
Terdapat dasar penyakit paru kronik
Pneumonia Aspirasi
Alkoholik, usia tua
Pneumonia pada gangguan imun
Pasien transplantasi, onkologi, AIDS
2.1.5 Patogenesis Istilah pneumonia mencakup setiap keadaan radang paru dimana beberapa atau seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Jenis pneumonia yang umum adalah pneumonia bakterialis yang paling sering disebabkan oleh pneumokokus. Penyakit ini dimulai dengan infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlubanglubang sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah masuk kedalam alveoli. Dengan demikian, alveoli yang terinfeksi secara progresif menjadi terisi dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri dari alveolus ke alveolus. (Guyton, 1997) Dalam keadaan normal, saluran respiratorik mulai dari area sublaring sampai parenkim paru adalah steril. Saluran napas bawah ini dijaga tetap steril oleh mekanisme pertahanan bersihan mukosiliar, sekresi imunoglobulin A, dan batuk. Mekanisme pertahanan
imunologik yang membatasi invasi mikroorganisme patogen adalah makrofag yang terdapat di alveolus dan bronkiolus, IgA sekretori, dan imunoglobunlin lain. Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Berikutnya, jumlah makrofag meningkat di alveoli, dimana sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal. Pneumonia viral biasanya berasal dari penyebaran infeksi di sepanjang jalan napas atas yang diikuti oleh kerusakan epitel respiratorius, menyebabkan obstruksi jalan napas akibat bengkak, sekresi abnormal, dan debris seluler. Diameter jalan napas yang kecil pada bayi menyebabkan bayi rentan terhadap infeksi berat. Atelektasis, edema intersitial, dan ventilation-perfusition mismatch menyebabkan hipoksemia yang sering disertai obstruksi jalan napas. Infeksi viral pada traktus respiratorius juga dapat meningkatkan risiko terhadap infeksi bekteri sekunder dengan mengganggu mekanisme pertahanan normal pejamu, mengubah sekresi normal, dan memodifikasi flora bakterial. Ketika infeksi bakteri terjadi pada parenkim paru, proses patologik bervariasi tergantung organisme yang menginvasi. M. penumoniae menempel pada epitel respiratorius, menghambat kerja silier, dan menyebabkan destruksi seluler dan memicu respons inflamasi di submukosa. Ketika infeksi berlanjut, debris seluler yang terlepas, sel-sel inflamasi, dan mukus menyebabkan onstruksi jalan napas, dengan penyebaran infeksi terjadi di sepanjang cabang-cabang bronkial, seperti pada pneumonia viral. S. pneumoniae menyebabkan edema lokal yang membantu proliferasi mikroorganisme dan penyebarannya ke bagian paru lain, biasanya menghasilkan karakteristik sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh lapangan paru. (Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, 2005) Infeksi streptokokus grup A pada saluran napas bawah menyebabkan infeksi yang lebih difus dengan pneumonia intersitial. Pneumonia lobar tidak lazim. Lesi terdiri atas nekrosis mukosa trakeobronkial dengan pembentukan ulkus yang compang-camping dan sejumlah besar eksudat, edema, dan perdarahan terlokalisasi. Proses ini dapat meluas ke sekat interalveolar dan melibatkan fasa limfatika. Pneumonia yang disebabkan S.aureus adalah berat dan infeksi
dengan cepat menjadi jelek yang disertai dengan morbiditas yang lama dan mortalitas yang tinggi, kecuali bila diobati lebih awal. Stafilokokus menyebabkan penggabungan bronkopneumoni yang sering unilateral atau lebih mencolok pada sati sisi ditandai adanya daerah nekrosis perdarahan yang luas dan kaverna tidak teratur. 2.2 MANIFESTASI KLINIK
Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung dari kuman penyebab, usia pasien, status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis biasanya berat yaitu sesak, sianosis, tetapi dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonatus. Gejala dan tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi (nonspesifik), gejala pulmonal, pleural, atau ekstrapulmonal. Gejala nonspesifik meliputi demam, menggigil, sefalgia, resah dan gelisah. Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau sakit perut.3 Gejala pada paru timbul setelah beberapa saat proses infeksi berlangsung. Setelah gejala awal seperti demam dan batuk pilek, gejala napas cuping hidung, takipnu, dispnu, dan timbul apnu. Otot bantu napas interkostal dan abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa batuk.
2
Frekuensi napas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan memantau tata laksana pneumonia. Pengukuran frekuensi napas dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur. Tim WHO telah merekomendasikan untuk menghitung frekuensi napas pada setiap anak dengan batuk. Dengan adanya batuk, frekuensi napas yang lebih dari normal serta adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam ( chest indrawing ), WHO menetapkan sebagai pneumonia (di lapangan), dan harus memerlukan perawatan dengan pemberian antibiotik. Perkusi toraks pada anak tidak mempunyai nilai diagnostik karena umumnya kelainan patologinya menyebar; suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura. 2 Suara napas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi. Ronkhi basah halus yang khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak terdengar pada bayi. Pada bayi dan balita kecil karena kecilnya volume toraks biasanya suara napas saling berbaur, dan sulit untuk diidentifikasi. 2 Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial dengan pneumonia viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis. 2 Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada seluruh kasus.
2.2.1. Pneumonia pada neonatus dan bayi kecil
Pneumonia ini sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu-anak yang berhubungan dengan proses persalinan, misalnya melalui aspirasi mekonium, cairan amnion, dari serviks ibu, atau berasal dari kontaminasi dengan sumber infeksi dari RS. infeksi juga dapat terjadi karena kontaminasi dari komunitasnya. Gambaran klinis pneumonia pada neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup serangan apnea, sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak, mau minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta dan demam. Pada bayi BBLR sering terjadi hipotermi. Keadaan ini sering sulit dibedakan dengan keadaan sepsis dan meningitis. 6
2.2.2. Pneumonia pada balita dan anak yang lebih besar
Gejala klinis yang timbul pada pneumonia yang terjadi pada balita dan anak yang lebih besar meliputi demam, menggigil, batuk, sakit kepala, anoreksia, dan kadang-kadang keluhan gastrointestinal (muntah dan diare). Secara klinis gejala respiratori seperti takipnea, retraksi subkosta (chest indrwaing), napas cuping hidung, ronki, dan sianosis. Penyakit ini
sering ditemukan bersama konjungtivitis, otitis media, faringitis, dan laringitis. Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrat alveoler. Bila terjadi efusi pleura atau empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal di daerah efusi. Gerakan dada juga terganggu bila terdapat nyeri dada akibat iritasi pleura. Bila efusi bertambah, sesak napas akan semakin bertambah, tetapi nyeri pleura akan semakin berkurang dan berubah menjadi nyeri tumpul. 6 Kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus kanan bawah yang menimbulkan iritasi diafragma. Nyeri ini dapat menyebar ke kuadran kanan bawah dan menyerupai appendisitis. Abdomen mengalami distensi akibat dilatasi lambung yang disebabkan oleh aerografi atau ileus paralitik. Hati akan teraba bila tertekan oleh diafragma, atau memang membesar karena terjadi gagal jantung kongestif sebagai akibat komplikasi pneumonia. 6 2.2.3. Pneumonia atipik
Mikroorganisme penyebab adalah Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia spp, Legionnela pneumofilia, dan Ureaplasma urealyticum . Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab potensial infeksi respiratori dan pneumonia pada anak, terutama pada anak usia sekolah dan remaja. Chlamydia trachomatis sering ditemukan sebagai penyebab infeksi akut respiratori pada bayi melalui transmisi vertikal (proses
kersalinan) dan merupakan etiologi infeksi perinatal yang penting. Legionnela pneumofilia, dan Ureaplasma urealyticum jarang dilaporkan menyebabkan ifeksi pada anak. 6
2.2.4. Infeksi oleh Mycoplasma pneuoniae Infeksi diperoleh melalui droplet dari kontak dekat (di asrama, keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang sangat banyak). Masa inkubasi lebih kurang 3 minggu. Gambaran klinis pneumonia atipik didahului dengan gejala menyerupai influenza ( influenza like flu syndrome) seperti demam (jarang lebih dari 380C), malaise, sakit kepala, mialgia, tenggorokan gatal dan batuk. Kadang-kadang dapat sembuh sendiri, tetapi kasus berat seperti severe necrotizing pneumonitis dengan konsolidasi luas pada jaringan paru dan efusi pleura pernah dilaporkan. Kadang dapat berlanjut menjadi bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia.
6
Batuk terjadi 3-5 hari setelah awitan penyakit, awalnya tidak produktif tetapi kemudian menjadi produktif. Sputum mungkin berbercak darah dan batuk dapat menetap hingga berminggu-minggu. Mengi dapat ditemukan pada 30-40% kasus pneumonia mikoplasma dan lebih sering ditemukan pada anak yang lebih besar. Kultur bakteri memerlukan waktu 2 minggu dan uji serolig hanya bermanfaat bila telah terjadi pembentukan antibodi (ketika penyakit telah sangat berkembang). Gambaran foto rontgennya sangat bervariasi, meliputi gambaran infiltrat intersisial, retikuler, retikulonoduler, bercak konsolidasi, pembesaran kelenjar hilus, dan kadang-kadang disertai efusi pleura.
6
2.2.5. Infeksi oleh Chlamydia penumoniae Gejala klinis awalnya berupa gejala seperti flu, yaitu batuk kering, mialgia, sakit kepala, malaise, pilek, dan demam yang tidak tinggi. Pada pemeriksaan auskultasi dada tidak ditemukan kelainan. Gejala respiratori umunya tidak mencolok. Leukosit darah tepi biasanya normal. Gambaran foto rontgen toraks menunjukan infiltrat difus atau gambaran peribronkial nonfokal yang jauh lebih berat daripada gejala klinis. Pneumonia Klamidia lebih sering ditemukan di daerah tropis, bersifat endemik, dan epidemik dengan interval 3-4 tahun. Infeksi Klamidia juga dapat berperan dalam patogenesis asma.
6
2.3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.3.1. Darah Perifer Lengkap Pada pneumoia virus dan juga mikoplasma umumnya ditemukan leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis ( 15.000
– 40.000/mm 3 ). Dengan prdominan PMN. Leukopenia ( < 5000/mm 3 ) menunjukkan
prognosis yang buruk. Pada infeksi Chlamydia kadang – kadang ditemukan eosinofilia. Pada efusi pleura didapatkan sel PMN pada cairan eksudat berkisar 300-100.000/mm 3, protein > 2,5 g/dl, dan glukosa relatigf lebih rendah daripada glukosa darah. Kadang – kadang terdapat anemia ringan dan LED yang meningkat. Secara umum hasil peneriksaan darah perifer lengkap tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri secara pasti.
6
2.3.2. C- Reaktif Protein ( CRP ) CRP adalah suatu protein fase akut yang disisntesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh sitokin, terutama IL-6, IL-1 da TNF. Meskipun fungsi pastinya belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel rusak.
6
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeki virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis atau profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus atau infeksi superfisialis daripada profunda. 6
2.3.3. Uji Serologis Uji serologik untuk mendateksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Secara umum, uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri tipik, namun bakteri atipik seperti Mycoplasma dan chlamydia tampak peningkatan anibodi IgM dan IgG.
6
2.3.4. Pemeriksaan mikrobiologis Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat diambil dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, punksi pleura atau aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru. 6 Kultur darah jarang positif pada infeksi Mycoplasma dan Chlamydia. 6
2.3.5. Pemeriksaan rontgen Thoraks Secara umum gambaran oto thoraks terdiri dari :
Infiltrat
interstisial,
ditandai
dengan
peningkatan
corakan
bronkovaskuler,
peribronchial cuffing dan hiperaerasi. 6
Infiltrat alveoler, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi
dapat mengenai satu lobus ( pneumonia lobaris ), atau terlihat sebagai lei tunggal yang
biasanya cukup besar, berbentuk sferis, batas tidak terlalu tegas, menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia.
6
Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru, berupa
bercak – bercak infiltrat yang meluas hingga ke daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial. 6 Gambaran radiologis pneumonia meliputi infiltrat ringan pada satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada satu penelitian, ditemukan bahwa lesi pneumonia pada anak terbanyak berada di paru kanan, terutama di lobus atas. Bila ditemukan di pru kiri dan terbanyak di olbus bawah, hal itu merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih berat dengan resiko terjadinya pleuritis lebih besar.
6
2.4. DIAGNOSIS
Diagnosis etiologi berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan / atau serologis merupakan dasar terpi yang optimal. Akan tetapi penemuan bakteri penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorim yang memadai. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut : takipnea, batuk, nafas cuping hidung, rtraksi, ronki dan suara nafas melemah serta didukung oleh gambaran radiologis.
6
Akibat tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita, maka dalam upaya peanggulangannya WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan tatalaksana pneumonia yang sederhana. 6 Berikut adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut.
o
Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun Pneumonia sangat berat Tidak dapat minum/makan Kejang Letargis Malnutrisi
6,8
o
Pneumonia berat Bila ada sesak nafas, ada retraksi Harus dirawat dan diberikan antibiotik
o
Pneumonia Bila tidak ada sesak nafas Ada nafas cepat dengan laju nafas > 50 x / menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun > 40 x / menit untuk anak usia >1-5 tahun Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
o
Bukan pneumonia Bila tidak ada nafas cepat dan sesak nafas Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas.
o
Bayi berusia dibawah 2 bulan Pneumonia sangat berat Tidak mau menetek/minum Kejang Letargis Demam atau hipotermi Bradipnea atau pernapasan ireguler
o
Pneumonia harus dirawat dan diberikan antibiotik
Bila ada nafas cepat ( > 60 x / menit ) atau sesak nafas Retraksi Harus dirawat dan diberikan antibiotik Bukan pneumonia
o
Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis 2.5. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi meliputi empiema torasis (komplikasi tersering oleh pneumonia bakteri), perikarditis purulenta, pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Miokarditis (tekanan sistolik ventrikel kanan meningkat, kreatinin kinase juga meningkat, dan gagal jantung) juga dilaporkan cukup tinggi pada seri pneumonia anak berusia 2-24 bulan.
6
2.6. PENATALAKSANAAN
Sebagian pneumoni pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan trutama berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya toksis,disters pernafasan, tidak mau makan atau minum, atau ada penyakit dasaryang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap. 6 Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemeberin cairan intravena, oksigen, koreksi terhadap gangguan asa basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik /antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif.
6
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utma keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri. 6
a.
Pneumonia Rawat J alan
Pada pneumonia rawat jalan diberikan antibiotik lini pertama secara oral, misalnya amoksis]ilin atau kotrimoksazol. Dosis amoksisilin yang diberikan adalah 25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah 4mg/kgBB TMP-20 mg/kgBB sulfametoksazol.
6
Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru dapat digunakan sebagai terapi alternatif beta laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan pertimbangan adanya aktivitas ganda terhadap S.pneumonia dan bakteri atipik. Dosis eritromisin 30-50 mg/kgBB/hari, diberikan setiap 6 jam selama 10-14 hari. Klaritromisin diberikan 2 kali sehari dengan dosis 15 mg/kgBB. Azitromisin 1 kali sehari 10mg/kgBB 3-5 hari (hari pertama) dilanjutkan dengan dosis 5mg/kgBB untuk hari berikutnya.
b.
6
Pneumonia Rawat I nap Pada pneumonia rawat inap antibiotik yang diberikan adalah beta laktam, ampisilin
atau amoksisislin dikombinasikan degan kloramfenikol. Antibiotik yang diberikan berupa : Penisilin G intrvena ( 25.000 U/kgBB setiap 4 jam ) dan kloramfenikol ( 15 mg/kgBB setiap 6 jam ), dan seftriaxon intravena ( 50 mg/kgBB setiap 12 jam ). Keduanya diberikan selama 10 hari. 6
2.6. REVENTIF 2.6.1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor resiko terhadap kejadian pneumonia. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:
9
a. Memberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan dan imunisasi DPT (Dipteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada usia 2, 3, dan 4 bulan. b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan ASI pada bayi neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita. Di samping itu, zat-zat gizi yang dikonsumsi bayi dan anak-anak juga perlu mendapat perhatian. c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi di luar ruangan. d. Mengurangi kepadatan hunian rumah. 2.6.2. Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit, menghindari komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini dan pengobatan
yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya penyakit dan ternjadinya komplikasi. Upaya yang dapat dilakukan antara lain: a.
9
Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral dan penambahan oksigen.
b.
Pneumonia : diberikan antibiotik kotrimoksasol oral, ampisilin, atau amoksisilin.
c.
Bukan pneumonia : perawatan di rumah saja. Tidak diberikan terapi antibiotik. Bila demam tinggi diberikan paracetamol. Bersihkan hidung pada anak yang mengalami pilek dengan menggunakan lintingan kapas yang diolesi air garam. Jika anak mengalami nyeri tenggorokan, beri penisilin dan dipantau selama 10 hari ke depan.
2.6.3. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak munculnya penyakit lain atau kondisi lain yang akan memperburuk kondisi balita, mengurangi kematian serta usaha rehabilitasinya. Pada pencegahan tingkat ini dilakukan upaya untuk mencegah proses penyakit lebih lanjut seperti perawatan dan pengobatan. Upaya yang dilakukan dapat berupa : 9 a.
Melakukan perawatan yang ekstra pada balita di rumah, beri antibiotik selama 5 hari,
anjurkan ibu untuk tetap kontrol bila keadaan anak memburuk. b.
Bila anak bertambah parah, maka segera bawa ke sarana kesehatan terdekat agar
penyakit tidak bertambah berat dan tidak menimbulkan kematian.
2.7. PROGNOSIS
Dengan pemberian antiboitik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan sampai kurang dari 1%. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat menunjukan mortalitas yang lebih tinggi.
1
2.8. Farmakoterapi Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti infeksi pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang dimulai secara empiris dengan antibiotika spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah bakteri pathogen diketahui, antibiotika diubah menjadi antibiotika yang berspektrum sempit sesuai patogen.
Tabel 6.1. Antibiotika pada terapi Pneumonia Kondisi
Patogen
3,28,34,43
Terapi
Klinik
Dosis Ped
Dosis
(mg/kg/hari)
Dws (dosis total/hari)
Sebelumnya
Pneumococcus,
Eritromisin
30-50
1-2g
sehat
Mycoplasma
Klaritromisin
15
0,5-1g
Pneumoniae
Azitromisin
10
pada
hari 1,diikuti 5mg selama
4
hari Komorbiditas S.
Hemophilus
(manula, DM,
pneumoniae, Cefuroksim Cefotaksim
gagal influenzae,
Ceftriakson
50-75
1-2g
Ampi/Amox
100-200
2-6g
Klindamisin
8-20
1,2-1,8g
s.d.a.
s.d.a.
ginjal, gagal Moraxella jantung,
catarrhalis,
keganasan)
Mycoplasma, Chlamydia pneumoniae
dan
Legionella Aspirasi Community
Hospital
Anaerob mulut
Anaerob mulut, S. Klindamisin aureus,
gram(-) +aminoglikosida
enterik Nosokomial Pneumonia
K. pneumoniae, P.
Cefuroksim
s.d.a.
s.d.a.
Ringan,
aeruginosa,
Cefotaksim
s.d.a.
s.d.a.
<5 Enterobacter spp. Ceftriakson
s.d.a.
s.d.a.
Ampicilin-Sulbaktam
100-200
4-8g
Tikarcilin-klav
200-300
12g
Onset hari, rendah
Risiko S. aureus,
Gatifloksasin
-
0,4g
Levofloksasin
-
0,5-0,75g
Klinda+azitro Pneumonia
K. pneumoniae, P.
(Gentamicin/Tobramicin
7,5
4-6
berat**,
aeruginosa,
atau Ciprofloksasin )* +
-
mg/kg
150
0,5-1,5g
100-150
2-6g
Onset hari,
>
5 Enterobacter spp. Ceftazidime atau
Risiko S. aureus,
Tinggi
Cefepime atau Tikarcilinklav/Meronem/Aztreona m
Ket : *) Aminoglikosida atau Ciprofloksasin dikombinasi dengan salah satu antibiotika yang terletak di bawahnya dalam kolom yang sama **) Pneumonia berat bila disertai gagal napas, penggunaan ventilasi, sepsis berat, gagal ginjal
2-4g
BAB III ILUSTRASI KASUS 3.1. Identitas Pasien Nama
: Aleesa
Umur
: 10 bulan
No. MR
: 184564
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tanggal Masuk RS.
: 7 September 2017
3.2. Anamnesa 1. Mencret sejak 2 hari yang lalu, frekuensi > 3 kali. 2. Berat Badan menurun setelah mencret 3. Sesak nafas ± 2 hari 4. Mual (-) 5. Muntah (-) 6. Demam (suhu = 38o C) 3.3. Pemeriksaan Fisik a.
Berat Bedan : 5,2 Kg
b.
Frekuensi nafas : 64
c.
Retraksi sela Iga (+)
d.
Mata tidak Anemis, tidak iterik
e.
Ekstreminitas
f.
Turgor : kembali cepat
g.
Rongki (+)
: Akral hangat
3.4. Diagnosa Kerja Bronkopneumonia + dehidrasi ringan + gizi buruk. 3.5. Terapi 1.
: IVFD 2A 8 tetes/makro.
2.
Ampicillin 250 mg/ 4 dosis terbagi.
3.
Gentamisin 2 x 18 mg.
4.
Oralit.
5.
Zinc
6.
Bromhexin 3 x 1,5 mg.
7.
Paracetamol 3 x sehari 0,5 sendok teh.
1x 10 mg.
3.6 Informasi Obat 1.
IVFD 2A Komposisi
: Dextrosa 5% & NaCl 0,9%
Indikasi
: Sebagai penambah kalori & elektrolit.
Interaksi Obat : Magnesium Chloride, Magnesium Citrate, Magnesium Hydroxide, Magnesium Oxide, Magnesium Sulfate. Pemberian 2.
: IV
Ampicilin Komposisi
: Ampicillin (antibiotik gol. Penicillin)
Indikasi
: Antibiotik infeksi saluran pernafasan
Interaksi Obat : Efek bakterisidal diantogonisir oleh tetrasiklin. Pemberian bersama probenesid meningkatkan kadar antibiotik serum. Menurunkan khasiat kontrasepi oral. Bersama allupurinol dapat meningkatkan ruam kulit. Efek Samping
: Ruam kulit,
anemia, mual, muntah, edema, enterokolitis,
leukopenia. Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap penicillin. Perhatian
: Monitor fungsi ginjal, hati & darah pada penggunaan jangka
panjang. Bayi yang baru lahir dari ibu yang hipersensitif terhadap penicillin. Pelarut
:
Compatible Isolyte M or P with dextrose 5% Incompatible Amino acids 4.25%, dextrose 25%
Dextran 40 10% in sodium chloride 0.9% Dextran 40 10% in dextrose 5% in water Dextran 70 6% in sodium chloride 0.9% Dextran 70 6% in dextrose 5% in water Dextrose 5% in sodium chloride 0.9% Dextrose 5 or 10% in water Fat emulsion 10%, IV Fructose 5.25% Hetastarch 6% Invert sugar 7.5% with electrolytes Invert sugar 10% in water Ringer's injection, lactated Sodium bicarbonate 1.4% Sodium lactate (1/6) M Variable Ringer's injection Sodium chloride 0.9%